Pandangan Wang Lin perlahan beralih dari sosok yang seolah menginjak langit, terakhir kali tertuju pada pintu Dunia Dewa Tai Gu yang tersusun dari sembilan pilar di tengah lautan luas tak bertepi yang bergulung antara Suku Kuno dan Suku Dewa.
Namun meski dengan tingkat kultivasi yang kini memposisikannya di Jembatan Menginjak Langit kedua, tatkala memandang Dunia Dewa Tai Gu itu, penglihatannya tetap samar-samar. Seolah-olah keberadaan alam spiritual kuno ini jauh melampaui kemampuan Wang Lin saat ini.
Memperhatikan lautan luas yang bergulung bagai badai, lama kemudian Wang Lin menutup kedua matanya. Saat kedua matanya terpejam, sorot matanya menghilang dari Benua Xiangang.
Saat kembali membuka mata, ia masih berdiri di ruang aneh yang tak dikenal ini, di atas Jembatan Menginjak Langit kedua yang raksasa. Namun ketika menundukkan pandangan, Wang Lin menyadari meski masih berdiri di jembatan yang sama, posisinya kini berada di ujung jembatan, bukan di pangkalnya.
Segala yang terjadi sebelumnya seolah hanya beberapa langkah yang diayunkannya dalam sekejap saat melintasi jembatan ini, bagaikan mimpi ilusif yang tak bisa dibedakan kenyataannya.
Memandangi Jembatan Menginjak Langit ini, menatap deretan jembatan ketiga, keempat... hingga kesembilan di kejauhan, serta pemandangan samar dan ilusif di balik jembatan kesembilan yang tak jelas terlihat, begitu jauh di sana. Semakin lama dipandang, hati pun ikut merasa terasing, seolah setiap jembatan mewakili puncak gunung yang tak tertaklukkan, membuat siapapun di kaki gunung itu tak kuasa menahan pikiran untuk berhenti.
"Pikiran ini begitu muncul, langsung berkembang tak terhingga, hingga menyelimuti seluruh tubuh Wang Lin. Seolah di dasar kalbunya ada suara yang berbisik lembut, menyuruhnya menoleh, meninggalkan tempat ini, jangan terus melangkah, jangan mendekati tujuh jembatan sisanya."
Wang Lin berdiri di ujung jembatan kedua ini. Hanya perlu mengangkat satu langkah, ia bisa turun dari jembatan ini, melangkahi sepenuhnya jembatan kedua. Namun langkah terakhir ini, seolah tak sanggup diangkatnya.
Waktu perlahan berlalu, seolah telah berlalu sangat lama. Wang Lin masih tetap berdiri di sana, memandang ke depan dengan ekspresi tenang. Namun ia mendesah pelan, kaki kanannya terangkat dan mendarat, melangkah keluar dari jembatan kedua ini, menyelesaikan Jembatan Tapak Langit Kedua!!
"Inikah ujian batin... Jika Hati Jalan tidak kokoh, jika tak ada tekad melawan kodrat, jika tak ada kegigihan menjaga sesuatu dengan nyawa, mungkin pada langkah ini sudah seharusnya mundur." Wang Lin bergumam, sambil melangkah perlahan menuju Jembatan Tapak Langit Ketiga di kejauhan.
Jembatan ketiga itu terasa sangat jauh namun juga dekat, meski Wang Lin telah berjalan tiga hari, tetap belum sampai di bawah jembatan. Tiga hari berikutnya, keadaannya masih sama. Tiga hari lagi berlalu, dari kejauhan jembatan ketiga itu tetap terlihat jauh namun dekat.
Hingga hari kesembilan, Wang Lin menghentikan langkahnya. Berdiri di tempat, setelah diam sejenak ia tiba-tiba mengangkat kepala dengan kasar, sorot matanya memancarkan kilau aneh, lalu perlahan memejamkan kedua mata.
Ia tidak menggunakan mata telanjang untuk melihat, tidak memanfaatkan Shen Shi untuk merasakan. Dalam kondisi memejamkan mata ini, ia mengunci Shen Shi-nya sendiri. Tanpa memperhatikan posisi maupun arah jembatan ketiga, ia mengangkat kaki dan melangkah sembarangan di udara kosong.
Satu langkah, dua langkah... Saat mencapai langkah kesembilan, tiba-tiba terdengar kicauan burung yang berulang-ulang di sekitarnya. Cahaya lembut menembus kelopak matanya, seakan terpantul di pupilnya.
Hidungnya mencium aroma tanah setelah hujan, serta sensasi dan hawa yang familiar baginya - bau serpihan kayu dan pedasnya tembakau.
Langkahnya tiba-tiba terhenti.
"Tie Zhu, bagaimana progres belajarmu?"
"Tie Zhu, kau harus giat belajar. Tahun depan adalah Ujian Kabupaten. Masa depanmu bergantung pada ini. Jangan sampai seperti ayah, terjebak di desa seumur hidup. Ah..."
"Cukup! Setiap hari kau mengomel. Menurutku, Tie Zhu kita pasti lulus!"
Suara Ayah dan Ibu itu, yang tak terdengar selama ribuan tahun, kini bergema nyata di telinganya, seolah membawa Wang Lin kembali ke desa pegunungan yang damai ribuan tahun silam.
Wang Lin berdiri membeku, air mata mengalir di pelupuk matanya. Dari dasar kalbunya, sebuah suara terus bergumam mendesaknya membuka mata untuk melihat wajah orang tuanya.
Namun di saat yang sama, di dalam hati Wang Lin muncul pencerahan. Jika ia membuka matanya saat ini, maka langkahnya akan berhenti di Jembatan Ketiga Menginjak Langit ini.
Jembatan Pertama melebur hukum langit-bumi ke dalam Shen Shi. Jembatan Kedua merasakan Mata Menginjak Langit, namun harus bertanya pada Hati Jalan apakah kokoh... Wang Lin sebelumnya tidak mengerti tujuan pertanyaan ini, mengapa keraguan seperti itu muncul di ujung Jembatan Kedua. Tapi sekarang, ia paham.
Jembatan Ketiga ini mungkin adalah kegalauan hati. Jika Hati Jalan tetap kokoh, berjalanlah terus meski seluruh hidupnya seperti fragmen-fragmen kenangan yang berlalu, tanpa gejolak batin sedikitpun, maka ia akan mampu melewati jembatan ketiga ini.
Namun begitu mata terbuka, ia harus langsung menghadapi moxiu dalam hatinya, berhadapan dengan seluruh perjalanan hidupnya. Dengan demikian, peluang keselamatan untuk melewati Jembatan Ketiga ini akan berkurang tak terhingga.
Suara Ayah dan Ibu masih menggema di telinga, air mata di sudut mata Wang Lin semakin deras, namun di momen ini tanpa sedikitpun keraguan, ia membuka matanya. Pada sekejap matanya terbuka, ia melihat gubuk yang familiar, pekarangan yang dikenalnya, serta makanan yang tersaji di atas meja yang tak asing.
Di sampingnya, ia melihat sang Ayah dengan pipa rokok ditepukkan pelan ke tanah, wajahnya dipenuhi keriput zaman. Di balik sorot mata yang keras, terpancar kelembutan ikatan kekeluargaan yang menjadi hakikatnya.
Ia melihat sang Ibu membawa makanan yang baru dihangatkan keluar dari gubuk, beberapa helai rambut putih tersembunyi di antara rambut hitam. Meski tak banyak, Wang Lin tetap menyadarinya.
Ibu mungkin tidak cantik di mata orang luar, tapi di hati Wang Lin, sosoknya adalah yang tercantik - tempat berlindung yang abadi dalam relung jiwanya.
Memandangi ayah dan ibu, menyaksikan adegan-adegan yang familiar, meski air mata terus mengalir di pipi Wang Lin, senyum mengembang di wajahnya. Ia menatap semua pemandangan di hadapannya yang perlahan menghilang setelah ia membuka mata, hingga akhirnya berubah menjadi kehampaan. Meski tahu ini palsu, ia tetap ingin menyaksikannya sekali lagi.
Saat adegan ini hancur berkeping-keping, Wang Lin tetap berdiri di bawah Jembatan Kedua, jarak menuju Jembatan Ketiga masih begitu jauh...
Ayah ibunya bukan kultivator, hanya orang biasa yang tak bisa dibangkitkan kembali. Siklus reinkarnasi adalah tempat terbaik bagi orang biasa. Meski bereinkarnasi, ingatan yang menjadi hak Wang Lin akan tetap abadi. Ia takkan menghapusnya, karena ini lebih berharga daripada nyawanya sendiri.
"Mungkin, seandainya Wan'er muncul... Setelah kusadari ini semua palsu, aku tak tahu apakah masih akan terus membuka mata...
Tapi kehadiran ayah ibu, meski kusadari palsu, tetap akan kubuka mataku." Wang Lin bergumam lirih.
“Siapa yang menetapkan, ketika menghadapi ingatan masa lalu, menghadapi kehadiran ilusif yang muncul bagaikan kegalauan hati, harus menutup mata, tidak mengindahkan, mempertahankan Hati Jalan yang teguh, tak terpengaruh oleh kegalauan hati.
Siapa yang menentukan, harus memiliki Hati Jalan yang kokoh baru bisa melewati Jembatan Ketiga ini...
Dan siapa yang mengukuhkan, bahwa ini satu-satunya metode untuk melintasi jembatan ini...” Sorot mata Wang Lin berkilat.
“Ikatan kekeluargaan, Cinta, persahabatan ribuan tahun, adalah harta termulia dalam hidupku Wang Lin. Mengapa harus kututup mataku? Aku akan membuka mata, menyaksikan segala sesuatu, membuka Hati Jalan untuk menampung semuanya!” Wang Lin menarik napas dalam-dalam, melanjutkan langkah maju.
Setelah sembilan langkah, ia kembali melihat siluet orangtuanya. Sembilan langkah berikutnya, ia melihat Mu Bingmei, Li Qianmei, dan Li Mawan. Sembilan langkah lagi, ia melihat Wang Ping, anak malang itu menggenggam tangannya dengan penuh kegigihan, serius berkata: Ia berkultivasi demi menemani ayahnya seumur hidup. Ia tak ingin dunia ini hanya menyisakan punggung sunyi sang ayah. Jika memang harus menyendiri, maka ia berharap di samping siluet ayahnya, ada kehadirannya sendiri.
Wang Lin melihat Situ Nan, Qing Shui, Dun Tian, Lao Zhu Que, dan banyak lagi yang pernah berjasa padanya. Ia menatap mereka satu per satu, tak memejamkan mata, terus melangkah.
Da Tou, Hong Die, Qing Shuang, Zhou Yi, Qing Lin... dan banyak lainnya. Wang Lin seakan mengenang seluruh hidupnya melalui kemunculan orang-orang ini.
Sepanjang perjalanannya, Wang Lin tidak mengendalikan gejolak emosinya. Ia menangis, tertawa, menderita, bersedih... Langkah demi langkah, tanpa sadar berapa lama telah berjalan, tanpa tahu kapan tiba di jembatan ketiga. Akhirnya, segala sesuatu di hadapannya lenyap berantakan. Ia berdiri di ujung jembatan ketiga, di sana ia menghela napas pelan, menoleh tajam ke belakang. Lama kemudian, berbalik dan melangkahkan seluruh tubuhnya turun dari jembatan ketiga.
Di kejauhan, terlihat lokasi jembatan keempat. Melihat lebih jauh ke sana, di balik jembatan kesembilan yang ilusif, samar-samar muncul kejelasan. Namun Wang Lin masih belum bisa menembus ilusi itu. Hanya bisa menangkap siluet dua sosok manusia dalam kekosongan tersebut.
Membawa jejak kenangan yang berputar-putar dalam benak, membekas tangisan, tawa, dan kesedihan yang baru saja dialami, Wang Lin berjalan ke depan. Beberapa hari kemudian, di hadapannya telah berdiri Jembatan Menginjak Langit keempat.
Jembatan ini, lebih megah dari sebelumnya, tampak bagai entitas raksasa yang berdiri di ruang aneh ini. Tekanan aura samar-samar menyelimuti sekeliling.
Wang Lin memandangi jembatan itu. Setelah diam sejenak, ia mengangkat langkah. Namun tepat saat kaki kanannya mendarat, kakinya langsung menembus jembatan itu, melangkah ke kekosongan.
Bersamaan dengan itu, Jembatan Langkah Keempat Menginjak Langit tiba-tiba bergetar di hadapannya. Berubah menjadi kilauan cahaya kristal yang menghilang sambil bergulung-gulung mengelilingi tubuh Wang Lin, membentuk pusaran dengan daya hisap dan mundur yang luar biasa. Siluet Wang Lin pun terserap, menghilang dari tempat ini.
Pada sekejap mata saat Wang Lin ditelan, di ruang bawah tanah istana peristirahatan Ji Du, Kabupaten Luo Hou, wilayah dua belas kabupaten Klan Shigu di tanah suku kuno Benua Xiangang, sosok Wang Lin yang sedang bersila bermeditasi tiba-tiba membuka mata dengan kasar.
Sorot matanya memancarkan kebingungan yang tak kunjung menghilang. Di tubuhnya, tubuh pembantai sejati telah sepenuhnya melebur, bagai satu entitas dengan badannya tanpa sedikitpun bayangan bertumpuk.
Di belakangnya, gumpalan cahaya inti maya mengambang perlahan. Di hadapannya, jiwa Sang Kaisar Dewa terbungkus dalam proses pemurnian oleh api jiwa. Di dalam ruang bawah tanah, suasana hening meliputi.
Hanya suara napas Wang Lin yang sedikit tersengal-sengal, berputar-putar pelan.
"Menginjak jalan langit, memusnahkan jalan kosong, jiwa abadi, semua makhluk bersujud... Sembilan jembatan penginjak langit, hanya tiga yang kulalui. Di jembatan keempat, langkahku terhenti..." Wang Lin menarik napas dalam-dalam, mengangkat pandangan ke atas. Kebingungan di matanya perlahan sirna, digantikan keteguhan.
