Teng Huayuan tersenyum sinis, mata memancarkan aura pembunuhan yang maha dahsyat. Dalam hati bergumam: "Li'er, Taiyeye datang untuk membalaskan dendammu." Mengenang Teng Li, perasaan sedih membanjiri hatinya - generasi keempat keluarga Teng yang paling cemerlang dengan bakat luar biasa itu tiba-tiba tewas terbunuh.
Setelah kematian Teng Li, Teng Huayuan melakukan penyelidikan menyeluruh. Akhirnya ia memahami akar permasalahan. Selain Wang Lin, semua orang-orang tak berguna yang menyebabkan kematian Teng Li tercatat dalam daftar dendamnya.
Sang Rekan Tao yang berpenampilan bijaksana dan anggun itu menghela napas pelan: "Rekan Teng, bukankah sebelumnya sudah kuhitung bahwa orang itu berada di Lembah Jue Ming? Mengapa masih mencari kerabat dekatnya? Sudahlah... Rekan Teng, dendam punya sumbernya sendiri. Menumpahkan amarah pada orang biasa... Kalau kabar ini tersiar, terdengar sangat buruk reputasimu."
Wajahnya gelap seperti air yang tenang, mata tak berkedip menatap sang Rekan Tao tanpa sepatah kata pun.
Cultivator itu menggeleng sambil tersenyum getir, mengelus-elus kaca kuno di tangannya. Tangan kanannya membentuk mantra dengan jari-jarinya, lalu menepuk perlahan. Seketika kaca kuno itu terlepas dan melayang di udara, berputar-putar seolah mencari arah. Namun setelah lama berbelok ke kiri dan kanan, tetap tak bisa menemukan tujuan akhir.
Alis cultivator itu berkerut. Ia sadar petunjuk yang ada terlalu sedikit. Dengan mengibaskan lengan bajunya, ia menunjuk kaca yang melayang itu. Kaca kecil itu segera kembali ke genggamannya.
Cultivator itu menggigit ujung jari hingga berdarah, lalu cepat-cepat menggambar simbol di permukaan kaca. Dilemparnya lagi, kali ini kaca itu membesar beberapa kali lipat diterpa angin. Permukaannya jernih berkilau, memancarkan riak-riak gelombang.
Kaca itu miring, menyoroti Teng Huayuan.
"Jangan panik, Rekan Teng. Kaca kuno Lao Fu ini perlu menyerap aura kutukanmu dan orang itu," ujar cultivator itu dengan ekspresi serius.
Seberkas gas hitam merembes dari dahi Teng Huayuan, menyusup cepat ke dalam cermin kuno. Riak di permukaan cermin semakin banyak, di balik lapisan riak yang bertumpuk, sebuah rumah besar perlahan terpantul di dalamnya.
Kilatan niat membunuh muncul di mata Teng Huayuan. Setelah melirik sejenak, tanpa bicara ia menatap tajam ke arah sang kultivator yang beraura dewata.
Dengan ragu sebentar, sang kultivator menghela napas. Tangan kanannya melambai, cermin kuno melayang turun dan membesar beberapa kali lipat hingga setinggi orang. Dengan senyum getir, ia melangkah masuk ke dalam permukaan cermin.
Senyum keji mengembang di bibir Teng Huayuan sebelum ia menyusul masuk.
Setelah keduanya masuk ke dalam cermin, cermin itu menyusut dengan cepat hingga akhirnya lenyap tanpa jejak.
Seratus li dari lokasi ini terdapat sebuah kota kecil. Keluarga Wang terkenal sebagai keluarga terpandang di sepuluh desa sekitarnya. Konon beberapa anggota keluarganya telah bergabung dengan sekte dewa - hal yang menjadi pengetahuan umum di kota terpencil ini.
Keluarga Wang berasal dari tukang kayu, memiliki berbagai bengkel dan toko besar kecil di dalam kota. Di mata orang luar, Keluarga Wang hampir bisa disebut sebagai keluarga terbesar dalam radius puluhan li.
Di seluruh kota, bangunan termewah adalah rumah besar Keluarga Wang. Hari ini, matahari di langit bagai tungku api raksasa yang membakar bumi. Penjaga gerbang rumah leluhur Wang sedang bersandar di pintu, mengipasi diri untuk mengusir panas.
Kemeja kain biru di tubuhnya sudah basah oleh keringat di bagian punggung dan dada.
"Cuaca sialan ini, panasnya bikin orang mati." Si penjaga membuka kemejanya, mengipas dengan garang.
Tiba-tiba, pintu kamar samping di dalam rumah terbuka. Seorang pelayan perempuan dengan mangkuk porselen biru muncul, berkeliling di halaman sebelum akhirnya tiba di gerbang utama. Melihat si penjaga, ia tertawa renyah: "Kakak, minum es kembang asam ini biar adem."
Pemuda penjaga itu menoleh melihat gadis itu, wajahnya langsung berseri-seri. Ia mengambil mangkuk porselen hijau dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Seketika seluruh tubuhnya terasa segar, lalu ia menghela nafas, "Tuan-tuan memang paling bisa menikmati hidup. Sup plum asam dingin ini benar-benar enak. Adik, waktu kamu keluar tadi, jangan-jangan dilihat Tuan Hao?"
Gadis itu mengambil kipas dan sambil mengipasi kakaknya, ia tertawa, "Tenang saja, Kak. Tuan Hao tidak melihatku. Aku keluar diam-diam saat beliau lengah. Lagipula, Tuan Hao itu baik hati. Kalaupun melihat, pasti tidak apa-apa."
Pemuda itu menikmati angin dari kipasan adiknya, lalu mengangguk, "Benar juga. Tuan Hao kan seorang dewa, mana mungkin beliau mempermasalahkan hal sepele seperti kita. Adik, kamu harus lebih sering menarik perhatian beliau. Kalau sampai Tuan Hao tertarik dan menjadikanmu selir, nanti kakakmu ini bisa diangkat jadi pelayan kepala. Cuma itu sudah cukup buatku."
Gadis itu tersipu, melirik kakaknya sambil berkata: "Kak, kamu lebih lama di Keluarga Wang. Katanya ada tiga tuan muda terpilih jadi dewa, tapi setelah tiga tahun di sini, selain Tuan Hao, aku cuma sekali lihat Tuan Zhuo pulang. Yang ketiga mana?"
Si pelayan dengan sombong menjawab: "Aku tahu soal ini. Yang ketiga itu namanya Wang Lin, tapi dia beda jauh sama Tuan Hao. Dengar-dengar dia..." Tiba-tiba dia terhenti, matanya terpaku menatap langit.
Seberkas cahaya panjang menyambar dari langit, mendarat dengan kilat. Muncul seorang pemuda berbaju ketat hitam, wajahnya pucat bagai giok, alis tajam seperti pedang, mata berkilau bintang. Sebilah pedang tergantung di punggungnya dengan tali hiasan berkibar, memancarkan aura surgawi yang tenang.
Tapi bila diperhatikan lebih seksama, keriput halus di sudut matanya mengisyaratkan usia yang tak lagi muda. Semua kesombongan masa lalu telah lenyap, digantikan oleh hawa kebijaksanaan yang sarat makna.
“Zh…Zh… Tuan Wang Zhuo.” Pelayan pria itu langsung membungkuk dengan gagap.
Gadis itu juga kaget melihat cara kedatangan orang tersebut yang turun dari langit, buru-buru berdiri di belakang kakaknya.
Orang yang datang tak lain adalah Wang Zhuo. Ia mengerutkan alis, memandang pelayan itu dan berkata, “Kau Wang Tao ya?”
Pelayan itu tak menyangka Wang Zhuo masih ingat namanya, segera tersemangati dan menjawab cepat, “Benar Tuan Wang Zhuo, hamba ini Wang Tao.”
Wang Zhuo tampak ragu sejenak, lalu perlahan bertanya, “Wang Tao, siapa yang memberitahumu tentang Wang Lin? Ceritakan detailnya!”
Wang Tao gemetar ketakutan, buru-buru menjelaskan, “Itu…itu dari para pelayan senior. Mereka bilang Lin Shaoye mungkin malu pulang, dan dulu dia si sampah yang berani merebut syarat berlatih seni immortal dari Tuan.”
Wang Zhuo terdiam lama. Setelah lama menghela nafas, ia bergumam seolah bicara pada diri sendiri maupun Wang Tao, “Keberaniannya meninggalkan sekte... itu yang tak kumiliki...”
Wang Tao terkejut, mendengar ucapan Wang Zhuo, hatinya langsung dipenuhi keraguan. Tiba-tiba, dari dalam rumah muncul seorang pemuda berbadan tegap dan berotot, tampan, berdiri tak jauh dari situ. Ia menatap Wang Zhuo dan berkata datar, "Wang Zhuo, lama tak berjumpa."
Wang Zhuo tersenyum pahit, "Wang Hao, sudah tiga tahun kita tak bertemu, kau berubah banyak."
Ekspresi murung muncul di wajah Wang Hao. Keduanya terdiam. Karyawan Wang Tao dan adik perempuannya berdiri di samping sambil menahan napas, memandangi kedua orang ini. Wang Tao tahu, mereka adalah Bintang Pilihan Keluarga Wang, dewa yang berada di tempat tinggi.
"Ada kabar tentang Wang Lin?" tanya Wang Hao dengan suara berat.
"Sejak dia meninggalkan Sekte Hengyue, tak ada kabar sama sekali." Ekspresi kompleks terpancar di wajah Wang Zhuo.
"Sekarang tingkat kultivasimu sudah seberapa? Di Sekte Xuandao, dengan bakatmu, pasti banyak Senior yang melirik." Wang Hao menghela napas sebelum bertanya.
“Sulit dijelaskan dalam satu kata, sekarang aku berada di tingkat ke-11 Periode Konsentrasi Qi. Ini baru bisa kuraih setelah tahun lalu memenangkan kompetisi secara kebetulan dan masuk ke gunung belakang.” Wang Zhuo berkata dengan ekspresi pahit.
Tiba-tiba langit menjadi gelap, suhu panas yang sebelumnya menyengat lenyap seketika. Sebuah cermin raksasa muncul tanpa suara di angkasa, permukaannya berkilauan dengan riak-riak cahaya. Dari balik lapisan riak tersebut, melangkah keluar dua sosok. Salah satunya memancarkan aura immortal layaknya dewa, sedangkan yang lain diselubungi aura suram.
Sebuah tekanan aura dahsyat tiba-tiba menyergap dari langit.
Wang Zhuo dan Wang Hao langsung berubah pucat, napas mereka tertahan. Wang Zhuo segera merangkapkan tangan hormat, "Juniro Sekte Xuandao, Wang Zhuo, memberi salam kepada kedua Senior."
Kultivator beraura dewa itu terkejut, memandang Wang Zhuo, "Sekte Xuandao? Apakah kau memiliki bukti identitas?"
Wang Zhuo jantungnya berdebar kencang dengan firasat buruk, segera mengeluarkan kepingan giok identitas dari kantong penyimpanannya. Sang kultivator meraihnya dengan tangan besar, memeriksa giok tersebut, lalu melirik Wang Hao dan bertanya: "Kau juga?"
Wang Hao yang cerdik langsung mengangguk tanpa ragu.
Teng Huayuan mendengus, mengibaskan lengannya. "Brak! Brak!" Kepala pelayan di samping Wang Zhuo dan adik perempuannya langsung meledak, daging dan darah berceceran.
Dua asap kuning muncul dari mayat mereka. Teng Huayuan menggerakkan tangan kanannya, bendera kecil hitam melayang di udara lalu menggulung kedua asap itu ke dalamnya.
Di permukaan bendera muncul dua wajah mengerang kesakitan - sang pelayan dan adiknya.
"Hari ini, tak akan kutinggalkan satu nyawa pun di tempat ini!" Teng Huayuan bersuara seram, melangkahi Wang Zhuo dan Wang Hao menuju kediaman.
Sementara itu Wang Lin melarikan diri dengan cepat di Lembah Jueming, di belakangnya tiga orang (dua pria dan satu wanita) mengejar dengan aura pembunuh di wajah mereka.
Saat sedang berlari tiba-tiba dadanya Wang Lin terasa nyeri, seolah ada pisau tak kasat mata yang menusuk dengan keras. Rasa sakit ini bukan berasal dari luka fisik, melainkan semacam sengatan samar yang datang dari jiwa.
Perasaan panik dan gelisah yang tak jelas mulai merambat dari dalam hatinya.
