Toko yang disewa Wang Lin ini tidak terletak di jalan utama melainkan di area sepi. Kecuali dicari dengan saksama, sulit ditemukan. Namun Wang Lin tidak mempermasalahkannya. Setelah semalam bermeditasi, kabut merah di sekujur tubuhnya kembali memadat sedikit.
Saat fajar menyingsing, Wang Lin membuka pintu toko. Layaknya orang biasa, ia merapikan toko lalu merenung sejenak. Tubuhnya berkelebat dan menghilang dari toko.
Saat kembali, kantong penyimpanannya telah berisi banyak pohon besar yang dicabut hingga ke akar.
Setelah menguliti kulit kayu dan memahat batang pohon menjadi balok kayu, Wang Lin mengingat kembali masa kecil saat ayahnya mengajarinya mengukir kayu tangan demi tangan.
Ingatan-ingatan ini perlahan muncul di benak, Wang Lin terdiam lama, tangan kirinya mengambil sepotong kayu, diayunkan perlahan, kayu itu langsung terbelah menjadi sepuluh bagian. Wang Lin mengambil salah satu bagian, di tangan kanannya tanpa terasa muncul pisau ukir, persis seperti ayahnya dulu, mulai mengukir satu per satu di atasnya.
Perlahan-lahan, dalam proses mengukir, Wang Lin seakan menemukan kembali ikatan kekeluargaan yang telah hilang selama 400 tahun. Seolah setiap torehan pisau ini membawanya kembali ke masa kecil, ke desa kecil tempatnya tinggal lama.
Pada momen ini, energi spiritual dalam tubuhnya tiba-tiba berputar, mengikuti pisau ukir di tangannya, meresap semakin dalam ke dalam ukiran kayu.
Waktu berlalu cepat, hingga malam tiba kembali. Wang Lin tersadar, memandang potongan kayu di tangannya yang kini telah berubah menjadi patung kayu bergambar seorang pria paruh baya dengan senyum ramah.
Orang ini mengenakan pakaian kain kasar, terutama di kedua tangannya dipenuhi garis-garis kasar halus.
Meski ukiran kayu ini agak kasar, namun seolah memiliki spiritualitas. Energi spiritual berhembus menyebar darinya. Wang Lin terpaku memandangi ukiran kayu itu, rasa sedih menyergap hatinya.
Tangan kanannya mengelus lembut ukiran kayu itu, bergumam pelan: "Ayah, anakmu merindukanmu, sangat merindukan..."
Setelah lama terdiam, Wang Lin meletakkan ukiran kayu di sampingnya, mengambil satu kayu lagi, dan seluruh jiwanya terbenam sepenuhnya dalam goresan pisau demi pisau.
Cuaca semakin dingin. Tidak beristirahat sehari semalam bukan masalah bagi Wang Lin. Dulu saat dikejar-kejar, ia kerap melarikan diri selama beberapa hari.
Saat matahari pagi mulai terbit, ukiran kayu di tangan Wang Lin kembali berbentuk. Kali ini berupa wanita paruh baya dengan raut penuh kasih sayang, matanya menatap ke kejauhan seolah menanti kepulangan anaknya.
Meletakkan dua ukiran kayu di satu tempat, Wang Lin menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil kembali sepotong kayu dan mulai mengukir.
Waktu berlalu perlahan, kegiatan mengukir Wang Lin tak pernah berhenti. Hanya saat kelelahan ekstrem, dia akan bermeditasi sebentar.
Sekejap mata, sebulan telah berlalu. Dibandingkan bulan sebelumnya, toko Wang Lin kini semakin penuh barang. Di rak-rak dinding sekitar toko, berjejer ukiran kayu yang hidup-hidup - pria-wanita, tua-muda, dengan berbagai pose.
Semua figur dalam ukiran kayu ini adalah mantan penduduk desa pegunungan tempat Wang Lin dulu tinggal. Kini melalui cara yang unik, Wang Lin telah menghidupkan kembali mereka.
Selama sebulan ini, belum ada satupun tamu yang mengunjungi tokonya. Namun Wang Lin tidak mempermasalahkannya. Dia tenggelam dalam dunia ukiran, bahkan latihan kultivasinya pun telah dihentikan.
Pada hari ini, Wang Lin memegang ukiran kayu setengah jadi yang secara misterius memancarkan aura purba. Jika ada kultivator dari Laut Xiuno yang melihat obyek yang diukir ini, pasti akan langsung mengenali - ini adalah seekor naga sungai!
Naga sungai ini merupakan hewan spiritual pertama yang ditemui Wang Lin saat berada di Laut Xiuno bersama Li Mawan.
Saat sedang mengukir, dentang lonceng angin berbunyi. Pintu toko terbuka, seorang pemuda berwajah tegas dan berani menyembulkan kepala dengan hati-hati.
Melihat Wang Lin, pemuda itu tertegun sejenak, namun segera terpesona oleh ratusan ukiran kayu di sekelilingnya. Dengan kagum ia berkata, "Paman, semua ini hasil ukiranmu? Cantik sekali! Bolehkah aku minta satu?"
Wang Lin tersenyum kecut. Ia meletakkan ukiran naga sungai itu, lalu mengambil sebuah patung kayu di sampingnya - sosok yang sangat dikenalnya: Wang Hao.
Pemuda di depan mata ini memiliki kemiripan yang cukup kuat secara spiritual dengan Wang Hao di masa lalu.
Setelah menerima ukiran kayu itu, si pemuda langsung bersorak gembira, memegangnya dengan hati-hati sambil berkata lantang pada Wang Lin: "Terima kasih Paman! Aku dari toko peralatan besi di seberang. Sampai jumpa!" Begitu kata-katanya, ia lalu berlari keluar toko sambil berteriak: "Ayah, Ibu, lihat ini! Paman memberikanku hadiah!"
Wang Lin berdiri dan berjalan ke pintu. Di seberang jalan terlihat sepasang suami istri keluar dari toko lain. Mereka memandang si pemuda dengan penuh kasih sayang. Sang ayah menerima ukiran kayu itu, matanya langsung berbinar. Ia menoleh ke arah Wang Lin, ragu sebentar lalu mendekat sambil membawa ukiran: "Anak kecil tidak mengerti sopan santun. Kak, berapa harga barang ini?"
Wang Lin menggeleng: "Ini untuknya. Hanya sepotong kayu biasa."
Sang ayah tampak ragu, menatap Wang Lin sejenak lalu tersenyum: "Apakah Anda baru datang ke sini? Sebelumnya tidak pernah melihatmu."
Wang Lin mengangguk sambil tersenyum.
Ayah si pemuda tertawa lebar dan berkata, "Kakak, kalau tidak keberatan, mari makan bersama. Aku punya anggur buah buatan sendiri, jauh lebih enak daripada yang di kedai minuman."
Perasaan tak terucapkan menggelora dalam hati Wang Lin. Emosi seperti ini belum pernah ia rasakan selama 400 tahun terakhir. Setelah ragu sejenak, Wang Lin mengangguk.
Ibu si pemuda adalah seorang wanita yang ramah. Meski usianya tak terlalu tua, sifatnya sangat lembut. Dari beberapa detail terlihat jelas ini adalah keluarga yang bahagia.
Anak yang penurut, suami-istri yang harmonis.
Di dalam toko perkakas besi, terdapat meja persegi dengan beberapa hidangan rumahan. Meski Wang Lin sudah tidak perlu makan lagi, ia tetap mengambil sumpit dan menyantap beberapa suap.
Sambil menikmati anggur buah yang dibanggakan pasangan itu, menyantap makanan rumah yang sudah lama tak ia rasakan, kondisi batin Wang Lin menjadi lebih tenang dibanding saat di rombongan kafilah. Energi spiritual dalam tubuhnya mengalir dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Anggur ini memang anggur yang luar biasa, meninggalkan kesan tak terlupakan.
Sejak hari itu, kehidupan Wang Lin memiliki satu hal yang tak terpisahkan: anggur buah ini. Hampir setiap hari sang pemuda datang ke tempat Wang Lin, menontonnya mengukir kayu sambil membawa sebotol anggur buah.
Di dalam toko Wang Lin, ukiran kayu semakin bertambah. Sebagian besar berbentuk makhluk, mengabadikan semua iblis yang pernah dilihatnya selama 400 tahun terakhir. Namun untuk hewan spiritual kelas atas dan makhluk purba, betapapun Wang Lin berusaha mengukir, tetap tak bisa membentuknya sempurna.
Setiap ukiran ini memadatkan energi spiritual yang dahsyat - sesuatu yang tak bisa dirasakan orang biasa. Tapi jika ada cultivator datang ke sini, pasti akan terkejut seketika.
Tekanan aura energi spiritual ini nyaris setara dengan Magic Treasure tingkat rendah, bahkan beberapa ukiran kayu memiliki aura spiritual yang menyamai Magic Treasure tingkat menengah.
Ini bukan sekadar ukiran kayu, melainkan senjata cultivation yang mengubah benda usang menjadi ajaib, dibuat dari kayu lapuk!
