Wanita itu menunjukkan keengganan untuk melepaskan, memeluk Zhou Ru erat-erat, pandangan memohonnya tertuju pada suaminya.
Ayah Zhou Ru terdiam sejenak, lalu berbisik lirih: “Daozhang, anak ini terlahir bisu…”
“Bisu? Tidak masalah!” Orang tua itu menjentikkan tangan kanannya, tubuh ibu Zhou Ru langsung bergetar dan mundur beberapa langkah. Orang tua itu meraih Zhou Ru sambil tertawa: "Baiklah, ikutlah denganku!"
Wajah Zhou Ru menunjukkan ketakutan, tubuhnya gemetar halus. Air mata tak bisa berhenti mengalir. Sebagai anak tiga tahun, hatinya dipenuhi rasa takut yang luar biasa.
Ayah Zhou Ru menggigit gigi hendak berbicara, tiba-tiba orang tua itu mengerutkan kening dan menoleh dengan dingin: "Bisa terpilihnya anakmu adalah keberuntungan keluarga ini. Jangan banyak bicara!"
Beberapa tetua desa segera mendekat untuk menghibur orangtua Zhou Ru.
Orang tua itu mendengus pelan: "Lao Fu bukan menculik anakmu, tapi memberinya takdir yang besar. Kalian masih akan bertemu lagi di kemudian hari!" Setelah berkata demikian, ia melangkah cepat menuju pintu desa sambil menggendong Zhou Ru.
Zhou Ru yang panik langsung menangis histeris, suaranya penuh teror.
"Ayah! Ibu!"
Suara kekanak-kanakan tiba-tiba keluar dari mulutnya. Orang tua itu terkejut, lalu tertawa terbahak, "Ternyata bukan bisu, ini malah lebih baik!"
"Ru'er!" Wanita paruh baya itu menitikkan air mata, hendak mengejar namun dihalangi Ayah Zhou Ru. Ia menatap arah menghilangnya Lao Dao dengan pandangan kosong, berbisik, "Terpilih adalah keberuntungannya!"
Setelah keluar dari pintu desa, Lao Dao semakin antusias memandangi Zhou Ru. Ia bergumam, "Sebuah batu spirit kelas atas! Dengan ini, Lao Fu bisa menembus Tahap Menengah Pembangunan Fondasi. Jangan kuatir, setelah kau besar nanti, Lao Fu akan menerimamu sebagai murid!"
Saat hendak melemparkan Pedang Terbang untuk kembali ke sekte, tiba-tiba Zhou Ru menggigit lengan orang tua itu. Tapi apa daya anak tiga tahun?
Tapi orang tua ini malah mengerutkan kening, mendengus pelan dan berkata, "Kau ini anak kecil, tidak tahu diuntung!" Sambil berkata demikian, dia mengibaskan tangan kirinya, hendak menampar Zhou Ru untuk memberi pelajaran agar tidak rewel sepanjang perjalanan, seolah-olah aku menculik anak orang.
"Beraninya kau!"
Tangan orang tua itu baru terangkat, tiba-tiba seluruh tubuhnya menggigil kedinginan, keringat dingin mengucur deras. Di depannya, tanpa disadari telah muncul seorang pemuda berbaju putih.
Orang tua itu buru-buru menurunkan Zhou Ru, lalu berkata dengan hormat, "Senior, junior ini..."
Sebelum dia selesai bicara, Wang Lin mengibaskan lengan bajunya. Seketika tubuh orang tua itu terhempas angin kencang dan menghilang jauh dari tempat itu.
Wang Lin menatap Zhou Ru dengan pandangan kosong. Sejak setahun lalu, ia telah memanggil Tie Yan kembali ke Sekte Yun Tian, sementara dirinya sendiri menjaga Zhou Ru secara pribadi. Adegan hari ini ia saksikan dengan mata kepala sendiri. Awalnya hendak turun tangan segera, namun setelah berpikir sejenak, ia memilih menahan diri. Ia menunggu sampai sesepuh tua itu membawa Zhou Liu pergi dari orangtuanya, barulah kemudian muncul.
Tatkala melihat Wang Lin, ketakutan di sorot mata Zhou Ru sirna, digantikan oleh ekspresi kebingungan yang mendalam.
"Pa... Paman..." suara lembut Zhou Ru terdengar.
"Paman..." Wang Lin mendesah pelan, suaranya berbisik lembut: "Ikutlah dengan paman, mau?"
Kebingungan di mata Zhou Ru semakin pekat. Ia menatap Wang Lin, tanpa tahu mengapa, sosok paman di depannya ini memancarkan aura yang membuatnya ingin bergantung. Perlahan ia mengangguk.
Wang Lin menunjukkan warna kompleks di sorot matanya, memeluk Zhou Ru kecil, menggerakkan tangan kanannya, seberkas sinar spiritual membungkusnya, seolah takut angin dingin saat terbang akan membuatnya kedinginan.
Tubuhnya melompat, memeluk Zhou Ru perlahan menghilang di ufuk langit.
Di bawah Pagoda Giok Surgawi, Wang Lin muncul sambil memeluk Zhou Ru. Sebuah rumah batu berdiri di sampingnya, identik dengan masa lalu.
"Sudah sampai rumah kita." Wang Lin menurunkan Zhou Ru, berkata lembut.
Zhou Ru mengangguk tenang, mata besar penuh rasa ingin tahu memandang sekeliling, namun tidak menyentuh apapun, hanya berdiri di samping Wang Lin.
Ke mana pun Wang Lin pergi, dia selalu mengikuti dari belakang dengan erat. Bahkan saat Wang Lin sedang meditasi, dia akan duduk diam di samping, menunjukkan kebingungan di pandangannya.
Malam hari, Zhou Ru tertidur, Wang Lin duduk di tepi tempat tidur menatap wajah kecil Zhou Ru yang sedang bermimpi, berbisik pelan: "Wan'er, Bayi Yuan Ying-mu masih labil, ingatan belum bisa pulih. Saat usiamu sembilan belas tahun, semuanya akan pulih dengan sendirinya."
Ia menatap Zhou Ru, adegan-adegan bersama Li Mawan di masa lalu berkelebat satu per satu dalam pikirannya.
Menghela napas pelan, Wang Lin menyelimuti Zhou Ru lalu bangkit dan pergi.
Zhou Ru tidak seperti dirinya yang hanya perlu meditasi untuk memulihkan energi dalam tubuh. Bagi anak tiga tahun, makanan adalah nutrisi terbaik untuk pertumbuhan.
Wang Lin membangun dapur kecil di luar rumah batu menggunakan ilmu. Selama lima abad tak pernah memasak, ia pergi membeli bahan makanan dalam jumlah besar lalu memasak bubur dan makanan untuk Zhou Ru sendiri.
Subuh, Zhou Ru membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah Wang Lin yang duduk bersila di sampingnya. Ia menopang dagunya, memandangi Wang Lin dengan tenang.
Wang Lin membuka matanya, mengelus kepala Zhou Ru sambil tersenyum: "Lapar tidak?"
Zhou Ru mengangguk.
Wang Lin menggerakkan tangan kanannya, semangkuk bubur mendarat di tangannya. Setelah menyuapi Zhou Ru, gadis kecil itu membuka mata besarnya: "Paman, mangkok ini kok bisa melaju?"
Wang Lin tersenyum tipis tanpa menjawab, kemudian menutup mata dan bersila bermeditasi.
Waktu berlalu perlahan. Wang Lin tenggelam dalam kehidupan seperti ini, menyaksikan Zhou Ru bertumbuh setiap hari. Perasaan saat Transformasi Biasa dulu mulai bangkit di hatinya.
Itu adalah kedamaian, kesederhanaan.
Di suatu tengah malam, saat Wang Lin sedang meditasi dan latihan pernafasan, teriakan tiba-tiba terdengar dari rumah batu. Mata Wang Lin berkilat, langsung menerobos masuk ke kamar. Xiao Ru'er terbaring di tempat tidur dengan selimut terinjak-injak, tangan mungilnya mengepal dan wajahnya menunjukkan penderitaan.
"Paman... Selamatkan aku... Paman... Ayah... Ibu..."
Wang Lin menekankan tangan kanannya di antara alis Zhou Ru, perlahan mengalirkan seberkas energi spiritual. Secara bertahap, Zhou Ru mulai tenang dan membuka matanya yang berkilauan bagai bintang di langit.
Melihat Wang Lin, ia langsung menangis tersedu-sedu. Dari ceritanya yang terputus-putus, Wang Lin tertawa kecut. Rupanya gadis kecil ini bermimpi terjebak dalam kegelapan pekat dimana orang tuanya pergi meninggalkannya, bahkan sang paman pun menghilang.
"Bawa lonceng ini. Jika mengalami hal seperti tadi lagi, goyangkan saja!" Wang Lin mengeluarkan sebuah lonceng dari kantong penyimpanannya dan menaruhnya di telapak tangan kecil itu.
Lonceng ini persis hadiah dari Qiu Siping. Setelah meneliti selama beberapa waktu, Wang Lin menemukan bahwa sepasang lonceng ini memiliki kesamaan dengan lonceng pusaka kultivator kuno miliknya dulu.
Dari ketiga lonceng tersebut, ia berhasil memecahkan beberapa cap tangan dan metode penggunaannya. Setelah mencoba, kekuatan yang dihasilkannya memenuhi standar harapannya.
Yang lebih berharga, ketiga lonceng ini memiliki hubungan aneh. Selama memegang lonceng, di mana pun berada, bisa dengan jelas merasakan keberadaannya.
Selain itu, di dalam kantong penyimpanan Qiu Siping, Wang Lin juga menemukan sebuah benda - sebuah sarung pedang!
Saat melihat sarung pedang itu, Wang Lin segera mengeluarkan tiga sarung pedang miliknya dari kantong penyimpanan. Setelah dibandingkan, keempat sarung pedang ini identik! Hanya pola ukirannya yang berbeda.
Perjalanan waktu berlalu, dua tahun pun bergulir dalam sekejap.
Zhou Ru, genap berusia lima tahun.
Selama dua tahun ini, Wang Lin berkali-kali dibuat bingung antara tertawa dan menangis. Zhou Ru tidak lagi sesunyi dulu, malah mulai nakal. Kadang ketika Wang Lin tidak ada di sampingnya, dia mengeluarkan lonceng untuk bermain. Begitu lonceng digoyangkan, Wang Lin pasti akan muncul di sisinya.
Terhadap perilakunya ini, Wang Lin merasa agak tak berdaya, namun tidak menegurnya. Tapi Zhou Ru yang cerdik, setelah beberapa kali, berhenti menggoyangkan lonceng. Alih-alih, ia menyimpan lonceng itu dengan hati-hati di dalam pelukannya, menempel di kulit, seolah itu harta karun.
Selama dua tahun ini, Wang Lin pernah membawanya pulang mengunjungi orangtua sekali, itu pun saat orangtuanya sedang tertidur.
Suatu hari, Wang Lin duduk bersila bermeditasi di luar rumah batu. Saat membuka mata, ia melihat Zhou Ru menyelinap keluar dari pagoda dengan semangkuk bubur di tangan. Melihat Wang Lin, ia menjulurkan lidah kecilnya, lalu berlari mendekat sambil berseru lantang: "Paman, Paman! Aku tadi lagi lihat kakak dewi! Tapi dia masih nggak mau makan."
Mayat perempuan berjubah putih di atas pagoda itu pertama kali dilihat Zhou Ru saat usianya empat tahun. Diam-diam ia memanjat ke atas untuk melihat, dan sejak itu terus terobsesi. Sesekali ia naik untuk menatap mayat berjubah putih itu, sama sekali tidak merasa takut.
Bahkan suatu kali, dia membawa bubur yang dimasak Wang Lin untuknya ke atas, berusaha menyuapi mayat perempuan itu.
Terhadap hal-hal ini, Wang Lin semakin tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis, tapi tak tega memarahinya. Lagipula Zhou Ru masih kecil, semua dibiarkan dilakukannya.
Hanya saja mengenai urusan menyuapi bubur ini, dia menjelaskan dengan serius pada Zhou Ru. Namun akhirnya, Zhou Ru tetap tidak mengerti mengapa kakak berjubah putih itu selalu tidur tapi tidak mau makan.
"Kakak dewimu tidak perlu makan, jangan selalu bawa bubur ke atas lagi." Wang Lin menghela napas. Ia merasa ada yang tidak beres dalam panggilan ini - mayat itu dipanggil 'kakak dewi' oleh Zhou Ru, sementara dirinya disebut 'paman'... Seandainya suatu hari Zhou Yi kembali dari Bintang Daluo, entah ekspresi apa yang akan dibuatnya mendengar sebutan ini.
“Lalu dia tidak lapar? Kalau aku sehari tidak makan, pasti sudah kelaparan.” Xiao Zhou Ru membuka mata lebar-lebar, bertanya dengan bingung, lalu melanjutkan, “Aku taruh bubur di samping kakak. Kalau dia bangun nanti bisa minum sendiri. Paman tidak usah mengurusku.”
Wang Lin tersenyum getir, hendak berkata tiba-tiba ekspresinya berubah. Matanya menatap ke kejauhan sambil berkata, “Xiao Ru'er, masuk ke pagoda!”
“Iya, apa penjahat datang lagi? Mereka sangat menyebalkan, selalu datang.” Zhou Ru mengangguk patuh sambil membawa mangkuk bubur, kembali masuk ke dalam pagoda.
Setahun terakhir, kultivator dari negeri lain terus berdatangan ke sini dengan alasan 'tantangan', ingin bertarung melawan Zeng Niu.
Awalnya Wang Lin tidak menghiraukan mereka. Begitu lapisan spiritual pagoda diaktifkan, mereka tidak bisa masuk. Namun kemudian, para pengganggu ini bukannya mengerti diri malah semakin keterlaluan. Meski tak bisa masuk, mereka menduduki bukit-bukit sekitar, mengintip dengan terang-terangan ke dalam sambil mengacung-acungkan harta magis mereka.
"Suatu malam, Zhou Ru yang sedang tidur terbangun oleh suara Magic Treasure, hingga menangis ketakutan."
Saat itu, tubuh Wang Lin berkelebat, melangkah keluar. Saat kembali, di luar lembah tergolek tujuh kepala manusia berlumuran darah. Sejak itu, setiap malam tak ada lagi suara dari luar.
Namun, para penantang tetap berdatangan. Bahkan di antaranya terdapat Kultivator Transformasi Dewa yang termasyhur.
Setelah membuka contoh pembunuhan, Wang Lin tak lagi menunjukkan belas kasihan. Setiap penantang yang datang pasti dibunuh. Perlahan, jumlah penantang berkurang, meski kadang masih ada yang muncul.
"Zeng Niu, Liao Fan dari Negara Snow Domain menuntut sisa harta bulu ekor burung phoenix-mu!" Suara sedingin es menggema perlahan dari dalam lembah.
