Langit membiru bagai ombak, di permukaan berdiri banyak loteng yang menyerupai gerbang sekte. Hanya plat nama sekte di gerbang itu yang tampak samar-samar, membuat orang tak bisa melihat namanya dengan jelas. Semakin dicoba ditatap, semakin kabur.
Di salah satu loteng tersebut, duduk seorang perempuan. Wajahnya sangat familiar, sangat familiar. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap langit seolah mengamati sesuatu...
Siapakah dia... Siapakah aku...
Sebuah daratan luas tak bertepi, langit kelabu suram. Kabut berdarah menyelimuti sekeliling, seakan di tempat ini pernah terjadi perang. Seorang perempuan melesat di angkasa dengan wajah pucat pasi dan ekspresi panik, sesekali menoleh tajam ke belakang dimana seorang kultivator bermata bernafsu mengikutinya dengan tenang.
Di saat paling genting, ia melihat sosok pria familiar tersembunyi di balik kabut...
Siapakah dia? Siapakah pria itu?... Dan siapakah aku?...
Di balik kabut tebal menyerupai lautan, terlihat gua persembunyian biasa. Seorang pria duduk bersila di dalamnya, tengah berada di puncak proses Pembentukan Inti.
Perempuan itu berdiri di mulut gua. Meski jiwanya gemetar ketakutan, sorot matanya tetap teguh. Di hadapannya, segerombolan kultivator sedang mengerahkan kemampuan supernatural untuk menghancurkan formasi pelindung gua.
Perempuan itu menggigit giginya, terus mengubah formasi untuk melawan, hingga seberkas tenaga terakhirnya habis terkuras. Tubuhnya lunglai, tapi tiba-tiba ia menyadari sedang bersandar di dada yang hangat.
“Aku akan membawamu untuk membunuh!”
Kalimat itu bagai menembus langit, menghubungkan cinta seumur hidup...
Siapakah dia? Siapakah pria itu?... Dan siapakah aku?...
Di bawah langit biru yang sama, di sebuah sekter yang terasa asing namun familiar, perempuan itu duduk diam di loteng sambil memeluk kecapi. Alunan kecapi yang penuh kesedihan menggema di angkasa—pertanda ia akan dinikahkan.
Tepat saat ia melangkah keluar loteng untuk menghadapi segalanya, seorang pria muncul dengan tingkat kultivasi tertinggi, menghampirinya.
Senyum lembut itu membuatnya tertegun di sana.
Ia ingin tahu: Siapakah dia? Siapakah perempuan itu? Dan siapakah dirinya sendiri?...
Seberkas cahaya matahari yang menghangatkan, di tengah lembah sunyi, terdapat sebuah pondok kayu. Tempat ini memancarkan kehangatan, mengalunkan nada kecapi yang riang. Perempuan itu memegang kecapi, memandang pria di sampingnya yang sedang ia sandarkan di pelukan. Sorot matanya memancarkan kelembutan.
Ia tampak begitu bahagia... Namun, siapakah dia? Siapakah pria itu? Aku... siapakah aku?
Ingin mengingat sesuatu, namun sama sekali tak bisa diingat. Kepalanya terasa berat, sepertinya telah tertidur sangat lama...
Samar-samar, fragmen kenangan penuh kelembutan itu mulai retak, perlahan collapse total, berubah menjadi adegan di bawah langit yang berubah warna. Pria itu memeluk seorang wanita, air mata mengalir deras sambil mengeluarkan jeritan menggemparkan langit. Jeritan itu sarat dengan kesakitan, mengandung sebuah janji!
"Langit memintamu mati, aku akan tetap merebutmu kembali!!!"
Di Kota Kekaisaran Daogu, dalam sebuah kamar istana yang sangat mewah di kompleks kerajaan, tergeletak seorang perempuan di atas ranjang empuk. Meski tidak memiliki rupa yang luar biasa, wajahnya cukup enak dipandang. Kini dengan wajah pucat pasi, kedua matanya terkatup rapat dengan bulu mata bergetar halus, seolah sedang berjuang bangun dari mimpi buruk yang menyiksanya.
Tanpa disadari, air mata mulai mengalir dari sudut matanya. Butiran bening itu mengalir menyusuri pipinya, membasahi bantal putih yang bersih.
Dalam mimpinya, terus bergema suara jeritan yang seolah merobek jantung dan paru-paru - sebuah teriakan kemarahan terhadap langit, perlawanan terhadap takdir, serta gelora pemberontakan terhadap hukum langit-bumi dan alur kehidupan ini!
Suara itu membuat air mata perempuan itu semakin deras mengalir...
Namun ia tak mampu mengingat: Siapakah perempuan dalam mimpinya? Lalu pria yang mencabik-cabik jiwa itu siapa? Bahkan dirinya sendiri pun, entah mengapa, tak lagi bisa mengenali identitas aslinya.
Dalam mimpinya, dia bisa melihat samar-samar sosok pria itu, dalam waktu yang berlalu, muncul di samping sebuah peti mati, membelai peti mati tersebut, menempelkan wajahnya perlahan di atasnya. Kelembutan itu membuat hatinya perih...
Air mata yang jatuh di peti mati itu membuat dadanya sesak... Ada dorongan dalam dirinya untuk membuka mata, menyentuh wajah pria itu, menghapus air mata di sudut matanya.
Dalam pergulatan batinnya, segala sesuatu dalam mimpi mulai rusak. Perempuan itu menghilang, pria itu lenyap dalam kabut, segalanya menjadi samar.
Dia, membuka mata.
"Kau sadar..." Suara lembut berdatangan di sampingnya.
Matanya menatap pola indah di ujung tempat tidur, menunjukkan kebingungan di pandangan. Samar-samar, segala sesuatu dalam mimpi seolah masih ada, namun semuanya telah kabur dalam ingatannya.
Menoleh, dia mengikuti sumber suara itu dan melihat seorang pria berbaju kaisar dengan rambut panjang. Meski telah paruh baya, pria itu tampan dan beraura mulia, sedang menatapnya dengan senyuman.
"Kau... siapa... Aku... siapa..." Kebingungan di sorot mata perempuan itu semakin pekat. Pikirannya diserang sakit perih yang memutus rangkaian ingatannya, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menghalanginya menemukan jati diri.
"Aku Penguasa Sejati Daogu, sosok tertinggi garis keturunan Daogu. Aku adalah suamimu! Sedangkan kau, Song Zhi dari Klan Shigu, adalah permaisuriku!" ujar pria itu perlahan sambil memancarkan aura raja dari seluruh tubuhnya.
"Suami..." Dua kata itu seketika membangkitkan siluet lain dalam benaknya. Siluet itu sedang menengadah ke langit sambil menderu kesakitan.
Siluet itu duduk bersamanya, mendengarkan alunan riang kecapi yang dimainkannya.
Siluet itu memeluknya, berbisik di telinganya kalimat-kalimat tentang membawa dirinya untuk membunuh...
Siluet itu... samar, seakan ingin bertumpuk dengan sosok pria berjubah kekaisaran di hadapannya. Perlahan, mereka benar-benar menyatu... Namun dalam persepsinya, perpaduan itu terasa tak selaras, hingga akhirnya saling berpencar kembali.
Rasa sakit yang menusuk kembali menyerang. Perempuan itu menutup mata dalam kesakitan, sebelum akhirnya kesadarannya memudar.
"Jelaskan, apa alasan ini!" raut wajah pria berjubah kekaisaran itu langsung menjadi muram, suaranya terdengar perlahan namun menggetarkan.
"Yang Mulia, Ratu Song... setelah proses peleburan jiwa, kondisi fisiknya sangat lemah. Jiwa aslinya telah terjerat dengan jiwa-jiwa Yang Mulia yang terfragmentasi selama peleburan, sehingga memunculkan fragmen ingatan yang berantakan seperti ini."
Namun hal ini tidak apa-apa. Permaisuri hanya perlu beristirahat beberapa waktu, perlahan bisa pulih. Namun ingatannya akan tetap kacau. Tapi ini justru baik, Baginda bisa menanamkan ingatan baru padanya secara bertahap, hingga menguasai pikirannya dan menjadi ingatan sejatinya.
Selain itu, tubuh ini sangat cocok untuk jiwa ini. Bisa dirawat perlahan. Dalam beberapa tahun, jiwa ini akan menyatu sempurna dengan tubuh. Saat itu tiba, bahkan tubuh asli dari jiwa yang terfragmentasi pun takkan bisa menyatukannya lagi." Di belakang pria berjubah kekaisaran, muncul seorang lelaki tua yang bersujud dengan satu lutut di atas tanah, berbicara dengan penuh hormat di antara distorsi gelombang energi.
"Pergilah." Pria berjubah kekaisaran itu berkata perlahan.
Orang tua itu buru-buru menyetujui, berubah menjadi asap tipis yang menghilang di dalam kamar. Kini hanya tersisa Penguasa Sejati Daogu dan perempuan itu.
Penguasa Sejati Daogu duduk di samping perempuan itu, memandangnya dengan sorot mata yang memancarkan kilau aneh.
“Guru Negara pernah berkata, jiwa-jiwa yang terfragmentasi itu bisa membuat Kaisar menjadi penguasa sejati yang menyatukan tiga suku kuno... Deduksi Guru Negara tentang perubahan masa lalu dan masa kini, terucapnya pasti bukan salah... Maka dengan menobatkan perempuan ini sebagai permaisuri, biarlah ini menjadi hadiah terbaik baginya.”
Bergumam pelan, pria berjubah kekaisaran itu mengangkat tangan kanannya, membelai lembut wajah perempuan yang tak sadarkan diri sambil tersenyum.
“Meski tidak cantik, perempuan ini memiliki daya tarik tersendiri. Jiwa terfragmentasi dalam tubuhnya - entah dari mana Guru Negara mendapatkannya, beliau sama sekali tak mau membicarakan hal ini... Tapi kurasa, jiwa ini dulunya pasti seorang jelita... Mungkin dia juga memiliki kekasih, yang kini sangat menderita setelah kepergiannya...
Sayang sekali, dia takkan pernah tahu bahwa sekarang perempuan ini ada dalam genggaman Kaisar... Seandainya ada kesempatan mengetahui siapa kekasih masa lalunya, dan Kaisar bisa melihatnya langsung, tentu akan sangat menarik.
Mungkin sang kekasih sudah lama mati. Jika masih hidup, seandainya suatu hari mereka bertemu, akankah saling mengenali...” Senyum pria berjubah kekaisaran itu semakin melebar.
“Sang Kaisar sangat menanti... namun tampaknya, hari itu takkan pernah tiba.” Pria berjubah kekaisaran itu menggelengkan kepala, tangan kanan yang membelai wajah perempuan itu tiba-tiba meremas perlahan, meninggalkan bekas memar di pipinya.
Tubuh perempuan itu bergetar, seakan dalam ketidaksadarannya pun merasakan sakit. Sudut mata tertutupnya kembali mengeluarkan butiran air mata.
"Seandainya bukan karena syarat keperawanan yang mutlak dalam prosesi penobatan permaisuri, sungguh ingin Sang Kaisar menjadikannya wanita seutuhnya saat ini juga. Tapi tak perlu terburu-buru. Setelah upacara, Sang Kaisar akan menikmati keindahan saat jiwa-jiwa terfragmentasi itu menyatu sempurna dengannya." Senyum pria berjubah kekaisaran itu melebar saat ia berdiri, mengibaskan lengan bajunya lebar-lebar sebelum meninggalkan kamar.
Bersamaan dengan jatuhnya air mata perempuan itu, di kaki Gunung Gu Dao yang jauh, Wang Lin menatap tajam ke puncak gunung dengan sorot mata membeku seperti es.
Sang Mahadewa Gu Dao jelas-jelas tak mengakuinya, namun Wang Lin pun tak pernah mengakui klaim Suku Kuno. Satu-satunya yang dihormatinya di seluruh suku itu hanyalah Xuan Luo!
Andai bukan karena Xuan Luo, Wang Lin takkan pernah menginjakkan kaki di tempat ini!
“Tiga ratus anak tangga...” Bayangan Mahadewa di belakang Wang Lin memancarkan sinar hitam putih yang menyilaukan. Di bawah cahaya ini, Wang Lin mengangkat langkahnya dan tiba-tiba melangkah mantap ke atas!
Langkah ini bukan hanya satu anak tangga, melainkan puluhan!
Saat langkahnya mendarat, Wang Lin telah berdiri di anak tangga ketiga puluh sembilan. Kekuatan dahsyat dari puncak gunung menghujam ke bawah dengan gemuruh, menerpa tubuh Wang Lin hingga membuatnya menghentikan langkah, bagai ditindih ribuan gunung.
Dalam sorot matanya, anak tangga menuju puncak itu tampak terdistorsi, seakan memiliki nyawa, berombak bak naga sungai.
Dengan dengusan keras, bayangan Matahari Mahadewa di belakang Wang Lin bersinar semakin terang menyelimuti langit dan bumi. Di tengah perubahan warna langit yang dramatis, ia kembali melangkahkan kaki dan melompat ke depan!
Anak tangga ke-42, 57, 69, 83... Deru dahsyat terus menggema di telinga Wang Lin. Di bawah tekanan tak berujung, dengan tekad baja ia menginjak tepat di atas anak tangga ke-99. Kaki kanannya terangkat, lalu menghantam dengan keras ke anak tangga keseratus!
Begitu langkah mendarat, langit-bumi bergemuruh. Gunung Gu Dao seakan bergoyang hebat. Tekanan aura dahsyat tiba-tiba mendekat, menghantam tubuh Wang Lin hingga jiwanya terguncang. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
Tekanan maha dahsyat ini berasal dari gunung ini, dari sang Gu Dao Mahadewa!
