Kuil Leluhur, di seluruh Suku Kuno hanya ada tiga. Masing-masing terletak di dalam tiga kota kekaisaran suku, di bawah patung leluhur kuno tersebut.
Setiap anggota Suku Kuno yang dewasa akan pergi ke Kuil Leluhur saat mengalami tribulasi ketiga, namun tidak memasuki area dalam - hanya di area luar. Hanya anggota keluarga kerajaan yang boleh melewati tribulasi ini di kedalaman kuil.
Sepanjang sejarah, sangat sedikit yang memenuhi kualifikasi untuk bertapa di Kuil Leluhur. Bahkan Tian Zun pun sulit melakukannya, karena hak membuka kuil ini dikuasai oleh para Penguasa Sejati dari generasi ke generasi.
"Wang Lin berdiri di pusat Kota Kekaisaran Shigu, di bawah patung leluhur kuno raksasa itu. Memandangi patung yang seolah menopang langit di hadapannya, ia tetap membisu."
"Patung ini identik dengan patung di Kota Kekaisaran Daogu. Leluhur kuno itu berdiri dengan kedua tangan di belakang, menatap langit dan bumi, ekspresinya menunjukkan cemoohan halus dan sikap meremehkan. Saat Wang Lin belum melewati Tiga Jembatan Menginjak Langit, ia tak merasakan apa-apa ketika melihat patung ini di Kota Kekaisaran Daogu."
"Namun di momen ini, dalam sorot matanya, patung itu terlihat berbeda."
"Ekspresi cemoohan dan sikap meremehkan itu hanyalah di permukaan. Di kedalaman tatapannya, Wang Lin melihat kesedihan yang tersembunyi - duka yang seolah ditujukan untuk diri sendiri maupun semua makhluk."
"Siapa yang mengukir patung leluhur kuno ini?" Wang Lin berkata dengan suara lirih.
"Gu Dao Mahadewa..." Di samping Wang Lin, Song Tian berdiri memandangi patung yang sama, berkata perlahan.
"Setelah leluhur kuno menghilang, Gu Dao Mahadewa menemukan tiga gunung dari tempat yang tidak diketahui. Ia sendiri mengukir patung ini lalu menegakkannya di dalam kota kekaisaran tiga suku.
Berkat inilah, kami para keturunan suku kuno bisa terus mengingat wujud leluhur, tidak terlupakan oleh waktu."
Wang Lin mengangguk pelan. Ia paham, suatu ras harus memiliki simbol dan perwujudan rohani. Tanpa inti spiritual ini, ras takkan bisa berkembang lestari, dan perlahan akan punah dimakan zaman.
Jelas terlihat, patung leluhur kuno beserta legenda-legenda yang menyertainya menjadi simbol dan tumpuan harapan Tiga Cabang Suku Kuno. Keberadaan patung ini melambangkan eksistensi ras! Sebagai penjaga seluruh suku kuno, tindakan Gu Dao Mahadewa ini menunjukkan kecerdasan dasarnya.
Di bawah patung itu hanya ada Wang Lin dan Song Tian berdua, bagai diam-diam menantikan sesuatu.
Tak lama kemudian, dari arah istana kerajaan Kaisar Shigu di kota kekaisaran, terdengar suara bergumam samar disertai semburan cahaya gelap yang melesat ke langit, menyambar ke patung leluhur kuno ini dan mengitarinya, membentuk cincin-cincin cahaya kelam.
Di bawah patung itu, di antara kedua kaki sang leluhur kuno, terdapat pintu melengkung di atas batu karang raksasa. Pintu yang awalnya tertutup rapat ini perlahan terbuka dengan gemuruh keras dari dalam, seiring lingkaran cahaya kelam yang melingkupinya.
"Saudara Wang, Kuil Leluhur telah dibuka. Song tidak akan ikut masuk. Jaga dirimu baik-baik!" Song Tian menyatukan tinju menghormati Wang Lin.
Wang Lin menatap gerbang yang sedang terbuka itu dengan sorot mata serius. Keberhasilan memenuhi kualifikasi Li Mawan memasuki Dunia Dewa Tai Gu bergantung pada kemampuannya melewati Tribulasi Tiga Kerusakan suku kuno kali ini untuk memperoleh dua tetes Darah Jiwa tambahan.
Membalas penghormatan Song Tian dengan menyatukan tinju, Wang Lin menarik napas dalam-dalam lalu melangkah mantap menuju Kuil Leluhur.
Langkahnya tak cepat, namun setiap injakan terasa mantap. Perlahan ia mendekati pintu besar Kuil Leluhur yang telah terbuka sepenuhnya. Tanpa keraguan sedikitpun, ia melangkah masuk ke dalam.
Saat tubuhnya menyentuh ambang kuil, pintu raksasa itu mulai menutup secara bertahap. Hanya setengah batang dupa kemudian, gemuruh dahsyat menggema saat pintu tersebut tertutup rapat.
Cincin cahaya keabadian di patung leluhur kuno pun berangsur memudar. Kembali berubah menjadi semburat cahaya panjang yang melesat ke arah istana kerajaan, lenyap tanpa jejak.
Song Tian tetap berdiri di tempatnya. Setelah berlama-lama, ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berbalik pergi.
Sebag besar anggota Klan Shigu menyaksikan fenomena cincin cahaya di patung leluhur, namun hanya segelintir yang tahu tentang masuknya Wang Lin. Atas perintah Kaisar Shigu, seluruh kabar mengenai hal ini dikenai Larangan bicara. Perlahan-lahan, tak ada lagi yang menanyakan soal itu.
Seluruh wilayah Klan Shigu tetap berjalan seperti biasa. Hanya anggota yang paling jeli yang menyadari perubahan pada Pangeran Ji Du - yang biasanya selalu berada di luar, kini justru menetap lama di dalam istana kerajaan.
Dan sang pangeran utama, sepuluh tahun kemudian dianugerahi gelar raja, pergi dengan suram untuk menjaga perbatasan.
Lima tahun kemudian, Pangeran Chi Man yang semula paling berpotensi menjadi calon Kaisar, juga dianugerahi gelar raja dan meninggalkan kota kekaisaran Shigu. Dalam 15 tahun berikutnya, satu per satu pangeran lain menerima gelar kerajaan dan pergi. Dalam rentang 30 tahun ini, hanya Pangeran Ji Du yang tersisa sebagai satu-satunya pangeran di ibu kota!
Selama 30 tahun ini, Pangeran Ji Du menjalani kehidupan yang tenang di istana dengan minim kontak dunia luar. Identitasnya sebagai calon Kaisar telah pasti - tak perlu lagi melakukan manuver terselubung. Cukup dengan menjalankan perannya dengan baik, segalanya terjamin.
Tiga puluh tahun kemudian, ketika semua pangeran kecuali dirinya telah menerima gelar dan pergi, seluruh klan Shigu mulai merasakan siapa calon Kaisar masa depan.
Perlahan, Ji Du mulai menguasai kekuatan tersembunyi dan wewenang para Kaisar terdahulu yang diwariskan dalam klan Shigu. Bersama sang ayah (Kaisar), mereka melakukan transisi kekuasaan secara bertahap selama 70 tahun tersisa.
Ini adalah hal yang harus dilakukan oleh Tiga Cabang Suku Kuno setiap kali terjadi pergantian kaisar baru. Pada periode ini, Klan Shigu berada dalam kondisi paling hening.
Segalanya terus berjalan. Ji Du tetap mempertahankan kebiasaan baiknya. Hampir setiap pagi buta, hal pertama yang dilakukannya adalah memandang ke arah Kuil Leluhur dengan diam-diam.
Ia tak tahu kapan akan bertemu lagi dengan ayah angkatnya. Namun kebiasaan ini tetap permanen baginya. Banyak anggota keluarga yang kemudian mengikuti Ji Du merasa bingung dengan kebiasaan ini. Meski diam-diam menyelidiki, tak ada sedikitpun petunjuk yang didapat.
Perlahan, seiring perjalanan waktu, hal ini menjadi rahasia yang tersembunyi.
Selain kebiasaan itu, selama 30 tahun Ji Du tak melupakan perintah Wang Lin. Ia mengerahkan banyak ahli sejati dari klannya untuk menjaga diam-diam seorang perempuan bernama Song Zhi di Kota Batu Hitam.
Selama lebih dari seratus tahun, Song Zhi juga tidak lagi seperti rupanya di masa lalu, melainkan telah memiliki jejak waktu. Ia tetap tidak mengetahui bahwa di dalam Kota Batu Hitam ini, termasuk sang pemimpin kota dan banyak ahli sejati yang menyembunyikan diri, misi seumur hidup mereka, ada karena keberadaannya.
Waktu berlalu tanpa jejak, sekejap mata, dua puluh tahun telah berlalu. Pada hari ini, lima puluh tahun setelah Wang Lin menginjakkan kaki ke Kuil Leluhur, seluruh Klan Shigu mengadakan sebuah upacara agung.
Upacara ini bukanlah ritual penobatan Ji Du sebagai kaisar, melainkan upacara pernikahannya. Ia memilih seorang keturunan Song Tian, seorang perempuan bernama Song Yu sebagai istrinya.
Perempuan ini sangat disayangi Song Tian, termasuk dalam segelintir keturunan yang diperbolehkan mendengarkan ajaran-ajarannya secara langsung.
Upacara kali ini berlangsung selama berbulan-bulan. Banyak anggota dari dua klan lainnya dan keluarga kerajaan yang hadir, termasuk dari garis keturunan Daogu yang diwakili seorang pria paruh baya. Rupa pria ini, jika dilihat Wang Lin, akan dikenali karena kemiripannya dengan Yemo.
Ia adalah keturunan Yemo.
Setelah upacara agung ini berakhir, ketika semua tamu undangan telah mulai meninggalkan tempat itu, pada malam di mana rembulan tergantung tinggi dan bumi memancarkan cahaya keperakan, Ji Du membawa istrinya menuju Kuil Leluhur.
Cahaya bulan yang lembut menyinari patung leluhur kuno itu. Dalam keheningan sekeliling, Ji Du menggandeng tangan sang istri. Dengan wajah penuh kebingungan, perempuan itu mengikuti langkah suaminya mendekati Kuil Leluhur. Di sejauh sepuluh zhang dari pintu kuil, langkah Ji Du tiba-tiba terhenti.
Ia menatap Kuil Leluhur dengan bayangan keraguan di wajah. Lama, sangat lama, diam-diam ia bersujud di sana. Meski bingung, sang istri tidak bertanya. Dengan setia, ia ikut berlutut di tanah sejauh sepuluh zhang dari kuil itu.
"Song Yu, yang kami sembah bukanlah leluhur kuno." Ji Du berkata dengan suara lirih.
Perempuan itu tertegun.
"Yang kami sembah adalah ayah angkatku."
"Ayah angkat?" Sang istri menunjukkan ekspresi keterkejutan.
"Ayah angkat, Ji Du telah menikah dengan keturunan Yang Mulia Song sebagai istri. Dia akan menjadi Permaisuri bagi Klan Shigu. Hari ini kubawa dia ke sini untuk memberi hormat kepada Ayah angkat!" Sorot mata Ji Du memancarkan sikap hormat yang luar biasa, penghormatan yang lahir dari lubuk hatinya yang paling tulus.
Ia akan selalu ingat, segala yang dimilikinya sekarang adalah pemberian Wang Lin. Ia akan selalu ingat, tanpa Wang Lin, seumur hidupnya takkan pernah ada hari dimana dirinya bisa menjadi Kaisar.
Bahkan perempuan di sampingnya ini, mungkin bukan menjadi istrinya, melainkan menjadi hak Chi Man.
"Ayah angkat, tinggal 50 tahun lagi saat Ji Du dinobatkan sebagai Kaisar baru. Hamba berharap, di hari itu, bisa melihat kehadiran Ayah angkat..." Gumam Ji Du sambil memberikan penghormatan terakhir ke arah Kuil Leluhur.
Perempuan di sampingnya tiba-tiba teringat sesuatu. Sorot matanya yang memandang Kuil Leluhur itu bergetar hebat. Samar-samar ia ingat, Sang Leluhur Song Zun dari Keluarga Song pernah tak sengaja menyebut suatu peristiwa dan sebuah nama.
Saat menyebut nama itu, ekspresi Song Tian menunjukkan kompleksitas dan keterharuan, serta seberkas kekaguman.
"Wang... Wang Zun..." bisik perempuan itu pelan.
Ji Du tidak berbicara, hanya bersujud di sana hingga lama kemudian baru bangkit, membawa istrinya pergi diam-diam. Tapi tepat saat ia melangkah puluhan zhang ke belakang,
sebuah suara bergema perlahan dari dalam Kuil Leluhur.
"Di hari penobatanmu sebagai kaisar baru, ayah akan datang."
Tubuh Ji Du bergetar, ia berbalik kasar menatap kuil itu, senyum merekah di wajahnya.
Di kedalaman Kuil Leluhur, Wang Lin duduk bersila. Tubuhnya memancarkan aroma pembusukan, dengan bagian-bagian yang layu, membuatnya tampak seperti rangka kering berdarah.
Tapi kedua matanya masih bersinar terang.
"Tiga Kerusakan Tujuh Tribulasi Suku Kuno. Dulu di dunia kediaman, aku sudah berhasil melewati Dua Kerusakan Empat Tribulasi, bahkan merampungkan Tribulasi Pertama dari Kerusakan Ketiga Tiga Tribulasi."
“Tribulasi Tiga Kerusakan Suku Kuno, tribulasi pertama adalah Darah Langit Leluhur Kuno!
Tribulasi kedua adalah Tiga Arwah Terpisah Jalan Kuno!
Tribulasi ketiga, merupakan ujian pamungkas, Anugerah Leluhur Kuno!” Wang Lin bergumam, menatap prasasti batu di hadapannya yang terukir seluruh informasi tentang Tiga Kerusakan Tujuh Tribulasi Suku Kuno.
Lama kemudian, Wang Lin menutup matanya. Dalam pikirannya kembali bergema suara yang pernah didengarnya setelah melewati Tribulasi Pertama Kerusakan Ketiga dan mendapatkan setetes Darah Jiwa Harimau.
“Aku perintahkan langit ini runtuh, maka langit akan runtuh! Aku perintahkan bumi hancur, maka bumi harus hancur! Aku tetapkan semua makhluk punah, maka tak seorang pun berani selamat! Aku jadikan langit tanpa dewa, siapa lagi yang berani bertahan...”
