Pada suatu musim gugur yang tak tercatat tahunnya, daun-daun musim gugur yang tertiup angin berputar-putar di langit, bagai mencari rumah.
Langit musim gugur yang lapang tak berawan, membentang biru jernih. Di bumi yang diterangi fajar musim gugur ini, asap dapur mengepul membentuk pemandangan pedesaan yang mirip surga Tao Yuan.
Ini adalah Negara Zhao. Rakyatnya banyak yang seumur hidup tak pernah jauh dari pintu rumah, apalagi di desa pegunungan kecil di kaki pegunungan terpencil ini.
Angin pagi menggulung dedaunan musim gugur saat suara suling bergema dari ujung desa, diselingi tawa riang anak-anak nakal yang berlarian.
Sebuah kursi merah di tengah kerumunan penduduk desa berhenti di luar rumah Siheyuan, suara hiruk-pikuk bagai kuali mendidih. Jelas, keluarga ini sedang menyambut pengantin baru.
Keluarga ini konon berasal dari garis keturunan tukang kayu. Generasi sekarang adalah seorang sarjana yang dikabarkan lulus ujian di kabupaten, namun entah mengapa tidak melanjutkan ke ibu kota, malah kembali dan menetap di sini.
Kini setelah lebih dari dua puluh tahun, sang sarjana telah berusia paruh baya. Ia memiliki putra tunggal yang perlahan dewasa. Hari ini adalah hari bahagia sang anak bernama Wang Lin.
Wang Lin tumbuh besar di sini. Para penduduk sekitar cukup memahami anak malang ini. Seorang bisu yang selalu diam memandang ke kejauhan, entah mengamati apa.
Saat keriangan mencapai puncaknya, dari dalam kursi keluar perempuan bertudung merah yang menunduk. Tangan perempuan itu digenggam Wang Lin yang berdiri di samping, berdua melangkah menuju pekarangan.
Tentang perempuan ini, seluruh pemuda di desa menyimpan rasa kagum. Dia adalah putri kedua keluarga Liu, keluarga kaya di daerah ini. Sejak kecil, perempuan ini suka bersama Wang Lin. Mereka bisa dibilang tumbuh bersama. Sering terlihat dua anak kecil ini duduk berdampingan, sama-sama memandang ke kejauhan.
Setelah dewasa, pernikahan mereka berdua tidak mengejutkan siapa pun. Hanya saja banyak yang merasa iri.
Pesta pernikahan keluarga desa biasanya tak semewah di kabupaten. Sangat sederhana. Tuan rumah menyiapkan jamuan dan mengundang seluruh warga desa untuk memberi selamat. Ketika matahari terbenam di barat, semuanya pun berakhir.
Waktu yang tersisa adalah milik pasangan pengantin baru.
Di dalam kamar pengantin baru, wajah polos Wang Lin terlihat saat ia mengangkat cadar istrinya. Di hadapannya terpampang kecantikan yang mengguncang jiwa.
Perempuan itu bernama Liu Mei.
Pipinya kemerahan. Ia menatap Wang Lin sambil tersenyum.
Tatapan yang terpusat dari kedua insan itu, bagai menembus waktu, seakan dalam setiap siklus reinkarnasi pun mereka pernah saling mengawasi seperti ini, hingga selamanya.
Di hari kedua pernikahan mereka, Liu Mei duduk di pekarangan. Di hadapannya tersenyum Wang Lin yang tengah memegang ukiran kayu, mengabadikan momen tercantik sang istri melalui seni ukirannya.
Kehidupan sederhana yang dipenuhi kehangatan pun berlalu sekejap mata. Dua tahun kemudian, mereka dikaruniai seorang putra cerdas bernama Wang Ping.
Bocah lelaki yang fasih bicara ini tumbuh perlahan-lahan. Keluarga tiga sejoli itu terlihat begitu sempurna dalam kehidupan penuh kasih mereka.
Setiap harinya, alih-alih mengikuti jejak ayahnya menekuni ilmu sastra, Wang Lin memilih melanjutkan warisan leluhur: keahlian tukang kayu. Ia pun menetap selamanya di desa pegunungan kecil yang tenang ini.
Istrinya Liu Mei memiliki ikatan yang sangat dalam dengan anak mereka. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk menemani Wang Ping: memasak sarapan di pagi hari, bermain bersama siang hari, bercerita di malam hari, dan membujuknya tidur.
Hingga sepuluh tahun kemudian, di usia lima belas tahun, Wang Ping memilih untuk melanjutkan pendidikan. Ia meninggalkan desa pegunungan kecil itu, pergi ke luar, dan mengikuti Ujian Kabupaten.
Pada hari keberangkatannya, ia melihat ibunya duduk di pekarangan. Ayahnya sedang mengukir karya kedua untuk sang ibu - sebuah ukiran kayu yang tetap memancarkan keindahan.
Wang Ping berhasil meraih gelar akademik. Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke ibu kota. Wang Lin dan Liu Mei menemani sang putra, menetap di sana bersama.
Perjalanan waktu menggores uban di rambut Wang Lin dan Liu Mei. Di ibu kota, Wang Ping mulai menapaki jalannya sendiri dengan prestasi akademik yang diraihnya.
Pada saat ini, Wang Ping menikah. Istrinya memiliki nama yang sangat indah, Qing Yi, seorang gadis cantik yang berasal dari keluarga sejahtera di ibu kota.
Ia menunjukkan bakti yang luar biasa kepada Wang Lin dan Liu Mei, membuat mereka puas namun juga melankolis, karena sejak saat ini menandakan Wang Ping telah berkeluarga. Seperti burung yang telah dewasa akan terbang tinggi di cakrawala, mungkin dalam waktu yang sangat lama tidak akan kembali ke rumah.
Wang Lin dan Liu Mei memilih untuk pergi. Mereka meninggalkan ibu kota dan kembali ke desa pegunungan yang tenang untuk menghabiskan sisa hari tua mereka.
Setelah kembali ke rumah tua di desa tersebut, Wang Lin mengukir patung kayu ketiga untuk Liu Mei. Wajah pada patung kayu itu membawa jejak waktu, namun tetap terlihat sangat indah.
Kehidupan memang seperti ini, dipenuhi kesederhanaan tanpa banyak gelombang. Wang Lin sangat menikmati setiap harinya bersama Liu Mei. Meskipun seumur hidup tak pernah mengucapkan sepatah kata pun padanya, namun saat menyaksikan matahari terbit dan terbenam, senja yang menghempas, kehangatan tetap ada. Perlahan, rambut putih semakin banyak.
Waktu berlalu dalam kehangatan ini. Ketika daun musim gugur kembali menari-nari di tahun itu, Wang Lin dan Liu Mei telah sepenuhnya memasuki usia tua. Wang Ping, anak mereka, sesekali pulang selama bertahun-tahun ini, namun setiap kali tak pernah berlama-lama sebelum kembali pergi.
Dua orang tua itu duduk di pekarangan. Liu Mei tersenyum memandang Wang Lin di seberangnya. Di tangan Wang Lin tergenggam sebuah ukiran kayu - mungkin akan menjadi ukiran terakhir dalam hidup mereka - yang sedang dia buat untuk Liu Mei.
Ukiran kayu di tangan Wang Lin perlahan muncul bayangan samar, perlahan membentuk bentuk Liu Mei, namun bukan wajah uban-beruban sekarang, melainkan seperti hari kedua setelah pernikahan mereka dulu, sangat cantik.
"Aku tahu, meski seumur hidup tidak pernah bicara denganku, kau bukan bisu..." Liu Mei memandang Wang Lin, melihat ukiran yang perlahan terbentuk di tangannya, matanya memancarkan kelembutan.
Wang Lin mengangkat kepala melihat Liu Mei, wajahnya menunjukkan senyum, menggelengkan kepala, tetap tidak membuka mulut.
Pada hari ketiga setelah patung itu selesai diukir, Liu Mei jatuh sakit. Terbaring di tempat tidur, wajah rentanya masih terlihat kecantikan masa muda. Ia menggenggam tangan Wang Lin yang duduk di tepi tempat tidur, tak mau melepas.
"Aku tahu, kau bukan bisu..."
"Masih ingat pertemuan pertama kita waktu kecil? Saat itu kau sedang menatap langit, aku penasaran apa yang sebenarnya kau lihat, lalu mendekat dan ikut menatap.
"Tapi aku tidak melihat apa-apa. Saat akan pergi, kau tiba-tiba membuka mulut. Kalimat pertama yang kau ucapkan padaku... Kau ingat, aku juga ingat..." Liu Mei memandang Wang Lin, kelembutan di matanya mengalir seperti air.
"Kau bilang padaku, aku adalah istrimu... Kau adalah suamiku... Ini takdir pertemuan yang telah ditentukan." Liu Mei bergumam dengan senyum semakin lembut, matanya menatap Wang Lin seakan tenggelam dalam ingatan itu.
Wang Lin juga tersenyum. Tangannya tetap menutupi tangan Liu Mei tanpa melepas.
Keduanya saling memandang seperti ini. Liu Mei terus berbicara, mengungkapkan kata-kata seumur hidup: tentang masa remaja, setelah pernikahan, hingga kelahiran Wang Ping.
"Ping'er anak yang baik. Tapi dia sudah dewasa, memiliki jalannya sendiri... Kita tak bisa menyimpannya di samping kita selamanya... Setelah aku pergi, kau yang harus merawatnya sendirian." Liu Mei berbisik lirih.
Wang Lin menggelengkan kepala. Pandangan lembutnya tetap tertuju pada Liu Mei.
Liu Mei terus berbicara, hingga malam berlalu, hingga cahaya keemasan pagi buta menyinari, saat angin musim gugur menerbangkan daun-daun menguning kering di antara langit dan bumi, sorot matanya mulai dipenuhi kebingungan. Ia menggenggam tangan Wang Lin tiba-tiba dengan erat.
Wajahnya yang berkeriput kini memancarkan kemerahan sehat, bagai pantulan cahaya terakhir, seolah tubuh yang lemah ini disuntikkan nyawa baru.
"Aku melihat... Wang Lin, aku melihat..." Ia bangkit dengan susah payah, wajah menunjukkan kejutan dan sukacita, menunjuk ke langit di luar jendela sambil berbicara cepat pada Wang Lin.
"Aku melihat apa yang sebenarnya ada di langit yang dulu kita tonton bersama waktu kecil, benar-benar melihat! Di langit itu ada versi dirimu, ada versi diriku...
Melihat... kita adalah dewa... Aku... aku..." Liu Mei tiba-tiba mengeluarkan air mata, menyaksikan ilusi yang menyayat hati.
"Bagaimana... ini bisa terjadi..." Sorot matanya semakin basah oleh air mata.
“Segalanya telah berlalu……” Wang Lin menggenggam tangan Liu Mei, mengucapkan kalimat pertama setelah pernikahan mereka. Suaranya parau namun sarat kelembutan.
Malam itu, ketika Wang Ping bersama istrinya mengundurkan diri dari jabatan dan kembali ke kampung halaman untuk merawat orangtua, mereka menemukan kedua orangtua tersebut terbaring tenang dengan senyuman di kamar—seolah tertidur lelap untuk selamanya.
Ia terpaku berdiri di depan jasad orangtuanya, lama sekali. Air mata mengalir di pipinya... Bayang wajah orangtua dan kenangan masa kecilnya terukir jelas dalam benaknya.
Setelah memakamkan orangtua, Wang Ping dan Qing Yi menetap di rumah tua itu. Mereka tinggal di sana hingga waktu menggerogoti usia, hingga kelopak mata mereka tertutup untuk terakhir kali.
Di dalam gua persembunyian yang dijaga Tiga Belas, Wang Lin dan Liu Mei duduk bersila dengan mata tertutup. Di antara mereka, sebuah Batu Mutiara berputar memancarkan cahaya redup—bagaikan jembatan yang menyatukan kedua insan.
Pada hari itu, Wang Lin membuka matanya. Ia menatap perempuan di sampingnya, lama kemudian, sangat lama.
Bulu mata perempuan itu bergetar halus, jejak air mata mengalir. Ia pun membuka kedua matanya, memandang Wang Lin. Sorot mata mereka saling bertaut, persis seperti dalam Mimpi Jalan, seakan ingin abadi.
"Sudah berakhirkah..." gumam Mu Bingmei.
"Sudah. Tutup matamu, saat kau membukanya kembali, segalanya akan menjadi awal baru..." Wang Lin berkata lembut. Ia tahu perasaan perempuan di hadapannya ini sangat kompleks terhadapnya. Namun bagaimanapun rumitnya, pada akhirnya dia tak bisa melepaskan genggaman.
Mu Bingmei terpaku memandang Wang Lin. Meski tak memahami maksud ucapannya, dia patuh menutup mata, memutus aliran air mata yang nyaris tumpah sekejap itu.
"Bukalah..." bisik suara familiar bergema di telinganya.
Saat dia membuka mata, yang terlihat adalah...
