Bulan terang, bintang jarang.
Angin musim gugur bergelayut pada suara Wang Lin, seakan enggan pergi dari pekarangan ini, berputar-putar tanpa henti. Kisah pemuda dari Planet Zhuque yang berliku, menyemburatkan seberkas kesedihan yang tak terungkap, menyatu dengan nuansa musim gugur, semakin mengental.
Sorot mata Qing Yi telah tak terhitung tetesan air mata, diam-diam menyimak. Wang Ping yang mendengarkan hingga separuh jalan, menundukkan kepala, raut wajahnya tak terbaca...
"Setelah itu, ia tinggal bersama anaknya di Bintang Ran Yun..." Kisah Wang Lin usai. Ia mengambil kendi anggur, meneguk dalam-dalam, memandang langit tanpa bicara lagi.
Qing Yi terpaku memandangi ayah dan anak di hadapannya, ada gejolak tak terungkap di hatinya. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Wang Ping, namun seketika merasakan tangan itu dingin seperti es.
Pekarangan sunyi sepi. Lama kemudian, suara parau Wang Ping terdengar lembut, "Kisah yang menyentuh, Ayah. Aku lelah." Wang Ping berdiri dan berjalan menuju kamar di ujung kompleks. Qing Yi memberi hormat pada Wang Lin sebelum menyusul.
Hanya tersisa Wang Lin seorang diri di pekarangan, duduk diam-diam dengan pandangan terpaku ke kejauhan.
Dinginnya angin musim gugur kian menusuk di malam hari, menerbangkan dedaunan kering hingga terhempas jauh.
Entah berapa lama berlalu, Wang Lin mendesah pelan. Saat hendak meneguk dari kendi anggur, ia baru sadar arak telah habis...
Malam itu, Wang Ping tak bisa memejamkan mata.
Ia duduk di dalam kamar, memandangi rembulan di langit, menunjukkan ekspresi kesakitan di pandangannya. Qing Yi duduk di sampingnya, memegang tangannya, tidak berbicara, hanya menemani diam-diam.
"Rupanya... inilah jawabannya... Jawaban yang kutunggu lebih dari enam puluh tahun..." Ekspresi kesakitan di mata Wang Ping semakin pekat.
"Rupanya, aku adalah bayi dendam yang dipurnikan oleh ibuku..." Wang Ping menundukkan kepala, wajahnya menunjukkan kepahitan dan melankolis yang dalam.
Keesokan harinya pagi-pagi, Wang Ping pergi. Qing Yi tetap mengikutinya.
Sama sekali belum pernah ia berbicara atau menatap ayahnya lagi, bahkan saat pergi pun dilakukan di pagi buta, duduk diam-diam di gerbong kuda yang perlahan menghilang jauh di Kota Qi Shui.
Ia tak menyadari, pada saat kepergiannya, sepasang mata penuh kesan zaman mengawasi gerbong yang menjauh...
Wang Lin keluar dari kamar, duduk tenang di pekarangan, memandang awan putih di langit sambil bergumam: "Mungkin... suatu hari kau akan mengerti..."
Wang Ping duduk di dalam gerbong. Ia tak tahu hendak ke mana, hanya menatap kosong ke depan. Ia merasa sangat lelah, seolah tak ada lagi di dunia ini yang bisa membuatnya ingin sekadar melirik.
"Qing Yi, aku sangat lelah. Carilah desa pegunungan yang damai, di sana kita akan tinggal..." ujar Wang Ping lembut.
Qing Yi mengangguk, sorot matanya memancarkan kelembutan.
Di sebuah desa perbatasan biasa, Wang Ping dan Qing Yi mulai menetap, menjalani hidup sederhana. Usia mereka tak lagi muda. Kilasan perjalanan hidup sering terlintas di pandangan Wang Ping.
Hidupnya: 19 tahun biasa-biasa saja, 8 tahun menjelajah pegunungan-sungai, 25 tahun pertempuran, 10 tahun sebagai penguasa dunia fana. Meski singkat, intensitas petualangannya jauh melebihi yang dialami manusia biasa.
Hanya saja, pada akhirnya ia kembali ke titik awal, kembali ke kehidupan yang biasa. Setiap pagi bangun tidur, mengukir kayu di pekarangan, dalam keseharian yang sederhana terpancar kehangatan. Setiap kali ini terjadi, Qing Yi akan duduk di sampingnya, sorot mata menunjukkan kelembutan sambil memandangi pahat di tangannya yang mengukir satu demi satu goresan...
"Ayah pernah berkata, mengukir harus dengan hati. Hanya begitu kita bisa menuangkan segala ingatan ke dalam pahat, meleburkannya ke dalam ukiran kayu." Wang Ping mengangkat ukiran kayunya, meniup lembut serpihan kayu yang beterbangan.
Meletakkan ukiran kayu di tanah, sorot mata Wang Ping menunjukkan seberkas kerinduan. Suara lembutnya berbisik, "Ini adalah ayah di masa mudanya."
Ukiran kayu itu menggambarkan Wang Lin di masa remaja. Sorot matanya tajam membara, kedua tangan terlipat di belakang sambil menatap langit dan bumi. Aura kebanggaan yang megah terpancar darinya.
Waktu bergoyang, sepuluh tahun telah berlalu.
Kesan zaman yang berlalu, tak mampu menghapus jejak siklus reinkarnasi. Hidup dan mati, tak luput dari orbit Jalan Langit.
Sepuluh tahun, bagi orang biasa terasa panjang dengan seberkas singkat. Kontradiksi ini menjadi potret jujur dalam hati tiap insan fana.
Bagi Wang Lin, sepuluh tahun justru terasa singkat dengan seberkas kelamaan.
Rambutnya memutih panjang, seolah lama tak tersisir. Wajahnya semakin berkerut. Saat sorot matanya terkatup, bagai masuk ke dalam siklus reinkarnasi.
Sepuluh tahun kebiasaan ini justru membuat pemahamannya tentang Jalan Langit semakin jernih dan mendalam. Pencerahan ini datang secara alami, bukan dengan paksa.
Laksana pepohonan di pekarangan yang mati berguguran. Meski tak luput dari siklus, tak lama setelah mati, nyawa baru pun muncul kembali.
Dalam Lapisan Siklus Hidup dan Mati, perubahan kehidupan ada di mana-mana. Sebelumnya, meski Wang Lin melihatnya, tak ada yang menyentuh hatinya. Kini, tanpa sengaja sorot matanya menangkap jejak vitalitas di setiap sudut.
Bunga-bunga di sudut tembok tahun demi tahun berguguran, tetapi juga tahun demi tahun mekar kembali.
Lapisan awan di langit hari demi hari menghilang, tetapi juga hari demi hari terkumpul kembali. Seolah-olah di dunia ini, ada yang mati ada yang hidup, seakan selalu ada keseimbangan.
Bila disebut sebab-akibat, memang terkandung di dalamnya.
Di kediaman Wang yang luas, hanya Wang Lin seorang yang tinggal. Tetangga sekitar tampaknya telah lama terbiasa. Setiap hari banyak anak kecil bermain di sini. Awalnya mereka takut pada Wang Lin, tetapi seiring waktu mereka sadar: Kakek ini sama sekali tidak menyeramkan.
Perlahan rumah besar Kediaman Wang menjadi tempat bermain anak-anak. Setiap hari memandangi mereka, hati Wang Lin dipenuhi kedamaian.
"Anak cucu memiliki kebahagiaannya sendiri. Apa yang harus ia lakukan, sudah dilakukan. Apa yang harus dikatakan, juga sudah diucapkan. Apakah akhirnya bisa mengerti, itu tergantung pada Wang Ping sendiri."
Wang Lin percaya anak yang dididiknya memiliki hati seluas langit. Segala ikatan di dunia ini, semuanya bisa diatasi!
Sepuluh tahun berlalu, Wang Ping semakin renta. Ia telah mencapai usia senja, namun seni ukiran di tangannya tak pernah ditinggalkan.
"Ayah benar. Hidup lebih baik jika sederhana. Jika bisa memilih, jika ada kehidupan berikutnya, kuharap bisa tinggal bersama Ayah di desa pegunungan terpencil, menjalani hidup biasa..." Wang Ping berbisik lembut.
Di sampingnya, Qing Yi memandangnya dengan tenang: "Kalau sudah mengerti, mengapa tidak menemui Yang Tua itu?"
Wang Ping meletakkan patung ayahnya. Patung ini mengukir sosok Wang Lin sepuluh tahun silam, dengan ekspresi hangat di meja makan yang berkata "Ayo makan".
“Qing Yi, kau tak mengerti…” Sorot mata penuh kebijaksanaan Wang Ping semakin pekat seiring bertambahnya usianya.
“Di dalam hatiku, selain persoalan tentang ibu, ada satu pertanyaan lagi yang tak berani kuutarakan… Ada pemahaman dalam diriku, mungkin inilah alasan sebenarnya ayah melarangku berkultivasi…” Seberkas kesedihan terpancar dari mata Wang Ping, kesedihan yang begitu mirip dengan Wang Lin. Ia sudah melihat jejak-jejaknya, namun tak berani mencari konfirmasi.
“Qing Yi, aku bisa merasakan bahwa aku sudah sampai di ujung kehidupan. Sepertinya tak ada waktu lagi. Kau seorang kultivator, umurmu lebih panjang dariku. Setelah aku mati, antarkan jasadku ke sisi ayah.”
“Untuk dirimu, kau merdeka. Tapi berapa pun lama waktu berlalu, jangan pernah lupa bahwa dalam siklus reinkarnasi kehidupanmu, ada satu kehidupan yang sepenuhnya milikku!” Suara Wang Ping datar namun mengandung ketegasan.
Tubuh Qing Yi bergetar. Saat hendak bicara, Wang Ping memotongnya.
“Tahun-tahun ini, kau telah menderita. Sebagai kultivator, pasti bisa mengubah penampilan. Demi aku tak merasa kesepian, kau perlahan membuat dirimu menua bersamaku. Cinta ini, Wang Ping takkan lupa. Jika ada kehidupan berikutnya, aku... selamanya takkan melupakanmu!”
Air mata mengalir dari sorot mata Qing Yi. Tingkat kultivasinya dulu ditingkatkan Wang Lin hingga Tahap Akhir Bayi Yuan Ying kesempurnaan. Dua puluh tahun silam, saat menemani Wang Ping, ia merasakan Jalan Langit dan memperoleh Lapisan spiritual. Lapisannya adalah cinta tanpa penyesalan.
“Sungai Kuning pun akan menemani!” Qing Yi berkata lembut, “Tingkat kultivasi, bagiku hanyalah debu... Aku tak mau jadi dewa tanpa perasaan, hanya ingin menjadi manusia yang penuh cinta...”
Wang Ping terpaku memandang Qing Yi, menghela nafas lalu berbisik, “Mengapa harus seperti ini...”
Saat ini, di angkasa, kilat petir mengaum melesat, menerobos melintasi nebula yang hancur. Jika diamati seksama, kilat ini ternyata berwujud binatang buas raksasa. Makhluk ini mirip Kylin namun tanpa tanduk, seluruh tubuhnya memancarkan kilat petir. Inilah Binatang Petir!
Di punggung Binatang Petir ini duduk seorang sarjana paruh baya. Kultivator berlevel tinggi ini sama sekali tak menghiraukan kilat petir yang mengaliri di luar tubuhnya.
Kilat petir melaju dengan kecepatan ekstrem, menyusur ke arah Wilayah Utara Luo Tian.
Targetnya sangat dahsyat jelas: Bintang Ran Yun di Wilayah Utara Luo Tian!
Tujuh puluh tahun yang lalu, terjadi masalah di Qian Huan Xing wilayah ini. Sang Leluhur klan Huan yang mencapai Langkah Kedua kultivasi tewas, dan muncul sosok yang diduga Utusan Kuil Dewa Petir. Perlahan-lahan, kasus ini menarik perhatian Kuil Dewa Petir.
Berdasarkan investigasi, sosok yang diduga dari Kuil Dewa Petir tersebut ternyata belum meninggalkan Bintang Ran Yun. Karena itu, mereka mengerahkan orang ini untuk menyelidik.
Pria paruh baya ini tingkat kultivasinya telah melampaui tahap pertama kultivasi, kini mencapai tahap Yin Xu. Ia duduk di atas Binatang Petir, melangkah masuk ke Wilayah Utara Luo Tian tanpa berhenti, langsung menuju Bintang Ran Yun.
"Masih ada yang berani memalsukan diri sebagai Utusan Kuil Dewa Petir? Hal seperti ini sudah lama tidak terjadi!" Pria itu menunjukkan senyum dingin. Sebagai utusan resmi, kekuasaannya sangat besar. Di seluruh Domain Bintang Luo Tian, hampir tak ada yang berani menantang Kuil Dewa Petir kecuali beberapa keluarga kultivasi kuno.
"Biarkan aku, Lei Daozi - Utusan sejati Kuil Dewa Petir, menghadapi penipu ini. Jangan kira bisa memalsukan institusi kami hanya dengan menguasai beberapa jurus petir! Utusan asli Kuil Dewa Petir memiliki Binatang Petir!" Lei Daozi meletakkan tangan kanannya di kepala binatang itu, menepuk perlahan.
Binatang Petir seolah merasakan kebanggaan tuannya, mengangkat kepala dan mengaum keras. Gemuruh halilintar bergema di angkasa saat mereka semakin mendekati Bintang Ran Yun...
