Di luar hutan, di antara perbukitan hijau dan aliran jernih, jalan utama mengitari pemandangan. Di atasnya, rombongan gerbong melesat dengan cepat. Material gerbong-gerbong ini sangat halus, terkandung aroma harum yang memancarkan aura kemewahan.
Dentuman kuku kuda menyentuh tanah dan derit roda bergema berulang kali. Gerbong terdepan tiba-tiba berhenti. Turunlah seorang gadis kecil berusia tujuh delapan tahun.
Gadis ini mengenakan jubah brokat, pipinya kemerahan bak patung giok hidup. Dengan susah payah ia turun sambil memeluk sesuatu di dada, lalu bergegas menuju semak di pinggir jalan.
Berjongkok, ia meletakkan benda di pelukannya di tanah. Benda itu adalah seekor binatang kecil dengan kaki terlilit perban putih.
“Xiao Hei, pulanglah...” Sorot mata gadis itu memancarkan kepolosan dan keengganan untuk melepaskan. Sambil menatap binatang kecil itu, ia mengelus lembut kepalanya. Binatang itu mengangkat kepala, sorot matanya seakan memiliki kearifan yang mendalam saat menatap sang gadis.
Saat itu, tirai gerbong di belakang gadis itu tersibak, memperlihatkan sepasang pria dan wanita paruh baya. Pandangan penuh kasih sayang dari keduanya tertuju pada sang gadis.
Angin sepoi-sepoi berhembus membuat tirai gerbong berkibar. Namun kedua orang di dalam gerbong itu tertegun, mata mereka dipenuhi kebingungan. Tak hanya mereka, seluruh orang biasa di rombongan gerbong itu pun mengalami hal serupa.
Bahkan sang gadis yang sedang berjongkok di dekat binatang kecil itu, matanya juga mulai diliputi kebingungan. Hanya si binatang kecil yang tiba-tiba mengeluarkan suara penuh permusuhan. Dengan mulut menganga memperlihatkan giginya, seolah melupakan luka di kaki kanannya, ia langsung melompati tubuh gadis itu. Sambil menghadap langit, binatang itu terus menggeram rendah seperti peringatan.
"Sorot matanya memancarkan ketakutan, namun ada kekuatan yang membuatnya tak mundur, terus menggeram rendah. Saat ini, ia sama sekali tak menyadari noda darah yang merembes dari perban di kaki kanannya."
"Jalan Langit tak berujung, Jalan Agung tak bertepi, perbuatan bajik menanam sebab hari ini... Di masa depan akan tercipta siklus, menyelesaikan rantai sebab-akibat..." Suara berkesan zaman bergema di langit-bumi, membawa seberkas pencerahan yang samar-samar.
Binatang kecil itu tubuhnya gemetar, namun geramannya tetap terdengar. Mata lincahnya menatap tajam langit. Ia bisa merasakan hawa mencekam yang nyaris membuatnya sesak napas di sekeliling, tapi kali ini, ia tak mau mengalah!
Hela napas panjang berdatangan dari kejauhan, perlahan menghilang. Sorot mata binatang itu dipenuhi kebingungan. Dengan kecerdasan terbatas yang belum sepenuhnya terbuka, ia tak paham makna suara yang terdengar. Namun saat gema suara itu mencapai telinganya, penglihatannya seolah berkunang-kunang, menyaksikan sebuah pemandangan.
Seorang wanita tua yang telah memasuki usia senja, terbaring di kamar megah nan mewah. Keriput di wajahnya tak mampu menutupi aura kelembutannya. Meski berada di ambang kematian, sorot matanya tetap jernih. Dengan senyuman, ia menutup kelopak mata—tiba-tiba seekor binatang buas raksasa jatuh dari langit. Setelah mendarat, binatang itu menatap dalam-dalam ke arah sang nenek, membuka mulut dan menghembuskan asap putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya, lalu menghilang.
"Xiao Hei..." sang nenek membuka matanya.
Ilusi itu sirna, meninggalkan kebingungan yang lebih dalam di mata binatang kecil itu. Angin sepoi-sepoi menyapu segala sesuatu. Para penumpang gerobong yang baru sadar, seakan tak pernah menyadari kejadian tadi. Bahkan gadis kecil itu pun tak merasakan apa-apa. Dengan senyum manis, ia berbalik memandangi binatang itu dan berkata lembut, "Xiao Hei... Ayo kita pulang ke rumah."
Di dunia orang biasa, di dalam sebuah desa, seorang wanita paruh baya sedang menunjuk anak kecil di sampingnya yang tidak sengaja menghancurkan mangkuk keramik, mengomel dengan keras. Dari kata-katanya, anak itu terlihat sangat terzalimi, berdiri sambil menangis namun tak berani bersuara.
Di sebelahnya, ada seorang pria paruh baya yang berjongkok di tanah memegang pipa rokok. Setelah menghisap beberapa kali, ia mengangkat kepala dan membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya hanya menghela napas tanpa bersuara.
Tiba-tiba, angin sepoi-sepoi bertiup. Wanita yang sedang memaki itu tertegun, matanya dipenuhi kebingungan. Tidak hanya dia, gerakan pria di sampingnya yang sedang mengetuk-ngetuk pipa rokok ke tanah pun membeku seketika.
Hanya si anak kecil yang tampaknya tak menyadari semua ini. Sambil terisak, ia berbisik pelan: "Ibu... mangkuk itu memang sudah ada celahnya sejak awal..."
"Lapisan seperti mangkuk ini, tak sempurna maka ada celah, kapan saja, bisa hancur..." Desah panjang bernuansa zaman berdatangan dari kejauhan di antara langit dan bumi. Angin sepoi-sepoi menyapu, seakan telah pergi.
Sorot mata wanita paruh baya itu lenyap kebingunganannya, bagai tak menyadari apapun. Terus menerus memarahi sang anak karena mangkuk pecah, sementara pria paruh baya di sebelahnya memukulkan pipa rokok ke tanah beberapa kali sebelum mengisapnya dalam-dalam.
Hanya sang anak kecil itu yang membelalakkan mata menatap langit nun jauh. Ia seakan melihat seorang Paman melangkah di angkasa pergi. Tanpa peduli omelan ibunya, ia menggosok-gosok matanya, namun tak ada apa-apa lagi.
Di tengah pemandangan pegunungan, seorang pria paruh baya berbaju Jubah Biru berlari panik. Matanya memancarkan ketakutan luar biasa, seolah menghadapi sesuatu yang sangat mengerikan.
Di belakangnya, seorang perempuan berjubah hitam dengan senyuman dingin dan kebencian di matanya terus mengejar. Setiap kali berhasil mendekat, ia segera mengangkat pedang panjang di tangannya dan menusuk dengan garang. Setelah meninggalkan bekas darah di tubuh pria itu, ia tertawa pilu.
"Hai pejabat licik! Kau telah menghancurkan keluargaku. Hari ini kau jatuh ke tanganku. Jika tak kubunuh, langit dan bumi akan kecewa!"
Angin sepoi-sepoi berhembus. Wajah panik pria itu tiba-tiba kosong. Perempuan berjubah hitam di belakangnya juga terlihat bingung. Pedang yang diangkatnya tak kunjung diayunkan.
"Lagi-lagi rantai sebab-akibat..." Suara sarat kesan zaman bergema, diiringi desahan, menjauh perlahan.
Angin lembut menyapu. Perempuan itu tersadar. Dengan senyum dingin, pedangnya menghujam. Kepala pria paruh baya itu terpenggal. Ia melemparkan pedangnya, bersujud ke utara sambil menangis: "Ayah! Ibu! Putramu telah membalas dendam!"
Di kota orang biasa, gerimis halus melayang jatuh ke permukaan. Terlihat payung-payung bunga bermekaran di sana-sini, pejalan kaki bergegas, jejak air di bawah kaki yang terinjak-injak lalu menciptakan riak-riak lingkaran.
Satu, lalu satu lagi... Seakan setiap riak adalah sebuah sebab-akibat, tak kunjung putus, melebur ke dalam langit dan bumi, menjadi bagian dari lapisan.
Hujan disertai angin. Angin ini berhembus seolah bisa menghalau riak-riak itu. Namun meski terhalau, hanya sekejap. Beberapa saat kemudian, mengikuti jejak pejalan kaki, riak-riak itu muncul kembali, seakan tak berujung.
Dari kejauhan, sekelompok orang berbaju putih berjalan perlahan-lahan diiringi musik duka. Di belakang mereka, sebuah peti mati diusung mengikuti pergerakan orang, menuju gerbang kota di hari berhujan ini.
Tangisan bergelombang bergema. Pejalan kaki di sekitarnya segera mengelak satu per satu.
Seiring pergerakan iring-iringan, lembar-lembar kertas kuning diterbangkan, seakan mewakili sanak keluarga almarhum membuka jalan ke alam baka, mengantarnya dengan damai.
Dalam tangisan, ada yang tulus, ada yang palsu, ada duka, ada kegembiraan...
Angin sepoi-sepoi menerpa, membawa desahan penuh kesan zaman, berputar-putar di sekeliling.
"Kematian, bukankah ujung dari sebab-akibat... Segala karma, apakah akan hancur bersama kematiannya..." Suara mistis dan tidak nyata bergema, bagai pertanyaan retoris.
Sedih-sukacita yang nyata-palsu dalam tangisan itu, diam-diam menjawab pertanyaan tersebut, membuat suara penuh kesan zaman itu perlahan menghilang, pergi meninggalkan.
Di dalam kota kekaisaran, pasukan berkuda bergerak mengepung istana utama. Di antara barisan prajurit bersenjata, berdiri seorang pria paruh baya berjubah kuning di atas aula kerajaan. Matanya menyala-nyala memandang ke depan, sementara aura kesedihan yang pekat menyelimuti tubuhnya.
Dari barisan pasukan di bawah, maju seorang prajurit berbaju zirah. Rupanya sangat gagah perkasa, dan jika diamati lebih teliti, terdapat kemiripan wajah dengan pria berjubah kuning tersebut.
"Ayah, kau sudah tua, jangan terus melekat pada jabatan!"
Sorot mata pria paruh baya berjubah kuning itu dipenuhi kesedihan yang semakin dalam. Dalam diam, hembusan angin sepoi-sepoi menerpa dalam tembok istana, membuat semua prajurit di sekitarnya langsung terlihat bingung.
"Ini jenis sebab-akibat apa lagi..." Suara lemah itu tertiup angin menjauhi istana, menyelimuti langit-bumi, menerpa kehidupan demi kehidupan dunia fana sambil merenungi perubahan Jalan Langit.
Sepanjang perjalanannya, Wang Lin terus-menerus membuktikan jalannya sendiri. Ada kebingungan, keraguan, juga ketidakpahaman. Kebesaran Jalan Langit tak berujung, namun meraba-raba dalam kegelapan sungguh sulit, sangat sulit.
Tertiup angin, Wang Lin seakan mengalami mimpi panjang. Dalam mimpi itu, ia berubah menjadi Planet Qingling sendiri. Semua orang biasa dan binatang di permukaannya, setiap ucapan dan tindakan mereka, semuanya terlihat, terasa, dan mencapai pencerahan dalam kesadarannya.
"Ia melihat kelahiran bayi, melihat orang tua kembali ke kehancuran, melihat ikatan kekeluargaan orangtua, melihat kasih sepasang kekasih, melihat perpisahan, melihat pertemuan kembali, melihat kebaikan manusia, melihat kejahatan tak berujung……"
"Sebenarnya... apa, yang disebut lapisan?" Wang Lin kebingungan, menyaksikan semua ini, namun akhirnya tetap tak menemukan jawaban. Ia terus mengejar, terus mencari, terus membuktikan, namun semakin... bingung.
Energi spiritual Planet Qingling semakin pekat. Kepadatan ini mengandung seberkas kebingungan. Siapa pun yang melakukan latihan pernafasan akan segera terbenam dalam tahap misteri Xuan. Seolah-olah melalui latihan pernafasan, mereka menjadi bagian dari Planet Qingling. Pola pikir mereka, pada momen ini, dikontrol oleh kekuatan aneh, tanpa kendali diri, mengikuti kekuatan ganjil itu untuk mencari suatu hasil.
Pencarian Wang Lin terus berlanjut. Waktu perlahan-lahan berlalu, baginya seolah tak memiliki ujung. Energinya tetap menyelimuti langit dan bumi, melebur dengan Planet Qingling.
Saat matahari terbenam, di sebuah desa, di dalam ruang kelas sekolah swasta, banyak anak-anak telah pergi. Hanya seorang pelajar muda yang masih menyapu. Angin sepoi-sepoi bertiup, tubuh pemuda itu bergetar, matanya memancarkan kilauan terang. Ia meletakkan sapu di tangannya, lalu berbalik menuju tempat tinggal sang guru.
"Guru, murid memiliki kebingungan yang tak terpecahkan!"
"Kebingungan apa?" Pintu kamar terbuka, seorang pria tua biasa dengan sorot mata bijaksana keluar, berkata dengan tenang.
"Guru, tahukah Anda... apa itu Lapisan?" Pemuda itu menatap sang tua, membuka mulut dengan tenang.
"Lapisan?" Orang tua itu tertegun, melirik si pemuda, lalu mengibaskan lengan bajunya: "Lao Fu mengajarkan etika manusiawi, tidak ada Lapisan!"
Pemuda itu diam, lalu berbalik pergi. Angin sejuk menyentuh tubuhnya, namun ia justru menjauh. Tubuhnya bergetar, kesadaran pulih kembali, namun pikirannya dipenuhi kebingungan atas tindakannya sebelumnya.
Di kota kecil itu, seorang pria tua terhormat bermarga Xie yang dihormati seluruh penduduk, di tengah malam, menyalakan lampu minyak. Di ruang baca, ia mengambil naskah pertama, hendak membacanya.
Angin sepoi-sepoi menerpa, masuk ke dalam kamar. Di antara kerlip cahaya lentera minyak yang tak menentu, orang tua itu mengangkat kepalanya.
Di dalam kamar, tiba-tiba muncul suara penuh kesan zaman.
"Sebagai tokoh terhormat kota ini, tahukah engkau apa itu lapisan?"
Raut wajah orang tua itu seketika memucat. Kitab di tangannya jatuh ke lantai. Sorot matanya menunjukkan ketakutan sambil bergemetar berkata: "Kau... kau ini manusia atau hantu?!"
"Apa itu lapisan?" Suara penuh kesan zaman itu kembali bergema.
Orang tua itu menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang dengan suara bergetar: "Lao Fu tidak mengerti apa itu lapisan..."
Dalam desahan, suara itu perlahan menghilang. Kamar kembali normal, namun orang tua ini tak lagi punya semangat membaca.
Di aula ibukota kabupaten, tak terhitung murid memegang kitab sambil melantunkan ajaran kemanusiaan. Di depan, seorang tua berjubah putih tersenyum sambil mengusap jenggot dengan tangan kanannya.
Tiba-tiba angin sepoi-sepoi berhembus. Seorang pemuda di antara mereka segera meletakkan kitabnya, berdiri tegak lalu berkata tenang: "Guru, tahukah Anda apa hakikat lapisan?"
Saat suara pemuda ini muncul, sekeliling langsung mereda. Raut wajak orang tua itu berubah masam, suara berat terdengar: "Langit inilah lapisan!"
Pemuda itu menggelengkan kepala. Saat duduk, tubuhnya bergetar lalu kembali normal. Hanya angin itu yang, tanpa terdeteksi, menerbangi keluar dari ruang sekolah.
Angin menyebar ke Qingling. Dalam sekejap, hampir semua orang terhormat di kalangan orang biasa Planet Qingling, melalui berbagai kesempatan berbeda, ditanyai kalimat ini.
Namun akhirnya, jawaban mereka beragam. Tak satu pun yang bisa menjelaskan dengan jelas.
Dalam kebingungan, Wang Lin tenggelam dalam ruang mimpi ini. Tanpa henti ia mencari, tak berujung. Seolah bisa berubah menjadi tak terhitung avatar, mencari makna sejati lapisan.
Hari itu, orang tua bermarga Xie yang pernah ditanya Wang Lin, gelisah di rumahnya. Lama tak bisa tenang, seolah begitu mencoba tenang, suara berkesan zaman itu langsung bergema di telinganya.
Ia mendesah panjang, mengambil payung minyak, lalu berjalan di tengah hujan. Bolak-balik di jalan kota kecil, sorot matanya menunjukkan kebingungan.
“Apa, itu Tao... Aku yang menganggap diri berpengetahuan luas, mampu menembus segala hal di dunia ini, tapi justru terperangkap oleh pertanyaan makhluk aneh itu... Apa sebenarnya Tao itu...”
Dalam kebingungannya, sang tua tak sadar telah sampai di pinggir sungai di bagian utara kota. Di tepian sungai, duduk seorang lelaki tua mengenakan jubah jerami dan topi bambu, sambil menebar jala untuk menangkap ikan.
Pak Xie memandang pemandangan itu dengan sorot mata kosong, bergumam pelan: “Apa itu Tao...”
Tiba-tiba, si tua berjubah jerami itu berseru gembira, mengangkat jalanya yang berisi beberapa ikan besar. Ikan-ikan itu menggelepar-gelepar, membuka mulut mencoba menelan air sungai. Sorot mata mereka memancarkan keputusasaan, sementara tubuh yang menggelepar keras itu memperlihatkan perlawanan gigih!
Adegan ini seakan kilat, langsung menghantam Orang Tua Xie hingga seluruh tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, matanya menatap tajam ikan dalam jaring dan pria tua penangkap ikan itu.
"Ini... bukankah ini Dao!! Aku sebagai ikan, Dao sebagai jaring, sungai sebagai langit, dan pria penangkap itu adalah penguasa takdir yang mengendalikan nasib!" Sorot mata Orang Tua Xie terguncang hebat sementara hujan disertai angin kencang mengaum, menyelimuti langit dan bumi.
Dalam angin kencang yang mengandung kekuatan alam semesta ini, pria penangkap ikan itu ketakutan hingga melepaskan jaringnya, duduk lesu dengan wajah penuh kegelisahan. Orang Tua Xie sendiri mundur beberapa langkah sambil berusaha tenang.
Angin kencang terpusat membentuk sosok manusia - Wang Lin!
Ia menunduk memandangi ikan yang kembali ke sungai dan berenang bebas, sorot matanya menunjukkan pencerahan. Tangan kanannya terangkat, sebuah energi spiritual langit dan bumi segera melebur ke dalam tubuh Orang Tua Xie.
"Kau memberiku pencerahan, aku memberimu kesempatan..."
