Waktu berlalu cepat, perjalanan waktu terus mengalir. Musim semi berganti dingin, lima tahun lagi pun terlampaui.
Tahun itu musim dingin datang sangat awal, bahkan sebelum musim dingin tiba, hujan salju lebat telah menyelimuti bumi. Daun-daun kering yang masih menempel di ranting pohon membeku, ketika angin salju berhembus, dedaunan dan serpihan salju bersama-sama jatuh ke tanah.
Bagaikan umur manusia, meski enggan melepaskan dan tak rela menghilang, namun ketika angin salju itu datang, terpaksa harus mengikuti hembusannya.
Selama lima tahun ini, tiga orang tua meninggal di desa, sementara tiga kehidupan baru terlahir.
Seperti roda reinkarnasi yang berputar tanpa disadari manusia.
Sun Tai semakin renta. Bangunannya terletak di samping rumah keluarga Wang Lin. Gubuk ini tidak besar, namun diselimuti senja sore. Layaknya manusia biasa yang memahami takdir langit, ia lebih suka duduk di pekarangan sambil memandang langit, menemani dirinya sendiri dengan kilau kenangan masa lalu.
Wang Ping, berusia 10 tahun, namun dibandingkan anak-anak seusianya di desa, penampilannya lebih mirip anak 7-8 tahun dengan tubuh kurus. Wajah kecilnya tak lagi pucat seperti lima tahun silam, melainkan mulai berwarna darah.
Di usia 10 tahun, Wang Ping tumbuh menjadi anak yang sangat tampan. Para warga desa sangat menyukai bocah penurut dan rupawan ini. Di antara teman mainnya, banyak gadis kecil yang menaruh kesan baik pada anak tukang kayu desa ini.
Salju pagi yang lebat ini memperkuat hawa dingin. Sun Tai duduk tenang di pekarangan dengan mantel kulit tebal, menatap langit sambil menunjukkan kenangan di pandangan.
Di sampingnya, Wang Ping juga mengenakan baju kapas tebal dan termenung memandangi langit.
“Ping'er, kenapa tidak menemani ayahmu malah datang ke tempat kakek tua ini?” Sorot mata Sun Tai menunjukkan kelembutan sambil menatap Wang Ping. Terhadap anak ini, dia sungguh-sungguh menyayangi. Andai bukan karena perkataan Wang Lin yang melarang anak ini berkultivasi, pasti akan dia wariskan semua ilmu seumur hidupnya.
“Tidak mau pulang, Bibi Zhang datang lagi.” Wang Ping mencebilkan mulut kecilnya sambil menggerutu.
Sun Tai tersenyum tipis sambil menggeleng, “Anak ini, tenang saja. Ayahmu tidak akan menyetujui.”
“Belum tentu, Kakek Sun lihat! Tiga tahun terakhir ini Bibi Zhang sudah datang berapa kali? Aku hitung ada dua belas kali! Dua belas! Kenapa kebanyakan kakak-kakak dan tante-tante di desa ini tertarik pada ayahku?” Wang Ping mengerutkan kening sambil mematah-matahkan jarinya.
Sun Tai tertawa kecut, melirik ke luar pekarangan lalu berkata, “Jangan pusingkan urusan ayahmu. Lihat, Er Ya keluarga Zhou di luar sepertinya mencarimu.”
Wang Ping tertegun, mengangkat kepala melihat ke luar pekarangan. Di hamparan salju, terlihat seorang gadis kecil berusia sekitar tujuh delapan tahun dengan pipi kemerahan perlahan mendekat.
"Kakak Wang, kamu di dalam?" Suara jernih gadis kecil itu terdengar dari luar pekarangan.
Wang Ping mengerutkan kening, berseru keras: "Aku tidak ada di sini, cepat pergi!" Sambil berkata demikian, ia justru melangkah keluar pekarangan. Tanpa mempedulikan gadis kecil yang matanya mulai berkaca-kaca di sampingnya, ia berlari menuju rumahnya.
Sun Tai yang menyaksikan adegan ini tak bisa menahan tawa. Sorot mata penuh kasih sayangnya semakin menguat.
Berbeda dengan Sun Tai, Wang Lin justru mengerutkan kening sambil memandangi seorang wanita muda yang terus bercerita di depannya, wajahnya menyungging senyum getir.
Dalam lima tahun terakhir, penampilan Wang Lin mulai menunjukkan penuaan. Seperti saat proses Transformasi Biasa dulu, demi menghindari kecurigaan, rupanya perlahan tak lagi muda melainkan memasuki usia paruh baya.
Mungkin sorot mata penuh kesan zaman itu membuatnya, meski berusia paruh baya, tetap memancarkan aura misterius yang tak kunjung sirna.
"Saudara Wang, lihatlah Ping'er sudah berumur sepuluh tahun. Nasib anak ini malang, tak punya ibu di sampingnya. Kau harus memikirkan untuk anakmu, meski tak untuk dirimu sendiri. Putri Keluarga Zhao di ujung desa itu perawan sejati. Dia rela menerimamu, bahkan berjanji akan memperlakukan anakmu seperti darah dagingnya sendiri. Apa lagi yang tak memenuhi syarat?" Wanita muda itu dengan rupa yang cukup menawan memandang Wang Lin, berbicara penuh keprihatinan.
Wang Lin tersenyum getir semakin dalam, pasrah berkata: "Hal ini... lebih baik kita lupakan saja."
"Aduh, Saudara Wang, kenapa kau menyiksa diri? Aku tahu kau masih merindukan ibu Ping'er, makanya tak pernah menikah lagi. Tapi hidup harus terus berjalan. Sudah sepuluh tahun kau di sini, kan? Waktu baru datang dulu kau membawa bayi. Saat itu... hm... aku belum menikah. Lihatlah sekarang, anakku sudah delapan tahun." Si wanita tak putus asa, terus membujuk.
Pada saat itu, Wang Ping mendorong pintu masuk dengan kasar, melotot ke arah wanita muda lalu duduk diam tanpa bicara.
Melihat wanita muda itu hendak berbicara lagi, Wang Ping berteriak keras: "Ayah, aku lapar!"
Wang Lin menghela napas lega, berkata: "Hal ini, biarlah dibatalkan."
Wanita muda itu menghela napas, menggelengkan kepala: "Sudahlah, jika kau tak mau, tak bisa dipaksa. Tapi Saudara Wang, jika kau tertarik pada seseorang, ingatlah untuk memberitahuku." Sambil berkata demikian, ia menoleh tajam ke Wang Ping dan mengulurkan tangan hendak mengelus kepalanya.
Wang Ping mendengus pelan, menghindar ke belakang.
Wanita muda itu tertawa: "Anak ini, wataknya keras. Belajarlah dari ayahmu, kesabaran ayahmu di desa kita nomor satu. Makanya banyak putri yang mau datang ke sini." Begitu katanya sebelum berbalik pergi.
Setelah wanita muda pergi, Wang Ping bergumam dengan suara parau: "Ayah, kau..."
"Jangan berpikir macam-macam," Wang Lin tersenyum memotong, "Bibi Zhang bermaksud baik. Ayo minum obat."
Wang Ping membelalakkan matanya yang besar, memandang ayahnya sambil mencibir: "Tapi dia mau cari ibu tiri untuk Ping'er. Ayah Er Huzi di kampung juga cari ibu tiri, sekarang Er Huzi tiap hari makan tak pernah kenyang, terus dimarahi."
Wang Lin tertawa kecut sambil mengusap kepala anaknya: "Baik, Ayah janji takkan cari ibu tiri untukmu. Sekarang minum obat."
Dengan riang Wang Ping mengangkat mangkuknya, meneguk habis ramuan pahit itu. Anehnya kali ini rasanya tak pahit, malah terasa manis. Manis yang berasal dari hati, dari ikatan batin dengan sang ayah.
"Ayah, selama ada Ping'er menemani, Ayah takkan kesepian. Nanti kalau Ping'er sudah besar, akan merawat Ayah sampai tua." Wang Ping meletakkan mangkuknya, memandang Wang Lin dengan sungguh-sungguh.
Wang Lin tersenyum, menepuk kepala Wang Ping, lalu keluar dari kamar. Di pekarangan, ia mengambil sapu dan mulai membersihkan salju. Setelah semua salju di pekarangan bersih, ia mengambil peralatan tukang kayu dan mulai bekerja.
Wang Ping mengamati ayahnya melalui jendela, diam sejenak. Ingatannya yang luar biasa tajam - jauh melebihi anak seusianya - masih jelas mengingat pertanyaannya saat berusia empat tahun: "Di mana ibu kandungku?"
Ekspresi aneh yang tersungging di wajah ayahnya saat itu tak bisa ia pahami. Kini setelah dewasa, barulah ia mengerti: ekspresi itu bernama kepedihan...
Sejak saat itu, anak yang penuh pengertian ini tak pernah lagi menyinggung topik tentang ibu kandungnya.
Musim dingin tiba dengan derasnya salju yang turun bertubi-tubi. Kedinginan yang menusuk membuat aktivitas warga desa semakin berkurang. Hari-hari musim dingin berlalu, hingga angin semi tiba menyapu sisa dingin yang masih menggumpal perlahan.
Sekolah swasta di desa juga dibuka pada musim semi, anak-anak di desa belajar membaca dan menulis di sini.
Hari-hari berlalu dengan datar bagai air jernih, tanpa riak gelombang. Dalam ketenangan itu tersimpan kehangatan yang membersihkan kelelahan hati Wang Lin.
Seiring pertumbuhan Wang Ping hari demi hari, Wang Lin tidak lagi mengejar pencerahan tentang Jalan Langit dengan kegigihan, melainkan mengamati Wang Ping diam-diam dengan sikap seorang ayah.
Selama sepuluh tahun ini, selain menghilangkan aura dendam Wang Ping setiap malam, dia tidak pernah menggunakan kemampuan supernatural sama sekali, seolah melupakan segalanya.
Namun dalam kelupaan ini, pemahaman tentang kehidupan dalam siklus hidup dan mati secara diam-diam mengkristal di hati Wang Lin, semakin mendalam seiring pertumbuhan Wang Ping.
Siklus hidup dan mati, perubahan berbagai kematian, pemahaman Wang Lin sangat mendalam. Namun hawa kehidupan ini tidak banyak dirasakannya. Seiring waktu berlalu, Hati Jalannya yang lelah perlahan menuju kesempurnaan.
Dengan menyempurnakan hidup-mati, maka terjadilah hukum sebab-akibat. Jalan Langit Wang Lin dalam kesederhanaan ini tersublimasi. Transisi ini jika dilihat kultivator berkekuatan besar pasti akan terguncang, karena perubahan ini bukan hal sederhana, melainkan perubahan dramatis Lapisan Spiritual.
Lapisan Spiritual adalah kemampuan supernatural unik yang dipahami kultivator setelah dunia dewa hancur. Bahkan bisa dikatakan, Jalan yang dikultivasi para praktisi adalah manifestasi Lapisan Spiritual. Akar segala sesuatunya terkait erat dengan konsep ini.
Oleh karena itu, bagi setiap kultivator, Lapisan hampir bersifat tetap. Sangat jarang terjadi sublimasi Lapisan. Alasan Liu Mei dilihat oleh Sang Leluhur Klan Huan justru karena tanda-tanda sublimasi Lapisan-nya. Inilah yang membuat Sang Leluhur Klan Huan rela meninggalkan pencarian Mutiara Langit Terbalik di Aliansi Kultivasi, dan langsung membawa Liu Mei kembali ke Klan Huan. Selain tujuan penyerapan, alasan mendasarnya adalah kekhawatiran sosok berbakat seperti ini direbut orang lain!
Saat ini, Wang Lin sedang menapaki jalan ini. Namun karena pemahamannya tentang konsep "hidup" dalam Lapisan Siklus Hidup dan Mati masih kurang mendalam, meski ada tanda-tanda sublimasi menuju Jalan Sebab-Akibat, perubahan menyeluruh belum tercapai.
Dengan demikian, masa transisi ini menjadi momen paling krusial dalam perjalanan kultivasi Wang Lin, bahkan menentukan pencapaiannya di masa depan.
Wang Lin sendiri hanya memahami samar semua ini. Seandainya bisa memilih, ia takkan pernah rela membayar pengorbanan sedemikian besar hanya untuk meraih kesempatan yang didambakan setiap kultivator.
Musim semi pergi, musim gugur tiba, enam tahun lagi berlalu. Di musim gugur tahun ini, akhir hayat Sun Tai seolah datang lebih awal dari perkiraan.
Saat ia terbaring di dalam bangunannya, hanya Wang Lin dan putranya yang mengantarnya pergi. Saat ini, ia bagaikan salju awal yang datang enam tahun silam - menghembuskan daun yang enggan jatuh, membawa serta seberkas jiwa perantauan.
Wang Ping kini telah berusia enam belas tahun. Rupanya semakin mirip Liu Mei, penampilan seperti ini yang terlahir pada anak laki-laki menjadi ketampanan yang luar biasa.
Hanya matanya, seperti Wang Lin, jernih dengan hitam putih yang tegas. Enam belas tahun pertumbuhan, kecerdasannya membuatnya memahami banyak hal. Seperti Kakek Sun di hadapannya ini, jelas-jelas telah mengenal ayahnya sejak sangat lama. Dan yang pasti, rasa hormatnya pada ayahku sangat dahsyat. Meskipun penghormatan ini tak pernah terucap dalam percakapan atau terlihat secara lahiriah, namun hawa ketundukan dari tulang sumsumnya dapat kurasakan jelas oleh Wang Ping.
"Sun Tai, janjiku padamu tahun lalu akan kupenuhi." Wang Lin tampak semakin tua. Dengan tenang ia menatap Sun Tai di tempat tidur, berkata perlahan.
