Suara Li Mawan penuh kelembutan, bagai kedalaman samudera, menyusup ke telinga Wang Lin. Hati Wang Lin yang tenang terasa hangat, keriput di wajahnya seolah berkurang sejenak. Ia menatap Li Mawan, melupakan derap waktu yang terus mengalir.
Kata-kata Li Mawan itu, kehidupan dalam mimpi Wang Lin yang sangat mendalam, tak mungkin dilupakannya. Atau mungkin kehidupan nyata bertumpuk dengan mimpi itu, kini terbayang lembah tempat mereka tinggal bertahun-tahun.
Di lembah itu bunga mekar dan layu, hari berganti tahun, meninggalkan siluet abadi mereka berdua. Alunan kecapi menyelimuti udara, memabukkan, membuat enggan terbangun.
Wang Lin, tak ingin bangun.
Di lembah itu ia menyaksikan kecantikan Li Mawan berubah menjadi rambut putih dan rangka kering. Adegan-adegan kejam itu bagai merobek hatinya, menyisakan kesedihan dalam penderitaannya.
Ia ingat, memeluk mayat Li Mawan sambil melontarkan teriakan melengking terkuatnya ke langit.
"Bahkan langit yang memintamu mati, aku akan merebutmu kembali!"
Suara itu terus bergema dalam pikiran Wang Lin, datang dari mimpi dan melebur dengan segenap tenaganya.
"Dalam mimpi ini, biarkan aku menemanimu hingga langit runtuh..." Li Mawan memeluk erat Wang Lin seolah takut ia akan pergi, air mata mengalir sambil bergumam lembut, mengulang-ulang kata itu sekali, sekali, sekali...
Ia sendiri tidak tahu pasti berapa kali telah mengatakannya.
Wang Lin mengangkat tangan keringnya, membelai rambut hitam Li Mawan dengan kelembutan di wajahnya, lalu mengangguk.
Perempuan itu, bahkan setelah menemui ajal, bayangannya semakin dalam dalam kesepian ribuan tahun dan kenangan Wang Lin, hingga akhirnya menjadi segalanya baginya.
Baik itu Liu Mei, Li Qianmei, maupun segala kecantikan yang ditemui Wang Lin di kemudian hari, tak ada yang bisa menggantikan bayangannya, tak mampu akhirnya memasuki hati Wang Lin.
Wang Lin sendiri tahu, hatinya telah mati di tahun itu, bulan itu, hari itu, pada momen ia memeluk Li Mawan sambil meratap pilu menengadah ke langit.
Cahaya pelangi di langit kehilangan satu warna, akan kugunakan seluruh hidupku untuk mencarinya...
"Relakah kau memutuskan... Mampukah kau memutuskan..." Wang Lin menatap langit, melihat seekor burung putih berputar-putar di ujung cakrawala, bertanya perlahan pada diri sendiri.
Di tahun ke-31 setelah meninggalkan Negara Zhao, Wang Lin dan Li Mawan duduk di batu hijau itu. Di kaki gunung sejauh ribuan li sekelilingnya, berjubel kultivator bersila. Wang Lin memeluk Li Mawan, tersenyum bersama merenungi hukum langit dan bumi.
Perlahan-lahan, kata-kata Wang Lin semakin berkurang. Dari setahun sekali membuka mulut, hingga hanya mengucapkan sepatah kata dalam hitungan tahun.
"Asal mula kekosongan, inilah sebab-akibat. Jika kalian pahami, bisa meraih pencerahan..." Di musim dingin tahun ketiga puluh dua setelah meninggalkan Negara Zhao, di tengah taburan salju yang memenuhi angkasa, Wang Lin bangkit dari batu hijau itu. Tubuhnya terlihat sangat lemah. Ia bisa merasakan bahwa kehidupannya telah mencapai momen terakhir, tinggal menyisakan satu perjalanan akhir. Bahkan jika tak menghendaki, ia harus menemui ajal.
Mimpi ini, sangat nyata, sangat nyata. Dalam mimpinya ini, ia hanyalah seorang biasa.
Kematian adalah sebuah pengakhiran, merupakan penghabisan dari sebuah mimpi. Namun di sisi lain, ia juga merupakan permulaan dari segala sesuatu.
Li Mawan masih terlihat muda. Dengan lembut ia menyangga Wang Lin, berdiri bersama di atas batu hijau itu, tak pernah meninggalkan.
Liu Mei di kejauhan, diam-diam memandang Wang Lin dan Li Mawan. Kebingungan dalam sorot matanya selama tahun-tahun ini semakin mengental, hingga akhirnya berubah menjadi penderitaan tak terucap yang membuatnya tertunduk.
“Masih ingatkah, di manakah rumah kita...” Suara Wang Lin semakin sarat kesan zaman, berucap lembut.
Li Mawan mengangguk sambil menahan air mata di pelupuk matanya.
“Bawalah aku.” Wang Lin membelai rambut hitam Li Mawan, wajah keriputnya memancarkan kerinduan selama dua ribu tahun.
Menggigit bibir bawahnya, Li Mawan menyangga tubuh Wang Lin. Keduanya melesat merobek angkasa, meninggalkan ribuan kultivator yang menyaksikan dari radius ribuan li.
Bayangan mereka menghilang di ufuk langit, lenyap dari pandangan semua orang seolah tak pernah ada, tak pernah datang.
Angin menerpa rambut putih Wang Lin yang melayang di belakang kepala. Helai-helai biru pucat itu menempel di pipi Li Mawan, bergumul dengan rambut hitamnya. Pertautan hitam dan putih itu seakan tak ingin terpisah selamanya.
Pandangan Li Mawan lembut, dalam perjalanannya sesekali menatap Wang Lin, wajahnya memancarkan kehangatan dan keterikatan.
Wang Lin memandang bumi di bawah kaki yang melesat satu per satu dalam raungan angin, menyaksikan berbagai gunung berapi, dataran, dan hutan. Matanya juga menangkap ibukota kabupaten di dunia fana, serta orang-orang biasa yang nyaris sebesar titik hitam.
Entah berapa lama berlalu, hingga warna tanah di bawah kaki perlahan berubah hijau zamrud. Perlahan muncul pegunungan yang tak henti-henti, di antaranya tersembunyi sebuah lembah.
Lembah itu adalah rumah kedua dalam mimpinya, selain Negara Zhao.
Itu adalah rumah dia dan dia.
Cahaya panjang mendarat. Ribuan rumput dan pohon besar di bawahnya serentak bergerak, daun-daun bergemeresik lalu segera mereda. Saat Li Mawan menopang Wang Lin muncul, mereka telah tiba di lembah tersebut.
Lembah itu tampak luas dan kosong, rerumputan tumbuh di mana-mana. Di antara rumput-rumput itu terdapat beberapa bunga liar yang memancarkan aroma harum.
"Kita sudah pulang..." Ekspresi Wang Lin menunjukkan bayangan keraguan. Matanya menyapu segala sesuatu di lembah itu, seolah ada kerinduan dan kesedihan yang muncul dari jiwanya. Tatapannya perlahan beralih ke tubuh Li Mawan sementara duka terus menyelimuti.
Li Mawan juga memandang sekeliling. Setelah waktu yang lama, senyum bahagia merekah di wajahnya.
"Wang Lin, jangan kita pikirkan apakah ini mimpi atau bukan. Mari kita tinggal di sini, ya?"
"Baik."
Waktu pun berlahan-lahan berlalu. Rerumputan di lembah itu telah menghilang sepenuhnya. Sebuah pondok kayu sederhana berdiri di tengah lembah. Hari demi hari, tahun demi tahun, alunan kecapi yang indah terus bergema di langit lembah.
Dalam alunan kecapi, Wang Lin duduk di samping, tangannya memegang tongkat. Penampilannya semakin renta, wajahnya dipenuhi keriput serta bintik-bintik coklat yang bertaburan di kulitnya.
Itulah bintik-bintik usia senja. Setiap bintik bagai lingkaran tahun pada pohon, menyimpan jejak waktu yang terpatri abadi.
Ia masih mengenakan jubah putih itu, tersenyum mendengar alunan kecapi Li Mawan, memandang perempuan yang duduk berhadapan dengannya dengan kedua tangan memetik kecapi.
Kecantikan perempuan ini tak lagi seperti kemudaannya saat pertama tiba di sini. Kini, seperti Wang Lin, ia telah menjadi seorang wanita tua.
Ini adalah hasil ilmu dan kemampuan supernatural Li Mawan. Ia tak ingin Wang Lin menyaksikan dirinya yang tetap muda di masa tuanya, melainkan bertekad menghitung uban masing-masing layaknya manusia biasa, mengarungi sisa hidup bersama.
Wang Lin sepenuhnya memahami sikap dasar istrinya. Alih-alih mencegah, ia hanya memandang sang istri dengan penuh kelembutan.
Istri yang selama ini mendampinginya.
Ada cinta yang tak peduli usia, tak peduli rupa. Yang penting getaran jiwa dalam sekali pandang.
Ada cinta yang tak peduli waktu berlalu, tak peduli penghalang Yin-Yang. Yang penting kerinduan dalam satu mimpi.
Ada cinta seperti ini: dalam alunan kecapi, di bawah senja, dua orang tua di lembah saling memandang diam-diam. Senyum pria tua itu adalah senyum wanita tua itu.
Ia memandangnya, dia memetik kecapi. Seakan di antara langit dan bumi, hanya mereka berdua yang ada. Biarlah langit runtuh bumi terbelah, biarlang matahari-bulan berganti, biarlah langit-bumi berubah warna. Segala sesuatu di depan kekasih renta ini hanyalah sangat kecil.
Satu tahun, satu tahun.
Burung putih itu tak pernah muncul lagi, seakan telah pergi dari mimpi.
Dalam tatapan saling mereka, di tengah alunan kecapi, Wang Lin dan Li Mawan melewati musim semi saat semua makhluk bersemi, melewati musim panas dengan kapas beterbangan dibawah terik matahari, melewati musim gugur dengan gemerisik dedaunan yang menggulung bayangan mereka berdua.
Bersama mereka menyaksikan hujan dan salju, melintasi musim dingin demi musim dingin yang tak lagi menggigit.
Tahun ini adalah tahun ke-35 sejak Wang Lin meninggalkan Negara Zhao.
Tahun ini, Wang Lin merasakan panggilan menemui ajal. Ia sadar, mungkin suatu hari saat ia menutup mata, ia takkan pernah membukanya lagi—akan keluar dari dunia mimpi ini. Hari itu semakin mendekat.
Di musim gugur tahun itu, langit dipenuhi daun-daun menguning kering yang bergulung perlahan di lembah. Sehelai daun terhalang oleh tubuh Wang Lin yang terbaring.
Dengan susah payah, Wang Lin membungkukkan tubuhnya yang renta dan mengambil daun itu dengan tangan berbintik-bintik usia.
"Daun gugur kembali ke akar... Wan'er, aku harus pergi... Antarkan aku untuk terakhir kalinya, temani aku ke Negara Zhao, bawa Da Fu, kita pergi ke Kota Su, ke sana, menyelesaikan janji terakhir dalam hidup mimpiku ini."
"Dulu, dia tidak datang. Kali ini, dia pasti akan datang."
Li Mawan dengan sehelai rambut putih, membawa keengganan dan kerinduan, memapah Wang Lin keluar dari rumah mereka. Di bawah langit dan bumi, mereka berubah menjadi cahaya panjang menuju ujung seberang lautan, ke benua tempat Negara Zhao berada.
Di sini adalah mimpi, tapi bukan sekadar mimpi. Ini adalah hasil kemampuan supernatural Wang Lin yang meminjam buah jalan suci. Puluhan tahun dalam mimpi, sama dengan waktu di luar mimpi.
Di luar mimpi, ada Aliansi Kultivasi, Empat Domain Bintang, dan pertempuran akhir antara dunia dalam dan luar!
Selama puluhan tahun ini, perang antara dunia dalam dan luar telah mencapai tingkat panas membara. Pasukan luar dunia menyebarkan kabar kematian Feng Zun, mengerahkan seluruh kekuatan untuk melancarkan invasi gila-gilaan ke wilayah dalam.
Benteng energi kuno yang dipinjam Qing Lin telah collapse total lebih dari 30 tahun lalu. Seiring serbuan tak terhitung kultivator luar dunia dalam berbagai pertempuran, kedua pihak menderita korban jiwa yang sangat besar. Darah segar menyelimuti angkasa, hawa berdarahnya begitu pekat hingga di luar imajinasi. Empat Domain Bintang wilayah dalam telah berubah menjadi dunia bagaikan neraka.
Dalam situasi hidup dan mati yang semakin kejam ini, banyak kultivator berlevel tinggi di wilayah dalam meninggalkan Lautan Awan dan Sungai Panggil. Seluruh kekuatan terpusat di domain Luotian dan Kunxu, melakukan perlawanan terakhir dengan gigih.
Di tengah keputusasaan yang berulang, rumor kematian Feng Zun telah merasuk ke hati. Meski Qing Shui yang berubah wujud menjadi Wang Lin bertugas menjaga, dalam sebuah pertempuran besar 10 tahun lalu ia nyaris menemui ajal setelah dihantam Xu Shen Tianzun.
Kabar kematian Feng Zun pun tak terbendung lagi, memberikan pukulan mematikan yang tak bisa sembuh pada jiwa kultivator wilayah dalam.
Sebulan lalu, Domain Bintang Kunxu juga menghadapi pilihan yang tidak remeh: meninggalkan wilayah untuk bertahan di Luotian, atau berperang habis-habisan melawan musuh dari luar dunia di kampung halaman Sang Penutup Segel, di luar Planet Zhuque!
