“Dia bernama Wang Lin.” Su San buru-buka membuka mulut.
“Berikan kertas ujiannya padaku.” Sorot mata Orang tua berbaju hijau Su Dao memancarkan cahaya sukacita.
Melihat respons tersebut, Su San tersenyum mengeluarkan kertas ujian dari pelukannya. Tujuan kedatangannya menemui sang guru memang untuk memperlihatkan kertas ujian yang berbeda ini.
Namun sejak tiba di sini, Su Dao sama sekali tidak mau melihatnya hingga hari ini.
Memegang kertas ujian Wang Lin, Su Dao mengamati dengan seksama lalu mengangguk.
“Pemuda ini akan menjadi murid terakhir yang Lao Fu terima.” Dengan senyum penuh makna, pandangannya kembali tertambak pada bayangan perahu hias yang menjauh. Segumpal kapas putih melayang abadi dalam cahaya bulan, membentuk tabir samar antara dirinya dan perahu itu. Kebingungan menentukan apakah dia sedang menatap kapas atau perahu hias, sebelum akhirnya berbalik pergi.
Waktu berlalu bagai roda pedati. Saat ingin mengejar jejaknya, yang tertinggal hanyalah debu yang tak berbentuk.
Beberapa hari kemudian, Wang Lin membawa Da Fu meninggalkan perahu hias. Ia berdiri di tepian, memandangi perahu yang telah dihuninya selama lebih dari sebulan itu, menatap sungai yang telah ditunggunya selama berminggu-minggu, dalam keheningan yang berkepanjangan.
Hingga setengah shichen kemudian, Wang Lin menggelengkan kepala sambil menghela napas. Saat ia berbalik hendak pergi, tiba-tiba lengkingan samar bergema dari langit. Tubuhnya bergetar, dengan kasar ia mengangkat kepala menatap angkasa.
Terlihat burung putih yang familiar itu sedang berputar-putar di udara. Perlahan, burung itu turun dan bertengger di jembatan batu yang jauh. Setelah saling bertatapan dengan Wang Lin, ia kembali melesat ke udara menyusup ke lapisan awan. Siluet putihnya bagai kapas yang melayang.
"Apakah itu engkau..." gumam Wang Lin lirih.
Ujian kejuruan Su Ju tidak diikuti Wang Lin. Pada hari ia meninggalkan perahu hias, ia langsung dijemput menuju kediaman sarjana terkemuka Su Dao di Kota Su. Yang membawanya adalah orang tua pengawas kabupaten itu.
Kediaman Su Dao tidak besar, namun di dalamnya sangat elegan. Dalam keheningan, terpancar ketenangan yang menentramkan jiwa. Di halaman tempat ini, Wang Lin melihat orang tua yang sebelumnya menanyakannya di atas jembatan.
Da Fu ditahan di luar halaman. Wang Lin dan Su Dao, di paviliun taman itu, meneguk arak bunga osmanthus. Seorang tua dan seorang muda berbincang perlahan dalam keheningan.
Hingga rembulan tergantung tinggi, Wang Lin memberi penghormatan kepada Su Dao.
"Lao Fu seumur hidup memiliki banyak murid, tapi murid sejati hanya tiga orang. Mulai hari ini, kaulah murid terakhir Lao Fu. Lao Fu tidak ingin kau mengikuti ujian kekaisaran. Karaktermu tidak cocok... Lao Fu ingin kau menjadi cendekiawan besar Negara Zhao setelah Lao Fu menghilang!
Bahkan bukan hanya Zhao, di Planet Zhuque ini terdapat banyak kerajaan. Lao Fu berharap kau menjadi cendekiawan besar Planet Zhuque! Hidup seperti ini mungkin tidak sejahtera, tidak memiliki hak yang membara, tapi bisa mencapai pencerahan logika langit-bumi, memiliki pemikiran yang orisinal!"
Di antara langit dan bumi, kami adalah orang biasa, tentu juga ada praktisi seni immortal. Sepanjang hidup Lao Fu, beberapa Imortal Kultivator datang mengajakku memasuki Jalan Surgawi, namun akhirnya semuanya kutolak.
Lao Fu tersenyum menatap langit, dalam jiwa telah ada langit dan bumi. Yang kukejar bukanlah lapisan jalan, melainkan pemikiran kosmik! Aku telah memahami logika alam semesta. Meski hanya tubuh rapuh, namun pemikiranku bisa abadi selama ratusan generasi, bisa menghancurkan sangkar langit dan bumi! Bahkan para dewa itu, meski dengan sekali tunjuk jari bisa memusnahkan kami manusia biasa, harus menundukkan kepala mereka yang mulia di hadapan Sarjana Besar dunia!
Seni immortal melawan kodrat, tapi kami para sarjana Konfusian yang telah memahami jalan langit-bumi, bukankah juga sedang melawan kodrat dan melangkah di bumi!
Jika langit dan bumi memiliki roh, di mata mereka para kultivator itu sama dengan kami - sama-sama manusia biasa! Mereka manusia biasa, kami juga manusia biasa. Yang berbeda, mereka punya kekuatan gunung runtuh bumi retak, sementara kami memiliki pemikiran langit dan bumi yang tercerahkan. Segala ini pada akhirnya memiliki titik temu.
"Sepanjang hidupku sebagai guru, di antara murid-muridku terdapat banyak kultivator. Mereka datang mencariku, bertanya tentang Lapisan Spiritual, berusaha mencapai tahap Fen Pikiran seperti Dewa! Bahkan ada yang mengejar lebih dalam, menanyakan apa hakikat Lapisan!"
"Kehidupan seperti ini, biasa namun tak biasa. Wang Lin, apakah kau bersedia memilihnya?" Di bawah cahaya bulan saat ini, meski Su Dao tampak biasa sebagai seorang tua, Wang Lin merasakan dengan jelas hawa keagungan semesta yang tak terucapkan dari tubuhnya.
Hawa ini adalah kesombongan yang menatap langit-bumi, pencerahan akan logika kosmos, yang melahirkan pemikiran orisinal. Pemikiran inilah yang membuat Su Dao menginjak tepat di atas puncak.
Pemikiran itu bagai Semburan Api yang menyala dalam tubuh Su Dao, cukup untuk mengguncang langit dan bumi.
"Pertama Murid Sastra, lalu Guru Agung, puncaknya adalah Guru Jun!" Su Dao menatap Wang Lin dengan tangan terkunci di belakang punggung.
Wang Lin terdiam. Setelah waktu yang lama, ia memberi penghormatan lagi pada Su Dao.
Kali ini, Wang Lin baru genap sembilan belas tahun. Su Dao telah berusia delapan puluh tiga tahun.
Di tengah tawa panjang Su Dao, ia menggandeng tangan Wang Lin dan membantunya berdiri. Di dalam paviliun itu, suaranya bergema ke delapan penjuru.
"Lao Fu memasuki dunia politik sebagai pemuda, mengundurkan diri di usia paruh baya untuk pulang ke kampung halaman, mengelilingi wilayah Negara Zhao, bahkan menjelajahi berbagai negara di benua ini. Memandang gunung dan air, menyaksikan pahit-getir kehidupan, hingga di usia lima puluh tahun ketika arwah istriku telah tiada. Di depan nisannya, Lao Fu merasakan kesedihan yang mendalam dan tersadar akan langit-bumi, terharu oleh kehidupan. Selalu teringat adegan-adegan saat kami berkenalan di masa muda.
Sejak itu, pemikiran Lao Fu adalah tentang sebab-akibat.
Apakah sebab-akibat ini? Mengapa di antara langit dan bumi ada siklus sebab-akibat ini..."
Semalam berlalu. Kehidupan Wang Lin mengalami perubahan dalam malam itu. Ia tak lagi memiliki keinginan untuk mengikuti ujian imperial dan memasuki birokrasi. Dalam diam, diam-diam ia mengejar kehidupan yang diinginkannya - selain berbakti pada orangtua, yang ia inginkan adalah memahami langit-bumi dan mengejar suara yang tersimpan di benaknya.
"Apa itu sebab-akibat... Apa itu hidup dan mati... Apa itu nyata dan ilusi..."
Ia dan Da Fu tinggal di kediaman Su Dao, setiap hari mendengarkan ajaran Su Dao. Perlahan-lahan, aura bijaksana seorang sarjana besar semakin pekat menyelimuti dirinya.
Pada ujian kenegaraan tahun itu, puluhan orang berhasil menjadi Su Ju. Mereka akhirnya melangkah ke ibukota. Sejak itu, sebagian melesat ke langit, sebagian pulang dengan muram. Semua ini disaksikan Wang Lin, tapi tak lagi menggoyahkan hatinya.
Meski tak pernah masuk ke dunia birokrasi, reputasi Wang Lin justru menggema di seluruh Negara Zhao, bahkan mengalahkan para pejabat Su Ju yang melesat. Sebagai murid Su Dao, seiring berjalannya waktu dan pergantian musim, meski tak pernah meninggalkan Kota Su, Wang Lin selalu mewakili gurunya menerima tamu-tamu yang datang.
Baik pelajar orang biasa maupun keluarga kerajaan yang sejahtera, bahkan kultivator - dalam beberapa tahun ini Wang Lin telah bertemu banyak sekali orang. Ia semakin tenang, semakin menikmati arak, semakin bebas dan rileks.
Sekejap mata, beberapa musim berlalu. Di tahun saat kapas beterbangan memenuhi kota, Wang Lin hampir memasuki usia paruh baya. Ia berdiri di halaman tempat Su Dao menariknya sebagai murid sepuluh tahun silam, membiarkan kapas-kapas itu menghampar di atas batu hijau.
Tubuh Su Dao semakin renta. Waktu telah mengambil banyak hal, juga meninggalkan jejaknya. Kini, pria itu tak lagi mampu minum semalaman dengan Wang Lin seperti sepuluh tahun lalu. Duduk di kursi kayu dengan dua pelayan mendorongnya, ia menyaksikan tarian kapas bersama muridnya.
Ekspresi Wang Lin tenang. Setelah membubarkan dua pelayan itu, ia mulai mendorong kursi gurunya.
"Lin-er, lihatlah kapas ini. Tahun demi tahun mereka hadir. Bahkan bila gurumu tiada, mereka akan tetap muncul tiap musim, seolah terikat perjanjian abadi dengan langit dan bumi." Suara Su Dao parau namun penuh semangat. Tangan kanannya menadah sejumput kapas yang membeku di telapaknya.
"Kapas ini... adalah kehidupan." Wang Lin berbisik pelan.
"Kehidupan, bukankah ia juga merupakan gumpalan sebab-akibat? Ia melayang di depanmu, tapi saat kau angkat tangan ingin menangkapnya, pada akhirnya tetap tak tergenggam. Kecuali bila ia sendiri lelah, baru akan mendarat di telapak tangan." Su Dao memandang kapas di telapak tangannya, berkata perlahan.
Mungkin karena saat bicara ada energi lembut yang terlepas, kapas di telapak tangan itu kembali melesat ke udara, semakin menjauh.
"Sebab-akibat, sebab-akibat. Wang Lin, jika suatu hari kau bisa menemukan gumpalanmu sendiri di antara kapas yang menyelimuti langit-bumi ini, maka kau akan tersadar: apa itu sebab-akibat." Dengan senyum, Su Dao mengarahkan jari kanannya ke langit.
"Gumpalan kapas itu, adalah gurumu!"
Wang Lin menengadah mengikuti arah jari Su Dao. Tapi kapas di langit bagai salju yang tak terhitung, ia kebingungan menentukan mana yang ditunjuk sang guru.
"Kau tak bisa melihatnya, karena kapas itu... adalah seluruh hidupku..." Su Dao menutup mata, dua aliran air mata mengalir di pipinya.
“Itu adalah dua gumpalan kapas, diterbangkan angin hingga saling menempel. Itulah kehidupan aku dan dia...” Dalam pikiran Su Dao, semua kapas di langit menghilang sepenuhnya, hanya tersisa dua gumpalan yang saling melekat itu. Melayang-layang, semakin menjauh.
“Pada tahun ketika kapas beterbangan, aku melihatmu. Aku berdiri di atas jembatan, memandangimu yang terlihat bingung. Saat itu aku berpikir, Wang Lin, engkau bagai kapas tanpa akar. Tak berdaya, kebingungan, seolah ada pertanyaan yang tak kunjung terjawab dalam benakmu.
Aku memandangimu, melihat kapas yang melintas di hadapanmu. Salah satunya adalah kehidupanmu. Ia berputar beberapa kali di depan matamu, tapi kau tak melihatnya. Akhirnya ia datang ke hadapanku.
Aku menatap kapas itu, tapi pasti kau menyangka aku sedang menatapmu... Pertanyaan yang kulumahkan, sebenarnya untuk sang kapas. Tapi pasti kau mengira aku sedang bertanya padamu...
"Saat itu, aku berpikir ingin membantumu." Su Dao duduk di kursi, memalingkan kepala. Wajah keriputnya menunjukkan kelembutan saat menatap Wang Lin.
Tubuh Wang Lin bergetar hebat.
"Kau adalah sebab-akibat terakhir dalam hidupku. Selalu terasa... seolah kita pernah bertemu di suatu tempat." Su Dao menoleh, menatap langit.
"Tahun demi tahun, saat musim ini tiba, orang-orang melihat kapas beterbangan memenuhi kota. Tapi mereka tak paham - setiap helai kapas itu datang mencari manusia yang terikat dengannya... karena setiap helai mewakili seluruh hidup seseorang..."
"Hanya saja akhirnya mereka jatuh ke air, terhempas debu, menghilang dari pandangan... Bukan karena tak menemukan, tapi kita yang tak mampu menemukan bagian diri kita sendiri."
Diam-diam Wang Lin mengangkat kepala. Ia menyaksikan kapas yang menari-nari di udara tahun ini, persis seperti sepuluh tahun silam.
Perlahan-lahan, ia seakan melihat gumpalan kapas yang saling melekat - dua helai yang bagai saling merawat di tepi kolam yang mengering, bergerak lambat di antara hamparan kapas tak berujung, diam-diam melayang meski diterpa angin sekuat apapun.
Di telinganya, alunan kecapi seolah terbang melayang dari suatu tempat, membawa nuansa kesepian seakan ada perempuan itu yang hanya ditemani denting kecapi dalam penantian sunyinya.
