Tengah malam, obor redup di dalam kamp militer berkedip-kedip, ditambah patroli prajurit yang berkelompok-kelompok, membuat seluruh kompleks militer tampak bagai benteng tak tertembus sekaligus memancarkan kesan keteraturan.
Di luar kamp militer, suara hiruk-pikuk telah mereda, malahan tercipta keheningan total.
Sebagian besar tenda telah memadamkan lentera, hanya tersisa beberapa yang masih berpendar. Siluet-siluet samar terlihat di balik tirai cahaya, terutama di tenda komando pusat yang bersinar terang, dikelilingi puluhan prajurit penjaga.
Di dalam tenda komando, Jenderal Sunan berdiri di samping peta sambil mengerutkan kening, meneliti dengan saksama. Ruangan sepi kecuali desir nyala lilin yang sesekali terdengar.
"Pangeran Selatan... Hmph! Bisa-bisanya orang seperti ini pantas disebut Pangeran Selatan!" Geram sang jenderal sambil menatap peta, tawa dinginnya menggema. Entah mengapa, gelar "Pangeran Selatan" itu menimbulkan kesan mistis yang mengusik di benaknya.
Seolah seluruh jagat ini tak layak menyandang gelar Pangeran Selatan!
"Oh? Lalu siapa sebenarnya yang pantas disebut Raja Selatan?" Suara penuh canda tiba-tiba terdengar dari belakang sang jenderal tua.
Tubuhnya membeku sejenak, namun seketika kembali normal. Sang jenderal berbalik dan melihat seorang pemuda berjubah putih dengan rambut memutih berdiri tak jauh, tersenyum ramah.
"Sebelum aku sendiri menjadi Raja, gelar Raja Selatan tak pantas disandang siapapun." Sang jenderal menjawab tanpa sedikitpun kepanikan, malah duduk dengan tenang.
"Silakan duduk." Tangannya menunjuk kursi di depannya.
Wang Lin memandangnya dengan kagum. Tanpa ingatan leluhur yang terbuka, menghadapi orang asing yang tiba-tiba muncul di kemah komando dengan sikap setenang ini sungguh luar biasa.
Terlebih ketenangan ini bukan pura-pura, melainkan ketenangan yang sejati.
Wang Lin tersenyum tipis lalu duduk berseberangan dengannya.
"Ada arak?" tanyanya sambil tersenyum.
"Bagaimana mungkin kemah perang tanpa arak!" Sang jenderal tertawa keras. Di hadapan Wang Lin, ia berseru rendah ke arah pintu kemah.
“Datangkan arak!”
Dari luar tenda terdengar suara penuh hormat. Beberapa saat kemudian, beberapa prajurit memasuki tenda. Saat melihat Wang Lin, raut wajah mereka berubah terkejut, terutama para pengawal di luar yang ekspresinya berubah drastis.
Mereka tidak melihat ada yang masuk ke sini!
“Letakkan arak dan keluar!” ujar jenderal tua itu dengan raut tetap tenang sambil melambai-lambai tangannya.
Dalam diam, para pengawal meletakkan beberapa tempayan arak di samping jenderal tua dan Wang Lin, lalu satu per satu menarik diri.
“Jenderal Sinan benar-benar memiliki ketenangan batin yang luar biasa.” Wang Lin mengambil sebuah tempayan arak, menempelkannya ke mulut dan meminumnya dalam tegukan besar.
“Tuan bisa tiba di tempat ini tanpa suara. Sekalipun para prajurit ini turun tangan, mereka takkan mampu menghalangi niatmu. Tak ada gunanya mereka tetap di sini.” Sang jenderal tua itu mulai berbicara sambil mengambil tempayan arak, menepuk lumpur segelnya, lalu meneguknya dalam jumlah yang banyak.
Wang Lin tersenyum semakin lebar, ia benar-benar bahagia. Bahkan bisa dikatakan, sejak tiba di Benua Xiangang, jarang ia merasakan kebahagiaan sebesar ini. Berbeda dengan saat memperoleh sisa jiwa Li Mawan, berbeda pula saat berada di dekat Xuan Luo. Ini adalah pertemuan dengan teman lama yang sangat dekat, perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Perasaan ini membuatnya begitu rileks dan gembira.
Di luar tenda, siluet-siluet manusia berkedip-kedip dengan gesit. Derap langkah berdatangan bergelombang. Hanya dalam waktu beberapa kalimat ini, area di luar tenda telah dibungkus begitu padat oleh tak terhitung pasukan. Semua jenderal telah berkumpul di luar, bersikap seolah menghadapi musuh besar. Namun tak ada yang berani memasuki tenda, mereka hanya mengitari dengan pengawasan ketat.
Wajah mereka tegang penuh kecemasan, namun aura hawa maut tak berkurang sedikitpun. Malah terkumpul membara bagai samudera, membuat nyala obor-obor di perkemahan ini seakan tertindas oleh tekanan misterius, meredup tak kasat mata.
Waktu berlalu, sekejap mata fajar hampir tiba. Para prajurit di luar telah berjaga hampir semalam suntuk. Andai bukan karena suara tawa yang sesekali terdengar dari dalam tenda, mungkin mereka sudah tak sabar menerobos masuk.
Justru suara tawa itulah yang semakin menguatkan keraguan mereka.
"Menarik, Tuan Wang ternyata telah menjelajahi begitu banyak tempat. Kabarnya Gunung-Laut itu, sayangnya terlalu jauh bagi kami orang biasa." Si jenderal tua itu mendesah pelan, meletakkan gentong kosong lalu mengambil yang baru, meneguk lagi.
"Jika kau ingin, Bisa." Wang Lin menyeruput arak pedas sambil memandang teman lamanya, tersenyum.
"Oh? Tuan Wang pastinya seorang kultivator." Kilatan pemahaman muncul di mata sang jenderal.
Wang Lin mengangguk, tidak berbicara, terus menyesap araknya.
Waktu kembali berlalu, saat fajar menyingsing, ketika di ujung langit muncul garis putih, cahaya fajar pertama mulai terbit, kegelapan menghilang, Wang Lin dan jenderal tua itu telah meminum arak semalaman. Sepanjang malam, Wang Lin bercerita banyak. Ia menuturkan semua pengalamannya di Benua Xiangang, tentang Provinsi Tianniu, Provinsi Hijau Iblis, hingga adegan-adegan di Kota Leluhur. Bahkan segala hal tentang Suku Kuno pun diungkapkannya satu per satu.
Saat menceritakan bagaimana ia menemukan jiwa-jiwa yang terfragmentasi Li Mawan, air mata mengalir di pipinya. Ketika mengisahkan pembunuhan Penguasa Sejati Daogu dengan mengorbankan nyawanya untuk membalas kebaikan guru, ekspresinya menjadi suram.
Banyak hal ia ceritakan, hingga sampai pada bagian dimana ia meninggalkan Suku Kuno dan kembali ke tanah suku dewa.
Sang jenderal tua terpaku mendengarkan. Ia tak bisa membayangkan identitas sebenarnya seperti apa yang dimiliki orang ini. Jika semua yang diceritakannya benar, maka pastilah orang ini adalah figur yang Mengguncang di Benua Xiangang!
Namun orang seperti ini, mengapa di tengah malam ini, datang ke kemahku, minum bersamaku, dan menceritakan semua ini... Di benak sang jenderal tua, orang di depannya perlahan tampak familiar, seakan kedekatan ini selalu tersembunyi di kedalaman ingatannya, dan kini terpapar jelas.
Saat melihat air mata dan duka di wajahnya, entah mengapa ia turut merasakan hal yang sama, seolah kisah antara pria ini dengan Li Mawan pernah disaksikannya sendiri.
"Aku tidak bisa menemukan Li Qianmei... Situ, sudah sangat lama aku mencari, tapi akhirnya tetap tidak menemukannya..." Wang Lin bergumam, meneguk arak dengan ekspresi pahit. Beberapa cerita dan rahasia tak bisa dibagi dengan orang lain, tapi bisa dicurahkan pada Situ.
"Situ... siapa..." Ekspresi sang jenderal tua menjadi kompleks. Marga ini sudah berkali-kali disebut dalam percakapan.
Wang Lin meletakkan guci arak kosong, lalu mengambil yang baru. Semalaman ini, mereka sudah meminta pengawal mengantarkan beberapa kali kiriman arak.
“Aku punya seorang sahabat karib, namanya Situ...” Wang Lin bergumam, melirik sang jenderal tua.
“Bisa menjadi sahabatmu, kurasa orang bernama Situ ini pasti juga seorang kultivator.” Sang jenderal tua menatap Wang Lin dengan sorot mata bingung, berkata perlahan.
“Dia seorang kultivator, seorang... kultivator yang ingin menjadi pangeran. Tentang kisahnya, jika kau ingin mendengar, harus dimulai dari tempat bernama Planet Zhuque, sebuah negara kultivasi tingkat tiga bernama Zhao...” Wang Lin menunjukkan ekspresi mengenang, berbisik lembut.
Suara Wang Lin berputar di dalam tenda. Sang jenderal tua diam-diam menyimak, kebingungan di matanya semakin menjadi.
Waktu berlalu. Saat fajar tiba dan langit-bumi disinari cahaya, suara Wang Lin masih terus bergumam di dalam tenda.
“Li Qianmei, Situ Nan, Qingshui... Mereka semua bereinkarnasi di Benua Xiangang... Aku meninggalkan tanda pada tubuh mereka. Ini satu-satunya cara menemukan mereka.” Wang Lin meneguk araknya, tersenyum pada sang jenderal tua.
Jenderal tua itu diam, tubuhnya gemetar. Setelah lama, ia membuka mata dengan kasar.
"Aku Situ Nan?" Ia menatap Wang Lin dengan terpaku, suaranya ragu-ragu.
Wang Lin memandang sang jenderal tua, perlahan mengangguk.
"Kau adalah Situ Nan, aku Wang Lin..."
"Wang Lin..." Sang jenderal bergumam. Setelah lama tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, tawanya bercampur air mata. Awalnya ia tak mau percaya, namun keakraban yang terasa dari jiwa, familiaritas dengan orang di depannya, serta adegan-adegan dunia kediaman yang diceritakan, memaksanya untuk percaya.
Lagipula ia tak menyangka seorang dewa kultivator akan menipu orang biasa sepertinya!
"Berarti di Benua Xiangang ini, aku telah berulang kali mengalami siklus reinkarnasi. Di kehidupan kini, aku adalah Si Nan, panglima besar Kerajaan Wuxuan..." Dalam tawanya, air mata jenderal itu semakin deras. Ia mempercayai segalanya, justru karena percaya itulah penerimaan menjadi terasa mustahil.
"Lima ratus ribu prajurit di luar tenda ini, sebagian dari mereka telah mengikutiku sejak generasi kakek mereka, hingga ketika kakek mereka mati dalam pertempuran, ayah mereka melanjutkan menjadi pasukanku. Bahkan banyak yang tetap mengikutiku setelah ayah mereka gugur.
Kini kau katakan padaku bahwa aku adalah Situ Nan, seorang Situ Nan yang ingin menjadi Pangeran. Bukan Marsekal Si Nan dari Negara Wu Xuan ini! Lalu bagaimana nasib mereka?!" Suara sang jenderal tua itu membuat tirai tenda terbuka tiba-tiba. Para prajurit yang hendak menerobos masuk langsung diusir keluar oleh bentakannya.
"Siklus reinkarnasi... siklus reinkarnasi... berapa ikatan tercipta dalam satu siklus? Aku telah melalui ini berkali-kali..." Jenderal itu limbung di kursi, memandang Wang Lin dengan ekspresi kompleks sebelum akhirnya tersenyum getir.
"Aku bersalah... Ini pilihanku sendiri di masa lalu. Aku yang memilih untuk memulai reinkarnasi ke Benua Xiangang. Ini bukan salahmu."
Wang Lin tetap diam, terus meneguk arak seteguk demi seteguk.
"Bantu aku membuka ingatan kehidupan sebelumnya!" Jenderal tua itu terus minum arak, hingga meneguk tiga guci penuh. Matanya mulai dipenuhi urat-urat darah, tubuhnya mulai mabuk. Ia menatap Wang Lin dengan keteguhan.
Saat tengah malam tiba kembali, Wang Lin meninggalkan kamp militer barak komando. Ekspresinya kompleks, di udara ia menoleh tajam memandang tenda komando di bawah. Saat pandangannya tertuju, tirai tenda terangkat. Sang jenderal tua muncul, mengangkat kepala menatapnya.
"Wang Lin! Tunggu sampai gue menyelesaikan siklus reinkarnasi ini tanpa penyesalan, setelah menjadi Pangeran Selatan, gue akan mencarimu!" Teriak jenderal tua itu dengan suara penuh kebengisan dan kelapangan hati.
Senyum merekah di wajah Wang Lin. Semakin banyak gelak tawa terdengar, hingga akhirnya ia ikut tertawa terbahak-bahak.
"Situ, setelah cukup puas jadi Pangeranmu, kutunggu kedatanganmu. Kita akan mabuk bersama lagi!" Wang Lin berbalik tubuh, berubah menjadi cahaya panjang yang menghilang di antara langit dan bumi.
“Anak-anak muda, persiapkan pasukan! Pertama bawa kemari si burung Nan Wang di luar itu! Gue udah lama nggak suka sama dia, brengsek, berani-beraninya dia menyebut diri Nan Wang!!
Gue udah mikir jernih, gue mau jadi Nan Wang!” Suara sang jenderal tua terdengar lebih muda, tertawa liar dan berteriak penuh semangat.
