Pada tahun kedua setelah kepergian sang ayah, ibu Wang Lin juga tidak pernah bangun lagi dari tidurnya. Wajahnya yang terlihat seperti terlelap memancarkan senyum bahagia, seolah dalam mimpi bertemu kembali dengan ayah Wang Lin. Berdua mereka bersatu kembali, enggan untuk kembali.
Ada seseorang yang saat kau masih bayi, memelukmu dengan lembut meski kelelahan, terus bersenandung untuk menidurkanmu, menghentikan tangisanmu dengan nada pengantar tidur.
Ada seseorang yang saat kau mengompol dalam tidur, dengan gelisah membuka matanya beberapa kali setiap malam demi memeriksa selimut dan kasur di bawahmu, khawatir akan kelembapan di sana.
Ada seseorang yang di tengah pertumbuhanmu, bangun dengan menahan kantuk setiap pagi hanya untuk menyiapkan sarapan pagi, agar perutmu tak kelaparan.
Ada seseorang yang, setelah mengetahui kamu suka makan ikan, selalu memakan kepala dan ekor ikan itu sendiri. Kamu bertanya sambil tertawa mengapa dia tidak makan badan ikan. Dia tersenyum menjawab bahwa dia lebih suka kepala dan ekor, tapi kamu mempercayainya.
Ada seseorang yang menjahit dan menambal bajumu selama masa pertumbuhanmu. Di antara jahitan-jahitan jarum itu, ada beberapa noda merah muda yang jarang kamu sadari.
Ada seseorang yang, meski kamu sudah benar-benar dewasa, tetap memandangmu dengan sorot mata yang tak berubah selama puluhan tahun. Diam-diam memperhatikan, diam-diam berbahagia, diam-diam tersenyum, hingga akhirnya menutup mata lelahnya dengan tenang.
Orang ini disebut Ibu.
Ada lagi seseorang yang, saat kamu masih bayi, mengangkat tubuhmu dengan kedua tangannya setinggi-tingginya, menggantikan matahari dalam pandangannya, menjadikanmu segalanya.
Ada lagi seseorang yang, saat kamu masih belajar berjalan dan terjatuh, memegangi tanganmu sambil tertawa gembira, membantumu melangkahkan langkah pertama dalam hidup.
Ada seseorang lain, dalam gemuruh tawamu yang berulang, menggenggam tanganmu, membawamu melintasi pegunungan dan sungai, mengajakmu memandang langit dan bumi. Dalam siluet punggungnya yang kau tilik ke atas, kau akan merasa, dialah gunung, dialah langit.
Ada seseorang lain, saat kau berkata "Ternyata Ibu suka makan kepala ikan", lalu dengan serius menyisakan kepala dan ekor ikan untuk ibumu, dia di samping, memandangi sang istri dengan pancaran penyesalan dan kelembutan.
Ada seseorang lain, yang dalam ingatanmu setelah dewasa, selalu terpancar keras dan pandangan yang intens, membuatmu kian jengah. Namun seiring usiamu yang matang, kau temukan di balik sorot mata keras itu, tersembunyi cinta yang tak kau pahami di masa silam.
Ada seseorang lain, yang renta terbaring di ranjang dengan kelopak pelan terkatup, memancarkan ketakutan dan ketidakberdayaan. Tapi pelukanmu, suara lembutmu, membuatnya seperti anak kecil kembali, bagai masa balita saat dia mengangkat tubuhmu dengan tawa riang, hingga rasa takutnya luruh dalam kehangatan dekapanmu.
Orang ini, disebut ayah.
Wang Lin duduk di depan makam orangtuanya, air mata mengalir, tertawa, menangis. Adegan-adegan kenangan itu menusuk jantungnya, tak terlupakan. Dia tidak minum arak, namun saat ini seolah mabuk.
Dalam mimpinya, kehidupan lain itu tak sempat mengurus pemakaman orangtua, tak sempat memeluk jasad ayah, tak sempat mencium dahi berkeriput ibu yang tertidur dengan senyum takkan bangun.
Dalam hidup yang ini, dia telah berhasil.
Jika seseorang memiliki istri dan anak, mungkin kesedihannya sama pekat dan membekas saat orangtua wafat, tapi masih ada sandaran. Namun jika seseorang di dunia ini tak punya istri maupun anak, maka kesedihannya sanggup menutupi langit-bumi.
Mulai saat ini, tak ada lagi pelukan yang bisa menghangatkan hatinya di saat lelah.
Mulai saat ini, tak ada lagi senyuman yang bisa menghilangkan kegelisahannya dalam kesepian.
Di ujung langit setelah ini, hanya tersisa siluetnya seorang diri yang diam-diam memandangi matahari terbit dan terbenam.
Menjaga makam selama tiga tahun, rambut Wang Lin seluruhnya memutih. Tubuhnya tak lagi tegak, melengkung sedikit. Pada dirinya terpancar kesan zaman dan jejak waktu.
"Tiga puluh delapan tahun telah berlalu..." Keriput menghiasi wajah Wang Lin. Kini, ia telah menjadi pria tua yang mendekati usia enam puluh tahun.
Da Fu tampak lebih renta, bersandar pada tongkat di belakang Wang Lin. Diam-diam ia mengamati sang tuan, menatap pergelangan tangan kanannya sendiri. Setelah lama, perlahan ia mengangguk.
"Hidup manusia, ada berapa tiga puluh delapan tahun... Aku tak tahu orang lain, tapi aku... mungkin tak akan memiliki kesempatan lagi." Dengan suara lirih, Wang Lin bersujud memberi penghormatan terakhir di depan nisan orangtuanya.
"Masih ingatkah kau kuil kuno itu..." Wang Lin berdiri, menoleh tajam kepada Da Fu yang renta bagai tak mampu berjalan jauh lagi.
“Di kuil kuno itu, aku bilang aku butuh seorang asisten, lalu kamu mengikutiku.” Ekspresi Wang Lin dipenuhi senyum nostalgia sambil memandang Da Fu. Lebih dari 30 tahun ini, Da Fu selalu setia menemaninya.
“Da Fu masih bisa jadi asisten!” Da Fu mengangkat kelopak matanya lalu terkekeh lebar.
“Kau sudah tua, aku pun juga... Hanya saja masih ada keinginan yang belum terselesaikan... Da Fu, jagalah rumah ini. Tunggu aku, tunggu sampai aku kembali.” Wang Lin menatap langit, di sana ia melihat burung putih beterbangan.
“Pemahamanku tentang langit dan bumi masih kurang seberkas. Aku akan habiskan sisa hidupku untuk menjelajahi berbagai negara di Planet Zhuque. Saat kembali nanti, mungkin aku tak mendapat apa-apa, atau mungkin sudah mencapai pencerahan.”
Di musim semi tahun ke-38 itu, Wang Lin pergi sendirian meninggalkan desa pegunungan. Da Fu tetap di rumah, diam-diam menanti kepulangannya—mungkin sepuluh tahun, dua puluh tahun, atau seumur hidup.
Wang Lin duduk sendirian di gerbong sambil meneguk arak. Jarak ke Gunung Hengyue semakin menjauh. Setelah berbulan-bulan, gerbong itu tiba di perbatasan Negara Zhao. Di sini Wang Lin turun dan memberhentikan kusir. Ia menarik napas dalam-dalam, memandang tajam ke arah Negara Zhao sebelum berbalik dan melangkahkan satu kaki keluar dari batas kerajaan itu.
Ini pertama kalinya dalam hidupnya meninggalkan Negara Zhao. Tentang ke mana jalan masa depan mengarah, Wang Lin tak merenungkannya. Ia hanya tahu: jalan itu terbentang di bawah telapak kakinya.
Persis saat kaki mendarat di luar batas, tiba-tiba beberapa cahaya panjang mengaum di langit. Kilatan samar-samar itu melintas di atas kepalanya. Tanpa mengangkat pandangan, ia terus melangkah tenang ke depan.
Suara "Hah" yang terkejut terdengar dari cahaya-cahaya yang melaju. Di antara beberapa kultivator itu, terlihat sosok perempuan dengan kecantikan luar biasa. Selain rupa yang memesona, aura kewanitaan alami memancar dari seluruh wujudnya—bukan kepura-puraan, melainkan karunia alamiah.
Tubuhnya berhenti di udara, menatap ke bawah mengikuti langkah Wang Lin yang terus berjalan. Alis indahnya berkerut lembut, ekspresinya memancarkan kebingungan dan ketidakjelasan.
"Ada apa, Adik Junior Perempuan Liu." Di sampingnya, seorang kultivator bertanya dengan penuh keterkejutan.
"Tidak ada. Kalian kembali dulu ke sekte. Aku ada urusan pribadi." Perempuan luar biasa cantik itu berkata dengan suara lirih. Ia tak lagi menghiraukan yang lain, langsung berbalik dan terbang menurun.
Kultivator yang sebelumnya berbicara tertegun, bersiap mengikuti.
"Saudara Senior, aku ingin menyendiri." Suara lembut namun penuh keteguhan perempuan itu bergema, membuat langkah sang kultivator terhenti. Setelah merenung sebentar, ia pun pergi bersama anggota sekte lain yang sama-sama bingung.
Wang Lin berhenti melangkah. Ia berbalik menyaksikan cahaya panjang indah di langit belakangnya yang turun bagai kilat. Dalam sekejap mata, cahaya itu mendarat sepuluh zhang di depannya, berubah wujud menjadi perempuan berjubah ungu.
Kecantikannya tak tertandingi. Keindahan yang belum pernah Wang Lin saksikan seumur hidupnya, bahkan jauh melampaui Zhou Rui di masa lalu.
Namun, Wang Lin tidak terhanyut dalam bayangan keraguan. Ia seakan memahami segala sesuatu, mengejar logika langit dan bumi, memiliki pemikiran sendiri. Di matanya, kecantikan perempuan itu memang mempesona, namun ketika akhirnya menutup matanya, Tanah Kubur tak berbeda dengan perempuan biasa.
Perempuan itu menatap Wang Lin yang renta di seberang sepuluh zhang, menyoroti rambut putihnya yang penuh, wajah berkeriput yang diselimuti debu waktu, serta sorot mata cerdasnya yang memancarkan kebijaksanaan. Lama kemudian, ia tundukkan kepala, membungkuk hormat perlahan dan memberi penghormatan.
“Yang Tua, puluhan tahun yang lalu aku pernah melihatmu sekali. Hari ini kita bertemu untuk kedua kalinya, apakah kau masih ingat?”
Wang Lin menatap perempuan di hadapannya, sorot mata yang memancarkan renungan. Setelah waktu yang lama, ia tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala dan membuka mulut dengan suara parau.
“Saya lupa.”
“Kalau sudah lupa, ya sudah lupakan saja. Yang Tua, entah mengapa, setiap melihatmu aku selalu merasa kita seolah pernah bertemu di suatu tempat - bukan kali ini, melainkan saat terakhir melihatmu. Aku ingin tahu, siapakah nama Anda?” Perempuan itu memaksakan senyum di wajah sambil berkata lembut.
“Lao Fu Wang Lin.” Wang Lin dengan ekspresi tenang, berbicara perlahan.
“Wang Lin?” Perempuan itu mengerutkan kening, berpikir lama, suara ragu-ragu.
“Bukanlah Wang Lin sang Sarjana Besar Negara Zhao?”
“Benar, saya Lao Fu.” Wang Lin mengangguk, sorot matanya memancarkan kesan zaman, kedalaman yang misterius seolah mengandung langit dan bumi.
“Mungkin aku yang salah ingat…” Perempuan itu merenung lama, tak menemukan alasan kenapa ada akar kenangan yang familiar sekaligus menyakitkan hatinya. Ia menatap Wang Lin dalam-dalam, tak paham mengapa rasa sakit perih di dadanya justru lebih keras dari dulu, terutama melihat kerentaan Wang Lin yang memicu melankolis tak terungkap.
“Maaf telah mengganggu, mohon diri.” Ia mendesah pelan, membawa kebingungan di sorot mata dan sakit di dada, berbalik, lalu pergi.
“Bolehkah tahu nama indah nona?” Wang Lin berkata lembut.
“Liu Mei, alis seperti daun willow.” Perempuan itu menghentikan langkahnya, menoleh. Di bawah sepasang mata yang indah, sudut bibirnya menampilkan senyum yang cukup membuat hati berdebar. Setelah ragu sejenak, tangan kanannya menepuk kantong penyimpanan dan mengeluarkan sebutir pil.
“Usiamu sudah lanjut. Pil ini bisa menjaga energimu. Pertemuan kita juga merupakan takdir. Kuberikan padamu, selamat tinggal.” Liu Mei meletakkan pil tersebut. Kabut muncul di bawah kakinya, tubuhnya melayang di atas awan dengan bentuk yang sangat memesona.
“Apakah ini kehidupan sebelumnya, siklus reinkarnasi, atau mimpi... Atau mungkin semua ini hanyalah ilusi... Liu Mei, Liu Mei... Perempuan yang membangkitkanku dari penderitaan dalam mimpi seumur hidup itu...” Wang Lin menatap pil itu. Gejolak dalam hatinya tersembunyi dengan sempurna.
Berjam-jam lamanya, hingga siluet perempuan itu menghilang di ujung cakrawala. Wang Lin tiba-tiba mengangkat kepala dengan kasar. Dengan suara parau yang mengerahkan seluruh tenaganya, ia meneriakkan sebuah kalimat.
“Liu Mei, kamu harus ingat baik-baik, kapan pun itu - mungkin di kehidupan selanjutnya, mungkin dalam suatu siklus reinkarnasi, mungkin dalam sebuah mimpi - jangan lagi mengenal kultivator bernama Wang Lin! Jangan mengenalnya, jangan berinteraksi dengannya...”
Liu Mei telah pergi jauh, Wang Lin tak tahu apakah dia mendengar. Ia berteriak dengan segenap tenaga hingga suaranya parau, hingga cahaya panjang di kejauhan tak lagi menyisakan bayangan apa pun.
