"Langit dan bumi adalah penginapan bagi semua makhluk... Waktu adalah pengembara ratusan generasi... Hidup fana bagai mimpi, berapa kebahagiaan yang ada... Berapa lagi kebahagiaan yang tersisa..."
Kota Su di bulan Juni, setelah melewati musim kebangkitan alam, memasuki bulan dimana bunga-bunga bermekaran dengan kelopak warna-warni. Kapas yang beterbangan di angkasa seolah membawa sisa tenaga terakhir untuk meniup sisa waktu yang tersisa.
Kapas memenuhi langit bagai salju, pemandangan ini indah bak serpihan salju musim panas yang melayang di angkasa. Bila angin bertiup lebih kencang, kapas-kapas itu menari lebih rapat, melayang-layang bagai kehidupan tanpa akar, yang meski indah namun memancarkan kesedihan tak terucapkan.
Mereka bagaikan tak berumah, atau seperti anak rantau yang meninggalkan kampung halaman, hanya bisa bergerak tertiup angin, akhirnya tak tahu di mana takdir akan membawanya. Mungkin di permukaan sungai, menjadi pemandangan air dan langit dalam pandangan pelancong. Atau jatuh ke tanah, melebur dengan debu, menggulung menjadi gumpalan, disapu angin dalam formasi padat.
Takdir mereka adalah angin. Berbagai angin yang berbeda, memberikan mereka kehidupan yang berbeda.
Seberkas kapas melayang perlahan di udara, mendarat di telapak tangan kanan yang terangkat seorang pemuda berbaju putih yang berdiri di haluan sebuah perahu hias kecil.
Dengan kendi anggur di tangan kiri, pemuda itu meneguk sejumlah besar arak lalu melantunkan syair heroik sepuluh ribu zhang. Suaranya tak keras, namun memancarkan keleluasaan seakan hendak mengejar ujung langit dan bumi.
Di belakang pemuda, mengikuti seorang pria paruh baya berpakaian pelayan buku. Pria ini wajahnya masam, ekspresinya menunjukkan keengganan untuk melepaskan. Hampir setiap kali pemuda itu meneguk arak, rasa sakit hati pria paruh baya ini semakin bertambah.
"Satu kendi anggur osmanthus harganya tujuh qian perak, mahal! Sungguh terlalu mahal!! Satu tegukan hampir setara dengan setengah qian perak......"
Kapas yang mendarat di telapak tangan pemuda itu baru saja terhenti, seakan belum mencapai titik akhir. Desahan samar bergema, lalu kembali melesat dari tangan pemuda, melayang di depan matanya menuju kejauhan. Tariannya yang tak tentu arah memancarkan kegilaan, seakan tahu takdirnya yang telah berakhir - menuju kehancuran kosmis yang akan mengakhiri kelelahannya.
Di tepi sungai tersebut terdapat hutan persik. Di tengah tarian kapas, kelopak bunga persik berserakan. Runtuhan mahkota bunga yang diterbangkan angin berjatuhan ke sungai, mengambang di permukaan air sambil bergoyang mengikuti riak.
“Kristal kapas liar menari tertiup angin, bunga persik nakal mengalir bersama arus.” Wang Lin membentak habis arak di tangannya, gelak tawanya bergema.
Di atas perahu hias selain nahkoda dan tuan-pelayan berdua, terdapat tiga perempuan berbaju anggun. Salah satu memetik kecapi, dua lainnya menari dan bernyanyi. Perahu hias itu meluncur menyusuri sungai ditemani taburan kristal kapas, menembus jembatan-jembatan batu yang membentang di atas aliran air, lalu menghilang di kejauhan.
"Da Fu, ambil arak ke sini!" Wang Lin tertawa sambil berbalik menatap pria paruh baya di belakangnya.
Da Fu dengan wajah pahit berulang kali menghela nafas, dari sampingnya mengambil sebuah kendi arak lalu dengan enggan menyerahkannya pada Wang Lin, hampir dengan suara terisak ia membuka mulut.
“Tuan Muda, perak kali ini benar-benar tidak banyak... Kita sudah menyewa perahu hias leluhur, membeli arak, ditambah tiga gadis kecil ini menemani, pengeluaran setiap hari sungguh terlalu tinggi... Bagaimana kalau... Bagaimana kalau kita tetap naik ke darat saja, mencari penginapan murah mungkin bisa menghemat.”
“Ada apa terburu-buru? Orang yang gue tunggu belum datang." Wang Lin menggelengkan kepala sambil tersenyum, menerima kendi anggur itu dan meminumnya sebanyak satu tegukan lagi. Ia kemudian duduk sambil mendengarkan perempuan yang cukup cantik itu memetik senar kecapi, mengalunkan irama lembut yang mengandung seberkas kegembiraan. Namun di telinga Wang Lin, alunan itu tetap tak bisa melebur dengan jiwanya.
"Tuan Muda, kali ini persediaan harta yang gue sembunyikan sudah habis semua! Brengsek! Gue udah hitung, kalau terus boros begini, tujuh hari lagi kita bakal jadi pengemis!!"
"Ini sudah lebih dari sebulan! Siapa sebenarnya yang kau tunggu? Kenapa belum juga datang?" Da Fu merasakan sakit hati yang ekstrem, terus-menerus bergumam di samping Wang Lin bagai orang menasihati.
Mungkin karena ekspresinya yang lucu, salah satu penari yang sedang beristirahat itu menutupi mulutnya sambil tertawa manja.
Da Fu melotot memandangi perempuan itu, bergumam beberapa kata lalu menyambar sebuah kendi anggur dan meminumnya dengan keras beberapa tegukan.
“Aku harus minum lebih banyak, ini arak terbaik, setengah koin per tegukan……”
“Alunan kecapi, masih belum benar.” Wang Lin bersandar di tepi perahu, perlahan menggelengkan kepala. Setelah waktu yang lama, ia minum sampai agak mabuk. Dengan wajah kemerahan, ia bangkit dan mendekati perempuan yang memainkan kecapi. Tangan kanannya menyentuh kecapi kuno, membuat sang perempuan tersipu dan buru-buru menurunkan kedua tangannya.
“Aku ingat ada sebuah melodi tak bernama, yang pernah kudengar dalam mimpi. Seharusnya begini cara memainkannya……” Bisik Wang Lin sambil menutup mata. Tangan kanannya perlahan mulai menjentikkan senar kecapi kuno.
Awalnya masih penuh kekakuan, alunan terputus-putus itu tak membentuk melodi. Namun perlahan, seiring seluruh jiwanya yang melebur ke dalam, nada-nada itu mulai menyambung menjadi satu.
Sebuah kesedihan tak terucap mengalun samar-samar dari dalam perahu hias, menari-nari ke segala penjuru.
Dua perempuan yang sedang beristirahat di kapal itu, pada momen ini matanya memancarkan kebingungan, memperhatikan Wang Lin. Kesedihan yang terpancar dari alunan kecapi itu sangat samar, namun langsung menembus jiwa, membuat siapapun yang mendengarnya tak kuasa merasakan getaran di hati.
Entah sejak kapan, Wang Lin telah duduk di tempat bermain kecapi. Perempuan yang sebelumnya memainkan kecapi itu berdiri di samping, sorot matanya memancarkan kilau spiritual yang tak terungkapkan, seakan seluruh dirinya tersesat dalam alunan kecapi yang samar-samar bagai erangan hati.
Bahkan Da Fu pun tertegun sejenak sebelum duduk, meneguk arak satu-satu tegukan, melupakan rasa sakit hati, menatap takjub ke pergelangan tangan kanannya sendiri seolah kehilangan jiwa.
Alunan kecapi ini adalah yang pernah dimainkan Li Mawan di masa lalu - melodi yang berbeda namun membawa esensi spiritual yang sama, juga pernah muncul dari tangan perempuan tunanetra di Daerah Yao Ling.
Pada saat ini, kedua mata Wang Lin yang terpejam perlahan mulai basah oleh air mata. Butiran air mata itu menetes ke senar kecapi, seakan melebur dalam alunan musik, lalu melayang-layang tak beraturan.
Mimpi-mimpinya datang mencari setiap malam. Dalam mimpi itu, ia melihat banyak hal, namun tidak semua orang terlihat jelas. Ada beberapa sosok yang selalu tampak samar-samar meski terus muncul dalam mimpinya. Walau tak jelas, perasaan sedih yang mereka timbulkan sangat mendalam, sungguh sangat mendalam.
Di bawah alunan kecapi ini, perahu hias melayang mengikuti aliran sungai, menembus satu demi satu jembatan batu, hingga senja pun tiba dan matahari terbenam, menyambut datangnya malam berikutnya.
Wang Lin telah menunggu lebih dari sebulan, namun sosok yang seharusnya muncul dalam mimpinya tak kunjung tampak.
Seiring perahu hias melayang melewati bawah sebuah jembatan batu, terlihat dua sosok tak dikenal telah berdiri di atas jembatan itu. Mereka memandangi perahu itu dalam diam, sementara telinga mereka dipenuhi lagu kecapi yang penuh kesedihan.
Keduanya adalah orang tua berambut putih. Salah satunya mengenakan jubah hijau kebiruan. Meski hanya berdiri diam dengan sikap tenang, postur tubuhnya tegak lurus bagai pohon pinus yang kokoh.
Ekspresinya penuh kesan zaman, sorot matanya menunjukkan Kebijaksanaan. Berdiri di sana dengan hawa sastrawan besar kontemporer yang menyapu langsung ke wajah.
Ia adalah Su Dao.
"Bagus! Alunan musik jiwa penuh kesedihan seperti ini, manusia biasa takkan bisa memainkannya seumur hidup... Bahkan dalam kesedihan itu, terpancar kesan zaman purba seolah telah mengalami tak terhitung zaman. Ketika menoleh tajam melihat fragmen kenangan sedih yang selalu menyelimuti hati. Su San, perjalanan kali ini, Lao Fu tidak sia-sia." Sorot mata Su Dao menunjukkan haru sambil memandang perahu hias yang perlahan menjauh di bawah jembatan dimana Wang Lin sedang memainkan kecapi, lalu berbicara dengan suara bergetar.
Di belakang Su Dao, orang tua itu juga mendesah pelan. Jika Wang Lin melihatnya saat ini, pasti langsung mengenali - beliau adalah pengawas tua yang selama ujian terus memperhatikan lembar jawabannya hingga akhir.
"Murid juga tidak menyangka, dia bisa memainkan kecapi. Saat pertama kali melihat kertas ujiannya, saya merasa anak muda ini luar biasa. Ketika datang menghadap Guru beberapa hari lalu, melihatnya berperahu, maka saya mengajak Guru ke sini untuk bertemu." Orang tua itu menunjukkan ekspresi hormat, membungkuk dan berkata lembut.
Perahu hias semakin menjauh, alunan kecapi perlahan menghilang. Tiba-tiba, orang tua berbaju hijau Su Dao tersenyum tipis. Ia melangkah maju memegang pagar jembatan, berteriak ke arah perahu di bawah:
"Pemuda, katakan pada Lao Fu, menurutmu apa itu sebab-akibat?"
Kedua tangan Wang Lin membeku, alunan kecapi berhenti. Ia membuka mata dengan kebingungan lalu menoleh tajam, melihat sosok orang tua berbaju hijau di atas jembatan. Dari posisinya, pandangan itu hanya menangkap sang tua sendirian, tak melihat orang kedua yang berdiri di sisi lain jembatan.
Malam ini diselimuti kegelapan, rembulan purnama menggantung di langit. Dalam cahaya bulan, siluet orang tua itu tampak samar-samar. Bahkan sekitar jembatan seakan tersembunyi di balik sinar rembulan, berubah kabur.
"Sebab-akibat..." Bahkan pandangan Wang Lin pun tampak samar di momen ini. Ia terpaku memandang orang tua itu, memandang jembatan batu, memandang kabut di sekelilingnya sambil bergumam lirih.
"Seharusnya tidak seperti ini... Jika semua ini adalah waktu yang berbalik arah, jika semua ini adalah siklus reinkarnasi, jika semua ini hanyalah mimpi, maka yang seharusnya kutemui adalah versi diriku dalam mimpi... Tapi mengapa kini yang kuhadapi justru pria tua ini... Mengapa begini..."
Wang Lin telah menunggu lebih dari sebulan. Yang ditunggunya adalah fragmen kenangan dalam mimpi yang membuatnya bangkit dari tidur dalam kebingungan seharian, menghabiskan arak sepanjang hari. Dalam fragmen itu, ia melihat dirinya yang lain muncul di atas sungai Kota Su, di atas jembatan batu.
Namun kini, alih-alih bertemu dengan dirinya dalam mimpi, ia justru berhadapan dengan orang tua ini.
“Ini tidak masuk akal... Aku tahu urusan sekte Lianhun, bahkan orang yang muncul ratusan tahun kemudian di sekte itu, aku bisa menebak samar-samar itu adalah versi diriku dalam mimpi... Tapi semua ini sebenarnya sudah kumengerti dengan pencerahan, tapi mengapa di sini aku tidak melihatnya...” Sorot mata Wang Lin menunjukkan kebingungan yang mendalam. Ia tak bisa memahaminya, bahkan dirinya sendiri di momen ini semakin samar.
Seiring kebingungan Wang Lin, perahu hias itu semakin menjauh.
Orang tua di jembatan batu itu tersenyum dan berseru lagi saat melihat Wang Lin tidak menjawab.
“Pemuda, beritahu Lao Fu, menurutmu apa itu sebab-akibat.”
“Sebab-akibat... Akulah sebab, aku, adalah akibat...” Suara Wang Lin berdatangan perlahan, lalu perlahan menghilang seiring perahu hias yang menjauh.
Orang tua berbaju hijau Su Dao dengan senyumnya menatap perahu hias yang menghilang dari pandangan, lalu menoleh tajam ke murid di belakangnya.
“Siapa namanya?”
