"Hai, tidak mengganggu kalian berdua kan..."
Suara Jiaming yang ambigu terdengar. Tiba-tiba sang penjahat melepas gadis itu, mengayunkan belatinya sambil berlari ke arah pintu keluar: "Minggir! Minggir!"
“Lingjing tentu paham mereka sedang dirampok. Sesaat ingin menyerang, namun pria itu mengayunkan belati tajam. Meski pernah belajar jurus merampas senjata, itu hanya teori. Hatinya panik tiba-tiba saat Jiaming menariknya mundur. Tangan kanan yang memegang senter terangkat menghindari ayunan belati, terlihat berbahaya. Tapi jika ada ahli seperti Chen Guxia, akan terlihat bahwa cahaya senter terus menyorot mata penjahat, menjaga jarak sempurna dengan belati. Begitu belati masuk radius berbahaya bagi Lingjing, serangan balasan mungkin terjadi.
Untungnya pria itu hanya berlari melewati mereka dan kabur dari gang, tampaknya masih pemula dalam perampokan.
“Jiaming kau tidak apa-apa?” Lingjing bereaksi cepat, memegang tangan kanan Jiaming dengan tegang. Jiaming tersenyum: “Aku baik-baik saja. Periksa dia dulu.”
Mereka mendekati ujung gang. Seorang gadis berjongkok meraba-raba di tanah. Lingjing berbisik: “Tuna netra?” Senter Jiaming menyorot kacamata bulat di tanah: “Rabun jauh.” Lingjing tersipu, menjulurkan lidahnya sebelum mengambil kacamata dan memasangkannya ke wajah gadis itu. Sekejap mata, Jiaming merasa wajahnya familiar.
“Tidak apa-apa?”
"Hmm, dia mau uang, tapi aku tidak bawa uang... Tidak apa, terima kasih." Gadis berkacamata itu mengangguk, saat memandangi Jiaming, matanya terbelalak: "Sepupu Jiaming?"
"Eh?" Lingjing bingung melihat keduanya, "Kalian kenal?"
Jiaming mengerutkan kening, lalu tersenyum: "Ketemu saat Tahun Baru tahun lalu, Xu... Yi Ting?"
"Nn, tak kira sepupu Jiaming masih ingat aku..." Gadis berkacamata itu mengangguk gembira.
Sebenarnya, mereka hanya pernah bertemu sekali. Keluarga Huang adalah keluarga besar, banyak kerabat yang berhubungan. Keluarga Yi Ting mirip dengan keluarga Lingjing, masih menjaga hubungan kekerabatan dengan keluarga Huang, tapi hanya berkunjung setahun sekali saat hari raya. Meski Jiaming tinggal di keluarga Huang, seiring bertambahnya usia, waktu yang dihabiskan di sana semakin sedikit. Pertemuan mereka saat Tahun Baru dua tahun lalu adalah satu-satunya kali. Saat itu Yi Ting menyapa Jiaming atas perintah ayahnya. Kemampuan Jiaming mengingat ini berasal dari ingatan super yang dibina saat menjadi pembunuh. Tak disangka gadis ini masih mengingatnya.
Setelah saling mengenal, percakapan jadi lebih lancar. Ceritanya sederhana: Yi Ting pulang dari rumah teman sekelas setelah sekolah, lalu mengalami perampokan di jalan, kebetulan ditemui Lingjing dan Jiaming. Setelah berbincang, baru tahu ternyata dia sekarang juga bersekolah di SMA Sacred Heart kelas 10, ditempatkan di kelas 2.
"Mendorong sepeda, bertiga berpamitan di persimpangan jalan. Setelah memastikan Xu Yiting sudah pergi jauh, Lingjing baru tersenyum dan menepuk bahu Jiaming: 'Cuma ketemu sekali tahun lalu, kamu masih ingat? Bajingan besar ini naksir dia ya?'"
"Mana ada... Kalau aku dan Shasha tidak memotongmu, aku yang aneh. Lagipula dia tidak cantik..."
"Saat melepas kacamata, dia cukup cantik."
"Tidak sempat melihat..."
Tepat sehari setelah itu sore hari, saat mengetuk pintu kantor Yahan, si cantik berpenampilan perawan tua ini sedang dengan dingin menanggapi seorang guru Baron: "Maaf, hari Nasional tidak bisa. Sudah ada janji, lain kali saja."
"Jangan bercanda, Yahan. Kamu sama sekali tidak menerima undangan apapun untuk hari Nasional. Sudah berkali-kali kujemput. Kapal pesiar mewah ini susah sekali dapat tiketnya tanpa bantuan keluarga. Kalau tidak jadi, benar-benar sayang." Guru Baron di dalam ruangan ini pernah Jiaming temui dulu saat berkunjung ke SMA Xinghui bersama Yahan. Namanya Xu Mo, kabarnya dia putra kedua kelompok pengapalan laut. Dulu Jiaming pernah bilang Yahan adalah calon istri yang dipelihara sejak kecil, ekspresi guru ini sangat menghibur. Tapi dari raut wajahnya sekarang, dia sudah lupa kejadian itu.
"Kalau begitu maafkan saya. Hari Nasional benar-benar sudah ada janji." Dengan wajah perawan tua yang dingin, Yahan menolak tanpa ampun: "Murid saya sudah datang. Guru Xu, bisakah kita bicara lain kali?"
“Ya, lain kali saja.” Xu Mo mengangguk, “Sampai Hari Nasional, aku siap menunggu perubahan pikiranmu kapan saja.”
Setelah dia keluar pintu, Jiaming menutup pintu kantor. Yahan melepas kacamata, bahunya lunglai, wajahnya menunjukkan ekspresi kesal. Jiaming menghela napas: “Aduh, tadi saat dia lewat, aku dengar suara hati tercabik.”
“Oh? Itu benar-benar menyedihkan... Eh, cepat ke sini, ada level di game ini yang nggak bisa lewat...” Laporan resmi di komputer tiba-tiba berubah menjadi layar game bertuliskan JEDA. Jiaming menyeringai: “Aku peduli kau MATI! Kali ini aku mau pakai pintu belakangmu, ada hal yang perlu dibantu.”
“Oh?” Mata Yahan berbinar seperti melihat cahaya di ujung terowongan, lalu tersenyum: “Hmph, kau akhirnya juga mau lewat belakang aku...” Tiba-tiba suasana jadi canggung. Pipi Yahan memerah seketika. Beberapa saat kemudian dia batuk kecil: “Ehem, katakan, apa masalahnya? Selama bisa kubantu, hehe... tetap nggak akan kubantu.”
“Kekanak-kanakan...” Jiaming melototi dia, lalu mengeluarkan selembar kertas dari kantong: “Beberapa hari lalu Shasha bilang mau bikin klub kan? Kemarin kami sudah ketemu orang kelima yang mau ikut. Hari ini sudah tanda tangan. Malas cari guru lain, jadi langsung serahkan ke sini. Uruslah.”
“Ooh, kalian mau buat klub apa?”
“Tidak ada target, jadi nama juga asal-asalan, cuma main-main sama Shasha saja.” Menyerahkan formulir pendaftaran, Yahan mengambil dan membacanya sambil lalu: "Hmm, Xu Yiting... Gadis ini sebenarnya juga ada hubungan dengan keluarga Huangmu, kok selain kamu semua cewek ya, nama... Hmm, batuk-batuk-batuk..."
Saat melihat nama itu, Zhang Yahan tiba-tiba tersedak sesuatu, memegangi meja sambil batuk tak karuan, gayanya sungguh dramatis. Lama kemudian baru mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca, tertawa terbahak: "Kau... kau mesum ini, sengaja kan..."
"Makanya dibilang asal kasih nama, bilang saja klub studi novel futuristik kan bisa..."
Jiaming mengangkat kedua tangan dengan polos. Di formulir tertulis nama mengejutkan: Tim Prediksi Krisis, Kekhawatiran dan Penyelamatan Prospek Pengembangan Sumber Daya Bumi dan Teknologi Ultra-Mutakhir Berkelanjutan Masa Depan.
Tujuan klub: Memprediksi krisis besar yang akan dihadapi bumi, melampaui garis depan zaman, memimpin arah perkembangan teknologi, menjaga perdamaian dunia...
## Bagian Keenam Puluh Tujuh Peretas
Nama seperti ini sebenarnya hanya ulah Jiaming. Saat menyerahkan formulir ke Yahan, dia sudah siap menerima protes dan revisi. Tapi siapa sangka, setelah tertawa terpingkal-pingkal, Yahan limbung di kursi lama sekali baru berkata: "Haha... Baiklah, aku tahu kalian tidak berniat memperbesar klub ini. Untuk beberapa orang saja, nama ini akan kubicarakan ke pihak kampus. Tapi baru bisa disahkan setelah liburan Nasional. Teknologi Ultra Canggih Masa Depan... Wkwkwk..."
Melihat si cantik yang biasanya elegan ini - tentu saja kecuali image perawan tua di kampus - tertawa seperti idiot sambil memegangi perut, Jiaming menghela napas. Dia mendekat, menarik Yahan dari kursi lalu mendudukkannya di lantai, sebelum akhirnya mengambil alih permainan yang tidak bisa diatasi Yahan.
Sambil melambai-lambai formulir, Yahan yang masih tertawa terpingkal-pingkal bersandar di sandaran kursi. Lantai yang bersih membuatnya tak sungkan menjaga image di depan Jiaming. Setelah tawa mereda, dia melipat kaki dan menatap layar komputer dengan malas seperti anak anjing baru bangun tidur.
"Oh? Di sini harus lewat seperti ini?"
"Caramu lewatin gimana?"
"Kirim lebih banyak orang untuk serbu..."
“……”
"Kenapa? Salah?"
"Aku tidak mau bicara dengan idiot..."
"Oh."
Suara Zhang Yahan terdengar lembut, seolah merasa sangat tersinggung. Matanya memandangi Jiaming yang sedang cekatan melakukan operasi. Beberapa saat kemudian, dia mulai bertanya lagi, namun sebagian besar diakhiri dengan "Yang IQ di bawah 80 tidak punya hak bicara." atau "Bodoh tutup mulut." Bagi orang luar, mungkin mengira ini adalah percakapan antara kakak-adik dengan selisih usia jauh namun memiliki ikatan erat. Setelah lama, Yahan tiba-tiba bertanya: "Kau... kalian ada acara apa untuk Hari Nasional? Libur tujuh hari lho kali ini."
"Nggak tahu, lihat rencana Lingjing sama Shasha. Kemungkinan besar pulang ke rumah. Di hari seperti ini, keluarga Huang harus makan malam bersama."
"Keluarga kami juga sama. Setelah makan malam Hari Nasional nanti?"
"Hah, itu belum tahu. Lingjing dan Shasha berencana kerja paruh waktu di supermarket, mungkin cuma ngepack belanjaan. Tapi aku nggak mau mereka capek-capek..."
"Ada uang di rumah tapi nggak dipakai. Buat apa tiga anak mati-matian cari uang? Mau tes kemampuan? Kamu juga, padahal bisa... Sudahlah, males ngomong. Dasar mesum."
"Bukan kemampuan, lebih ke pengalaman. Nggak terlalu capek kok, dan mereka senang melakukannya. Biarkan saja mereka melakukan yang diinginkan."
Yahan terdiam sejenak, awalnya ingin bertanya apakah kau pernah memikirkan kalau kalian bertiga suatu hari nanti akan berpisah? Tapi akhirnya tidak jadi mengatakannya. Dia mengeluarkan beberapa lembar karton tebal nan indah dari kantong, tersenyum: "Karena belum memutuskan, di sini aku punya beberapa tiket kapal. Ini untuk tur pesiar meriah tiga hari 'Star Dream' selama perayaan Nasional, naik tanggal 2. Ajak Lingjing dan Shasha ikut ya."
"Oh?" Jiaming mengambil satu tiket, lalu mengeluarkan dua tiket serupa dari kantongnya sendiri. Melihat perbandingannya, mata Yahan langsung membelalak: "Ka-ka-ka-ka-kau... Dari mana kau dapat ini?"
"Hehe..." Senyum polos merekah di wajah Jiaming. "Tadi ambil dari Guru Xu itu. Lagian dia kan gagal mengajakmu, dua tiket ini jadi mubazir. Dengar-dengar tiket ini susah banget dibeli, jadi rencananya mau kujual buat nambahin uang belanja. Ternyata emang sama persis ya..."
Beberapa garis hitam muncul di wajah Yahan. Jiaming tanpa sungkan mengambil dua tiket lagi: "Baiklah, nanti kuberitahu Lingjing dan mereka. Kalau mereka nggak mau ikut, tiket ini bisa dijual. Kami lagi nabung buat beli komputer kok. Tiket ini mahal kan?"
"Dua tiket Xu Mo harganya lebih dari tiga ribu per lembar. Tiketku ini kelas VIP yang dikirim ke rumah, harga pasar gelapnya sampai 10.000. Ini simbol status kalangan elite. Aku bisa dapat empat sekaligus karena statusku di Akademi Sacred Heart. Ka-ka-kau..." Yahan mengangkat mata putihnya, "Kau berani-bilang mau dijual? Sungguh tak tahu terima kasih..."
“Jadi baiklah.” Jiaming mengelus dahinya, seolah menghibur anjing kecil. Yahan dengan marah mengibaskan tangan memukulnya: “Jangan elus kepalaku! Kau ini orang tak tahu tata krama...”
Di tengah keributan mereka, Jiaming telah menyelesaikan game. Setelah masuk ke antarmuka operasi WINDOWS95, matanya tertuju pada sebuah ikon lalu mengeluarkan suara "Hah" kecil. Yahan berdiri sambil berkata bangga: "Ngomong-ngomong, bukannya kemarin kau bilang soal browsing? Aku sudah pasang kabel internet kemarin, hari ini baru dinyalakan sebentar. Aku belum paham cara pakainya, ajarin dong."
"Hehe, IQ-mu nol besar. Mengajarimu itu kayak tantangan berat..."
"Berani-beraninya kau ngomong begitu!"
Yahan berlari dengan marah merobek pipinya. Jiaming langsung menyambar dadanya dengan kedua tangan. Yahan yang sudah hapal trik ini langsung mengetok keningnya keras-keras. Keduanya bergulat di kursi. Saat Yahan sedang asyik, tiba-tiba jari Jiaming yang menekan mouse bergetar aneh. Secara tiba-tiba, tangan kiri Jiaming yang semula terikat erat meloloskan diri, menembus pertahanan kedua tangan Yahan, lalu mencekik lehernya.
"Hk..."
Saat itu, Yahan hanya merasa dirinya seperti bayi tanpa daya melawan di hadapannya. Namun seketika kemudian, Jiaming seakan menyadari ketidaksopanan dirinya, tangan kirinya perlahan menjauh, kembali ke keyboard, pandangannya menatap erat sebuah jendela yang terbuka di layar komputer, sambil berkata: "Maaf, agak kehilangan kendali. Komputermu bermasalah, ada yang sedang melakukan invasi, tekniknya sangat..."
"Sangat apa?" Namun dia tidak melanjutkan. Mendengar nada bicaranya yang lembut, Yahan baru sedikit tenang, merapikan rambutnya yang berantakan, lalu menyandar bersama Jiaming di kursi yang sempit: "Invasi? Apa... peretas?"
"Senang kau tahu tentang peretas."
"Aku kan lulusan luar negeri, bukan manusia gua!" Yahan kesal memukul punggungnya, lalu terkejut oleh gerakan tangan kiri Jiaming. Suara prak-prak di keyboard terus bergema, gerakan satu tangannya secepat ilusi. Di layar komputer, kotak-kotak hitam terus bermunculan dan tertutup silih berganti. Jiaming menatap layar dengan senyum tipis di bibir, suasana ini membuat Yahan ikut tegang: "Apa... sebenarnya apa yang terjadi? Bahaya sekali?"
"Kalau sudah kutangani, tidak ada yang bahaya. Tenang saja."
"Andai tahu ada peretas seperti ini, aku tidak akan konek internet. Banyak data kampus tersimpan di sini, termasuk soal ujian berikutnya. Ngomong-ngomong, peretas ini siapa? Mahasiswa ya?"
“Tenang, soal ujianmu tidak akan hilang. Untung sebelumnya aku sudah melakukan beberapa penyesuaian, jadi bisa bertahan sampai invasi terlihat olehku... Hmm, mereka pasti baru datang ke Kota Jianghai dalam 1-2 hari ini. Kalau tidak, kantormu yang tidak terlalu ketat pengamanannya tidak perlu diinvasi jarak jauh seperti ini. Coba tebak... Si bodoh mana ya... Kau tak bisa melihatku, kau tak bisa melihatku...”
Jiaming terus bergumam "Kau tak bisa melihatku", senyum di wajahnya tiba-tiba berubah penuh kegilaan. Setelah lama, jarinya meninggalkan keyboard. Ia membungkuk ke bawah meja dan langsung mencabut kabel LAN: "Aku akan membuatmu mati frustrasi..."
“Sebenarnya apa yang terjadi?”
“Masalah kecil. Besok aku akan kembali membantu memperbaiki komputermu. Sebelum itu jangan sambungkan kabel LAN. Beberapa hari ini, mungkin aku juga akan punya urusan yang harus diselesaikan...”
“Apakah ini hal berbahaya? Ada hubungannya dengan peretas yang menginvasi tadi? Dia... dia ingin apa? Di komputerkupun tidak ada data yang istimewa...” Yahan menatap Jiaming dengan wajah khawatir. Jiaming mengayun-ayunkan kabel LAN di tangannya sambil tersenyum menenangkan: “Tenang, tidak akan ada masalah. Jika perkiraanku benar, ini mungkin sekelompok orang Thailand yang hampir bangkrut. Aku yang akan menyelesaikan, kau akan aman.”
“Aku justru mengkhawatirkanmu! Jangan bersikap santai seperti itu di hadapanku!” teriak Yahan kesal. Jiaming tertegun sejenak, lalu membuat isyarat OK. Setelah tersenyum lagi dan hendak pergi, ia menoleh kembali: “Ngomong-ngomong, dalam perjalanan kapal pesiar mewah kali ini, apakah Chen Guxia akan ikut?”
“Guru Chen……Kabarnya dia memang mendapat undangan, ada apa?”
“Tak ada, sekadar bertanya……” Jiaming melambaikan tangan, tak memberi kesempatan Yahan bicara lagi, lalu berlari keluar pintu menghilang.
Di sisi lain, di sebuah kontrakan di Kota Jianghai, tepat saat Jiaming mencabut kabel LAN, seorang pemuda berjas bergaya Si Botak melempar mouse-nya sambil menggerutu: "Bangsat!" Di sofa tak jauh, seorang wanita seksi telanjang bulat yang sedang menggosok cat kuku kaki tersenyum genit: "Ada apa? Naka?"
“Tak ada, keberuntunganku buruk. Baru saja mau menyelesaikan invasi, mereka memutus jaringan...”
“Jangan-jangan ketahuan? Hehe.”
“Tak ada tanda ketahuan. Di sana diam saja, cuma main game. Putus jaringan mungkin kebetulan. Cih...”
“Sudah kubilang tak perlu serumit ini. Bos Tank memang tak berencana bertindak di kampus. Setelah kapal pesiar berlayar, sekaligus selesaikan lebih praktis. Kali ini kita harus beraksi besar, biar markas Jepang tak bisa meremehkan departemen Asia kita!”
“Tapi aku juga bilang, serangan frontal itu bodoh! Pembunuh bukan prajurit. Kita harus menyerang dalam situasi teraman!”
“Sudahlah, Naka!” Wanita telanjang itu mendekati pria itu dari belakang, merangkul lehernya lalu menempelkan bibir seksi: “Lupakan hal membosankan itu. Mari... lakukan sesuatu yang lebih berarti...”
Kemudian... mereka mulai melakukan hal yang lebih berarti...
