Peristiwa menggemparkan di Kota Kekaisaran Daogu, murid Xuan Luo Wang Lin yang nekat menerobos istana, membalas budi dengan taruhan nyawa, di bawah sorotan ribuan pasang mata berhasil membunuh Kaisar Daogu. Bahkan Sang Leluhur Suci Yewei pun tak mampu mencegah kepergian Wang Lin.
Adegan-adegan kejadian ini, seiring kepergian anggota keluarga dari dua klan lainnya, perlahan bergema ke seluruh bumi Suku Kuno. Hampir semua yang memenuhi kualifikasi untuk mengetahui hal ini, tidak ada yang tidak mengetahuinya.
Seharusnya hal ini menjadi lebih mengguncang, namun di bawah bayang-bayang peristiwa lain yang lebih mengejutkan, perlahan lenyap berantakan - yaitu pembukaan awal Dunia Dewa Tai Gu yang memicu gemuruh dahsyat di seluruh Suku Kuno, bahkan seluruh Benua Xiangang.
Lautan luas tak bertepi yang dulu memisahkan Suku Kuno dan Suku Dewa, kini berubah menjadi lubang dalam raksasa. Lubang ini tak bertepi, memancarkan bau busuk yang bergelombang. Di pusat bekas lautan itu, air laut yang tegak berdiri berputar liar, terus-menerus mengeluarkan deru dahsyat.
Dalam pusaran air laut yang mengaum itu, pintu yang terdiri dari sembilan pilar raksasa menjulang ke langit tampak samar-samar. Keberadaan pemandangan ini menarik perhatian mayoritas ahli sejati di Benua Xiangang, memicu kedatangan banyak orang dengan kemampuan supernatural mereka. Namun setelah pengamatan, satu per satu mereka diam dan pergi meninggalkan tempat itu.
Jiu Di juga pernah datang secara pribadi. Namun air laut yang berputar seperti badai, bahkan dengan tingkat kultivasinya, tak mampu melangkah terlalu dalam. Sama sekali tidak bisa memasuki kedalaman. Apalagi pintu yang samar-samar itu belum terbuka. Tapi dengan kultivasinya, berkoordinasi dengan deduksi Haizi, diam-diam menghitung bahwa diperlukan sekitar lima abad agar Dunia Dewa Tai Gu ini benar-benar bisa dibuka.
Dan pembukaan kali ini akan menjadi yang pertama kalinya dalam sejarah, dibuka secara UTUH!
Dao Yi, Wu Feng, serta beberapa Mahadewa dari daratan Suku Kuno termasuk Xuan Luo, juga datang silih berganti. Semua berhenti di luar badai air laut yang berputar, mengamati diam-diam cukup lama sebelum akhirnya pergi tanpa sepatah kata.
Tapi bersamaan dengan itu, sebuah pesan lisan dari Gunung Gu Dao turun dan sampai ke para Mahadewa Tiga Cabang Suku Kuno serta keluarga kerajaan. Isi pesannya sederhana: memberitahu semua untuk berhenti mengamati Dunia Dewa Tai Gu. Tempat ini akan dibuka lima abad kemudian. Perintahkan tiga keluarga kerajaan dan para Mahadewa masing-masing untuk mempersiapkan perang dalam lima abad ini.
Terkait kematian Penguasa Sejati Daogu, Gunung Gu Dao sama sekali tidak menaruh perhatian. Fenomena aneh ini juga membuat anggota garis keturunan Daogu yang sebelumnya mendesak untuk mengejar Wang Lin dan memohon campur tangan Mahadewa Gu Dao, diam serentak. Mereka tak lagi membahas hal ini.
Mirip dengan wilayah Suku Kuno, di tanah suku dewa, dekrit kerajaan yang dikeluarkan bersama oleh Kota Leluhur Di Shan dan istana kerajaan suku dewa menyebar ke seluruh 72 provinsi. Dekrit ini mengumumkan bahwa Dunia Dewa Tai Gu akan dibuka lima abad kemudian, memerintahkan semua sekte di seluruh provinsi untuk fokus membina ahli-ahli kuat mereka dalam lima abad ini—terutama para Tian Zun dan kultivator Yue Tianzun. Bagi mereka, Dunia Dewa Tai Gu bagaikan Gerbang Naga. Sekali mendapatkan takdir, mereka akan melesat ke puncak dan menjadi Mahadewa!
Benua Xiangang yang dipenuhi aliran bawah tanah ini seketika dilanda angin kencang dan awan bergulung-gulung. Namun di bawah batas waktu lima abad, semua pihak menahan diri. Gelombang ketegangan terselubung menyelimuti, bagaikan tenang sebelum badai.
Baik Xian maupun Gu, semua yang menganggap diri memenuhi kualifikasi untuk memasuki Dunia Dewa Tai Gu, dapat merasakan tekanan misterius dari sekeliling dan aktivitas terselubung dari berbagai benua. Mereka samar-samar memahami bahwa lima abad kemudian, saat portal Dunia Dewa Tai Gu terbuka, akan terjadi peristiwa besar yang dihimpit oleh atmosfer yang mencekam.
Namun hal ini berpotensi membangkitkan kembali Perang Xian-Gu yang tak diketahui durasinya di Benua Xiangang yang telah lama tak tersentuh konflik!!
Suku Kuno sedang mempersiapkan diri... Demikian pula dengan Suku Dewa!
Lima abad, hanya lima abad!! Bagi orang biasa, kultivator tingkat rendah, dan anggota tiga suku, lima abad mungkin terasa lama. Tapi bagi para ahli sejati, lima abad hanyalah sekejap mata.
Pada saat Benua Xiangang mulai menyaksikan tunas bahaya perang karena kemunculan Dunia Dewa Tai Gu, di wilayah kabupaten yang berbatasan dengan area Shigu dari dua belas kabupaten garis keturunan Daogu, hujan turun tiada henti. Di musim ini yang menyerupai musim hujan plum, meski curah hujan tidak deras, namun jatuh tanpa henti membentuk tirai hujan yang nampaknya akan bertahan lama.
Di tengah guyuran hujan itu, selain kota-kota Daogu yang tetap ramai, permukaan bumi di luar tampak tenang. Rintik hujan menimpa dedaunan mengeluarkan gemuruh plak-plak, lalu menggenang di tanah membentuk aliran sungai kecil.
Langit yang redup diselimuti kabut samar, terlihat di kejauhan seorang pemuda berbaju putih berdiri di lereng gunung yang tidak terlalu tinggi. Ia memegang payung kertas minyak, ditemani perempuan bertubuh anggun di sampingnya. Keduanya sama-sama memandang ke depan.
"Inikah kisah antara dirimu dengan sisa jiwa Wan'er di dalam tubuhku..." Perempuan itu berkata lirih, menarik pandangannya dari tirai hujan lalu memalingkan wajah ke pemuda berbaju putih di sampingnya.
Pemuda inilah yang nekat menyelidiki Istana Daogu, membunuh Kaisar Daogu, lalu keluar dengan kekuatan seorang diri—tak ada yang berani menghalangi setengah langkah—sebelum akhirnya membawanya ke sini.
Ia tak tahu ke mana pria ini akan pergi, namun sepanjang perjalanan, kelembutan dan perhatiannya membuatnya merasakan kehangatan dari kedalaman jiwa.
Di tengah perjalanan, pria itu menceritakan sebuah kisah panjang: Pertemuan tak sengaja yang terikat benang-benang cinta oleh kalimat "Aku akan membawamu untuk membunuh".
Diakhiri dengan "Langit memintamu mati, aku pun akan merebutmu kembali!!", meninggalkan duka dan kerinduan selama ribuan tahun.
Wang Lin menatap perempuan di hadapannya, sorot matanya memancarkan kelembutan sambil mengangguk.
Perempuan itu diam, ia bisa merasakan bahwa kelembutan dalam sorot mata pria itu bukan tertuju padanya, melainkan pada jiwa-jiwa yang terfragmentasi dalam tubuhnya. Dengan diam-diam ia menatap tirai hujan di kejauhan antara langit dan bumi, lama kemudian baru berkata dengan suara lirih.
"Ke mana kita akan pergi?"
"Ke tempat kita pertama bertemu." Wang Lin memeluk Song Zhi yang telah meleburkan sisa jiwa Li Mawan, tubuhnya limbung menerjang hujan, melangkah menuju kejauhan.
Sepanjang perjalanan, ia tidak mengerahkan kecepatan penuh demi menjaga kondisi tubuh Song Zhi yang masih lemah dan jiwa rapuh di dalamnya. Hampir setahun telah berlalu sejak ia membantai Penguasa Sejati Daogu.
Selama setahun ini, Wang Lin sama sekali tidak menghadapi pengejaran dari Gunung Gu Dao. Garis keturunan Daogu juga menutup rapat-rapat peristiwa ini. Dalam ketenangan, ia bersama perempuan itu perlahan mencapai pinggiran wilayah Daogu.
Melewati area ini, berarti memasuki wilayah Shigu.
“Tempat pertama kita bertemu... Apakah itu Kota Batu Hitam...” Perempuan itu dalam pelukan Wang Lin, rambut hitamnya tertiup angin, beberapa helai menyapu wajah Wang Lin, seakan bergulat dengan rambut putihnya.
Wang Lin diam, membawa perempuan ini berangsur menghilang dalam hujan.
Beberapa bulan kemudian, Wang Lin dan Song Zhi melangkah keluar dari wilayah Daogu, menginjakkan kaki di tanah Shigu. Kembali ke sini, gejolak emosinya seolah tak lagi murung. Ia memandangi adegan-adegan Shigu, samar menemukan familiaritas.
Namun ucapannya makin menipis. Menghadapi Wang Lin, lebih sering ia diam. Hatinya dipenuhi kompleksitas. Selama setahun lebih ini, sesekali pria itu mengirimkan hawa kehangatan ke tubuhnya. Ia tak tahu apa itu, namun bisa merasakan jiwa yang mulai melebur dalam tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda pemisahan.
“Ia sedang memisahkan jiwa perempuan bernama Wan'er dalam tubuhku... Mungkin ketika jiwa ini sepenuhnya terpisah, saat itulah aku akan mati... Tapi setidaknya sebelum mati, aku masih sempat melihat kampung halaman, bertemu Bibi Chang dan Dongmei, itu sudah cukup baik.” Hati Song Zhi terasa pahit, semakin diam.
Dia sangat ketakutan, tapi tak berdaya.
Terhadap semua ini, Wang Lin melihatnya tapi tak berusaha menjelaskan. Jarak ke Kota Batu Hitam semakin dekat.
Beberapa bulan kembali berlalu.
"Besok, apakah kita sudah bisa sampai di Kota Batu Hitam?" Di saat langit menggelap tanpa senja, di sebuah gunung tandus, Song Zhi menatap ke kejauhan sambil bertanya lembut pada pria di sampingnya.
Tadi, Wang Lin memberitahunya bahwa besok mereka bisa kembali ke kampung halamannya di Kota Batu Hitam.
Wang Lin mengangguk.
Song Zhi diam sejenak, wajahnya menampilkan senyum. Ia menghela napas pelan lalu berbalik memandang Wang Lin. Matanya menatap lelaki yang telah mendampinginya selama lebih setahun ini, menatap wajahnya yang tampak muda namun dipenuhi kesan zaman.
"Wan'er sangat berbahagia... Semoga kalian berdua bahagia selamanya."
Saat tengah hari keesokan harinya, dari kejauhan tampak samar-samar Kota Batu Hitam. Permukiman besar yang tersusun dari batu hitam raksasa itu tertangkap pandangan Song Zhi, menghadirkan hawa kampung halaman yang ia rindukan.
"Bolehkah aku... menyentuh wajahmu..." Di lokasi sekitar satu li sebelum gerbang kota, Wang Lin menghentikan langkahnya. Song Zhi menatapnya sambil berkata lembut.
Wang Lin memandang perempuan di hadapannya cukup lama, lalu mengangguk perlahan.
Senyum mengembang di wajah cantik Song Zhi yang tiba-tiba diselimuti semburat kemerahan. Kedua tangannya terangkat menyentuh wajah biasa Wang Lin. Setelah beberapa saat, ia meletakkan kepala di dada Wang Lin, seolah bisa mendengar detak jantung yang berdegup di balik tulang rusuknya.
"Dug... dug" suara detak jantung itu membuatnya menutup matanya.
Wang Lin menunduk, mengangkat tangan kanannya membelai rambut indah perempuan itu. Aroma harum samar menyusup ke hidung Wang Lin. Mereka berpelukan seperti itu, hingga waktu berlalu.
Saat senja di kejauhan mulai memancarkan kilau merah, langit dan bumi mulai redup, Song Zhi mengangkat kepalanya meninggalkan dada Wang Lin.
"Jika aku mati, tolong..."
"Kamu tidak akan mati." Wang Lin memandangnya dengan tenang. Saat berbicara, jari kanannya menyentuh titik antara alis perempuan itu. Penglihatan Song Zhi tiba-tiba buram, perlahan ia terjatuh ke samping seperti terlelap.
Setengah shichen kemudian, saat ia bangun kembali, matanya menunjukkan kebingungan. Ia memandang sekeliling, diam di tempat sambil menekan kepalanya. Alis indahnya berkerut lama, seolah baru teringat sesuatu.
Di momen ini senja telah terbenam sebagian besar, langit dan bumi samar-samar menggelap. Song Zhi berdiri dan langsung melihat sebuah giok tergantung di lehernya, memancarkan kehangatan.
Dia bisa merasakan bahwa dalam tubuhnya, jiwa-jiwa terfragmentasi milik Wan'er telah lenyap. Dia tetap Song Zhi tanpa cedera sedikitpun, namun hatinya dipenuhi melankolis. Sorot matanya memancarkan keambiguan sambil memandang sekeliling yang sepi. Lama kemudian, dia berbalik dan berjalan menuju Kota Batu Hitam di kejauhan.
Di sana, terletak kampung halamannya.
