"Menarik! Cara orang ini persis seperti yang dilakukan Adik Seperguruan Sun Yun dulu! Tapi Adik Sun Yun bertahan selama 67 hari, entah berapa lama Wang Lin bisa bertahan!" Pemuda berwajah ramah itu mengusap-usap dagunya, bibirnya menunjukkan senyum yang tak tertebak.
Pandangannya tetap tenang, namun di dalamnya terlihat kilasan aneh.
Tiga Gerbang Masuk Sekte Tianyun dirancang langsung oleh Tian Yunzi, membelah kehampaan dan mengambil sebagian wilayahnya sebagai lokasi Tiga Gerbang.
Hanya dengan melewati tiga pintu ujian ini, seseorang baru memiliki kualifikasi menjadi murid Sekte Tianyun. Ini adalah hukum besi yang tak bisa diubah oleh siapa pun.
Saat ini, di dalam Pintu Manusia, kabut tebal bagai tirai sutra menyelimuti langit dan bumi. Namun di kedalamannya, terdapat sebuah tempat bagaikan surga tersembunyi.
Di sini kicau burung dan harum bunga menyegarkan, dedaunan pohon willow meneduhi. Beberapa gonggongan anjing yang tiba-tiba muncul justru tidak mengganggu ketenangan, malah seolah membangunkan dari tidur, suara percakapan manusia perlahan bergema.
Surga tersembunyi ini adalah sebuah desa pegunungan. Meski penduduknya tidak banyak, mereka semua adalah tetangga dekat turun-temurun yang hidup dalam harmoni.
Rumah ketiga di bagian utara desa adalah hunian berdiri sendiri. Meski sederhana, terlihat sangat nyaman. Di depan pintu, beberapa helai rumput ekor kucing keemasan menari-nari, menyemai nuansa musim semi.
Di pekarangan, tumpukan kayu yang rapi membentuk bukit kecil, beberapa kursi kayu bulat ditempatkan di sekelilingnya. Di sebelahnya terdapat meja kayu dengan cangkir teh dan cerek.
Saat ini, seorang pria tua berkeriput duduk di kursi, menikmati teh.
Meski berambut putih, sosok ini sama sekali tak terlihat tua. Ia memegang cangkir teh, setelah meneguk, mengangkat kepala menatap ke dalam rumah.
Di sana, seorang pelayan remaja sedang menunduk mengukir sepotong kayu merah dengan pisau ukir kecil.
Sorot mata penuh kelembutan terpancar dari orang tua itu saat memandangi sang pelayan, raut wajahnya sangat tenang.
Beberapa saat kemudian, pelayan itu mengernyitkan hidung. Melihat pandangan sang tua, ia segera berlari mendekat dan bertanya dengan suara kekanakan: "Kau ini siapa sebenarnya?"
Orang tua itu meletakkan cangkir, mengusap kepala sang pelayan sambil tersenyum: "Aku adalah siapapun yang kaukatakan..."
Pelayan hendak berbicara, tiba-tiba suara tegas terdengar dari dalam rumah: "Hu Zi, jangan melilit kakekmu, kembali mengukir!"
Bersamaan dengan suara tersebut, seorang pria paruh baya mengangkat tirai rumah dan keluar.
Pelayan itu tidak menoleh, hanya menghela napas. Matanya menatap sang tua sejenak sebelum berbalik masuk ke dalam rumah, melanjutkan ukiran pahat demi pahat dengan keraguan yang mendalam di pandangannya.
Pria paruh baya itu melirik tajam ke arah pelayan lalu duduk di samping sang tua. Sambil menuangkan teh, ia berkata: "Ayah, besok aku mau ke gunung..."
Sang tua tetap memandang pelayan dengan penuh kasih. Ia hanya mengangguk ringan mendengar ucapan anaknya itu.
"Untuk apa pergi ke gunung?" Suara wanita paruh baya bergema dari gerbang. Seorang wanita tua berambut putih muncul sambil membawa sekeranjang sayuran hijau.
Pria paruh baya itu segera bangkit, mengambil keranjang sayuran sambil berkata: "Ibu, aku dengar dari Erniu di ujung timur desa, di pegunungan akhir-akhir ini tidak aman. Ada harimau besar. Kami berencana mengumpulkan beberapa orang untuk memeriksanya. Jika beruntung, Ayah bisa mendapatkan mantel kulit harimau."
Wanita tua itu membuka mulut hendak berbicara, namun akhirnya hanya memandangi sang kakek yang terus memperhatikan cucunya. Ia menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.
Hari demi hari berlalu, pria paruh baya itu pergi dan tak pernah kembali...
Sang nenek yang merindukan anaknya, menunggu siang malam. Yang akhirnya datang adalah mayat yang sudah tidak utuh. Dilanda kesedihan, ia pingsan dan tak pernah bangun lagi.
Di pekarangan rumah, kini hanya tersisa kakek dan cucu berdua.
Pelayan itu terus belajar mengukir kayu, sementara sang kakek tak henti memperhatikannya...
"Sudahkah kau pelajari seni ukiran?" Suatu hari, sang kakek bertanya lembut.
“Belum, ukiran kayu ini terlalu sulit, tidak bisa kupelajari...” Pelayan itu mengangkat kepala menatap Orang tua dengan tenang, berkata.
“Ini sudah yang keberapa kalinya?” Orang tua itu diam, setelah sejenak, menghela napas pelan dan berkata.
Pelayan mengangkat kepala, menatap Orang tua, berkata datar: "Yang ke-delapan puluh tiga, jarak ke berikutnya sudah dekat."
“Masih belum mau mengakhiri?” Orang tua itu mendesah.
Pelayan mengangkat kepala memandang langit, setelah beberapa saat menggeleng: "Mengapa harus diakhiri? Hidup seperti ini baik... Kecuali aku tidak tahu, sebenarnya siapa kau!"
“Siklus reinkarnasi tak terhitung, setiap peristiwa sudah tetap, tak ada perubahan. Kau tahu semua orang takkan kembali setelah pergi, kau alami proses yang sama berkali-kali, masih tak bisa melihat jelas? Apa sebenarnya yang kaulakukan?” Orang tua itu mengambil cangkir teh, menyentuh bibirnya namun tak diminum.
Pelayan menarik kembali pandangannya ke ukiran kayu di tangannya, lama kemudian berbisik: "Haruskah diakhiri... Belum..."
Di dalam Sekte Tianyun, di bawah pohon Bodhi, seorang pemuda yang berwajah ramah kini menunjukkan ekspresi yang sangat serius. Matanya menatap jauh ke dalam kehampaan, sorot matanya menyiratkan kegelapan.
"Sudah 83 hari... Orang ini bukanlah orang sembarangan! Dahulu Adik Seperguruan Sun Yun hanya bertahan 67 hari saja! Tiga Gerbang Masuk yang disebut ujian, sebenarnya merupakan kesempatan besar jika bisa menangkap esensinya! Tiga rintangan ini hanya bisa dialami sekali seumur hidup, dirakit dengan usaha keras Guru! Wang Lin ini bahkan bisa terjebak di gerbang pertama selama 83 hari... Orang ini... tidak boleh dibiarkan hidup!"
Wajaknya semakin muram, matanya berkilauan penuh perhitungan. Setelah beberapa saat, ia menyatukan kedua tangannya membentuk mantra, cahaya pelangi kemerahan mulai berdenyut di antara jemarinya, memancarkan kilau yang membutakan.
"Adik Seperguruan termuda di masa depan, biar Saudara Senior membantumu!" Ucapnya sambil menunjuk ke depan dengan kedua tangannya. Cahaya pelangi itu langsung melesat dan menghilang dalam kehampaan.
Di Gerbang Manusia, Pelayan yang terus menunduk mengukir tiba-tiba mengangkat kepala. Dari langit muncul cahaya kemerahan pelangi yang memancarkan ribuan sinar.
Cahaya ini sangat kejam. Di mana pun menyinari, bagai besi membara diletakkan di atas salju. Kicau burung di surga duniawi ini langsung menghilang.
Aroma bunga tak lagi menyebar.
Bangunan desa pegunungan seketika berubah menjadi kabut putih yang berpencar ke segala arah, semakin pudar dan samar.
Satu per satu rumah lenyap diterpa sinar, hingga hanya tersisa bangunan ketiga di bagian utara yang tegak sendirian.
Sorot mata Pelayan memancarkan keanehan. Ia menatap tajam cahaya pelangi sambil mengayunkan pisau ukirnya. Kilau perak menyembur deras menembus cakrawala.
Sebuah suara menggemparkan langit dan bumi tiba-tiba bergema dari langit, bergemuruh mengguncang hingga menghancurkan semua kabut di sekeliling.
Cahaya pelangi itu bagai lilin tertiup angin, seketika menjadi redup-terang tak menentu. Namun seketika, cahaya pelangi ini berkedip secara iblis dan mulai melebur satu sama lain. Di langit, terbentuk sepasang mata terang yang sepenuhnya memahami kehampaan, menatap tajam ke arah Pelayan.
Pelayan itu mengangkat kepala dengan pandangan dingin. Tangan kanannya mengayun ke angkasa, seketika tumpukan kayu berbukit di pekarangan berduyun-duyun melayang. Kedua tangan Pelayan bergerak gesit, kilatan-kilatan cahaya perak silih berganti. Serpihan kayu berhamburan deras, semua kayu seketika terbentuk menjadi patung-patung rumah dan tetangga desa.
Pelayan menggoyangkan kedua tangannya dengan keras, ukiran-ukiran kayu itu seketika menyala sendiri, memancarkan cahaya redup yang bagai nyala api yang membesar secara gila-gilaan, akhirnya meledak menyebar ke segala penjuru.
Terlihat penduduk, rumah-rumah, kicau burung, harum bunga, dan segala sesuatu yang sebelumnya menghilang, dalam sekejap semuanya pulih seperti semula. Tempat ini kembali menjadi surga dunia.
"Siapapun kau, sekarang, menghilanglah dariku!" ujar Pelayan dengan datar, nada suara yang ringan namun sarat niat membunuh yang membara!
Sepasang mata di langit itu menatap Pelayan, setelah beberapa saat, berangsur menghilang.
Di bawah pohon Bodhi puncak gunung Sekte Tianyun, pemuda berwajah ramah itu tiba-tiba sorot matanya berkilat, bergumam pelan: "Begitu rupanya, orang ini berlatih Jalan Samsara. Pantas saja bisa bertahan 83 hari di dalamnya. Setiap hari berlalu, ia menjalani satu siklus reinkarnasi. Dengan demikian, ia memperoleh pemahaman baru tentang siklus kehidupan..."
"Tingkat Manusia, di pekarangan, Orang tua itu menghela napas pelan, berdiri memandangi Pelayan, berkata lembut: 'Yang ke-84, akan dimulai. Kau benar-benar masih ingin melanjutkan?'"
Pelayan menunduk melihat ukiran kayu yang tetap gagal terukir melalui 83 siklus reinkarnasi di tangannya. Ukiran ini adalah siluet seorang perempuan...
"Lanjutkan... Inilah bertanya pada Jalan... Makna sejati dari Tingkat Manusia!"
Di kedalaman Sekte Tianyun.
Di tengah altar hitam, Tian Yunzi duduk bersila dengan mata terpejam dalam meditasi. Tiba-tiba ia membuka mata, bibirnya menunjukkan senyum puas, berbisik: "Pemuda ini, sangat baik!"
Sepuluh hari kemudian, dari surga dunia di Tingkat Manusia, muncul seorang. Langkah pertamanya masih berwujud Pelayan, langkah kedua berubah menjadi pemuda, langkah ketiga bertransformasi menjadi pria dewasa!
Pria berambut panjang yang berkibar tanpa angin ini, mengenakan jubah putih bersalju, melangkah keluar dari taman persik. Di tangannya tergenggam ukiran kayu yang akhirnya... berhasil.
"Itu adalah seorang perempuan, seorang perempuan yang lembut dan cantik bagai bidadari. Bibirnya dipenuhi senyuman cerah, pandangannya memancarkan keceriaan……"
Pemuda ini adalah Wang Lin!
"Tidak mencapai seratus siklus reinkarnasi, bagaimana bisa bertanya Jalan? Tidak mencapai ribuan tahun tingkat kultivasi, bagaimana berani menunjuk langit bertanya Jalan……Ujian Manusia ini, menarik!" Pandangan Wang Lin tenang. Saat ini, seluruh penampilannya menunjukkan perubahan misterius dibanding sebelum memasuki tempat ini, hanya saja perubahan ini disembunyikannya dengan kedalaman ekstrem, sulit terdeteksi.
Hanya bisa dilihat, pandangannya kini lebih jernih daripada sebelumnya, bagai angkasa.
Wang Lin melangkah satu langkah, seluruh tubuhnya menghilang dalam kehampaan, keluar dari Ujian Manusia.
"Ujian Bumi menguji tingkat kultivasi. Kau, sudah siapkah? Beranikah kau diinjak?!"
"Apa yang tak berani!" Wang Lin tersenyum mengangkat kepala.
