Orang pertama yang pernah dibunuh Wang Lin, tepatnya adalah Shifu Sun Dazhu!
Jari-jarinya bergerak lincah mengukir, serpihan kayu beterbangan. Tak lama kemudian, ukiran kayu terbentuk. Ekspresi Sun Dazhu saat detik-detik terakhir sebelum meninggal - putus asa yang dipenuhi ketakutan - tergambar sempurna pada ukiran tersebut.
Memandang ukiran Sun Dazhu, hati Wang Lin tenang bagai danau. Dulu, andai Sun Dazhu tak serakah mengincar labu miliknya, tentu tak akan berakhir seperti itu. Hukum sebab-akibat, ada kehidupan, tentu ada kematian.
Ukiran kedua menggambarkan pria paruh baya. Matanya memancarkan kilau haus darah, bibir tipis yang terkesan kejam. Di tangan kanannya tergenggam Pedang Terbang yang memancarkan aura dingin, gelombang energi mematikan tiba-tiba menyebar.
Dialah korban kedua pembunuhan Wang Lin - guru Zhang Hu, murid Yimo Laoren!
Saat itu orang ini telah menumbuhkan hasrat membunuh terhadap Wang Lin, namun pada akhirnya, justru menjadi arwah kedua yang binasa di tangan Wang Lin.
Melihat sekilas ukiran kayu itu, Wang Lin meletakkannya di samping, lalu mengambil potongan kayu lain lagi.
Yang ketiga ini adalah seorang pria muda, dia tak lain adalah Teng Li yang pernah mengejar-ngejar Wang Lin! Mengenang Teng Li, hati Wang Lin sedikit bergejolak, namun segera tenang kembali.
Segala momen rumit bersama Teng Li bergema dalam benak Wang Lin. Setelah lama merenung, jari tangan kanannya bagai pisau melesat cepat di atas potongan kayu. Setengah batang dupa kemudian, ukiran kayu Teng Li pun terbentuk.
Wajahnya tampan namun terpancar kesombongan. Tangan kanannya membentuk mantra dengan jari-jarinya, pandangannya suram menyembunyikan keserakahan yang sangat dalam. Bahkan sudut bibirnya sudah menunjukkan senyum penuh keyakinan akan keberhasilan.
Namun senyum itu telah menjadi masa lalu, menguap jauh. Bersama senyuman itu, seluruh garis keturunan klan Teng pun turut musnah.
Satu per satu ukiran kayu terbentuk di tangan Wang Lin, setiap kali selesai mengukir satu, diletakkannya di samping, perlahan-lahan tumpukan ukiran kayu di lantai semakin banyak.
Aura pembunuh yang samar-samar perlahan mengental, setiap tambahan satu ukiran kayu, tingkat kekuatan aura pembunuh di dalam toko meningkat satu tingkat.
Seandainya ada kultivator yang lewat saat ini, mereka akan dengan jelas melihat di atas toko tempat Wang Lin berada, selain badai salju telah muncul lapisan es tambahan.
Wang Lin mengabaikan semua ini sama sekali, ia tenggelam dalam kenangannya sendiri, mengukir satu per satu arwah yang mampu diingatnya.
Perlahan Wang Lin lupa bahwa dirinya sedang mengukir, ia sepenuhnya terbenam dalam ingatan, menampilkan kehidupan empat ratus tahunnya secara perlahan di pikiran seolah melihat orang asing.
Dari seorang pemuda yang baru berusia 20 tahun memasuki Sekte Hengyue, di dalam sekte ini bakatnya tidak cukup sehingga latihan kultivasinya lambat, hingga akhirnya tiba di ruang Tianni dan munculnya Situ Nan, Sekte Hengyue akhirnya diusir oleh Sekte Xuandao.
Kemudian, dia meninggalkan Sekte Hengyue, berlatih sendiri, bertemu dengan Zhang Hu, membunuh guru Zhang Hu, pergi ke Kota Keluarga Teng, namun tak disangka Teng Li justru datang.
Akhirnya, berpisah dengan Zhang Hu, hingga sekarang tidak tahu apakah Zhang Hu masih hidup atau sudah mati.
Pengejaran Teng Li yang berakhir dengan kematian di tangannya, memulai rangkaian pertikaian. Sekte Yin Mayat, Lembah Jueming, saat itulah sebuah petir di siang bolong benar-benar mengubah hidupnya.
Kematian orangtuanya, ekspresi mengerikan Teng Huayuan, membuat tubuh fisiknya hancur. Dengan bantuan Situ Nan, dia melarikan diri ke Medan Perang Luar Wilayah.
Maka, terjadilah pembantaian selama 400 tahun. Untuk meningkatkan tingkat kultivasinya, demi balas dendam yang dinantikannya, dia mengorbankan segalanya. Menjadikan dirinya kejam, tak berperasaan, bahkan dingin berdarah.
Huofen Guo, Laut Xiuno, Tanah Dewa Kuno - semua adegan ini terus bergerak di benak Wang Lin. Token Pembantaian 100 Hari Wanmo, saat itulah - selain keluarga Teng - dia melakukan pembunuhan terbanyak.
Terutama di Tanah Dewa Kuno, sosok-sosok seperti Meng Tuozi meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi Wang Lin, mustahil terlupakan.
Tahun-tahun di Tanah Dewa Kuno menjadi masa transformasi total baginya. Baik jiwa maupun tubuhnya, semuanya mengalami metamorfosis sempurna.
Namun di balik semua ini, bahaya yang mengintai sama besarnya. Sedikit saja kecerobohan, mustahil bisa keluar dengan selamat.
Kemudian, saat proses penyatuan bayi rohani di Negeri Chu, pertemuannya kembali dengan Li Mawan menjadi awal pembalasan dendam yang ditunggu selama empat abad.
Di Negara Zhao, semua keturunan klan Teng tewas di tangan Wang Lin, mengakhiri karma permusuhan ini.
Tangan Wang Lin tak pernah berhenti. Seiring ingatannya, ukiran-ukiran kayu terbentuk dengan cepat. Gerak tangannya semakin cepat, hanya menyisakan bayangan samar.
Gambar ingatan dalam pikirannya juga semakin cepat. Perlahan, ia melihat perjalanan 30 tahun Transformasi Biasa-nya: kelahiran, penuaan, penyakit, kematian - potret kehidupan yang meresap ke dalam jiwanya.
Setelah lama, tak ada lagi gambar ingatan di pikirannya. Yang tersisa hanya dua karakter: Hidup dan Mati.
Hidup dan Mati adalah perubahan dalam siklus Jalan Langit. Melalui 400 tahun pembantaian dalam ukirannya, ia memahami makna kematian. Lewat 30 tahun Transformasi Biasa, ia menyelami arti kehidupan.
Pada saat sebelumnya memahami Jalan Langit dari siklus reinkarnasi, meskipun akhirnya gagal, meninggalkan kesan mendalam dan lapisan spiritual. Seolah-olah merobek selembar kertas, membuat Wang Lin seketika itu mengalami pencerahan.
Pencerahan ini tidak berarti ia telah sepenuhnya memahami.
Dapat dikatakan, kondisi spiritual Wang Lin saat ini telah mencapai tingkat yang mampu mengendalikan tingkat kultivasinya sendiri. Di Dunia Kultivasi Kuno, ada pepatah yang telah diwariskan turun-temurun:
"Gunung adalah gunung, air adalah air."
Wang Lin saat ini berada dalam kondisi demikian.
Saat matanya terbuka, toko telah dipenuhi ukiran kayu tak terhitung. Di pupil Wang Lin muncul kilau aneh yang jahat, pandangan ini sangat mirip dengan Tuosen dari Tanah Dewa Kuno di masa lalu.
Ia memandang tenang ukiran-ukuran kayu di hadapannya, kedua tangan perlahan terangkat. Seketika, semua ukiran kayu itu tiba-tiba bergetar dan berkerumun ke telapak tangannya. Semakin banyak ukiran yang terkumpul, namun di antara kedua telapak Wang Lin muncul pusaran hitam. Meski satu per satu ukiran masuk, ukuran pusaran itu tetap tak berubah.
Satu per satu ukiran kayu terbang ke antara tangan Wang Lin. Saat ukiran terakhir menghilang dalam pusaran hitam, pandangannya tetap tenang menatap pusaran itu. Kantong penyimpanan di pinggangnya tiba-tiba terbuka sendiri, tiga bola darah aura pembunuh melayang keluar.
Menyatu ke dalam pusaran. Ketika bola darah terakhir masuk, kedua mata Wang Lin langsung memancarkan kilau aneh. Kedua tangannya pun mulai bergerak.
Pusaran hitam, di bawah ayunan kedua tangan Wang Lin, dengan cepat berubah bentuk. Akhirnya, berangsur membentuk persegi dan perlahan menguat. Setelah lama, pusaran hitam berangsur menghilang. Sebuah stempel persegi hitam muncul di depan Wang Lin.
Stempel ini seukuran telapak tangan, di atasnya terukir sosok manusia. Namun sosok ini tanpa wajah, yang ada hanyalah siluet. Stempel hitam ini memuat seluruh pembantaian Wang Lin selama 400 tahun terakhir. Ia merupakan perwujudan nyata dari makna kematian.
Wang Lin menekan tangan kanannya pada stempel hitam. Seketika, perasaan menyatu seperti darah dan air membanjiri hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam. Stempel hitam berangsur menghilang di tangannya, melebur ke dalam Bayi Yuan Ying dalam tubuhnya.
Wang Lin terdiam sejenak. Dengan tatapan bernostalgia, ia memandang toko yang telah dihuninya selama lebih dari 30 tahun ini. Tangan kanannya melambai sekenanya, dan seketika semua ukiran kayu di toko lenyap.
Kemudian, ia membuka pintu toko. Menghadapi malam bersalju yang gelap, ia melangkah keluar.
Wang Lin berjalan perlahan di jalanan ini. Salju dan angin, semakin menjadi.
Siluetnya, saat baru saja keluar dari toko, masih terlihat seperti orang tua yang memasuki masa senja. Namun seiring langkahnya menuju ujung jalan, posturnya semakin tegap, kerutan di wajahnya perlahan menghilang. Pada akhirnya, saat tiba di ujung jalan, Wang Lin telah berubah dari orang biasa menjadi kultivator.
Meski masih belum mencapai tahap Transformasi Dewa, kini jaraknya semakin dekat. Dengan menguasai Lapisan kehidupan dan kematian serta memahami Jalan Langit, Wang Lin mulai merasakan sensasi tubuhnya seolah ingin melayang, perlahan muncul dari dalam dan luar tubuhnya.
Seolah ada kekuatan mistis tak kasat mata yang membentang di langit, menariknya naik ke atas.
Sensasi ini merupakan pertanda akan memasuki tahap Transformasi Dewa. Kini ia tak perlu lagi merenungkan Jalan Langit atau merasakan Lapisan spiritual. Cukup menemukan tempat sepi untuk bertapa selama sepuluh tahun, maka secara alami akan mencapai tahap Transformasi Dewa.
Wang Lin berdiri di ujung jalan, menoleh untuk melihat dengan seksama jalanan yang sudah sepuluh rumah sembilan kosong ini. Jalan tua tempatnya tinggal selama lebih dari tiga puluh tahun ini, setiap pepohonan dan rerumputannya tercetak jelas di dalam hati Wang Lin. Sedikit rasa kehilangan muncul di hatinya.
Setelah memandang lama, mengukir semua ini dalam ingatan, Wang Lin menghela napas pelan. Ia berpaling dan menghilang dalam kegelapan malam.
Di sebelah selatan Aliansi Empat Sekte, sepuluh ribu li di luar sebuah kota, terdapat banyak orang biasa. Berderet-deret pondok darurat anti dingin tersebar di area luas, dihuni oleh banyak orang.
Mereka semua adalah orang biasa yang direkrut untuk bekerja membersihkan salju. Da Niu tinggal di salah satu pondok tersebut.
Satu kamar yang dihuninya bersama lebih dari tiga puluh orang membuat ruangan yang semula tak terlalu besar terasa sumpek. Da Niu berbaring di ranjang panjang, menatap langit-langit dengan pandangan kosong.
Ia merindukan istrinya, merindukan anaknya, dan lebih-lebih merindukan Wang Lin.
Segala kenangan masa lalu telah lenyap berantakan dalam bencana salju ini.
Sebelum bencana salju, dia masih seorang pedagang yang cukup berkecukupan, memiliki toko sendiri, bahkan mempekerjakan beberapa penjaga. Anaknya bergabung ke sekte dewa, menjadi salah satu anggota dewa.
Di sepanjang jalan itu, bisa dibilang dia cukup dihormati.
Istri selalu hidup rukun dengannya, kehidupan terasa indah. Dia bahkan berencana, saat Paman Wang semakin tua, tidak akan membiarkannya membuat ukiran kayu lagi, dan merawat masa tuanya.
Di hatinya, setelah orangtua berpulang, dia telah menganggap Paman Wang yang melihatnya tumbuh besar sebagai seniornya. Tapi, salju besar ini mengubah segalanya.
Dia tidak tahu keadaan istri sekarang. Saat mendengar bahkan wanita dan anak-anak direkrut beberapa bulan lalu, dia gelisah. Kondisi istri yang selalu kurang sehat, bisakah bertahan di cuaca salju yang membekukan ini...
