Kilasan ingatan demi ingatan berputar dalam benak Wang Lin. Proses ini terasa cukup lama. Duduk di pekarangan, Wang Lin perlahan meraba-raba, memperlambat secara tak terhingga setiap pengalaman sukses memurnikan aura pembantai dalam pikirannya, mencari sebuah kunci yang sama.
Setelah lama, Wang Lin menghela napas dalam. Setelah meneliti pengalaman beberapa kali memurnikan aura pembantai, ia menyadari hampir tidak ada kesamaan proses. Semuanya seakan didapat secara kebetulan, tanpa unsur kepastian.
"Jika ada... Saat membunuh Sima Yan dulu, memang ada keanehan... Waktu itu aku bertindak dalam kemarahan, justru berhasil memurnikan seberkas aura pembantai..." Mata Wang Lin berkilat, namun segera meredup kembali.
"Tapi ini juga tidak masuk akal, sebelumnya ada beberapa aura pembantai yang berhasil kumurnikan saat hatiku tenang. Bahkan beberapa diantaranya berasal dari pasukan iblis, tapi tidak tahu pasti pasukan mana."
Wang Lin merenung lama, tetap tak menemukan jawaban. Keningnya perlahan berkerut.
"Mantra Pembantai ini adalah salah satu tujuan utama perjalananku ke Daerah Yao Ling. Tujuan mempelajari kemampuan ini sejak awal memang untuk melawan Tuosen. Kekuatan Tuosen hanya bisa ditangkal dengan jejak spiritual kehidupan dalam jumlah besar... Sekarang dengan pil jiwa darah dan mantra ini, jaminan keselamatanku cukup. Tapi persediaan pil terbatas, fokus utamaku tetaplah Mantra Pembantai ini!"
Wang Lin diam, mantra pembantai ini sudah ia latih selama bertahun-tahun. Memurnikan aura pembantai pertama menandakan kesempurnaan kecil teknik ini, namun mencapai kesempurnaan besar sungguh terlalu sulit.
"Di dalam aura pembantai ini aku selalu merasakan ada misteri, sayangnya yang kukendalikan terlalu sedikit untuk diuji." Wang Lin mengangkat tangan kanannya, di celah jarinya lima gas abu-abu berputar liar.
"Hanya lima... Bahkan jika menghitung yang ada pada Yao Xixue, totalnya hanya enam saja!"
Wang Lin mendesah pelan, mantra pembantai ini tetap tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Tentang bagaimana aura pembantai tercipta, itu masih menjadi teka-teki.
Ia telah memikirkan banyak sebab, tapi setiap alasan hanya berdiri sendiri, tak ada kesamaan.
"Tampaknya aku perlu banyak eksperimen dan deduksi untuk bisa memahami misteri mantra pembantai ini!" Kilau dingin berkedip di mata Wang Lin, niat membunuh memancar dari sorot matanya.
Ia merenung sejenak, Shen Shi-nya segera menyebar, menyapu sekeliling, dan menemukan dua prajurit yang bertugas mengurus keperluannya di luar pekarangan di belakang batu karang hias.
Keduanya telah menumbuhkan ketakutan mendalam terhadap kemampuan supernatural Wang Lin, tidak berani mendekat, tetapi karena perintah komandan harus dipatuhi, mereka pun berjaga di luar pekarangan dan melarang siapa pun mengganggu.
Shen Shi Wang Lin menyapu kedua prajurit ini sekilas, mengirimkan proyeksi pikiran spiritual.
Sebentar kemudian, kedua prajurit itu memasuki pekarangan dari luar, berhenti tiga zhang di depan Wang Lin, dan serempak menghormat: "Hormat pada Jenderal Wang!"
"Aku akan pergi keluar, kalian berdua tunjukkan jalannya!" ucap Wang Lin dengan datar.
Keduanya tertegun sejenak, lalu segera menyetujui.
Tubuh Wang Lin melesat maju beberapa zhang, mulai berjalan keluar. Dua prajurit itu langsung mengikuti dari jarak aman. Salah satunya ragu sejenak lalu bertanya dengan hormat: "Jenderal Wang, apakah perlu menyiapkan kuda perang?"
"Tidak perlu!" Wang Lin menggoyangkan tubuhnya, menghindari batu karang hias, dan keluar dari pekarangan.
Bertiga, mereka keluar dari Kediaman Mo, dengan Wang Lin berjalan di depan. Lokasi Kediaman Mo terletak di sudut timur Kota Hong, daerah yang relatif sepi. Dengan santai, dia melanjutkan perjalanan sambil mondar-mandir.
Wang Lin tidak berjalan cepat. Selama berjalan, matanya mengamati sekeliling. Perlahan, setelah melewati sudut timur, mereka tiba di jalan utama pusat Kota Hong. Area ini berdekatan dengan sungai, dipadati pejalan kaki dan deretan toko di salah sisinya, menciptakan keramaian yang meriah.
Gemuruh suara keramaian perlahan memenuhi telinga. Pejalan kaki yang lalu-lalang di sekitarnya terdiri dari pria dan wanita. Di Daerah Yao Ling, pakaian cenderung lebih terbuka—terutama para perempuan yang mengenakan busana warna-warni sambil mengekspos sebagian besar kulit mereka, pemandangan yang cukup menyenangkan mata.
Segala pemandangan ini membuat pikiran Wang Lin yang telah lama tegang mulai mengendur. Dengan langkah perlahan, dia berjalan bagai orang biasa. Energi surgawi dalam tubuhnya tanpa disadari menyamar, bagai aliran sungai yang deras perlahan mengering.
Sepanjang perjalanan, Wang Lin sesekali berhenti di depan beberapa toko, mengamati beberapa detik, kadang masuk, kadang pergi. Namun waktu yang dihabiskan di setiap tempat selalu sangat singkat.
Dia bagai pengelana yang berjalan perlahan di tanah asing yang jauh ini.
Rupa Wang Lin tidaklah tampan, namun seiring praktik kultivasinya, terpancar kualitas transenden yang melampaui duniawi. Hal ini membuat beberapa wanita yang lebih terbuka di antara pejalan kaki sekitar, saat bersimpangan dengannya, mengarahkan pandangan pada sosoknya.
Wang Lin yang berjubah putih, dari kejauhan tampak lemah tak berdaya seperti seorang sarjana. Adapun dua prajurit yang selalu mengikuti di belakangnya, di mata orang banyak hanyalah pengawal biasa.
Hanya saja, dari tubuh Wang Lin selalu terpancar hawa yang sama sekali berbeda dengan lingkungan sekitar, membuatnya tak bisa benar-benar melebur di sini. Siluetnya pun mengeluarkan aura kemunduran samar yang tersebar halus.
Di sekeliling, sesekali terlihat pasangan pria dan wanita berbincang sambil tertawa lewat, sikap mereka cukup mesra. Dibandingkan dengan mereka, siluet Wang Lin tampak kesepian seorang diri...
Ia berjalan di tengah kerumunan, hiruk-pikuk di sekelilingnya bagai dunia lain. Pasangan-pasangan pria wanita itu seolah berasal dari dimensi waktu berbeda. Segala yang terpapar di matanya tak memiliki sedikit pun familiaritas atau kaitan dengannya.
Seuntai perasaan tak terdefinisikan menggelayut di hati Wang Lin. Ia mendesah pelan, jalan ini masih panjang, namun dirinya tak lagi punya keinginan untuk melanjutkan langkah.
Senja mulai merangkak. Saat hendak berbalik pergi, telinganya menangkap alunan kecapi yang samar. Nada-nadanya selembut kesedihan yang terkandung di dalamnya... Duka yang remang ini, melodi yang lirih, secara aneh justru selaras dengan gejolak batin Wang Lin di saat ini. Langkah perginya terhenti.
Mengikuti alunan musik, Wang Lin berjalan perlahan. Tak jauh di sisi jalan, terbentang sungai jernih yang mengitari Kota Hong. Ini adalah salah satu sungai dalam Kota Yao.
Di atas sungai terdapat beberapa kapal hias, alunan kecapi itu berasal dari salah satunya.
|Wang Lin berdiri diam di tepi sungai, mendengarkan alunan kecapi. Dengan ketajaman matanya, ia langsung melihat seorang perempuan yang sedang memainkan kecapi di atas kapal hias itu...
Perempuan itu hanya menampakkan punggungnya...
Punggung itu, seperti alunan kecapinya, memancarkan kesedihan dan kesepian yang samar. Tak jauh di depannya, beberapa pemuda sedang duduk tertawa dan minum bersama. Gelak tawa mereka terdengar begitu tidak selaras dengan alunan kecapi yang melankolis...
Wang Lin menatap kapal hias itu dengan tenang. Alunan kecapi itu menyentuh telinganya, ia mulai merasakan keakraban yang samar. Saat ini, ia seolah kembali ke lembah damai di |Planet Zhuque... rumahnya bersama |Li Mawan...
Di hari-hari tenang itu, alunan kecapi |Wan'er selalu menemani Wang Lin.
Dalam alunan kecapi Wan'er, terdapat juga aroma duka yang samar. Wang Lin saat itu bisa mendengarnya, namun tidak benar-benar memahaminya. Duka dalam alunan kecapi itu terlalu terasa hampa, terlalu mengambang tak berwujud.
Setelah Wan'er pergi, Wang Lin tak pernah lagi mendengar alunan kecapi yang sama. Hari ini, di tempat ini, ketika mendengar alunan ini, duka di hatinya perlahan muncul.
Sebelum Li Mawan pergi, perasaan Wang Lin terhadapnya tetap terpaku pada keterharuan dan tanggung jawab setelah menunggu ratusan tahun. Ini, bukanlah cinta...
Namun, setelah Wan'er pergi, sisa hidup Wang Lin selalu dihantui bayangan-bayangan kenangan bersama Li Mawan yang muncul berulang tanpa disadari. Setiap kali itu, hatinya tersiksa, seakan masuk ke dalam hutan duka.
Di dalam hutan itu, emosi yang tertidur perlahan bangkit dari tidurnya.
Kepedihan yang pahit, luka yang biru, bagai secawan air getir, di dalam hati Wang Lin, menciptakan riak-riak yang sulit terhapus. Ia selalu teringat pada mata yang panik saat pertama kali bertemu Wan'er...
Alunan kecapi memasuki telinga, meski tahu itu palsu, Wang Lin tetap seolah bisa merasakan kehadiran Wan'er. Dari kehampaan, Wan'er melangkah mendekat dan bersandar di pelukannya...
Persis seperti di lembah masa lalu, di bawah senja, ia duduk bersama Li Mawan menatap mentari terbenam dalam keheningan... menanti fajar menyingsing...
Selalu setelah kehilangan, baru ingin memilikinya kembali. Selalu dalam perpisahan, baru ingin menoleh memandang.
Sepanjang masa setelah kepergian Wan'er, pandangan yang berulang, kenangan yang terus-menerus, membuat siluet Li Mawan dalam hati Wang Lin semakin pekat dan mendalam. Terukir di dasar kalbu, menjadi permanen yang tak terbatas...
Langit perlahan gelap, sebelum malam tiba, di atas langit muncul hamparan cahaya bintang. Di Daerah Yao Ling ini, terlalu banyak hal yang tak terbayangkan. Seperti cahaya bintang ini, atau cahaya bulan, dari mana asalnya sudah tak penting. Yang penting, dalam cahaya bintang ini, mengiringi alunan kecapi, Wang Lin menyentuh ingatannya yang terbenam dalam debu waktu.
Cahaya bintang di langit memantul dalam sorot mata Wang Lin, bersama alunan kecapi yang perlahan menjauh, berubah menjadi helai-helai perasaan yang terpusat di hatinya. Perasaan ini bernama kesepian, membeku dalam kalbunya tak kunjung menghilang.
Alunan kecapi di telinga semakin samar. Wang Lin mengangkat tangan kanannya, menyentuh antara alisnya, seakan menyentuh Li Mawan di dalam Mutiara Tian Ni. Dengan suara lembut ia berbisik: "Wan'er... Kita akan bertemu lagi... Ini janjiku untukmu..."
Perahu hias itu menjauh, punggung perempuan itu perlahan menghilang.
Pada detik terakhir sebelum lenyap sepenuhnya, perempuan itu seolah merasakan sesuatu. Perlahan ia berpaling, memandang ke tepi sungai yang jauh. Di matanya, sana hanya kegelapan biasa tanpa secercah cahaya. Namun dalam kegelapan itu, ia seakan melihat sosok punggung yang perlahan menjauh dalam kesendirian.
Di atas kapal hias, perempuan itu mendesah pelan. Tangan gioknya menggeser senar kecapi, melantunkan nada duka yang kembali bergema di kedua tepi sungai... Lentera kapal bersinar terang benderang, namun di matanya, semuanya selalu terlihat hitam, baik siang maupun malam.
Dalam hitam pekat itu, jemari gioknya tetap memetik senar. Gemuruh tawa dari dalam kapal yang sesekali terdengar, seolah baru saja sampai di telinganya, langsung terpental oleh alunan kecapinya hingga remuk berkeping-keping.
Ia duduk di haluan, kedua matanya tak memancarkan cahaya. Namun seluruh dirinya bagaikan sekuntum lotus di tengah lumpur - tak ternoda sedikitpun, mekar menyendiri... Sayangnya kemekaran ini tak ada yang mengerti, tak ada yang peduli.
"Melodi kecapi terus bergema, namun tak ada yang benar-benar mendengarkan... Bahkan jika ada, bisakah dia melihat..."
