Setelah pintu tertutup, Jiaming mengintip ekspresi Xu Mo melalui lubang pengintip, lalu disingkirkan oleh Yahan. Setelah mengintip lama, akhirnya dia menghela nafas: "Sekarang reputasiku hancur semua karena ulahmu."
“Tolonglah, kau sendiri yang datang mencariku, setuju? Bukan aku yang menyelamatkanmu ke sini.” Jiaming melotot padanya, “Dan kau sama sekali tak perlu khawatir tentang itu.”
“Kenapa?”
“Karena yang tidak ada tidak bisa dihancurkan.”
“Yang tidak ada...” Yahan tertegun sejenak, lalu tersenyum sambil menendangnya. Jiaming buru-buru mundur terbang, membuat garis pemisah: “Jangan main-main, sudah larut begini, ada keperluan apa kau ke sini?”
Jangan bilang tidak bisa tidur/jangan bilang tidak bisa tidur/jangan bilang tidak bisa tidur... Mempersilakan Yahan duduk di kursi kamar, Jiaming menatap dua wajah garang yang mengintip dari balik pintu kamar mandi, menunjukkan ekspresi dramatis. Kemudian Yahan menghela napas pelan: “Aku tidak bisa tidur...”
“Eh, kau tidak bisa tidur... Aku bukan ahli insomnia, sudah kubilang jangan nonton film horor...”
“Sebenarnya... Aku terus memikirkan ucapanmu di geladak tadi, tapi bingung bagaimana menanyakannya.”
“Di geladak?”
“Saat mati lampu, kau bilang kapal akan tenggelam...”
“Ah, ehm...” Jiaming tertawa, “Itu cuma gurauan murni, kau benar-benar percaya?”
“Tapi mana ada kebetulan seperti itu, baru kau ucapkan lalu mati lampu. Kapal baru pun tak mungkin separah ini, apalagi kau...” Sebagai orang yang tahu latar belakang Jiaming, Yahan hampir melontarkan pertanyaan tentang skenario kegelapan, membuat Jiaming panik memotong sambil memandanginya dengan tatapan penuh ketulusan: “Tentu saja itu kebetulan, haha... kebetulan, yakinlah, percayalah padaku.”
Sandaran kursi menghadang pandangan Lingjing dan Shasha di kamar mandi, Jiaming dan Yahan saling memandang lama, akhirnya Yahan ragu-ragu berkata: "Nada suaramu... agak aneh..."
"Hah, mana ada yang aneh, lagipula itu cuma omonganku sembarangan, pokoknya... ha..." Dia menguap lebar, "Tenang saja, mana mungkin ada hal yang begitu kebetulan, kalau ucapanku benar-benar sakti, pasti sudah jadi peramal. Jangan terlalu banyak berpikir, pulanglah tidur... pasti gara-gara kebanyakan nonton film hantu, kan sudah kukatakan jangan nonton..."
"......" Yahan menatapnya sekian lama, tiba-tiba tertawa sambil melirik ke kiri-kanan, membuat Lingjing dan Shasha buru-buru menyembunyikan diri di kamar mandi, "Kau tidak jujur, ingin mengusirku, apa di sini ada sembunyikan gadis? Lingjing atau Shasha?"
Jiaming mengangkat mata: "Ada putri adipati bernama Natalie Annes, baru saja kurayu, sekarang lagi tidur di dalam. Lihat saja, jangan sampai membangunkannya. Kau tahu sendiri, anak adipati kan punya temperamen. Dia tak berani marah padaku, tapi belum tentu padamu."
"Cih, kau hanya berlebihan." Yahan melirik ke arah kamar tidur, memperhatikan wajah lelah Jiaming, "Sudahlah, kau bilang tidak ada masalah, aku pergi dulu. Istirahatlah yang cukup."
"Dari nada bicaramu, kalau ada masalah nanti jadi tanggung jawabku?"
“Kalau bukan kau yang bertanggung jawab, lalu siapa?!” Entah memikirkan apa, pipi Yahan memerah sebentar. Ia lalu mengintip melalui lubang pengintip, baru masuk sebentar masih harus memastikan apakah Xu Mo masih di luar. Sejenak kemudian, ia membuka pintu sambil berkata "Selamat malam", lalu kabur dengan gesit seperti pencuri.
Berhasil melewati krisis tanpa masalah, untungnya dia tidak membocorkan hal-hal tentang kemampuannya yang luar biasa. Jiaming tersenyum lega sambil menyambut dua gadis di belakang: "Gimana? Sekarang terbukti kan aku bersih?"
"Mana ada bersihnya." Lingjing tersenyum, berlari ke ranjang bersama Shasha. "Kami dengar semua! Kau menyembunyikan wanita bernama Natalie itu. Lagipula Kak Yahan mau membuatmu bertanggung jawab. Hmph, berani-beraninya bilang diri bersih!"
"Iya nih." Shasha menyembulkan setengah badan dari balik selimut hendak mengacungkan tinju, tapi Jiaming langsung menerjang. Keduanya menjerit ketakutan lalu berubah menjadi domba pengecut yang bersembunyi di balik selimut. Seprai bergejolak menjadi medan perang penuh warna musim semi dan kehangatan...
Dalam kegelapan dan keheningan pasca badai... Dua gadis yang masih meringkuk di balik selimut itu terlihat lelah tapi puas. Pipi mereka menggesek dada Jiaming seperti anak anjing. Shasha berbisik lirih: "Jiaming, jangan lupa gendong kami kembali biar besok pagi Kak Yahan tidak ketahuan. Dan... besok aku butuh obat mabuk laut..."
“Sambil menyandarkan kepala di lengan Jiaming yang satunya, Lingjing yang masih setengah sadar membuka matanya setelah mendengar perkataan Shasha: 'Obat mabuk laut? Shasha, kau mabuk laut?'”
“Hmm, iya… Kadang rasanya ingin muntah, aku…”
Di tengah kalimat, Lingjing tiba-tiba bangkit dari sisi lain. Jiaming juga menyadari keanehan itu sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Shasha yang awalnya masih bingung, melihat ekspresi Lingjing tiba-tiba melebarkan mata dan hilang rasa kantuknya. Ketiganya saling pandang, akhirnya Shasha sendiri yang ragu-ragu berkata: “Tidak mungkin… Jangan-jangan aku… hamil?”
Pagi berikutnya, Lingjing dan Shasha keluar dari kamar masing-masing dengan lingkaran hitam besar di mata. Hanya Jiaming yang terlihat normal. Semalam, mereka bertiga membungkus diri dengan selimut sambil membahas masalah kehamilan hampir sepanjang malam – ada atau tidak, jika ada, dilanjutkan atau tidak. Semua kekhawatiran ini mengusik hati kedua gadis itu. Meski masih sulit dipastikan sekarang, bayangan ketakutan yang selalu mereka antisipasi tiba-tiba terasa sangat nyata begitu muncul sedikit tanda.
Bagi Jiaming, perasaan memiliki darah daging sendiri dalam rahim seorang wanita adalah emosi asing yang sulit dipahami. Di kehidupan sebelumnya, pasti dia akan merendahkan hal ini. Bahkan demi menghilangkan pengaruh yang bisa mengganggu pikirannya, dia akan membunuh wanita itu dengan tangannya sendiri. Tapi sekarang berbeda. Terhadap Shasha, dia sudah memiliki perasaan yang dalam.
Meski pikiran rasionalnya mengatakan untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan sebelum ada konfirmasi, perasaan hangat yang tiba-tiba muncul itu sungguh menyenangkan. Dia ingin mempertahankan anak ini, namun... Dia memilih tidak memberikan pendapat langsung karena interaksi semacam itu terasa terlalu egosentris.
Menemukan rumah sakit untuk langsung menggugurkan anak, tentu merupakan cara terbaik dan termudah. Karena pada usia mereka, sangat jarang ada perempuan yang melahirkan, mungkin hanya di desa-desa terpencil hal seperti ini terjadi. Namun ketika Shasha mengusulkan untuk menggugurkan, Lingjing langsung menentang. Lingjing berkata: "Kita bertiga pergi dari sini saja."
Ini juga ide yang terlalu romantis. Jiaming bisa kapan saja membuang latar belakang keluarga Huang, tapi mana mungkin Lingjing meninggalkan orang tuanya. Biasanya Shasha jarang menghabiskan waktu dengan ayahnya, tapi kalau harus pergi sama sekali, itu mustahil. Malam itu, sampai akhirnya Shasha memeluk Jiaming sambil menangis, kemudian Lingjing juga ikut mengeluarkan air mata. Jiaming terus berusaha menenangkan mereka sambil bilang pasti tidak akan ada masalah, mungkin benar-benar mabuk laut, tapi pada akhirnya tidak ada hasil.
Setelah tangisan itu selesai, ketiganya meringkuk di dalam selimut membicarakan hal apa yang akan terjadi jika benar-benar memiliki anak, berfantasi tentang keluarga kecil yang akan terbentuk nanti, bagaimana bertiga harus melakukan pelacakan, nama apa yang harus diberikan pada anak, dan sebagainya. Perasaan hangat ketika bertiga saling menempel erat itu sangat mengharukan, namun di dalam hati semua tahu: jika kehamilan Shasha benar-benar nyata, maka ini pasti akan menjadi ujian terbesar yang harus dihadapi bertiga.
Sekitar lewat jam tiga lebih dini hari, kedua gadis itu akhirnya tertidur lelah. Jiaming memakaikan piyama mereka, menggendong kedua orang yang tertidur pulang ke kamar masing-masing. Hatinya juga kacau balau. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun ini, dia merasa agak tak berdaya. Bahkan jika untuk sementara ini hanya anggapan, dia mengerti, banyak hal dalam hidup yang tak bisa diatasi dengan kekuatan sekuat apapun. Jika ada anak, mungkin hanya bisa digugurkan...
Semoga hanya mabuk laut biasa... Setelah sarapan, dia segera pergi ke ruang kesehatan di kapal pesiar.
## Bagian Kedelapan Puluh Dua Konflik Kecil
Ada tiga ruang medis di kapal. Yang terdekat terletak di ujung kanan lantai dua. Waktu menunjukkan lewat pukul delapan pagi. Lautan biru tak bertepi mengelilingi lambung kapal, membentang hingga garis cakrawala tempat langit dan air bertemu. Langit cerah dengan bayangan awan jelas terlihat. Pemandangan musim gugur yang segar dan cemerlang ini justru menyilaukan. Tapi sekarang, mood Jiaming sulit menyatu dengan pemandangan ini. Bagaimanapun, pemandangan laut selalu membuatnya merasa tak berdaya, apalagi saat ini.
"Mood yang tidak sehat begini. Kalau ada alasan sah untuk membunuh dua orang, pasti langsung pulih..."
Setiap kali suasana hatinya tidak baik, berbagai pikiran kacau langsung membanjiri benaknya. Dengan tatapan yang tampak naif, dia menyapu pandangannya ke orang-orang yang berpapasan di dek bawah. Sayangnya tak ada pembunuh Pei Luo Jia yang sedang mencari masalah...
Ruang kesehatan di ujung lorong ini sangat luas. Di satu sisi terdapat tempat tidur pasien dan kursi yang dipisahkan oleh penyekat, di tengah adalah kantor dokter, sementara sisi lain terdapat konter penjualan obat. Seorang wanita paruh baya sekitar 40-an tahun duduk di dalamnya. Di konter terpajang berbagai merek kondom mahal yang berwarna-warni seperti permen karet di supermarket. Melihat Jiaming mendekat, wanita itu tersenyum. Jiaming membalas senyuman lalu sopan berkata, "Tante, saya mau obat mabuk laut dan satu kotak test pack kehamilan."
Mendengar kata "test pack kehamilan", ekspresi wanita paruh baya itu langsung berubah aneh. Matanya menyorotkan tatapan penuh pertimbangan ke arah Jiaming. Dengan cuek ia mengambil sekotak obat mabuk laut, lalu mulai mengobrak-abrik konter bagian dalam mencari test pack. Di saat bersamaan, dokter kapal berbaju putih mengantar dua orang keluar - pria itu tak lain adalah Xu Mo, sedangkan wanita yang bersamainya ternyata dokter sekolah yang dulu masuk kampus bersama Chen Guxia. Namanya sepertinya Li Yunxiu.
Musuh yang sulit dihindari. Sepertinya kita rival asmara di kehidupan sebelumnya... Jiaming menggeleng sambil menjepit pangkal hidungnya. Benar saja, begitu melihat Jiaming di dekat konter, langkah Xu Mo langsung melambat. Sementara itu, si tante paruh baya akhirnya menemukan barang yang dicari dan meletakkannya di konter: "Nah, test pack kehamilan yang kau mau. Total dua item enam puluh delapan keping."
“Ini benar-benar harga yang mengeruk manusia seperti babi, tapi Jiaming saat ini tentu tidak keberatan. Saat hendak mengeluarkan uang, aura penuh niat membunuh muncul di sampingnya. Xu Mo melesat tiga langkah sekaligus, satu tangan mencengkeram baju Jiaming, tangan lain mengambil kotak test pack kehamilan: "Kau... kau berani beli ini? Untuk apa!? Jelaskan!"
“Bukan urusanmu kan, Guru Xu? Kapal menjualnya, aku mau membeli...”
“Jelaskan!”
Seolah ketakutan oleh aura mereka, senyum tulus merekah di wajah Jiaming: "Eh, aku main kartu dengan beberapa teman di kamar. Yang kalah harus tempel di wajah. Masa iya mau menguji apakah aku sendiri yang hamil?"
“Kau bohong!” Mengacungkan test pack, ekspresi Xu Mo menjadi mengerikan: "Jujurlah! Apakah... apakah DIA hamil? Kau..." Mungkin karena menjaga reputasi Yahan, Xu Mo tidak menyebut nama. Melihat ekspresinya, Jiaming yang juga tak nyaman tersenyum tipis. Tangannya menyambar secepat kilat.
“Jika jari-jarimu tak ingin patah, lepaskan! Kau ini siapa baginya? Perlukah aku memberi penjelasan padamu?”
Tes kehamilan jatuh ke lantai, jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan Xu Mo digenggam oleh Jiaming. Tampaknya jika ditekuk keras pasti akan patah. Ini mungkin salah satu teknik legendaris Jiaming yang terkenal sejak menjadi tokoh terkenal. Beberapa orang di samping melihat dengan takjub. Meski Xu Mo tidak mengajar kelas Jiaming, statusnya tetap guru dan murid. Namun yang terlihat sekarang hanyalah dua rival asmara yang bersaing dan cemburu demi seorang wanita. Tanpa mengetahui detail lebih lanjut, Li Yunxiu tersenyum mendekat.
"Emm, kalian... Teman sekelas Gu Jiaming ya? Aku dengar dari Guru Yahan, katanya kalian adik kelasnya. Guru Xu ini juga teman baik Bu Guru Zhang. Meski tidak tahu apa yang terjadi, kita sedang di kapal. Setidaknya demi muka Bu Zhang, mungkin kalian berdua bisa saling mengalah..."
Dia tak tahu amarah Xu Mo justru datang karena Yahan. Wanita yang disukainya memiliki pria lain, itu pun seorang siswa SMA yang sama sekali tidak istimewa. Kini mereka bahkan punya anak. Kondisi mental Xu Mo dalam keadaan sangat berbahaya, matanya memerah, tubuhnya mulai gemetar. Akhirnya dengan gerakan tangan kiri, dia melepaskan Jiaming. Li Yunxiu yang sedang mendekat hampir kena pukulan, "Aah!" serunya sambil menghindar.
Xu Mo melepaskan bajunya, Jiaming pun melepas jari-jarinya. Dengan santai dia memungut tes kehamilan dan membayar. Xu Mo menoleh sambil menenangkan diri: "Guru Li, maaf, tadi aku terlalu emosional."
"He, tidak apa..." Awalnya juga ingin mengatakan hal-hal seperti "Kau kan seorang Guru", tapi pada akhirnya hubungan kami tidak cukup akrab. Perkataan seperti itu tak perlu diungkapkan. Menyaksikan pemuda bernama Gu Jiaming itu dengan santai membayar dan memeriksa test pack, Li Yunxiu justru merasa agak menarik. Dalam hati berpikir: Guru Xu mungkin salah paham. Bisa saja dia membeli ini untuk kakak atau ibunya, kenapa harus dibuat seolah pacarnya direbut? Begitu pikirnya, namun beberapa saat kemudian perilaku pemuda ini membuatnya tak tahu harus berkata apa.
"Emm, tetangga, merek kondom apa yang bagus di sini? Dulu aku pakai... eh, tentu saja belum pernah pakai, cuma dengar orang bilang... katanya merek itu lebih tipis tapi tingkat keamanannya... hehe, sepertinya kurang bagus. Kurasa harus ganti merek... Tetangga, ada yang enak dipakai sekaligus amankah? Eh, tentu bukan untukku sendiri, haha, haha..."
Senyum yang ingin menutupi sesuatu dan nada bicara yang monolog itu dalam sekejap menghancurkan citra baik Li Yunxiu. Bibir tetangga di konter itu juga berkedut tak natural. Seorang anak kecil berdiskusi dengan wanita paruh baya tentang kualitas kondom - situasi apa ini...
"Aku akan membunuhmu!"
Orang pertama yang tidak tahan untuk |menyerang memberantas kejahatan akhirnya adalah |Xu Mo dengan |ekspresi wajah yang |terdistorsi. Dia berputar tiba-tiba dan menghantamkan tinju ke arah |Jiaming. Li Yunxiu ingin menghentikannya namun sudah terlambat. Bagaimanapun, menggunakan kekuatan sebesar itu terhadap seorang |mahasiswa sungguh keterlaluan. Namun di detik berikutnya, Jiaming dengan mudah menghindar. Tinju itu hampir tak bisa dikendalikan dan berhenti tepat di depan |tetangga paruh baya itu. |menjerit keras, wanita itu mundur ketakutan hingga terjatuh. Sang |dokter segera memeriksa apakah dia |luka. Suasana pun menjadi |kacau sejenak.
Di seberang, Jiaming mengangkat bahu seolah berkata: "Lihat, lihat..." Kemudian dengan |ekspresi |dramatis, ia berjalan keluar meninggalkan Xu Mo yang |memandanginya dengan mata merah sembari gemetar.
Berdebat dengan |orang biasa memang membosankan. Setelah keluar, Jiaming mengangkat bahu dengan bosan, lalu menimbang-nimbang dua kotak di tangannya. Baru beberapa langkah menuju |gedung, tiba-tiba seorang pria berlari kecil dari bawah dan berpapasan dengannya. Seketika, |kaget menyambar, pandangan Jiaming yang mengikuti gerakan pria itu tiba-tiba menjadi jernih bagai kristal.
Di baliknya, tersirat nuansa dingin dan kegembiraan...
Baiklah, sekarang saatnya melampiaskan sedikit.
Hati ini... sungguh |kesal...
## Bagian 83 Pesta Dansa（）
"Saat lonceng peringatan berbunyi, Cui Guohua dan yang lain bergegas menuju ruang kontrol di atas lantai lima. Di terowongan megah, dua pria terbaring dalam genangan darah—satu penjaga kapal, satunya lagi berpakaian turis—keduanya sudah tak bernapas."
"Guorui, apa situasinya?"
"Tulip." Tan Guorui mengerutkan alisnya sambil menyodorkan secarik kertas bergambar tulip ke tangan Cui Guohua, "Penjaga itu mata-mata Pei Luo Jia di antara kita. Yang ini...setelah menghilangkan penyamaran, 80% bisa dikonfirmasi sebagai pembunuh tingkat A dari cabang Jepang Pei Luo Jia."
"Pisau yang gesit." Cui Guohua mengamati luka unik di leher turis itu, lalu menatap tumpukan plastik berbau menyengat di sudut, "Mereka datang untuk rekaman video semalam. Tuan Tulip jelas telah memicu kewaspadaan Pei Luo Jia. Ini peringatannya. Guorui, kamu sudah punya hipotesis tentang kejadian saat itu?"
“Hmm.” Tan Guorui mengusap pelipisnya, tersenyum tipis, “Seperti yang bos katakan, dua orang dari Pei Luo Jia ini datang untuk mengambil rekaman video. Setelah mencuri kaset rekaman, si orang dalam berjalan di depan. Saat berbelok di tikungan itu, sang pembunuh tingkat A dari Pei Luo Jia ini tiba-tiba diserang mendadak. Dia tidak sempat melawan, belati lawan langsung menghujam mematikan, darah menyembur lebih dari satu meter. Dari ekspresi terkejut yang jelas sebelum MATI, tampaknya ketika Tuan Tulip mendadak muncul dan mengarahkan belatinya ke lehernya, ada jeda sejenak—mungkin untuk membuat lawan merasakan ketakutan.”
Tan Guorui menarik napas dalam, matanya memancarkan decak kagum: “Menghadapi pembunuh tingkat A Pei Luo Jia, bisa mendekati secara tanpa suara meski lawan dalam kondisi Siaga, bahkan sempat berhenti di jarak belati—ini menunjukkan Kelincahan, mentalitas, serta penguasaan kemampuan diri dan lawan sudah mencapai tingkat presisi tertinggi. Hal seperti ini adalah pamer kemampuan sekaligus peringatan intimidasi. Hanya beberapa pembunuh atau prajurit peringkat teratas dunia saat ini yang punya kemampuan seperti itu. Kemudian, sang pembunuh roboh, penjaga di depan yang mendengar keributan segera kembali dan menghunus senjata...”
Tan Guo Rui bergegas menuju belokan terowongan itu, nadanya mulai terdengar bersemangat seolah menyaksikan sebuah keajaiban: "Mr. Tulip ini tanpa ragu sedikit pun, langsung berlari kencang, mengayunkan pisau, pergelangan tangan penjaga langsung terbelah, bahkan tidak sempat menarik pelatuk pistol hingga senjatanya jatuh. Mungkin dia sempat melihat wajah pria ini, atau mungkin tidak, karena semuanya terjadi terlalu cepat, sungguh luar biasa cepat..."
Di terowongan setelah belokan, dinding dan lantai di kedua sisi penuh dengan belang-belang darah kering: "Serangan pria ini terlalu cepat. Pengkhianat itu mundur tiga langkah sambil berusaha menangkis, dia mungkin masih tidak percaya dan takut berteriak minta tolong. Dalam sekejap, tubuhnya terkena 19 tusukan. Pada tusukan ke-20, tenggorokannya tersayat... Lalu mereka membakar rekaman video itu dan pergi meninggalkan tempat. Petunjuk yang bisa kita cari mungkin adalah baju Mr. Tulip yang juga terkena percikan darah, tapi..."
"Tapi sebagai seorang pembunuh bayaran level ini, kecil kemungkinan kita bisa menemukan jejak." Cui Guohua tersenyum, "Saat ini aku hanya bersyukur orang sehebat ini berada di pihak kita. Kalau tidak, mungkin tenggorokanku sudah terbelah tiba-tiba. Mari kita blokir informasi ini dulu, meski kurung pihak Pei Luo Jia juga sudah tahu. Para pimpinan di atas masih belum siap untuk berperang terbuka dengan Pei Luo Jia. Jika kejadian ini bisa memberi efek intimidasi agar mereka berperilaku lebih sopan di kapal, dan kita semua bisa melewati ini dengan selamat, maka situasi ini akan menguntungkan semua pihak."
“Sialan Cui Guohua... Kelihatannya jujur, ternyata sangat licik...”
Keduanya bertarung dengan asyik, namun setelah kembali, suasana hati Jiaming justru agak kesal. Setelah dipikir-pikir, dalam peristiwa yang baru terjadi, kekuatan [] terlihat terlalu lemah, bahkan sama sekali tak berguna. Mereka jelas-jelas ingin agar Pei Luo Jia atau pihak lain menyerahkan rekaman video, lalu setelah berusaha menemukan dirinya, memaksa "Tuan Tulip" ini untuk berseberangan dengan Pei Luo Jia, sehingga akhirnya terpaksa menjadikan mereka sebagai sekutu. Tentu saja, secara teori ini termasuk strategi militer yang sah. Lagipula dirinya menikmati proses membunuh, sementara mereka mendapat keuntungan. Ini lebih ke hubungan saling memanfaatkan.
Setelah memberikan test kehamilan kepada Shasha, sesuai petunjuk, urine pagi pertama harus digunakan untuk pengujian karena konsentrasi hormonnya lebih tinggi. Tapi agar lebih tenang, setelah berdiskusi, bertiga memutuskan untuk mencoba tes dengan urine biasa meski konsentrasi hormon mungkin lebih rendah. Hasil tes pertama negatif, membuat mereka sedikit lega. Sepanjang hari, suasana hati kedua gadis tetap kurang baik. Meski berusaha terlihat ceria, mereka tak bisa mengelabui mata Yahan. Akhirnya keempatnya tidak keluar rumah, malah mengurung diri di kamar Yahan menonton film horor. Tirai ditutup rapat membuat ruangan gelap gulita. Tiga wanita itu berteriak sambil membungkus diri dengan selimut, sementara Jiaming tertidur di sebelah mereka.
Kemudian berkumpul bermain kartu, Jiaming mengusulkan untuk membeli test pack kehamilan, yang kalah harus menempel kertas di wajah lalu jalan keluar berkeliling, akhirnya tak terhindar dipukuli sambil ditertawakan oleh tiga gadis. Sepanjang sore, Sasha yang sudah minum obat mabuk laut tidak merasa ingin muntah, menjelang petang hatinya mulai tenang, lalu Lingjing memutuskan untuk bersemangat dan mengusulkan ketiganya memakai jas resmi ke pesta malam ini, Yahan pun tentu setuju.
"Tapi... aku masih belum terbiasa pakai jas resmi itu." Satu-satunya yang menentang adalah Sasha. Namun protes lemah ini dengan mudah dibatalkan oleh Lingjing dan Yahan.
Senja hari, mentari terbenam menyiramkan kilau emas di permukaan laut. Saat Jiaming membuka pintu keluar, Yahan yang sudah berganti baju sedang bersandar di pagar sementara menatap laut. Gaun malam putih yang bisa mendekat dengan dua tali silang, menampilkan siluet tubuh sempurna nan anggun tanpa terkesan terlalu terbuka. Dua tali lebar menyilang membentuk huruf X besar di belakang, memperlihatkan sedikit otot punggung putih berkilau. Rambutnya disanggul santai di belakang, saat itu Yahan terlihat begitu cantik dan elegan hingga menyilaukan. Berputar perlahan di depan Jiaming, dia tersenyum lembut lalu mengulurkan tangan kanannya yang terbungkus sarung tangan renda putih dengan anggun: "Bagaimana menurutmu?"
“Jangan main-main.” Dengan sikap tak romantis, Jiaming menepis tangan Yahan sambil memandangnya sekilas, “Memberikan gestur ini padaku, apa kau ingin aku jadi pasangan dansamu? Aku tak ingin dibunuh tatapan orang. Lagipula, kubaca di majalah kalau gaun belakang berlambang silang itu untuk dilihat kekasih, artinya 'ikat aku', jangan-jangan kau penggemar SM? Hmm, baiklah... Aku berhenti bicara...” Melihat mata Yahan berkobar seperti hendak meledak, Jiaming tertawa sambil mengangkat kedua tangannya, “Lingjing dan Sasha belum selesai berdandan?”
Baru saja kalimat itu terucap, pintu kamar Sasha terbuka. Yang pertama muncul adalah bayangan anggun Lingjing yang sedang menarik Sasha keluar kamar: “Malu-malu apa sih, kan cantik sekali. Ayo keluar, cepatlah...”
“Tunggu, tunggu... Aku... Aku belum siap... Jas resmi ini tidak nyaman dipakai... Nanti ditertawakan orang... Ah, jangan dong...”
Protes lemah itu akhirnya tak berarti. Di bawah tarikan Lingjing, Sasha yang mengenakan gaun hitam akhirnya terhuyung keluar kamar. Beberapa langkah terhuyung-huyung sebelum bisa berdiri tegak, suara sepatu haknya menggema di koridor. Melihat Jiaming dan Yahan memandang dengan mata bulat, barulah dia menunduk malu-malu: “Hmm, kalian... Jangan berani-berani mengejek ya...”
Dalam lebih dari sepuluh tahun kehidupannya, mungkin ini pertama kalinya penampilannya muncul di pandangan orang lain dengan cara seperti ini. Gaun panjang membalut tubuhnya yang tinggi ramping, rambut hitam panjang terurai lurus ke bawah, wajah putih bersih dengan riasan tipis menunjukkan semburat kemerahan malu-malu. Dari kejauhan, ia bagaikan narcissus ungu-hitam yang murni dan tenang, mekar dengan anggun...
## Bagian Kedelapan Puluh Empat Pesta Dansa ()
Aula megah nan mewah, kubah langit-langit tinggi menjulang, rangka baja mengerucut dari segala penjuru menuju pusat. Melalui jendela kaca berukir di atap, terlihat kegelapan malam yang menyelimuti langit. Lampu-lampu kristal besar kecil memancarkan aura kemewahan, diiringi alunan musik lembut bagai riak air. Para pelayan lalu-lalang di antara kerumunan orang-orang berbaju mewah yang sedang asyik berdiskusi. Saat memasuki lokasi acara, Jiaming dan kedua temannya secara refleks mencari sudut sepi untuk duduk dan menyantap hidangan, sementara Yahan pergi menyapa keluarganya yang terlihat di kejauhan.
Setelah Yahan pergi, bertiga mereka berbincang sambil mencari orang yang mereka kenal. Di kejauhan terlihat saudara kandung Dongfang Lu dan Dongfang Wan, anggota keluarga Huang yang tersebar di kerumunan seperti Huang Haobing dan Huang Haoyun. Tampaknya mereka belum menyadari kehadiran Jiaming di sini. Selain itu, beberapa anak orang kaya yang pernah terlihat di kampus, Xu Mo yang memandangi bayangan Yahan yang menjauh, serta "Permaisuri" Natalie Annis yang sedang mengobrol dengan pengusaha ternama Kota Jianghai di sudut lain. Tentu saja, Jiaming tidak akan memberitahu Lingjing dan Shasha tentang ini.
Meski sengaja bersembunyi di sudut, dua gadis ini tetap menarik perhatian banyak orang. Keceriaan dan kenaifan mereka disertai kematangan hasil pencucian kehidupan tinggal bersama. Meski terlihat seperti "masakan sederhana" seperti yang pernah diungkapkan Lingjing, mereka memiliki aura berbeda dibandingkan gadis sebaya yang hanya tahu bersenang-senang. Shasha yang duduk dengan sedikit canggung justru memancarkan ketenangan dan rasa malu yang memikat. Beberapa orang yang melihat mereka tak kuasa menahan pandangan, namun yang pertama mendekati justru seorang kenalan.
"Hah? Lingjing, Kau juga naik kapal. Wah, hari ini kau sangat cantik! Apakah kedua ini temanmu..."
"Ah, Guru Chen! Anda juga datang?" Lingjing berdiri dengan penuh kejutan. "Jiaming, Shasha, dia adalah Guru Chen yang sering kuceritakan. Guru Chen, mereka adalah sahabat terbaikku, Gu Jiaming dan Liu Huaisha."
Di restoran fantasi Nordik, guru piano bernama Chen Ke'an yang beberapa kali disebutkan Lingjing di depan Jiaming dan Shasha. Katanya dia jago main piano, sangat perhatian pada Lingjing yang masih pendatang baru, dan punya kemampuan bagus. Setelah bertiga saling menyapa, tak lama kemudian Zhang Jingfeng yang membawa gelas anggur mendekat: "Hah, Ke'an, kamu kenapa... Eh? Lingjing!" Matanya berbinar memandang Lingjing yang duduk di samping, lalu tersenyum: "Pantasan kamu nolak tunjangan yang kuberi, ternyata sudah ada agenda sendiri. Haha, aku yang terlalu ikut campur..."
Setelah saling memperkenalkan, Zhang Jingfeng ikut duduk di sofa. Belum sempat mengobrol lama, Yahan datang bersama wanita berusia 30-an yang terawat baik. Jiaming langsung mengenalinya - ini tante Yahan yang pernah dipukulnya sampai pingsan. Melihat kehadiran dua pria asing, ekspresi Yahan sempat kaget. Tapi setelah Zhang Jingfeng dan Chen Ke'an memperkenalkan diri, wanita yang mirip kakak Yahan itu langsung bersikap ramah.
"Oh, jadi Anda Putra kedua Duke Grup Ouling? Dengar-dengar baru pulang dari studi luar negeri, langsung mengelola restoran dari bawah dan sukses. Aku pernah bertemu ayahmu, apakah kesehatannya baik? Kebetulan Yahan juga lulusan luar negeri, pantasan kalian bisa berteman..."
“Ayahku masih sehat, terima kasih atas perhatian Pangeran Wan. Restoran hanyalah urusan kecil, kalau dibilang bagus, masih jauh dari kata itu……”
Tante itu tersenyum cerah, sepertinya dalam hatinya sudah menganggap Zhang Jingfeng sebagai salah satu kandidat suami Yahan. Kemudian mereka berdua mulai berbincang di sana. Yahan duduk di samping, pandangannya yang sedikit kejang sesekali mengarah ke Jiaming bertiga. Ia lalu mengobrol santai dengan Chen Ke'an di sebelahnya. Tak lama kemudian, lampu perlahan meredup. Kapten Kapal Bintang Mimpi berpidato di atas panggung mengucapkan "Selamat datang" dan berharap semua orang menikmati acara. Bibi Yahan meminta maaf lalu beranjak menuju tempat ayah Yahan. Beberapa saat kemudian, musik mulai mengalun. Ini adalah tarian pertama yang biasanya dipersembahkan untuk orang terpenting. Lingjing mendorong Shasha ke arah Jiaming, berbisik: "Biarkan Jiaming menemanimu menari di tarian pertama."
"Tapi... aku tidak bisa menari... lebih baik Lingjing saja..." Karena ada dua orang luar, Shasha tidak berani bersuara keras. Jiaming melirik Lingjing yang tersenyum jernih, lalu tersenyum: "Aku akan mengajarimu." Ia menggandeng tangan Shasha dan pergi. Chen Ke'an melirik Zhang Jingfeng, lalu tersenyum mengulurkan tangan ke Yahan: "Nona Zhang, apakah saya beruntung bisa mengajakmu menari tarian pertama?"
"Tentu saja." Menyembunyikan sorot mata yang sedih tak tertangkap siapapun, Yahan tersenyum dan berdiri. Kini di kursi itu hanya tersisa Lingjing dan Zhang Jingfeng.
Situasi mulai menjadi jelas, di hati Zhang Jingfeng muncul sedikit gejolak dalam hati. Namun, tatapannya beralih ke Ling Jing yang duduk di samping, tiba-tiba muncul perasaan aneh. Meski Ling Jing tersenyum lembut di tempat duduknya, pandangannya sama sekali tidak tertuju padanya, melainkan pada dua teman yang berputar kikuk di tepi lapangan dansa... Tatapan itu membuatnya diliputi keraguan.
Zhang Jingfeng sendiri memang luar biasa, ditambah latar belakang keluarganya yang kaya. Dalam hal wanita, dia hampir tak pernah menemui hambatan. Namun perasaan gamang yang muncul saat menghadapi gadis polos tak berpengalaman seperti Ling Jing justru membuatnya heran. Menarik napas dalam, dia berusaha terdengar santai: "Kalau begitu… Ling Jing, ayo kita juga menari."
Sejenak, reaksi Ling Jing terasa lambat. Perlahan dia memalingkan pandangan, seakan mengamati wajah pria di hadapannya dengan saksama. Kemudian, bibirnya mengembang dengan senyum penuh kecerahan yang paling cocok untuknya: "Maaf, aku tidak bisa menari."
"Eh…" Zhang Jingfeng mengangguk sambil tersenyum, "Tidak masalah, aku akan mengajarmu."
Ling Jing menggelengkan kepala, senyumnya jernih: "Jangan, nanti takutnya aku menginjak kakimu."
Secara objektif, ini sudah termasuk penolakan yang jelas. Ekspresi Zhang Jingfeng membeku sejenak, lalu dia melanjutkan senyuman: "Tidak apa-apa. Diinjak oleh Nyonya adalah kehormatan sebagai seorang kesatria. Ayo lah."
Tangannya telah terulur di udara cukup lama, melihat Lingjing masih menggelengkan kepala dengan permintaan maaf, akhirnya hanya bisa menghela napas dan duduk kembali di sofa. Ia memandang Lingjing, lalu memandang sepasang remaja yang bergoyang pelahan di tepi lantai dansa, di dalam hati menyusun hipotesis tentang hubungan rumit di antara mereka. Sementara Lingjing hanya menatap Jiaming dan Shasha yang berpelukan, sesekali ketika Shasha menginjak punggung kaki Jiaming, Lingjing tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan tangan, memegang segelas anggur merah yang ia minum seteguk demi seteguk.
Untuk pertama kalinya, muncul perasaan cemburu dalam hatinya...
Di sisi lain, dalam alunan musik yang mendayu, Jiaming dan Shasha perlahan bergerak mengikuti irama. Estetika tentu jauh dari kata ada. Shasha tidak mahir menari, bahkan dengan refleks super Jiaming yang bisa menghindari peluru secara naluriah pun tak sanggup lolos dari serangan menginjak punggung kaki sang gadis. Namun setelah tersandung-sandung beberapa saat, situasi mulai membaik dibanding sebelumnya. Shasha menempelkan dahinya ke bahu Jiaming, hati-hati menggeser langkah, lalu berbisik pelan: "Jiaming, aku tidak suka perasaan seperti ini..."
"Karena aku menari dengan buruk?"
“Bukan, kamu tahu maksudku bukan ini……” Karakter Sha Sha yang sejak awal memang blak-blakan, akhirnya meluapkan isi hatinya setelah bersabar sampai sekarang, “Aku tidak suka… tidak suka keadaan kita bertiga sekarang. Jelas-jelas tidak bahagia, aku tidak bahagia, Ling Jing juga tidak bahagia, Jiaming kamu pasti juga tidak bahagia kan? Tapi kok dipaksa pura-pura bahagia… Aku ingin kita bertiga kembali seperti dulu, bertiga bersama tanpa beban. Aku tidak ingin jadi rumit, tidak ingin seperti sekarang ini…”
“Manusia pasti akan menjadi rumit.” Jiaming tertegun sejenak, “Tenang saja, kemungkinan besar kamu tidak hamil? Ini mungkin hanya mabuk laut biasa.”
“Tapi… meski sekarang belum, akhirnya akan ada hari di mana aku hamil… Kalau aku mengandung bayi, Ling Jing mungkin akan meninggalkan kita. Kalau yang hamil adalah Ling Jing, aku juga akan merasa… merasa…” Suaranya tersekat pelan, “Kenapa harus seperti ini? Tiga bulan lalu Ling Jing masih menggandengku, bilang kita bertiga harus bersama selamanya. Ling Jing adalah sahabat terbaikku, kamu juga anak laki-laki yang paling kusuka. Aku lebih rela kejadian hari itu tidak pernah ada. Lebih baik kita bertiga tetap bersama seperti teman selamanya. Kita tidak perlu menikah, tinggal bersama seperti teman di satu tempat, asalkan tidak ada hubungan seperti itu…”
“Hmph, salah kamu, salah kamu! Kenapa kamu harus jadi laki-laki? Kalau waktu itu kamu tidak memperlakukan kami seperti itu, kita masih baik-baik saja sampai sekarang. Pria itu bajingan, pria itu bajingan, tidak ada yang baik…” Semakin dia bicara, semakin emosi. Kakinya menginjak mati-matian punggung kaki Jiaming. Untuk sesaat, Jiaming hanya bisa tersenyum getir.
“Jiaming, tidak adakah cara agar kita bertiga bisa hidup bersama dengan lebih baik?” Setelah beberapa saat, Shasha bersandar di tubuhnya, berbisik pelan. Jiaming menyeringai, berkata dengan kekecewaan: “Aku juga tak punya cara.”
“Tidak boleh tidak punya cara! Pikirkan baik-baik!” Shasha menginjak kaki Jiaming dengan keras.
“Eh, bagaimana kalau mulai sekarang kita tetapkan target, nanti aku akan mencalonkan diri jadi Ketua Negara, mengubah undang-undang pernikahan...”
“Omong kosong, ini tidak mungkin.” Kaki diinjak lagi.
“Kalau begitu, mulai sekarang kita buat mesin waktu, kembali ke zaman kuno. Dengan kecerdasan kita bertiga...”
“Nonsens, ganti yang lain!” Kaki diinjak sekali lagi.
“Kalau begitu, kecuali...” Saat mengajukan saran ketiga, senyum Jiaming terlihat agak aneh...
## Bagian Kedelapan Puluh Lima Pesta Dans（Tiga）
Percikan air terjepret, muncrat di wajah. Mengangkat kepala, dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengatupkan bibir, berusaha membuat ekspresi polos dan bahagia. Tapi dirinya saat ini, bagaimanapun dilihat, tetap seperti istri penggerutu yang tak mendapat kasih suami.
“Ini tidak baik, Lingjing. Kita bertiga berbeda dengan orang lain.”
Di kamar mandi yang sepi, dia mengeluh sendirian. Setelah mengeringkan air di wajah, saat keluar tiba-tiba terkejut: “Eh, Manajer Zhang.”
“Hehe, aku khawatir karena kau masuk terlalu lama, takut ada apa-apa.”
“Terima kasih, tidak apa-apa.” Lingjing tersenyum memperlihatkan gigi. Saat kembali ke lokasi acara jamuan, Zhang Jingfeng baru berkata: “Kau... tidak bahagia?”
“Hah? Tidak ada.” Lingjing menggelengkan kepala. Zhang Jingfeng tersenyum: “Aku bisa lihat, kau suka pada teman baikmu itu, namanya Gu Jiaming kan? Tapi Gu Jiaming ini malah suka pada temanmu yang lain, dari awal sudah kulihat, apalagi kau sudah minum beberapa gelas baijiu.”
“Hehe, urusan kami... bukan seperti yang kau bayangkan.” Lingjing tertawa, dalam hati bergumam kau pasti takkan menyangka kami bertiga tinggal bersama. Zhang Jingfeng merenung sejenak: “Kalau begitu, jangan-jangan seperti di novel, awalnya kau dan Gu Jiaming saling suka, tapi karena temanmu juga suka pria ini, akhirnya kau mengalah. Jangan-jangan alurnya seperti itu? Itu sih terlalu klise.”
“Hmm, bukan juga, hehe...” Lingjing menggelengkan kepala dengan sedikit bangga, beberapa gelas baijiu sebelumnya membuatnya haus. Melihat pelayan membawa beberapa gelas air jernih, dia cepat-cepat mengambil satu. Di bawah tatapan Zhang Jingfeng yang terkejut, dia menenggak air itu gudur-gudur, berhenti tiba-tiba dengan pipi menggembung seperti kodok. Setelah berhasil menelan, dia membungkuk sambil batuk-batuk. Zhang Jingfeng segera menyambar kesempatan ini mendekati si cantik, menopangnya sambil menepuk-nepuk punggungnya: “Lingjing, kalau... kalau mau menghilangkan kesedihan dengan minum, tidak perlu sampai segini juga...”
Tarik napas dalam beberapa kali, baru bisa sadar kembali. Lingjing menyeringai kesakitan: "Aku mana tahu itu minuman keras, kukira air jernih. Pedas banget, pahit banget..."
"Ini minuman dengan derajat alkohol tertinggi. Orang biasa cuma bawa segelas berkeliling. Kau langsung habiskan semuanya, wajar kalau pedas dan pahit. Ya ampun, kau..." Dia menghela napas. Meski tampak seperti air jernih, minuman ini sebenarnya mudah dibedakan jika diperhatikan. Lingjing yang sudah minum beberapa gelas sebelumnya jadi ceroboh karena omongannya. Tapi Zhang Jingfeng mana percaya alasan ini: "Tak perlu seperti ini. Dia tak tahu menghargaimu, itu kerugiannya. Kau baik-baik saja kan..."
"Haha, sudah kubilang bukan seperti itu." Kapasitas minumnya memang tak seberapa. Minuman keras yang masuk dalam suasana hati sedih membuat Lingjing merasa pria yang terlalu perhatian ini menjengkelkan. "Kau bukan Jiaming, ngapain kesini? Aku baik-baik, tak perlu ditopang. Terima kasih, Manajer Zhang." Tiba-tiba teringat lelucon Jiaming dulu tentang kalimat paling mematikan untuk pria, ia tersenyum memperlihatkan gigi: "Kau orang baik."
Sayangnya lelucon ini masih terlalu maju untuk zamannya. Senyum nakalnya yang polos di mata Zhang Jingfeng terlihat manis. Kartu "orang baik" itu malah dianggapnya sebagai tanda ketertarikan. Mendengar musik di sekeliling, ia ajak: "Kalau tak apa, mari menari. Tak perlu menunggunya. Jika tak bisa, akan kuajari."
“Kata-katanya lembut, namun saat mereka merangkul dan mendekat, Lingjing masih menolak dengan jijik sambil mendorong dada-nya: "Hmm, tidak mau menari, aku tidak bisa menari, terima kasih."
Zhang Jingfeng tersenyum dengan penuh kesabaran: "Percayalah padaku, menarilah, kau bisa melupakan segalanya yang tidak menyenangkan, ayo." Tangannya hendak meraih Lingjing, namun gadis itu mundur dua langkah dan justru ditopang pinggang berlekuknya oleh seseorang. Menoleh melihat sosok itu, kali ini Lingjing tidak menghindar. Mengangguk ramah ke arah Zhang Jingfeng yang masih mengulurkan tangan, Jiaming berbisik: "Tadi ke mana saja? Aku tidak bisa menemukanmu, kau minum baijiu?"
"Aku ke kamar mandi, saat keluar, tidak sengaja meminum segelas baijiu berderajat alkohol tinggi mengira itu air putih, hebat kan?" Meringkuk di pangkuan Jiaming, Lingjing menyeringai manis sambil menjulurkan lidahnya, ekspresinya polos nan menggemaskan, kontras sekali dengan sikapnya saat berhadapan dengan Zhang Jingfeng tadi, bagaikan dua pribadi berbeda.
“Kau ini…” Jiaming tak bisa menahan tawa, membuat ekspresi permintaan maaf pada Zhang Jingfeng sebelum membopong Lingjing mencari air minum. Saat mereka menjauh, Chen Ke'an menghampiri sambil tertawa, “Kenapa? Susah ditaklukkan? Jujur saja, dua cewek satu cowok ini agak aneh. Menurutmu mungkin nggak mereka dua cewek melayani satu suami? Kalau masih SMA sih bisa saja terjadi. Aku tadi tanya Nona Yahan, cowok itu meskipun biasa-biasa aja ternyata masih keluarga Huang. Kau tahu sendiri kebiasaan anak-anak orang kaya manja itu.”
“Sepertinya nggak.” Zhang Jingfeng menggeleng, “Dua cewek ini tidak terlihat dipaksa. Satu suami? Hah, mustahil. Lebih mirip hubungan persahabatan. Aku tidak akan menyerah, paling-paling cuma perlu waktu. Nanti usianya agak matang, dia akan pilih mana yang baik. Tentu saja, kalau benar seperti katamu… Aku juga tidak akan membiarkan orang itu lolos!”
Ucapannya penuh tekad dan wibawa. Tapi di sudut ruangan, Lingjing yang tadi beralasan tidak bisa menari untuk menolak ajakannya, kini sedang berpelukan dengan cowok bernama Gu Jiaming. Di bawah sorotan lampu redup, mereka mulai berputar mengikuti irama.
“Eh, Jiaming, mana sih Shasha?”
“Ah, aku sudah dibuang olehnya. Tadi aku bercanda dengannya, lalu entah apa yang dipikirkannya, dia merenung lama-lama dan bilang mau minum baijiu dulu untuk memberanikan diri... Kurasa dia sedang merencanakan aksi besar seperti meledakkan kapal ini. Hmm, tadi aku bilang padanya kalau kapal benar-benar tenggelam, kita bertiga bisa lari ke pulau terpencil dan hidup santai seperti Robinson Crusoe. Pasti dia terinspirasi dari itu...”
“Kau selalu bicara omong kosong.” Lingjing memandangi Jiaming dengan tatapan berkabut, “Andai itu bisa terjadi... Jiaming, sebelumnya... sepertinya aku terlalu menyederhanakan hidup ini...”
Jiaming tersenyum tipis: “Tapi di pulau terpencil tidak ada alat kontrasepsi. Kalian berdua dan Sasha akan punya banyak anak nanti...”
“Aku tidak mau jadi induk babi!” Lingjing mengerutkan hidung, melototi Jiaming: “Salahmu! Pria memang jahat semua. Kalau sampai di pulau terpencil, aku dan Sasha akan mengebiri barang jelekmu! Bukankah Sasha pernah bilang? Shuāi gē shuāi gē, artinya barang ganteng harus dikebiri. Jiaming belum cukup ganteng karena belum dikebiri...”
Jiaming membuka mulut lebar: “Lalu... kalian berdua bagaimana?”
Lingjing tertawa terkekeh: “Pakai jari juga bisa... Ah, maaf...”
“Kakiku hampir remuk diinjak kalian berdua dan Sasha...”
“Aku kan sudah bilang tidak terlalu bisa, lagipula sekarang masih agak pusing. Kau maksa aku menari, nasibmu.”
Jiaming tersenyum: “Kalau begitu begini saja.” Sebuah tangan mengencangkan pinggang ramping Lingjing, tangan lain menempatkan di bawah bokongnya. Saat menggendongnya erat, kedua kaki Lingjing terangkat dari tanah, membuatnya berteriak pelan sambil merangkul leher Jiaming: “Kau mau apa?”
Jiaming tersenyum meletakkannya di sofa sebelah, lalu berjongkok. Melepas sepatu hak tingginya, kaki giok menggoda yang terbungkus daging iris diremas di tangan Jiaming. Lingjing memerah sampai ke telinga sambil melirik ke sekeliling, melihat Zhang Jingfeng dan Chen Kean di kejauhan mengamati mereka: “Jiaming, kau mau apa?”
“Ini.” Menjejakkan kaki giok itu di atas sepatu kulitnya, ia merengkuh pinggang Lingjing. Tubuh mereka menyatu tanpa celah. Sambil merangkul leher Jiaming, Lingjing tak berani menatap arah Zhang Jingfeng, tubuhnya berputar mengikuti gerakan Jiaming: “Jiaming, ada yang melihat kita.”
“Aku tahu... Lingjing, tadi aku cemburu...”
Senyum lembut mengembang di wajahnya, Lingjing berbisik: “Jiaming, sebenarnya... tadi aku juga cemburu...”
Tanpa kata-kata berlebih, saat saling memahami sepenuhnya, hal-hal itu sebenarnya tak lagi diperlukan. Arak mulai memabukkan, kepala terasa lengket dan pusing, merangkul leher Jiaming, Lingjing perlahan menutup mata. Sekarang tak perlu memikirkan apapun, biarkan tubuh mengikuti gerakannya bergerak lembut, menari... Di balik cahaya remang-remang, kehangatan dua insan membentuk semesta kecil mereka sendiri...
## Bagian Kedelapan Puluh Enam Mekar
Di sisi lain, saat Jiaming dan Lingjing mulai menari, Shasha yang sedang dilanda pikiran tertentu berdiri di bar sisi ballroom sambil meneguk koktail: "Aku mau yang paling keras, yang bisa memberi keberanian!"
Saat ini pesona Shasha bagi pria sungguh luar biasa. Mendengar permintaannya, bartender muda di belakang bar langsung menunjukkan kemampuan terbaiknya. Shaker berputar bak atraksi sirkus yang memukau. Beberapa saat kemudian, segelas "Scorpion" diletakkan di hadapan Shasha. Sebelum bartender sempat menjelaskan, Shasha sudah menenggaknya habis. "Hmm, nggak kerasa. Aku mau lagi," katanya setelah beberapa saat.
Beberapa menit kemudian, segelas "Bloody Mary" kembali dihabiskan Shasha. Ia menjilat bibir, wajahnya mulai memerah...
Begitulah cara mendapatkan "keberangan"...
Tak lama kemudian, saat musik dansa berhenti, Lingjing dan Shasha berjalan tertatih keluar dari balai jamuan. Jiaming dan Yahan hendak mengantar, tapi ditolak oleh Shasha yang tersenyum ceria. Tampaknya dia telah memutuskan sesuatu, "Kembalilah, kamu belum menemani Kak Yahan berdansa malam ini. Jangan khawatir, kami bisa pulang sendiri. Tenang, aku akan jaga Lingjing yang manis ini..."
"Tapi... yang minum banyak justru kamu, Shasha..."
Wajah Lingjing yang kemerahan tersenyum, "Santai saja, aku akan jaga Shasha. Kamu dan Kak Yahan bersenang-senanglah. Kami pulang dulu, dadah..." Setelah berdansa peluk dengan Jiaming tadi, kekhawatiran di hatinya seolah berkurang. Setidaknya untuk saat ini, dia terlihat bahagia.
Memandangi dua gadis yang pergi sambil tertawa, Yahan bertanya heran, "Ada apa dengan mereka hari ini? Sejak pagi sampai sore mereka murung, tiba-tiba sekarang seperti dapat pencerahan." Jiaming mengernyit, "Aku juga... punya firasat aneh..."
Jangan-jangan... itu...
Dengan perasaan aneh, dia menghela napas lalu berkonflik, "Ah sudahlah. Mereka tak mabuk parah, pasti masih bisa tidur. Aku juga malas bermain, nanti mau ke teras saja. Ngapain ikut? Antrean pria yang ingin berdansa denganmu sepanjang koridor itu lho."
"Ekspresi Yahan sedikit kaku, lalu ia melirik kesal ke arahnya: 'Aku juga tidak punya minit untuk meladeni para pria itu, yuk pergi cari angin bersama.'"
"'Bagaimana dengan Xu Mo? Aku ingat penilaianmu terhadap dia cukup baik.'"
"'Penilaian baik harus berarti aku menyukainya? Dia juga orang yang tak paham omongan, hmph...'"
"'Heh.' Jiaming tersenyum tipis, berdiri di tempat sambil memandangi Yahan cukup lama, akhirnya berkata: 'Hmm, kurasa... karena kita sama-sama tidak punya partner dansa yang cocok, lebih baik kita berpasangan. Tapi, teknik dansa-ku sangat tinggi, kau harus bisa mengendalikan diri jangan sampai jatuh cinta karena ini.'"
"'Kau Mati!' Yahan tertawa Puff Ssshh!, gerakannya sempurna menutupi semburat merah di wajahnya, lalu mengulurkan tangan. 'Karena kau memohon dengan kesungguhan hati seperti ini, nona besar hati ini akan memberimu muka. Lagipula... kau setidaknya lebih menarik daripada rombongan pria membosankan itu...'"
Beberapa saat kemudian...
"'Hei, tanganmu mau kemana...'"
"'Pinggangmu, ini gaya dansa standar, setuju?'"
"'Tidakkah kau merasa meletakkannya terlalu ke bawah?'"
"'Kurasa sensasinya enak... Eh, jangan main tangan, si cantik, tenang. Saat ini aku masih sedikit lebih pendek darimu, posisi tangan naturalnya di sini. Tak bisakah kau mengalah?'"
"'Bajingan kecil! Jika berani iseng lagi...'"
"'Mau balas makan tofu-ku?'"
"'Aku Bunuh kau!'"
Angin malam yang dingin menghembus di sisi kapal. Karena pengaruh angin, saat saling berpegangan kembali ke pintu, langkah kedua gadis terhuyung-huyung. Membuka pintu kamar Lingjing, mereka masuk bersama. Kembali ke kamar tidur bagian dalam, tanpa direncanakan kedua tubuh itu rebah di ranjang.
"Hmm, ngantuk banget... Tapi... Tidak bisa. Shasha, aku buka air untuk persiapan mandi dulu. Mandi dulu ya..."
Berjalan membuka keran di bak mandi, Lingjing bergumam pelan tentang mandi dulu sebelum tiba-tiba terjatuh di ranjang. Dalam keadaan setengah sadar, ia mendengar Shasha membuka ritsleting gaunnya dari belakang, melepaskan kait bra. Punggung mulusnya yang putih seperti buah licin yang terkelupas dari cangkangnya. "Lingjing... Aku tahu solusinya. Cara agar kita bertiga bisa bersama. Hmm... Lingjing, rasanya aneh..." gumam Shasha.
"Apa? Hmm... Shasha, aku bisa sendiri... Biar aku saja..." Membalikkan badan, Lingjing perlahan menarik gaun malam dari bawah. Tubuh semi telanjangnya muncul dari lipatan kain. Bukan pertama kalinya kedua gadis saling melihat telanjang di ranjang, jadi tak ada penghalang psikologis. Tapi saat Shasha mendekapnya lembut, menatap wajah yang bergoyang-goyang di atasnya, barulah Lingjing merasa aneh: "Shasha, mau apa? Jangan macam-macam..."
Beberapa saat kemudian, kedua gadis itu berpelukan, pipi saling menempel. Shasha berbaring di atas tubuhnya, setengah kesal berkata: "Aku... aku merasa aneh... Tidak bisa melakukannya, sudah minum banyak baijiu juga..."
"Apa sih?" Suara Lingjing yang bingung terdengar lembut dan samar karena mabuk. Shasha tiba-tiba seperti mengambil tekad, mengangkat kepala. Bibir kedua gadis itu tiba-tiba menyatu. Meniru cara Jiaming mencium mereka, ia mencoba memasukkan lidah kecilnya ke mulut Lingjing. Tak lama, Lingjing mengeluarkan suara protes "Wuuwu..."
"Ugh... Jangan... main-main..." Lingjing mendorong tubuh Shasha dengan kuat, wajahnya memerah malu, napasnya mulai tersengal. "Ini waktunya bukan untuk main... Jiaming juga tidak ada, haha, aah... Tolong, Shasha kasihan, aku tidak mau lagi..."
Saat Lingjing melawan, Shasha dengan wajah merah menunduk. Tangannya meraba garis tubuh Lingjing ke bawah, lalu menyusup ke dalam celana dalam katun putih. Seketika, Lingjing menjerit sambil tertawa, mengatupkan paha, kedua tangannya berusaha menahan tangan nakal Shasha di antara kedua pahanya.
Saat bertiga dengan Jiaming di ranjang, kejar-kejaran antara mereka memang hal biasa. Namun kali ini berbeda, karena dua jari ramping Shasha perlahan memasuki tubuh Lingjing, seperti bulu yang menggelitik area sensitifnya.
"Wu... Shasha, janganlah... keterlaluan... tidak boleh begini... Wu, Shasha, aku tidak mau lanjut... Shasha..."
"Lingjing... kita bertiga harus tetap mustahil bersama. Lingjing, aku tidak mau berpisah denganmu. Di buku-buku semuanya tertulis seperti itu. Jika aku hamil, Lingjing kau harus pergi sendiri. Aku tidak mau membuatmu sedih... tidak mau kau pergi..."
"Aku tidak akan pergi... eh... jangan... ah..." Dua tubuh telanjang bulat berpelukan di ranjang. Paha Lingjing tertekuk rapat, tangannya menekan tapi tak mampu menghentikan gerakan Shasha. Tubuhnya meringkuk seperti udang, perlawanan semakin ganas, rengekan merengek-rengek mulai bercampur isakan tangis, napasnya semakin tersengal-sengal.
“Aku tidak mau lagi… Shasha, kumohon, aku tidak mau lagi, jangan, ah… ah——” Setelah getaran hebat, tubuh Lingjing akhirnya lunglai berhenti, bernapas pendek-pendek dengan pipi berlinang air mata, terisak pelan. Shasha memeluknya dari belakang dengan perasaan tak jelas. Sejenak kemudian, Lingjing meronta perlahan lalu meringkuk di sudut ranjang besar sambil memeluk lutut. Shasha menangis sambil duduk: “Aku… aku tidak mau berpisah dengan Lingjing…”
“Tapi kita sama-sama perempuan, bagaimana bisa begini…” Lingjing terisak.
“Jiaming bilang, ini namanya lesbian. Kalau kita seperti ini, tak ada yang akan keberatan lagi. Lingjing, belum lama lalu kita baru berjanji bertiga harus tetap bersama selamanya. Aku tidak mau kau pergi karena hamil. Tapi kalau kau hamil, aku… aku juga tidak tahu harus bagaimana. Aku suka bersama Jiaming, tapi aku juga suka bersama Lingjing. Aku hanya ingin kita bertiga…” Duduk di samping Lingjing, Shasha menundukkan wajah di antara paha sambil menangis pelan.
Dua gadis duduk di ranjang menangis hiks hiks. Lama kemudian, tangisan Lingjing mereda. Ranjang tiba-tiba bergerak. Shasha mengangkat kepala dan melihat Lingjing sudah merangkak mendekat, bersujud di sampingnya lalu menunduk mencium pipinya yang basah. Shasha mengusap air mata sambil tercekat: “Lingjing tidak marah padaku lagi?”
"Nggak ada." Lingjing cemberut sambil menyembulkan bibir, "Kalian berdua, kau dan Jiaming, selalu senang melihat aku dipermalukan. Nggak adil banget! Aku... aku juga harus balas melihat kalian."
Mendengar ucapannya, Shasha akhirnya tersedu-sedih sambil tertawa. Dua gadis itu duduk beberapa saat sebelum Shasha memerah wajahnya: "Kau... benar-benar mau melihat baru mau maafin aku?"
"Tentu saja."
"Kalau..." Shasha menatapnya, menggigit bibir sambil menarik napas dalam beberapa kali. Seolah baru mendapatkan tekad, perlahan ia melepas celana dalam kecilnya dan berbaring di ranjang. Tubuh sempurnanya terbentang di depan mata Lingjing sebelum akhirnya menutup wajah dengan kedua tangan.
"Kau... lihatlah..."
## Bagian Kedelapan Puluh Tujuh Firasat
Pagi berikutnya, cuaca di laut mulai memburuk. Awan gelap diselingi gerimis kecil, angin laut berhembus membawa ombak bergulung-gulung. Tapi kapal pesiar yang besar ini tetap stabil tanpa guncangan berarti. Setelah menyentuh kartu kunci cadangan ke pintu kamar Lingjing, pandangan pertama yang menyambut Jiaming adalah karpet kamar tidur yang basah kuyup. Ia menghela napas: "Nggak perlu sampai segitunya juga. Meski sesuai dugaan, volume airnya kok bisa sebanyak ini? Wanita memang makhluk ajaib..."
Waktu sudah lewat pukul delapan pagi, dua gadis masih berpelukan tidur di ranjang, tak ada tanda-tanda mau bangun. Terlihat jelas mereka kelelahan semalam. Jiaming menggelengkan kepala, dalam hati berdecak kagum. Membuka selimut, tubuh telanjang kedua gadis saling terkait erat dengan pose menggoda. Kulit putih bersih, lekuk tubuh yang memikat, pantat terbuka dan gesekan paha yang ambigu. Jiaming tersenyum, menepuk pantat Lingjing yang langsung memerah muda. Lingjing pun terbangun setengah sadar.
"Hmm, Jiaming, jangan iseng..."
Dengan mata setengah terpejam, Lingjing memegang tangan Jiaming yang sedang menjelajahi tubuh mereka, tapi tak menolak. Beberapa saat kemudian, Shasha juga terbangun. Lingjing perlahan bangkit duduk, secara refleks memeluk Jiaming dan menyandarkan dahinya di dada lelaki itu. Jiaming spontan merangkulnya: "Eh, kalian semalam..."
"Kamu berani menyebut semalam..." Seperti anak anjing manja, Lingjing menggesekkan pipinya di dada Jiaming penuh sayang. Suaranya lembut seperti ketan, tapi Jiaming mendadak punya firasat buruk. Benar saja: "Shasha, aku sudah peluk dia, gigit sekarang!"
"Kemudian, dua gadis yang belum sepenuhnya mengenakan pakaian mempertunjukkan adegan sengiat dan mesra tentang 'pembunuhan suami' di ranjang. Setelah akhirnya berhasil menjinakkan dua ekor cakar betina kecil itu dan membuat mereka berbaring patuh di pangkuannya, kemeja Jiaming pun telah terbuka, meninggalkan jejak merah tak terhitung di punggungnya. Bertiga duduk berpelukan di ranjang sejenak, Lingjing sambil tertawa menjulurkan lidah kecilnya membersihkan cap merah di dada Jiaming yang dicubitnya, sementara Shasha memeluknya erat dengan mata terpejam berpura-pura tidur. Jiaming akhirnya berkata ragu, "Emm... Kalian berdua kemarin malam benar-benar jadi lesbian ya?"
"Lesbian, kau masih berani bilang lesbian." Mendengar dua kata itu, Lingjing gemas mencolek dada Jiaming beberapa kali, "Ini semua salahmu! Kau yang membuat Shasha jadi rusak! Lesbian..."
Mendengar ini, Shasha juga memerah wajahnya sambil memukul lembut dada Jiaming beberapa kali.
"Bukan salahku, aku cuma bercanda. Siapa tahu Shasha benar-benar melakukannya. Kukira lebih mudah untuk meledakkan kapal saja... Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya kalau benar-benar dilakukan?"
"Hmph, suami kecil ini menyuruh kami lesbian, tentu saja kami sebagai istri harus menuruti." Lingjing mengangkat mata dengan genit, "Kalau soal rasa, aku dan Shasha sudah jadi lesbian. Jadi kami tidak butuhmu lagi. Mari kita bunuh..."
Di tengah canda tawa, ketiganya kembali bercanda. Ketika ditanya tentang karpet yang basah kuyup, baru diketahui bahwa Lingjing dan Shasha kemarin malam bermain-main di ranjang, akhirnya membuka keran untuk mandi tapi lupa mematikan, sehingga air meluap dari kamar mandi. Kedua gadis itu justru sibuk membersihkan genangan air hingga larut malam. Mengenai proses spesifik hubungan lesbian mereka, Shasha dan Lingjing sama-sama tutup mulut. Tak lama kemudian, Shasha kembali menggunakan test kehamilan, baru memastikan bahwa dirinya sama sekali tidak hamil.
Sebenarnya, simpul masalah kedua gadis itu bukanlah terletak pada kehamilan itu sendiri, melainkan karena insiden kehamilan ini mengingatkan Lingjing dan Shasha akan kekhawatiran bahwa dongeng tiga orang yang akan bersama selamanya ini mungkin akan dihancurkan realita - kecemburuan yang melekat, hambatan eksternal, pengaruh luar dan lain sebagainya. Usaha dan ketekunan manusia bisa mengatasi pengaruh eksternal, namun tak mampu melawan fluktuasi energi batin. Kini simpul masalah ini akhirnya berhasil dipecahkan oleh aksi Shasha tadi malam. Yang akan dihadapi ke depan hanyalah hambatan dari luar semata.
Setelah kejadian menegangkan itu, kedua gadis itu menjadi semakin akrab. Sepanjang hari, kapal pesiar berlayar dalam hujan dan angin yang muram. Meski aktivitas luar ruangan tak bisa dilakukan, di kapal sendiri tersedia lelang, taruhan, ruang bioskop, ruang pertunjukan, dan berbagai area rekreasi lainnya. Orang-orang tak perlu khawatir tak ada tempat bermain. Tapi Jiaming dan ketiga temannya tetap memilih menonton film, bermain game, atau main kartu di kamar. Dibandingkan dengan suasana menusuk tulang kemarin, hari ini riuh tawa terdengar di kamar kapal. Keempatnya seolah kembali ke masa ketika Yahan kabur dari pernikahan dan tinggal di villa keluarga Liu. Ketiga MM itu terus menyuruh Jiaming seperti budak. Yahan masih kesal karena kemarin malam dipermainkan orang ini. Lingjing dan Shasha setiap kali teringat permainan lesbian absurd kemarin malam, selalu mencari alasan untuk menumpas Jiaming.
Candaan mesra dan tendangan manis dari kaki mulus, bagi seorang pria tentu merupakan adegan yang menggairahkan. Namun seiring berjalannya waktu, badai di laut mulai menghebat. Melihat tirai hujan tak berujung di balkon kamar, Jiaming terus membuat kalkulasi mental. Karena hampir 2 hari telah berlalu, malam ini kapal mewah ini akan memulai separuh perjalanan pulang. Di mana Yoritomo Taku akan muncul? Tindakan apa yang akan dilakukannya? Dia harus membuat hipotesis dan persiapan sebelumnya.
Bagi Jiaming, ini adalah standar tantangan yang ia tetapkan untuk dirinya sendiri dalam hati. Karena tujuan Yoritomo Taku adalah membunuh Chen Guxia, maka ia harus melindungi orang ini. Dibandingkan dengan Raja Pembunuh yang menjadi begitu mengerikan beberapa tahun kemudian, meski Yoritomo Taku saat ini telah mencapai kondisi puncak, Jiaming masih bisa mengendalikan mentalnya dalam batas tertentu.
Di kapal ini sekarang, [] dan kekuatan Pei Luo Jia sedang berhadapan langsung. Kekuatan Dark Celeste yang tidak jelas tujuannya membentuk formasi segitiga samar dengan kedua kekuatan tersebut. Peran dirinya sebagai Tulipe Hitam tak diragukan lagi menjadi titik paling misterius di seluruh kapal. Selama belum menampakkan diri secara resmi, Pei Luo Jia dan Dark Celeste akan merasa ragu-ragu. Namun keraguan bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Besok malam kapal ini akan berlabuh di Pelabuhan Jianghai. Mengingat anggota Pei Luo Jia sudah naik ke kapal, pasti akan ada kejadian malam ini di tengah hujan badai. Untuk menghindari pengaruh Tulipe Hitam misterius ini dan mencapai tujuannya, metode apa yang akan dipilih Yoritomo Taku...
Bagaimanapun, bertahan selalu lebih sulit daripada menyerang. Dengan bisikan dalam hati, Jiaming melirik jam dinding. Memandang tiga wanita yang mengenakan gaun longgar sedang bermain poker di ranjang, ia tersenyum: "Aku akan keluar sebentar."
"Cepat kembali ya, makan malam sudah aku pesan. Nanti akan diantar SEKARANG JUGA. Kalau kau terlambat kami tidak akan menunggu," ujar Shasha sambil tertawa.
“Hmm.” Jiaming mengangguk, membuka pintu dan keluar. Waktu meski baru pukul lima sore lebih, seluruh langit telah gelap. Di luar benteng laut raksasa yang masih ramai ini hanya ada air, air, dan air. Perasaan ini membuatnya sangat tidak nyaman. Angin dingin menerpa wajahnya. Setelah melangkah beberapa kali, tiba-tiba tubuhnya gemetar, lalu membeku.
Ti-Tidak mungkin... Ketika suatu tugas terlalu sulit, memperbesar situasi tanpa batas. Asal bisa menyelesaikan misi, bahkan memicu pertempuran dunia pun tak masalah. Itulah gaya yang dulu biasa kulakukan. Jika ini Yoritomo Taku... Dark Celeste selama bertahun-tahun selalu melawan Pei Luo Jia. Tapi bagaimanapun, jika ada hal yang membuat Natalie Annis turun tangan langsung, pastilah ini pertarungan puncak di Dunia Kegelapan. Dalam hidupku sebelumnya, Kelly Fermium terlalu dominan di Dark Celeste, sampai hampir semua hal biasa dia yang memimpin. Sedangkan Natalie, aku lebih terbiasa dengan citranya sebagai wanita manja yang hanya mengikuti kemauannya sendiri. Kali ini, pertimbanganku kurang menyeluruh...
Jika kedatangan Natalie kali ini untuk melawan Yoritomo Taku secara langsung, maka sebagai orang yang diawasi dua kekuatan besar ini, jika masih ingin menyelesaikan tugas... Aku terlalu mengenalnya. Di periode ini, dia sedang di puncak kejayaannya. Fondasinya sama sekali tidak peduli pada orang tak bersalah di luar misi yang harus dilakukan. Yang akan dilakukannya, mungkin lebih gila dariku. Semua orang di kapal ini...
Dengan perlahan menopangkan kedua tangan di pagar sementara, senyum samar mengembang di wajah Jiaming. Beberapa saat kemudian, pandangannya kembali tertuju pada pintu kamar yang baru saja dia tinggalkan. Apakah hal ini akan berjalan sesuai perkiraannya, sekarang sulit dikatakan. Tapi jika benar begitu, dia harus bertarung mati-matian...
Badai yang tak terprediksi ini semakin menghebat. Sekitar pukul delapan malam setelah semua orang selesai makan, kapten memasuki ruang kendali utama di dek atas kapal pesiar. Setelah melihat sekilas data di beberapa konsol penting, dia bersiap pergi saat petugas radar tiba-tiba berkata: "Arah pukul dua, tujuh mil laut ditemukan kapal tak dikenal... Eh? Menghilang..."
Di tengah lautan luas, hujan badai tak berkesudahan menyelimuti istana megah berlapis emas yang terapung di permukaan laut ini...
## Bagian Kedelapan Puluh Delapan Kota Bahaya di Laut (1)
Tak lama kemudian di ruang kendali utama, Cui Guohua dan Qiao Guorui bergegas masuk. Memandangi titik cahaya mencurigakan yang hanya muncul sekejap di radar, baru saja mereka bertukar dua patah kata, gemuruh ledakan mulai terdengar samar dari balik rintik hujan. Beberapa saat kemudian, suara kawan terdengar dari walkie-talkie: "Gawat, menara pemancar radio di atas kapal meledak, Bos! Pei Luo Jia sudah bertindak!"
"Siaga tertinggi! Segera kawal Guru Chen keluar dari ruang jamuan di dek bawah. Semua penjaga lengkapi senjata. Diduga ada kapal tak dikenal mendekat." Meletakkan walkie-talkie, dia berpaling ke kapten: "Segera putar haluan, percepat... Tidak, mungkin sudah terlambat. Bunyikan alarm..."
Di atas radar, titik cahaya yang melambangkan kapal akhirnya muncul kembali. Jarak sudah sangat dekat, sistem penyaringan anti-radar pihak lawan pun kehilangan fungsinya. Pada jarak seperti ini, jika siang hari mungkin bisa terlihat dengan mata telanjang. Namun saat memandang ke depan, permukaan laut yang diterpa hujan badai masih tetap hitam pekat.
Cui Guohua menarik napas dalam: "Kapten, adakah pulau terdekat di sekitar sini? Segera dekatkan kapal! Jika tujuan mereka adalah meledakkan seluruh kapal, setidaknya kita punya tempat berlabuh. Selain itu, segera kirim sinyal darurat menggunakan radio cadangan. Angkatan laut akan tiba dalam waktu kurang dari satu jam... Masuk ke perairan teritorial Tiongkok, ini sudah termasuk perang..."
Saat sirine tiba-tiba berbunyi, Yahan, Lingjing, dan Shasha masih malas-malasan menonton rekaman video di kamar. Mendengar pengumuman yang meminta penumpang segera berlindung di kabin lapisan dalam kapal, Yahan melompat dari ranjang dan mendorong pintu. Di koridor terlihat staf dan penjaga berlarian panik dengan wajah tegang. Tiba-tiba kapal bergetar perlahan. Menahan seorang penjaga, Yahan buru-buru bertanya. Sang penjaga gagap menjawab: "Bajak laut... mungkin kita diserang bajak laut... Para nona sebaiknya berkumpul di area ramai, semakin ke dek atas semakin baik. Berkumpul dengan semua orang. Jika mereka menyerbu, biasanya datang dari bawah. Kami akan menghadang mereka di lapisan bawah. Tenang saja."
Penjaga itu berkata sambil berlari menuju tangga di sudut. Meski mulutnya berkata "tenang saja", ekspresi paniknya sama sekali tidak meyakinkan. Hampir memasuki abad ke-21, ternyata masih ada bajak laut di laut. Bagi tiga gadis yang belum punya pengalaman berlayar, ini terasa begitu tidak nyata. Setelah beberapa saat terdiam, mereka tiba-tiba tersadar: "Sial! Tadi Jiaming bilang mau keluar makan camilan. Sekarang dia dimana ya?"
Setelah buru-buru berganti pakaian. Ketika ketiganya membuka pintu lagi, koridor sudah penuh orang yang keluar dari kamar. Seorang pria dan wanita berlari kecil didampingi beberapa pengawal menuju kabin dalam. Wanita itu pernah dilihat Lingjing dan Shasha sebelumnya - ternyata tante Yahan. Pria itu adalah ayah Yahan, Zhang Haoran, seorang pria paruh baya bertubuh tinggi dengan wajah serius. "Yahan, kita harus segera pergi ikuti orang-orang ke dalam. Ada bajak laut, cepat!" katanya dengan suara berat.
Yahan mengangguk. Shasha yang berdiri di samping melihat kerumunan sekitar: "Tidak bisa, Jiaming belum kembali. Aku harus menunggunya di sini. Kalau tidak, dia tidak akan menemukan kita saat kembali..."
，，：“，，。。”，，，，，，，，，，，，，，。
，，，。，，，，、，，。
Saat Lingjing dan yang lain buru-buru melakukan Transfer, beberapa anggota dari [] juga sedang mengawal Chen Guxia keluar dari aula jamuan. Di antara tamu jamuan ini terdapat banyak dewasa yang telah melewati berbagai badai kehidupan, namun juga ada pemuda yang datang hanya untuk merayu cewek. Begitu alarm berbunyi dan kabar tentang bajak laut tersiar, suasana pertama kali diwarnai keterkejutan. Bagi manusia daratan, fakta masih adanya bajak laut di tahun 90-an sulit diterima. Setelah beberapa menit, kekacauan mulai terjadi. Situasi seperti inilah yang paling mudah dimanfaatkan untuk pembunuhan bayaran.
Meski bawahan-nya tegang, Chen Guxia sendiri telah terbiasa dengan situasi genting. Kemampuannya lolos dari kejaran bawahan Tak terhitung dewa-dewa telah membuktikan tingkat kekuatannya. Dengan memimpin beberapa pengawal yang memiliki status Guru-murid, ia melompat dari teras ke geladak kapal udara, lalu menuju lift khusus staf. Melihat ekspresi gugup mereka, ia terkekeh: "Tenang, tenang. Guo Yi, Guo Ping, sejak dulu aku selalu bilang - jernihkan pikiran. Ketegangan akan mengaburkan pandanganmu. Bahkan Raja Pembunuh pun tingkatannya tak jauh lebih tinggi dari Tak terhitung dewa-dewa."
"Tapi Guru pernah mengajarkan bahwa dalam situasi apapun kita harus memberikan segalanya."
"Hoho, aku mengajarimu itu bukan untuk kau gunakan membantahku."
Keluar dari lift, sudah berada di koridor Lapisan Keempat lambung kapal. Dari sini bisa melihat situasi pertempuran di bawah. Beberapa kapal patroli kecil sudah menempel menyamping di lambung besar kapal pesiar. Rupanya dinding kabin lapisan terbawah telah tertembus, para milisi bersenjata itu sudah menyerbu masuk dari bawah. Kilasan kemarahan terlihat di mata Chen Guxia: "Pei Luo Jia kali ini benar-benar... Hmph! Setelah pulang nanti, apapun yang terjadi harus meyakinkan pihak atas untuk mengambil keputusan. Ambisi Morikami Kura tidak bisa lagi ditolerir! Mereka pikir membiarkan Pei Luo Jia berperang saudara dengan organisasi seperti Takamagahara Jepang punya manfaat apa? Jika bibir binasa, gigi pun kedinginan! Begitu Jepang kehilangan penyangga, giliran kita berikutnya. Dark Celeste saja punya kewaspadaan, sungguh tak tahu apa yang dipikirkan para pejabat tak becus itu!"
Masuk dari koridor sisi ini, tampaknya orang-orang di lapisan luar sudah pergi. Lorong sunyi senyap. Baru beberapa langkah berjalan, lampu di atas kepala mendesis "zzzt", tiba-tiba kabut ungu yang menyelimuti segalanya datang mendadak.
"Bahaya, semua cepat hindari!" Berdasarkan insting, menarik senjata, menembak, menerjang ke samping sambil terjatuh. Setelah membanting diri ke sebuah kamar di sisi lorong, pintu langsung ditutup rapat. Gemuruh ledakan menggema dari luar.
Setelah ledakan, dinding samping kabin dan rangka pintu mengalami deformasi. Chen Gu Xia melihat ke tiga orang di sampingnya, memastikan mereka baik-baik saja sebelum tiba-tiba membuka pintu dan melepaskan beberapa tembakan ke ujung koridor. Tak lama kemudian, pintu di sisi depan juga terbuka, dua orang memberikan tembakan perlindungan sementara seorang lainnya berlari cepat ke tikungan ujung koridor, menembakkan senjatanya. Segera setelah itu, dentuman senjata balasan terdengar dari sana.
Dari tujuh orang, kecuali satu yang mengalami luka lecet ringan, basically semuanya tidak apa-apa. Guo Yi mengerutkan kening: "Tadi itu pengguna kekuatan supernatural!" Chen Gu Xia mengangguk: "Aku mengenalnya, dia adalah pembunuh supernatural dari divisi Jepang Pei Luo Jia, kode nama Sungai Ungu. Semua orang harus waspada, kekuatannya adalah benda seperti tadi, bisa menyamarkan pandangan orang dalam sekejap."
Kekuatan supernatural sebenarnya seringkali tidak sekuat yang digambarkan dalam novel-novel fantasi yang bisa memindahkan gunung dan mengisi laut kapan saja. Seperti Qiao Guo Rui dari [] yang memiliki indera darah kuat, mampu menyimpulkan fakta dari petunjuk sangat kecil. Kabut ungu seperti tadi, dalam arti tertentu sama seperti granat kilat, hanya bisa mengaburkan pandangan musuh sekejap. Tentu saja, dalam situasi hidup dan MATI, meski hanya sekejap, itu basically cukup untuk menentukan situasi pertempuran.
Pada saat ini, situasi di kapal sudah menjadi pertarungan hidup dan MATI. Jika pihak kita tidak bisa mengatasi, hanya akan menambah beban untuk kawan di bawah. Tanpa ragu, ketujuh orang berpencar mengejar arah si pembunuh berkemampuan khusus. Setelah melewati dua koridor, mereka keluar dari bagian dalam kapal menuju koridor luar yang terkena hujan dan angin. Tiba-tiba suara tembakan menggema, salah satu tubuh mereka terlempar ke udara. Chen Guxia dan dua lainnya buru-buru masuk ke kamar sebelah untuk berlindung. Saat melihat ke arah kawan itu, sebuah peluru sudah menembus titik antara alisnya—tewas seketika, tak mungkin diselamatkan.
Ketika dua orang lainnya berlari keluar kamar sambil menembak, Chen Guxia menekan interkom: "Guoming, posisinya diperkirakan dalam radius lima kamar di bagian belakang Level Empat. Kalian bertiga kepung dari sana."
Beberapa saat kemudian, suara "gesekan" terdengar dari interkom. Suara pria paruh baya bergema perlahan: "Halo, ini Chen Guxia?"
Mendengar suara itu, hati ketiganya langsung terasa berat. Lalu suara itu berkata: "Aku akan segera menemuimu."
Pada detik itu, ketiganya tersadar—itu adalah Yoritomo Taku.
Sesaat kemudian, kabut ungu kembali terjadi!
Namun setelah ketakutan dan upaya menghindar, tidak terjadi apa-apa. Saat kabut ungu menghilang, bayangan Cui Guohua muncul di belokan tak jauh. Ia menembak tiga kali ke arah si pembunuh berkemampuan khusus. Jelas, dialah yang baru saja menekan serangan lawan.
"Guru, Guoyi, kalian baik-baik saja?"
"Kami baik. Tapi Guobin... Dan kemungkinan Guoming juga sudah jadi korban. Pelakunya Yoritomo Taku."
"Cahaya dingin melintas di mata Cui Guohua. Secara keseluruhan, kekuatan kita memang tidak sebanding dengan mereka. Menggunakan taktik jumlah besar sebenarnya adalah pilihan terakhir. Sayangnya, saat ini lebih dari separuh pasukan teralihkan ke situasi pertempuran di bawah. Beberapa orang kita ini harus melawan pembunuh setara Yoritomo Taku ditambah pengguna kekuatan supernatural, benar-benar sebuah rintangan. Tapi... tidak ada pilihan selain menggigit gigi dan maju..."
"Pernahkah...bukan seperti ini juga..."
Dengan erat menggenggam senjata di tangannya, dia berlari menerjang ke depan.
Di bagian bawah kapal dan geladak, pertempuran sengit sedang berlangsung. Di koridor luar bagian atas kapal, pertarungan tak kalah panas juga terjadi. Sementara di ruang kendali nomor 2 kapal, Fang Guolin - anggota termuda dari pihak [] dalam operasi ini - juga sedang bertarung. Sejak tadi, komputer kendali kapal terus-menerus mendapat serangan bertubi-tubi. Dalam perubahan data, butiran keringat mulai membasahi pelipisnya.
"Tidak bisa... Pertahanan lapisan pertama sudah hancur. Lapisan kedua juga hampir... Tapi, mengapa ada perasaan tidak enak..."
Harus diakui, banyak hal tidak selalu bisa dikendalikan oleh kemauan manusia. Sekeras apapun berusaha, jika teknologi sudah tertinggal, tetap saja akan kalah. Saat jaringan pertahanan komputer lapis demi lapis dihancurkan, selain cemas, Guolin merasakan keanehan: "Intensitas serangannya... sepertinya melambat..."
“Apakah itu campur tangan Tuan Tulip? Tidak, sepertinya tidak. Tidak mungkin ada yang bisa ikut campur tanpa suara seperti ini. Perubahan data yang begitu sengit pasti akan kusadari. Tidak, dia sedang melumpuhkan dirinya sendiri!”
Pikiran itu tiba-tiba melintas di hati. Fang Guolin tiba-tiba berteriak: "Tidak boleh, Kapten! Segera kunci semua panduan navigasi komputer, ubah ke operasi manual penuh kapal!"
"Tapi..." Kapten ragu sebentar. Sistem komputer tercanggih yang terpasang di kapal pesiar mewah ini mengelola banyak hal. Beralih ke manual tiba-tiba akan membutuhkan banyak tambahan personel. Apalagi ruang tenaga dan ruang uap di bawah kapal sekarang telah menjadi medan perang - mana ada pelaut yang bisa turun mengoperasikan. Dalam keraguannya, tiba-tiba muncul deretan karakter bahasa Inggris di layar kendali - operasi manual telah diblokir sistem. Sistem pertahanan mulai runtuh beruntun.
Kali ini jika gagal bertahan...semuanya akan berakhir. Jarinya menari semakin cepat di keyboard. Alis Fang Guolin berkerut ketat. Ia terus melakukan upaya paling gigih, namun sia-sia.
Aliran data lain yang mungkin mewakili Tulip, tetap tak muncul.
"Lalu...mengapa dia tidak muncul?"
"Dengan bisikan penuh kebingungan, suara itu terdengar di dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya redup. Seorang pria berwajah dingin sedang mengoperasikan laptop. Jika garis besar data komputer bisa dilihat oleh orang luar, mungkin seseorang akan menyadari bahwa aliran data yang saat ini menyerang komputer utama kapal berasal dari sini."
"Mengendalikan komputer utama kapal, lalu mengunci semua kemungkinan manual, berarti seluruh kapal berada di bawah kendalinya. Nanti dia bisa saja menabrakkan kapal ini ke karang atau mengarahkannya ke Antartika. Namun dalam invasi kali ini, karakter misterius yang berhasil memecahkan akal bulusnya seperti sebelumnya tidak muncul sama sekali, membuatnya sedikit kecewa."
"Target Yoritomo Taku adalah menguasai hidup dan MATI Chen Guxia. Dengan menguasai kapal ini, dia bisa mengendalikan hidup semua orang. Dalam rencana awal, diharapkan kekuatannya bisa mengalihkan perhatian karakter misterius yang kemampuannya tidak diketahui. Tapi karena mereka tidak muncul, terserah Yoritomo Taku sendiri untuk berjuang."
"Baik, mulai sekarang kapal ini milikku."
"Operasi berhasil dipecahkan. Dengan perasaan senang, dia mengangkat dua jarinya untuk menekan tombol. Tiba-tiba rasa dingin menyergap dari dalam hati, lalu dia merasakan sentuhan laras senjata di belakang kepalanya."
"Oh? Benarkah? Kapalmu sangat indah."
"Suara bernada mengejek terdengar dari belakang, tapi sepertinya... masih anak-anak. Dengan tubuh kaku, dia bertanya dengan suara berat: 'Tulip?'"
“Hehe, aku tidak akan memberitahumu, biarkan kau di inkarnasi berikutnya ingin balas dendam pun tidak bisa menemukan orangnya.”
Kemudian, kilau dingin melintas, tiba-tiba membelah tenggorokannya. Dalam cahaya redup dari layar komputer, seorang pemuda mengenakan jubah hitam mengelap belati di tangannya, bagaikan hantu yang bergoyang dalam kegelapan malam.
## Bagian Kedelapan Puluh Sembilan Kota Berbahaya di Laut (II)
Malam gelap bagai tinta, di atas lautan marah yang dihujani badai, kapal pesiar mewah raksasa Xing Meng Hao sepanjang 200 meter lebih berpendar kerlip lampu, dari kejauhan terlihat seperti istana megah berlapis emas di tengah laut. Namun ketika gambaran diperbesar, baru terlihat lambung kapalnya telah dibobol beberapa lubang besar. Belasan kapal meriam kecil yang dilengkapi persenjataan lengkap mengelilingi benteng laut ini, tentara bayaran dan pelarian bersenjata berbagai jenis memasuki bagian bawah kapal melalui lubang di lambung, mencoba menerobos rintangan di atas dengan perhatian mematikan mereka.
Murni dari segi perlengkapan, daya tembak di kapal memang jauh lebih lemah. Para penjaga hanya dilengkapi pistol, meskipun telah menjalani pelatihan tertentu, namun yang benar-benar mengalami ujian hidup dan MATI tidak banyak. Sebagai pasukan utama pertempuran, [] di bawah dengan 20-an orang meski lebih kuat dari tentara bayaran biasa, namun jumlahnya terlalu sedikit. Untungnya, para pengusaha kaya juga membawa cukup banyak pengawal pribadi ke kapal, dan saat ini hampir separuh telah dipencarkan ke bawah. Sebagian besar mereka adalah mantan pasukan khusus atau tentara bayaran. Meski yang diam-diam membawa senjata api hanya minoritas, keikutsertaan mereka memberikan bantuan nyata. Karena itulah mereka bisa menekan musuh di dek bawah kapal dengan daya tembak yang relatif lemah.
Berbeda dengan situasi pertempuran yang deadlock di bawah, situasi di dek atas justru semakin kabur. Setidaknya saat ini, sepertinya kedua belah pihak sama-sama berpotensi menang atau mengalami kehancuran total di saat kapan saja. Di satu sisi ada Yoritomo Taku, pembunuh berkemampuan khusus, dan seorang pembunuh tingkat A yang sebelumnya telah bersembunyi. Di sisi lain ada Cui Guohua, Lu Guoyi, Chen Guxia. Qiao Guorui yang bersembunyi di lokasi rahasia, serta seorang wanita yang baru saja menyerang dan berani berhadapan langsung dengan Yoritomo Taku - Natalie*Annis.
Di seluruh kapal saat ini, orang yang benar-benar mengetahui identitas wanita ini selain beberapa pengawalnya mungkin hanya Gu Jiaming. Di mata Cui Guohua dan yang lain, ini hanyalah utusan Dark Celeste yang datang menyampaikan niat bersekutu, namun tak diragukan lagi memiliki kemampuan bertarung yang benar-benar mengagumkan.
Saat itu Yoritomo Taku dan si pembunuh yang telah bersembunyi tiba-tiba menerjang. Kabut ungu yang digerakkan oleh pengguna kekuatan supernatural menyelimuti, satu lagi kawan seperjuangan Cui Guohua terkena serangan. Ketika Chen Guxia sudah jatuh ke dalam situasi kritis yang pasti MATI, tiba-tiba wanita itu menerobos dinding baja, melancarkan serangan ke Yoritomo Taku dalam jarak terdekat. Jika bukan karena refleks cepat Yoritomo Taku, mungkin saat itu kepalanya sudah terpisah dari tubuh.
Setelan kulit hitam mengukir postur bak setan. Menerobos baja dengan kekuatan manusia, ini hampir merupakan puncak kekuatan supernatural sejati. Kemudian hanya dengan belati, menghindari tembakan Yoritomo Taku sambil menari-nari dengan pisau maut yang mematikan, keindahan yang mengarungi batas hidup dan MATI itu tak diragukan lagi merupakan demonstrasi dan pamer kekuatan Dark Celeste.
Setelah itu, Yoritomo Taku mundur dan menghilang, wanita ini tampaknya juga menghilang di dalam kabin kapal. Namun bagi kedua pihak, semua tahu bahwa kedua orang ini sedang menunggu pihak lawan untuk menyerang. Maka dalam sepuluh menit berikutnya, situasi pertempuran berubah dari sengit menjadi aneh. Kadang kau mengejarku, kadang sebaliknya. Dalam waktu lebih dari sepuluh menit, kejar-kejaran terus berlanjut dari Lapisan Keempat kapal pesiar hingga Lapisan Keenam, kemudian naik ke dek atas kapal yang diterpa hujan dan angin.
Saat ini lampu di dek teratas kapal yang menyala tidak banyak, tempat persembunyian bertebaran. Dalam hujan lebat, raungan senjata kembali menjadi sengit, percikan api yang menyembur terlihat sangat memukau dalam kegelapan. Enam orang itu sambil menembak, dengan cepat mencari perlindungan. Meja-kursi dan payung taman yang tertutup terpal di tepi kolam renang hancur berantakan diterjang peluru. Setelah melewati bangunan dua lantai di tengah kapal, Cui Guohua bersembunyi di balik dinding, merobek kain dan menggigit gigi erat sambil membalut luka tembak di lengan kanannya yang tertembus peluru. Kemudian, bayangan lain mendekatinya hampir tanpa suara, lalu duduk di lantai.
"Aku kalah..."
Jaket kulit hitam yang melekat di tubuh, siluet tubuh yang menggoda bak setan, Natalie menekan luka tembak di paha indahnya. Rembesan air mengalir deras di wajahnya, dalam hujan dan angin, ia terlihat agak kikuk.
“Pada saat ini, bahkan Cui Guohua sendiri tidak begitu jelas kapan pertarungan mereka dimulai, tapi hasilnya sangat nyata. Melihat luka di tubuhnya, Cui Guohua mengangguk: "Mengerti, serahkan sisanya pada kami."
Saat hendak berdiri, tiba-tiba lengannya dicengkeram Natali: "Ha, jangan bercanda. Dengar, lukaku ini mengurangi deterensi terhadap Yoritomo Taku, tapi aku masih bisa menekan kemampuan khusus mereka. Kau tahu harus berbuat apa?"
"Aku akan menciptakan kesempatan bagi mereka untuk menggunakan kemampuan khusus. Saat itu tiba, serahkan padamu." Mengangguk lagi, hendak berlari maju ketika tiba-tiba cahaya menyilaukan menyorot dari depan. Lampu proyektor berkekuatan tinggi untuk upacara pengibaran bendera itu mengelilingi tiga tiang bendera di geladak kapal, menyinari langit malam yang diselimuti hujan dan angin dingin nan muram di tengah laut.
Kedua pihak yang bertempur terkejut dengan kejadian tak terduga ini. Masing-masing menduga ini pasukan bantuan atau jebakan lawan. Dentuman senjata terdengar, lalu semua orang berlindung sambil menanti fortopolio berikutnya.
Kemudian, musik mulai berkumandang.
Pengibaran bendera nasional tentu diiringi lagu kebangsaan. Tapi yang terdengar berikutnya bukanlah "March of the Volunteers", melainkan lagu kebangsaan Jepang "Kimi ga Yo". Di tiang bendera kecil di sampingnya, sesosok mayat mulai dinaikkan perlahan.
Di tengah hujan dan angin, mayat itu tercekik tali bendera di lehernya, perlahan terangkat. Di bagian tengkuk mayat terdapat luka potongan besar. Karena guyuran hujan, darah telah mengering. Di bawah sorot lampu, luka itu tampak seperti mulut besar yang menganga, pemandangan yang benar-benar mengerikan dan memuakkan. Tentu saja, bagi mereka yang terbiasa dengan hidup dan MATI, daya hantamnya tidak terlalu besar. Cui Guohua berusaha mengenali wajah orang ini, tapi akhirnya tidak berhasil. Justru Natalie yang setelah beberapa saat terkekuk: "Ini pembunuh tingkat A dari Pei Luo Jia, ahli komputer. Pemadaman besar-besaran di kapal sebelumnya pasti karya dia... Jenius macam apa yang melakukan ini? Aku ingin memujinya."
Sambil berbicara, teriakan pelan "Ah!" terdengar dari balik hujan. Kemudian, dentuman senjata dari pihak Pei Luo Jia pertama kali bergema. Cui Guohua melompat keluar, Natalie juga bangkit mendadak, mengangkat senjata dan mulai menembak ke belakang. Kobaran api, peluru, dan darah yang bersilangan akhirnya berhenti tak lama kemudian. Sebuah bayangan terjatuh di kejauhan. Dalam kesunyian hujan yang menyelimuti semua orang, debam jatuhnya terdengar sangat jelas.
Orang itu adalah… pembunuh Pei Luo Jia.
Bersembunyi di balik penghalang lain, Cui Guohua menarik napas dalam-dalam. Pembunuh dari Pei Luo Jia ini awalnya terus bersembunyi, baru menampakkan diri ketika Yoritomo Taku muncul. Natalie saat itu bergegas keluar, meski berhasil menyelamatkan Guru Chen, akhirnya gagal menyelamatkan Yu Guojun yang menghadang di depannya. Kini, mereka justru terbunuh secara misterius oleh seseorang. Perasaan ini sungguh sulit diungkapkan.
Seberapa besar kekuatan Tulip Misterius yang bersembunyi dalam kegelapan itu sebenarnya?
Tiba-tiba, suara gesekan halus terdengar dari walkie-talkie di pinggangnya, persis seperti saat Yoritomo Taku sebelumnya mengumumkan pada Chen Guxia: "Aku akan segera mencarimu." Kali ini, suara asing itu terdengar dingin dan datar: "Kesalahan perhitungan akan membuat orang membayar harga mahal, Yoritomo Taku. Di babak ini aku menang. Sudahkah kau siap menanggung konsekuensinya?"
Dalam hujan dan angin, tak ada jawaban. Baru pada detik ini, Cui Guohua dan yang lain merasakan tekanan tak kasat mata yang selalu menghantui sejak naik kapal akhirnya sirna. Mengumumkan perang pada Yoritomo Taku... Orang ini... Terlalu kuat.
Waktu berlalu detik demi detik. Yang pertama keluar dari tempat persembunyian adalah Natalie*Annis, yang memiliki indra paling tajam di antara mereka. Dalam kegelapan, dia bisa merasakan bayangan misterius seperti hantu yang melintas sekejap. Yoritomo Taku dan pembunuh berkemampuan khusus itu juga telah pergi. Dalam situasi tanpa data sama sekali, ditambah kedatangan misterius Tuan Tulip yang membawa aura begitu dahsyat, bahkan Sang Raja Pembunuh pun terpaksa memilih untuk menghindari pertempuran. Berdiri di tengah hujan, dia mengepal tangannya dengan erat.
Kali ini, aku kalah, bahkan kalah berturut-turut dari dua orang. Sial... Jika kemampuanku bisa sepenuhnya terbebas dari segel, situasi tak akan seperti ini. Yoritomo Taku maupun Tuan Tulip, dua tahun lagi, kami akan mengalahkan kalian dengan telak dan mutlak!
Terlepas dari sumpah yang dibisikkan Natalie*Annis dalam hujan, akhir cerita ini bagi Jiaming jelas-jelas merupakan solusi paling sempurna. Dalam pertarungan ini, tindakannya terlihat luar biasa menakjubkan, namun pada dasarnya tidak banyak berkontribusi. Jika dalam kondisi bersembunyi sebelumnya dia bahkan tak bisa menghabisi seorang pembunuh tingkat A dari Perkumpulan Pei Luo Jia, itu benar-benar memalukan.
Karakter Yoritomo Taku dia paham betul, keunggulan terbesarnya saat ini adalah kemisteriusannya. Sebelum data-datanya sepenuhnya terkendali, dirinya telah menunjukkan kekuatan yang cukup. Wajar jika dia memilih menghindari pertempuran. Adapun konfrontasi langsung dengannya, bertarung hidup dan MATI, dirinya yang sekarang belum bosan hidup, tak perlu bertarung mati-matian dengan orang lain setiap saat.
Asal masuk ke sebuah kamar, ganti baju hitam dan kondom, lalu buka penutup jam elektronik di pergelangan tangan. Tampil antarmuka radar mini berbentuk grid. Beberapa waktu lalu pernah memberi Lingjing dan Shasha masing-masing sebuah liontin kecil, kini melalui sini bisa dengan mudah menemukan mereka. Lihat horizontal sekali, vertikal sekali, basically posisi bisa dikonfirmasi. Sesaat kemudian, dia tersenyum, berlari menuju ruang baca di Level Empat.
Di dalam kabin kapal Xingmeng, banyak ruang aktivitas sedang seperti ini. Bar, lounge, kasino, perpustakaan, ballroom, lapangan basket, toko bahkan museum—semua lengkap. Kini sebagian besar orang berkumpul di kabin dalam ini menunggu akhir pertempuran. Dipimpin penjaga masuk ke perpustakaan Level Empat, Jiaming pura-pura cemas, lalu kecemasan itu menjadi nyata.
Karena yang menyambutnya hanya Yahan dan Shasha berdua.
"Jiaming, apa Lingjing yang menemukanmu?"
"Jiaming, kamu melihat Lingjing?"
"Lingjing... Dia tidak bersama kalian?"
“Lingjing……Kami tidak mendapat kabarmu, hanya tahu kau pergi makan. Tapi tak tahu di restoran mana. Restoran dan toko di lantai atas sudah kami cari tapi tak ketemu, akhirnya dia lari keluar mencarimu. Saat itu situasi agak kacau, kami tak bisa menghentikannya. Dia bilang tak apa-apa......” Suara Shasha terdengar tersendat, air mata hampir tumpah, “Kami minta tolong penjaga untuk memperhatikan, tapi tadi ada penjaga yang bilang sepertinya ada gadis mirip Lingjing lari ke lantai dua......”
Jiaming menarik napas dalam, menatap kerumunan di sekelilingnya, lalu berkata: “Aku akan mencarinya.” Shasha berteriak “Jangan!” sambil tiba-tiba menggenggam tangannya. Seketika itu Jiaming berbalik dan memeluknya: “Shasha, aku akan menemukannya, tenanglah.”
Ia tersenyum meyakinkan, lalu bertanya: “Ngomong-ngomong, liontin yang kuberikan itu mana? Kau tak memakainya hari ini?”
“Ah, di sini.” Shasha mengeluarkan dua liontin berbentuk hati yang diikat tali merah dari kantongnya, “Punya Lingjing juga ada padaku. Karena hari ini tidak keluar rumah, kemarin pakai gaun malam jadi kami lepas dan belum dipasang lagi. Saat pergi, kusimpan semua di kantong.”
“Oh, begitu rupanya...” Ia menghela napas, memasangkan satu liontin ke leher Shasha, sambil memegang liontin milik Lingjing. Kemudian mendorong Shasha ke arah Yahan, “Kakak Yahan, Shasha kuserahkan padamu. Aku akan menjemput Lingjing.”
“Kau harus hati-hati.” Mengetahui tak bisa menghentikan Jiaming, Yahan berbisik mengingatkan. Saat Shasha hendak menahannya, Jiaming sudah berlari jauh sambil menoleh: "Tenang, semua akan baik-baik saja."
Kecuali mungkin para penyusup yang naik ke kapal...
Kilatan tajam terpantul di matanya. Saat dua penjaga di pintu mencoba menghalangi, tubuhnya tiba-tiba bergerak cepat menerobos keluar. Saat ini, perasaannya sangat kompleks.
Dulu sebagai pembunuh, dia terbiasa bekerja solo tanpa memedulikan orang lain, fokus hanya pada target. Kini segalanya berbeda dengan kehadiran Shasha dan Lingjing. Dalam duel melawan Yoritomo Taku ini, hampir tiap dua menit dia memeriksa radar kecil di pergelangan tangan untuk memastikan kedua gadis itu aman. Mentalitas seperti ini membuatnya ragu untuk benar-benar membunuh Yoritomo Taku, sehingga hanya membuat kehebohan untuk mengusir lawan. Namun tetap saja terjadi perubahan di luar rencana...
Setiap kegagalan mencapai kesempurnaan pasti berasal dari kelalaian diri sendiri. Kebiasaan lama sebagai pembunuh telah membatasi geraknya. Mungkin... sudah saatnya membuat pilihan: jika tak bisa menemukan titik keseimbangan antara dua identitas ini, lebih baik tinggalkan profesi pembunuh. Saat merasakan ketakutan bahwa Lingjing mungkin dalam bahaya, tiba-tiba dia menyadari bahwa tantangannya terhadap Yoritomo Taku kali ini mungkin agak kekanak-kanakan...
Tentu saja, penyesalan tidak ada gunanya, yang penting, aku harus memastikan keselamatan Lingjing, bahkan jika… harus membayar Segalanya biaya!
Dalam hujan angin, hantu hitam terbang melesat keluar dari sisi kapal, tangan menggenggam ujung tali, jas hujan terkembang di udara, bagaikan bunga kematian yang mekar. Pada detik ini, hati pembunuh yang sesungguhnya yang bahkan belum pernah muncul saat berhadapan dengan Yoritomo Taku, kini muncul di dirinya.
Tak lama kemudian, di lapisan pertama kapal pesiar yang telah jatuh dan lantai dua yang telah tergempur sebagian kecil, terdengar suara netral: "Halo, adakah yang selamat di bawah yang butuh diselamatkan? Silakan tekan tombol layanan makanan terdekat, petunjuknya adalah password kacang mete gula panggang tanggal 7 Agustus dan suami kecil, drip… Aku kucing kecil imut imut imut…"
Ucapan dari pengeras suara yang berubah dari omongan aneh menjadi lagu ngawur, benar-benar membingungkan. Di sebuah kamar berantakan di lantai satu, pria botak yang memegang dua senapan serbu tertegun sebentar, bertanya pada orang di sebelahnya: "Apa maksud komputer kapal ini? Rusak kena pukulan kita?"
"Bos Hiu Laut, mungkin sudah diparalisir oleh orang-orang Pei Luo Jia? Bukankah mereka bilang akan menghancurkan komputer kendali kapal?"
“Oh, sayang sekali, kapal yang bagus ini, komputernya malah dirusak…” Dia tersenyum sambil berjalan ke tombol di dekat pintu, “Layanan katering, tombol ini ya? Apa yang akan terjadi jika ditekan? Ayo, meski tidak tahu password atau semacamnya, setiap orang coba tekan satu kali, lihat apakah ada yang datang menyelamatkan kita ‘para yang selamat’ ini, hahahaha…”
Kemudian, jarinya menekan tombol itu dengan ritme yang khas…
## Bagian Kesembilan Puluh Kota Bahaya di Laut (3)
Andi, orang Thailand, dijuluki Hiu Laut, sebagai pemimpin kelompok tentara bayaran Huo Yan, saat ini hatinya dipenuhi kegembiraan sekaligus kegelisahan.
Aksi besar-besaran pembajakan kapal pesiar Star Dream ini tidak hanya melibatkan kelompoknya. Atas jembatan organisasi Pei Luo Jia, beberapa kelompok tentara bayaran besar dan organisasi gerilya terlibat dalam Serang ini. Bagaimanapun, ada lebih dari ratusan orang kaya di kapal. Jika operasi ini berhasil, uang yang didapat bisa menopang negara kecil. Namun meski persenjataan di kapal terbatas, perlawanan yang dihadapi luar biasa sengit. Dua kelompok tentara bayaran lain sudah menerobos ke kabin lantai dua. Meski pasukannya juga hampir Break through, keterlambatan satu langkah berarti mereka akan kehilangan satu persen dalam pembagian uang nanti.
“Sial, kalian anak-anak anjing belum naik juga? Cepat! Cepat! Kalau tidak, rombongan itu yang makan daging, kalian siap-siap minum kuahnya saja! Sudah kukatakan sebelumnya, lakukan penyergapan dari samping! Serang mereka dengan tak terduga, Serigala Tunggal! Kalian anak-anak pelacur masih di mana-mana!? Cepat jawab!”
“Bos, kami sudah sampai di posisi, sedang mempersiapkan untuk naik, Anda…”
Orang di sisi walkie-talki tiba-tiba terdengar suara "Byur" tembakan, kemudian komunikasi terputus. Setelah terdiam sejenak, Hiu Laut menekan tombol bicara lagi: “Ada masalah apa? Disergap?”
Beberapa saat kemudian, suara berbeda terdengar dari sana: “Bo...bos, kami diserang…”
“Berapa jumlah mereka? Bagaimana dengan Serigala Tunggal? Apa yang terjadi padanya?”
“Mu...musuh hanya satu orang. Kakak Serigala...sudah MATI, dua saudara kita juga tewas. Orang itu...memakai jubah hitam, larinya sangat cepat, mengayun turun dengan tali dari atas, begitu mendarat langsung berlari ke kabin kapal. Bos, mau kami kejar?”
“Ke arah mana dia pergi? Akan kusuruh yang lain menghadang. Kalian tetap jalankan rencana awal, hati-hati! Jika ada penyergapan lagi, serbu mereka!”
“Baik, Bos. Orang itu...sepertinya sedang berlari ke arahmu…”
"Kekacauan dan kerusakan, kegelapan menyelimuti bagian dalam kapal. Berbagai meja, kursi, dan furnitur hancur berantakan. Pintu kaca dan jendela di ruang makan serta area istirahat kini hanya menyisakan rangka, serpihan kaca berserakan di mana-mana. Jejak ledakan yang menghanguskan dan bekas peluru terlihat di seluruh area. Sesekali kabel listrik yang terbuka di dinding memancarkan cahaya sambil mengeluarkan suara 'Sssss'. Dengan menyalakan lampu sorot kuat di senjata, Hai Sha beserta belasan anak buahnya perlahan bergerak maju dalam terowongan."
"Saat tiba di persimpangan, Hai Sha membuat gestur tangan, memerintahkan bawahannya untuk membagi dua rute. Begitu pasukan baru saja melangkah, tiba-tiba terdengar suara 'Splash' dari belakang. Kilatan cahaya menyapu area, terlihat seutas kabel menggantung dari langit-langit terowongan. Kabel itu mencekik leher orang terakhir dalam barisan, sementara batang besi runcing menembus tengkoraknya dari atas."
"Di atas!"
"Seketika, raungan tembakan dari belasan senjata menyambar langit-langit. Cahaya berpendar cepat di sepanjang terowongan sebelum akhirnya reda. Dalam kegelapan, hanya gema tembakan jauh yang terdengar. Mayat dengan lubang di kepala itu bergoyang-goyang di udara... seolah mengejek ketidakmampuan mereka."
"Mundur beberapa langkah, sorotan senter menyapu langit-langit. Namun hanya bekas peluru yang terlihat, tanpa jejak darah sama sekali. Seorang tentara bayaran mengintip ke celah langit-langit yang terbuka. Begitu sorot senternya menyapu area, dentuman senjata pun menggema."
Mayat jatuh dari atas, di dahinya terdapat bekas lubang peluru yang jelas.
"Kejar! Bunuh dia!" Suara tembakan terdengar dari belokan lorong, tiba-tiba dentuman senjata menggelegar bagai hujan, sekelompok orang mengejar sementara langit-langit di atas hampir terangkat. Namun setelah serangkaian tembakan lagi, sepertinya tidak ada reaksi dari atas.
Lebih dari sepuluh orang berjaga-jaga di dalam terowongan itu, cahaya senter menyapu kedua ujung lorong. Hiu Laut menarik napas dalam: "Kita menghadapi ahli, hati-hati... Dengan jumlah kita sebanyak ini, pasti bisa menghabisinya di sini!"
Pada saat yang sama, di langit-langit lorong yang terpisah dua koridor dari sana, muncul sosok manusia. Berdiri sejenak di depan pintu kamar yang setengah terbuka, menatap angka "1029", dia menarik napas panjang lalu mendorong pintu masuk.
Ini adalah kamar yang belum terlalu hancur. Tingkat kemewahannya tidak sebanding dengan ruang VIP di lantai tiga ke atas, sehingga kondisi ruangan terlihat jelas - tidak ada seorang pun di dalam.
Setelah memeriksa jejak kaki basah di lantai, kemudian melihat bawah ranjang dan lemari, dia menjepit pangkal hidung dengan dua jari. Pandangannya menyapu tombol layanan makanan sebelum tertuju ke arah Hiu Laut dan kawanan.
Hiu bodoh itu mungkin takkan pernah menyadari, leluconnya menekan tombol sembarangan telah mendatangkan mimpi buruk seperti apa...
Tidak lama kemudian.
Darah, MATI, bayangan, takut... Setelah melewati terowongan panjang, hanya tersisa dua kawan di samping Haisha. Dalam beberapa menit sebelumnya, terjadi pembantaian yang penuh dengan keanehan. Berbagai serangan dan pembunuhan bayaran yang tak terduga muncul satu per satu di sekitar mereka, sementara kawan-kawan di samping terus roboh berguguran.
Kadang peluru senyap datang dari segala arah, kadang jebakan siluman berupa kawat halus terbentang di terowongan. Seringkali tanpa disadari, orang terakhir dalam pasukan tiba-tiba terjatuh Byur. Saat berbalas tembakan, tak terlihat musuh, sementara leher kawan yang diserang menyembur darah dan kejang-kejang sebelum MATI. Dalam keterkejutan, tiba-tiba sosok itu sudah muncul dengan senapan serbu di seberang, menyapu dengan gila. Sekilas, mereka hanya sempat melihat jubah hitam pekat yang menari-nari. Andai yang dipegangnya bukan senjata melainkan sabit raksasa, persis seperti wujud dewa kematian dalam mitos.
Dan itu memang benar-benar dewa kematian.
Setiap serangan pasti ada yang jatuh, sementara pihak kami seolah tak bisa memahami pola gerakannya. Kecepatan pria itu terlalu tinggi, gerakannya terlalu aneh. Setiap kemunculan dan serangannya terlihat gila, namun sebenarnya selalu berada di persimpangan antara menyerang atau kabur. Setiap serangan pasti efektif, setelah menyerang pasti melarikan diri. Hingga kini ketika hanya tersisa dua kawan di sampingku, barulah aku sadar betapa bodohnya mencoba membunuhnya dengan personel kami di lingkungan kompleks ini. Meski harus kehilangan muka, aku sudah siap untuk segera kabur ke pasukan utama kelompok tentara bayaran yang sedang menyerbu lantai dua. Belasan orang dengan persenjataan tak cukup di medan rumit, tapi ratusan orang pasti takkan takut padanya.
Memanggil dua orang di sampingku, kami melangkah melewati pintu gerbang dalam kegelapan. Ini adalah restoran di samping aula jamuan, sebagian besar fasilitasnya telah hancur. Dalam kegelapan, gema kecil dari langkah kaki bertiga terasa sangat sepi dan menyeramkan, terutama ketika dibayangi ketakutan akan KEMATIAN. Gema itu seolah diperbesar tanpa batas. Kami bertiga menjaga masing-masing sudut, bergerak hati-hati ke depan. Tiba-tiba, suara kecil terdengar di salah sisi restoran.
Hampir secara refleks, salah seorang di antara kami menarik pelatuk. Sesaat kemudian, dari balik konter dapur yang berjarak sekitar tiga meter, terdengar jeritan khas anak-anak.
“Ah——Tolong、tolong……Jangan bunuh aku, jangan bunuh aku, keluargaku sangat kaya, keluargaku sangat kaya, jangan bunuh aku——”
Setelah dentuman senjata berhenti, ketiganya saling bertukar pandang. Hai Sha berteriak dalam bahasa Mandarin: "Keluar."
Dengan ragu-ragu, seorang pemuda berusia sekitar 15-16 tahun mengangkat tangan sambil gemetar keluar dari dalam, ekspresi ketakutan terpancar di wajahnya yang biasa-biasa saja, tipe anak yang langsung terlihat sangat polos.
"Kumohon, jangan bunuh aku... Keluargaku sangat kaya, kumohon, jangan bunuh aku, jangan bunuh aku..."
Dalam tangisan permohonan sang pemuda, Hai Sha meliriknya sambil berjaga-jaga ke belakang bersama rekannya, berkata dalam bahasa Thailand: "Bunuh dia."
Dentuman senjata bergema, tapi sang pemuda telah melompat keluar secepat kilat, menendang meja makan di samping lalu melayang miring.
Jarak tiga meter benar-benar terlalu dekat.
Hampir bersamaan, firasat dingin merayap dari tengkuk Hai Sha. Saat ia menoleh, cahaya terang lampu restoran tiba-tiba menyilaukan, membuatnya terlambat sepersekian detik.
Dalam pandangannya, hanya terlihat tubuh pemuda itu terjungkal di udara. Kedua tangan dan pisau berputar mengikuti gerakan tubuh, menarik garis darah Guili yang indah bak puisi dari leher kedua rekannya, hampir membentuk lingkaran sempurna di udara. Kemudian kaki pemuda itu telah melilit lengan yang memegang senjatanya.
Rotasi tak berhenti sedikit pun, tubuh besar Hai Sha yang hampir seratus kilogram terbang ke udara bersama kedua kaki lawan yang menjepit lengannya. Lengan kanan yang kekar sudah terpelintir hebat di udara.
Byur! Tubuh kedua pria menghantam lantai keras. Tanpa ragu, Hai Sha menggapai belati militer di paha kirinya, tapi lawan lebih cepat. Baru setengah jalan, pisau di tangan pemuda itu sudah menusuk pergelangan tangannya, sementara pisau lain menyayat otot pahanya.
Sekejap, kedua tangan dan satu kakinya terluka parah. Basically sudah melumpuhkan seluruh kekuatan tempurnya. Pemuda itu berdiri, mencengkeram rahangnya dengan kasar, menarik seluruh diri ini berdiri.
Cahaya di ruang makan hanya muncul sekejap, kegelapan kembali menyelimuti. Hanya senter di senjata-senjata yang jatuh ke lantai masih menyala terus. Memandang wajah dingin pemuda itu, Hai Sha sama sekali tak paham: bagaimana mungkin seorang remaja seperti ini bisa menjadi sosok dewa kematian yang sudah membunuh lebih dari sepuluh orang mereka?
Penampilan bisa dikamuflase, tapi tipe tubuh tidak bisa. Orang ini jelas masih remaja dalam tahap berkembang.
"Kalian memesan layanan katering……"
Dengan suara dingin, pemuda itu menekan kepala pria itu ke meja panjang, menarik ember berisi es, memenuhi mulutnya dengan potongan es kecil. Kemudian mengambil palu kecil untuk menghancurkan es, memukul mulutnya berkali-kali dengan bunyi "byur byur byur". Seluruh bagian bibirnya sudah berdarah dan terluka parah.
"Baik, sekarang kita bisa berbicara... di kamar 1029. Kau atau kawanmu yang menekan tombol layanan makanan?"
Haisya menatapnya dengan mulut penuh es dan darah, pandangannya penuh dendam. Pemuda itu menggelengkan kepala dengan penuh belas kasihan: "Sepertinya tebakanku benar, ada jejak kaki di depan tombol. Lalu pertanyaan lain, pernahkah kau melihat gadis ini?" Dari kantongnya ia mengeluarkan foto, lalu menyalakan senter: "Lihat baik-baik."
"Batuk... hahaha... Wanita ini... sudah kami..." Dengan susah payah memuntahkan es dari mulutnya, Haisya mencoba tertawa. Namun sebelum selesai bicara, pemuda itu kembali menggeleng: "Kulihat kebingungan di matamu. Sayang, kau belum pernah melihatnya... Kalian telah membuang waktuku."
Kilatan pisau menyambar. Dalam sekejap, Haisya mendengar suara udara mengalir di trakea dan darah yang menyembur deras. Kehidupan meninggalkan tubuhnya dengan kecepatan yang terlihat mata. Pemuda itu menarik napas dalam, tak lagi mempedulikan mayat yang mulai limbung di belakangnya. Ia langsung berjalan keluar, tapi beberapa saat kemudian kembali sambil mengusap dahinya dengan lembut.
Sesuai yang dikatakan Gesekan dan Yahan, mereka mengira dirinya sedang makan di luar, sudah mencari di semua restoran lantai atas. Kemudian Lingjing turun, pertama-tama tentu juga mencari restoran...
Memungut sebuah senapan serbu, dengan bantuan pencahayaan mencari petunjuk di lantai, kemudian perlahan memasuki dapur di dalam restoran. Di lantai ada dua mayat, sepertinya pengawal orang kaya di kapal, kamar itu penuh kerusakan akibat tembakan peluru, setelah berkeliling sebentar, dia berbalik hendak pergi, tiba-tiba kembali lagi, mendekati sebuah lemari es besar di ujung dapur. Panel kendali suhu diatur ke derajat panas tertinggi saat lemari es beroperasi.
Membuka pintu besi, reflek dia menghindar ke samping karena pertama kali yang terlihat adalah laras pistol yang mengarah ke luar. Jiaming segera berjongkok, di dalam lemari es itu, perempuan bersenjata itu meringkuk seperti bola, tubuhnya penuh serpihan salju halus, pipi pucat, hidungnya hampir tak mengeluarkan uap napas. Meski diatur ke suhu tertinggi, lemari es sebesar ini sama sekali bukan tempat yang layak untuk manusia bersembunyi.
Mengulurkan tangan merasakan panas di tangannya, hembusan napas di wajahnya, akhirnya Jiaming menggendong tubuh gadis yang meringkuk itu. Syukurlah, masih ada detak jantung dan napas lemah.
"Lemari es jenis ini tidak bisa dibuka dari dalam, sulit dibayangkan jika dia datang terlambat satu langkah, bagaimana jadinya seluruh hal ini. Asumsi seperti itu membuat seluruh tubuhnya gemetar. Dia tidak ingin dan tidak mampu menanggung konsekuensi seperti itu, bahkan jika setelahnya membunuh habis semua penyusup di kapal, menghancurkan seluruh Pei Luo Jia, tetap tak bisa menggantikan..."
"Maaf Lingjing, aku terlambat... Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja..."
## Bagian Kesembilan Puluh Satu Pengakuan
"Lingjing, Lingjing cepat bangun..."
Duduk di sisi kompor dapur yang masih hangat, Jiaming membuka kemejanya, merangkul gadis yang meringkuk seperti bola ke dalam pangkuannya. Tangannya menyusup ke dalam baju dan rok gadis itu, menggosok anggota tubuh yang dingin dengan mati-matian. Meski tanpa kekuatan supranatural, dia menguasai qigong yang cukup mumpuni. Dengan panik, telapak tangannya memancarkan kehangatan bagai tungku. Tak lama kemudian, detak jantung gadis itu mulai normal. Sejenak, bulu mata basahnya bergetar, akhirnya perlahan membuka mata. Perlahan dia mengangkat kepala, memandang pemuda yang sedang memeluknya.
Dalam kegelapan, sebenarnya tidak bisa melihat apa-apa, sampai tangan pemuda itu dengan lembut menyentuh pipinya dan berbisik: "Lingjing, tidak apa-apa..." Barulah sarafnya mengendur, tubuh kaku itu perlahan rileks, semakin lunak mengikuti dada sang pemuda. Tak lama kemudian, dengan suara serak dan terisak dia berkata: "Jiaming... akhirnya aku menemukanmu..."
"Ya, ketemu, Lingjing, tidak apa-apa... tidak apa-apa..."
"Jiaming... apakah rombongan orang jahat itu sudah pergi? Kamu... kamu tidak terluka kan?"
"Mereka..." Di sela percakapan, dentuman senjata masih terdengar dari kejauhan. Jiaming menarik napas dalam lalu berkata: "Jangan bicara ini dulu, kita cari tempat teraman untuk bersembunyi. Eh, jangan bergerak, biar aku menggendongmu..." Kondisi Lingjing masih baru pulih, sulit untuk bergerak sendiri. Jiaming memeluknya erat sementara tangan lainnya memegang senapan serbu milik Haisha dkk, tak berani menyalakan senter. Saat melewati belokan dapur, dia mengambil cerek kopi plastik dan meletakkannya di pangkuan Lingjing. Kopi di dalamnya masih hangat, lebih baik daripada tidak sama sekali.
Beberapa saat kemudian, bayangan mereka menghilang dalam kegelapan...
"……Karena kami tidak bisa menemukanmu, dan mendengar bawah sana sangat berbahaya, Shasha ingin turun mencarimu. Saat dia ditahan Kak Yahan, aku langsung kabur. Ketika sampai di lantai satu, katanya tangga terdekat sudah dikuasai. Semua orang pada minggir, aku ikut dua paman lari ke restoran. Hampir ketahuan, jadi mereka menyembunyikanku di lemari es……Di dalam lemari es dingin sekali. Aku pegang senjata takut keluar, mendorong pintu beberapa kali tapi tidak berani keras-keras. Pintunya sama sekali tidak bisa terbuka. Dalam kegelapan, aku yakin Jiaming pasti akan mencariku... Lalu kau benar-benar menemukanku..."
Dentuman senjata, suara manusia, dan derai hujan berdesing dari jauh. Sorot senter sesekali melintas di jendela. Di dalam kamar kecil, Lingjing mungil meringkuk di pangkuan Jiaming, berbicara pelan. Selembar selimut membungkus tubuh mereka berdua. Ketel kopi sudah menyala, aroma harum mengepul dari cairan hangat yang bergetar halus. Jika mengabaikan ancaman dari luar, pemandangan ini persis seperti adegan romantis pasangan muda yang nonton TV bareng di sofa kamar.
Menuangkan secangkir kopi panas untuk Lingjing menghangatkan tangan sambil menyesap perlahan, Jiaming menggosok-gosok betis dan kakinya yang masih dingin. Dari kantongnya dia mengeluarkan liontin dan mengenakannya di leher gadis itu: "Memakai hadiah dariku berarti kau milikku. Ke mana pun kau pergi, akan kutemukan. Tapi lain kali jangan ceroboh lagi, ya?"
Menggosokkan pipinya dengan lembut pada profil Jiaming, Lingjing menyesap sedikit kopi lalu mengangguk: "Jiaming, bagaimana kau bisa menemukanku?"
"Aku? Sebenarnya aku sudah di lantai atas sejak tadi, lalu ketemu Shasha dan Kak Yahan. Dengar-dengar kau turun ke sini, jadi aku ikut turun. Untung saja aku penasaran membuka lemari es itu, kalau tidak..." Jiaming tersenyum tipis, "Mungkin kita memang punya indera darah. Di dalam sana kau memikirkan aku, jadi aku langsung datang. Tahukah kau? Andai aku terlambat sedikit saja..."
Nada datarnya sarat dengan ketakutan pasca-trauma yang menghantui. Air mata menggenang di mata Lingjing saat ia merapat erat: "Maafkan aku..." Terhadap hal-hal yang sengaja dilewati Jiaming, tak ada sedikit pun keraguan dalam hatinya. Mungkin setiap wanita memandang pria pujaannya sebagai yang terbaik di dunia. Dalam persepsi Lingjing, Jiaming selalu tenang menghadapi hal sepele, tapi tak pernah ragu dalam perkara besar. Meski sebenarnya belum pernah mengalami cobaan berat selain kali ini, keyakinan itu telah mengakar dalam dirinya. Tanpa perlu alasan, tanpa perlu pembuktian, ia tetap percaya padanya.
Beberapa saat berikutnya mereka hanya berpelukan dalam hening. Pertarungan di luar bukan lagi urusan mereka. Rintangan yang akan datang pun tak sempat dipikirkan. Aroma kopi, kehangatan pelukan, telapak tangan yang lembut, dan dunia kecil mereka - segalanya terlalu sempurna untuk diusik.
Setelah lama, Jiaming sepertinya membuat suatu keputusan, berkata pelan: "Lingjing, aku punya rahasia yang selalu tidak tahu harus kuberitahukan padamu dan Shasha atau tidak, sekarang aku ingin..." Mendengar ini, Lingjing tiba-tiba tertawa kecil: "Jiaming, aku juga punya rahasia untukmu, sebagai rahasia yang ditukar, biar aku yang duluan bicara."
"Eh... Oh?" Jiaming agak terkejut, "Lebih baik katakan yang ini dulu, tapi... jangan menertawakanku... jangan tertawa terlalu keras..."
"Hmm, baiklah." Kata Jiaming sambil menampilkan ekspresi serius. Lingjing menekan bibirnya, menarik napas dalam-dalam seolah telah bersiap, melihat keseriusan Jiaming yang berbeda dari biasanya, tiba-tiba tertawa 'Puff Ssshh!', lalu menarik napas lagi sebelum berkata: "Sebenarnya... sebenarnya aku dan Shasha... belum bisa dibilang lesbian..."
"Hmm?"
"Kemarin... tepatnya kemarin malam, Shasha mendengar ucapanmu, memanfaatkan keadaan mabukku, lalu menggunakan jarinya... menggunakan jari, menggunakan jari..." Ia menggumamkan "menggunakan jari" berulang dengan malu, wajahnya hampir terkubur di dadanya sendiri, kemudian melanjutkan dengan samar, "...menggunakan jari itu padaku... Aku terus memohon padanya untuk berhenti, tapi dia tidak berhenti, akhirnya aku menangis... Shasha melihat tangisanku, hasilnya dia juga menangis, setelahnya... dia berbaring di ranjang memintaku membalasnya, tapi aku tidak..."
“Emm, pakai…jari?” Dari ucapan Lingjing yang terbata-bata, Jiaming mulai memahami situasi. Ekspresinya saat ini sangat seru, seperti ingin tertawa tapi berusaha keras menahan diri—ekspresi yang sangat menggelitik. Berbeda dengan Sasha, setelah malu-malu, Lingjing menyundul dahi Jiaming layaknya kucing kecil beberapa kali. Tawa Jiaming berdesir, “Kalau begitu…terus gimana?”
“Trus…trus kami baru sadar air di bak mandi sudah meluap semua. Terus…kami membersihkan selama setengah malam, paginya belum sempat tidur nyenyak, kau sudah datang ributin kami.” Melirik Jiaming, Lingjing berbisik, “Sebenarnya…saat Sasha menyentuhku, aku…aku juga tidak terlalu membenci. Cuma di hati tahu itu salah, jadi waktu Sasha melakukannya, aku menangis…Tapi aku juga paham alasan Sasha. Aku harap kita bertiga mustahil berpisah, Jiaming. Apapun yang terjadi, aku tak akan lagi cemburu pada Sasha. Maaf, Jiaming. Kemarin…kau juga merasa dilema kan…”
Jiaming tersenyum: "Sebenarnya... Kalian berdua perempuan yang mengikutiku, memang sudah merendahkan diri. Jika ada masalah, seharusnya aku yang menyelesaikannya. Tapi jika kalian saling marah karena pihak lain, aku merasa... Aku benar-benar tidak punya hak untuk meminta kalian tetap baik-baik saja. Meskipun awalnya kita bertiga adalah Teman, lalu berubah menjadi hubungan seperti suami istri... Jika ini tekanan atau kecaman dari orang lain, pasti aku yang akan maju paling depan. Tapi jika kau atau Shasha merasa hubungan ini aneh, aku... Benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi... Katanya perasaan lesbian cukup menyenangkan, kau benar-benar tidak bermaksud mencoba?" Kalimat terakhir jelas bercanda. Lingjing melotot padanya, lalu bersandar di bahunya dan berkata lembut: "Aku tentu tahu, jika itu Shasha, bagaimana pun tidak masalah. Tidak ada yang akan berkomentar, Jiaming juga tidak akan membenciku karena ini. Tapi bagaimanapun, aku hanya ingin Jiaming menyentuhku seperti itu... Tubuhku hanya ingin diberikan pada Jiaming... Seperti itu..."
Kalimat selanjutnya sudah membuatnya terlalu malu untuk diucapkan. Setelah mengungkapkan loyalitas hatinya, dia memeluk Jiaming dalam keheningan. Jiaming tersenyum tipis, mengecup rambutnya. Perasaan ini sangat menghangatkan hati, mungkin seperti cinta sejati yang digambarkan dalam buku. Sebelumnya, dia tidak pernah benar-benar merasakan perbedaan antara persahabatan, ikatan keluarga, keluarga, dan cinta. Dia hanya tahu itu adalah sesuatu yang sangat didambakan dan harus dijaga dengan segenap tenaga. Namun saat ini, perasaan itu tetap hangat dan utuh, tapi sepertinya ada sesuatu yang berbeda.
Setelah lama terdiam, Lingjing akhirnya berkata pelan: "Kalau... Rahasia yang Jiaming katakan tadi?"
"Aku..." Jiaming tersenyum, tiba-tiba menegakkan satu jari di depan bibirnya sambil mematikan teko kopi di sebelahnya, "Lingjing, percaya padaku?" Ini sebenarnya pertanyaan yang tak perlu diucapkan. Lingjing membuka mata lebar-lebar lalu mengangguk sungguh-sungguh.
"Apapun rahasianya, aku mustahil akan berubah dari Jiaming yang kalian kenal. Aku tetap Jiamingmu dan Shasha, oke? Aku hanya Jiaming, yang lain tidak penting, setuju?"
"Iya. Bahkan jika kau bilang dirimu orang Mars, aku tetap suka padamu. Kaulah Jiaming." Jawab Lingjing pelan. Jiaming tersenyum tipis: "Dari sini belok kiri, lewati tiga kamar lalu belok kanan. Di lorong ada empat orang bajingan yang menyerang kapal. Inilah rahasia yang ingin kusampaikan dan SEKARANG JUGA akan kutunjukkan."
Mata Lingjing berkedip ketakutan mendengar ucapan Jiaming. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya terangkat oleh Jiaming yang membaringkannya kembali ke selimut. Mengira Jiaming akan mengalihkan perhatian musuh, ia menyambar celana Jiaming. "Percaya padaku, inilah yang ingin kutunjukkan," bisik Jiaming sambil menyerahkan secangkir kopi hangat. Setelah mengangguk meyakinkan, ia mundur ke pintu kamar lalu... menghilang.
## Bagian Kesembilan Puluh Dua Penampakan
……
Melihat bayangan itu tiba-tiba menghilang dalam kegelapan, bahkan tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Tiba-tiba, hati Lingjing kembali terasa sesak, kedua tangannya erat membawa secangkir kopi panas. Cahaya suram merembes dari jendela, ia meringkuk di sudut ruangan.
Apa yang akan dilakukan Jiaming? Rahasia apa yang ia bicarakan? Apakah... dia akan baik-baik saja...
Beberapa saat kemudian, suara Braak yang menggema dari kejauhan, seolah sesuatu jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu, dentuman senjata Byur-byur-byur bergema dalam kegelapan, terdengar mengerikan. Kemudian, teriakan dan jerit kesakitan manusia.
Lingjing tegang sampai jantungnya hampir berhenti berdetak. Dentuman senjata sengit bergema di koridor. Seseorang berlari, suara tembakan semakin dekat, lalu Byur! Tiba-tiba segalanya hening. Keheningan yang terasa aneh.
Dalam kesunyian yang mencekam, air mata Lingjing akhirnya tumpah. Dengan suara terisak ia berteriak pelan: "Jiaming... Jiaming..." Tangan membawa cangkir kopi hendak berdiri, tiba-tiba cahaya senter menyapu pintu. Itu lampu senjata rombongan orang jahat... Mereka... mendekat...
Sekejap mata, Lingjing merasa Jiaming telah membohonginya. Pasti dia sengaja mengalihkan perhatian mereka, tapi akhirnya dibunuh. Membayangkan itu, ia bersandar di dinding dan berdiri. Tak ada artinya lagi. Jika Jiaming sudah tiada... Tiba-tiba pandangannya terpaku.
Beberapa berkas cahaya bergoyang menyinari ruangan, yang muncul di ambang pintu adalah Jiaming dengan pandangan lembut. Tali empat senapan serbu digenggamnya, senter bergoyang-goyang. Setelah menaruh senjata di lantai, ia menatap dengan penuh penyesalan: "Maaf, selama ini menyembunyikan ini darimu dan Shasha..."
Ucapan itu belum selesai, Lingjing sudah berlari ke pangkuannya sambil terisak-isak "hiks hiks". Saat ini, yang penting baginya hanyalah satu hal: Jiaming masih hidup...
"...Sebenarnya, awal mula semua ini bermula saat aku berusia sepuluh tahun. Ingatkah kau Lingjing? Di akhir tahun itu, setelah terus di-bully Huang Haobing dan kawan-kawannya, aku kabur dari rumah. Lalu tubuhku tertembak. Sebenarnya, dua orang yang mati itu adalah pembunuh bayaran. Mereka sedang mengejar seorang pembunuh legendaris. Tanpa sengaja aku mengacaukan rencana mereka. Sebagai rasa terima kasih, sang pembunuh legendaris itu menerimaku sebagai murid. Ia mengajarkan banyak hal: cara menggunakan pisau, senjata, teknik bersembunyi, dan sebagainya. Aku sering mengerjai Huang Haobing dan gengnya. Lama-kelamaan mereka kapok, sementara aku semakin semangat belajar."
"Dulu kukira itu karena persahabatan kita dengan Shasha..."
“Hehe, Tentu saja, ada alasan Shasha, tapi Aku juga banyak membuat masalah secara terselubung. Sampai suatu hari, pembunuh hebat yang melatihku tiba-tiba dibunuh oleh orang yang lebih hebat. Saat itu Aku baru sadar, orang sehebat apapun pada akhirnya akan dibunuh oleh yang lebih kuat. Satu kegagalan atau kesalahan bisa berakibat MATI. Berbeda jika jadi manusia biasa, kita bisa meminta maaf saat melakukan kesalahan, memperbaiki hal yang kacau. Meski dipukul orang, paling-paling hanya sakit beberapa saat. Jadi...”
“Jadi Jiaming tidak akan lagi pamer kemampuan di depan orang? Saat mereka menyuruhmu naik ring, kau hanya kabur dan menolak menyerang, benar?”
“Benar. Apa ini terlihat pengecut?”
“Iya, tapi justru seperti inilah Gu Jiaming milikku dan Shasha. Aku... sangat sangat menyukai Gu Jiaming seperti ini...” Lingjing tersenyum sambil merangkul lehernya erat. Jiaming tersenyum, mengambil seprai untuk mengusap bekas air mata di wajahnya. Penjelasan ini separuh palsu, separuh benar, bahkan bisa dibilang seluruhnya dusta. Tapi ini sudah menjadi batasan maksimal yang bisa Jiaming ungkap. Bagaimanapun, fakta bahwa dirinya terlahir kembali karena bertemu phoenix hanya akan menimbulkan masalah jika diungkap.
“Sudah, jangan menangis lagi. Wajahmu sudah seperti kucing belang... Kejadian seperti ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Aku punya kemampuan melindungi diri... Jika sejak dulu aku jujur padamu dan Shasha, hal hari ini...”
“Jangan.” Sebelum kalimat selesai, langsung dipotong oleh Lingjing. Kemudian dengan ekspresi tidak puas dia berkata, "Setiap hal pasti ada risikonya, apalagi hal seperti ini. Mereka membawa senjata, peluru beterbangan, tidak ada yang bisa menghindar. Sedikit saja lengah bisa tertembak. Tidak, hati-hati pun tidak berguna... Aku dan Sasha tidak akan tenang. Kalau ada kejadian seperti ini lagi, kau tidak boleh sembarangan menyerang! Jika tidak, aku dan Sasha akan datang mencarimu. Kalau sampai MATI, kubuat kau menyesal seumur hidup!"
“Hmm... Apa?” Ekspresi Jiaming sedikit terdistorsi.
“Jadi, mulai hari ini, kau harus berjanji padaku...”
“Apa lagi...”
“Mulai sekarang, jika menghadapi situasi berbahaya seperti ini, kau tidak boleh sembarangan bertindak. Tempat berbahaya tidak boleh sembarangan dimasuki. Kau harus tetap menjadi Jiaming yang dulu, tidak boleh cari masalah. Tapi jika ada yang mengganggu, jangan seperti dulu yang selalu kabur. Tantangan normal harus kau lawan balik, tunjukkan kemampuanmu! Aku... Aku tidak mau kau selalu diremehkan orang seperti pertandingan ring waktu itu. Jika dia berani datang lagi, langsung pukul sampai tiarap! Dan...” Terakhir kali ini sepertinya membutuhkan tekad besar, Lingjing menarik napas dalam-dalam, “Jika ada yang ingin BUNUH kau, jangan pikirkan apakah aku dan Sasha akan takut. Kau harus habisi dia! Kalau tidak... Menurut buku, balas dendam orang-orang seperti itu sangat mengerikan...”
“Dengar kata-kata Lingjing yang diucapkan sekali tarikan napas, Jiaming terdiam sejenak, lalu menyentuhkan dahinya ke dahi Lingjing sambil tersenyum: "Perintah dijalankan, Istri Tuan Lingjing." Sambil menutupi kepala dengan tangan dan melontarkan pandangan protes malu, Lingjing bertanya: "Kalau... sekarang ini Jiaming yang biasa?""
“Tentu saja, kapan saja.”
“Kalau...” Lingjing tersenyum licik, “Yang tidak melawan saat kupukul?”
“...Kau coba saja sendiri nanti tahu.”
Setelah mengetuk dahi Jiaming, Lingjing tertawa: "Aku sudah mencoba, hmph, berani-beraninya menubrukku... Ah, aku tidak mau lagi, tolong, Jiaming ampunilah, ah... Suami ampunilah..."
Tak berani berteriak keras, Lingjing terus meronta sambil merengek-rengek. Beberapa saat kemudian, tangan Jiaming menyusup ke dalam bajunya, satu lagi merayap ke bawah gaun. Daerah sensitifnya direbut, barulah dia berhenti meronta dan merengek dengan perlawanan simbolis. Mata berlinang memandang Jiaming, pipi membara, malu bercampur manja...
Dalam situasi genting seperti ini, tentu bukan tempat yang tepat untuk bercinta. Setelah bercanda sejenak, Jiaming mulai mempertimbangkan untuk kembali ke dek atas kapal. Jika hanya dirinya sendiri, tentu bisa bertindak semaunya. Tapi dengan membawa Lingjing, semuanya menjadi berbeda. Sekarang area sekitar kapal yang menuju dek atas pada dasarnya sudah menjadi medan pertempuran. Meski Jiaming sangat percaya diri, dia tak menganggap dirinya seperti dewa perang yang bisa membunuh semua penghalang lalu membawa Lingjing naik ke atas gedung dengan sombong.
Tidak ingin ada sesuatu terjadi pada Lingjing, sebenarnya bersembunyi di kamar bawah yang gelap gulita dengan kondisi geografis rumit adalah pilihan terbaik saat ini. Namun bukan hanya Jiaming, bahkan Lingjing juga sangat khawatir. Jika Shasha tidak melihat mereka berdua dalam waktu lama, mungkinkah dia akan melakukan hal serupa seperti Lingjing di atas. Setelah berdiskusi sebentar, Jiaming akhirnya memutuskan untuk mengambil sedikit risiko. Dia mengajari Lingjing cara menggunakan senjata dasar, lalu mereka berdua menyelinap keluar kamar tanpa menyalakan lampu. Jiaming memimpin di depan sementara Lingjing memegang helai bajunya, melewati terowongan panjang yang gelap pekat.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba di aula jamuan yang berantakan. Salah satu pintu aula ini menuju geladak yang diterpa hujan, persis di jalur yang telah mereka rencanakan. Saat mendekati pintu gerbang itu, tiba-tiba Jiaming menempelkan tangannya di dada Lingjing, memberi isyarat agar berhenti. Sentuhan di area sensitif itu membuat jantung Lingjing berdebar kencang dua kali. Tiba-tiba tiga sorot kilat muncul dari balik pintu, sementara di ujung lain aula jamuan terdengar suara manusia. Cahaya senter itu muncul dan menghilang seketika.
Ada orang datang dari depan dan belakang, bagaimana ini, bagaimana... Meski dalam situasi kritis, Lingjing tetap tenang. Dia ingat perkataan Jiaming, dia tidak ingin menjadi beban. Dengan mantap dia memastikan magasin terpasang, menarik pelatuk, lalu menekan picu...
Byur byur byur——
Kobaran api menyala, peluru beterbangan di lantai. Cahaya senter di luar pintu tiba-tiba membeku. Jiaming melesat keluar bagaikan seekor macan tutul!
Sekejap mata, dentuman senjata di balik tirai hujan terdengar sangat menggelegar. Lingjing terkejut dengan gerakannya sendiri. Saat tersadar, dia hanya mendengar suara tembakan di balik kegelapan hujan di luar pintu. Posisi Jiaming agak tidak pasti. Dengan gemetar, dia mengarahkan senjata ke sumber cahaya yang bergoyang di belakang dan menarik pelatuk habis-habisan. Peluru melesat puluhan meter, meledakkan titik-titik kobaran api dalam kegelapan yang sangat spektakuler. Di mulut terowongan yang menuju ruang jamuan, banyak cahaya bergoyang liar. Jelas mereka mendengar keributan di sini dan sedang berlari kencang ke arah sini. Tak lama kemudian, dua sosok muncul dalam pandangan. Dalam sorotan senter, kepala mereka langsung tertembak.
"Lingjing, cepat ke sini!" Saat menoleh, bayangan Jiaming muncul di pintu. Dua laras senapan serbu mengarah ke pintu kecil puluhan meter di depan. Lingjing berlari dengan senjata yang sudah habis pelurunya, bersembunyi di belakang Jiaming. Di kegelapan dekat geladak, tiga senjata lain berjatuhan. Senter masih menyala. Di sebelahnya, beberapa mayat tergeletak.
"Lingjing, kita mundur ke balik peti-peti besi di sana."
Dengan perhatian mematikan yang presisi nan mengerikan, mereka menekan musuh di seberang. Setiap sosok yang muncul langsung ditembak jatuh. Jiaming dan Lingjing mundur ke balik beberapa peti besi di tepi kapal. Rencana gagal. Sekarang yang harus dipikirkan adalah cara kabur.
"Sa...salahku... Jiaming..."
“Kita orang terdekat, tak perlu minta maaf.” Sambil tersenyum menghibur Lingjing, Jiaming memutar laras senjata. Saat perhatian musuh teralihkan, dua musuh yang mendengar keributan di sisi lain ditembak mati. Situasi semakin buruk. Meski ada perlindungan struktur, jika tidak bisa menerobos keluar sekarang, begitu musuh tambahan datang, bahkan kerja sama antara dirinya dan Yoritomo Taku mungkin tak bisa mengatasinya.
Sementara berhasil menekan serangan dari kedua dunia, Jiaming meluangkan waktu melihat ke sisi kapal. Baru lega, tubuhnya berguling keluar dari balik peti besi. Kemudian dia menyelamatkan seikat tali sambil berlari kembali.
“Lingjing, ikat ini di pagar sementara. Kita akan jadi manusia terbang!”
Di bawah lambung kapal, terlihat sebuah speedboat tempel yang menempel rapat di kapal pesiar. Rupanya dinding kapal bawah sudah bolong besar. Banyak musuh masuk ke dalam kapal dari bawah. Ada orang di speedboat tapi... tidak banyak lagi...
## Bagian Kesembilan Puluh Tiga Kapal Hancur
Dalam hujan, tali panjang dilempar dari sisi kapal. Saat tekanan perhatian dari kedua sisi mereda sebentar, Jiaming menoleh: “Lingjing, takut?”
“A-Aku tidak takut...”
“Kalau begitu peluk erat-erat aku!” Sebelum suara habis, tangan kiri Jiaming sudah menggendongnya. Keduanya terbang melesat menyusuri tali dari tepi kapal.
Paha menggeliat keras di udara, mengganggu tali itu. Saat terjun dengan cepat, laras senjata di tangan kanan Jiaming mengarah ke geladak kapal meriam kecil di bawah. Pelatuk ditarik, tiga orang yang muncul di sana langsung MATI. Kemudian, mendarat. Menyuruh Lingjing bersembunyi di belakang meriam kecil yang bisa menghindari tembakan dari atas kapal, Jiaming melesat cepat masuk ke kamar dalam kapal meriam.
Lalu, dentuman tembakan memukau kembali menggema. Kobaran api dari peluru yang melesat seolah mengguncang seluruh ruang. Bersembunyi di belakang meriam itu, Lingjing menggigit gigi erat, tubuhnya tak henti gemetar. Meski sebelumnya mengaku tidak takut, nyatanya kini dia diliputi ketakutan luar biasa. Saat Jiaming mengungkapkan fakta-fakta itu, meski terkejut, dia belum benar-benar merasakannya. Baru sekarang Lingjing paham betul, medan perang seperti apa yang sedang dihadapi Jiaming.
Tak ada ruang untuk mundur atau meminta maaf. Tak ada kesempatan untuk penyesalan. Udara dipenuhi peluru yang setiap butirnya bisa menghentikan napas manusia. Sehebat apapun kau, di detik berikutnya bisa saja berhenti bernapas. Memikirkan ini, rasa takutnya nyaris tak terbendung.
Dulu saat membaca novel, tertulis bahwa ketika menghadapi bahaya, anak laki-laki yang disukai berdiri di depan perempuan dengan sikap tak terkalahkan, hal itu terasa sangat menghangatkan hati. Namun ketika Jiaming benar-benar menghadang di depannya dengan sikap tak terkalahkan tadi, selain kehangatan, Lingjing lebih merasakan ketakutan dan gemetar. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk pemuda di depannya ini. Menghadapi hujan peluru seperti itu, sedikit saja kesalahan, segalanya akan... tidak bisa diperbaiki lagi...
Dan sekarang, Dia lagi memasuki tempat berbahaya itu. Meski hanya sebentar, hatinya sudah takut membayangkan konsekuensi mengerikan yang mungkin terjadi. Dia berusaha keras menahan tangis, dalam hati bersumpah: setelah kali ini, bagaimanapun caranya, tidak boleh membiarkan Jiaming mengalami hal seperti ini lagi. Hanya memikirkan perasaan ini, tubuhnya dipenuhi rasa takut yang tak tertahankan.
Tak lama kemudian, dentuman senjata di kabin kapal berhenti. Kapal patroli kecil mulai bergerak di air. Bayangan Jiaming muncul di lubang kabin, menembaki bagian atas kapal pesiar sebentar, lalu berlari cepat, menggendong Lingjing kembali ke kabin. Setelah masuk pintu, dia sepertinya ragu sebentar: "Lingjing, tutup mata kamu ya, di dalam kabin..."
Memandangi mata Jiaming, Lingjing mencengkeram kerah bajunya erat-erat tak mau melepaskan, menggelengkan kepala dengan keras, pandangannya sangat tegas. Jiaming menghela napas lalu menggendongnya masuk. Di dalam kabin kapal tercium bau darah menyengat, dua mayat tergeletak di lantai, genangan darah mengkontaminasi area sekitarnya, beberapa peralatan terkena peluru dan kini mengeluarkan suara "sssss" disertai kilat listrik. Jiaming menidurkannya di kursi yang relatif bersih di depan, melongok keluar melalui kaca depan. Dua kapal tampak menyadari keanehan di sini dan sedang mendekat dari arah berbeda.
"Kita tak bisa kembali ke kapal pesiar. Harus kabur pakai kapal ini. Pertama-tama manfaatkan pemancar di sini untuk mengirim sinyal darurat. Dengan begitu angkatan laut akan datang. Hanya berharap kapal itu bisa bertahan satu dua jam lagi..."
Duduk di kursi, Lingjing memandangi Jiaming yang sedang mengoperasikan keyboard konsol dengan gesit, menekan tombol-tombol dan menarik tuas kontrol. Kapal patroli berakselerasi cepat. Tiba-tiba ledakan keras mengguncang sisi kapal, badan kapal oleng hebat - rupanya tembakan meriam jatuh di air laut samping kapal, bukan mengenai langsung.
Menoleh ke belakang melalui pintu kabin, kapal mewah yang separuh badannya masih memancarkan cahaya memikat itu perlahan menjauh dari jarak pandang. Tiba-tiba kapal kembali berguncang - kapal di belakang mulai menyusul.
“Untung... Mereka semua sibuk berebut uang, hanya satu kapal yang mengikuti. Lingjing, tenang, tidak apa-apa.” Sambil menoleh dengan senyum, di tengah anggukan Lingjing, sebuah tembakan meriam lagi meledak di sisi lambung kapal. Jiaming memfokuskan diri mengemudikan kapal patroli dengan kecepatan maksimal, beberapa perangkat di kabin rusak tertembak peluru, membuatnya sangat sibuk.
Melihatnya mondar-mandir sambil sesekali melompati dua mayat dan genangan darah, Lingjing turun dari kursinya. Menahan mual, ia menarik salah satu mayat ke samping. Saat hendak menarik mayat kedua, Jiaming berdiri memandanginya dengan tatapan berisi permintaan maaf, kekaguman, dan kejutan. Seolah mendapat dorongan semangat, Lingjing tersenyum manis. Setelah menyingkirkan mayat, ia menemukan sepotong kain di belakang kabin dan berusaha membersihkan darah kental yang menempel di lantai, tangannya sendiri menjadi lengket. Ia menggigit bibir berusaha menahan tangis dan muntah.
Dibandingkan dengan yang dilakukan Jiaming, apa artinya usahaku ini?
Keduanya terus berlarian di dalam kabin kapal yang berguncang hebat. Sesekali tembakan meriam melintas dan meledak di sisi kapal. Jiaming kadang menyempatkan diri ke ruang meriam di belakang untuk mengisi amunisi dan menembak - pekerjaan yang harus tetap ia lakukan sendiri. Namun menembakkan meriam berbeda dengan menembak biasa, di permukaan laut yang gelap dan berguncang, akurasi tembakan semua pihak tampak buruk.
"Tapi, keberuntungan seperti ini tentu tidak mungkin bertahan selamanya. Sekitar lebih dari dua puluh menit kemudian, siluet Kapal Xingmeng Hao sudah tak terlihat di kejauhan. Tak lama setelah Jiaming berlari masuk ke ruang meriam, Braak! Ledakan dahsyat mengguncang lambung kapal. Seketika semua lampu dan perangkat elektronik di kapal mati total. Sepotong kaca di depan ruang kemudi langsung pecah berantakan. Terimbas guncangan ini, Lingjing terbanting Byur! ke tumpukan perangkat di sampingnya, seluruh tubuhnya perih. Dengan susah payah bangkit, ia berusaha menuju pintu kabin di belakang. Saat itu juga pintu terbuka, Jiaming menyembul keluar."
"Lingjing, tidak apa-apa? Lingjing!"
"Hm, aku baik-baik saja, cuma... agak sakit karena terbentur..."
Setelah memastikan Lingjing tak terluka, Jiaming memandang perangkat-perangkat kapal yang berkedip tak menentu dan kaca pecah di depan. Ia mencoba mengoperasikan beberapa panel, lalu mengerutkan alis: "Sial... Tembakan silang. Kapal seharusnya tidak meledak, tapi mesin dan semuanya sudah mati total. Kali ini..." Saat ia bicara, Lingjing melihat api menjilat di permukaan laut gelap di belakang. Kapal itu tampaknya patah menjadi dua. Relatif dibandingkan, kapal mereka yang belum tenggelam ini benar-benar keajaiban dalam musibah.
"Jiaming, apakah kita sudah aman?"
“Hah, setidaknya untuk sementara aman. Tapi mesin kapal tidak bisa menyala, radio juga tampak rusak. Sekarang kita hanya bisa mengikuti arus. Yang paling dikhawatirkan adalah jika ada orang datang saat ini…” Setelah mengatur beberapa perangkat, akhirnya dua lampu di kabin kapal kembali menyala. Menatap hujan dan angin yang masuk melalui bagian kaca yang pecah di depan, Jiaming menghela napas, “Tapi yang penting selamat. Lingjing, di belakang ada dua kamar istirahat awak kapal. Kamu basah kuyup, mari kita cari baju ganti dan mandi di sana.”
Kapal meriam kecil ini panjangnya hampir 20 meter dengan geladak kokoh. Fasilitas di dalamnya cukup lengkap. Meskipun salah satu kamar terkena ledakan besar, untungnya posisinya cukup tinggi sehingga kapal tidak tenggelam. Namun para tentara bayaran itu hidup berantakan, sebagian besar pakaian di kapal sudah lama tidak dicuci. Jiaming dan Lingjing mengobrak-abrik kabin sebelum akhirnya menemukan beberapa selimut putih bersih. Setelah memastikan persediaan air di kapal cukup untuk dua orang selama setengah tahun, Jiaming menghubungkan sisa listrik ke perangkat pemanas air agar Lingjing bisa mandi air hangat.
Di laut, air tawar setara dengan kehidupan. Meski persediaan air saat ini terlihat banyak, tak ada yang tahu berapa lama mereka harus terombang-ambing di kapal yang sebagian besar peralatannya rusak. Namun karena Lingjing baru saja mengalami trauma hari ini dan kehujanan, Jiaming sama sekali tidak ingin dia jatuh sakit. Selama Lingjing mandi, dia membuang beberapa mayat ke laut, menaruh beberapa ember di geladak untuk menampung air hujan, serta melakukan pemeriksaan kasar terhadap sebagian besar peralatan di dalam dan luar kapal. Meski paham cara mengemudi kapal, dia benar-benar tidak punya kemampuan memperbaiki badan kapal. Setelah basah kuyup, akhirnya dia menemukan sesuatu yang menggembirakan: meski agak rumit, radio tampaknya masih bisa diperbaiki.
Lega karena Lingjing sudah selesai mandi, dia menggunakan air panas sisa mandi Lingjing untuk mandi sendiri. Berdasarkan pengalaman sebagai pembunuh, selama segala sesuatu belum pasti, jangan pernah membuat penilaian yang gegabah. Karena kehidupan selalu menyimpan kejutan tak terduga, dalam situasi apapun kita harus tetap mempersiapkan antisipasi terbaik.
“Mengambil beberapa baju yang tidak terlalu kotor, Jiaming menemani di sisi ranjang Lingjing, menunggunya tertidur lelap. Bagaimanapun, bagi seseorang yang baru mengalami perubahan besar, Lingjing saat ini benar-benar terlihat tenang secara mencurigakan. Terbungkus dua lapis selimut, matanya tak henti-hentinya menatap Jiaming di tepi ranjang. Mereka sesekali bercakap, namun nada bicaranya terdengar anehnya lembut. Hingga akhirnya matanya tak mampu lagi terbuka, barulah ia tertidur perlahan. Jiaming tahu dia masih diliputi ketakutan pasca-trauma. Memandangi posisi tidurnya yang gelisah, ia menghela napas.
Lingjing bisa tidur, tapi Jiaming tidak. Harus ada yang terus berjaga di luar untuk mengawasi situasi, agar bisa bereaksi jika bahaya datang atau meminta pertolongan jika penyelamat tiba. Dengan terpal, ia menutupi bagian kaca yang pecah di depan. Meski hujan masih masuk, setidaknya berkurang banyak. Mengandalkan pengalamannya memperbaiki mobil atau mesin lainnya, ia mengutak-atik tumpukan perangkat rusak itu hampir setengah hari. Ajaibnya, satu dua alat bisa difungsikan kembali, meski basically tidak berguna. Hingga larut malam, sambil bersandar di sofa kursi besar sambil memelintir beberapa bagian tubuh kumal kecil, tiba-tiba terdengar suara lembut dari belakang. Lingjing yang masih terbungkus selimut dan setengah tertidur itu muncul.
"Jiaming, aku agak kedinginan... Aku ingin bersamamu..."
Di bawah selimut, Lingjing tidak mengenakan apapun selain liontin pemberian Jiaming, meringkuk diam di pangkuan Jiaming. Tangannya menyusup ke dalam baju Jiaming, menempel erat di dada kirinya seolah mendengarkan detak jantung. Selimut membungkus tubuh mereka, angin laut menerobos terpal dan masuk ke kabin kapal. Beberapa saat kemudian, gadis itu tertidur lelap.
Merangkul tubuhnya, Jiaming memainkan gulungan benang di tangannya melewati malam hujan yang monoton. Entah kapan, bagian depan bajunya basah oleh air mata. Lingjing menangis dalam tidurnya, dari isakan senyap berubah menjadi tersedu-sedu.
"Jiaming... kau jangan mati... aku sangat takut..."
## Bagian Sembilan Puluh Empat Hanyut
Pagi hari, badai di laut mulai mereda. Di bawah awan kelam, langit timur memancarkan putih kristal tembus pandang bagai permata. Di atas cahaya putih, semburat jingga terlihat melalui tirai hujan, pemandangan matahari terbit yang sangat memesona. Lingjing terbangun dari pangkuan Jiaming, mengusap matanya sambil tersenyum malas: "Jiaming... selamat pagi."
“Pagi, Lingjing kamu duduk dulu di sini, aku akan cari apa yang bisa dimakan. Selain itu, bajumu seharusnya sudah kering, aku akan ambilkan.” Menggendong Lingjing ke kursi itu, tetap membalut tubuhnya dengan selimut bulu, Jiaming tersenyum lalu menuju kamar di bagian belakang kapal perang. Sebagian besar mesin sudah rusak, tapi beberapa perangkat listrik masih berfungsi, mengeluarkan panas yang cocok untuk mengeringkan pakaian.
Suhu tubuhnya masih tersisa di kursi. Lingjing mengulurkan tangan, mengambil satu per satu bagian tubuh kecil yang sudah dipulihkan di sebelahnya, tapi sama sekali tidak mengerti fungsi benda-benda ini. Dengan bengong memegang komponen tembaga yang dililit kawat, dia menatap matahari terbit di ufuk timur, senyum hangat mengembang di bibirnya, entah sedang memikirkan apa.
Beberapa saat kemudian, Jiaming keluar membawa baju dan rok yang sudah kering, serta beberapa makanan: kopi, biskuit kompresi, roti, kaldu daging asap. Makanan diletakkan di samping, saat menyerahkan baju ke Lingjing, gadis itu malah tersenyum menolak menerimanya. Dia meregangkan kaki mungilnya dari balik selimut, menguap lebar hingga selimut melorot ke bawah dada montok: "Jiaming, aku mau kamu yang memakaikanku..." Suaranya lembut dan manja, membuat Jiaming tak bisa tidak tersenyum.
Seperti bayi yang patuh menikmati perawatan Jiaming, Lingjing bertanya: "Jiaming, menurutmu... bagaimana kabar Kapal Xingmeng sekarang? Bagaimana dengan Shasha..."
“Tenang saja, sinyal darurat sudah dikirim. Sekarang pasti kapal Star Dream sudah kembali di bawah pengawalan angkatan laut. Shasha pasti baik-baik saja.”
“Dia belum tahu kabar kita... Aku khawatir dia...”
“Kakak Yahan akan menjaganya, tidak apa-apa.”
“Jiaming, kalau kapal ini tidak bisa diperbaiki, apakah kita akan terus terombang-ambing di laut begini?”
Jiaming tersenyum menghibur: “Perangkat lain tidak bisa kuperbaiki, tapi setidaknya radio masih bisa kucoba. Memang agak rumit sekarang, tapi pasti bisa. Jangan khawatir, serahkan padaku.”
Namun, Lingjing dalam pelukannya justru terlihat tenang. Ia membiarkan Jiaming memakaikan stocking dan gaun panjang sambil berangan-angan: “Tidak, aku yakin Shasha pasti sangat iri pada kita. Hanya ada kita berdua di sini, kapal ini seperti rumah kita berdua... Kalau suatu hari kita punya banyak uang, kita beli kapal dan berlayar berdua bersama Shasha. Setiap hari aku dan Shasha akan jalan-jalan telanjang di depanmu sampai kau benar-benar keringin...”
Mendengar kalimat terakhir, Jiaming berkeringat dingin: “Emm... Lingjing, kau suka seperti itu? Kalau aku bisa dapat uang...”
“Jangan!” Lingjing tiba-tiba berteriak memotong perkataannya. Melihat Jiaming menoleh dengan tatapan bingung, dia tampak sedikit menyesal, "Eh, maksudku... Aku tidak ingin Jiaming menggunakan cara berbahaya untuk mencari uang. Rumah kita sendiri harus dibangun perlahan dengan cara kita sendiri. Aku tidak mau Jiaming mengambil risiko apapun..." Matanya mulai memerah lagi, suaranya terisak: "Jiaming, kemarin... saat kau bertarung seperti itu, aku sangat takut. Aku tidak ingin melihatmu mengalami hal seperti itu lagi..."
Jiaming tersenyum lega dan merangkulnya dengan lembut.
Jika Lingjing memiliki harapan itu, Jiaming bisa langsung menggunakan ratusan juta dolar AS kapan saja. Bahkan lebih dari itu pun dia punya cara. Uang bukanlah hal yang penting baginya. Dulu sebagai pembunuh, 90% lebih pemberi kerja dan targetnya adalah orang kaya. Setelah melihat keburukan mereka, dia bahkan merasa jijik dan takut terhadap hal-hal seperti ini. Lingjing dan Shasha memiliki jiwa yang murni, tapi siapa yang bisa menjamin mereka tidak akan terkontaminasi atau terkikis setelah dikelilingi uang dalam jumlah besar.
Itu benar-benar pemandangan yang tidak ingin dia lihat, meskipun dia rela melakukan apapun untuk kedua gadis ini.
Setelah sarapan, keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jiaming mengenakan kondom, keluar di tengah hujan untuk memperbaiki radio kapal, sekaligus mengembalikan air hujan yang ditampung semalam ke kontainer penyimpanan, lalu mengeluarkan wadah untuk terus menampung air. Sementara Lingjing seolah benar-benar menganggap kapal setengah lumpuh ini sebagai Hunian Baru mereka, mencari sapu dan lap, lalu sibuk membersihkan seluruh bagian kapal.
Barang-barang berserakan di lantai ditata rapi, noda darah yang tersisa ia usahakan untuk dibersihkan. Barang-barang awak kapal sebelumnya diatur secara sistematis, pakaian kotor dibawa keluar dan dijemur di geladak yang masih basah oleh gerimis, dua ranjang di ruang istirahat disatukan menjadi tempat tidur ganda yang nyaman. Di ruangan yang jebol akibat ledakan, tepi besi yang tajam dipukulnya dengan palu berulang kali hingga tidak lagi melukai. Lingjing memperkenalkannya pada Jiaming sebagai "beranda mewah villa laut kami". Fakta sebenarnya, Jiaming sudah menemukan perangkat las dan bersiap untuk memblokir area itu, tapi melihat semangat Lingjing, ia hanya tersenyum penuh apresiasi.
Menghabiskan waktu sepanjang pagi, Lingjing merapikan kabin dalam dan luar dengan sangat teratur. Siang hari, Lingjing berjaga di depan sementara Jiaming masuk untuk tidur dan istirahat. Di tengah lautan yang hanya dihiasi ayunan ombak monoton, kapal kecil ini terasa sangat sepi. Membawa gelas kopi, sesekali Lingjing berkeliling di setiap kamar. Sampai di depan pintu kamar tidur, ia memandangi pose tidur Jiaming yang tenang. Ia teringat beberapa kesalahpahaman yang dibuatnya saat membereskan kabin pagi tadi, juga insiden penembakan sembarangan di kapal Star Dream. Jiaming tak hanya tak mengeluh sedikitpun, malah terus mencari cara untuk menghiburnya. Meski tindakan polosnya sering menambah masalah, Jiaming dengan ikhlas menanggung semuanya.
Senyum penuh permintaan maaf mengembang di bibirnya. Dalam hati, ia berpikir: Pria inilah suaminya, anak laki-laki terhebat di dunia, tak ada yang bisa menandinginya.
Dipaksa oleh Lingjing, Jiaming baru diizinkan bangun ketika hari hampir sore. Malam hari sudah tidak cocok untuk memperbaiki radio lagi. Setelah makan malam, Lingjing tetap melepas sepatunya, meringkuk bersama Jiaming di kursi besar depan konsol sambil membungkus diri dengan selimut, mengobrol tak karuan tentang berbagai hal. Ia meminta Jiaming menjelaskan prinsip fisika bagian-bagian kecil, kemudian membantu Jiaming perlahan memperbaiki satu dua komponen kecil. Saat pembicaraan mengasyikkan, tak terhindarkan mereka tertawa-tawa riang. Hubungan mereka sudah lama mapan, banyak hal tak perlu disamarkan. Dengan lembut dan natural, Lingjing melepas gaun panjang dan stokingnya di pangkuan Jiaming, lalu keduanya menyatu tanpa sekat.
Segalanya kembali tenang. Lingjing tetap telanjang bulat meringkuk di pelukan Jiaming, erat membungkus diri dengan selimut. Untuk menghemat listrik, semua perangkat di kapal sudah dimatikan. Hanya tersisa lampu kuning hangat di sisi konsol. Perahu kecil mengikuti arus, tak tahu sudah sampai di mana di tengah lautan. Bunyi air laut terdengar monoton namun ringan. Hujan di luar sudah reda. Dari konsol terlihat bintang-bintang di laut berkilauan jernih bagai baru dicuci, menyusun Bima Sakti yang membentang panjang.
Hari ini tanggal 5 Oktober, sesuai rencana semula, mereka seharusnya sudah kembali ke pelabuhan Kota Jianghai dengan kapal pesiar Star Dream. Namun sekarang, keduanya berpelukan di depan konsol, waktu yang akan datang seperti jalan hidup di depan mereka - kehangatan atau rintangan apa yang akan terjadi, segalanya masih menjadi misteri...
Seperti yang diperkirakan Jiaming, saat kapal patroli kecil yang mereka tumpangi hanyut mengikuti arus, kapal pesiar Star Dream telah memulai perjalanan pulang di bawah pengawalan angkatan laut. Tangisan dan keributan Shasha yang tidak berhasil menemukan Jiaming dan Lingjing tidak bisa mengubah keputusan ini. Dalam pertempuran hari itu, tentara bayaran akhirnya berhasil menembus hingga lapisan ketiga kapal. Setelah angkatan laut tiba, mereka segera mengundurkan diri. Jumlah orang yang diculik dan hilang dikonfirmasi sekitar 20-an, sebagian besar adalah pedagang kaya atau anak-anak keluarga berada yang tidak sempat melarikan diri.
Operasi pencarian dan penyelamatan besar-besaran kemudian dilaksanakan di laut. Tidak hanya angkatan laut, Cui Guohua dan timnya dari Badan Keamanan Nasional juga berpartisipasi atas nama kantor mereka. Tujuan mereka adalah menemukan kapal patroli yang pertama kali mengirim sinyal darurat.
"Mampu merebut sebuah kapal meriam musuh dalam situasi seperti itu, dan berhasil mengirim sinyal darurat yang menyelamatkan semua orang di kapal. Karena bukan pihak yang kita kenal, kemungkinan besar adalah Pak Tulip yang legendaris itu. Kemudian kapal itu pergi, pernah mengirim sinyal darurat, jelas sedang dalam kondisi yang sangat berbahaya... Kita harus menemukan orang ini, hidup harus bertemu langsung, jika MATI... semua orang harus terus mencari..."
Sementara armada angkatan laut dan kapal penyelamat melakukan pencarian, Kapal Xingmeng kembali ke Kota Jianghai. Tidak perlu membahas dampak besar peristiwa bajak laut ini di berbagai pihak, Shasha yang hanya karena kesedihan berlebihan sudah pingsan dua kali dari tangisan. Dia tidak mau menerima fakta bahwa mereka berdua sudah MATI, hanya percaya bahwa mereka pasti diculik para bajak laut itu, menangis sambil berteriak minta ayahnya mengeluarkan uang untuk menyewa kapal mencari di laut. Di sisi lain, Yahan yang mengetahui latar belakang Jiaming semakin tidak mau menerima hal ini. Dengan menggunakan kekuatan keluarga, dia merekrut beberapa tim penyelamat khusus, bahkan menyewa beberapa pembunuh pasar gelap atau tentara bayaran, kemudian berlayar bersama Shasha untuk mencari jejak Jiaming dan Lingjing.
Perkembangan dan perubahan hal-hal ini tidak diketahui oleh Jiaming dan Lingjing di tengah laut. Pagi hari tanggal 6 mereka bersama-sama memperbaiki perangkat radio yang hampir hancur separuh. Jiaming bertanggung jawab utama, sementara Lingjing membantu dengan menyerahkan berbagai alat sambil sesekali bertanya tentang prinsip kerja benda-benda tersebut. Karena Jiaming berjaga malam dan hampir tidak tidur, siang hari tetap Lingjing yang berjaga di luar.
Sekitar pukul satu lebih siang, teriakan Lingjing tiba-tiba terdengar dari geladak kapal. Jiaming yang sedang tidur nyenyak langsung melompat dari ranjang, menyusur tangga tiga anak tangga sekaligus dan nyaris bertabrakan dengan Lingjing yang berlari masuk di pintu kabin. Kemudian Lingjing menarik tangannya naik ke geladak, bersemangat menunjuk ke permukaan laut di kejauhan: "Jiaming, lihat! Lihat itu..."
Di ujung jarak pandang, samar-samar terlihat sebuah pulau kecil.
## Bagian Kesembilan Puluh Lima Pulau Terpencil
Di ujung, samar-samar terlihat sebuah pulau kecil.
Adanya pulau berarti kemungkinan ada penghuni. Keduanya langsung bersemangat. Meski kapal ini sedang diarahkan oleh arus laut dan arahnya tidak menuju pulau tersebut walau masih terlihat, Jiaming segera berlari ke kabin kapal. Dia membuka pintu kecil ruang mesin yang berantakan di bagian belakang dan masuk. Saat Lingjing menyusul, dilihatnya Jiaming sibuk di antara mesin-mesin yang tak dipahaminya - kadang melepas komponen ini, kadang memasang pipa besi itu, sambung-menyambung kabel listrik.
Lingjing ingin membantu, tapi saat ini tidak bisa berbuat apa-apa. Agar tidak menghalangi pekerjaan Jiaming, akhirnya mundur keluar. Tak lama kemudian, Jiaming menarik kabel dari pintu kecil, menyambungkannya ke perangkat yang diperbaiki kemarin. Lalu sibuk menekan tombol-tombol. Sejenak kemudian, suara BRAAK menggelegar dari ruang mesin kapal, membuat Lingjing sempat mengira kapal akan meledak. Tak lama, di bawah dentuman baling-baling yang tidak normal, kapal patroli mulai berbelok arah.
"Hebat, hebat... Semoga bisa bertahan lebih lama, setidaknya sampai kita bisa mencapainya..."
Melihat Jiaming mengatur tuas kemudi dan akhirnya mengarahkan kapal ke pulau di depan, Lingjing bersemangat menghampirinya: "Luar biasa, Jiaming! Kamu berhasil memperbaiki kapal! Jiaming kamu yang terhebat!"
Membiarkan Lingjing mencium pipinya, Jiaming tersenyum: "Hmm, sebenarnya belum sepenuhnya diperbaiki. Cuma bisa dipakai sementara. Entah sampai kapan tahanannya. Semoga bisa bertahan sampai kita sampai ke pulau itu..."
"Pasti bisa!" Justru Lingjing lebih yakin, "Kalau tidak, kita bisa loncat berenang ke sana. Pulau terpencil milik kita berdua..."
"Hah?" Jiaming terkejut mendengar perkataannya, "Kenapa harus pulau terpencil?"
"Karena di semua buku cerita memang selalu seperti itu..."
"Kalau begitu kita harus jadi pasangan Robinson dan Jumat." Jiaming tersenyum getir, melihat Lingjing berlari ke arah pulau sambil berteriak "A——" dengan pipi merah merona dan mata berbinar. Ia merasa heran, belum ada jejak manusia terlihat, mengapa dia bisa sebahagia ini...
Sebenarnya, sepanjang hari kemarin, Lingjing diliputi banyak kekhawatiran di hati. Meski Jiaming juga cemas, ketakutan akan MATI sudah terlalu sering dihadapinya, sehingga kini tak ada perasaan besar lagi. Apalagi ia masih menghitung bisa memperbaiki radio. Sementara Lingjing teringat buku-bacaan sebelumnya tentang mengerikannya kehabisan air tawar atau makanan di laut. Pada era pelayaran besar Eropa Utara, banyak kapal tak melihat daratan selama satu dua tahun. Tanpa makanan dan air, manusia pelan-pelan berubah seperti orang gila. Meski persediaan air di kapal ini masih cukup, siapa tahu berapa lama akan bertahan? Lalu, berapa lama persediaan makanan? Saat itu tiba, apa yang harus mereka lakukan? Bayangan Jiaming memakannya saat kehabisan makanan membuat hati gemetar tak terucap.
Bahasa tak mampu menggambarkan perasaan itu, yang sebenarnya bukan ketakutan. Saat ini, dia percaya pada Jiaming, sama sekali tak berpikir Jiaming akan memakannya untuk bertahan hidup. Namun pikiran yang hanya berasal dari khayalan tiba-tiba muncul: jika menghadapi kematian, sang kekasih memakannya lalu bertahan hidup, perasaan apa yang akan muncul dalam hatinya? Kebahagiaan? Kehangatan? Atau sesuatu yang lain... Ini adalah emosi gelap kecil dalam hati Lingjing saat menghadapi situasi yang mungkin berujung kematian, bahkan pada Jiaming pun tak bisa diungkapkan.
Tapi saat ini, bayangan itu lenyap tanpa jejak, pantas disambut dengan teriakan gembira.
Putaran baling-baling tampaknya mencapai batas maksimum, suara di dalam kapal memekakkan telinga. Pemandangan pulau di depan semakin jelas: pantai putih, hutan hijau lebat, burung laut berputar di udara, pemandangan memikat yang tiba-tiba diselingi serangkaian ledakan "Kuang""Byur" dari belakang kabin. Setelah suara "Braak", deru baling-baling sama sekali menghilang. Jiaming mengangkat bahu, tersenyum pada Lingjing: "Poros baling-baling patah, sekarang kapal ini harus didayung. Tapi dengan kecepatan ini, kita bisa mendarat langsung di pulau..."
Sebelum kalimat selesai, terdengar ledakan "Byur" dahsyat. Kapal terhempas menyamping dalam getaran hebat. Jiaming menyambar Lingjing yang hampir terjatuh. Melongok ke air di bawah, Jiaming tersenyum getir: "Karang..."
"Struktur kapal cukup kokoh, benturan ini tidak sampai membuat lubang besar di lambung. Jiaming dan Lingjing bersama-sama menurunkan jangkar, lalu merapikan beberapa barang di kabin kapal yang dimasukkan ke dalam tas kamuflase tempur berukuran besar. Sekoci darurat terus dayung menuju pulau kecil itu. Dari kejauhan pemandangannya indah, tapi begitu benar-benar mendarat, baru sadar bahwa sejauh mata memandang sama sekali tidak ada jejak kerusakan buatan manusia. Selain suara air laut, sekelilingnya sunyi mengerikan."
"Tidak mungkin... Benar-benar pulau terpencil..." Setelah menginspeksi sekeliling dalam radius satu kilometer, Jiaming sama sekali tidak menemukan jejak manusia. Meskipun di depan terdapat bukit, belum diketahui pasti seberapa luas pulau ini. Jika ada penduduk, seharusnya akan meninggalkan jejak di berbagai tempat. Sambil membawa tas punggung, dia tak bisa menahan rasa kesal. Sebagai negara berpopulasi terbesar di dunia, masih ada pulau tak berpenghuni - betapa memalukan! Tapi mungkin saja sudah melewati perbatasan Tiongkok, masuk wilayah Jepang atau Asia Tenggara.
Nanti sore hari itu, mereka berdua mendaki gunung melalui hutan. Area hutan ini tampaknya belum pernah mengalami kerusakan buatan manusia, bahkan tidak ada jejak kaki manusia. Jiaming berjalan di depan merintis jalan, sementara Lingjing mengangkat ujung gaunnya mengikuti di belakang. Di tengah hutan yang dipenuhi tumbuhan lebat, Lingjing kerap tersandung dedaunan yang tumbuh melintang.
Jiaming khawatir Lingjing bosan berjalan, menunjukkan satu per satu tumbuhan aneh sambil menjelaskan berbagai kegunaannya. Kemampuan bertahan hidup di -nya sangat mahir, pengetahuan di bidang ini setara ahli biologi. Dalam sekejap, Lingjing dibuat kagum, malah akhirnya mengejar-ngejar sambil memukul Jiaming beberapa kali.
Sejak kecil, Lingjing adalah anak perempuan baik bertipe Genius. Selama ini mengira dirinya yang paling berpengetahuan di antara tiga orang. Meski tak berniat pamer, sesekali masih merasa bangga. Baru sekarang tahu Jiaming jauh lebih hebat. Ini serangan marah gaya manja. Sambil merengek-rengek minta ampun, Jiaming dalam hati bertekad takkan mengakui bahwa semua materi ujian langsung dipahaminya. Hmm, di depan orang dalam sepenuhnya, lebih aman berlaku seperti bodoh di titik aman.
Sepanjang jalan mendaki gunung, kami menemukan bahwa pulau ini ternyata memiliki sumber air tawar - sebuah sungai jernih yang berkelok-kelok di antara perbukitan. Jiaming dan Lingjing sama-sama merasa lega di hati. Dengan adanya ini, bahkan jika benar-benar terdampar di pulau ini, tak perlu lagi ada rasa takut. Perjalanan berlangsung lancar sampai mendekati puncak, ketika terjadi insiden kecil. Saat melewati semak-semak, tangan kanan Jiaming tiba-tiba mengayun disertai suara cambuk kulit yang meraung, membuat Lingjing kaget. Setelah dilihat, ternyata Jiaming sedang memegang ular berbisa berkepala segitiga sepanjang satu meter. Tulang-tulang tubuh ular itu sudah remuk sehingga tak lagi mengancam. Setelah membungkus bangkai ular itu dalam tas, Jiaming mengumumkan akan memasak daging ular untuk makan malam. Lingjing mengerutkan hidung lalu mengangkat mata dengan manis.
Kami tiba di puncak sekitar lewat empat sore. Gunung ini menjadi pembatas alami antara dua bagian pulau yang ukurannya hampir sama. Di sisi ini, terdapat sebuah danau kecil di lereng gunung. Setelah mengamati dengan teleskop, tak terlihat jejak bangunan buatan manusia sama sekali. Karena hari mulai gelap, kami buru-buru turun. Sebelum keluar dari hutan, langit sudah mulai kelam. Dengan senter dari senapan serbu menyala, Lingjing berjalan rapat di samping Jiaming.
Sekitar pukul delapan malam, tenda telah didirikan di tepi hutan dengan api unggun yang menyala, makanan dari kapal dan peralatan seperti panci besi sudah diturunkan. Setelah sibuk sepanjang sore, Lingjing merasa sangat lelah. Setelah makan malam, mereka berdua tidur berpelukan di dalam tenda dengan selimut. Lingjing berbisik di pangkuan Jiaming merencanakan kehidupan di pulau: membangun pondok kokoh, mencari buah-buahan yang bisa dimakan atau tanaman lain untuk dibudidayakan, mungkin memelihara beberapa binatang kecil yang bisa ditangkap untuk makanan. Jiaming tidak berniat tinggal selamanya di pulau, hanya tersenyum tipis mendengar rencana itu.
6 Oktober pun berlalu. Keesokan harinya, Jiaming dan Lingjing mendayung rakit karet kembali ke kapal untuk memperbaiki radio. Mereka sibuk sepanjang hari. Andai berada di lingkungan normal, liburan panjang Hari Nasional hampir berakhir dan mereka seharusnya mempersiapkan perlengkapan sekolah. Lingjing biasanya menyiapkan tas sekolah untuk mereka berdua, sementara Shasha pasti sedang sibuk merencanakan aktivitas komunitas baru. Jiaming yang tak menunjukkan kemampuan bertarung kadang disuruh-suruh, kadang main komputer, kadang melamun... Malam itu di tepi pantai, Lingjing berkata: "Aku sangat merindukan Shasha..."
Pada akhirnya, ketiga mereka tetaplah sahabat yang tumbuh besar seperti bayi kembar siam. Bahkan setelah terjadi hubungan intim, ikatan persahabatan sepertinya lebih penting daripada hubungan suami istri. Jika tidak demikian, mungkin tidak akan terjadi hal di mana kedua perempuan itu menyukai Jiaming. Meski terkadang ada sedikit kecemburuan di hati, namun sejak kejadian Baihe beberapa hari lalu, semuanya telah lenyap seketika.
Tanggal 8 Oktober masih memperbaiki radio. Menurut perkiraan Jiaming, mungkin butuh satu hari lagi untuk memperbaikinya. Menjelang sore, saat hendak berhenti kerja dan kembali ke pantai, sebuah lampu indikator di kapal tiba-tiba berbunyi. Lingjing memanggil Jiaming ke kabin. Itu adalah perangkat penerima sinyal yang sudah diperbaiki. Begitu melihat lampu menyala, Jiaming langsung merasa tidak enak - ini pasti metode kontak yang sudah dipersiapkan tentara bayaran itu. Jika bisa menerima sinyal di sini, berarti mereka sudah mendekati pulau ini.
Setelah mengamati seksama selama setengah hari, Jiaming dan Lingjing mendayung rakit karet kembali ke pantai. Kemudian mereka berkeliling sepanjang pesisir menuju ujung lain pulau. Langit berangsur gelap, deburan ombak berbenturan di batu-batu karang dengan suara "bruk~ bruk~", percikan air beterbangan. Bersembunyi di balik batu raksasa, Jiaming mengamati situasi seberang dengan teleskop, lalu menyerahkannya kepada Lingjing.
Dalam jarak pandang yang semakin dekat, dua kapal patroli yang masih cukup utuh berhenti di tepi pantai jauh. Rombongan tentara bayaran bersenjata itu mendirikan tenda di pantai, menyalakan api unggun berjejer, jumlah mereka hampir mencapai seratus orang. Melihat senyum menenangkan Jiaming yang mulai menggenggam erat senjatanya, jantung Lingjing kembali berdebar kencang...
## Bagian Sembilan Puluh Enam Sandera
Saat pulau itu terlihat, saraf Nguyen Tuan Dung yang tegang akhirnya sedikit mengendur.
Dia adalah orang Vietnam, mantan pasukan khusus yang setelah pensiun menjadi tentara bayaran lepas. Bersama adiknya Nguyen Tuan Giác, mereka berjuang hampir dua belas tahun di Thailand, Israel, Pakistan, sebelum akhirnya mendirikan kelompok tentara bayaran sendiri. Dibandingkan tentara bayaran lain yang bertaruh nyawa seumur hidup bahkan mati tanpa kuburan, dia termasuk yang beruntung. Tentu, jika orang lain berkata demikian, dia pasti marah karena dalam dua belas tahun itu, pengorbanannya jauh melampaui sekadar kerja keras biasa.
Sebelum terlibat dalam rencana serangan ke kapal Xingmeng, dia sama sekali belum pernah berurusan dengan operasi yang menyangkut Tiongkok. Kali ini ikut serta karena godaan yang terlalu besar, dilengkapi rencana detail dan data lengkap, plus kepercayaan terhadap beberapa kelompok tentara bayaran lainnya, baru dia memutuskan ambil bagian dalam operasi ini.
Namun, hasil operasi itu benar-benar memalukan. Rencana awal adalah menguasai seluruh kapal pesiar dalam satu jam, tetapi akhirnya harus mundur di bawah ancaman angkatan laut setelah menghabiskan lebih dari empat jam, bahkan hampir tidak sempat memasang bom. Kemudian kami melarikan diri dengan kikuk hingga mencapai situasi saat ini.
Di tengah rasa malu itu, sebenarnya dia termasuk yang beruntung. Karena dampak peristiwa ini terlalu buruk, begitu kabar tersebar, militer segera membentangkan jaring ketat di wilayah Laut Tiongkok. Di bawah blokade bertingkat, setidaknya dalam radius yang diketahui Nguyen Tong Cam, lebih dari separuh kawan yang terlibat dalam hal ini telah ditemukan atau ditenggelamkan. Dengan perasaan was-was, dia bersembunyi di laut selama hampir 2 hari sebelum mendengar kabar tentang badai besar yang sedang terbentuk di lautan.
Mustahil bagi kapal kecil seperti miliknya untuk menghadapi badai laut skala besar. Meskipun kekuatan angkatan laut tidak bisa melakukan pencarian saat ini, dia juga tidak mungkin kabur memanfaatkan kesempatan ini. Satu-satunya yang perlu dipikirkan adalah tempat berlindung dari badai. Berkat keberuntungan, menurut informasi dari tentara bayaran bebas yang sementara dia tampung, seharusnya ada pulau tak berpenghuni yang belum tercatat di peta navigasi di sekitar sini. Setelah beberapa kali tersesat, akhirnya mereka menemukan teluk perlindungan sementara ini.
Untuk sementara bisa bernapas lega, memerintahkan semua orang turun dari kapal. Sekalian memindahkan beberapa sandera yang tertangkap di kapal ke darat - ini satu-satunya hasil operasi mereka. Atau mungkin juga akan menjadi satu-satunya tawaran negosiasi jika suatu hari nanti ditemukan Angkatan Laut. Tidak boleh ada kesalahan besar. Namun, setelah mengirim satu kapal meriam mengelilingi pulau terpencil, barulah dia mendapat kabar mengejutkan: di sisi lain pulau, terdampar kapal meriam sejenis yang rusak parah. Perkiraan awal, di pulau ini sudah ada kawan dari operasi sebelumnya yang datang lebih dulu.
Operasi sebelumnya, katanya ada banyak kawan, tapi karena terlalu meremehkan musuh, akhirnya semua bertempur sendiri-sendiri. Dalam situasi sekarang, meski semua mungkin bersatu karena tekanan eksternal, tetap harus waspada. Setelah pertimbangan matang, dia memutuskan malam ini hanya menginap di tepi pantai, lalu mengirim regu sepuluh orang menyisir gunung dan bernegosiasi. Kapal lawan sudah hancur, jadi dua kapal meriam kita adalah tawaran negosiasi terbaik.
Setelah merancang rencana dan makan malam, dia menyaksikan sepuluh bawahan terbaiknya memasuki hutan pegunungan yang hitam pekat. Secara intuisi, kerugian kali ini mungkin bisa tertutupi sedikit di sini. Memikirkan ini, hatinya menjadi agak senang.
Ini benar-benar semangat mencari kebahagiaan dalam kesulitan yang sangat berharga.
Setelah mengirim sepuluh utusan ke dalam hutan. Ia berjalan perlahan kembali ke perkemahan. Perkemahan yang tidak besar ini kini riuh rendah, di antara beberapa api unggun besar, seorang tentara bayaran sedang menyeret gadis Tiongkok berambut panjang keluar dari tenda.
Itu salah satu sandera yang ditangkap kali ini. Meski usianya sekitar 15-16 tahun, tubuhnya sudah berkembang dengan baik, wajahnya cantik dan segar. Saat di laut, beberapa tentara bayaran sudah tak tahan ingin mengganggunya, tapi dihentikan oleh Nguyen Tung Cam. Kini gadis itu tangannya diikat erat di belakang, rambutnya dicengkeram, namun masih bertarung mati-matian menolak keluar dari tenda. Sekelompok tentara bayaran tertawa memberi sorakan di sekitarnya, suasana semakin panas.
Melihat situasi ini lagi, Nguyen Tung Cam tak bisa menahan amarahnya. Ia tidak peduli dengan hal-hal seperti ini, tapi sangat menjaga otoritasnya sebagai Komandan. Karena sebelumnya sudah melarang menyentuhnya, maka sebelum perintah ini dicabut, tidak akan mengizinkan siapa pun melakukannya. Saat hendak berlari menghampiri dan menjatuhkan si orang yang seumur hidup tak pernah melihat wanita itu, tiba-tiba terdengar teriakan "Aah!", sosok manusia melesat keluar dari tenda. Tentara bayaran di pintu yang tidak waspada itu terlempar hingga jatuh tersungkur di pasir dengan malu besar.
Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang tangannya juga diikat, dikatakan sebagai kakak perempuan ini. Saat ini, kakak-beradik itu berpelukan. Meski sama-sama terikat, sorot mata mereka sangat menusuk. Tentara bayaran itu bangkit dari tanah, merah padam hendak mengangkat senapan serbu. Namun di detik berikutnya, ia dihantam pukulan Nguyen Tung Kan hingga terjatuh.
"Kerbau Liar, aku sudah bilang! Sebelum ada perintah dariku, jangan ada yang cari masalah. Kau sepertinya tak memasukkan perintahku ke telinga."
"M-maaf, bos... Aku mengerti..." Tentara bayaran berjuluk Kerbau Liar itu bangkit lagi, mengusap darah di sudut bibir. Meski berkata demikian, matanya jelas-jelas menunjukkan ketidakterimaan. Nguyen Tung Kan memandangi pemuda di tanah: "Tapi, sekarang aku bisa memberimu kesempatan." Ia mengeluarkan belati, memutus tali di tangan pemuda itu. Di bawah tatapan bingung mereka, ia menunjuk keduanya dengan bahasa Mandarin: "Kalian berdua, bertarung berhadapan. Yang menang berhak bersuara."
Pemuda itu bangkit sambil mengusap pergelangan tangan yang memerah akibat ikatan. Ia sempat melirik ragu ke Nguyen Tung Kan, lalu menjulurkan tangan ke belakang: "Adik, masuk ke dalam dulu." Saat gadis itu mundur ke tenda, Kerbau Liar di seberang juga melepas senjata. Di matanya, pemuda ini baru 17-18 tahun, tampak seperti anak manis yang polos. Bertarung dengannya sama saja menghina dirinya.
Pandangan ini segera dikoreksi beberapa saat kemudian.
Teknik bela diri yang dikuasai anggota kelompok tentara bayaran ini pada dasarnya adalah Muay Thai yang berfokus pada pertarungan sengit. Banteng yang kekuatannya hanya berada di level menengah dalam kelompok ini, ternyata jauh lebih tangguh dibandingkan ahli bela diri biasa. Namun ketika serangan pertamanya berhasil dihindari oleh sang pemuda dengan teknik gerakan lincah, semua baru menyadari bahwa lawan ini ternyata memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni - menggunakan Kung Fu China yang sering dianggap terlalu mewah oleh komunitas bela diri meski dijuluki sebagai yang terhebat di dunia.
Menyaksikan penganiayaan membosankan berubah menjadi pertarungan yang benar-benar menarik, semua orang menjadi bersemangat. Melihat Banteng yang tak kunjung bisa mengalahkan pemuda itu mulai panik, tendangan menyapu kiri-kanan dengan daya hancur dahsyat dilancarkan bertubi-tubi. Pemuda itu terus mundur dan menghindar dalam lingkaran, hingga akhirnya memanfaatkan momentum saat lawan kelelahan untuk tiba-tiba menerjang maju dan menghantamkan tubuhnya.
Masih berupa benturan, bison langsung terlempar. Meski kerusakan sebenarnya tidak besar, hal itu membuatnya terjatuh keras ke tanah. Baru hendak bangkit, dalam pandangannya, sang pemuda sudah menerjang tanpa henti. Saat berusaha menendangnya keluar, pelipisnya juga terkena pukulan keras, membuat jarak pandangnya berputar seketika. Setelah berguling bangkit, pemuda itu hanya mengusap perut kecilnya yang terkena tendangan, lalu menerjang lagi tanpa jeda. Kemudian, dua pukulan berat mendarat di tubuh masing-masing.
Yang tadinya hanya menghindar dengan pasif, tiba-tiba berubah menjadi serangan tanpa ampun - satu pukulan dibalas pukulan, satu tendangan ditanggapi tendangan. Taktik mempertaruhkan nyawa tanpa peduli diri ini muncul dari seorang pemuda, sungguh mengejutkan. Meski tak memiliki aura mengerikan hasil latihan di ujung hidup-dan-MATI atau Niat Membunuh, tekniknya jauh lebih unggul dari bison. Dalam pertarungan ini, bison justru terdesak. Tak lama, darah sudah membasuh tubuh dua manusia yang bertarung mati-matian ini, dengan luka di mulut, hidung, dan sudut mata yang mengkhawatirkan. Tiba-tiba, pemuda yang tadinya nekat ini mengelak dari pukulan berat lawannya.
Saat berhasil memukul lawan, dia juga sudah mempersiapkan diri untuk menerima pukulan balasan. Aksi menghindar secara tiba-tiba dengan lengkungan besar dari lawan membuat Wild Bull bersemangat, mengira pemuda itu akhirnya ketakutan oleh auranya. Namun di detik berikutnya, pemuda itu sudah secara ajaib berpindah ke belakangnya, menarik lengan kirinya, dan mengarahkan pukulan ke sendi. Jika mengenai, lengan kiri itu pasti langsung lumpuh. Tapi tinju itu terhenti di udara karena sebuah pistol telah menempel di dahinya - milik Ruan Zonggan.
Posisi bertiga membeku. Pemuda itu menatap Ruan Zonggan: "Aku tahu kalian tidak akan menepati janji... Hmm..."
Wild Bull berputar kasar dan menghantam perut pemuda itu dengan pukulan dahsyat. Darah menyembur dari mulut pemuda yang tubuhnya langsung melengkung, sebelum akhirnya terhempas jauh oleh tendangan menyapu dari lawan.
Selanjutnya, aksi ini berubah menjadi pemukulan satu arah. Pemuda itu sudah tak bisa melawan lagi, hanya melindungi titik vitalnya sementara Wild Bull terus menendang dan memukul. Gadis di dalam tenda menjerit dan berlari keluar, tapi langsung ditindih oleh seorang tentara bayaran yang mengawasi. Dalam tangisan gadis itu, tubuh pemuda itu hampir tak berbentuk lagi - menjadi manusia darah yang sekarat.
Setelah puas melampiaskan dendam, Wild Bull membersihkan darah di wajahnya lalu terhuyung mendekati gadis yang masih ditindih. Saat hendak membungkuk, laras pistol kembali menekan dahinya. Ruan Zonggan memandangnya dingin: "Kau kalah. Sentuh dia lagi, kau harus MATI."
“Aku…” Melihat tatapan merendahkan dari kawan-kawan di sekelilingnya, Banteng menyadari performanya yang buruk. Dengan geram ia melirik pemuda yang sudah sekarat itu sebelum mundur. Beberapa saat kemudian, di bawah instruksi Nguyen Tung Can, semua orang mengikat tangan dan kaki saudara kandung ini lalu memasukkan mereka ke tenda. Memandangi pemuda berlumuran darah itu, Nguyen Tung Can mengerutkan alis. Sudah lebih dari 2 hari, ternyata ada orang sehebat ini di antara sandera. Untung sekarang sudah babak belur, seharusnya tidak bisa berbuat macam-macam lagi.
Untuk sementara… masih belum bisa dibunuh. Kabarnya mereka adalah anak dari keluarga besar ternama di Kota Jianghai. Yang pria bernama Dongfang Lu, yang wanita Dongfang… Wan? Sepertinya itu karakternya. Nama orang Tiongkok memang susah diingat.
Bagi para tentara bayaran di perkemahan, ini hanya intermezzo kecil. Setelah kejadian, sebagian mendiskusikan kemampuan bertarung Dongfang Lu, sebagian lagi membicarakan tubuh Dongfang Wan dan perintah bos, merencanakan bagaimana mengubah "intermezzo" ini menjadi yang sesungguhnya. Waktu berlahan berjalan. Karena kelelahan akibat perjalanan kapal yang penuh sesak, sekitar lewat sepuluh malam sebagian besar sudah masuk tenda tidur, hanya tersisa penjaga malam yang masih duduk di sekitar api unggun mengobrol.
Di tenda kecil di tengah tempat para sandera ditahan, Dongfang Wan dengan bekas air mata yang belum kering di wajahnya bersandar di samping kakak laki-lakinya. Matanya menatap keluar melalui celah tenda, perasaan tegang dan khawatir bercampur menjadi satu sementara kakaknya menggesekkan batu kali kasar ke tali yang mengikat pergelangan tangannya dengan kuat. Teknik mengikat tentara bayaran ini sangat unik - meski jari-jari mereka masih bisa bergerak, mustahil melepaskan simpul tali di bagian yang tak terlihat oleh mata.
Alasan mereka ditangkap sebenarnya berasal dari kesalahpahaman yang sangat konyol. Tanpa perlu menyebutkan detail penyebabnya yang menggelikan, selama 2 hari perjalanan dengan kapal patroli yang sempit itu, rasa takutnya telah melebihi total seumur hidup sebelumnya. Hampir 50 orang berdesakan dalam satu kapal, para tentara bayaran saja tidak punya tempat tinggal layak apalagi para sandera seperti mereka. Saat di kapal, momen paling memalukan adalah ketika harus ke toilet - beberapa kali nyaris diperkosa, ketakutan itu berulang kali membuatnya membenci takdir menjadi perempuan. Sekarang, melihat kakaknya yang babak belur demi melindunginya, rasa bersalahnya semakin membara.
Dia menangis lama sambil memeluk tubuh kakaknya. Dari bisikan Dongfang Lu, barulah ia tahu bahwa kakaknya sengaja membiarkan dirinya dipukuli hingga seperti ini. Hanya dengan cara ini, orang-orang akan lengah. Di bawah pengawasan tentara bayaran yang matanya tajam, ia berhasil menyembunyikan sebuah batu kali. Meski tidak terlalu runcing, tepiannya yang kasar tetap bisa digunakan. Kini, sambil menahan rasa sakit di tubuhnya, Dongfang Lu telah menggesek-gesekkan batu itu tanpa henti selama dua jam. Bahkan kayu pun hampir terbakar akibat gesekan ini. Tali itu perlahan mulai terurai.
Dalam cahaya redup, terlihat seorang sandera lain di sebelahnya - seorang pria gemuk bernama Fu yang tampaknya sudah tertidur lelap dengan dengkuran keras.
Dongfang Wan merasa jijik dalam hati. Inilah gambaran pria yang tidak bisa diandalkan. Saat pikirannya melayang, tiba-tiba matanya membelalak. Melalui celah-celah, di atas permukaan laut yang hanya diterangi cahaya remang, sebuah bayangan hitam muncul secara misterius di sisi kapal patroli. Bergerak menyusur lambung kapal dengan cara yang aneh dan tidak masuk akal. Dingin merambat di tulang punggungnya. Seperti hantu, bayangan itu melayang masuk ke kabin kapal tanpa suara...
## Bagian Kesembilan Puluh Tujuh Satu Ketukan Dua Cerai
"Malam yang sunyi, suara harmonika berusia terdengar di samping api unggu yang membara. Ketika ledakan api menyambar di permukaan laut, Nguyen Tung Cam baru saja keluar dari tenda. Di kejauhan, sebuah kapal meriam terkena tembakan tepat dari kapal lain, membuat hatinya mengalami periode kosong sejenak."
"Tiba-tiba, seluruh tentara bayaran di perkemahan mulai bergerak."
"Bukanlah pemula dalam profesi ini. Begitu mendengar keributan, mereka langsung menyambar senjata dan bertindak - ada yang berpencar mencari perlindungan, ada yang menembaki kapal itu dengan gencar, sementara sebagian lain malah berlari ke arah laut. Di seberang, kapal meriam itu perlahan mulai bergerak mundur ke kedalaman samudera."
"Dari dua kapal meriam, satu sudah hancur. Jika satu-satunya yang tersisa ini direbut, seluruh kelompok tentara bayaran beranggotakan hampir seratus orang mungkin akan menghabiskan sisa hidup di pulau ini. Sadar akan gentingnya situasi, pasukan penyerbu depan bertarung mati-matian. Untungnya tidak ada serangan dari kapal sehingga tidak ada korban. Melihat kapal itu semakin cepat mundur, Nguyen Tung Cam akhirnya mengeluarkan remote kontrol dari tenda dan menekan tombol merah di atasnya. Seketika, kapal itu kehilangan tenaga dan berhenti di tengah laut."
"Seret keluar bajingan di kapal itu! Akan kubuat hidupnya lebih sengsara daripada mati!"
Suara menggigit gigi terdengar dari interkom. Di dalam kabin kapal meriam yang sedang mengetik keyboard dengan cepat untuk mencoba melepaskan blokir sistem dan menghidupkan kembali kapal, pria berjubah hitam menghela napas. Di belakangnya, dua mayat tentara bayaran tergeletak dalam genangan darah, tenggorokan terpotong oleh satu tebasan pisau yang langsung MATI. Memandang para pengejar yang semakin mendekat dari laut, akhirnya dia berdiri dan menepuk tangan dengan santai.
Sinyal SOS telah berhasil dikirim, hanya berharap tidak terlalu terganggu oleh badai laut. Namun sebelum itu, waktu untuk membuka sistem kapal sudah tidak cukup...
"Cuma pinjam kapal kecil kalian, tidak perlu dibuat serumit ini... Kalian memang mau aku tinggal, mari kita semua bubar jalan masing-masing..."
Mengangkat bahu, dia masuk ke ruang peluru meriam di belakang kabin dengan ekspresi dramatis...
Di pantai, Nguyen Tong Cam memerintah dengan mata memerah. Operasi penculikan kapal Xing Meng ini kerjasamanya buruk, tapi masih bisa mengenali kapal meriam itu milik siapa. Kapal rusak yang ditemukan di pulau kecil itu milik kelompok tentara bayaran bernama "Huo Yan". Saat di kapal masing-masing bertarung sendiri, tapi berita Komandan kelompok Huo Yan MATI tetap tersebar.
Dalam rencana awal Nguyen Tong Cam, kekuatan kelompok tentara bayaran "Huo Yan" sebenarnya cukup baik. Saat ini, dengan memanfaatkan kondisi mereka yang tanpa pemimpin, jika dia memberikan bantuan, tidak hanya bisa mendapat keuntungan besar, mungkin juga bisa merekrut beberapa anggota berkualitas untuk memperkuat kekuatannya. Namun siapa sangka, mereka tidak hanya menolak niat baiknya, malah berusaha menyelundupkan kapalnya dan melarikan diri. Bahkan sebelum pergi, mereka berencana meledakkan kapal lainnya. Tindakan yang begitu kejam ini sudah bisa dianggap sebagai deklarasi perang resmi.
"…Kalau mereka sudah tidak meninggalkan jalan mundur, hari ini kita harus membuat mereka tahu arti penyesalan…"
Sambil membahas pengaturan operasi setelah memasuki hutan dengan beberapa komandan regu dari kelompok tentara bayaran, gelombang pertama yang berlari maju dari air telah mencapai kapal patroli itu dan memanjat sisi kapal dengan cepat. Tak lama kemudian, ledakan dahsyat kembali mengguncang, menghancurkan satu-satunya kapal patroli yang tersisa. Nyala api besar beterbangan ke segala arah, semburan air laut menyebar, beberapa tubuh terlontar tinggi ke langit… Seketika, semua orang terdiam membeku.
Sudah tidak ada cara untuk melarikan diri!
Setelah menyadari hal ini, dentuman senjata mengaum di permukaan laut, membentuk barisan pilar cahaya di atas air yang gelap. Tak lama kemudian, di antara tumpukan batu di sisi pantai itu, Jiaming dengan jubah hitam muncul, menemukan Lingjing yang bersembunyi di balik batu tersembunyi. Di saat yang sama, dengan api kemarahan dan keputusasaan, pasukan tentara bayaran dengan aura penghancur segalanya juga menerjang masuk ke dalam hutan ini. Malam di pulau sebelum badai tiba-tiba menjadi ramai.
Pulau mungkin tidak besar, dilihat dari atas, hutannya mungkin juga tidak terlalu luas. Tapi terkadang, bahkan hutan yang tidak terlalu besar bisa terasa tak berujung, saat tersesat, atau dengan kata lain...
Ketika kau mustahil menemukan jalan keluar...
Insiden yang terjadi tiba-tiba ini membuat hampir semua tentara bayaran memasuki hutan, sekaligus memberi kesempatan lebih baik bagi saudara Dongfang untuk melarikan diri. Dibandingkan dengan hampir seratus orang yang sebelumnya mengelilingi tenda mereka di tengah, sekarang hanya tersisa lebih dari sepuluh orang di sekitar sini. Sebagian memeriksa kapal karam di laut apakah bisa dinaikkan dan diperbaiki, sebagian lagi berjaga-jaga di sekitar perkemahan. Karena semua kapal telah diledakkan, orang-orang yang tersisa ini terlihat gelisah.
Menurut analisis Dongfang Lu, mereka sudah tidak memiliki kapal untuk pergi. Sebelum menemukan cara lain ke laut, kemungkinan besar akan ditemukan oleh angkatan laut. Justru dengan begitu, keamanan ketiga sandera ini lebih terjamin. Namun tali sudah gerus hingga hampir putus. Jika berhenti sekarang dan ketahuan nanti, mungkin tidak akan ada lagi kesempatan melarikan diri. Dia memperkuat tenaga, dan setelah sekitar setengah jam, akhirnya berhasil memutuskan tali di tangan Dongfang Wan. Setelah menyuruh adiknya melepas talinya, barulah dia sadar pria gemuk di seberang sedang membelalakkan mata ke mereka berdua.
"Kalian... kalian..."
"Jangan takut, sekarang kewaspadaan mereka longgar. Kita bisa kabur..."
Saat hendak melepas tali si gemuk, Dongfang Wan tiba-tiba menarik tangan kakaknya dengan gugup: "Kak, bahaya... Ah—!" Sebelum selesai bicara, seorang pria membuka tirai tenda dan menarik rambut Dongfang Wan keluar. Ternyata itu Yeniu yang lukanya sudah dibalut. Sifatnya yang ceroboh dan niat mesumnya yang lama tertahan, ditambah ledakan dua kapal membuatnya kesal. Melihat Ngo Cong Cam bawa orang pergi, dia nekat mendatangi tenda untuk memuaskan nafsu. Namun baru saja menarik Dongfang Wan, dia kaget melihat tali di tangan-kaki wanita itu sudah terlepas.
Sebelum sempat bereaksi, sosok lain menerjangnya hingga terjatuh. Dongfang Lu yang seharusnya terluka parah bergerak lincah, dalam sekejap mencabut pistol di pinggang Yeniu dan menempelkannya di pelipis pria itu.
Udara seketika seperti membeku. Dongfang Lu mengambil senapan serbu dari tubuh lawan, menyerahkannya ke adik perempuannya, lalu memberikan kode mata ke dalam tenda. Dongfang Wan segera kembali ke dalam tenda dan melepaskan tali dari tubuh pria gemuk itu.
Saat itu tentara bayaran yang tersisa di sini kebanyakan berada di luar perkemahan, belum melihat situasi di area ini. Dongfang Lu tentu tidak berani menembak. Saat hendak memukul orang ini hingga pingsan, si orang itu justru seperti sudah memperhitungkan bahwa Dongfang Lu tidak berani menembak. Tiba-tiba ia berteriak kencang, dan seketika empat tentara bayaran di sekitar perkemahan berlari mendekat sambil mengacungkan senjata.
Keluar perlahan dari perkemahan, Dongfang Lu menggunakan Yeniú sebagai sandera sambil bergerak ke arah hutan. Dongfang Wan mengikuti dari belakang dengan senapan serbu di tangan, pergelangan tangannya gemetar halus. Pria gemuk di samping mereka tampak semakin ketakutan. Dalam situasi konfrontasi ini, keadaan menjadi sangat tegang. Di satu sisi Dongfang Lu tidak berani menembak - tanpa sandera, ketiga orang mereka pasti akan ditembak mati di tempat. Di sisi lain para tentara bayaran juga enggan membunuh karena tiga sandera ini masih berguna. Beberapa tentara bayaran yang sedang mencari di perairan jauh hanya memandang ke arah sini dengan ekspresi mengejek, sama sekali tidak berniat membantu.
Meski Dongfang Lu memiliki penguasaan seni bela diri yang mendalam, pengalaman bertempur di antara hidup dan MATI masih jauh di bawah tentara bayaran ini. Saat akhirnya berhasil mencapai tepi hutan, tubuh Banteng tiba-tiba terjatuh ke depan. Sebutir peluru telah menembus pergelangan tangannya. Dua tentara bayaran melesat cepat menyerbu. Saat Dongfang Wan menarik pelatuk, senapan serbu di tangannya telah diangkat oleh lawan. Segerombol peluru "Byur-byur-byur-byur" menghujam ke langit malam.
Pria gemuk yang menyertainya dijatuhkan dengan tendangan. Bersamaan, dahi Dongfang Lu dihantam keras dengan popor senjata sebelum ditendang hingga terpelanting. Lima tentara bayaran termasuk Banteng mengelilingi ketiganya, memukuli Dongfang Lu lagi dengan pukulan dan tendangan. Jika sebelumnya masih ada kebijaksanaanmu, kali ini benar-benar menjadi pukulan habis-habisan. Dongfang Wan ditangkap oleh salah satu tentara bayaran sambil berteriak histeris. Tiba-tiba Banteng kembali mendekatinya, kedua matanya membara dengan amarah.
“Ah——” Dengan jeritan, dia diseret pria itu ke semak belukar tak jauh di tepi hutan. Seorang tentara bayaran di sampingnya berkata sesuatu dalam bahasa Vietnam, namun tetap tak mengubah keputusan Bison. Menyadari tak mungkin lolos kali ini, dia berjuang mati-matian. Namun teriakan maupun tendangan sama sekali tak mempan, malah seikat rambutnya tercabut dalam pergulatan, perih membakar. Melihat adiknya akan dinodai, Dongfang Lu berusaha bangun berkali-kali, namun setiap kali dihajar lebih keras hingga terjatuh.
Byur! Dongfang Wan terlempar ke dalam semak belukar. Tubuh pria itu langsung menindihnya.
Teriakan dan tangisannya tak membuahkan hasil. Pakaian luar dirobek kasar. Mereka menekan kedua tangannya di atas kepala. Lapisan kedua pakaian pun terkoyak. Dari tubuh yang bergerak liar, terlihat bra putih bersih. Melihat wajah buruk itu mendekat, Dongfang Wan menjerit “Ah—” sambil menutup mata. Sensasi menjijikkan segera menyapu wajah dan lehernya.
Keputusasaan dalam hati hampir membuatnya ingin menggigit lidah sendiri agar tidak mengalami penghinaan seperti ini lagi. Suatu saat, mulut pria yang menjijikkan itu akhirnya meninggalkan tubuhnya, diikuti sensasi akan terkoyaknya bra-nya. Kemudian... sesuatu yang hangat, lengket, dan berminyak... Meski sulit dipahami, Dongfang Wan tahu pria ini mungkin telah mengeluarkan air liur di tubuhnya, sangat banyak.
Tubuh itu tiba-tiba menindihnya. Dadanya sesak, tanpa sadar matanya terbuka. Jubah hitam seperti hantu melintas di depan pandangannya.
Dari posisi Dongfang Wan, terlihat sesosok bayangan tiba-tiba menyambar masuk di antara empat tentara bayaran di tepi hutan. Siluet-siluet bersilangan, dentuman senjata menggema, lidah api menari-nari di udara bagai kuas melukis di atas kanvas hitam. Sosok misterius berjubah hitam itu nyaris menempel pada senapan serbu keempat tentara bayaran saat bergerak. Saat tembakan mereda, empat tentara bayaran yang tubuhnya penuh lubang peluru dari senjata kawan sendiri ambruk. Pria berjubah hitam itu mengarahkan dua senapan serbunya dan mulai menyemprotkan peluru ke arah sosok di permukaan laut.
Dentuman senjata，Dongfang Lu berjuang menarik pria gemuk itu masuk ke hutan，tubuh Dongfang Wan masih gemetar，tiba-tiba bayangan lain muncul dari semak di samping，mendorong mayat yang menindihnya hingga terguling，leher "Bison" telah dibelah bilah tajam，membuat darah mengucur deras membasahi tubuh Dongfang Wan。Dalam cahaya redup，bayangan itu dengan tegang mengayunkan tangan："Ikuti aku......"
Wajah gadis anggun itu dikenali Dongfang Wan，namanya Ye Lingjing。
## Bagian Sembilan Puluh Delapan Badai（Bagian Atas）
Bahkan bertahun-tahun kemudian saat mengingat kembali，Dongfang Wan masih jelas merasakan sensasi yang menyelimutinya kala itu。
Dalam kegelapan hutan yang muram，dentuman senjata dan keriuhan terdengar dari segala penjuru，karena tubuhnya penuh darah，ia melepas pakaian lalu membuangnya setelah mengeringkan darah。Ye Lingjing di depannya memberikan jaket luar，angin malam berhembus masih terasa dingin，tentu saja dingin bukanlah poin penting。
Merangkak maju di antara semak dan pepohonan, siap terkapar kapan saja untuk menghindari pencarian. Sesekali di samping batang pohon, sesekali di antara bebatuan, sorotan senter bahkan api sesekali muncul dalam jarak pandang. Bayangan-bayangan manusia berkerumun di hutan, kadang menyentuh ujung saraf beberapa orang. Di antara bebatuan, Ye Lingjing mengeluarkan gulungan perban dari kantongnya, membalut luka tembus peluru di tangan Dongfang Lu. Sosok tinggi berbaju jubah hitam itu menjelajahi hutan seperti hantu, seringkali menampakkan diri sekejap dalam pandangan semua orang sebelum menghilang lagi.
Beberapa tahun kemudian kebenaran terungkap. Dongfang Wan akhirnya menyadari bahwa "ketinggian" itu hanyalah persepsi yang salah darinya. Mungkin karena dia selalu memandang sosok itu dari posisi merunduk, atau mungkin karena kemampuan bertarung yang ditunjukkan sosok tersebut benar-benar luar biasa.
Sekitar seratus tentara bayaran yang melakukan pencarian dari jarak jauh maupun dekat, sementara dia hanya seorang diri. Namun selama perjalanan menghindar, yang paling sering terlihat di sekitar adalah mayat-mayat dengan kondisi kematian yang beragam—ada yang tertembak peluru, ada yang tenggorokannya dirobek pisau, ada yang terlempar akibat ledakan bom, juga yang tertusuk benda seperti kayu runcing karena terjebak. Terkadang mereka juga mendengar teriakan dari walkie-talkie para mayat ini. Sulit dipercaya ini semua adalah hasil karya satu orang saja. Kekacauan yang tercipta bagaikan harimau masuk ke kawanan domba, meski membandingkan tentara bayaran dengan domba terkesan merendahkan, namun analogi ini sangat tepat menggambarkan situasi di depan mata.
Kekacauan besar-besaran dan pertempuran tak terduga. Meski kelompok tentara bayaran berusaha melakukan pengepungan sistematis setelah menyadari jumlah lawan yang sedikit, namun dalam waktu lebih dari 2 jam antara senja hingga aksi dimulai, Jiaming berhasil memasang jebakan kecil tak terhitung jumlahnya. Bahkan selama proses kejar-kejaran, dia memanfaatkan granat tangan dari mayat-mayat untuk membuat daerah ranjau kecil yang terus memberikan "kejutan" tak terduga.
Keempat orang tersebut perlahan-lahan melakukan pelarian secara diam-diam, namun tentu saja sempat terdeteksi oleh tentara bayaran. Salah satu dari mereka ditembak mati oleh senjata di tangan Dongfang Lu. Dua orang lainnya langsung ditembak mati oleh peluru yang datang entah dari mana saat baru muncul. Satu orang lagi, ketika mendekati lokasi keempat orang tersebut, juga didekati oleh pria berjubah hitam. Pria kekar setinggi lebih dari 2 meter yang seperti Menara Besi ini juga dikenali oleh Dongfang Wan. Pria ini seharusnya adalah karakter dengan teknik bela diri terbaik di kelompok tentara bayaran. Dulu di kapal, saat bercanda, dia pernah dengan mudah menjatuhkan banteng liar ke samping.
Namun pria seperti inilah yang, sebelum sempat mengangkat senjatanya, sudah dihajar tendangan lutut keras di pelipis oleh sosok yang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Serangan berikutnya yang hampir seperti badai menghujani dirinya, memukulnya sampai tidak sempat membalas. Pria ini mungkin mengira kemampuan tank-nya kuat. Dia mencoba taktik saling melukai untuk mengusir musuh, tinjannya yang mengayun berhasil mematahkan pohon sebesar mangkok di samping. Tapi tenggorokannya juga terbelah saat itu, darah menyembur keluar, sementara bayangan hantu itu telah kembali menghilang dalam kegelapan.
Pertempuran di hutan ini berlangsung sekitar lebih dari 2 jam. Jumlah tentara bayaran yang tewas tidak diketahui pasti, dentuman senjata di hutan semakin melemah. Setelah waktu yang lama, sepertinya hanya terdengar dari kejauhan. Di sepanjang jalur yang dilalui keempat orang ini, sering terlihat mayat-mayat dengan berbagai kondisi. Sepertinya karena telah memberikan sehelai pakaian padanya. Di depan, gadis bernama Ye Lingjing sering memeluk tubuhnya sambil berjongkok gemetar saat bersembunyi. Bahkan setelah suara tembakan hilang lama, mereka masih berjalan berhenti-henti mengikuti rute tetap, akhirnya menghabiskan waktu setengah jam lebih sebelum tiba di suatu tempat di kaki gunung.
Menurut penjelasan Ye Lingjing, di sekitar sini sepertinya dipasang banyak jebakan. Dengan menyalakan senter, lereng gunung di area ini mulai terlihat jelas menanjak. Ada cekungan kecil di sisi gunung, panjangnya sekitar empat meter dengan kedalaman sekitar dua meter. Bukan gua, lebih mirip atap kecil. Sebatang pohon tua yang sudah lama mati menyangga "atap" ini, cukup untuk dijadikan tempat persembunyian.
Saat sorot cahaya menyinari area itu, muncul sosok sembunyi-sembunyi dari dalam sambil berbisik: "Lingjing, kau baik-baik saja?" Mendekat dan melihat orang ini, Dongfang Wan terkejut. Ternyata itu teman sekelasnya yang selalu dianggapnya jorok - Gu Jiaming.
Selanjutnya, sebagian besar adalah hal-hal sepele seperti perkenalan diri. Dongfang Lu adalah Ketua Departemen Akademi Hati Kudus yang sudah dikenal Lingjing dan Jiaming. Dalam peristiwa pertarungan sebelumnya, Lingjing tentu sudah mengetahui identitas Dongfang Wan. Yang paling asing adalah pria gemuk yang terus mengikuti mereka. Di kapal, ketiga sandera tidak punya minat untuk berkenalan, sehingga saudara Dongfang hanya tahu marga pria ini adalah Fu. Kini merasa akhirnya lepas dari bahaya, pria gemuk itu sangat bersemangat dengan pipi merah membara:
"Se...semua, marga saya Fu, nama Yanjie. Hehe, ayah punya harapan tinggi padaku..."
Terhadap nama ini orang lain tak bereaksi, namun Jiaming tertegun sejenak dengan kedutan di pipinya: "Uh, Fu Yanjie... Sudah Lama Mendengar. Nama saya Gu Jiaming. Senang bertemu, hehe..."
Saat pertempuran mereda, saudara Dongfang dan trio Fu Pria Gemuk memandangi Jiaming dengan tatapan aneh—campuran takut hormat dan kebingungan. Jiaming paham kecurigaan mereka. Segera ia dan Lingjing mengarang cerita: mereka berdua ditangkap kelompok ini tapi diselamatkan oleh sosok misterius bernama Tulip. Pak Tulip selalu memakai jubah hitam sehingga wajah dan identitasnya tak diketahui. Mengenai hancurnya kapal dan cara sampai ke pulau ini, tak perlu diubah banyak.
Satu-satunya celah dalam kebohongan ini mungkin adalah ketika kelompok tentara bayaran melakukan pencarian, mengapa Jiaming yang bersembunyi sendirian di sini tidak ditemukan. Namun saat ini tak ada yang menggali lebih dalam, karena jika Jiaming mengaku sebagai pria berjubah hitam itu, justru akan dianggap bahan ejekan. Terkait aksi Lingjing yang baru saja menyelamatkan orang, sementara Jiaming tetap bersembunyi, pandangan Dongfang Wan ke arah Jiaming semakin dipenuhi rasa hina dan merendahkan.
Dalam pertempuran sebelumnya, pihak Nguyen Tong Cam menderita kerugian besar. Ketika korban mencapai lebih dari setengah, Jiaming sudah menghubungi mereka untuk mengusulkan pembagian wilayah pulau dengan kesepakatan gencatan senjata. Meski Nguyen Tong Cam sedang dilanda amarah hebat, situasi di depan mata sama sekali tidak jelas - meski ada bawahan yang melaporkan bahwa musuh sepertinya hanya satu orang, pernyataan ini tidak hanya terdengar absurd bagi yang mendengar, bahkan si pelapor sendiri mungkin merasa perkataannya kacau/aneh.
Situasi lebih kuat daripada keinginan manusia. Untuk sementara hanya bisa mengumpulkan kekuatan dan mundur selangkah. Pada dasarnya, ini adalah dunia yang mengandalkan kekuatan nyata. Kapal telah hilang, semua ingin bertarung mati-matian, tetapi jika gagal dan hanya mengorbankan nyawa, itu sangat tidak rasional. Dari ucapan lawan, Jiaming menyimpulkan bahwa mereka mengira dirinya anggota kelompok tentara bayaran Huo Yan. Ini situasi paling ideal, setidaknya mereka akan mengira pihaknya tidak mungkin mengirim sinyal darurat. Diperkirakan kedua belah pihak memiliki waktu penyangga 1-2 hari.
"Mengenai badai yang akan datang besok, Jiaming sudah mengetahui sedikit dari rekaman komputer kapal patroli. Sekarang dia mengatakannya atas nama Tuan Tulip. Kemudian Lingjing, Dongfang Wan, dan Fu Yanjie mulai sibuk. Dari tas besar yang disembunyikan, mereka mengeluarkan tenda, memotongnya dengan pisau, menutupi atap gubuk kecil itu dengan terpal, menjahit tepinya dengan debu, lalu membuat kamuflase kasar dengan semak belukar, membentuk gua kecil yang bisa sementara menghindari hujan dan angin."
Di sisi lain, Jiaming mengeluarkan obat dan perban untuk merawat luka Dongfang Lu. Telapak tangan tertembus peluru, lengan terkilir di satu tempat dan patah tulang di tempat lain, tubuhnya penuh luka-luka. Sungguh luar biasa dia bisa menahan sakit dan terus berjalan di hutan selama lebih dari 2 jam tanpa pelatihan khusus. Jiaming merasa harus memberi penghormatan - memang ada alasan pria ini bisa menjadi ketua departemen di Akademi Hati Kudus. Namun, mendengar erangan sakit kakaknya saat lengan dipasang kembali, Dongfang Wan mengerutkan alis: "Hati-hati! Apa kau benar-benar bisa mengobati?"
"Tenang, tenang." Jiaming tersenyum. "Cita-citaku adalah menjadi dokter."
Mendengar cita-citanya, Lingjing tersenyum puas: "Pantasan kau selalu menjilat ibuku! Rupanya ingin ibu menerimamu sebagai murid." Sebelum Jiaming sempat berkata "Menjilat Ibu Ye bukan cuma untuk itu", Dongfang Wan menyindir: "Jangan-jangan mau jadi dokter gigi?"
Jiaming mengangkat bahu: "Kalau tidak diterima di jurusan kedokteran yang bagus, tentu saja hanya bisa jadi dokter gigi." Wajah Lingjing langsung berubah dingin: "Ibuku bukan dokter gigi... Tapi meskipun dokter gigi, juga tidak ada yang buruk."
Tidak menyangka nada bicara gadis di sampingnya tiba-tiba menjadi dingin, Dongfang Wan agak canggung: "Eh, maaf..." Sebenarnya Lingjing bukan perempuan yang picik, namun dia sangat membenci nada mengejek Dongfang Wan terhadap Jiaming ini.
Setelah kira-kira mengatur gua kecil dan membuat tanggul kecil pemisah aliran air di atas, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Mengeluarkan biskuit kompresi dari tas, makan sedikit, sepakat untuk berjaga bergiliran, lalu masing-masing tidur di dalam gua kecil.
Entah kapan, Dongfang Wan terbangun setengah sadar. Langit masih gelap gulita, di luar sudah mulai hujan. Udara sepertinya masih mengandung bau mesiu. Di mulut gua kecil menyala sebuah senter yang dilepas dari senjata. Jiaming duduk di sana, baju bagian atas terbuka lebih dari separuh. Lingjing duduk di sampingnya, sambil meneteskan air mata membalut luka di bahunya dengan perban. Luka tembak itu, sampai Lingjing tahu, Jiaming sudah menahan rasa sakit hampir semalaman.
Hampir bersamaan dengan saat Dongfang Wan melihat jelas pemandangan di depan matanya, pandangan Jiaming tiba-tiba menatapnya, lalu menunjukkan senyum kekecewaan. Dongfang Wan menggeser tubuhnya, bertanya dengan suara lembut: "Apa... apa yang terjadi?"
Mendengar suaranya, Lingjing mengusap air mata dengan lengan bajunya, lalu menoleh sambil tersenyum lembut: "Tidak apa-apa, beberapa hari lalu Jiaming terluka, sekarang belum sembuh." Tangannya gemetar halus saat ia menyembunyikan belati berlumuran darah di sisi yang tak terlihat oleh Dongfang Wan. Tanpa obat bius atau perlengkapan lain, baru saja mereka terpaksa mengikuti instruksi Jiaming menggunakan api untuk membunuh racun, lalu mengorek peluru yang menancap di daging dan tulang dengan belati. Hanya membayangkannya saja, Lingjing sudah merasa seluruh tubuhnya sakit. Saat ia dengan canggung menggunakan pisau tadi, Jiaming menggigit gigi erat-erat menahan rasa sakit yang tak terbayangkan.
"Oh..." Dongfang Wan mengangguk, "Lalu, bagaimana dengan Pak Tulip itu? Apa dia tidak mau masuk menghindari hujan? Badai datang, bagaimana nanti?"
"Tidak tahu. Dia tidak suka bersama kami. Tapi pasti dia punya cara, tenang saja."
"Oh." Mengangguk, Dongfang Wan melirik perban di bahu Jiaming sebelum menutup mata dan tertidur lagi. Dalam kegelapan, bayangan seperti hantu itu muncul lagi - menyelamatkannya saat hendak disakiti, menyelamatkan semua orang, lalu mengusir musuh seperti dewa. Tulip... Sebenarnya dia manusia seperti apa? Dengan pikiran itu, ia menarik selimut bulunya lebih kencang. Tanpa ranjang hangat, kamar mewah, bahkan belum mandi sejak tadi, tapi inilah tidur paling nyenyaknya selama beberapa hari terakhir.
Tepat sehari setelah, awan mulai menebal di Langit. Pagi hari masih hanya gerimis kecil Xiao Yu, sekitar lewat siang, intensitas hujan mulai membesar, angin juga bertiup semakin kencang...
## Bagian 99 Badai (Bagian Akhir)
Pada sore hari tanggal 9 Oktober, Badai resmi terjadi di pulau tak berpenghuni ini.
Awan hitam pekat menutupi semua cahaya. Hujan badai mengguyur deras, angin kencang menerobos hutan lebat mengeluarkan dentuman aneh dan mengerikan. Di dalam gua kecil, angin menyusup masuk tanpa celah, seolah setiap saat bisa menjatuhkan dengan drastis terpal penutup di luar.
Tentu saja, di atas ada pohon kuno tumbang yang menindih, tepi terpal juga diberi pemberat batu dan tanah. Tidak mudah untuk dijungkirkan. Namun untuk berjaga-jaga, Jiaming dan yang lain tetap menutup mulut gua, hanya membuka celah kecil saat mengamati situasi luar dengan teleskop. Di bawah angin sekuat ini, musuh di seberang pulau seharusnya tidak sampai otakmu rusak nekat melakukan Serangan Mendadak. Tapi siapa yang bisa jamin kalau mereka benar-benar otakmu rusak drastis.
Di dalam gua, senjata api dan granat justru menumpuk cukup banyak. Lampu senter pada senjata dicabut dan digunakan satu per satu sebagai penerangan. Pria gemuk bernama Fu Yanjie duduk di bagian paling luar, sesekali mengamati situasi dengan teleskop. Sedikit lebih ke tengah adalah dua saudara dari keluarga Dongfang. Jiaming dan Lingjing berada di bagian terdalam sedang memperbaiki radio berpenampilan aneh - bagian dari radio kapal yang rusak akibat ledakan dan belum selesai diperbaiki sebelum dibawa ke sini. Saat ini Jiaming membongkar beberapa walkie-talkie yang diambil dari mayat, menyusun komponen-komponennya satu per satu. Selain itu dia juga membongkar sebuah senapan serbu. Lingjing membagi selimut yang dipakainya dengan menaruh setengahnya di tubuh Jiaming, duduk di sampingnya sambil mengaku sebagai asisten, meski sebenarnya tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan, paling-paling hanya menemani ngobrol saja.
Hubungan antara keduanya terlihat seperti pasangan kekasih, namun juga seperti partner petualangan yang polos. Tentu saja ketiga orang lainnya tidak punya keinginan untuk menyelidiki lebih jauh. Dalam lingkungan seperti sekarang, satu-satunya fakta yang patut disyukuri mungkin adalah tubuh mereka masih utuh. Mendengar suara hujan di luar, mereka duduk dengan bosan, sesekali mengobrol dan bercanda. Dongfang Wan sesekali bertanya dengan khawatir tentang urusan Mr. Tulip yang masih berada di luar. Lingjing tersenyum sambil memberikan jawaban samar, lalu memandangi Jiaming dengan pandangan menggoda. Pria gemuk bernama Fu Yanjie lebih suka bercerita lelucon dingin, seringkali tertawa terbahak-bahak sendiri sebelum orang lain sempat tertawa.
Waktu berlalu dalam obrolan santai dan lelucon dingin. Sampai sore, langit sudah gelap seperti malam. Jiaming menggantikan pria gemuk yang berjaga di mulut gua. Lingjing membungkus diri dengan selimut dan tidur di dalam. Fakta bahwa gua ini sekarang ditempati tiga orang luar membuatnya agak menyesal. Andai hanya dia dan Jiaming, di cuaca seperti ini mereka bisa berpelukan, pasti takkan ada rasa bosan.
Tak lama kemudian, Dongfang Wan dari samping mengeluarkan jas hujan dari dalam gua kecil dan memakainya, lalu mengikat pinggangnya dengan tali. Ini adalah hal yang telah disepakati kelima orang sebelumnya. Jika harus buang air selama badai, harus pergi dengan cara seperti ini. Agar tak terbawa arus deras yang mengalir dari gunung. Setelah membuat simpul pita yang indah di pinggang, dia menyerahkan ujung tali ke tangan kakaknya. Saat hendak keluar, Jiaming mengerutkan kening melihat simpul di pinggangnya: "Eh, itu...apa sudah diikat kuat?"
"Tentu sudah kuat." Masih menyimpan dendam atas insiden pertarungan sebelumnya, Dongfang Wan menjawab datar sebelum melangkah keluar. Di luar gua kecil buatan manusia, hujan dan angin bertiup kencang, gelap gulita. Senter menyorotkan aliran air yang deras dari gunung, terbelah menjadi dua di atas gua. Di daerah cekung tak jauh di bawah, hujan hampir membentuk sungai kecil yang bergelombang. Hatinya berdesir, dia perlahan menuruni bukit rumput yang tak terlalu curam. Baru setelah memastikan Jiaming di mulut gua tak bisa mengintip meski ingin, dia berjongkok dan menurunkan celana panjangnya.
“Di sisi lain, memegang ujung tali panjang di tangannya, Dongfang Lu duduk di sebelah Jiaming sambil tersenyum berkata: 'Maaf, adik perempuan sepertinya punya prasangka padamu.'”
“Hm, aku tahu.” Jiaming mengangkat bahu, “Karena urusan pertarungan terakhir kali, ya?”
“Heh, kejadian waktu itu membuatnya ditertawakan berkali-kali oleh saudari-saudarinya. Tapi menurut guru kami, strategimu saat itu sangat tepat, hanya cara eksekusinya...” Keduanya tersenyum saling memahami, Dongfang Lu bertanya: “Jiaming, kamu sangat ahli dalam fisika?”
“Hanya hobi saja.” Jiaming menunjuk radio itu sambil tersenyum, “Waktu kecil suka membongkar radio.”
“Kalau begitu tertarik di bidang ini, kenapa memilih belajar kedokteran?”
“Ehm, karena...” Mengingat tujuan awalnya, Jiaming mengangkat bahu, “Karena dulu ada teman yang sering berkelahi dan terluka...”
Dongfang Wan menurunkan suaranya, berbisik: “Jangan-jangan cewek yang kamu suka?”
“Bisa dibilang begitu, tapi...”
Bagi Jiaming, hal ini tak perlu ditutupi. Pembicaraan harus campur antara pura-pura dan serangan nyata untuk menipu orang. Namun sebelum kalimat selesai, dari balik hujan terdengar jeritan kaget Dongfang Wan. Tali tiba-tiba mengencang lalu mengendur. Dongfang Lu baru hendak bangun, tapi langsung ditahan Jiaming yang langsung berlari membawa senter: “Kau terluka, pegang tali itu!”
Sebenarnya, sebagai Jiaming tidak terlalu tegang terhadap Dongfang Wan. Jika benar tali tiba-tiba kendur, membiarkan Dongfang Lu pergi pun tidak masalah. Namun sekarang ada teriakan lebih dulu sebelum tali berubah, menunjukkan Dongfang Wan pasti pertama kali diserang. Mungkinkah orang-orang itu benar-benar otakmu rusak sampai nekat menyergap? Begitu keluar, terlihat senter Dongfang Wan terjatuh di lereng bawah, dua sosok berguling masuk ke aliran sungai kecil berisi hujan di daerah rendah.
Pandangan membeku, Jiaming pura-pura memegang tali lalu meluncur turun dari atas!
Sebenarnya, si penyerang menyergap itu bukan datang khusus untuk menyerang.
Itu adalah seorang tentara bayaran. Dalam pertempuran semalam, tubuhnya tertembak dua kali hingga pingsan. Saat Nguyen Tung Can dan kawanannya mundur ke sisi lain pulau, mereka meninggalkannya di tempat. Ketika hujan mulai turun hari ini, dia siuman dari pingsan dan ingin mencari tempat berlindung dari badai. Namun saat badai benar-benar datang, tempat persembunyian daruratnya hancur diterjang hujan. Tubuhnya penuh luka, kesadarannya sudah linglung. Entah sudah berjuang berapa lama dalam badai, saat nyaris sekarat, barulah dia melihat cahaya samar di lereng sisi sana. Dengan sisa tenaga, dia merangkak naik menyusuri lereng berumput.
Dalam badai laut seperti ini, visibilitas yang memang sudah buruk, tentara bayaran itu perlahan merayap naik. Dongfang Wan sama sekali tidak menyadarinya. Baru saja melepas celana panjangnya, tiba-tiba sebuah tangan muncul di depan mata, berusaha merebut senter di tangannya yang gagal, justru mencengkeram pinggang celananya. Dongfang Wan menjerit ketakutan, lalu seluruh tubuhnya kehilangan keseimbangan. Karena tali di pinggang tidak terikat kuat, ia dan tentara bayaran itu terguling bersama menuruni lereng berumput.
Dalam gulungan perubahan drastis itu, paha Dongfang Wan menendang-nendang liar. Dahinya menghantam batu dengan keras, membuatnya pusing tujuh keliling. Sensasi air mengalir dari segala penjuru membanjiri hidung dan mulutnya, meneguk beberapa kali air dalam gelap. Bayangan sosok itu berdiri di depan mata, mengacungkan belati seakan hendak menusuknya. Tiba-tiba bayangan lain melintas cepat di depannya.
Siluet-siluet itu saling berpapasan. Sekilas ia melihat kembali bayangan itu - belati menembus tenggorokan musuh dalam sekejap. Tubuh lawan itu ambruk. Kesadarannya pun tenggelam dalam kekosongan sejenak.
Tepat sehari setelahnya, pandangan Dongfang Wan kepada Jiaming terpancar nuansa aneh yang samar.
Badai masih mengamuk di luar gua kecil. Di dalam gua yang hanya diterangi oleh satu senter, Dongfang Wan terbaring diselimuti selimut. Dahinya dibalut perban dengan desain orang Arab yang memalukan, kaki kanannya juga dibalut perban. Pergelangan kaki kanannya yang terkilir telah dikembalikan ke posisi semula dan diikat dengan beberapa papan kayu kecil, membuatnya dan Dongfang Lu menjadi perwujudan sempurna dari idiom "saudara sengsara".
Peristiwa kemarin akhirnya dikonfirmasi disebabkan oleh seorang tentara bayaran yang terluka parah. Setelah mendengar dari kakaknya tentang keberanian Jiaming, perasaan Dongfang Wan menjadi kompleks. Namun, fakta bahwa dia diselamatkan oleh pria yang selalu dianggapnya pengecut bukanlah alasan utama. Lebih banyak alasan tersembunyi dalam detail-detail sepele lainnya.
Misalnya, saat menyelamatkannya, bagian bawah tubuhnya benar-benar telanjang bulat. Atau fakta bahwa karena tali tidak cukup panjang, untuk masuk ke dalam air menyelamatkannya, Jiaming sendiri harus terjun ke arus deras. Mereka terbawa arus sejauh puluhan meter sebelum Jiaming akhirnya menemukan kesempatan menariknya ke tepi. Mereka berjuang dalam badai selama lebih dari dua puluh menit sebelum akhirnya bisa kembali ke gua dengan bantuan orang lain. Dua puluh menit - waktu yang cukup untuk melahirkan seorang bayi.
Di tengah badai yang menderu, ide untuk kehilangan keperawanan di tempat terbuka memang terdengar agak romantis. Tentu saja Dongfang Wan tidak sampai menganggap Jiaming sebagai karakter mesum seperti itu, meskipun rasa sakit di sana akibat hempasan air yang deras memang terasa... Yang lebih mengganggunya adalah pemandangan sebelum pingsan - menurut penjelasan saudaranya, Jiaming hanya mengatakan telah mendorong tentara bayaran yang terluka parah itu, namun pandangan terakhirnya jelas menunjukkan adegan Pak Tulip sedang MEMBUNUH.
Dalam kegelapan hanya siluet manusia yang terlihat, namun dampak visual itu terus menghantui bahkan saat tak sadarkan diri. Sebagai orang yang menguasai dasar seni bela diri, ia paham betul - kekuatan dan kecepatan sempurna dalam satu tusukan pisau. Ia bahkan bisa membayangkan ujung pisau menembus tenggorokan musuh dari sisi seberang dalam sekejap - apakah ini halusinasi? Ataukah ia sengaja menyamarkan ketakutan setelah membunuh, atau mungkin...
Memikirkan kemungkinan itu, Dongfang Wan merasa seolah otaknya kemasukan air akibat benturan. Mungkin benar ini hanya halusinasinya sendiri. Lagipula sejak terbangun, sikap mereka berdua sama sekali normal, tidak seperti orang yang baru saja membunuh.
Tanggal 10 seharian, waktu berlalu dalam monotoninya badai. Dongfang Wan yang kemarin kehujanan berlebihan mulai menunjukkan gejala flu. Setelah minum obat, kondisi mentalnya sedikit membaik. Ia mengobrol santai dengan Lingjing, namun tanpa sadar topiknya mengarah ke Jiaming. Secara garis besar, mereka membahas berbagai kejadian menarik sejak kecil antara Jiaming, dirinya, dan Shasha bertiga. Dongfang Lu juga mendengarkan sambil sesekali menyelipkan komentar. Sepanjang mengingat-ingat momen-momen menarik ini, semangat Lingjing semakin berkobar. Sesekali ia melirik Jiaming yang sedang asyik menyetel radio di belakang, hati bergumam: "Rupanya kita telah melalui begitu banyak cerita bersama. Helai demi helai, tetes demi tetes, begitu diingat kembali, rasanya bahagia tak terkira."
Malam itu, radio akhirnya berhasil diperbaiki. Menjelang tanggal 11, intensitas badai mulai mereda. Jiaming dan Dongfang Lu merapikan senjata-senjata di gua kecil tersebut. Saat tengah hari tiba-tiba lampu merah di radio menyala, disusul transmisi sinyal kode Morse internasional yang terdengar:
"Di sini... Tim Pencarian Khusus Peristiwa 104 Armada Laut Timur Tiongkok... Telah mendekati lokasi pulau... Koordinat Bujur Timur xxx.x derajat, Lintang Utara xxx.x derajat..."
Yang membaca sinyal ini ternyata Fu si Gendut yang selama ini bersembunyi takut menyentuh senjata. Merasa pandangan semua orang tertuju padanya, ia menundukkan lehernya gugup: "Err, itu... Aku memang tertarik dengan pengetahuan elektronik seperti komputer. Soal hardware mungkin belum ahli, tapi kode Morse masih tahu... Hehe..."
Jiaming tersenyum tipis, menggendong radio, mulai mengirimkan pesan dari pihak mereka.
Meskipun badai telah mereda, di tepi pantai ombak yang bergulung-gulung masih menciptakan gelombang opini publik yang menakjubkan. Lima orang mengangkat terpal yang berfungsi sebagai tenda keluar dari hutan. Angin laut menusuk, di ujung cakrawala awan gelap telah tertembus seberkas cahaya, menandakan badai akan menjauh. Di permukaan laut, lima kapal berbagai ukuran menerobos ombak, berlabuh di wilayah perairan sekitar. Kemudian, satu per satu kapal pendarat kecil muncul.
"Ngomong-ngomong, apa tidak masalah tidak menunggu Pak Tulip itu?" Jalan Timur bertanya sambil menoleh ke arah hutan. Jiaming tersenyum tipis: "Lagipula kita tidak bisa menemukannya. Kita tinggalkan pesan di perkemahan, ditambah tentara akan SEGERA menggeledah pulau untuk menangkap tentara bayaran yang tersisa. Dengan gelombang opini publik sebesar ini, dia pasti tahu."
Jalan Timur mengangguk: "Kalau kita ceritakan pengalaman kita, tentara seharusnya tidak akan menyusahkannya. Sungguh ingin melihat wujud asli Bapak ini."
Jiaming dan Lingjing mengangguk dengan sangat bersemangat. Dongfang Wan yang melihat gaya anggukan Jiaming yang tampak agak bodoh itu kembali menunjukkan ekspresi hina, menoleh ke arah hutan.
Sementara itu, kapal pendarat pertama telah sampai di pantai. Prajurit bersenjata lengkap melompat turun di bawah pimpinan Cui Guohua dkk, disusul oleh kapal kedua.
"Saat kapal ketiga merapat, sosok gadis berbaju hujan yang pertama turun tiba-tiba terhempas oleh gelombang Braak! Namun segera bangkit dari air laut, berlari ke arah sini dengan gaya yang familiar bagi Jiaming dan Lingjing. Dalam sekejap mata, air mata Lingjing meleleh deras sambil berlari ke arahnya, terisak-terisak di hempasan angin laut."
"Gesekan——"
## Bagian ke-100 Pulang ke Pelabuhan
Rok berkibar ditiup angin laut yang sepoi-sepoi. Langit cerah pasca badai memancarkan suasana damai. Kapal besar melaju stabil membelah ombak ke barat. Di tepi geladak depan, Lingjing dengan baju putih dan rok hijau bersandar di pagar sementara. Angin mengibarkan rambut panjangnya yang dihiasi pita biru permata. Menengadah, senyum jernihnya merekah.
"Junior Lingjing."
Mendengar panggilan itu, Lingjing menoleh. Dongfang Lu dengan seragam pelaut rapi sedang mendekat dari kejauhan. Harus diakui, baron ini sulit dibenci. Tampan, kaya, namun rendah hati. Sikapnya selalu elegan dengan senyuman hangat. Meski sekarang badannya penuh luka, lengan dibalut perban, wajah bertambalan, senyuman di bibirnya tetap memancarkan kedamaian. Lingjing tersenyum: "Hm, Dongfang... Lu."
Selama ini dia merasa nama ini agak aneh.
“Hah, lihat kau berdiri sendirian di sini... Bagaimana, kondisi junior Huai Sha sudah membaik?”
Kemarin di pulau setelah bertemu Lingjing dan Jiaming, Sha Sha langsung pingsan karena kelelahan. Menurut penjelasan Yahan, selama beberapa hari ini di laut melakukan pencarian, Sha Sha sama sekali tidak mau makan dan minum teh. Sesekali mendapat kabar mengecewakan langsung menangis histeris. Air mata yang tumpah dalam beberapa hari ini mungkin melebihi total air matanya selama lebih dari sepuluh tahun sebelumnya. Setelah menemukan orangnya dan merasa lega, akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Terhadap hubungan bertiga ini, orang lain selain kagum juga berdecak kagum, hanya berkata bahwa perasaan yang dibina sejak kecil memang paling murni.
Mendengar pertanyaan Dongfang Lu saat ini, Lingjing mengangguk: "Sha Sha sudah sadar, Jiaming menemaninya di dalam, aku keluar untuk menghirup angin."
"Memiliki teman seperti ini adalah kekayaan seumur hidup."
"Mm." Mendengar perkataannya, Lingjing tersenyum bahagia, "Ya, Jiaming dan Sha Sha juga begitu. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Dongfang Wan? Luka-lukamu..."
"Hah, terima kasih atas perhatiannya. Adikku tidak apa-apa, hanya..." Ia mengetuk dahinya dengan jari, "Kepalanya terluka, mungkin otaknya kemasukan sedikit air... Dia memang sudah dimanja sejak kecil, terkadang bicara dan bertindak kurang sopan. Junior Lingjing jangan tersinggung ya."
"Tidak apa-apa. Aku hanya tidak mengerti mengapa dia... Sepertinya agak menargetkan Jiaming. Tentu saja, tidak terlalu jelas juga. Mungkin aku yang terlalu sensitif..."
“Hehe, itu karena kejadian pertarungan terakhir kan.” Mengetahui Lingjing sangat memperhatikan pertemanan dengan Jiaming, Dongfang Lu tertawa, “Dulu dia memberikan jaminan keamanan untuk teman sekelas Jiaming, setelahnya banyak yang bercanda bilang Jiaming adalah pacarnya, mungkin ada sedikit kekesalan di hatinya...”
“Eh?”
“Tentu saja, cuma bercanda.” Dongfang Lu mengayunkan tangan, “Kalau bicara soal pacar, teman sekelas Jiaming dengan junior Huai Sha itu sepasang kan?”
Lingjing ragu sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum: “Kau tahu dari mana?”
“Karena waktu di pulau, teman sekelas Jiaming pernah bilang padaku, alasan dia ingin jadi dokter adalah karena ada teman yang sering terluka akibat berkelahi. Sepertinya aku dengar junior Huai Sha sangat ahli dalam pertarungan. Tak menyangka tebakanku tepat. Oh ya, terima kasih juga untuk junior Lingjing yang membalut lukaku di pulau dulu.”
“Eh? Aku?” Lingjing terkejut sebentar, “Bukannya Jiaming yang selalu membalut lukamu?”
Melihat Lingjing ternyata lupa kejadian itu, Dongfang Lu agak canggung, mengangkat tangan kanannya yang dibalut kain kasa: “Hehe, apa kau lupa? Saat kita lari ke perkemahan, kau melakukan pertolongan pertama untuk tanganku. Meskipun melupakan jasanya adalah kebajikan, tapi setidaknya beri aku kesempatan untuk berterima kasih lah.”
Mendengar perkataannya, Lingjing baru teringat bahwa waktu itu dia memang melakukan perban darurat pada Dongfang Lu. Dia tersenyum ringan, "Tidak apa-apa." Tiba-tiba Dongfang Lu mengulurkan tangan kanannya: "Begini, aku tahu junior Lingjing sangat berbakat di segala bidang. Sejak SMP sudah mengorganisir berbagai aktivitas kampus, selalu berprestasi akademik dan moral. Karena itu, aku ingin mengundangmu bergabung dengan departemen kami. Harap kau menerima permintaan ini."
Akademi Hati Kudus meniru sistem akademi Bangsawan luar negeri. Departemen memiliki hak istimewa besar, secara basically terdiri dari mahasiswa terbaik kampus. Hanya berasal dari keluarga baik belum tentu bisa masuk. Delapan puluh persen kuota rekomendasi ke universitas ternama dan beasiswa luar negeri tiap tahun jatuh ke anggota. Mahasiswa biasa harus melalui seleksi ketat. Meski Lingjing punya kemampuan, undangan mendadak dari Dongfang Lu membuatnya terkejut. Setelah beberapa saat, dia ragu-ragu menjawab: "Eh... Aku sudah ikut komunitas yang dibuat bareng Shasha dan Jiaming..."
"Haha, urusan tidak bertentangan dengan aktivitas komunitas. Hanya menyita sedikit waktu ekstrakurikuler, bisa izin jika ada hal lain. Pengalaman di akan memberimu banyak wawasan untuk persiapan kuliah bahkan kehidupan sosial nanti..."
"Tapi... waktu ekstrakurikulerku juga ada kegiatan lain." Mengingat les piano, Lingjing menambahkan, "Aku juga harus kerja paruh waktu."
"Kerja paruh waktu?" Dongfang Lu penasaran, "Junior Lingjing sudah memikirkan kerja sambil kuliah di usia muda begini?"
“Hmm, bukan.” Menggelengkan kepala, Lingjing tersenyum penuh harap, “Untuk menghidupi keluarga.”
Dongfang Lu sepertinya ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi Lingjing sudah berbalik badan dan melambaikan tangan: “Aku masih ada urusan, mau cari Jiaming dulu. Dah.” Entah mengapa, tiba-tiba perasaan yang ditimbulkan Dongfang Lu dalam dirinya sangat mirip dengan Zhang Jingfeng. Bagaimanapun, lebih baik menghindar dulu.
“Ya, sampai jumpa. Urusan departemen silakan dipertimbangkan, boleh kasih jawaban nanti.”
Dengan senyum santai, Dongfang Lu menyandar di pagar sementara, memandangi Lingjing yang menjauh. Lalu, matanya tertuju pada tangan kanannya yang dibalut perban. Saat menghadapi kesulitan bersama, perasaan sering muncul. Beberapa hari lalu di hutan yang dipenuhi desing peluru, saat gadis itu membalut lukanya dengan hati-hati, ia merasa hangat... Sayangnya dia sudah lupa...
Dinding putih, seprai putih, baju pasien yang juga putih. Shasha bersandar pada tumpukan bantal, meminum bubur panas yang disuapi Jiaming perlahan. Setelah mangkuk habis, Jiaming merapikan peralatan makan. Shasha mengulurkan tangan dari selimut: “Jiaming, aku mau tidur...”
“Hah?” Melihat gaya Shasha itu, Jiaming menyeringai dan berbisik, “Tapi kita tidak bawa itu ke kapal. Apa pakai kantong membran?”
“Kau……” Gesekan wajahnya memerah, memukul kepala Jiaming, “Otakmu penuh dengan pikiran kacau, aku tak pernah bilang tidur bersama harus seperti itu kan…… Aku cuma ingin kau memelukku tidur……”
“Tapi sekarang masih siang lho, bisa ada orang masuk melihatmu. Kalau aku naik, masalahnya jadi besar. Mending aku cari Lingjing untuk nemeninmu, atau cari kuas tebal…… Pokoknya malam ini kita sampai di Bangsat, hehe, aku menyerah, aku menyerah, tahu salah…… Jangan pukul lagi……”
Akibat mulut sembarangan, Shasha menghujani dengan dua bantal sampai Jiaming terjungkal di ranjang. Tiba-tiba, pintu berbunyi “krak”, Lingjing menyembul dengan senyum: “Eh, lanjutkan saja, jangan pedulikan aku. Aku cuma lewat…… Eh…… Jiaming mau ngapain……”
Teriak “Boneka isi angin temani tidur datang.” Jiaming menarik Lingjing ke ranjang, hendak melepas pakaiannya. Lingjing tertawa sambil meronta: “Pintu belum ditutup……” Setelah pintu tertutup, Lingjing duduk di kepala ranjang, tangan melindungi dada, pura-pura menghadang aksi Jiaming membuka kancing bajunya. Tapi jelas tak efektif, wajahnya merah padam: “Ngapain sih, kalian berdua selalu harus libatkan aku……”
“Shasha ingin ditemani tidur, tapi sekarang mustahil aku yang menemaninya, jadi harus Lingjing lah. Hehe, teriaklah, teriaklah, kau berteriak sampai tenggorokanmu hancur pun takkan ada yang menyelamatkanmu...” Dengan terampil membuka kancing bajunya, melepas sepatu dan kaus kaki, gaun, lalu menyelipkan Lingjing yang hanya mengenakan celana dalam dan bra ke dalam selimut Shasha. Tangan mengelus wajah Shasha yang tampak kurus kering dua kali, tersenyum: "Sudah, boneka barat sudah dikirim. Kalian berdua tidur nyenyak, aku akan menjaga di sini. Hmm?"
Shasha mengangguk penurut. Lingjing justru menendang selimut dengan geram: "Pergi sana! Siapa suruh jaga-jaga di sini? Aku dan Shasha ini lesbian, kau pria sudah tak berguna lagi..."
"Hah, belum pernah dengar lesbian langsung buang alat pijat..."
Bertiga tertawa riang. Lingjing dan Shasha perlahan tertidur dalam selimut. Meski awalnya hanya saling menggenggam tangan, saat tertidur tetap berpelukan sesuai kebiasaan. Jiaming memandangi wajah cantik yang terlelap di tepi ranjang, membereskan peralatan makan bekas pakai, lalu keluar melalui pintu.
Di terowongan kapal perang, segalanya terlihat kaku. Selain peralatan anti api dan pelampung, tidak ada dekorasi apa pun. Bola lampu pijar panjang berjajar hingga ujung. Setelah mengembalikan peralatan makan ke dapur, di lorong aku bertemu Zhang Yahan yang wajahnya tampak tak bersahabat. Sejak kemarin hingga hari ini, meski sempat saling memandang dari kejauhan, ini pertemuan pertama kami berdua saja.
"Baik-baik saja?"
"Seperti yang kau lihat, semuanya masih bisa dijalani."
"Aku dengar dari ayah tentang urusan tulip itu. Kau yang melakukan?"
"Hehe, itu Guruku."
"Cih... Mau ke kamarmu atau kamarku?"
"Ke kamarmu saja, lagipau sudah sampai depan pintu..."
Percakapan itu terdengar seperti pasangan kekasih yang sedang memilih tempat terbaik untuk bercinta. Namun saat pintu tertutup di belakang, suasana tiba-tiba berubah drastis. Merasakan Niat Membunuh yang menusuk tulang, Jiaming refleks menghindar. Tendangan keras menyapu udara di tempat pinggangnya tadi berdiri. Saat menoleh, mata Yahan dipenuhi kemarahan yang mendidih!
Sorot mata itu mengingatkan Jiaming pada pepatah abadi: Mustahil mengganggu wanita.
Tapi... Jiaming mengingat-ingat kesalahannya, lalu merasa sangat dramatis: Aku tidak mengganggumu, Kakak...
## Bagian Keseratus Satu Pertanggungjawaban
“Si cantik, sepertinya aku tidak pernah membuatmu marah...” Setelah menghindari tendangan, Jiaming berpura-pura tak bersalah. Namun jawabannya adalah tendangan berputar yang lebih ganas: “Yang menentukan apakah kau sudah merepotkanku atau belum, itu hakku!”
“Kalau begitu tolong katakan, jika kau mengatakannya, pasti akan kurenungkan.”
“Lebih baik kau MATI dulu baru merenungkan!”
Dengan dentuman, Yahan MM menghancurkan satu buah lampu meja. Jiaming melompat lebih jauh dengan bertumpu pada sofa: “Ini terlalu sulit, aku tidak bisa. Kita kan berteman, bisakah ganti yang lebih sederhana? Hei...”
“Baiklah, cukup berdiri diam di situ. Ini cukup mudah kan!”
“Otakku tidak kebanjiran Air...”
Dari ruang tamu ke kamar tidur, lalu dikejar-kejar kembali ke ruang tamu, pertempuran benar-benar sengit. Postur Yahan yang jenjang dengan kaki ramping terbungkus stoking hitam ketat di balik rok dua lapis gaya profesional, saat menendang tinggi hampir terlihat pangkal paha. Seandainya dalam situasi normal, ini pemandangan yang memikat mata. Tapi saat ini, hanya Jiaming yang masih sempat berkhayal aneh-aneur sambil kabur kocar-kacir.
“Yahan bukanlah perempuan lemah lembut yang hanya punya sedikit gerakan indah tanpa tenaga. Meski penampilannya cantik bisa memberi kesan demikian, tapi jika benar-benar berhadapan dengan bajingan tak tahu malu, tekniknya yang lebih mahir dari Shasha dan Lingjing serta serangan penuh kekuatan pasti membuat orang merasakan penderitaan luar biasa. Terhadap kemampuan bertarung Jiaming, dia punya pemahaman mendalam, sehingga setiap serangannya tak memberi ruang sedikitpun, semuanya dilakukan dengan kekuatan penuh. Dalam sekejap, satu telepon, dua lampu meja, satu bantal peluk, dan sebuah bingkai foto hancur lebur di bawah serangannya.”
“Jelas, Yahan MM sedang marah, konsekuensinya sangat serius.”
Setelah dikejar-kejar beberapa putaran lagi di ruang tamu, Jiaming memaksimalkan teknik kaburnya. Semua tenaga Yahan terbuang percuma di udara, membuatnya kesal bukan main: “Kau berhenti di situ! Bukannya kau hebat sekali? Bukannya kau jagoan? Satu lawan beberapa ratus orang saja bisa, sampai memojokkan mereka di pulau itu sampai separuh mati separuh tertangkap... Jangan lari! Kalau jantan hadapi aku satu lawan satu!”
“Tapi penampilanmu sekarang lebih mengerikan daripada beberapa ratus orang itu, Kak... Aduh——”
Dengan santai menangkis bantal yang melayang, Yahan sudah melesat cepat mendekat dalam dua tiga langkah. Tubuh Jiaming bergoyang ke kanan, lalu seluruh diri ini melenting ke kiri. Yahan yang tergesa-gesa ingin mengubah arah, namun hak sepatu tinggi yang sudah lama tersiksa akhirnya putus di saat genting. Lalu...
“Wadaw...”
“Dang”，bertiga，Yahan tubuh，Jiaming：“Hmph，。”
“Akumenyelamatkan，，……”
“Hmph。”Yahanracun，“，！，MATI？”
“priacara mati？”
bertigasetengah hari，Jiamingmerespon，Yahanterengah-engah，bernapas pendek-pendek，bertigamencium，Tentu saja，Yahanaroma tubuh，Jiamingpaling-palingsabun，priamentalMM，penilaian“priamuntah”。pandangan menggodagayaJiamingmenggoda，YahanwajahHongHong，，Jiaming：“mengerti？gaya，detik，Akuribuleher。”
“Hm, coba kamu putar.” Setelah memukul dada Jiaming dengan keras, Yahan berjalan pincang ke sofa sambil melepas sepatu untuk memeriksa bagian yang terkilir tadi. Jiaming menghela napas dan duduk di sebelahnya. Ahli dalam urusan keseleo, meski awalnya Yahan sengaja tidak mengizinkan, akhirnya meletakkan kaki kanannya yang bengkak di pangkuannya. Sentuhan telapak tangan Jiaming terasa hangat dan menggelitik. Saat Yahan mulai nyaman, Jiaming berkata: "Hmm, sensasi sentuhannya bagus."
“Sensasi sentuhan... Kamu benar-benar bisa tidak sih... Aa—!” Di tengah bicara, rasa sakit menusuk membuat Yahan menjerit. Dengan kesal, ia menendang dengan kaki kirinya, “Kamu sengaja mengerjai aku ya?”
Jiaming tersenyum nakal: “Kamu mengejar-ngejar aku begitu lama, tentu aku harus mengambil sedikit bunga.”
“Tapi aku sama sekali tidak berhasil memukulmu.” Yahan mengangkat mata putihnya kesal, “Ngomong-ngomong, masalah kali ini begitu besar. Mereka tidak menemukan Tuan Tulip di pulau, pasti akan mencurigaimu. Bagaimana nanti?”
“Biarlah curiga.” Jiaming tersenyum tipis, “Kalau tidak kuperlihatkan padamu, apakah kau akan mengira aku orang yang hebat dan misterius? Lagipula tidak menemukan bukan berarti tidak ada. Mereka pasti sudah menemukan jejak-jejak di kapal ini... Ada satu orang tambahan...”
“Apa?”
“Guruku. Tuan Tulip yang mereka cari itu.”
“Cih.” Betis rampingnya menendang ringan bahu Jiaming, “Aku tidak percaya dengan cerita mu. Kau ini benar-benar ... Aku sudah dapat banyak informasi rahasia dari ayah! dari Jepang yang kabur karena diusir olehmu, Tulip di kapal itu. Astaga, itu kan nomor satu di dunia! Semua hebat di kapal tak bisa berbuat apa-apa, tapi kau bisa mengusirnya tanpa ! Benar-benar ... Lalu merampas kapal musuh, mengirim darurat ke , terus kabur tanpa kembali... Kenapa kau tidak laut saja sih!”
Dari pujian lembut tiba-tiba berubah menjadi jahat, Yahan menyepak dengan kaki kirinya. Tapi di , kaki itu ditangkap Jiaming. Setelah bergulat di sofa beberapa saat, wanita itu akhirnya . Wajahnya masih merah padam sambil memandangi Jiaming. nya seperti berkaca-kaca sebelum dia menyeka wajahnya dengan gerakan santai.
“Maaf, waktu itu... kami harus begitu. radio di kapal sudah hancur. Aku dan Lingjing terdesak ke situasi itu, terpaksa merampas kapal mereka lalu kabur. Aku juga ingin dengan gagah, tapi ... aku cuma manusia biasa...”
“Kau sadar diri juga kalau cuma manusia...”
“Hehe...” Meski tahu mereka sedang memperhatikannya, Jiaming tak terlalu nyaman dengan suasana saat ini. Ia pun tertawa, “Kenapa tiba-tiba begitu perhatian? Jangan-jangan kau jatuh cinta padaku? Walau hubungan guru-murid punya daya pikat, tapi kalau kita berdua... bukankah aneh? Kau lebih cocok dengan Dongfang Lu di kapal itu...”
Ekspresi Yahan tertegun sejenak. Anehnya, kali ini ia tak membalas ejekan Jiaming. “Jangan sok-sokan... Aku hanya menganggapmu sebagai teman terbaikku. Walau sebagai teman pun kau tak sebanding dengan nona hebat sepertiku, tapi... dibanding pria sok keren seperti Dongfang Lu, kau masih lebih enak dipandang.”
“Wawasanmu benar-benar payah...” Jiaming tersenyum sinis. “Orang bodoh pun bisa lihat Dongfang Lu lebih hebat dariku, setuju?”
“Tapi kau lebih cocok jadi teman. Usia kita berbeda, lagipula kau tidak tampan. Sedekat apa pun, aku tak tertarik menyelimutimu. Dongfang Lu itu lain cerita. Kalau terlalu ganteng, aku khawatir tak bisa menahan diri. Jadi dalam hal ini, kau memang lebih unggul dari Dongfang Lu, hehe...”
“Aku benar-benar tersanjung mendengarnya...”
Kembali ke Kota Jianghai, pengaruh Peristiwa Mengerikan 104 masih menjadi perbincangan hangat. Sebagai salah satu yang pernah kontak langsung dengan Tuan TULIP, Jiaming dan Lingjing telah dua kali diperiksa oleh orang-orang []. Keduanya telah menyamakan keterangan sebelumnya sehingga tidak ada masalah berarti. Meskipun menurut keterangan Dongfang Lu dan lainnya, Cui Guohua dkk agak mencurigai Jiaming, tapi akhirnya tidak ada yang mengira Jiaming memiliki kekuatan untuk melawan Yoritomo Taku. Hal seperti ini, siapa pun yang mengatakannya pasti dianggap otakmu rusak.
Sebagai salah satu dari Lima Keluarga Besar di Jianghai, keluarga Huang meski tidak banyak berhubungan dengan organisasi [], tetap bisa mendapatkan intelijen melalui jalur rahasia. Mereka tahu Jiaming pernah kontak dengan sosok yang berjasa besar dalam peristiwa sebelumnya. Setelah dua tiga kali pemeriksaan diselingi tanya kabar, akhirnya tidak terlalu meragukan jawaban Jiaming yang "tidak tahu" pada pertanyaan krusial. Sekitar 20 Oktober, Jiaming, Lingjing, dan Shasha akhirnya kembali ke kampus setelah beristirahat beberapa waktu.
Setelah menceritakan kemampuan bertarung menakjubkan Jiaming dan rahasia dalamnya kepada Shasha, tidak terjadi gejolak besar dalam keluarga kecil ini. Mereka hanya meminta agar kedepannya jika ada hal apapun harus dikatakan, kalian bertiga menyelesaikannya bersama. Setiap perempuan pasti berharap anak laki-laki yang disukainya menjadi pahlawan besar. Shasha yang memiliki karakter mudah bersyukur ini, setelah mengalami masa-masa penuh kecemasan itu, merasa sudah sangat bahagia hanya dengan bisa tidur berdesakan di ranjang besar bersama dua anggota keluarganya setiap malam. Makan bersama, mengobrol, bercanda, bahkan suatu malam ia sampai terbangun sambil menangis dalam pelukan Jiaming. Dalam kegelapan itu, ketiganya berpelukan erat sebelum akhirnya tertidur lelap kembali.
Tsukike Kaoru yang sebelumnya dirawat di rumah sakit tentu saja sudah lama kembali ke kampus. Xu Yiting dengan kacamata dan kuncir rambut besar yang sering menanyakan kabar mereka akhirnya bisa lega. Saudara Dongfang juga telah kembali ke kampus. Dongfang Wan yang lukanya baru sembuh ini penuh semangat mempersiapkan komunitas "Klub Pariwisata" yang rencananya akan didirikan di kelasnya dan sudah lolos verifikasi. Konon setiap liburan panjang mereka akan mengorganisir kegiatan seperti pendakian, kemping, atau wisata, dengan setiap peserta hanya perlu membayar biaya partisipasi kecil.
Secara alami, hanya wanita idiot yang ingin menjadi figur publik seperti ini yang akan melakukan hal bodoh seperti menyedot uang keluarga untuk menopang aktivitas komunitas. Mungkin begitulah pemikiran Jiaming. Setelah menjual tiket kapal sebelumnya, trio kecil Jiaming kini memiliki dana yang tidak sedikit tapi juga tidak banyak, sedang bingung ingin membeli apa untuk rumah—komputer, sofa, pemanas air. Meski belum dipastikan, dua perempuan itu selalu bersemangat merencanakannya dengan wajah penuh kebahagiaan. Kebahagiaan sederhana seperti inilah yang mungkin tak bisa diraih oleh para miliarder meski dikejar seumur hidup.
Pagi hari tanggal 24, baru sampai di kelas, Dongfang Wan yang tak menyapa Jiaming sejak berpisah di pulau itu datang menghampiri dengan wajah penuh kemarahan: "Gu Jiaming, kenapa formulir pendaftaran komunitas tidak kamu serahkan!?"
## Bagian Seratus Dua: Pemuda Penuh Semangat
"Gu Jiaming, kenapa formulir pendaftaran komunitas tidak kamu serahkan!?"
Saat itu masih pagi, tak banyak orang di kelas. Suara tegas Dongfang Wan menarik perhatian semua. Jiaming bertanya bingung: "Formulir apa?"
"Formulir pendaftaran komunitas yang kemarin dibagikan! Aku sendiri yang menyerahkannya ke kalian."
"Oh." Jiaming tersenyum, "Tapi aku sudah bergabung dengan komunitas lain."
“Yang lain... Kenapa kau tidak punya rasa kehormatan kolektif sama sekali? Apa yang salah dengan klub wisata kami? Kita satu kelas, tapi kau malah mau ikut komunitas orang lain... Hah? Ini apa?”
Memegang formulir pendaftaran komunitas yang diberikan Jiaming, beberapa saat kemudian wajah Dongfang Wan menjadi gelap: "Komunitas buatan sendiri? Prospek Pengembangan Sumber Daya Bumi dan Teknologi Ultra-Mutakhir Berkelanjutan Masa Depan... Gu Jiaming, menurutmu lelucon ini lucu? Hmph, aku tidak percaya kampus akan menyetujui komunitas konyol seperti ini!"
Melihat Dongfang Wan yang menempelakkan formulir itu di meja dengan suara "Byur!" lalu pergi dengan wajah merah padam, Jiaming mengangkat bahu pasrah: "Namanya bagus kok, avant-garde dan modis. Orang yang tidak punya selera humor memang merepotkan..."
Terlepas dari pendapat Dongfang Wan, 2 hari kemudian daftar komunitas baru semester ini diumumkan. Nama sepanjang "Tim Prediksi Krisis, Kekhawatiran dan Penyelamatan Prospek Pengembangan Sumber Daya Bumi dan Teknologi Ultra-Mutakhir Berkelanjutan Masa Depan" muncul mengejutkan di sudut daftar. Komunitas kecil dengan nama idiot dan visi "otakmu rusak" ini sempat menjadi bahan ejekan kampus sebelum akhirnya dilupakan dari pikiran orang...
Tentu saja, selalu ada yang tidak bisa melupakan...
Akhir Oktober, dedaunan Hong Ye mulai berguguran.
Membuka kunci sepeda di parkiran, mengeluarkan sepeda keluarga kecil San Kou dari tumpukan mobil sport mewah dan motor, memang terlihat agak memprihatinkan. Sudah masuk waktu kelas terakhir di sore hari, suasana sekitar sangat sepi. Akademi Hati Kudus sangat luas, butuh beberapa menit untuk bersepeda dari parkiran melewati plaza kecil keluar dari gerbang Area pengajaran. Menyusuri lereng landai menuju gerbang kampus, di sisi jalan beberapa lapangan basket justru terlihat sangat ramai.
Pertandingan basket di Akademi Hati Kudus yang semula direncanakan setelah Hari Nasional tidak tertunda karena insiden Kapal Pesiar Star Dream. Saat ini, kompetisi antara lebih dari tiga puluh pasukan dari tiga tingkat SMA telah memasuki fase akhir semifinal yang menegangkan. Kelas 10-6 - tim kelas Jiaming yang dipimpin Huang Haobing - dikabarkan memiliki prestasi gemilang. Meski gelar juara sekolah mungkin sulit diraih karena faktor usia dan tinggi badan, perkiraannya juara tingkat pertama sudah sangat yakin.
Kini Huang Haobing dan kawan-kawannya sedang melakukan latihan di salah satu lapangan basket. Bagian ini sebenarnya kelas belajar malam, tetapi demi latihan para pemain tentu boleh keluar. Dongfang Wan bersama beberapa perempuan cantik dari kelas yang bertugas sebagai pemimpin sorak juga berada di lapangan. Sebagai ketua kelas 10-6, Dongfang Wan antusias terhadap segala hal yang dapat meningkatkan kehormatan kelas. Saat ini ia tidak hanya menjadi kapten pemimpin sorak tim basket, tapi juga berperan sebagai manajer tim yang bertanggung jawab untuk mengatur segalanya terkait pelatihan tim, tunjangan, dan hal-hal sejenisnya.
Melihat Jiaming mengayuh sepeda dengan santai melewati, Dongfang Wan yang mengenakan seragam pemandu sorak cantik berlari dua langkah dari lapangan. Di tepi pagar, dia melakukan gerakan somersault satu tangan yang lincah, lalu membuka kedua tangan menghadang di depan sepeda.
"Gu Jiaming! Kau bolos lagi!"
Penggunaan kata "lagi" ini karena kejadian serupa bukan pertama kalinya. Setiap Senin, Rabu, Jumat di jam terakhir seolah menjadi waktu wajib bolos Jiaming. Meski bukan pelajaran penting, bolos sesering ini terkesan terlalu lancang. Beberapa kali sebelumnya ketahuan Jiaming tidak di kelas saat sudah terlambat, kali ini tertangkap basah. Dongfang Wan tak bisa menyembunyikan kesombongannya: "Kalau terus-terusan bolos begini, awas kau kuturunkan poin perilakumu!"
Dongfang Wan yang baru saja berolahraga keras ini wajahnya memerah, keringat menggenang di dahinya. Dengan ikat kepala hijau, seluruh energinya memancar layaknya tokoh wanita di komik bergenre. Sayangnya, rok yang dikenakan bukan model super mini yang mudah memperlihatkan celana dalam saat mengangkat kaki. Jiaming diam-diam menyesalkan hal ini. Dengan santai dia menjawab: "Aku sudah izin ke guru."
"Hmph, alasanmu selalu sakit kepala! Setiap Senin-Rabu-Jumat jam terakhir, mana mungkin kebetulan! Semua tahu kau sengaja bolos. Entah ada hubungan khusus apa dengan sekolah, guru memang pura-pura tidak tahu. Tapi kalau berani mengulangi lagi, pasti kuturunkan poinmu!"
Jiaming mengangkat tangan dengan kekecewaan: "Tolonglah, Ketua Kelas, sepertinya aku tidak mengganggumu kan... Waktu di pulau aku bahkan menyelamatkanmu..."
"Aku tahu kau menyelamatkanku, tapi ini bukan masalah pribadi. Sebagai ketua kelas aku harus mengatur hal-hal seperti ini. Jangan kira karena kau pernah menolongku aku akan memberi keringanan, urusan harus dipisahkan..." Suaranya berhenti sebentar, "Begini saja, karena kau sudah turun, anggap saja kau datang menemani latihan tim basket. Kau tidak suka belajar malam, ya latihan main basket saja. Basket paling baik melatih rasa kehormatan kolektif..."
Melihat gaya bicara Dongfang Wan, Jiaming tiba-tiba tertawa menarik: "Aku tidak bisa main basket." Sambil berkata demikian, di bawah tatapan Dongfang Wan ia memutar arah sepedanya. Dongfang Wan berteriak: "Kau bohong! Mana ada anak laki-laki yang tidak bisa main basket! Baiklah, kalau kau tidak mau main, pulang belajar malam juga boleh. Ingat, kalau kami kembali dan kau tidak ada di kelas, tetap akan kukurangi nilaimu... Hei, mau kemana kau..."
Baru sepuluh detik merasakan kemenangan hati melihat Jiaming berbalik arah, tiba-tiba sepeda Jiaming berputar membentuk lingkaran besar dan meluncur ke arah gerbang kampus dari sisi jalan lain. Terdiam lama menyaksikan pemandangan ini, akhirnya Dongfang Wan menghentakkan kakinya keras sambil menjerit.
"Gu Jiaming——"
Dengan wajah merah padam, ia menoleh ke kiri dan kanan, lalu mengambil gumpalan tanah dari bawah pohon di pinggir jalan seolah hendak melemparkannya. Namun, tindakan ini terlalu bertentangan dengan didikan keluarga yang diterimanya sejak kecil. Pada akhirnya, ia hanya melemparkan gumpalan tanah itu ke bawah tanah dengan geram, mengayunkan tangannya tak rela: "Aku tidak akan berhenti sampai urusan ini selesai denganmu!"
Sepeda itu melaju semakin jauh tanpa menengok pada teriakan Dongfang Wan. Beberapa saat kemudian, Huang Haobing menghampirinya: "Eh, jangan marah. Dia memang orang seperti itu, sejak kecil sudah lebih aneh daripada yang lain..."
"Kau masih membelanya? Huang Haobing, dia satu keluarga denganmu, tapi kau sama sekali tidak peduli."
"Eh..." Merasa serangan kemarahan sang nona bangsawan kini mengarah padanya, Huang Haobing merasa dirinya seperti korban yang tak bersalah, "Meski disebut satu keluarga, tapi sejak kecil memang jarang berinteraksi. Hmm... waktu masih sangat kecil dulu memang pernah bermain bersama. Saat itu dia sering menangis. Setelah kenal dengan Ye Lingjing dan Liu Huaisha, dia jadi semakin aneh..."
"Liu Huaisha... Aku pernah dengar. Keluarga perempuan itu dari geng kriminal ya? Sering buat masalah dan berkelahi."
"Iya, sekarang dia di kelas 7."
"Pantasan kalau punya pacar seperti itu..." Dongfang Wan teringat beberapa hal yang diceritakan kakaknya, merenung sejenak sebelum berkata, "Aku tidak peduli. Tidak boleh ada teman sekelas yang tidak punya kesadaran kolektif seperti ini di kelas. Huang Haobing, kan kau saudaranya. Bagaimana bisa kau membiarkan anggota keluarga sendiri berperilaku seperti ini?"
Melihat ekspresi Dongfang Wan yang dipenuhi kemarahan yang meluap-luap, Huang Haobing mengerutkan kening. Di masa kecilnya, dia takut pada Liu Huaisha si preman kecil. Di usianya sekarang, tentu rasa takut itu sudah hilang. Kebiasaan menghindari keterkaitan dengan Jiaming hanyalah kebiasaan belaka. Tapi kali ini demi sang nona bangsawan ini... "Baiklah, lain kali jika aku melihatnya bolos, akan kusuruh dia main basket."
Keluarga Dongfang dan Huang, dua keluarga besar ini sebelumnya di Kota Jianghai hanya memiliki hubungan bisnis belaka, basically tidak ada kedekatan pribadi yang berarti. Namun kali ini Huang Haobing dan Dongfang Wan ternyata sekelas, tak diragukan lagi menjadi momentum pembuka situasi ini. Huang Haobing adalah salah satu tuan muda paling dihormati di keluarga Huang, sementara posisi Dongfang Wan di keluarganya tak kalah dari putri kecil. Sejak awal masuk sekolah, keluarga Huang sengaja mendekatkan kedua insan ini. Di mata Huang Haobing, Dongfang Wan tak hanya cantik, tapi juga dipenuhi energi menggoda, mahir dalam seni mengatur strategi, selalu bersinar bak sinar matahari yang memesona. Terutama dalam mengorganisir berbagai hal setelah masuk kuliah, dengan Dongfang Wan sebagai pemimpin dan dirinya sebagai wakil, harmoni operasi mereka sungguh luar biasa. Tanpa disadari, benih-benih ketertarikan mulai tumbuh dalam diri Huang Haobing.
Karena alasan inilah, 2 hari kemudian di suatu sore, saat mengayuh sepeda melewati tepi lapangan, ketika Dongfang Wan berlari mendekat, dia hampir saja menggeber gas untuk menghindar. Tiba-tiba suara Huang Haobing terdengar dari kejauhan: "Jiaming, kau datang tepat waktu. Tunggu sebentar!"
“Dongfang Wan bisa diabaikan, namun sekarang sudah bukan usia anak kecil. Meski sehari-hari tidak ada interaksi dengan Huang Haobing, mereka tetap satu keluarga yang sering bertemu. Menghentikan sepeda, terlihat Dongfang Wan berdiri dengan tangan di pinggang penuh kemenangan di hadapannya. Tak lama, Huang Haobing juga berlari mendekat.”
“Jiaming, kau datang tepat waktu. Kami sedang bertanding persahabatan melawan kelas 7. Hu Wei baru saja terluka, tidak ada pemain cadangan yang cocok. Kalau harus ke kelas mencari orang terlalu lama. Bantu kami dong.”
“Tapi... aku masih ada urusan...”
“Jangan macam-macam, urusan apa lagi? Ayo sini...”
“Kalau begitu... aku tidak bisa main basket...”
“Santai saja, kualitas rekan satu tim kita jauh lebih baik dari mereka. Kau tinggal oper-oper bola saja. Haha, lihat kami menangani segalanya dengan mudah...”
“Murni dari segi tipe tubuh, Huang Haobing bertubuh besar tidak hanya kekar tapi juga setengah kepala lebih tinggi dari Jiaming saat ini. Dengan akrab ia menarik Jiaming ke arah lapangan. Bagi Jiaming, melepaskan diri tentu mudah, namun mencari alasan yang masuk akal tidaklah gampang. Untuk sementara hanya bisa mendorong sepeda dengan kekecewaan mengikuti mereka.”
Semua ini, tentu saja juga merupakan rencana yang dibuat oleh Huang Haobing dan Dongfang Wan, sepasang pria dan wanita berdarah panas ini. Mereka ingin mengubah kondisi Jiaming yang tidak memiliki rasa kehormatan kolektif. Pertama-tama, mereka ingin membuat Jiaming terlibat dalam urusan kolektif. Setiap orang pasti memiliki rasa malu. Dengan banyak orang yang menonton, jika dia bermain buruk, tentu akan ditertawakan orang. Setelah itu, mungkin dia akan introspeksi diri. Jika kelas mereka menang, ini juga bisa membuatnya merasakan kehormatan yang dibawa oleh kelas ini. Beberapa menit kemudian, Huang Haobing dan Dongfang Wan yang satu berperan sebagai "wajah hitam" dan satunya lagi "wajah memerah", akhirnya berhasil mendorong Jiaming ke tepi lapangan...
"Eh, itu... Aku masih ada urusan, hanya main sepuluh menit..."
## Bagian 103 Lapangan Bola
"Itu... Aku masih ada urusan, hanya main sepuluh menit..."
Terhadap perkataan Jiaming ini, Dongfang Wan dan Huang Haobing sengaja pura-pura tidak mendengar. Ketika Dongfang Wan dengan antusias menempelkan nomor di punggung Jiaming, Jiaming menoleh: "Dongfang Wan, menurutmu ini menarik?"
"Menarik." Dongfang Wan mengangkat kepala dengan sikap demonstratif.
"Lagipula... Aku tidak akan bermain bagus, sudah bertahun-tahun tidak menyentuh ini..."
"Tidak masalah. Yang penting... yang akan diejek adalah kau."
"Kau pikir aku peduli?" Jiaming tak bisa menahan rasa tertariknya.
“Hmph, pertarungan terakhir kemarin kau yang menang, jadi selain menyebutmu licik orang juga tak bisa mengejek. Tapi sekarang ada banyak yang menonton, siapa yang bermain bagus atau buruk semua bisa melihat. Jika sudah berusaha keras namun bermain buruk, orang juga tidak akan berkomentar. Tapi jika tidak serius, meski akhirnya menang orang tetap tahu. Kalau benar-benar tidak peduli, silahkan coba.” Dia berhenti sejenak, “Aku juga tidak sengaja memojokkanmu, yang kubenci adalah orang tanpa rasa kehormatan kolektif. Karena aku ketua kelas, kau tidak boleh sembarangan. Hmph, aku tidak akan memperlakukanmu istimewa karena kau menyelamatkuku, urusan berbeda harus dipisahkan. Baiklah, siswa Jiaming, untuk kehormatan kelas kita, Semangatlah!”
Jiaming mengangkat mata putihnya, hendak berkata sesuatu ketika teriakan datang dari lapangan: “Jiaming.” Menoleh, terlihat Shasha dengan ekor kuda dan baju olahraga yang gagah sedang melambai-lambaikan tangan. Di saat bersamaan, Huang Haobing dan tiga anggota tim lainnya siap masuk lapangan: “Ayo Jiaming, posisimu bebas, mainkan saja. Tim kelas 7 level pemulanya sangat payah, tenang... Hei Dai Zhiqiang, sudah siap disiksa kami?”
“Haha, kamilah yang akan menyiksamu! Si pendek itu senjata rahasia kalian? Hah? Bukan yang kemarin main tendang selangkangan itu kan?” Di sisi lain lapangan, kapten tim basket kelas 7 Dai Zhiqiang yang bertubuh tinggi membalas dengan tertawa.
“Pertandingan persahabatan tidak memiliki terlalu banyak aturan. Karena jumlah pemain sudah lengkap, beberapa orang segera mempersiapkan untuk memulai pertandingan. Huang Haobing awalnya ingin Jiaming berdiri di sampingnya untuk merebut bola, namun ketika menoleh, dia melihat Jiaming sudah berada di sisi lapangan, seolah sama sekali tidak peduli dengan pertandingan. Dalam hati dia mengutuk, sementara di sisi lain, anggota tim yang lebih pendek di sebelah Dai Zhiqiang menatap ke arah Jepang Jiaming pergi, menyenggol lengan kaptennya: "Hei bos, dia sepertinya sangat akrab dengan kakak pemimpin." Dai Zhiqiang mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa.”
Berdiri di tepi lapangan, Shasha tersenyum cerah pada Jiaming: "Jiaming, kamu juga main basket? Aku belum pernah melihatmu bermain sebelumnya. Apakah kamu hebat?"
“Sebenarnya rencananya mau belanja ke supermarket dulu, tapi ketahuan lalu dipaksa ikut serta. Shasha, kamu kemari jadi pemandu sorak ya?"
“Cih, aku tidak akan melakukan hal konyol seperti itu! Aku cuma ikut-ikutan ditarik teman-teman wanita membosankan itu. Jiaming kalau mau main, aku akan belanja dulu dan pulang masak. Hei, Zhou Wenhui, kalian para wanita minggir semua! Awas kuhajar lho..." Shasha sedang berbicara ketika sekelompok pemandu sorak cantik dari kelas tujuh mengerumuni mereka. Salah satu dari mereka merangkul leher Shasha dengan mesra, penasaran melihat Jiaming: "Kakak pemimpin, ini pacar masa kecilmu? Hai, namaku Zhou Wenhui. Aduh Shasha, sakit tau..."
"Zhou Wenhui belum selesai bicara," Shasha sudah tak sabar mendorongnya, lalu mengusir semua perempuan penggosip itu dengan tendangan dan pukulan. Tampaknya hubungan interpersonal Shasha cukup baik. Selama ini, perempuan dengan wajah menawan dan karakter androgini ceria seperti dia memang tipe yang paling mudah bergaul. Baik laki-laki maupun perempuan, semua dengan mudah menganggapnya sebagai Teman. Dengan kesal mengusir rombongan perempuan itu, Shasha kembali: "Ayo, pertandingan mulai, Jiaming kau belum juga pergi bantu?"
"Biarkan mereka MATI." Jiaming menggeleng sambil tersenyum, mengeluarkan dompet dari kantong pengepungan, "Garam di rumah hampir habis, ingat hari ini harus beli satu bungkus, setengah kilo babi, juga beli sedikit rumput laut, mi yang kalian berdua suka... Oh ya, Lingjing bilang udang di Jiayunfu lagi diskon, cek stoknya... Pokoknya aku cuma main lebih dari 10 menit, mau nanti pulang bareng?"
"Nggak deh, biar aku beli dulu. Garam, babi, rumput laut, mi, udang... Oke ingat. Biar kalian berdua nggak bisa ngejek aku cuma bisa mencuci piring. Kau harus main bagus, babas habis mereka, kalau nggak malam ini kau nggak boleh naik ranjang."
"Haha..." Jiaming tersenyum menarik, "Tapi itu tim kelasmu lho."
"Biarkan mereka MATI." Shasha mengangkat mata putihnya dengan manis, berbisik, "Suamiku ada di sini, takkan kuhiraukan hitungannya siapapun... Jadi aku pergi dulu, nanti kau cari aku atau pulang dulu?"
“Aku yang datang ke kau, lihat apa lagi yang perlu dibeli, maksimal tiga puluh menit. Kau tunggu aku di area perabot rumah tangga supermarket? Lagian kau dan Lingjing setiap kali ke sana bisa melihat setengah hari.”
Shasha mengangguk, menggoyang-goyangkan kunci di tangan hendak pergi, tiba-tiba berkata: “Eh, bola, hati-hati.”
Jiaming tersenyum tipis, tanpa melihat mengulurkan tangan menangkap bola basket yang melayang itu. Saat bersamaan, bayangan Dai Zhiqiang berlari maju mencoba merebut. Jiaming bilang tidak bisa main tentu hanya candaan, lengan bergerak halus telah menghindar dari rebutan Dai Zhiqiang. Tapi seketika, tubuh lawan itu seperti tak bisa menghentikan langkah menabrak. Byur, Jiaming terdorong tiga langkah mundur.
“Pelanggaran charging!” Peluit berbunyi. Insiden ini meski mungkin terjadi, tapi terlihat sangat tidak wajar. Jiaming mengerutkan alis. Postur lawan lebih besar dan tinggi, kalau bukan dirinya, orang lain mungkin sudah terbanting. Belum sempat bicara, Shasha sudah lebih dulu berlari mendorongnya dengan keras: “Dai Zhiqiang, kau ngapain!?”
Dai Zhiqiang mengangkat tangan dengan dramatis, tersenyum: “Shasha, kecelakaan, murni kecelakaan. Teman, maaf ya, benar-benar tidak sengaja, kakiku terpeleset...”
"Dapat kartu kuning, dia juga sudah meminta maaf seperti ini. Sha Sha dan Jiaming tentu kehilangan alasan untuk menuntut lebih. Setelah melotot tajam padanya, Sha Sha menggelengkan kunci di depan Jiaming lalu pergi. Jiaming melempar bola ke rekan setim di garis samping. Saat serangan dimulai, Dai Zhiqiang sengaja atau tidak sengaja mendekatinya: 'Hei, hubunganmu dengan Sha Sha dekat ya?'"
Mendengar ini, Jiaming memandanginya penuh selidik lalu tersenyum: "Kau... jangan-jangan suka sama Sha Sha?"
"Hmph, kalau memang jantan, buktikan di lapangan basket! Lomba kali ini, lihat siapa yang dapat poin lebih banyak?"
"Tapi... aku tidak terlalu bisa main basket..."
Jiaming dramatis mengangkat tangan lalu menyelipkannya ke kantong. Dai Zhiqiang meliriknya dengan pandangan merendahkan sebelum balik bertahan. Memandangi sembilan orang lainnya berebut bola di lapangan bagai penonton biasa, Jiaming tak bisa menahan senyum. Dulu saat tahu Lingjing punya pengagum diam-diam, bahkan pernah melihat satu dua surat cinta untuknya. Sekarang Sha Sha juga punya banyak pengagum. Akhirnya kita semua sudah dewasa ya?
“Di dalam hati berpikir seperti ini, di samping Huang Haobing berteriak: 'Jiaming!' Bola basket terbang dengan suara 'Huu' melewati bahu Jiaming dan keluar dari garis. Sikap acuh tak acuh ini membuat Huang Haobing dan Dongfang Wan tertegun. Tak ada yang menyangka orang ini benar-benar terpaksa turun ke lapangan hanya untuk melakukan protes seperti ini. Seketika, sorakan sinis memenuhi lapangan. Tiga kawan seperjuangan lainnya protes keras. Huang Haobing ingin segera mengganti Jiaming agar tidak mempermalukan kelas. Ia berkata pada Dongfang Wan: 'Serahkan padamu. Jika dia masih begini, ganti saja.' Kemudian berbalik memulai serangan.”
“Melihat Jiaming berkeliaran di tepi lapangan, Dongfang Wan berlari kecil menghampiri: 'Gu Jiaming, bagaimana bisa kau seperti ini!'”
“'Sudah kukatakan aku tidak pandai bermain.'”
“'Tidak pandai main setidaknya kau harus berlari mengunci pergerakan, angkat tanganmu! Sikapmu seperti apa ini! Jika kau masih...'”
“Baiklah, aku akan berlari mengunci pergerakan... hmm, ini masih bisa kulakukan.” Sebelum Dongfang Wan menyelesaikan kalimatnya, Jiaming sudah berjalan-jalan di lapangan basket dengan tangan tetap terselip di saku, senyum menjengkelkan masih menghias wajahnya. Saat itu juga, Dongfang Wan merasa telah membuat keputusan salah dan harus mengganti orang ini SEKARANG JUGA. Di lapangan, Huang Haobing dan kawan-kawan sedang dihajar serangan balik lawan. Dengan hanya empat orang di tim mereka, pertahanan jelas sangat merugikan. Jiaming berlari-lari nakal di sekitar pemain, hanya menambah kemarahan rekan setimnya. Akhirnya, lima anggota kelas 7 melakukan serangkaian gerakan menyilang, pergeseran posisi, dan operan. Dai Zhiqiang melepaskan diri dari Huang Haobing, menerima bola, lalu melompat.
Postur standar untuk tembakan. Kemudian... BYUR! Ledakan dahsyat menggema di seluruh lapangan.
Sebuah blokir tembakan super kuat yang bisa membuat penembak merasa malu sampai MATI. Pada detik itu, Jiaming tiba-tiba melesat dari samping. Transisi ekstrem dari diam total ke gerakan kilat hampir menciptakan ilusi kilat di mata semua orang.
Bola basket terbang miring seperti peluru meriam, memantul keras setelah menghantam tanah. Jiaming langsung menyambar sebelum bola sempat memantul kedua kali. Tak ada seorang pun yang bisa mengejar kecepatannya.
"BERTAHAN——"
Hanya sedetik setelah Dai Zhiqiang menyadari situasi dan berteriak, Jiaming sudah membawa bola menerobos ke bawah ring. Dengan gerakan tangan sederhana, bola masuk bersih ke jaring. Saat itu, anggota tim kelas 7 bahkan belum sempat memasuki garis three-point.
Akhir Oktober, sore hari, lapangan basket terasa agak sepi. Sebenarnya bukan hal besar, paling-paling sebuah serang balik defensif yang spektakuler, namun kontras dramatis sebelum dan sesudahnya membuat semua orang terdiam selama satu dua detik. Jiaming berbalik di bawah ring, kedua tangan masuk ke dalam kantong pengepungan, langkahnya santai dan rileks seolah sedang jalan kaki. Dongfang Wan membelalakkan mata, mulut menganga, sejenak kaku seperti kodok imut.
Saat berpapasan dengan Dai Zhiqiang, dia terkekuk ringan: "Begini, urusan lain tidak kupedulikan. Aku cuma main sepuluh menit. Dalam sepuluh menit ini, jangan sembarangan sentuh bola. Setiap kau sentuh bola, aku akan mencetak poin. Ini bentuk penghormatanku pada Shasha."
## Bagian Seratus Empat Sentuh Bola, Langsung Cetak Poin
"Kau sentuh bola sekali, aku cetak poin sekali."
Sejak kecil bermain basket hingga sekarang, Dai Zhiqiang mungkin belum pernah mendengar perkataan seperti ini. Bagi anggota inti tim, ucapan lawan jelas-jamelas melarangnya menyentuh bola - sebuah penghinaan dan pelecehan yang tak tertahankan!
Jiaming tidak mengharapkan reaksinya, menyelipkan tangan di saku, berjalan perlahan kembali. Dongfang Wan dan Huang Haobing terdiam cukup lama sebelum akhirnya tersadar di tengah sorak-sorak orang banyak, sempat mengira orang ini tiba-tiba mendapat pencerahan. Dongfang Wan berteriak di tepi lapangan: "Gu Jiaming bermain bagus! Lanjutkan!" Huang Haobing sambil tersenyuk menepuk bahu Jiaming: "Kerja bagus." Tiga rekan satu tim lainnya juga tersenyum, semangat juang melambung tinggi. Kecepatan dan teknik yang ditunjukkan Jiaming dalam rangkaian gerakan tadi benar-benar melampaui level semua orang, pantas sang Kapten memanggilnya masuk lapangan.
Meski mendapat pujian, Jiaming tak terlihat girang. Masih menyelipkan tas kecilnya, ia terus "berlari mengunci pergerakan" seperti hantu di lapangan. Dongfang Wan yang sempat bersemangat kini kembali kecewa: Orang ini jelas-jelas sedang mengolok-olokku, tapi sudahlah, asalkan dia bermain baik...
Pikiran itu belum selesai, salah satu rekan tim berhasil merebut bola dari lawan. Melihat posisi Jiaming yang aneh dan basically tidak dijaga, dengan bersemangat berteriak: "Gu Jiaming!" lalu mengoper bola ke arahnya. Lalu...
Menyaksikan bola basket melayang mendekat, tubuh Jiaming menghindar ke samping. Bola yang seharusnya bisa diterima dengan baik itu meluncur keluar lapangan, hampir menghajar seorang penonton. Huang Haobing dan yang lain yang sedang bersiap serangan balik berhenti canggung setelah berlari dua langkah. Bibir Dongfang Wan kejang-kejang beberapa kali: "Gu Jiaming, apa sebenarnya yang kau inginkan!"
“Maaf.” Jiaming menarik tangannya dari kantong pengepungan, berpose dramatis, “Tidak ada yang tersambung... Sudah kubilang aku tidak akan memukul...”
Jika bukan karena serangan yang baru saja ditunjukkan Jiaming, anggota tim lainnya mungkin sudah langsung berlari maju untuk berkelahi. Meski pemain kelas 7 juga bingung, salah satu anggota tim sudah cepat-cepat mengoper bola dari luar garis: “Bos, serang cepat!”
Dai Zhiqiang menangkap bola, memutar tubuh dan langsung melancarkan serangan. Kemudian...
Intercept dengan cepat, steal akurat, sprint, dribbling melewati lawan, melewati lagi, lompat tiga langkah, oper dari tangan kanan ke kiri, kekacauan di bawah ring... Bola masuk!
Dengan kedua tangan di kantong pengepungan, Jiaming berbalik pergi.
Dalam sepuluh menit berikutnya, situasi di arena pertandingan menjadi aneh. Hampir semua mata tertuju pada orang yang berkeliaran di lapangan ini. Dia tidak menerima operan rekan tim, tidak membantu defensif, namun begitu ada yang mengoper ke Dai Zhiqiang, dia seketika menyerang dan memblokir Dai Zhiqiang sepenuhnya. Tipuan dribble apapun tak bisa mengelabuinya. Steal, serang, lalu cetak poin - sama sekali tidak bergantung pada rekan tim.
Dalam sepuluh menit ini, Dai Zhiqiang dengan keras kepala mencoba merebut bola tujuh kali, di-blok dua kali, steal lima kali, sementara Jiaming sendiri mencetak 17 poin. Jika hal seperti ini terulang beberapa kali, bahkan orang bodoh pun bisa melihat Jiaming sengaja menargetkan Dai Zhiqiang yang malang ini. Di antara teman sekelas kelas 7, banyak yang tahu Dai Zhiqiang menyukai Shasha. Ditambah sikap mesra Jiaming dengan Shasha tadi dan tabrakan Dai Zhiqiang sebelumnya, semua ini menjadi sangat jelas.
Para perempuan di kelas 7 mulai berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk Jiaming. Bagaimanapun, jika performa Jiaming saat ini dibumbui unsur cinta, heroisme individual ekstremnya tiba-tiba menjadi sangat romantis di hati para gadis. Dai Zhiqiang wajahnya memerah merah. Setelah tujuh insiden itu, rekan satu tim bahkan takut mengoper bola padanya. Tiba-tiba, sebuah operan aneh datang dari pemain kelas 6 yang iseng melempar.
Bagaimanapun, dia tetap pemain yang cukup baik. Tidak ingin dikalahkan oleh bayangan ini, dia menerima bola, berputar dan mulai menyerang dengan gigih. Tiba-tiba Jiaming sudah menyergap, menghadang di depannya. Setelah deadlock dua detik, Jiaming menyabet keras dan merebut bola. Pemain kelas 7 buru-buru bertahan sementara Huang Haobing dan lainnya tersenyum menanti serangan Jiaming. Tapi kali ini, kejadiannya agak aneh.
Setelah memantulkan bola dua kali, Jiaming berputar dan melakukan three-point jump shot - langsung memasukkan bola ke ring timnya sendiri.
“OK, sudah sepuluh menit, aku ada urusan.” Melihat jam tangan, Jiaming melambaikan tangan pada anggota tim yang terlihat antara ingin tertawa dan menangis, “Semua boleh lanjut bermain.” Tanpa melalui prosedur penggantian pemain, ia langsung meninggalkan lapangan. Di tepi lapangan, Dongfang Wan menatapnya dengan alis berkerut: “Gu Jiaming, kau sengaja!”
“Tentu saja aku sengaja.” Jiaming tersenyum masam, “Aku paling benci dipaksa melakukan sesuatu. Bukan berarti kebijakanmu melarang bolos itu salah, tapi aku sudah mengajukan cuti dengan alasan yang lebih penting dari sekolah. Sebagai ketua kelas kau sangat kompeten, tapi untuk hal ini maafkan aku, toh aku sudah ikuti sistem sekolah.”
“Hmph, alasan apa?! Coba katakan!”
“Maaf, tidak bisa.”
“Kau cari-cari dalih saja!” Melihat Jiaming semakin menjauh, dia berteriak: “Gu Jiaming, aku tidak akan menyerah! Ini belum selesai!”
Teriakan itu menyedot perhatian semua orang. Jiaming menoleh sambil memandang sekeliling, akhirnya menghela napas: “Maaf, tapi aku benar-benar tidak bisa menerimamu. Kita mustahil.”
Setelah berkata demikian, ia berbalik pergi. Seketika semua yang menyaksikan memandang Dongfang Wan dengan tatapan penuh pengertian. Beberapa saat kemudian, Dongfang Wan yang wajahnya memerah bagai api mengisap hidungnya. Tetes air mata pertama akhirnya jatuh...
Perbuatan membuat perempuan menangis yang dianggap banyak pria sebagai kejahatan terbesar, bagi Jiaming sama sekali tidak menimbulkan rasa bersalah. Baginya, selain Lingjing, Shasha, dan orang-orang yang dianggap penting, sisanya adalah manusia biasa. Jika kau ingin bermain, ya sudah, dia akan menemani.
Keluar dari gerbang kampus, mereka menuju supermarket. Di area perabot rumah tangga, Shasha sedang berjongkok di depan set kabinet kombinasi cantik, memeriksa dengan seksama. Gerobaknya hampir penuh dengan barang pilihan. Melihat Jiaming datang, dia merangkul lengan Jiaming dengan mesra: "Lihat, lihat! Sekarang cuma delapan ribu lebih, diskon banyak kan? Pengen banget beli..."
"Terakhir lihat masih sembilan ribu lebih..." Jiaming tersenyum melihat ekspresi penuh harapnya. "Ya beli saja. Uang kita cukup kok. Kan ini kabinet yang sudah kalian (kau dan Lingjing) lihat berkali-kali?"
"Hmm, nggak mau." Shasha tersenyum manis lalu menggeleng. "Cukup berkhayal saja. Mungkin nanti diskon lebih besar. Aku dan Lingjing sudah rencana beliin kamu komputer. Nanti kita cek konfigurasinya."
"Mending beli pemanas air dulu. Cuaca mulai dingin. Nanti kalian mandi bisa kedinginan. Oh, kaleng ini kan kesukaanmu..."
"Pemanas air sudah kami liat bekas di pasar loak. Kondisi 80% baru, harganya murah... Kaleng ini mahal, beli satu saja lah."
Bertiga mendorong mobil kecil di supermarket sambil berjalan, sesekali melihat hal-hal yang disukai Lingjing dan Shasha, Jiaming langsung memasukkannya. Namun kemudian Shasha selalu mengeluarkannya kembali. Sesekali ada juga saat Jiaming nekat ingin membeli beberapa barang ekstra, Shasha pun mengangkat mata putihnya sambil tersenyum, menyebutnya boros. Sepanjang perjalanan, Shasha berkata sambil tersenyum: "Jiaming, apakah kau merasa aku dan Lingjing persis seperti anak kecil? Hmm... Sebenarnya kami tahu, mungkin kau bisa mendapatkan banyak uang dari tempat lain, tapi kami hanya ingin terus tinggal bersama dengan cara bodoh-bodoh ini."
“Tidak ada, Aku lebih suka seperti ini, hanya saja... Lingjing sudah ketemu Pekerjaan, aku masih belum tahu mau cari uang tambahan di mana, uh, agak kesal. Andai Jaringan lebih maju sedikit. Pernah Aku bilang ke kau kan, komputerku hebat, setidaknya bisa jadi ahli keamanan Jaringan...”
“Hmph, pokoknya kau calon pakai rombongan hal yang berhubungan dengan pembunuh untuk cari uang. Kalau tidak, Aku dan Lingjing MATI di depan kau...” Gesekan mengerutkan hidung——mungkin karena manusia setelah sedekat ini terjadi asimilasi, trik ini biasanya cara Lingjing menampilkan kelucuan, sekarang Gesekan melakukannya juga imut penuh. “Ngomong-ngomong, besok lusa adalah akhir pekan, kita ke menjual bunga yuk.”
“Menjual bunga?”
“Ya, toko bunga Xinxin yang besar di sebelah kampus. Bosnya dulu pernah buka toko di wilayah yang dilindungi ayahku. Ayah sangat menjaga dia. Saat lewat tadi, aku lihat ada iklan lowongan kerja di luar. Aku masuk bertanya, nyonya pemilik penginapan bilang akhir pekan juga butuh tenaga. Kita bertiga bisa membantu di sana. Meski uangnya tak banyak, tapi di sana ada motor lho. Jiaming bisa pakai untuk mengantar pesanan. Sudah kubicara dengan nyonya pemilik, akan kasih jawaban setelah tanya pendapatmu. Bagaimana menurutmu, Jiaming?”
Nyonya pemilik toko bunga Xinxin itu seorang janda marga Hu. Jiaming juga mengenalnya. Konon dia punya hubungan baik dengan ayah Shasha. Setiap kali bertemu di gerbang kampus, si nyonya selalu menyapa Shasha dengan mesra. Diam-diam Jiaming menduga ada hubungan ambigu antara mereka, tapi tentu saja candaan semacam ini tak mungkin didiskusikan dengan Shasha. Saat ini dia hanya tersenyum mengangguk, "Baiklah."
Maka keesokan harinya, teman sekelas kami Gu Jiaming - orang kuat yang pernah memaksa pembunuh nomor satu di dunia mundur - mendapatkan pekerjaan sah pertama dalam hidupnya. Dengan mengenakan seragam kerja agak longgar milik toko bunga Xinxin, dia memulai kehidupan santai sebagai pengantar bunga.
Hanya saja, serangkaian perubahan yang terjadi kemudian membuat banyak orang di Kota Jianghai tak bisa lagi bersantai...
## Bagian ke-105 Aku Menyelesaikan
Di bawah lampu meja, ini adalah sebuah diari:
31 Oktober 97*Jumat*Cerah
Dua bulan masuk kuliah, aku menghadapi lawan keras kepala pertama: Gu Jiaming.
Penyendiri, sombong, arogan, mengejar perhatian dengan cara eksentrik secara membabi buta. Menurut Huang Haobing, Gu Jiaming memiliki masa kecil yang sama sekali diabaikan. Tinggal di keluarga besar seperti Huang, namun orang tuanya kabur karena peristiwa memalukan di masa muda dan akhirnya meninggal. Dari kecil hingga besar hidup di keluarga Huang tanpa perhatian —— di keluarga Dongfang pun ada contoh serupa —— kemudian bertemu gadis nakal seperti Liu Huaisha, lalu menggunakan berbagai cara aneh untuk menarik perhatian orang. Kesombongan buta yang lahir dari rasa inferior, sebenarnya saya bisa memahami perasaan ini.
Tapi memahami bukan berarti mendukung atau memanjakan. Sebagai ketua kelas 10-6, saya takkan membiarkan perilaku eksentrik yang merusak kehormatan kelas ini menjadi semena-mena. Ini tanggung jawab saya.
Memang dulu di pulau itu dia pernah menyelamatkan saya. Tapi untuk menjadi pemimpin hebat, harus bisa membedakan urusan pribadi dan publik. Saya akan ingat jasanya menolong kami, tapi justru inilah alasan saya harus menyadarkannya. Tak ada yang cukup kuat untuk mengalahkan dunia sendirian, karena itu kita butuh kawan seperjuangan.
Benar, hari ini di lapangan basket penampilannya sangat hebat, bahkan di tengah pertandingan yang memerlukan bantuan semua orang, dia masih menggunakan heroisme pribadinya untuk menarik perhatian semua bola mata. Tapi sehebat apa pun teknik seorang diri, bisakah dia dengan teknik seorang diri mengalahkan pasukan mahasiswa di kampus? Apakah bisa seorang diri melawan pasukan yang lebih hebat? Pasukan mahasiswa, pasukan negara, bahkan pasukan NBA?
Bertahun-tahun pertama kali menangis, menangis karena marah oleh orang itu. Setelah menangis dan merasa kecewa, aku merasa menarik. Kakek pernah berkata, jika sebelumnya semua hal selalu berjalan mulus karena aku adalah nona keluarga Dongfang, maka di masa depan aku pasti akan membayar biaya untuk kemudahan itu. Ini tantangan yang bagus, aku tidak akan menyerah karena aku adalah Dongfang Wan.
Malam ini tidak ada bulan purnama, jadi langit berbintang sangat indah. Mendengarkan lagu "Love Song 1990" Luo Dayou, tiba-tiba teringat musim panas tahun 1990 itu.
Saat liburan musim panas itu pertama kali pergi ke Beijing, mengunjungi Kota Terlarang, Tiananmen, Gedung Rakyat, kemudian beralih ke Beidaihe untuk berenang. Dari kotak harta mengeluarkan foto masa itu, tahun itu usiaku baru 8 tahun menjelang ulang tahun ke-9. Dalam foto terlihat seorang gadis kurus kecil mengenakan pakaian renang merah, ban pelampung direbut dari tangan kakak. Waktu itu Kakek bertanya cita-cita kami, Kakak ingin menjadi astronot, aku bilang ingin jadi Ketua Negara dan tinggal di Gedung Rakyat.
Kakak pada tahun kedua sudah urungkan niatnya menjadi pelukis, tapi cita-citaku tak pernah berubah. Aku tidak bercanda.
Bertahan pada satu hal tak menjamin sukses, tapi jika diurungkan, pasti gagal.
Gu Jiaming, urusan kita belum selesai.
……
Musik dari CD player terus mengalunkan suara Luo Dayou yang penuh perasaan dan berusia, dari "Lian Qu 1990" beralih ke "Ming Tian Hui Geng Hao". Di bawah cahaya lampu meja, gadis berbaju tidur segar usai mandi menuntaskan goresan terakhir diarinya. Setelah membacanya sekali lagi baru ditutup, lalu dikunci dengan gembok kecil kuning keemasan. Laci yang dibuka menampilkan belasan diari tertata rapi, ada yang baru dan lama.
Apa pun yang dikerjakan, gadis ini selalu punya disiplin dan keteraturan yang luar biasa.
2 November, hari Minggu.
Ini hari kedua Jiaming bekerja di Toko Bunga Xinxin.
Pekerjaannya cukup ringan. Lingjing dan Shasha bertugas menyirami bunga dan melayani pelanggan, sedangkan Jiaming lebih sering mengantar bunga pakai motor. Kawasan sekitar termasuk server para orang kaya - pesanan ke hotel, perusahaan, atau villa. Pagi dan sore ada lebih banyak pesanan antar, malam hari pembeli biasanya langsung membawa bunga sendiri untuk kencan. Mengirim bunga di malam hari akan merusak pemandangan.
Saat tidak ada kegiatan, dia membantu sedikit di toko. Sebenarnya tidak banyak yang harus dilakukan. Jika jumlah kami banyak, Jiaming juga harus menerima tamu. Meski penampilannya tidak semenarik Lingjing dan si cantik Shasha, setidaknya tidak mengerikan. Saat diperlukan, retorikanya jauh lebih baik daripada yang lain. Seringkali pelanggan membayar bunga dan pergi sambil bertanya-tanya: Untuk apa mereka membeli bunga ini? Apa mau dimasak seperti sayur?
Nyonya pemilik toko bunga, Janda Hu, adalah wanita yang sangat ramah. Mendekati usia 40 tahun, senyumannya manis dan hatinya baik. Biasanya ada tiga karyawan di toko. Sekarang dengan adanya pekerja paruh waktu, mereka libur sesuai cuti resmi. Melihat Jiaming mahir mengendarai motor, di waktu senggang pukul 3 sore dia bahkan mengizinkan Jiaming mengajak Shasha atau Lingjing jalan-jalan sambil membeli camilan. Almarhum suaminya meninggalkan harta warisan besar. Toko bunga ini dibuka bukan untuk keuntungan, tapi murni hobi. Namun sikapnya yang terlalu akrab membuat Jiaming curiga wanita ini pasti punya hubungan khusus dengan ayah Shasha.
Ini tentu hanya pikiran sampah baik hati milik Jiaming. Dengan pengalaman yang dimilikinya, pekerjaan pertama hari itu berjalan sempurna. Mulai dari mencari alamat yang sudah dicatat hingga menemukan lokasi tujuan, menemui orang, mengirim bunga, menandatangani penerimaan, mengucapkan terima kasih atas pembeliannya—semua proses berjalan sangat sederhana. Pada Minggu sore, setelah mengirim tiga buket bunga ke alamat yang dituju, pesanan terakhir justru berada di gedung perkantoran baru. Waktu menunjukkan hampir pukul dua setengah siang. Setelah naik lift baru ke lantai tujuh, dia mencocokkan tulisan di pintu kaca: "Dika Jaringan".
Kota Jianghai termasuk salah satu kota di dalam negeri yang paling awal mengenal jaringan. Meski belum merata di akhir tahun 1997, sebagai industri baru, orang-orang yang melihat potensi jaringan sudah beramai-ramai berinvestasi. Sejak 1998, jaringan mulai melesat cepat di jalan perkembangan, namun tetap diselimuti gelembung jaringan yang megah. Terlihat indah, yang beruntung sekonyong-konyong jadi kaya, yang sial langsung bangkrut. Baru setelah gelembung jaringan tahun 2000 pecah, jaringan Tiongkok memasuki tahap introspeksi baru.
Saat perusahaan jaringan Dika ini didirikan beberapa bulan lalu, Jiaming pernah berpikir untuk melamar kerja di sini. Tapi karena mereka hanya merekrut karyawan penuh waktu, tentu saja urung dilakukan. Saat ini, ketika mendorong pintu masuk, seluruh perusahaan jaringan riuh rendah. Melihat layar komputer salah satu karyawan, Jiaming tak bisa menahan senyum. Kebetulan sekali, perusahaan jaringan ini diretas orang.
"Eh, permisi. Bisa tanya siapa Nona Li Antong di sini?"
"Di dalam, meja kedua dari hitungan ini."
Saat menanyakan seseorang di luar, mereka dengan tidak sabar menunjuk. Jiaming membawa buket bunga mawar mendekat. Li Antong yang berusia sekitar 25-26 tahun itu mengenakan kacamata tepi sempit, berpenampilan sedang, sedang berusaha memulihkan sistem yang diretas. Jiaming mengamati sebentar, lalu berkata: "Nona Li Antong."
"Hmm? Ada apa?" jawabnya tanpa menoleh.
"Seorang Pak di toko bunga Xinxin kami memilih setangkai mawar untukmu, mohon tanda tangan penerimaan."
"Buang saja."
"Eh?"
"Buang bunganya, tanda tanganmu sendiri, kau boleh pergi."
"Tapi..." Jiaming mengangkat bahu, "Ini tidak sesuai dengan aturan toko kami."
"Kau tidak lihat aku sibuk!? Buang saja, anggap saja sudah kau antar!"
"Heh." Jiaming tersenyum, "Kalau begitu... aku tunggu di sini dulu."
Li Antong mengerutkan kening, seolah tak mendengar. Jarinya menari-nari di keyboard. Jiaming memandang layar, sesekali menoleh ke komputer orang lain, menyeringai kecut. Rupanya hari ini dia harus bersabar.
Di satu sisi karena sudah tak ada pekerjaan, di sisi lain dia memang penasaran dengan kualitas perusahaan jaringan zaman sekarang. Dengan bunga di tangan, Jiaming berdiri penuh minat. Karyawan perusahaan yang sibuk tak ada yang memperhatikannya. Tiba-tiba jantungnya berdebar. Dari sudut mata, tirai jendela louvers kantor dalam terbuka perlahan. Seseorang di dalam sedang mengamatinya.
“Mengintip tidak profesional, bukan musuh, tapi tatapan benar-benar tertuju pada diriku. Tatapan seperti ini... Apakah orang yang dikenal?”
“Pura-pura tidak sengaja berbalik beberapa kali, melihat data di komputer semua orang. Beberapa saat kemudian, identitas orang yang sedang mengintip di dalam pun terkonfirmasi. Hati menjadi agak aneh, harus bilang apa? Benar-benar hubungan buruk...”
“Bukan orang yang perlu diperhatikan, juga tidak perlu sengaja dihindari. Berdiri di depan meja kerja sekitar setengah jam lebih, dia mengerutkan alis, mulai merasa bosan. Teringat kombinasi lemari yang dilihat bersama Shasha kemarin, meski agak aneh menaruh set lemari di kamar ketika barang lain tidak cukup bagus, tapi...”
“Hei, tolong ambilkan saya segelas air, terima kasih.”
“Eh... Ah? Oh.”
“Melihat Li Antong mengulurkan gelas air ke arahnya tanpa sekalipun menatap, Jiaming tersenyum. Mengambil bunga mawar dan menuangkan air di samping. Li Antong mengucap terima kasih, alisnya semakin berkerut. Jiaming menggelengkan kepala, memandang ke arah pengintip di kantor. Jendela louvers yang terbuka sedikit langsung ditutup cepat seperti pencuri. Saat menatap layar komputer lagi, Jiaming berbicara.”
“Sebenarnya... Kalian salah dari awal. Jika terus seperti ini, sampai tengah malam pun kau mungkin tidak bisa memberi tanda tangan. Hah... Cara invasi mereka cukup unik, kalian sama sekali tidak menangkap intinya, yaitu...”
Dengan nada yang mirip "Kalian payah", Li Antong menghentakkan jarinya di udara dua kali, seolah menangkap poin penting lalu melakukan operasi selama beberapa menit, sebelum berhenti lagi dan menoleh ke Jiaming: "Kalau... bagian sini?"
Menghela napas, Jiaming meletakkan buket bunga dan kartu feedback di hadapannya, lalu menyuruhnya berdiri: "Sudah, begini saja. Kau tanda tangan, aku yang menyelesaikan..."
## Bagian Keseratus Enam Kesimpulan
Bukan musuh tidak akan bertemu, perasaan itu kini menghinggapi Dongfang Wan.
Perusahaan Jaringan Dika yang mengklaim tidak memiliki latar belakang tertentu, sebenarnya adalah anak perusahaan eksperimental baru keluarga Dongfang. Yang menjabat sebagai penanggung jawab adalah sepupu Dongfang Wan bernama Su Lan. Hubungan mereka dekat sejak kecil, sehingga ketika Su Lan pulang dari studi luar negeri dan mengajukan pendirian perusahaan jaringan, Dongfang Wan banyak memberikan dukungan.
Bagi keluarga Dongfang yang kaya raya, biaya satu perusahaan jaringan ibarat sehelai rambut dari sembilan ekor sapi. Namun sebagai pendatang baru yang baru terjun ke bisnis keluarga, proyek pertama ini sangat krusial. Sebagai salah satu penjamin keamanan, Dongfang Wan tidak ingin usaha pertama sepupunya gagal. Di sisi lain, setiap liburan ia kerap mengunjungi berbagai anak perusahaan keluarga untuk mempelajari metode pemecahan masalah, mengakumulasi pengalaman. Karena begitu lulus kuliah, ia pun harus memulai langkah ini - menginjakkan kaki paling mantap untuk membangun kharisma dalam keluarga.
Dari sudut pandang ini, dia tidak ingin melihat perusahaan-perusahaan kecil ini berjalan lancar tanpa hambatan. Justru sebaliknya, dia berharap semua masalah potensial muncul di hadapannya sekaligus. Dengan pengalaman seperti ini sekarang, di masa depan saat menghadapinya sendiri dia tidak akan merasa kebingungan. Atau mungkin niat buruk diam-diamnya akhirnya didengar oleh dewa yang sama jahatnya. Ketika tiba di tempat sepupunya, perusahaan jaringan Dika memang sedang menghadapi masalah.
Ini adalah sebuah pemerasan.
Dalam hal komputer, Dongfang Wan memang bukan orang yang sebuta jaringan seperti Zhang Yahan. Tapi tentu saja kemampuannya juga tidak profesional. Setelah penjelasan dari sepupunya, barulah dia mengerti bahwa di Kota Jianghai ada seorang peretas komputer yang sangat jahat bernama "Superman Diet", dengan kemampuan peretasan tingkat tinggi namun berprofesi sebagai pemeras perusahaan jaringan. Setiap perusahaan jaringan yang baru buka harus membayar uang perlindungan padanya. Beberapa perusahaan jaringan lain di kota ini pernah diserang karena mengabaikannya, dan baru terbebas setelah mentransfer uang ke rekeningnya. Kali ini, surat pemerasan itu dikirim ke kotak surat elektronik Perusahaan Jaringan Dika.
Menghadapi pemerasan tak sopan ini, keluarga Dongfang yang terbiasa dominan secara alami memilih melawan. Di satu sisi mereka tidak rela melihat kemampuan lawan tanpa mencoba, di sisi lain "Superman Diet" ini cukup kooperatif - tidak membayar berarti jaringan diserang, baru berhenti setelah uang ditransfer tanpa menaikkan tarif. Maka pada pagi hari Minggu, jaringan Dika akhirnya runtuh setelah bertahan satu jam di bawah serangan gencar. Sampai sore hari, sistem tetap tidak bisa diperbaiki.
“Kalau begitu……sepupu, jika terus tidak bisa diperbaiki, apa yang harus kita lakukan di sini?”
Setelah makan siang, memandangi sepupu yang sibuk bekerja di kantor. Dongfang Wan mengajukan pertanyaan, jawabannya cukup sederhana: “Entah cari ahli jaringan yang lebih hebat, atau berikan uang. Setiap industri punya aturan tak tertulis, jika ‘Superman Pelangsing’ ini sudah menjadi aturan tak tertulis di Kota Jianghai, itu memang hal yang tak terhindarkan.”
“Oh.” Seandainya dirinya yang bertanggung jawab saat ini, sepertinya hanya itu satu-satunya solusi. Tapi, mengingat “Superman Pelangsing” itu begitu hebat, yang lebih disukainya justru mencari cara untuk menemukannya, lalu memberikan tekanan dari berbagai pihak agar bekerja untuknya. Setelah beberapa saat di kantor, saat membuka jendela louvers dan melihat ke luar, tiba-tiba dia tertegun.
Gu Jiaming! Kenapa orang itu ada di sini!
Bunga mawar, dia ternyata suka pada wanita bernama Li Antong itu? Berapa tahun selisih usia mereka… Ah, bukan, dia memakai seragam toko bunga, terlihat sedang kerja paruh waktu di toko bunga selama liburan. Memikirkan ini, alisnya tak sengaja mengerut: Liburan harus kerja paruh waktu seperti ini, apakah kehidupannya sebegitu sulitnya? Kalau begitu, keluarga Huang terlalu keterlaluan, bagaimanapun juga masih satu keluarga, jika ini terjadi di keluarga Dongfang…
Hati tiba-tiba dipenuhi kemarahan besar. Jika keluarga Huang memperlakukannya sedikit lebih baik, mungkin dia tak akan menjadi penyendiri seperti ini. Sekarang aku tak perlu repot-repot berusaha memperbaiki mentalnya. Hmm, kemiskinan adalah poin penting yang harus kuingat. Selain itu... Dia terus melihat ke sekitar dengan penuh minat, apakah dia sangat menyukai komputer?
Sekaligus menangkap dua poin krusial, Dongfang Wan merasa senang. Sesekali dia melirik ke jendela untuk mengamati Jiaming. Semua orang di perusahaan sibuk, tak ada yang memperhatikannya. Tampaknya dia asyik dengan dunianya sendiri. Namun sekitar setengah jam kemudian, situasi tiba-tiba berubah. Li Antong berbicara sesuatu padanya, lalu bangkit dari kursi. Gu Jiaming duduk menggantikannya - apa yang sedang terjadi?
Beberapa saat kemudian, Su Lan di belakang meja kerja berseru gembira: "Akhirnya kita berhasil menangkapnya, hebat sekali! Xiao Wan, kita... telah menemukan titik krusialnya. Mungkin hanya butuh... setengah jam lagi..."
Melihat ekspresi bersemangat sang sepupu, Dongfang Wan membuka mulutnya lebar-lebar. Membuka jendela louvers untuk melihat keluar, ternyata Gu Jiaming telah menggantikan posisi Li Antong dan sedang melakukan operasi. Tak lama kemudian, di sebuah rumah di Kota Jianghai, tiga orang yang sedang makan camilan tiba-tiba waspada. Salah satunya menatap data di layar komputer: "Hei, semua jebakan kita sudah dibersihkan. Mereka telah memulihkan Sistem dan sedang mengembalikan izin akses Jaringan. Haha, ternyata Dika ini bukan pemula total. Bos, apa kita lumpuhkan sekalian saja?"
“Tidak, terus main dengan mereka, sampai mereka rela membayar.” Memegang sekantong keripik, pria gemuk yang memimpin duduk di depan komputernya, “Kami hanya demi uang. Jika terlalu kejam, nama kita akan hancur...”
Pukul empat sore, lift berhenti di lantai tujuh. Jiaming masuk, lalu Dongfang Wan menyusul sambil tersenyum.
“Hei, Gu Jiaming, tunggu...” Karena wajah Jiaming terlihat mempermalukan, dia justru semakin bersemangat, “Kenapa kamu berkamuflase tidak mengenaliku?”
“Kukira kau tidak ingin bertemu denganku.” Suaranya datar. Saat ini aura Jiaming jelas tidak cukup di hadapan Dongfang Wan, membuatnya semakin sombong.
“Hmph, aku tidak sekecil hati itu. Hei, hanya gagal sekali, apa kau langsung putus asa? Tidak lihat rombongan orang di perusahaan memujimu? Meski akhirnya kalah, tapi kekalahan yang terhormat. Dari sekian banyak perusahaan jaringan di Jianghai, hanya kalian yang melakukan serangan balik melawan Superman Pengurus Badan, itu pun karena kontribusimu. Bukankah ini bagus? Sepupuku bahkan ingin merekrutmu sebagai insinyur.”
“Kalah tetap kalah, tidak ada yang terhormat.” Jiaming meliriknya dengan ekspresi merendahkan.
Melihat sikap orang ini yang ingin dipukul, Dongfang Wan mengibaskan tangan: “Cih, coba menghiburmu, tidak didengar ya sudah! Tapi sekarang kau harus sadar pentingnya tim? Dari awal sampai akhir, serangan balikmu berhasil karena bantuan semua orang.”
Mengingat suasana di kantor besar yang tidak lama lalu, Dongfang Wan tak bisa tidak merasakan darahnya mendidih. Dengan memanfaatkan celah lawan, semua orang di bawah pimpinan Jiaming melancarkan serangan balik. Meski tak mengerti data abstrak di komputer, hanya dari sorot mata semua orang, dia hampir bisa merasakan ketegangan itu. Situasi di jaringan terus berubah seperti pertarungan tarik-ulur, kantor dipenuhi teriakan tegang yang saling bersahutan. Meski pernah mengalami beberapa kali situasi tegang dalam pertempuran bisnis di grup perusahaan besar, kali inilah yang memberi kesan paling kuat, mungkin karena Gu Jiaming adalah teman sebayanya.
Masa depan yang selalu dia bayangkan adalah memimpin sekelompok orang, mengalahkan musuh kuat satu per satu dalam suasana tegang seperti ini, lalu merasakan kemenangan.
Tentu saja, pertarungan tarik-ulur ini akhirnya dimenangkan oleh mereka berkat keterampilan peretas yang luar biasa dari bocah penjual bunga yang tak diketahui asalnya. Menurut sepupunya, meski keterampilan komputernya mungkin bukan yang terhebat karena belajar mandiri, seringkali jalan pedangnya menyimpang dan memikirkan hal-hal tak terduga. Prestasi kali ini tak lepas dari metode serangan khasnya yang membentuk sistem sendiri. Orang seperti ini bukanlah produk kaku sistem sekolah, tapi jenius atau genius dengan karakternya cenderung ekstrem. Dongfang Wan sangat mengagumi analisis sepupunya ini.
Setelah kembali dikalahkan, Su Lan memerintahkan orang lain untuk mentransfer uang ke akun "Superman Diet". Kemudian sepertinya dia bermaksud mengajak Jiaming bergabung dengan Dika. Tapi siapa sangka, di tengah pujian banyak orang, pria ini malah berbalik dan pergi tanpa sepatah kata. Menyaksikan situasi ini, Dongfang Wan memberi tahu sepupunya secara singkat tentang hubungannya dengan orang ini, lalu segera menyusul sambil merencanakan apakah akan mengucapkan kata-kata ironis atau justru menghibur. Secara tak sadar dia berharap mereka tidak berkecil hati karena hal ini.
Mendengar perkataannya, Jiaming menatapnya. Setelah diam sejenak, dia berkata: "Aku memang sedang berpikir, tentang perkataanmu soal kolektivitas itu..."
"Nah, nah..." Awalnya masih merancang cara membuatnya menyadari pentingnya tim, tak disangka peristiwa kecil ini justru mengubah pandangannya. Hatinya dipenuhi kegirangan: "Akhirnya kau menyadari hal ini juga. Sehebat apapun seseorang, mustahil bisa mengerjakan semuanya sendiri. Karena itu rasa memiliki terhadap kehormatan kolektif..."
"Hmm, alasan kita kalah tadi karena tim pendukungnya terlalu payah. Ternyata kolektivitas memang cuma bikin orang terhambat... Lebih baik aku sendiri saja..."
“……”
Orang ini merenung setengah hari, tapi malah menyimpulkan hal seperti ini... Bibir Dongfang Wan berkedut tak terkendali, lama tak bisa berkata-kata. Melihat pintu lift terbuka dan Jiaming sudah jauh berjalan, dia mengamuk dan berlari mengejar: "Gu Jiaming, kau keterlaluan! Bagaimana bisa kau menghina kawan yang membantumu tadi? Lupa kah, di atas tadi mereka semua memujimu!"
“Apakah memujiku bisa menyamarkan ketidakmampuan mereka?”
“Cari alasan setelah gagal, lempar tanggung jawab ke orang lain, kau pria paling brengsek!”
“Yang tadi mencegahmu cari alasan ya aku. Ngomong nggak jelas, kau wanita paling menyebalkan...”
“Hah, kira sendirian bisa hadapi semua masalah? Dengar, aku tinggal panggil orang biasa juga bisa kalahkanmu, basket maupun komputer!”
“Aku nggak ada waktu buat main-main dengan anak kecil.”
“Penakut! Pengecut! Tukang ngibul! Rendah diri!”
“Kau menyebalkan...”
Satu dingin satu menggelegak, mereka berdebat sambil keluar pintu gerbang gedung perkantoran. Kawasan daerah pengembangan di pinggiran Kota Jianghai ini sepi di sore hari. Saat menuju parkiran sederhana di dekatnya, pandangan Jiaming menyapu bangunan sekitar. Selain pengawal Dongfang Wan, pengawasan [] yang terlalu dominan terus mengintai selama beberapa hari terakhir. Yang memimpin sepertinya gadis kecil bernama Fang Guolin. Dia cuma berharap perubahan karakter dan kemampuannya ini tidak membuat terlalu banyak gadis kecil jatuh cinta... Misalnya Dongfang Wan, jangan sampai...
Sambil setengah hati meladeni Dongfang Wan, hati Jiaming terus berpikir liar secara refleks. Saat masuk area parkir, terlihat sebuah van baru saja berhenti di sebelah. Beberapa orang berpenampilan preman turun, mengeroyok seorang gadis berseragam Akademi Hati Kudus yang ada di tengah mereka. Gadis itu dikepang dua, berkacamata bulat tebal yang jelek, dengan bekas tamparan merah menyala di pipi. Melihat Jiaming, ia langsung terisak minta tolong: "Sepupu Jiaming!"
Gadis itu ternyata Xu Yiting - kerabat Jiaming yang juga anggota komunitas mereka. Jiaming menghela nafas dalam hati. Tampaknya sebelum menyelamatkan dunia, manusia harus terlebih dulu menyelamatkan dirinya sendiri.
Di sisi lain, sebelum Jiaming sempat menjawab, Dongfang Wan sudah maju dengan wajah penuh keadilan: "Kalian mau apa!?"
Begitu Dongfang Wan bicara, empat pengawal sipil yang menyamar sebagai pejalan kaki langsung mengeroyok dari belakang.
## Bagian Seratus Tujuh Konflik Api
"Kalian mau apa!"
Pengawal keluarga Dongfang semuanya mantan polisi atau pasukan khusus bertubuh gagah seperti kuda perang. Gaya mereka meniru Sylvester Stallone. Kehadiran mereka langsung membuat para preman itu ketakutan setengah MATI. Pemimpin geng yang gemetaran akhirnya memberanikan diri setelah lama berjuang, mengulang perkataan Dongfang Wan dengan gagap: "K-k-k-kalian... kalian mau apa!"
“Hmph.” Melihat sikap pengecut mereka, Dongfang Wan merasa sangat puas. “Kalian ini siapa? Atas dasar apa menangkap orang sembarangan? Oh iya, kamu... namanya Xu Yiting, benar?”
Untuk mengalahkan musuh, pertama-tama harus memahami musuh. Terhadap kelima anggota komunitas Jiaming, Dongfang Wan telah melakukan penyelidikan mendalam. Xu Yiting sedikit meninggalkan kesan. Mendengar pertanyaan nona bangsawan ini, sementara orang-orang di sekitarnya tampak ketakutan, Xu Yiting segera mengangguk dan berlari ke sisi Jiaming dan Dongfang Wan, terisak: “Sepupu Jiaming, dan... Nona Dongfang, tolong bantu. Mereka masih ingin menangkap papaku...”
Meski beberapa hari terakhir semua anggota komunitas sudah akrab, pemahaman antar anggota sebenarnya tidak mendalam. Xu Yiting memberi kesan sebagai gadis pendiam yang menjaga profil rendah, berkacamata tebal, jarang bicara, selalu memegang buku bacaan dari genre silat, roman, hingga panduan masak. Dia tidak berusaha mendekati orang lain, bagi Jiaming yang juga tidak punya niatan untuk mendekati siapapun. Dongfang Wan mengetahui nama Xu Yiting dari investigasi di kampus, namun heran karena Xu Yiting juga mengenalinya. Apakah ini pertanda reputasinya sebagai perempuan hebat akhirnya tersohor? Hatinya berkhayal sebentar, lalu dengan angkuhnya menatap para preman: “Hei, sebenarnya apa yang terjadi?”
Empat pengawal melangkah maju. Suasana pun langsung tegang bagai pedang terhunus dan busur terkencang.
“Hmph, Xu、Xu Yiting! Kira kau bisa tidak mengembalikan uang hanya karena sudah mencari orang? Pikir baik-baik, surat hutang masih ada di tangan bos kami!”
Dongfang Wan bertanya bingung: "Uang apa yang harus dikembalikan? Seorang siswa SMA bisa berhutang berapa banyak pada kalian?"
"Total lebih dari 100.000! Surat hutang masih ada di bos kami, tertulis jelas di atas kertas putih dengan tanda tangannya sendiri. Masih mau berkelit?" Terbiasa mengganggu orang, kali ini merasa berada di pihak benar, suara pemimpin grup itu semakin keras beberapa desibel. Baru melangkah maju, seorang pengawal langsung mendorongnya mundur. Mereka ini bukan orang baik-baik - saat menerima gajian jadi pengawal terlatih, berbalik badan bisa jadi BANGSAT. Sebelum Dongfang Wan bicara, Xu Yiting sudah menangis: "Aku... aku... mereka yang memaksaku tanda tangan! Kata mereka... kalau tidak tanda tangan... akan membunuh papanya..."
Xu Yiting menangis sambil membela diri, sementara beberapa preman di seberang terus menambahkan bumbu dramatis. Sesekali ketika mereka menuduh Xu Yiting berbicara berlebihan, Dongfang Wan membentak menyuruh mereka diam. Setelah beberapa menit, situasi akhirnya jelas: Mereka adalah anggota Yongsheng Bang - salah satu dari tiga geng besar di Kota Jianghai yang mengelola beberapa kasino bawah tanah terbesar. Ayah Xu Yiting kecanduan taruhan, belakangan semakin menjadi-jadi sampai berhutang rentenir. Kini hutang ayah harus ditanggung anak perempuan. Masalahnya, Xu Yiting telah memindahkan seluruh hitungan hutang itu ke dirinya sendiri dengan menulis ulang surat perjanjian, membuat "hutang harus dibayar" menjadi aturan mutlak tanpa ruang negosiasi.
Dongfang Wan mendengarkan sambil menghitung strategi di hati. Gu Jiaming yang masih kerja paruh waktu di toko bunga jelas tak punya kemampuan bayar hutang. Bagi dirinya, meski belasan juta bukan jumlah kecil, masih bisa diusahakan. Persoalannya adalah bagaimana menyelesaikan ini dengan cara yang elegan.
Pada dasarnya, Dongfang Wan selalu memiliki rencana sempurna untuk masa depan. Hal-hal seperti geng kriminal termasuk dalam aturan tak tertulis masyarakat. Meskipun kekuatan keluarga Dongfang sudah tidak perlu lagi memperhitungkan kelompok-kelompok kecil ini, namun memulai dari perusahaan kecil setelah lulus kuliah pasti akan bersentuhan dengan bidang ini. Sehari-hari tidak ada kesempatan untuk kontak, kini justru merupakan kesempatan baik. Di satu sisi untuk mengasah diri, di sisi lain juga memuaskan rasa kasihannya. Yang paling penting adalah membuat Gu Jiaming berutang budi padanya di sini, agar dia tidak berlagak seperti 80.000 orang di hadapannya nanti —— meskipun mengapa hal ini yang paling penting pun tidak bisa dijelaskannya.
Bagaimana membuat Gu Jiaming merasa berutang budi padanya, bagaimana menangani geng kriminal ini dengan cara elegan, di satu sisi agar mereka tidak meremehkannya, di sisi lain tidak menimbulkan kecurigaan di hati kedua pihak, ini jelas merupakan keterampilan teknis. Namun Dongfang Wan sangat percaya diri, untuk melaksanakan dua hal ini, tentu pertama-tama harus menarik Jiaming ke dalam permainan ini——barusan terlalu cepat jadi pahlawan, sampai orang ini terus berdiri di samping menunggu dengan tenang tanpa bicara, sekarang malah seolah jadi urusanku sendiri——setelah merencanakan di hati, Dongfang Wan pun mulai berbicara layaknya seorang Penghakim.
"Hmph, jangan kira secarik surat perjanjian itu hebat, apa kalian semua tidak tahu? Tipu muslihat apa saja dilakukan, di kasino selalu ada ribu, sengaja memberikan pinjaman berbunga tinggi untuk menjebak orang, kalian..."
“Meminjamkan uang berbunga tinggi kenapa? Kalau berani jangan minjam! Bunganya sudah disepakati dari awal, ngapain dia minjam! Lagi pula, siapa bilang kasino kami main ribu? Kalau tak mau ribu ya jangan berjudi! Kalo bilang kami ribu, tunjukkan buktinya di tempat!”
“Aku yang bilang, kenapa? Mau berulah? Dengar, uang segitu cuma hal sepele buatku, tapi aku... buat apa?”
Melihat Jiaming tiba-tiba menepuk bahunya, Dongfang Wan dalam hati girang. Dia tahu karakter orang ini pada dasarnya tipe yang lebih suka menghindari masalah. Sekarang dia sadar memperbesar masalah tak ada manfaatnya, akhirnya terkailah. Saat pikirannya masih berputar demikian, Jiaming sudah mendekat dan berbisik di telinganya: "Hei, keempat Tuan Pengawalmu bawa senjata nggak?"
“Senjata? Sekarang kan bukan perang, ngapain bawa senjata... Aku cuma jalan-jalan biasa. Tiongkok kan beda sama luar negeri, bawa senjata ribet, buat apa?”
“Baiklah.” Jiaming mengangkat bahu dengan kekecewaan. “Meski terdengar seperti dialog film komedi yang norak, tapi... coba lihat ke belakang...”
“Cih, ngapain lagi? Biasanya di film jawabnya: Aku percaya sama kamu nggak... Aku liat, aku...” Saat memutar kepala sekilas, senyum di wajah Dongfang Wan tiba-tiba membeku. Di seberang jalan, ratusan orang dengan wajah sangar sedang mendekat. Pemuda berjambul kuning di depan berteriak: “Oi, siapa yang berani ganggu saudaraku!”
“Sebenarnya……” Jiaming berbisik di samping, “Titik kumpul Geng Yong Sheng ada di sini. Mereka parkir di sini berarti sudah sampai lokasi tujuan. Teman sekelas Dongfang, kau bisa memberi tekanan pada mereka seperti tadi, benar-benar gagah berani. Kau adalah idolaku. Tenang, kau akan diakui sebagai martir. Mereka biasanya memperkosa dulu baru membunuh, lalu memperkosa lagi dan membunuh lagi terhadap si cantik……”
Melihat seratus lebih orang datang dengan sikap agresif, Dongfang Wan gemetar sejenak: “Kau…… kenapa tidak bilang dari tadi.”
“Oh, kulihat kau begitu percaya diri, kukira pengawal keluargamu selalu bawa beberapa senapan serbu. Paling tidak pistol. Ternyata kau hanya mengandalkan keberanian dan loyalitas buta.”
Meski merasa nada bicara orang ini agak sinis, sekarang bukan saatnya memikirkan itu. Sambil berusaha berdiri tegak, ia berbisik gemetar: “Lalu…… apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Tentu kabur. Jika kau…… Hei, kenapa kau pegang tanganku? Jika kau tidak mau kabur, aku yang kabur. Apa kau kira pengawalmu bisa satu lawan lima puluh……”
“Aku…… aku tidak kabur……” Bibir pucat Dongfang Wan menggigit kuat, mati-matian menggenggam lengan baju Jiaming tidak mau melepas. “Kau juga tidak boleh kabur.” Di sisi lain, Xu Yiting dengan takut-takut menghampiri, memegang lembut lengan baju Dongfang Wan. Empat pengawal mengerubungi, melindungi mereka, tapi pandangan mata mereka sudah menunjukkan keinginan mundur.
“Aduh, kau sampai MATI, aku nggak punya alasan untuk menemani kau MATI. Kalau kau malah dapet kepuasan dari itu, aku nggak mau kena... Hei hei hei, Dongfang Wan, aku nggak kenal kamu...” Jiaming dalam hati tertawa gelap sambil melakukan perlawanan. Di siang bolong menghadapi pasukan ratusan orang seperti ini, bahkan kalau dia benar-benar mau menyerang, dalam keadaan tidak membawa senjata, dia cuma bisa mundur dulu.
Tentu saja, dalam situasi ini, menggunakan seni penipuan untuk langsung lolos juga mudah. Begitu identitas Dongfang Wan disebut, sebagian besar orang ini pasti nggak berani lancang. Apalagi ada anggota [] yang sedang mengawasi di samping. Dengan hubungan antara keluarga Dongfang dan [], ditambah jiwa keadilan bocah Fang Guolin yang meluap-luap, kecuali bodoh, hal ini pasti cuma serem-serem santai. Dongfang Wan sendiri, setelah dengar ucapan Jiaming, cuma bisa menginjak kakinya keras-keras: “Kamu... Kamu ini pria apa bukan sih...” Di saat yang sama, si jambul ayam sudah membawa pasukan ratusan orang menyerbu sampai depan mata.
“Hei si cantik, kamu yang mau angkat unit perselisihan ini ya? Kamu berkecimpung di mana? Lancang amat.”
“Hmph.” Dongfang Wan menarik napas dalam, angkat kepala tegapkan dada, lalu berkata tenang: “Siapa aku nggak usah kau urus. Kau ini bos geng Yong Sheng?”
Kalimat ini keluar, sekeliling langsung dipenuhi suara tawa mengejek. Si jambul ayam itu berkata sambil tertawa: "Haha, mohon, Li Yong Sheng adalah ayahku, namaku Li Ming. Si cantik, sebenarnya kamu kemari buat apa? Jujur saja, cewek ini hutang lebih dari 100.000 pada kami. Tapi melihat kamu cantik sekali, kalau mau membelanya juga boleh, temani aku tidur tiga bulan."
Baru buka mulut langsung jadi bahan ejekan. Jiaming pura-pura menunjukkan ekspresi "Aku tidak kenal dia". Dongfang Wan menggigit gigi marah karena kalimat "tidur tiga bulan" itu: "Tidur tiga bulan? Aku takut kamu tidak sanggup! Ketahuilah, aku adalah..." Di sini matanya berputar licik, lalu mengangkat tangan Jiaming "...siapa aku tidak perlu kamu tahu! Tapi ini pacarku, bos Shazhu Bang Liu Zheng adalah ayah angkatnya. Kami kemari untuk... bernegosiasi..."
Ayah mertua jadi ayah angkat sebenarnya bukan masalah besar. Tapi sebelum selesai bicara, suasana sekitar tiba-tiba berubah aneh, membuat kata-kata terakhir Dongfang Wan terdengar gugup. Entah salah di mana, di sampingnya, otot-otot Jiaming langsung menegang. Shazhu Bang dan Yong Sheng Bang baru-baru ini sedang berkonflik diam-diam berebut wilayah, sampai kedua belah pihak tidak bisa damai. Dasar wanita bodoh, menyebut hal yang sensitif!
Dalam keheningan bak mendung sebelum hujan, Li Ming tiba-tiba mengayunkan tangan: "Sialan, anak buah Shazhu Bang! Saudara-saudara siapkan senjata, bersiap... Aduh——"
Teriakan terakhir itu, tentu saja bukan untuk memerintahkan semua kawan bertransformasi menjadi manusia serigala di siang bolong. Dalam gemerincing pisau yang dihunus, Li Ming menjerit melengking sambil kedua tangan menutupi titik vitalnya dan membungkuk. Matanya memutih, lehernya memanjang membentuk "leher melengkung bernyanyi ke langit". Pada momen genting, Jiaming mengeluarkan jurus pamungkas...
## Bagian ke-108 Gigi Anjing
Harus menyerang duluan, tapi juga tidak boleh membiarkan Fang Guolin yang bersembunyi di lokasi rahasia melihat celah kelemahan. Sebagai seni bela diri wajib untuk kehidupan sehari-hari dan perjalanan, Tendangan Selangkangan natural merupakan metode serangan terbaik. Setelah satu tendangan, Jiaming dengan keras mengulurkan tangan ingin menangkap Li Ming untuk dijadikan sandera, namun sebelum tangan terulur, tendangan lain sudah menyusul seperti bayangan, memilih posisi yang mengejutkan sama persis dengan saat Jiaming mengeluarkan tendangan - itu adalah Dongfang Wan.
Kedua orang mengayunkan kaki depan belakang. Saat Dongfang Wan menendang, Li Ming sudah membungkuk kesakitan. Tendangan penuh Dongfang Wan tepat mengenai dagunya. Seketika, pemuda geng Yong Sheng ini terjatuh ke kerumunan di belakang. Andaikan benar-benar menghadapi konflik besar dua geng, tentu dia tidak akan nekad maju sendirian. Kali ini sama sekali tidak menyangka mereka berani menyerang, apalagi berhadapan dengan Jiaming. Inilah yang membuatnya menderita kerugian besar. Di sisi lain, Dongfang Wan menarik lengan baju Jiaming sambil berteriak: "Cepat lari!" Berbalik dan langsung kabur.
"Aku X..."
Rencana licik menyandera dan membocorkan identitas Dongfang Wan gagal total. Jiaming mengutuk dalam hati, segera berbalik dan kabur bersama Dongfang Wan serta Xu Yiting. Di tengah gemuruh perkelahian, empat pengawal di belakang sempat menghadang kerumunan depan sebelum akhirnya ikut melarikan diri.
Jalanan di belakang dipenuhi kilauan pisau dan teriakan. Seandainya sendirian, Jiaming pasti sudah lolos. Tapi kecepatan dua perempuan di depannya sangat terbatas. Dalam sekejap, pengejar sudah mendekat. Saat menyeberang jalan, dua mobil melesat dari kedua sisi hampir menyebabkan kecelakaan - pastilah kendaraan yang diatur Fang Guolin. Secara kebetulan, insiden ini berhasil menghambat pengejar sesaat.
Di depan, dua remaja putri itu menarik Jiaming masuk ke gang sempit di antara dua gedung.
Setelah melewati terowongan sempit itu dan menyeberang lagi, mereka tiba di proyek konstruksi besar yang sepi. Pengejar yang sempat tertahan "kecelakaan" mulai mendekat lagi. Dongfang Wan yang memeluk kepala itu langsung berlari masuk ke area proyek.
Berjalan di antara unit baja dan barang-barang rongsokan, berbelok kiri kanan untuk keluar dari proyek konstruksi sisi lain, bertiga mencari jalan setapak untuk kabur. Tak lama kemudian, Dongfang Wan menunjuk tembok vila yang baru selesai dibangun di depan sisi kiri sambil bernapas pendek-pendek: "Cepat, cepat, kita sembunyi dulu di sini. Aku... aku nggak kuat lari lagi. Xu, Xu Yiting, kau panjat dulu, aku akan dorong dari bawah..."
Xu Yiting langsung berlari ke tembok itu, melompat sekuat tenaga. Dongfang Wan mendorongnya dari belakang hingga berhasil naik. Kemudian menoleh: "Gu, Gu Jiaming, cepat... kau panjat dulu..."
Jiaming menggelengkan kepala: "Aku bisa naik sendiri. Kau dulu, aku yang dorong." Dongfang Wan tak banyak ragu, melompat dan meraih tepi atas tembok. Jiaming menopang pahanya lalu melemparkannya ke atas. Sesaat kemudian, terdengar teriakan pelan saat Dongfang Wan mendarat di sisi dalam.
Suara dari belakang semakin mendekat. Jiaming berlari beberapa meter ke depan, mendorong tumpukan pipa karat yang bersandar di dinding tepi jalan hingga roboh menghadang jalan setapak itu. Kemudian berbalik badan dan melompati tembok itu, mendarat di pekarangan dalam vila.
Rumah besar ini sepertinya baru selesai dibangun. Meski megah, bagian dalamnya sepi tanpa penghuni, beberapa bahan dekorasi masih berserakan di berbagai sudut. Bertiga bersembunyi di bawah tembok itu. Tak lama, suara pengejaran bergema di luar. Melihat tumpukan bambu yang dirobohkan Jiaming, mereka semua mengejar ke depan. Setelah lama menunggu hingga suara di luar menghilang, Dongfang Wan dan Xu Yiting akhirnya menghela napas lega, menepuk-nepuk dada mereka. Dongfang Wan tersenyum: "Syukurlah, akhirnya kabur. Ayo pergi." Ia melambai ke belakang, Yiting buru-buru menyusul. Namun pandangan Jiaming tiba-tiba menjadi tajam, membuat kedua gadis itu membeku saat menatap ke depan.
Dengan geraman rendah, dua ekor anjing hitam pekat yang ganas muncul dari balik hamparan bunga. Sorot mata dingin dan muram mereka mengawasi ketiga manusia ini. Kepala besar mereka dipenuhi lipatan kulit tebal seperti kerut wajah orang tua, dari telinga hingga bibir. Air liur mengerikan menetes membentuk garis tipis seiring geraman. Jiaming membungkuk sedikit, siap bertarung. Dongfang Wan gemetar memandangi dua Anjing Raksasa yang mendekat: "Neo... Neapolitan..."
Saat berhadapan dengan manusia, seseorang bisa berpura-pura dan menyembunyikan kekuatan. Namun hewan tidak akan tertipu oleh penampilan ketakutan sehingga meremehkan lawan. Seperti singa memburu kelinci pun akan mengerahkan seluruh kemampuannya. Anjing raksasa bernama Neapolitan Mastiff di hadapan ini adalah salah satu ras anjing paling berbahaya di dunia, juga disebut sebagai Mastiff Napoli atau Mastiff Napoleon. Begitu ras anjing ini mulai menyerang, mereka akan terus tanpa henti hingga MATI, dan cenderung memakan mangsa yang telah mereka Bunuh secara langsung. Menghadapi dua ekor anjing raksasa seperti ini dengan tangan kosong, bahkan Jiaming yang sebenarnya akan merasa kewalahan, apalagi saat ini di depan orang luar harus tetap menyembunyikan kekuatan tersembunyi.
"Cepat, cepat-cepat... cepat pergi, anjing jenis ini bisa membunuh manusia..." Dongfang Wan berkata dengan gemetar, namun kedua kakinya seolah tertanam kuat tak bisa bergerak. Xu Yiting yang berdiri di postur tubuhnya berkata dengan suara menangis: "Aku... aku tidak bisa bergerak..."
"Tidak, tidak boleh. Kita harus pergi. Xu... Xu Yiting, dan Gu Jiaming, kalian cepat lari. Aku... aku akan hadang mereka, uh..." Suaranya terputus oleh tangisan, "Aku pernah lihat... pernah lihat anjing jenis ini sebelumnya, mereka benar-benar akan membunuh manusia sampai MATI..."
Dalam tangisan ini, dua ekor anjing sepertinya siap menyerang kapan saja, air liur semakin banyak menetes. Tubuh Xu Yiting gemetar tak berani mundur, karena dia pernah dengar anjing paling mudah menyerang orang yang kabur. Sorot mata Jiaming menusuk tulang, tangan terkepal di samping badan lalu dilepas, dikepal lagi, perlahan dilepas... Maju dua langkah, sampai di samping belakang tubuh Dongfang Wan, berbisik: "Bos, kau memang terlalu liar, ikutmu bisa ketemu apa saja..."
Nada suara dingin penuh ironi, Dongfang Wan dengan suara tertahan tangis berkata: "Ka-kau... sekarang waktunya seperti ini, masih mau bicara sinis, ce... cepat lari, aku tidak bisa jalan lagi, kalian cepat lari..."
Dia tidak bisa berjalan, Xu Yiting juga lumpuh. Sekitar dua meter di depan ketiganya, dua anjing raksasa itu sepertinya merasakan ancaman besar, mengambil posisi menyerang dengan gigi terkembang mendekat perlahan penuh kewaspadaan. Suara Jiaming bergema pelan: "Begitu aku lari, mereka akan mencabik-cabik kalian..."
"Ja-jangan bicara begitu! Tapi... mereka pasti sudah dilatih, mungkin... mungkin hanya perlu makan satu kaki saja kenyang. Hei hei hei... ada orang? Anjingmu mau gigit orang nih, hiks..." Gadis itu merintih pelan, menatap anjing yang semakin mendekat, "Maaf, aku yang membawa kalian ke sini..."
"Tubuh Jiaming kembali merendah, dua ekor anjing tiba-tiba berhenti satu meter di depannya, mulut mereka mengeluarkan sinyal sangat berbahaya. Air liur kental transparan menetes ke tanah membentuk genangan yang terus membesar. Di belakang Dongfang Wan, Jiaming berkata: 'Aku pernah baca di buku, tatap mata mereka, jangan sekali-kali bergerak, tatap terus tanpa berkedip.'"
"Yang mana...yang mana satu?"
"Pilih yang kau suka!"
Mendengar pertanyaan bodoh itu, Jiaming mendengus dingin. Dua anjing di depan justru terkejut, seluruh tubuh mereka bergetar kaget, hampir langsung menerjang. Tapi setelah melangkah kecil ke depan, mereka tiba-tiba berhenti. Tiga manusia dan dua anjing pun saling berhadapan dalam kebekuan.
Menyaksikan wujud garang kedua anjing itu, dua gadis itu sama sekali tak meragukan bahwa mereka akan menerjang dan menggigit leher mereka. Kedua mata mereka membelalak menatap mata menusuk tulang anjing-anjing mastiff itu tanpa berani berpaling. Tentu saja mereka tak menyadari aura berbeda dan tatakan tak biasa dari Jiaming di samping mereka.
Waktu berlalu satu menit satu detik.
Udara dipenuhi suasana tegang bagai senar busur yang siap putus kapan saja. Sorot mata dua anjing raksasa itu tertancap pada Jiaming, sementara di sisi ini, tatapan Jiaming dingin bagai kolam es puluhan ribu tahun yang tak mengandung sedikit pun kehidupan, dalam dan mengerikan seperti jurang yang siap melahap segala jiwa dan harapan.
Kedua gadis itu masih sibuk saling melototi anjing-anjing itu.
"Tidak tahu berapa lama waktu berlalu, tubuh Jiaming semakin membungkuk rendah, berubah menjadi posisi setengah jongkok yang siap menerkam kapan saja. Perlahan ia melangkah maju, mengulurkan tangan kanannya tanpa suara."
"Gu... Gu Gu... Gu Jiaming, kau mau apa..."
"Diam."
"Dalam nada datar, tangan kanannya mengulur ke hidung seekor Neapolitan Mastiff. Anjing raksasa itu justru mundur setengah langkah sambil menggeram. Akhirnya, telapak tangannya menghadang pandangan antara dia dan anjing. Gerakan yang tampak lembut itu tiba-tiba menunjukkan perubahan halus yang nyaris tak terlihat - tanda terkumpulnya kekuatan. Udara di sekitar dipenuhi keganasan dan niat membunuh yang membekukan."
"Raungan anjing tiba-tiba menjadi mengamuk, seolah hendak menerjang tangan Jiaming. Dua gadis di belakang merasa jantung mereka serasa tercekat. Tiba-tiba, Neapolitan Mastiff itu melenguh dan kabur, diikuti anjing kedua yang lari ketakutan."
"Hingga anjing-anjing itu menghilang di balik hamparan bunga, kedua gadis masih terdiam membeku. Jiaming menarik napas panjang lalu terjatuh lemas: 'Syukurlah, kita berhasil mengusir mereka...'"
"Ka... kau bilang kita yang mengusir mere... mere... mereka..."
“Paha masih gemetar, Dongfang Wan menoleh ke arah Jiaming yang terbaring di tanah, matanya masih memancarkan ketidakpercayaan. Jiaming membuat ekspresi trauma: ‘Untunglah nasihat di buku itu berguna. Tatapan galak kita berhasil. Pasti mereka kabur ketakutan. Ngomong-ngomong, pasti tatapanku yang lebih mengerikan ya? Aku hitung, dari awal sampai akhir cuma lima kali berkedip.’”
“Ta-ta-tapi… Aku, aku sepertinya sama sekali tidak berkedip. Waduh, mata jadi perih. Mereka... mereka tidak akan balik lagi kan?”
“Aku juga terlalu takut sampai tidak berkedip...”
Dua gadis itu mengusap mata mereka berulang-ulang, lalu ambruk duduk di tanah seperti Jiaming. Beberapa saat kemudian mereka mulai terisak pelan. Dongfang Wan berkata: “Akhirnya mereka kabur. Aku... aku sangat takut...”
Saat matahari terbenam, ketiganya akhirnya keluar dari pekarangan villa. Berjalan di sepanjang jalan, Dongfang Wan mulai bersemangat: “Tak disangka kita bertiga bisa mengusir dua ekor Anjing Neapolitan Mastiff Italia! Luar biasa! Ngomong-ngomong Yiting, jangan takut. Urusan geng Yong Sheng serahkan padaku. Kali ini aku akan pulang dan bawa bala bantuan. Masak sih geng kriminal kecil berani melawan keluarga kami? Tenang, malam ini juga kita selesaikan masalah ini!”
Baru saja melewati kesulitan bersama, hubungan Dongfang Wan dengan Xu Yiting kini sudah jauh lebih akrab. Saat Xu Yiting mengucapkan terima kasih dengan haru, Dongfang Wan berkata pada Jiaming yang terlihat tidak fokus: "Gu Jiaming, kau lihat kan? Kita berhasil mengusir anjing Neapolitan Mastiff! Semua ini karena kita bertiga menakuti mereka bersama-sama. Sekarang kau paham manfaat memiliki kawan, kan? Haha, kita hebat sekali..."
"Tidak terasa." Dongfang Wan yang menatap penuh harap seolah mendorong Jiaming untuk memujinya, hanya mendapatkan gelengan kepala dingin. Jiaming berkata, "Aku hanya merasa kalau bersamamu selalu ada masalah. Bisa-bisa nyawa taruhannya. Ternyata... lebih baik aku sendirian. Lain kali jika bertemu, jangan sapa aku. Kalau ketemu di jalan, pura-pura tidak kenal. Terima kasih. Aku pergi dulu. Terima kasih atas niatmu hari ini untuk mengorbankan diri melindungiku kabur..."
Usai mengucapkan itu, ia melambai dan berjalan ke sisi lain jalan. Motor toko bunga masih terparkir di tempat itu, harus diambilnya. Ia hanya berharap tidak ada yang menunggu di sana.
"Hei, Gu Jiaming!" Menghentakkan kaki keras-keras, mata memerah Dongfang Wan menyaksikan bayangan Jiaming yang menjauh dingin. "Kita sudah melewati kesulitan bersama, bagaimana bisa kau begini! Gu Jiaming, kau bajingan!"
## Bagian ke-109 Tahun 1997, Salju Berterbangan
Di luar jendela terhampar kegelapan malam yang hitam pekat. Pada layar komputer, deretan data mengalir tak henti. Di dalam ruangan sederhana, Fang Guolin duduk di depan komputer sambil mengerutkan kening merenung. Beberapa saat kemudian, ia mengeluarkan buku catatan dan mencatat beberapa hasil pengamatan terbaru.
Target Nomor Satu: Gu Jiaming. Secara eksternal menunjukkan sifat penyendiri dan dingin, mungkin terkait masa kecil yang dialaminya. Namun memiliki kualitas diri yang luar biasa di berbagai aspek, kemampuan fisik yang prima, serta menguasai komputer melalui belajar mandiri. Analisis terhadap soal ujian berbagai mata pelajaran sebelumnya, dipadukan dengan observasi terkini, menunjukkan jiwa yang matang dan sombong. Memendam kebencian terhadap seluruh anggota keluarga Huang, sehingga meski berkemampuan tinggi, sengaja mendapat nilai rendah. Perilakunya mulai menunjukkan kecenderungan ekstrem. Saat ini telah dikonfirmasi tinggal bersama dua remaja putri Ye Lingjing dan Liu Huaisha dengan hubungan harmonis, aktif mencari pekerjaan paruh waktu, menunjukkan kerinduan akan kemandirian.
Namun meski banyak perilaku terkesan matang, emosi kesombongan yang masih kekanak-kanakan dan egosentris tetap terlihat ketika ia dalam kondisi emosional. Peristiwa bola basket merupakan contoh pertama, sedangkan tindakan langsung pergi setelah gagal menghentikan invasi di perusahaan jaringan Descartes menjadi contoh kedua.
……Menggigit ujung pulpen, dia melotot dengan mata besar yang berlinang-air ke luar jendela, teringat pengamatannya tentang situasi Gu Jiaming, anak laki-laki yang tinggal bersama dua perempuan. Tanpa sadar ia mengangkat bahu, terlihat bingung sekaligus geli. Pada akhirnya, dia hanyalah seorang gadis berusia 17-18 tahun. Meski setelah bergabung dengan [] telah menyaksikan banyak kasus poligami terselubung, situasi seperti ini biasanya hanya terjadi ketika prianya luar biasa berbakat, kaya atau berkuasa. Hubungan semacam itu sulit dikatakan berbasis cinta sejati. Karena itu, keadaan bertiga di depannya benar-benar di luar pemahamannya.
Pemuda bernama Gu Jiaming ini tidak bisa dibilang tampan, juga tidak punya kekuasaan atau harta. Namun dua gadis di sisinya sungguh luar biasa. Sekalipun ketiganya tinggal bersama karena persahabatan sejak kecil, tetap mengherankan mereka bisa rukun setelah terjadi hubungan fisik. Terutama perhatian timbal balik yang mereka tunjukkan, perasaan menyatu bagai satu tubuh, membuatnya tak bisa tidak merasa kagum. Di hati kecilnya muncul kekhawatiran: Begitu terjun ke masyarakat, akan jadi seperti apa akhirnya ketiga orang ini?
Pada akhirnya, [] bukan organisasi yang mengadili moral, tidak akan ikut campur dalam hal-hal seperti ini. Setelah merenung sejenak, di bagian analisis Gu Jiaming dia menambahkan catatan: Kemungkinan koneksi dengan TULIP: Belum ada.
Membalik halaman berikutnya catatan, pada rekaman target kedua terpampang mengejutkan tertulis: Fu Yanjie, menguasai teknologi peretas tingkat tinggi, merupakan pemimpin organisasi kriminal peretas "Superman Pelangsing" di Kota Jianghai...
Berulang kali memeriksa hal-hal ini, berusaha menemukan jejak-jejak mencurigakan, tiba-tiba telepon di meja berdering. Ia mengangkat receiver: "Halo... Oh, Kakak Guohua, Ya, sementara belum ada hasil..."
"Tenanglah, Guru dalam keadaan baik. Beliau baru berencana mulai merekrut murid di Akademi Hati Kudus... Hehe, tentu bukan melatih agen rahasia, kali ini Guru murni hanya mengajar seni bela diri. Ngomong-ngomong, aku juga ingin tinggal di sini untuk belajar dari Beliau..."
"Hmm, benarkah? Begitu cepat memutuskan... Baik, besok aku akan segera berangkat... Akhirnya menunggu kesempatan untuk bertindak terhadap Pei Luo Jia, Kakak Guohua kalian harus menungguku ya..."
Malam itu ketika kembali ke toko bunga mengendarai motor sudah masuk waktu makan. Dua perempuan muda sudah cemas menunggu, khawatir terjadi sesuatu. Nyonya pemilik toko bunga tidak terlalu mempersoalkan ketidakhadirannya. Namun setelah mendengar insiden Jiaming dkk. dengan geng kriminal, ia sangat khawatir dan berulang berkata "Yang penting pulang selamat". Jiaming yang masih mengenakan seragam toko bunga sempat khawatir para preman akan mengganggu Toko Bunga Xinxin. Tapi dipikir-pikir dengan campur tangan keluarga Dongfang, seharusnya Geng Yong Sheng tidak berani lagi membuat ulah.
Malam itu, Dongfang Wan memanggil seorang kepala pelayan dari keluarganya, lalu mengerahkan beberapa anggota untuk menemani Xu Yiting ke markas besar Yong Sheng Bang. Prosesnya tidak jelas bagi Jiaming, namun setelahnya masalah pun berhasil diredam. Di rumah, Jiaming bercerita pada dua MM tentang kegagahannya mengusir dua anjing besar dengan Niat Membunuh. Akibatnya, keduanya ingin melihat seperti apa wujud Niat Membunuh itu. Jiaming mengernyitkan alis dan marah-marah selama setengah hari, tapi tak juga berhasil. Akhirnya Lingjing dan Shasha terguling tertawa di ranjang. Jiaming langsung menyerbu, menggantikan ekspresi dengan aksi. Baru berhenti ketika kedua MM itu merengek-rengek memohon ampun. Detail kejadian ini tentu tak pantas diceritakan pada orang luar.
Keesokan harinya di kampus, Dongfang Wan sepertinya sudah menyerah pada karakter Jiaming. Tak lagi mengganggunya. Beberapa hari kemudian, anggota klub basket sekolah datang ke kelas merekrut anggota. Huang Haobing langsung mendaftar. Satu-satunya orang lain di kelas yang masuk daftar klub basket adalah Jiaming yang hanya pernah menunjukkan kemampuannya sekali. Klub basket Akademi Hati Kudus sangat terkenal. Bergabung dianggap sebagai kehormatan besar bagi pencinta basket. Namun Jiaming menolak dengan alasan waktu terlalu berharga. Beberapa anggota klub basket membujuknya selama lebih dari 10 menit. Saat meminta bantuan Dongfang Wan untuk membujuk, gadis itu menolak dengan wajah pucat.
"Hmph, dia kan bintang besar. Aku tak sanggup mengaturnya!"
Beberapa hari kemudian di pagi buta, Jiaming baru saja duduk ketika Dongfang Wan mendekat dengan wajah dingin. Sebuah dokumen dilemparnya ke meja Jiaming.
"Aku cuma menyampaikan pesan dan barang dari sepupuku. Hmph, dari perusahaan jaringan Dika yang kau sebut tidak kompeten itu. Dia bilang kemampuan komputer kau sangat tinggi, ingin merekrutmu sebagai petugas keamanan jaringan paruh waktu. Ide bagus bisa didiskusikan dan diselesaikan bersama semua orang. Bantu online satu jam setiap hari, tidak perlu ke kantor. Saat perusahaan bermasalah dan membutuhkanmu, kau punya kewajiban membantu selama tidak mengganggu pelajaranmu. Karena ini paruh waktu, gajian tidak terlalu tinggi, 1.600 potong per bulan. Kalau tidak punya komputer bisa pinjam sementara dari kantor, tapi kau wajib merawatnya. Kalau rusak karena kelalaian atau kesengajaan, harus ganti rugi sesuai harga. Hmph, aku cuma penyampai pesan, kau tidak perlu bilang apa-apa padaku..."
"Ya, terima kasih." Terhadap Dongfang Wan, meski Jiaming tidak punya kesan baik, pada dasarnya juga tidak punya prasangka besar. Dia yang enggan terlalu dekat dengan orang lain selalu memperlakukan nona bangsawan ini seperti orang asing. Mendengar ucapan terima kasih Jiaming, Dongfang Wan tertegun sejenak, lalu berkata: "Aku tidak pernah membela kamu!" Pergi tanpa menoleh. Menanggapi jawaban ini, Jiaming menggelengkan kepala sambil tersenyum, lalu mengambil kontrak di meja dan mulai membacanya.
Beberapa hari kemudian, Jiaming membawa pulang sebuah komputer yang cukup bagus dari perusahaan jaringan, resmi menjadi anggota Jaringan Dika. Di waktu luangnya, dia membuat beberapa tambalan kecil yang tidak terlalu berlebihan dan mengunggahnya. Langsung saja semua anggota Jaringan Dika terkesan, Jiaming pun dianggap telah memenuhi kewajiban yang sepadan dengan gajiannya. Sesekali ia menjelajahi forum-forum komputer yang direkomendasikan anggota Jaringan Dika, dengan nada merendahkan menghabisi para idiot komputer yang dianggapnya kekanak-kanakan.
Namun, ID Jiaming adalah "Babi Putih Bangsawan" - hasil kreativitas Lingjing yang dimodifikasi jahil oleh Shasha. Dalam waktu singkat, nama "Babi Putih Bangsawan" menjadi entitas misterius dan kuat di kalangan komputer. Keahlian komputer Jiaming melampaui eranya lebih dari sepuluh tahun. Setelah beberapa waktu, ia kehilangan minat untuk berkomentar, bahkan akhirnya tak lagi membuka forum. Kemudian Lingjing dan Shasha mulai belajar komputer. Lingjing yang rajin terkadang membuka forum-forum ini, menanyakan masalah yang menarik perhatiannya kepada Jiaming, lalu sesekali memberi jawaban. Lambat laun, tersebarlah rumor di jaringan bahwa Dewa Komputer Babi Putih Bangsawan adalah perempuan. Tapi ini kisah lanjutan yang tak perlu dibahas sekarang.
Bulan November mulai, [] mulai memperlakukan Pei Luo Jia sebagai objek permusuhan. Meskipun belum ada deklarasi perang resmi, anggota Pei Luo Jia yang ditempatkan di Tiongkok telah mengalami pembersihan besar-besaran. Kabar tentang kolaborasi Dark Celeste dengan [] mulai terdengar samar, meski belum terbukti, namun Dunia Kegelapan sudah mulai tegang. Markas Jepang Pei Luo Jia mendapat tekanan dari berbagai sisi, meski gerak-geriknya tak banyak, tapi tetap saja belum banyak yang berani benar-benar memicu perang kegelapan skala besar.
Setelah Chen Guxia kembali dengan selamat, ia resmi menjadi pelatih klub bela diri Akademi Hati Kudus. Yahan pernah mengundang Jiaming dan lainnya untuk bergabung dengan klub bela diri. Namun karena kasus Lu Jianchuan dan Han Gangcheng, Lingjing dan Shasha sudah tidak punya kesan baik terhadap klub bela diri tersebut. Jiaming tentu saja tidak mau ikut. Adapun Tsukike Kaoru, secara alami mengikuti Jiaming. Kadang di tengah malam Jiaming membangunkannya untuk mengajarkan teknik MEMBUNUH, memaksanya mengulang terus hingga mahal dalam beberapa hari.
Setiap pagi, klub seni bela diri berlatih di lapangan. Jiaming dan tiga orang lainnya berlatih di sudut lain dengan berbagai aliran: Karate, Wing Chun, Tai Chi, Bagua. Sesekali ada anggota klub yang ingin menantang mereka. Setelah anggota pertama ditendang hingga terbang oleh Lingjing yang terlihat lemah, lalu Chen Guxia mengeluarkannya dari klub, praktik tantangan itu berhenti. Tapi kebencian mereka menumpuk. Tentu saja, tidak ada kebencian terhadap si cantik MM, semua kemarahan terfokus pada Jiaming. Jika pandangan mata bisa membunuh, Jiaming pasti sudah jadi bubur daging dalam satu pagi—alasan utamanya: gerakan bela dirinya terlalu kaku dibanding gerakan anggun si gadis cantik.
Chen Guxia kadang menyapa Jiaming saat latihan pagi, memuji esensi spiritual teknik beladirinya. Jiaming hanya membalas sekenanya. Di sela latihan, Jiaming mengajari Lingjing dan Shasha teknik pertahanan mematikan satu serangan, tapi tidak seketat saat melatih Yuechi. Teknik ini mungkin tak berguna menghadapi ahli sejati, setidaknya lebih baik daripada tidak sama sekali.
Di dalam kelas, Tsukike Kaoru seperti biasa sering tidak bisa menemukan alat tulis atau buku. Setiap kali ini terjadi, Jiaming dengan kekecewaan menyerahkan tas sekolahnya. Lingjing yang berprestasi akademik dan berbudi baik menjadi wakil ketua kelas, sering mengorganisir aktivitas kecil dan merancang papan buletin. Departemen yang dipimpin Dongfang Lu juga sering meminjam tenaganya. Karena sifatnya yang antusias, Lingjing jarang menolak permintaan ini. Meski secara resmi belum bergabung dengan, praktis statusnya hampir setara anggota. Namun dalam hati, ia secara bawah sadar membuat batas dengan Dongfang Lu. Setiap malam ia bermain piano selama lebih dari dua jam di Nordic Fantasy, kemudian dijemput pulang oleh Jiaming. Bagi gadis ini, ini pekerjaan maupun hobi. Zhang Jingfeng tetap menjaga kesopanan dan perhatian tanpa perilaku yang melewati batas.
Shasha masih mempertahankan sikap optimisnya, menjadi "kakak kepala" bagi semua perempuan di kelas. Sesekali main voli bersama teman, setelah pulang sekolah membantu di Toko Bunga Xinxin. Beberapa perabotan baru telah dibeli untuk kamarnya, ditempel wallpaper cantik, tapi masih ada perbedaan dengan kamar sempurna yang diimpikan dua MM ini. Revolusi belum berhasil, ketiganya terus berusaha masing-masing.
Komunitas kecil penyelamat dunia untuk sementara tidak memiliki aktivitas. Ruang kegiatan kecil yang dialokasikan kampus untuk lima orang hanya menjadi tempat kumpul saat jam istirahat. Yahan sesekali juga datang berkunjung. Saat cuaca mulai dingin, ia sering duduk di sini sambil menutup pintu dan merajut sweater serta sarung tangan, karena di kantornya sendiri sering diganggu orang. Xu Yiting tetap pendiam, menjaga kesopanan dengan keempat anggota komunitas lainnya. Karena masalah sebelumnya diselesaikan oleh Dongfang Wan, ia menjadi lebih akrab dengannya. Ketika bertemu di kampus, mereka kerap mengobrol sambil tersenyum lama. Hubungannya dengan "sepupu" Jiaming justru renggang, hal ini wajar adanya. Shasha kadang berprasangka jahat: "Jangan-jangan dia mata-mata yang dikirim Dongfang Wan ke komunitas kita."
Waktu berlalu dalam suasana demikian, memasuki tahun 1997. Suatu pagi di akhir Desember, Jiaming membuka mata dari selimut hangat. Di luar jendela, salju bertebangan membentuk hamparan putih...
## Bagian Keseratus Sepuluh Teori Mekanik Gaya Jiaming
Pagi-pagi buta, salju lebat seperti bulu angsa masih terus turun, Kota Jianghai diselimuti putih. Di tempat yang dilalui mobil penyapu salju, jalanan terlihat seperti disikat hingga bersih, tapi tak lama kemudian tertutupi salju tipis lagi. Di gerbang Akademi Hati Kudus, mobil tua Yahan mogok di salju. Kap mesin sudah terbuka, Xu Mo memegang berbagai alat perbaikan, dengan penuh semangat memamerkan keahliannya memperbaiki mesin yang mengeluarkan asap putih di depan Yahan yang mengenakan jas hujan krem sambil mengerutkan kening berusaha mencegahnya.
"Guru Xu, sudahlah, benar-benar tidak perlu diperiksa lagi. Lagipula ini mobil tua, biar kupanggil orang untuk menariknya. Sungguh tidak perlu diperbaiki."
"Tenang, tenang. Soal mesin aku ahlinya." Xu Mo tersenyum menghibur, "SEKARANG JUGA akan ketemu masalahnya. Kasih aku lima menit... Ah, tiga menit saja."
"Hmm, kalau... Begitu, baiklah. Aku serahkan pada Guru Xu."
Dengan kekecewaan, Yahan mengangkat mata putihnya, lalu menghadapi satu per satu mahasiswa yang lewat dengan wajah perawan tua. Terutama pada rombongan yang masuk gerbang kampus dengan mobil mewahnya. Siapa yang berani tertawa, dicatat dulu di hati, nanti di kampus akan dihajar pelan-pelan. Baru sekarang dia agak menyesal kenapa sengaja pura-pura sederhana, mengambil mobil hampir rongsokan dari keluarga, bahkan pura-pura kasih uang "beli mobil" ke Kepala pelayan. Benar seperti kata Jiaming: "B" kena hukum karma. Sekarang Xu Mo si orang ini dapat lagi kesempatan mendekat.
Setelah berbagai hal yang terjadi di Kapal Pesiar Star Dream, awalnya Xu Mo mengira Yahan sudah mengandung anak Jiaming, sehingga hatinya sangat terluka. Namun setelah merenungkan kejadian tersebut, dia baru menyadari betapa bodohnya dirinya. Bagaimanapun, sebagai putri Keluarga Zhang dan perempuan jenius lulusan luar negeri, mana mungkin Yahan menyukai seorang bocah lelaki? Jelas-jelas ini karena dia sedang tidak waras saat itu. Perasaan antara mereka, dari sudut pandang mana pun dianalisis, hanya mungkin merupakan perasaan kakak-beradik. Terutama seiring berjalannya waktu, perut dan kondisi tubuh Yahan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan, membuatnya semakin membenci diri sendiri yang benar-benar "kemasukan air" di otak.
Oleh karena itu, dalam beberapa waktu terakhir ini, dia melakukan pemeriksaan diri yang mendalam kepada Yahan atas kebodohannya sebelumnya, kemudian melanjutkan rencana panjangnya "cinta sejati terlihat seiring waktu". Karena berada di kampus yang sama, tentu mereka tidak bisa benar-benar bermusuhan. Di permukaan, Yahan berkata "tidak apa-apa, kita akan tetap berteman selamanya", namun diam-diam mengeluh: "Orang ini mulai lagi... Ya Tuhan."
Terutama ketika mobil kecil ini mogok, Xu Mo yang sedang sarapan di luar kampus langsung bergegas datang. Di hatinya, ini dianggap sebagai takdir, sementara Yahan dalam hati sudah berteriak "jalan sempit untuk musuh".
Setelah memeriksa selama dua menit di bagian depan mobil, Xu Mo membungkuk melihat sasis mobil. Yahan membuka mulut lebar: "Eh... Guru Xu, jangan-jangan mau masuk ke bawah mobil untuk diperiksa? Sekarang tanahnya... Lebih baik saya panggil derek saja..."
“Tidak perlu tidak perlu tidak perlu.” Xu Mo buru-buru menghentikan, bawah tanah dipenuhi salju, meski ingin menunjukkan kesan baik, tentu saja mustahil benar-benar berbaring di bawah mobil, menggelengkan tangan sambil berkata, “SEKARANG JUGA selesai SEKARANG JUGA selesai.” Yahan memandanginya dengan kekecewaan sambil ia sibuk naik turun, tiba-tiba suara terdengar dari kejauhan: “Bu Guru Zhang!”
Di kampus ini, tak banyak yang berani menyapa Yahan secara Inisiatif. Menoleh ke sumber suara, terlihat di seberang jalan seorang perempuan cantik dengan syal biru-abu-abu melambai-lambaikan tangan. Jas hujan putihnya, sepatu bot kulit merah penghangat, pipi merah merona sangat mencolok. Syal yang sedikit usang justru menambah kesan hangat. Itulah Lingjing yang selalu lembut dan anggun. Di sampingnya, Shasha dengan jas hujan hitam ketat menghembuskan uap putih sambil mengangkat tangan. Jiaming yang sedang membeli sarapan agak di belakang, memandangi Xu Mo yang sibuk dengan tatapan mengejek.
“Kakak Yahan, mobilnya rusak?” Mendekat, Lingjing dan yang lain tentu mengganti penyebutan. Yahan mengangkat bahu pasrah: “Iya, tiba-tiba mati mesin, bikin kaget. Hampir nabrak orang juga. Mobilnya terlalu tua, harus ganti yang baru.”
“Ya, ya, memang harus ganti mobil.” Saat Lingjing dan Shasha mendekat untuk melihat mesin dalam mobil, Jiaming yang menyusul berkata sambil tersenyum, “Mesinnya sudah tua, tangki bensin sudah tua, busi sudah tua, rem, kopling juga tua, bahkan AC-nya pun sudah tua. Aku berani bertaruh sejak pakai mobil ini kamu hampir tidak pernah merawatnya, kasihan mobilnya... Mobil ini lebih baik dijual padaku, kebetulan aku punya simpanan ribuan keping uang lho.”
“Mati saja, ribuan keping mau beli mobil?” Melihat ekspresi Jiaming yang ingin mengambil keuntungan, Yahan tak bisa menahan tawa, “Tapi memang jarang dirawat, dulu di rumah yang merawat selalu para kepala pelayan, mana ada waktu buatku.”
“Cih, kamu cuma malas saja...”
Keduanya saling mengangkat mata, kemudian Yahan menurunkan suaranya, “Hei, kamu bisa memperbaikinya tidak? Kalau bisa, tolonglah.”
“Benarlah kata ‘Hati wanita paling beracun’.” Jiaming berbisik penuh hinaan, “Dia sudah berusaha keras memperbaiki untukmu, kamu malah mau ancam dia dengan cara begitu. Lagipula aku ini anak kecil, masa kamu kira dia akan cemburu padaku dalam hal begini...”
“Biarkan dia Mati! Pokoknya kamu terus ancam saja sampai dia merasa inferior dan tidak berani muncul lagi di hadapanku... Hehe, Guru Xu, sudah selesai?”
Melihat Xu Mo menoleh kembali, ekspresi wajah Yahan berubah seperti cuaca di bulan Juni—sedetik sebelumnya masih gemuruh, tiba-tiba cerah berkilauan. Senyum cemerlang yang lama tak terlihat ini jelas membuat Xu Mo merasa malu, lalu ia mengayunkan tangan: "Eh, sepertinya ini bukan masalah kecil. Mungkin ada kerusakan pada transmisi, atau masalah pemisahan kopling dalam torque converter, plus busi juga bermasalah. Mobil ini terlalu tua, mungkin benar-benar perlu ditarik derek..."
Setelah mengucapkan ini dengan wajah kikuk, Yahan justru tak ambil pusing. Ia menepuk bahu Jiaming: "Baiklah, persiapkan derek... Ngomong-ngomong, Jiaming, bukannya tadi kau bilang mungkin punya solusi?"
"Uh, aku cuma bercanda." Ekspresi Jiaming polos tak bersalah.
"Sudahlah! Pokoknya mobil tua ini sudah hancur. Coba saja, coba saja!"
Yahan terus mendesak Jiaming untuk bertindak, sementara Xu Mo semakin tersipu. Dalam hati ia bergumam: 'Aku saja tidak bisa memperbaikinya, masa kau suruh anak kecil?' Di sampingnya, Shasha tertawa: "Yang benar? Jiaming bisa memperbaiki mobil?"
"Tidak. Tapi memperbaiki mesin itu soal pengalaman." Jiaming mengangkat bahu, "Masih ingat TV tua keluarga Lingjing dulu? Kalau layarnya bergaris-garis, cukup ketuk pakai tangan. Kalau rusak lagi, ketuk lagi. Bukannya ada filsuf yang bilang: Mesin itu benda yang akan baik-baik saja kalau ditendang sekuat tenaga? Mobil dan TV mungkin prinsipnya sama. Haha..."
Idiot...
Melihat keluguannya, Xu Mo mengangkat mata putihnya, Yahan membuka mulut lebar, Lingjing dan Shasha terus tertawa. Ketika Jiaming mengambil sepotong batu bata hijau di pinggir jalan, kedua cewek itu yakin dia sedang iseng dan buru-buru menghalangi: "Hei, jangan! Ini mobil, kalau rusak kita tidak bisa ganti." Beberapa saat kemudian, di depan kerumunan orang yang terdiam, Jiaming memukuli mesin mobil dengan batu bata itu hingga berbunyi "Boom! Boom! Boom!", lalu berkata puas: "Hmm, coba starter sekarang."
Meski dalam hati menganggap Jiaming hanya bercanda, Yahan ragu-ragu masuk ke mobil. Xu Mo memandang sinis kejadian ini. Tapi karena murid ini adalah adik Yahan, dia tidak bisa menunjukkan penghinaan. Saat membuka mulut menghembuskan nafas panas, tiba-tiba mobil tua itu menyala dengan suara "Huu! Huu! Huu!", melaju mulus beberapa meter lalu mundur lagi. Mulut Xu Mo yang terbuka tak kunjung menutup lama sekali. Tak lama, Jiaming dan yang lain tertawa-tawa masuk mobil kecil. Yahan menyembul dari kursi pengemudi: "Masih ada tempat duduk belakang, Pak Xu Mau ikut?"
"Eh, eh... Tidak perlu, aku... sarapanku belum habis..."
"Oh, terima kasih ya, dah."
Mobil kecil menggilas salju, meninggalkan bayangan Xu Mo jauh di belakang. Tak lama kemudian, dari gerbong terdengar tawa tertekan Yahan: "Hehe... Aku yakin sarapannya sudah membeku jadi es, wkwkwk..."
“Dalam tawa penyihir, hari baru pun tiba lagi.”
“Nanti sore, salju mulai mereda sedikit. Di depan papan pengumuman luar area pengajaran, beberapa mahasiswa sedang sibuk menulis dan menggambar. Lingjing berdiri di atas sebuah kursi, sesekali menghembuskan napas ke tangannya, lalu memegang kapur dan penggaris kayu untuk menggambar kerangka dan pola pameran. Beberapa saat kemudian, seorang teman sekelas perempuan di sebelahnya berdecak kagum: 'Wow, Lingjing, gambarnya cantik sekali.'”
“Hehe, terima kasih.”
“Ngomong-ngomong Lingjing, kau juga jago menyanyi dan menari, bisa main piano, organisasi dan perencanaan juga hebat. Kenapa tidak mau bergabung dengan departemen kami?”
“Hah, sebenarnya aku tidak terlalu bisa menyanyi atau menari. Tidak pernah belajar formal. Waktu kecil menari itu cuma mengikuti gerakan yang sudah diatur guru. Bahkan gerakan dansa paling dasar di pesta pun tidak kuasai. Lagipula masih banyak hal lain yang harus kukerjakan. Kalau ikut, pasti akan menyita banyak waktu.”
“Tapi bukankah sekarang kau juga sedang membantu kami?” Teman sekelas itu tersenyum, lalu berbisik penasaran, “Lingjing, jujur saja... apa kau sudah punya pacar?”
Wajah Lingjing memerah. Beberapa saat kemudian baru mengangguk: “Iya.”
“Siapa?”
“Rahasia~”
“Jangan-jangan anak laki-laki yang sering bersamamu itu? Hmm, sepertinya bukan. Sudah lama kami amati, pacarmu ini benar-benar tersembunyi... Apa dia bukan dari kampus kita?”
“Eh?” Lingjing terkejut sejenak, lalu tertawa geli, “Kenapa tidak mungkin Jiaming?”
“Karena dia sama sekali tidak menonjol, menurutku kalian hanya teman baik sejak kecil saja, ya, seperti teman yang tumbuh bersama tanpa curiga. Aku baca di buku, teman seperti ini tidak akan saling menyukai.”
Perempuan ini berbicara penuh gosip, Lingjing hanya tersenyum kecil. Di sisi lain, Dongfang Lu mendekat sambil membawa kotak hadiah kecil, tersenyum: “Wah, kalian lagi-lagi merekrut Lingjing sebagai 'pemuda'. Tapi kebetulan ada sesuatu untuk Lingjing, sebagai apresiasi atas bantuannya pada departemen selama semester ini. Ini sedikit hadiah dari kami, harap diterima.”
“Eh, ini... tidak baik.” Tak disangka Dongfang Lu memilih momen ini untuk memberi hadiah. Orang-orang sekitar memandangi mereka seperti tokoh utama. Karena sikapnya yang terbuka, Lingjing tak bisa langsung menolak. Dongfang Lu tertawa: “Tenang, ini bukan hadiah pribadi. Ayo, terimalah.” Ia menarik tangan Lingjing untuk menyerahkan hadiah. Lingjing meronta seperti tersengat listrik, mengerutkan kening, tapi akhirnya tidak melepaskan diri. “Ya... terima kasih.”
“Ngomong-ngomong, besok Malam Natal, Lingjing ada acara?” Hatinya berbunga-bunga. Ia tahu gadis ini tipe tradisional yang tidak bisa didekati terburu-buru. Makan harus sesuap demi sesuap, urusan harus selangkah demi selangkah. Kesabaran adalah senjatanya. Sekarang, langkah pertama menuju sukses telah dimulai.
## Bagian ke-111 Malam Natal Masing-Masing
"Malam Natal?" Lingjing mengedipkan matanya mendengar pertanyaan Dongfang Lu, "Besok malam aku harus kerja paruh waktu, lagipula kami memang tidak pernah merayakan Malam Natal."
"Oh." Dongfang Lu tersenyum kecewa, "Hmm, sayang sekali. Sebenarnya personel departemen kami sudah merencanakan makan bersama dan ingin mengajak Lingjing. Sekarang..." Dia mengangkat bahu. "Lupakan, yang penting pelan-pelan. Pasti ada kesempatan lagi." Namun mata Lingjing tiba-tiba berbinar mendengar perkataannya.
"Makan bersama! Kalian sudah menemukan tempat? Restoran kami juga sedang mengadakan pesta prasmanan Natal kolaborasi dengan hotel lho!" Pikirannya langsung menghitung komisi 10% untuk personel internal yang mengajak tamu. Departemen yang terkenal kaya raya dengan 20-an anggota, perhitungan 500 rupiah per orang bisa menghasilkan komisi lebih dari seribu! Dengan semangat ia mulai mendeskripsikan ke Dongfang Lu: "Ada salmon, lobster bakar, foie gras, barbekyu ala Amerika, lengkap dengan live band! Di akhir ada undian hadiah utama, setiap..."
Di sini ia mengacungkan lima jari, ragu sebentar: "Lima ratus per orang... Tapi pasti worth it kok!"
Melihat Lingjing yang biasanya pendiam tiba-tiba riuh melakukan promosi, orang-orang di sekitar merasa agak aneh. Tapi karena Lingjing memang cantik, dengan pipi merah merona dan ekspresi penuh harapan yang sangat menggemaskan, tak banyak yang memikirkannya. Dongfang Lu yang berasal dari keluarga berpengalaman luas, paham bahwa staf hotel biasanya mendapatkan komisi dari tamu yang mereka bawa. Melihat tingkah Lingjing, selain mengagumi, ia juga heran: Jangan-jangan dia sedang kekurangan uang? Lalu tersenyum: "Heh, kupikir tak ada yang bisa menolak deskripsi darimu, Lingjing."
……
Membawa kotak hadiah kembali ke kelas, dengan cek jutaan yuan di saku, rasanya senang sekali. Ada lebih dari seribu yuan miliknya sendiri, barang-barang di rumah masih kurang. Sejak kerja paruh waktu di toko bunga, melihat teknik motor Jiaming yang mahir, kedua gadis ini jadi suka sesekali jalan-jalan. Mereka pun berencana membeli motor cantik. Setelah menanyakan harga, ketiganya harus menabung selama satu dua tahun. Tapi yang penting punya target, proses mendekati target sedikit demi sedikit justru yang paling menyenangkan.
Belum sempat duduk, Xiao Li si teman sebangku sudah menghampiri dengan wajah penuh kagum: "Wah, ada yang kasih hadiah? Apa nih? Pasti dari cowok ganteng ya?" DIA langsung ingin membuka hadiah itu untuk memuaskan rasa ingin tahunya.
“Hah, ini tunjangan dari departemen siswa, katanya terima kasih atas bantuanku selama ini. Kau mikirin apa lagi sih?” Lingjing tersenyum kesal melihat ekspresi temannya, lalu menyimpan tas kecil berbulu halus berisi alat di pinggangnya ke dalam laci.
Xiao Li menopang dagunya sambil tertawa: "Departemen siswa, wah, itu Jalan Timur ya?"
"Iya."
"Wah-wah, Lingjing. Jalan Timur loh. Beberapa kali yang datang cari kamu juga dia. Sekarang ngasih hadiah lagi, menurutku..." Suara Xiao Li tiba-tiba berbisik seolah membicarakan hal penting seperti invasi alien ke Bumi, "Jangan-jangan dia suka sama kamu?"
"Ngawur aja! Sudah kubilang ini tunjangan. Aku kan sudah bantu mereka banyak. Wong kalau nggak ambil manfaat juga nggak enak." Sambil tersenyum, Lingjing membuka pita dan kertas pembungkus, lalu membuka kotak merah cantik. Di dalamnya terpasang sepasang sarung tangan kulit putih yang terlihat sangat mewah. Xiao Li langsung mengambil satu untuk dicoba, lalu berdecak kagum: "Wah, hangat banget! Bagian dalamnya berbulu halus, nyaman dan pas di tangan. Lingjing, ukuran tangan kita sama persis. Senior Dongfang pilihannya jitu banget..."
"Yaudah, ini untukmu saja, anggap hadiah Natal." Melihat temannya yang riang gembira, Lingjing mengangkat bahu sambil menyodorkan kotak hadiah beserta sarung tangan satunya. Xiao Li berseru girang: "Beneran dikasih ke aku? Beneran dikasih ke aku... Tapi ini kan hadiah dari Senior Dongfang. Lagian sarung tanganmu juga sudah tua dan agak kecil..."
“Aku suka pakai yang ini sendiri.” Lingjing tersenyum sambil mengeluarkan sepasang sarung tangan rajutan putih dari kantong, memperlihatkan setengah jari. Meskipun dipakai tetap bisa main piano. Sarung tangan itu sudah agak usang, banyak benang yang keluar di berbagai bagian. Ini hasil rajutan tangannya sendiri dua tahun lalu, memiliki nilai kenangan. Shasha punya sepasang, Jiaming juga. Hanya saja tangan Jiaming tidak perlu pakai sarung tangan, selalu hangat seperti penghangat ruangan. Saat malam dingin nonton TV di sofa, kedua gadis biasa menggenggam tangan Jiaming sebagai penghangat, sementara tangan Jiaming selalu tak bisa diam bergerak-gerak... Memikirkan ini, Lingjing tak bisa menahan tawa.
Di samping, Xiaoli sudah mengalihkan topik: "Hmm, sebenarnya tidak apa kalau Lingjing tidak suka Senior Dongfang. Katanya banyak cewek yang naksir Senior Dongfang, seperti Senior Tan Suyan dari kelas tiga, bahkan Senior Dong Danwen yang disebut paling cantik se sekolah. Katanya mereka pernah bertengkar hebat..."
"Apakah Senior Dong Danwen benar-benar secantik itu?"
"Tentu! Lingjing belum pernah lihat dia? Aku sering lihat. Sepertinya hanya gadis Jepang di kelas enam bernama Tsukike Kaoru yang bisa menyaingi kecantikannya di angkatan kita. Ngomong-ngomong, Tsukike kan anggota klub kalian. Tapi Tsukike biasanya tidak berdandan, sedangkan Senior Dong Danwen setiap hari seperti bintang film. Tebak berapa harga minimal satu gaunnya?"
"Berapa?"
"Setidaknya tiga ribu yuan ke atas! Semua merek terkenal, sangat indah..."
"Wah..."
“Hal yang tidak terkait dengan diri sendiri, bagi Dongfang Lu juga tidak ada perasaan khusus, segalanya secara alami dianggap tak penting. Kabar dari jalan setapak ini didengarkan seperti berita hiburan selebriti. Dua remaja putri itu riuh di kursi mereka sesaat, Xiao Li sesekali mengangkat sarung tangan baru nan cantik, Lingjing masih memakai sarung tangan putih yang sudah usang itu, sesekali berdecak kagum. Di luar kelas, salju berjatuhan.
Tepat sehari setelah, tanggal 24 Desember, SMA Sacred Heart sebagai akademi Bangsawan dengan setengah investasi dari luar negeri hanya mengadakan kelas setengah hari. Nanti sore libur telah dimulai. Saat pulang sekolah siang itu, mobil kecil Yahan parkir di luar area pengajaran, menghadang bertiga yang baru keluar.
"Kebetulan hari ini libur, Malam Natal loh. Aku tahu kalian biasanya tidak merayakan. Aku juga tidak ada pekerjaan di sekolah. Malam ini mari makan di tempatku."
"Kakak Yahan tidak perlu pulang ke rumah?" tanya Lingjing.
"Ha, keluarga kami hanya merayakan Tahun Baru, bukan Natal. Meski pernah beberapa tahun di Inggris, tapi aku tidak terlalu memperhatikan Natal. Intinya hanya berkumpul bersama saja. Lingjing, apa malam ini kamu masih harus bekerja?"
"Aku harus bantu di sana nanti sore. Hari ini ada bayaran kerja ekstra." Lingjing tersenyum, "Tapi malam ini basically tidak perlu main piano. Karena kepala pelayan ada urusan mendadak, jadi manajer minta aku jaga sebentar. Kira-kira pukul sembilan bisa pergi. Nanti biar Jiaming yang jemput aku."
“Kalau begitu kita sepakat ya.” Untuk hal-hal kecil yang bersifat main-main seperti ini, ketiganya memang tidak terlalu memperhatikan. Selama Lingjing yang mengambil keputusan, Yahan tersenyum bahagia, "Jiaming, Shasha, nanti sore setelah makan siang aku akan jemput kalian. Pertama antar Lingjing ke restoran, lalu kita belanja bersama sore hari."
Meski terkesan santai, sebenarnya dia telah mempersiapkan Malam Natal ini sejak lama. Beberapa hari terakhir, selain mengarahkan para mahasiswa yang bodoh itu untuk mempersiapkan pesta Tahun Baru, waktunya hampir sepenuhnya dihabiskan untuk dekorasi Natal seperti pohon Natal dan lampu hias. Perasaannya terhadap Jiaming semakin sulit dipahami. Dia tidak tahu bagaimana hubungan Jiaming dengan dua gadis lainnya. Tidak bisa bertanya, tidak bisa menyelidiki, bahkan mulai takut untuk mencari tahu.
Seandainya yang dia sukai adalah seorang dewasa seusianya, mungkin dia sudah memberanikan diri untuk mengungkap semuanya. Tapi Jiaming bukanlah dewasa. Meski Jiaming sering bercanda menyebutnya sebagai calon istri yang dipelihara sejak kecil, kenyataannya tidak demikian. Jika hubungan cinta guru-murid seperti ini terungkap, di mana pun pasti dianggap sebagai tindakan menyimpang. Sebagai orang dewasa, dialah yang akan disalahkan. Orang akan bilang dia tak tahu malu menggoda muridnya sendiri. Terutama di keluarga yang masih konservatif, dia tidak bisa membayangkan dampak yang akan ditimbulkan.
Bergantung maupun cinta sejati, dia hanya bisa terombang-ambing dalam kekacauan, mempertahankan hubungan pertemanan yang terlihat terlalu ambigu ini. Di depan Jiaming, dia bisa melepaskan segalanya. Terkadang mereka bercanda layaknya saudara dekat, namun setelahnya dia akan merenung apakah tadi terlalu berlebihan - mungkin terpapar paha seksi atau dadanya tak sengaja tersentuh Jiaming. Lalu dia memikirkan apakah Jiaming punya keinginan terhadapnya.
Namun sesekali pengamatan rasionalnya menyadari: Fondasi Jiaming sama sekali tidak mengandung dorongan nafsu atau impuls di luar logika. Meski terkadang berpura-pura tatapan penuh nafsu, namun seberapa intim pun interaksi mereka, matanya tetap seperti mengamati model pakaian di TV. Dengan kata lain, pemuda 16 tahun yang matang ini sama sekali tidak memiliki keinginan jasmani terhadap tubuhnya.
Penemuan ini membuatnya sedikit bingung dan kecewa. Orang jahat itu selalu menyimpang dari norma, atau mungkin penyimpangan inilah yang menariknya, dengan mudah menghancurkan batasan usia. Kini dia hanya bisa menunggu kedewasaannya. Karena di sisinya sudah ada dua perempuan yang lebih cocok, mustahil dia akan memilih dirinya. Sebagai Yahan, dia sama sekali tidak berani membongkar hal ini. Dia hanya bisa berharap dia cepat dewasa. Mungkin dia akan menjalin hubungan murni dengan salah satu dari dua perempuan itu. Tapi proses pertumbuhan akan melalui banyak hal. Mungkin ketika segalanya telah matang, dia dan dirinya akan mendapat kesempatan. Sebelum itu, mereka hanya bisa berteman. Pertemanan yang dengan usaha satu pihak, seringkali bisa bertahan seumur hidup.
Hanya teman... Dengan sengaja melirik Jiaming, yang terlihat adalah wajah lesu tak bersemangat. Tiba-tiba dia merasa lucu. Mengapa dia menyukai anak kecil seperti ini? Tapi dia berpikir: Aku tidak banyak meminta, seperti ini saja sudah cukup...
Baru kemarin mendapat latihan dari Jiaming, mobil kecil yang melaju cukup stabil saat ini menuju luar kampus. Saat mobil itu menyalipnya, gadis berbaju tipis itu menghembuskan uap putih pelan di pinggir jalan, menatap salju tak berujung di langit dengan ekspresi datar. Tak ada yang tahu apa yang dipikirkannya. Berjalan di jalan setapak tepi jalan, keindahan dan kedinginannya bagai salju yang berjatuhan. Orang-orang hanya berani mengagumi kecantikannya dari kejauhan, hampir tak ada yang benar-benar berani mendekati untuk menyatakan cinta atau menunjukkan perhatian besar, karena di sekelilingnya, selamanya terpisah dari dunia ini oleh ruang hampa yang samar.
Setelah makan, kembali ke asrama untuk latihan empat jam. Sore nanti mungkin ada yang menelepon rutin untuk menyapa, lalu lanjut berlatih materi yang diajarkan Jiaming beberapa hari lalu. Tidur tepat pukul 10. Jika beruntung, Jiaming mungkin datang dini hari membangunkannya untuk simulasi pertarungan di salju. Tanpa terkecuali, dia akan terluka-luka - kadang sendi terlepas, kadang tertusuk belati hingga berdarah banyak. Tapi entah mengapa, setiap luka justru membuatnya merasa hangat, mungkin karena dia tahu luka-luka ini akan melindungi kehidupannya di kemudian hari.
Ini adalah Malam Natal sunyi milik Tsukike Kaoru. Jika harus menyebut harapan atau ekspektasi, dia berharap dia akan datang...
Sekitar pukul tujuh malam, beberapa mobil kecil membawa lebih dari dua puluh siswa SMA tiba di depan restoran Nordic Fantasy. Yang memimpin adalah Dongfang Lu dengan pakaian kasual dan senyum hangat. Mengikutinya turun adalah Dongfang Wan dengan setelan kulit hitam dan topi kecil yang membuatnya terlihat seperti gadis fashionable. Setelah masuk menggunakan tiket, mereka menerima nomor undian. Sekelompok orang tertawa membandingkan apakah nomor di tangan mereka beruntung. Sebenarnya hadiah tidak penting bagi mereka, yang utama adalah simbol keberuntungan.
Memasuki aula, sudah banyak tamu yang datang. Sambil bercanda dengan beberapa orang, Dongfang Lu melihat Lingjing berjalan di kejauhan aula dan mengayunkan tangan kanannya sambil tersenyum.
## Bagian Ratus Dua Belas Pesta Ria Jamuan
Di balik jendela kaca besar, salju putih berjatuhan tak berujung. Aula megah yang diterangi lampu gemerlap, aroma makanan menggugah selera, kerumunan orang yang berbincang, dan alunan musik orkestra. Duduk di sofa dekat jendela, Dongfang Lu memegang segelas anggur merah dengan piring kecil berisi makanan di depannya. Tentu saja dia tidak banyak makan atau minum, karena tujuan utamanya bukanlah untuk menyantap hidangan.
“Kenapa, Kak, merasa pesonamu terancam?” Meski saat ini Dongfang Lu duduk di sofa untuk dua orang, Dongfang Wan tetap memilih kursi kosong di sebelah saat mendekat. Setelah peristiwa Kapal Star Dream, hubungan kakak-beradik ini semakin dekat. Namun sebagai anggota keluarga besar yang sejak kecil tak terbiasa berakrab-akrab, mereka tetap tak bisa terlalu intim: “Nona Ye Lingjing itu baru saja menyapa lalu mengabaikanmu. Gimana nih? Kak, lebih baik kau ajak ngobrol saja.”
“Dia sedang sibuk, tak perlu diganggu.” Dengan senyum tipis, pandangan Dongfang Lu mengikuti bayangan gadis itu di kerumunan. Gadis enam belas tahun sebenarnya sudah hampir seperti dewasa. Mengenakan setelan jas yang menempel tubuh, Lingjing berlarian di aula dengan senyum manisnya. Kadang menunjukkan kelucuan khas remaja, kadang memancarkan kematangan yang berbeda dari teman sebayanya. Kematangan ini sangat berbeda dengan kematangan terencana yang dimiliki kakak-beradik Dongfang. Di balik kemandirian dan kedewasaannya, Lingjing masih menjaga kemurnian tertentu – inilah daya tarik terbesar yang memancar darinya.
Khususnya dalam pandangan Dongfang Lu, teman sebaya di sekitarnya tak lepas dari sikap kekanak-kanakan dan naif, terkadang bahkan cenderung menggelikan. Sedangkan orang dewasa, semuanya tergerus korosif masyarakat dengan kesibukan yang sia-sia. Saat mereka menjadi lebih cerdik, mereka juga kehilangan segala keindahan dalam diri. Oleh karena itu, semakin sering berinteraksi dengan gadis bernama Lingjing di sekolah, Dongfang Lu semakin merasakan daya tarik yang luar biasa besar. Ia adalah sebuah keajaiban.
"Kak, jangan kira berdiri menunggu di sini akan membuatnya datang sendiri. Kalau kau tidak mendekat... lihat itu? Si botak di sana, lalu pria ganteng di sebelah sana, masih ada lagi pria ganteng di situ. Mereka sudah mengincar malaikat kecilmu lama-lama. Kalau dia jatuh ke tangan orang lain, sudah terlambat untuk merebutnya kembali."
"Ah, jangan ngawur." Dongfang Lu tersenyum dingin. "Lagipula apa kau pikir teman sekelas Lingjing akan menyukai orang-orang vulgar sampai level ekstrem seperti itu?"
"Belum tentu." Dongfang Wan mengangkat mata putihnya, "Mereka yang bisa berteman baik dengan orang seperti Gu Jiaming, menurutku otaknya agak tidak normal. Jika dia berpotensi menjadi kakak iparku, tolong suruh dia menghilangkan kebiasaan itu dulu, ya?"
"Menurutku teman sekelas Gu Jiaming cukup baik. Aku mungkin bisa berteman dengannya. Lagipula dia pernah menyelamatkan nyawamu..." Tatapan Dongfang Lu tertancap lama pada adik perempuannya, "Seperti kata pepatah, semakin dalam cinta semakin keras teguran. Xiao Wan, dendammu yang begitu besar pada Jiaming, jangan-jangan kau sudah..."
"Cih, Mati! Sekalipun semua pria di dunia mati, aku takkan biarkan bajingan sinis itu jadi Adam-ku. Wajahnya mempermalukan, dibenci keluarga, cuma jago basket tanpa bakat lain, temperamennya juga Tidak baik, Wuih... Wuih... Wuih..." Menggelengkan kepala, Dongfang Wan berdiri, "Malas ngurusinmu. Burung murai bunga itu datang mengganggu lagi, aku minggat dulu... Si ganteng di sana. Aku harus menyelesaikannya dalam tiga menit..."
Melangkah dua li, Dongfang Wan menarik topi pipih hitam di kepalanya sambil membuat wajah hantu. Saat ini, dia bagaikan mutiara hitam paling memesona di ruang jamuan, memancarkan daya pikat yang penuh Dayang Sihir.
Keterampilan sosial sebenarnya memegang peran penting dalam bidang bisnis. Menyaksikan adik perempuan yang selalu "menggoda" orang asing di jamuan seperti ini sebagai latihan, Dongfang Lu tersenyum dengan kekecewaan. Kemudian, wanita cantik yang dijuluki "burung murai bunga" oleh Dongfang Wan duduk di sampingnya. Merasa sentuhan fisik, dia mengerutkan kening dengan halus lalu tersenyum: "Siswa Junior Danwen tidak ikut bermain?"
“Membosankan sekali.” Dengan anggukan bahu ringan, si cantik Dong Danwen tersenyum samar sambil menggigit anggur merah di bibirnya, elegan dengan sentuhan genit. Mungkin hanya di hadapan Dongfang Lu-lah dia menunjukkan senyuman seperti ini. Penilaian kampus terhadapnya bisa dirangkum dalam empat poin: dingin, cantik, angkuh, dan multitalenta. Selama satu setengah tahun terakhir, setiap acara seni kampus pasti menampilkan tarian pamungkas darinya. Bahkan di Kota Jianghai, dia bisa dianggap sebagai selebriti kecil. Meski berpenampilan polos dan tenang, Dongfang Wan langsung menangkap kesan pamer dalam dirinya, sehingga menyebutnya Burung Magpie Bunga.
“Bukankah Senior Dongfang juga tidak ikut bermain? Pesta Dansa ini benar-benar membosankan. Ingin sekali aku meninggalkan semua orang dan pergi.” Sebagai pria, saat si cantik menyindir seperti ini, jika dijawab “Ayo kita pergi bersama”, mungkin akan tercipta momen romantis bak kabur bersama. Apalagi di atas restoran ada hotel. Jika mencari tempat sepi, mungkin bisa ‘bersantai’ sampai subuh. Namun Dongfang Lu hanya tersenyum kecewa: “Tidak juga, menurutku di sini cukup baik. Tadi lelah bermain, duduk di sini pun tak apa. Jika junior Danwen lelah, lebih baik kusuruh sopir mengantarmu pulang. Nanti kujelaskan pada semua orang, aku yakin mereka takkan keberatan.”
Mendengar yang mengantar adalah sopir bukan Dongfang Lu sendiri, Dong Danwen mengangkat bahu: "Tidak perlu, karena kita main bersama, bagaimana bisa merusak semangat semua orang. Kalau Senior Dongfang juga sudah lelah, aku akan menemani Senior duduk di sini sebentar."
Meski fokusnya kali ini tertuju pada Lingjing, ditemani si cantik meski sedikit berpura-pura, bagi pria tetap tidak terlalu buruk. Setelah berbincang sebentar, Dongfang Lu tiba-tiba melihat dua orang yang duduk tak jauh, salah satu pria paruh baya itu juga menyadarinya dan melambai memberikan salam.
Membawa Dong Danwen mendekat, Dongfang Lu tersenyum: "Guru Zheng, kenapa tidak memberi tahu murid saat Guru datang ke Kota Jianghai? Hm, Danwen, ini adalah Guru Zheng Zepei, penulis lirik dan komposer terkenal dari Hong Kong. Ini juniorku Dong Danwen yang juga tertarik di bidang penulisan lirik."
Zheng Zepei berjabat tangan dengan Dongfang Lu sambil tersenyum: "Membahas lirik dan komposisi, dibandingkan Huang Lao, aku masih jauh ketinggalan. Dongfang, bukankah waktu ke Hong Kong kemarin kamu sempat ingin menemui Huang Lao? Waktu itu tidak ketemu, sekarang akhirnya ada kesempatan."
Setelah penjelasan, Dongfang Lu baru mengetahui identitas pria di sebelah Zheng Zepei. Saat itu perkembangan televisi belum maju seperti beberapa tahun kemudian, dimana tidak hanya bintang film dan penyanyi yang tampil di layar, tapi juga pencipta musik bisa muncul dari belakang layar ke depan panggung. Beberapa tahun terakhir perkembangan musik di Benua pada dasarnya dipengaruhi oleh Hong Kong dan Taiwan. Jika Zheng Zepei ini adalah musisi paling top di Hong Kong, maka Lao Huang di sampingnya adalah legenda di dunia musik. Banyak penyanyi yang menjadi terkenal lewat lagu-lagu karyanya. Mengetahui identitas kedua orang ini, gunung es bernama Dong Danwen meleleh dalam sekejap, jantungnya berdebar seperti drum yang dipukul di atas panggung.
Setelah percakapan antara empat orang, Dong Danwen berpura-pura antusias belajar dengan sesekali mengajukan pertanyaan. Di dalam hatinya berharap salah satu dari dua musisi ini bisa menuliskan lagu untuknya atau membawanya masuk ke dunia musik dan film. Zheng Zepei yang di seberang lebih cerewet. Konon tahun lalu Dongfang Lu berkunjung ke Hong Kong dan sengaja menemui Zheng Zepei, menunjukkan beberapa komposisi yang dibuatnya di luar jam sekolah. Zheng Zepei sangat memujinya, kemudian keduanya menjalin hubungan guru-murid. Sementara Lao Huang hanya mendengarkan sambil sesekali mengangguk, mengucapkan beberapa kata singkat seperti hemat keping emas.
Tidak lama kemudian, pembawa acara membawa sebuah bola warna-warni naik ke panggung tengah: "Nah, sekarang mari kita mulai program interaktif kedua hari ini. Siapa yang menangkap bola ini harus tampil di atas panggung, Bagaimana menurut kalian! Bagi yang ingin menunjukkan bakat menyanyi, menari, atau mengungkapkan cinta pada pacar dalam suasana paling romantis, segera ambil tindakan! Yang pertama, siapa mau? Kami punya iringan musik profesional, ada..."
Saat itu karaoke sedang populer di luar. Mendengar perkataan pembawa acara, beberapa pria-wanita yang percaya diri dengan suara mereka langsung mengangkat tangan, menciptakan suasana yang meriah...
Berdiri di tengah kerumunan, Lingjing melihat jam tangannya lalu memandang pemandangan salju di balik jendela kaca besar. Pukul delapan setengah, sebentar lagi Jiaming akan datang. Ia sudah berjanji pada manajer bisa pergi pukul sembilan. Mengingat acara kumpul-kumpul kecil yang akan diadakan di rumah Yahan, senyum tipis mengembang di wajahnya.
……
Byur! Di atas hamparan salju, ban sepeda tiba-tiba kempes.
Melihat jam lagi, pukul delapan lima puluh tiga. Jiaming mengerutkan kening. Jarak ke Nordic Fantasy sudah dekat. Ingat ada kios perbaikan sepeda tak jauh dari sini, tapi entah masih ada orang yang buka di tengah hujan salju ini. Lampu-lampu mobil berkedip di jalanan Kota Jianghai yang sebenarnya sebagian besar warganya tidak merayakan Malam Natal. Saat belok di tikungan jalan, dia baru lega melihat cahaya kuning keemasan masih menyala dari gubuk kecil tepi jalan.
"Shifu, ban belakang kempes. Tolong diperiksa."
"Siap!"
“Ha, ha.” Tukang reparasi sepeda berpakaian lusuh itu tersenyum sambil membaringkan sepeda. Dengan tangan besar yang merah dan pecah-pecah, ia mengangkat tong air yang dingin.
“Shifu, kenapa masih bekerja sampai larut malam? Hari ini sangat dingin lho.”
“Ah, haha, masa-masa sulit.” Tukang reparasi itu tertawa lepas, “Anak muda. Aku lihat pakaianmu tipis. Tunggu di toko belakang dulu, lima menit lagi selesai. Di dalam lebih hangat. Nanti aku panggil.”
“Hmm, baiklah. Terima kasih, Shifu.”
……
Pukul 8:59.
Lingjing melihat jam tangannya. Biasanya Jiaming datang lebih awal, kenapa sekarang belum muncul? Hmph, nanti akan sedikit menyusahkannya karena telat. Dengan manis, Lingjing mengerutkan hidungnya membuat keputusan.
Saat menoleh ke panggung, Dongfang Lu yang penuh wibawa naik sambil memegang bola warna-warni. Dengan elegan ia mengayunkannya beberapa kali, lalu mengambil mikropon.
“Erm... Saya akan membawakan lagu ciptaan sendiri sebulan lalu tahun kemarin, untuk seorang perempuan di sini. Partiturnya sudah saya bawa. Saya ingin mengundang pendamping piano. Hehe, para musisi ganteng dan si cantik di panggung ini sudah bekerja keras, mungkin mereka perlu istirahat sebentar...”
Di bawah panggung, Dong Danwen sudah berdiri sambil tersenyum.
“... Teman sekelas Ye Lingjing, maukah kamu menjadi pengiringku?”
Senyum Kaoru Danwen membeku tiba-tiba di wajah. Lingjing terkejut sejenak: "Eh... aku?" Kemudian tersenyum dan melambaikan tangan, "Aku tidak bisa. Aku belum lama belajar piano, dan..." Ia menggelengkan kepala. Mencoba mencari bayangan Jiaming di luar, tapi tidak ditemukan. Tak lama kemudian, Zhang Jingfeng mendekat sambil tersenyum: "Lingjing, meski sudah pukul sembilan, tapi karena Jiaming belum datang, dan mereka meminta kamu untuk mengiringi, naiklah sebentar ke panggung."
"Eh... baiklah." Dia tersenyum dengan kekecewaan, "Kalau permainanku jelek, jangan marah ya."
Beberapa saat kemudian, melodi penuh perasaan mulai terdengar di lokasi acara...
……
Memasukkan sepasang sarung tangan putih murah ke kantong pengepungan, Jiaming keluar dari toko di belakangnya.
"Sudah selesai, Shifu? Berapa uangnya?"
"Sudah, sudah. Dijamin tidak bermasalah. Satu yuan."
"Oh, ini. Terima kasih."
"Haha, tidak apa-apa. Anak muda, kendarai dengan hati-hati."
"Hmm, sampai jumpa."
Melambaikan tangan, Jiaming mengayuh sepedanya menuju jalan samping. Sekitar lima menit kemudian, tiba di depan Nordic Fantasy. Dari dalam terdengar lagu yang tidak profesional namun berirama: "Dalam hidup ini, akan kujadikanmu segalanya milikku..." Jiaming tersenyum. Liriknya terdengar sangat langsung.
Melihat lewat jendela kaca besar, terlihat Dongfang Lu sedang bernyanyi di panggung bundar. Sikapnya yang selalu anggun, memegang mikropon dengan gaya profesional. Namun pandangannya terus tertuju pada... Lingjing yang sedang bermain piano di samping!
Cahaya lampu menyinari panggung, di atas panggung terdengar alunan musik dan nyanyian yang harmonis bak pasangan sempurna. Jiaming mengangkat bahu dengan pasrah, mendorong sepedanya menuju pintu restoran. Satpam yang mengenalnya menyapa: "Hai, Jiaming, lagi jemput Lingjing ya?"
"Iya, keluarga menunggu dia untuk makan siang. Boleh aku masuk?"
"Hehe, masuk saja masuk. Semua orang kan sudah kenal kamu. Sepeda taruh di sini, aku yang jaga."
"Baik, terima kasih."
……
Saat lagu berakhir, sorak sorai memenuhi ruangan. Zheng Zepei mengangguk puas dari kursinya sambil berbisik dengan Pak Huang. Seorang remaja 17-18 tahun yang bisa mengaransemen lagu sekualitas ini memang layak dipuji. Di tengah gemuruh tepuk tangan, Lingjing berdiri dan memberi hormat secara formula sambil tersenyum manis sebelum turun panggung. Dongfang Lu tiba-tiba memutar tangannya dan mengeluarkan sekuntum mawar indah: "Ini bunga yang kuambil diam-diam dari meja sana. Semoga restoran tidak menagih ganti rugi. Sebagai balasan karena Lingjing mau mengiringiku, kupersembahkan bunga ini untuknya... Lingjing, ini ungkapan terima kasihku, jangan ditolak ya."
Di bawah, wajah Dong Danwen memucat, sementara Dongfang Wan mengagumi cara kakaknya. Benar-benar metode yang bertujuan untuk membunuh dengan satu pukulan. Memandang bunga yang dihadapkan di depan mata, Lingjing ragu sejenak. Dongfang Wan sudah memulai sorak-sorai di bawah: "Terimalah! Terimalah! Terimalah! Terimalah..." Seketika, seluruh orang di ruang jamuan berteriak riuh. Dengan canggung memandang kerumunan di bawah, Lingjing menerima mawar itu, memaksakan senyum: "Terima kasih."
"Hehe." Mengetahui serangan terhadap Lingjing harus dilakukan perlahan, Dongfang Lu mengambil mikropon dan berjalan ke samping, "Lalu, siapa berikutnya? Biar saya lihat."
Di tengah kerumunan, Dong Danwen juga mengangkat tangan dingin-dingin. Dia tidak terima. Dongfang Lu tersenyum melempar bola warna-warni ke arahnya.
Lampu bergerak, lalu stabil di depan Dong Danwen. Terlihat seorang pemuda berbaju kasual dengan salju yang belum mencair di bahu dan sepatunya. Wajahnya sangat biasa. Saat ini dia memandang bola warna-warni di tangannya, garuk-garuk rambut dengan gelisah.
"Eh, tidak sengaja menerima. Kalau begitu... apa harus menyanyi?"
## Bagian Keseratus Tiga Belas Nyalip Zaman
"Eh, tidak sengaja menerima. Kalau begitu... apa harus menyanyi?"
"Melihat pemuda yang tiba-tiba muncul itu, Dong Danwen tertegun sebentar, Dongfang Lu juga tertegun, di tengah kerumunan Dongfang Wan tampak terkejut. Gu Jiaming, orang ini mau buat onar apa? Namun Lingjing di atas panggung membelalakkan matanya, mengayunkan bunga mawar di tangannya, berjalan mendekat ke arah sini. Setelah keluar dari radius lampu, barulah ia menusukkan bunga mawar ke vas bunga di tepi panggung sambil mengangkat mata putihnya: 'Kenapa baru sekarang datang?'"
"Ban mobil meletus di jalan, tertunda sebentar."
"Heh, kau bisa nyanyi? Aku belum pernah mendengarmu bernyanyi..."
"Ketika ada yang mengincar istriku, meski tidak bisa nyanyi tetap harus nekat maju..."
Saat berpapasan, mereka berbisik beberapa kalimat. Meski hanya sesaat, sikap mesra mereka jelas berbeda dengan tatapan yang mereka berikan ke Dongfang Lu. Setelah menyapa Dongfang Lu, Jiaming tersenyum mengambil mikrofon.
Sejak di kampus, mereka berdua hanya saling mengangguk. Dongfang Lu mengira Jiaming berpacaran dengan Shasha, jadi tidak ada permusuhan. Namun baru saja turun dari panggung, tiba-tiba terdengar suara Jiaming di atas panggung yang agak malu: "Eh, karena peserta sebelumnya menggunakan lagu ciptaan sendiri, lebih baik aku juga pakai karya sendiri. Ada kertas lima garis paranada yang masih kosong?"
Kalimat ini begitu terucap, suasana di bawah panggung mendadak hening. Di saat seperti ini mana mungkin menemukan partitur kosong? Lingjing sedang panik ketika Dongfang Lu tiba-tiba mengambil beberapa lembar dari Zheng Zepei. Lingjing buru-buru menyodorkannya, Jiaming mulai mencorat-coret partitur di piano dengan blek blek blek, lalu mengambil mikropon sambil tertawa: "Haha, baiklah. Ini adalah sesuatu yang kutulis beberapa hari lalu ketika dipaksa membaca novel roman oleh beberapa orang. Sebenarnya harus ada alat musik seperti pipa atau erhu yang dimainkan bersamaan, tapi jelas sekarang jumlah personel kurang. Jadi hanya pakai piano... eh, plus drum set..."
Mendengar sebutan pipa dan erhu, penonton di bawah tertanya-tanya apakah dia akan menyanyi opera Beijing. Lingjing sambil memandangi partitur yang sedang ditulis itu mengangkat mata putihnya, maksudnya "Aku dan Shasha mana pernah memaksamu baca novel roman?". Dongfang Wan yang berada di bawah panggung menyaksikan adegan ini, pikirannya justru melayang ke hal lain.
Di atas panggung pertunjukan seperti ini, tanpa sedikit pun ketegangan atau demam panggung, masih bisa berbicara dengan tenang—faktanya, sejak menginjakkan kaki di panggung, pemuda ini seolah berubah menjadi orang lain. Wajahnya yang biasa tetap sama, pakaian kasualnya pun sederhana, tapi harus diakui saat ini dia memiliki aura panggung yang lebih stabil dibanyak penyanyi atau bintang film yang pernah menjalani pelatihan khusus.
Tentu saja, mungkin juga karena dia memang dari sananya tidak punya perasaan, sehingga tidak ada yang bisa memberinya tekanan dahsyat...
Di sisi lain, Zheng Zepei yang memandangi pemuda di panggung itu tersenyum: "Kota Jianghai benar-benar menyimpan harimau dan naga tersembunyi ya, Lu Shao. Teman sekelasmu ini juga piawai menulis lirik dan komposisi musik?"
Dongfang Lu menatap Jiaming di atas panggung, lalu sedikit mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala dan tersenyum: "Heh, sebelumnya tidak pernah dengar dia bisa hal-hal seperti ini. Teman sekelas Gu Jiaming ini, sehari-hari memang lebih suka menjaga profil rendah..."
Dong Danwen di sampingnya berkata dengan dingin: "Jaga profil rendah apanya? Menurutku dia cuma mau buat onar." Setelah mengucapkan ini, dia tersadar bahwa sikapnya agak berlebihan. Setelah jeda sebentar, dia mulai bercerita tentang peristiwa pertarungan di kampus saat awal semester ke dua orang di hadapannya sambil memperlihatkan sikap marah yang dibuat-buat. Sejak tadi, dia sengaja tidak menghiraukan Dongfang Lu di sebelahnya. Namun Dongfang Lu sendiri tidak ambil pusing. Beberapa saat kemudian, Zheng Zepei menggelengkan kepala sambil tertawa. Sejak mendengar Jiaming mengatakan akan menggunakan pipa dan erhu dalam lagunya, dia sudah tidak berharap banyak. Kini dia semakin yakin siswa SMA ini hanya sedang iseng.
Sekitar tiga sampai lima menit, Jiaming menulis partitur piano dengan cepat blek blek blek lalu menyerahkannya ke Lingjing sambil mengangguk. Lingjing menekan bibirnya erat-erat, mengambil napas dalam... Saat mengiringi Dongfang Lu tadi, itu adalah pertama kalinya dia memainkan melodi yang baru ditulis tanpa merasa tegang sama sekali. Tapi kali ini, hatinya dipenuhi harapan sekaligus keraguan. Di satu sisi dia berharap Jiaming memberinya kejutan, di sisi lain dia takut komposisi Jiaming tidak bagus. Bagi dirinya tidak masalah, tapi Jiaming pasti akan menjadi bahan ejekan orang.
“Emm, batuk-batuk, hmm, ini uji suara…” Setelah duduk di depan drum set, memasang mikropon, Jiaming menyesuaikan posisinya dengan drum dan rak, lalu tersenyum memandangi Lingjing yang masih terlihat tegang di sampingnya, “Ha, sepertinya kawanku masih gugup… Tarik napas dalam-dalam, aku di sini.”
Duduk di depan piano, Lingjing memandangi senyum penyemangat itu. Sejenak, ia menarik napas panjang, matanya menyapu penonton di bawah. Ini bukan konser resmi, kebanyakan penonton hanya ingin melihat keributan dan bersorak-sorai, orang-orang sibuk mengobrol dan tertawa. Di bawah ada anggota departemen yang dikenalnya, ada yang bertepuk tangan memberi semangat, ada yang mengangguk, ada yang acuh tak acuh, juga yang memandang dengan ekspresi merendahkan. Ini pertama kalinya ia dan Jiaming berada di panggung yang sama. Katanya: Jangan takut, aku di sini…
Pernah ia membayangkan masyarakat yang akan mereka hadapi di masa depan, mungkin… mirip dengan situasi saat ini. Asalkan dia berkata: Aku di sini…
Ini pertunjukan pertama mereka sebagai suami istri.
“Hmm, mulai.” Suaranya terdengar tenang meski bergetar, “Judul lagunya adalah… Dongfeng Po (Angin Timur yang Hancur).”
Kemudian, melodi piano yang sederhana namun menenangkan mengalun.
Di aula.
……
Sebuah lentera kesepian berdiri di jendela
Kuberdiri di balik pintu berpura kau belum pergi
Mengunjungi tempat lama di bawah purnama yang sunyi
Nyala lilin di tengah malam tak tega mencelaku…
……
Di bawah cahaya lampu, mengikuti melodi piano, suara Jiaming mulai terdengar. Pemuda enam belas tahun yang baru melewati masa puber ini mungkin masih memiliki sedikit perbedaan dalam meniru suara Jay Chou, namun dalam kategori manusia biasa, ini sudah cukup baik, bahkan mendekati sempurna.
Seorang pembunuh yang benar-benar sempurna perlu menguasai banyak hal. Khususnya bagi Jiaming yang terbiasa dengan kamuflase, kemampuan menembak atau menyelinap justru menjadi prioritas sekunder. Seringkali ia harus sempurna dalam memerankan orang yang sama sekali berbeda di lokasi berbeda. Sebagai salah satu pembunuh terhebat, dari bangsawan hingga pengemis, ia bisa bertransformasi dengan sempurna. Dia memahami filosofi, ahli menilai baijiu, mampu menganalisis isu terkini, menguasai berbagai instrumen musik, ahli dalam fisika mekanik, mempelajari kedokteran dan ahli racun. Dia mahir sulap suara, bisa menirukan suara orang berbeda. Dengan riasan, bahkan bisa menjadi wanita sempurna - asalkan tidak naik ranjang...
Dia tidak memiliki prinsip hidup, tidak memiliki konsep baik-buruk, tidak mengenal rasa malu atau penghinaan.
Untuk bertahan hidup, tak seorang pun bisa membayangkan berapa banyak perlawanan yang telah dia lalui, berapa banyak latihan yang telah dia jalani. Satu-satunya yang tidak dia pahami adalah bagaimana hidup seperti manusia biasa, karena itu tidak bisa dilatih.
Karenanya, di bawah lampu, matanya tetap memandang Lingjing yang sedang memainkan piano. Selama bertahun-tahun, langkahnya selalu mengikuti sorotan mata dan gerakan tubuhnya.
……
Tabung pengembaraan mengarungi ujung langit sulit ditelan
Setelah kau pergi, baijiu hangat mengingatkan kenangan yang mengurus
Air mengalir ke timur, bagaimana mencuri waktu
Bunga bermekaran sekali saat matang, tapi aku melewatkannya
……
Melodi yang redup, suara yang santai, serta ketukan drum yang seolah mengetuk hati pendengar. Hampir setelah beberapa lirik awal mengalir perlahan, aula pun terbebas dari suara gangguan. Dongfang Wan yang awalnya bersiap menonton pertunjukan tak sengaja menarik napas dalam, pandangannya mulai dipenuhi Tipu Daya. Dong Danwen yang sedang membicarakan keisengan Jiaming tiba-tiba diam, bibirnya terbuka dan tertutup dengan ekspresi tak percaya. Zheng Zepei berhenti bercanda, melirik Huang Lao yang telah duduk tegap di sampingnya, lalu memandang ke panggung sambil menyesuaikan kacamata di hidungnya.
Jika ini adalah album normal dari seorang penyanyi, mereka tak akan terkejut, hanya akan mengeluarkan decak kagum. Namun dalam situasi tanpa persiapan mental sama sekali, kemunculan lagu semacam ini benar-benar memberikan getaran dahsyat bagi mereka.
Relatif, lagu yang dibawakan Dongfang Lu terasa kekanak-kanakan seperti karya pemula.
……
Siapa yang memetik dongfeng po dengan pipa di timur
Waktu mengelupas di dinding, terlihat saat kecil
Masih ingat tahun itu kita semua masih sangat muda
Kini suara kecapi sayup, penantianku tak kau dengar
……
Sebelum naik panggung, Jiaming sempat memikirkan banyak lagu yang sesuai dengan usia kreatifnya. Pilihan ini sulit karena lagu terkenal umumnya ditulis oleh penulis lirik dan komposer matang, banyak hal membutuhkan pengendapan. Akhirnya saat memilih Dongfeng Po ini, ia terlebih dahulu beralasan ini adalah pemahaman setelah membaca novel roman.
Karya seorang Genius pemuda yang memaksakan kekhawatiran demi menciptakan syair baru, tetap bisa diterima. Bagi yang tidak percaya dan ingin menggali lebih dalam, dia sudah malas menanggapi.
Ini adalah karya revolusioner dalam industri musik pop. Di sini, ini menjadi karya yang melampaui eranya. Dari lagu ini, aliran Tiongkok mulai meresap dalam ke dalam musik pop. Sebelum lagu ini, hampir semua upaya menggabungkan musik Tiongkok dengan pop bisa disebut hasil setengah jadi, bahkan bisa tanpa sengaja terkesan seperti opera Beijing. Inilah mengapa Zheng Zepei dan rekan langsung mengejek dengan "Ssshh!" saat mendengar instrumen seperti pipa dan guzheng.
Hanya bakat musik profesional yang tahu betapa sulitnya itu.
Tak lama kemudian, putaran pertama lagu mulai berakhir.
……
Siapa yang memetik pipa memainkan "Angin Timur yang Hancur"
Daun maple mengwarnai cerita, akhirnya kusadari
Di jalan kuno di luar pagar, kutuntunmu melintas
Di tahun-tahun berdebu ilalang, bahkan perpisahan pun sunyi...
Melodi sempurna bak pedesaan tepi sungai Jiangnan, membawa kenangan cinta masa kecil yang polos, kenangan lalu yang membekas di hati setiap orang... Mengalir bersama alunan musik. Memandangi sorotan mata semua orang di bawah panggung, merasakan tatapan Jiaming, Lingjing tiba-tiba ingin menangis. Air mata mengalir diam-diam, ada gejolak dalam hati, ada kekhawatiran. Baginya, liriknya terlalu kuat daya infeksinya, terlalu menyedihkan. Dia tak mau perpisahan sunyi seperti itu. Mengapa Jiaming menyanyikan ini? Apakah dia juga khawatir dalam hatinya?
Saat lagu memasuki paruh kedua, tiba-tiba permainan biola Lingjing kacau. Jiaming yang sedang mengangkat stik drum membeku di udara. Seluruh aula tenggelam dalam kesunyian seolah waktu mengalami diskontinuitas...
## Bagian Seratus Empat Belas Kejutan
Huu... hirup...
Musik yang terhenti tiba-tiba membuat hadirin di aula jamuan terkejut sekejap mata. Lingjing hendak melanjutkan permainannya, namun mendengar Jiaming juga berhenti, buru-buru menghapus air mata di wajah dengan malu. Jiaming mengambil bola warna-warni sambil tersenyum dan berdiri.
"Uh, maaf, sampai di sini. Jadi... siapa berikutnya?"
Senyum cemerlangnya di panggung disambut teriakan penonton: "Belum selesai! Belum selesai!"
"Perasaan lagu ini terlalu bagus..."
"Nyanyi lagi! Nyanyi lagi!"
Dalam riuh sorakan, Jiaming berkata: "Uh, maaf, aku cuma datang untuk menjemput seseorang. Sampai sekarang belum sempat makan malam. Siapa yang mau nyanyi? Oh iya, tadi kulihat si cantik di sana mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Aku tidak sengaja merebut kesempatan tampilnya. Hei, silakan."
Di bawah tak ada yang mengangkat tangan, dia tersenyum melemparkan bola warna-warni ke arah Dongfang Lu yang tak jauh. Dong Danwen masih terkejut dan bengong, bola itu terbang mendekat, secara bawah sadar ditangkap, lalu dia kebingungan memandang beberapa orang di sekitarnya: "Ini... Itu..." Sebenarnya dia juga ingin mempertunjukkan karya tulisannya di depan dua musisi itu, tapi setelah mendengar lagu "Dongfeng Po", dia sama sekali tidak berani lagi mempermalukan diri.
Namun sekarang memang tak ada yang memperhatikannya. Lebih dari separuh orang di depan meminta Jiaming menyanyikan lagu itu sampai selesai atau mengulanginya. Dongfang Lu memandang ke panggung dengan wajah pahit, Zheng Zepei dan Huang Lao sudah bangkit dari kursi mereka, perlahan berjalan mendekati panggung. Tapi Jiaming memang bukan tipe yang peduli pendapat orang. Setelah bicara, sama sekali mengabaikan permintaan kerumunan di bawah, berbalik mengulurkan tangan kiri: "Ayo kita pergi."
Bekas air mata di wajah Lingjing belum kering, tapi senyum cantiknya tak terbendung. Dia berlari kecil mendekat, menaruh tangan kanannya di genggaman Jiaming. Tak bisa dipungkiri, pertunjukan tadi barangkali adalah bentuk romansa yang tak bisa ditolak oleh perempuan mana pun.
"Untunglah ini hanya pesta jamuan sederhana, Jiaming dan Lingjing juga bukan idola terkenal. Turun dari panggung, meski banyak yang masih meminta mereka menyanyi lagi dengan penuh penyesalan, tapi yang menghalangi tidak terlalu banyak. Bahkan jika ada satu dua orang yang mendekat sambil bertanya macam-macam dan memperkenalkan identitas mereka, Jiaming dengan mudah menggeser mereka. Sekarang kerumunan ramai dan padat, meski dia menggunakan sedikit tenaga ekstra, tak ada yang menyadari keanehan. Namun, saat hampir tiba di pintu, dua pria paruh baya menyelinap dari samping. Jiaming hendak mendorong, tiba-tiba Dongfang Lu muncul."
"Jiaming, Lingjing, tunggu, tunggu..."
Terhadap orang asing bisa sembarangan mendorong, tapi terhadap kenalan yang akan sering bertemu di kampus, harus menjaga kesopanan. Meski dalam hal bernyanyi Dongfang Lu hampir dikalahkan Jiaming dari segala aspek, tapi saat ini senyumnya masih cerah, sepertinya tidak terlalu mempermasalahkannya. Pertama dia memuji Jiaming habis-habisan, lalu mulai memperkenalkan identitas dua pria paruh baya itu. Mereka adalah figur terkenal di industri musik, di Tiongkok bagi para pencipta lagu dan lirik, tidak mengenal mereka adalah sebuah dosa. Lingjing tidak paham bidang ini, tapi melihat sikap hormat Dongfang Lu saat memperkenalkan nama mereka, dia juga sopan menyapa: "Halo." Jiaming hanya mengangguk dingin.
"Ehm, halo. Kami buru-buru pulang untuk makan, jadi..."
Sikap ini jelas meminta kedua orang minggir, wajah mereka langsung menunjukkan ketidaksenangan. Dunia musik punya banyak lika-liku, meski kau jago menulis lagu dan lirik, jika tak ada yang membantu atau orang lain sama sekali tak mau lagumu, itu tetap sampah. Sebagai pencipta lagu, siapa yang tak ingin terkenal? Kedua orang ini kebetulan bisa disebut cara tercepat untuk meraih ketenaran.
Sebagai legenda hidup di dunia musik, jika mereka tertarik pada seorang penyanyi atau penulis, pihak lawan bahkan akan duduk tegak mendengarkan wejangan meski belum makan 3-5 hari. Tapi pemuda di depan mata ini malah dengan santai menyuruh mereka minggir! Zheng Zepei tersenyum: "Eh, sebenarnya kami ingin bertanya, lagu ini... benar kau yang menulis?"
Jiaming tersenyum: "Tak perlu kujelaskan. Maaf, sudah pukul sembilan lewat sepuluh menit. Demi persiapan malam ini, aku belum makan apa-apa. Lingjing, kau lapar?"
"Aku juga lapar." Nada Lingjing terdengar kaku, masih marah karena pertanyaan Zheng Zepei tadi.
"Nah, kalau begitu..." Tangannya menggeser Zheng Zepei di depannya, belum sempat ditarik, Huang Lao di samping sudah menyambar tangan Jiaming. Jiaming tidak kabur karena sedang mempertimbangkan apakah akan menghabisi kedua orang ini malam ini.
"Hm, maaf, tapi karena lagu ini adalah karya teman sekelas Gu Jiaming, kau pasti tahu makna lagu ini bagi dunia musik saat ini." Suara Pak Huang terdengar bergejolak dalam hati, "Aku bisa mendengar ini adalah versi sederhana yang kau aransemen ulang. Kau bilang akan ada instrumen seperti pipa dan erhu yang terlibat... Eh, maaf, hari ini aku tidak membawa kartu nama, tapi kita bisa membuat janji untuk membahas lebih detail. Gaya lagu ini akan memicu Badai di industri musik saat ini..."
"Heh, aku mengerti, aku mengerti..." Jiaming mengangguk tak sabar, "Kalau kau suka, lain kali bisa kubuatkan transaksi. Tapi sekarang... kami benar-benar harus pergi, sampai jumpa." Melepaskan genggaman tangannya, Jiaming memimpin Lingjing menuju pintu keluar. Di ambang pintu, ia menoleh dan mengayunkan tangan: "Kalau begitu sampai jumpa, Senior Timur, selamat menikmati Malam Natal." Lingjing juga tersenyum melambaikan tangan sebelum pintu kaca memisahkan dua dunia.
Tiba-tiba berada di jalanan yang ditimpa salju, Lingjing meniupkan napas hangat ke telapak tangannya. Jiaming membuka kunci sepeda, lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan dari kantong pengepungannya: "Ini, tadi saat menambal ban melewati toko kecil, kebetulan ingat sarung tanganmu sudah kekecilan. Hadiah Natal, jangan diremehkan."
"Hehe, terima kasih." Meski tidak mewah, Lingjing tetap terlihat gembira menerima hadiah Jiaming. Sarung tangan itu pas di tangannya, dengan ujung jari terbuka - jenis yang tetap memungkinkannya memainkan piano saat dipakai.
Memandangi Lingjing yang ceria di balik pintu kaca, tatapan Dongfang Lu terlihat sendu. Sarung tangan yang susah payah ia berikan konon langsung dihadiahkannya ke orang lain. Namun kini, saat menerima sarung tangan baru, ia malah memilih langsung mengenakannya dengan penuh sukacita. Tidak lama kemudian, Lingjing naik ke jok belakang sepeda, kedua tangan berakrab-akrab memeluk pinggang Jiaming. Di bawah pantulan lampu jalan, lampu mobil, neon, dan salju yang menumpuk, sepeda perlahan menjauh menyusuri jalanan.
Kedua tangan Lingjing menyelip ke kantong baju Jiaming. Ia mendekap mesra di punggungnya, senyum manis masih tersisa di hati saat mengingat penampilan tadi. Setelah lama merasa sarung tangan justru menghalangi kehangatan tubuh Jiaming, ia melepasnya dan menyimpannya sambil bertanya penasaran: "Jiaming, benarkah lagu itu karyamu?"
"Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan aku?"
"Aku pikir mungkin Kakak Yahan yang menulis. Kau... Hmph, wajar saja paman paruh baya jelek itu meragukanmu..."
"Hah, lalu kenapa kau marah?"
"Ada yang meragukan suamiku, mana mungkin tak marah! Tapi... Benar bukan Kak Yahan? Nanti aku tanya dia."
"Aduh Lingjing, jangan hinakan aku dan lagu itu dong. Masa perempuan kekanak-kanakan dan neurotik seperti Yahan bisa mencipta lagu... Kau tahu kan, dalam situasi genting alam semestaku langsung meledak. Sudah kubilang, kalau ada yang mengincar istriku, ya terpaksa kuhadapi..."
“Hmm, maaf.” Lingjing menempelkan pipinya di punggung Jiaming, berbisik pelan, “Waktu itu dia bilang mau berterima kasih padaku, lalu memberiku sebatang bunga. Di bawah sana banyak orang, aku bingung harus bagaimana... Lagipula aku tidak melihat jelas itu bunga mawar...”
“Lain kali jangan terima bunga dari orang lagi.”
“Hmm.”
“Lain kali kalau dia ngomong, bilang saja: Kau orang baik, seumur hidupmu orang baik, seluruh keluargamu orang baik... Ngerti?”
Lingjing terkikik Puff Ssshh!, memukul Jiaming pelan: “Baiklah, akan kubilang terus terang: Dulu aku adalah calon istri Jiaming yang dipelihara sejak kecil, sekarang jadi istri mudanya. Setiap malam harus menemaninya tidur, sudah dipakai berkali-kali seperti bunga layu. Senior Dongfang, kau orang baik, aku tak pantas untukmu... Gitu boleh?”
“Dia bisa bunuh diri. Ingat ngobrol di atap gedung, lalu dia melompat. Kebetulan aku sedang lihat dari bawah... Belum pernah lihat orang bunuh diri lompat gedung...”
“Bajingan...”
Sepanjang jalan bercanda, sekitar pukul sembilan lewat empat puluh akhirnya sampai di villa tempat tinggal Yahan. Kompleks apartemen ini terletak di sisi timur kampus, dikelilingi pegunungan dan sungai di server para orang kaya. Akademi Hati Kudus yang kaya bermodal kuat, bahkan menyediakan villa sebagai tempat tinggal sementara untuk staf pengajar. Tentu saja hanya staf penting seperti Yahan yang keluarganya memiliki saham di akademi yang mendapat fasilitas ini.
Di sisi jalan, pagar kayu putih mengelilingi pekarangan-pekarangan kecil yang mandiri, rumput hijau di bawah naungan pepohonan, bangunan bergaya Eropa dengan atap merah dan dinding putih——tentu saja sekarang semuanya telah ditimpa salju tebal. Staf asing Akademi Hati Kudus sebagian besar tinggal di area ini. Sepeda melintas di tengah pemandangan yang dipenuhi hiasan lampu dan keceriaan. Villa Yahan juga dipenuhi lampu hias indah, dua pohon Natal cantik berdiri di hamparan salju depan pintu. Saat mendorong pintu kecil terbuka, Lingjing berkomentar: "Indah sekali, Kakak Yahan bilang cuma kumpul-kumpul santai, pasti dia menghabiskan banyak waktu ya."
Dia tidak datang siang tadi sehingga baru melihat pemandangan ini. Jiaming yang sudah lebih dulu melihatnya menunjuk ke deretan rumah sekitar: "Lihat betapa indahnya mereka. Di sini kalau tidak merayakan sama sekali, persiapan asal-asalan pasti akan dihinakan... Lagi pula bukan Kakak Yahan yang mengerjakan, dia menyewa pekerja paruh waktu..."
Lingjing memelototinya: "Kau selalu bisa mencari-cari kesalahan orang." Belum selesai bicara, tiba-tiba lampu-lampu hias di villa berkedip-kedip beberapa kali mengeluarkan suara "sssss", kemudian seluruh bangunan langsung gelap gulita. Dari jendela dapur, samar terdengar kobaran api dan suara kepanikan.
Menarik bahu Lingjing, Jiaming sudah menghunus belati: "Aku masuk lihat, kau sembunyi dulu..."
Menyuruh Lingjing bersembunyi di balik pohon Natal pekarangan sebelah, Jiaming melompat masuk melalui jendela ruang tamu yang tidak terkunci rapat. Di meja, peralatan makan sudah tertata rapi. Kobaran api dan suara berisik datang dari arah dapur.
Saat ini meskipun tidak ada lampu di villa, cahaya dari salju yang memantulkan sinar dari rumah-rumah lain masih cukup terang bagi Jiaming. Dengan hati-hati dia melangkah beberapa kali, tiba-tiba terdengar suara tubuh terjatuh dari kamar mandi di sebelah, diikuti teriakan lemah "Aaaa" - itu suara Yahan.
Belati di tangan kanannya berputar, dia telah menjepit ujung pisau belati. Tangan kiri mengulurkan dua kawat pembuka kunci yang dimasukkan ke lubang kunci kamar mandi, diputar keras sambil menyembunyikan tubuh di tepi pintu, baru kemudian menerjang siap mengayunkan pisau. Dengan waktu reaksi dan kecepatan ayunan pisaunya, ini tak kalah cepat dari peluru pembunuh biasa.
Sesaat kemudian, terdengar jeritan lain Yahan dari kamar mandi...
## Bagian ke-115 Aku Ada yang Ingin Dibicarakan
Setelah mengganti kabel yang terbakar, memasang mekanisme pengaman baru, dan menurunkan saklar listrik, lampu hias villa kembali menyala. Membersihkan tumpukan salju yang jatuh dari atap, Jiaming menggerutu saat membuka pintu: "Harusnya Malam Natal yang santai, malah disuruh memperbaiki listrik. Kalian ini... Wah..."
Di seberang, Yahan langsung menerjang dengan bantal peluk kecil dari kursi. Jiaming yang merasa bersalah langsung kabur, kejar-kejaran pun terjadi dalam kamar. Lingjing dan Shasha sibuk mengeluarkan hidangan dan minuman dari dapur sambil meneriakkan semangat untuk Yahan.
"Hei! Tolong, aku hanya khawatir akan keselamatan kalian! Tidak ada maksud lain..."
“Kalau kau benar-benar menginginkannya, hari ini bukan sekadar dipukuli. Kau bajingan ini, berhenti! Akan kupukuli kau seratus kali……”
“Bohong, lebih baik jadi bajingan daripada orang bodoh……”
Saat Jiaming dan Lingjing tiba tadi, mereka kaget melihat semua lampu villa tiba-tiba padam. Awalnya Jiaming mengira terjadi insiden besar, ternyata hanya karena kesalahan Shasha yang memasukkan benda asing ke microwave hingga menyebabkan ledakan dan korsleting listrik. Ketika Jiaming berlari masuk, Yahan sedang terjatuh di kamar mandi akibat mati lampu mendadak. Saat pintu terbuka kasar meski cahaya redup, seluruh tubuh telanjang Yahan terpapar jelas di depan mata Jiaming – ini sudah kedua kalinya sejak kejadian kabur pernikahan saat Yahan menyusup ke villa Keluarga Zhang. Setelah Jiaming memperbaiki sekring listrik, Yahan pun murka mengejarnya habis-habisan.
Sungguh tidak adil. Di dunia underground ini, salah harus diakui, dipukul harus berdiri tegak. Tapi Jiaming ini, jelas-jelas bersalah malah bersikap defensif. Tubuh telanjangku sudah dilihatnya dua kali, tapi sama sekali tak ada niat bertanggung jawab. Bahkan menolak dipukul bantal ringan, malah mengejekku sebagai perempuan kasar dan tukang ribut... Benar-benar... menjengkelkan!
Sejenak mereka mengejar dari lantai bawah ke atas, lalu kembali turun mengejar. Ketika semua hidangan di meja sudah siap, Yahan yang terengah-engah namun tak berhasil menyentuh helai baju Jiaming pun menggigit gigi dan akhirnya tenang. Di meja makan, pertarungan diam-diam tak terhindarkan. Setiap kali Jiaming hendak mengambil masakan, Yahan selalu menyambar lebih dulu, mengunyahnya dengan kriuk-kriuk seolah sedang menggerogoti Jiaming. Setelah lama bergaul, mereka paham sifat kekanak-kanakan Yahan yang sesekali muncul. Bagi Lingjing dan Shasha, sifat kekanak-kanakan inilah yang justru menjadi perekat persahabatan keempatnya.
Saat itu sudah lewat pukul sepuluh malam. Sambil menikmati hidangan lezat dan minum cola serta jus jeruk, Lingjing menanyakan soal lagu "Dongfeng Po". Yahan membelalak: "Aku? Aku tidak bisa menulis lagu! Meski pernah belajar gitar sebentar, menciptakan lagu masih jauh... Lingjing, maksudmu bocah ini yang menulis lagu?"
"Uh-huh, uh-huh." Lingjing mengangguk, lalu menceritakan suasana jamuan dengan penuh ekspresi. Shasha dan Yahan sama-sama membelalak. Saat Lingjing bersenandung melodi lagu itu, Yahan mengambil gitar dari lantai atas dan melemparkannya ke Jiaming. Makanan belum habis, Jiaming meletakkan gelas jus jeruknya: "Nyanyi di sini? Pakai gitar?"
"Iya dong." Lingjing mengangguk wajar. Shasha juga ikut meminta dia menyanyikan lagi. Jiaming tersenyum: "Perutku belum kenyang. Kau tidak takut kalau aku tidak bisa main gitar..."
Sesaat kemudian, versi gitar dari 《Dongfeng Po》 terdengar ringan di kamar.
……
Saat musik berakhir, hanya suara sinetron dari TV yang memenuhi ruangan. Yahan menatapnya lama-lama: "Jangan-jangan ini benar-benar karyamu?"
"Tentu saja bukan." Shasha menatapnya dari seberang meja makan, "Aku belum pernah melihatnya menyentuh hal-hal seperti ini."
Lingjing mengangguk: "Pasti mencuri ilmu dari orang lain..."
Sesuai karakter asli Jiaming, semakin tersembunyi kemampuannya semakin baik. Tapi mengingat tiga perempuan di hadapannya sudah mengetahui identitasnya sebagai pembunuh, untuk hiburan semacam ini tak perlu disembunyikan terlalu banyak. Lagipula di kampus, Lingjing dan Shasha sering jadi incaran, jadi dia pun perlu sedikit menunjukkan kilau. Dengan mengangkat mata putihnya: "Kalian benar-benar tidak percaya pada karakterku ya..."
"Hehe." Shasha tersenyum, "Hal yang tidak ada tentu tidak dipercaya."
Yahan mengangguk, menunjukkan penghinaan paling keras terhadap karakter Jiaming: "Kecuali kau bisa menunjukkan bukti lain, yang spesifik sesuai situasi, konteks, atau orang tertentu. Katanya komposer handal bisa langsung menggumamkan melodi, bukan?"
"Benar mau?" Jiaming menyeringai.
"Tentu saja."
"Baiklah, akan kususun untukmu."
Mendengar ini, wajah Yahan memerah: "Apa maksudmu 'untukku'?"
"Yahan kan lulusan Cambridge. Lagu ini berjudul 《Farewell to Cambridge》, kuhadiahkan untuk Nona Zhang Yahan yang cantik, manis, polos, dan memikat."
Pujian seperti ini sudah biasa bagi Jiaming yang kerap berperan sebagai pengamen jalanan atau penyanyi bar, namun kali ini membuat Yahan—yang sudah terbiasa bercanda dengan Jiaming—merasa wajahnya memanas. Ia mengambil segelas jus untuk menutupi ekspresi yang agak kikuk. Shasha mematikan TV, lalu alunan gitar riang mulai terdengar.
“Derap kaki kuda menginjak jalanan batu pualam,
Di kedalaman gang sempit terdengar doa manusia…
Gereja roboh di genangan air setelah hujan,
Sudut empat puluh derajat aliran kesadaran,
Patung setengah badan berdiri di depan Perpustakaan,
Enam keping membawa kabur sebuah sketsa,
Perapian menyemburkan api dalam kesepian sepanjang hari,
Waktu tak terganggu di bawah lentera minyak…
Kau di Cambridge, jubah hitam membungkus kesunyian,
Kau menyanyikan cinta sejati dengan rima indah dalam puisi,
Sebuah pelukan klasik disaksikan gemintang di kapal,
Rumput air itu masih merindukan tongkat panjangmu…”
Lagu yang baru akan dinyanyikan SHE sepuluh tahun kemudian kini keluar dari mulut Jiaming. Ketiganya di seberang menunjukkan ekspresi decak kagum yang menggemaskan. Jiaming mengangkat bahu, Lingjing dan Shasha berbisik-bisik, sementara Yahan mengambil bantal sandaran dan kembali memukulinya, menghantam kepala Jiaming beberapa kali sambil mendengus: “Apa maksudmu ‘kesunyian seumur hidup di Cambridge’? Kau jelas asal nyanyi!”
“Hey, aku cuma nyanyi sembarangan biar rima cocok. Urusanmu Mati! Kalau di Cambridge tidak kesepian, apa kau punya banyak pacar? Kok tak pernah kau bawa pulang?”
“Kau、kau。” Yahan wajahnya memerah karena marah, “Hmph, pokoknya aku tidak percaya, pasti kau kebetulan tahu satu lagu seperti ini. Coba nyanyikan satu lagu lagi yang mencerminkan dirimu sendiri.”
“Diriku sendiri.” Jiaming tersenyum, jarinya sudah mulai memetik gitar, “Gray Space…”
Pukul dua pagi, berbelok di tangga menuju lantai dua, Jiaming membuka pintu kaca, udara dingin menyergap dari depan. Di luar terdapat platform kecil yang tertutup salju, salju masih turun lebat, sekeliling telah tenggelam dalam keheningan. Orang-orang yang merayakan Natal pun sudah tidur, namun lampu hias di atap-atap rumah dan pohon Natal yang jauh-dekat masih menyala, menyatu dengan titik cahaya kota di kejauhan, membentuk suasana perayaan yang membeku dalam salju. Suara gitar terdengar pelan dari kamar Yahan.
Semalam menjadi juke box otomatis selama lebih dari dua jam, dengan kelicikan menjiplak belasan lagu pop dari masa depan. Setelah lelah, ia menginap di villa Yahan. Lingjing dan Shasha satu kamar tidur, Jiaming satu kamar tidur. Berbaring di ranjang, Jiaming merenungkan beberapa hal, lalu keluar kamar.
Platform kecil itu diselimuti salju tebal. Pakaian Jiaming tipis, namun bagi yang pelatihan qigong-nya tak pernah berhenti, satu dua jam di suhu sedingin ini tak akan melukainya. Malah justru membantu proses perenungan dan pelatihannya.
Ia sedang merefleksikan tindakan sengit yang dilakukannya semalam.
"Insiden microwave sederhana, yang secara kebiasaan dianggapnya sebagai invasi musuh, jelas merupakan reaksi berlebihan. Diejek adalah hal sekunder, melihat tubuh Yahan juga hal sekunder. Intinya, dia masih belum bisa beradaptasi dengan ritme kehidupan manusia biasa. Namun, apakah kehidupan manusia biasa yang sebenarnya membawa manfaat baginya, hal ini sungguh sulit dinilai."
"Pikiran ini tentu tidak bisa dianggap sebagai masalah, juga tidak seperti di komik yang bilang kalau tidak bisa breakthrough heart barrier akan begini begitu. Masalahnya tidak besar, tapi tetap saja dipikirkan. Duduk di bangku panjang di luar, butiran salju bertebaran, tak lama kemudian tubuhnya sudah ditimpa banyak. Tak berapa lama, Yahan sepertinya memperhatikannya dari sana, memandang lama di jendela, lalu mengenakan mantel dan berputar ke platform ini, membuka pintu kaca dan berlari keluar dengan panik: "Kau kau kau kau kau... Kau ngapain!""
"Eh, nggak apa-apa..."
"Tiba-tiba masuk ke dunia bersalju ini, meski memakai mantel, Yahan tetap menggigil kedinginan. Di atas salju, kakinya masih telanjang bulat. Tanpa banyak bicara langsung menyelamatkan Jiaming ke dalam."
"Hei, beneran nggak apa-apa, nggak perlu seperti ini. Aku punya qigong, keluar duduk sebentar justru baik untukku, hei hei hei hei..."
"Buruburu membersihkan salju dari tubuh Jiaming, Yahan membungkus mantelnya lalu menariknya lari ke kamarnya: 'Ada manfaatnya? Kau gila ya? Aku belum pernah lihat orang bisa dapat untung dari membeku di tengah padang es. Apa lagi yang salah denganmu...'" Mendorong Jiaming ke ranjang, Yahan segera menyelimutinya dengan selimut tebal. Melihat dia hendak mengeluarkan selimut tambahan dari lemari, Jiaming antara ingin tertawa dan menangis menghentikannya.
"Sudah, benar kok, aku tidak kedinginan sama sekali..."
"Jangan kau buka! Kalau kau buka, aku akan mengusirmu! Hmm... Aku turun masak sup jahe, masih ada jahe sisa hari ini..."
"Hei, serius kau..." Melihat Yahan benar-benar hendak pergi memasak, Jiaming tersenyum menggenggam tangannya. Tarikan kuat membuat Yahan limbung terjatuh di ranjang. Selimut menindih, Jiaming menekan tepi selimut hingga bahunya terpaku. Hatinya bertanya-tanya: Biasanya wanita ini percaya pada kemampuanku, kenapa reaksinya berlebihan sekarang?
"Lepaskan! Kau mau flu besok?"
"Aku justru takut kau yang flu..."
Setelah beberapa saat berjuang, Yahan menatap senyum Jiaming yang semakin mendekat. Akhirnya dengan kesal dia urungkan niat menyelimuti Jiaming. Kamar sunyi. Keempat mata mereka bertatapan. Suasana tiba-tiba menjadi aneh.
“Baik, aku tidak perlu selimut, kamulah yang butuh... Aku mengalah, aku akan kembali ke kamar tidur, oke?” Memandang Yahan yang tak bisa melawan, Jiaming mulai berfantasi seperti biasa: Pose seperti ini paling pas untuk dicium, wanita biasanya tak bisa melawan. Setelah menciumnya di ranjang, biasanya tidak akan digigit, malah bisa melangkah ke tahap berikutnya...
Tentu ini hanya bayangan. Dia pernah mempelajari psikologi, dulu saat menjalankan misi juga pernah merayu wanita demi kebutuhan tertentu, hampir selalu berhasil. Tapi ketika berada dalam status manusia biasa yang harus mengorbankan perasaan, harus diakui Jiaming agak lambat. Dengan Marilyn bukan soal cinta, murni hubungan ranjang. Dengan Lingjing dan Shasha terbentuk secara alami. Saat persahabatan atau cinta terjadi padanya, analisis logis tak memberi hasil. Sedangkan untuk Yahan, dia sama sekali tak mempertimbangkan hal ini, sehingga tak merayu keintiman sesaat itu.
Baru melangkah dua langkah setelah turun dari ranjang, suara Yahan terdengar: "Hei, tunggu... Aku ada yang mau bicara..."
"Hah?"
## Bagian ke-116 Perasaan Jatuh dalam Dosa
AC menyala kencang, seluruh villa terasa hangat. Kamar tidur gelap, cahaya dari luar masuk melalui pintu kaca besar menuju balkon, memberikan pencahayaan cukup. Duduk di ranjang membungkus selimut, memandang Jiaming yang menggerutu sambil mengeluarkan selimut cadangan dari lemari, perasaan Yahan kacau balau.
Apa... yang harus kukatakan?
Mood-ku kacau, begitu berhadapan dengannya, suasana hati langsung tidak karuan. Saat memintanya tinggal tadi, yang terlintas di hati justru dua kata: mengungkapkan perasaan. Tapi setelah dipikir-pikir, aku benar-benar aneh. Seorang guru mengaku cinta pada siswa SMA... Lagipula, apa benar aku menyukainya? Ini terlalu rumit untuk dijelaskan, ditambah dia selalu mengejekku aneh. Jika tiba-tiba kuucapkan "Aku mencintaimu", pasti dia akan terguling-guling ketawa.
"Ya, sudah." Jiaming mengangguk sambil membungkus diri dengan selimut di ujung ranjang, "Sebenarnya ada keperluan apa sih, misterius banget... Kau... mau minta diajari main gitar?"
Kalimat Jiaming ini memberi celah bagi Yahan yang sedang ragu. Dengan menendangnya, ia tersenyum: "Mati lah kau! Emangnya main gitarmu hebat sekali? Diapresiasi sedikit, langsung sombong!"
"Kalau begitu... kutebak. Dalam suasana berdua seperti ini," senyum aneh muncul di wajah Jiaming, "Pasti kau ingin mengungkapkan perasaan cintamu padaku?"
BRAAK! Candaan Jiaming bagai sambaran petir. Reaksi normal Yahan seharusnya terus menendang-nendang, tapi sekejap mata ini ia justru terdiam memandang Jiaming. Haruskah bermain-main seperti biasa, atau... memanfaatkan momentum.
Di kamar tidur yang sunyi, Jiaming membuat gaya tinju melindungi kepala. Setelah beberapa saat, melihat Yahan tertegun karena marah, baru melambaikan tangan: "Baiklah baiklah, jangan pukul aku, aku tahu salah, sebenarnya ada masalah apa sih?"
Perempuan di seberang yang mengenakan gaun tidur itu ekspresinya rumit, antara mendung dan cerah. Setelah beberapa saat baru Puff Ssshh! tertawa, mengulurkan kaki telanjang dari dalam selimut untuk menendang, tapi langsung ditangkap Jiaming. Keduanya tarik-ulur hampir setengah hari baru berpisah. Yahan mendengus malu: "Dasar idiot, ngapain takut confess? Kira aku nggak berani ya? Hmph, kalau di zaman kuno, kau pegangin kakiku sampai segini lama. Aku harus nempel padamu!"
"Makanya aku puji dunia modern ini. Ayo, cepat bilang."
"Hmm... Jiaming." Yahan ragu-ragu lama. "Kau... menurutmu aku ini bagaimana?"
"Jangan-jangan, kau benar-benar punya gebetan?"
"Apaan sih." Tak menyangka jawabannya seperti ini, Yahan antara ingin tertawa dan menangis sambil membelalak.
"Di TV selalu begini ceritanya. Pria atau wanita yang punya gebetan, pasti cari teman baik untuk konsultasi. Biasanya nanya 'Menurutmu aku gimana', 'Aku punya kelebihan apa', 'Aku imut nggak sih' dan sebagainya, buat nambahin kepercayaan diri. Lalu... basically langsung confess. Karena kau sudah punya orang yang dianggap penting. Makanya kau peduli sama kemampuan diri sendiri. Hei, siapa? Xu Mo?"
“Agak lucu, tapi juga sedikit kesal, Yahan menatap Jiaming lama sambil menggigit gigi: "Baiklah, aku memang punya orang yang kusukai... Tentu saja, situasi sekarang masih rumit, aku tidak tahu apakah benar-benar suka, yang penting setiap melihatnya, hati ini jadi tidak karuan."
“Menurutku kau memang selalu tidak karuan.”
“Jangan potong pembicaraanku.” Melotot ke arah Jiaming, “Err, intinya... Sekarang mustahil untuk mengaku, aku... Seharusnya tidak boleh menyukainya, kalau benar-benar bersama, orang pasti akan memandang kami dengan aneh, lagipula dia mungkin tidak tahu...”
“Aku tahu, ayahmu...”
“……”
“Baiklah, hehe, lanjutkan.”
“Sudah habis...” Melotot padanya, Yahan mengendurkan bahunya, “Katakan, apa yang harus kulakukan?”
“Err, menurutku... Pertama harus menyelesaikan masalah saling suka atau tidak ini dulu sebelum memikirkan hal lain. Cinta terlarang seperti ini tentu harus timbal balik, lalu selama tidak diumbar, kalian bisa sembunyi-sembunyi terus, biasanya tidak masalah. Tapi masalahnya sekarang, baiklah, dari perkataanmu, orang itu tidak tahu kau menyukainya, dan pengakuanmu juga besar kemungkinan ditolak, misalnya kalau orang itu ayahmu, saranku segera hentikan ini... Ya...”
Menopang dagu sedang melakukan analisis, selimut sudah ditendang keras oleh Yahan. Sebelum Jiaming sempat menerkam, dia sudah menarik kakinya yang tanpa alas kaki kembali ke dalam selimut, melirik menantang. Jiaming menghela napas: "Aku sedang membantumu menganalisis hal ini. Sekarang ini kamu yang suka sepihak pada seseorang yang tak pantas kau sukai. Tentu saja aku mencegahmu, hidup tidak secantik dongeng..."
"Kau anak kecil saja, tahu apa tentang hidup? Berani-beraninya menyebut ayahku..."
"Ini cuma asumsi kok."
"Asumsi ayahmu kali!"
"Kalau begitu itu bukan tabu. Jika ayahku masih hidup, kau mau menikah juga aku tak keberatan. Di tempat umum aku takkan memanggilmu Tante. Tapi jika ibuku juga masih hidup... Jangan-jangan kau mau menggoda suami orang di kampus?"
Menarik napas dalam-dalam, Yahan membenamkan kepala ke bantal: "Malas ngomong sama kamu."
Jiaming tersenyum tipis: "Sebagai teman, aku berharap kau menemukan orang yang kau sukai. Tapi aku juga tak ingin kau terjebak hubungan tabu yang akan membuatmu dihina. Sebenarnya apapun nasihatku tak berguna, keputusan tetap di tanganmu. Tapi kalau ada rintangan apapun di masa depan, datanglah padaku. Aku ahli dalam urusan MEMBUNUH dan membakar. Kita teman, apapun yang kau lakukan, takkan kubiarkan orang mengganggumu... Tidur nyenyak, aku pergi dulu."
Suara belum reda, Yahan tiba-tiba menerjang dari ujung ranjang, merangkul leher Jiaming erat-erat. Dua tubuh menyatu, di dalam hati Yahan deg-degan bertarung mati-matian.
Meski sering cekcok, bahkan saat Jiaming melihat seluruh tubuhnya, mereka tak pernah berpelukan seperti ini. Di balik piyama, aroma wangi mandi menyebar dari tubuh Yahan. Anggota tubuh penuh vitalitas dan godaan, dada montok yang lembut dan elastis—semuanya terasa jelas melalui kontak kulit. Sejenak, Jiaming menghela napas perlahan. Perempuan ini terlalu polos, sampai berjuang keras di hati hanya untuk urusan begini.
Perasaan Jiaming adalah kekaguman, sementara Yahan merasakan hal berbeda. Setelah memeluk Jiaming, degup jantungnya bergema di telinganya sendiri seperti genderang. Seluruh tubuhnya tegang dan panas. Ini pertama kalinya dia aktif memeluk pria. Sebuah kalimat mengganjal di tenggorokan, hampir terucap. Lalu, dia merasakan tangan Jiaming membelai rambutnya dengan gerakan menenangkan, membuatnya merasa seperti anak kecil.
Di hadapannya, dirinya seolah benar-benar menjadi anak kecil—mudah marah, mudah bertingkah aneh, mudah diejek. Seringkali benar-benar lupa bahwa usianya lebih tua enam tujuh tahun. Dibandingkan dirinya, Jiaming bukan hanya terampil, tapi juga selalu tenang dan bisa diandalkan. Segala hal bisa diselesaikannya sambil bercanda. Seandainya jarak usia mereka tak terlalu jauh, seandainya dia benar-benar adik kecilnya, mungkin...
"Batuk, jangan ditahan-tahan, menangislah, menangis akan membuatmu lebih lega... Hmm, kau licik..."
Hampir secara bawah sadar, Yahan menghantam perutnya dengan pukulan keras, kalimat pengakuan yang ingin diucapkannya sepertinya ikut hilang.
"Nasibmu, mana mungkin aku mau menangis."
"Tapi kau memelukku..." Jiaming meringkuk sambil menuding, kemudian punggungnya kembali terkena sikutan keras: "Jangan bicara!" Seketika membuatnya terjungkal di ranjang. Disusul dengan serangan pukulan yang semakin gila-gilaan.
"Memelukmu cuma untuk memukulmu seperti sekarang ini..." Tebas tebas tebas!
"Menyuruhmu kabur、menyuruhmu kabur、menyuruhmu kabur..." Pukul pukul pukul!
"Menyuruhmu selalu menggangguku..." Tusuk tusuk tusuk!
"Menyuruhmu menghina aku bodoh..." Cubit cubit cubit!
"Menyuruhmu mengintip aku mandi..." Injak injak injak!
"Aku kan tidak sengaja..."
"Menyuruhmu membantah..." Tendang tendang tendang!
Setelah serangan bertubi-tubi, Yahan berdiri di ranjang memandang Jiaming yang meringkuk seperti udang di kakinya, perasaan puas menyelimuti hatinya. Sejak mengenal Jiaming, belum pernah ada perkelahian yang seenak ini. Meski di hatinya tahu lelaki ini sengaja mengalah. Tapi memikirkannya saja sudah membuatnya senyum-senyum. Rupanya dengan berpura-pura sedih, dia bisa memukulinya semaunya. Hmph, padahal dulu selalu membual sebagai Cold Blood Killer.
"Hmph, sudah tahu salah kan."
“……”
“Menyuapi, jangan pura-pura mati.”
“……”
“Menyuapi, kau tidak ingin menginap bersamaku di sini kan.”
Setelah beberapa kali menendang, Jiaming sama sekali tidak merespon. Yahan mengangkat kaki mungilnya, menginjak-injak bahu Jiaming dengan sengaja memperlambat gerakan. Biasanya orang ini tidak mau dirugikan, pasti akan menangkap kakinya lalu menggelitik telapak kakinya mati-matian. Sudah lama memukulinya, wajar jika dia mengambil sedikit keuntungan. Namun sementara berpikir begitu, Jiaming tetap tak bergerak. Yahan berjongkok, menggoyang-goyangkan tubuh Jiaming, lalu tiba-tiba didorong hingga terjatuh ke ranjang oleh Jiaming yang melompat bangun.
"Aah!" teriak pelan. Bokongnya sudah ditendang keras dua kali oleh Jiaming. Yahan menahan tawa. Setelah saling memukul dan menendang, akhirnya berhasil memaksa Jiaming mundur. Bangkit dari ranjang, Yahan menerjang Jiaming yang hendak kabur ke pintu dengan garang, tiba-tiba penglihatannya gelap - jas Jiaming telah menutupi kepalanya. Seketika itu juga, Jiaming melancarkan serang balik.
"Kuberi pelajaran karena berani memukulku, memukulku, memukulku..."
"Aah... tidak berani lagi, aku kapok, kasihani aku..." Merangkul kepalanya sambil merengek-rengek. Terbungkus jas dan tidak bisa melihat jelas, Yahan merunduk sambil mundur mengikuti lemari hingga akhirnya terpojok di sudut ruangan, meringkuk seperti udang kecil.
"Kuberi pelajaran karena berani memukulku..."
"Aku kapok, aah... benar-benar kapok, aah... Kakak Jiaming, kasihani aku..."
Mendengar sapaan yang diucapkan Yahan sambil merengek-rengek dari mulutnya, Jiaming menghentikan tangannya yang terangkat di udara. Sejenak kemudian, Yahan perlahan membuka mantel yang menutupi kepalanya. Melihat Jiaming kembali mengangkat tangan, ia buru-buru menutupi kepalanya sambil berteriak: "Aduh, kasihanilah aku, Kak Jiaming..."
Ini hanya bercanda ringan, Jiaming tentu mengendalikan diri agar tidak benar-benar memukul. Meski gerakannya cepat, pukulan dan tendangan hanya bersifat simbolis. Sesekali dia menendang bokong Yahan yang memang sudah terlalu sering menendangnya. Namun saat mendengar Yahan memanggilnya "kakak" dengan suara gemetar, tiba-tiba muncul perasaan aneh di hatinya. Mengingat interaksi mereka selama ini, sepertinya dia benar-benar memperlakukan Yahan seperti adik perempuan yang bisa diajak bercanda. Perasaan ini... terasa hangat, tapi juga jahat - karena pikirannya sudah mulai melayang ke hal-hal tak senonoh...
Jiaming mengangkat bahu, mengenakan sandalnya lalu berjalan menuju pintu. Saat membuka pintu, Yahan sedang diam-diam membuka mantelnya lagi. Ekspresi wajahnya terlihat sangat lucu.
"Selamat malam, tidur nyenyak."
Sambil melambai, Yahan yang meringkuk di sudut menjulurkan lidah membuat wajah hantu yang garang. Jiaming tersenyum lalu menutup pintu.
Perlahan memeluk mantel di pangkuannya, Yahan duduk diam di sudut itu. Pukulan-pukulan Jiaming tadi sebenarnya tidak sakit, tapi kini seluruh tubuhnya terasa panas seperti mendidih. Sebagian karena aliran darah yang cepat, tapi yang lebih dominan adalah rasa malu yang membara.
Bajingan kecil itu, dipukul saja sudah keterlaluan, bahkan pantat wanita terhormat pun ditendang mati-matian, sampai harus memanggilnya Kakak baru mau berhenti...
Dengan tenang, sangat tenang, cahaya lampu hias menembus jendela ke dalam ruangan. Di sudut, Yahan meringkuk seperti bola, gigi mutiara putih bersihnya menggigit jari lembutnya. Di balik rambut yang berantakan, dia tenggelam dalam perasaan kompleks campuran bahagia dan malu. Entah dari mana datangnya kebahagiaan ini, pengakuan belum sempat diucapkan, malah dipermalukan dengan dipukuli. Dirinya sendiri, sepertinya mulai jatuh dalam dosa...
## Bagian Ke-117 Hobi Buruk Kaoru
25 Desember 1997, Natal.
Waktu mendekati siang, dentuman senjata bergema di kerumunan orang. Dalam helaan nafas yang beruntun, muncul wajah pria paruh baya yang muram. Berdiri di tengah kerumunan, ekspresi Jiaming mulai agak kaku.
Ini adalah taman hiburan besar yang dilindungi oleh Shazhu Bang.
Salju telah berhenti sejak pagi hari. Cuaca dingin menusuk, jumlah pengunjung di taman tidak bisa dibilang banyak tapi juga tidak sedikit. Kini lebih dari 20 orang terpaku di depan gubuk penembakan angin, menyaksikan seorang gadis cantik bak boneka porselen dengan setelan olahraga putih berbulu. Dengan postur sempurna, ia terus-menerus memasang peluru dan menembak. Di dalam gubuk, plat besi kecil sebagai sasaran empuk berjatuhan satu per satu.
Sial, hal seperti ini...
Hal ini tentu harus dimulai dari pagi hari ini. Karena kemarin adalah Malam Natal, kampus libur setengah hari. Hari Natal hari ini, tentu saja libur penuh. Setelah sarapan di villa Yahan, Lingjing sesuai rencana yang sudah disepakati bersiap kembali ke perguruan silat, sementara Shasha kembali ke tempat ayahnya. Jiaming dengan alasan pulang ke rumah, tentu saja pergi bersama kedua perempuan itu. Yahan semalam bertarung dengan Jiaming, emosinya anehnya bersemangat sampai larut malam, susah tidur lalu dibangunkan untuk sarapan. Di tengah-tengah, dia bahkan mengalami mimpi basah yang memalukan. Dengan mata mengantuk, dia menyantap mi buatan Lingjing lalu melambaikan tangan pada ketiganya, tak lupa kembali ke kamar untuk tidur lagi.
Faktanya, di hari Natal seperti ini, Jiaming pulang juga tidak ada artinya. Sesuai kesepakatan sebelumnya, ayah Shasha toh adalah bos geng kriminal. Untuk menghindari kejadian tak terduga, saat bertiga berpisah, biasanya Jiaming akan menemaninya. Mereka membuat janji untuk makan malam bersama di perguruan silat lalu ke kampus. Saat tiba di plaza depan akademi, ketiganya melihat Tsukike Kaoru yang sedang duduk di pinggir jalan.
Rambut hitam yang runcing, mantel putih bersih. Duduk di bangku batu dingin di pinggir jalan, gadis Jepang yang cantik memesona menatap segalanya dengan ekspresi kesepian: lalu lalang kendaraan, papan iklan raksasa, helaian salju yang berjatuhan... Saat Lingjing dan Shasha mendekat untuk bertanya, baru tahu gadis ini baru saja sarapan dan sedang duduk sebentar di sini. Kemudian terunggap bahwa selama liburan dia sama sekali tak punya tempat untuk pergi.
Memang, bayangkan seorang gadis asing yang tak familiar dengan daerah ini, pernah diculik dan disiksa sebelumnya... Simpati kedua gadis ini langsung tersentuh. Mereka pun mengajaknya bermain bersama Jiaming dan Shasha hari ini, mengingat ayah Shasha baru saja mengambil alih taman besar - sebaiknya ajak dia mencoba semua wahana di dalam taman seluas beberapa li itu.
Kuda kayu putar, kapal bajak laut, kereta api terowongan... Sekitar lewat sepuluh, seseorang datang memberi tahu bahwa ayah Shasha sudah kembali. Shasha segera pulang menemui ayahnya, menyuruh Jiaming menemani Yuechi terus bermain. Kemudian saat Jiaming ke toilet sebentar, kembali sudah melihat pemandangan seperti ini.
Ha! Manusia harus menjaga profil rendah... Dalam hati dia menghela. Memang sebelumnya dia pernah bilang agar dia main di sekitar beberapa wahana terdekat, tapi "main" bukan berarti pertunjukan, senjata angin pun bukan untuk latihan kemampuan menembak...
Ekspresi Jiaming mulai kejang-kejang, sementara wajah si bos toko nyaris kram. Awalnya dia melihat gadis lemah lembut yang cantik luar biasa ini berdiri di salju, ingin menarik sedikit bisnis sambil menikmati pemandangan perempuan cantik yang menyenangkan mata. Tapi siapa sangka, gadis ini mengambil senjata tanpa sepatah kata. Setelah beberapa tembakan awal yang kurang tepat, berikutnya setiap byur-byur nyaris tak pernah meleset. Hadiah yang harus dia keluarkan pun berubah bertahap dari liontin ke boneka kain kecil, boneka kain sedang, kereta api mainan, pesawat mainan, sampai boneka besar... Jika ini terus berlanjut, dia yakin dirinya akan bangkrut.
"Ehm, hehe, berhenti... berhenti..." Jiaming menerobos kerumunan orang buru-buru menghentikan aksi pamer si gadis, "Dia adikku, hehe. Tidak bisa apa-apa kecuali jago menembak ayam dan bebek. Nanti mungkin bisa masuk tim nasional. Sudah, jangan usik bos lagi. Kalau suka apa, bilang saja ke bos. Ehm, Bos, hadiah apa yang bisa dia ambil?"
Melihat akhirnya ada yang berani maju, sang bos akhirnya bisa lega: "Uh, haha, selama Adik kecil ini suka, apa saja boleh, apa saja boleh..." Sambil mengusap keringat dingin di dahinya, ia terus memuji kemampuan menembak dan kecantikan Tsukike Kaoru. Jiaming tertawa gelap dalam hati, saat bertanya apa yang diinginkan Kaoru, ia mengira gadis itu akan bersikap acuh seperti biasa. Tapi ternyata jarinya menunjuk: "Aku mau... kucing itu..."
"Wah, tapi itu panda..."
Dengan sedikit terkejut membetulkan kesalahannya, sang bos buru-buru mengambilkan boneka panda besar setinggi lebih dari setengah manusia di rak atas. Memeluk boneka besar berbulu halus sambil berjalan di belakang Jiaming, penampilan Kaoru kali ini jauh berbeda dari biasanya - terlihat lebih imut, kekanak-kanakan, dan seolah melunak. Jiaming kerap menoleh melihatnya.
"Uh, suka boneka?"
"Suka."
"Waktu kecil belum pernah bermain ya?"
"Hmm..."
"Masih ada yang lain yang disuka?"
"Tidak tahu..."
Berhenti di hamparan salju, menghadapi perempuan ini, Jiaming tersenyum: "Heh, setiap hari bergulat di tepi hidup dan MATI sebenarnya hal yang menakutkan, dalam hal ini ninja dan pembunuh sama. Tapi perbedaannya, ninja mengurungkan sebagian besar rasa takut, menekan segala perasaan. Itu tidak baik, jadi kau tidak bisa tersenyum, hampir tidak bisa berbohong. Pembunuh tidak memedulikan prinsip, tidak punya sebanyak prinsip dan aturan seperti kalian, tapi tekanan mental sering meledak, butuh saluran untuk melampiaskan..."
"...Sebagian pembunuh akan menyalahgunakan narkoba, memberikan luka pada diri sendiri atau mengurung diri di kamar gelap. Itu tidak baik, setelahnya kebanyakan bunuh diri. Yang lebih baik adalah yang suka terus-menerus naik ranjang, MEMBUNUH, membaca buku, membersihkan senjata. Paling sehat tentu bepergian, clubbing semacamnya. Karena kau ingin masuk ke bidang ini, kurasa sebaiknya temukan beberapa hal yang kau suka lakukan. Kebiasaan menyukai boneka kain itu baik, nanti beli beberapa lagi untuk diri sendiri."
Sepanjang jalan menggendong panda mengikuti Jiaming, tak lama kemudian mereka berdua duduk di kabin bianglala yang perlahan naik di atas langit kota. Jiaming sesekali menjelaskan metode menghadapi serangan dalam situasi khusus, tapi sebagian besar waktu tetap diam. Pemandangan salju putih perlahan terbentang dalam jarak pandang. Mereka duduk berseberangan, Jiaming menatap keluar sambil melamun bosan, Tsukike Kaoru sesekali melirik Jiaming sambil memeluk panda, lalu segera memalingkan muka.
"Juga pengalaman pertama?"
"Hmm."
"Suka?"
"Suka..."
“Jangan pernah suka ini. Jika ada yang melakukan pembunuhan bayaran padamu, kamu hampir tidak punya ruang untuk bereaksi. Usahakan lupakan ini di kemudian hari.”
“Ya.”
Setelah itu adalah mobil bumper gila, setelah serangkaian tabrakan liar, Jiaming bertanya: “Pengalaman pertama?”
“Ya.”
“Suka?”
“Suka……”
“Jangan suka ini. Jumlah kami banyak, akan merepotkan jika ada yang ingin membunuhmu. Lagipula mobilnya bukan kamu yang periksa sendiri, bom pun tidak bisa dibedakan. Usahakan lupakan ini nanti.”
“Ya.”
Selanjutnya……
“Terlalu banyak hal yang kau sukai, ini masalah besar.” Jiaming mengerutkan alisnya, “Baik, aku akui masa kecilmu tidak berarti, tapi menjadi pembunuh adalah profesi yang kesepian. Hindari hal-hal ramai, jangan buat pola yang terlalu jelas. Tapi menurutku menyukai boneka kain masih bagus, kau bisa sambil memeluk boneka sambil baca novel roman. Lingjing dan mereka juga suka ini, tentu memeluk pria atau boneka plastik juga boleh. Sudah… hampir waktu makan, kita pulang saja.”
Melihat jam tangannya, Jiaming berbalik dan berjalan di depan. Tsukike Kaoru menggendong panda besar seperti biasa mengikuti, menoleh melihat fasilitas-fasilitas di taman kecil itu, lalu memindahkan pandangannya ke punggung Jiaming……
Sebenarnya, semua hal itu tidak penting. Perasaan yang kusukai hanya……
Tubuh panda yang hangat dan halus bergesekan di wajahnya. Ia hanya memandangi dengan tenang, mengikuti siluet punggung itu dengan diam……
Keluar dari pintu gerbang taman, Jiaming dan Kaoru menuju sebuah bar tak jauh dari sana. Saat mendekat, baru tersadar suasana sepertinya agak bermasalah.
Belakangan ini kekuatan Shazhu Bang sedang berkembang ke wilayah ini. Sambil bersaing dengan geng lain, bar bernama "Cappuccino" ini bisa dianggap sebagai markas sementara. Biasanya jika ada hari libur, Shasha harus pulang, ayahnya Liu Zheng juga lebih sering kembali ke markas besar guild yang cakupan kekuasaannya lebih lengkap. Namun liburan kali ini jelas lebih mendadak baginya, sehingga kini muncul sedikit masalah.
Di depan bar yang belum beroperasi, puluhan orang terlihat santai saling berhadapan. Satu pihak jelas anggota Shazhu Bang, sementara pihak lain adalah anggota geng asli jalan ini. Meski suasana terlihat tenang dan mereka seolah sedang berbincang ramah, Jiaming paham bahwa di dalam bar sedang berlangsung negosiasi.
Dirinya perlu menyembunyikan kekuatan, tapi MM Kolam Bulan yang menggendong panda besar di belakangnya tidak. Polisi dan [] mungkin sudah tahu latar belakangnya. Sampai di depan bar, Jiaming bertanya sambil tersenyum: "Xiao Sa Ge, apa Shasha ada di dalam?"
"Oh, Jiaming." Pria bernama Xiao Sa itu menatap gadis cantik penggendong panda sejenak, lalu tersenyum: "Sedang negosiasi di dalam. Nona Huai Sha memang ada di sana, tapi sebaiknya kalian jangan masuk dulu. Tidak akan ada masalah."
"Kalau memang tidak ada masalah, kami masuk dulu saja. Tenang, setelah ketemu Shasha kami akan mengintip dari belakang, tidak akan bikin ribut."
Siang hari, lampu di bar menyala, pencahayaan masih cukup terang, dua orang berjalan masuk satu di depan dan satu di belakang. Di aula, banyak orang berdiri bertebaran kiri kanan, di samping meja bundar, orang-orang dari kedua pihak sedang berteriak-teriak, tapi masih dalam tingkat yang hanya menggertak tanpa benar-benar berkelahi. Saat mereka masuk, banyak tatapan tertarik, tentu saja, semua orang memandang stabil ke arah Kaoru yang di belakang. Berbalut putih murni, terlihat lemah lembut, cantik, dan menggendong boneka panda besar, desain yang mencolok seperti maskot.
Di pintu kecil sebelah aula, gesekan suara muncul, melambai-lambaikan tangan ke arah sini.
Pertengkaran yang terhenti karena kedatangan mereka hanya sebentar, kemudian para bos yang berhadapan mulai mengetuk meja lagi dengan liur berterbangan. Saat Jiaming dan Tsukike Kaoru lewat, seorang botak terdepan mengayunkan gelas anggur di tangannya, menuangkan anggur merah ke boneka panda yang digendong Kaoru, lalu tertegun sejenak: "Haha, maaf-maaf, tidak sengaja. Mari, aku bantu membersihkan... Lao Zheng, dari mana kau menemukan pelayan wanita secantik ini, wawasanmu bagus."
Tangan yang hendak mengelus boneka panda dihindari oleh Kaoru dengan gesit. Saat si botak mencoba meraih bahu Kaoru, dielakkan dengan halus. Liu Zheng berkata berat: "Ini tamu saya. Lao Tu, lebih baik kau berhati-hati."
"Hmm, di mana aku tidak memperhatikan? Aku tidak melakukan apa-apa. Kalau bukan pelayan yang kau traktir, aku yang akan mentraktirnya. Hehe, 'tidak memperhatikan'..." Si botak tersenyum, "Apakah aku sebegitu hebat sampai kau tidak menyadari? Saat merebut wilayahku, kenapa kau tidak 'memperhatikan' juga! Hari ini aku tidak memperhatikan lagi, kenapa? Jangan lupa perselisihanmu dengan Yongsheng Bang masih belum selesai, kau ingin berkelahi?"
Dalam suara bicaranya, dia kembali meraih boneka panda besar di pelukan Tsukike Kaoru. Kali ini tidak bisa dihindari, mainan boneka langsung dilempar ke belakang bawah tanah, lalu diambil oleh salah satu bawahannya. Suasana langsung membeku di aula, kedua pihak tahu pertarungan ini tidak menguntungkan. Kekuatan pihak botak tentu tidak sekuat Shazhu Bang, tapi Shazhu Bang saat ini juga sedang dalam kondisi genting. Kaoru mempersempit pandangannya, mendekati orang yang memegang panda. Baru saja mendekat, panda itu dilemparnya ke orang lain yang langsung menangkapnya. Beberapa orang pun tertawa.
Menoleh kembali, pandangan Tsukike Kaoru tertuju pada Jiaming. Melihat beberapa orang yang masih tertawa bodoh itu, Jiaming tersenyum tipis, menggelengkan kepala. Saat berbalik menuju Sasha, dia membuat gestur sederhana.
Terserah kamu...
## Bagian Seratus Delapan Belas Terserah Kamu
Terserah kamu...
"Menggoda si cantik memang menyenangkan!" Sambil membawa panda besar itu, semua orang tertawa. Sebelum datang bernegosiasi, mereka sudah memperkirakan Liu Zheng mustahil benar-benar mengusir hanya karena masalah sepele. Selama tidak berlebihan, sedikit provokasi tetap perlu dilakukan. Sambil membawa panda itu di tengah candaan, semua mata tertuju pada ekspresi Liu Zheng. Si botak di meja tersenyum: "Bagaimana? Hm? Lao Zheng, seperti katamu tadi, ini cuma hal kecil. Jangan marah, marah tidak baik untuk kesehatanmu."
"Aku sarankan kalian sebaiknya mengembalikan barang itu!" Liu Zheng berdiri perlahan di depan meja, sepertinya akan bertindak. Saraf semua orang langsung tegang. Aula yang sunyi semakin terasa mencekam meski hanya ada satu suara yang menggema.
"Hehe, ayo, Adik kecil. Mau panda? Kalau mau, tersenyumlah dulu untuk Kakak... Aaa——!!!"
Tiba-tiba jeritan menyayat jantung mengguncang ruangan. Orang-orang yang sedang berhadapan dengan Liu Zheng berbalik dengan panik. Mereka melihat Tsukike Kaoru sudah memeluk panda itu, sementara pria yang tadi memegang panda itu kini terhuyung-huyung mundur dengan beberapa sumpit bambu menancap dalam di pahanya. Darah mengalir deras – sumpit itu tertancap begitu dalam hingga diperkirakan sudah melukai tulang, membuat teriakannya terdengar sangat menyakitkan.
Tik! Tok!... Di momen ini, semua orang terdiam terpana, termasuk Liu Zheng, termasuk Shasha yang biasa melatih Tsukike Kaoru, Jiaming tersenyum sinis. Gadis berbaju putih mengusap noda alkohol di boneka panda besar dengan hati-hati menggunakan lengan bajunya, lalu berjalan tenang ke samping.
"Ah... Ah—Kau perempuan brengsek ini..." Pria yang memegangi pahanya bersandar di sofa sebelah, tiba-tiba berteriak dua kali lalu berlari pincang ke arah Tsukike Kaoru. Sebelum sempat dihalangi, Tsukike Kaoru yang sedang berada di dekat kursi langsung menarik taplak meja dan menyampirkannya ke kepala pria itu. Vas bunga hiasan dan sampanye di atas meja beterbangan di udara. Sebelum benda-benda itu jatuh, sang gadis berbalik tubuh dan menyerang.
Byur——
Sesaat setelah tubuhnya tertutup taplak, botol alkohol meledak di kepalanya. Saat pria itu terjatuh, beberapa kawannya bergegas mendekat: "Kak Shui, Kak Shui..." Dalam sekejap, anggota Shazhu Bang sudah menggelengkan kepala dan bersiul penuh kekecewaan. Awalnya mereka berbaik sangka pada gadis cantik yang dibawa Jiaming dan Shasha. Baru saja ingin bertindak, siapa sangka gadis zaman sekarang sudah seberani ini—tidak hanya Shasha dan sahabatnya Lingjing, bahkan gadis asal Jepang ini bisa dengan mudah mengalahkan pria kekar.
“Mengangkat taplak, tidak hanya paha orang itu mengucurkan darah, darah di kepalanya juga terus mengalir. Beberapa langkah jauhnya, Tsukike Kaoru duduk diam di sofa, membersihkan noda pada boneka panda dengan tenang. Si botak yang memimpin mengangguk: "Bawa dia keluar! Liu Zheng, bagaimana kau menghitung ini sekarang?"
“Hehe, dari awal sudah kukatakan, ini tamuku. Apa pun yang dilakukannya tentu tak akan kucampuri. Bukankah sudah kusampaikan padamu? Sebaiknya kau lebih berhati-hati, mengapa kalian tetap tak mendengar?”
“Hmph, baik, baik.” Si botak mengangguk, “Kau tak campur tangan ya? Kalau begitu sekarang aku akan bertindak padamu, kau juga tak akan ikut campur?”
“Silakan coba.”
Duduk di depan meja, Liu Zheng tersenyum stabil seperti delapan penjuru mata angin. Si botak membelalak, sejenak kemudian ia mengayunkan tangan ke belakang: “Bawa perempuan itu kembali bersamaku!”
Liu Zheng mengepalkan meja BYUR! lalu berdiri: “Siapa yang berani lancang, coba saja!”
“Aku harus mempertanggungjawabkan pada saudaraku. Lao Zheng, perselisihan ini mau kau tanggung atau dia yang memikul? Jelaskan jelas, aku akan bertindak SEKARANG JUGA!”
Di dunia hitam, harga diri adalah segalanya. Ketika bawahan dipermalukan di depan umum, jika kehormatan tak bisa direbut kembali, akan jadi bahan hinaan di kemudian hari. Di tengah keributan, suasana antara kedua pihak kembali tegang. Di sisi lain, Sha Sha melihat Jiaming mendekat, bertanya bingung: “Mengapa sebelumnya aku tak tahu Kaoru sehebat ini? Apa dia tidak apa-apa?”
“Heh, tenang saja.” Jiaming tersenyum menghibur, “Kekuatan keluarganya lebih besar dari gabungan seluruh geng kriminal Kota Jianghai. Beberapa orang ini tidak bisa mengganggunya. Ngomong-ngomong, ada makanan tidak? Sudah waktunya makan, perutku sangat lapar.”
“Hampir saja berkelahi! Kau hanya tahu ingin makan!” Sha Sha melotot padanya dengan wajah merah, sambil menarik tangan Jiaming ke belakang saat tidak ada yang melihat: “Ayah biasanya tidak sering makan di sini, biasanya pesan delivery. Kompor memang menyala, tapi kulkas basically kosong. Sekarang kita hanya bisa makan mi instan... Eh, Kaoru benar-benar tidak apa-apa?”
“Tenanglah, jangan lihat Kaoru agak bodoh saat belajar, dia sebenarnya sangat kuat. Aku bisa buktikan.”
“Hmph, kalau dia dianggap bodoh, aku harusnya malu sampai MATI...” Sha Sha mengernyitkan bibir, “Hei, jujur saja. Kaoru sehebat itu, kenapa masih harus belajar dariku? Pasti diam-diam belajar darimu, kan? Mmm... Mm...”
Di tengah bicara, bibirnya yang mengernyit tiba-tiba digigit Jiaming. Setelah berjuang beberapa saat dengan suara gemetar, Sha Sha akhirnya berhasil melepaskan diri dengan wajah merah padam. Pipi segarnya kini dipenuhi pesona genit. Setelah beberapa kali menarik napas pendek, dia memukul bahu Jiaming dengan lemah: “Kau mau membunuhku? Cepat jelaskan! Jangan alihkan topik!”
"Melewati terowongan menuju sebuah kamar di belakang, Jiaming sambil menjelaskan latar belakang keluarga Yuechi pada Shasha, sambil membuka kulkas mencari bahan makanan. Tiga telur ayam, rumput laut, setengah wortel, dua asinan, sepotong daging asap beku yang keras seperti tongkat besi... Di sisi lain, Shasha dengan kompak mencuci wajan yang tampak belum dipakai selama setengah bulan di atas kompor, sesekali mengeluarkan decak kagum."
"Oh, ternyata dia benar-benar datang untuk belajar Kung Fu China. Hmph, pantas saja aku mengajarinya dengan serius. Ngomong-ngomong, Jiaming, kau menyuruhnya di luar untuk memberinya kesempatan latihan? Aku ikut juga ya."
"Jangan mimpi." Jiaming tersenyum. "Meski Kung Fu Kaoru tidak semahir kau, dalam pertempuran nyata kau jauh ketinggalan. Lihat saja kemampuannya menahan sakit. Lagi pula ini cuma masalah kecil, kehadirannya di sana sudah cukup."
"Lalu kenapa kau mengajariku dan Lingjing jurus bertarung? Beberapa teknik ingin kucoba... Hehe... Kalau dipakai padamu sama sekali tidak memuaskan."
"Cewek kekerasan... Aku mengajarimu dan Lingjing hanya untuk jaga-jaga. Aku akan berusaha menjauhi hal-hal itu, mencegah skenario darurat terjadi. Jika sampai kau harus turun tangan, lebih baik aku habisi mereka semua sekaligus."
"Bisa aja loe! Sekali serang langsung habisin semua?" Shasha melotot manis padanya.
"Termasuk gerombolan di luar. Jika mereka tidak kabur, tanpa senjata, lima menit selesai segalanya..."
Dalam percakapan mereka berdua, Jiaming telah memasak sup rumput laut telur ayam, merendam mi instan, lalu menumis daging asap dengan wortel dan menaruhnya di atas mi. Persis saat itu, suara kekacauan akhirnya terdengar dari luar.
"Sudah mulai berkelahi, aku harus keluar membantu!" Shasha buru-buru ingin berlari keluar. Jiaming menarik tangannya, menaruh mi wangi di telapaknya: "Tenang, Kaoru yang turun tangan. Hal ini akan cepat selesai. Kita fokus makan mi saja. Percaya padaku, ya?"
Shasha ragu sejenak, akhirnya mengangguk. Mereka berdua duduk di kursi dalam kamar menyantap mi hangat. Shasha bertanya: "Jiaming, kalau aku benar-benar keluar, berapa orang bisa kuganyang?"
"Hmm... Satu per satu, ditambah teknik yang kuajarkan, mungkin 7-8 orang. Kalau serentak, mungkin cuma 2-3 orang. Tapi baik kau maupun Lingjing, meski duel satu lawan satu, tetap saja aku khawatir..."
Mendengar ini, pipi Shasha memerah. Ia tersenyum: "Tenanglah, aku tak akan sembarangan cari masalah." Diam-diam ia menyantap mi dengan suara gudur gudur. Tak lama, keributan di luar mereda. Beberapa saat kemudian, Liu Zheng masuk melalui pintu, mengendus aroma sedap dan buru-buru mengambil mangkok: "Hah, di luar kacau balau, kalian malah sembunyi di sini makan. Ini masakan Jiaming ya? Enak! Demi semangkok mi ini, aku harus menikahkan Shasha padamu."
“Jiaming cengengesan bodoh, Shasha seperti biasa mendengus: 'Ayah... Oh iya, di luar sudah aman? Ada yang terluka?'”
“Hmm, tentu saja aman.” Menelan mi di mulut, Liu Zheng mengerutkan alis, “Teman kalian... perempuan itu asalnya dari mana? Kami belum mulai bertindak, dia langsung GANYANG orang-orang di sekitarnya, lalu menyilet si Botak Chen sampai berdarah-darah, menyeretnya keluar. Mati sih enggak, tapi mungkin harus RAWAT INAP dua bulan. Jujur, aku belum pernah lihat perempuan sekeras itu. Shasha, di kampus... carilah teman yang rajin belajar kayak Lingjing, atau yang kalem kayak Jiaming. Latar belakang perempuan itu kamu tahu?”
Shasha akhirnya tersenyum lega, melirik Jiaming: “Kami tahu dia jago berantem, tapi NILAI-nya juga top. Lagian dia jarang cari MASALAH. Yang penting dia TEMAN kami. Aku panggil dia masuk makan mi.”
“Aku sudah pesan delivery. Tak pantas mentraktir tamu pakai mi instan. Hei, Shasha...”
“Hmph, jangan harap mau habisin sisa mi sendirian! Mi sisa ini buat Kaoru. Berani sentuh, aku MENGUSIR kau lho!” Tertawa membongkar MAKSUD ayahnya, Shasha berlari ke luar. Liu Zheng memandangi Jiaming, lalu menggelengkan kepala dengan KECEWA...
Di aula luar, jejak pertarungan tadi masih terlihat - botol alkohol pecah, meja-kursi terbalik, percikan darah kering. Sekelompok orang sibuk membersihkan. Di sudut sofa, seorang gadis berpakaian putih yang menjadi fokus tatapan, bisikan, dan decak kagum semua orang duduk tegak, dengan lembut membersihkan noda alkohol di tubuh panda. Ekspresinya tenang namun fokus. Gadis dan panda... membentuk ruang dimensi lain yang penuh kedamaian aneh.
Hanya milik satu... alam semesta kesepian.
## Jilid Keempat Saat Masa Muda
## Bagian Seratus Sembilan Belas Menguntit
Band kecil bernama 'Konsep' mulai populer di Kota Jianghai sekitar awal tahun 98. Sebenarnya belum sampai mengguncang langit, tapi di bar Blue Bird yang mengadakan pertunjukan rutin setiap Sabtu, mereka mulai punya sekelompok penggemar setia.
Di tempat itu tidak Izinkan foto atau rekaman video. Band ini juga tidak merilis album. Anggota tim kadang satu Baron dua gadis, kadang satu Baron tiga gadis, semua memakai topeng indah yang menutupi separuh wajah. Konon mereka masih mahasiswa SMA. Terkadang beredar rumor salah satu anggota adalah pelajar kembali dari seberang lautan - katanya dari tempat seperti Wina, karena band ini sesekali menyanyikan lagu asing dengan pelafalan murni.
“Konsep” band yang disampaikan memang membawa beberapa konsep baru dalam musik. Reputasi mungkin tidak dipublikasikan media, namun di kalangan musik profesional, reputasi mereka telah menyebar cepat. Setiap minggu saat merilis lagu baru, beberapa penyanyi profesional dan pencipta lagu datang ke bar, berharap mendapat inspirasi atau membeli lagu baru. Konon lagu terbaru 《East Wind Breaks》 berasal dari band ini. Sumber semua informasi ini berasal dari beberapa penulis lagu berpengaruh di industri musik yang memiliki otoritas cukup besar.
Di bulan Maret-April, gerimis halus bagai sutra membangunkan musim semi Kota Jianghai dalam kicauan burung oriole yang merdu. Sejak awal tahun, dampak Badai Finansial Asia semakin dalam. Krisis politik dan ekonomi besar di Indonesia, penurunan terus-menerus nilai tukar yen Jepang. Sepanjang tahun ini, berita gelombang PHK dan kebangkrutan perusahaan sudah bukan hal langka. Dalam tirai hujan, pejalan kaki dan mobil di jalanan kota berlalu cepat, sibuk dengan kehidupan masing-masing.
Di titik pemberhentian depan gedung olahraga pusat kota, sebuah bus rute 407 melambat mendekat. Saat pintu terbuka, terdengar notifikasi kedatangan yang merdu, pertama dalam bahasa China lalu diulang dalam bahasa Inggris. Dari kerumunan penumpang yang padat, seorang gadis dengan susah payah menerobos keluar, kemudian membuka payung warna krem pasir di tangannya.
Gadis itu terlihat berusia sekitar enam belas hingga tujuh belas tahun. Bagian atas tubuhnya mengenakan jas hijau muda yang segar, bagian bawah memakai rok wol setengah betis bertabur bunga-bunga kecil kuning, celana panjang ketat yang mengikuti garis betis, sepatu kulit hitam bertumit rendah, serta topi kecil biru air di kepala. Rambut hitamnya yang berkilau terurai lembut seperti air terjun di punggungnya, terlihat modis namun tidak norak, penuh kesan segar dan menawan. Sambil memegang payung, dia pergi dari halte bus menuju pintu gerbang gedung olahraga yang tak jauh.
Naik hingga lantai dua ke arena voli, mendorong pintu masuk. Di tengah lapangan, seorang perempuan gaya tomboi dengan ekor kuda sedang melompat tinggi di depan jaring. Byur! Bola voli di-smash dengan cepat dan tepat, mencetak poin. Seketika sorak gembira ngank memenuhi sekeliling.
Ini adalah pertandingan semifinal kedua Kejuaraan Voli Putri SMA Kota Jianghai, antara perwakilan SMA Sacred Heart melawan SMA No.2 Kota. Gadis yang baru saja melakukan smash itu memiliki ekor kuda yang berkibar-kibar. Penampilannya cenderung androgini, namun justru memancarkan pesan yang awet dipandang. Ekspresinya tegas dan mandiri, senyumannya segar menyenangkan. Meski tidak terkesan lemah lembut, justru tipe yang lebih mampu membangkitkan keinginan menaklukkan pria dibanyak gadis lain. Mengusap keringat di dahi, matanya langsung menangkap kehadiran gadis baru masuk, bersinar penuh tanya dalam senyuman.
"Aku kembali! Nungguin kau di sini, nanti kita ngobrol." Dengan gerakan tangan yang lincah, gadis segar itu menunjuk tribun penonton sambil menangkupkan tangan di mulut: "Semangat! Shasha!"
“Kerja bagus, Liu Huaisha.”
“Seranganmu apik, lanjutkan, Sha Sha.”
Beberapa rekan satu tim yang mendekat menepuk bahu gadis itu, kemudian serangan putaran berikutnya dimulai. Sha Sha melompat ke udara, menangkis servis licin lawan...
Saat peluit akhir berbunyi, Akademi Hati Kudus meraih kemenangan. Keluar dari ruang ganti, Sha Sha masih merapikan kait pada baju bagian atasnya: "Lingjing, bukannya katanya baru pulang malam ini? Kok sudah sampai sekarang?"
"Pulang lebih awal nggak diterima?" Lingjing yang berdiri di depan jendela kaca besar membantu merapikan kerah kemeja dalamnya yang belum rapi. Terlihat hari ini Sha Sha memakai jaket biru santai di bagian atas dan celana wanita lurus di bawah. Andai bukan karena dada montoknya, penampilannya benar-benar mirip anak laki-laki kurus yang tampan. Lingjing tak bisa menahan senyum, "Hehe, gaya kamu gini jangan-jangan mau merayu cewek lain saat aku dan Jiaming nggak ada?"
"Nggak ada..." Dengan gerakan gagah memainkan ekor kuda di belakangnya, Sha Sha menyapa beberapa gadis yang keluar dari ruang ganti sambil tertawa, "Aku sudah punya kamu, Lingjing. Buat apa lagi suka pada orang biasa di luar? Kok kamu meragukan kesetiaanku gini sih."
"Gesekan," kata Shasha sambil merangkul pinggang berlekuk Lingjing. Bertiga berkejaran, Lingjing tertawa sambil berkata: "Sudahlah, setelah upacara leluhur kemarin, pagi ini kebetulan ada mobil. Aku buru-buru pulang, lalu langsung mencarimu. Cukup baik kan aku... Hehe, takut kalau aku dan Jiaming pergi terlalu lama, kau bisa mati kelaparan karena tak bisa mengurus diri. Haha, sudahlah, jangan gelitik aku lagi. Aku menyerah... Ngomong-ngomong, selama jadi anggota cadangan tim voli, ini kayaknya pengalaman pertamamu main ya?"
"Iya, soalnya kemarin Qingming. Hari ini beberapa anggota tim masih cuti, dadakan minta aku main. Sebenarnya ogah datang, tapi di kampus juga bosen. Eh, kamu pulang lebih cepat dari rencana, apa Jiaming juga akan cepat balik?"
Memegang tangan Shasha, Lingjing membuat wajah merajuk: "Kampung halaman Jiaming jauh, mungkin baru besok. Apa aku saja tak cukup? Sudah tahu, di hatimu cuma ada Jiaming, sama sekali tak ada fondasi untukku. Hehe, sudahlah, jangan..." Merasa tekanan di pinggangnya menguat, Lingjing segera merengek-rengek minta ampun.
"Tapi meski pertama kali main, tak perlu semangat berlebihan sampai Byur-byur terjatuh ke tanah. Awas nanti tempat favorit Jiaming kau hajar sampai penyok."
“Kau juga tahu, Tan Suyan kelas tiga itu takut aku merebut sorotan di tim voli, jadi dia terus menahanku untuk tidak turun ke lapangan. Kalau mau main, tentu harus memberikan pelajaran awal padanya, hmm... dan Dongfang Wan yang selalu merepotkan Jiaming juga ada di lapangan, mana mungkin aku menunjukkan kelemahan.”
Dua gadis itu berdesakan di bawah payung seperti pasangan kekasih, berjalan menyusuri jalan panjang yang diterpa hujan rintik-rintik. Beberapa teman sekelas perempuan yang keluar belakangan menatap bayangan di depan sambil bergosip dengan tertawa: “Suyan-jie, lihat tingkah Liu Huaisha dan Ye Lingjing. Jangan-jangan mereka... itu?”
“Eh? Bukan kan?” Tan Suyan yang cantik dan jago olahraga itu mengerutkan alisnya, “Tapi kalau dipikir-pikir, di kampus mereka memang selalu terlihat bersama. Katanya sih mereka tinggal serumah juga...”
“Tapi bukannya sering ada anak laki-laki yang menemani mereka? Katanya ada kabar angin Liu Huaisha sedang dekat dengan anak itu lho.”
“Tapi anak laki-laki itu sama sekali tidak menonjol, katanya dia juga tinggal bersama mereka... Hei-hei, coba tebak, mungkinkah begini - mereka berdua sebenarnya punya hubungan spesial, lalu mereka sengaja mencari anak itu sebagai perisai pembenaran, bahkan sengaja tinggal bersama untuk menciptakan suasana ambigu agar kita tidak curiga?” Perempuan yang agak gemuk itu dengan bangga mengira telah menemukan konspirasi besar, menoleh ke Dongfang Wan di belakang, "Junior Dongfang, katanya kau satu kelas dengan anak itu kan? Memang dia biasa-biasa saja ya? Meski katanya jago basket tapi karakternya kurang baik dan jarang punya teman..."
“Ya, memang tidak disukai. Gu Jiaming itu... karakternya sangat tertutup.” Dongfang Wan mengerutkan kening sambil menjawab.
“Benar! Liu Huaisha saja sudah sangat menonjol di kampus, apalagi Ye Lingjing. Mustahil mereka jatuh cinta pada anak seperti itu, apalagi sampai melakukan hal tinggal bersama. Dengar-dengar mereka bertiga memang teman sejak kecil, jadi pasti ini semua rekayasa, pasti...”
Perempuan-perempuan itu berpisah arah di tengah riuhnya gosip, namun Dongfang Wan justru tertarik dengan kabar angin ini. Dengan payung di tangan, ia menyelinap mengikuti kedua orang tersebut. Di depan, kedua gadis itu terus bercanda mesra, bahkan melakukan beberapa hal yang benar-benar mirip pasangan kekasih. Pada suatu momen, Ye Lingjing bahkan benar-benar mengerucutkan bibirnya untuk mencium Liu Huaisha, lalu mereka kembali berkejaran. Jangan-jangan mereka memang pasangan? Lalu bagaimana dengan Gu Jiaming?
Tak lama kemudian, mereka berbelok ke sebuah jalan dan masuk ke sebuah pusat perbelanjaan besar. Dongfang Wan yang mengikuti dari jauh sempat kehilangan jejak sebentar. Ketika kembali menemukan mereka, kedua gadis itu sedang berdiri di depan etalase produk kesehatan sambil tertawa-tawa melihat suatu benda.
Apa itu...
Dengan sembunyi-sembunyi mengintip, yang terlihat di depan matanya adalah sebuah Alat Pijat listrik. Dongfang Wan tentu tahu fungsi benda ini - Kakeknya di rumah sering memakainya untuk memijat kaki, itu salah satu kegunaannya. Adapun fungsi lainnya, sebagai gadis yang sejak kecil terpapar banyak pengetahuan dan memiliki rasa ingin tahu besar, Dongfang Wan kebetulan sangat familiar. Bahkan ia pernah mencoba mengikuti adegan di beberapa rekaman video... Ah, tentu saja itu tidak penting.
Memikirkan kegunaan jahat itu, wajah Dongfang Wan tiba-tiba memanas dan memerah. Melihat keakraban dua perempuan ini - ya, tentu saja! Jika membeli untuk orang tua di keluarga, mereka bukan satu keluarga, mengapa hanya beli satu? Dua remaja penuh vitalitas ini membutuhkan barang itu di bagian tubuh mana - tentu hanya untuk urusan memalukan semacam itu...
Belakangan ini mood Kakak terus menurun, kadang menyalahkan Gu Jiaming yang menggaet dua perempuan sekaligus. Rupanya ini sama sekali bukan kesalahan Gu Jiaming. Dari awal Kakak sudah salah memilih lawan. Gu Jiaming itu... selama ini hanya berpura-pura menjadi pengawal bunga bagi dua perempuan ini demi persahabatan? Konflik dengan klub bela diri dulu karena Ye Lingjing sebagai temannya disakiti, ikut campur urusan klub lain untuk menjaga persahabatan dengan Liu Huaisha, pertunjukan di jamuan Malam Natal itu bukan demonstrasi kecemburuan tapi upaya menjaga perasaan antara dua perempuan...
Kakak malang...
Dalam hati yang mulai memahami ini, perasaan dendam bawah sadar selama satu semester terhadap Gu Jiaming perlahan berubah. Ternyata dia memang merendahkan orang lain, tapi untuk teman... bisa berkomitmen sampai segitunya. Sungguh... terlalu menjengkelkan!
## Bagian Keseratus Dua Puluh Perempuan Mabuk Paling Menakutkan
Sore tadi, iring-iringan keluarga Huang memasuki pusat kota Xinning, sebuah kota besar yang berjarak lebih dari 200 kilometer dari Kota Jianghai. Sebenarnya jika terus menyetir, mereka bisa tiba di Jianghai sebelum tengah malam. Namun karena alasan tertentu, semua orang memutuskan untuk bermalam di sini sementara.
Duduk di barisan belakang sebuah mobil kecil, mendengar dua sepupu yang berpakaian norak mengobrol riuh di sampingnya, Jiaming tetap menunjukkan ekspresi datar bahkan terkesan penyendiri. Ia selalu menjadi anak yang tidak diperhatikan di keluarga Huang. Banyak orang bahkan tidak tahu keberadaan karakter Nomor Satu ini. Sejak masuk SMA, ia basically tidak tinggal di villa. Tapi setiap tahun selalu ada hari-hari tradisional yang tak bisa dihindari: akhir tahun, Yuanxiao, Qingming, Zhongqiu, dll.
Di antara festival-festival ini, Qingming sebenarnya paling merepotkan. Meski keluarga Huang sudah menetap di Kota Jianghai, rumah leluhur mereka sangat jauh dari Jianghai. Setiap tahun ketika festival ini tiba, semua orang harus ikut iring-iringan pulang untuk sembahyang leluhur. Keluarga Huang sangat memperhatikan kemewahan dan aturan-aturan kaku, bolak-balik pasti menghabiskan waktu 3-4 hari.
Setelah orang tua MATI, meskipun tidak diakui oleh kuil leluhur, mereka tetap dikuburkan di sekitar makam keluarga. Setiap tahun menemukan dua nisan itu dan memberikan seikat bunga putih, beberapa tetua keluarga Huang juga akan mengingat adik perempuan yang kabur dari rumah lalu MATI, saat datang akan berbicara beberapa kata dengan Jiaming dan melakukan upacara peringatan, ini dianggap telah memenuhi kewajiban sebagai tetua keluarga. Singkatnya, terhadap keluarga besar ini, meskipun Jiaming tidak punya rasa memiliki, tapi juga tidak menyimpan dendam. Hanya merasa dingin bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Namun terhadap ikatan darah sendiri, Jiaming tidak menganggapnya penting.
Masuk ke Diamond International Hotel termewah di kota, dikabarkan anggota keluarga Zhang Jianghai sudah tiba lebih dulu. Mereka juga baru kembali dari ziarah ke rumah leluhur dan akan bertemu sementara dengan keluarga Huang di sini. Dampak Badai Finansial ini telah menyebabkan kerugian besar bagi kepentingan kedua keluarga, dengan kerugian terbesar dialami keluarga Huang. Keluarga Zhang meski sudah memprediksi pengaruh buruk dari pondasi yang tidak stabil di luar negeri dan bersiap memindahkan pusat gravitasi kembali ke dalam negeri, namun sejak pernikahan Liu Wenli dengan Zhang Yahan batal, kerjasama antara keluarga Zhang dan Liu meski masih berjalan tapi kurang sinkron di beberapa aspek. Sampai sekarang, keluarga Zhang mulai mempersiapkan pencarian partner kerjasama baru.
"Hal-hal ini tentu saja melibatkan lapisan atas keluarga, tidak terlalu terkait dengan Jiaming dkk. Setelah menyiapkan kamar untuk semua orang, para dewasa bersiap menghadiri pesta minuman, sementara yang lain diatur untuk makan kemudian bebas beraktivitas. Bagaimanapun, hotel ini memiliki banyak area istirahat dan hiburan, tidak perlu khawatir orang-orang ini tidak punya tempat untuk bersenang-senang."
"Jiaming juga tidak tertarik dengan aktivitas membosankan anak-anak itu. Ia memesan layanan katering ke kamar, mandi, lalu menelepon pulang untuk mengobrol dengan Lingjing dan Shasha selama setengah jam. Hampir pukul delapan malam, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Saat pintu dibuka, di luar berdiri Xu Yiting dengan wajah pucat."
"Emm, itu... Sepupu Jiaming..."
"Hm? Ada apa?"
"Itu... Bolehkah... meminjam tiga ratus yuan? Atau mungkin dua ratus saja cukup..."
Di bawah cahaya lampu, gadis berkacamata ini tampaknya sedang flu, tubuhnya gemetar ringan sambil terus-terusan menghirup ingus. Jiaming memandangnya sebentar, lalu mengangguk: "Tunggu sebentar, aku tidak membawa banyak uang tunai. Sekarang kita ke bank untuk mengambil, boleh?"
"Ya, terima kasih..."
Setelah memakai pakaian luar dan mengambil kartu kredit, Jiaming juga membawa jaket tambahan untuk Xu Yiting. Keluar dari hotel, lampu neon berkedip di jalanan. Di tempat asing ini, Xu Yiting mengikuti Jiaming dengan takut-takut. Melewati satu jalan, Jiaming mengambil lima ratus yuan di bank lalu memberikan tiga ratus padanya: "Cukup?"
"Emm, terima kasih..."
“Apakah masih ada yang perlu aku bantu?”
“Hmm, terima kasih, tidak perlu.”
“Baik, kalau begitu aku pulang dulu.” Sambil menepuk bahu Xu Yiting, Jiaming tersenyum tipis melihat ekspresi ragu-ragu di wajahnya, lalu berbalik pergi.
Kembali ke hotel, Jiaming berkeliling beberapa ruang hiburan namun tak menemukan hal menarik. Saat hendak kembali ke kamar, di depan balai jamuan lantai dua, seorang wanita berbaju gaun malam putih terhuyung-huyung keluar. Melihat Jiaming, matanya berbinar. Dengan gerakan kasar ia menepis pelayan yang hendak membantunya, lalu berlari kecil ke arah Jiaming.
"Hmm, Jiaming... Aku dengar kamu di sini... Mencarimu ke mana-mana... Kamu ngumpet di mana sih... Wuah..."
Jiaming mencengkeram kerah jas resmi panjang Yahan yang mabuk, memutarnya 180 derajat. Yahan segera muntah-muntah ke pot bunga di tepi dinding. Kerah yang tertarik ke atas memperlihatkan punggung telanjang putih bersih hingga lekuk bokongnya. Sambil menutup hidung jijik, Jiaming mengerutkan kening: "Ada masalah apa lagi ini, Yahan? Baru jam 9 malam belum, sudah mabuk berat. Ini kan jamuan resmi, bukan bar."
"Hiks... Aku benci kamu... Tidak datang mencariku... Wuaah..."
Dalam keluhannya, dia bahkan menyepak Jiaming dengan kakinya. Jika bukan karena bahan gaun malam yang memang berkualitas tinggi, tindakannya menggantungkan seluruh berat badan di kerah baju mungkin akan membuat pakaian itu langsung robek. Jiaming menghela napas: "Sudahlah, kita tidak janjian bertemu di sini. Mana mungkin aku bisa menemukanmu?"
"Itu karena kau tidak mencari dengan sungguh-sungguh! Aku sudah bertanya tentang kamarmu ke pelayan. Barusan kucari kau tidak ada. Sehebat dirimu, pasti bisa menemukanku jika benar-benar berusaha."
Ucapan itu memang benar, tapi Jiaming tahu penampilan Yahan yang seperti ini bukan karena dirinya. Mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun. Setiap kali Pulang Kampung untuk Qingming, emosinya selalu murung beberapa saat. Jika dia mendatangi Yahan dalam kondisi seperti ini, kemungkinan besar akan dipaksa ikut dalam kesembronoan kekanak-kanakannya - persis seperti yang terjadi sekarang.
"Hiks, Jiaming... Kau tahu tidak, aku sangat malang... Aku melihat lagi makam ibu. Kubicarakan banyak hal, tapi dia tidak menanggapi. Bisnis ayah bermasalah, dia malah menyuruhku jadi wanita penghibur. Aku terpaksa memabukkan diri mati-matian lalu kabur... Hiks... Aku anak yang tidak disayang ayah maupun ibu. Kak Jiaming, cium aku dong..."
"Di lorong tidak banyak orang, basically hanya beberapa pelayan yang lalu lalang. Melihat seorang gadis dewasa cantik yang bergumam sambil manja di sebelah bocah lelaki, mereka berpura-pura tidak sengaja melirik. Menyaksikan bibir merah yang masih bernoda bekas muntah itu hendak diciumkan, Jiaming menjepit satu pipi Yahan sampai terdistorsi: "Enyahlah kau! Lihat dirimu sekarang. Pulanglah mandi sampai bersih, semprotkan parfum, bersujud memohon padaku, barulah aku mungkin pertimbangkan untuk menciummu. Wuih... Wuih... Berdirilah sendiri, aku akan melepaskan sekarang."
Begitu dilepas, Yahan melorot seperti lumpur di tepi dinding. Jiaming mengangkat mata putihnya, menggenggam tangan perempuan itu dan mengangkatnya: "Hei, ada apa sih? Dulu meski kadang kau bertingkah aneh, tapi tak pernah seekstrim ini."
"Hmm... Ayah menyuruhku mempertimbangkan memilih suami dari keluarga Huang..."
"Sepertinya keluargamu benar-benar ingin bersekutu dengan keluarga Huang... Dia memaksamu lagi?"
"Tidak memaksa, tapi aku tahu situasi perusahaan sedang tidak baik... Uh, Jiaming, aku pilih kamu saja, setuju?"
"Aku tidak berarti bagi keluarga Huang. Memilihku sama dengan tidak memilih. Lagipula kita semua orang dalam sepenuhnya, tak perlu saling menjerat... Hey, jalan yang benar dong! Aku jadi merasa seperti sedang menyeret mayat..."
“Hehe, terpaksa mengalah, bukan merepotkan… orang tak punya tenaga lagi…” Tangan merangkul bahu Jiaming, kedua kaki terseret miring di lantai tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun. Jiaming menyadari belakangan ini wanita ini semakin bersikap kekanak-kanakan. Meski di depan orang luar semakin matang, begitu bertemu orang dekat langsung menunjukkan wujud aslinya.
Melihat lift sudah dekat dan tak ada kenalan di sekitar, Jiaming langsung memeluk pinggangnya dan mengangkat tubuhnya: “Hei, kau tinggal di kamar nomor berapa?”
“Lima ratus dua, hehe… Jiaming, menurutmu gaya ini mirip kayak… kayak apa ya…”
“Mirip apa?”
“Ehm, mirip… Tolong! Diperkosa! Tolong! Monster cabul! Wuuwu… Aku masih perawan, keluargaku kaya, kumohon lepaskan aku, setuju?”
Kaki Yahan terus menendang-nendang di udara sambil berteriak pelan. Jiaming sejenak merasa tak berdaya, hampir ingin melemparkan orang ini hingga tewas terjatuh. Di saat bersamaan, dari koridor sebelah lift, Huang Haoyun muncul sambil merangkul seorang wanita. Teriakan Yahan yang tidak keras itu jelas terdengar. Kedua pihak saling berpandangan kaku menyaksikan adegan ini.
"Ja... Jiaming?" Pipinya berkedut tak percaya, kemudian Huang Haoyun berseru dengan suara berat: "Gu Jiaming kau sedang apa! Lepaskan Yahan sekarang!" Dulu dia pernah mengejar Yahan, meski sudah lama diusir dari lingkaran, tapi melihat wanita cantik yang pernah disukainya diperlakukan seperti ini, langsung terlihat ingin berkelahi. Namun sebelum Jiaming sempat membela diri, Yahan yang mabuk sudah menggeliat seperti udang di bahu Jiaming, jari-jarinya mengayun tak tentu arah di udara, mulutnya bergumam pelan.
"Huang... Huang Haoyun enyah kau dari sini, bukan urusanmu! Aku ini calon istri yang dipelihara Jiaming sejak kecil! Jiaming boleh berbuat apa saja padaku, asal Jiaming... Jiaming senang! Enyah kau dari sini aaah oooh wuuwuu..."
Udara seketika menjadi beku...
## Bagian Keseratus Dua Puluh Satu
Suasana mendadak beku, mulut Huang Haoyun menganga lebar tak bisa menutup setengah hari. Dia pernah melihat Yahan dalam sikap anggun, pernah melihatnya cantik berseri, pernah menyaksikan kemewahannya, juga mengalami kebekuannya. Tapi yang dihadapannya sekarang... Beberapa kali sebelumnya dalam pesta dia melihat Yahan mabuk, justru semakin mabuk semakin dingin sikapnya. Hari ini ayahnya baru saja memberi tahu mungkin ada kesempatan lagi untuk mengejarnya, tapi sekarang ini bagaimana?
Urat hijau di kening berdenyut dua kali, tangan kiri Jiaming mengangkat: "Emm... dia kalau mabuk memang begini..." Tangan kanannya mencengkeram paha wanita itu dengan kekuatan hampir bisa menyobek daging.
“Pergi sanaaa——” Yahan menggelepar seperti udang.
Pipinya berkedut-kedut, Huang Haoyun bersama wanita di sampingnya berjalan ke ujung lorong. Tiap tiga lima langkah menoleh. Tak lama kemudian terdengar geramannya: "Kau diam!" Jelas ditujukan pada wanita di sebelahnya.
Di sisi lain, sebenarnya sudah bisa menurunkan Yahan. Tapi karena Huang Haoyun belum pergi, gerakannya jadi terkesan menutupi sesuatu. Tangan kanannya mencengkeram paha Yahan, menggigit gigi: "Kau sudah mencelakakanku kali ini."
"Sakit sakit sakit... Wuuwu, Jiaming, Huang Haoyun itu biasa saja. Ngapain takut sama orang itu? Jika keluarga Huang mengusirmu, aku yang menampungmu... Lepaskan! Kalau masih pegang, aku gigit pantatmu nih! Huang Haoyun masih lihat lho! Aku serius..."
"Kalau bukan karena suasana hatimu buruk hari ini, sudah kulempar kau dari tangga..."
Sambil berkata demikian, merasakan tangan Yahan meraba-raba mencari posisi menggigit di bokongnya, cengkeraman di paha wanita itu sedikit mengendur. Saat itu juga pintu lift terbuka. Seorang pelayan berdiri di sana, terpana melihat mereka berdua. Jiaming tersenyum angguk, pelayan itu pun membalas anggukan dengan kikuk.
Masuk ke lift baru meletakkan Yahan, menopang tubuhnya di samping. Untung sikap Yahan akrab, kalau tidak pasti pelayan lift yang nyetir itu ketakutan dan melapor ke atasan. Beberapa saat kemudian, lift sampai di lantai lima. Jiaming membimbing Yahan keluar, kali ini bagaimanapun juga dia tak ingin menggendongnya lagi.
Masuk kamar, nyalakan air panas, lalu langsung melemparkan Yahan ke kamar mandi. Melihat mesin game masih tertancap di TV tepi ranjang, Jiaming duduk bermain tanpa semangat. Sekitar lebih dari sejam kemudian, Yahan yang mengenakan jubah mandi putih baru keluar. Meski pandangannya masih sayu, tampaknya sudah membaik: "Hah. Kau pasti juga lelah, cepatlah tidur. Kalau begitu aku pergi dulu."
Tersenyum, meletakkan joystick game lalu bersiap menghilang. Tiba-tiba terdengar suara Yahan: "Jangan, aku sama sekali tidak ingin tidur, Jiaming temani aku ngobrol sebentar... Di sini juga tidak ada orang lain..."
Jiaming menyeringai: "Kalau propaganda Huang Haoyun cukup gencar, kurasa ayah dan tante kecilmu plus paman-pamanku itu tak lama lagi akan datang menangkap basah, kau tidak takut?"
"Tangkap basah saja, ayahku memang ingin aku menikah dengan keluarga Huang. Setelah memasak nasi mentah jadi matang, lihat saja bagaimana reaksi mereka. Jiaming takut dengan orang-orang di keluargamu?"
"Takut sih nggak, cuma bakal ribet aja..." Dua istri, satu teman, sebagai yang terakhir, Zhang Yahan, adalah orang ketiga yang benar-benar penting di hati Jiaming. Sadar mood-nya lagi jelek hari ini, setelah berpikir sebentar, Jiaming pun duduk kembali melanjutkan game. Yahan sambil duduk di depan meja rias mengeringkan rambut panjangnya dengan pengering rambut, mengambil lipstik: "Jiaming, gimana kalau kamu larutkan lipstik ini pakai air, remas-remas selimutnya dikit, terus guyurin air di seprainya buat jadi bekas darah?"
"Kau Mati deh." Jiaming tak bisa menahan tawa, "Mau bikin simulasi TKP aja, aku punya ratusan cara biar nggak ada celah kelemahan. Pake larutan lipstik, masak kamu bisa mikir begitu... Lagian kau kira semua orang di dunia ini tau kamu masih perawan? Yang bener aja, udah umur 22-23 masih perawan itu memalukan, dua sepupu yang duduk di sampingku tadi, topik obrolan mereka seharian cuma posisi apa yang paling enak..."
"Kalau berani bilang aku bodoh lagi, aku bakal mengusirmu..." Yahan bergumam pelan.
"OK, aku diem."
Suara pengering rambut dan efek suara game terus bersahutan, ruangan tiba-tiba hening oleh monotoninya. Beberapa saat kemudian, Yahan yang masih mengenakan jubah mandi putih dan wangi itu berjalan mendekat, lalu dengan anggun bersujud di karpet sebelah Jiaming, menatapnya sambil mendongak. Saat Jiaming menunduk, matanya langsung menangkap lekuk payudara putih mulus dari belahan jubahnya. Dengan santai ia menutupkan kembali jubah itu, lalu mengalihkan pandangan ke layar TV tempat game-nya berjalan.
“Kau ngapain? Meniru gadis Jepang? Kaoru ini lebih profesional darimu.”
“Hmph.” Wajah Yahan memerah karena gerakan Jiaming, suaranya lembut, “Aku sudah membersihkannya.”
“Hm, aku tahu.” Tetap fokus bermain game.
“Aku sudah memakai parfum.”
“Hm, aku menciumnya… Menurut standar profesional, kau agak berlebihan.” Tatapannya tak berkedip…
“Aku bersujud.”
“Hm, kenapa?” Kali ini, pandangan Jiaming sedikit berfluktuasi energi magis, bingung dengan sujud sengaja Yahan.
“Jadi, Kak Jiaming, kau harus mencium aku…”
“……”
Mereka saling pandang selama tiga detik. Melihat Yahan yang mendongakkan kepala, Jiaming akhirnya tak tahan tertawa. Sebelum perempuan itu kambuh, dia mengulurkan kedua tangan: “Hm, ciuman adalah hal yang suci. Jadi ekspresimu harus lebih manis, wajah sedikit bulat, bibir membentuk busur imut, mata besar polos itu… Ya, kedipkan dua kali, berkilauan, lalu… tutup perlahan…”
Setengah hari merapikan wajah Yahan, Jiaming merasa sangat puas melihat perempuan cantik yang sudah menutup mata itu. Suaranya lembut: “Meski masih ada sedikit cacat, tapi untuk melawan pria, ini pasti mematikan. Lalu…” Tanpa ragu dia mengangkat kaki dan menendang bahu Yahan hingga terjungkal. Setelah tertawa histeris sambil memegang perut, dia ditendang berkali-kali oleh kaki giok Yahan yang tergeletak.
“Hehe... Haha... Aku mati ketawa... Tolong, ini aku sedang mengajarimu metode mematikan untuk melawan pria, setuju? Haha... Kau masih menendangku...”
“Gu Jiaming, Aku takkan berakhir denganmu!”
“Haha, itu ucapan Dongfang Wan yang selalu dikatakannya padaku. Saat ini, apa kau sedang dirasuki Dongfang Wan dan bertempur bersamanya? Haha.”
Keduanya berhadapan di atas ranjang, satu tertawa terbahak-bahak, satu lagi merah padam karena marah. Setelah saling berteriak beberapa saat, Jiaming tersenyum: “Sudah-sudah, aku di sini menemanimu bicara. Cepat naik ranjang dan tidur. Semakin cepat kau tidur, semakin cepat aku menghilang.”
“Sekepentingan itu kau ingin menghilang? Apa aku sangat membencimu?” Dalam hati, Yahan merasa tersinggung karena sudah bersujud mabuk minta ciuman tapi dianggap main-main. Jiaming tetap santai sambil mendorongnya ke ranjang: “Kalau tidak pergi, apa aku harus menginap bersama?”
“Menginap ya menginap! Paling-paling aku memberimu sedikit keuntungan!”
“Aku takut ayahmu akan mengulitiku hidup-hidup...” Menindihnya di bantal dan menyelimutinya, Jiaming membungkuk dan menempelkan bibirnya ke dahi Yahan. Secara bawah sadar, Yahan menundukkan lehernya sambil melotot.
“Sudah, kan sudah kucium sekali. Aku tidak berhutang padamu lagi.” Duduk di ujung ranjang melanjutkan game, Yahan merasa pipinya memanas: “Kau... kau pikir kau ini ayahku ya...”
“Hehe, kadang aku merasa agak mirip…” Sambil bicara, sebuah bantal terbang ke arahnya. Jiaming menangkapnya dengan gesit, menyelipkannya di belakang selimut sebagai bantalan. Beberapa saat kemudian, barulah terdengar suara Yahan yang samar: “Terima kasih, Jiaming.”
“Kau tahu. Budi besar tak perlu diucapkan terima kasih, aku masih menantikan balasanmu yang berlipat ganda di kemudian hari.”
“Ah, dasar kau, selalu tak mau serius… Hei, jika kubilang ibuku dulu…”
“Hmm, sebelumnya kau memang sering mengatakannya. Tapi, tak apa lanjutkan sekarang.”
“Sebenarnya, ibuku sangat baik. Dulu dia juga seorang nona kaya, saat kecil…” Perlahan bangkit dari ranjang, Yahan untuk keseribu kalinya bercerita pada Jiaming tentang kisah ibunya, sejarah cinta dengan ayahnya, betapa baiknya pada masa kecilnya, hingga kesedihannya saat kepergiannya. Sesekali matanya menerawang mengeluarkan air mata. Namun di akhir, semangat Yahan tampak membaik. Aktivitas bermain game sendirian berubah menjadi bermain berdua. Melihatnya tak menunjukkan tanda-tanda mengantuk, Jiaming hanya bisa menghela napas pelan. Di suatu momen, Yahan yang sudah pulih berkata: “Jiaming, aku tak bisa tidur…”
“Kelihatan…” Jiaming mengangkat mata putihnya, “Kau kelebihan usaha, butuh pria perkasa. Perlu kupanggilkan via telepon? Atau mungkin kau lebih suka wanita cantik…”
Memukul Jiaming dengan bantal sekuatnya: “Temani aku jalan-jalan.”
“Ayolah, sudah lewat jam sebelas.”
“Sebelum pukul dua pagi pasti masih ramai. Aku ingin main game di ruang game, berjudi di kasino. Jiaming, temani aku.”
Memandangnya lama, Jiaming menghela napas: “Mengenalmu adalah berkah seumur hidupku…”
“Aku tahu Jiaming yang paling baik.”
“Ya sudah, kau ganti baju saja. Lihat semangatmu begitu tinggi, aku juga harus pulang mempersiapkan sesuatu. Bertemu dua puluh menit lagi.”
“Ya, baiklah.”
Permintaan manjanya mendapat jawaban positif. Mood Yahan langsung membaik. Setelah Jiaming pergi, sambil bersenandung ia mengenakan kemeja lengan panjang dan celana jeans, lalu berdandan rapi di depan meja rias. Sekitar dua puluh menit kemudian, terdengar ketukan pintu.
“Jiaming.” Saat membuka pintu, senyumnya berubah menjadi ekspresi formal dalam sekejap. Di luar pintu berdiri seorang wanita cantik seusia Yahan, sama-sama awet muda. Rambut hitamnya bergelombang halus, kemeja putih dipadukan rok dua lapis warna mawar, jaket biru-hitam sepanjang betina, kalung mutiara indah berayun di dada, stoking merah membungkus betis ramping, heels silver, tas kecil di tangannya bergoyang. Beberapa saat kemudian, wanita itu tersenyum genit: “Permisi, apakah di sini memanggil layanan khusus?”
“Layanan… khusus?” Yahan menggelengkan kepala, “Nona salah alamat, tidak ada yang memanggil layanan khusus di sini.”
“Hmm? Menurutku tidak ada kesalahan. Penelepon mengatakan ada seorang nona cantik yang kesepian di tengah malam, namanya Zhang Yahan, kan? Tenang saja, malam ini kau hanya perlu menikmati. Aku akan bertanggung jawab membuatmu mencapai klimaks, tak bisa berhenti, terjerumus dalam kenikmatan, hehe... Dan kami punya aturan kerahasiaan ketat, pasti tidak akan bocorkan hal malam ini. Kau hanya perlu...”
Perempuan itu berbicara dengan suara mendesak sambil menyelinap masuk dari pintu, tangannya mengulurkan tangan ke dada Yahan. Tak menyangka menghadapi situasi seperti ini, Yahan menggeretak gigi mengingat ulah jahil Jiaming. Secara bawah sadar ia mundur selangkah, lalu berkata tegas: “Silakan pergi! Aku tidak butuh layanan apapun!”
“Sekarang... sudah agak terlambat.” Byur, perempuan itu menutup pintu sambil mengangkat ujung gaunnya. Dari paha ia mengeluarkan belati, lidahnya menjilat pisau. “Nona secantik ini, sekarang bukan hanya kau yang ingin, aku juga. Aku jamin, asal kau tidak melawan, malam ini akan kurasakan kebahagiaan ratusan kali lipat lebih baik daripada pria busuk itu, hehehehe...”
Sesaat otak Yahan kacau. Apa ini? Pemerkosa wanita pun bisa ia temui.
Gu Jiaming, jika malam ini aku diperkosa perempuan yang kau kirim ini... aku akan malas-malasan seumur hidup bersamamu...
## Bagian 122 Kekacauan
“Gu Jiaming, kalau malam ini aku diperkosa oleh wanita yang kamu panggilkan ini, aku akan malas-malasan menempelimu seumur hidup……”
Dalam hati muncul kehendak ini, mata Yahan menjadi dingin, serangan tendangan tiga tingkat (atas, tengah, bawah) dilancarkan bertubi-tubi. Wanita cantik di pintu yang tak menyangka Yahan punya kemampuan bela diri, langsung menendang belati yang sedang diputarnya. Saat bereaksi, tangan kiri wanita itu tidak mencoba menahan tendangan Yahan, malah langsung menyambar dada Yahan. Tendangan kedua Yahan mengenai pinggul si wanita, kekuatannya berkurang drastis. Yahan segera melindungi dadanya dan mundur gesit.
“Kau…” Kata-kata kesal tertahan di tenggorokan. Wanita cantik di seberang tersenyum mencolok, tangannya menepuk saklar lampu di belakang. Seketika, separuh kamar terbenam dalam kegelapan. Memanfaatkan momen transisi cahaya, wanita itu tiba-tiba berlari maju.
“Aah…”
“Jangan melawan lagi, nona manis…”
“MATI!”
“Tak ada gadis cantik yang bisa lolos dari TULIP sang perampok bunga…”
Beberapa kali bentrok dalam kegelapan, Yahan hampir ingin muntah darah. Gerakan wanita ini terlalu lincah. Dalam sekejap, tangannya sudah dua kali dipelintir ke belakang. Mundur pelan ke area kamar yang terkena cahaya kamar mandi, tiba-tiba kilau pelangi berkelebat di udara. Tangan Yahan perih, betisnya disandung lawan. Seluruh tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terlempar ke ranjang.
“Hmm, lepaskan aku…”
“Kau bergulatlah, semakin kau melawan semakin aku bersemangat, haha……”
Kedua tangan terjepit ke belakang, diikat erat oleh kalung mutiara pelangi, punggungnya juga ditindih lutut lawan. Yahan menghentakkan kedua kakinya, bergulat mati-matian. Memikirkan bahwa pelaku di belakangnya adalah seorang wanita cantik, Yahan merasa terhina dan antara ingin tertawa dan menangis.
"Sudah, sudah, jangan melawan lagi. Kakak akan sangat lembut, jadi anak baik ya..." Membungkuk ke telinga Yahan, suara wanita itu lembut bagai harum anggrek. Merasakan jari-jari lawan mengelus bahunya, bulu kuduk Yahan serentak merinding, sambil terus melawan sia-sia: "Lepaskan aku—dasar kau, dasar... Hah..."
Mengingat ucapan wanita tadi, Yahan tiba-tiba tertegun. Ia menoleh ke wajah cantik di sampingnya, perlawanannya berhenti. Setelah saling tatap beberapa saat, semburat merah muncul di pipi Yahan, malu dan marah: "Siluman Pencuri Bunga Tulip... Jiaming, kau... mana mungkin..."
"Hehe." Kali ini suara yang keluar bukan lagi suara wanita merdu tadi. Melepas kalung pelangi dari tangan Yahan, "Pencuri Bunga Wanita" itu duduk di sofa sambil memasang kalungnya dengan gaya elegan. Senyum manisnya merekah: "Idiot, akhirnya mengenaliku?" Suara yang kini terdengar jelas adalah suara Jiaming.
“Tidak, tidak... mustahil...” Yahan loncat dari ranjang sambil bersujud di atas selimut, matanya melotot, “Bagaimana mungkin, Jiaming kau... mustahil mustahil mustahil, pasti ini halusinasi, takkan menakutkanku...”
“Dengar, aku bisa menyamar dan mengubah suara! Asal tinggi badan cocok, aku bisa menyamar jadi ayahmu... Woi woi, ngapain kau? Idiot! Apa yang menarik? Dada ini tentu kantong air plastik! Woi, rok dalamnya jangan dilepas, kau sengaja cari keuntungan ya? Jangan ditarik, jangan!”
Sekitar tengah malam pukul dua belas, Huang Haoyun berjalan lesu di antara orang-orang ramai kasino. Sesekali bertaruh lalu pergi, membiarkan tawarannya semakin menipis. Mungkin karena hal yang tak bisa diraih selalu terlihat terbaik, mengenang mood-nya dulu, kini ia merasa memang pernah mencintai wanita bernama Zhang Yahan itu, meski mereka tak pernah memberinya kesempatan.
Peristiwa perkemahan bertemu perampok itu hanyalah alasan. Meski performanya memang payah, ia paham itu cuma strategi penolakan mereka. Pintu hatinya tak pernah bersiap untuk dibuka untuknya.
Selama beberapa tahun ini, tetap berkeliling di sekitar wanita-wanita cantik dengan lingkaran keluarga, perasaan terhadap Yahan pun perlahan memudar. Namun tiba-tiba melihat kecantikan yang pernah dikejarnya kini beralih ke pelukan pria lain, rasa cemburu tetap muncul di hati. Terutama... Pilihannya ternyata adalah sampah Gu Jiaming yang diremehkan seluruh keluarga. Meski dalam keadaan mabuk, bahkan berteriak tentang istilah "calon istri yang dipelihara sejak kecil". Dengan perbedaan usia yang begitu besar, sungguh sulit dibayangkan...
Pernah terpikir untuk segera melaporkan hal ini ke tetua keluarga. Rencana pernikahan strategis ini basically telah gagal. Tapi sebagai Tuan berusia 23 atau 24 tahun, dia paham bahwa laporan kecil seperti ini adalah sikap yang tidak pantas, malah mungkin membuat Yahan semakin memandang rendah. Setelah merenung, dia memilih pergi sendirian sambil menenggak baijiu. Berniat menghabiskan semua uangnya di kasino bawah tanah.
Meski kasino ini beroperasi di bawah hotel, dikabarkan dijalankan oleh Jalan Hitam yang memiliki koneksi dengan kantor polisi dan pejabat Xinning. Sebagai salah satu landmark Diamond International Hotel Xinning, dampak penertiban ketat tidak akan sampai ke sini. Setelah dua putaran berkeliling, tawaran di tangannya basically habis. Mendengar teriakan dari meja judi tak jauh, dia tersenyum sinis.
Saat itu, pria yang sedang menang banyak hingga matanya memerah di meja itu dikenalnya, bisa dibilang kerabat keluarga juga, bernama Xu Changhong. Meski namanya bagus, sikapnya jorok. Setelah istrinya menikah lagi, dia membesarkan putrinya Xu Yiting tanpa memberikan contoh baik. Dikenal sebagai penjudi dan kabarnya juga kecanduan narkoba, keluarga besar menghindari ayah-anak ini bagai kena wabah. Seperti pepatah "atap kayu bengkok, genteng pun miring", sepupunya Xu Yiting yang terlihat pendiam itu kabarnya diam-diam juga sudah ketularan kecanduan narkoba dari ayahnya. Kini Xu Changhong sedang dalam keberuntungan, tertawa hingga matanya merah sambil terus berjudi. Tampaknya dia baru saja menyuntik diri.
Sekotor-kotornya diriku, takkan sampai menjadi seperti itu!
Berjalan ke meja judi di sebelah, dia menaruh sisa dua ratus yuan tawaran terakhirnya di "Kecil". Sebelum sempat melepas tangan, seseorang lain sudah mengulurkan tangan dan menjepit tawarannya: "Begini caranya tidak boleh, lho."
Dalam suara perempuan merdu itu, ketika menoleh ke samping, terlihat seorang wanita berambut hitam sekitar 20-an tahun di sebelahnya. Rambut hitam panjang yang terurai, wajah ayu, dua jarinya menjepit keping tawaran itu. Dengan godaan, dia mengetuk-ngetukkan koin itu di bibir merahnya, lalu mengedipkan mata dengan manis: "Hmm, lihatmu sudah pakai keping terakhir. Kalau kalah, bisa tidak ada ongkos pulang. Untuk mencegah pemuda berbakat lagi terjerumus ke jurang pinjaman berbunga tinggi... Percayalah, bertaruhlah di angka 12."
"Dengan gegabah menaruh tawaran di angka '12', gadis itu tersenyum manis sambil menepuk bahu Huang Haoyun: "Dengerin kakak, kalau menang uang langsung pulang ya. Dadah.""
Huang Haoyun terpaku menatap senyuman gadis itu. Sebelum sempat bicara, gadis itu sudah menggerakkan jari hendak pergi. Dengan tergopoh-gopoh ia menyambar lengan bajunya, namun langsung dihajar tas kecil. Gadis itu mengerutkan kening dingin: "Apa maumu?"
"Eh... maaf, aku tidak... hehe, cuma ingin berterima kasih. Namaku Huang Haoyun, kamu?"
"Ha." Gadis itu memandangnya lalu menggeleng, "Tak perlu kau tahu. Ini cuma belas kasihan pada calon korban sial. Takkan ada hubungan lagi. Dadah.""
Membalikkan badan, gadis itu berjalan menjauh dengan tangan tergenggam di punggung, sepatu silver berketak-ketuk. Seperti elf yang muncul lalu menghilang. Di ujung pandangan, tiba-tiba muncul gadis lain yang menyambar tangannya dengan girang, menariknya ke meja judi. Gadis kedua yang riang seperti anak kecil itu tak lain adalah Yahan yang sudah berganti baju santai.
Apa-apaan... Apakah wanita ini sengaja dikirim Zhang Yahan...
Kepalanya sedikit pusing. Dari belakang terdengar suara dealer: "Tiga empat lima total dua belas poin besar..." Segunduk tawaran pun digeser ke sisi Huang Haoyun.
Berjalan bolak-balik di tengah kerumunan sambil memegang tawaran, setelah berputar dua lingkaran, Huang Haoyun akhirnya kembali melihat bayangan dua perempuan.
Di samping gadis asing itu yang memegang tawaran, ternyata benar-benar Yahan yang selalu menjauhi tempat-tempat seperti ini dan menjaga kesucian diri. Saat ini ia terlihat seperti gadis kecil yang pertama kali melihat hal baru, fokus menatap perubahan di meja judi. Ketika menang, ia melompat sambil berteriak gembira, kadang bahkan mengguncang-guncang tubuh gadis asing itu dalam gejolak emosi. Secara usia Yahan tampak sedikit lebih tua, namun gadis asing ini justru berperilaku seperti wali atau kakaknya, terkadang tersenyum kecut dibuatnya.
Penampilannya yang modis dan memukau, gerakan anggun, senyum cerah penuh percaya diri - gadis ini tampak lebih terbiasa menjadi pusat perhatian daripada Yahan. Atau mungkin ia memang terlahir dengan kemampuan alami untuk menyedot perhatian, setiap gerak-geriknya seakan dilingkupi lingkaran halo malaikat. Merasakan tatapan Huang Haobing yang mengikuti, sesekali ia melirik dengan jijik. Setelah lama, ia berbisik sesuatu pada Yahan yang kemudian tersenyum dan menjelaskan. Barulah tatapan gadis itu berubah penuh pengertian, mungkin sudah mengetahui identitasnya.
Mengikuti selama sekitar dua puluh menit, Huang Haoyun baru menyaksikan apa yang disebut seni judi. Dalam dua puluh menit itu, gadis itu tidak pernah sekalipun melakukan kesalahan dalam bertaruh. Namun, sepertinya dia tidak terlalu menyukai perjudian. Setiap kali Yahan yang bersemangat menariknya berlari ke sana kemari, barulah dia bertaruh dan menang. Dalam dua puluh menit pergerakan acak dua gadis ini, tawaran di tangan Yahan telah meningkat menjadi lebih dari 200.000.
Tak lama kemudian, seorang pria yang tampaknya manajer kasino menghalangi mereka.
## Bagian ke-123 Merebut Kembali Harga Diri yang Hilang
"Hei, kenapa kamu sengaja mendekati orang itu, Huang Haoyun?" Di bar sebelah kasino, sambil menyimpan cek tunai 300.000 yuan dari manajer kasino, dua wanita ini terus menolak para pria yang mendekat sambil berbisik.
"Yang bener aja! Kalau tidak mengalihkan perhatiannya, besok pagi teman sekelas Jiaming akan dalam masalah... Aku bilang minggir kau! Dari planet Mars ya sampai nggak ngerti bahasa manusia!"
Suara merdu itu tiba-tiba membanjiri nyanyian yang diperkuat mikrofon di panggung. Gadis seksi namun memikat itu berdiri, membuat wajah pria yang mendekatinya memerah lalu pucat. Dalam kesunyian bar yang tiba-tiba, pria itu menggelengkan tangan canggung: "Eh, maaf... maaf..." sebelum menghilang dengan mobilnya.
"Yingying duduk, mengangkat betisnya, merias wajah dan memulas lipstik: 'Lihat, menolak orang harus seperti ini baru berhasil, dan rasanya juga enak. Bukannya kau ingin melampiaskan emosi? Giliranmu berikutnya untuk mencoba.' Di sampingnya, Yahan yang memegang untaian manik berwarna di dadanya sudah tertahan perut sampai sulit bernapas."
"'Kau... kumohon, jangan berakting terlalu meyakinkan. Haha, aku mau MATI, perutku sakit sekali...'"
"'Perutmu sakit bukan alasan untuk membenturkan kepalamu ke dadaku mati-matian. Kantong air plastik ini bisa meledak.'"
"'Hehe, aku sengaja ingin meledakkan satu, lalu melihat ekspresi mata para pria haus yang melirik ke sini.'"
“……”
"Minum baijiu, tertawa riang, berdansa, menyanyi di panggung kecil, mengusir gelombang demi gelombang pria membosankan. Sesekali main di kasino. Karena sudah menerima uang dari kasino, tentu tidak baik terus menang. Yahan asal bertaruh, justru lebih sering kalah. Sekitar jam satu lebih, mereka menuju kamar mandi. Gadis itu berbisik: 'Jika belum puas, kita bisa terus menang di setiap meja sampai membuat mereka bangkrut.'"
"Yahan membelalak: 'Tapi bukannya kau sudah menerima uang mereka? Kalau begini, akan membuat masalah?'"
"'Hehe, hal kecil ini belum pantas disebut masalah. Lagipula kau punya latar belakang Keluarga Zhang. Kasino tidak berani macam-macam. Aku hanya khawatir kau bosan terus kalah.'"
"'Mana ada, aku juga pernah menang.'"
"'Menang sedikit kalah banyak, tidak kesal?'"
“Tenang saja, tidak mungkin.” Yahan tersenyum, “Ada kemungkinan menang, juga mungkin kalah. Bukankah sensasi tak pasti antara keuntungan dan kerugian yang dicari dalam perjudian? Apa Jiaming tidak berpikir begitu?”
“Bisa dimengerti, tapi sulit dibayangkan.” Gadis itu tersenyum manis, “Aku suka perasaan bisa mengendalikan segala sesuatu. Yang kalah tidak punya hak suara. Aiyaya... Kenapa kau menarik wajahku...”
“Tolong jangan tersenyum seperti itu. Jika kau terus tersenyum begini, aku akan benar-benar mengiraimu perempuan. Dan, bisakah tidak menggunakan suara indah itu saat sendirian? Kau terlalu merusak citra Jiaming di hatiku.”
“Tapi aku profesional...” Menggunakan suara gadis setengah bicara, Jiaming mengayunkan tangan sambil tertawa. Kali ini dengan suara asli remaja, tapi bertolak belakang dengan penampilannya sekarang, menciptakan keanehan yang tak terucapkan: “Baiklah, saat sendirian pakai suaraku sendiri. Aku menyerah padamu.”
Yahan melotot kesal ke arahnya (dia): “Hei, Jiaming. Benarkah manusia bisa menggenggam segala sesuatu? Misalnya... saat kau menghadapi situasi berbahaya itu?”
“Setidaknya di saat itu, nyawa benar-benar berada dalam genggamanmu. Lebih nyata dari momen apapun.”
Mendengar kalimatnya, Yahan tertegun sejenak. Kemudian di lorong, dia merangkul leher Jiaming. Dua gadis itu berpelukan.
“Jiaming, sebenarnya kau masih anak-anak... Maaf, hari ini aku sangat manja ya, terima kasih sudah menuruti kemauanku yang cari gara-gara dan menemani kekonyolanku ini. Dulu hanya ibuku yang pernah menemani kekonyolanku seperti ini...”
Suara Yahan tiba-tiba tersekat saat berbicara. Jiaming menghela napas, menepuk bahu Yahan sambil merasakan tatapan penasaran dari sekitar. Dalam hati bergumam: "Kalau mau sedih cari tempat lain dong..." Beberapa saat kemudian, Yahan melepaskan pelukan dan mengusap air mata: "Maaf, jadi sentimental..."
"Tak apa, Saudari seperjuangan, sudah seharusnya."
Memandang penampilan Jiaming yang berdandan ala perempuan sambil mendengar ucapannya, Yahan tertawa Puff Ssshh! lalu berbalik menuju kamar mandi perempuan. Saat tiba di pintu, ia menengok: "Eh, kenapa kau..."
"Aku juga mau ke kamar mandi."
"Tapi..." Jarinya melambai-lambai di udara. Yahan terkikik: "Hah, kalau... jangan mengintip ya."
"Aduh..."
Di dalam kamar mandi yang terang benderang, hanya bilik paling belakang yang terisi. Yahan mengunci pintu kecil dan duduk di toilet. Saat suara aliran air terdengar, rasa malu menyergap - Jiaming ada di sebelah, pasti mendengar semua suara pancurannya. Ketika aliran air lebih deras terdengar dari seberang, wajahnya memerah semakin dalam. Dalam hati bergumam: "Perempuan selalu dirugikan, dalam situasi apapun yang malu tetap kita." Tanpa disadari, ia mengetuk papan kayu pembatas: "Hei, kau duduk atau berdiri?"
“Tentu saja... uh, duduk...”
“Sungguh mesum.”
Jiaming yang berdiri di bilik khusus kecil sebelah menyeringai dengan kekecewaan. Dari bilik paling belakang, suara gesekan korek api terus terdengar. Setelah menekan tombol flush, dia membuka pintu dan keluar.
Saat mencuci tangan, pintu bilik terakhir terbuka pelan-pelan. Dari sudut matanya, Jiaming melihat Xu Yiting di dalam, mengintip keluar dengan sembunyi-sembunyi. Sepertinya setelah memastikan tidak ada orang yang dikenalnya, barulah dia berani keluar.
Tubuhnya gemetar ringan, hidungnya terkekik-kekik seperti penderita flu. Kondisi Xu Yiting sekarang jauh lebih buruk dibanding 4-5 jam lalu saat meminjam uang pada Jiaming. Meski bingung, Jiaming sama sekali tidak menunjukkan reaksi. Di depan wastafel, Xu Yiting melepas kacamatanya, menyiram wajah dengan air dingin secara mati-matian. Gemetarnya makin menjadi. Di saat yang sama, Yahan muncul dari dalam.
“Hah, Xu Yiting? Kau juga di sini? Wajahmu pucat sekali, kenapa? Flu parah? Kenapa tidak ke dokter?”
“Gu、Guru Yahan, tidak ada apa-apa, aku... aku baik-baik saja...” Tiba-tiba melihat kehadiran orang yang dikenalnya, Xu Yiting dengan gugup mengambil kacamata, namun wajahnya masih basah oleh air mata, pandangan kabur, panik menarik tisu dari kantong untuk mengelap wajah. Sebuah tas kecil berwarna silver terjatuh ke lantai. Saat dia menyadarinya, Jiaming telah mengambilnya - itu adalah kertas alumunium silver dari kotak rokok. Setelah dibuka, terlihat serbuk putih di dalamnya.
Menurut perhitungan Jiaming, heroin Level Empat yang dijual Jalan Hitam seharga hampir 200 keping per tas kecil ini, sekarang hanya tersisa kurang dari seperempat. Sisanya jelas telah dihabiskan oleh ayah Xu Yiting.
“Ma-maaf, Kakak... Itu milikku, bisa... bisa dikembalikan?” Situasi tiba-tiba terasa aneh. Sambil mengendus, suara Xu Yiting menjadi sangat ragu karena rasa gugup. Meskipun Yahan sering bertingkah kekanakan di depan Jiaming, sebenarnya dia sangat berpengalaman. Melihat serbuk putih itu, dia langsung paham apa itu, namun tetap bertanya: “Itu... apa...” Berharap Jiaming yang lebih berpengalaman memberinya jawaban di luar perkiraan.
Memandang wajah Xu Yiting yang mempermalukan, Jiaming tersenyum. Dengan lembut membungkus barang itu dan mengembalikannya ke kantongnya: “Kenapa tidak diisap saja? Sudah berapa lama kau menahan diri?”
Kalimat ini jelas membuktikan bahwa pendapat Yahan benar. Xu Yiting tertegun sejenak, setelah beberapa saat, air mata mengalir deras di pipinya: "Aku... aku ingin berhenti, tapi sangat sulit... Aku tidak mau seperti ini, merintih..."
Yahan dan Jiaming saling bertatapan, lalu Yahan memeluk Xu Yiting dengan lembut sambil menghibur dengan suara rendah. Di antara tangisan tersedu-sedu, mereka akhirnya mengetahui bahwa Xu Yiting memang menjadi korban ayahnya yang terlibat narkoba karena rasa ingin tahu. Meski Jiaming biasanya acuh tak acuh terhadap urusan orang lain, setidaknya rasa kasihan Yahan telah tergugah. Di saat yang sama, gemparan suara keributan terdengar dari luar.
"Tangkap dia, main kecurangan..."
"Hadang dia! Jangan biarkan kabur!"
"Aku tidak—aku tidak—kalian curang, curang lah—"
Suara pria yang membantah terdengar serak. Pandangan Jiaming tajam—orang yang berbicara ini ternyata Xu Changhong, ayah Xu Yiting. Bersamaan itu, tubuh Xu Yiting yang sedang menangis bergetar hebat. "Itu papaku!" teriaknya sambil berlari keluar pintu. Jiaming dan Yahan segera menyusul.
"Keluar dari pintu toilet, terlihat area kasino sedang dalam kekacauan. Xu Changhong dengan mati-matian menjungkirbalikkan beberapa meja judi, kondisi mentalnya berada dalam keadaan sangat tegang. Namun melihat satpam kasino mulai mengepung dari berbagai arah, ruang untuk melarikan diri semakin menyempit. Orang-orang di bar dan pengunjung kasino sebelumnya telah membentuk kerumunan penonton. Tidak memiliki sedikit pun simpati pada ayah Xu Yiting ini, Yahan juga tidak berencana ikut campur. Memandang situasi di sana, Yahan berkata: 'Jiaming, aku... apakah kita bisa membantunya?'"
"Mengirimnya ke pusat rehabilitasi narkoba."
"Tidak, tidak boleh." Yahan segera membantah, "Aku tahu kalau dikirim ke sana, lingkungannya buruk, dia akan ditindas dan dihancurkan telak. Di usia Xu Yiting yang masih muda seperti ini, masa depannya pada dasarnya sudah hancur."
"Hehe, tapi kalau Yahan ingin ikut campur secara pribadi, proses menyembuhkan kecanduannya akan sangat rumit. Aku tentu tahu beberapa cara, tapi orang malang pasti punya sisi yang patut dibenci. Perkataan pecandu narkoba tidak bisa dipercaya - semua orang akan membuat diri mereka terlihat lebih malang daripada siapa pun. Yahan, kau yakin ingin membantunya?"
"Dia... dia tetap muridku." Kata Yahan dengan ragu-ragu, "Lagipula bukankah dia anggota komunitas kalian juga? Saat aku duduk di ruang aktivitas komunitas sambil merajut sweater, seringkali dia diam-diam membaca buku di sampingku. Meski kami jarang berbicara, tapi untuk gadis seperti dia, kesalahan apa yang bisa dia lakukan?"
Di tengah percakapan mereka, Xu Changhong yang sudah tak punya jalan keluar telah dipukul hingga jatuh dengan tongkat polisi. Kemudian disusul dengan pukulan dan tendangan, untungnya saat Xu Yiting berhasil menerobos kerumunan dan terjatuh ke depan. Para penyerang itu berhenti, pukulannya tidak terlalu parah. Manajer kasino yang sebelumnya memberikan uang kepada Jiaming dan Yahan memerintahkan orangnya untuk menyeret Xu Changhong keluar, lalu menginstruksikan untuk merapikan tempat kejadian. Di saat yang sama, Xu Yiting sudah mulai menjerit sambil menangis: "Ayahku——"
"Ayahku——Apa yang terjadi padamu——Ayahku——"
Xu Changhong memang tak pernah berambisi, memaksa istrinya menikah lagi, menggoda putrinya untuk menggunakan narkoba. Namun bagaimanapun juga, Xu Yiting yang sejak kecil hidup bergantung pada ayahnya kini menjerit dengan suara yang sangat memilukan. Yahan dan Jiaming menerobos kerumunan, beberapa satpam dengan bingung memeriksa Xu Changhong yang tergeletak, lalu berbisik di telinga manajer. Wajah manajer itu langsung berubah pucat. Jiaming membaca gerakan bibirnya, menggenggam bahu Yahan: "Xu Changhong MATI."
"Apa... Apa..."
"MATI-nya orang adalah hal besar. Memandangi Xu Changhong yang terkapar tak bergerak di lantai, rumor ini seketika memicu gemparan di kerumunan. Sang manajer tak berani menyembunyikan fakta. Kasino tetap punya koneksi, segera memerintahkan orang untuk lapor polisi dan menghubungi rumah sakit. Di satu sisi dia menjelaskan pada orang-orang bahwa korban bukan hanya melakukan kecurangan (ribu) tapi juga pecandu narkoba, baru saja menggunakan racun, dan ini adalah MATI mendadak akibat kemerosotan jantung. Di sisi lain, dia segera menyuruh beberapa satpam yang terlibat pemukulan tadi untuk pergi. Namun melihat beberapa orang hendak kabur diam-diam, Xu Yiting menjerit dan menyerbu ke depan.
"Jangan pergi! Pembunuh, jangan pergi…"
Sebagai gadis 15-16 tahun, apa yang bisa dia lakukan? Begitu maju langsung dihadang satpam lain lalu didorong hingga terjatuh keras di tengah teriakan. Meski ada kerabat keluarga Huang di kerumunan, semuanya generasi muda yang tak mau mengotori tangan dengan urusan keruh ini. Pecandu narkoba, pelaku kecurangan, mungkin saja MATI mendadak meski tak dipukul lama. "Dulu juga tidak dekat, sekarang mau mengaku sebagai kerabat? Memalukan!"
Dalam perjuangan singkat Xu Yiting, seorang satpam membisikkan sesuatu di telinga manajer. Beberapa orang kemudian menggeledah bungkusan narkoba dari saku Xu Yiting dan memperlihatkannya ke hadapan semua orang. Faktanya, Xu Changhong baru MATI setelah dipukuli seperti ini, sehingga tidak bisa sepenuhnya dikatakan meninggal mendadak karena narkoba. Namun kasino ingin memastikan hal ini dengan cepat. Mereka tidak memukuli Xu Changhong terlalu keras, ditambah ada koneksi di atas. Asal bisa membuktikan kematian akibat overdosis narkoba dan mencegah rumor "kasino membunuh orang" menyebar, dampak terhadap kasino tidak akan terlalu besar.
"……Ayah-anakaknya sama-sama pecandu. Tahan dulu perempuan ini, tunggu polisi datang untuk ditangani."
Saat ucapan itu keluar, dua satpam langsung menangkap Xu Yiting yang menjerit dan meronta. Beberapa preman kasino telah keluar melalui pintu kecil di samping. Di tengah keriuhan kerumunan, seekor botol alkohol terbang sejauh lebih dari sepuluh meter dan meledak di dahi salah satu satpam yang menahan Xu Yiting. Di bawah tatapan terkejut semua orang, satpam itu terhuyung beberapa langkah sebelum roboh ke lantai.
"Lepaskan dia!" Dari kerumunan, Yahan yang tak tega melihat kesengsaraan Xu Yiting maju paling depan. Di belakangnya, Jiaming yang berpenampilan perempuan memutar-mutar botol alkohol di tangan. Puluhan satpam kasino segera mengepung mereka. Sang manajer bertanya: "Apa maksud kedua nona ini?"
Dengan senyum tipis, Jiaming menjawab lembut: "Merebut kembali harga diri yang hilang."
## Bagian ke-Ratus Dua Puluh Empat Dewi
Sebenarnya, sesuai dengan karakter Jiaming, situasi di depan mata ini tidak masalah apakah dia akan menyerang atau tidak. Karena arti dari menyerang pun tidak terlalu penting, tapi karena dia sudah berencana menemani Yahan turun untuk bersantai, dan mengingat dia tertarik, Jiaming pun memutuskan untuk ikut berulah bersama. Seperti di kehidupan sebelumnya di negara-negara yang dilanda perang, ketika beberapa kawan mesum keluar sembarangan MEMBUNUH, dia hanya melihat dari samping sambil membantu membersihkan polisi yang datang. Tidak ada perasaan suka, tapi juga tidak sampai membenci. Selama tidak ada bahaya terlalu besar, membunuh hanyalah hal biasa. Apalagi bisa membuat Teman senang, itu sudah menjadi alasan yang cukup kuat.
Mood-nya terlihat santai, namun di mata orang lain, ini jelas merupakan awal mimpi buruk. Tanpa permintaan penyelesaian, tanpa penjelasan, gadis cantik itu berjalan mendekat sambil membawa botol alkohol. Satpam pertama yang mencoba menghalangi langsung mendapat botol pecah di kepalanya. Bersamaan itu, sang gadis melancarkan tendangan berputar yang indah dan cepat secara memukau, melayangkan satpam lain yang lebih tinggi satu kepala darinya.
"Dia... dia datang untuk berulah, tangkap dia..."
Begitu manajer memberi perintah, puluhan satpam mengayunkan tongkat polisi dan serempak berlari maju. Kemudian, terjadi ledakan peristiwa hantaman kelompok yang mengejutkan dan mengerikan.
Yang bergema seperti gelombang, adalah jeritan kesakitan yang menyayat hati dari para satpam kasino yang dulunya berkecimpung di Jalan Hitam. Menghadapi pria-pria bertubuh kekar yang terus menerjang, gadis yang lebih pendek dari kebanyakan mereka justru terlihat sangat tenang. Dengan menghindar sederhana, meninju, dan mengayunkan kaki, hampir setiap serangannya memiliki efek mematikan layaknya satu pukulan telak. Karena setiap kali dia menyerang, sasaran selalu titik terlemah tubuh manusia.
Tulang kering betis, area selangkangan, perut bagian bawah, persendian lengan, jari-jari, jakun... Setiap putaran tubuh dan gesekan bahu bagaikan tarian paling anggun. Bagi yang berpengalaman, gadis ini telah menyempurnakan teknik anti-serigala ala perempuan. Bahkan ketika seorang satpam menerjang, dengan santai dia mengeluarkan semprotan anti serigala dari tas kecilnya, membuat pria itu menjerit sambil menutupi wajah.
Namun bagi para pria yang menyaksikan, jeritan sengsara dari tubuh-tubuh yang bergelimpangan di lantai justru membangkitkan simpati dan rasa kasihan yang mendalam. Hanya pria yang bisa memahami betapa menyiksanya tendangan lutut maut yang disamarkan dalam pelukan lembut sang gadis.
Xu Yiting yang baru saja ditangkap, kini telah diselamatkan Yahan ke pinggiran ruangan. Terisak-isak, matanya bolak-balik memandang mayat ayahnya dan keributan yang terjadi. Di belakangnya, wajah Yahan berkedut seolah ingin tersenyum, tapi sama sekali tidak bisa diekspresikan.
“Tidak lama kemudian, hampir setengah dari satpam telah tumbang di bawah tanah, luka paling ringan hampir semuanya patah tulang. Sisanya basically sudah tidak berani mendekat, karena di tengah jeritan dan erangan itu, gadis yang sejak awal hingga akhir terus tersenyum memikat belum menerima sedikit pun kerusakan. Memandangi para satpam yang ketakutan, dia berjalan perlahan mendekati manajer tersebut, sambil mengambil kotak rias kecil dari tasnya, merias wajah di depan cermin.
Gerak-geriknya elegan hingga hampir sempurna.
“Kau kau kau... kau ini manusia apa sebenarnya, tahu tidak ini wilayah bawah naungan Longxing Bang, kau kau kau...”
Melihat gadis itu mendekat dengan langkah gemulai, si manajer mundur teratur. Pertarungan sampai di sini, para petugas dari keluarga Huang dan Zhang yang berwenang sudah tiba. Melihat pemandangan berantakan dan Xu Changhong yang MATI, mereka masih tidak berani mendekat, hanya mengawasi dari jauh. Hanya Tante Yahan yang berteriak: “Yahan, Yahan, apa yang kau lakukan di sana, berbahaya, cepat ke sini, ke sini...”
“Tidak apa.” Yahan menggandeng Xu Yiting yang sedang menangis sambil menggelengkan kepala. Seorang pria paruh baya berwajah serius di samping sang Tante sudah bergegas mendekat, dia adalah ayahku Zhang Jing'an. Di saat yang sama, si manajer ketakutan lari ke ruang manajer lalu keluar kembali, membawa senapan patah double barrel.
“Jangan mendekat!”
Kerumunan orang mereda dalam sekejap mata, gadis yang mendekat tiba-tiba memperlambat langkahnya, namun senyuman memikat tetap menghiasi wajahnya.
Orang-orang di pintu mulai berdesak-desakan keluar. Perkelahian tadi masih bisa dianggap sebagai tontonan atau film laga, tapi sekarang ada yang mengeluarkan senjata. Tak ada yang mau jadi korban peluru nyasar dan mati sia-sia. Melihat laras senjata mengarah ke Jiaming yang berbusana wanita, emosi Yahan langsung menegang. Menyadari putrinya juga dalam bahaya dampak, Zhang Jing'an perlahan mendekat: "Tuan, mohon tenang. Membawa senjata dan melukai orang itu pelanggaran serius..."
"Aku tak peduli——berhenti! Jangan bergerak! Sudah kukatakan jangan bergerak! Kau ingin MATI?!"
Zhang Jing'an mencoba meredakan emosi mereka. Namun tak jauh dari sana, gadis itu sama sekali mengabaikan peringatan. Dengan santai memasukkan kotak rias kembali ke tas kecilnya, ia terus mendekati manajer kasino, suaranya merdu namun datar: "Anak kecil jangan main-main dengan benda ini. Letakkan senjatanya, nanti kau sendiri yang terluka. Letakkan, kakak akan maafkan kali ini..."
Meski dialah yang dihadapkan senjata, situasi justru terasa seperti dialah yang mengancam pria bersenjata itu. Saat gadis itu semakin mendekat, manajer kasino merasakan tekanan dahsyat yang menyelimuti setiap pori-pori kulitnya. Gadis itu tersenyum, sementara ia menjerit histeris: "Jangan mendekat! Sudah kukatakan jangan mendekat! Aaaaa——"
Byur——
Kobaran api berkilat, senjata beterbangan, lampu neon di langit-langit meledak memancarkan hujan cahaya gemilang. Seluruh pencahayaan kasino mendadak gelap sesaat akibat arus listrik yang kacau, tubuh gadis itu terjatuh ke belakang.
"Tidaaaak——" Dalam pandangan Yahan, tubuh Jiaming tersungkur ke belakang seiring dentuman senjata. Sekejap itu juga, rasa dingin menusuk jantung tiba-tiba menyergap. Setelah teriakan bawah sadarnya, dia berlari tergopoh-gopoh ke sana. Namun baru melangkah dua langkah, sang ayah sudah menariknya. Di belakang, dentuman senjata itu membuat kerumunan yang tadinya mengendap-endap kabur kini berhamburan seperti panci meledak, menyerbu ke pintu keluar dalam kekacauan tak terkira.
Senapan angkur yang melayang itu memantul di dinding belakang, lalu mendarap di tangan gadis itu. Dengan kecepatan memusingkan, satu tangan mengisi peluru, lalu suara tembakan kembali menggema. Sebuah daun pintu terlempar. Sang manajer terjengkang ketakutan, lalu laras senjata menempel di dahinya.
"Aku paling benci ada yang mengarahkan senjata ke arahku... Kau bagaimana?"
“Persis pada detik ketika dia hendak membuka tembakan tadi, Jiaming sudah menyepak laras senjata ke atas dengan tendangan keras sambil membungkukkan tubuh untuk menghindari jalur peluru. Di mata Yahan, ini terlihat seperti adegan Jiaming terjatuh. Setelah beberapa kali berontak dalam genggaman ayahnya, barulah Yahan melihat situasi sebenarnya dan mengendur dalam limbung. Tangannya meraba pipi yang sudah basah oleh tangis. Sementara Xu Yiting sudah lari sejauh beberapa meter, berdiri di samping ayahnya sambil menangis memandangi 'kakak cantik' bertangan satu yang memegang senjata dan menaklukkan semua orang itu.
“Kumohon... jangan bunuh aku... jangan...”
Di bawah pantatnya yang tertutup celana jas, manajer kasino itu langsung mengompol saat senjata diarahkan ke dahinya. Sang gadis tersenyum lalu berjongkok.
“Pria itu tidak mati karena overdosis. Kalian punya tanggung jawab.”
“Pun-pun-punya... punya tanggung jawab... tanggung jawab...”
“Dia sedang beruntung hari ini, aku sudah periksa. Jadi... dia benar-benar curang?”
“Ti-ti-tidak... Tidak... Tolong jangan bunuh aku...”
“Hm, mengakui kesalahan itu baik. Jadi, satpam yang memukul tadi harus kau serahkan. Tanggung jawab harus ditanggung yang berhak. Gadis itu jelas tidak pakai narkoba, karena aku tahu – selain kasino, bisnis narkoba di wilayah ini juga di bawah kendai Longxing Gang kan?”
“Benar-benar! Dia bersih... kami yang salah... Kumohon...”
“Hmm.” Gadis itu mengangguk dengan puas, tersenyum penuh dorongan. “Kau lihat, kau sudah tahu apa yang harus dilakukan. Kakak sangat lega.” Sambil berbicara, tangannya bergerak cepat bersilangan. Hanya terdengar suara “Krak-krak”, dalam hitungan detik, senapan patah utuh telah terurai menjadi belasan bagian, berjatuhan ke bawah tanah dengan gemerincing Ding ding dong dong. Gadis itu berdiri, seolah menandai penyelesaian masalah ini.
Baik manajer, satpam, maupun penonton, sejenak terlihat sulit mempercayai bahwa gadis di depan mata ini bersusah payah mengalahkan belasan satpam sampai terluka parah, bahkan mempertaruhkan nyawa terkena peluru, hanya untuk urusan sepele. Di belakang Yahan, Zhang Jing'an bertanya: “Yahan, apa dia temanmu?”
“Ya, dia sahabat terbaik... yang paling penting...” Dengan lembut menghapus air mata yang tadi terkejut keluar, dia berlari kecil dan memeluk erat. Jika dia masih berpenampilan anak laki-laki, mustahil bisa memeluknya seperti ini. Tapi sekarang berbeda, dia bisa semena-mena mencari kesempatan kontak fisik. Orang lain hanya akan mengira mereka dua saudari yang akrab. Membayangkan perasaan ini saja sudah membuatnya senang.
Hal sementara terselesaikan, anggota keluarga Zhang dan Huang berdatangan, menanyakan penyebab dan kronologi kejadian, serta berdiskusi dengan pihak hotel dan kasino tentang solusi. Terhadap mereka yang mencoba mengajak ngobrol atau berterima kasih, Jiaming bersikap dingin tanpa peduli, tidak memberi muka siapapun. Yahan terpaksa memperkenalkannya sebagai seorang Teman yang dikenalnya di luar negeri.
Di antara kerumunan, Huang Haoyun hanya memandang dari jauh. Sebenarnya hampir semua generasi muda memusatkan perhatian pada gadis ini. Muda, cantik, dan kuat, seolah ada lingkaran di sekujur tubuhnya, memiliki segala hal yang diidamkan remaja seusianya. Yang berbisik, mengintip, atau yang memberanikan diri menghampiri tapi diabaikan. Namun sebelum polisi tiba, gadis itu telah pergi bersama Yahan meninggalkan kasino bawah tanah. Meski ada yang mencoba memintanya menunggu interogasi polisi, tak satu pun benar-benar berani menghalanginya.
Orang yang bahkan bisa memperlakukan senjata sebagai mainan, apa lagi yang bisa menahannya.
Menghindari beberapa orang yang mengikuti secara sembunyi-sembunyi, kedua gadis berputar-putar sampai lantai tiga. Tiba-tiba Jiaming mengulurkan tangan menekan Yahan ke dinding di sebelah, berbisik: "Kulihat dia."
Dari sudut koridor, kepala muncul diam-diam. Berdiri di depan pintu kamar tempatnya tinggal, gadis itu seolah kehilangan jiwa sambil meraba-raba tubuhnya mencari kunci. Baru saja situasi di bawah kacau balau, semua orang tampak berdiskusi secara formula tentang penanganan pasca. Lebih banyak orang menganggap kejadian ini sebagai tontonan. Selain Yahan dan Jiaming, tampaknya tak banyak yang menyadari gadis yang baru kehilangan ayahnya dan masih menderita kecanduan narkoba ini telah menghilang tanpa suara...
## Bagian Ke-125 Luka
Jangan... Tidak ingin terus hidup lagi...
Kedua tangan memeluk tubuhnya, menggigil hebat. Udara di sekitarnya luar biasa dingin. Meski selalu berada dalam lingkungan yang penuh sikap dingin, dia belum pernah merasakan kesejukan seperti sekarang.
Ibuku telah pergi sejak aku kecil. Ayahku gemar berjudi, memakai narkoba, dan kelakuannya juga tidak layak dipuji. Tapi bagaimanapun, dialah satu-satunya keluarga yang tinggal bersamaku selama ini. Meski ada keluarga Huang sebagai kerabat, sebenarnya tak ada yang menghormati ayahku. Meski bisa mendapat sedikit bantuan seperti biaya sekolah dari keluarga Huang, atau meminjam uang saku sana-sini, sisa uang tak pernah cukup menutupi lubang tak berdasar ayahku.
Sejak kecil, dia menerima banyak pandangan merendahkan dan mengangkat mata, bahkan pernah mengalami hari-hari kelaparan dan kedinginan. Setelah membaca banyak buku, dia juga pernah berusaha melakukan perlawanan atau memperkuat diri. Namun seberapa besar pengaruh pemikiran naif seorang anak terhadap masa depannya? Pada akhirnya, ini hanya membuatnya menjadi penyendiri dan rendah diri. Perlahan, dia belajar menjadi licik, menguasai kamuflase, mempelajari trik penipuan, serta bersembunyi di sudut kegelapan sambil menyindir dan mengutuki mereka yang hidupnya baik-baik saja.
Dia pernah mencuri pulpen dan penghapus teman sekelas, tentu saja tak ketahuan. Dengan wajah malang, dia berhasil menipu beberapa kerabat untuk mendapatkan uang jajan. Sempat terpikir untuk mendekati Jiaming, tapi setelah tahu Jiaming tidak memiliki posisi apa pun di keluarga Huang, rencana itu dibatalkan. Setelah Dongfang Wan melunasi utangnya yang lebih dari 100.000 yuan, dia mulai menjalin kontak dengan mereka secara sengaja atau tidak. Meski pertemuan masih jarang dan percakapan hanya beberapa kalimat, dia yakin manfaat strategis pasti akan datang. Saat jiwanya perlahan tenggelam, dia mulai menyentuh narkoba.
Setelah mencicipi sekali diam-diam... dia tidak bisa berhenti lagi...
Dia tahu itu adalah Jurang Tak Berdasar yang sulit dilepaskan setelah terjerumus, dan telah berkali-kali mencoba berhenti dari kecanduan narkoba. Namun perasaan saat kambuh benar-benar tak tertahankan. Ayahku yang terjebak dalam kecanduan, entah baik atau buruk, setiap kali melihat Xu Yiting berjuang melawan sakau, akhirnya tak tega melihat putrinya menderita dan membagikan sedikit narkobanya. Begitulah, setiap kali dia berusaha melawan - satu jam, dua jam, tiga jam... Tapi setiap kali di akhir, dia pasti akan menghisap narkoba itu.
Setidaknya aku sudah mencoba. Setiap kali aku berusaha bertahan, semakin lama menahan diri. Setidaknya... Kecanduanku belum terlalu parah, belum pernah kambuh di depan teman sekelas. Kali ini sudah bertahan sangat lama, mungkin lain kali bisa benar-benar melewatinya, mungkin lain kali...
Tapi sekarang, segalanya sudah tidak penting lagi.
Setelah ayah seperti itu MATI, dunia hanya menyisakannya sendirian. Bagaimanapun dia berjuang, pasti hanya akan terjerumus ke dalam situasi yang lebih menyedihkan.
Dingin sekali...
Dengan gemetar mencari kunci, membuka pintu kamar. Interior hotel tetap hangat dan mewah. Hanya dia dan ayah, mustahil bisa tinggal di kamar seperti ini. Betapa kayanya keluarga Huang! Mereka saudara sedarah, tapi mengapa tidak mau membantu? Baru saja di bawah, mereka semua membicarakan ayah yang telah MATI dengan dingin, hanya mempertimbangkan bagaimana agar tidak merusak reputasi keluarga Huang. Mengapa bisa seperti ini...
Dari kantong pengepungan mengeluarkan korek api, lalu mengeluarkan paket kecil narkoba itu. Baru tadi manajer yang ketakutan kabur sampai menjatuhkannya, belakangan dia ambil lagi saat keributan. Sebenarnya di kamar masih ada paket kecil yang ditinggalkannya, jika digabungkan, ini dosis besar yang belum pernah dicobanya—pasti sangat membahagiakan. Begitu, semua rasa sakit tak akan terasa lagi.
Di bak mandi mulai mengisi air panas, dia kembali ke kamar mencari pisau buah, mencari jarum suntik ayahku—konon ini akan lebih menyenangkan, sebaiknya membuatnya mati mendadak juga—berdiri di depan cermin setinggi manusia, dia melepas dua kepang yang mempermalukan, lalu melepas kacamata besar. Gadis dalam cermin agak kabur, kemudian menjadi jelas. Meski wajahnya terlalu menyedihkan, tetap terlihat cantik, kini semakin memancarkan kesan lemah lembut yang malang.
Itu satu-satunya hal yang bisa dibanggakan. Meski menghadapi banyak rintangan, tak pernah terpikir menggunakan tubuhnya untuk cari uang. Gadis 15-16 tahun yang terlalu banyak baca novel, kadang berkhayal tentang masa depan, berkhayal akan cinta sejati yang bergelora. Jadi dia berdandan buruk: pertama agar tak menimbulkan kecemburuan perempuan lain, kedua... kalau mereka mencintainya karena wajahnya, apa bedanya dengan menjadi selir orang?
Itulah satu-satunya harapan di hatinya.
Berdiri di depan cermin, perlahan-lahan melepas pakaian, seluruh tubuhnya secara bertahap menjadi telanjang bulat. Tubuh yang masih dalam masa perkembangan ini tampak rapuh dan polos, tanpa lekukan tubuh bak Setan, namun menyimpan vitalitas aneh bagai letusan yang siap meledak. Payudara merpatinya tak besar, namun tegak dan menggoda. Karena tegang, kulit seluruh tubuhnya memancarkan semburat merah muda pucat, di antara paha telah tumbuh helaian rambut kehitaman...
Ia ingin mati dengan penampilan paling memikat, membuktikan pada teman sebaya yang pernah memandang sinis atau mengejeknya bahwa Xu Yiting sama sekali tidak kikuk atau mempermalukan. Gambar dirinya akan terukir dalam pikiran semua orang - Saat mengunjungi keluarga Huang bersama ayahku di masa sulit, bahkan pernah berkhayal ada sepupu laki-laki yang memperhatikan kecantikannya dan mau menolong, meski harus incest pun tak masalah. Namun pangeran impian dalam khayalannya tak pernah muncul... mustahil akan muncul...
Emosi dalam pikirannya gemetar menghadapi fakta "akan segera MATI". Ia telah mempersiapkan segalanya, masuk ke bak air panas, menuang narkoba ke semangkuk kecil sesuai metode ayahku lalu menyuntikkannya ke jarum. Ada yang mengetuk pintu di luar, mungkin mencari dirinya terkait urusan ayahku. Tapi ia tak mau bicara, tak mau menjawab. "SEKARANG JUGA akan pergi," pikirnya, "mengapa sampai detik terakhir masih menggangguku? Masih mau mengejekku lagi?"
Jarum suntik gemetar di tangan, memandangi jarum di genggaman, lalu melirik pisau buah di sebelahnya. Setelah menyuntik, belah pergelangan tangan. Semua ini harus dilakukan SEKARANG JUGA, sebelum perasaan itu datang dan dia lupa untuk memotong. Ingat.
Persis di saat itu, pintu luar berbunyi "kreek" terbuka. Suara perempuan merdu yang tadi memikat semua orang di kasino terdengar: "Lihatlah, ngapain ketok-ketok? Toh bisa masuk sembarangan."
"Sudah-sudah, kau memang hebat ya. Yiting, Xu Yiting, ada di sini?"
"Sepertinya di dalam."
Sambil bicara, perempuan bergaya dengan kalung mutiara pelangi telah muncul di pintu kamar mandi. Melihat jarum suntik dan pisau di tangannya, dia menaikkan alis dengan anggun lalu bersiul. Tak lama, Yahan juga masuk.
"Kalian KELUAR!" Teriakan Xu Yiting yang terdengar parau. Yahan seperti tersadar sesuatu, buru-buru mendorong wanita di sebelahnya: "Dia tidak pakai baju, cepat keluar! Keluar! Yiting, mau apa kau, jangan lakukan hal bodoh..."
"Mau bunuh diri. Ada pisau di tangannya, bisa melukaimu. Biar aku yang..."
"Gak bakal kena! Kau KELUAR sana!" Sebuah tendangan mengusir Jiaming. Yahan mendekati Xu Yiting di bak mandi dengan tegang: "Yiting, jangan takut. Semua masalah pasti ada solusinya. Kami akan membantumu..."
“Jangan kau mendekat!” Xu Yiting menjerit, mengambil pisau buah di sebelahnya. Yahan menarik napas dalam-dalam, perlahan mengulurkan tangannya: "Tenang, kami akan membantumu, sungguh tidak apa-apa. Kau lihat sendiri betapa hebatnya kakak di luar sana. Selama dia di sini, takkan ada yang berani menyalahkanmu. Bahkan keluarga Huang..."
Dia juga pernah belajar Kung Fu merampas senjata, jadi tidak terlalu takut pisau Yiting akan menusuknya. Namun baru mendengar dua kata "keluarga Huang", tiba-tiba Yiting berteriak histeris, membalikkan mata pisau ke arah dadanya sendiri.
"Jangan!" teriak Yahan sambil menerjang ke depan.
Sinar darah menyembur saat ujung pisau menembus payudara sekitar satu sentimeter. Tangan kanan Yahan mencengkeram keras bilah pisau buah, darah segar langsung mengalir deras. Menahan sakit yang luar biasa, Yahan berteriak lalu melemparkan pisau itu ke belakang, tubuhnya terjatuh di lantai kamar mandi.
“Maafkan aku...” Sambil menangis histeris, mata Xu Yiting memancarkan penyesalan. Ia mengambil jarum suntik narkoba itu dan hendak menusukkannya lagi ke dadanya. Namun tiba-tiba terdengar suara "krak-krak" disertai rasa sakit menyengat - kedua tangannya telah dilumpuhkan dengan cara didislokasi oleh wanita yang tiba-tiba muncul. Wanita itu kemudian mencengkeram rambut panjang Xu Yiting dan menariknya keluar dari bak mandi. Tubuh gadis itu menggelepar di udara, tetesan air berhamburan, bagaikan lumba-lumba yang diseret paksa dari laut.
"Minta maaf, telah mengganggu ide brilianmu untuk bunuh diri."
Suara perempuan merdu itu terdengar lagi, namun kali ini penuh kedinginan yang menusuk. Ia terus menyeret Xu Yiting yang masih telanjang menuju kamar. Yahan yang ketakutan buru-buru bangkit dari lantai dan mengikuti: "Kau... kau mau apa..."
"Urus saja dirimu sendiri! Cepat cari kain kasa untuk membalut lukamu. Jangan bilang harus kuajari juga? Dasar idiot, kan sudah kubilang aku datang!"
"Tapi... Tapi..."
Melihat ekspresi mengerikan Jiaming yang bahkan lebih dasyat daripada di kasino, Yahan hanya bisa mengikuti sambil memeluk tangan kanannya yang terkoyak. Dengan satu gerakan melempar Xu Yiting ke sudut dinding, sebelum sempat rebah, wanita itu sudah mencekik lehernya dan mengangkat tubuhnya hingga menempel di dinding.
"Sakit, sesak napas, Xu Yiting membuka mulut mengeluarkan suara 'ekh... ekh...', tubuh telanjangnya bergulat mati-matian di udara, paha putihnya bergerak liar seperti orang gila. Yahan panik berusaha melepaskan lengan Jiaming, tapi sama sekali tidak berpengaruh."
"Kau... kau... kau akan membunuhnya, akan membunuhnya... Lepaskan, cepat lepaskan..."
"Aku sedang membantunya."
"Lepaskan lepaskan lepaskan..."
Perlahan, tekanan di leher semakin kuat. Xu Yiting membuka mulut lebar-lebar, lidahnya menjulur keluar, seolah bisa mendengar suara tulang-tulangnya patah. Saat akhirnya tak bisa menahan buang air, dalam penglihatan kaburnya masih terlihat sosok kakak perempuan itu dengan penampilan sempurna, seluruh tubuhnya seperti diselubungi lingkaran yang memikat. Itu pernah menjadi gambaran dirinya yang ia impikan, namun kini tatapan mata mereka dingin bagai es puluhan ribu tahun.
Akan... dibunuh olehnya...
## Bagian ke-126 Pengganti
Terbungkus jubah mandi putih bersih, Xu Yiting terbaring diam di ranjang kamar. Yahan duduk di tepi ranjang, tangan kiri memegang handuk membersihkan tubuhnya. Karena tangan kanan terbungkus kain kasa, gerakannya agak kikuk. Setelah selesai, ia tersenyum menyerahkan handuk kepada wanita cantik yang sedang bermain jarum suntik di pintu kamar mandi: "Nih."
“Tolonglah.” Napas ringan berhembus, “Kenapa aku harus membantunya mengurus ini semua, lebih baik langsung kucubit sampai mati saja dari tadi……”
“Berani sekali kau bicara, dia kan perempuan, sampai bisa kau perlakukan seperti ini… hmph, kalau aku, pasti kubunuh kau……” Memandangi jejak kotoran di sudut dinding, Yahan mengingat kembali adegan memalukan saat Xu Yiting sampai inkontinensia bagian bawah karena dicekik. Pipinya memerah. Seandainya dirinya yang memperlihatkan situasi memalukan seperti itu di depan orang, lebih baik mati saja, “Sudah, jangan banyak bicara! Cepat bawa ini dan cuci sampai bersih!”
Dengan dua jari menjijikkan mencubit handuk, Jiaming mengangkat alisnya: “Makanya dari tadi kubilang lebih baik dibunuh saja, biar nggak balas dendam nanti……”
“Aku tahu Jiaming pasti nggak akan melakukannya……”
“Apa?” Dari dalam kamar mandi, Jiaming tertegun mendengar ucapan Yahan.
“Sebenarnya Jiaming itu orang baik, aku tahu kau nggak akan membunuhnya.”
“Oh, tebakanmu tepat lagi… bahkan sekalian kasih kartu orang baik.” Meski mata menyiratkan ironi, mulutnya tak membantah. Baru saat menyerahkan handuk bersih ke tangan Yahan, ia mengejek, “Tadi siapa yang sambil meronta tanganku sambil nangis histeris?”
“Itu…” Kaki Yahan menendang Jiaming keras-keras, dengus manjanya terdengar, “Tapi tadi ekspresimu benar-benar menyeramkan! Aku takut kau kelepasan mencubit terlalu keras, nggak boleh apa?!”
“OK，OK，Yahan apa yang kau katakan tentu saja benar. Ngomong-ngomong, sekarang waktunya polisi dan bos-bos keluarga kita mungkin akan segera datang. Aku harus pergi dulu, apa kau bisa menanganinya sendiri?”
“Hm, tenang saja.” Yahan tersenyum manis membuat gestur tidak bermasalah. Jiaming kesal mengangkat mata putihnya, menunjuk tangan kanannya yang dibalut kain kasa, hendak berbicara. Yahan buru-buru menyatukan tangan sambil tertawa: “Aku tahu, tahu tahu, aku ini bodoh, Kakak Jiaming jangan mengomel lagi padaku... Hehe, sekarang aku Kakak Jiaming.”
“Dia sudah MATI sekali, seharusnya tidak akan sembarangan bunuh diri lagi. Tapi jika ada lagi tindakan bermasalah, langsung pukulinya hingga pingsan.” Jiaming menghela napas memberi penjelasan, “Identitasku sekarang sesuai janji sebelumnya. Jian Suyan, teman yang tak sengaja kau kenal selama kuliah, segalanya lainnya tidak jelas, ingat?”
“Nenek Jiaming... Auw...”
Jiaming kesal mengetuk dahi Yahan. Ia melambaikan tangan, keluar pintu.
Sejak awal tidak berniat memperhatikan urusan Xu Yiting. Setelah keluar dari pintu kamar itu, Jiaming kembali ke kamar membersihkan riasan dan tidur. Namun ketika mendengar hal itu sudah terselesaikan tepat sehari setelahnya, senyum ironis tetap mengembang di wajahnya.
Tidak ada penelusuran, tidak ada detail penanganan berlebihan. Secara sederhana, di-defaultkan bahwa Xu Changhong meninggal mendadak akibat overdosis narkoba. Namun mungkin karena keributan yang dibuat Jiaming, ditambah latar belakang keluarga Huang, pihak terkait tetap mengirimkan 200.000 sebagai bentuk simbolis. Dengan prinsip kedua belah pihak tidak ingin memperdalam masalah ini, kematian Xu Changhong akhirnya diredam.
Keluarga Huang tidak ingin mengkhotbahkan aib internal ke luar, namun tuntutan internal berbeda. Xu Changhong mati karena narkoba, fakta bahwa Xu Yiting menggunakan narkoba juga terungkap saat itu dan dilihat banyak anggota keluarga. Setelah menangani polisi malam itu, sekelompok orang bersiap menuntut penjelasan Xu Yiting. Dalam situasi ini, Yahan terpaksa mengungkapkan percobaan bunuh diri yang gagal dari Xu Yiting. Bencana ini sementara terhindari, namun saat sarapan keesokan harinya, hal ini tak terelakkan menjadi topik pembicaraan di meja makan.
Dari narkoba, taruhan, penipuan, kecurangan hingga pelacuran dan aborsi, identitas Xu Yiting tidak sampai pada tingkat dihujat semua orang. Namun gosip di meja makan memang hasil imajinasi yang liar. Karena tidak terlalu akrab sehari-hari, tentu tidak ada kewajiban memberikan simpati. Dalam desas-desus orang banyak, pukul delapan pagi, sebagian besar mulai berangkat kembali ke Jianghai. Tapi bersamaan dengan itu, Xu Yiting menghilang.
“Hal ini sebenarnya tidak menimbulkan kepanikan yang besar. Menurut pandangan banyak orang, seorang perempuan yang terlibat taruhan, kecanduan narkoba, menipu orang, hingga pelacuran seharusnya memang menghilang dalam situasi seperti ini. Jika tidak menghilang, mungkin malah akan terasa aneh. Setelah meminta polisi menyelidiki, mereka yang harus pulang tetap melanjutkan perjalanan pulang.”
Iring-iringan mobil keluarga Zhang dan Huang bersama kendaraan pengangkut mayat Xu Changhong berpisah setelah memasuki Kota Jianghai. Kembali ke villa megah keluarga Huang, setelah makan siang bersama, karena kedekatannya dengan Xu Yiting di sekolah, Jiaming ditahan untuk ditanyai beberapa hal seperti apakah Yiting benar-benar terlibat kasus buruk seperti kecanduan narkoba dan penipuan. Jawaban Jiaming tentu saja mengikuti standar: “Aku tidak tahu.”
Setelah urusan ini selesai, berbelanja di supermarket, saat kembali ke tempat tinggal dekat Akademi Hati Kudus sudah sekitar pukul tiga atau empat sore. Lingjing dan Shasha belum pulang sekolah. Setelah mengecek situs web yang perlu dipantau, barulah ia mencuci beras dan memasak. Menjelang pukul lima, Shasha yang pertama tiba. Memakai celemek, ia membantu Jiaming mencuci dan memotong sayuran di dapur. Saat ditanya tentang perjalanan ini, Jiaming secara santai bercerita tentang nasib Xu Yiting.
“Ti-Tidak mungkin? Yiting menghilang?” Mata Shasha membelalak, “Kau... Kau tidak membantunya mencari? Dia seorang perempuan...”
“Kenapa aku harus membantu?”
“Tapi...”
“Shasha sangat kesal sambil menggaruk rambutnya. Secara alami dia baik hati, namun di sisi lain tidak ingin Jiaming selalu ikut campur urusan orang, hal ini juga sudah dia bicarakan dengan Lingjing sejak awal. Melihat ekspresi bingung di wajah yang biasanya ceria itu, Jiaming tersenyum lalu merangkul Shasha yang sedang memilih sayur dari belakang, perlahan menggigit telinganya.
“Tenang saja, Xu Yiting baik-baik saja. Aku kira tahu di mana tempatnya berada, jadi tidak perlu mencari...”
“Hmm...” Daun telinga merupakan area paling sensitif Shasha. Saat digigit lembut oleh gigi Jiaming, tubuh gadis itu mendesis lemas. “Ja...jangan ganggu, aku sedang sibuk...”
“Aku juga sedang sibuk... Kita mengerjakan urusan masing-masing...” Dengan senyum samar, lengan Jiaming menyusup ke dalam celemek, membuka gesper ikat pinggang lalu menurunkan ritsleting celana jeans.
Perlawanan simbolis berlangsung sejenak, namun tak mampu menghentikan telapak tangan hangat yang merayap masuk, menyelinap antara paha. Saat jari-jari lembut itu menembus tubuhnya, Shasha mengatupkan gigi kuat-kuat dengan wajah memerah: “Ben...benci... Ini masih siang hari... Lingjing... Lingjing akan segera pulang...”
“Hmph, kalau Lingjing datang pun nasibnya akan sama. Inilah yang disebut takdir...”
“Kau、Kau selalu seperti ini menggangguku seorang, tak pernah kulihat kau memperlakukan Lingjing seperti ini……” Suara yang biasanya jujur seperti anak laki-laki kini menjadi lemah tak berdaya, suara dari tenggorokannya bagai tangisan perlahan, “Ah” setelah itu, Jiaming menyangga perutnya dengan satu tangan, sementara tangan satunya tetap berada di antara paha yang kokoh, dengan tenaga mengangkat tubuh Sasha dan berbalik meninggalkan dapur.
“Ah……Apa yang mau kau lakukan, tanganku……tanganku belum bersih. Hmm, turunkan aku……” Tangan berlumpur itu melambai-lambai di udara, seluruh tubuh Sasha dalam keadaan tegang, otot paha mengencang lalu mengendur berkali-kali, kaki jenjangnya menjulur lurus, sandal telah jatuh ke lantai, ujung kaki berkaos kaki wol warna-warni hanya menyentuh punggung sandal Jiaming namun tak bisa mencapai lantai. Melihat Jiaming menendang pintu kamar tidur dan berjalan ke ranjang besar di dalam, ia pun berkata dengan suara merintih: “Jangan……Tanganku masih basah, akan membasahi ranjang……Cuaca akan dingin, jangan……Aku masih harus memilih sayur, hiks……”
Meski secara verbal menolak, nada bicara seperti ini justru semakin meningkatkan daya pikatnya. Ditambah citra Shasha di kampus yang selalu tegas dan jujur, kontras dari rengekan minta ampun ini hanya akan membangkitkan nafsu penaklukkan setiap pria. Saat Shasha dibaringkan di ranjang, terlihat dia tengkurap di bawah selimut dengan kedua tangan masih terangkat di udara, paha mengapit erat tangan Jiaming tanpa gerakan: "Hiks, begini nanti ranjangnya basah..."
"Hmm, lepaskan dulu tanganku baru bicara..."
"Nggak mau lepas."
"Beneran nggak mau lepas?"
"Hmm, ah..." Titik paling sensitifnya diremas Jiaming, Shasha menjerit kecil sambil tubuhnya menggeliat. Jiaming menyambar kesempatan untuk menarik tangannya.
Menyembunyikan wajahnya yang membara dalam tumpukan selimut, seolah bisa merasakan sorot mata Jiaming yang menginspeksi setiap inci tubuhnya, dia bergumam lirih: "Kayak rekaman video yang kemarin aku tonton bareng Lingjing."
"Rekaman video? Rekaman apa?"
"Tentang pemerkosaan..." jawabnya dengan suara lembut. Tiba-tiba bagian bawah tubuhnya terasa dingin, Jiaming sudah menurunkan celananya sampai ke lutut. Tangannya mengelus-elus paha kencang Shasha.
Wajahnya masih terbenam dalam selimut lembut, jarinya meraih sebuah kondom dari kotak kecil di sisi dalam ranjang. Setelah Jiaming mengambilnya sambil tersenyum, barulah dia bergumam: "Aku pasti akan balas dendam... Hiks..."
……
“Setelah alur cerita klise pemerkosaan berakhir, Lingjing limbung di ranjang tak mau bergerak. Membiarkan Jiaming mengambil tisu untuk sementara menangani urusan pasca. Sejenak, Lingjing kembali dengan tas sekolah, menyaksikan Lingjing setengah telanjang di ranjang. Pemandangan Jiaming membersihkan bagian bawahnya dengan tisu membuatnya tersenyum: "Bajingan... Baru pulang langsung mikirin hal begini."
“Lingjing, Jiaming memperkosaku...”
“Kalau gitu lain kali kau balas memperkosanya saja.” Sambil memakai celemek, Lingjing tersenyum.
“Aku juga berpikir begitu.” Meraih segenggam tisu, dengan cepat ia membersihkan bagian bawahnya, Lingjing menarik celana dan melompat dari ranjang, berlari ke arah Lingjing sambil mengayunkan tinju seperti demonstrasi. Jiaming dan Lingjing tak bisa menahan tawa.
Bertiga memasak di dapur dan menyantap makan malam. Ruangan diterangi cahaya lampu hangat saat mereka berkumpul di sofa menonton TV. Dari lantai bawah terdengar suara seksi game elektronik. Lingjing mengeluarkan kotak hadiah berpita dari kamar tidur dan memberikannya ke Jiaming: “Ini hadiah pilihan kami kemarin, untukmu Jiaming. Buka sekarang.”
“Oh? Ada hari spesial apa hari ini? Sampai ada hadiah.”
“Memberi hadiah tak perlu alasan.” Dengan senyum manis, Lingjing memeluk lututnya sambil memperhatikan Jiaming membuka bungkus kado. Tiba-tiba mulutnya menganga membentuk huruf “O”.
“Alat、Alat Pijat……” Melihat ke kiri dan kanan, menyaksikan wajah ceria kedua gadis itu, Jiaming mengedipkan matanya, “Hmm, kalian maksudnya kalian akhirnya menemukan pengganti, jadi tidak membutuhkan aku lagi ya...”
## Bagian Seratus Dua Puluh Tujuh Terapi Stimulasi
“Hmm, kalian maksudnya kalian akhirnya menemukan pengganti, jadi tidak membutuhkan aku lagi, begitu?”
“Apa sih...” Lingjing tertegun sejenak, sementara Sasha yang pertama memahami makna ucapan itu langsung menendangnya, “Huh, suka tidak suka. Lingjing, orang ini lagi ngomong kita lesbian nih.”
“Bukannya emang iya?”
“Mana ada.” Lingjing kesal mengangkat mata putihnya, “Kami lihat di koran katanya kerja lama di depan komputer itu tidak baik untuk tubuh manusia, makanya beli alat pijat buat memijat punggungmu. Eh malah dikatain begitu. Udah, tidak usah dikasih, biar aku dan Sasha yang pake buat lesbian!”
“Ternyata menganggapku seperti orang tua...” Meski berkata demikian, hatinya terasa hangat. Kerusakan akibat komputer tentu dia tahu, tapi tidak pernah terpikir akan berdampak pada dirinya. Makanya ketika melihat alat pijat tadi, pikirannya malah melayang ke aspek jorok. Tapi sekarang sudah tidak mungkin melepaskannya. Melihat Lingjing ingin merebut, dia langsung menindih kotaknya dengan badan: “Jangan harap! Hadiah yang sudah diberikan tidak boleh ditarik kembali. Kalau mau ambil, harus menginjak mayatku dulu!”
“Hehe, kalau gitu kubuat kau jadi mayat!”
Terkapar di punggung Jiaming berebut alat pijat, Shasha juga ikut ambil bagian membalas dendam. Berguling-guling di sofa, rambut kedua gadis itu berantakan, terengah-engah, pipi memerah. Jiaming tentu saja kembali mengambil kesempatan untuk mengganggu mereka. Saat suasana mulai memanas dan tepat untuk membawa kedua gadis ke kamar, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
"Jiaming, Gu Jiaming, ada di dalam?"
"Itu Kakak Yahan." Lingjing dan Shasha bergegas merapikan baju dan rambut yang berantakan dari sofa, sementara Jiaming langsung berlari masuk ke kamar dalam. Baru setelah Lingjing membuka pintu, dia berjalan santai keluar.
"Kakak Yahan, silakan masuk. Ada perlu dengan Jiaming?"
"Tidak usah. Aku sudah janji dengan Jiaming sebelumnya. Ini... Boleh pinjam bocah ini beberapa jam?"
"Oh?" Lingjing menoleh ke arah kamar dalam sambil tersenyum, "Tentu saja, silakan pakai saja. Lebih baik tidak usah dikembalikan, biar aku dan Shasha tidak perlu berebut toilet setiap pagi."
"Aduh, aku bukan barang milik kalian. Jangan asal menyuruh-nyuruh gitu dong..." Jiaming keluar sambil melihat gesture tangan Yahan. Setelah mengangguk, dia mengambil jaket di kamar lalu melambaikan tangan sebelum menyusul Yahan turun tangga.
Meski nada bicaranya tampak biasa, ekspresi Yahan saat itu jelas terlihat gelisah. Beberapa bagian bajunya kusut seolah habis berkelahi. Setelah masuk ke mobil tua yang diparkir di bawah gedung, Yahan baru hendak berbicara ketika Jiaming menyodorkan selembar kertas: "Ini."
"Hah? Apa?"
"Resep obat herbal penghilang racun, hasilnya cukup bagus. Sok pahlawan mengambil alih urusan Xu Yiting, sekarang baru tahu repotnya?"
Yahan tertegun, menatap wajah menyebalkan Jiaming yang seolah tak peduli meski langit runtuh. Ekspresi cemasnya perlahan berubah menjadi senyum kesal, ia menepuk bahu Jiaming: "Rupanya kau sudah tahu aku yang membawa Xu Yiting, sialan, tak mau membantu..."
"Yang benar saja, kukira tak semua orang semenganggur dirimu. Masih ada dunia yang harus kuselamatkan."
Mendengar keluhan itu, Yahan mengangkat mata putihnya lalu menyalakan mobil. Senyumnya kini tak lagi dibebani tekanan.
Sudah kuduga... Kalau orang ini yang terlibat, pasti tak ada masalah...
Cahaya lampu jalan menerangi jalan di dalam kompleks perumahan dengan hangat. Angin malam musim semi yang lembap dan dingin membelai pepohonan hijau yang mulai bersemi dan hamparan bunga yang baru mulai bermekaran. Seorang guru asing berbaju olahraga berlari-lari kecil sambil menuntun seekor Husky melewati deretan villa. Mobil tua yang terlihat sudah lama digunakan berhenti di pinggir jalan. Saat pintu mobil terbuka, yang pertama muncul adalah sosok wanita cantik bergaya modern dengan kalung manik warna-warni, memegang tas kecil sambil merapikan rambut bergelombangnya. Para pejalan kaki di kawasan villa tak sadar melirik ke arah ini beberapa kali.
"Cukup deh, tahu kamu cantik banget, nggak perlu pamer di sini lagi, cepat masuklah."
Keluar dari kursi pengemudi, Yahan hampir tertawa melihat pesona yang tak sengaja terpancar dari wanita di seberangnya, tapi juga merasa sedikit cemburu. Harus diakui, Jiaming yang menyamar sebagai wanita justru lebih memesona daripada dirinya. Apalagi penampilannya yang berantakan ini, berdiri di sampingnya (dia) seperti ibu pembantu yang cuma jadi pelengkap...
"Aku cuma merasa orang-orang ini menarik." Dengan pandangan sekilas, Jiaming tersenyum. Dalam penyamarannya sebagai wanita, senyumannya benar-benar memesona. Yahan mengatupkan bibir rapat-rapat, melotot padanya sebelum menarik tangannya dan bergegas masuk.
"Sebenarnya kemarin malam kecanduannya kambuh tanpa pereda. Setelah kau ambil jarum itu, dia mulai menderita sejak bersembunyi di mobil. Sesampai di sini, kubujuk dia makan sedikit tapi langsung muntah karena tidak tahan. Sepanjang siang dia terus menggelepar. Dia minta diikat atau dikembalikan saja. Aku benar-benar kehabisan akhirnya datang mencarimu... Pasti kau akan menghujatku sekarang..." Sambil membuka pintu dan menyalakan lampu, Yahan bercerita tentang hari ini. Namun Jiaming kali ini tidak menyindir atau mengangkat mata, hanya mengangguk santai.
"Kecanduan bukan hanya beban mental, faktor fisiologis juga berperan besar. Tapi niatnya untuk sembuh itu bagus. Tingkat kecanduannya belum parah, peluang pulih masih tinggi."
"Ya?" Di sudut tangga, Yahan berbalik sambil membelalak, "Kau tidak memarahiku karena kebodohanku lagi?"
"Apa kau harus dihujat baru senang..." Jiaming tertegun, lalu mengangkat mata putihnya sambil tertawa: "Baiklah, memang kau lebih idiot. Membawa paksa, membelenggu, plus ikatan SM. Ini sudah bisa dikategorikan pelecehan seksual... Dasar idiot..."
Sepertinya juga menyadari mentalitas ini agak tidak tepat, Yahan mengangkat bahu, menampilkan senyum manja di wajahnya: "Ini semua salahmu yang suka menghujatku, lihat bagaimana aku jadi begini karena hujatanmu..." Dalam beberapa tahun pergaulan mereka, mungkin karena keduanya sama-sama bebas, perbedaan usia nyata hampir terabaikan. Sikap dominan Jiaming membuat Yahan selalu seperti adik kecil. Dalam situasi saat ini, hal itu terlihat sangat jelas. Ia menekan bibirnya: "Jika aku benar-benar jadi bodoh karena hujatanmu, kau harus bertanggung jawab di kemudian hari..."
"Baik, nanti akan kucarikan suami yang lebih bodoh untukmu, pasti bisa kau kuasai."
"Hah." Yahan tertawa kecil, berbalik menaiki tangga. "Adakah orang yang lebih bodoh dari aku?"
"Hm, kurasa tidak ada. Tapi ini bukan halangan. Paling-paling kupukulinya jadi konyol. Kuberjanji tidak akan memukul wajahnya."
Sampai di lantai dua, pintu gudang terkunci rapat. Yahan mengeluarkan kunci, ragu sebentar. Dari dalam terdengar erangan kesakitan Xu Yiting. Jiaming menepuk bahunya lembut: "Tenang, aku di sini. Kau tahu, satu-satunya perbedaan antara aku dan Superman adalah celana dalamnya dipakai di luar."
"Hah, berlebihan..." Mengangkat mata putihnya, sorot mata Yahan seakan mengandung sesuatu yang lembab. Membungkuk membuka pintu, cahaya lampu oranye dari gudang menerpa. Sekejap itu, Jiaming kembali berubah menjadi wanita sempurna: Jian Suyan.
Barang-barang di kamar pada dasarnya sudah dibersihkan oleh Yahan, saat ini hanya ada sebuah ranjang sederhana dengan seprai putih dan selimut yang berantakan. Xu Yiting yang mengenakan jubah tidur bermotif bunga milik Yahan meringkuk di atas ranjang, tangan dan kakinya diikat secara sederhana. Sebelumnya dia tampak masih berjuang mati-matian, namun begitu melihat dua bayangan di pintu, dia langsung membeku. Matanya mengikuti sosok cantik yang masuk, bahkan erangan kesakitan pun menghilang sepenuhnya.
"Pergi beli ramuan Tiongkok dan panci tanah liat sesuai resep itu, serahkan sisanya padaku di sini."
"Ya." Mendengar perkataan Jiaming, Yahan mengangguk, "Yiting, jangan takut. Kakak ini namanya Jian Suyan, dia datang untuk mengobatimu. Dia tidak akan menyakitimu lagi, ya?"
Tatapan Xu Yiting terus mengikuti mata manusia yang tenang itu, dia seolah mengangguk secara bawah sadar. Setelah Yahan berbalik dan turun tangga, sang perempuan menutup pintu gudang dengan tangan. Suara "Byur" menggema, meninggalkan dua perempuan dalam ruang kecil: satu penuh ketakutan, satu lagi dingin bagai es.
Suara Yahan pergi terdengar dari bawah.
"Halo, seperti yang dikatakan Yahan, namaku Jian Suyan. Mulai hari ini, akulah dokter penanggungjawabmu. Secara gaya pengobatan, aku bukan dokter profesional. Kau hanyalah bahan eksperimen, atau bisa disebut mainan. Jadi aku tidak menjamin tidak akan menyakitimu, dan kau harus siap MATI kapan saja secara mental."
"Nada yang merdu namun datar, matanya menyaksikan wanita itu mendekat. Xu Yiting tiba-tiba merasakan ketakutan yang menembus sumsum tulang. Tatapan dingin tadi malam, kekuatan yang hampir mematahkan lehernya, bunyi gesekan di sela-sela tulang, sensasi sesak napas mengerikan yang hanya terpaut sehelai dari MATI... Segalanya muncul kembali di benaknya. Dengan bawah sadar ia meronta ke bagian dalam ranjang. Namun seketika, pergelangan kakinya yang terikat tali telah dicengkeram, lalu seluruh tubuhnya yang tengah tengkurap di ranjang diseret mendekat."
"Teknik ikatan Yahan ini menurutku sangat tidak profesional. Aku lebih menyukai metode ikatan ala Jepang, seksi dan indah, sekaligus membuat seluruh tubuhmu tak bisa bergerak. Apakah kau tertarik..."
Sambil mendengar ucapan wanita itu, Xu Yiting tetap tengkurap di ranjang. Tangannya terikat di belakang punggung, sedangkan kedua betisnya yang telanjang diangkat. Tali kemudian dilepas, disusul rasa nyeri di kedua bahunya saat torso-nya ditarik kasar. Perempuan bernama Jian Suyan mulai melepaskan ikatan di tangannya.
“Aku tidak menyukaimu, dan juga tidak membutuhkan kau menyukaiku. Mungkin kau merasa teraniaya dalam hati, punya seribu alasan terpaksa menggunakan narkoba. Tapi kau sudah menjadi pecandu, inilah fakta. Aku tidak akan memberimu setitik simpati. Kemarin ketika Yahan terluka karena kau, seharusnya aku membunuhmu saat itu juga. Tapi wanita itu terlalu lembut hati, memaksaku memberimu kesempatan sekali lagi. Tentu saja, jika kau karena alasan apapun menghalangi Yahan, aku akan melanjutkan bagian yang belum selesai itu.”
“Kecanduan narkoba adalah beban besar baik secara fisik maupun mental. Secara sederhana, jika ada metode berhenti instan, tidak diragukan lagi itu akan memberikan stimulasi lebih kuat namun tidak membuat kecanduan pada tubuhmu. Caraku adalah setiap kali sakau, aku akan membunuhmu sekali—seperti terakhir kali kujepit lehermu perlahan sampai kau merasakan MATI menjalar titik demi titik... Tenang, aku sangat presisi. Bisa jamin kau tidak akan MATI, tapi kekurangan oksigen sangat merusak otak manusia. Tidak bisa kujamin kau tidak jadi idiot...”
Suara perempuan penuh Rayuan bergema di udara kamar, seperti ular dingin yang perlahan merayap di setiap inci kulitnya. Dengan tangan terlipat di belakang punggung, membelakangi iblis perempuan bernama Jian Suyan, Xu Yiting yang bersujud di tepi ranjang tak bisa menahan gemetar halus. Untuk sesaat, dia tak berani mengerang, tak menunjukkan penderitaan, tak menangis, bahkan getaran ini pun berusaha ditahannya. Tiba-tiba, panas menyergap antara pahanya, aliran Air hangat mengalir di atas paha. "Hik..." tangisnya pecah, sebelum gigi kembali mengatup erat menahan derita.
Di belakang, ucapan Jian Suyan juga terhenti mendadak.
Memandang cairan kekuningan yang merembes deras dari antara paha, ia menyeringai pelan: "OK, kau sangat takut. Tetap tenang. Kita sudah punya awal yang baik..."
## Bagian Seratus Dua Puluh Delapan Masalah Kecil
Dua hari, tiga hari, atau empat hari... Waktu seperti kehilangan makna dalam siksaan sakau. Tinggal di gudang kecil itu, sulit mengukur aliran waktu dunia luar. Saat kecanduan kambuh, tubuhnya diikat erat: menderita, bergulat, mengerang, hingga akhirnya tertidur. Bangun tanpa bisa merasakan pergantian siang-malam. Yang selalu menyambut pandangan hanyalah sinar lampu oranye, ditambah sosok yang berjaga di tepi ranjang.
Sebagian besar waktu tentu saja Guru Yahan yang membersihkan keringat di dahinya atau tubuh saat ia benar-benar menderita, menyuapinya minum Air dan meminum obat. Tali hanya akan dilepaskan saat ia perlu ke toilet atau mandi. Sebelumnya saat bertemu Guru Yahan di kampus, ia selalu terlihat serius, bahkan banyak teman sekelas yang takut padanya. Tapi sekarang baru tahu, sebenarnya Guru Yahan sangat lembut. Dalam Kehidupan sebelumnya, tak ada manusia yang pernah memperlakukannya dengan baik seperti ini. Perasaannya, ia seolah-olah menjadi ibuku... Seharusnya mengatakan penampilan ibu dalam fantasinya, karena bahkan ibu kandungnya sendiri pun tampaknya tidak pernah memperlakukan dirinya dengan baik seperti ini.
Sejak kecil hingga besar, setiap harinya seolah ia harus mengencangkan gigi untuk bertahan. Dibandingkan orang lain, sebenarnya fasilitas keluarganya cukup baik. Namun ayahku berjudi dan menghisap narkoba, kemudian ia pun ikut kecanduan. Di tepi jurang tanpa dasar ini, meski hari ini masih menikmati sarang burung walet dan sirip hiu, bisa saja tepat sehari setelah ayahnya akan mempertaruhkan putrinya ini di meja taruhan —— dan memang ia pernah melakukan hal itu. Setiap hari diisi dengan keraguan dan kekhawatiran yang tak berkesudahan. Relatif terhadap lingkungan yang dihadapinya saat ini, merasakan kelembutan dan penjagaan ini, ia kadang benar-benar berpikir: Andai saja dirinya masih benar-benar seorang bayi...
Mengenai Kakak Suyan——dia mungkin tidak akan mengakui penyebutan ini untuk dirinya——total kedatangannya hanya tiga empat kali. Pandangannya sangat tajam, tentu saja itu hanya ditujukan padaku. Selain pengalaman pertama, setelahnya sepertinya dia hanya datang merawatku ketika Guru Yahan tidak punya waktu. Dia tidak menyukaiku, hal ini kusadari betul.
"Aku tidak bermaksud menyingkat siapapun, tapi aku membenci tipe manusia yang tak bisa mengendalikan pilihannya sendiri."
Ini adalah ucapan asli Kakak Suyan. Dalam persepsi diri sendiri, dia sangat kuat, sangat memancarkan cahaya hingga puncak, cantik, menguasai banyak hal, selalu begitu elegan dan santai, terasa sangat wajar menjadi pusat perhatian dan fokus semua orang——tentu saja "semua orang" yang dimaksud sekarang hanyalah diriku sendiri. Mungkin dia tidak tahu betapa aku sangat mengagumi dan memandanginya dengan iri. Jika di masa depan bisa memiliki seperseratus dari Kakak Suyan, mungkin aku sudah kuminati.
Tentu saja, di hadapan Guru Yahan, Kakak Suyan sepertinya juga mulai memiliki kebiasaan berulah iseng dan sering bercanda. Saat dia datang, seringkali kecanduannya kambuh, lalu akan diikat olehnya menjadi wujud yang sangat memalukan. Guru Yahan yang melihatnya, biasanya akan mendengus kesal. Dia kerap bercanda menyebut Guru Yahan sebagai Bodoh, tampaknya Guru Yahan malah terlihat seperti adik perempuannya.
Situasi ketakutan sampai mengompol tentu hanya terjadi di awal. Beberapa kali setelahnya, meski Guru Yahan tetap tegas, rasa takutku tak separah sebelumnya. Dia pernah bilang akan membunuhku, tapi setiap kali aku menggigit gigi erat dan bertahan, ancaman itu tak pernah benar-benar dilaksanakan. Kadang saat dia mengangguk, aku diam-diam berharap: andai suatu hari dia memujiku, mungkin aku akan senang sampai pingsan.
Selama masa diikat dan gigit-geligi itu, kecanduan racunku perlahan berkurang. Interval antar setiap kali rasa sakit itu muncul tampaknya semakin panjang - ini yang selalu Guru Yahan katakan saat memotivasiku.
Waktu berlalu dalam pergulatan ini. Saat sakau melanda, seluruh tubuhku menggigil dan gemetar seolah sebentar lagi MATI. Tapi setidaknya, di saat-saat seperti itu pasti ada yang mengikatku, memperhatikanku, membuat keputusan untukku.
Tak ingin lagi memikirkan dunia luar. Tak ingin mengingat kematian ayahku. Tapi dia benar-benar MATI. Tak ada lagi keluarga, bahkan yang kejam seperti ayah pun tiada. Tubuhku terbelenggu erat, tak bisa bergerak. Antara diriku dan kebebasan hanya terhalang beberapa tali dan sebuah pintu. Tapi bahkan jika berhasil lepas dari racun, apakah ini berarti penebusan? Aku tak tahu.
Seolah-olah bergumul di perbatasan kegelapan dan cahaya suci, namun ke mana pun memandang, tak terlihat bayangan masa depan yang memberi harapan. Ia lebih memilih pergulatan ini terus berlanjut, mustahil ada hari di mana konsekuensi benar-benar terwujud. Biarlah terikat selamanya, menderita selamanya, tak bisa merdeka. Setidaknya saat ini, ia terdominasi oleh orang yang benar-benar peduli, yang memberi tahu setiap langkahnya.
Ingin menangis, tapi… jangan sampai dibenci lagi, diriku sudah kehilangan segalanya…
Saat melewati pintu kamar, isakan tertahan samar terdengar dari dalam, tak luput dari ketajaman pendengaran Jiaming.
Masih dengan kamuflase humanoid wanita, ia mengangkat mata putihnya lalu turun tangga. Aroma obat tradisional bercampur wangi makanan menyebar di set rumah. Yahan yang baru pulang kerja juga masuk dari pintu, tersenyum pada Jiaming yang turun: "Kondisinya membaik?"
"Hmm, sedikit. Hari ini seharusnya tidak kambuh, kau bisa tidur nyenyak malam ini."
"Ya, terima kasih." Masih dengan setengah rok kerja, kacamata dan rambut bergelombang ala perawan tua, senyum Yahan kali ini memancarkan pesan profesional layanan godaannya seragam, namun di hadapan Jiaming lebih terasa kemurniannya: "Beberapa hari ini sangat melelahkan, selalu membuatmu berkecimpung seperti ini… Mau tinggal makan malam?"
“Hari ini...” Jiaming mengangkat bahu, “Lain kali saja, hari ini aku sudah janji ke Lingjing untuk makan di perguruan silat. Habis makan masih harus ke klub karaoke, lagipula... masakan di sini juga tidak cukup.”
“Eh? Di sini?” Yahan terlihat sedikit bingung.
Jiaming tersenyum: “Karena aku datang lebih awal ke rumahmu, tahu kamu pulang kerja agak malam, jadi aku masak nasi dengan bahan-banan dari kulkasmu seperti daging asap, jamur, wortel. Sekalian tumis sayur qingcai sedikit, itu.” Dia menunjuk ke arah dapur, “Aku kira-kira tahu porsi makanmu, ditambah bagian Yiting, sedikit lebih banyak. Tiga orang pasti tidak cukup.”
Memandangi senyum Jiaming, Yahan menarik napas dalam: “Wanginya...” Setelah terbuai sejenak, barulah ia mengerutkan alis sambil tersenyum: “Terima kasih. Beberapa hari ini terus mencium bau obat, aku hampir saja runtuh.”
“Orang dalam, tidak perlu basa-basi.” Mengambil kunci mobil tua dari tangan Yahan, melangkah dua kali lalu menoleh kembali, “Ngomong-ngomong, kecanduan Xu Yiting memang sudah berkurang minggu ini. Tapi dia masih punya beban mental, kamu coba pelan-pelan beri pengarahan. Setelah lepas narkoba, minta maaf ke keluarga Huang. Masa depan tidak semenyeramkan itu. Jujur saja, aku tidak punya waktu untuk perlahan-lahan menghadapinya...”
“Ya.” Yahan mengangguk patuh, “Ngomong-ngomong, tentang urusan Xu Yiting ini, sudah kamu beri tahu ke Lingjing dan Shasha belum?”
“Ada, tak banyak rahasia di antara kami bertiga, Tentu saja mereka juga tak banyak bertanya… Heh, tapi menyamar dengan penampilan seperti ini belum mereka ketahui, biar tidak ditertawakan sampai MATI.” Sambil tersenyum menjawab santai, Jiaming melangkah keluar, mengayunkan tangan, “Dadah, masuklah makan.”
“Hmm, hati-hati menyetir.” Berdiri di pintu sambil melambai, matanya mengikuti Jiaming yang masuk ke mobil kecilnya, kemudian dengan mahir memundurkan dan melajukan mobil hingga kendaraan itu menghilang di tikungan jalan. Baru kemudian dia menutup pintu kamar sambil tersenyum, berjalan riang menuju dapur, di tengah jalan bahkan berputar dengan langkah dansa yang lincah. Dia menyukai perasaan antara dirinya dan Jiaming ini, persis seperti pasangan muda yang mengantar pasangan pergi.
Memakai sarung tangan, mengeluarkan mangkok nasi kukus dari panci, menarik napas dalam-dalam – aroma daging memenuhi hidung. Bawah sadarnya memegang mangkuk besar nasi kukus itu cukup lama di tangan, baru menyadari dirinya agak sombong banget. Segera mengurus mood-nya, mengeluarkan mangkok lain dari lemari, mulai membagi makanan menjadi dua bagian...
Di sisi lain, mengendarai mobil kecil Yahan meninggalkan villa, tujuan Jiaming bukanlah kamar yang kini ia tinggali bersama Lingjing dan Shasha, melainkan rumah peninggalan orang tuanya setelah mereka MATI. Di sana ia harus mengubah penampilannya kembali. Hari ini adalah Sabtu, setelah makan di perguruan silat, trio ini masih harus pergi ke Bar Blue Bird untuk bernyanyi. Sejak membentuk band konsep kecil mereka, Lingjing telah mengundurkan diri dari pekerjaan memainkan piano di Nordic Fantasy. Saat ini selain kerja paruh waktu Jiaming di bidang komputer, pertunjukan mingguan menjadi sumber ekonomi terbesar trio ini.
Tidak ingin terlalu banyak hal tidak karuan mengganggu kehidupan tinggal bersama normal mereka, Jiaming memilih untuk tidak menceritakan aksinya menyamar sebagai wanita di depan kedua gadis tersebut. Bagaimanapun dilihat, plot semacam ini memang tidak seharusnya muncul dalam kehidupan normal manusia.
Waktu menunjukkan sekitar pukul enam sore, langit mulai gelap. Perjalanan ke sana biasanya memakan waktu sekitar dua puluh menit, tapi kali ini bertepatan dengan jam sibuk setelah kerja. Setelah keluar dari Distrik Shaohua dan memasuki kawasan tua, jalanan mulai dipadati mobil. Saat lampu merah menyala, mobil kecil itu berhenti. Jiaming menatap langit yang tampak mengancam akan turun hujan.
Saat pandangannya menyapu kaca spion, beberapa bayangan orang yang cukup dikenal terlihat di dalamnya.
Di trotoar pinggir jalan, tiga teman sekelas Jiaming saat ini berlari kencang dari belakang, seolah sedang dikejar oleh seseorang. Yang memimpin adalah Dongfang Wan yang selalu penuh semangat dan dijuluki "Raja Masalah", diikuti oleh dua teman perempuan yang biasanya dekat dengannya. Mereka adalah tulang punggung komunitas traveling. Setelah berhenti sejenak terengah-engah, mereka mulai berlari mati-matian ke depan.
Entah masalah apa lagi yang dibuat oleh orang-orang ini...
Dengan menyeringai kecil, lampu hijau pun menyala. Dia mulai menyetir mobil, perlahan melintasi persimpangan. Tiba-tiba Dongfang Wan berlari cepat mendekati mobil ini. Karena tidak bisa mengejar dari depan, dia memukul-mukul kaca jendela belakang dengan panik: "Guru Yahan! Tunggu! Guru Yahan!"
Lagi-lagi begini...
Kaca mobil tua ini memang agak buram, ditambah cuaca mendung menjelang hujan, wajar jika sulit melihat sosok di kursi pengemudi. Setelah mengukur celah antara dua mobil di depan dan memastikan akselerasi untuk menyalip akan sulit, Jiaming menepi dengan pasrah. Dia menurunkan kaca jendela, menyunggingkan senyum perempuan sempurna.
"Guru Yahan... Eh? Ini... mobilnya Guru Yahan ya..."
Bagaimanapun guru yang galak, pasti akan lebih ramah pada murid berprestasi. Rupanya Yahan cukup baik pada Dongfang Wan di sekolah. Sambil mengamati interior mobil, ekspresi Dongfang Wan tampak bingung. Perempuan di kursi pengemudi tersenyum sederhana: "Kau murid Yahan?"
"Iya, kamu temannya Guru Yahan?"
“Ah, ya. Saya baru tiba di sini, pinjam mobil Yahan sebentar. Ada perlu apa dengan dia?”
“Tidak, tidak.” Dongfang Wan menoleh ke belakang, “Ada yang mengejar kami. Bisa kami masuk ke mobil sebentar untuk menghindar? Jika ada urusan, kami akan turun SEKARANG JUGA, ya?”
Perempuan di mobil itu memandang kaca spion, lalu mengangguk: “…Naiklah.”
“Bagus sekali, terima kasih.” Dongfang Wan membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang, dua perempuan lain masuk ke barisan belakang: “Saya Dongfang Wan, salam kenal.”
“Jian Suyan.” Dalam suara lembut, pertemuan pertama mereka terjadi.
## Bagian ke-129 Persepsi Dongfang Wan
Lampu jalan menyala. Mobil kecil meluncur melewati celah antara dua kendaraan depan, melaju mulus ke persimpangan berikutnya. Dongfang Wan dan dua perempuan lain mati-matian menoleh ke belakang. Tiga motor mendekat dari belakang, penumpang di barisan belakang motor masih menyelidiki ke dalam mobil-mobil di jalan.
“Mau lapor polisi?” Saat melewati pos polisi, Jiaming menoleh bertanya.
“Eh… Hehe, tidak perlu…” Dongfang Wan malu-malu membalikkan tubuhnya, menambahkan, “Mereka punya koneksi kuat di kepolisian. Lapor malah ribet, kabur saja lebih baik…”
“Oh, kalian mau ke mana?”
“Eh, terserah mana saja. Terima kasih, Kakak Suyan.”
"Saat berurusan dengan orang luar, Dongfang Wan bisa dianggap manis dan sopan. Tapi kebiasaan selalu membawa masalah inilah yang benar-benar tak bisa dipuji. Tak tahu jenis manusia apa yang mereka hadapi kali ini, juga tak berminat tahu, Jiaming mengangguk, mengarahkan mobil kecilnya ke jalan kecil yang sepi di samping. Setelah beberapa motor itu menghilang dari pandangan, Dongfang Wan baru menepuk dadanya dan menengok: "Kak Suyan, apakah kamu teman sekelas Guru Yahan?"
"Tidak."
"Kalau begitu... biar tebak, kamu juga perantau Tionghoa? Dengar-dengar Guru Yahan kuliah di Cambridge, meski Kak Suyan bukan mahasiswa Cambridge, pasti kenal dengannya di sana kan?"
"Hm, bagaimana kau tahu?"
Tentu itu bukan yang sebenarnya, tapi ini sudah menjadi latar belakang yang direncanakan Jiaming sejak menyebut dirinya teman Yahan. Kini tertebak olehnya, tak urung ia bertanya. Dongfang Wan tersenyum penuh percaya diri: "Ini soal aura, Kak. Aura Kak Suyan berbeda dengan aura perempuan dalam negeri. Sepertinya lebih mandiri, lebih... hm, lebih hebat sedikit. Guru Yahan juga punya aura seperti itu lho. Tahukah kau, di kampus banyak yang takut pada Guru Yahan."
“Oh? Benarkah?” Jawab Jiaming sambil berpikir dalam hati: Kemampuan menjilat anak-anak keluarga terpandang memang sudah terlatih. Matanya menyapu kaca spion, tiga motor itu ternyata sudah menyusul dari belakang. Jiaming mengarahkan mobil kecil ke jalan simpang lain. Dongfang Wan yang tak menyadari keanehan itu masih semangat bercerita tentang Guru Yahan di kampus: Betapa elegan dan berwawasannya dia, gaya mengajar yang humoris, sikap dewasa dan mandiri, serta banyak pria yang mengejarnya. Jiaming hanya sesekali mengangguk, sekadarnya saja menyahut.
Mobil melaju beberapa saat, tiga motor muncul lagi di kaca spion. Jiaming mengubah arah lagi, dalam hati sudah punya rencana. Menurut ingatannya, motor-motor ini sudah ada di belakang jalan sebelum Dongfang Wan dan lainnya naik mobil. Jeli sekali mereka sudah melihat Dongfang Wan. Pura-pura mencari-cari itu agar... bertindak di tempat sepi?
Aduh Dongfang Wan, kau puji-puji Yahan itu sampai mulia, tapi tahukah kau diam-diam dia cuma gadis kecil yang manja, mudah iba tapi pemalas tingkat dewa. Kalau bukan karena mobil tua ini jarang dirawat, sekarang pasti sudah bisa menggeber meninggalkan motor-motor belakang itu... Pikirannya dipenuhi dendam tak berujung.
“…Tapi satu hal tentang Guru Yahan yang paling kukagumi: Dia bisa berteman dengan teman sekelas sulit seperti Gu Jiaming. Tapi sepertinya Guru Yahan juga pusing dengan karakternya ya…”
“Gu Jiaming?” Mendengar namanya disebut, Jiaming tertegun sejenak.
“Hmm.” Dongfang Wan mengangkat bahu, “Meski di kampus mereka berpura-pura tidak saling kenal, tapi sejak awal aku tahu mereka berteman baik. Kukira Guru Yahan mendekatinya untuk memperbaiki karakter penyendirinya. Kak Suyan tidak mengenalnya?”
“Heh, aku baru saja tiba di Kota Jianghai. Teman-teman Yahan belum banyak yang kukenal.”
“Nah, Gu Jiaming ini... bagaimana ya...” Bersandar di jok mobil, tatapan Dongfang Wan menerawang ke atap mobil dengan ekspresi murung, “Dia teman sekelas kami. Jujur saja, sebenarnya dia anak laki-laki yang luar biasa. Jago main basket, juga ahli komputer. Sepupuku punya perusahaan jaringan, semua bilang dia jenius komputer langka. Dia juga bisa mencipta lagu dan menyanyi, karyanya bahkan membuat musisi profesional terkagum-kagum. Bahkan suatu kali, dia bisa mengusir dua ekor anjing Neapolitan Mastiff Italia hanya menggunakan tatapan! Saat itu sangat menyeramkan, kupikir aku akan MATI digigit. Sekarang pun terasa seperti mimpi...”
Setelah terdengar sedikit perasaan haru, ekspresi Dongfang Wan yang cantik baru menunjukkan ketidakpuasan: "Tapi karakternya benar-benar buruk, tidak pernah bisa bersosialisasi. Sudah setahun di kelas yang sama, saat berbicara dengan teman sekelas lain tetap seperti orang asing, jadi juga tidak punya teman. Karena dia jago main basket, tim basket sekolah pernah ingin merekrutnya, tapi dia terus menolak. Lalu coba tebak apa katanya? Dia bilang waktunya berharga, kalau mau dia membantu main basket juga tidak masalah asal membayar biaya per jam. Akhirnya semua orang jadi kesal setengah mati. Aku juga pernah ingin mengubah karakternya yang tidak bisa bersosialisasi itu, tapi... gagal. Aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa padanya..."
"Oh." Jiaming mengangkat bahu dengan pandangan hina: "Kedengarannya seperti orang yang sangat tidak baik. Biarkan saja dia bertahan hidup sendiri, kan?"
"Iya. Kalau dia terus mempertahankan karakter seperti ini, meskipun punya bakat sehebat apapun, suatu hari pasti akan merugi. Masyarakat tidak sesederhana sekolah. Orang yang paling berbakat sekalipun kalau tidak paham hubungan interpersonal akan tersisih sampai tidak punya masa depan. Hanya berharap dia masih sempat berubah saat itu nanti. Lagipula dia sangat pintar, apapun yang dikerjakan pasti cepat bisa." Senyum tipisnya, "Hehe, jangan-jangan aku terlalu ikut campur urusan orang. Sebenarnya aku hanya ingin menjalankan jabatan ketua kelas ini sebaik mungkin."
"Tidak, kamu hebat. Orang itu sudah tidak bisa diselamatkan. Menurutku yang paling harus kamu lakukan adalah menjauh darinya." Aku punya karakter penyendiri, aku mesum, kumohon, jauhilah aku...
“Hmm.” mengangguk, “Tapi kurasa alasan karakter-nya seperti ini karena saat kecil fondasi tak ada manusia yang peduli padanya. Sebenarnya dia cukup baik pada Teman, dia punya dua Teman dekat sejak kecil, keduanya perempuan menonjol di kampus, setiap kali diganggu anak laki-laki, dia akan kamuflase sebagai pacar mereka untuk menyelamatkan situasi, tak segan menghina siapapun……”
“Ya? Kamuflase? Dengar-dengar Gu Jiaming benar-benar pacar Ye Lingjing lho.” Bisa dengar ucapan Dongfang Wan, seorang perempuan di barisan belakang berkata.
“Tapi yang kudengar dia dengan Liu Huaisha… Dia dan Ye Lingjing cuma Teman Normal, seperti kakak-beradik……” Perempuan lain menambahkan.
“Hmph, dia mustahil berkencan bersama dua perempuan yang sama-sama Teman baiknya.” Dongfang Wan melirik keduanya, cukup puas dengan gosip eksklusif yang diungkapkannya.
“Sebenarnya menurut analisaku, dia bukan pacar siapa-siapa. Mereka tumbuh bersama sejak kecil sebagai Teman dekat, seperti Saudari, jadi Ye Lingjing dan Liu Huaisha setiap kali diganggu anak laki-laki, pasti memanggilnya. Ingat saat main basket itu? Dia sengaja mempermainkan Dai Zhiqiang, kontras banget dengan sikap biasanya, karena Dai Zhiqiang suka Liu Huaisha. Lalu ada jamuan Natal… Sudah kuceritakan kan, dia tampil luar biasa di jamuan itu justru karena kakakku mendekati Ye Lingjing, akibatnya konsekuensi-nya muka-nya sama sekali tak tersisa……”
“Nah……Apakah hubungannya dengan Ye Lingjing dan Liu Huaisha hanya teman biasa?”
“Tentu saja tidak biasa, kan sudah dikatakan mereka tumbuh besar bersama sejak kecil, persis seperti saudara kandung. Dia selalu menjaga kedua adik perempuannya, tapi seharusnya tidak akan menyukai mereka, sama seperti kakakku yang luar biasa, aku juga tidak menyukai kakakku kan. Istilah pacar laki-laki dan pacar perempuan itu hanyalah kamuflase yang mereka buat. Aku pernah melihat buktinya, tapi belum konfirmasi, sementara ini tidak bisa kuungkapkan.”
Bukti……Jiaming tersenyum getir dalam hati, tidak tahu intelijen apa lagi yang dikumpulkan Dongfang Wan lewat desas-desus. Kehidupan sekolah yang pernah ia dambakan, bukanlah seperti kondisi sekarang ini. Jika menggunakan gaya khasnya sebagai pembunuh, Dongfang Wan pasti tidak akan bertahan sampai besok pagi.
Membunuh bukan solusi untuk segalanya, berbagai masalah sepele seperti ini juga bagian dari kehidupan. Ia pernah berjanji pada Lingjing dan Shasha bahwa kemampuan sebagai pembunuh tidak boleh digunakan sembarangan. Dengan helaan napas pelan, tangan menarik tuas kemudi sambil berbisik lembut: “Duduk yang mantap!”
Mobil berbelok di tikungan lain, tiba-tiba melesat cepat.
Mentari senja telah benar-benar tenggelam, kota terendam dalam cahaya lampu jalan dan neon yang berkelap-kelip. Ini merupakan kompleks perumahan tua berbentuk grid, jalan yang hanya cukup untuk dua mobil berjalan sejajar, di kedua sisi berjejer toko kelontong, berbagai kedai makan kecil, juga butik pakaian yang menjual jemuran pakaian. Tiga motor di belakang melambat saat mendekati persimpangan jalan, melihat mobil kecil di depan sedang melaju kencang masuk ke jalan kecil lain dan menghilang dari pandangan, mereka segera memacu kecepatan ke level maksimum untuk mengejar.
“A-Apa yang terjadi?”
Mobil kecil yang tiba-tiba melaju kencang membuat Dongfang Wan terjatuh ke kursi. Dua perempuan di barisan belakang juga limbung, buru-buru memasang sabuk pengaman. Setelah menoleh ke belakang beberapa saat, barulah mereka menyadari tiga motor itu terus mengikuti.
Dengan mahirnya mobil kecil membelok dan mengganti gigi, meliuk di antara jalanan satu demi satu. Malam musim semi, beberapa pejalan kaki yang habis makan malam terlihat sedang berjalan-jalan. Setiap belokan tajam dan rem mendadak membuat ketiga perempuan ini menjerit ketakutan. Meski sensasi tegang dan seru sudah dirasakan, mobil tua yang tak terawat ini tetap mustahil melaju terlalu kencang. Saat melesat di jalan, tiga motor di belakang perlahan menyusul. Penumpang belakang motor membawa senjata: dua orang memegang tongkat bisbol, satunya lagi mengayunkan rantai besi - persis adegan kejar-kejaran maut dalam film gangster.
Melihat motor yang semakin mendekat, Dongfang Wan menggigit bibir: "Kakak Suyan... K-kau lebih baik berhenti saja. Kita kembalikan barang mereka, pasti mereka tak akan berbuat apa-apa. Jangan kau khawatir..."
Bagi Jiaming, perasaan seperti kekhawatiran tentu tidak ada. Meski mobil Yahan rusak, mereka mengendarai motor. Dengan teknologi, menabrak mereka sampai mati pun mudah. Tapi karena ini mobil Yahan, tak perlu berlebihan. Mencoret atau merusaknya akan merepotkan saat diperbaiki. Sambil berpikir begitu, kecepatan motor pelan-pelan dikurangi. Tiga motor mendekat, seseorang dengan tongkat bisbol berteriak: "Berhenti! Cepat berhenti!"
Sebuah motor menyusul, penumpang belakang yang memegang rantai besi mengayunkan keras. "Byur!" Rantai meninggalkan goresan panjang di kap mesin belakang, hampir memecahkan kaca depan. Dua perempuan menjerit ketakutan.
Dengan menginjak rem keras, mobil kecil berhenti. Tiga motor langsung mengepung. Dongfang Wan berteriak keluar: "Barangnya kami kembalikan, jangan macam-macam! Kak Suyan, tetap di dalam mobil, tidak apa-apa. Terima kasih."
Sambil menggigit gigi, dia mendorong pintu mobil keluar. Sebelum pintu tertutup, tiba-tiba pintu sisi pengemudi juga terbuka. Jian Suyan melangkah keluar dengan alis berkerut dan ekspresi dingin, berjalan ke belakang mobil memeriksa goresan bekas rantai.
"Kak Suyan..." Ingin memanggilnya kembali, tapi kata-kata belum sempat keluar, seseorang sudah menghadang di depan Jian Suyan: "Masih belum jelas urusannya, mau kabur?... Nona Dongfang, tolong keluarkan barangnya dulu."
“Huh, barang-barang ini kuberikan. Paman Keempat ternyata melakukan hal-hal seperti ini. Kalian pikir tanpa bukti ini keluarga tidak bisa menyelidiki?” Dongfang Wan mengeluarkan sebuah disket dari kantong pengepungan, menyerahkannya pada pria bertongkat bisbol di motor sebelahnya, “Bantu dia melakukan ini, kalau ketahuan, kalian juga tak akan dapat manfaat.”
“Hehe, Nona Dongfang, kami hanya menerima uang Pamanmu dan mengerjakan tugasnya. Urusan lain bukan wewenang kami. Lao Hei ini memang tak paham komputer, tapi tahu disket palsu atau asli tak bisa dibedakan dari luar. Cuma perlu disket palsu untuk menipu. Jadi untuk sementara kami harus mengajak Nona dan teman-temanmu ikut. Begitu terbukti kalian sudah menyerahkan yang asli, kami langsung lepaskan. Bagaimana?”
“Kalian...”
“Sebaiknya Nona naik mobil. Tapi kali ini supir dari pihak kami.” Dia menunjuk pria yang menghalangi Jiaming, “Xiao Wu, kau yang nyetir. Nona itu, silakan naik motor. Tidak ada yang keberatan? Mari kita pulang.”
Meski berbentuk pertanyaan, jelas dia tak mengira ada yang berani membantah. Xiao Wu yang tersenyum hendak melewati Jiaming, tiba-tiba pergelangan tangannya diremas lembut: “Tidak. Menurutku kita belum bisa pergi. Aku juga tak punya waktu ikut kalian.”
“Eh? Nona, maksudmu apa?”
Digandeng oleh seorang si cantik yang tampak lemah lembut, tentu tak ada yang akan menolak. Si Xiao Wu tersenyum, melihat nona itu pun membalas senyum lembut sambil menunjuk goresan dari rantai besi: "Kalian menggores mobil temanku. Seperti katamu, hari ini masalah harus jelas dulu sebelum siapa pun boleh pergi dari sini..."
Dengan senyum jernih, ia menyampaikan syarat dengan tenang: "Ganti rugi."
## Bagian ke-130 SEBUNGGA TULIP
"Ganti rugi." Suara lembut itu membuat beberapa orang tertegun.
"Nona, barusan bilang apa?" Si Lao Hei, pria paruh baya yang mengaku sebagai pemimpin, bertanya sambil tertawa tak percaya.
"Mobil itu milik temanku. Kalian menggoresnya, harus ganti rugi. Dan..." Jiaming melihat jam tangannya lalu mengangkat tangan pasrah, "Aku masih ada urusan, tak sempat ikut ke mana-mana."
“……”
Mendengar kepastian dari perempuan itu, para pria saling pandang. Dongfang Wan sudah ingin masuk mobil, melihat situasi ini berteriak khawatir: "Kak Suyan, jangan... jangan seperti ini..."
Jiaming malas berdebat. Masalahnya sepele, hanya saja jika terlambat ke perguruan silat, Ibu Ye harus repot menghangatkan makanan. Saat ini Jiaming dan Lingjing tinggal di kampus, jarang pulang makan. Lagipula orang tua Lingjing memperlakukan dia dan Shasha lebih istimewa. Pernah sekali telat datang, ternyata semua orang menunggu tanpa makan, membuatnya sangat bersalah. Ia mengerutkan alis hendak menyerang, tapi para pria itu malah tertawa terbahak.
“Haha, kalian bilang cewek ini cantik, apa dia sudah gila?”
Salah satu pria mengutarakan pendapat, si hitam tua mengangguk: "Aku rasa sedikit. Nona, kami tidak berniat melukai, kau juga harus kooperatif. Xiao Wu, langsung selipkan dia ke mobil, hindari masalah. Kita pergi!" Ia menepuk bahu kawan di depannya, malas mengurus wanita aneh ini. Dentuman knalpot motor bergemuruh bersamaan dengan jeritan dari belakang.
Menoleh cepat, Xiao Wu yang memegang rantai besi sudah roboh di tanah. Perempuan itu mengayunkan rantai ke pengendara motor di sampingnya.
Bagai kilat hitam menyambar malam!
Gerakan tangan yang tampak santai namun kekuatannya luar biasa. Tak sempat menghindar, rantai sudah menghantam helm VR pengendara. Byur! Ledakan dahsyat mengguncang, tubuh pengendara terlempar miring. Saat menghantam tanah, helmnya retak sepanjang garis, kaca depannya hancur bertebaran di jalan. Darah mengalir deras dari dalam helm.
Rantai berputar kembali bagai ular cerdas. Krek! Dengan patuh melilit erat di lengan kanan wanita itu.
“Sekeliling sunyi senyap. Pada saat itu, Dongfang Wan hampir sulit bernapas karena tegang. Pejalan kaki di kedua sisi jalan yang sedang biar tahu rasa juga buru-buru pergi menjauh. Xiao Wu masih mengerang lemah di tanah. Wanita itu menyisir rambut panjang di dekat telinga dengan tangan kirinya sambil tersenyum tipis: "Maaf, sudah kukatakan, hari ini sebelum urusan ini jelas, tak seorang pun boleh pergi dari sini... Sudah memutuskan untuk membayar uang ganti rugi?"
Pemimpin kelompok itu melihat keadaan menyedihkan saudaranya di tanah, bibirnya membuka dan menutup beberapa kali namun tak bersuara. Dulu dalam berbagai perkelahian dan penusukan yang dilaluinya, untuk melontarkan seseorang dari motor dengan mudah seperti itu hingga helm VR-nya pecah, kekuatan seperti apa yang dibutuhkan kira-kira bisa dibayangkannya. Melihat gaya wanita ini yang tampak santai namun penuh kekuatan, jelas masih menyimpan tenaga cadangan. Cantik dan memikat, tapi... Apakah dia monster?
Otaknya blank sejenak, tiba-tiba pria yang duduk di jok belakang motor sambil memegang tongkat bisbol di sampingnya berteriak keras: "Pergi kau!" Langsung berlari maju menyerang.
"A Mu, hati-hati!" Teriakan darurat itu sudah terlambat. Tongkat bisbol menderu turun, bertabrakan dengan rantai besi di lengan Jiaming hingga menimbulkan bunyi dentuman keras. Guncangan balik yang dahsyat membuat pria bernama A Mu mundur selangkah, satu tangannya sudah dicengkeram Jiaming dan ditarik keras ke arahnya.
Di pandangan semua orang, wajah perempuan itu masih tersenyum, seolah hanya sedang membantu anak kecil yang terjatuh untuk bangun. Namun, si Amu sudah terjatuh ke depan. Sebelum jerit kesakitan keluar, beberapa orang di sekitarnya samar-samar mendengar suara "krak-krak" remuk tulang. Hanya dengan satu tarikan tiba-tiba, lengan pria itu sudah patah menjadi beberapa bagian. Kemudian, tongkat bisbol terlempar ke udara dan ditangkap dengan santai oleh perempuan itu.
Byur——
Setelah ledakan dahsyat, pengendara dan motornya terjatuh di jalan. Dongfang Wan dan dua gadis di dalam mobil masih membuka mulut lebar-lebar tak bisa mengatupkannya. Sesaat sebelumnya, gaya perempuan itu mengayunkan tongkat bisbol di bawah lampu jalan mungkin merupakan pemandangan yang mengguncang semua orang - perpaduan sempurna antara kekuatan dan keindahan.
Dengan santai melempar tongkat bisbol ke tanah, Jiaming mengerutkan kening: "Aku juga tidak ingin seperti ini. Jadi, bisakah kita berdiskusi sekarang..."
Belum selesai bicara, motor di depan tiba-tiba menyala dan melesat pergi. Dengan empat contoh sebelumnya, mereka sudah tidak berniat membawa siapapun. Bagaimanapun, disket sudah didapatkan. Urusan lain bisa diselesaikan nanti. Dalam sekejap, motor itu sudah melewati dua tiang lampu jalan dan hendak berbelok di persimpangan dekat, ketika rantai besi berputar melayang dan langsung melilit roda belakang motor.
Huu—— Dang——
Sepeda motor membawa dua orang terbang miring, lalu terjatuh di tengah jalan, tergelincir lebih dari sepuluh meter sebelum akhirnya berhenti di pusat persimpangan tiga arah. Pengendaranya telah terlempar ke kaki tembok di ujung jalan, sementara pria paruh baya yang dijuluki Lao Hei tergeletak sedikit lebih dekat, tubuhnya penuh luka lecet dan darah, berusaha bangkit tapi sama sekali tak berdaya.
Tek, tek, tek, tek... suara hak tinggi menyentuh tanah. Dalam pandangan kaburnya, wanita itu membungkuk mengambil tongkat bisbol yang tergeletak, lalu menghampirinya: "Apa yang sudah kukatakan?"
Nada dingin itu diikuti ayunan tongkat tanpa ampun yang menghunjam tubuhnya. Kali ini, tak ada lagi tenaga untuk melawan.
Malam. Jalanan. Lampu jalan. Pejalan kaki. Rintihan. Wanita anggun. Motor terbalik. Genangan darah. Dongfang Wan menyaksikan semua ini dengan tatapan terpana. Saat Jian Suyan menggeledah dompet para pria yang tergeletak, menyita seluruh uang dan identitas palsu mereka, barulah ia berkata pada dua penumpang di barisan belakang: "Tunggu sebentar." Lari menghampiri pria paruh baya yang merintih itu untuk mengambil kembali cakram magnetik.
Beberapa saat kemudian, mobil kecil itu kembali melaju, keluar dari jalanan berantakan ini.
Di kursi penumpang, Dongfang Wan tak berani bersuara. Matanya sesekali mencuri pandang ke profil sederhana Jian Suyan. Tak lama, wanita di sebelahnya menoleh: "Ada apa?"
"Err, err... Tidak. Hanya ingin... ucapkan terima kasih. Heh, terima kasih."
“Tidak apa-apa, turun di sini?”
“Err, baiklah...”
Meskipun nada suara mereka terdengar datar, namun mengingat pengalaman tadi dan kehendak mereka yang sudah jelas ingin menyuruh turun, bertiga ini mana berani tetap di mobil. Mobil kecil perlahan merapat ke pinggir jalan, turun sambil terus mengucap terima kasih. Setelah mobil itu akhirnya pergi, ketiga gadis itu menepuk-nepuk dada sambil saling pandang, wajah penuh ekspresi girang.
“H-hebat, tadi kita bertemu pendekar wanita ya...”
“Keren banget, pasti dia pasukan khusus!”
“Pembunuh! Pasti pembunuh misterius paling keren...”
Di bawah lampu jalan, terpancar wajah-wajah girang tiga gadis yang sedang kasmaran.
Malam itu, villa keluarga Dongfang.
“...Tangannya cuma menarik perlahan, orang itu langsung terkapar. Tangan yang ditarik sampai retak Krak-Krak patah beberapa ruas. Sambil menendang tongkat bisbol ke atas, dia menangkapnya dengan elegan lalu Byur! diayunkan. Gaya tubuhnya sempurna seperti demonstrasi pemain bisbol di TV. Orang yang kena pukul itu jatuh bersama mobilnya. Lalu...”
Di ruang tamu ada tiga orang, Dongfang Wan, Dongfang Lu, serta Chen Guxia yang datang untuk mengajari ilmu bela diri. Saat ini Dongfang Wan sedang bersemangat menceritakan kejadian sore tadi. Data dari disket yang dibawa kembali sebenarnya hanya sekunder. Namun pengalaman kali ini membuatnya benar-benar menyaksikan apa yang disebut gaya yang percaya diri. Kemampuan individu ternyata bisa memancarkan cahaya menyilaukan seperti ini. Sebelumnya dia hanya menganggap memimpin tim dengan tenang menghadapi berbagai masalah, menguasai segalanya di bidang bisnis sebagai keindahan sejati. Kini hal yang membuatnya merasakan keindahan bertambah satu lagi.
"Adik, maksudmu... dia hanya menarik tangan orang itu dengan santai, lalu lengan-nya langsung patah tulang krak-krak-krak?" Mendengar deskripsinya, Dongfang Lu menoleh ke Chen Guxia yang duduk di sofa sebelah, bertanya dengan ragu.
"Iya, hanya seperti itu... menarik dengan lembut, seperti bersalaman biasa..." Dongfang Wan berusaha menirukan kelembutan gerakan tersebut.
"Guru, mungkinkah seseorang melakukan hal seperti ini?"
"Secara teori mungkin, tentu saja saya belum pernah mencoba." Chen Guxia mengerutkan alisnya, "Tubuh manusia terlihat kuat, tapi sebenarnya sangat rentan. Begitu ada tenaga yang salah diterapkan, patah tulang adalah hal yang mudah. Menurut penuturan Xiao Wan, saat korban sedang terjatuh ke belakang tiba-tiba ditarik, pastinya wanita itu menggunakan tenaga gelap yang sangat terampil di tangannya sehingga menyebabkan patah tulang. Tapi untuk mengontrol dengan presisi seperti itu, dia pasti punya tenaga dalam dan waktu pelatihan yang sangat lama..."
“Tidak ada、tidak ada, dia bukan Yao.” Dongfang Wan berkata, “Aku berani bertaruh, usianya tidak melebihi 22 tahun, dan sangat cantik, aura-nya elegan dan nyaman dilihat. Kakak kalau bertemu pasti jatuh cinta.”
“Tidak mungkin...” Dongfang Lu tertawa.
“Kecuali kau bukan pria.” Dongfang Wan memutuskan dengan terburu-buru. Chen Guxia di sampingnya bergumam sejenak: “Kalau begitu... mungkin dia punya kemampuan aneh. Xiao Wan bilang namanya Jian Suyan, dekat dengan Guru Yahan. Seharusnya benar, lebih dari seminggu lalu dia muncul di Kota Ningbaru bersama Guru Yahan, sendirian mengalahkan puluhan satpam kasino, bahkan melancarkan serang balik dengan santai saat ada senjata diarahkan ke kepalanya.”
“Wah, tidak mungkin!” Mata Dongfang Wan membelalak, “Paman Chen, ceritakan detail tentang dia padaku.”
“Hmm.” Chen Guxia tersenyum, “Meski belum dikonfirmasi, sudah ada yang menyimpulkan wanita ini mungkin TULIP dari legenda. Dulu kami memanggilnya Tuan Tulip, sekarang harus diubah menjadi Nona Tulip...”
## Bagian 131 Spekulasi、Semangat Juang、Pamflet
“……Tahun lalu di Kapal Pesiar Star Dream, sosok misterius yang meninggalkan tanda TULIP ini berhasil memaksa mundur Sang Raja Pembunuh Yoritomo Taku sendirian, kemudian membajak kapal musuh untuk mengirim sinyal SOS. Setelah menyelamatkan seluruh penumpang, banyak organisasi mulai menelusuri identitasnya. Yang paling gencar tentu [] dari Tiongkok dan Pei Luo Jia dari Jepang……”
Meski [] tetap misterius di Tiongkok daratan, keluarga Dongfang termasuk anggota lama organisasi ini. Dongfang Lu yang dipersiapkan sebagai Kepala Keluarga memang yang pertama mengetahui rahasia internal. Kemudian Dongfang Wan juga memperoleh informasi melalui saluran tertentu. Karena itu, Chen Guxia tak perlu menyembunyikan detail peristiwa tahun lalu di Dunia Kegelapan.
Tahun lalu saat Kapal Star Dream mengalami krisis, Dongfang Wan dan Dongfang Lu menjadi sandera. Mereka akhirnya diselamatkan oleh TULIP berbaju jubah hitam. Kini Dongfang Wan teringat, meski tubuh di balik jubah itu luar biasa lincah dan kuat, sosoknya tetap terlihat ramping. Ternyata dia seorang perempuan! Pantas saja saat aku minta ikut mobil, Nona Suyan tak banyak bertanya – rupanya dia sudah mengenalku dan pernah menyelamatkanku. Pikiran ini semakin mengkristal dalam benak, membuatnya dilanda gejolak dalam hati sekaligus kegembiraan.
“Saat itu kami harus melakukan penyelidikan, sebenarnya tidak ada banyak data yang bisa dijadikan referensi. Apalagi pihak atasan sudah memutuskan untuk segera membersihkan kekuatan Pei Luo Jia di dalam negeri, nona TULIP ini juga berada di pihak kami, jadi tidak perlu terburu-buru. Oleh karena itu, akhirnya hanya satu anggota tim Cui Guohua yang pernah datang ke Jianghai, melakukan pemeriksaan tertentu terhadap beberapa karakter. Di antara mereka, teman sekelas Gu Jiaming dan Ye Lingjing juga termasuk dalam daftar pemeriksaan...”
“Apa? Gu Jiaming dan Ye Lingjing?” Dongfang Wan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Ya.” Chen Guxia tersenyum sambil mengangguk, “Dulu di pulau itu, kamu dan Xiao Lu tidak melihat wajah asli TULIP. Menurut ceritamu, saat kalian diselamatkan, teman sekelas Gu Jiaming sedang berjaga sendirian di tempat persembunyian. Tentu saja dia mustahil menjadi TULIP yang memukul mundur Yoritomo Taku. Tapi kami berhipotesis, bagaimana jika pernyataannya saat itu menyembunyikan sesuatu? Ini hanya sebuah asumsi. Jika dia benar-benar memiliki hubungan dengan nona TULIP itu, sehingga nona TULIP menyelamatkan dia dan Ye Lingjing, maka waktu kosong itu sebenarnya bukan karena dia pengecut bersembunyi, tapi mengikuti nona TULIP untuk memasang jebakan melawan musuh. Penjelasan ini sangat masuk akal.”
Meski Dongfang Wan dan Dongfang Lu tahu tentang organisasi [], mereka belum bergabung. Hasil penyelidikan ini tentu sebelumnya tidak mereka ketahui. Saling memandang dengan terkejut, Dongfang Lu malah mengangguk dengan ekspresi berpikir mendalam: “Jika itu tentang teman sekelas Gu Jiaming... Menurutku ini benar-benar bisa jadi mungkin...”
Chen Guxia tersenyum: "Sebenarnya sejak pertama kali bertemu teman sekelas Gu Jiaming ini, saya langsung merasa kualitas dirinya sangat baik. Jika bicara soal kelincahan dalam latihan bela diri, Xiao Lu, kau pun belum tentu bisa menyainginya. Masalahnya hanya terletak pada kebenciannya di hati terhadap pertarungan. Namun begitu menghadapi bahaya, setelah melepaskan hambatan mental, pasti akan meledakkan potensi yang sangat besar. Jika dikatakan nona Tulip itu adalah teman atau gurunya yang mengajarinya beberapa hal, itu tidak aneh. Selain itu dalam penyelidikan, kami juga menemukan beberapa hal dari beberapa tahun lalu, karena itu baru memfokuskan target pada Gu Jiaming."
"Apakah kasus pembunuhan besar 1030 Tahun 95?" Dongfang Lu bertanya. Begitu kalimat ini keluar, Chen Guxia tak bisa menyembunyikan keheranannya: "Oh? Kau juga tahu?" Dongfang Wan berkata: "Aku juga tahu kasus 1030 itu, apa hubungannya dengan Gu Jiaming?"
Dongfang Lu tersenyum kecut: "Hehe... Iya, aku pernah menyelidiki beberapa data tentang Gu Jiaming. Kasus itu secara resmi hanya menyebutkan beberapa anak yang selamat. Setelah menyelidiki baru tahu, Gu Jiaming adalah salah satunya."
Dia berhenti sejenak, lalu berkata: “…Itu adalah salah satu dari dua kasus pembunuhan besar tahun 95 yang menggemparkan seluruh Kota Jianghai. Awalnya hanya konflik internal dunia hitam yang dipicu oleh kasus Tang Jingyao. Cao Jinghao dari Shazhu Bang ingin mendirikan markas sendiri, sehingga menculik Liu Huaisha putri Liu Zheng. Gu Jiaming yang saat itu sudah dekat dengan Huaisha juga ikut diculik. Peristiwa ini juga melibatkan hubungan dengan Jepang, bahkan Tsukike Kaoru dari kelasmu Xiaowan juga diculik pamannya ke Jianghai. Beberapa anak inilah yang kemudian saling mengenal, dan hubungan mereka selanjutnya seperti yang kau lihat sekarang, mereka menjadi teman baik…”
“Setelah Gu Jiaming diculik, ia menjalani penyiksaan selama sehari. Pada sore tanggal 30 Oktober, Gu Jiaming yang baru berusia empat belas tahun tiba-tiba memberontak. Ia menyandera Cao Dongfeng putra Cao Jinghao sebagai tawanan untuk melindungi pelarian Liu Huaisha dan Tsukike Kaoru. Namun hanya Huaisha yang berhasil kabur. Kejadian dalam beberapa jam berikutnya tidak memiliki banyak saksi. Ketika Huaisha membawa polisi ke pabrik pengolahan kayu yang menjadi markas Dongfeng, tempat itu telah berubah menjadi neraka duniawi…”
“Termasuk Cao Jinghao, hampir 50 anggota kelompok tewas dibunuh. Semua kepala mereka dipenggal, sungai darah mengalir. Di antara korban juga ada seorang Master pedang dari Jepang. Dari tiga orang yang selamat: Tsukike Kaoru luka-luka parah sampai basically tidak bisa bergerak, Cao Dongfeng menjadi gila dan akhirnya mati tersedak nasi di rumah sakit jiwa—kematian aneh tanpa jejak pembunuhan. Gu Jiaming yang berlindung di semak belukar dengan luka-luka juga selamat. Tapi sebenarnya, dialah satu-satunya anak yang tetap sadar. Karena penjelasan Guru tadi, aku jadi bertanya-tanya: Jangan-jangan peristiwa ini ulah Nona TULIP?”
Dongfang Wan membuka mulut kecilnya lama tak bisa menutup. Tak disangka, Gu Jiaming itu ternyata mengalami begitu banyak hal. Membayangkan siksaan yang dialaminya hari itu, kemudian serangan mematikan di ambang hidup-mati, malam penuh pembunuhan. Bayangan yang dulu membuatnya frustasi dan jijik, kini mulai terasa misterius.
“Sangat mungkin.” Chen Guxia mengangguk, melanjutkan, “Kami juga mulai curiga pada Gu Jiaming setelah menyelidiki hal-hal ini. Membunuh dan memenggal leher adalah gaya pembunuh mesum dari Eropa bernama Soram. Setelah investigasi, meskipun Soram tidak terlacak pada Oktober-November 1995, kemungkinan besar ia tidak datang ke Asia. Selain itu, tidak ada luka tembak pada hampir 50 orang ini, artinya mereka membunuh semua orang termasuk master pedang keluarga Yuechi hanya dengan pisau. Kemampuan bertarung tangan kosong seperti ini bahkan sulit ditemukan di Pei Luo Jia sekalipun.”
“Lalu apa hasil penyelidikan terakhir?” Merasa ada yang belum diungkap Chen Guxia, Dongfang Wan bertanya penasaran.
“Tidak ada hasil. Sampai sekarang pun kami tidak berani melanjutkan penyelidikan...” Chen Guxia menggeleng dengan senyum getir, “Ini hanya kesimpulan yang kami buat belakangan, keakuratannya diragukan. Tahun lalu rencana menghadapi Pei Luo Jia segera dilaksanakan. Anggota tim penyelidik yang bertugas segera bersiap meninggakan Jianghai, tapi tak lama setelah pesawatnya lepas landas, kantor polisi menerima kertas bergambar TULIP yang menyatakan ada bom di pesawat. Pesawat terpaksa mendarat darurat. Setelah pemeriksaan sesuai petunjuk di kertas itu, kami benar-benar menemukan bom baru yang bisa diledakkan dari jarak jauh secara remote. Teknologi kami saat ini bahkan tidak bisa melumpuhkannya dengan aman. Di bom itu... ada kertas lain dengan simbol TULIP.”
“Ah?” Dongfang Wan membelalak, “Bom itu ditempatkan oleh Tuan Tulip... bukan, nona itu?”
“Jelas sekali... Di kertas itu tertulis satu kalimat: Hentikan semua penyelidikan, jangan paksa aku menjadi gila, kalau sudah gila, aku sendiri pun takut.” Chen Guxia menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Hehe, singkatnya, kami mendapatkan teknologi pembuatan dan pembongkaran bom jenis baru. Investigasi lanjutan tidak ada yang berani bertanggung jawab, semua penyelidikan hanya berhenti pada hipotesis berdasarkan data yang ada."
"...Lebih dari seminggu lalu, Nona Jian Suyan yang muncul di Xinning menarik perhatian sebagian pihak. Jelas dia berteman baik dengan Guru Yahan, sementara Guru Yahan sendiri bersahabat dengan Gu Jiaming dan Ye Lingjing di perguruan silat yang sama. Rangkaian hipotesis ini berasal darinya. Jika dia adalah TULIP, maka segalanya masuk akal. Tapi tentu tak ada yang berani memancing kemarahannya. Jika ingin memberi peringatan dan balas dendam terakhir kali, meledakkan seluruh pesawat sebenarnya hal yang cukup mudah baginya."
Seolah terhenyak oleh kisah Nona TULIP ini, ruang tamu menjadi hening sesaat. Beberapa saat kemudian, Dongfang Lu bertanya, "Lalu bagaimana dengan penyelidikan organisasi lain? Misalnya Pei Luo Jia, apakah mereka juga dapat peringatan?"
"Hehe, tentu saja, nasib mereka lebih sial." Kali ini, Chen Guxia tersenyum puas, "Dalam setengah tahun terakhir, Pei Luo Jia telah mengirim tujuh penyelidik ke sini. Secara resmi mereka punya identitas sah, tapi begitu memasuki Kota Jianghai, dalam beberapa hari mayatnya akan ditemukan di gang gelap. Karena hal ini, kedutaan Jepang sudah beberapa kali protes. Ha, kalian pasti tahu berita tentang beberapa 'teman Jepang' yang tewas tahun lalu itu kan?"
“Hmm.” Otot wajah Dongfang Lu berkedut ringan, “Masalah keamanan di Tiongkok Daratan sangat serius, hubungan Sino-Jepang tegang, juru bicara Kementerian Luar Negeri menyatakan akan segera menangkap pelaku. Pihak Jepang menuduh polisi Tiongkok tidak efisien... Sampai Januari tahun ini, semua berita internasional yang kulihat isinya seperti ini, ternyata semua ulahnya...”
“Hehe, orang-orang mereka sudah MATI, protes pasti masih akan berlangsung sebentar. Tapi selain protes, sekarang mereka tidak bisa berbuat apa-apa pada kita.”
Chen Guxia tertawa riang, bersandar di sandaran sofa. Dongfang Wan bergumam, “Ini membuat bisnis keluarga kita dengan pihak Jepang rugi puluhan juta...” Meski begitu, matanya sudah dipenuhi kilau harapan.
Tepat sehari setelahnya adalah hari Minggu. Dongfang Wan tidak kemana-mana, di rumah terus merenungkan kisah tentang TULIP tersebut. Walau masih hipotesis, baginya identitas asli TULIP pastilah Jian Suyan.
Memikirkan Jian Suyan, tak terhindarkan ia teringat Gu Jiaming yang mungkin terkait dengannya. Tidak tahu apa hubungan sebenarnya dua orang ini. Kini teringat kembali, di mobil saat membicarakan Gu Jiaming, ia pernah berkata santai "kedengarannya orang yang bermasalah". Tapi dengan etikanya, mana mungkin sembarangan menilai orang asing dengan penilaian sekeras itu. Jelas ini membuktikan, ia memang kenal Gu Jiaming, dan kemungkinan adalah tetua keluarga Jiaming.
Dengan pemikiran ini, pada hari Senin ia mulai mengamati Gu Jiaming lagi.
Tentu saja, konsekuensinya agak mengecewakan.
## Pelajaran pertama, melamun memandangi lapangan di luar jendela.
## Pelajaran kedua, tidur.
## Pelajaran ketiga, terus tidur sepanjang pelajaran, setelah bangun kembali melamun ke luar jendela.
## Pelajaran keempat, tengkurap di meja mengamati awan di langit.
Pelajaran pertama sore hari, membaca komik.
Pelajaran kedua sore, buru-buru mengerjakan PR keluarga. Tentu saja, lebih tepatnya mencontek pekerjaan rumah Tsukike Kaoru.
Pelajaran terakhir, seperti biasa dia sudah menghilang dengan mobilnya - ini rutinitas bolos setiap Senin, Rabu, Jumat. Menurut intelijen dari sumber tertentu, biasanya saat ini dia sedang belanja sayur di supermarket.
Pria dewasa belanja sayur, sungguh memuakkan...
Secara basically, setelah observasi seharian, cangkang misterius yang baru dibangun Dongfang Wan untuk Jiaming di hatinya sudah dihancurkan habis.
Sebenarnya, wajah Jiaming memang biasa saja, kesan yang ditimbulkan seringkali tanpa keunikan khusus - tergantung sudut pandang. Di mata Lingjing dan Shasha, mungkin akan bilang "sebenarnya Jiaming tidak terlalu mempermalukan". Para pedagang yang ingin mengeruk keuntungan mungkin menganggapnya lugu, domba gemuk sempurna. Di mata si cantik yang biasa menjadi bulan dikelilingi bintang, jika Jiaming menunjukkan ketertarikan, jelas itu hanya khayalan katak lumpur. Bagi Dongfang Wan yang menghargai Keteraturan sekaligus berstatus cantik, Jiaming jelas menjijikkan: tidak pernah mendengarkan pelajaran plus tidak ganteng, sungguh kejahatan tingkat Level Empat.
Seharian penuh, satu-satunya hal mencolok yang dilakukan Gu Jiaming adalah perasaan saat ia menyodorkan tas sekolahnya ke teman sebangku. Kolam Bulan sangat indah namun dingin bak es. Menurut banyak orang, itu adalah jenis kecantikan yang mengalahkan segalanya, bahkan Dongfang Wan pun merasa tak pantas dibandingkan. Banyak yang mengagumi tapi tak ada yang berani mengungkapkan, karena baik melalui surat cinta maupun tatap muka, kau tak akan mendapat penerimaan atau penolakan. Satu-satunya konsekuensi hanyalah diabaikan.
Saat pelajaran, ia akan menjawab pertanyaan guru. Saat teman sekelas menyapa, ia merespons dengan sopan - gaya khas orang Jepang. Tapi siapa pun yang ingin lebih dekat, mustahil. Di seluruh kampus, hanya satu baron yang diacuhkannya: Gu Jiaming.
Apakah anak laki-laki yang tampangnya biasa-biasa saja terasa kurang mengancam? Ini anggapan sebagian orang, tapi jelas bukan itu masalahnya. Ada yang melihat mereka mengobrol di pendopo, ada yang melihat mereka bicara di hutan. Lebih banyak lagi yang menyaksikan bisikan-bisikan mereka di belakang kelas. Ekspresi Jiaming selalu terlihat kesal, sementara Tsukike Kaoru matanya berbinar-binar. Di kesempatan langka, mungkin kau akan melihat bibirnya meregang membentuk senyuman terang bagai bulan purnama.
Sedangkan interaksi lebih banyak antara mereka berdua terjadi saat menyerahkan tas sekolah atau alat tulis. Setelah sekian lama menjadi teman sekelas, dan Gu Jiaming tidak menghindari pertanyaan orang lain, semua orang akhirnya mengetahui kelemahan Tsukike Kaoru: Dia selalu lupa membawa alat tulis atau buku pelajaran, setiap hari seperti dikutuk Tuhan. Tidak lama sebelumnya saat ujian dengan pengaturan kursi acak, Tsukike Kaoru lupa membawa pulpen. Beberapa teman sekelas berebut meminjaminya pulpen, tapi dia sama sekali tidak mau menerima. Dia hanya menatap soal ujian selama ujian berlangsung, akhirnya mengumpulkan kertas ujian kosong. Setelah peristiwa ini, tersebar rumor bahwa dia memiliki hubungan khusus dengan Gu Jiaming, tapi Dongfang Wan kini memahami bahwa itu adalah persahabatan hidup dan MATI yang terjalin selama insiden tersebut.
Wanita itu telah mengunci hatinya sepenuhnya. Tanpa ujian antara hidup dan MATI, takkan ada yang bisa memasuki jiwanya...
Gu Jiaming... juga termasuk tipe orang yang sama.
Meski persepsinya tentang Jiaming masih berantakan, setelah mengamati diam-diam seharian ini, keinginan untuk mengubahnya yang sempat membeku di hatinya kembali muncul. Memang, dirinya masih ingin menjadi orang yang bersinar seperti itu, mana mungkin terGanyang oleh rintangan kecil. Metode yang digunakan sebelumnya salah, terlalu bernuansa perintah. Sekarang dia tahu: Untuk mengubah orang seperti Gu Jiaming, perlu proses bertahap. Pertama harus menjadi temannya, lalu...
Tapi untuk menjadi teman, perlu banyak waktu interaksi. Saat ini mereka bahkan tidak saling berbicara. Bagaimana cara memulainya?
Menggigit ujung pulpen sambil berpikir lama, tiba-tiba melihat bingkai pengumuman kecil di depan kelas tentang acara seni perayaan ulang tahun sekolah, matanya berbinar... Ternyata, tidak ada hal yang bisa menghentikanmu, semangat, karena kau adalah Dongfang Wan!
Entah kesimpulan itu benar atau tidak, entah dia berhubungan dengan TULIP atau Jian Suyan, ini adalah hal yang harus dilakukan!
Di sisi lain, saat Dongfang Wan kembali menyala semangat juangnya, Jiaming yang berjalan pulang juga bingung dengan pengintaian Dongfang Wan hari ini.
Meski wanita itu agak idiot, tapi bukan tipe gila cowok, lagipula aku juga tidak ganteng. Kenapa dia menatapku begitu? Jangan-jangan penyamaranku sebagai Jian Suyan kemarin ketahuan? Tapi sepertinya tidak mungkin, mengingat tingkat kecerdasannya, ini terlalu sulit. Selain itu, sulit menjelaskan kenapa setelah kejadian kemarin dia mulai mengawasiku lagi.
Dengan ekspresi kekecewaan menggelengkan kepala, saat kembali ke jalan tempat tinggalnya, suasana terasa agak aneh. Tetangga kiri-kanan, para ibu-ibu tengah membicarakan sesuatu. Samar-samar terdengar kata-kata seperti "pembongkaran", "Geng Yongsheng", "Perusahaan Xingsheng". Saat sampai di bawah gedung, di game elektronik yang biasanya ramai, kini banyak orang berdiskusi keras. Kebanyakan mereka remaja usia belasan hingga 20 tahunan, tinggal di beberapa jalan sekitar. Basically mereka preman lokal yang tak tahu langit tinggi bumi rendah, sesekali terlibat tawuran atau pengeroyokan, tapi belum bisa disebut geng kriminal.
Kelinci tidak makan rumput di sekitar sarangnya. Para preman ini masih cukup sopan pada warga sekitar. Sebagai tetangga, Jiaming selalu bersikap baik. Di rumahnya ada dua MM cantik, Shasha yang kadang bercanda atau memaki-maki. Hubungan mereka dengan warga cukup harmonis. Begitu melihatnya, seseorang langsung berseru: "Aming."
"Hm, Kak Hua, ada apa?"
Yang berbicara adalah pemuda berusia 25-26 tahun, bertubuh tinggi besar dengan rambut menutupi separuh wajahnya, memberi kesan suram. Di antara para preman sini, dia termasuk yang punya wibawa. Kini dia mengerutkan kening, merangkul bahu Jiaming masuk ke dalam game center: "Kau belum tahu? Kami malah ingin tanya sikap Bibi Enammu. Ayo, lihat ini."
“Ya, sial! Mereka benar-benar keterlaluan. Aming, kau beri tahu Liugu, tanah itu jangan dijual sama sekali. Kami yang akan melindungi. Geng Yong Sheng sialan itu apa sih……”
Orang lainnya menggerutu sambil menyodorkan selembar kertas ke tangan Jiaming. Adapun Liugu yang mereka sebut, adalah pemilik rumah ini, arena game di lantai bawah sebenarnya juga properti sewaan. Setelah melihat sekilas, Jiaming pun paham situasinya.
Itu adalah pamflet pembelian tanah dari perusahaan bernama "Perusahaan Pengembangan Bangunan Xingsheng", dengan pemilihan kata yang cukup sopan. Intinya mereka ingin membeli sepanjang jalan ini untuk pengembangan, meminta masyarakat mempertimbangkan harga menguntungkan, beberapa hari lagi akan mengirim perwakilan resmi untuk mendatangi rumah-rumah satu per satu.
Tapi retorika berbeda dengan praktiknya. Perusahaan ini sebenarnya dibangun oleh Geng Yong Sheng, salah satu tiga geng kriminal terbesar di Kota Jianghai, selama setahun terakhir terkenal buruk. Mereka mencari properti berpotensi naik harga lalu memaksa pembelian dengan harga murah melalui cara penghancuran dan perampokan. Tampaknya kawasan tua di sekitar Akademi Hati Kudus yang kaya penghuni berdaya beli tinggi kini jadi target.
“Geng Yong Sheng… ini masalah serius…” usai membaca pamflet, Jiaming menggaruk-garuk rambutnya gelisah. “Kalau Liugu setuju, kita harus cari rumah lain lagi.”
“Tenang saja, tenang saja.” Kak Hua menepuk bahu Jiaming, “Tante Enam toh tidak tinggal di sini, kau sampaikan padanya jangan takut. Geng Yong Sheng mengkapling tanah seperti merampok, tanah dijual sama sekali tidak ada manfaatnya. Kalau Geng Yong Sheng berani berulah, kami juga bukan pihak yang bisa diremehkan, lawan saja sampai akhir.”
“Hmm, baik.” Jiaming mengangguk sambil tersenyum, “Perlu bantuan?”
“Wahaha.” Mendengar perkataan Jiaming, beberapa orang tertawa, “Sudahlah, Aming kau seperti cendekiawan lemah, Shasha mungkin lebih jagoan darimu, tidak usah tidak usah, jaga diri saja. Kalau jumlah mereka banyak, setidaknya teriakkanlah pertolongan. Ngomong-ngomong, kalau mereka gagal dapat tanah, pasti tidak akan menyerah. Kadang malam hari mengirim orang berulah, mungkin juga menyasar orang yang sendirian. Kalian malam hari tinggal di rumah saja, pastikan beri tahu Lingjing dan Shasha, suruh mereka berhati-hati sepulang sekolah, sebaiknya pulang berombongan. Sisanya serahkan pada kami, mengerti?”
“Hmm, terima kasih, Kak Hua, Kak Shui, Kak Qiang. Kalau begitu saya naik dulu.”
“Naiklah naiklah, jangan lupa sampaikan ke Tante Enam agar jangan sampai jual tanah ya.”
“Paham.” Dengan senyum melambai-lambaikan tangan, Jiaming menaiki tangga samping. Pintu terbuka, di lantai tergeletak selebaran yang diselipkan lewat celah pintu.
Memandangi berbagai furnitur baru di rumah yang dibeli bertiga, sofa、meja、televisi berwarna、wallpaper、karpet、lampu meja... Setiap barang dipilih lama oleh Lingjing dan Shasha. Setiap hari kedua gadis membersihkan... Memikirkan ini, tak terasa tersenyum hangat, mengambil selebaran dan memasukkannya ke saku.
Pindah rumah, hal yang merepotkan ya.
## Bagian Ratus Tiga Puluh Dua Pagi yang Sederhana
"Masih ada 20-an hari lagi saat acara sekolah, katanya Fang Yusi akan datang dari Hongkong. Saat itu aku akan jadi penari latarnya, mungkin bisa minta tanda tangan."
Duduk di ranjang mengganti piyama, saat memakai bra, Lingjing berkata santai.
"Fang Yusi? Artis jadul itu?" Membawa pisang dari dapur, memandangi separuh tubuh gadis di kamar, Jiaming tertawa, "Aku lebih mau tanda tangan Lingjingmu. Nilainya lebih berpotensi naik. Orang bijak pasti lihat satu-satunya yang kalah dari dia cuma dada montokmu. Tapi kamu masih kecil, dia sudah tua..."
"Ah, Fang Yusi mana jadul." Lingjing melotot padanya, tapi tak tahan tertawa, "Katanya dia baru 20 tahun. Aku dan Shasha suka dia. Iya kan, Shasha?"
“Hmm, temani aku tidur lagi dong.” Shasha yang tidur di sebelah dengan setengah sadar memeluk paha Lingjing dan menghampiri. Lingjing susah payah baru bisa melepaskan diri. Saat memakai baju dan bangun, Shasha kembali berbicara dari dalam selimut: "Lingjing, PR matematikaku kemarin belum selesai, soalnya sudah kutulis di buku, harus dikumpulkan pagi ini."
"Hah?" Lingjing yang sedang memakai stoking tertegun, "Kemarin malem kamu bilang sudah selesai baru main game, kamu malah berebut remote kontrol denganku..."
"Jangan hujat aku." Menutupi telinga, Shasha menunjukkan senyum manja plus menggemaskan dari balik selimut, "Tolonglah Lingjing, hubungan kita kan spesial." Senyum yang bisa membuat banyak pria tergila-gila ini tak mempan pada Lingjing. Saat mengambil bantal untuk dilempar, malah direbut dan dipeluk gadis yang masih ngantuk itu untuk melanjutkan tidur. Sejak tinggal bersama bertiga, dia sepertinya sudah terbiasa harus memeluk sesuatu agar bisa tertidur.
Di luar, langit kelabu baru mulai menunjukkan semburat putih keabu-abuan di ufuk timur. Suara ayam berkokok terdengar dari kejauhan. Jiaming sibuk beraktivitas di dapur. Aroma sarapan mulai tercium.
Cuci muka, kumur-kumur, di antara dapur dan toilet, tubuh Jiaming bersilangan secara kompak denganku. Setahun kehidupan tinggal bersama telah memberi ketiga kami perasaan hangat layaknya pasangan tua, namun di sisi lain, kesegaran masih tetap tercampur di dalamnya. Mereka baru berusia enam belas atau tujuh belas tahun, masih siswa SMA, bersekolah di kampus yang sama tapi berbeda kelas, memiliki sikap berbeda dalam menghadapi orang dan urusan, mengikuti aktivitas berbeda, berteman dengan orang berbeda, bicara hal berbeda dengan orang berbeda pula. Tapi begitu kembali ke rumah ini, kami bertiga kembali menyatu.
Di depan cermin setengah badan, Lingjing menyisir rambutnya menjadi dua ekor kuda sambil bertanya ke arah kamar tidur: "Shasha, di mana buku tugasmu?"
"Nggak tau, cari sendiri..." Saat suara bergumam lesu terdengar dari kamar, Lingjing mengangkat mata putihnya. Ia mengeluarkan buku tugas matematika Shasha dari tumpukan buku di sofa, lalu membukanya di atas meja depan. Meski hal seperti ini bukan pertama kali terjadi, tetap saja ia tak bisa menahan keluhan: "Jiaming, bukannya Shasha lebih tua dari kita berdua ya?"
"Iya, kenapa?"
"Kok aku merasa seperti ibunya sih. Wah, soal segampang ini nggak bisa dikerjain, Shasha kau mau bikin aku mati ya... Mending ganti nama jadi Shasha yang bodoh..."
“Di dalam kamar terdengar suara tertawa nakal yang tidak punya hati, di lantai berbunyi byur-byur-byur beberapa kali, Shasha yang terbungkus selimut berlari keluar dari kamar. Gadis yang biasa tidur telanjang ini, dalam larinya memperlihatkan kaki putih mulus nan ramping yang bergoyang-goyang di depan Lingjing. Tiba-tiba ia menerjang ke sofa dan memeluk tubuh Lingjing dari belakang: "Sudah, Ibu Lingjing, terima kasih ya."”
“Kau-kau-kau... Aku membantumu mengerjakan PR, malah kau ganggu aku... Gu Jiaming, bawa pergi istrimu yang utama ini!”
“Dalam riuh rendah, kekacauan, kehangatan, dan kesegaran, hari baru pun dimulai. Namun di sebuah asrama sekolah, awal hari selalu terasa berbeda. Terbangun dari tidur tepat pukul tiga setengah dini hari, membuka mata hanya untuk melihat benda hitam berbulu halus yang sama setiap pagi. Dengan kebiasaannya, gadis itu memeluknya sebentar sebelum bangkit dari ranjang untuk cuci muka dan berkumur.”
“Sebagai mahasiswa asal Jepang yang cukup langka, apartemen asrama yang seharusnya dihuni empat orang tetap hanya ditempatinya sendiri. Tanpa perlu menyalakan lampu, dalam kegelapan ia naik-turun tangga selesaikan semua urusan dengan rapi. Merapikan selimut, meletakkan boneka panda besar di samping bantal, lalu memulai ritual meditasinya yang rutin.”
Di dalam kamar yang hampir sunyi dan terasa dalam, seolah ada dua boneka duduk tak bergerak di ranjang. Hanya saja satu berwarna Hitam Putih, seluruh tubuhnya ditutupi bulu halus yang nyaman—boneka panda untuk anak-anak yang belum dewasa. Sedangkan yang lain mengenakan piyama, tampak segar dan cantik seperti mainan dewasa berkualitas tinggi.
Langit masih gelap, sekitar pukul empat setengah pagi, dia mengenakan pakaian lalu keluar untuk jogging. Dari gerbang kampus, menyusuri jalan raya, lalu berbalik saat fajar mulai menyingsing. Jalur yang dipilih kadang berbeda, tapi biasanya melewati gedung kecil tempat tinggal Jiaming, Lingjing, dan Shasha. Lari bersama mereka ke sekolah, lalu melakukan latihan bela diri ringan. Tentu, terkadang bisa bertemu, kadang juga tidak.
Setelah keluar gerbang kampus, barulah dia merasa cuaca tak biasa—hari ini mungkin akan hujan. Tapi baginya, hujan rintik-rintik di musim semi tak masalah. Jogging menyusuri jalan sepi, hanya sedikit mobil lewat. Di kiri-kanan berdiri hotel dan restoran besar dengan lampu aula yang terang. Penjaga di pintu depan terlihat lesu setelah berjaga semalaman. Di tengah situasi ini, gadis cantik berambut panjang dengan setelan olahraga putih yang penuh energi, jelas menjadi pemandangan yang menyegarkan.
Saat cahaya fajar seperti perut ikan mulai mengembang di ufuk, hujan rintik pun mulai turun berderai.
“Di jalanan, lampu jalan telah padam. Saat hujan turun, mobil-mobil melintas, pejalan kaki berlarian mendekat, menciptakan suasana perkotaan yang luar biasa segar. Berdiri di depan pintu sebuah hotel, menggerakkan tubuh untuk menghilangkan air hujan yang menempel, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Pria tampan yang turun dari mobil itu memandang dengan penuh ketertarikan pada gadis cantik yang terkesan dingin namun memesona ini, lalu melambai ke satpam yang hendak memarkirkan mobilnya: 'Tidak perlu. Apakah Nona Fang dan Tuan Zheng sudah turun? Kita harus segera pergi.'”
“Hm, kabarnya mereka sedang turun. Kami sudah menyiapkan mobil untuk mereka. Tuan Zhang silakan masuk dulu dan menunggu.”
“Baik, kau bisa lanjutkan pekerjaanmu.” Mengangguk, Zhang Jingfeng berjalan ke samping, “Nona, butuh payung? Saya punya kartu tamu kehormatan hotel ini, bisa meminta pihak hotel membelikan satu.”
Derai hujan berdesir, kata-kata tulus berbalas kesunyian canggung bagai garam yang ditaburkan ke air tanpa reaksi. Sepuluh detik, dua puluh detik. Saat ia hampir mengira gadis di hadapannya adalah bisu, respons datar akhirnya terdengar: “Terima kasih, tidak perlu.”
“Hehe, tidak apa-apa. Ini urusan sederhana bagi saya.”
“……”
Selama satu dua menit berikutnya, situasi terasa semakin canggung. Tak ada lagi respons. Gadis itu menatap gerimis di luar, seolah merenungkan apakah berjalan santai di tengah hujan akan menyenangkan. Namun sama sekali tidak memberikan perhatian pada pria yang berusaha melayani di sampingnya, membuat Zhang Jingfeng merasa sangat tidak nyaman.
Nyatanya, alasan utama dia mendekati gadis itu untuk mengajak ngobrol sebagian besar karena kecantikan parasnya. Andai yang berdiri di pintu itu seorang wanita paruh baya, tentu dia tak akan berminat. Bagaimanapun, menyukai hal indah adalah naluri manusiawi. Di hatinya tak ada niat jorok, sehingga tak pantas dicela. Namun respons gadis itu tetap membuatnya merasa terancam.
Belakangan ini rasa frustasi bertubi-tubi, mungkin dampak krisis keuangan.
Sejak Lingjing mengundurkan diri dari "Nordic Fantasy"-nya bulan Februari lalu, dia terus terpuruk. Sebenarnya perasaannya pada Lingjing belum tentu sedalam itu sampai membuatnya terpukul. Tapi sesuatu yang tak tergapai selalu terlihat istimewa, apalagi setelah pemuda bernama Gu Jiaming menyanyikan lagu 《Dongfeng Po》 di pesta Natal kala itu. Segala pujian mengindikasikan dirinya yang tampan, sukses, dan kaya raya ini kalah dari remaja biasa itu. Citra Lingjing pun semakin memancarkan cahaya hingga puncak.
“Awalnya berencana melancarkan serangan romantis elegan yang tak berjejak pada waktu yang tepat, tapi ternyata Lingjing sudah waspada. Setiap topik ambigu selalu dialihkan ke urusan pekerjaan, tak sampai tiga kalimat percakapan. Serangan belum dimulai, mereka malah mengundurkan diri. Saat itu hanya tahu dia sekolah di Akademi Hati Kudus, bahkan nomor telepon pun tak ada. Rasa frustasi semakin menjadi. Adegan di depan mata ini seolah semakin membuktikan daya tariknya pada perempuan telah mencapai titik terendah dalam sejarah.”
“Batuk, maaf, aku terlalu ikut campur. Selamat tinggal.”
Dengan mempertahankan senyum alami, dia melambaikan tangan lalu berjalan santai menuju dalam hotel. Lama setelahnya, gadis itu baru memandang papan nama hotel. Setelah merenung sebentar, dia masuk ke aula hotel.
Di depan konter, beberapa orang sedang mengurus administrasi kepergian. Yang paling depan adalah Zhang Jingfeng yang baru saja mengajak ngobrol, disertai satu pria dan perempuan. Pria itu sekitar 40-an tahun, sementara perempuan itu cantik berpenampilan muda dengan postur tinggi menjulang, mengenakan kacamata hitam ungu muda dan ekspresi dingin. Empat pria berpenampilan pengawal berdiri di samping. Saat gadis itu mendekati konter, seorang pelayan tersenyum: “Nona, ada yang bisa dibantu?”
“Saya ingin membeli sebuah payung.”
“Oh.” Pelayan itu mengangguk, raut wajahnya menunjukkan sedikit keraguan, “Memang hotel kami menyediakan layanan pembelian payung, tapi syaratnya Anda harus tamu yang menginap di hotel kami, atau pemegang kartu tamu kehormatan kami. Apakah Anda memiliki kartu tamu kehormatan?”
“Kartu tamu kehormatan…” Gadis itu mengerutkan alis. Wanita berkacamata hitam di sebelah terlihat kesal, tersenyum dingin sambil berbisik ke pria paruh baya di sampingnya: “Masih mahasiswa, apa dia mengira ini hotel atau minimarket…” Zhang Jingfeng justru tersenyum, mengeluarkan sebuah kartu: “Heh, saya punya kartu tamu kehormatan. Dia teman saya, tolong…”
Sebelum kalimatnya selesai, gadis itu mengeluarkan dompet putih dari kantong: “Beberapa tahun lalu saya pernah menginap di sini… Tidak tahu bentuknya seperti apa…”
Dengan gerakan casual, lima enam kartu berwarna-warni berjatuhan di konter, disertai beberapa koin dan uang kertas RMB lusuh yang nilainya mungkin cukup untuk sarapan sederhana di pinggir jalan. Memandangi uang-uang itu dan kartu perpustakaan berkualitas rendah di permukaan, wanita di ujung konter tampak ingin tertawa, namun kemudian ekspresinya berubah menjadi keheranan. Sementara Zhang Jingfeng yang lebih dekat sudah mulai canggung menyembunyikan kartu kehormatan di tangannya.
Hati-hati mengumpulkan uang itu, Tsukike Kaoru memandangi tumpukan kartu di konter dengan wajah kesulitan.
## Bagian ke-133 Kupu-kupu
Enam lembar kartu, kemudian ditambah beberapa lagi yang ditarik keluar dari dompet, dengan berbagai desain—ada yang berbahasa China, lebih banyak lagi berbahasa Inggris. Seorang manajer pelanggan yang berdiri di bagian dalam konter langsung menyadari tidak ada kartu tamu kehormatan hotel, namun wajahnya tak bisa menyembunyikan perubahan ekspresi. Dengan level kekuatan hotel ini, hampir mustahil bisa mengeluarkan kartu setingkat ini.
Citibank, Bank Swiss, Bank of China, Mitsubishi UFJ Financial Group, Deutsche Bank, Société Générale... Kartu putih keemasan dan kartu tamu kehormatan level tertinggi dari beberapa bank besar dalam dan luar negeri. Tsukike Kaoru yang tak peduli dengan hal-hal ini hanya tahu itu kartu bank, hanya menarik uang saku bulanan darinya. Tapi yang lain mungkin mengenali—kartu bank level ini hampir semuanya memiliki fungsi overdraft tanpa batas, bukan sekadar kartu overdraft tak terbatas dengan jaminan perusahaan. Tanpa kekayaan miliaran dan identitas penting, kartu seperti ini mustahil diberikan sembarangan ke individu. Ayah Zhang Jingfeng pun mungkin hanya memiliki satu dua kartu semacam ini, namun beberapa yang paling berharga tetap tak sepadan dengan statusnya. Jangankan payung, cukup lempar salah satu kartu ini saja, mungkin bisa langsung membeli seluruh hotel bintang empat.
"……" Jari mengetuk-ngetuk di konter, setelah merapikan semua kartu, gadis itu mengangguk dingin: "Maaf, sepertinya tidak ada." Saat hendak berbalik, manajer pelanggan itu buru-buru memanggil: "Nona tolong tunggu sebentar, kami akan segera mengambilkan payung. Anda bisa duduk dulu di sebelah." Sambil berkata demikian, dia mendorong pelayan di sampingnya, "Xiao Xi, cepat ambilkan!"
"……Terima kasih."
"Heh, tidak usah berterima kasih."
Hujan di luar masih gerimis tenang. Manajer itu sopan mengucapkan kalimat singkat tanpa mengganggu lebih lanjut. Beberapa tamu yang sedang menyelesaikan administrasi check-out tak tahan melirik gadis itu beberapa kali. Dalam sekejap, pelayan telah membawa payung baru dan melakukan pembayaran pakai kartu sesuai prosedur. Zhang Jingfeng dan rombongan keluar pintu, naik ke mobil sport silver mewah.
Entah mengapa, Zhang Jingfeng kini merasa mobilnya agak ketinggalan zaman. Mungkin lari sedang menjadi tren. Selama dia menyalakan mobil, gadis berbaju olahraga putih dengan wajah dingin namun cantik menakjubkan itu telah keluar dari pintu gerbang sambil membawa payung, membukanya, lalu berlari kecil masuk ke dalam hujan rintik-rintik.
Mobil sport meluncur mulus, mengikuti gadis itu keluar dari radius efektif hotel.
“Sekarang kita menuju ke rumah Pak Zhang?” Suasana dalam mobil terasa agak kaku, membutuhkan topik pembicaraan. Nona Fang yang pertama kali membuka mulut, tatapannya menembus kaca mobil mengamati gadis yang berlari kecil di tengah hujan di depan. Dari sekian banyak kartu kredit tadi, dia hanya mengenali satu yang pernah dilihatnya - tepatnya, dipamerkan orang. Katanya itu simbol identitas dan posisi, sekarang terasa agak lucu.
“Hm, bukan. Perusahaan keluarga kami tidak berpusat di Jianghai. Itu cuma villa yang kadang dipakai ayahku untuk liburan. Mendengar Nona Fang dan Pak Zheng akan datang, kami menyuruh orang membereskannya. Semoga betah.”
“Oh? Bukannya bisnis Pak Zhang justru di sini? Pak Zhang tidak tinggal di villa ini?” Nona Fang bertanya penasaran, meski ekspresinya tetap kaku seperti formula matematika.
“Villanya terlalu jauh dari lokasi pekerjaan, jadi biasanya aku menginap di hotel saja.” Zhang Jingfeng menjawab sambil tersenyum.
“Pak Zhang memang pekerja keras. Katanya penyanyi lagu 《Dongfeng Po》 pertama kali tampil di restoran Pak Zhang, ya? Guru Huang dan Guru Zheng sama-sama tutup mulut soal kejadian waktu itu, jadi penasaran sekali.”
Menampilkan senyum yang paling memikat, percakapan akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Zheng Zepei di samping sedikit mengerutkan kening, sementara Zhang Jingfeng tersenyum tipis sambil menceritakan situasi hari itu. Sebenarnya sudah tahu minat mereka tertuju pada hal-hal ini, tidak ada yang aneh. Setelah pesta Natal yang meriah, orang bernama Gu Jiaming itu pernah bernegosiasi dengan Huang Lao dan Zheng Zepei, menjual hak cipta beberapa lagu sambil mensyaratkan kerahasiaan identitasnya. Belakangan Zheng Zepei memberitahuku. Meski ingin membuat masalah untuk pemuda yang punya hubungan ambigu dengan Lingjing ini, tapi wajah Zheng Zepei harus dihormati. Dengan lihai kusampaikan kejadian hari itu, Fang Yusi di jok belakang menyimak dengan penuh perhatian.
Wiper bergerak berirama di atas kaca depan, gerimis melukiskan panorama kota metropolitan berkabut. Saat lampu merah menyala, mobil sport berhenti tepat di garis putih. Tak jauh dari situ, sebuah bus memasuki halte, penumpang naik turun dalam suasana pagi yang sederhana.
Sejenak kemudian, seorang gadis dengan payung berlari melewati mobil dan belok ke sisi lain jalan, menyimpang dari rute kami. Ketika lampu hijau menyala dan mobil mulai bergerak, Zhang Jingfeng melihat sebuah Jeep militer hitam berhenti di pinggir jalan. Seorang wanita berpostur tinggi turun dan memberi salam militer PLA yang sempurna ke gadis berbaju olahraga putih itu.
Hujan, cahaya lampu, jendela-jendela terang, kabel listrik yang melintas dalam jarak pandang.
“Kelas di pagi-pagi buta, sejuk namun ramai. Para mahasiswa berdatangan sambil mengayun-ayunkan payung di tangan, lalu menggantungkannya rapi di belakang kelas. Sambil mengobrol dengan sahabat, mereka memukul-mukul noda air di badan dan kepala. Jika ada yang bisa mewakili konsep 'hujan ringan musim semi', mungkin pemandangan inilah penjelasan yang relatif sempurna.”
Di sudut belakang sisi kelas, Kaoru mengeluarkan buku pelajaran pertama dari tas sekolahnya, melirik pemuda yang sedang membuat sketsa cepat di kertas putih di sebelahnya.
“Hari ini... orang dari Biro Keamanan Nasional menemui aku.”
“Hah? Pagi ini?” Jiaming tidak berhenti menggerakkan pensilnya, alisnya terangkat.
“Iya.”
“Kurang ajar! Tapi ujung-ujungnya mereka mau minta bantuanmu menghubungi pihak Jepang, kan?”
“Iya, jadi aku kasih kontak Tenmasa-kun. Mereka... kayaknya salah paham dengan tujuan kedatanganku ke Tiongkok.”
“Heh.” Jiaming meletakkan pensilnya, tersenyum tipis padanya. “Siapa pun pasti salah paham. Dari keluarga Yuechi sampai Takamagahara yang punya banyak anggota penting, kau datang sendirian ke sini pasti dianggap sebagai penghubung kedua dunia. Bukan cuma [] dan Keamanan Nasional, Dark Celeste dan Pei Luo Jia juga berpikir begitu. Siapa yang tahu kau cuma vas bunga buat orang luar... Dasar cupu, ayahmu memang bukan orang baik...”
“Tenmasa-kun yang menyuruhku ke Tiongkok...”
“Tenku Masaoka juga bukan orang baik. Dia sudah mengetahui keberadaanku, jadi berusaha menyeretku ikut sambil sekaligus ingin menyingkirkanmu. Dari yang kuketahui, pacarnya Ryuudou Yui adalah tipe cemburuan. Bandingkan dengan Ryuudou Shizuka yang jauh lebih imut... Tapi ayahmu berbeda. Dia tidak tahu tentangku, tapi meski sadar kau dalam bahaya, tetap membiarkan Tenku Masaoka mengaturmu. Artinya kau benar-benar seperti putri yang dinikahkan, air yang ditumpahkan.”
Mengingat data keluarga Tsukike dari ingatan kehidupan sebelumnya, banyak hal yang dilakukan klan berpengaruh terbesar di Jepang ini untuk mempertahankan posisi mereka. Jiaming menggelengkan kepala sambil berkata dengan santai: “Yang terpenting, dia adalah ayah orang Jepang. Ayolah, Jepang loh. Negara itu penuh hal tidak karuan. Konon para ayah di Jepang suka melakukan 'itu' dengan putri mereka. Tentu saja, cara menjalin hubungan seperti ini sehat atau tidak, terserah penilaianmu. Kau juga bisa anggap dia orang baik.”
“Ti-Tidak... Aku...” Kaoru menundukkan kepala, alisnya berkerut halus: “Keluarga kami tidak seperti itu...”
“Wah, marah ya?”
Jiaming memandang dengan penasaran kerutan halus di antara alis gadis itu. Seperti senyumnya... atau mungkin ekspresi yang lebih langka dari senyum.
“……Tidak ada.” Setelah diingatkan seperti itu, gadis itu sepertinya kembali pada pikiran samarnya, menggelengkan kepala menandakan tak apa. Jiaming tersenyum: "Tidak, pertahankan emosimu, itu bisa menjadi contoh dasar kamuflase yang baik. Menghadapi pernyataan seperti ini, marah adalah hal yang wajar bagi manusia. Kau bisa memintaku meminta maaf, atau menantangku duel setelah kelas, semua hal ini bisa kau lakukan dengan sikap defensif. Karena kau cukup dingin, menunjukkan kemarahan atau kebahagiaan di depan orang lain hanya memerlukan ekspresi sederhana, asal dilakukan dengan tepat, bisa menipu orang. Tapi jika suatu hari kau bukan lagi Tsukike Kaoru, ekspresi seperti sekarang ini masih jauh dari cukup."
"Tapi kau takkan meminta maaf... Dan aku juga tak bisa mengalahkanmu."
"Tentu saja." Jiaming mengangguk wajar, "Karena yang kukatakan semua kebenaran, mengapa harus minta maaf."
Belum habis ucapannya, tangannya tiba-tiba mengayun ke bawah menangkap tangan kiri Kaoru yang bergerak, ujung pena tajam tepat mengarah ke perut Jiaming: "Wah, serangan mendadak ini... Lumayan."
Seperti anak yang mengakui kesalahan dan siap menerima hukuman, Kaoru menunduk membiarkan tangannya terus dipegang Jiaming. Lama kemudian, baru berbisik pelan: "Aku... Aku suka saat kau memegang tanganku, hanya... hanya saat memukulku, kau akan memegang seperti ini..."
……
Diam sejenak, ekspresi wajah Jiaming tetap tidak berubah, kemudian baru mengangguk: "Bagus, ekspresi kali ini sudah sangat tepat. Biasanya baron yang dikatakan seperti ini, sepuluh dari sembilan sudah pasti berhasil dirayu. Di Tiongkok ada pepatah, perjalanan seribu li dimulai dari langkah pertama. Untuk menyelesaikan tugasku memainkan 20 pria dan dua wanita selama kuliah lalu meninggalkan mereka, akumulasi sekarang sangat penting."
Pertama kali mengajar mahasiswa dengan tingkat kesulitan tinggi, saat ini hati Jiaming akhirnya merasakan kepuasan. Yang kurang sempurna adalah: "...Tapi kamu tidak perlu selalu meniru kata-kataku secara kaku, harus belajar mengaplikasikan prinsipnya." Saat pertarungan terakhir, Jiaming memelintir kedua lengan Tsukike Kaoru sampai terlepas. Saat mengajar dasar pengetahuan kamuflase, sambil membelai tangan si cantik yang tak berdaya, Jiaming menggunakan kalimat ini sebagai contoh. Ekspresi Tsukike Kaoru di depan mata jelas lebih tepat dibanding terakhir kali.
Aksi sembunyi-sembunyi mereka di belakang kelas tidak ada yang menyadari. Tak lama bel kelas berbunyi, beberapa saat kemudian Jiaming baru mengerutkan kening bertanya: "Ngomong-ngomong, awal bulan ini Pei Luo Jia mengirim orang lagi, apakah Keamanan Nasional memberitahumu?"
Tsukike Kaoru mengangguk: "Iya, sepertinya... mereka mencegatnya."
"Hm, memang mereka." Mengangguk, "Aku sudah menduga kalau mereka melakukan ini, pasti punya alasan untuk tidak menyombong di hadapanmu, ini juga salah satu tawaran negosiasi. Sumber intelijenku masih terbatas... Keamanan Nasional juga bertarung mati-matian..."
“Melihat wajah Jiaming yang sedang berpikir, menggabungkan konten ucapan sebelumnya, tiba-tiba hati Tsukike Kaoru berdebar tanpa alasan: "Tuan Gu, kau... kau terus memantau situasi di Jepang?"”
“Tentu saja, jika tidak waspada, bagaimana jika suatu hari Pei Luo Jia tiba-tiba mengamuk dan menyerangku...” Melihat ekspresi Tsukike Kaoru, Jiaming mengangguk, memutuskan untuk melanjutkan pandangan menggoda, “Lagipula kau di sini, aku harus memastikan kau kembali utuh... Meski kurasa itu mustahil, toh kau masih harus bermain dengan 20 pria...”
Setelah mengucapkan ini, Tsukike Kaoru menunduk membaca buku, sementara Jiaming masih berbaring di meja memandangi lapangan dengan tatapan kosong, memikirkan beberapa hal. Dapat dirasakan, pandangan Dongfang Wan kembali tertuju padanya.
Masalah Dongfang Wan tentu hanya sekunder. Pertanyaan yang berputar-putar di hati Jiaming saat ini adalah dampak efek kupu-kupu sejak kepulangannya.
Di dunia aslinya, Tsukike Kaoru jelas-jelas terikat perasaan oleh pamannya, beberapa tahun kemudian berakhir bunuh diri. Pamannya tidak mati, menghubungi kekuatan Dark Celeste untuk menghentikan Pei Luo Jia, tapi sekaligus ingin merebut kembali keluarga Yuechi. Hasilnya tak ada yang untung, Dark Celeste gagal menghalau Pei Luo Jia di Jepang, keluarga Yuechi binasa, Takamagahara kemudian menyusul, lalu giliran Dark Celeste dan [].
Dan saat itu, aku sadar bahwa aliansi antara keluarga Yuechi dan Takamagahara sama sekali tidak semulus sekarang. Tenku Masaoka tetap menyelamatkan Tsukike Kaoru, namun saat itu sebagai anggota penting Takamagahara, Tenku Masaoka sudah memiliki pacar rahasia bernama Ryudo Yu. Berbagai faktor membuat aliansi ini tidak berjalan mulus. Di situasi sekarang, sikap antusias Tenku Masaoka terhadap aliansi ini mungkin ada hubungannya denganku. Setelah aku menyelamatkan Tsukike Kaoru, di mata Tenku Masaoka aku menjadi sosok di belakang Kaoru. Meski kenyataannya tidak demikian, dia akan dengan senang hati memfasilitasi hal ini, mengingat ancaman Pei Luo Jia juga membuatnya merasa krisis.
Aku bukan orang yang fanatik terhadap nasionalisme, namun setelah lama hidup di tengah hujan peluru, rasa aman selalu kurang. Banyak hal ingin kuantisipasi sejak dini. Keberadaanku yang terekspos di depan Tenku Masaoka saat itu sengaja kubuat. Pemikiranku waktu itu: jika suatu hari nanti aku benar-benar menjadi target orang-orang dari Dunia Kegelapan ini, sebagai orang Tiongkok yang harus bertahan di Tiongkok, aku tidak bisa membiarkan Pei Luo Jia semakin kuat. Meski pernah terpikir untuk tidak berurusan sama sekali dengan mereka, pepatah "Semakin besar kekuatan, semakin besar tanggung jawab" juga bisa dipahami sebagai "Semakin kuat kau, semakin besar masalah yang akan kauciptakan."
Jika diriku hanyalah orang biasa, tentu tak bisa menyelamatkan ibu dan putri Marilyn. Kalaupun berhasil, paling hanya menampung mereka sebentar. Jika tak MATI, mungkin tak akan berurusan dengan mafia atau membunuh puluhan orang. Andai aku cukup biasa, saat ditangkap bersama Shasha dulu, mungkin sudah dipukuli sampai MATI. Sekalipun kabur, mustahil bisa kembali memenggal semua kepala. Dengan kekuatan setingkat ini, pasti akan berhadapan dengan orang setingkat itu. Aku sangat paham.
Demi prinsip mengantisipasi keadaan ini, ketika merasa bertanggung jawab pada Lingjing dan Shasha, aku "menggelapkan" 7 miliar dolar AS Pei Luo Jia untuk Kelly Vernam sebagai cadangan bantuan darurat. Tak disangka, 7 miliar lebih dolar ini malah membuat Pei Luo Jia kocar-kacir, justru membersihkan banyak mata-mata [] dan Dark Celeste yang tersembunyi. Konflik langsung memanas, aksi bodoh Yoritomo Taku mengincar Kapal Star Dream mungkin untuk demonstrasi, tapi setelah itu suasana di Divisi Asia mulai menegang.
Dunia Kegelapan dalam arti tertentu bisa berdampak pada militer dan politik. Secara terbuka tentu mustahil ada perang sekarang. Tapi jika pertarungan besar Dunia Kegelapan yang seharusnya terjadi 10+ tahun kemudian dimulai sejak 98, Jiaming merasa benar-benar kesal: Dirinya hanya ingin hidup tenang, sama sekali tak mengharapkan situasi seperti sekarang ini.
Memasukkan kekuatan dari berbagai aspek ke dalam pikiran, melakukan pengembangan di peta pasir, akhirnya menyimpulkan bahwa Keamanan Nasional dan [] meski sudah bertindak, kemungkinan besar hanya membersihkan dalam negeri dengan metode konservatif, memberi deterensi ke seberang lautan. Pertempuran seharusnya masih mustahil terjadi, baru bisa sedikit lega.
Memikirkan hal ini seharian, saat pulang sekolah nanti sore, hujan masih turun. Hari ini hari Kamis, mungkin Lingjing sudah pulang memasak. Dengan santai membereskan barang-barang, hendak mengambil payung pergi, Dongfang Wan yang sudah mengawasinya beberapa hari berturut-turut mendekat. Dengan senyum memikat, ia duduk di kursi depan: "Gu Jiaming, ada hal yang ingin kuminta bantuan."
Suaranya lembut tak terhingga, sangat berbeda dengan nada bicara sehari-hari terhadap Jiaming.
"Aku duluan." Kolam Bulan di samping sudah merapikan tas sekolah, mengangguk memberi salam lalu berbalik pergi.
Mood sedang terganggu oleh urusan negara besar, tiba-tiba mendapat gangguan seperti ini, Jiaming tak bisa menahan tawa. Memandang senyum tulus Dongfang Wan, setelah beberapa saat baru menghela napas: "Teman sekelas Dongfang, senyummu sangat jorok. Bolehkah aku langsung menolak?"
"Kau..."
## Bagian Ke-134 Bernegosiasi
"Kau..." Mendengar ucapan Jiaming, senyum Dongfang Wan membeku sesaat, lalu menarik napas dalam menahan keinginan untuk kambuh: "Aku tidak bercanda!"
"Sebenarnya aku juga tidak..." Jiaming mengangkat bahu sambil tersenyum, melambai-lambaikan tangan. "Eh, sudahlah. Ada urusan apa?"
"Awalnya kesal dengan nada bicara Jiaming yang ingin membuatku marah, siapa sangka dengan ucapan 'tidak usah dibahas lagi', semua kata-kata tertahan di perut. Dongfang Wan mengatupkan bibirnya: 'Begini, soal acara ulang tahun kampus kau tahu kan?'"
"Hm, tahu lah."
"Bisa minta tolong kau tampil di acara?"
"Boleh."
"Eh?" Tidak menyangka Jiaming langsung menyetujui, Dongfang Wan tak bisa menahan keterkejutannya, "Hah, kalau... hmm..."
"Enam ratus uang sekali tampil, pakai topeng di panggung."
“……”
"Hah." Memandang ekspresi Dongfang Wan, Jiaming berkata dengan tulus, "Kenapa lihat aku begitu? Jangan marah dong. Lihat, kita kan teman sekelas, aku sudah kasih keringanan. Biasanya kami manggung di Blue Bird, sebulan tiga ribu, seminggu sekali. Rata-rata tujuh ratus lima puluh per show. Mengingat ini acara sekolah, aku kasih diskon 20%. Kalau hitunganmu kurang bagus, pakai kalkulator saja. Lihat, tujuh delapan lima puluh enam, lima delapan empat puluh, persis enam ratus kan..."
"Gu Jiaming——"
Sekejap mata, teriakan Dongfang Wan menggema di dalam dan luar ruang kelas. Sebagian siswa yang masih membereskan barang berhenti heran memandang, bahkan orang di lorong luar secara bawah sadar berhenti menyaksikan adegan ini: Dongfang Wan yang selalu tegas membanting meja sambil berdiri, sementara teman sekelas Jiaming yang pemalu terpaku di kursi dengan pipi berkedut.
Menarik napas dalam-dalam sebanyak dua kali, Dongfang Wan mengingat tujuan awalnya dan berhasil menekan amarahnya. Anehnya, dia selalu bisa menahan emosi dengan tenang di hadapan orang lain, namun hanya di depan Jiaming-lah kemarahannya terus berkobar. Pada akhirnya, mungkin karena dia tahu ada kualitas luar biasa yang tersembunyi di balik penampilan biasa Jiaming, sehingga secara bawah sadar memandangnya berbeda dari yang lain.
"Kau... Haruskah semua hal selalu dikaitkan dengan uang?" Suara Dongfang Wan yang baru saja duduk kembali terdengar menggigit-gigit gigi, "Benar-benar kekurangan uang sampai segitunya?"
"Aku hanya mengambil bagian yang menjadi hakku." Jiaming bersandar ke belakang menghindari wajah Dongfang Wan yang marah mendekat, "Dana kelas segini kan tidak berarti apa-apa?"
"Jangan harap!" Dongfang Wan menempelakkan kedua tangan di meja, suaranya berat, "Aku tidak akan menghamburkan dana kelas untuk hal seperti ini. Jika benar ingin uang, bisa kuberi enam ribu, enam puluh ribu, bahkan enam ratus ribu! Membelimu juga tidak masalah, apa kau benar-benar tidak bisa sedikit saja membantu kelas?"
"Harga jual badan beda lagi." Jiaming tersenyum jorok sambil menjauh, "Jangan mendekat, semua orang sedang memperhatikan kita."
Dongfang Wan terengah-engah. Ketika menengok, benar saja semua mata masih tertuju ke arah mereka. Pipinya memerah: "Pokoknya... dana kelas sama sekali tidak akan kukeluarkan!"
"Kalau begitu tidak ada kesepakatan."
“Aku tidak mengerti.” Melihat Jiaming yang mulai membereskan barang-barang lagi, Dongfang Wan bertanya, “Kau jelas-jelas tidak kekurangan uang, mengapa selalu berperilaku seperti ini. Waktu itu memintamu ikut klub basket juga sama, kalau tidak suka, langsung tolak saja bukan? Mengapa harus pakai hitungan per jam. Meski skill basketmu lebih hebat dari Jordan, mustahil mereka mau menerimamu lagi.”
“Kau tahu dari mana aku tidak kekurangan uang?” Jiaming meliriknya sambil berkata santai, “Sudah kubilang, itu hakku.”
“Tentu saja kau tidak kekurangan! Keluarga Huang memberimu uang yang cukup. Lagipula Ye Lingjing dan Liu Huaisha tidak perlu uangmu untuk hidup—mereka bukan tipe perempuan seperti itu! Mereka berdua bukan pacarmu, Ye Lingjing bukan, Liu Huaisha juga bukan!”
Suaranya tidak keras tapi mengandung getaran dahsyat. Melihat gerakan Jiaming yang tiba-tiba membeku, Dongfang Wan merasa menemukan intinya. Ia tersenyum bangkit, bertatapan empat mata dengan Jiaming.
“Lagi-lagi kau tahu apa?”
“Huh, lihat! Terbongkar kan? Maksudku, Ye Lingjing dan Liu Huaisha bukan pacarmu. Meski kalian tinggal bersama, kau cuma kedok yang mereka tarik! Tidak ada hubungan apa pun di antara kalian.”
Jiaming mengangguk: “Tentu tidak ada. Kami hanya teman.”
“Huh, pura-pura! Berusaha pura-pura!” Dongfang Wan mendongakkan dagunya dengan kesombongan, lalu menoleh ke pintu kelas sambil tersenyum. “Lihat, Guru Yahan datang menjemputmu. Sudah dipikirkan? Aku tidak akan bayar iuran kelas!”
“Tak ada cara lain lagi...” Sambil membawa tas sekolah, Jiaming menghela napas, “Enam ratus sekali, setuju ya setuju, kalau nggak, putus hubungan!”
“Kau...” Memandangi Jiaming yang pergi begitu saja sambil membawa tas sekolah, Dongfang Wan menghentakkan kaki kesal, hendak bicara lagi. Tapi Guru Yahan yang berwajah masam sudah berteriak di pintu: “Gu Jiaming! Keluar sekarang! Kemarin kau terlambat lagi, benar kan?!”
“Maaf, Guru Yahan, aku tidak akan mengulanginya.”
“Kau selalu begitu! Kali ini kalau tidak bisa menjelaskan, semester ini kau jangan harap bisa ikut ujian akhir!”
“Maaf, Guru Yahan, aku tidak akan mengulanginya lagi...”
Dalam gerimis, teman-teman sekelas yang lalu lalang memandang situasi ini. Keketatan Zhang Yahan di kampus memang termasyhur, tak lepas dari latar belakang keluarganya yang berpengaruh. Banyak anak orang kaya yang punya pengaruh di kampus pun tidak berani melawannya. Jika sampai Guru Yahan berkunjung ke rumah mereka, basically keluarga tersebut pasti akan kehilangan satu dua bisnis. Namun di mata orang lain, selama setahun terakhir ia benar-benar diuji oleh satu murid: Gu Jiaming yang kini dihadapinya.
Hampir setahun ini, kesan Jiaming di kampus kebanyakan adalah penyendiri, dingin, dan tidak segan menggunakan segala cara untuk menang. Sejak klub basket memintanya bergabung dan dia mengajukan syarat bayaran, penilaian itu bertambah satu poin lagi: materialistis. Namun meski banyak yang mencela, ada satu hal yang tak bisa tidak diakui: dialah satu-satunya "permen karet yang lengket" yang terus melakukan kesalahan berulang tanpa peduli pada teguran Guru Yahan. Adegan di lorong ini telah terulang berkali-kali dalam setahun terakhir.
Terlambat, bolos, pulang cepat, tidur di kelas... Nilai Jiaming yang selalu diambang garis kelulusan membuatnya tak pernah lepas dari kesalahan kecil. Tak heran Guru Yahan sering memanggilnya untuk dimarahi. Tapi apapun ancaman sang guru, Jiaming selalu menunduk penuh penyesalan: "Maaf, Bu Yahan, aku tidak akan mengulanginya lagi..."
Ucapan yang terus diulang seperti mantra ini lama-lama kehilangan makna. Fakta membuktikan, Guru Yahan yang selalu punya cara untuk segala masalah di sekolah, tak pernah berhasil mengatasi permen karet lengket ini.
Kecuali Saudara Dongfang yang sengaja menyelidiki hubungan guru-murid ini, semua orang hanya bisa menyaksikan drama ini dengan kagum. Kali ini pun, setelah N kali "maaf", di tempat sepi Yahan baru berbisik: "Tadi kau ngapain dengan Dongfang Wan? Pasangan baru bertengkar?"
“Hmm, benar.” Jiaming tersenyum mengangguk, menanggungnya tanpa rasa malu, “Kami pasangan baru bertengkar.”
“Kenapa?” Yahan mengedipkan matanya.
“Dulu pernah melihat suatu penjelasan yang menurutku sangat tepat, lihat, hari ini hujan turun.”
“Terus kenapa?”
“Langit menurunkan hujan, kuduga itu air mata Kaisar Giok. Pasti pernikahannya dengan Ratu Xi Wangmu tidak bahagia. Ketidakbahagiaan ini ada dua kemungkinan, pertama Ratu Xi Wangmu pergi, kedua Ratu Xi Wangmu tidak mau pergi... Menurutmu aku dan Dongfang Wan yang mana?”
“Pergi sana!” Melihat sekeliling tak ada orang, Yahan menendang kakinya, percikan air mengenai celana Jiaming, “Berani-beraninya bersikap semaunya! Cepat katakan!”
“Hmm, dia ingin aku ikut pertunjukan perayaan sekolah.”
“Kurasa kau tidak setuju.”
“Ribet.” Jiaming berkata datar, “Tapi sepertinya dia tahu beberapa rahasia tidak karuan, heh, meski pasti tidak benar, tapi menurutku cukup menarik... Eh? Kau berani terang-terangan mencegatku seperti ini, apa ada masalah dengan Xu Yiting?”
"Bukan Xu Yiting, ini tentang keluargaku. Mereka mulai menanyakan identitas Jian Suyan. Aku menjawab sesuai yang kamu ajarkan sebelumnya, basically hanya menjawab 'tidak tahu' untuk semua pertanyaan. Tapi kupikir lebih baik memberitahukan prosesnya padamu. Oh ya, setiap kali kamu menyamar sebagai Jian Suyan dan datang ke tempatku, aku selalu jujur. Aku juga sudah mengaku tentang masalah Yiting. Ayahku bilang, karena kamu juga terlibat sekarang, untuk sementara kita lanjutkan proses rehabilitasi Yiting seperti ini. Nanti dia akan membantu bernegosiasi dengan keluarga Huang."
"Hmm, itu lebih baik." Jiaming mengangguk sambil tersenyum tipis.
……
Setelah menyepakati detail lebih lanjut tentang Jian Suyan, kedua orang yang telah berpacaran diam-diam di sudut gelap gedung kantor selama setengah hari itu berpisah. Jiaming berjalan keluar sambil memegang payung, sementara Yahan berbelok ke area parkir khusus guru di bawah gedung. Baru saja keluar, dari kejauhan terlihat Dongfang Wan berdiri di sebelah mobil tuanya. Saat di kelas tadi Jiaming belum memperhatikan, tapi sekarang terlihat jelas ia mengenakan pakaian musim semi berbenang putih susu dengan rok wol ungu muda di bagian bawah, membuatnya tampak anggun dan penuh wibawa. Dengan senyum, Dongfang Wan mendekat dan memberi hormat: "Bu Guru Zhang."
"Hm, kamu mencari teman sekelas Gu? Dia sudah pergi, tidak bersamaku."
"Tidak, buat apa aku mencari dia?" Dongfang Wan menyisir rambut di dekat telinganya dengan jari sambil tersenyum, "Aku sengaja mencari Bu Guru Zhang. Tadi ke kantor tidak ketemu, jadi terpaksa menunggu di sini."
"Aku?"
“Ya, minggu lalu aku dan dua teman sekelas mengalami suatu hal, seorang kakak bernama Jian Suyan yang menyelamatkan kami. Aku sangat kagum pada Kak Suyan, dengar-dengar dia adalah teman Bu Guru Zhang, jadi ingin tahu lebih banyak tentangnya.”
Dongfang Wan sedikit membungkuk, pandangannya tulus dan jernih, sementara Yahan membuka mulutnya lebar-lebar: “Ka-Kagum? Jian Suyan?”
## Bagian 135 Hal yang Diperhatikan
Untuk sementara kita bisa menganggap tempat ini sebagai dunia paralel.
Badai yang mulai menunjukkan sedikit petunjuk sejak akhir April 1998 seharusnya tidak muncul. Dari sudut pandang pengamat, kerikil kecil yang dilempar ke poros waktu pada akhir 1991 menciptakan riak, kemudian mengacaukan urutan banyak hal di dunia ini.
Akhir April 1998, [] Tiongkok mulai melakukan kontak eksperimental dengan Takamagahara Jepang, memicu ketegangan Pei Luo Jia, kegembiraan Dark Celeste Eropa, seiring momentum Badai Finansial, situasi Asia Timur mulai tegang. Sebagai organisasi pembunuh internasional, kekuatan Pei Luo Jia mulai lebih berkontraksi ke arah Asia. Bersamaan dengan itu, organisasi teknologi tinggi Amerika Utara Surga Kebijaksanaan, aliansi kemampuan khusus Keajaiban Kreasi, bahkan kontribusi pantai Amerika Selatan, serta Aliansi Pelindung Kanguru Australia, semuanya memasuki kondisi yang tampak aktif tapi sebenarnya menunggu, menanti perluasan hal ini.
Faktanya, situasi konfrontasi saat ini di antara beberapa pihak masih diwarnai sikap saling menahan diri yang cukup rasional. [] berharap dapat mengintimidasi Pei Luo Jia dengan sikap superior, sementara pihak Pei Luo Jia juga berusaha bersikap lebih sopan, menjaga gesekan antar pihak tetap dalam kondisi biasa. Dalam periode seperti ini, sosok yang nantinya memainkan peran krusial dalam badai besar ini justru sedang merapikan sayapnya, menikmati kehidupan tenang di bawah rintikan hujan halus.
Tentu saja, mungkin justru kehidupan santai seperti inilah yang menjadi inkubator terbaik bagi badai yang akan datang.
"Krisis keuangan, inflasi harga barang, PHK massal, ditambah banjir... Kemarin beli masih 26, sekarang sudah 28. Barusan aku mikir, bagaimana kalau kita coba pakai plastik wrap saja..."
Duduk di sofa, mengeluarkan kotak kondom merah-biru dari kantong plastik, pemuda yang masih memiliki simpanan ratusan juta dolar AS di Bank Swiss ini mengeluh: "Hidup ini tidak bisa dijalani lagi..." Seketika mendapat tatapan hinaan.
"Kalau tidak mau hidup bersama kami saudari, minggirlah! Aku dan Lingjing bisa hidup berdua selamanya!" Keluar dari dapur, Shasha merebut kotak kondom itu sambil tersenyum.
“Aku tak mau tinggal bersama kau berdua. Kalau Jiaming nggak mau aku lagi, aku harus segera cari orang untuk dinikahi. Lebih baik MATI daripada jadi perawan tua.” Membawa mangkok masakan keluar, Lingjing langsung berkhianat. Shasha mengernyitkan mulut dengan mata besar-kecil sebentar, lalu protes: “Lingjing, kau terlalu memalukan! Lupa dengan hubungan lesbian kita selama bertahun-tahun ini?”
“Kau yang lesbian! Kau yang memperkosaku. Malangnya aku ini perempuan lemah, tiap hari harus menerima penghancuran bergiliran dari kalian suami-istri, masak untuk kalian, bahkan harus menemani kalian naik ranjang... Keringkan rambutmu, di luar sedang hujan, jangan sampai masuk angin.” Berbicara setengah jalan, Lingjing melempar handuk kering ke kepala Jiaming, tersenyum kembali ke dapur. Shasha berteriak-teriak mengejarnya: “Berhenti! Jangan mau kabur!”
“Tolong cuci beberapa batang daun bawang itu, terus potong.”
“Oh.”
Mendengar suara dari dapur, Jiaming tersenyum mengusap sedikit air di rambutnya dengan handuk, lalu menyimpan barang belanjaan ke lemari. Kotak kondom ditaruhnya di sisi dalam ranjang besar kamar tidur utama, ditutupi bantal seadanya. TV menyiarkan berita: “…Menyikapi bahaya banjir yang terus terjadi di provinsi Hunan, Fujian, Guangdong sejak Maret, departemen meteorologi dan sumber air negara menyebut tahun ini mungkin terjadi bencana banjir 50 tahun bahkan seratus tahun sekali. Warga diimbau melakukan persiapan menghadapi banjir sedini mungkin. Laporan ini oleh…”
“Sayap kupu-kupu bisa mengubah perilaku manusia secara drastis, tapi pada akhirnya tak bisa mengubah perubahan alam yang sudah ditakdirkan. Tahun 98, banjir datang sesuai jadwal. 'Seharusnya ini bukan urusanku...' Pikir Jiaming sambil mengganti saluran TV. Pukul enam sore, waktu puncak acara anak-anak. Di layar sedang tayang episode "Tom and Jerry", Tom dan Jerry sibuk kejar-kejaran dan berisik. Jiaming duduk di sofa menonton dengan bosan.
Akhir pekan yang sunyi. Hujan rintik-rintik turun tak henti di setiap sudut dunia. Mungkin karena inilah, cahaya kuning hangat yang terlihat dari jendela setiap rumah, serta bayangan orang yang lalu lalang terasa begitu menghangatkan dan damai. Tapi sejak sore tadi, kedamaian ini mulai mengalami sedikit perubahan.
“Tidak dijual, sudah kubilang tidak dijual ya tidak dijual. Kalian jangan datang lagi, mutlak tidak dijual...”
Suara tinggi bernada keras yang mengandung sedikit lengkingan, persis seperti pekerja seks yang menolak transaksi kekerasan. Masalahnya, pemilik suara ini adalah seorang pria paruh baya. Mendengar suara dari sebelah, ketiga orang yang sedang makan saling pandang: “Lagi-lagi begini.”
Tak lama kemudian, pintu mereka juga diketok. Jiaming meletakkan peralatan makan dan membuka pintu. Dua orang berbaju jas yang basah kuyup oleh hujan berdiri di luar: “Hehe, halo, maaf mengganggu lagi. Saya dari Perusahaan Pengembangan Bangunan Xingsheng. Soal yang pernah dibicarakan minggu lalu... Sudahkah Bapak/Ibu menghubungi pemilik rumah?”
“Hmm, sudah.” Jiaming mengangguk, “Beliau bilang sama seperti tetangga sebelah. Beliau yang sudah mau jadi nenek ini bersikukuh tidak mau menjual.”
“Hehe, Pak benar-benar lucu. Kalau begitu kami pamit.” Pria berjas itu berkata sambil melirik Lingjing dan Shasha di dalam kamar, lalu menoleh lagi: “Sebenarnya kalian bertiga masih mahasiswa, kan?”
“Iya, kami bertiga adalah teman baik, jadi numpang tinggal di sini. Ada masalah?” Jiaming tersenyum polos.
“Oh, begini. Karena area ini akan direnovasi, belakangan banyak orang yang pergi dan orang asing yang datang. Tempat ini memang sudah campuran ekstrem, sekarang mungkin semakin tak damai. Kalau kalian mahasiswa, harap segera cari tempat lain. Kalian kan harapan bangsa, haha. Dua nona di dalam juga cantik-cantik, kalau sampai terjadi hal buruk...”
“Iya betul, kami juga sedang cari tempat pindah.” Jiaming mengangguk setuju dengan senyum cerah, “Katanya area ini mau dibongkar, penegakan hukumnya kurang bagus. Kami berencana tinggal kembali di kampus, administrasi sekolah juga sedang diproses, seharusnya cepat selesai.”
“Baguslah. Dah. Oh, tolong hubungi pemilik rumah ya, terima kasih.”
“Sama-sama, ini kewajiban anggota Liga Pemuda Komunis.”
Melambaikan tangan menyaksikan dua orang turun tangga, sekelompok orang dari arcade sudah keluar ke jalan. Beberapa “kakak tertua” sekitar mendekat.
“Hai, Kakak Shui, Kakak Hua.”
“Hmm, Aming. Mereka ngomong apa? Ancaman?”
“Sedikit saja. Jujur, agak menyeramkan sih. Kalian tahu aku tidak apa-apa, tapi Lingjing dan Huai Sha... Oh, masuklah. Kami sedang makan, sudah makan?”
Sambil berbicara, Lingjing dan Shasha juga menyapa beberapa orang di luar pintu. Beberapa orang yang awalnya bermuka sangar langsung tersenyum ramah menjawab, lalu melambaikan tangan: "Tidak usah, tidak usah. Aming, Lingjing, Huai Sha, tenang saja. Selama kalian masih di sini, tak perlu takut pada mereka. Semua urusan serahkan pada kami... Tapi kalau benar-benar akan ada kerusuhan, situasi beberapa waktu ke depan mungkin memang tidak aman. Lebih baik mencegah daripada menyesal. Kalau ada tempat lain yang bisa dituju, saran kami sebaiknya kalian mengungsi dulu sampai keadaan reda. Lagipula kami para pria tidak masalah, yang dikhawatirkan justru Lingjing dan Huai Sha sebagai perempuan. Aku juga sudah mengirim adik perempuanku pergi. Tapi rumah pasti tidak akan kujual! Aku akan bertahan sampai akhir!"
Ketiganya sudah berkumpul di ambang pintu. Jiaming mengangguk sambil tersenyum berterima kasih. Lingjing memandang profil Jiaming, teringat kemampuan suaminya, tak bisa menahan senyum kecut. Dengan manis dia berkata: "Terima kasih, Kak Shui, Kak Hua." Sementara Shasha menyandar di pintu: "Sudah-sudahlah kalian! Jangan pura-pura jadi BANGSAT di depanku. Masih mau khawatirin kami? Menurutku, lebih baik kalian cepat-cepat serahkan uang perlindungan ke sini. Nona hebat ini yang akan jamin, Yong Sheng pasti tidak berani macam-macam!"
Meski di depan Jiaming bersikap cukup patuh, saat berinteraksi dengan orang luar, Huai Sha masih memiliki aura layaknya kakak pemimpin. Gerombolan di hadapannya ini bukanlah geng kriminal besar, tapi tetap saja orang-orang yang terbiasa dengan semangat mendidih para preman. Ditambah lagi Huai Sha yang cantik dengan postur tubuh menawan, semua orang yang biasa bercanda langsung tertawa: "Hehe, itu... dengan kehadiran kakak pemimpin Huai Sha di sini, Yong Sheng hanyalah debu. Tapi kami para anak buah tidak mungkin selamanya mengandalkan perlindungan kakak pemimpin. Serahkan saja urusan ini pada kami, tenang Kak, kami tidak akan mempermalukan muka... Ha ha..."
"Nah, baru seperti itu. Kalau butuh bantuan, jangan lupa beri tahu."
Setelah mengobrol sebentar di depan pintu, kerumunan itu berbalik pergi. Dua pria berjas tetap melanjutkan mengetuk pintu satu per satu untuk urusan penjualan rumah. Begitu pintu tertutup, Huai Sha sudah mengerutkan alisnya: "Keterlaluan! Bisnis properti siapa saja bisa jalankan, tapi belum pernah lihat cara seperti ini. Pemberitahuan pembelian rumah baru beberapa hari, ancaman sudah mulai dilayangkan. Jiaming, menurutmu kalau aku minta ayahku urus hal ini bagaimana... Tapi sepertinya juga tidak bisa..."
Kawasan tua di dekat Akademi Hati Kudus ini sebenarnya merupakan wilayah pengaruh Yong Sheng. Meski saat ini Shazhu Bang sedang berkonflik dengan Yong Sheng, area ini tetap menjadi garis belakang pertahanan Yong Sheng. Jika Shazhu Bang ikut campur, kemungkinan besar akan terjadi pertempuran habis-habisan antara dua geng kriminal ini. Konflik geng kriminal skala seperti ini pasti akan dianggap sebagai kerusuhan dan ditindak keras polisi. Jiaming tersenyum tipis, baru setelah beberapa saat berkata: "Lingjing, Shasha... Aku... Bagaimanapun juga, aku tidak ingin kalian celaka."
Nada suara Jiaming terdengar ragu, ekspresinya juga menunjukkan keraguan. Bagi kedua gadis ini, Jiaming jarang menunjukkan ekspresi seperti ini saat menghadapi masalah besar kecuali itu merupakan kamuflase. Lingjing mengangguk: "Maksudmu kita harus pindah?"
"Tidak, kita sudah nyaman tinggal di sini. Maksudku..." Matanya menyapu seluruh kamar, Jiaming baru mengangguk setelah beberapa saat, "Kalian tahu, aku pernah menjalani pelatihan pembunuh. Sekarang aku punya kelemahan. Ada seseorang yang... menggunakan kalian untuk mengancamku. Meski mungkin dia tidak menyadari konsekuensinya, tapi aku sangat marah. Maksudku, aku tahu ini bukan kebiasaan baik dalam menyelesaikan masalah, tapi pendapat kalian sangat penting bagiku..."
"Aku ingin MEMBUNUH..."
## Bagian Ratus Tiga Puluh Enam Senyum Tulus
Langit sudah gelap gulita, lampu jalan menyala sementara tetesan hujan melintas siluet di balik cahaya lampu lalu menghujam tanah. Saat meninggalkan pintu sebuah rumah, jas dua pria sudah basah kuyup. Di masa sekarang, mencari nafkah di dunia hitam pun tidak mudah.
“Liangzai, ingat rumah ini, sepertinya paku. Beberapa waktu lagi kirim orang ke sini, pertama-tama hancurkan rumah mereka.”
Membuka payung, orang yang memimpin mengerutkan alisnya berkata, orang lain mengangguk: "Oh, pintu Nomor Lima Puluh Empat, sudah dicatat. Kak Zhi, hari sudah sore, kapan kita makan?"
"Makan makan makan, kamu cuma tau makan. Kalau siang nggak terganggu urusan kekasihmu, kita sudah selesai dari tadi. Jangan kira jadi preman itu santai, jaman sekarang mau naik jabatan, nggak cuma butuh galak dan otak, tapi juga profesional. Kita sekarang bukan geng kriminal lagi, kita perusahaan konstruksi! Ayo, tinggal sedikit lagi, selesaiin terus pulang ketemu kakak tertua, nanti pasti kamu dikasih makan enak."
Merapikan bajunya, Kak Zhi menjepit tas dokumen sambil menengok dengan kesal: "Dasar, katanya bulldozer datang hari ini buat gusur batch pertama, kok sampai sekarang belum datang juga, ini hampir pukul delapan..."
"Tapi Kak Zhi, kita tiap hari dateng ke sini, tapi yang mau jual rumah masih sedikit. Kaya dulu, kan tinggal suruh saudara-saudara bikin ricuh aja? Ricuh bentar, basically langsung beres."
“Hehe, kau kira semudah itu.” Nazhi Ge menggelengkan kepala pelan, “Satu pemberitahuan langsung semua pindah, kita beli harga murah, lewat audit SEKARANG JUGA, konstruksi, lalu menunggak gajian petani, tunggu cuan. Kalau urusan semudah ini di dunia, bukankah semua orang akan berebut? Jika SEKARANG kita datangkan massa untuk berulah, aku jamin di sini akan ada pertumpahan darah sampai sungai darah mengalir. Sekalipun kita sudah menyuap polisi dan koran, mereka tetap tak berani menutupi hal ini. Kekerasan itu sederhana, tapi cara kasar hanya bisa untuk kerja kasar, bukan kerja teknologi. Ingat itu.”
“Agar tidak memicu pantulan berlebihan, pertama kita harus tunjukkan kesungguhan. Dengan datang setiap hari, mengunjungi tiap rumah, kita membuat mereka merasakan komitmen sekaligus memahami latar belakang kita. Kau lihat sendiri, meski mulut mereka di game elektronik berkoar-koar, nyatanya tak ada yang berani bertindak. Karena mereka tahu track record kita. Ini rumah mereka, lari pun kuilnya tetap ada. Kalau bisa tidak bertarung, tentu saja mereka tak ingin kekerasan terjadi. Tapi seperti katamu. Mereka juga takut kita kirim massa untuk berulah, ketakutan yang terus menumpuk.” Ia menyatukan tangan sambil tersenyum. “Mereka akan berkumpul jadi satu!”
“Setelah berkumpul, urusan jadi lebih mudah. Manusia itu, yang punya pendirian saat hadapi masalah besar dan bisa pengaruhi orang lain itu jarang. Di antara mereka, yang jago berkelahi atau tahan banting akan berdiri di depan, orang lain akan lihat mereka, lalu... kita cukup singkirkan beberapa orang ini saja...”
“Wow, Zhi Ge. Di kuliah luar negeri ada pelajaran spesialisasi utama geng kriminal?” Liang Zai memandangnya dengan penuh kekaguman.
“Haha, kalau bukan karena ayahku dulu berkecimpung, kau kira aku mau jadi geng kriminal?” Zhi Ge tertawa keras, “Tapi setelah gabung, rasanya cukup enak. Fasilitas dari bos bagus, ada urusan saudara-saudara bantu, bikin aku merasa... ternyata ijazah kuliah juga berguna di geng kriminal. Haha, Liang Zai, selama ini kalian bilang sekolah nggak ada gunanya.”
“Kami di dalam negeri mana bisa seperti Zhi Ge yang studi di luar negeri berlapis emas. Tapi ngomong-ngomong, Zhi Ge, bos belum pernah perlakukan orang lain sebaik ke kamu. Semua orang bilang, nanti posisi wakil pemimpin Yong Sheng pasti jadi milikmu.”
Pujian ini cukup sopan, membuat Zhi Ge kembali tertawa. Tak lama kemudian, telepon genggam di dalam tas dokumen berdering, dari ujung jalan terdengar suara berat bergema.
“Oh, Kak Pahlawan, sudah sampai? Hmm, jalan ini, bagian yang kami akuisisi sebelumnya dari Nomor 32 sampai 57. Iya betul, dekat pasar sayur. Persetujuan sudah dapat ya... Tentu harus ada persetujuan! Oke, hancurkan! Dalam semalam, semakin berantakan semakin bagus, tapi ingat, hanya setengah bagian. Biar dua buldoser itu bikin keributan besar... Oh, kulihat, kulihat kalian.”
Saat dua buldoser besar muncul dari ujung jalan, belasan pemuda dengan payung hujan bergegas mendekat. Dua pria berjas menyambut dan kembali mengobrol dengan "Kak Pahlawan" yang memimpin.
“Lama sekali, kami kira kalian cuma nagih-nagih, eh malah dikerjain.”
“Haha, mana berani mereka. Yang penting buldoser sudah datang, bikin keributan sebesar mungkin, sampai kelihatan mau meratakan dua blok jalan. Kami masih punya sebagian area sini, kalian mulai hancurkan bangunan, kami lebih mudah nego. Udah, selesaikan di sini, malam ini traktiran aku.”
“Baguslah, aku langsung pesen tempat dulu, banyak hotel bagus di sini.”
Di tengah candaan, dua buldoser mencari posisi lalu BRAAK! Mendaratkan sekop pertama. Dinding luar gedung dua lapisan langsung robek seperti kertas. Ledakan dahsyat mengguncang, separuh tembok ambruk menghantam buldoser hingga roda belakangnya terlempar ke udara sebelum jatuh keras ke tanah.
Gema suara itu membuat kepala-keluarga mengintip dari pintu dan jendela di sekitarnya, menyaksikan segalanya yang terjadi dalam kegelapan malam.
"Alasan Yong Sheng mengembangkan daerah ini sebenarnya sudah lama membeli sebagian tanah. Saat ini mulai membongkar rumah, jelas untuk memberi tekanan pada penghuni sekitar. Zhi Ge dan Liang Zhai lari ke ujung jalan, mulai membujuk pemilik rumah berikutnya. Belum jauh berjalan, bahu keduanya ditepuk bersamaan. Saat menoleh, terlihat pemuda penakut yang tinggal di atas game center itu berlari kehujanan sambil membawa dompet di tangan."
"Eh, tadi waktu buka pintu, aku lihat dompet ini jatuh. Apa ini milik kalian?"
"Hah? Ini... dompetku! Aku taruh di saku jaket..." Zhi Ge ragu-ragu meraba saku, lalu menerimanya. "Lihat, ini identitasku. Terima kasih, saudara." Ia menepuk bahu pemuda itu, sangat terkesan dengan kejujurannya.
"Ngomong-ngomong, lihat ke sana. Proses pembongkaran sudah mulai. Jangan lupa beri tahu pemilik kos. Rencana konstruksi kami kira-kira 20 hari lagi akan mulai pembongkaran besar-besaran. Kalau mau pindah, cepatlah..."
"Oke, aku paham. Dah!" Pemuda itu mengibaskan air hujan di rambutnya, melambai lalu berlari kembali ke game center. Zhi Ge melambai: "Dia jujur dan sopan. Jarang ada orang seperti ini sekarang. Zaman aku sekolah sih masih banyak."
Liang Zai di samping tertawa mesum: "Tapi dua cewek yang tinggal bersama bocah itu memang cantik, aku sudah lihat dua kali, satu kalem, satu seksi..."
"Hei, geng kriminal juga harus punya moral dong, dia kan pernah mengembalikan dompetku, jangan mikir yang aneh-aneh." Kata Zhi Ge dengan wajah serius, lalu tersenyum juga, "Tentu saja... kalau mereka tetap bandel nggak mau pindah, hehe... Tapi kayaknya kecil kemungkinannya, bocah itu keliatan masih hijau, pasti lari ketakutan cuma diancam sedikit."
Di tengah canda tawa, tak ada yang memperhatikan remaja yang sedang berlari menaiki tangga itu menoleh ke belakang dengan senyum tipis. Masuk ke dalam rumah, Lingjing sedang mengerjakan PR di kamar dalam, sementara Shasha berlari dari balkon sambil memegang teleskop dengan ekspresi bersemangat: "Mengaku! Barusan kamu ngapain? Aku lihat kamu kasih dompet ke mereka, dapet dari mana?"
Jiaming mengangkat mata putihnya, tersenyum: "Sana kerjain PR, buat apa cewek mau tau hal kayak gini!"
"Eh, jangan banyak gaya cepat bilang!" Shasha menendangnya sambil mendongak, matanya membelalak. Lingjing yang di kamar dalam menoleh: "Jangan lupa lap badan pakai handuk, masa keluar hujan-hujan nggak pake payung sih?"
“Lingjing jangan menyela dong, apa kau tidak penasaran? Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dilakukan Jiaming. Beri tahu dong, Jiaming, Jiaming, Kakak Jiaming, Suami Jiaming, suami suami suami suami... cerita dong cerita dong...” Seperti lebah yang mengitari Jiaming yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, berputar-putar mati-matian. Pada akhirnya, Jiaming baru menaruh handuknya sambil tersenyum menyerah: "Baiklah, akan kuberitahu satu ini. Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya menaruh dua pelacak kecil di tubuh mereka, memastikan lokasi rumah mereka agar tidak sulit dicari nanti."
“Apakah ditaruh di dompet itu? Ngomong-ngomong, darimana dompetnya?”
“Saat menepuk bahu mereka, pelacak sudah menempel. Dompetnya kucuri saat mereka berbalik tiba-tiba. Kau tidak lihat?”
“Tidak perhatian.” Shasha mengedipkan matanya, beberapa saat kemudian baru berlari ke kamar dalam, merangkul bahu Lingjing sambil tertawa: “Hebat sekali, Lingjing! Kalau kita miskin nanti, kita bisa jadi pencuri ya.”
“Kau saja yang jadi pencuri,” Lingjing tertawa, “Aku cukup jadi istri pencuri saja... Eh, tutup pintu balkonnya, berisik sekali di luar. Cepat kerjakan PR-mu juga, hari ini aku tidak akan membantumu...”
“Hmph, tidak perlu bantuanmu!” Melompat dari samping. Shasha pergi menutup pintu kamar yang menuju balkon. Di seberang jalan, dua buldoser sedang bekerja dengan hiruk-pikuk.
Setengah jam lebih kemudian.
"Braak!" Bulldozer merobohkan satu lagi dinding rumah, lalu melakukan pembersihan sederhana di permukaan tanah. "Kakak Pahlawan" bersama rombongan anak buahnya telah memasang pagar konstruksi darurat di pinggir jalan. Faktanya, ini sekadar pertunjukan belaka sehingga tidak perlu terlalu profesional, asalkan gebrakannya cukup besar.
Warga yang tadi mengintip dari bawah atap kecil dan balkon sebagian besar telah kembali ke dalam rumah, berdiskusi dengan keluarga tentang urusan penjualan properti. Seperti kata Kakak Zhi, geng Yong Sheng memang terkenal buruk namun memiliki koneksi tingkat tinggi yang bisa melicinkan urusan dengan polisi. Masyarakat umum masih diliputi rasa takut. Hanya saja harga yang ditawarkan perusahaan konstruksi terlalu rendah, membuat semua orang masih bersikap menunggu.
Di ruang game, rombongan Kakak Air, Kakak Bunga, Kakak Qiang dan lainnya berdiri kaku di depan pintu sambil menatap tajam ke arah lokasi pembongkaran di seberang. Di sisi lain, sekelompok anggota geng Yong Sheng juga berkumpul, sengaja atau tidak membentuk formasi konfrontasi dengan kubu ini.
"Kakak Pahlawan, lihatlah orang-orang di seberang itu. Aku kenal mereka - si A Hua, A Qiang, cuma figuran kelas teri. Mau kuhadiahkan mereka pelajaran sekarang juga?"
“Jangan, biarkan mereka melihat kalau memang mau. Lagian ini juga harus diperlihatkan ke orang. Kalian jangan setiap hari cuma berkelahi dan membunuh. Belajarlah dari Ah Zhi, orang yang pulang studi dari luar negeri memang beda. Lihat beberapa bisnis terakhir, mana ada yang tidak berjalan mulus? Shazhu Bang kemarin makan hati tapi tidak berani protes, itu juga kerjaan Ah Zhi. Sudahlah, tunggu mereka berdua datang, kita siap-siap makan besar. Aku sudah pesan tempat di Hotel Lichi... Hehe, makan malam ini pasti mewah banget.”
Begitu mendengar kata "makan besar", semua orang langsung sumringah. Persis di saat itu, BYUR! Sebuah trafo di ujung jalan tiba-tiba memercikkan ribuan percikan api. Penerangan rumah-rumah berikut lampu jalan padam seketika.
"Ada apa ini..."
"Pemadaman listrik! Pemadaman listrik..."
"Kayaknya trafonya rusak, jangan-jangan kemasukan air hujan..."
"Masa sih? Apa mungkin buldoser mereka nyangkut kabel listrik..."
Dalam kegelapan yang tiba-tiba, riuh suara berdatangan dari mana-mana. Warga menyalakan senter dan lilin, berhamburan keluar rumah berdiri di bawah atap sambil melihat-lihat. Tak lama kemudian, banyak yang menduga-duga apakah proyek konstruksi ini yang memutus kabel listrik. Di area proyek, lampu dua buldoser masih menyala tapi mesinnya sudah berhenti beroperasi. Si Pahlawan tersenyum: "Hehe, bagus juga. Besok kita sengaja putusin kabel listriknya biar mereka tiap hari gelap-gulita. Ingat waktu awal dirikan perusahaan dulu kita sering begini... Ah, urusan macam ini mah aku jagonya..."
Belum selesai bicara, mesin salah satu buldoser tiba-tiba meraung keras, mencapai batas maksimum. Setelah mundur sejenak, dengan dentuman menggelegar, kendaraan besar itu berputar setengah lingkaran dan berbalik arah dengan gesit.
Meski berbadan raksasa dan cenderung lamban, akselerasi buldoser ini menciptakan gelombang opini publik yang mengerikan. Area konstruksi yang sempit membuat anggota Yong Sheng panik menghindar. Saat hendak mengumpat, buldoser itu sudah melaju kencang menabrak buldoser lain. Dalam gelapnya malam dan derasnya hujan, turbo meraung, bucket terangkat tinggi, ban menggilas ribuan kerikil!
Seluruh penghuni jalan telah berkerumun di luar rumah. Di bawah pengawasan banyak orang, buldoser ini menabrak sisi kendaraan lain dengan kecepatan penuh. Dentuman dahsyat menggema saat bucket menghantam bagian tengah kabin pengemudi!
## Bagian Gelap yang Terbelah - Bagian 137
Suara logam mengiris udara, percikan api yang berkilauan tercipta dari gesekan logam di tengah hujan malam. Kaca-kaca berhamburan saat dua badan logam setinggi 4 meter lebih bertabrakan hebat. Bucket yang terangkat nyaris merobek kabin buldoser target. Sang pengemudi sudah lebih dulu melompat ke tumpukan kerikil, nasibnya tak diketahui.
Dentuman berikutnya mengguncang. Baru setelah roda yang terangkat kembali menyentuh tanah, suasana mereda sejenak.
"Sial! Ngapain sih ini..."
Melihat pemandangan ini, sepuluh lebih anggota Yong Sheng maju selangkah. Meski bagian depan bulldozer itu terang benderang, kabin pengemudinya gelap gulita. Tiba-tiba, seseorang menunjuk ke lokasi semula tempat bulldozer itu parkir, berteriak: "Sopirnya ada di sana, lihat! Itu kan..."
"Sialan! Yang di atas itu..."
Sebelum kalimatnya selesai, lampu belakang bulldozer menyala menyilaukan, disusul dengung turbo yang masih bertenaga. Ban bulldozer setinggi manusia itu kini mundur kencang ke arah mereka.
Di saat bersamaan, Zhi Ge dan Liang Zhai keluar dari sebuah rumah di ujung jalan, membuka payung dengan kesal.
"Sial! Kok tiba-tiba mati lampu? Jangan-jangan ulah si pahlawan itu?"
"Wah, mungkin iya." Liang Zhai terkekumengingat kebiasaan rekan-rekannya memotong kabel listrik saat mengusir orang. Zhi Ge menggeleng sambil tersenyum: "Sudah, sudah... Mereka pasti tak sabar menanti jamuan makan dariku... Cukup untuk hari ini. Lihat, bulldozer itu menuju kita?"
Di ujung jalan, bulldozer yang menginjak gas hingga penuh melesat mendekat. Empat sorot lampu depannya menjadi titik terang terbesar di sepanjang kawasan. Warga di gedung-gedung sepanjang jalan menyaksikan bulldozer itu menerjang, menjadikan dua orang di ujung jalan sebagai pusat panggung.
"Wow, mobil ini dikendarai dengan sangat liar. Tapi Zhi Ge, kalau naik kendaraan besar ini berkeliling di dalam kota pasti juga seru. Dengar suaranya, lebih garang dari Hummer atau Cadillac..." Liang Zai berkata sambil melambai ke arah cahaya menyilaukan itu dengan senyum lebar, penuh semangat.
Ratusan orang terdiam memandang pemandangan ini. Mereka yang berada di balkon dekat bahkan bisa melihat jelas senyum cemerlang pria itu dalam sorot lampu. Seseorang bergumam pelan, "Anak malang..."
Cahaya lampu menelan tubuh pria yang berada di garis terdepan. Disusul suara benturan berat, tubuh berlumuran darah terlempar ke udara. Zhi Ge yang masih memegang payung membeku dengan senyum kaku di wajah. Saat menoleh, tubuh Liang Zai tergeletak di genangan hujan dengan kedua paha terpotong rata, seluruh tubuhnya mengucurkan darah. Karena semuanya terjadi terlalu cepat, bahkan jeritan pun tak sempat keluar. Dua bayangan manusia itu membeku dalam sorotan lampu, bagai adegan bisu yang memancarkan horor.
Karena Zhi Ge berdiri di pinggir jalan sambil memegang payung, buldoser tampaknya kesulitan menentukan posisi. Dengan mundur sejenak, alat berat itu mengangkat bucket-nya dan melaju ganas ke arahnya. Zhi Ge melemparkan payungnya dan berlari menyelamatkan diri ke gang dalam di samping.
Forklift tentu tidak bisa langsung merobohkan bangunan untuk mengejar. Kehilangan target, kendaraan itu langsung melaju kencang menuju belokan di ujung jalan. Beberapa saat kemudian, segala sesuatu di sepanjang jalan kembali tenang. Sorot senter berkedip-kedip di depan rumah-rumah, sementara kabin mobil yang hancur itu masih memercikkan bunga api listrik blub-blub di tengah hujan. Kerumunan orang mulai mengerumuni pemuda yang pahanya terpotong dan seluruh tubuhnya berlumuran darah. Sebagian anggota Yong Sheng mengejar ke arah larinya Zhi Ge.
Kegelapan, gang sempit, dan tirai hujan. Dia terus berlari menyelamatkan nyawa.
Tidak tahu siapa yang ingin membunuh mereka. Tidak mengerti kenapa kejadian tiba-tiba itu bisa terjadi. Sebenarnya, sebelum masuk ke dunia kriminal, dia sudah sering mendengar kabar angin tentang anggota geng yang mati mengenaskan. Dulu dia memang penakut. Sebagai lulusan luar negeri - meski kuliahnya bukan di universitas ternama - seharusnya dia punya masa depan cerah dan jalan cahaya suci. Tapi ayahnya terjerat pinjaman berbunga tinggi. Li Yong Sheng yang sudah lama berkecimpung di Jalan Hitam, tiba-tiba ingin dianggap terhormat dengan memaksanya bekerja di perusahaan konstruksi. Dulu, dia memang seorang penakut.
Takut suatu hari bangun tidur tiba-tiba menjadi target yang dikejar-kejar orang, takut suatu hari polisi tiba-tiba mengetuk pintu rumah membawa borgol, takut suatu hari dipaksa membawa kapak tebangan untuk membunuh manusia. Tapi seiring waktu, segalanya tak terjadi. Li Yongsheng memperlakukannya dengan sangat hormat. Setiap hari keluar-masuk ditemani sekumpulan anak buah, masalah diselesaikan orang lain, di jalan bisa leluasa bergerak tanpa ada yang berani macam. Jalan Hitam tak seperti perusahaan formal, segalanya harus mengikuti sistem aturan. Cukup sesekali memberi ide atau berbicara, segalanya terasa mudah sampai di luar nalar. Perlahan ia lupa rasa takut, mulai menyukai gaya hidup seperti ini.
Tapi baru saja, ketika roda empat menderu datang membelah angin, Liang Zai yang lama menemani tiba-tiba berubah dari manusia hidup menjadi mayat tergenang darah dalam sekejap mata, segala ketakutan itu tumpah ruah bagai air bah. Segala kabar angin tentang hidup-mati, ada yang mau membunuhnya, mau MATI mau MATI mau MATI...
Dalam kegelapan, menginjak lumpur dan hujan, berlari melewati rumah-rumah tak terhitung. Di gang sempit seperti ini, yang terlihat sebagian besar adalah tembok belakang rumah - ada yang berjendela, tak berjendela, terdengar suara manusia, atau sunyi senyap... Seolah dalam sekejap melintasi pemandangan tak terhitung yang dilalui dalam hidup, banyak memori melintas cepat dari celah-celah waktu, kadang jauh kadang dekat. Entah dari arah mana terdengar suara memanggilnya, tapi saat ini ia tak bisa membedakan dengan jelas. Ini pertama kalinya ia mengalami pemandangan seperti ini, pertama kali merasakan ketakutan semacam ini.
Lalu, ia melihat samar-samar kontur yang muncul dari kegelapan, ingin berbalik badan tapi tiba-tiba tidak bisa menghentikan langkah.
Pada detik itu, ia mengangkat tas dokumen dan melemparkannya ke arah sosok di depan.
"Jangan halangi jalan!"
Seketika, kilauan tajam membelah kegelapan malam hujan. Tas dokumen terkoyak menjadi dua bagian - termasuk berkas, pulpen, telepon genggam, segalanya terbelah sempurna. Mata pisau menyambar dadanya, menyusur garis leher lalu kilat menyambar ke atas.
"Puff!" Suara tertusuk. Tusukan yang kejam dan presisi sempurna ini menembus rahang bawahnya. Waktu membeku pada momen ini, benda-benda beterbangan di udara. Gambaran terakhir yang terlihat matanya samar-samar adalah senyum tulus dan hormat dari pemuda itu.
"Aku ini... paling tidak tahan dengan kejutan..."
Suara keriuhan semakin mendekat, seseorang menemukan tempat ini. Dia diam-diam bersujud di dalam gang gelap ini, darah mengalir dari rahang bawah yang terkoyak membanjiri lantai. Hujan masih turun rintik-rintik, seolah telah turun sejak awal dunia hingga akhir zaman, menyirami setiap sudut semesta.
……
Saat muncul tanpa suara dari balkon, kegelapan masih berlanjut. Di dalam kamar yang diterangi lilin, dua gadis sedang mengerjakan PR di bawah cahaya lilin. Dua kepala saling bertautan, Lingjing menggerakkan pulpen di atas buku tugas yang berdesir, menjelaskan cara menyelesaikan soal. Merasakan kehadirannya, mereka mengangkat kepala. Shasha tersenyum cerah, sementara Lingjing hanya mengangguk lembut tanpa bicara. Sesaat kemudian, kembali fokus menjelaskan soal kepada Shasha.
Melepas jas hujan, melakukan penanganan pasca, lalu mandi. Dentang sirene bergantian terdengar di luar, yang pertama mungkin ambulans, berikutnya mobil polisi. Berjalan ke jendela, lima-enam mobil polisi parkir di berbagai titik jalan. Sebagian polisi menjaga TKP, sebagian lagi mewawancarai warga sekitar tentang kronologi kejadian. Tapi memang tak ada petunjuk yang tertinggal, di malam hujan seperti ini mustahil menemukan apapun.
Kembali ke kamar, Lingjing merapikan alat tulis bertiga ke masing-masing tas sekolah. Dengan suara lembut dia berkata, "PR-mu sudah kukerjakan, besok jangan lupa dikumpulin. Jangan nyontek punya Kaoru melulu." Shasha menatapnya dengan tatapan yang tak biasa hening.
Tidak lama kemudian, seorang polisi datang menanyakan beberapa situasi sebagai rutinitas tugas. Malam semakin larut, bertiga berbaring diam di ranjang besar kamar tidur utama. Dua perempuan merangkulnya di kiri dan kanan, kulit mereka saling menempel erat.
"Apa kalian tidak merasa aku kejam?" Suaranya bergema dalam kegelapan. Satu-satunya yang ia pedulikan di dunia ini hanyalah pendapat kedua perempuan di sampingnya. Meski sebelumnya sudah menanyakan pendapat mereka, kali ini ia lagi-lagi tak kuasa bertanya. Ia merasa dirinya seperti ibu-ibu yang terlalu perasa.
"Ribet... Jangan ganggu aku..." Sahut Shasha sambil bergumam. Beberapa saat kemudian ia mengangkat kepala dan mencium pipinya dengan keras. Lingjing seolah sudah tertidur, memeluk tubuhnya. Rambut panjangnya menggesek kulit dadanya bagai anak kucing yang terlelap. Hanya saat jari Jiaming membelai bibir lembutnya, ia baru membuka mulut kecilnya, mengisap jari itu sambil terus terlelap tanpa melepaskannya.
Hari berikutnya adalah Senin. Pagi-pagi buta, hujan mulai reda. Di seberang jalan terlihat pemandangan berantakan: Tali pertahanan polisi yang setengah terbongkar, reruntuhan bangunan yang dikeruk, serta mesin penggali dengan kabin hancur. Bekas darah di ujung jalan sudah bersih tersapu guyuran hujan. Sebagian polisi masih berada di lokasi untuk menyelidiki kasus pembunuhan keji yang menewaskan dua orang dan melukai satu ini. Sampai saat ini belum ada petunjuk yang ditemukan.
"Saat membawa tas sekolah ke sekolah, bertemu dengan Kaoru yang berlari mendekat. Satu pria dan tiga perempuan berdiri dramatis di samping menyaksikan polisi sibuk bekerja. Sebagai guru seni bela diri Kaoru, Shasha dengan vivar menceritakan proses kejahatan keji itu kepada murid cantiknya. Gadis Jepang yang pendiam itu melirik sekilas ke arah Jiaming, lalu hanya mendengarkan dalam diam, tak lagi memikirkan kasus ini."
"Setidaknya secara prosedural, hari ini tetap hari yang biasa-biasa saja. Saat pulang sekolah siang, mengambil kotak makan untuk ke kantin menemui Lingjing dan Shasha, Dongfang Wan tiba-tiba berlari mendekat dan menaruh enam lembar uang seratus yuan di mejanya: 'Aku sudah putuskan, enam ratus yuan. Ucapanmu dulu tidak boleh diingkari.'"
"Memandangi enam lembar uang itu lama sekali, akhirnya Jiaming menarik napas dan menyimpannya ke kantong: 'Baik, jadi kita sepakat, pakai topeng saat tampil.'"
"'Terserah kamu, tapi...' Dongfang Wan ragu sejenak, 'Sebenarnya hari ini aku masih punya satu pertanyaan untukmu.'"
"'Apa?'"
"'Apa kau kenal... Jian Suyan?' Melihat wajah Jiaming berubah, Dongfang Wan cepat-cepat mengayunkan tangan, 'Jangan salah paham! Aku hanya bertanya. Guru Yahan yang bilang, katanya hubunganmu dengannya tidak biasa. Dia menyelamatkan nyawaku waktu itu, aku hanya ingin berterima kasih. Aku tahu identitasnya mungkin sensitif, tak apa jika kau tidak mau menjawab.'"
"Meski berkata demikian, saat melihat Jiaming mengangguk hendak keluar kelas, Dongfang Wan kesal menghentakkan kaki, antara ingin tertawa dan menangris: 'Hei, Gu Jiaming! Setidaknya beri komentar dong!'"
“Nah, kalau kau memang bersikeras…” Jiaming menoleh sambil mengayunkan kotak makan di tangannya, “Dia adalah calon istri yang dipelihara sejak kecil.”
Ekspresi Dongfang Wan berubah sangat seru dalam sekejap mata.
## Bagian ke-138 James
“Siapa yang berani! Cari tahu pelakunya, aku takkan mengampuninya!”
Di villa keluarga Li yang menjadi basis Yong Sheng, Li Yong Sheng sedang mengamuk seperti petir.
Waktu menunjukkan sore hari. Cahaya senja kemerahan menyelinap dari jendela, sementara riuh rendah musik terdengar samar dari lantai atas. Berita di TV sedang membahas kasus pembunuhan dekat Akademi Hati Kudus tadi malam. Karena peristiwa ini, Li Yong Sheng kehilangan seorang bawahan andalan dan menderita kerugian puluhan ribu dolar untuk setengah unit mobil berat.
Wajar saja dia marah besar. Masalah mobil berat itu sebenarnya nomor dua. Sejak Ah Zhi, mahasiswa asing ini bergabung dengan perusahaannya dua tahun lalu, sudah beberapa kali merancang rencana besar. Tak hanya menghasilkan keuntungan puluhan juta di bidang properti, dalam persaingan Jalan Hitam pun Yong Sheng berhasil menekan Shazhu Bang. Setidaknya secara permukaan, mereka kini unggul.
Tapi sekarang, dia mati secara tiba-tiba tanpa alasan jelas.
Semua yang ada di depannya membuatnya jengkel: foto-foto HD di meja, anak buah guild yang menunduk di seberang, berita di TV, bahkan riuhnya musik dari lantai atas. Setelah berteriak sambil memukul-mukul foto itu, akhirnya dia tenang: “Laporan hasil investigasi?”
“Err, bos, pihak kepolisian tidak ada kemajuan apa-apa.” Salah satu bawahan berkata.
“Upaya kita mengakuisisi tempat itu kali ini sebenarnya mendapat penolakan besar, mungkin dari orang yang menyimpan dendam di jalan itu. Tapi... ini agak terlalu sengit.”
“Sengit... penolakan... Hal ini dipercepat sampai semua orang tahu mereka akan menolak! Kapan terakhir kali kita mengakuisisi tempat orang lain dengan tenang?!” Li Yong Sheng memukul meja sambil berteriak lagi, “Tapi meski tahu begini, kalian malah menyuruh mereka berdua menyelidiki! Jika ada yang mau beli rumahku murah, aku juga akan bunuh orang! Kalian... lanjutkan!”
“Mengenai pelaku potensial, Zhi Ge sudah membuat daftar nama: orang-orang di jalan itu yang punya catatan buruk dan mungkin menentang keras. Ada seorang bernama Ah Shui yang dulu berkecimpung di kasino Vietnam, setelah membunuh beberapa orang dia kembali. Sisanya cuma figuran di Kota Jianghai. Menurut perkiraan kami, dialah yang paling dicurigai, tapi saat kejadian, kami melihatnya sedang berdiri di kerumunan orang.”
“……Semua yang dicurigai, berikan pelajaran kepada mereka, harus ketahui siapa orang itu! Pengembangan rencana Pahlawan tidak boleh berhenti, kalian lanjutkan saja. Karena A Zhi sudah MATI, lakukan sesuai cara kalian.” Setelah kesunyian sejenak, Li Yong Sheng menggigit gigi mengeluarkan perintah. Tepat saat itu, bunyi sepatu kulit berderak dari tangga putar di belakang. Li Yong Sheng menoleh dan melihat seorang pria asing berbaju jas putih berkacamata pinggiran emas membawa gelas anggur merah turun dari lantai atas.
“Oh, maaf, karena di atas terlalu berisik, aku ingin turun untuk menghirup udara segar. Apakah aku mengganggu Pak Li yang sedang memberikan perintah?”
Bahasa Mandarin dengan aksen Amerika yang kental, meski terdengar aneh tapi cukup lancar. Ini adalah Teman yang diundang anak laki-laki Li Yong Sheng, Li Ming, bernama James.
Mengenai anak laki-lakinya ini, memang sungguh tidak berbakat. Seperti setiap orang yang berkecimpung di Jalan Hitam yang ingin membersihkan diri setelah sukses, Li Yong Sheng mendirikan perusahaan pengembangan bangunan setelah kelompoknya mencapai skala tertentu, demi mewariskan kekayaan terbatas yang relatif bersih untuk anaknya. Urusan permukaan diserahkan pada anaknya untuk dikelola, sementara hal-hal terkait Jalan Hitam berusaha dijauhkan darinya. Namun sayangnya Li Ming tidak berminat berbisnis, sepanjang hari hanya memimpikan kehidupan berpesta dengan teman-teman brengsek yang selalu mengelilinginya. Beberapa waktu lalu bahkan hampir menghina Nona Keluarga Dongfang karena suatu masalah. Kini dengan tegas dilarang terlibat dalam kelompok, dia malah mengumpulkan gerombolan teman brengsek dari lapisan bawah masyarakat kelas atas Jianghai, setiap hari hanya main makan-makan dan pesta pora, membuat Li Yong Sheng benar-benar pusing tujuh keliling.
Namun untuk teman baru James yang dijalinnya ini, Li Yong Sheng merasa cukup puas. Bukan hanya tutur kata dan perilakunya pantas, terlihat bijaksana dan berwibawa, katanya masih bergelar doktor genetika makhluk hidup dari Amerika, saat ini menjabat peneliti di suatu lembaga penelitian ternama. Ketika berdiri di antara kerumunan teman-teman Li Ming, SEGERA terasa kesan menonjol bagai bangau di tengah kawanan ayam.
"Sejak kejadian dengan Ah Zhi, perasaannya terhadap mahasiswa asing dan orang asing menjadi lebih hangat dan akrab, apalagi orang di hadapannya ini adalah seorang doktor dan peneliti. Dua hari ini bahkan dia sendiri merasa heran, mengapa seseorang yang begitu hebat seperti ini bisa secara kebetulan menjadi teman anaknya yang tidak berguna. Saat bertemu, wajahnya segera dipenuhi senyum ramah: "Tidak-tidak, tidak ada apa-apa, hanya membicarakan hal-hal seputar perusahaan. Mr. James tidak perlu sungkan, anggap saja ini seperti rumah sendiri, sama sekali tidak perlu kaku."
"Aku menyukai kesopanan orang Tiongkok." James mengangguk sambil tersenyum. Beberapa anak buah di seberang yang melihat sudah waktunya menghilang, buru-buru ingin mengumpulkan foto-foto di meja, tapi pandangan James sudah tertancap di sana, alisnya berkerut: "Oh, teknik yang sangat indah. Mr. Li, bolehkah saya melihat?"
"Hmm." Li Yong Sheng ragu sejenak, lalu melambaikan tangannya, "...Tentu saja, silakan."
"Terima kasih." Mendekati meja, James mengambil dua foto dan meliriknya, kemudian meletakkan satu sambil tersenyum elegan, "Hm, maaf, tadi saya di atas mendengar sebagian pembicaraan kalian. Ada beberapa hal yang saya tidak yakin apakah pantas untuk diungkapkan."
"Silakan berikan petunjuk." Beberapa orang di samping saling pandang, Li Yong Sheng mengangguk memberi izin.
“Hehe, saya sebelumnya juga pernah mendengar kalian sedang mengakuisisi sebidang tanah. Harus diakui, cara Pak Li agak kasar, sehingga sepertinya memicu serang balik, dan sekarang kalian ingin membalas dendam pada penduduk lokal. Menurut saya, jika foto ini memang menangkap wajah yang MATI, operasi kalian jelas sangat bodoh.” Ucapan kritis yang terdengar sedikit arogan langsung membuat wajah beberapa orang di samping menjadi tidak nyaman. James tersenyum tipis: “Oh, maaf, saya seorang pekerja ilmiah, definisi dan terminologi harus jelas, mungkin ada bagian yang menyinggung, mohon dimaklumi.”
“Eh, tidak apa-apa.” Li Yong Sheng tersenyum, “Pendapat Pak James silakan disampaikan.”
“Tusukan pisau ini sangat indah.”
“Hmm?”
“Hehe, saya ilmuwan yang meneliti genetika, umumnya bidang yang kami geluti lebih dekat dengan ahli forensik. Dengan identitas kalian, tentu bisa melihat tusukan ini sangat cepat, Penetrasi dari rahang bawah ke atas, langsung menembus otak, MATI tiba-tiba.” Ia menirukan gestur menusuk pisau. Beberapa orang sekitar mengangguk-angguk, mereka yang sering menggunakan pisau tentu paham Daya hancur tusukan itu.
“Tapi, sepertinya kita juga harus melihat situasi secara menyeluruh. Lihatlah gambar besar ini, barang-barang yang ada di depan mayat, dokumen dan kertas yang berhamburan, pulpen, telepon, dan yang ini. Apakah kalian semua memperhatikan bahwa baju di dadanya sudah sedikit robek, tapi tidak ada luka?” James berbicara sambil memegang foto, “Kertas-kertas basah karena hujan, tapi masih terlihat jelas bahwa mereka terpotong menjadi dua bagian, pulpen patah menjadi dua, yang paling jelas adalah telepon yang terbelah ini—dari casing sampai komponen dalamnya, permukaan potongannya sangat rapi. Bisakah kalian membayangkan?”
Setelah jeda sejenak, dia mengangkat tangannya di udara: “Saat korban berlari maju, lawan mengayunkan pisau ke bawah. Mata pisau merobek tas dokumen yang diangkat korban dalam sekejap, bersama sebuah pulpen dan telepon—ini pasti membutuhkan kekuatan yang sangat besar. Lalu mata pisau jatuh di dada korban, merobek bajunya, tapi mengapa lukanya ada di rahang bawah? Karena pembunuh mengubah tekanan tangannya secara tiba-tiba di detik terakhir—putaran berbentuk 'V'—mata pisau menyambar tipis kulit korban, lalu menciptakan luka mematikan.”
“Bayangkan, berapa besar kekuatan yang dibutuhkan untuk membelah pulpen dan telepon dengan sekali tebas. Meski aku yakin kalian semua bisa melakukannya, tapi saat kekuatan seperti itu menembus penghalang, tiba-tiba berhenti di dada yang MATI, berbelok ke atas, dibutuhkan ketepatan yang sempurna, benar-benar merobek pakaian tanpa melukai kulit. Pisau di tangan orang ini hampir telah menjadi bagian dari tubuhnya, bahkan bisa merasakan kulit korban melalui mata pisau, menyambar tipis tanpa meninggalkan luka. Karena itu kusebut tebasan ini sangat sempurna. Hanya melalui foto-foto ini, aku seolah bisa melihat cahaya yang terpancar sekejap mata... Sungguh luar biasa mempesona...”
Ia menggelengkan kepala sambil memegang beberapa foto, saat ini benar-benar berwujud ilmuwan gila. Li Yong Sheng dan para bawahannya hanya bisa terdiam, teknik seperti ini tak ada yang bisa menyaingi di antara orang-orang yang mereka kenal.
Setelah beberapa menit, James tersenyum: "Tentu, ini hanya batas analisaku melalui foto. Dunia sekarang sudah dikuasai senjata, seindah apakai penggunaan pisau takkan sanggup melawan sebutir peluru. Tapi orang yang bisa menguasai pisau sampai tingkat ini, pasti pembunuh atau prajurit kelas atas. Tak perlu ke TKP, karena pelaku seperti ini dengan bantuan hujan, sekarang pasti tak ada petunjuk yang tertinggal."
Dalam suara berbicara, beberapa orang di samping sambil menggelengkan kepala, mencoba merekonstruksi situasi saat itu, membayangkan metode yang tidak terlalu sulit namun bisa menghasilkan konsekuensi seperti ini. Bagaimanapun juga, untuk merobek seluruh isi tas kulit pasti menggunakan tebasan sekali pukul, namun luka mematikan korban justru tusukan. Mereka berdiskusi sambil salah seorang mengambil bantal duduk di belakang dan mengarahkannya ke beberapa posisi. Tiba-tiba, cahaya berkilauan membutakan mata!
Splash——
Seketika, kamar menjadi sunyi. Kapas putih dari bantal beterbangan di udara. Jas dan kemeja dalam orang yang sedang berpose itu terkoyak langsung oleh kilatan pisau. Pisau bedah yang tajam dengan mantap menempel di rahang bawahnya, sementara gagang pisau itu digenggam erat oleh tangan kanan James yang panjang dan putih mulus.
Pakaian terbelah, memperlihatkan kulit dada dan perut tanpa luka sama sekali. Saat itu, James telah merekonstruksi adegan pembunuhan di malam hujan!
Dengan tenang menyesap anggur merah, ia tersenyum: "Bagi yang sudah merencanakan seperti aku, satu tusukan ini bukan masalah. Tapi lawan mengeluarkan pisau secara mendadak, tidak tahu isi tas sebenarnya. Setiap penjepitan kekuatan akan mempengaruhi hasil akhir... Dia sangat kuat. Pak Li, menghadapi manusia seperti ini, kau harus bersiap lebih awal."
Dalam keheningan, Li Yong Sheng dan yang lain berdiri dengan pandangan siaga menatapnya. Orang yang pisau menempel di rahangnya tak berani bergerak. Setelah lama, Li Yong Sheng baru bertanya: "Kau ini siapa? Apa tujuannya?"
“Hehe.” James menarik kembali pisau bedah, mengeluarkan kartu nama dari dalam baju, lalu menyerahkannya dengan sopan, “James*Cook, peneliti level satu di Alice Institute of Bio-Genetics, Pennsylvania, Amerika. Senang berkenalan.”
## Bagian Keseratus Tiga Puluh Sembilan Fang Yusi
“Sudah disepakati sebelumnya, aku hanya ikut latihan sekali ini, tidak menyanyi, cuma memeriksa perangkat audio. Jika pekerjaan kerahasiaan tidak dilakukan dengan baik dan ada yang sudah tahu identitasku sebelumnya, enam ratus yuan akan segera kukembalikan... Kenapa kau memandangiku seperti itu? Jangan terus-terusan begini, apa kau jatuh cinta padaku?” Jiaming berbicara dengan kesal sambil berjalan di jalan kampus, ditemani Dongfang Wan yang matanya menyala-nyala. Ekspresi ini paling sering ditunjukkannya saat berhadapan dengan Jiaming beberapa hari terakhir.
“Jijik sekali kau! Meski semua pria di dunia MATI, aku tetap tidak akan... Hmph, tertarik pada orang sepertimu.”
“Ucapan itu sangat klise...”
“Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana seseorang seperti Suyan bisa berhubungan dengan orang berkarakter buruk sepertimu... Calon istri yang dipelihara sejak kecil, kau pikir aku akan percaya?”
“Err, tentang masalah calon istri ini, kau tahu, karena statusnya sudah ditentukan sejak kecil, itu bukan keputusannya. Ayahku dulu pernah punya hubungan khusus dengan ibunya, lalu dia terpaksa menjadi calon istriku... Kau memanggilnya 'Kakak Suyan', apa kau dekat dengannya?”
“Hmph.” Sebenarnya pertemuan dengan Jian Suyan hanya sekali, inilah yang membuat Dongfang Wan tidak punya dasar untuk marah. Di hatinya sama sekali tidak percaya bahwa wanita berkarisma seperti itu bisa terjerat dalam "kontrak" absurd seperti "calon istri yang dipelihara sejak kecil". Namun di saat yang sama ada keraguan, refleks Gu Jiaming yang tajam dan keahlian komputer tingkat tinggi. Menurut Guru Chen, bayangannya sering muncul dalam berbagai peristiwa terkait TULIP. Kemungkinan kedekatan antara mereka berdua memang ada.
Singkatnya, mungkin Kak Suyan terlalu baik hati, atau terlalu berbakti. Tapi begitu membayangkan gambaran kombinasi angsa putih dan katak lumpur ini, sikap lancang Gu Jiaming yang sial itu membuat giginya gemeretuk... Saat sedang kesal, sebatang pisang diulurkan ke hadapannya: "Marah tidak baik untuk tubuh. Aku yakin kau sedang panas dalam. Mau makan pisang?"
"Makan saja pisangmu itu!" Hatinya masih mendidih, tapi tiba-tiba teringat: "Oh ya, bintang film terkenal Fang Yusi juga ada di aula. Jangan lakukan hal-hal tidak karuan kalau kau mendekatinya."
"Aku tidak tertarik dengan mantan bintang itu." Sambil mengunyah pisang, Jiaming tersenyum: "Tapi Lingjing cukup menyukainya. Mungkin bisa minta tanda tangan..."
“Lingjing-mu sedang latihan menari di aula, hehe, tapi dia cuma tinggal bersamamu, bukan milikmu, haha……” Sampai di sini, Dongfang Wan menunjukkan ekspresi puas di wajahnya, “Aku mau ambil sesuatu di ruang disiplin, kau pergi ke aula dulu saja.” Begitu berkata, dia berlari kecil ke samping.
Saat ini masih waktu kelas sore hari. Kampus terasa agat sunyi, tidak banyak terlihat orang. Jiaming membuang kulit pisang ke tong sampah, di dalam hati bertanya-tanya apa sebenarnya hal tidak karuan yang diketahui Dongfang Wan sehingga selalu yakin dirinya dengan Lingjing dan Shasha hanya berteman biasa. Saat sedang berpikir, beberapa sosok muncul dari gedung aktivitas komunitas di sebelah. Salah satu pria gemuk menatapnya beberapa kali lalu mengangkat tangan menyapa: “Gu... Gu Jiaming!”
“Fu... Yan Jie?” Meski tidak peduli pada hal-hal tak penting, kebiasaan sebagai pembunuh memungkinkannya mengingat berbagai peristiwa yang pernah dialami. Pria gemuk dengan nama aneh ini dikenalnya saat badai setelah peristiwa pembajakan kapal, satu-satunya ingatan hanyalah kemampuannya mengenali kode Morse dengan akurat. Setelah diselamatkan, mereka berpisah jalan, tak menyangka akan bertemu lagi di hari ini.
“Haha, sudah lama tidak bertemu, lama sekali.” Begitu mendekat, pria gemuk itu langsung memberikan pelukan besar pada Jiaming, lalu memperkenalkan kedua rekannya di belakangnya, “Ini Gu Jiaming, teman yang pernah berbagi kesulitan denganku. Mereka adalah partnerku, Ding Jie dan Tang Yu.”
Saat menghadapi badai di pulau, pria gemuk ini terlihat kaku dalam ucapan dan tindakan, hanya bisa melontarkan lelucon yang tidak bernutrisi. Namun, saat ini dia cukup mahir menjalin kedekatan. Setelah beberapa orang saling menyapa, ia merangkul bahu Jiaming, menyuruh dua rekannya untuk menemui pihak kampus terlebih dahulu, kemudian dengan misterius menarik Jiaming ke sisi.
"Haha, sejak lama dengar kalian semua di Akademi Hati Kudus, urusan jadi lebih mudah. Kita saudara seperjuangan, sudah akrab, tak perlu bertele-tele. Kabarnya... Fang Yusi baru-baru ini akan tampil di Akademi Hati Kudus?"
Sebagai bintang besar, Fang Yusi sebenarnya memulai debutnya baru tiga atau empat tahun lalu. Konon saat itu ia berpacaran dengan seorang komposer musik berbakat genius. Kemudian dengan beberapa lagu yang sangat sentimental, ia menjadi terkenal di seluruh negeri, dalam semalam berubah menjadi gadis suci yang dikenal semua orang di dunia musik.
Sayangnya kejayaan itu tidak bertahan lama. Berasal dari keluarga miskin, Fang Yusi memiliki hasrat yang sangat besar terhadap uang. Dikatakan selain berpacaran dengan si komposer, ia juga menjaga hubungan ambigu dengan beberapa pengusaha kaya. Hingga suatu hari, komposer yang tak rela lagi mengenakan topi hijau itu putus dengannya secara emosional. Tanpa lagu yang sesuai dan kemampuan vokal yang tidak terlalu istimewa, Fang Yusi perlahan memudar dari sorotan dalam beberapa tahun berikutnya. Meski kadang masih ada yang mengingat, bagaimanapun juga, takkan pernah kembali pada kejayaan masa lalu.
Ini adalah serangkaian peristiwa yang akan terjadi di dunia asli, sekaligus alasan Jiaming mengatakan dia adalah selebriti yang sudah pudar. Namun jika dipikir, pada titik waktu saat ini, masih merupakan tahap dia baru putus dengan pacar. Setelah album baru dirilis, popularitasnya hampir mencapai puncak tertinggi. Tidak heran Lingjing, Shasha, Fu Yanjie dan lainnya semuanya menjadi fans-nya.
Di aula besar yang luas, sambil menatap tarian di atas pementasan, Fang Yusi sedang berbicara dengan beberapa orang di sampingnya. Perwakilan pihak kampus yang bertugas menerima tamu, Zhang Yahan; Ketua Departemen Dongfang Lu; serta Zhang Jingfeng yang mengantarnya datang. Di matanya, ketiga orang ini sama-sama memiliki latar belakang keluarga yang sangat hebat, membuatnya merasa sedikit cemburu dan kagum. Saat berbicara, senyumnya penuh dengan keakraban.
Meski sudah beberapa tahun berkecimpung di dunia hiburan, usia Fang Yusi sebenarnya masih sangat muda, baru menginjak 21 tahun. Penampilannya yang cantik ditambah lingkaran selebriti yang melekat, membuatnya selalu mendapat pujian di mana pun. Beberapa pria paruh baya jorok yang suka bermain dengan selebriti bahkan sangat patuh padanya. Namun kali ini, Zhang Yahan sebagai sesama wanita tidak jadi masalah, tetapi dua pria di sampingnya hanya memberikan respons formal yang sopan. Meski tidak kasar, jelas tidak ada kedekatan. Pria seperti ini pernah dia temui sebelumnya, tapi setiap bertemu tetap membuatnya merasa tidak puas.
Bagi Fang Yusi saat ini, meski menyukai uang, sebagai wanita, siapa yang tidak berharap calon suaminya selain kaya juga tampan dan bergaya. Dari sudut pandang ini, Zhang Jingfeng jelas bisa dianggap sebagai pasangan yang baik. Sementara Dongfang Lu, meski baru berusia 17 tahun, pendidikan sejak kecil telah memberinya aura kepemimpinan mandiri yang memikat. Bahkan ketika berdiri di samping Zhang Jingfeng, dia sama sekali tidak kalah. Masih teringat pertemuan dua tahun lalu saat liburan musim panas di Hong Kong, Dongfang Lu yang saat itu dikabarkan baru 15 tahun hadir dengan penuh sikap anggun di jamuan seorang pengusaha kaya, memanggilnya "kakak" dan meminta tanda tangan. Kesannya saat itu sangat dalam.
Tentu saja, ini bukan berarti dia sudah menetapkan Zhang Jingfeng dan Dongfang Lu sebagai calon suami masa depan. Namun sebagai selebriti yang terbiasa menjadi pusat perhatian, diperlakukan seperti manusia biasa tetap meninggalkan sedikit rasa tidak nyaman di hati.
Jumlah orang di aula besar ini tidak banyak. Mungkin sudah ada pemberitahuan sebelumnya, sehingga untuk sementara tidak ada yang datang meminta tanda tangan. Beberapa saat kemudian, tarian di atas panggung berhenti. Ketika Zhang Yahan dan Dongfang Lu meminta pendapatnya, Fang Yusi mengangguk: "Hmm, bagus. Gadis yang menari di depan memang terlihat tidak profesional, tetapi gerakannya penuh perasaan."
Setelah mendengar penilaiannya seperti itu, ketiga orang di sekitarnya pun tertawa. Memang, perempuan yang baru saja memimpin tarian tadi mungkin tidak bisa disebut penari profesional. Saat tampil di depan Fang Yusi, ekspresinya juga terlihat sangat tegang. Namun justru gemetar karena sedikit gugup itu membuat tarian bertema motivasi ini terlihat sangat hidup, mungkin bahkan penari profesional pun tidak bisa mencapai hasil seperti ini. Begitu turun dari panggung, mahasiswi itu langsung mengusap keringat di dahinya dengan handuk, tapi pandangannya tetap tertuju ke arah sini.
“Lingjing, kemarilah sebentar.” Dengan tersenyum mengangguk, Zhang Yahan melambai ke arah sana. Tak lama kemudian terlihat mahasiswi itu berlari kecil mendekat, ekspresinya agak gelisah saat menyapa. Ekspresi seperti ini sudah tak terhitung kali disaksikan Fang Yusi: “Bu Guru Zhang, Manajer Zhang, lama tak bertemu, dan... hmm, Nona Fang, Halo...”
“Hmm, Halo.” Fang Yusi mengangguk sambil tersenyum, Zhang Jingfeng yang di sampingnya juga terkekeh: “Lingjing, kau tidak baik hati. Sudah tahu lama tidak bertemu, kenapa selama ini tidak kembali ke Nordic Fantasy. Orang-orang seperti Ke An sangat merindukanmu. Oh ya, tarianmu barusan sangat bagus.”
“Hehe, terima kasih.” Perempuan bernama Lingjing dengan sengaja melewatkan tuduhan mereka, tersenyum mengucap terima kasih. Yahan berkata: “Benar, tadi Nona Fang memuji tarianmu sungguh bagus, lho.”
“Benar-benar?” Mendapat pujian dari idolanya, Lingjing langsung membelalakkan mata, penuh kejutan. Dongfang Lu tersenyum: “Bukankah kau selalu mengagumi Nona Fang? Sekarang bisa minta tanda tangan darinya, mengapa tidak manfaatkan kesempatan?”
“Beneran boleh? Bukannya hari ini...”
“Tentu boleh. Nona Fang pasti juga senang, bukan?” Permintaan untuk tidak minta tanda tangan sebelumnya adalah saran Dongfang Lu melalui departemen. Namun kini, dialah yang mengucapkan kalimat ini. Memandang ekspresi Dongfang Lu saat bicara, Fang Yusi mengedipkan mata lalu mengangguk: “Tentu.”
“Cepat ambil sesuatu untuk ditandatangani! Apa kau ingin Nona Fang menandatangani bajumu?” Dongfang Lu mendesak. Lingjing menjulurkan lidahnya: “Sayangnya ini bukan bajuku, kalau tidak pasti mau... Aku ambil buku dulu.” Setelah berkata, ia berlari kecil ke sisi.
Memandang punggung gadis yang pergi, pandangan Fang Yusi mengelilingi wajah ketiga orang lainnya. Tadi sesaat, gadis bernama Lingjing jelas menjadi pusat perhatian dalam lingkaran kecil ini. Zhang Jingfeng mengenalnya, hubungan mereka cukup baik. Dongfang Lu memberinya perhatian khusus. Bu Guru Zhang Yahan meski tak banyak bicara, menepuk bahunya – hubungan guru dan mahasiswa biasa takkan seakrab ini.
Dirinya seolah hanya menjadi mesin tanda tangan dan pujian untuk menyenangkan gadis bernama Lingjing. Dia... tidak terlalu menyukai perasaan seperti ini...
## Bagian Ke-140 Nyawa-nyawa Ikan
“……Hmm, teman sekelas ini namanya siapa?”
“Nama saya Ye Lingjing, Nona Fang.”
“Wah, nama yang sangat indah. Kalau begitu... Peringatan Pertunjukan Bersama Fang Yusi dan Ye Lingjing, setuju?”
Menggunakan pulpen tanda tangan, Lingjing menuliskan tanda tangan flamboyan di halaman pertama buku catatan, lalu menerima buku itu sambil memeluknya di dada. Wajahnya memerah karena antusias sambil terus mengucapkan terima kasih: “Itu... Aku paling suka lagu Nona Fang yang berjudul 《Puisi Malam》,《Malam Ini Takkan Tidur》 juga sangat kusukai、sangat kusukai……”
Melihat ketertarikan Lingjing pada hal-hal terkait Fang Yusi, Zhang Jingfeng dengan natural mengarahkan topik pembicaraan ke situ. Dongfang Lu juga ikut melontarkan candaan, sementara Yahan di sisi lain mengarahkan para mahasiswa di panggung untuk memindahkan properti. Meski topik berputar pada lagu-lagu Fang Yusi, sebagai orang yang berpengalaman di dunia hiburan, Fang Yusi menyadari pandangan dua pria di sekitarnya terus berputar mengikuti gadis kecil bernama Ye Lingjing ini. Perhatian yang diberikan padanya hanyalah tatapan formal belaka. Perasaan ini membuatnya tidak nyaman, meski di permukaan tetap mempertahankan senyuman anggun.
Justru Lingjing sendiri, dengan perasaan gugup sekaligus antusias, terus berbincang dengan Fang Yusi layaknya sosok penggemar fanatik yang standar. Meski sehari-hari berkarakter tenang, pertemuan mendadak dengan idolanya yang bahkan bisa berbicara layaknya teman dekat, membuatnya belum bisa menyesuaikan mentalitas dengan baik. Apalagi dengan dua pria di samping yang terus menunjukkan perhatian ambigu.
“……Sementara berbicara, Dongfang Wan memimpin Jiaming masuk melalui pintu samping. Di belakang mereka, seorang pria gemuk yang sembunyi-sembunyi langsung mengarahkan tatapan penuh gairah ke Fang Yusi begitu masuk, air liur nyaris menetes dari mulutnya.
“……Baiklah, fokus utamamu adalah memeriksa tata panggung, pertimbangkan posisi pergerakan saat tampil nanti, coba sistem audio... Hei, apa kau mendengarku... Oke, Lingjing ada di sebelah sana, juga bintang besar Fang Yusi, tapi aku tidak terlalu suka wanita itu...”
Ia menyeringai, bergumam pelan. Sebelum kalimatnya selesai, wajah babi gemuk muncul di sampingnya: "Aku... aku suka. Ayo kita ke sana..." Dongfang Wan tak bisa menahan gelengan kepala. Dulu mereka pernah berbagi kesulitan, saat berlindung di tempat persembunyian buatan selama badai dulu, bahkan sempat mengobrol. Tapi waktu itu pria ini tak semenjengkelkan ini.
Jiaming jelas-jelas tidak sedang memperhatikan Fang Yusi. Sambil berjalan, ia memandangi ekspresi Lingjing yang memerah sambil memberi isyarat bahwa idolanya ada di dekatnya, lalu melirik Zhang Jingfeng dan Dongfang Lu di sampingnya dengan senyum menarik. Melihat kedatangan mereka, Fang Yusi melirik sekilas, berhenti sebentar pada Dongfang Wan sambil mengangguk. Dari kejauhan, Yahan tersenyum ke arah Jiaming. Dongfang Lu mendekat sambil menepuk bahunya.
“Haha, kau akhirnya datang. Xiao Wan terus mengeluh padaku bahwa mengajakmu makan itu susah sekali.”
“Hmm, bisa dibayangkan…” Jiaming malas-malas menoleh ke arah Dongfang Wan, hanya untuk melihatnya mengangkat dagunya dengan sombong sambil membalas dengan tatapan sinis. Melihat ekspresi kedua orang ini, Dongfang Lu tertawa: “Ngomong-ngomong. Untuk pertunjukan kali ini, departemen kami sudah mengerahkan tenaga besar. Teman sekelas Jiaming, coba lihat tata panggungnya. Bagaimana menurutmu? Kasih saran dong.”
“Tata panggung?” Jiaming memandang sekeliling dengan wajah polos, “Panggung ini kan dari dulu berbentuk oval, masih oval juga sekarang. Apa ada yang diatur?”
“Emm.” Ekspresi Dongfang Lu kaku sejenak sebelum akhirnya tersenyum, “Teman Jiaming memang humoris. Hmm… Hehe, kami cuma menambahkan beberapa hiasan bunga dan spanduk di atas. Sebenarnya masih ada beberapa hal yang belum final, kebetulan Jiaming datang, bisa kita diskusikan. Misalnya waktu penampilanmu, kami di sepakat lebih baik Jiaming sendiri yang tentukan, soalnya di bidang ini pasti lebih profesional dari kami.”
Saat itu, Zhang Jingfeng di samping juga melirik ramah: “Tak menyangka Jiaming mau ikut tampil. Malam itu pasti akan kusaksikan. Kalau Jiaming, bukankah seharusnya jadi penampilan penutup?”
Dongfang Lu menggeleng sambil tersenyum: “Penampilan puncak tentu milik nyanyian Nona Fang. Untuk Jiaming… Mungkin bisa kami jadwalkan sebelum Nona Fang?”
Baru saja Ye Lingjing datang, sedikit merebut perhatian Fang Yusu. Kini, begitu Jiaming tiba, pusat pembicaraan seolah berpindah tiba-tiba. Memandang mahasiswa pria yang berpenampilan sangat biasa ini, Fang Yusu dalam hati bertanya-tanya: Siapa orang ini? Terlihat begitu penting sampai semua memperhatikannya?
Mana mungkin dia mengerti pikiran orang-orang di depannya. Di masyarakat beradab sekarang, saat rival asmara bertemu, yang penting menjaga sikap dan kesopanan. Di hati Zhang Jingfeng, Jiaming sudah menjadi salah satu musuh imajiner. Pikiran Dongfang Lu lebih kompleks: di satu sisi menganggapnya musuh, di sisi lain berharap bisa membangun hubungan dengannya setelah memastikan dia hanya teman biasa Lingjing. Bagaimanapun, pria-wanita yang tinggal bersama tanpa hubungan spesial, perasaannya pasti seperti keluarga. Jika ingin mendekati Lingjing, pendapat Gu Jiaming pasti sangat berpengaruh.
Mengusap hidungnya, Jiaming berkata: "Jangan repot-repot seperti ini. Aku mau tampil pertama saja, cepat selesaikan urusan ini..."
"Tampil pertama mungkin kurang baik. Jika level awal terlalu tinggi, akan mempengaruhi penampilan berikutnya." Dongfang Lu ragu-ragu. "Bagaimana kalau di tengah? Total ada lebih dari 30 acara, letakkan di urutan ke-15. Detail bisa diatur setelah melihat hasil. Yang paling penting menurutku efek suara. Pertunjukan mereka hampir selesai, Teman Sekelas Jiaming, mari kita ke ruang kendali belakang."
Dengan akrab penuh menggandeng bahu Jiaming, bertiga berjalan menuju pihak pendukung. Fang Yusi mencoba menguji: "Teman sekelas ini... juga penampil? Tidak tahu dia tampil apa ya?"
Di sekitar Fang Yusi saat ini, seorang pria gemuk sedang menggosok-gosok tangan dengan jorok penuh gejolak. Dongfang Wan tidak suka wanita materialistis ini. Yahan berada beberapa langkah di kejauhan, sementara Lingjing sedang bertukar ekspresi makna tertentu dengan Jiaming. Baru ingin menjawab, tiba-tiba Zhang Jingfeng tersenyum: "Nona Fang coba tebak?"
"Hmm... Xiansheng atau sandiwara komedi? Tapi kuduga dia sangat paham urusan panggung, terlihat dari cara bicara kalian." Setelah mengucapkan ini dengan perasaan bangga akan kebenaran dugaannya, tiba-tiba terdengar suara rendah tawa Zhang Jingfeng. Lingjing menyela: "Bukan, dia penyanyi."
"Ny...nyanyi?" Sesama penyanyi, Fang Yusi membelalak tak percaya. Di zaman sekarang, mencari nafkah lewat nyanyi tak hanya butuh suara bagus, tapi juga tampang menarik. Penyanyi berkarakter saja sulit mencuat, apalagi Jiaming yang biasa-biasa saja. "Dia... pasti sangat piawai bernyanyi ya."
"Hmm." Zhang Jingfeng mengangguk, "Memang luar biasa. Kalau boleh dikatakan..."
Baru setengah bicara, Lingjing di samping berkata: "Mana ada, dia cuma nyanyi sembarangan, mana bisa dibandingkan dengan kakak Yusi." Setelah percakapan tadi, kini Lingjing wajar saja memanggilnya kakak. Melihat komentar dari Lingjing, Zhang Jingfeng pun tak bisa membantah, dalam hati berpikir licik: tujuan utama Fang Yusi datang ke Jianghai mungkin untuk mencari band "Konsep". Jika dia tahu Gu Jiaming ini adalah vokalis band "Konsep", ekspresi wajahnya pasti seru sekali. Sambil memikirkan ini, dia tertawa kecil, sekilas melirik Lingjing dengan perasaan campur aduk.
Sejenak kemudian, latihan pertunjukan di atas panggung berakhir. Saat peralatan dipindahkan, Jiaming keluar sambil membantu mengangkat kursi. Di tengah keriuhan, Fu Yanjie yang sudah lama berdiri di dekat Fang Yusi akhirnya memberanikan diri mendekat: "E...em, Fang Fang Fang... Fang Yusi... Oh bukan, Yusi... Maksudku, Nona Fang..."
Melihat pria gemuk yang wajahnya semerah daging babi kecap ini, Fang Yusi agak terhibur. Dengan anggun namun ramah dia mengangguk: "Halo, ada yang bisa saya bantu?"
Terlihat jelas bahwa Fu Yanjie termasuk tipe fans paling loyal Fang Yusi, saat ini semakin terlihat gugup: "Itu, aku... aku... aku sangat mengagumimu, sangat menyukaimu... lagu-lagu yang kau nyanyikan... semua albummu kubeli. Oh ya... juga postermu, setiap lembar kubeli... setiap malam aku menghadapinya... oh, tidak-tidak, hm, aku sangat mengagumimu, aku ingin... aku ingin..."
Beberapa orang di sekitarnya terdiam memandangi pria gemuk yang begitu fanatik dalam mengidolakan selebriti ini. Kalimat "setiap malam aku menghadapinya" menimbulkan berbagai bayangan liar. Ekspresi Fang Yusi sangat kompleks. Semakin tegang, semakin sulit pria gemuk itu melanjutkan ucapannya. Persis di saat itu, suara Jiaming bergema dari atas panggung.
"Batuk-batuk... batuk, pu-pu, ini uji suara, uji suara. Semua jangan tegang..."
Suara itu bergema di aula, kebetulan memberi kesempatan bagi Fu Yanjie untuk menenangkan diri. Ia segera mengalihkan pandangan ke panggung, menarik napas dalam-dalam untuk menstabilkan emosi. Fang Yusi sambil menyesap air mineral dengan canggung, kesal karena hari ini manajernya tidak ikut sehingga tidak bisa mengusir orang ini dengan tepat. Di atas panggung, Jiaming menunjuk ke arah Fang Yusi dan melanjutkan: "Lagu berikut ini, kupersembahkan untuk teman sekelas kita yang paling menggemaskan, paling cantik, paling memikat... Ye Lingjing!"
“Orang-orang di bawah panggung ini, sebagian yang mengetahui hubungan pertemanan dekat Lingjing dengan Jiaming tidak merasa aneh, namun yang tidak tahu memandangi dengan tatapan heran. Bagaimanapun, bahkan sebagai candaan, pernyataan terbuka seperti ini tetap terlalu sensasional. Kulit wajah Lingjing yang memang tipis membuatnya bingung antara pergi atau tetap di tempat, menatap Jiaming di atas panggung dengan geram sambil mengembungkan pipi, hanya dibalas senyum bodoh dari dia.
Pada saat Fu Yanjie memberanikan diri untuk berbalik, suara melengkingnya menggema di aula, membuat semua orang di lokasi acara terkejut.
“only you，yang bisa temani aku ambil kitab suci barat，only you，yang bisa bunuh Yao dan usir setan，only
you，yang bisa lindungi aku，buat kepiting dan kerang ajaib tak bisa makan aku——”Selesai menyanyi, jentikan jari，“OK, nada sempurna nih, eh... Terima kasih semua.”
Aksi nyanyinya yang penuh semangat ini membuat banyak orang di aula terjengkang. Yang paling kacau mungkin adalah pihak Fang Yusi. Begitu nada falsetto pertama terdengar, Fang Yusi menyemburkan air dari mulutnya ke tubuh Fu Yanjie. Desain aula yang bertingkat ini membuat Fu Yanjie tergelincir oleh suara tadi, langsung terjatuh menimpa Fang Yusi. Disusul jeritan Fang Yusi.
"Byur byur" dua kali entah dari mana Fang Yusi mendapatkan tenaga sebesar itu. Setelah perlawanan sengit, tendangan beruntun wanita lemah lembut ini justru berhasil melemparkan pria gemuk di atas tubuhnya. Botol air mineral berguling jatuh dari badannya, meninggalkan genangan air mencolok tepat di antara paha seksi-nya.
Karena hari ini mengenakan celana ketat cokelat muda, genangan air itu terlihat sangat ambigu dan mencolok. Siapapun yang melihat, kesan pertama pastilah bukan cairan yang ditumpahkan dari luar, melainkan bocor dari dalam...
"Ah, maaf maaf, ya... maaf, aku bantu bersihkan, aku bantu bersihkan..." Pria gemuk itu bangkit dari lantai, dengan cepat mengambil sebungkus tisu dari samping dan berlari mendekat.
"Tidak usah, tidak usah! Aku sendiri yang bersihkan!" Fang Yusi tiba-tiba menghadang gerakan Fu Yanjie, suaranya menjadi sangat melengking. Beberapa saat kemudian, ia merebut tumpukan tisu itu. Namun posisi noda terlalu sensitif untuk dibersihkan di hadapan penonton. Ia hanya mengusap bagian paha yang tidak terlalu memalukan, lalu melempar tisunya dengan geram. Menyaksikan kejadian ini, Yahan segera mendekat sambil melontarkan pandangan kesal bercampur geli ke arah Jiaming, lalu membawa Fang Yusi menuju ruang istirahat.
Memandang kepergian Fang Yusi, Fu Yanjie dengan wajah getir berdiri terpaku di sana. Setelah beberapa saat, baru menutupi perut yang baru saja ditendang keras, meringkuk di kursi. Menyaksikan idola mengalami insiden, saat Jiaming turun dari panggung, Lingjing berlari menghampiri dan meninju keras sambil berbisik, "Ini salahmu! Kenapa kamu berlagak konyol di saat seperti ini!"
"Ya ampun," Jiaming berbisik di telinga Lingjing sambil tersenyum, "Dua pria yang mengincarmu berkumpul di sini. Kalau bukan pakai cara ini untuk menarik perhatianmu, apa harus saingan sikap elegan dengan mereka?"
"Kamu... kamu..." Mendengar kata-katanya, pipi Lingjing kembali memerah, "Nggak ada deh, jangan ngaco..." Sedikit nada menyalahkan tadi kini sudah menghilang tanpa sisa.
Mendekati Fu Yanjie, Jiaming bertanya sambil tersenyum, "Hei, nggak apa-apa kan? Aku lihat tadi dia menendangmu, benar-benar..."
"Kalau bisa menghilangkan dendamnya, aku rela ditendang lagi. Sekarang aku hancur, pasti dia membenciku..." Mengusap perutnya, nada suara Fu Yanjie terdengar getir. Memandang Jiaming, dia menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit, "IYOU, Bos. Kamu benar-benar tak terkalahkan. Orang lain nyanyi minta uang, kamu nyanyi minta nyawa-nyawa ikan..."
## Bagian 141 Penalaran Dongfang Wan
Di aula latihan, lagu yang dinyanyikan Jiaming mengguncang seluruh ruangan, sekaligus membuat bintang besar Fang Yusi mengalami momen memalukan. Setelah sedikit penanganan, ia pun pulang bersama Zhang Jingfeng. Kemudian Jiaming mendapat tatapan sinis dari Yahan, omelan Fu Yanjie, dan Dongfang Wan yang terus menggerutu "Kau sengaja, sengaja..." Tentu saja bagi Jiaming ini tak berarti. Tujuan utamanya sudah tercapai: membuat Lingjing tersipu dan tertawa di hadapan Dongfang Lu dan Zhang Jingfeng. Meski Lingjing takkan langsung merebahkan diri di pelukan hanya karena sedikit perhatian, namun sesekali perlu ada kesegaran dalam hubungan mereka yang sudah terjalin ini.
Bukan musisi profesional, Jiaming juga tak punya mental kerja keras. Dipaksa Dongfang Wan ikut satu kali latihan, ia enggan unjuk kebolehan lagi. Tapi Fang Yusi tetap superstar besar. Para mahasiswi termasuk Lingjing yang jadi penari latarnya sangat antusias, berlatih berulang-ulang di aula setiap jam terakhir sekolah. Frekuensi bolos Jiaming pun naik dari tiga hari menjadi lima hari seminggu. Soal ini Jiaming diam saja. Suatu hari saat Lingjing belum pulang sampai pukul tujuh malam, Shasha mencari ke sekolah lalu pulang berdua dengannya sambil sedikit menggerutu.
"Setiap hari pulang sangat malam baru, orang-orang Yong Sheng masih mempersiapkan untuk terus membuat kerusakan. Aku dan Jiaming sangat khawatir, kau tahu tidak? Apakah Fang Yusi itu lebih penting dari kami berdua?"
"Tidak juga, mereka terus-menerus mensyaratkan latihan ekstra, aku tidak bisa menolak..." Berkata dengan penuh permintaan maaf, kemudian Lingjing mengeluarkan buku catatan bertanda tangan Fang Yusi dari kamar, "Ini, kusumbangkan untukmu, jangan marah lagi setuju?"
"Benarkah!" Walau mulutnya mengeluh, Shasha sebenarnya termasuk penggemar Fang Yusi. Matanya berbinar mendengar itu. Merebut buku catatan itu, beberapa menit kemudian baru mengembalikan, "Sudahlah, aku tidak mau... di sini sudah tertulis namamu. Lain kali bertemu, kau harus minta tanda tangan khusus untukku!"
"Tentu saja tidak masalah. Aku beri tahu, Kak Yusi dan aku sangat akrab. Kemarin dia datang dan mengobrol banyak hal, bahkan menanyakan tentang keluargaku. Kukatakan keluarga ku membuka perguruan silat, ibu saya dokter, dia juga bilang ingin belajar silat. Kalau kau bilang dari kemarin, pasti sudah kumintakan tanda tangan untukmu! Eh, harus minta untuk Jiaming juga. Hehe..."
Dunia bertiga mereka mungkin karena karakter yang saling melengkapi, atau mungkin karena selalu ada keberadaan khusus seperti Jiaming yang memberikan pengawalan, sejak kecil tidak pernah banyak pertengkaran dan perbedaan pendapat. Dendam yang muncul sesekali pun seringkali mudah terhapus seperti permainan anak-anak belaka.
Namun harus dikatakan, keluhan kecil Shāsha itu benar-benar ada alasannya. Rencana akuisisi Yong Sheng Bang yang sempat membeku selama 2-3 hari setelah ada yang MATI, kini sejak dua hari lalu mulai berjalan lagi dengan cara yang semakin kejam. Di satu sisi, tersiar kabar Jalan Hitam akan mengerahkan Segalanya untuk menemukan pembunuh dan membalaskan dendam yang MATI. Di sisi lain, orang-orang yang datang kini sepenuhnya adalah preman-preman sembrono, terlihat beberapa orang bermasalah berkeliaran di jalan sehari-hari, sudah beberapa kali bersitegang dengan Ah Shui, Ah Qiang dkk. Meski belum sampai berkelahi, suasana sudah bagai pedang terhunus dan busur terkencang. Kemampuan bertarung Lingjing dan Shāsha sebenarnya cukup untuk melawan 2-3 BANGSAT, tapi sebagai perempuan, hal-hal seperti ini tetap harus diwaspadai.
Hujan berhenti selama 2 hari lalu turun lagi. Di kampus, Yahan sibuk mengatur persiapan pertunjukan hari jadi sekolah. Xu Yiting yang sedang dalam fase pemulihan ketergantungan obat kini tidak perlu lagi diurus oleh Jiaming yang menyamar jadi wanita. Lingjing sibuk dengan tari, sementara Shāsha kini telah menjadi pasukan utama tim voli putri, hidupnya sangat produktif.
Kapten tim voli putri Akademi Hati Kudus adalah seorang senior kelas tiga bernama Tan Suyan, cantik dan konon pernah mengejar Dongfang Lu tapi gagal. Meski begitu, ia tetap tokoh terkenal di sekolah yang sering berseteru dengan Shasha. Setiap pulang, Shasha selalu bercerita tentang prestasi gemilangnya membuat Tan Suyan malu. Sementara dua penghuni rumah ini sibuk dengan urusan masing-masing, Jiaming kini seperti suami yang berselingkuh—terus diganggu Dongfang Wan yang punya segudang alasan untuk membencinya.
"Cabe, daun bawang, acar, daging sapi... Hei hei hei, Gu Jiaming, kamu ke supermarket cuma untuk beli ini? Suami rumah tangga? Sungguh perawat rumah ya..." Dengan jari mencolek daging sapi di keranjang, Dongfang Wan mengerutkan alisnya, "Warnanya tidak segar, jangan-jangan ini stok bulan lalu? Hehe... Kenapa kamu memandangiku seperti itu? Jatuh cinta?"
Di depan konter daging supermarket, Jiaming dengan lesu menarik pandangannya dari Dongfang Wan dan menghela napas: "Kamu tidak ada kerjaan ya? Pergilah cari tempat yang lebih sejuk, jangan ikut-ikutan."
"Menurutku area daging ini cukup sejuk lho. Lihat, ada kulkas dan lampunya terang, 'kan sejuk?"
“Kalau begitu kau tetap di sini, aku pergi dulu.” Ia mendorong mobil kecil lalu berbalik pergi. Tak lama kemudian, bayangan yang tak bisa diusir itu kembali menyusul: “Micin? Apa di rumahmu sudah habis micin... Menurutku merek mi instan itu lebih enak lho, beli mi basah repot sendiri, harus dimasak... Hei hei hei, Gu Jiaming, aku rasa kau benar-benar seperti suami rumah tangga... Kenapa tidak mau bicara denganku... Kenapa memandangiku seperti itu, jatuh cinta?”
Jiaming menatapnya sejenak, lalu menunjukkan senyuman: “Kurasa kau sudah cukup menikmati kesejukan.”
“Tentu, siapa yang mau terus-terusan di dekat kulkas, bahkan di musim panas pun mustahil kan?”
“Memaksa ikut aku?”
“Hei, Gu Jiaming, jangan asal melontarkan tuduhan keji. Kapan aku mengikutimu? Supermarket ini sangat besar, pergi ke mana saja adalah kebebasan pribadiku. Apa supermarket ini milikmu? Justru sebaliknya, keluargaku memiliki 15% saham supermarket ini. Aku punya kartu tamu kehormatan yang tak pernah habis ini, mau kupinjamkan... Tapi tidak akan!”
“Kurasa belakangan ini otakmu kemasukan air.”
“Sui、Bian、Ni、Zen、Me、Shuo！”Melihat Jiaming berbalik terus berjalan, Dongfang Wan melipat tangan di belakang punggung, mengikuti dengan riang gembira di belakangnya, merasa telah memenangkan posisi. Dia tentu tak tahu seberapa beruntungnya dirinya. Seandainya ini terjadi beberapa tahun lalu, Jiaming yang terusik seperti ini mungkin akan langsung mengeluarkan niat membunuh. Hanya sekarang dia sudah mulai membedakan perlakuan antara manusia biasa dengan orang yang benar-benar berbahaya. Meski merasa Dongfang Wan terlalu berisik, dia menganggap ini hanya intermezzo kecil dalam kehidupan, membiarkannya saja.
“Wei, Gu Jiaming, kau tinggal bersama Ye Lingjing dan Liu Huaisha, sebelumnya bolos satu hari setiap dua hari, cuma untuk belanja sayur pulang masak? Dengar-dengar kalian berteman sejak kecil, hubungannya akrab seperti keluarga, ya? Jujur saja, aku iri lho, bisa menjalin persahabatan sampai tingkat seperti ini...”
“Aku sejak kecil memang tak punya banyak teman. Meski waktu masih sangat kecil punya beberapa yang dekat, setelahnya basically tercerai-berai. Ketemu lagi sekarang, rasanya mereka semua jadi sangat bodoh...”
“Aku yakin mereka pasti senang mendengar penilaianmu sekarang ini.” Jiaming mengambil sekotak biskuit ke kereta dorong, menyela dengan ringan.
“Hmph.” Dongfang Wan mendongakkan kepala, “Bilang saja, mau kuberi tahu daftar namanya? Tapi kau bicara juga percuma, tak ada yang percaya! Intinya, meski tak punya banyak teman, sebenarnya punya teman itu hal baik. Andai aku punya dua sahabat yang hubungannya seakrab ini, pasti akan mengabdikan diri sepenuhnya pada mereka, mempertimbangkan segala hal untuk mereka, agar bisa mendapatkan masa depan terbaik.”
“Teman bukan anak, tak perlu kau mengatur masa depan mereka.”
“Tapi jika aku menyukai seseorang, aku berharap dia bisa hidup bahagia!”
“Apa maksud sindiranmu?” Jiaming tersenyum dengan pandangan menggoda, “Kau suka padaku?”
“Aku menghinakanmu! Hmph! Maksudku, kau tak pantas untuk Suyan-jie, Suyan-jie pasti juga tak suka padamu, kenapa tak melepaskannya? Kalau hubunganmu dengan Ye Lingjing cuma pertemanan, kenapa tak biarkan dia menemukan orang yang sepadan? Misalnya kakakku. Jangan bilang kau tak tahu kakakku suka Ye Lingjing!”
Jiaming menoleh: “Lagi-lagi kau menganggap hubunganku dengan Lingjing cuma pertemanan biasa...”
“Aku pasti tahu! Sekalipun dia dengan Liu Huaisha bukan... Hmph, sudah jelas terlihat, mana mungkin dia menyukaimu? Paling-paling cuma anggap kau teman. Tahukah kau kelemahan terbesarmu?”
“Oh?” Jiaming terkejut, “Apa?”
“Kau jadi pengawal bunga untuk dua perempuan sekaligus! Kau mengusir kakakku dan pengagum lain demi Ye Lingjing, sambil bertarung di lomba untuk Liu Huaisha sampai membuat orang lain mengkritik habis-habisan. Jangan bilang dua perempuan ini menyukaimu, satu jadi istri utamamu satunya istri mudamu. Apalagi... kau bahkan punya hubungan dengan Suyan-jie. Orang seperti Suyan-jie mana mungkin menerima hal begini. Jadi... semua kebohonganmu saling bertentangan, tak satu katapun bisa kupercaya!”
Dongfang Wan ngobrol panjang lebar dengan wajah penuh percaya diri, namun di kedalaman sorot matanya masih terselip keraguan. Jiaming menatapnya beberapa saat, lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum: "...Kau terlalu berbakat." Mendorong mobil, ia berbalik melanjutkan perjalanan.
"Hei, Gu Jiaming. Jangan kira diam-diaman bisa menyelesaikan masalah. Kujelasin, kakakku tidak akan menyerah. Hanya dia dan Ye Lingjing yang paling cocok. Lalu soal Suyan Jie, pasti dia tidak suka padamu. Lepaskan dia. Eh, lalu soal pertunjukanmu, setidaknya kasih tahu namanya. Jangan neko-neko! Kalau sampai kayak kejadian pertarungan waktu itu, aku peringatkan..."
Ucapan itu terputus tiba-tiba. Jiaming berbalik cepat, Byur! Tubuh Dongfang Wan didorongnya ke deret rak kargo di samping. Tempat ini termasuk sudut mati supermarket yang sepi. Saat mendorong, Jiaming menekan arteri utama di tengkuknya dengan lembut, membuat tubuh Dongfang Wan lemas seketika.
"Kau... kau..."
Merasakan jari Jiaming mengelus lembut tengkuknya, wajah itu semakin mendekat hingga napas mereka hampir bersentuhan. Dongfang Wan tak berdaya, hanya mendengar suara lembut Jiaming: "Aku mencintaimu."
"Sebenarnya baik Ye Lingjing, Liu Huaisha, maupun Jian Suyan, tidak ada yang kusukai. Sejak pertama melihatmu, aku sudah jatuh cinta. Semua perlawananku sengaja untuk menarik perhatianmu. Ayo, mari kita mulai perasaan ini dari sekarang..."
Dalam suara lembutnya, Dongfang Wan hanya merasa pipinya memanas seperti demam, hanya bisa melihat bibir Jiaming semakin dekat, semakin dekat... Tiba-tiba, entah dari mana datangnya kekuatan, dia berteriak keras: "Pergi!" dan mendorong Jiaming hingga terjatuh jauh.
Dada naik turun, pipi membara, Dongfang Wan mencengkeram pakaian di dadanya, memandangi Jiaming dengan tatapan merah. Ketika ada orang mendengar keributan dan mendekat, dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata. Jiaming dengan tenang menarik pandangannya, mendorong mobil kecil sambil bergumam: "Gadis kecil..." Bersamaan itu, boneka setinggi setengah manusia terbang langsung ke arahnya.
Dengan cepat berbalik dan menangkap 'senjata rahasia' besar itu menggunakan tangan kiri, terlihat seorang gadis kecil asing berambut pirang mengenakan gaun putih ala putri yang cantik seperti malaikat kecil sedang mengangkat boneka besar lain di sebelahnya, lalu melemparnya dengan penuh kebencian sambil berteriak dengan suara anak-anak khas aksen Amerika: "Gu Jiaming!"
Tangan kanannya meraih boneka kedua, Jiaming juga melihat seorang wanita cantik berambut pirang dengan senyum memikat tidak jauh darinya. Kemudian boneka ketiga datang terbang, langsung ditangkapnya dengan erat.
"Hiyah--!" Mengangkat boneka terbesar, gadis kecil asing itu berlari kencang ke arahnya lalu bersama boneka itu melompat ke udara, melakukan tabrakan sempurna ke tubuh Jiaming.
Empat boneka besar、dua manusia bertabrakan dengan keras. Jiaming terjatuh ke tanah, sementara gadis kecil yang terpisah oleh satu boneka dan tengkurap di atasnya mengangkat tangan kecilnya memukul-mukul dada dan bahu Jiaming mati-matian, dari mulutnya meluncur bahasa Inggris lincah bak pantun.
"Kau jahat、kau jahat, Aku tidak mau menyukaimu lagi, Aku sudah bilang akan menikahimu nanti, kau berani mencium perempuan lain, Aku pukul kau、pukul kau... Waah..."
Sambil memukul dan menampar, gadis kecil itu menangis tersedu-sedu...
## Bagian Seratus Empat Puluh Dua Pertemuan Kembali
Rintik hujan berjatuhan, dari kafe sebelah supermarket mengalun musik lembut.
"Baru tiba di sini, belum sempat menyesuaikan zona waktu. Awalnya ingin istirahat dulu, besok berdandan rapi sebelum mencarimu, tak disangka bertemu begini." Tatap Jiaming, Marylin si rambut pirang tersenyum, suaranya masih lembut bak wanita dari daerah aliran sungai Jiangnan. Tentu, Jiangnan zaman dulu, bukan yang modern.
"Menurut waktu di sini, seharusnya kalian tiba kemarin malam jam tujuh lewat, paginya transit di Beijing, lalu pesan kamar VIP di Hotel Huajing. Kali ini datang ikut Pak Joseph ya?"
Seteguk jus jeruk, Jiaming santai menyebut itinerary mereka. Marylin membuka mata lebar penuh keheranan, sorot matanya memancarkan tawa tulus: "Hm, kau... selalu mengawasi kami?"
“Sebentar lagi memasuki abad ke-21, komputer bisa melakukan banyak hal, terutama di Amerika...Tahu? Urusan kalian, FBI punya arsip lengkap. Karena konsekuensi perjalanan kalian yang terakhir cukup mengerikan. Kali ini kalian mau ke Tiongkok lagi, ini juga termasuk hal besar. Mereka langsung melapor ke atas begitu tahu. Oh ya, aku bahkan pernah melihat foto Heidi menang lomba nyanyi beberapa kali.”
Dia mengulurkan tangan mengelus kepala Heidi yang sedang asyik makan es krim di sampingnya. Sebagai campuran berpenampilan manusia, gadis kecil ini tidak mewarisi rambut pirang ibunya, melainkan rambut hitamnya yang sehalus satin. Merasa telapak tangan menempel di kepalanya, si kecil menggelengkan kepala kesal, pipi kembung karena mulut penuh es krim, melotot tajam ke arahnya.
“Tidak sopan! Kesatria sejati tidak sembarangan menyentuh rambut wanita terhormat!”
Konsekuensi membuat Heidi marah akan sangat serius.
Sayangnya, sepertinya tidak ada yang cukup menyadari keseriusan ini. Jiaming hanya tersenyum, tangan nakalnya masih menempel di kepala kecil yang berusaha melepaskan diri. Marilyn sibuk melirik ke sekeliling dengan waspada, bertanya khawatir: “Ini...tidak akan merepotkanmu, kan?”
"Tenang saja, kalau di Amerika mungkin ada kemungkinan diawasi, tapi ini Tiongkok, FBI tidak sehebat itu. Yang paling penting, aku cuma seorang siswa SMA." Setelah puas mengelus rambut gadis kecil itu, Jiaming dengan sial menepuk-nepuk pipi merah muda Heidi dan mencubitnya baru melepaskan. Membuat Heidi mengembung pipinya: Sial! Tiga tahun tidak bertemu, dia jadi sangat menyebalkan! Sama sekali tidak lembut lagi, padahal aku di Amerika sering memikirkannya, hmph!
Mendengar perkataan Jiaming, Marilyn juga merasa lega. Memandang perselisihan kecil antara dia dan Heidi, ia tersenyum berkata: "Heidi sering bercerita tentangmu di New York, dia sangat merindukanmu, tentu... aku juga."
"Omong kosong! Aku tidak! Aku cuma rindu... permen kapas Tiongkok!" Heidi membantah dengan kesal. Dua orang di sampingnya tersenyum. Setelah jeda sejenak, Marilyn beralih bahasa dari Inggris ke Mandarin, jelas tidak ingin Heidi tahu isi pembicaraan: "Setelah kembali ke Tiongkok, aku terlibat dalam beberapa urusan keluarga. Tentu tidak ada hubungannya dengan mafia, yang kukerjakan adalah bisnis bersih keluarga. Karena sebelumnya urusan ini basically ditangani Joseph, jadi aku jadi salah satu asistennya. Hmm, kurasa kau sudah tahu ini."
"Tentu, dua tahun terakhir kau bekerja sangat baik."
Marilyn tersenyum manis, mengibaskan sehelai rambut pirang di dahinya sambil mengangkat alis: "Kalau begitu... kurasa kau juga tahu Joseph sedang memberi perhatian besar padaku, di keluarga... maksudku pihak ayahku, juga berharap aku menikah dengannya. Tentu ini cuma saran..."
Setelah dia selesai berbicara, kedua matanya dipenuhi senyum saat menatap Jiaming. Tampak Jiaming menyesap jus jeruk segar lalu mengangguk sambil tersenyum: "Dalam arsip FBI, penilaian untuk Pak Joseph sangat tinggi. Tiga tahun lalu ayahmu datang menjemputmu, pria yang menyertainya saat itu pastilah dia, ini menunjukkan posisinya yang penting dalam keluargamu. Dan kurasa sejak delapan tahun lalu dia sudah memberi perhatian besar padamu, sepertinya pria yang baik, jika kau suka..."
"Aku tidak suka." Matanya berputar lembut, "Aku ingin memberitahumu ini langsung dari mulutku."
Jiaming bersandar di sandaran kursi: "Memutuskan untuk terus mengingat pria itu sampai MATI? Meski bisa dimengerti, menurutku ini sangat membosankan."
"Aku sudah melupakan Tom." Marilyn menyatakan dengan senyuman: "Sekarang hanya ingin melihat Heidi tumbuh dengan tenang, dan... janji yang pernah kita buat."
"Oh." Jiaming bersiul pelan, janji itu jelas diingatnya—"Entah kau milikku atau bukan, aku SELALU milikmu", "Kapanpun kau butuh, aku akan datang SEKARANG JUGA". Meski tak terlalu serius, sebagai pria yang berhadapan dengan wanita matang nan cantik di depannya, tetap terasa godaan besar yang sulit diungkapkan. Tiba-tiba Heidi protes: "Tidak sopan! Bahasa Mandarinku baru mulai dipelajari, kalian tidak boleh bicara pakai bahasa China!"
Marilyn mengangkat bahu, tersenyum penuh permintaan maaf, lalu kembali ke bahasa Inggris: "Selama dua tahun ini agar tidak menimbulkan kecurigaan orang, kami sama sekali tidak tahu apa yang kau lakukan, juga tidak tahu di mana kau tinggal sekarang. Gu, bagaimana cara kami menemukanmu?"
Mendengar ini, Heidi berhenti melampiaskan emosi ke es krim, meletakkan sendok: "Kau tidak ikut ke hotel bersama kami? Kalau begitu, aku dan Mama tetap ke rumahmu saja ya?"
Tiga tahun lalu saat mereka bertiga dikejar-kejar, pernah tinggal hampir sebulan di set rumah peninggalan orang tua Jiaming tanpa keluar. Tapi saat ini ibu-anak ini termasuk pusat perhatian, tentu tidak mungkin tinggal di sana lagi. Setelah Marilyn menjelaskan, Jiaming melihat jam lalu tersenyum: "Tidak bisa, lagipula sudah larut, aku harus pulang. Begini, malam ini tidur nyenyak, besok aku yang menemui kalian, setuju?"
"Kau... tapi kita baru bertemu sebentar ini..." Heidi menatapnya, mata mulai memerah. Setelah duduk lama, baru sadar sibuk menggerutu, "Kau tidak boleh bohong!" Meski Marilyn hanya mengangguk tanpa bicara, matanya tetap menatap tajam ke Jiaming dengan ekspresi rumit.
Pertemuan singkat ini harus berakhir, mungkin hati ibu dan anak sama-sama tersiksa. Di pintu kafe mereka berpamitan dengan enggan, sambil memayungi langkah tiga li menoleh ke arah hotel megah tak jauh. Jiaming naik bus menuju Akademi Hati Kudus.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Langit semakin gelap, diperkirakan Shasha sudah memasak di rumah, tapi belakangan ini Lingjing sedang latihan di kampus jadi masakan harus disiapkan sendiri. Saat sampai di bawah gedung, pintu game elektronik sudah dipadati kerumunan. Di satu sisi ada warga muda yang dipimpin A Qiang dan A Shui, di sisi lain belasan anggota Yong Sheng yang saling menghujat dalam konfrontasi, benar-benar menghalangi tangga. Jiaming menghela napas dan mulai membelah kerumunan: "Permisi, minggir, minggir, terima kasih. Biarkan aku lewat, terima kasih..."
Membawa dua tas belanjaan dari supermarket, Jiaming meretas kerumunan. Dua anggota Yong Sheng minggir dengan tak sabar, tapi orang ketiga sedang berteriak sambil mengayun-ayunkan tangan. Punggung tangan kanannya tiba-tiba menghantam botol kaleng kaca yang dibeli Jiaming, lalu menoleh: "Minggir-minggir... Minggir ibumu kau! Bocah, maksudmu apa?!"
"Eh, maaf..."
Jiaming mengangkat tasnya hendak menjelaskan. A Qiang berteriak: "Sial! Lancang benar kau, tahu tidak anjing baik tak menghadang jalan?! Dia yang tinggal di sini... Jiaming, masuk. Siapa berani sentuh dia?!"
"Iya, coba siapa berani sentuh dia...!"
Di mata orang-orang ini, Jiaming selalu dikenal sebagai orang jujur yang mengikuti Jalan. Seketika kerumunan di belakang mulai berteriak. Jumlah Yong Sheng memang tak sebanding, membuat mereka ciut nyali. Jiaming membawa tasnya menyelinap di kerumunan: "Terima kasih ya, terima kasih..."
Naik tangga, membuka pintu. Terdengar kedua kubu saling menggertak. Pertengkaran seperti ini kecil kemungkinan meledak. Yong Sheng jumlahnya sedikit tak berani main tangan, sementara pihak kami yang banyak juga tak ingin memperkeruh situasi. Masuk ke kamar, aroma tumisan langsung menyergap. Shasha sedang nonton TV di ruang tamu: "Ada apa? Pulang selarut ini? Hehe, keributan di bawah heboh sekali. Menurutmu bakalan berantem?"
"Maaf, ketemu dua kenalan jadi tertahan. Tenang, gerombolan bodoh di bawah pasti gak bakal berkelahi. Ngomong-ngomong, Lingjing kok sudah pulang awal hari ini? Latihan dibatalkan?" Sambil menaruh tas, Jiaming tersenyum.
"Ssst." Shasha mengedipkan mata ke arah dapur, menempelkan jari di bibir, "Jangan bahas latihan. Lingjing lagi bad mood. Grr, orang-orang sekolah itu... apalagi Tan Suyan! Besok pasti kuhadapi mereka!"
"Ada masalah apa?"
Masih bingung, Lingjing dengan celemek muncul dari dapur membawa mangkok sayur. Dia mengangkat kepala dengan senyuman paksa: "Jiaming sudah pulang? Ayo makan." Setelah itu langsung berbalik ke dapur. Jiaming buru-buru menyusul.
“Ada apa?”
“Tidak apa-apa...”
“Jangan bohong, katakan padaku. Aku akan membantumu menyelesaikan ini, ya?”
Mengulurkan tangan memegang bahu Lingjing, tapi Lingjing tetap menggelengkan kepala: “Tidak usah...” Saat berjalan ke dekat kompor gas, tubuhnya baru dipeluk dari belakang oleh Jiaming: “Aku tidak ingin ikut campur urusan privasimu, tapi kita satu keluarga. Meski masih muda, aku suamimu dan kau istriku. Aku tidak mau melihatmu sedih. Ceritakan padaku, ya? Apa karena urusan pertunjukan?”
“Aku... Hwaa...” Mendengar perkataan Jiaming, bersandar di bahunya, Lingjing akhirnya tak tahan menangis pelan. Setelah beberapa saat, baru berbisik: “Jiaming, mereka bilang tarianku jelek, tidak mengizinkanku tampil... Sekarang yang jadi penari utama adalah Tan Suyan dari kelas tiga. Jiaming, latihanku sudah lama, Nona Fang pun pernah memujiku langsung. Kenapa mereka bisa seperti ini...”
“Apa? Hanya tinggal seminggu lagi sebelum pertunjukan, mereka malah ganti orang?” Mengernyitkan alis, Jiaming berkata tak percaya. Memang dalam hal menari, Tan Suyan lebih profesional dari Lingjing. Tapi dari sudut pandang Jiaming, baik dalam bermain piano maupun menari, Lingjing punya kecerahan spiritual yang tak tertandingi. Mungkin ada subjektivitas dalam penilaiannya, tapi kerja keras Lingjing selama ini jelas terlihat. Ini bukan pertunjukan profesional berbasis tari, mustahil ada alasan untuk mengganti di saat seperti ini.
Jangan-jangan... Ini ulah Dongfang Lu karena gagal mendekati Lingjing... Tapi rasanya tidak mungkin...
“Pasti Tan Suyan yang diam-diam cari koneksi.” Di depan pintu dapur, pasir berkata dengan geram, “Dia tidak bisa menyaingiku di tim voli, tahu Lingjing adalah teman baikku, jadi sengaja melakukan ini. Katanya orang yang bertanggung jawab di departemen untuk tarian ini dekat dengannya, guru penari juga punya hubungan, ketua departemen bernama Dongfang Lu bahkan pernah membela Lingjing. Tapi entah kenapa akhirnya keputusan seperti ini yang diambil. Sial banget, besok aku harus klarifikasi, lihat alasan apa yang mereka punya!”
## Bagian Seratus Empat Puluh Tiga Kebenaran
“Minta maaf!”
“Hah?”
Mengangkat kepala, Jiaming melihat wajah dingin Dongfang Wan yang sedang memandangnya dari atas.
“Ada apa?”
“Minta maaf!”
Waktu menunjukkan pukul tujuh, hujan masih turun di luar. Karena masih agak pagi, di kelas hanya ada beberapa orang saja. Namun saat Dongfang Wan mendekati sudut belakang kelas, satu dua teman sekelas mulai penasaran melihat. Bagaimanapun di kelas ini, perseteruan antara Dongfang Wan dan Gu Jiaming sudah berlangsung lama.
“Kenapa?”
“Jangan pura-pura bodoh! Untuk kejadian kemarin, kau harus minta maaf padaku!”
“Oke.” Mengangguk, Jiaming tersenyum, “Maaf, kemarin salahku.”
Jika murni melihat sifat batin Jiaming, di dunia ini tidak ada lelucon yang tabu—tapi tentu itu harus dibumbui dengan elemen kegelapan. Bagi manusia biasa, lelucon sampai di sini sebenarnya sudah cukup. Mendengar Jiaming mengaku salah dengan begitu mudah, ekspresi Dongfang Wan langsung menunjukkan keheranan.
“Hmm…” Berbagai rencana antisipasi yang telah disusun sebelumnya tampak tak berguna di situasi ini. Setelah terkejut sejenak, Dongfang Wan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata: “Hmm… Tidak apa-apa…”
“Tidak apa-apa tapi masih memaksa aku minta maaf, dasar…” Jiaming terkekeh.
Sorot mata tajam Dongfang Wan melotot ke arahnya: “Aku takkan sebodoh kau yang tak punya sopan santun!” Usai bicara, ia berbalik dan pergi.
“Tunggu, Dongfang Wan, aku juga ada hal yang ingin kutanyakan.”
“Hah?” Ia menoleh dengan ekspresi bingung, “Apa?”
Jiaming menengadah, menyungging senyum tipis padanya: “Kau tahu urusan Lingjing kan? Kenapa tarian utamanya untuk Fang Yusi di acara perayaan sekolah dicabut? Jangan bilang karena tariannya jelek. Aku pernah lihat koreografinya, bahkan merancang beberapa gerakan khusus untuknya. Aku jamin tak ada siswa lain yang bisa meniru feel tariannya, Tan Suyan pasti tak mampu.”
Mendengar ucapan itu, mata Dongfang Wan membelalak: “Kau... kau yang merancang gerakannya, maksudmu... modifikasi kecil yang dipuji guru itu? Yang Lingjing bilang itu hasil revisi dirinya? Kau... kau bisa menari?!”
“Aku yang menyuruh Lingjing merahasiakan ini. Tapi yang penting... Kenapa dia diganti? Kakakmu ketua panitia, aku yakin kau tahu alasan sebenarnya.”
“Hmm, tadi malam... Kakak sepertinya memang mengatakan sesuatu, dengan ekspresi sangat kesal, tapi aku tidak mendengarkan.” Mengingat kejadian tadi malam, pipi Dongfang Wan memerah. Sepanjang malam ia digoda oleh sikap ambigu Jiaming yang membuatnya limbung. Meski dalam hati tahu itu cuma ulah iseng Jiaming, ia tetap tidak bisa melupakannya. Hubungannya dengan Dongfang Lu meski sudah membaik sejak peristiwa pembajakan kapal, tetap tidak sedekat saudara kandung biasa. Dalam kondisi emosi seperti itu, mana sempat memperhatikan omelan sang kakak.
Saat sedang mengingat-ingat, wajah Jiaming tiba-tiba mendekat: “Tolong, sudah ingat?”
“Cih.” Dongfang Wan kaget, lalu melotot, “Kau butuh bantuan baru bilang 'tolong'. Kalau aku yang minta tolong? Bahkan jika tahu pun takkan kuberi tahumu!” Usai berbicara, ia berjalan pergi dengan angkuh. Senyum tipis mengkilat di mata Jiaming yang kini duduk memandang hujan di luar jendela. Beberapa saat kemudian, Dongfang Wan kembali dengan wajah muram: “Hei, kau... jangan sampai kau berbuat hal tak karuan ya?”
“Siapa yang tahu?” Jiaming mengangkat bahu, “Mungkin semua akan kulakukan, mungkin juga tidak. Tunggu sampai kutemukan alasannya dulu.”
“Malam ini akan kutanya Kakak, jangan macam-macam!”
“Baik.” Jiaming mengangguk, tersenyum tulus.
……
##
Saat kelas kedua berakhir, bayangan cantik muncul di luar kelas, langsung menarik perhatian mayoritas orang. Kemeja hijau dengan rok panjang putih berenda, Dong Danwen si cantik berwajah selebritas mengetuk kaca di sisi kelas. Teman sekelas di dekat jendela langsung mengangguk gugup. Dong Danwen berbisik sesuatu, lalu teman itu berteriak: "Gu Jiaming! Ada yang cari!"
Dong Danwen dari kelas dua Akademi Hati Kudus, bersama Tan Suyan kelas tiga, termasuk tokoh terkenal di kampus. Konon keduanya pernah mengejar Dongfang Lu — atau mungkin masih mengejar — Tapi si cantik ini tak punya hubungan dengan Jiaming, kecuali saat Jiaming merebut buket bunganya di perjamuan Natal Nordic Fantasy. Namun saat melihat bayangan di jendela, yang Jiaming rasakan bukan kebingungan, melainkan: Akhirnya datang juga.
Bagi Jiaming yang punya memori fotografis, selama ini karakter terkenal seperti dia pasti akan diingat meski hanya sekali bertemu. Wanita ini jelas ingin jadi penyanyi atau selebritas, dan terus berusaha. Saat Jiaming "tak sengaja" merebut bunga waktu itu, gerak-gerik Dong Danwen di belakang tak luput dari pengamatannya. Orang seperti ini, setelah tahu kemampuan Jiaming, pasti akan memohon bantuannya. Tapi baru sekarang datang, Jiaming malah menghargai kesabarannya.
Di luar, Tsukike Kaoru memandang Dong Danwen sekilas, lalu mengosongkan kursinya. Jiaming tersenyum sambil berjalan keluar, mengangguk dengan polos: "Senior……"
"Uh, aku Dong Danwen kelas dua, panggil saja Danwen. Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu, bisakah… eh, cari tempat lain?" Dengan anggukan dan senyuman, Dong Danwen terlihat percaya diri meski matanya masih menunjukkan keraguan. Setelah Jiaming mengangguk, mereka berdua turun melalui tangga, melewati gedung sekolah menuju ruang kegiatan komunitas yang sepi: "Sebenarnya… kedatanganku yang mendadak ini agak kurang sopan. Mungkin Jiaming akan lebih paham jika kukatakan bahwa pada Malam Natal tahun lalu saat Jiaming memainkan lagu 《Dongfeng Po》, aku juga hadir. Itu… Ye Lingjing adalah teman baikmu, kan?"
"Ya, ada apa?"
"Ya, ada satu hal… Awalnya Fang Yusi yang akan tampil menari. Saat memilih penari utama, departemen sempat merencanakan untuk menunjukku. Tapi setelah mendengar Lingjing juga ikut serta, saya menolak. Tentu bukan berarti jika saya ikut Lingjing tidak akan punya kesempatan, karena tariannya sangat bagus, sungguh!" Dong Danwen tersenyum malu, tangan kirinya berputar di udara, "Tapi, Jiaming pasti sudah tahu kalau kali ini posisi penari utama Lingjing dicabut, kan?"
"Tahu." Jiaming tersenyum datar, menunggu syarat yang akan diajukan.
“Sebenarnya teman sekelas Lingjing menari dengan sangat baik, sama sekali tidak melakukan kesalahan. Alasan dicoret, menurut kabar yang kudengar ada penyebabnya. Karena mereka juga menghubungiku, tapi kutolak. Menurut sumber terpercaya...” Tanpa mengajukan syarat terlebih dahulu, Dong Danwen langsung memberikan jawaban yang ingin diketahui Jiaming. Kemudian, keduanya mengerutkan alis: “Aku tahu ini sulit dipahami, tapi fakta seharusnya seperti ini...”
“Hm, terima kasih senior.” Sejenak, Jiaming mengangguk, “Jika ada yang bisa kubantu...”
“Sebenarnya memang ada.” Dong Dan tersenyum manis, “Aku berharap siswa Jiaming bisa menuliskan sebuah lagu untukku, tidak tahu boleh atau tidak...”
“Satu lagu kurang, dua saja. Belakangan ini kurang inspirasi, cuma ada dua lagu baru. Terima kasih banyak senior.” Jiaming mengangguk. Jika dia mengajukan permintaan sejak awal, paling-paling Jiaming akan memberi satu lagu. Tapi karena dia memberikan jawaban dulu, lagu kedua dianggap sebagai reward. Lagipula lagu itu juga hasil menguras keringat orang lain, dia tidak merasa rugi.
……
Lewat jam satu siang, Shasha berlari gegas memasuki aula besar yang sedang digunakan latihan. Dua anggota departemen yang berusaha menghalangi langsung didorongnya: “Aku tidak peduli kalian sedang latihan atau tidak, aku mau temui penanggung jawab tari!”
Aula yang bisa menampung ribuan orang itu kini hanya diisi puluhan orang, terlihat agak kosong. Meski di panggung ada beberapa orang sedang berlatih gerakan, kebanyakan sedang mengobrol dan tertawa. Dongfang Lu dan Tan Suyan juga ada di sana. Melihat Shasha yang masuk dengan wajah merah padam, semua orang memandang penuh tanya.
“Kakak pemimpin Sha Sha, ada apa?” Yang pertama tersenyum dan menyambut adalah seorang teman sekelas laki-laki Sha Sha. Karena masih mahasiswa tahun pertama, dia baru bergabung dengan departemen. Pandangan Sha Sha menyapu tubuhnya, lalu berkata keras: “Aku ingin tahu kenapa kalian melarang Ye Lingjing jadi penari utama? Apa karena tariannya tidak bagus atau alasan lain? Kalian tahu berapa besar usaha kerasnya untuk tarian ini? Seenaknya menyuruh orang menari lalu tiba-tiba mengusirnya! Bagaimana departemen mengambil keputusan ini! Di mana guru koreografinya!?”
“Kakak pemimpin Sha Sha, jangan marah, jangan marah. Masalah tarian bukan bisa diputuskan satu orang saja. Menurutku Lingjing menari dengan sangat baik, tapi Nona Fang kan bintang besar. Bukan cuma soal perasaan saja. Lingjing belum pernah mendapat pelatihan tari profesional...”
“Pelatihan profesional apaan? Ada masalah dengan tarian Lingjing? Katakan! Fang Yusi sendiri pernah memuji tarian Lingjing...” Mendengar ini, Tan Suyan seolah mendengar lelucon, mendengus dingin. Sha Sha menggigit gigi: “Kalau merasa ada yang lebih profesional, suruh dia adu tarian dengan Lingjing! Ajak semua orang menonton dan voting!”
“Hm, teman Huai Sha.” Pertunjukan belum dimulai, tentu mustahil menari dulu untuk semua orang. Dongfang Lu tersenyum sambil melambaikan tangan mendekat, “Sebenarnya keputusan tarian ini dari seluruh departemen, ada banyak pertimbangan. Aku tahu ini tidak baik, tapi tidak ada cara. Sekarang juga sulit menjelaskan detailnya...”
“Jangan mengelabui orang dengan omongan seperti ini!”
“Ayo kita adu!” Suara Shasha belum habis, Tan Suyan sudah mengangkat kepala: “Aku juga setuju adu pertunjukan ide bagus, aku tidak masalah!”
“Baik, semua sudah dengar. Saatnya adu nanti, jangan berkelit ya!”
“Waktu dan tempat terserah kalian!”
Menyaksikan duo ini berdebat sengit lalu mulai merundingkan detail pertandingan, Dongfang Lu dan kawan-kawan segera menyela sambil mengatakan pertunjukan tidak boleh dilakukan sebelum perayaan sekolah. Debat berkepanjangan terjadi. Tan Suyan tampak kehabisan kesabaran: “Huh, apa salahnya mengatakannya! Bagaimanapun caranya, Ye Lingjing tidak boleh jadi penari utama. Ketidakmampuannya diungkapkan langsung oleh Nona Fang, kenapa harus dirahasiakan! Klaim pujian dari Nona Fang itu cuma basa-basi sopan saja!”
“Kau... bilang apa?” Suara Shasha terdengar parau, anggota departemen pun hening. Sebenarnya mereka juga bingung kenapa Dongfang Lu memaksa kerahasiaan, namun Jiaming paham ini dilakukan agar Lingjing tidak terlalu terpukul. Dongfang Lu menghela nafas lalu membela diri perlahan.
“Batuk... Memang ini permintaan pihak Nona Fang, tapi waktu itu manajernya juga ada di sini. Kemungkinan besar manajer yang mengajukan syarat ini karena perusahaan hiburan menuntut kesempurnaan dan profesionalisme. Menurut kami Lingjing menari dengan sangat baik, tapi...”
“Tapi… Nona Fang bilang Lingjing menari dengan sangat bagus…” Suara balasan Sasa terdengar lemah, namun nada bicaranya sama sekali tak terdengar meyakinkan.
“Hmm, kurasa keputusan mengganti Lingjing pasti bukan keinginan Nona Fang sendiri. Tapi sebenarnya artis… harus menerima pengaturan dari manajemen juga…”
Dongfang Lu menghibur. Sasa hendak bicara lagi ketika sosok seseorang mendekat dari samping, menepuk bahunya. Sensasi yang familiar. Begitu menoleh, ternyata Jiaming: “Sudahlah, ayo pergi.”
“…Hmm.” Dengan ragu-ragu ia mengangguk, menoleh memandangi kerumunan orang sebelum pergi bersama Jiaming. Baru setelah keluar pintu dan tiba di tempat sepi, suara kacau-balau itu meluncur: “Kenapa… kenapa bisa begini?”
“Siapa yang tahu? Alasannya bisa banyak. Mungkin Fang Yusi sedang menopause, atau mungkin dia sedang datang bulan. Wanita yang baru ditinggal pria bisa melakukan apa saja.”
“Kok kamu tahu dia ditinggal…” Sasa melotot ke Jiaming, “Kok kamu bisa tenang banget? Sama sekali tak terkejut. Dari tadi sudah tahu alasannya?”
“Tahu pagi tadi, tapi tak yakin kebenarannya jadi tak kuberi tahu. Saat makan siang, aku dan Lingjing terus memintamu untuk tak mempermasalahkan. Siapa sangka baru berpaling sebentar kamu langsung menyerbu aula.” Jarinya mengusap hidung Sasa, Jiaming tersenyum: “Kamu ini, selalu gegabah…”
Sasa terkekeh, lalu menghela napas: “Lalu bagaimana? Lingjing pasti sangat sedih. Haruskah kita beri tahu dia fakta ini?”
“Masih lebih baik jangan, biarkan dia mengira anggota departemen itu menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Kalau Fang Yusilah yang mengalami, pasti akan sangat kesal……” Merangkul bahu Shasha, Jiaming tersenyum tipis.
……
Pukul dua, saat lonceng bangun berbunyi, Jiaming memasuki kantor Yahan. Yahan yang tertidur di atas meja kerja baru saja terbangun, wajahnya masih membekas warna merah muda, matanya berkabut.
"Hmm, Jiaming, tadi siang aku sudah mencari kalian kemana-mana, tapi tidak ketemu..."
"Aku menemani Lingjing menenangkan pikiran. Pinjam teleponmu..." Berjalan ke meja kerja dan mengambil mikropon, Jiaming menunjuk wajah Yahan: "Ada bekas merah, usap sedikit."
"Oh." Mengangkat cermin sambil melihat pantulan, Yahan berkata: "Ngomong-ngomong, Lingjing pasti sangat sedih ya... Baru hari ini aku tahu dia dicabut dari posisi menari, lalu aku coba tanya-tanya. Jangan bilang dia ya..."
"Ini keinginan Fang Yusi kan? Aku sudah tahu, sekarang sedang berusaha menyelesaikan hal ini."
"Hm?"
“Aku……Oh, menyuapi……” Mengangkat jari ke mulut, Jiaming tersenyum: “Halo, Pak Zheng? Ini Gu Jiaming... Ya, ada hal yang ingin kutanyakan. Lagu yang kau minta dariku kali ini, apakah untuk Fang Yusī?... Tidak, aku menolak menulis lagu untuknya. Benar, mutlak tidak bisa... Selain itu, mulai hari ini, semua selebriti yang terkait dengan Fang Yusī, baik itu kerjasama atau skandal, entah untuk promosi atau alasan lain—jika terjadi sekali saja, aku akan masukkan mereka semua ke daftar hitam... Hehe, mana mungkin? Aku cuma penulis lirik dan komposisi, mana bisa memblokirnya? Hanya melakukan sebisaku saja. Yang pasti, dengan tiga lagu, aku bisa membuat pendatang baru mana pun menjadi tenar... Tolong sampaikan ke Huang Lao... Sampai jumpa.”
Setelah mengucapkan segalanya seperti mesin tembak, Jiaming meletakkan telepon. Yahan di seberang hanya terdiam memandanginya.
## Bagian Ke-144 Kegelisahan
Duduk di kamar Zheng Zepei, mendengar penuturannya, Fang Yusī benar-benar tak bisa memahami situasi.
Mengikuti Zheng Zepei ke Jianghai, meminta bantuan komposer misterius itu untuk menulis lagu. Awalnya setelah komunikasi Zheng Zepei, katanya pihak lawan sudah setuju. Tapi setelah mendengar namanya, tiba-tiba mereka berubah sikap bahkan menunjukkan sikap ingin membunuh sampai habis—ini sungguh tak masuk akal.
“Coba ingat-ingat, selama satu dua minggu di Jianghai ini, apa kau pernah menghina seseorang? Yang terpenting, Sabtu lalu saat kau ke Blue Bird, apakah ada perilaku tak sopan yang kau lakukan?”
“Ada apa yang tidak sopan…” Fang Yusi mengerutkan kening, “Bar minggu lalu terlalu ramai, dan aku datang agak terlambat. Band Konsep sudah selesai bernyanyi dan kembali ke pihak pendukung, aku sama sekali tidak bertemu mereka. Guru Zheng, menurutku… lebih baik beri tahu identitasnya agar aku bisa memastikan…”
“Tidak bisa.” Zheng Zepei tersenyum meminta maaf, “Sudah berjanji padanya sebelumnya untuk tidak memberitahu identitasnya ke siapapun. Apalagi sekarang dia… hm, katamu minggu lalu tidak bertemu di depan, lalu apa kau pergi ke belakang panggung?”
“Aku tentu berpikir untuk ke belakang panggung, tapi…” Fang Yusi menggelengkan kepala, “Sama sekali tidak bisa ditawar, bahkan setelah menunjukkan identitasku tetap tidak diizinkan masuk. Konon bar itu berada di bawah perlindungan geng kriminal… Tentu, kau tahu, beberapa hari ini moodku kurang baik. Mungkin ada satu dua kalimat yang dia dengar, tapi aku tidak mengatakan hal yang keterlaluan, sungguh.”
Melihat Zheng Zepei merenung dengan mata tertutup, Fang Yusi berkata: “Guru Zheng, benar-benar tidak bisa bocorin sedikitpun? Jika… jika benar ada hal keterlaluan yang tidak sengaja kulakukan, aku bersedia meminta maaf.”
Nada bicaranya terdengar tulus, namun Zheng Zepei tetap menggeleng: “Ini adalah janji yang dibuat bersama Huang Lao. Begini saja, hari ini sudah Jumat. Besok Sabtu, Konsep akan tampil lagi. Datanglah lebih awal, semoga ada kesempatan untuk menjelaskan. Bagaimana?”
“……Hmm.” Fang Yusi menghela napas, mengangguk, lalu mengucapkan beberapa patah kata lagi. Saat hendak pergi, dia akhirnya bertanya dengan nada tak rela: “Guru Zheng, orang itu... benarkah dia sehebat itu?”
Zheng Zepei tersenyum tipis: “Sebenarnya kau sudah tahu jawabannya. Lagu ciptaannya 'Dongfeng Po' dan 'Jiangnan' yang sudah dirilis, pasti kau lihat respons pasar. Dulu setelah Huang Lao bertemu dengannya sekali, saya pernah menyarankan Huang Lao untuk merekrutnya sebagai murid. Terlepas dari respon pihak lawan, Huang Lao sendiri mengaku tidak mampu. Berdasarkan lagu-lagu yang dia nyanyikan di Bar Blue Bird belakangan ini, setiap lagu bisa mencetak bintang baru dengan kemasan tepat. Sebagai pencipta lagu, jujur... saya belum pernah melihat talenta seperti ini sebelumnya.”
Fang Yusi menggigit bibir bawahnya, lalu meninggalkan kamar dengan ekspresi kesepian. Zheng Zepei menatap punggungnya sejenak sebelum menarik pandangan. Meski wanita ini punya kecenderungan materialistis, tapi siapa di industri hiburan yang tidak begitu? Di antara mereka, dia termasuk yang cukup bijak menjaga hubungan sosial dan jarang membuat musuh. Namun... pertunjukan di Akademi Hati Kudus ini adalah tawaran darinya. Awalnya karena Gu Jiaming juga ada di sana. Tapi jika dia nekat melakukan hal tidak biasa akibat hal ini, itu membuktikan dia belum cukup dewasa mengendalikan diri.
Keluar dari kamar, Fang Yusi sambil mengingat-ingat hal-hal beberapa hari terakhir ini, menyapa Zhang Jingfeng yang sedang menatap langsung. Selama ini tinggal di villa Zhang Jingfeng, bolak-balik menghadiri berbagai pesta baijiu dan acara kumpul-kumpul, berkenalan dengan orang-orang kaya dan tokoh ternama Kota Jianghai. Akademi Hati Kudus sebenarnya baru tiga kali dikunjungi, untuk sementara juga tidak terlalu ingat urusan tentang Lingjing.
Sejujurnya, setiap kali pergi ke Akademi Hati Kudus, pemandangan Zhang Jingfeng dan Dongfang Lu yang bergantian di hadapan Lingjing membuatnya merasa diabaikan, tapi ini bukanlah hal besar. Saat itu mood-nya memang sedang tidak menyenangkan, dia mencari-cari alasan bahwa tarian Lingjing masih tidak boleh, setelah mengatakannya sudah melupakannya dan tidak lagi mempedulikannya. Sekarang pun sangat sulit menghubungkan gadis yang sangat mengaguminya dengan band konsep. Karena itu, meskipun sudah memeras otak, dia tetap sulit memastikan di tempat apa dia telah menghina orang yang tidak seharusnya dihina.
Kembali ke kamar, hari sudah sore tadi, dia tidak menyalakan lampu, dalam kegelapan mengambil sebotol anggur merah menuang sendiri, setelah beberapa saat, baru mengambil mikropon telepon di kepala ranjang, beberapa kali ragu, akhirnya menghubungi telepon.
“Wei, Aming, ini aku... jangan mati, aku ingin bicara, ya? Kita... kita sudah bersama bertahun-tahun... Aku tidak pernah melakukan! Dunia hiburan adalah tempat seperti apa kau belum mengerti? Skandal si ini, skandal si itu semuanya omongan mereka, kau tahu... Aku tidak mau miskin lagi, sejak kecil aku sudah takut, aku takut... Aku tidak merasa aman, kau tahu!”
“……Tentu saja、tentu saja aku tahu, sekarang mundur pun aku sudah punya banyak uang. Tapi untuk mencapai titik ini, berapa banyak yang telah kukorbankan, seluruh kehidupanku kutaruh di sini, bagaimana kau bisa memintaku menyangkal semua ini dengan mudah……Aming, tidak banyak orang bisa bersikap tenang sepertimu, aku masih ingin lebih……Kalau orang-orang bebal itu bisa memilikinya, kenapa aku tidak? Aku sudah berusaha keras, aku lebih berhak daripada mereka……Tidak, aku tidak mau mundur……Aku tidak akan mundur……Selain jadi suami istri, apa kita tidak bisa berteman……”
Suara putus telepon terdengar dari sana, setelah beberapa saat, Fang Yusi baru melempar mikropon kembali ke tempatnya dengan Byur, meneguk habis anggur merah dalam gelas, pipi cantiknya memancarkan semburat merah anggur.
“Cuma penulis lagu doang? Bakat bisa dimakan?……Band konsep apa……Bajingan semua……”
Dalam kegelapan, terdengar bisikan yang sedikit terisak.
Keluar dari bar di dalam hotel, melangkah oleng melewati koridor panjang, terlihat siluet kota berkelap-kelip neon yang memesona, waktunya pukul delapan empat puluh malam.
"Datang ke sini awalnya untuk menghadiri lelang besar di Hotel Huajing, tapi setelah tiba, karena mood tidak baik, langsung menyelam ke bar dan minum sendirian selama lebih dari setengah jam. Meski orang di dunia hiburan biasanya punya daya tahan alkohol, kemampuan minumnya tidak terlalu istimewa. Sekarang keluar sambil limbung, merasa langit berputar-putar, berbagai lampu di sekitar menyatu menjadi aura aneh yang persis seperti kesan yang diberikan dunia hiburan."
"Masuk ke kamar mandi putih bersih, dia menurunkan topi penyamarannya, lalu memegang wastafel dan muntah."
"Sedang muntah tak karuan, seseorang mendekat, menepuk-nepuk punggungnya sambil mencabut topinya. Sempat khawatir orang ini akan mengenalinya, tapi kemudian menyadari penampilannya sekarang jauh berbeda dari biasanya, mungkin terlihat seperti wanita gila patah hati. Kemudian terdengar suara perempuan penuh perhatian di samping: 'Nona, tidak apa-apa?' Meski menggunakan bahasa Mandarin, terdengar aksen Amerika, sepertinya wanita asing."
"Wa... ti-tidak... wa... ha... ha... terima kasih..."
Berusaha bernapas pendek-pendek, pandangannya menangkap sosok di sebelah. Wanita ini terlihat sekitar 27-28 tahun, mengenakan gaun mewah dan elegan dengan lekuk tubuh yang luar biasa indah - keindahan setan yang hanya dimiliki perempuan Barat. Meski terlihat muda, auranya memancarkan kematangan sempurna, senyumannya membawa ketenangan yang menentramkan. Jika di Jepang, wanita ini pasti jadi perwakilan ideal istilah "wanita dewasa".
Mungkin selir yang dipelihara seseorang... pikir Fang Yusi dengan sedikit kejahatan. Secara pribadi, dia membenci semua wanita yang lebih cantik darinya.
Setelah muntah pertama, mual kering terus menerus datang. Tiba-tiba dari bilik khusus terdengar suara perempuan nyaring: "Bosen bosen bosen..." Meski pakai bahasa Inggris, Fang Yusi mengerti. Jelas suara gadis asing itu sempurna - dia juga benci orang yang punya suara lebih bagus, berharap suaranya rusak karena perawatan salah saat masa puber!
"Heidi, ada masalah apa lagi?" wanita di sebelah bertanya dalam bahasa Inggris sambil tersenyum.
"Aku benci mati sama Jiaming! Dia janji mau main sama aku, tapi ngibrit lagi!" Kata "Jiaming" sekilas melintas di pikiran Fang Yusi, lalu tenggelam dalam lubang hitam memori dan menghilang.
"Jiaming sudah menelepon loh, dia cuma terlambat sedikit karena ada urusan."
“Kalau begitu sampai dia datang, bagaimana kalau aku sudah tidur? Tiga tahun lalu dia sering seperti ini, setiap malam orang menunggunya sampai larut, esoknya bangun tidur kau bilang dia sudah datang, tapi aku tidak pernah melihatnya! Aku membencinya!”
“Jiaming menyukai perempuan berkarakter lembut, Heidi kalau kau seperti ini, awas dia tidak lagi menyukaimu.”
“Hmm……”
Gadis kecil di dalam bergumam kesal. Fang Yusi dalam hati menganggapnya bodoh, membasuh wajah dengan air dingin, lalu berterima kasih, terhuyung-huyung keluar dari kamar mandi. Setelah muntah merasa lebih nyaman, tapi tubuh semakin lemas, saat berbelok di terowongan ditabrak seseorang, hampir terjatuh lalu dipeluk erat oleh orang itu: “Maaf, nona, kau baik-baik saja?” Suara pria dengan logat Amerika.
Membuka mata, terlihat pria yang cukup menawan. Bukan paruh baya, mungkin sekitar tiga puluhan, tepat di puncak vitalitas hidup seseorang. Memandangnya sejenak, Fang Yusi tersenyum memperlihatkan gigi: “Ya, tidak apa-apa...”
“Sepertinya Statusmu tidak baik, di mana kau tinggal? Perlu aku mengantarmu kembali ke kamar?”
“Kembali ke kamar? Hehe...” Fang Yusi menggeleng sambil tersenyum, “Tidak perlu, aku... aku mau ke lelang, bisakah kau mengantarku?”
“Lelang? Kebetulan aku juga mau...” Pria itu tersenyum dengan keraguan samar, melirik ke arah kamar mandi, lalu mengangguk: “Baik, mari kita pergi.”
“Letakkan satu tangan Fang Yusi di bahu, merangkul pinggang berlekuknya, mereka berdua berjalan menuju arah lelang. Di tengah jalan Fang Yusi bertanya: 'Aku marga Fang, nama Fang Yusi. Kau?'”
“Joseph.” Pria di sebelah menjawab singkat dengan tenang, “Joseph*Salieri.”
## Bagian 145 Lelang
“Apakah Pak Joseph datang ke Tiongkok untuk bisnis? Atau wisata?”
“Hmm, ada urusan bisnis kecil, sekalian menemani seseorang refreshing.”
“Istri Pak Joseph?”
“Bukan, tapi aku sangat berharap dia bisa menjadi istriku.”
“Oh, sungguh mengharukan...”
Mengobrol santai sambil memasuki lokasi acara yang sebenarnya sudah dimulai. Mayoritas hadirin adalah kalangan terpandang Kota Jianghai. Kursi belum penuh. Menemukan tempat di tengah untuk Fang Yusi yang mabuk duduk, Joseph pamit ingin mencari seseorang. Saat menoleh, sepertinya melihat orang yang dicari sudah masuk, lalu tersenyum melambaikan tangan dan duduk di samping.
Dengan mata berkabut, Fang Yusi menoleh melihat dua wanita - satu dewasa satu remaja - mendekat. Yang dewasa mirip wanita berambut pirang yang menepuk-nepuk punggungnya di kamar mandi. Gadis kecil di sampingnya berkemeja putih, celana jeans bergaya netral, bertopi biru kecil rapi, tapi ekspresi wajahnya jelas kesal.
“Hai Marilyn, Heidi, aku baru saja mau mencari kalian.”
“Terima kasih.” Wanita berambut pirang tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di sebelah. Gadis kecil itu mengambil posisi di tempat yang lebih jauh.
“Hari ini aku melihat item lelang ini, banyak barang bagus yang dijual. Heidi, mungkin ada yang kau sukai.”
“Hmph.” Suara Joseph lembut, tapi si gadis kecil menopang dagunya dengan kesal menatapnya, “Aku tidak tertarik. Awalnya aku dan Mama harus menunggu seseorang, tapi dia membatalkan janji melalui telepon. Kami datang ke sini hanya untuk melihat-lihat.”
“Oh? Apakah Heidi punya teman di sini?”
“Bukan urusanmu!”
Meskipun percakapan di antara ketiganya menggunakan bahasa Inggris, Fang Yusi yang berada di samping bisa mendengarnya dengan jelas. Perbuatan "menguping" ini memunculkan perasaan senang yang gelap di hatinya. Situasinya jelas: Joseph yang tampan dan berkarisma ini sedang mencoba menarik perhatian wanita bernama Marilyn. Terlepas dari perasaan sang wanita, gadis kecil bernama Heidi jelas tidak menyukai usaha pria ini untuk mendekati ibunya. Tapi orang yang mereka tunggu juga tidak datang, kan? Hmph, perasaan ini menyenangkan. Semua kekasih di dunia... jangan sampai bersatu...
Menangislah, bersedihlah. Inilah dunia kita. Apa yang kau inginkan... mustahil untuk kau dapatkan...
Efek alkohol memperbesar kesuraman dan kepedihan di hati. Sambil berpikir demikian, Fang Yusi menatap lelang di depan. Gadis kecil itu masih menopang dagunya dengan marah, sementara Joseph dan Marilyn mengobrol dengan malas.
Mengenai lelang kali ini, Fang Yusi sebenarnya telah melihat pamfletnya beberapa hari sebelumnya. Alasan dia datang juga karena memang ada banyak barang bagus yang dijual di sini. Namun lelang baru berjalan kurang dari setengah, banyak barang belum sempat dikeluarkan. Joseph di sampingnya jelas juga orang kaya, sesekali mengangkat tanda lelang di tangannya, bercakap-cakap sambil tertawa dengan si cantik berambut pirang di sebelahnya, bahkan penawaran ratusan ribu keping emas pun dilakukannya dengan santai. Saat jarum jam menunjukkan sudah lewat sembilan, sepasang jam tangan pasangan kekasih Swiss mewah akhirnya terjual dengan harga lebih dari 800.000 keping emas, suasana di arena lelang pun mulai memanas.
Setelah jam pasangan, muncul satu set perhiasan mutiara yang sangat mahal. Memandangi set perhiasan yang mencakup cincin, kalung, dan anting-anting ini muncul di layar besar, Fang Yusi duduk tegak di kursinya dengan pandangan yang mulai terlihat kebingungan. Wanita memang selalu sulit menolak benda-benda berkilau seperti ini. Dalam promosi lelang, selain satu item misterius yang belum dibocorkan, perhiasan inilah yang termahal sekaligus daya tarik utama yang membuat Fang Yusi ingin datang. Meski telah mengumpulkan kekayaan mencapai 10 juta keping emas selama bertahun-tahun, tetap mustahil baginya untuk menghamburkan uang demi membeli barang mewah semacam ini.
“Harga sudah mencapai 2 juta keping emas sebelumnya, dia mengangkat plakat di tangannya dengan lembut, tapi langsung disalip orang lain. Ada sedikit kekecewaan, tapi juga kelegaan. Di dunia hiburan sering terdengar kabar artis wanita menerima hadiah mewah dari pengusaha kaya. Dulu dia pernah mengejek dengan 'Ssshh!', tapi sekarang setelah pacar sudah tiada, tak terhindarkan di hatinya berandai-andai: andai ada yang memberinya perhiasan ini sebagai hadiah.
Harga melampaui 2,5 juta, 2,8 juta, terus meroket. Fang Yusi bersandar di kursi itu, melihat Joseph di sampingnya berulang kali mengangkat plakat, bercanda dengan wanita di sebelahnya. Perempuan berambut pirang bernama Marilyn juga menatap perhiasan di layar, senyumnya mengandung kekaguman dan harapan... Sungguh licik! Perempuan seperti ini cuma mau menguras uang pria – begitu pikiran Fang Yusi.
Tak lama kemudian, perhiasan terjual dengan harga 3,7 juta keping emas. Tapi pembelinya bukan Joseph di sebelahnya, melainkan playboy dari keluarga Huang di Kota Jianghai. Pria bernama Huang Bingwen ini adik bungsu dari Huang Bingxiang dan Huang Bingxing. Usianya sudah 30-an tapi masih menganggur dan bergaul dengan banyak wanita. Di mata para gadis, dia termasuk berlian lajang paling berharga di Jianghai. Setelah mendapat barang, dia dan si cantik di sampingnya berdiri sambil tersenyum ke sekitar, wujudnya sangat mengesalkan.
"Perhiasan ini belum yang terbaik hari ini. Saya dapat info dari dalam, nanti akan ada barang lebih bagus lagi."
“Joseph tersenyum sambil menjelaskan kepada perempuan di sebelahnya. Sembari berbicara, tanda tanya besar muncul di layar besar di depan. Setelahnya, lelangter memberi isyarat tenang sambil tersenyum, sementara staf mendorong platform kecil dari belakang.
“Para tamu terhormat, dalam waktu berikutnya kami akan menghadirkan kejutan terbesar lelang hari ini - kalung berlian kelas kakap produksi Tiffany. Mari kita lihat...” Saat lelangter menarik kain merah penutup di platform kecil, gambaran cahaya berkilauan muncul di layar besar. Hampir semua perempuan di aula lelang sesak napas sejenak, memandangi depan dengan tatapan tajam. Mabuk Fang Yusi lenyap seketika.
“...Kalung dengan potongan baru ini menggunakan 220 bola berlian sempurna dengan total berat 215 karat. Setiap berlian dipotong dengan halus, dan karena menggunakan partikel murni tanpa penyepuhan emas, memberikan kilau transparan istimewa. Bagian pengait menggunakan 37 berlian trapesium seberat 6,25 karat. Konsep perhiasan multifungsi ini memungkinkan penyesuaian panjang rantai secara bebas, dan bisa terurai menjadi gelang... Perkiraan harga awal oleh penilai profesional adalah 13,2 juta...”
"Seiring penjelasan lelang, seluruh ruang pelelangan tenggelam dalam bisikan-bisikan. Jelas terlihat perhiasan ini terlalu mahal sehingga membuat semua orang agak kewalahan. Mata para wanita berkilauan diterangi cahaya berlian, sementara para pria mulai menghitung isi dompet mereka. Bisa diprediksi, jumlah penawar untuk perhiasan ini mungkin tidak akan banyak."
"Deskripsi tentang kalung ini memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Mendekati pukul sepuluh, proses penawaran akhirnya dimulai. Pengangkat plakat pertama adalah seorang pria gemuk - seorang nouveau riche yang baru bangkit di Kota Jianghai. Kabarnya kekayaannya melebihi 1 miliar, namun karena karakter yang buruk, dia tidak diterima di kalangan kelas atas. Hobinya yang paling disukai adalah mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membuat orang lain jengkel."
"13,5 juta."
"13,6 juta." Penawar kedua adalah Joseph di sebelah. Namun saat mengangkat plakatnya, Marilyn di sampingnya tampak ingin mengatakan sesuatu namun mengurungkannya.
"Kepalsuan... Pasti merasa tidak enak menerima tapi juga tidak tegas menolak, tidak berani mengaku ingin tapi juga tak mau melepas. Sungguh munafik!" Fang Yusi merasa cemburu sampai gigi gemeretak, dalam hati mengutuk. Seluruh kekayaannya hanya cukup membeli satu kalung ini. Andai ada yang mau memberikannya...
“13,8 juta.” Penawar ketiga adalah Lü Guangyi dari Keluarga Lü di Kota Jianghai. Setelah mengangkat papan nomor, dia bahkan melirik tajam ke arah pria gemuk orang kaya baru itu. Sebagai salah satu dari Lima Keluarga Besar Jianghai, pemimpin Keluarga Lü saat ini bernama Lü Guangren. Lü Guangyi adalah adik keduanya yang sangat ahli dalam bisnis, mengelola keuangan sebagian besar perusahaan keluarga. Biasanya dia tidak tinggal di Jianghai. Kembalinya kali ini dikabarkan karena konflik dengan si orang kaya baru, dan sekarang jelas dia menggunakan uang untuk beradu.
“14 juta!”
“14,2 juta!”
“14,5 juta!”
Di ruang lelang, pada dasarnya hanya ketiga orang ini yang bergantian menawar. Meski terlihat sepi, setiap tawaran membuat wajah orang-orang di sekitar berkedut, dan setiap penawaran juga membuat Fang Yusi merasa pria di sampingnya begitu memesona.
Sayangnya, naga kuat pun tak bisa mengalahkan ular lokal. Meski sebagian besar uang Keluarga Salieri berasal dari bisnis ilegal seperti perdagangan narkoba, Joseph hanyalah seorang petugas. Awalnya ingin membeli barang bagus untuk menyenangkan Marilyn, tapi akhirnya muncul barang sebesar ini. Saat harga mencapai 17 juta, dia akhirnya menghela napas dan menurunkan papan nomor, tersenyum penuh permintaan maaf ke Marilyn. Hati Fang Yusi dipenuhi kekecewaan sekaligus kegembiraan. Ternyata di dunia ini, hal yang ingin kita raih seringkali tak tercapai.
Dengan mundurnya Joseph, situasi di ruang lelang berubah menjadi konfrontasi langsung antara kedua belah pihak. Kedua pihak saling bersaing dengan tak kenal lelah meneriakkan harga yang lebih tinggi. Tak lama kemudian, harga menembus 20 juta dan terus merangkak naik, namun interval waktu antara setiap penawaran mulai memanjang. Jelas kedua pihak mulai mempertimbangkan apakah menghabiskan puluhan juta untuk pamer sesaat ini sepadan.
Dari segi kekuatan, Keluarga Lü tampak jauh lebih unggul dibanding si orang kaya baru itu. Bagi pria gemuk itu, ini soal harga diri. Ketika harga melampaui 24 juta, pertarungan ujung jarum melawan ujung gandum ini masih belum menunjukkan tanda berhenti. Fang Yusi gelisah di kursinya, emosinya terbawa oleh besarnya angka yang terlibat. Saat suara "25 juta" bergema, dia mendengar gadis kecil di sebelahnya berteriak girang: "Jiaming!"
Saat ini, nama itu sama sekali tak berkesan di ingatannya. Namun terkejut oleh teriakan itu, matanya beralih ke samping lalu tertegun sejenak: Bukankah anak laki-laki itu yang pernah menyanyikan "only-
you" saat latihan di Akademi Hati Kudus dulu? Kenangan tak menyenangkan melintas sekilas di hatinya. Pandangannya segera tertarik kembali oleh perang mata uang di depan.
Di sisi lain, Heidi menggenggam tangan Jiaming dan memukuli punggung tangannya dengan kesal: "Kau! Akhirnya! Datang! Aku dan Mama sudah menunggu lama!"
“Hehe, Aku minta maaf、Aku minta maaf, ada Teman yang mengalami hal tidak menyenangkan, Aku harus menemaninya.” Memandangi Fang Yusi yang duduk tiga kursi jauhnya, pandangan Jiaming tertahan sejenak di wajah Marilyn, keduanya saling tersenyum paham: "Eh, lelang? Ada barang bagus? Wah, kalung yang cantik."
"Iya, sangat indah." Heidi tak terlalu terkesan dengan perhiasan mutiara bernilai beberapa juta. Namun saat kalung berlian 10 juta ditampilkan, matanya tak kuasa berpaling. Jiaming menarik tangannya sambil tersenyum, berbisik: "Sebagai permintaan maaf atas keterlambatanku, aku belikan ini untukmu setuju?"
Perkataan ini tidak terdengar Joseph, tapi Marilyn di sampingnya agak mendengar, cepat-cepat menggelengkan tangan: "Jangan, terlalu mahal." Heidi juga tersenyum: "Iya, harganya gila. Sudah dua tahun belajar bahasa Mandarin, Aku paham juga mereka nawarin 20 juta lebih. Kau, temani aku cari permen kapas saja, nanti aku melepaskanmu."
Melihat si gadis kecil begitu penurut, Jiaming mengulurkan tangan dan mengelus kepalanya. Seketika, Heidi kembali naik pitam: "Kesatria tidak boleh sembarangan mengusap kepala orang, aku bukan anak kecil lagi!" Ia berusaha menepis tangan Jiaming, namun segera dicekik lehernya dengan iseng oleh Jiaming yang mencopot topi biru kecil di kepalanya, lalu mengacak-acak rambutnya sampai tidak karuan baru berhenti. Setelah memukul Jiaming beberapa kali, Heidi yang kesal melotot ke arahnya dengan wujud seperti ingin menggigit.
Bicara soal karakter buruk, mana ada Heidi yang bisa menyaingi Jiaming. Kali ini dengan santai ia menyenderkan tubuh: "Hei, kalung itu, kau juga suka kan Marilyn?"
Setelah merapikan rambut Heidi, Marilyn mengangkat bahu. Jiaming tersenyum, melihat Joseph di seberang sudah mulai memperhatikan, lalu membisik di telinga Heidi: "Gadis kecil, apakah mamamu punya tanda lelang di sana?"
"Aku bukan gadis kecil, malas berurusan denganmu!" Heidi melotot padanya, tapi tak lama kemudian tak tahan mengambil tanda dari kursi ibunya dan menyodorkannya ke Jiaming.
“Lagi pula bukan aku yang pakai.” Jiaming tersenyum, membisikkan beberapa kalimat di telinga Heidi. Joseph memandangnya dengan bingung. Sebagai anggota inti Keluarga Salieri, dia tentu tahu Marilyun sebelumnya diselamatkan oleh sosok misterius kuat di Tiongkok. Kembalinya Marilyun ke Kota Jianghai kali ini juga bermaksud mencari orang itu. Sebelumnya dia sudah mencoba mengorek informasi dengan berbagai cara, tapi kedua wanita itu sangat waspada, tak mau membocorkan apapun. Yang mengejutkan, kontak pertama mereka di Jianghai malah seorang mahasiswa? Tiga tahun lalu dia masih anak-anak...
Dalam sekejap, penawaran di ruang lelang mencapai 27 juta. Mendengar perkataan Jiaming, Heidi melotot, mengkonfirmasi sekali lagi sebelum menyerahkan plakat ke tangan ibunya sambil berbisik-bisik di telinganya. Usai berbicara, Marilyun memandang Jiaming dengan mata terbelalak. Jiaming hanya tersenyum mengangguk. Tak lama kemudian, Marilyun memandangnya dengan senyum kekecewaan, seolah seorang ibu pengertian yang akhirnya mengabulkan permintaan nakal anaknya.
Di depan, si orang kaya baru itu menggigit gigi, mengangkat plakat dan berteriak: "30 juta!" Seketika ruangan gempar. Kenaikan 3 juta sekaligus menunjukkan tekadnya untuk mengalahkan Keluarga Lü. Fang Yusi menarik napas dalam-dalam, menatap tegang ke arah Lü Guangyi. Kegembiraannya hampir membuatnya pingsan seandainya kalung ini akan dihadiahkan untuknya. Tiba-tiba, terdengar penawaran berikutnya.
“50 juta.”
Suaranya terdengar datar namun aneh, karena berasal dari wanita asing. Setelah angka itu terdengar, ruang lelang menjadi hening sejenak, bahkan juru lelang di atas panggung seperti sedang memastikan apakah dirinya mengalami suara halusinasi. Penawaran itu jelas bukan dari Lu Guangyi. Sekejap mata, pikiran Fang Yusi menjadi kosong sesaat. Perlahan ia menoleh, pandangannya melintasi Joseph. Wanita berambut pirang di sebelah sana meletakkan nomor di tangannya, lalu menyunggingkan senyum kecut ke arah pemuda bernama Gu Jiaming.
## Bagian Seratus Empat Puluh Enam: Permasalahan Batin
“50 juta.”
Makna numerik murni ini mudah dipahami semua orang. Namun ketika dikonversi menjadi uang, nilainya bisa membuat banyak orang sulit bernapas. Kalung yang semula bernilai lebih dari 10 juta RMB, karena unsur kesengajaan terangkat menjadi 30 juta, tiba-tiba melonjak ke angka 50 juta. Wajar jika banyak yang mengira mereka salah dengar.
Di tengah bisikan-bisikan sekitar, Fang Yusi terdiam memandang Marylin di sampingnya. Joseph juga menunjukkan ekspresi terkejut. Latar belakang Marylin sebenarnya memungkinkannya mengeluarkan 50 juta RMB, tapi sikap tinggi hati seperti ini sangat berbeda dengan kebiasaannya. Apakah dia benar-benar menyukai kalung ini? Tapi... jika bukan perhiasan pemberian pria, apa artinya membelinya sendiri?
Setelah sedikit berpikir, dia mulai khawatir apakah Marilyn sengaja menaikkan harga karena keengganannya sebelumnya. Setelah bertahun-tahun mengejar Marilyn, sejak kematian Tang Jingyao, wanita berambut pirang ini tampak lebih terbuka dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan mulai terlibat dalam bisnis keluarga dan semakin akrab dengannya, Joseph merasa mungkin inilah kesempatannya.
Selama lebih dari dua tahun terakhir, Marilyn bekerja sebagai asistennya. Mereka bisa dibilang hidup berdampingan setiap hari. Seiring senyum Marilyn yang semakin sering terlihat, kerja sama mereka pun semakin harmonis. Joseph yakin dialah orang paling spesial di antara semua orang. Karena itu, tiba-tiba dia khawatir - jika Marilyn benar-benar tertarik pada kalung ini, apakah mundurnya di angka 17 juta akan dianggap sebagai kurangnya keberanian?
Menyadari ekspresi Joseph, Marilyn hanya mengangkat bahu dengan santai sambil tersenyum lembut. Sebagai partner lama, Joseph telah melihat ekspresi ini berkali-kali - yang biasanya berarti "Tenang, sudah selesai". Tapi kali ini, maknanya benar-benar membingungkan.
Tentu saja, apapun yang dipikirkan Joseph, tidak akan pernah terlintas bahwa perasaan Marilyn saat ini hanyalah kesenangan sederhana - mirip kasih sayangnya pada Heidi, atau obsesinya dulu pada Tang Jingyao.
Untuk perasaan terhadap anak Jiaming ini, dia tidak bisa menganalisis dan mengklasifikasikannya. Dia terlihat seperti anak kecil——sekarang menjadi pemuda, tapi bagaimanapun, perbedaan usia antara mereka berdua tetap tak terjembatani——namun tampak lebih matang dari siapapun, seolah bisa mengetahui segalanya, melakukan hal-hal di luar nalar. Dia pernah menyelamatkannya, dan dia pernah bersumpah serta berjanji untuk menyerahkan sisa hidupnya padanya, mereka pernah berhubungan fisik, namun berbeda dengan nafsu daging sederhana. Dia bahkan merindukan keterbukaan dan kontak tanpa sekat di masa lalu. Tapi apakah ini cinta? Atau nafsu gelap? Sulit dijelaskan. Pada dasarnya, mungkin kata "suka" yang lebih realistis.
Namun jika diringkas mungkin rumit, pada lapisan praktis cukup sederhana. Dia sudah menjadi milik pemuda ini, jangan merepotkannya, patuhi perkataannya, buat dia senang, yang perlu dilakukan sesederhana itu.
Saat Heidi menyampaikan perkataan Jiaming, dia benar-benar terkejut dengan angka ini. Pada tingkat rasional, bagaimanapun dia takkan mengeluarkan uang sebanyak ini untuk membeli kalung——50 juta RMB, lebih dari 6 juta dolar AS. Meski keluarga mereka mengaku sebagai mafia di luar, merampok, menjual narkoba, perdagangan manusia, tapi dalam hal kekayaan, tak mungkin menyaingi beberapa keluarga besar di Kota Jianghai. Mengeluarkan 50 juta, sudah pasti akan sangat memberatkannya. Tentu saja, sejak awal dia sudah menganggap hal ini sebagai urusan mengeluarkan uangnya sendiri.
Namun setelah berpikir sejenak, segalanya menjadi tidak penting. Karena dia ingin bertingkah, dan dirinya memiliki modal untuk menemani kekonyolannya, maka yang paling penting adalah membuatnya senang. Bagaimanapun, sejak kematian Tang Jingyao, itulah satu-satunya tujuan dalam kehidupan barunya, bukan?
Nomor yang diangkat dengan santai, decak kagum semua orang, senyum lembut wanita berambut pirang—sepertinya tak ada yang menyadari bahwa tusizi yang dulu hidup bergantung pada Tang Jingyao, setelah memiliki kekuatan eksternal dan tak lagi menyendiri, esensinya tetap tak berubah. Bahkan semakin haus menyerap kekuatan dari simbol ketergantungan mentalnya.
Meski agak cacat, bunganya begitu indah.
Harga kalung melambung ke 30 juta. Perkiraannya baik si pria gemuk orang kaya baru maupun Lü Guangyi mulai ragu. Ketika Marilyn ikut lelang dengan harga 50 juta, kedua pihak mulai mundur secara wajar, tak lagi menaikkan harga.
Setelah tiga ketukan, transaksi diputuskan. Lelang berlanjut dengan barang-barang mewah bernilai rendah. Sesekali orang melirik ke arah Marilyn—Fang Yusi salah satunya. Marilyn sesekali berbincang dengan Heidi dan Jiaming. Menjelang pukul sebelas, lelang memasuki babak akhir. Saat Marilyn, Joseph, dan empat orang lainnya pergi ke belakang dengan staf untuk membayar dan mengambil barang, tiba-tiba terdengar teriakan: "Jiaming, kenapa kau juga di sini?"
“Menoleh ke belakang, di sana tampak Huang Bingwen, si playboy dari keluarga Huang yang sedang menggandeng seorang wanita cantik. Saat itu tangan Jiaming sedang digandeng Heidi, ia langsung mengangguk dan tersenyum: "Paman Kelima."”
“Hehe, apa beberapa orang ini adalah temanmu?”
“Iya, merekalah yang mengajakku ke lelang. Ini Heidi, ini Marilyn (ibu Heidi), dan paman ini, eh...”
“Halo, namaku Joseph.” Melihat Jiaming tidak bisa menyebut namanya, Joseph tersenyum mendekat dan mengulurkan tangan.
“Oh? Apakah ini Bapak Joseph dari perusahaan Salo Amerika? Haha, sudah lama mendengar reputasi Anda. Konon Anda datang ke Jianghai untuk meninjau prospek perkembangan...”
Meski dijuluki playboy, toh dia berasal dari keluarga besar seperti Huang. Seketika itu juga ia mulai mencoba akrab dengan Joseph, percakapan basa-basi pun berlangsung cukup lama. Di belakang Joseph, Marilyn tiba-tiba merasakan gerakan. Melihat ke bawah, ternyata Jiaming sedang membuka ritsleting tas kecilnya dengan lembut dan memasukkan sebuah kartu bank.
“Hmm?”
“Bank Swiss, passwordnya 12345, isinya 10 juta dolar AS. Jangan lupa minta kembalian.” Berbisik di telinga Marilyn. Jiaming lalu mulai berceloteh dengan Heidi tentang dimana bisa membeli permen kapas, sambil menjelaskan proses pembuatan dan prinsip ilmiahnya. Sepuluh juta dolar AS di matanya tak lebih menarik dari seuntai permen kapas.
Membuka bibir perlahan, sesaat kemudian ia memonyongkan bibir seperti gadis kecil lalu tersenyum.
Berbaring malas di kursi cukup lama, hingga semua orang telah pergi dan staf mulai mengurus kekacauan, Fang Yusi baru limbung keluar dari lokasi lelang. Seorang pria berjas mendekati dan menawarkan bantuan, namun ia menolak dengan menarik tepi topi ke bawah.
Ini adalah lantai lima belas hotel.
Koridor sisi luar tertutup kaca raksasa yang memantarkan neon kota, meski gerimis di luar, angin di lantai lima belas menerpa dengan ganas. Ia merapatkan selimut pakaian sambil menggigil kedinginan.
Mabuk itu datang bagai longsor, menyiksa seluruh tubuh dengan rasa sakit dan tekanan. Saat pergi, hanya menyisakan kehampaan yang nyata. Namun kesadaran kali ini... datang terlalu cepat.
Kebahagiaan orang lain seringkali mengingatkan kita pada ketidakberuntungan diri sendiri. Dia mungkin tidak benar-benar sengsara, tapi di hadapan 50 juta keping emas itu, dia merasa seperti pengemis. Dia memohon mantan pacarnya untuk menuliskan lagu, merengek pada perusahaan hiburan agar membuatnya terkenal, dan berpura-pura memohon pendengar membeli albumnya. Siapakah dia? Bintang besar Fang Yusi, seolah tiga karakternya adalah merek ternama, tapi hanya dirinya yang tahu betapa rentannya diri ini. Begitu perusahaan hiburan menyimpannya aman, hilanglah semua peluangnya. Suaranya sebenarnya tidak terlalu istimewa, saat pacar putus dengannya, barulah dia sadar betapa sulitnya mencari lagu yang cocok dan menyentuh hatinya. Dia menempuh perjalanan jauh ke Kota Jianghai mencari komposer berbakat, tapi mereka malah mengancam akan memblokirnya.
Tentu saja tanpa pacar atau penulis lagu di sini, masih banyak yang mau menuliskan lagu untuknya. Tapi jika menyanyikan lagu-lagu biasa, tidak lama lagi dia pasti akan terlupakan, tersingkir selamanya dari jajaran bintang wanita kelas satu. Setelah bertahun-tahun berjuang, uang lebih dari 10 juta yang diraihnya seharusnya membuatnya tenang dan hangat di hati, dulu ini seperti angka astronomi baginya. Tapi setelah memegangnya, dia baru sadar ingin lebih banyak lagi. Namun samar-samar dia pahami, hari dimana bisa dengan enteng melemparkan 50 juta hanya untuk membeli kalung mungkin mustahil datang.
Tapi... yang menyanyikan "only-
you” pemuda baron itu sebenarnya orang apa? Sikap Saudara Dongfang dan Zhang Jingfeng hari itu, sepertinya menunjukkan identitasnya tidak biasa. Kali ini dia lagi terlihat sangat akrab dengan wanita yang membeli kalung itu.
Sungguh iri... 50 juta... orang kaya... kepala sakit sekali...
Pukul satu dini hari, di kamar 1602 hotel, Joseph mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian, Marilyn yang mengenakan gaun tidur putih membukakan pintu. Di dalam masih terlihat hiruk-pikuk.
“Bunuh dia! Bunuh dia! Bunuh dia...”
Berbagai camilan berserakan di atas karpet depan TV besar. Heidi yang sedang asyik main game terus meneriakkan yel-yel dengan bersemangat. Di sebelahnya ada pemuda asing itu.
“Joseph, ada hal apa?”
“Heh, tidak ada, cuma mau mengucapkan selamat malam. Itu... Gu Jiaming? Apakah dia juga akan istirahat di sini?”
Menoleh melihat dua orang yang sedang bertarung di depan TV, Marilyn tersenyum sambil menoleh kembali: "Dia tidak bilang, tapi aku sudah memesan kamar tambahan di hotel."
"Dia... uh, dia temannya Heidi? Maksudku, bagaimana kalian kenal..." Sambil memberikan senyum, ia berhati-hati memilih kata-kata. Meski dari percakapan dengan Huang Bingwen dia sudah kira-kira tahu identitas Jiaming, namun terhadap pengalaman ibu dan putri Marilyn di Tiongkok sebelumnya, rasa penasarannya masih sangat besar. Tapi, orang yang bisa membunuh Tang Jingyao dan banyak orang lainnya, tentu saja bukan pemuda di depan matanya ini.
“Teman yang Heidi kenal saat terakhir datang ke Tiongkok.” Senyum Marilyn, “Tapi kurasa dia tak suka orang terlalu memperhatikan urusan pribadinya.”
“Eh, maaf, aku cuma ingin...”
“Selamat malam. Tenang, dia tidak bermasalah.”
“Uh, aku pikir...”
Dengan senyum mempesona di wajah, Marilyn menutup pintu kamar perlahan. Tangan Joseph terangkat di udara sambil menghela napas pelan. Soal satu juta dolar AS yang dia keluarkan saat membayar, tetap terasa sangat mencurigakan baginya - dari mana asalnya uang sebanyak itu...
## Bagian 147 Parasit
“Uang sebanyak itu? Dapat dari mana?”
Lewat pukul dua pagi, keributan di kamar akhirnya mereda. Layar TV masih menampilkan gambaran game. Di antara tumpukan camilan, Heidi kecil dengan kalung berlian senilai 50 juta di lehernya akhirnya tertidur lelah, pipinya menempel di paha Jiaming, air liur masih menggenang di sudut bibir. Marilyn sedang membereskan bungkus camilan kosong sambil tersenyum lembut memandangi Jiaming yang sedang membelai pipi Heidi.
“Hasil selingkuh, ya? Banyak?” Jiaming tersenyum melihat kalung di leher Heidi.
“Sepuluh juta dolar AS, tentu saja banyak.”
“Heh, sedikit saja. Sebenarnya, meski tahu nilai realita kalung ini, aku selalu sulit memahami mengapa orang bisa menaikkan harga beberapa batu sampai setinggi ini. Seperti halnya aku tak mengerti konsep luar biasa apa yang ada di balik 10 juta dolar AS... Uang itu...” Menggelengkan kepala perlahan, dia menggendong Heidi dan berjalan menuju kamar dalam. Mary membersihkan sampah sambil tersenyum lembut: “Jangan selalu bersikap seperti orang tua...”
Meletakkan Heidi di ranjang kamar dalam, saat menutup pintu, Mary berdiri di tengah kamar menatapnya dengan pandangan menggoda. Jiaming mengangkat bahu, merapikan dua kemasan di dekat kakinya: “Kenapa memandangiku seperti itu?”
“Sudah lama tak bertemu. Hari ini kusadari, kau sudah setinggi aku. Tiga tahun lalu kau baru sampai di sini...” Dia memberi isyarat di atas dadanya.
“Hehe, ketinggian itu memang lebih praktis.” Sambil bercanda ringan, saat melewati Mary, wanita berambut pirang itu dengan lembut membuka selendang piyama. Gaun tidur sutra putih meluncur mengikuti lekuk tubuhnya, memperlihatkan sosok memikat yang hanya mengenakan celana dalam renda seksi di hadapan Jiaming. Gerakan yang pertama kali dilakukan dalam tiga tahun ini membuat napas Mary terengah, pipinya memerah sebelum dia merapatkan lutut dan bersujud anggun di depan Jiaming.
Masih memegang kemasan camilan, Jiaming terdiam di tempat. Entah memikirkan apa, dia menatapnya dengan senyum tipis.
“Situasi seperti ini sebenarnya tidak asing bagi keduanya. Setelah ragu sebentar, Marilyn menggigit bibir seksi dengan gigi putihnya, mengulurkan tangan ke tali pinggang Jiaming. Namun sebelum sempat membukanya, Jiaming menggenggam tangannya dan menggeleng pelan: "Bangun dulu, kita bicara."”
“……Hmm？”
“Matanya membelalak, sorotan Marilyn terlihat bingung. Beberapa saat kemudian, barulah dia berdiri sambil menunduk. Jiaming mengangkat tali gaun tidur dari karpet, memakaikannya kembali padanya, lalu berbalik melempar kantong makanan ke tong sampah di sudut: "Tahun lalu aku punya dua pacar. Meski berhubungan seks bukan masalah besar, tapi karena kita berdua tidak terlalu membutuhkan, kamu tidak perlu memaksakan diri seperti ini, paham?"”
“Memaksakan diri... Aku tidak merasa..." ujar Marilyn terbata-bata sambil menatapnya, "Kamu... sudah punya pacar?"”
“"Iya." Jiaming berbalik sambil mengacungkan dua jari, tersenyum, "Ada dua!"”
“"Dua... dua!?"”
“Marilyn tersenyum lebar matanya membelalak. Jiaming mengeluarkan dompet dan menunjukkan foto padanya: "Cerita lengkapnya rumit, tapi kami bertiga sekarang tinggal bersama." Mereka duduk di sofa, Jiaming menjelaskan karakter di foto: "Yang kiri Ye Lingjing, yang kanan Liu Huaisha, biasa dipanggil Sha Sha. Kami bertiga sudah bersama sejak kecil. Setahun lalu terjadi beberapa hal yang salah kaprah, akhirnya tinggal bersama. Hal seperti ini... sungguh sulit dijelaskan."”
“Tidak ada pertengkaran?”
“Hmm... Hubungan mereka berdua lebih baik daripada hubungan dengan aku, jujur saja aku lebih mirip pihak ketiga...” Jiaming mengangkat bahu.
“Wah, dua perempuan cantik... Jadi Heidi kita tidak ada harapan?” Marilyn mengangkat alis, tersenyum memandang Jiaming.
“Menurutmu?” Jiaming membalas dengan pandangan menggoda, “Sekarang di Amerika sedang trend ibu dan anak perempuan datang bersama?”
Wajah Marilyn memerah, mendengus malu sambil melotot padanya, tapi akhirnya tidak berkata apa-apa. Di bawah cahaya kuning, ruangan terasa hangat. Gambar di TV berhenti di awal game. Marilyn menuangkan dua gelas kopi, lalu bercerita tentang kisah lucu Heidi di Amerika dan kehidupan ibu-anak selama tiga tahun ini.
Kebiasaan Marilyn bercerita hal-hal remeh di depan Jiaming sudah ada sejak tiga tahun lalu. Hanya saja dulu lebih sering mereka bertiga telanjang bulat di ranjang, dengan Marilyn yang bercerita satu arah. Situasi itu mungkin bermakna bukan hanya menyerahkan tubuh, tapi juga berbagi segala aspek mentalnya dengan Jiaming. Setiap kali Marilyn tanpa sehelai benang, perasaan terbuka tanpa batas untuk diintip orang semakin nyata.
“Dan sekarang, sambil menyeruput kopi, mengenakan piyama sutra putih bersih, senyum Marilyn yang akrab dan elegan cukup menunjukkan perubahan yang terjadi padanya selama tiga tahun. Setelah terbebas dari bayangan Tang Jingyao, mulai mengurus bisnis keluarga, dan bergaul dengan berbagai orang, Marilyn perlahan bertransformasi menjadi perempuan dengan aura elit, matang, dan mandiri. Namun seiring berjalannya waktu, Jiaming masih merasakan getaran kecemasan yang samar di hatinya.”
“Gejala paling jelas adalah Marilyn mulai meminum kopi gelas demi gelas. Setiap kali menceritakan bagian yang seru dan membanggakan, dia akan meneguk habis gelasnya dengan gudur gudur, satu gelas, dua gelas, tiga gelas... Kopi dalam teko kaca yang sebenarnya sudah banyak diminum Jiaming dan Heidi, sampai pada gelas kelima, teko sudah kosong. Dia tersenyum minta maaf: "Aku akan menyeduh yang baru."”
“Eh...”
Perasaan manusia normal, yang berkaitan dengan diri sendiri, bagi Jiaming selalu menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan. Murni menggunakan psikologi untuk menganalisis adalah hal yang bodoh, tapi sekarang, dia hanya bisa menganalisis seperti ini. Hubungan dengan Marilyn tidak normal, awalnya Marilyn membuat janji seperti itu karena merasa hidupnya sudah kehilangan pegangan setelah kematian Tang Jingyao. Sekarang sudah tiga tahun berlalu, Marilyn terbebas dari bayangan Tang Jingyao, dirinya sendiri sudah punya pacar, apakah naik ranjang atau tidak tidak penting, tapi setelah mengaku sejujurnya, upaya untuk meminimalkan janji ini jelas merupakan pilihan yang tepat. Tapi nyatanya, pengakuan jujurnya kali ini tetap membuat Marilyn merasa terabaikan.
Sejak mendengar tentang Lingjing dan Shasha, Marilyn berusaha tampil natural, matang, dan mandiri. Dia ingin membentengi diri, tapi... tepat saat berpikir sampai sini, terdengar suara "Prak" dari bar. Jiaming mengulurkan tangan ke meja, seluruh tubuhnya bawah sadar terbang melesat.
Di area bar sudut ruang tamu, ketel kopi terjatuh dari tangan Marilyn. Kaca pecah berkeping, air panas terciprat kemana-mana. Marilyn berdiri di tempat, memandang keadaan di lantai, sekejap tampak bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Air panas yang menyemprot ke betisnya yang sehalus teratai pun seolah tak dirasakan. Melihat bayangan Jiaming, barulah dia sedikit panik berkata: "A... Aku... Itu... Maaf... Aku tidak sengaja..."
“Sambil berbicara, Marilyn berbalik mencari alat kebersihan. Jiaming menghela napas: ‘Tunggu, sudahlah, petugas hotel akan membersihkan besok.’”
“Tapi…”
“‘Aku hanya bilang punya pacar, bukan menyindir kau dan Heidi harus pergi.’”
“Tapi…” Marilyn menoleh kembali, air mata tiba-tiba jatuh dari ekspresi kaku wajahnya, lalu tersenyum seolah tak menemukan ekspresi yang tepat, suaranya mulai tersekat, “Maaf… Aku tak ingin mengganggumu, juga tak memintamu mencintaiku, tapi… tapi Heidi menyukaimu, maksudku… aku juga… aku kehilangan koordinatku sendiri, setelah Tang Jingyao MATI, aku tak menemukan posisiku di dunia ini…”
Dalam uraian kalimat yang kacau, ia menangis perlahan sambil berjongkok di lantai. Jiaming mendekat, menggendongnya langsung, lalu menaruhnya kembali di sofa, membuka helaan gaun tidurnya, dan menyelipkan tangannya ke dalam.
“‘Kukira kau mengerti maksudku, siapa sangka kau salah paham semua…’”
“‘S-sorry… hmm…’”
“Mengeluarkan celana dalam renda dari bawah rok, Jiaming tersenyum tipis: ‘Tahu tidak? Aku jarang menjalin hubungan dekat dengan orang. Orang yang benar-benar kuperhatikan di dunia ini tidak lebih dari sepuluh. Awalnya kita tidak seharusnya bersinggungan, tapi karena salah kaprah hingga terlibat hubungan... Aku selalu menganggap kalian sebagai teman, Heidi begitu, kau juga. Jika kau menjadikanku koordinat di dunia ini, itu bagus. Naik ranjang atau semacamnya tentu saja kuidamkan. Kau tahu, tak ada pria yang akan menolak. Jadi kurasa... lain kali saat tak ada orang lain, jangan pakai baju di depanku lagi, setuju?’”
Kaki rampingnya mengunci tangan yang bergerak liar di balik gaun tidur. Pipi Marilyn memerah, matanya berkaca-kaca. Beberapa saat kemudian, baru terdengar desahan mirip rintihan.
“Asal... kau suka... hmm... terserah...”
Kamar terasa hangat. Saat jarum jam menunjukkan pukul lima pagi, Marilyn yang telanjang meringkuk di sebelah Jiaming tersenyum lelah: “Hmm, maaf.”
“Jangan bicara seolah kau yang dirugikan. Akulah yang untung.” Sambil mengenakan baju, Jiaming menendang bokong wanita berambut pirang itu, “Tapi kalau dipikir, sepertinya setiap ketemu kita cuma naik ranjang... Di luar ranjang, obrolan jadi canggung...”
“Maaf, tapi...” wajah Marilyn merah padam, terbata-bata, “Aku... sudah tiga tahun tidak melakukannya...”
“Jangan terus minta maaf, aku yang tak sengaja tersentuh...” Mengambil celana dalam dan piyama di lantai untuk dipakaikan pada Marilyn, Jiaming tersenyum, “Tutup selimutmu, jangan biarkan Heidi melihatmu seperti ini. Selamat malam.”
“Selamat malam... Sebenarnya, Heidi pasti sangat berharap kau bisa menemani bermain hari ini... Ka-kalau kau tidak pamit padanya...”
“Lebih baik jangan membangunkannya. Ngomong-ngomong, hari ini Sabtu, malam ini aku akan bernyanyi di bar bernama Blue Bird. Bukankah Heidi suka menyanyi? Bawa dia kesana nanti, alamatnya di sini.” Meletakkan kartu di samping bantal Marilyn, Jiaming mencium pipinya lalu berbalik keluar: “Sampai nanti malam.”
“Nanti malam... jumpa...” Melambaikan tangan dengan senyuman, Marilyn mengambil kartu itu. Tak lama kemudian, suara pintu kamar yang tertutup terdengar dari luar. Di balik senyum itu, diam-diam air mata kembali mengalir di pipinya.
## Bagian Seratus Empat Puluh Delapan Blue Bird
Sore hari, Bar Blue Bird.
Hujan gerimis tak henti seolah menjadi tema tunggal peralihan musim semi ke panas ini. Di plaza kecil depan bar, kerumunan kepala manusia bergerak tak karuan, payung-payung dan suara riuh berbaur menjadi pemandangan hiruk-pikuk. Mobil-mobil kecil membunyikan klakson melintas perlahan, lebih dari sepuluh satpam bertubuh kekar menjaga keteraturan di pintu masuk bar.
Blue Bird Bar yang biasanya terbuka untuk semua orang, setiap Sabtu malam berubah menjadi tempat konsumsi yang hanya bisa dimasuki dengan tiket. Aturan ini mulai berlaku sejak dua bulan lalu, karena setiap minggu pada waktu ini, Band Konsep akan menyanyikan satu atau dua lagu di sini.
Tanpa album rilisan, tidak pernah muncul di acara TV, penampilan band ini bahkan tidak bisa dibilang profesional. Terkadang ada anggota yang lupa lirik lalu mengulang dari awal. Lagipula mereka hanya tampil 10-20 menit setiap kali, dan tidak akan muncul lagi meski penonton memprotes. Alasan mereka menarik perhatian adalah karena satu lagu mingguan ini benar-benar luar biasa. Gaya musik yang variatif, lirik dan komposisi sempurna, hampir pasti akan meledak popularitasnya jika dinyanyikan artis ternama. Terbukti dengan rilisnya lagu "Dongfeng Po" dan "Jiangnan" oleh dua penyanyi berbeda bulan Maret lalu, dimana kredit penulisnya justru membuktikan kekuatan eksplosif Band Konsep.
Tentu saja, bisa juga dikatakan ini adalah ledakan kekuatan akumulasi puluhan tahun industri musik yang meledak sekaligus.
Sejak sebulan setelah penampilan band tersebut, kaset rekaman pribadi mulai beredar di Kota Jianghai. Setelahnya, setidaknya di Jianghai, band konsep perlahan telah memiliki sekelompok FANS yang fanatik. Meskipun skala ratusan hingga ribuan orang tidak sebanding dengan bintang besar manapun, namun kerumunan yang berkumpul setiap Sabtu sudah melebihi kapasitas bar kecil seperti Blue Bird. Pada akhirnya, bar berlatar belakang geng Shazhu Bang ini terpaksa mengerahkan personel setiap minggu untuk menjaga ketertiban dan membatasi kuota pengunjung. Meski begitu, banyak orang tanpa akses tiket tetap memadati luar bar, menunggu selesainya pertunjukan band konsep lalu pulang mendengarkan rekaman penuh noise selama lebih dari seminggu.
Melangkah keluar dari pintu mobil, Fang Yusi secara bawah sadar menekan tepi topinya. Ia menyusup ke kerumunan berpayung yang berdesakan di plaza kecil sambil bergumam, dikawal empat pengawal di sampingnya. Saudari Lan (manajer) berbisik memberi pengarahan tentang hal-hal yang harus dilakukan setelah masuk.
"...Beberapa orang yang berjaga di terowongan sebelah sudah disuap. Setelah konser konsep selesai, ikuti mereka lewat pintu samping. Siapapun lawan bicaramu, jangan marah, bicaralah dengan baik... Tentu aku tahu kau bisa mengontrol diri. Yang penting jangan sampai terjadi keributan. Duduklah bersama dan bicarakan baik-baik. Seharusnya tidak ada masalah. Mereka juga pasti punya akal sehat. Lagipula kau baru di Jianghai, mana sempat punya permusuhan yang tidak bisa didamaikan."
"Ya."
“Lagian... hal ini tidak ada yang istimewa, Liu Bei saja tiga kali mengunjungi gubuk Zhuge Liang. Kau suka lagunya, dengan begini saja sudah cukup menunjukkan apresiasimu... Belum pernah lihat pencipta lagu seperti ini...”
Meski mengucapkan kata-kata demikian, Kak Lan jelas masih menyimpan banyak ketidakpuasan terhadap band konsep ini. Cuma pencipta lagu biasa, di sini kami bayar, kau buatkan lagu saja selesai urusan. Sudah bertahun-tahun di industri, belum pernah lihat yang sampai harus didatangi artis pun masih tidak mau. Sayangnya mereka pertama tidak mau uang, kedua setiap lagu yang dibuat punya bakat populer, sekarang ini juga bukan di wilayah Hong Kong, ditambah perusahaan sangat menghargai komposer ini, sekarang memang tidak ada cara lain...
“Aku paham, Kak Lan.” Fang Yusi tersenyum menanggapi pikiran wanita di sampingnya, “Kak Lan, kau lebih cerewet dari dulu, jangan-jangan sedang jatuh cinta?”
“Pergi...”
Saat mereka berbisik sambil tertawa dan mendekati pintu, baru menyadari ada keributan di depan. Setelah diamati, ternyata tiga orang asing: pria itu Joseph dari semalam, di sampingnya wanita berambut pirang yang kemarin malam memenangkan lelang kalung berlian seharga 50 juta, dan gadis kecil keturunan campuran berdiri di samping ibunya dengan wajah kesal. Situasinya jelas: mereka tidak punya tiket tapi ingin masuk menonton pertunjukan, mungkin juga tertarik karena reputasi.
“Maaf, Nyonya, kami benar-benar tidak kenal orang yang Anda sebut. Di sini ada peraturan, malam ini yang mau masuk harus sudah memesan tiket sebelumnya... Tolong jangan menyulitkan kami.”
Meskipun dikabarkan memiliki latar belakang geng kriminal, namun jelas orang-orang yang dikirim ke sini telah menerima pelatihan profesional. Wanita di depan mata ini terlihat sangat kaya atau bangsawan, satpam di pintu hanya berusaha mencegah dengan kata-kata baik. Joseph yang menyertai wanita berambut pirang itu kini mengerutkan alisnya, dibandingkan beberapa satpam, aura yang dipancarkannya saat ini hampir bersifat menggilas. Tatapannya menyapu para satpam, seolah sedang mencari target untuk bertindak.
Sekejap mata, perasaan tak terdefinisi muncul di hati Fang Yusi. Di satu sisi, ia merasa senang melihat ketiga orang ini mendapat masalah - punya uang, kalung 50 juta, kalian tetap tak bisa dapat tiket masuk. Di sisi lain, bahkan terpikir di hatinya apakah harus menampakkan diri, mencari cara agar mereka bisa ikut masuk bersamanya sekaligus menjalin hubungan dengan mereka.
"Tapi... dia yang menyuruh kami datang ke sini, Blue... Bird... Benar, di sini kan..." Dengan gelisah merapikan rambutnya, wanita berambut pirang itu mundur beberapa langkah, kemudian mengeluarkan kartu untuk mencocokkan nama bar. Meski ekspresinya cemas, penampilannya tetap memesona. Joseph di sampingnya berkata berat: "Kalau biasanya tak perlu tiket, kenapa hari ini tiba-tiba perlu. Tuan, panggil manajer Anda untuk berbicara dengan saya."
"Eh, saya rasa..." Melihat Joseph mendekat, satpam itu tanpa sadar mundur selangkah, lalu melihat kartu di tangan Marilyn, "Nyonya, bisakah saya melihat kartu itu?"
“Ah? Hmm, tentu saja bisa.” Dengan ekspresi sedikit terkejut, Marilyn menyerahkan kartu itu sambil berkata, “Ini diberikannya padaku, kalau tidak aku tidak akan menemukan tempat ini.”
“Kalau begitu tidak masalah.” Setelah memeriksa kartu tersebut, satpam itu tersenyum dan mengembalikannya ke tangan Marilyn, “Selama kalian memiliki kartu ini, bisa masuk kapan saja. Area belakang panggung juga boleh diakses.”
“Eh, serius...” Marilyn menyimpan kartu itu ke dalam tas kecilnya, bertukar pandang dengan Joseph sebelum menarik putrinya masuk. Fang Yusi menghela napas dalam hati: Miliarder tetap miliarder, kartu tamu kehormatan bisa dikeluarkan begitu saja... Meski tempat ini tidak istimewa. Namun merasakan perbedaan perlakuan, hatinya tetap merasa sesak. Andai saja dirinya memiliki kartu itu, tak perlu menyuap orang untuk bisa masuk diam-diam.
Blue Bird Bar sebenarnya sudah dikunjungi Fang Yusi Sabtu lalu. Tempat malam biasa dengan bar konvensional, lantai dansa biasa, panggung pertunjukan standar, dan pelayan yang biasa-biasa saja. Setelah masuk aula, Fang Yusi dan Lan Jie langsung menerobos ke terowongan menuju belakang panggung agar bisa bereaksi cepat. Namun di tengah jalan, setelah berbincang sebentar dengan rekannya, Fang Yusi berbalik arah.
Di kursi tak jauh, Joseph yang sedang memegang anggur merah dari pelayan mengerutkan alisnya dan berkata pada Marilyn: “Anak laki-laki itu... Benarkah dia benar-benar bernyanyi di sini?”
“Ya, kalau dia bilang iya, pasti benar.” Melihat kerumunan orang di sekelilingnya, Marilyn tersenyum menanggapi.
“Skalanya benar-benar luar biasa.” Joseph menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Melihat penampilan orang-orang di luar tadi, aku sampai mengira ini konser Elvis Presley.”
“Dia selalu bisa melakukan hal-hal mengejutkan.” Seolah-olah suami atau anaknya sendiri yang meraih prestasi tersebut, senyum Marilyn bersinar terang. Di saat yang sama, suara perempuan terdengar dari samping.
“Hmm, Pak Joseph?” Suara merdu yang terdengar agak ragu-ragu, Fang Yusi mendekat dari sebelah. Joseph berdiri, awalnya tampak bingung tapi kemudian langsung mengenali: “Kau... Nona Fang? Penampilanmu sekarang... dibandingkan kemarin... Hah, benar-benar bagaikan dua pribadi berbeda...”
“Maaf, kemarin saya mabuk sampai merepotkanmu. Barusan saya melihat dari sana tapi belum yakin, tak kira Pak Joseph juga suka lagu-lagu Concept Band.”
“Merupakan kehormatan melayani si cantik, silakan duduk. Oh iya, hampir lupa memperkenalkan, ini rekan-rekan saya Nyonya Marilyn, Nona Heidi, dan ini Nona Fang. Marilyn, masih ingat? Kemarin dia duduk di sebelahku sepanjang waktu...”
Di bawah perkenalan Joseph, kedua belah pihak saling menyapa lagi. Gadis kecil itu sepertinya tidak suka berbicara dengan orang asing, bahkan tidak menyapa sama sekali, hanya menarik ibunya sambil berbisik-bisik. Karena keramaian orang, Fang Yusi hanya bisa mendengar samar-samar keluhannya tentang siapa yang belum muncul. Meski tidak jelas namanya, pasti bukan kata "Konsep". Mengingat ketidaktahuan trio ini terhadap band Konsep, Fang Yusi bergumam dalam hati: "Mengingat mereka memiliki kartu tamu kehormatan itu, mungkinkah mereka punya hubungan dekat dengan anggota band Konsep?"
Marilyn mengobrol dengan gadis kecil di sebelah, sementara Fang Yusi dan Joseph berbincang santai tentang berbagai topik. Musik di bar memekakkan telinga, kerumunan penari bergoyang di lantai dansa. Tak lama kemudian, jarum jam menunjuk pukul delapan. Di bawah kendali DJ, semua musik berangsur berhenti. Kerumunan yang sebelumnya bergoyang gila-gilaan tanpa sadar mulai menahan suara. Dari tindakan ini saja, sudah terlihat betapa tinggi posisi band Konsep di hati mereka.
"Baiklah, semuanya! Tepat pukul delapan malam, acara yang dinanti-nantikan siap dimulai. Waktu berharga, tak perlu basa-basi lagi. Mari kita sambut dengan meriah——KONSEP!"
Seketika, sorak gembira yang mendidih pecah dari kerumunan. Sosok pertama muncul dari belakang panggung kecil, lalu terjatuh "Byur!" ke lantai. Speaker di sekeliling melengking tajam memekakkan telinga, membuat semua orang di ballroom spontan menutupi telinga.
“Maaf... Maaf, terlalu banyak jalur, sampai tersangkut di kaki...”
Suara yang keluar dari mikropon adalah suara gadis yang cenderung netral. Di belakang, seseorang melepaskan kabel yang melilit kakinya. Gadis itu berdiri sambil bersandar pada tiang penyangga mikropon. Kekonyolan ini membuat kerumunan orang kembali tertawa. Tak lama kemudian, keempat orang telah berdiri di panggung kecil dengan posisi masing-masing, mengenakan topeng aneh yang menggelikan dan mantel yang memalukan. Namun tetap mudah dikenali bahwa kombinasi hari ini terdiri dari tiga perempuan dan satu pria.
“Batuk, uji suara seperti biasa.” Pria yang menjadi vokal band dengan topeng pisang aneh mengetuk mikropon, “Baik, ini adalah Band Konsep. Aku Pisang, di belakang ada Timun dan Terong yang sudah kalian kenal, serta Durian di ujung yang kadang ikut. Sesuai aturan lama, mari kita jelaskan dulu: remix lagu hari ini cukup kompleks, jadi banyak bagian sudah direkam sebelumnya. Hasil nyanyian mungkin tidak sempurna, dengan konsep latar belakang seperti mafia atau _godfather_...”
Saat mendengar kata "mafia", Joseph secara bawah sadar mengerutkan alis. Marilyn menyipitkan mata, lalu menerjemahkan ucapan itu untuk Heidi.
“Baik, persiapan dimulai. Oh ya, judul lagunya adalah... _Dalam Nama Ayah_.”
## Bagian Seratus Empat Puluh Sembilan Tanpa Judul
Cahaya lampu yang memucat menyinari panggung, melukiskan pemandangan kegelapan bergaya klasik bernuansa nostalgia. Mengikuti pembukaan super panjang yang diselingi monolog seperti mengigau mulai bergema, lagu "Dalam Nama Ayah" yang memiliki gambaran tiga dimensi paling kuat ini, hadir di dunia ini beberapa tahun lebih awal dari waktunya.
Di dalam bar, dalam gerimis hujan, melodi nyanyian yang menenggelamkan semuanya dalam kesunyian. Dari kejauhan neon berkedip-kedip, mobil-mobil lalu lalang menembus dimensi. Jumlah terkadang benar-benar bisa menjelaskan masalah. Saat semua orang yang berkumpul di sini tetap diam, fokus mendengarkan, berdiri di tengah-tengahnya, kau akan merasakan melodi itu hampir menggenangi seluruh kota dan dunia di bawah langit ini.
Bicara soal itu, orang-orang yang berdiri di tengah hujan ini mungkin lebih beruntung daripada yang masuk ke bar. Meskipun panggung diterangi lampu hingga menjadi hitam putih yang kabur, di tengah suasana nuansa abu-abu, sesekali menengok dan melihat jelas topeng-topeng buah yang konyol itu tetap bisa mengikis suasana yang semula terasa. Berada di tengah kerumunan, pemahaman Joseph terhadap lirik lagu tidak perlu diperdebatkan, namun jelas dia juga terinfeksi oleh melodi lagu. Kenapa Marilyn dan Heidi bisa begitu terbuai, mungkin lebih karena faktor "mencintai rumah hingga menyayangi burung gagaknya". Sedangkan Fang Yusi yang duduk di samping, mood-nya hanya bisa digambarkan dengan getaran dahsyat.
Sama seperti ketika Huang Lao dan Zheng Zepei pertama kali mendengar 《Dongfeng Po》, berbeda dengan orang biasa yang hanya menilai "enak didengar atau tidak" atau "suka tidak" saat mendengar lagu, sebagai musisi yang relatif profesional, selain merasakan lagu tersebut, mereka juga akan menilai panen harian lagu ini dalam hati dan menilai apakah lagu ini akan populer atau tidak. Sebenarnya sebagian besar lagu harus mengandalkan wawasan para musisi, mengandalkan kemasan dan promosi untuk bisa menanjak, namun ada juga sebagian kecil lagu yang begitu didengar langsung melekat kuat dalam ingatan dan pasti akan memimpin tren. Hampir semua lagu yang dihadirkan oleh band konsep termasuk dalam jenis ini.
Dalam waktu beberapa bulan sejak band konsep berdiri, dari belasan lagu yang dirilis, kurang dari separuh yang benar-benar terjual hak menyanyikannya. Namun setiap kali lagu baru keluar, kaset rekaman langsung di lokasi yang dibuat oleh berbagai perusahaan hiburan akan segera dikirim ke tangan para penyanyi. Fang Yusi juga telah mendengarkan beberapa lagu berulang kali, setiap kali tidak bisa tidak berkhayal: Jika lagu ini dinyanyikan olehku, dampak besar seperti apa yang akan tercipta...
Tapi tidak diragukan lagi, dibandingkan dengan kaset yang disertai noise dan terasa tidak nyata, penampilan langsung yang didengar saat ini memberikan getaran dahsyat berlipat ganda. Seperti pengumpul giok yang menemukan batu He Shi Bi mentah, di depan matanya bahkan terlihat jelas betapa besar kekuatan yang akan dimiliki lagu-lagu ini setelah melalui proses penanganan profesional, vokal, dan kemasan.
Setiap lagu memiliki gaya yang berbeda, setiap lagu memiliki kekuatan yang mengguncang hati, setiap lagu dapat menjamin popularitas... Tidak, tak peduli siapa dia, harus dijelaskan dengan jelas, meski harus memberikan beberapa janji dan membayar biaya. Asalkan dia bisa menulis lagu untukku...
Hatinya berdebar-debar karena lamunan, menatap pertunjukan yang agak kaku di atas panggung. Di sela-sela lagu, suatu perasaan aneh tiba-tiba melintas di pikirannya: Anggota band konsep yang memakai topeng timun itu, gerakan tariannya terasa familiar... Pikiran ini segera tenggelam karena gadis itu tidak melakukan lebih banyak gerakan atau gestur - dia sedang sibuk memainkan piano elektrik dengan kedua tangannya.
Pada waktu yang sama, seorang pelayan bar membawa dua permen kapas dan memberikannya kepada ibu-putri Marilyn di sebelah Fang Yusi. Tampaknya ada percakapan singkat, tapi Fang Yusi sedang tidak berminat memperhatikan.
Melodi Hitam Putih terus mengalun hingga memasuki babak akhir. Setelah rap campuran suara berakhir, keheningan bertahan sejenak di sekitar, seolah masih terperangkap dalam gambaran padat yang tersaji. Vokalis utama Pisang di panggung mengetuk mikropon, batuk kecil, lalu berkata: "Eh... selesai."
“Untuk sementara beginilah keadaannya, tentu saja aku menyanyi tidak bagus, lagu ini masih memiliki ruang untuk disempurnakan... Sabtu, semua orang sibuk beristirahat, aku juga sama. Sampai di sini hari ini, sampai jumpa." Sepertinya ini gaya khas Band Konsep - tanpa hiasan berlebihan, tanpa retorika hati-hati, juga tidak mempertimbangkan perasaan pendengar. Setelah berbicara singkat, mereka mengambil stand mikropon dan bersiap menghilang dengan mobilnya. Di bawah panggung seperti biasa riuh rendah suara: ada yang merengek minta lebih, ada yang protes, juga orang-orang yang baru pertama kali datang setelah mendengar nama Konsep, sehingga berteriak-teriak di barisan depan ingin berlari maju. Adegan seperti ini hampir terjadi setiap kali, tapi Bar Blue Bird sudah siap dengan belasan pria kekar yang mengelilingi panggung kecil dengan rapat, tak ada yang bisa menerobos.
Melihat Band Konsep mundur dengan cepat, Sister Lan di kejauhan memberi gestur "cepat" ke arah sini. Setelah meminta maaf pada Joseph dan Marilyn, Fang Yusi berjalan menuju pintu masuk terowongan ke pihak pendukung. Beberapa saat kemudian, Heidi yang sudah menghabiskan permen kapas turun dari sofa dengan wajah memuaskan, melihat sekeliling: "Mama, di mana kamar mandi?"
"Kamar mandi... Aku antar saja."
Tersenyum memberi salam pada Joseph, sang ibu menggandeng tangan Heidi. Ibu dan putri itu berjalan menuju kamar mandi di sisi aula, dan sekejap kemudian menghilang dari jarak pandang Joseph.
Setelah Konsep Band turun dari panggung, peraturan pembatasan masuk ke venue sudah tidak relevan lagi. Satpam di pintu masuk dikurangi sebagian besar, musik mulai melunak, banyak orang dari luar masuk sambil bertanya-tanya tentang pertunjukan panggung tadi, saling berdiskusi mengenai lagu baru. Meskipun banyak fans yang meninggalkan Konsep Band karena gaya eksentrik mereka, namun bagi fans setia yang sudah terbiasa dengan gaya ini, tetap ada banyak yang berdebat bahwa jika Konsep Band benar-benar masuk ke industri musik, pasti bisa menghabisi semua bintang pop dan selebritis yang ada sekarang.
Sambil mendengar pujian dan kekaguman dari kerumunan sekitar, Joseph menyesap anggur merahnya sambil merenungkan beberapa hal yang ingin diselidikinya selama di Tiongkok. Yang paling penting tentu adalah siapa sebenarnya kekuatan misterius yang menyelamatkan Marilyn dan putrinya tiga tahun lalu.
Setelah insiden Marilyn tiga tahun silam, hubungan antara keluarga mafia Salieri dan Gambino sempat membaik untuk sementara waktu. Namun gencatan senjata yang bertahan hingga sekarang mulai menunjukkan tanda-tanda retak, banyak konflik yang sebelumnya diredam kini kembali memanas di ambang ledakan. Menyadari perang antar keluarga sudah di depan mata, Keluarga Salieri yang berada dalam posisi inferior secara kekuatan tentu ingin mencari sekutu tambahan. Dalam konteks ini, kekuatan misterius yang pernah menyelamatkan Marilyn dan putrinya menjadi salah satu koneksi penting yang ingin mereka gali.
Untuk pengalaman selama lebih dari sebulan setelah diselamatkan, sepulangnya ke Amerika, Marilyn dan Heidi sang ibu-anak tetap menutup mulut rapat-rapat. Bisa dikatakan, demi menjaga rahasia ini, kedua ibu-anak ini mengerahkan usaha yang sangat besar. Begitu ada yang membicarakan hal ini sengaja atau tidak, suasana obrolan dengan mereka akan SEGERA berubah dingin. Marilyn masih punya kelihaian berbicara yang lentur, sementara penolakan Heidi lebih langsung. Anak yang dulunya ceria dan naif itu tidak hanya berhenti bergaul dengan orang asing, bahkan ketika saudara keluarga mencoba bertanya secara tidak langsung tentang kejadian itu, dia akan langsung memutar arah dan pergi. Di masa-masa awal kembali ke New York, kejadian canggung seperti ini terjadi puluhan kali di meja makan.
Banyak anggota keluarga mengatakan ibu-anak ini tidak paham sopan santun. Namun sebagai ayahnya Marilyn, dia justru terlihat merasa bersalah atas masalah Tang Jingyao, kemudian menekan masalah ini. Namun ketika keluarga kembali merasakan datangnya krisis, sedikit penyesalan tentu saja lenyap seketika di hadapan kepentingan keluarga. Maka terjadilah perjalanan Joseph ke Tiongkok kali ini.
Mengingat penampilan Marilyn dan putrinya selama dua hari terakhir, Joseph hampir yakin bahwa vokalis band konsep bernama Gu Jiaming adalah salah satu figur kunci. Heidi pasti bertemu pemuda ini tiga tahun silam dan menjadi temannya. Kini dengan menyelidiki latar belakang pemuda itu, banyak hal akan terungkap. Sementara waktu berlalu detik demi detik, perasaan tidak nyaman mulai merayap dalam hatinya.
Sepuluh menit berlalu, Marilyn dan yang lain belum juga datang.
Menembus kerumunan, dia menunggu di depan kamar mandi sejenak sebelum menarik napas dan mengetuk pintu toilet wanita: "Marilyn! Heidi!"
Musik bergema, keramaian bersahutan, namun dari dalam kamar mandi tak ada jawaban.
Mengerutkan alis, dia menggebrak pintu kayu dengan tendangan keras. Seorang wanita gemuk di depan cermin tertegun menyaksikan pria asing ini dengan gagah menendangi setiap bilik khusus. Pemandangan intim beberapa wanita langsung terekspos di bawah sorot mata elangnya. Intensitas niat membunuh yang terasa begitu nyata membuat tak seorang pun berani bersuara. Hingga tatapan garangnya beralih ke si wanita gemuk setelah memeriksa semua sudut, barulah teriakan minta tolong bernada tinggi melengking.
"Perkosaaaaan——!"
Dengan gerakan cepat berputar, Joseph tidak menghiraukannya dan berlari ke arah pintu. Satpam pertama yang masuk mengayunkan tongkat polisi ke kepalanya, namun ditendang hingga terlempar. Satpam kedua hanya sempat menahan pukulan lurus keras sebelum terkena tekaan tangan di tengkuk hingga pingsan. Dengan aura yang penuh intensitas, Joseph bagai kereta perang menerobos terowongan kecil di luar kamar mandi.
Baik satpam, BANGSAT, maupun pahlawan keadilan, kerumunan orang dari kedua dunia berusaha menghadang.
Tendangan kaki, ayunan tinju, dan bantingan bahu yang dashyat—dalam hitungan menit, empat orang pertama yang menyerang sudah tergeletak. Orang-orang di belakang hendak meneruskan serangan, namun tiba-tiba berhenti karena pria itu telah mengeluarkan dua pucuk pistol dari bajunya, mengarahkannya ke kedua ujung terowongan.
Mengingat yang menghadang di terowongan adalah anggota Shazhu Bang, tidak ada yang menjerit. Gemparan tidak meluas ke aula. Setelah beberapa saat, seorang pria paruh baya berbaju jas membelah kerumunan. Melihat pistol itu, ia mengerutkan alis: "Saudara, kenapa berulah di tempatku?"
Usai ucapannya, seorang lelaki di sampingnya menerjemahkan ke bahasa Inggris. Joseph menurunkan sedikit laras senjatanya, berkata dalam bahasa China: "Dua temanku hilang di sini."
"Dua teman?" Pria paruh baya itu menoleh ke bawahan di sampingnya. Seorang satpam mendesak maju dan berbisik di telinganya. Kemudian ia bertanya: "Temanmu wanita? Rambut pirang? Membawa putrinya?"
"Benar."
“Orang-orangku melihat mereka pergi ke parkiran bawah lewat sana, tidak ada yang mengancam. Gadis kecil itu terlihat cukup senang. Apa mereka tidak memberi kabar padamu sebelumnya?”
Joseph tertegun sejenak, ekspresi garangnya tak berubah. Beberapa saat kemudian, dia menyimpan pistolnya, mengeluarkan buku cek dan menuliskan angka 665. Setelah merobek lembar pertama, dia menyodorkannya: "Terima kasih, ini sebagai ganti rugi." Setelah itu, dia menerobos kerumunan dan berlari menuju tangga parkiran bawah.
Parkiran di lantai bawah terang benderang. Sejak pertama kali menyadari hilangnya Marilyn dan putrinya, dia sudah mengira apa yang terjadi. Karena itu dia tidak meragukan perkataan pria paruh baya itu. Saat tiba di mobil sewaannya, ditemukan secarik kertas terselip di penyeka kaca - tulisan tangan Marilyn yang khas:
Jangan khawatir, saat waktunya tiba, kami akan kembali.
Suara mesin yang hidup tiba-tiba menggema di parkiran. Saat menoleh, sebuah mobil hitam kecil berbelok menuju pintu keluar. Di jok belakang, Marilyn dan Heidi tersenyum sambil melambaikan tangan. "Jangan kuatir!" Terdengar suara indah Marilyn yang penuh tawa, senyum memikatnya menyiratkan secarik penyesalan.
Seketika, hati Joseph bagai tertimpa beban berat.
Hati masih mengingat, saat pertama kali mengenal Marilyn, dia sudah melahirkan Heidi kecil untuk pria Tiongkok itu. Pria Tiongkok itu telah kembali ke tanah kelahiran. Saat itu Marilyn sangat murung, tinggal di rumah tanpa bersosialisasi, hampir tak punya teman. Di bawah pengaturan ayahnya, aku datang ke rumah besar itu, sesekali mendapat kesempatan mendekatinya. Setelah menjadi teman, Marilyn kadang bercerita tentang Tang Jingyao yang jauh di Tiongkok, wajahnya berseri dengan senyum cemerlang. Dulu pernah terpikir, mungkin senyum seperti inilah yang menaklukkannya. Suatu hari nanti, aku juga ingin membuatnya tersenyum begitu memikat saat mengingatku.
Tiga tahun yang lalu, Marilyn datang ke Tiongkok bersama Tang Jingyao. Peristiwa yang terjadi kemudian membuat semua orang terkejut. Bagaimanapun, Tang Jingyao MATI. Setelah membawa Marilyn kembali ke New York, dia mulai mengambil inisiatif untuk terlibat dalam urusan keluarga, mulai tersenyum sopan dan pantas, tertawa lebar. Dia tahu kematian pria Tiongkok itu sangat mengancam dirinya, tapi setidaknya kini kesempatan telah datang. Selama tiga tahun ini dia berusaha keras menghiburnya, sepertinya ada kemajuan. Tapi kadang di tempat sepi, Marilyn tiba-tiba tersenyum cemerlang dan memikat, tanpa sengaja pernah dua kali dia melihatnya——saang ada orang, senyum itu biasanya langsung lebih sopan——senyum itu membuat hatinya berdegup kencang.
Dan sekarang, memandang senyum Marilyn, sebuah pencerahan tiba-tiba muncul di dalam hati. Dia ingin melepaskan diri untuk menemui seseorang, itulah sebabnya senyumnya begitu memikat. Bagaimanapun usahanya, akhirnya dirinya tetap terlambat satu langkah. Perempuan Amerika yang sejak kecil menyukai Tiongkok ini, setelah kematian Tang Jingyao, tetap memilih seorang pria Tiongkok sebagai sandaran hidupnya selanjutnya.
Dalam hal ini, mungkin dirinya tak pernah punya kesempatan sama sekali.
Berdiri di tempat, dia memandang Marilyn di barisan belakang dengan tenang. Beberapa detik kemudian, mobil melaju masuk ke tirai hujan di luar, meninggalkan jarak pandangnya.
Kira-kira saat Joseph si teman sekelas nekat menerobos toilet, Fang Yusi yang berusaha menutupi topinya seperti mata-mata itu akhirnya menemukan ruang istirahat konsep band.
Saat melewati terowongan depan, tampaknya uang memang berperan besar. Beberapa satpam yang bertugas benar-benar tidak menghalanginya. Namun melihat para staf yang lalu-lalang, hati Fang Yusi dipenuhi perpaduan rasa tegang, keraguan, dan sensasi tak pasti - persis seperti adegan di TV. Faktanya, impian besar Fang Yusi adalah berakting di film/sinetron, sayang kemampuan aktingnya payah sekali. Di tahun 98 ini aliran idola juga belum populer, sehingga mimpinya tetap belum terwujud.
Terowongan ini sunyi senyap tanpa orang, sepertinya konsep band memang sangat berwibawa sampai tak ada yang berani mengganggu. Berdiri di depan pintu, Fang Yusi ragu-ragu memikirkan kata pembuka setelah mengetuk, sementara suara obrolan samar-samar terdengar dari dalam.
“……Teman macam apa yang kau temui semalam? Tapi, waktu kau tidak di rumah, aku dan... bermain sangat senang lho.”
“Gadis kecil asing dan ibunya? Tidak ingat...”
“Waktu itu setelah memukul orang lalu ke rumah Shasha? Saat memberikan semua barang ke gadis kecil itu? Aku ingat... Shasha, besoknya kami mau ambil uang untuk menyumbangi mereka, sayangnya mereka sudah tidak ada di sana... Wah, berarti tanpa sengaja kami menyelamatkan orang kaya raya terus dapat karma baik? Hal seperti ini cuma ada di novel...”
“Mereka orang asing, belum tentu kaya...”
“Terserah lah, yang penting kami tidak mengincar uang mereka. Aku masih ingat gadis kecil itu sangat cantik, imut seperti boneka...”
Suara remaja putra-putri terdengar dari balik pintu kamar, terputus-putus, sepertinya sedang membahas kisah ganjil tentang membantu orang asing terlantar sejak kecil yang kini kembali mencari mereka. Fang Yusi hendak mengetuk pintu, tiba-tiba lengannya sakit tersentak, lalu seluruh tubuhnya dibanting ke tanah.
“Kau siapa? Mau ngapain!”
Tanpa sengaja dia menjerit kesakitan. Kejadian tak terduga ini membuat lengannya hampir terpelintir, dada montoknya menempel keras di lantai tanpa penyangga. Topinya direnggut, memperlihatkan rambut panjang. Melihat itu perempuan, orang yang menindihnya tampak bingung, tapi genggaman tangannya tak kendur sedikitpun.
"Perbuatan seperti pencuri ketahuan orang, Fang Yusi tidak tahu harus menjelaskan bagaimana, hanya bisa menunduk malu di lantai sambil menggerutu. Tak lama kemudian, pintu kamar di samping terbuka, muncul seorang gadis berbaju rok panjang dengan suara lembut: "Paman Gu, ada apa?"
"Ada orang asing yang berulah di depan, kebetulan saya lewat dan melihat wanita ini menyamar-nyamar menguping di depan pintu kalian... Mungkin dia penggemar kalian ya..." Pria di belakangnya perlahan mengendurkan kekuatan tangannya. Dari balik rambut acak-acakannya, Fang Yusi mengangkat kepala dan melihat ekspresi terkejut yang semakin jelas di wajah gadis itu. Setelah kekacauan sejenak, Yusi pun mulai mengenali gadis di hadapannya, mulutnya terbuka lebar tak bisa menutup lama sekali.
"Aduh... Paman Gu salah tangkap... Dia... dia teman kami. Maaf, maaf, apakah sakit dipelintir tadi? Yusi-jie, eh... Nona Fang, maafkan kami, benar-benar malu..."
Dengan kebingungan, gadis bernama Lingjing itu membantu Fang Yusi berdiri sambil terus membersihkan debu di bajunya dengan panik. Sementara tatapan Fang Yusi masih membeku, tercampur rasa kaget.
Di hatinya muncul sebuah kesalahan mengerikan yang tiba-tiba...
## Bagian Keseratus Lima Puluh Meredakan
"Nona Fang mau teh... Eh kopi? Ehm... Jiaming, kopi disimpan di mana? Kok di sini semuanya baijiu. Maaf Nona Fang, tunggu sebentar ya."
"Kopi... Ada?"
“Aku pernah lihat satu bungkus waktu itu, mungkin ditaruh di paling atas, aku cari dulu.”
“Aku saja, aku saja, kau ambilkan air panas.”
“Baiklah.”
Duduk di depan meja bundar kecil di tengah kamar, Fang Yusi menatap kikuk ke arah sepasang remaja yang sibuk di meja minum, rasa canggung menggelayut. Transisi dari kebingungan dan kekacauan saat mengenali wajah Lingjing menjadi ekspresi canggung seperti sekarang tidak memakan waktu lama, dan terus berlanjut sejak itu. Gadis yang duduk di dekat jendela lantai-langit jelas menjadi penyebab utama.
Sejak Fang Yusi masuk, Shasha terus duduk di sana tanpa sepatah kata, wajah muram mengawasinya dengan jelas menunjukkan ketidaksukaan. Alasannya bisa ditebak dengan merenung sejenak. Setelah beberapa tahun berkecimpung di industri hiburan, Fang Yusi bukanlah idiot. Dari raut wajah lawan bicara, ia biasanya bisa menduga sikap mereka. Yang membingungkannya adalah mengapa Lingjing begitu ramah padanya. Adapun pemuda bernama Gu Jiaming yang sibuk membantu, senyumnya terkesan menggoda sehingga maksudnya sama sekali tak terbaca – apakah niat baik atau sekadar menjaga kesopanan.
Bertahun di dunia musik, tak terbayang olehnya bahwa konsep band ternyata adalah tiga remaja seperti ini. Namun fakta ada di depan mata, membuatnya tak bisa tidak percaya. Setelah lama terdiam, akhirnya ia mengajukan pertanyaan dengan ragu-ragu: “Jadi… kalian… adalah konsep band?”
“Ah, uh…” Mendengar pertanyaannya, Lingjing berdiri di tempat, menoleh dan bertatapan dengan Jiaming, lalu tersenyum kecut, “Itu… bukan begitu, kami… kami cuma datang untuk pekerjaan kasar. Anggota Konsep Band sudah pulang kerja, hehe, hehe…”
“Oh, begitu rupanya, hehe…” Fang Yusi mengangguk setuju, tapi tentu saja tak percaya alasan itu. Bagaimanapun, saat ketiganya berbincang di dalam ruangan, dia juga mendengar sebagian besar percakapan.
“Itu… Nona Fang juga suka lagu Konsep Band ya?” Sambil membawa ceret air, Lingjing bertanya seolah santai.
“Hm, tentu suka dong, kalau tidak aku takkan… He… Jujur saja, musik Konsep Band memberi kesan yang luar biasa, apapun gaya musiknya selalu bisa dikendalikan dengan tepat, penulis lirik dan komposisinya benar-benar genius…” Mendengar Fang Yusi menyebut penulis lagu itu genius, Lingjing tak bisa menahan rasa bangga memandang Jiaming. Meski penyanyi besar ini karakternya kurang baik, tapi menyanyi tetap keahliannya. Pujiannya membuat Lingjing senang bukan main. Kemudian dia melanjutkan, “Eh, tapi… masuk begini pasti merepotkan kalian ya, maaf sekali. Soalnya…”
“Tak apa-apa, kami justru senang, kan Jiaming?”
“Hm, iya iya…” Jiaming mengangguk sambil tersenyum. Bagi Fang Yusi, kesan yang timbul seperti melihat senyum kepala bandit setelah masuk sarang pencuri, terasa sangat aneh.
Di tepi jendela panorama, rinai hujan berkelebat tak beraturan. Cahaya neon dari jalanan sesekali menyusup masuk. Di dalam kamar saat ini, meski ekspresi Lingjing terlihat hangat dan Jiaming tetap menjaga kesopanan, suasana masih terasa canggung. Pertama karena Tan Suyan yang merasa bersalah, ditambah lagi sikap Sasha yang terus memasang wajah masam, membuat situasi semakin dingin. Setelah menuangkan kopi untuk Tan Suyan, saat melewati Sasha, Lingjing berbisik pada Jiaming: "Ada apa dengan Sasha? Dia terlihat sangat kesal."
"Tidak apa-apa. Waktu itu kau janji akan minta Tan Suyan kasih tanda tangan untuknya, tapi akhirnya tidak jadi. Pasti karena itu dia marah. Kau tahu sendiri, akhir-akhir ini Sasha lagi sengaja tidak mau mengizinkan masalah dengan Tan Suyan, ditambah siklus bibinya datang tidak tepat waktu, mungkin maju lebih awal. Hehe..." Jiaming terkecil sambil melambaikan tangan. Meski suaranya direndahkan, jelas terdengar oleh Sasha yang langsung melotot kesal padanya. Dengan santai Jiaming mengulurkan tangan, menepuk-nepuk pipinya dengan akrab. Sasha mendengus pelan, memalingkan wajah seperti kucing kesal.
"Jangan ganggu aku..."
"Oh ya," Jiaming tersenyum menoleh kembali, "Nona Tan, sebenarnya Lingjing akan menjadi penari latar untukmu di acara peringatan Akademi Hati Kudus, masih ingat?"
“Hmm...” Fang Yusi mengangguk ragu-ragu, bergumam dalam hati bahwa saatnya berakhir sudah tiba. Dia berusaha menunjukkan senyum lembut khasnya, namun kalimat berikutnya dari Jiaming membuatnya bingung.
“Begini, sebenarnya kami semua merasa penampilan Lingjing sangat bagus. Entah mengapa departemen begitu semena-mena mengganti posisi menarinya, sungguh tidak masuk akal, bukan?”
“Jiaming...” Lingjing memanggil dengan ragu, seolah merasa Jiaming tak seharusnya merepotkan Fang Yusi dengan hal ini. Namun di bawah ekspresi Fang Yusi yang terkejut, Jiaming tetap melanjutkan.
“Intinya, aku tahu merepotkan nona Fang dengan hal seperti ini sangat tidak sopan. Tapi kami bertiga adalah Teman sejak kecil. Kami tidak bisa menerima fasilitas tidak adil yang diterimanya. Sayangnya kami tidak punya suara di departemen. Hanya nona Fang yang bisa membantu menyampaikan protes ini.” Jiaming mengangguk hormat, ekspresinya penuh ketulusan.
“Ji-Jiaming... Hal seperti ini... Lupakan saja.”
Mendengar ini, Fang Yusi hanya bisa membuka mulutnya tanpa suara, matanya bolak-balik memandangi keduanya.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah mereka benar-benar tidak tahu bahwa aku yang menyuruh turunkan Ye Lingjing? Tapi mengapa konsep mereka menunjukkan sikap seperti itu? Mungkinkah... Mereka benar-benar bukan konsep? Mustahil, meski memang tidak mirip pencipta lagu-lagu itu...
Tidak, gadis bernama Liu Huaisha yang memandangiku dengan tatapan seperti itu, jelas dia sudah tahu. Lalu bagaimana dengan anak laki-laki bernama Gu Jiaming dan Ye Lingjing ini? "Kami dan Lingjing adalah teman baik sejak kecil..." Apakah... dia sedang memperingatkanku?
Memandangi sorot mata tulus Jiaming, tubuh Fang Yusi tiba-tiba bergetar tanpa alasan.
Benar, dia dan Liu Huaisha sudah mengetahui keadaan sebenarnya. Menyembunyikan dari Ye Lingjing karena... dia mengagumiku, jadi mereka tidak ingin menyakitinya. Konon di Akademi Hati Kudus kebanyakan anak orang kaya. Gu Jiaming ini bisa dipuja oleh Dongfang Lu dan kawan-kawan, juga akrab dengan ibu-anak yang bisa mengeluarkan 50 juta begitu saja, jelas menerima pendidikan baik sehingga punya kelicikan begitu dalam...
Menyimpulkan semua ini dalam hati, Fang Yusi menarik napas dalam-dalam, lalu berkata sealami mungkin: "Hmm, aku selalu merasa tarian Lingjing sangat bagus, indah dan penuh kecerahan. Behari ini tidak ke sana, tak kusangka mereka ganti orang dadakan. Tenang, pasti akan kubicarakan."
“Sebenarnya... Aku juga tidak pandai menari, tidak perlu dikatakan...” Mendengar pujian Fang Yusi, Lingjing berkata dengan wajah merah padam. Jiaming langsung berdiri, membungkuk dengan hormat sebagai ucapan terima kasih: “Terima kasih banyak, Lingjing selalu berharap bisa tampil bersama Anda, selama masa latihan dia terus mengomel pada kami. Meski aku dan Shasha agak kesal, kami juga tidak ingin melihat Lingjing sedih.”
“Ah, justru merupakan kehormatan bagi saya bisa tampil bersama gadis seperti Lingjing.”
Fang Yusi juga buru-buru berdiri, tersenyum menanggapi. Situasi ini mulai menunjukkan tanda-tanda rekonsiliasi, senyum Fang Yusi terlihat alami. Shasha yang di sampingnya memperhatikan sikap hormat Jiaming, mendengus keras lalu berdiri: “Aku ke toilet.” Setelah berkata dengan dingin, dia membuka pintu dan pergi.
Fang Yusi tertegun sejenak, tapi bagaimanapun juga dia tidak mungkin marah lagi karena hal kecil ini. Ketiganya berbasa-basi sebentar, lalu Jiaming berdiri dan berkata: “Aku juga perlu ke kamar mandi, kalian lanjutkan bicara.”
“Eh?” Lingjing menunjukkan ekspresi terkejut. Setelah mengantar Jiaming ke pintu, barulah dia berbisik pelan, “Ada apa sih? Kau dan Shasha kok aneh sekali.”
“Justru kalau tidak aneh baru masalah. Dia kan bintang besar, duduk bersamanya membuatku agak kaku. Aku akan cek Shasha dulu. Jangan lupa minta tanda tangan untuk Shasha, kalau tidak dia pasti masih marah. Oh ya, Titanic mulai pukul sembilan setengah, jangan terlalu lama mengobrol. Pasti sang bintang sibuk sekali urusannya.”
“Cih.” Lingjing tak bisa menahan tawa, “Biasanya kau terlihat kurang peka, bersikap masa bodoh terhadap segalanya. Kak Yus sangat ramah kok.”
“Bintang besar memang begitu, hal ini wajar…” Jiaming bergumam, melambai ke Fang Yus yang langsung menyunggingkan senyum cemerlang. Kemudian, Jiaming tersenyum sambil menutup pintu kamar.
Mungkin Lingjing akan merasa kaku, tapi itu tidak masalah. Karena Fang Yus sudah menyadarinya, pasti dia akan memperhatikan emosi Lingjing dan membuatnya bahagia. Bagi Lingjing, bisa berinteraksi dengan idolanya seperti ini pasti akan menjadi kenangan indah yang istimewa. Dengan senyum tipis, Jiaming berbelok di sudut tangga menuju area bawah bar.
Di parkiran yang sunyi, di bawah cahaya lampu terang, Shasha duduk di atas beton tidak jauh darinya, memukul-mukul tanah dengan ranting pohon yang patah oleh hujan. Jiaming perlahan mendekat sambil tersenyum: “Si cantik, sedang kesal apa?”
“Jangan ganggu aku.”
“Wah, kau tahu aku keras kepala, paling suka melawan.” Duduk di sebelah Shasha, Jiaming mengulurkan tangan memeluknya, tangan satunya menyelip di bawah lututnya lalu mengangkatnya ke pangkuannya. Shasha melawan simbolis beberapa kali, mana mungkin dia bisa mengalahkan Jiaming. Sambil memukuli bahu Jiaming kesal, Shasha berkata dengan sedih: “Aku tidak suka melihatmu bersikap begitu hormat pada Fang Yus.”
Jiaming mengelus lembut paha Shasha sambil tertawa: “Kenapa?”
“Mingming dia yang salah, kenapa kau malah memintanya.”
“Lalu harus bagaimana?”
“Setidaknya... buat dia sadar kesalahan, minta maaf, dan jelaskan alasannya. Dua anggota Yong Sheng waktu itu cuma ngomong sembarangan, kau langsung membunuh mereka. Kenapa sikapmu ke Fang Yusi begitu lunak... karena dia si cantik?”
“Heh, dasar cupu...” Jiaming mencubit pipi Shasha sambil tersenyum, “Itu karena Yong Sheng memang ancaman nyata. Fang Yusi cuma manusia biasa. Orang biasa sering bertindak gegabah karena alasan tak masuk akal, bahkan mungkin dia sendiri lupa setelahnya. Kalau semua harus kuhabisi, bukankah para pedagang pasar sayur yang gigih menawar itu sudah kubunuh lebih dari separuh?”
Mendengar analogi Jiaming, Shasha tertawa sambil memukul dadanya, “Ini beda kasus! Lingjing diperlakukan seperti itu!”
“Ya, Lingjing akan terluka. Jika segalanya diungkap, mungkin dia semakin sakit hati. Fang Yusi tidak menganggap Lingjing penting. Tindakannya mungkin cuma karena hal sepele seperti sedang datang bulan atau baru diputus pacar, lalu ingin mengesalkan orang. Apa gunanya memaksa maaf dan penjelasan? Lihat sekarang, bukankah keadaan sudah baik?”
“Tapi... aku cuma tidak mau melihatmu bersikap merendah seperti itu di depan Fang Yusī, seolah-olah kita yang memohon padanya...”
“Setidaknya Lingjing akan senang, aku sih tidak masalah, juga tidak mendapat perlakuan mengangkat mata atau semacamnya. Dari awal sampai akhir, sebenarnya aku yang memperingatkannya.” Keduanya saling memandang sejenak, Jiaming tersenyum, “Baiklah, begini saja. Jika kau tidak senang, aku bisa kapan saja membawanya ke hadapanmu untuk kau cambuk sepuasnya, sampai dia menangis memanggil Kakek dan nenek. Kau mau malam ini atau besok malam? Hmm, kita bisa tunjukkan identitas kita agar dia MATI dengan jelas, atau biarkan dia tidak tahu siapa pelakunya dari awal sampai akhir. Bagaimana?”
Duduk di atas paha Jiaming, menatap wajah penuh ketulusan itu beberapa saat, Shāsha akhirnya menunduk tersenyum, lalu merangkul lehernya. Dalam suaranya, terdapat getaran aneh yang samar.
“Jiaming, jika aku juga diperlakukan tidak adil seperti ini, akankah kau membuatku tetap bahagia seperti yang kau lakukan untuk Lingjing?”
“Tentu saja, ada apa?”
“Tidak...” Suaranya sedikit terisak, Shāsha memeluknya dalam kesunyian sejenak, lalu berbisik dengan lembut: “Singa tak pernah menghiraukan tantangan semut, bukan?”
“Hah, aku bukan singa, Fang Yusī juga bukan semut. Kita semua manusia biasa...”
“Aku sangat menyukaimu... Jiaming.”
“Hmm, aku tahu.”
“Hih, dasar muka tembok...”
## Bagian ke-151 Pengakuan
Keluar dari bioskop, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Dengan musik penutup Titanic yang mengalun saat penonton bubar, kerumunan orang di tengah hujan yang lebat ini memberikan semacam keriangan sesaat. Sambil membuka payung, mata Lingjing dan Shasha sama-sama memerah. Namun, dibandingkan beberapa wanita di sebelah yang masih menyeka air mata dengan tisu, kedua gadis ini terlihat jauh lebih tegar.
"Drama lebay banget! Daripada nonton ini, mending tadi kita tonton ulang Chinese Odyssey..."
"Iya, yuk pulang nonton Chinese Odyssey lagi. Hehe, tadi orang di belakang kita nangis histeris ya?"
"Halo, kalian berdua ini tidak konsisten sekali! Tadi siapa yang sampe..."
"Kau bilang apa?"
"Eh, bukan... Hujan hari ini deras sekali, sampai tangan aku basah kuyuh, hehe..."
Ketiga orang itu saling bertukar tatapan aneh. Sejenak, Lingjing dan Shasha sama-sama menunjuk lawannya serentak: "Shasha (Lingjing) yang nangis basahin..." Setelah keheningan singkat, tawa penuh pengertian menggema di jalanan di antara ketiganya.
Sebagai keajaiban box office dalam sejarah perfilman abad ke-20, film "Titanic" yang rampung produksi pada akhir tahun 1997 dan masuk ke Tiongkok awal tahun 98, telah tiba di Kota Jianghai sekitar satu-dua bulan. Namun bagi Lingjing dan Shasha, ini adalah pertama kalinya mereka menontonnya di bioskop. Di hadapan film yang memiliki Daya Hancur luar biasa bagi penonton perempuan, kedua gadis ini memang gagal lolos - di tengah tangisan puluhan penonton wanita, mereka pun menyumbangkan cucuran air mata yang deras. Tentu saja, Jiaming yang terjepit di antara mereka merasa agak kekecewaan. Dia tahu sejak awal para wanita ini akan menangis, tapi mengapa harus menangis? Baginya cukup sulit dipahami. Apakah karena kisahnya yang menyedihkan? Atau karena penuh penyesalan? Sama seperti dukungannya pada Lingjing yang suka bintang film, namun ia tetap tak bisa mengerti sensasi mengidolakan selebriti.
Masalah terbesar setelahnya justru berasal dari lirik "Aku Raja Dunia" dalam film tersebut. Dua remaja ini memiliki kesan terlalu mendalam tentang kalimat yang diajarkan Jiaming di Kapal Star Dream, padahal saat itu filmnya bahkan belum dibuat. Untuk sementara, ia hanya bisa mengarang cerita bahwa itu adalah Kutukan misterius sekaligus romantis dari Eropa, dan mungkin film ini terinspirasi dari sana.
Karena hari ini adalah Sabtu. Tanpa memberitahu keluarga dengan jelas, kedua perempuan ini tetap harus pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat. Di tengah keusilan sepanjang jalan, pertama-tama mereka mengantar Shasha pulang, lalu Jiaming dan Lingjing pergi bersama ke Perguruan Silat Ye. Jaraknya tidak terlalu jauh tapi juga tidak dekat. Karena sudah keluar dari pusat kota, taksi agak sulit ditemukan di jalanan tengah malam. Mereka berdua berjalan di bawah payung melewati kawasan pasar yang familiar. Beberapa saat kemudian, Lingjing melipat payungnya dan berdesak-desakan dengan Jiaming di bawah satu payung.
"Hmm, buku catatan tanda tangan yang dijanjikan untuk Shasha juga tidak kubawa. Kita berangkat terlalu terburu-buru..." Lingjing menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum pada Jiaming, "Sepanjang jalan Shasha juga tidak menyinggungnya..."
"Emm... Bagaimana hasil pembicaraanmu dengan si selebriti?" Jiaming merangkul bahu Lingjing sambil bertanya.
"Aku tetap bersikeras tidak ikut menari. Lagipula... menarik diri dan kembali juga tidak ada artinya." Dia mengangkat wajah sambil tersenyum, "Mungkin timun lebih cocok bersama pisang dan terong ya, hehe..."
"Oh, kalau begitu kita harus memilih lagu yang bagus. Untuk menekan kesombongan para bajingan itu... Tapi keputusan untuk tidak kembali itu benar. Kuda baik tidak akan makan rumput yang sudah dilewati. Mulai sekarang kita abaikan saja mereka, biarkan departemen menyesali kerugian mereka."
Memandangi senyum Jiaming, tatapan Lingjing tiba-tiba terlihat ragu. Setelah beberapa saat, dia bertanya dengan hati-hati: "Sebenarnya... Jiaming, apa kalian berdua dan Shasha sedang menyembunyikan sesuatu dariku?"
"Kenapa bertanya begitu?"
“Kak Yusi……Dia terus meminta maaf secara implisit……Jiaming, sikap Shasha seperti itu bukan karena tanda tangan, kan?”
Payung berhenti di pinggir lampu jalan, cahaya mobil menyambar sekejap. Jiaming menggelengkan kepala sambil tersenyum, menepuk lengan gadis itu. Mereka berdua melanjutkan jalan.
“Departemen tak mungkin tiba-tiba membuat keputusan tanpa alasan. Di Jalan Timur yang tidak Izinkan, Tan Suyan pun tak bisa membujuk teman baik untuk menggantikannya secara mendadak. Sikap Shasha terhadap Kak Yusi terlalu aneh, jadi aku curiga dan mulai memikirkan beberapa hal……”
“Kapan kau mulai merasa ada yang tidak beres?”
Bersandar di bahu Jiaming, sorot mata Lingjing yang jernih memancarkan senyum manis.
“Saat Kak Yusi meminta maaf padamu itu. Lalu kau pergi bersama Shasha, aku semakin heran. Pertama kali melihat Kak Yusi di aula saat kau menyanyikan lagu only-
you, hehe……membuat suasana kacau balau. Mana mungkin kau merasa kaku. Setelah menghubungkan semua ini, aku sengaja beberapa kali membahas masalah tarian. Ekspresi Kak Yusi tampak canggung, meski tak mengatakannya langsung, tapi jelas itu permintaan maaf. Setelah itu mau bertanya lebih lanjut, tapi tak bisa mendapatkan info lagi. Menjelang pukul sembilan saat menonton film, aku buru-buru pamit……Apa kau dan Shasha memang sudah tahu dari dulu?”
“Hah……Dia sudah lama berkecimpung di dunia musik. Kalau memang tak mau bicara, mana mungkin kau bisa menggali informasi lebih banyak.”
“Itu……benarkah Kak Yusi?” Meski dalam hati sudah menduga-duga, melihat sikap default Jiaming saat ini, Lingjing tetap tertegun sejenak, “Tapi, tidak ada alasannya. Kenapa Kak Yusi melakukan itu, aku kan tidak pernah melakukan apa-apa……”
“Siapa yang tahu? Heh, alasan yang tidak jelas mungkin.” Merangkul erat tubuh Lingjing, Jiaming menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Mungkin dia baru bertengkar dengan pacar, mungkin sedang datang bulan, atau mungkin baru tersedak minum. Hatinya sedang kesal, lalu bawah sadarnya ingin membuat orang lain ikut kesal. Pada dasarnya, Lingjing, di matanya saat itu kau hanyalah orang tak berarti. Dia tidak bermaksud melawanmu, juga tidak akan terlalu mempertimbangkan perasaanmu. Kalau diibaratkan, kau seperti orang yang sedang jalan-jalan tiba-tiba kecipratan air, benar-benar bencana tak terduga.”
Lingjing terdiam sejenak, lalu berkata pelan: “Jadi kau dan Shasha sengaja menyembunyikan ini, karena takut aku sedih kalau tahu?”
“Sembunyikan atau tidak itu hal sepele. Bagi kita, Fang Yusi juga bukan siapa-siapa kan?” Melihat Lingjing yang tampak kecewa, Jiaming berkata, “Sebenarnya mengidolakan bintang itu wajar, aku juga mengagumi Fang Yusi kok.”
“Eh?”
“Karakternya bukan urusanku, tapi yang pasti, dia pernah menyanyikan beberapa lagu bagus. Lagu-lagu itu menyentuhmu, juga menyentuhku, jadi mari kita kagumi Fang Yusi saat bernyanyi. Di hati setiap orang yang tersentuh olehnya ada Fang Yusi yang sempurna. Karena versi aslinya tak sesempurna itu, tentu tak ada hubungannya dengan Fang Yusi dalam hati kita. Sama seperti saat kita bernyanyi, ada yang berteriak 'timun, aku mencintaimu' di bawah panggung. Siapa sangka Lingjing sebenarnya cuma gadis kecil naif yang sedang tergila-gila pada bintang?”
Tertahan tawa, Lingjing mengembungkan pipi seolah ingin marah, tapi kemudian mengempiskan kembali auranya: “Ngomong-ngomong, Kak Yusi datang ke sini sebenarnya untuk memintamu menulis lagu, kan?”
“Hm.”
“Jangan ditulisin deh. Aku tak mau kamu membantu orang lain karena alasan aku. Lagipula tadi aku tidak langsung menyetujui... Kami tidak membahas itu.”
“Heh.” Jiaming tersenyum tipis: “Tulislah satu lagu. Dia sudah meminta maaf, dan membuatmu senang. Kamu juga minta tanda tangannya, bukan? Satu lagu, urusan sederhana saja.”
“Tapi...” Lingjing sedikit ragu, “Setelah ini, dia tidak akan terus menuntut lebih?”
“Kuharap dia punya presisi.” Menggeleng, Jiaming memandang dengan senyum jernih. Menatap senyum itu, Lingjing menunduk dalam kesunyian.
Dalam hujan malam, mereka berpelukan lama dalam diam. Saat hampir sampai di tikungan jalan, gadis itu tiba-tiba berbalik, membuka payung, lalu berlari kencang menuju arah datang.
“Eh... Ada apa?”
“Aku tiba-tiba merasa harus kembali mengucapkan terima kasih pada Shasha, Jiaming. Bisakah kau beri tahu orang tua kalau malam ini aku tidak pulang?”
Dengan anggun berputar dalam hujan, Lingjing melangkah gemulai sambil mengayunkan tangan. “Aku antar saja,” ujar Jiaming sambil menyusulinya, “Zaman sekarang kacau. Kalau kena rampok, kerugianku akan besar...”
“Aku juga bisa bertarung!” Lingjing menyabetkan dua pukulan ke udara dengan whoosh whoosh. “Meski istri mudamu terlihat begini, latihan harianku sangat hebat, lho!”
“Jagoan apaan sih!” Jiaming menepuk kepala belakangnya. “Di rumah ganggu aku gapapa, tapi kalau ganggu orang luar, aku harus ikut jaga!”
Memegangi kepalanya, Lingjing bergumam: “Otoriter...”
“Otoriter kenapa? Ini kediktatoran! Penjahat baru saja berani membantah!”
Jiaming mengangkat tangan. Lingjing buru-buru melindungi kepala sambil mengerang manja. Setelah berjalan jauh, dia berkata: “Jiaming, biar aku gendong kau, ya?”
“Ha?” Mulut Jiaming membentuk huruf O. “Bukan aku yang menggendongmu?”
Lingjing mengangguk lincah: “Ya, aku yang akan menggendongmu.”
“……” Memandang Lingjing lama-lama, setelah memastikan dia tidak bercanda, Jiaming mengangkat mata putihnya: “Terlalu konyol, sama sekali tidak sesuai dengan gayaku. Tidak boleh, begini saja, kau mau digendong, aku gendongmu sampai ke tempat Shasha.”
“Jangan, aku justru ingin menggendongmu.”
“Aku berat, kau ini perempuan...”
“Sama sekali tidak berat.” Berlari maju memeluk pinggang Jiaming, dengan sekali tenaga, kedua kaki Jiaming terangkat dari tanah. Meski postur Lingjing ramping, tapi mengingat latihan hariannya, tenaga pukulannya bahkan melebihi anak laki-laki sebaya: “Sudahlah, biarkan aku menggendongmu sekali. Tenang, tidak akan kau jatuhkan...”
Setelah kekacauan sejenak, Jiaming pasrah menunggangi pinggangnya, tangannya merangkul bahu sang gadis. Dua pejalan kaki yang lewat terburu-buru di samping mereka terdiam membeku.
“Lihat, sama sekali tidak terasa berat, Jiaming kok ringan sekali?”
Dikeringin oleh kalian berdua... Batinnya melantur, tapi tentu tak bisa diucapkan: “Ringan seperti burung layang-layang, ini hasil latihan keras... Turunkan aku di tiang listrik berikutnya ya.”
“Tidak mau, baru turun di ujung jalan...” Tertawa riang, meski kekuatan Lingjing jauh di atas perempuan biasa, tapi kurang pengalaman menggendong, langkahnya tetap terlihat tersendat. Jiaming memeluk bahunya tak berani banyak bergerak, berusaha mencari posisi nyaman untuknya, menghela nafas: “Kurasa lebih terbiasa kalau aku yang menggendongmu...”
“Bergantian, tiap orang menggendong satu jalan.” Mendengar nada suara canggung Jiaming, Lingjing tertawa terbahak-bahak.
“Aku yakin otakmu kacau...”
“Sekalipun kacau kau harus menampungku seumur hidup, kargo sudah dikirim, tidak bisa dikembalikan!”
“……”
Dalam obrolan, tak lama kemudian sampai di ujung jalan. Jiaming buru-buru turun dari punggung Lingjing, lalu menggendongnya. Merangkul punggung Jiaming sambil memegang payung, Lingjing mengerang nyaman. Jiaming menggelengkan kepala di depan: “Lebih nyaman begini.”
Lingjing tersenyum lembut, merangkul lama sebelum akhirnya berbisik: “Aku cuma ingin tahu, Jiaming... betapa lelahnya kau menggendongku dan Shasha selama ini...”
“Hah...” Dengan mahir menyangga lipatan lututnya, Jiaming tersenyum, “Kan kalian selalu membantuku memegang payung...”
## Bagian 152 Kemarahan
“Ternyata ulah Fang Yusi, ada apa ini! Tapi dari dulu kupikir orang itu agak sinting, agak kacau, tapi... kenapa Ye Lingjing bisa berseteru dengannya, aneh... Pulang nanti tanya baik-baik...”
Waktu menunjukkan pagi Senin yang mendung. Karena Jumat lalu berjanji pada Jiaming akan menanyakan detail peristiwa Lingjing pada kakaknya, pagi-pagi sekali Dongfang Wan sudah gaduh bermain menerjang ke meja belajar Jiaming untuk membocorkan rahasia yang sudah diketahui seluruh dunia ini. Dengan lesu mengangkat kepala dari meja, Jiaming menyeringai.
“Intelijenmu sangat tepat waktu, aku tersentuh. Aku akan pulang dan tanya, terima kasih...”
Suara jawabannya terdengar agak kaku, itu karena kemarin seharian menemani Marilyn dan putrinya berkeliling di Kota Jianghai. Mungkin karena kejadian Jumat malam membuat Marilyn menjadi gamang, dan sebagai wanita dewasa 30 tahun yang sudah bertahun-tahun tidak menyentuh pria, pantas disebut istri yang menggerutu. Siang hari saat Heidi tidur, Jiaming menghabiskannya lebih dari satu jam bersama Marilyn dengan teknik manipulasi. Malamnya pulang, baru saja melepaskan beberapa simpul masalah, Lingjing dan Shasha yang sudah sangat intim kembali mengganggunya semalaman. Di bawah serangan kuat seperti ini, bahkan Jiaming yang memiliki pondasi qigong murni pun tak bisa menghindar dari pikiran "masalah buatan sendiri, tak layak diselamatkan".
Meski sudah menanamkan beberapa petunjuk pada Lingjing dan Shasha, Jiaming sama sekali tidak punya niat mempertemukan Marilyn dan putrinya dengan mereka. Walau hubungan dengan Marilyn tidak bisa disebut cinta sejati, dan Marilyn sendiri cukup sadar akan hal ini, tapi manusia tetaplah makhluk yang bisa tiba-tiba memiliki keinginan posesif. Hal yang berpotensi membuat orang tidak bahagia, sekecil apapun kemungkinannya, lebih baik tidak dilakukan.
Mengingat pertempuran roda kemarin, hatinya kembali berdesir: Jiaming oh Jiaming, kau memang benar-benar tak terkalahkan. Kemudian menutup mata, melanjutkan rutinitas hariannya ke sekolah - tidur. Melihat ekspresi Jiaming, Dongfang Wan mengerutkan alisnya lama: "Apa? Kau sudah tahu?"
“Walau aku agak tersentuh dengan niat baikmu, tapi aku harus tetap mengatakan bahwa topik Bagua paling populer di antara orang Mars saat ini adalah kisah bagaimana teman sekelas Ye Lingjing kehilangan kualifikasi penari utama karena ditekan Fang Yusi... Aku ngantuk, biarkan aku tidur, terima kasih.”
“Eh...” Dongfang Wan tertegun sejenak, lalu berkata: “Nah... Pokoknya aku sudah membantu mencarikan informasi untukmu. Kamu tidak boleh mengemplang pertunjukan di acara peringatan kampus ya. Itu program yang kudorong, bahkan aku sudah bertaruh beberapa ratus keping untuk mendukung kalian...”
“Ketua kelas ikut serta dalam taruhan bawah tanah?” Tatapannya tertarik pada Dongfang Wan. Tujuan utama acara peringatan Akademi Hati Kudus adalah untuk menggalang donasi dari alumni. Untuk membuat pesta malam semakin meriah, akan ada pemungutan suara untuk program terbaik sebagai kejutan. Karena ada kompetisi, selain penilaian resmi, beberapa siswa juga mengorganisir taruhan bawah tanah – meski relatif aman. Sekolah berpura-pura tidak tahu demi meningkatkan interaktivitas, bahkan beberapa guru ikut bertaruh untuk program yang mereka dukung. Namun, kegiatan perjudian seperti ini jelas bertolak belakang dengan gaya Dongfang Wan.
“Hmm... Bikin semua orang senang, kenapa tidak?”
“Tenang saja, kami akan tampil sesuai janji.”
Mendengar ini, Dongfang Wan lega. Beberapa saat kemudian dia bertanya lagi: “Sekarang tinggal seminggu lebih sedikit. Boleh kasih tahu nama lagu yang akan kalian nyanyikan?”
“Menurutku lagu kemarin itu cukup bagus.”
“Yang mana? Dongfeng Po?”
Melirik Dongfang Wan dengan pandangan putih, Jiaming menghela napas: "only-you."
"……" Dongfang Wan terdiam sejenak, lalu tersenyum, "Jangan macam-macam, setuju!"
"Faktanya... aku belum memikirkannya."
"Aku tidak percaya, tinggal seminggu lagi."
"Tidak percaya ya putus hubungan."
"Kau..." Jarinya menunjuk Jiaming yang tengkurap di meja, di pagi buta ini aura si muka kuning Dongfang Wan sudah memancar kuat. Jiaming hanya memalingkan wajahnya, sama sekali mengabaikannya. Beberapa saat kemudian, Dongfang Wan menarik kembali jarinya dengan geram: "Diam-diam saja kalau begitu, hmph..."
Kalimat setelah "diam-diam saja" sebenarnya adalah "tidak percaya aku tidak bisa menyelidiki". Tentu saja sumpah serapah seperti ini tidak bisa diucapkan sembarangan, yang paling penting jangan sampai di depan Jiaming. Yang membuat Dongfang Wan patut disyukuri adalah, saat jam istirahat setelah pelajaran kedua pagi itu, dia bertemu Ye Lingjing di lorong menuju gedung kantor. Saat itu mereka sedang berjalan kembali sambil membawa beberapa kotak kapur tulis bersama teman sekelas.
Meski tidak bisa dibilang teman dekat, status sebagai teman sekelas sendiri sudah menjadi alasan untuk sedekat ini. Ditambah hubungan kakak kelas dan alasan pribadi, Dongfang Wan juga telah bergabung dengan departemen tak lama setelah masuk, sehingga sering berinteraksi dengan Lingjing yang kerap membantu. Mengetahui hubungan tidak harmonis antara Jiaming dan Dongfang Wan, beberapa kali saat bersama menulis papan buletin, Lingjing halus menyampaikan permintaan maaf pada Dongfang Wan. Mengenal karakter lembut Lingjing, urusan menyelidiki judul lagu ini tentu jatuh ke pundaknya.
“Langsung menyapa dan mengatakan ada hal yang ingin ditanyakan, teman sekelas perempuan lainnya langsung mengambil alih kapur tulis dari tangan Lingjing dan pergi lebih dulu. Sesampainya di sudut gedung kantor, Dongfang Wan baru bertanya dengan suara lembut tentang judul lagu.”
“Nyanyi? Hmm, aku dan Shasha juga akan tampil, tapi sepertinya Jiaming belum memutuskan mau nyanyi apa. Lagian setiap penampilan kami selalu membawakan lagu baru, hanya ada waktu seminggu untuk mempersiapkan, seharusnya tidak masalah... Eh, apa Jiaming melakukan hal menyebalkan lagi?”
“Hanya dari nada bicara yang akrab, sudah bisa membuktikan hubungan antara Lingjing dan Jiaming sudah sedekat keluarga. Tentu saja, hal-hal seperti ini juga tidak pernah mereka sembunyikan di sekolah. Mendengar perkataan Lingjing, Dongfang Wan menunjukkan ekspresi canggung.”
“Ah, tidak kok. Aku tanya tentang judul lagu, dia bilang belum kepikiran. Kukira dia cuma mengalihkan pembicaraan lagi. Lebih bisa diandalkan kamu, Lingjing. Gu Jiaming... Setiap ketemu dia aku selalu pusing.”
“Hehe, hehe...” Lingjing menepuk-nepuk sisa kapur di tangannya sambil tertawa, “Sebenarnya Jiaming tidak sejahat itu. Dia hanya agak penyendiri. Kalau orang baik padanya, dia... Yah, bagaimanapun kami sudah berteman sejak kecil, menurutku dia cukup baik.”
“Aku juga tidak bilang dia jahat, cuma terlalu tertutup...” Suaranya mengandung dendam, Dongfang Wan mengangkat bahu, “Yah, aku juga masih ada urusan. Dadah. Oh ya, untuk penampilan nanti semangat ya. Aku sudah beli tiket mendukung kalian. Kalau bilang ini ke Gu Jiaming pasti tidak ada efeknya.”
“Hehe, tidak masalah.” Sambil mengayunkan tangan, Lingjing berbelok di sudut gedung kantor, membuka keran di tepi dinding untuk mencuci tangan. Pada saat yang sama, sebuah suara terdengar dari balik sudut: “Xiao Wan.”
“Hai, Fang Ming.”
Di sisi lain, seorang gadis berbaju kaos olahraga santai putih berjalan mendekat. Pita putih mengikat ekor kuda panjangnya yang rapi, penampilannya seperti boneka porselen - Tsukike Kaoru. Melihatnya mendekat, Lingjing melambai sambil tersenyum: “Kaoru.”
“Lingjing.” Suara lembut nan anggun itu memanggil nama Lingjing. Kaoru juga berhenti di depan wastafel porselen putih tepi dinding, memutar keran untuk membersihkan jarinya yang ternoda sesuatu. Dengan senyum, Lingjing bertanya pelan: “Kaoru, hari ini Jiaming tidak membuat masalah kan?”
“Dia terus tidur saja.”
“Oh... Hehe...” Mengingat kejadian semalam yang juga membuatnya lemas, wajah Lingjing memerah sebentar. Di saat itu, suara Dongfang Wan dan beberapa teman sekelas pria terdengar dari sebelah.
“Kudengar komunitas kalian ikut lomba Seni Bela Diri Kota Jianghai ini. Kemarin ada dua pertandingan ya? Bagaimana prestasinya?”
“Jangan ditanya. Han Gangcheng kalah telak kemarin. Karena pertandingan itu, sekarang babak penyisihan grup tim kita agak beresiko. Jujur saja, ini kekalahan terparah dalam sejarah Akademi Hati Kudus. Sejak paruh kedua tahun lalu sampai sekarang, benar-benar masa kegelapan.”
“Kenapa?”
“Tentu saja, karena kejadian tahun lalu, bayangan psikologis masih menghantui A Cheng. Meski sudah mengatasi sebagian, saat pertarungan memuncak, begitu lawan mengangkat kaki, dia secara bawah sadar melakukan pertahanan yang sama sekali tidak perlu. Padahal seharusnya kemenangan sudah di tangan...”
“Hehe...”
“Xiao Wan kamu masih bisa tertawa? Dari anggota terkuat klub bela diri: Kakakmu sibuk urusan departemen, Lu Jianchuan tahun lalu ditabrak sampai nabrak tiang listrik hingga tulangnya hancur berkeping, karir bela dirinya basically hancur... Sial! Setiap kali ingat ini, aku ingin menghajar tai anjing Gu Jiaming dari kelasmu. Kalau bukan karena Guru Chen sudah melarang tantangan pribadi berkali-kali...”
“Wei wei wei, bagian ini tidak perlu dibahas. Jujur saja, waktu itu Lu Jianchuan dan kawan-kawan menendang bola sampai mengenai kepala perempuan, berani jamin mereka tidak sengaja? Menurutku itu hukum karma buat Lu Jianchuan!”
“Baiklah, Xiao Wan. Lu Jianchuan tidak usah dibahas. Tapi bagaimana dengan kasus Han Gangcheng? Dia kan mengirim surat tantangan secara resmi. Tingkah laku Gu Jiaming itu benar-benar... Sekarang semua anggota klub bela diri menyimpan api dalam hati. Kalau bukan karena larangan terus-menerus dari Guru Chen... Cih! Latihan Guru Chen seperti melatih biksu, tidak ada ilmu bertarung yang diajarkan. Pokoknya akhir-akhir ini hati kesal... Aku tahu pertarungan Gu Jiaming itu dengan jaminan keamanan darimu, aku hanya menarget tai anjing Gu Jiaming itu saja...”
"Dengar sampai di sini, Lingjing yang sudah lama selesai cuci tangan matanya menyemburkan amarah, memelintir keran hingga berhenti, lalu berlari ke sudut: "Omong kosong tidak karuan, kualitas kalian juga tidak lebih baik! Kalah bertarung lalu cari-cari alasan, apa klub bela diri sudah kehabisan anggota? Semua masalah dilemparkan ke Gu Jiaming, bilangnya mau kirim surat tantangan secara jujur, bukannya waktu itu kalian cuma mau memukulinya? Lagi pula aturan sudah disepakati bersama, Han Gangcheng tidak waspada, itu nasibmu! Jiaming sama sekali tidak melanggar! Mau berkelahi? Aku di sini, tantang siapa saja duel satu lawan satu!"
Semalam baru mesra dengan Jiaming, kini Lingjing mendengar orang membicarakan buruk Jiaming, wajahnya memerah bagai api: "Dia... Dia..." Beberapa teman sekelas laki-laki di sebelah Dongfang Wan terkejut melihat ada yang tiba-tiba membela, apalagi Lingjing juga si cantik, mereka pun membeku di tempat.
"Ada masalah? Tidak berani?"
Lingjing terus mendesak. Tepat saat itu lonceng kelas berbunyi. Fang Ming yang memimpin berkata: "Laki-laki sejati tidak lawan perempuan... Aku tidak mau bertarung." Ia mengajak yang lain pergi. Orang terakhir menoleh: "Kalau mau adil, suruh Gu Jiaming kirim surat tantangan ke klub bela diri." Lalu pergi.
"Eh... Lingjing, jangan dihiraukan. Mereka cuma pecundang yang cari alasan setelah kalah. Ayo, kita masuk kelas dulu."
“Dia menghibur beberapa kalimat, lalu melihat Tsukike Kaoru dengan wajah dingin memandang ke arah orang-orang yang pergi, muncul dari samping. Lingjing terkejut, tapi tahu Kaoru adalah teman baiknya dan Lingjing. Ia pun berbalik pergi.”
“Dengan kemarahan besar, Lingjing yang berdiri di tempat itu dadanya naik turun hebat. Hampir setahun ini, mendengar orang membicarakan Jiaming dan menggunakan lomba itu untuk mengarang hal bukan pertama kali, tapi kali ini membuatnya sangat marah. Namun setelah beberapa saat, dia tenang dan berkata lembut: ‘Kaoru, tolong jangan beri tahu Jiaming tentang hal ini, ya?’”
“Dengan sedikit kebingungan, Kaoru memandangi Lingjing.”
“‘Kau juga tahu, yang Jiaming butuhkan adalah ketenangan. Perkataan orang lain di telinganya 10.000 kali pun tak akan dia hiraukan. Tapi aku tidak bisa, aku akan marah, tapi aku tidak mau Jiaming berkelahi karena kemarahanku...’”
“‘...Aku mengerti.’ Setelah memandang Lingjing sejenak, Kaoru mengangguk perlahan.”
“Pukul 1:30 sore, awan gelap menyelimuti langit, angin sepoi-sepoi.”
“Sebagai Akademi Hati Kudus yang menekankan kualitas ekstrakurikuler mahasiswa, menyediakan banyak fasilitas untuk aktivitas minat. Selain ruang aktivitas komunitas khusus, juga ada kelas aktivitas komunitas lebih dari empat Bagian per minggu. Dengan permohonan, kelas belajar malam pun bisa digunakan untuk aktivitas ekstrakurikuler. Tapi bagi yang benar-benar mencintai suatu aktivitas, waktu ini tetap tidak cukup.”
“……Setelah makan siang, mereka beristirahat sejenak. Tiga puluh lebih anggota utama klub bela diri mengurungkan niat tidur siang sebelum kelas dan berkumpul di arena latihan indoor. Di antara mereka, belasan anggota yang berhak mengikuti lomba sedang duduk bersama merencanakan alur pertandingan selanjutnya.
“……Tim yang akan kita hadapi besok sebenarnya tidak terlalu rumit. Selain panglima utamanya yang sedikit lebih kuat, anggota lainnya bisa dengan mudah diselesaikan. Jadi, untuk memastikan kemenangan, saya punya dua skema. Pertama, Xiao Wu dari tim kita menghindari panglima utama mereka, kemenangan akan sangat yakin. Fang Ming yang bertarung di ronde kedua, tentu tidak masalah. Saat menghadapi panglima utama mereka, tidak masalah jika kita kalah……”
Suasana siang hari selalu terasa lebih sunyi. Di ruang latihan, selain teriakan para pelatih, suara ketua klub yang sedang merancang strategi terdengar sangat lantang dan berwibawa—suara yang penuh kepercayaan diri. Tiba-tiba pintu berbunyi "Splash" terbuka lalu tertutup lagi. Seorang gadis masuk sambil membawa rantai besi, langsung mengunci lingkaran pintu.
Semua orang berhenti sejenak dari gerakan mereka, memandangi aksi pendatang baru ini. Yang masuk adalah seorang si cantik.
Pipi sempurna seperti boneka porselen tanpa ekspresi. Pita putih mengikat ekor kuda panjang di belakang kepala, seragam olahraga putih dengan garis-garis biru. Gadis itu melepas tali sepatu di genkan, kaki gioknya yang terbungkus stoking kulit menapak lantai kayu.
“Besok tidak perlu ada lomba lagi.”
Tangan putih mulus yang terlipat di depan tubuhnya, Kaoru membungkuk dalam-dalam ke semua orang di lapangan latihan bela diri. Bagi gadis Jepang yang terkenal dengan kelembutannya, itu jelas merupakan tata krama standar yang wajib dikuasai.
Kemudian dia berbicara, mungkin karena jarang bicara, ucapannya masih terkesan tertatah: "Aku akan menemani kalian bermain."
## Bagian Keseratus Lima Puluh Tiga Hukuman
Pukul dua siang, kampus mulai ramai. Saat bangkit dari meja belajar, Jiaming mengusap pipinya, menyaksikan beberapa teman sekelas berlarian keluar kelas dengan gegap gempita. Di depan kelas, Dongfang Wan mendengarkan kabar burung yang diceritakan orang lain dengan penuh keheranan, sesekali melirik ke arah Jiaming. Samar-samar terdengar mereka membahas konsep seperti "berkelahi" atau "menantang dojo".
Jam masuk Akademi Hati Kudus adalah pukul dua dua puluh. Biasanya di jam segini, para mahasiswa basically sudah berkumpul di kelas untuk mengobrol ngalor-ngidul, suasana riuh rendah. Tapi kali ini, seiring semakin banyaknya orang yang keluar, kelas justru semakin sepi. Setelah mendengar cerita orang lain, Dongfang Wan melangkah ke arah Jiaming, tapi tiba-tiba berhenti karena Lingjing sudah lebih dulu masuk dari luar kelas, menarik tangan Jiaming.
"Tidak baik, ada masalah, cepat ikut!"
"Ada apa?"
"Ini Kaoru! Dia sendirian pergi menantang klub bela diri!"
"Hah..."
Mengikuti Lingjing keluar kelas, terlihat semakin banyak teman sekelas yang ingin biar tahu rasa berkerumun ke arah gedung aktivitas komunitas. Sambil berlari, Lingjing bercerita pada Jiaming tentang kejadian pagi tadi.
“……Semua itu ulah Fang Ming dan kawan-kawannya dari klub bela diri. Hmm, Fang Ming mungkin kau tak kenal, dia mahasiswa tahun kedua. Meski dari klub bela diri, tapi dekat dengan departemen……Mereka kalah dalam lomba terus cari-cari alasan, menghina kau habis-habisan. Aku tak tahan lalu keluar menghujat mereka. Waktu itu Kaoru kebetulan ada di situ……Aku tak ingin kau marah karena ini, jadi kusuruh Kaoru jangan cerita ke kau. Tapi siapa sangka dia malah nekat menantang dojo sendirian. Sasha sudah duluan ke sana membantu. Ayo kita segera ke sana! Di dalam ada tiga empat puluh orang, Kaoru cuma sendiri. Dasar bodoh...”
“Uh, tiga empat puluh orang ya……Memang sih...”
Setelah mendengar penuturan Lingjing, Jiaming juga mengerutkan alisnya. Saat tiba di depan gedung kegiatan komunitas, ratusan mahasiswa sudah berkerumun penuh semangat di sekitar klub bela diri. Pintu gerbang terkunci rapat, jendela-jendela yang tak bisa dibuka digantungi tirai tebal sehingga tak terlihat kondisi dalam. Hanya suara kekacauan dan jerit kesakitan yang samar-samar terdengar.
“Wah, Sailor Moon duel satu lawan tiga puluh jagoan...”
“Katanya si Tsukike Kaoru itu lho, Kaoru! Dia masuk sendirian...”
“Memalukan sekali anggota klub bela diri itu. Teriak-teriak gitu kayak penjahat yang lapor polisi duluan...”
“A-aku rasa... nggak juga klub bela diri yang lapor duluan...” seseorang mengemukakan pendapat dengan ragu, langsung dikeroyok.
“Apa bukan, otakmu kacau! Dia cewek masuk sendirian, di dalam ada 30-40 orang. Pintu ditutup lalu pura-pura jeritan, kalau bukan ulah iseng terus apa... Siapa yang punya kunci? Kenapa belum dibuka juga...”
Harus diakui, saat ada masalah, si cantik memang dapat perlakuan khusus. Tertarik-tarik oleh Lingjing, mereka menerobos kerumunan. Mendengar desas-desus orang banyak, Jiaming dalam hati geli. Di dekat pintu gerbang, beberapa guru Baron berkumpul. Karena kunci tak bisa membuka, teriakan makin mencekam di dalam bahkan tindakan kekerasan Shasha yang mencongkel pintu pakai pipa besi pun tak dihentikan. Seorang guru berteriak ke dalam, yang lain masih mencari info dari teman sekelas sekitar, sementara beberapa lainnya sedang merencanakan untuk mendobrak pintu.
“Betul, yang masuk Tsukike Kaoru, dari kelas 10-6 itu...”
“Cantik banget, biasanya pendiam. Dia orang Jepang, mana mungkin salah kenal... Sepertinya tidak ada orang lain yang masuk...”
“Jangan-jangan ada yang cemburu dari klub bela diri...” Meski asumsi seperti ini jarang di kalangan SMA, tapi bukan mustahil. Setelah ragu sebentar, semua mulai berteori, “Iya iya, dengar-dengar Tsukike Kaoru itu populer banget. Pintu dikunci, mungkin sedang berantem massal di dalam. Cewek satu ini nekat tantang puluhan orang di dojo sampai babak belur, siapa yang percaya!”
“Tapi…saat melewati, aku benar-benar mendengar Tsukike Kaoru berniat menantang dojo. Dia bahkan bilang klub bela diri tak perlu datang ke lomba besok, hm, juga berkata…aku akan menemani kalian bermain…” kata Murid A yang menyaksikan adegan awal.
“Pasti bercanda, pasti cuma gurauan. Biasanya kalau perempuan sedang manja ya seperti ini…”
Di Akademi Hati Kudus, pacaran dini sebenarnya bukan hal langka. Namun klub bela diri yang terkenal bergaya gagah, dalam sekejap isu tantangan berubah menjadi rumor bersaing dan cemburu yang absurd. Tapi Shasha paham Kaoru tak mungkin terlibat dengan mereka, sambil membuka pintu dengan batang besi dia berteriak ke dalam: “Kaoru! Kau di dalam? Jawab dong…dengar baik-baik, siapa berani menyakiti Kaoru, pasti kubunuh!” Saat ditahan Jiaming dan Lingjing, keringatnya sudah mengucur deras.
Sejak teriakan kesakitan dari klub bela diri terdengar, kabar itu menyebar cepat hingga menggemparkan seluruh akademi. Begitu melihat Jiaming datang, Shasha segera menarik tangannya panik: “Jiaming, cepat cari akal! Sekuat apapun Kaoru, mustahil dia bisa melawan 30-40 orang. Ini pasti berakhir buruk.”
“Hmm, pertama-tama telepon ambulans, pesan beberapa sekaligus…”
“Tapi…”
Menenangkan kecemasan Shasha, Lingjing mengeluarkan sapu tangan dan mengusap keringatnya, pandangan tetap tertuju pada Jiaming, menantikan respons darinya. Di sisi ruangan besar, dalam keributan yang terjadi, Dongfang Wan sudah memimpin beberapa orang mengangkut meja kursi untuk membangun platform tinggi di bawah jendela. Karena ketinggian jendela di area ini, hanya dengan cara ini mungkin untuk mencapai kaca jendela.
"Semua orang berpencar sedikit, berpencar sedikit..." Dengan jaket luar menutupi kepala, Dongfang Wan mengangkat sebuah kursi dan menghancurkan jendela dengan dua kali pukulan Byur. Karena perkembangan situasi yang terlalu cepat, Shasha yang baru tiba sempat tidak terpikir untuk mencari alat pemecah jendela. Dongfang Wan benar-benar layak disebut gesit. Membersihkan pecahan kaca di ambang jendela, dia menyibak tirai dan menjulurkan kepala, kemudian membeku di tempat.
"Apa yang sebenarnya terjadi di dalam? Berapa banyak yang terluka?" Teriakan orang-orang di bawah. Setelah beberapa saat, Dongfang Wan akhirnya muncul kembali, memandang sekeliling dengan ekspresi sangat kompleks.
"Erm, itu, hmm, mereka semua... itu..." Menggelengkan kepala tak percaya, Dongfang Wan tampak linglung, "Sudahlah, dia... dia sedang membuka pintu, kalian... lihat sendiri saja..."
Di depan, bunyi rantai besi bergemerincing sebelum pintu gerbang akhirnya terbuka dengan suara Splash. Yang pertama muncul di hadapan semua orang adalah bayangan Tsukike Kaoru.
Tangan memegang rantai besi untuk mengunci pintu, ekspresinya tetap datar. Hanya ada luka lecet merah di dahi yang hampir sempurna, setelan olahraga putihnya juga penuh noda hitam keabu-abuan. Pemandangan ini persis seperti adegan pemerkosaan terhadap pemeran wanita di TV.
"Kaoru! Apa yang terjadi?"
"Tidak apa-apa..."
Lingjing yang berlari maju memeriksa luka di dahi Kaoru, sementara Shasha mengumpat lalu langsung menerobos masuk ke pintu gerbang. Meski klub bela diri penuh dengan erangan kesakitan, kemarahan kerumunan tetap tak tertahankan. Beberapa guru tampak sangat canggung, hampir mengira Akademi Hati Kudus akan menghadapi skandal terbesar sepanjang sejarah: tiga puluh lebih mahasiswa melakukan pemerkosaan bergilir terhadap tamu asing...
Melirik ke dalam kamar sejenak, Jiaming menyeringai lalu menyingkir ke samping. Sesaat kemudian, Shasha juga berlari keluar dari kamar, bersama Lingjing memapah Kaoru dari kedua sisi: "Emm... hmm, baiklah... kita pergi dulu yuk, Kaoru..."
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Lingjing bingung.
"Hmm, ayo pergi dulu... ayo pergi dulu..." Bertiga mereka menembus kerumunan orang keluar, sementara orang-orang di belakang berdesakan ingin masuk. Saat guru membuka pintu gerbang sepenuhnya, kemarahan berubah menjadi keheningan dan keterkejutan. Suara tarikan napas tajam menyebar ke luar.
"Ya Tuhan..."
"Tidak mungkin..."
"Benarkah... dia yang melakukan ini?"
Dalam bisikan-bisikan ini, yang terungkap di depan semua orang adalah pemandangan yang mengejutkan tiada tara.
"Mengerang atau jeritan, tubuh manusia yang berjalan limbung, darah yang terciprat di lantai, kursi dan meja kayu yang hancur, beberapa orang sambil mengerang berusaha bangkit dengan wajah babak belur, ada yang menjerit kesakitan, ada yang menangis—seluruh klub bela diri telah berubah menjadi pemandangan yang menyedihkan tak terkira."
"Terlepas dari dugaan semua orang sebelumnya, kenyataannya adalah semua anggota klub bela diri telah tumbang, hanya Tsukike Kaoru yang berjalan keluar sendirian. Saat orang-orang dalam decak kagum itu mencari bayangan itu kembali, Tsukike Kaoru sudah menghilang dari pandangan dengan bantuan Lingjing dan Shasha..."
"Pelajaran pertama nanti sore."
"Rasanya enak berkelahi?"
"...Maaf."
"Kudengar kau berkelahi untuk membelaku?"
“……”
"Kau sangat mengecewakanku. Jika aku yang marah, akan kubom langsung gedung itu... Sudah kuajarkan cara membuat bom... Berapa banyak ucapanku yang kau ingat?"
"...Maaf."
"Guru sedang mengajar di depan, di kelas terdengar bisikan-bisikan. Beberapa teman sekelas sesekali menoleh ke Tsukike Kaoru di barisan belakang—decak kagum dan rasa hormat tertuju pada MM yang mampu menangani seluruh klub bela diri sendirian, hanya menangani luka lecet di dahinya, lalu bisa tetap belajar dan mencatat seperti biasa. Dalam suasana seperti ini, Jiaming dan Kaoru menyamarkan gerakan bibir mereka, berbicara dalam bahasa Jepang. Jiaming jelas tidak puas dengan tindakan gegabah Kaoru."
“Menjadi pembunuh bukan cuma soal bertindak semaumu. Tindakanmu kali ini benar-benar bodoh… Para guru pasti sudah berkumpul merundingkan hukuman untukmu. Meski kau orang Jepang punya koneksi, pasti tetap akan dikeluarkan.”
“Aku…” Mendengar perkataan Jiaming, Tsukike Kaoru gemetar halus. Pandangannya menatap wajah Jiaming selama satu detik sebelum kembali menunduk, “Maaf…”
“Bukan tidak ada solusi. Saat ini [] punya hubungan kerja sama dengan keluargamu dan Takamagahara. Nanti malam telepon Tenku Masaoka, minta dia menyelesaikan ini lewat [].”
“Baik.” Perasaannya mulai sedikit tenang.
“Suka tawuran, kayaknya energimu kebanyakan… Begini saja.” Mengernyitkan alis, Jiaming memandang lapangan yang diselimuti awan gelap, “Lapangan lari ini satu putaran 400 meter. Mulai dari jam belajar malam terakhir, lari 100 putaran baru boleh istirahat hari ini… Sebuah maraton bisa membantumu menenangkan diri.”
Dengan lembut, Tsukike Kaoru mengangguk: “Baik.”
## Bagian ke-154 Berlari
Pelajaran ketiga Senin sore – yaitu jam terakhir – biasanya jam belajar mandiri. Tapi apapun aturan sekolah, begitu bel istirahat pelajaran kedua berbunyi, siswa nakal bernama Gu Jiaming sudah menaruh surat izin di meja guru lalu mengemasi tas dan menghilang dengan mobilnya. Perilaku ini dulu sangat dibenci Dongfang Wan, namun seiring waktu, ia akhirnya pasrah menerima ketidakberdayaannya menghadapi hal ini.
"Kegelapan awan tidak kunjung hilang sepanjang hari, musim semi telah berlalu, musim panas yang lembap dan hujan pun tiba. Saat pemuda bernama Jiaming mengayuh sepeda meninggalkan area pengajaran, Dongfang Wan seringkali mengamatinya dari balkon lantai dua. Di musim panas itu, ia mengenakan blus lengan panjang merah muda dengan renda lebar, rok biru sebatas lutut, rambutnya disanggul sederhana tanpa anting atau perhiasan apa pun. Saat angin dingin berhembus, ia dapat merasakan dunia ini dengan jelas. Ia berusaha mendekati dan memahami suatu kehidupan yang sama sekali berbeda darinya demi menjadi lebih matang dan dalam, namun konsekuensinya – setidaknya untuk saat ini – masih sulit disimpulkan. Itu mustahil diungkapkan dengan kata-kata konkret."
"Di Akademi Hati Kudus, sebenarnya banyak yang meninggalkan kelas selama jam belajar mandiri seperti ini, basically untuk mengikuti aktivitas komunitas. Debat, diskusi, persiapan lomba, atau acara sosial memang hal biasa di kampus ini. Namun ketika pandangan menyapu ruang kelas, menghilangnya suatu bayangan tetap menarik perhatian semua orang, memicu perbincangan."
"Hah? Ke mana perginya Tsukike Kaoru?"
"Dipanggil guru mungkin, urusan siang tadi…"
"Mana… Dia dapat perlakuan khusus. Kantor guru sekarang masih rapat, menyelidiki penyebabnya…"
Meskipun bersikap penyendiri dan pendiam, serta tidak banyak berinteraksi dengan orang lain, namun sebagai si cantik langka, Kaoru tetap menjadi pusat perhatian seluruh kelas. Oleh karena itu, ketika bayangan gadis gunung es yang biasanya duduk tenang di tempatnya tiba-tiba menghilang, muncul berbagai spekulasi dan rasa kehilangan di hati semua orang, terutama beberapa teman sekelas laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya namun takut bertindak. Sekalipun dia penyendiri, setidaknya mereka masih bisa menikmati pemandangan indah di kelas. Ada alasan untuk berada sedekat ini. Jika dia dikeluarkan, semuanya akan menjadi mustahil.
Bisik-bisik rendah berlangsung sesaat, tiba-tiba seorang siswa di dekat jendela melihat bayangan Kaoru dan berteriak: "Lihat, dia di lapangan!"
"Benarkah... Benar itu dia, untuk apa dia ke lapangan?"
"Lari... lari? Mustahil..."
"Baru siang tadi menangani begitu banyak orang, sorenya langsung lari... Apa dia kelebihan usaha..."
Dalam perbincangan penuh keheranan, sekelompok orang berkumpul di dekat jendela, memaksa Dongfang Wan sebagai ketua kelas untuk menegakkan disiplin. Namun saat memandang pemandangan di luar jendela, hati Dongfang Wan juga dipenuhi kebingungan. Siang tadi dialah yang pertama melihat kejadian di klub bela diri - mungkin karena seseorang mematikan saklar lampu, ruangan besar yang seharusnya terang benderang menjadi remang-remang. Saat Dongfang Wan mengintip ke dalam, Tsukike Kaoru baru saja melancarkan tendangan berputar dahsyat yang melumpuhkan lawan terakhir. Pita rambut yang berkibar-kibar kontras dengan kekacauan di lantai, sementara siluet putihnya yang tiba-tiba diam setelah gerakan cepat bagai memancarkan cahaya menyilaukan. Tatapan cairnya yang menembus membuat hati Dongfang Wan berdesir tak karuan.
Adegan saat ini seolah memiliki kemiripan dengan situasi di ruangan itu. Awan gelap menggantung, sementara kerumunan orang memanfaatkan waktu sebelum hujan turun untuk berlatih. Kaos olahraga putih, sepatu sport putih, wajah pucat, dan pita rambut putih yang berkibar-kibar di angin - gadis itu tiba-tiba terasa terpisah dari seluruh dunia.
"Err... belajar malam ya belajar malam, jangan jalan-jalan sembarangan..."
Sedikit menata perasaan, Dongfang Wan duduk sambil mengerutkan kening, dalam hati berpikir pantas saja Tsukike Kaoru biasanya hanya berinteraksi dengan Gu Jiaming, kombinasi Makhluk Aneh dengan Makhluk Aneh... Terhanyut dalam suasana hati seperti ini sambil mengerjakan PR, sesekali mengangkat kepala tetap bisa melihat bayangan Tsukike Kaoru yang berlari di lapangan. Sekitar lewat dua puluh menit lebih, suara bisikan-bisikan mulai terdengar lagi.
"Masih lari juga, sampai kapan dia mau terus begini..."
"Aku hitung, dia sudah lari sepuluh putaran, sepertinya sama sekali tidak mau melambat..."
"Ya ampun, empat ribu meter... Jujur saja, tiga putaran saja aku sudah lelah..."
"Pantasan dia bisa mengalahkan lebih dari tiga puluh orang sendirian..."
"Apa dia mau lari sampai MATI kelelahan?"
Melihat keluar jendela, gadis itu masih terus berlari di lapangan. Dongfang Wan mengerutkan alis, namun pandangannya tak bisa lepas mengikuti: putaran sebelas, dua belas, tiga belas... Menjelang bel pulang, menurut statistik takjub semua orang, Tsukike Kaoru telah menyelesaikan enam belas putaran. Tiba-tiba dari jendela dekat lorong terdengar suara bertanya:
"Permisi, apakah ada seorang Gu Jiaming di kelas ini?"
Menoleh ke sumber suara, terlihat pria asing bertubuh tinggi, berusia sekitar tiga puluhan dengan aura yang menunjukkan dirinya bagian dari kalangan elit. Mendengar pertanyaannya, teman sekelas di dekat jendela langsung menunjuk kursi Gu Jiaming: "Hmm, Gu Jiaming ada di kelas kami, tapi sepertinya dia sudah pulang sekolah. Kursinya yang paling belakang itu."
Pria asing itu mengerutkan kening: “Bisa tahu di mana dia tinggal?”
“Err... soal itu saya tidak tahu...”
“Baik, terima kasih.”
Setelah berkata demikian, pria itu masuk melalui pintu belakang kelas. Memikirkan ekspresinya saat menyebut nama Gu Jiaming, Dongfang Wan segera berdiri dan menyusul. Saat pria itu hendak membuka meja Jiaming, dia berlari menghampiri dan menahan tangan pria tersebut.
“Maaf, Pak. Saya rasa tanpa persetujuan teman sekelas Gu Jiaming, tidak ada yang boleh mengobrak-abrik barang miliknya.”
“Hmm?”
Sekejap mata, tatapan pria itu menjadi mengerikan. Tapi Dongfang Wan yang berpengalaman tidak mudah gentar. Dengan tatapan penuh tantangan dia berkata: “Saya ketua kelas ini. Teman sekelas Gu Jiaming sudah pulang hari ini karena izin tidak masuk. Bisa datang besok atau titip pesan yang akan saya sampaikan.”
Mereka saling bertatapan beberapa saat. Alis pria itu mengendur sebelum akhirnya mendengus: “Baik, nama saya Joseph. Tolong sampaikan besok bahwa saya... Hmm?”
Baru mengucapkan satu kalimat, tiba-tiba tatapan Joseph tertuju ke lapangan. Matanya menyipit tajam. Beberapa detik kemudian dia menggeleng: “Tidak perlu sampaikan.” Berbalik dan turun tangga. Dengan jantung masih berdebar, Dongfang Wan memandang ke lapangan tempat Tsukike Kaoru sedang berlari melewati tikungan.
“Jam pelajaran terakhir tadi, Kaoru lari lebih dari sepuluh putaran di lapangan... Luar biasa...”
Aroma tumis daging iris dengan paprika hijau menyeruak dari dapur. Lingjing sedang menata peralatan makan di meja sambil berbicara, sementara Shasha sedang menjemur pakaian di balkon.
"Hmm, lebih dari sepuluh putaran... Sungguh melegakan..." Jiaming berjalan keluar membawa masakan sambil tersenyum. Lingjing mengangguk penuh semangat: "Uh-huh, banyak anak laki-laki yang tidak sanggup lari sebanyak itu. Menurutku Kaoru bahkan tidak terlihat lelah, waktu pulang sekolah dia masih terus berlari... Ngomong-ngomong, aku khawatir soal perkelahian itu. Lebih dari tiga puluh orang masuk rumah sakit, meski tidak sampai terluka parah, tapi dampaknya terlalu besar. Teman-teman sekelas bilang kali ini dia mungkin akan dikeluarkan. Jiaming, ada ide?"
"Tenang, dia punya cara sendiri." Memberikan senyuman menenangkan, dia hendak kembali ke dapur. Suara telepon terdengar dari balkon, Shasha berteriak: "Jiaming, telepon khususmu berdering!"
"Kamu saja yang angkat." Lingjing berlari ke dapur sambil tersenyum. Jiaming masuk ke kamar kecilnya di antara beberapa perangkat aneh. Telepon rahasia yang dipasang khususnya sedang berbunyi Ding ling ling. Meski sudah memberi tahu Lingjing dan Shasha sebelumnya, ini pertama kalinya berdering. Menyalakan komputer, alamat panggilan yang tampil adalah Tokyo, Jepang. Setelah ragu tiga detik, dia mengangkat mikropon mendengar suara di seberang.
"Halo, saya Tenku Masaoka."
“Aku tahu ini nomor telepon yang kau berikan untuk Kaoru. Tiba-tiba menelepon seperti ini memang agak kurang sopan. Karena ini hal penting, aku sudah pertimbangkan seharian dan akhirnya memutuskan untuk menghubungimu. Bisa dibilang... heh, sebagai kejutan...”
“Begini, sebenarnya... hari ini ulang tahun Kaoru... Awalnya aku berencana datang. Tapi seperti yang kau tahu, sekarang masih masa sensitif saling menguji. Keberadaan Kaoru sebisa mungkin harus dihindari agar dia tetap aman... Aku tahu dia suka padamu, Tuan Gu, mungkin lebih tepat disebut chemistry. Lingkungan keluarga Yuechi seperti yang kau tahu, masa kecil tanpa kenangan bahagia itu sangat menyedihkan. Jadi untuk ulang tahun ke-16 Kaoru, kumohon Tuan Gu bisa lebih perhatian, berikan dia kenangan indah... Bahkan kalau sampai naik ranjang pun aku tak keberatan...”
“Maaf merepotkanmu, anggap saja ini bentuk perhatianku. Bagaimanapun, dia tunangan resmi atas namaku... Ah, kata 'tunangan' kedengaran Wei. Maaf, aku harus... Tolong urus Kaoru ya.”
Setelah suara bising sejenak, terdengar suara wanita tergesa di telepon: “Halo, kau orang Tiongkok itu? Dari mana kau tahu tentang aku? Aku peringatkan, kalau berani mengawasi diam-diam lagi...”
Suara "Krek" terdengar saat Jiaming mematikan telepon tanpa ekspresi. Menatap langit yang mulai gelap, dia mengutuk dalam hati: “Bangsat...”
Berjalan keluar dari kamar, Lingjing dan Shasha sedang menunggunya di meja makan, mata mereka membelalak penuh rasa ingin tahu seperti bayi. Sejenak, Shasha pertama kali bertanya: "Hal apa? Terakhir kali Jiaming bilang telepon itu penting, aku baru pertama kali dengar berbunyi, ada urusan besar ya?"
Lingjing bertanya: "Berbahaya? Kalau berbahaya…"
"Tenang." Jiaming mengangkat bahu, "Nggak ada masalah, cuma ketahuan sama orang iseng doang, ayo makan…"
……
Mendekati pukul delapan malam, gerimis mulai turun dari langit, bertiga meringkuk di sofa menonton sinetron membosankan. Melihat hujan turun, Shasha langsung melompat dari sofa: "Aduh, hujan, harus jemput baju." Seketika dia berlari kembali, "Tadi sebelum makan sudah dijemput…"
"Pelupa adalah pertanda ketuaan lho."
"Masa sih, katanya perempuan yang agak kikuk lebih disukai lho." Lingjing tersenyum.
"Aku sama sekali tidak suka…" Shasha menopang dagu, kesal dengan keluguannya tadi. Tiba-tiba telepon di samping sofa berdering, tentu saja ini telepon biasa. Lingjing langsung mengangkat mikropon: "Halo, oh… tunggu sebentar… Jiaming, teleponmu." Menutupi mikropon, dia berbisik: "Ini Dongfang Wan lho."
"Hmm?" Jiaming bingung mengambil mikropon. Mengetahui bahwa di kelas Jiaming dan Dongfang Wan adalah sepasang musuh, Lingjing dan Shasha dengan penuh rasa ingin tahu menempelkan telinga mereka mendekat, menyimak suara dari gagang telepon.
“Hmm… Aku sudah lama berpikir, sebaiknya meneleponmu. Di jam pelajaran terakhir ada orang asing bernama Joseph yang mencarimu. Tinggi besar, pakai jas, tampak agak menyeramkan. Kau kenal dia? Dia tidak menemukanmu, tapi melihat Tsukike Kaoru yang sedang lari di lapangan. Sepertinya dia turun mendekati Tsukike Kaoru. Saat pulang sekolah kulihat dia berdiri di tepi lapangan… Hei, tahukah kamu kenapa Tsukike Kaoru lari? Barusan aku telpon ke sekolah, hujan sudah deras tapi dia masih terus berlari. Sudah hampir 100 putaran! Apa dia ingin lari sampai MATI?”
……
Gedung sekolah yang terang benderang, di enam lantai bertingkat. Mahasiswa yang sedang belajar malam kini berkumpul di dekat jendela yang menghadap lapangan, memandang takjub ke arah gadis berbaju putih yang sendirian. Dibandingkan saat mulai lari tadi, kecepatannya sudah jauh melambat. Rintik hujan membasahi setiap inci kulitnya. Dalam kabut hujan yang samar, dia terus berlari tanpa henti…
## Bagian ke-155 Menjadi Kuat
Lewat pukul delapan malam, hujan masih belum reda. Di bawah kerlip lampu kios kecil, gadis yang basah kuyup menyeret tubuh lelahnya masuk. Pemuda yang sedang menonton TV di belakang konter langsung berdiri: “Eh, kamu…”
“Satu roti, terima kasih.”
“Oh.” Pemuda itu mengangguk, buru-buru membungkus roti besar sesuai petunjuk gadis. Setelah ragu sejenak, bertanya: “Payungnya mau?”
“……Tidak perlu.” Melihat label di rak payung, gadis itu menggelengkan kepala. Dari saku bajunya yang basah, dia mengeluarkan dompet. Dengan jari-jarinya yang lincah, dia mengambil beberapa koin kecil yang setengah basah dan meletakkannya di konter, lalu menerima roti. Saat membuka dompet, pemuda itu melihat sepertinya tidak ada uang kertas berlebih di dalamnya.
Hatinya ragu sejenak. Ketika mengangkat kepala lagi, gadis itu sudah memeluk roti di dada dan berjalan keluar. Pemuda itu duduk sambil menatap gambaran di TV, lalu menoleh ke tirai hujan di luar toko. Setelah beberapa saat, dia menggigit gigi, mengambil payung dan berlari keluar.
Bayangan gadis itu muncul di bawah lampu jalan tak jauh di depan. Dia segera mengejarnya.
"Eh, itu... sedang hujan... meski badanmu sudah basah kuyup, hmm... tenang, anggap saja ini hadiah dariku. Itu... sampai jumpa..."
Pandangan datar gadis itu seolah memberikan tekanan dahsyat, membuatnya gagap. Setelah menyerahkan payung, dia tersenyum dan berlari kembali ke warung. Dari kejauhan, sepertinya ada bayangan yang menyembunyikan diri dalam kegelapan. Tanpa pikir panjang, saat sampai di bawah atap, gadis itu sudah membawa payung menyeberang jalan dalam hening, perlahan menghilang dari pandangan.
……
……
Cahaya warna-warni dari tiang lampu artistik memancar, namun tetap memberi kesan remang-remang. Melewati jalan setapak berkelok di antara pepohonan, terlihat Area asrama bergaya apartemen Akademi Hati Kudus. Tanpa alasan jelas, Kaoru berhenti di tengah jalan kecil, lalu berbalik badan.
Sosok tinggi lain menyusul dari belakang, itu Joseph.
"Kurasa kau harusnya mengenalku, Sabtu malam itu di parkiran Bar Blue Bird, yang menyetir adalahmu!"
Dengan tekanan dahsyat, Joseph berhenti dua langkah di depannya.
"Aku ingin tahu keberadaan Marilyn dan Heidi!"
"Aku tak tahu." Suara datar. Kaoru berbalik. Tiba-tiba, tubuh Joseph kembali muncul di depannya, melemparkan payung di tangan: "Kalau begitu ikutlah denganku!"
"Aku menolak."
"Ini bukan permintaan." Sorot mata Joseph mengeras, "Kau hanya anak kecil, meski lari maraton empat jam lebih membuktikan keunikannya... Harap kau pahami, aku punya 100 kemenangan di Pasar Gelap... Jika aku menyerang, takut kau akan MATI."
"...Aku menolak." Suara tetap datar. Mengabaikan Joseph yang menghadang, Kaoru melangkah. Seketika tangan Joseph menyambar bahunya.
Tangan kiri memegang roti dan payung, pergelangan tangan kanan Kaoru berputar tiba-tiba, ujung jari mengarah ke darah leluhur di pergelangan Joseph.
Aura kematian menyergap dari depan!
"Splash—" Payung dan roti terlempar ke udara, tubuh Kaoru terlempar ke belakang, berputar dua kali di udara sebelum mendarat, pergelangan tangan kanannya gemetar.
Lampu jalan Sssss berdesis.
“Setelah berlari 40.000 meter masih bisa merespon seperti ini, sebagai seorang anak kau luar biasa tangguh. Kung Fu China? Ilmu ninja Jepang?” Joseph membuka kait bajunya sambil tersenyum, “Seandainya kekuatanmu belum terkonsumsi, menangkapmu mungkin akan menyulitkan. Tapi sekarang...”
Bayangan yang tertarik ke belakang tiba-tiba memendek. Byur! Tiang lampu jalan besi seukuran lengan tertekuk membentuk sudut siku-siku 90 derajat oleh tendangan ini. Cahaya lampu berkedip-kedip sekejap. Kaoru menyelinap ke hutan samping. Suara Joseph menggema.
“Aku tidak ingin ini jadi berantakan. Lebih baik kau menyerah.”
Mengitari pohon besar, Kaoru melancarkan tendangan terbang ke punggung Joseph.
Sama sekali tidak...
……
……
Di tengah hujan malam, kejar-kejaran hidup-mati selama tiga menit berlangsung. Kaoru menahan sakit di kakinya, tiba-tiba berbelok mengitari pohon. Lalu, hembusan tinju Joseph menyambar.
Sejak pertarungan dimulai, tubuhnya bahkan hanya sekali bersentuhan dengan Joseph. Saat itu ia menyerang dari blind spot belakang lawan, tapi tetap bisa dihalau. Sapuan lengan membuatnya terlempar, meninggalkan rasa nyeri di kaki.
Orang ini sangat kuat.
Tubuh bagaikan baja, teknik yang murni diciptakan untuk pembunuhan. Setiap serangan lawan datang, dia hampir bisa mendengar gesekan badai gurun pasir yang merobek—ganas, kejam, tanpa rencana pelarian. Jika dalam kondisi tubuh terbaik, dia akan menggunakan teknik Chiseisenran untuk terus menerjang mencari kelemahan lawan. Namun bagaimanapun, kondisi tubuhnya kini berada di titik terendah. Untuk sementara, dia hanya bisa mengandalkan penghalang di hutan untuk terus menghindar, yang sebenarnya merupakan keunggulan pelatihan ninja.
Dalam reaksi naluriah yang berulang ini, dia justru semakin jelas merasakan sesuatu.
Seandainya ini terjadi setahun lalu, mungkin dia sudah MATI menghadapi serangan segenap kekuatan seperti ini...
Hampir setahun di Tiongkok, meski secara resmi berguru pada Jiaming, namun yang utama mengajarnya adalah Lingjing dan Shasha. Terkadang dia menilai, jika benar-benar bertarung, kedua gadis itu mungkin akan tumbang dalam satu menit. Pelatihan sehari-hari yang mereka ajarkan justru berupa Kung Fu China yang terlihat indah namun di luar nalar dalam pertempuran nyata—dari Wing Chun, Tai Chi, Luohanquan, Bagua Zhang, dan lain-lain. Tak berani mempertanyakan metode pelatihan Jiaming, namun seiring waktu, di hatinya kadang terbersit pertanyaan: Apa gunanya latihan seperti ini?
Metode evaluasi terbaik tentu melalui pertempuran nyata. Namun setiap kali bertarung melawan Jiaming, meski setelahnya dia akan bergumam: "Sepertinya lebih kuat sedikit dari sebelumnya..." atau "Agak lebih lincah kali ini...", semua ucapan itu terdengar tidak pasti. Setiap kali Kaoru dengan mudah dijatuhkan Jiaming dalam waktu sama, bahkan sampai sendi lengannya dilepas, membuatnya sulit memastikan apakah benar ada kemajuan.
Baru pada momen inilah dia akhirnya melihat semuanya.
Pertahanan demi pertahanan, penghindaran instingtif, gerakan-gerakan yang dulu terasa ajaib kini semakin matang dengan Chiseisenran-nya. Semua ini membuatnya benar-benar menyadari: Dirinya, memang telah menjadi kuat.
Kekuatan orang ini mungkin setara dengan Pangeran dulu. Jika stamina-nya belum terkuras, mungkin... mungkin bisa menemukan kelemahannya? Bisakah... bisakah dia mengalahkannya?
Setiap kali menghindar dari serangan lawan pada detik terakhir, pertanyaan itu bergema dalam hati Kaoru. Harapan itu tipis, namun gejolak dalam hatinya tak terbendung. Bagi Kaoru saat ini, situasi genting seolah kehilangan makna. Dengan nalurinya dia terus menghindar, sementara bayangan Jiaming, segala perbuatan dan ucapannya, terus berputar dalam pikiran...
"Ilmu bela diri kedengarannya keren, tapi sebenarnya cuma teknik berkelahi - pakai pisau, pedang, tongkat, batu, sampai sekarang pakai pistol. Ada yang bilang tujuan ilmu tempur adalah menjatuhkan lawan, itu memang benar, tapi kesimpulan yang ditarik sering bikin mual. Jadi bilang karate ilmu terkuat di dunia, taekwondo ilmu terkuat di dunia, muay thai ilmu terkuat di dunia, itu semua tai anjing..."
"Perkembangan ilmu bela diri sekarang bertujuan untuk mengenali dan mengembangkan potensi manusia. Contohnya meski kau pemula mengarahkan pistol ke Aku, Aku bisa merasakan gerakanmu lewat kontraksi otot. Saat kau buka tembakan, Aku bisa menghindar. Meski terdengar di luar nalar, ini hal yang bisa dilakukan. MATI adalah katalis terbaik yang bisa memicu potensi manusia sampai batas maksimum. Setelah mengalami banyak hal begini, manusia akan membentuk refleks terkondisi. Mau mencoba?... Tapi setelah Aku menghindar, langkah berikutnya adalah membunuhmu lho..."
"Jadi, dari segi melatih potensi fisik, sistem seni bela diri terkuat tidak diragukan lagi adalah Kung Fu China. Ini bukan soal harga diri sebagai orang Tiongkok, karena awalnya saya justru belajar karate terlebih dahulu. Tapi Kung Fu China yang telah berkembang selama lima ribu tahun, hampir mencakup semua bagian tubuh manusia. Tangan dan kaki hanyalah dasar, kepala, bahu, lutut, siku, jari, ruas jari, ujung jari, hingga teknik seperti Zhan Yi Shi Ba Die. Sangat sulit untuk benar-benar memahaminya, tapi jika kamu bisa mengontrol setiap bagian tubuh dengan presisi, tidak diragukan lagi efeknya akan seperti itu. Lalu... yang berada di puncak adalah Tai Chi. Menyerang belakangan tapi lebih dulu sampai, mengalahkan yang keras dengan kelembutan. Orang yang mencapai realm ini tidak hanya menguasai dirinya sendiri, tapi juga bisa mengontrol setiap gerakan lawan dengan tepat. Hmm, terlalu rumit, bahkan saya sendiri belum bisa, jadi cukup sampai sini..."
"Intinya, semua jurus yang rumit sebenarnya hanya untuk membuat orang mengenali diri sendiri. Setelah mengenali diri sendiri, secara alami kamu akan bisa melupakannya..."
Mengenali diri sendiri... melupakannya...
Dalam kegelapan, hembusan tinju kembali menyambar. Dengan gerakan memutar tiba-tiba, menghindari pukulan berat itu. Kemudian lengan menghabisi datang, Kaoru telah melangkah menghindari radius serangan. Seluruh kekuatan terkumpul di tinju kanan selama langkah itu, kedua tangan menghabisi dada Joseph.
Ilmu ninja? MATI.
Merasakan serangan, Joseph mengayunkan tendangan ke samping, namun di udara, seolah instingnya merasakan bahaya, dia tiba-tiba menarik kakinya dan mundur kikuk, menghindari kontak dengan Kaoru.
Byur! Pukulan sederhana yang tampak biasa menghantam batang pohon di samping. Dalam dentuman berat, batang pohon seolah meledak dari dalam, serpihan kayu beterbangan membuktikan kebenaran penghindaran Joseph. Teknik Shinken dalam ilmu ninja terlihat sederhana: satu langkah maju, sapuan horizontal, bahkan bukan menggunakan bagian depan kepalan tangan. Namun tingkat kematiannya melebihi tembakan shotgun. Jika mengenai dada, efeknya setara palu besar menghantam jantung langsung. Andaikan Joseph tidak mundur tadi, mungkin kedua belah pihak akan terluka parah.
Ini merupakan langkah mundur pertama Joseph sejak pertempuran dimulai.
Tapi mengasah pedang di medan perang mungkin memberi kilasan sesaat, tak bisa menutupi jurang kemampuan sebenarnya. Setelah pukulan itu, tubuh Kaoru bergetar halus. Menghadapi tendangan horizontal berikutnya, dia sudah tak sanggup menghindar. Bersiap menerima patah tulang lengan, dia mengangkat kedua tangan melindungi kepala. Tiba-tiba seseorang menarik kerah belakang bajunya dan melemparkannya ke belakang.
Punggungku terhempas ke tanah, tapi anehnya tidak terlalu sakit. Tempat ini jauh dari area yang ada lampu jalanan. Di depan gelap gulita, meski mata dibuka lebar-lebar, pemandangan di sana tak terlihat. Hanya bisa merasakan samar ada dua sosok yang bertarung sengit, percikan air beterbangan.
Hanya dalam waktu kurang dari setengah menit, Joseph yang sebelumnya mengejarnya dengan santai tiba-tiba mengeluarkan dua kali raungan marah. Lalu terdengar suara gedebuk, sesosok tubuh terjatuh ke tanah. Langkah kaki mendekat, seseorang datang ke sisinya. Satu tangan menyangga bahunya, tangan lain menyelip di lekukan lutut, menggendongnya.
Tetesan hujan mengenai wajahnya. Merasakan dada orang itu, tiba-tiba semua rasa lelah dan sakit seolah menghilang. Hanya tenaganya masih belum pulih. Alasan ini membuatnya bisa berbaring lebih lama di pelukan itu.
"Aku lihat, kerja bagus."
Dalam kehangatan, untuk pertama kalinya orang itu memujinya...
## Bagian Seratus Lima Puluh Enam Selamat Ulang Tahun
Saat pintu terbuka, Kaoru meringkuk di pangkuan Jiaming. Seluruh tubuhnya basah kuyup, matanya setengah terpejam. Bulu mata yang basah oleh tetesan air gemetar perlahan, seperti anak kecil yang tertidur.
Di genkan, Jiaming melepas sepatu dengan tendangan. Kakinya menginjak lantai, sambil terus menggendongnya berjalan menuju kamar mandi. Lalu mendudukkan Kaoru di toilet.
"Masih bisa bergerak? Aku akan siapkan air, mandi air hangat dulu sendiri ya."
"Hmm..."
Melepas kondom dan melemparkannya ke samping, Jiaming membuka keran di bak mandi, menyesuaikan suhu air: "Meski konstitusimu bagus, tidak sampai flu, tapi lebih baik mandi agak panas. Bagian belakang urus sendiri, aku keluar dulu." Berbalik hendak pergi, melihat Kaoru yang sedang membungkuk melepas sepatu, Jiaming kembali berhenti. Tampak jelas luka gores di punggung kaki kiri Kaoru, setelah lari 40.000 meter sudah membengkak kemerahan, darah yang merembes mengeras menjadi keropeng, menempel pada stoking pendek.
"Luka gores siang tadi?"
"Hmm." Mengangkat kepala, mengangguk perlahan.
“Aku akan mengambil kotak P3K.” Melihat luka di sana, Jiaming berbalik menuju lantai atas. Tak lama kemudian ia turun sambil membawa kotak P3K. Saat membuka pintu, Kaoru sedang menurunkan celana dalam dari betisnya. Melihat Jiaming masuk, dia meletakkan kedua tangan di samping tubuh. Tubuh telanjang gadis enam belas tahun itu terpapar jelas di depan mata Jiaming.
Seketika, Jiaming langsung mengambil handuk putih besar dan menyampirkannya di tubuhnya, menutupi tiga titik yang seharusnya menjadi bagian Siluman seorang gadis.
"Di depan pria mana pun, tidak seharusnya melakukan operasi seperti ini dengan santai."
Berjongkok di depan Kaoru, Jiaming sedikit mengangkat kaki yang terluka itu sambil berkata datar.
Kaoru menggigit bibir bawahnya: "Kalau Tuan Gu... tidak masalah..."
“He, jika lawan ditetapkan sebagai aku, mengenakan pakaian dengan baik akan lebih efektif. Meskipun Status seperti ini akan membuat sembilan puluh persen pria nekat menerkam, namun relatif, wanita yang selalu menjaga sikap anggun dan malu justru lebih mampu membangkitkan keinginan menaklukkan pria, bagimu juga lebih mudah dikendalikan.”
Mendengar perkataan Jiaming, Kaoru sepert ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya hanya mengangguk pelan: "Ya." Sambil memegang lekukan betisnya, Jiaming mulai menurunkan stoking. Di bawah sinar lampu, paha putih mulus dan kaki giok kemerahan terlihat sangat menggoda. Bentuk kaki Kaoru sangat kecil dan indah, mengingatkan pada wanita zaman kuno yang membalut kaki. Bahkan Jiaming pun tak bisa menghindari bayangan: jika di zaman kuno, bagian tubuh wanita ini bahkan lebih Siluman dan memalukan dibanding dada atau area pribadi. Banyak perempuan yang meski telah menyerahkan tubuh pada suami, tetap enggan membiarkannya menyentuh kaki mereka.
Di sisi lain, Kaoru hanya memandangi gerakan Jiaming dengan tenang. Jika orang biasa melihat hal yang akan menimbulkan rasa sakit pada diri sendiri, mungkin akan secara bawah sadar memalingkan pandangan. Namun dia hanya fokus mengamati tangan Jiaming. Saat luka dikupas perlahan, tak ada gejolak emosi di wajahnya, hanya denyut darah leluhur di betis yang menunjukkan bahwa dia juga merasakan sakit. Kemudian, pandangannya mengikuti gerakan tangan itu, menyaksikannya membersihkan dengan lembut, melakukan disinfeksi, mengoleskan obat, dan membalut lukanya – seolah ingin mengukir Segalanya ini dalam pikiran.
Meski sudah memakai handuk mandi, terkadang saat Kaoru mengangkat kakinya sedikit lebih tinggi, pemandangan antara paha masih bisa terlihat. Setiap kali ini terjadi, Jiaming selalu mengerutkan alis dan menurunkan kakinya sedikit.
"Sudah, hati-hati jangan sampai kaki ini terkena air. Pakaian akan kuambilkan dan taruh di depan pintu. Aku pergi dulu."
Sambil mengambil kondom di sebelah, Jiaming berbalik dan keluar sambil berbicara. Sorot mata Kaoru bergetar halus, memandang bayangan itu berbalik keluar, diikuti suara pintu yang tertutup.
Diam di tempat itu cukup lama, matanya kosong saat bangkit. Melempar handuk, masuk ke bak mandi. Kulitnya terbungkus air panas. Suara Jiaming kembali terdengar di luar: "Pakaiannya kutaruh di sini." Tak lama kemudian, suara pintu terbuka dan tertutup lagi. Ia menatap dinding kamar mandi dengan hampa, lalu mulut, hidung, mata, dan dahinya perlahan tenggelam dalam air panas...
Suara napas pertama setelah keluar dari air terdengar seperti terisak. Namun tetesan air yang mengalir di wajahnya tetap menunjukkan ekspresi datar, tanpa tanda-tanda tangisan.
Setelah berendam dalam air panas lewat sepuluh menit, ia keluar dari bak mandi. Membersihkan tubuhnya, lalu telanjang bulat membuka pintu. Cahaya kamar mandi merambat ke ruang tamu yang hitam pekat. Tumpukan pakaian tergeletak di lantai dekat pintu. Ia menggendong pakaian itu, naik tangkap seperti hantu, membuka pintu, naik ranjang, lalu memeluk erat boneka panda besar di tempat tidur.
Tidak dapat memahami perasaan dalam hati, tidak bisa mengendalikan harapan di dalam diri. Menunjukkan tubuh di hadapannya, berasal dari kecerobohan yang tak terpahami. Mungkin karena rasa terima kasih yang muncul saat bertarung dengan lawan tadi, atau mungkin ulah nakal yang terpicu oleh perlakuan sebelumnya. Tapi menjadikan Jiaming sebagai lawan, itu benar-benar hal yang tak terbayangkan dalam pikirannya. Hatinya bukannya tak mengerti konsep seperti naik ranjang atau kehilangan keperawanan, namun jika itu dia, sepertinya memang tak masalah—dia tidak sedang menipu atau berperang.
Setelah menangani hal yang harus ditangani, dia tak akan tinggal di sini lagi. Sebuah pengertian yang seharusnya memang sudah jelas.
Memandangnya pergi dengan begitu tegas, ada rasa kecewa samar di hatinya. Kedatangannya yang kadang-kadang, malam-malam setelah pelatihan lalu pergi lagi. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekecewaan, entah apa itu, entah dari mana asalnya. Mungkin karena pembalutan Jiaming tadi terlalu lembut, atau mungkin kelelahan dan rasa sakit yang mengurangi kemauannya.
Hujan di luar masih turun, tanpa sinar bulan. Dengan tubuh telanjang bulat, dia memeluk panda dan tidur tak bergerak. Entah kapan, tiba-tiba dia mengangkat kepala. Suara pintu yang terbuka bergema di bawah, diikuti langkah kaki dengan irama familiar khas Jiaming saat tanpa kamuflase.
Jiaming masuk, tapi tidak berbicara, tidak mendatanginya. Tak lama kemudian, di bawah terdengar suara kompor gas dinyalakan, lalu gesekan ringan spatula. Dia bangkit dari ranjang, mengenakan gaun yang disiapkan Jiaming. Itu sepertilah gaun malam termewah yang pernah disiapkan Tenku Masaoka dkk untuknya saat datang ke Tiongkok, mungkin karena mempertimbangkan keikutsertaannya dalam jamuan. Tapi Kaoru tentu tak punya mood mempedulikan ini, mengikat rambut panjang setengah basah menjadi ekor kuda di belakang kepala, dia melesat keluar kamar. Saat turun ke belokan tangga, melihat Jiaming sedang sibuk di dapur.
"Gu…"
"Oh, turun ya. Sudah kucek kulkasmu, isinya kosong. Kau pasti belum makan malam, jadi aku ke kantin, bungkus nasi dingin dan sisa sayuran. Aku buatkan nasi goreng telur, sederhana saja, jangan keberatan." Menoleh ke Kaoru di tangga, Jiaming mengerutkan kening, "Memakai gaun malam dengan gaya begini? Setidaknya keringkan dulu rambutmu, beri bedak tipis di wajah. Aku risih melihatmu seperti ini."
"Eh… Oh."
Dengan sedikit panik mengangguk, Kaoru buru-buru kembali ke kamar, mengambil pengering rambut untuk mengeringkan rambutnya. Setelah merapikannya, dia menepuk bedak tipis di pipinya. Saat hendak menuju pintu, dia kembali lagi, mengeluarkan lipstik yang belum pernah dipakai dari laci dan mengoleskannya tipis-tipis, lalu menambahkan sedikit rouge agar terlihat tidak terlalu lelah, menjepit bulu mata... Lebih dari sepuluh menit kemudian, dia turun dari lantai atas. Di atas meja restoran terhidang sepiring nasi goreng telur yang masih mengepul. Jiaming duduk di sofa ruang tamu, menyalakan TV untuk menonton berita internasional.
Melirik sekilas, Jiaming mengangguk: "Oh, ayo makan." Matanya segera kembali tertuju ke layar TV.
Tanpa pujian, hati Kaoru terasa sedikit kecewa, tapi kemudian menyadari otaknya pasti bermasalah. Selama ini, dia hanya pernah dipuji sekali. Mustahil dia mengharapkan pujian untuk hal remeh seperti ini. Tapi setidaknya tidak ada hujatan, berarti riasannya cukup baik.
Sambil menyantap nasi goreng telur, sesekali Kaoru melirik ke Jiaming. Pada suatu saat, tatapan mereka bertemu. Jiaming mengerutkan alis: "Ada apa? Tidak enak?"
"Enak..." Jawabannya lembut meski mulutnya berusaha menganga lebar, menyuap makanan dengan lahap. Seolah puas dengan responnya, Jiaming mengangguk lalu kembali fokus ke berita.
Pada suatu momen, saat mengangkat kepala dan melihat Jiaming menonton TV, Kaoru teringat beberapa kali dia mengunjungi tempat Jiaming. Situasinya selalu mirip: Jiaming dan Lingjing sedang menyiapkan sarapan, Shasha menonton TV atau merapikan tas sekolah, terkadang Lingjing yang sedang mencuci piring sementara Jiaming beristirahat. Perasaan hangat dimana setiap orang menemukan tempatnya itu tak pernah dia rasakan selama di Jepang. Namun pemandangan di depan matanya sekarang begitu mirip dengan perasaan itu - dia menonton TV, sementara dirinya sendiri sedang makan, dan setelah selesai harus mencuci piring...
"Aku sudah selesai makan." Berdiri dari meja, Kaoru membawa piring kotor ingin mencucinya, tapi tiba-tiba Jiaming memanggilnya: "Jangan dicuci dulu. Matikan lampu dulu, lalu kemari."
"Eh?" Tak berani melawan perintah Jiaming, Kaoru berjalan ke pintu dan mematikan lampu. Saat mendekati meja teh, Jiaming sudah mengeluarkan kotak bundar dari bawah meja - sebuah kue ulang tahun. Setelah membukanya, dia mulai menancapkan lilin-lilin.
"Hari ini Tenku Masaoka meneleponku, bilang ini ulang tahunmu yang ke-16 dan berharap aku bisa merayakannya untukmu. Sebenarnya tidak perlu, tapi karena urusan Joseph, lagipula aku harus datang ke sini, jadi sekalian saja kuraikan. Waktunya mepet, dan ini bukan kue yang mahal... Jujur, aku benci krim..." Korek api dinyalakan, satu per satu lilin mulai bersinar dalam kegelapan.
"Ucapkan permohonan dulu, lalu tiup lilinnya. Hmm?"
Kobaran api berkilauan dalam kegelapan, dia terpaku berdiri di sana, tiba-tiba tak bisa bergerak sama sekali. Dalam pandangannya, Jiaming dengan ekspresi datar yang tak pernah berubah, mengayunkan tangan untuk mematikan korek api di genggamannya.
"Selamat ulang tahun."
## Bagian Seratus Lima Puluh Tujuh: Mimpi Basah
Kue itu dimakan selama lima hari, namun dia tak pernah datang lagi.
Malam ulang tahun itu, Jiaming menemaninya meniup lilin, makan kue bersama, mendengar cerita masa latihan di rumahnya tentang ayahku yang tegas dan ibuku yang MATI, lalu tetap menunggu sampai dia tertidur sambil memeluk panda sebelum pergi - semuanya terasa seperti persepsi yang salah. Sejak itu tak pernah dibahas lagi, malah intensitas latihan digandakan. Jiaming tetap disiplin, kemudian mulai mengajarinya cara membuat dan membongkar bom. Masih teringat katanya dia membenci krim, jadi dengan bodohnya dia makan bagian krim di luar kue terlebih dahulu. Tapi sampai kue habis, dia tak pernah datang lagi untuk berbagi, mungkin karena hari ulang tahun sudah lewat, harapan pun tak perlu lagi diwujudkan.
Saat kue itu habis, dia mencuci bersih piringan busa itu, membersihkan kertas kardus pembungkusnya, membungkus kembali seperti semula lalu menyimpannya dengan hati-hati di bawah ranjang, mempersiapkan untuk dibawa kembali ke Jepang nanti.
Tentu saja, itu semua adalah kisah lanjutan.
……
Peristiwa perkelahian mengejutkan di klub bela diri akhirnya sementara ditangani oleh Tenku Masaoka melalui []. Sekolah memberikan hukuman kritikan sekolah pada Kaoru, namun tanpa sanksi substansial. Meski banyak yang berumpat dalam hati, setelah kejadian ini praktis tak ada lagi yang berani menantang gadis Jepang ini secara langsung.
Di sisi lain, Joseph yang ditaklukkan Jiaming dalam hujan malam baru bangun keesokan paginya. Dengan kekecewaan, ia akhirnya meninggalkan Akademi Hati Kudus. Tujuan kedatangannya adalah meminta bukan bukan memulai perselisihan. Menyadari belas kasihan dari ibu-putri Marilyn dan pihak di belakang Kaoru, ia tak berani memprovokasi lagi. Pihak lawan yang berkuasa tentu tahu maksudnya. Marilyn akan memohon bantuan, hasilnya tinggal menunggu. Perang keluarga dengan Gambino belum dimulai sekarang. Kedua pihak masih dalam fase pengumpulan kekuatan.
Setelah April, selama tiga hari liburan Mei, perayaan ulang tahun Akademi Hati Kudus sebenarnya jatuh pada 2 Mei. Ini mungkin untuk memastikan alumni bisa hadir. Pada tanggal 30, program pertunjukan dan syaratnya diberitahukan pada Dongfang Wan. Meski terkejut, ia akhirnya menyetujui.
Pada tanggal 1 Mei itu, aku hanya berdiam di villa keluarga Huang, menyaksikan mobil-mobil hilir mudik. Memanfaatkan liburan Mei, kerabat Huang pun memilih berkumpul di sini, bahkan Huang Bingxiang selaku Sekretaris Komite Provinsi juga pulang ke Jianghai. Meski karir Huang Bingxiang belakangan ini kurang mulus, pepatah "Unta mati masih lebih besar dari kuda" terbukti benar. Para walikota dan kepala dinas tingkat provinsi silih berganti datang. Rumah besar keluarga Huang yang biasanya sepi, tiba-tiba ramai oleh hiruk-pikuk.
Karena tak punya ikatan dekat dengan keluarga inti, posisi Jiaming di keluarga Huang basically bisa dihilangkan. Justru karena statusnya yang ambigu, kehadirannya tetap diakui. Setiap tahun, ia harus menjalani ritual yang sama: dipanggil para tetua keluarga tingkat paman dan bapak-bapak untuk dinasihati tentang pentingnya belajar, bahkan Huang Bingxiang yang super sibuk pun menyempatkan memanggilnya. Sang paman akan mengenang adik perempuan yang MATI – ibu Jiaming – lalu menyemangatinya untuk berusaha keras. Nasihat klise ini harus ditelannya beberapa kali dalam setahun.
Pengaruh Huang Bingxiang menarik bukan hanya kalangan birokrat Jianghai. Keluarga Zhang, Han, dan Dongfang juga datang. Sekitar lewat pukul sembilan malam, Yahan tiba dengan mobil dari kampus, ditemani Xu Yiting yang ekspresinya agak malu-malu.
Sejak kematian Xu Changhong di kasino, ini pertama kalinya Yiting muncul di hadapan keluarga Huang.
“……Sejak Paman Xu meninggal, emosi Yiting terus-menerus murung. Pernah sampai ingin bunuh diri. Karena hubungan kami di kampus sangat dekat, aku tidak tega melihatnya seperti ini. Jadi akhir-akhir ini aku menampungnya. Sebenarnya ini salahku, berani mengambil keputusan seperti ini tanpa izin. Karena...”
“Karena sejujurnya, Yiting dulu terpengaruh Paman Xu dan punya kecanduan narkoba. Untungnya tidak parah. Beberapa hari ini dengan Penghambat dan perawatan obat-obatan Tiongkok-Barat, kecanduannya sudah tidak bermasalah besar. Harapan... Hmm, harapan jangan masukkan dia ke pusat rehabilitasi. Meski tahu itu untuk kebaikannya, tapi dia masih anak. Kalau sampai masuk, noda seumur hidup pasti tertinggal.”
Setelah bertemu para petugas utama Keluarga Huang, di tempat tanpa orang luar, Yahan menjelaskan kronologi hal ini dengan tulus dan meminta jaminan keamanan. Urusan selanjutnya terselesaikan dengan mudah. Yahan adalah Mutiara Telapak Tangan Keluarga Zhang, sementara Xu Yiting hanya anggota tak berarti di Keluarga Huang. Menjatuhkan batu ke sumur hanya terjadi dalam sekejap pikiran, berbuat baik pada orang juga hanya sekejap. Karena Yahan berani menjamin Yiting, muka ini harus dihormati bagaimanapun.
"Setelah hal ini diperjelas, seseorang membawa Xu Yiting untuk berziarah ke makam ayahku. Yahan yang belakangan ini sibuk mengurus persiapan perayaan ulang tahun sekolah tampak agak lelah secara Mental. Dia menemukan Jiaming yang sedang berdiri di sudut: 'Huh... akhirnya selesai juga. Tadinya kukira akan banyak bicara. Hai, pinjam ranjangmu sebentar buatku tidur.'"
"'Ranjangku? Kenapa tidak minta diaturkan kamar tamu saja?'"
"'Tolonglah, nanti orang-orang akan mengira aku datang cuma untuk cari tempat tidur. Lebih baik aku langsung nyetir pulang... Ayo lah, kita kan Teman. Jangan sampai kau tidak mau menolong dalam hal sepele begini...'"
"'Baiklah, baiklah. Aku menyerah.'"
"Membawa Yahan ke kamarnya, sepanjang jalan Jiaming tak bisa menghindari ocehannya. Memasuki pintu kamar, ruangan sederhana itu masih sama. Yahan duduk di tepi ranjang, matanya jelalatan: 'Kalau dipikir-pikir, ini kedua kalinya aku masuk ke kamar ini.' Ucapnya penuh dengan nada nostalgia."
"'Iya. Setelah kejadian penculikan itu, karena hubungan dengan Huang Haoyun, kamu tidak berani datang lagi.' Sambil membereskan beberapa barang kecil di meja, Jiaming tersenyum tipis."
"'Aku masih ingat waktu itu kamu baru lulus SD. Aku juga baru kembali dari luar negeri, usia 20 tahun belum sampai. Semua hal dilakukan dengan gemetaran... Dosa betul.' Menarik napas dalam-dalam, Yahan menatapnya. 'Sudah empat tahun kita kenal. Waktu itu kamu masih kecil sekali. Tapi kamar ini... sepertinya tidak banyak berubah...'"
“Aku jarang tidur di sini, tidak ada yang istimewa.” Melihat sekeliling, kamarnya sangat sederhana hanya berisi sebuah ranjang, meja belajar, dan kursi. Di sudut ruangan bertumpuk buku pelajaran dari SD sampai sekarang. Shasha pernah memberinya tongkat bisbol yang juga diletakkan di sana. Sebenarnya bisa ditambahkan rak buku, tapi Jiaming menolak. Di dinding tergantung peta dunia tanpa poster idola seperti yang disukai remaja pada umumnya.
“Pertama kali masuk, ada radio yang sudah dibongkar di meja. Saat itu kupikir sangat menarik, anak 12 tahun bisa membongkar radio. Lembar jawaban ujianmu juga aneh.” Tanpa sungkan melepas sepatu hak tinggi, Yahan duduk di tepi ranjang dengan stoking kulit berwarna sambil menopang dagu. Matanya berbinar mengingat masa lalu, “Sikapmu saat itu sangat kasar!”
“Waktu itu aku sedang membuat bom.”
“Hah?”
“Radio itu,” Jiaming tersenyum, “Sebenarnya adalah alat detonasi dan pengendali jarak jauh untuk bom.”
“…Wow.” Yahan menatap Jiaming beberapa saat sebelum memandang sekeliling kamar, “Kalau… Saat itu ketahuan olehku, apa kau akan membunuhku?”
“Aku tidak tahu apa yang kaupelajari di luar negeri. Tapi jika ada kemungkinan kau mengetahui, ya mungkin saja.”
“Astaga… Waktu itu kau baru 12 tahun! Dasar monster…” Yahan mengangkat mata putihnya. Jiaming hanya mengangkat bahu pasrah. Beberapa saat kemudian Yahan menarik kesimpulan: “Hubungan buruk… Kita memang ditakdirkan punya hubungan buruk…”
“Jangan terus menggunakan kata-kata pandangan menggoda seperti ini setuju, kau istirahat dulu, aku keluar dulu, nanti makan siang dipanggil.”
“Hmm, selamat malam.” Meregangkan tubuh rampingnya, Yahan tersenyum manis di ranjang, lalu tiba-tiba melompat seperti kesetrum sambil meraba-raba ranjang, “Hei, tidak ada benda aneh di ranjangmu kan?”
“Tolong…” Dengan menghela napas pelan, Jiaming keluar kamar sambil menutup pintu. Yahan tertawa sambil berbaring di ranjang, menarik selimut untuk menutupi diri, lalu memejamkan mata dengan nyaman.
Tak lama kemudian, sepasang mata di ranjang itu tiba-tiba terbuka lagi, menatap langit-langit, lalu melirik ke kedua dunia, berguling ke sisi luar, lalu ke sisi dalam.
Di ranjang… ada aroma dirinya.
Jam dua belas malam, villa keluarga Huang riuh di dalam dan luar, lebih dari sepuluh meja makan disusun. Teman-teman saling berseru, Kepala pelayan mengatur kursi, para pelayan lalu lalang, pengawal berjas atau berpakaian biasa tersebar di sekitar villa. Saat mendorong pintu masuk ke kamar, Jiaming mendengar suara Yahan.
“Hmm... Ah... Umm... Jangan...”
“Hah…” Dengan bingung menatap ke ranjang, terlihat Yahan mengerutkan alis, selimut terbuka lebih dari separuh, posisi rok pendeknya agak naik, paha jenjang terbungkus daging iris bergesekan lembut, pemandangan yang benar-benar menggoda kejahatan. Tangan-tangannya juga berayun tak berdaya, seolah melakukan perlawanan dan perlawanan. Mendengar kata “Jangan”, Jiaming mengerutkan kening.
“Mimpi buruk ya?”
Menggelengkan kepala, Jiaming berjalan ke tepi ranjang, menepuk pipinya dengan lembut: "Hei, bangun, di luar sedang mempersiapkan makan."
"Jangan... jangan..." Setelah ketukan itu, gelengan kepala Yahan tiba-tiba menjadi lebih keras, kedua tangannya memukul ke arah Jiaming. Sesaat kemudian, tangan-tangan itu ditindih dengan keras di ranjang.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar di luar pintu: "Gu Jiaming kau ngapain!?" Menoleh ke belakang, Huang Haoyun yang selalu menyimpan perasaan pada Yahan terlihat terdiam memandang pemandangan ini: Yahan tidur di ranjang Jiaming, penampilannya berantakan, Yahan berkata jangan, sementara Jiaming menindih tangannya... Segalanya terhubung menjadi adegan menggoda... oh, bukan, pemandangan kejahatan dimana Jiaming sedang memuaskan nafsu pada gurunya sendiri.
Namun sebelum sempat memberi respon yang seharusnya, tatapan mata Yahan yang baru terbuka dari kantuk telah mengubahnya menjadi batu.
"Kakak Jiaming... jangan..."
"Puff" suara dua aliran darah menyembur dari hidung Huang Haoyun...
## Bagian ke-158 Kekacauan Hati
Wanita yang lama diidamkannya ditindih di ranjang sambil mengucapkan kata-kata penuh pandangan menggoda, reaksi Huang Haoyun adalah mimisan. Dari sini tak sulit menebak fantasi seperti apa yang sering dia bayangkan tentang Yahan selama ini.
Di sisi lain, ketika Yahan membuka matanya dalam kondisi setengah sadar, reaksi pertama yang muncul justru perlawanan yang lebih sengit. Mengetahui gadis itu memang memiliki tekanan darah rendah dan sering linglung saat bangun tidur, Jiaming menahan kedua tangannya: "Hei, kamu mimpi buruk ya? Itu... Guru Yahan."
"Tidak... tidak... itu... kamu selalu harus... aku... itu... aku mohon lepaskan aku... Tapi, tapi kamu mengabaikanku... Aku, aku... malu... itu... itu... eh..."
Suara terputus-putus itu, karena pikiran sang pemiliknya sedang kacau, sebagian besar tidak terdengar jelas. Hanya beberapa frasa yang bisa dikenali, itupun tidak sepenuhnya pasti. Namun sekalipun hanya tebakan, kata-kata ini jelas lebih menggoda dibanding kalimat "Jiaming kakak jangan" tadi. Melepaskan tangan Yahan, Jiaming canggung menoleh ke Huang Haoyun di belakangnya. Baru pada saat ini, Yahan mulai sedikit sadar.
"Eh... itu... itu... ada apa..."
"Tidak... tidak, kamu mimpi buruk kan? Aku ingat kamu memang punya tekanan darah rendah, jadi sulit membedakan mimpi dan realita saat bangun..." Duduk di tepi ranjang dengan senyum santai, Jiaming juga menunjuk ke bagian gaun Yahan. Akibat perlawanan tadi, ujung gaunnya kini tersingkap hingga memperlihatkan celana dalam hitam berenda resi. Bukan hanya dia, Huang Haoyun yang tidak sengaja melihat pun tampak menyesali pandangan sekilas itu.
"Cepat-cepat menarik ujung gaun, Yahan mengambil kacamata besar di meja belajar lalu memakainya. Duduk dengan kaki tertekuk di ranjang Jiaming sambil menunduk. Suasana dalam kamar tiba-tiba hening. Situasi ini mirip ketika Yahan dan Jiaming ketahuan berselingkuh oleh Huang Haoyun. Dalam keheningan yang sama, Yahan mengingat kembali semua yang baru saja terjadi. Wajahnya memerah hingga seperti dilumuri saus tomat.
"Ehm, yang..." Sejenak kemudian Yahan memecahkan kebekuan, "Aku... sepertinya mimpi buruk, aku... perlu ke toilet." Menarik napas dalam, dengan pipi masih memerah, ia turun dari ranjang. Memasang sepatu hak tinggi hitam lalu tersenyum sebelum berjalan keluar.
"Hoi, makan sudah siap."
"Ya, ya, aku SEKARANG JUGA datang..."
"Di kamarku ada toilet lho..."
Jiaming ingin menyusul, tapi Yahan sepertinya tak berniat menunggu. Byur-byur beberapa langkah, sosoknya sudah menghilang. Di sisi lain, Huang Haoyun memandangi Jiaming dengan tatapan sengit sebelum tiba-tiba berlari menghampiri dan mengguncang kerah bajunya.
"Jujur! Kau dan Yahan..."
Sebelum selesai bicara, Jiaming yang didorong ke jendela menggerakkan tangan di belakangnya. Jendela terbuka tiba-tiba, tubuhnya sudah terjungkal ke rumput tepi sungai. Berguling beberapa kali lalu bangkit.
"Tolong, jangan emosi bos, benar-benar bukan seperti yang kau pikirkan."
"Lalu seperti apa? Masalah di hotel Kota Xinning... pun belum kuselesaikan denganmu..."
“Dia cuma mengalami mimpi buruk... Lagipula aku lebih muda tujuh tahun darinya, kami cuma teman, kau tahu lah, persahabatan yang mengabaikan perbedaan usia...”
“Persahabatan apaan! Aku akan mengeruk nyawamu...”
Ingin mengejar lewat jendela, Jiaming sudah berlari menghilang. Di keluarga ini, selama bisa kabur dari masalah, dia tak pernah ragu. Tak ada yang sanggup menangkapnya.
……
……
Lebih dari sepuluh menit kemudian, Yahan baru muncul di aula setelah keluar dari toilet. Setelah menyapa beberapa kenalan, dia langsung duduk di pojok sebelah Jiaming. Meja ini diisi anak-anak muda keluarga Huang seperti Jiaming, Huang Haobing, dan Xu Yiting yang baru selesai berziarah. Kehadiran Yahan terasa kurang serasi, tapi dari kondisinya sekarang, dia tampak tak menyadarinya sama sekali.
Sebagai tamu keluarga Zhang dengan panen harian yang cukup signifikan, setengah menit kemudian seorang bibi Jiaming datang ingin mengatur tempat duduknya di meja utama. Melihat ada yang akan menambahkan kursi, Yahan buru-buru berdiri menolak sambil tersenyum.
“Tante tak perlu repot, kita kan sudah akrab. Ke sini rasanya seperti rumah sendiri. Lagipula di meja sana pembicaraannya serius, sebagai perempuan aku tak bisa menyela. Kebetulan Yiting juga di sini... Lagi pula aku ini Guru, murid-muridku juga pada duduk di meja ini...”
Namun, meski dikatakan menemani Yiting duduk bersama, di sebelah Xu Yiting masih ada satu kursi yang tidak dia datangi, melainkan memilih duduk di sebelah Jiaming. Melihat dia tak berminat ke sana, mereka pun tak memaksakan. Di kejauhan, Huang Haoyun yang curiganya sedikit berkurang kembali memandang dengan penuh dendam.
Sejak kejadian penculikan saat piknik itu, Yahan tak pernah lagi mengunjungi keluarga Huang. Berhenti berharap sebenarnya tak masalah, namun ketika muncul sosok Jiaming sebagai pembanding, hal ini benar-benar membuatnya kesal, tak mengerti apa yang kurang dari dirinya dibanding orang seperti Jiaming.
Sementara dia kesal, emosi Yahan juga tampak berada dalam konflik tertentu. Sejak duduk, dia tak berbicara dengan Jiaming. Saat masakan dihidangkan, hanya menyantap dengan diam, sesekali tersenyum menyapa kenalan yang mendatangi. Suasana aula hiruk-pikuk dengan keramaian, namun Jiaming terus merasakan kabut dingin berputar di sekitarnya. Saat makan hampir separuh, Huang Bingxing pun datang membawa Gelas Anggur untuk bersalaman dengan Yahan.
Sebagai ayahku Huang Haoyun, Huang Bingxing sebenarnya selalu berharap Yahan bisa menjadi menantu keluarga mereka. Meskipun Yahan dan Huang Haoyun tidak saling cocok, hubungan Huang Bingxing dengan Zhang Jing'an, Yahan, dan Keluarga Zhang tetap terjalin baik. Setelah mengobrol sebentar dan saling menyesap dua gelas baijiu, Huang Bingxing bertanya sambil tersenyum: "Katanya hubungan Yahan dengan Jiaming keluarga kami cukup akrab, ya?"
"Hehe, tentu saja." Mendengar nama Jiaming disebut, Yahan tertekan sejenak tapi segera tersenyum cerah, "Kami seperti kakak-beradik, di perguruan silat aku juga seniornya. Dulu Jiaming pernah menyelamatkan nyawaku lho, wuah..." Tangannya memukul kepala Jiaming seperti memukul anak anjing, lalu merangkul bahu Jiaming erat sambil mencium pipinya keras-keras. Meski Jiaming sudah enam belas tahun, selisih usia mereka membuat interaksi terbuka ini justru terlihat tulus di mata orang. Huang Bingxing tertawa terbahak, sementara beberapa Tuan yang melihat Jiaming mengusap-usap pipinya dengan jijik ikut mengejek.
Usai pertanyaan itu, Huang Bingxing pergi sambil tersenyum. Dari kejauhan ia berbicara dengan Huang Haoyun. Meski suaranya tak terdengar, Jiaming tetap bisa membaca gerakan bibir untuk memahami maksudnya. Kira-kira Huang Bingxing berkata: "Tak berguna... Selisih usia segitu, mana mungkin dia dan Jiaming..."
"Hei, jangan diusap terus, di wajahmu kan tidak ada..."
Sedang mengenali percakapan bapak-anak ini, Yahan tersenyum sambil menggenggam tangannya yang sedang mengusap wajah. Jiaming mengangkat mata putihnya: "Bagaimana mungkin tidak ada..."
"Huh, kau tahu dari mana ada bekasnya? Kau sendiri tidak melihat cermin!" Yahan menegakkan kepala tak mau kalah.
"Nih." Jiaming kesal menunjuk mangkok porselen putih di sampingnya, di bibir mangkok sudah terlihat beberapa titik bekas lipstik halus, "Kau ini penggemar berat ya, pakai lipstik setebal ini..."
"Hmm... Jadi penggemar berat lagi kenapa..."
Seandainya ini dalam suasana saat mereka berdua sedang sendiri di hari biasa, mungkin Yahan akan menganggap hal ini sebagai permainan, langsung menerkam dan meninggalkan bekas lipstik lagi. Tapi dalam situasi sekarang, dia tentu tidak berani berbuat macam-macam. Mendengar Jiaming menyebut lipstiknya terlalu tebal, wajah Yahan memerah lagi. Riasan ini dia perbaiki di toilet tadi, saat itu hatinya sedang kacau...
Mengingat-ingat hal-hal itu, memandang bekas merah di wajah Jiaming, Yahan mengambil mangkok porselen. Bibirnya menggigit kuat bibir mangkok, lalu meninggalkan bekas bibir merah membara di sana, bagian dalam dan luar sama-sama menggoda...
Urusan sudah sampai di titik ini, meski dalam hal perasaan selambat Jiaming, dia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Secara rasional sudah punya penilaian, tapi secara emosional tetap tidak bisa memahami. Sesaat hatinya dipenuhi kebingungan. Yahan di sampingnya diam-diam menunduk makan, sesekali tersenyum mengangkat kepala tanpa lagi berbicara dengannya, hingga acara makan selesai.
Setelah makan dan beristirahat sebentar, Yahan pun berpamitan. Setelah mengobrol sebentar dengan Jiaming tentang pertunjukan besok, nada bicaranya tetap formulaik, tanpa keakraban berlebihan.
Di persimpangan jalan, lampu merah menyala. Mobil kecil berhenti tenang di depan garis putih.
Memandangi hitungan detik di lampu lalu lintas, Yahan menarik napas dalam-dalam, memeluk kemudi dengan lembut, menempelkan dahinya di sana.
Mengingat momen di toilet saat melepas celana dalam, noda air yang lengket dan memalukan itu—bahkan kini ia masih bisa merasakan dingin di antara pahanya, seluruh tubuh lemas tak bertenaga.
Ternyata bermimpi basah di ranjang Jiaming... Kau MATI kau... Zhang Yahan...
Apakah Jiaming... sudah tahu? Meski di meja makan segalanya normal, tapi berpura-pura polos memang keahliannya. Dengan ketajamannya, mungkin dia tahu tapi tak ingin mempermalukanku. Lalu apa yang ada di hatinya? Bagaimana dia akan memandangku nanti...
Dan mimpi itu...
Selama ini mengira diri normal, tapi apa arti mimpi itu? Pasti aku benar-benar menyukai Jiaming. Entah cinta atau sekadar suka, mustahil kuungkapkan. Seandainya Jiaming bisa seperti dalam mimpi itu... memaksaku demi kesenangannya sendiri, melakukan hal-hal memalukan meski ku menangis merengek-rengek tak digubris... Mungkin tak perlu lagi menghadapi dilema dan pilihan...
Menurut pandangan psikologi, mimpi adalah manifestasi kerinduan dalam hati manusia. Apakah aku sendiri sebenarnya mengharapkan hal yang menyimpang itu...
Tidak bisa berpikir jernih, juga tidak bisa mengakui hal ini dengan mudah. Beberapa saat kemudian, lampu hijau menyala. Dia menginjak gas dengan sepatunya, berusaha memusatkan mental pada aktivitas ulang tahun sekolah besok.
Tapi... pertunjukan Jiaming dan yang lain...
## Bagian ke-159 Ulang Tahun Sekolah
2 Mei, cerah, hari kedua liburan. Hari yang tepat untuk pelaksanaan aktivitas ulang tahun di Akademi Hati Kudus.
Di pagi hari mulai, berbagai mobil sport mewah telah masuk ke pintu gerbang Akademi Hati Kudus di bawah kibaran spanduk Hong yang memenuhi langit, sampai di plaza kecil di luar parkiran. Suara teriakan kerumunan yang bertemu kembali setelah lama berpisah bersahut-sahutan. Meski sejarah pendirian Akademi Hati Kudus tidak terlalu panjang, namun sejak awal telah menempatkan posisi sebagai akademi Bangsawan terbaik di Kota Jianghai, banyak anak orang kaya yang masuk belajar di sini. Oleh karena itu, acara perayaan sekolah ini juga setara dengan reuni kembali generasi muda yang menguasai ekonomi Jianghai setelah keluar dari kampus.
Sekolah masa lalu, teman sekelas dulu, kenangan yang pernah ada, perempuan yang dulu disukai dan percintaan samar kala itu—bagaimanapun juga, ketika orang mulai melihat ke belakang dari suatu momen, memori selalu menghiasi segalanya dengan renda indah. Kerumunan orang tertawa riang berkelompok, mengobrol tentang keadaan sekarang, bercerita tentang masa lalu, menunjukkan sisi kedewasaan mereka di depan teman perempuan yang lama tak jumpa—tentu saja, bukan sisi yang sedang kalian bayangkan... Mencari ruang kelas lama, mengenang tempat duduk masa lalu di sana. Tentu, anak-anak dari keluarga besar atau si cantik beraura menawan juga mendapat berbagai ajakan ngobrol. Misalnya, "Senior, ternyata kita pernah duduk di meja yang sama", "Kakak tingkat, rupanya kita pernah menggunakan kelas yang sama", "Kita ternyata pernah diajar oleh guru yang sama", dan berbagai variasi serupa.
Bagi para lulusan ini, tujuan perayaan sekolah adalah mengenang keindahan masa lalu, mempererat persahabatan lebih banyak di kalangan kelas atas Jianghai. Namun bagi pihak kampus, tujuan perayaan hanya satu: membuat orang menyumbang uang. Hal ini sebenarnya sudah dipersiapkan dalam hati kebanyakan orang, dibungkus dengan istilah mulia: "Mendukung pembangunan fasilitas kampus".
Tentu, meski ada kesepahaman "satu pihak mau memukul, pihak lain mau dipukul", urusan masing-masing tetap harus diselesaikan dengan baik. Untuk hari ini, kampus membuka semua fasilitas, menyiapkan pesta besar-besaran—undangan kepada bintang seperti Fang Yusi membuktikan keseriusan pihak sekolah. Di siang hari, berbagai komunitas mengadakan aktivitas: demonstrasi hasil penelitian ekstrakurikuler, mengundang alumni senior untuk memberikan bimbingan.
Misalnya, anggota klub minat model pesawat mulai mencoba menerbangkan model buatan sendiri di lapangan, klub komputer mengadakan lomba game melawan invasi dan Red Alert, klub kimia merancang model reaksi kimia kompleks yang memenuhi separuh ruang kelas. Awalnya klub bela diri berencana mengadakan beberapa pertandingan persahabatan dengan alumni, namun semuanya dihancurkan Kaoru sendirian, memaksa beberapa rencana ditunda sementara.
Tentu saja, semua aktivitas ini sebenarnya murni untuk bersenang-senang. Jika dibuat terlalu serius mungkin akan kehilangan tujuannya. Dalam arti ini, festival sekolah kali ini bisa dibilang sukses. Pagi hari, lebih dari separuh model pesawat jatuh saat uji terbang. Satu unit menerobos jendela kelas, satu lagi memutus kabel listrik, memicu kebakaran kecil di tepi hutan lereng gunung terpencil. Setelah dipadamkan, emosi semua orang justru memuncak - membakar sekolah, betapa indahnya...
Sekitar lewat sepuluh, rangkaian reaksi kimia aneh klub kimia mengalami kecelakaan. Beberapa tabung reaksi dan Gelas Kimia meledak, kemudian api muncul dari salah satu ujungnya, membuat semua orang kocar-kacir. Untungnya tidak ada korban. Dari sudut pandang komersial, sensasi ini berhasil menarik kerumunan penonton yang berkomentar dengan riang, sangat sukses dan sangat B. Tapi apakah pihak yang bersangkutan merasa senang atau tidak, itu lain cerita.
Dalam situasi seperti ini, yang justru tampil lebih membanggakan adalah klub bela diri. Dalam kondisi puluhan anggota inti terluka, Chen Guxia pertama kali bertindak di depan publik. Konon, lebih dari sepuluh anggota utama klub bela diri dari berbagai angkatan dikumpulkan, namun tetap babak belur meski bekerja sama. Peristiwa ini memicu gelombang semangat kecil dalam perayaan ulang tahun kampus, menarik hampir seribu penonton. Kemudian ada yang menyarankan pertarungan antara Chen Guxia dengan Kaoru yang baru-baru ini berulah, namun Chen yang terlalu tinggi hati dan mengetahui latar belakang Kaoru tentu menolak bertarung serius dengan junior.
Menjelang pukul dua siang, sensasi datang dari klub komputer. Pertarungan sengit invasi peretas sedang berlangsung, bahkan alumni yang telah bekerja di industri IT ikut bersemangat dalam kompetisi ini. Seorang pria gemuk dari kampus lain yang tidak tahu diri mengeluarkan komentar, memicu cemoohan dan perdebatan. Solusinya tentu uji nyali di depan komputer. Si pria gemuk itu pun mulai memamerkan gaya komputernya yang unik kepada semua orang.
Dalam sepuluh menit, pria bernama Fu Yanjie ini menghancurkan gelombang penantang pertama. Dua puluh menit berikutnya, dua gelombang lagi tumbang. Awalnya biasa saja karena ini ranah profesional. Tapi ketika gelombang keempat dengan tim ahli datang, si gemuk mengusulkan invasi ke situs peretas top dunia. Setelah target dipilih dan persiapan matang, baik awam maupun ahli di antara penonton mulai bersemangat seperti darah mendidih, kerumunan yang antusias terus bertambah.
Saat itu komputer di Tiongkok memang belum terlalu umum, namun orang-orang di sini berasal dari keluarga berkecukupan. Hal-hal berteknologi tinggi perlu diketahui baik untuk membual maupun pamer, sehingga sebagian besar memahami betapa mengagumkannya profesi hacker, yangsetara dengan pembunuh di dunia nyata. Aspek-aspek terlalu teknis tentu tidak banyak ditonton, namun ketika menyangkut invasi ke situs hacker kelas satu luar negeri, dalam hati sebagian orang hal ininaik ke tingkat perang suci nasional. Lagipula teknologi komputer dalam negeri tertinggal, kalah tidak membuat malu, menang bisa memberikan kepuasan besar. Selama pria gemuk menghubungi beberapa teman untuk bantuan, para pemula penggemar hacker juga mulai menyebarkan pengetahuan hacker di kerumunan.
Situs hacker target serangan kali ini adalah forum bernama "" yang cukup terkenal di Eropa dan Amerika, dengan sejumlah ahli hackertinggi di dalamnya. Konon sebagian pernah meretas beberapa situs web Tiongkok. Di antaranya ada ratu jaringan paling misterius bernama californium, yang katanya sejak paruh kedua tahun lalu mood-nya jelek terus menerus menjatuhkan beberapa situs hacker terkenal dunia, hingga awal tahun ini mood-nya baru sedikit membaik dan sesekali memberi pernyataan di "". Konon dalam pernyataan awal tahun ini, sang ratu jahat mulai tertarik pada Tiongkok, membuat nama Tionghoa untuk dirinya sendiri, makna pastinya sulit dipahami.
“Berdasarkan hipotesis beberapa orang, jika serangan peretas benar-benar memicu Ratu Jaringan yang pemarah ini untuk bertindak, di Tiongkok mungkin hanya Babi Putih Bangsawan yang pernah muncul sesaat di Jaringan beberapa bulan lalu yang bisa setara dengannya. Tentu saja, ini murni dugaan buta belaka. Babi Putih Bangsawan hanya pernah membuat beberapa pernyataan berdampak besar di Jaringan, tidak ada yang pernah melihat aksi sebenarnya.”
“Melihat postur tubuh pria gemuk itu dan ekspresi membualnya yang penuh semangat, banyak orang mulai berspekulasi: Jangan-jangan orang ini adalah Babi Putih Bangsawan... Tidak mungkin...”
“Beberapa saat kemudian, kompetisi invasi dimulai. Teman sekelas Gu Jiaming yang merupakan Babi Putih Bangsawan sebenarnya sedang browsing di sebuah kamar berjarak kurang dari seratus meter dari ruang kegiatan ini. Yahan yang terlihat lelah duduk tenang di sampingnya, sesekali melirik layar dan wajahnya.”
“Ada lingkaran hitam di matamu.”
“Aku tahu...”
“Terlalu lelah beberapa hari ini?”
“Hmm, semua persiapan acara malam itu kukelola sendiri.” Mengusap mata, Yahan berkata, “Tadi malam lagi-lagi tidak bisa tidur nyenyak...”
“Tidur sebentarlah sekarang.” Jiaming menunjuk sofa panjang di kantor, “Apakah semua orang di kampus sudah MATI? Hingga menyuruh gadis kecil sepertimu mengerjakan segalanya.”
"Kau yang gadis kecil!" Dengan tersenyum mendorong Jiaming, Yahan meletakkan siku di meja kerja, menopang pipi, wujudnya sangat menggemaskan. "Gajian berapa kerjakan seberapa, lagipula aku suka rasa sibuk seperti ini. Biasanya tidak capek, cuma belakangan sedang memikirkan beberapa hal." Sampai di sini, dia melirik Jiaming, tapi akhirnya tidak melanjutkan.
Jiaming mengangkat alis perlahan: "Hmm, merindukan cinta... Orang yang kau suka itu, masih belum confess padanya?"
"Belum... Aduh, seharusnya aku tidak jatuh cinta padanya..."
"Setiap kali bahas ini kau selalu begitu. Setiap Natal datang kau sudah menghela nafas seperti ini berapa kali. Makanya aku malas bahas topik ini, kata-katanya itu-itu terus... Kepala kayu." Jiaming melototi putih matanya. Sejak Natal saat Yahan samar-samar mengaku punya orang yang disukai tapi takut confess, Jiaming pernah beberapa kali memberi semangat, tapi sepertinya tidak ada hasil, malah kadang bikin Yahan "tanpa alasan" marah. Sampai sekarang, sudah malas berkomentar.
"Aku memang kepala kayu... Aku babi..." Dengan menghela nafas penuh keluhan, Yahan memandanginya lama, lalu mengalihkan pandangan ke layar, tidak berniat lagi berdebat tentang ini dengan si kepala kayu. "Kenapa kalian chat pakai bahasa Jerman? Aku sama sekali tidak paham. Kau selingkuh diam-diam dari Lingjing mereka pakai komputerku... Jujur saja, yang di seberang itu si cantik ya?"
“Tentu saja tujuannya agar kau tidak mengerti. Dia bukan sekadar si cantik, tapi juga cabul sekaligus terbuka……” Jiaming tersenyum, “Cepatlah tidur, nanti jam lima kubangunkan kau.”
“Tidak mau! Kukatakan, jangan gunakan kata-kata seperti itu di depan wanita terhormat… Aduh… Sakit sakit sakit sakit sakit…”
Saat masih bersikap keras kepala, Jiaming sudah menarik rambutnya dan melemparkannya ke sofa: “Jangan berisik, kau membuatku tidak bisa berkomunikasi normal dengan si cantik. Tidurlah yang nyenyak, jam lima kubangunkan.”
Melepas jaket dan melemparnya ke betis Yahan, menyalakan AC sambil menaikkan panas beberapa derajat. Yahan yang kelelahan itu mengerang pelan, melepas hak tingginya: “Jangan, aku harus bangun jam empat.”
“Baik.” Jiaming mengangguk, kembali duduk di depan komputer, “Jam lima kubangunkan kau.”
“Cih, tidak paham bahasa manusia…” Dengan geram Yahan mengumpat, lalu tersenyum sambil berbaring miring di sofa, menutup mata dengan tenang.
Di seberang jaringan komputer yang sedang berkomunikasi dengan Jiaming, terdapat "Putri Takdir" Kelly Vernam.
——Awaslah, bahasa Chinaku sudah cukup baik. Karena kau sudah dikonfirmasi di Tiongkok, kapan saja bisa kutangkap. Bu Guru si cantik, nanti akan kumainkan habis-habisan denganmu.
——Selama kau sanggup, aku dengan senang hati.
——Ah, meski Kelly kecil sudah tidak punya membran perawan lagi, tapi dalam hal-hal seperti ini aku masih perawan lho. Bu Guru si cantik harus mendidikku dengan baik… Ngomong-ngomong, mau tahu kegunaan 7 miliar itu?
——Tidak perlu.
——Sebenarnya aku selalu berpikir, Bu Guru Cantik pasti tahu asal-usul sebenarnya diriku kan? Termasuk seluk-beluk Vatikan dan Keajaiban Kreasi?
——Hanya eksperimen biokimia pada pengguna kekuatan supernatural, semuanya jelas. Kau ingin tahu lebih banyak?
——Hehe, pantas saja Bu Guru Cantik memberi uang sebanyak itu ke Xiao Kaili. Tidak perlu, Xiao Kaili yang pemberani akan melakukannya sendiri... Ah, ada urusan. Situs web seorang teman diserang.
——Kalau begitu sampai jumpa.
——Jangan dong, Xiao Kaili masih ingin ngobrol dengan Bu Guru Cantik. Ngomong-ngomong, perempuan bernama Natalie*Annis itu adalah teman pertama yang berhasil kudapatkan selama bertahun-tahun. Dia memiliki aura yang sama denganku, bahkan pernah Xiao Kaili ingin menyerahkan tubuhku padanya. Tapi karena memikirkan Bu Guru Cantik, Xiao Kaili tetap bersabar menghadapi godaannya. Pasti Bu Guru Cantik akan memberi reward yang bagus untuk Xiao Kaili, kan...
Pukul tiga setengah sore, saat sistem situs Carmen belum sempat merespon, Fu Yanjie memanfaatkan celah pertahanan yang ditembus kekuatan lawan untuk masuk ke sistem internal Carmen dan membuka pintu belakang. Untuk menunjukkan kekuatan besarnya, dengan dukungan kawan-kawan, ia sekaligus menginvasi semua komputer di ruang kegiatan yang sama, lalu menghubungkan gambaran sistem pemantauan kampus ke layar komputer-komputer tersebut menggantikan antarmuka operasi. Setelah menerima sorotan mata semua orang layaknya pahlawan, dengan semangat mulai memperluas pengaruhnya ke seluruh kampus - keluarga dosen, staf pengajar...
Tiga menit kemudian, kekuatan serang balik pertama kali datang dari situs web Kamen, namun teman sekelas kami Fu Yanjie sama sekali tidak gentar. Dengan cara yang sangat tegas, ia memulai pertempuran dua front. Tentu saja, pertahanan di dalam kampus sebenarnya masih cukup lemah.
Oleh karena itu, di kamar tempat Yahan sedang tidur nyenyak, Jiaming mengerutkan alisnya dengan kesal di depan komputer... Seseorang berusaha merebut kendali komputernya...
## Bagian Seratus Enam Puluh Badai Jaringan (Bagian Atas)
Sebenarnya di dunia ini, masih ada yang disebut sebagai kehadiran genius.
Contohnya Fu Yanjie.
Meskipun penampilannya biasa-baik saja, dalam banyak hal sangat medioker, dan memiliki keinginan kuat untuk pamer serta keangkuhan, namun tak bisa dipungkiri, begitu menyentuh hal-hal terkait komputer atau informasi, pria gemuk ini mampu memancarkan cahaya menyilaukan yang membuat semua orang terkesima. Karena itu, dengan bantuan beberapa kawan, ia bisa menetapkan aturan tak tertulis bagi perusahaan jaringan Kota Jianghai menggunakan kode "Superman Pelangsing", juga mampu menyerbu Sistem Kamen secepat kilat saat ini dan memperluas hasil pertempuran.
Ahli melihat jalan, awam melihat keramaian. Menyaksikan para ahli komputer mengetik mati-matian, setelah aliran data ada yang bersorak "masuk masuk", kebanyakan pengamat yang datang penuh harapan tentu sulit merasakan pengalaman nyata. Namun ketika Fu Yanjie meretas semua komputer lain, menyambungkan lensa kamera CCTV kampus ke setiap layar komputer, efek ajaib ini langsung menimbulkan minat dan antusiasme semua orang.
“Murni dari sudut pertunjukan, adegan ini tidak diragukan lagi sangat sukses.”
“Saat komputer di depan mereka akhirnya tidak bisa dioperasikan lagi, orang-orang yang sibuk bekerja di depan komputer dengan keringat bercucuran pun berdiri dengan perasaan kecewa dan mengakui kekalahan. Sebagian dari mereka adalah lulusan yang mendalami teknologi komputer, sebagian lagi mahasiswa yang masih kuliah, semuanya berasal dari latar belakang keluarga baik dan memiliki keahlian komputer yang mumpuni. Beberapa yang mengaku kalah dengan lapang dada sambil menyerahkan kartu nama, mulai mencoba merekrut Fu Yanjie.”
“Saya XXX dari XX Group, kemampuan komputer Bapak Fu memang luar biasa...”
“Nama saya XXX, boleh tahu Bapak Fu sekarang bekerja di mana...”
“XXXXXXX……”
“Dalam sekejap, acara peringatan ulang tahun sekolah yang sederhana berubah menjadi ajang perekrutan talenta terselubung. Fu Yanjie sambil tertawa gembira menerima kartu nama dan perhatian orang banyak, juga membantu rekan-rekannya menunjukkan kekuatan yang lebih besar. Meski upaya mengendalikan jaringan seluruh kampus bahkan kota terkesan tidak bermoral, para penonton saat ini tidak mencegahnya karena sebagai pertunjukan, dia tidak akan melakukan hal yang terlalu melampaui batas. Tak lama kemudian, serangan ganas dari luar negeri pun akhirnya dilancarkan.”
“Membobol situs orang tanpa alasan, pasti akan ada balasan dari pihak lawan. Ini dipahami oleh para ahli yang hadir. Sejujurnya, orang-orang yang berkumpul di sini juga menanti-nanti pembalasan ini, ingin melihat seberapa besar kekuatan yang dimiliki Fu Yanjie untuk melawan. Dan serangan gelombang pertama ini benar-benar mengejutkan bagaikan Gunung Tai menindih.”
“...Serangan DDOS... Ya ampun... Data ini melebihi 30.000 unit? Masih terus naik...”
“Siapa di forum Carmen?”
“Gaya seperti ini… Apakah sampai mengganggu californium?”
Memandangi data yang mengalir di layar komputer pria gemuk, semua orang ramai berdiskusi. Serangan DDoS banjir memang mode serangan yang paling disukai oleh para peretas. Namun serangan yang bisa mengintegrasikan kekuatan secara efisien dan mampu meruntuhkan jaringan dalam sekejap mata, tidak bisa dilakukan dengan mudah oleh sembarang orang. Di dunia maya, Ratu Kekerasan Lu Kaikai adalah salah satunya. Tapi jika itu dia…
Memanfaatkan serangan DDoS banjir untuk membentuk ofensif kuat, lalu menyebarkan virus secara masif setelah mengendalikan jaringan, adalah jurus andalan Ratu Kekerasan saat melampiaskan amuk. Karena daya rusaknya yang masif, setelah beberapa serangan di paruh kedua tahun lalu, komunitas peretas memendam rasa takut terhadap perusak jaringan tak kenal ampun ini. Saat melihat keringat yang tiba-tiba membasahi wajah sang pria gemuk dan informasi dari kawannya di layar, banyak yang merasa seperti menusuk sarang lebah.
“Lapisan pertama jumpa sudah dibongkar… Astaga, lapisan kedua… Terlalu cepat…”
“Di sini akan kucoba alihkan perhatian, tapi tidak yakin, bos… Sisanya serahkan padamu…”
“Semua serangan balikku dihadang… Ya ampun, jangan-jangan itu komputer super di sana…”
“Mendeteksi gelombang virus pertama… Jangan-jangan ini benar-benar californium… Aku sudah terinfeksi, semoga bisa dipecahkan…”
Perubahan sekejap, orang-orang di sekitar merasakan perasaan yang tak terungkapkan, Genius bertemu dengan genius yang lebih kuat, Zhou Yu bertemu Zhuge Liang... Dan ketika jejak virus mulai terdeteksi, barulah yang lain mulai panik. Jika ini sekadar perang peretas biasa, mungkin hanya akan saling berdampak. Tapi yang dihadapi adalah maniak kekerasan yang suka menyebar virus dengan hukuman kolektif sembilan marga. Begitu virus mereka menyebar di Jaringan ini, konsekuensinya tak terduga. Seketika, beberapa orang yang lebih ahli kembali duduk di depan komputer. Fu Yanjie juga mencabut batasan pada komputernya, bersama-sama melawan serangan mereka.
Meski tak terlalu kuat, tetap lebih baik daripada tidak sama sekali.
Beberapa detik kemudian, informasi aneh tanpa sasaran terkirim ke semua orang, muncul di hadapan mereka.
"Ini... maksudnya apa?"
"Sepertinya bahasa Jerman, artinya..."
"Bu guru cantik... sepertinya... aku melihatmu..."
"Eh... bu guru cantik?"
Saat semua orang berbisik-bisik tentang pesan ini, di kantor Yahan, Jiaming terdiam di depan layar komputer selama tiga detik, mengernyitkan alis.
Komputer diserang, yang harus dilakukan tentu menyelidiki penyebab lalu melawan balik. Dengan kemampuannya di bidang komputer, tanpa membuat Fu Yanjie curiga sedikit pun, dia masuk ke komputer lawan dan memahami bahwa penyerangnya adalah klub aktivitas komputer. Biasanya, solusinya cukup melempar bom logika untuk membuat komputer-komputer itu melakukan komputasi siklus maut super. Tapi saat Fu Yanjie sedang melawan Kelly Vernam, penyusupannya ke jaringan justru terendus oleh indera penciuman tajam Kelly. Artinya, jika klub komputer dikalahkan dan IP fisik terbongkar, alamatnya sendiri juga bisa dilacak oleh mereka, setidaknya memberi petunjuk pencarian bagi Kelly.
Sebenarnya tak masalah jujur padanya, tapi Kelly Vernam dan Natalie Annis - mungkin dua wanita terkuat di dunia - sudah bertemu. Lagipula sesuai karakter Kelly Vernam, jika dirinya orang yang lebih lemah, mengendalikannya atau mendapatkan bantuannya akan jadi urusan yang sangat merepotkan...
Di kamar, suara erangan lembut terdengar. Yahan berguling pelan di sofa. Jiaming mengangkat mata putihnya, mulai mengetik di keyboard.
Aku benci urusan tambahan yang merepotkan...
Pukul 8.40 pagi waktu Inggris, lampu alarm merah berkedip di dalam basis penelitian militer. Natalie Annis mengenakan rok panjang ungu tua, melangkah keluar kamar.
“Ada apa?” Dengan nada datar, nona bertanya pada kepala pelayan tua di sampingnya.
“Katanya teman baru nona, Nona Kelly sedang menggunakan komputer. Dr. Durand dan timnya sudah bergegas ke sana.”
“Oh?” Senyum memikat mengembang di wajah Natalie*Annis saat melangkah maju, “Kelly selalu bisa menciptakan hal-hal mengejutkan. Aku akan melihatnya.”
Kepala pelayan bertuksedo mengikuti dari belakang. Meski tak bersuara, raut wajahnya menunjukkan sikap tak setuju. Gadis kecil tak sopan dan tak beretika itu... yang dia ciptakan mungkin bukan kejutan, melainkan teror...
Melewati terowongan panjang, mereka memasuki ruang besar penuh layar dan perangkat. Belasan orang berbaju seragam militer Inggris atau jas lab putih sibuk di depan peralatan. Suara riuh memenuhi ruang: teriakan, hujatan, derak kursi dan perangkat yang digeser. Kelly*Vernam dengan kulit kecokelatan yang sehat duduk di kursi komando tengah ruangan. Jarinya menari cepat di keyboard, ekor kuda di belakang kepala terlihat gagah.
“Cepat, percepat... Jangan biarkan dia lolos! Hasil kalkulasi di sana belum keluar? Bagaimana denganmu Buckley? Sial! Algoritma yang kalian pakai harus menggunakan integral fungsi kuadrat...”
Sambil tegang menangani urusannya sendiri, dia masih bisa mengatur Pekerjaan atau kesalahan orang lain, dengan teratur mengkomandoi segalanya. Meski tidak sampai berteriak hingga memerah wajah, namun di matanya saat ini benar-benar memancarkan cahaya yang disebut orang sebagai kegilaan. Mendekati komputer dan melihat layar, Natalie yang tidak terlalu familiar dengan komputer menggelengkan kepala dengan kekecewaan, lalu menghampiri seorang pria paruh baya berjenggot tebal.
"Dr. Durand, bisakah Anda jelaskan situasi sekarang sebenarnya..."
"Oh, Nona Annis, begini keadaannya." Dr. Durand selaku insinyur kepala lembaga penelitian memberi hormat sambil mengangguk, "Sekitar satu jam lalu, forum perimeter kami diserang peretas. Karena masalahnya tidak parah, petugas pengamat hanya membuat rekaman data sekadarnya. Saat itu Nona Kelly yang sedang mengobrol via unit utama tiba-tiba menyerang balik. Namun tak lama kemudian, sepertinya Nona Kelly menemukan sesuatu, menekan alarm dan memanggil kami semua. Bersamaan itu, serangan balik mereka mulai menjadi luar biasa kuat. Menurut Nona Kelly, mereka... sepertinya adalah Gurunya..."
"Oh? Gurunya?" Natalie*Annis bergumam sejenak, "Lalu apakah kita akan bermasalah di sini?"
“Saat ini mungkin masih sulit untuk memastikan. 'Ksatria' yang kami gunakan adalah komputer super terbaik di dunia, secara teori aku yakin bisa menghadapi segala Tantangan. Tapi serangan mereka dalam beberapa menit terakhir... Jujur saja, kami belum pernah melihat yang seperti ini. Gerakan mereka seperti hantu yang sulit dilacak.” Mengetuk beberapa tombol di keyboard, Durand mengerutkan alis, “Mereka terus melakukan serang balik dan semakin kuat. Aku belum pernah melihat peretas yang bisa meningkatkan diri secepat ini. Dia jelas masih di posisi inferior, tapi seperti gurita mutasi raksasa yang Melahap segalanya. Aku hampir bisa melihat sulur-sulur tak terhitung mengurung kita. Ini tidak normal. Entah dia menguasai semua celah prosedur di dunia, atau... dia adalah Tuhan...”
Dalam desahan Dr. Durand, Kelly Vernam yang membungkuk di depan komputer menari-narikan 10 jarinya bagai ilusi. Di bawah operasi puluhan prosedur, dia mengumpulkan data masif untuk melakukan kalkulasi yang melampaui batas manusia. Bibirnya yang sedikit terangkat mengeluarkan gumaman penuh semangat: “Harus seperti ini... baru bisa...”
## Bagian Ke-161 Badai Jaringan (Bagian Akhir)
Tak ada yang menyangka bahwa pada 2 Mei sore yang biasa itu, tahun 98 – atau bisa dikatakan bencana Jaringan terbesar dalam lima tahun ke depan – akan meledak karena peristiwa peretas yang awalnya hanya main-main ini.
Di ruang kegiatan klub komputer Akademi Hati Kudus yang dipadati lebih dari seratus orang, kerumunan saling berbisik. Di depan layar komputer, Fu Yanjie dan sepuluh lebih anggota lainnya terpaku menyaksikan aliran data yang bergulir di layar, ekspresi mereka seolah melihat dinosaurus prasejarah berlarian di jalanan sambil berdansa samba bersama Donal Bebek.
Pertarungan melawan Ratu Kekerasan dari forum Karmen ini hanya bertahan lebih dari lima menit di bawah perlawanan Fu Yanjie sebelum situasi kekalahan mulai terlihat. Semua jembatan lintas yang dipasang dilumpuhkan lapis demi lapis oleh kemampuan komputasi lawan yang mengupas sistem seperti bawang bombay. Menurut perkiraan semua, bahkan dengan usaha maksimal pun kekalahan pasti akan terjadi dalam lima menit. Saat Fu Yanjie berkeringat dingin mempertahankan sistem, aliran data yang sangat aneh tiba-tiba memasuki medan perang.
Seperti lubang hitam sebesar jarum yang mulai berputar dan membesar dengan kecepatan kasat mata saat menyentuh materi di sekitarnya.
Dua menit kemudian, Fu Yanjie menyadari kekuatan ini bertujuan membantunya. Namun saat mencoba menjalin kontak dan menawarkan bantuan, respons yang didapat hanyalah satu kata: "Pergi!"
"Kemudian, mereka mempertontonkan trik sulap yang menakjubkan di jaringan. Setidaknya dalam dekade mendatang, lebih banyak orang akan secara terbiasa menyebut peristiwa ini sebagai mukjizat ilahi. Pusaran itu terus mengembang seperti organisme hidup, menelan data, analisis, komputasi. Sambil bertahan dari serangan Forum Karmen, ia langsung mengambil alih semua sumber daya jaringan yang terkumpul di tangan Fu Yanjie. Ribuan tentakel membangun pelompat di berbagai sudut dunia, menciptakan lebih banyak ayam zombie, mengumpulkan sumber daya tambahan. Ia ternyata melakukan banyak tugas sekaligus: pertahanan, invasi proaktif, kendali, serangan……"
"Tak ada individu tunggal yang mampu melakukan hal seperti ini. Kapasitas komputasi yang besar saja sudah membuat superkomputer kewalahan. Situasi saat ini lebih mirip data tersebut menjadi katalis, lalu seluruh jaringan memperoleh kehidupan, membentuk pemikiran mandiri."
"Jaringan hidup..."
"Aku masih pertama kali melihat situasi seperti ini..."
"Ini benar-benar bencana, seluruh jaringan sipil macet total..."
"Bisa berpikir dalam lingkungan spesifik, memiliki sifat agresif, terus memperluas diri... Sepertinya seperti virus super..."
"Bukan virus. Sulur-sulurnya berhenti saat merambah ke area tertentu seperti jaringan militer, antariksa, departemen administratif kota. Ini membuktikan ada yang mengendalikannya. Kelompok peretas mana di dunia yang sanggup melakukan hal seperti ini?"
“Baru saja menerima kabar, penyebab masalah kali ini berasal dari acara ulang tahun sekolah Akademi Hati Kudus Kota Jianghai. Mereka pertama kali melakukan invasi ke Forum Karmen menggunakan teknologi peretas, mendapat serangan balik. Perkiraan awal mungkin ini ulah californium, kemudian muncul pihak yang melawan californium sehingga situasi berkembang seperti sekarang... Hah, mereka mengira yang menyerang kali ini adalah laboratorium penelitian seperti milik kami yang memiliki superkomputer, makanya ada kenalan yang menghubungi untuk bertanya...”
Di laboratorium penelitian besar yang riuh oleh suara manusia, karena kurang persiapan sebelumnya, saat memantau peristiwa ini, kondisi di sini menjadi lebih kacau dibandingkan institut penelitian tempat Kelly Vernam berada. Di tengah para peneliti yang berlalu-lalang, Fang Guolin yang mengenakan kacamata besar menoleh: "Kota Jianghai?"
"Ya, Akademi Hati Kudus Kota Jianghai." Peneliti itu tersenyum menjelaskan, "Oh, Guo Lin mungkin tidak tahu, itu SMA bangsawan terbaik di Jianghai. Hari ini hari ulang tahun sekolah mereka, jadi banyak alumni yang sudah kembali ke kampus. Salah satunya adalah teman sekelas saya waktu kuliah dulu, kemampuannya di bidang komputer sangat mumpuni. Siapa sangka kontes teknologi peretas sederhana bisa menimbulkan masalah sebesar ini... Hmm, saya harus menghubungi beberapa tempat lain, skala seperti ini mustahil dibuat tanpa superkomputer..."
"Kota Jianghai..." Memandang orang itu buru-buru pergi, Fang Guolin kembali menoleh, "Pasti kau, TULIP..."
Dalam waktu singkat lebih dari setengah jam, bukan hanya di institut komputer tempat Fang Guolin berada saat ini, orang-orang di seluruh dunia juga mengalihkan pandangan mereka ke pertempuran jaringan ini. Selama periode ini, Kelly*Vernam telah mengubah beberapa bentuk serangan, yang semuanya berhasil diatasi dengan mudah oleh pihak Jiaming. Dengan kemampuan komputer yang melampaui zaman selama lebih dari dua puluh tahun dan menguasai hampir semua celah sistem yang ada saat ini, hal-hal ini tidak menjadi kesulitan baginya. Yang perlu dipikirkan sekarang hanyalah bagaimana mengakhiri masalah ini dengan elegan.
"...Jika situasi terus berkembang seperti ini, dalam dua jam lagi, pihak lawan bahkan bisa membuat superkomputer ini runtuh hanya dengan mengirim spam. Bagaimana dia menghidupkan kembali jaringan..." Meski tampaknya masih unggul, seseorang di ruang penelitian sudah mulai mengelus-elus, sementara Kelly*Vernam yang matanya berbinar-binar langsung memotong pembicaraannya.
"Jaringan tidak hidup kembali! Ini hanya program super yang setara dengan meningkatkan kecerdasan komputer ribuan kali lipat. Dalam arti tertentu, ini sepenuhnya sama dengan program catur atau permainan kartu. Meski mampu membentuk pola respons seperti ini, pihak lawan tetap hanya komputer biasa. Kemampuan pemrosesannya memiliki batas atas - bahkan jika setiap respons disederhanakan ribuan kali, batas itu tetap ada..."
"Sudah mencapai tingkat seperti ini, bagaimana mungkin komputer biasa..."
"Apakah pihak lawan benar-benar seorang manusia..."
Sebelum Kelly selesai bicara, semua orang sudah mengajukan pertanyaan. Meskipun selama beberapa hari ini dia telah membuktikan kemampuan komputernya, dalam beberapa hal, gadis kecil ini masih memiliki kesombongan dan keangkuhan yang sama sekali tidak disukai. Mendengar perbincangan mereka, Kelly hanya tersenyum merendahkan, pandangannya menyapu seluruh orang.
"Aku bilang iya, pasti iya. Yang kalian lihat sekarang mungkin adalah serangan yang dilancarkan oleh orang terkuat di dunia ini. Kalian yang bisa mengalami peristiwa bersejarah ini secara langsung, apakah hanya akan melakukan obrolan menganggur? Yang harus kita pikirkan sekarang bukanlah bagaimana gagal, tapi bagaimana mengalahkannya... Lihatlah, dia berhenti..."
Sesuai hipotesis Kelly Vernam, program reaksi kompleks yang digunakan Jiaming untuk meningkatkan dirinya tetaplah berlandaskan dua kata: "hukum alam".
Sejak seseorang mulai bersentuhan dengan dunia ini, mereka terus-menerus merasakan hukum alam.
Satu ditambah satu sama dengan dua - ini adalah hukum alam paling sederhana. Semakin banyak soal matematika yang dipecahkan di kelas, metode penyelesaiannya akan membentuk pola. Bahasa membentuk pola, politik membentuk pola. Saat kita secara bertahap memahami hukum-hukum ini, kita pun perlahan mulai menyentuh hukum alam kehidupan: Memberi bunga ke pacar di Hari Valentine akan meningkatkan __, mengurus urusan perlu memberi hadiah, menjalin hubungan perlu mentraktir makan, nada bicara saat berinteraksi, tata krama dalam pergaulan. Meski hukum-hukum ini tidak seketat rumus matematika dan tak memiliki prinsip mutlak, masing-masing hukum alam tetaplah ada. Keberhasilan dalam proyek penelitian kehidupan bergantung pada kemampuan memahami hukum-hukum ini.
“Ketika orang mengalami semakin banyak, pola-pola ini akan semakin mudah membentuk refleks kondisional dalam pikiran. Misalnya, saat pertama kali menjadi sales, lidahmu terasa kaku dan sulit menemukan kata-kata tepat. Tapi seiring waktu, bahkan tanpa berpikir, ucapan yang sesuai akan keluar dengan santai dan lancar. Bagi komputer, semua pola jauh lebih sederhana daripada masa depan manusia. Inilah alasan Jiaming bisa menggunakan prosedur untuk menyederhanakan semua respons, sehingga di mata orang lain, seluruh Jaringan seolah hidup.
Tentu saja, tenaga kerja memiliki keterbatasan, apalagi komputer. Jika dipaksakan tanpa persiapan memadai, situasi inferior seperti sekarang ini sudah menjadi batas maksimum yang bisa dicapai Jiaming melalui komputer ini. Sibuk di meja kerja, mendekati pukul empat, Yahan mengusap mata dan bangun setengah sadar dari sofa.
Mengusap pipi yang memerah dan kesemutan akibat tertidur, Yahan menyeret hak tinggi dengan limbung lalu mengenakannya di kaki, berdiri seperti hantu perlahan mendekati kursi di sebelah Jiaming. Bunyi Dang hak tinggi di lantai menciptakan suasana kantor yang sangat hening.
"Hmm... Kau sedang apa?"
Duduk seperti gadis kecil, Yahan terus mengusap mata yang masih sulit lepas dari masalah tekanan darah rendah. Beberapa saat kemudian, mimpi mulai meninggalkan realita, Mental baru berangsur pulih: "Ya?"
"Kau terlalu tepat waktu, bilang jam empat ya jam empat..."
"Nah, aku hebat kan, hehe... Kau sedang melukis?"
“Apa yang kau lihat ya itu adanya.”
“Wah, papan gambar ini aku juga bisa pakai lho, minggir-minggir, biar aku yang gambar...”
Menyeret kursi dengan suara byur-byur-byur berdesakan mendekat, Yahan bagaikan anak yang melihat mainan baru di tangan kawannya, langsung merebut mouse Jiaming lalu mulai blek blek blek menggeser-geserkannya, sama sekali tak menyadari bahwa salah satu grafiti paling legendaris di dunia sedang terbentuk di bawah kendalinya...
Pukul empat lewat empat belas menit, termasuk Kelly Vernam, semua orang di lembaga penelitian itu serentak membeku. Ratusan percakapan terputus mendadak.
“Kapan dia masuk ke Sistem...”
“Tidak tahu...”
“Semua prosedur... tak bisa dikendalikan...”
Sepuluh menit sebelumnya, ramalan Kelly Vernam terbukti. Kekuatan pertahanan lawan tak bisa lagi ditingkatkan, sehingga pihak kita melancarkan serangan baru. Meski progresnya lambat, setelah ekspansi semena-mena lawan selama ini akhirnya bisa ditekan, ada kebanggaan tersendiri. Namun tepat sepuluh menit kemudian, tiba-tiba semua prosedur lepas kendali. Lawan telah menyusup ke dalam sistem superkomputer ini di suatu momen, lalu dengan gemilang mengambil alih kendali utama.
Di puluhan layar besar-kecil di sekeliling, kini terpampang gambaran sederhana yang sama.
“Eh... itu apa...”
“Harta nasional Tiongkok kali... Panda...”
“Kenapa dia pegang tongkat kecil yang dibakar...”
“Di Tiongkok... itu namanya hio, dipakai saat ritual persembahan leluhur...”
“Lukisan ini benar-benar mempermalukan...”
“……”
## Bagian Ke-162 Sang Pemain
Saat cahaya matahari jingga kemerahan merendam cakrawala, angin malam yang sejuk bertiup di lapangan. Lingjing yang baru saja menghabiskan makan malamnya duduk di sebelah Jiaming, menopang dagu sambil menyanyikan lagu dengan suara lembut, bibir mungilnya bergerak perlahan. Tak jauh dari mereka, sepasang pria-wanita berusia awal dua puluhan yang tampaknya merupakan mantan teman sekolah yang bertemu kembali dan saling tertarik, sedang berbisik-bisik dengan wajah berseri. Beberapa pria yang sedang mendiskusikan urusan komputer lewat di dekatnya, dari percakapan mereka terdengar samar empat karakter: Panda Membakar Dupa.
Lebih dari satu jam sebelumnya, virus komputer yang seharusnya dinamai Panda Membakar Dupa telah menyapu seluruh Jaringan. Semua komputer yang berhasil mengumpulkan data perang cyber ini langsung terinfeksi - kemungkinan besar berasal dari peretas dunia atau superkomputer yang memantau jaringan. Ciri khas virus ini adalah menampilkan grafiti bergambar panda sedang membakar dupa yang miring-miring di layar, lalu menghapus data terkait sebelum membuat harddisk melakukan proses baca-tulis berulang hingga lebih dari 10 juta kali sampai rusak total. Meski banyak institut penelitian masih bisa memulihkan data lain, namun semua data tentang perang cyber ini telah lenyap tanpa bekas. Banyak yang merasa seperti Dewa Komputer baru saja menampakkan mukjizat ilahi, lalu menghapus semua jejak setelahnya tanpa sisa. Kecuali kesan yang tertinggal dalam pikiran manusia, kekuatan dahsyat yang baru saja ditunjukkan itu kini tak bisa ditelusuri lagi - tak ada data konkret yang tersisa untuk dianalisis.
“Setelah urusan komputer selesai, keluar dari kantor Yahan, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sasha yang baru selesai latihan voli pulang untuk mandi dan berganti pakaian, bersiap datang segar-bugar ke acara malam ulang tahun sekolah. Sementara Jiaming menemani Lingjing makan malam di kampus, lalu berlatih sederhana lagi di anak tangga.”
“Benar... nyanyianmu bagus, rasanya tepat seperti ini. Santai saja, sederhana sudah cukup...”
“Kau selalu bilang begitu.” Lingjing melotot sebentar ke arahnya, Jiaming tersenyum.
“Karena memang sesederhana itu yang perlu dikatakan.”
“Tapi aku masih tegang... tak tahu nanti di atas panggung suaraku bisa fals atau tidak...”
“Tenanglah, aku percaya pada Lingjing-ku. Lagipula ini bukan pertama kalinya naik panggung. Sejak kecil, MM Ye Lingjing sudah menang banyak lomba menyanyi dan menari...”
“Tapi aku tidak percaya pada Lingjing-mu!” Lingjing melotot sambil menegangkan pipi, lalu menghela napas. “Kali ini beda. Standarnya harus setinggi itu. Harus menyanyikan sampai Nona... Nona Fang yang artis besar itu mundur, tidak ganggu kau lagi minta lagu. Lagi pula band Blue Bird juga tampil bareng kita...”
Jiaming mengedipkan matanya: “Benar takut? Jika...”
“Sudah, sudah.” Mendengar nada ragu Jiaming, Lingjing tersenyum. “Aku memang sangat gugup. Tapi... yang penting berikan segalanya, kan? Bukan belum pernah mencoba... Kalau gagal, jangan hujat aku ya.”
"Dia terkekuk sambil menengadahkan kepala, sinar senja menyinari profil Lingjing dengan siluet yang lembut. Beberapa saat kemudian, ia menoleh dan berkata: 'Hei, kemarin di rumah, orang tua menanyakan hal tentang kita.'"
"Jiaming mengedipkan matanya penuh tanya: 'Hal tentang kita?'"
"'Iya, kita bertiga terlalu dekat. Orang tua sebenarnya hanya bercanda, seperti soal aku harus mencari pasangan seperti apa nanti, atau kau cocok meneruskan perguruan silat ayah. Kubilang cita-citamu jadi dokter bedah, ibu senang sekali. Kalau main ke sana lagi, mungkin ibu akan memaksamu menyajikan teh dan bersujud jadi murid... Mereka bilang tidak anti dengan pacaran dini yang sehat, juga bilang si kurus tetangga suka padaku. Ibu bilang keluarga mereka selalu ingin menjadikanku calon istri yang dipelihara sejak kecil... Hmm, banyak omongan, intinya menjerat keteranganku...'"
"'Lalu kau jawab apa?' Jiaming tersenyum."
"'Cuma ngeles.' Lingjing tersenyum. 'Batuku terlalu biasa, mana pantas dengan si kurus tetangga yang bijaksana dan perkasa itu. Mikir saja sudah dosa... Aku ini katak lumpur, huu...'"
“He...” Jiaming tersenyum, hening sejenak. Hal-hal ini suatu hari nanti harus diungkapkan di hadapan kedua keluarga, atau bertiga berpisah—Jiaming membuat pilihan atau salah satu dari Lingjing dan Shasha mundur, atau bertiga menghadapi dua keluarga. Jika tidak diungkapkan, mungkin hanya bisa mempertahankan hubungan ini dengan kebohongan. Tapi masalahnya bagi kedua keluarga ini, terutama orang tua Lingjing, Jiaming tidak mau berbohong. Memikirkannya memang agak menyusahkan.
Di hatinya ada kegelisahan tersembunyi, Lingjing tentu juga khawatir. Tapi secara keseluruhan, mulai mempertimbangkan hal-hal ini sejak kelas 10 memang masih terlalu dini. Setelah mengobrol ke segala arah, saat langit mulai gelap, Shasha yang mengenakan pakaian kasual rapi membawa kantong plastik masuk dari luar lapangan. Dari kejauhan terlihat postur proporsional dan jenjangnya, rambut hitamnya yang baru dicuci terurai di belakang, memancarkan kesan segar dan menyenangkan. Seluruh tubuhnya dipenuhi energi masa muda.
“Nih, barang-barang kubawa. Baju ganti untukmu Lingjing, dan kaset iringan musik.”
Meletakkan kantong plastik di dekat kaki Lingjing, Lingjing tersenyum merangkul pinggang Shasha dan menyuruhnya duduk di samping: “Terima kasih Shasha, hmm, badanmu wangi sekali...”
“Jangan meraba-raba, awas pulang nanti kuhukum kau.” Shasha tersenyum mengetuk dahi Lingjing, menahan sepasang tangan yang sedang bergerak ke dadanya. Lingjing menjulurkan lidahnya dengan manja: “Hukuman di rumah kan selalu menguntungkan Jiaming... Shasha memang pilih kasih, hanya sayang ke Jiaming...”
“Kalau begitu biar aku memanjakanmu...” Shasha tertawa, bergulat dengan Lingjing di kursi mereka. Keduanya saling tahu kelemahan masing-masing, baru berhenti setelah beberapa menit tanpa pemenang jelas. Langit telah gelap gulita, aula utama berpendar cahaya lampu. Acara malam sudah mulai masuk penonton. Shasha membungkuk mengusap betisnya: "Huh, latihan hari ini gila banget, mandi pun masih terasa capek..."
“Ini kan cuma lomba biasa, perlu sampai bertarung mati-matian gini?”
Andai di rumah, Shasha pasti sudah melepas sepatu kaosnya, menyelonjorkan kaki ke pangkuan Jiaming untuk dipijat. Seolah teringat adegan pijat beberapa hari ini, Shasha tersenyum ke Jiaming: “Tentu harus totalitas. Tan Suyan selama ini sibuk urusan penari latar sampai nggak ikut latihan, sok jago banget. Dia kira berhasil merebut hak dari Lingjing... Hmph, biar aku yang rebut jabatan kapten tim volinya, bikin dia melek!”
“Dia tinggal dua bulan lagi lulus... Kau akan tinggalkan trauma buatnya...”
“Makanya buruan, dua minggu lagi langsung kutungtang dia lengser... Untuk musuh, nggak ada ampun. Eh Lingjing, ngapain...?”
Sambil bicara, Lingjing sudah mengangkat kedua kaki Shasha, merebahkan tubuhnya sambil menepuk-nepuk paha sang sahabat: “Memijat ksatria ku ini...”
“Baiklah…Hmm, tapi…Aneh sekali begini, haha, bagian itu gatal…haha…Tolong lebih keras, Lingjing…haha…Aku tidak mau lagi…”
Setelah perlawanan dan canda tawa, Shasha akhirnya berbaring di kursi sebelah, membiarkan Lingjing memijat kaki rampingnya. Suara keramaian di aula semakin redup, sebagian besar penonton pertunjukan telah masuk, sementara musik pembuka mulai berkumandang dari pengeras suara. Suara Dong Danwen yang lembut dan penuh semangat terdengar membuka acara. Lapangan dan bangunan sekitar sebagian besar tidak menyalakan lampu, membuat cahaya tampak remang-remang. Selain Jiaming bertiga, beberapa pasangan alumni terlihat duduk di sudut-sudut sepi atau berjalan perlahan di lintasan lari, berbincang pelan sambil tersenyum, mungkin sedang mengenang kisah masa lalu.
Saat alunan musik dari kejauhan terdengar, dunia kecil bertiga dalam kegelapan ini terasa semakin hangat dan tenang. Langit malam dihiasi beberapa bintang, angin dingin sesekali berhembus. Memandangi beberapa sosok di kejauhan, tiba-tiba Jiaming bertanya-tanya: Bertahun-tahun kemudian, akankah mereka bertiga kembali ke sini seperti ini, berjalan di lapangan sambil mengenang kisah masa kini? Akankah mereka tetap bersama meski melalui lika-liku kehidupan sehari-hari, mengumpulkan kebahagiaan kecil yang sekarang mereka hargai? Ataukah mereka tetap merindukan satu sama lain tapi terpaksa berpisah karena berbagai alasan, hingga suatu hari bertemu lagi di sini, saling pandang dalam diam dengan ribuan kata tak terucap?
Kebiasaannya adalah selalu memikirkan hal-hal yang tidak nyata ketika menghadapi masalah, namun tiba-tiba dilanda pikiran sentimental dan melankolis saat tidak ada urusan, mungkin ini pertama kalinya dalam Kehidupan-nya.
Dirinya... benar-benar sangat peduli dan menyukai mereka. Memandangi dua gadis yang sedang mengobrol tak karuan, Jiaming tersenyum tipis.
Pertunjukan mereka dijadwalkan pada nomor lima belas acara malam itu. Mereka duduk di lapangan hingga tarian nomor delapan selesai, baru bertiga mengambil kantong plastik dan menuju pintu belakang aula. Setelah mengetuk, seorang wanita berbaju pertunjukan membuka pintu besi yang terkunci. Di dalam terlihat pemandangan berdesakan dan kekacauan. Acara malam ini terlalu besar, ditambah beberapa kamar di pihak pendukung sedang direnovasi, ruang tampak kurang memadai. Yang membukakan pintu ternyata Tan Suyan yang telah menggantikan hak Lingjing sebagai penari latar.
Begitu melihatnya, Shasha langsung mengangkat mata ke arah lain. Tan Suyan ragu sejenak, lalu sengaja membuka pintu selebar sempit:"Eh... maaf, tempat pertunjukan kali ini sudah penuh. Lagi pula Nona Fang Yusi akan datang. Guru sudah bilang, yang bukan panitia atau pemain dilarang masuk ke pihak pendukung. Jika kalian ingin mencari tanda tangan Nona Fang..."
"Tapi... aku pemainnya lho." Lingjing merapikan rambut di sisi telinganya.
Tan Suyan tertegun, kemudian menunjukkan senyum dingin yang tak menganggap serius: "Baru saja ada dua junior kelas satu yang mencoba masuk dengan alasan seperti itu... Daftar acara sudah tercantum jelas, biar kulihat... Hmm, memang tidak ada. Aku tahu kau sangat mengagumi Nona Fang, tapi jika ingin tanda tangan, setidaknya harus..."
Ucapannya belum selesai, Dongfang Wan yang wajahnya tampak cemas sudah berdesak-desakan keluar dari kerumunan orang di dalam: "Aku sudah menunggu lama, kenapa kalian baru datang? Kukira kalian mengingkari janji... Sudah bawa kaset pengiring?"
"Eh... Sudah." Lingjing di luar pintu mengangkat kantong plastik di tangannya.
"Oh, cepat masuklah. Kita harus segera berikan kaset ke teknisi audio agar dia punya gambaran. Gu Jiaming, kau yang paling paham soal ini, kehadiranmu sangat membantu."
Mendengar rentetan ucapan Dongfang Wan, Tan Suyan pun minggir sambil bertanya: "Mereka ini pengantar kaset?" Dongfang Wan tersenyum sopan: "Tidak, mereka akan tampil di acara." Karena kalimat ini terlalu sembrono, terdengar seperti basa-basi, Tan Suyan langsung mengambil daftar acara: "Bagaimana mungkin, daftar acara juga tidak mencantumkan mereka..."
"Kerahasiaan... Tanya kakakku kalau mau tahu, dia yang tahu dalangnya." Sambil berbicara sembarangan, Dongfang Wan sudah membawa Lingjing bertiga masuk. Shasha berjalan di belakang dengan semangat menggebu, menaikkan alisnya secara menantang ke arah Tan Suyan. Berdiri di samping pintu, wanita itu mengerutkan kening, memandangi beberapa orang yang masuk dengan tatapan penuh kejengkelan.
Dia pernah mengejar Dongfang Lu dan masih memiliki harapan, sehingga tidak bisa banyak berkomentar tentang Dongfang Wan. Namun menurutnya, situasi saat ini jelas menunjukkan ketiganya masuk melalui koneksi pribadi dengan tujuan Fang Yusi. Mungkin Ye Lingjing menyimpan dendam, Liu Huaisha yang wanita tak tahu sopan santun itu, atau bahkan akan membuat keributan di depan Fang Yusi. Sedangkan Gu Jiaming juga punya catatan kriminal sebelumnya. Ketiganya jelas bukan mahasiswa normal...
## Bagian Ke-163 Belakang Panggung
"Bawa meja itu ke luar, kirim properti adegan berikutnya... Cepat, yang itu belum selesai? Biar aku yang urus..."
Empat orang memasuki area belakang panggung. Saat melihat Yahan, dia sedang sibuk mengkoordinasi persiapan pertunjukan berikutnya. Rambut bergelombangnya tertata rapi, di balik kacamata kuno berbingkai lebar, tatapannya tenang penuh wibawa. Sepuluh jarinya lincah merapikan rangkaian bunga palsu sebelum menyuruh orang menaruhnya di meja. Saat menoleh, tatapannya melunak memberikan isyarat ramah ke arah mereka.
Beberapa kru lain tiba-tiba berlari membawa naskah pertunjukan, menghalangi pandangan ke arahnya.
Dongfang Wan memandu ketiganya ke sisi panggung. Di luar sedang berlangsung pertunjukan. Dari sini terlihat ribuan penonton di aula yang tenggelam dalam kegelapan, sungguh menakutkan. Lingjing menarik napas dalam menggenggam erat telapak tangan Huaisha. Jiaming mengamati sekeliling lalu tersenyum: "Ini cuma panggung kecil, tidak masalah."
“Tidak bermasalah kalau begitu, ruang ganti di sana, ikut saya.” Memimpin ketiganya berjalan ke belakang, Dongfang Wan berbisik pelan, "Penampilan Lingjing ada di sesi ke-15, yang setelahnya sudah diundur berurutan. Seandainya tahu kalian tidak berencana tampil dalam bentuk konsep, seharusnya nama Lingjing dicetak di daftar acaranya. Jadi tidak perlu ditanyai dengan cara seperti itu oleh Tan Suyan dan kawan-kawannya. Tapi Tan Suyan itu orang... Cih..."
“Maaf, kami juga memutuskan secara mendadak...” Lingjing tersenyum dengan pandangan permintaan maaf. Dongfang Wan menggelengkan kepala: “Aku sedang bicara tentang si tukang akal licik itu... Lingjing kau baik-baik saja, aku tidak sedang menuduhmu...” Pandangannya menyapu Jiaming dengan sengaja atau tidak, tapi akhirnya tidak berani terlalu konfrontatif. Di hatinya, Jiaming yang berwatak aneh membuatnya khawatir tiba-tiba menarik Lingjing pergi sambil melempar 600 uang.
Mengangkat mata putihnya, Jiaming mengusap hidung.
Saat itu, Yahan juga sudah menyelesaikan urusan lain dan mendekati keempat orang. Dongfang Wan dan Lingjing serentak berseru: “Bu Guru Zhang.” Ekspresi Yahan sedikit melunak, bertanya: “Sudah semua siap?”
“Hmm, sekarang Lingjing masuk ganti baju, aku bawa kaset ke teknisi audio.” Dongfang Wan mengangguk. Lingjing mengulurkan tangan ke dalam kantong plastik besar, mengeluarkan sebuah kaset rekaman: “Ini musik pengiringnya... Eh?” Tertegun memandangi permukaan kaset itu.
“Ada apa?”
“Ini… sepertinya salah…” Lingjing berkata dengan ragu-ragu, “Shasha, di mana kamu mengambilnya?”
“Di atas meja belajar. Tadi malam kamu mendengarkan musik lalu menyanyi sebentar sebelum tidur, bukankah kasetnya sudah dikeluarkan dan ditaruh di meja?” Shasha menjelaskan, “Masa… bukan?”
Lingjing mengerutkan alis dengan gelisah: “Bukan… kedua kaset ini baru, yang satu ini musik pengiring lagu lain. Meski terlihat sama di luar, tapi kaset ini ada goresan, lihat, di sini… Kasetku sebenarnya masih ada di dalam tape recorder…”
“Ah…” Mendengar ini, mereka semua tertegun sejenak. Shasha melihat jam tangannya dan hendak berlari keluar: “Aku akan ambil, sepeda ada di luar.” Jiaming segera menahannya: “Jangan, waktunya mepet. Aku saja yang pergi.” Akademi Hati Kudus memiliki area yang luas. Waktu tempuh dari gerbang kampus belok lalu pulang ke rumah dan kembali ke sini akan sangat lama. Jiaming berniat menggunakan mobil Yahan, namun karena ada Dongfang Wan di situ, ia tak bisa menjelaskan terang-terangan. Hanya memberikan kode dengan tatapan ke arah Yahan.
“Hmm, biar aku saja yang pergi. Aku punya mobil dan pernah ke tempat tinggal kalian. Berikan kuncinya padaku.” Yahan mengangguk, mendekati Jiaming lalu berbisik: “Lingjing sudah tegang sejak kemarin, sekarang ada masalah lagi. Lebih baik kamu dan Shasha tetap menemaninya.” Entah apakah salah paham atau tidak, Jiaming menyeringai lalu menyerahkan kunci padanya.
“Ada di dalam tape recorder di atas meja belajar, kasetnya sama dengan yang ini.”
“OK，tenang saja.” Yahan menggoyang-goyangkan kunci di tangannya, tersenyum tipis lalu menghilang di kerumunan mahasiswa yang sedang mempersiapkan pertunjukan.
Setelah Yahan pergi, Lingjing berganti pakaian.
Rok panjang hitam putih dua lapis palsu yang menjuntai hingga lutut, gaun pendek hitam pekat dengan pinggiran putih dikenakan di atas kemeja lengan panjang putih lapisan dalam. Kerahnya sedikit terbuka, digantungi kacamata hitam besar berbingkai tebal yang menjadi aksen sempurna untuk warna monokrom. Di bawah ujung gaun terlihat betis sehalus akar teratai merah muda, kaos kaki putih pendek dan sepatu olahraga. Desain yang dibuat Jiaming untuknya ini tidak hanya terlihat segar dan modis di era tersebut, tapi juga sangat avant-garde di kalangan mahasiswa. Dipadu dengan aura Lingjing yang memancarkan kesegaran bercampur kematangan dan kemandirian, penampilannya langsung menyedot semua perhatian begitu keluar dari ruang ganti.
Menyadari tatapan semua orang, ekspresi Lingjing sedikit gelisah. Setelah menarik napas panjang, dia duduk di depan meja rias kosong. Jiaming kembali mengikat rambutnya yang ikal menjadi ekor kuda yang tebal, melakukan penataan sederhana lalu memberikan riasan tipis. Selama proses ini, Dongfang Wan dan beberapa desainer yang sedang merias peserta lain di sekitarnya hanya bisa terdiam terpana - gerakan Jiaming tampak jauh lebih mahir daripada mereka.
Waktu berjalan perlahan, para penampil naik ke panggung secara bergiliran kemudian kembali. Setelah merias wajah, bertiga Jiaming mencari tempat istirahat di sisi panggung sambil membicarakan berbagai hal. Meski Lingjing merasa tegang, sebagai pemula yang pernah mengalami situasi besar sebelumnya, dia tidak sampai mengalami demam panggung. Sesekali terlihat orang-orang seperti Tan Suyan yang berkomentar dan berbisik-bisik.
"Jangan-jangan karena penari utamanya dicopot, jadi datang membuat keributan..."
"Dandanannya juga rapi sekali..."
"Mungkin karena dia dekat dengan Dongfang Wan..."
"Aku memang tidak pernah menganggap mereka berarti..."
"Berani-beraninya kau berkomentar tentang Dongfang Lu dan Dongfang Wan, apa kau juga berani kritik keluarga Dongfang..."
"Terus kenapa kalau ada kritik..."
Saat pertunjukan ke-12 usai, Yahan baru masuk dengan raut wajah murung. Matanya yang penuh makna menyapu Jiaming bertiga sebelum menyerahkan kaset: "Coba di sistem audio, lihat apakah ini kaset yang benar... Aku ambil dari tape recorder..."
"Selesai bicara di sini, Dongfang Wan sudah mengambil tape recorder kecil di sebelah, mendengar bagian pembuka, mengonfirmasi ini adalah komposisi yang akan dinyanyikan. Diam-diam Jiaming memperhatikan Yahan sepertinya sedang murung, berdiri di samping dengan jari-jari putih mulus mengepal, melepaskan, menggenggam lagi, seolah ada yang ingin dikatakan, tapi akhirnya perlahan menyingkir. Di saat yang sama, diiringi bisikan-bisikan kerumunan, Fang Yusi masuk ke belakang panggung didampingi manajer dan beberapa guru kampus."
"Adegan selanjutnya tentu agak kacau. Meski pihak kampus sudah melarang gangguan ke Fang Yusi seperti bertanya atau minta tanda tangan, para penampil tetap berdesakan. Setelah menyapa Yahan dan bercengkerama dengan Lingjing, Fang Yusi mengucap terima kasih pada Jiaming lewat tatapan dan gerakan, lalu masuk ke kamar kecil di samping. Di tengah keramaian, Xu Mo menyelusup dari kerumunan mendekati Yahan dengan tatapan serius. Jiaming samar-samar bisa mendengar percakapan mereka."
"Tadi lihat mobilmu sepertinya... Apa kau terluka?"
"Tidak apa-apa." Yahan tersenyum.
"Ada apa sebenarnya? Biasanya kau sangat hati-hati saat menyetir."
"Bukan masalah besar, cuma kecelakaan kecil..."
"Kau tampak tidak baik-baik saja..."
"Sudah kubilang tidak apa... Terima kasih, Guru Xu..."
Xu Mo telah lama mengganggu Yahan, hingga sekarang pun belum menyerah. Namun dari situasi sekarang, sepertinya bukan dia yang menyebabkan emosi Yahan merosot. Jiaming mencoba menebak penyebabnya di dalam hati. Tak lama kemudian, aktor adegan keempat belas naik ke panggung. Sebagai salah satu pembawa acara, Dong Danwen turun dari panggung dan berbicara dengan Jiaming dan yang lain, tentu juga untuk mengucapkan terima kasih atas lagu yang Jiaming tulis untuknya. Di sisi lain, Tan Suyan dan para penari pertunjukan tarian adegan kelima belas mulai mendekat. Ini adalah pertunjukan besar dimana Tan Suyan memiliki hubungan pribadi yang baik dengan penari utama.
"Minggir, minggir! Ini tempat persiapan pertunjukan berikutnya. Jangan menghadang manusia..."
"Tapi, aku..."
"Kalau mau nonton pertunjukan, turun ke bawah..."
Lingjing tertegun sejenak, lalu menghela napas. Bersama Jiaming, Shasha, dan Dong Danwen, mereka mundur beberapa langkah. Sebagai penyiar, perubahan jadwal pertunjukan dari Dongfang Wan memang sudah diberitahukan sebelumnya. Namun kali ini dia memilih tidak mengungkap. Hubungannya dengan Tan Suyan layaknya rival asmara, di kampus mereka terbiasa berinteraksi seperti ujung jarum melawan ujung gandum. Kini dia justru menikmati situasi ini layaknya menonton pertunjukan.
Beberapa menit kemudian, pertunjukan keempat belas berakhir. Dongfang Wan berlari membawa mikropon dan menyerahkannya pada Lingjing. Melihat Tan Suyan dan kawan-kawan masih menunggu di sana, dia berkata: "Hmm... Pertunjukan kalian ditunda satu sesi. SEKARANG JUGA akan ada pertunjukan khusus... Eh, sebenarnya ini memang rencana awal..."
"Apa maksudmu..." Tan Suyan belum sempat kambuh, suara merdu dan penuh wibawa Dong Danwen sudah terdengar dari panggung.
“Baiklah, selanjutnya adalah program spesial yang kami persiapkan untuk semua orang. Awalnya kami mengundang band konsep yang cukup populer di Kota Jianghai belakangan ini, namun karena ada urusan mendadak, mereka menunjuk seorang penyanyi pengganti yaitu teman sekelas dari kelas 10-1, Ye Lingjing... Mungkin kalian belum terlalu mengenal band ini karena mereka baru dibentuk awal tahun ini, tidak merilis album, hanya menulis lagu untuk orang lain. Menurut beberapa musisi senior, setiap lagu mereka memiliki kekuatan untuk membuat seorang penyanyi menjadi Hong besar. Tentu saja, klaim lisan tidak bisa dipercaya, kualitas sebenarnya harus dinilai oleh kalian semua... Baik, selanjutnya, Ye Lingjing...”
“...Xuan Mu!”
Tepuk tangan bergemuruh, tangan ketiga orang itu bertumpuk sambil berseru "Semangat!", Lingjing menarik napas dalam, menengadahkan kepala, lalu melangkah menuju panggung.
Alunan musik jernih mengalun perlahan. Yahan menghampiri belakang Jiaming, menepuk bahunya, tangan kiri masih terkepal erat.
Xu Mo memandang dari kejauhan, sorot matanya terlihat suram.
“Jiaming, aku... ada beberapa hal yang ingin kubicarakan, bolehkah...”
## Bagian Ke-164 Xuan Mu
Melodi musik mengalun lembut penuh keanggunan. Dari balik jendela, cahaya memancar dari panggung menyelimuti siluet Hitam Putih Lingjing yang lincah, kemudian suara elemen lagu "Xuan Mu" berkumandang. Selain getar kecil di pembukaan, selanjutnya ia sudah memasuki Status sempurna.
"Suara Lingjing tentu tak bisa dibandingkan dengan keahlian bernyanyi Faye Wong. Namun, suara jernih khas gadis muda itu mengandung kemurnian. Meski tak mampu menyampaikan kematangan penuh melankoli khas Faye Wong, namun rasa hangat dalam kemandirian yang terkandung dalam lagu 'Kuda Kayu Putar' bisa ia ekspresikan dengan baik." Berdiri di depan jendela lantai ke langit, Yahan baru bisa bicara setelah lama terdiam: "Kau yang mengajarinya?"
"Hmm." Dalam kegelapan, Jiaming mengangguk.
Ini sebuah ruangan di sisi panggung, bisa diakses dari belakang layar. Melalui jendela kaca besar, pertunjukan terlihat jelas. Karena seluruh lampu aula sudah padam, ruangan ini juga gelap. Sedikit cahaya dari jendela lantai ke langit menerawang masuk, menyorotkan siluet tubuh manusia dan meja kursi, seolah diberi pinggiran cahaya samar.
"...Memiliki penampilan megah dan cahaya berkilauan
Aku adalah kuda kayu putar di surga ini
Hanya untuk memenuhi impian anak-anak
Naiklah ke punggungku, akan kuantarkanmu terbang
Ku lupa kesedihan hanya bisa berlari di tempat
Ku lupa diriku yang terkunci selamanya
Tak peduli berapa lama bisa menemanimu
Setidaknya membuatmu berkhayal terbang bersamaku..."
Dalam alunan lagu, Yahan menyilangkan tangan di dada, menunduk perlahan seolah sedang menyusun kata-kata. Beberapa saat kemudian, Jiaming tersenyum duluan: "Ada apa? Dengar dari Xu Mo mobilmu nabrak?"
"Eh...hmm." Dengan pikiran melayang, Yahan mengangguk secara tak sadar.
“Ada luka?”
“Tida、Tidak...” Melihat wajah Jiaming, Yahan kembali memalingkan pandangan.
“Lalu kenapa? Bisa membuatmu panik seperti ini... Hmm, keluargamu lagi memaksamu menikah?” Jiaming tersenyum, “Waktu itu kau minta tolong padaku, tidak segugup ini.”
“Bukan, uh... Sebenarnya...” Menarik napas dalam-dalam, Yahan seolah akhirnya mengumpulkan keberanian, menggigit bibir bawahnya pelan, “Itu... Kau... Kau bersama Lingjing atau Shasha?”
“Hah?”
“Aku... Aku menemukan ini di ranjang Lingjing, tertindih bantalnya. Kau sudah bersama Lingjing ya...” Melangkah ke meja, Yahan menyalakan lampu meja lalu membuka tangan kirinya yang terkepal. Sebuah kondom kuning muda jatuh di bawah cahaya lampu, kemasannya bergambar pisang artinya rasa pisang, kini di bawah cahaya pola itu terlihat sangat mencolok.
Memandangi ekspresi tenang Yahan, Jiaming mengedipkan mata: “Sebenarnya, benda ini tidak selalu untuk... dipakai seperti itu. Banyak kegunaannya, bisa dibawa di saku saat santai. Misalnya suatu hari mobilmu kehabisan air, kebetulan tidak bawa wadah, bisa pakai ini untuk memukul air. Atau...”
“——Aku tidak bercanda!”
Tiba-tiba Yahan berteriak kencang, membuat Jiaming kaget. Mereka saling tatap beberapa saat, akhirnya Jiaming mengangkat bahu: “Penting?”
“Tentu saja penting!” Yahan berseru keras, “Mengapa tidak penting! Kalian... kalian masih siswa SMA, masih... masih belum dewasa... Kampus tidak Izinkan hal-hal seperti ini, bagaimana mungkin kalian berani... Shasha tinggal bersama kalian, apa yang akan dia pikirkan, dan... dan...”
“Sudahlah, jangan terburu-buru. Sebenarnya ini tidak ada hubungannya denganmu, tapi memang agak sulit dijelaskan.” Jiaming mengangkat kedua tangan, memberi isyarat agar dia tenang, “Sebenarnya... Aku dengan Lingjing dan Shasha... Kami bertiga.”
“Eh...” Yahan tampak tiba-tiba tidak memahami kalimat ini, ekspresinya terlihat bingung.
“Aku dan Lingjing, dan Shasha.”
“Hmm?”
“Aku tahu ini sulit dipahami, butuh Kung Fu yang banyak untuk menjelaskannya. Tapi kalau dipikir-pikir, bukankah ini sudah jelas? Berapa banyak siswa SMA yang kau lihat tinggal bersama seperti kami? Tinggal bersama, bekerja paruh waktu cari uang, beli perabotan bersama, makan bersama, pakai barang-barang bersama... Hmm?” Jiaming mengangguk ke arahnya.
“Maksudmu... kalian bertiga.” Dada Yahan naik turun dengan hebat saat dia mundur selangkah. Ekspresinya rumit, melepas kacamata kamuflase seolah ingin menangis, tapi lebih banyak ketidakpercayaan, “Ini... bagaimana mungkin, kalian... bahkan... naik ranjang...” Dua kata terakhir terucap bagai erangan.
Perlahan mengangguk, Jiaming juga menarik napas lega: "Hari kelulusan SMP, kami berpesta pora di villa keluarga Shasha, minum banyak alkohol. Kau tahu daya tahanku terhadap alkohol sebenarnya tidak bagus. Celakanya, ayah Shasha mungkin sehari sebelumnya membawa seorang cewek pulang, dalam sebotol anggur merah mereka memasukkan obat perangsang. Meski dosisnya tidak banyak, kami sudah mabuk sebelumnya. Setelah minum anggur itu, saat bangun keesokan harinya sudah jadi begini... Tidak bermaksud membohongimu, tapi kau paham, hal seperti ini selalu sulit diungkapkan ke orang lain. Kalau kau sudah tahu... mungkin lebih baik."
Jiaming mengangkat bahu dengan kekecewaan, ekspresi tersenyumnya tampak jujur. Namun Yahan menggelengkan kepala, mundur dan duduk di kursi depan meja. Setelah lama terdiam, akhirnya berkata kacau: "Baiklah... Apa pun yang baik, kalian masih... masih belum dewasa. Maksudku kalian bertiga... Apakah Papanya Ye dan Mamanya Ye tahu? Apakah ayah Shasha tahu? Kalian... kalian bertiga..."
"Hmm, tentu tidak tahu. Di keluargaku tidak ada masalah, tapi pasti Ayah dan Ibu Ye akan menentang hal seperti ini. Mungkin akan memukulku sampai mati atau bahkan Lingjing... Ayah Shasha juga pasti tidak akan mengizinkan kami melakukan hal seperti ini. Kalau hanya aku dan Shasha mungkin tidak masalah... Sekarang belum jelas, hanya bisa menyembunyikan. Kita semua sudah berteman lama, kalau kau tahu tidak apa-apa. Kau pasti bisa mengerti..."
“Mengerti! Apa yang bisa kumengerti!” Yahan tiba-tiba mengangkat kepala, melanjutkan teriakannya, "Kau, kau jika tinggal sendiri bersama Lingjing atau pasir juga tak apa, tapi kalian bertiga... hal seperti ini takkan ada yang menyetujui, tahukah kalian apa yang akan kalian hadapi di masa depan!"
"Kurang lebih paham." Melihat sikap Yahan yang bergelora dalam hati, Jiaming mengerem senyumnya, pandangan menjadi tenang, "Kami sudah mempersiapkan sejak lama."
"Mempersiapkan? Apa yang bisa kalian persiapkan?" Menarik napas dalam-dalam, nada bicara Yahan sedikit merendah, "Aku tahu kau hebat, kau tidak hanya paham ini itu, kau bahkan bisa MEMBUNUH, hal yang ingin kau lakukan takkan ada yang menghadang. Tapi bagaimana dengan Papanya Ye dan Ibu Ye mereka? Saat mereka tidak Izinkan kau bergaul dengan Lingjing, bisakah kau membunuh mereka? Mereka yang membesarkanmu sejak kecil, beranikah kau tak menghormati mereka? Bahkan jika melewati mereka, bisakah kau bawa pergi Lingjing, akankah Lingjing ikut denganmu? Setelah ikut, akankah dia bahagia? Sudahkah kalian mempersiapkan segalanya... kalian takkan sanggup menghadapi apa pun, aku... aku menganggap kalian Teman terbaik, jadi... baru bicara seperti ini padamu..."
"Aku paham..."
"Kau tidak paham!" Yahan menatap matanya beberapa saat, memalingkan pandangan sambil berbisik, "Kalian tidak punya mas depan..."
"Tak kusangka kau akan bicara begitu..." Dengan pandangan sama yang mengamatkannya, Jiaming tersenyum penuh kekecewaan.
“Lalu apa yang harus kukatakan, berbahagialah kalian? Tapi aku tahu betapa sulitnya hal ini, kau juga tahu…” Pandangan mengembara ke sekeliling, Yahan mengulangi perkataannya yang terasa berlebihan, “Aku… kalian adalah teman terbaikku, karena itu aku bicara seperti ini. Aku tidak ingin… tidak ingin kalian…”
“Aku tahu ada kesulitan, tapi kuharap kita bisa melewati semua ini.” Melihat Lingjing di atas panggung melalui jendela kaca, Jiaming tersenyum, “Kita hanya bisa tetap bersama, karena sekarang kita tak bisa dipisahkan.”
“Itu hanya alasan. Lambat laun kalian akan berpisah.” Setelah hening sejenak, Yahan berkata, “Saat itu terjadi, akan ada yang lebih terluka parah.”
“Mungkin begitu. Aku tidak menampik kemungkinan itu, tapi untuk sekarang hanya bisa begini…”
Kembali kesunyian yang sulit diungkapkan menyelimuti, sementara suara nyanyian Lingjing terus bergema di atas panggung.
“Kuda kayu berputar membuatmu lupa luka
Di surga yang menyediakan tawa ini
Memandang tatapan iri mereka
Tak perlu menyimpanku di hati
Kuda kayu berputar tak bersayap
Tapi bisa membawamu terbang ke mana saja
Saat musik berhenti kau akan pergi
Aku hanya bisa begini
……
Saat musik berhenti kau akan pergi
Aku hanya bisa begini…”
Tiga detik setelah musik mereda, aula bergemuruh oleh tepuk tangan bagai guntur. Lingjing membungkuk mengucap terima kasih. Yahan dan Jiaming menyaksikan dalam diam. Tiba-tiba Yahan berkata, “Mari kita putus, Jiaming.”
“Hmm?”
“Kau... Kau harus memilih, Lingjing atau Shasha, atau mungkin bukan keduanya. Semakin lama kau menunda, semakin menyakitkan. Kau harus mengurungkan salah satu dari mereka, atau... Aku... Aku tidak ingin memaksamu mengambil keputusan, tapi... Aku selalu menganggap diriku sebagai kakakmu. Aku tidak ingin melihatmu seperti ini di kemudian hari. Lingjing dan Shasha juga teman baikku. Itu hanya sifat alami pria belaka. Pria memang sukanya bermain-main, kau akan menghancurkan mereka berdua... Aku... Aku anggap diriku sebagai kakakmu, aku anggap diriku sebagai... kakak...” Setelah mengorganisasi kata-kata selama setengah hari dan mengoceh panjang lebar, Yahan tiba-tiba menyadari ketidakkoheranan ucapannya, membeku di tempat.
“Maaf... Aku tidak tahu... Tidak tahu kenapa bisa mengucapkan hal seperti tadi. Seharusnya aku tidak bicara begitu, tapi... Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku. Kita... Kalau bertemu di kampus nanti, jangan menyapaiku. Sebelum kau memutuskan atau aku menemukan jawaban, kita bukan teman lagi. Kita bukan teman lagi!”
Tak menyangka dia tiba-tiba bicara seperti itu, Jiaming mengerutkan alisnya, mengitari meja, dan mendekatinya: “Yahan...”
“Jangan sentuh aku——”
Saat jari Jiaming menyentuh bahunya, Yahan berteriak seperti tersengat listrik. Dengan Prak! dia mengayunkan tangan Jiaming hingga tubuhnya sendiri terdorong ke belakang membentur meja belajar. Beberapa buku catatan, kalender meja, dan lampu meja berdentang jatuh ke lantai. Tangan Jiaming membeku di udara.
“Kau cari gara-gara...”
“Kau playboy...”
“Aku tidak.”
“Kau ada!”
“Kau...”
Memandang dua garis air mata yang mengalir di pipi Yahan dalam kegelapan, Jiaming menurunkan tangannya dengan bengong, lalu menghela napas pelan dan mundur dua langkah.
“Kalau begitu… maaf.” Mengangguk, Jiaming berbalik ke arah pintu kamar, “Kau tenangkan diri dulu, aku pergi dulu.” Saat menarik pintu, Jiaming kembali berhenti sebentar: “Sepertinya ucapanmu ada benarnya. Bukan hanya Ayah-Ibu Ye, saat kau marah, aku juga tak berdaya.” Kemudian, pintu kamar menutup dengan byur, memutus keramaian dunia luar sekaligus menghilangkan bayangan Jiaming.
Duduk limbung di kursi, Yahan menutupi wajahnya dengan tangan dan mulai menangis pelan.
## Bagian Ke-165 Yahan, Oh Yahan
Lampu jalan memantulkan cahaya berkilauan di permukaan air. Di tepi danau sepi yang kecil, Yahan yang mengenakan jas hujan telah duduk tak diketahui berapa lama.
Waktu telah lewat tengah malam, acara ulang tahun sekolah pun sudah bubar. Yahan tak tahu kapan dirinya keluar, juga tak tahu bagaimana hasil acara malam ini. Pada dasarnya, dalam hatinya sudah tak ada lagi masalah-masalah itu. Berjalan ke taman kecil di lereng gunung terpencil yang sepi tanpa seorang pun, bahkan lampu jalan hanya menyala jarang-jarang. Dia ingin menangis, tapi air mata tak keluar.
Dalam hati teringat tahun pertama menjadi Guru, saat pulang dari Inggris di usia 19 tahun. Orang menjulukinya Genius, tapi sebutan itu tak bisa menutupi aura polos dan kekanak-kanakan. Berkat hubungan keluarga, dia masuk Akademi Hati Kudus sebagai Guru langsung di posisi penting. Semua bersikap sopan, tapi dia tahu bisikan di belakang: kehadirannya hanyalah sebagai vas bunga berkat investasi Keluarga Zhang. Pekerjaan? Tentu tak ada yang peduli apakah dia kompeten.
Maka dia mengeriting rambut bergelombang besar, mengenakan kacamata kuno, menahan kebiasaan cerobohnya. Sepatu heels dewasa dan stoking menjadi pakaian rutin. Disiplinnya tanpa pandang bulu membuat para mahasiswa gentar akan hukumannya, kolega Guru pun paham dia tak kenal kompromi dalam urusan resmi. Ditambah latar belakang dan pihak pendukung yang kuat, tak ada berani macam-macam. Setiap mendengar hujatan "perawan tua yang frustasi" diam-diam, justru ada kepuasan tersendiri di hatinya.
Di masa itu tentu ada saat-saat kesal dan kecewa. Setiap kali dia datang ke kolam di lereng gunung terpencil ini. Saat sinar matahari menyinari koi yang berebut remah roti, atau di bawah sinar bulan yang membuat permukaan air berkilauan, suara sunyi dunia selalu menenangkan emosinya. Tapi kali ini, sepertinya tak berhasil.
Sekarang teringat, perkenalan dengan Jiaming sebenarnya terjadi di musim panas tahun pertama kembali ke Jianghai. Saat pertemuan pertama, aku curiga dengan nilainya, tapi konsekuensinya sikapnya sungguh mengejek. Hah, baru kemudian tahu bahwa orang itu ternyata membuat bom. Saat piknik liburan musim panas bertemu perampok, dia menunjukkan keberanian tapi juga sikap sial sepanjang jalan. Namun setelah serangkaian kejadian tak terduga, hal itu bisa diselesaikan dengan sempurna... Di perguruan silat, dia menunjukkan sikap pengecut, selalu kabur setiap pertarungan, tapi tak banyak yang benar-benar bisa mengalahkannya.
Kebohongan, dari mengenalnya sampai sekarang, jika dipikir-pikir lagi, sebenarnya aku tak pernah benar-benar melihat dirinya yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin anak yang tujuh tahun lebih muda dariku memiliki kemampuan sehebat itu? Dia bisa menggunakan senjata, MEMBUNUH, mengoperasikan komputer, mencipta lagu, bermain gitar, kecapi, bahkan bisa berdandan sempurna menjadi wanita. Siapa tahu apa lagi yang bisa dilakukannya. Dari awal sampai akhir, dia tak pernah menunjukkan dirinya yang utuh dihadapanku, tapi tetap saja aku menyukainya.
Sepanjang perjalanan ini hanyalah proses ilusi yang Belit, namun ketika dianalisis terasa ironis. "Tak pernah terpikir untuk menipumu..." Di hadapannya, Dia justru mengungkapkan Segalanya dengan jujur tanpa rasa malu atau bersalah. Ya, Dia tidak menyadari perasaan hatinya sendiri, tidak tahu bahwa dirinya menyukainya. Di antara mereka tak pernah ada janji, tak ada tanggung jawab. Mereka hanyalah Teman. Saat dirinya terbuai dalam kesadaran ini dan menunggu dengan bodohnya hingga Dia dewasa untuk mengungkapkan perasaan, ternyata Dia sudah tidur bersama dua sahabatnya, membentuk keluarga, dan siap menghadapi segala Tantangan dari dunia luar.
Namun meski Dia telah dewasa, dirinya tetap lebih tua tujuh tahun. Interval usia ini tidak bisa diubah.
Hubungan bertiga akan menghadapi rintangan... kalian harus berpisah... kau yang suka main-main... pada dasarnya Segala penyelesaian ini hanyalah kecemburuan belaka. Tapi satu hal yang jelas: dirinya tak ingin lagi menjadi Temannya... tak ingin hanya menjadi Teman. Namun semua harapan ini tak akan pernah terwujud. Dirinya lebih tua tujuh tahun, keterlambatan bukan sekadar tujuh tahun...
“……Coba pikirkan baik-baik, hal ini sebenarnya sudah jelas bukan? Kau pernah lihat berapa banyak siswa SMA yang tinggal bersama seperti kami...” Seharusnya sudah menyadari ini sejak dulu, sayangnya aku masih dengan bodohnya berpikir mereka bertiga hanya teman, teman terbaik yang tak mungkin bersatu, berpikir saat ini aku hanya bisa menunggu, berpikir diriku yang bertingkah manja seperti gadis kecil di hadapannya, berpikir dia tiba-tiba mengerti, bahkan membayangkan mungkin bisa membangkitkan nafsunya. Untuk ini, bahkan sampai bermimpi basah yang memalukan di ranjangnya. Sebenarnya tak peduli berapa lama menunggu, yang bisa bersama Jiaming pasti bukan aku.
“Kau ini kepala kayu... Kau ini babi...”
“Suara teriakan rendah yang terisak bergema di tepi kolam pada malam hari, menyentuh dan bergetar. Yahan berdiri limbung sambil menarik napas dalam beberapa kali.”
“Mungkin bertahun-tahun kemudian akan teringat kenangan berharga ini. Dahulu kala, di usia yang baru saja meninggalkan masa gadis, pernah jatuh cinta pada anak laki-laki tujuh tahun lebih muda. Dirinya yang selalu ingin menempel di sisi sang Kakak Jiaming, bagai kucing malang...”
“Air mata mengalir di wajah. Saat teringat ini, senyuman terkekuk tak tertahankan muncul. Setelah beberapa langkah berbalik, sebuah bayangan muncul di hadapannya.”
“Hmm？”
“Aaaaa——”
“Huu——Byur——”
Sekejap mata, seolah-olah refleks memiringkan badan dan menyerang, Yahan menangkap pergelangan tangan pria itu, kaki kanannya menendang, sebuah bantingan bahu yang luar biasa lincah melempar pria itu terbang. Setelah bergulat di semak beberapa saat, pria itu mengerang sambil bangkit. Baru kemudian Yahan perlahan menurunkan sikap pertahanannya: "Gu... Guru Xu..."
Yang bersembunyi di belakang ternyata adalah Xu Mo.
"Aduh..." sambil mengusap pinggangnya dengan kuat, Xu Mo mengerang kesakitan, "Itu... maaf, aku tidak sengaja... ah, pokoknya... aku lihat kamu keluar dari pihak pendukung dengan emosi sedih, jadi... ikut menyusul untuk melihat... maaf..."
Sambil terus mengusap bagian yang sakit, Xu Mo sibuk meminta maaf. Yahan memandanginya sejenak, lalu menghela nafas tanpa suara.
"Sebenarnya... meski aku tidak tahu semua detailnya, tapi... jangan sedih lagi. Dia yang tidak tahu menghargaimu adalah orang bodoh, itu kerugiannya. Ka... kamu jangan sedih lagi..."
"Apakah kau ingin memelukku?"
"Hah?"
Terkejut oleh ucapan mendadak Yahan, Xu Mo membeku di tempat. Namun Yahan tidak mengulang. Kedua tangannya masuk ke kantong jas hujan, wajah anggun bergaya klasiknya masih basah oleh bekas air mata, namun tatapannya padanya tenang luar biasa. Setelah ragu sebentar, Xu Mo perlahan mendekat dan merangkul lembut bahu Yahan. Tapi tiga detik kemudian, Yahan tetap mengulurkan tangan mendorongnya pergi, sorot matanya menyiratkan sedikit kekecewaan.
“Maaf... bukan perasaan seperti ini... Jika itu dia, meski hanya menepuk kepalaku, memarahiku, bahkan menggodaku, aku pasti akan merasa senang. Jika dia ingin memelukku, aku pasti sangat gembira. Tapi saat kau memelukku, aku hanya merasa sesak, hanya ingin segera melepaskanmu. Diriku yang seperti ini... mana mungkin menyukaimu, maaf ya... Dan lagi, dia tidak bodoh. Meski dia tidak menginginkanku, dia tidak melakukan kesalahan. Jangan kau hujat dia...”
Suara itu terdengar datar, datar bagai cahaya-cahaya kecil yang jatuh di permukaan danau yang sunyi. Yahan berbalik tubuh, berjalan menyusuri jalan menuruni bukit. Beberapa saat kemudian, Xu Mo berteriak: "Aku tidak akan menyerah!" Namun tidak ada jawaban. Yahan hanya terus berjalan dalam diam, memasuki cahaya lampu jalan, kemudian tenggelam dalam kegelapan, menuju cahaya lampu di kejauhan...
Xu Mo perlahan mengikutinya dari belakang. Bertiga mereka turun dari bukit satu per satu. Setelah acara perayaan ulang tahun sekolah berakhir, kampus menjadi sunyi, hanya ruangan di gedung kantor jauh yang masih menyala. Melewati lapangan, seorang pria gemuk yang sedang jalan-jalan melihat Yahan dan mendekat. Itu adalah rektor Akademi Hati Kudus. "Prestasi" acara kali ini cukup baik. Sejak awal Yahan sudah bekerja mati-matian. Meski sekarang sudah pagi hari, tapi seperti kebiasaan kerjanya yang gila-gilaan sebelumnya, pria gemuk ini belum melihat Xu Mo yang berada di belakang. Dia tersenyum menanyakan apakah Yahan ingin melihat statistik yang sedang diproses. Namun saat mendekat dan melihat ekspresi wajah Yahan serta kilau air mata di pipinya, raut wajaknya baru menjadi canggung. Dengan senyuman, Yahan menggelengkan kepala.
“Aku putus cinta, ingin cuti.” Di tengah ekspresi terkejut kepala sekolah, Yahan berkata dengan datar, “Maaf.”
Dia putus cinta, hatinya sangat pedih...
“...Ketika kereta api memasuki kota asing ini, neon-neon yang tak pernah kulihat sebelumnya... Adakah yang pernah memberitahumu suaramu jelek sampai bikin orang nangis, adakah yang pernah menangis saat kau menyanyi...”
“Suaramu baru benar-benar jelek sampai bikin orang nangis! Shasha, bantu pukul dia!”
“Oke!”
“Wah... kasihan! Lingjing, kan kau yang minta aku menyanyikan lagu untuk mengungkapkan perasaan... Jangan keterlaluan, kalian dua perempuan mesum, jangan kira aku tidak bisa mengurus kalian...”
Byur-byur-byur... Boom-boom-boom...
Satu pria dan dua perempuan berguling-guling di ranjang besar, terlibat dalam perang intim yang sensual. Pertarungan dahsyat itu akhirnya mereda setelah kedua gadis hanya menyisakan pakaian dalam. Hari ini adalah hari Shasha datang bulan. Sesuai kebiasaan terbaru keluarga kecil ini, ketika satu gadis sedang haid, gadis lainnya akan menemani beristirahat sebagai wujud kebajikan berbagi suka-duka. Meski definisi "suka" dan "duka" mereka membuat Jiaming bergumam dalam hati. Mereka menyebut hari-hari istirahat ini sebagai hari menikmati kebahagiaan, merayakan akhirnya dua gadis remaja polos terbebas dari mainan dan noda Jiaming. Sedangkan hari-hari lainnya, tentu saja adalah hari sengsara ketika mereka harus memuaskan Sang Tiran Jiaming dengan tubuh mereka.
“Ngomong-ngomong, waktu Lingjing naik panggung, Kakak Yahan memanggilmu bicara apa? Aku lihat ekspresinya waktu itu agak aneh lho.” Tanya Sasha yang sedang merangkul Lingjing di ranjang, saat Jiaming memakai sepatu.
“Hmm, ada sedikit masalah, tapi seharusnya tidak serius.” Jiaming mengerutkan kening lalu tersenyum, “Dia menemukan kondom di samping bantal, jadi mungkin sudah tahu hubungan kita. Memanggilku untuk dimintai penjelasan. Kalian juga tahu kan dia Guru, jadi agak marah dengan hal-hal seperti ini.”
“Ah…” Lingjing membelalak, “Lalu… lalu bagaimana kau menjawabnya? Bilang sama aku atau Sasha?”
“Aku mengaku terus terang.” Jiaming mengangkat bahu.
“Meng- mengaku!”
“Iya, kita sudah sangat akrab, bilang saja kita sekutu dekat. Menurutku jujur tidak masalah. Kalau ada yang bertanya, dia malah bisa bantu kita menyamarkan.”
“Ta-tapi-tapi-tapi…” Sasha bicara terbata-bata, “Dia… reaksi Kak Yahan bagaimana? Kok berani-beraninya kau mengaku!”
“Hmm, reaksinya… cukup marah sih.” Jiaming tersenyum, “Menurutnya aku playboy, bisa merusak hidup kalian. Juga bilang hubungan bertiga ini akan bermasalah. Intinya sulit diterima sekarang, tapi setelah dia merenung, pasti tidak masalah. Tenang, tidur saja. Aku masih harus mengerjakan prosedur.”
“Mencium dahi kedua orang itu, Jiaming mematikan lampu sambil tersenyum membuka pintu menuju balkon. Samar-samar terdengar bisikan-bisikan dari ranjang yang mulai membahas sesuatu. Membuka pintu kamar kecil di samping, Jiaming duduk di depan komputer dan mulai membuat program antivirus atau lebih tepatnya penyempurnaan untuk 'Panda Membakar Dupa'. Bagaimanapun virus ini hanya bertujuan menghapus data spesifik dari pertempuran jaringan siang tadi, tak perlu dibuat terlalu ekstrem.
Sekitar sejam lebih waktu dihabiskan untuk menyelesaikan program tersebut. Mengunggahnya ke jaringan atas nama 'Babi Putih Bangsawan', Jiaming membawa segelas air panas ke balkon. Bintang-bintang di langit tak banyak, lampu jalan di sepanjang jalan ini pun sudah dihancurkan para perusuh. Samar terlihat beberapa anggota patroli sukarela yang mondar-mandir dalam kegelapan, mencegah anggota Yong Sheng Gang memotong kabel listrik atau memutus pipa air di malam hari. Di kejauhan, cahaya-cahaya dari Akademi Hati Kudus membentuk siluet megah kampus. Menyesap airnya, ia teringat berbagai hal tentang Yahan hari ini dan masa lalu.
Dari belakang terdengar langkah ringan disusul bunyi 'klik'. Getaran 'bzzzt-bzzzt' alat pijat menyentuh tengkuknya sebelum anggota tubuh lembut Lingjing memeluknya dari belakang: "Sudah selesai? Nyaman?"
"Hmm. Sudah tidur, Shasha?"
"Mm."
Tangan menjulur ke belakang memeluknya lembut. Berpelukan dalam kesunyian, setelah lama akhirnya Lingjing berbisik: "Jiaming, menurutmu... Kakak Yahan itu... apa dia suka padamu?"
"Heh, kenapa tanya begitu?"
“Tidak tahu... Tapi aku dan Shasha merasa itu mungkin. Kau juga bilang, kami sudah sangat akrab. Kakak Yahan biasanya dekat denganmu, dulu dia suka mengganggumu, sekarang kau suka mengganggunya, hmm...”
“Hehe, jangan bercanda. Kakak Yahan lebih tua tujuh tahun dariku. Masuk akal juga kalau dipikir mustahil, kan?”
“Memang begitu, tapi...”
“Tidak ada 'tapi'. Pikirkan, Kakak Yahan lulusan luar negeri, fasilitas keluarganya bagus, cantik dan beraura. Mana mungkin dia menyukai anak kecil sepertiku? Aku suka ngantuk di kelas, tidak bisa bersosialisasi, banyak yang tidak menyukaiku, sok eksentrik, sulit diatasi, tidak berpendidikan. Yang paling penting, aku juga tidak tampan. Bahkan jika usiaku setara, kombinasi seperti ini pasti aneh menurutmu... Lihat, jika tidak ada insiden bodoh dulu antara kita, mungkinkah kau dan Shasha menyukaiku sekarang?”
“Hehe, sulit ditebak...” Lingjing tertawa ringan, “Sekarang aku merasa, bahkan tanpa kejadian itu, aku dan Shasha pasti akan tetap jadi korban bajingan sepertimu. Bahkan rela jadi dua wanita melayani satu suami.”
“Itu hanya perspektifmu yang melihat dari hasil. Setelah hubungan kita seperti sekarang, lebih mudah melihat sisi baik seseorang. Sebenarnya di mata orang lain, aku mungkin tidak istimewa.”
Setelah kesunyian singkat, Lingjing merangkul erat tubuh Jiaming, bergumam: “Tidak... Bagaimanapun juga, aku tetap menganggapmu yang terbaik...”
“Ha...”
“Masih ada……Aku hari ini nyanyinya benar-benar tidak bagus ya?”
“Tidak sama sekali, aku hanya bercanda, kau menyanyi dengan baik.”
“Hehe, kau memang pandai bicara……”
Dalam kegelapan, suara itu terdengar jernih dan merdu.
“……Memiliki penampilan mewah dan lampu gemerlapan, aku adalah kuda kayu putar di surga ini……”
Angin malam yang sejuk, senandung lembut……
## Bagian Seratus Enam Puluh Enam Keajaiban Kreasi
“……John yang sebangku denganku itu bodoh, penjumlahan dan pengurangan tiga digit saja tidak bisa, tentu saja, kebanyakan anak di kelas kami juga bodoh seperti itu……Sejak tahu keluarga kami mafia, tiba-tiba mereka sangat ingin berteman denganku, tapi aku malas meladeni, Mama bilang mereka hanya ingin mendapatkan putih bubuk dariku……Beberapa kali Johnny dan kawan-kawan mencoba menjebakku untuk mencandu, tapi Kakek sudah membuatku mencicipi rasa barang-barang itu sebelumnya, semua tipu daya mereka berhasil kugagalkan……”
Duduk berdampingan dengan Jiaming di sofa, Heidi menyepak-nyepakkan kedua betisnya yang putih mulus sambil bercerita tentang kejadian di kampus. Marilyn yang hanya mengenakan kemeja putih dan celana jeans sederhana keluar dari dapur membawa piring buah, matanya membelalak.
“Astaga. Johnny dari kelasmu? Dia berani melakukan hal seperti itu? Dan kau tidak melaporkannya?”
“Kakek akan menyuruh orang memenggal salah satu tangannya.” Heidi mengedipkan mata dengan serius, “Kau tahu, terpapar hal-hal berdarah terlalu dini akan meninggalkan bayangan gelap di masa kecilku.”
“Oh——My——God——” Dengan berlebihan mengangkat mata putihnya, Marilyn dan Jiaming tertawa, “Jiaming, lebih baik kau ajari dia sekarang apa yang pantas dan tidak pantas untuk ditanyakan. Beberapa hari lalu aku menemukannya sedang membaca... hmm, apa judul bukunya? Oh ya,《Dunia Narkoba: Tinjauan Umum》, baru 12 tahun tapi bacaan di kepala ranjangnya sudah ada《Filsafat Kekejaman dan Kelicinan》, buku seperti ini akan menghancurkan masa kanak-kanaknya... Mungkin aku harus mempertimbangkan membawanya menjauh dari New York, lalu membelikannya satu mobil penuh komik...”
“Aku Genius.” Mengepalkan kepalan tangan kecilnya, Heidi protes keras-keras, “Genius tidak butuh komik membosankan itu. Aku akan jadi pimpinan mafia terhebat di masa depan.”
“Pimpinan wanita mafia...” Jiaming terkekeh membetulkan.
“Mungkin kau harus jadi bintang. Meski jadi selebriti juga tidak bagus, tapi lebih baik dari mafia. Guru bilang kau punya suara merdu.”
“Hmm, aku akan jadi selebriti. Pertama jadi artis, setelah punya dampak baru gabung mafia lebih baik. Paman Billy dan yang lain bilang, kalau pimpinan mereka Audrey Hepburn, mereka akan tanpa ragu berkorban nyawa untuk keluarga. Dan... bayangkan, seorang diva pemenang Grammy Award, takkan ada yang menyangka dia pimpinan mafia... eh, pemimpin wanita mafia...”
Berjongkok di depan meja teh, jari-jari Marilyn mengetuk bibir seksi dengan lembut, senyum memikat tak pernah lepas dari wajahnya: "Mungkin kekerasan bisa mengubah pemikiranmu, kurasa Jiaming takkan keberatan memukul pantat kecilmu sampai kau hanya bisa tidur tengkurap malam ini..."
"Dengan senang hati."
"Lawan kekerasan!" Begitu mendengar pernyataan itu, gadis kecil yang masih bercita-cita menjadi godfather geng kriminal berbau darah langsung menutupi pantatnya sambil melompat turun dari sofa, berteriak lantang slogan perdamaian, "Kekerasan dalam rumah tangga akan meninggalkan bayangan di pikiran anak kecil! Lagipula kesatria sejati takkan memukul pantat wanita terhormat! Kalian harus memberi contoh baik, jangan mengotori pikiranku yang polos dengan kesan kekerasan!"
"Tapi kita sedang berada di Tiongkok. Keluarga Tionghoa selalu mendidik anak seperti ini." Marilyn mengangkat bahu dengan santai. Jiaming tersenyum sambil berkata dalam bahasa Mandarin: "Mungkin kesatria akan memukul pantat wanita dewasa..." Heidi belum paham kalimat ini, tapi wajah Marilyn tiba-tiba memerah setelah mengedipkan matanya. Melotot ke arah Jiaming, ia berdiri sambil berkata, "Aku akan mempersiapkan makan siang. Jarang-jarang Jiaming datang ke sini."
“……Sama seperti masa dua tahun lalu, menempatkan ibu dan putri ini di kamar yang tidak mewah ini, Jiaming tidak sering datang. Sesekali tinggal beberapa jam lalu buru-buru pergi, jarang menemani mereka lama. Namun Marilyn tidak mengeluh, malah penuh sukacita. Karakternya seperti tusizi, mencari ketenangan hati pada orang yang diandalkan, hidup untuk harapan pilihan hatinya. Sekalipun Jiaming menampungnya di rumah ini seumur hidup, mungkin dia tidak akan sedih. Karakter seperti ini jelas patologis, tapi juga sangat sederhana dan mudah dipuaskan.”
“Setelah Marilyn masuk dapur, Heidi kembali cerewet bercerita: soal lompat kelas ke SMP, tren pacaran dan narkoba di kampus, pernah menemukan Colt Python Revolver di rumah. Karena pistol emas itu terlalu keren, tak tahan menembak tembok hingga tangannya gemetar. Dan segudang cerita lainnya.”
“……Beberapa hari lalu di kelas kesehatan reproduksi, guru memberi kami kondom……Menstruasi pertamaku datang menjelang Natal tahun lalu, katanya di buku aku sudah bisa bercinta……Jiaming, pendapatmu tentang tidur dengan gadis 12 tahun? Ada rasa bersalah?”
，，：“，。”
“？”，，“，，，？………………”
“Hmm……” Jiaming mengedipkan matanya, kesal menepuk kepala Heidi. “Pergilah, apa yang dipikirkan otak jeniusmu itu? Anak kecil... eh, anak kecil seharusnya tidak memikirkan hal-hal seperti ini.” Tanpa pengalaman mengajari anak kecil dengan kelembutan, Jiaming merasa sekarang kepalanya mulai pusing...
“Genius tentu harus berbeda dengan orang lain. Dan juga...” Heidi berargumen dengan alasan logis, kemudian menjadi sedikit kecewa, “Dan... tadi Jiaming sedang bercumbu dengan Mama, saling mengirim sinyal mata, kan?”
“……” Jiaming tak bisa berkata-kata.
“Kau tidur dengan Mama...” Menggigit apel, pipi kecilnya menggembung, Heidi berkata dengan gelisah.
"Meski tak melihat langsung adegan Jiaming naik ranjang dengan Marilyn, ketajaman perasaan gadis kecil itu tak diragukan lagi." Beberapa saat kemudian, dia mengangkat kepala: "Benarkah 12 tahun tidak boleh?"
"Tentu saja tidak boleh." Menjepit pipi Heidi, Jiaming tersenyum.
"Lalu kapan baru boleh?"
"Aku rasa..." Sebenarnya tidak punya pendapat tentang hal ini, Jiaming berpikir sejenak, akhirnya menetapkan batasan waktu, "Setidaknya harus usia enam belas tahun. Tapi menurutku, aspek ini lebih baik konservatif saja. Nanti kau harus hati-hati dalam memilih..."
"Jika kau suka Mama yang cantik dan seksi, mungkin aku harus menunggu sampai delapan belas tahun. Saat itu mungkin aku sudah jadi bintang, dan Mama juga harus menyerahkanmu padaku..." Dagunya menempel di lutut, sambil menatap Jiaming, Heidi cilik kembali dilanda kegelisahan baru, "Tapi orang Tiongkok kan suka perawan? Di Amerika sulit menunggu sampai delapan belas tahun masih perawan..."
"Aku sekarang yakin, kamu memang sudah baca terlalu banyak buku yang tidak cocok untuk masa kanak-kanakmu..."
Siang hari setelah Heidi tertidur, Jiaming membicarakan percakapannya dengan Heidi kepada Marilyn. Marilyn pun terdiam tak percaya. Celana jeans yang turun separuh berhenti di situ, kaki rampingnya terlipat, bayangan semi-transparan di balik kain resi memperlihatkan area sensitif di antara pahanya. Adegan yang stabil ini sangat menggoda. Heidi pernah bilang ingin menikah dengan Jiaming, tapi mereka berdua menganggapnya candaan. Namun fakta bahwa dia bisa menyimpulkan hubungan ranjang ibunya dengan Jiaming, bahkan memposisikan ibunya sendiri sebagai rival asmara dalam hatinya, benar-benar membuat Marilyn terkejut.
"Itu... dia... dia..."
Mulut mengoceh tak karuan beberapa saat, sampai Jiaming membantu Marylyn mengenakan pakaian dan menarik celana panjangnya, barulah Marylyn buru-buru turun dari ranjang ingin memastikan apakah Heidi sedang mengintip. Dalam kekacauan hati, hari ini menjadi satu-satunya pertemuan Marylyn dengan Jiaming di Tiongkok tanpa berada dalam keadaan telanjang. Jiaming mulai bercerita tentang hal-hal lain padanya.
"Konflik antara keluargamu dengan Keluarga Gambino menurut perkiraanku baru akan memanas ke tahap bentrok fisik setidaknya enam bulan lagi. Situasi di Amerika sulit kucampuri, jadi selama kamu dan Heidi baik-baik saja, seharusnya aku tidak perlu turun tangan. Joseph akan pulang ke negara dalam beberapa hari, untuk semua ini kamu cukup menyangkal saja, katakan tidak mengenal siapa pun di sini, bahwa kamu hanya jalan-jalan dengan Heidi. Lagipula ada hal-hal yang sudah menjadi rahasia umum."
"Uh, itu..." Marylyn memerah wajahnya malu-malu, "Aku dan Heidi hanya ingin bertemu denganmu..."
"Hah, aku mengerti. Tapi saat ini ada kelompok lain yang mengincar kalian, dan ini benar-benar rumit, sebenarnya ini juga kesalahanku."
"Kelompok lain?"
"Keajaiban Kreasi." Jiaming mengangguk, "Kamu mungkin belum pernah mendengar nama ini, tapi pasti pernah dengar tentang Surga Kebijaksanaan."
"Ah! Surga Kebijaksanaan?" Marylyn mengangguk, "Aku memang pernah dengar nama itu. Menurut intelijen kami, itu disebut-sebut sebagai konglomerat paling misterius di Amerika. Katanya sebagian besar anggota Biro Investigasi Federal dan Badan Keamanan Nasional adalah orang mereka, didukung pemerintah ya?"
"Serupa, tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai departemen di bawah pemerintah. Di dalamnya ada orang yang berada di bawah pemerintah, juga banyak individu independen. Pusatnya terdiri dari teknisi seperti ilmuwan mesum dan peretas, sementara perimeter diisi oleh agen rahasia, pembunuh, dan sejenisnya. Dibandingkan dengan mereka, mafia masih hanya organisasi masyarakat dengan aktivitas kecil-kecilan. Keajaiban Kreasi lebih tersembunyi, lebih dekat dengan gereja Vatikan daripada pemerintah Amerika, berusaha seumur hidup untuk menciptakan dan melacak pengguna kekuatan supernatural, menganggap diri mereka sebagai pilihan Tuhan yang lebih tinggi. Hehe, sebenarnya mirip dengan organisasi kultus."
"Pernah kusebutkan juga tentang pengguna kekuatan supernatural. Jujur, mereka hanya manusia dengan sedikit keanehan, evolusioner, tidak perlu terlalu dipedulikan. Tapi beberapa orang senang membesar-besarkan hal ini. Pengguna terkuat disebut Evolusioner Alami, memiliki kemampuan luar biasa, muncul sekali dalam ratusan tahun. Ada yang percaya Yesus adalah salah satunya, tentu sekarang tidak bisa dibuktikan. Satu-satunya bukti yang tersisa adalah organisasi kuat di Eropa bernama Dark Celeste. Pendirinya adalah Evolusioner Alami yang sangat kuat, dan menemukan cara mewariskan kekuatannya turun-temurun. Baik Keajaiban Kreasi maupun Vatikan giat mencari orang seperti ini, menyembahnya sebagai Tuhan atau berharap menguasai dunia melalui mereka. Kini mereka memburuku karena alasan yang sama..."
"Jiaming, apakah kau... kau ini Evolusioner Alami?"
Jiaming menggelengkan kepala: "Tentu saja bukan."
“Lalu bagaimana mereka bisa mengincarmu? Oh, aku tahu.” Marilyn mengangguk, "Tahun lalu, terjadi peristiwa mengerikan berdampak besar di Tiongkok. Sebuah kapal pesiar bernama Kapal Star Dream dikepung di laut, ada orang Tiongkok misterius yang memukul mundur pembunuh terkuat di dunia. Jiaming, itu kamu?"
"Petunjuknya tidak hanya itu." Jiaming menghela napas, "Singkatnya ada banyak alasan. Serangkaian analisis peristiwa menunjukkan, saat kebanyakan orang meremehkanku karena masih anak kecil dan mengalihkan perhatian ke arah lain, mereka justru membuat hipotesis bahwa aku mungkin adalah Evolusioner alami. Karena itu yang pertama diawasi adalah kamu dan Heidi, sekarang mereka mengirim orang untuk melakukan penilaian."
Setelah jeda sebentar, Jiaming menyeringai masam dengan tatapan mengejek: "Seorang asing bernama James*Cook, setiap hari mengirim orang untuk memata-matainku, diam-diam mencoba melakukan konspirasi licik melalui geng Yong Sheng, mengira aku tidak tahu apa-apa..."
Setelah cahaya senja sore berangsur memudar, langit pun gelap. Suara musik berita terdengar di ruang tamu. Keluarga yang sudah selesai makan malam duduk di sofa menonton TV.
Bagi Keluarga Zhang, sudah lama tidak ada momen sederhana seperti duduk bersama menonton TV. Bahkan Zhang Jing'an yang biasanya serius tidak langsung naik ke lantai atas setelah makan, melainkan duduk tegak di sofa sambil menatap TV dan mengobrol santai dengan istri keduanya. Dia bercerita tentang urusan perusahaan, sementara wanita yang berdandan cantik itu bercerita tentang belanja. Perhatian keduanya jelas tertuju pada Yahan yang duduk di samping.
Sejak menjadi Guru dan kejadian terakhir dimana Zhang Jing'an memaksanya untuk menikah, Yahan jarang pulang ke rumah jika tidak perlu. Sangat jarang melihatnya duduk tenang di ruang tamu menonton TV dengan ekspresi kesepian dan melankolis seperti ini.
Mengenakan gaun rumah sederhana, Yahan merangkul bantal peluk hijau sambil menekuk kakinya di sofa sebelah. Matanya kosong menatap TV tanpa sepatah kata pun, bagai patung yang kehilangan nyawa.
“Ngomong-ngomong, kemarin perusahaan mengalami kerugian besar...” Melirik putrinya, Zhang Jing'an mengerutkan kening melanjutkan cerita, “Seorang teknisi komputer suka browsing, katanya juga hobi teknologi peretas. Tapi sore kemarin terjangkit virus jaringan tidak karuan yang melumpuhkan seluruh sistem perusahaan. Harddisk semua hancur, produksi terhenti hampir 12 jam. Dampak lanjutannya belum bisa dihitung. Untung ada orang yang merilis ramuan penetral di jaringan, data-data baru bisa dipulihkan... Seharusnya tidak memaksakan komputerisasi menyeluruh di perusahaan... Tapi nama orang yang rilis solusi itu lucu, Babi Putih Bangsawan...”
“Putri Salju?” Tante bertanya balik.
“Bukan, babi ternak yang siap disembelih. Hmm, Babi Putih Bangsawan.”
“Hehehe...” Tante menutup mulut sambil tertawa. Di sofa sebelah, ekspresi Yahan sedikit berubah.
“Lihat, beritanya sudah mulai muncul. Virus ini meledak secara global kemarin, sangat ganas. Yahan, bukannya kamu sedang belajar komputer sekarang? Peretas hebat seperti ini patut jadi contoh belajarmu. Tapi jangan tiru kelakuannya ya, hehe...”
Zhang Jing'an mengangguk saat tayangan menampilkan gambar panda jelek sedang membakar dupa: “Sekitar pukul empat setengah sore kemarin, virus bernama Panda Membakar Dupa menyedot seluruh dunia...”
“Ha ha, panda itu benar-benar mempermalukan. Meski terlihat sebagai peretas hebat, tapi idiot dalam melukis ya.” Tante tertawa sambil berusaha menarik perhatian putrinya. Zhang Jing'an mengangguk sambil tersenyum "Hmm".
Memandangi lukisan itu, wanita yang dihujat ibu tiri sebagai idiot terdiam sejenak, kemudian berkata: "Lukisan itu... aku yang melukisnya……"
“Hehe……”
“Hehe……”
Pasangan di samping tertegun sejenak, lalu ikut tertawa kikuk. Beberapa saat kemudian, Tante berkata: "Tuan, kemarin aku membeli sebuah jam tangan, sebenarnya juga ingin membelikanmu…… tapi bukan model pasangan. Nanti akan kubawa untukmu lihat……"
“Hmm.”
Jelas, mereka takkan percaya kebohongan konyol Yahan……
## Bagian Seratus Enam Puluh Tujuh Dongfang Ruo
Setelah liburan Mei berlalu, segala kehidupan seolah kembali ke pola pergerakan semula, meski perubahan juga ada.
Setiap pagi Jiaming bertiga berlatih bersama Kaoru. Anggota klub bela diri yang selalu berdemo dari kejauhan menjadi lebih sopan. Tatapan semua orang semakin kompleks menyaksikan Kaoru berlatih Tai Chi dengan gerakan lambat. Xu Yiting kembali ke kampus setelah cuti studi hampir sebulan, tapi dia menjadi lebih penyendiri dari sebelumnya, selalu murung dan tidak disukai. Lingjing dan Shasha yang simpati dengan keadaannya pun tak bisa berbuat banyak, sesekali menyapa saat bertemu sudah menjadi batas maksimum yang bisa dilakukan.
Hubungan dengan Yahan, Jiaming tidak bisa memikirkan cara penanganan yang baik. Namun dikabarkan setelah ulang tahun sekolah, Yahan sudah mengajukan cuti untuk pulang dan beristirahat. Tidak bisa lagi datang ke kantor di waktu luang untuk duduk-duduk dan bertengkar mulut dengan Yahan, Jiaming merasa sedikit kecewa, tapi akhirnya tidak ada solusi.
Di sisi lain, proses akuisisi rumah oleh Geng Yong Sheng masih berlangsung. Dikatakan sudah terjadi beberapa konflik skala kecil di persimpangan jalan, Jiaming bersama Lingjing dan Shasha pernah mengalami sekali. Sebagian kecil penduduk sudah menandatangani kontrak penjualan dengan Yong Sheng, tapi mayoritas masih bertahan. Selama ini, pengawasan diam-diam oleh orang yang dikirim James*Cook masih terus berlanjut.
Keajaiban Kreasi tidak memiliki personel cadangan di Tiongkok. Anak buah rendahan Yong Sheng ini tentu tidak bisa memantau Jiaming dengan efektif, tapi tetap saja merepotkan. Jika yang datang adalah anggota Pei Luo Jia, Jiaming mungkin sudah membunuh mereka. Tapi lebih baik menghindari masalah. Meski sangat percaya diri, Jiaming tidak menganggap dirinya bisa melawan sebuah organisasi sendirian. Setelah menjadikan Pei Luo Jia sebagai musuh, masih ada [] sebagai penyangga. Dalam situasi seperti ini, memaksa Keajaiban Kreasi ke posisi musuh adalah tindakan sia-sia. Lagipula, James*Cook yang dikirim untuk melacak evolusioner alami pastilah sosok penting di Keajaiban Kreasi. Sebelum bereinkarnasi, Jiaming pernah mendengar namanya tapi tidak pernah berinteraksi. Untuk saat ini, tetap menjaga kewaspadaan adalah yang utama.
Fang Yusi meninggalkan Jianghai setelah pertunjukan, membawa sebuah lagu yang ditulis Jiaming untuknya - tentu bukan Xuanmu. Secara relatif, kualitas Xuanmu lebih unggul dari lagu itu. Jiaming memberikannya ke Dong Danwen, yang sebenarnya juga merupakan sindiran untuk Fang Yusi: Aku tidak menyukaimu, jangan ganggu aku lagi.
Kepergian Marilyn dan putrinya terjadi pada tanggal 5 Mei. Kunjungan Joseph ke Jianghai untuk berinvestasi hanyalah kedok. Kini saat tujuannya tak tercapai, setelah membersihkan beberapa urusan, tentu ia harus kembali ke New York. Marilyn dan Heidi otomatis ikut serta. Meski sangat enggan, Heidi kecil akhirnya bisa menerima dengan baik - meski mungkin terlalu baik hingga mencurigakan.
"...Aku tidak mau pergi. Tapi tidak bisa membiarkan Mama tetap di sini untuk naik ranjang bersamamu... Janji ya, saat aku jadi bintang besar nanti, kau harus datang melamarku..."
Gumaman gadis kecil yang enggan berpisah itu membuat Jiaming merasa antara ingin tertawa dan menangis. Usianya saat ini hanya empat tahun lebih tua dari Heidi, namun dalam hatinya ia memperlakukan gadis kecil ini seperti putrinya sendiri. Dengan konsep tradisional Tiongkok, memiliki putri yang cantik-cerdas tapi aneh-pintar seperti ini, di masa tua kemungkinan serangan jantungnya mungkin beberapa kali lipat lebih tinggi dari orang biasa.
Setelah ibu dan putri itu pergi, pada pagi hari tanggal Tujuh Mei, Jiaming sekali lagi bertemu Yahan yang kembali ke kampus. Rambut keriting matang bergelombang, kacamata lebar model lama, wanita itu masih menyandang ekspresi serius khasnya di lingkungan kampus. Jiaming mengunci sepedanya di parkiran sepeda, lalu menyapa dengan ramah. Yahan berhenti di tempat, memandanginya dengan tenang.
"Baik-baik saja?" Saat mendekat, Jiaming tersenyum sambil mengayunkan tangan. Napas Yahan terlihat jelas tidak teratur, dadanya naik turun dengan hebat, kemudian dengan kaku ia membuka mulut.
"Aku... tidak ingin bicara denganmu..."
"Eh... Aku kira..."
"Ini bukan salahmu, aku hanya belum siap... Aku yang cari gara-gara, tapi aku sudah muak dengan lelucon dan kamuflasemu. Aku sama sekali tidak bisa memahami dirimu, tidak tahu seperti apa sebenarnya kau... Maaf, di kampus ini, aku hanya Gurumu. Kau harus memanggilku Bu Guru Zhang."
Kedua tangan tergantung di samping kakinya, dagunya sedikit terangkat. Ekspresi Yahan terlihat sangat kaku, Jiaming hampir bisa merasakan kekakuan dan ketegangan di seluruh tubuhnya. Setelah ragu sejenak, barulah ia tersenyum dan mengangguk: "...Selamat pagi, Bu Guru Zhang."
"Selamat pagi..." Tiga kata sederhana itu diucapkan Yahan dalam satu tarikan napas, namun suku kata terakhir "baik" masih terdengar sedikit tercecer. Dalam derap Byur-byur-byur sepatu hak tingginya, ia bergegas pergi. Baru setelah melewati tikungan di depan, tangannya mengusap kelembapan di sudut mata.
"Selama empat lima hari merenung berulang kali, dari analisis rasional hingga kerinduan emosional. Awalnya mengira pertahanan hati yang telah dibangun akan runtuh seketika saat melihatnya. Sangat pengecut dan memalukan, tapi mungkin... inilah akhir kisah antara dirinya dan dia..."
"Yahan, jangan menangis..."
"Matahari bersinar di langit, bunga-bunga tersenyum padaku. Burung-burung berkata: 'Pagi! Pagi! Kenapa kau bawa tas bahan peledak? Aku akan meledakkan sekolah, guru tak tahu apa-apa. Tarik sumbu lalu lari, Braak! Sekolah lenyap seketika...'"
Tengah hari, diiringi nyanyian kecil, helikopter kendali jarak jauh terbang ke langit. Berputar-putar di depan jaring lapangan voli. Duduk di atas tiang batu tepi lapangan adalah Jiaming dan Kaoru yang baru saja selesai makan siang.
"Regulator di sebelah kanan agak kurang responsif. Tapi tidak apa, buatan sendiri pasti ada kekurangannya. Yang penting kau paham prinsip dasarnya..."
Lagu itu dinyanyikan bukan tanpa alasan. Pembuatan helikopter kendali jarak jauh ini sebenarnya adalah cara mengajari Kaoru teknik menempatkan bom. Di sisi lain, Jiaming menguasai operasi dan prinsip berbagai mesin praktis. Baginya, pembunuh bayaran harus menguasai berbagai bidang. Saat ini ia sedang memberikan pengajaran gaya bebek tentang teori-teori tersebut kepada Kaoru.
“Masih ada lebih dari sebulan lagi di semester ini, cepat pahami materi yang sudah dibicarakan sebelumnya. Saat liburan musim panas usahakan dapatkan pengalaman praktis, mulai dari bongkar motor sampai Cadillac… Kamu baru akan pulang ke Jepang saat liburan musim dingin, nanti lewat Takamagahara carilah sumber daya militer untuk diteliti. Tank, helikopter, pesawat tempur, semuanya harus dipelajari…”
Pengetahuan mekanika fisika jika diklasifikasikan secara detail terlalu luas dan kompleks. Andai benar-benar ingin memahami semua yang Jiaming katakan melalui jalur akademik, sampai gelar doktor pun belum tentu cukup. Meskipun lingkupnya sudah dipersempit hanya pada aspek utilitas, tetap saja cakupannya terlalu besar. Selama hari-hari menerima perintah Jiaming, Kaoru terus-menerus mencari pengetahuan terkait di Perpustakaan. Waktu berharga, setelah menjelaskan garis besar pada Jiaming, ia mengangguk lalu pergi. Helikopter yang dikendalikan dari jarak jauh berputar-putar di dekat tiang bendera, sementara Jiaming masih memikirkan percakapan Lingjing saat makan siang tadi.
“Pagi tadi ketemu Kakak Yahan, nuansa bicaranya sangat canggung… Sejujurnya aku kira dia akan memarahiku dan Shasha, tapi karena tidak dimarahi justru merasa lebih aneh. Sudah beberapa tahun kenal Kakak Yahan, baru pertama kali merasa kami seperti orang asing…”
Perasaan serupa telah Jiaming alami sejak pagi. Karakter Yahan lemah di luar namun kuat di dalam, tetapi bagaimanapun juga dia orang yang sangat menghargai perasaan. Untuk saat ini, hanya bisa berharap waktu dapat membuatnya memikirkan hal ini dengan jelas, agar semua orang bisa kembali menjadi Teman. Sambil memikirkan hal ini, sebuah sosok muncul di kejauhan, lalu mendekat. Itulah Dongfang Wan. Saat mendekat, matanya menatap pesawat di Langit.
"Kau yang membuat? Hebat sekali. Kok tiba-tiba tertarik dengan model pesawat terbang?"
"Ada urusan?"
"Melihatmu sendirian di sini, datang untuk mengobrol saja tidak boleh?" Duduk di sebelah Jiaming, Dongfang Wan mengangkat bahu. "Menemani seorang sepupu bermain ke kampus. Tapi cukup merepotkan juga. Dia... matanya ada masalah, tidak bisa melihat, tubuhnya juga lemah. Setelah berjalan sebentar sepertinya mulai tidak nyaman, pergi ke ruang guru Bu Li di klinik. Sekarang mungkin sedang istirahat. Aku keluar sebentar..."
"Ngapain cerita ini padaku..." Kalimat itu hampir terucap begitu saja, seperti dialog biasa saat mereka bertemu. Namun syarat "perempuan tunanetra dari keluarga Dongfang" yang terlintas di pikiran membuat alis Jiaming berkedut tiba-tiba: "Mata... bermasalah?"
“Hmm. Ngomong-ngomong...” Dongfang Wan mengangguk, "Kabar burungnya neneknya ternyata anggota cabang lateral keluarga Huangmu, jadi secara teknis dia masih kerabatmu. Entah kau harus memanggilnya kakak atau tante, hehe... Memang keluarga besar punya banyak cabang. Aku sendiri baru tahu kemarin ada sepupu seperti ini. Waktu kecil tubuhnya lemah, selalu dikirim ke Gunung Emei untuk terapi. Ini pertama kalinya turun gunung. Hei hei, kalau dipikir-pikir kita juga kerabat dong, tak tahu aku harus jadi kakakmu atau tantemu..."
Jiaming mengerutkan kening, tak bersuara. Dalam pikirannya sudah muncul sebuah nama yang nyaris terucap - untuk apa dia datang...
"Katanya besok dia akan berkunjung ke keluarga Huangmu. Dia besar di gunung, belum pernah lihat dunia luar. Jangan bikin ekspresi aneh-aneh sampai menakutinya. Ngomong-ngomong, namanya Dongfang Ruo..."
Dongfang Ruo... Tiba-tiba nama itu meloncat dari ingatan. Meski tak sering, Jiaming memang pernah mendengar nama itu.
Itu terjadi setelah keluarga Yuechi, Takamagahara, dan Dark Celeste runtuh secara berturut-turut. Kelly Vernam berkeliling dunia untuk melawan Pei Luo Jia. Dongfang Lu telah tumbuh menjadi Kepala keluarga Dongfang yang baru, dan mengembangkan klannya menjadi salah satu anggota terpenting dalam []. Dalam proses penekanan [] oleh Pei Luo Jia, terjadi beberapa insiden aneh yang tepat waktu menyelamatkan situasi dari potensi keruntuhan. Seorang wanita buta yang dijuluki "Ruo Ruo" pernah muncul dalam radar pembunuh Pei Luo Jia.
Saat itu, Jiaming tidak terlibat dalam operasi-operasi ini. Namun investigasi lanjutan atas serangan yang menyebabkan kerugian besar bagi Pei Luo Jia benar-benar menemui jalan buntu. Tanpa alasan logis, situasi ini pantas disebut misterius. Beberapa laporan pernah menyelidiki Nona Ruo ini, namun intelijen yang didapat hanya hal-hal sederhana seperti Dongfang Ruo, kondisi fisik lemah, dan perawatan di Gunung Emei sejak kecil.
Namun, seorang penyelidik pernah membuat laporan mengejutkan yang berhipotesis bahwa Dongfang Ruo adalah pengguna kekuatan supernatural yang dibina [], memiliki skill mata hati yang bisa melihat melalui segalanya, bahkan mungkin seorang Evolusioner alami. Laporan ini tidak menyertakan bukti, dan pembunuh yang membuatnya tidak memiliki wibawa besar dalam organisasi. Oleh karena itu, hipotesis ini hanya lewat di depan mata Jiaming seperti novel YY, ditertawakan dan diabaikan.
Tapi sekarang terlihat... hal ini benar-benar tidak biasa...
Dari ambisi Pei Luo Jia yang berkembang, hingga keruntuhan Dark Celeste di kemudian hari, dalam pandangan Dunia Kegelapan, nama Ruo Ruo Dongfang sama sekali tidak muncul. Meskipun efek kupu-kupu setelah regenerasiku mempengaruhi banyak orang, sebagian besar dampaknya tetap berada dalam lingkup Dunia Kegelapan. Jika Ruo Ruo Dongfang ini benar-benar sejak kecil lemah fisik dan sederhana seperti biksu wanita, mengapa tiba-tiba menyimpang dari pola sejarah saat ini? Bagaimanapun menurut Dongfang Wan, sepupu Ruo Ruo ini memiliki keterkaitan dengan keluarga Huang. Saat berusia 20 tahun, ketika melakukan genosida terhadap keluarga Huang, aku pernah menyelidiki semua data mereka secara detail. Jika dia pernah muncul sebelumnya, pasti tidak akan terlewat...
Mempertimbangkan situasi saat ini dan persiapan yang telah kulakukan untuk menghadapi James*Cook, tujuan turun gunungnya Nona Ruo Ruo ini adalah...
Setelah mengobrol ringan sebentar dengan Dongfang Wan, topik pembicaraan kembali secara alami mengarah pada Jian Suyan. Sepertinya sejak kejadian dia diselamatkan, dia mulai mengidolakan sosok virtual perempuan sempurna bernama Jian Suyan ini. Karena dendam akan analogi "bunga ditancapkan di kotoran sapi", omelan rutinnya mulai terdengar lagi di telinga Jiaming - keluhan bahwa di abad ke-21 ini masih ada praktik pernikahan yang dijanjikan sejak dalam kandungan, bahwa Kakak Suyan pasti tidak akan tertarik padamu, dan berbagai klise usang tanpa kreativitas. Tak lama kemudian, Jiaming yang mulai kesal sekaligus geli mulai mengendalikan helikopternya untuk menukik tajam.
"...Tahu tidak? Baling-baling helikopter ini terbuat dari lempengan besi tipis, tajam seperti pisau. Dengan kecepatan ini, bisa untuk merapikan rambutmu atau facial. Suyan adalah calon istriku sejak kecil, urusanmu apa? Jika kau masih bersenandung seperti lalat Bzzzt..."
"Hmph, aku tidak percaya kau berani! Coba saja... Wah! Gu Jiaming! Jika kau berani menyentuh satu helai rambutku, aku akan membunuhmu! Aaaaaa!"
Awalnya bicara dengan sikap defensif, tapi begitu melihat helikopter terus menukik tanpa tanda berhenti, ditambah ingat akan kelakuan buruk orang ini, Dongfang Wan segera memeluk kepala dan mulai berlarian panik.
"Heh, jangan lari kalau berani. Tenang, kali ini paling-paling hanya memotong rambutmu. Gerakanku presisi, pasti tidak sampai melukaimu..."
"Gu Jiaming, aku takkan berhenti mengejarmu!"
Setengah berlari menjauh, Dongfang Wan tiba-tiba mengambil cue stick di tanah dan mencambuk model pesawat di belakangnya. Jiaming mengendalikan pesawat berhenti sejenak, kemudian berputar-putar naik, manusia dan mesin mulai berhadapan. Dongfang Wan memegang stick dengan wajah bersemangat: "Ayo, berani turun! Turun akan kuhancurkan!"
“Kau tunggu saja.” Model bagaimanapun tidak mungkin selincah manusia, Jiaming mengendalikan pesawat berputar-putar di udara satu lingkaran, baru saja mengambil sikap menukik, secara tiba-tiba, helikopter itu jatuh terjun dari langit, Byur! menghantam tepat di depan Dongfang Wan. Perubahan yang tiba-tiba muncul membuat keduanya，Jiaming kira-kira mengerti regulator internal yang sudah buruk akhirnya rusak, Dongfang Wan setelah tertegun sebentar, tersenyum sambil berlari maju, mengambil helikopter rusak itu, mengganjal baling-baling dengan ranting pohon, membuat beberapa gestur jahat.
“Sekarang ini milikku, hmm hmhm...” Dengan cantik memutar-mutar pinggang, Dongfang Wan membawa barang rampasan perang itu lari terbirit-birit, tak tahu akan pergi ke sudut sepi mana untuk menyiksa pesawat malang itu. Jiaming mengangkat mata putihnya, melemparkan remote kontrol ke sisi sambil memikirkan serangkaian hal terkait Dongfang Ruo.
Sekitar lewat sepuluh menit kemudian, saat dia sedang bersiap untuk berdiri dan pergi, tiba-tiba sakit menusuk di kepalanya. Langkah kaki halus terdengar dari belakang. Tak lama kemudian, orang itu sudah mendekatinya. Saat jari menyentuh tubuhnya tiba-tiba, pikiran kembali tersayat rasa nyeri.
"Maaf... maaf..." kata orang itu dengan gugup sambil menarik kembali tangannya, "Mataku tidak terlalu baik. Adakah yang bisa membantuku..."
Menoleh ke belakang, seorang gadis dengan wajah ayu muncul di hadapan Jiaming. Pakaiannya mirip jubah putih pertapa di TV, longgar dan santai memberi kesan sejuk. Di kakinya adalah sepatu kain biru yang dihiasi bunga kecil berwarna kuning. Rambut gadis itu sangat pendek, hanya menjuntai sampai telinga. Jika bukan karena tonjolan lembut di dadanya, penampilannya nyaris seperti anak laki-laki. Matanya menatap kosong ke depan dengan pupil yang tak fokus, tanpa pusat perhatian maupun kilau. Senyum tipis mengambang di bibirnya, berusaha tapi penuh keraguan.
Itulah Dongfang Ruo.
## Bagian Ke-168 Ketakutan
Malam hari, keluarga Dongfang.
Setelah makan malam, kompleks rumah besar di tengah hutan ini berpendar oleh cahaya lampu yang megah. Hari ini keluarga Dongfang ramai, bukan karena penerangannya, tapi karena kedatangan banyak tamu.
Konon kabarnya karena rencana investasi skala besar, para pemegang saham atau manajer dari beberapa grup perusahaan raksasa dalam negeri datang ke Jianghai dalam 2 hari terakhir. Dari segi skala dan pengaruh, kekuatan perusahaan-perusahaan besar ini bahkan melebihi keluarga Dongfang. Lei Xiaoyuan dari Grup Leiming, Fang Zhitian dari Industri Dinasti Tang - nama-nama ini mewakili tokoh-tokoh berpengaruh yang cukup menghentakkan kaki untuk mengguncang dunia keuangan domestik. Untuk menyambut mereka, ayahku Dongfang Linghai bersama sejumlah besar manajer perusahaan telah kembali sebagai bentuk sambutan hangat.
Namun, ketika melihat Guru Chen Guxia dari sekolah berkecimpung bersama mereka, Dongfang Wan menduga sebagian besar dari mereka mungkin bagian dari organisasi misterius bernama [], bahkan memiliki posisi lebih tinggi daripada keluarga Dongfang. Tapi karena alasan ini pula, dia tidak bisa secara terbuka menunjukkan penolakan terhadap putra kedua keluarga Lei yang terus mengganggu pandangannya seperti orang bodoh.
Prioritaskan kepentingan besar... Baik ungkapan maupun perasaan seperti ini, sama sekali tidak dia sukai.
“……Daripada di sini, lebih baik menemani sepupu Ruo Ruo itu. Meskipun aku juga tidak terlalu suka perempuan lemah seperti itu, tetap lebih nyaman daripada menghadapi orang yang suka berpose dan narsis ini. Sayangnya Dongfang Ruo memang terlalu rapuh, baru jalan setengah hari di luar sudah merasa tidak enak badan. Setelah makan, atas permintaan dokter pendamping, dia langsung kembali ke kamar untuk istirahat. Tanpa alasan teman sebaya lain, sekarang ingin pergi pun terasa kurang sopan.”
“……Xiao Wan, kalau ada waktu lain, kamu bisa datang ke tempat kami. Aku punya koleksi lebih dari 200 model pesawat, mobil, speedboat kelas atas, termasuk 100+ model edisi terbatas simulasi tinggi. Kalau tertarik, kamu boleh pilih sesuka hati, semua bisa kuberikan sebagai hadiah……”
“Wah……” Dongfang Wan membelalakkan matanya, mengangguk penuh kerinduan, “Kalau aku suka semuanya, apa Bisa semuanya diberikan padaku?”
“Hmm, ya, tentu… tidak masalah. Bagaimanapun kita sama-sama pecinta model, saling bertukar ide itu wajar……”
Tukar ide apaan?! Next time ke rumahmu kalau tidak kuangkut semua model itu, namaku bukan Dongfang Wan… Dalam hati mengangkat mata putihnya, sulit memahami bagaimana keluarga Lei yang konon bersejarah bisa punya anak laki-laki bergaya orang kaya baru. Sejak sore melihatnya membawa helikopter model rusak, orang ini mati-matian mengelilinginya membahas model. Mana tahu, aku justru benci model!
"Hati tidak fokus, pandangan mengelilingi ruangan, pria paruh baya yang kini menjadi pusat perhatian di aula ini adalah Lei Xiaoyuan. Meski bertubuh besar dan terkesan kasar, aura yang dipancarkannya jauh lebih baik dibanding pria tampan di sebelahnya, membuat orang bertanya-tanya apakah mereka benar-benar hubungan Bapak-Anak seperti legenda. Sedangkan Fang Zhitian yang lebih hebat, telah pergi mengunjungi Huang Bingxiang di keluarga Huang pada sore hari. Meski identitas orang-orang lain juga cukup mencolok, namun masih kalah dibanding keluarga Dongfang, sehingga tidak menjadi fokus utama."
"Saat melirik kerumunan, tanpa sengaja dia menangkap pandangan mengejek sang kakak yang sepertinya menyadari kebenciannya terhadap putra kedua keluarga kaya baru bernama Lei Qing ini. Sebagai anak keluarga besar Dongfang yang ingin membuktikan diri dengan terjun ke bisnis keluarga, sebenarnya dia tidak berhak mengeluh tentang kewajiban pergaulan ini. Singkatnya, jika kecantikan adalah senjata yang dimilikinya, maka itu harus diasah. Namun setelah bertukar pandangan, Dongfang Lu mulai mendekat seolah berniat menyelamatkannya dari siksaan ini."
"Kenapa? Adik, kepala sakit lagi?"
"Eh... Hmm-hmm... Sedikit..." Mendengar suara kakak, Dongfang Wan bersorak dalam hati, langsung menjawab mengikuti alur pembicaraannya.
“Heh, sudah tahu minum baijiu bikin tidak nyaman, masih nekat bersulang untuk Paman Rei di jamuan malam hari ini. Aku tahu kau akan menderita. Kembali ke kamar minum obat sakit kepala dulu, lalu tidurlah. Saudara Lei, aku temani kau berkeliling...”
“Ah... Xiao Wan... Minum baijiu bisa bikin sakit kepala?”
“Iya, penyakit kecil tapi sudah kronis, tidak apa-apa. Saudara Lei, mari, aku ajak ke tempat bagus...”
Terima kasih, kawan. Aku berutang sekali padamu...
Tahu diri saja.
Setelah saling bertukar tatapan, Dongfang Wan tersenyum minta maaf dan segera meninggalkan area bermasalah itu. Saat melewati koridor luar, bawah sadarnya memperhatikan penjaga dan pengawal yang berjaga di berbagai titik. Meski secara resmi merupakan pasukan pribadi, kabarnya banyak yang merupakan prajurit elit lebih hebat dari agen rahasia. Aura mereka menunjukkan kualitas profesional...
Memikirkan aura, Dongfang Wan tidak sengaja teringat pada anjing Neapolitan Mastiff. Saat itu, setelah dia, Xu Yiting, dan Jiaming bertiga hanya menggunakan tatapan untuk mengusir dua ekor anjing Neapolitan Mastiff yang mengincar mereka, sekarang rasanya masih sulit dipercaya. Secara bawah sadar menghindari kemungkinan tertentu, dia menggelengkan kepala dan memutuskan untuk melupakan hal ini. Yang harus dilakukan sekarang adalah kembali ke kamar, menghancurkan helikopter itu, lalu memperbaikinya dengan teknologinya yang luar biasa untuk membuktikan bahwa hal yang tidak bisa dilakukan si idiot Gu Jiaming justru bisa dia selesaikan dengan sempurna. Tentu saja, rasanya agak menyedihkan jika dibandingkan dengan seorang idiot, tapi apakah harus menganggapnya sebagai genius...
Dari tangga samping naik ke lantai dua, saat melewati kamar tamu tempat sepupu Ruoruo tinggal, Dongfang Wan refleks melirik ke dalam. Tidak ada cahaya lampu, mungkin dia sudah tidur. Tadi siang, dia menitipkannya di ruang medis untuk diurus oleh Guru Li, tapi Guru Li malah kehilangan dia begitu saja, benar-benar membuatnya kaget. Dia mencari di seluruh sekolah, akhirnya justru orang itu—Gu Jiaming—yang membawanya menemui dirinya. Setelahnya, mereka bertiga mengobrol sebentar. Entah mengapa, dia selalu merasa gadis yang lemah lembut ini terlihat terlalu akrab dengan Gu Jiaming.
“Ternyata begitu... Kalau begitu aku harus memanggilmu Sepupu Jiaming ya... Panggil saja aku Ruoruo, Master dan yang lain memang selalu memanggilku begitu...” Mengingat kembali sikap Ruoruo saat itu... Apakah dia menyukai Gu Jiaming? Lagipula sikap Gu Jiaming juga tidak sekasar saat menghadapiku, jangan-jangan Gu Jiaming suka tipe perempuan lemah lembut seperti itu?
Cih, ini benar-benar kacau, kok malah memikirkan hal-hal begitu... Setelah berdiri beberapa saat di depan pintu itu, Dongfang Wan mengangkat mata putihnya, lalu berlari kecil pergi.
……
……
Dalam kegelapan, pintu kaca di balkon terbuka, angin dingin pun masuk. Saat melangkah ke balkon, dia bisa merasakan tatapan waspada para pengawal di bawah yang menoleh ke arahnya.
Sejak kecil tubuhnya memang sangat lemah. Hari ini dia memaksakan mentalnya bermain seharian, senang sekali, tapi benar-benar kelelahan. Awalnya setelah minum obat ingin langsung naik ranjang, tapi tak tahan ingin merasakan angin sepoi-sepoi. Sebenarnya angin di Gunung Emei jauh lebih sejuk, dan dia sudah terbiasa. Tapi bagaimanapun, kesempatan diizinkan pergi ke luar sangat langka, dia ingin lebih banyak merasakan nuansa duniawi.
Namun, dengan kondisi tubuh yang lebih lemah dari Lin Daiyu, setelah berdiri sebentar di luar dia mulai kelelahan lagi. Tak lama setelah kembali ke kamar, telepon berdering. Dia berpindah ke tepi ranjang, meraba-raba mencari mikropon.
"Halo?"
"Halo, Ruoruo. Kudengar hari ini kau sangat kelelahan jalan-jalan, sekarang sudah di ranjang kan?"
"Lagi mau tidur, Paman Fang jangan khawatir. Aku merasa baik-baik saja."
“Hehe, tahu kau sudah lama ingin jalan-jalan, tapi tidak boleh dipaksakan. Dongfang Wan itu anak liar, aku khawatir dia membuatmu kelelahan. Ngomong-ngomong, mereka bilang kau bertemu anak laki-laki itu?”
“Hmm, bertemu. Gu Jiaming.”
“Bagaimana perasaanmu?”
“Aku mencoba mengamati beberapa kali, sepertinya tidak ada jejak kekuatan spiritual luar biasa di tubuhnya. Tentu saja, aku belum pernah melihat evolusi alami seperti apa bentuknya...”
“Jika Ruoruo merasa bukan... mungkin memang bukan.” Ada jeda sejenak, suara di seberang berkata, “Maaf, sengaja memintamu turun hanya untuk hal seperti ini...”
“Tidak juga, Paman Fang. Kau sendiri yang bilang aku selalu ingin turun gunung. Lain kali ada urusan seperti ini, harus ingat aku ya.”
“Hehe, waktunya sudah larut. Ruoruo kondisi tubuhmu tidak baik, cepatlah tidur... Di sini masih ada urusan, selamat malam.”
“Selamat malam, Paman Fang.”
Beberapa saat kemudian, telepon ditutup. Dongfang Ruoruo menarik napas dalam, berdiri dan melakukan beberapa gerakan senam ringan - meregangkan badan, melebarkan dada, memutar pinggang. Kemudian berjalan ke sisi lain ranjang, meraba selimut yang sudah terhampar, duduk di tepi ranjang sambil melepas sandal dengan menggesekkan kaki. Saat hendak menarik kaki ke atas ranjang, tiba-tiba dia membeku. Mata tanpa kilau menatap kosong ke depan.
Sensasi di depan... pusaran yang semakin membesar...
Kematian yang melahap segalanya...
Dalam gambaran realita, laras senjata pistol berhenti 20 cm di depan titik antara alisnya.
Benar juga pengguna kekuatan supernatural... Bisa merasakannya...
Tidak ada yang tahu bagaimana orang ini masuk. CCTV di dalam kamar masih berfungsi, tetapi gambaran nyata tidak tampil di ruang pemantauan. Jika ada yang bisa melihat segalanya di dalam kamar ini, mungkin akan tertarik. Di sofa tepi dinding, Jian Suyan dengan kostum hitam trendy sedang duduk malas, kaki kanannya menepuk lutut kiri, tangan kiri menyangga profil wajah yang sedikit miring, tangan kanan terulur ke depan, laras senjata berperedam suara mengarah tepat ke dongfang Ruo di antara alis.
Di depan, gadis berbaju tidur putih polos duduk kaku di tepi ranjang, kedua tangan menggenggam kepalan tangan kecil di atas paha, tatapan mata kosong yang melotot dan ekspresi kaku semuanya menunjukkan: Dia sedang takut.
Aura dalam kamar hingga membeku, laras senjata tetap diam melayang di udara, Dongfang Ruo pun tak berani melakukan sedikitpun gerakan. Bayangan MATI yang tiba-tiba menyergap dan pertama kali dirasakan dalam hidupnya benar-benar menyelimuti tubuhnya. Dia bahkan tak berani menggunakan kekuatan supernatural untuk menguji, khawatir memicu serang balik yang tak bisa ditanggung. Sementara itu, Jiaming yang berpakaian wanita——yakni Jian Suyan, mengerutkan alis sambil menatap wajah kecil pucat penuh ketakutan itu. Dia sedang merenungkan.
Waktu berlalu menit demi detik...
## Bagian 169 Misteri Sakit Kepala
Perbedaan antara pengguna kekuatan supernatural dengan manusia biasa sebenarnya tidak terlalu mencolok, hal ini sudah lama diketahui Jiaming.
Pergeseran jarak dekat, terbang dalam radius terbatas, menghalangi pandangan secara tiba-tiba, mengubah air menjadi es, mengendalikan api... Serangkaian kekuatan supernatural ini terdengar ajaib. Memang sangat mengejutkan ketika tiba-tiba muncul di depan manusia. Namun bagi Jiaming yang telah menjalani pelatihan khusus, dampaknya bisa diabaikan. Bahkan jika lawan memiliki kekuatan supernatural, bisa dianggap seperti membawa senjata yang cukup kuat. Dengan pertimbangan ini, tetap tidak sulit untuk dilawan.
Oleh karena itu, kecuali menghadapi evolusioner alami yang benar-benar mirip Superman, Jiaming tidak takut melawan pengguna kekuatan supernatural. Pengguna biasa yang telah dilatih memang memiliki satu skill tambahan yang berguna dibanding orang normal. Tapi dirinya memiliki pengalaman lebih kaya dan pelatihan yang lebih ketat, sama sekali tidak kalah.
Setelah mengetahui kabar Dongfang Ruo, berbagai analisis telah dilakukan dalam hatinya. Evolusioner alami mungkin tidak muncul selama ratusan tahun, jadi hipotesis itu bisa diabaikan. Karena [Yan Huang Juexing] mengirimnya untuk menilai dirinya, pastilah dia memiliki kekuatan supernatural tertentu yang cukup untuk menilai tingkat kekuatannya. Kemungkinan terbesar adalah kemampuannya menentukan apakah seseorang memiliki kekuatan supernatural. Karena James Cooke datang untuk menyelidiki evolusioner alami, [Yan Huang Juexing] pasti juga melakukan perhitungan terkait hal ini.
Urusan sendiri paling tahu diri sendiri, Jiaming sangat memahami kondisi yang ada pada dirinya. Karena tidak memiliki kemampuan supernatural, dia tidak takut dengan penyelidikan orang lain. Namun setelah berinteraksi dengan Dongfang Ruo, suatu penemuan tetap menimbulkan kewaspadaannya. Dalam serangkaian percakapan, kepalanya mengalami nyeri sebanyak tiga kali. Dapat disimpulkan bahwa Dongfang Ruo menggunakan kemampuan supernatural terhadapnya, namun ini merupakan fenomena yang tidak logis.
Kemampuan supernatural yang langsung membaca ingatan seseorang, melihat jelas pola pikirnya, menghitung garis sebab-akibat, masa lalu dan masa depannya, hanya mungkin ada dalam novel. Di dunia nyata, kekuatan mental sangat kabur - seperti menyadari garis besar pikiran seseorang, mengkonfirmasi anomali kekuatan spiritual pada fisik seseorang, atau secara intuitif mendeteksi tingkatan kekuatan lawan saat berhadapan... Ini adalah kemampuan supernatural yang mungkin ada. Meski tidak tahu jenis apa yang dikuasai Dongfang Ruo, jika penggunaannya menyebabkan sakit kepala, kemampuan itu justru terkesan konyol. Lebih tepat dikategorikan sebagai serangan daripada deteksi, namun tentu Dongfang Ruo tidak datang untuk membunuhnya. Justru karena rasa penasaran akan sakit kepala ini, Jiaming kembali melakukan pengawasan dan menguji reaksinya.
Jika digunakan sebagai kekuatan serangan, serangan mental yang mendadak ini memang efektif, mampu mengubah bentuk pertempuran di momen kritis. Menurut laporan tadi, dia tidak menemukan apa pun dariku, tapi mengapa sakit kepala terjadi? Dan... ini bukan pertama kalinya. Tahun lalu di Kapal Pesiar Star Dream...
Pada saat di kapal pesiar Star Dream, Yoritomo Taku ditemani seorang pembunuh berkemampuan khusus dengan kode Zihe yang bisa mengaburkan pandangan semua orang dengan kabut ungu dalam sekejap. Saat itu juga pernah muncul rasa pusing sesaat dalam pikiranku, namun efek rasa sakit tersebut justru membuat kesadaran semakin jernih tanpa mengganggu kondisi bertempur. Memori rasa sakit itu tersimpan dalam pikirannya hingga hari ini, baru tiba-tiba muncul situasi serupa.
Di kehidupan sebelumnya juga pernah menghadapi pengguna kekuatan supernatural, namun tak pernah mengalami fenomena seperti ini. Ini membuktikan dirinya hanya bereaksi terhadap kemampuan orang lain. Mengapa bisa demikian? Pengguna kemampuan mental biasanya lebih tajam. Laras senjata yang mengarah ke titik antara alis Dongfang Ruo, dia menunggu mereka melancarkan serangan balik dengan kekuatan supernatural untuk membuktikan fenomena itu sekali lagi. Namun seiring berjalannya waktu, Dongfang Ruo menahan napas dengan susah payah, tak berani melakukan gerakan berlebihan. Bayangan aneh di kepalanya tak pernah muncul lagi sejak awal.
Meski memiliki kemampuan ajaib, ternyata hanya pemula tanpa pelatihan profesional... Situasi deadlock berlangsung lebih dari sepuluh menit. Jiaming mengerutkan kening perlahan menarik kembali laras senjatanya. Pada detik itu, titik antara alis Dongfang Ruo yang dipenuhi ketakutan tiba-tiba mengendur. Meski ekspresinya masih menunjukkan rasa takut, namun sudah jauh lebih tenang.
Dalam kegelapan, dia tetap duduk diam di sana. Hingga beberapa menit kemudian, sepertinya merasakan sosok mengerikan di depannya sudah tidak ada, barulah dia membuka mulutnya dengan hati-hati, menghela napas, lalu menutupi dada dan mulai bernapas dengan tergesa-gesa.
"Huu... Huu... Huu..."
Tubuhnya rebah di ranjang. Dalam kegelapan, tangannya mengeksplorasi dan akhirnya menekan tombol darurat.
Beberapa menit kemudian, termasuk dokter, Lei Xiaoyuan, Dongfang Linghai dan banyak orang berkumpul di kamar ini. Dongfang Wan yang mendengar kabar ingin masuk, tapi diusir ayahnya. Pada dasarnya, dia belum menjadi anggota [].
"Setengah jam lalu Nona Ruoruo membuka pintu kaca balkon. Personel di bawah terus melakukan pengamanan, tapi tidak menemukan orang yang masuk..."
"Gambaran CCTV telah dirusak..."
"Bagaimana dia datang, bagaimana dia pergi, tidak ada yang tahu..."
"Memang pantas orang yang memaksa mundur Raja Pembunuh... Heh, tak terbayang dia perempuan..."
"Ini diskriminasi gender..."
"Dia sedang memberikan peringatan pada kita..."
Dalam bisikan-bisikan kecil, selembar kertas bergambar tulip berpindah tangan di antara kerumunan. Saat orang pertama masuk kamar, kertas ini sudah diletakkan di sofa tepi ranjang. Kini Dongfang Ruo bersandar di kepala ranjang, sambil menyesap minuman obat hitam, menceritakan kembali sensasi saat itu.
“……Aku hanya tahu itu orang yang sangat mengerikan……Duduk di hadapanku, aku merasa setiap saat bisa dibunuh……Sangat menakutkan, seperti pusaran, aku takut bergerak atau bicara. Aku yakin dia tidak sedang menggertak, jika diperlukan, dia akan bertindak kapan saja……Tunggu, sepertinya……Dia meninggalkan sesuatu yang mengerikan di kamar ini……”
Kalimat ini terucap ragu-ragu. Seketika itu juga, seluruh ruangan terjerembab dalam kesunyian yang mencekam. Beberapa pengawal langsung mencabut senjata dari pinggang. Beberapa detik kemudian, seseorang mengangkat kertas di tangannya dengan ragu: "Eh... sesuatu mengerikan, apakah ini? Ini satu-satunya yang dia tinggalkan..."
"Bukan catatan itu..." Meski tak bisa melihat, Dongfang Ruo mampu menunjuk tepat ke arah perbuatan mereka. Ia menggelengkan kepala perlahan, lalu menunjuk ke sebuah lemari pakaian di sudut ruangan. "Sepertinya... di sana..."
Dua pengawal saling pandang. Setelah beberapa saat, mereka membuka pintu lemari dengan hati-hati. Tampak seperti lemari biasa. Saat mereka menyingkirkan pakaian yang tertata rapi, tiba-tiba sebuah objek muncul di hadapan semua orang - penghitung elektronik berkedip merah segar.
"Bom waktu! Sisa... dua menit... Semua cepat pergi!"
"Model tak pernah kulihat sebelumnya, tak bisa dikonfirmasi..."
Seketika villa itu dilanda kepanikan. Dalam riuh teriakan, evakuasi dan upaya peledakan bom berlangsung bersamaan. Namun sebelum semua pergi, seseorang sudah menggotong bom itu keluar. Mengendarai mobil sport melesat bagai terbang, menuju lereng gunung terpencil di belakang.
Dua menit kemudian, dari halaman di sini terlihat, api ledakan dahsyat muncul di tengah hutan dan pegunungan. Sekelompok besar orang hanya bisa terdiam membisu, bisa dibayangkan, jika bom benar-benar meledak di dalam villa, mungkin tidak sampai tiga puluh persen dari orang-orang yang ada di sini sekarang yang bisa selamat.
"Ya Tuhan, apakah dia benar-benar ingin menyatakan perang pada kita?"
"Jika benar-benar ingin MEMBUNUH, dia bisa saja mengatur setting waktu beberapa menit lebih awal. Dari saat dia pergi sampai kami menemukan bom, jarak waktunya sudah terlalu lama..." Mengernyitkan kening, Lei Xiaoyuan menyangkal hipotesis ini, "Ingat peristiwa bom pesawat sebelumnya? Dia sedang memberikan peringatan, kita sudah melewati jalur batas. Tapi ini juga pengakuan terbuka pertamanya bahwa dia memiliki hubungan yang sangat dalam dengan anak bernama Gu Jiaming itu. Hah, calon istri yang dipelihara sejak kecil ya..."
Dongfang Linghai yang berdiri di samping mengangguk sambil tersenyum: "Dengan begini, TULIP dan Nona Jian Suyan yang misterius itu basically bisa disetarakan. Karena ini hanya demonstrasi dan peringatan, masih bisa dianggap sebagai ekspresi niat baik. Investigasi terbuka ke depannya harus dihentikan, kita membutuhkan sekutu seperti ini. Mengingat dia cukup pintar, pada saat yang tepat dia seharusnya akan menghubungi kita."
"Tentu saja, mungkin kita sudah bisa mencoba menghubunginya sekarang?"
"Hmm...hehe, atau mungkin benar-benar layak dicoba?"
Dalam pembicaraan beberapa orang penting, seluruh kompleks keluarga Dongfang masih berada dalam situasi yang agak kacau. Menjelajahi kerumunan orang, Dongfang Wan mencari bayangan yang diharapkannya. Menurut perkataan Kakak tadi, Nona Jian Suyan baru saja datang ke sini, meninggalkan bom seperti itu, kemudian menghilang tanpa suara...
Hebat sekali, di tengah lingkaran orang sebanyak ini bisa masuk dan keluar sesuka hati, bahkan meninggalkan bom... Berjongkok di tepi taman bunga, Dongfang Wan yang lelah mencari menopang dagunya dengan kedua tangan, seperti biasa menunjukkan ekspresi kagum.
Meski pendidikan yang diterimanya selalu mengajarkan untuk mengagumi kekuatan kolektif, tapi jika kemampuan individu bisa mencapai tingkat seperti ini, maka kolektivitas pun jadi tak berarti. Relatif, Gu Jiaming si pemula itu masih jauh belum memenuhi syarat! Calon istri yang dipelihara sejak kecil... Gu Jiaming benar-benar tak tahu malu!
Setelah perasaan kagum berlalu, dendam pun seperti biasa muncul. Menghentakkan kaki di atas rumput, Dongfang Wan mengurus moodnya dan berjalan menuju villa yang mulai tenang. Model baru saja dihancurkan, untuk membuktikan dirinya lebih hebat darinya, masih banyak hal yang harus dia lakukan.
## Bagian Keseratus Tujuh Puluh Konflik
Bagi sebagian orang, ketika merasa tidak puas dengan kehidupan saat ini, sering teringat masa lalu yang indah dan sederhana. Ingin mengubah segalanya sekarang, membuat masa depan lebih teratur dan tertata, menjadi sehat dan sempurna. Yahan adalah salah satunya.
Menyadari ketidaknormalan perasaan kasmaran diam-diam terhadap Jiaming, meski tak bisa dilupakan dalam waktu singkat, ia berharap dapat menghadapi masa sulit ini dengan kehidupan yang lebih teratur. Membaca, berolahraga, bekerja... Segalanya harus berjalan sesuai jadwal yang telah diatur, membuat diri tak lagi punya kesempatan memikirkan hal-hal menyedihkan yang membuatnya ingin menangis.
Waktu dimulai sejak malam itu. Pulang sekolah ke villa sepi, makanan disiapkan sesuai standar nutrisi ketat - tidak mewah tapi juga tidak sederhana. Setelah makan menyalakan TV, merapikan kamar, bergerak sambil mencerna makanan, lalu mandi. Di kamar melakukan yoga satu jam dengan iringan musik lembut, mandi lagi, menangani urusan sekolah, duduk di ranjang membaca buku lama yang sudah lama tak tersentuh, jam 11 tepat mematikan lampu dan tidur.
Bergulat di ranjang setelah lampu padam，esok pagi bangun dengan alarm saat fajar merekah. Sarapan di luar kampus sebelum masuk. Di kantor menaruh barang-barang, ia mengambil buku sketsa yang lama tak terpakai menuju pendopo tertinggi di lereng gunung terpencil belakang kampus. Dari sini pemandangan luar kampus terlihat jelas dari ketinggian.
Cahaya keemasan fajar memancar dari langit timur, di bawah pandangan terhampar jalanan dan rumah-rumah berjejer rapat. Di gang kecil, pintu kamar mulai terbuka. Di atap gedung terlihat penghuni pria-wanita sedang gosok gigi. Pedagang mendorong gerobak jajanan pagi yang masih mengepul. Di pasar sayur para pedagang sudah siap, tawar-menawar dengan ibu rumah tangga yang keluar pagi-pagi. Para mahasiswa dengan tas sekolah di punggung sudah berjalan keluar gerbang, berkelompok kecil saling berseru dan berlarian.
Ini pernah menjadi pemandangan favorit Yahan. Gang kecil menyusup masuk di sisi pandangan ini, melintasi belakang ratusan kamar, kadang muncul kadang menghilang. Deretan rumah saling menghadang wujud lengkap masing-masing. Kau mustahil melihat seluruh sisi rumah sekaligus - di baliknya tersembunyi atap gedung rumah lain, jendela keluarga berbeda. Terkadang terlihat bayangan orang berjalan, bunga di jendela atau lansia yang menyiram tanaman. Tapi sejenak kemudian Dia kembali ke dalam kamar. Pemandangan ini sangat membangkitkan imajinasi orang: membayangkan kehidupan manusia, pengalaman mereka, urusan sepele mereka, seolah memimpikan masa depan sendiri. Dan karena ini pagi hari, segalanya terasa penuh semangat dan menyegarkan hati.
Namun bagaimanapun, kuas di buku sketsa berhenti dan pergi, di sekitar pendopo sesekali ada staf sekolah yang lewat saat olahraga pagi. Pada suatu saat, akhirnya dia menghentikan gerakan di tangannya, karena di salah satu sudut pandang tersebut terdapat kamar tempat tinggal Jiaming, Lingjing, dan Shasha. Ketika tiga sosok kecil itu keluar dengan akrab dari kamar, dia mencoba pura-pura tidak melihat, tapi akhirnya tidak bisa. Menutup buku sketsa, dia duduk diam di pendopo sebentar, sampai tiga bayangan itu meninggalkan pandangannya. Dalam perjalanan, Jiaming sepertinya menoleh sekali lagi, tapi jarak vertikal di sini mencapai ratusan meter, dia tidak yakin dia bisa melihatnya.
Mereka bertiga tinggal bersama...
Mood hari ini hancur, tapi tidak masalah. Lambat laun dia akan mengatasi kesedihan ini. Dia memutuskan hari ini tidak akan pergi ke Area pengajaran, agar tidak melihatnya lagi dan membuatnya datang mengajak ngobrol. Jika waktu bisa mengikis cinta sejati, tentu juga bisa mengikis persahabatan yang belum jelas posisinya antara mereka berdua. Harus membuatnya mengerti tekadnya, lalu secara alami memudarkan persahabatan. Dia bukanlah orang kuat yang bisa berteman jika tidak bisa mencintai. Pengecut atau burung unta sekalipun, ini satu-satunya cara menghadapi situasi ini.
Tapi Tuhan sepertinya tidak ingin mengabulkan rencananya. Saat meninggalkan kantor di pelajaran kedua pagi hari, melewati pintu bagian administrasi, tiba-tiba mendengar obrolan riuh dari dalam.
“Gu Jiaming ya... mahasiswa bermasalah kan. Perkelahian waktu masuk kuliah tahun lalu itu... Hehe, aku masih ingat sampai sekarang. Bu Guru Jin, kan kamu wali kelasnya? Bagaimana kabarnya?”
Di dalam hati sudah menyiapkan pertahanan, namun saat mendengar orang menyebut nama Gu Jiaming, bawah sadarnya membuatnya berhenti. Di ruang administrasi yang luas, sekelompok guru sedang mengobrol, di antaranya mengejutkan ada Xu Mo. Yang pertama kali menyebut nama Jiaming pun memang dia.
“Gu Jiaming sih, tidak punya eksistensi mencolok. Di kelas sering tidur, nilai basically lulus sih tidak masalah, tapi selalu tidak bisa dapat nilai tinggi. Yang paling unik, dia setiap Senin, Rabu, Jumat pasti izin bolos satu jam pelajaran. Hehe, kalau dicari biasa dia sopan sekali, 'Selamat pagi Bu Guru', tapi apapun yang dilarang, begitu balik badan langsung dilanggarnya. Pokoknya aku tidak bisa berbuat apa-apa...”
“Kok bisa begitu? Itu keterlaluan sekali...” Seorang guru berteriak kaget.
“Ha, tidak ada cara. Kalian juga tahu, meski marga Gu, dia tetap bagian dari keluarga Huang. Waktu kunjungan rumah pernah dibahas masalah ini. Katanya orang tuanya sudah meninggal, jadi para tetua keluarga Huang juga tidak terlalu memperhatikannya. Kurang perhatian dan didikan, jadilah karakternya aneh dan penyendiri begini.”
“Sebenarnya keluarga Huang memang tidak peduli padanya... Menurut kabar yang kudengar...”
“Anak kecil dengan karakter seperti ini baru pertama kali kulihat.”
Seorang guru lain tertawa: “Tapi, justru karakter seperti ini mungkin lebih disukai cewek-cewek nanti. Bukannya sekarang masyarakat selalu bilang, pria tidak jahat, wanita tidak cinta?”
“Masa sih.” Seorang bu guru lain membantah sambil tersenyum.
"Guru Jin itu tersenyum: 'Bisa jadi memang begitu. Tahukah kalian? Lebih dari setengah PR-nya dikerjakan oleh teman sekelas perempuan yang duduk di sebelahnya.'"
"'Teman sebelahnya? Siswa Jepang yang bernama Tsukike Kaoru itu?'" Semua guru yang pernah mengajar di kelas 10-6 jelas masih ingat jelas kecantikan Kaoru.
"'Tidak mungkin!'"
"'Kenapa tidak mungkin? PR-nya hari ini ada di sini, aku akan cari lalu bandingkan dengan punya Tsukike...'" Untuk membuktikan beritanya menarik, Bu Guru Zhang dengan semangat mencari-cari buku tugas. Beberapa menit kemudian, dia membawa dua buku tugas dan mulai memperlihatkannya ke sekitar.
"'Ben-benar nyata...'"
"'Anak laki-laki tidak mungkin bisa menulis dengan kaligrafi secantik ini, apalagi masih ada jejak karakter Jepang...'"
"'Bagaimana bisa begini...'"
"'Dalam rapat terakhir kan disepakati harus memberi hukuman ke beberapa kasus percontohan? Menurutku...'"
"'Iya, perilakunya memang selalu bermasalah...'"
Sulit dianalisis apa alasan sebenarnya. Setelah memutar buku tugas itu, sekelompok guru mulai membahas. Namun Bu Guru Jin hanya menggelengkan kepala: "Tidak bisa, ini kurang tepat. Bagaimanapun, status anak-anak dari keluarga-keluarga itu cukup sensitif. Selama dia belum melakukan hal yang benar-benar melampaui batas... Lagipula, Bu Guru Zhang yang paling sering menegur Gu Jiaming ini. Setiap kali ditegur, dia selalu bilang 'Maaf Bu Guru, saya tidak berani lagi', tapi kemudian mengulangi lagi..."
"'Katanya... Bu Guru Zhang dan dia adalah kakak-beradik seperguruan dari perguruan silat yang sama... Hmm, ada yang bilang begitu.'"
"'Ah, Bu Guru Zhang... Tidak mungkin sampai nepotisme seperti itu kan...'"
“Di dalam riuh rendah, Yahan diam-diam berbalik pergi. Xu Mo menoleh sejenak, seolah melihat bayangan di hatinya. Saat mengejar keluar, tak ada seorang pun terlihat.”
“Sambil memikirkan komentar orang-orang tentang Jiaming, dia naik ke gedung sekolah seberang. Saat tiba di lantai dua, tak tahan melirik ke kelas 10-6. Kaoru yang anggun sedang mencatat, sementara Jiaming di bagian dalam seperti biasa tertidur di meja. Melihat posisi tidur yang menyakitkan itu, rasa kecewa tiba-tiba menyergap hati Yahan. Menjelang akhir pelajaran, guru telah menyelesaikan materi dan memberi dua soal latihan. Tanpa disadari, dia masuk ke dalam kelas.”
“Gu Jiaming, sudah cukup tidurmu?”
“Jika dihitung berdasarkan waktu tidur remaja pada umumnya, sebenarnya Jiaming masih kurang tidur.”
“Setelah menyelesaikan peringatan untuk [] kemarin malam, dia menemukan beberapa hal rumit. Karena terburu-buru, dia mengumpulkan intelijen dan data sendirian hingga subuh. Dalam hal ini prinsipnya adalah sedia payung sebelum hujan. Meski begadang semalaman bukan masalah besar bagi energinya yang masih prima, begitu tiba di sekolah tentu harus segera menebus tidur. Sambil terus melakukan analisis situasi dalam hati, tidur yang tak nyenyak itu akhirnya terpaksa terputus.”
“Tidur di waktu kelas, sudah diberi peringatan berkali-kali tidak berubah. Aku masih bisa memaklumi kau menyuruh orang lain menyalin catatan, tapi kau bahkan menyuruh mereka mengerjakan PR-mu! Apa dia bisa membantumu seumur hidup……” Entah mengapa, sejak mengetahui Jiaming tinggal bersama Lingjing dan Shasha, sekarang Yahan merasa hubungannya dengan Kaoru mungkin juga tidak jelas. Kali ini kebencian terpendam di hatinya semakin menjadi-jadi.
“Maaf Guru, lain kali saya tidak berani lagi……”
“Setiap kali hanya omongan ini saja. Besok serahkan hasil pemeriksaan padaku.”
“Baik……”
“Dan……setiap hari setelah pulang sekolah, bersihkan kantor administrasi akademik selama seminggu!”
“Eh……” Terdiam memandangi Yahan, namun dia sudah lebih dulu berbalik badan meninggalkan kelas. Di bawah pandangan sinis seluruh kelas, Jiaming mengejarnya: “Eh, Guru……saya bermasalah……”
“Selasa dan Kamis tidak masalah, tapi hari ini Rabu. Saya harus izin……” Masih dalam jam pelajaran, tangga kosong. Jiaming mengikuti Yahan dari belakang, tahu dia masih emosi, tidak berani menggunakan nada yang terlalu akrab.
“Aku tidak mau dengar alasan!”
“Eh……itu……” Jiaming menghela napas, “Aku dan Lingjing bergantian masak di rumah, sehari sekali. Hari ini benar-benar tidak bisa, aku tidak akan membersihkan……”
Mendengar pengakuan jujur Jiaming, hati Yahan kembali perih. Kau dan dia bergantian masak, hidup bersama, naik ranjang bersama. Kau tahu berapa banyak hal yang kututupi untukmu? Kau tahu bagaimana orang-orang membicaraiku di belakang……Dengan menyambar bibir bawahnya, Yahan berjalan cepat meninggalkannya.
“Coba kau tidak bersihkan!”
“Kau tahu diriku, kau sedang cari gara-gara……”
“Aku memang cari gara-gara, Bunuh aku lah……”
Cahaya matahari terang benderang, menerangi dua bayangan yang teguh di rumput hijau depan kelas……
Sejak pagi ini, perut Shāshā mulai terasa nyeri. Haidnya sudah lewat beberapa hari, dan kondisi tubuhnya selalu baik, seharusnya tidak ada situasi seperti ini.
Mungkin karena terlalu sering bangun tengah malam kemarin……
Sejak mengetahui sisi tersirat Jiaming, kadang saat dia pergi malam dan tak pulang, dia dan Lingjing bisa memahaminya. Tentu memahami adalah hal lain, kekhawatiran di hati tetap ada. Domain yang Jiaming tekuni adalah dunia lain yang setiap saat bisa menghadapi pisau dan senjata, menghadapi hidup dan MATI. Seringkali mereka menganggap itu seperti maya. Tapi setiap kali Jiaming pergi dengan misterius, berbagai spekulasi perlahan muncul di hati, membawa ketakutan besar bagi mereka berdua.
Suatu malam, dia bercanda pada Lingjing bahwa Jiaming selalu pergi tanpa memberi tahu urusannya, jangan-jangan dia menyembunyikan pertemuan dengan kekasih. Mungkin Kaoru, mungkin juga MM cantik lainnya. Jawaban Lingjing adalah: Lebih baik dia benar-benar menemui kekasih, setidaknya tidak berbahaya.
Relatif terhadap kemungkinan Jiaming MATI di luar, mereka lebih memilih menerima kenyataan Jiaming pergi menemani wanita lain.
Tentu, meski begitu bicara, jika Jiaming benar-benar menemani wanita lain, dia dan Lingjing jelas tidak akan menerimanya dengan lapang dada.
"Karena alasan ini, meski tidak diucapkan terang-terangan, semalam Shasha turun dari ranjang lebih dari belasan kali untuk minum, mungkin inilah yang menyebabkan dia masuk angin. Saat pelajaran terakhir nanti sore, dia sudah meminta izin untuk pulang, berencana minum obat sambil membantu Jiaming mempersiapkan makanan."
"Melewati persimpangan jalan, tampaknya konflik kembali terjadi. Orang-orang dari geng Yong Sheng sedang berhadapan dengan warga setempat dalam skala besar. Kali ini kemarahan kedua pihak tampak memuncak, sepertinya pertempuran sungguhan akan pecah. Warga yang berkumpul semakin emosional, sementara anggota geng Yong Sheng terus berdatangan dan berkumpul, praktis memblokir seluruh persimpangan."
"Ayo, berani-beraninya kau tebas aku! Jangan kira kami takut..."
"Jangan lancang! Sial! Awas kubunuh seluruh keluargamu..."
"Berani maju ke sini!"
"Kau kira aku tidak berani?"
"Di pusat konflik, Ah Shui dan kawanan masih menjadi garda depan. Sebagian membawa senjata seperti tongkat kayu, berteriak-teriak. Adegan seperti ini sudah biasa bagi Shasha. Setelah saling hujat beberapa menit, biasanya aksi fisik akan dimulai. Tidak ingin terlibat, dia menyusuri tepi jalan sambil menerobos kerumunan. Saat hendak menyeberang ke sisi warga, seorang nenek yang sedang membereskan lapak tiba-tiba dirobohkan di tengah keramaian. Shasha terhenti, lalu berlari membantu. Tanpa disadarinya, beberapa orang dalam kerumunan saling memberi kode tatapan saat melihatnya mendekat."
"Jalan nggak lihat-lihat ya..."
"Dorong-dorongan apa lagi? Cepetan pergi! Nggak liat mau ada perkelahian?"
“Beberapa benda jatuh ke tanah. Sang nenek ingin mengambilnya, tapi didorong oleh seseorang, lalu kakinya ditendang hingga gerobaknya terbalik. Saat orang lain hendak menyerang, Shasha sudah berlari kencang menghampiri, mendorongnya: "Kalian ngapain! Nenek saja kalian ganggu!"
“Ganggu kau juga gapapa!”
Melihat ada yang mulai beraksi, pria yang didorong itu mengangkat tongkat di tangannya dan menghantam. Pergelangan tangannya dipotong Shasha lalu ditendang hingga mundur. Bersamaan itu, beberapa orang di sekitarnya mulai mengeroyok...
Lebih dari sepuluh menit kemudian, Jiaming melintas sambil mengulum lolipop pemberian Lingjing. Dalam pandangannya, keributan sudah tak terkendali.
Sejujurnya, moodnya sedang sedikit kesal karena setelah pulang sekolah harus membersihkan ruang guru — sekarang dia sudah di rumah, mustahil untuk kembali.
Situasinya jelas: Yahan sedang cari gara-gara. Tapi dia tak bisa berbuat apa — memukul atau membunuhnya? Jika persahabatan semudah itu, mungkin maknanya sudah hilang. Saat Lingjing dan Shasha sedang PMS pun kadang mereka rewel, tetap saja dia tak bisa berbuat apa-apa.
Puluhan orang berkejar-kejaran dalam radius blok jalan, membuat keributan yang tak terkendali. Pejalan kaki dan mobil sudah menjauh. Namun adegan spektakuler ini terlihat agak menggelikan di mata Jiaming. Ia menghela napas dan menerobos kerumunan. "Berantemlah, berantemlah, lebih baik semua MATI." Tapi di tengah jalan, seseorang berlari mendekatinya - itu Kak Shui dengan luka di tangan dan ekspresi panik.
"Aming, kau tunggu……"
"Ada apa, Kak Shui?"
"Ini Shasha. Dia terluka tadi, sekarang sudah diantar ambulans ke rumah sakit. Ah, awas——"
BYUR! Sebatang tongkat kayu menghantam punggung Jiaming hingga patah dua. Penyerangnya terlempar ke belakang, darah dan gigi berhamburan. Kepalan kanan Jiaming yang refleks menyambar ditarik kembali secepat kilat: "Kau bilang apa?" Lolipop jatuh dari mulutnya ke lantai.
"Eh, itu… jangan terlalu khawatir…" Kak Shui terbata-bata menatap tatapan Jiaming yang tiba-tiba menyeramkan, "Shasha cuma kena di tangan, tidak parah. Dia… eh, dia sakit perut……"
## Bagian ke-171 Suasana Mencekam
"Jadi… dia tiba-tiba ambruk?"
Di dalam kamar, James melambaikan jarinya dua kali. Tatapannya yang dingin seperti embun beku menyapu dua orang di depannya. Keduanya saling pandang, lalu salah satunya membuka mulut dengan canggung.
“Hmm, karena... Tuan James pernah bilang mungkin bisa menculiknya kembali, tapi tidak boleh melukainya. Kami khawatir kalau dia benar-benar sakit dan terlambat ditangani... Tenang saja, seharusnya dia tidak menyadari maksud kami...”
“Tapi aku tidak pernah bilang untuk bertindak sekarang.”
“Err... Kami pikir, itu... Kami pikir, setelah mengamati sekian lama tanpa hasil...”
Dengan tatapan dingin memandang wajah kedua orang itu, James menyesuaikan kacamata kawat emas di hidungnya. Beberapa saat kemudian, bibirnya baru menampakkan senyum tipis: “Hmm, sudahlah. Terima kasih, kalian tidak diperlukan lagi.”
Saat mundur dari kamar, kegelapan malam sudah menyelimuti Jianghai. Di bawah cahaya lampu, mereka saling memandang dan melihat keringat dingin di dahi masing-masing.
“Ya Tuhan, tatapan matanya saat bilang 'kalian tidak diperlukan lagi' tadi, kukira dia akan membunuhku...”
“Aku juga...”
Masih menunjukkan ketakutan sambil menggelengkan kepala. Pria asing ini tampak sopan dan ramah, sangat dermawan pada bawahannya. Tapi tak ada yang lupa, minggu lalu seorang ketua cabang yang suka cari masalah memberi sindiran pedas pada "orang baru yang berpengaruh" ini. Situasi memanas menjadi perkelahian, dan James sendirian berhasil melumpuhkan belasan algojo terkuat guild hingga memenuhi halaman, semua dengan patah tulang sendi tangan dan kaki. Hari itu klinik pribadi guild kewalahan, dan saat itulah semua orang menyadari tipe pria yang tidak main-main ketika bertindak.
Setelah sedikit menenangkan diri, keduanya kemudian menuju ke kamar Ketua Perkumpulan Li Yong Sheng.
Perintah untuk menangkap Liu Huaisha dengan damai sebenarnya bukan berasal dari James. Yang selalu memberi perintah sebenarnya adalah Li Yong Sheng sebagai Ketua Perkumpulan.
Terkait persaingan kekuasaan dan intrik politik, semua akar permasalahan ini sebenarnya bisa dilacak hingga lebih dari setengah bulan yang lalu.
James Cook yang tiba di Yong Sheng Bang awalnya mengaku sebagai peneliti biasa dari lembaga penelitian genetika Amerika, berteman dengan Li Ming putra Li Yong Sheng. Karena tertarik pada foto pembunuhan di malam hujan itu, ia memutuskan tinggal untuk merancang strategi bagi Yong Sheng Bang. Namun seiring waktu, Li Yong Sheng mulai menyadari bahwa situasi sebenarnya mungkin jauh lebih rumit dari yang dikira.
"...Setelah melakukan investigasi mendetail terhadap warga Jalan Xinghua, ditemukan nama yang cukup sensitif. Nona Liu Huaisha yang menyewa kamar di sana, saat ini bersekolah di kelas 10 Akademi Hati Kudus. Ayahnya Liu Zheng tak lain adalah pemimpin Shazhu Bang Jianghai. Berdasarkan analisis petunjuk ini, Tuan Li, insiden di Jalan Xinghua kemungkinan besar adalah sabotase diam-diam dari musuhmu Shazhu Bang. Jika Shazhu Bang sudah memiliki ahli selevel ini, situasi yang Tuan hadapi mungkin sangat rumit..."
Setelah 2 hari melakukan investigasi, informasi pertama yang dilaporkan James*Cook kepada Li Yong Sheng adalah keterlibatan Shazhu Bang dalam hal ini. Jika mengikuti gaya khas Yong Sheng Bang, kemungkinan besar mereka akan segera memilih menculik Liu Huaisha sebagai sandera. Meskipun saat ini belum bisa menentukan pemenang sebenarnya melawan Shazhu Bang, dan harus mematuhi kode etik dunia persilatan bahwa "bencana tidak boleh menimpa istri dan anak", tetapi memberikan peringatan tertentu kepada Liu Zheng tetap bisa dilakukan. Namun menurut James, karena ada ahli misterius di pihak lawan, kita tidak boleh bertindak gegabah. Untuk menyelidiki kondisi sebenarnya lawan, Li Yong Sheng meminta mereka mengatur beberapa orang untuk investigasi dan pengawasan. Sejak saat itulah, situasi mulai terasa tidak beres.
Teknik James terlalu terampil, pengaturannya terlalu profesional. Selain itu, tingkat perhatiannya terhadap masalah ini sepertinya melebihi batas sekadar ketertarikan biasa. Dia mengajarkan metode pengawasan dasar pada kelompok ini, membeli perangkat pengawasan canggih dengan uang sendiri, sementara uang saku yang diberikan secara casual pada anggota geng yang membantunya bekerja mencapai angka astronomi ribuan hingga puluhan ribu. Untuk apa orang-orang berkecimpung di dunia bawah? Tentu saja untuk mencari uang. Perilaku kaya dan bermodal kuat ini dengan cepat menjadikannya pusat perhatian di Yong Sheng Bang.
"Mampu berkecimpung di dunia hitam Kota Jianghai selama setengah hidup dan mencapai posisi saat ini, Li Yong Sheng tentu bukan sekadar pemula. Perilaku James segera membuatnya menyadari bahwa di balik orang ini mungkin ada pihak pendukung yang sangat besar, sejak awal mendekatinya hanya untuk memanfaatkan Yong Sheng Bang demi tujuannya. Karena situasi ini, dia tidak khawatir mereka berniat merebut Yong Sheng Bang. Mengingat putri Liu Zheng memiliki keterkaitan besar dalam hal yang sedang diselidiki James, sementara James memanfaatkannya, dia juga merencanakan menggunakan kekuatan mereka untuk memusnahkan lawan yaitu Shazhu Bang.
Namun yang membuat Li Yong Sheng heran, meski sebelumnya sudah dibahas kemungkinan perlu menculik Liu Huaisha, James terus menunda operasi resmi dan lebih menekankan "musuh dalam kegelapan". Lama-kelamaan, Li Yong Sheng mulai khawatir jika ternyata tidak ada orang yang dicari James di belakang Liu Huaisha, usahanya akan sia-sia. Karena itu, diam-diam dia menyuruh dua bawahannya untuk menculik Liu Huaisha guna memicu konflik lebih cepat.
Tapi saat itu dia sama sekali tidak menyangka, perhitungan liciknya ini akhirnya akan menghasilkan akhir seperti apa...
"...Apa? Gadis bernama Liu Huaisha itu kena pukulan? Masuk rumah sakit?"
“Benar. Dua anggota Yong Sheng sepertinya merencanakan penculikan. Kami sempat ingin menghentikan, tapi sebelum sempat mendekat, gadis itu sudah memegangi perut dan terjatuh. Kedua anggota geng itu langsung urungkan niat penculikan, mungkin karena sebelumnya sudah dapat perintah untuk tidak benar-benar melukainya...”
Dalam kehidupan gadis itu, mungkin hanya kecelakaan sederhana. Tapi setelah kejadian, beberapa tokoh penting langsung tersentak secara bersamaan, kemudian berkembang menjadi pembukaan peristiwa besar yang menggemparkan dunia. Andai Shasha tahu, entah apakah dia akan merasa terhormat lalu menganggapnya sebagai pencapaian terbesar seumur hidup. Pada senja yang mulai tiba ini, di villa keluarga Dongfang, Lei Xiaoyuan dan Dongfang Linghai menerima laporan dari bawah sambil terdiam beberapa detik, merenungkan dampak lanjutan peristiwa ini.
“Lalu... Bagaimana kondisi gadis itu sekarang?”
“Katanya sakit perut parah, langsung dibawa ke ruang operasi saat sampai rumah sakit. Saat ini masih dalam operasi darurat. Karena tidak ada personel kita di rumah sakit itu, mungkin sulit dapat info lebih lanjut sebelum dokter keluar dari ruang operasi. Tapi... Sepertinya tidak ada hubungan dengan pukulan anggota Yong Sheng, mungkin memang penyakit bawaan gadis itu...”
“Baik... Kalian tetap di rumah sakit. Saya harus tahu kabar terbaru tentang gadis itu secepatnya.”
Meletakkan telepon, Lei Xiaoyuan dan Dongfang Linghai saling memandang sebelum akhirnya tersenyum getir. Dongfang Linghai menggeleng: “Ini masalah besar. Lebih baik gadis itu diculik lalu tim kita yang menyelamatkannya, justru lebih mudah menyelesaikannya...”
Lei Xiaoyuan mengangguk: "Hmm, TULIP terlalu sensitif. Penyelidikan kita bahkan belum dimulai, dia sudah memasang bom waktu sebagai peringatan. Sekarang ada yang benar-benar menginjak kepalanya... Siapa yang bisa memberitahuku situasi apa yang menyebabkan perempuan muda mengalami sakit perut parah? Jangan-jangan cuma kram menstruasi? Istriku juga sering mengalaminya..."
"A-Mei pernah mengalami kehamilan ektopik, sebelum mengandung Xiao Lu..." Dongfang Linghai mengangkat bahu, bertatapan dengan Lei Xiaoyuan selama dua detik, "Tahun itu usianya tujuh belas, aku delapan belas, masih muda dan naif. Dia hampir MATI... Bagaimana? Apakah terlihat mirip dengan Gu Jiaming sekarang? Tapi dia lebih hebat dariku, aku jarang melihat Baron yang bisa hidup harmonis dengan dua gadis sampai tingkat seperti ini..."
"Kehamilan ektopik... Kau selalu memilih hal paling berbahaya untuk diceritakan." Lei Xiaoyuan menggeleng sambil tertawa pahit, "Jika gadis itu malam ini mengalami masalah, Kota Jianghai mungkin akan menjadi sungai darah. Jika hari ini selamat, besok ketika orang tahu dia dipukul dengan tongkat, konsekuensinya tetap sama buruknya. Dampak hal seperti ini terlalu merusak..." Dia berhenti sejenak, "Lagipula sejak datang kesini, semuanya sudah dipersiapkan. Mari lakukan hari ini juga. Aku akan menghubungi Fang Zhitian."
Dongfang Linghai mengangguk: "OK, aku akan mengerahkan anggota organisasi dan menghubungi pasukan polisi. Awalnya kukira dengan pengawasan ketat kita bisa menunda reshuffle beberapa hari lagi, tapi geng Yong Sheng kali ini... benar-benar mencari masalah sendiri..."
Setengah jam kemudian, halaman Markas Besar Polisi Kota Jianghai diterangi lampu terang. Dengan bunyi alarm pengumpulan, ratusan polisi bersenjata lengkap berkumpul di lapangan besar depan. Puluhan truk besar sudah siap berangkat, memancarkan aura khidmat yang mencekam. Warga yang melintas di pinggir jalan depan terus melirik penasaran.
"Ada apa? Kerusuhan di mana?"
"Latihan kali ya?"
"Dua tahun lalu saat penertiban ketat juga ada adegan spektakuler seperti ini..."
"Kali ini tidak ada kabar, penertiban... itu kan cuma pertunjukan buat atasan setelah ada kejadian. Kayaknya sih latihan..."
Di saat bersamaan, di Kantor Polisi Kota Jianghai yang terpisah dua blok jalan, polwan Mu Qingqing yang menerima perintah darurat sudah tiba. Bersama rekan-rekan yang sama-sama bingung, mereka bergegas ke ruang rapat besar. Di depan ruangan, kepala dinas botak itu membersihkan debu di topi polisinya sambil mengerutkan alis.
“Karena semua sudah hadir, langsung ke intinya. Mulai sekarang serahkan semua alat komunikasi kalian, awasi satu sama lain jangan sampai ada kebocoran rahasia. Ini bukan latihan. Hari ini kita bekerja sama dengan polisi untuk operasi penangkapan geng kriminal besar Yong Sheng Bang. Semua anggota yang teridentifikasi harus ditangkap, terutama pemimpin pasukan ke atas nanti akan diusahakan untuk dihukum. Intinya setelah operasi ini, nama Yong Sheng Bang tidak boleh lagi eksis di Kota Jianghai... Saya ulangi ini bukan latihan apalagi lelucon. Jangan bicara keseimbangan, atasan sudah punya persiapan. Perintah ini katanya datang langsung dari Biro Keamanan Nasional melalui tingkat tertinggi. Jika kita gagal, mereka bahkan berhak mengerahkan tentara. Cukup bicara, operasi dimulai...”
Pidato panjang itu membuat semua orang terdiam sejenak. Mereka yang paham dinamika operasi rutin pemberantasan geng kriminal tahu mustahil membersihkan sampai tuntas. Sebagai salah satu dari tiga geng besar di Jianghai, hilangnya Yong Sheng Bang secara tiba-tiba sebenarnya bukan hal baik. Siapa sangka setelah bertahun-tahun hanya menyerang kelompok kecil di pinggiran, kini tiba-tiba ada perintah rahasia untuk pembersihan total. Apalagi Yong Sheng Bang yang sudah lama eksis punya jaringan koneksi yang rumit dengan kepolisian. Jika kasus ini ditelusuri sampai tuntas, dampaknya akan memengaruhi naik-turunnya banyak karir.
Seperti pertanda datangnya badai, aksi mendadak [] yang bagai petir membuat separuh Kota Jianghai tercekam dalam suasana mencekam. Di saat yang sama, Lingjing yang mendapat kabar buru-buru tiba di rumah sakit dengan tas sekolah masih tergantung di pundak. Jiaming duduk tenang di depan ruang operasi sambil menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya.
Di sisi lain, di lorong gelap kantor administrasi Akademi Hati Kudus, Yahan duduk diam di pintu sambil menunggu siswa yang dihukum datang membersihkan...
## Bagian Seratus Tujuh Puluh Dua Pesta Dansa Dimulai
Begitu lampu "Sedang Operasi" padam, dokter wanita paruh baya bernama "Kepala Bagian Duan Jingxian" yang pertama keluar sambil melepas masker. Memeluk Lingjing yang berlari sambil berkaca-kaca, ia terkejut melihat Liu Zheng beserta belasan lelaki berwajah sangar memadati terowongan depan. Beberapa masih berteriak "Biar kami yang menghabisi dia...". Dokter itu kemudian tersenyum kecut.
"Wah, kenapa pada datang semua? Pak Liu, Jiaming, Lingjing... Sebenarnya Shasha..."
"Ibu, bagaimana keadaan Shasha?" Sebelum kalimat selesai, Lingjing sudah terisak. "Aku telepon Paman Liu karena dengar Shasha dipukuli..."
Liu Zheng juga terlihat cemas ingin berbicara, Ibu Ye mengangguk dan lebih dulu berkata: "Huh, cuma usus buntu akut, tidak bermasalah besar, di tangan... Hmm, memang ada sedikit luka di tangan, tapi cuma lebam sepotong. Tuan Liu, menurutmu apakah lebih baik orang-orangmu minggir dulu, karena rekan kerja saya sulit lewat..."
Anak-anak dari kedua keluarga dekat seperti saudari, sehingga Liu Zheng pernah mengunjungi Dojo Keluarga Ye dengan membawa hadiah, sempat bertemu Ye Han dan Duan Jingxian. Tapi Liu Zheng bukan pria kekar tanpa kesadaran diri, paham keluarga Ye pasti enggan berhubungan dengan geng kriminal, dan ia sendiri berharap putrinya bisa terpengaruh oleh keluarga baik seperti ini. Sejak itu ia tak pernah mengambil inisiatif menghubungi. Mendengar perkataan Duan Jingxian, Liu Zheng segera mengayunkan tangan, menyuruh sekelompok orang di belakangnya minggir. Beberapa dokter dan perawat di belakang Duan Jingxian segera berjalan melewati, pandangan mereka masih penuh keraguan: Kenapa kepala departemen ini punya hubungan dengan orang-orang Jalan Hitam?
"Hehe, waktu terima telepon sekelompok orang sedang makan, lalu tanpa basa-basi langsung datang, maaf, maaf... Kalian minggir sedikit, jangan merepotkan dokter..."
Di sisi lain, pandangan Jiaming tetap tenang, meski bahunya sedikit melorot—mungkin hanya orang dekat seperti Lingjing yang bisa melihat ketegangan dan relaksasinya. Setelah menarik napas lega di samping ibunya, Lingjing menoleh sambil menjulurkan lidahnya dengan rasa bersalah. Di hadapan Duan Jingxian, keduanya tak bisa sepenuhnya jujur. Baru saja mereka berbisik-bisik dengan tegang, menduga-duga apakah ini kasus keguguran atau kehamilan ektopik yang darurat. Alasan Lingjing bersikeras menghubungi Liu Zheng juga karena tahu Jiaming sedang menyelidiki Yong Sheng, khawatir dia langsung MEMBUNUH. Meski sudah lama tahu kemampuan Jiaming, dari sudut pandang wanita, hal berbahaya sebaiknya tak melibatkan pria mereka.
Operasi usus buntu dengan bius membuat Shasha masih tertidur, ciuman Pangeran Jiaming maupun Lingjing takkan membangunkannya lebih cepat. Duan Jingxian mengobrol dengan Liu Zheng sambil menyajikan nasi kotak untuk mengganjal perut dua anak yang belum makan malam. Di kantor kepala departemen, Jiaming baru ingat menelepon rumah Yahan. Meski awalnya tak berniat menyapu, alasan logis ini patut diberitahukan. Sayangnya, setelah beberapa kali mencoba, tak ada yang mengangkat.
"Kakak Yahan menghukummu menyapu kantor akademik?" Lingjing bertanya sambil menyuap nasi pelan-pelan, matanya membelalak.
"Hmm... Entah kenapa dia selalu menyusahkanku sejak dulu..." Jiaming mengangkat bahu.
“Mana ada, Kakak Yahan begitu baik padamu, kau masih membicarakan keburukannya. Masalah kali ini... eh...” Tahu alasan Kakak Yahan tiba-tiba berubah aneh beberapa hari ini adalah karena mengetahui mereka bertiga tinggal bersama, Lingjing dengan gugup melirik ibu dan Paman Liu yang sedang berbincang di depan, beberapa saat kemudian berkata: “Ngomong-ngomong. Jangan-jangan Kakak Yahan sedang menunggumu di ruang guru... Ada telepon ruang guru di tasku, tunggu sebentar.”
“Jangan, tidak perlu...” Jiaming tersenyum menghentikannya, “Kapan kau lihat guru menghukum mahasiswa malah sengaja kerja ekstra untuk diri sendiri, mustahil masih menunggu di ruang guru sekarang. Tidak usah tidak usah.”
“Tapi Kakak Yahan...”
“Sungguh, karakter Kakak Yahan itu, kurasa tidak akan jadi pendendam terus-terusan, besok aku langsung meminta maaf padanya, setuju?”
“O.” Lingjing mengangguk, beberapa saat kemudian, melirik ke arah Jiaming, dia mendekatkan kotak makannya, “Kemarilah, makananku tidak habis, kubagi setengah untukmu. Masakannya juga agak asin, tumis cabai hijau dengan daging ini sama sekali tidak profesional.”
Sambil mengeluh, dia membagi separuh nasinya untuk Jiaming. Setelah tinggal bersama selama ini, saling tahu porsi makan masing-masing, Jiaming tidak menolak, hanya saat Lingjing mendorong semua daging tanpa lemak dari kotaknya, dia menyodok dengan sumpit untuk menghadang. Tapi dalam hal ini, Lingjing selalu lebih dominan: “Kau tahu aku tidak suka makan daging, mau membuatku gemuk? Cabai hijau baik untuk kecantikan, hari ini aku makan ini...”
“Wei、Wei、Wei……” Jiaming menerima dengan kekecewaan. Di sisi lain, Duan Jingxian memandangi duo yang duduk berjajar sambil berbagi kue di sana, tersenyum: “Dua anak ini sejak kecil memang sudah begini…” Liu Zheng tertawa: “Wei, Jiaming! Kalian sudah tinggal bersama selama ini. Tak mungkin kami sebagai orangtua dianggap kurang berpikiran terbuka. Kau harus memilih sekarang!”
“Eh?” Jiaming memancarkan tatapan polos nan lugu.
“Maksudku kedua perempuan ini. Akhirnya kau pilih Shasha-ku atau Lingjing si nona-nona? Jujur saja, Lingjing itu cerdas dan manis. Pasti banyak yang mau ngejar dia. Tapi Shasha-ku memang benar-benar preman pasar. Biar dia nggak jadi perawan tua, kalau kau pilih Lingjing, mulai sekarang aku harus atur kencan buta untuk Shasha. Dijodohkan beberapa tahun biar ada jaminan…”
Duan Jingxian protes sambil tertawa: “Weiwei! Masak ngomong begitu soal anak sendiri? Aku dan Ye Han rasa Shasha itu baik. Lingjing keliatan kalem dan nggak suka ribut, tapi darah liar mengalir di tulangnya. Kalau dia sudah putuskan sesuatu, siapa bisa larang? Shasha keliatan aktif, tapi hatinya lembut. Justru begitu baru seperti perempuan sejati.”
Di sisi lain, Lingjing memerah pipinya, bergumam lirih: “Iya…masak ngomong begitu soal anak sendiri…” Jiaming menunduk menghabiskan nasi kotaknya, sesekali mengangkat kepala dengan senyum kecut…
"Pada pukul 20:45 malam，di Ballroom Gemerlap Bintang Jalan Zhongxing，dentuman musik dansa tiba-tiba terhenti. Seluruh aula langsung diterangi lampu terang，sekelompok polisi bersenjata lengkap berlari masuk dipimpin dua pria berjas. Salah satu pria berjas yang terlihat lebih muda langsung berjalan ke panggung kecil depan，mendorong DJ berambut hijau itu dengan kasar."
"Polisi. Kau berhak tetap diam mulai sekarang，tapi semua perkataanmu akan menjadi bukti di pengadilan. Karena warna rambutmu yang merusak pemandangan Kota Jianghai，kau akan menghadapi tuntutan hukuman 8 sampai 10 tahun penjara......"
"A-Apa......"
"Melihat sikap meremehkannya，DJ berambut hijau itu langsung bingung. Tapi mereka tak mau berdebat lagi，langsung mengenakan headphone DJ dan mengetuk mikropon: 'Baik，Polisi Daratan，inspeksi kamar...' Mendengar ini，pria berjas yang lebih tua mengerutkan alis dan mendekat. Si peremeh justru menggendong mikropon sambil tersenyum."
"Hehe, maaf、maaf, baru kembali dari Hong Kong, kesan yang agak dalam, salah ucap、salah ucap..." Terlepas mengapa dia begitu terkesan, sementara sekelompok polisi sedang beroperasi, dia kembali mengangkat mikropon: "Batuk, hari ini saya minta maaf, sepertinya harus mengganggu semua orang sebentar... Hmm, bukan sebentar, sebagai penggemar nge-dance, saya ingin dengan perasaan sedih memberitahu bahwa tempat ini untuk sementara diblokir. Sebelumnya saya terus berpikir, ritual seperti apa yang pantas untuk mengucapkan selamat tinggal pada ballroom ini. Setelah terlalu banyak mendengar logam berat dan histeria, secara pribadi saya merekomendasikan lagu baru yang bisa memupuk moralitas 《Jiangnan》, lihat, saya bahkan membawa kaset..."
Sambil tersenyum mengatur-atur perangkat di meja DJ, pandangan pria itu menyapu sudut kerumunan orang. Para manajer klub sepertinya ingin kabur lewat pintu samping, tapi tak apa, partnernya sudah menuju kesana. Hmm, memiliki partner berpengalaman memang menghemat banyak urusan...
Kemudian, musik mulai berbunyi.
"Kalau begitu... Pesta Dansa dimulai..."
Bukan hanya klub malam Starlight, hampir pada saat yang bersamaan, semua tempat hiburan milik Yong Sheng seperti kelab malam, bar, kasino bawah tanah, dan banyak lokasi lainnya ditumpas secara serentak. Seluruh anggota geng yang memiliki jabatan setinggi pemimpin pasukan, baik yang berada di rumah maupun di jalanan, hampir semuanya dihadang polisi. Di Jalan Xinghua dekat Akademi Hati Kudus, A Shui dan kawan-kawannya terpana menyaksikan polisi menggiring semua pekerja di proyek konstruksi, kemudian mulai bersemangat merencanakan tempat perayaan malam ini.
Efisiensi operasi yang luar biasa ini dimungkinkan berkat kehadiran personel misterius yang disisipkan mendadak dalam pasukan kepolisian. Konon sebagian besar adalah karyawan perusahaan pengamanan tertentu. Namun setelah menyaksikan kinerja mereka, banyak anggota kepolisian mulai menyadari identitas asli mereka.
Keamanan Nasional Tiongkok——tentu bukan merujuk pada tim sepakbola menyedihkan yang hanya bisa membuat orang frustasi.
Senja berlalu, kegelapan malam pun tiba. Usai perayaan ulang tahun sekolah, tak ada lagi urusan yang memerlukan kerja lembur. Gedung perkantoran kini tenggelam dalam kegelapan dan MATI. Dia menunggu di depan pintu, tapi dia tak kunjung datang.
Gedung perkantoran Akademi Hati Kudus menggunakan struktur berbentuk "". Dari pintu kantor akademik, terlihat cahaya redup menyinari halaman yang sunyi sepi, sesekali tampak kabut tipis melayang di atas kolam. Dalam kesunyian dan kegelapan, dia teringat banyak cerita hantu yang seolah selaras dengan pemandangan di depan matanya. Sebagai wanita, dia tidak pernah menganggap diri pemberani dan sebenarnya sangat takut pada hal-hal seperti ini, tapi saat ini dia hanya duduk diam memandangi semuanya. Rupanya saat hati terluka, keberanian manusia bisa membesar.
Kini dia merenung, tidak mengerti mengapa harus bersedih, apalagi memaksanya datang. Padahal sudah tahu dia takkan datang. Dulu selalu menutupi segala hal untuknya, tapi begitu bertengkar langsung berubah total. Dirinya sendiri pun jadi membenci sikap seperti ini. Mendengar omongan orang lalu menghukumnya, jelas-jelas terkesan ingin menutupi sesuatu.
Tapi bagaimanapun, setiap berhadapan dengannya segalanya jadi kacau. Waktu itu dirinya benar-benar kehilangan kendali. "Aku memang sedang cari gara-gara, bunuh saja aku!" Ah Yahan... Kalau dia mau membunuhmu, tinggal mengangkat tangan saja bukan? Mungkin bahkan tak sudi membunuhmu. Kau ini apa sih...
“Waktu berlalu detik demi detik, dia seolah menunggu selama satu abad yang panjang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa jam, dia menggerakkan tubuhnya. Melihat ke arloji: pukul delapan lima puluh. Memandangi halaman kosong ini, tiba-tiba dia sadar bahwa dengan menghukumnya menyapu, dirinya justru menunggu di sini—apakah secara bawah sadar hanya ingin bertemu lagi? Lama kelamaan, bibirnya membentuk lengkungan senyuman, suaranya bagai angin sepoi yang bocor dari tenggorokan.”
“Hah... mulai membenciku ya...”
“Membalikkan badan dan menyalakan lampu, ruang guru yang belum dibersihkan. Diam-diam dia merapikan barang-barang di meja para guru, lalu menyelesaikan penyapuan. Sepanjang waktu ini, seolah ada langkah kaki di luar, namun terbukti itu hanyalah persepsi yang salah. Mengambil ember plastik untuk mengambil air, saat memelintir kain pel hingga kering, tiba-tiba air mata meleleh. Diusapnya dengan tangan beberapa kali, namun rintihan itu tak bisa dibendung, bagai keran rusak yang mengalir perlahan tapi terus-menerus.”
“Setelah membersihkan meja-kursi, dia bersujud di lantai, membersihkan sambil menangis. Sebenarnya ini bukan hal yang perlu dilakukan, tapi selain ini dia tak tahu harus berbuat apa. Mengambil air, membersihkan kain pel, bersujud, mengelap, menangis... terus menangis dan menangis...”
“Di tepi jendela luar ruang guru, dalam kegelapan terdengar helaan nafas tanpa suara. Yang memandang ke dalam dari sini adalah sosok perempuan sederhana berbusana kasual—Yahan tentu mengenalnya. Namanya Jian Suyan. Setelah membersihkan riasan, dialah Gu Jiaming yang selama ini ditunggunya.”
Pada waktu yang sama, di villa keluarga Li di sisi lain kota, suara sirine polisi bergema dari segala penjuru, semakin dekat dari kejauhan. Membawa koper berisi seluruh aset, Li Yong Sheng saat ini berkeringat dingin karena panik, sementara Li Ming yang mengikutinya di belakang hampir menangis. Setelah bertahun-tahun berkecimpung di Jalan Hitam, dia hanya belajar menjadi anak orang kaya yang manja, tapi tak pernah menguasai sifat garang.
Menerima telepon darurat dari berbagai lokasi, seorang informan tingkat tinggi yang ditempatkan di kantor polisi juga telah memberitahunya untuk kabur, namun pada saat ini Li Yong Sheng sama sekali tidak mengerti kapan dia membuat masalah sebesar ini, juga ingin bertanya pada James*Cook yang latar belakangnya masih belum jelas itu. Namun seiring sirine polisi yang semakin mendekat, dia akhirnya mengurungkan niat tersebut dan melarikan diri ke ruang bawah tanah bersama anak laki-lakinya serta dua orang kepercayaan. Di sana terdapat terowongan rahasia yang menghubungkan ke sebuah taman di sekitarnya, lalu... selama bisa melarikan diri, segalanya masih ada harapan...
## Bagian Keseratus Tujuh Puluh Tiga Firasat Kematian
Dalam keriuhan, mobil polisi mengelilingi villa keluarga Li. Saat tim-tim polisi masuk dari semua arah, James*Cook sedang berdiri di dalam kamar gelap di lantai tiga, memegang segelas anggur merah dengan senyum ironis.
Dengan tenang mengeluarkan pistol di tubuhnya dan beberapa pisau bedah, dia berbalik dan menaruh barang-barang itu di atas meja bundar di tengah kamar. Dentuman keras terdengar saat pintu |Byur ditendang terbuka, sorot lampu dari beberapa senapan serbu menyinari ruangan, membekukan posturnya. Beberapa saat kemudian, seorang pria muda berpostur tinggi mengenakan pakaian kasual baru memasuki ruangan, menyalakan lampu lalu melambaikan tangan ke belakang sambil menunjukkan |senyum cemerlang.
"Halo, |James. Saya |Yelien dari |Keamanan Nasional Tiongkok, |Kelompok Operasi Ketiga."
Sambil menutup pintu kamar, pria dengan nama yang agak feminin ini berjalan mendekat. Kilatan |cahaya terlihat di mata |James: "|Evolusioner? Hah... Sepertinya |TULIP benar-benar enggan menampakkan diri..."
"|Gadis cantik biasanya memang sensitif." Yelien tersenyum ramah sambil duduk di tepi meja, "Jika Tuan James tidak berniat |bertempur, tugas kami akan lebih mudah. Setelah urusan ini, saya akan |mentraktir makan. Mengenai |Nona TULIP, atasan merasa melukai |Liu Huaisha yang masih |gadis kecil itu bukan tindakan bijak. Meskipun penyebab rawatnya adalah |usus buntu akut, tapi tetap saja ada |luka. Jadi |Bapak Fang ingin memajukan jadwal pertemuan dengan Anda..."
Mendengar ucapannya, cahaya berkelap-kelip tiba-tiba muncul di pupil James. Jari kanannya bergerak refleks, seberkas cahaya menyapu pupil lawannya. Sebuah pisau bedah di meja tiba-tiba melayang tanpa alasan, memantulkan cahaya dan melesat ke arah Ye Lian. Namun baru setengah jalan, tangan kiri Ye Lian yang terangkat sudah menghadang di depan.
Ujung pisau berhenti mendadak dua sentimeter dari telapak tangannya. Seluruh pisau bedah berdentang nyaring bagai logam, lalu hancur berkeping-keping.
Serpihan logam berkilauan bagai meteor menyebar ke segala penjuru di bawah sorot lampu. Sebagian menancap di pagar ranjang kayu, sebagian menusuk bantal empuk. Sebotol anggur merah di rak minuman pecah berdentum Byur, cairannya muncrat ke mana-mana. Ruangan yang sempat riuh kembali senyap dalam sedetik. Kapas-kapas beterbangan dari bantal yang sobek, melayang-lambat di udara.
"Getaran ruang?"
"Hmm, cuma akal bulus kecil saja," Ye Lian tersenyum. "Karena ini, setiap main dadu dengan regu selalu dituduh kecurangan. Tapi selain ini sepertinya tak ada gunanya. Tuan James ahli di bidang ini, kapan-kapan traktir saya petunjuk ya. Nah... boleh kita pergi sekarang?"
"Ha." Setelah jeda sebentar, James mengangguk. "[] Fang Zhitian yang legendaris itu, sudah lama ingin saya temui. Silakan memimpin jalan."
Saat pertandingan kekuatan supranatural antara James dan Yelian dimulai, Li Yong Sheng dan anaknya telah keluar dari terowongan bawah tanah. Taman kecil di malam hari itu terasa sunyi, melalui hamparan bunga terlihat cahaya lampu jalan di kejauhan, mobil-mobil sesekali melintas cepat, pejalan kaki di jalan tidak terlalu banyak, namun syukurlah tidak terlihat mobil polisi yang memperhatikan area ini. Bapak dan anak itu berlari ke arah sana bersama dua tangan kanan mereka.
"Ayah, sebenarnya apa yang terjadi? Bukannya semuanya baik-baik saja..." tanya Li Ming dengan wajah memelas.
"Kau tutup mulut!" Sepanjang perjalanan, anak tidak berguna ini sudah terus bertanya berulang kali. Apa yang terjadi... Dia pun ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi! Dengan wajah yang sama memelas, Li Yong Sheng dipenuhi kepahitan yang tak tersalurkan. Pihak atas tiba-tiba memutuskan operasi anti-mafia dalam semalam, dan targetnya hanya Yong Sheng. Tindakan mereka cepat dan tegas, dalam satu jam berhasil mencabut sampai ke akar-akar geng Yong Sheng yang rumit, seolah mengabaikan hubungan geng ini dengan departemen pemerintah dan berbagai elemen masyarakat. Tak pernah terbayangkan olehnya, perubahan situasi sebesar ini ternyata hanya dipicu karena seorang bawahannya memukul tangan seorang gadis.
Keluar dari taman, dentang sirene dari villa masih bisa terdengar, Level Empat orang memanjat pagar sementara, menyeberangi jalan. Tak jauh dari situ tiba-tiba terdengar teriakan: "Hei, yang di sana!" Menoleh ke arah suara, ternyata sebuah van polisi lalu lintas yang berhenti tak jauh. Seorang bertopi polisi berteriak dari dalam: "Tidak tahukah kalian menyeberang jalan sembarangan tanpa jalur pejalan kaki itu berbahaya?" Mobil kecil perlahan mendekat.
Ruas jalan ini relatif sempit. Setelah dipasang pagar tinggi, pejalan kaki memang tidak diizinkan menyeberang. Pernah suatu periode polisi lalu lintas menangkap dan mendenda beberapa orang. Li Yong Sheng berbisik kepada tiga orang di belakangnya: "Tenang, tenang." Kemudian dengan senyum dipaksakan berseru: "Maaf, maaf! Karena ada urusan darurat. Lain kali tidak akan terulang..."
"Urusan darurat boleh seenaknya menyeberang jalan? Masih ada 'lain kali'? Kalau sampai menyebabkan kecelakaan dan memakan nyawa manusia, tahukah kalian..." Saat mobil mendekat, pintu mobil terbuka. Beberapa pucuk pistol telah mengarah ke empat orang. Polisi di depan mengusik topinya, "Ini pelajaran: menyeberang sembarangan sama dengan pembunuhan. Kalian... hmm, ditangkap karena tuduhan pembunuhan."
Keempat orang mengangkat tangan, terdiam membatu...
Cahaya lampu kekuningan, aroma teh yang lembut, alunan musik guzheng mengalir, di depan kamar terdapat sepasang tulisan kaligrafi. Di sebelah kanan tertulis "Lautan menerima ratus sungai, dengan toleransi baru menjadi besar", sebelah kiri "Tebing menjulang ribuan ren, tanpa nafsu maka kokoh". Dengan senyum hangat, pria paruh baya bernama Fang Zhitian meletakkan cangkir teh. Di seberang meja teh duduk James*Cook yang baru diundang, sementara di samping mereka, Dongfang Ruo yang berbaju putih duduk dengan tangan di atas lutut, mata terpejam tenang.
"Sebenarnya itinerary Tuan James selalu cukup tersembunyi. Saat baru datang, tim kami tidak mendeteksi. Alasan kami akhirnya bisa menyelidiki adalah karena seseorang mengirimkan bukti bahwa geng Yong Sheng telah mencuri rahasia negara. Heh, data itu masih tersimpan di komputer Li Yong Sheng. Malangnya orang itu bahkan tidak mengerti arti DOS... Tuan James pasti bisa menebak alasan sebenarnya di balik ini?"
James mengangguk sambil tersenyum: "TULIP."
“Hmm, meski tidak ada tindakan lebih lanjut, tapi menurut analisis kami, seharusnya itu adalah Nona TULIP. Waktu kejadiannya lebih dari dua minggu lalu. Kita bisa mengingat situasi saat itu: seorang pemimpin pasukan Yong Sheng bernama A Zhi memerintahkan akuisisi paksa di Jalan Xinghua. Kebetulan tiga anak yang memiliki hubungan erat dengan Nona TULIP juga tinggal di jalan tersebut. Entah karena intimidasi atau ancaman, pemimpin pasukan itu langsung dibunuh. Inilah momentum dimana Tuan James masuk ke Yong Sheng. Setelah Anda masuk, data-data itu diam-diam dimasukkan ke komputer Li Yong Sheng. Menurut saya, sikap Nona TULIP dalam hal ini sudah jelas.”
Fang Zhitian menyesap tehnya, tersenyum natural: "Dia meminta kami menjadi perantara. Tuan James pasti tahu, tahun lalu di Kapal Pesiar Star Dream, nona ini pernah memberikan bantuan besar kepada kami. Selain itu, kami juga tidak ingin terjadi gejolak besar di masyarakat, apalagi kesalahpahaman yang tidak perlu antara [] dan . Jadi kami harap Tuan James mengerti bahwa kami datang dengan kesungguhan dan niat baik. Jika bukan karena insiden kecil ini, kami tidak ingin mengganggu perjalanan Tuan James ke Tiongkok."
“Saya hanya datang untuk mencari Evolusioner Alami.”
“Tentu saja, kami paham, Nona TULIP juga jelas menyadarinya. Itulah alasan mengapa dia menyerahkan hal ini kepada kami.” Fang Zhitian mengangguk, “Maafkan kejujuranku, Tuan James. Menurut data kami, emosi Nona TULIP selalu cenderung... hmm, bisa dibilang sensitif. Serangan-serangan sebelumnya pada dasarnya menggunakan cara yang keras untuk membunuh semua orang. Dia bahkan pernah memperingatkan investigasi kami dengan menaruh bom di pesawat sipil. Cara tidak langsung yang digunakan kali ini jelas sudah merupakan kompromi. Jika dia benar-benar menyerang... Seperti yang kita tahu, Yoritomo Taku pun pernah gagal total di hadapannya...”
Setelah hening sejenak, James tersenyum: “Melihat Bapak Fang terus menyebut Nona TULIP, rupanya kalian sudah mengkonfirmasi identitas Gu Jiaming itu?” Pandangannya beralih ke Dongfang Ruo di sampingnya, ekspresinya berubah serius, “Nona ini memberi kesan yang sangat khusus...”
“Dia adalah keponakanku, Dongfang Ruo. Kami biasa memanggilnya Ruoruo. Kekuatan spiritualnya sangat kuat. Kami yakin dalam tingkat tertentu dia bahkan sudah mendekati Evolusioner alami, bahkan bisa menyentuh indera keenam yang legendaris. Tapi...” Kilatan emosi kompleks muncul di matanya, Fang Zhitian menghela nafas, “Lebih dari 10 tahun yang lalu dia masih bisa melihat. Kami melakukan kesalahan fatal. Sekarang... kekuatan spiritual terus menggerogoti tubuhnya...”
Memandangi Dongfang Ruo beberapa saat, James menyesap teh pahit yang tidak sesuai seleranya: “Lebih dari 10 tahun lalu... Kami juga pernah melakukan kebodohan serupa...”
“Tepat untuk memastikan urusan Evolusioner, kami menjemputnya dari tempat perawatan. Namun saat mengindra anak bernama Gu Jiaming, dia tidak menemukan keanehan. Tapi tadi malam Nona TULIP pernah masuk ke kamarnya dan meletakkan bom yang cukup untuk membunuh semua orang di sini sebagai peringatan, hehe...”
“Jika mereka adalah evolusioner alami, investigasi ini mungkin sia-sia.” James berkata.
“Tapi kita sekarang hanya bisa mempercayai pemeriksaan ini. Di domain yang kita ketahui, kita bisa memastikan Ruoruo adalah pengguna kekuatan supernatural mental terkuat. Dalam hal ini, dia bahkan melebihi Yang Mulia Ratu Eropa Utara. Tapi tubuhnya... Sejujurnya kami pernah berpikir mengirimnya ke Amerika untuk diobati...”
“Evolusi yang kami buat belasan tahun lalu tidak ada yang masih hidup. Kalian lebih hebat.” James menggelengkan kepala, “Jujur saja, saat kau bilang dia mengalami eksperimen belasan tahun lalu, aku sempat kira kalian menguasai metode kultivasi legenda Tiongkok.”
“Hehe... Tuan James terlalu rendah hati. Dalam hal ini kalian yang lebih unggul. Aku berpikir, mengingat Tuan James sudah ada di sini, bisakah sekalian memeriksa kondisi Ruoruo? Atas nama seorang paman, terima kasih.”
“Belasan tahun yang lalu, tren eksperimen menciptakan Evolusioner merebak di berbagai organisasi kegelapan. Meskipun akhirnya semua gagal, setiap organisasi memiliki hasil penelitiannya sendiri-sendiri. Walau terus disiksa oleh kekuatan spiritual, Dongfang Ruo bisa bertahan hidup sampai sekarang sudah merupakan pencapaian luar biasa. Pernyataan Fang Zhitian ini di satu sisi menunjukkan kepeduliannya pada Dongfang Ruo, di sisi lain juga mengekspresikan niat baik terhadap Keajaiban Kreasi. Mata James tiba-tiba berbinar: "Sebagai peneliti, ini tentu hal yang sangat kuidambakan. Nona Dongfang, bisakah kau memperlihatkan tanganmu padaku?"”
Di bawah pandangan Fang Zhitian, ia menjepit pergelangan tangan Dongfang Ruo seperti teknik diagnosa tradisional Tiongkok, merasakan gelombang kekuatan spiritual yang kacau dari tubuhnya. Setelah beberapa saat, justru Dongfang Ruo yang pertama mengerutkan kening. Kerutan itu semakin dalam, hingga akhirnya dia menarik tangan dengan kasar seolah melihat sesuatu yang mengerikan.
“Kau... kau...”
“Ada apa?” tanya Fang Zhitian.
James mengerutkan alisnya: “Nona Dongfang, apakah kau melihat sesuatu?”
“Aku... aku... kau...” Dongfang Ruo menggelengkan kepala dalam kebingungan, butuh waktu lama baru bisa merangkai kata-kata, “Aku... sebelumnya juga kadang mengalami keadaan seperti ini, banyak hal bisa kulihat dengan jelas, tapi... hanya hal-hal sepele, tidak seperti ini, tidak... kau, kau akan MATI...”
James tertegun sejenak, kemudian bertukar pandang dengan Fang Zhitian: “Nona Dongfang, semua orang akan mati, kau...”
“Kau akan MATI SEKARANG JUGA.” Tubuh Dongfang Ruo gemetar ringan, “Aku melihatnya.” Kali ini, James benar-benar terpaku. Sebagai peneliti pengguna kekuatan supernatural, dia sangat paham—jika kekuatan spiritual seseorang telah mencapai tingkat evolusi alami, inspirasi yang terlihat olehnya hampir pasti merupakan takdir yang tak bisa diubah. Fang Zhitian pertama bertanya: “Apa yang sebenarnya terjadi? Ruoruo?”
“Ada... ada yang masuk... dia... dia membunuhnya... lalu... kami... aku tak bisa melihat jelas... yang kuketahui hanyalah dia MATI...”
“Siapa dia?” James bertanya reflek, namun Fang Zhitian segera memotong: “Ini bukan saatnya bertanya itu. Ruoruo tidak bisa melihat jelas, jangan dipaksa. Yang harus kita lakukan sekarang pertama-tama...”
“Aku bisa melihat.” Dongfang Ruo berbisik, “Samar-samar... tapi... itu salah satu nama yang kalian sebutkan tadi...”
“TULIP?” James langsung teringat itu, namun Dongfang Ruo menggeleng menyangkal.
“Bukan... bukan dia... bukan...” Kepalanya bergoyang gemetar, akhirnya menggigit gigi lemah mengucapkan suku kata terputus: “Yori...tomo... Yori... Taku... Taku...”
Ucapan aneh itu bagai mantra, namun dalam sekejap berubah menjadi gunung es yang menghujam menekan bahu Fang Zhitian dan James. Fang Zhitian melangkah dua kali ke jendela—di luar masih ada penjaga di bawah jendela, situasi masih tenang. James mengulang pelan: “Yoritomo Taku... dia sudah masuk...”
“Raja Pembunuh Yoritomo Taku.” Mungkin sulit dibayangkan dalam hati manusia biasa betapa besar kehancuran yang bisa ditimbulkan oleh satu orang sendirian. Namun hanya dalam benak para profesional inilah orang bisa benar-benar memahami seberapa mengerikannya daya rusak yang bisa dikembangkan oleh seseorang yang mahir menggunakan alat dalam lingkungan tertentu. Meski tahun lalu dia pernah gagal di Kapal Star Dream, nama ini tetap mampu membuat semua penghuni Dunia Kegelapan merasa kagum sekaligus gemetar.
Dan kini, menurut perkataan Dongfang Ruo, dia sudah masuk.
“Segera beri peringatan.” Fang Zhitian berkata siap menekan tombol alarm. Di saat yang sama, suara ketukan pintu terdengar. Udara di dalam kamar seolah membeku seketika. Tangan Fang Zhitian terhenti di udara, bertukar tatapan dengan James.
“Hanya Kepala Pelayan Lao Liang. Aku menyuruhnya mengambil teh tadi...” Bisik Fang Zhitian sebelum menaikkan volume suaranya, “Siapa?”
“Ini saya, Pak Fang. Mengantar teh.”
Meski James tak mengenal Lao Liang, dari sorot mata Fang Zhitian dia tahu bahwa orang di luar sudah meniru sosok tersebut dengan sempurna. Dengan lembut Fang Zhitian membuka laci, mengeluarkan sebuah pistol dan melemparkan yang lain ke James. Dalam tarikan napas, mental dan fisik keduanya mencapai ketegangan puncak. Kemudian Fang Zhitian berseru.
“Masuklah...”
Saat kembali ke villa, Dongfang Wan melirik jam tangannya - hampir jam sebelas malam. Matinya kemudian beralih ke Lei Qing di belakang, merasa sangat kesal dengan fakta bahwa dia kembali diikuti oleh orang ini.
Sejak terjadi peristiwa bom kemarin, Linghai Dongfang memindahkan sebagian besar orang ke villa-villa lain. Lagipula properti keluarga Dongfang di Kota Jianghai sangat banyak, pasti cukup untuk semua. Tapi, saat sekelompok orang mengadakan Pesta Dansa, Wan Dongfang baru teringat helikopter jelek Jiaming Gu yang masih tertinggal di kamar sini. Kemudian diganggu Rei Qing, kakaknya tidak mau membantu, akhirnya dia terpaksa cari alasan untuk mundur. Tahu-tahu Rei Qing juga bilang pesta membosankan, lalu khawatir seorang perempuan beroperasi malam hari, nekat ikut ke sini.
Tapi bagaimanapun mereka sedang Berperan sebagai pengagumnya, meski merasa merepotkan tak sampai dibenci. Sepanjang jalan pikirannya tertuju pada model helikopter itu. Semalam dia membongkarnya, si genius yang selalu membanggakan diri ini setelah menyelidiki berbagai data-data malah tidak paham strukturnya. Hal seperti ini benar-benar bikin kesal. Bagaimanapun, dia tak mau kalah dari Jiaming Gu yang aneh itu, harus bisa memperbaiki ini!
Sepanjang jalan dari aula utama naik ke lantai dua，Kepala pelayan Lao Liang sedang membawa sekantong teh menuju kamar terakhir di lantai dua，yang awalnya merupakan perpustakaan ayahku，tapi sekarang katanya dipinjam sementara oleh Paman Fang Zhi Tian untuk menerima tamu. Di depan pintu berdiri seorang pria berwajah androgynus namun menimbulkan kesan simpatik，Dongfang Wan tahu namanya Ye Lian，pengawal Fang Zhi Tian. Saat melihatnya，mereka saling menyapa secara formal. Dongfang Wan tersenyum angguk，bersiap naik ke lantai tiga ketika Dongfang Linghai juga turun dari atas.
“Hmm？Xiao Wan？Xiao Qing？Kenapa kalian kembali lagi？”
Sebelum Dongfang Wan sempat bicara，Lei Qing sudah buru-buru menjawab dengan senyum: “Oh，Paman Dongfang，Xiao Wan bilang ada barang penting yang tertinggal di sini. Saya khawatir seorang perempuan beroperasi sendirian di malam hari，jadi ikut mengantar.”
“Cih，nona-nona liar. Barang penting apa lagi yang dia punya.” Dongfang Linghai melototi putrinya dengan tatapan keras，lalu berkata，“Sudahlah，karena sudah kembali，malam ini kalian tidur di sini saja. Hari ini... segalanya berjalan lancar，seharusnya tidak akan ada masalah lagi...”
Saat itu，kepala pelayan Lao Liang telah masuk ke kamar membawa teh. Kata terakhir Dongfang Linghai baru saja mengudara ketika dentuman senjata sengit tiba-tiba menggema dari dalam kamar，kedengarannya memekakkan telinga dalam jarak dekat.
Seperti alarm serangan udara, suara peringatan berbunyi sejenak dalam radius efektif villa. Selanjutnya, seluruh bangunan itu gelap gulita. Dari barat laut villa, terdengar ledakan keras bergemuruh. Pertempuran tak terduga pun dimulai...
## Bagian Seratus Tujuh Puluh Empat Titik Bentrok
"Byur" suara keras bergema, Fang Zhitian menerobos jendela, menggendong Dongfang Ruo melompat keluar dari lantai dua. Kaca-kaca berhamburan di langit hanya terhenti sejenak di udara, kemudian berputar bagai pusaran yang menyedot kembali. Dentuman senjata yang menggelegar bersahutan dengan bunyi alarm, merobek kedamaian langit malam.
"Ini pembunuh dari Pei Luo Jia! Semua orang awas! Ruo Ruo, kau cepat lari!"
Sebagai anggota pimpinan tertinggi [], Fang Zhitian selalu dikelilingi sejumlah besar personel keamanan. Begitu mendarat, dua orang terdekat segera mengarahkan senjata ke jendela lantai dua, sementara puluhan personel patroli di sekitar dengan cepat bergerak. Pada saat yang sama, seluruh villa tiba-tiba kehilangan pasokan listrik, disusul ledakan di sudut barat laut villa - tepatnya di ruang genset independen bangunan ini. Memutus kabel listrik dan melancarkan serangan dalam kegelapan, ini adalah teknik andalan Yoritomo Taku. Mungkin hanya dialah yang berani melakukan operasi gila dengan menyerang pasukan mayoritas menggunakan pasukan minoritas.
Dalam kegelapan, suara tembakan sengit dan kekacauan terdengar dari kamar di lantai dua. James tidak pergi, sementara Yelian di luar ruangan pasti sudah langsung merespon dan bergabung dalam pertempuran. Fang Zhitian segera menurunkan Dongfang Ruo dan bersiap membawanya pergi. Namun baru berlari dua langkah, Dongfang Ruo tiba-tiba berhenti, mengulurkan tangan, menarik Fang Zhitian untuk melompat ke sudut mati villa: "Paman Fang, awas!" Perasaan mengerikan akan kematian menyelimuti, peluru menembus tanah di tempat Fang Zhitian berdiri sebelumnya, rumput dan debu beterbangan dengan suara Byur.
"Ada sniper!"
Setelah ucapan ini, dua orang di lantai bawah langsung berpencar. Sebagian anggota segera menoleh, bergerak mengitari bukit kecil di luar villa. Sebagai salah satu titik potensial untuk sniper, [] sebenarnya sudah menempatkan personel di sana, tapi tampaknya lawan masih berhasil menghindar.
Sesaat berikutnya, sosok lain melompat keluar dari jendela lantai dua. Setelah berguling di tanah, pria itu berdiri sambil memegang bahunya yang tertembak - ternyata James Cook. Begitu stabil, dia dan Fang Zhitian berteriak bersamaan: "Yang di lantai atas adalah Da Nei Zhangdu!"
"Waspada sniper!"
Mendengar teriakan Fang Zhitian, James tidak berhenti sejenak, melompat ke udara lagi, Byur! Jendela kamar di lantai satu pecah saat dia masuk kembali. Bersembunyi di sudut bersama Dongfang Ruo, Fang Zhitian merasakan kulit kepalanya merinding. Oda Nagamoto dan Yoritomo Taku sama-sama termasuk pembunuh tingkat tertinggi di Pei Luo Jia. Sejak dulu, kerja sama keduanya tak pernah terkalahkan. Setelah kekalahan di Kapal Star Dream, kali ini mereka datang dengan pasukan terkuat.
Keahlian utama Yoritomo Taku adalah kemampuan menembak. Dalam peringkat Dunia Kegelapan, daya penghancurnya paling mengerikan. Dengan dua pistol di tangan, dia bisa menekan tembakan sekelompok musuh dengan ketepatan mematikan dan ketajaman analisis, bahkan jika musuh membawa senapan serbu paling mematikan. Siapa pun yang muncul dalam radius efektif akan langsung terkena peluru. Kemampuan bak dewa inilah yang membuatnya terkenal dengan julukan "Penekan Tembakan" di Dunia Kegelapan. Fang Zhitian bergidik membayangkan bagaimana mereka bisa lolos dari tembakan Yoritomo Taku tadi. Jika bukan karena firasat tajam Dongfang Ruo, mungkin hari ini dia sudah MATI.
Berbeda dengan Yoritomo Taku yang berada di lantai dua, Daiuchi Nagatoshi paling ahli dalam penyamaran, seni penipuan, serta ilmu ninja dan kesabaran seni bela diri yang luar biasa. Jika bukan karena peringatan dini dari Dongfang Ruo, memungkinkan lawan masuk dalam radius 2 meter untuk serangan mendadak, Fang Zhitian bahkan tidak akan punya kesempatan untuk kabur. Mungkin beberapa orang menganggap kemampuan seni bela diri tidak relevan di era senjata modern, namun fakta membuktikan bahwa dalam jarak dekat melawan ahli bela diri yang lincah, senjata modern akan kehilangan maknanya - kecuali Anda siap mengorbankan diri bersama musuh dengan granat tangan.
Musuh datang dengan pasukan elite dalam serangan mendadak. Dalam kondisi jumlah personel kita yang lebih banyak, tindakan paling tepat saat ini jelas bukan melarikan diri. Membawa Dongfang Ruo kembali ke villa melalui jendela yang pecah, akhirnya pasukan di luar mulai bentrok dengan Yoritomo Taku. Sedangkan di dalam, kekacauan terjadi di lantai dua. Konstruksi villa besar ini memang rumit, dan dalam situasi pasukan elite [] yang sebenarnya belum tiba, hanya seorang Daiuchi Nagatoshi saja ternyata tidak bisa ditangkap.
"Musuh ada di kamar tamu nomor tujuh lantai dua, mengincar Pak Dongfang. Nona Dongfang Wan dan Pak Lei Qing juga ada di dalam, kami tidak bisa menembak..."
"Ye Lian terluka..."
"Pasukan di bawah siaga, cegah musuh kabur lewat jendela..."
"Dia lompat jendela... Tembakan kami meleset... Dia... Masuk lewat jendela kamar tamu nomor enam lantai dua, dia seperti kelelawar..."
"Blokir dia..."
"Awas granat tangan, berpencar..."
Suara tembakan senapan mesin, suara pintu dan jendela yang hancur, serta ledakan bergema tanpa henti. Seluruh villa seluas ribuan meter persegi itu seolah bergetar hebat, hampir runtuh. Bakat terbesar Ōuchi Nagamune adalah seni bela diri, tapi kemampuan menembak dan teknik bertarungnya tak kalah dari Yoritomo Taku. Mendengar laporan pertempuran dari headset, Fang Zhitian yang dilindungi di kamar lantai satu mengeluarkan senyum getir: "Memalukan. Begitu banyak orang dikalahkan oleh dua orang saja, diputar-putar seperti mainan."
"Jangan merendahkan diri, Tuan Fang. Kita mungkin sedang menghadapi dua pembunuh terhebat di dunia," kata James yang sedang dibalut luka tembak di bahunya oleh dokter keluarga villa, dengan nada optimis. "Serangan tipe ini mengutamakan presisi. Nagamune bertugas membunuh dari dalam, Yoritomo menyergap dari luar. Karena gagal, mereka pasti sedang bersiap mundur. Bagaimanapun, cuma berdua..."
Satu serangan tidak mengenai, segera cari cara untuk evakuasi, ini adalah gaya kerja formal pembunuh pada umumnya. Namun saat ini Fang Zhitian menggelengkan kepala: "Tidak, kurasa tidak sesederhana itu. Dentuman senjata di luar semakin dekat, ini menunjukkan Yoritomo Taku sedang menyerbu ke sini. Semangat di dorongan pertama, melemah di kedua, habis di ketiga. Pembunuh biasa hanya bisa memusatkan semangat tempur pada serangan awal. Tapi jika mempelajari Pei Luo Jia dengan teliti, kalian akan mengerti, dua orang gila ini... dalam sepuluh menit pertama melancarkan serangan, mereka bisa mempertahankan inisiatif dan semangat tinggi. Dalam situasi kekuatan tidak setara dengan pasukan elite, sekarang kita harus mengerahkan segala upaya untuk menekan mereka..."
Di tengah pembicaraan, dengan laporan "Pak Dongfang terluka", beberapa orang dengan cepat membantu Dongfang Linghai turun dari lantai atas, diikuti Dongfang Wan dan Lei Qing. Di antara tiga orang termasuk Fang Zhitian, kemampuan seni bela diri Dongfang Linghai yang terbaik, mungkin ini juga yang membuatnya bisa bertahan dari serangan Dainagon Osamu. Tapi sekarang terlihat darah mengalir dari mulutnya, mengotori kerah bajunya. Dongfang Wan di sampingnya menggigil ketakutan, wajahnya basah oleh air mata.
"Huh...huh... Tahun ini sial, otot dan tulang sudah lama tidak dilatih. Hampir saja menelan seluruh pukulan mautnya... Untung aku menghindar cepat... Huh, huh... Tidak apa, tidak ada masalah besar..."
"Melihat wujud Dongfang Linghai yang terus-menerus muntah darah saat ini, perkataannya sama sekali tidak meyakinkan." Rei Qing di sampingnya dengan cemas bertanya: "Paman Fang, di mana ayahku? Apakah dia terluka..." Tampaknya adegan Dongfang Linghai yang bertempur melawan Komandan Agung demi melindungi mereka berdua hingga mengalami luka parah benar-benar mengejutkannya.
"Tuan Rei tetap di lantai tiga. Karena pertempuran di lantai dua, dia belum bisa turun sementara waktu, tapi..." Di tengah pembicaraan, suara mengejutkan terdengar di headset: "Awas, musuh menuju lantai tiga! Target mereka kamar Tuan Rei. Segera lindungi Tuan Rei untuk evakuasi!"
Fang Zhitian tertegun sejenak. Beberapa saat kemudian, suara lain muncul: "Kami sudah mengawal Tuan Rei turun. Posisi lawan saat ini..."
"Dia meleset! Kami menjepitnya di antara kamar tamu nomor 14 dan 15. Sial, dia berencana untuk..."
Sebelum laporan selesai, Fang Zhitian tiba-tiba bangkit. Dengan gesit mengambil pistol dan mengarahkannya ke jendela, dia berteriak: "Cepat pergi! Dia ingin turun dari atas!"
Kamar nomor 14 dan 15 di lantai tiga villa berada tepat di atas kamar tempat mereka berada sekarang. Sementara itu, Ouchi Nagamichi yang ahli dalam ilmu ninja, dengan bantuan alat-alat, bisa langsung turun dari lantai tiga ke lantai satu. Tampaknya segala upayanya ini masih bertujuan untuk mengambil risiko satu kali serangan. Bahkan Timur Linghai yang masih muntah darah pun bangkit dengan susah payah dan berlari ke arah pintu. Di tengah dentuman senjata di luar, bayangan hitam melesat melintasi langit malam seperti Spider-Man. Byur! Sesuatu menghancurkan jendela dan terlempar ke dalam kamar tempat semua orang berada, sementara sosok tersebut menerobos jendela dan masuk ke kamar sebelah.
"Bom——"
Di tengah teriakan, beberapa orang berlari keluar dan terjatuh ke tengah ruang tamu. Gelombang kejut dan lidah api menyembur dari pintu kamar. Seluruh panel pintu melesat melintasi ruang tamu yang luas dan menghantam bar di seberang. Timur Linghai menindih putrinya, sementara Fang Zhitian melindungi Timur Ruo. Insiden ini membuat pertahanan semua orang kosong sesaat. Ouchi Nagamichi yang tampak kikuk sudah keluar dari kamar lain. Meski darah mengalir dari luka-luka kecil di tubuhnya, hal itu tidak menghambat kecepatan gerakannya yang gesit seperti hantu.
Fang Zhitian yang pertama bereaksi menembakkan dua peluru ke arah sana. James menggerakkan tangannya, tiga pisau bedah memantulkan cahaya api di bawah kendali kemampuan supranatural, merobek udara. Namun serangan ini dengan mudah dihindari lawan hanya dengan sebuah gerakan berguling yang membawanya mendekat. Seiring putaran tubuh lawan, sebuah katana pendek langsung membelah betis James. Tubuhnya kehilangan keseimbangan namun belum jatuh. Tanpa jeda, tubuh yang berputar itu mengarahkan ketajaman katana ke pelipisnya.
Sensitivitas kemampuan supranaturalnya terhadap logam membuat kilatan senjata yang mendekat terasa sangat lama dan jelas. Namun bagaimanapun, dia tak bisa melakukan gerakan penghindaran apapun, hanya bisa menyaksikan kilatan pisau yang semakin mendekat...
"Byur——Cring——Swas——"
Berbagai suara terdengar hampir bersamaan. Peluru melintas di dekat telinga James, kilatan tajam mengiris kulit dahinya, kemudian katana itu terlempar. Baru setelah terjatuh ke tanah, dia bisa memastikan dirinya masih hidup.
Sesaat sebelum kilatan pisau menghampiri, seseorang berhasil memperlambat gerakan Ouchi Nagato sejenak. Karena itu kilatan itu hanya menggores dahinya, bukan menusuk langsung ke pelipis...
Saat katana di tangan terpental, Nagamichi Ouchi sudah melompat keluar, mendarat di depan Dongfang Wan yang baru bangkit dari tanah, dan mencabut pistol. Keuntungan seorang diri menerobos kerumunan musuh adalah orang lain sering ragu menembak sembarangan karena takut korban salah target, sementara kau bisa leluasa menembak siapa pun.
Tapi, orang yang satu ini tampaknya berbeda.
Baru saja pistol terhunus, peluru lain meleset tepat di bawah rusuk Dongfang Wan, kemudian menghantam senjata di tangannya. Tubuh Nagamichi Ouchi kembali terjungkal ke samping, bayangan itu melesat bagai hantu melintasi ruang tamu, mendekati penembak di pintu. Peluru terus menerjang karpet, meja, kursi... di sekitarnya. Lalu, siluet-siluet saling bertautan.
Kilatan pisau pendek membelah kobaran api ledakan, menyambar tajam ke arah pria itu. Seolah membuktikan satu fakta di Dunia Kegelapan: Tak ada yang bisa mengalahkan Nagamichi Ouchi dalam jarak dekat.
Dentam logam berdenting nyaring tiba-tiba. Dalam kamar yang hanya diterangi api ledakan, percikan api dari pisau pendek dan belati yang beradu menciptakan jalur cahaya memanjang dalam kegelapan, sesaat memancarkan pesona yang memikat tak tertandingi.
Dalam beberapa detik singkat, percikan logam terus menarik garis di udara, sengit dan cepat. Meski cahaya tidak cukup terang untuk melihat wajah, Fang Zhitian dan yang lain cukup mengenali bahwa yang sedang bertarung dengan Ōuchi Nagamune ternyata seorang wanita berbaju kasual hitam. Dua bayangan terus bersilangan, bertarung, denting logam yang nyaring tak henti terdengar, membuat orang merasa silau untuk sesaat.
Serang, bertahan, serang, serang, serang... Dalam belasan detik singkat, Ōuchi Nagamune menyadari wanita di depannya memiliki kecepatan dan kekuatan yang hampir setara dengannya. Dirinya sudah banyak mengonsumsi stamina sejak awal, sementara lawan hanya menunggu dengan tenang.
Namun dalam pertarungan sepersekian detik yang menentukan hidup-MATI ini, pengalaman bertempur bertahun-tahun tetap menjadi keunggulan besar. Hampir secara bawah sadar, sebuah tipuan dribble dari Nagamune mengalihkan belati di tangan wanita itu, tinjunya menghujam ke bawah dada lawan - salah satu titik paling rentan pada tubuh manusia. Sekali terkena pukulan keras, kemampuan tempur bisa hilang SEGERA.
Sesaat berikutnya, belati terpental ditangkis pisau pendek. Merasa tak ada tahanan di mata pedang, Nagamune baru tersadar telah terjebak. Wanita itu sudah memperhitungkan reaksinya, menyelipkan badan ke dadanya yang terbuka lebar. Kemenangan telah ditentukan.
Daijo Ouchi terhempas dengan keras ke belakang. Tubuhnya belum menyentuh tanah, dia melihat perempuan di depannya telah mengulurkan tangan ke dalam kemeja yang terbuka, mengeluarkan senapan serbu.
Byur-byur-byur-byur-byur-byur-byur-byur——
Tubuh Daijo Ouchi jatuh ke bar yang telah hancur oleh papan pintu. Sesaat kemudian, hujan peluru mengguyur area tersebut. Cairan alkohol yang tumpah menyulut api di antara serpihan kayu. Fang Zhitian dan yang lain tertegun menyaksikan perempuan ini. Dari kemunculannya yang tiba-tiba, pertarungan melawan Daijo Ouchi, melontarkan ahli pertarungan jarak dekat itu dengan mudah, hingga aksi menembaki dengan senapan serbu – seluruh rangkaian tindakan ini terjadi dalam waktu kurang dari 40 detik. Setiap gerakannya presisi bak koreografi yang telah dilatih ribuan kali: muncul, bertarung, membalikkan situasi – bagaikan fragmen dari dunia mimpi.
Senapan mesin menyemburkan lidah api dengan gila. Setelah belasan detik, akhirnya seluruh peluru habis. Seluruh bar kini dilalap api, berantakan tak berbentuk. Namun tak ada mayat Daijo Ouchi yang tersisa. Perempuan itu tampaknya tidak terlalu terkejut. Matanya menyapu kerumunan orang di lantai. Dengan wajah dingin namun memesona yang membuatnya terlihat seperti ratu kegelapan, dia dengan santai memasang magasin baru ke senapan serbu.
Dalam arti tertentu, ini adalah pertemuan pertama antara Fang Zhitian dan kawan-kawan dengan TULIP. Tentu saja, bagi Dongfang Wan yang masih terdiam membeku di tempat, ini adalah kali kedua.
Beberapa detik kemudian, dia membawa senapan serbu mengejar ke koridor di sisi bar, tubuhnya tenggelam dalam kegelapan dan menghilang.
## Bagian Keseratus Tujuh Puluh Lima Semoga Bahagia
Setiap kali seluruh tubuh tegang, pikiran akan menari-nari tak karuan, memikirkan hal-hal yang tidak relevan. Namun segala reaksi di sekitar tetap tercatat utuh dalam kesadaran. Rasanya seperti terbelah menjadi dua: satu bertempur, satunya lagi hanya berdiri di belakangnya sebagai jiwa yang mengawasi segalanya. Ketenangan dan ketegangan menyatu dengan sempurna. Jantung berdetak memompa darah yang menyebar, bahkan bisa merasakan cairan merah itu mengalir deras melalui pembuluh darah yang lentur. Jiwa sang pembunuh mulai bergelora...
Peluru dimasukkan ke laras. Sekitar gelap gulita. Keributan kacau mendekat dari kejauhan, persis kebiasaan pembunuhan Dali Changdu. Dia juga menyukai rasa aman yang diberikan kegelapan ini. Jika berhasil, ini mungkin akan menjadi Pelatih Pei Luo Jia ketiga yang dibunuhnya.
Jika segalanya berjalan sesuai pola aslinya, lima tahun kemudian, Ōuchi Nagamoto akan tewas dalam suatu operasi. Tak lama setelahnya, dia yang paling ahli dalam kamuflase dan teknik menyamar akan menjadi partner baru Yoritomo Taku. Hingga Yoritomo Taku MATI... Pikirannya melayang bebas sambil mendorong pintu kamar di depannya, lalu menutupnya diam-diam. Dalam kegelapan, tercium bau darah. Sesuatu berwarna hitam terbang dari samping dan menghantam dinding dengan suara Byur! Bayangan Ōuchi Nagamoto tiba-tiba sudah berada di depan mata. Bersamaan dengan akselerasi tubuhnya, tinjunya mengayun!
Dengan kedua tangan menangkis, tubuh Jiaming terlempar ke belakang. Ōuchi Nagamoto langsung menyusul, menghunus pisau lalu menebas dengan amarah!
Cih! Bilah pisau menembus karpet. Dalam sekejap mata, Jiaming hanya menggunakan tangan kanannya yang menyentuh lantai sebagai tumpuan, memutar seluruh tubuhnya 360 derajat di udara sambil melancarkan tendangan lutut dahsyat ke sisi tubuh Ōuchi Nagamoto. Hanya dalam kedipan mata, Ōuchi Nagamoto terpental ke samping seolah dihantam meteor. Tanpa membuang waktu, kaki kanan Jiaming menjejak tanah, tubuhnya yang belum sepenuhnya mendarat melesat ke depan, menghujani Ōuchi Nagamoto dengan serangan bertubi-tubi.
Hampir taktik yang sama persis dengan yang digunakan Dai Naicho sebelumnya, perbedaannya hanya Jiaming sengaja dipukul untuk memanfaatkan gaya dorong, sedangkan Dai Naicho terpaksa. Saat tubuhnya mundur terbang, dengan susah payah ia menangkis tiga pukulan lurus, sikutannya menghalau pukulan kait ke rusuknya. Ketika sebuah pukulan lurus lagi dihadang, jari-jari Jiaming tiba-tiba menyambar, melukai dahi lawannya dengan garis darah tipis, diikuti serangan badai tendangan lutut dan sapuan kaki.
Kamar tidur raksasa selebar lebih dari sepuluh meter, dalam dua detik mereka sudah mundur sampai ke dinding seberang. Sebuah kursi hancur berkeping di tengah jalan, tiang logam ranjang berdiameter sepuluh sentimeter di tengah ruangan patah oleh tendangan. Kasur spring bed yang digunakan Dai Naicho untuk bertahan nyaris meledak di tengah, terbang terlempar dengan kapas dan per berserakan. Lemari pakaian di sisi dinding remuk ditendang, dengan ledakan Byur yang dahsyat, dinding langsung cekung seketika. Serangan itu bagaikan kereta perang yang meluluhlantakkan segala hal di depannya. Bagaimanapun Dai Naicho berusaha menghindar, Jiaming tetap menempel seperti kutu busuk.
Setelah mengalami pertempuran tak terhitung, ini pertama kalinya Dai Naicho menyaksikan wanita yang tampak anggun menggunakan teknik bertarung yang begitu keras.
Jika seorang pembunuh pria, Teknik Tempur yang murni mengandalkan kekerasan dan penghancuran seperti ini masih terbilang wajar. Di pertarungan bawah tanah kelas dunia, para petarungnya dapat dengan mudah menendang hingga mematahkan tongkat besi lebih dari dua puluh inci, membunuh beruang kutub, dengan kekuatan setiap tendangan mencapai tujuh atau delapan ratus kilogram. Metode tempur yang murni mengejar daya rusak seperti ini membutuhkan syarat pelatihan ekstrem, cukup untuk menghabiskan seluruh waktu hidup seseorang. Bagi pembunuh setara Daigento Ouchi, teknik puncak pun dapat menggantikan kekurangan kekuatan. Bahkan bertarung tangan kosong melawan petarung pasar gelap terkuat sekalipun, mereka belum tentu kalah. Pembunuh pria yang fokus pada latihan seperti ini saja sudah jarang, apalagi perempuan.
Namun saat ini, perempuan di hadapannya justru melakukan Serangan dengan cara bombardir seperti ini. Dalam kondisi mempertahankan kekuatan, hampir memaksimalkan kecepatan dan improvisasi, membuatnya terjebak di tempat tanpa kesempatan menarik senjata, mengeluarkan pisau, atau kabur. Hanya bisa menghadang, menangkis, memblokir... Dentuman di luar semakin keras, setelah lewat sepuluh detik, dia mulai melakukan serang balik...
Di ruang tamu, api berkobar-kobar dengan suara gemeretak. Sekelompok orang sedang membereskan kekacacauan. Di antara mereka, luka James paling parah—kedua kakinya hampir putus akibat tebasan pedang Ōuchi Nagataka, darah mengucur deras meski hanya mendapat pertolongan darurat. Dongfang Linghai bertanya pada putrinya: "Itukah Jian Suyan yang pernah kau temui?" Dongfang Wan yang masih terdiam hanya mengangguk. Sementara itu, Fang Zhitian memberi perintah pada semua orang.
"Ōuchi Nagataka ada di lantai satu, arah restoran. Ada seorang wanita berbaju santai hitam yang merupakan sekutu kita—hati-hati jangan sampai salah target..."
"Kami menemukan... mereka sedang bertarung dari kamar tidur utama. Ya... Tuhan..."
Riuh rendah ledakan, decak kagum, dan runtuhnya perabotan bahkan dinding menyatu dalam kekacauan. Rupanya, selain bertarung, kedua pihak juga saling menembak dan melempar granat dalam jarak dekat sebagai "bumbu" pertempuran. Personel Yan Huang Juexing sesekali melihat bayangan mereka, namun tak berani sembarangan menembak. Dari luar, terus terdengar laporan kedatangan Yoritomo Taku. Beberapa saat kemudian, Yelena yang separuh tubuhnya berlumuran darah tiba di ruang tamu.
"Yoritomo Taku mendekat dari depan. Sulit dipercaya belasan orang tak bisa menghentikannya. Sementara di sana... Nona TULIP tampaknya unggul, tapi... ini pertama kalinya aku melihat perempuan yang bertarung seperti ini. Sebelumnya, kupikir hanya pengguna kekuatan supernatural atau petarung pasar gelap yang bisa menghancurkan rumah dengan tangan kosong..."
“Yoritomo Taku pernah memiliki rekor satu lawan seratus.” Fang Zhitian merapikan lukanya, "Sedangkan di sana... merobohkan rumah dengan tangan kosong?"
"Dinding partisi tipis di sebelah kamar utama ditembus langsung dengan tendangan. Ini tidak sesuai dengan gaya bertarung Ouchi Nagamasa. Artinya, Nona TULIP itu sedang bertarung dengan metode paling ahli lawannya, dan... bahkan unggul..."
"Astaga... monster apa dia ini..."
Dalam decak kagum orang banyak, Dongfang Wan yang kurang paham bidang ini pun mengerti maksud perkataan mereka, matanya membelalak: "Me-nem-bus dinding pakai tendangan? Bagaimana mungkin? Nona Jian... dia terlihat begitu..." Tubuh Jian Suyan tidak seindah perempuan Barat, ukuran dadanya pun biasa saja, namun kesan keseluruhannya tetaplah wanita metropolitan matang yang mandiri. Keheranan sudah muncul pertama kali melihatnya dengan santai mengganyang beberapa anggota geng kriminal di jalan. Tapi sekarang mendengar kemampuannya menembus dinding beton dengan tendangan, apa itu masih manusia?
Namun Ye Lian memberi jawaban tegas beberapa saat kemudian.
"Sebagian orang memang bisa melakukannya. Dinding partisi itu hanya setebal separuh dinding utama. Mereka yang fokus pada daya rusak bahkan bisa menembus dinding luar rumah. Saya... saya juga bisa melakukannya meski sulit. Tapi baru pertama kali melihat wanita dengan daya penghancur sehebat itu, apalagi dengan... hmm... tulang selangka secantik itu..."
Sama seperti tidak bisa menemukan kata sifat yang tepat untuk Jian Suyan, Ye Lian yang baru saja menangkap bayangan itu membuat lelucon kecil. Terlepas dari bagaimana penilaian ini akan membuatnya merinding jika mengetahui identitas asli mereka, beberapa detik kemudian, suara darurat terdengar di headset. Ia saling memandang dengan Fang Zhitian dan yang lain.
"Yoritomo Taku datang, tidak perlu bentrok langsung. Kita bersiap pergi ke garasi..."
Di medan perang, mustahil bagi ahli mana pun untuk menghindari hujan peluru. Namun saat ini di malam hari, di villa besar dengan kondisi geografis relatif kompleks, tekanan perhatian Yoritomo Taku benar-benar bisa menjadi mimpi buruk bagi siapapun. Meski ada lebih dari sepuluh orang yang berjaga di sekitar Fang Zhitian, begitu mereka mempertaruhkan nyawa, kemampuan menembak akuratnya cukup untuk memusnahkan siapapun sebelum MATI.
Setelah memberi tahu Lei Xiaoyuan yang berada di bagian lain villa, Ye Lian yang lukanya baru dibalut berjalan di depan untuk melindungi Fang Zhitian dan yang lain menuju garasi melalui sisi. Saat ini total korban jiwa di dalam villa sudah mencapai 20-30 orang. Jumlah personel yang terbatas, sebagian lagi masih mencari Yoritomo Taku yang hilang dari pandangan setelah menerobos masuk. Di terowongan menuju garasi depan, Jian Suyan dan Ouchi Chosuke kembali bertempur sengit. Lebih dari sepuluh orang berjalan dengan hati-hati, suara intermiten terus terdengar di headset.
"TULIP dan Ouchi Chosuke ada di sisi kalian, kami tidak bisa menyusul. Awas..."
"Menemukan Yoritomo Taku... di... Byur——Dut——"
Pada awal berperang, beberapa orang masih merasa bersyukur karena pihak lawan hanya satu atau dua orang. Namun pada saat ini, tekanan semakin meningkat. Ye Lian berjalan hati-hati di depan, villa yang awalnya ramai kini telah berubah menjadi sunyi. Saat berpindah ke kamar sebelah, Dongfang Wan yang sedang memapah ayahnya berkata pelan: "Salah jalan, kalau mau ke garasi..."
"Tidak perlu muter-muter, hancurkan dua dinding ini, kita langsung sampai."
Tangan ditekankan ke dinding di depan. Beberapa saat kemudian, getaran tak terpercaya menyebar seperti gelombang. Braak! Debu batu berjatuhan dari dinding, meninggalkan lubang yang bisa dilalui dua orang. Dongfang Wan dan Lei Qing terlihat seperti melihat hantu - pengalaman mereka malam ini benar-benar di luar imajinasi.
Meludahkan darah, Ye Lian memanggil semua orang masuk ke kamar berikutnya. Tangannya kembali menekan dinding depan. Sebelum sempat mengerahkan tenaga, tiba-tiba ledakan dahsyat menggema dari sisi kamar. Di antara batu-batu yang beterbangan, sosok manusia terbang melayang dari arah itu. Dalam sekejap, Dongfang Wan yang berada di garis depan didorong keras oleh ayahnya. Kemudian Dongfang Linghai ikut terhantam dan terbang bersama sosok itu. Pada saat bersamaan, bayangan lain menyelinap masuk melalui lubang tersebut secepat kilat.
Kehilangan listrik di kamar, dengan kobaran api dari pertempuran dan senter pada senjata mesin, ruangan tetap terlihat remang-remang. Terdorong hingga terhuyung-huyung terlempar sejauh 2 meter, punggungnya menghantam dinding dengan keras. Dongfang Wan yang khawatir pada ayahnya tidak sempat merasakan sakit. Saat berusaha melihat ke depan, dia menyaksikan Dongfang Linghai sedang berjuang bangkit dari tanah. Di depannya, Jian Suyan menggenggam kerah baju sang pembunuh yang masih menyamar sebagai Kepala pelayan Liang Bo. Bilah pedang menembus perut atasnya dan keluar dari punggung.
Sekejap itu, Dongfang Wan teringat peristiwa di pulau kecil setelah insiden Kapal Star Dream. Saat topan datang, dia keluar untuk buang air lalu terguling lereng bukit. Ketika tentara bayaran yang terluka parah hendak menyerangnya, sebuah bayangan menyambar secepat kilat. Bilah pedang menembus tenggorokan pria itu. Selama ini dia mengira itu adalah adegan pembunuhan TULIP, pukulan sempurna dengan kekuatan dan kecepatan maksimal. Namun kemudian Gu Jiaming mengatakan dia hanya mendorong tentara bayaran itu, tanpa keterlibatan TULIP. Hingga saat ini, tusukan sempurna yang sama terulang, dia tahu akhirnya bisa memastikan kebenaran. Saat itu bukan halusinasi, Kakak Suyan inilah yang menyelamatkannya.
Melepaskan kerah baju, Fang Zhitian dan yang lain menyaksikan Da Nei Changdu yang menyerupai mimpi buruk itu terjatuh ke belakang. Saat pisau ditarik keluar dari dada, darah menyembur seperti mata air. Perempuan itu berdiri dengan satu tangan memegang pisau, bajunya berlumuran debu dan darah, jelas sudah terluka. Namun di mata semua orang saat itu, penampilannya terlihat sangat gagah. Memandangi mayat Da Nei Changdu sambil menghela napas perlahan, dia mengusap rambut hitam yang berantakan di dahinya dengan tangan kiri. Pandangannya yang dingin menyapu semua orang, setelah memastikan Fang Zhitian, James Cook dan yang lain masih hidup, dia berbicara dengan suara datar.
"Belum pergi juga."
Fang Zhitian tersenyum paksa: "Kami sedang berencana..."
Sebelum selesai bicara, wajah Jian Suyan berubah drastis. Pandangannya tertuju pada mulut terowongan yang dihancurkan Ye Lian: "Yoritomo Taku datang!" Begitu kata-kata ini terucap, semua orang langsung berpencar dalam sekejap, menodongkan senjata ke arah sana. Bayangan hitam melintas sejauh beberapa meter, menghantam koridor luar - ternyata Jian Suyan melempar mayat Da Nei Changdu ke sana. Dua Desert Eagle langsung muncul di tangannya, namun bukan diarahkan ke pintu kamar sebelah, melainkan ke dinding samping. Sebagai salah satu pistol paling mematikan di dunia, cukup dengan menarik pelatuk, tenaga pelurunya mampu menembus dinding beton itu untuk memberikan pukulan mematikan pada musuh di baliknya. Tentu saja, dengan syarat dia bisa memastikan posisi lawan di balik dinding.
Dan faktanya, dia benar-benar bisa.
Di terowongan gelap yang berantakan, seorang pria paruh baya berusia tiga puluhan mundur selangkah tanpa suara. Posisinya tepat di sudut dinding kamar bagian dalam, titik tertebal dinding yang bahkan Desert Eagle pun tak bisa menembusnya. Dengan alis berkerut, pandangannya tertuju pada mayat di depannya sambil menghela napas.
Dalam hati Yoritomo Taku, ada perasaan gagal yang sangat mendalam.
Pembunuhan bayaran kali ini merupakan langkah terpenting dalam operasi Pei Luo Jia hari ini. Fang Zhitian, Lei Xiaoyuan, dan lainnya yang datang ke Jianghai tanpa pasukan elite Yan Huang Juexing seharusnya mudah diatasi. Namun karena Kota Jianghai adalah wilayah TULIP yang misterius, mempertimbangkan kegagalan sebelumnya, akhirnya memutuskan untuk menyerang bersama Osuchi Nagamichi. Tapi ternyata TULIP tetap muncul. Kegagalan operasi ini sebenarnya bukan karena faktor itu.
Meski satu di dalam dan satu di luar, mereka bertiga memiliki metode komunikasi rahasia. Mengapa Fang Zhitian dulu bisa mendeteksi niat Osuchi Nagamichi yang masuk ke kamar? Tembakan snipenya yang seharusnya pasti mengenai target, bagaimana bisa gadis itu mendeteksi bahaya lebih dulu dan menarik Fang Zhitian menghindar? Jelaslah, gadis sakit-sakitan ini ternyata ahli super yang luput dari perhitungan mereka...
"Villa besar yang sebelumnya ramai kini sepenuhnya sunyi. Di balik kesunyian itu, terdengar suara api, derap langkah kaki di lantai yang gemerisik, napas semua orang, desis gangguan pada earphone... Setelah beberapa saat, suara berat berbahasa China yang sedikit serak terdengar: \"TULIP? Atau Jian Suyan?\""
Laras senjata bergeser sedikit. Di tengah kerumunan, Jiaming berbicara dengan datar: "Kau punya satu kesempatan... Sebenarnya semua pembunuh hanya punya satu kesempatan. Mau mencoba? Seperti Da Nei-san."
"Kali ini kami tetap kalah." Beberapa saat kemudian, jawaban Yoritomo Taku datang, "Tapi mulai hari ini, kau secara resmi menyatakan perang pada Pei Luo Jia. Kali ini kau bisa lindungi Fang Zhitian, James. Tapi bisakah kau lindungi semua orang? Misalnya tiga anak itu, bu guru itu, atau..."
“Contoh lain gadis penjual mie di Hokkaido itu?” Jiaming membuka suara, nada marah samar yang mengandung sedikit ironi, “Usianya 25 tahun, sudah waktunya menikah. Di hari pertemuan kalian, kau membunuh dua orang. Tugas tidak terselesaikan. Kau bilang padanya kau seorang nelayan yang suka berlayar saat ombak terbesar. Dia minta traktiran sashimi paling otentik… Pertemuan kedua kalian di Gunung Fuji. Karena kau bilang tinggal di Tokyo, dia nekat melihat sakura. Saat tiba, bunganya sudah rontok. Dia menunggumu seharian di bawah pohon sakura. Sayangnya waktu itu kau di Yokohama, kebetulan tidak menerima pesan telepon. Dompetnya dicuri, dia tidur semalaman di jalanan. Saat kau tiba, flu beratnya hampir memicu TBC. Sungguh gadis lembut dan rentan, Yoritomo-san. Perlukah kusebut namanya?”
Dalam kegelapan, tak ada jawaban dari Yoritomo Taku. Namun dalam sekejap, semua orang bisa merasakan getaran keterkejutan itu. Pembunuh paling menghindari kelemahan. Tapi siapakah Nona Jian Suyan ini, bisa mengetahui kelemahan Yoritomo Taku sedetail ini… Dua detik berlalu, sorot mata Jian Suyan membeku: “Kita sama-sama manusia. Jangan paksa aku bersenang-senang.”
“…Mulai hari ini, aku tak akan ikut campur dalam urusanmu. Tapi jika sesuatu terjadi padanya…”
Tak seorang pun menyangka Yoritomo Taku akan mengucapkan kata-kata seperti ini. Namun, perkataan Jian Suyan juga perlahan mulai melunak: "Tenang, aku juga suka mie yang dia masak. Tapi jika kau benar-benar tak ingin dia terluka, cepatlah melamarnya. Jelaskan semua, lalu antarkan dia ke tempat yang menurutmu paling aman... Dia hanyalah wanita biasa. Tak mungkin menunggumu seumur hidup. Jika dia menikah dengan pria tak baik dan terluka, tangisanmu takkan bisa mengembalikannya..."
Seharusnya mereka adalah dua orang asing yang bermusuhan, tapi keakraban saat ini tak terasa janggal. Tak ada lagi suara balasan dari Yoritomo Taku. Beberapa saat kemudian, Jiaming menurunkan laras senjatanya. Kehidupan sebelumnya yang penuh pembunuhan dingin membuatnya jarang merasakan kehangatan. Setelah diterima Yoritomo Taku sebagai kawan, kunjungan mereka ke warung mie itu - semangkok mie yang dihidangkan wanita bersuami itu - memberinya kehangatan, sekaligus menyadarkan kesedihan tersembunyi di hati Yoritomo Taku.
"Pembunuh tak pantas punya rumah. Orang kotor seperti kita..." Ujian hidup Yoritomo Taku itu diucapkan tepat ketika reputasi Jiaming sebagai pembunuh nomor satu mencapai puncak. Saat itu Jiaming hanya mendengar tanpa memahami. Ia tak pernah merasa mulia maupun kotor. Tapi ia tahu, pukulan karena pernikahan wanita itulah yang menjadikan Yoritomo Taku pembunuh terhebat sejati.
Tapi, kehidupan wanita setelah menikah tidak bahagia, bertahun-tahun disiksa suami, namun pembunuh terkuat di dunia sama sekali tidak berani menyerang untuk hal ini. Dia hanya berharap di matanya, dirinya selamanya tetap nelayan lugu yang agak pengecut itu, dan nelayan takkan MEMBUNUH.
Setelahnya Jiaming beberapa kali mengunjungi kedai mi itu, mengobrol ringan dengan wanita itu tentang kabar Yoritomo Taku, tentu saja karangan belaka. Setelah Yoritomo Taku MATI, dia membawa guci abu dan seluruh harta Yoritomo Taku kesana, menembak habis suami pemabuk wanita itu dengan satu peluru, menceritakan Segalanya padanya, sejak itu tak pernah lagi ke Hokkaido. Hidup pembunuh tampak berwarna-warni, tapi sebenarnya dingin tak terucapkan, hanya beberapa mangkok mi Hokkaido itu yang masih menyimpan kehangatan samar, membawa sedikit warna duniawi.
Ucapan yang perlu disampaikan sudah kusampaikan, semoga kau bahagia, Teman lama... Setelah bahagia, takkan ada Raja Pembunuh yang lebih kuat lagi yang membuatku khawatir...
Menyeringai, dia bersiap pergi, seiring dengan itu suara Fang Zhitian terdengar dari belakang: "Yang... Nona Jian Suyan, bisakah kita bicara?" Menoleh ke belakang, wajah Fang Zhitian penuh ketulusan, "Atas seranganmu hari ini, saya mewakili seluruh [] mengucapkan terima kasih, selain itu ada beberapa hal yang kami harap bisa mendapatkan petunjuk dan arahan Nona Jian, tidak tahu..."
“Ha…” Melirik Fang Zhitian, wajahnya yang berlumuran darah dan debu menampilkan senyum memikat. Kobaran api membentuk pinggiran emas yang berkilauan di profilnya, “Kau sudah menikah, kan? Ganteng?”
“Eh…” Mendengar penyebutan itu, Fang Zhitung tertegun sebentar. Dibandingkan Dongfang Linghai dan Lei Xiaoyuan yang sudah berusia 40-an, Fang Zhitian yang baru 39 tahun memang yang termuda. Di beberapa kesempatan, dia memang dipanggil ‘ganteng’, tapi kali ini panggilan itu terdengar aneh di telinganya.
“Kalau sudah menikah, jangan ganggu aku. Aku sudah punya pacar.” Desert Eagle di tangannya berputar beberapa kali sebelum dimasukkan ke kantong. Tatapan Jian Suyan menjadi dingin, “Aku warga biasa yang taat hukum. Sesekali bantu tangkap pencuri bukan berarti aku mau jadi polisi. Kalian cukup urus tugas kalian, halangi Pei Luo Jia di seberang lautan, maka kami rakyat kecil akan tenang. Aku masih ada janji, dah…”
Dengan gaya percaya diri, bayangan hitam itu melangkah keluar dan menghilang dalam kegelapan. Persis seperti Yoritomo Taku yang pergi tadi, tak ada yang bisa melacak jejaknya…
10 Mei 1998, Pei Luo Jia melancarkan aksi pembunuhan besar-besaran terhadap pimpinan []. Dua misi sukses: Lin Shenghuang dari Keluarga Lin dan Lai Fuxing dari Keluarga Lai, anggota pimpinan tertinggi [], tewas. Di Jianghai, Yoritomo Taku bertarung melawan Jian Suyan berkode TULIP dan kembali pulang dengan tangan hampa. Pembunuh tingkat khusus Pei Luo Jia, Dainei Changdu, MATI.
Konflik di Dunia Kegelapan Asia Timur akhirnya naik level menjadi konflik bersenjata, setelah sebelumnya saling melakukan deterensi dan pengujian. Pei Luo Jia bentrok dengan [].
## Bagian ke-176 Terungkap
Langit masih remang-remang. Setelah membeli bubur delapan harta yang dijajakan di pinggir jalan di luar rumah sakit, toko bunga di sebelahnya juga kebetulan baru buka. Jiaming membeli beberapa tangkai mawar china, dipadukan dengan pakis dan baby's breath lalu dibungkus menjadi satu buket. Petugas pos mengantarkan koran Jianghai edisi hari ini yang masih hangat dari cetakan. Melirik sekilas, operasi besar-besaran penertiban geng kriminal semalam mengejutkan menjadi headline utama. Menggelengkan kepala sambil tersenyum, tak bisa menahan diri mengagumi reaksi cepat media ini.
Melangkah masuk melalui pintu gerbang rumah sakit, terlihat belasan korban luka yang dipimpin Ye Lian sedang berjalan sambil bercanda menuju gedung rawat inap setelah menerima pertolongan pertama di bagian gawat darurat. Orang-orang seperti Fang Zhitian tentu tidak akan menginap di rumah sakit ini, namun alasan kedatangan Ye Lian dan kawan-kawan bisa ditebak Jiaming. Yoritomo Taku baru saja melakukan percobaan pembunuhan yang gagal, dan kemungkinan masih penahan di Jianghai. Kedatangan mereka diam-diam untuk menjaga Shasha yang dirawat inap juga merupakan bentuk diplomasi tidak langsung kepada Jian Suyan.
Melihat Jiaming yang datang, kelompok Ye Lian dan lainnya justru memberi komentar sambil tertawa cukup lama, mungkin sedang memberitahu kawan bahwa dia adalah salah satu dari tiga anak itu. Semalam Jiaming sempat berpapasan dengan beberapa orang di sini, namun sekarang penampilannya: memakai seragam sekolah yang kurang pas, rambut agak acak-acakan, penampilan biasa, di pundak membawa dua tas sekolah miliknya dan Lingjing, tangan kiri membawa termos berisi bubur delapan harta, tangan kanan memegang seikat bunga, sosok remaja 15-16 tahun yang sangat biasa. Meski tinggi badannya tak bisa diubah, takkan ada yang menyangkanya sebagai Jian Suyan si cantik perkasa dan santai dari kemarin malam.
Memahami karakter Yoritomo Taku dengan baik, Jiaming cukup yakin dia tak akan mengincar Shasha lagi. Tapi tak ada yang mutlak, jadi kehadiran personel [] untuk membantu pertahanan, meski tak berarti besar, tetap dihargai Jiaming. Bagi dia, Shasha dan Lingjing lebih berharga dari dunia ini. [] sendiri memang selalu terpercaya dalam hal pertahanan sekutu.
Faktanya, Jiaming tidak memiliki kebencian terhadap Pei Luo Jia, juga tidak memiliki jiwa patriotik. Kini ketika direnungkan, seandainya dulu dia tega tidak menyelamatkan Marilyn dan Tsukike Kaoru, pasti tidak akan memindahkan dana lebih dari 7 miliar untuk Kelly Vernam karena rasa krisis, dan tidak akan memicu Peristiwa Kapal Star Dream. Jika serangkaian efek domino ini tidak terjadi, hidupnya pasti akan jauh lebih santai. Tapi karena semuanya sudah terjadi, tak ada gunanya lagi menyesali. Yang dia kejar dalam hidup kedua ini adalah kebebasan. Jika hal yang ingin dilakukan pun tak bisa diwujudkan, lalu apa artinya hidup? Karena itulah, kali ini dia harus menyerang untuk menyelamatkan Fang Zhitian dkk. [] adalah zona penyangga antara dirinya dengan Pei Luo Jia. Jika zona ini hilang, pasti dia akan terkena dampak serangan mematikan Pei Luo Jia.
Melewati terowongan kamar di bagian rawat inap, beberapa anak buah Shazhu Bang sedang duduk di luar kamar pasien Shasha. Setelah memberi salam, mereka mendorong pintu masuk. Lingjing sedang mengenakan baju di ranjang pasien sebelah. Melihat orang masuk, dia buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya. Setelah mengenali Jiaming, barulah selimut diturunkan. Matanya melotot sebentar ke arah Jiaming, lalu berkata: "Pastikan tidak ada yang masuk." Baru kemudian melepas piyama, memperlihatkan torso yang indah. Shasha tidur di ranjang tengah, alisnya berkerut halus.
"Apa Shasha sempat bangun tadi malam?" Tanya Jiaming sambil memasang rangkaian bunga.
“Hmm, jam sebelas bangun sekali, nanya tentangmu. Aku cuma bilang Ibu menyuruhmu pulang tidur.” Sambil memakai celana panjang dan kaus kaki katun tipis, Lingjing duduk di tepi ranjang menyibakkan poni di dahinya, menatap Jiaming yang sedang mengamati ekspresi Shasha. “Semalam... semalam dengar orang-orang di luar bilang, polisi dan pasukan polisi bersenjata beroperasi sekaligus. Yong Sheng habis dibabat dalam semalam. Bos Yong Sheng ditangkap lalu menghilang. Jiaming, kamu... kamu tidak terluka kan...”
“Hmm, itu bukan aku yang lakukan, aku baik-baik saja.” Menoleh ke Lingjing yang terlihat ada lingkaran hitam samar di matanya, pasti semalam dia menemani Shasha yang baru dioperasi sambil khawatir dengan dirinya yang sedang MEMBUNUH di luar. Tidurnya juga tidak tenang. Jiaming mendekat dan merangkul bahunya, Lingjing pun memeluknya erat sambil tetap duduk di tepi ranjang.
“Tenanglah, aku di sini.”
“Hmm...” Lingjing mendengus pelan, dahinya menggesek lembut dada Jiaming. Setelah berpelukan cukup lama, tiba-tiba Lingjing melepaskan diri dengan senyum ceria: “Sudah, begitu tahu kau baik-baik saja aku lega. Aku mau ke kantor Ibu untuk gosok gigi cuci muka. Untuk sarapan, aku mau mangkuk besar ya!”
“Boleh, asal habis.”
“Pasti habis!” Melompat turun dari ranjang, Lingjing menarik tali sepatu sambil berjingkrak-jingkrak. “Mood sudah membaik, perut otomatis jadi lebih lapang!”
“Oh? Benarkah?”
“Cih.” Melihat Jiaming memandangi perutnya dengan pandangan menggoda, Lingjing melotot padanya sambil tersenyum, "Kau jangan harap aku mau memberimu anak sekarang, aku tidak mau lari membawa bola di usia enam belas tahun. Ayah ibu pasti akan membunuhku!"
Mengangkat bahu, Jiaming memandang Lingjing yang berlari keluar seperti angin, lalu tertawa gembira.
Membuka tirai, membagi sarapan ke dalam mangkok, saat sinar matahari keemasan menyinari dari jendela, Sha Sha mengerang perlahan sambil membuka mata malasnya. Melihat Jiaming di tepi ranjang, senyum lembutnya mengembang: "Hmm, selamat pagi."
"Selamat pagi, istri."
Dengan lembut menopang tubuh Sha Sha sedikit lebih naik, mungkin menyentuh luka operasi usus buntu, alis Sha Sha berkerut perlahan. Jiaming bertanya: "Luka bekas operasinya sakit?"
"Hmm, mulai sakit sejak obat bius habis tadi malam, tapi tidak apa-apa." Dia menegakkan dagunya sambil tersenyum, "Masih bisa ditahan."
"Cih, perutmu sudah dibedah masih bilang bisa ditahan? Luka di tangan bagaimana? Parah?"
“Kemarin malam saat terbangun sudah kulihat, hanya memar sedikit, Ibu Ye juga sudah membalut lukaku. Hei, ngapain kamu...” Shasha sedikit melawan, tapi sama sekali tidak kebal terhadap tindakan Jiaming melepas kancing bajunya. Dengan setengah menolak setengah menyerah, ia membiarkan kemejanya terbuka memperlihatkan bra dan perban di lengannya. “Lihat, sudah sembuh kan? Masih mau membuka perban untuk diperiksa? Sebenarnya tidak parah. Kalau tadi perutku tidak tiba-tiba sakit, pasti sudah kuhajar semua orang itu... Hei, ngapain masih dilepas lagi...”
“Pengin lihat bekas sayatan operasimu...”
“Tapi ini rumah sakit...”
“Justru karena di rumah sakit jadi terasa menarik.”
“Gila... Kamu kebanyakan nonton kaset video godaannya seragam...”
“Tapi semua kaset itu kan kamu yang bawa pulang...”
Shasha yang baru dioperasi memang tak punya tenaga melawan. Setelah berusaha menghalangi, akhirnya bajunya terbuka sepenuhnya oleh Jiaming. Bekas jahitan pisau di sisi bawah perutnya terlihat. Shasha bergumam: “Pasti akan meninggalkan bekas luka yang jelek kali ini.”
“Cantik kok, aku suka.” Jiaming mengangkat kepala sambil tersenyum.
“Tapi aku tidak suka.”
“Yang penting cuma aku yang lihat. Selama aku suka, cukup.”
“Cih...”
"Meski mulutnya tidak mengiyakan, senyum puas tetap muncul di wajah Shāshā. Tangannya diletakkan di kedua sisi, membiarkannya mengamati bekas luka itu. Karena sayatan pisau dibuat agak ke bawah, untuk menghindari rasa sakit, garis celananya kini juga diturunkan cukup rendah. Garis selangkangan di antara pahanya sudah mulai samar terlihat. Berdasarkan pengenalan Jiaming terhadap tubuhnya, tentu dia tahu bahwa sedikit saja menurunkan lebih jauh, akan terlihat area paling menggoda. Setelah beberapa saat, Shāshā mulai menyadari nuansa menggoda ini. "Kau mau lihat sampai kapan?" ujarnya mendengus, berusaha menarik selimut. Namun Jiaming sudah mulai membungkukkan tubuhnya.
"Aku ingin mencium sana."
"Ah... Hh, tidak boleh! Aku masih sakit, dasar mesum... Hmm... Nn..."
Bibirnya dengan lembut menempel. Lembut, hangat, lembab, dan sedikit perih karena lukanya. Tangan yang awalnya ingin menghentikan Jiaming, kini terpaut di kepalanya. Perlahan kekuatannya menguap. Perasaan tak terlukiskan mengalir dari dalam hatinya. Duduk terpaku, matanya berkaca-kaca menyaksikan pemuda yang membungkuk di atas perutnya...
Bukan hanya mereka yang terus merindukannya. Di saat mereka bergantung di sisinya, pria ini pun sama merindukan mereka...
Saat berikutnya, pintu terbuka.
"...Mengenai operasi ranjang nomor tiga... Eh?"
Jiaming dan Shasha mengangkat kepala melihat ke pintu sambil, Duan Jingxian yang pertama kali melangkah masuk ke pintu kamar pasien terpaku melihat pemandangan di depan. Dengan refleks menahan perawat yang hendak masuk belakangan, ketiganya saling menatap dengan lubang besar dan kecil saling menatap cukup lama. Duan Jingxian berkedip memalingkan pandangan: "Hmm, itu... Batuk... Batuk... Kami akan kembali nanti..."
Setelah berkata demikian mundur selangkah sambil menutup pintu kamar.
Di ranjang pasien, Shasha menarik selimut sambil mengeluarkan suara kesal: "Ini benar-benar MATI, kau si mesum..."
"Itu... Jiaming dan Shasha sedang berpacaran?"
Masuk ke kantor, Ling Jing sedang mencuci muka. Duan Jingxian meletakkan folder sambil bertanya dengan cemas: "Tadi mau menyelesaikan pemeriksaan kamar lebih awal, saat membuka pintu melihat Jiaming dan Shasha... Hmm, Jiaming membuka baju Shasha, sepertinya sedang mengamati luka itu dengan teliti... Hmm, rasanya aneh..."
"Hmm, hehe... Hehe..."
Mengangkat kepala, wajah Ling Jing menampilkan senyum canggung: "Ibu, jangan sampai bocor ya..."
“Tentu saja tidak, aku juga bukan pembual. Lagipula ayah Shasha juga tidak peduli.” Sambil tersenyum berjalan mendekat dan merangkul bahu Lingjing, dia menatap wajah cantik putrinya yang mirip dengannya di cermin, “Tapi, aku dan papamu selalu berpikir kamu dan Jiaming akan menjadi pasangan, kemarin masih bicara dengan Liu Zheng tentang pertandingan, ah, siapa sangka keluarga kita kalah…”
Merasa tubuh putrinya sedikit kaku, Duan Jingxian buru-buru membenarkan: “OK, OK, aku mengerti aku mengerti, aku dan papamu juga tidak ingin benar-benar menjodohkanmu, hanya merasa Jiaming memang baik, kalau kamu hanya menganggapnya sebagai teman, ya sudah tetap berteman saja, kami tidak akan memaksakan apa-apa… Hmm, cuma papamu selalu ingin menyerahkan perguruan silat padanya, sekarang… Oh ya, Jiaming sudah bersama Shasha, apakah tinggal bertiga bersama selama ini memberimu dampak…”
“Gak apa-apa kok, Bu.” Lingjing tersenyum, “Kami awalnya berteman, baru kemudian pacaran. Kami bertiga sudah bermain bersama sejak kecil, menurut Ibu apakah pacaran lebih penting daripada pertemanan? Apalagi Jiaming dan Shasha juga tidak melakukan berbagai hal yang tidak karuan…”
“Heh, Ibu hanya takut putriku jadi bola lampu yang diremehkan orang…”
“Berani-beraninya mereka!” Lingjing mengacungkan kepalan tangannya.
……
……
Angin pagi berhembus lembut, sepeda meluncur lincah di jalan menuju arah Akademi Hati Kudus.
Duduk di jok belakang, Lingjing memeluk erat pinggang Jiaming sambil bercerita tentang percakapannya dengan ibu tadi.
“Sepertinya, seumur hidupku aku harus menjadi selir dan istri mudamu...”
Setiap kali topik seperti ini muncul, Jiaming biasanya tidak banyak membela diri, hanya berkata: "Maafkan aku." Tapi kali ini, sebelum Jiaming sempat merespon, dia dengan keras menekankan pipinya ke punggung Jiaming sambil tertawa: "Jangan minta maaf, ini bukan salahmu. Aku dan Kakak Shasha yang memaksamu. Kau juga tidak boleh mengeluh, cukup perlakukan kami berdua dengan baik, hehe..."
Tawa merdu seperti lonceng perak beterbangan dari jok belakang sepeda. Dalam cahaya fajar yang cerah, hari baru pun dimulai lagi.
## Volume Kelima Dunia yang Penuh Cinta
## Bagian Seratus Tujuh Puluh Tujuh Bengkel Senjata Pembunuh
Dalam kegelapan, mata singa bergerak dengan ganas dan tajam.
Pandangan ditarik ke atas. Di padang rumput yang gelap oleh malam, beberapa singa ganas membentuk lingkaran separuh bulan secara diam-diam. Di depan, kawanan kerbau yang sedang berjalan menyadari keberadaan singa. Mereka membentuk formasi pertahanan, para banteng jantan menyusun barisan depan dengan tanduk keras selebar satu meter yang siap siaga.
Singa mulai menyerang.
Setelah sedikit pergumulan, seekor kerbau berukuran lebih kecil terguling setelah digigit. Tapi kawanan kerbau sama sekali tidak mundur. Seekor banteng jantan lain berlari menghantam, menghempas singa itu terbang. Tak lama kemudian, kawanan singa pun mundur dengan kekalahan.
"Splash——"
Suara pintu terbuka, cahaya lampu menyala dari samping, kabut air yang bergelombang. Yang pertama muncul dalam pandangan kami adalah sepasang betis putih mulus tanpa cela, di kaki mengenakan sandal dengan motif pisang yang lucu. Dongfang Wan yang baru selesai mandi dan mengenakan kaus pendek tipis keluar dari kamar mandi, melirik acara Dunia Hewan yang sedang tayang di TV, mengambil remote control dan mematikannya, berjalan dua langkah lalu kembali untuk menyalakannya lagi, membiarkannya menyala begitu saja.
Hmm, memang Dunia Hewan.
Menyalakan lampu kamar, kemudian suara pengering rambut terdengar. Dalam kegelapan malam yang sejuk, riuh rendah diskusi dan keriuhan dari bawah terus bergelombang datang. Ia mengerutkan alis, lalu mematikan suara TV sepenuhnya.
Setelah peristiwa tanggal 10 Mei, luka Dongfang Linghai sangat parah dan sejak itu terus dirawat di rumah sakit. Sejak itu, Dongfang Wan juga mulai lebih banyak berhubungan dengan alasan sebenarnya di balik []. Organisasi besar yang ada di dalam Tiongkok ini sebenarnya merupakan gabungan kekuatan yang melintasi dunia politik dan ekonomi. Bagian yang lebih ketat dari organisasi ini pada dasarnya diatur oleh pemerintah, seperti Keamanan Nasional dan beberapa lembaga khusus lainnya. Kekuatan dari luar relatif lebih longgar, seperti berbagai kelompok besar dan keluarga besar. Mereka melalui organisasi ini memperoleh data dan intelijen, melawan organisasi sejenis di luar negeri, melindungi kepentingan mereka dari ancaman, sekaligus juga membantu operasional organisasi dengan dana, maju dan mundur bersama kawan-kawan lainnya.
Di antara ini, keluarga Dongfang sudah termasuk keluarga yang terlibat dalam lingkaran dalam []. Namun meskipun di Kota Jianghai disebut sebagai perusahaan keluarga besar nomor satu, posisi mereka dalam [] hanya bisa dianggap sedang-tinggi. Adapun Fang Zhitian, Lei Xiaoyuan dan lainnya, merekalah yang termasuk dalam lingkaran pengambil keputusan [], tidak hanya memiliki kekuatan ekonomi yang kuat, tetapi juga pengaruh politik yang sangat besar.
Setelah upaya pembunuhan besar-besaran itu, dua petinggi tertinggi [] menjadi target pembunuhan. Dampak setelahnya tentu membuat [] gempar, hal ini juga secara tidak langsung mempengaruhi keluarga Dongfang. Hubungan internal keluarga Dongfang sendiri awalnya tidak harmonis. Paman kedua Dongfang Wan, Dongfang Yuanming, sejak dulu memang tidak puas dengan Dongfang Linghai. Saat Dongfang Linghai terluka parah dirawat di rumah sakit, Dongfang Yuanming yang mengetahui perubahan internal [] menganggap keluarga harus memanfaatkan kesempatan ini untuk naik posisi. Sejak itu ia mulai tampak gelisah, akhir-akhir ini sering mengunjungi rumah dengan sekelompok orang untuk "kunjungan keluarga", sesekali mempertanyakan keputusan-keputusan Dongfang Linghai sebelumnya, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan menjebak pada Dongfang Lu - pewaris resmi garis keturunan Dongfang Linghai. Meski Dongfang Lu berbakat cerdas dan mampu menanggapi dengan cukup baik, setiap malam mendengar diskusi-diskusi penuh niat jahat dari bawah ini tetap membuatnya merasa sulit ditahan.
Di sisi lain, Lei Xiaoyuan untuk sementara belum pergi dari Jianghai, Lei Qing terus mencari-cari kesempatan untuk mengganggunya. Ayahku dirawat inap, keluarga seperti kehilangan sandaran harapan, untuk sementara dia tidak punya keinginan menghadapi si pemboros kelas kakap yang sama sekali tidak nyambung ini. Namun setelah mengetahui alasan sebenarnya di balik [], dan memahami posisi Keluarga Lei, dia semakin tidak tegas menolak mereka. Situasi keluarga saat ini tidak baik, bagaimanapun tidak boleh lagi cari masalah.
Kakak hanya lebih tua satu tahun dariku, tapi sudah mengenal [] dan mengikuti pelajaran manajemen perusahaan resmi sejak jauh lebih awal. Saat kecil aku bisa bermain-main sementara kakak dipaksa belajar, dulu cukup sombong. Belakangan saat aku tertarik pada hal-hal ini, setelah belajar mandiri kukira perbedaannya tidak jauh. Tapi melihat kakak yang begitu lihai menghadapi sekumpulan veteran licik, barulah kusadari betapa besar perbedaan antara kami berdua.
Bagaimanapun, harus melakukan sesuatu...
Rambut sudah hampir kering, dia mematikan pengering rambit dengan kesal. Pandangannya tanpa sadar tertuju pada model pesawat yang sudah terurai di meja belajar. Awalnya dikira bisa dengan mudah dirakit kembali, tapi sudah setengah bulan sejak dibongkar baru mengerti struktur dasarnya. Meski sempat tertunda beberapa hari karena kekacauan, total penelitiannya sudah lebih dari sepuluh hari. Bahkan sempat berkonsultasi dengan profesional di perusahaan keluarga. Sekarang dia punya ide untuk benda ini, tapi... harus melalui Gu Jiaming? Ini bikin tak nyaman.
Untuk urusan TULIP alias Jian Suyan, [] yang sudah mendapat peringatan tidak berani melakukan penyelidikan terbuka. Tapi analisis diam-diam terus berjalan. Saat ini hanya dua orang yang diketahui punya koneksi dengan Jian Suyan: Guru Yahan dan Gu Jiaming yang mengklaim Jian Suyan adalah calon istrinya. Dari informasi yang didapat di tempat Guru Yahan, hubungan Gu Jiaming dengan Jian Suyan ternyata lebih intim. Setiap ingat ini, perasaan Dongfang Wan terhadap Gu Jiaming makin kompleks.
Di satu sisi merasa Gu Jiaming sangat menyebalkan, di sisi lain harus mengakui kelebihannya. Ingin tahu tentang Jian Suyan tapi sebutan "calon istri" itu tak tertahankan. Gelar Mutiara atau "bunga di kotoran sapi" pun tak cukup gambarkan kemarahannya. Karena emosi ini, selama lebih dari sepuluh hari terakhir dia sengaja menghindari kontak dengan Gu Jiaming.
Namun, tidak mengacuhkannya bukan berarti bisa mengabaikannya. Meski Gu Jiaming selalu minim eksistensi di kelas, Dongfang Wan yang telah memperhatikannya justru bawah sadar mengamati keributan di sekitarnya. Belakangan ada satu hal yang membuatnya merasa aneh sekaligus agak bahagia: Hubungan Jiaming dengan Guru Yahan, sepertinya sedang mengalami pertengkaran hebat...
Mengatakan "bertengkar hebat" mungkin terlalu serius, tapi hubungan antara Jiaming dan Yahan memang mencapai kebuntuan terparah sepanjang sejarah.
Pada malam 10 Mei, Jiaming tidak muncul di hadapan Yahan. Tepat sehari setelahnya, Yahan memberikan catatan pelanggaran besar padanya. Ketika bertemu di Area pengajaran, Jiaming mungkin menceritakan hal tentang usus buntu akut Shashasa, lalu meminta maaf. Yahan terdiam sejenak saat itu, ekspresi di wajahnya tampak jauh lebih lembut. Setelah menanyakan beberapa situasi Shashasa, kemudian membuat janji akan mengunjungi Shashasa di rumah sakit, namun juga tidak ada tindakan lebih lanjut, segera pergi.
Keesokan harinya, Yahan melalui bagian administrasi sekolah mengumumkan bahwa hukuman besar itu tidak dihitung. Karena Shasha sedang dirawat inap, Yahan yang memahami hubungan mereka pun tidak lagi menyuruh Jiaming membersihkan ruangan pada malam hari. Namun sepertinya hal ini hanya berhenti sampai di sini. Yahan sepenuhnya menjadi guru berwajah dingin yang selalu ia perankan - cerdik, efisien, dan tegas. Setiap hari dengan ombak besar yang matang, mengenakan kacamata hitam besar besar, dan gaun kerja abu-abu, ia menangani setiap urusan dengan teratur. Meski kecantikan dan postur tubuhnya masih menarik banyak perhatian, termasuk dari Xu Mo, setiap orang pasti akan ditolaknya dengan sikap yang lebih terampil namun lebih dingin. Terhadap Jiaming tidak ada lagi sikap khusus, tidak ada senyum, tidak ada obrolan santai, tidak ada sikap kekanak-kanakan yang manja, dan tentu saja tidak lagi memanggil "Kakak Jiaming".
Dalam hal pekerjaan, ia memang memiliki izin akses yang sangat tinggi di sekolah. Awalnya ia hanya bertanggung jawab pada hal-hal penting seperti keuangan, urusan sepele sebisa mungkin dihindari. Namun sekarang, ia mengambil alih semua tanggung jawab yang mungkin ada, menangani setiap urusan secara langsung. Konon ia bekerja hingga larut malam setiap hari, hampir seperti manusia besi. Mahasiswa mungkin tidak terlalu merasakan perubahan ini, namun di kalangan guru, beberapa merasa lega sekaligus mendapat tekanan besar. Sayangnya dengan dukungan penuh keluarga besar Zhang di belakang Yahan, tidak ada yang bisa protes.
"Waktu sampai di bulan Juni, pada dasarnya tidak ada lagi persinggungan antara Jiaming dan Yahan. Hal-hal sebelumnya jelas masih berpengaruh pada Yahan, pengaruhnya adalah: Ketika Jiaming tidur terang-terangan di kelas atau melanggar aturan apapun, Yahan tidak akan menegur. Dalam kadar tertentu, dia sudah sepenuhnya menganggap Jiaming sebagai udara, baik tidak disengaja maupun sengaja."
"Persahabatan ini bisa dibilang telah hancur, meski agak menyedihkan, tapi Jiaming juga kurang lebih memahami pikiran Yahan. Membiarkan hubungan mereka memudar seiring waktu mungkin merupakan pilihan terbaik. Dengan pemikiran seperti ini, suatu hari di awal Juni, akhirnya mereka berdua melakukan kontak lagi. Saat pulang sekolah hari itu, Yahan menyetir mobil tuanya mendekati Jiaming, mengeluarkan kepala dari dalam."
"Ada hal yang ingin kubicarakan, boleh?"
"Oh."
"Membuka pintu mobil dan masuk, Yahan memarkir mobilnya di pinggir jalan, menarik napas dalam-dalam seolah menyusun kata-kata yang ingin diucapkan."
"Belakangan ini, emosi Xu Yiting terus-menerus murung. Kemarin lusa aku menemui dia, dia sepertinya ingin membeli narkoba lagi. Sudah kubicarakan lama, tapi tak tahu hasilnya..." Bagaimanapun sikap dinginnya, sejauh apapun menjaga jarak dari Jiaming, Yahan tetaplah Yahan yang tidak bisa meninggalkan gadis seperti Xu Yiting. Kali ini dia melirik Jiaming lewat kaca spion dengan pandangan sedingin mungkin, lalu memalingkan muka.
“Setelah papanya MATI, dia selalu tinggal sendiri, di kampus juga tidak punya Teman. Keluarga Huang meski sudah memaafkannya, tapi basically membiarkannya bertahan hidup sendiri. Aku ingin dia pindah tinggal bersamaku tapi dia menolak, sekarang aku juga banyak urusan, tidak tahu cara apa yang bisa membantunya. Tapi dulu dia sangat takut padamu... Hmm, maksudku saat kau berperan sebagai Jian Suyan... Waktu itu aku meyakinkannya setengah hari mungkin dia tetap tidak mau makan, tapi begitu kau marahi, meski sambil muntah dia tetap makan. Jadi aku harap bisakah kau membantu menasihatinya, asalkan dia berhenti jadi pecandu narkoba, selain itu aku sudah tidak punya cara lagi...”
Menghibur orang jelas bukan keahlian Jiaming, tapi karena ini permintaan Yahan, dia mengangguk: "Hmm, baik, aku akan bicara padanya. Jika dia masih menggunakan narkoba, aku akan... Heh..."
"Hmm. Terima kasih."
Sebenarnya ingin melontarkan bahan ejekan, kalau dulu Yahan pasti tertawa terbahak-bahak karena hal sepele. Sekarang dipikir-pikir lebih baik diurungkan. Yahan mengucapkan terima kasih lalu diam, tanda perintah untuk pergi.
"Kalau begitu... Sampai jumpa, Bu Guru Zhang..."
Mendorong pintu mobil keluar, melewati jendela depan, Yahan menempelkan dahinya perlahan pada kemudi, profil wajahnya datar tanpa ekspresi, mata terpejam.
Menghela napas, Jiaming berjalan ke depan. Sebelum keluar gerbang kampus, Yahan menyetir melewatinya. Kemudian menyusul bayangan lain berlari dari belakang, itu Dongfang Wan. Menarik tali tas sekolah, ekspresinya terlihat serius.
“Halo, Gu Jiaming, ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu. Cari tempat yang baik, ya?”
“Eh? Hal apa?” Belum pernah ada preseden di mana Dongfang Wan dan dirinya perlu mencari tempat untuk berbicara secara resmi. Jiaming mengedipkan matanya, diam-diam bertanya-tanya kenapa hari ini semua orang punya urusan penting.
“Baiklah, langsung ke intinya saja.” Melihat Jiaming tidak berminat mengikutinya, Dongfang Wan mengeluarkan beberapa komponen kecil dari tasnya. “Ini kucabut dari helikoptermu. Apa semua ini hasil ciptaanmu sendiri?”
Sudah mengerti garis besar masalahnya, Jiaming tetap mengedipkan mata dengan wajah polos, menjawab ambigu: “Eh... Ada masalah?”
“Kamu belum mengajukan hak eksklusif.”
“Hmm...”
“Begini, aku ingin mendirikan perusahaan mainan model. Jika kau mau, barang-barang ini bisa kudaftarkan hak eksklusifnya. Dengan koneksi keluarga Dongfang, prosesnya akan cepat. Kau tak perlu mengurus apa-apa. Aku akan membeli hak eksklusifmu atau bagi hasil sesuai keuntungan. Draft perjanjian akan kusiapkan setelah konsultasi dengan ahli. Menurutku, tak ada alasan bagimu untuk menolak.”
Mengingat karakter malas Jiaming, Dongfang Wan langsung menjelaskan semuanya. Menduga dia akan acuh tak acuh melambai tangan dan bilang "terserah", namun Jiaming terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum: “Perusahaan mainan?”
“Perusahaan mainan model!” Mengira akan diejek kekanak-kanakan, Dongfang Wan mengangkat dagunya dengan angkuh, siap siaga.
“Oh.” Jiaming mengangguk. “Baik, tidak masalah. Tapi aku punya ide, mau dengar...?”
“Eh?”
“Mari kita kerjasama.”
“Eh……Apaa、apa?” Dongfang Wan membuka mulutnya lebar-lebar dalam keterkejutan, tak bisa menutupnya sejenak.
“Oh, aku salah ucap. Maksudku, untuk mainan model, aku punya beberapa ide kreatif dan konsep. Mobil, tank, kereta api. Bagaimana kalau kau merekrutku sebagai desainer? Aku mau jadi pekerja paruh waktu untukmu.”
“Ba、baiklah.” Dongfang Wan mengangguk bagai robot. Baru ketika Jiaming tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Bos, kerjasama yang menyenangkan,” jiwanya seakan masih melayang di langit kesembilan belum kembali. Baginya, tak pernah terbayang Jiaming akan tertarik pada sesuatu sampai meminta kerjasama secara inisiatif.
Tentu saja, dia takkan pernah memahami pikiran nyata yang tersimpan di hati Jiaming.
Saat mengajari Tsukike Kaoru membuat bom-bom kecil ini sebelumnya, dia sudah merasa workshop manual terlalu merepotkan. Beberapa bom tanah primitif masih bisa dibuat tangan, namun untuk membuat sesuatu yang lebih canggih, pasti membutuhkan alat-alat khusus. Dalam hal ini, keluarga Yuechi, Takamagahara, dan [] tentu mampu menyediakan segalanya. Tapi dia tak mau bergantung pada kekuatan manapun. Meski memiliki fasilitas pribadi, meski bisa disembunyikan sementara, mustahil untuk tetap terselubung dalam jangka panjang.
Peristiwa 10 Mei telah menempatkan TULIP dan Pei Luo Jia pada posisi yang benar-benar berseberangan. Jika di kemudian hari [] mengalami kegagalan, tekanan dari Pei Luo Jia akan langsung menghantam. Ditambah beberapa orang yang terkait dengan TULIP telah terekspos, meskipun dirinya sangat hebat, tetap tidak bisa menjamin perlindungan semua orang dari kerusakan saat serangan sekelompok pembunuh tanpa bantuan []. Dalam situasi seperti ini, memiliki bengkel produksi yang dikelola secara wajar jelas akan menjadi kondisi paling ideal. Dengan latar belakang keluarga Dongfang, bahkan jika membuat rudal di dalamnya, mungkin departemen sensitif seperti administrasi bisnis atau departemen tidak karuan lainnya tidak akan berani menyelidiki.
Dengan senyum tipis, dia hampir bisa membayangkan pemandangan dimana para pembunuh Pei Luo Jia mendarat di Jianghai, lalu dihabisi sampai menjadi debu oleh rudal mikro yang dikendalikan jarak jauh. Adapun Dongfang Wan, meski tidak terlalu menyukai Jiaming, dia tetap mengetahui bahwa pria itu memiliki kemampuan tertentu. Setelah keterkejutannya mereda, dia pun merasa senang karena akhirnya memiliki staf bawahannya yang pertama yang berguna.
Sama sekali tidak menyadari bahwa perusahaan mainan malangnya itu berpotensi menjadi bengkel senjata MEMBUNUH tercanggih di masa depan.
## Bagian Ratus Tujuh Puluh Delapan Surat Perjanjian
Pada saat paling gelap sebelum fajar, dia sudah bangun merapikan selimut, selesai mandi, lalu membuat sarapannya sendiri.
Meskipun efek samping kecanduan narkoba telah berhasil ditekan secara awal, saat bangun pagi tubuhnya selalu merasakan ketidaknyamanan beruntun yang terkadang dingin terkadang hangat. Sup mi yang dimakannya tidak diberi banyak bumbu, terasa hambar saat dicicip. Dia menambahkan terlalu banyak cabai, kemudian batuk-batuk karena kepedasan.
Ini adalah rumah sederhana dengan satu ruang tamu, satu kamar tidur, dan dapur di sebelah toilet. Barang-barang di rumah tidak banyak. Saat diurus dengan sangat teratur, justru menimbulkan kesan lapang. Tentu pernah ada masa yang ramai dulu. Saat ayahku masih ada, terkadang keluarga ini lebih kaya dari orang biasa. Tapi karena kecanduan narkoba, rombongan barang-barang itu satu per satu berkurang. Satu-satunya benda modern di rumah ini sekarang adalah radio di kepala ranjang kamar tidur, hadiah dari Bu Guru Zhang.
Setelah sarapan, Matahari sudah terbit dari timur. Dia mengenakan kacamata besar yang mulai kabur, menggendong tas sekolah menuju kampus.
Efek samping narkoba sebenarnya terus berlanjut secara samar-samar. Berjalan di kerumunan orang yang ceria penuh semangat pagi hari, sering menimbulkan perasaan terasing dari realita: Di kota ramai ini, tidak bisa menemukan koordinat diri sendiri.
Sudah tidak mengerti makna keberadaan diri sendiri, tidak tahu apa lagi yang bisa dimiliki di masa depan, tidak paham mengapa masih harus makan dan sekolah. Segalanya hanya berjalan tanpa arti mengikuti pola yang sudah ada sebelumnya. Setelah urusan keluarga Huang basically diselesaikan, dia hampir menolak semua kebaikan Bu Guru Zhang, bersikeras hidup sendiri... Dia hanya tidak tahu, bahkan dengan bantuan orang lain, ke mana lagi bisa pergi...
Pergi ke kampus, mengikuti kelas, mendengarkan pelajaran, mencatat. Saat siang makan di kantin, lalu kembali ke kelas untuk mengulang pelajaran. Sore hari lanjut mengikuti kelas... Kadang bertemu Bu Guru Zhang sedang mengobrol di lorong atau lapangan, senyum anggunnya tetap menjaga jarak yang sopan. Banyak anak nakal dari keluarga kaya justru agak takut padanya, karena dia tidak pernah memihak dalam menangani urusan sekolah. Tentu dia tahu Bu Guru Zhang orang baik, pengalaman rehabilitasi narkoba cukup membuatnya paham dalam-dalam. Setiap bertemu di sekolah, Bu Guru Zhang selalu menyapa dengan senyum, menanyakan kabar dan masalahnya, berusaha membantu tanpa melukai harga dirinya. Tapi belakangan ini, dia bisa melihat kesedihan dan kesepian di wajah Bu Guru Zhang. Menurut kabar burung di sekolah, ini karena pacarnya baru putus dengannya, dan Bu Guru Zhang-lah yang ditinggalkan pria itu.
Dia tidak mengerti pria macam apa yang tega menyakiti wanita baik seperti Bu Guru Zhang. Tapi dalam hal ini, dia juga tidak punya hak untuk memberikan penghiburan.
“Dengan perasaan seperti terhalang kabut tipis dari dunia ini, hari ini berlalu. Pelajaran terakhir di sore hari adalah aktivitas klub minat. Tentu saja, sejak dia bergabung dengan komunitas kecil lima orang yang namanya menakutkan itu, sebenarnya tidak ada hal yang perlu dilakukan. Meski disebut sepupu dengan Jiaming, hubungan mereka tidak pernah semakin dekat sejak ayahnya yang berhutang lebih dari 100.000 pada Yong Sheng dibantu dilunasi oleh Dongfang Wan. Lingjing dan Shasha terkesan ramah, tapi klub kecil jarang mengadakan aktivitas, jadi semua orang tetap tidak terlalu akrab. Adapun gadis Jepang cantik Kaoru, mereka bahkan hampir tidak pernah berbicara. Sampai sekarang dia masih bingung, bagaimana sepupu anehnya itu bisa berteman dengan gadis sempurna nan cantik ini.”
“PR yang harus dikerjakan sudah selesai, materi ulangan juga sudah dipelajari. Tak tahu harus ngapain, dia duduk di bangku panjang tepi lapangan. Matanya menatap kerumunan orang yang beraktivitas di lapangan besar dengan tatapan kosong. Meskipun laporan banjir di TV semakin sering belakangan ini, cuaca di Kota Jianghai masih baik. Saat bayangan kesepiannya memanjang diterpa cahaya sore, hidungnya tiba-tiba mencium aroma mawar yang familiar. Seseorang duduk di sebelahnya, suara androginus namun penuh daya pikat Dayang Sihir itu terdengar pelan.”
“Waktuku terbatas, jadi langsung ke intinya saja.”
“Ka... Kakak Suyan...”
"Setelah kecanduan narkoba berhasil dihambat, lebih dari sebulan kemudian, Xu Yiting akhirnya bertemu lagi dengan Jian Suyan."
"Dengan kemeja putih sederhana, celana jas hitam, dan sepatu hak tinggi, penampilan Jian Suyan saat ini memancarkan pesona khusus yang bersih, rapi, dan tegas. Melepas kacamata hitam di hidungnya, dia membuka tas kecil di tangan dan langsung mengeluarkan kartu bank."
"Isinya 80.000, passwordnya 123456, kamu bisa ganti sendiri. Meski tidak banyak, tapi kalau hemat cukup untuk biaya kuliahmu sampai lulus S2 bahkan sampai dapat kerja. Syaratnya, kamu harus tanda tangan dokumen ini."
"Eh, Kakak Suyan, aku..."
"Sejak pertama kali bertemu, wanita bernama Jian Suyan ini selalu terlihat memiliki lingkaran cahaya yang bahkan lebih sempurna daripada Tsukike Kaoru di mata Xu Yiting. Rasa kagum yang dibarengi tekanan dahsyat. Berdasarkan pengalaman selama masa rehabilitasi, Xu Yiting sama sekali tidak punya hak bersuara ketika berdua. Merasa niat baik di balik sikap tegas itu, secara bawah sadar Xu Yiting ingin menolak, tapi bingung mencari kata-kata yang tepat. Melihat keraguannya, mereka yang di seberang jelas mengerutkan kening."
"Kalau begitu, apa kamu tidak mau menerima yang kuberikan?"
"Aku... Aku..." Mendengar nuansa berbahaya dalam ucapan mereka, Xu Yiting spontan terbata-bata.
“Ini bukan rasa kasihan saya padamu.” Setelah jeda sebentar, Jian Suyan tetap memberikan penjelasan, “Uang itu milik Yahan, jadi kau tak perlu berterima kasih padaku. Dulu saat kau menolak bantuan Yahan, aku kira kau sudah punya rencana sendiri. Tapi sekarang ternyata tidak, maka kami yang akan mengatur untukmu. Mulai sekarang kau tak perlu hidup untuk dirimu sendiri. Aku juga tak tertarik bagaimana kau hidup, tapi karena Yahan ingin membantumu, kau harus ikuti keinginannya. Kau harus kuliah, selama masa studi boleh kerja sambilan tapi dilarang mencari pekerjaan tetap. Setelah lulus kau harus mulai melunasi hutang ke Yahan. Jumlah ini akan berlipat dua setiap tahun, dalam lima tahun kau harus membayar 400.000, dengan batas waktu 10 tahun untuk melunasinya sampai maksimal 800.000. Baik, tanda tangan sekarang…”
Surat perjanjian yang mirip kontrak perbudakan bersama kartu kredit diletakkan di depan Xu Yiting. Dengan gemetar ia mengambil kertas dan pena. Tiba-tiba hidungnya tersumbat, air mata jatuh membasahi kertas dan perlahan melebar. Jian Suyan melihat jam tangannya, lalu mengerutkan kening: “Jangan berlama-lama. Entah kau menangis atau meronta, surat hutang ini harus kau tanda tangani.”
“Ti-Tidak…” Xu Yiting menggelengkan kepala, ujung pena bergetar di atas kertas. Suaranya terisak, “A-Aku hanya… terima kasih, terima kasih… Aku… Aku akan berusaha melunasi…”
“Hmm, bagus kalau begitu.” Mengangguk, Jian Suyan mengambil surat yang sudah ditandatangani dan meliriknya, “Tulisan jelek. Harus lebih banyak latihan.” Dengan santai dia menyelipkannya ke dalam tas tangan lalu berdiri untuk pergi.
“Kakak Suyan, aku antar…”
“Tak usah. Kembali ke kelas latihan kaligrafi.”
“Oh.” Xu Yiting mengangguk, kemudian menyusul dua langkah lagi, “Tapi… Bu Guru Zhang belakangan ini terlihat sangat tidak bahagia, aku pikir…”
Bayangan perempuan di depan tiba-tiba berhenti, sejenak kemudian mendesah: “Ini bukan urusanmu, pulanglah. Setelah lulus kuliah, jangan lupa kembalikan uangnya saja.”
Sebenarnya dengan latar belakang keluarga Yahan, mana mungkin dia mempermasalahkan puluhan ribu uang itu. Xu Yiting menggenggam kartu kredit/debit itu, menatap bayangan yang menjauh, satu tangannya bertarung mati-matian mengusap air mata. Dalam pandangan kaburnya, dia seolah melihat Dongfang Wan bersembunyi secara sembunyi-sembunyi di belakang pohon, lalu berlari seperti monyet ke balik pohon lain, kemudian menghilang dari pintu masuk lapangan. Mengingat karakter Dongfang Wan yang biasanya jujur dan terbuka, pemandangan ini sungguh terasa aneh…
Sebenarnya Dongfang Wan berniat mencari Xu Yiting.
Dulu saat mendirikan klub minat, demi menarik personel, dia malah menginvestasikan uangnya sendiri untuk membuat Komunitas Pecinta Traveling. Komunitas seperti ini selain piknik saat liburan panjang, tentu sulit mencari banyak agenda di kampus. Di kelas terakhir, dia duduk di ruangan sambil memikirkan urusan pabrik kecil yang didirikan dengan uang tabungan pribadinya, lalu teringat syarat bergabung dari Jiaming kemarin. Melihat Xu Yiting yang duduk di tepi lapangan, dia ingin turun untuk mengobrol.
Dongfang Wan yang biasanya meski kejam, protektif, dan suka ikut campur urusan orang, secara umum masih bisa disebut pribadi yang baik hati. Dia mengetahui pengalaman Xu Yiting dan telah menghibur beberapa kali, walau tak membuahkan hasil, tapi jauh lebih berusaha dibanding teman biasa. Mengingat permintaan Jiaming kemarin untuk bergabung di pabrik mainan, hari ini belum dibahas detail, namun Dongfang Wan yang sudah tenang mulai curiga. Meski Gu Jiaming itu berbakat, mungkinkah dia benar-benar bisa merancang sesuatu yang bisa dipatenkan? Atau jangan-jangan desainnya berasal dari orang lain, misalnya... Jian Suyan.
Begitu menyebut nama Jian Suyan, kepekaannya langsung terpicu. Hal ini semakin terasa masuk akal saat dipikir-pikir.
Karena itu, melihat ekspresi muram Xu Yiting di tepi lapangan, di satu sisi dia ingin mengajak bicara untuk menghibur, di sisi lain berharap bisa mengorek informasi tentang Jiaming dari Xu Yiting. Bagaimanapun mereka masih sepupu, meski tidak dekat, pasti ada jejak-jejak yang belum diketahuinya.
Siapa sangka saat turun dari gedung sekolah dan berputar ke lapangan, dia benar-benar melihat Jian Suyan!
Diam-diam mengamati percakapan mereka, menyaksikan Xu Yiting menangis lalu Jian Suyan pergi, Dongfang Wan pun menyusul dari belakang.
"Jian Suyan tidak terlalu mau berurusan dengan orang-orang dari []，bahkan enggan berinteraksi dengan orang asing. Hal ini diketahui Dongfang Wan. Dalam hati, dia juga menyadari bahwa tindakan pelacakannya ini mustahil disembunyikan dari mereka. Oleh karena itu, saat mencapai bagian jalan yang sepi，ketika Jian Suyan tiba-tiba berhenti dan berbalik di depan, Dongfang Wan pun dengan malu-malu keluar dari persembunyian，memulai percakapan: 'Eh, eh, kau... Halo... Namaku Dongfang Wan.'"
"'Aku tahu. Ada perlu apa?'"
"Dia bahkan ingat aku! Perasaan tiba-tiba menjadi bersemangat, namun kata-kata yang tepat menghilang. Dongfang Wan tertegun sejenak，lalu membungkuk sopan: 'Itu, pada malam tanggal 10 Mei... Terima kasih telah menyelamatkanku... Hmm, juga waktu yang lalu... Ah, juga ayahku, namanya Dongfang Linghai...'"
"Dalam ucapan terima kasih yang cukup tegang，Jian Suyan kembali melihat jam tangannya，lalu menatap ke samping dengan kesal... Hari ini gilirannya memasak，sup di tungku masih menunggu，belum lagi harus menyamar untuk membimbing Xu Yiting. Tapi Dongfang Wan akhir-akhir ini punya nilai manfaat，haruskah memberi pencerahan? Dia mengerutkan kening: 'Masih ada urusan lain?'"
Terdapat penolakan yang jelas, dan dari gerakannya melihat jam, jelas pihak lain sedang terburu-buru dan tidak ingin banyak bicara. Dalam hati Dongfang Wan, hal yang bisa membuat Jian Suyan panik kemungkinan besar adalah menumpas raja narkoba besar atau berubah menjadi superhero melawan penjahat. Seketika banyak hal ingin diucapkan, tapi bingung memilih mana yang harus dikatakan, dalam kebingungannya dia gagap bertanya: "Eh... itu, aku rasa... Ah, Gu Jiaming kenal denganmu kan? Dia... dia selalu bicara ngawur... Aku bukan mau menghasut, tapi dia terus-terusan merendahkanmu, bahkan bilang... bilang kamu adalah... adalah..."
Masalah calon istri yang dipelihara sejak kecil itu sudah lama mengendap di hatinya, terus membekas. Sekarang ingin menanyakannya, tapi bingung cara menyampaikannya. Namun, tiba-tiba cahaya mengejek muncul di mata Jian Suyan, senyum di bibirnya tetap sederhana dan anggun: "Maksudmu calon istri yang dipelihara sejak kecil?"
"Ah, hmm..." Dongfang Wan mengangguk keras.
"Itu benar." Jawaban singkat dan tegas itu diikuti gelak tawa Jian Suyan yang berbalik badan sambil melambai: "Dah, Dongfang Wan... Adik kecil..."
Di bawah rindangnya pepohonan jalanan, tersisa Dongfang Wan dengan ekspresi membatu.
## Bagian Keseratus Tujuh Puluh Sembilan Ketenangan
Ujian akhir diadakan akhir Juni, kemudian masuk liburan musim panas.
Meski telah menyetujui permintaan Yahan untuk menyamar dan memberikan pengarahan pada Xu Yiting, hubungan mereka bertiga tidak kunjung membaik sejak saat itu. Yahan jelas tidak lagi datang ke perguruan silat keluarga Ye, sehingga sejak Juli ia tak pernah terlihat lagi.
Setelah ujian, Kaoru pulang ke Jepang. Jiaming tidak menghubungi secara proaktif, sehingga komunikasi mereka pun minim. Namun Tenku Masaoka sempat menelepon untuk mengucap terima kasih dan kekaguman: Pada pertempuran 10 Mei, TULIP berhasil membunuh Ōuchi Nagamitsu dan memaksa Yoritomo Taku mundur untuk kedua kalinya, secara implisit telah menjadi Raja baru di Dunia Kegelapan. Belakangan [] diam-diam menyebarkan kabar bahwa pihak Tiongkok akan bertanggung jawab atas segala tindakan TULIP, sehingga statusnya pun mendapatkan legitimasi. Dalam percakapan itu juga dibahas perkembangan terbaru Pei Luo Jia.
Di bawah tekanan gabungan Takamagahara, [], dan Dark Celeste, markas besar Pei Luo Jia di Jepang terpaksa bertahan defensif. Cabang-cabang Pei Luo Jia di seluruh dunia yang memiliki perbedaan pendapat dengan markas besar sementara hanya menahan diri. Namun mengingat prinsip "jika bibir binasa, gigi pun kedinginan", ofensif di pihak kami juga tidak bisa dilakukan terlalu agresif. Akhir Juni, beberapa pejabat tinggi kabinet Jepang tewas dibunuh. Dampak krisis keuangan belum usai, meski Jepang kurang terpengaruh, suasana tegang masih menyelimuti seluruh negeri. Di bawah intervensi besar-besaran kekuatan pemerintah, meski setiap konflik tetap menelan korban, semuanya masih berada dalam radius efektif pertikaian skala kecil.
"Semua hal ini tentu saja dipantau dengan cermat oleh Jiaming. Ketika Ryuudou Yui yang penasaran namun berwatak keras itu kembali berteriak melalui telepon, Jiaming langsung menutup sambungan dan membiarkan Tenku Masaoka yang menjelaskan."
"Meski dianggap melakukan 'dosa' seperti pacaran dini, tinggal bersama, hubungan lesbian, dan menjadi istri muda, Lingjing tetap menjadi anak baik berprestasi akademik. Nilai akhir semester menempatkannya di peringkat ketiga seangkatan, terpampang megah di papan kehormatan. Sebaliknya, Jiaming yang nilai setiap mata pelajarannya masih berkisar di sekitar 60 menit, berdiri di samping Lingjing bagai budak di sebelah putri di mata guru. Bagi teman sekelas yang juga berprestasi dan menyukai wajah ayu Lingjing, alasan dua manusia dengan jurang perbedaan begitu lebar bisa menjadi teman baik tetap menjadi teka-teki yang tak terpecahkan."
"Di bawah bimbingan terus-menerus Lingjing, nilai Sasha juga menunjukkan peningkatan signifikan dibanding sebelumnya. Kali ini semua nilainya sekitar 70-80 menit tanpa satu pun yang Tidak lulus, sudah termasuk kategori sedang. Senang bukan main, Liu Zheng bahkan mengadakan jamuan minum untuk menjamu Lingjing dan Jiaming. Ia menyampaikan terima kasih pada Lingjing sembari menasihati Jiaming agar 'belajar lebih giat seperti Sasha dan terus meningkat setiap hari'."
"Belajar giat... kepala! Aku kapok!"
Seperti banyak ayah yang mengharapkan anaknya sukses, Liu Zheng yang berasal dari Jalan Hitam selalu berharap putrinya menjadi scholar. Sayangnya dia membesarkan putri seorang diri, dikelilingi pelarian geng kriminal yang membuat putrinya terbiasa berkelahi sejak kecil dan tak tertarik pelajaran. Sebenarnya ini tak jadi masalah, tapi setelah bersama Lingjing dan Jiaming, nilainya naik perlahan dan sikapnya lebih kalem. Melihat kemajuan ini, sang ayah langsung mendaftarkannya di dua bimbel. Hasilnya, di suatu sore enam tujuh hari setelah liburan musim panas dimulai, Shasha dengan tas besar menendang pintu Wushu Ye sambil marah, mengumumkan akan membolos sekolah dan kabur dari rumah.
Sebenarnya kabur rumah bukan hal baru bagi Shasha. Meski tak bisa jadi orang super kaya di Jalan Hitam, Liu Zheng punya beberapa properti di Jianghai. Sejak kecil Shasha sudah suka pindah-pindah tempat tinggal sesuai mood. Dulu dia dan Lingjing sering menginap di Wushu Ye keluarga Ye. Setelah Papanya Ye dan Ibunya Ye menelepon Liu Zheng, sang ayah yang selalu memanjakan putrinya ini pun tak berkutik. Menitipkan putrinya ke keluarga ini sama sekali tak membuatnya khawatir.
Sejak hari itu, Shasha pun menduduki loteng kecil di atas perguruan silat. Jiaming tentu datang setiap hari, menemani mereka bermain game, main kartu, dan menjadi sasaran latihan bela diri. Satu-satunya kekurangan adalah hanya ada satu TV di rumah, bermain game elektronik terlalu lama pasti mengganggu Papanya Ye yang suka menonton berita. Di kamar Lingjing atau loteng kecil saat angin dingin berhembus nanti sore, dua perempuan berbaring berantakan di ranjang dengan pakaian tipis sambil membaca komik atau novel roman. Di luar jendela langit biru jernih membentang, awan putih seperti kapas. Dalam pemandangan ini, ketiganya berpelukan diam-dam, merasakan debaran jantung dan keheningan yang menjadi momen paling berharga bagi Jiaming.
Hubungan ketiganya sudah sedemikian intim. Dalam lingkungan seperti ini, selama tidak disengaja, sentuhan fisik antar tubuh takkan memicu nafsu yang berlebihan. Saat Shasha datang bulan sebelumnya, Jiaming pernah mencoba menenangkannya dengan telapak tangan lembut di antara pahanya hingga tertidur. Pelukan yang tepat akan meredakan emosi kacau. Tentu saja loteng ini bukan tempat yang baik untuk bercinta. Ibu Ye harus bekerja setiap hari. Meski Papanya Ye berwatak lembut di rumah, jika kami bertiga melakukan 3P dengan putrinya dan perempuan lain tepat di atas kepalanya, sudah pasti kami bertiga akan MATI dipukuli. Tidak ada keraguan.
Demi menghindari kecurigaan, ketika dua perempuan lelah membaca dan tertidur, Jiaming akan pergi keluar. Memanfaatkan waktu siang atau nanti sore, Ye Han memberikannya lebih banyak bimbingan seni bela diri. "Fakta" hubungan Jiaming dengan Shasha tentu telah diberitahu oleh Ibu Ye kepadanya. Namun Jiaming tetap bisa merasakan, bahkan jika yang dinikahinya nanti bukan Lingjing, Papanya Ye tetap akan menyerahkan perguruan silat padanya. Hal ini membuat Jiaming sangat tersentuh. Sebenarnya, bersama Lingjing dan Shasha di masa depan, mewarisi perguruan silat kecil, atau menjadi dokter patah tulang, adalah masa depan indah yang pernah dia bayangkan untuk dirinya sendiri.
Di dunia ini, dia memiliki keluarga dan Teman terbaik. Hanya mereka yang pernah berjuang di jalur hidup dan MATI siang-malam seperti dirinya yang bisa memahami betapa langkanya kehidupan seperti ini. Dalam karir sebagai pembunuh, bahkan di hari-hari terkuatnya, dia tak pernah berani mengatakan dirinya akan tetap hidup setelah besok.
Secara berkala mereka juga pergi belanja, atau kembali ke rumah kontrakan di dekat kampus untuk berpesta semalaman, atau melihat-lihat barang idaman di toko-toko. Faktanya dalam setahun ini melalui berbagai saluran, simpanan ketiganya telah mencapai lebih dari 300.000 yuan - pendapatan terbesar tentu berasal dari beberapa lagu yang dijual oleh band konsep. Tapi Lingjing memiliki rencana jangka panjang yang lebih matang: kuliah bersama, membeli rumah dan mobil bersama, yang terpenting adalah kekhawatiran bahwa pendapatan seperti ini tidak bisa disembunyikan dari orang tua. Seandainya tidak mengetahui latar belakang Jiaming, mungkin mereka akan dengan bangga memamerkan ke orang tua bahwa Jiaming bisa menyanyi sekaligus menulis lagu, bahkan menjadi genius yang dipuja banyak selebriti. Tapi setelah mengetahui rahasianya, mereka justru tidak ingin keistimewaan Jiaming ditemukan orang.
Hari-hari berlalu bagaikan gumpalan awan yang mengambang di langit, berjalan tenang sehari demi sehari. Heidi yang jauh di New York setiap hari mengirimkan satu email, panjang atau pendek, seolah menulis diari tentang kehidupannya terkini. Gadis kecil lincah bagai elf ini tak pernah kekurangan ketegangan dan petualangan: menangkap serangga untuk dijadikan spesimen, menjelajahi ruang bawah tanah raksasa di rumah tua pedesaan, dan sebagainya. Marilyn sesekali juga mengirim surat, bercerita tentang Heidi atau hal-hal menarik dalam keluarga maupun kota New York, tapi sama sekali tidak menyentuh urusan mafia, mungkin tidak ingin merepotkan Jiaming. Rasanya seperti memiliki dua sahabat pena tambahan.
“Sejak Juni sudah mulai merencanakan, hingga akhir Juli, rencana pabrik mainan Dongfang Wan akhirnya mulai diimplementasikan. Nampaknya selama ini dia telah menggunakan semua dana dan tenaga kerja yang dimilikinya, meminta banyak anggota keluarga untuk melakukan evaluasi, juga menarik dana dari kerabat seperti Dongfang Lu dkk, baru bisa membeli bekas pabrik di pinggiran kota tepi sungai. Saat Jiaming menerima telepon untuk melihat, pabrik yang tidak terlalu besar itu masih dalam proses dekorasi. Di kantor sederhana hanya ada dua orang: Dongfang Wan yang mengenakan setelan jas wanita berusaha terlihat matang, serta Xu Yiting yang memakai kacamata besar.”
“Ini pertemuan pertama Jiaming dengan Dongfang Wan sejak liburan, padahal faktanya hubungan mereka sudah mulai renggang sebelum liburan. Sejak 'Jian Suyan' mengaku secara langsung sebagai calon istri yang dipelihara sejak kecilnya Jiaming, Dongfang Wan tak pernah menunjukkan wajah ramah padanya. Meski sudah bernegosiasi dengan murah hati soal standar pembayaran gaji desain mainan dan menanyakan perangkat yang dibutuhkannya, setiap kali berbicara tak lama, Dongfang Wan selalu 'tanpa alasan jelas' marah, baru meminta maaf dan pergi setelah menyadari ketidakpantasannya.”
“Begitu melihat Jiaming masuk, Dongfang Wan yang sedang berkutat dengan tumpukan dokumen dan formulir langsung menyelesaikan pekerjaannya dengan gesit lalu berdiri. Xu Yiting yang sedang menghitung dengan kalkulator di sampingnya juga meliriknya, mengangguk ringan sambil berkata: 'Sepupu,' lalu kembali fokus bekerja.”
“Akhirnya datang juga, ayo, kubawa kau melihat studio-mu.”
Di dalam pabrik di luar kantor penuh debu pekerjaan konstruksi dan bau cat menyengat. Jiaming mengerutkan kening: "Kenapa Xu Yiting juga kau panggil kesini?"
"Nggak ada orang lain yang bisa dipanggil." Dongfang Wan mengusap dahinya yang lelah sambil mengangkat bahu, "Lagipula Yiting jago matematika, aku bayar gajian, nggak ganggu belajarnya juga. Aku yang ngatur gambaran besarnya, terus ngajarin dia detailnya, akhirnya aku yang modifikasi. Anggaran awal dan rencana tata letak udah hampir selesai kami berdua. Gimana? Hebat kan?"
"Jadi sekarang pegawai resmi pabrik ini cuma kalian berdua anak perempuan kecil?" Jiaming mengangkat mata, sejenak terdiam bingung, "Keluarga Dongfang kan punya segrombolan bakat. Pabrik kecil kaya gini, tinggal panggil satu tim kerja pasti selesai dalam beberapa hari. Ngapain repot-repot... Lagian bengkel kecil begini perlu apaan direncanain..."
“Kami bertiga! Aku sudah memasang iklan, tapi belakangan ini banyak orang datang, semuanya langsung kabur begitu melihatku, orang-orang berwawasan payah seperti itu tidak kumau. Lagipula urusan keluarga kami... Hah, kuceritakan pun kau takkan paham, yang jelas mereka menganggap ini cuma permainan belaka. Untuk meminjam uang dari kakak dan ayah, aku sampai menyetujui syarat-syarat yang merugikan kedaulatan! Semua orang mengawasiku! Perencanaan besar seperti ini mencerminkan kemampuan seseorang, mana mungkin aku minta bantuan orang lain!” Dongfang Wan menaikkan alisnya, membuka pintu kamar di sebelah, dan berkata tegas: “Yang kubangun bukan bengkel kecil! Ini studionmu, menghabiskan banyak uangku...”
Nona Dongfang yang biasanya tak pernah mempedulikan uang kini terlihat kesakitan. Jiaming menyapu pandangannya: komputer, meja kerja, printer, mesin-mesin kecil untuk memotong, mengelas, dan memproduksi tertata apik. Karena studio ini cukup luas, peralatan itu hanya memenuhi separuh ruangan. Tembok yang dicat putih bersih dan lantai tanpa debu menunjukkan persiapan yang matang.
“Komputer ini saja harganya 30.000 yuan... Padahal kau sudah punya komputer. Mesin kecil yang kau minta ini harganya 50.000 yuan, masih ada ini... ini...” Setelah dengan perih memperkenalkan semua barang, Dongfang Wan menoleh: “Persyaratan tahap pertama sudah kupenuhi, masih ada yang kurang?”
“Hmm, untuk sementara tidak ada lagi.” Jiaming mengetuk pintu besi yang kokoh, melihat jendela anti maling yang sudah dilas. Jika Dia ingin melakukan eksperimen yang lebih ekstrem, jelas tidak mungkin sekarang. Biarlah dibahas nanti.
Meskipun sikap Dongfang Wan saat ini terkesan kekanak-kanakan, Jiaming tidak meragukan kemampuannya mempertahankan pabrik ini. Bagaimanapun, skala operasi sekecil ini bisa dengan mudah ditangani oleh beberapa anggota keluarga Dongfang. Melalui jaringan perdagangan mereka, mustahil mengalami kerugian. Persoalannya hanya terletak pada: jika Dongfang Wan bisa melewati fase awal ini dengan kemampuan sendiri, Dia akan mendapat pengakuan keluarga. Begitu meminta bantuan keluarga, solusi elegan pasti ditemukan—hanya saja nilai resmi keluarga terhadapnya setelah lulus dari kampus akan jauh berkurang, bahkan memengaruhi posisinya.
Bagi keluarga Dongfang yang kaya dan bermodal kuat, tindakan Dongfang Wan ini hanyalah permainan anak kecil. Tapi ambisi sebenarnya tentu lebih dari ini.
“Aku sudah minta personel perusahaan mengevaluasi. Program hewan peliharaan elektronik kedua yang kau berikan lebih unggul dari produk Jepang, dengan proses produksi yang tidak terlalu rumit. Setelah bolak-balik mempersiapkan segalanya akhir-akhir ini, semua sudah siap. Dua bulan pertama masih bisa meminjam manajemen yang andal. Sekarang banyak yang di-PHK, cukup tempatkan seorang Tuan sebagai pengawas, pekerja pun mudah direkrut. Setelah pengiriman pertama ke seluruh negeri dan pengembalian dana…”
Dongfang Wan tidak melanjutkan bicaranya. Matanya menatap pabrik yang dulunya sederhana kini sedang direnovasi, bibirnya mengeras menunjukkan tekad.
“Nanti… kita bisa merayakannya…”
## Bagian Seratus Delapan Puluh: Garis Sebab-Akibat
Sichuan, sisi area wisata Gunung Emei, sebuah biara kecil dekat Sungai Dadu.
Emei yang termasyhur keindahannya, sebagai salah satu dari Empat Gunung Suci Buddhisme Tiongkok, memiliki puluhan kuil besar-kecil di area wisatanya. Berkat pariwisata, setiap kuil mendapat pendapatan dupa yang lumayan. Namun Kuil Shimizu yang usang di sisi terpencil ini tetap sepi. Sekitarnya minim pemandangan, ditambah pabrik kecil swasta yang kumuh di dekatnya, membuat peziarah jarang datang. Biara ini pun nyaris tak mendapat sumbangan.
Tapi ketenangan lahir dari hati yang damai. Di tengah maraknya biksu-biksuni yang hanya mengejar uang saat ini, mungkin justru di biara terpencil ini terdapat penganut sejati. Kepala biara berusia 60-an tahun ini, lebih dari sepuluh tahun lalu membawa seorang gadis kecil buta yang sering sakit-sakitan, membesarkannya. Mungkin karena sifat welas asihnya, warga desa sekitar kadang datang meminta jimat kuning atau ramuan obat, meninggalkan sedikit uang dupa untuk menyambung napas biara ini.
Meski mata gadis itu tak berfungsi, saat menginjak belasan tahun kecantikannya merekah bak bunga. Ketenangan aura yang dipancarkannya tak tertandingi oleh gadis manapun di desa-desa sekitarnya.
Meski tidak bepergian jauh, setiap pagi buta atau senja, dia selalu berjalan perlahan di sekitar kuil atau duduk di tangga depan kuil. Saat itu, seringkali ada bocah lelaki sekitar yang berpura-pura bertemu secara kebetulan untuk mengajaknya bicara, menanyakan apakah dia butuh bantuan. Gadis kecil ini tidak banyak bicara, tapi pada siapa pun dia akan tersenyum dan menjawab dengan sopan menggunakan suara lembut dan halus. Banyak anak laki-laki kemudian menganggap diri mereka sebagai Teman baiknya, berkhayal suatu hari bisa menikahi gadis pendiam yang berlatih spiritual sambil mempertahankan rambutnya ini. Orang desa menikah muda, mengabaikan tubuh rapuh dan penyakit mata gadis ini, bahkan tahun ini sudah ada yang datang ke biara untuk melamar. Tindakan lancang ini tentu saja ditolak oleh kepala biara.
Namun beberapa bulan lalu - tepat dua hari setelah lamaran keluarga itu, gadis bernama panggilan Ruoruo yang baru merayakan ulang tahun keenam belas ini tiba-tiba terkena penyakit parah. Dia dibawa ke kota besar untuk dirawat, membuat para pemuda usia nikah dari desa sekitar cemas. Kebanyakan menyalahkan lamaran nekat keluarga itu sebagai penyebab sakitnya. Pria yang melamar itu diam-diam dipukuli dua kali, bahkan hingga beberapa bulan kemudian masih dirawat di rumah sakit. Tentu saja, Ruoruo sudah sembuh dan kembali sebulan kemudian, tetap duduk di depan kuil setiap hari, menghirup udara dari terbit hingga terbenamnya matahari.
Sekelompok orang yang menganggap diri sebagai "Teman" sudah datang menanyakan kondisi tubuhnya. Sebagian juga memperhatikan, sejak Ruoruo kembali, pabrik kecil pribadi di sebelah tampak ramai dengan orang-orang berpakaian rapi dan mobil mewah yang keluar-masuk. Menurut bos, kedatangan Ruoruo membawa berkah dari tujuh turunan - pesanan bertambah beberapa kali belakangan ini. Orang-orang yang datang ini ternyata adalah manajer dari perusahaan-perusahaan besar.
Banyak yang bahkan tidak tahu produk apa yang dibuat pabrik kecil ini, sehingga kurang tertarik. Namun jika ada yang benar-benar paham situasi keuangan dalam negeri melihat susunan karakter di sini: Fang Zhitian, Lei Xiaoyuan, Han Luo... semuanya adalah orang-orang yang berada di puncak bidang masing-masing di seluruh negeri - meski sebagian besar tetap di belakang layar.
Pada senja hari di bulan Juni, matahari terbenam yang merah seperti darah perlahan tenggelam di ufuk barat. Seorang gadis berbaju putih sederhana duduk memeluk lutut di tangga depan vihara dengan tatapan kosong. Seorang anak laki-laki mendekat dan mengajaknya bicara. Baru dua kalimat terucap, tiba-tiba ekspresi tersenyum di wajah gadis itu berubah menyeringit kesakitan. Ia berguling-guling di tanah sambil memeluk kepala, meringkuk kesakitan. Mendengar keributan, seorang biksu tua segera keluar dan menggendong gadis itu. Anak laki-laki itu tampak ketakutan, terpaku lama sebelum akhirnya pulang dengan panik, berniat memberitahu teman-temannya tentang kekambuhan penyakit Ruo Ruo. Tentu saja ia tak tahu, setidaknya lima orang dengan berbagai senjata pembunuh telah mengikutinya dari belakang selama perjalanan pulang, siap menyerang jika ia melakukan gerakan mencurigakan.
Beberapa hari kemudian, Nona Ruo Ruo yang sudah sembuh sesekali masih terlihat di depan vihara. Namun dari Juni hingga Juli, serangan sakitnya telah kambuh tiga kali. Pada 5 Agustus, saat sedang bermeditasi hening di dalam vihara, kepalanya tiba-tiba sakit lagi. Biksu tua itu segera menggendongnya ke kamar dalam. Ini sudah menjadi serangan keempat yang dialaminya.
Senja 6 Agustus, dari gudang kecil di samping vihara, seorang pekerja berlari terburu-buru memberi kabar kepada Fang Zhitian dan kawan-kawan yang tinggal di barak sederhana. Satu per satu mereka memasuki gudang, lalu turun ke terowongan bawah tanah.
"Melewati terowongan putih yang luas, sebuah ruang bawah tanah besar muncul di depan semua orang. Di sini terdapat sekumpulan bangunan bawah tanah mirip lembaga penelitian. Dipandu seorang peneliti berbaju jubah putih dan bermasker, rombongan memasuki kamar pasien di sisi. Membiarkan yang lain menunggu sebentar, Fang Zhitian masuk ke kamar paling dalam. Dongfang Ruo yang mengenakan pakaian pasien duduk di ranjang, ditemani biksu tua perempuan di sampingnya."
"Ruoruo, sudah merasa lebih baik?"
Duduk di tepi ranjang, Fang Zhitian berkata dengan lembut.
"Hmm, Paman." Dongfang Ruo mengangguk pelan, "Aku sudah baik-baik saja."
"Ha..." Menghela napas panjang, Fang Zhitian memegang tangan kiri hangat perempuan itu dan menempelkannya di dahinya, "Jangan terlalu banyak berpikir. Kondisimu masih lemah, istirahat yang cukup adalah yang paling penting."
"Tapi..." Jari-jari lembutnya menjelajahi wajahnya hingga menyentuh mata yang mulai basah, "Bukankah... semua orang di luar berharap bisa melihat masa depan melalui penglihatanku... Kalau Paman begini, akan sulit bagi Paman..."
"Ingin menelusuri sebab-akibat hingga tuntas, mengintip garis masa depan dengan jelas, kemampuan seperti ini hanya ada dalam legenda. Namun melalui peristiwa pada 10 Mei ini, Dongfang Ruo dalam tingkat tertentu telah menyaksikan fragmen masa depan. Para pemimpin [] segera menunjukkan perhatian besar. Semua orang yang berbicara dengan Dongfang Ruo belakangan ini pasti ingin menggali potensinya lebih dalam. Mungkin gadis kecil ini terlalu sensitif, setelah membaca banyak novel cinta, dia melihat kepentingan antar manusia terlalu Terbuka." Fang Zhitian tersenyum ringan:
"Tenang, tidak apa-apa. Mereka semua hal yang paham logika, mengerti beberapa hal tidak bisa dipaksakan. Terlalu memikirkan hal seperti ini akan melukai tubuh. Janji pada Paman, jangan dipikirkan lagi, ya?" Dia berhenti sejenak, "Jika tahu konsekuensinya seperti ini, seharusnya aku tidak mengizinkanmu ke Jianghai..."
Dongfang Ruo terdiam lama, baru tersenyum berkata: "Tidak juga, Paman dulu pernah bilang, kalau itu domain yang kau sukai, kau bisa MATI untuknya. Aku juga begitu. Kali ini ke Jianghai, aku melihat dunia yang mustahil diliat orang lain. Meski bagaimana pun tak bisa paham, mengapa hal bisa berubah begitu banyak..."
"Takdir bisa diubah, bukan?"
"Tapi..." Dongfang Ruo mengerutkan kening, "Belakangan ini kurenungkan, perubahan terlalu drastis. Aku baru melihat sesaat sebelum para pembunuh datang. Seharusnya perubahan terjadi dalam lingkup yang kulakukan, tapi saat itu... TULIP... nona?"
"Hmm, TULIP?"
“Hmm, karena... Aku melihat Pak James... dibunuh oleh seseorang yang disebut Yoritomo Taku, dan bukan menggunakan senapan runduk...” Dongfang Ruo mengerutkan alisnya, menganalisis dengan susah payah. Fang Zhitian awalnya ingin menghentikan, tetapi mempertimbangkan sifat perempuan itu yang sebenarnya sangat keras kepala, daripada membiarkannya terus menyimpan pikiran ini dalam hati, lebih baik memperjelas semuanya di bawah pengawasan perangkat sekarang sambil juga mengerutkan alis membantu menganalisis.
“Kalau begitu, bahkan tanpa ramalanmu, James tidak akan dibunuh oleh pembunuh di luar pintu, akan menunggu sampai Yoritomo Taku datang, saat itu...”
“Tapi saat itu, TULIP... nona... pasti sudah sampai juga...”
“Kalau begitu, jika tanpa ramalanmu, Yoritomo Taku akan membunuh James dalam situasi TULIP sudah sampai... Hmm, apakah dia akan kalah?”
“Tidak, bukan...” Dongfang Ruo kembali menggelengkan kepala dengan susah payah, “Melainkan... TULIP... nona itu, dia... Aku sama sekali tidak bisa merasakannya. Meski fragmen yang kulihat sebelumnya tidak jelas, untuk orang yang mengalami peristiwa ini setidaknya akan ada sedikit perasaan, tapi... Aku tidak bisa melihat di mana dia, artinya... dia seharusnya tidak muncul...”
Fang Zhitian terdiam lama. Biksu tua di sampingnya juga mengerutkan alis, beberapa saat kemudian menyatukan kedua tangan dan berkata: “Amitabha.”
Dongfang Ruo berbisik: “Nenek, mungkinkah ini terjadi?”
"Hampir mustahil. Namun, dalam Buddhisme ada sebuah konsep bahwa segala fenomena di dunia ini terikat dalam siklus samsara. Jika menggunakan penjelasan ini untuk memaknai apa yang kau lihat, maka..." Dia berhenti sejenak, "maka... kecuali dia telah melampaui Tiga Alam, bebas dari Lima Unsur. Seseorang yang tidak terjerat dalam samsara, tentu tak akan kau temui dalam jalinan sebab-akibat..."
Melampaui Tiga Alam, bebas dari Lima Unsur.
Penafsiran Buddhisme ini sungguh mengejutkan, sementara kemampuan supranatural pun tak sehebat kekuatan mitologis yang bisa terbang ke langit atau mengguncang istana dewa. Apakah kemampuan meramal masa depan ini beroperasi melalui konsep 'jalur sebab-akibat' juga tak dapat dibuktikan. Sebagai ateis, Fang Zhitian segera berpikir: "Evolusioner Alami."
Kemudian, kamar itu diselimuti kesunyian panjang. Tak lama, Fang Zhitian tersenyum: "Kalau begitu, pastilah dia Evolusioner Alami, makanya Ruoruo tak bisa melihatnya. Tapi... mengapa setiap kali membahas Nona TULIP, ekspresimu selalu tegang?"
"Hmm." Wajah Dongfang Ruo memerah, "Aku... Awalnya kukira dia pasti seorang pria, karena... Kalian semua bilang, dia sangat hebat..."
"Oh? Kau... Kau tidak melihat..."
Dongfang Ruo ragu sejenak: "Aku bertemu dia dua kali, tapi... Tak berani memandang. Saat itu auranya sangat menakutkan, sama sekali tak kusanggup memandang. Setelahnya... Bukankah kalian semua menyebutnya wanita? Sebenarnya... Hanya saat pertama dengar namanya kukira dia pria..."
"Kemampuan supernatural Dongfang Ruo sangat kuat. Jika dia menggunakan kemampuannya untuk membuktikan bahwa lawannya bukan wanita, maka hal ini benar-benar layak untuk dianalisis mendalam. Namun saat mendengar jawabannya, sambil memandang novel roman braille di samping bantal, Fang Zhitian baru tersenyum penuh pemahaman. Meskipun Dongfang Ruo hidup di biara sejak kecil, Fang Zhitian merasa bersalah terhadap keponakannya ini. Sejak kecil, dia selalu mengirimkan mainan dan buku braille dari seluruh dunia - dongeng saat kecil, cerita yang lebih matang saat remaja, dan lebih banyak novel roman karena mempertimbangkan gender-nya. Wajar saja, meski tunanetra, gadis tetap punya fantasi romantis. Ini kali pertama dia bepergian jauh, wajar jika muncul imajinasi. Dengan hipotesis ini, Fang Zhitian mengejek: "Dan... apakah dia juga ganteng?"
"Aku... hmm..." Dongfang Ruo terkejut. Gadis dengan lingkaran sosial terbatas ini kulit wajahnya tipis. Pipinya memerah seketika, tak lama kemudian dia mengatupkan bibir dan membalikkan badan masuk ke dalam selimut: "Hmph... Aku tidak mau bicara lagi denganmu!"
"Hei, hei, jangan begitu dong, bercanda kok. Paman minta maaf ya, Ruoruo... Hei... Ya sudah, tidur saja..."
Fang Zhitian keluar kamar, menyapa beberapa orang di koridor sambil membahas hipotesis Dongfang Ruo. Tak lama kemudian, biksu tua itu juga keluar. Semua memberi hormat dengan khidmat. Fang Zhitian lalu bertanya ragu: "Guru Huiqing... Tubuh Ruoruo...?"
“Hasil perawatan selama ini, kau juga sudah lihat. Kemampuan istimewanya memang terpicu, berada di ambang kehancuran. Meski masih bisa ditekan dengan metode sebelumnya, kekuatan kacau ini sudah di luar kendali kita. Saat semakin ganas, paling lama dua tahun... hingga tiga tahun...”
“Apakah... terpicu oleh sang Evolusioner Alami itu? Guru Huiqing, menurutmu apakah TULIP punya solusi?”
“Tidak tentu. Baru pertama kali meninggalkan tempat tinggalnya, pindah ke kota asing itu sendiri sudah stimulus besar. Apalagi kau memaksanya menggunakan kemampuan untuk urusan kalian.” Selama lebih dari sepuluh tahun tinggal bersama Dongfang Ruo, hubungan Guru Huiqing dengannya sudah seperti nenek dan cucu. Saat menyebut Fang Zhitian yang berani menyuruh gadis itu membantu, kemarahannya tak terbendung. Beberapa orang di sekitarnya pun merasa malu. Guru Huiqing adalah salah satu pendiri [], di hadapannya mereka tak berani lancang. “Setelah serangkaian stimulasi ini, munculnya aspek tak terkendali dari kemampuan istimewanya sudah bisa diprediksi. Adapun soal Evolusioner Alami yang samar-samar itu...”
Ia berhenti sejenak: “Jika benar dia Evolusioner Alami, secara kekuatan sebenarnya tak perlu bantuan []. Lagipula dia ternyata kenal dengan Yoritomo Taku... Hmm, lebih baik kalian langsung tanyakan dan minta bantuannya. Tapi... jangan terlalu berharap...”
## Bagian Keseratus Delapan Puluh Satu Permohonan
"Di Kota Jianghai bulan Agustus, panasnya seperti tungku api raksasa. Keluar dari toko minuman dingin, Shasha memegang dua es krim besar di tangannya, berlari kecil menyeberangi jalan menuju toko buku. Hari ini dia memakai topi tenis putih, kaus olahraga putih bersih lengan pendek, rok pendek selutut dengan sandália, ekor kuda energis di belakang kepala, kulit sehat yang sedikit kecokelatan, dan postur tubuh yang anggun sangat mencolok."
"Masuk ke toko buku, Jiaming dan Lingjing sedang membayar beberapa buku di konter."
"Bukannya katanya mau makan es krim sambil menunggu kami? Kenapa malah ke sini lagi?"
"Jiaming hanya baca komik dan novel silat. Beberapa buku sastra klasik di tangan jelas dibeli Lingjing untuk diri sendiri, diam-diam menyelipkan dua novel roman untuk Shasha. Melihat Shasha datang, Jiaming tersenyum mengambil es krim sambil bertanya pertama kali."
"Aku sudah habisin. Kalian belum datang juga, jadi aku beli dan cari ke sini."
"Setelah membagikan dua es krim, Shasha mulai asyik membuka-buka dua novel baru di konter. Petugas kasir mengembalikan uang receh sambil tersenyum: 'Menurut promosi terbaru toko kami, pembelian buku di atas 200 yuan bisa dapat edisi hardcover Norwegian Wood dan kartu keringanan asal bisa jawab tiga pertanyaan sastra. Sistem komputer kami akan mengacak soal. Mau mencoba?'"
"Di tahun 98 saat itu pembajakan belum terlalu marak, keluarga yang bisa membeli buku dengan bebas kebanyakan adalah mereka yang memiliki tingkat pendapatan tertentu, sehingga keuntungan toko buku cukup baik. Meskipun di rumah sudah ada buku ini, tapi memanfaatkan diskon yang ada adalah sifat alami perempuan. Setelah berdiskusi, Lingjing memutuskan agar kami bertiga masing-masing menjawab satu pertanyaan, sebagai hasil kerja sama keluarga yang kompak."
"Hmm, pertanyaan pertama: 'Di Jembatan Changban niat membunuh menggelegak... Suara dahsyat bagai gemuruh halilintar, mengusir sendiri 1,5 juta pasukan Cao' memuja pahlawan mana?"
Petugas kasir yang usianya tak jauh beda dengan Lingjing dan Shasha mengetik beberapa kali di komputer, mengucapkan pertanyaan pertama yang relatif mudah. Shasha langsung menjawab: "Aku tahu ini, itu Zhang Fei!" Jika setiap orang menjawab satu pertanyaan, Lingjing memang yang paling berpengetahuan. Tak mau kalah, Shasha yang berhasil menjawab pertama kali dengan bangga menyelesaikan tugasnya.
"Hah, benar. Pertanyaan kedua adalah... Trilogi Desa karya Mao Dun apa saja?"
Lingjing melirik Jiaming yang sedang tak bersalah menyantap es krim, lalu tersenyum: "Itu 'Ulat Sutra Musim Semi', 'Panen Musim Gugur', dan 'Musim Dingin yang Suram', kan? Jiaming, berhenti makan, sekarang giliranmu."
"Luar biasa! Kalau begitu... Pertanyaan ketiga lebih sederhana." Sambil menekan tombol acak di komputer, gadis di konter hampir langsung berbalik untuk mengambil buku dan formulir registrasi kartu keringanan, "Soalnya adalah... Kalimat sebelum 'Angin semi bertiup tumbuh lagi' dalam puisi itu apa..."
Soal ini terlalu mudah, untuk sesaat Lingjing dan Shasha menatap Jiaming dengan mata berbinar. Benar saja, Jiaming menyendok es krimnya lalu tersenyum: "Ha, mencabut rumput tapi tidak mencabut akarnya..."
……
……
……
Berjalan di tanggul pantai, Lingjing menikmati minuman dinginnya. Gelombang merah akibat tawa terbahak-bahak sebelumnya masih belum sirna. Jiaming melompat-lompat sambil menghindari tendangan udara Shasha yang berada di belakang. Membawa tas besar berisi buku, Shasha selaku istri utama sedang dengan garang mengejar-kejar suaminya.
"Kutunjukkan padamu arti 'mencabut rumput tanpa akar'! Kutunjukkan lagi!"
"Hei, hei... Menurutku tidak salah. 'Mencabut rumput tanpa akar, angin musim semi bertiup dan tumbuh lagi' - bukankah semua orang mengatakannya? Lagipula... bukankah buku dan kartu tamu kehormatan sudah kita dapat? Wuah..."
Di toko buku tadi, meski jawaban soal terakhir terdengar konyol, setidaknya berhasil membuat kasir tertawa terpingkal-pingkal sehingga memberi mereka kesempatan kedua. Akhirnya buku dan kartu VIP pun berhasil direbut.
Sebenarnya hari ini adalah ulang tahun ke-42 Liu Zheng. Setelah makan siang di hotel, karena Jiaming ada janji jam 3 sore, Lingjing dan Shasha ikut keluar membeli buku. Kejar-kejaran terus berlanjut hingga persimpangan tiga arah depan. Lingjing akhirnya berkata: "Sudahlah, kau memukulinya sampai kotor begini, mana mungkin dia bisa menemui orang."
Shasha berkata dengan nada menggoda: "Ada yang merasa iba ya?"
“Mana ada!” Wajah Lingjing memerah, “Tapi, Dongfang Lu cari kau buat apa sih? Kalian kan nggak punya hubungan di kampus……”
Jiaming tersenyum sambil mengangkat bahu: “Aku juga nggak tahu… Mungkin mau minta aku nulis lagu buat orang atau semacamnya.”
“Hmph, jangan-jangan karena Lingjing.” Adegan klise romantis dimana dua pria menyukai satu perempuan lalu satu pria mengajak yang lain bicara berdua sudah terlalu basi bagi Sasha. Apalagi fakta bahwa Dongfang Lu diam-diam kasmaran pada Lingjing sudah jelas. Dia mengernyitkan hidung dengan jijik, “Kalau dia menghantammu dengan uang, Jiaming, kau harus tetap teguh! Jangan sampai mengkhianati Lingjing! Aku peringatkan kau ya!”
“Sasha, kau ngomong apa sih……”
“Tolonglah……”
Setelah bercanda, bertigapun berpisah. Dua saudari membawa buku menyusur pantai menuju hotel sedangkan Jiaming mengambil jalan kecil lain. Setelah belok di satu blok, terlihat kedai kopi “Mingmei” di depan. Dongfang Lu di dalamnya mengayunkan tangan menyapanya.
“Sebenarnya Xiao Wan yang lebih cocok membicarakan hal hari ini, tapi dia sedang sibuk sekali. Hei, mau minum apa?” Sambut Dongfang Lu yang tersenyum sambil mempersilakan Jiaming duduk. Meski baru berusia tujuh belas, aura pemimpin ala bangsawan yang terpancar dari seluruh tubuhnya seolah bisa langsung membuat orang memahami kehebatannya, namun anehnya tak memberi kesan menggurui. Bagi Jiaming ini biasa saja, tapi di antara teman sebaya, ini sungguh luar biasa.
"Sebenarnya kami mendapat informasi tentang Nona Suyan dari Xiao Wan, dan sejak lama ingin meminta teman sekelas Jiaming untuk menyampaikan ucapan terima kasih. Tapi kami khawatir akan terdengar lancang dan membuat Nona Jian tidak senang. Bagaimanapun juga, untuk hal yang terjadi pada tanggal 10 Mei, saya tetap harus mengucapkan terima kasih."
"Tanggal 10 Mei? Saat itu dia memang ada di sini..." Ekspresi Jiaming menunjukkan kebingungan, "Apakah terjadi sesuatu?"
"Eh, dia... tidak memberitahumu." Dongfang Lu mengerutkan kening, lalu tersenyum, "Heh, memang seharusnya begitu. Tolong... sampaikan terima kasihku. Sebenarnya tentang kejadian hari ini... Menurut Xiao Wan, kamu sudah bertemu sepupu Ruoruo, kan?"
"Hmm, ada apa?"
"Heh, secara hubungan darah, keluarga kami sebenarnya masih kerabat. Dia juga adalah sepupumu... Dia sedang sakit, kondisinya cukup parah... Oh, maaf..." Dalam helaan napasnya, bunyi telepon berdenting. Dongfang Lu mengeluarkan telepon sebesar batu bata dari tasnya, lalu menerima panggilan.
"Halo? Oh, Xiao Wan? Kamu di... Hmm, datanglah ke sini. Aku mengerti... Kami di Mingmei, ya, dekat... Dan... Halo? Halo?"
Dongfang Wan yang sedang sibuk urusan pabrik jelas sedang hampir MATI. Jiaming hanya mendengar suara gaduh dari telepon. Dongfang Lu belum selesai bicara, sambungan sudah terputus. Dengan senyum getir, Dongfang Lu menggelengkan kepala lalu mengeluarkan dokumen tersegel dari tasnya, menyerahkannya ke Jiaming.
“Ini adalah rekam medis sepupu Ruoruo selama ini, kami... kami berharap teman sekelas Jiaming bisa menyerahkannya pada Nona Jian. Ini permohonan tulus seluruh anggota klan kami. Jika dia bisa menyembuhkan, kami siap memenuhi segala syaratnya. Untuk kerahasiaan identitasnya, kami bisa mengirim Ruoruo ke lokasi mana pun yang ditentukan. Ini hanya... permohonan, bisakah?”
“Aku paham.” Di dalam hati membuat hipotesis kondisi Dongfang Ruo, Jiaming mengangguk sambil tersenyum, “Hanya ini?”
“Hehe... Ada satu hal lagi yang agak memalukan, tapi... ini urusan pribadi.” Dongfang Lu mengangguk dengan senyum kaku, “Mengenai teman sekelas Lingjing.”
Jiaming memasukkan sedotan ke mulut tanpa menjawab. Dongfang Lu menarik napas dalam: “Aku menyukainya.”
Soda mengalir melalui sedotan, gelas kaki tinggi kosong seketika. Ruang kafe dipenuhi AC dan musik lembut, kipas ventilasi menghembuskan angin dingin. Namun suasana di meja dekat jendela ini tiba-tiba membeku. Dongfang Lu membuka mulut berusaha memilih kata, akhirnya tersenyum pasrah.
“Sebenarnya saat Malam Natal tahun lalu, kau sudah menyadarinya kan? Heh, kemudian Xiao Wan mengatakan Lingjing tidak mungkin bersamamu, aku sempat mempercayainya beberapa waktu. Sebenarnya selama ada uang, banyak hal bisa diselidiki, tapi saat itu kupikir tidak perlu menggunakan cara-cara tambahan dalam upaya mendapatkan perhatian Lingjing. Namun karena urusan Nona Jian, sebenarnya semua ini sudah ada yang mengerjakannya. Kali ini ketika hendak menyerahkan data-data ini padamu, kebetulan aku melihat dokumen-dokumen tentang... hubunganmu dengan Lingjing dan Shasha...”
Suaranya terdengar getir, tapi Dongfang Lu sekarang tampaknya tidak menunjukkan emosi mengamuk, hanya terus terang berkata: "Saat pertama tahu bahkan terpikir untuk membunuhmu sendiri, hmm... memukulmu, meski tak tahu apakah bisa kena... atau memanggil Lingjing untuk menghujatnya sampai sadar. Tapi sepertinya kalian benar-benar bahagia. Lingjing menerima hal ini, Shasha juga menerima. Kalian bertiga hidup sangat harmonis. Melihat rekaman-rekaman itu, aku benar-benar iri..."
"Masing-masing punya peran, bergantian pulang masak, kerja keras mencari uang lalu merencanakan masa depan. Kau, Lingjing, maupun Shasha, kalian semua melakukannya dengan hebat. Saat bosan Lingjing suka berkhayal tentang masa depan. Dia menulis banyak rencana untuk kalian yang dibuang ke tempat sampah, kami juga mengumpulkan dua lembar... Heh, bukan dengan niat jahat, kau paham... Melihat dua proposal itu, aku langsung tahu tidak ada kesempatan sama sekali untukku..."
“Bahkan jika memanggilnya keluar untuk menghujati lalu mengungkapkan perasaan, mungkin hanya akan membuatnya membenciku... Jujur saja, Gu Jiaming kau memang hebat, tapi aku Dongfang Lu percaya diri tak akan kalah. Tapi apa gunanya membandingkan? Aku tak pernah menjadi bagian masa lalunya. Kalian tumbuh besar bersama, saat aku baru di garis start, kalian sudah sampai di garis finis, ha...” Dongfang Lu menghela napas pendek, tersenyum matang seperti pengembara berusia dua puluh tujuh tahun. “Aku tak akan mengganggunya lagi, tapi juga takkan menyerah. Jangan beri aku kesempatan.”
“Oh.” Menatap sorot mata Dongfang Lu yang serius dan penuh tekanan, Jiaming tersenyum tipis, “Aku mengerti.” Bagaimanapun usaha lawan, di mata Jiaming, Dongfang Lu hanyalah anak kecil yang cepat matang. Muncul rasa jahat seperti mengganggu anak kecil, persis sensasi saat mengakui status calon istri yang dipelihara sejak kecil di hadapan Dongfang Wan sebagai Jian Suyan.
Percakapan sampai di sini memang tak banyak lagi topik. Teman menjadi rival asmara itu biasa, tapi berlagak tetap berteman saat jelas-jelas rival terasa dibuat-buat. Saat hendak pergi, suara mobil berhenti terdengar di luar jendela. Turun bersama Dongfang Wan adalah Putra kedua keluarga Lei, Lei Qing. Melihat Jiaming, Dongfang Wan jelas terkejut tapi segera bergegas masuk, seolah ingin menjauh dari Lei Qing.
“Kakak, kan janji hari ini mau menemani beli baju. Kok malah ketemu Gu Jiaming?”
Dalam ingatan Jiaming, Dongfang Wan jarang bersuara semanis ini. Sikapnya jelas-jasaditujukan untuk Rei Qing. Setelah Dongfang Lu memperkenalkan Rei Qing dan Jiaming, mata Dongfang Wan berkilat membuat tatapan ambigu ke Jiaming: "Ngomong-ngomong, Rei Qing kan mau ketemu pasangan dansaku? Yang akan menemaniku ke pesta besok adalah Gu Jiaming ini. Jiaming ya?"
Meski sehari-hari tak akur dengan Dongfang Wan, tapi kini mereka rekan kerja. Kakaknya juga baru mengaku kalah, Jiaming hanya mendengus dingin. Saat perkenalan tadi Dongfang Lu menekankan latar belakang keluarga Huang, tapi Rei Qing tetap skeptis memandangi remaja biasa ini: "Dia?"
"Tentu! Kau tak tahu? Dia direktur teknologi pabrik kami. Dua model yang kuperlihatkan juga karyanya. Untuk pesta ini aku perlu menarik investasi, pasti harus bawa dia. Ngomong-ngomong, Kakak, sudah hampir jam empat. Mau pergi atau tidak?"
Penjelasan yang tidak ambigu itu membuat wajah Rei Qing sedikit cerah, meski tatapannya ke Jiaming masih tidak ramah. Dongfang Lu tersenyum: "Kami juga mau pergi. Jiaming, hal itu benar-benar penting. Tolong ya."
"Ya, baik." Mengangguk sambil tersenyum, Jiaming mengambil map dokumen. Dongfang Wan berjalan di depan diikuti Rei Qing, sementara Jiaming menyamping. Tanpa sengaja pandangan Rei Qing tertuju ke kaki mereka.
Beberapa hari ini, setiap kali dia mencoba mendekati Dongfang Wan, selalu menghadapi penolakan halus. Kekuatan keluarga Lei lebih besar dari keluarga Dongfang, Dongfang Wan tidak berani menolaknya secara terang-terangan, akhirnya hanya bisa menunda-nunda. Setelah dua bulan berlalu seperti ini, Lei Qing yang bukan orang bodoh mulai mengerti isi hati Dongfang Wan. Hatinya sesak, tapi tetap tak rela. Hari ini meski Dongfang Wan hanya bilang Jiaming adalah staf pabriknya, siapa tahu apakah ada hubungan mesra di antara mereka. Memikirkan ini, melihat jarak hanya satu langkah antara mereka, dengan dasar ilmu bela diri yang dimilikinya, dia menggeser sedikit kaki kanannya.
Tak ada yang menyadari.
Seketika itu juga, Jiaming tersandung dengan keras hingga terkapar ke arah meja bundar di depannya.
Aksi licik berhasil dilakukan, Lei Qing merasa senang dalam hati, namun senyum itu belum sempat terpancar di wajah. Byur! Torso Jiaming menghantam meja bundar kecil dan jatuh dengan keras ke bawah tanah. Di tengah jeritan kaget pria-wanita di sekitar meja, dua gelas kopi, gula pasir, serbet, tampilan layar utama, dan es krim pisang kapal raksasa terbang ke seluruh wajah Lei Qing...
## Bagian 182 Bos Besar Dunia Persilatan
Ulah iseng terhadap Lei Qing nanti sore tidak meninggalkan kesan yang dalam di hati Jiaming. Teriknya bulan Agustus di Jianghai luar biasa, semakin sore semakin membuat gerah dan frustasi. Duduk di balkon kamar hotel, Jiaming membalik-balik data-data dari Dongfang Lu yang diterimanya hari ini. Pintu kamar di belakang terdorong terbuka, Lingjing masuk ke dalam.
"Berjalan ke balkon, Lingjing memeluk leher Jiaming dari belakang sambil tertawa. Gadis yang baru selesai mandi itu terasa segar dan sejuk, meski tubuh mereka berdekatan dengan mesra tak terasa panas: 'Ayo segera turun.'"
"Hmm, tunggu sampai halaman ini selesai. Shasha masih mandi?"
"Masa sih? Tadi Shasha mandi bareng aku. Dia sudah turun duluan, terus aku datang cari kamu."
"Gak punya solidaritas banget, masa gak ngajak..." Jiaming tersenyum melihat dokumen-dokumen, "Lesbian tak setia..."
"Hmph." Lingjing mendengus seperti kucing kecil di telinganya, "Apa sih ini? Aku kok gak ngerti, hmm... kayaknya laporan medis..." Dia mengeluarkan setumpuk kertas dari tas di sampingnya, membaliknya beberapa kali sambil memeluk Jiaming lalu menggeleng: "Tetap gak ngerti..." Dilempar kembali ke dalam tas.
"Hm, aku juga gak terlalu paham. Tapi... ini mungkin dokumen rahasia tingkat tertinggi negara." Jiaming menjawab sambil tetap tersenyum dan menggeleng: "Kalau nemu pembeli yang tepat, barang ini bisa dijual miliaran."
"Mili...aran?" Lingjing membelalak.
"Uang neraka, bodoh." Melihat ekspresi kaget Lingjing, Jiaming tertawa pendek lalu mencium bibir mungilnya yang segar. Dia mengambil tas dan melemparkannya ke ranjang besar di kamar: "Lagipula buat kita ini gak ada gunanya. Lupakan saja, ayo turun makan."
Dikepung bahu oleh Jiaming, Lingjing tersenyum sambil meninju lembutnya, lalu berjalan beberapa langkah. Ia menunjuk kantong kertas di ranjang: "Biar begitu saja boleh? Kalau ada orang yang..."
"Gak apa-apa kok, tenang aja. Barang kayak gitu dibakar juga nggak sayang."
"Tapi..." Lingjing menggigit bibir bawahnya, mendekati pintu sebelum akhirnya melepaskan diri dari pelukan Jiaming. Ia berlari ke tepi ranjang: "Ini dokumen rahasia, kerjain yang bener dong. Kalau sembarangan dibuang, nanti ilang tau." Tanpa menggali lebih dalam, ia merapikan dokumen dengan hati-hati, lalu membuka lemari di sisi kamar. Kantong kertas itu ditekan di bawah selimut, dipukul dua kali hingga kembali ke bentuk semula: "Nah, sekarang nggak bakal ilang. Yuk pergi, pasti Shasha udah nunggu di bawah."
Sebagai jamuan ulang tahun bos dunia persilatan, acara ini sebenarnya cuma kumpulan anggota Jalan Hitam. Biasanya Liu Zheng merayakan ulang tahun dengan low profile, tapi kali ini menyewa hotel besar dengan puluhan meja jamuan—lebih karena situasi Jianghai saat ini. Tiga bulan lalu geng Yong Sheng dihancurkan langsung oleh [], Li Yong Sheng dan anaknya lenyap. Meski polisi berusaha menjaga stabilitas, situasi tetap belum sepenuhnya aman. Kini tekanan polisi mulai mengendur, dunia bawah tanah mencapai puncak kekacauan.
Perselisihan masa lalu, pembunuhan balas dendam, konflik, negosiasi, perebutan wilayahku... Ketika sepertiga wilayah Kota Jianghai memasuki masa vakum kekuatan Jalan Hitam, kelompok-kelompok lain melihat kesempatan ini dan mulai berkembang pesat. Kelompok kecil berharap mendapatkan lebih banyak wilayah, memulai persaingan licik. Mantan anggota Yong Sheng yang tadinya dibubarkan mulai berorganisasi kembali secara sporadis, mendirikan kelompok baru, memilih bos baru, dan dengan ambisi besar memulai perebutan wilayah lama. Setelah berakhirnya situasi Tiga Kaki Seimbang yang sangat tegang, persaingan antara dua kelompok besar yang tersisa di Jianghai: Shazhu Bang dan San Qing Bang, semakin terlihat jelas. Meski saat ini semua sibuk mencaplok kekosongan kekuatan bekas Yong Sheng, situasi dunia persilatan setelah ini tetap tak bisa dipandang optimis. Tanpa penyangga, yang menunggu hanyalah pembantaian dan perebutan yang lebih mengerikan.
Karena alasan-alasan inilah jamuan ulang tahun ini tidak akan sederhana. Menurut pemikiran Liu Zheng, sebaiknya Jiaming, Shasha, dan Lingjing tidak datang ke sini. Ungkapan "bencana tidak boleh menimpa istri dan anak" dalam dunia persilatan hanyalah slogan belaka. Meski hubungan ayah-anak antara Shasha dan Liu Zheng bukan rahasia, tetap lebih baik sedikit yang tahu. Namun setelah mengetahui situasi ini, Shasha punya rencananya sendiri. Dia tahu kemampuan Jiaming. Meski mungkin tidak ada pembunuhan dalam jamuan ini, kehadiran Jiaming tetap memberinya rasa aman.
Saat matahari terbenam di sepanjang jalan, ketika Jiaming dan Lingjing tiba di aula jamuan di lantai bawah, Shasha sudah menunggu mereka di samping ayahnya cukup lama. Setelah mengucapkan selamat ulang tahun, bertiga pergi ke meja di sudut paling pojok aula jamuan dan duduk. Tamu-tamu yang memberi ucapan selamat berdatangan satu per satu. Hingga pukul delapan, seluruh aula jamuan telah penuh sesak. Di sisi Jiaming duduk para pemimpin pasukan kecil yang tidak memiliki banyak wilayah dan kekuatan. Meski terlihat masih muda, mereka jelas-jelas bersikap lancang. Tentu saja di acara ulang tahun Liu Zheng mereka tidak berani berbuat onar, namun melihat dua gadis cantik dengan ciri khas masing-masing – Shasha yang sehat penuh vitalitas dan Lingjing yang elegan polos – para jagoan merayu yang biasa bergaya flamboyan ini pun tak henti-hentinya mencoba mengajak ngobrol.
Liu Zheng di kursi utama tengah asyik berlebihan bercerita dengan para tokoh tingkat kakak tertua, ludahnya terkadang beterbangan. Sesekali ia berkeliling untuk bersulang. Setiap kali mendekat, semua orang langsung bersikap sangat hormat, benar-benar menunjukkan aura bos besar dunia persilatan. Saat kecil Shasha, Shazhu Bang belum sejaya sekarang. Meski pernah beberapa kali melihat situasi serupa, tak pernah segemuruh ini. Setelah itu, bersama keluarga Lingjing dan Jiaming yang berkecimpung siang-malam, sebelum terjadi hubungan, mereka selalu berkumpul. Liu Zheng sengaja menjauhkannya dari hal-hal ini, sehingga citra Jalan Hitam sang ayah justru memudar. Baru kali inilah ia benar-benar menyaksikan kharisma ayahnya – perasaan ratusan orang di aula yang semuanya berpusat pada sang ayah – tanpa sadar timbul pandangan iri.
“Wah, tidak tahu apakah ayah nanti akan menurunkan posisi bos ke aku...” Mendekati pukul sembilan, aula tengah dipenuhi suasana hiruk-pikuk. Orang-orang yang berkecimpung di Jalan Hitam ini berbicara keras-keras, bermain permainan minum, saling memamerkan daya tahan alkohol yang mengagumkan. Ada juga yang melepas kemeja untuk menunjukkan parut pisau di tubuh sambil bercerita tentang kejayaan masa lalu. Shasha yang sudah meneguk beberapa gelas baijiu kecil memiliki pipi merah merona, berbicara lembut dengan dua orang di sampingnya. Jiaming yang duduk berseberangan di seberang Lingjing tak bisa menahan senyum.
“Mimpi kali, ayahmu ingin kamu masuk Peking University dan Tsinghua University. Rajin-rajinlah ikut kelas tambahan. Kalau bilang mau terjun ke Jalan Hitam, awas dia mematahkan kakimu.”
Lingjing yang terjepit di tengah tersenyum ambigu, menurunkan suaranya: “Kalau kakinya Shasha dipatahin, Jiaming pasti maju membela. Bukannya kamu paling suka paha Shasha tiap hari?”
Jiaming mengangguk dengan kelicikan. Shasha menyemburkan malu, wajahnya semakin merah. Kemampuan atletiknya lebih baik dari Lingjing, paha yang terlatih terlihat jenjang dan indah. Kadang di ranjang saat dibandingkan, Lingjing pun tak bisa menyembunyikan kekecewaan. Kemudian selalu diikuti kejar-kejaran riuh dengan beberapa adegan merah muda yang... Bruk~ Bruk~ Tentu tak pantas diceritakan ke orang luar.
Di luar hotel, hawa gerah belum mereda, sementara suasana di aula justru semakin memanas. Hotel ini tidak memiliki AC sentral. Kemampuan pendinginan belasan unit AC sepertinya masih belum bisa mengendalikan situasi dengan baik. Di antara ketiganya, Lingjing yang selalu patuh tentu tidak menemukan bahasa bersama dengan para anggota Jalan Hitam ini. Di mata Jiaming, orang-orang yang masih membawa kapak tebangan dan mengkhotbahkan betapa garangnya mereka ini tak ubahnya anak-anak yang sedang bermain permainan rumah-rumahan. Shasha sendiri juga punya jiwa pemberontak, tetapi setelah lama bersama keduanya, dia sudah tidak tertarik lagi bergaul dengan orang-orang ini. Pada pukul sembilan setengah, gemuruh braak menggelegar, hujan akhirnya turun di luar hotel. Bertiga mereka mengambil beberapa buah-buahan, bersiap untuk menghirup udara segar di luar. Saat hendak melangkah ke pintu, Jiaming yang di tengah bertabrakan dengan beberapa orang yang datang dari depan. Setelah mengucapkan maaf dan cepat-cepat minggir, satu pisang dari tandannya sudah hilang. Beberapa pemimpin bawahan Liu Zheng di balai jamuan melihat pendatang itu, lalu juga menyambut mereka.
Regu yang baru tiba di acara jamuan ini berjumlah sembilan orang. Pria paruh baya yang memimpin, Jiaming juga mengenalnya. Saat meneliti situasi Jalan Hitam Kota Jianghai sebelumnya, dia sudah mempelajari data orang ini. Dia adalah bos Sanqing Bang di Jianghai, Huawei. Dalam konteks situasi saat ini, kekuatan Sanqing Bang lebih unggul daripada Shazhu Bang. Huawei ini bisa dibilang merupakan orang nomor satu di dunia hitam Jianghai. Kehadirannya dalam jamuan ulang tahun Liu Zheng untuk unjuk kekuatan bukanlah hal yang aneh. Hanya saja...
"Melihat punggung beberapa orang ini, Jiaming menyeringai dengan kekecewaan. Ia memetik sebuah pisang dan mengikuti Lingjing serta Shasha. Saat melewati tong sampah, ia melempar kulit pisang dan beberapa bagian pistol ke dalamnya. Dentuman logam membuat Shasha menoleh bingung. Melihat pipi Jiaming yang menggembung karena makanan, ia tak bisa menahan tawa: "Makan banyak-buat sekaligus, tidak takut tersedak sampai mati?""
"Jiaming mengunyah beberapa kali sambil tersenyum: "Kalau begitu kubagi separuh untukmu." Suaranya terdengar aneh karena mulut yang penuh makanan. Di sudut sepi menuju lobi hotel ini, Shasha langsung kabur sambil tersipu ketika Jiaming berpura-pura hendak menyuapinya, menarik Lingjing sebagai perisai."
"Jijik banget, berikan saja ke Lingjing. Aku tidak mau!""
"Bertiga tertawa keluar dari lobi. Hujan mengguyur deras, lampu jalan berkabut dalam tirai hujan. Mobil-mobil melintas di jalan panjang, kilat sesekali menyambar langit dengan cahaya putih menyilaukan. Angin dingin berdesir, mereka menghirup udara segar di bawah atap depan hotel. Shasha sedang mengangkat kedua tangan sambil berteriak "Nyaman sekali!" ketika seorang gadis membawa payung berlari keluar hotel. Tatapan penuh tanda tanya itu mengikuti mereka sampai melewati, lalu tiba-tiba berbalik arah."
"Eh, itu... kita pernah bertemu. Kamu namanya... Jiaming ya? Dan kamu... Shasha bukan?""
"Gadis ini kira-kira berusia 18-19 tahun, meski lebih tua dari beberapa orang, namun masih terlihat kekanakan." Jiaming tersenyum tipis: "Heh, namaku Gu Jiaming." Shasha justru tampak bingung: "Kita...pernah bertemu?"
"Tentu pernah, Gu Jiaming! Nama itu!" Gadis itu menunjukkan ekspresi gejolak dalam hati seperti bertemu kenalan di perantauan, "Kalian lupa padaku? Namaku Mu Zhenzhen, kakakku Mu Qingqing. Waktu itu...hmm, tahun 95 saat kalian bermasalah, aku pura-pura jadi polisi untuk mengambil keteranganmu, ingat? Ingat? Lalu kamu juga pernah membantuku menangkap pencuri!"
Dengan ingatan Jiaming, bentuk wajah gadis ini tidak banyak berubah. Ia tentu masih ingat. Saat disebutkan tentang keterangan palsu, Shasha juga mulai teringat. Gadis itu tertawa gembira: "Hehe, itu pertama kalinya aku membuat keterangan palsu, jadi sangat membekas. Meski akhirnya ketahuan oleh kakak...Tadi melihat kalian kok rasanya mirip. Waktu itu kalian bertiga juga selalu bersama, sekarang sudah tumbuh tinggi sekali. Eh, kalian tidak punya payung?"
Sambil berkata demikian, ia memutar arah dan melirik ke balai jamuan di ujung aula: "Aku akan belikan beberapa payung. Sepertinya di sini tak damai..."
"Tak damai? Kenapa?" Shasha membelalakkan matanya bertanya.
“Mu Zhenzhen ragu sejenak, lalu menurunkan suaranya dengan misterius: ‘Aku kasih tahu ya, lihat pesta ramai di dalam sana? Itu ulang tahun bos mafia. Kabarnya akhir-akhir ini keamanan masyarakat sedang kacau, hari ini mungkin bakal ada konflik. Kalian bertiga masih anak-anak, lebih baik segera pergi... Lihat van di sebelah sana? Kakakku dan teman-temannya ada di situ. Aku baru pulang liburan dari akademi kepolisian, jadi ikut mengawasi.’ Saat menyebut akademi kepolisian, wajah Mu Zhenzhen menunjukkan ekspresi bangga, seolah berkata ‘Aku sekarang sudah jadi polisi lho...’ Sulit dipercaya ada polwan sebodoh ini di dunia, Jiaming mengutuk dalam hati si idiot, kau benar-benar berkat bagi para pembunuh di seluruh dunia...”
“Oke, sekarang sudah jelas kan? Tunggu di sini dulu, aku masuk ambilkan beberapa payung untuk kalian. Tunggu ya.”
“Tapi... Benar akan ada konflik?” tanya Shasha cemas menyusul, sementara Lingjing bersamaan berkata: “Terima kasih, tapi kami justru keluar untuk mencari udara segar...”
“Err, seharusnya akan ada konflik... Eh? Kalian... dari... dalam sana...” Di tengah kalimat, ekspresi Mu Zhenzhen membeku, wajah kecanggungannya persis seperti Abu dalam legenda.
“Hmm, sebenarnya... Liu Zheng itu ayahku, hari ini ulang tahunnya.” Shasha menjawab dengan malu-malu. Seketika, tingkat kecanggungan itu melonjak drastis, Mu Zhenzhen seolah melihat putri Mowang. Shasha yang tak terlalu memperhatikan malah bertanya cemas: “Kan ada polisi yang mengawasi, pasti mereka tidak akan berkelahi, ya?”
“Emm, heh... hehehehehe......”
Petir menyambar, dalam hujan dan angin, terdengar suara tawa kikuk yang terputus-putus...
## Bagian Ratus Delapan Puluh Tiga：Lamaran
Masuk ke balai jamuan yang ramai, hujan badai di luar masih mengguyur. Shasha mengernyitkan wajah dengan ekspresi kesal: "Apaan sih, aku bukan penjahat kok, kenapa Mu Zhenzhen itu... Hah..."
Sebenarnya, tadi di luar pintu, Mu Zhenzhen tidak mengatakan hal-hal yang kasar. Hanya saja setelah mengetahui Shasha adalah putri satu-satunya Liu Zheng, tetap ada ganjalan di hatinya. Percakapan canggung berlangsung beberapa kalimat. Shasha yang bukan orang bodoh pun bisa merasakan ketidakwajaran dalam ucapan mereka. Setelah percakapan tanpa nutrisi itu, Mu Zhenzhen buru-buru pergi sementara Shasha juga kehilangan minat untuk menikmati angin di teras. Bertiga mereka pun kembali ke dalam.
Meski kesal, Shasha tak bisa membenci Mu Zhenzhen. Bagaimanapun juga, ayahnya memang berkecimpung di dunia hitam. Meski di matanya masih seorang ayah yang baik, mustahil menganggapnya sebagai "orang baik" dalam standar normal. Lingjing menghiburnya sebentar sebelum Shasha menoleh bertanya: “Jiaming, papaku... dia sudah melakukan banyak hal buruk ya?”
“Hal buruk? Heh...” Jiaming menepuk kepala gadis itu seperti memukul boneka, lalu berkata penuh kebanggaan: “Tak sebanyak yang kulakukan.”
“Emm...” Shasha tertegun sebentar, lalu tertawa getir: “Apaan sih... dasar kamu.”
“Jujur saja, aku sudah bunuh banyak manusia.”
“Tapi kau selalu membunuh setelah mereka datang lebih dulu. Papaku... karena dia geng kriminal, pasti yang mendatangi orang lain kan? Memungut uang perlindungan, merebut kembali harga diri yang hilang, menagih utang untuk orang, menebas manusia... Hmm, saat kecil aku pernah lihat dia bawa orang menghantam toko milik orang. Dan juga... perdagangan narkoba... Jiaming, kau pasti tahu ini. Apakah ayahku berdagang narkoba?”
Jiaming tersenyum tanpa bicara. Ekspresi Shasha perlahan menjadi kegelapan, memandang ayahnya yang sedang bernegosiasi di depan dengan ratusan preman besar kecil. Gejolak dalam hati yang baru saja muncul kini telah mereda menjadi dingin: "Dia... ternyata benar berdagang narkoba... Dulu dia pernah bersumpah tidak akan melakukan ini..."
"Dunia Tuan, bukan hal sesederhana yang kita bayangkan. Ada hal-hal yang tak terhindarkan." Jiaming menggelengkan kepala menghibur, "Kota Jianghai dengan beberapa juta penduduk, selama ada pecandu narkoba, pasti akan ada pedagang narkoba. Jika Shazhu Bang melarang bisnis ini, pasti akan muncul pihak lain yang mengambil alih. Jika Shazhu Bang sama sekali tidak terlibat, kelompok ini tidak akan bisa berkembang. Sebenarnya mirip dengan Yong Sheng, para pemimpin pasukannya masuk penjara, kelompok dibubarkan, tapi begitu melihat kekosongan kekuatan, para antek kecil yang biasa mengais rezeki di bawah langsung berkumpul sendiri. Jika kau mau, kita bisa menyelamatkan Paman Liu, kubuat bom untuk meledakkan semua orang di restoran, lalu membunuh semua anggota San Qing Bang. Tapi tidak lama kemudian, pasti akan muncul kelompok serupa yang menggantikan. Di dunia ini ada orang baik dan jahat, ada yang menempuh jalan benar, ada yang mencari celah, semuanya memiliki proporsi tertentu. Dalam waktu singkat bahkan negara pun tak berdaya, hanya bisa mengendalikan secara perlahan dengan persetujuan diam-diam. Sebenarnya dibandingkan San Qing Bang yang selalu menggoda orang untuk kecanduan, pihak Paman Liu jauh lebih baik. Hanya dengan menguasai perdagangan narkoba ini, dia bisa mengendalikan bisnis agar tidak melenceng. Apalagi dia juga ayah yang baik, inilah hal paling penting, bukan?"
“Tiba-tiba jadi seperti filsuf...” Dengarkan dia bicara panjang lebar, Lingjing tertawa, “Tapi, Shasha, menurutku omongannya masuk akal. Aku rasa Paman Liu baik, seperti itu sudah cukup. Saat bertengkar bisa bilang kakakku punya ayah bos mafia yang bisa panggil dua truk orang buat gebukin kau, enak banget kan. Apalagi... hehe, kau sudah naik kapal pencuri Jiaming ini, bersabarlah ya, haha...”
Lingjing yang biasa terlihat manis, sebenarnya tidak seperti gadis baik-baik yang patuh. Kali ini dengan mesra mencubit pipi Shasha, genit tapi tetap memancarkan kemurnian. Shasha yang punya karakter pemberontak sejak kecil, lambat laun terpengaruh etika dan budi pekerti Lingjing. Kalau bukan karena Lingjing dan Jiaming, mungkin sekarang dia sudah jadi cewek seksi nakal. Kekesalannya terutama karena terlalu lama berinteraksi dengan keluarga Lingjing, takut orang-orang dekat ini jadi benci... Meski hubungan sekarang masih baik, siapa tahu suatu hari Papanya Ye dan Ibunya Ye terganggu ulah kriminal atau melihat kejahatan mereka, lalu tiba-tiba membencinya—setelah dihibur berdua, perlahan dia mulai pulih.
“Sudahlah, aku tahu sudah naik kapal pencuri. Hmm, aku akan cari waktu bicara ke ayah, minta dia cuci tangan pakai baskom emas seperti di buku... Hmm, Jiaming, mereka kok kayaknya ribut banget, jangan-jangan beneran berantem ya...”
Saat ini di kursi paling tengah balai jamuan, Huawei dari Geng Sanqing dan Liu Zheng sedang mengetuk meja sambil berdiskusi dengan sengit. Para anak buah Geng Sanqing berdiri di belakang Huawei, sementara di belakang Liu Zheng juga ada banyak orang. Banyak pemimpin geng kecil di sekitar secara bawah sadar mulai berkumpul. Jiaming tersenyum.
"Bercanda macam apa ini, jumlah mereka cuma segitu. Kalau berani bertindak di sini, setiap orang cukup meludah sedikit pasti mereka kolaps. Meskipun... Hmm?" Melalui celah kerumunan, Jiaming mengamati Huawei yang sedang berbicara sambil mengerutkan kening, "Sepertinya mereka... sedang melamar ayahmu..."
"Eh..."
"...Makanya, menurutku Wen Yi dari keluarga kami dan Xia Sha memang jodoh yang ditakdirkan. Kau juga tahu, situasi Kota Jianghai sekarang tidak stabil. Sedikit saja bisa memicu konflik besar-besaran, nanti ada pertumpahan darah, mayat-mayat... Aku yakin kita semua mencintai perdamaian. Lagipula kita sudah tua, harus memikirkan masa depan generasi muda. Lihatlah, aku sengaja memberi nama anakku Wen Yi agar tidak terlibat urusan dunia kita. Sekarang dia sudah diterima di universitas unggulan. Aku ingin mencarikan istri yang berbakti dan setara statusnya. Sha Sha-mu sebentar lagi genap tujuh belas kan? Nanti akan kuberi mobil baru, jangan khawatir, pasti yang paling mewah. Huawei bukanlah tipe ayah mertua yang pelit, hahahaha..."
Hua Wei berkata sambil mengangkat gelas anggur dan tertawa terbahak, "Di masa sensitif seperti ini, jika dua kelompok terbesar menjalin ikatan pernikahan, situasi Kota Jianghai pasti akan tenang dengan sendirinya." Hua Wenyi dari Keluarga Hua tahun ini berusia 19 tahun, sedang kuliah di universitas ternama dalam negeri. Sha Sha akan segera genap 17 tahun. Meski belum mencapai usia pernikahan, pertunangan bahkan hubungan ranjang untuk membentuk fakta pernikahan bukanlah hal aneh. Para pemimpin pasukan kelompok sekitar serentak mengangguk setuju. Liu Zheng mengangguk sambil tersenyum.
"Perkataan Pak Hua sangat tepat! Di masyarakat sekarang ini, kerukunan menghasilkan uang. Apa yang lebih penting daripada mencari uang, hehe?" Meski kita semua berkecimpung di dunia bawah, kita sama-sama warga Jianghai. Sekarang masyarakat sedang dilanda PHK, krisis keuangan, banjir pun belum reda. Jika terjadi kerusuhan lagi, itu benar-benar menjadi malapetaka." Rencanaku untuk wilayah-wilayah Yong Sheng adalah kita semua berkumpul bersama, masing-masing mengelola sedikit bagian..." Huawei terus mengangguk-angguk selama pembicaraan, baru kemudian membuat transisi halus.
"Heh, kalau soal si nona liar di rumahku... Hmm, ini pasti Wen Yi ya? Bagus, bagus, langsung kelihatan calon orang sukses, hehe... Universitas Teknologi Huazhong, kan? Kampus bagus..." Liu Zheng tersenyum memuji pemuda berambut tiga tujuh yang berdiri di belakang Huawei. Meski Huawei, Liu Zheng, dan Li Yong Sheng dulu sama-sama jago di Jalan Hitam, impian mereka untuk anak-anaknya sama: putra jadi naga, putri jadi phoenix. Anak laki-lakinya yang kuliah di universitas top membuatnya bangga. Ia melambaikan tangan memanggil anaknya untuk menyapa Pangeran Liu, diikuti obrolan basa-basi. Ketika topik kembali ke urusan pernikahan, Liu Zheng akhirnya menghela napas.
"Ah, jangan diungkit lagi. Si liar kecilku ini... Nilai di kampusnya berantakan. Ibunya sudah tiada sejak dulu, aku pun selalu memanjakannya. Sekarang... Ah, tiap hari cuma bisa cari masalah dan berkelahi. Mana bisa aku kontrol? Sekarang nggak usah mimpi universitas top, bisa masuk kampus biasa saja sudah syukur..."
"Ah, jangan begitu. Putri harimau dari keluarga jenderal, kan? Dulu waktu Shasha masih kecil, aku sudah dengar karakternya yang ceplas-ceplos. Aku justru suka pemuda seperti ini, penuh semangat! Wen Yi ku ini namanya kelihatan kalem, tapi sehari-hari juga suka main dan bercanda. Aku yakin mereka pasti punya bahasa yang sama."
“Ah, sebenarnya, nona liar itu katanya di kampus sudah punya pacar. Kau bilang dunia sekarang ini hal apa sih, cewek kecil sudah bicara soal pacar... Tapi aku juga tak bisa meyakinkannya, soalnya abad ke-21 sudah dekat, masyarakat sekarang mengejar cinta bebas...”
“Mana ada... Lao Zheng, jangan percaya omong kosong di TV. Anak kecil ngerti apa tentang cinta bebas, itu cuma permainan rumah-rumahan mereka. Kalau mau nikah tetap harus kencan buta, dengar orang tua. Shasha kan putrimu, pasti nurut. Lagian hubungan 'itu' cuma rasa penasaran anak kecil, anakku Wen Yi juga tak akan ambil pusing hal sepele. Haha, tenang saja...”
Liu Zheng hanya punya satu putri, Shasha. Siapa pun yang menikahinya kelak, bisnis geng Shazhu Bang otomatis jatuh ke tangannya. Huawei berencana menyatukan dua geng lewat pernikahan anaknya dengan Shasha, terus mendesak. Liu Zheng terus mengangguk setuju dengan semua usulannya, tapi soal pernikahan malah berbelit-belit. Pihak Huawei paham hal ini mustahil cepat disepakati. Setelah mengelilingi topik ini setengah hari, baru tertawa:
“Hehe, anak kecil sebenarnya punya langit mereka sendiri. Lao Zheng kau benar, yang utama memang harus ada perasaan dulu... Ngomong-ngomong, di mana keponakan Shasha? Hari ini ulang tahunmu, pasti dia datang kan... Lao Zheng ah, ini salahmu. Punya putri baik jangan selalu disembunyikan. Lihat berapa banyak anak muda di sini hari ini, seharusnya perkenalkan dia ke semua orang, beri kesempatan yang setara untuk mengejar...”
Saat dia mengucapkan ini, Liu Zheng hendak berkata santai bahwa Shasha sedang sibuk hari ini. Seorang bawahan San Qing Bang membisikkan sesuatu di telinga Huawei. Huawei tiba-tiba tersenyum, menatap gadis dengan wajah muram yang berdiri di kerumunan orang.
“Hehe, Sudah kuduga. Lama tak bertemu, keponakan Shasha sudah tumbuh secantik ini. Kau mungkin tidak ingat Paman Hua, tapi Paman pernah melihatmu saat kecil. Hmm, kali ini Paman Hua mempersiapkan hadiah perkenalan kecil untukmu, Shasha. Kau harus terimalah ini.”
Melihat putrinya Liu Zheng ternyata begitu cantik, banyak orang mulai berbisik-bisik. Banyak yang menyesal telah terlambat dalam hal menjalin hubungan kekerabatan dengan Shazhu Bang. Namun karena Sanqing Bang sudah lebih dulu datang, tak ada yang berani lagi memikirkan hal ini. Hua Wenyi yang melihat Shasha juga menunjukkan ekspresi kagum, mungkin dia hanya mengira ini pernikahan politik, tak menyangka pihak lawan ternyata seorang si cantik. Adapun pernyataan Liu Zheng sebelumnya bahwa Shasha sudah punya pacar, hampir tak ada yang memperhatikan. Mereka menganggap hubungan SMA itu hanya seperti permainan rumah-rumahan yang tak perlu dianggap serius.
Namun perkembangan berikutnya benar-benar di luar dugaan semua orang.
Meski gadis ini dikatakan Liu Zheng memiliki sifat manja dan keras kepala, semua orang yakin dia takkan bertindak sembarangan di acara penting seperti ini. Tapi saat Hua Wei mengulurkan tangan membawa kotak hadiah kecil di udara, Shasha justru berdiri dengan ekspresi wajah muram sambil menyilangkan tangan, sama sekali tak bereaksi. Sifat keras kepalanya benar-benar keterlaluan.
Beberapa detik kesunyian berlalu. Tepat saat wajah Hua Wei mulai berubah, seorang pemuda muncul dari samping Shasha sambil tersenyum, langsung mendorong tangan Hua Wei yang terulur kembali ke dadanya: "Hehe, maaf, sungguh maaf. Shasha mungkin tidak bisa menerima hadiahmu."
Gerak-gerik Dang ini benar-benar keterlaluan. Huawei yang terlihat ramah ini, di kalangan orang-orang yang berkecimpung di Jalan Hitam Kota Jianghai, siapakah yang tidak tahu bahwa Huawei sebenarnya adalah karakter dengan hati paling kejam? Banyak manusia yang MATI di tangan yang saat ini sedang memegang hadiah ini. Namun pemuda biasa-biasa saja ini malah berani mendorongnya kembali, sungguh tindakan yang sangat nekat.
Di kerumunan orang terdengar bisikan-bisikan, sebagian menebak asal-usul sang pemuda, sementara yang lain di hati mereka hampir memastikan bahwa hari MATI sang pemuda telah tiba.
Di samping, wajah Liu Zheng sedikit berubah, kemudian kembali tenang. Sejak awal, dia telah menganggap Jiaming sebagai menantunya, bahkan bisa dikatakan seperti anak kandungnya sendiri. Pertama, karena hubungan Shasha dengannya sangat baik, jika Shasha menikah dengannya, pasti akan bahagia. Kedua, Liu Zheng juga menyadari meski Jiaming terlihat pengecut dalam pertarungan dan selalu kabur, namun di saat genting selalu muncul sifat garangnya. Mengingat kejadian dengan Cao Dongfeng dulu, dalam situasi berbahaya Jiaming justru bisa menyandera seseorang di depan Master pedang Jepang, memastikan Shasha kabur terlebih dahulu lalu berhasil menyelamatkan nyawanya sendiri. Ini membuktikan kemampuannya melindungi diri sendiri dan keluarganya. Lagipula, meski Shasha sering bersikap keras dan terlihat suka membentak-bentak di depan Jiaming, dengan pengalamannya Liu Zheng bisa melihat bahwa sebenarnya Shasha selalu mendengarkan Jiaming dalam segala hal. Kemampuan Jiaming mendidik putrinya yang manja itu menjadi patuh seperti kucing kecil menunjukkan kehebatannya.
Selama ini, Jiaming bukanlah si Bodoh yang suka menonjolkan diri. Menghadapi tekanan pernikahan bertahap dari geng San Qing yang semakin terang-terangan ini, meski secara rasional Liu Zheng merasa harus perlahan-lahan hancurkan strategi lawan, tapi sikap Jiaming yang langsung memberikan pelajaran awal kepada mereka demi Shasha justru sangat sesuai dengan seleranya. Seorang pria di saat seperti ini memang harus menunjukkan sikap berdarah. Dulu Liu Zheng bahkan merasa Jiaming kurang bersemangat, tidak seperti pemuda seumurannya.
Dengan pikiran demikian, dia duduk di sana, tersenyum tipis menyaksikan kejadian ini. Memang baik bisa hidup damai, tetapi jika bisa melihat Jiaming menonjol, mungkin sepadan juga untuk berhadapan dengan San Qing Bang sekali ini.
Memandangi Jiaming dengan tatapan dingin beberapa saat, wajah Huawei menampakkan senyum: "Hadiah ini kuberikan sebagai identitas seorang Pangeran untuk keponakanku Shasha. Entah saudara muda ini siapa, atas dasar apa menentukan hal untuk Shasha?"
"Ha." Jiaming tertawa, "Aku manajer Shasha."
"Manajer?"
Huawei mengulangi dengan nada mengejek, pandangannya beralih ke Shasha di seberang. Shasha hanya melirik sekilas, kemudian tatapannya menetap di wajah Jiaming sambil tersenyum.
"Dia suamiku, apapun yang dikatakannya akan kudengarkan. Tentu saja bisa memutuskan semua hal... Omonganmu hari ini membuat suamiku cemburu. Meski dia tak bersuara, aku tetap tak berani menerima... Hmm, begitu saja."
Meski Shasha biasanya berkarakter terbuka, setelah mengucapkan kata-kata ini di depan banyak orang, wajahnya memerah membara dipenuhi rasa malu.
## Bagian 184 Momen Bersejarah
"Dia suamiku, apapun yang dikatakannya akan kudengarkan. Tentu saja bisa memutuskan segala hal... Omonganmu hari ini membuat suamiku cemburu. Meski dia tak bersuara, aku tetap tak berani menerima..."
Setelah kalimat itu terucap, pipi Shasha memerah membara. Jiaming tertegun sejenak, sementara Liu Zheng di kursinya membuka mulut lebar-lebar, tak menyangka putrinya bisa mengucapkan kata-kata seperti itu demi Jiaming. Ternyata bocah ini memang punya jurus... Dia tak tahu bahwa sebenarnya dialog ini diajarkan Lingjing kepada Shasha saat mereka bertiga berdiskusi tadi, awalnya hanya candaan bahwa jika begini Jiaming pasti akan sangat bangga dan senang. Meski Shasha awalnya mengejek dengan "Ssshh!", saat tiba waktunya, dia benar-benar mengatakannya. Di lubuk hatinya, Jiaming sudah terikat seumur hidup dengannya. Di depan umum, harga diri Jiaming tentu yang paling utama.
Huawei itu memandangi reaksi orang-orang di sekitarnya, wajahnya berubah menusuk tulang. Beberapa saat kemudian baru tertawa: "Hehe, tidak apa-apa. Hadiah ini pemberian Paman untuk hadiah perkenalan. Terimalah, tidak ada maksud lain, ini cuma..."
Dengan sengaja mengabaikan Jiaming, dia kembali mengulurkan kotak hadiah di tangannya, namun pandangannya beralih ke Liu Zheng di samping. Di dunia hitam, semua orang menjunjung harga diri. Sekarang terhalang oleh si idiot ini hanya masalah kecil. Selama Liu Zheng bicara, segalanya masih bisa dirundingkan. Tapi saat ini Liu Zheng justru memandangi putrinya dan Jiaming dengan penuh kepuasan dan rasa ingin tahu. Sebelum Shasha bicara, Jiaming sudah mengulurkan tangan lagi, mendorong kotak hadiah kembali ke dada Huawei. Jarak antara dua sosok yang berbeda tinggi ini kini kurang dari setengah meter, menciptakan atmosfer konfrontasi langsung.
"Maaf, aku tidak suka." Makna tersiratnya, dia sepenuhnya menggunakan segala hak kedaulatan untuk mewakili Shasha.
"Suasana tiba-tiba berubah bagai pedang terhunus dan busur terkencang. Hua Wenyi tiba-tiba ingin berlari maju, namun dihalangi ayahku yang mengulurkan tangan dengan kasar. Bos besi yang telah berkuasa di dunia hitam Kota Jianghai lebih dari sepuluh tahun ini menatap Jiaming dengan pandangan dingin, hampir semua orang bisa merasakan niat membunuh besar yang terkandung dalam tatapan itu. Di seluruh dunia hitam Jianghai saat ini, selain Liu Zheng, siapa lagi yang berani menantang mereka secara langsung seperti ini? Anak ini tak akan berumur panjang."
"Saat delapan orang di belakang Hua Wei mengepung, Liu Zheng juga bangkit berdiri dengan sigap, diikuti anak buahnya yang berkumpul. Sebagian besar tamu dalam jamuan ini adalah anggota Shazhu Bang, keluarga Hua pasti takkan gegabah menyerang. Namun bagi orang biasa, pandangan MEMBUNUH yang terbuka seperti ini saja sudah cukup menakutkan. Tujuan dia berdiri tentu untuk memberi Jiaming lebih banyak keberanian. Tapi karakter Jiaming yang biasanya tak kenal takut justru berperan besar di sini. Sama sekali tak peduli dengan tatapan tajam mereka, dia hanya tersenyum polos:"
"'Sungguh, aku tidak suka Shasha menerima hadiah dari paman asing sembarangan... terima kasih atas niat baiknya, tapi tolong ambil kembali hadiahnya.'"
"'Ha... Ha ha ha ha ha ha...' Memandangi Jiaming, Hua Wei mengangguk, tiba-tiba tertawa. Niat membunuh di bibirnya sama sekali tak berkurang, suara beratnya yang agak serak dipenuhi amarah yang sulit ditahan, 'Bagus, sungguh bagus, memang pahlawan muncul dari kalangan pemuda. Sudah bertahun-tahun tak ada yang berani mengatakan hal seperti ini di hadapanku. Saudara kecil, siapa namamu? Aku pasti akan mengingatmu!'"
“Oh, kalau begitu, aku tidak mau memberitahumu.” Jiaming tersenyum, “Aku tidak suka kaca tua sepertimu mengingat namaku.”
Begitu kata-kata provokatif itu meluncur, kilatan cahaya tajam muncul di mata Hua Wei, tangan kanannya langsung menyambar tamparan. Dalam sekejap mata, torso Jiaming langsung melengkung ke belakang, selisih tipis—tamparan tiba-tiba itu meleset dan berhenti canggung di udara. Banyak orang di sekitar baru tersadar apa yang terjadi: Hua Wei ingin memberi pelajaran pada bocah kurang ajar ini, tapi malah dihindari.
Melihat ekspresi terkejut di wajah Hua Wei dan orang-orang, Liu Zheng tertawa. Tentu saja dia belum pernah menguji langsung kemampuan bertarung Jiaming, tapi dari cerita putrinya dia tahu: Jiaming memang tidak suka berkelahi, tapi kelincahannya luar biasa, kaburpun tak tertandingi. Pertarungan memalukan saat pertama masuk Akademi Hati Kudus yang dianggap aib oleh orang lain, justru dipuji-puji Shasha kepada ayahnya berkali-kali. Jika peserta berhak ikut kompetisi seni bela diri nasional saja tak bisa menyentuh helai bajunya di ring, apalagi Hua Wei yang cuma mengandalkan dasar seni bela diri kasar—mustahil langsung mengenai.
“Hmph, tak terlihat kau punya beberapa trik, tak heran keponakanku Shasha tertarik padamu.” Setelah ragu, Huawei menyimpan tangan kanannya, “Aku hanya ingin tahu, apakah kau masih bisa menghindar ketika 10 orang, 100 orang, 1000 orang menyerangmu.” Pandangannya menyapu dingin ke Jiaming, Liu Zheng, dan orang-orang sekitar, “Aku ingin lihat, bagaimana manusia yang tak bisa lindungi diri sendiri ini akan menikahi keponakanku Shasha. Hmph, sampai jumpa.”
Ucapan terakhir ini sudah bisa dianggap deklarasi perang resmi. Bisa dibayangkan, begitu pulang hal pertama yang akan dilakukannya pasti mengerahkan ribuan orang untuk menghancurkan tubuh Jiaming hingga berkeping-keping. Baru berbalik badan, Liu Zheng belum sempat bicara, Jiaming sudah kembali berseloroh:
“Kau dan anakmu juga belum tentu bisa lindungi diri. Hati-hatilah, kondisi masyarakat sekarang sedang tidak aman.”
Provokasi telanjang lagi. Kali ini bukan hanya Liu Zheng, bahkan Lingjing dan Shasha pun merasa heran – kenapa hari ini Jiaming terus memancing amarah lawannya seolah ingin membuat mereka meledak. Orang lain hampir menganggap Jiaming sebagai pemboros kelas kakap tak berotak atau benar-benar orang gila. Tapi situasi sekarang tidak memungkinkan investigasi mendalam.
Namun, setelah ancaman itu meluncur, Hua Wenyi di samping Huawei tiba-tiba menyambar kursi dan menghantamkannya ke lantai. Matanya menyembur api saat menoleh: “Sial! Kau ini siapa?! Kalau berani, ayo duel satu lawan satu!”
“Kelompok San Qing hanya mengirim sembilan orang ke sini, tentu tidak berani berkonfrontasi langsung. Di masa kini meski dunia hitam tidak terlalu menjunjung tinggi kode etik persilatan, tapi dalam situasi tertentu duel satu lawan satu tetap menjadi cara menyelesaikan masalah. Mendengar usulannya, Jiaming tertegun sejenak, lalu tersenyum memandang Liu Zheng di sampingnya sambil mengangguk: "Duel satu lawan satu? Baik, tolong semua mundur sedikit, terima kasih, mohon beri ruang."
Ia mengayunkan tangan membersihkan arena. Liu Zheng mengerutkan kening cukup lama, akhirnya juga mengangguk. Di tempat ini dialah yang berkuasa. Dengan persetujuannya, duel ini resmi diakui. Hua Wenyi saat ini membara amarahnya, ingin langsung menerjang dan membelah Jiaming jadi delapan potong. Meski Hua Wei waspada akan kelincahan Jiaming menghindari tamparannya tadi, ia tahu kemampuan bertarung putranya cukup mumpuni, masih menyimpan keganasan ala dirinya di masa muda. Meski masuk universitas unggulan lewat jalur sogok, kabarnya di kampus sudah banyak yang jadi korban pukulannya, kini menjadi salah satu pemimpin geng kampus. Ditambah postur Jiaming yang lebih pendek satu kepala, Hua Wei hanya berpesan "Hati-hati" lalu memerintahkan anak buahnya mundur. Di sisi lain, Lingjing dan Shasha berhasil menyelinap mendekat.
“Kenapa kamu harus duel satu lawan satu? Kalau sampai ketahuan orang...”
“Heh, ini menyangkut Shasha, tentu harus diselesaikan sekaligus. Tenang, aku punya rencana. Nanti kita jalankan sesuai strategi kemarin...”
“Jiaming selalu bertindak dengan presisi, apapun caranya, akhirnya pasti beres.” Melihat Jiaming yang penuh keyakinan, Lingjing tersenyum lega sambil menarik tangan Shasha: “Aku iri deh, dia berani membelamu seperti ini. Pasti perkataan yang kuajari tadi membuatnya senang.”
“Masa sih…” wajah Shasha memerah, “Aku yang iri waktu Malam Natal dia bernyanyi untukmu… Lagian dia nggak nulis lagu Dongfeng Po buatku…”
“Tapi waktu itu dia memukuli orang di lapangan basket sampai tak tersisa muka sama sekali demi kamu…”
Keduanya saling menggoda, mengingat perilaku Jiaming selama ini: Dia tak pernah peduli pendapat orang tentang dirinya, tapi jika dua perempuan ini dapat perhatian atau bahkan sedikit direndahkan, dia pasti turun tangan. Bertarung untuk Lingjing, jadi pusat perhatian di Malam Natal, main basket untuk Shasha, dan kasus kali ini… Benar-benar maskulinisme ekstrim, tapi rasanya nyaman dimiliki seperti ini, sungguh…
Begitu Liu Zheng mengayunkan tangan, orang-orang di sekitar meja bundar pun mundur sambil tertawa, membuka radius efektif. Hua Wenyi berwajah dingin, sementara Jiaming tetap tersenyum datar sambil mengangguk: “Hmm, baik, mari mulai.”
Seketika, Hua Wenyi berlari maju tanpa ragu. Jiaming menghilang di depan matanya.
Byur-byur beberapa kali, saat taplak meja tersingkap, Jiaming yang sebelumnya kabur terbang keluar dari bawah sebuah meja bundar di samping dengan penampilan yang agak kikuk. Semua orang tertegun sejenak, Liu Zheng, Lingjing, dan Shasha pertama kali tertawa, sementara yang lain mengeluarkan suara ssst setelah terkejut sebentar. Hua Wenyi tampaknya kaget dengan respons Jiaming tadi. Baginya, seharusnya seseorang baru akan kabur setelah memastikan kalah dalam pertarungan. Sungguh tak terduga dia kabur begitu langsung. Senyum berani tadi ternyata sama sekali tidak bermaksud untuk bertarung dengannya.
"Hmph, ini yang kau sebut bisa melindungi diri? Aku ingin lihat berapa lama kau bisa bersembunyi!"
Dalam amarah, dia berjalan cepat mendekati Jiaming yang juga tersenyum: "Aku juga ingin lihat siapa yang bisa melindungi diri..." Sambil berkata, dia mengangkat mangkok sup ikan di meja bundar dekatnya dan melemparkannya.
Sebelumnya tidak ada yang bilang tidak boleh pakai senjata, saat ini tentu juga tak ada yang bilang Jiaming tidak boleh melempar sup ikan. Karena yang datang hari ini semua orang jalanan gelap, menu makanan kebanyakan pedas, sup ikan ini diberi banyak cabai, merah segar seperti darah. Hua Wenyi tidak menyangka di ronde kedua Jiaming langsung seperti tukang ribut melempar barang. Melihat sup merah itu menyembur, kalau sampai kena mata, hari ini pasti cuma bisa dipukuli. Dia mundur tiba-tiba ke samping, tangan menutupi pipi, tapi mana mungkin bisa menghindar dari lemparan Jiaming. Dengan suara "splash!", setengah tubuhnya termasuk rambut dan pipi kebasahan sup, sangat kikuk.
Jamuan sudah berlangsung lebih dari satu jam, sup ikan sekarang tidak terlalu panas, tapi rasa penghinaan sesaat itu benar-benar tak tertahankan. Dengan geraman rendah, Hua Wenyi berbalik ingin menyerang, tapi saat menoleh, orang-orang San Qing Bang di sampingnya termasuk Hua Wei berteriak: "Kau mau apa!"
Perkataan Jiaming belum selesai, disusul kalimat: "Kau sudah MATI..." Terlihat dia langsung membuka helai bajunya, di pinggangnya terselip gagang pistol. Baik orang San Qing Bang maupun Liu Zheng dari Shazhu Bang, semua kaget sejenak.
Di Tiongkok, mekanisme pengaman senjata sangat ketat. Tak ada yang menyangka seorang pemuda akan membawa senjata. Tapi sebagai remaja, gestur tangannya saat menarik senjata terlihat lambat dan kikuk di mata orang-orang. Bersamaan dengan gerak-geriknya, teriakan keras anggota Kelompok San Qing menggema. Huawei dan Hua Wenyi, hubungan Bapak-Anak, telah dengan gerakan lebih profesional dan cepat memasukkan tangan ke pangkuan, mendahului Jiaming untuk mengeluarkan... dua tangkai pisang...
Suasana sekitar senyap bagai kuburan...
Meski mekanisme pengaman senjata di Tiongkok sangat ketat, bukan berarti tidak ada saluran untuk mendapatkannya.
Kedatangan mereka dengan formasi sembilan orang ke pesta ulang tahun Liu Zheng, meski telah Konfirmasi bahwa Liu Zheng tak akan bertindak terhadap mereka, Huawei tetap melakukan persiapan sebelumnya. Dia membawa senjata, tapi karena pertempuran takkan terjadi, Tentu saja tak perlu semua orang membawa senjata. Satu di tubuhnya, satu lagi di anak laki-lakinya murni sebagai mekanisme pengaman. Tak ada yang menyangka akan muncul intervensi dari anak kecil yang memicu perang antara dua kelompok besar.
Karena sejak lama lawan Shazhu Bang adalah Yong Sheng, meskipun Jiaming pernah meneliti beberapa data tentang San Qing Bang, kesannya tetap tidak mendalam. Saat keluar rumah melihat Hua Wei dan lainnya, dia teringat secara mendadak lalu menabrak mereka. Awalnya hanya ingin mengutil dompet atau sejenisnya agar tindakan mereka tidak keterlaluan, tapi tak disangka malah menyentuh pistol di tubuh Hua Wen Yi. Alhasil dengan gesit mengambilnya, membongkar lalu membuang ke tempat sampah. Setelahnya ketika Hua Wei berdiskusi dengan Liu Zheng menghadapi situasi besar yang masih membuat Hua Wen Yi gugup, dia tidak berani terang-terangan meraba pistol di pangkuannya, juga tidak tahu pistol itu sudah diganti pisang. Jiaming berputar di sekitar selama setengah hari, memastikan Hua Wei masih membawa satu pistol lagi, barulah terjadi insiden dia berlari maju menantang Hua Wei. Memanfaatkan momen kekacauan sesaat, pistol itu diganti lagi. Karena waktu setelahnya tidak lama, meski tidak seakrab kapak tebangan dalam hal senjata, Hua Wei yang berpengalaman di dunia persilatan ternyata juga tidak menyadari hal ini.
Jika yang dihadapi adalah pembunuh seperti Jiaming, meskipun ada orang yang lebih hebat bisa mencuri senjatanya, saat menarik senjata tiba-tiba dia pasti akan segera menyadari kesalahan sehingga tidak sampai mengeluarkan pisang dan mengarahkannya ke orang lain. Namun Huawei dan anaknya yang biasa menggunakan kapak tebangan untuk menguasai wilayah kekuasaan, mana mungkin memiliki kesabaran seperti itu. Terlihat Huawei mengarahkan pisangnya lurus ke arah Jiaming, satu jarinya masih mencari-cari picu senjata. Hua Wenyi karena terlalu tegang, "tombaknya" yang sudah lama dierami di pangkuan itu saat ditarik tiba-tiba patah di bagian tengah. Setelah dikeluarkan, karena sensasi sentuhannya tidak biasa, pisang itu langsung terlempar dari genggamannya. Kedua tangannya secara bawah sadar berusaha menangkap, di udara dia kebingungan mencoba menangkap dua kali, baru akhirnya bisa menggenggam erat. Sementara setengah bagian daging pisang karena terlalu keras dicengkeram terpental keluar, "gedebuk" jatuh di depan Jiaming.
Saat itu, menyaksikan sikap dan ekspresi bapak-anak itu, semua orang di sekitar mulai mengerti bahwa rencana keluarga Hua Wei ingin membunuh seseorang dengan pisang di suatu jamuan, kelak akan menjadi legenda besar di Jalan Hitam Jianghai, monumen tak terlupakan dalam dunia bawah tanah...
Ini adalah momen Bersejarah...
## Bagian 185
Karena keterkejutan yang luar biasa, hanya terdengar suara bernapas pendek-pendek di sekitar. Jiaming melotot melihat pisang setengah yang ada di depannya, lalu memandang ekspresi seru keluarga Hua yang berubah-ubah, mengedipkan matanya seolah mulai kerepotan:
"Eh, kalian... mau membunuhku dengan pisang?"
Sambil berbicara, dia sudah mencabut pistol dari pinggangnya dan mengarahkannya ke Hua Wenyi. Itu adalah pistol otomatis model S buatan Amerika kaliber 9 milimeter. Badan senjata logam biru keabu-abuan memancarkan tekanan maut yang mencekam, laras hitam legam bergerak mendekat dua langkah ke arah Hua Wenyi. Bersamaan itu, Jiaming membuka mekanisme pengaman dengan tangan kirinya secara tidak profesional, lalu menarik pelatuk.
Tawa dari kerumunan baru saja mulai terdengar, namun melihat gaya Jiaming yang sama sekali tidak profesional namun serius mempersiapkan pembunuhan, tawa itu segera terhenti. Ini area publik - jika benar-benar menembak sampai MATI pasti akan terlibat masalah. Tapi... pemuda ini jelas orang gila... Lagipula, yang bisa merebut hati putri Bos Liu pasti bukan karakter sembarangan... Sambil berpikir demikian, keraguan masih menyelimuti apakah dia akan benar-benar menembak. Liu Zheng sudah mulai melambaikan tangan meminta Jiaming menurunkan senjata. Banyak cara untuk membunuh bapak-anak ini, tapi jika dilakukan di sini, Jiaming hanya punya dua pilihan: mendekam di penjara atau kabur seumur hidup. Bahkan jika ini hanya gertakan, dengan mekanisme pengaman terbuka dan pelatuk terkokang, sedikit kecerobohan bisa berujung pada kematian...
Napas tertahan, bisikan-bisikan, orang-orang di belakang Hua Wenyi mulai menggeser posisi menghindar. Beberapa detik kemudian, Hua Wei melepaskan pisang konyol di tangannya, mengambil napas dalam lalu mengangkat tangan: "Baik... baik... Kali ini aku mengalah. Aku janji mulai hari ini..."
"Jaminannya belum selesai diucapkan, tubuhnya kembali membeku kaku. Beberapa anak buah di belakang bahkan tidak berani bergerak sembarangan, karena di depan mereka kini ada dua laras senjata lagi yang mengarah ke sini."
"Liu Zheng menoleh dan langsung terdiam membatu, matanya hampir melotot keluar dari soket. Karena di sisi ini, salah satu dari dua orang yang menarik senjata ke arah Huawei ternyata adalah putrinya sendiri Shasha. Yang satunya tentu Lingjing yang berdiri di sampingnya dengan penampilan lebih lemah lembut."
"Emm... Shasha, mekanisme pengamannya yang mana ya?"
"Bodoh, yang ini. Sini, aku bantu..."
"Dalam percakapan polos dua gadis itu, Shasha memiringkan badan untuk membantu Lingjing membuka mekanisme pengaman pada senjatanya. Semua orang di sekitar serasa berada dalam realita mimpi. Sebagian memandang Liu Zheng yang tengah tegang, menduga senjata-senjata itu pasti milik bos mereka yang kini dicuri putrinya untuk main-main seenaknya. Benar kata koran, generasi 80-an... benar-benar rusak..."
"Detik berikutnya, ketiganya tersenyum sambil menarik pelatuk."
"Tengah malam, kawasan villa di perbukitan pinggiran Jianghai."
"Sebuah taksi kuning berhenti di depan sebuah villa. Setelah membayar ongkos, pria gemuk itu membawa dua kantong besar nasi kotak menuju ruang tamu. Lima enam orang yang sedang menonton TV segera berkumpul."
"Nasi babi gulungku..."
"Daging sapi teppanyaki, teppanyaki... Aku pesan yang itu..."
"Nasi goreng telur..."
Seolah-olah sedang berada dalam suasana ramai memesan makanan di restoran, pria gemuk itu kebingungan membagikan makan malam ke setiap orang. Di saat yang sama, seorang pria berpenampilan agak Yao turun dari lantai atas sambil tersenyum: “Shishen sudah datang, bagus, apakah roti kukus kecil yang kupesan sudah dibeli?”
“Tolonglah, Kakak Pemimpin Yelian, jam segini mana mungkin masih bisa beli roti kukus kecil,” ujar pria gemuk itu sambil tertawa. “Untungnya masih ada sisa beberapa dari siang tadi, harap maklum. Lain kali jangan suruh aku beli roti kukus kecil tengah malam lagi, setuju? Lari ke hotel besar hanya untuk ini sangat memalukan.”
Menangkap kotak makan yang dilempar, Yelian mengambil roti kukus kecil itu dan menggigitnya—tentu saja bukan benar-benar sisa: “Ha, tidak ada pilihan, aku memang suka ini... Ngomong-ngomong, pisang yang kuminta sudah dibeli?”
“Sudah, tengah malam begini kenapa tiba-tiba ingin makan pisang?” Mengeluarkan setandan pisang dari kantong besar lain dan melemparkannya, Yelian menggelengkan kepala sambil tersenyum, memetik satu buah lalu menunjuk ke semua orang: “Bukan ingin makan, hanya ingin mencoba sensasi MEMBUNUH dengan ini...” Byur, Byur...
“Selesai, otak kakak pemimpin kemasukan air...” Pria kurus yang sedang menyantap nasi goreng telur menggelengkan kepala prihatin, disambut tawa semua orang. Pria gemuk berjuluk Shishen itu selesai membagikan makan malam, lalu bertanya sambil tersenyum: “Kakak Pemimpin, tiba-tiba memanggil kumpul di sini tengah malam, apakah kita akan melawan Keluarga Hua? Bukankah ini terlalu terburu-buru...”
“He…” Ye Lian tersenyum sambil mengangguk, “Beberapa jam lalu tim informasi tiba-tiba mengabarkan ada insiden di pesta ulang tahun Liu Zheng… Sebelumnya tidak menyangka akan secepat ini, jadi agak terburu-buru… Keluarga Hua sudah kembali, setelah makan kita bersiap operasi.”
“Hmm? Ada insiden apa?”
“Baku tembak.” Ye Lian mengibaskan pisang di tangannya, “Hua Wei dan anaknya bawa senjata. Karena Hua Wei ingin aliansi lewat pernikahan, dia melamar putri Liu Zheng untuk anaknya. Si kecil Gu Jiaming kita langsung menyergap, mempermalukan keluarga Hua. Lalu Hua WenYi duel satu lawan satu dengan Gu Jiaming. Heh, kalian tahu, Gu Jiaming itu dididik oleh Nona Jian Suyan yang selalu benci metode kuno. Semangkok sup ikan dihujani ke wajah Hua WenYi lalu langsung berancang-ancang menarik senjata. Keluarga Hua tentu juga menarik… Tapi yang mereka tarik dua pisang… Hmm, begitu. Apa aku terlihat keren?”
Semua orang tertegun, membayangkan pemandangan sengit nan genting saat itu. Seseorang menarik pisang… OH… MY… GOD…
“Meski… meski dibantu Jian Suyan, Gu Jiaming memang bisa dapat senjata asli. Tapi tidak mungkin dia membawanya keluar, kan? Dia bukan idiot… Tapi kalau pistol mainan, pasti ada yang mengenalinya…”
"Sampai ke intinya." Ye Lian tersenyum sambil mengulurkan tangan ke dalam pangkuannya, mengeluarkan sebuah pistol yang diarahkan ke semua orang. Namun orang-orang yang sudah terbiasa bermain senjata, melihat mekanisme pengaman tidak terbuka, tentu tidak akan menunjukkan ekspresi ketakutan. "Siapa di antara kalian yang menganggap ini pistol palsu?"
Semua orang saling memandang terkejut: "Lalu... dia benar-benar mengeluarkan senjata sungguhan? Jian Suyan tidak mungkin sampai membiarkannya bermain seperti ini..."
"Bukan hanya Gu Jiaming, tapi juga dua gadis kecil manis di sampingnya, masing-masing memegang satu. Satu diarahkan ke Hua Wenyi, dua lainnya ke Huawei, membuka mekanisme pengaman, lalu menembak tanpa ragu." Ye Lian tersenyum, tiba-tiba meraih ke belakang sofa. Saat berbalik, di tangannya tergenggam pistol air mainan besar dengan dua selang plastik. Semua orang berebut kotak makan mereka dan melompat menghindar. Kemudian, semburan air desau-desau beterbangan: "Lalu... wajah bapak-anak itu disiram air ledeng... huha hahahaha... hahahahaha... tolong... perutku sakit... hahahaha huuuuhhhh..."
Setelah menyelesaikan cerita dengan wajah serius, Ye Lian yang awalnya berusaha menjaga ekspresi formal tiba-tiba tertawa terbahak-bahak hingga terjatuh di sofa. Tertawa ngakak, berguling-guling, menyumbat mulutnya dengan se-ekor roti kukus kecil, kemudian terus tertawa dan berguling... Para hadirin yang telah sering menyaksikan ledakan emosi mendadaknya ini hanya saling bertatapan sejenak, baru kemudian menghela nafas: "Senjata air... yang benar-benar realistis... Perselisihan ini pasti akan berlarut-larut. Pasti ada keterlibatan Jian Suyan di balik ini, meski sejak awal sudah terasa kemungkinan situasi seperti ini muncul..."
Setelah berdiskusi, Ye Lian berguling-guling di sofa sejenak. Setelah pulih, barulah dia tertawa sambil mengangguk: "Heh... Pasti ada keterlibatan Nona Jian. Siapa lagi yang bisa mengganti pistol dengan pisang secara diam-diam dari pangkuan orang? Selain itu, untuk membuat pistol air tiruan yang sangat realistis, casing logam pasti juga hasil karya Nona Jian... Setelah Yong Sheng Bang tiada, konflik antara Shazhu Bang dan Sanqing Bang tak terhindarkan. Dalam hal ini, kekuatan Shazhu Bang justru berada di posisi lemah. Jadi Gu Jiaming meminta Nona Jian turun tangan, dan Nona Jian pasti paham begitu ada hal seperti ini, kita harus ikut mengendalikan situasi Jianghai. Jadi... Ini pada dasarnya ujian untuk kita. Kalau tidak, Gu Jiaming yang biasanya rendah hati takkan tiba-tiba bersikap begitu agresif, mempermalukan orang sampai habis tanpa dapat keuntungan, malah membahayakan diri sendiri... Kalau benar Nona Jian yang akan bertindak, memasang bom diam-diam di villa keluarga Hua baru gaya khasnya... Atasan sudah memberi kita kewenangan penanganan penuh. Bersiap untuk operasi."
Pukul dua pagi, dipimpin Ye Lian, tujuh sosok muncul diam-diam di belakang villa keluarga Hua. Mereka melompati tembok, dengan mudah melumpuhkan dua petugas patroli, lalu berpencar sebelum berkumpul di tepi platform di belakang villa.
Dalam [], tim yang dipimpin Ye Lian tentu tidak hanya terdiri dari tujuh orang. Namun untuk menyusup ke kediaman anggota Jalan Hitam biasa seperti ini dan mengendalikan situasi terkini di Kota Jianghai, tujuh orang ini sebenarnya sudah lebih dari cukup. Bersembunyi di belakang taman bunga, Ye Lian mengeluarkan teleskop dan mengamati situasi sekitar, merencanakan rute penyusupan dengan suara rendah. Saat teleskopnya menyapu pintu depan villa, tiba-tiba dia membeku.
Di bawah lampu jalan, seorang wanita cantik yang tampaknya sedang mabuk mengayun-ayunkan tas kecil di tangannya, berjalan limbang mendekati area ini.
Pandangan kebingungan, rambut panjang yang terurai, kemeja putih sederhana dan celana jeans - gerakan tubuhnya yang tidak stabil justru memancarkan aura elegan dan Dayang Sihir yang tak tertandingi. Dua penjaga yang berdiri di samping pintu gerbang tak kuasa menahan pandangan mereka dari bayangan ini. Beberapa saat kemudian, wanita itu memegang pintu gerbang villa, membungkuk beberapa kali seolah ingin muntah, lalu dengan penuh Kemarahan menendang pintu berkali-kali sebelum kembali membungkuk dan terbatuk-batuk.
Hari ini bos menghadiri jamuan Liu Zheng dan kabarnya dipermalukan. Saat ini sudah menjadi momen tegang bagi Sanqing Bang, namun setelah saling pandang, salah satu dari dua penjaga akhirnya tidak tahan dan perlahan mendekat: "Nona, butuh bantuan?"
"Wanita itu mundur dua langkah, berteriak beberapa kali dengan penuh kemarahan. Sang penjaga melirik kawan di belakangnya. Ia melangkah maju dua langkah: 'Nona, butuh bantuan?' Sebelum sempat menyelesaikan kalimat, lengannya sudah diremas oleh wanita itu. Kemudian mengalir lagi untaian kata-kata yang tak bisa dipahami."
"'Err, nona... Apa yang kau katakan?'"
"'Aku bilang, mengapa... mengapa...'"
"'Eh... Maaf, aku tidak mengerti...'"
"Di situasi apapun, kecantikan selalu memberi keuntungan. Melihat wanita ini begitu lemah lembut dan terluka, penjaga lain pun tak tahan mendekat. Ia berjalan di belakang kawannya mencoba memahami ucapan sang wanita. Perlahan wanita itu menengadahkan kepala, menaruh kedua tangan yang tampak rapuh di bahu penjaga depan."
"'Aku bertanya... Mengapa kehidupan manusia bisa begitu rentan...'"
"Di tengah desahan ucapannya, kedua tangan wanita itu tiba-tiba berputar dengan gerakan tak terduga. Penjaga di belakang mendadak menyadari wajah kawannya telah berputar 180 derajat, melakukan tatapan aneh dengannya. Bersamaan dengan itu, sang wanita sudah bergerak bak hantu mendekat. Kedua tangannya bergerak luwet layaknya jurus Tai Chi. Sebelum sempat bereaksi, sorot mata redup dan jemari yang menari-nari itu telah menjadi gambaran terakhir yang dilihatnya di dunia ini."
“Kawat logam yang tipis namun lentur langsung melingkari lehernya, seiring tangan wanita itu membentang ke kedua sisi. Benang itu mengiris kulitnya, memutus tenggorokan, merobek tulang leher, meninggalkan potongan halus bak tebasan pisau guillotine. Setelah melangkah dua langkah ke depan, barulah kepala pria di belakangnya terpisah dari leher, darah menyembur seperti mata air.
“Sudah dijelaskan sejelas-jelasnya... Mengapa kalian semua tidak mendengarkan...”
Dengan langkah pasti, ia mengusap rambut yang berantakan di dahinya, tepat saat melangkah memasuki pintu besi. Tiba-tiba seolah menangkap indera darah, pandangan tajamnya menyapu sisi belakang villa. Memiringkan kepala, tangannya melambai perlahan.
Di balik taman bunga di platform, Ye Lian menurunkan teleskopnya secara refleks, menarik napas dalam sebelum mengangkatnya kembali. Dalam jarak pandang, sosok bernama Jian Suyan mengayunkan tas kecilnya, melangkah elegan nan santai menuju depan villa. Di belakangnya, dua mayat tergeletak dengan genangan darah menggenangi area pintu besi...
“Jian Suyan sudah datang. Sepertinya jika kita tidak menangani, dia akan membersihkan keluarga Hua sendiri. Memang ini gaya khasnya... Tidak bisa berlama-lama lagi, serbu langsung kamar tidur Hua Wei, kecepatan maksimal! Kita harus menyergapnya lebih dulu. Dengan begitu... mungkin nyawanya masih bisa diselamatkan...”
Begitu perintah keluar, beberapa orang di sampingnya langsung berlari maju. Ye Lian sekali lagi mengangkat teleskopnya memandangi siluet anggun di depan villa, baru kemudian mencabut pistol dan menyusur turun dari platform...
## Bagian Seratus Delapan Puluh Enam: Memotong Rumput
Pagi hari, Villa Keluarga Hua.
“……Bagaimanapun juga, dalam tiga hari, harus menemukan latar belakang bocah itu……Perhatikan dengan hati-hati, seseorang yang bisa mengganti senjata di tubuhku dan Wen Yi tanpa suara pasti bukan Figuran sembarangan. Beberapa hari terakhir, suruh anak buah bertindak lebih sopan. Shazhu Bang sudah mempersiapkan perang, kita tak perlu melawan mereka dulu.”
Di depan hampir separuh Pemimpin Jalan Hitam Kota Jianghai yang melihatnya mengeluarkan pisang, lalu dia dan anaknya ditodong water gun sampai nyaris MATI – bagi Hua Wei, pengalaman ini adalah aib terbesar dalam belasan tahun terakhir. Tapi sebagai orang yang bertahan sampai sekarang, dia bukan lagi preman jalanan yang hanya mengandalkan emosi. Meski hati membara, Hua Wei paham: pihak lawan pasti sudah mempersiapkan Jalan mereka sebelum berani bertindak semena-mena. Walau ingin seketika menangkap bocah itu untuk dikuliti, keputusan akhirnya tetap: mundur sementara.
Secara relatif, kekuatan Sanqing Bang lebih kuat dari Shazhu Bang. Setelah langkah hati-hati ini, dia yakin bisa melumpuhkan Shazhu Bang sekaligus. Meski harus mengorbankan energi grupnya sendiri, Shazhu Bang harus dihapus dari peta Jianghai.
“Lain halnya, Wen Yi itu terlalu seksi. Apa yang dilakukannya sekarang?”
“Tuan Muda mengambil dua senjata ke kamar, sepertinya ingin……”
“Jaga dia! Jaga dia baik-baik! Beberapa hari ini siapa pun tidak boleh izinkan dia keluar！”
Seorang pria bertubuh tinggi kurus berdiri di depan meja Huawei dengan wajah yang menusuk tulang. Dialah bawahan paling dipercaya Huawei saat ini, dijuluki Pisau, bukan hanya memiliki catatan gemilang mengalahkan belasan orang sendirian saat merebut wilayahku, otaknya juga jauh lebih lincah daripada manusia biasa, sekaligus figuran kejam yang terkenal di Jalan Hitam Kota Jianghai. Mendengar perintah Huawei, dia mengangguk lalu berbalik hendak keluar. Huawei kembali mengayunkan tangan dari belakang.
“Tunggu dulu... Masalah saudara sepupumu Parut Pisau yang kabur dari penjara kemarin itu, sudah kauatur？”
“Sudah diatur, terima kasih perhatian bos.”
“Di luar kita mengandalkan saudara, kalau butuh bantuan silakan bicara. Lebih baik kau bawa dia ke pihak kita, biar ada yang bisa menjaga. Sebenarnya sejak dulu sudah kubilang, bersembunyi di sini adalah tempat teraman. Situasi akhir-akhir ini genting, sifat kerasmu juga bukan dihadapanku, sebaiknya besok langsung bawa dia kemari. Kau sudah banyak membantuku, mau mengumpulkan uang untuk kabur atau ganti identitas bekerja untukku, semuanya bisa kuatur.”
“Hmm, terima kasih bos. Sebenarnya... sebenarnya aku juga sudah bilang begitu. Tapi saudaraku memang agak keras kepala. Katanya masih ada urusan yang harus diselesaikan dulu di luar, tentang orang-orang yang dulu memasukkan dia ke penjara... Ha, dia bilang baru berani menemui bos setelah semua itu beres.”
Huawei mengangguk: "Ada tanggung jawab, memang seorang pria. Bilang saja padanya, bisa datang kapan saja. Bagaimana sifatku, kau juga tahu. Takkan mengecewakan saudara... Wen Yi, tolong awasi dia baik-baik. Masalah dengan Shazhu Bang, jangan biarkan dia ikut campur."
"Siap, bos."
Mengangguk, pria itu membuka pintu keluar lalu menutupnya. Huawei duduk di kursi, mengingat-ingat persiapan apa yang belum sempurna. Tiba-tiba suara kacau bergemuruh dari luar pintu, disusul teriakan Daozi: "Bos, cepat... lari..."
Ada yang sudah berhasil menyusup sampai ke depan pintu...
Huawei melompat dari kursinya, membuka laci di samping meja dan meraih pistol. Saat menekan alarm di meja, bel peringatan yang diharapkan tak berbunyi. Keributan di luar pintu reda setelah beberapa saat, pertanda Daozi mungkin sudah jadi korban. Dengan gesit ia berputar membuka jendela di belakang, bersiap melompat dari lantai dua. Persis di saat yang sama, laras senapan serbu menempel di dahinya. Dari balik jendela menyelinap masuk seorang pria berparas androgynus yang tersenyum memperlihatkan giginya.
"Kebetulan yang baik, terima kasih sudah membukakan jendela. Bolehkah aku menukar mainan di tanganmu dengan ini?" Pria itu tersenyum sambil mengeluarkan pisang dari sakunya, "Aku pakai ini untuk barter."
"Perasaan putus asa muncul di hati, tak tahu sejak kapan Liu Zheng bisa mengendalikan pasukan sehebat ini, bahkan bisa menyusup masuk tanpa suara. Seharusnya aku juga merekrut tentara bayaran internasional..." Sambil berpikir demikian, pistol pun diserahkan dengan enggan. Yang paling menyebalkan, pisang di tangan orang itu juga harus diterimanya.
Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka. Yang pertama terlihat adalah bayangan tubuh Daozi yang berlumuran darah. Seorang pria gemuk berbaju hitam membawa belati menendangnya hingga terjatuh ke lantai. Di bahu pria gemuk itu terdapat sebuah luka yang mengalirkan darah.
"Bercanda macam apa ini, Kakak Pemimpin! Aku ditikam! Aku terluka! Orang yang cinta damai sepertiku terluka! Bolehkah aku membunuhnya?"
"Bisa sebelum kau bilang padaku. Sekarang tidak boleh."
"Oh... Bangsat..." Pria gemuk itu menendang lagi kaki lawannya yang penuh luka, berkata dengan geram: "Jangan sampai kutemui kau di luar, atau kubuat jadi char siu bao daging manusia..."
Mendengar percakapan mereka, hati Huawei membeku. Kemampuan bertarung dan kekejaman Daozi terkenal di seluruh Triad Hijau. Dia selalu membawa kapak tebangan untuk antisipasi keadaan darurat. Tapi pria gemuk itu hanya menggunakan belati saat bertarung, dan Daozi hanya bisa membuat satu luka di bahunya sebelum menjadi mayat berdarah. Dari mana Liu Zheng merekrut monster-monster seperti ini?
Dihadang senjata di kepala oleh seseorang keluar dari pintu, di depan belakang lorong terlihat jelas tujuh delapan anggota Triad Hijau yang sudah dipukul hingga pingsan. Turun dari tangga menuju ruang tamu, dia mendengar teriakan histeris anak laki-lakinya: "Kau... jangan mendekat——Mendekat lagi aku tembak——Benar-benar akan kutembak——"
Tak bisa memahami apa yang terjadi di bawah, hati Huawei dipenuhi getaran dahsyat. Anaknya bukan tipe yang memegang senjata tapi takut menarik picu. Meski selama bertahun-tahun belum pernah benar-benar membunuh, perbuatan seperti memukul orang sampai cacat, membakar rumah, bahkan memperkosa mahasiswi sudah sering dilakukannya. Jika ada yang mengancamnya sementara dia memegang senjata, pasti sudah ditembak tanpa ragu. Tapi dari teriakannya sekarang, meski memegang pistol, dia begitu takut sampai tak berani menarik picu. Ini membuktikan dia sedang diliputi ketakutan luar biasa. Pasti ada hal sangat ekstrim terjadi di bawah.
"Cepat jalan! Atau nyawa anakmu tamat!" Orang di belakangnya mendorong tubuhnya, Huawei segera mempercepat langkah. Turun tangga, di ruang tamu yang agak redup terlihat anaknya berdiri di sudut yang lebih terang sambil memegang pistol. Dari kegelapan di seberang, terdengar langkah kaki jeliwet beradu lantai.
"Jangan mendekat ah——"
Dalam teriakan anak laki-lakinya, Huawei yang baru saja berpindah dari tempat terang ke kegelapan akhirnya bisa melihat dengan jelas: Di separuh ruang tamu besar yang lain, mengejutkan terdapat tubuh-tubuh manusia berserakan tak beraturan, membentang dari pintu hingga ke luar. Yang sedang berjalan mendekati Huawei Yi hanyalah seorang wanita dengan langkah anggun.
Setelah kejadian dalam jamuan hari ini - atau lebih tepatnya tadi malam - Huawei menambah penjaga di villanya. Karena petugas pengawas bersama pisau masih di lantai atas, belasan pria tangguh dari perkumpulan ini belum ditugaskan, hanya menunggu di ruang tamu lantai bawah. Bisa dibayangkan, ketika wanita yang tampak lemah ini muncul di pintu, tak ada yang sempat memberi peringatan. Kemudian... dia mematikan lampu dan menangani semua orang dalam sekejap. Huawei Yi yang berlari keluar jelas melihat pemandangan ini... Pandangan Huawei menyapu seluruh ruangan... Di dada orang terdekatnya terdapat cekungan tak wajar, dua orang lainnya memiliki paha yang jelas patah membentuk pemandangan terdistorsi. Sebatang baja panjang yang semula berfungsi sebagai rak pakaian jelas pernah digunakan sebagai senjata, kini terlempar jauh dengan kelengkungan 60 derajat... Jika kerusakan seperti ini bisa dibuat oleh wanita anggun ini dengan tangan kosong dalam sekejap... Mungkin dia mulai memahami ketakutan yang kini menghinggapi anaknya...
Tapi... Ini terlalu berlebihan. Memang dia pernah mendengar tentang tentara bayaran yang bisa menendang hingga pipa baja patah, tapi untuk seorang wanita? Hal itu nyaris tak bisa dibayangkan...
Pikiran di kepala masih melayang-layang, Hua Wenyi menyaksikan ayahnya ditodong senjata ke kepala sambil turun tangga, tiba-tiba berteriak: "A——"
"Wenyi jangan bergerak!"
"Byur——"
Suara Hua Wei sudah terlambat. Pada detik itu, Hua Wenyi menarik pelatuk senjatanya ke arah wanita itu. Bersamaan, bayangan itu seolah bisa melihat peluru——menyamping, berputar, melangkah... Sekejap mata, telah menyelinap secepat kilat melewati jarak lebih dari dua meter. Sebuah kursi di sampingnya diayunkan——Braak! Tubuh Hua Wenyi terlempar hingga menembus jendela kaca belakang, bersimbah darah tergeletak di rumput tepi sungai.
"Kau..."
"Jangan bergerak!"
Melihat anaknya celaka, Hua Wei hendak berlari keluar. Tapi nyawanya sendiri lebih penting. Setelah dihantam gagang senjata, dia SEGERA tenang. Saat ini lebih dari separuh orang di villa sudah ditangani, tapi dentuman senjata tetap menggugah orang-orang di perimeter yang terlambat sadar, mulai mengepung ke sini. Di ruang tamu, pria yang tampak lembut itu tersenyum: "Nona Jian, kami yang datang duluan. Serahkan ini pada kami, ya?"
Meletakkan kursi di sampingnya, Jian Suyan langsung berjalan mendekati Hua Wei. Membuka tas kecil, mengeluarkan senjata: "Kutanyakan satu hal... Kalimat sebelum 'rumput tumbuh lagi ditiup angin musim semi' itu apa?"
Memandang bayangan yang semakin mendekat, Huawei sejenak bingung antara lari atau tetap berdiri. Dari dekat, wanita di depannya tampak sederhana dan tenang, namun melihat situasi saat ini, dirinya sama sekali tidak meragukan bahwa dia akan membunuhnya tanpa ragu di detik berikutnya. Suasana di belakang agak aneh, mereka sepertinya tidak satu kelompok dengan wanita ini, namun tetap menghormatinya. Orang-orang ini sepertinya ingin menyelamatkan nyawanya, namun ketika melihat wanita itu mengeluarkan pistol, mereka tidak menunjukkan sikap yang tegas... Tapi jika lari sekarang, mana mungkin dia bisa lolos...
Tekanan dahsyat kematian menyergap, otak Huawei tiba-tiba kacau. Mendengar pertanyaannya, beberapa orang saling pandang. Ye Lian tersenyum berkata: "Ini aku tahu. Rumput liar tak habis dibakar api, angin semi menghembuskan kehidupan baru. Benar kan?"
"Salah." Laras senjata menekan dahi Huawei, suara Jian Suyan dingin dan datar: "Yang benar: Rumput liar tercabut tak sampai akar, angin semi menghembuskan kehidupan baru."
Suasana terasa menyesakkan. Di sekitar villa, orang-orang yang tersisa mulai berkumpul. Beberapa orang di sisi Ye Lian seketika mengambil posisi bertarung. Orang-orang di luar mungkin terbiasa melihat perkelahian dengan pisau, tapi mana pernah mengalami laras senapan serbu? Bahkan teriakan minta tolong pun tak berani mereka keluarkan. Saat melihat kondisi di ruang tamu sekejap mata, kapak tebangan langsung terjatuh dari tangan mereka. Ada yang mengangkat tangan, ada yang kabur, sementara yang nekat hanya mengawasi dari kejauhan. Ye Lian menarik napas dalam lalu mengayunkan tangannya dengan senyuman paksa:
"Ini... aku paham. Tapi... Nona Jian juga paham, terakhir kali kami sudah menangkap Li Yong Sheng dan anaknya, menggulung Yong Sheng Bang. Situasi di Kota Jianghai sampai sekarang belum stabil. Jika kami menghapus San Qing Bang lagi, mungkin Liu Lao Da yang sudah tak terancam akan tenang sebentar - tentu masih terlihat megah. Tapi bila terlalu banyak kekosongan, banyak yang ingin naik jabatan. Orang-orang ini akan nekat apa saja demi mencuat... Bahkan jika Shazhu Bang menyatukan Jianghai, mereka akan menghadapi tantangan geng besar baru. Jadi menurutmu... apakah lebih baik mempertahankan status quo? Aku jamin, San Qing Bang tak akan mengancam keluarga Liu Lao Da lagi. Bagaimana...?"
Dalam kesunyian yang pekat, laras senjata Jian Suyan menempel di dahi Huawei, sementara laras senjata Ye Lian menekan tengkuknya. Huawei yang terjepit di tengah merasa tersiksa seolah-olah sudah melewati seumur hidup, sebelum akhirnya mendengar suara datar itu bersabda: "Kalian bisa menjamin?"
"Keamanan Nasional akan terus memantaunya."
Perkataan yang diucapkan Yelian, Jiaming mana mungkin tidak paham. Seandainya dia benar-benar ingin membunuh keluarga Hua, sama sekali tidak akan terjadi adegan mencolok di jamuan itu. Tapi ketika Shazhu Bang menyatukan Jianghai, mereka pasti akan menghadapi lebih banyak tantangan. Bahkan jika demi keamanan Liu Zheng dia terus membersihkan musuh yang lebih kuat, hal ini hanya akan terjerumus ke dalam siklus yang semakin buruk, dan suatu hari nanti tak bisa diatasi. Saat kalimat yang ditunggu sejak awal akhirnya muncul, barulah dia tersenyum, menyimpan pistolnya, lalu pergi.
Memandang bayangan yang menjauh, Yelian menghela napas lega, menggetok kepala Hua Wei dengan laras senjata: "Selamat, kau dapat nyawa. Jika dia benar-benar nekat membunuhmu, tak ada yang berani menghalang... Sekarang suruh anak buahmu pergi, urus... mayat-mayat itu... Kita masih ada hal yang perlu dibicarakan."
Hua Wei terdiam di tempat selama dua detik, baru gemetar berbicara setelah laras senjata diketokkan lagi: "K-kalian... cepat bawa yang terluka ke rumah sakit, s-siapa pun... dilarang bertindak sembarangan. Cepat... itu... Tuan-tuan, kita bicara di sini saja ya..."
“Di sini saja, hal-hal ini tidak akan dicatat dalam dokumen, kami juga tidak akan pernah mengakuinya di depan publik... Hmm, duduklah.” Ye Lian berkata sambil berjalan ke sofa di sebelah dan duduk, menunjuk kursi di depannya. Huawei menarik napas dalam-dalam, melihat bawahannya membawa pergi anak lelakinya terlebih dahulu disertai gestur yang menandakan tidak ada bahaya kehidupan, barulah merasa lega. Mengingat ucapan sebelumnya: Yong Sheng Bang runtuh dalam semalam, ternyata karena orang-orang misterius ini, membuatnya masih menunjukkan ketakutan. Sesaat kemudian, mereka menjelaskan sebagian keraguan dalam hatinya.
"Identitas kami... berada di bawah Kelompok Operasi Ketiga Kementerian Keamanan Negara, bertanggung jawab atas urusan anti-teror internasional. Konflik antar geng di Kota Jianghai sebenarnya bukan urusan kami, tapi situasi sekarang agak rumit karena... wanita tadi, kami harus mengawasinya di sini. Mencegah dia membunuh seluruh keluarga kalian hanya karena suasana hatinya buruk." Memandang mata Huawei, Ye Lian tersenyum tipis, "Kau boleh meragukan, biasanya kami tidak akan membawa sertifikat identitas, jadi percaya atau tidak terserah, yang penting tahu bahwa kami selalu punya kemampuan untuk membunuhmu. Jadi dengarkan baik-baik apa yang akan kami sampaikan selanjutnya..."
## Bagian Seratus Delapan Puluh Tujuh Kombinasi Kikuk
Kembali dari villa keluarga Hua, berganti kamuflase, kemudian kembali ke hotel tempat Liu Zheng mengadakan pesta ulang tahun yang dijaga ketat oleh anggota Shazhu Bang. Saat masuk ke kamar tersebut, waktu sudah menunjukkan lewat empat pagi. Urusan keluarga Hua akhirnya bisa dianggap selesai.
Sejak awal, Jiaming sudah tahu bahwa hilangnya Yong Sheng akan menyebabkan konfrontasi langsung antara dua kelompok lainnya. Yang dia harapkan adalah keselamatan Liu Zheng, sementara [] membutuhkan stabilitas Kota Jianghai. Diprediksi setelah malam ini, San Qing Bang yang relatif lebih kuat akan berusaha mempertahankan posisi defensif damai selama mereka tidak memulai perang. Shazhu Bang seharusnya juga tidak akan memaksa pertarungan hidup dan MATI. Dengan ini stabilitas Jianghai terjamin, dan Shazhu Bang tidak akan mendapat musuh lebih kuat. Inilah hal maksimal yang bisa dilakukan seorang manusia bernama Kekuatan Level Empat untuk Shasha.
Tidur selama empat jam di ranjang, baru bangun lewat pukul delapan pagi. Liu Zheng sudah menunggu sarapan di bawah. Melihat Lingjing, Shasha, dan Jiaming masih tidur tenang, dia bergumam: "Kelambatan juga berkah dari tujuh turunan". Di jamuan kemarin, trio ini telah mempermalukan Huawei. Balas dendam San Qing Bang bukan main-main. Orang biasa pasti sudah panik. Dirinya sendiri sampai insomnia semalaman mempersiapkan antisipasi, tapi lihat mereka malah tidur enak.
Menurut rencana Liu Zheng, setidaknya selama periode pemutusan hubungan dengan Geng Sanqing, ketiga orang ini harus mengurungkan semua waktu pribadi mereka. Tak peduli ke mana pergi, setidaknya harus ada 10-20 orang yang mengikuti dari belakang. Tentu saja, yang terbaik adalah menampung mereka semua di rumah sebagai otaku. Karena menyangkut nyawa manusia, sikap Liu Zheng sangat teguh. Akhirnya ketiganya terpaksa menerima dengan kekecewaan. Saat ini Lingjing dan Shasha sudah tahu bahwa Jiaming berhasil menangani seluruh hal, tapi tentu tidak bisa mengatakannya.
Untungnya beberapa hari kemudian Huawei mengambil Inisiatif menemui Liu Zheng untuk bernegosiasi dengan sikap sangat sopan. Meski ada sedikit keraguan, pada akhirnya Liu Zheng samar-samar mengerti bahwa ada tokoh besar yang menjadi mediator untuk Jiaming dkk. Negosiasi ini datang tepat waktu. Karena beberapa hal yang terjadi setelahnya, saat itu Liu Zheng sebenarnya sudah mempersiapkan perang total dengan Geng Sanqing. Shasha bahkan ingin sendiri berlari maju menghajar orang. Andai terlambat setengah hari saja, diperkirakan Kota Jianghai akan menyaksikan konflik Jalan Hitam paling sengit dalam beberapa tahun terakhir. Tentu saja, ini adalah kisah lanjutan yang sementara tidak akan dibahas lagi.
Hal mengenai Keluarga Hua dikunjungi oleh seseorang belum tersiar pada hari itu. Suasana dunia hitam di Kota Jianghai sangat tegang. Beberapa geng kecil diam-diam mengawasi kemungkinan munculnya Bentrokan Besar. Anggota Shazhu Bang dan San Qing Bang juga sibuk mempersiapkan diri. Kantor polisi pun bersiap dengan sangat tegang untuk mengendalikan perkembangan situasi. Liu Zheng memerintahkan anak buahnya untuk berjaga di Perguruan Silat Keluarga Ye. Karena belum menemukan tempat tinggal yang memuaskan Shasha untuk sementara waktu, sekelompok orang itu tinggal di hotel sambil bermain game dan kartu. Namun, pada sore hari itu, seseorang datang menemui Jiaming - Dongfang Wan.
"Waktunya sudah tidak awal lagi. Hal yang kamu janjikan padaku kemarin, sudah siap? Kalau sudah, mari kita pergi."
Memakai gaun biru langit, dilapisi jaket putih dengan renda resi, heels elegan, jepit rambut sederhana, membawa tas kecil keping emas di tangan, Dongfang Wan yang datang ke hotel dengan sikap defensif tampak resmi namun tetap segar, sederhana namun bernuansa anggun. Mengingat pertemuan kemarin dengan Lei Qing, jelas dia berharap bisa berpasangan dengan Dongfang Wan di jamuan hari ini, namun Dongfang Wan malah menggunakan diriku sebagai perisai pembenaran. Saat itu aku tidak memberikan jawaban pasti, tapi jelas sudah dianggap setuju secara default. Di hati ingin menolak, namun setelah Dongfang Wan membujuk Lingjing dan yang lain, secara natural sudah tidak ada ruang lagi bagiku untuk menyampaikan pendapat.
“Jamuan hari ini sangat santai, semuanya adalah acara kumpul-kumpul yang diinisiasi oleh generasi muda seangkatan kita, yang paling tua pun belum melebihi tiga puluh tahun. Tapi kalau dipikir-pikir, banyak dari mereka yang sudah memiliki usaha sendiri, perusahaan sendiri. Hari ini kita datang untuk membantu perusahaan kita sendiri menarik investasi dan pesanan. Kau adalah direktur teknologi perusahaan kami, beberapa waktu lalu aku dan Yiting sibuk sampai MATI tapi tidak mengganggumu, hanya meminta bantuan kecil ini... Karena Rei Qing juga akan hadir, kalau dia melihatmu tidak ada, menurutmu bagaimana pandangannya padaku...”
Perusahaan yang saat ini hanya memiliki tiga orang, berkembang dengan kerja keras membangun usaha, terdengar seperti kisah yang hangat. Tentang Jiaming yang menjual ide kreatif ke Dongfang Wan lalu menjadi direktur teknologi perusahaannya, Lingjing dan Shasha tentu juga tahu. Saat itu Jiaming hanya bilang dia sekadar nama untuk bagi hasil, Lingjing dan Shasha juga tidak merasakan apa-apa. Tapi sekarang mendengar penuturan Dongfang Wan, sikap Jiaming yang sama sekali tidak peduli terhadap hal ini benar-benar tidak etis. Dua cewek membangun usaha meski terdengar aneh, tapi mereka berjuang mati-matian untuk perusahaan. Seorang pria dewasa tidak membantu sedikitpun, sungguh tidak masuk akal. Setelah percakapan akrab dan bersahabat dengan Dongfang Wan, Jiaming pun "disewa" tanpa sisa kedaulatan.
“Tugasmu adalah menghadang semua lalat yang mengganggu Dongfang Wan, jangan biarkan Lei Qing mengganggunya.”
Bagaimana kalau MEMBUNUH semua lalat...
“Jangan lupa bantu perusahaan mainan sesuai kemampuan di kemudian hari.”
Tapi aku hanya bisa MEMBUNUH manusia, masa harus kuhabisi semua lawan...
Dengan umpatan dalam hati yang kecil, Jiaming tetap naik ke mobil sport Dongfang Wan, sementara orang-orang yang diatur Liu Zheng mengikuti di belakang dengan dua mobil kecil——awalnya mereka ingin naik mobil Dongfang Wan ini, tapi tentu saja Dongfang Wan tidak mengizinkan, akhirnya mereka pun mengurungkan niat.
"Sebenarnya, aku sudah bisa menyetir lebih dari setahun, tapi keluarga terus melarangku berkendara di jalan. Belakangan ayah di rumah sakit, teknologiku sudah lolos ujian, baru bisa mendapatkan kunci dari kakak. Bagaimana? Mobil sport ini sangat keren kan..."
Dalam perang tak terhitung melawan Jiaming, ini pertama kalinya Dongfang Wan menang. Ditambah fakta yang sebelumnya ditemukan terbukti——ternyata untuk menguasai Gu Jiaming, cukup kuasai beberapa teman di sekitarnya——suasana hati Dongfang Wan sangat baik, membayangkan masa depan dimana Jiaming tak berdaya dihadapannya. Jiaming hanya memandang pemandangan dengan wajah bosan, terlihat seperti penari pria top yang dipelihara wanita jelek sehingga ogah-ogahan... Meski seharusnya persepsi ini terbalik di mata semua orang, toh aura Dongfang Wan sangat memukau dan cantik, sementara Jiaming dari segi apapun terlihat biasa-biasa saja.
Dongfang Wan baru berusia enam belas tahun, tentu belum memiliki lisensi mengemudi. Namun mobil sport ini menggunakan plat pemerintah, sehingga polisi lalu lintas pun enggan menyelidikinya. Tapi tetap saja, mobil sport yang epik melaju dengan kecepatan 20-30 kilometer per jam di jalanan yang lancar adalah hal yang patut dihinakan. Matanya yang bersinar terang menatap ke depan, dengan gerakan neurotik ia mengganti gigi, menginjak kopling, dan memutar kemudi. Saat lampu hijau tersisa tiga detik, ia akan berhenti tepat di belakang garis putih, mematuhi aturan lalu lintas secara ekstrem.
Karena gerakan Dongfang Wan yang terlalu tegang, perlahan Jia Ming yang duduk di sampingnya ikut merasa gugup. Pandangannya sesekali menyapu gerakan wanita itu mengganti gigi, menginjak rem, dan berbelok - siap untuk melompat keluar kapan saja. Sepertinya ini pertama kalinya emosinya terpengaruh oleh orang lain. Andai Dongfang Wan tahu ini, mungkin ia akan merasa bangga. Beberapa kali Jia Ming ingin menawarkan tukar tempat. Bahkan jika ia memacu mobil ini hingga 200 kilometer per jam, rasanya tidak akan seseram atmosfer tegang menyaksikan Dongfang Wan menyetir.
"……Pemberhentian pertama adalah toko pakaian. Dongfang Wan sepertinya ingin membuat rekannya terlihat lebih gagah dan memancarkan aura lebih mencolok. Namun setelah meminta Jiaming mencoba belasan setelan jas mahal, akhirnya dia mengakui ini adalah tugas yang mustahil baginya. Pepatah 'Buddha butuh emas, manusia butuh pakaian' tampaknya tidak berlaku untuk Jiaming. Apa pun pakaian yang dikenakannya, dia tetap ajaibnya mempertahankan kesan 'orang tak berarti'. Akhirnya kami hanya memilih satu setel secara asal. Semangat tinggi Dongfang Wan sebelumnya mulai redup."
"……Baiklah, acara ini juga bukan pesta dansa resmi atau semacamnya. Lagi pula kita semua masih muda, cukup dengan bercanda dan tertawa. Di villa itu ada barbekyu, biliar, komputer, dan mesin game. Soal dana, aku tahu kau tidak tertarik. Urusan ini akan kukerjakan sendiri. Kau cukup muncul di depan Rei Qing, lalu bebas melakukan apa saja. Tapi kau harus membantuku mengawasi Rei Qing. Orang-orang seperti dia suka membuat fakta yang dipaksakan. Begitu aku sedikit dekat, rumor akan menyebar seperti nyata. Lalu beberapa hari lagi ayahnya akan langsung mendatangi kamar pasien ayahku, bicara tentang 'dua anak yang saling mencinta, mari kita tunangkan mereka'... dan sebagainya, Cih……"
"Menurutku Rei Qing juga tidak buruk, apalagi statusnya setara, sangat cocok denganmu……"
“Muntah! Orang itu cuma pemboros kelas kakap yang cuma bisa berlebihan. Pacarku harus pria yang punya kemampuan, bisa menghadapi tantangan apa pun tanpa takut. Hmph, orang seperti dia bahkan kalau mewarisi perusahaan keluarganya pun tidak akan punya kemampuan untuk menjaga……”
“Makanya kubilang dia cocok denganmu……” Membicarakan hal yang membuatnya mual, Dongfang Wan sepertinya lupa dengan ketegangan menyetir. Kecepatan mobil sport menjadi lebih lancar. Jiaming bergumam pelan, melihat Dongfang Wan melotot marah, baru kemudian mengangkat tangan sambil tersenyum, “Bercanda bercanda, perhatikan jalan depan ya. Maksudku… Kakakmu memang sesuai dengan penampilan itu……”
“Iya, sayangnya dia kakak kandungku……”
Memandang Dongfang Wan mengangguk tanpa ragu, Jiaming tak bisa berkata-kata. Meski selalu tidak akur dengan Dongfang Wan, Jiaming tidak sampai meremehkan mereka. Cewek yang selalu menyembah orang kuat dan kolektivitas ini bukanlah genius. Dalam hal wawasan dan kreativitas, dia jauh di bawah kakak yang selalu dikaguminya. Tapi harus diakui, di bidang yang disukainya, dia benar-benar telah melakukan banyak usaha nyata.
Sama seperti rencana pabrik mainan kali ini, karya yang dibuatnya bersama Xu Yiting sebagai dua mahasiswa SMA ini mungkin tidak punya banyak daya tarik, namun mengatur segalanya dengan rapi secara konvensional, sepenuhnya mengikuti jalan sukses orang lain. Di era dimana semua orang mengejar inovasi, kreativitas, dan kemenangan tak terduga ini, kemampuannya untuk mengikuti strategi militer yang benar tanpa cela—terutama untuk anak keluarga terhormat yang belajar mandiri dan selalu tertutupi cahaya kakaknya—sungguh merupakan hal yang patut dihargai.
Tentu saja, meski dalam hati mengakui kemampuan Dongfang Wan, Jiaming sama sekali tidak berniat benar-benar membantunya mengurus pabrik mainan ala permainan rumah-rumahan...
Karena topik pembicaraan dengan Jiaming yang menarik, perjalanan menuju lokasi jamuan menjadi lebih cepat. Saat sinar emas matahari hampir tenggelam, rombongan tiba di sebuah villa besar di tepi pantai. Melalui pagar sementara, Jiaming bisa mengenali bayangan beberapa teman sekelas dari Akademi Hati Kudus—tentu saja tidak ada yang akrab. Tuan rumah dan beberapa tamu yang datang lebih awal sedang mengobrol di depan pintu, sesekali ada tamu baru yang tersenyum menyapa lalu masuk bersama pendamping.
"Yang mengadakan acara kumpul-kumpul ini... hmm, adalah pria agak gemuk di pintu gerbang itu, namanya Yi Huaying. Ayahnya Yi Linxuan awalnya melakukan penyelundupan laut di luar negeri. Setelah reformasi dan keterbukaan di dalam negeri, dia membersihkan diri dan kembali, sekarang semua bisnisnya legal. Yi Huaying beberapa tahun lalu masuk ke perusahaan ayahnya, beberapa proyek besar membuat aset keluarga mereka berlipat ganda, sekarang dia termasuk figur penting yang diperhatikan seluruh Kota Jianghai... Hmm, lihat ekspresimu yang tak paham, sudahlah, ayo kita masuk..."
Para pengawal yang diatur Liu Zheng tentu tak diizinkan masuk saat ini. Jiaming dan Dongfang Wan berbincang sambil turun dari mobil di pintu gerbang. Sebuah mobil sport lain berhenti tak jauh. Ketika Jiaming menoleh, terlihat pria tampan berjas sekitar 24-25 tahun turun dan membukakan pintu mobil untuk rekan wanitanya di jok belakang. Tangannya yang hendak menyentuh sang wanita sengaja dihindari. Dari pintu belakang muncul perempuan berbaju rok panjang ungu tua yang anggun, baru turun langsung memandang Jiaming yang berdiri bersama Dongfang Wan.
Itulah Yahan.
Seketika, Dongfang Wan menghampiri dan menggandeng lengan Jiaming sambil mencubitnya.
"Perhatian, Rei Qing mendekat."
Menoleh kembali, Rei Qing sedang berjalan keluar dari halaman villa. Jiaming menghela napas, berjalan bersama Dongfang Wan menuju pintu gerbang...
## Bagian Ratus Delapan Puluh Delapan Acara Kumpul-Kumpul
Seperti yang dikatakan Dongfang Wan sebelumnya, acara kumpul-kumpul ini murni diikuti oleh para pemuda. Ini adalah perkumpulan yang cukup santai dan bebas. Di halaman yang menghadap laut tersedia prasmanan dan barbekyu, di ruang tamu ada lantai dansa, di halaman samping ada meja biliar, sementara di ruang hiburan villa terdapat komputer, game elektronik, kartu bahkan segudang mainan untuk yang belum dewasa. Peserta kebanyakan adalah anak muda dengan latar belakang keluarga tertentu - ada yang masih bersekolah, ada yang sudah bekerja di perusahaan besar. Di sini ada yang berbakat, ada anak orang kaya yang manja, para otaku, dan fujoshi. Mereka yang saling kenal saling menyapa, sementara yang tidak kenal diperkenalkan oleh orang lain atau berinisiatif mengajak ngobrol. Tema perkumpulan ini selain mencari pasangan yang cocok, mungkin juga untuk membangun berbagai hubungan dan membuka jalan bagi masa depan masing-masing.
Setelah bertegur sapa dengan tuan rumah dan saling memperkenalkan diri, kemudian terjadi percakapan sopan dengan Rei Qing. Tugas Jiaming pada dasarnya sudah selesai. Terlihat jelas kebencian luar biasa dalam pandangan Rei Qing kepada Jiaming... Bagaimanapun juga, ulah iseng sembarangan Jiaming di kafe kemarin benar-benar mempermalukan Rei Qing. Kepalanya tertimpa meja, kopi, gula, dan es krim berceceran di wajahnya. Ironisnya, Rei Qing-lah yang awalnya ingin mempermalukan Jiaming, sehingga hatinya merasa gugup - mungkin ini juga alasan Dongfang Wan menjadikannya sebagai perisai pembenaran. Di matanya, Jiaming selalu terlihat lambat bereaksi, tidak pernah berusaha menjilat atau memberi kehormatan besar kepada siapapun. Jika orang lain, mungkin sudah kalah di bawah serangan pandangan tajam Rei Qing. Bagaimanapun, Rei Qing bukan sekadar pemboros kelas kakap yang tak berguna. Di belakangnya ada kekuatan keluarga yang sangat kuat.
Setelah kira-kira menyelesaikan urusan dengan Rei Qing, Dongfang Wan dan Jiaming pun Berpisah. Wan mulai mencari orang-orang yang mungkin bisa membantu pabrik mainannya di kerumunan, lalu meminta rekomendasi. Jiaming berkeliling sekitar, ada satu dua sepupu dari keluarga Huang yang menyapanya. Namun, terhadap sepupu dengan karakter penyendiri ini, mereka tampaknya tak punya banyak keinginan untuk berkomunikasi.
Berjalan kembali ke halaman tepi pantai, matahari telah terbenam, hanya menyisakan semburat merah terakhir di langit barat. Seluruh lampu di villa menyala terang, area rumput dengan meja prasmanan panjang dan pemanggang barbekyu diterangi cahaya gemerlap. Angin laut yang sedikit asin dan amis membawa suasana sejuk. Yahan sedang berdiri di depan sebuah pemanggang barbekyu menaburkan merica bubuk pada sayap ayam, ditemani pria yang datang bersamanya yang sedang mengajaknya berbincang. Sambil melakukan barbekyu yang memprihatinkan, Yahan melirik sekeliling dengan setengah hati. Ketika melihat bayangan Jiaming, barulah ia memalingkan kepala kembali, fokus pada sayap ayam yang sudah setengah gosong sambil terus berbicara dengan pria di sampingnya.
Setelah beberapa saat berangin di koridor taman, mendengarkan alunan musik dari dalam kamar, Jiaming mengambil dua tusuk ikan dan irisan daging. Di pemanggang barbekyu kosong di sebelah, ia membesarkan api arang dengan terampil lalu mulai membakar. Pengalamannya dalam survival di alam liar membuatnya sangat mahir dalam hal-hal seperti ini. Sejak menyewa rumah bersama Lingjing dan Shasha, mereka sering bermain barbekyu di atap rumah. Tak lama kemudian, aroma menggoda sudah mulai tercium.
"Sejak memahami perasaan Yahan, persahabatan dengannya telah berakhir. Jika tidak bisa menjadi kekasih lalu berteman jelas merupakan pemikiran kekanak-kanakan. Melihat dia sudah memiliki kehidupan sendiri, Jiaming juga tidak mau terlalu mengganggu. Hanya sesekali pandangannya menyapu, pemandangan Yahan yang sudah selesai barbekyu sedang duduk di sudut sambil susah payah mengunyah sayap ayam selalu membuatnya tersenyum. Sesekali ada orang yang menyapa dia atau pria di sebelahnya, laki-laki dan perempuan, bercanda dan tertawa. Ketika pandangannya menyapu ruang tamu dalam, terlihat pula Dongfang Wan sedang asyik mengobrol dengan beberapa orang. Dongfang Lu juga sudah datang, sedang mengobrol dengan Yi Huaying dan lainnya sebagai tuan rumah.
Setelah barbekyu selesai, Dongfang Wan yang membawa segelas air jernih juga mendekat, membuat gestur OK dengan semangat: "Hebat, aku kenal beberapa orang lagi. Hmm, ada yang keluarganya punya jaringan supermarket di seluruh negeri. Aku sebutkan pabrik mainan kita, dia bilang dua hari lagi mau datang melihat. Haha... Yang kamu bakar, wangi sekali. Aku kelaparan..." Sambil berbicara, tanpa sungkan merebut setengah makanan dari tangan Jiaming, melahap dengan lahap, kemudian menunjukkan ekspresi terkejut:
"Hah, kok bisa kamu membakar sebaik ini? Barusan ada orang bagi satu tusuk sapi padaku... Rasanya bikin aku ingin MATI..."
"Kan semuanya orang yang ingin melakukan hal besar. Aku tidak tertarik urusan besar, cuma suka hal-hal kecil seperti ini."
“Kalau kau nggak bisa sukses di masa depan, aku akan traktir kau jadi koki di rumahku!” Dongfang Wan berkata dengan lapang. Jiaming tersenyum, mengambil seikat ikan, dua tusuk daging kambing, dan satu jagung lalu melemparkannya kembali ke atas barbekyu. Saat Dongfang Wan berkata dengan mulut penuh: “Aku juga mau satu jagung.” Baru kemudian dia mengambil satu tusuk lagi dan menambahkannya.
Sambil makan, mereka menunggu jagung matang. Dongfang Wan bertanya sambil lalu: “Hei, hubunganmu sama Guru Yahan jadi renggang ya?”
“Hmm?”
“Aku lihat kalian hari ini nggak saling sapa... Sebenarnya sejak sebelum liburan sudah ada masalah, dia dulu nggak pernah menghukummu. Tapi setelahnya dia mencabut hukumanmu, aku kira kalian sudah berbaikan lagi.”
“Karena nilai ujian akhir semester ini jelek, jadi dia memutuskan untuk satu semester nggak memihak atau menutupi kesalahanku.”
Dongfang Wan tertegun sejenak, lalu mengangkat mata: “Cih... Udah bukan anak kecil lagi...”
Jiaming tersenyum sambil mengangkat bahu. Dongfang Wan menggeser kursinya lebih dekat: “Hei, liat orang yang sering bersama Guru Yahan? Katanya dia punya peluang besar bisa mengejar Guru Yahan. Meski sekarang belum ada perkembangan berarti, tapi Guru Xu Mo mengajak Guru Yahan jalan kencan belum pernah berhasil, setidaknya dia berhasil... Kasihan Guru Xu Mo, cintanya tulus banget...”
“Oh?” Dengan cekatan membalik-balik makanan di atas panggangan, Jiaming menjawab sambil lalu.
“Hmm, orang itu namanya Ma Tuo… Benar-benar nama yang menjijikkan… Konon keluarganya adalah orang kaya baru yang terlibat dalam geng kriminal, tidak terlalu berkuasa sih. Tapi katanya dulu saat Guru Yahan kuliah di Cambridge, orang ini juga ada di Cambridge, kami semua mahasiswa asal Tiongkok, sudah saling kenal sejak lama. Katanya sekarang dia juga bergelar master, bekerja sebagai manajer di perusahaan asing, baru-baru ini kembali ke Jianghai, baru berdua merajut hubungan.”
“Cih…” Jiaming tersenyum, menyajikan jagung panggang di depan matanya, “Mengapa pakai istilah 'merajut hubungan' yang tidak enak didengar, kau juga jadi suka bergosip begini…”
Dongfang Wan tentu bukan tipe yang suka mengurus urusan orang lain. Jika bukan karena hubungan antara Jiaming dan Yahan, dia malas mencari tahu hal-hal seperti ini. Tertegun sejenak, kemudian melotot dengan sikap defensif: "Bagua adalah naluri alami wanita, tidak tahu?" Kemudian mengulurkan tangan, merampas semua barang dari pemanggang barbekyu. "Ngomong-ngomong, berikan semua ini padaku untuk kusumbangkan. Aku akan bilang ini barbekyu buatanku, jaminan membuat mereka terkesan padaku. Mungkin kita semakin dekat dengan pesanan berikutnya. Haha... Dadah..."
Merasa lagi mendapat keuntungan dari Jiaming, Dongfang Wan melambaikan tangan sambil berlari sangat cepat, nada suaranya terdengar sangat bersemangat. Jiaming mengangkat bahu, merasa dirinya benar-benar seperti seorang koki paruh waktu, tapi bagaimanapun juga tidak ada urusan, menggunakan barbekyu untuk menghabiskan waktu juga tidak masalah. Mengambil banyak bahan dan mulai memanggang lagi, ketika sudah matang sekali lagi, menoleh ke belakang ternyata Yahan juga sudah hilang dari pandangan. Dongfang Wan di tengah ruang tamu sedang mengunyah setengah tongkol jagung dengan sangat antusias, berbicara dan tertawa dengan orang lain, kemungkinan besar sedang membual tentang kehebatan teknisi barbekyunya. Dongfang Lu tersenyum sambil mengangguk padanya.
Membawa makanan dan duduk di pagar sementara koridor taman kecil, menikmati angin laut sambil makan, mendengarkan musik dari ruang tamu dan tawa riang dari kerumunan orang. Dalam keramaian tanpa banyak kenalan di sekitar, Jiaming selalu teringat hal-hal di masa lalu, misalnya orang-orang yang pernah dibunuhnya berkali-kali dalam pemandangan seperti ini. Dari jarak jauh atau dekat, menggunakan pisau atau senjata, atau bahkan tusuk bambu yang terlihat rentan di tangannya ini - menusuk mulut, tenggorokan, bahkan di musim panas langsung menusuk dada seseorang juga bukan tidak mungkin. Tapi itu membutuhkan jepitan yang sangat presisi, menembus jantung dengan tepat sekali tusuk tanpa melenceng, karena otot dada relatif tebal. Jika jepitan sedikit tidak tepat, tusuk bambu tetap akan patah. Tentu saja, jika targetnya manusia biasa, dia juga bisa dari jarak dekat langsung menghantam dada dengan Shinken, menggunakan kekuatan dahsyat untuk langsung menghentikan detak jantung mereka.
“Sedang memikirkan hal-hal ini dalam hati, dari balik sudut koridor di seberang muncul bayangan berwarna ungu tua. Melihatnya, dia tiba-tiba berhenti sebentar – tak lain adalah Yahan.”
“Jika ingin pura-pura tidak kenal, Yahan bisa langsung lewat saja sejak awal. Tapi karena berhenti sejenak, sepertinya dia harus menyapa. Beberapa saat kemudian, Jiaming tersenyum dan mengulurkan sesuatu di tangannya: ‘Sayap ayam?’”
“Eh... Aku tidak suka sayap ayam. Dan juga...” Pandangan Yahan terlihat kacau sejenak, kemudian baru menarik napas dalam-dalam sambil mengibaskan kedua tangannya yang masih basah, “Dan... aku sudah cuci tangan.”
“Oh.” Jiaming mengangguk, sedang berpikir mencari topik pembicaraan ketika Yahan sudah menambahkan: “Kalau... ikan bakar saja, aku masih agak lapar... tadinya mau cari makanan lain...”
“Menerima ikan bakar dari tangan Jiaming, Yahan duduk di pagar sementara di sebelahnya. Setelah menggigit, dia mengusap minyak di mulut sambil tersenyum: “Hmm, enak sekali, sama sekali beda tingkat kualitas dengan yang aku bakar.””
“Makanya tadi aku tanya apakah kau mau coba sayap ayam bakaranku.”
“Ah...” Yahan tersenyum, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Eh, kenapa kau datang bersama Dongfang Wan, bahkan bergandengan tangan... Lingjing dan Shasha di mana..." Sebelumnya saat sedang bingung dia pernah menghujat Jiaming playboy, ucapan saat ini jelas juga mengandung makna tersebut. Jiaming tersenyum, menceritakan hal Rei Qing padanya. Hari ini Dongfang Wan datang ke hotel, lalu Lingjing dan Shasha yang mendorongnya keluar. Setelah serangkaian penjelasan ini, ekspresi Yahan akhirnya kembali normal.
“Oh, ternyata begitu. Rei Qing dia... memang tidak punya banyak kemampuan, pantas Dongfang Wan tidak menganggapnya. Tapi jika ada kekuatan keluarga yang ikut campur, mungkin Dongfang Wan juga tidak bisa banyak menolak Rei Qing. Hal-hal seperti ini..."
“Hmm, kurasa alasan Dongfang Wan membuat pabrik mainan itu juga karena harapan membuktikan kemampuannya agar tidak dijadikan tawaran lalu dibuang sembarangan."
“Dongfang Wan sangat tangguh, karakternya juga kuat. Mungkin di masa depan aku juga tidak bisa menghindar dari dijadikan alat untuk menikahkan." Dia memperhatikan reaksi Jiaming, kemudian tersenyum canggung lagi, mengangkat bahu, "Hmm. Untuk sementara mungkin tidak masalah, setelah kejadian Liu Wenli tahun lalu, keluargaku jarang menyebut hal seperti ini lagi. Lagipula aku masih punya penyakit."
“Aku ingat tahun lalu keluargamu sudah berencana mengirimmu ke Amerika untuk berobat, kenapa sekarang belum ada kabar?"
“Apakah kau sangat berharap aku pergi dari Jianghai, agar tak melihat lagi dan tak ada yang menyebutmu bermasalah moral?” Melirik Jiaming, Yahan tersenyum, "Uh... bercanda saja. Tapi aku pasti akan menentang hubunganmu dengan Lingjing dan Shasha. Karena ini hal yang salah... bagaimanapun... ini salah..."
Jiaming terdiam. Yahan sepertinya menyadari ucapannya merusak pemandangan, menunduk dalam kesunyian sejenak sebelum berkata: "Tahun lalu pihak Amerika bilang ada perkembangan, tapi itu karena keluarga kami berinvestasi besar di rumah sakit itu. Mereka cuma ingin terdengar bagus. Akhir tahun kemarin bilang perkembangan itu mungkin tak berguna, harus menunggu lebih lama. Baru-baru ini telepon lagi, katanya akhir November tahun ini mungkin ada break through. Percaya saja! Aku sudah malas memikirkan ini... Lagipula kondisi sekarang masih terkendali, baru akan tegang jika sampai perlu transplantasi ginjal..."
Begitu kata-kata lemah yang menyedihkan itu terucap, Yahan langsung menyesal. Apa yang dia harapkan? Simpati atau belas kasihannya? Jiaming pun bingung merespons. Akhirnya Yahan menghabiskan ikan bakar di tangannya, mengulurkan tangan sambil tersenyum: "Sayap." Jiaming memberikan satu, yang segera dikunyah Yahan dengan hati-hati.
"Hmm, jauh lebih enak daripada yang saya panggang. Yang saya panggang keras sekali, entah di mana salahnya... Oh ya, apa kau ingat seorang pria gemuk bernama Ma An?"
Jiaming berpikir sejenak, kemudian mengangguk: "Pria gemuk di SMA Xinghui itu, yang dulu selalu mencari masalah dengan aku dan Shasha, lalu melalui koneksimu masuk ke Shengxin... Heh, aku masih ingat suatu kali dia bahkan mencoba menghalangi Shasha untuk mengambil foto telanjang..."
Yahan juga tertawa Puff Ssshh!: "Tak kira kau masih ingat dia. Orang yang datang bersamaku hari ini kau lihat kan?"
"Masak sih... Kau mau bilang pria gemuk jorok itu berubah menjadi pria tampan seperti ini?"
"Mana ada, hehe... Namanya Ma Tuo, kakak dari Ma An. Kami kenal di Cambridge dulu. Saat itu usiaku masih muda, dan cukup diurus di antara mahasiswa asal Tiongkok. Dia juga pernah membantuku. Waktu itu aku memasukkan adiknya ke Shengxin. Setelah pulang, dia mendengar namaku lalu sengaja datang. Lalu aku berpikir, wah... Dunia ini benar-benar kecil ya..."
"Hmm... Menurut gosip Dongfang Wan, katanya dia sedang mengejar dirimu dan terlihat punya harapan. Kasihan Xu Mo..."
Ekspresi Yahan membeku. Ia menatap Jiaming seolah ingin mengatakan sesuatu namun ragu, tidak tahu apakah harus jujur agar dia tak salah paham atau berbohong untuk membuatnya cemburu. Akhirnya ia tersenyum: "Mana ada, kami hanya teman biasa. Keluar kali ini juga karena terlalu lama terkurung di rumah, sampai ditendang keluar oleh Tante. Bukannya dulu kau sering bilang aku malas? Hari ini aku menyervis mobil tua itu, jadi terpaksa naik mobilnya... Hmm... Hehe... Hmm..."
"Dia berbicara sambil terus berbicara, tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Tanpa sadar dia menundukkan kepala. Untungnya pencahayaan di sini cukup redup, dia tidak mengira Jiaming bisa melihatnya." Pada saat yang sama, sebuah suara terdengar dari kejauhan: "Hei, Yahan, kemarilah. Wanzhen dan yang lain juga ada di sini. Mereka dengar kamu datang dan menyuruhmu main biliar. Hei..." Menoleh ke belakang, Matt sedang bersemangat melambai-lambaikan tangannya.
"Ehm... juga teman sekelas yang kukenal di Cambridge." Yahan tersenyum pada Jiaming, "Kamu juga ingin ikut bermain? Akan kuperkenalkan kamu pada mereka."
Kalimat ini tentu sekadar basa-basi. Jiaming menggelengkan tangan: "Tidak perlu. Aku tidak terlalu pandai main biliar. Lagipula, anak kecil di tengah sekumpulan orang dewasa seperti kalian pasti akan ada kesenjangan generasi."
"Hehe, sebenarnya usiaku lebih muda beberapa tahun dari mereka semua, hampir ada kesenjangan generasi juga. Tapi... aku tahu kamu tidak suka bergaul dengan orang asing ini. Kalau begitu aku pergi dulu." Dia bangkit sambil memegang sayap ayam yang sudah dimakan separuh, melambaikan tangan dengan senyuman, "Dah."
"Dah."
Dengan senyuman, Yahan berlari beberapa langkah lalu menoleh kembali, namun akhirnya berbalik dan pergi, menghilang di balik dinding putih persimpangan koridor. Sambil menyantap makanannya, Jiaming merenungkan makna percakapan ini. Tampaknya mereka kembali menjadi teman, namun di antara mereka berdua tetap ada kegelapan yang tak kunjung sirna. Dan sejak saat itu, dia tetap akan bersikap acuh tak acuh padanya. Hal seperti ini selalu menyedihkan bagaimanapun juga.
## Bagian ke-189 Pengagum
Malam semakin larut, api unggun besar menyala di tepi pantai, acara kumpul-kumpul masih berlangsung.
"Benda kemarin itu sudah ditunjukkan padanya, tapi... hasilnya mungkin akan mengecewakan kalian."
Duduk di kursi tepi rumput sambil memegang segelas jus, Dongfang Lu yang baru saja menyapa akhirnya memiliki waktu luang. Mendengar perkataan Jiaming, ia mengerutkan alis sambil menyesap anggur merah:
"Nona Jian juga tidak bisa berbuat apa-apa?"
"Dia memang punya pengalaman aneh, tapi bukan evolusioner alami seperti yang kalian kira. Soal kekuatan supernatural, dia benar-benar buta. Tak kusangka kau akan datang hari ini, dokumen itu akan kukembalikan padamu dalam dua hari jika ada kesempatan."
Dongfang Lu mengangguk, lalu menggeleng sambil tersenyum: "Kau... sudah tahu tentang ini. Hmm, pengguna kekuatan supernatural... ini itu..."
"Aku tahu." Jiaming menjawab jujur, "Sekarang tidak perlu disembunyikan lagi. Aku juga belajar beberapa hal, tahu beberapa hal, dia yang mengajariku... [] ya, aku sudah banyak dengar..."
"Tertarik? Aku bisa merekomendasikanmu masuk."
"Tidak, tidak ada."
"Kuduga begitu." Dongfang Lu tidak terlalu terkejut, "Tapi kau hebat, sejak dulu sudah kuduga. Di ring pertarungan Han Gangcheng bahkan tidak bisa memukulmu selama lewat sepuluh menit, malah dikhianati seperti itu. Guru Chen bilang jika kau serius bertarung tanpa ragu, dia mungkin tidak bisa bertahan 30 detik di tanganmu."
"Aku tidak suka berkelahi."
“Aku juga berpikir begitu... Tapi setidaknya kau bisa melindungi teman sekelas Lingjing...” Dia menundukkan kepala dan tersenyum, kemudian berdiri, “Akan kusampaikan hal ini ke atasan. Bagaimanapun, sampaikan terima kasihku pada Nona Jian.”
Dongfang Lu selesai bicara lalu berbalik pergi. Jiaming menyesap jusnya, memutar kepala dan berkata: "Debu Kōngjiàn."
“Hmm?”
“Fragmen sebuah sarira.” Jiaming menjelaskan, “Dulu ada biksu bernama Kōngjiàn, konon evolusioner alami. Setelah MATI, meninggalkan sarira. Belakangan sarira ini direbut sampai remuk redam, disebut sebagian orang sebagai Debu Kōngjiàn. Suyan bilang... Debu Kōngjiàn bisa menstabilkan kekuatan spiritual, tapi dia tidak yakin efektivitasnya. Jadi suruhku jangan dulu bicara. Kabarnya beberapa tahun lalu ada info di Eropa, tapi yang tahu sedikit, akhirnya terbukti palsu. Jika kalian tertarik dan punya tenaga lebih, mungkin bisa diselidiki...”
Dongfang Lu yang belum menjadi personel resmi [] memang tidak paham hal-hal langka ini. Dia tertegun sejenak, baru mengangguk: “Baik. Terima kasih.”
Setelah Dongfang Lu pergi, urusan Dongfang Ruo pun selesai. Bagaimanapun, Dongfang Ruo adalah pengguna kekuatan supernatural dengan kemampuan ramalan, sekaligus keponakan Fang Zhitian. [] takkan mudah menyerahkannya. Andai aku hanya mengelak dengan dalih tak tahu, mereka yang masih berharap pasti akan menyelidikiku diam-diam, memintaku bertindak. Sekarang dengan memberi target, setidaknya bisa mengalihkan perhatian mereka.
Meskipun terdengar mistis, Kekosongan Pandang Debu itu benar-benar ada. Dalam memori masa lalu, benda ini akan ditemukan di sebuah makam kuno di Eropa lebih dari 10 tahun kemudian, memicu kehebohan besar. Dalam peristiwa itu juga mereka bertemu dengan pengguna kekuatan supernatural yang sangat kuat dan mesum, Yoritomo Taku tewas saat melindungi Jiaming kala itu. Meski akhirnya berhasil merebut Kekosongan Pandang Debu, Jiaming tetap tidak merasakan keistimewaannya. Mungkin benda ini hanya berguna bagi pengguna kekuatan supernatural, bagi orang biasa hanyalah sepotong kecil tulang mayat.
Tapi kalau dipikir, nyawa Dongfang Wan seharusnya bisa bertahan sampai lebih dari 10 tahun kemudian. Mengapa tiba-tiba bermasalah setelah peristiwa ini? Apakah karena pengaruh diriku sendiri, atau ada pihak ketiga yang diam-diam melakukan sentuhan kecil... Jika memang karena diriku, apa hubungannya dengan sakit kepala yang berulang sebelumnya? Mungkinkah feniks yang memberikanku regenerasi ini juga memberiku kekebalan terhadap kekuatan supernatural, sekaligus memberikan luka parah pada Dongfang Wan saat dia mengintipku?
Hal-hal seperti ini tentu tidak bisa disimpulkan hanya dengan imajinasi. Tak lama kemudian, Dongfang Wan yang masih dikejar Lei Qing berlari kecil mendekat, menarik Jiaming yang menjadi perisai pembenaran masuk ke ruang tamu untuk berdansa. Seperti biasa, dia terus menyebut kata "kita" untuk membangkitkan rasa memiliki Jiaming terhadap pabrik mainan. Setelah menari, Jiaming pergi mengambil Air minum. Saat musik melunak tiba-tiba, telinganya menangkap kata "Yahan" yang terselip di antara alunan nada.
Ruang tamu villa keluarga Yi ini sangat luas, desain tiga sisi dengan pintu dan jendela kaca yang penuh nuansa modern. Di musim panas, banyak bagian bisa dibuka sehingga terasa sangat sejuk. Jiaming menoleh ke belakang, melihat Matt dan tuan rumah jamuan Yi Huaying sedang mengobrol di lorong tak jauh. Dari ekspresi mereka, jelas keduanya sudah saling kenal lama. Sambil tidak ada kegiatan, sebagai pembunuh bertahun-tahun yang telah melatih kemampuan mendeteksi aura jahat, Jiaming menggendong gelas airnya, bersandar di tiang dekat mereka, memandangi para tamu di ruang tamu. Tak lama kemudian, percakapan mereka mulai terdengar samar.
"...Aku serius, sial! Aku benar-benar kagum padamu. Itu kan bunga ternama kalangan atas. Sejak kembali ke Jianghai, pengagumnya bisa sepanjang batalyon lengkap. Dia sopan pada semua orang tapi tak pernah memberi harapan. Xu Mo pasti yang paling gila mengejarnya, tapi... Dari ekspresinya saat barbekyu tadi, aku tahu kau punya peluang. Dia terlalu mesra bersamamu..."
"Masa? Ini disebut mesra... Hmm, tapi hari ini selama sebulan lebih, dia memang terlihat berbeda..."
“Tolong, bagaimana kau bisa mencampurkan dia dengan rombongan wanita itu. Zhang Yahan sejak kecil sudah jenius, lompat tingkat, masuk Cambridge, studi di luar negeri. Orang-orang yang selalu bersamanya kebanyakan lebih tua. Cewek seperti ini, kalau tidak super terbuka ya pasti sangat konservatif, dan dia jelas termasuk yang ultra konservatif... Tahukah kau, bertahun-tahun ini selain urusan pekerjaan, undangan pribadi selalu ditolaknya. Inilah contoh nyata 'tidak memberi harapan'! Untuk cewek seperti dia, merayunya itu ibarat hubungan mental. Bikin dia senang dan bahagia, baru tubuhnya akan kau dapat. Tidak seperti cewek biasa yang hari ini gandeng tangan, besok cium, lusa pegang dada, lalu langsung naik ranjang sambil bilang cinta. Setidaknya kau sudah berhasil melewati tahap pertama.”
“Ti-Tidak mungkin... Aku tidak pernah dengar, dia benar-benar... seperti itu...”
“Pastilah, semua orang di sini tahu. Tapi bisa kau ajak dia mungkin karena baru putus cinta. Eh, ngomong-ngomong, Xu Mo yang ngejar dia pasti kau tahu kan? Aku tahu kau selalu berseteru dengan Xu Mo...”
“Xu Mo tentu kukenal. Masalah dulu... Cih, hubunganmu dengan Xu Mo juga tidak baik-baik amat, dulu dia sama merendahkanmu karena bisnis transportasi legal keluarganya vs penyelundupan keluargamu... Tapi keluarganya jauh lebih kaya dari kami, bisa apa lagi. Hah... Cerita soal Yahan putus cinta ini bagaimana?”
“Beredar sejak pertengahan Mei, Zhang Yahan dicampakkan pacarnya. Katanya ini benar. Sebenarnya sebelumnya kami sudah curiga dia punya pacar, hanya saja selalu disembunyikan. Coba pikir, kenapa seorang cewek menolak semua ajakan kencan, menolak bunga dan surat cinta yang dikirim orang? Tentu karena dia sangat mencintai pacarnya. Dengar-dengar malam itu dia menangis semalaman di lereng gunung terpencil Akademi Hati Kudus. Xu Mo ingin memanfaatkan situasi, tapi gagal. Hah, tak disangka malah kau yang mendapat keuntungan. Tapi... apa alasanmu mengejarnya cuma untuk mengancam Xu Mo? Menurutku ini agak...”
“Pantasan, selama lebih sebulan ini dia selalu terlihat murung dan sedih... Awalnya memang karena Xu Mo. Tapi kau tahu, Yahan cantik, auranya juga bagus. Aku juga benar-benar menyukainya. Sebenarnya... jujur saja, hari ini awalnya dia tidak mau keluar, sudah menolakku. Tapi kemudian tantenya memaksa dia refreshing, akhirnya dia naik mobilku. Kenapa kemudian dia jadi ceria... Aku tidak terlalu paham, aku tidak melakukan hal spesial apa pun...”
Kesunyian singkat.
“Eh, mungkin dia tiba-tiba merasa ada sisi imut darimu... Hal-hal seperti ini sulit dijelaskan. Setidaknya... setidaknya kemajuanmu sudah lebih dari orang lain. Semangatlah...”
“Jujur, setelah kau bilang begitu... Aku jadi agak takut.”
“Tak peduli bagaimana, berusahalah untuk mengejarnya. Setidaknya kau lebih punya harapan dibanding Xu Mo, lebih dari siapapun. Tingkatkan usaha. Harus kau pahami, Zhang Yahan adalah putri satu-satunya Zhang Jing'an yang mengidap penyakit, sehingga selalu dianggap harta kesayangan. Jika kau bisa memperlakukannya dengan baik, segalanya milik Keluarga Zhang takkan bisa lolos darimu. Nanti latar belakang keluarga Xu Mo apa artinya? Perusahaan transportasi lautnya tak sampai sepertiga kekayaan Zhang.”
Kesunyian yang panjang.
“…Ah, bagaimana kalau begini saja… Ini hanya usulanku. Mau atau tidak terserah kau. Lagipula anak-anak anjing di sini sering melakukan hal begini… Aku akan ambilkan obat. Saat Zhang Yahan lelah main biliar, kau bawa ini padanya. Lagipula tidak ada efek samping. Kalau dia mengantuk, kamar kosong di sini banyak… Dia sedang patah hati sekarang, dan punya kesan baik padamu. Besok pagi kau minta maaf, biarkan dia memukulmu. Dengan banyaknya saksi kita, apa lagi yang bisa terjadi? Paling-paling… Katakan kau ceroboh, untuk menunjukkan penyesalan, potong satu jari dengan pisau. Dulu aku kenal seseorang yang dipacarnya sangat membencinya, setelah melakukan ini, akhirnya berdamai lagi. Taktik ini memang sakit, tapi bahkan naga kecil pun akan tersentuh… Ngomong-ngomong, kau memang benar-benar menyukainya kan?”
“Aku… Tentu saja…”
“Kalau begitu aku sedang berbuat kebajikan, mempertemukan kekasih yang ditakdirkan… Mau atau tidak, pikirkan baik-baik…”
Dalam renungan Mato, di belakang pilar, Jiaming memegang gelas air dan meneguknya habis sekaligus.
Melewati taman bunga, di ruang istirahat terdapat lima meja biliar berjajar. Belasan pria-wanita berkumpul di sekitar meja kedua sambil bermain dan tertawa. Perempuan yang sedang berlomba dengan Yahan adalah mantan teman sekelasnya di Cambridge bernama Lin Wanzhen. Dengan gaun abu-abu kebiruan yang rapi dan anting permata berkilau di bawah lampu, penampilannya jelas menunjukkan karyawan kantoran sukses. Namun dibandingkan Yahan, aura dan kecantikannya masih kalah. Saat ini dia sedang tertawa sambil menceritakan momen memalukan Yahan semasa di kampus.
Membawa dua gelas air, Mato ragu-ragu mengamati dari kejauhan.
Di meja biliar sedang berlangsung permainan snooker. Semua bola merah sudah masuk kantong, tersisa tiga bola warna terakhir. Di papan skor, Yahan tertinggal 14 poin. Artinya dia harus memasukkan ketiga bola tersisa untuk menang. Namun dengan senyum tipis di kursi samping, Yahan tampak tak terlalu memperhatikan pertandingan. Ini bukan lomba persahabatan. Meja lain memiliki taruhan ratusan potong per ronde, meja ini pun mengikuti dengan sistem menang-kalah. Tentu saja, jumlah uang seperti ini tak berarti bagi orang-orang di sini. Mereka adalah pemuda-pemudi bersemangat, dalam perkumpulan seperti ini taruhan belasan juta hingga jutaan pun mungkin terjadi.
Dengan bosan melihat senior yang dulu membandingkan sudut, Yahan melirik ke sekitar. Saat melihat Matto, ia tersenyum dan mengangguk, namun tiba-tiba pandangannya membeku. Di belakang Matto yang tidak terlalu jauh, Jiaming sedang berdengan tangan di kantong pengepungan, tersenyum ke arah sini. Kemudian Lin Wanzhen memukul bola melenceng sambil tertawa meminta ganti pemain.
Berbalik tubuh, ia bangun dengan ragu-ragu, ekspresinya tampak kosong. Bukan sehari dua hari mengenal Jiaming, selalu terasa ada sesuatu lain dalam senyum itu. Beberapa saat kemudian baru menarik napas, menggelengkan kepala sambil tersenyum, lalu berjalan ke meja dan membungkukkan badan.
Di atas meja biliar, bola biru yang harus dipukul terhalang bola hitam dengan sudut yang sangat sulit. Yahan menutup mata sebentar lalu membuka lagi, mencoba sudut lain. Suara "Prak" terdengar jelas, bola putih menabrak tepi meja lalu memantul sempurna menghantam target. Bola biru masuk kantong. Semua orang membelalak. "Keberuntungannya luar biasa..." gumam Lin Wanzhen. Sebagai pemain amatir, ia paham level Yahan. Bola setingkat itu pasti dianggap keberuntungan belaka.
Yahan tersenyum tanpa bicara, membungkuk dan mengayunkan stik. Bola pink masuk, disusul bola hitam. Lomba berakhir dengan Yahan unggul empat poin. Semua orang bertepuk tangan sambil tertawa. Tiga bola terakhir memang masuk dengan sangat spektakuler.
“Apaan sih, berlebihan banget.” Lin Wanzhen tertawa, "Level adik Yahan kan cuma segini sama aku. Beberapa babak awal masih kumengerti, tapi kenapa kali ini bisa balik menang? Yahan, jujur aja, pasti habis latihan khusus kan? Sekarang udah level profesional, sengaja ngejek aku ya... Bola biru itu mustahil masuk kok..."
“Hah, tiba-tiba merasa... Hmm, inspirasi datang...”
“Aku menyerah deh... Eh, Mattuo kamu datang pas banget. Gantian, dulu kan kamu pernah punya rekor satu stik 102 poin. Tapi Yahan sekarang udah jago loh, awas dia langsung bersihkan meja sekali stik.”
“Eh, aku? Bisa nggak ya?” Mattuo yang sedang membawa air mendekat, di dahinya juga ada keringat, matanya menatap Yahan. Yahan cuma tersenyum mengangkat bahu: “Nggak apa-apa, mau main ya main aja. Masa lalu waktu kuliah kita juga udah sering kalah sama kamu.”
“Baik, main satu babak. Ngomong-ngomong, Yahan kamu juga capek kan? Minum dulu.” Katanya sambil menyodorkan gelas di tangannya.
Yahan mengangguk berterima kasih, menerima gelas itu dan hendak meminumnya. Tiba-tiba, gelas itu direbut kuat oleh tangan yang muncul dari samping. Bersamaan, Mattuo berteriak dengan neurotik: “Kau mau ngapain!” Suaranya yang sangat keras di depan wajah itu membuat Yahan kaget setengah mati.
“Apa... Apa yang terjadi...”
## Bagian Keseratus Sembilan Puluh Satu Jenis Kerinduan
“Apa... Apa yang terjadi...”
Teriakan tiba-tiba Matuo membuat semua orang di sekitar terkejut, termasuk Yahan yang juga sejenak terdiam. Sebagai seseorang yang pernah berlatih di perguruan silat, ketika ada yang mengulurkan tangan untuk mengambil barang di tangannya, refleks pertama Yahan adalah menggenggam erat. Saat menoleh, barulah ia melihat Jiaming berdiri di sampingnya sambil menyodorkan satu gelas air lagi.
"Minum yang ini saja."
"Hmm..." Meski belum sepenuhnya paham situasinya, Yahan secara kebiasaan mengangguk mengikuti perkataan Jiaming. Setelah menukar gelas dengannya dan menyesap air, barulah Yahan menyadari Jiaming telah mengambil tongkat bilyarnya sambil tersenyum polos.
"Bisa ganti pemain kan? Bu Guru Zhang juga sudah lelah. Biar aku yang gantikan di ronde ini."
Aksi mendadak Jiaming yang mengambil gelas dari tangan Yahan tanpa permisi, ditambah teriakan Matuo tadi, membuat semua orang bingung. Lin Wanzhen yang berdiri di samping tersenyum: "Menggantikan Yahan? Adik kecil, hubunganmu dengan Yahan apa?"
Jiaming mengangkat bahu lalu menoleh ke Yahan. Setelah ragu sejenak, Yahan tersenyum: "Dia adik laki-lakuku, Gu Jiaming. Jiaming, ini Wanzhen, teman sekelasku di Cambridge dulu yang sangat dekat denganku."
“Kakak Wanzhen, halo.” Jiaming tersenyum seperti mahasiswa teladan. Semua orang awalnya berpikir Zhang Jing'an hanya memiliki Yahan sebagai putrinya, dari mana muncul adik laki-laki ini? Tapi kemudian menyadari dalam keluarga besar seperti ini, sepupu-sepupu seperti adik sepupu pasti banyak. Hanya saja keakraban sikapnya saat berbicara dengan Yahan jelas menunjukkan kedekatan khusus dengan cabang keluarga Zhang Jing'an. Beberapa orang diam-diam mengingat nama ini – mungkin suatu hari nanti harta Keluarga Zhang akan jatuh ke tangan garis keturunan sampingan ini.
Setelah memperkenalkan Lin Wanzhen, perhatian beralih ke Mato yang memandangi gelas air di tangan Jiaming. Setelah saling menyapa, Yahan mulai mengerutkan alis, matanya beralih dari gelas di tangan Jiaming ke Mato di sebelah. Meski jarang menghadiri acara kumpul-kumpul seperti ini, pengalamannya cukup untuk membuat hipotesis awal dari sorotan mata Mato yang berkedip-kedip dan sikap Jiaming.
“Kalau begitu… mau mulai?”
Dengan santai meletakkan gelas di tepi meja biliar, jari-jari Jiaming berdenting-dentang mengetuk gelas kaki tinggi sambil menatap Mato. Setelah ragu sebentar, Mato akhirnya mengangguk kaku: “Hah… Tentu… Siapa yang break pertama?”
“Break, kau saja yang mulai.” Melihat Mato mendekat, Jiaming mengambil gelas itu dan menaruhnya di platform kecil di dekat Yahan sebelum melambaikan tangan: “Tunggu, bicarakan dulu. Biasanya ada taruhan kan? Kalian main berapa poin?”
“Seratus…”
“Terlalu sedikit,” sebelum dia selesai bicara, Jiaming sudah memotongnya dengan santai, lalu mengeluarkan dompet dari sakunya, “Seratus ribu perak main begini tidak seru, Kakak Yahan, menurutmu berapa yang lebih baik... Uh, pusing deh, aku juga tidak bawa banyak uang. Kakak Yahan, bisa pinjamin aku sedikit?”
Rentetan kata-kata meluncur deras seperti biji kedelai digoreng, bahkan Matuo tidak sempat bicara. Yahan saat itu memandang gelas kaki tinggi di sampingnya, lalu menatap Jiaming yang sedang bicara, ekspresinya terlihat melamun. Entah sedang memikirkan apa, baru bereaksi ketika dipanggil Jiaming, mengulurkan tangan membuka tas kecilnya: “Uh... Kau butuh berapa?”
Di bawah pandangan semua orang, Jiaming tersenyum: “Sebanyak apa pun aku mau.”
Termasuk Yahan, semua tertegun. Kemudian kerumunan di sekitar mulai berbisik-bisik. Yahan adalah putri tunggal Zhang Jing'an. Seperti diketahui umum, Zhang Jing'an sangat longgar terhadap putrinya ini. Menjadi guru di Akademi Hati Kudus hanyalah profesi dan hobinya. Jika memperhitungkan kekuatan di belakangnya, wanita lembut ini bisa menggerakkan dana miliaran kapan saja dibutuhkan. Lalu, konsep "sebanyak apa pun" ini apa maksudnya? Meminjam uang kok sampai segitunya.
Taruhan seratus ribu naik ke seribu yuan bahkan 10.000 yuan masih biasa saja. Jika bukan uang hasil jerih payah sendiri, paling-paling dibilang anak orang kaya yang manja. Tapi pemuda ini jelas sengaja menargetkan Matuo dari awal, seolah ingin menghabisi lawannya lewat lomba biliar ini — dengan syarat keahlian biliarnya benar-benar luar biasa.
"Semua orang bukanlah bodoh, saat ini sudah mencium suasana tidak biasa di udara, pandangan mereka berputar antara Matto, Yahan, dan gelas air itu. Lin Wanzhen awalnya ingin berbicara, tapi memilih diam—jika memang ada yang bermasalah dengan gelas air itu, itu sudah nasibnya—mengundang orang ke rumah lalu meracuni tamu untuk melakukan hal-hal tertentu, sebenarnya bukan hal langka di kalangan pemuda kaya yang kurang pendidikan. Tapi hal seperti ini, harusnya dilakukan sukarela, semua orang mabuk obat dan mengadakan pesta seks di rumah pun tak ada yang protes, atau korban yang diracuni tidak punya kekuasaan, setelahnya dibayar uang damai bahkan jika digugat pun tidak takut. Namun melakukan ini pada Yahan... sulit untuk tidak mengaitkan dengan latar belakang keluarganya... Matto ini, kepalanya ketabrak mobil ya..."
Meski berasal dari keluarga Jalan Hitam, Matto bukan pelaku kebiasaan untuk hal seperti ini. Terbawa emosi oleh perkataan Yi Huaying lalu ketahuan, dia sudah mulai panik dan tak tahu harus berkata apa. Melihat Yahan terdiam sejenak lalu mengeluarkan buku cek dari tas kecilnya, blek blek blek menulis nominal, suaranya yang terdengar lebih lembut dari sebelumnya terdengar:
"Gajian di Akademi Hati Kudus beberapa tahun ini, ada yang terpakai, sisa sekitar 1 juta lebih... Meski akunnya bisa overdraft, tapi... 1 juta, boleh?"
Jiaming menerima cek itu sambil tersenyum dan mengangkat bahu: "Asal-asalan lah." Kemudian, cek itu langsung dilemparkan ke meja biliar, "Kau lihat, aku sudah pinjam uang. Kalau jumlahnya tidak terlalu kecil bagi kau, mari kita mulai."
1 juta.
Tidak ada lagi yang mengira ini pertandingan persahabatan.
Mattou mengusap keringat di wajahnya. Dia tentu bisa menolak, tetapi masalahnya adalah sikap Keluarga Zhang terhadapnya nanti. Meskipun saat ini dia bekerja di luar kota dan anak buahnya kuliah di luar daerah, ayahnya berkecimpung di Jalan Hitam di Kota Jianghai. Dengan kekuatan Keluarga Zhang, jika mereka benar-benar ingin menghancurkannya karena hal ini, mengingat catatan kriminal keluarganya yang bertumpuk, sama sekali tidak ada jalan keluar.
Seperti kata Yi Huaying sebelumnya, kontaknya dengan Yahan awalnya karena kecantikan dan latar belakang keluarga Yahan, pengalaman di Cambridge dulu; kedua karena perseteruan dengan Xu Mo. Awalnya dia tidak terlalu berharap banyak pada sikap Yahan, tetapi harapan itu baru saja diberikan Yi Huaying padanya: Sikap Yahan padanya sepertinya lebih baik daripada pada Xu Mo. Dia mulai berharap, namun setelah analisis mendalam, harapan itu tiba-tiba meleset. Yahan bahkan bisa menangis semalaman untuk pria yang dicintainya, bisa menolak kencan dan pendekatan Xu Mo maupun orang lain. Lalu apa arti senyumnya padanya? Yang paling penting, senyum itu mungkin sama sekali bukan untuknya - mungkin dia melihat orang yang disukainya di sini. Keduanya sama-sama memikirkan hal ini, tapi tidak ada yang mengatakannya.
Maka dalam sekejap mata, Yahan sendiri, latar belakang besar dan kekuatan di belakangnya, tiba-tiba tampak menjauh dariku. Manusia takut bukan pada kekecewaan, melainkan karena pernah memiliki harapan——terlepas apakah Yi Huaying sedang menghasut karena tidak menyukai Xu Mo, hasil akhirnya, aku benar-benar terbujuk. Menaruh obat adalah hal sepele, sudah sering kudengar dan kulihat banyak orang melakukannya, siapa sangka aku akan sebernasial ini.
Masalahnya sekarang bagaimana menyelesaikannya, keluarga bukan tidak punya uang, tapi mengeluarkan 1 juta masih terasa menyakitkan. Biliar ini bukan tidak bisa kutolak, tapi tidak berani kutolak. Anak ini bermain mewakili Yahan, Yahan mengeluarkan 1 juta, apakah ini berarti Yahan yang selalu lembut hati bermaksud menutup masalah ini asalkan aku bermain——menang kalah——kalau menang tentu uang harus dikembalikan——semuanya akan berakhir di sini.
Bawah sadar, dia tetap jujur: "Aku tidak membawa uang sebanyak ini untuk sementara..."
"Tidak apa, aku percaya karaktermu. Kalau menang ambil saja uangnya, kalau kalah tulis surat perjanjian." Jiaming tersenyum mengeluarkan koin, "Gambar di depan kamu yang break, tulisan di belakang aku yang break. Bagaimana?"
Matuo ragu-ragu memandang wajah Yahan yang tak terbaca, kemudian, Yi Huaying yang baru saja berbicara dengan dua sepupu Jiaming mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Matuo. Matuo menggigit gigi, akhirnya mengangguk: "Mulai saja."
"Anak laki-laki ini tidak terlalu jago main biliar. Aku yakin bisa mengalahkannya, menang dulu lalu minta maaf ke Yahan——cek tentu tidak bisa diterima——ini solusi sementara, atau lebih baik aku sengaja kalah saja."
Setelah merenungkan, dia memutuskan untuk menang dulu. Baru meminta maaf ke Yahan sebagai bentuk kesungguhan. Namun perkembangan situasi tidak memberi banyak ruang pilihan.
Hasil lempar koin memastikan Matto break pertama. Dia pernah berlatih keras di biliar, pernah mencetak rekor 98 poin dalam satu break, yakin kemampuannya tidak jauh dari atlet profesional. Tentu break pertama sulit masuk bola, setelah pukulan pertama bola putih menyentuh tepi bola merah lalu berhenti, memberi Jiaming opening yang tidak berarti.
Mendekati meja, Jiaming menyentuh bola dengan cue stick, bola merah sedikit berpencar tapi tetap tidak berarti.
Dengan formasi ini, break berikutnya bisa mulai mencetak poin... Matto berpikir sambil memperlebar sebaran bola merah. Namun bola putih masih menempel di merah, di mata semua orang hampir tidak ada bola yang bisa langsung masuk. Jiaming menarik napas, kedua tangan menahan tepi meja, mengamati selama lebih dari setengah menit, tiba-tiba membungkuk.
Seketika, byur! Bola merah beterbangan. Bola pertama di tepi putih menghantam bola kedua keras-keras, bola kedua memantul dari tepi meja lalu menabrak bola ketiga masuk kantong.
Poin pertama.
"Keberuntungan bagus, masuk satu." Lin Wanzhen di samping tersenyum.
Tanpa ragu-ragu, Jiaming berjalan ke sisi lain meja biliar, membungkuk, bola putih meluncur langsung ke bola hitam bernilai poin tertinggi, masuk kantong, delapan poin. Bola ini merupakan tembakan lurus, sehingga orang-orang tidak terlalu terkejut. Ketika bola hitam dikeluarkan dan ditaruh kembali, Jiaming dengan lancar memukul lagi, satu bola merah masuk kantong.
Sembilan poin.
Saat bola hitam masuk kantong untuk kedua kalinya, ekspresi wajah Mato mulai berubah, orang-orang di sekitarnya mulai menunjukkan pandangan takjub, semakin banyak orang berkerumun. Termasuk Dongfang Wan yang sebelumnya berkeliaran di ballroom dan area rumput, mendekat sambil memandang Jiaming dan meja biliar dengan raut wajah penuh keheranan.
Sejak awal aku mengajaknya keluar, membeli pakaian, menghadiri pesta dansa, dalam segala hal ia sama sekali tidak memberikan kesan keberadaan. Berbaur di kerumunan, ia benar-benar terlihat biasa saja, tanpa keunikan fisik maupun aura. Namun saat ini, aura itu telah sepenuhnya berubah.
Mata terpaku pada meja, menghitung dengan presisi, membungkuk, memukul bola - Jiaming saat ini seolah telah berubah menjadi pemain biliar profesional. Bahkan setelan jas biasa yang ia kenakan, kini terlihat lebih gagah. Suasana di sekitar meja biliar, hanya karena dirinya, menjadi penuh ketegangan.
Ini... hasil didikan Kakak Suyan?
Bola merah, bola hitam, bola merah, bola hitam... Aturan snooker adalah memasukkan satu bola merah, lalu diikuti bola warna-warni apa pun, dengan skor tertinggi dari bola hitam. Jika berhasil melakukan break sempurna, skor maksimal adalah 147 poin. Bagi atlet profesional, frekuensi break di atas 100 poin menjadi standar penilaian kemampuan. Dari sikap Jiaming saat ini, jelas ia sedang menuju target 147 poin dengan sistematis. Saat bola hitam masuk untuk keenam kalinya, papan skor sudah mencatat 48 poin. Meja biliar dikerumuni orang. Dua sepupu dari keluarga Huang yang berdesakan di dekatnya membelalakkan mata, seolah menyaksikan makhluk luar angkasa yang belum pernah mereka lihat.
49 poin.
56 poin...
57 poin...
Ketika bola hitam masuk untuk kesepuluh kalinya mencapai 80 poin, Jiaming akhirnya melakukan kesalahan pertama: bola merah gagal masuk. Namun bola putih nyaris menyentuh bola merah, berhenti di posisi paling sulit. Meski demikian, untuk mencapai skor maksimal 147 dalam snooker, kecuali Jiaming terus melakukan pelanggaran, Matt sama sekali tak punya peluang menang.
Jiaming menghela napas lalu memberi isyarat ke Matt yang sudah berkeringat deras: "Giliranmu."
Dengan level permainan yang ditunjukkan Jiaming sebelumnya, pelanggaran hampir mustahil. Pada giliran berikutnya, Matt gagal memasukkan bola merah.
Menggendong tongkat biliar, Jiaming bangkit untuk menyelesaikan permainan.
Di sisi meja biliar, Yahan berdiam diri seperti kehilangan jiwa.
Tak ada yang bisa membayangkan betapa berharganya perasaan yang ia jaga bersama Jiaming.
Perang dingin telah berlangsung lebih dari tiga bulan, tidak bertemu juga hampir dua bulan. Awalnya yang mengusulkan untuk tidak berbicara dan tidak berhubungan lagi adalah dia. Setelah itu, Jiaming hidup bahagia dengan Lingjing dan Shasha, sementara dia bersembunyi dalam kegelapan membiarkan kesepian dan kesakitan menggerogoti hatinya.
Menenggelamkan diri dalam pekerjaan berat di kampus tidak berarti benar-benar bisa melupakan semua ini. Beban kerja berlebihan dan insomnia setiap malam membuat kesehatannya kambuh di awal Juli. Di rumah sakit yang dingin, dia mengingat kejadian tahun lalu saat Jiaming dan yang lain mengantarnya ke rumah sakit. Saat itu Jiaming dengan antusias membantunya keluar dari tekanan pernikahan paksa. Dia, Lingjing, Shasha bergantian menjenguknya setiap hari. Waktu itu mereka adalah teman baik, sekarang mereka adalah playboy dan rival asmara yang memalukan. Mereka bertiga menghabiskan hari dengan bahagia, sementara dia hanya bisa memikirkan semua ini lalu menangis karena sakit hati... Apa lagi yang bisa dia lakukan...
Hanya bisa terus menangis dan menangis, terus-menerus menangis tanpa henti...
Setelah sembuh, keluarga melarangnya mengurusi urusan kampus mana pun, memberinya lebih banyak waktu untuk mengingat. Kemudian Matt tiba. Untuk senior yang cukup merawatnya di Cambridge ini, dia merasa berterima kasih. Awalnya pergi ke Cambridge sendirian sama dengan kabur dari rumah. Tanpa dukungan keluarga, teman-teman sekampus dari negara yang sama telah banyak membantunya, bukan secara materi, lebih pada dukungan mental. Karena itu dia selalu mengingat semua ini.
Matuo mungkin tertarik padanya, dan dia mungkin bisa merasakannya, tapi tentu saja tidak mungkin langsung menolak karena akan terlihat terlalu sombong. Apalagi, ada orang yang datang setiap hari sehingga dia harus menerima tamu. Saat malam tiba dan ingin menangis, dia tak berani menangis terlalu keras agar mata merahnya tidak ketahuan. Dalam hal ini, Matuo justru punya efek positif baginya - dia tetap perempuan konservatif yang tidak mungkin lagi mengatakan "Aku patah hati, izin cuti" langsung di depan rektor seperti dulu.
Datang ke pesta dansa dengan Matuo hanyalah hal sepele. Pertemuan tak terduga dengan Jiaming-lah yang menjadi momen terpenting dalam beberapa bulan terakhir. Melihat Jiaming digandeng Dongfang Wan, dendam di hatinya meluap - orang itu lagi-lagi main mata, bahkan Dongfang Wan pun sudah dirayunya - Emosinya seakan protes: Kalau mau selingkuh, yang pertama harusnya aku dong. Tentu saja ini hanya pikiran.
Dia menolak menyapa Jiaming, berharap Jiaming yang selalu sopan akan datang menyapa duluan——emosi semacam ini ibarat minum racuk untuk hilangkan haus——tak disangka Jiaming menganggap tak pantang mengganggunya lagi. Meski mereka barbekyu berjam-jam dalam jarak dekat, dia tetap tak mau mendekat. Rasa kesal di hatinya semakin bertambah. Setelah mengobrol riang dengan Mattuo setengah hari, teringat selama ini hanya cinta sepihak, pedihnya hati membuatnya melahap sebuah sayap ayam tak enak sambil gerutu. Setelah tenang, merasa mau muntah. Keluar dari toilet, melihat Jiaming duduk di koridor sedang makan, hatinya tak kuasa menahan keinginan lewat di sana.
Bukanlah wanita manja tanpa pertimbangan. Kesadaran moral yang kuat dalam hatinya mengatakan tak boleh mendekati Jiaming lagi karena bagaimanapun tak akan ada konsekuensi. Namun beban air mata selama dua bulan lebih membuatnya sulit bernapas. Tanpa disadari melangkah mendekat, dua keinginan saling tarik dalam tubuhnya: satu menyuruh pulang, satu menyuruh berpura-pura tak sengaja bertemu. Sebelum pemenang jelas, mereka sudah benar-benar bertatapan.
Selama lebih dari dua bulan, akhirnya terjadi percakapan pertama. Secara lahiriah dia tenang, namun gejolak dalam hatinya tak terkira, terutama setelah Jiaming mengambil inisiatif menjelaskan hubungannya dengan Dongfang Wan. Dendam yang selama ini mengakar pun lenyap seketika. Namun di tengah kebahagiaan ini, harapan, kepedihan, perlawanan, dan berbagai pikiran lain saling berdesakan. Seharusnya dia tidak datang, karena pria ini bagaimanapun mustahil menjadi miliknya. Tapi meski tahu itu, dia tak kuasa menahan diri. Meski tak kuasa, dia sadar sebenarnya dirinya tak pantas datang...
Kemudian Mato datang memanggilnya main biliar. Awalnya ingin bilang "Aku tidak ikut", tapi tubuhnya sudah berdiri sebelum keputusan itu dikonfirmasi. Terpaksa mengucapkan "Dadah". Sejak itu, hatinya terasa seperti digergaji bolak-balik dengan tali ijuk kasar. Sensasi kasar itu menyayat hati, perlahan-lahan sakit, perlahan-lahan berdarah, kiri kanan kiri... Manusia seolah terbelah menjadi serpihan tak terhitung.
Lalu Mato membawakan air, Jiaming mendekat. Hingga sekarang... Permainan biliar ini dimainkan untuknya, tapi pikirannya sama sekali tidak fokus. Memandang Jiaming, dia pun tak tahu apa yang ada dalam hatinya. Sesekali terpikir gelas air di samping ini, ada sesuatu dalam airnya - Mato yang memasangnya, sialan! - Makanya langsung mengeluarkan 1 juta. Tentu, jika Jiaming bilang "Pinjam sebanyak mungkin" bukan untuk Mato, dia mungkin akan segera menghubungi ayahnya untuk mentransfer puluhan juta.
"Tapi kadang juga berpikir, mungkin dia harus berterima kasih pada segelas air dari Matuo itu. Jika bukan karena dia, bagaimana Jiaming akan datang lagi. Dia teringat kejadian sebelumnya dengan Jiaming - pernah berkelahi demi Lingjing, main basket demi Shasha, menyanyi untuk Lingjing di Malam Natal. Dulu masih berharap mereka bertiga hanya teman, sekarang baru sadar dia tak pernah melakukan hal bergelora untuk dirinya. Tapi sekarang dia sudah main biliar untukku, di telinganya terdengar skor, teriakan takjub orang-orang, melihat kefokusan Jiaming. Saat ini tiba-tiba merasa: dia seolah milikku sendiri, tanpa Lingjing maupun Shasha..."
Sambil menatap dan merenung, pikirannya melompat kesana kemari. Akhirnya, kesedihan yang penuh merembes dari hatinya. Matanya perlahan basah, air mata yang tak tertahan. Dia menghirup hidung, memalingkan muka ke gelas kaki tinggi di samping, mendorongnya dengan tangan. Gelas itu terguling, percikan air berhamburan, cangkang pecah berkeping-keping. Pandangan Jiaming menyapu ke arahnya. Dia memutar kepala, membelah kerumunan orang dan lari keluar. Untungnya semua orang sedang memperhatikan Jiaming, tak ada yang melihatnya menangis.
"Permisi, lewat, mau ke kamar mandi... permisi, lewat..."
Sambil berkata demikian, dia perlahan menembus kerumunan. Di meja biliar masih tersisa beberapa bola warna-warni terakhir. Jiaming memeluk tongkat biliar, berhenti tanpa ekspresi. Memandangi tumpukan fragmen itu, entah sedang memikirkan apa...
## Bagian Keseratus Sembilan Puluh Satu Kelompok Pendendam
Yahan mengulurkan tangan dan menjungkirkan gelas kaki tinggi, kemudian pergi dengan muram. Setelah Jiaming menghentikan gerakannya, hal itu pun akhirnya ditemukan oleh orang lain satu per satu.
Saat ini sebagian orang sudah menyadari bahwa pasti ada obat yang dicampurkan ke dalam air tersebut. Tentu saja, Yahan tidak mungkin benar-benar membawa air itu untuk diuji. Tinggal di sini pun sudah tidak ada artinya. Namun karena gelas itu sengaja dijungkirkan olehnya sendiri, apakah ini menandakan Yahan tidak mau memperpanjang masalah? Bagi Matuo, Yi Huaying, dan yang lainnya, ini adalah hal yang penuh perhatian.
Di meja hanya tersisa empat bola warna-warni. Meski sudah dipastikan Matuo pasti kalah, pertandingan belum resmi berakhir. Jiaming memeluk tongkat bilyar sambil memandangi pecahan kaca itu sesaat, akhirnya menoleh ke Matuo dengan tatapan dingin: "Menurutku tak perlu membuang waktu lagi. Bagaimana menurutmu?"
Dalam snooker, pelanggaran akan mengurangi poin sesuai aturan. Jika Jiaming terus melakukan pelanggaran mulai sekarang, masih ada kemungkinan dia kalah. Tentu ini hanya kemungkinan teoritis. Dalam situasi ini, berlagak malas sudah tak berguna. Di bawah tatapan Jiaming, Matuo mengangguk ragu-ragu. Sejak awal, pemuda yang sepuluh tahun lebih muda ini memang memancarkan tekanan dahsyat.
"Kalau begitu... kau berutang 1 juta padaku... Aku akan ingat."
Setelah mengucapkan kata-kata itu dengan datar di tepi meja bilyar, Jiaming tiba-tiba mengangkat tongkatnya. BYUR! Tongkat itu dihantamkan keras ke meja hingga patah menjadi empat lima bagian. Bola-bola di meja berhamburan, salah satunya terbang langsung dan menghantam wajah Matuo.
Bola biliar jatuh ke lantai, bertabrakan dengan batu lantai mengeluarkan suara nyaring. Orang-orang di sekitar terkejut dengan tindakan tiba-tiba ini.
Namun meskipun tindakan ini dianggap tidak sopan, bahkan Matuo tidak berani berkata-kata, apalagi orang lain yang pasti tidak akan ikut campur. Pemuda ini adalah adik laki-laki Yahan. Menemukan kakaknya diracuni, apapun yang dilakukannya bisa dimaklumi. Kali ini Matuo benar-benar mendapat karma.
Yang lebih penting, dalam serangkaian kejadian sebelumnya, pemuda ini sejak awal telah menyerang dengan momentum luar biasa ganas yang membuat lawannya sulit bernapas. Dia memancarkan aura yang jauh melampaui teman sebayanya——beberapa keluarga besar biasa memberikan pendidikan elit pada generasi muda, contohnya Dongfang Lu yang meski baru tujuh belas tahun sudah memiliki kharisma pemimpin alami, bahkan keterampilan dan kemampuan tak kalah dari orang dewasa hebat. Di mata semua orang, Jiaming dengan aura seperti ini pasti akan menempati posisi penting dalam generasi berikutnya Keluarga Zhang. Orang-orang malah ingin menjilat dan menariknya ke pihak mereka, mana ada yang berani menghina dia hanya demi Matuo yang pantas dihukum.
Melirik Matuo dan Yi Huaying, Jiaming berbalik badan dan pergi, mengambil arah yang sama dengan kepergian Yahan.
“Jam sudah lewat sebelas, perlahan mendekati tengah malam, musik berpadu dengan deburan ombak yang datang bertubi-tubi, angin laut mulai menyiratkan hawa dingin. Kerumunan di acara perkumpulan tak lagi berpencar seperti awal, di sekitar api unggun besar di pantai, di ruang dansa, maupun ruang hiburan, terdapat kelompok-kelompok yang berhimpun. Pasangan kekasih menyelinap ke tempat sepi, mereka yang saling tertarik dalam pesta akan berpamitan lalu menyetir kabur untuk menyewa kamar di hotel luar. Menelusuri jalur yang dilalui Yahan melewati koridor panjang, di sini jumlah orang sudah jauh berkurang. Saat melewati toilet besar itu, Jiaming tak berhenti karena ia tahu Yahan mungkin tak akan lari ke toilet untuk menangis.
Di koridor depan tak terlihat bayangan Yahan. Jiaming bolak-balik menyusuri area itu, kemudian naik ke lantai dua. Di bagian tengah koridor lantai dua, terdapat teras berbentuk bulan separuh yang menghadap ke laut. Jendela kaca terbuka, angin laut masuk menerpa, Yahan berdiri di tepinya memandang permukaan laut hitam yang memantulkan titik-titik cahaya fosfor di kejauhan. Tak jauh dari api unggun besar, kerumunan orang berlalu-lalang sambil bercengkerama. Memandang ke arah garis pantai di kejauhan, terhampar pemandangan malam kota yang megah berlapis emas. Pelabuhan besar ramai oleh aktivitas, kapal-kapal tak terhitung berpendar cahaya, di permukaan laut nun jauh di sana tampak kapal-kapal yang mengapung sendirian, cahayanya berkedip-kedip di atas laut bagai lilin yang terombang-ambing.
"Punya teman seperti ini memang menyedihkan," Jiaming berhenti di sampingnya, "Tapi itu bukan salahmu."
Yahan menengadah, tidak berkata-kata. Air mata di wajahnya sudah kering, namun jejak tangisan masih jelas terlihat.
"Menaruh obat ke dalam air... Sebenarnya ini terutama karena hasutan Yi Huaying. Kudengar mereka punya konflik dengan Xu Mo. Sebelumnya ketika Ma Tuo menemukanmu, sudah ada niat seperti ini. Adapun Yi Huaying, hari ini dia sengaja menghasut Ma Tuo melakukan hal ini. Untuk masalah selanjutnya... Kau yang urus atau aku? Jika kau beri tahu ayahmu atau Tante, mereka bisa menekan kedua orang ini dari front resmi. Jika aku yang bertindak, kau bisa tentukan nasib mereka sesukamu. Tenang, sama sekali tidak merepotkan."
"Lebih baik... Lupakan saja." Yahan seolah tak peduli sama sekali dengan pendapat Jiaming tentang Ma Tuo atau Yi Huaying. Kepalanya tertunduk lesu, "Aku akan beri tahu Tante saja. Dia pasti tidak akan membiarkan mereka tenang, heh..." Tiba-tiba dia tersenyum: "Tahukah kau? Wanita adalah makhluk paling pendendam. Segala hal akan dihitung-hitung sampai ke poin terkecil."
"Ini bukan hal sepele..."
"Ya, bukan." Yahan memotong pembicaraannya, "Andai... hari ini kau tidak datang, besok pagi mungkin aku akan tidur dengan Ma Tuo atau Yi Huaying. Lalu... heh, lalu mereka kira aku akan menikah karena itu? Tidak mungkin..."
Angin laut menggerai rambut di lehernya. Yahan mengusapnya dengan tangan: "Aku akan membuat mereka MATI. Lalu aku juga..."
Melihat emosinya mulai tidak stabil, Jiaming buru-buru berseru: "Hei."
"Hah, lupakan itu. Yang kumaksud hal sepele adalah urusanmu dengan Lingjing dan Shasha..."
Setiap kali topik ini muncul, Jiaming selalu kehabisan kata. Kali ini dia benar-benar tak paham bagaimana gadis ini bisa mengalihkan emosi ke arah ini lagi.
“Sebenarnya selama ini aku juga sudah berpikir berkali-kali, merasa diriku terlalu ikut campur urusan orang. Lingjing dan Shasha, mereka mau bagaimana denganmu, itu bukan urusanku. Atas dasar moral apa lagi aku harus marah-marah seperti ini? Lagipula itu urusan kalian bertiga, yang penting kalian suka. Kalian juga tidak merugikan siapapun, aku... hah aku...”
Yahan menggelengkan kepala, raut wajahnya menunjukkan kesedihan. Saat ini dia benar-benar membenci dirinya sendiri. Seringkali kecerobohan terjadi dalam sekejap, keraguan juga datang seketika. Menangis sambil berjalan keluar dari kerumunan, dia berpikir untuk menggunakan kesempatan ini berbaikan dengan Jiaming, atau menyerah begitu saja padanya dan pada dirinya sendiri, mengucapkan "Aku mencintaimu, aku suka padamu, aku jadi gila karena cemburu dan ingin bersamamu". Tentang memilih dia atau Lingjing dan Shasha, biarlah Jiaming yang pusing—dia jelas tidak mungkin mau berbagi Jiaming dengan Lingjing dan Shasha. Paling tidak, sebagai pendatang baru, dengan hak apa dia bisa mengurangi porsi Jiaming? Bagaimana pandangan Lingjing dan Shasha terhadapnya? Dia masih punya harga diri. Mengungkapkan perasaan jelas tidak mungkin. Dia berpikir setidaknya harus berbaikan, namun saat kata-kata hendak diucapkan, berubah menjadi omelan halus dan penyesalan...
Lalu harus bagaimana?
Mari kita berbaikan... Kakak Jiaming...
Hah...
“Tapi aku benar-benar tidak bisa, tidak bisa berhenti memikirkan hal ini, tidak bisa tidak merasa... merasa kau playboy. Aku tahu kau tidak salah, akulah yang salah, maafkan... Sungguh palsu diri ini, Zhang Yahan... Tapi bagaimanapun juga kau memang sudah tidak punya harapan lagi...”
Menggigit bibirnya, dia menggelengkan kepala, lalu berbalik dan pergi. Jiaming tetap berdiri di tempatnya, menghela napas dengan kesal. Beberapa meter di depan, punggung Yahan terlihat sedikit gemetar. Jiaming menoleh sebentar ke arah lorong, di mana seorang pelayan bertubuh tinggi yang terlihat seperti sedang mendekat.
Lantas, apakah harus ikut campur dalam urusan Mato dan Yi Huaying atau tidak? Jiaming menatap api unggun di tepi pantai sambil merenung. Dibandingkan masalah perasaan rumit yang abstrak namun personal, dia lebih suka menangani hal-hal praktis yang langsung. Dalam situasi sekarang, membunuh dua orang sepertinya jadi saluran pelampiasan yang sempurna... Tidak benar!
Dia langsung menoleh tajam ke arah Yahan, melangkah dua kali ke depan. Rangkaian gambaran melintas secepat kilat di pikirannya. Intuisinya menangkap suasana yang tidak beres, namun sulit menentukan apakah pengaruh percakapannya dengan Yahan tadi. Bersamaan itu, Yahan dan pria tinggi itu sudah berada dalam jarak dekat. Karena terhalang tubuh Yahan, Jiaming tak bisa melihat jelas, tapi jelas terlihat tubuh Yahan menjadi kaku sejenak.
Lampu lorong ini tidak dinyalakan terlalu terang. Kecuali bagi orang seperti Jiaming yang sangat awas, mustahil melihat keanehan pada kedua orang itu. Namun saat ini, Jiaming sudah menyadari segalanya. Pria itu menyumpal mulut Yahan dengan tangan. Saat tubuhnya melesat maju, sang penyeret sudah membawa Yahan mundur ke kamar samping.
Membuka pintu, menutup pintu, saat pintu kamar hampir tertutup sepenuhnya, Jiaming tiba-tiba terkapar keluar, tangan kanannya menyelip masuk ke celah yang belum sepenuhnya tertutup. Sekuat apapun tubuhnya ditempa, jari yang terjepit tetap menimbulkan rasa sakit yang hebat. Namun, saat tubuhnya mendarat di lantai, dia jelas membuat orang di dalam terkejut, berhasil menghentikan penutupan pintu.
Karena cahaya lampu di lorong, meski orang itu memperhatikan Jiaming, belum tentu mengira Jiaming bisa mendeteksi keanehan di sana. Saat Jiaming berlari maju tiba-tiba, Yahan sekaligus menghadang pandangan mereka. Dia terlalu dekat dengan pintu, saat masuk langsung sama sekali tidak menyadari Jiaming sudah mendekat. Saat ini tentu tidak menggunakan tenaga besar untuk menutup pintu. Rasa sakit di tangan bukan masalah, Jiaming berguling-guling, langsung menabrak masuk ke dalam kamar. Dalam cahaya, dia melihat jelas parut pisau di wajah pria di belakang Yahan, serta pistol model 54 bermuatan peredam suara di tangannya. Melihatnya yang masuk mendadak, mereka mundur 2 meter, memutar tubuh Yahan yang semula berhadapan dengannya, namun tetap menutup mulutnya.
Saat pertama kali mengenal Yahan di perkemahan musim panas, pria berparut pisau ini dan komplotannya merampok bank, kemudian menculik dia, Lingjing, dan Yahan bertiga. Konsekuensi akhirnya tentu dia dibuat Jiaming hampir MATI, lalu masuk penjara bersama kawan-kawannya. Tak disangka setelah bertahun-tahun, dia ternyata sudah bebas lebih awal.
"Yahan jelas juga mengenali orang ini, matanya menatap Jiaming yang berlari masuk. Saat ini, Jiaming tidak berani banyak bergerak. Dia yakin bisa menghindari peluru dari pemula kelompok pendendam ini, tapi dia tak bisa menjamin bisa melucuti senjata lawan sebelum mereka mengancam Yahan. Untuk sementara, dia berdiri dengan ekspresi kikuk dan takut, terlihat seperti manusia biasa yang nekat membantu.
"Jangan bicara...Tutup pintunya..." Setelah dua detik bingung, Parut Pisau akhirnya bereaksi. Laras senjata diayunkan ke arah Jiaming. Jiaming menutup pintu kamar dengan tangan terbalik, lalu mengangkat kedua tangannya: "Ini...Aku..."
"Diam! Jangan bergerak, atau kau kubunuh!" Setelah empat tahun, Parut Pisau jelas tak mengenali Jiaming yang sudah dewasa. Dengan geraman, ia mengarahkan kembali pistol ke pelipis Yahan, tangan satunya melepas mulut Yahan lalu mencekik lehernya: "Nona Zhang ya? Bu Guru Zhang ya... Masih ingat aku?"
"Kau... Kau mau ngapain... Hmm..."
Yahan mendadak diam, kemudian wajahnya menampilkan ekspresi kesakitan. Jelas tangan Parut Pisau yang mencekik lehernya semakin mengencang: "Hehe, ngapain... Kau tanya aku mau ngapain. Bertahun-tahun di penjara ini, tak sedetikpun aku melupakanmu. Kau anggota Keluarga Zhang, kau guru... Karena suatu hari ketika aku keluar, dua petunjuk ini harus kupakai untuk menemukanmu. Kau tahu tidak? Setiap hari kurenungkan hal-hal ini, kurenungkan wajahmu. Kau terlalu cantik, empat tahun berlalu tapi kau masih persis seperti dalam ingatanku, langsung kukenali. Lihat, seberapa dalam kuingat ini, bisakah kau merasakannya... hehehehe..."
"Uhh... Ehh... Ehhh..."
Kebencian yang diingat selama bertahun-tahun akhirnya mendapat kesempatan balas dendam hari ini. Ekspresi di wajah Parut Pisau terdistorsi, tertawa rendah sambil terus mengencangkan tekanan tangan kanannya di leher Yahan. Matanya menatap Jiaming yang berdiri di tepi pintu, bibir Yahan gemetar mencoba bernapas dengan susah payah, namun ekspresi wajahnya semakin menunjukkan penderitaan.
Datar, Jiaming menurunkan tangan yang terangkat. Meski mengerti Parut Pisau ingin membalas dendam pasti tak akan mencekik Yahan sampai MATI begitu saja, tapi dia juga sungguh tak ingin teman di sekitarnya menderita seperti ini. Melirik gerak-gerik tak biasa Jiaming, Parut Pisau secara tiba-tiba menoleh: “Kau ngapain? Ingin MATI?”
“Tidak ada apa-apa.” Memandangi mata lawan, di wajah Jiaming muncul senyum polos yang tak berbahaya, persis seperti saat perkemahan empat tahun lalu, “Paman……bolehkah aku menukar diri dengan dia?”
Parut Pisau membelalakkan matanya.
“Karena, dia adalah kakakku, dan dia…dia adalah pacarku. Aku tidak bisa membiarkan mereka celaka. Jadi…Paman mau sandera, ambil saja aku sebagai ganti. Kumohon……” Perlahan Jiaming mengucapkan kata-kata ini, sekejap mata, pemandangan empat tahun lalu seakan terulang. Parut Pisau tiba-tiba mengarahkan laras senjata ke Jiaming: “Kau!!”
Pandangan Jiaming menjadi dingin: “Masalah ada pemiliknya, utang ada yang berpiutang. Kalau kau pria sejati, hadapi aku! Lepaskan dia, mau duel satu lawan satu atau bunuh aku, terserah!”
“He…hehehe, tak kusangka…hehe, tak kusangka……” Laras senjata gemetar di tangan Parut Pisau, ekspresinya terlihat agak gila, “Benar-benar rezeki jatuh dari langit. Kau punya solidaritas, punya harga diri ya? Benar, benar, empat tahun lalu sudah kukatakan kau ini pria sejati. Sekarang kau benar-benar membuktikannya, haha…haha……”
“Empat tahun lalu akulah yang merancang jebakan untukmu. Aku pernah belajar ilmu bela diri, akulah yang melukaimu. Ini tidak ada hubungannya dengan dia, lepaskan dia.”
“Heh, belajar ilmu bela diri, main-main denganku……” Parut Pisau mengangguk, “Sial! Sekarang aku ingin melihat apakah ilmu beladirimu bisa menandingi peluru!”
Pistolnya mengarah ke Jiaming, seolah-olah akan segera menarik pelatuk. Di bawah tatapan datar Jiaming, Yahan buru-buru berseru: "Bukan... bukan dia, jangan bertindak sembarangan! Empat tahun lalu dia masih anak kecil, apa yang dia pahami? Semua hal ini kulakukan! Akulah yang mencuri pistolnya dan memicu tembakan! Kau ini pria atau bukan, ngapain membahas ini dengan anak kecil? Semua kesalahan ada padaku!" Air mata mulai menggenang di matanya, suaranya terisak: "Jiaming, jangan urusi aku..." Meski tahu kemampuan tertentu Jiaming, dia sama sekali tak yakin Jiaming bisa menghindari peluru.
Menatap tajam ke biji mata Parut Pisau, Jiaming berkata perlahan kata demi kata: "Tidak, akulah yang melakukannya."
Parut Pisau masih mengayunkan senjatanya, memang tidak langsung menembak MEMBUNUH: "Heh, lagi-lagi suasana seperti ini, kalian lagi syuting film? Aku ganti kau, kau ganti aku, kau Sial! kira sekarang aku masih mau dengerin omongan kalian. Kalian semua harus MATI! Yang bermasalah siapa yang duluan MATI! Kau punya ilmu bela diri, jujur saja, aku agak takut padamu, sekarang apa yang kau pikirkan? Masih berharap mengalihkan perhatianku lalu seperti di TV kesempatan menghabisiku? Aku kasih kesempatan ini. Hehe, lihat, di sana ada pisau buah, kau ambil itu."
Sisi kamar samar-samar menyerupai ruang tamu kecil, di atas meja terdapat baskom buah yang penuh, di atasnya juga ada pisau buah yang runcing. Mendengar perkataannya, Jiaming berjalan ke sana mengambil pisau buah itu, berhadapan dengannya di seberang meja. Parut Pisau tersenyum.
“Kalian suka bagian dalam kisah film kan? Berebutan MATI? Aku kasih kalian kesempatan.” Ujarnya sambil memperkuat cengkeraman di leher Yahan, “Letakkan tanganmu di meja, tusuk dengan pisau. Semakin keras kau menusuk, semakin berkurang penderitaannya. Ayo, biar kulihat... Aku takut padamu, mematikan tanganmu dulu tidak masalah kan, hehehe...”
Memandangi Yahan yang semakin menderita, Jiaming menarik napas dalam dan meletakkan tangan kirinya di atas meja. Saat pisau diangkat, terdengar suara Yahan berjuang bicara: “Ja... jangan... egh... jangan... jangan tusuk... dia...” Ucapannya terhenti saat mulutnya terbuka lebar tak bisa bersuara. Jiaming menggigit gigi, menusukkan pisau dengan keras. Bilah pisau menembus punggung tangannya, menembus lapisan kayu meja, menancapkan telapak tangannya ke meja. Darah mengalir deras, menyebar di permukaan meja.
“Seperti ini... cukup kan...” Kepala tertunduk, Jiaming tampak menahan sakit. Parut Pisau tertegun sebentar. Dia mengira lawannya akan ragu-ragu, tapi tak menyangka pemuda ini langsung menusuk tangan sendiri tanpa keraguan. Tangannya bawah sadar mengendurkan cengkeraman pada leher Yahan, mata tertuju pada tangan Jiaming. Yahan melolong menangis: “Jiaming... Jiaming...”
“Pistol yang mengarah ke Jiaming tidak lagi gemetar, Parut Pisau tidak mengendurkan kewaspadaan. Bocah di depannya terlalu kejam, dia sedang mempertimbangkan apakah harus menembak. Meskipun menyiksa musuh perlahan-lahan adalah isi semua mimpinya selama empat tahun, tapi orang sekejam ini... Tanpa ragu dia tusuk, dan bahkan sekarang tidak mengeluarkan erangan, sama sekali tidak seperti penampilan seorang remaja……”
Dalam emosi seperti ini, seketika itu juga, Jiaming tiba-tiba mengangkat kepala, pandangan penuh Niat Membunuh dan ancaman menembus mata Parut Pisau. Dengan geraman dalam intensitas membunuh yang luar biasa:
“Tembak lah……”
“Byur——”
Niat membunuh yang tiba-tiba mencapai puncak pada tubuh Jiaming, bagaimana mungkin preman seperti Parut Pisau bisa menahannya. Sekejap mata, seiring suara Jiaming, dia seperti terhipnosis menarik pelatuk. Sesaat kemudian, tubuh Jiaming terlempar, menabrak kursi di belakangnya, menghantam tanah dengan keras. Peluru menembus dada kiri yang mematikan, percikan darah mekar.
Seketika, pandangan Yahan menjadi kosong.
“Ah——”
## Bagian Kesembilan Puluh Dua Tak Apa Asal Selamat
“Ah——”
“Teriakan tiba-tiba yang keluar dari mulut Yahan, parau dan menyayat hati, membuat Parut Pisau merasakan kepuasan. Selama empat tahun ini, ini memang tangisan paling menyedihkan dan paling memuaskan yang pernah dia dengar. Namun teriakan seperti ini terlalu mudah menarik perhatian orang lain. Menutup mulut Yahan dengan tangan, dia memutar laras senjata kembali: "Jangan bergerak!" Untuk Yahan, dia tidak ingin membunuhnya terlalu cepat. Penderitaan yang ingin dia timpakan jauh lebih dari ini.
Namun, mengabaikan senjata yang menempel di kepalanya, Yahan yang matanya seperti kehilangan fokus sudah mulai berontak dengan hebat, bagaikan macan betina yang mengamuk, kedua tangannya memukul tanpa kenal ampun. Parut Pisau mengerahkan kekuatan di tangan kanannya, tapi tangan kirinya lambat menarik pelatuk. Tiba-tiba, tangannya terasa sakit perih - tangan kanan yang menutup mulut Yahan tergigit keras. Melepaskan diri dari kendali Parut Pisau, Yahan berlari beberapa langkah sambil menangis, bersujud di depan Jiaming, panik berusaha menutupi dada Jiaming yang mengucur darah.
"Jiaming... Kau jangan bercanda, mana mungkin... Kau jangan bercanda... Bangunlah..."
"Aku sial..."
Perlawanan nekat Yahan di luar perkiraannya. Parut Pisau mengibas-ngibaskan tangan kanannya yang berdarah, laras senjata tetap mengikuti Yahan. Dengan geram dia mendekat beberapa langkah, menekan senjata ke tengkuk Yahan: "Sial, kau..."
"Lawan pura-pura ini sudah cukup."
"Dengan suara yang tiba-tiba muncul, sebuah tangan tanpa tanda-tanda sebelumnya mencengkeram bagian laras pistol. Hati dipenuhi kepanikan, ia seketika menarik pelatuk. Namun seiring gerakan tangan itu, bagian luar senjata telah terkikis langsung, inti bagian dalam pistol, pegas dan komponen lain byur-byur-byur melompat keluar. Dalam pandangan, Jiaming yang tadinya tergeletak di tanah langsung bangkit, bertatapan dengannya seperti hantu, di tangan kirinya bahkan masih tertancap pisau buah.
"Jangan takut......"
Peluru menembus dada kiri tapi masih bisa berdiri, menghancurkan pistol sebelum pelatuk ditarik...... Ini pengalaman pertama kalinya dia melihat hal seperti ini, tentu saja juga yang terakhir. Sambil berbicara datar, Jiaming mengayunkan tangan kanannya, kilau dingin melintas saat langsung merobek tenggorokannya, kabut darah menyembur keluar.
"......Rasa sakitnya hanya sedikit."
Tubuh terhuyung mundur dua langkah, bersandar di dinding, tenggorokan mengeluarkan suara "hah-hah..." tak bermakna. Dia sudah tak bisa bicara, juga tak bisa merasakan gerakan tubuhnya sendiri. Hanya dalam jarak pandang, bayangan itu dan dunia perlahan menjauh, itu juga kalimat terakhir yang didengarnya di dunia ini.
Rasa sakitnya hanya sedikit......
Di saat yang sama, Yahan baru bereaksi, wajah penuh air mata menengadah tak percaya ke Jiaming yang berdiri di sampingnya, suara masih terisak: "Ini... Jiaming... Kau......"
"Tenang saja, aku baik-baik saja." Dengan senyum natural, Jiaming meletakkan belati di tangan kanannya. Meski tak mungkin membawa senjata, belati selalu ia bawa, "Aku sengaja membiarkannya menembak, sudah menghitung pola pergerakan... Peluru tidak mengenai jantung, asalkan dokter datang cepat, takkan ada risiko kehilangan nyawa. Heh, preman seperti ini, biasanya membunuhnya tak lebih sulit dari menginjak semut, biarkan dia menembak beberapa kali... batuk-batuk... juga tak masalah..."
Dada masih mengucur darah. Meski wajahnya tenang, serangan batuk mendadak mengungkap fakta lukanya. Yahan menatapnya, ragu dua detik, lalu tiba-tiba berdiri: "Aku akan panggil dokter!" Tapi langsung ditarik Jiaming: "Tunggu!"
"Tenang, sementara aman. Aku tak ingin orang tahu aku yang membunuhnya, jadi lebih baik ini terlihat sebagai kecelakaanmu... Untuk itu, ada beberapa hal harus kita lakukan. Dari sekarang dengarkan aku." Sambil tersenyum, Jiaming membuka tas kecil Yahan yang jatuh, mengeluarkan saputangan. Merakit bagian-bagian pistol yang tercecer, krak-krak-krak menyusunnya kembali, lalu menembak ke dinding sebelah membuat lubang peluru, sebelum mengembalikannya ke tangan Parut Pisau.
“Membunuh untuk membela diri tidak akan bermasalah, polisi paling-paling hanya akan bertanya beberapa kalimat. Kau melihat aku dipukul terluka, lalu agak bersenang-senang, kau melakukan perlawanan, menggigitnya. Kemudian tanpa sengaja mengeluarkan belati dari tubuh, menusuknya sekali, situasi cukup kacau, dia tidak berhasil memukulmu, kau beruntung... Mengerti? Belati ini kau yang pegang, tidak boleh ada sidik jariku. Mengenai alasan membawa belati, tentu terserah kau mengarang cerita, lagipula kita pernah diculik. Hehe...”
Air mata mengalir deras di wajah, Yahan berdiri gelisah di sana, menyaksikan Jiaming dengan sistematis mengatur ulang TKP, kemudian menerima belati, sama sekali tidak bisa berkata-kata. Di dada Jiaming, darah masih terus merembes, pisau buah yang menembus telapak tangan kirinya masih tertancap. Karena tubuh Jiaming terlempar tadi, luka itu menjadi semakin terkoyak... Setelah semuanya selesai, Jiaming menutupi lukanya dan berjalan ke sofa panjang di samping.
“Lalu kau menopangku sampai ke sofa... Sekarang boleh pergi memanggil orang.”
Sambil terus menangis, dia mengusap air mata di wajah, berbalik dan berlari ke luar pintu: "Tolong... Tolonglah—— Tolong——"
"Tangisan pilu terdengar dari luar pintu. Sesaat kemudian, saat dia masuk membawa belati, Jiaming sudah terbaring di sofa. Yahan berlutut di sampingnya. Dulunya dia pernah belajar pertolongan pertama dan perawatan, tapi sekarang tangannya gemetar tak karuan, sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Jiaming tersenyum: "Taruh dulu pisaunya. Jangan tegang... Hehe, kau menangis seperti hidung babi sekarang."
"Kau... Bercanda macam apa ini!" Mungkin julukan hidung babi itu sedikit menyadarkannya. Yahan tiba-tiba menjerit histeris. Melepas pisau, tangannya menekan dada Jiaming, air mata mengalir deras. "Kenapa kau biarkan dia menembak? Lebih baik aku yang... Tahukah kau tadi hampir saja kupikir kau MATI, hampir saja kupikir kau MATI..."
"Aku bisa melihat pola pergerakan saat dia menembak. Mungkin sulit dipercaya, tapi tembakan tadi sebenarnya berada dalam kendaliku. Untuk mengurangi kewaspadaannya, ini cara paling langsung."
"Andai saja bukan aku..."
"Bukan urusanmu." Memotong tangisan Yahan, pandangan Jiaming tertuju ke langit-langit. "Ini pilihanku sendiri..."
Jadi untuk menjadi pembunuh dan prajurit yang hebat, seseorang harus tanpa perasaan. Kondisi ideal adalah tanpa cinta, tanpa rumah, tanpa ikatan. Jika di situasi biasa, sepuluh bahkan seratus Parut Pisau mungkin tak bisa melukainya sedikitpun. Tapi hanya dengan menyandera seorang teman yang diperhatikannya, dia mungkin rela menukar darah dan nyawanya. Karena itu, Yoritomo Taku tak pernah berani menunjukkan perasaannya sedikitpun. Maka sementara menjadi Raja Pembunuh, dia hampir sekaligus menjadi manusia paling pengecut di dunia. Jalan ini dipilih sendiri, tapi karena sudah memilih, tak ada lagi alasan untuk mengeluh.
Kali ini masih beruntung bisa lolos dari bahaya. Jika kesempatan itu didapat pembunuh bayaran profesional, hal mustahil diselesaikan dengan mudah seperti ini. Mereka akan memilih cara yang lebih berbelit namun efektif, tapi sandera mungkin akan menderita luka-luka. Ini sesuatu yang sama sekali tak diharapkannya.
Di luar pintu, suara manusia semakin mendekat. Jiaming perlahan menutup mata: "SEKARANG JUGA akan ada yang datang. Aku harus pingsan sebentar, Yahan kamu..."
"Jangan pingsan!" Teriak Yahan sambil menangis histeris, "Kamu tidak boleh tidur, jangan tutup mata, ayo..."
"Tolonglah, aku cuma pingsan sebentar. Bertahan begini sebenarnya tidak apa-apa, tapi darahku sudah banyak keluar dan aku lelah. Cuma pingsan, tidak masalah..."
"Hey, jangan tidur. Jangan kalau kamu tidur... Jangan tidur, kumohon jangan tidur..." Yahan menangis keras sambil mengulurkan tangan menepuk pipi Jiaming, membuat wajahnya penuh darah.
"Aduh, ini kan bukan syuting film. Pingsan itu mekanisme penyesuaian otomatis fungsi tubuh..." Jiaming membuka mata dengan susah payah.
Yahan menangis histeris.
"Jangan menangis lagi, setuju… Aku takut padamu, aku tidak akan pingsan…" Pandangannya berputar dua kali, Jiaming berbisik putus asa, "Kau jauh lebih menakutkan daripada orang itu…" Membayangkan dua orang menakutkan lainnya yang akan datang tak lama lagi, Jiaming merasa pusing. Lingjing dan Shasha… Tidak bisa memberitahu Yahan tentang hal Lingjing dan Shasha, aaa… Kepalaku sakit sekali…
Pagi-pagi, rumah sakit.
Memeluk kepala sambil duduk di bangku panjang koridor depan ruang operasi, emosi Yahan dalam kekacauan total. Koridor saat itu juga dipadati orang - ayahku dan tante datang, penjaga pribadi keluarga datang, polisi datang, kepala pelayan keluarga Huang datang, Dongfang Wan dan Dongfang Lu ikut datang, Liu Zheng juga datang bersama segerombolan pemimpin pasukan Shazhu Bang, orang-orang Jalan Hitam dan Jalan Putih berbaur. Ayahku berbicara dengan polisi tentang penyelidikan menyeluruh, sementara kelompok Shazhu Bang di hadapan polisi mengancam akan menghabisi seluruh keluarga Hua Wei karena baru kemarin Jiaming berselisih dengan Hua Wei. Baru setelah Liu Zheng dengan wajah muram membentak "Diam!", emosi mendidih itu sedikit mereda. Tak lama kemudian datang pejabat tingkat kepala dinas dan kantor, membujuk Liu Zheng dengan kata-kata manis agar tidak gegabah sebelum investigasi selesai.
Lingjing dan Shasha tentu saja datang. Keduanya bahkan masih mengenakan piyama. Saat bergegas ke sana, salah satu sandal Lingjing terlepas. Saat ini mereka duduk di samping sambil meneteskan air mata diam-diam, mengenakan jaket luar milik orang dewasa, menunggu hasil operasi. Awalnya saat melihat Lingjing, Dongfang Lu melepas jaketnya sendiri untuk menyelimutinya. Namun begitu mengetahui itu dirinya, Lingjing yang biasanya sopan langsung melempar jaket itu ke lantai, lalu terus duduk mengusap air mata. Sekarang ia mengenakan kemeja bawahan Liu Zheng.
Menurut intelijen kepolisian, Parut Pisau baru-baru ini kabur dari penjara. Namun setelah sistem intelijen bawahan Liu Zheng melakukan penyelidikan, kabar lain tersebar: yang membantu Parut Pisau setelah kabur adalah tangan kanan Huawei. Situasi seketika menjadi jelas. Meski Liu Zheng diam, jelas ia mulai merencanakan perang dengan geng Sanqing. Pihak kepolisian tampak tak berdaya, bahkan Zhang Jing'an dengan wajah muram menghampiri Liu Zheng dan beberapa petugas, berdiskusi. Insiden ini hampir melukai Yahan. Keluarga Zhang pasti akan ikut campur sampai tuntas. Tante sedang berteriak menghujat dan menegaskan pada semua bahwa hal ini takkan berakhir.
Yahan duduk termangu, sesekali terisak.
Lewat jam tiga lebih dini hari, pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Duan Jingxian, kepala departemen bedah dan trauma, memimpin rombongan keluar. Lingjing berlari sambil menangis: "Apa dia baik-baik saja? Jiaming baik-baik saja..."
“Tidak apa-apa, semua orang tenang. Keberuntungan Jiaming sangat baik, peluru meleset sedikit dari jantung. Jika melenceng 1-2 sentimeter lagi, konsekuensinya mungkin fatal. Sekarang operasi sudah selesai, Jiaming perlu istirahat. Saat ini dia belum bisa bicara dengan kalian. Semua... datanglah besok untuk menjenguk. Kalau hari ini... yang mau masuk melihat juga boleh, menurutku... Shasha, kamu saja yang masuk. Lingjing, Lingjing...”
Menurut pemikiran Ibu Ye, karena Shasha adalah pacar Jiaming, wajar jika dialah yang masuk. Namun di belakang Shasha, Lingjing juga berlari masuk dengan satu kaki telanjang. Ibu Ye hanya bisa tersenyum pasrah sebelum menutup pintu.
Para Tuan yang sudah memastikan keselamatan Jiaming tak terlalu berminat menjenguk. Liu Zheng dkk mungkin sedang merencanakan PEMBUNUHAN. Zhang Jing'an yang berkolusi dengannya pasti akan terlibat dalam perlawanan terhadap Geng Sanqing. Para polisi berkumpul sambil merancang strategi. Di kerumunan, Yahan telah berdiri, menatap pintu dengan air mata dan senyum lega.
Dia selamat. Tapi... sejak Jiaming berlari masuk menyelamatkannya, ditembak, hingga dilarikan ke rumah sakit, Yahan telah memikirkan segala hal yang bisa dilakukannya untuk Jiaming. Betapa pun hina dan kehilangan martabatnya dirinya, dia ingin bersama Jiaming, berterima kasih, membalas jasanya, seperti adegan Pahlawan Menyelamatkan Gadis Cantik di buku atau TV. Tapi... Lingjing dan Shasha, mereka datang, mereka menangis...
Masuklah, di balik pintu itu, mereka bersama Jiaming, sementara dia berdiri di luar. Tak ada yang memikirkan untuk mengajaknya masuk, tak ada yang menganggap dia memiliki hak itu. Dari awal hingga akhir, dia adalah milik mereka, bukan miliknya…
Tante menghampiri, merangkul bahunya sambil menghibur. Ibu Ye juga datang dengan senyuman menghibur. Bagaimanapun, Duan Jingxian adalah nyonya gurunya. Dongfang Wan ikut berbicara sesuatu, lalu para Pemimpin pasukan Shazhu Bang pergi. Entah berapa lama, ayahku menepuk bahunya, "Sudah larut, ayo pulang. Kalian bisa menjenguknya besok." Dia berdiri, melirik pintu itu untuk terakhir kali, lalu pergi mengikuti ayah.
Ya, hari sudah sore. Aku harus pulang. Lingjing dan gesekan bisa menemanimu, sementara aku hanya bisa datang besok dengan sikap terbuka, layaknya seorang Teman.
Dia baik-baik saja, itu sudah cukup…
Akhirnya, pikirnya.
## Bagian Keseratus Sembilan Puluh Tiga Jiwa yang Murni
Jepang, Pinggiran Tokyo.
Matahari terbenam, dua mobil kecil melintasi jalan gunung yang dikelilingi hutan. Pengemudi mobil depan adalah Tenku Masaoka yang mengenakan seragam tenis putih beraura matahari, sementara di barisan belakang duduk Tsukike Kaoru berbaju merah. Seperti biasa, diamnya tak terpecahkan, tatapannya tenang mengarah ke jari-jari putih mulus yang ramping di atas lututnya.
Di mobil kecil di belakang, yang sedang menyetir adalah seorang pemuda dengan kulit sehat berwarna hitam legam, jelas terlihat dia telah banyak berjemur di bawah matahari musim panas ini. Dibandingkan Tenku Masaoka, penampilannya terlihat lebih biasa. Di kursi penumpang depan terdapat tas perjalanan hijau berbentuk silinder. Di jok belakang mobil duduk dua perempuan dengan ukuran tubuh berbeda, kemiripan wajah mereka langsung menunjukkan bahwa mereka adalah sepasang saudari. Perempuan berusia sekitar 20-an dengan pakaian rapi jelas merupakan kakaknya, saat ini sedang menopang dagu dengan wajah kesal. Di sebelahnya duduk adik perempuan yang sangat imut dengan rambut panjang dihiasi pita kupu-kupu indah di kepalanya. Jika Tsukike Kaoru adalah boneka porselen cantik nan dingin, maka gadis kecil ini ibarat boneka hidup dengan mata jernih dan kulit bersinar yang mencitrakan kemanisan. Saat ini dia sedang menunduk, asyik memainkan game portabel di tangannya.
"Byur... Aah... Hiks, MATI lagi."
Mulut kecilnya terus menerus mengeluarkan efek suara "bip-blub" menirukan suara game. Tak lama kemudian, gadis itu menghela nafas tanda kekalahan. Sang kakak di sampingnya melirik dengan tidak suka: "Shizuka, kau dari pagi sampai malam cuma main game. Sudah sepanjang liburan musim panas begini, Ayah Ibu pasti akan marah lagi... Mereka sangat berharap kau bisa masuk Todai..."
"Tapi aku memang tidak suka sekolah." Tanpa mengangkat kepala, gadis kecil itu langsung memulai ronde permainan baru, "Sekolah kan tidak ada gunanya."
“Sekolah dulu baru kau bisa melakukan hal yang kau inginkan.” Sang kakak berkata.
Sang adik perempuan mengangkat kepala: "Sekolah dulu baru boleh menikah?"
"Menikah, menikah... Sepanjang hari kau cuma mikir menikah. Kira menikah nggak perlu ngapa-ngapain? Tiap hari kau harus mencuci pakaian, memasak, membersihkan lantai, merapikan, belanja..."
"Ada pelayan yang bisa melakukannya." Kali ini gadis kecil itu tidak mengangkat kepala, "Dengan begitu aku bisa main game setiap hari."
"......" Sang kakak terdiam sesaat, kesal mengusap dahinya, kemudian memandangi dengan kesal sosok di mobil depan. Kenapa pacarnya harus naik mobil yang sama dengan wanita lain: "Hei, Hiroki. Aku tetap rasa kita cari hotel..."
"Tolonglah Yui, santai dikit... Ini sudah kelima kalinya kau bilang begitu..." Pria di depan, Muramura Hiroki, menoleh sambil tersenyum, "Lagipula cepat atau lambat kan harus terbuka. Tinggal semalam di keluarga Yuechi, apa masalahnya? Aku juga ikut ditarik kesini, tenang, aku akan melindungimu!"
Ryuudou Yui mengangkat mata putihnya: "Aku takut kau yang tidak bisa melindungi diri sendiri..."
"Tenang saja, tenang saja." Pria itu tertawa terbahak-bahak, jarak pandang di depan mulai terbuka lebar. Setelah keluar dari hutan, di kedua sisi terhampar lereng berumput dan sawah yang mengelilingi. Di kejauhan jalan, siluet manor keluarga Yuechi mulai terlihat oleh semua orang. Mobil melaju beberapa saat, terlihat sebuah mobil sport parkir di lereng berumput tak jauh dari pintu gerbang manor. Dua pria bersandar di mobil sambil melambai-lambaikan tangan ke arah sini. Salah satunya mengenakan pakaian longgar berwarna-warni, satunya lagi memakai celana jas rapi dan kemeja putih, memegang setangkai mawar merah di tangan - persis seperti penampilan pangeran impian.
Melihat kedua orang ini, Tenku Masaoka memarkir mobil kecilnya di pinggir jalan. Saat keluar dari pintu mobil, senyum cemerlangnya kontras dengan ekspresi dingin Kaoru. "Hai, Aki, Munen, kebetulan sekali."
"Hehe, benar-benar kebetulan." Sang pangeran impian yang memegang mawar merah berpura-pura terkejut, menepuk-nepuk mobil sport di belakangnya. "Aku dan Munen sedang mendaki gunung, tiba-tiba mobilnya mogok. Tak disangka bertemu kalian... Ah, ini pasti nona Kaoru yang hampir menikahiku? Luar biasa... Tolong terima mawar merah yang melambangkan perasaanku ini..."
Tsukike Kaoru memandang pria di depannya dengan tatapan hampa. Tenku Masaoka di sampingnya tersenyum: "Aki, kenapa kamu selalu main trik kekanak-kanakan seperti ini?"
“Emm... Nona Kaoru memang gadis kecil, meski sebentar lagi akan melewati usia loli, tapi aku bisa jamin, asal sebelumnya sempat pacaran denganku sekali, aku bisa... Eh? Hiroki, kenapa kau juga di sini. Wah, loli imut di belakangmu ini... Maksudku, nona cantik jelita ini siapa...”
Dalam sikap terkejut Mikado Ki, Sui yang berdiri di samping juga menunjukkan senyum kompleks: “Murakami Hiroki? Katanya kau sedang traveling?”
“Iya.” Murakami Hiroki tersenyum, “Di Hokkaido dompetku dicopet, hampir mati kelaparan, untung ketemu Masanori yang sedang traveling juga. Kalau ada si cantik, tentu aku ikut ke sini. Aki, kau lagi mengganggu perempuan lagi ya?”
“Aduh, kapan pernah kau lihat aku mengganggu perempuan...”
“Sejak kecil.”
“Itu bentuk cinta.” Mikado Ki berkeras seperti orang terluka, kemudian mendekati Kaoru, “Lihat, jiwa loli manis ini akan terkontaminasi dunia sekuler, tak terelakkan menuju... Aduh... Hei...” Sambil bicara, bunga mawar di tangannya seperti mimpi menusuk ke atas kepala Kaoru. Sekejap itu, Kaoru berdiri tak bergerak, merasa terkepung dari segala arah. Tiba-tiba, tas travel besar Murakami Hiroki byur menghantam. Mikado Ki memegangi mata kanan, mundur kikuk dengan wajah memelas.
“Maaf……Karena setiap kali kamu mendekati cewek seperti ini, lalu meninggalkan mereka, kamu terlalu playboy……Aku agak over merespon……”
“Apa maksudnya meninggalkan. Aku adalah lolicon paling setia di dunia ini, mana mungkin aku meninggalkan cewek yang kusuka……Kecuali mereka kehilangan kepolosan lolinya……Sudahlah, filosofi hidup serumit ini pasti tidak bisa dipahami oleh pecinta onee-chan busuk sepertimu. Nona Kaoru，，Halo, aku...”
“Apa kau ingin melamarku?” Ryuudou Shizuka yang sedang memegang mesin game menatapnya.
“Hmm?” Mikado Ki yang sedang berjongkok setengah bingung memahami hubungan antara gerakannya saat ini dengan lamaran pernikahan.
“Baik, aku setuju. Tapi beberapa hari lagi kau harus bicara dengan ayah ibuku ya.” Ryuudou Shizuka menerima bunga mawar dari tangannya, “Meski kita sudah berjanji sehidup semati, tetap harus minta izin orang tua. Jika mereka tidak setuju, baru kita kabur bersama. Tapi kau harus janji, sebelum aku dewasa aku harus tetap tinggal di rumah sendiri, kau harus sewa pelayan untuk urusan rumah tangga, janji tidak akan menyuruhku sekolah dan boleh main game di rumah. Dan...urusan bikin bayi harus menunggu sampai aku dewasa...”
"Suara Ryuudou Shizuka jernih," untuk sesaat riuh berbicara sebanyak ini, Ryuudou Yui yang merasa malu menepuk belakang kepalanya dua kali, gadis kecil itu langsung menunjukkan ekspresi hendak menangis. Mikado Ki tampak jelas terdiam, kemudian bangkit berdiri dengan ekspresi lesu: "Uh... tanpa pamrih, aku terkena ancaman, mari kita pergi..." Di saat bersamaan, pintu besi manor di depan terbuka, sekelompok orang dari keluarga Yuechi berjalan mendekat.
"Mikado Ki." Di saat yang sama, Kaoru dengan datar mengeluarkan suara, Mikado Ki yang sedang di samping mobil sport langsung berbalik dengan penuh kejutan.
"Suatu hari aku akan MEMBUNUHmu, juga ayahmu." Ucapan ini terdatar seperti sekadar menghafal tabel perkalian di kelas alih-alih mengucapkan pembunuhan, setelah selesai, dia berbalik dan berjalan menuju manor. Tenku Masaoka mengangkat bahu, Mikado Ki berkedip dua kali dengan wajah dramatis, menangis tersedu.
"Hei, tolong, bisakah hanya membunuh ayahku saja dan jangan bunuh aku. Hei... aku bisa jadi pengkhianat lho."
Tsukike Kaoru menjauh, sementara rombongan keluarga Yuechi semakin mendekat. Pemuda pemimpin rombongan memandang punggung Kaoru, lalu membungkuk ke arah Tenku Masaoka: "Tenmasa-kun, perjalananmu melelahkan." Tenku Masaoka membalas senyum: "Ah, jangan sungkan, Buntarou. Ngomong-ngomong, ujian keluarga kali ini, pasti kau juara pertama lagi kan?"
"Tidak, karena paman bilang Kaoru akan pulang dalam beberapa hari ini, jadi tanggal ujian sengaja ditunda. Dia memutuskan agar Kaoru juga ikut serta dalam ujian kali ini."
“Eh？” Tenku Masaoka tertegun sejenak, kemudian tersenyum pasrah, "Meskipun Kaoru juga ingin segera kembali ke Jianghai, tapi... masih ada waktu sebentar, ujian ya sudah terima saja."
Seolah menangkap sesuatu dalam ucapan Tenku Masaoka, pria bernama Buntarou itu kembali membungkuk hormat: "Saya memahami perhatian Tuan terhadap Kaoru. Tapi bunga yang tak pernah merasakan hujan badai takkan tumbuh menjadi pohon besar. Kami meyakini Kaoru tetaplah anggota keluarga Yuechi. Ia harus berjuang demi kehormatan keluarga. Harap Tenku Mamaoka dapat memakluminya."
"Oh... Paham paham, tidak apa-apa, saya mengerti."
Sebagai klan ninja kuno, hubungan internal keluarga Yuechi di era modern telah menjadi sangat rumit dengan berbagai kepentingan yang saling menjalin. Tsukike Kaoru sebagai putri kepala keluarga sebelumnya memiliki kemampuan yang biasa saja dan kepribadian yang tertutup, sehingga kurang dihargai. Kini berkat pengaruh Tenku Masaoka, pihak atas keluarga Yuechi praktis telah mengurbankan Kaoru sebagai alat tukar untuk mendapatkan dukungan Takamagahara. Karena itu setelah membawa Kaoru ke Tiongkok, Tenku Masaoka bebas mengajaknya berkeliling tanpa ada yang berkeberatan. Namun di kalangan generasi muda Yuechi yang sedang giat berlatih keras, kebebasan Kaoru yang bisa pergi ke Tiongkok untuk menikmati hidup bebas - bahkan seperti liburan - plus mendapat sorotan karena hubungannya dengan Tenku Masaoka, menjadi hal yang sangat sulit diterima.
Di antara mereka, beberapa orang membenci Tsukike Kaoru, sebagian lain memendam kedengkian pada Tenku Masaoka karena kecantikan dan sikap dingin Kaoru. Namun pada dasarnya, semua kembali berpusat pada Kaoru. Keluarga Yuechi mengadakan ujian ninja setiap liburan musim panas, karena itu Tenku Masaoka sengaja membawa Kaoru ke Hokkaido untuk menghindarinya. Di satu sisi dia tak ingin Kaoru mendapat gangguan, di sisi lain juga tidak ingin orang lain melihat kemajuan ajaib gadis itu. Meski nama TULIP telah terkenal di Dunia Kegelapan, bahwa Gu Jiaming adalah TULIP dan Kaoru sedang menjalani latihan spiritual bersamanya, tetap menjadi rahasia yang bahkan Takamagahara pun tidak mengetahuinya.
Bagaimanapun, baik keluarga Yuechi maupun Takamagahara, jika mengetahui hal ini dan melakukan tindakan bodoh, amarah Gu Jiaming pasti akan menghujam mereka. Pria yang dua kali mengalahkan Yoritomo Taku ini benar-benar membuatnya khawatir. Kini mendengar kata-kata provokatif Buntarou, sambil merenungkan semua ini, dia tak bisa menahan kekecewaannya. Sudahlah, terserah kalian mau dihancurkan. Makanya aku benci aliansi keluarga besar seperti ini...
Dengan berjalan kaki atau naik mobil, rombongan menuju manor. Anggota keluarga Yuechi terus melayangkan pandangan penuh kebencian ke arah Mikado Ki dan Tak terhitung dewa-dewa. Tenku Masaoka dan Murakami Hiroki baru masuk setelah memberi salam, sementara Ryuudou Shizuka mengacungkan bunga mawar itu: "Kau harus mencariku ya... Aduh, Kakak jangan mukul aku..."
Melihat punggung orang-orang itu, Mikado Ki duduk di "mobil sport yang mogok karena kerusakan", menarik tuas kemudi, kemudian mobil itu meluncur mulus ke jalan dan menghilang dengan cepat.
"Sudah lihat sesuatu?" Tak terhitung dewa-dewa bertanya dari kursi penumpang.
"Aku melihat dua loli polos, dua jiwa yang suci..."
"Bego lo."
"Wajahku ditonjok Hiroyuki Kureshira, kamu malah bilang 'bego lo'. Apakah prosedur MEMBUNUH dinginmu telah membuatmu kehilangan semua simpati? Astaga, hanya kemurnian loli yang bisa menebus jiwamu yang jatuh dalam dosa..."
"Sedikit omong kosong! Bagaimana dengan Tsukike Kaoru?"
"Hmm, tidak kelihatan." Mikado Ki menggelengkan kepala, lalu tersenyum: "Tapi pasti jauh lebih hebat dari data investigasi. Pantas saja hampir jadi tunanganku, aku lega."
"Berarti dia benar-benar belajar dari TULIP?"
"Ah, orang yang bisa mengalahkan Guru Minamoto harus ditemui, tapi dia pasti sudah bukan loli lagi. Jujur saja, di data investigasi, Ye Lingjing dan Liu Huaisha benar-benar membuatku tergoda..."
"Aku hanya tergoda pada perempuan matang." Senyum dahaga darah muncul di wajah Tak terhitung dewa-dewa, "Kalau ada kesempatan, ingin sekali bertemu... Jian Suyan."
## Bagian Keseratus Sembilan Puluh Empat Aku Ingin Pulang
Pukul tujuh malam, rumah utama keluarga Yuechi.
Pepohonan tua yang rimbun, halaman yang dalam, rumah utama Yuechi yang bersejarah memiliki area yang sangat luas. Menurut data Tenku Masaoka, basis keluarga Yuechi saat ini dihuni oleh lebih dari enam ratus orang, dengan sekitar dua ratus ninja yang siap bertempur. Namun sebagai keluarga ninja yang mengutamakan penyamaran, kelincahan, dan pembunuhan, suasana sunyi yang aneh menyelimuti kompleks utama. Sepanjang perjalanan, aktivitas seperti makan, latihan, atau obrolan santai dalam kelompok kecil semuanya dilakukan dengan suara rendah yang nyaris tak terdengar. Bagi saudari keluarga Longtang yang suka berbicara dan bertengkar, sulit memahami keberadaan tempat ajaib seperti ini di dunia. Di bulan Agustus yang panas, seluruh kompleks Yuechi diliputi keheningan misterius. Meski tubuh masih merasakan gerah, dari dalam hati merambat dingin yang tak nyaman.
"Persis seperti kulkas tua di rumah leluhur kita... Aku benci perasaan ini..."
Dengan kaki mungilnya yang telanjang bersila di atas ranjang, Ryuudou Shizuka berbicara dengan suara kekanakan sambil asyik bermain game. Ryuudou Yui yang sedang membereskan seprai di ranjang lain sambil menata barang bawaan berkata: "Terserah, yang penting kita tinggal semalam saja, besok langsung minggat. Tapi nasi kepal rumput laut yang kita makan tadi enak lho."
“Ninja sering harus pergi keluar untuk melakukan tugas, meskipun sekarang tugas seperti ini sudah tidak banyak, tapi dalam hal membuat onigiri memang masih ahli. Jika suka, besok saat pergi bisa minta mereka membuat lebih banyak untuk dibawa.” Suara Kuromura Hiroki terdengar di tepi pintu, “Latihan bebas dan duel akan dimulai pukul tujuh setengah di sini, Masaoka menyuruhku memanggil kalian. Bagaimana? Tertarik?”
“Kenapa Tenku Masaoka sendiri tidak datang memanggilku?”
“Ayolah Yui, jangan cemburu seperti ini.” Kuromura Hiroki tak bisa menahan tawa, “Dia susah payah datang sekali, cuma tinggal sehari, para Lao Gui seperti Tsukike Masazora pasti tidak akan melepaskannya. Nanti saat latihan kan kamu bisa melihatnya? Lagipula... Dengan aku si ganteng yang menemani, masih kurang untuk membuatmu melupakan si Masaoka itu?”
“Cih.” Yui menyemburkan malu, bertanya sambil tersenyum, “Shizuka, ikut bersama?”
Jawabannya sudah bisa dipastikan sejak awal, gadis kecil di ranjang bahkan tidak mengangkat kepala: “Tidak, aku mau bermain game.”
Secara umum, kurikulum pelatihan ninja memiliki banyak kategori. Berbeda dengan metode pelatihan pembunuh yang langsung memaksa orang bertahan hidup di lokasi manapun setelah terbiasa dengan senjata, materi pelajaran ninja sangat spesifik dan sulit dipercaya. Dari hutan ke padang luas, ruang gelap hingga bawah air, dari tunggul pohon ke kayu apung - setiap jenis tempat memiliki metode pelatihan berbeda. Di sekitar manor keluarga Yuechi ini, terdapat berbagai fasilitas pelatihan. Selama sesi latihan malam hari, insiden tak terduga atau pertarungan sengit yang kadang terjadi menjadi keriuhan langka di manor ini setiap harinya.
Namun, prinsip dasar seni bela diri tetaplah sama: untuk mengalahkan lawan, fondasinya terletak pada penguasaan teknik tubuh. Meski di era modern dimana senjata api menjadi pasukan utama pertempuran, ninja masih memprioritaskan pelatihan teknik tubuh - pandangan ini agak mirip dengan pendapat Jiaming. Jika fisik telah mencapai tingkat kekuatan tertentu, senjata di tangan lawan tak lagi menakutkan. Saat memegang senjata sendiri, ketajaman tubuh akan memberikan dukungan menyeluruh. Tapi menurut penilaian Jiaming, sisi ilmu ninja agak terkesan kesurupan karena intensitas pelatihan senjata mereka dinilai "terlalu rendah".
Pukul tujuh setengah, di balai latihan keluarga Yuechi yang berfungsi sebagai dojo pusat, hampir seratus orang telah duduk mengelilingi area tersebut. Di depan, terdapat beberapa tetua yang dipimpin oleh Yuechi Seikuu, sementara tamu seperti Tenmasa Masaoka, Kuremura Hiroki, dan Ryuudou Yui duduk di sisi depan. Sebagian besar peserta lainnya adalah murid-murid yang ikut latihan. Kaoru dengan sanggul ekor kuda dan mengenakan pakaian latihan sederhana juga bersujud di antara mereka, mempertahankan ekspresi dinginnya yang khas.
Kedatangan tamu penting seperti Tenmasa Masaoka membuat Yuechi Seikuu dan para tetua secara pribadi bertindak sebagai guru hari ini. Karena alasan ini, hampir separuh anggota klan datang khusus untuk berlatih malam ini. Sesuai tradisi, setelah para guru memberikan pengarahan, para murid akan melakukan duel bebas dan diskusi selama beberapa jam. Guru akan menunjuk kesalahan mencolok atau pencapaian istimewa, akhirnya guru akan memberikan ringkasan sebelum menutup sesi latihan hari ini. Pembukaan yang klise tak perlu diulas panjang. Begitu Yuechi Seikuu menyelesaikan pidatonya, suasana di arena segera menjadi ramai.
Arena ini sangat luas, tapi tentu tidak mungkin menampung semua orang yang berdesakan. Biasanya, di lapangan hanya dipertahankan skala latihan 10 hingga 20 orang, sementara sisanya menyaksikan pertempuran dan melakukan analisis. Meski kehadiran para petinggi membuat suasana agak kaku, banyak yang tetap ingin mendapatkan petunjuk dan perhatian. Setelah gelombang pertama turun, termasuk Buntarou yang awalnya menyambut di pintu, banyak pandangan tertuju pada Kaoru yang duduk di sisi lain arena. Mungkin banyak yang ingin menantangnya karena berbagai alasan, tapi pertama dia adalah putrinya langsung Masamichi Tsukiike, kedua dia tunangan Tenku Masaoka. Jika ingin mengajukan tantangan, semua harus mempertimbangkan konsekuensinya.
Sosok-sosok bersilangan, pedang kayu menari-nari. Seni pedang selalu menjadi bagian terpenting dalam beladiri Jepang, termasuk dalam ilmu ninja. Setelah bertarung dengan prak-prak selama setengah jam lebih, Yui Ryuudou berdiri bosan sambil mengamati jebakan di sekitar. Tenku Masaoka dan Hiroki Kureshira justru tersenyum menyaksikan. Saat gelombang pertama selesai dan diganti peserta kedua, Buntarou menatap Kaoru di seberang, matanya berbinar seolah telah memutuskan sesuatu. Di saat yang sama, Hiroki Kureshira si orang baik yang terus bersujud di samping Tenku Masaoka tersenyum dan menoleh.
"Guru Tsukiike, katanya lapangan latihanmu punya aturan: siapapun yang hadir tak boleh menolak tantangan pertama, benarkah?"
“Ya.” Tsukike Masakage mengangguk, “Ini adalah aturan untuk menjamin keadilan pertandingan dan semangat kompetitif para murid. Namun, setelah menerima satu tantangan, kamu bisa memutuskan sendiri apakah akan menerima tantangan berikutnya atau tidak.”
“Kalau begitu… apakah aku juga memiliki hak untuk menantang orang lain?”
“Murimura-san juga ingin mencoba kemampuan bertarungmu? Tentu saja boleh. Kau bisa mengajukan syarat tantangan kepada siapa pun di dalam arena.”
Tsukike Masakage tersenyum. Kekuatan Tenku Masaoka cukup terkenal di Jepang, namun karena statusnya yang khusus, dia enggan sembarangan menyerang dan orang lain tak bisa memaksanya. Kali ini dia membawa temannya. Keluarga Yuechi memang tidak memiliki banyak data tentang pemuda bernama Murimura Hiroki ini, namun menurut intelijen yang baru dibawa pulang Buntaro tadi, di luar gerbang dia memukul kepala Mikado Ki dengan tas ranselnya. Jelas ini adalah orang kuat setara Tenku Masaoka dari Takamagahara. Minatnya untuk turun ke arena tentu disambut baik, hanya saja tidak diketahui tetua mana yang ingin dia tantang.
Sesaat kemudian, Murimura Hiroki yang telah mendapatkan izin berdiri sambil tersenyum. Tenku Masaoka berseru, “Hei hei, Hiroki mau apa kau? Jangan sembarangan.”
“Tenanglah, aku akan menjaga presisi. Takkan menyiksa si cantik terlalu parah… Hmph, judoku baru saja lulus ujian, ingin kucoba.” Dia berlari kecil mendekati Tsukike Kaoru, “Kaoru, nona Kaoru yang cantik, maukah kau melakukan duel persahabatan seni bela tubuh denganku? Apakah kau keberatan?”
Mengangkat kepala untuk menatapnya, pandangan Tsukike Kaoru melirik ke depan. Sebelum pergi dari Jianghai, Jiaming pernah mengatakan padanya untuk mengikuti arahan Tenku Masaoka tidak masalah. Saat ini dia juga sedang meminta pendapat mereka. Tsukikage Masazumi mengira putrinya sedang menatapnya. Dengan gerakan kepala yang menunjukkan ketidakpuasan, setelah Tenku Masaoka juga mengangguk dengan kekecewaan, barulah dia berdiri: "Mohon petunjuknya."
Memandang ke arah sini, Tenku Masaoka berbicara tanpa suara: "Jangan terlalu keras memukul..."
"Hehe, tenang-tenang, aku pasti akan menunjukkan kebijaksanaanmu, jangan takut. Hmm, ayo mulai."
Tersenyum sambil mundur beberapa langkah, Murakumo Hiroki mengambil posisi awal judo. Sikap ini terlihat santai dan tidak menunjukkan keahlian khusus, namun banyak orang di sekitarnya sudah tertarik menyaksikan pertandingan ini. Pertarungan antara teman Tenku Masaoka dengan Kaoru, seperti apa jadinya nanti? Hampir semua orang termasuk para tetua, memusatkan pandangan mereka ke sini.
Kaoru turun ke arena.
Tangan mengepal, pertama-tama mengambil gaya Wing Chun yang memalukan, kemudian tampaknya menyadari ini berada di dojo lomba ilmu ninja, lalu berjongkok dan kembali ke posisi latihan ninja sebelumnya, namun terlihat agak kaku. Beberapa saat kemudian, kepalan tangan berubah menjadi telapak tangan, berganti gaya lagi, hingga akhirnya menatap putus asa ke arah 10 jarinya yang putih mulus, tampak kebingungan. Selama setahun ini dia menerima pelatihan dari Jiaming, sesekali ada latihan pertempuran nyata, tak perlu pose-pose khusus. Jiaming hanya perlu berkata, menuntut mereka menyerang kapan saja, gestur awal yang mengingatkan "Aku akan menyerang nih" sama sekali tak bermakna.
Beberapa hari ini baru mengenal Hiroki Muremura karena Tenku Masaoka, hanya tahu dia manusia baik yang suka hiking. Tapi bisa berteman dengan Tenku Masaoka, dan berani menyerang Mikado Ki, pastilah orang kuat yang hebat. Dengan persepsi ini dalam hati, saat ingin menunjukkan gaya terkuat, malah merasa kesulitan. Seibu depan, Masaki Tsukiike menggelengkan kepala, putrinya ini memang tak pernah memuaskannya, tampaknya setahun di Tiongkok hanya terbuang. Meskipun keberadaannya hanya untuk menarik hati Tenku Masaoka, tetap ada kemarahan dalam hati.
Setelah berganti-ganti gaya, akhirnya dia memilih gestur awal Wing Chun yang kikuk. Di mata para ninja, gaya Kung Fu China ini terlihat sangat kaku, secara terselubung terdengar ejekan dan kekecewaan. Hiroki Muremura memandangnya menyelesaikan posisi, tetap tak bergerak.
Keduanya bertatapan hampir tiga menit, kaki Hiroki Kureshira mulai mati rasa. Tubuhnya goyah dua kali, akhirnya dengan kekecewaan mendekati Kaoru. Jarak perlahan menyempit, semua orang bersikap tegang sambil menanti seni bela diri ajaib yang akan ditunjukkan Hiroki Kureshira berikutnya.
Sosok-sosok bersentuhan.
"Aaaa—!"
Jerit kesakitan melengking menggema di arena pertarungan. Tubuh Hiroki Kureshira terbang membentuk setengah lingkaran di udara sebelum menghantam tanah keras. Tampak jelas itu hanya bantingan bahu sederhana, kemenangan sudah jelas. Kaoru memandang pria yang tersungkur di kakinya dengan ekspresi terkejut, lalu mundur selangkah sambil membungkuk hormat. Hiroki Kureshira memegangi bahunya menjerit-jerit: "Aduh, bahuku... Dislokasi... Pasti dislokasi... Sakit... Aduh sakit sekali..."
Tenku Masaoka mendekat dengan wajah kecewa, menjepit bahu yang terkilir lalu memapahnya kembali ke area penonton dengan malu-malu: "Maaf, semua orang silakan lanjutkan. Teman saya memang payah dalam hal ini..."
Munculnya drama mengejutkan seperti ini membuat semua orang agak tidak bisa merespon, namun pertarungan tentu harus dilanjutkan. Tak lama kemudian, Buntarou dan yang lain secara bergantian menantang Kaoru, namun semuanya ditolak. Melihat gaya kikuk Kaoru sebelumnya, pandangan hina dari orang-orang semakin menjadi-jadi. Aturan di arena pertarungan ini dibuat untuk mencegah konspirasi melawan seseorang. Pertarungan antara Kaoru dan Hiroki Kuremura sama sekali tidak mengonsumsi stamina, tapi dia malah menolak semua tantangan - jelas setelah setahun menikmati hidup di Tiongkok, nyalinya menjadi ciut. Kaoru dulu meski kekuatannya kurang, selalu menerima setiap tantangan tanpa pengecualian.
Menyaksikan sikap pengecutnya, ketidakpuasan di hati Seigetsu Masora semakin memuncak. Sekitar pukul sepuluh malam, tiba-tiba telepon Tenku Masaoka berdering. Setelah berjalan ke samping dan menerima beberapa saat, dia kembali dengan pandangan bingung, menepuk bahu Kaoru: "Mari ke sini sebentar, ada kabar dari Kota Jianghai..."
Tatapan dinginnya tiba-tiba berubah. Dia mengikuti Tenku Masaoka ke sudut. Setelah Tenku selesai berbicara, wajah Kaoru yang jarang menampakkan ekspresi tiba-tiba menunjukkan kepanikan. Dia mengambil telepon dan menekan nomor: "Halo... suara gesekan, ini Kaoru. Dia kena tembak? Bagaimana bisa..."
“……Mendekati tengah malam, orang-orang yang bertarung di lapangan latihan bela diri perlahan kembali ke posisi masing-masing. Di sisi dojo, Kaoru terduduk bersujud dengan kepala tertunduk dalam diam. Posisi ini telah dipertahankannya selama hampir dua jam sejak menelepon. Namun dibanding sebelumnya, beberapa orang di sekitarnya secara bawah sadar merasakan hawa dingin.”
“Tsukikei Seikuu berbicara di depan, menyimpulkan situasi pertarungan hari ini sambil menganalisis kekurangan beberapa peserta. Ia telah berbicara cukup lama di sana. Setelah menyimpulkan, ia kemudian membahas ujian besok.”
“……Sebagai ujian tahunan, kuharap semua orang memberikan segalanya dalam cobaan kali ini……Juara tahun lalu adalah Buntarou, semoga tahun ini bisa melanjutkan kinerja yang baik……”
“Memberikan perintah dan motivasi, Tsukikei Seikuu berbicara satu per satu kepada karakter yang berkesan di hatinya. Akhirnya, pandangannya tertuju pada Kaoru di samping: ……‘Dan kau, Kaoru. Selama setahun terakhir kau berlatih spiritual di Tiongkok, kuharap bisa melihat prestasimu. Terhadap tindakanmu yang sengaja menghindar tadi, aku sangat tidak puas. Seorang ninja boleh memilih menghindar dari lawan yang lebih kuat dalam pertempuran nyata, tapi tak boleh ragu dalam latihan. Kuharap besok kau……’”
“Karena Kaoru adalah putri kandungnya, kritikannya terasa lebih keras. Namun sebelum kalimatnya selesai, Kaoru telah berdiri dan berjalan ke tengah dojo sambil bersujud: ‘Maafkan aku, Ayah. Aku akan naik pesawat pagi besok untuk kembali ke Jianghai. Takkan ikut ujian besok.’”
Semua orang tahu hubungan Kaoru dengan Tenmasa Masora, di sini memanggil ayahku sebenarnya bukan hal yang bermasalah. Namun menginterupsi perintah tetua keluarga dan menentang keinginan atasan, di kalangan ninja jelas merupakan tindakan subversif. Alis Tenmasa Masora tiba-tiba mengeras, matanya menyala-nyala menatap putrinya di bawah: "Apa yang kau katakan!?"
Mengangkat kepala, Kaoru menatapnya dengan pandangan tenang namun tegas: "Aku ingin pulang."
## Bagian Keseratus Sembilan Puluh Lima Perbandingan
"Aku ingin pulang." Suara dingin bergema di dojo. Dengan aura misterius, Tenku Masaoka di depan menundukkan kepala, senyum tipis mengembang di bibirnya. Tenmasa Masora yang belum pernah diperlakukan demikian oleh putrinya sendiri, menampar tikar jerami di sampingnya dengan keras: "Ini tempat yang seharusnya kau tetaplah tinggal!"
Sepertinya menyadari ketidaktepatan ucapannya, Kaoru ragu sejenak sebelum tetap mengucapkan perlahan: "Aku ingin ke Jianghai."
Percakapan ini tampaknya tak bisa dilanjutkan. Jika dalam situasi normal, Tenmasa Masora mungkin sudah menghunus pedang. Tapi dengan kehadiran Tenku Masaoka saat ini, tentu tak boleh ceroboh. Dengan banyaknya orang di sekitar, ia tak bisa menoleh untuk melihat sikap Tenku Masaoka, sehingga tak menyadari senyum misterius di wajah mereka. Menarik napas dalam, ia melambaikan tangan ke samping: "Tangkap dia! Kunci di kamar dan jangan biarkan pergi!"
Saat ini, meskipun sebagian besar orang di dalam dojo adalah murid, ada beberapa pengawal yang siaga untuk menangani keadaan darurat di samping. Mereka yang kebanyakan tidak menonjol dalam pembelajaran, tidak bisa meraih posisi tinggi, akhirnya hanya menjadi algojo biasa. Seiring ayunan tangan Seikū Tsukimi, dua pria berpisau panjang di pinggang memasuki dojo dan mendekati Kaoru yang masih bersujud di tanah.
Di sekitar dojo, ada yang memandang penuh penyesalan, ada yang menghina, ada pula yang berbahagia melihat penderitaan orang lain - semuanya menyaksikan kejadian ini dalam diam. Namun ketika kedua pria itu hanya berjarak sekitar tiga meter dari Kaoru, tiba-tiba tangan Kaoru menekan lututnya dan ia berdiri tanpa suara.
Kedua pria itu terhenti. Kegalauan menyebar, diikuti bisikan-bisikan samar. Menerima bimbingan Kepala keluarga memang harus dengan bersujud, menerima hukuman pun harus dengan sikap hormat. Tapi dia malah berdiri tegak, sama saja menentang konsekuensi yang telah ditetapkan. Jika orang lain melakukan ini, sudah pasti dianggap pemberontak. Sekalipun Kaoru adalah putri kandung Seikū Tsukimi, dampaknya takkan kecil. Benar saja, terdengar teriakan marah Seikū Tsukimi: "Kau mau apa!?" Kedua pria itu telah mendekat dari kiri-kanan, tangan menggapai bahu Kaoru: "Nona Kaoru, tolong jangan mempersulit kami."
"Maaf..."
Suara yang tetap tenang dan dingin. Saat kedua orang itu cepat-cepat mengulurkan tangan untuk menangkapnya, dia mundur dengan lambat namun sebenarnya cepat, lalu tiba-tiba menyerang dengan gerakan sesederhana berjabat tangan - sebuah sentilan lembut. "Krek krek" dua suara retakan, lengan kedua orang itu langsung terlepas dari sendinya. Mereka memegang bahu dengan wajah pucat sambil mundur.
Suasana beku hanya bertahan sejenak, kemudian terdengar suara Tsukikei Masamune yang menekan setiap suku kata: "Tangkap dia!"
Sekejap kemudian, dua pria terlempar ke dua arah dengan posisi berbeda. Kaoru berbalik menuju pintu gerbang tak jauh, sementara para murid di sekitar mulai bangkit satu per satu.
Meski kemampuan bertarung Kaoru biasa-biasa saja, bisa dibilang di atas rata-rata. Melempar dua orang ini meski melampaui rekam jejaknya sebelumnya, tak banyak yang curiga. Buntaro memberi kode pada orang di sampingnya. Orang pertama segera berlari maju, diikuti yang kedua - ada yang membawa bokken panjang-pendek, ada yang bertarung tangan kosong - mulai mengepung Kaoru.
Tenku Masaoka mengangkat kepala, memandang langit-langit dengan ekspresi dramatis.
Siluet-siluet manusia saling bersilangan.
Tubuh orang pertama masih di udara sudah didorong Kaoru hingga terguling. Bokken itu kini ada di tangan Kaoru. Dengan gerakan merendahkan tubuh tiba-tiba, dua bokken yang mengepung menyapu ujung ekor kuda yang melambung. Bokken panjang di tangan Kaoru sudah menghantam betis orang di depannya dengan keras. Dalam jeritan kesakitan, dia menyelinap keluar dari kepungan dan menghadang penjaga berikutnya.
Suasana langsung kacau balau, lebih dari sepuluh sosok bersilangan di depan. Dengan kemampuan bertarung yang lincah, Kaoru berlari maju ke kiri dan kanan. Lebih dari sepuluh orang yang bersatu malah tidak bisa mengepungnya, justru tiga empat orang terkena serang baliknya di titik vital atau persendian, berguling di tanah dan tidak bisa melanjutkan pertempuran.
Melihat kejadian ini, para penonton yang menyaksikan pertempuran membelalakkan mata. Tenku Masaoka membuat ekspresi dramatis "ini tidak ada hubungannya denganku". Ryuudou Yui melotot dengan bibir tipisnya sedikit terbuka, jelas tidak pernah menyangka bahwa wanita yang secara resmi merupakan tunangan suaminya ini begitu garang. Hiroki Kuremura masih mengusap bahu yang baru saja terkilir, dengan ekspresi tersadar: "Wah, pantas saja dia bisa mengalahkanku... Hebat, jurus itu Tornado Flash ya? Apakah Kaoru belajar aliran Pedang Terbang Langit..."
"Idiot kau!" Ryuudou Yui di sampingnya melotot dengan ekspresi merendahkan, "Jurus tadi jelas Nine Head Dragon Flash, setuju?!"
"Tapi Nine Head Dragon Flash ada sembilan pukulan."
"Pukulan terakhirlah intinya... Hei, Masaoka, jurus itu mirip Nine Head Dragon Flash kan?"
Menghadapi dua orang yang hanya bisa baca komik ini, Tenku Masaoka memalingkan kepala dengan malu dan menolak menjawab.
"Liat... Dia mengakui default!"
“……”
Bokken bergerak lincah seperti ular, menghantam pergelangan tangan dua orang yang menerjang di depan. Badan miring menghindari tendangan keras dari kiri, serangan dari sisi lain datang secepat kilat. Tangan kiri mencengkeram ujung bokken dan menahan dengan susah payah. Namun yang datang bukanlah satu tebasan, tiga bokken menghantam bagai petir, tubuh Kaoru terlempar dua meter ke belakang. Berguling kikuk di tanah, hanya bisa mempertahankan posisi setengah berlutut. Tangan kiri menopang di tanah, bokken di tangan kanan seperti digerakkan naluri mengayun ke belakang. Bokken dari bilah bambu yang lentur itu tepat menghantam pergelangan tangan pemegang pedang. "Prak!" Rasa sakit yang menusuk hingga sumsum tulang membuat senjata itu terlepas. Orang itu mundur terhuyung sambil memegangi pergelangan tangannya yang terdistorsi. Kaoru di depan bahkan tak meliriknya, langsung berlari ke arah lain sebelum terkepung.
Malam musim panas yang mulai mereda panasnya, dojo kuno, sosok-sosok yang bersilangan, bokken yang diayunkan keras, teriakan atau jeritan kesakitan. Di tengahnya, gadis cantik yang berlari, bertarung, dan menghindar dengan gesit. Wajahnya dingin bagai giok, rambutnya yang berantakan karena gerakan cepat sesekali menyapu bibir atau profilnya. Momen mengusir musuh atau terkena serangan, semua bagai lukisan indah yang menyimpan keganasan dalam keheningan.
Ratusan orang melawan seorang gadis yang seharusnya berada di pihak mereka, mustahil dilakukan secara serempak. Terus-menerus ada yang terjatuh, ada pula yang bergabung. Jika yang berada di sini sekarang adalah Jiaming, pedang kayu di tangan para ninja ini mungkin takkan lebih berbahaya dari jerami, tapi Kaoru saat ini belum mencapai tingkat kekuatan yang begitu luar biasa. Para ninja terlatih ini berbeda dengan pemula klub bela diri Akademi Hati Kudus, lebih dari sepuluh atau dua puluh orang membentuk pertahanan hanya dengan jurus fisik, namun dengan adanya pemain cadangan yang terus berganti di sekeliling, Kaoru sulit menerobos sekaligus keluar gerbang. Yang bisa dilakukannya hanyalah terus menerobos, mencari celah serangan, mencegah lingkaran sempurna terbentuk. Tak lama kemudian, lebih dari sepuluh orang telah tersingkir.
Namun, jika Yelian atau Yoritomo Taku hadir di sini, mungkin akan terkejut menemukan bahwa kesan dingin yang tajam dari gaya bertarung Kaoru saat ini, memiliki kemiripan yang cukup dengan Jian Suyan ketika bertindak.
Jumlah orang yang harus digotong keluar lapangan karena kehilangan kekuatan tempur dalam waktu dua puluh menit, memberikan perasaan terpukul yang tak terucapkan pada semua orang. Tubuh Kaoru juga tampak terkena beberapa pukulan keras, bahkan ada yang mengenai titik vital seperti persendian, namun ternyata sama sekali tidak mempengaruhi gerakannya. Dengan lincah ia terus menghadapi serangan berkelanjutan dari segala penjuru, berlari, menerobos. Beberapa orang melirik ke Buntarou yang berdiri di tepi lapangan, secara bawah sadar membandingkan keduanya. Namun kesimpulannya jelas, bahkan dirinya pun dalam pertarungan fisik penuh mustahil mencapai prestasi seperti ini. Kecuali mungkin beberapa tetua yang duduk di pinggir lapangan atau Tenku Masaoka, yang mungkin masih bisa menghadapi sepuluh hingga dua puluh lawan sekaligus dengan mudah.
Menarik napas dalam-dalam, Buntarou mengeluarkan dua tongkat pendek sekitar 60 cm dari punggungnya, melangkah masuk ke arena tanpa suara. Dengan menggunakan tubuh rekan sebagai tameng, ia bergerak maju. Sebagai ninja yang terkenal misterius, serangan mendadak bukanlah hal yang memalukan, bahkan dalam situasi seperti ini. Namun baru dua langkah, di antara siluet-siluet yang berseliweran itu, pandangan tenang Kaoru menyapu area ini. Pada detik itu ia tiba-tiba menyadari: bahkan setelah bertempur selama ini, ternyata gadis itu masih mampu mengendalikan seluruh perubahan situasi di lapangan.
Sejenak berhenti, di saat berikutnya ia berlari kencang ke arah Kaoru dengan kecepatan tertinggi.
……
Tubuh menghindar ke belakang menghindari dua serangan, torso bawah sadar membungkuk, sebilah pisau kayu nyaris melintas dari belakang. Bahkan dirinya sendiri sulit memahami bagaimana bisa menghindari serangan ini, namun tubuh sudah secara refleks berguling di tanah, menerjang ke depan, menembus lingkaran kepungan di titik terlemah secepat kilat. Pisau kayu itu menghujam dada seorang manusia dalam kekacauan.
Sejak pertarungan dengan Joseph di hari ulang tahunnya, ini pertama kalinya ia merasakan sensasi "secara misterius menghindari semua serangan" dan "secara tak terduga mengenai lawan". Setelah kejadian itu, satu-satunya lawan latihannya hanyalah Jiaming, namun di hadapan Jiaming, kemampuan perlawanannya tetap terbatas.
Pertarungan dengan Joseph membuktikan bahwa dirinya memang telah menjadi lebih kuat, namun tingkat peningkatan itu masih sulit dinilai. Melalui pertarungan dengan kawan-kawan lamanya inilah, akhirnya ia menyadari perbedaan kemampuan dirinya setahun yang lalu dengan sekarang.
Kecepatan mereka melambat, jurus-jurus mereka menjadi kekanak-kanakan. Baik saat menyerang maupun bertahan, semuanya tampak dipenuhi celah kelemahan. Serangan satu dua orang bisa kuhindari dengan mudah, bahkan di momen-momen kritis yang tak terhindarkan, aku bisa mengandalkan intuisi untuk menyelinap. Rupanya, ketika aku tak berdaya di hadapan Jiaming, berulang kali sendi lenganku dilepas, berulang kali dipukuli hingga nyaris tak tertahankan - berbagai respons dan perasaan telah melekat dalam hatiku. Meski tak berguna saat berhadapan dengan Jiaming, tapi terhadap orang-orang ini, tingkatanku sudah jauh melampaui mereka.
Tentu, ada saat-saat yang benar-benar tak terhindarkan. Tertimpa pedang kayu dengan keras memang menyakitkan, tapi bandingkan dengan saat bertarung melawan Jiaming! Pukulan dan tendangan Jiaming yang tampak sederhana, sekalipun kuhadapi dengan teknik pertahanan paling formal, bagian tubuh yang terkena tetap terasa sakit hingga sumsum tulang. Setiap kali aku selalu khawatir tulangku akan patah begitu saja. Tapi di bawah kendali Jiaming, situasi seperti itu tak pernah terjadi. Jiaming memang tak suka mematahkan tulangku. Untuk melumpuhkan kekuatan tempurku, cukup dengan melepas sendi bahuku.
Latihan pertempuran nyata bersama Jiaming selalu seperti itu, terkadang dipukul. Tentu saja dia bisa melawan, meski biasanya tak banyak artinya. Setelah dipukul sampai tak punya tenaga untuk melawan, Jiaming akan berhenti. Tak lama kemudian dia akan memukul lagi. Pukulannya tidak melukai tulang atau otot, hanya sakit. Bahkan lebih sakit dari pukulan pertama Jiaming dulu. Tapi sebagian besar luka akan sembuh lebih dari separuh keesokan harinya. Suatu kali Jiaming bercanda bahwa dia adalah gadis Jepang yang punya bakat alami untuk menerima siksaan, banyak hal harus dipukul terus-menerus baru bisa diingat dengan dalam. Meski sekarang sudah cantik, siapa tahu kalau dipukul beberapa kali lagi bisa semakin cantik... Dia tahu Jiaming hanya bercanda, tapi saat dia bilang dirinya cantik, hatinya sedikit senang.
Sekarang tampaknya dia benar. Dalam proses menerima pukulan itu, dia benar-benar mengingat hal-hal yang jauh melampaui imajinasi. Bahkan kini muncul perasaan, mungkin hal-hal ini benar-benar bisa diingat justru karena dipukul. Tapi...
Berhasil mengusir penyerang di depan, dia tiba-tiba menghadang serangan mendadak Buntarou dari belakang. Guncangan keras membuat tubuhnya terbang ke kerumunan di belakang. Gambaran pertarungan tak terhitung kali dengan Jiaming melintas di pikiran. Sekarang dia tertembak! Bagaimanapun, dia harus kembali!
Serangan yang sangat rapat datang bersamaan. Pisau kayu di tangannya menyapu, berhasil diusirnya sebagian besar. Tapi tetap ada dua pisau kayu yang langsung menghantam tubuhnya. Pada detik berikutnya, entah siapa yang pertama menyadari, pisau kayu di tangan Kaoru sudah menghilang.
Kesempatan baik...
Buntarou memang pantas menjadi anggota terkuat di antara mereka. Berkat usahanya, akhirnya Kaoru berhasil dipaksa masuk ke dalam lingkaran kepungan. Pada detik berikutnya, semua orang menerjang sekaligus, percikan api beterbangan di udara, cahaya dan kegelapan saling bersilang di dalam dojo.
Bokken yang dilempar dari tangan Kaoru langsung menghantam dua lampu neon di langit-langit dojo. Bersamaan dengan suara percikan listrik, pandangan semua orang terganggu sejenak. Dikepung di antara kerumunan, tubuh Kaoru tiba-tiba berubah menjadi ilusi.
Dari gelap ke terang.
Dua bokken patah, gelombang pertama yang menyerang terlempar ke belakang, sekaligus menghadang orang-orang di belakang. Di depan mata semua orang, tubuh Kaoru melayang menyongsangi Buntarou yang melaju kencang namun tidak bisa menghentikan laju. Dengan tergesa-gesa, dia menyilangkan tongkat kayu sebagai tameng di depan.
Pada detik berikutnya, dua tongkat kayu patah menjadi empat bagian yang beterbangan. Dengan momentum dahsyat, pukulan Kaoru berhasil menembus pertahanan dan tepat mengenai wajahnya. Tubuh Buntarou terlempar ke belakang, terkapar di tanah dengan darah mengucur dari hidung dan mulut. Tampaknya dia tidak akan bisa bangun dalam waktu dekat.
Menyaksikan pemandangan sekejap ini, Tenku Masaoka bangkit dari bantal duduknya dengan ekspresi penuh getaran dahsyat, keheranan, dan kompleksitas yang tak terkira. Pasukan di belakang telah menghentikan serangan sementara. Hiroki Kuremura dan Yui Ryuudou membuka mulut lebar, lalu saling memandang: "Ryūtsuisen?" Meski Kaoru tidak menggunakan pisau, jelas keduanya telah mencapai konsensus. Tenmasa Masaoka juga berdiri, bertepuk tangan pelan: "Chiseisenran yang indah..."
Luka Kaoru juga tidak sedikit. Posisi kaki kanannya terlihat tidak wajar setelah mematahkan dua bokken sebelumnya, tinju kanannya yang baru saja menggelegar bagai dewa – oh, seharusnya dewi turun ke dunia – kini juga terluka, sedikit gemetar mengalirkan darah. Dengan ekspresi datar, ia berbalik dengan agak kaku, mempersiapkan diri menghadapi serangan berikutnya.
Sekalipun benar-benar mengingat ini semua karena dipukul, hanya dia yang bisa... Dibandingkan dengannya, kalian...
...apakah artinya...
## Bagian ke-196 Melodi Samar
"Drip... tet-tat, drip-tet-tat-tat... Hmm, bagaimana melodi ini..."
"Bagus sekali."
"Bagus? Hmm, tulis, tulis... Tapi bagian belakangnya agak aneh, kalau diubah jadi drip-tet-tip-tet... apakah lebih baik?"
"Hmm, memang lebih baik dari tadi..."
“Tolonglah! Jiaming, jangan selalu ikut-ikutan pendapatku! Aku butuh masukan! Masukan! Kamu jago mencipta lagu, tapi selalu asal-asalan denganku! Aku juga ingin bisa menulis komposisi piano yang keren!”
“Tapi aku mencipta lagu berdasarkan intuisi... Misalnya tiba-tiba terpikir satu kalimat, langsung tahu cara menyanyikannya, lalu secara alami tercipta. Semuanya intuisi... Aku ingin sekali membagi sedikit intuisi ini padamu...”
“Cuma sedikit?”
“Baiklah, semuanya untukmu...”
“Nah baru benar... Hiks, tetap saja kesal. Kamu jenius, aku si bodoh...”
Dengan baju kemeja longgar dan celana sutra putih sebatas lutut - setelan musim panas Lingjing yang sejuk - terkapar di tempat tidur pasien dengan rambut acak-acakan. Byur! Tangan ramping dan kaki telanjangnya terangkat oleh getaran. Pensil di tangannya menyambar, menyentuh gelas air di meja samping ranjang. Sesaat kemudian, Shasha yang sedang mengerjakan tugas liburan di meja itu melompat.
“Aaaaaa... Tolooong——!”
Jiaming yang sedang makan kaleng jeruk di ranjang pasien lain tertegun, menyaksikan kedua cewek itu panik menyelamatkan buku tugas dan draft, memukul-mukul noda air di permukaannya. Kemudian, serigala betina kecil yang lebih dominan berdiri tangan di pinggang di tepi ranjang, sementara domba putih kecil yang lebih lemah meringkuk setengah di tempat tidur. Empat mata bertatapan, memercikkan api...
“Ye Lingjing, kamu cari masalah ya!”
“Aku... Kamu... Mau ngapain...”
"PR liburan musim panasku... Bukannya kau bilang nggak ada inspirasi buat ncipta lagu? Tenang aja, SEKARANG JUGA bakal ada!"
"Tolong..."
Lingjing berguling mencoba kabur dari sisi lain ranjang pasien, tapi tiba-tiba Shasha menerjang dari belakang memeluk pinggangnya. Dalam teriakan histeris, Jiaming nyaris memuntahkan makanan di mulutnya, terdiam menatap kaleng di tangannya. Dua cewek itu bergulat di ranjang, Lingjing berteriak ingin lepas tapi terus ditarik kembali oleh Shasha, gerakan maju mundur mereka... ehm, cukup menarik...
Tak lama kemudian, Lingjing yang sudah gugup itu dibalikkan Shasha dan ditindih dengan garang, mulai menerima "hukuman" tanpa ampun. Suara merengek-rengek, teriakan minta tolong hingga erangan memenuhi kamar pasien. Jiaming menatap perban di dadanya, lalu tak bersalah terus menyantap kaleng... Nggak bisa, nggak bisa, jangan manggil aku, aku juga udah kehabisan tenaga... Beberapa saat kemudian, terdengar suara "Krek" pintu terbuka, baru lah kedua orang di ranjang dalam berhenti kaku. Duan Jingxian yang baru masuk kamar terpaku melihat adegan putrinya ditindas, refleks menutup pintu kembali.
"Ehm..."
Dua gadis yang bangun dari ranjang terlihat pakaian dan rambutnya agak berantakan. Kemeja Lingjing bahkan kehilangan satu kait, memperlihatkan tali bra. Setelah beberapa saat kebekuan, Sasha tersenyum canggung lalu turun dari tempat tidur sambil mengangkat PR liburan musim panas yang basah: "Lingjing menumpahkan air ke tugas sekolahku."
"Aku sudah minta maaf..." Lingjing duduk di ranjang sambil menarik kerah bajunya malu-malu, secara bawah sadar menundukkan leher putih bersihnya. Gerakan ini justru semakin mencurigakan - bekas gigitan dan cubitan Sasha kini menghiasi kulitnya seperti buah stroberi segar. Duan Jingxian tertegun. Jiaming mengangkat kaleng sambil berseru: "Sebenarnya... mereka berdua lesbian."
Pernyataan blak-blakan ini justru memecah ketegangan. Ibu Ye tersenyum kesal sambil menepuk kepala Jiaming: "Jangan ngawur! Kalian... Sudah merasa lebih baik hari ini?"
"Aku ingin keluar dari RS."
"Jangan mimpi!" Serentak Ibu Ye, Lingjing, dan Sasha berteriak, membuat Jiaming mengkerutkan lehernya ketakutan.
“Lukamu adalah luka tembak, walau kamu selalu berolahraga dan kualitas fisikmu jauh lebih baik dari manusia biasa, waktu lewat sepuluh hari masih terlalu sedikit. Tenang saja, urusan pendaftaran masuk kuliah nanti Yahan yang akan membantu. Kau harus tinggal di sini dengan baik, lagipula biayanya ditanggung Keluarga Zhang... Jika ingin jadi dokter di masa depan, hal pertama yang harus dipelajari adalah cara membuat pasien lebih lama rawat inap. Hehe, rasakanlah pengalaman ini...” Melotot padanya, Ibu Ye melunakkan suaranya sambil menempelkan telapak tangan ke dahi Jiaming, memulai pemeriksaan dan omelan rutin harian, “Itu senjata lho! Walau berbuat heroik itu mulia, lain kali jangan nekat lagi. Tak peduli siapa yang diculik, saudara atau Teman, hal pertama yang harus dilakukan adalah memanggil bakat. Saat kau dibawa masuk waktu itu aku benar-benar MATI ketakutan. Jika terjadi sesuatu padamu, bagaimana aku menjelaskan pada ayah ibumu...”
Sejak Jiaming terluka, Lingjing dan Shasha memindahkan lokasi aktivitas harian mereka ke rumah sakit. Di sini mereka menjaga Jiaming, bermain, baca buku, mengerjakan PR. Di kamar pasien besar ada dua ranjang, satu untuk Jiaming, dua perempuan itu menempati satu ranjang. Kadang Lingjing yang tidur di sini, kadang Shasha. Terkadang keduanya berdesakan di satu tempat tidur pasien untuk istirahat. Terlihat agak pandangan menggoda, orang luar mungkin berasumsi macam-macam. Tapi bagi yang mengenal, hubungan pertemanan tanpa batas bertiga ini sudah terjalin sejak SD dan tetap tak berubah hingga kini.
“Bagi Ye Han dan Duan Jingxian, mereka sudah tahu Shasha adalah pacar Jiaming. Mereka sempat mempertimbangkan bahwa putrinya Lingjing yang tinggal di sini mungkin kurang pantas. Namun karena Lingjing bersikap teguh, mereka pun tak bisa berbuat apa-apa. Dalam hidup manusia, jarang ada satu dua Teman yang bisa dipercaya sepenuhnya. Persahabatan mereka berdua dengan orang tua Jiaming dulu seperti itu. Kini setelah orang tua Jiaming MATI, mereka menganggap Jiaming seperti anak kandung sendiri. Hubungan akrab Jiaming dan Lingjing sekarang tentu membuat mereka lega.”
“Konstitusi Jiaming sangat baik, sampai-sampai Duan Jingxian yang berprofesi dokter merasa terkejut. Ye Han menganggap ini hasil pelatihannya yang efektif dan kerja keras Jiaming. Meski tak berani menyerang, proses pelatihan di sini jelas terlihat. Semangat Seni bela diri Tiongkok bukan untuk melukai, tapi untuk memperbaiki diri. Dalam seminggu pasca operasi, kondisinya sudah mulai pulih. Beberapa hari kemudian, Jiaming merengek ingin keluar rumah sakit, setiap kali pasti diceramahi Duan Jingxian setengah hari, sampai Lingjing menirukan Luo Jiaying:
“Manusia, dilahirkan oleh ibunya; Yao, dilahirkan oleh ibunya. Ketika Yao memiliki hati yang murah hati, dia bukan lagi Yao, tapi banci... Shasha, kau mengerti? Aduh, Ibu, jangan pukul wajahku!”
Faktanya, setelah operasi Jiaming, Lingjing dan Shasha menangis dengan hebat selama 2 hari.
Setelah menangis, karena kondisi Jiaming yang pulih dengan baik, dua perempuan itu kembali bersikap optimis dan ceria. Namun, hal yang terjadi pada suatu malam membuat Jiaming merasa sangat bersalah.
Itu terjadi pada malam hari keenam setelah operasi.
Karena beberapa hari sebelumnya keduanya terlalu lelah berjaga, sistem penjagaan pada dasarnya dilakukan bergiliran. Setiap hari membuka selimut untuk melihat luka Jiaming yang dibalut kain kasa, atau duduk di tepi ranjang Jiaming sambil mengobrol adalah hal yang biasa terjadi. Pada hari keenam, kondisi dada tentu belum bisa dibilang pulih, tapi bagi Jiaming yang telah mengalami hidup dan MATI berkali-kali, kondisi saat ini selama tidak menghadapi lawan tingkat atas pada dasarnya sudah tidak terlalu berbahaya. Malam itu, kondisi kekacauan dua perempuan beberapa hari terakhir juga mulai mereda, sehingga mereka bersama-sama menemani Jiaming di rumah sakit - Jiaming satu ranjang, dua perempuan berdesakan di satu ranjang. Saat tengah malam tiba, emosi Shasha tampak gelisah, bolak-balik berguling di ranjang. Hal seperti ini tentu tidak bisa disembunyikan dari Jiaming. Dia turun dari ranjang dua kali untuk minum air, sekali ke toilet. Setelah turun terakhir kali, dia mendekati ranjang Jiaming, menarik kursi dan duduk sambil memegang satu tangan Jiaming, lalu langsung merebahkan diri di tepi ranjang dan tertidur lelap. Sepertinya karena Jiaming ada di sampingnya, kali ini dia tidak bangun secara alami. Saat Jiaming membuka mata, rambut hitamnya tumpah seperti air di atas seprei putih. Di luar jendela, sinar bulan yang indah menyusup masuk seperti serbuk perak. Dia menggunakan tangan satunya untuk membelai rambut Shasha. Tak lama kemudian, Lingjing di ranjang sebelah juga terbangun, berbaring miring sambil memandang pemandangan ini.
Begitu duduk di tepi ranjang tidur bagi manusia akhirnya tidak baik. Jiaming dan Lingjing berbicara pelan beberapa patah kata, kemudian menyuruh Lingjing memeluk Shasha kembali tidur di ranjang. Lingjing mendekat, menepuk-nepuk lembut bahu Shasha. Namun dia tak kunjung bangun. Setelah menunggu sejenak, Lingjing mengulurkan tangan menyangga lekuk lutut Shasha, tangan satunya menyelip ke ketiaknya——dia toh pernah belajar bela diri, tubuh Shasha juga tak berat, tak ada masalah menggendongnya.
Tiba-tiba, Shasha menjerit melengking, membuat Jiaming dan Lingjing kaget.
Suara serak, lemah, terkikih-kikih. Saat tubuh Shasha terangkat sekejap, Jiaming tiba-tiba merasakan tangan yang dipeluknya mencengkeram kencang. Air mata berderai-derai tumpah dari matanya, sambil meracau kata-kata mimpi yang tak dipahami. Tangannya seperti orang gila mencakar-cakar ke arah Jiaming, memukul berkali-kali luka di dadanya yang tertutup selimut. Entah itu selimut, seprai, atau tubuh Jiaming, begitu tergenggam langsung ditarik mati-matian. Akhirnya dia memeluk erat tubuh Jiaming sambil terus meracau dan menangis histeris.
Situasi serupa seperti ini, sebelumnya Jiaming hanya pernah menyaksikan sekali pada tubuh Shasha.
Saat itu mereka ditangkap oleh Cao Dongfeng dan ayahnya, ketika Cao Dongfeng memukul Jiaming, Shasha diikat tangan kakinya di kursi. Dia berjuang dan menangis di kursi, kemudian akhirnya bersujud ke tanah bersama kursi. Saat itu sambil merengek-rengek, dia menggeser kursi seinci demi seinci mendekati Jiaming, meninggalkan jejak panjang di bawah tanah, situasi yang mirip dengan kejadian kali ini.
Dada yang dipukul Shasha tentu terasa sakit. Shasha memeluknya erat-erat seolah mengerahkan seluruh tenaga, namun mendengar tangisannya, Jiaming tiba-tiba merasa kebingungan. Segala pengalaman tak bisa membantunya menghadapi situasi ini. Lingjing membelai lembut punggung Shasha: "Dia mimpi buruk..." Suaranya terisak, kemudian menghadap Jiaming dengan tudingan pertama sejak beberapa hari terakhir: "Kau bajingan..."
Tak lama kemudian Shasha terbangun. Dua perempuan itu dengan panik memeriksa dada Jiaming. Shasha menangis meminta maaf, dia tidak sengaja. Hal ini tak pernah dibahas lagi kemudian. Di dunia ini ada hal-hal yang pantang disebut ulang, cukup dikenang dalam hati.
Yahan datang ke rumah sakit tepat sehari setelah operasi, hari ketiga juga datang, kemudian hari kelima, hari kedelapan, lalu tidak datang lagi. Mungkin sedang sibuk mengorganisir persiapan masuk kuliah di Akademi Hati Kudus, atau mungkin melihat wajah Lingjing dan Shasha yang kurus kering, sementara saat bermain riang wajah mereka penuh tawa.
Percakapan selalu itu-itu saja: mengucapkan terima kasih, meminta maaf, mengatakan seharusnya tidak berkata dan berbuat seperti itu sebelumnya, bertanya "kau masih mau menerima aku sebagai teman kan?", dan semacamnya. Kadang ketika Lingjing dan Shasha pergi, dia duduk di tepi ranjang dalam kesunyian, pandangannya kompleks, seolah ingin mengatakan sesuatu yang mendadak tapi akhirnya tak terucap. Perasaan dengan Yahan adalah hubungan paling rumit yang dirasakan Jiaming sejak regenerasi. Tidak bisa mempertahankan kamuflase di depan Yahan, dia mungkin lebih canggung daripada Yahan. Dalam arti tertentu, ini mirip dengan sebagian kecil perasaan Yoritomo Taku yang pernah dirasakannya.
Tapi bagaimanapun, semua orang kembali menjadi teman. Meski tak bermakna, setidaknya pertemuan di kampus nanti tak akan terlalu dingin. Hal yang benar-benar hambar - dia tidak menyukai perasaan ini. Senjata dan trik MEMBUNUH sama sekali tak berdaya menghadapi hal seperti ini.
Liu Zheng aktif mempersiapkan perang dengan Geng San Qing, namun beberapa hari kemudian pihak lawan mengajukan permohonan gencatan senjata dengan sikap merendah. Setelah serangkaian negosiasi, Liu Zheng yang awalnya siap bertarung habis-habisan akhirnya menyetujui penyelesaian ini. Bagaimanapun, mereka akhirnya membuktikan bahwa kasus Parut Pisau bukanlah rekayasa Geng San Qing, sehingga perselisihan masa lalu kedua geng ini berhasil diredakan sementara. Peran Ye Lian dan petugas Keamanan Nasional dalam mediasi ini tidak diketahui oleh Jiaming yang masih dirawat di rumah sakit. Dendam pribadi harus diselesaikan sendiri. Ia tidak ingin Liu Zheng menimbulkan masalah besar demi dirinya. Jika investigasi nanti membuktikan Geng San Qing memang menyuruh Parut Pisau mengganggu Yahan, urusan MEMBUNUH bisa dilakukan kapan saja.
Kaoru kembali ke Jianghai pada sore hari ketiga. Saat tiba di rumah sakit, tangannya terbungkus kain kasa dan jalannya sedikit pincang. Percakapan mereka singkat. Kemudian Jiaming membaca novel silat terbaru di ranjang sambil mengabaikan kehadirannya. Kaoru hanya duduk di tepi tempat tidur, mengamati setiap gerakan Jiaming dengan tenang. Koper kecilnya yang tidak banyak berisi tergeletak di samping. Jika ada yang jeli mengamati, mungkin akan menemukan kepuasan tersamar di wajah Kaoru yang biasanya dingin - ekspresi yang hanya muncul di hadapan Jiaming.
Cuplikan percakapan mereka yang singkat:
"Luka di tangan dan kakimu?"
"Berkelahi dengan keluarga."
"Ujian? Kukira Tenku Masaoka akan membantumu menghindarinya? Sengaja terluka untuk menyembunyikan kekuatan sejati?"
Menggelengkan kepala...
“Kalau begitu aku kecewa. Ujian tingkat keluarga kalian itu, kalau kau serius pasti bisa menang mutlak. Dasarnya satu lawan satu di arena, lagian tidak akan ada yang menyerbu beramai-ramai.”
“……Tuan Gu sedang mengkhawatirkan aku?”
“Tentu saja aku khawatir dengan kekuatanmu. Tapi... kalau kau menjadikanku target permainan pertama, lebih baik kau lebih kalem. Sepertinya aku lebih suka cewek yang lebih kalem.”
“Iya...”
Setelah itu Kaoru datang setiap hari. Interaksinya dengan Jiaming tidak banyak, sesekali membantu ambil makanan atau mengupas apel. Justru lebih banyak bicara dengan Lingjing dan Shasha. Dongfang Wan juga datang dua kali, memberitahu pabrik sudah mulai beroperasi. Beberapa hari sebelumnya hujan deras menyebabkan longsor di sebelah pabrik, tapi untungnya masalahnya tidak parah. Ia menyuruh Jiaming tidak usah khawatir dan fokus menyembuhkan luka. Langit jadi saksi, Jiaming sama sekali tidak pernah memusingkan urusan pabrik. Dongfang Lu juga pernah datang sekali. Lingjing meminta maaf padanya, mengatakan saat Jiaming terluka emosinya sedang tidak stabil sehingga tidak semestinya membuang baju miliknya.
Kemudian, September tiba.
Semester baru dimulai, kelas 2 SMA.
## Bagian Keseratus Sembilan Puluh Tujuh Mari Kita Ngobrol
Musim panas berlalu, Jiaming keluar dari rumah sakit. Waktu memasuki musim gugur tahun 98, segalanya kembali ke pola semula.
Kembali ke rumah kontrakan bersama Lingjing dan Shasha, hari-hari masih diisi rutinitas sekolah seperti biasa. Bagi mereka bertiga, musim gugur ini berlalu dengan tenang.
Dengan mediasi dari Keamanan Nasional, dunia hitam di Kota Jianghai tidak lagi menimbulkan gejolak besar; keluarga Yuechi dan Takamagahara mengerahkan usaha maksimal untuk mengalihkan Pei Luo Jia di wilayah Jepang, ditambah dengan efek intimidasi dari nama TULIP, untuk sementara waktu tidak ada pembunuh yang nekat datang mengacau di Jianghai. Situasi di Dunia Kegelapan yang semula kacau dan panas sejak awal bentrok, setelah setengah tahun ditambah intervensi keras pemerintah Jepang, akhirnya bisa ditekan ke dalam situasi yang lebih terkendali. Saling serang meski tak ada yang mau mengalah, namun sulit untuk menentukan pemenang.
Di sisi lain, pabrik mainan Dongfang Wan mulai beroperasi. Gelombang pertama hewan peliharaan elektronik dirilis dan mulai menutup biaya produksi. Dengan merek ternama keluarga Dongfang sebagai tameng di depan, ditambah jaringan distribusi yang luas, keuntungan di tahap awal pada dasarnya terjamin. Masalahnya hanya seberapa besar perusahaan ini akan berkembang ke depannya, dan seberapa besar potensi yang bisa digali di bawah kepemimpinan Dongfang Wan. Inilah ujian sebenarnya baginya - seberapa besar posisi yang bisa diraihnya di keluarga Dongfang juga ditentukan dari sini.
Untuk pabrik ini, tanpa mengganggu pelajaran dasarnya, Dongfang Wan telah mencurahkan seluruh usahanya. Karena masih bersekolah, setelah meraih prestasi pertama, dia bisa merekrut beberapa staf manajemen dari grup perusahaan keluarga Dongfang untuk membantu mengawasi. Xu Yiting adalah satu-satunya tangan kanannya, yang sambil belajar juga membantu menangani urusan-urusan sederhana untuk Dongfang Wan.
Membiarkan Dongfang Wan mengurus laboratorium, tapi pabrik jarang dikunjungi. Namun secara keseluruhan, suasana antara Dongfang Wan dan Jiaming mulai mencair - terutama setelah desain hewan peliharaan elektronik karya Jiaming mendapat respon yang baik di pasaran. Tanpa omelanDongfang Wan yang kadang mengganggu, kehidupan sehari-hari dengan berbaring tidur di atas meja berjalan lancar dan santai.
Shasha yang dulunya jadi pasukan utama di tim voli, kini merasa bosan karena Tan Suyan yang suka bersaing dengannya sudah masuk kuliah. Karena sifatnya yang suka kebebasan, dia memutuskan keluar dari tim, hanya mau main saat diajak bertanding santai. Dibanding Jiaming yang kurang disukai, karakter ceria dan kemampuan olahraganya yang hebat membuat hubungan interpersonalnya jauh lebih baik. Kadang terlihat di kampus dikelilingi banyak perempuan yang riuh, hidupnya penuh warna.
Untuk Lingjing, sejak Dongfang Lu berterus terang dengan Jiaming, dia tak lagi sering meminta bantuan urusan. Punya beberapa teman di kelas walau tak banyak, kadang jalan-jalan beli buku. Setiap minggu tetap izin 2 hari, bergantian dengan Jiaming menyiapkan makan malam. Setelah terbentuk hukum alam ini, semua orang mulai terbiasa. Nilainya tetap ranking atas, sesekali dapat surat cinta yang langsung dibuang ke tong sampah.
Hobi sampingan Lingjing adalah bermain piano. Yahan mengajarinya pengetahuan dasar, namun karena bakat alaminya yang tinggi dan sensibilitas musik yang baik, Yahan sudah tidak mampu mengajarnya lagi sejak awal. Terkadang membeli buku untuk belajar mandiri, pernah juga mengikuti kelas pelatihan, namun setelah merasa tidak ada lagi yang bisa dipelajari, akhirnya mengundurkan diri. Restoran Nordic Fantasy di Jalan Timur sudah tidak pernah dikunjunginya lagi, namun masih menjaga kontak dengan Chen Ke'an——teman Zhang Jingfeng yang merupakan seorang pianis, sesekali meminta nasihat dan meminjam beberapa buku. Konon Zhang Jingfeng kini sudah tidak mengelola Nordic Fantasy lagi, melainkan kembali mengelola bisnis hotel berantai keluarga, hubungan mereka pun semakin renggang sehingga terhindar dari penolakan terang-terangan seperti yang pernah dilakukan terhadap Dongfang Lu.
Di kampus, Yahan kembali menunjukkan senyuman kepada Jiaming dan Lingjing, namun pada akhirnya hanya berada dalam status Teman. Hal-hal seperti dulu yang sering dilakukan seperti browsing di kantor Yahan atau tidur siang, tidak pernah terjadi lagi. Yahan mempertahankan kondisi Pekerjaan yang tanpa cela, terlihat sangat Mental di depan siapa pun. Tidak diketahui apakah ini karena mood-nya membaik setelah menerima situasi atau fase akhir sebelum kematian dari hati yang sudah MATI.
Singkatnya, waktu terus berlalu dalam situasi ini melewati September, melewati Oktober. Setelah memasuki November dan musim dingin tiba, cuaca mulai berubah dingin. Pada suatu hari di November, Jiaming tiba-tiba melihat sebuah informasi.
13 November, Tak terhitung dewa-dewa tiba di Bangkok, Thailand.
"Untuk apa orang gila ini ke Thailand... Melakukan operasi ganti kelamin?"
Kekuatan seorang diri tidak bisa mengendalikan seluruh dunia, apalagi Jiaming bukanlah orang yang memiliki keinginan untuk mendominasi. Sejak menjalin kerja sama terselubung dengan Tenku Masaoka, sebagian intelijen Takamagahara mulai dikirimkan kepada Jiaming setiap hari. Informasi singkat ini terselip di antara berbagai urusan remeh-temeh. Alasan mengapa hal ini menarik perhatian singkat Jiaming, tentu saja karena nama gila "Tak terhitung dewa-dewa".
Seharusnya tidak ada hubungannya denganku...
Setelah mempertimbangkan sebentar, Jiaming menyaring informasi ini dan mulai membaca laporan berikutnya.
Thailand, pinggiran Kabupaten Bawi Bangkok, Pusat Cabang Asia Pei Luo Jia.
Secara permukaan terlihat seperti pabrik pribadi biasa yang luas, namun sebenarnya memiliki fasilitas pertahanan dan pelatihan yang lebih sempurna daripada basis militer. Ini adalah markas terbesar Cabang Asia Pei Luo Jia yang memiliki lebih dari empat ratus pembunuh berbagai tingkat. Di bawah tanah area pabrik ini, terdapat kompleks bangunan bawah tanah mewah namun fungsional. Saat ini sekitar seratus pembunuh yang sedang tidak bertugas tinggal dan berlatih di sana.
Hampir tengah malam, di lapangan tembak bawah tanah yang terasa sepi ini, hanya ada satu orang yang sedang berlatih karena berbagai alasan.
Di bawah cahaya lampu yang terang, yang muncul di depan mata kami adalah seorang pria kekar dengan tubuh bagian atas setengah telanjang, kulit hitam legam, rambut hitam bergelombang sepanjang bahu, wajah garang, otot-otot berotot, serta bekas luka mengerikan yang berjejer. Gaya menembak dengan dua senjata di tangan ke depan membuatnya terlihat seperti versi modern dari Lu Zhishen. Namun, sesekali ketika rambut panjangnya berkibar, terlihat jelas bahwa telinga kirinya pernah terluka, kini separuhnya hilang.
Sasaran tembak bergerak terus menerus di depan, dua senjata di tangan pria itu terus menembak. Begitu peluru habis, SEGERA diganti dengan magasin baru dengan kecepatan tertinggi. Di bawah kakinya, selongsong peluru menumpuk, selongsong baru masih terus berjatuhan, memantulkan kilau keemasan saat terpental. Entah sudah berapa lama latihan menembak mekanis ini berlangsung.
Dentuman senjata monoton terus bergema.
Pada suatu saat, setelah peluru di pistol kanan habis dan sedang hendak mengganti magasin, tiba-tiba ia merasakan kehadiran sesuatu di belakangnya. Dengan pistol kiri di tangan, tubuhnya berputar secepat kilat, tanpa ragu menarik pelatuk.
Yang terlihat adalah sebuah senyuman.
Tanpa gerakan berlebihan, tepat setelah laras senjata mengarah ke dahinya, senyuman itu dengan lembut menyamping. Peluru menyusur pelipisnya. Sesaat kemudian, ia menundukkan kepala, peluru kedua melesat di atas kepalanya.
Tangan kiri memegang senjata ini hanya memiliki dua peluru terakhir, tanpa keraguan sedikit pun, pukulan berat tangan kanan pria kekar sudah melesat menghampiri. Mengayunkan tangan untuk menangkis pukulan yang sangat kuat ini, kemudian serangan seperti badai pun terjadi.
“Aaaaaaaaa——”
“Kumohon... tank, aku tidak ingin bertempur tanpa alasan yang jelas dan tanpa harapan menang...”
“Mati kau!”
“...Kalau begitu pergilah!”
Dalam sekejap sudah tidak terhitung berapa pukulan berat yang ditangkis, berapa tendangan lutut yang dielakkan, pria tersenyum yang memang tidak mengandalkan kekuatan fisik mulai kesal. Seketika, setelah benturan mutual, tubuh mereka berdua terbang ke arah berlawanan. Pria kekar terlempar melewati platform latihan tembak, berguling di tanah lalu bangkit. Pria tersenyum menghantam dinding sejauh satu meter di belakangnya, kemudian langsung mendarat di tanah sambil membenahi debu di bajunya. Di belakangnya, keramik dinding retak membentuk pola jaring laba-laba berbentuk lingkaran, fragmen-fragmennya berjatuhan dengan suara prak-prak.
“Rasa malu membuatmu berkembang ya, Tank... Tapi ini hal baik...” Pria itu mengangkat alis, lalu merapikan jaket bunga di tubuhnya, “Kau tidak kedinginan? Cuaca Jepang sekarang tidak bersahabat. Waktu ke Thailand mereka bilang ini daerah tropis, tidak perlu pakai banyak lapisan... Aku tertipu, lihat aku hanya pakai jaket tipis... Dingin sekali, kapan dunia ini bisa tidak sedingin ini ya...”
"Sejujur-jujurnya, meski musim sudah masuk musim dingin dan AC di sini tidak dinyalakan, suhunya sebenarnya tidak bisa dibilang dingin. Tapi, mengingat kebiasaan mereka yang sejak kecil takut kedinginan, Tank tidak berkata apa-apa, hanya mengerutkan kening: 'Tak terhitung dewa-dewa... Kau datang ke Divisi Asia buat apa?'"
"Meski secara nominal masih satu organisasi yang sama, selama bertahun-tahun berbagai cabang Pei Luo Jia saling bersaing diam-diam. Meski markas Jepang dianggap sebagai kantor pusat, tetap saja tidak ada rasa saling suka. Tapi Tank adalah pembunuh yang dilatih di markas Jepang lalu dikirim ke cabang Asia, jadi masih bisa dibilang kenal dengan Tak terhitung dewa-dewa. Tak terhitung dewa-dewa tersenyum: 'Tentu saja untuk mengajakmu melakukan hal besar.'"
"'Kalau mau berbuat hal besar, lakukan sendiri.'"
"'Aku juga ingin melakukannya sendiri, tapi... Orang berkemampuan tinggi kadang harus mau Berperan sebagai pemimpin untuk memperluas skala operasi. Masak menyiapkan teh atau menuangkan air harus kulakukan sendiri?'"
"'Maksudmu...' Tank menyunggingkan senyum dingin, 'Aku ini antekmu?'"
"'Tentu saja. Kenapa tidak?' Tak terhitung dewa-dewa menjawab dengan wajar. Melihat Tank yang hendak pergi sambil menyeringai, ia melanjutkan: 'Setidaknya dalam operasi di Kota Jianghai ini, apa kau mau memimpinku?'"
"Mendadak Tank berhenti, perlahan menoleh: 'Aku tidak dengar ada operasi di Jianghai. Yang kuketahui bulan lalu usulanmu untuk membunuh Chen Guxia di Jianghai ditolak dalam rapat markas.'"
“Apa yang ditolak? Kau pernah lihat proposal bodoh yang kubuat itu?” Dia mengangkat bahu, “Hal yang sudah kutetapkan untuk dilakukan, sejak kapan Morikami Kura bisa membatasiku? Itu ultimatum! Ultimatum! Makanya sekarang aku datang ke sini untuk memimpin kalian menghapus rasa malu masa lalu. Bagaimana? Terharu tidak?”
Tank ragu sejenak, baru bertanya setelah beberapa saat: “Untuk membunuh Chen Guxia, kau sendiri saja sudah cukup. Mengapa harus ke sini?”
“Pertanyaanmu tepat sasaran!” Tak terhitung dewa-dewa menggerakkan jarinya dengan bersemangat, “Aku punya rencana yang seksi, menegangkan, dan menarik. Bagaimana? Tentang ini... Mari kita diskusikan?”
## Bagian Keseratus Sembilan Puluh Delapan Awal Musim Dingin
Perpustakaan Besar Kota Jianghai.
Angin utara menerpa jalanan kota. Beberapa hari terakhir suhu turun drastis, para pejalan kaki sebagian besar sudah mengenakan pakaian tebal. Sekitar jam sebelas pagi, pintu kayu merah di ruang rapat besar Perpustakaan terbuka. Rapat dengan tajuk "Seluruh Negeri Guru..." dan "Seluruh Negeri Tenaga Pendidik..." sementara bubar. Yahan yang mengenakan jas hujan abu-abu keluar bersama kerumunan peserta rapat. Ia membersihkan kacamata minusnya lalu mengenakannya kembali, wajah cantik yang memancarkan aura intelektual memikat dengan sentuhan melankolis samar.
“Heh, hehe...”
Dalam suara bicara, Yahan menoleh ke belakang. Seorang pria asing berambut pirang bermata biru menyusul dari belakang, tersenyum sambil mengulurkan tangan: "Hai, halo, namaku Roger, dari Universitas Peking. Tadi di dalam..." Ia melambaikan tangan, "Aku duduk di belakangmu."
"Oh, ada perlu apa?" Menyaksikan senyum memikat yang mengembang di wajah pria itu, senyum sopan menguar di wajah Yahan disertai anggukan.
Absennya perkenalan diri dari pihak lawan jelas mengejutkan pria tersebut. Setelah jeda sejenak, ia berkata dengan tertawa: "Hehe, uh... Tadi di belakang kulihat kau menggambar di buku catatan, cukup menarik... Oh, jangan salah paham, maksudku ini kan cuma rapat membosankan, kita datang juga cuma untuk jalan-jalan. Ngomong-ngomong, apakah kau asli Jianghai? Logatmu terdengar khas."
Seorang warga asing yang ahli menilai logat berbagai daerah Tiongkok membuat Yahan tersenyum geli: "Hmm, tapi aku bukan profesor universitas. Kali ini cuma datang sebagai pendengar biasa untuk belajar. Aku mengajar di SMA, Akademi Hati Kudus, Kota Jianghai."
"Akademi Hati Kudus Jianghai!" Mata Roger sang pria asing berbinar, antusias menemukan topik pembicaraan: "Aku pernah dengar, metode pengajaran kalian sangat inovatif, beberapa bahkan pertama di Tiongkok untuk tingkat SMA. Kemampuan mandiri dan bertindak murid-murid kalian jauh melampaui sekolah biasa. Hei, mungkin kita bisa ngobrol lain waktu."
Setelah hening sejenak, Yahan mengangkat pergelangan tangan melihat jam: "Maaf... Kurasa hari ini tidak ada waktu."
“Ah, tidak apa-apa, lagipula di Jianghai masih ada beberapa hari. Ngomong-ngomong, ini juga pengalaman pertamaku ke sini, bisa bantu jelaskan tempat-tempat menarik?”
“Hmm...” Senyum samar mengambang di bibirnya, Yahan mengangguk perlahan sementara pikirannya sudah pergi dari obrolan mengganggu ini. Kedatangannya hari ini adalah untuk berdiskusi dengan perwakilan kampus ternak tentang rekomendasi mahasiswa, lalu melakukan observasi singkat. Nanti sore masih ada segudang hal yang harus ditangani. Saat hendak menolak dengan halus, suara dari belakang sisi kanan terdengar: "Yahan, kenapa sudah keluar? Aku cari-cari kamu di mana-mana."
Yang berlari kecil dari belakang adalah Xu Mo. Meski selama setengah tahun terakhir Yahan sama sekali mengabaikannya, pria penuh cinta ini terus melanjutkan perhatian besarnya dengan semangat Mental layaknya Gunung Yi dipindahkan - mengingat dulu saat Yahan punya pacar pun tak pernah menyerah, apalagi sekarang. Meski ada temannya dalam konferensi ini, pihak yang tahu pasti paham kedatangannya demi Yahan. Melihat Yahan sedang diganggu, langsung buru-buru datang dengan sikap akrab: "Ah, ini... Oh, aku Xu Mo, rekan kerja Yahan. Halo."
"Aku Roger, nama Tiongkok dan asingku sama." Xu Mo tetap bersikap antusias, Roger pun terus memancarkan senyum memikat sambil berjabat tangan, lalu tertawa: "Yahan?" Tampaknya menanyakan konfirmasi nama.
“Hmm.” Mengangguk perlahan, tidak banyak bicara. Dua pria itu mulai terlibat dalam percakapan akrab bagai medan perang tanpa asap mesiu. Yahan merasa bosan, berencana mengucapkan kata perpisahan untuk membiarkan kedua pria ini melanjutkan obrolan. Pandangannya beralih, sorotan rok biru air di aula bawah tiba-tiba menangkap perhatiannya.
Di kerumunan orang, Lingjing yang mengenakan rok panjang biru air berdiri sambil membawa dua buku, melambaikan tangan ke arah terowongan yang sulit terjangkau pandangan Yahan. Dadanya berdebar – biasanya yang menemani Lingjing pasti Jiaming atau Shasha. Mungkinkah Jiaming? Sebelum bayangan itu muncul, secara bawah sadar ia sudah memalingkan kepala: "Maaf, saya harus pergi. Adik saya menunggu. Silakan lanjutkan obrolan kalian."
"Eh..." Senyum Roger mendadak kaku. Xu Mo juga menunjukkan ekspresi bingung: "Adik?" Dia tahu persis Yahan tidak punya saudara perempuan.
Tanpa penjelasan, setelah mengucapkan itu Yahan sudah menuruni tangga putar mendekati Lingjing. Keduanya memang memiliki aura mirip, hanya saja Lingjing masih terlihat polos sementara Yahan lebih matang, seperti sepasang saudari.
"Lingjing."
"Ah... Kakak Yahan." Bahunya ditepuk, Lingjing menoleh. Yahan malah mengikuti arah ayunan tangannya memandang ke kejauhan, namun tak terlihat bayangan Jiaming. Di depan konter penyimpanan barang, Xu Yiting yang membawa tas kain kuning muda sedang merapikan barang-barang. Hatinya lega sejenak, namun juga merasa kecewa. Matanya tertuju pada buku di pangkuan Lingjing, di sampul belakang tergambar sebuah kecapi.
"Mau meminjam buku musik?"
"Biografi Beethoven." Lingjing tersenyum sambil mengangkat buku itu, "Di jalan ketemu Xu Yiting, jadi datang bersama. Kakak Yahan... Ah, kamu datang untuk rapat ya?" Sejak Yahan pertama kali mengusir Jiaming, ia tak pernah lagi mengunjungi Wushu Ye. Fakta bahwa ketiganya tinggal bersama juga membuat Lingjing canggung di hadapan Yahan. Meski persaudaraan mereka tetap erat, Lingjing tak bisa menahan rasa malu di depan Yahan.
"Cuma mau cari koneksi aja. Hmm? Kok bajumu sedikit? Tidak kedinginan?"
Lingjing menarik kemeja tipis bermotif bunga violet di tubuhnya, menjulurkan lidah malu-malu: "Pagi tadi lari pagi, waktu pulang belum terasa dingin. Kira siang akan lebih panas, jadi langsung keluar. Tahu-tahu angin kencang... Tapi gapapa, aku pulang SEKARANG JUGA."
"Jiaming juga tidak menjagamu……" Bergumam sedikit kesal, Yahan melepas mantelnya dan menyampirkannya ke tubuh Lingjing meski sang gadis terus menolak, "Aku masih pakai dua lapis lagi. Sudah, diam saja. Mobilku parkir di luar, nanti aku yang antar kalian pulang."
"Jiaming menemani Shasha ke rumah Paman Liu. Aku berencana kembali ke perguruan silat. Kakak Yahan ikut makan malam di sana, yuk."
"Eh… Nanti sore aku ada urusan…"
"Itu kan masih nanti sore. Kakak sudah lama tidak main ke sini. Ibuku sering nanyain kabarmu, lho."
Di tengah obrolan mereka, Xu Yiting yang telah merapikan barang-barangnya berlari kecil mendekat: "Bu Guru Zhang." Dulu gadis ini pemalu dan rendah diri, bahkan sempat ingin MATI setelah ayahnya meninggal. Namun sejak Jiaming meminjamkan uang dan Dongfang Wan memintanya membantu menangani urusan pabrik mainan, perlahan Yiting mulai menunjukkan aura santai. Baru beberapa kalimat terucap, bunyi lonceng telepon terdengar dari tasnya—ponsel yang diberikan Dongfang Wan.
"Hmm, dokumen itu? Ada di tasku, rencananya sore mau kubawa… Harus SEKARANG JUGA ke Senior Dongfang? Oke, aku segera berangkat."
“Hari ini liburan, sebenarnya waktu ini seharusnya milik Dongfang Wan yang sudah membayar gajian. Meski hanya seorang siswa SMA dan hanya berbakat dalam perhitungan angka yang rutin, sebagai tangan kanan utama, Xu Yiting tetap sangat dihargai oleh Dongfang Wan. Bagaimanapun juga, dalam hati Dongfang Wan, genius atau elit bukanlah intinya, yang paling berharga adalah semangat kolektivitas yang patuh pada komando dan bisa menyelesaikan syarat-syaratnya sesuai ritme rutin. Jadi untuk hal-hal yang masih dalam kemampuan Yiting dan bisa dipelajari, Dongfang Wan berusaha memberinya kesempatan untuk menjalin kontak. Saat menerima telepon, ia tersenyum dan berbicara sebentar dengan Yahan dan Lingjing, lalu bersiap pergi. Yahan sempat ingin menyetir untuk mengantarnya, tapi ditolak dengan halus.”
“Aku naik taksi saja, lagipula bisa direimburse.”
Mengayunkan tangan, ia berlari kecil keluar dari Perpustakaan. Saat masuk ke taksi, dari jendela kaca jok belakang terlihat Yahan dan Lingjing sedang tertawa berjalan keluar dari pintu gerbang. Rasa terima kasihnya pada Yahan yang pernah membantunya berhenti dari racun tak terucapkan. Melihat Yahan juga mengingatkannya pada Nona Suyan yang lama tidak bertemu, tapi akhirnya dalam hati muncul perasaan aneh, teringat pada sepupu Jiaming.
Meski menyebutnya sebagai sepupu laki-laki, Ye Lingjing tidak merasa dekat dengan Jiaming. Dia terlalu biasa, terlalu penyendiri, dan terlalu eksentrik. Namun Guru Yahan yang beraura anggun adalah temannya, Ye Lingjing yang cantik luar biasa adalah temannya, Liu Huaisha yang penuh semangat dan mengagumkan adalah temannya, gadis Jepang Kaoru dengan kecantikan memesona adalah temannya, menurut Dongfang Wan bahkan Kakak Suyan juga temannya. Yang mengejutkan, dia bahkan bisa merancang hewan peliharaan elektronik itu hingga membuat Dongfang Wan belakangan mulai mengaguminya. Seolah-olah sekumpulan orang hebat ini berputar-putar mengelilingi seorang anak laki-laki yang biasa-biasa saja.
Perasaan yang aneh...
Setelah merenung sejenak, dia menggelengkan kepala.
Sudahlah... Mungkin seperti kata Dongfang Wan, ada orang yang ahli mengatur strategi, ada yang jitu menghitung rencana, ada yang lihai berbohong dan bertingkah aneh, ada juga... yang justru membuat semua orang sulit memahaminya...
Taksi berhenti di depan villa keluarga Dongfang.
Setelah membayar ongkos, dia menjelaskan maksud kedatangannya pada pelayan. Tak lama, Dongfang Lu yang mengenakan seragam olahraga biru-putih seperti mentari musim semi yang penuh vitalitas, tanpa sedikit pun memancarkan tekanan dahsyat, menyambutnya dengan senyuman. Meski Xu Yiting bersikeras akan pergi setelah menyerahkan dokumen, tapi tak kuasa menolak nada santai yang terdengar dari Dongfang Lu.
“Waktu sudah larut, hampir jam dua belas malam. Xiao Wan juga benar-benar, apa bedanya kalau dibawa nanti sore? Masuklah, tidak apa-apa. Saat turun tadi aku sudah memberi tahu dapur untuk menyiapkan satu set peralatan makan tambahan. Tidak ada yang merepotkan... Cepat masuklah, ngapain berdiri di gerbang terus bicara? Lagian bukan orang luar lagi...”
Faktanya, villa keluarga Dongfang hanya pernah dikunjungi Xu Yiting beberapa kali, itupun selalu ditemani Dongfang Wan. Pertemuan berdua saja dengan Dongfang Lu ini baru pertama kalinya. Namun, Dongfang Lu memang memiliki afinitas yang membuat orang merasa "bukan orang luar", bisa dibilang semacam bakat bawaan sejak lahir.
Masuk bersama ke ruang tamu, Dongfang Lu sambil membuka-buka dokumen mengambilkan jus untuk Xu Yiting dan mengobrol santai. Mengingat Dongfang Linghai masih dalam masa perawatan, villa besar ini selain Dongfang Lu hanya diisi beberapa pelayan sederhana, sehingga tidak memberi tekanan dahsyat pada Xu Yiting. Hanya saja saat menyadari sedang berdua dengan Dongfang Lu di ruangan yang sama, terkadang pipinya tak terasa memerah tanpa sadar. Dongfang Lu selalu menjadi pangeran impian di mata perempuan kampus - latar belakang keluarga baik, tampan, berprestasi akademik, dan tidak sombong. Bersama teman sekelas laki-laki yang begitu hebat, wajar saja muncul kehendak-kehendak tambahan. Untungnya Dongfang Lu terus berkutat dengan dokumen, sesekali mengangkat pandangan seolah tak menyadari keanehan kecil darinya. Setelah selesai memeriksa dokumen, Dongfang Lu seperti menemukan sesuatu. Setelah mempersilakan Xu Yiting bersantai, ia berbalik badan naik ke lantai atas untuk mempersiapkan modifikasi dan mengirim faks.
Xu Yiting akhirnya menghela napas panjang lega.
Duduk di sofa sambil minum jus, dia mengamati dekorasi elegan namun tidak mewah di sekitarnya dengan santai. Seekor anjing Dalmatian dengan bintik-bintik di seluruh tubuhnya masuk melalui pintu, memandanginya dengan penasaran. Meski tahu ini anjing peliharaan, Xu Yiting tiba-tiba merasa tegang di seluruh tubuhnya.
Pergi, pergi... Sambil menoleh, dia membawa jus jeruk di depan dada, berdoa dalam hati.
Tapi anjing Dalmatian itu tidak mendengar suara hatinya. Perlahan ia mendekat, berhenti di depan meja teh dengan jarak sekitar satu setengah meter dari Xu Yiting, memandanginya dengan ekspresi manis.
Abaikan saja... Xu Yiting menatap lurus ke depan. Sesaat kemudian, anjing itu mengeluarkan suara kecil. Xu Yiting langsung gemetar, mengalihkan pandangan tajamnya ke mata anjing Dalmatian. Sorotan mata tajamnya yang tiba-tiba bahkan membuat anjing itu mundur dua langkah, lalu memandang mata lawannya dengan heran. Seorang manusia dan seekor anjing terlibat deadlock di ruang tamu.
“Itu……Eh?” Tak tahu sejak kapan, Dongfang Lu yang telah menyelesaikan urusannya turun dari tangga. Merasakan suasana aneh, ia pun tertegun. Melihat tuan mendekat, anjing Dalmatian yang sejak tadi bertatapan dengan Xu Yiting berlari kecil mendekat, kemudian ditepuk oleh Dongfang Lu: “Xiao Q, main di luar, jangan masuk lagi nakuti orang.” Anjing itu merintih pilu sebelum berlari pergi. Xu Yiting menyesap jus jeruknya dengan cepat, ekspresinya agak canggung. Dongfang Lu tersenyum bertanya: “Xiao Q cuma anjing peliharaan, tidak menggigit, apa dia menakutimu?”
“Ti…Tidak, tapi aku takut anjing.” Xu Yiting tersenyum malu-malu, “Sejak kejadian waktu itu ketika bersama teman sekelas Dongfang dihantui dua ekor Neapolitan…”
“Teman sekelas Dongfang…Xiao Wan?”
“Hmm…” Xu Yiting mengangguk, “Dia tidak ceritakan padamu? Ngomong-ngomong, waktu itu sepupu Jiaming juga ada di situ.”
“Ha, Xiao Wan itu keras kepala. Hal memalukan pasti tidak akan diceritakan padaku, apalagi yang dilihat Gu Jiaming…” Dongfang Lu terkekeh, lalu pandangannya terlihat merenung, “Neapolitan? Kau yakin itu Neapolitan?”
"Ya, dua ekor besar, dan tidak dikunci rantai besi. Kami bertiga saat itu tidak punya tempat lari, sempat mengira akan MATI digigit. Hmm... Sebenarnya semua salahku..." Sambil menirukan gerakan ganas anjing Neapolitan Mastiff kepada Dongfang Lu, Xu Yiting dengan malu menceritakan ayahnya yang kecanduan narkoba dan berutang, kemudian dirinya diculik, hingga akhirnya diselamatkan oleh Jiaming dan Dongfang Wan lalu bersama-sama melarikan diri. "...Begitulah, kami lari masuk ke halaman itu. Rombongan Yong Sheng yang mengejar sudah menjauh. Tepat saat kami mengira sudah aman, dua anjing besar itu muncul dari balik taman bunga yang belum diperbaiki. Mereka menggeram sambil mengeluarkan air liur deras. Anehnya leher mereka tidak ada rantai besi! Kalau kami berbalik lari, pasti sudah terlambat..."
"Lalu? Pemiliknya keluar kan?"
"Mana ada? Tidak ada yang datang sama sekali. Xiao Wan mengenali itu anjing Neapolitan Mastiff asal Italia. Katanya mafia biasa pakai anjing jenis ini untuk MEMBUNUH. Kami semua ketakutan setengah MATI. Lalu Jiaming... Sepupu Jiaming bilang dengan menatap mata hewan itu langsung, kita bisa mengusir mereka. Kami bertiga menatap mati selama setengah hari, dan benar saja kedua anjing itu kabur..."
Dongfang Lu menunjukkan ekspresi tak percaya: "Dengan menatap... mata mereka?"
"Iya, aku pernah baca di beberapa buku, katanya memang begitu caranya..."
“Hmm, Dunia Satwa juga pernah aku tonton...” Dongfang Lu menggelengkan kepala sambil tersenyum dengan kekecewaan. Suara pelayan yang mengumumkan makan siang siap menghentikan renungannya. Dengan ramah, ia mengantar Xu Yiting menuju restoran di sebelah.
Makan siang itu dinikmatinya dengan sangat nyaman.
Saat Chen Guxia memasuki ruang tamu villa keluarga Dongfang pada pukul dua siang, Dongfang Lu sedang duduk di sofa, bertatapan dengan seekor Dalmation yang malang. Jelas terlihat anjing piaraan itu dalam posisi terdesak, gemetar ketakutan tanpa memahami mengapa tuannya tiba-tiba menunjukkan ekspresi marah seperti itu.
“Ada apa?”
“Tidak ada... Katanya kalau bertemu hewan buas, menatap matanya bisa mengusir mereka. Guru Chen, benarkah begitu?”
“Hewan buas... Sepertinya Xiao Q memang benar-benar ketakutan olehmu. Tapi dia bukan termasuk hewan buas...”
“Kalau Neapolitan Italia bagaimana?”
“Neapolitan?” Chen Guxia mengerutkan alisnya, “Salah satu anjing terganas di dunia. Bahkan bisa bertarung dengan serigala. Sifatnya ganas dan dahaga darah. Kalau bertarung tangan kosong, pasukan khusus biasa pun bisa terluka. Kenapa menanyakan ini?”
“Mungkinkah aku mengusirnya?”
“Kau seharusnya bisa membunuh satu ekor, tapi menakuti sampai kabur... Kau maksud hanya dengan menatapnya saja bisa membuat kabur? Itu tergantung Niat Membunuh dan kebuasan. Jika kau dilempar ke Medan Perang, dalam 10 tahun jika tidak MATI, mungkin bisa melakukannya. Beberapa pemburu berpengalaman konon bisa lolos dari mulut harimau dengan cara ini, juga karena mereka sudah membunuh cukup banyak makhluk...”
“Kalau begitu...” Dongfang Lu mengangguk, bergumam pada diri sendiri, “Xiao Wan tentu belum pernah ke Medan Perang...”
“Eh? Apa?”
“Tidak ada, Guru Chen, mari kita mulai pelajaran nanti sore.”
Bangkit dari kursi, senyum merekah di wajah Dongfang Lu. Tak ada yang tahu, di balik senyum hangat itu, sensasi dingin yang aneh tiba-tiba merayap di sekujur tubuhnya—ada kecurigaan, gejolak dalam hati, gemetar, ketakutan...
## Bagian Keseratus Sembilan Puluh Sembilan Percikan Api
“Hatchi——”
“Kena flu?” Tangan kecil Lingjing yang dingin menempel di dahinya.
“Tidak, mungkin ada yang lagi menggunjingkanku, beberapa hari belakangan sering begini...”
“Merindukanmu?”
“Biasanya sih tanda ada yang membenciku...”
“Siapa?” Mata Lingjing membelalak, kemudian Jiaming mengangkat tangan dengan kekecewaan:
“Siapa tahu, tersangkanya terlalu banyak...”
“Di tengah keramaian pasar sayur, dua orang berdiri di depan gerobak sayur, sambil mengobrol dan memperhatikan tante berkerudung dengan wajah masam yang menimbang timun pilihan mereka, lalu membayar dan menunggu kembalian. Pasar kecil tempat warga desa berkumpul ini tak punya konsep pemasaran, tak perlu memusingkan ekspresi wajah penjual, lagipula pasti bukan ditujukan pada mereka. Mengusap hidung, Jiaming merasa tidak enak badan belakangan ini, cuaca sialan ini...”
“Sebenarnya, musim dingin justru jadi musim favorit Jiaming saat ini. Dibanding panasnya musim panas, di musim dingin mereka bertiga bisa berpelukan di bawah selimut sambil nonton TV, baca buku, ngobrol, atau main kartu. Saat angin dingin menderu di luar jendela, kehangatan berdesakan ini tak tergantikan. Seperti momen di sore awal musim dingin ini, di bawah lampu jalan yang baru menyala, berpelukan sambil belanja sayur dan jalan-jalan di keramaian pasar. Terang benderang, kerumunan orang, dua manusia dalam satu dunia.”
“Ngapain beli timun...”
“Timun bagus untuk hati, anti tumor, hmm... bisa juga diiris tipis untuk masker wajah.”
“Aku tak pernah liat kamu dan Shasha pake masker.”
“Hehe, ribet sih. Aku juga nggak suka sensasi lengketnya.”
“Kulitmu sudah cukup bagus menurutku.”
“Beneran?”
“Hmm.”
“Ngapa ketawa kayak gitu.”
“Senang aja...”
"Menerima uang kembalian, mereka bertiga membawa kantong plastik lalu berbalik pergi. Setelah melangkah beberapa kali, mendengar pemilik kios sayur lain bertanya ke tetangga: "Hei, timun baru yang masuk laku enggak? Katanya sayur anti musim, kalo laku aku besok mau masukin juga.""
"Timun? Sekarang susah laku."
"Kenapa?"
"Anak perempuan kecil sekarang udah pada pacaran dini......"
Sensitif dengan istilah 'pacaran dini', Lingjing menoleh ke belakang. Beberapa saat kemudian baru berbalik lagi, menjulurkan lidahnya: "Jiaming, hubungannya timun nggak laku sama pacaran dini apa ya?"
Jiaming tanpa ekspresi: "Jangan dihiraukan. Saingan bisnis tanya, pasti yang laku dikatain nggak laku. Lihat sikapnya tuh, keliatan banget nenek-nenek frustasi......"
Sambil berjalan, Lingjing terus memikirkan masalah timun. Karena terlalu serius, malah bikin pusing sendiri. Jiaming tersenyum memberi penjelasan, kemudian dikejar-kejar Lingjing sejauh 20 meter lebih di pasar. Tertawa-tawa keluar pasar, mereka sampai di jalan dengan banyak toko kecil. Di depan terhampar plaza segitiga raksasa, layar besar di toserba sedang memutar iklan, lalu lalang kendaraan.
Menuju halte bus, tiba-tiba Lingjing melompat sambil menunjuk mobil parkir: "Jiaming liat, itu mobilnya Kakak Yahan kan?" Mengikuti pandangan Lingjing, terlihat Yahan berjas hujan abu-abu dengan rambut panjang tertiup angin, sedang berdiri di depan jendela kaca sebuah toko. Detik berikutnya, dia pun melihat mereka.
“Kakak Yahan.” Lingjing memanggil, pertama kali berlari mendekat, Jiaming perlahan mengikuti. Itu adalah toko yang menjual hewan peliharaan kecil. Dari posisi Yahan berdiri melihat ke dalam, di konter terpajang pasangan kura-kura kecil yang merangkak di dalam kotak transparan berisi batu kali indah. “Lucu sekali, Kakak Yahan mau beli kura-kura?”
“Hah, masih sekedar lihat-lihat. Kalian berbelanja sayur bersama.” Ini sebenarnya kalimat pernyataan bukan pertanyaan. Lingjing yang menatap kura-kura mengangguk, Jiaming tersenyum menggoyang-goyangkan kantong di tangannya. Yahan meliriknya, kemudian memindahkan pandangan ke arah yang ditatap Lingjing.
“Bicara soal peliharaan, aku teringat A Chou nih. Dulu kita pernah memelihara kucing putih di rumah Shasha, Kakak Yahan masih ingat kan? Dipelihara satu setengah tahun. Tahun lalu masuk SMA, diserahkan ke Paman Liu untuk dirawat, lalu kabur... Aku agak merindukannya...” Sambil berbicara, Lingjing menunjuk dua ekor kura-kura di balik jendela kaca, “Kakak Yahan, menurutku dua ini paling cantik.”
“Kau anggap cantik ya... Hatchi! Kalau begitu beli dua ini saja.” Mengulurkan tangan mengusap hidung, Yahan tersenyum dengan kesepian, “Selera kita mirip, tadi juga suka dua ini...”
“Heh, Kakak Yahan kau flu ya?”
“Tidak.” Hidungnya agak kemerahan, “Mungkin ada yang sedang menghujatku.”
“Siapa yang berani menghujat Kakak Yahan?” Lingjing tertawa tak percaya.
“Tak terduga.” Yahan mengangkat bahu, tersenyum genit, “Karena terlalu banyak tersangka. Ayo, kita masuk beli kura-kura.”
Yahan yang terlalu serius menangani urusan di kampus, mungkin tidak sedikit orang yang merasa tersingkat lalu menyimpan umpatan dalam hati. Berjalan di belakangnya, Lingjing menoleh sambil mengerutkan hidung, berbisik tertawa: “Seperti yang kau katakan.”
“Karena kita sudah berkomplot dari tadi pagi.”
“Cih……”
Membeli dua ekor kura-kura peliharaan, menanyakan kebiasaan makannya, sekalian membeli kotak kaca berisi batu kali yang ditaruh di jok belakang mobil kecil. Awalnya khawatir dia tak sanggup mengangkat, mengusulkan Jiaming ikut membantu, tapi tentu ditolak Yahan. Sebenarnya tempat sewa ini hanya dua halte jauhnya, jarak ke villa Yahan juga tidak terlalu jauh, sepertinya kebetulan berada di titik puncak setengah lingkaran. Jiaming dan Lingjing berjalan ke halte bus, Yahan duduk di mobil sambil menutup rapat-rapat kaca jendela, memandangi dua bayangan yang berjalan berdampingan.
Tak lama kemudian, mereka melambaikan tangan ke arah sini, naik mobil, menghilang dari pandangan.
Dua kura-kura kecil merayap santai di dalam kotak di jok belakang mobil. Sebenarnya Yahan tidak begitu suka kura-kura ini, dia tidak punya kebiasaan memelihara hewan. Hanya saja…… villa besar itu sekarang terlalu sunyi.
Manusia tidak serta-merta membenci kekecewaan, hanya karena pernah memiliki harapan. Manusia juga tidak takut kesepian sejak lahir, yang ditakuti adalah pernah mengalami masa yang tidak terlalu sepi.
Seseorang tinggal di villa seluas itu, terutama di musim dingin yang datang sekarang, meski ada AC, terkadang saat dia masuk, berdiri di sana di malam hari, bahkan bisa mendengar gaung suaranya sendiri. Selain dirinya, tak ada seorang pun. Tanpa sadar, dia merasakan rasa dingin yang meresap hingga ke sumsum tulang.
Dia tahu yang dibutuhkan bukan hewan peliharaan, juga bukan orang lain, melainkan seseorang yang selalu ingin dilupakan namun tak pernah berhasil. Hari ini saat berjalan ke toko hewan ini, tanpa sadar berhenti, menatap hewan-hewan peliharaan berpasangan yang berdandan cantik dengan tatapan kosong. Kebetulan Lingjing datang, dua ekor kura-kura pun dibeli dengan wajar. Sudahlah, mungkin ditempatkan di kamar, memang bisa sedikit menambah kesan hidup... Rumah besar yang kosong seperti itu, jangan-jangan malah menakutkan bagi mereka di malam hari...
Menghirup ingus, dia tersenyum. Dahinya perlahan menempel pada kemudi. Kemudian mengeluarkan tisu dari badan, berusaha keras mengelap cairan yang mungkin keluar. Ada rasa lelah, sedikit kedinginan, tidak nyaman, mungkin kena flu...
Dia mencoba cek suhu, untung tidak parah. Malam ini minum obat, lalu tambah selimut sampai berkeringat, seharusnya tidak bermasalah.
Sambil berpikir, mobil kecil perlahan menyala. Bergerak menuju arah lain dari bus tadi. Sesaat kemudian, menghilang di kerumunan orang di ujung jalan.
Tengah malam, Laut Tiongkok Selatan.
Angin tidak terlalu kencang, namun gelombang laut tetap tak bisa diremehkan. Dalam pandangan yang hitam pekat, dua kapal yang tampak agak reyot bergoyang-goyang di atas ombak, satu di depan dan satu di belakang. Hanya sedikit lampu yang menyala di kapal, bagaikan dua hantu yang mengapung di laut.
Di dalam kabin kapal, pemandangannya justru sangat modern. Lapisan logam tebal, berbagai perangkat canggih dan radar berfungsi sesuai peruntukkannya di bawah kendali nahkoda. Di salah satu kabin, beberapa orang duduk mengelilingi meja yang terdapat peta navigasi dan rencana tata letak suatu area. Pemimpinnya adalah Tak terhitung dewa-dewa, didampingi tiga orang yang pernah ke Jianghai: Tank, Bai Nana, serta Naga Berbisa Naka.
"Rencana sudah dijelaskan. Setelah tinggal bersama beberapa hari ini, kupikir semuanya sudah disempurnakan. Ada yang perlu ditambahkan?" ujar Tak terhitung dewa-dewa sambil tersenyum. Tank menggelengkan kepala dengan tegas. Naka menggerakkan jarinya pura-pura menggaris di peta, tetap melakukan pengembangan rencana meski hasil akhirnya tak banyak berubah: "Peluang menang tetap tipis. Kita hanya sedang berjudi saja."
"Kami tentu saja sedang bertaruh." Tak terhitung dewa-dewa tersenyum menekankan, "Penguasa tertinggi mereka sama sekali tidak bisa dipastikan. Dan karena dia pernah mengalahkan Yoritomo Taku, apapun rencana yang kami buat, ini tetap merupakan taruhan. Lagipula... Apapun hasil operasi ini, melanggar keputusan atasan, kami semua akan menjadi musuh organisasi. Inilah makna sebenarnya dari operasi ini... Dua jam yang lalu kami sudah memasuki Laut Tiongkok. Naka, aku pernah dengar tentang sikap hati-hatimu, tapi kuharap kehati-hatian ini tidak menjadi alasanmu untuk mundur."
Menghadapi ucapan ancaman Tak terhitung dewa-dewa, Naka mengangkat kepalanya dan menatapnya tanpa gentar: "Aku harap kau pahami, bahkan dalam taruhan pun aku ingin meningkatkan peluang menang sebisa mungkin. Jangan lagi bicara padaku dengan nada seperti ini! Jika tidak, aku akan segera bertindak membunuhmu."
"Oh, aku minta maaf." Tak terhitung dewa-dewa tersenyum sambil mengangkat bahu, "Setelah hal ini, kurasa aku akan menyukai kehati-hatianmu."
Di samping mereka, Bai Nana tanpa ekspresi membungkuk membersihkan senjata di tangannya, berkata datar: "Anak bernama Gu Jiaming itu milikku."
"Tentu saja, selama kau suka, tidak ada yang tidak mungkin." Tak terhitung dewa-dewa terlihat sangat lapang dada, tersenyum cemerlang, "Tapi meski sekarang kita sudah bisa memastikan Tsukike Kaoru dan Gu Jiaming itu adalah murid Nona Jian Suyan, dan saat itu seharusnya ujian untuk mereka berdua, tapi yang akhirnya memaksamu ke titik itu pasti Nona Jian Suyan sendiri."
“Aku mungkin tidak akan bisa mengalahkannya, dia urusanmu.” Meletakkan pistol di atas meja, pandangan Bai Nana tiba-tiba menjadi dingin, “Aku hanya ingin anak laki-laki itu……”
“OK, Tentu saja, jika kau membutuhkan……” Tak terhitung dewa-dewa tersenyum, “Aku juga bisa menyiapkan kamar yang hangat untuk kalian.”
Seketika, Bai Nana ikut tertawa, dinginnya bercampur genit yang mistis: “Mengapa tidak?”
Di tengah tawa mereka, suara alarm tiba-tiba berbunyi dari kabin kapal. Keluar dari kabin, seseorang sedang mendekat dari ujung sana dan melambaikan tangan pada mereka: “Polisi Perairan Tiongkok. Awalnya kami kira bisa menyelinap lewat, tapi rupanya ketahuan.” Sambil berkata, orang itu menepuk-nepuk dinding kabin kapal. Yang muncul kemudian adalah tentara bayaran dengan peluncur roket di punggung atau membawa berbagai senjata api.
Naka menggelengkan kepala: “Awal yang tidak baik……”
Tak terhitung dewa-dewa justru tersenyum: “Aku suka sensasi seperti ini. Ayo, kita lihat keluar.”
Menyusuri tangga menuju geladak, cahaya terang lampu sorot sudah mengarah ke sini disertai siaran keras.
“Kami dari Kepolisian Tiongkok. Kapal tak dikenal di depan, kalian telah memasuki wilayah perairan Tiongkok. SEGERA hentikan kapal dan terima pemeriksaan, SEGERA hentikan kapal dan terima pemeriksaan…… Kami dari Kepolisian Tiongkok……”
Siaran berulang dua kali. Beberapa orang di geladak saling bertukar pandang. Tak terhitung dewa-dewa memandangi kapal patroli sambil tersenyum: “Aku memang menyukai perasaan seperti ini……” Mendekati tangga, ia mengulurkan tangan pada seorang tentara bayaran di bawah yang membawa peluncur roket: “Hei saudara, apakah itu bagus?”
“Roket M72E4 66 milimeter buatan Amerika, dilengkapi peluru Penembus Zirah kinerja tinggi. Dengan kecepatan 200 meter per detik, bisa menembus baja setebal 30 sentimeter. Sangat cocok untuk membersihkan sampah yang tak enak dipandang. Aku selalu menyukainya. Kau ingin mencoba?”
“Sangat ingin!”
Seketika, pria berkemeja bermotif bunga yang terlihat agak gila mengangkat roket di bawah sorot lampu. Dengan teriakan "Huu——", pilar cahaya merah menyala membelah kedamaian permukaan laut. Sesaat kemudian, kembang api termahal mulai membakar...
## Bagian Dua Ratus Pembukaan Tirai
“Hei, dengar kabar tentang kapal penyelundup di Laut Selatan kemarin? Mereka pakai roket dan berhasil menenggelamkan kapal polisi air!”
“Aku lihat di berita. Katanya kapal dari Vietnam atau Thailand ya. Wuih... Wuih... Gila banget, tujuh orang MATI. Katanya sampai sekarang belum ketemu...”
“Mana mungkin ketemu? Pasti sudah mendarat. Ayahku punya cabang perusahaan di Hong Kong, katanya polisi sana baru saja menggerebek penyusup lagi. Polisi bentrok dengan penyelundup manusia dan pengedar narkoba berkali-kali pakai senjata, tapi tetap belum bisa memastikan kelompok itu. Jangan-jangan sudah ke Guangdong atau mana...”
“Tiongkok bukan Amerika, mana ada yang mau menyusup ke daratan...”
“Lebih baik daripada Vietnam atau Thailand. Lagipula belum tentu penyusup, lebih mungkin pedagang narkoba.”
“……”
Tengah hari, langit tampak muram. Di dalam kelas riuh oleh obrolan, tujuh delapan siswa laki-laki berkumpul mengobrol. Bersandar di ambang jendela, Jiaming memandang kerumunan orang yang beraktivitas di lapangan bawah. Di kedua ujung lapangan sepak bola terdapat lapangan voli sederhana. Huaisha yang berambut ekor kuda berlarian penuh semangat, sesekali melambaikan tangan ke arah sini setelah mencetak poin.
"Hai, Gu Jiaming."
"Hmm?"
Saat menoleh, Dongfang Wan menghampiri dan duduk di kursi Kaoru: "Tanya sesuatu."
"Apa?"
"Ada rencana apa saat liburan musim dingin nanti?"
"Liburan? Masih jauh... Hari ini baru tanggal 2 Desember."
"Tinggal sebulan lagi. Begini..." Dongfang Wan ragu sejenak, "Ini masih persiapan awal. Saat liburan komunitas hobi kami akan jalan-jalan ke Hong Kong, hampir seluruh kelas ikut bermain seminggu. Biaya perjalanan gratis. Hmm... Hanya kamu dan Kaoru yang belum gabung. Kamu kan pemegang saham pabrik mainan, Xu Yiting pasti ikut. Ajak juga Ye Lingjing dan Liu Huaisha. Jadi dua komunitas kita gabung. Ngomong-ngomong, Kaoru pasti pulang ke Jepang ya?"
"Wah." Jiaming berdecak kagum. "Gaya besar, semuanya gratis. Liburan ke Hong Kong seminggu... Benar-benar kaya dan bermodal kuat."
“Setiap semester pasti ada!” Dongfang Wan dengan bangga mengangkat dagunya, “Selama aku mampu membayar, kali ini ke Hong Kong, liburan musim panas depan ke Eropa, lalu Amerika, Jepang, semuanya bisa dikunjungi... Sebenarnya rencana ke Hong Kong kali ini juga ingin membuka pasar di sana, aku merengek pada ayah sampai dapat beberapa koneksi. Dan... ini bukan sekadar mengajak kalian main-main, ini investasi jangka panjang, paham? Lihat, di kelas kita ada lebih dari 50 orang, sekitar 20 di antaranya berasal dari keluarga dengan aset berskala. Lagipula di Akademi Hati Kudus ini, siapa tahu pertemanan seperti apa yang tercipta. Sekarang aku mengeluarkan uang tiap tahun untuk traktir mereka bermain, beberapa tahun lagi saat mereka lulus kuliah, meski hanya beberapa koneksi yang bisa dimanfaatkan, keuntungan yang kudapat pasti seratus kali lipat...”
“Hah, ngapa harus aku? Di keluarga Huang posisiku tidak penting, Huang Haobing jauh lebih bisa diandalkan.”
“Untuk menjilatmu. Pabrik mainan kita tidak sekadar mencari untung kecil, demi mendapat suara di keluarga Dongfang, aku harus mengembangkannya dengan cepat. Selama setahun ini aku membangun fondasi kuat, tahun depan sudah harus mempersiapkan produk kedua. Tolong serius sedikit, setuju? Pabrik saja tidak pernah kau datangi, padahal sudah kubelikan banyak perangkat...”
Setelah ragu-ragu, Dongfang Wan mengangkat bahu dengan kekecewaan: “Dan yang terpenting, Lei Qing akan ikut dalam perjalanan ini. Selama setengah tahun lebih dia terus mengganggu di sini, aku sudah muak. Jika kau ikut, tugas utamamu adalah jadi perisai pembenaran.”
“Cari Haobing tidak bisa?”
“Aku butuh babi MATI yang tidak takut air mendidih.”
“Kilatan keceriaan muncul di mata Dongfang Wan, Jiaming tersenyum sambil mengangkat mata putihnya: "Lihat situasi saja. Jika Lingjing dan Shasha ingin main, aku ikut juga."
“Terlalu berlebihan, kau ini teman mereka atau pengasuh mereka?”
“Aku ini pria tampan yang hidup dari mereka berdua.”
Dongfang Wan terkikik Puff Ssshh!, menepuk bahu Jiaming. Entah mengapa, ini pertama kalinya Dongfang Wan menyentuh bahu Jiaming, rasanya alami sekali: "Kabari aku kalau sudah putuskan." Setelah berkata demikian, ia beranjak pergi. Kesibukan dan pelatihan selama setengah tahun terakhir telah menanamkan aura kematangan dan kewibawaan layaknya wanita karier tangguh pada dirinya. Jiaming menggelengkan kepala. Entah apakah kematangan ini merepresentasikan kekecewaan akibat tumbuh dalam keluarga besar di antara teman sebaya, namun jelas terlihat Dongfang Wan merasa puas dan bahagia menjalani jalan hidup pilihannya.
Setelah mengobrol, Jiaming kembali bersandar di jendela menyaksikan Shasha bermain voli. Tak lama kemudian, Lingjing muncul di sekitar lapangan membawa kantong plastik. Melihat pertandingan masih berlangsung, ia melambai-lambai ke arah gedung sekolah. Ketika Jiaming turun, Lingjing menyodorkan apel merah besar yang sudah dicuci, sambil memegang satu untuk dirinya.
“Barusan kubeli di luar, cantik sekali kan? Aku juga beliin Shasha. Lalu... ada air mineral buat mereka minum. Kupikir aku memang berbakat jadi manajer tim nih.”
"Cewek yang di film kartun cuma bisa teriak 'Semangat!' di pinggir lapangan, terus ngasih handuk, beli air mineral? Kayaknya sih semua orang punya bakat kayak gitu."
"Cih, nggak mau ngobrol sama kamu... Shasha, bagus itu!" Pas liat Shasha berhasil smash voli, Lingjing lonjak sambil teriak. Shasha mundur sambil balik badan tersenyum dan melambaikan tangan. Lingjing mengacungkan apel di tangannya ke arah Shasha, tiba-tiba wajahnya berubah: "Awas!"
Shasha menoleh, bola voli yang terbang menghantam wajahnya BYUR! Dia langsung jongkok sambil memegangi hidungnya.
Main sambil bertarung mati-matian ya konsekuensinya nggak bisa ngeluh. Sesaat kemudian, Shasha turun lapangan dengan mimisan. Cuaca akhir-akhir ini emang kering, ditambah Shasha doyan pilih-pilih makanan jadi agak panas dalam. Lingjing buka botol air mineral dan menyiramkannya, menyuruh Shasha duduk di tepi lapangan sambil menengadahkan wajah. Tapi darahnya masih terus mengalir. Jiaming buru-buru lari ke klinik ambil kapas obat.
Kebetulan jam siang, terowongan menuju klinik sepi. Pintu klinik menganga sedikit. Pas Jiaming mendekat, terdengar suara dokter sekolah Li Yunxiu sedang bicara di dalam.
"...Lebih baik ke rumah sakit saja. Soalnya kamu punya riwayat penyakit sebelumnya. Meski cuma flu kecil, tapi bisa berbahaya kalau sampai berkembang. Hmm, aku bisa kasih obat..."
Saat mengetuk pintu, Jiaming baru melihat ada orang lain di kamar itu yang ternyata Yahan. Duduk di depan meja, dia menyangga sudut dahinya dengan satu tangan, hidungnya merah-merah, tangan satunya memegang selembar tisu, jelas sedang pilek karena flu.
"Silakan masuk." Li Yunxiu berkata. Jiaming membuka pintu sepenuhnya. Melihatnya masuk, Yahan di dalam kamar terlihat agak tidak nyaman. Li Yunxiu tertawa: "Ada perlu apa?"
"Oh, Bu Guru Li. Saya mau minta kapas obat, ada teman yang mimisan."
"Sebentar, dia mengintip perempuan sedang ganti baju ya?" Sambil berjalan ke ruang dalam untuk mengambil kapas obat, Li Yunxiu bercanda. Usianya sebenarnya hampir sama dengan Yahan, penampilan sehari-hari tidak kuno, bicaranya juga santai, sangat populer di kalangan mahasiswa. Jiaming tersenyum, berbisik ke Yahan di sampingnya: "Flu?"
"Nggak apa-apa, nggak parah." Yahan menjawab pelan.
"Bisa memicu kambuhnya penyakit ginjalmu, lebih baik ke rumah sakit..."
"Aku tahu kondisi tubuhku sendiri!" Sebelum Jiaming selesai bicara, Yahan tiba-tiba memotong dengan suara keras. Li Yunxiu yang keluar dari ruang dalam sepertinya menangkap keributan ini, berhenti sebentar. Nada Yahan melunak: "Nggak apa-apa..."
Jiaming menghela napas penuh kekecewaan, kemudian menerima kapas obat dari Li Yunxiu dan berbalik pergi. Samar-samar terdengar percakapan dua orang di dalam: "Kudengar Bu Guru Zhang dan dia dulu saudara seperguruan ya."
"Dulu pernah latihan di perguruan silat yang sama, cuma salaman kalau ketemu, nggak terlalu akrab..."
"Oo..."
Pada tanggal 2 Desember 1998 pukul 3:50 sore, Tak terhitung dewa-dewa sedang berada dalam kondisi frustrasi yang sangat parah.
Dalam perjalanan ke Jianghai kali ini, selain keempat orang mereka yang termasuk dalam Pei Luo Jia, sebenarnya ada juga tim tentara bayaran internasional berjumlah lebih dari 40 orang. Tentara bayaran ini pernah terlibat dalam peristiwa Kapal Star Dream tahun lalu, kemudian personelnya berkurang drastis. Tim ini biasanya aktif di daerah-daerah dekat perbatasan Tiongkok. Alasan memilih mereka terutama karena lebih dari separuh anggota tim tentara bayaran ini memiliki permusuhan tertentu terhadap Tiongkok, namun mereka memahami Tiongkok dan pada dasarnya bisa berbahasa Mandarin. Dengan begitu, penyamaran pun menjadi lebih mudah.
Masuk ke wilayah perairan Tiongkok dilakukan dengan menghancurkan kapal patroli bea cukai. Meskipun pada dasarnya Tak terhitung dewa-dewa adalah orang gila, dia bukanlah bajingan yang sembrono. Dua kapal berikutnya maju dan mundur dengan hati-hati, akhirnya mendarat di pantai sekitar 100 li selatan Kota Jianghai. Pasukan hampir 50 orang ini akhirnya terlihat mencolok. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok: satu sisi untuk mengurangi perhatian, di sisi lain ketiga kelompok menyiapkan rencana evakuasi lengkap masing-masing. Mereka melakukan investigasi karena meski bisa menyelesaikan urusan di Jianghai dengan lancar, meninggalkan Tiongkok yang luas tetap merupakan hal yang sangat sulit.
Namun perkembangan situasi sebenarnya tidak semulus yang dibayangkan. Insiden tak terduga pertama yang dihadapi benar-benar penuh warna khas Tiongkok.
“Dari tiga kelompok personel, kelompok dengan jumlah lebih sedikit sebagian besar adalah staf pendukung yang ahli dalam kamuflase dan peralatan elektronik. Mereka telah tiba dengan sukses di Akademi Hati Kudus pada siang hari ini dan melakukan survei lapangan awal - semuanya berjalan lancar. Namun, kelompok kedua yang datang dengan kereta api menghadapi beberapa masalah. Meski anggota kelompok ini pada dasarnya adalah prajurit berpengalaman dengan kelincahan dan insting tajam, mungkin karena keahlian khusus mereka, saat menjalani interogasi casual oleh dua polisi di stasiun kereta yang padat, salah satu tas perjalanan mereka dicuri orang.”
“Karena itu, ketika telepon sampai ke kelompok ketiga tempat Tak terhitung dewa-dewa berada, dia terdiam setengah menit sebelum akhirnya berteriak dengan nada tak percaya:”
“B-Bercanda macam apa ini! Kalian ini tentara bayaran! Tas kalian malah dicuri pencuri! Ya Tuhan, ya Tuhan, tunggu... Tas itu berisi senjata?”
“Separuh senjata, separuh lagi peralatan medis...”
“...Bagaimana biasanya kalian menangani hal seperti ini sebelumnya?”
“Cari bos Jalan Hitam di wilayah itu, suruh dia memuntahkannya kembali.”
“Bagus, rupanya ini bukan pertama kalinya kalian mengalami hal begini... Aku suka caranya. Tapi kita tak punya waktu sekarang. Lebih baik segera pergi dari stasiun kereta dan bersiap di sekitar Akademi Hati Kudus.”
“Terakhir kali Tank dan kawan-kawan tinggal beberapa hari di Kota Jianghai, bersiap mencari kesempatan bertindak. Tapi malah ditangkap oleh TULIP yang menjadikan mereka ujian latihan untuk mahasiswa, sampai akhirnya kabur ketakutan. Karena itu, di tengah ketidaktahuan seberapa luas jaringan tentakel TULIP di daerah ini sekarang, Tak terhitung dewa-dewa tak berniat bertindak lambat. Lagipula di Jianghai dia punya satu dua perantara yang bisa dipercaya tanpa dicurigai. Asal sudah mengumpulkan intelijen penting, dia bisa fokus pada poin krusial dan menyelesaikan masalah sekaligus dengan cara yang keras. Asal bisa mengatasi TULIP dulu, meski nanti Kota Jianghai jadi berantakan, kekuatan [] tak akan bisa merespon cepat.
Dia justru menyukai sensasi seperti ini: satu pihak tak tahu situasi pihak lain, sementara pihak lain dibuat kaget. Braak! Dang! Langsung beres.
“Siap, kami segera menuju target. Kapan kita bisa bertemu?”
“Aku tidak tahu.” Mendengar pertanyaan ini, Tak terhitung dewa-dewa memrak-! memutus telepon dengan geram. Tangannya yang lain memukul-mukul kemudi mobil. Tapi suara klakson mobil yang bersahutan di udara sudah cukup berisik, tak kurang dari satu pukulannya.
Pandangannya membeku menatap ke depan. Dalam udara gelap, mobil-mobil membentuk barisan panjang seperti naga. Saat ini mereka terjebak di jalanan 4 kilometer dari Akademi Hati Kudus, menanggung siksaan macet.
“Ada sedikit perbedaan dengan rencana awal kami... Saat kami tiba di Akademi Hati Kudus, sudah masuk waktu pelajaran terakhir saat sekolah pulang atau aktivitas bebas. Posisi beberapa target utama tidak semudah di waktu lain untuk dikonfirmasi...” duduk di kursi penumpang, Naga Berbisa Naka berkata.
“Setengah tas senjata kita bocor. Jika tidak ditangani baik, tengah malam ini polisi Tiongkok akan menggeledah seluruh kota... Sial! Bagaimana ini bisa terjadi? Pernahkah kalian kehilangan senjata saat bertugas? Ada? ADA?!” Di mobil kecil ini hanya ada empat orang dalam sepenuhnya. Menyaksikan tiga lainnya menggeleng kesal, Dewa Tak Terhitung mengutuk: “Mereka ini benar-benar aib bagi dunia tentara bayaran!”
Tank mengangguk, suaranya berat: “Jadi kita tak punya waktu. Target utama cukup bisa mengendalikan satu dua orang sebenarnya sudah cukup. Tulip pasti akan muncul... Jika tidak, kita punya waktu longgar semalaman untuk Bunuh habis semua orang di kampus.”
“Wu, wu.” Dewa Tak Terhitung menggoyang-goyangkan kepalanya girang, “Membayangkannya saja sudah membuat semangat, bukan?”
Sesaat kemudian, klakson meraung keras lagi di bawah ketukan histerisnya.
Di saat bersamaan, di depan pintu gerbang Akademi Hati Kudus, seorang pria gemuk bernama Fu Yanjie yang membawa tas selempang berisi komputer jinjing menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk.
“Kali ini pasti kuungkap jati dirimu... Babi Putih Bangsawan...”
Pada pukul empat dua puluh sore hari itu, Jiaming yang keluar dari gerbang kampus merasakan tatapan penguntit di belakangnya. Musim dingin membuat langit cepat gelap, cahaya matahari sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kepudaran.
Malam paling gila dalam sejarah Akademi Hati Kudus pun resmi dimulai.
## Bagian Dua Ratus Satu | Aku Punya Koneksi Atasan, Kau Tak Akan Bisa Melawan
Tanggal 2 Desember sore hari, Markas Besar Shazhu Bang.
"Bos, bos, cepat keluar lihat, kami dapat apa..."
Teriak bawahan itu membuat Liu Zheng yang sedang main mahjong di ruang dalam kesal berlari keluar: "Barang apa lagi ini? Ayah lagi nyusun tujuh pasang, kalau tidak berguna lebih baik kau kabur!"
"Berguna, pasti berguna! Hari ini di stasiun kereta, ada bocah nyuri tas. Setelah melihat isinya dia langsung ketakutan setengah MATI, buru-buru serahkan ke kita. Cepat lihat!"
"Apa ini? Alien? Hah..." Begitu tiba di ruang depan, Liu Zheng terpaku lima detik melihat benda yang dikeluarkan dari tas perjalanan itu, lalu menunjuk: "Mainan?"
"Bukan, semua asli! Ya Tuhan, lihat! Part ini kan familiar, bagian dari senapan otomatis Amerika M16A2. Yang ini warnanya agak kusam, tapi pasti AK47 veteran yang sudah disetel pemakainya. Pistol ini, Spanyol A80 kaliber 9mm, magasin ganda 15 peluru, simpel dan praktis... Masih ada lagi..."
“……Meskipun senjata paling umum digunakan di dunia hitam Tiongkok adalah kapak tebangan, ada juga maniak militer di dalamnya. Dengan posisi yang tinggi, sesekali melihat pistol .38 saja sudah cukup bagus. Mana mungkin seperti saat ini di depan mata ada gudang senjata yang begitu menggugah. Setelah menjelaskan semua ini, Liu Zheng juga datang sambil memainkan beberapa senjata dengan perlahan.”
“……Senjata hanya sebanyak ini. Selain itu ada beberapa alat medis, basically untuk pengobatan luka luar seperti kain kasa, obat bius, dan lain-lain lengkap. Jika ada yang terkena luka tembak, orang-orang ini pasti bisa memberikan pertolongan pertama. Oh ya, ada juga buku panduan wisata dan peta yang mereka beri tanda, tapi dalam bahasa Vietnam, tidak ada yang bisa mengerti di sini……Bos, jangan-jangan bocah itu mengambil tas tentara bayaran secara tidak sengaja?”
“Sial! Seberat ini, tidak tahu bagaimana bocah itu bisa membawanya diam-diam.” Meskipun di depan mata ada barang-barang yang sangat berguna bagi Jalan Hitam, wajah Liu Zheng tampak muram: “Masih bisa tertawa? Sekarang masalah besar. Jika benar tentara bayaran, mungkin tak lama lagi mereka bisa menemukan kita. Di mana peta dan buku panduannya? Biar saya lihat……”
“Kalau begitu……Bos, apakah laporan ini perlu dilaporkan ke polisi……”
Liu Zheng memainkan barang-barang dalam tas, terdiam selama dua menit, baru kemudian mengayunkan tangannya.
“Jangan dulu, lakukan pemeriksaan. Jika di dalam tas tidak ada barang yang aneh-aneh, tidak ada barang yang harus mereka dapatkan, mereka seharusnya tidak akan mengejar. Barang-barang ini kita ambil sendiri. Selain itu... Benar tidak ada orang yang bisa bahasa Vietnam? Kalian kan suka membual dulu pernah membantai orang dari Vietnam...”
“Aku pernah ke Thailand...”
“Aku pernah ke Myanmar...”
“Ada bawahan saya yang pernah ke Vietnam, tapi dia juga tidak paham...” Orang-orang di sekitar saling pandang kebingungan.
“Bangsat.” Liu Zheng mengumpat geram sambil membalik-balik peta dan buku panduan wisata yang penuh dengan tanda. “Mereka sekarang kehilangan alat operasi, kemungkinan besar akan menuju rumah sakit untuk persiapan... Yang ini, Mengzi, kau tahu. Nyonya Ye ada di sana, ibu Lingjing, kebetulan menjabat sebagai kepala departemen bedah. Segera bawa orang ke sana, langsung laporkan ke polisi jika ada yang mencurigakan. Jika tidak ada masalah, jangan ganggu. Ahu, kau punya kenalan di kantor polisi, sebarkan informasi samar-samar. Pokoknya barang-barang ini tidak akan keluar lagi dari kita! Xiao Meng, sini...”
Dia menunjuk beberapa gambar: “Ini sepertinya peta Akademi Hati Kudus. Cepat bawa orang ke sana, periksa kondisi Shasha, Lingjing, Jiaming dan anak-anak lainnya. Jangan ganggu mereka kalau tidak perlu. Dasar... Jangan-jangan target tentara bayaran ini adalah Akademi Hati Kudus?”
“Tidak mungkin kebetulan seperti itu.” Seorang Pemimpin pasukan kecil di sampingnya berkomentar, “Mungkin cuma sedang berlibur.”
“Tidak takut 10.000, yang ditakutkan adalah sekali-sekali……Jangan bergerak kalau tidak perlu, jika terjadi sesuatu segera lapor polisi, yang paling penting jangan sampai ada hal pada mereka. Mengerti? Pergi sekarang juga, dan cari orang yang bisa bahasa Vietnam. Hmm, catatan di sini sepertinya bahasa Jepang, cari yang bisa bahasa Jepang juga……Kita berangkat SEKARANG JUGA ke titik di sebelah kantor polisi, panggil lebih banyak orang. Jika mereka benar-benar datang, ini bukan main-main……”
Setelah melakukan registrasi sederhana di gerbang kampus, Fu Yanjie memasuki pintu gerbang kampus.
Hatinya tegang, tapi ekspresinya tetap tenang. Tas selempangnya penuh berisi tidak hanya komputer, tetapi juga kotak alat perbaikan perangkat komputer bergaya ○○, serta berbagai camilan. Hari ini dia sudah mempersiapkan diri untuk perang panjang.
Saat datang ke ulang tahun sekolah Sacred Heart paruh pertama tahun ini, awalnya ingin pamer dengan menyerang situs web, namun konsekuensinya malah memicu serangan balik besar-besaran. Hingga akhirnya intervensi "Babi Putih Bangsawan" dengan virus komputer tingkat dewa "Panda Membakar Dupa" yang menyedot seluruh jaringan komputer dunia, benar-benar menjadi peristiwa penting dalam sejarah komputer. Namun sebagai pemicu konflik, Fu Yanjie menganggap hal ini sebagai aib terbesar dalam hidupnya.
Sejak kecil karena postur tubuh yang gemuk dan beberapa hal yang cenderung kikuk, dia selalu kurang diterima. Namun ketika Tuhan menutup satu pintu, seringkali membuka jendela lain - pepatah ini ternyata ada benarnya. Setelah menjalin kontak dengan komputer, barulah ia menemukan bakat menakjubkan di bidang elektronik dan informasi. Di sini, kemampuannya mampu membuat semua orang berdecak kagum. Kemudian dengan nama "Superman Pelangsing", ia melancarkan serangan mendadak ke berbagai perusahaan jaringan di Kota Jianghai. Setelah mereka membayar uang, ia akan dengan sungguh-sungguh melakukan maintenance jaringan ini. Uang yang dikumpulkannya tidak banyak, dan itu bukanlah intinya. Yang dinikmatinya adalah perasaan bisa membuat aturan sendiri dan membuat semua orang merasa takut dan hormat. Oleh karena itu, ketika mengalami kegagalan terbesar dalam hidupnya saat ulang tahun sekolah, sementara mengagumi "Babi Putih Bangsawan", ia juga menjadikan pihak tersebut sebagai musuh dan lawan terbesar seumur hidup.
Pada fase akhir perang cyber itu, orang lain basically sudah tidak berguna. Fu Yanjie juga tidak bisa terlibat, namun tidak heran ia dijuluki Genius. Saat "Babi Putih Bangsawan" berusaha mengoperasikan virus "Panda Membakar Dupa" yang tiba-tiba membesar sampai tingkat mengerikan, ia melakukan banyak pekerjaan. Setelah menyatukan banyak petunjuk, ia terkejut menemukan bahwa legenda "Babi Putih Bangsawan" kemungkinan besar adalah seseorang di dalam Akademi Hati Kudus. Data jaringan awal mereka basically berasal dari server broadband di area yang sama.
Pada periode yang sama di tahun 98, komputer dan jaringan internet masih dalam tahap awal pengembangan. Biaya browsing sangat mahal, namun Akademi Hati Kudus yang kaya dan bermodal kuat berhasil memasang kabel fiber optik serta membangun jaringan lokal berkinerja tinggi. Setelah persiapan lebih dari setahun tahun, Fu Yanjie yang merasa sudah cukup menguasai situasi pun mulai bertindak.
Rencananya adalah: Dia merancang perangkat kecil khusus, menemukan ruang server jaringan. Pertama-tama melumpuhkan seluruh jaringan dengan virus baru ciptaannya, menginfeksi setiap komputer di jaringan lokal. Daya rusak virus sengaja dibuat minimal sebagai bentuk tantangan sederhana yang mudah menyebar. Dia mengirim sinyal agar tidak terlihat terlalu agresif. Ini adalah duel persahabatan. Kemudian, perangkat kecil khusus ini dipasang di ruang server untuk membuat virus sederhana ini benar-benar tak bisa dihapus - setidaknya menurut pengetahuan saat ini, hanya bisa dihentikan manual atau dihancurkan di ruang server. Selanjutnya tinggal menunggu.
Jika Babi Putih Bangsawan menyadari fakta ini - dan dia pasti akan menyadarinya - lalu datang sendiri, Fu Yanjie bisa langsung menangkapnya. Jika pihak lawan menelepon petugas maintenance untuk menghancurkan perangkat, Fu Yanjie yang sudah memantau semua sinyal telepon tetap dalam radius Akademi Hati Kudus bisa melacak petunjuk Babi Putih Bangsawan melalui orang yang datang. Menurut hipotesisnya, hanya guru atau anggota keluarga di kampus yang memiliki komputer pribadi untuk bermain pada era itu.
Tentu saja, skenario terburuk adalah Babi Putih Bangsawan saat ini sudah tidak berada di Akademi Hati Kudus——tapi sebagian besar orang yang kembali ke kampus saat itu memiliki identitas tertentu, dia sudah mempersempit 70-80% kemungkinan. Jika Babi Putih Bangsawan benar-benar tidak ada kali ini, setidaknya dia bisa mempersempit lingkup pencarian——lulusan kelas 12 tahun sebelumnya yang sudah lulus, serta keluarga guru yang baru-baru ini meninggalkan Akademi Hati Kudus.
Untuk menghadapi pertempuran sulit ini, dia memutuskan untuk menyergap di dalam kampus setidaknya satu hari satu malam.
Masih di waktu pelajaran kedua sore hari, kampus sunyi senyap. Pria gemuk itu menyelinap melalui Area asrama sekolah, menuju hutan kecil dekat perimeter kampus yang dipenuhi vegetasi liar. Ruang server dan jaringan listrik kampus sama-sama dibangun di area ini.
Dari kejauhan terlihat tiga sel kecil struktur beton mirip penjara, mungkin sudah lama tidak dirawat—ditumbuhi lumut dan sulur. Di luar dipagari tembok kawat berduri, di pintu tertulis papan peringatan "Dilarang Masuk" dan "Tekanan Tinggi Berbahaya". Melihat sekeliling sepi, Fu Yanjie sambil mengeluarkan alat pembuka kunci dari kantong, mendekat dengan sikap mencurigakan.
Di luar dugaan, kunci ditemukan sudah terbuka.
Hati sedikit heran, tapi setelah dipikir masuk akal, di sini jarang ada orang yang datang, mungkin petugas maintenance malas repot, langsung tidak menutup. Dari gerbang masuk, jarak antara kawat berduri dan dinding hanya sekitar satu meter, dia menggeser tubuhnya hati-hati agar tidak meninggalkan jejak gesekan baru di dinding——seperti yang dilakukan agen rahasia di TV, mereka tidak akan meninggalkan jejak-jejak——sampai di depan pintu ruang server utama, ternyata pintu besinya juga tidak dikunci.
Berkat sifat buruk manusia yang suka bermalas-malasan! Karena bisa tidaknya membuka pintu memang menjadi kekhawatiran terbesar Fu Yanjie.
Masuk ke ruang server, sisanya berjalan lancar. Dengan mahir menghubungkan ke jaringan, mulai melakukan pengujian awal dan invasi, lewat sepuluh menit barulah ekspresi terkejut muncul di wajahnya.
Sudah ada yang melakukan sentuhan kecil di jaringan, tekniknya bahkan tergolong sangat canggih.
Setelah merenungkan beberapa menit, dia memeriksa perangkat terkait dan mendapatkan kesimpulan awal.
Mereka sudah menyiapkan jebakan di ruang server dan jaringan, nantinya bisa mengendalikan rekaman CCTV dan jaringan dari jarak jauh dengan teknik yang luar biasa. Orang yang datang lebih dulu ini kalau bukan Babi Putih Bangsawan, pasti seorang ahli juga. Urusan mengacaukan rekaman CCTV sering dia lakukan, biasanya dengan mengirimkan film bokep supaya satpam terdiam membeku. Setelah berpikir sejenak, diam-diam dia memodifikasi perintah, menyelesaikan persiapan, membereskan barang-barang, lalu menyelinap keluar pintu.
Belum keluar dari pintu kecil kawat berduri, suara manusia terdengar dari samping. Dia buru-buru menghindar ke sudut ruang server. Saat ini, baik keluar maupun masuk sudah terlambat. Mungkin hanya bisa berputar mengelilingi pondok kecil dengan orang-orang. Dengan perasaan ragu, suara ciuman samar terdengar dari depan samping. Melihat sekilas, ternyata ada dua mahasiswa yang berpacaran dini sedang berciuman.
Dalam hati mengutuk, melihat pasangan itu tak kunjung pergi, Fu Yanjie yang terjebak antara kawat berduri dan dinding diam-diam bergerak ke belakang. Tiba-tiba, dia menemukan tangga besi untuk naik ke atap gedung. Bangunan ini hanya memiliki satu lapisan setinggi lebih dari tiga meter, dengan tangki air besar di atasnya. Setelah berpikir, dia memanjat tangga dan berbaring di tanah berlumut sambil mengintip pasangan yang sedang berciuman.
Karena berada di tengah hutan, tak ada angin dingin di atas sini. Agen gemuk setengah matang ini memutuskan menunggu Babi Putih Bangsawan atau ahli peretas lain datang. Pasangan mahasiswa itu berciuman beberapa saat, lalu sang baron menarik gadis kecil yang memerah melewati kawat berduri. Melihat pintu tidak terkunci, dengan tawa nakal dia menarik perempuan itu masuk, sepertinya ingin mengajaknya ke ruang server. Gadis berfreckle itu malu-malu menolak. Sang baron mendorongnya ke dinding dan kembali mencium dalam-dalam. Perilaku ini membuat Fu Yanjie yang belum pernah punya pacar merasa sangat tidak setuju.
"Dalam hati mengutuk pasangan mesum," tiba-tiba bayangan seseorang muncul di luar pagar kawat, mengenakan pakaian abu-abu dengan postur agak kurus dan ekspresi serius yang terlihat seperti petugas maintenance di sini. Melihat pasangan yang sedang berciuman di dalam, dia masuk lalu langsung menutup pintu pagar kawat. Anak laki-laki dan perempuan yang pacaran diam-diam itu terbangun, serentak menghadapinya: "Kau... kau ini siapa? Mau apa!"
"Pintu ini kalian yang buka?" Lelaki di depan mata jelas karyawan dari luar daerah dengan logat bicaranya agak kaku. Pemuda itu ternyata berasal dari keluarga berada. Rencana buruannya gagal sementara si perempuan ada di belakang, dia membusungkan dada: "Apa yang kubuka? Dari tadi kami datang pintunya sudah terbuka."
Lelaki berwajah sangar ini kemungkinan besar adalah Babi Putih Bangsawan. Fu Yanjie di lantai atas perlahan bangkit, menjauh sedikit dari tepi lalu berjongkok mendengarkan percakapan di bawah. Hanya terdengar suara lelaki itu: "Kalian masuk ke dalam?"
"Masuk... masuk lagi kenapa? Minggir, kami mau pergi! Kau pikir siapa dirimu? Kau bukan polisi, hak apa kau menginterogasi kami begini!"
"Benar sudah masuk?"
"Minggirlah!"
“……”
Dalam keriuhan, Fu Yanje perlahan mengeluarkan komputer dari tas tangannya, mulai melakukan persiapan sederhana. Saat gerakan lambat sedang berlangsung, tiba-tiba seekor kumbang lipan sepanjang lebih dari 10 sentimeter merayap di dekat kakinya. Laptop hampir terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai. Dengan refleks, kedua tangannya menyambar. Awalnya hanya ingin melindungi komputer dengan tubuh gemuknya, namun kakinya yang menginjak lumut tiba-tiba terpeleset.
Di bawah, teriakan baron sedang berada di puncak kegembiraan. Melihat pria serius itu mendekat dengan wajah muram, dia mengeluarkan pisau lipat dari pinggang dan mengayunkannya. Perempuan di belakangnya menangis pelan: "Maaf, Paman, kami tidak akan berani lagi..."
"Kau mau apa? Aku peringatkan, jangan macam-macam! Aku punya koneksi di atas! Kau tidak sanggup melawanku..."
Begitu kata-kata itu terucap, pria itu tersentak dan menengadah, namun sudah terlambat. Di ruang sempit antara kawat berduri dan dinding yang hampir tidak memberi ruang untuk menghindar, bayangan hitam terjatuh dari langit disertai teriakan: "Ah——"
Braak——
Seandainya ada persiapan mungkin masih bisa diatasi, namun kejadian ini benar-benar tak terduga. Baron di depan mengayunkan pisau seolah akan menusuk, saat itu juga pria gemuk seberat 100 kilogram terbang bagaikan Gunung Tai menindih. Sekejap kemudian, yang tersisa dari pria kurus bermuka serius itu hanya kepala yang menyembul, mulutnya menyemburkan darah, tulang-tulangnya entah berapa yang remuk.
“Yang itu……kau……kau……di atasmu juga ada orang……ah……eh……” Itupun……masih seorang pria gemuk……
Angin utara merintih melewati hutan, para baron dan perempuan berkedip memandang pemandangan di depan mereka, sejenak, bicara mereka menjadi kacau……
## Bagian Dua Ratus Dua Kekacauan Sebelum Matahari Terbenam
Pukul empat setengah sore, plaza luar pintu gerbang Akademi Hati Kudus.
“Dasar! Hari ini sudah bayar uang perlindungan belum……”
“Kak Meng, kau tahu wilayah ini……”
“Wu, aku tahu wilayah ini bukan wilayahku Shazhu Bang, tapi bisnis harus tetap dikembangkan dong, ayo ayo, kita kan sudah akrab, berikan saja sedikit sebagai tanda……”
“Tolonglah……”
“Hehe, bercanda. Hari ini ada lihat orang aneh di sini? Kira-kira sepuluh lebih, kelihatan sanggup bertarung, bawa tas besar kecil……”
“……”
Seiring miringnya matahari, puluhan anggota Shazhu Bang datang seolah acak dari berbagai penjuru lalu memencar ke seluruh plaza. Pemimpinnya Xiao Meng adalah salah satu manajer di Shazhu Bang yang posisinya hanya di bawah Liu Zheng, penampilannya tampak sopan dan intelek, selalu tersenyum, tapi di tulangnya sangat kejam.
"Saat ini sudah memasuki waktu pelajaran terakhir nanti sore. Karena sebagian besar adalah kegiatan belajar malam atau komunitas kampus, gerbang sekolah yang terbuka terus-menerus dilewati mahasiswa yang keluar. Setelah berputar di luar kampus, tiba-tiba target pencarian muncul dalam jarak pandang - di dekat toko kecil sisi plaza, beberapa orang dengan tas perjalanan sedang duduk tertawa, sementara yang tersebar di sekitarnya juga terlihat banyak pendatang asing. Meski mereka ahli dalam kamuflase, tetap tak bisa mengelabui Xiaomeng yang merupakan ular lokal. Beberapa di antara mereka memegang foto di tangan, mencocokkan dengan mahasiswa yang keluar dari dalam kampus……"
"Tapi ketika Xiaomeng menemukan mereka, rombongan itu juga sudah menyadari suasana yang tidak biasa."
"Ada yang mencurigakan, siapa rombongan itu? Polisi Tiongkok?"
"Tidak mirip……Sepertinya geng kriminal lokal yang memungut uang perlindungan……"
"Perasaan tidak enak……Kita datang begitu cepat, sejak masuk Tiongkok sama sekali tidak berhenti, [] atau TULIP mustahil menemukan kita……"
"Kemungkinan tetap ada. Kita sudah mengonfirmasi lokasi beberapa target: Gu Jiaming yang baru keluar, Chen Guxia di dalam kampus, Tsukike Kaoru dan Ye Lingjing serta guru bernama Zhang Yahan. Tim Du Long sudah masuk lebih dari 2 jam, meski hanya melakukan pengawasan longgar, tetap ada kemungkinan terdeteksi……"
“Barusan kami masih memastikan Status di dalam kampus, semua orang normal. Bahkan jika ada yang mengalami kecelakaan dan ditemukan dalam lewat sepuluh menit ini, mustahil mereka langsung menyelidiki semua hal lalu merespon… Panggil '' sekali lagi, pastikan kondisidi dalam kampus… Eh, tunggu, kurasa aku tahu alasan kedatangan mereka…”
Formasi lebih dari 40 orang dilengkapi berbagai senjata berat, berpengalaman di Medan Perang brutal daerah Timur Tengah, beberapa bahkan pernah ikut Perang Vietnam. Selatu kompak, mereka sama sekali tidak takut dengan institusi seperti geng kriminal atau polisi di kota ini. Salah seorang mengayunkan tangan memberi isyarat ke depan: “Lihat, orang itu, aku punya kesan padanya di stasiun kereta. Jelas sekali… dia mencuri tas kita.”
Itu pastilah si pencuri yang mengambil barang-barang tentara bayaran itu. Karena Akademi Hati Kudus dicurigai, Liu Zheng mengirimnya mengikuti Xiao Meng untuk mencari orang. Awalnya sudah ketakutan setengah mati melihat tas berisi senjata, dipaksa datang ke sini dan melihat target utama, langsung membeku di tempat dengan wajah memucat. Bisa membawa sekarung senjata melintasi Tiongkok, pasti tuan rumah yang tak segan MEMBUNUH tanpa berkedip… Yang lebih mengerikan, sebelum sempat mempersiapkan mental untuk kabur, mereka sudah jelas-jelas menyadarinya. Seorang pria berjalan mendekat dengansantai ke arahnya.
Kedinginan menyapu seluruh tubuh dalam sekejap mata, kedua paha bergetar ketakutan, tidak tahu harus bersujud meminta maaf atau kabur sambil memutar badan. Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk lembut bahunya, disertai senyum ramah, Xiao Meng menyambut duluan: "Hei, halo-halo, aku tidak punya niat jahat."
Seiring langkahnya mendekat, puluhan orang yang tersebar di plaza mulai menyadari situasi ini dan berkerumun mendekat. Berdiri di depan tentara bayaran itu, Xiao Meng mengangguk sambil tersenyum: "Begini. Temanku hari ini tidak sengaja mengambil barang kalian di stasiun kereta, jadi kami ingin menemui kalian. Kami akan mengembalikan semuanya, bagaimana menurut... Tenang saja, selain kami, tidak ada yang tahu soal ini."
Ucapan Xiao Meng lancar, tapi tentu saja dimengerti oleh orang itu. Ia mengerutkan kening sejenak tanpa bicara. Naga kuat takkan menindas ular lokal, apalagi waktu mereka terbatas. Meski kasus tas ini agak konyol, jika bisa diselesaikan akan menghindari banyak masalah. Tapi kita semua hidup di dunia bawah, segalanya bergantung pada kekuatan. Tak mungkin kita bilang 'ayo berdamai' lalu langsung sepakat. Mereka mengembalikan tas pasti ingin berteman baik demi keuntungan di masa depan. Tapi bagaimana memulai hubungan ini, masih banyak hal yang harus ditangani.
“……Kegaduhan dan sikap tinggi hati dari pihak ini memang sudah dalam perkiraan. Xiao Meng tersenyum cemerlang sambil mengucapkan kata-kata manis, matanya telah menyapu seluruh ruangan untuk mengingat wajah-wajah mereka dan menilai kemampuan masing-masing. Tanpa sengaja, pandangannya tertangkap foto yang dipegang pria di hadapannya...”
“……Karena tidak tahu kalian ada di sini, tasnya masih kami simpan di markas besar guild kami. Oh, lupa bilang, di Jianghai kami disebut San Qing Bang. Kakak tertua kami bernama Huawei, benar-benar orang yang hangat, ramah, dan punya solidaritas. Kalau lain kali kalian main lagi ke Jianghai, pasti kami tebang semangka sialan ibumu!”
Nada bicaranya berubah secara tiba-tiba. Pada detik itu, Xiao Meng tiba-tiba mencabut kapak tebangan dari punggungnya dan mengayunkan ke arah kepala lawan. Namun mereka bukan tipe yang bisa dikelabui oleh kata-kata. Dengan gerakan defensif tergesa-gesa, serangan Xiao Meng berhasil dihadang. Sesaat kemudian, Xiao Meng melancarkan serangan kepala keras-keras disusul tendangan lutut, tapi sekaligus mendapat sambitan kaki ganas dari lawan.
Di mata orang lain, semuanya terjadi dalam sekejap mata. Xiao Meng mengayunkan pisau untuk menebas, menyundul kepala, menendang lutut, lalu tubuh kedua orang itu tiba-tiba berpisah. Tentara bayaran itu mundur beberapa langkah dengan kepala pusing, sementara tubuh Xiao Meng terlempar lurus ke belakang. Sekejap kemudian, anggota geng kriminal yang telah memiliki refleks terkondisi langsung menyerbu dari segala penjuru. Puluhan kapak tebangan berkilauan memantulkan cahaya merah senja yang memukau, menciptakan pemandangan pertarungan sengit yang meledak di sisi plaza.
Saat itu kondisi plaza tidak terlalu ramai tapi juga tidak sepi. Toko-toko di sekitarnya masih buka. Melihat perkelahian massal geng kriminal meletus di area ini, orang-orang terdekat langsung bercerai-berai melarikan diri. Beberapa orang mengamati dari kejauhan, diiringi tangisan anak-anak dan jeritan perempuan. Puluhan anggota Shazhu Bang ini adalah tukang pisau berpengalaman tempur yang garang dan tak takut mati dalam berkelahi. Namun tetap saja mereka bukan tandingan belasan tentara bayaran di hadapan mereka. Beberapa orang yang berada di barisan depan langsung diganyang, disusul orang-orang yang terbang berlumuran darah dan menghancurkan barang-barang di toko sebelah. Tapi harimau tangguh pun tak bisa melawan serigala dalam jumlah besar. Dalam hujan kapak tebangan yang beterbangan, dua atau tiga tentara bayaran juga terkena tebasan yang meninggalkan luka besar meski tidak fatal.
Xiao Meng yang mengeluarkan dari mulutnya, bangkit dari tanah. Pertama-tama ia menangkap seorang dan menyuruhnya , lalu mengeluarkan dari sakunya dan menelepon Liu Zheng sambil bersembunyi di .
", ada masalah... Mereka benar-benar ada di . Entah apa tujuan mereka, tapi kulihat salah satu dari mereka memegang foto Shasha. Kami sudah , di sini jadi mungkin mereka takut menggunakan . Tapi mereka sangat kuat, kami . , cepat kirim bantuan. Oh ya, aku sudah , biarkan mereka terpaksa menggunakan senjata di depan . Kali ini kita harus mereka semua..."
Setelah menelepon, ia mengeluarkan gulungan kain dari nya dan dengan cepat di nya. Ia menghapus di , mata menyala dengan .
"... Kali ini kalau kami bisa menusuk dari belakang, kita akan jadi ... Maju——"
Saat maju, baru berlari separuh jalan, tiba-tiba seorang di depan keluar dari toko membawa berpemasang . "", seorang tertembak . Tak disangka mereka benar-benar berani di tempat umum.
Sebagai manusia biasa, di hadapan senjata, pisau bagaimanapun sulit berfungsi. Percikan darah beterbangan, tubuh seorang lagi terlempar ke udara. Di depan masih ada orang yang nekat menebas, di belakang juga ada yang mulai mundur ketakutan mengikuti perintah Xiao Meng. Berbalik lari ke gang kecil di samping, saat Xiao Meng menoleh, laras senjata orang itu sudah mengarah padanya. Kemudian, tembakan dilepaskan.
Bahunya seolah menerima pukulan palu berat, dalam serangan pusing tiba-tiba, dia menerobos masuk ke gang hitam pekat itu.
Di atas plaza, hanya ada orang-orang yang berlari mati-matian. Pria pencopet stasiun kereta itu berlari paling depan, baru berani menoleh melihat pemandangan genangan darah setelah jauh melarikan diri. Baru saja menoleh, sebuah mobil kecil melesat cepat dan menabraknya hingga terpental.
Tubuhnya menghantam tanah dengan keras, seolah semua tulang di tubuhnya remuk. Suara kehilangan makna, pemandangan dalam pandangan mata diselubungi kabut abu-abu yang mengaburkan. Namun mobil itu justru berhenti tepat di hadapannya. Yang pertama turun adalah seorang pria berbaju motif bunga, dari pangkuannya dia mengeluarkan... senjata.
Beberapa orang berlari melewati sampingnya, namun bersama percikan darah, tubuh mereka terlempar ke udara. Pria berbaju bunga itu mencengkeram kerah baju seorang pengguna pisau, seolah mengajukan pertanyaan. Kata-katanya baru terbentuk dalam pikiran setelah lama tertunda: "Kalian ini siapa? Mengapa menyerang kami?"
"Pria ini, tentu saja adalah Tak terhitung dewa-dewa yang tiba tergesa-gesa setelah terjebak macet setengah hari. Dua pasukan yang progresnya relatif tertinggal, akhirnya bertemu di plaza depan Akademi Hati Kudus."
Alasan anggota Shazhu Bang datang berhasil ditanyakan dengan mudah, namun mengapa Xiao Meng tiba-tiba ingin membunuh sampai mati-matian, tidak ada yang tahu. Setelah beberapa pertanyaan, Tak terhitung dewa-dewa juga merasa waktu terbuang percuma, lalu mengarahkan laras senjata ke pos satpam gerbang kampus yang perlahan menutup di bawah kendali jarak jauh."
"Aku merasa sedih, agak frustasi, tapi tak ingin banyak bicara. Masalah sekarang adalah mengakui kekalahan dan pergi SEKARANG JUGA, atau melanjutkan sampai hal ini tak bisa dikendalikan lagi... Mari kita mulai..."
Dua tembakan terdengar, pos satpam ternoda darah kering, pintu gerbang berhenti menutup. Suasana mencekam menyelimuti plaza. Senapan serbu, pistol, granat tangan - berbagai senjata tergantung di tubuh dan tangan orang-orang. Sebelum polisi tiba, enam tujuh mobil menerobos masuk ke Akademi Hati Kudus. Pintu gerbang akhirnya tertutup rapat, sementara beberapa tentara bayaran mulai memasang bom dan ranjau darat di dalam kampus sambil membangun pertahanan baru dengan kotak logam."
Matahari terbenam, alarm berbunyi di dalam kampus megah yang terkunci rapat, sesekali terdengar jeritan ketakutan..."
Gang belakang rumah kontrakan Jiaming di luar Akademi Hati Kudus.
Di dalam gang yang agak gelap, perlahan-lahan muncul dua sosok, seorang pria dan seorang wanita. Sejak Jiaming meninggalkan kampus, mereka berdua telah mengikuti bocah lelaki yang tampak biasa itu dari kejauhan. Mereka menyaksikannya berjalan-jalan ke pasar sayur untuk belanja, tersenyum tak berbahaya sambil menawar harga dengan para tetangga, lalu pulang ke sini sambil membawa beberapa bungkusan belanjaan. Saat ini, mereka masih menunggu perintah dari pihak atasan untuk memutuskan kapan akan memulai operasi langsung terhadap target.
"Hidup yang hangat dan santai ya..." ujar perempuan berpostur atletis dengan ekspresi tegas yang bersandar di dinding, sambil menatap ke arah jendela lantai dua.
"Kau suka? Setelah urusan kali ini selesai, kita juga bisa mempertimbangkan hidup seperti itu, hehe..."
"Kau? Lupakan saja... Tahukah kau? Sejak aku lahir, aku terus-menerus mengalami perang. Di negaraku, tak ada anak kecil yang bisa hidup santai seperti ini. Semua orang tiba-tiba terjerumus dalam perang tanpa bisa menghindar. Banyak yang MATI. Bahkan yang selamat, belum tentu bisa melihat Matahari esok hari. Jadi setiap kali melihat anak seperti ini, aku selalu berpikir: jika suatu hari ia kehilangan kehidupan seperti ini, apakah ia akan MATI atau bertahan? Jalan seperti apa yang akan ia tempuh untuk membalas dendam... Menurutmu, setelah kejadian kali ini, apakah anak ini akan MATI atau selamat? Jika ia kehilangan sesuatu, jalan balas dendam seperti apa yang akan ia pilih? Tidakkah kau merasa pemikiran ini menarik? Seorang anak, mengamati jalan yang akan ia tempuh..."
“Uh... Aku tidak tahu... Kenapa kau tiba-tiba jadi begitu sentimental...”
“Bukan apa-apa... Aku cuma merasa kecemburuan saja. Hubungi pihak sana, lihat bagaimana situasinya? Kurasa mereka seharusnya sudah sampai, nona Bai Nana itu...”
Mengangguk, pria itu mengambil walkie-talkie di bajunya: "...Target sudah pulang ke rumah, sekarang sedang mempersiapkan makan malam. Bagaimana situasi di pihak kalian?"
“Ada beberapa kejutan. Tapi tidak masalah, kami sudah mulai masuk. Nona Bai Nana sedang menuju ke arah kalian, segalanya ikuti instruksinya.”
“Roger... Sepertinya kita masih harus menunggu sebentar.” Menaruh walkie-talkie kembali ke dalam pakaiannya, pria itu tersenyum sambil mengangguk. Di saat yang sama, sebuah suara tiba-tiba muncul dari belakang: “Wah, kalau masih harus menunggu, mampir ke rumahku minum teh yuk.” Suaranya terdengar serak khas remaja laki-laki yang sedang puber, tapi menggunakan Bahasa Thailand asli seperti yang baru saja mereka berdua gunakan dalam percakapan.
Tanpa sempat berpikir panjang, pria itu langsung menghunus pisau, berputar, mengayunkan pisau, dan menendang kaki dalam sekejap. Namun entah menghadapi apa, tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan terlempar. Wanita di belakangnya belum sempat bereaksi, tubuh rekan itu sudah melesat seperti peluru meriam melewati sampingnya, jatuh terkapar dua meter di belakang, tampaknya sudah pingsan.
Baru setelah itu, sang wanita bisa melihat jelas wajah sang pendatang.
"Mereka bertiga telah mengikuti anak laki-laki itu selama setengah jam, kini berdiri dengan senyum di tengah kegelapan. Di depan mereka terpasang celemek masak bergambar kartun lucu Crayon Shin-chan. Saat ini, pemandangan ini memberinya perasaan aneh yang tak terucapkan."
"Baron yang terlihat tak berbahaya itu perlahan mendekatinya, masih menggunakan bahasa Thailand asli: 'Hai, kakak cantik, pernah lihat Kung Fu China? Aku punya beberapa jurus yang pasti kau suka... Selamat datang di Tiongkok.'"
"Perintah atasannya adalah menangkap hidup-hidup anak laki-laki ini melalui Bai Nana. Sebagai anggota tim tentara bayaran, teknik pertarungannya lebih unggul daripada rekan di sampingnya. Mundur selangkah, dia menghunus belati dan mengambil posisi pertahanan. Baron di depannya langsung berhenti, memandangi pisau di tangannya dengan ekspresi sedih."
"'Kau tidak cukup patuh, membuatku agak dilema...'"
"Tiba-tiba bayangan anak laki-laki itu bergerak seperti hantu melintasi jarak 2 meter, muncul tepat di hadapannya."
Gerakan itu terlalu cepat. Sesaat kemudian, ayunan pisau langsung dilempar, tendangan lutut hanya mengenai udara, tubuh anak laki-laki itu tiba-tiba muncul di sampingnya, mencengkeram salah satu tangannya. Upaya melepaskan diri gagal, disusul serangkaian sikutan, tebasan, dan hantaman mematikan yang bisa membunuh manusia biasa. Namun dua detik kemudian, bayangan dua sosok yang saling berkelahi berubah dari gerakan ekstrem menjadi diam total. Segalanya bagaikan mimpi, kedua tangan perempuan itu telah dicengkeram lawannya, dipelintir ke belakang punggung. Dengan dorongan kuat, lutut kirinya tak terkendali bersujud ke lantai, kaki kanannya menjulur ke depan, mempertahankan posisi berlutut setengah dengan susah payah.
Perubahan sekejap mata ini hanya bisa dihadapi dengan refleks terkondisi. Saat situasi ini terbentuk, di hati perempuan itu bahkan masih ada kebingungan memahami keadaan. Seorang anak... Tidak, meski diakui sebagai pemuda, bagaimana mungkin memiliki kekuatan seperti ini? Sebelum sempat menyadari, lawan sudah menginjak punggungnya tanpa ampun. Konsekuensi dari jurus ini jelas ia pahami.
"Tidak..."
Sesaat kemudian, dalam kondisi kedua tangannya dipelintir dan ditarik lurus, lawan langsung menghentak. Dengan suara "Krak-krak" dan rasa sakit yang hebat, kedua lengannya langsung patah, kehilangan kemampuan bergerak. Tapi segalanya belum berakhir di sini, anak laki-laki itu membungkuk, satu tangan menjepit rahang bawahnya dan langsung melepasnya, baru kemudian bertepuk tangan.
“Aku tahu kau menyembunyikan bom di pakaianmu, ini demi kebaikanmu. Bunuh diri itu salah, nanti tidak bisa masuk surga. Lagipula aku masih banyak yang ingin tanyakan. Nanti akan kukembalikan rahangmu, ingat untuk patuh, kalau tidak semua gigi kalian akan kuhancurkan. Tentu saja... kalau kau mau langsung memberitahu tujuan kedatangan kalian sekarang juga akan lebih baik... Hmm, sudah kuduga kau takkan bicara... Tunggu dulu...”
Sepertinya menerima sinyal tertentu, pemuda bernama Gu Jiaming membuka lengan bajunya lalu memasang earphone di jam tangannya: "Halo, Oh, Paman Liu... Ini Jiaming. Aku sudah sampai rumah, sedang mempersiapkan masak. Beli dua ekor katak sawah, rencananya mau disembelih. Aku juga tidak tahu kenapa ada katak di cuaca begini... Gesekan? Dia belum pulang? Ada masalah ya... Pasti ada masalah kan? Jangan coba-coba sembunyikan dariku, Paman Liu... Halo! Halo——"
Setelah berteriak beberapa kali, sepertinya pihak lawan juga sedang panik. Setelah menyuruhnya tidak usah khawatir dan jangan neko-neko, mereka langsung menutup telepon. Melepas earphone, Jiaming menggelengkan kepala sambil berkata ke arah samping: "Kakak Xiao Meng, keluarlah."
Suara gesekan dedaunan. Dari kegelapan di samping, Xiao Meng yang memegangi bahunya terseret keluar dengan susah payah. Bagian kiri tubuhnya penuh darah, wajahnya pucat: "Kau... Jiaming, itu... Bagaimana kau..."
Dengan senyum tipis, Jiaming menatapnya: "Kau jaga kerahasiaan ini, aku akan percaya padamu, setuju? Jangan beri tahu Paman Liu juga."
"Eh..." Setelah ragu sebentar, Xiao Meng mengangguk. Jiaming bertanya: "Sebenarnya apa yang terjadi?"
“Aku... Aku juga tidak jelas. Anggota mereka berjaga di gerbang Akademi Hati Kudus, aku melihat salah satu dari mereka memegang foto Shasha...”
“Ikut aku, aku akan mengeluarkan pelurunya dulu dan membalut lukamu.” Tanpa ragu panjang, Jiaming mengangguk, mengulurkan tangan untuk menggenggam masing-masing kaki pria dan wanita di tanah, lalu menyeret mereka menyusuri gang kecil yang remang-remang, “Sepertinya kita harus mengobrol panjang dengan kalian berdua...”
Senja, gang sempit, genangan darah, tubuh terluka, jasad pria-wanita yang diseret di tanah sambil mengerang pelan... Segalanya terasa membeku dalam nuansa aneh yang mengerikan...
Malam, akan segera terjadi.
Di dalam kampus, Fu Yanjie membuka mata. Angin dingin berhembus melalui hutan yang remang-remang...
## Bagian Dua Ratus Tiga Waktu Pelarian
Di dalam kampus, Fu Yanjie membuka mata. Angin dingin berhembus melalui hutan yang remang-remang...
Dada terasa sesak, kesadaran masih berkabut. Setelah beberapa saat, barulah ia menyadari tubuh manusia yang tertindih di bawahnya. Seketika, tubuh gemuknya Byur! melompat dari tanah, punggungnya membentur tembok kawat berkarat.
“Zen... Zen-Zen-Zen...”
Meski hari mulai senja, namun di dalam hutan masih tersisa sedikit cahaya. Saat pria gemuk itu menggigil ketakutan, terlihat tubuh orang yang terbaring di tanah itu seolah terdistorsi di seluruh bagian tangan dan kakinya. Di samping mulutnya, genangan darah besar telah membeku menjadi Merah Tua Kehitaman. Matanya menyapu sekeliling, namun sepasang mahasiswa yang baru saja berciuman di tempat ini telah lenyap. Berdiri kebingungan cukup lama, ia mengulurkan tangan untuk memeriksa nafas orang itu, lalu mencoba meraba arteri utama di tengkuk. Jelas, orang ini sudah MATI.
"Bagaimana ini、Bagaimana ini……"
Dalam kegelapan, pria gemuk itu hampir menangis. Setengah hari terperangkap di balik kawat berduri, ia kalang-kabut membereskan barang bawaannya. Laptop model militer yang jatuh bersamanya dari atas ternyata masih berfungsi. Diam-diam ia menyelinap keluar pintu besi, memodifikasi sinyal di sudut hutan sepi, lalu menghubungi nomor telepon rumah sakit menggunakan telepon genggam era 90-an.
"Halo、Halo halo……"
Setelah menunggu setengah hari, telepon ternyata tidak dapat terhubung. Mungkin teleponnya rusak saat jatuh dari ketinggian tadi.
Orang itu tampaknya sudah MATI, dibawa ke rumah sakit pun tak ada artinya, pikir pria gemuk dalam hati. Mengenai melapor ke polisi untuk menyerahkan diri, itu pasti mustahil. Selama ini dia memeras perusahaan jaringan atas nama Superman Pelangsing, dalam arti tertentu juga melanggar hukum. Rasa takut dan hormat terhadap polisi tidak sedalam orang biasa, malah sebaliknya sangat membenci. Pertama kali membunuh seseorang, hatinya kacau balau, wajah muram berjalan menuju area hutan. Ketertarikannya pada Babi Putih Bangsawan sudah pupus sama sekali.
Berjalan limbung ke depan beberapa lama, tiba-tiba berhenti lagi dalam kondisi linglung. Mungkin tidak bisa keluar lewat pintu gerbang utama, kalau ketahuan orang dan ditangkap bagaimana? Tapi Akademi Hati Kudus yang dibangun di lereng gunung ini tidak memiliki pintu belakang. Di luar tembok tinggi biasanya ada lereng berumput yang curam dan berbahaya. Menggigit gigi, akhirnya memutuskan tetap lewat pintu utama. Saat keluar dari hutan, samar-samar mendengar suara petasan di dalam kampus dan jeritan sorak gembira. Kontrasnya suara itu membuat hatinya semakin pedih.
Keluar dari hutan lebat itu, sinar matahari masih menyisakan semburat senja di ufuk barat. Agar tidak terlihat orang, dia menyelinap-sembunyi melalui tempat sepi menuju arah luar kampus. Sesekali ada sosok berlarian mendekat, langsung menghindar dengan SIGAP. Di dadanya masih menempel banyak darah yang jelas tidak boleh dilihat orang. Saat hendak menyusup keluar kampus, telinganya menangkap dentang sirene dari luar yang membuatnya kaget: Tidak baik! Dua mahasiswa itu ternyata sudah lapor polisi!
Memandang luasnya kampus ini, perasaan keputusasaan muncul di hatinya. Pintu gerbang itu jelas tak berani dilewati, sepertinya juga tak banyak tempat bagus untuk kabur. Saat terhuyung-huyung di antara pepohonan yang relatif jarang, tiba-tiba sesuatu mencengkeram kakinya. Saat menunduk melihat, matanya melotot lebar.
Seorang pria berbaju polisi kampus yang berlumuran darah, tampaknya tinggal menghitung napas terakhir. Andai Fu Yanjie masih cukup sadar, pasti akan menyadari tubuh pria itu penuh luka tembak. Namun kini dia tengah terbelenggu rasa takut telah membunuh seseorang, otaknya dipenuhi bayangan tubuh terdistorsi korban setelah MATI. Tiba-tiba dia menjerit "Aaa——", lalu tubuh gemuknya melesat seperti kereta api.
Batang-batang pohon dan desau angin melesat di samping telinga. Si pria gemuk berlari sekuat tenaga. Tiba-tiba bayangan muncul menyergap dari samping. Sebelum sempat bereaksi, tangan kecil seputih giok menyambar kerah bajunya. Sesosok tubuh ringan berputar 360 derajat mengelilingi tubuhnya dengan kecepatan luar biasa—kilau dingin menyambar!
Byur! Kepala pria gemuk itu menghantam batang pohon di depannya.
“……” Dengan setengah sadar, pandangannya beralih ke samping. Ada dua bayangan, satu tinggi dan satu pendek. Yang lebih pendek adalah seorang gadis cantik dengan wajah anggun nan menawan, ekspresinya datar tanpa banyak emosi, terlihat seperti boneka sempurna yang membuat sesak napas. Tadi jelas dialah yang pertama kali berlari maju, dalam sekejap berputar mengelilingi lingkaran 360 derajat, menusukkan belati dari sisi leher pria tinggi yang mengejarnya.
Pemandangan di hutan yang gelap dan pikirannya yang masih berkabut membuat gambaran ini terasa agak mistis. Detik berikutnya, gadis itu mencabut belatinya. Darah menyembur dari leher pria itu seperti air mancur… menyembur… menyembur… menyembur…
"Hgh..." Dengan darah mengalir dari hidung, matanya terbalik, pria gemuk itu kembali pingsan.
……
Akademi Hati Kudus saat ini tengah dilanda kekacauan besar.
Sebenarnya, sebagai institusi pendidikan yang berhasil menarik lebih dari delapan puluh persen anak orang kaya usia sekolah di sekitar Jianghai, sistem keamanan Akademi Hati Kudus pasti memiliki skala yang mumpuni. Sebagian besar satpamnya adalah prajurit pensiunan, bahkan ada mantan pasukan khusus. Di Tiongkok, melawan satu dua kelompok Jalan Hitam sama sekali tidak bermasalah. Namun kekalahan yang terjadi sejak awal ini, di satu sisi karena perhatian musuh yang terlalu kuat, di sisi lain karena serangan yang dilakukan Tak Terhitung Dewa-dewa dan kawanannya benar-benar mencengangkan.
Meskipun pernah terlibat dalam pasukan militer dan unit khusus, pasukan yang tidak mengalami banyak perang sama sekali berbeda konsepnya dengan pasukan yang bertahan hidup dalam pergulatan darah dan api selama bertahun-tahun. Meski beberapa orang di Akademi Hati Kudus bisa mendapatkan senjata api secara legal, mustahil melengkapi semua satpam sekolah dengan senjata. Ditambah tidak ada insiden besar selama beberapa tahun terakhir, saat alarm di pintu gerbang berbunyi, personel internal sama sekali tidak waspada. Ketika Tak terhitung dewa-dewa dan pasukannya menyerbu dengan kilat seperti halilintar, segalanya sudah terlambat.
Tentu saja, pasukan beranggotakan 40-an orang mustahil mengendalikan seluruh ribuan guru-siswa di kampus. Saat dentuman senjata terdengar dan bentrokan pertama dengan satpam terjadi, tentara bayaran terutama memblokir pintu masuk- keluar gedung sekolah, gedung aktivitas, dan gedung kantor. Beberapa dikirim ke lokasi lain untuk menangkap target yang sudah ditentukan, termasuk Chen Guxia dari [], Yahan, Lingjing, dan Kaoru. Berbagai insiden terjadi di tempat berbeda. Selama lebih dari dua jam di malam yang kelam, seluruh kampus terjerumus dalam kekacauan yang hiruk-pikuk.
Pencarian, pengepungan, pertempuran, pelarian, persembunyian... Faktanya, saat dentuman senjata pertama terdengar hingga ada yang ditembak mati di depan mata, mungkin sebagian besar orang masih belum memahami situasi. Beberapa petugas keamanan kampus awal kehilangan nyawa seperti ini. Lebih dari empat puluh orang tentu tidak bisa mengcover seluruh area luas kampus. Setelah pintu-pintu masuk utama bangunan dikendalikan, staf pengajar dan siswa di area lain mulai berpencar seperti binatang liar - ada yang kabur, minta tolong, mencari tempat persembunyian, bahkan ada yang berhasil menghabisi tentara bayaran yang tersebar, merebut beberapa senjata lalu melarikan diri sendiri atau mengorganisir perlawanan dan pelarian bersama orang lain.
Baru setelah lebih dari dua puluh menit, banyak orang akhirnya menyadari bahwa pemandangan tak realistis ini bukan adegan film blockbuster, melainkan fakta yang benar-benar terjadi. Puluhan orang yang mencoba kabur lewat pintu gerbang ditembak mati atau meledak, kekacauan awal akhirnya mulai mereda. Tentara bayaran menguasai beberapa gedung terbesar, lalu membagi pasukan untuk melakukan pencarian ke segala penjuru. Sniper di titik tertinggi mengawasi setiap pelarian. Sebagian orang memanfaatkan kompleks bangunan kampus yang rumit untuk bersembunyi dan melawan, sementara yang lain mencari celah kabur di tepi area kampus...
……
Senja memudar, dentuman senjata sporadis dan teriakan minta tolonɡ terdengar dari kejauhan. Di dalam hutan di lereng gunung terpencil, beberapa orang berjalan pelan-pelan ke depan. Yang memimpin adalah Dongfang Lu dengan garis darah di wajahnya, diikuti oleh belasan mahasiswa. Dongfang Wan dan Lingjing juga berkecimpung di antara mereka, mengikuti langkahnya perlahan.
"Apa yang sebenarnya terjadi..." ujar seorang mahasiswa dengan ketakutan.
Dongfang Lu mengayunkan tangannya: "Diam."
"Kita tidak bisa keluar dari sini..."
"Diam..."
Dalam gemuruh hujatan, siluet tembok muncul dalam pandangan mereka. Dongfang Lu ragu sejenak: "Kita keluar dari sini."
"Mustahil, ini terlalu tinggi..."
"Di bawahnya ada jalan beton..."
"Kemiringannya curam, setidaknya puluhan meter..."
Setelah lama berada di Akademi Hati Kudus, mereka cukup familiar dengan kondisi geografis area ini. Tembok di depan mereka setinggi lebih dari tiga meter, di luar bukan hanya memiliki lereng berbahaya tapi juga tembok beton dan jalan sepi di bawahnya. Orang biasa yang meluncur turun tanpa bisa memperlambat laju pasti akan terluka parah. Beberapa anggota pasukan mulai ragu. Sebelum Dongfang Lu sempat bicara, Lingjing menarik napas dalam, berlari ke depan, melompat ke udara, menendang tembok, lalu kedua tangannya sudah mencengkeram tepi atas tembok. Kelincahannya sama sekali tak seperti Ye Lingjing yang biasanya pendiam dan berprestasi akademis.
Melihat tubuhnya terjungkal ke sisi lain, Dongfang Lu mengangguk: "Ini tempat yang paling mungkin untuk keluar sekarang. Siapa yang mau pergi, akan kutarik naik. Yang tidak mau, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa." Sambil berkata demikian, dia terjungkal mengikuti Ling Jing yang telah melompat ke atas, tubuhnya tergantung di sisi lain, lebih dari separuh badannya membungkuk ke depan sambil mengulurkan satu tangan. Meski Ling Jing tidak berbicara, dia juga mengulurkan tangannya ke arah orang-orang di bawah. Tembok yang cukup tinggi ini membuat gerakan mereka berdua sulit ditiru orang biasa.
Di belakang Dongfang Lu, tentu saja ada Dongfang Wan yang berteriak: "Kakak!" Dia yang pertama melompat dan meraih tangan yang diulurkan. Meski dalam pikiran semua orang melompat dari sini berisiko patah kaki, tapi tetap lebih baik daripada mati dipukuli. Seorang perempuan yang awalnya takut ketinggian segera menyusul, meraih tangan Ling Jing. Namun sebelum sempat ditarik kuat, terdengar suara teriakan dari kejauhan disusul suara prak-prak peluru yang menyambar tembok meninggalkan percikan api keemasan.
"Ah—!" Jerit perempuan yang menggenggam pergelangan tangan Ling Jing tiba-tiba melepaskan pegangan dan jatuh kembali ke bawah. Kehilangan tenaga tarikan secara mendadak, tubuh Ling Jing yang tergantung di luar tembok langsung kehilangan keseimbangan. Badannya meluncur cepat menyusuri tebing curam, kedua tangan mencoba mencengkeram rumput pendek di tanah namun segera merasakan sakit seperti terbakar. Dia merentangkan kaki sekuat tenaga untuk mengurangi kecepatan, tapi pemandangan di depan sudah terlewati begitu cepat, puluhan meter jarak terlewati dalam sekejap.
"Lingjing……Xiao Wan cepat naik!" Bekas peluru melesak miring di dinding, seorang tentara bayaran membawa senapan serbu semakin mendekat. Tak ada pijakan di tembok, Dongfang Lu mengerahkan seluruh tenaga namun tak kunjung berhasil menarik tubuh adiknya. Dongfang Wan juga menjerit ketakutan, kedua paha menendang-nendang tembok dengan putus asa. Tiba-tiba, jejak percikan api seolah melintasi tangan mereka yang saling bergandengan. "Kak! Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriak Dongfang Wan tiba-tiba.
Melihat tentara bayaran mendekat, lebih dari sepuluh orang justru membeku ketakutan. Dongfang Wan melepaskan pegangan dan jatuh ke tanah. Tubuh Dongfang Lu juga terlempar keluar Akademi Hati Kudus. "Puff!" Sebelum tubuhnya tergelincir, kedua tangannya mencengkeram rumput dan debu di lereng curam. Saat mengangkat kepala, wajah asing muncul di atas tembok, mengarahkan senjata ke arahnya.
"Kak, cepat pergi——ahh……" Jeritan Dongfang Wan disusul tarikan brutal yang menyambar tentara bayaran di atas tembok. Peluru melesat ke langit sebelum jerit kesakitan Dongfang Wan menggema.
"Xiao Wan——" Hati Dongfang Lu bergetar hebat. Seluruh tubuhnya tak terbendung meluncur ke bawah. Tangannya merobek-robek rumput dan kerikil dengan sia-sia. Dalam sekejap, tubuhnya sudah mendekati puncak tembok bagian bawah. Kemudian, seluruh tubuhnya menghantam keras permukaan jalan beton……
"Bayangan tentara bayaran muncul di atas tembok, mengangkat senjata untuk menginspeksi area bawah sejenak, kemudian kembali menghilang ke balik tembok itu."
"Bukan tertembak senjata, bukan tertembak senjata... Waktunya tidak tepat, waktunya tidak tepat, dia seharusnya hanya kena tendangan. Tidak apa-apa... Xiao Wan pasti baik-baik saja..."
Di bawah tembok, dua bayangan duduk berdampingan. Dongfang Lu menggelengkan kepala sambil bergumam melakukan analisis dalam hatinya. Lingjing terengah-engah sejenak, menatap Dongfang Lu: "Terima kasih telah menyelamatkanku. Kau baik-baik saja?"
"Eh, baik-baik saja..." Dia menggelengkan kepala, "Aku tidak apa-apa."
"Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Begitu banyak orang membawa senjata, bahkan membunuh... Ini bukan syuting film..." Air mata menggenang di mata Lingjing, kedua tangannya yang terluka oleh batang rumput masih gemetar halus. Selama pelarian tadi yang terlihat tenang, sebenarnya dia begitu tegang dan takut sampai tak bisa bicara. Dongfang Lu kembali menggeleng, sebelumnya semua orang sedang mengikuti aktivitas komunitas, hampir mendekati waktu pulang sekolah, tiba-tiba terdengar dentuman senjata lalu orang-orang menerobos masuk, menembak dan membunuh. Dongfang Lu secara refleks terkondisi membawa beberapa orang di sekitarnya kabur - meski dia memahami hubungan Lingjing dengan Jiaming, perasaan cintanya tak pernah pudar. Melihat Lingjing berada di lokasi, dia selalu berada di dekatnya, tanpa sengaja telah menyelamatkan gadis itu.
Mereka duduk beberapa saat lagi. Lingjing menahan sakit di tubuhnya lalu berdiri: "Kalau... kalau kau baik-baik saja, Shasha belum keluar. Aku akan mencari cara untuk menyelamatkannya."
“Aku juga ingin menyelamatkan Xiao Wan... Telepon di kampus tidak bisa digunakan, pasti sudah dihancurkan mereka. Tapi pasti masih ada sinyal di luar.” Dongfang Lu ikut berdiri, "Jadi kalau mau menghubungi Gu Jiaming, kita pergi bersama, setuju?"
"Eh..." Mendengar ucapannya, Lingjing langsung menoleh kaget, membeku di tempat...
## Bagian Dua Ratus Empat Cold Blood
Terang benderang, di depan pintu gerbang yang terkunci rapat Akademi Hati Kudus, suara sirine polisi membentuk lautan suara. Pemimpin operasi meneriakkan peringatan ke dalam kampus melalui pengeras suara. Pasukan cadangan polisi dengan cepat mengepung sekeliling akademi. Puluhan mobil kecil berdatangan dari segala penjuru, mengangkut orangtua kaya yang anaknya bersekolah di sana. Mereka datang dengan rombongan pengawal pribadi. Tak lama setelah itu, puluhan truk pengangkut anggota geng pimpinan Liu Zheng berdatangan. Ratusan, ribuan anggota Shazhu Bang mulai berkerumun. Di tangan mereka terlihat kapak tebangan terbungkus koran, beberapa bahkan membawa senapan buruan. Seluruh plaza dipadati kerumunan manusia, membuat pihak kepolisian pusing tujuh keliling.
"Tolong, Bos Liu, aku mengerti perasaanmu, tapi dalam situasi seperti ini, kami akan sangat kesulitan." Menarik Liu Zheng ke samping, kepala kepolisian kota yang telah tiba di tempat mengerutkan alisnya, bernegosiasi agar Liu Zheng memanggil kembali sebagian bawahannya dan lebih sopan. Sebenarnya sikap rendah hati seperti ini tidak perlu, tapi sejak Ye Lian dan kawan-kawannya menyelesaikan konflik antara Sanqing Bang dengan Shazhu Bang, di mata mereka Shazhu Bang diduga memiliki dukungan dari Keamanan Nasional, jadi lebih baik berhati-hati. "Sekolah Shengxin adalah salah satu lokasi terpenting di Kota Jianghai kami. Sekarang dikuasai teroris, semua mata tertuju ke sini. Lihatlah para wartawan itu, jika mereka memotret seluruh plaza dipenuhi orang membawa kapak tebangan, ini..."
"Siapa yang berani memotret sembarangan langsung kutebas MATI! Mana media yang berani muat foto sembrono!" Berteriak dengan mata memerah ke arah wartawan yang tidak jauh, Liu Zheng menarik napas panjang. "Putriku masih di dalam sekolah tanpa kabar. Yang kuinginkan sekarang cuma tahu kondisi di dalam sana seperti apa!"
“Awalnya kami berencana langsung menyerbu masuk, tapi kecepatan mereka terlalu tinggi. Meski di dalam pintu gerbang sudah diatur banyak bom, itu bukan masalah besar. Masalahnya mereka sudah mengendalikan langsung beberapa gedung sekolah dan kantor di pusat kampus, serta mengeluarkan ultimatum: begitu ada polisi yang masuk, pembantaian akan SEGERA dimulai. Jadi kami sekarang tidak bisa bertindak gegabah. Beberapa area sekitar kampus masih terus ada mahasiswa yang kabur. Tapi jumlahnya sedikit, ada sniper di antara tentara bayaran itu. Sekarang mereka sudah menguasai sebagian besar titik kabur yang topografinya lebih baik, semakin sedikit yang bisa lolos...”
“Tidak bolehkah polisi masuk? Baik, aku bisa perintahkan anak buahku langsung menerobos masuk, lihat berapa banyak sniper mereka yang bisa Blokir area ini!”
“Bos Liu, kau tahu ini sedang melakukan hal bodoh.”
“Aku harus menyelamatkan putrinya!” Liu Zheng membentak, kemudian kepala kepolisian itu juga bergumam: “Kau harus rasional, Liu Zheng. Kau paham, kau bantu aku, aku bantu kau! Kecerobohan tidak bisa menyelesaikan masalah.”
Kalimat ini membuat Liu Zheng sedikit sadar. Bagaimanapun, di sini adalah Jalan Hitam, di sana polisi. Nada bicara mereka sudah memberikan muka yang cukup. Setelah terdiam sesaat, ia menoleh: “Baik, anak buahku tidak akan hanya diam di sini. Jika diperlukan, langsung beri perintah. Urusan di dalam kampus kuserahkan padamu.”
“Tenang saja.” Mengangguk, memandangi Liu Zheng berbalik, sang kepala kepolisian juga menghela nafas lalu berjalan menuju rombongan orang-orang kaya yang berkumpul. Di tengah jalan, ia berkata pada seorang polisi: “Usir para wartawan itu, beri tahu mereka jangan sembarangan bicara yang tidak pantas.”
Di sisi lain, Liu Zheng berjalan menuju kerumunan di belakangnya, lalu memerintahkan seorang manajer dalam geng: "Suruh saudara-saudara berpencar, semua orang... kepung sekolah ini, jangan berkumpul bersama. Ngomong-ngomong, ada kabar dari Xiao Meng belum?"
"Xiao Meng masih belum ada kabar. Selain itu, anak buah kita sudah pergi ke rumah kontrakan di sana, tapi tidak menemukan Gu Jiaming. Tidak tahu dia pergi ke mana."
Liu Zheng ragu sejenak: "Suruh saudara-saudara lebih waspada. Bocah itu memang mandiri, mungkin sedang mencari bantuan orang. Lebih baik dia tidak ada di dalam."
……
Di sisi lain, di dalam sekolah.
"Apa? Kabur?" Tak terhitung dewa-dewa membelalak di tepi lantai atas aula besar yang terang benderang. Di tengah aula, puluhan mahasiswa berjongkok memeluk kepala berdesakan, beberapa perempuan menangis hiks hiks, tapi Tak terhitung dewa-dewa tidak menghentikannya. Dia menyukai suara seperti ini. "Tsukike Kaoru kalian gagal menangkapnya memang sudah aku antisipasi dari awal, makanya aku suruh kalian kirim lebih banyak orang. Gadis kecil Ye Lingjing yang punya tangan kaki itu bisa kabur saat kekacauan, aku mengaku kalah. Lagipula kejadian seperti hari ini bukan pertama kali. Zhang Yahan... bukannya dia sakit? Bagaimana dia bisa kabur?"
“Tidak jelas, orang kami telah mengawasi ketat Tsukike Kaoru. Dia sudah terluka dan tidak bisa kabur. Di sisi Zhang Yahan... kami memastikan kondisinya semakin parah, sepanjang sore tidur di ruang medik kampus. Tapi saat tim kami bergerak, dia dan dokter wanitanya menghilang.”
“Dokter wanita?” Tak terhitung dewa-dewa mengerutkan kening, “Kalau ingat, saat alarm berbunyi, yang pertama bereaksi katanya Chen Guxia ya?”
“Benar. Saat alarm pertama berbunyi, dia mendeteksi tim kami sehingga bisa menyelamatkan diri. Radius sekitar gedung kantor cukup luas, sekarang mereka punya beberapa senjata. Kita harus mengepung mereka pelan-pelan. Tapi saya jamin, mereka tidak bisa lolos.”
“Hmm, aku tahu... Omong-omong, foto dokter wanita itu bisa dicarikan? Aku teringat seseorang. Kemungkinan besar dia juga anggota []. Ketika Chen Guxia menyadari masalah, dia memberi tahu anggota [] di kampus dengan cara khusus. Waktu antara notifikasi itu dengan kedatangan kita hanya dua tiga menit. Pintu masuk gedung di tepi lapangan sudah kita kawal sejak awal. Meski mereka bisa bersembunyi, mustahil kabur dengan mudah bersama anggota yang sakit. Kemungkinan besar masih di dalam. Cari cara untuk menggiring mereka keluar...”
……
Rasa sakit, napas pendek-pendek... Di bahunya terlilit kain kasa tebal, Xiao Meng duduk di sofa usang dengan wajah pucat. Di sampingnya, sepasang pria dan wanita telah pingsan di lantai, darah mengalir dari sudut bibir mereka. Anggota tubuh yang seharusnya normal kini terdistorsi seperti kapas. Mengingat kejadian yang baru saja terjadi, bahkan seseorang sekejam dia pun merasa ingin muntah. Baru saja, di hadapannya, tangan dan kaki kedua orang ini dijepit dan dipatahkan seinci demi seinci hingga sumsum tulang mereka hancur menjadi serbuk.
Entah metode apa yang digunakan Jiaming, beberapa jarum baja panjang ditancapkan ke belakang kepala mereka. Akibatnya, mereka tidak hanya tidak bisa berteriak, tetapi bahkan tidak diperbolehkan pingsan. Namun kemauan kedua tahanan ini sungguh luar biasa. Di bawah penyiksaan seperti ini, mereka hanya mengungkapkan beberapa nama, jelas masih menyembunyikan banyak intelijen penting.
Ini adalah rumah tua tak jauh dari kontrakan. Dulu geng Yong Sheng pernah berencana mengambil alih gedung ini setelah pemiliknya pindah. Tapi tak lama kemudian Li Yong Sheng dan putranya menghilang, geng Yong Sheng bubar, dan rencana itu pun terbengkalai. Tempat ini akhirnya menjadi bangunan terbengkalai. Dentang sirene polisi mulai terdengar dari kejauhan. Di depan, Jiaming sedang mengutak-atik televisi tua. Dari gambaran penuh bintik salju di layar, meski tidak jelas, terlihat informasi bahwa Akademi Hati Kudus sedang dalam kondisi disandera.
"Sinyal buruk sampai seperti ini, menunjukkan mereka melakukan penyaringan terhadap semua sinyal elektronik... Tak terhitung dewa-dewa, dia benar-benar melakukannya..." Dengan ekspresi netral, Jiaming menoleh ke arah siluet kampus yang terang benderang di kejauhan. Meski lokasi ini disebut dekat kampus, jaraknya sekitar sepuluh menit dari pintu gerbang utama. Waktu yang dihabiskan untuk menginterogasi dua tentara bayaran tadi membuatnya tak menyangka, mereka berani melakukan tindakan ekstrem seperti menyandera seluruh kampus.
"Keduanya sudah tidak berguna. Meski dengan waktu lebih lama mungkin bisa dapat info tambahan, tapi kita tak punya waktu..." Mendengar ucapan datar itu, Xiao Meng mengangkat kepala. Ia melihat Jiaming dengan lancar mengeluarkan senjata dari kantong pengepungan, memasang peredam suara, lalu tanpa ragu melepaskan dua tembakan. Percikan darah menyembur, meninggalkan lubang peluru akurat di dahi kedua mayat di tanah.
Dulu saat pertama kali berkecimpung di Jalan Hitam, ia sering mendengar legenda tentang bos gila dengan hati dingin. Sepanjang karirnya, ia telah menyaksikan banyak manusia kejam, termasuk dirinya sendiri yang berusaha keras menjadi sosok tak berperasaan. Tapi baru kali ini, menyaksikan kenyangannya sang pemuda bertindak tanpa beban, ia benar-benar memahami makna "MEMBUNUH tanpa berkedip".
"Dari percakapan mereka, seharusnya ada wanita bernama Bai Nana yang akan datang. Awalnya ingin menunggu di sini, tapi situasi di kampus sudah darurat. Kakak Meng, bisa jalan? Aku antar ke pos polisi. Paman Liu diperkirakan bisa segera tiba. Setelah itu kakak harus segera ke rumah sakit."
Sambil mengembalikan pistol ke kantong pengepungannya, Jiaming berbicara dengan nada datar. Memandang senyum lembut di wajahnya, Xiao Meng tiba-tiba merasa dunia ini tidak nyata. Biasanya Jiaming sering menemani Shasha menemui Liu Zheng, dan frekuensi pertemuannya dengan anggota geng ini cukup sering. Di mata anggota Jalan Hitam yang terbiasa menjilati darah di ujung pisau ini, pemuda bernama Gu Jiaming dikenal berwatak sangat baik. Meski terlihat lemah, dia selalu sopan menyapa "Kakak Meng" atau "Bos" dengan penuh hormat, sehingga disukai banyak orang. Pernah suatu kali saat mengobrol, ada yang berkelakar jika Huai Sha menikah dengannya nanti, tidak tahu bagaimana dia akan dijahili. Hipotesis ini sering menjadi bahan lelucon di kalangan pimpinan Shazhu Bang, bahkan terkadang Liu Zheng sendiri ikut tertawa.
Namun beberapa saat lalu, menyaksikannya dengan tenang menyiksa dua orang - meremukkan anggota tubuh mereka inci demi inci dengan tangan kosong - ekspresi terdistorsi di wajah korban sampai membuat Xiao Meng berubah pucat. Tapi Jiaming tetap mempertahankan senyum samarnya yang sopan, terus meremas dengan tenang sambil mengajukan pertanyaan di tengah bunyi tulang hancur, ditambah gerakan MEMBUNUH-nya yang santai seperti menginjak semut. Baru sekarang Xiao Meng menyadari betapa bodohnya lelucon mereka selama ini.
Berjuang bangkit dari sofa, dia mencoba tersenyum: "Aku benar-benar curiga... apakah kau masih Jiaming yang dulu..."
“Ah, ada beberapa hal yang harus dikamuflasekan, kalau tidak akan merepotkan.” Jiaming menggaruk-garuk rambutnya, tersenyum malu-malu. Penampilan ini benar-benar menyatu dengan sosok Gu Jiaming sebelumnya, “Kakak Xiao Meng, ingat jaga kerahasiaan untukku, terima kasih... Eh, tunggu sebentar...”
Melihat Jiaming menarik lengan bajunya untuk melihat layar jam tangan, Xiao Meng mendekat: “Ada apa?”
“Oh, Lingjing dan Shasha membawa pengirim sinyal agar aku bisa menemukan mereka kapan saja. Tapi sinyal di kampus terganggu, hanya bisa diterima dalam jarak dekat. Arah ini... Lingjing sudah keluar, syukurlah...”
Dia bergegas keluar melalui pintu belakang kamar menuju arah sinyal. Xiao Meng segera mengikuti. Keluar dari gang sepi itu, mobil polisi melesat sambil membunyikan sirana. Jiaming memasang earphone di jam tangannya: “Halo... Lingjing, sudah keluar?... Bagaimana kondisi Shasha... Jangan nangis, aku segera datang, tidak apa-apa, tenang saja. Aku sudah sampai, lihat ke belakang...”
Sambil berbicara, mereka berbelok di sudut jalan. Di seberang jalan, di bawah sebuah telepon umum, Dongfang Lu dan Lingjing juga sedang menatap ke arah sini. Begitu melihatnya, Lingjing langsung menjatuhkan mikropon, berlari tergesa-gesa dan memeluk erat Jiaming sambil menangis tersedu-sedu: "Wu, Jiaming... Aku tidak tahu mereka ini siapa... Mereka punya senjata, langsung MEMBUNUH begitu masuk. Sekarang seluruh kampus sudah dikuasai mereka... Saat itu sangat kacau, aku tidak bisa menemukan Shasha, telepon di kampus juga tidak bisa dihubungi... Kami kabur keluar, Dongfang Wan dan yang lain tidak sempat kabur, ada yang menembak... Wu, di mana Shasha? Di mana Shasha, Jiaming? Bagaimana bisa ada hal seperti ini..."
Sambil menepuk-nepuk bahu Lingjing untuk menenangkannya, Jiaming mengangguk pada Dongfang Lu yang mendekat: "Terima kasih sudah menyelamatkan Lingjing."
Memandangi pasangan yang sedang berpelukan itu, ekspresi Dongfang Lu justru terlihat tenang secara mengejutkan. Ia menghela napas lalu mengangguk pada Jiaming: "Aku harus masuk untuk menyelamatkan Xiao Wan. Boleh ikut denganmu?"
"Hah?"
"Lingjing tidak memberitahuku apa-apa, tapi aku tahu kau adalah TULIP, Jian Suyan. Sepertinya Lingjing pun tidak tahu identitasmu ini..."
Lingjing berusaha menahan tangisnya lalu mengangkat kepala: "Jiaming, apa itu TULIP dan Jian Suyan?"
Jiaming tersenyum: "Aku tidak mengerti maksud perkataanmu."
“Belum lama ini teman sekelas Xu Yiting memberitahuku suatu hal. Waktu itu kau bersama Xiao Wan dan yang lain, hanya dengan aura berhasil mengusir dua ekor Neapolitan. Kemampuan bertarung mungkin bisa dipelajari, tapi Niat Membunuh tidak. Sebelumnya karena urusan Xiao Ruo kuminta bantuanmu, kau bilang Jian Suyan bukan Evolusioner alami tapi punya pengalaman aneh, heh... Lagipula meski Jian Suyan terlihat lebih tinggi sedangkan kau agak pendek, itu karena dia wanita yang memberi kesan berbeda. Setelah kutanyakan pada orang tanpa prasangka, sebenarnya tinggi badan kalian hampir sama...” Dia berhenti sejenak, “Tenang, hipotesis ini sementara hanya kuketahui. Tak kusampaikan pada siapa pun.”
“Sepertinya aku bisa membunuhmu untuk membungkam mulut ini.”
“Kalau begitu, bawa aku masuk ke kampus.” Dongfang Lu menarik napas dalam-dalam, “Setidaknya lihatlah jasaku menyelamatkan Ye Lingjing.”
Suasana di kedua pihak terasa kaku. Setelah beberapa saat, Jiaming mengangguk: “Kusampaikan dulu, aku tak jamin kau bisa keluar hidup-hidup... Saat ini di dalam kampus dipimpin oleh dari Jepang. Jika kau tahu makna di balik nama ini, masih ada waktu untuk menyesal. Soal intelijen ini, lebih baik kau hubungi anggota [] lainnya sekarang. Aku harus pulang ganti baju dulu... Lingjing, ikut Kak Xiao Meng cari Paman Liu, jangan pulang ke rumah...”
Usai bicara, dia berbalik pergi bersama Lingjing dan Xiao Meng. Wajah Dongfang Lu berubah pucat, memikirkan bobot nama , lalu berlari ke telepon umum di dekatnya.
“Beberapa menit kemudian, Jiaming yang mengenakan jaket abu-abu muncul kembali di ujung jalan. Saat berjalan mendekat, ia melemparkan pakaian abu-abu kelam kepada Dongfang Lu: ”Beli dari lapak, harganya tidak mahal tapi warnanya bagus. Di dalamnya ada senjata, kuharap kau bisa menggunakannya. Mengapa memandangiku seperti itu? Kira aku tidak akan kembali?””
“Err, pistol bisa digunakan... Kukira kau akan menyamar sebagai Jian Suyan baru datang. Kau tahu... identitas itu sekarang hampir menjadi mitos di []. Adik perempuanku sudah beberapa kali melihatmu, tapi aku belum pernah sekalipun, hehe...”
“Kau kira ini Sailor Moon? Bisa langsung berkamuflase kapan saja. Situasi di kampus sekarang bisa berubah setiap menit. Mari kita pertimbangkan dari mana masuk...” Mengabaikan nada mengejek dalam perkataan Dongfang Lu, Jiaming mengerutkan alis sambil memandang bukit di depan, kemudian berjalan menuju sekolah. ”Untuk masuk, kuharap kau bisa mengikuti...”
Di bawah kegelapan malam, pandangan tertarik ke langit, siluet kampus yang dipenuhi cahaya lampu tampak terang dan jelas pada saat ini. Di sekelilingnya, berbagai mobil mengitari perimeter luas kampus membentuk jalur blokade bercahaya. Beberapa unit helikopter berputar-putar di udara. Di dalam sekolah, staf pengajar dan mahasiswa yang disandera berkumpul di gedung sekolah dan gedung olahraga. Ada yang menangis, berdiskusi, cemas, juga mereka yang mencoba kabur dengan memanfaatkan penguasaan kondisi geografis kampus meski harapannya tipis. Dalam radius lebih luas di kampus, ada yang menyisir, memburu, lari pontang-panting, bersembunyi, melancarkan serang balik. Dentuman senjata sesekali menggema di langit malam, menggetarkan hati yang mendengarnya. Polisi, anggota Jalan Hitam, pengusaha kaya, pejabat, staf pengajar, mahasiswa... Bagi banyak warga Kota Jianghai, ini akan menjadi malam tanpa tidur yang dipenuhi bau darah dan gejolak...
## Bagian Dua Ratus Lima Memuji Cinta
Kira-kira karena sebagian kabel terputus dalam kekacauan, area bangunan kecil ini kini tenggelam dalam kegelapan. Saat cahaya api samar-samar menerobos masuk, dia meringkuk di sudut ruangan sambil merobek bagian celana yang menempel di tubuhnya. Dengan kain kasa, dia membalut luka di betis yang masih mengucur darah. Di sampingnya tergeletak senapan mesin yang pelurunya sudah habis, sementara mulutnya menggigit belati yang masih ada noda darah di mata tajamnya. Setelah selesai membalut, dia mengambil dua botol alkohol dari rak di sebelahnya, membuka tutupnya, lalu menyumbatnya dengan gumpalan pasir. Telinganya menyaring suara pencarian dari luar dan suara Viscount Tak Terhitung Dewa-dewa yang agak neurotik dari pengeras suara.
“……Hari ini, kita berkumpul dengan cara yang sangat khusus, di tempat yang sangat khusus, untuk urusan yang sangat khusus. Menurut istilah orang Tiongkok, inilah jodoh kita semua. Untuk menunjukkan kesungguhan hati saya dan mengungkapkan gejolak dalam hati serta rasa terhormat, saya akan membawakan sebuah lagu Prancis yang anggun berjudul 《Cinta adalah Hiasan Abadi bagi Kehidupan》. Mari kita bersama-sama memuji cinta sejati dan dunia yang penuh cinta dalam alunan musik. Baiklah, mari kita mulai……”
Setelah itu, dengan "Bagaimana cara mengurus ini", "Teman sekelas itu... maksudmu kamu, si cantik, tolong putarkan lagu ini, hmm, terima kasih, terima kasih banyak..." diselingi tangisan tertekan perempuan. Melodi ringan bernada ritme mulai bergema, menimpa radius luas seluruh sekolah, dentuman senjata, pembunuhan, tangisan yang menyertai musik ringan, terdengar benar-benar mengandung kegilaan. Orang-orang yang tak berdaya di luar sekolah saat itu terdiam terpana, Kepala Kepolisian memukul atap mobil patroli: "Sial!... Orang gila ini..."
Kemudian, sosok agak feminim muncul di sampingnya, memandang siluet kampus sambil mengangguk setuju: "Hmm, pendapatmu benar, Kepala Dinas Wang... Orang ini memang pasien berat kelas dunia, kita dalam masalah kali ini..."
Sementara di tepi hutan dekat sekolah, Dongfang Lu dengan kamuflase abu-abu mengangkat kepala mendengar alunan musik: "Bercanda macam apa ini, orang ini memang gila..."
Di sebelahnya, Gu Jiaming juga mengangguk tanpa ekspresi, meski yang disetujui jelas pandangan berbeda: "Oh, benar juga... Puji cinta..."
Keduanya saat ini sudah mendekati sebuah jalan kecil yang melintasi hutan. Tiba-tiba, Dongfang Lu menjadi waspada, secara bawah sadar mengulurkan tangan untuk meraih bahu Jiaming agar tidak melanjutkan langkah. Namun di saat yang sama, tubuh Jiaming sudah meluncur maju, perubahan dari diam total menjadi gerakan secepat kilat bagai halilintar menggelegar. Hanya terdengar suara "Braak" keras, kotak kabel setinggi manusia di sisi lain jalan langsung cekung ke dalam, lampu-lampu di seluruh area berkedip tak menentu. Dengan santai mundur selangkah dan menurunkan tangan, Jiaming baru melanjutkan kalimatnya dengan datar: "...Mari kita berkumpul bersama..."
Suara mendesis "Sssss" disertai percikan api keluar dari kotak besi yang cekung itu. Di depan Jiaming, seorang tentara bayaran mengeluarkan busa dan darah dari mulutnya, perlahan tergelincir dari cekungan itu ke tanah...
“……Saya pikir ini memang lagu yang bagus, bisa memberikan perasaan eksistensi perkotaan. Jika kalian mencermati dengan seksama, seharusnya bisa merasakan dengan mudah, seolah berada di kafe pinggir jalan Tokyo. Saat jam pulang kerja, tempat sudah penuh dengan orang-orang yang berbincang sopan dengan rekan mereka, di luar hujan rintik-rintik, lalu lintas di jalan teratur, semua mobil menyalakan penyeka kaca yang berayun ke kiri-kanan... Saat lampu lalu lintas berubah, kerumunan orang yang ramai, ada yang membawa payung, ada yang menutupi kepala dengan tas dokumen sambil berlari kecil, para cewek mungkin berhenti sebentar di bawah atap kecil dekat jendela kaca, tertawa bicara beberapa kata lalu pergi... Singkatnya, ribuan hingga puluhan ribu orang dengan berbagai perbedaan hidup di kota yang sama dengan rutinitas masing-masing, namun semuanya berjalan tertib. Dalam keramaian itu kita benar-benar merasakan diri sebagai bagian dari kota ini, hidup bersama semua orang... Yang paling saya suka adalah wanita-wanita berstoking hak tinggi yang baru pulang kerja, tampak agak kikuk dalam hujan membuat mereka terlihat lebih seksi... Saya benci loli, paling jijik dengan lolicon... Maaf, ini hanya perasaan pribadi saya, tolong anggap tidak mendengar...”
Ucapan Zhushen Wunian yang mengalir bersama musik terus bergema, seolah membenarkan pernyataannya. Di balik jendela louvers itu, suara penyelidikan tampak semakin mendekat. Sejenak kemudian, teriakan peringatan mulai terdengar.
"Tsukike Kaoru, kami tahu kau ada di rumah ini, segera menyerah atau rasakan ledakan roket!"
Pilar cahaya menyambar, Braak! Bangunan dua lapisan di sebelah mekar menjadi bunga penghancur: "Wu, aku suka sensasi ini... Mari lanjutkan ke rumah berikutnya..."
Getaran dahsyat mengguncang, pondok tetangga kembali tersapu gelombang kejut dan kobaran api. Dengan menggigit gigi, dia mengangkat botol alkohol dan berlari ke pintu.
Persis saat pintu terbuka, dua orang langsung mengarahkan senjata. Satu membawa roket di pundak, lainnya memegang pistol. Bayangan Tsukike Kaoru melesat, Braak! Pilar api keemasan melesat dari punggungnya, menghunjam rumah belakang dan meledak hebat.
Dengan tangan menopang lantai, tubuhnya melayang dalam pola aneh sambil melemparkan botol kaca. Orang kedua refleks menembak. Seketika, alkohol meledak menjadi hujan api yang menyapu area.
"Menghindar!"
Roket terlempar, pria itu menubruk kawan yang masih menembak. Mereka terjungkal dengan lengan dan punggung terbakar. Meski tertindih dan tangan berapi, sang penembak tetap mengarahkan pistol ke arah Tsukike Kaoru yang melarikan diri.
Dalam deru suara byur, jejak tak terhitung daun kayu patah dan beton yang terkelupas mengejar bayangan gadis yang melesat cepat. Hanya sekejap, ia telah mencapai sudut bangunan lain. Jika berhasil melewatinya, tembakan dari sisi ini tak bisa lagi mengancamnya.
Dentuman peluru terdengar dari ujung sudut yang berlawanan!
Masih ada dua orang menghalangi di jalur yang ingin ia gunakan untuk kabur.
Tiba-tiba, tubuhnya telah keluar dari sudut ini dengan tetap mempertahankan kecepatan lari ke depan. Namun tangan kirinya yang di belakang tiba-tiba mencengkeram pipa di tepi bangunan, seolah tubuh dan tangan kiri terpisah menjadi dua bagian yang berbeda. Satu bagian terus berlari, bagian lain menarik ke belakang. Akhirnya tangan kiri berhasil menguasai situasi. Langkah berikutnya menginjak udara.
Peluru melintas di depannya. Dalam sekejap, tubuh gadis itu berputar mengikuti poros tangan kiri, menggambar setengah lingkaran penuh kekuatan dan keanggunan di udara, lalu melesat ke atas dan langsung berguling ke balkon lantai dua.
Dalam cahaya yang agak remang, variasi dan kecepatan Chiseisenran mencapai puncaknya. Peluru mengikuti di belakangnya dengan ledakan keras, kaca, jendela, dan beton di pagar memercik liar. Di depan, pria kekar dari duo pengepung malah berlari dua langkah, melompat meraih pagar lantai dua dan langsung memanjat ke balkon. Gadis itu menyambar maju pada saat yang sama.
Pukulan berat menderu datang, tangan kanan menyambut ke arah depan pukulan ini, menggunakan seluruh tenaga lembut untuk menahan dengan satu tangan. Sambil menarik ke belakang, tangan kiri juga menekan bahunya. Tubuh menempel di lengannya dan terbang dengan anehnya. Bersamaan, pria kekar itu menyapu kaki ganas dari bawah, betis yang melayang terkena sapuan. Di udara, seluruh tubuh kehilangan keseimbangan dan berputar tak terkendali, terpaksa kedua tangan mencengkeram erat lengan lawan.
Sensasi sekejap itu bagaikan pertempuran sengit antara monster dan kupu-kupu. Dua bayangan tiba-tiba bersilangan di udara. Kaoru yang melayang menghentak keras dinding kamar samping, lalu memanfaatkan pantulan untuk berputar balik. Tendangan lutut menghunjam tepat di wajah pria kekar itu. Seketika, tubuh pria itu menghancurkan pagar beton dan terjatuh ke bawah. Bahu Kaoru terkena pukulan kait keras, membuat seluruh tubuhnya berputar kikuk dan menerobos pintu kamar lantai dua. Dua detik kemudian, dentuman Byur terdengar dari sisi gedung - suara jendela yang hancur.
Dua orang yang baru memadamkan api di tubuh mereka awalnya mengepung dari depan-belakang. Melihat pelarian ke sisi lain, salah satu dengan cepat mengejar. Sekejap mata, mereka sudah memasuki hutan kecil di dekat taman yang sedang direnovasi. Beberapa tembakan meleset, namun jelas terlihat kecepatan Kaoru mulai melambat.
Dengan cepat merapatkan jarak, pada suatu saat, bayangan gadis itu tiba-tiba menghilang di depan, lalu serangan datang dari sebelah kiri. Sambil membalikkan tangan dan membuka tembakan, Kaoru dengan kikuk menghindar. Rencana untuk beralih dari bertahan ke menyerang justru berubah menjadi ide yang konyol, membuat jarak semakin dekat tanpa alasan. Mengangkat senjata dan mendekat dua langkah agresif, suara "Dong" tiba-tiba bergema. Tubuh pria itu terhenti sejenak.
Separuh batu bata jatuh ke tanah. Di samping batang pohon dekatnya, seorang perempuan yang tak diketahui sudah berapa lama bersembunyi di sana mengangkat separuh batu bata lainnya, bibirnya sedikit terbuka sambil berdiri di situ dengan pandangan penuh ketakutan, lalu secara bawah sadar mundur.
Membalikkan laras senjata untuk MEMBUNUH, bersamaan dengan itu bayangan Kaoru kembali melompat keluar. Bagi Chiseisenran, posisi ini sebenarnya kurang ideal - jarak terlalu dekat, risiko lebih besar. Tapi pria itu tiba-tiba menembak dua kali dan gagal mengenai. Sesaat kemudian, dia mendengar perempuan di sampingnya berteriak: "K-kau... Jangan bergerak! Aku akan menembak!" Di pandangannya, gadis yang memukul orang dengan batu bata ini ternyata juga memegang pistol.
Seketika tubuhnya kaku, rasa sakit di kepala mulai muncul. Memanfaatkan kesempatan ini, Kaoru menyelinap dari balik pohon dan merampas senjatanya. Perlahan mengangkat tangan, dahi pria itu mulai mengucurkan darah deras - pukulan batu bata tadi memang cukup kokoh.
Menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba dia merasa gadis di sampingnya ini terasa familiar. Hanya terdengar mereka bertiga saling mengangguk: "Gesekan."
“Itu... Kaoru, ini sebenarnya... apa yang terjadi...”
“Aku tidak tahu... Hmm, senjata ini...”
“Oh, hehe, ini beberapa yang dibuat Jiaming, untungnya aku membawanya.” Di bawah pandangan sang pria, gadis itu tersenyum, “Persis seperti aslinya.” Kemudian langsung menarik pelatuk.
Dengan suara Sssss, beberapa pancaran Air tepat mengenai wajah pria itu...
## Bagian Dua Ratus Enam Lari Sekencang-kencangnya
Saat angin dingin berhembus, untuk kedua kalinya ia bangun dari pingsan. Di udara melayang nyanyian merdu.
Dahi dan hidung yang baru saja menabrak pohon terasa sakit luar biasa. Ia berpegangan pada batang pohon, berdiri limbung. Cahaya lampu mengintip dari celah-celah pepohonan di depan. Suara riuh masih terdengar jauh-dekat, nuansa nyanyian mengubah Segalanya sekitar seperti pesta karnaval.
Ia berdiri di sana bernapas pendek-pendek sambil mengingat kejadian sebelumnya. Benar, awalnya datang mencari Babi Putih Bangsawan, lalu... menghancurkan manusia, polisi datang, dirinya... sepertinya melihat mayat, lalu lari sekencang-kencangnya ke sini. Seseorang menarik kerahnya seperti pemain akrobat yang menari-nari, lalu... Belati menancap di leher orang itu, darah menyembur seperti air mancur...
Apa ini... terlalu jauh dari realita...
Pandangannya membeku menatap ke samping. Meski hutan cukup gelap, tetap bisa melihat apakah ada orang di tanah. Benar, tidak ada mayat atau semacamnya. Dia menepuk pipinya sendiri, "Sadarlah, Fu Yanjie! Ini semua cuma halusinasi, tidak akan membuatmu takut!"
Pikirannya berputar-putar, langkahnya mondar-mandir. Tidak ada mayat di bawah tanah—sudah jelas terlihat. Tapi darah di bajunya membuktikan orang itu benar-benar mati tertindihnya. Pasangan anjing itu juga benar-benar melapor ke polisi. Tapi... apa yang dilihatnya setelahnya mungkin halusinasi—apapun itu, yang pasti sekarang dia sudah MEMBUNUH. Polisi akan datang menangkapnya. Polisi-polisi itu, penjahat tidak dikejar, malah menangkap orang baik seperti dirinya... Tapi sekarang pun dia tak bisa disebut orang baik lagi. Otaknya kacau balau.
Meski dikenal sebagai Superman Pelangsing yang nyaris preman di jaringan Kota Jianghai, esensinya pria gemuk ini cuma otaku malang yang pengecut tapi terlalu angkuh. Meski pernah mengalami peristiwa Kapal Star Dream, saat itu dia tidak banyak terlibat dalam adegan berdarah—sekarang terasa lebih seperti petualangan menegangkan dan mendebarkan. Tapi kali ini dia benar-benar MEMBUNUH. Membayangkan konsekuensinya: status buronan seluruh negeri dengan tuduhan pembunuhan, hatinya dipenuhi kepanikan tak terkira.
Meski penakut dan lemah, kebenciannya terhadap polisi membuat pikiran untuk menyerahkan diri setelah membunuh sama sekali tidak terlintas dalam benaknya. Setelah sedikit tenang, dia mulai merencanakan cara melarikan diri. Bukankah Mitnick, Dewa Peretas, juga pernah menjadi buronan di bawah perburuan Biro Investigasi Federal? Pertama, harus keluar dari Jianghai, lalu memanfaatkan kemampuan komputer untuk melacak jejak investigasi polisi. Adegan seperti apa lagi yang ada dalam film?
Pertama, kabur dari Akademi Hati Kudus dan segera meninggalkan Jianghai adalah tugas utama. Kemudian, jangan hubungi kenalan mana pun. Pintu gerbang sudah diblokir, jadi tidak bisa sembarangan memanjat tembok. Karena bajunya berlumuran darah, harus ganti pakaian dulu. Untuk menghindari deteksi anjing pelacak, sebaiknya semprotkan parfum kuat untuk menutupi aroma tubuh. Barang-barang ini hanya bisa... "dipinjam"...
Kau sudah MEMBUNUH satu manusia. Mulai sekarang hanya bisa percaya pada dirimu sendiri. Di bawah Kekuatan besar negara, tak akan ada lagi kesempatan melakukan kesalahan. Kau akan bertarung sendirian sebagai pejuang, dan pada akhirnya menang... Dengan perasaan campur aduk, dia mencoba menyemangati diri sendiri, tapi rasa takut masih mendominasi.
Sembunyi-sembunyi melangkah ke depan, dalam alunan nyanyian yang melayang, kampus saat ini sudah terlihat cukup sepi. Sebagian besar yang harus ditangkap mungkin sudah tertangkap, yang masih bersembunyi pun mungkin sudah menemukan tempat persembunyian yang sangat sulit ditemukan. Bahkan jika banyak orang sedang melakukan operasi tertentu, semuanya berusaha menjaga ketenangan agar tidak ketahuan. Dentuman senjata terdengar dari kejauhan... Apakah Akademi Hati Kudus sedang memutar film?, pikirnya dengan perasaan kesal.
……
Masih di kamar yang hitam pekat, di lantai tergeletak beberapa botol kosong yang dikumpulkan sekitar, Kaoru sedang duduk sambil menuangkan pemutih ke dalamnya, membuat bom tanah satu per satu. Shasha yang memperhatikan dari samping melirik ke luar jendela, lalu menghela napas: "Masih memutar lagu, sumbang sekali... Orang gila macam apa ini... Tiba-tiba saja membuat masalah seperti ini, seperti kejadian Kapal Star Dream dulu... Kaoru, menurutmu apakah Jiaming akan menemukan kita?"
Setelah terdiam sejenak, ia mengambil liontin di dadanya: "Jiaming bilang di dalamnya ada pemancar sinyal, dimanapun aku berada dia bisa menemukanku. Kaoru, kalau sampai sekarang dia belum datang, jangan-jangan..."
“Tidak mungkin.” Kaoru memotong ucapan gesekan dengan datar, namun ekspresinya menunjukkan perubahan halus. Matanya menatap ke depan, “Untuk mengendalikan tempat ini, mereka memasang alat yang mengganggu sinyal elektronik. Itulah sebabnya Tuan Gu belum menemukan kita. Aku yakin sekarang dia pasti sudah masuk... Orang yang sedang memutar lagu itu bernama Tak terhitung dewa-dewa, dia gila. Meski sangat kuat, Tuan Gu pernah mengalahkan orang yang lebih kuat darinya dua kali... Tuan Gu pasti tidak bermasalah...”
Setelah mengatakan itu, barulah dia menunduk dan melanjutkan menuangkan pemutih.
“Tapi peluru beterbangan...” Gesekan berkata, lalu merasa itu pertanda buruk, buru-buru menutup mulut, “Kaoru, kalau kau tahu siapa sebenarnya mereka, pasti kau juga tahu tujuan mereka datang ke sini...”
“Mereka... Tak terhitung dewa-dewa datang untuk mengalahkan Tuan Gu...”
Kesunyian menyelimuti kamar cukup lama. Gesekan memandang ke luar yang masih sepi: “Kaoru, lukamu parah? Kalau ada yang datang, kita cari terpisah... Kayaknya kita harus bahas rencana sekarang...”
“Aku tidak akan berpisah denganmu.” Kaoru melirik Gesekan, “Kau cukup di belakangku saja.”
“Tapi kalau begitu...”
“Aku akan melindungimu. Jika aku gagal... Dia tidak akan mengampuniku...”
"Dia" yang dimaksud jelas Jiaming. Kesunyian kembali terjadi. Gesekan menunduk, ragu-ragu bertanya: “Sebenarnya... Kaoru, apakah kau datang ke Jianghai atas kemauan sendiri?”
Tangan yang melayang di udara tiba-tiba bergetar dahsyat，kemudian, sejumlah pemutih dituangkan seluruhnya ke tangan kirinya. Setelah meletakkan pemutih, dia menarik napas dalam-dalam，memandangi Shasha dengan ragu-ragu，akhirnya mengangguk dan berkata："Maaf……"
"Apa maaf?" Shasha menatapnya dengan bingung，kemudian melanjutkan bicara sendiri："Jiaming, dia jarang membicarakan hal-hal tentangmu，tapi beberapa kali sempat menyinggungnya. Dia bilang kau dilempar ke sini oleh seseorang bernama Tenmasa atau semacamnya，karena berbagai alasan... Perasaan jadi bidak catur tentu tidak enak, kan? Aku tahu kau jarang jalan-jalan，jarang bergaul，Jiaming padamu... juga kurang perhatian……"
"Eh... dia..." Dalam kegelapan, sepasang mata jernih itu tiba-tiba kehilangan fokus. Dug... dug... dug..., jantung tiba-tiba berdebar kencang. Setelah lama, tatapan itu kembali jernih. Tangan kanannya dimiringkan, pemutih mengalir tepat ke dalam botol kaca di bawahnya："Sebenarnya aku ke sini untuk menarik Tuan Gu terlibat."
"Eh?"
"Kalau bukan karena Tuan Gu mengajariku sesuatu，Pei Luo Jia... mungkin tidak akan menganggapnya musuh，juga tidak akan ada insiden... Tak terhitung dewa-dewa ini……"
"Tenmasa-kun tentu juga berharap aku seperti ini，tapi aku... hanya... aku……" Bibir tipisnya terbuka sebentar, seolah tak menemukan kata yang tepat. Pandangan Shasha melayang di udara, dia menggigit bibir bawahnya perlahan："Um... Kaoru, apa kau suka Jiaming?"
“Aku tidak pantas...” Tanpa banyak keraguan, Kaoru menjawab tanpa berkedip. Tak menyangka jawabannya begitu serius, Sasha agak canggung menggaruk-garuk rambutnya sambil tersenyum: "Hehe, aku cuma merasa... cuma merasa kamu, hmm... orang itu kan bukan siapa-siapa, pantas tidak pantas apanya. Haha... Aku lihat ada yang datang tidak ya."
Sambil berkata demikian, dia kembali memanjat ke tepi jendela dan berbaring di sana mengamati lama. Ketika menoleh, dia kaget melihat Kaoru mengulurkan granat tangan ke arahnya: "Eh, ini..."
"Cara pakainya mudah, tarik ring di sini. Dalam jarak dekat, tak ada yang bisa selamat. Aku menyimpan satu untuk diri sendiri... Nanti jika terjadi masalah, aku akan di depanmu. Jika aku tak bisa melindungimu lagi dan tidak bisa kabur, gunakan ini." Bahasa China Kaoru yang tidak lancar dengan logat terpatah-patah selalu memberi kesan santai, namun kali ini nada datarnya seolah membicarakan hal sepele, "Jangan biarkan mereka mengancam dia, ya?"
……
Saat mendorong pintu, perasaan pria gemuk itu begitu kompleks.
Sudah bukan sekadar perasaan bersiap melarikan diri setelah membunuh. Sepanjang perjalanan, dia bersembunyi-sembunyi namun tak bertemu siapa pun. Seluruh kampus saat ini memberikan kesan yang sangat aneh. Suara musik telah berhenti tadi, sirene tampaknya bergema dari kejauhan tanpa henti. Dentuman-dentuman sporadis membuat hatinya dipenuhi firasat buruk. Dia juga melihat gedung kecil dua lantai yang runtuh dan terbakar. Meski terus berusaha menghindar, sama sekali tak ada orang di jalan, ini benar-benar terlalu ganjil. Yang lebih mengerikan, kadang dia bahkan merasa banyak tatapan mengawasinya secara diam-diam, membuat bulu kuduknya merinding seluruh tubuh.
Mana dia tahu, orang-orang di kampus sekarang terkonsentrasi di Area pengajaran pusat atau bersembunyi tersebar. Hanya sekitar belasan tentara bayaran yang melakukan pencarian, beberapa sudah dihabisi. Tidak bertemu mereka bisa disebut keberuntungan. Sedangkan para penyembunyi, setidaknya dua kelompok melihat pria gemuk mencurigakan ini di jalan. Karena tak ada yang mengenalnya dan jaraknya cukup jauh, tak ada yang berteriak memanggil. Inilah sumber tatapan yang dirasakannya.
Karena merasa aneh, dia hampir secara bawah sadar mendekati area pusat kampus yang pencahayaannya lebih padat. Sebelum ditemukan tentara bayaran, dia pertama melihat deretan rumah dua lapisan ini. Dengan sembunyi-sembunyi, dia mengintip lewat jendela. Benar-benar misterius, tidak ada satu manusia pun. Bahkan pintu salah satu kamar tidak terkunci. Setelah mengamati ada lemari pakaian besar di dalam, dia menyelinap masuk. Tak lama kemudian keluar dengan wajah kecewa——Jelas, penghuni di sini adalah orang kurus.
Di kamar kedua yang dimasukinya, dia beruntung menemukan perlengkapan lengkap yang bisa digunakan. Pakaian yang cukup pas, bahkan termasuk celana dalam dan pakaian dalam. Juga menemukan parfum pria yang dibutuhkan. Hanya saja sepanjang jalan kamar-kamar memang terasa ganjil, barang-barang berantakan seolah-olah dalam semalam ada alien atau hantu yang mengganggu, lalu semua orang menghilang.
Dengan berbagai dugaan liar dan perasaan gugup, dia cepat-cepat melepas baju celana. Setelah berpikir sebentar, bahkan pakaian dalam pun ikut dilepas. Dia menyemprotkan parfum ke tubuhnya sampai basah kuyup, menggigil kedinginan di cuaca dingin ini. Tapi untuk menghadapi polisi, tidak boleh ada sedikit pun celah. Pakaian-pakaian yang mengandung bau tubuhnya ini diputuskan untuk dibakar semua. Dia tidak terlalu paham metode penyelidikan polisi, karena itu harus lebih hati-hati——Sayang tidak ada waktu, kalau tidak dia mau mandi dulu, karena konon anjing pelacak akan kehilangan jejak bau jika sudah masuk air.
"Selesai menyemprotkan parfum ke torso, pria gemuk itu sedang gencar menyemprotkan parfum ke antara paha ketika terdengar suara Byur! Pintu tiba-tiba terbanting terbuka. Suara dengan logat China aneh berteriak: "Jangan bergerak!" Pria gemuk itu mengangkat kepala dengan kaku, seluruh tubuhnya membeku dalam posisi itu. Bayangan Hitam bersenjata di pintu juga tertegun sejenak, menyaksikan pria gemuk telanjang yang sedang menyemprotkan parfum ke alat kelaminnya sendiri.
Keduanya saling melotot dalam kebekuan selama dua detik. Bayangan Hitam bersenjata di pintu pertama kali bereaksi. Ia menggerakkan laras senjata sambil waspada memindai sudut-sudut kamar, lalu perlahan mendekati pria gemuk itu dengan wajah penuh kecurigaan.
Pada saat yang sama, di semak belukar 20 meter di depan rumah, muncul dua bayangan lagi. Saat melintas, pandangan Jiaming sekilas menangkap gerakan itu. Dengan refleks, ia mengangkat pistol berpengurang suara dan menarik picu.
Dentang "Ngank!" yang redup terdengar. Pria gemuk itu menyaksikan pemandangan paling aneh, menjijikkan, dan mengerikan seumur hidupnya. Di depannya, separuh kepala sang penyusup melepaskan seperti semangka. Peluru menyambar di atas kepalanya, rambut dan serpihan tengkorak bercampur cairan kental beterbangan, mengotori seluruh wajah dan tubuhnya. Mayat itu pun roboh ke arahnya. Secara bawah sadar, kedua tangannya menahan tubuh itu—persis di bagian kepala yang hancur. Kedua telapak tangannya kini dipenuhi gerakan-gerakan organ dalam yang menggeliat...
Glek——
Ew——
"Aaaaa——"
Suara menggelegar yang mengejutkan merobek kedamaian langit malam. Pria gemuk itu tiba-tiba pupil matanya membelalak, mengayunkan kedua tangan bagaikan kereta perang yang meluncur keluar dari gerbang! Berlari dengan cepat sambil berteriak histeris.
Awalnya terkejut oleh teriakan itu, Jiaming baru saja hendak menembak lagi. Namun melihat tubuh telanjang gemuk yang berlari keluar dari gerbang, dua orang di balik semak belukar hanya bisa terdiam, menyaksikannya semakin menjauh. Setelah beberapa saat, Dongfang Lu baru terbata-bata bertanya: "Ini... ini apa?"
"Jelas sekali, seorang pria... uh, sedang berlari telanjang..."
"Uh, ini... aku juga tahu, tapi kenapa sekarang..."
"Di kamar ada dua pria, jelas... yang kubunuh ini lesbian. Ini pasti kasus perkosaan... Banyak tentara bayaran yang suka main ayam, Chen Guxia tidak memberitahumu?"
"Uh... tidak..."
"Kau harus memperdalam pengetahuan, memperluas pengamatan..."
"Uh..."
## Bagian Dua Ratus Tujuh: Dia Datang
Saat memasuki kamar, Tak terhitung dewa-dewa memegang kaset musik yang baru ditemukan. Dari walkie-talkie di mejanya terdengar permintaan arahan "Bunuh atau tidak...". Tank berdiri di depan jendela, mengamati situasi di plaza kecil dengan teleskop.
“Ada apa?” Bagi dia, tujuan utama datang ke sini adalah untuk membunuhnya Jian Suyan. Kalau bisa sekalian, menghabisi Chen Guxia tentu lebih baik. Urusan lainnya serahkan saja pada orang lain. Sambil bertanya, tank meletakkan teleskop dan menoleh padanya: "Ada pria gemuk berlari telanjang di sana."
"Hmm... jenis yang kusukai?" Omongan seperti ini tentu tak dipercaya. Tak terhitung dewa-dewa menjawab sambil mengambil teleskop dan berdiri di depan jendela. Seketika dia tertegun, "Wah, beneran ada pria gemuk... Berani sekali, cuaca begini..." Nada suaranya penuh kekaguman.
"Orang ini mungkin umpan untuk menarik perhatian kita. Apa yang menempel di dada dan badannya..."
"Keliatan lengket, lagi pula di wajah. Dasar orang barbar Thailand kurang wawasan... Menurut istilah negeri kami Jepang, itu namanya Wajah-X..."
"Setidaknya separuhnya darah."
"Tentu darah. Banyak banget, keliatan sudah X berkali-kali. Kalau kau yang X terus-terusan, yang keluar pasti darah juga..."
Melihat Tak terhitung dewa-dewa mengamati dengan fokus, tank sejenak terdiam. Dengar siulan kagum darinya.
“Ini adalah cinta sejati, mampu melakukan tidak hanya donor sperma tapi juga donor darah dalam skala besar demi cinta. Pasti ada Si Jagoan di sana, hubungan sesama jenis memang lebih kokoh daripada lawan jenis. Sniper...” Senyum ambigu mengembang di bibir, Tak terhitung dewa-dewa mengambil walkie-talkie, “Tak peduli ini untuk mengalihkan perhatian kita atau bukan, Bunuh dia dulu... Biarkan dia mati demi cinta.”
Sesaat kemudian, dentuman senjata menggema.
……
Di tengah angin dingin musim dingin, pria gemuk tetap gagah berlari telanjang.
Di lantai lima gedung kantor sebelah kiri, kaca pecah berdentum Byur, darah menggenangi lantai. Di atap gedung sebelah, sosok membawa senapan runduk terjatuh bebas. Tentu saja, nyawanya sudah hilang sebelum menyentuh tanah.
Setelah keheningan sejenak, rentetan tembakan sengit tiba-tiba meledak. Perhatian musuh dari belasan orang tertuju ke sudut gedung tepi. Tak terhitung dewa-dewa tersenyum: "Ada ahli yang datang, awasi baik-baik!" Seketika, kaca kamar di sisi ini pecah berhamburan. Ruang siaran di sudut kiri atas aula besar setinggi empat lapisan ini ditembusnya dengan menabrak kaca dan melompat.
Angin dingin menerobos masuk tiba-tiba. Tank mundur selangkah secara bawah sadar, mengulurkan kepala untuk melihat. Gaya jatuh Tak terhitung dewa-dewa di udara tiba-tiba melambat sejenak sebelum mendarat dengan aman, lalu berlari cepat menuju radius efektif yang dikepung perhatian musuh.
Angin berhembus, gaya berlari "Tak terhitung dewa-dewa" terlihat benar-benar aneh, namun kecepatannya luar biasa cepat. Dalam sekejap mata, mereka telah melewati taman bunga di depan, berguling naik ke tangga setinggi lebih dari dua meter, lalu berputar mengelilingi sisi tersebut. Gerakannya lincah dan lancar, namun tentara bayaran terlatih pun sepertinya bisa melakukannya. Tapi pada detail tertentu, selalu terasa kesan sangat misterius, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang mendorong atau menariknya, menyempurnakan setiap gerakan.
Pilar cahaya dari peluncur roket melesat miring melintasi langit malam. Kemudian, area yang sudah dihujani peluru tiba-tiba meledak dengan suara "Braak!", menyemburkan api setinggi tiga meter lebih dengan serpihan batu beterbangan. Tapi orang yang bisa menemukan posisi dua sniper dalam gelap dan menembak mereka dalam sekejap, tentu tak akan diam setelah menembak. Bersama "Tak terhitung dewa-dewa", beberapa tentara bayaran segera bergerak mengepung.
Saat ini, "Tak terhitung dewa-dewa" telah memasuki sisi bangunan. Dengan momentum lari kencang, dia melompat tinggi meraih pipa air di dinding, lalu naik ke balkon lantai dua. Kaki menendang pagar balkon, tangannya kembali meraih pipa air, dan tubuhnya berguling naik ke atap gedung.
Kedua tangan meraih ke belakang, mengambil dua senapan serbu MP5, lalu berjalan menuju tepi lantai atas. Namun, tepat saat hendak melihat ke arah bangunan sekolah di bawah, aura bahaya tiba-tiba menyergap. Bawah sadarnya menghentikan langkah. Byur! Tepi atap kecil di depannya meledak, peluru senapan runduk menyambar miring ke atas, nyaris melintas di depan matanya sebelum menghilang di kegelapan malam. Serpihan batu beterbangan menghantam pipinya, meninggalkan rasa terbakar yang perih.
Pada detik berikutnya, tanpa ragu dia melompat dari tepi lantai.
Lidah api menyembur dari kedua senjatanya, menghujani peluru ke arah sebuah kamar di kanan bawah. Meski melompat dari lantai dua, setelah mendarat dia berguling masuk ke semak belukar di depannya tanpa cedera. Bersamaan, tentara bayaran di belakang telah menyeberangi gedung kecil itu dan mulai menyerbu ke arah sini.
Gemuruh pertempuran sengit kembali mengguncang malam.
……
Aliran udara kacau-balau, peluru beterbangan. Di sekitar kamar, semen dinding dan keramik hancur berkeping. Berbagai item tercabik menjadi fragmen. Seluruh area dipenuhi suasana mencekam. Dongfang Lu merunduk serendah mungkin, mengikuti bayangan yang berlari di depannya, sambil bermain petak umpet dengan tentara bayaran di sekitar beberapa gedung sederhana. Bagi orang yang pertama kali terjun langsung dalam pertempuran seperti ini, tekanan yang dirasakannya hampir membuatnya sesak napas.
“Di depan adalah Area pengajaran, sebagian besar orang terjebak di dalam. Jumlah mereka tidak cukup, jadi mungkin hanya beberapa pintu masuk kunci yang dijaga. Jika Dongfang Wan tidak ada di dalam, kemungkinan ditahan di gedung lain. Ruang siar tempat Tak terhitung dewa-dewa awalnya berada, artinya mungkin dia terkunci di aula...” Bersembunyi di samping, Jiaming melemparkan senapan runduk ke Dongfang Lu, lalu mengeluarkan dua pistol dari pinggangnya, memandang dingin, “Kau jaga kerahasiaan ini, aku sudah mengantarmu sampai sini. Menurutmu cukup?”
“Hmm...” Dongfang Lu menarik napas lalu mengangguk, “Aku akan menjaga rahasiamu.”
“Bagus, sepertinya kita sepakat.” Jiaming mengangguk lalu berdiri.
Menghadapi hujan peluru, mengangkat senjata di tangan, lalu menarik pelatuk.
Melewati dua jendela, jarak puluhan meter, dua tentara bayaran yang berlari maju tiba-tiba muncul lubang berdarah di dahi. Gerakan jari mereka di pelatuk belum berhenti saat tubuh sudah terguling. Kemudian seorang tentara bayaran di samping ikut roboh, sementara yang lain melompat dengan lengan menyembur percikan darah. Sekejap, separuh pasukan bayaran yang maju sudah tumbang. Sisanya buru-buru menghindar. Terkadang, kekuatan perhatian musuh tidak diukur dari kebisingan. Sebagai pasukan paling profesional, mereka bisa menilai level kekuatan lawan berdasarkan fakta.
Dalam sekejap, dua magasin peluru langsung habis. Magasin jatuh dari senjata sebelum sempat menyentuh tanah, dua magasin pengganti sudah terpasang. Dongfang Lu yang sedang menyelinap perlahan tak sempat menjauh, menyaksikan keahlian menembak yang nyaris mistis ini. Begitu sosoknya muncul, dentuman senjata orang lain langsung terhenti. Kemampuan seperti ini hanya pernah dia dengar dimiliki satu orang: tekanan perhatian ala Raja Pembunuh Yoritomo Taku.
"Kalau begitu... semoga beruntung..." Melirik ke arah sini, bayangan Jiaming menghilang dalam kegelapan di seberang.
Sebelum sempat berempati, proyektil bazoka mendarat dengan Braak di ruang sebelah. Gelombang perhatian mematikan langsung menyapu posisinya dari segala penjuru. Di tengah hujan batu beterbangan, dia terpaksa berlari serampangan.
Pasukan bayaran langsung mengejar.
Bercanda macam apa ini... Terkapar di sudut gelap, Dongfang Lu memegang senjatanya dengan wajah pucat pasi. Meski sejak kecil selalu dianggap berbakat dalam bisnis, manajemen, dan kepemimpinan, di Medan Perang ini dia tetap saja jadi pemula tak berpengalaman. Tekanan dahsyat kematian tiba-tiba mengurungnya dari segala sisi...
Tapi... kenapa cuma aku yang dikejar...
Sementara Dongfang Lu hampir menangis, suara Yoritomo Taku yang tadi juga sempat kikuk kini bergetar penuh semangat di walkie-talkie: "Tekanan perhatian, kekuatan seperti ini... pasti DIA yang datang..."
……
Bzzzt-bzzzt, Bzzzt-bzzzt...
Suara dari sekeliling seperti nyamuk yang berputar-putar di pikiran. Samar-samar terdengar dentuman senjata dan teriakan orang, tapi tak bisa dipastikan. Ia meringkuk di sudut yang dikepung barang-barang, seluruh tubuh tak bertenaga. Dinginnya dinding membuatnya merasa sangat menderita. Dahi terasa panas, tapi juga dingin. Dari leher ke bawah, kelenjar getah bening di seluruh tubuh seolah membengkak menyakitkan. Akhirnya penyakitnya kambuh, di hatinya ia mulai mengerti.
Dalam pandangannya, cahaya dan bayangan bergerak. Dengan susah payah memusatkan Mental, barulah ia bisa melihat posisi Guru Li. Saat ini beliau sedang memanjat tumpukan barang-barang untuk mengintip lewat jendela ventilasi di atas. Beberapa saat kemudian, keributan di luar semakin menjadi. Li Yunxiu buru-buru turun, duduk di sampingnya. Pertama menyelimuti mereka berdua dengan terpal, baru kemudian meraba dahi dinginnya: "Sudah kubilang kau harus ke rumah sakit. Sindrom nefrotik memang bandel, penyakit kecil langsung kambuh... Andai pagi tadi ke rumah sakit, sekarang tak mungkin terjebak di sini."
"Kalau begitu... nasibkulah..." Yahan menyandar dahi ke dinding dingin, tersenyum getir. Setelah Li Yunxiu buru-buru membela diri bahwa bukan itu maksudnya, barulah ia lemah bertanya: "Guru Li, di luar... Bagaimana?"
“Masih belum terlalu jelas, masih ada orang yang sedang melakukan pencarian. Barusan… eh, ada pria gemuk telanjang yang berlari sambil berteriak melewati sini, lalu terjadi pertempuran, aku tidak tahu apakah harus memanfaatkan kesempatan ini untuk keluar…”
“Maaf, telah menjadikanmu korban…”
“Tidak juga, si gila yang menyiarkan siaran radio itu aku kenal, saat di Jepang aku pernah mengacaukan urusannya, kemungkinan besar tujuan kedatangannya kali ini juga untuk membunuhku. Justru akulah yang seharusnya meminta maaf telah menjadikanmu korban. Tapi… Nona Jian Suyan adalah temanmu, dia akan datang menyelamatkanmu… eh…” Setelah kata-kata itu meluncur, Li Yunxiu baru tersadar dan buru-buru menutup mulutnya. Meskipun dirinya juga termasuk dalam [], tapi tidak banyak orang luar yang mengetahuinya. Jika dirinya bukan dari kalangan itu, mana mungkin tahu nama Jian Suyan… Sial, bagaimana harus menjelaskan ini…
Namun, Yahan saat ini tidak menyadari keanehan itu. Dalam hatinya, dia teringat urusan Jiaming. Perlahan dia menutup mata, air mata mengalir tanpa suara di wajahnya.
“Kami bertengkar…” Setelah lama terdiam, dia berkata dengan suara terisak.
Dalam kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara kunci yang dibuka di luar pintu…
## Bagian Kedua Ratus Delapan: Karnaval Berwarna Darah ()
Suara tembakan dari belakang terus mengejar, sambil mengingat pelatihan yang pernah dijalani, dia berlari menghindari penghalang. Saat melewati jendela berikutnya, dia bersembunyi di balik tembok dan melepaskan dua tembakan acak. Luka di tangan kiri akibat serpihan batu terasa terbakar. Sejenak berhenti, merasa heran dan bersyukur masih hidup, baru menyadari intensitas perhatian musuh dari belakang berkurang drastis, bahkan mungkin hanya satu atau dua pengejar saja.
Apa mereka semua sudah kuhabisi dengan tembakan acak tadi?
Ini dunia nyata. Dulu saat Chen Guxia melatihnya, kadang bercerita anekdot tidak karuan. Memang ada contoh khusus dimana keberuntungan bisa mengalahkan segalanya, antek kecil tak jelas alasan bisa mengalahkan BOSS besar. Tapi di dunia miliaran orang, keajaiban yang mungkin tak terjadi sekali dalam beberapa dekade, sebagai orang rasional Dongfang Lu tak punya alasan menganggap diri punya keberuntungan itu. Benar, beberapa saat kemudian tembakan mereda, suara mendekat ke arah sini.
"Kurasa tak perlu bersembunyi lagi... Sengaja berpura-pura kikuk, sengaja melemahkan diri. Sepertinya aku tak salah paham, kau ingin menantangku sendiri. Atau tepatnya menerima tantanganku... Heh, sebenarnya kau boleh saja membunuh mereka, aku tak dekat..."
Apa yang sedang dia bicarakan ini...
"Di organisasi Pei Luo Jia Jepang, ada dua orang yang sangat kukagumi. Salah satunya adalah Yoritomo Taku. Kemampuan multi-aspeknya sangat seimbang. Pernah kami bertarung, di semua aspek sepertinya aku unggul, tapi akhirnya harus mengakui kekalahan. Partner-nya Da Nei Zhangdu, hampir menyempurnakan kondisi fisik manusia ke batas tertinggi. Terutama kelincahan dan kecepatannya membuat decak kagum. Beberapa kali kami bentrok, dengan kekuatan supernatural kecepatanku seharusnya bisa mengalahkannya, tapi justru karena terlalu cepat akhirnya kalah. Manusia biasa ini berhasil menyamai orang berbakat supernatural... Sejak itu kumutuskan melupakan kekuatan supernaturalku sebelum bertarung lagi dengannya, tapi sebelum itu dia sudah MATI..."
"Jadi meski terkesan lancang, kupilih cara ini untuk memaksamu keluar... Chen Guxia tidak penting. Perempuan bernama Li Yunxiu itu, meski pernah menipuku di Jepang, bukan dia tujuanku. Aku hanya ingin menguji apakah kesabaranku sudah mencapai tingkat yang diharapkan... Walau kau sudah tahu identitasku, di acara resmi dan suci seperti ini, sebaiknya tetap perkenalkan diri. Halo, aku Tak terhitung dewa-dewa..."
Dasar kau menyebut ibuku! Aku bukan TULIP sialan itu! Kau salah orang...
"Mari saling berbagi ilmu..."
Suara samar perlahan terlepas di udara. Mungkin orang gila memiliki kemiripan, saat ini Dongfang Lu tiba-tiba menyadari nada gila namun tenang dari Tak terhitung dewa-dewa memiliki kemiripan dengan suasana saat Jiaming berbicara padanya di tengah hujan peluru. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, di detik berikutnya, dengan suara Braak, dinding di belakangnya melepaskan ledakan.
Berlari maju sekuat tenaga, hampir bersamaan, Byur! Suara benturan lagi. Dongfang Lu refleks menoleh - sebuah meja menghancurkan jendela. Dengan tergesa, kedua tangannya menghadang, bayangan Tak terhitung dewa-dewa telah menerjang keluar. Seluruh meja ditendangnya menjadi fragmen-fragmen yang beterbangan.
Kekuatan dahsyat yang menghujam dari seluruh meja langsung membuat tangan Dongfang Lu terasa mau patah. Tubuhnya terbang tertarik oleh kekuatan dahsyat, separuh karena mundur terbang sendiri, separuh lagi terpaksa. Namun mundur ini tak memberinya waktu, Tak terhitung dewa-dewa telah menyusul seperti bayangan.
Gerakan bawah sadar mengangkat tangan untuk menangkis hanya menambah rasa sakit di lengan. Hampir sekejap mata, perutnya terkena satu pukulan, titik yang sama di lengannya menerima empat pukulan berturut-turut hampir patah. Pukulan berikutnya mengarah ke pipi kiri yang tak terjaga.
Byur! Tubuh Dongfang Lu berpilin terbang di udara.
Darah mengalir dari perut. Dengan kesadaran sekejap mata, kaki kiri yang kehilangan keseimbangan langsung menyambar kepala Tak terhitung dewa-dewa. Namun dalam sepersekian detik itu, kaki kiri sudah menanggung sikutan keras sementara dada ditendang hebat, seluruh tubuhnya terlempar ke belakang.
"Kau bukan Jian Suyan..."
Dalam kegelapan, suara Tak terhitung dewa-dewa terdengar datar namun mengandung kemarahan tak terkatakan. Darah menyembur saat Dongfang Lu jatuh ke bawah tanah dengan rasa sakit yang luar biasa. Setelah sekali perlawanan gagal bangkit, ia menyaksikan Tak terhitung dewa-dewa berjalan mendekat sambil mengeluarkan pistol dari tubuhnya.
"Kalau begitu, kau seharusnya... hmm..." Sebelum kalimat selesai, tubuh Tak terhitung dewa-dewa tiba-tiba berhenti lalu melesat mundur seperti hantu, berpindah-pindah beberapa kali sebelum masuk kembali ke kamar tadi. Bersamaan dengan gerakan menghindarnya, bunyi senapan mesin bergema. Dalam kegelapan, jejak cahaya peluru mengikuti tubuh Tak terhitung dewa-dewa. Kemudian pria yang membawa senapan serbu itu tiba di samping Dongfang Lu.
“Hmm……”Menahan rasa amis di tenggorokan, setelah beberapa kali berjuang, akhirnya berdiri limbung. Pada saat yang sama, orang di depannya membidik bayangan yang berlari membentuk lingkaran di sisi dan menarik pelatuk. Dalam sekejap, peluru habis, Tak terhitung dewa-dewa menerjang dari taman bunga di samping, dua bayangan bertabrakan keras. Sosok yang menyelamatkan Dongfang Lu mundur dua langkah, Tak terhitung dewa-dewa justru terlempar jauh, tubuhnya jatuh ke bawah tanah, berguling beberapa kali, mengangkat debu tinggi.
Angin aneh berputar-putar, saat debu tersingkap, terlihat sosok Tak terhitung dewa-dewa yang berjongkok, satu tangan menekan lutut, tangan lain melambai lembut di udara, bibir mengembang senyum dahaga darah.
“Bagus, akhirnya mulai menarik...”
Cahaya lampu di kejauhan mengalir seperti air, dalam angin malam yang kering, sosok di sini membuang senjata di tangannya, melangkah maju, mempersiapkan gaya bertarung...
……
Suara pintu terbuka terdengar kasar, tak lama kemudian dengan dentuman Byur, kunci pintu itu jelas dihancurkan secara brutal oleh mereka.
Hati Yunxiu dipenuhi firasat buruk. Ia menahan napas sambil khawatir melirik Yahan di sebelahnya. Namun saat ini kondisi Yahan sedang sangat lemah, tubuhnya meringkuk di sana tanpa daya untuk bersuara. Ini adalah gudang besar di kampus. Awalnya mereka merangkak melalui saluran ventilasi di atas, kini bersembunyi di balik terpal kotor, hanya bisa berharap mereka tak akan menggeledah seluruh ruangan yang penuh tumpukan barang ini secara menyeluruh.
Sayangnya Dewa Keberuntungan tak mengabulkan doa Li Yunxiu. Setelah pintu terbuka, suara berisik mulai bergema di ruangan. Meski hanya seorang diri, penjahat itu melakukan pencarian menyeluruh: menendang kursi bertumpuk, mengobrak-abrik tumpukan barang. Tiba-tiba suara tikus memecah keheningan. Li Yunxiu refleks menutup mulutnya sendiri sambil merangkul erat Yahan. Dentuman senjata otomatis (Byur-byur-byur-byur!) mengguncang gudang kecil. Setelah melihat itu hanya tikus, pria itu mengumpat keras dalam bahasa asing yang tak dimengerti Yunxiu.
Sepertinya bahasa Thailand...
Sementara pikiran itu melintas, suara penggeledahan di luar semakin mendekat. Sekitar lima menit kemudian, pria itu berseru "Hah?" seolah menemukan sesuatu. Langkahnya langsung mengarah ke persembunyian mereka melalui tumpukan barang. Jantung Yunxiu berdebar kencang - ia baru tersadar ada satu detail yang terlewat.
"Debu yang mungkin terhindar dari pemeriksaan orang seperti ini, ketika aku sendiri menginjak barang-barang dan melihat keluar dari jendela ventilasi."
Seluruh tubuh menegang, suasana tiba-tiba membeku hingga puncaknya. Li Yunxiu diam-diam menggeser tangannya ke pinggang, mencabut satu-satunya pisau bedah yang berhasil dibawa dan menyembunyikannya di lengan. Sesaat kemudian, terpal tiba-tiba disingkapkan, akhirnya kedua pihak bertatap muka.
"Keluar!" Dengan posisi menguasai, laras senjata diarahkan ke dua orang di bawah. Orang itu berbicara dengan bahasa China yang kaku. Saat melihat jelas wajah Yahan, senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia mengambil walkie-talkie dari pinggang, berbicara dalam bahasa Thai ke seberang. Kemudian, ada jawaban dari sana. Saat orang ini kedua kali berteriak "Keluar!", Li Yunxiu memapah Yahan dengan kekecewaan sambil berdiri, menatapnya dengan tegang.
Setelah menggantung senapan serbu di badan, orang itu mengeluarkan dua borgol. Pertama memborgol tangan Yahan dengan posisi terbalik, kemudian menyuruh Li Yunxiu berbalik dan menyatukan tangan di belakang. Saat borgol hendak dipasang, tangan kanan Li Yunxiu tiba-tiba bergerak. Kilau dingin menyambar, disusul gerakan berbalik dengan pisau bedah tertikam.
Teknik yang tidak terlalu profesional, kecepatan pun biasa saja. Tentara bayaran itu dengan santai mundur selangkah, kemudian menendang Li Yunxiu hingga terlempar. Tubuhnya membentur dinding sebelum sempat bereaksi. Mereka sudah berlari mendekat, menggenggam pergelangan tangan kanannya dan memelintir tangan ke belakang. Dengan suara Dang, pisau bedah jatuh ke tanah.
"A...ah——"
Rasa sakit hebat merambat dari tangan kanan yang diborgol ke belakang, Li Yunxiu tak kuasa bersujud. Tubuhnya menempel erat di dinding kotor di depannya, badannya bergerak-gerak lemah. Tangannya hanya bisa mencengkeram pergelangan tangan lawan dengan tak berdaya, tanpa tenaga maupun makna praktis.
Melihat Li Yunxiu menjerit, Yahan yang lemah berteriak: "Lepaskan dia!" Langsung menubruk. Seandainya dalam kondisi normal mungkin masih bisa bereaksi, namun dalam keadaan sakit parah dengan tangan terborgol di belakang, tubrukan ini tak berarti sama sekali. Didorong oleh tentara bayaran itu, ia terjatuh ke tanah. Saat memborgol tangan Li Yunxiu, tiba-tiba tentara bayaran itu merasa sesuatu aneh. Bibirnya merasakan cairan lengket.
Tanpa disadari, jantungnya berdegup kencang tanpa alasan, napasnya menjadi tersengal. Satu tangan masih mencengkeram Li Yunxiu, tangan lainnya secara bawah sadar mengusap bibir. Itu darah. Entah mengapa, dia ternyata mimisan.
Bagaimanapun, Li Yunxiu termasuk si cantik. Kondisi Yahan yang sekarat justru semakin memenuhi standar kecantikan lemah lembut. Jangan-jangan karena terlalu lama menahan diri, sampai melihat wanita cantik tak kuasa menahan godaan? Tentara bayaran itu berpikir sejenak, lalu menatap darah sambil tersenyum sinis. Saat hendak pergi, barulah merasa kepala pusing. Tubuhnya limbung, jantung berdebar kencang seperti genderang.
Byur-byur-byur-byur-byur-byur-byur... Apa yang sebenarnya terjadi? Keadaan aneh yang tiba-tiba muncul ini terlihat misterius bagi siapapun. Seiring dengan debaran jantung yang menderu-deru, barulah dia menyadari dengan panik bahwa pembuluh darah di tangannya telah mengembang secara mengerikan. Untuk sesaat, dia tak mengerti apa yang terjadi. Namun mungkin karena ketajaman intuisinya, tiba-tiba dia merasakan kedua tangan Li Yunxiu yang mencengkeram pergelangan tangan kirinya. Meski tak paham situasinya, tapi...
Dalam kepanikan dia berusaha melepaskan diri, namun pergelangan tangan kirinya sudah dicengkeram mati-matian oleh Li Yunxiu. Tendangan keras di pinggang Li Yunxiu pun tak membuatnya melepaskan cengkeraman. Ketika hendak menembak dengan senapan serbu, semuanya sudah terlambat. Tali kekang di hatinya seolah putus berkeping-kaping saat itu juga, Byur!
Yahan yang terbaring lemah di tanah menyaksikan adegan ini dengan mata penuh kengerian: Tentara bayaran itu tiba-tiba mimisan dan gemetar; beberapa saat kemudian menendang Li Yunxiu dengan brutal; ketika mengambil senjata, matanya sudah memerah seperti darah, urat-urat hijau menonjol di dahinya, lalu... Waaah! Dia muntahkan darah segar dalam jumlah besar.
Tubuh itu terhuyung beberapa kali sebelum akhirnya Byur! terjatuh. Li Yunxiu menahan sakit di pinggangnya sambil terengah-engah: "Cepat... cepat temukan kuncinya..."
“Zen... Ada apa...” Merangkak mendekati tentara bayaran itu, Yahan baru tertegun melihat pemandangan di depannya. Wajah dan tangan tentara bayaran itu kini berlumuran darah, seolah semua pembuluh darah di bawah kulit meledak bersamaan. Yahan bukanlah idiot di bidang medis. Meski kondisi fisiknya sedang kacau, ia masih bisa berpikir. Cara mati aneh seperti ini, fondasinya bahkan belum pernah ia dengar.
Saat menoleh ke arah Li Yunxiu, ia melihatnya masih bernapas pendek-pendek, dahi basah oleh keringat, memandangi mayat sambil bergumam: "Tak kusangka benar-benar bisa seperti ini..." Tatapannya beralih ke walkie-talkie, baru tersadar: "Tidak baik, dia sudah memberi tahu kawannya. Yahan, kita harus segera pergi, cepat..."
Saat berlari keluar gerbang, suara manusia sudah mulai terdengar dari ujung koridor sebelah. Keduanya melepas sepatu hak tinggi dan berlari menuju ujung koridor yang lain...
## Bagian Dua Ratus Sembilan Karnaval Darah (II)
Sorotan lampu membelah ruang menjadi dua wilayah cahaya dan kegelapan. Dari dalam udara, terdengar tawa Tak terhitung dewa-dewa: "Bagus, akhirnya mulai menarik... Chen Guxia..."
"Pergi." Tanpa banyak omong kosong, Chen Guxia hanya mengayunkan tangan ke arah Dongfang Lu, menyuruhnya pergi sekarang. Terhadap hal ini, Tak terhitung dewa-dewa sama sekali tidak merespon.
"Latihan keras selama ini akhirnya membuahkan hasil. Meski seluruh tubuhnya sakit, Dongfang Lu masih menyisakan sedikit kemampuan bergerak. Setelah sejenak ragu, dia menutupi dadanya dan berlari ke arah yang ditunjuk Chen Guxia. Saat menoleh, dua bayangan telah bersilangan."
"Dewa Wunian sebagai main DPS, Chen Guxia bertahan defensif. Pagar batu taman bunga di samping tiba-tiba pecah membentuk beberapa celah. Serangan Dewa Wunian bahkan membuatnya sebagai pengamat merasa silau, sulit membayangkan bagaimana rasanya jika dia menggantikan posisi Chen Guxia."
"Saat menyelinap ke balik kegelapan lain, pemandangan yang tertangkap matanya adalah Chen Guxia dan Dewa Wunian sama-sama terkena serangan dan mundur."
"Koridor yang remang-remang ini baru saja menjadi ajang kejar-kejaran. Banyak area sekarang berantakan. Tempat yang seharusnya terang terkena dampak ledakan, sekarang berkedip dengan percikan api listrik mengeluarkan suara Sssss. Tak jauh dari situ, cahaya aula besar kampus terlihat. Menahan sakit di tubuhnya, dia hati-hati bergerak mendekat."
"Kau tidak cukup cepat tidak cukup cepat tidak cukup cepat tidak cukup cepat……"
Dalam sekejap mata menghadang tiga pukulan yang datang secepat angin, pukulan keempat menghantam keras di sisi perut. Meski berhasil mengurangi dampak dengan teknik tubuh lentur, rasa sakit yang pedih tetap terasa. Dua tendangan lutut saling berbentukan, dengan susah payah melepaskan tusukan kepala yang agak gila dari Tak terhitung dewa-dewa, pria yang berbicara terburu-burru ini memutar tubuhnya. Tendangan cambuk yang cukup kuat untuk mematahkan pilar batu menyapu lintasan melingkar sesuai hukum alam, menghujam keras di tulang belikatnya hingga tubuh orang tua itu terhuyung mundur dua langkah.
Tak ada waktu bernapas sejenak pun, gelombang serangan berikutnya telah menyusul seperti bayangan.
"Terlalu lambat terlalu lambat terlalu lambat terlalu lambat terlalu lambat terlalu lambat..."
Di langit malam, suara terburu-burru yang masih terdengar agak gila terus terdengar, serangan Tak terhitung dewa-dewa bagai badai. Dalam kecepatan luar biasa, Chen Guxia dengan tenang menghadang, memblokir, mengisolasi, dan menangkis. Sesekali serangan yang tak sempat dihalau menghantam tubuhnya. Namun raut wajah orang tua itu tak berubah sedikitpun. Bagi yang menyaksikan, seolah ini adalah pertunjukan solo Tak terhitung dewa-dewa - serangan paling cepat, terlatih, dan mengalir, setiap pukulan telah dipersiapkan untuk jurus berikutnya, setiap bagian tubuh seolah menjadi senjata MEMBUNUH. Mata manusia biasa bahkan tak bisa mengikuti kecepatan serangannya. Situasi ini berlangsung hingga suatu saat, Chen Guxia tiba-tiba menyerang, mencengkeram pergelangan tangannya yang belum sempat ditarik kembali.
Angin di sekeliling tiba-tiba membeku sejenak, seluruh tubuh Tak terhitung dewa-dewa kehilangan keseimbangan, terlempar oleh Chen Guxia membentuk busur setengah lingkaran di udara.
"Lambat ya..."
Byur! Tak terhitung dewa-dewa terhempas keras ke tanah. Debu beterbangan saat Chen Guxia langsung mengejar tanpa jeda.
Situasi berbalik secara tiba-tiba.
Sebagai ahli bela diri anggota pendiri tingkat tinggi dari [], Chen Guxia tidak hanya menguasai pengetahuan teori dan latihan diri, namun pengalaman tempur sebenarnya juga patut diperhitungkan. Luka parahnya saat dikepung di Jepang dulu, lalu bisa lolos dari pengepungan ketat, telah membuktikan kekuatannya. Kini dalam kondisi pulih, menghadapi kecepatan luar biasa Tak terhitung dewa-dewa yang tak bisa diimbanginya, sang ahli tetap tenang menggunakan jurus kuncian matang untuk membatasi pergerakan lawan, lalu mengeluarkan jurus lembut yang tak terpengaruh kecepatan.
Seni ajaib yang berasal dari India ini justru berkembang pesat di Jepang, memadukan kuncian dan gulat dengan teknik sendi mengalahkan yang keras dengan kelembutan. Tak terhitung dewa-dewa paham jurus ini menetralisir keunggulannya. Begitu lengannya terkunci, ia langsung melancarkan serang balik. Tapi Chen Guxia takkan melepas kesempatan ini. Seketika, mereka bertiga berguling di tanah.
Di tanah yang kering, debu beterbangan. Dentuman keras terus bergema saat kedua tubuh berguling dan terpental tak beraturan. Dari kejauhan, mereka terlihat seperti ikan yang baru keluar dari air, terjatuh ke tanah lalu berjuang keras dengan suara byur-byur-byur. Meski tubuh mereka sudah terjatuh, daya rusak keduanya masih luar biasa besar. Sebatang pagar sementara taman bunga yang baru saja ditendang patah, begitu terjerumus dalam perkelahian, langsung terbelah dua dengan suara byur! Hanya dalam hitungan detik, tubuh mereka telah melintasi belasan meter, terpental keras dan menghantam dinding rumah di samping. Dalam pertarungan habis-habisan ini, begitu satu tangan Chen Guxia berhasil melepaskan diri dari ikatan, tangan satunya langsung terkunci erat. Saat tangan itu akhirnya bebas, giliran lehernya yang dicekik... Sambil berusaha mencegah Chen Guxia mengunci persendiannya, dia terus melancarkan serangan ganas ke lawan. Dalam pertarungan bela diri, hal paling berbahaya adalah membiarkan lawan benar-benar mengunci persendianmu. Sekali terkunci, itu benar-benar jalan MATI.
Pertarungan jarak dekat paling berbahaya ini hanya berlangsung lewat sepuluh detik, namun arena sudah dipenuhi debu tebal. Tubuh Chen Guxia terlempar ke belakang, begitu stabil langsung memegangi dadanya. Darah mengucur dari mulutnya. Di seberang, Tak terhitung dewa-dewa juga bangkit perlahan dalam keadaan kikuk. Tangan kanannya memegang lengan kiri lalu menarik ke atas dengan suara "kreek", memasang kembali sendi yang terlepas. Perlahan ia menggerakkan tengkuknya.
"Bagus, teknik hebat. Kau hampir saja membunuhku, hehehehe..."
Tertawa rendah yang neurotik, ia melambai-lambaikan tangan dengan gemulai. Wajahnya di balik debu mulai samar-samar.
"Kalau begitu... waktu pemanasan habis. Sebagai penghormatan atas kekuatan yang kau tunjukkan tadi, mulai sekarang aku akan memberikan segalanya."
……
Di bawah cahaya lampu, Li Yunxiu menarik Yahan terus berlari. Teriakan dari belakang semakin mendekat.
Dari kejauhan, lampu di koridor gedung satu per satu padam. Itu karena setiap melewati area, Li Yunxiu bawah sadar mematikan saklar lampu koridor. Sekarang bukan saatnya memikirkan bahwa ini justru memberi petunjuk arah bagi pengejar. Yang ia tahu, para pengejar membawa senjata. Prioritas utama sekarang adalah menghindari tembakan.
Meski tertangkap tampaknya sudah pasti, untuk saat ini mereka hanya bisa terus lari sebisa mungkin.
Kedua tangan sudah diborgol di belakang, satu-satunya yang bisa disebut senjata adalah pisau bedah yang masih tergenggam di tangan Li Yunxiu. Baru saja mereka gagal menemukan kunci borgol, satu-satunya yang sempat diambil adalah pisau yang jatuh di lantai ini. Namun dalam situasi seperti ini, tangan yang terikat di belakang tentu tidak bisa menggunakan pisau bedah untuk melakukan serangan efektif apa pun.
Satu-satunya ide dia adalah ketika orang lain mencoba merebut pisau bedah ini, membuat tubuhnya bersentuhan lebih lama dengan tubuh lawan. Tapi itu hanya berarti jika lawan sendirian, dia dan Yahan mungkin bisa kabur. Tapi jelas ada dua orang yang mengejar dari belakang sekarang. Jadi untuk saat ini hanya bisa lari.
Memicu potensi pasien dan menyembuhkan luka eksternal yang relatif parah, ini adalah kekuatan supernatural yang dimiliki Li Yunxiu. Memiliki kemampuan seperti ini berarti dia bisa menjadi dokter bedah yang hebat, tapi tetap tak berdaya menghadapi penyakit Yahan. Tapi seperti negara mana pun yang selalu menggunakan teknologi canggih untuk senjata terlebih dahulu. Sebagai anggota [], meskipun memiliki kemampuan medis yang ramah lingkungan, sebelumnya semua orang pernah membuat banyak konsep untuk mengubah kemampuan ini menjadi alat MEMBUNUH. Percobaan pertama Li Yunxiu terhadap konsep-konsep ini baru saja dilakukan.
Menambah output kekuatan supernatural penyembuh yang awalnya tidak berbahaya hingga maksimal, langsung bekerja pada area sensitif seperti jantung dan otak. Digunakan untuk mempercepat kecepatan pembelahan sel, memicu potensi berlebih, mencapai tingkat di mana tubuh musuh sama sekali tidak mampu menanggung dalam sekejap. Akhirnya menyebabkan jantung meledak atau MATI karena kepalanya meledak. Percobaan kali ini bisa dianggap sukses, sekaligus pengalaman pertama MEMBUNUH dalam hidupnya. Namun dalam situasi saat ini, dia tidak punya waktu untuk larut dalam emosi sedih. Dengan kaus kaki putih, dia hanya bisa terus berlari bersama Yahan.
Menyusup ke dalam gedung olahraga melalui jalan sempit di samping, berlari beberapa saat lalu keluar lagi. Turun ke lantai satu melalui terowongan di sebelah. Berkat kondisi geografis kompleks gedung olahraga, mereka bisa bertahan cukup lama dari kejaran dua tentara bayaran. Melewati lorong di sisi luar lantai satu, Li Yunxiu memimpin menuju gedung kantor yang tidak jauh di sebelah. Tiba-tiba, dentuman senjata terdengar. Yahan menjerit "Ah!", ketika menoleh, terlihat dia terjatuh di tangga sisi gedung olahraga. Sudah dalam kondisi sakit parah, setelah berlari sekencang ini, beberapa kali berusaha bangun tapi sama sekali tidak bisa.
Beberapa kehendak sekilas muncul di pikiran, tapi sama sekali tidak jelas apa maksudnya. Li Yunxiu menggenggam erat pisau bedah, mengarahkan mata pisaunya di pinggang, berlari kembali dan berjaga di samping Yahan.
Dua tentara bayaran bersenjata datang menghampiri, mengarahkan laras senjata mereka ke arah kedua wanita itu.
Karena kemungkinan besar rekan mereka mati tanpa alasan jelas, kedua kawan ini kini memancarkan kilau jahat di mata. Karena secara konyol membawa pisau bedah yang mustahil digunakan untuk menusuk, salah seorang tampak ingin menembak Li Yunxiu, namun yang lain menghentikannya. Mereka saling berteriak dalam bahasa Thailand, lalu pria itu menyepak keras perut Li Yunxiu. Seketika, dia terjatuh kesakitan.
Orang yang ingin menembak ini jelas lebih dominan. Melangkah maju, dia mengarahkan senjata ke kepala Li Yunxiu. Dalam kesakitan, ketika mengangkat kepala, yang pertama terlihat adalah laras senjata hitam legam. Tentara bayaran itu dengan tatapan garang mengarahkan senjata dari atas, lalu di belakangnya terlihat lampu sorot terang di dinding gedung olahraga.
Cahaya lampu menyorot ke bawah, menerangi area sekitar, namun juga membuat pemandangan di depan terasa silau...
Inikah... gambaran terakhir yang akan kulihat? Kehendak ini muncul di hati. Li Yunxiu ingin menutup mata, tapi kemudian membukanya lagi dengan kebingungan...
Di detik berikutnya, tidak ada suara tembakan.
Bayangan Hitam menutupi cahaya, percikan darah meletus!
## Bagian 210: Karnaval Berwarna Darah (3)
Cahaya terang, sosok seperti awan gelap tiba-tiba turun. Dalam jarak pandang Li Yunxiu, kilauan menyilaukan tiba-tiba berkedip. Dua percikan darah yang menyembur ke arah berlawanan membentuk busur menakutkan di udara, terlempar hingga 2 meter jauhnya. Saat tubuh dua tentara bayaran itu jatuh ke bawah tanah, yang muncul di hadapannya adalah sosok berjubah abu-abu pucat membelakangi. Menghadap Yahan, ia menyelipkan belati kembali ke pinggangnya. Di sisi lain, Yahan yang melihat wajah pendatang itu tiba-tiba membuka mulutnya seakan mencapai batas kesedihan, namun tak bersuara. Air mata sudah mengalir deras dari matanya.
Jian Suyan...
Nama yang telah didengar berkali-kali itu kini melintas di hati Li Yunxiu. Meski masih menjadi anggota non-formal [], belum menerima tugas resmi, sebagai pengguna kekuatan supernatural, statusnya selalu relatif istimewa sehingga sering berinteraksi dengan banyak anggota resmi. Menurut Ye Lian dan lainnya, wanita di hadapannya ini selama beberapa tahun terakhir hampir memiliki aura bak dewa di Jianghai. Jika harus mendeskripsikan pencapaiannya dengan satu kata, mungkin: sempurna.
Sejak satu setengah tahun lalu muncul di hadapan semua orang dengan kode TULIP, dia pernah menyelamatkan seluruh Kapal Pesiar Star Dream dari upaya penculikan. Dalam situasi dikepung ratusan tentara bayaran, untuk pertama kalinya berhasil memukul mundur Raja Pembunuh Pei Luo Jia, Yoritomo Taku, sekaligus merebut kapal lawan dan mengirim sinyal darurat. Selanjutnya bertempur melawan lebih dari seratus tentara bayaran bersenjata lengkap di pulau kecil tengah badai, menyelamatkan saudara kandung keluarga Dongfang, bahkan menghabisi puluhan lawan tanpa terluka sedikit pun hingga kapal penyelamat tiba.
Dia bisa bergerak bebas di tengah hujan peluru, tetap tenang menghadapi ancaman musuh terkuat, bahkan dalam serangan kedua Yoritomo Taku dan kawanan berhasil membunuh Da Nei Zhangdu di medan perang, lalu dengan mudah memaksa mundur sang Raja Pembunuh yang dijuluki terkuat. Yang terpenting, dia selalu memancarkan aura elegan dan tenang sempurna. Dalam ucapan Ye Lian, wanita nyaris sempurna ini memadukan kekuatan, kecantikan, keanggunan, dan segala kelebihan yang memikat hati. Meski belum pernah melihat langsung sebelumnya, karena terus-menerus mendengar cerita orang, Li Yunxiu pun mulai membayangkan seperti apa wujud wanita ini, lalu menciptakan citra sempurna dalam imajinasinya.
Baru pada saat inilah dia akhirnya bertemu langsung dengan sang pemilik gelar sempurna tersebut.
Tiba-tiba turun dari langit, dengan mudah menghabisi dua tentara bayaran, di tengah air mata Yahan yang tak lagi bisa ditahan, "Jian Suyan" dengan lembut memeluk Yahan yang sedang lemah tak berdaya, membuka borgol di belakangnya. Saat menyentuh tubuh orang itu, tangisan parau meledak dari tenggorokan Yahan, dipenuhi jantung berdebar, ketakutan, kekesalan, dan kepedihan, membuat mata Li Yunxiu pun berkaca-kaca sejenak.
Perasaan ini cukup unik. Di mata Li Yunxiu, Guru Yahan yang sehari-hari tampak matang dan mandiri ini, di kampus memiliki latar belakang dan identitas yang tak bisa diabaikan di satu sisi, serta kemampuan yang sangat luar biasa di sisi lain. Kombinasi keduanya membuat nama Zhang Yahan sering memunculkan rasa takut dan hormat yang tulus dari banyak orang. Tak hanya tegas dan brilian dalam menangani berbagai urusan, dalam hal moral pribadi pun hampir tak ada celah untuk dikritik. Dididik dengan disiplin keluarga Zhang yang ketat, ia selalu menjaga kesopanan terhadap semua orang, bersikap anggun dalam pergaulan, meski memiliki banyak pengagum dalam kehidupan pribadinya, ia dengan tegas menolak segala pendekatan yang tidak diinginkan, sama sekali tak terlibat skandal atau pandangan menggoda yang tidak perlu. Untuk wanita cantik berusia awal dua puluhan, ini benar-benar langka dan bisa disebut sempurna.
Di tengah pelarian bersama Yahan tadi, meski tubuhnya mengalami berbagai ketidaknyamanan, kondisi kesehatan yang memburuk membuatnya kelelahan sampai ke titik terparah, Yahan tak pernah sekalipun mengeluh tentang rasa sakit, kelemahan, atau ketakutan terkait fisiknya. Sebagai seorang pasien, dia selalu mengatupkan gigi bertahan tanpa terjatuh dan tak membebani kawan seperjuangan sedikit pun di setiap waktu. Ini benar-benar keteguhan yang mengagumkan dari dasar hati.
Namun kini, dalam hitungan detik melihat kedatangan seseorang, Li Yunxiu langsung menyadari bahwa Zhang Yahan yang biasanya tegar, matang, dan mandiri telah lenyap sama sekali. Tangisannya tersedu-sedan dengan suara parau, wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar seolah mengerahkan sisa tenaga. Seperti gadis polos yang menemukan ibunya atau kekasihnya, semua lapisan pelindung keras yang selama ini dipakai untuk membentengi diri runtuh seketika. Dalam kondisi emosi seperti ini, "Jian Suyan" berbisik lembut: "Sudah, tidak apa-apa... Mari kita cari tempat teraman dulu..."
Suaranya terdengar agak aneh... Suara netral? Dalam hati Li Yunxiu teringat deskripsi Ye Lian dkk, tapi merasa ada perbedaan dengan bayangannya. Di saat yang sama, orang itu menoleh dan memandanginya sebentar dengan tatapan datar, akhirnya mengangkat bahu pasrah dan mengulurkan tangan ke arah belakangnya.
Mulut Li Yunxiu menganga lebar, tubuhnya membeku menjadi batu.
……
"Sudahlah, Guru Li, santai saja..."
“Menggenggam pisau bedah yang diremasnya erat, Jiaming menariknya sekali namun gagal mencabutnya. Setelah mengatakan hal itu, Li Yunxiu baru melepaskan genggamannya seperti tersadar dari mimpi, tapi emosinya tampak masih kacau.”
“Itu... kau... bagaimana...”
“Tenang dulu, Guru Li. Aku harap kau paham, jangan tanya kenapa, jangan tanya bagaimana. Hal tadi, aku tak ingin ada orang lain yang tahu pernah terjadi. Aku tak ingin ada yang tahu aku membunuh orang, bisa?”
“Mengulurkan tangan ke belakang Li Yunxiu dan mengutak-atik beberapa kali, borgol berbunyi 'Krek' saat terbuka. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mencerna realita di depan mata. Memandangi tatapan tulus Jiaming, kalimat pertama yang keluar adalah: 'Ini... ancaman?'”
“Tidak, hanya permohonan yang penuh rasa syukur dan balasan. Tentu saja, jika diperlukan...” Jiaming mengangkat bahu dengan menyesal.
“Kumohon...” Di depan Li Yunxiu, Yahan yang masih bermuram durja menyatukan kedua tangan, memohon dengan mata berkaca-kaca, “Guru Li, tolong jaga rahasianya, ya?”
“Eh... Heh...” Sekejap itu, Li Yunxiu teringat bahwa alasan permohonannya mungkin hanya karena dia terus membawa Yahan kabur. Jika diperlukan, dia pasti akan membunuhnya tanpa ragu. Mengangguk halus sebelum sempat bicara, Jiaming sudah berdiri sambil tersenyum, pisau bedah diayunkan sembarangan.
Cahaya yang dibiaskan berkilat sesaat, seorang tentara bayaran baru saja berlari keluar dari sisi lorong, langsung tertusuk pisau bedah di lengannya. Sesaat kemudian, seiring tangan kanan Jiaming yang terangkat, dentuman senjata mengguncang telinga. Dada pria itu menyemburkan hujan darah lebat, seluruh tubuhnya terlempar ke belakang. Yang digenggam Jiaming tak lain adalah Desert Eagle yang dijuluki "Meriam Mini".
Tanpa terlihat, Jiaming menghadang di depan Yahan seolah baru melakukan hal sepele. Tangannya meraih ke belakang menyelamatkan Yahan yang masih lunglai, tangan kanannya terus menembak. Sudut lorong itu seketika berhamburan serpihan batu.
"Banyak hal sebelumnya... aku minta maaf. Setelah kau sembuh nanti, aku ingin kita bicara baik-baik. Mencari... cara menyelesaikan semuanya..." Bisik samar itu menyusup ke telinga Yahan. Tubuhnya yang sudah lemah semakin lunglai, air mata kembali mengalir. Dalam kondisinya sekarang, mustahil menganalisis semua ini dengan rasional. Karena sakitnya, dia terjerumus dalam bahaya sampai harus diselamatkan Jiaming. Rasa bersalah dan penyesalan sudah menggerogoti hatinya. Permintaan maaf Jiaming ini... pasti sindiran. Bicara baik-baik? Bicara apa... Apakah dia akan memukul atau menghujatnya?
Jiaming saat itu sambil menyeretnya terus menembak maju ke depan, seluruh tubuhnya memancarkan aura dingin dan tegang. Yahan yang saat itu juga sudah sakit hingga kepalanya agak linglung, tidak bisa langsung mengaitkan bahwa ini karena dia sedang bertempur MEMBUNUH, hanya mengira Jiaming akhirnya sudah tidak bisa bersabar lagi padanya, akan menyerang untuk memberikan pelajaran. Mengikuti dengan takut-takut, pikirannya kacau membayangkan perlakuan kasar yang mungkin diterima, bagaimana Jiaming akan memperlakukan dirinya...?
Cambuk kulit, kuda kayu, lilin, menghukumnya bersujud di tanah, telanjang dipukuli pantat, dibuat menangis sambil bilang tidak berani lagi... Kehangatan saat bertemu Jiaming bercampur dengan penyesalan dan ketakutan saat ini, di kepala yang sekarat kehilangan logika biasa, sejenak hanya bisa melamun tak karuan, membawa harapan-harapan masa lalu, bercampur rasa bersalah, imajinasinya jadi seru sekali...
Li Yunxiu berjalan mengikuti di belakang, berbelok melewati sudut koridor. Tampak di belakang sana, ada mayat penuh lubang peluru yang jelas baru saja ditembak mati oleh Jiaming melalui dinding partisi, kondisi kematiannya sangat mengenaskan. Keahliannya sebagai dokter yang menguasai anatomi, ditambah pengalaman magang di kamar mayat Jepang, membuatnya kebal terhadap pemandangan mayat manusia. Yahan awalnya berusaha tetap sadar, namun setelah bertemu Jiaming, perasaannya tiba-tiba menjadi lega. Sekarang kondisinya basically seperti orang linglung, hanya fokus pada pemuda yang menggandeng tangannya, mengabaikan segala hal di sekitarnya. Hal ini justru menghindarkannya dari rasa mual ingin muntah. Sambil menoleh dan menembak dua kali untuk mengintimidasi tentara bayaran yang mengejar, Jiaming memimpin mereka bertiga kembali memasuki gedung olahraga.
"Situasi sekarang tidak ideal. Keributan di sini mungkin akan menarik perhatian lebih dari separuh orang di kampus, terutama ancaman terbesar dari Tak terhitung dewa-dewa... Pertama-tama aku akan cari tempat untuk kalian bersembunyi, lalu berusaha mengalihkan perhatian mereka. Shasha masih di sekitar kampus. Mereka yang dari Tak terhitung dewa-dewa telah memblokir sinyal elektronik. Aku belum bisa menemukannya, semoga dia baik-baik saja. Aku harus segera menghancurkan pemancar sinyal penyaringan itu..."
Nada bicara ini ditujukan pada Yahan, namun yang mengangguk hanya Li Yunxiu. Ketika membicarakan situasi Shasha, nada suara Jiaming tetap datar, tak ada yang bisa mendengar kecemasan di balik suaranya. Tubuh Yahan gemetar seketika, beberapa saat kemudian kedua tangannya menarik Jiaming semakin erat...
Saat melangkah masuk ke gedung olahraga, jam tangan Jiaming berbunyi "bip". Setelah menekan beberapa kali, cahaya merah berkedip sesaat lalu hilang. Meski sinyal diblokir, perangkat transceiver ini masih berfungsi dalam radius tertentu. Ini berarti... Begitu menoleh, dua tentara bayaran telah mengejar dari ujung lain. Tanpa ragu, ia menyelinap masuk ke dalam gedung olahraga sambil menutup pintu gerbang.
Dentuman listrik pendek membuat seluruh gedung olahraga raksasa itu tenggelam dalam kegelapan. Beberapa tentara bayaran yang menerima informasi berhamburan dari berbagai penjuru, tak lama kemudian terserap masuk ke dalam gulita itu.
Di saat yang sama, Kaoru dan Shasha sedang bertarung mati-matian untuk kabur. Di belakang mereka, beberapa satpam sekolah bersenjata sedang melawan kepungan tentara bayaran. Dongfang Lu yang penuh luka diam-diam mencapai area dekat aula sekolah. Di sudut berlawanan aula, seorang pria gemuk telanjang yang gemetaran sedang panik merangkak masuk melalui jendela.
Di luar kampus, pihak kepolisian serta banyak keluarga mahasiswa sedang berdiskusi mempersiapkan permintaan tebusan "dua miliar dolar AS dan lima unit helikopter" yang diajukan tentara bayaran. Di saat bersamaan, tim operasi [] yang dipimpin Ye Lian diam-diam memasuki kampus...
## Bagian Dua Ratus Sebelas Karnaval Berdarah (Empat)
"Sebenarnya, sejak dulu aku selalu iri pada Lingjing..."
"......" Melihatnya sekilas, Kaoru dengan hati-hati memasang bom sederhana di pintu.
"Tahun lalu, Jiaming dan Lingjing pernah terperangkap di kapal, terombang-ambing di laut selama beberapa hari hanya berdua." Membungkukkan tubuh, Shasha mengikuti Kaoru dengan hati-hati sambil berbisik. Penampilan kedua cewek ini sekarang terlihat kikuk, baju mereka robek di beberapa tempat, belekan darah Bānbān, seluruh tubuh penuh debu. Mereka merangkak di antara dentuman senjata yang bergema tak beraturan. Saat peluru nyasar menyambar, kaca di satu sisi kamar byur pecah. Mereka berjongkok di bawah tembok beberapa saat sebelum akhirnya menyelinap keluar melalui pintu belakang.
"...Aku selalu iri dengan hal yang mereka alami waktu itu." Mengatupkan bibir, Shasha membungkuk rendah lalu berlari maju keluar pintu. Persis di saat itu, peluru dari samping menyambar dinding dengan suara gesekan keras, menebarkan debu yang bertebaran seperti hujan menutupi rambut dan bajunya. Kaoru di depan tiba-tiba meraih tangannya, menariknya berlari cepat melewati lorong ini, baru berhenti di belokan yang agak aman di depan.
Menepuk-nepuk debu di kepala dengan lembut, tubuh Huaisha gemetar ringan. Beberapa saat kemudian, barulah ia menggenggam liontin di dadanya yang diberikan Jiaming——satu-satunya perhiasan yang ia bawa——sambil mengikuti kewaspadaan Kaoru yang memandang sekeliling: "Kaoru, menurutmu...apakah dia juga akan datang? Jika sinyal ini disaring..."
Memegang tangan Huaisha sambil terus membungkuk maju dalam kegelapan, Kaoru mengangguk pelan. Suaranya nyaris tak terdengar, Huaisha hanya bisa mendengar suku kata pendek itu: "Ya."
Meski lembut, suara itu sama sekali tidak mengandung keraguan atau kebimbangan.
……
"Saat ini bisa dipastikan, Tsukike Kaoru dan Liu Huaisha yang kita cari memang berada dalam radius beberapa gedung ini. Hanya saja mereka sudah bergabung dengan orang-orang Chen Guxia..."
Dalam kegelapan tidak jauh, kobaran api tiba-tiba menyala. Di antara dentuman senjata, debu beterbangan dari tembok samping yang ditembak peluru BYUR! Tentara bayaran yang memegang senapan serbu menyandar kembali, mengusap luka gores di wajahnya. Setelah menyelesaikan kalimat, ia menyelinap keluar dari sudut sambil meneriakkan tembakan gencar, baru kembali bersembunyi sambil menatap pria bertubuh besar yang berdiri dalam bayangan.
"Dua cewek ini sangat licik, sudah membuat kita berputar-putar beberapa kali. Sekarang ada campur tangan orang-orang ini. Jika harus menangkap hidup-hidup..."
"Harus hidup." Sebelum ia selesai, pria berjuluk "Tank" sudah memotongnya, "Kalau tidak, pertempuran ini tidak akan ada artinya."
“Itu hanya untuk kalian...” Setelah mengganti magasin baru, wajah tentara bayaran itu menunjukkan ekspresi tidak puas, "Di medan perang, bertahan hidup adalah hal yang paling penting. Aku harus bertanggung jawab pada anggota timku. Dengan menyandera sekolah, kita hanya perlu menjaga sandera untuk mencapai tujuan. Dari awal sampai sekarang, kurasa kita sudah melakukan terlalu banyak hal sia-sia... Kita sudah kehilangan setidaknya seperempat personel, tapi tidak mencapai tujuan apa pun..."
Pada dasarnya, para tentara bayaran dan pembunuh memiliki tujuan masing-masing saat memasuki Akademi Hati Kudus. Bagi para pembunuh ini, operasi ini sudah melanggar keputusan pimpinan Pei Luo Jia. Tank dan kawan-kawannya bertujuan menghapus aib masa lalu, sementara pemimpin mereka Zhushén Wúniàn ingin menantang batas kemampuannya—sungguh suatu kegilaan. Namun sebagian besar tentara bayaran tetap menjaga rasionalitas. Mereka mempertaruhkan nyawa demi uang. Jika misi ini berhasil dan mereka bisa lolos, uang yang didapat cukup untuk membuat semua orang pensiun dan hidup mewah seumur hidup.
"Mewujudkan hal ini sebenarnya tidak sulit, sama seperti Kapal Star Dream dulu. Kota Jianghai adalah salah satu kota paling maju di dalam negeri, sementara Akademi Hati Kudus merupakan area berkumpulnya anak-anak orang kaya. Karena kampus yang sangat luas, mustahil bagi 40-50 orang untuk sepenuhnya mengendalikan seluruh area. Namun mereka juga tidak perlu melakukannya, asalkan memiliki beberapa ratus sandera di tangan, tujuan mereka memeras tebusan sudah tercapai. Oleh karena itu, jika bukan karena permintaan orang-orang seperti Tak terhitung dewa-dewa, mereka sama sekali tidak akan memencarkan anggota seperti sekarang, bertempur di mana-mana, dan menderita kerugian sebanyak ini."
Setiap orang memiliki hitungannya sendiri. Untuk beberapa kawan yang kuat, mengorbankan biaya tertentu dan menunjukkan kesungguhan memang diperlukan. Namun sampai sekarang, mereka masih belum berhasil menangkap tawanan ideal. Tsukike Kaoru yang ingin ditangkap hidup-hidup justru menunjukkan kemampuan yang cukup mumpuni, tak heran pemimpin pasukan bayaran ini mulai mengeluh tentang situasi ini. Tank hanya memandangnya dingin, mendengarkan keributan di lapisan bangunan, lalu mengeluarkan dua pistol dari tubuhnya.
"Aku tidak ingin berkomentar apakah situasi sekarang ini disebabkan keberuntungan atau ketidakmampuan seseorang." Memelintir earphone di telinga kanan - frekuensi komunikator ini telah melalui penyetelan khusus, tepat di luar radius penyaringan sinyal mereka - Tank meliriknya dengan dingin, "Yang aku tahu, setelah persiapan sebanyak ini, perjalanan sejauh ini, kita bukan berlayar jauh-jauh untuk bunuh diri. Jadi mereka harus ditangkap hidup-hidup. Kalau kau tidak bisa, aku yang akan melakukannya."
"Kau..."
“Kau tahu TULIP, meski saat di Kapal Star Dream, kalian tidak berhadapan langsung dengannya……itu adalah keberuntungan kalian.”
“Tak terhitung dewa-dewa akan menyelesaikannya……”
“Inikah pendapatmu?”
Senyum dingin mengembang di bibir. Tubuh Tank tiba-tiba berlari maju ke depan, dalam sekejap telah menghilang dalam kegelapan. Pemimpin pasukan bayaran itu membuka mulutnya. Kelompok mereka sering berinteraksi dengan Tank dan cukup familiar dengan Pei Luo Jia. Begitu kata-katanya terucap, ia sadar telah berkata bodoh. Pembunuh utama Pei Luo Jia adalah Yoritomo Taku. Walau pengguna kekuatan supernatural mendapat perlakuan istimewa karena kelangkaan jumlah, reputasi mereka tetap di bawah manusia biasa ini. Meski perbedaan antar pembunuh level ini biasanya tipis, TULIP telah dua kali memaksa Yoritomo Taku mundur. Apakah si orang gila Tak terhitung dewa-dewa bisa menang masih dipertanyakan. Setelah ragu beberapa saat, ia kembali mengangkat walkie-talkie:
“Tim tiga……Target terkunci pada dua gadis Tsukike Kaoru dan Liu Huaisha. Dapat menghindari konflik dengan pihak lain. Jika menemukan target segera laporkan lokasi, harus ditangkap hidup-hidup……tanpa peduli biaya!”
Beberapa saat setelah pesan ini terkirim, suara Naka si Ular Berbisa yang berada di posisi komando tengah terdengar di earphone: “Markas besar memanggil seluruh dunia. Telah menemukan lokasi Zhang Yahan di ruang penyimpanan sisi barat bawah gedung olahraga kampus, sudah berhasil, tidak……Merpati Abu membisu, personel terdekat segera berikan bantuan……”
Seketika, hampir semua tentara bayaran secara bawah sadar mengalihkan perhatian ke arah gedung olahraga. Untuk menghadapi TULIP, lima target telah ditetapkan dalam misi ini, namun hingga kini belum ada satu pun yang berhasil dikendalikan. Target yang satu ini jelas-jelas sudah tertangkap tapi bisa kabur lagi. Mengingat serangkaian kejadian tak terduga sejak memasuki Jianghai, kali ini memang benar-benar sial. Untungnya, beberapa menit kemudian, kabar baik akhirnya datang dari sana.
"Zhang Yahan, dan Li Yunxiu dari [] berhasil diamankan. Bill dan Rei sedang berada di pintu samping gedung olahraga kampus..."
Mendengar kabar itu, para tentara bayaran pun lega. Di sisi lain kampus, di sebuah halaman yang hancur lebur, di balik badai pasir misterius yang mengganggu pandangan, Tak terhitung dewa-dewa menyesuaikan posisi earphone-nya sambil menyunggingkan senyum tipis.
Di hadapannya, seorang lelaki tua menutupi hidung dan mulut dengan kain, terhuyung-huyung keluar dari radius dampak badai debu. Seluruh tubuhnya dipenuhi pasir dan bercak-bercak darah kering. Luka di dahinya yang bercampur pasir mengganggu penglihatan. Kini ia sudah menyadari: angin aneh yang mengangkat debu ini mungkin adalah kekuatan supernatural milik Tak terhitung dewa-dewa. Dalam lingkungan terbatas dengan penglihatan dan indera yang terganggu ini, manusia biasa sepenuhnya berada di posisi yang dipukuli. Meski punya senjata, tetap sulit menentukan posisi lawan. Nyawa tua ini sepertinya akan habis di sini...
Yang menyelamatkannya adalah suara berikutnya yang muncul di komunikator.
"Sesuatu terjadi……Bill、Rei terdiam……Zhang Yahan、Li Yunxiu meninggalkan kendali……"
Insiden tak terduga datang bertubi-tubi, puncaknya terjadi saat ini. Di kampus yang diterangi cahaya belang-belang dengan dentuman senjata sesekali, suara mekanis Naka menyebar melalui gelombang radio ke earphone setiap tentara bayaran. Hampir setiap beberapa detik, laporannya terus bergulir.
"……Tuhan Kegelapan terdiam……Hou……terdiam……Harimau Perang terdiam……Kijang Merah terluka……Di depan gedung olahraga, musuh……hanya satu……berjubah abu-abu menutupi kepala, wajah, seluruh tubuh, tinggi badan sekitar 1,6 meter, sesuai dengan Target Nomor Satu, memasuki gedung olahraga……Kijang Merah、Du、Langkong mengejar……tunggu sebentar……Kijang Merah MATI……target hilang……"
Sejak menguasai kampus hingga kini, tentara bayaran telah kehilangan sekitar belasan personel. Namun dalam beberapa menit terakhir ini, melalui siaran langsung Naka, tujuh prajurit berpengalaman medan perang secara berturut-turut terdiam——pada dasarnya ini adalah kabar kematian. Terutama ketika kata "tunggu sebentar" terdengar, gedung olahraga raksasa yang semula terang benderang tiba-tiba tenggelam dalam kegelapan. Dari kejauhan, pemandangan ini memberikan kesan mengerikan yang tak terucap, bagai jantung tiba-tiba terjatuh ke jurang.
Setengah menit kemudian, suara Naka baru kembali terdengar.
“Rencana C2, garis depan pertempuran ditarik kembali, pastikan kendali atas sandera dan area tengah. Semuanya, sekarang tanggal 2 Desember 1998 pukul 21:06...”
“...TULIP muncul.”
## Bagian Dua Ratus Dua Belas Karnaval Berdarah (Lima)
“TULIP muncul...”
Saat kalimat ini terdengar melalui earphone, tank sedang melintas di antara gedung-gedung kampus yang gelap, seolah terintimidasi oleh kejadian beberapa menit terakhir. Seluruh sistem komunikasi sunyi senyap, para tentara bayaran yang tersebar mulai berkumpul ke arah gedung olahraga. Di sisi ini, tim ketiga tentara bayaran akhirnya menyadari keseriusan masalah, berusaha melepaskan keterlibatan dengan petugas keamanan kampus dan mulai memblokir dua gadis yang bisa dijadikan sandera.
“Target terdeteksi di taman bunga kecil sisi barat, bergerak ke arah asrama nomor 39...”
“Terjadi bentrok, apit dari kedua sisi...”
“Tsukike Kaoru luka ringan... Perhatikan, tangkap hidup-hidup...”
"Pastikan tangkap hidup-hidup, jika tidak sandera tidak akan ada artinya. Meskipun kelompok tentara bayaran ini terdiri dari veteran yang telah bertahun-tahun berperang, yakin bahwa kekuatan kolektivitas dan kerja sama adalah senjata terkuat, namun mereka juga tahu bahwa di dunia ini memang ada orang-orang yang bisa menciptakan prestasi tempur luar biasa dalam pertempuran di bawah 100 orang seperti di film. Misalnya Yoritomo Taku bisa menekan puluhan orang secara frontal dengan kemampuan menembak seperti hantu, sedangkan Cui Guohua yang kekuatan tempur personalnya tidak terlalu kuat juga beberapa kali berhasil menang dalam situasi hampir mustahil, meski setiap kali hampir mencapai tepi hidup dan MATI. Baik kehendak maupun keberuntungan, prestasinya ini membuatnya dianggap sebagai agen rahasia terbaik di []."
"Dan TULIP saat ini, sudah pasti termasuk karakter yang mampu menciptakan prestasi semacam ini."
"Suara tembakan dan teriakan di sini memang cukup sengit, tapi sebenarnya yang mengejar hanya 4-5 orang. Dengan deterensi tembakan intens, mereka mengarahkan dua gadis yang sedang melarikan diri ke satu arah sambil mengepung. Meski telah melalui pelatihan ketat Jiaming, dalam hal pengalaman pertempuran nyata, Tsukike Kaoru mana bisa menyaingi para veteran ini. Ketauan frontal oleh tentara bayaran, mereka lari mati-matian dengan suara gesekan daun, sampai di rumput tepi sungai depan apartemen mahasiswa, tiba-tiba tank muncul dari kegelapan di sisi apartemen."
"Berhenti!"
Cahaya lampu dari kejauhan menyinari dengan samar, tiba-tiba tubuhnya berhenti berdiri. Di koridor apartemen sebelah, bawah atap kecil, dan pinggiran taman bunga, lima enam senjata telah mengarah ke sini, membentuk lingkaran kepungan berbentuk setengah lingkaran.
"Jangan mau MATI angkat tangan..."
"Buang senjata, buang senjata..."
"Letakkan senjata..."
Bahasa China yang kaku, bahasa Thailand tidak karuan, dan bahasa Inggris terdengar bersamaan. Tubuh Shasha gemetar ringan, gaya rambut ekor kuda di kepalanya sudah berantakan, wajahnya belekan debu. Seiring tetesan keringat, muncul kembali jejak kikuk yang samar. Mulutnya terbuka, namun ekspresinya tetap menyimpan kesombongan alami di tulangnya. Melihat sekeliling beberapa orang, belum sempat bicara, Kaoru menariknya perlahan ke belakang.
Disebut meletakkan senjata, tapi sebenarnya hanya di tangan Kaoru ada sebuah pistol. Setelah serangkaian peristiwa ini, kondisinya sekarang tidak jauh lebih baik dari Shasha. Noda di wajah, luka yang Dimodifikasi wajahnya yang dulu indah seperti boneka porselen, darah kering yang terlihat dari sobekan pakaian, napas terburu-buru karena tegang - namun mata dengan bulu mata panjang itu tetap jernih dan dingin. Berdiri tegak di depan Shasha, dagunya sedikit diangkat. Beberapa saat kemudian, baru mengangkat tangan kanan, melempar pistol yang hanya tinggal satu peluru.
Pada sekejap mata, Tank dan yang lain hampir serentak maju dua langkah, namun berhenti kembali sesaat kemudian.
“Datanglah ke sini……”
Bahasa Mandarin yang kaku terdengar mengiringi suara dingin. Di depan semua orang, gadis Jepang yang anggun itu memegang granat tangan, jarinya telah mengaitkan ring pelatuk. Cukup dengan memisahkan kedua tangannya, granat itu akan meledakkan mereka berdua menjadi fragmen.
Jika tujuan pertempuran adalah memusnahkan musuh, metode penanganan alami adalah tanpa ragu membuka tembakan lalu menghilang. Namun jika tujuannya untuk menangkap sandera, hal ini menjadi rumit. Setidaknya... akan banyak waktu terbuang percuma. Suasana langsung mandek. Sesaat kemudian, Tank yang wajahnya mulai mengerikan hendak berbicara ketika suara terdengar dari earphone-nya.
“Hans memanggil... TULIP dia... Byur——”
Setelah dentuman senjata, suara pria itu tiba-tiba terputus. Tank merasa tidak baik. Kode Hans adalah salah satu tentara bayaran yang berada di posisi komando aula besar, tempat yang juga ditetapkan sebagai pusat operasi kali ini. Dengan cepat ia menoleh sambil berbisik: “Naka, ada apa?”
“Seperti yang kau lihat... TULIP menyusup melewati lingkaran orang yang mengelilingi gedung olahraga. Dia datang ke sini...”
Jarak gedung olahraga ke aula besar mencapai 400-500 meter. Saat ini kebanyakan orang masih memperhatikan arah gedung olahraga. Tak ada yang menyangka dia bisa tiba di sini tanpa diketahui siapa pun. Tank belum sempat bicara ketika suara kacau diselingi tembakan terdengar dari earphone: “Dia di tribun lantai dua... Menyelinap ke sisi barat...”
“Kami menghalanginya, kami berhasil menghalanginya...”
“Dia naik ke lantai tiga dari dinding luar, terlalu cepat... Apa dia monyet?... Serigala Tunggal, hadang dengan perhatian musuh, kami segera sampai...”
“Serigala Tunggal、Serigala Tunggal……Serigala Tunggal！”
Tidak ada gema balasan dari kode panggilan Serigala Tunggal. Di tengah suara kepanikan, terdengar teriakan seseorang.
“Serigala Tunggal tertembak, blokir posisi tangga! Targetnya adalah lantai empat...”
“Berhasil dihadang! Ruang istirahat nomor 302... AWAS BOM——”
“Dia meledakkan tembok, posisi sekarang tidak bisa dilacak——Byur-byur-byur-byur-byur-byur-byur...”
“Batuk, batuk... Dia di terowongan kamar 309, melompat dari jendela... Lantai dua... Salah, dia naik lagi... AHH——”
Di sekitar studio siaran lantai empat aula besar—yang sebenarnya merupakan pusat kendali tempat Naka berada—berkumpullah perangkat penyaringan sinyal, sistem pemantauan komputer, dan berbagai peralatan lain. Tank menggigit giginya, berkata dengan suara berat: “Naka, tidak perlu lama-lama. Kami sudah menangkap Tsukike Kaoru dan Liu Huaisha...”
Beberapa saat kemudian, suara datar Naka baru terdengar dari sana: "Tenang, aku akan berusaha mengulur waktu sebanyak mungkin, Tak terhitung dewa-dewa sedang dalam perjalanan..." Latar belakang suara itu diselingi dentuman senjata yang kacau, jauh dan dekat. Jelas terlihat, sejak kemunculannya, target utama yang ingin mereka hadapi kali ini telah langsung menyerbu ke arah ruang kendali. Dari suara panik yang terdengar, ternyata tak ada satu pun yang benar-benar bisa menghadangnya. Tank tiba-tiba berbalik badan, Byur! Sebutir peluru melesat melewati rambut Kaoru dan menancap di hutan kecil belakang: "Lepaskan atau MATI!"
Namun tidak ada hasilnya. Kaoru bahkan tidak berkedip sedikit pun, hanya menatapnya dengan dingin. Sesaat kemudian, tangannya sedikit terangkat. Beberapa tentara bayaran secara bawah sadar mundur selangkah, sementara Tank dengan kasar menembakkan senjatanya lagi.
Percikan darah menyembur dari lengan kiri Kaoru. Saat tubuhnya goyah, ring granat telah ditarik. Dalam sekejap, ekspresi tak percaya muncul di wajahnya. Bawah sadarnya mengangkat tangan kanan dan melemparkan granat ke arah sini.
Tubuh besar Tank tiba-tiba melesat bagaikan macan tutul.
Setiap orang akan menghargai nyawanya. Mengancam orang dengan granat terakhir adalah hal yang wajar, tapi setelah ring ditarik, gerakan alaminya adalah melempar. Inilah kesempatan untuk menyandera.
Saat tertembak, gadis itu seperti salah mengatur tenaga. Granat tangan terbang tinggi melewati kepala semua orang, menghancurkan kaca apartemen di belakang. Tank telah melaju lurus 4-5 meter. Menurut pengalamannya, daya hancur granat ini setelah meledak mustahil menjangkau mereka. Jaraknya dengan dua gadis itu hanya sekitar 4 meter. Cahaya menyembur dari belakang - granat itu meledak.
Sesaat kemudian, gelombang kejut yang mengerikan menggulung datang. Cahaya dari belakang terang menyilaukan. Bawah sadarnya membuatnya menoleh. Dalam pandangannya, cahaya itu berubah menjadi ombak raksasa. Seluruh apartemen mahasiswa telah tersingkap. Bukannya melempar granat tangan, ini seperti meluncurkan rudal!
Braak——
Adegan terakhir dalam hempasan gelombang kejut adalah objek hitam yang tiba-tiba membesar di matanya. Pintu beterbangan seperti kertas. Sekejap, tubuhnya terlempar 4-5 meter. Dua gadis di kejauhan tersapu aliran udara ganas sejauh 2 meter...
……
Ngung... ngung... ngung——
Tubuhnya bergerak lemah. Pandangan masih samar-samar. Warna darah, warna api, kemudian sedikit demi sedikit membeku.
Seluruh tulang di tubuhnya seakan hancur berantakan. Efek tabrakan keras membuat otaknya masih berdenyut-denyut, suara dan gambaran sekitar kehilangan kenyataan. Setelah beberapa kali terengah-engah, darah mengalir deras disusul batuk keras. Dengan susah payah mendorong papan kayu setengah hancur yang menindihnya, tak terasa berapa lama barulah pemandangan mulai jelas. Apartemen mahasiswa di depan telah berubah menjadi lautan api dan reruntuhan dalam radius beberapa meter, sesekali terlihat mayat hangus terbakar - butuh waktu lama baginya untuk menyadari makna sesungguhnya dari pemandangan itu.
Dijebak...
Jelas kedua gadis ini sudah menanam bahan peledak di apartemen mahasiswa sejak awal. Mereka kabur ke sini, kami kejar, malah terperangkap di posisi dekat bangunan. Andai saja kami tidak nekat menangkap sandera, mungkin tidak akan terjebak dalam perangkap ini...
Dengan gerakan pelan, dia menoleh sedikit. Di sisi lain, dua gadis itu sudah bangun dengan susah payah, berpegangan sambil menjauh. Dia berusaha melawan tapi darah dan energi vital bergolak di tubuhnya, dada terasa sakit menusuk saat berusaha bergerak. Ingin meraih senjata tapi pistol di tangan sudah terlontar jauh, masih ada satu terselip di pinggang tapi tertindih badan sulit diambil. Tak lama kemudian, kedua gadis itu telah menghilang dari pandangan.
Pada saat Tsukike Kaoru melemparkan granat tangan, dia ingin segera menangkap target. Reaksinya cepat, lompatannya jauh, sehingga lukanya belum terlalu parah—tentu saja ini relatif dibandingkan tentara bayaran yang sudah MATI—Earphone-nya mengeluarkan suara bising 'blip-blop', tak diketahui apa yang terjadi di aula selama jeda singkat ini. Tak lama kemudian, dia akhirnya bisa duduk, mengetuk earphone beberapa kali. Suara yang tiba-tiba terdengar dari sana membuatnya membeku kaku.
Suara androgini yang dingin menggema: "Guntur menyambar..."
……
"Guntur menyambar..."
Saat suara itu bergema, Tak terhitung dewa-dewa sedang berlari beberapa meter di depan sisi aula besar. Dia tiba-tiba berhenti, menengadah. Dari langit terdengar suara "Bzzzt-bzzzt". Tiga unit helikopter mainan kendali radio terbang masuk melalui jendela yang sudah pecah di atas.
"Kalian semua... pulanglah menjemur pakaian..."
Sesaat kemudian, ledakan dahsyat mengguncang seluruh gedung. Kobaran api menyembur keluar dari jendela-jendela lantai atas. Dari kejauhan, pemandangannya sungguh spektakuler.
"Pergi kau——"
Memandang ledakan di kejauhan, Tank meludahkan darah segar. Dengan kasar dia mencabut earphone dan menghancurkannya di lantai. Bangkit berdiri, dia mengeluarkan pistol lalu mengejar ke arah Kaoru dan Sasya yang sedang pergi.
Sementara itu, di tengah kekacauan aula, para mahasiswa yang sebelumnya disandera kini berlarian pontang-panting. Dongfang Lu menyusup di kerumunan, mencari-cari Dongfang Wan...
## Bagian 213: Karnaval Berdarah (Enam)
Cahaya lampu berkedip-kedip, langit-langit dan dinding berguncang hebat. Ledakan menghancurkan banyak kaca, di dalam aula sebuah lampu kristal raksasa jatuh dari atas. Para mahasiswa yang menjadi sandera dalam kekacauan, berlarian tercerai-berai——setelah kekacauan yang dibuat TULIP ditambah ledakan dahsyat ini, kini tak banyak tentara bayaran di aula yang sempat mengendalikan para sandera, lagipula di gedung sekolah tempat pintu masuk dijaga ketat masih ada ribuan sandera lainnya.
Ledakan menghancurkan sebagian besar sistem listrik. Para mahasiswa yang panik di aula bagai kawanan nyamuk berlarian. Memanfaatkan kesempatan ini, Dongfang Lu memasuki area tersebut sambil menghadapi setiap orang yang mungkin mengenalinya untuk menanyakan keberadaan adik perempuannya. Kebanyakan menjawab tidak melihat atau tidak sempat merespon, namun saat menghadang mahasiswa ke-15, seorang mahasiswi yang sudah lama mengaguminya akhirnya memberikan informasi berguna.
"Xiao Wan... Kami bersama-sama bersiap kabur lewat pintu belakang. Saat sampai di lorong sana, melihat seseorang membawa senjata. Kami terpencar ketakutan. Sepertinya Xiao Wan berencana menyamar dengan kostum boneka besar dan bersembunyi di ruang perlengkapan nomor 3 di belakang. Aku langsung lari kembali ke sini, syukurlah orang itu tidak mengejarku, Wuuwu... Dongfang Lu, apa yang harus kita lakukan sekarang..."
"Cari tempat persembunyian, tunggu sampai semuanya berakhir... Sekarang mereka juga tidak sempat mengurus orang yang bersembunyi... Jangan tarik-tarik aku..."
"Wuuwu, jangan pergi..."
"Jangan tarik aku..."
"Wuuwu..."
“Tolong jangan tarik aku!”
Memandang kekacauan dari atas, Tak terhitung dewa-dewa langsung menuju Level Empat. Seluruh lapisan bangunan diselimuti asap kelabu, angin bertiup kencang dari segala penjuru setelah jendela-jendela hancur, menderu-deru di koridor dan kamar. Beberapa titik sudah terbakar hebat, beberapa tentara bayaran terhuyung-huyung berjalan. Jelas terlihat TULIP telah kabur lagi dari sini.
Wajahnya muram memandang sekeliling. Jelas semua jebakan di sini sudah hancur, nasib Naka kemungkinan besar buruk. Begitu mendengar situasi darurat, dia langsung meluncur ke sini, tapi tetap terlambat. Meski lawan bergerak cepat, seharusnya belum terlalu jauh. Saat berbalik turun tangga, matanya menangkap bayangan Dongfang Lu di tribun atas aula, dua sosok pria-wanita yang saling tarik-menarik sedang berlari kecil ke pintu belakang aula.
Dalam situasi ini, Pelacakan TULIP adalah prioritasnya. Si penipu yang lolos itu tidak penting. Tapi mengapa Chen Guxia mau mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya... Tak terhitung dewa-dewa melambaikan tangan ke tentara bayaran di belakang: "Tangkap orang di bawah itu. Dia akan jadi sandera berharga."
Sang tentara bayaran mengangguk, membawa senjata langsung mengejar.
……
"Batuk... batuk-batuk..."
Cahaya lampu menembus celah-celah hutan kecil hiasan yang renggang, diiringi suara batuk, dua gadis yang saling berpegangan terhuyung-huyung melewati jalan setapak di tengah hutan. Darah mengalir dari lengan gadis berparas dingin itu. Di sisi lain, gadis dengan wajah kotor namun bertekad baja mengerutkan alisnya, melangkah dengan pincang di kaki kiri, berbicara lemah.
"Kaoru, kita... tadi kenapa... Bukannya kita memasang bom di rumah itu... Kok bisa..."
"Aku di kampus... belajar ilmu bahan peledak dari Tuan Gu..."
"Eh, Jiaming dia..."
"Gedung itu sementara kosong, Tuan Gu sudah berkoordinasi dengan Bu Guru Zhang. Jadi kita bisa menyimpan berbagai barang di sana." Pandangan Kaoru kosong, suaranya datar. Beberapa saat kemudian dia menambahkan, "Bukan cuma alkohol dan disinfektan untuk membuat bom sederhana, tapi juga sebagian bubuk mesiu hitam, nitrogliserin..."
Malam tanpa bulan, segala keriuhan seolah terpisah jauh. Di jalan setapak seperti ini, suara Kaoru yang acuh tak acuh bagai gema samar dari dalam sumur, menciptakan sensasi aneh seolah perlahan tenggelam dalam air. Shasha membuka mulutnya, akhirnya tak mampu berkata-kata. Gejolak di hatinya sungguh sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Sejak Jiaming mengaku terus terang pada dia dan Lingjing tentang latar belakangnya sebagai pembunuh, dua perempuan itu sudah berkali-kali berdiskusi diam-diam. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak menanyakan apapun tentang hal itu pada Jiaming. Gagasan ini justru bukan berasal dari Lingjing yang penurut, melainkan dari Shasha yang ayahnya memang punya latar belakang Jalan Hitam. Berkat keputusan ini, kehidupan bertiga mereka berjalan seperti biasa. Di hati kedua perempuan, Jiaming tetaplah anak laki-laki biasa yang terkadang lambat merespon tapi penuh perhatian, teman bermain sejak kecil yang selalu menemani mereka.
Kecuali menjadi lebih bisa diandalkan di saat-saat genting, dia tetap teman masa kecil yang selalu kalah setiap berkejaran, selalu menuruti permintaan manja kedua perempuan, bisa mencuci baju dan memasak, bangun pagi setiap musim dingin untuk menyiapkan sarapan - sekaligus pacar bersama mereka berdua.
Bahkan ketika memikirkan hubungan bertiga mereka saat ini, Shasha dan Lingjing tidak merasa Jiaming yang mendapat untung lebih. Bagaimanapun, di depan mereka, dia terlalu mudah diatur. Kecelakaan waktu itu bukan salahnya, tapi merekalah yang memaksakan tinggal bersamanya. Karena terlalu saling mengenal, hubungan mereka lebih mirip persaudaraan yang setara daripada pacaran segitiga yang aneh. Di mata kedua perempuan, mungkin Jiaminglah yang lebih banyak mengalah - sama sekali tidak ada pikiran bahwa tidur bertiga berarti dia yang diuntungkan.
"Karena alasan ini pula, konsep Jiaming sebagai seorang pembunuh tidak memiliki bentuk yang terlalu konkret dalam hati Sasha dan Lingjing——Meskipun Lingjing juga terlibat dalam peristiwa Kapal Star Dream, namun karena Jiaming selalu menemani di sisinya, ketika mengingat kembali, perasaan yang tersisa justru lebih mirip sebuah wisata, sementara kekejaman Jiaming saat membunuh menjadi samar dan tak berwujud——Namun sekarang, saat Jiaming tidak ada di samping, melalui pembunuhan semalaman ini, ledakan dahsyat itu, dan perkataan Kaoru, barulah Sasha tiba-tiba merasakan misteri dan kekuatan bayangan Jiaming yang tersembunyi dalam kegelapan, bahkan terasa agak tidak selaras dengan dunia nyata."
"Dalam keseharian adalah mahasiswa biasa, di depan mereka adalah pemuda perhatian, teman masa kecil yang baik, diam-diam justru mengajarkan berbagai hal kekerasan terkait pembunuhan——pisau, senjata, ledakan, bahkan pernah mengalahkan pembunuh terhebat di dunia. Perasaan ini terasa aneh. Tapi kalau diingat-ingat, dulu memaksanya belanja sayur, sementara kami sendiri main game dan nonton TV di rumah, mengejarnya dengan bantal di ranjang lalu menang telak——rasanya benar-benar luar biasa..."
"Dalam kontras perasaan, menahan rasa sakit di kaki, bibir Sasha tak kuasa menampakkan senyum tipis."
"Di saat yang sama, tubuh Kaoru di sampingnya tiba-tiba kaku. Sesaat kemudian, mendorong Sasha terjengkang ke semak di depan samping, di udara, berputar sambil mengayunkan tangan."
"Pergi!"
"Byur——"
"Puff——"
Dalam dentuman senjata, peluru menyentuh tubuhnya, mematahkan ranting pohon kecil di samping dengan ledakan keras. Sementara itu, belati yang melesat berubah menjadi kilau dingin berkedip, memaksa raksasa yang mengejar menyelip ke samping. Belati itu menancap dalam di batang pohon belakang.
Dentuman senjata terus bergema dalam kegelapan. Di antara siluet-siluet yang bergerak cepat, Kaoru berlari langsung menuju raksasa pengejar. Dengan kecepatan maksimal dia menghindari dua tembakan, menyambut pukulan berat berikutnya dengan kedua tangan terangkat. Sepuluh jarinya mekar seperti anggrek, langsung mencengkeram pergelangan tangan sang raksasa.
"Braak!" Di saat lengan mereka bersilangan, tubuh Kaoru terhenti mendadak. Badannya mulai berputar tak terkendali.
Dari dada hingga tenggorokan terasa manis yang menyiksa. Kepalanya dipenuhi sesak napas yang membuat pingsan. Dia benar-benar meremehkan kekuatan lawan. Meski kedua belah pihak sudah terluka, meski sudah melakukan teknik redam tenaga yang tepat, seharusnya dia tidak memilih untuk menahan langsung pukulan berat ini. Tubuhnya terpelanting berputar, secara bawah sadar dia mengayunkan tangan. Saat lawan memutar laras senjata, dia mencabut belati dari batang pohon belakang dan melakukan tebasan yang luar biasa mulus.
Percikan darah menyembur dari lengan tank yang memegang senjata. Pistol terlepas dari genggamannya. Di saat yang sama, lututnya menghantam perut gadis yang sudah kehilangan keseimbangan, menerbangkannya jauh.
Dari tembakan awal, serangan maju, penghindaran, pukulan berat, ayunan pisau, tendangan lutut, hingga tubuh gadis itu terlempar dan pistol jatuh—semua terjadi hanya dalam dua tiga detik. Tubuh Kaoru menghantam batang pohon lain tak jauh dengan keras, darah menyembur dari mulutnya. Tank hendak langsung menyerbu, namun Sasa sudah berlari maju dari samping.
Lengan kanannya terluka oleh sabetan pisau. Dengan tangan kiri, dia menangkis dua pukulan lurus yang meski lebih baik dari teman sebaya, tak mampu mengancamnya. Seketika, gadis itu mencabut ikat pinggang di pinggangnya tanpa ragu. Ring logam di ujungnya menyambar ke arah kepala mereka.
Dalam situasi normal, serangan seperti ini hanyalah bahan ejekan bagi Tank. Namun dalam kondisi terluka parah akibat ledakan, menghadapi Sasa yang paling ringan lukanya di antara trio ini, dia terpaksa mengelak dengan kikuk. Ujung ring ikat pinggang menyambar dahinya, menyisakan percikan darah sebelum melilit lengannya. Sasa berusaha menendang area sensitif di antara pahanya, tapi satu ayunan tinju marah Tank membuatnya terlempar jauh.
Pelipis terasa terbakar menyakitkan. Begitu tubuh Shasha mendarat, Kaoru di depan yang sedang muntah darah langsung melompat bangkit. Dengan batang pohon yang diambilnya, dia mengayunkan dengan keras. "Byur!" Batang pohon itu patah di tangan lawan. Memanfaatkan momen ini, Kaoru berbalik menarik Shasha dan berlari terhuyung masuk ke kegelapan di depan.
Mengejar beberapa langkah, tank berbalik kembali. Mengambil pistol yang terjatuh, barulah dia kembali membuntuti...
## Bagian Dua Ratus Empat Belas: Karnaval Berwarna Darah (Tujuh)
Lampu di lorong berkedip tak menentu. Bersama belasan teman sekelas yang berlari pontang-panting, Dongfang Lu menuju belakang aula besar.
Dada terasa bergejolak oleh rasa sakit yang tak tertahankan. Pukulan dari Tak Terhitung Dewa-Dewa tadi membuat tulang-tulangku terasa patah sampai sekarang. Dulu kukira dengan bakat dan kerja keras, setelah berlatih sekian lama aku tak akan terlalu buruk. Tapi kini jelas, para pembunuh atau prajurit papan atas dunia ini benar-benar mengerikan.
Dari situ aku teringat pada pemuda yang bahkan lebih muda setahun dariku. Menurut investigasi [], ini benar-benar remaja biasa: yatim piatu yang bertahan hidup dengan bergantung pada keluarga Huang, sehingga mengembangkan karakter rendah hati namun angkuh. Riwayat hidupnya transparan dan sederhana, sulit dibayangkan bagaimana dia memperoleh kekuatan sehebat itu. Memaksa mundur Yoritomo Taku, membunuh Da Nei Zhangdu - setiap kali mengingat aksinya, rasa ngeri langsung menyergap.
Mengingat serangkaian peristiwa sejak aku menyukai Ye Lingjing, tak kuasa aku menggelengkan kepala dengan senyum getir. Kini kusadari, nyawaku sudah berkali-kali di ujung tanduk.
Dalam chaos saat bergerak maju, gadis di sampingku masih riuh bercerita tentang petualangan sebelumnya dengan Dongfang Wan. Saat melewati persimpangan, gemparan terdengar dari jalan samping - beberapa siswa yang mencoba kabur malah bertemu tentara bayaran dan dipaksa mundur. Sisa pasukan musuh itu memang tak sempat mengendalikan pelarian siswa, tapi jika ada yang nekat mendekat, mereka pasti tak akan berpura-pura tidak melihat.
"Di sana... ada orang membawa senjata, menembak ke arah kita..."
"Pintu depan juga dijaga..."
"Cepat, lewat sini..."
Semua orang menekan suara mereka dengan penuh ketakutan, bisikan dan geraman bergabung menjadi riuh rendah yang aneh. Para perempuan sudah menangis ketakutan, banyak yang bahkan gemetar hingga tak bisa berlari jauh dan kehilangan keberanian serta tenaga untuk terus melarikan diri. Para baron juga tak jauh lebih baik, sosok-sosok hilir mudik. Tiba-tiba, dentuman senapan serbu menggema di depan, percikan api menyambar langit-langit koridor, debu beton berjatuhan sementara di tikungan koridor jauh seseorang berteriak kasar dengan bahasa China yang kaku: "Pulang!"
Jeritan dan teriakan kaget tiba-tiba kembali pecah, lebih dari sepuluh orang di depan berlarian mundur. Perempuan di samping Dongfang Lu menarik tangan pria itu dengan kuat, berbalik ingin kabur. Namun Dongfang Lu justru melepaskan genggaman gadis itu, berlari beberapa langkah cepat dan menerobos masuk ke sebuah kamar di depan.
Kerumunan yang menjerit-jerit mengalir seperti banjir ke belakang. Gadis yang diam-diam mencintainya itu memanggil sambil menangis beberapa kali, seolah ingin menyusul. Tapi hatinya akhirnya takut juga, mengalirkan air mata sambil berbalik mengikuti kerumunan yang kabur.
Dentuman senjata semakin mendekat dari depan, menggiring para mahasiswa kembali ke aula. Dongfang Lu menutup pintu, menarik tirai jendela, berencana menunggu orang itu lewat dulu. Tapi setelah berpikir, ia merasa mekanisme pengaman ini kurang memadai. Setelah ragu sejenak, ia menginjak sebuah meja di kamar itu, menahan rasa sakit di dada, lalu memanjat masuk ke saluran ventilasi di atas kamar.
Di dalam pipa itu, setelah merangkak lebih dari 20 meter dan berbelok di ujung, dia menghitung jarak dalam hati lalu membuka jeruji ventilasi ketiga yang dilewati. Di bawahnya samar terlihat ruang penyimpanan berbagai kostum. Gaun putri, pakaian pangeran, boneka besar Black Cat Sheriff, kostum Beruang Abu-abu, dan kostum kelinci berantakan di dalam ruangan. Tak tahu kostum mana yang dipakai Dongfang Wan. Begitu memanggil "Xiao Wan", pintu gerbang langsung ditendang hingga berbunyi Byur! Dia cepat menutup jeruji ventilasi itu. Seorang tentara bayaran membawa senapan serbu masuk dengan hati-hati, jelas teriakan Dongfang Lu tadi terdengar olehnya.
Dari celah jeruji masih terlihat situasi bawah. Tentara bayaran itu mengamati keadaan ruangan dengan waspada, memandangi boneka-boneka yang berantakan, lalu pandangannya tertarik pada sesuatu di sisi ruangan. Dongfang Lu mengikuti arah pandang itu dan melihat jendela kaca di sisi atas ruang telah pecah berantakan. Tumpukan barang berserakan di sudut bawah dengan bekas injakan, jelas ada yang menginjaknya.
Mungkinkah... adik perempuan sudah kabur dari sini...
Di hati sedang berpikir demikian, tentara bayaran yang hendak melihat tumpukan barang lebih dekat tak sengaja menginjak cakar beruang abu-abu di lantai. Seketika, cakar satunya bergerak jelas. Merasa ada yang tak beres, saat membalikkan laras senjata, Dongfang Lu mendorong jeruji ventilasi dan terjun terkapar!
"Lari cepat——"
Byur——
Braak——
Bayangan Hitam menerjang ke bawah. Seketika, sosok itu menubruk tentara bayaran ke dinding belakang sambil memeluk erat. Beruang abu-abu melompat dengan kelincahan tak terduga, berlari panik keluar gerbang.
Meski tak sebanding dengan para dewa, perbedaan kemampuan Dongfang Lu dengan tentara bayaran ini tak terlalu jauh. Dengan perhitungan matang, tentara bayaran itu terhuyung-huyung dalam hitungan detik. Dongfang Lu yang tak terluka parah segera menyusul beruang keluar kamar.
Bahkan tentara bayaran yang masih di dalam tak menyadari - kelinci putih di lantai mulai bergerak. Tapi Dongfang Lu sudah berlari mempertaruhkan nyawa. Tentara bayaran mengumpat kasar lalu mengejar. Kelinci putih bangkit, mengejar sambil "puff-puff", namun di gerbang hanya melihat punggung pengejar yang mengamuk. Dalam kegelapan, suara tangisan Dongfang Wan terdengar dari dalam kelinci: "Kakak..."
"Di sisi lain, terdengar keributan lagi. Kelinci Putih besar berlari dengan suara 'puff-puff' kembali ke tempatnya tadi pura-pura mati, mengubah posisi tubuhnya menjadi gaya aneh, lalu diam membeku..."
Dongfang Lu dan Beruang Abu-abu tidak bisa lari terlalu jauh.
Saat melewati sebuah pilar di sisi lorong, gagang senjata yang tiba-tiba diayunkan dari balik pilar menghantamnya dengan suara 'byur!' hingga roboh ke tanah. Kemudian orang itu mengarahkan senapan serbu ke Beruang Abu-abu besar di sebelahnya. Tak lama, tentara bayaran yang baru saja ditubruknya juga datang sambil mengangkat senjata hendak menarik picu, tapi dihentikan oleh perkataan tentara bayaran yang menghalangi Dongfang Lu.
Meludahkan darah, separuh wajah Dongfang Lu sudah bengkak. Beruang besar itu berdiri dengan tangan terangkat, paha pendeknya gemetaran. Dua tentara bayaran berbincang dalam bahasa Thailand sebentar, lalu salah satunya berkata dalam bahasa China: "Kau manusia apa? Bicara!"
"Tolong... bebaskan dia. Aku bisa minta keluargaku membayar uang tebusan. Aku bisa jadi sandera kalian..." Bangkit dari tanah, Dongfang Lu bersandar di dinding. Ia tahu kemampuan bahasa China tentara bayaran ini tidak bagus, sehingga beralih ke bahasa Inggris fasih. Kedua tentara bayaran itu saling memandang, lalu juga beralih ke bahasa Inggris: "Who are you?"
"Tolong bebaskan dia... Ng—" Kalimatnya terpotong oleh pukulan keras di perutnya, membuat torso-nya melengkung kesakitan.
"Aku benci orang yang ngelantur di depanku! SIAPA KAU? BICARA!"
“Aku adalah... pewaris keluarga Dongfang di Kota Jianghai, aku bisa membuat keluargaku membayar tebusan untuk kalian... kalian lepaskan dia...”
Tentara bayaran datang ke Jianghai hanya untuk uang. Keluarga Dongfang sebagai kekuatan paling berpengaruh di Kota Jianghai, tentu sebelumnya telah mereka selidiki. Sandera tidak bergantung pada jumlah, yang penting adalah menangkap sandera yang cukup untuk memastikan uang masuk. Mendengar identitas ini, wajah tentara bayaran itu mulai melunak. Namun salah seorang di antaranya tertawa dingin: "Kami sudah menangkapmu..."
“Kalian tidak...” Dengan gerakan cepat, saat Dongfang Lu berdiri tegak, tangan kirinya sudah mencengkeram belati yang kini menempel di dadanya. “Tak ada yang mau membayar untuk mayat. Ambil uang dengan damai. Cukup aku sendiri sebagai sandera. Atau kalian bisa memilih memiliki sekelompok musuh yang takkan berhenti hingga mati... Putuskan sekarang...”
“Lepaskan pisau!” Tentara bayaran yang tadi menghadangnya berkata dengan suara berat.
“Dia adalah orang terpenting bagiku.” Melihat Beruang Abu-abu itu, Dongfang Lu melanjutkan, “Jika dia rela mati untukku, aku pun rela mati untuknya. Jangan ragukan tekadku...”
“Kubilang lepaskan pisau!” Tentara bayaran itu menaikkan volume suaranya.
“……”
“Tai anjing...” Tentara bayaran itu tiba-tiba mengarahkan laras senjatanya ke Beruang Abu-abu besar, lalu meraih dan melemparkan kepala boneka besar itu. Dalam sekejap, Dongfang Lu dan kedua tentara bayaran itu membeku.
Di bawah penutup kepala, terlihat jelas wajah gemuk Fu Yanjie yang pucat seperti hati babi, berlumuran darah kering dan keringat. Dua tentara bayaran membandingkan wajah tampan Dongfang Lu yang baru saja dipukul dengan kepala babi jorok ini, lama terdiam. Dongfang Lu berkedip, belati jatuh berdentang ke tanah. Mereka saling melotot, "Ini... itu..."
"Aku... jangan, hentikan..." Pria gemuk itu menggigil melihat laras senjata mengarah padanya. Tak paham bahasa Inggris yang digunakan trio ini, ia terus mengulang frasa asing yang diketahuinya dengan suara parau: "No... Don't... Ya, yamete..."
"Orang paling penting bagimu... Sial! Tai anjing..." Dalam bahasa Inggris, kata ganti laki-laki dan perempuan berbeda. Tentara bayaran itu sangat menekankan kata "dia (perempuan)" yang diucapkan Dongfang Lu. Seorang tentara menyodokkan laras senjata ke dahi Dongfang Lu, menarik pelatuk dengan kasar sambil berteriak marah: "Aku benci kalian lesbian..."
……
"Pergi——"
Dentuman senjata menggema. Tubuh Kaoru terguling ke tanah. Di sisi lain, Sha Sha yang ditendang jatuh berusaha bangkit sambil memegang pinggangnya yang sakit. Matanya merah menatap raksasa di kejauhan.
"Pergilah..."
Yang terdengar lagi adalah suara Kaoru yang agak kaku dan tak berdaya. Lengannya tertembak satu peluru, perutnya juga tertembak. Saat ini seluruh tubuhnya dipenuhi darah, hampir tak ada kekuatan lagi untuk bangkit. Melihatnya bergulat di tanah, Suara gesekan mengusap air mata di wajah sambil menggigit gigi berkata: "Aku tidak pergi..."
"Bisa kabur?"
Laras senjata mengarah ke gadis yang sedang bergulat di tanah. Tank tersenyum, kondisi fisiknya sekarang sama memprihatinkannya - lengan berdarah, luka ledakan di sekujur tubuh, kepala dan wajah penuh bekas darah. Namun secara internal, cedera tidak separah penampilan luarnya. Akhirnya ia berhasil menangkap kedua gadis ini.
Jika berhadapan dengan TULIP, harus ada sandera yang disisakan. Setelah pengejaran panjang, ia tahu kekuatan Suara gesekan tidak berarti. Sebagai sandera lebih ideal. Untuk sementara ia tak ingin melukai Suara gesekan. Sedangkan Tsukike Kaoru yang belajar dari TULIP - mulai dari bom, serangan pisau, hingga perlawanan sepanjang perjalanan semuanya diatur olehnya. Target yang sangat berbahaya. Ia tak berniat membiarkannya hidup, setidaknya harus membuatnya terluka parah di sini.
"Akan kuperlakukan dengan baik, Nona Tsukike Kaoru." Katanya sambil tersenyum, mengeja setiap suku kata.
Suara gesekan di samping berteriak: "Jauhkan dirimu darinya--"
Tiba-tiba mengalihkan laras senjata, Byur! Peluru melintas di dekat telinga Sasha, helai rambutnya beterbangan. Sasha secara bawah sadar menundukkan lehernya, terlihat seperti membeku ketakutan. Tank tersenyum: "Mau MATI ya? Kau!" Laras senjata kembali diarahkan ke Kaoru yang sedang bergumul di tanah.
"Kusuruh kau menjauh darinya!" Detik berikutnya Sasha kembali berteriak. Tank memiringkan kepala: "Bagaimana kalau kubilang tidak?" Dor! Peluru menembus lengan kanan Kaoru. Gadis yang baru setengah bangun itu terjatuh, tangan kanannya gemetar menutupi luka di perutnya, napasnya tersengal-sengal, tak mampu lagi bangkit.
"Cepat pergi..."
Suasana sepi melingkupi, suara lemah itu baru bergema di tengah kosong itu, bergema. Di udara tergambar senyum Tank, napas Kaoru, dan tatapan mata Sasha yang membelalak dengan bibir menganga. Tiba-tiba ia menutup mata dan menjerit sekuat tenaga: "Aaaaaaaaa——"
"Heh, kau..." Tank hendak bicara tapi terhenti. Sasha mengangkat mata kemerahan, tangan menggenggam granat tangan yang semula disimpan di pangkuannya, berjalan pincang namun mantap mendekatinya.
"Sudah kukatakan... menjauhlah darinya. Sekarang kita akan MATI di sini..." Ia menghirup ingus, wajah basah oleh air mata, "Kita akan MATI di sini..."
Jarak antara mereka hanya sekitar 2 meter. Jika Shasha menarik pin granat tangan, sulit baginya melarikan diri. Semua orang benar-benar akan MATI di sini. Jika dia ragu, mungkin masih bisa dihindari. Tapi... Dia tidak percaya orang tanpa pelatihan berani meledakkan bom di tangannya sendiri. Perempuan ini... Pikiran itu melintas sekejap di pikiran. Shasha langsung membuka pin granat tangan dan berlari ke arahnya.
"Sial..."
Tubuhnya melesat mundur sambil mengarahkan laras senjata. Secara bersamaan, Bayangan Hitam menyelip di antara mereka. Shasha langsung masuk ke pangkuan orang itu, tangannya tiba-tiba direbut. Dari belakang, terlihat seperti mereka berpelukan.
Tembakan. Tank mengenai Bayangan Hitam yang muncul tiba-tiba dengan akurasi sempurna saat mundur cepat. Namun kedua siluet itu tiba-tiba membeku, berpelukan diam tak bergerak. Perubahan dari gerak ke diam terjadi seketika, tapi terasa seperti selang waktu yang sangat lama...
## Bagian Dua Ratus Lima Belas Karnaval Berdarah (Delapan)
"Jangan takut, jangan bergerak..."
Dalam kegelapan, dia melihat sepasang mata familiar yang terkubur dalam jubah abu-abu hitam, menyunggingkan senyum permintaan maaf dan ketenangan untuknya.
Kedua tangan saat ini telah diremas erat olehnya. Granat tangan yang dicengkeram tangan kiri sudah menarik ring pengaman. Sedikit saja getaran besar pada mekanisme pengaman mungkin akan menyebabkan ledakan. Ring itu terpasang di jari telunjuk tangan kirinya, sementara kelima jarinya sekarang diremas oleh tangan Jiaming. Selama bertahun-tahun, dia belum pernah merasakan keteguhan dan keandalan tangan ini seperti saat ini...
Matanya perih saat bertatapan dengan pandangan mereka. Dia tidak ingin MATI, juga takut MATI. Baru saja menarik granat tangan, rasa takut tiba-tiba menyergap bersama kepedihan. Benda mengerikan yang dingin dan siap meledak setiap saat, yang akan menghancurkan dirinya dan orang lain menjadi serpihan daging, kini berada di genggamannya. Pandangannya menembus jubah, di seberang, laras senjata pria bertubuh besar masih mengarah ke sini, siap menembakkan peluru kedua.
Bayangan Kaoru tiba-tiba menerjang.
"Byur——" Peluru melesat menerobos malam. Gadis yang terluka parah itu menggigit lengan musuh dengan keras. Pistol jatuh ke tanah, lalu ditendang jauh oleh lutut gadis itu. Gerakannya meski terlihat kikuk, tapi dieksekusi dengan akurasi sempurna.
Dari posisi Sha Sha, terlihat jelas pemandangan lawan mengangkat senjata, pemandangan Kaoru yang berlumuran darah terlempar lagi. Namun Jiaming yang membelakangi mereka seolah tak peduli dengan segalanya, fokus memindahkan ring granat ke arah granat tangan dengan gerakan lambat dan mantap tanpa getaran. Setelah melemparkan Kaoru ke samping, Tank tanpa ragu langsung menyerang ke sini, mengumpulkan seluruh kekuatan untuk menghantam tengkuk Jiaming dengan pukulan dahsyat.
Tak ada ruang untuk menghindar. Tengkuknya terkena pukulan keras, bayangan itu terhuyung. Seketika, pukulan lain datang dari arah berlawanan diikuti serangan kaki gila dan tendangan lutut yang menyambar seperti bayangan.
Dari kejauhan, tubuh Tank yang setinggi lebih dari 2 meter menghadapi lawan 40 cm lebih pendek. Serangan penuh kekuatannya dalam hitungan detik terlihat seperti memukul boneka pasir tak berdaya. Desingan angin dari pukulan dahsyatnya dan suara pukulan mengenaskan. Sha Sha menitikkan air mata menyaksikan tubuh yang dikenalnya baik terhuyung-huyung, darah akhirnya mengalir dari mulutnya. Tapi senyum tenang tetap tergambar, hanya kedua tangan yang terulur tak goyah sedikitpun.
Dalam beberapa detik, suara "prak-prak byur" bergema bagai badai seiring goyangan bayangan. Namun seiring bunyi "krek" ringan, ring pengaman kembali dimasukkan ke dalam granat tangan. Kali ini, dengan darah mengalir di bibir, Jiaming akhirnya menarik senyum tipis yang jelas.
Dengan suara "byur", sesaat kemudian tubuh kekar melebihi 2 meter itu terlempar ke belakang...
……
"Sebenarnya apa yang kau lawan? Aku baru sadar betapa lemahnya kau... Tank kecil polos dengan meriam imut..." Mengusap darah yang mengalir di sudut bibir, Jiaming tersenyum datar. Ekspresinya yang tersembunyi di balik jubah masih samar. Di seberangnya, Tank telah bangkit, meludahkan gigi putus sambil bersiap siaga.
Dengan acuh Jiaming menunduk, memeriksa granat yang tadi hampir meledak: "Jika benar kau datang dengan pencerahan, tadi seharusnya kau serang tanganku dulu. Ingin pamer setelah dapat keuntungan... Membuktikan kau masih tak berdaya, tetap tak bisa meraih apapun yang kau inginkan... Seperti bertahun lalu, nomor gadis itu... 1368?"
"Kau memang pengkhianat Pei Luo Jia..."
"Mungkin begitu, tapi tidak seperti yang kau kira." Senyum tipis mengembang, "Bertahun lalu saat kau dilatih di Jepang, ada gadis yang bersama-mu. Kalian merencanakan kabur dari Pei Luo Jia, tapi dia menipumu. Dalam ujian berikutnya, dia ingin membunuhmu, tapi akhirnya justru kau yang membunuhnya. Karena kemampuan bertarungmu cukup baik, dan atasan sedang dalam mood bagus, mereka hanya memindahkanmu ke Divisi Asia. Ini lelucon populer di internal Pei Luo Jia. Kenapa lagi kau dijuluki tank kecil yang polos?"
Langkah demi langkah mendekatinya. Baru saat ini Tank benar-benar melihat wajah di balik jubah itu. Saat terkeung, Jiaming mengeluarkan pistol dan melemparkannya ke tanah: "Karena kau benar-benar ingin bertarung, dan sudah tak punya senjata, kuberi kesempatan duel jujur." Ia menunjuk ke dinding luar tak jauh: "Kita ke sana."
"Jia... Jiaming..." Shasha mengejar beberapa langkah, lalu melihat Jiaming menoleh dengan senyum: "Tenanglah."
……
Duel ini tak berlangsung lama. Dentuman keras terdengar dari balik tembok diikuti rentetan ledakan senapan mesin. Hanya sekitar satu menit, Jiaming muncul sambil mengusap tangan. Shasha sedang hati-hati menopang torso Kaoru yang berlumuran darah, kehabisan akal menghadapi situasi ini.
"Biarkan aku."
Berjalan mendekati keduanya, Jiaming berbisik pelan. Satu tangan mengangkat paha Kaoru, tangan lain merangkul tubuh bagian atasnya yang penuh darah dengan nyaman: "Kau melakukan dengan baik." Katanya lembut.
Badan lemahnya yang halus bagai tak bertulang merosot di pangkuan Jiaming. Mendengar kalimat itu, mata Kaoru menatapnya dengan keraguan apakah ia salah dengar. Ekspresi kebingungan di balik kelemahan itu merekah di wajah mungilnya yang masih terlihat anggun meski berlumuran darah, memancarkan pesan memikat. Beberapa saat kemudian, senyuman samar akhirnya mengembang, menyiratkan kelegaan dan keredaan yang jelas di tengah kondisi tak berdaya. Dengan susah payah ia menggeser tubuhnya mendekatkan dada ke dada Jiaming, pipinya seakan tak sengaja menempel di sana. Mungkin hanya di momen seperti inilah ia bisa sedikit lebih leluasa mendekat...
Namun, aksi licik kecil itu jelas membuat mereka tak nyaman.
"Hei, kalau sudah terluka jangan banyak bergerak,"
"Kau...Kau memeluknya seperti ini tentu tak nyaman! Dia kena tiga peluru, darahnya segini banyak, masih juga kau bilang..." Suara Sha Sha terdengar tersedu-sedu sambil kebingungan mengitari Kaoru, "Peluk yang benar dong!"
"Hah? Tapi...selama ini aku selalu memeluk orang seperti ini, kan kau juga tahu..."
“Tapi lukanya parah sekali…” Di tengah kegaduhan berdesir, Jiaming berusaha sebaik mungkin menyesuaikan posisi Kaoru di pangkuannya. Dari kejauhan, dentuman senjata tiba-tiba makin menjadi-jadi, mungkin pasukan [] akhirnya mulai bentrok dengan tentara bayaran untuk menyelamatkan sandera. Tapi ini bukan bidang keahliannya. Alasan dia bisa masuk sembarangan begini ya karena tak peduli dengan nyawa sandera. Selanjutnya, hanya satu hal yang terkait dengannya...
“Ah, Jiaming...” Setelah berjalan cukup jauh, Shasha menoleh bingung, “Bukannya kau bilang mau duel dengan orang itu? Kok bisa cepat sekali...”
“Hmm, mungkin karena dia terlalu payah...”
……
Saat peluru merobek dadanya, seluruh dunia terasa membeku. Seolah semua dingin di bumi terkumpul di satu titik.
Dia terbaring tak bergerak. Pandangan terakhirnya hanya menatap kegelapan langit malam. Darah mengalir keluar dari pembuluh, membanjiri paru-paru, kerongkongan, lambung... Inilah detik terakhir hidupnya. Dulu pernah dengar, momen ini bisa terasa singkat sekaligus panjang - seolah satu detik mampu mengkristalkan seluruh hidup manusia. Tiba-tiba dia teringat kejadian bertahun silam.
“Yang berkode 1368, gadis yang pernah memberikan segalanya padanya. Mereka pernah merencanakan kebebasan, mimpi kekanak-kanakan yang terlalu naif. Rencana kekanak-kanakan itu tidak mungkin terwujud. Saat akhirnya menyadari fakta ini, untuk menutupi perbuatannya, dia melaporkan pada pelatih, kemudian... membunuhnya...”
Dia bertahan hidup karena itu. Setelah gadis itu MATI, kisah tentang pelarian dan pengkhianatan berubah menjadi versi cerita berbeda yang beredar di Pei Luo Jia sebagai bahan ejekan. Tapi bagaimanapun, tank kecil yang polos tetap lebih enak didengar daripada tank pengecut pengkhianat. Sejak itu dia tak pernah menjalin kontak dengan wanita mana pun – pria juga tidak – Saat mengkhianati keputusan pimpinan Pei Luo Jia karena dorongan Tak terhitung dewa-dewa, seolah ada kelegaan di hatinya, seakan bisa melepaskan segalanya yang pernah ada. Tapi dia benar, dirinya masih belum mencapai pencerahan. Seharusnya dia meledakkan granat tangan itu seketika, berapa pun tahun berlalu, dirinya tetap pria pengecut yang tak bisa mengambil tekad di saat genting...
“Meski kau takut tak masalah, karena aku akan membawa kabur bersamamu...”
Maaf...
“Kenapa bisa diketahui... Ayo cepat pergi... Hanya kita berdua...”
Maaf...
“Jika aku MATI... Maukah kau tetap hidup dengan baik...”
Maaf...
Segalanya segalanya, berubah menjadi kilasan terakhir ironi di mata. Ironi itu mungkin seperti ketika dia ingin duel jujur tadi, namun mereka dengan santai mengeluarkan senapan serbu mini saat dia berlari maju. Mungkin seperti inilah ekspresinya dulu saat menghadapi senapan serbu miliknya sendiri - pertama terkejut, lalu tersadar...
Angin malam berhembus, dalam rintihan, dentuman senjata di kejauhan terdengar samar-samar.
Lewat sepuluh menit kemudian, sosok berpakaian jaket motif bunga tiba-tiba muncul di sini. Ekspresi Tak terhitung dewa-dewa terlihat sedikit kesepian. Operasi ini sendiri memang petualangan berisiko dengan peluang 50-50. Situasi sekarang ini bisa dibilang nasib sial, tapi sudah diperkirakan sebelumnya. Adapun tentara bayaran yang datang demi uang... Mereka rekan yang dibawa Tank dkk, bukan orang yang diakuinya. Kalau dari awal hanya beberapa orang yang datang, mungkin lebih mudah menangkap sandera. Tentu, sekarang memikirkan hal itu sudah tak ada gunanya.
Membungkuk memeriksa mayat kawan, saat berjongkok tiba-tiba perasaan aneh menyergap. Kedua paha yang setengah jongkok mendorong tubuhnya melesat menyusur tanah.
Dentuman senapan patah menggema, peluru mengejar Tak terhitung dewa-dewa yang berlari kencang, menghamburkan serpihan batu dari tembok yang hancur. Sambil menembak balik, dia menoleh dan melihat bayangan berjubah kelabu-hitam seperti hantu yang sedang mengejar cepat di tepi hutan kecil.
Akhirnya keluar...
Dengan merujuk operasi-operasi sebelumnya TULIP, memahami bahwa orang ini pada dasarnya memiliki karakter pendendam, maka Tak terhitung dewa-dewa，menemukan pintunya meski langsung kembali ke Jepang, mereka pasti akan mengejar. Dalam situasi ini akhirnya menampakkan diri, sekarang ditekan oleh perhatiannya, untuk sesaat wajahnya menampakkan senyum neurotik, tiba-tiba melompat masuk ke deretan panjang rumah petak satu lapisan di depan.
Itu adalah rumah tua di kampus dari zaman dulu, dengan lorong panjang di tengah dan ruang privat di kedua sisi. Begitu dia masuk, mereka langsung mengejar. Melihat pintu keluar di ujung terowongan terkunci dengan dua daun pintu besi, Tak terhitung dewa-dewa mengutuk dalam hati, saat menoleh melihat mereka langsung menggendong peluncur roket di bahu.
Byur! Dia menghancurkan pintu ruang privat di samping, diikuti ledakan keras Braak! Api dan gelombang kejut menyedot masuk, Tak terhitung dewa-dewa menghancurkan jendela dan kabur keluar.
Menukik melewati dua jendela, bayangan-bayangan hitam keabuan muncul di sudut rumah seberang. Sebelum sempat menembak, Tak terhitung dewa-dewa kembali menghancurkan jendela dan menerobos masuk.
Berlari kembali melalui terowongan yang dipenuhi api, menurut perhitungan saat mencapai pintu gerbang akan bertemu TULIP yang datang dari sana. Dengan sudut itu, bisa mengurangi posisi inferior dalam perhatian saat ini. Tapi sebelum mencapai pintu, terdengar suara kaca hancur berkeping, tiba-tiba berbalik menendang pintu kamar di samping. Secara bersamaan, mereka juga datang menerjang dari sana.
## Byur! Suara ledakan dahsyat, pintu kamar papan kayu tua itu menanggung pukulan berat dari kedua sisi yang datang secara bersamaan, tiba-tiba berubah menjadi serpihan kayu yang memenuhi langit.
Bayangan Hitam melesat bagai tembakan meriam. Tendangan samping berputar Tak terhitung dewa-dewa ini memiliki daya hancur mengerikan, menghantam pintu kayu sekaligus berbenturan darah penghabisan dengan pria berjubah abu-abu yang menerjang dari belakang. Namun yang ia rasakan justru seperti menendang ikan licin - tenaganya tiba-tiba melesat. Sesaat kemudian, tubuh keduanya terbang bersamaan.
Ini adalah benturan murni yang sangat klasik.
Braak! Tubuh mereka menembus pintu kamar di seberang koridor. Saat melayang di udara, Tak terhitung dewa-dewa tiba-tiba merasakan tangan lawan mencengkeram kerah bajunya. Dengan gerakan tangan bersilangan memutar dan melepaskan, tubuh lawannya terpaksa berguling di udara. Namun sebelum mendarat, kedua tangan lawan itu sudah menempel di bahunya.
Braak-Byur-Roboh! Tubuh mereka terbang sejauh lima hingga enam meter. Ranjang kayu dan lemari pakaian di kamar hancur menjadi bagian tubuh. Saat tubuh mereka jatuh di sudut dinding, Tak terhitung dewa-dewa membentangkan tangan dan melepaskan cengkeraman di bahunya. Tapi yang menyusul adalah sundulan kepala lawan. Dengan tergesa-gesa ia menahan dengan siku, disusul serangan badai pukulan berat tak terhitung.
## Bagian Dua Ratus Enam Belas: Karnaval Berwarna Darah (9)
Hanya dalam dua tiga detik, suara Braak Braak Braak Braak Braak Braak Braak bergema di sudut ruangan. Sebagian menghantam lantai, sebagian mengenai rangka ranjang dan papan kayu yang hancur, sementara yang lain menghantam musuh dengan tepat. Tiba-tiba, bersama desing angin Braak, seluruh ruangan seolah dilanda badai. Udara menyusut lalu mengembang. Tak terhitung dewa-dewa menendang si jubah abu-abu hingga terbentur dinding seberang. Serpihan kayu dan fragmen berbagai barang beterbangan di seluruh ruang, kaca di belakang langsung meledak menjadi serbuk beterbangan.
Seperti bom yang meledak di ruangan, kekuatan alam ini akan membuat manusia biasa tertegun. Tapi kedua orang di ruangan itu tak ragu. Tak terhitung dewa-dewa mengeluarkan dua pistol, sementara Jiaming langsung mengangkat senapan patah dari balik jubah abu-abu. Mereka melompat ke arah berbeda di udara yang hanya berjarak 3-4 meter, jari menarik pelatuk.
Byur——
Serpihan kayu dan barang-barang tak terhitung masih beterbangan di ruangan karena angin. Di kedua dinding, batu dan puing meledak. Tubuh Jiaming menerobos jendela, sementara Tak terhitung dewa-dewa menggelinding keluar pintu. Bangkit dari tanah, mereka berlari cepat ke arah yang sama mengitari kamar. Peluru menyambar dari jendela dan pintu, dinding kamar mengelupas dan beterbangan dalam potongan besar...
“Akhirnya mau muncul juga!” Kobaran api berkedip-kedip, serpihan batu beterbangan, sambil terus menembak, Tak terhitung dewa-dewa tertawa terbahak-bahak.
……
Ditemani dentuman tembakan yang masih terdengar dari kejauhan, barisan polisi memasuki Akademi Hati Kudus. Dengan jalan utama kampus sebagai poros, mereka menyisir area sekitarnya. Di bawah pengawalan ketat, para mahasiswa yang diselamatkan meninggalkan area pengajaran. Korban luka segera dievakuasi dengan mobil, disusul kemudian oleh para pria-wanita yang masih memucat atau histeris menangis. Operasi penyelamatan [] yang tepat waktu membuahkan hasil sesuai harapan, meski tetap ada insiden tak terduga dan korban jiwa - toh karakter figuran tak punya hak asasi, jadi tak perlu dibahas.
Para tentara bayaran yang menerobos masuk ini banyak yang MATI di tangan Jiaming akibat ledakan dan berbagai insiden sebelumnya. Sebagian masih berusaha kabur. Memanfaatkan kondisi geografis kompleks Akademi Hati Kudus, mereka melakukan perlawanan sambil bersiap menyebar keluar kampus. Tugas polisi dan [] saat ini adalah mencegah kerusuhan meluas ke kota.
Di luar kampus, para orang tua yang khawatir akan keselamatan anak-anak mereka masih menunggu dengan cemas. Karena masih ada bahaya di dalam sekolah, mereka hanya bisa menunggu di sini untuk anak-anak keluar. Keluarga berpengaruh membawa banyak pengawal, sementara bos mafia seperti Liu Zheng memobilisasi semua anggota yang bisa dikerahkan - selama ini mereka juga menyapa dengan ramah beberapa tokoh dari dunia bawah tanah yang pernah memiliki konflik sebelumnya. Orang-orang ini juga memiliki anak yang bersekolah di sana. Karena para tokoh ini, kini ada ribuan orang yang berjaga di berbagai area sekitar Akademi Shengxin yang mungkin menjadi titik pelarian. Beberapa pengawal bahkan membawa senjata, sementara kebanyakan adalah preman biasa dari geng kriminal yang membawa kapak tebangan, rantai besi, bahkan ada yang membawa senapan buruan buatan sendiri dengan kilau jahat di mata, bersembunyi di tempat terselubung siap membunuh siapa pun yang mencurigakan keluar dari sekolah. Pasalnya, seluruh dunia bawah tanah Kota Jianghai telah mengeluarkan hadiah - 500.000 untuk setiap nyawa yang berhasil diambil.
Mempertimbangkan situasi saat ini dan luasnya area Akademi Shengxin, pihak kepolisian tidak memberikan kesulitan kepada orang-orang ini. Faktanya, beberapa polisi justru bersemangat ingin mendapatkan hadiah dari dunia bawah tanah. Konon kemudian seorang polisi membunuh tentara bayaran dalam perang besar-besaran karena menembak sembarangan. Setelah informasi internal kantor polisi bocor, bahkan sebelum sempat mengklaim hadiah, Liu Zheng dkk sudah datang langsung membawa cek untuk berterima kasih. Tentu saja, ini adalah kisah lanjutan yang tidak akan dibahas lebih jauh.
Tapi, meski bersikap membiarkan soal ini, kepala kepolisian juga menemui Liu Zheng dan kawan-kawannya sekali, berkata kalian bawa pisau dan tongkat masih bisa dimaklumi, bisakah senapan burung dikembalikan, jangan terlalu mencolok, lihatlah para pengawal itu begitu profesional, sama sekali tak terlihat membawa apa-apa... Melihat orang-orang berjas yang tangan kanannya selalu siap di dalam baju, berpenampilan seperti prajurit masa depan, para bos baru menyuruh bawahan mencari kantong panjang untuk tongkat golf atau pancing, agar anak buah menyimpan senapan burung di dalamnya.
Seiring keluarnya korban luka pertama, setelah ada yang memberitahu wartawan bahwa situasi telah terkendali, di luar sekolah langsung terjadi gelombang emosi massa. Orang tua yang anaknya belum keluar ingin masuk, kebanyakan adalah tokoh-tokoh berpengaruh dengan latar belakang keluarga kuat. Mereka berkata pada polisi yang menghalangi: "Saya presiden direktur Grup Xiangdong, teman baik wakil kepala dinas kalian..."
"Kalau ada masalah saya yang bertanggung jawab, tidakkah kau lihat orang-orang di belakangku ini? Mereka semua veteran yang kembali dari Perang Vietnam, berpengalaman ratusan pertempuran..."
"Kalau sudah aman biarkan aku masuk, saya peringatkan kamu... Saya ingin bicara langsung dengan Kepala Dinas Hao kalian..."
“Hanya mendapatkan tingkat kendali tertentu, tentu masih ada masalah. Mungkin karena memimpin dari depan, atau mungkin sudah mengantisipasi masalah ini sebelumnya, Kepala Dinas Hao saat ini sudah berada di dalam kampus, mengkoordinasikan personel polisi dan tenaga kerja, mengatur penyelamatan dan evakuasi. Di tengah kekacauan, seseorang datang memberitahu sesuatu, dia segera menoleh ke sisi plaza kecil. Terlihat pria tampan bernama Ye Lian diikuti Dongfang Lu yang wajahnya babak belur, di belakangnya mengejutkan ada seekor kelinci dan beruang. Yang memakai kostum kelinci adalah adik perempuan Dongfang Lu yaitu Dongfang Wan, sedangkan pria gemuk berwajah jorok yang memakai kostum beruang itu tidak dikenalnya.”
“Terima kasih, Ketua Kelompok Ye. Xiao Lu, Xiao Wan, kalian baik-baik saja?”
Sebagai keluarga paling berpengaruh di Kota Jianghai, bahkan kepala kepolisian pun hanya bisa menjilat. Kadang pergi minum teh dan makan di keluarga Dongfang, Kepala Dinas Hao memang sudah kenal dengan saudara Dongfang ini, biasanya menyebut diri sebagai paman. Setelah saling menyapa, Ye Lian mengangguk: “Untungnya masih sempat tiba tepat waktu, hampir saja terjadi malapetaka.” Dia menunjuk Dongfang Lu, “Dia terluka cukup parah, terutama cedera internal. Dua lainnya hanya luka kulit, segera bawa ke rumah sakit. Saya masih ada urusan, duluan pergi.”
"Dia berkata sambil mengayunkan tangan bersiap untuk mendukung kawan lain. Seorang polisi berlari ke arah sini: "Lapor Kepala Dinas Hao, di gedung sekolah tua sana sedang terjadi pertempuran sengit, tapi sama sekali bukan orang kami. Sekarang belum jelas siapa kedua pihak yang bertikai. Kami telah mengirim satu tim kecil, tiga rekan sudah gugur sejak kontak senjata pertama. Sisanya segera mundur. Sekarang kami hanya bisa mengepung dari luar, mohon instruksi."
"Bukan orang kita?" Kepala Dinas Hao menoleh, memandangi Ye Lian dengan tatapan aneh.
"Mari periksa."
Kedua orang di sini mengangguk. Saat polisi sekitar menjauh, Dongfang Lu bertiga malah naik ke ambulans yang parkir tak jauh. Para siswa yang diselamatkan mulai berduyun keluar dari area pengajaran. Dalam peristiwa Kapal Star Dream sebelumnya, mereka bertiga juga pernah disandera bersama. Hanya eksistensi Fu Yanjie tidak menonjol, sejak itu mereka tidak lagi berhubungan. Tak disangka sekarang malah kacau-balau berkumpul lagi, terasa seperti hubungan buruk takdir. Dongfang Wan duduk di sebelah kakaknya bersama perawat memeriksa lukanya. Fu Yanjie berkostum beruang duduk di seberang, matanya melirik ke segala arah. Dongfang Lu juga menghindari kontak mata, jelas merasa canggung dengan kesalahpahaman tadi. Beberapa saat kemudian, tatapan mereka bertemu. Fu Yanjie tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan gugup neurotik.
"Haha, halo, masih ingat aku... Ketemu lagi..."
"Eh... Halo-halo..."
Keduanya berjabat tangan dengan gugup seperti pegas. Dongfang Wan melirik dengan heran: "Kenapa kalian aneh sekali... Hai, ketemu lagi, hehe, kita bertiga benar-benar ditakdirkan ya..."
"Hehe, hehe..."
"Ditakdirkan, ditakdirkan..."
……
"Sebenarnya apa yang terjadi..."
Seiring perintah Kepala Dinas Hao, bangunan enam lantai tua di tengah hutan tak jauh dari sana kini telah dikepung oleh personel polisi. Sebelum Akademi Hati Kudus didirikan, tempat ini awalnya adalah sebuah sekolah. Setelah mengambil lahan luas untuk dijadikan akademi Bangsawan dan melakukan perencanaan ulang yang terlalu futuristik, banyak proyek - seperti rencana pendirian universitas - belum sampai tahap implementasi sehingga bangunan-bangunan lama tetap dipertahankan. Bangunan enam lantai ini dibangun seperti benteng, kini tampak tanpa sedikitpun keindahan. Dulu difungsikan sebagai gedung sekolah, kini telah ditelantarkan. Dari dalam terdengar dentuman senjata yang kadang lambat kadang cepat, kaca-kaca jendela berjatuhan dari udara seiring tembakan.
"Kepala Hao, Fang kecil dan A Luo gugur dalam tugas... Saat ini kami tidak bisa memastikan pihak mana di dalam yang berada di pihak kita. Sebenarnya... kemampuan menembak mereka sangat akurat, Fang kecil dan A Luo langsung roboh begitu masuk. Dan... tampaknya hanya ada dua orang di dalam..."
"Dua... ambilkan mikropon."
Petugas itu mengangguk dan mengambilkan pengeras suara. Kepala Dinas Hao berdiri di belakang mobil polisi: "Pendengar di dalam, kalian telah dikepung rapat. Segera letakkan senjata dan menyerah. Kami adalah Polisi Rakyat Kota Jianghai..."
Seruan itu diucapkan sekali, suara tembakan di dalam masih terus terdengar, tak ada respons sama sekali. Kepala Dinas Hao menunggu beberapa detik lalu mulai berteriak lagi. Baru pada kali ketiga, saat kata-katanya baru saja terucap, Ye Lian di sampingnya tiba-tiba mendorongnya terjatuh: "Awas!"
Dentuman senjata menggema, jendela kaca di lantai tiga beterbangan. Ye Lian dan Kepala Dinas Hao terguling di lantai, pengeras suara itu meledak dengan suara Byur di udara.
## Bagian Dua Ratus Tujuh Belas Karnaval Berdarah（Sepuluh）
Koridor gelap gulita, cahaya lampu mobil polisi memantul dari jendela kaca yang jauh. Di setiap ruangan terlihat meja-meja tua berdebu, beberapa bagian tembok sudah bolong besar karena renovasi gedung sekolah sebelum dijual ke Akademi Hati Kudus. Aroma debu yang tertimbun terasa sangat pekat. Seolah-olah baru kemarin para siswa kecil masih duduk belajar, berlarian dan bermain di kelas-kelas ini. Sekarang semuanya lenyap, berubah menjadi medan perang gelap dan kumuh ini. Dentuman senjata diselingi hembusan angin aneh, bau mesiu memenuhi udara.
Byur! Percikan api menyala cepat di dinding. Melalui dua kelas yang dindingnya sudah berlubang besar, sebuah meja tua melayang dengan suara Braak. Bayangan di sisi ini menghindar dengan cepat. Dari balik lubang itu, peluru senapan serbu mengalir seperti gila.
“Haha... Tidak mengenai sasaran, tidak kena sama sekali, TULIP!” Bayangan itu berlari kencang di antara percikan api peluru, Tak terhitung dewa-dewa tertawa sambil menyelinap keluar kamar, sesekali mengangkat tangan untuk membalas serangan, "Ayo, sangat ingin membunuhku kan? Tekanan perhatian Yoritomo Taku bisa kau lakukan dengan sempurna, tapi aku bisa mengetahui setiap gerak-gerikmu, kau percaya? Ayo..."
"Dengan kekuatan supernatural, hebat sekali ya?" Melompat ke samping, menghindari peluru yang datang, Jiaming berlindung di balik pilar, dengan cepat mengganti magasin.
"Tidak perlu hebat, ini adalah kemampuan yang kupunya, seperti senjata. Senjataku lebih berguna." Saat Jiaming mengejar, dia melompat masuk ke kelas lain.
"Kekuatan senjata hanya tergantung pada cara penggunaannya!" Sambil menembak, dia mendekat dengan cepat.
"Kalau begitu tunjukkan kekuatan yang kau gunakan untuk membunuh Da Nei Zhangdu, buktikan padaku!" Kedua tangan terentang, peluru beruntun menutupi gerbang.
Tak ada jawaban. Sesaat kemudian, dia tiba-tiba berputar, dinding belakang bergema BRAK, plafon tua berdebu tiba-tiba bergetar hebat. Dinding kelas usang itu kini memiliki retak berbentuk lingkaran berdiameter satu meter. Laras senjata diarahkan ke dinding retak itu, menunggu mereka menghancurkannya langsung.
Kemudian, segalanya menjadi sunyi.
Situasi berdesir pelan di koridor. Beberapa saat kemudian, Tak terhitung dewa-dewa tertawa: "Angin akan memberitahuku dimana kau berada. Ayo, jangan buang-buang waktu."
Setelah kalimat ini, pihak lawan masih tidak menunjukkan reaksi apa pun. Hatinya sedikit tegang, angin berusaha menangkap siluet di dalam kamar seberang, namun ia diam-diam terkejut. Meski telah menggunakan seluruh kekuatannya, sosok itu tetap terlihat samar-samar dan bergerak tak menentu. Jelas, mereka memiliki pengalaman bertempur yang sangat dalam melawan pengguna kekuatan supernatural.
"Kalau tidak mau datang, mari kita berbincang saja..."
"Kau terluka, aku melihat darahmu. Tapi sejujurnya, aku tak pernah menyangka kau ternyata adalah anak itu. Sungguh semua orang berhasil kau tipu..."
"Evolusioner alami? Atau mungkin kau juga yang direkayasa..."
"Kurasa aku bisa memahami Kemarahanmu..."
"Diam di rumah dengan tenang, tiba-tiba didatangi orang, pacarmu dan orang penting disandera, situasi jadi ricuh. Pasti sangat marah, ya?"
"Aku tahu yang kau inginkan... kehidupan biasa. Apapun latar belakangmu, kau ingin kedamaian, bukan?"
"Baiklah, selama bertahun-tahun terjun di bidang ini, tahukah kau hal paling absurd yang pernah kusadari?"
"Setiap dari kalian merasa diri korban. Yoritomo Taku, Da Nei Zhangdu, tank yang baru kau Bunuh, Bai Nana, termasuk kau... Semua merasa tak bersalah. Kalian membayangkan pilihan lain yang mungkin dihadapi, bahkan saat MATI..."
"Tapi begitulah kehidupan. Memiliki masa lalu berarti harus menerima masa depan seperti itu. Memiliki kekuatan sendiri berarti harus menghadapi konsekuensi yang mengikutinya."
“Kalian pernah memiliki pilihan ini dan itu, pada akhirnya sampai di titik ini, kau akan menyalahkan keinginanmu akan hidup yang biasa-biasa saja, namun kami yang datang menemui. Tapi perkembangan hidup, separuhnya selalu berasal dari pilihanmu sendiri……”
“Dari peristiwa yang kau produksi beberapa kali sebelumnya, banyak orang melihat kekuatanmu, aku juga melihatnya. Tapi di saat yang sama……aku melihat ketakutanmu……”
“Aku berbeda denganmu, aku tidak punya rasa takut. Karena sejak awal aku tahu diriku apa, harus menghadapi apa. Aku tak pernah merasa diri ini dramatis……”
Sebelum suara habis, ledakan dahsyat senapan patah menggema, dinding itu Byur! melepaskan batu-batu yang terbang dengan kekuatan dahsyat. Tak terhitung dewa-dewa melompat ke samping. Melalui lubang itu, peluru dan kobaran api bersaing sengit bagai kembang api yang tiba-tiba mekar. Saat dewa-dewa itu berguling di tanah, Jiaming mengarahkan senapan patahnya ke pintu depan kelas. Ketika tembakan dilepaskan lagi, suara tawa dewa-dewa itu bergema dari balik meja-meja kelas yang hancur berantakan.
Tiba-tiba, angin supernatural membanjiri gerbang, menyapu debu dari beberapa ruang kelas sekaligus. Sekejap, pandangan tertutup samar bahkan napas pun terdampak. Suara Tak terhitung dewa-dewa kembali bergema: “Mati kau!”
Byur——
Byur——
Di tengah debu, menghindari jalur peluru, Tak terhitung dewa-dewa tiba-tiba berlari maju ke sisi Jiaming, menyapu kaki dengan hebat ke arahnya. Tubuhnya menyamping, menggunakan senapan patah sebagai tameng, kedua pihak mundur dua langkah. Kemudian situasi berbahaya datang dari segala penjuru.
Debu mengaburkan pandangan, angin mengganggu pendengaran. Dalam sekejap menahan lebih dari 10 serangan berturut-turut, tubuhnya telah mundur ke posisi tengah depan kelas. Tangannya meraih meja dan menghantarkannya dengan keras. Meja itu hancur berkeping-BYUR-di tubuh Tak terhitung dewa-dewa, sementara Jiaming sendiri terkena sapuan kaki yang melayang.
"Tak bisa melihat? Lihat berapa lama kau bisa bertahan!" Melompat ke udara, dia langsung mengejar.
"Tak perlu bertahan."
Bersamaan dengan pukulan berat Braak! dari Tak terhitung dewa-dewa, Jiaming juga menyerang. Kepalanya menoleh tipis menghindari serangan, satu tangan mencengkeram pergelangan tangan lawannya.
Hatinya terkejut, bahkan serangan lutut yang menyusul berhasil dilemahkan oleh lawan dengan kekuatan lembut. Tak mengerti bagaimana dia masih bisa melihat jurus dalam situasi seperti ini, tangan kanan yang belum sepenuhnya terkunci segera ditarik kembali. Namun tangan Jiaming yang lain sudah menyambar seperti bayangan. Dalam sekejap, kedua pihak saling berganti puluhan teknik pelepasan dan kuncian di tempat itu. Tubuh mereka berputar bagai kilat, Zhūshén Wúniàn merasa seperti terperangkap dalam rawa-rawa lengket - tak bisa melepaskan diri, tak bisa menyerang. Setiap kali dia menggunakan kekuatan keras, kekuatan lawan langsung melemah. Begitu tenaganya habis, kekuatan lawan langsung menekan seperti ribuan ton.
Pergantian kekuatan yang nyaris sempurna ini... Ini adalah Tai Chi!
Baru saja pikiran itu melintas di benaknya, kerah bajunya sudah dicengkeram lawan. Detik berikutnya, dunia terasa berputar.
BRAaAK! Tembok yang sebelumnya sudah retak kini hampir seluruhnya runtuh. Jiaming menyeret tubuh Zhūshén Wúniàn dan menghantamkannya keras ke dinding.
"Sebenarnya kau juga meratap..." Tendangan kaki seperti kilat menyambar seiring tubuh Jiaming yang berputar cepat, menghajar perut Zhūshén Wúniàn.
"Kau juga mengasihani diri sendiri..." Dua tinju seperti petir menghujam, "Kau menderita, kecewa, menghancurkan diri sendiri. Semua usahamu sia-sia karena..." Tubuh Zhūshén Wúniàn diayunkan dan dilempar kembali. Dentuman keras menggema, tak terhitung meja kursi yang hancur berantakan.
“Karena kau adalah monster yang diciptakan oleh Pei Luo Jia!”
“Sial!...” Saat Jiaming kembali menyusul, terdengar hujatan Tak terhitung dewa-dewa dari debu di sebelah, menerjang keluar dari angin. Jiaming menghantam dengan kedua tangan, Tak terhitung dewa-dewa tak menghindar, tangannya mencengkeram bahu Jiaming, pandangannya menyala-nyala.
Dalam debu yang berterbangan, dari jarak dekat terlihat wajah tampan Tak terhitung dewa-dewa yang kini berubah mengerikan, wajah dan mata memerah: “Aku bukan monster! Matilah kau...!”
Bersamaan teriakan itu, Jiaming tiba-tiba merasakan kekuatan misterius menyusup ke tubuhnya, diikuti rasa sakit yang menjalar di kepala — berbeda dengan manipulasi angin sebelumnya, kali ini kekuatan langsung bekerja pada fisik, lalu sakit kepala itu melanda seketika.
“Hk...”
Sakit kepala kali ini jauh lebih hebat dari sebelumnya. Namun sebelum sempat melakukan serang balik bawah sadar, tubuh Tak terhitung dewa-dewa tiba-tiba meledakkan gelombang angin ke segala arah. Dengan suara "puff!", dia muntahkan darah segar sebelum tubuhnya terlempar oleh tendangan Jiaming.
“Ti...tidak mungkin... Kau ini...”
Dalam debu, suara Tak terhitung dewa-dewa yang tak percaya terdengar samar, jelas dia telah menemukan sesuatu yang tidak biasa. Jiaming menggelengkan kepala, menyeka darah yang menciprat di wajahnya, kemudian menutupi dada sambil batuk.
"Hadapi realita! Kau monster, itu benar, sedangkan aku... jangan-jangan pemburu monster ya..."
……
Menunggu di bawah gedung sekolah tua itu, lampu mobil polisi berkedip-kedip. Kerumunan orang yang mengelilingi area itu memandangi keributan dari lapisan bangunan, sesekali bahkan bisa mendengar suara dialog samar, tentu... lebih banyak dentuman senjata.
Pada suatu momen, semua orang memandang takjul pada debu putih yang menyebar dari jendela lantai atas.
"Apa itu..."
"Ada sekelompok orang sedang membersihkan?"
"Berdua saja, kok bisa se-ribut ini..."
Dalam diskusi, Ye Lian membuka mulut: "Ini mungkin..."
"Ketua Kelompok Ye, apa sebenarnya? Kau tahu?" Tanya Kepala Dinas Hao.
"Eh... belum pasti, intelijen kurang. Saat ini masih tahap hipotesis... Mari kita lihat dulu. Jika benar orang itu, atasan yang bisa membuat situasi seperti ini pasti... Bagaimanapun, jangan mendekat, untuk sementara jakukan serangan apapun..."
Dia enggan menjelaskan, Kepala Dinas Hao pun tak berani bertanya. Sekitar gedung ini terparkir lebih dari sepuluh mobil kecil, puluhan polisi bersenjata lengkap dengan peluru terpasang menunggu dalam suasana mencekam. Tak lama kemudian, tiba-tiba seseorang berteriak: "Lihat... Ada orang di atas!"
"Mengangkat kepala, di atap lantai enam terlihat sosok melompat terjun, diikuti oleh sosok kedua."
"Melompat dari ketinggian seperti ini dalam pengertian umum adalah tindakan bunuh diri. Dua sosok itu melesat. Namun di ketinggian dua lantai, sosok di depan tiba-tiba berhenti secara aneh sejenak seperti halusinasi, saat sosok belakang menukik cepat. Byur! Kedua sosok jatuh di plaza kecil depan gedung sekolah."
"Sunyi senyap."
"Jatuh dari ketinggian itu membuat semua orang terkejut. Dua orang hebat yang ribut selama setengah hari ini bunuh diri dengan melompat? Keraguan ini baru terlintas ketika perlahan salah satu sosok bergerak."
"Swoosh! Para polisi serempak mengangkat pistol. Dalam jarak pandang mereka, dari bayangan gedung sekolah usang yang remang, sosok berjubah abu-hitam bangkit perlahan dari mayat. Seperti menyaksikan dewa kematian dari legenda Barat."
"Mengendalikan angin... berhenti di udara... lalu... orang itu..."
"Ye Lian bawah sadar menatap langit, lalu memandangi dua sosok yang satu mati satu hidup. Kepala Dinas Hao sudah mengeluarkan pistol, meminta pendapatnya dengan pandangan. Sosok berjubah abu-abu berlumuran darah itu menggerakkan lehernya, lalu berbalik menuju celah lingkaran pengepungan."
"Ketua Kelompok Ye, kita harus..."
“Menyuapi, aku tahu siapa kau, bisa ngobrol?” Dalam pertanyaan Kepala Dinas Hao, Ye Lian bertanya keras.
Tak ada respons, sosok itu hanya menyusuri bayangan menuju arah hutan lereng gunung terpencil, dua polisi berdiri membentuk sudut 45 derajat kiri-kanan sambil mengarahkan senjata untuk menghadang di depan, namun saling pandang bingung tak tahu maksud atasan. Sejenak, Ye Lian mengayunkan tangan: “Biarkan dia pergi, turunkan senjata.” Baru kemudian semua orang menurunkan pistol mereka.
Di bawah tatapan semua orang, perlahan sosok itu masuk ke dalam hutan, sedikit demi sedikit terserap bayangan, akhirnya menghilang. Ye Lian berteriak: “Terima kasih, kalau ada masalah kabari ya.”
“Siapa orang itu...”
“Dia pakai jubah begitu, gak jelas mukanya, kalian lihat?”
“Gak kelihatan wajahnya...”
“Ngapain sih, kalian berdua yang paling dekat...”
Dalam gemuruh diskusi semua orang, Ye Lian akhirnya menarik kembali pandangannya, lalu menarik napas dalam-dalam sambil menampilkan senyum manis khasnya: “Kepala Dinas Hao, selamat ya, mayat di tanah itu kemungkinan Tak Terhitung Dewa-dewa, teroris internasional yang mengerikan. Kalau dapat promosi kali ini, harus traktir nih.”
“Eh... Benarkah...” Kepala Dinas Hao terdiam sejenak, baru kemudian bertanya, “Lalu pria berjubah hitam itu...”
“Lebih baik jangan selidiki orang ini. Dia kalau marah bisa bahaya. Tapi boleh kuberi tahu, dialah TULIP yang selama ini kalian kejar.”
Dalam kegelapan malam, polisi yang tegang mendekati mayat itu untuk pemeriksaan. Evakuasi mahasiswa telah memasuki babak akhir, lebih banyak polisi militer dan agen rahasia masih melakukan pembersihan di seluruh kampus. Keributan baku tembak perlahan menghilang, apakah tentara bayaran sudah MATI semua sulit dipastikan, tapi meskipun ada yang berhasil kabur dari kampus, tentu saja informasi seperti ini tidak akan dibocorkan ke publik. Orangtua yang telah menjemput anak mereka ada yang bersorak ada yang menangis, kemudian segera pergi. Liu Zheng kemudian menemani Shasha, Kaoru dan rombongan ke rumah sakit, sementara kelompok preman yang mengelilingi kampus perlahan mulai memencar. Setelah menerima uang untuk operasi kali ini, mereka makan malam lalu berpencar dalam kelompok kecil 3-5 orang menuju sudut-sudut berbeda kota...
Kegelapan malam tetap sama, mengikuti aliran cahaya neon, perlahan meninggalkan tanggal 2 Desember tahun 98, menuju hari baru...
## Bagian Ratus Delapan Belas Tidurlah
Di tengah malam, dalam sorotan neon, sebuah mobil kecil berhenti di depan rumah sakit tempat Ibu Ye berada. Yang keluar dari kursi penumpang adalah Lingjing. Jiaming yang berpakaian rapi menyembul dari jendela kursi pengemudi: "Shasha dan mereka seharusnya sudah di dalam. Luka Kaoru cukup parah, sekarang masih belum tahu apakah akan berbahaya. Aku masih ada hal yang harus diselesaikan, SEKARANG JUGA akan menyusul. Buat Shasha dan mereka tidak khawatir, oke?"
"Tapi... kau..."
"Aku tidak apa-apa. Yang paling hebat sudah tewas dibunuh. Lihat, tidak ada sedikitpun luka di tubuhku kan? Ada beberapa penanganan pasca yang harus dilakukan. Sayang."
“Cih.” Melihat Jiaming tidak apa-apa, Lingjing mengayunkan kepalan tangan kecilnya sambil mendengus protes, "Benci! Jangan bicara padaku dengan nada menggurui. Kurasa kau cari-cari alasan untuk tidak masuk. Akhir-akhir ini sering terluka, mulai dari tusukan pisau sampai tembakan. Kalau masuk pasti diomeli ibu sampai MATI... Baiklah, aku temani Shasha dan Kaoru. Kau harus segera menyusul ya."
"Siap, Tuan Lingjing."
"Pergi lah..." Lingjing mengangkat mata putihnya sebelum berbalik menuju rumah sakit. Jiaming memandanginya masuk, baru menginjak gas hingga mobil melesat. Tirai di gerbang rumah sakit tersibak perlahan. Dari dalam, Lingjing menyaksikan mobil itu beberapa saat, lalu berbalik sambil menarik napas dalam. Ia menepuk-nepuk dadanya untuk menenangkan diri, lalu berjingkat riang mengunjungi Shasha dan Kaoru.
Beberapa menit kemudian, mobil kecil berhenti di depan gedung kompleks perumahan. Jiaming naik ke lantai dua, membuka set rumah tua peninggalan orang tuanya. Saat ini, ruang kecil inilah yang menjadi basis rahasianya di Jianghai.
Dari kamar dalam, ia mengeluarkan kotak P3K besar. Setelah mengisi ketel listrik dengan air, ia duduk di sofa. Jaket luar bersih dilemparnya sembarangan, memperlihatkan lapisan kapas tebal dari bahu hingga dada. Cuaca Desember ini masih menyisakan pakaian dalam hangat, namun darah mengejutkan telah merembes hingga lapisan terluar kapas, membentang noda merah darah mengerikan dari tulang belikat hingga perut.
Dengan lemah bersandar di sofa, menarik napas dalam, dia mulai melepas lapisan-lapisan kain katun kemudian menanggalkan pakaian. Di sela-sela ini, karena merasa agak kedinginan, dia bangun untuk menutup pintu sekali. Jika sebelumnya, bahkan saat mandi air dingin di hari bersalju sekalipun, dia tidak akan merasakan kedinginan sama sekali.
Luka yang diterimanya sendiri, ditambah darah yang mengucur deras akibat pertarungan sengit setelahnya, membuatnya kini benar-benar berada dalam kondisi lemah tak berdaya. Seandainya Tak terhitung dewa-dewa bisa bertahan lebih lama, alih-alih langsung menggunakan kekuatan supernatural pada tubuhnya yang memicu backlash dahsyat, mungkin dialah yang sudah MATI dalam peristiwa ini.
Dengan lemah membuka kotak P3K, kemudian mengambil handuk, baskom, dan perlengkapan lain, mencampur air panas dengan sedikit air dingin, mulai membersihkan, disinfeksi, menjahit luka, dan menangani cedera secara sistematis. Sekitar setengah jam kemudian, telepon berdering di kamar sekaligus muncul notifikasi di jam elektroniknya.
"Halo."
"Syukur masih bisa mendengar suaramu. Aku Tenku Masaoka." Nada suara di seberang terdengar lega, "Sudah kuduga kau tidak akan kalah dari si mesum Tak terhitung dewa-dewa itu."
"Jika kau menelpon untuk menanyakan orang itu, dia sudah MATI."
“Beberapa jam yang lalu ada laporan tentang invasi ke Shengxin dari pihak kami, sayangnya kekuatan kami di Tiongkok terlalu lemah untuk bertindak. Tidak lama kemudian staf kami menghubungi, mengatakan Nona Kaoru terluka parah, sementara yang lain tidak apa-apa. Saya rasa sekarang kau sudah bisa menerima telepon, jadi saya menelepon.” Tenku Masaoka tersenyum di seberang saluran, "Yang lainnya baik-baik saja? Kau tahu maksud saya dua pacar kecilmu itu."
“Berkat doamu, tidak ada masalah.”
“Syukurlah. Kepergian Tak terhitung dewa-dewa ke Thailand memang kelalaian kami. Sebenarnya di internal Pei Luo Jia sudah ada resolusi untuk tidak Izinkan anggota organisasi bertindak terhadapmu. Kami tidak menyangka mereka akan mengabaikan perintah ini. Aku tidak membela Pei Luo Jia, hanya menyampaikan fakta.”
“Aku punya data-data.” Jiaming berhenti sejenak, setelah membalut lukanya dengan kain kasa, “Tentang mata-mata Pei Luo Jia di jajaran kalian, metode koneksi antar jalur, beberapa kontak, tingkat pengaruh kekuatan... Tidak bisa jamin 100% akurat, tapi setidaknya lebih dari 50% terkonfirmasi...”
“Ini luar biasa.” Setelah jeda singkat, Tenku Masaoka berkata.
“Jika kalian ingin bertindak, usahakan agak ditunda.”
“Eh? Heh... Tentu kami tidak akan SEGERA melakukan pembersihan total. Seperti pepatah Tiongkok: ini akan membuat kecurigaan...”
“Sekitar 20 hari lagi aku akan ke Tokyo. Harap pihakmu mempersiapkan diri agar tidak kena dampak.”
“……”Sepertinya terkejut oleh makna tersirat dalam ucapan Jiaming, Tenmasa Masaoka terdiam sejenak, "Kau ingin melawan mereka? Hal ini tidak semudah itu, aku tahu kau marah, tapi Tokyo adalah wilayah mereka, bukan Jianghai. Kuharap kau bisa mempertimbangkannya."
"Sudah saya pertimbangkan."
"Menurutku cara terbaik sekarang adalah kita berbicara secara terbuka. Aku akan memberitahu pimpinan di sini tentang urusanmu. [], Dark Celeste, kau bisa meminjamkan kekuatanmu kepada kami, kita bersama-sama melawan Pei Luo Jia... Kau tidak mengerti, kekuatan Pei Luo Jia terlalu besar. Meski saat ini mereka tak bisa menjangkaumu, sistem akar organisasi pembunuh ini selama ratusan tahun sulit kau bayangkan..."
"Percayalah, aku lebih memahami Pei Luo Jia dibandingkanmu. Perasaan akrabku terhadap mereka bahkan melebihi kalian, melebihi []."
"...Kau keluar dari Pei Luo Jia?" Sebelum Jiaming menjawab, Tenmasa Masaoka tersenyum ringan, "Heh, maaf. Seharusnya aku tidak menanyakan ini. Tapi tetap saja, melakukan hal ini sendirian terlalu berisiko. Kita bisa menunjukkan kesungguhan masing-masing..."
Tenmasa Masaoka terus berbicara ramai di seberang sana, sementara Jiaming diam-diam membalut perban di tangannya. Wajahnya terlihat pucat dan dingin dalam kegelapan: "Baiklah, terang-terangan saja. Jika kerjasama seperti ini terus berlanjut, setelah ini aku akan menghadapi segudang masalah. Setiap ada masalah, aku punya tanggung jawab untuk membantu. Kau paham."
"Ini... aturannya demikian, harus ada hubungan kepentingan tertentu untuk menjamin persatuan semua orang. Dengan kekuatanmu, kebebasan terbesar pasti ada padamu, paling-paling hanya membantu sesekali dalam hal kecil. Kau tahu... jika kau mau, di Takamagahara ada beberapa cewek cantik. Mereka tidak akan mengganggumu, tidak memintamu menandatangani nama mereka di sisi lain surat nikah, bisa menjadi selirmu. Jangan hiraukan omongan dunia luar, asalkan hubunganmu diakui secara internal... Orangtua mereka memiliki posisi penting di Takamagahara. Tentu saja, jika kau suka, Kaoru juga bisa."
Tidak ada jawaban dari sisi ini. Setelah beberapa saat, Tenmasa Masanori berkata dengan kekecewaan: "Hehe, mungkin orang Tiongkok punya sedikit antipati terhadap orang Jepang. Tapi bekerja untuk [] tetap untuk negaramu sendiri. Reputasi [] di dunia luar juga bagus. Mungkin kau bisa pertimbangkan untuk menjadi salah satu bagian di sini."
"Tahukah kau, Tenmasa-kun? Aku pernah bergabung dengan organisasi..." Setelah lama terdiam, suara samar akhirnya keluar dari mulut Jiaming, "Karena itu, seumur hidupku, aku tidak akan lagi masuk ke tempat seperti ini, tidak akan mendengarkan perintah siapa pun."
"Tapi setidaknya []..."
"Bahkan [] sekalipun."
"......" Tenmasa Masanori terdiam sejenak, "Heh, aku mengerti. Setiap orang punya obsesinya sendiri. Maaf, aku tidak akan mengulangi perkataan seperti ini lagi. Jadi, 20 hari lagi? Heh, Natal sudah dekat. Aku akan mengatur segalanya untukmu."
"Aku sendiri yang akan mengatur. Nanti aku akan menghubungimu. Kalian cukup kerjakan urusan kalian sendiri."
"Ehh... Baik, jaga diri. Ah, Yui sudah keluar. Aku harus kolaps..."
Mikropon mengalirkan suara Ryuudou Yui yang sedang berbicara, kemudian dimatikan. Di kamar sebelah Jepang, Ryuudou Yui yang baru saja selesai mandi tampak telah menguping telepon cukup lama, kemudian berlari maju: "Apakah itu TULIP? Apakah itu TULIP? Aku ingin bicara dengannya, aku ingin tanya kenapa dia menyelidikiku..." membuat Tenku Masaoka buru-buru menghalangi pacarnya yang tak boleh diketahui keluarga ini.
"Sudah, jangan berisik lagi. Kau hari ini jangan macam-macam dengannya, dia sedang emosi. Kalau sudah gila bisa MEMBUNUH..."
"Emosi? Kenapa?"
"Batuk, ada yang ketemu ke rumahnya. Ngomong-ngomong, 20 hari lagi dia mungkin akan datang ke Tokyo. Kalau kau penasaran, nanti aku coba pertemukan kalian. Lagipula dia sepertinya sudah kenal denganmu."
"Benar? Asyik!" Ryuudou Yui tersenyum sambil melompat, baru teringat beberapa saat kemudian, "Eh, dia ke Tokyo buat apa? Balas dendam?"
"Hmm." Tenku Masaoka tersenyum sambil mengangguk, "Mungkin akan menyumbang HADIAH NATAL besar-besaran untuk beberapa orang."
Di sisi telepon, lampu masih diatur redup. Jiaming perlahan meletakkan mikropon. Beberapa saat kemudian, baru terdengar gumaman pelan.
"Kalau sudah putus, seharusnya kita tak perlu berhubungan lagi... Mengapa harus membuatku membencimu..."
Kalimat ini persis seperti gambaran nyata hubungan Jiaming dengan Pei Luo Jia...
……
Tak lama kemudian, Jiaming yang sudah menangani lukanya tiba di rumah sakit. Setelah menanyakan lokasi kamar pasien, ia berjalan menuju kamar Shasha. Dalam perjalanan, ia terus-menerus menemukan beberapa pos pengawasan terselubung dari agen [Yan Huang Juexing]. Dengan tindakan pencegahan seketat ini, bahkan jika ada tentara bayaran yang berhasil lolos dari kampus, tidak akan ada masalah sama sekali.
Memasuki kamar pasien, Shasha yang seluruh tubuhnya dibalut perban dan kakinya difiksasi dengan penyangga sedang berbaring di ranjang, berbincang dengan Lingjing yang duduk di sofa. Ekspresi kedua gadis itu terlihat sangat lelah, namun mereka masih bertahan untuk tidak tidur. Begitu melihat Jiaming masuk, kalimat pertama Shasha adalah: "Aku sudah dimarahi habis-habisan oleh Ibu Ye. Kau baru datang sekarang."
"Hehe... Hanya orang bodoh yang mau menyerahkan diri ke jebakan." Jiaming menutup pintu sambil menarik napas dalam, "Aku ada hal yang ingin kuakui pada kalian berdua."
"Eh..." Lingjing dan Shasha saling bertukar pandang, kemudian mengerutkan alisnya, "Kau menyukai cewek lain lagi? Kaoru?"
"Mana mungkin..." Jiaming tak bisa menahan tawa, "Sebenarnya hari ini aku kena tembak, tapi masalahnya tidak parah. Tadi takut bikin kalian khawatir jadi tidak bilang. Sekarang lukanya sudah dibalut, kalian harus jaga kerahasiaan ini. Lihat..." Menyadari mustahil menyembunyikan hal ini dari dua orang yang selalu dekat dengannya, Jiaming mengangkat bajunya memperlihatkan perban putih. Kondisi saat ini jauh lebih baik dibanding penampakan mengerikan saat melepas jaket tadi, terlihat seolah lukanya hampir sembuh total.
“Lingjing dan Shasha membuka mulut lebar-lebar memperhatikan sejenak, kemudian mendekat untuk pemeriksaan, bertanya berulang kali apakah benar-benar tidak apa-apa. Setelah konfirmasi, mereka mulai menyalahkan Jiaming yang tidak tahu menjaga diri. Mereka juga tahu Jiaming punya rahasia. Meski menyalahkan, karena Jiaming sudah menjelaskan, tentu mereka tidak akan bocorkan hal ini. Sambil mendengar omongan mereka, Jiaming tersenyum duduk di samping Lingjing, mendengarkan dengan khidmat.”
“Hai, Jiaming, kamu sangat lelah? Mau tidur ada tempat tidur pasien kosong di sebelah.”
“Hmm, waktu omelan Tuan Shasha dan Tuan Lingjing... mana mungkin Kecil tidak duduk manis di sini menyimak baik-baik, tidak boleh tidak boleh... hehe...”
“Cih, mana ada aku mengomel.”
“Iya iya...”
Dalam riuh suara mereka, Jiaming perlahan menutup mata. Sejenak kemudian, membangsat Lingjing ia tertidur lelap. Lingjing melepas sepatu, kaki berkaus kaki putih meringkuk di sofa. Sambil menguap dan tersenyum mengobrol dengan Shasha tentang kejadian berbahaya hari ini, ia membaringkan Jiaming, menggunakan pahanya sebagai bantal nyaman, lembut membelai luka-luka kecil di tubuhnya.
“Heh, ngantuk sekali... Lingjing, kalau mau tidur ke ranjang sana... heh...”
“Hmm, aku tahu... Sudahlah, begini juga tidak apa, nanti malah membangunkannya lagi, heh... Dia hari ini sangat kelelahan...”
Dengan rasa lelah, suara lembut dan halus terdengar di kamar pasien. Tak lama kemudian, suasana pun berangsur tenang, ruangan terbenam dalam kesunyian. Entah kapan, Duan Jingxian yang kebetulan lewat mendorong pintu kamar, melirik ke dalam. Matanya menatap putrinya yang meringkuk di sofa, lalu Jiaming yang tidur telentang di atas paha putrinya. Mengingat hubungan pacar antara Jiaming dan Sha Sha sebelumnya, hatinya merasa agak ganjil. Beberapa saat kemudian, ia menggelengkan kepala dengan kekecewaan. Mungkin hubungan pertemanan ketiganya telah melampaui batas hubungan pria-wanita. Dirinya tak ingin menjadi orang kolot yang dihinakan anak sendiri.
Dia mengambil dua selimut, menyelimuti pemuda yang dianggap seperti anak sendiri itu yang tengah memakai paha putrinya sebagai bantal. Kemudian dengan hati-hati menyelimuti putrinya. Meski dilakukan perlahan, Lingjing tetap terbangun. Dengan mata berkabut, ia kembali tertidur sambil bergumam: "Ibu..."
"Tidurlah." Dengan lembut mengusap pipi putrinya, Duan Jingxian tersenyum hangat. "Tidurlah..."
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lalu tertutup kembali. Di dalam kamar pasien yang hangat, semua orang telah terlelap...
## Bagian Dua Ratus Sembilan Belas Kerahasiaan
“……Setiap kali pasti kalian, setiap kali... Sejak Jiaming tertembak di usia sepuluh tahun sampai sekarang, bertiga kalian ini tidak ada tahunnya tanpa menciptakan masalah. Entah berkelahi dengan orang, atau diculik, sekarang malah teroris internasional bisa kalian datangkan! Daripada kabur, malah nekat berlari maju dipaksakan. Tahukah kalian Tsukike Kaoru itu hampir MATI!” Di pagi buta, dengan mata berkantung jelas terlihat, Duan Jingxian mengesampingkan image anggunnya, berteriak keras di balkon sampai membuat dokter dan perawat yang lewat di bawahnya menoleh, ada yang menutupi mulut sambil tersenyum, berbisik-bisik.
Di hadapannya, Jiaming dan Lingjing berdiri bak murid SD. Lingjing terbata-bata: "Ibu, ini bukan urusan kami..."
"Iya, mereka yang nyari sendiri..."
"Jangan banyak bicara!" Duan Jingxian mengayunkan tangan, "Sekali bisa disebut kecelakaan, dua kali masih bilang sial. Tapi tiga empat kali, pasti ada yang bermasalah dari kalian! Apa kalian ini Detektif Conan?!"
Mungkin tidak jauh beda... Jiaming bergumam dalam hati, tapi tidak berani membantah wanita di depannya. Shasha yang terbaring di ranjang pasien, mempertimbangkan luka tembak Jiaming, memberanikan diri: "Ibu Ye..."
"Kalau luka ya tidur yang benar! Diam!"
"O..." Shasha menundukkan lehernya ketakutan. Semalam saat dibawa ke sini, Ibu Ye diam saja. Rupanya menunggu sampai bertiga berkumpul baru mau dihajar kolektif...
“Hmph, Ye Lingjing, jangan kira karena waktu itu kamu tidak ada di kampus bisa menghindar! Pokoknya kalau ada apa-apa terjadi pada salah satu dari kalian, aku akan cari masalah kalian bertiga! Gu Jiaming kau masih berani tertawa. Tertawa lagi! Tertawa lagi!” Ujung jari putih panjangnya menekan dahinya, “Orang lain seumur hidup belum tentu mengalami satu dua kali luka parah, kalian malah selalu jadi langganan rumah sakit! Kira latihan kungfu ala kadarnya di perguruan silat itu hebat ya! Aku tidak peduli apakah kali ini kesalahan kalian atau bukan, introspeksi diri baik-baik! Kalau sampai ada lagi yang masuk rumah sakit karena luka, tidak akan aku maafkan!”
Karena jaga malam kemarin kurang tidur, marah-marah dari tadi menunggu Jiaming dan lainnya sadar, akhirnya dia mulai kelelahan: “Sekarang pergi makan sarapan! Habis sarapan ikut Dokter Li membantu di rumah sakit. Biar dia ajak kalian lihat lebih banyak pasien trauma, mungkin setelah ini kalian akan lebih hati-hati!”
“Tapi... Bu...” Lingjing mengerutkan alis ingin membicarakan luka tembak Jiaming. Melihat alis Duan Jingxian berkerut, Jiaming buru-buru menutup mulutnya: “Hehe, baik Bu Ye, kami akan makan sarapan dulu... Hehe...”
“Mm... Mm...” Melihat Lingjing yang masih meronta-ronta akhirnya ditarik keluar kamar pasien, Duan Jingxian menggeleng-geleng kepala campur kesal dan gemas.
"Ngapain sih, aku sih nggak masalah. Tapi kamu kan ada luka, kok bisa-bisanya ikut bantu di rumah sakit." Diseret keluar kamar pasien, Lingjing mengerutkan alis kesal. Jiaming tersenyum, menggenggam tangannya: "Santai aja. Sejak kamu bilang ke tante kalau aku mau jadi dokter bedah, ini bukan pertama kalinya kita dipanggil bantu di sini. Lagian nggak ada kerjaan berat kok, paling-paling cuma ngawasin. Ada apa sih... Aku kan kebocoran nutrisi habis kena tembus, sekarang perutku lapar sampai MATI. Ayo sarapan! Liat tuh, jalanku sudah limbung..."
Di lorong yang ramai lalu-lalang perawat dan pasien, bertiga bergandengan tangan berjalan menuju pintu gerbang rumah sakit...
Benar juga tidak ada pekerjaan berat. Tapi setelah setengah hari membantu di rumah sakit, menjelang makan siang, wajah Lingjing memucat. Saat masuk ke warung tumisan dekat rumah sakit, Jiaming berkata ke bos: "Pesan satu Hongshao Paigu dulu..." Lingjing langsung menutup mulut menyelinap ke samping, berpose ingin muntah.
"Kenapa nih?" Jiaming mendekat sambil tersenyum, "Jangan-jangan sekarang baru 'kena tender'?" Langsung dipukul keras oleh Lingjing.
“Kau masih berani bicara, sudah melihat luka-luka sepanjang pagi……Iga bakar kecap, tidak boleh, hari ini kita semua makan sayur, Shasha tidak boleh makan daging!” Ibu Ye yang menjabat kepala departemen bedah di rumah sakit telah mengatur dokter-dokter untuk mengajak mereka berdua menyaksikan pemandangan berdarah-darah sepanjang pagi. Jiaming justru asyik mengamati, tapi Lingjing sudah tidak tahan. Meski ibunya bekerja di bidang ini, ini pertama kalinya dia disiksa oleh pemandangan mengerikan selama ini.
“Shasha cukup makan bubur saja, aku ingin…”
“Tidak boleh ngidam! Apa yang dimakan Shasha, itu yang kita makan juga…Hmm, setidaknya mirip-mirip, ini namanya hukuman kolektif.”
Di bawah tekanan Lingjing, Jiaming akhirnya tersenyum memilih beberapa masakan yang masih bisa ditoleransi. Duduk di meja sambil mengobrol sebentar, saat menunggu makanan dihidangkan, Lingjing mengerutkan alis: “Ngomong-ngomong, Jiaming, sejak kemarin aku berpikir…sekarang identitasmu sudah diketahui Dongfang Lu dan Xiao Meng, apa ini tidak berbahaya? Xiao Meng mungkin masih bisa diatasi, tapi Dongfang Lu…kenapa waktu itu kau tidak saja menyangkal!”
“Hehe, tenang saja, tidak akan ada masalah.”
“Kau lagi-lagi sok tahu.”
“Dasar cupu, coba pikir. Andai waktu itu aku menyangkal, satu-satunya jalan nanti adalah membunuh mereka. Kalau tidak, mereka akan terus menyelidiki dan masalahnya jadi semakin besar. Sekarang…Xiao Meng tidak berani bicara. Soal Dongfang Lu, heh…dia tidak akan berani.”
Lingjing tidak puas mendenguskan bibirnya, mengangkat mata putihnya: "Baiklah, aku ini dasar cupu, mulai sekarang kau jangan sentuh aku... Jangan pernah lagi melepas bajuku..."
"Aku salah... Pendekar wanita..." Jiaming buru-buru merengek-rengek sambil tersenyum, menunggu sampai senyum tipis muncul di wajah Lingjing baru melanjutkan, "Sebenarnya soal Dongfang Lu itu, bagaimana ya... Hmm, kalau mengikuti deskripsi dalam novel, dia seharusnya berada di antara pahlawan dan tiran. Meski sekarang masih kecil, tapi sebenarnya tidak sederhana. Waktu dia menyelamatkanmu, tentu aku tidak mungkin menyakitinya. Kalau tidak mengakui hal ini, nanti dia bisa menyelidiki dengan kekuatan lain, malah jadi lebih ribet..."
"Dengan begini dia tidak akan bicara?"
"Dia tidak akan bicara." Jiaming menggelengkan kepala, "Pertama, aku masih hidup sehat dan sudah memberi peringatan. Kedua... Dia punya ambisi besar. Rahasia ini kalau terbongkar, dia tidak dapat untung, paling-paling dipuji sudah bertindak benar. Tapi kalau tetap dirahasiakan, ini jadi tawarannya di masa depan. Dia jaga kerahasiaanku, aku berhutang budi. Nanti kalau dia ajukan syarat, aku harus setuju."
Lingjing mengangguk, lalu khawatir bertanya: "Jangan-jangan permintaannya keterlaluan?"
"Hehe, dia kan bukan orang bodoh."
"Maksudmu aku yang bodoh? Hmph, mulai sekarang jangan sentuh aku..."
"Pendekar wanitaaa..."
Lingjing pura-pura marah, Jiaming meninabobokannya sejenak hingga akhirnya kemarahan itu berubah jadi tawa. Saat itu juga makanan yang dipesan akhirnya datang. Sambil menyantap hidangan, bayangan sosok lain tiba-tiba melintas di benak Jiaming.
Li Xiuyun.
Meskipun sebagai pengguna kekuatan supernatural yang sangat langka, baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang, wanita ini tidak signifikan dalam [], sehingga saya tidak memahami situasinya dengan jelas, juga tidak bisa menilai karakter dan kelemahannya secara akurat. Meski telah berjanji untuk menjaga kerahasiaan saat itu, perkataan semacam itu tidak bisa dipercaya. Dalam 1-2 hari setelah diselamatkan, dia mungkin masih ragu tentang hal ini, namun tidak lama kemudian pasti akan membuat laporan detail kepada []... Haruskah Bunuh dia?
Sebenarnya, dalam situasi saat ini, bahkan jika identitas saya terdeteksi oleh [], sebenarnya sudah tidak menjadi masalah besar. Jika membunuh manusia untuk hal sepele seperti ini, malah akan merepotkan kemudian, tidak perlu. Kalau begitu... Heh, serahkan saja pada Dongfang Lu untuk menanganinya, dia pasti ahli dalam hal ini.
Sambil berpikir demikian, pikiran pun perlahan melayang ke arah lain, yaitu masalah yang menyertai kedatangan Li Yunxiu.
Yahan...
……
Villa Keluarga Zhang.
Sebagai putri tunggal harta kesayangan Keluarga Zhang Jianghai, Yahan tentu tidak mungkin kebetulan tinggal di rumah sakit yang sama dengan Shasha dkk. Untuk mengobati penyakit ginjalnya, keluarga Zhang telah mempersiapkan tim medis khusus dan berinvestasi di beberapa tim pengobatan terkenal dari berbagai negara, berharap suatu hari bisa menyembuhkan penyakit putrinya. Bahkan jika kondisi kesehatan memburuk, mereka berharap bisa menemukan sumber ginjal yang cocok untuk transplantasi dengan keberuntungan.
Saat ini, wanita yang biasanya anggun dan mandiri ini, dengan wajah yang agak bengkak dan kurus kering, terbaring di ruang perawatan yang penuh perangkat medis. Matanya terpejam, kulit wajahnya tampak membengkak sehingga jelas terlihat ia mengerutkan alis tanda menderita bahkan dalam tidurnya.
Di luar kamar berjendela kaca besar, dokter dan perawat lalu lalang. Zhang Jing'an berdiri di dekat jendela berbicara dengan dokter penanggung jawab, sementara Tante Yahan juga mendengarkan dengan tegang di sampingnya. Setelah beberapa saat, dokter itu mengangguk dan pergi. Seorang pelayan menghampiri: "Tuan, Nyonya, ada seseorang di luar ingin menjenguk Nona Yahan. Katanya dia mantan mahasiswa Nona Yahan..."
"Bilang Bu Guru Zhang tidak bisa menemui siapa pun saat ini." Zhang Jing'an mengerutkan kening. Pelayan itu melanjutkan pesan yang terpotong.
"Namanya Gu Jiaming... Oh, baik, saya akan menolaknya."
"Tunggu, Gu Jiaming?" Tante di sampingnya mengayunkan tangan, lalu menatap Zhang Jing'an. Zhang Jing'an bertanya: "Ada apa?"
"Nama ini terdengar familiar. Waktu di Kapal Pesiar Star Dream dulu, Yahan pernah memperkenalkan seorang bocah lelaki kepada kita." kata Tante itu. "Yahan sangat dekat dengannya, katanya adik seperguruan silat yang sangat sopan. Setelah dia menghilang, Yahan sampai menangis histeris memaksa kita mengeluarkan biaya untuk pelayaran pencarian..."
“Oh, itu yang itu.” Zhang Jing'an saat ini juga sudah ingat, mengangguk, “Katanya masih keturunan langsung keluarga Huang, cuma orang tuanya sudah MATI, yang posisinya tidak berarti itu kan? Waktu itu aku ingat kau bilang Yahan bahkan pada adik kandung sendiri mungkin tidak sebaik ini...”
“Kalau... suruh dia naik ke sini menjenguk Yahan?”
“Bentuk begini ada apa yang bagus dilihat.” Zhang Jing'an menghela nafas, “Baiklah, kau yang urusi dia. Teman baik Yahan juga tidak banyak, di keluarga ada begitu banyak sepupu laki-laki, tapi tidak ada satu pun yang dekat dengannya. Aku lebih baik pergi bicara dengan dokter, sekalian menghubungi negara lain apakah ada metode pengobatan yang bagus...”
“Baik.” Tante mengangguk, kemudian mengusap pelupuk mata yang masih kemerahan karena semalam menangis, berkata pada pelayan: “Bawa dia ke sini, jangan sampai tidak menghormati.”
Tidak lama kemudian, dipandu oleh pelayan, Jiaming membawa seikat anyelir putih bersih, muncul di luar ruang perawatan. Melalui penghalang yang terlihat transparan tapi sebenarnya ada, ia melihat perempuan yang masih tertidur lelap itu...
## Bagian 220 Musim Dingin
Tik! Tok! Tik! Tok!...
Tengah malam, suara perangkat bergema di kamar. Setelah dokter keluar dari kamar pasien, yang tersisa di tepi ranjang hanyalah Tante yang mengenakan gaun tidur, dengan hati-hati menyelimutinya. Seorang perawat berjalan lewat di luar jendela.
“Dokter bilang kau akan bangun malam ini, ternyata benar sudah bangun.”
“Hmm, Tante...”
“Papamu terus berkomunikasi dengan rumah sakit di Inggris dan Amerika. Baru saja ada telepon yang memanggilnya. Sebentar lagi mungkin dia akan datang.” Wanita yang secara resmi adalah ibu tirinya, namun lebih seperti kakak ini duduk di tepi ranjang. “Sekarang bagaimana perasaanmu? Lapar? Mau minum Air? Kamu terlihat seperti tiba-tiba menjadi gemuk.” Ujung jarinya menekan pipi yang bengkak, membuat kulit tertekan membentuk cekungan kecil sebelum perlahan kembali normal: “Sakit?”
“Tidak.” Yahan menggelengkan kepala lemah di ranjang, memaksakan senyum. “Seperti biasa, cuma lemas dan agak kembung...”
“Tapi jadi mempermalukan.”
“Biarin saja, toh tak ada yang datang...” Yahan tersenyum pucat.
“Hmm.” Tante mengangkat bahu, baru teringat setelah beberapa saat. “Siapa bilang? Siang tadi muridmu datang.”
“Hah?”
“Gu Jiaming itu, murid sekaligus adik juniormu. Waktu itu kamu masih tidur. Papamu melarangnya masuk, tapi aku ingat kalian dekat. Kubiarkan dia naik, membawa bunga anyelir. Sudah kusuruh taruh di ruang tamu.”
“...” Ekspresi wajahnya terlihat kompleks. Mulutnya terbuka sejenak, seolah bingung merangkai kata. “Dia... sudah pergi?”
"Tentu saja sudah pergi." Tante mengangguk, "Mengobrol sebentar dengannya, anak itu cukup baik. Ah, yang membuatku terkesan adalah meskipun terlihat tidak begitu istimewa, saat berbicara dia sama sekali tidak menunjukkan kekakuan seperti mahasiswa biasa. Karena ini kah kau bisa berteman dengannya?"
"Hmm..." Yahan tersenyum perlahan, "Dia memang suka berlagak dewasa. Anak kecil selalu ingin terlihat seperti orang dewasa... Ada yang dia katakan?"
"E... Hanya menanyakan kondisimu bagaimana, kapan bisa sembuh. Bilang akan datang lagi setelah kau pulih."
"Menunggu sampai benar-benar sembuh ya..."
"Hehe, aku juga bertanya tentang kabar pacarmu. Ternyata dia tidak tahu. Kukira hubungan kalian cukup dekat, setidaknya dia tahu sedikit jejak-jejak. Jangan-jangan anak ini sengaja tidak memberitahu?"
Menghadapi pertanyaan ini, Yahan tentu mengangkat mata tanpa menjawab. Di hatinya berkecamuk berbagai perasaan. Setelah beberapa saat, baru berkata pelan: "Tante, ambilkan cermin untukku. Aku ingin melihat penampilanku sekarang..."
"O." Tante mengangguk, mengambil kotak rias dari tas tangan dan membukanya. Lensa di dalamnya didekatkan ke wajah Yahan. "Sebenarnya hanya terlihat lemah. Wajah sedikit bengkak, tapi jadi lebih imut lho."
"...Jelek." Setelah mengamati sebentar, Yahan memberi penilaian tegas terhadap kondisinya saat ini.
Penampilan jelek seperti ini, juga sudah dilihatnya… Di hati muncul kekecewaan samar dan rasa kehilangan. Sebenarnya di depan Jiaming, saat ingin kabur dari pernikahan dulu, penampilan telanjang bulat setelah mandi pun sudah dilihat seluruhnya. Bahkan kemudian masih berdesakan dan bertubrukan dengannya di dalam selimut. Tapi waktu itu aku masih percaya diri dengan penampilan, memperlihatkan sosok yang cukup memuaskan. Belakangan justru tidak terlalu keberatan. Kini dilihatnya penampilan sejelek ini, mood pun jadi turun.
Nanti kalau sudah sembuh baru datang lagi… Berharap bisa cepat-cepat pulih…
Dengan pikiran seperti itu, memaksakan diri mengobrol sebentar dengan Tante. Saat hendak tertidur lagi, Zhang Jing'an masuk dari pintu kamar, wajahnya malah berkilau sukacita. Saat Tante berdiri menyambut, kalimat pertamanya adalah: "Kabar baik, di New York akhirnya ada kemajuan…"
……
Awalnya berencana bicara terbuka dengan Yahan selama periode ini, beberapa hal perlu diklarifikasi. Tapi meski paham teori, sebenarnya di hati belum menemukan solusi. Mungkin rencana inilah yang justru lebih tidak perlu.
Urusan perasaan tak bisa diselesaikan dengan senjata atau pisau secara tegas. Bagi-Nya ini tetap merepotkan. Ke rumah keluarga Zhang, tidur panjang Yahan justru memberi waktu penyangga. Di hati semakin memahami sifat pengecut Yoritomo Taku dulu.
Setelah pergi dari Keluarga Zhang, sebagian besar waktu di hari-hari berikutnya dihabiskan di rumah sakit. Setiap hari mengantar makanan untuk Shasha, juga menjenguk Kaoru. Meski luka tembak tiga peluru di tubuh Kaoru sembuh cepat berkat fisiknya yang prima, tetap dibutuhkan waktu untuk pemulihan total.
Lingjing lebih sering datang dibanding Jiaming. Sejak peristiwa itu, Akademi Hati Kudus telah memasuki masa liburan. Setiap hari Lingjing berjaga di rumah sakit, bolak-balik antara kamar pasien Shasha dan Kaoru. Kaoru yang biasanya dingin dan pendiam justru banyak bicara saat bersama Lingjing - selama ini dia terus diminta mengajar bahasa Inggris. Namun saat berdua saja dengan Jiaming, suasana berubah total. Biasanya Jiaming duduk di tepi ranjang dengan cepat mengupas apel Fuji merah, sesekali mengucapkan kalimat-kalimat tentang Dunia Kegelapan yang berbau darah. Tapi di bawah terang matahari yang menyinari kamar, dengan kulit apel merah panjang terkelupas rapi oleh pisau ahli Jiaming, kemudian dipotong jadi empat bagian dengan suara krak-krak-krak, tak ada yang menyangka percakapan tabu mereka.
Sebenarnya, jarang sekali Jiaming yang tertarik mengupas apel, lebih sering Lingjing yang mengupas setengah lalu memberikannya padanya. Di waktu-waktu lainnya, jika hanya mereka berdua yang bersama, biasanya setelah sapaan sederhana tak ada lagi percakapan, duduk berdampingan memandang langit yang kelam atau cerah, ranting-ranting pohon tua yang sudah gundul, atau pohon pinus keperakan yang bergoyang dalam angin. Musim dingin semakin dalam, di kamar pasien VIP yang jendelanya bersih dan AC senantiasa menghangatkan, pemandangan di luar terasa begitu suram.
Bukan berarti Jiaming enggan bicara dengan Kaoru atau meremehkan pembicaraan, hanya saja mereka sama-sama berlatar belakang kegelapan sehingga obrolan kosong terasa tak bermakna – kebiasaan yang terbentuk selama bertahun-tahun. Harus diakui, sisi gelap Jiaming memang lebih dominan dan murni dibanding sisi terangnya yang samar. Dari sudut pandang manusia biasa, mungkin dirinya memang terlihat kaku dan sulit didekati. Kaoru tentu tak berani protes, tapi di hati kecilnya pasti berpikir sama – merenungkan hal ini sebentar, Jiaming tak bisa menahan senyum. Lingjing dan Shashi rupanya perlahan mengubahnya menjadi manusia normal.
Namun, bertahun-tahun kemudian ketika mengingat masa lalu ini, hanya momen-momen sederhana ini yang terukir di kedalaman hati. Saat itu dia mendekati Jiaming karena alasan-alasan kegelapan, dan yang sering disentuhnya kemudian adalah sisi gelap dan berdarah dingin Jiaming. Kemudian muncul harapan akan hal-hal biasa, tapi karena Jiaming memisahkan dengan jelas dua sisi baik dan jahat dirinya, dia tak berani menunjukkan hal-hal yang tidak perlu—yang dianggap tidak matang di Dunia Kegelapan—dan berusaha mengikuti langkahnya. Hanya di momen-momen seperti inilah dia bisa sedikit merasakan sisi manusia biasa Jiaming.
Hanya saja ketika diingat bertahun-tahun kemudian, hubungan mereka yang awalnya murni kegelapan perlahan menjadi normal, bisa mengobrol dan berinteraksi layaknya manusia biasa, benar-benar membutuhkan waktu dan perubahan yang sangat panjang, melalui begitu banyak peristiwa—darah dan api, sukacita dan air mata... Ini adalah kisah lanjutan yang sementara tidak akan dibahas.
Di luar kehidupan biasa ini, secara terselubung Jiaming telah mulai mempersiapkan perjalanan ke Tokyo yang akan datang. Dia mengingat informasi tentang Pei Luo Jia yang pernah diketahui, melakukan analisis, klasifikasi, dan hipotesis perubahan yang mungkin terjadi. Selama periode ini, banyak informasi dikirim ke Tenku Masaoka untuk dikonfirmasi dan dikoreksi. Luka tembak di tubuhnya pun perlahan pulih hari demi hari selama masa ini.
“Namun, sebagai pihak Tenku Masaoka, saat ini mereka sebenarnya tidak menyetujui rencana Jiaming untuk melakukan balas dendam ke Tokyo. Kekuatan Pei Luo Jia sangat besar, terutama sekarang mereka sudah menyiapkan pertahanan. Meskipun reputasi dan kekuatan TULIP lebih tinggi dari Yoritomo Taku, mustahil menyerang markas besar Pei Luo Jia sendirian lalu kabur. Bagi Tenku Masaoka, aksi Jiaming mengusir Yoritomo Taku dua kali, membunuh Da Nei Zhangdu dan Munen telah menunjukkan kekuatannya yang luar biasa. Terutama intelijen tentang Pei Luo Jia yang dia berikan kali ini, semakin membuatnya menyadari nilai besar Jiaming. Baik dari niat baik maupun pertimbangan kepentingan, dia berharap Jiaming tetap aman untuk saat ini.”
“Setelah lebih dari sepuluh hari pemulihan, luka tembaknya yang memang memiliki konstitusi baik mulai pulih secara bertahap. Karena memutuskan pergi ke Jepang, dia sempat mengunjungi Keluarga Zhang lagi. Namun Yahan masih dalam kondisi tertidur. Sang Tante menerimanya sebentar, mengatakan kondisi kesehatan Yahan sudah membaik dan akan segera dikirim ke Amerika untuk perawatan lebih efektif. Jiaming berpikir sejenak, memutuskan menunda pertemuan ini sampai keduanya pulang dalam kondisi baik.”
“Bagaimanapun, hanya senjata tajam yang bergerak seperti robot-lah bidang yang paling dia kuasai.”
“Namun, beberapa hari kemudian, sebuah telepon dari Tenku Masaoka akhirnya mengacaukan rencananya.”
“Mengenai kasus Munen sebelumnya, Pei Luo Jia saat ini sudah memiliki skema penanganan awal. Awalnya mereka tidak berniat melakukan ini, tapi... Kabarnya Guru Zhang Yahan-mu baru-baru ini akan ke Amerika?”
“Hmm, Apa hubungannya dengan dia?”
“Dalam beberapa tahun terakhir, markas besar Pei Luo Jia memang selalu memiliki ketidakcocokan dengan cabang-cabang lainnya. Namun karena tidak ada konflik kepentingan besar dengan pihak Amerika, hubungan mereka dengan cabang Amerika Utara tetap relatif baik. Seperti yang kau tahu, sebagian besar kekuatan Pei Luo Jia di Amerika Utara berada di AS. Mereka menganalisis operasi Tak terhitung dewa-dewa itu, dan membuat penilaian awal bahwa kau pasti sekarang menganggap mereka sebagai musuh yang tidak bisa didamaikan. Kebetulan ada intelijen yang tepat waktu sampai, jadi mereka memutuskan... eh, orang-orangku baru mendapat kabar hari ini. Setelah menyelidiki seketika, ternyata Nona Yahan sudah berangkat dengan pesawat pribadi kemarin?”
Byur! Jiaming mematikan telepon. Di kamarnya di Tokyo, Tenmasa Masaoka mendengar nada sambungan terus-menerus dari mikropon, tersenyum kecut. Bagaimanapun, pihak Amerika tidak mungkin mengerahkan seluruh kekuatan organisasi meskipun mereka bertindak. Menghadapi mereka masih jauh lebih aman dibanding langsung menerobos markas besar mereka.
“Semoga beruntung, Tuan Gu. Aku di sini akan memberikan bantuan.”
Setelah mengucapkan kalimat itu pada dirinya sendiri, ia mulai memutar nomor telepon lain, sambil mengambil set data yang telah dikumpulkannya selama lebih dari sepuluh hari terakhir: “Halo... Tenmasa Masaoka... Kumpulkan semua bos. Ada sesuatu yang sangat menarik untuk kutunjukkan. Hmm, hehe... Hadiah Natal lebih awal, pasti kalian menyukainya.”
## Bagian Dua Ratus Dua Puluh Satu Pra Badai
Gedung-gedung tinggi yang berjejer, arus mobil yang padat. Di sepanjang jalan, bangunan-bangunan dari atas hingga bawah dipenuhi papan iklan besar berwarna-warni. Mendekati Natal, cuaca mulai dingin. Kerumunan orang di sepanjang jalanan telah mengenakan pakaian musim dingin yang tebal. Sales yang berjas tebal membawa tas dokumen berjalan cepat, gadis-gadis modis berpostur tinggi sedang jalan-jalan, pemuda berbaju hip-hop bertopi olahraga, karyawan kantoran berkulit pucat yang sesaat berhenti di kios koran sambil menyesap kopi lalu buru-buru pergi setelah membeli koran. Kulit putih, kuning, hitam. Rambut pirang, hitam, yang diwarnai berbagai warna—eh, dan yang botak... Kerumunan orang berhenti sebentar di persimpangan jalan yang padat. Setelah arus mobil seperti air bah berlalu, lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Orang-orang dari kedua sisi langsung blek blek blek saling berpaparan, lalu kembali terpisah oleh lalu lintas mobil sesaat kemudian.
Toko-toko yang jauh dan dekat telah menghias dan mendekorasi untuk menyambut Natal yang akan datang. Di seberang jalan, papan promosi Natal raksasa sedang digantung perlahan, warnanya mencolok dan sangat menarik perhatian. Kerumunan orang yang melintas di bawahnya secara bawah sadar menjaga jarak. Cahaya langit cerah, dari samping terlihat gedung-gedung tinggi seperti pisau yang memotong langit menjadi strip trapesium. Di ruang sempit yang dikelilingi papan iklan raksasa berwarna-warni ini, 1,5 juta orang berdesakan di jalanan seperti lembah - menunggu, berlalu-lalang, berhenti - bagaikan sel yang membawa item-item sepele dan fragmen kehidupan dari sini ke sana, mempertahankan daya hidup kota raksasa ini.
19 Desember 1998, New York, Manhattan - salah satu tempat paling ramai di dunia.
Mengenakan pakaian pasien putih tipis, dengan sandal di kakinya. Wanita berwajah oval dengan ekor kuda panjang diikat tali merah sederhana, memiliki ciri wajah cantik khas Timur yang sempurna, berdiri di lorong. Kedua tangannya menempel lembut pada jendela kaca transparan yang memblokir seluruh ruang, memandangi segala sesuatu di jalan di bawah. Akibat kondisi kesehatan dalam periode ini, wajahnya yang pucat terlihat lebih lemah, namun matanya justru tampak lebih berbinar. Bengkak di tubuhnya telah memudar, membuatnya terlihat lebih kurus dan rapuh dibanding sebelumnya.
Ini adalah fasilitas medis yang terletak di kawasan tersibuk Manhattan. Lebih tepat disebut lembaga penelitian daripada rumah sakit biasa. Lembaga penelitian medis ini sangat terkenal di industri, namun tidak seperti rumah sakit konvensional. Mereka lebih fokus pada pengembangan dan penelitian. Untuk berobat di sini, pasien harus mengeluarkan uang besar dan sebaiknya berasal dari keluarga terpandang. Karena itu, jumlah pasien di sini tidak banyak, namun mampu menempati lokasi termahal di dunia dengan perangkat medis terbaik dan lingkungan pengobatan yang sempurna.
Dia tiba di sini kemarin dulu. Sebenarnya, sebelum sampai di sini, kondisinya sudah terkendali, tubuhnya sudah tidak bengkak lagi, dan masuk tahap pemulihan. Tapi sindrom nefrotik memang salah satu penyakit paling bandel. Sekali membaik tidak berarti apa-apa, karena tak lama kemudian bisa kambuh lagi hanya karena pemicu kecil seperti masuk angin – hal yang sulit dihindari pasien dengan daya tahan tubuh lemah akibat penyakitnya. Zhang Jing'an buru-buru mengirimnya ke sini untuk mencari metode penyembuhan yang lebih baik.
Perjalanan kali ini terasa terlalu mendadak baginya. Ayahku hanya sekilas menyebutkan tentang koneksi dengan New York sebelumnya, lalu pada malam itu langsung mengantarnya naik pesawat dengan gesit. Bukan berarti dia punya umpatan dalam hati atas pengaturan ini, hanya saja sebelumnya... dia masih menunggu orang itu.
Sudahlah, sembuhkan dulu baru menjenguknya...
Hubungan Yahan dengan ayahnya tidak kunjung membaik sejak konflik dingin beberapa tahun silam. Meski mengerti perhatian ayahnya, tapi setelah kejadian Liu Wenli dulu, dia sadar betul bahwa demi kepentingan keluarga, ayahnya tetap akan menjadikannya tawaran pernikahan jika diperlukan. Mungkin menyadari ketidakharmonisan ini, kali ini hanya tante yang menemaninya ke New York, sementara Zhang Jing'an tetap di Jianghai, mengecek kondisi lewat telepon setiap hari.
Setelah tinggal selama tiga tahun di Inggris, Yahan sebenarnya tidak kesulitan beradaptasi dengan lingkungan Amerika. Dua hari terakhir ini, dia praktis tinggal di rumah sakit untuk menjalani berbagai pemeriksaan, suntikan sederhana, dan minum obat, sama sekali tidak keluar kamar. Selama periode ini, Tante sudah mempersiapkan diri untuk berbelanja dan berwisata besar-besaran di New York selama Natal. Yahan juga bertekad untuk sementara melupakan masalah dan menikmati waktu di New York. Seperti kata Tante, jalan-jalan dan belanja adalah obat mujarab yang menyembuhkan segalanya bagi wanita.
Setelah beberapa saat menatap pemandangan jalan di luar jendela, dia mulai berjalan-jalan di sepanjang lorong gedung. Sebagian besar lantai ini merupakan ruang penelitian, sementara sebagian kecilnya adalah kamar pasien. Meski sepi, tetap ada beberapa orang di koridor - ditambah seorang perawat yang baru saja lewat, total sekitar 4-5 orang. Saat melewati pintu kamar pasien, terdengar samar-samar percakapan dalam bahasa Inggris dengan logat yang sedikit berbeda dari Inggris. Sebelum sempat mendengar jelas, tiba-tiba Byur! Pintu kamar terbuka keras dan menabraknya hingga terjatuh.
Dari dalam kamar muncul dua pemuda dengan raut wajah tidak bersahabat yang sedang emosional mendorong pintu. Melihat Yahan tergeletak di lantai, mereka tertegun sejenak. Setelah bertukar pandang, salah satunya mulai mempertanyakan dalam bahasa Inggris. Yahan kini bisa mendengar jelas - mereka menuduhnya menguping percakapan di dalam. Sebelum sempat menjawab, salah seorang pemuda itu menarik kerah baju Yahan dengan kasar dan menyuruhnya berdiri.
“Katakan, kau ini siapa sebenarnya!”
“Kenapa menguping……”
“Siapa yang menyuruhmu? Anggota Keluarga Gambino? Atau Keluarga Colombo……”
“Kalian... ngomong apaan sih! Lepaskan aku!” Kedua orang ini mungkin sudah terbiasa bertindak semena-mena, tapi Yahan bukan wanita yang mudah ditindas. Saat ini pengawalnya tidak ada di samping, dia menyatukan kedua tangannya dan menebas siku orang itu dengan keras. Begitu cengkeramannya longgar, dia langsung memegang bahu dan kerah baju lelaki itu, menyapu kakinya dengan tepat lalu menarik kedua tangan untuk melemparkannya ke tanah.
Serangkaian jurus sederhana ini dilakukan dengan lancar, tapi karena baru sembuh dari sakit, tenaganya memang masih lemah. Dia mundur selangkah sambil merasakan pusing ringan. Melihat rekannya jatuh, orang satunya hendak menyerang, namun tiba-tiba bayangan seseorang menyelusup di antara mereka.
“Wah-wah... Masalah apa sih? Bicara baik-baik, bicara perlahan……”
Bayangan itu membentang, menghadang kedua orang yang hendak menyerang. Posturnya tidak terlalu tinggi besar, mungkin hanya sekitar 1,7 meter dengan topi olahraga kuning. Dengan panik dia menahan keduanya sambil berkata: “Bicara baik-baik, ini salah paham, salah paham! Bicara perlahan, jangan pukul saya dong……”
Dalam percakapan, kedua pria itu akhirnya menyerang orang yang ikut campur ini. Namun tubuh orang itu bergoyang dua kali, dengan mudah menghindar. Ketika salah satu dari mereka hendak menangkap Yahan, lagi-lagi ia menarik pakaian mereka. Dalam sekejap, gerakan menghindar dan tarikannya yang tampak acak-acakan membuat kedua pria itu tak bisa mendekati Yahan maupun melukainya. Yahan mengamati sejenak, lalu menyadari langkah orang ini jelas-jelas menggunakan ilmu bela diri Tiongkok. Meskipun terlihat panik, nyatanya jauh lebih ahli darinya.
"Jangan pukul aku… Bicara pelan-pelan. Aku akan menghitung sampai tiga, kita berhenti bersama. Setuju? Aku mulai… Hah… Tiga!"
Tiba-tiba, suara itu mengakhiri keributan yang sebelumnya ramai seperti pasar. Dengan pukulan mendadak orang itu, kedua pria itu Byur! jatuh ke tanah. Pria berkulit kuning sekitar usia 20 tahun itu tertawa geli sambil mengangkat tangan. Tubuhnya tidak gemuk, namun wajah bulatnya memberi kesan kekanak-kanakan yang menyenangkan: "Sudah kubilang ini salah paham, jangan lanjut— eh…"
"Fuck!" Seorang pria yang baru bangkit dari tanah tiba-tiba mengeluarkan pistol dari pangkuannya, mengarahkannya ke dahi pria Tiongkok itu. Pria Tiongkok itu mengangkat tangan, namun bersamaan dengan itu, tangan lain memegang laras pistol. Di belakang pria berwajah bulat itu muncul seorang pria asing tinggi besar berjas rapi sambil membawa buket bunga, mengerutkan alis: "Ngapain?"
“Eh……” Kedua kelompok ini jelas saling mengenal. Begitu laras senjata direngkuh, pria asing yang memegang senjata di sisi ini langsung panik, "P-Pak Joseph, wanita ini menguping pembicaraan kita……"
“Aku tidak!” Yahan melotot sambil berkata.
“Mana ada.” Pria berpenampilan menyenangkan itu juga mengangkat tangan, "Mereka yang ceroboh membuka pintu, sampai menjatuhkan nona ini, malah menuduhnya menguping."
Pria bernama Joseph menatap mereka sejenak, lalu mengangguk ke arah Yahan: "Maaf, ini kesalahan mereka…… Minta maaf!" Separuh kalimat terakhir jelas ditujukan kepada kedua orang asing itu.
“Tapi…… eh…… maaf ya.”
“Minta maaf……”
Keduanya jelas sangat takut pada pria bernama Joseph ini. Setelah ragu sejenak, mereka agak enggan mengucapkan permintaan maaf. Joseph pun tak banyak bicara, mengambil buket bunga lalu masuk ke kamar sebelum menutup pintu. Di luar, pria berwajah manis itu mengangguk pada Yahan sambil berbahasa Mandarin: "Orang Tiongkok?"
Yahan mengangguk perlahan.
“Kebetulan! Tak menyangka bisa ketemu orang Tiongkok di sini. Saya juga, panggil saja Mantou, rumah leluhur di Beijing."
Mantou tersenyum, mengulurkan tangannya. Yahan tersenyum tipis menyentuh ujung jarinya: "Terima kasih."
Pria bernama Mantou di seberang itu sepertinya ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi wanita cantik di depannya sudah berbalik dan pergi. Dengan ekspresi bingung, ia menggaruk-garuk rambutnya. Beberapa saat kemudian, melirik ke kedua sisinya, ia pun tersenyum kecut.
Berjalan ke samping, dia mengeluarkan MP3 dari pangkuannya dan mengenakannya, lalu menekan tombol: "Bos, ada sedikit masalah, sudah menjalin kontak dengan target, sayangnya dia sepertinya tidak tertarik berkomunikasi denganku. Si cantik memang tetap si cantik. Kutebak aura kesaktianku yang kutunggangkan membuatnya waspada secara bawah sadar... Lalu, bagaimana mungkin anggota mafia juga ada di rumah sakit ini? Baru saja kulihat Joseph dari Keluarga Salieri. Meskipun selama ini dia mengelola bisnis yang relatif legal, apakah ini akan berdampak pada misi kita?"
"Seharusnya tidak." Beberapa saat kemudian, suara datang dari seberang: "Yang masuk adalah adik laki-laki Joseph. Beberapa waktu lalu kena tembak, dirawat di sini karena Joseph punya saham di lembaga penelitian ini. Dibandingkan kemungkinan masalah besar, ini hanya hal sepele. Tapi mengingat sebelumnya kau mengklaim wajah dan aura-mu bisa menaklukkan semua gender, atas konsekuensi si cantik yang tidak mau mengacuhkanmu ini, atas nama seluruh anggota Tim Anti-Teror Grup 1, kami menyampaikan anggukan mata penuh makna dan cibiran meriah..."
"Cih... Kak Guohua, menurutku kita tak perlu mengkhawatirkan langit yang runtuh. Dia cuma cewek kecil tanpa musuh, sekali studi ke luar negeri harus dikawal banyak orang seperti kita. Menurutku, dengan kehadiranku saja sudah cukup untuk melindungi kepala negara. Apa perlu serumit ini hanya untuk mengambil hati si TULIP?"
"Benar." Di ujung earphone, Cui Guohua tertawa geli. "Makanya Guo Lin dan yang lain sekarang sedang jalan-jalan keliling. Tugas mulia dan berat ini akan diserahkan ke pundakmu seorang. Siswa Roti Kukus, jika benar-benar ada bahaya, semoga kau bisa menyelamatkan diri sendiri."
"...Kalian terlalu memalukan."
"Dulu setiap ke luar negeri ke tempat besar seperti ini selalu urusan tugas-tugas. Sekarang akhirnya ada waktu luang, tentu harus lebih banyak jalan-jalan biar worth it... Hehe, sebenarnya Guo Lin dan yang lain sedang mencari informasi tentang Pei Luo Jia di Amerika Utara berdasarkan intelijenmu. Soal TULIP, selama ini kau di Amerika, sulit dipahami tanpa merasakan langsung. Tapi karena kita kebetulan di New York dan ada perintah dari atasan, kerjakan saja baik-baik. Setelah kejadian di Kota Jianghai ini, inilah saat terbaik untuk menunjukkan kesungguhan kita pada TULIP. Orang itu... Aku juga ingin bertemu dengannya..."
"Kalau dia si cantik," Siswa Roti Kukus mengangkat mata putihnya, "aku juga mau ketemu, ngobrol-ngobrol sedikit."
Saat percakapan konyol ini berlangsung di sistem komunikasi khusus mereka, sekitar 20 kilometer tenggara Manhattan, sebuah pesawat dari Tiongkok mendarat tepat waktu di Bandara Internasional Kennedy. Tak lama kemudian, seorang wanita berbaju jas hujan putih berkerah tegak dengan kacamata hitam merah muda muda keluar dari pintu gerbang bandara. Dengan membawa koper kecil, dia melambaikan tangan memanggil taksi.
“Sheraton
Manhattan（Sheraton Manhattan Hotel）。”Suara yang tenang terdengar dengan logat New York yang murni dan autentik. Sopir pun mengarahkan mobil ke jalan raya. Di dalam mobil, wanita itu melepas kacamata hitam merah muda. Dari kaca spion terpantul wajah indah bernuansa oriental Jian Suyan yang memancarkan keanggunan, ketenangan, dan semangat. Hanya alis yang sedikit berkerut mengisyaratkan kilatan tajam tersembunyi, bagaikan awan yang tenang sebelum badai...
## Bagian Dua Ratus Dua Puluh Dua: Masalah Heidi
Ini adalah sebuah SMA biasa di tengah kota New York.
Angin dingin musim dingin menerpa jalanan kota di sore hari. Melalui pagar sekolah terlihat para siswa yang baru pulang membawa tas dan buku catatan. Beberapa mengambil sepeda di tepi lapangan untuk pulang. Di lapangan sepak bola yang rumputnya menguning sedang berlangsung pertandingan, dikelilingi kelompok anak-anak yang menonton sambil mengobrol atau bersorak. Di sudut tribun penonton kayu sederhana, terdapat kelompok penonton terbesar berjumlah sekitar belasan orang - siswa berbagai usia dan ras yang menyaksikan pertandingan sambil bercengkerama.
"Las Vegas? Boleh juga, dua tahun lalu aku pernah ke sana. Tempatnya sangat indah, kalian benar-benar mau pergi? Aku tahu sebuah kasino di sana, bahkan pernah menang sejumlah uang... Jujur, itu benar-benar tempat yang bagus."
Menjelang Natal, sebagian besar sekolah di Amerika sudah memasuki liburan musim dingin. Sekolah menengah ini terlambat memberi liburan, namun juga dalam dua hari ini. Jika di SMP Amerika masih banyak "bayi baik", para mahasiswa SMA sudah memasuki masa pemberontakan - mendambakan karakter, ekspresi diri, keunikan, dan kemandirian. Begitu liburan tiba, mereka mulai merencanakan perjalanan bersama setelah Natal.
Perjalanan tanpa keterlibatan orangtua pada dasarnya merupakan bentuk aktivitas pencocokan. Di kota asing, perasaan suka akan cepat tumbuh di antara orang yang saling mengenal. Di Amerika, tidak jarang mahasiswa SMP atau SMA sudah menjalin hubungan seksual. Tentu saja, mungkin ada yang konservatif - seperti keanehan yang selalu ada dalam kelompok manusia mana pun - hal ini tak bisa dipungkiri.
Setelah berdiskusi riuh, akhirnya semua setuju ke Las Vegas. Beberapa baron dengan sengaja atau tidak mengarahkan pandangan ke gadis di tengah kerumunan. Seorang anak laki-laki kulit hitam bertubuh tinggi berkata: "Kalau begitu kita Konfirmasi ke Las Vegas. Heidi, Bagaimana? Kami belum mendengar pendapatmu." Sambil berkata demikian, matanya mengikuti arah pandangan gadis itu ke lapangan, seolah mencari sesuatu. Sesaat kemudian, tatapannya mengunci target pada seorang pemuda kulit putih yang sedang berlari.
"Ah, Las Vegas? Hmm..." Gadis itu mengumpulkan pandangannya yang kosong karena berpikir, lalu mengangkat bahu dengan acuh tak acuh, "Baiklah, setelah Natal, kita ke sana." Bahasa Inggrisnya yang fasih disertai gerakan mengangkat bahu dan bicaranya menunjukkan kelincahan khas anak-anak Amerika. Mendengar jawaban tegasnya, beberapa anak laki-laki di sekitarnya tersenyum lega. Semua orang mulai ramai membicarakan detail perjalanan ini, dan rencana pun akhirnya disepakati.
Di tengah kerumunan, gadis yang menjadi sorotan mayoritas itu terlihat sekitar empat belas atau lima belas tahun. Jika di Tiongkok mungkin masih disebut perempuan, di Jepang akan dikategorikan sebagai loli - bagaikan jeruk yang tumbuh di utara dan selatan. Namun karena aura kemandirian yang terpancar darinya, ia pantas menyandang sebutan 'gadis' sekarang.
Gadis di kerumunan orang memiliki rambut hitam, bukan hitam murni yang menyilaukan seperti air terjun atau satin. Rambutnya terurai tenang di belakang kepala, tidak terlalu panjang, hanya melewati bahu. Sesekali ketika helaian rambutnya berkibar, tercipta kesan seperti kain tipis atau kabut. Ia mengenakan kemeja ungu muda, celana panjang dengan empat kantong tersembunyi, dan sepatu olahraga pink dengan teks putih. Perkembangan dadanya masih samar, terutama tersamar oleh pakaian musim dingin yang membuat posturnya terlihat lebih pendek namun semakin menggemaskan. Kombinasi warna hangat dan senyum polos yang selalu menghiasi bibirnya menciptakan kesan menyenangkan. Aura yang dipancarkannya menunjukkan kemandirian sekaligus kelembutan sesuai estetika Timur, mungkin terkait warisan darah campuran Tionghoa-Amerikanya.
Remaja bernama Heidi*Tom ini tidak hanya memiliki identitas sebagai keturunan campuran dan dari keluarga orang tua tunggal, tetapi juga dikabarkan memiliki latar belakang keluarga mafia. Hal ini membuatnya, meskipun baru setahun masuk kelas 10 dan menarik banyak perhatian anak laki-laki, tidak ada satu pun gadis yang berani menunjukkan ketidaksukaan secara terbuka. Alasan para baron muda ini sangat memperhatikan pendapatnya tentu bukan karena takut pada latar belakangnya, melainkan karena daya tarik besar yang tercipta dari perpaduan manisnya yang unik dengan aura kontradiktif yang dimilikinya.
"Tentu saja, jika kemampuan observasi kita cukup, mungkin kita bisa langsung melihat bayangan gadis kecil yang beberapa tahun lalu terdampar di Kota Jianghai, mengenakan baju compang-camping, bertelanjang kaki, dengan wajah dan hidung kecil yang kotor, yang setiap malam menunggu Jiaming di depan gerobak mie goreng. Tapi secara keseluruhan, dia telah tumbuh jauh. Matanya masih memancarkan kemurnian dan kejernihan, namun kebingungan dan ketidakberdayaan masa itu sudah hilang. Sikap manja dan kemanjaan yang sengaja ditunjukkan saat pergi ke Jianghai bersama ibunya setengah tahun lalu, kini sama sekali tidak terlihat. Dalam waktu yang tidak kami perhatikan, termasuk Jiaming, gadis kecil itu sebenarnya telah perlahan tumbuh dewasa."
"Heidi." Aku tahu dia bisa dengan lincah berinteraksi dengan orang lain, tapi di momen-momen tertentu—biasanya saat dia sedang merenung mencoba mencipta lagu—dia juga bisa menjadi sangat sunyi. Melihat orang-orang di sekitar mulai berdiskusi lagi, Amy, teman sebangku yang dekat dengannya, menyandar mendekat: "Lagipikir apa? Kau memandangi siapa? Bill? Vins?"
"Ah? Aku sedang berpikir..." Heidi tersenyum, "Aku ingin jalan-jalan ke Tiongkok."
"Tiongkok? Kenapa mau ke sana? Oh... kan kamu memang suka hal-hal Tionghoa, kulihat beberapa kali kamu baca buku tentang Tiongkok. Katanya kamu juga bisa bahasa China?"
“Masih belajar.” Dia tersenyum menjawab dalam bahasa China, menunggu sampai ekspresi Amy menunjukkan kebingungan, baru mengangkat bahu, “Aku bercanda, hehe. Ngomong-ngomong... Vince aku tahu, dia kapten tim sepak bola kan? Lalu Bill itu siapa?”
“Wakil kapten yang baru terpilih, yang tampangnya ganteng dan main bolanya jago. Kukira kau memperhatikannya. Lihat, di sana, dia datang... Ah, awas!”
Sebelum Amy selesai bicara, Heidi menoleh dan melihat sebuah bola sepak meluncur deras. Anak laki-laki kulit hitam di depannya refleks menghindar, bola itu menghantam dahi Heidi dan melambung tinggi.
“Aduh... aduh...” Gadis yang semula duduk di sandaran kursi kayu itu mengayunkan tangannya beberapa kali di udara, kemudian Byur! jatuh ke rumput tepi sungai di belakang. Para anak laki-laki di sekitar terdiam membeku, sementara para cewek menutup mulut mencoba menahan tawa. Amy yang pertama berbalik: “Heidi, tidak apa-apa?”
Sebelum ada yang menjawab, Heidi yang tergeletak sudah bangkit mendadak, memukul-mukul rambut acak-acakan, pipi, lalu bajunya. Teriakan “kecelakaan” dari anak laki-laki itu entah didengarnya atau tidak, dia hanya berlari kecil mengejar bola itu, lalu menggendongnya ke tepi lapangan dan menendang keras.
Bola itu melintasi setengah lapangan, meski sudah kehilangan tenaga, namun karena kiper sedang terpana, bola itu masuk tepat ke gawang.
“Jangan sampai aku melihatmu main bola seperti ini lagi! Kalau tidak, pantatmu akan kuhajar habis-habisan!”
Setelah mengayunkan kepalan tangan sambil berteriak kencang, Heidi menyilangkan tangan sambil mencibir dan menunjuk jari tengah. Di lapangan, pria itu mengangkat tangan bingung, sementara orang-orang di sekitar tertawa. Setelah sampai di tribun kayu, Heidi mengusap dahinya yang memar sambil mengangkat tas gitarnya: "Aku duluan ya, dadah."
"Da..."
"Jangan lupa jadwalnya, persiapkan baik-baik."
"Iya, iya tahu."
Melambaikan tangan, Heidi berjalan menuju gerbang kampus dimana sebuah Honda silver khusus wanita sudah menunggu. Mobil yang luas dan elegan itu memancarkan aura kemandirian. Seorang wanita berjas hujan cokelat dengan sanggul rambut berdiri di samping pintu mobil. Setelah mengangguk, Heidi langsung duduk di kursi penumpang sambil melempar gitar ke jok belakang.
Beberapa saat kemudian, wanita berjas hujan cokelat itu mengemudi dan mobil perlahan melaju di jalan raya.
"Liburan sudah dimulai?"
"Hmm."
"Tadi kulihat kena tendangan bola, sakit tidak?"
"Nggak."
"Maaf hari ini telat, tadi berunding dengan pihak Perusahaan Ruit."
"Gak apa-apa..."
"Jiaming sudah sampai di Amerika."
"Hmm... Apa?!" Heidi berbalik dari jendela dengan jeritan kaget, matanya menatap ibunya. Sang ibu hanya tersenyum sambil memalingkan muka, "Bohong, cuma mau uji konsentrasimu yang melayang tadi..."
“Aku ingin ke Tiongkok...” bergumam pelan. Marilyn di sebelahnya menoleh: "Tapi kita tidak bisa ke sana merepotkannya."
“Aku tahu... Jadi setelah Natal aku hanya akan pergi ke Las Vegas...”
“Las Vegas? Kau ingin berwisata?”
“Hmm, bersama teman-teman sekelasku itu.”
“Sekelompok anak? Tidak, aku menolak!”
“Aku sudah berjanji pada mereka.”
“Tidak boleh, kalau mau wisata ibu bisa menemanimu, kau tidak boleh pergi sendiri...”
“Bukan sendiri...”
“Tetap saja sendiri, maksudku pergi berdua denganmu sama saja sendiri.”
“Aku sudah berjanji, kau yang mengajariku, janji pada orang tidak boleh diingkari.”
“Itu Tom Jingyao yang bilang, lagipula dia sendiri tak bisa menepati janjinya. Jiaming juga pernah bilang, mengingkari janji adalah hak istimewa wanita. Kau dengar siapa?”
“Seharusnya kau tidak mengajarkanku hal-hal seperti ini, ini tidak benar.”
“Pokoknya kau tidak boleh pergi...”
Perdebatan sengit dalam mobil berlangsung sepanjang perjalanan. Mentari semakin condong ketika mobil kecil itu akhirnya mendekati manor besar di tepi pantai. Tiba-tiba, Marilyn yang sedang menyetir tertegun merasakan getaran dahsyat pada kendaraan. Heidi melirik ibunya penuh tanya sebelum menatap ke depan.
Saat itu, di tepian taman bunga depan pintu gerbang manor, sedang duduk seorang pemuda Timur yang berpenampilan biasa. Ia mengenakan jaket tebal yang sama biasa-biasa saja dengan penampilannya, membawa sebuah tas, duduk dengan bosan di sana. Cuaca tampak agak dingin, ia sesekali mengencangkan kerah jaketnya. Karena dia orang Timur dan sikapnya agak ketinggalan zaman, seorang pria kekar berbaju jas hitam di dalam gerbang manor sedang menatapnya dengan pandangan tidak ramah.
Mobil perlahan berhenti.
Pintu mobil terbuka. Dengan mengenakan jas hujan warna teh dan sepatu hak tinggi silver, dia mengulurkan kakinya keluar pintu mobil, tampak agak gemetar saat menyentuh tanah. Di sisi lain, pintu mobil berderak-derak beberapa kali, sepertinya karena gadis kecil itu terlalu bersemangat sampai awalnya tak bisa membuka pintu, lalu akhirnya Byur! melompat keluar.
"Hmm... sudah lama menunggu kalian." Pemuda itu berdiri, "Tak ada kenalan lain, boleh tinggal di sini beberapa hari?"
"Semua ini milikmu." Marylyn berusaha menahan gejolak dalam hati, suaranya terdengar anehnya lembut, seolah keributan sedikit saja akan merobek dunia mimpi di depan matanya. Tapi tiba-tiba bayangan Heidi bersorak berlari mendekat, Byur! memeluk pemuda itu, berisik beberapa kali, mereka berdua sekaligus terguling ke dalam taman bunga di belakang...
## Bagian Dua Ratus Dua Puluh Tiga Bisikan Hati
"Kota New York di musim dingin, cahaya matahari selalu memberi kesan kurang mencukupi. Namun bagaimanapun, saat mentari senja condong ke barat, dilihat dari tepi laut, hamparan awan merah yang menyembur dari cahaya mentari melintasi hutan gedung pencakar langit tak berujung di kota raksasa ini, selalu membangkitkan perasaan takut dan hormat yang tak terucapkan. Saat mobil memasuki pintu gerbang manor, Jiaming duduk di barisan belakang menyaksikan pemandangan ini. Heidi bersujud di kursi penumpang, kedua tangannya bertumpu pada sandaran kursi, matanya berbinar-binar menatapnya."
"Berapa lama kau akan bermain di sini?"
"Uh... tergantung situasi."
"Situasi apa?"
"Kerahasiaan... uh, Marilyn..."
"Apa?"
"Sebelum Heidi sempat mengekspresikan perasaan marah, hampir bersamaan dengan teriakan nama oleh Jiaming, Marilyn refleks terkondisi menoleh. Byur! Mobil menabrak kolam air mancur di plaza depan manor yang seharusnya dihindari. Karena kecepatan rendah, insiden ini hanya membuat ibu dan putri Marilyn kaget setengah mati, tidak ada masalah serius."
"Uh, aku hanya merasa... tadi kau nyetir agak tidak fokus, uh, sedikit melenceng..."
Jiaming mengangkat bahu, di depan Marylin mengedipkan mata, terdiam selama dua detik, kemudian tersenyum dengan wajah sedikit memerah. Melihat sudah ada orang yang mendekat, dia pun mendorong pintu mobil keluar, Jiaming dan Heidi juga turut turun. Wanita berjas hujan warna teh membungkuk melihat bagian depan yang penyok, lalu memegang kap mobil sambil mengelus rambut dengan kekecewaan, tersenyum mengangkat bahu, suara sepatu hak tinggi mengetuk tanah perlahan. Ini gerakan kebiasaannya saat ragu atau bingung, namun saat ini terlihat penuh daya tarik sensual dan memikat.
"Err... Tom, tolong menyetir mobil ini untuk diperbaiki ya?" Dia tersenyum sambil menyerahkan kunci kepada pria hitam kekar yang pertama mendekat, "Aku ada tamu."
"OK." Pria hitam itu membuat gestur oke dengan ramah, namun matanya tak bisa tidak memandangi Jiaming beberapa kali. Manor ini tampak sangat luas, selain villa utama terbesar di depan, juga terdapat banyak villa dan rumah kecil dengan bentuk beragam di sekitarnya, mirip desa atau basis militer. Menjelang sore, terlihat banyak orang beraktivasi di kejauhan, sebagian besar jelas terlihat sedang patroli - mereka adalah anggota internal mafia Salieri.
"Ayo, kubawa ke tempat tinggalku dan Heidi. Hmm, itu rumah kecil di sebelah sana."
“Mengikuti arah yang ditunjukkan Marilyn, terlihat sebuah gedung kecil berlantai dua yang terletak di pusat dan dekat dengan area permukiman. Dibandingkan bangunan di sekitarnya, ukurannya memang lebih kecil, tetapi untuk dihuni hanya dua orang, skalanya terbilang cukup besar. Heidi sudah berlari sambil melambai-lambai di depan. Selama perjalanan, banyak pria dan wanita dari berbagai penjuru melirik penasaran, mungkin merasa heran dengan kehadiran seorang "teman" bagi ibu dan putri Marilyn ini.”
“Sejak kematian Tang Jingyao, Marilyn yang sebelumnya agak tertutup mulai terlibat dalam sebagian bisnis keluarga dan lebih sering berinteraksi dengan orang. Lebih dari sepuluh tahun lalu saat kuliah, dia sudah menjadi bunga kampus yang dikerubungi pengagum. Banyak yang mengejar-ngejarnya dan menunjukkan perhatian, dasar kemampuan manuvernya yang lihai di dunia bisnis pun sebenarnya sudah terbentuk sejak lama. Namun dalam hubungan pribadi, dia hampir tidak punya teman sejati. Bahkan dengan Joseph yang sangat dihargai keluarga Salieri, dia tetap menjaga jarak. Jiaming pernah mendengar Heidi bercerita tentang hal-hal ini: bagaimana ibu membuat lawan negosiasi tak berkutik, bagaimana Paman Joseph ditolak mentah-mentah oleh ibu, dan berbagai cerita sejenisnya.”
“Sampai di depan gedung kecil itu, sebelum masuk, Jiaming menoleh ke belakang. Di depan pintu villa utama manor, terlihat seorang pria tua bertubuh agak gemuk mengenakan jas hitam sedang mengantar tamu keluar, namun pandangannya tertuju ke arah mereka. Marilyn yang sudah masuk setengah badan berbalik berkata, "Masuklah." Kemudian dia juga melihat pria itu dan mengangguk dari kejauhan.”
“Ayahmu?”
“Hmm, ayahku.”
Victor*Salieri, godfather keluarga mafia cabang ini. Meski status itu tak cukup memicu pikiran berlebih dari Jiaming, dia mengangguk dan mengikuti Marilyn masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintu kamar.
……
Makan malam dihidangkan dari delivery restoran Tiongkok.
Rencana awal Marilyn adalah memasak sendiri untuk menunjukkan kemampuan memasaknya pada Jiaming. Namun karena () sudah larut, () persediaan di rumah sangat terbatas, akhirnya setelah berikrar "besok akan belanja besar-besaran", Marilyn akhirnya memesan delivery. Makan bertiga ini berlangsung harmonis - hangatnya pemanas, cahaya lampu yang temaram, tiga orang duduk di meja makan sederhana. Sulit menamai adegan ini apakah "Ibu dan Anak" atau "Suami Muda Wanita Dewasa dan Putri Mereka" yang lebih tepat.
Setelah makan, mereka bergantian mandi. Jiaming dan Heidi duduk di atas selimut bulu bermain game menghadap TV. Tak lama kemudian, Marilyn juga keluar mengenakan gaun tidur putih, melingkarkan betisnya yang putih mulus di sofa belakang. Sambil menyisir rambutnya yang sudah tujuh puluh persen kering oleh pengering rambut, dia memperhatikan kedua orang yang sedang bermain game. Sekitar pukul sembilan, bel pintu berbunyi. Marilyn berjalan membuka pintu. Di tengah suara game dan teriakan sesekali Heidi yang bersemangat, suara di depan pintu masih bisa terdengar samar-samar. Marilyn hanya membuka pintu sedikit, sepertinya tidak berniat mengizinkan orang itu masuk. Namun tetap terlihat jelas bahwa yang berdiri di luar pintu adalah Joseph yang pernah berpapasan dengan Jiaming.
"Bolehkah aku masuk..."
"Maaf, sudah..."
"Kudengar kau kedatangan tamu..."
"Teman dari Tiongkok, kau pernah bertemu..."
"Waktu itu dia membawamu pergi diam-diam, itu berbahaya..."
"Itu adalah kebebasanku."
"...Aku hanya peduli padamu."
"Terima kasih..."
"Aku ingin tahu tujuan kedatangannya... Meski masih anak-anak, tapi dia... berbahaya..."
"Menurutku... itu kebebasannya, tidak ada hubungannya denganmu..."
"Harus menjamin keamanan keluarga..."
"Segala konsekuensinya... akan kutetanggung jawab..."
"Keluarga Gambino sekarang..."
"...Aku mengerti."
Suara dua orang samar-samar, kemudian sepertinya berdebat dengan suara yang ditekan. Saat di Jianghai sebelumnya, tindakan Jiaming langsung membawa pergi Marilyn dan Heidi jelas memberikan kesan buruk pada Joseph. Namun sikap Marilyn yang teguh membuatnya tak bisa berkomentar. Mereka berbincang di depan pintu sekitar lima enam menit sebelum Marilyn menutup pintu, lalu meringkuk kembali ke sofa sambil memeluk bantal besar untuk melindungi tubuhnya yang menggigil kena angin dingin luar.
"Dingin sekali…"
"Kenapa tidak biarkan dia masuk? Harus ngobrol dengan pintu terbuka?"
"Mama memang tak pernah mengizinkannya masuk karena dia ingin mengejar Mama." Sambil memegang stik game, Heidi tersenyum menjawab, "Sejak pulang dari Tiongkok tahun ini, mereka bertengkar dan sejak itu Mama melarangnya masuk. Kata kakek, ini karena Mama penakut, takut akan jatuh cinta kalau mengizinkan Paman Joseph masuk."
"Benarkah?"
"Cih, main saja game-mu…"
"Kata kakek, bukan urusanku."
Bertiga mereka saling bercanda tanpa menyentuh topik sensitif seperti alasan kedatangan Jiaming. Bahkan Heidi yang sudah lama berinteraksi dengannya paham pertanyaan semacam itu termasuk tabu. Marilyn yang duduk di belakang sesekali mengambil alih stik game dari Jiaming atau putrinya, hanya untuk dihancurkan telak oleh lawan di layar. Candaan hangat ini berlanjut hingga… tengah malam…
……
Hal yang sama dilakukan berulang kali, perlahan-lahan akan menjadi kebiasaan—seperti hubungan antara Jiaming dan Marilyn. Salah kaprah terjadi pada pengalaman pertama, karena mempertimbangkan perasaan mereka berdua muncul kesempatan kedua dan ketiga. Pada akhirnya, makna di balik semua ini semakin kabur. Beberapa hal yang telah menjadi kebiasaan akhirnya berubah menjadi alasan untuk memverifikasi eksistensi diri di mata pihak lain. Oleh karena itu, ketika pintu kamar terbuka di tengah malam dan sosok lembut berbaju gaun tidur menyelinap ke dalam selimut, Jiaming tak merasa ada yang aneh.
"Bolehkah aku tidur di sini sebentar?" Suara wanita itu terdengar lembut dalam kegelapan.
"Dulu kau selalu masuk tanpa baju."
"Jika kau ingin melihat... nyalakan lampu..."
"Heh... seperti ini saja sudah cukup."
Tubuh mereka bersentuhan, tangan menempel di badan masing-masing, tapi tak ada gerakan lebih lanjut. Setelah lama terdengar bisikan sang wanita: "Apa kedatanganmu kali ini untuk urusan penting?"
"Untuk membunuh beberapa orang."
"Mmm..." Pipi mereka bergesekan dalam gelap. Marilyn mengeluarkan suara nyaman, seolah tak terlalu memedulikan jawaban Jiaming. Beberapa saat kemudian dia bertanya: "Berapa banyak? Apa kau akan tinggal di sini beberapa lama?"
"Sampai mereka ketakutan... Ada beberapa hal terjadi." Perlahan, tangan itu meluncur mengikuti lekuk punggung wanita hingga ke bokong, paha, lalu membuka ujung gaun dan menyusup ke area misterius: "Sudah basah kuyup begini..."
"Habis mandi... belum kering..."
"Heh, sudah 4-5 jam..."
"Mmm, entah kenapa... sejak melihatmu jadi seperti ini..."
"Jadi tabrakan tadi karena itu?"
“Hmm... Sejak saat itu... sampai sekarang...” Dengan napas pendek-pendek yang halus, dia melipat kaki rampingnya untuk memudahkan mereka menurunkan kain tipis berenda Resi dari gaun tidur. Tak lama kemudian, tangan itu kembali menyusup masuk. Beberapa saat kemudian, Jiaming tertawa.
“Jika kukatakan... Aku masih harus pergi mengurus sesuatu malam ini, apa yang akan kau lakukan?”
Setelah ragu sejenak, dia menggigit bibir bawahnya dan berbisik:
“Hmm... Tolong bantu aku sekali dengan tanganmu... Bolehkah...”
## Bagian Dua Ratus Dua Puluh Empat Alih Luyah
New York, Manhattan, pukul dua pagi.
Di antara jalanan yang dikepung gedung-gedung pencakar langit, riuh rendah kota masih terus bergema. Cahaya kejayaan membentang di sepanjang jalan tak berujung, lalu lintas tetap padat dengan kendaraan yang lalu-lalang. Pejalan kaki di trotoar hanya sedikit berkurang dibanding siang hari, sementara bayangan gelandangan, pengemis, dan pemuda-pemuda berpenampilan aneh semakin banyak terlihat. Mobil polisi terparkir di pinggir jalan, dua polisi berdiri di dekat tiang listrik sambil memegang kopi dan mengobrol. Uap putih dari kopi bercampur dengan hawa panas dari percakapan dan napas mereka. Entah sejak kapan, semua orang secara bawah sadar menghentikan langkah, mengulurkan tangan, dan menengadah ke langit malam yang dikelilingi gedung-gedung tinggi.
Serpihan salju sebesar bulu angsa berjatuhan dari langit.
Menjelang Natal, New York menyambut hujan salju pertama di musim dingin ini.
Di restoran "St. John" yang buka 24 jam di sudut jalan, melalui jendela kaca besar dari lantai ke langit-langit, orang-orang yang masih beristirahat di dalam dengan gembira membicarakan hujan salju lebat yang sedang turun. Dibandingkan dengan suasana sebelumnya yang diiringi musik latar lembut namun terasa agak kaku, kedatangan salju pertama ini jelas membawa energi baru bagi restoran. Setiap wajah menampilkan senyum santai yang nyata, membahas salju dan hal-hal menarik yang sebenarnya.
Restoran ini memiliki luas sekitar 400-500 meter persegi dengan dekorasi sederhana namun elegan dan pencahayaan yang cukup. Sekitar 80% kursi terisi tamu, kebanyakan pria-wanita relatif muda - karyawan perusahaan dan gedung perkantoran sekitar yang bekerja lembur datang untuk bersantai. Sebagian besar meminum kopi, sementara beberapa yang tidak tahu harus ke mana di malam mendekati Natal ini duduk dengan baijiu di depan mereka, menuang sendiri tanpa bicara. Sesekali orang membuka pintu sambil tanpa sadar mengibaskan salju di bahu, memesan makanan di konter untuk dibawa pulang.
Di kursi dekat sudut jendela restoran, seorang gadis berbaju putih sedang duduk di sana. Dia mengenakan topi tenis putih bermerek Nike, di bawah tepi topi terlihat wajah indah bernuansa aura Timur. Tangannya memegang buku yang sedang dibaliknya dengan tenang, jas hujan putih tergantung di sisi kursi. Sweater hangat memperlihatkan postur yang relatif sederhana dibanding orang Barat namun sempurna sebagai orang Timur. Sweater wol itu juga berwarna putih, menyatu sempurna dengan pemandangan salju di luar jendela. Di kakinya terdapat celana panjang abu-abu kebiruan, satu kaki disilangkan di atas yang lain. Di hadapannya terletak secangkir kopi yang sudah dingin karena lama dibiarkan, tapi dia tak keberatan. Sesekali meletakkan buku, menyesap kopi, lalu tersenyum memandang salju di luar.
Meski berada di kota dunia New York, gadis Tiongkok yang hampir sempurna ini tetap langka. Beberapa saat kemudian, seorang pria berusia sekitar 30 tahun dengan seragam kerja restoran dan pesona kematangan mendekat membawa cangkir kopi panas baru. Dengan lembut dia mengganti cangkir kopi di depan gadis itu. Sang gadis mengangkat kepala sedikit, meliriknya: "Aku tidak meminta layanan."
"Kopi Anda sudah dingin, yang ini gratis untuk dicicipi."
"Hmm." Tanpa menunjukkan keheranan, gadis itu mengangguk lalu menundukkan pandangan lagi. Tangannya membalik halaman buku, berkata datar: "Terima kasih."
“Agak sulit diajak bicara,” pria itu bergumam dalam hati, mungkin karena sering menerima keringanan fasilitas tanpa alasan jelas seperti ini. Kemudian dengan natural ia menarik kursi di seberang dan duduk: “Jika kau tak keberatan, aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Sam*Elliot, koki restoran ini. Apa kau orang Tiongkok?”
Perempuan itu tersenyum, menutup buku dan mengangkat kepala: “Jika kau koki restoran ini, menurutku seharusnya kau kembali ke dapur di belakang.”
Sang koki tetap tersenyum, mengabaikan nada pengusiran dalam perkataannya: “Orang Jepang?”
Menggelengkan kepala, pandangan perempuan itu tertuju pada jalanan bersalju di luar jendela. Arus kendaraan masih ramai hilir mudik. Kepingan salju sudah meleleh begitu menyentuh tanah, namun tarian serpihan salju sebesar bulu angsa yang memenuhi langit bersama embusan napas putih orang-orang tetap menyiratkan hawa dingin. Di hadapannya, sang koki masih berbicara dengan senyuman yang menawan.
“Kalau begitu pasti orang Tiongkok. Aku pernah beberapa kali ke Tiongkok - Beijing, Hong Kong, Hangzhou. Tiongkok sangat bagus...”
“Terima kasih.” Perempuan itu menyesap kopinya lalu tersenyum jujur, “Aku membenci Amerika. Jika memungkinkan, aku harap tak perlu datang ke sini.”
……
Dari sudut pandang seni murni, ini adalah kamar yang sama sekali tak memiliki estetika. Tentu, dari segi utilitas murni: pencahayaan memadai, tata letak rasional, berbagai fasilitas dan perangkat modern, layar display raksasa di dinding logam, rak buku rapi, folder - segalanya dirancang berdasarkan efisiensi, ciri khas gaya Amerika.
“……Yang terhormat Tuan Castro, sebagai bentuk terima kasih kami, yang dibawa Tuan Omamori kali ini selain ungkapan syukur, juga satu buah draf rencana kerja sama tahap berikut untuk kedua belah pihak. Seperti diketahui umum, Takamagahara dari Jepang, [] dari Tiongkok, serta Dark Celeste dari Eropa Utara telah melakukan persekutuan awal setelah pertemuan sebelumnya, sehingga saat ini Divisi Asia kami masih berada dalam fase defensif. Pemerintah Jepang menginginkan stabilitas, setelah campur tangan mereka, kami juga mendapat banyak pembatasan...” Suara percakapan bergema di dalam kamar, “Tiongkok memiliki peribahasa terkenal: 'Jika bibir binasa, gigi pun kedinginan'. Karena itu Tuan Omamori berharap semua orang bisa sementara mengesampingkan prasangka masa lalu. Setelah New York, kami akan melanjutkan ke Amerika Selatan, Australia, dan Eropa. Kami berharap Tuan Castro dapat bersama Tuan Omamori mengeluarkan seruan bersama...”
"Mengenai hal ini, sebelum kalian naik pesawat, Pak Mishu sudah bertelepon dengan saya, pasti tidak bermasalah." Tuan Castro yang duduk di dalam tersenyum: "Tapi, mengenai beberapa hal, masih ada perbedaan pendapat dalam organisasi... Menelusuri asal-usulnya, Pei Luo Jia dahulu kala bernama Pohon Bodhi Kematian Kelabu, berakar dari Tiongkok, melalui evolusi ratusan tahun menjadi skala organisasi yang tersebar di seluruh dunia ini. Jelas terlihat, dalam beberapa arah, telah terjadi perubahan esensial. Kami tidak menganggap kelengkapan organisasi pasti baik, kekuatan Pei Luo Jia di Eropa Utara didominasi orang-orang Prancis itu, sekarang bisa dikatakan mereka hampir menjadi prajurit liberal yang berjuang untuk kemerdekaan Korsika. Kita semua tahu Korsika adalah tanah cahaya suci, sudah seharusnya menjadi negara mandiri. Untuk semangat mereka, saya sangat kagum, tapi harus diakui, mereka sudah tidak pantas menyandang nama pembunuh lagi. Sedangkan di Amerika Utara, bisnis yang kami kelola juga bukan semata urusan MEMBUNUH, kau tahu, kami bahkan berpartisipasi dalam politik..."
Di dalam Pei Luo Jia penuh konflik internal, meskipun hubungan antara cabang Amerika dan markas Jepang cukup baik, tapi tentu ada orang-orang yang mereka anggap tidak enak dipandang. Mulut mereka menyebut "Kebebasan Korsika", tapi sebagai pihak pragmatis mereka sangat tidak menyukai emosi romantis tak tersembuhkan orang Prancis. Menurut mereka, orang Prancis bodoh ini menentang segalanya yang bisa ditentang, hanya untuk mengekspresikan selera estetika dan gaya unik mereka. Sejak beberapa kali kerjasama tidak menyenangkan, kedua pihak sudah bermusuhan, ada juga gesekan antara Amerika Selatan dan Utara, sementara cabang Australia yang selalu tidak memiliki eksistensi - tidak disukai semua orang, dan mereka pun tidak menyukai yang lain...
Tentu saja, semua ini adalah hal sepele. Ketika diperlukan persatuan, semua pihak masih bisa bersatu sementara. Bagaimanapun, krisis yang dihadapi bersama sangat banyak. Sejak kegagalan rencana membunuh James untuk memfitnah [], Keajaiban Kreasi terus mencari masalah dengan Pei Luo Jia Amerika... Setelah berdiskusi sebentar, kedua pihak mulai membahas hal paling konkret saat ini.
"Mengenai Zhang Yahan itu, kami tidak berniat membunuhnya. Terhadap seorang pembunuh sekelas TULIP yang sangat kuat, kami selalu menjaga rasa takut dan hormat. Namun sejak tindakan sepihak Mushen Wunian, ruang untuk kompromi antara kedua pihak sudah hampir tidak tersisa. Sejauh yang kami ketahui, meskipun [] terus memelihara orang ini, Nona TULIP sebenarnya tidak menunjukkan niatan untuk benar-benar bekerja sama dengan []. Dia adalah orang bebas sejati. Oleh karena itu, selama kami memiliki sandera yang dia pedulikan, pihak kami akan mendapatkan inisiatif yang cukup besar. Tentu saja... Jika dia menyerang Jepang, kami terpaksa membunuhnya. Tapi itu akan sangat merepotkan dan tidak perlu..."
"Kami memahami hal itu. Namun menurut informasi kami, respons [] kali ini sangat cepat. Sepertinya sebelum Nona Zhang sampai di Amerika, mereka sudah memiliki beberapa orang di sini. Mereka langsung bergerak memberikan perlindungan kepada Nona Zhang." Castro tersenyum, "Tentu saja, tidak perlu khawatir. Kekuatan perlindungan seperti ini tidak kami hiraukan, sekalipun ada Tn. Cui Guohua yang dijuluki abadi... Bagaimanapun ini adalah Amerika, melakukan perlindungan jauh lebih rumit daripada menghancurkan."
"Kami tentu memahami kekuatan Departemen Amerika." Utusan Jepang menyambut senyum itu, "Lagipula, [] di Amerika seharusnya juga termasuk dalam daftar persona non grata, bukan?"
"Hehe, jika di waktu normal, FBI dan Biro Keamanan Nasional tentu akan mengusir orang-orang ini. Tapi karena kejadian sebelumnya, Keajaiban Kreasi juga menyimpan permusuhan besar terhadap kami. Mereka menggunakan pengaruh mereka di dalam pemerintah, kali ini seharusnya tidak memihak kedua belah pihak. Tentu saja... Aku suka sikap tidak memihak ini."
Tersenyum menampakkan gigi, telepon di meja berdering. Pria bernama Castro mengangkatnya, beberapa saat kemudian menutup kembali: "Faktanya, tim kami telah menyelesaikan penyelidikan awal. Kurasa besok kita bisa memulai operasi. Saat itu, mungkin Tuan Watanabe bisa mengajak Nona Zhang kembali ke Jepang. Ini pasti akan menjadi perjalanan yang menyenangkan..."
……
Kepingan salju masih berjatuhan lembut. Di dalam restoran, sang koki terus berbicara.
"Kalau begitu kurasa kita punya bahasa yang sama. Sama-sama membenci New York..."
Jujur saja, ini pria yang sangat menawan. Meski ajakan ngobrolnya agak lancang, senyumnya tulus, cara bicaranya tidak menyebalkan, dan penampilannya juga tidak seperti playboy. Jika dalam keadaan normal, setidaknya sebagian besar perempuan akan tersenyum sambil mengangguk, sebagian malah mungkin mulai mengidolakannya. Tapi sebelum dia sempat mengarang alasan membenci New York sesuai ucapan perempuan itu, sang wanita sudah berdiri sambil tersenyum memandang mobil yang parkir di pinggir jalan, mengambil jas hujan dan meletakkan uang di meja.
"Konon, mereka yang percaya pada Tuhan akan mendapat penebusan atas segala dosa."
“Dia mengucapkan kalimat seperti ini, tiba-tiba pria itu terlihat agak bingung, mengangguk secara bawah sadar. Baru kemudian dia melihat wanita itu memegang sebuah 《Alkitab》, tapi tampaknya ini adalah Alkitab bajakan paling kasar dan murah di dunia. Hal ini jelas terlihat.”
“Puji Tuhan.”
Nada suaranya terdengar agak ironis, namun selain itu dia tidak mengatakan hal lain. Dia mengenakan jas hujan dan langsung berjalan keluar pintu. Begitu pintu terbuka, salju memenuhi langit.
Pria itu membuka mulutnya lebar-lebar, baru setelah setengah hari dia menghela napas penuh kekecewaan. Seorang pelayan pria datang membereskan barang-barang sambil tertawa: "Sam, kau juga bisa ditolak?"
"Sesekali pasti terjadi." Dia tersenyum santai, namun pandangannya tak sengaja beralih ke luar jendela mengikuti gadis Tiongkok itu. Terlihat dia berjalan kembali ke arah sini menyusuri jalan, salju jatuh di topi tenis dan mantelnya. Pemandangan jalanan tetap sama: lampu jalan yang terang, lalu lintas yang sibuk, dua polisi mengobrol di mobil polisi di sudut jalan. Tak jauh dari situ, sebuah mobil kecil membuka pintu. Seorang manusia biasa keluar dari restoran membawa kopi dan egg tart yang dibungkus, masuk ke mobil dengan tas di tangan. Mobil itu sepertigus akan berangkat.
Di depan jendela, wanita itu berhenti berjalan. Sepertinya dia teringat sesuatu, lalu mengikuti pria itu ke tempat parkir di pinggir jalan. Saat itu pria itu sudah masuk ke mobil. Wanita itu membungkuk di kaca mobil sambil berbicara sesuatu. Samar-samar terlihat benda berbentuk lingkaran menempel di kaca depan mobil. Sekejap mata, wajah dan gerak-gerik orang di dalam mobil terlihat agak aneh.
Apa yang mereka bicarakan?
Di dalam hati tiba-tiba muncul keraguan seperti ini. Dilihat dari belakang, tubuh perempuan itu seolah bergerak. Kaca jendela depan tiba-tiba pecah berantakan. Sebelum sempat memahami apa yang terjadi, jas hujannya terkibar-kibar. Di tangannya teracung dua senapan serbu - satu mengarah ke penumpang di dalam mobil, satunya lagi menempel di kepala seorang Amerika yang baru saja keluar dari pintu belakang.
Dia mungkin takkan pernah melupakan kejadian saat itu seumur hidupnya.
Dentuman senjata menggema keras bahkan hingga terdengar di dalam restoran. Melalui jendela kaca yang bening, di tengah badai salju yang mengguyur, kepala manusia meledak seperti semangka. Percikan darah beterbangan. Laras senjata bergerak gesit ke bawah, merobek tubuh korban hingga tercabik-cabik. Peluru menembus, memburai daging dan darah yang langsung membentuk cap mengerikan sepanjang lima enam meter di tanah.
Hanya dalam hitungan detik, mobil kecil itu sudah hancur berantakan oleh tembakan gila-gilaan. Dua orang di dalamnya ditembak hingga babak belur. Seorang yang berhasil kabur justru tertabrak arus kendaraan beberapa langkah kemudian. Klakson meraung-raung dan suara benturan memenuhi udara - sebuah kecelakaan lalu lintas skala besar terjadi secara tiba-tiba.
Meraih tangan ke atap mobil, tubuh wanita itu melompati mobil kecil tersebut, langsung berjalan mendekati pria yang baru bangun dari tanah dan berusaha kabur. Pada saat yang sama, dua polisi di mobil patroli di tikungan baru bereaksi...
## Bagian Dua Ratus Dua Puluh Lima Pertumpahan Darah di Jalanan
Tengah malam, terbangun oleh suara tembakan samar. Pelatihan sebelumnya membuatnya sangat sensitif terhadap suara seperti ini. Tapi di Amerika, suara tembakan sebenarnya bukan hal yang mustahil, meski di New York sekalipun, rentetan tembakan sedemikian rapat tetap jarang terjadi.
Mengambil earphone mini yang berkedip, suara Cui Guohua terdengar: "Roti Kukus, cepat keluar lihat Tuhan..."
"Apa...?"
Berlari keluar dari pintu kamar pasien, cahaya malam kota menerobos melalui jendela kaca raksasa di lantai yang menyinari koridor. Saat mendekati jendela itu, ia menatap ke bawah dengan mulut menganga.
Di bawah rumah sakit, seluruh jalanan yang cukup luas kini telah macet oleh kekacauan kendaraan. Puluhan mobil kecil bertabrakan di sini. Di seberang jalan, sebuah mobil kecil yang meledak sedang terbakar hebat. Di ruang sempit yang diblokir oleh kendaraan dari kedua sisi, seorang pria Amerika berlumuran darah sedang berjuang kabur - kadang bangkit, kadang terjatuh. Di belakangnya, seorang wanita berbaju putih mengikuti perlahan, membawa dua senapan serbu di tangan, seolah muncul dari api namun memancarkan aura dingin yang membuat bulu kuduk meremang.
Kepingan salju menari-nari memenuhi langit.
Jeritan terus bergema di jalanan, orang-orang yang kabur dari mobil akibat kecelakaan berlarian tercerai-berai. Pria Amerika berlumuran darah itu dengan susah payah menopangkan tangannya di kap mobil kecil untuk berdiri. Sesaat kemudian, wanita itu mengangkat senjata dan menarik pelatuk. Dentuman senjata menyemburkan percikan api bercampur daging beterbangan. Seluruh telapak tangan pria itu langsung hancur menjadi remukan daging. Dalam jerit kesakitan, ia berguling-guling di tanah sambil memegang pergelangan tangan yang tinggal separuh, darah terus memancur deras. Namun mungkin karena fisiknya cukup kuat, meski menerima kerusakan sebesar ini ia belum MATI atau langsung pingsan. Kedua pahanya mengentak-ngentak tanah, bawah sadarnya terus mundur ke belakang sementara wanita itu perlahan mengikuti.
Dalam situasi ini, beberapa wanita ketakutan berlari keluar dari mobil. Sebelum sempat mencapai tepi jalan, mereka sudah muntah-muntah sambil terus berlari – pemandangan yang sangat aneh. Di tikungan jalan tak jauh, sebuah mobil polisi sudah bolong-bolong ditembaki. Dua polisi bersenjata berlindung di belakang mobil polisi itu, mungkin sedang menghubungi markas besar: "Di Jalan XX terjadi tembak-menembak, kasus pembunuhan..." dan sejenisnya. Begitu mereka menampakkan sedikit bayangan dari balik mobil, laras senjata wanita itu SEGERA mengarah ke sana, menggosokkan ribuan percikan api di depan mereka.
“Salju bertebangan, mobil-mobil yang saling bertabrakan di sepanjang jalan, darah yang berceceran, dan kobaran api dari kendaraan di belakang—di tengah situasi kacau seperti ini, seorang wanita berjalan dengan santai. Bahkan Mantou yang sudah lama tinggal di Amerika pun belum pernah melihat orang yang MEMBUNUH dengan profil tinggi seperti ini. Mengikuti langkah pria yang tergeletak di tanah, wanita berbaju hujan putih itu kembali mengangkat senjatanya, langsung mematahkan betis mereka. Beberapa detik kemudian, ketika laras senjata mulai mengarah ke paha, pria itu sudah tak punya tenaga lagi untuk mundur. Berikutnya adalah kaki satunya, lengan, bahu...
“Ini... sebenarnya apa yang terjadi...”
“TULIP yang ingin kau lihat, ini juga pertama kalinya aku melihat wajahnya langsung...” suara Cui Guohua terdengar, “Zhang Yahan tiba-tiba datang kemarin lusa, hari ini dia sudah MEMBUNUH di sini. Kami benar-benar meremehkan sumber informasinya, dan... hmm, jelas juga meremehkan sifatnya. Sekarang FBI dan Biro Keamanan Nasional Amerika pasti pusing...”
“Orang itu... pembunuh dari Pei Luo Jia cabang Amerika Utara?”
“Sepertinya iya. Mereka sangat profesional, mungkin awalnya cuma melakukan survei lokasi dan menyelidiki lingkungan. Kami sama sekali tidak mendeteksi keanehan... Tapi jelas mereka tidak bisa lolos dari pengamatan Nona Jian. Ngomong-ngomong, dia cantik lho, katanya kau tertarik padanya...”
“Uh... lupakan saja. Kudengar Ye Lian menyukainya, kita kan saudara... Biarkan dia yang menangani hal yang sudah pasti sangat yakin MATI ini...”
Dalam percakapan, pembunuhan di jalan terus berlanjut. Di depan wanita itu, mayat pria telah dihancurkan oleh peluru menjadi daging remuk yang terlihat mengerikan. Saat peluru akhirnya habis, dia dengan santai menyimpan dua senapan serbu kembali ke dalam jas hujan, mundur beberapa langkah, mengulurkan tangan ke badan mobil lalu menyerbu keluar dari radius kemacetan...
Dari kejauhan, suara sirine polisi mendekat dengan cepat, tapi jelas sudah terlambat.
"Perhitungan waktu yang sempurna. Hari ini bisa tidur nyenyak." Cui Guohua berkata datar, "Cabang Pei Luo Jia di Amerika Utara pasti akan pusing tujuh keliling karena pukulan ini. Tidak perlu diragukan lagi, FBI juga harus kerja ekstra... Hehe, ini mengingatkanku saat dia bersiap MEMBUNUH di Kota Jianghai dulu. Kami juga tidak bisa tidur, akhirnya Ye Lian yang membantu menyelesaikan..."
"Benar. Selanjutnya, mungkin akan ada banyak orang lagi yang tak bisa tidur..." Dalam desahan Mantou, bayangan itu telah menghilang di antara salju yang menari-nari memenuhi langit. Di belakangnya, tersisa suasana mengerikan dan berantakan di sepanjang blok jalan...
Dalam kegelapan, suara gemerisik terdengar di koridor. Mengusap mata yang masih mengantuk, Heidi menggendong bantal sambil membungkuk rendah seperti kucing. Saat melewati kamar ibuku, dia khususnya mengangkat sandal dengan hati-hati, berjalan lincah dengan kaki telanjang.
Orang yang tak bisa tidur, kali ini jelas termasuk dia.
Beberapa saat kemudian, dia tiba di kamar tamu di sudut paling pojok koridor, mengenakan sandal, berdiri tegak, merapikan gaun tidurnya sambil sengaja mengacak-acak rambutnya sedikit. Tentu saja, meski terlihat acak, tetap harus memenuhi standar yang menunjukkan kelucuannya. Berdasarkan pengalamannya sebelumnya, orang yang tidur di dalam kamar itu menyukai cewek yang imut.
Setelah kembali ke Amerika, konsep estetika seperti ini membuatnya merasa sedikit bingung. Di kampus, karakternya mandiri dan memiliki sisi liar tertentu – hasil dari paparan peradaban anggota keluarga dan didikan ibu tunggalnya. Kata "imut" di sini sama maknanya dengan "kekanak-kanakan" atau "naif", sedangkan para baron di kampus tanpa terkecuali menyukai wanita berpayudara besar, berpantat besar, tapi matang dan mandiri – contohnya seperti ibunya.
Bawah sadar, dia sedikit membusungkan dada kecil di bawah gaun tidurnya. Usianya hampir empat belas tahun, sudah memasuki fase perkembangan. Tinggi badannya mendekati sekitar 1,5 meter, membuatnya terlihat serasi ketika berdiri bersama Jiaming – semua penampilan luar ini memberinya kesan telah memperpendek jarak dengan Jiaming. Dia lebih tua tiga tahun, pas. Ingat di masa-masa awal, dia bahkan pernah memandikannya dan meninabobokannya tidur. Mengingat kenangan itu, rasa hangat yang muncul justru membuatnya merasa ini adalah aib. Saat itu bayangan Jiaming terlalu besar, bahkan memberinya kesan seperti ayahku. Tentu saja dia tidak ingin Jiaming menjadi ayahku.
"Baiklah, harus diakui, dadanya memang agak kecil dibandingkan perempuan sebaya Amerika, mungkin karena papanya Tiongkok mewariskan gen yang tidak baik padanya. Tapi sepertinya Jiaming menyukai hal seperti itu, ya sudah. Memeluk bantal erat-erat, dia kembali mempersiapkan mental. Sekarang sudah hampir pukul empat dini hari. Katakan saja tidak bisa tidur, mengobrol dengannya, lalu tidur sambil memeluknya. Harus terlihat mengantuk, harus imut..." Dia memutar gagang pintu kamar, terkunci.
"Jiaming, Jiaming... Buka pintu..."
Mengetuk pintu dengan lembut, memanggil pelan. Namun bagaimanapun, tidak ada suara dari dalam... Jangan-jangan tidurnya terlalu nyenyak? Tidak, mungkinkah ibunya juga ada di dalam... Saat terpikir ini, dia terdiam sejenak. Jika situasi hari ini benar seperti yang dia duga sebelumnya - Jiaming si pelacur, ibu si sundal, mereka berdua melakukan ini-itu - lalu harus bagaimana... Pikirannya langsung dipenuhi gambaran seru, tapi kakinya tidak diam. Dengan gerakan memutar tubuh, dia membuka pintu kamar sebelah, lalu naik ke balkon.
Ini terjadi di lantai dua villa. Karena balkon dibangun sangat besar, jarak antara dua balkon hanya sekitar satu meter. Bahkan jika terjatuh... ya, lebih baik tidak terjatuh. Dia melemparkan bantal, memanjat pagar sementara, lalu bergoyang-goyang berdiri di atasnya. Gaun tidur tipisnya berkibar ditiup angin. Saat itu, patroli bertebaran di sekitar manor, tapi belum ada yang melihatnya. Dengan lompatan akrobatik, dia mendarat tanpa suara di balkon sisi Jiaming. Heidi adalah kandidat unggulan senam, balance beam, dan uneven bars di sekolahnya. Kini dengan semangat berjuang demi cinta, rintangan kecil ini tentu takkan menghentikan prajurit cilik kita.
"Tidak boleh membiarkan kalian berdua bahagia! Masalah konsekuensinya... belum terpikir olehnya." Setelah mendorong jendela dan masuk ke kamar, dia langsung menyergap ranjang besar... dan meleset.
Memandangi ranjang yang kosong, Heidi terpaku. Meraba selimut yang berantakan, ternyata sudah dingin - pertanda Jiaming sudah lama tidak tidur di sini. Saat itu juga, dia lupa bertanya: kalau Jiaming pergi, kenapa kunci kamar masih terpasang? Diam-diam keluar, dia berlari tanpa alas kaki ke kamar ibuku. Selimut bulu tebal berhasil meredam suara yang mengungkapkan gejolak dalam hatinya.
Kemarahan Heidi akan berakibat sangat serius.
Dia bukanlah orang bodoh. Pada Tahun 95, meski masih kecil dan polos sehingga tidak paham sopan santun, setelah diselamatkan Jiaming, dia sepenuhnya menikmati perawatannya. Tapi sebenarnya dia agak menyadari sedikit tentang hubungan ibu dan Jiaming. Ketika kembali ke Amerika dan semakin matang, konsep-konsep ini perlahan terbentuk - ibunya "kira-kira" pernah tidur dengan Jiaming.
Dalam memorinya saat itu, Jiaming jauh lebih tua darinya, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa tentang hal seperti ini. Dia dan ibunya hidup bergantung, jadi tidak bisa menyalahkan ibu. Sekaligus, segalanya tentang Jiaming pasti benar, berarti ibulah yang "menggoda" Jiaming. Saat musim panas ini kembali ke Jianghai dan bertemu Jiaming, baru dia sadar jarak antara dirinya dengan Jiaming sebenarnya sangat dekat. Tapi karena tidak bisa menyalahkan atau memerintah siapa pun, di hatinya dia membuat keputusan kecil: Ibu sekarang boleh tidur dengan Jiaming, tapi begitu dirinya dewasa dan bisa "menggoda" Jiaming, maka Jiaming harus jadi miliknya.
Karena itu dalam imajinasinya, ibulah yang berinisiatif - dewasa dan cantik, membuat baron-baron di kampus mengeluarkan air liur. Jika Jiaming tidak merebut, itu baru bodoh. Makanya dia yang pertama berlari masuk ke kamar Jiaming. Tapi jika Jiaming yang aktif tidur dengan ibu, sifatnya jadi terasa berbeda... Dia tidak bisa menganalisis jelas perbedaan sifat ini, tapi tetap saja sangat marah...
Dengan lembut memelintir gagang pintu, pintu kamar ibuku seperti biasa tidak dikunci rapat, sehingga tiba-tiba dia membuka pintu, kedua tangan di pinggang, berdiri di sana dengan wajah merah padam, lalu... tertegun lagi.
Di kamar tidur masih sepi.
Mereka berdua... meninggalkanku... pergi kencan...
## Bagian Dua Ratus Dua Puluh Enam Waktu Menjelang Fajar
Aku telah ditinggalkan.
Saat menyadari hal ini, perasaan sedih menyergap. Amarah yang tertahan tak tahu harus diluapkan ke mana. Air mata tanpa sadar mulai berkumpul di sudut mata, bingung harus kemana. Saat sampai di mulut tangga, gadis kecil itu baru menyadari ada keributan di bawah. Mengintip diam-diam, televisi di ruang tamu menyala dengan volume kecil. Ibu yang mengenakan gaun tidur duduk di sofa, segelas anggur merah di tangan, menatap layar. Gaun tidurnya tersingkap tinggi, kaki ramping ibu sepenuhnya terekspos... Licik sekali, beginilah caranya menggoda Jiaming.
Bersembunyi beberapa saat, tapi Jiaming tak kunjung muncul. Sepertinya ibu juga tidak sedang menunggu siapa-siapa. Di televisi terus diputar ulang rekaman video yang tampaknya direkam ibu tadi subuh pukul dua lebih. Rekaman pengawasan yang buram itu memperlihatkan kecelakaan mobil, ledakan, salju turun... Oh, di luar memang sedang turun salju. Tadi saat melompat dari balkon, hatiku terlalu bergejolak sampai tak sempat heran melihat taburan bunga es memenuhi langit.
Dengan tenang mendengarkan suara dari televisi, kira-kira berkata: "Malam ini pukul dua pagi, terjadi kasus pembunuhan kejam di Blok Kelima Manhattan. Berikut rekaman video pengawasan yang kami dapatkan, terlihat..." Dalam gambaran tersebut, seorang wanita berbaju putih berjalan di area kecelakaan mobil. Meski kabur, samar-samar terlihat setiap kali dia mengangkat tangan, penderitaan korban di bawah tanah dan percikan darah yang terus menerus, orang-orang di sekitarnya berlarian tercerai-berai.
Terlihat seperti film blockbuster baru. Heidi yang sudah lama di New York pun belum pernah melihat kasus pembunuhan yang begitu santai dan lancang. Tapi kalau dipikir, pemandangan salju bertebangan itu agak mirip dengan hari ini. Dia menonton sebentar, Jiaming belum keluar, tapi ibuku sudah duduk di karpet depan TV sambil membawa gelas anggur, seolah sedang mengamati gambaran di layar TV dengan cermat. Tak lama kemudian dia memutar ulang rekaman dengan remote kontrol. Heidi berjalan mendekat dengan hati-hati: "Apa sih..."
"Ah!" Kaget oleh suara yang tiba-tiba muncul, Marilyn gemetar seluruh tubuh. Beberapa saat kemudian baru menepuk-nepuk dadanya, lalu mengulurkan tangan untuk balas dendam mencubit tengkuk Heidi. Di antara tawa kekek Heidi yang menyembunyikan lehernya, wajahnya juga mendekati layar TV: "Ini apa sih?"
Tanpa menjawab pertanyaan putrinya, Marilyn mengembalikan status rekaman ke pemutaran normal. Heidi juga tidak terlalu memperhatikan, hanya memonyongkan bibir: "Mama, Jiaming pergi ke mana?"
“Jiaming？” Marilyn menunjukkan ekspresi bingung, “Bukankah dia sedang tidur di kamar?”
“Tidak mungkin, dia hilang.” Karena ibuku tidak bersama Jiaming, sedikit dendam dalam hati pun menghilang, hanya dengan memasang wajah cemberut: “Di Tiongkok juga begini, sampai di New York masih begitu, selalu tiba-tiba menghilang. Mama, apa dia akan datang lagi?”
“Mungkin ada urusan yang harus diselesaikan. Jiaming memang sibuk, kau harus memahaminya.” Sambil tersenyum memeluk putrinya di pangkuan, satu tangan tanpa sadar menarik ujung gaun tidurnya ke bawah, “Dulu di Jianghai dia juga sibuk dengan banyak hal, bukan?”
“Iya, jadi setiap pagi saat bangun dia sudah hilang, malam hari hanya mampir sebentar. Dulu dia... hmm, dulu dia...” Mengucapkan ini, Heidi memiringkan kepalanya seolah teringat sesuatu. Di saat bersamaan, suara langkah kaki halus terdengar dari lantai atas. Ibu dan anak ini berbalik melihat - ternyata Jiaming yang mengenakan piyama berdiri di sana. Melihat mereka berdua duduk di depan TV bawah, dia terkejut lalu menggaruk rambutnya: “Eh, kalian bangun pagi-pagi untuk nonton TV? Ini bukan kebiasaan baik...”
“Tidak juga.” Marilyn tersenyum bangkit, meletakkan gelas anggur lalu menyambut Jiaming, “Mungkin karena hari ini kau datang, Heidi juga sulit tidur. Barusan dia masih bilang kau tidak ada di kamar.”
“Bagaimana mungkin……Oh, aku baru bangun ke toilet……” Jiaming mengangguk, hendak berbicara namun matanya sudah tertarik ke layar TV. Marilyn menoleh dan melihat Heidi memegang remote kontrol, memutar ulang rekaman berita yang baru saja ia ambil.
Serat kapas, Darah, Baju putih.
Kali ini tampak lebih dekat, suara dari TV juga terdengar jelas. Heidi menatap Jiaming sambil terus menyaksikan: "Jiaming, kau tadi... kau menyamar jadi cewek keluar?" Dibandingkan kasus pembunuhan mengerikan itu, fokus pertanyaan Heidi justru pada penyamarannya sebagai perempuan. Marilyn membuka mulut, memandang Jiaming lalu putrinya, seolah ingin membantah kesimpulan ini. Tapi jelas sebelumnya ia juga membuat spekulasi yang sama dengan putrinya. Dalam insiden tembak-menembak di Kota Jianghai dulu, ketenangan dan kekuatan Jiaming telah memberi kesan mendalam. Mengaitkan peristiwa "Jiaming keluar" ini, hal pertama yang terpikir tentu hanya Jiaming yang mampu melakukan hal sebesar itu.
"Oh..." Dengan tatapan kagum, Jiaming tak menjawab. Ia hanya duduk di sebelah Heidi menyaksikan berita. Marilyn juga mendekat, melipat kaki jenjangnya yang seksi lalu bersujud di sebelah, sesekali melirik ke arah Jiaming.
Malam ini mereka berdua tidur bersama. Jiaming tentu tidak hanya menggunakan jarinya untuk memuaskannya. Setelah sekali berhubungan, dia diam-diam pergi. Meski kelelahan, Marilyn duduk di ruang tamu tanpa rasa kantuk. Segala urusannya di Kota Jianghai hanya mengikuti aturan Jiaming, tapi di New York berbeda. Jika Jiaming pergi mengurus sesuatu, pasti bukan hal sepele. Hatinya cemas, namun tak bisa meminta keluarga menyelidiki melalui hubungan Jalan Hitam tentang peristiwa khusus. Akhirnya dia hanya bisa menunggu kaku di depan TV menonton berita. Tak disangka sekitar pukul tiga dini hari, berita mengerikan tentang kejadian subuh itu benar-benar muncul di layar kaca.
Meski gambaran kabur, wanita penuh Niat Membunuh itu sama sekali berbeda dengan aura Jiaming saat ini, tapi dia langsung teringat Jiaming. Karena di malam musim panas tiga tahun silam, anak laki-laki yang sendirian membawa MATI tak terhitung itu benar-benar mirip dengan wanita di layar ini.
Tidak ingin putrinya terlibat hal-hal ini, tapi karena sudah melihat, sekarang percuma melarang. Jika bicara pembunuhan, malam tiga tahun lalu dia juga terlibat. Bertahun-tahun ini meski berusaha melindunginya, tak ingin dia terkotori hal-hal buruk, tapi lahir di keluarga seperti ini banyak hal tak terhindarkan. Bertiga menyaksikan berita sampai habis. Pandangan ibu dan anak itu menatap mati Jiaming, yang hanya mengangguk sambil tersenyum: "Benar, hebat kan? Namanya Jian Suyan, Guruku."
“Ternyata guru... Ibu dan putri saling bertukar pandang, hati mereka tak lagi bimbang. Heidi mengangguk: ‘Namanya... Jian Suyan ya? Hebat sekali, bisakah aku berkenalan dengannya?’”
“Jangan mengagumi hal-hal buruk seperti ini. Perempuan kasar begini takkan disukai orang, nanti tidak akan bisa menikah.” Mengulurkan tangan mengetuk kepala Heidi, Jiaming tersenyum: “Lagipula dia tak boleh datang ke sini. Waktu itu di Jianghai aku menyelundupkanmu dan ibumu pergi, Paman Joseph-mu malah ke kampus nyari masalah denganku. Alhasil terkapar kosong, malah dipukulinya habis-habisan. Sifatnya sangat kasar, meski sudah pernah memukul orang sebelumnya, kalau kali ini Paman Josephmu tak sopan padanya, pasti akan dibunuhnya. Sudah jelas, dia tak suka berdebat. Gambaran di berita sudah kau lihat kan?”
“Kalau gitu aku yang temui dia. Di tempat mana pun boleh, suruh dia ajarin aku Kung Fu China dong.”
“Dilarang belajar itu-itu. Kau bisa nyanyi dan menari saja sudah cukup. Waktu itu sudah kuberi banyak lagu untuk latihan, mau mengecewakan harapanku?”
“Jangan pukul kepalaku.” Memegangi dahi yang sudah beberapa kali diketuk, Heidi berkata, “Aku punya hak memilih hal yang kusukai.”
“Di Tiongkok, anak kecil tak punya hak tidak karuan seperti itu. Harapan tetua keluarga yang paling utama.”
“Tapi di sini Amerika.”
“Tapi aku orang Tiongkok. Ada pendapat tentang harapanku padamu?”
“Aku... Aduh, sakit...”
“Kalau ada pendapat bisa kau sampaikan. Kalau tak kau sampaikan mana aku tahu kau punya pendapat? Aku paling suka kalau orang ngasih pendapat...”
“Kau tidak lebih tua berapa tahun dariku……Ah——”
“Masih ada pendapat? Masih ada pendapat? Silakan ajukan, ajukan……”
“Tolong——”
Di luar jendela, serpihan salju sebesar bulu angsa berjatuhan. Di dalam kamar yang hangat, riuh rendah tawa Mary dan Heidi memenuhi ruangan. Melihat putrinya yang berlarian panik dikejar-kejar Jiaming, Marilyn tak bisa menahan senyum. Setelah berkejaran beberapa lama, waktu telah menunjukkan sekitar pukul empat setengah. Heidi limbung berbaring di sofa, menindih kepalanya dengan bantal peluk sambil menjulurkan pantas untuk 'dihukum' Jiaming, suara tawa kekek keluar dari mulutnya. Jiaming melihat jam: "Sudah, jam empat setengah. Heidi, kalian tidur saja. Aku ganti baju dulu, nanti lari pagi sekalian eksplorasi sekitar manor. Ngomong-ngomong, area mana saja yang terlarang di sini?"
Dengan kemampuannya, mana ada tempat yang tidak bisa didekati. Pertanyaan itu hanya formalitas belaka. Marilyn menggeleng sambil tersenyum. Mendengar rencana lari pagi, Heidi langsung bersemangat. Ia berguling bangkit: "Aku ikut! Hari ini salju di luar, lho—"
Wajahnya yang sedang menengadah tiba-tiba terkena jentikan di dahi. Saat hendak kembali bersembunyi ala burung unta, Jiaming menjentikkan jari: "Ayo kita ganti baju. Marilyn, kamu? Sudah semalaman tidak tidur, sebaiknya istirahat."
"Aku akan berbaring sebentar, siapkan sarapan untuk kalian."
"Hmm."
Mengangguk，Heidi berlari di depan menuju lantai atas，Jiaming dan Marilyn mengikuti dari belakang. "Jiaming kau cepatlah." Melemparkan kalimat itu，gadis kecil itu pertama masuk ke kamarnya sendiri，membanting pintu dengan keras. Saat Jiaming membuka pintu kamar tamunya，Marilyn menyelinap masuk sambil tersenyum："Ada apa?" Saat hanya mereka berdua bersama，pasti hal-hal yang menggoda，tapi sekarang jelas bukan waktu yang tepat. Marilyn tak berbicara，memandanginya dengan senyum menggoda，kemudian menarik tangan kanannya，menuntunnya menyelusup di antara pahanya. Saat menyentuh area itu tanpa hambatan，Jiaming tak bisa menahan tawa.
“Tadi di bawah, aku benar-benar khawatir Heidi akan menyadari.” Dengan suara lembut, dia berjalan menuju ranjang yang berantakan. Jiaming juga mengikutinya, membuka selimut dan menemukan celana dalam renda yang pernah dia tarik sendiri. Saat Marilyn mengenakan celana dalamnya, dia melepas piyama dan mulai memakai jas hujan polos itu. Tak lama, suara Heidi terdengar di luar pintu.
“Aku sudah siap… Cepat keluar、cepat keluar、cepat keluar…”
Dengan bernada ritme yang anggun, gadis kecil itu berteriak penuh semangat di luar bagai tape recorder...
Bangun agak terlalu pagi, saat membuka mata, matahari belum terbit. Aku ingat samar-samar semalam tidur tidak nyenyak, mendengar suara riuh rendah. Mengusap mata, saat membuka tirai kamar pasien, barulah dia sadar di luar salju sudah turun bertebaran.
"Ini masih periode tergelap sebelum fajar. Saat mendorong pintu kamar pasien dan keluar dari ruangan, barulah ia sadar bahwa lorong yang seharusnya sunyi senyap kini telah dipenuhi beberapa orang. Pemuda bernama Mantou dengan wajah menyenangkan masih sedang berbicara antusias dengan beberapa orang. Bahkan Tante yang biasanya suka tidur larut pun sudah berdandan rapi dan ikut bergabung, begitu melihatnya keluar, segera berlari mendekat."
"Yahan, kenapa bangun begitu pagi? Apa kami mengganggumu?"
"Hmm, ada hal apa?"
"Peristiwa besar, peristiwa besar... Yahan lihat ke bawah."
Tante yang biasanya suka gossip kali ini terlihat sangat bersemangat. Melalui jendela kaca lebar di bawah, terlihat separuh jalan masih bisa dilalui kendaraan sementara separuhnya lagi dikepung polisi. Tampaknya ada mobil yang meledak terparkir di sana. Wartawan dengan kamera dan mikropon berkerumun berlapis-lapis di dalam dan luar area, untungnya jumlah polisi juga cukup banyak yang berjaga ketat di lokasi. Yang mengejutkan, bahkan ada dua helikopter berputar-putar di udara.
"Ada apa? Kecelakaan mobil?"
“Bercanda, Yahan kapan kau pernah lihat kecelakaan mobil berdampak sebesar ini, ini kasus pembunuhan.” Tante mengangguk-angguk bersemangat，“Sekitar jam dua siang... Di mobil itu ada empat orang, semuanya pria kekar bertubuh besar. Kami pikir mungkin mereka terlibat perdagangan narkoba atau hal jahat lainnya... Lalu seorang cewek mendekat, memakai jas hujan putih, serpihan salju beterbangan di udara... Langsung menempelkan bom ke mobil, lalu mengeluarkan dua...”
Menggunakan gestur yang mewakili konsep "besar, tebal, panjang": "Dua senapan mesin ringan sehebat itu, wuih... wuih... seperti prajurit masa depan, langsung menyemprotkan peluru ke orang-orang di dalam mobil, tet-tat-tat-tat-tat-tat-tat... Seseorang bereaksi cepat, melihat situasi genting langsung membawa senjata ingin menerjang keluar, tapi sudah terlambat, langsung terlempar keluar dengan mayat penuh lubang; seseorang mencoba menghantam wanita itu dengan pintu mobil, tapi si wanita hanya menendang, bahkan kaca depan mobil langsung pecah... Lalu dua orang di dalam mobil langsung MATI ditembak; yang terakhir kabur keluar, tapi sama sekali tidak bisa jauh, wanita itu membawa senjata mengikuti perlahan di belakangnya, memandanginya, sesekali mengangkat tangan dan menembak, si pria masih berlari, lalu ditembak lagi, merangkak-ditembak lagi, sampai tubuhnya hancur jadi daging giling... Di sebelah ada dua polisi Amerika bersembunyi di belakang mobil polisi, sama sekali tidak berani mengangkat kepala. Seru banget, seru banget, kayak film Hollywood gitu..."
Dengan ekspresi bersemangat menambahi cerita, Yahan mengerutkan kening memandang TKP di bawah: "Penegakan hukum di New York payah sekali ya."
“Benar benar, penegakan hukum di New York sangat buruk, pertempuran senjata seperti ini juga bisa terjadi, polisi sama sekali tak berdaya, hari ini kita harus bawa semua pengawal saat ke jalan... Oh ya, perempuan yang MEMBUNUH itu orang Tiongkok lho, sungguh luar biasa, benar-benar mengharumkan nama negara...”
Terjadinya baku tembak membuktikan buruknya penegakan hukum New York, dilakukan orang Tiongkok lalu disebut mengharumkan nama negara, logikanya tidak perlu dibahas. Namun begitu mendengar kalimat ini, Yahan langsung menoleh tajam: "Orang Tiongkok!?"
“Iya, katanya wanita Tiongkok yang sangat cantik, kelihatan sekitar dua puluh tahunan, MEMBUNUH dengan sikap paling santai, lalu pergi sebelum polisi tiba, sama sekali tak ada yang bisa menangkapnya. Cantik, aura-nya juga elegan, benar-benar luar biasa...”
Keriuhan kota di bawah terus berlanjut, salju masih berjatuhan, matahari hampir terbit. Di koridor, Tante terus berbicara penuh semangat tentang hal ini. Di sampingnya, Yahan tampak linglung, memandang ke bawah dengan pandangan berkabut.
PEMBUNUHAN paling mencolok tapi santai, aura paling anggun, gambaran kekejaman dan keanggunan yang menyatu. Ia membayangkan segala yang terjadi di bawah sana beberapa saat lalu... Apakah dia orang yang ada dalam pikirannya? Tapi bagaimana mungkin, untuk apa dia datang...
## Bagian Ratus Dua Puluh Tujuh Salieri
“Didahului orang lain...”
"Sebelum fajar, di dalam ruangan formula yang sama, beberapa orang menatap gambaran yang ditayangkan di TV. Ada orang Amerika yang dipanggil Tn. Castro, juga dua utusan yang dikirim oleh markas besar Pei Luo Jia. Tayangan di TV memperlihatkan kasus penembakan yang terjadi beberapa jam lalu - tetap ada kecelakaan mobil, ledakan, darah, serta salju beterbangan dalam beberapa menit yang gila namun dingin itu."
"Wanita ini... kabar angin tentang TULIP yang legendaris?"
Tn. Castro menoleh, jelas sedang bertanya kepada dua orang Jepang yang datang kali ini. Namun sebelum mereka sempat merespon sepenuhnya, barulah dia terbata-bata bertanya dengan keraguan.
"Eh... Tn. Minamoto Yoritomo pernah dua kali bentrok dengannya, tapi tidak pernah kontak langsung. Adapun yang lain, eh..." Dia terbata-bata dengan canggung, "Semua yang pernah melihat Nona TULIP... sudah MATI."
"Sudah MATI semua..." Castro mengulang kalimat itu. Sebagai anggota pimpinan markas Pei Luo Jia, sejak awal dia tentu tahu peristiwa-peristiwa di Asia yang terkait TULIP itu hampir mengguncang lapisan kegelapan seluruh dunia. Tanpa pengalaman langsung, wajar jika kurang terasa. Kini saat menatap rekaman kabur itu sambil mengulang kalimat tadi, ada rasa khusus yang menggelayut di hati. Dia mengerutkan kening: "Jika benar dia yang datang secepat ini, berarti kabar dari Asia sudah bocor sejak lama."
Dua orang Jepang itu bertukar pandang, lalu berkata dengan malu: "Kami akan memverifikasi ini..."
"Hehe, sekarang bukan saatnya membicarakan hal ini. Sumber masalah perlu diselidiki, tapi karena kita berada di New York saat ini, mengapa mereka bisa terdeteksi, itulah yang menjadi tanggung jawab kita." Castro tersenyum, tak ingin membuat mereka berdua terlalu malu, "Berdasarkan laporan lain dan rekaman CCTV tambahan, keempat anggota kita ini tidak menunjukkan kecurigaan berarti. Mereka hari ini hanya melakukan pengintaian pertama, bahkan belum menyentuh lembaga penelitian itu sedikitpun. Dengan begini... Sangat sulit memahami bagaimana Nona TULIP bisa menembus identitas mereka..."
"Tidak ada keanehan sama sekali?"
"Tak ada yang tidak biasa. Penampilan mereka kali ini justru lebih normal dari orang biasa..." Castro memegang remote kontrol, "Lihatlah rangkaian gambaran ini... Mobil berjalan lurus, menunggu lampu merah, lalu belok, membeli makan malam di toko, kemudian... Dia muncul mengikuti. Setiap hari kita melihat sejuta fenomena biasa seperti ini. Apakah karena mereka melirik gedung itu saat belok, lalu TULIP langsung MEMBUNUH?"
Dalam kebingungan kolektif yang dirasakan semua orang, dia menoleh: "Ini tidak normal."
Tentu saja tidak normal. Mereka semua adalah profesional berpengalaman di bidang ini. Menjadi pembunuh itu sulit, mengantisipasi pembunuh lebih sulit lagi. Menentukan siapa di antara 1,5 juta orang yang berniat jahat padamu, baru bisa diketahui saat mereka bertindak. Tapi kali ini kejadiannya terlalu aneh. Respon pihak lawan terlalu tajam. Jika mengesampingkan kemungkinan pengguna kekuatan supernatural level tinggi, maka...
“Setelah Peristiwa Kapal Star Dream, pernah ada yang menduga dia adalah Pengkhianat Pei Luo Jia. Ada juga yang berspekulasi bahwa 7 miliar yang mengguncang langit dan bumi itu adalah ulahnya. Tentu saja, kemungkinan kedua baru bisa valid jika asumsi pertama benar, namun hasil penyelidikan menyangkal hipotesis ini, mustahil...”
"Perlu investigasi ulang." Setelah hening sejenak, Castro kembali menatap layar TV, merenungkan celah kelemahan yang mungkin ditunjukkan keempat korban pembantaian, tetap menyimpulkan nihil. "Jika semua spekulasi ini benar, berarti... dia memahami Pei Luo Jia, bukan hanya markas Jepang. Dari empat orang itu, setidaknya dia sudah mengetahui latar belakang salah satunya sebelumnya. Tentunya kemungkinan ini terlalu mengerikan, sulit dipercaya..."
Logika ini sahih. Selama beberapa dekade terakhir, berbagai cabang Pei Luo Jia terpecah-belah. Bahkan markas Jepang dan cabang Amerika yang hubungannya baik pun saling tak memahami seluk-beluk. Meski Pei Luo Jia kaya dan bermodal kuat, hal seperti akun Bank Swiss mungkin hanya orang setingkat Mikado Ki di Jepang atau Castro di Amerika yang tahu. Jika orang level ini berkhianat, mustahil tak meninggalkan jejak-jejak yang bisa diselidiki.
“Jika benar-benar melibatkan pimpinan tertinggi internal Pei Luo Jia, dampak dari hal semacam ini sungguh terlalu mengerikan. Untuk sementara, orang-orang di dalam ruangan tidak berani berbicara sembarangan. Castro bergumam sejenak, baru kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepala: 'Sudahlah, mengenai hal-hal ini, saya akan menghubungi Tuan Mori. Untuk saat ini, rencana kita untuk segera bertindak dengan membawa Nona Zhang pulang bersama Tuan Watanabe hari ini tampaknya mustahil terlaksana.'”
“Begitu...”
“Ini adalah tantangan dan penghinaan paling serius terhadap kita.” Castro mengangguk, “Jangan khawatir, karena kami telah membuat janji, kami pasti akan menyerankan Nona Zhang ke tangan kalian. Selanjutnya, kami akan mengerahkan kekuatan tingkat tertinggi... sekaligus memberi pelajaran pada orang-orang Tiongkok ini bahwa ini adalah New York, bukan Jianghai di Tiongkok...”
……
Pagi-pagi buta, hujan salju pertama masih turun bertebaran tanpa henti, meski skalanya sudah jauh berkurang dibandingkan semalam. Keluar dari pintu, New York telah diselimuti lapisan tipis salju. Salju New York bagaimanapun selalu terlihat membawa aroma dunia sekuler, keputihannya tidak semurni daerah lain, selalu mengandung nuansa abu-abu—mungkin karena durasi turunnya belum cukup lama. Area luar manor mafia Salieri dipenuhi jejak roda mobil dan tapak kaki. Kendaraan penyapu salju bergerak perlahan, membersihkan jalur utama di dalam dan luar kompleks. Karena ketebalan salju belum mencapai level yang bisa digunakan untuk berperang salju atau membuat snowman, gadis kecil itu tampak sangat kecewa.
“Turunlah salju, turunlah. Kalau turun lagi beberapa hari, pasti akan indah.” Heidi mengulurkan tangan ke mulutnya, menghembuskan nafas dingin, lalu menoleh ke Jiaming. “Jiaming, kau akan tinggal sampai saat itu?”
“Sepertinya iya.”
“Bagus!”
Saat itu langit sudah terang sepenuhnya. Mereka berdua telah menyelesaikan olahraga pagi di sekitar sini. Setelah sarapan, Heidi membawa Jiaming berjalan-jalan di sekitar manor. Sementara Marilyn sedang berdandan di rumah—hari ini dia tidak bekerja, berencana menemani Jiaming dan Heidi jalan-jalan.
Di kamar-kamar dan taman yang berjauhan, terlihat pria-wanita berpenampilan modis—ini adalah keluarga besar dengan anggota ratusan orang—anggota keluarga, serta teman-teman brengsek yang diundang masing-masing. Personel kelas bawah mafia yang bertugas sebagai pengamanan berjumlah sekitar seratus orang—hanya mereka yang terpercaya yang bisa masuk ke dalam manor ini. Menjelang Natal, aktivitas seperti pesta semalam-semalan sama sekali tidak langka bagi mereka. Menjelang subuh, mereka muncul dari berbagai tempat—pria bermulut cabul yang jelas-jelas tidak jelas diundang dari mana, atau wanita berpayudara montok dengan pakaian berantakan masih berbau alkohol, dengan gaya rambut dan warna yang bermacam-macam, kulit hitam maupun putih. Orang-orang yang saling kenal berseru salam keras-keras, melontarkan lelucon menggoda atau vulgar.
Mafia diorganisir dalam sistem keluarga, sebenarnya pengelolaannya tidak terlalu longgar. Orang-orang yang diundang ke sini umumnya memiliki keterkaitan dengan berbagai bisnis mafia seperti daur ulang sampah, prostitusi, penyelundupan dan perdagangan narkoba, kasino, bahkan termasuk polisi dan pejabat yang terkait dengan mafia. Tentu saja, tokoh-tokoh penting sebenarnya tidak mungkin menghadiri acara santai seperti ini. Yang sering berkeliaran di sini biasanya para pesolek yang pandai bersosialisasi dari kalangan rendahan, atau pasangan ranjang anggota menengah/tinggi.
Meskipun Marilyn bilang Jiaming bisa bertindak bebas di sini, sebenarnya ada beberapa area di manor yang tidak boleh dimasuki sembarangan. Tamu-tamu biasa umumnya masuk melalui pintu samping dekat sini, kegiatan mereka dilakukan di villa-villa sekitar. Pintu utama dan gedung utama adalah area khusus untuk pimpinan tertinggi dan pertemuan bos-bos, mirip gedung kantor pabrik yang memiliki banyak batasan kecuali untuk urusan penting. Orang seperti Marilyn dan Joseph tentu tidak dibatasi, tapi bagi Marilyn sendiri, kalau tidak ada urusan mendesak, ia malas mendekati bangunan-bangunan yang menyimpan banyak kegelapan itu.
Di sini mungkin perlu dijelaskan tentang anggota utama Keluarga Salieri saat ini. Sebagai godfather incumbent, Victor Salieri berusia 63 tahun dengan tiga putra dan satu putri. Marilyn berada di urutan ketiga, memiliki adik laki-laki di bawahnya. Sayangnya, keempat anaknya tampaknya tidak memiliki bakat alami dalam mengelola urusan mafia. Tiga putranya sejak kecil nakal, lancang dan sewenang-wenang, tidak pernah belajar bersikap sopan. Karya mereka seringkali mengubah seluruh manor bak pesta karnaval. Putri Marilyn sejak kecil patuh, namun terlalu penurut. Setelah melahirkan anak dari pria Tiongkok saat kuliah, masa depannya basically hancur. Setelah peristiwa tahun 95, meski perlahan keluar dari fase tertutup diri dan menunjukkan kemampuan sosial yang cukup baik dalam beberapa hal, namun untuk bagian gelap keluarga ini tidak pernah terpikir olehnya.
Di Keluarga Salieri masa kini, tokoh terkemuka generasi baru yang pertama adalah Joseph yang didukung Victor. Kini pria yang berasal dari pasar gelap tinju ini, yang sebagian besar waktu bersikap layaknya kesatria, sebenarnya mengelola sebagian besar urusan Keluarga Salieri di antara dunia Hitam dan Putih. Victor senior selalu berharap putrinya bisa menikah dengannya, sehingga kemudian bisa menyerahkan seluruh aset keluarga dengan tenang. Namun setelah kematian Tang Jingyao, Marilyn sepertinya tidak memiliki minat terhadap pria lain, terutama sejak perjalanan terakhir ke Jianghai. Semua tanda menunjukkan Marilyn mungkin memiliki pasangan lain lagi. Sekarang tampaknya, selain melalui paksaan, pernikahan yang disukai semua orang mustahil terjadi secara wajar.
Tentu saja, sebagai syarat keseimbangan, Joseph saat ini juga tidak bisa mendominasi sendirian. Keluarga Salieri saat ini juga memiliki calon penerus lain yaitu Charles Richardson yang dijuluki "Pangeran", salah satu sepupu Marilyn. Ia memiliki basis pendukung yang cukup besar dalam keluarga. Dibandingkan Joseph yang naik hanya karena bakat tanpa latar belakang, dia memiliki lebih banyak koneksi di tingkat pimpinan. Tiga saudara laki-laki Marilyn misalnya, basically berada di pihaknya.
Tentang hal-hal mafia, Jiaming tidak tahu banyak. Selain beberapa kabar tentang keluarga besar seperti Gambino, sisanya basically diselidiki setelah mengenal Marilyn. Tentu saja, situasi antara dua keluarga ini mulai tegang lagi. Sebagai pihak yang lemah, pertikaian internal dalam Keluarga Salieri tidak terlalu menonjol.
Sepanjang jalan berputar-putar di manor bersama Heidi, sesekali ada beberapa orang yang menyapa Heidi dan penasaran menanyakan identitas Jiaming. Setiap kali ada yang bercanda menanyakan apakah ini pacar barunya, Heidi mengangguk sambil tersenyum. Di permukaan, Jiaming menunjukkan ekspresi tersipu malu, namun sebenarnya sama sekali tidak merasa canggung menghadapi hal seperti ini. Ada juga orang yang menunjukkan raut tidak bersahabat saat melihat Heidi, mungkin karena sikap Marilyn yang terlalu aneh dalam keluarga atau karena pengaruh Joseph. Semua ini diam-diam dicatatnya dalam hati, sambil sesekali berpura-pura tak sengaja mengorek informasi dari Heidi untuk memahami situasi internal Salieri.
Waktu keberangkatan yang disepakati dengan Marilyn adalah pukul delapan setengah pagi. Mengikuti Heidi menyusuri pantai sambil mendengarnya berkicau riang, saat berputar kembali, Jiaming melihat dari kejauhan limusin panjang mewah masuk ke pintu gerbang manor di depan. Victor dan beberapa orang tua keluar menyambut seorang pria yang berpenampilan biasa-biasa saja masuk ke rumah utama. Saat Jiaming masih mencoba menebak identitas pria paruh baya itu, tiba-tiba seseorang menghadang di depannya: "Gu Jiaming? Pak Joseph memintamu datang."
“Kami tak punya waktu, kau pergi!” Meski masih anak kecil, dengan kecerdasan Heidi, dia cukup memahami ada ketidakcocokan antara Joseph dan Jiaming. Sebagai yang tahu hal ini, Heidi paham Joseph suka pada ibunya, sementara ibunya tidur bersama Jiaming - meski belum pasti, bahkan jika Paman Joseph tak tahu detailnya, tetap ada konflik yang tak terdamaikan antara mereka. Perselingkuhan ibu dan Jiaming bagi Heidi kecil adalah urusan keluarga yang harus diselesaikan internal. Menghadapi Paman Joseph yang ingin menyusahkan Jiaming, bagaimanapun juga harus bersatu melawan pihak luar.
Melihat pria di depan menunjukkan wajah keberatan tapi tak berniat minggir, Jiaming tersenyum: "Aku yang pergi." Mengikuti arah yang ditunjuk, di bawah atap kecil sebuah villa tak jauh, Joseph sedang duduk di meja bundar tempat minum teh sore sambil menyeruput kopi, mengangguk ramah. Menurut petunjuk Marilyn kemarin, villa ini adalah tempat tinggal Joseph di dalam manor.
Villa kecil itu memiliki desain yang cukup aneh. Atapnya lebar, dengan sulur-sulur mengering merambat di atasnya. Di bawah atap, teras berpapan kayu memiliki tiang berwarna merah terang. Saat pertama kali melihatnya kemarin, Jiaming merasa agak lucu. Waktu itu Marilyn memberikan penjelasan singkat, sehingga dia tahu Joseph jarang tinggal di sini. Namun demi merayu Marilyn, pria itu sengaja memodifikasi villa tersebut dengan sentuhan gaya Tiongkok. Sayangnya sang perancang tidak terlalu serius mempelajari budaya Tiongkok, jadilah bentuknya tidak jelas gaya arsitekturnya. Tapi memang wajar, mengingat dia sudah berkorban banyak untuk Keluarga Salieri, tentu tidak punya waktu mendalam untuk mendesain villa pacaran.
Jiaming masih punya kesan baik pada orang ini. Bagaimanapun juga ketertarikannya pada Marilyn memang tulus. Jika Marilyn juga menyukainya, penyatuan bertiga ini bisa berjalan alami. Namun yang terpenting tentu keinginan Marilyn sendiri. Mengingat dia memilih gaya hidup seperti sekarang, Jiaming pun senang memiliki pendamping ranjang yang matang, seksi, dan selalu menuruti kemauannya.
Jiaming tidak keberatan, namun Heidi yang posesif saat ini tampak sangat marah. Berjalan di atas lantai kayu serambi luar, terlihat seluruh dinding rumah dipenuhi bingkai foto berbagai ukuran. Jiaming mengenali beberapa di antaranya, kebanyakan foto atau lukisan tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah keluarga-keluarga mafia. Ada Vittorio Cascio Ferro yang dijuluki simbol mafia modern, Al Capone bos mafia paling berpengaruh tahun 1920-1930an, Charlie Luciano yang disebut bapak kejahatan MBA. Yang terbesar adalah foto Joseph Bonanno, anggota mafia pertama yang mengungsi dari Italia ke Amerika saat Perang Dunia II dan kemudian memimpin seluruh jaringan mafia di Amerika. Jiaming ingat dia punya julukan unik: Joe Pisang.
"Silakan duduk, mau minum kopi?" sambil tersenyum mengangkat tangan, Joseph berdiri. Namun Jiaming bisa melihat urat darah merah samar di matanya, mungkin karena suatu hal dia tidak tidur semalaman. Tentu saja, dengan kharisma yang dimilikinya, pasti bukan karena urusan receh seperti masalah Marilyn...
"Kita sudah bertemu di Tiongkok dulu, Heh... Jangan marah, Heidi. Ini tidak akan menyita banyak waktu Jiaming, hanya urusan kecil..." Joseph tersenyum menanggapi emosi Heidi.
## Bagian Dua Ratus Dua Puluh Delapan
Mampu mencapai posisi Joseph saat ini dalam mafia, percaya negosiasi besar kecil juga telah dialami tak terhitung. Namun, ketika Jiaming dan Heidi duduk di meja, wajah penguasa tingkat tinggi mafia ini terlihat agak kikuk. Tersenyum, mengangkat tangan, tapi sepertinya tak menemukan kata-kata lalu menurunkannya kembali. Heidi memandangnya dengan tidak ramah, Jiaming tersenyum lalu mengalihkan pandangannya. Di balkon villa tak jauh, Marilyn mengintip ke arah sini, kemudian pandangannya mulai dingin sebelum menyusut kembali dengan marah, mungkin sebentar lagi akan berlari ke luar.
Sebagai Jiaming, mungkin bisa memahami kesulitan Joseph. Ia harus membicarakan urusan Marilyn dari sudut pandang orang dewasa, tapi kebetulan Jiaming tidak termasuk kategori dewasa. Hal-hal ini, jika sedikit salah menanganinya, ia akan dibenci semua orang. Setelah ragu-ragu sebentar, ia menyesap kopi lalu akhirnya membuka mulut.
"Uh, sebenarnya... Bolehkah kau memanggilku Jiaming? Hah... Kau mengerti, maksudku, bisakah aku memperlakukanmu sebagai teman sejajar dalam membicarakan hal ini? Aku ingin bertemu dengan orang yang terkait Marilyn. Tentu saja, ini bukan sekadar harapanku." Melihat Heidi hendak berbicara, dia mengayunkan tangannya, "Aku tahu permintaan ini terdengar lancang, Marilyn bukan milik siapa pun, kita juga tidak punya hak untuk mencampuri keputusannya, tapi... kau paham, banyak orang yang peduli padanya. Aku... mungkin aku tidak pantas, tapi Marilyn setidaknya punya ayah, punya keluarga yang kau lihat sekarang ini. Maksudku... jika kau bisa memahami semua ini, uh, apa kau mengerti?"
"Hmm." Dengan kedua tangan di kantong baju, Jiaming mengangguk dengan penuh kesungguhan. Tentu saja dia memahami semua ini. Soal Marilyn suka atau tidak pada Joseph itu urusan kedua, yang penting keterkaitan dari dalam mafia terlalu rumit. Saat ini di mata Joseph, Victor, dan lainnya, pria di balik Marilyn pada dasarnya hanyalah ilusi. Semua orang tidak punya konsep jelas. Jika orang ini seperti Tang Jingyao yang berniat merugikan Keluarga Salieri, kerugian seperti itu tak ingin ditanggung siapa pun.
Melihat Jiaming mengangguk, Joseph terlihat lega menghela napas: "Kalau begitu, kira-kira kapan bisa..."
"Perkataanmu akan kusampaikan padanya. Aku juga tidak tahu konsekuensinya nanti."
“Dia? Kau maksud ‘dia’？”Terkejut dengan gender dalam ucapan Jiaming, Joseph menunjukkan ekspresi bingung. Heidi melirik Jiaming, lalu memandang Joseph dengan mata berbinar sambil mengangkat bahu kecilnya sambil tertawa.
“Hmm, iya.” Jiaming mengangguk jujur, “Dia punya sifat buruk, aku hanya bertugas berkomunikasi dengannya.”
“Eh…” Mengingat pengalaman terakhir di Jianghai, karena bertarung dengan gadis Jepang itu kemudian dipukul pingsan di hutan selama sehari, samar-samar seperti memang perempuan. Tapi wanita yang bisa menyerang seganas itu... Melihat sikap wajar pemuda di depannya, bayangan Marylin berpelukan dengan wanita berotot di ranjang tiba-tiba muncul di pikirannya, membuatnya menggigil kedinginan sambil menggelengkan kepala: “Maksudku...”
Sebelum selesai bicara, suara dingin Marylin sudah muncul di samping: “Tak peduli omonganmu, Heidi, Jiaming, kita pergi.” Saat menyebut nama Jiaming, nada suaranya tiba-tiba berubah lembut.
“Muncul di pagar sementara, Marilyn yang saat ini mengenakan gaun setel wanita berwarna biru keungu-unguan dengan sabuk lebar biru yang menekuk pinggang rampingnya. Rambut pirangnya tertata rapi. Meski sudah memiliki putri berusia lewat sepuluh tahun, Marilyn yang baru merayakan ulang tahun ke-30 tengah berada di puncak pesona perempuan - postur tinggi semampai dengan aura matang dan mandiri, namun tetap memancarkan kelembutan alami yang terpancar utuh saat memandangi Heidi atau Jiaming.”
“Marilyn, aku tidak...”
“Aku tak peduli rencanamu.” Pandangannya yang membeku mengarah ke Joseph, “Tak kuinginkan kalian mengganggu temanku dengan alasan apapun.”
Ketika seorang wanita telah memutuskan sesuatu, penjelasan biasanya sia-sia. Joseph hanya bisa menunjukan kekecewaan dengan mengangkat tangannya, kemudian mengalihkan pandangan dinginnya ke arah lain.
Tiga pria dan satu wanita dengan pakaian berbeda-beda juga sedang berjalan mendekat dari arah itu.
Yang memimpin adalah seorang kulit putih yang mengenakan jas hitam, wajahnya tampan, angkuh, dengan senyum cemerlang yang palsu. Di sampingnya berdiri seorang wanita dengan gaya berpakaian yang sama modis, rambut merah menyala seperti api, mengenakan setelan kulit ketat dan sepatu bot hak tinggi hitam, meski musim dingin tetap terlihat sangat seksi. Di belakang mereka ada dua pria berkulit hitam dan putih. Pria kulit hitam mengenakan pakaian mencolok, gaya berjalannya tiga langkah sekali anggukan mirip preman penari street dance. Pria kulit putih di sampingnya memiliki postur hampir 2 meter, berotot, dengan ekspresi serius. Sebelum mendekat, pria kulit putih yang memimpin itu sudah membuka tangannya sambil tersenyum.
"Yo, yo, urusan bisnis? Joseph, lama tak jumpa, apa kabar? Atau jangan-jangan pada Nona Marilyn gagal lagi? Bukan maksudku menghina, tapi kau benar-benar payah, hahahaha... Tapi tak apa, aku tetap mengagumimu."
"Sungguh disayangkan, kecuali saat menendangnya, aku tak pernah tertarik pada pantatmu. Smith... Berani datang ke sini, kurasa kalian pasti kemarin malam makan sesuatu yang salah, mengira diri takkan MATI?" Joseph berdiri sambil tersenyum.
"NO, NO, NO... Joseph sayang, kurasa kau pasti salah paham. Kali ini kami datang dengan niat baik. Lihatlah, Little Gotti sudah pensiun, sekarang yang berkuasa adalah John. Kau tahu sendiri, dia sangat bersahabat, anti kekerasan... Hei Nona Marilyn, ada waktu makan malam nanti? Dan Nona Heidi juga, hmm, gadis kecil semakin cantik..."
Dengan mendekatnya beberapa orang ini, beberapa bawahan yang mengikuti Joseph di sekitar villa dengan sangat waspada mulai mengepung. Jiaming menggandeng tangan Heidi dan berkata: "Ayo kita pergi." Namun belum beberapa langkah menjauh dari meja kursi, pria berjas itu sudah menyambut dengan senyum seolah ingin memeluk Heidi dengan mesra. Jiaming menghela napas dan berdiri di depan.
"Oh?" Orang itu merentangkan kedua tangan di udara sejenak, "Heidi? Ini teman barumu? Orang Timur?"
"Boleh aku mengambil ketel kopi untuk memukulnya?" Heidi menyelinap dari belakang sambil memeluk lengan Jiaming dan berbisik lembut. Keberadaan Jiaming membuat gadis kecil ini sekarang jelas tak merasa takut. "Hmm..." Smith sepertinya juga mendengar sebagian ucapan Heidi sehingga tertegun sebentar.
Dalam hati ingin tertawa, Jiaming menggelengkan kepala dan menariknya untuk melewati Smith. Bersamaan itu, wanita berambut merah berbaju kulit hitam bergeser posisi: "Hei, apakah semua orang Timur tak sopan seperti ini?"
"Orang Tiongkok." Setelah diam sejenak, Jiaming menatap ke atas dan berkata, "Tepatnya orang Tiongkok. Ibu bilang, jangan bicara dengan wanita yang menyemprot obat serangga di badan... Kau tinggal di hutan? Kenapa menyemprot obat serangga di badan?"
"Suaranya terdengar agak kaku, tapi jelas masih bisa dipahami dalam bahasa Inggris. Joseph dan yang lain langsung tertawa. Marilyn yang tahu latar belakang Jiaming tentu senang menonton pertunjukan dari samping. Smith dan kawan-kawan saling mengangguk: 'Oh, orang Tiongkok... Keren sekali, apa dia bisa Kung Fu China? Joseph, anak ini keluargamu? Kurasa dia perlu diberi pelajaran.'"
"Maaf, sepertinya kalian yang menghadang jalannya."
"Oh? Benarkah?" Smith tersenyum, menepuk bahu wanita berambut merah. Wanita itu juga mengangguk sambil tersenyum, mundur selangkah. Tepat saat Jiaming dan Heidi lewat, tiba-tiba dia mengulurkan tangan. Sebuah pistol saku kuning keemasan mengarah ke dahi Jiaming dengan kecepatan yang luar biasa. Bersamaan itu, suara senjata yang ditarik berisik di sekeliling. Orang kulit hitam dan putih di belakang Smith masing-masing mengeluarkan dua pistol. Sementara orang-orang Joseph di sekeliling bahkan sudah mengarahkan senapan serbu, lebih dari sepuluh laras senjata membentuk lingkaran.
Suasana membeku seketika, badai salju terasa mencekam.
Baik Joseph maupun Smith, tubuh mereka sesaat menjadi kaku. Marilyn yang berdiri di perimeter bahkan gemetar seluruh tubuh, semua ototnya menegang.
Di bawah laras senjata yang gelap gulita, Jiaming menarik Heidi langsung berjalan melewati, bahkan tidak melirik pistol yang mengarah ke dirinya. Tapi saat ini mungkin tak ada yang memperhatikan detail kecil ini. Sejenak, Mis tersenyum mengayunkan tangan: "Hehe, salah paham, salah paham, simpan semua senjata. Temperamen Zhen hanya agak meledak-ledak. Joseph, kau paham, kita ke sini bukan untuk berkonflik, simpan semuanya."
Seiring ucapannya, dua orang di belakang menyimpan pistol mereka. Perempuan berambut merah bernama Zhen tersenyum, mengangkat pistol dan memutarnya di jari: "Insiden, aku hanya agak kesulitan mengendali emosi. Kau tahu... setiap bulan pasti ada beberapa hari seperti ini. Dan juga, hei..."
Meneriakkan Jiaming, ketika Jiaming menoleh, perempuan itu membuat gestur menembak, bibir merahnya mengerucut dengan genit: "Aku ingat kau sekarang, harta kesayangan."
"Disetujui."
Mengangkat bahu, Jiaming berkasa dengan acuh:
……
"Bos, petunjuk baru masuk."
Bersamaan dengan suara itu, setumpuk data-data dilempar di depan Cui Guohua: "Dari mana?"
"Dari pihak Salieri." Fang Guolin merapikan barang di meja komputer, sambil membuka data tersebut dan menunjuk, "Karena merasa aneh, aku khusus memberi tahu bantuan dari dalam negeri. Hasil penyelidikan adalah... Gu Jiaming menghilang..."
"Gu Jiaming menghilang?" Melihat data itu, Cui Guohua menyipitkan mata, "Dia juga datang ke Amerika?"
Fang Guolin mengangguk: "Imigrasi tidak punya data dia, berarti masuk ilegal. Selain itu, nama Jian Suyan juga tidak ditemukan jejaknya di imigrasi. Data komputer sudah dimodifikasi, tapi bisa dipastikan Jian Suyan memang datang via penerbangan sipil. Sementara kami belum menemukan tempat tinggalnya."
"Aku yakin dia tidak suka diinvestigasi." Bergumam sendiri, "Kali ini kakak-beradik itu datang bersama... Ini liburan atau ujian?"
"Heh, bos, bukannya Gu Jiaming bilang Jian Suyan itu calon istri yang dipelihara sejak kecil? Bukan kakak-beradik, tapi suami istri kan?"
"Kamu juga percaya omongan itu, kebanyakan baca berita gossip..." Membalik-balik data sekenanya, Cui Guohua tersenyum, "Jian Suyan menyerang subuh tadi, Gu Jiaming menghilang dari Jianghai, sampai di manor Salieri kemarin sore. Hmm, kalau data-data ini disambungin, rasanya aneh ya..."
"Heh, aku juga ngerasa aneh. Bos, pas dengar kabar Gu Jiaming hilang dari Jianghai, tiba-tiba kepikiran: Gu Jiaming hilang, TULIP muncul. Jangan-jangan Gu Jiaming itu Jian Suyan?" Fang Guolin menggeleng sambil tertawa, "Masa iya? Pria nyamar jadi wanita sampai bikin semua orang tergila-gila? Terlalu absurd. Apalagi anak kecil bisa mengalahkan Yoritomo Taku. Kecuali dia benar-benar Evolusioner alami itu..."
Setelah berpikir, Cui Guohua juga menggeleng: "Heh, tetap saja itu hipotesis yang hampir mustahil. Tapi... Perlukah aku laporkan analisis ini ke atasan?"
“Lupakan saja.” Menggelengkan kepala dengan tegas, Fang Guolin mengangkat mata putihnya, “Aku tidak mau dikirai bodoh oleh semua orang...”
## Bagian Ratus Dua Puluh Sembilan Ekspedisi Jiaming
Riuh rendah, kerumunan kepala manusia. Ini adalah arena hiburan super besar di lokasi tersibuk Manhattan. Lantai satu dipenuhi mesin game elektronik raksasa, lantai dua kebanyakan aktivitas seperti biliar. Menurut Marilyn, di bawah tanah ada pertarungan tinju ilegal, tapi umumnya baru bisa masuk saat malam dan harus punya koneksi tertentu.
“Menggelar pertarungan tinju di area kota Manhattan, beberapa anggota dewan mendukung dari belakang. Menurut mereka ini arena tinju terbaik se-New York. Dengar-dengar Joseph pernah bertarung beberapa kali di sini... Jiaming, kau tahu dari mana soal ini? Mau nonton? Nanti malam kutemani masuk...”
“Kalau kau tidak bilang sekarang, aku juga tidak tahu. Cuma lewat lihat gedung hiburan besar ini, kupikir Heidi pasti suka... Kedengarannya menarik, kau pernah turun ke bawah?”
“Tidak, cuma dengar kabar. Sembilan dari sepuluh pertarungan biasanya sampai MATI.”
Sambil berbincang, keduanya saat ini berdiri di sebelah beberapa mesin game besar. Seorang gadis keturunan campuran yang mengenakan jaket bulu angsa yang bisa mendekat dengan rambut diikat ekor kuda pendek, terlihat gaya dan tampan, sedang berjuang di depan mesin game yang dilengkapi motor simulasi. Tubuhnya merendah, matanya berbinar-binar menatap layar besar. Menurut tampilan di sana, kecepatan motor sudah mencapai 230 kilometer per jam, melesat cepat meninggalkan semua lawan. Jiaming melirik, lalu bersiul.
"Wah, aku tidak menyangka dia ternyata punya bakat untuk ini..."
Marilyn tertawa: "Musim panas ini, saat dia lulus dari kampus, semua orang mengadakan lomba game. Heidi jadi juara."
"Iya betul!" Sambil menyetir, gadis kecil itu menoleh dengan bangga. "Hebat kan?"
"Di tempat kami ini dianggap lambang kemalasan, bisa dihujat... Aduh, kau awas."
"Hmm..." Di layar terdengar suara byur, motor yang tak sempat belok tajam menabrak pagar pelindung di sekitarnya. Pengendara motor terhuyung-huyung bangkit, terhuyung-huyung mencari motornya, lalu ditabrak tanpa ampun oleh motor yang menyusul. Ban-ban melindasnya satu per satu...
“Malang……” Jiaming dan Marilyn bertukar senyum, melambangkan pembalap kecil Heidi yang malang akhirnya menemukan motornya kembali, tak kenal lelah mengejar. Di saat yang sama, sebuah mesin game tembak-menembak untuk dua orang di samping akhirnya kosong. Jiaming melempar-lemparkan mata uang game di tangannya: "Mau main?"
“Masturbasi di atap gedung?” Marilyn mengedipkan matanya dengan genit. Jiaming tak bisa menahan tawa, mengangkat bahu: "Hmm, masturbasi di atap gedung."
"Asal kau suka!"
Sambil mengangguk, Marilyn berjalan menuju mesin game itu. Sebelum sempat mengambil pistol, dua pemuda Amerika berbusana hip-hop sudah berlari mendahului, dengan cepat merebut posisi: "Hei Nyonya, ini bukan game untukmu."
"Ini game kekerasan lho."
"Hahahaha..." Keduanya tertawa di depan layar, memasukkan koin ke mesin game. Salah satunya kemudian menoleh penuh keheranan melihat Jiaming yang seumuran, "Wah, orang Tiongkok nih."
Yang lain juga menoleh, menyorotkan tatapan dari ujung kepala sampai kaki: "Gaya berpakaiannya ketinggalan zaman..."
Melemparkan penilaian itu, kedua pemuda fokus pada game yang baru dimulai. Marilyn dan Jiaming saling memandang, wanita pirang itu tersenyum: "Pengin banget menghabisi mereka."
"Kebetulan, kami juga berpikir sama."
"Bagaimana menurutmu ide ini... Aku punya pistol di tas..."
"Eh." Jiaming tertegun sejenak, lalu mengangkat tangan. Keduanya pun tertawa.
“Kedua anak laki-laki Amerika itu terlihat liar, tapi harus diakui skill bermain game mereka payah. Belum selesai level pertama, karakter zombie di layar sudah mengepung dan menggigit mereka sampai MATI. Mereka ingin terus mencoba, tapi sadar Jiaming dan Marilyn mengawasi dari belakang. Merasa malu, mereka menoleh dan memberi isyarat ke layar. Marilyn menggerakkan tasnya sambil mengangkat bahu dengan ekspresi merendahkan, lalu berjalan sambil terkekuk: "Pulang minum susu saja." Dia mengeluarkan pistol dari atas. Jiaming mengikuti, memasukkan koin. Marilyn memegang pistol dengan dua tangan, membidik layar – laras senjata setinggi bahu, mata, bidikan, dan target membentuk tiga titik sejajar. Merasakan aura magis yang menekan, Jiaming refleks minggir sedikit. Postur tubuh Marilyn saat ini persis seperti contoh standar di buku pelajaran.
“Wah, terlatih ya.”
“Tenang, aku takkan kalah.” Marilyn tersenyum sambil mengangkat alis. Biasanya terkesan dingin dan mandiri di depan orang, di ranjang dia seksi penurut tapi tetap liar. Kini tiba-tiba memancarkan kharisma heroik yang memikat. Ternyata perempuan dari keluarga mafia memang tidak cengeng terus. Tapi ingat kemampuan tembak Jiaming saat menyelamatkan dia dan ibunya di Malam Itu, wajah Marilyn memerah. Dia mengangguk: “Mulai.”
“O.” Buru-buru mengangkat senjata, Jiaming mulai menembak ke arah gerombolan zombie di layar.
Pada tahun 98, di Amerika sudah banyak mesin game besar seperti ini, tapi di Tiongkok, bahkan di kota besar seperti Jianghai, mesin game masih didominasi model-model seperti Street Fighter dan King of Fighters. Meski ada juga game center yang relatif mewah, Jiaming bersama Lingjing dan Shasha pernah ke sana sekali, tapi lebih sering Jiaming hanya menonton kedua gadis itu bersenang-senang. Dalam kehidupan sebelumnya tentu dia punya konsep tentang hal-hal ini, tapi tak pernah benar-benar mendalami. Saat memegang senjata sekarang, langsung terlihat kebingungannya. Sebaliknya Marilyn yang serius justru menunjukkan akurasi sempurna - satu tembakan satu kepala zombie. Meski cuma game, dari detail gerakannya Jiaming bisa melihat Marilyn telah menguasai kemampuan menembak dengan latihan Kung Fu yang intens.
Tembakannya agak tidak fokus, tapi dalam perlindungan Marilyn, dia masih bisa bertahan sampai level keempat yang sulit sebelum MATI. Ini sudah nilai yang bagus, membuat dua pemuda Amerika di belakang tak bisa mencibir. Setelah karakter Jiaming kolaps, Marilyn dengan semangat masih bertahan sampai akhir level empat baru dihabisi BOSS. Saat menoleh, Heidi datang sambil tersenyum memberi gestur "OK": "Tamat! Kalian bisa lihat rekaman baruku... Eh, kalian cuma sampai level empat?"
Jiaming dan Marilyn serentak mengangkat tangan. Gadis itu memutar matanya dua kali, berjalan mendekat dan memasukkan koin game, lalu menarik kedua senjata besar tersebut. Pistol mainan itu jauh lebih besar dari pistol biasa, jari-jari Heidi nyaris tidak bisa mencapai picu. Jiaming dan Marilyn yang tadinya merendahkan dua orang di belakang, kini mulai merasakan diri mereka mungkin sedang direndahkan Heidi. Mereka berdiri di samping, menanti kegagalannya.
Lima menit kemudian, orang-orang mulai berkumpul di sekitar.
Lima belas menit kemudian, kerumunan penonton sudah memadati area. Di tengah kerumunan, gadis keturunan campuran berponi ekor kuda pendek itu memegang erat kedua pistolnya, menarik picu dengan presisi. Di layar, zombie-zombie berjatuhan satu per satu.
Tiga puluh lima menit kemudian, game berhasil ditaklukkan. Rekor Heidi terpampang mencolok di posisi pertama peringkat. Gadis kecil itu menggerak-gerakkan jarinya yang sudah terus-menerus menekan picu selama setengah jam, menjulurkan lidahnya: "Lelah sekali."
Harus diakui bahwa keahlian memang ada bidangnya masing-masing. Sambil membawa Heidi ke area istirahat untuk membeli makanan, Jiaming memandang jalan di balik jendela kaca besar yang mulai diterpa salju tipis. Setelah beberapa saat, ia berdiri dan berkata: "Aku ke kamar mandi dulu. Jangan habiskan pizzanya!"
"Tidak! Kalau tidak cepat kembali, akan kuhabiskan semuanya!" Heidi mengacungkan garpu sambil tertawa keras. Jiaming hanya bisa tersenyum getir sebelum masuk ke koridor samping. Di saat bersamaan, beberapa pria berjaket tebal musim dingin memasuki gedung arena hiburan.
Sepanjang jalan masuk ke kamar mandi pria, Jiaming memainkan jam elektronik di tangannya. Di layar yang tidak terlalu besar, gambaran pengawasan di dalam dan luar arena hiburan bergulir secara bergantian. Satu menit kemudian, dia mendorong pintu keluar.
Menyusuri lorong yang masih agak ramai menuju area lebih dalam, jarinya menekan lembut jam elektronik untuk mengatur operasi kamera pengawas. Di persimpangan berbentuk salib di ujung lorong, terpampang papan peringatan "Dilarang Masuk Bukan Staf". Seorang satpam arena hiburan berdiri di pintu keluar-masuk yang lebih depan. Namun, saat ini dia menekan earphone-nya seolah berbicara sesuatu, lalu pandangannya beralih ke samping.
Di ruang kendali utama, sebuah kamera pengawas di dekatnya tampak longgar dan kini tak terkendali mengarah ke bawah tanah. Sang satpam berbicara beberapa patah kata lalu mendekati lensa yang berjarak beberapa meter. Jiaming langsung melintasi persimpangan ini sambil mengenakan sarung tangan.
Sebagai salah satu markas cabang Amerika dari Pei Luo Jia, jalur dalam arena hiburan sangat rumit dengan deretan kamar terkunci di sekelilingnya. Gambaran pengawasan sekitar terus bergulir di layar jam tangannya.
Dengan langkah santai yang tidak tergesa namun tetap pasti, sambil terus berjalan lurus dia mengeluarkan dua kawat tipis dari kantong. Setelah melihat gambaran di jam tangan, dia berhenti di depan sebuah kamar, memasukkan kawat ke lubang kunci dengan ekspresi natural seperti pulang ke rumah sendiri.
Pintu kamar terbuka, Dia langsung masuk ke dalam. Saat pintu tertutup, dua satpam berkulit hitam muncul di sudut lorong sebelah. Dia mengganti gambaran di jam tangan, lalu memandangi kamar di depannya.
Kamar ini sangat luas dengan jebakan indah. Pemanas menyala dengan malas. Di atas meja ruang tamu terdapat lilin yang belum habis terbakar, baijiu mahal, serta jaket luar dan pakaian dalam yang tercecer di lantai. Jejak itu berlanjut hingga ke kamar tidur sebelah. Gemericik air mandi terdengar dari kamar mandi. Melihat ke arah kamar tidur tersebut, seorang pria gemuk telanjang bulat sedang bangkit dari ranjang dan mengenakan pakaian.
Tanpa keraguan berarti, Dia mengulurkan tangan mengambil pisau makan di meja samping. Dengan langkah pasti menuju kamar mandi yang mulai terdengar suara pintu terbuka. Persis saat pintu itu terbuka, Dia telah tiba di ambang pintu, berhadapan muka dengan seorang wanita berambut pirang yang baru saja mandi dalam keadaan telanjang.
Tanpa sempat berteriak, Pisau makan langsung menembus tenggorokan mereka. Sesaat kemudian, Dia berbalik menuju pintu kamar tidur yang terbuka lebar.
Dari kamar mandi terdengar byur keras, sebuah tubuh terjatuh ke dalam bak mandi.
"Hai harta kesayangan, bagaimana... ugh..."
Belasan detik kemudian, Jiaming keluar sambil menutup pintu. Penampilannya tak berubah sedikitpun sejak masuk tadi. Dengan pandangan dingin nan acuh, langkah santai nan casual, Dia melanjutkan perjalanan ke kedalaman...
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Pisau
Melangkah langsung melewati lorong di depan, belok di persimpangan berikutnya. Sambil berjalan, Jiaming membuka ritsleting jaketnya, membalikkan jaket down tersebut. Melihat gambaran di jam tangan, saat mendekati persimpangan, dia menjejakkan kaki ke dinding samping. Tangan dan kakinya mengangkang menopang kedua sisi koridor, seluruh tubuhnya menempel erat di langit-langit. Jaket down yang dibalik itu kini terlihat warnanya mirip dengan langit-langit.
Seorang petugas kebersihan mendorong mesin penyedot debu muncul di ujung persimpangan. Setelah berbelok, dia berjalan menyusuri belokan ini, perlahan melintas tepat di bawah Jiaming.
Memandangi pria yang lewat di bawah, kilatan tajam muncul diam-diam dari lengan bajunya. Niat membunuh yang dingin terkonsentrasi pada satu titik, membeku.
Beberapa detik kemudian, petugas kebersihan itu telah melewati posisi tubuhnya. Beberapa detik lagi, sepertinya dia merasakan sesuatu. Ketika menoleh, tidak ada bayangan mencurigakan di lorong panjang itu. Menggelengkan kepala, dia terus mendorong penyedot debu maju.
Jiaming sudah memasuki belokan berikutnya. Belati dengan gesit disarungkan kembali. Gambaran di jam tangan tetap berputar di pandangannya. Mendekati belokan berikutnya, tinju kanannya langsung diayunkan.
Seorang pria dengan tinggi badan mencapai 1,8 meter dan postur tubuh kekar tepat masuk ke dalam gambaran. Dari sudut pandang sempit saat ini, terlihat seperti dia tiba-tiba memasuki frame, menyambut pukulan acak Jiaming yang sedang diayunkan.
"Tidak ada suara, ekspresi bingung atau terkejut bahkan belum sempat muncul di wajah pria itu. Kekuatan dahsyat terkonsentrasi pada satu titik di jari tengah, meledak di jakun yang rentan. Sekejap itu, dia seolah bisa mendengar suara pergeseran seluruh tulang leher. Sesaat kemudian, kesadarannya menghilang."
"Dalam waktu singkat, segalanya terlihat lancar dan alamiah, seolah semua hal memang seharusnya terjadi seperti itu. Pukulan santai yang diayunkan, namun langkah kaki tidak terhenti sedikit pun oleh pukulan itu, malah terus melangkah maju."
"Bayangan tubuh bersilangan, Jiaming dengan gesit merangkul kepala pria itu."
"Udara mengeluarkan suara 'krek' singkat yang aneh, seolah sesuatu tiba-tiba patah. Dua sosok saling berpapasan, berpisah secara alamiah. Jiaming berbelok ke koridor berikutnya, sementara tubuh pria itu berputar dua kali dengan kepala yang sudah terpuntir tidak wajar ke belakang tubuh - gerakan yang mustahil dilakukan manusia normal."
"Dengan gerakan refleks, Jiaming menangkap kerah baju pria yang hendak terjatuh itu. Gesekan halus antara hak sepatu dan karpet terdengar di koridor yang dihias mewah itu..."
……
"Membuka pintu kamar kosong, dia melemparkan mayat itu ke dalam. Melewati persimpangan di depan, dia membuka pintu yang tampak biasa dan masuk. Saat kunci pintu berbunyi, beberapa orang yang baru masuk ke arena hiburan tadi muncul di ujung koridor."
"'Jane, kau ikut Pak Ross mengambil barang yang kita janjikan... Kalian tunggu di luar dulu...'"
Mengisap sebatang cerutu, pria paruh baya berpakaian kasual yang memimpin mengalihkan pasangan di sebelahnya. Dua orang yang tersisa mengangguk dan berdiri di kedua sisi pintu kamar. Mengeluarkan kunci dan membuka pintu, ruangan di dalam terlihat seperti kantor biasa. Dia masuk sambil menutup pintu.
Krek...
Dengan suara lembut, pintu kayu memisahkan kedua dunia. Di luar, tangan kanan dua pria meraih ke dalam mantel yang terbuka, siap menghadapi situasi darurat. Di dalam kamar, cerutu jatuh ke lantai sementara darah menyembur dengan gila.
Berdiri di belakang pria itu, satu tangan menutup rapat hidung dan mulutnya sementara pisau di tangan lain menyayat tenggorokannya sebelum menusuk setiap bagian tubuh secara membabi buta. Dalam perlawanan dan kejang-kejang lemah, suara rintihan nyaris tak terdengar. Di ruangan hangat, darah merah pekat memancar dari tubuh, menggenangi lantai dan meresap ke selimut bulu, lenyap di sudut dunia yang tak terdeteksi.
Beberapa menit kemudian, suara kunci berputar terdengar dari lorong. Dua pengawal menghela napas lega lalu berbalik sambil tersenyum menyambut orang yang keluar...
……
Segalanya normal. Keluar dari lorong menuju toilet dan memasuki aula kasino, Jiaming mengusap tangan yang baru dicuci dengan tisu. Dia menjepit hidungnya kuat-kuat hingga memerah saat tisu dibuka, membuat ekspresi polos di wajah biasa itu semakin meyakinkan.
Tidak jauh dari sana, Heidi yang duduk di tepi meja berdiri sambil mengayunkan tangannya. Jiaming berjalan mendekat sambil tersenyum, namun dari sudut matanya, ia melihat beberapa pria dan wanita yang sedang mendekati ibu dan anak itu dari sisi lain. Yang terdepan adalah Jane dari Keluarga Gambino yang pagi tadi baru saja berkonflik dengannya - rambut merah, pakaian kulit ketat, seksi dan mencolok. Pandangannya jelas mengincar ibu dan anak di depan meja, lalu beralih ke arah Jiaming sambil menunjukkan senyum genit.
Dengan kekecewaan, Jiaming mengusap hidungnya lalu berpura-pura tidak melihat apa-apa sambil berjalan mendekat.
Heidi langsung protes: "Kenapa lama sekali? Pizza-nya sudah dingin."
"Privasi pribadi." Ditepuk-tepuknya kepala gadis itu, yang kembali membuatnya cemberut. Melihat Marilyn juga memandang penuh tanya, barulah ia tersenyum: "Jam tangan tak sengaja jatuh ke toilet. Aku masukin tangan untuk mengambilnya, terjebak lama sekali, butuh waktu berjam-jam baru bisa ditarik keluar... Hmm, pizzanya enak." Ia mengangkat pizza dingin dengan tangan kanannya yang masih lembap lalu melemparkannya ke mulut. Ekspresi mengerikan langsung muncul di wajah Heidi dan Marilyn.
"Muntah..."
Setelah mengucapkan itu, Marilyn tersenyum waspada lalu berdiri.
"Hai, kebetulan ya ketemu lagi. Marilyn, Heidi, dan... anak laki-laki Tiongkok ini."
"Aku pernah pelihara kucing jelek. Namanya juga Jane." Jiaming mengunyah pizza sambil tersenyum.
“Apa?”
“Kemudian dia jatuh dari pohon dan MATI.”
Seolah berbicara pada diri sendiri, Jiaming mengangkat bahu dengan penuh penyesalan tanpa menghiraukan perkataan si rambut merah. Beberapa orang di depannya terdiam sejenak, seorang pria telah memasukkan tangan ke dalam jaketnya - melalui helai baju yang sedikit terbuka itu terlihat gagang senjata, matanya menatap tajam ke Jiaming. Si rambut merah tersenyum, menghadap Marylin: "Aku tebak, apakah semua temanmu begitu tidak sopan? Atau mereka benar-benar bodoh sampai tidak paham situasi yang ada?"
Karena hari ini sedang jalan-jalan dengan Jiaming, Marylin sengaja tidak membawa pengawal sama sekali. Mereka yang datang menyelidiki melalui intelijen ini jelas punya niat jahat. Tapi... Melihat profil Jiaming yang sedang asyik meneliti pizza, lalu mengamati gagang senjata yang sengaja diperlihatkan itu, Marylin tak bisa menahan perasaan ironis. Pepatah Tiongkok itu namanya apa ya? Main pisau di depan Guan Gong? Tang Jingyao pernah mengajarkannya kalimat ini.
“Kau mau ngapain, Jane? Apakah beberapa kali ajakan Smith padaku membuatmu kecewa? Atau karena aku menolak pria yang kau cintai sampai gila justru membuatmu malu?”
“Sejak Marilyn mulai mengelola urusan keluarga, di bidang bisnis tidak sedikit pria yang menunjukkan ketertarikan padanya. Ada yang karena kecantikannya, latar belakangnya, atau kekayaan keluarganya. Alasan Smith dari Keluarga Gambino sempat mengganggu mungkin karena kefanatikan Joseph terhadap Marilyn, berharap bisa memanfaatkannya untuk menjatuhkan Joseph setelah berhasil mendekati Marilyn. Hasilnya tentu saja ditolak dengan halus oleh Marilyn. Tapi dengan menyebutkan hal ini sekarang, ekspresi Jian terlihat tidak natural. Entah perbedaan pendapat apa yang terjadi antara dia dan Smith di balik peristiwa ini. Namun jelas pihak kita yang unggul sekarang, jadi tak perlu marah. Setelah menyesuaikan emosi, dia hanya tersenyum tipis.”
“Tom Jingyao mempermainkanmu, Joseph ingin mempermainkanmu, Smith juga hanya ingin mempermalukan Joseph lewatmu. Apa yang harusnya aku sesali? Tapi baiklah, karena kau begitu langsung, aku ingin mengajak kalian bertiga ke... Bocah Tiongkok, aku pernah bilang akan mengingatmu. Pagi tadi, masih ingat?”
Jiaming mengangkat kepala: “Penculikan?”
Perempuan itu menaikkan alis: “Benar.”
“Aku akan melawan sekuat tenaga.”
“Silahkan melawan, tak masalah.”
“Aku tahu.” Jiaming mengangguk, bergumam pada diri sendiri, “Semakin aku melawan, semakin kalian bersemangat.”
“Kalau begitu...”
Mendengar kata-kata Jiaming, beberapa orang di sekitar sebenarnya sudah waspada, tapi tak ada yang menyangka perubahan akan terjadi secepat itu. Dengan dentuman "Braak——" yang menggema, hampir seluruh gedung berguncang. Semua mesin game mati secara tiba-tiba dengan suara Byur, lampu neon di langit-langit berkedip-kedip tak karuan, sprinkler anti kebakaran di seluruh aula menyemprotkan hujan deras.
"Ledakan…"
"Kebakaran…"
Dari jarak dekat maupun jauh, setelah lepas dari keterkejutan di detik pertama, teriakan panik mulai terdengar. Orang-orang di dekat pintu langsung berhamburan keluar seperti orang gila. Di area istirahat, empat pria di belakang wanita berambut merah nyaris menghunus senjata, berdesakan dengan sang kakak pemimpin. Semprotan air mengganggu pandangan mereka, membuat mereka sempat mengira ini serangan terencana dari Keluarga Salieri. Tapi dalam kekacauan ini, mereka tak berani sembarangan menembak yang bisa melukai banyak orang tak bersalah. Baru setelah beberapa detik, mereka menyadari gedung ini benar-benar mengalami keadaan darurat.
Di tengah teriakan dan lari yang kacau-balau, Jiaming dan ibu-anak Marylin bertahan di bawah sepotong taplak meja, berdesakan menuju pintu. Semprotan air dari langit-langit terus mengucur deras, kerumunan panik tanpa keteraturan. Heidi terlindung di tengah kelompok untuk menghindari dorongan atau injakan dalam kekacauan, sehingga pergerakan mereka agak lambat. Setelah beberapa saat, Jiaming menggendong Heidi dengan tangan melingkar pinggangnya, bersembunyi di bawah taplak. Marylin berteriak keras: "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Tak tahu, mungkin serangan teroris... Timur Tengah, Basis Al-Qaeda, Saddam..."
"Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi..."
"Ini New York... Kau akan terbiasa..."
Bercampur dalam kerumunan yang dievakuasi, butuh beberapa menit akhirnya bisa keluar. Dari kejauhan, sirene mobil polisi semakin nyaring. Beberapa anggota Keluarga Gambino masih terlihat di kerumunan, si wanita berambut merah melirik kiri-kanan sebelum akhirnya melihat mereka. Tapi polisi sudah tiba, mereka tak berani bertindak terang-terangan. Tak lama, kedua pihak menghilang dari pandangan, terseret arus kerumunan.
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Satu: Kilas Balik
Menjelang sore, butiran salju akhirnya berhenti. Jalanan diselimuti lapisan salju tipis, cuaca dingin dan muram. Awan di langit New York mengumpul bakal melepaskan badai salju lebih ganas. Peringatan dini ancaman salju ringan mulai muncul di berita.
Di dalam ruangan yang sudah dihancurkan oleh bom dan api hingga berantakan, para polisi sedang sibuk bekerja membersihkan TKP, memeriksa mayat, sementara sebagian polisi langsung menampilkan semua rekaman kamera pengawas dan mulai melakukan analisis.
Sekitar pukul satu siang, sebuah mobil berhenti di luar tempat hiburan yang sudah tutup. Angin dingin berhembus di jalanan, dua pria kulit putih berbaju sipil turun. Salah satunya bertubuh kurus tinggi hampir 2 meter, sementara yang di sampingnya hanya sekitar 1,7 meter dengan penampilan berbudaya, mengenakan kacamata bingkai tipis, terlihat seperti karyawan kantoran di perusahaan besar yang bekerja dari jam sembilan pagi sampai lima sore.
Kapolda gemuk dengan ekspresi serius menyambut dari dalam: "Kalian adalah..."
"FBI, saya Denny*Lavon, ini Agen Michel*Philip. Sepertinya mereka sudah memperkenalkan kami melalui telepon... Sebenarnya kami sedang merencanakan liburan ke San Francisco, eh maksud saya... Hal ini seharusnya lebih menarik daripada wisata." Pria tinggi bernama Denny mengeluarkan dokumen dari pangkuannya dan memperkenalkan diri. Michel yang berpenampilan kalem tidak berbicara, hanya menunjukkan dokumennya, menggeser kacamata dengan santai sambil mengamati sekeliling.
"Oh, aku Tim, Tim*Robbins, manajer di server ini." Berjabat tangan dengan bertiga, kepala polisi yang gemuk memimpin mereka masuk ke dalam, "Di permukaan ini adalah arena hiburan, sebenarnya... Tentu saja juga, di bawah ada arena pertarungan Pasar Gelap yang sangat besar, diadakan setiap Sabtu. Aku rasa kalian tahu, karena dulu kami pernah melakukan penyelidikan di sini, setelahnya disebutkan dihentikan karena waktu itu juga ada anggota tim kalian yang terlibat langsung."
“Hmm, benar, tapi hal itu sudah selesai. Tom yang menyelidiki saat itu... Krek...” Jarinya menggesek lembut di leher, agen jangkung itu mengangkat alis dengan genit, “MATI. Heh, tentu setelah menyelesaikan urusan di sini.”
“Emm...” Kepala polisi yang gemuk mengangkat tangan bingung, tak berani melanjutkan topik ini. Kemudian mereka berjalan masuk ke lorong menuju belakang. Karena penyiraman pagi tadi, dinding-dinding sekitar masih berlumpur, sesekali polisi berpapasan dengan mereka bertiga, suasana menusuk tulang. Beberapa saat kemudian, sang kepala polisi mulai sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Lewat sini, uh, saya jelaskan secara singkat. Waktu kejadian pukul 10:45 pagi. Seluruh insiden hanya terjadi satu kali ledakan, tapi daya hancurnya cukup besar. Terowongan sepanjang hampir 20 meter dari depan ke belakang terkena dampak. Total korban tewas 8 orang, lima diantaranya terkena dampak bom, tiga mayat lainnya masih utuh. Salah satunya bernama Gary*Dunbo, petarung Pasar Gelap. Meski peringkatnya tidak terlalu tinggi, dia bisa melawan 8 hingga 10 manusia biasa tanpa masalah. Jakunnya terkena Pukulan Berat, lalu lehernya dipelintir... Menurut ahli forensik, seperti memuntir leher anak ayam - dia sama sekali tidak sempat melakukan perlawanan..."
Saat mengatakan ini, dia menggelengkan kepala dengan ekspresi tak percaya. Agen berkacamata Michelle di sampingnya mengerutkan alis: "Jakun? Artinya serangan frontal. Tidak ada luka lain?"
"Tidak. Mayatnya utuh, pemeriksaan juga cepat. Anda tahu, kita punya ahli forensik terbaik di Amerika... Hasil pemeriksaan awal, kondisi tubuhnya sebelum meninggal sangat baik, tidak mengonsumsi obat-obatan, tidak berhubungan dengan wanita. Dia sekuat banteng, lalu... dibunuh begitu saja tanpa perlawanan."
“Masalah rumit……” Dua detektif bertukar pandang, sementara kepala polisi itu menambahkan di samping: “Ngomong-ngomong, menurut ahli forensik, tulang rawan Gary*Dunbo hancur berkeping-keping. Secara teori mungkin akibat pukulan palu langsung, tapi pemeriksaan luka membuktikan ini adalah pukulan tinju. Kekuatan terkonsentrasi sempurna pada satu titik, setidaknya melebihi 300 pon. Kau tahu, meski dia selamat karena latihan ketat yang pernah dijalaninya, pukulan ini sudah menyebabkan ancaman menghancurkan pada tengkuknya. Tidak akan bertahan lama.”
“Bruce Lee reinkarnasi ya? Lokasi kejadian di mana?”
“Kau bisa melihatnya SEKARANG JUGA.”
Setelah melewati belokan di depan, tembok yang menghitam dan mengelupas akibat ledakan pun terlihat. Sekelompok polisi sedang hati-hati memeriksa sekeliling, mencari barang yang mungkin berguna. Karena respons polisi yang cepat, TKP masih relatif utuh.
“Titik pusat kejadian harusnya ruang tengah di dalam sana. Kau tahu, selain pertarungan tinju bawah tanah, mereka punya banyak bisnis tidak karuan. Harus diakui pihak pendukung mereka cukup mumpuni.” Kepala polisi gemuk itu mengenakan masker, menutup hidung dan mulut, memimpin dua orang mengitari benda-benda hangus di lantai. Sesekali membuka selimut putih yang menutupi sesuatu – kebanyakan mayat. “Yang menyewa kamar ini adalah bos sebuah perusahaan swasta. Latar belakangnya kabur, tapi dikenal sebagai pedagang yang relatif sah. Kamar ini disewanya untuk menyimpan beberapa barang, tentu secara permukaan hanya dokumen perusahaan. Dia sering datang untuk menangani berbagai hal. Tidak aneh, setiap penggemar pertarungan bawah tanah bisa punya kamar seperti ini asal punya uang.”
"Saat kejadian, dia memasuki kamar. Dua pengawalnya berdiri di luar pintu. Semua ini terekam jelas dalam rekaman pengawasan. Kedua pengawalnya sangat profesional, bahkan terkesan berlebihan. Mereka membawa senjata... Tak lama kemudian sudut kamera berpindah. Ketika terlihat kembali beberapa menit kemudian, petugas pemantau yang kemarin mabuk baijiu tidak menyadari jeda dalam rekaman selama beberapa saat. Di layar, mereka sudah terbaring di lantai bawah tanah. Dua orang pertama yang datang mencoba memeriksa mayat mereka, namun pelaku jelas telah menanam bom di bawah tubuh salah satu korban. Keduanya tewas seketika akibat ledakan. Mayat yang tertindih bom... hampir hancur berkeping-keping, sebagian besar yang kita lihat tadi adalah... Kemudian jenazah di dalam ini..."
"Alan*Eckhart, seorang pedagang..." Yang terpampang adalah ruangan dengan daun pintu yang sudah meledak. Bekas kobaran api membuat sekelilingnya menghitam. Beberapa polisi sibuk di salah sisi ruangan. Mereka menggeser rak buku yang sebelumnya berdiri di sana, membuka sebuah ruang rahasia di belakangnya tanpa akses normal. Upaya pembongkaran paksa sedang dilakukan. Mayat terbaring tak jauh dari ambang pintu, sebagian tubuhnya sudah hangus terbakar. Seorang ahli forensik sedang membuat catatan di sebelahnya.
“Apa itu？” Menyentuh kacamata, agen bernama Michel menunjuk ke ruang rahasia. Kepala polisi berkata: “Jelas, ini kamar yang tidak bisa dibuka. Manajer di sini menolak memberikan penjelasan, kemudian bilang ini bisnis rahasia. Asal punya uang cukup, bisa memiliki kamar seperti ini. Hanya pemiliknya yang tahu cara membuka, bahkan pihak properti pun tidak. Jempol korban dipotong, sementara di sana ada kunci sidik jari – jelas pelaku pernah masuk. Ahli yang sedang sibuk itu paling jago membuka pintu, Hehe...”
“Lalu... Bagaimana situasi sekarang dengan Pak Eckhart ini？”
“MATI, matang, seperti steak tiga puluh persen, aku suka.” Mendengar ucapan Michel, ahli forensik kurus kering yang neurotik sedang membuat rekaman di lantai mengangkat kepala. Dia mengambil pinset dan mulai menusuk-nusuk mayat dengan lembut. “Total ada 23 luka. Pelakunya ahli... Tidak, maksudku dia benar-benar profesional. Tidak diragukan lagi, luka di tenggorokan ini adalah tusukan pertama. Pembunuh mencekik hidung dan mulutnya dari belakang dengan sangat kuat, sangat-sangat kuat...”
Ahli forensik itu bangkit dari lantai, berbinar-binar mencoba merekonstruksi kejadian saat itu. Satu tangan mencengkeram ke belakang, pinset di tangan satunya diayunkan layaknya belati: "Kau pasti tak bisa membayangkan, rahangnya sudah terlepas dari sendi, dengan retakan halus. Mereka hanya menggunakan tangan untuk mencekiknya, kekuatan hampir menghancurkan wajahnya, lalu pertama-tama menggorok tenggorokannya, lukanya sangat dalam, darah akan muncrat lebih dari satu meter, kemudian paha, bahu, seluruh tubuh. Mereka menusuknya lebih dari dua puluh kali seperti menusuk keju, semua ini agar tak ada suara sekecil apapun, benar-benar karya yang mendekati kesempurnaan. Fragmen-fragmen di luar belum kuperiksa detailnya, tapi tiga mayat utuh sudah kulihat. Presisi mematikan, pastilah ahli tingkat tinggi yang datang, sungguh berharap bisa melihatnya, mengamati karyanya adalah suatu kenikmatan..."
Michelle menutup mulutnya dengan masker, mendengarkan diam-diam lalu berkata: "Allen, adakah yang lebih mesum darimu?"
Ahli forensik itu membuat gestur aneh, kemudian melanjutkan: "Orang yang datang benar-benar hebat, aku yakin kalian pelacur FBI ini takkan bisa menangkapnya. Mau bertaruh steak tingkat tiga matang dengan kualitas tertinggi?"
"Aku lebih suka yang tujuh puluh persen matang."
"Kedua orang ini adalah teman sekelas kuliah, mereka sudah saling kenal sejak lama, dan pernah saling mengagumi pantat satu sama lain." Agen tinggi itu menjelaskan pada kepala polisi gemuk yang terlihat bingung, kemudian berkata, "Kalau begitu, izinkan saya melihat rekaman CCTV dulu, tentu saja pasti sudah Dimodifikasi."
"Baik, ikut saya." Kepala polisi gemuk berjalan di depan, membawa si tinggi ke ruang pemantauan, sementara Michelle tetap di TKP. "Menurut pemeriksaan awal ahli kami, rekaman tidak mengalami modifikasi, setiap detiknya beroperasi secara normal... hanya... ada perubahan kecil yang dilakukan diam-diam, mereka memanfaatkan perbedaan waktu ini untuk masuk ke dalam langkah demi langkah. Hanya saja kami belum tahu teknologi seperti apa yang digunakan untuk mengendalikan seluruh Sistem pemantauan komputer..."
Sepanjang jalan menuju ruang pemantauan, puluhan layar berganti-ganti gambar. Beberapa polisi sedang meneliti. Melihat kepala polisi masuk, setelah memperkenalkan identitas si tinggi, seorang polisi mengontrol waktu gambar dan mulai memberikan Deskripsi tentang Segalanya di layar.
"Sistem pemantauan di seluruh lantai ini sangat komprehensif, secara teori hampir tidak ada blind spot. Gambar tidak Dimodifikasi, tapi setelah kami lacak mundur jalur masuk mereka, ditemukan jejak kontrol manusia yang nyaris tak terdeteksi di beberapa kamera. Pertama di sini..."
"Kamera di samping Pintu Masuk ini sepertinya bermasalah kecil. Petugas pemantau sangat tajam, lalu menilai unit penyangga monitor ada masalah dan menyuruh pengawal memeriksanya. Dalam beberapa detik inilah pelaku masuk ke persimpangan ini..."
"Setelah semua rekaman ini mengalami penyesuaian yang nyaris tak terdeteksi, mustahil kita menemukan ketidaknormalan ini tanpa mengetahui konsekuensinya terlebih dahulu. Dari luar menuju ruangan ini, terdapat banyak rute alternatif. Pada periode pertama, terlihat aktivitas manusia di area ini, sini, dan sini - sehingga pelaku pasti memilih jalan ini. Saat kamera berputar, dia muncul, tepat ketika rekaman berikutnya menangkap persilangan ini... Tak ada siapa-siapa, dia hanya lebih cepat satu langkah dari pergerakan lensa. Dua sudut kamera di koridor ini, lihat, bergerak natural ke depan - tak terlihat manusia, namun terdapat blind spot sekitar 1.5 meter di antara keduanya. Satu kamera bergerak, yang lain juga berpindah - pelaku... bersembunyi dalam celah kosong sepersekian detik ini, dengan kecepatan konstan, menguasai segalanya dengan sempurna..."
"Analisis semacam ini dengan mudah mengungkap bahwa di dalam ruangan yang tampak diawasi ketat ini, seseorang menciptakan titik kosong yang terus bergerak. Perhatikan, posisi kamera di sini hampir tumpang tindih dengan yang sebelumnya, namun selalu ada celah tipis. Dia bergerak dari sini, ke sini, lalu belok. Setiap koridor memiliki waktu tempur tepat 13 detik, tidak lebih tidak kurang... Aku membenci angka ini..."
"Melalui rekaman kosong kita telusuri ke sini. Lihat, kamera depan mulai menyapu kembali. Dua pria kulit hitam sedang berjalan di lorong itu, kemudian... sudut kamera bertumpuk - tak terlihat manusia, ada pintu kamar di sini... Kami menemukan dua mayat di dalam. 42 detik kemudian, pria kulit hitam itu berbalik. Perhatikan baik-baik, blind spot di luar jangkauan kamera mulai muncul lagi di antara dua rekaman ini, terus bergerak. Koridor berikutnya juga 13 detik..."
"Di sini, petugas kebersihan mulai tumpang tindih dengan blind spot, tapi sampai di sini, blind spot melebar... Jadi petugas kebersihan tidak MATI, pelaku pembunuh entah bagaimana menghindari petugas tersebut. Dia berhenti sebentar di sini, lalu menuju ke arah ini. Dari kamera samping ini, kita bisa melihatnya, namanya Gary*Dunbo, korban lain yang MATI... Dia menghilang, tapi tidak muncul di rekaman berikutnya. Tentu saja, kamera ini sedang merekam sisi lain lorong saat itu, ketidakmunculannya tidak langsung mencurigakan. Lalu dia benar-benar tidak muncul lagi, ditemukan oleh kami di kamar ini, mayatnya seolah dilempar begitu saja oleh pelaku. Hmm, terakhir, pelaku masuk ke kamar ini, lalu pedagang dan pengawalnya datang. Bisa terlihat jelas..."
Seluruh ruang pemantauan sunyi senyap, agen FBI itu terdiam, sementara polisi lainnya juga secara bawah sadar menjaga kesunyian. Kepala polisi yang gemuk mondar-mandir dengan tangan terkunci di belakang punggung, hanya suara penjelasan polisi yang bergema secara aneh, semakin mempertebal suasana mencekam. Meski mereka telah menganalisis berbagai kemungkinan ini berulang kali, mendengar rekan sejawat menyampaikannya secara sistematis tetap menimbulkan rasa dingin yang menyusup hingga ke tulang sumsum. Pada layar pemantauan, interior arena hiburan tidaklah sepi - setiap lorong tampak ada orang yang lalu lalang. Justru karena itu, sensasi aneh dimana seolah ada ribuan orang berkeliaran dan ribuan mata mengawasi, namun tetap ada yang bisa menyusup tak terdeteksi seperti hantu, terasa semakin mengerikan.
Tenang, presisi, misterius, kejam - jika mereka suka, mungkin saat ini sedang bersembunyi di belakang kita... Beberapa orang tak bisa menahan pikiran ini di hati. Agen tinggi itu mengoperasikan panel kontrol sekali lagi, lalu mengangguk: "Benar, dia ada di sini..."
Sebelum kata-katanya tuntas, dentuman senjata tiba-tiba bergema dari lorong luar. Sesaat kemudian, ledakan besar mengguncang seluruh lantai. Saat para polisi buru-buru menghunus senjata, agen Denis sudah melesat keluar pintu seperti cheetah, berlari kencang menuju sumber suara.
“Arah yang ada keributan, tepat di koridor yang sudah mengalami pencucian bom sekali.”
Di depan debu beterbangan, polisi berlari membawa senjata dari segala arah. Dari dalam debu, beberapa polisi mundur. Saat hendak berlari masuk, suara dari walkie-talkie mini di kerah baju tiba-tiba berbunyi. Dia langsung melesat ke jalan lain.
Dentuman senjata bergema samar-samar. Setelah melewati beberapa koridor, dia kembali memasuki aula kasino. Dari jendela samping dia menerobos keluar menuju gang sempit di belakang gedung. Di persimpangan tak jauh, dua sosok familiar sedang mondar-mandir geram - Michel dan teman sekelasnya sang dokter. Satu memegang senjata, satunya lagi membawa pisau bedah. Pejalan kaki di sekitarnya sudah lari menjauh.
“Ada apa？”
“Pintu ruang rahasia terbuka,” Michel mengangkat senjatanya sambil mengangkat bahu, “Salah satu dari mereka melempar bom ke dalam lalu kabur. Tebak siapa itu?”
“Siapa?”
“Teman lama yang sudah lama kita buru tapi tak pernah tertangkap.”
Denis tertegun. Di sampingnya, dokter mesum Allen menggerakkan pisau bedahnya: “Aku juga menduga itu dia.”
“Zhuang*Amir... Pei Luo Jia...” Setelah beberapa saat, Denis mengangguk, “Itu wilayah Pei Luo Jia. Mereka sekarang datang untuk menghancurkan jejak... Segera beri tahu pihak Biro Keamanan Nasional dan semua yang bertanggung jawab atas kasus TULIP. Mungkin kita bisa menggabungkan kasusnya...”
Setelah menyapa Allen, dua agen FBI pergi untuk menangani urusan mereka. Saat mencapai tempat sepi, Allen mengeluarkan telepon dan menghubungi sebuah nomor. Beberapa saat kemudian, suara percakapan terdengar.
"Huu... James... Tim Zhuang*Amir telah ditarik kembali. Jelas Pei Luo Jia mulai merasa takut pada TULIP... Tidak apa, hanya memberitahumu hal ini. Aku baru saja bertarung dengannya dan tidak terluka. Ini benar-benar sesuatu yang patut dirayakan..."
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Dua Kecurigaan, Alasan Sebenarnya
"Sensi ah sensi ah sensi ah..."
"Natal yang meriah..."
"Jujur saja, aku suka suasana sekarang ini..."
Menjelang senja, langit suram. Angin dingin menderu di luar jendela villa di pinggiran Manhattan. Sistem pemanas yang bekerja baik menciptakan kontras nyaman antara dalam dan luar. Dekorasi villa sederhana namun elegan, dengan berbagai furnitur hasil karya Master ternama. Namun aula saat ini terlihat agak berantakan - enam atau tujuh orang tersebar di ruangan. Seorang pria duduk bersila di sofa santai menatap komputer jinjing, lainnya mencicipi anggur merah mahal di dekat rak minuman, ada yang menyaksikan berita tentang ledakan di TV, dan beberapa orang membuka dokumen baru dengan sikap penasaran seperti membaca gosip.
Pria yang memimpin adalah Cui Guohua, sementara Fang Guolin yang baru bergabung dalam tim ini sekitar setahun lebih—seorang jenius komputer—sedang menatap layar komputer. Di belakangnya berdiri Roti Kukus Kecil berwajah boneka bertopi olahraga dengan pose menggoda, mencoba menikmati gambaran di layar bersama. Sayangnya ini musim dingin, bahkan jika mereka memberinya kesempatan, mustahil baginya melihat pemandangan apa pun dari kerah baju yang terbuka...
"Awalnya kukira Nona Jian yang kemarin malam... eh, seharusnya kubatakan baru pagi ini mengamuk, setidaknya akan lebih sopan memberi kedua belah pihak waktu untuk pertimbangan dan penyangga. Siapa sangka sekarang langsung terjadi hal sebesar ini..." Meletakkan dokumen, Cui Guohua menggelengkan kepala sambil tersenyum, terlihat terkejut dengan kejadian ini. Tapi setelah dipikir-pikir, wanita berjuluk TULIP memang selalu bersikap dominan seperti ini.
"Ini benar-benar mencerminkan karakter, ya." Roti Kukus Kecil bertepuk tangan penuh decak kagum. "Tapi apa manfaatnya melakukan ini? Dia sedang memaksa kedua belah pihak ke jalan buntu. Kita kan sedang di New York."
"Cih, dia punya koneksi dewa." Menekan tombol komputer tanpa mengangkat wajah, Fang Guolin berkata, "Jika benar ini ulahnya, pasti ada alasannya. Mungkin dia memang punya kemampuan untuk membuat cabang Amerika Utara Pei Luo Jia babak belur di New York! Tentu... kita juga belum mengonfirmasi apakah ini benar-benar perbuatannya..."
“Apakah dia masih manusia?” Roti kukus kecil mengangkat alisnya, dalam hati teringat pemandangan pembunuhan kejam yang dilihatnya di jalanan dini hari tadi, lalu menggelengkan kepala, “Menurutku bukan dia. Meski Zhuang*Amir pernah muncul, bukan berarti tempat itu pasti wilayahku Pei Luo Jia.”
“Tapi kenapa Gu Jiaming bisa ada di sini? Terlalu kebetulan.” Layar diarahkan tepat ke roti kukus kecil, memperlihatkan rekaman CCTV dari tempat hiburan tersebut. Dari beberapa cuplikan gambar terpisah, terlihat bayangan Jiaming dan Marylin beserta putrinya yang sedang berjalan. Orang lain mungkin tidak menyadarinya duluan, tapi [] diam-diam mengamati ibu-anak itu, tahu mereka pergi ke taman bermain hari ini. Terkait ledakan kebetulan itu, SEGERA menangkap ada sesuatu yang tidak beres.
"Letakkan komputer di atas meja, Fang Guolin duduk tegak dan berbicara kepada beberapa orang di sekitarnya tentang penilaiannya: 'Menurutku, hal ini pasti merupakan karya kolaborasi Gu Jiaming dan Jian Suyan. Karena hal-hal yang terungkap dari rekaman pengawasan internal terlalu presisi - membuat blind spot pada sistem pengawasan dengan metode paling cerdik, masuk, membunuh, keluar, hampir tidak ada yang menyadarinya. Pemilihan rute hampir mencapai tingkat presisi tertinggi. Jika hanya Jian Suyan sendiri, bagaimana mungkin dia mengoperasikan semua kamera pengawas dalam situasi seperti itu? Setidaknya aku tidak bisa membayangkan seberapa ketat pola pikir yang dibutuhkan. Pasti ada pengamat di sini. Kita semua tahu bahwa Gu Jiaming sebenarnya memiliki keahlian komputer yang cukup baik, mungkin diajarkan oleh Jian Suyan. Selain itu, karakternya selalu tenang. Dengan dia yang mengendalikan situasi dari luar sementara Jian Suyan bertindak, kombinasi ini sangat sempurna.'"
"Kesimpulan ini cukup logis." Mereka saling bertukar pandang. Cui Guohua tersenyum dan menunjuk ke gambar Gu Jiaming yang sedang bermain game di layar: "Orang ini sangat hebat, tidak biasa."
Qiao Guorui membawa dua gelas anggur merah, menyerahkan satu kepada Cui Guohua yang menggelengkan tangan menolak. Kemudian gelas itu diberikan kepada Guo Lin. Roti kukus kecil juga menginginkannya dan mengulurkan tangan.
"Ambil sendiri."
"Lebih mementingkan cinta daripada persahabatan!" Roti kukus kecil mengacungkan jari tengah.
“Sebenarnya sudah ada sedikit petunjuk dari awal.” Qiao Guorui duduk, “Pertandingan basket-nya di kampus, level komputer, dan... Heh, pertarungan yang Dongfang Wan benci sampai mati itu. Kurasa dia sengaja menahan diri. Sebagai anak 15-16 tahun, performanya sangat hebat. Pasti diajari langsung oleh Jian Suyan. Jika dia benar-benar terlibat dalam operasi kali ini - perkiraanku kemungkinannya di atas delapan puluh persen - suatu hari nanti dia bisa menjadi Jian Suyan kedua.”
“Wow...”
Beberapa orang di samping menganggum-anggumkan sambil setuju. Mantou melirik lagi: “Sayang dia tidak tampan. Jian Suyan cantik banget... Benarkah Ye Lian menyukainya?”
“Justru itu keunggulannya. Dia tidak mencolok, biasanya juga tidak banyak yang memperhatikan. Jika dua orang punya kemampuan bertarung setara, dia lebih menakutkan daripada Jian Suyan...” Setelah hening sejenak, Qiao Guorui melanjutkan, “Tentu saja, kesempatan seperti ini sangat langka. Meski punya guru terbaik, dengan karakter yang dia tunjukkan sekarang, kecil kemungkinan dia mengalami banyak situasi hidup dan MATI. Mustahil mencapai level itu. Yang kutunggu sekarang adalah kejutan apa yang tersembunyi di ruang rahasia itu...”
……
Melihat keluar jendela, seluruh manor Keluarga Salieri dipenuhi kemegahan berlapis emas. Semua lampu telah dinyalakan. Di gedung utama sedang berlangsung jamuan besar-besaran. Terus-menerus mobil mewah berdatangan membawa tamu undangan.
"Duduk di depan TV, Heidi yang mengenakan gaun putri sedang menonton pertempuran Optimus Prime melawan Megatron dengan bosan. Sesekali dia menoleh ke Jiaming yang sibuk di meja makan——di depannya ada laptop dan banyak kertas putih berisi coretan-coretan tak karuan yang tidak dipahaminya. Ini pekerjaan yang telah Jiaming lakukan sejak sore, hingga sekarang belum berhenti. Heidi tidak berani mengganggunya."
"Ibu sibuk di dapur. Karena Jiaming tidak bilang mau pergi ke jamuan, mereka memutuskan makan malam di rumah. Sesekali Heidi menoleh melihat keramaian di luar, lalu menyatukan kedua tangan di belakang punggungnya, berjalan kecil-kecil mengelilingi ruangan. Saat melewati belakang Jiaming, dia mengintip layar komputer dan tumpukan kertas. Jiaming menoleh ke belakang."
"Mau main keluar?"
"Eh... nggak..." Heidi menggelengkan kepala dengan ragu, lalu duduk di sebelahnya sambil mengambil selembar kertas: "Ini apa sih?"
"Hukum alam."
"Hukum alam apa?"
"Pola cara manusia berpikir dan bertindak."
"Kau mau melawan siapa?" tanya Heidi penasaran, "Orang jahat?"
"Tidak ada orang jahat, hanya musuh." Jiaming tersenyum, merasa penjelasannya terlalu filosofis, "Pergi mainlah. Aku masih butuh waktu untuk menyelesaikan ini. Nanti setelah selesai akan kucarimu."
"Eh..."
"Hehe, jangan pura-pura serius." Jiaming mengetuk dahinya. Heidi melompat sambil memegangi kepala: "Hmph, tapi Mama sudah masak makan malam nih."
“Tidak apa-apa, kalau mau keluar ya keluarlah.” Marilyn menjulurkan kepala dari dapur, “Makan di luar juga boleh, ingat jangan makan udang, kamu alergi kulit, dan jangan minum baijiu.”
“Tahu.” Meski pemikirannya terlihat lebih dewasa dari anak Tiongkok seusianya, usia yang terpampang jelas membuat sifat aktif dan suka keramaian tak berubah. Setelah mendapat izin, Heidi pun memutuskan keluar, menepuk-nepuk Jiaming, “Jangan lupa cari aku nanti.” Kemudian dia berangkat dengan riang.
Film kartun di TV tetap diputar, suaranya bergema bercampur dentang keyboard tet-tat. Sesekali Jiaming mengambil pulpen untuk menulis catatan. Sekitar sepuluh menit kemudian, Marilyn membawa makanan: steak lada hitam yang digoreng sempurna, telur ayam, salad, bubur kentang, sup jagung kental. Masakan sederhana tapi terlihat lezat: “Makan siang siap.”
“Hmm, SEKARANG JUGA, kamu makan dulu.”
Menyahut, Jiaming tetap melanjutkan pengembangan. Tak terasa berapa lama, dia meletakkan pulpen dan merapikan kertas di meja, memandang Marilyn yang duduk menunggu: “Basicaly selesai, maaf.”
“Tak masalah, aku suka. Dulu Tang Jingyao... uh...” Sepertinya ia teringat masa lalu, tapi segera menghentikan diri. Jiaming mengangguk: “Makanlah.”
“Hmm.”
“Kemudian, di dalam kamar terdengar suara ringan pisau dan garpu menyentuh piring keramik. Sesekali mereka bertukar kata, kebanyakan membahas apakah masakannya sesuai selera atau enak tidak, rencana awal hari ini sebenarnya mau memasak makanan Tiongkok tapi malah masak ala Barat. Saat hampir selesai makan, Marilyn baru mengangkat kepala: "Sebenarnya... sebenarnya... Jiaming, apakah urusanku ini merepotkanmu?"”
“Hah?”
“Percakapanmu dengan Jane pagi tadi.” Dia berhenti sejenak, “Sebenarnya kau selalu lebih sopan. Jika bukan karena aku... dan keluargaku, kau tidak akan sengaja melakukan itu, kan?”
Faktanya, sikap Jiaming yang biasanya sangat sopan terhadap beberapa anggota Gambino hari ini bisa disebut sebagai tantangan yang disengaja. Meski tidak sampai berkelahi, Marilyn yang peka sudah mencium keanehan situasi. Mendengar perkataannya, Jiaming tersenyum: “Seharusnya tidak.”
Marilyn jelas tidak percaya: “Kalau begitu...”
“Aku butuh sebuah identitas.”
“Apa?”
“Tepatnya, Gu Jiaming butuh identitas.” Jiaming mengangguk, menyebut diri sendiri tanpa menggunakan kata ganti orang pertama, “Sebuah identitas yang lebih konkret, berwibawa, mengesankan, dan sedikit lebih transparan. Untuk menghilangkan... kecurigaan atau risiko potensial.”
Separuh kalimat terakhir terdengar seperti gumaman. Marilyn tertegun sebentar, lalu menggeleng: “Aku tidak paham.”
"Tidak perlu mengerti, ini untuk orang-orang tertentu. Singkatnya, kalau ada yang curiga aku lebih hebat dari sekarang, ya aku tunjukkan sedikit kehebatan. Mereka akan berpikir 'Ah, ternyata tebakanku benar! Aku B, aku Genius.'" Jiaming tersenyum mengangkat tangan, "Untukmu dan Heidi, cukup tahu bahwa aku tetap Gu Jiaming yang kalian kenal selama ini."
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Tiga Mafia
Mari kita bahas tentang mafia.
Bentuk organisasi ilegal yang berasal dari Sisilia, Italia dan Korsika, Prancis ini, pada peralihan abad ke-20 ke-21 telah menjadi simbol dunia bawah tanah paling terkenal. Sebagai organisasi Jalan Hitam setara Yakuza Jepang, Triad Hong Kong Tiongkok, dan kartel narkoba Kolombia, sistem keluarga mafia masuk ke Amerika di awal abad ke-20 lalu berkembang pesat. Meski sebagian kekuatannya dihancurkan FBI pada tahun 70-80an, hingga kini mereka masih menguasai bisnis penyelundupan, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, pembunuhan bayaran, hingga daur ulang sampah.
Saat ini, berpusat di New York, terdapat puluhan kelompok mafia besar dan kecil di wilayah Amerika Serikat. Yang paling terkenal adalah Lima Keluarga Besar, yaitu Keluarga Gambino, Keluarga Bonanno, Keluarga Colombo, Keluarga Genovese, dan Keluarga Lucchese. Di antara mereka, Keluarga Gambino merupakan yang paling kuat. Sepanjang sejarah mafia Amerika, baik dalam menyerang maupun diserang, mereka selalu meninggalkan jejak yang jelas. Contohnya Joseph "Joe Bananas" Bonanno, yang berasal dari keluarga mafia tertua di Italia dan menjadi pemimpin pertama mafia Amerika dengan julukan "Joe Banana", akhirnya dikalahkan oleh Carlo Gambino. Carlo Gambino inilah yang menjadi inspirasi karakter utama dalam film Godfather.
Dibandingkan dengan Gambino, kekuatan Keluarga Salieri tidak terlalu menonjol. Meskipun kedua pihak memiliki konflik yang sulit diatasi karena berbagai masalah, mereka bukanlah musuh bebuyutan. Sebagai keluarga mafia terkuat yang telah berkuasa lama, Gambino memiliki kemampuan untuk menekan Salieri. Namun di sisi lain, mereka juga harus menghadapi banyak tantangan dari berbagai aspek. Di bawah hukum keseimbangan kekuatan, Gambino tidak pernah benar-benar bisa membasmi Keluarga Salieri hingga habis. Namun sebagai pihak yang lebih lemah, Salieri biasanya hanya berusaha mempertahankan diri. Setiap kali ada godfather baru di Keluarga Gambino, pihak Salieri selalu dibuat kalang kabut dan tegang selama beberapa waktu.
“Contohnya baru-baru ini, setelah John*D'Amico mengambil alih segala urusan Keluarga Gambino sebagai proxy godfather, Keluarga Salieri mulai menjalin koneksi ke berbagai pihak, mendekati kekuatan-kekuatan berpengaruh, dan menyatakan sikap sebagai peringatan dini bagi Keluarga Gambino: 'Aku masih punya koneksi, kalau kau berani menyerang, belum tentu pihak lain setuju, jadi jangan sekali-kali nekat.'”
“Setelah bertahun-tahun berinteraksi, semua paham John*D'Amico adalah macan bermuka manis. Di bawah prinsip kepentingan di atas segalanya, dia mencintai perdamaian namun juga paling ahli menggunakan topeng ini untuk menipu lawan, merangkul sekutu, dan menghabisi semua rival.”
“Pesta yang digelar di Manor Salieri malam ini faktisnya didasari alasan tersebut.”
“'Aku ingat... terakhir ada jamuan seperti ini waktu...'” Saat melintasi jalan terang benderang, Marilyn menggoyangkan rambut emasnya, mengingat kejadian bertahun silam. Di sampingnya, Jiaming justru lebih dulu menjawab: “Tahun 92, ya?”
“Hmm...”
“'Gotti dipenjara tahun itu, Gotti Jr. menggantikan posisinya.'”
“Hmm, benar, tahun itu Heidi merayakan ulang tahun tujuh tahun. Sebenarnya semua orang lega, karakter John*Gotti yang terlalu mencolok membuat musuh-musuhnya was-was selama periode itu. Tapi karena terlalu sering muncul di wawancara dan mempermalukan departemen pemerintah, akhirnya kesaksian Sammy Si Banteng membuatnya masuk penjara... Heidi mungkin sudah lupa, sebelumnya setiap keluar rumah selalu dikawal rombongan, lama-lama aku jadi benci bepergian, belajar bahasa China, melakukan perjalanan ke Tiongkok selama sebulan, tinggal di Beijing...” Marilyn berbicara sambil mengingat-ingat, kenangan akan kehidupan tertutupnya selama itu tampak samar, saat menyebut nama Tang Jingyao, ia segera menutup mulut lalu tersenyum, "Maaf."
“Hmm, masih ingat?”
“Ingat.” Marilyn mengangguk, “Semua hal masih kuingat, tapi perasaan itu sudah hilang sama sekali, aneh kan?”
“Tidak tahu.” Jiaming menggelengkan kepala, “Aku tidak paham hal-hal seperti ini...”
“Coba berikan pendapatmu.”
“Katakan saja, siapa pun di jamuan tadi yang tidak kau sukai, akan kuhabisi.” Mengangkat tangan dengan kekecewaan, “Ini justru lebih mudah.”
“Kau ini.” Marilyn menghela napas penuh penyesalan sambil tersenyum, “Sungguh tidak mengerti isi hati wanita, terkadang kaku seperti patung kayu...”
Jiaming tersenyum tipis tanpa bicara. Tentang hal-hal seperti isi hati manusia, ia memang pernah menjalani pelatihan, tapi... itu hanya sekadar teknik, teknik untuk MEMBUNUH...
Pada saat ini keduanya sudah berada tepat di depan rumah utama. Waktu sudah menunjukkan lewat pukul delapan malam. Para tamu undangan sudah berkumpul lengkap dan berjalan-jalan di berbagai area. Sebagian besar yang datang adalah para pemimpin geng kriminal yang memiliki pengaruh tertentu, sedangkan tamu utama justru jumlahnya lebih sedikit. Bawahan dan pengawal yang mengikuti para tokoh ini jumlahnya setidaknya tiga kali lipat lebih banyak. Jiaming melirik sekilas, dalam hati berpikir: "Jika di sini diletakkan bom, tidak tahu bagaimana kekacauan yang akan terjadi di dunia hitam New York."
Bom...rudal...senjata pemusnah massal berskala besar berputar-putar dalam pikiran. Baru saja masuk ke aula, beberapa orang yang mengenal Marilyn langsung menghampiri. Setelah mengobrol sebentar, Marilyn dengan mahir mulai bercakap-cata dengan mereka...
……
"Bulan lalu Wesley ngoprek mobil militer Hummer yang dimodifikasi. Tenaga kudanya kuat, rata-rata satu kilometer menghabiskan satu liter bensin..."
"Kugira satu-satunya fungsi mobil itu adalah untuk mengangkut tangki minyak..."
"Hals berencana berinvestasi di bidang amal. Dia ingin mendirikan panti asuhan anak."
"Katanya dulu dia tak segan MEMBUNUH tanpa berkedip. Ini mau buat rumah potong anak-anak? Haha..."
“Perkumpulan mafia akhir abad ke-20 sudah lama kehilangan aura film hitam putih yang sedikit muram dari *The Godfather*. Dalam kerlip lampu dan alunan musik yang lancar, sebagian besar percakapan orang-orang di sekitar berkutat pada topik seputar uang. Tentu saja, jika menyimak baik-baik, sesekali bisa terdengar gosip bawah tanah yang tak terjangkau orang biasa, tapi tak ada yang menyebut Gambino atau John D'Amico. Bagaimanapun ini bukan pertemuan resmi Jalan Hitam. Mengenai hubungan antara Gambino dan Salieri, tak ada yang akan memberikan pernyataan resmi. Namun konsensus bersama adalah mencegah kedua keluarga terjerumus dalam perang total.”
“Setelah berdiri beberapa saat di dekat Marilyn, kudengar percakapannya hanya seputar bisnis daur ulang sampah. Di antara bisnis mafia, pengelolaan tempat pembuangan sampah termasuk yang relatif legal. Di New York, monopoli mafia atas hal ini bahkan sampai membuat orang tewas dibunuh karena memungut sampah - kisah nyata yang memang pernah terjadi. Marilyn yang biasanya begitu penurut di depan Jiaming, kini menunjukkan sikap santai namun cermat. Ia menjaga kesopanan dan menghadapi situasi dengan tepat. Setelah mendengarkan sebentar, Jiaming memberi gestur tanda akan mencari Heidi. Marilyn meminta maaf, mengakhiri obrolan, dan segera menyusul.”
“Eh, maaf...”
“Jangan khawatirkan aku.” Jiaming tersenyum. “Aku serius.”
“Kaulah tamu istimewaku.”
Jiaming mengangkat bahu: “Kukira aku seharusnya jadi tuan rumah di sini.”
“Tentu, selama kau mau.”
“Wanita bodoh...”
“Marilyn mengikuti di samping, tak lama kemudian ada orang lain yang datang menyapa. Bagaimanapun dia adalah tuan rumah, apalagi jika dibandingkan mungkin keluarga Salieri relatif terdesak di hadapan Gambino, tapi tetap salah satu mafia yang cukup sukses. Seorang wanita single bertahun-tahun dalam keluarga ini, memadukan keshalehan Timur dengan keseksian Barat, meski sudah memiliki putri, tetap menjadi kandidat terbaik untuk naik status melalui pernikahan strategis.”
“Dia ingin ikut, Jiaming pun terpaksa berjalan perlahan sambil sesekali berhenti. Ia sama sekali tidak tertarik dengan jamuan itu sendiri, latar belakang para peserta juga tidak bisa membangkitkan emosi apapun dalam dirinya - baik rasa hormat maupun sikap merendahkan. Tak lama kemudian, saat Marilyn sibuk menghadapi gelombang baru pengunjung yang ingin mengobrol, Jiaming duduk di kursi sebelah. Joseph menghampiri sambil membawa gelas anggur: "Bagaimana perasaanmu tentang New York?"”
“Sangat berisik.”
“Benar, terkadang aku juga merasakan hal yang sama.” Joseph tersenyum, “Nah, kudengar kalian mengalami sesuatu yang tak terduga pagi ini?”
“Hmm.”
“Kurasa ini normal, ada statistik yang mengatakan di New York setiap 8 detik terjadi satu kejahatan... Oh, Charles, lama tidak bertemu, bagaimana kehidupan di West Coast...” Saat sedang berbicara, seorang pria berambut panjang juga datang dan duduk di sebelah. Joseph menyapa, pria itu tersenyum: "Bisnis di Los Angeles sulit, orang Spanyol semakin lancang, beberapa hari lalu beberapa orang kulit hitam ditembak begitu saja di jalan karena mereka tidak suka orang kulit hitam masuk ke wilayahku. Saat ini situasi sangat tegang, Natal sebentar lagi, ditambah kasus John* Damico, sepertinya kepulanganku tepat waktu... Oh, ini siapa..."
"Teman Marilyn dan Heidi, Gu Jiaming dari Tiongkok. Jiaming, ini Charles, kami biasa memanggilnya Pangeran."
"Halo, aku sepupu Marilyn." Mendekat dan berjabat tangan dengan Jiaming, Charles dan Joseph mulai membicarakan urusan Keluarga Gambino. Beberapa saat kemudian, terlihat ayah Marilyn, Old Victor melintasi aula jamuan menuju ke arah sini. Joseph dan Charles adalah dua manajer utama Keluarga Salieri saat ini, mungkin ingin membahas urusan resmi. Jiaming bersiap pergi. Baru beberapa langkah, bayangan seseorang muncul dari samping menarik tangannya - Heidi.
"Akhirnya ketemu! Kukira kau dan Mama tidak datang." Sambil melambai ke Joseph dan yang lain, dia menarik Jiaming sembunyi-sembunyi menuju pintu samping aula, "Aku akan tunjukkan sesuatu yang bagus."
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Empat Terdistorsi
“Lihat……di sini、juga sini、sini……banyak ya?”
“Ini senjata model baru, M4 produksi Perusahaan Colt. Katanya mulai November tahun lalu sudah digunakan Angkatan Darat dan marinir. Pakai peluru 5.56mm M193, akurasinya lumayan bagus. Menurutku keren banget, byur-byur, hehe...”
“M16, cantik memang cantik. Senjata paling sering muncul di TV, laras panjang, body senjata yang epik... Tapi katanya banyak kekurangannya, gampang macet peluru, laras bisa tersumbat, tidak bisa dipakai di cuaca buruk, tidak direkomendasikan...”
“Dibanding M16, senjata ini adalah yang paling legendaris di dunia: Senapan serbu AK47. Pas Perang Vietnam, tentara Amerika sampai rela buang senjata mereka dan pakai AK47, keren banget keren banget, orang jahat semua pake ini...”
“Ada juga ini, koleksi eksklusif Paman: Colt Python, revolver terbaik di dunia. Laras panjang, body berwarna emas. Ah, aku jatuh cinta sama senjata ini...”
Kedengarannya seperti kolektor senjata narsis yang sedang pamer. Di ruang rahasia yang terang benderang, Jiaming melirik koleksi berbagai senjata di sekelilingnya, lalu menatap Heidi kecil yang sedang asyik mengagumi Colt Python emas itu. Mulutnya menganga, merasa bingung harus berkata apa.
Baru saja Heidi bilang mau mengajaknya melihat barang bagus, siapa sangka sepanjang jalan menariknya secara sembunyi-sembunyi, akhirnya masuk ke ruang rahasia ini untuk mengagumi senjata-senjata ini. Pikirnya, dirinya yang sudah MEMBUNUH tak terhitung, membuat Heidi punya persepsi salah bahwa dia suka senjata memang tak bisa dihindari. Tapi sebagai anak seperti Heidi, kalau sampai menyukai barang-barang ini, maka...
"Hmm, Heidi, kau tahu ini dari mana..."
"Baca di buku lah, kadang juga tanya orang, tapi mereka biasanya enggak mau kasih tahu banyak. Paman jarang ngurusin aku, kamarnya ini aku cuma sesekali datengin."
"Hem..." Baru mau bicara, jam tangannya berbunyi bip bip bip memberi sinyal waktu. Melihat ke bawah sebentar, saat mengangkat kepala lagi, Heidi sudah meletakkan Colt dan lari sambil bilang: "Iya, iya..." Mengobrak-abrik lemari dan mengeluarkan sebotol anggur merah, lalu menemukan dua gelas kristal: "Paman bilang, ini anggur merah terbaik tahun 82, kemarin dia buka botol minum segelas. Jiaming, kalau suka, kita habisin semuanya ya."
"Aku gampang mabuk kalau minum baijiu, lagian... Mama ngizinin kamu minum alkohol?"
"Hmm..." Membelakangi Jiaming, Heidi menuangkan anggur ke gelas, "Biasanya enggak boleh, tapi kalau ada momen bahagia gapapa. Nah... Kita minum segelas berdua?"
"Oke, segelas. Hmm, jangan lupa sembunyikan lagi anggur Pamannya, jangan sampai ketahuan."
"Tahu tahu deh! Nah, minum anggur merah harus dikocok dulu, terus dicium aromanya..."
“Dengan riang menyerahkan Gelas Anggur ke tangan Jiaming, Heidi berlari ke kursi di sisi lain meja kerja dan duduk berhadapan dengannya. Seperti setiap anak yang menerima tamu, ia selalu ingin menunjukkan koleksi eksklusifnya yang menarik untuk dibagikan. Mungkin sekarang Heidi juga dalam kondisi mental seperti itu. Saat jamuan besar sedang berlangsung di dunia luar, di ruang rahasia tanpa orang ketiga, mereka duduk bersama, berbicara, dan minum baijiu. Bagi gadis itu, ini pasti memiliki makna yang sangat spesial...
Tidak ingin menghancurkan semangat Heidi saat ini, Jiaming menggoyang-goyangkan gelasnya, mengendus ringan sebelum meletakkannya di depan. Ia merancang cara persuasif untuk membuat Heidi berhenti menjalin kontak dengan senjata dan sejenisnya. Meski sebenarnya dirinya tak punya hak berbicara soal ini – ketertarikan Heidi pada benda-benda tersebut mungkin justru banyak dipengaruhi olehnya – tapi sejujurnya, harapannya terhadap Heidi memang bukan seperti ini.
"Eh..."
"Ah!" Setelah lama menatap gelas Jiaming, Heidi yang sedang menyesap baijiu tiba-tiba melompat dari kursinya dengan ekspresi aneh, "Ada satu barang lagi!"
"Apa?"
"Paman menyimpan ini di rumah, aku berencana mencurinya." Sambil berkata demikian, Heidi membuka laci di hadapannya dan meraba-raba isinya beberapa kali, "Dia kira orang lain tidak akan menemukan, tapi kebetulan aku melihatnya waktu itu." Yang kemudian ditaruhnya di meja adalah sebuah kantong plastik kecil berisi serbuk putih yang mengejutkan.
“Aku kenal beberapa orang di kampus, Hans ternyata bilang bisa menjual barang ini, lalu kita bisa sama sekali tak perlu uang keluarga. Musim dingin ini kita bisa bertugas ke Las Vegas. Jiaming, kau ikut juga setuju?”
Bagi Heidi, bisa mengajak Jiaming jalan-jalan sepertinya merupakan prestasi besar. Saat itu dia berbicara dengan gembira. Jiaming membuka kantong plastik kecil itu hati-hati, mencelupkan jarinya ke serbuk, lalu mengoleskannya pelan-pelan di gigi. Beberapa saat kemudian, ia menghela napas dan menutup kantong plastik: "Ini heroin berkemurnian tinggi..."
“Hmm, aku tahu. Ingat? Teman SMP-ku dulu pernah merancang rencana membuatku menghisap barang seperti ini, tapi ketahuan. Kalau waktu itu kubilang ke Kakek, tangan mereka pasti sudah dipenggal... Barang seperti ini tidak Izinkan disimpan di rumah, cuma Paman itu memang selalu tidak patuh... Eh, Jiaming...”
Sambil berbicara, beberapa saat kemudian baru sadar ekspresi Jiaming tampak tidak biasa. Ia mendorong heroin itu: “Kembalikan, jangan sentuh barang-barang ini lagi, oke?”
“Hmm...” Heidi mengangguk bawah sadar, tapi tangannya tampak bingung. Memegang kantong kecil narkoba itu, dia melirik Jiaming. Sejak kenal sampai sekarang, Jiaming belum pernah menatapnya dengan tatapan seperti ini - tanpa amarah tapi penuh kompleksitas, membuatnya merasa cemas. “Aku... Aku...”
“Dan jangan sentuh senjata juga, bisa?”
Sampai saat ini, barulah ia tiba-tiba menyadari bahwa Jiaming yang menganggap MEMBUNUH sebagai hal sederhana seperti makan ternyata tidak menyukai hal-hal ini. Hatinya mulai panik: "Me... mengapa ya..."
"Karena... aku tidak ingin kau menyukai hal-hal ini..."
Menepuk-nepuk pipi Heidi, Jiaming tersenyum menghibur, tapi tiba-tiba hatinya menjadi terang. Mungkin tidak ada perasaan benar-salah yang tepat dalam hati Heidi. Segalanya terkait lingkungan hidupnya, hubungan dengan Marilyn, dan juga dirinya sendiri. Hidup dalam keluarga mafia, pandangan hidup yang terbentuk bukanlah sesuatu yang normal. Karena ibuku masih memiliki posisi tertentu dalam Keluarga Salieri, dia mungkin sudah terbiasa melihat senjata dan narkoba. Dia tidak pernah memiliki ayahku. Tentang hal-hal ini, aku tidak pernah memberitahunya. Marilyn mungkin pernah menyebutkan, tapi pasti tidak banyak. Yang paling penting, adalah peristiwa yang dialaminya saat berusia sepuluh tahun - pemandangan aku MEMBUNUH banyak orang di hadapannya. Bagi anak kecil, itu pasti gejolak dahsyat dalam hati.
Setelah itu, dia tidak menunjukkan ketidaknormalan berlebihan, tidak menangis atau takut. Hanya bisa dikatakan, saat itu si kecil mungkin karena kekaguman padaku, telah menerima kejadian itu sebagai hal yang normal.
“Setelah mengalami hal itu, mungkin akan lebih mudah baginya untuk menerima senjata dan narkoba di dalam keluarga. Sementara diriku yang dulu menembak mati sekelompok besar orang, di hati Mary mungkin dianggap wajar menyukai senjata. Makanya dia membawaku ke sini, dengan logika seperti anak kecil yang menukar mainan. Sehari-hari dia mungkin tampak cerdas dan imut, suka membantu orang sebagai hal baik. Tapi dalam hal konsep baik-buruk yang besar, pandangannya pasti sangat berbeda dengan orang biasa. Dia akan menganggap memakai narkoba sebagai hal bodoh, tapi belum tentu menganggap perdagangan narkoba sebagai kejahatan – karena kebanyakan orang yang dia kenal melakukan ini...”
“Dulu saat dia bilang ingin jadi godmother mafia, aku dan Marilyn mengira itu hanya candaan. Tapi sekarang...”
“Aku... aku... itu... Jiaming tidak suka?”
“Tidak suka. Perlahan kau akan pahami, semua ini adalah hal-hal buruk.”
“Aku tahu ini buruk. Aku juga belum pernah memakainya... Cuma mau menukarnya untuk biaya perjalanan...”
“Itu tetap salah. Gurumu pasti pernah mengajar, menjadi pecandu maupun pedagang narkoba itu melanggar hukum.” Terhadap definisi baik-buruk yang sangat berbeda dari orang biasa, Jiaming merasa pusing karena tak bisa mengajar Heidi dengan hukum alamnya.
“Guru kami payah...” Gadis empat belas tahun yang penuh emosi pemberontak ini awalnya ingin "berdebat dengan alasan", tapi saat menatap mata Jiaming, akhirnya menunduk: “Maaf, aku tidak akan menyentuh ini lagi...”
“Hmm.” Jiaming mengelus rambut Heidi. Gadis kecil ini kali tidak menggelengkan kepala sebagai protes, hanya diam-diam menyesap anggur. Setelah itu, dia menatap ke atas sambil tersenyum. Jiaming juga mencicipi sedikit, namun tiba-tiba wajahnya berubah drastis.
“Jangan minum!” Geramannya terdengar. Ia menyambar gelas di tangan Heidi, mencicipi sedikit lalu mengerutkan alis. Setelah mencoba kedua gelas anggur itu, kebingungannya semakin dalam.
Gelasnya sendiri ternyata mengandung obat halusinasi, namun gelas Heidi normal saja. Siapa yang menaruh obat ini? Bagaimana caranya... Saat ini, hanya ada dua kemungkinan: Pertama, Paman Heidi telah menyiapkan dua gelas di ruang rahasia, salah satunya diberi obat untuk antisipasi keadaan darurat. Kedua, Heidi sendiri yang menaruh obat itu. Tapi kenapa...
“Apa... apa yang terjadi?” Heidi bertanya dengan gugup.
“Kita harus pergi. Pamammu mungkin akan segera kembali...”
Setelah memastikan tidak ada pengawasan di sekeliling melalui pengamatan seksama, Jiaming menuangkan anggur itu ke tanah. Ia menggandeng tangan Heidi keluar dari ruang rahasia. Jam tangannya bergetar beberapa kali saat mereka mendekati aula jamuan yang terang benderang.
“Pergi ke Mama, ya? Aku kebetulan ada beberapa hal yang harus segera keluar. Tolong beri tahu dia.” Melihat ekspresi Heidi yang masih terlihat panik, Jiaming tersenyum dalam hati. Hampir bisa dipastikan, obat halusinasi itu pasti yang ingin Heidi berikan padanya. Makanya sekarang dia terlihat begitu gugup.
Di tengah rasa geli, kekecewaan kembali muncul. Menjadi pendidik bukanlah keahlianku. Tapi perasaan sekarang benar-benar seperti memiliki putri yang menyebalkan. Pusing, harus bicara apa ya... Pikirkan saja selama di perjalanan...
……
Tidak lama kemudian, gadis kecil itu memasuki aula dengan langkah gonta-ganti. Setelah berputar beberapa kali, akhirnya menemukan ibunya.
“Jiaming... Jiaming dia...” Dia menghirup ingus, tiba-tiba meledak dalam tangisan, “Dia pasti sudah tidak menyukaiku lagi...”
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Lima Hari Keberuntungan
Tengah malam, Bandara Internasional Kennedy yang terang benderang.
Berbagai mobil berdesakan lalu lalang. Orang-orang dari segala ras, bangsa, dan warna kulit membawa barang bawaan silih berganti. Pesawat terus lepas landas dan mendarat, membawa tak terhitung kehidupan yang bersinggungan dengan kemakmuran kota metropolitan riuh ini. Sebagai salah satu hub udara terbesar dunia, Bandara Kennedy tak pernah sepi. Setiap hari, setiap detik, ia memancarkan vitalitas menakjubkan yang lahir dari aturan dan keteraturan ciptaan manusia.
Di tengah aula yang riuh rendah, orang-orang yang masuk, pergi, dan menunggu memadati ruangan. Layar besar terus menayangkan jadwal dan waktu setiap unit pesawat. Notifikasi standar dalam bahasa Inggris terus mengalir dari pengeras suara, menyusup ke keriuhan aula. Di posisi tepi dekat ruang tunggu keberangkatan, sekelompok orang sedang berpamitan. Yang akan pergi adalah dua pria berkulit sawo matang berbaju jas hitam. Dari ekspresi wajah dan gerakan membungkuk memberi hormat yang formal sesekali, bisa diketahui bahwa mereka kemungkinan berkewarganegaraan Jepang.
"Atas perhatian semua selama kunjungan ini, izinkan saya sekali lagi menyampaikan rasa terima kasih kepada Mr. Castro..."
"Mr. Watanabe tidak perlu sungkan. Mr. Castro juga berpesan, kami mohon maaf karena tidak bisa mengikuti rencana awal untuk membiarkan kalian pergi bersama Nona Zhang. Kami sangat serius dengan operasi ini. Mr. Zhuang*Amir yang sedang menjalankan misi lain telah langsung dipanggil pulang. Mengenai hal Jian Suyan, kami akan memberikan penjelasan sempurna kepada kantor pusat. Percayalah pada kemampuan kami."
"Saya rasa prestasi sebelumnya sudah cukup menjadi sertifikat. Pesan Mr. Castro akan saya sampaikan kepada Mr. Mamoru."
Percakapan dengan orang Jepang yang terlalu sopan ini membuat salah satu orang Amerika ikut membungkuk setiap kali lawan bicaranya memberi hormat. Setelah mengobrol beberapa saat, akhirnya tiba waktu boarding. Setelah mengantar dua orang itu ke pintu keberangkatan, beberapa orang Amerika yang mengantar baru bisa lega, saling bertukar pandang.
"Aku benci orang Jepang yang tidak punya selera humor..."
"Mulai sedikit suka dengan orang Prancis..."
"Ngapain mereka nggak sekalian aja bersujud waktu pamitan... Arigatou, Suimasen..."
“Setelah mengantar tamu ke pesawat, urusan pun dianggap selesai. Beberapa orang bercanda sebentar sebelum berencana berpisah. Di dalam bandara, dua warga Jepang yang telah melewati pemeriksaan paspor tiba-tiba dihentikan oleh seorang penjaga bandara sebelum sempat pergi jauh.”
“Maaf, dua Tuan, silakan ikut ke sini sebentar. Karena paspor kalian mungkin bermasalah, kami perlu memastikan kembali. Tolong ikuti saya.”
“Bermasalah?” Keduanya saling memandang, kewaspadaan langsung menyala. Meski tergabung dalam cabang Jepang dari Pei Luo Jia, mereka bukan pembunuh resmi dalam struktur organisasi, melainkan lebih mirip staf administrasi internal. Secara relatif, latar belakang mereka bersih tanpa noda. Untuk kunjungan ini, meski menggunakan paspor palsu yang diatur melalui departemen pemerintah Jepang secara formal, seharusnya tidak ada masalah. Kejadian tak terduga ini benar-benar terlalu mendadak.
Melihat mereka enggan mengikuti, sang penjaga justru tak menunjukkan kemarahan. Ia mengangguk: “Ini bukan masalah besar, hanya perlu konfirmasi ulang. Tenang saja, tidak akan menyita banyak waktu kalian.”
Bandara dijaga dengan ketat, keduanya secara bawah sadar melirik sekeliling. Samar-samar mereka merasa ada orang mencurigakan mengikuti di dekatnya, namun sulit dipastikan seketika. Mengikuti penjaga bandara melewati koridor, mereka bertukar pendapat lewat tatapan. Di tengah kebimbangan, suara letupan kecil tiba-tiba bergema di belakang. Saat menoleh, terlihat seorang pria Amerika bertubuh tinggi di kerumunan dengan lubang berdarah di kepala akibat peluru. Kesenjangan sejenak menyelimuti terowongan, sebelum jeritan panjang "Aaa——!" seorang wanita memicu ledakan histeris teriakan minta tolong dari kerumunan yang panik berhamburan.
Sesaat kemudian, di tengah kekacauan terdengar letupan senjata samar. Lubang berdarah muncul tiba-tiba di dahi penjaga bandara di belakang mereka. Darah dan otak putih menyembur sejauh lebih dari meter, sepotong kaca di tepi terowongan pecah Byur! menjadi jaring laba-laba retakan tak terhitung.
Dengan situasi yang berkembang seperti ini, pelaku yang mampu melakukan hal demikian di bandara pastilah pembunuh Pei Luo Jia yang menyadari masalah dan datang menyelamatkan. Berlari kencang menuju pintu keberangkatan di tengah kerumunan panik, dalam sekejap dua orang lagi tumbang di kerumunan. Berbeda dengan korban sebelumnya, mereka sempat menghunus pistol namun tetap tak luput dari tembakan mematikan. Penembak misterius itu akurat dalam bidikan dan terselubung sempurna di antara orang-orang yang berlarian, membuat posisinya sulit dilacak sejenak.
"Keluar dari pintu keberangkatan, terdengar suara tembakan Byur dari sisi aula yang tidak jauh. Seketika, seluruh aula keberangkatan langsung panik. Di tengah kerumunan yang kacau, masih terlihat banyak orang yang bersembunyi di sekeliling mendekati ke arah sini. Pada saat yang sama, seorang pembunuh bayaran yang baru saja melepas mereka berlari mendekat sambil berkata, 'Ikuti aku! Akan ada yang mengalihkan perhatian mereka. Kita sedang diawasi FBI!'"
"Dentuman senjata yang keras menarik sebagian besar perhatian agen penyamaran. Berbagai orang berlarian ke segala penjuru sambil menjerit-jerit, membuat mereka sama sekali tidak bisa menangkap target dengan tepat. Sesekali terdengar orang yang terkena peluru nyasar dan jatuh terluka, semakin menambah kekacauan dan kepanikan. Dua orang Jepang itu melepas jaket, mengacak-acak rambut, dan membuang koper tangan sambil berlari - isinya memang tidak ada yang penting. Rencana internal Pei Luo Jia tentu tidak mungkin terbang bolak-balik di udara dalam bentuk dokumen. Bertiga mereka kabur ke pintu samping bandara. Selama kekacauan itu, dua orang Jepang itu akhirnya mengerti situasi yang terjadi."
"'Data kalian sudah bocor ke FBI. Sekarang sulit melacak sumber kebocoran ini. Zhuang menemukan hal ini karena menyelidiki satu jalur di bandara. Kita harus secepatnya pergi... Tenang, FBI bodoh itu cuma bisa membuka komputer dan membuka situs kuning, tidak ada masalah...'"
Pada saat ini, akibat baku tembak di dalam bandara, area sekitar bandara telah menjadi kacau balau. Mobil-mobil melesat cepat meninggalkan tempat, banyak orang membawa barang bawaan langsung berlarian menyeberangi jalanan. Tempat ketiga orang ini keluar tidak terlalu ramai, namun beberapa taksi sudah lebih dulu pergi. Pembunuh yang berlari di depan menuju mobil terdekat, mengangkat pistol berpengurang suara sambil berteriak: "Turun!"
Karena jaraknya masih agak jauh, pria gemuk yang sedang naik mobil itu dengan gesit mengunci pintu mobil sambil panik. Mobil itu menyala dengan gila dan melesat pergi dalam sekejap. Si pembunuh akhirnya tidak menembak. Melihat jumlah kami banyak, dia menyimpan pistol ke pangkuannya. Gerak-geriknya tidak mencolok, jadi tidak ada yang memperhatikannya. Sampai di pinggir jalan, dia mengumpat kesal: "Sial!" Tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat Byur! Mobil yang baru saja melaju gila tiba-tiba berbalik arah dan bertabrakan langsung dengan gerobak besar.
Melihat jumlah kami banyak, sebuah taksi yang baru datang berputar arah dan berhenti sekitar 2 meter dari ketiga orang. Mereka berlari mendekat. Si pembunuh membuka pintu depan dan menyelinap ke kursi penumpang, sementara dua orang Jepang masuk ke jok belakang. Tiba-tiba, dari jarak belasan meter seorang wanita gemuk yang baru kabur dari bandara mengayun-ayunkan tangannya: "Tunggu, tunggu! Bawa aku ikut! Terima kasih..."
"Apa yang terjadi di bandara? Ada apa sebenarnya?"
Dalam teriakan wanita gemuk itu, sopir taksi penasaran melihat ke arah bandara. Si pembunuh di kursi penumpang mengamati apakah orang FBI mengejar, tangannya mengayun, laras senjata menekan kepala sopir: "Aku tak tahu apa yang terjadi di bandara, tapi hari ini adalah hari keberuntunganmu... Cepat nyetir!"
"Baiklah." Si pembunuh tak menganggap serius sopir itu, pandangannya masih tertuju ke aula bandara. Namun saat suara sopir terdengar, tiba-tiba lengannya yang memegang senjata diseret keras, seluruh tubuhnya terlempar ke kursi sopir. Bawah sadarnya menarik picu, peluru melesat dari pistol berperedam suara, membuat lubang di jendela sebelah kursi sopir. Dengan cepat ia berbalik, yang terlihat hanya setengah wajah pria bertopi matahari dan kilauan menyilaukan dari kapak tebangan panjang yang tiba-tiba ditarik dari bawah kursi. Mata pisau tajam itu menghujam ke lengannya tanpa ampun.
"...Hari ini benar-benar hari keberuntunganku."
"Ah——"
Jeritan itu terperangkap dalam mobil. Di pinggir jalan, wanita gemuk yang berlari kencang akhirnya mendekati taksi, mengetuk pintu: "Buka pintu! Buka pintu! Tolong..." Tiba-tiba tangannya yang mengetuk jendela membeku di udara, matanya menunjukkan ketakutan luar biasa. Ia mundur dua langkah, jatuh ke tanah dengan mulut menganga.
"Err... Ah——"
Dalam jeritan wanita, orang-orang dari jauh dan dekat mengalihkan pandangan mereka. Taksi yang berhenti di pinggir jalan bergetar dengan gila, mengeluarkan suara byur-byur-byur-byur. Karena malam hari, kejadian di dalam mobil sulit terlihat dari jarak agak jauh, namun wanita gemuk yang berada di dekatnya melihat dengan jelas: di dalam gerbong tertutup itu, pria yang memegang kapak tebangan terus-menerus menebas tiga orang lainnya. Wajah pria Jepang yang menderita dan terdistorsi tercetak di kaca mobil, terus-menerus mengetuk pintu mobil, darah beterbangan ke seluruh sudut gerbong, menyiprat ke wajah yang terdistorsi itu, menempel di kaca jendela yang bening. Dari luar, segalanya terlihat merah darah seperti neraka...
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Enam Gila
Malam, tembok tua, tumpukan limbah setinggi gunung, dengan kerlip lampu yang bersilangan dan suara mekanis, ini adalah tempat penanganan sampah di pinggiran kota New York.
Karena sudah tengah malam, hanya sedikit pekerja yang masih bertugas. Selain truk sampah yang sesekali masuk, hampir tidak ada keributan berarti. Di jalanan sekitar, selain seorang gelandang yang terhuyung-huyung karena mabuk, cahaya lampu jalan redup seperti pemandangan sunyi dalam film hantu. Dalam suasana seperti ini, dua sinar terang lampu mobil tiba-tiba muncul di ujung jalan, menyelinap ke pandangan kami, melaju dengan kecepatan tol yang mencengangkan.
Dengan kecepatan yang melebihi batas 180 kilometer per jam, taksi menerbangkan berbagai limbah dan sampah yang berhamburan di pinggir jalan. Saat melintas di dekat gelandangan itu, sosok tersebut terjatuh ketakutan ke tanah sementara botol alkoholnya pecah berdentum Byur. Ketika ia bangun terhuyung-huyung hendak melontarkan hujatan, taksi tersebut sudah menghilang dari pandangan setelah menerobos masuk melalui pintu gerbang tak berpenjaga tempat pengolahan sampah di depan.
Menembus jalan berlika penuh guncangan di dalam kompleks pengolahan sampah, taksi akhirnya berhenti di depan mulut penghancur raksasa. Biasanya, sampah dalam jumlah besar akan diangkut melalui sabuk konveyor lebar ke dalam lubang ini, lalu tembok besi seberat puluhan ton di atasnya akan menghancurkan semua limbah yang tidak bisa didaur ulang menjadi potongan-potongan padat seperti biskuit militer sebelum diproses lebih lanjut. Namun saat ini, baik sabuk konveyor maupun mesin penghancur raksasa sama-sama tidak beroperasi. Lampu terdekat yang rusak membuat taksi itu terendam dalam cahaya yang remang-remang.
Tak jauh dari situ, di studio yang terletak di lantai pertama gedung empat lapisan yang sudah tua, dua anggota staf yang sedang mengobrol berdiri menyambut kedatangan taksi tersebut. Pintu mobil terbuka, sosok bayangan manusia mulai mendekat. Salah satu staf pun bergegas menyongsongnya.
“Hei, kau orang apa, daerah sini tidak Izinkan orang tak berkepentingan masuk... Oh, Ya Tuhan...” Baru ketika mendekat, ia melihat jelas sosok yang muncul dari kegelapan: Topi matahari tertarik hingga ke bawah, seluruh tubuh berlumuran darah, persis seperti tukang jagal dari film horor. Tapi pria ini bukanlah pemula yang mudah ditakutkan preman. Tangannya menyentak mengeluarkan pistol dari pangkuan, mengarahkan laras ke kepala pria di depannya: “Hei, berhenti! Kau mau berulah? Tak tahukah ini aset Keluarga Damico? Kurasa kau belum merasakan MATI...”
“Jangan khawatir.” Seolah tak melihat laras senjata yang diarahkan padanya, pria itu berjalan mendekat dengan satu tangan di kantong. “Aku cuma mau menangani sampah.” Sebelum kalimat selesai, tangan kanannya menyambar seperti kilat—sebuah tamparan mendarat di pipi pria bersenjata. Meski tinggi badan mereka beda hampir satu kepala, pria Amerika setinggi 180 cm itu terjatuh Byur ke tanah bagai ditimpa Palu, bahkan tak sempat menarik pelatuk.
Pria di studio itu segera mengangkat pistolnya. Sesaat kemudian, sebutir peluru menghancurkan kaca di depannya dengan akurat, menembus kepalanya. Malam itu hanya terdengar gemerincing kaca samar, suara yang tak membangunkan siapapun di tempat pengolahan sampah. Melemparkan pistol berpengedap suara, pria berlumuran darah itu berjalan masuk ke studio. Beberapa saat kemudian, dengan suara mekanis, conveyor belt dan mesin kompres sampah raksasa mulai beroperasi kembali.
Sampah terus berjatuhan ke dalam lubang.
Dalam deru mesin, dia kembali ke taksi tersebut. Membuka pintu, dia menyeret beberapa mayat yang diterjang hingga berdarah dan terluka parah. Mungkin karena latihan rutin dan kesengajaan pelaku, dua tubuh yang sudah ditusuk berkali-kali ini masih menyimpan kesadaran. Saat dilempar ke conveyor belt, Watanabe asal Jepang itu kembali menjerit "Aaa!".
"Kau... kau sedang menghancurkan jalur mundur semua orang... TULIP, kau tidak memberi ruang penyangga sedikitpun... Kami takkan melepaskanmu, TAKKAN! Kau pikir dirimu hebat? Hanya kau yang hebat... Semua orang yang kau sayangi akan MATI, pembunuh akan berdatangan tak henti-hentinya. Berapa banyak bisa kau lindungi? Berapa lama bisa kau pertahankan?... Kau akan menyesal, kau PASTI menyesal!"
"Suara gemetar karena penderitaan yang luar biasa, bagaikan kutukan jahat di langit malam, namun orang yang berjalan pelan di atas conveyor belt sama sekali tidak tergugah: 'Aku tidak bisa memberikan perlindungan kepada semua orang, silakan kalian bunuh.'"
"Kau... kau..."
"Kalian kira mengancam mereka bisa membuatku takut, lalu berkompromi dan berdamai? Aku beri tahu, silakan datang. Mungkin aku tak bisa selamatkan semua dari mereka, tapi kalian juga tak bisa selamatkan diri sendiri. Semua anggota Pei Luo Jia, lebih baik mulai berdoa kalian tak punya apapun yang berharga. Mulai sekarang, setiap anggota yang kutemui akan kubunuh, setiap yang terungkap akan kuhabisi. Aku penasaran apakah kalian sanggup membuat Yoritomo Taku mengawal kalian 24 jam."
Di antara erangan penderitaan yang terus mengalun dari conveyor belt, pria dengan rias wajah itu menyungging senyum: "Pei Luo Jia Jepang atau cabang Amerika, yang kuketahui jauh melebihi bayangan kalian. Kedua pihak kita akan terus bertindak sampai salah satu menyerah. Sebelum itu, kalian semua adalah tumbal wajib. Jangan mengeluh, akan terus berdatangan. Aku cuma satu orang, yang kupedulikan juga sedikit. Mari lihat siapa yang lebih banyak membunuh."
"Kalian sendiri yang memaksaku ke titik ini."
Tubuh menanggung siksaan mengerikan, melihat lubang hitam di depan semakin dekat, ketakutan di mata dua orang Jepang itu memuncak. Bukan hanya karena kematian yang menghampiri, tapi juga makna di balik kata-katanya - orang ini jelas-jelas orang gila!
Baik di dunia nyata maupun Dunia Kegelapan, aturan pada dasarnya adalah mengutamakan kepentingan. Perang antara kelompok besar seperti [] dengan Pei Luo Jia, Takamagahara dengan Pei Luo Jia, Dark Celeste dengan Pei Luo Jia... sebenarnya tetap menjaga batasan toleransi. Karena jika situasi tidak bisa berkembang, kedua belah pihak tetap harus menjaga perdamaian. Bahkan jika situasi mencapai titik yang sangat mengerikan, begitu pertempuran tidak bisa dilanjutkan, mereka masih bisa berunding. Namun, hanya dengan mengancam orang yang dia sayangi, orang gila ini sudah mulai mengarahkan situasi ke jalur tanpa kompromi.
Ada pepatah di Tiongkok: "Yang kasar takut pada yang nekad, yang nekad takut pada yang nekat". Sebelumnya, sehebat apapun kemampuan TULIP ditunjukkan, tidak ada anggota internal Pei Luo Jia yang benar-benar takut padanya. Karena pada dasarnya, dia hanya satu manusia. Kekuatan satu orang tidak mungkin melawan organisasi. Selama dia masih memiliki orang yang dikasihi, akhirnya akan menyerah. Namun jika sejak awal pihak lawan menunjukkan sikap "kita saling bunuh sampai habis", maka hasilnya akan menjadi perang membosankan tanpa pemenang. Apalagi dalam situasi Pei Luo Jia yang menghadapi banyak musuh saat ini, ini transaksi yang sangat merugi. Yoritomo Taku yang tidak memiliki batasan, sungguh musuh yang sangat mengerikan.
"Darah dan penderitaan mengaburkan pandangan, tiba-tiba ia merasakan tangan mengusap darah dari mata. Membuka mata kembali, ujung conveyor belt sudah dekat. Melepas topi matahari, pria itu membuka topeng tipis di wajahnya, memperlihatkan senyum dingin pemuda yang familiar namun asing pada dua orang Jepang. Mereka pernah menduga banyak orang, tapi tak pernah terpikir..."
"Akulah TULIP, tak pernah ada Jian Suyan di dunia ini."
"Watanabe, kau tak punya banyak saudara. Tapi sepertinya... di rumah leluhurmu di desa masih ada nenek yang menyayangimu. Lalu Ito, kau punya keluarga. Kalian bukan pembunuh resmi. Kau punya istri, putri yang tahun ini... kira-kira dua tahun? Pasti sangat imut. Tenang saja, aku tak akan ragu. Lain kali ada kesempatan ke Jepang, akan kusumbangkan mereka ke bawah. Jangan bergelora, tak hanya kalian. Pei Luo Jia bukan tembok besi. Mungkin saat cukup banyak orang MATI seperti ini, kita kedua belah pihak bisa mulai merefleksikan kesalahan sejak hari ini."
"Kau..." Di atas conveyor belt, dua tubuh manusia yang masih hidup tiba-tiba bergelora. Namun tangan kaki hampir terpotong semua, darah tubuh pun hampir habis mengucur. Tak bisa melakukan gerakan berarti, dua tubuh itu terjatuh ke lubang sampah. Lama kemudian, baru terdengar teriakan parau terakhir: "Kau takkan dapat konsekuensi baik——"
"Lanjutkan saja kutukanmu padaku..."
"Sesaat, tembok besi raksasa menutup ke bawah, menghancurkan segala yang ada di dasar lubang. Dalam sorot lampu yang berkedip-kedip, terpantul bayangan tunggal yang misterius……"
Setelah membersihkan riasan, menghilangkan noda darah di tubuh, dan merusak pakaian yang dikenakan, ketika kembali ke sekitar manor Salieri, pesta tepat saja bubar. Dia bersembunyi di lokasi rahasia sambil mengamati berbagai mobil yang parkir di luar manor. Di antara mereka, banyak pengintai profesional. Kemungkinan ada perwakilan dari polisi, FBI, bahkan [] dan Pei Luo Jia di sini.
Semua orang bukanlah orang bodoh. Ternyata dalam waktu singkat satu hari, mereka semua sudah memperhatikan area ini. Meski ada perintah untuk 'Bunuh setiap anggota Pei Luo Jia yang terlihat', saat ini mustahil untuk menyerang di sini. Apalagi hari ini sudah tiga lokasi berbeda diserang, jumlah korban pun sudah cukup banyak. Setelah mengamati sejenak, dia menyusup kembali ke dalam manor menuju villa Marilyn.
Waktu sudah sangat malam. Tidak tahu apakah Marilyn dan Heidi sudah tidur. Dia masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuh untuk kedua kalinya. Saat sedang menyusun ide-ide hari ini, terdengar ketukan pintu dari luar: "Jiaming... Jiaming... Sudah pulang? Boleh aku masuk?" Suara Heidi itu. Mungkin dia melihat lampu kamar menyala dari luar.
"Eh... Masuk saja. Aku sedang mandi, SEKARANG JUGA keluar."
Pintu kamar tidak dikunci, diputar dari luar lalu terbuka. Dia mandi dengan cepat, keluar dari kamar mandi. Lampu di kamar sudah dimatikan, cahaya dari kejauhan menyorot masuk. Heidi yang mengenakan gaun tidur putih duduk bersujud di atas ranjang sambil memeluk bantal, menatapnya. Lingkaran merah di sekitar matanya membengkak akibat tangisan...
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Tujuh: Percintaan
"Ada apa?"
Cahaya dari kamar mandi memanjangkan bayangannya di dalam ruangan. Jiaming menatap Heidi yang sedang bersujud di ranjang, bertanya dengan bingung. Dengan lampu yang dimatikan, cahaya dari kamar mandi dan luar menjadi penerangan redup di ruangan ini. Heidi dalam gaun tidur putih terlihat kecil, tatapannya terkesan keras kepala namun tetap menggemaskan. Matanya yang bengkak kemerahan seolah menunjukkan dia mengalami kesedihan yang tak terucap, memancing rasa ingin melindungi.
"Kau membenciku."
Heidi menatapnya tanpa berkedip, nada suaranya kaku. Jiaming tertegun: "Eh..."
"Kau membenciku."
"Aku tidak, Heidi."
"Kau memang begitu."
Masih bersujud di tempatnya, Heidi tampak yakin dengan ucapannya. Dia memeluk bantal lebih erat, mengulangi keyakinannya. Namun suaranya mulai tersekat oleh isakan. Jiaming tersenyum mendekati tepi ranjang, lalu seperti biasa menepuk kepala gadis itu.
"Mengapa aku harus membencimu?"
"Karena kau tidak suka aku menyentuh senjata!" Seolah ingin menyamarkan isakan dalam suaranya, suara Heidi terdengar nyaring dan jelas, namun perasaan pilu di dalamnya semakin terasa. Sambil berkata demikian, dia mengusap air mata yang mengalir deras. Dalam cahaya yang menyinari samping wajahnya, lengan perempuan itu yang terbuka dari lengan baju terlihat halus dan bersinar putih seperti cahaya bulan: "Kau juga tidak suka narkoba."
"Tidak ada orang yang akan menyukai hal-hal itu." Tangan mengusap air mata di sudut mata Heidi, namun air mata itu justru semakin deras, "Aku juga tidak suka."
"Kalau begitu aku juga tidak akan menyukainya mulai sekarang." Pada titik ini, tangisan Heidi akhirnya tak tertahan lagi, "Jangan benci aku lagi, setuju?"
"Aku memang tidak suka hal-hal itu, tapi Heidi... Aku tidak pernah membencimu."
"Kau ada!"
"Dang, uh... Baiklah, aku tidak akan membencimu lagi."
"Wuwaaa..." Dengan tangisan meledak, Heidi melemparkan bantal dan menerjang Jiaming. Tangannya merangkul leher Jiaming erat-erat, membuat seluruh kamar hanya bergema oleh suara tangisannya. Setelah menggendongnya sambil menangis terisak-isak selama beberapa menit, Jiaming akhirnya mendorong Heidi kembali duduk di ranjang dengan gerakan tak berdaya: "Kau menangis semalaman hanya karena hal ini?"
“Tentu saja.” Masih menyeka air mata, ekspresi wajahnya sudah tersedu-sedih sambil tertawa, “Kau tiba-tiba pergi, aku mencari Mama, Mama bilang ini salahku dan memarahiku. Lalu dia marah juga pada Paman Joseph dan yang lain, akhirnya aku pulang sambil menangis.” Gadis kecil itu tersenyum: “Malu sekali, bertahun-tahun aku tidak menangis... Pasti mereka akan menjadikanku bahan ejekan.”
Gadis Amerika berusia empat belas tahun pada akhirnya memang lebih matang. Saat kepanikan dalam hatinya mulai memudar, kini dia mulai khawatir dengan masalah penampilannya. Gadis dengan tinggi badan sekitar 1.5 meter ini berada di usia transisi antara identitas anak dan remaja yang masih kabur. Tubuhnya cepat meninggi, tubuh di balik gaun tidur mulai terlihat ramping dan jenjang, halus dan proporsional. Pikiran yang masih samar, terkadang berpura-pura matang, tapi justru semakin terlihat imut. Saat Jiaming mengetuk dahinya lagi, gadis kecil itu kembali protes - ini menjadi topik abadi di antara mereka.
“Ngomong-ngomong, Jiaming, apa harapanmu untuk masa depanku?”
“Dulu dengar dari Mamamu, kau punya bakat alami bernyanyi dan wajahmu cantik. Kukira kau akan jadi selebriti.” Duduk di kursi tepi ranjang, Jiaming tersenyum sambil berkata.
“Benar, suaraku memang bagus sekali.” Memeluk bantal, Heidi mengangkat kepala, “Aku pernah menang banyak penghargaan: lomba menyanyi sekolah, kompetisi bakat Manhattan, bahkan pernah juara kedua di kompetisi seluruh New York, ada juga ada lagi...”
“Aku kan sudah pernah bilang sebelumnya？Semua sudah kulihat dari komputer.”
“Tapi aku tidak terlalu suka menyanyi sih……”
“Kenapa？”
“Nggak tahu juga, waktu nyanyi bagus terus ada yang tepuk tangan dan puji, rasanya senang. Tapi kalau mikir harus terus-terusan nyanyi seumur hidup, jadi agak males... Mama pernah cariin guru khusus buatku, tiap pagi latihan vokal Aaaaa, harus tiap hari, rasanya capek banget...”
Setelah bicara, dia menatap Jiaming dengan ragu-ragu. Tapi Jiaming malah mengulurkan tangan lagi untuk mengelus kepalanya. Seketika rambutnya dikibas-kibaskan gila-gilaan seperti singa sebagai bentuk protes.
“Maaf, nggak nyangka malah memberimu tekanan.”
“Bukan gitu, kalau Jiaming bilang nyanyi itu bagus...”
“Nggak, cuma kupikir kau suka aja. Kalau memang nggak suka, ya tentu harus kau yang memilih. Tapi...” Jiaming tersenyum, “Dulu kan kau pernah bilang mau jadi pimpinan mafia?”
“Itu sih, hehe...” Heidi cengar-cengir kikuk, “Waktu SMP ada beberapa anak nakal di sekolah, anak-anak kulit hitam dari Kawasan Harlem yang suka bikin geng-gengan. Suatu kali teman sebangku perempuan aku diganggu dan mereka berani masuk kelas buat menangkap orang. Aku langsung berdiri dan konfrontasi mereka. Setelahnya... hmm, Paman Joseph dengar kabar itu, langsung memanggil orang untuk mematahkan kaki rombongan itu. Sejak itu, teman-teman sekolah yang ada masalah selalu minta bantuanku. Aku juga senang bisa membantu.”
“Mengidolakan Paman Joseph?”
“Mana ada. Jiaming, kamu yang hebat. Mama pernah bilang ke aku waktu dia gabut, orang-orang keluarga Gambino sebenernya takut mati sama kamu. Soalnya kejadian waktu itu di Tiongkok sama Mama, orang-orang Gambino pada takut sama orang Tiongkok. Paman Joseph dan kawan-kawannya pengen nemuin kamu, kayak malem itu, hmm……”
Bibirnya tiba-tiba ditutupin, Jiaming tersenyum: “Lupakan kejadian malem itu.”
“Hmm.” Heidi ngedumel, manggut-manggut. Ruangan hening sejenak, gadis kecil itu bilang: “Jiaming, kamu naik ke ranjang dong.”
Jiaming geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Apa hubungannya! Tiga tahun lalu kamu masih mandiin aku, bahkan gendong-gendong sampai aku tidur!”
“Kamu udah gede sekarang.”
“Hari ini… aku pengen tidur sama kamu.” Dalam kegelapan, wajah Heidi memerah. “Kan kamu bilang nggak benci sama aku.”
“Nggak boleh.”
“Katanya nggak benci!” Heidi berteriak kencang.
“Itu dua hal yang beda.”
“Aku suka sama kamu!”
“……”
Setelah teriakan dadakan itu, ruangan kembali sunyi. Heidi berlutut di situ, dada dibusungkan, napasnya tersengal-sengal. Jiaming memandangnya dengan tenang. Beberapa saat kemudian, Heidi malah menunduk lesu: “Aku cuma suka…”
“Jadi kamu racunin aku pakai obat halusinogen di minuman?”
Ekspresi Heidi kaku. Beberapa detik kemudian, hidungnya mulai bergetar lagi, pertanda mau nangis: “Aku… Aku… Kata mereka pake itu bisa ngelakuin apapun yang diinginin. Aku takut, kamu… kamu selalu sama Mama, nggak tahu ngapain aja di rumah!”
Kali ini, ekspresi Jiaming yang tampak tidak natural. Setelah naik ranjang ibu orang, sekarang diungkit langsung, wajar merasa canggung. Untuk sementara dia hanya bisa bersikap seperti seorang Tuan: "Tapi tidak boleh sembarangan, apalagi... Aku lebih tua darimu, seperti Pamanmu..."
"Kau hanya tiga tahun lebih tua!"
"Bukan." Jiaming menjawab jujur, "Sebenarnya aku lebih tua dari Mamamu."
"Kau kan bukan Yao."
"Aku adalah."
"Kau..." Heidi jelas tidak terima dengan sikap Jiaming yang dicurigai merajuk ini. Tapi sebagai wanita terhormat kecil, memaksa pria naik ranjang sudah mencapai batas. Setelah menggerutu di ranjang, memukul Baron berkepala babi yang tak peka itu dengan bantal, dia melompat turun dengan kaki telanjang. "Aku tidur dulu, tidak mau bicara lagi!"
"Tutup pintunya kalau pergi, terima kasih." Jiaming mengangkat tangan, memandangi Heidi yang berlari keluar dengan marah. Baru kemudian menghela napas. Hal seperti ini benar-benar membuat pusing.
Mematikan lampu kamar mandi, dia berbalik naik ke ranjang. Pikirannya merenungkan serangkaian masalah di Amerika ini. Lebih rumit dari cinta sejati kecil Heidi, saat ini masih sulit dipahami. Kekuatan satu manusia terbatas, mustahil mengendalikan semuanya. Untuk sekarang hanya bisa lihat situasi. Saat pikirannya masih berkecamuk, tiba-tiba terdengar "Krek" lembut di pintu. Tangan kanannya refleks terangkat, senjata sudah menggenggam, mengarah ke gerbang. Sesaat kemudian, tangan itu secepat kilat diturunkan, senjata lenyap dari pandangan.
“Hmm……Heidi, kau mau apa lagi……”
Bayangan ramping itu menutup pintu pelan-pelan, menendang sandal dengan suara prak-prak, lalu mengangkat gaun tidurnya dan melepasnya dari bawah ke atas. Cahaya lampu dari jendela menerangi tubuh putih mulus Heidi yang hanya tersisa celana dalam kecil. Dengan napas tergesa, ia berdiri beberapa detik sebelum melepas celana dalamnya sekaligus, lalu melompat ke ranjang sambil memeluk pinggang Jiaming.
“Heidi!”
Tubuh telanjang gadis kecil yang belum sepenuhnya berkembang itu mencekiknya erat. Suara Jiaming mulai terdengar tegas. Dengan kekuatannya, mudah saja melepaskan diri, tapi itu akan menyakiti Heidi. Ia duduk menyaksikan Heidi yang tanpa bicara meronta-ronta, menendang selimut, lalu menyelipkan tubuhnya ke dalam. Tiba-tiba pandangan Jiaming beralih ke dinding—suara langkah kaki samar terdengar di luar.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lagi. Sebuah bayangan familiar melongok ke lorong, menyelinap masuk pelan-pelan, lalu menutup pintu dengan hati-hati… Kemudian lampu menyala.
“Jiaming, Heidi dia… Hmm……”
Dalam sorot lampu terang, Marilyn bergaun tidur membeku di ambang pintu. Tubuhnya gemetar halus, mata perlahan dipenuhi keputusasaan…
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Delapan Pergi
Lampu menyala, lalu menerangi segala hal dalam kamar: gaun tidur yang terjatuh di lantai, celana dalam putih milik gadis, sandal yang terlempar, serta gadis keturunan campuran yang sedang mencengkeram erat pinggang Jiaming sambil menampakkan kepalanya dari balik selimut. Marilyn berdiri membeku di tempat, membuka mulutnya namun tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dalam gejolak emosi yang tak tertahankan, dia mundur dua langkah hingga tubuhnya menabrak pintu dengan suara "Byur!", tangan menutupi dada yang naik turun drastis.
"Kalian..."
"I...Ibu..."
Gadis kecil itu menampakkan kepalanya dari balik selimut, bahu putih telanjangnya terpapar udara. Matanya memancarkan kepanikan dan kebingungan: "Mama, kenapa kau...Eh, bukan seperti yang Mama pikirkan! Aku cuma...cuma sedang mengobrol dengan Jiaming...Hmm, benar-benar hanya mengobrol..."
"Mengobrol..."
Marilyn menggelengkan kepala, pandangannya tak tentu arah. Sesekali melirik ke arah Jiaming yang justru mengangkat kedua tangannya dengan terkesan menutupi sesuatu, seolah ingin membuktikan dia tak menyentuh Heidi sama sekali. Namun pemuda itu hanya menunduk tanpa bicara, pikirannya entah kemana. Seolah ada batu besar mengganjal di dadanya, Marilyn ingin menjerit histeris. Tapi teriakan itu tak pernah keluar. Sementara Heidi menggigit bibir bawahnya, bergerak-gerak dalam balutan selimut...lalu merangkak ke tepi ranjang untuk mengambil gaunnya yang terjatuh.
Setelah beberapa kali perlawanan, celana dalam kecil itu akhirnya terkait di tangannya, lalu dimasukkan ke dalam selimut. Di balik selimut itu, aktivitas tubuh mereka terlihat jelas. Karena gerakan sang gadis kecil, sebagian besar selimut terseret ke satu sisi, menyisakan separuh tubuh Jiaming yang masih mengenakan piyama terpapar di luar. Ia menghela napas, memandangi Heidi dengan tatapan kompleks, lalu menyapu pandangannya ke arah Marilyn sebelum menatap ke luar jendela di seberang.
Selain keributan Heidi di ranjang, kamar itu sunyi senyap.
Setelah memakai celana dalam, Heidi terus berbaring di tepi ranjang meraih gaun tidurnya yang terlempar jauh. Setelah beberapa kali mengulurkan tangan gagal, ia menggigit gigi dan menjulurkan tubuh lebih jauh—tiba-tiba separuh tubuhnya terjungkal dari tempat tidur. Kali ini, selain lengan dan bahu, dada montoknya yang sedang berkembang juga terekspos sebagian besar di udara. Marilyn membuka mulut hendak berkata, tapi Heidi buru-buru menarik selimut dan merangkak kembali ke ranjang. "Mama..." pinta gadis itu dengan suara memelas.
Marilyn terdiam di tempat selama beberapa detik, lalu memalingkan wajah pucat pasi sambil mengusap sudut matanya. Perlahan ia mendekat, mengambil gaun tidur itu, membalik lapisan dalam dan luarnya tanpa sepatah kata. Saat hendak menyerahkan gaun, alih-alih memberikannya ke tangan Heidi yang sudah terjulur, Marilyn justru langsung mengenakannya ke kepala sang gadis. Tangannya menyibak gaun hingga turun ke tubuh Heidi, lalu masuk ke dalam selimut untuk merapikannya dengan gerakan hampa.
Setelah memakai gaun tidur, Heidi turun dari ranjang dan mengenakan sandal: "Uh, yang ini... Aku kembali ke kamar untuk tidur..." Melihat tidak ada yang menghiraukannya, dia membuka pintu dan menutupnya, suara langkah kecil yang menjauh terdengar di lorong.
Marilyn duduk kosong di tepi ranjang, Jiaming mengusap dahinya: "Uh, aku dan..."
"Mengapa kau melakukan ini?" Marilyn memotongnya dengan lembut, suaranya terdengar seperti MATI, "Heidi baru empat belas tahun Aaaaa!"
Mengangguk, Jiaming menunjukkan ekspresi rumit tanpa bicara. Marilyn tiba-tiba berdiri: "Apa yang kau mau? Cukup ambil aku, mengapa kau sentuh dia!" Suara histerisnya bergema di kamar. Jiaming menatap mata Marilyn, tersenyum tipis. Wanita itu mulai menangis, sambil menangis dia menarik selendang tipis gaun tidurnya. Gaun sutra yang melekat di tubuhnya melorot mengikuti lekuk tubuhnya. Kemudian dia mulai melepaskan kait bra, membuka bra, lalu celana dalam, satu per satu... Hingga menendang sepatunya, dia berdiri telanjang bulat di tepi ranjang.
“Tubuh ini, kau bisa melakukan apapun yang kau mau, apapun yang kau mau, asal kau mengatakannya, aku pasti akan melakukannya. Tapi kenapa kau menyentuh Heidi? Kenapa setelah tinggal bersamaku kau masih menyentuh Heidi?” Katanya sambil merangkak ke ranjang, mendekat dengan gejolak dalam hati, mulai melepaskan kancing baju Jiaming. “Apa sebenarnya yang kau suka? Aku sudah berusaha keras! Kukira kau tidak terlalu membutuhkan ini. Selama ini kugunakan seluruh kekuatanku untuk membuatmu bahagia. Kukira kau hanya menganggap Heidi sebagai putri. Apakah perasaan memiliki putri membuatmu senang? Aku juga bisa, Papaku...”
“Jangan begini.” Jiaming mengulurkan tangan mendorongnya, berguling duduk di tepi ranjang. Marilyn tak menyamarkan bagian siluman di tubuhnya, hanya menyangga tepi ranjang sambil memandanginya. “Aku tidak menyentuh Heidi.”
Pandangan penuh keputusasaan Marilyn tak berubah, seolah menunggu penjelasan Jiaming. Tapi tak ada penjelasan lebih. Setelah mengancing bajunya, dia berkata: “Tapi itu tidak penting lagi. Heidi... nanti akan memberitahumu...”
"Duduk terpisah di kedua tepi ranjang, bagaikan suami istri usai bertengkar, kamar kembali diselimuti sunyi senyap. Marilyn jelas tak puas dengan pembelaan memucat ini, perlahan menoleh sambil mengulurkan tangan gemetar mengambil jemuran pakaian di lantai, dengan getar mengenakan pakaian satu per satu. Sambil tenang menyeka air mata, dia berjalan menuju pintu. Sejenak, pintu terbuka lalu tertutup lagi, kamar kini hanya menyisakan Jiaming seorang, merenungkan masalah yang absurd sekaligus menyebalkan ini..."
"Berjalan keluar kamar dengan tenang semu, melintasi koridor dengan sikap kalem. Saat hendak menuruni tangga, langkah kaki tiba-tiba tak terbendung makin cepat, air mata mengalir deras bagai tanggul jebol. Saat mencapai dua anak tangga terakhir, Dang! Gagal mengontrol kecepatan, kakinya terpeleset hingga terjatuh dari tangga."
"Suara terisak parau keluar dari tenggorokannya. Terbaring di tangga cukup lama, baru terhuyung-huyung berdiri. Rusuk kiri agak nyeri, tapi tak bermasalah serius. Berbaring di sofa, dia menyembunyikan wajah dalam dekapan kedua lengan. Dari ruang tamu, terdengar tangisan sedih yang tak tertahan."
"Entah sejak kapan, suara langkah kaki terdengar di koridor. Meski baru sebentar menggema di villa ini, mungkin karena terlalu banyak kerinduan, dia merasa sudah sangat familiar. Berusaha menahan suara, tak lama kemudian langkah kaki tiba di sampingnya, berhenti."
"Kurasa ini saatnya aku pergi."
"Kalimat ini bergema, hingga maknanya sepenuhnya dipahami Marilyn. Tiba-tiba ia memutar kepala di sofa. Jiaming mengenakan jas hujan khasnya, duduk di sofa sebelah. Di sampingnya tergeletak kantong yang ia bawa saat datang."
"Heidi gadis baik, aku tak menyentuhnya, ini benar. Kau akan tahu. Tapi masalahnya bukan di situ. Sepertinya aku harus pergi, sudah waktunya. Jika tetap di sini, segalanya akan jadi rumit..."
"Masalah Gambino, jangan khawatirkan keluargamu. Akan terselesaikan. Heidi tak suka jadi penyanyi, jangan paksa. Tapi cita-citanya jadi ibu baptis mafia, hehe, menurutku juga jangan dituruti. Dia sangat pintar, bisa melakukan apa saja, itu tak kukhawatirkan. Tapi pengaruh orang-orang seperti Joseph, tetap harus kauwaspadai. Aku... ingin berterima kasih atas semua yang telah kau lakukan. Sungguh sempurna, tak bisa lebih baik lagi."
Ia tersenyum, mengangkat kantong dan berdiri. Marilyn juga telah berdiri, ribuan kata berdesakan di hatinya: Kau habis memanfaatkanku lalu kabur... Tak mau jelaskan baik-baik, mana boleh pergi... Kejam sekali, berbohong pun tak apa, buatlah aku senang... Tapi segala tuntutan, kekecewaan, kepedihan—tak satu pun terucap. Sesaat kemudian, bayangan Jiaming lenyap di balik pintu. Terhuyung-huyung, ia terkapar di jendela, menatap sosok yang semakin menjauh di kejauhan...
Dalam kegelapan, Jiaming menoleh ke belakang, memandang villa yang tak jauh di sana.
Sejak lebih dari setengah tahun lalu ketika Heidi terus-menerus mengatakan suka padanya, mungkin dia seharusnya sudah mengantisipasi hal seperti ini. Ketika candaan semacam itu berubah menjadi rasa suka yang sesungguhnya, dia pasti harus pergi. Karena jika tetap tinggal, selama ada hubungan fisik antara dia dengan Marilyn, Heidi pasti akan menjadi masalah. Bahkan jika hari ini segala sesuatu dijelaskan dengan teliti dan tulus, setelahnya pasti akan terjerumus ke dalam situasi canggung. Semakin lama waktu berlalu, masalah semacam ini akan semakin terjerat dalam simpul mati yang tak terurai.
Saat Heidi melepas baju dan melompat ke ranjang, sementara suara Marilyn terdengar dari koridor, dia jelas-jelas tahu inilah waktunya untuk pergi...
Selamat tinggal, Marilyn.
Selamat tinggal, Heidi...
Kondisi kedap suara di villa sangat baik, sehingga tangisan ibuku, langkah kaki Jiaming, dan Heidi yang berlari ke kamar tidur hanya terdengar samar-samar - mereka berdua sedang bertengkar.
Dimulai dari menaruh obat di gelas anggur malam ini, hingga sekarang, meski banyak hal tidak berjalan sesuai rencana, konsekuensinya tetap bagus. Awalnya dalam rencananya, dia tidak bermaksud confess ke Jiaming secepat ini, secara teori usia enam belas tahun seharusnya baru sehat, saat itu Jiaming pasti sudah menerimanya. Tapi kedekatan ibunya dengan Jiaming yang disengaja maupun tidak tetap memicu kecemburuannya. Saat jamuan, karena ingin ikut meramaikan dia berlari keluar dengan girang, tapi begitu sedikit tenang, membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi antara Jiaming dan ibu saat berdua, kecemburuan itu muncul lagi, sehingga terciptalah adegan meracuni itu.
Rencana gagal, kepergian Jiaming membuatnya menangis semalaman. Meminta maaf di kamar Jiaming, confess, semua itu sudah di luar rencana, hasilnya tetap tidak ideal. Tapi setelah keluar, tanpa sengaja melihat ibu mendekat, ide spontan untuk kembali lagi benar-benar karya geniusnya sendiri. Perilaku saat itu yang langsung telanjang dan menyelip ke dalam selimut Jiaming karena kecerobohan, sekarang dipikir masih membuat malu, tapi untungnya hasilnya bagus, Mama memang akhirnya salah paham.
Dengan begitu, mulai besok, Jiaming akan menjadi miliknya! Meski merasa sedikit bersalah pada Mama, tapi dalam hal sebesar cinta sejati, tidak boleh ada belas kasihan dan simpati, kan? Maafkan aku, Ibu, sebenarnya Paman Joseph juga baik kok, siapun tidak masalah, yang penting Jiaming jadi milikku... Dengan perasaan puas disertai sedikit penyesalan pada ibunya, ia membungkus diri dalam selimut dan terlelap dalam mimpi indah...
Entah berapa lama kemudian, pintu kamar dibuka perlahan. Marilyn masuk dan duduk di tepi ranjang, memandangi putrinya yang sedang tertidur lelap dengan lembut namun letih. Ia merapikan selimut untuk putrinya, menatap sebentar lagi, lalu pergi tanpa suara...
## Bagian Dua Ratus Tiga Puluh Sembilan: Kesepian
Suatu malam, aku bermimpi indah.
Dalam mimpi itu, Jiaming akhirnya berpisah dari Mama. Jiaming jatuh cinta padaku - ini hal yang wajar - Dalam kemuliaan suci yang samar, aku mengenakan gaun pengantin putih, masuk ke katedral utama bersama Jiaming. Seperti di setiap sinetron, kami menikah, lalu hidup bahagia bersama selamanya bersama Jiaming dan Ibu. Tentu saja, pria hebat seperti Jiaming pasti akan disukai banyak wanita penggoda lain. Tapi Heidi kecil menggunakan kecantikan dan kecerdasannya untuk mengalahkan mereka semua, akhirnya membuat mereka pergi dengan malu.
Hanya mengingatnya saja sudah membuat senang. Saat terbangun, senyum puas masih mengembang di sudut bibirnya.
Dari selimut yang lembut, dia merangkak keluar sambil mengusap matanya. Di luar jendela, salju bertebangan diterpa angin utara yang menderu, langit tampak muram. Namun ruangan di seberang dinding terasa hangat, sensasi ini sangat menyenangkan. Dengan kaki telanjang, dia turun dari ranjang secara diam-diam tanpa memakai sepatu, membuka pintu kamar secara sembunyi-sembunyi.
Tidak boleh membangunkan orang lain. Dia ingin melihat reaksi Jiaming dan Ibu terlebih dahulu - apakah mereka akan menunggunya di ruang tamu dengan alat hukuman, siap menyuruhnya bersujud atau memukulnya.
Meski sebelumnya belum pernah diperlakukan seperti ini, kejadian kali ini benar-benar hal besar. Setidaknya... ini adalah hal paling penting dalam Kehidupan-nya. Harus sangat hati-hati dan waspada...
Diam-diam mendekati pintu kamar Jiaming, dia berbaring di karpet sambil menempelkan telinga ke pintu. Setelah lama mendengarkan, tidak ada suara sedikitpun dari dalam. Hatinya mulai merasa kecewa. Dia tahu betul kemampuan Jiaming, apalagi dalam kondisi gugup seperti sekarang, mustahil berani membuka pintu. Perlahan berdiri, dia berniat menguping kamar Ibu. Saat tiba di tangga, suara persiapan sarapan dari bawah terdengar jelas - gerakan Mama yang khas langsung bisa dikenali.
Dengan hati-hati mengintip keluar, memastikan Jiaming tidak ada di ruang tamu, barulah dia merayap pelan-pelan ke bawah, bersembunyi di belakang sofa sambil mengintip ke dapur. Terlihat Marilyn sedang memakai gaun tidur semalam, dengan gerakan agak mekanis menggoreng telur. Dari kejauhan, wajahnya tampak pucat tanpa suara, tatapannya juga buyar. Sepertinya Mama benar-benar berpisah dengan Jiaming, gumam Heidi dalam hati.
Saat sedang mengamati, tiba-tiba terdengar byur! Sekop di tangan Marilyn seolah salah mengatur tenaga, telur itu terbang keluar sementara percikan minyak panas mengenai jarinya. Sekop itu jatuh ke lantai dapur dengan suara prak. Dia mundur selangkah bingung, lalu berjongkok mencoba mengambil sekop. Tangannya melayang beberapa kali di udara, malah memasukkan jari yang kena minyak ke mulut untuk diisap pelan. Air mata langsung mengalir deras dari matanya.
Heidi yang bersembunyi menyaksikan ibunya duduk di lantai sambil terus menangis, mengusap air mata dan menahan isak tangisan wuuwu. Hatinya tiba-tiba terasa perih. Tanpa Jiaming, Mama juga sangat menderita, tapi... hal seperti ini... Setelah berpikir sejenak, diam-diam dia naik ke lantai atas.
Saat turun kembali, Marilyn dengan matanya memerah melanjutkan membuat sarapan, tangan bergerak secara mekanis. Melihat Heidi mendekat, barulah dia memalingkan wajah ke arah dalam, mengusap sudut mata: "Sudah bangun?"
Menggigit bibirnya, Heidi mengangguk, kemudian berjalan mendekat, tanpa sepatah kata pun menggenggam tangan kanan ibunya, mengeluarkan salep luka bakar dan mengoleskannya. Dari dalam panci telur dadar menyebar aroma harum. Marilyn menatap putrinya dengan tatapan kosong. Lama sekali, baru terdengar suaranya: "Mama, aku juga suka Jiaming..."
Senyum kompleks mengembang di wajah Marilyn saat merangkul putrinya. Beberapa saat kemudian, aroma gosong mulai tercium dari panci. Marilyn mengambil spatula. Heidi melepaskan diri dari pelukan ibu: "Aku mau lihat apakah Jiaming sudah bangun."
"Tak perlu dipanggil."
"Dia sudah bangun?"
"Dia pergi tadi malam."
"Eh..." Heidi berbalik mendadak, wajahnya pucat pasi, "Bagaimana... Bagaimana bisa..."
Dalam derap langkah kaki yang cepat, gadis kecil itu naik ke lantai atas. Sesaat kemudian, suara pintu terbuka dan teriakan "Jiaming..." terus bergema. Marilyn menahan air mata, menata sarapan di piring saat gadis itu sudah turun berlari, berteriak pada ibunya: "Mustahil! Pasti dia cuma keluar sebentar, dia punya banyak urusan..."
"Barang-barangnya sudah tidak ada."
"Aku akan mencarinya!"
Heidi langsung berlari ke pintu, membukanya dengan kasar. Angin utara membawa serpihan salju menerobos masuk. Marilyn buru-buru menariknya: "Dingin sekali di luar, kau hanya memakai piyama..."
"Aku akan mencarinya!" Tubuh Heidi terjatuh saat ditarik ibunya, tangisannya pecah keras. Dia bukan bodoh, melihat ekspresi ibu dan mendengar suaranya, hatinya langsung tenggelam—tahu ini masalah besar. Setelah menangis sebentar, dia melihat ibunya juga mengusap air mata, berkata dengan suara serak: "Lalu kapan Dia akan kembali..."
"Tidak tahu..." Suara Marilyn terdengar terisak, memeluk putrinya erat, "Mungkin... tidak akan kembali lagi..."
Dalam kamar yang sunyi, hanya terdengar isakan Heidi. Marilyn terus memeluknya, berusaha menenangkan: "Jangan menangis, ini kesalahan Ibu..."
"Bukan!" Heidi menyela, setelah beberapa saat menangis baru menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, "Ini salahku. Aku membuatnya marah, jijik, lalu Dia pergi. Karena semalam... aku sengaja menjebaknya..."
Dia menarik napas dalam-dalam sambil terisak: "Dia tidak menyentuhku. Aku bilang suka padanya, tapi malah disuruh tidur. Saat mau keluar, kulihat Ibu datang... buru-buru kumasuk lagi ke kamarnya... sengaja melepas pakaian... supaya Ibu lihat... Dia marah padaku..."
"......" Bibir Marilyn gemetar menatap putrinya. Beberapa saat kemudian, pandangannya tertuju pada jendela di luar yang diterbangi salju, "Kau... kau serius...?"
“Maaf, aku tidak berani lagi…” Heidi menangis tersedu-sedu, “Suruh dia pulang, ke mana dia pergi? Aku takkan berani lagi, suruh dia pulang untuk memarahiku, memukuliku, suruh dia pulang! Aku tak berani lagi…”
“Tidak bisa kembali lagi…” Lama kemudian, dia mengelus pipi putrinya, wajah pucatnya tersenyum getir, “Tidak bisa kembali… Bukan salahmu, ini salah Mama. Mama tidak percaya padanya… Ini salah Mama…”
Dalam deru badai salju di luar jendela, suara itu bagai benang tipis yang hampir putus, parau dan menyayat hati, perlahan menghilang. Hanya tangisan penyesalan sang gadis yang tersisa, samar-samar bergema redup…
Pagi-pagi buta tanggal 21 Desember 1998, badai salju menerjang New York. Awan gelap bertekanan rendah, langit muram, angin utara menderu-deru di setiap sudut kota. Salju bertebaran, visibilitas di kota mencapai titik terendah. Di jalan-jalan, klakson mobil bersahutan tak henti. Meski semua sopir mengurangi kecepatan seminimal mungkin, beberapa kecelakaan mobil tetap tak terhindarkan di dalam kota. Dalam berita pukul tujuh tiga puluh pagi, setiap stasiun TV New York tanpa kecuali melaporkan peristiwa terkait badai salju ini.
"Ya ampun, New York kok begini ya." Di kamar pasien yang didekorasi indah dengan dinding putih bersih dan pohon hias hijau di sudut ruangan, seorang wanita yang berpakaian tertutup namun tetap terlihat norak sedang menonton TV sambil menoleh ke perempuan yang duduk di tempat tidur pasien. "Ini benar-benar tidak masuk akal. Setiap hari cuma ada kecelakaan mobil atau baku tembak. Tadi malam di blok jalan depan ada pembunuhan seperti adegan film. Hari ini salju turun deras lagi. Awalnya kukira ini tempat bagus, tapi rencana jalan-jalan hari ini akhirnya gagal."
"Mungkin cuma sial saja." Perempuan muda berbaju putih pasien di ranjang itu tersenyum. "Bukannya Tn. Chen bilang akhir-akhir ini mafia sedang berkonflik besar? Orang yang dipanggil Roti Kukus Kecil juga bilang kemarin, pasien di kamar nomor 14 itu anggota mafia." Tn. Chen yang disebut adalah Kapten pasukan pengawal mereka yang konon dulunya tentara bayaran. Pria itu dikenal punya banyak koneksi dan suka menceritakan berbagai hal sebagai anekdot untuk pamer pengetahuan. Sedangkan si Roti Kukus Kecil adalah pria gemuk berwajah bayi yang baru mereka kenal dua hari lalu.
"Aku suka dengar cerita tentang mafia." Wanita yang berdandan rapi itu tertawa penasaran. "Itu kan mafia! Kamu pernah tonton Godfather kan? Aku benar-benar pengin ke Hollywood minta tanda tangan Marlon Brando. Penyakitmu kan sudah sembuh, bagaimana kalau kita jalan-jalan ke Hollywood?"
“Itu cuma aktor kan, beda dengan yang asli. Mafia beneran itu melakukan semua kejahatan: perdagangan manusia, memungut uang perlindungan, MEMBUNUH, perdagangan narkoba. Di New York nyampah aja bisa mereka bunuh.”
“Kau lagi-lagi tahu.”
“Tentu saja...” Ucapan terpotong tiba-tiba. Perempuan berbaju pasien itu menunjukkan ekspresi rumit. Wanita di sampingnya bertanya heran: “Ada apa?”
“Tidak apa. Cuma... Heh, tidak apa.” Dia mengingat jelas, tentang mafia, raja narkoba Kolombia, semua itu dulu dianggap hiburan dari mulut seseorang. Saat itu dirinya berperan sebagai Guru besi di kampus, sementara orang itu menyelinap ke kantor terlarangnya di setiap waktu luang: menggunakan komputernya, makan camilannya, duduki kursinya, tidur di sofanya. Sedikit kesal bila diingat, tapi perasaan itu... seperti kamar yang dihuni berdua. Keintiman semacam itu... sirna selamanya...
“Ingat si penipu tak berperasaan itu?” Tenggelam dalam pikiran, wajah lawan bicaranya tiba-tiba mendekat. Terkejut kecil, dia tersenyum memarahi: “Tante!”
“Jangan! Pikirkan! Dia!” sambil mengayunkan jarinya, Tante berkata perlahan-lahan, "Yang kusukai waktu muda juga begitu, kalau kau anggap dia penting, dia malah tak menganggapmu. Setelah menikah dengan papamu, dia malah sering mencariku. Cih, males aku meladeninya. Biar dia menyesal. Dengar ya, pria itu tulang hina. Satu-satunya cara memiliki dia adalah jangan pernah membuatnya merasa dia memilikimu."
“Hmph.” sambil memonyongkan bibir, "Akan kuadukan ke ayah, kau memiliki pria lain..."
“Aku pernah memiliki hatinya, meski sekarang sudah tak kuinginkan.” Tante tersenyum sombong sambil terus terang, "Tapi ayahmu yang memilikiku. Ayahmulah pria paling cocok untukku. Kalau tetap bersama pria sebelumnya, akhirnya pasti berpisah. Semakin dekat, semakin tak kuasa.”
“Berarti kau lebih mencintai ayah?”
“Nona-nona kecil seperti kau baru percaya cinta. Itu salah satu alasan dua orang menyatu. Tapi untuk hidup bersama, cinta tak banyak artinya. Justru yang tak bercinta lebih bisa bertahan. Tapi setelah dua orang lama hidup bersama, perasaan saling mengenal dan menganggap pasangan sebagai bagian diri, itulah yang paling nyaman.”
“Cih.” mengangkat mata putihnya, “Tante kan belum tua, ngapain bicara seperti orang tua penguji.”
“Tidak mungkin tidak tua, 10 tahun yang lalu aku masih termasuk salah satu penentang keras kosmetik, sekarang akhirnya harus bergantung pada kosmetik setiap hari.” Menepuk-nepuk pipi yang masih montok, “Makanya cepatlah gosok gigi dan cuci muka, kita keluar sarapan. Sudah janji hari ini mau belanja.”
Secara nominal mereka adalah ibu tiri dan anak tiri, tapi hubungan mereka seperti saudari. Masalah perasaan pribadi, Tante selalu terbuka. Saat bersama, mereka sering berbagi. Banyak hal bahkan Zhang Jing'an tidak tahu, tapi Yahan tahu detailnya. Contohnya proses pacaran Tante dengan mantan pacarnya dulu, hubungan mereka masih ada sisa-sisa. Beberapa kali pria yang sekarang terbuang itu datang, Tante yang berwatak keras langsung menghardiknya pergi, hampir memanggil satpam untuk memukulinya. Yahan yang akhirnya turun tangan mengusir mereka. Terakhir kali pria itu memaki Tante suka yang baru, benci yang miskin, mengincar harta Keluarga Zhang. Saat Tante menangis tersedu-sedu, Yahan lagi-lagi tampil menyatakan bahwa harta Keluarga Zhang adalah miliknya, akhirnya mengusir pria itu. Tapi mendengar mereka masih nekat mau jalan-jalan, Yahan langsung mengernyit.
“Apa? Cuaca begini masih mau jalan-jalan?”
“Cuma ke supermarket di blok sebelah. Dua yang besar. Pagi jalan-jalan di satu, sore di satunya. Seharian langsung habis. Cepetan dong! Lama banget, apa kau lebih tua dari aku?”
“Hmm... Baiklah.” Perempuan berbaju pasien dengan kekecewaan mengangguk, memasuki kamar mandi dan mengambil sikat gigi. Sejenak kemudian, wajah Tante muncul di pinggiran pintu: "Kau mengambil sikat gigi milikku... Pria yang bersembunyi di selimutmu dan pernah memukulku hingga pingsan itu siapa sebenarnya? Hingga meski sudah dicampakkan kau masih terus mengenangnya? Sejak kemarin kau terlihat linglung, katakanlah! Aku tidak akan mengganggunya karena hal itu!"
“Hmm... Hehe, salah ambil. Tante, tolong gosok gigi lagi ya.”
“Cih.” Mengangkat mata putihnya, Tante mengayunkan tangan dan pergi dari kamar mandi. Yahan menggigit bibirnya, mengganti sikat giginya sendiri, mengoleskan pasta gigi, lalu menengadah. Di permukaan cermin muncul wajah cantik yang penuh kesepian...
## Bagian Dua Ratus Empat Puluh Kecurigaan
Kepingan salju beterbangan dengan ganas, menutupi seluruh New York. Melalui jalan setapak berhutan yang tertimbun salju, tempat pembuangan sampah yang terlihat usang ini justru ramai dikunjungi. Baru pagi-pagi buta, mobil polisi sudah membentuk lingkaran di sekitar lokasi. Kini yang keluar-masuk bukan hanya polisi New York, tapi juga beberapa agen FBI. Staf yang sebelumnya bertugas di sini kini dikendalikan, dikumpulkan di beberapa ruangan di perimeter untuk diinterogasi. Sementara orang-orang lainnya juga diawasi ketat dan dilarang pergi, seolah mereka lebih mirip pelaku kejahatan daripada korban.
Menghadapi salju bertebangan, sebuah mobil sport Cadillac hitam pekat melesat mendekat. Hampir saja menabrak mobil polisi yang parkir di sisi, mobil itu tiba-tiba berbelok keras disertai jeritan ban yang mencekam, meluncur menyamping dan berhenti total 20 cm dari ekor mobil polisi. Seorang pria putih tinggi gagah dalam jas hitam keluar, membanting pintu mobil dengan suara "Byur!", wajahnya diselimuti kabut dingin.
Dua polisi di perimeter saling bertukar pandang, pura-pura tidak melihat saat pria itu melewati garis pertahanan mereka.
Di area pabrik depan sudah dipasang pita pengamanan. Pria itu langsung menuju deretan gudang, mendorong pintu masuk ke ruangan tempat staf bawahannya berkumpul. Semua langsung berdiri memberi hormat: "Pak Smith."
"Kerugian kita?" tanyanya sambil menarik pintu. Seorang staf menunduk: "Sekitar 200 kilogram..."
"Sial! Siapa yang berani?!"
"Bill tidak bisa mengenali. Dia dipukul hingga pingsan, sekarang sedang diinterogasi polisi."
“Tidak bisa melihat dengan jelas!” Mis mengangguk mengulangi, “Bagaimana dengan kalian saat itu? Masalah sebesar ini, kalian malah melaporkanku ke polisi, dan baru sekarang polisi meneleponku. Kalian tahu nada suara bajingan Eisen di telepon? Tuan Mis, pabrikmu ada beberapa orang mati, kami juga menemukan sekitar 200 kilogram heroin, apakah ini milikmu yang hilang… Wow, sepertinya dia sedang bicara tentang 200 kilogram tepung yang tak sengaja kutumpahkan di jalan…”
“Kami…” Ekspresi keraguan muncul di wajah, beberapa orang yang bertugas malam itu saling bertukar pandang. Semalam begitu dingin, pabrik pengolahan lagi JEDA bekerja, sudah pasti mereka mencari tempat hangat untuk tidur, siapa sangka bisa terjadi hal sebesar ini, suara mereka mulai tersendat, “Orang… orang lain yang lapor polisi, polisi langsung datang, lalu mereka yang memeriksa sampah… Mereka tidak Izinkan kami kontak dengan luar, faktanya, polisi lah yang pertama menemukan heroin sudah bercampur dengan sampah, kami, kami…”
“Kalian!” Dia menggigit gigi mengucapkan kata ini. Tapi sekarang bukan waktunya menangani para idiot ini, ekspresi wajahnya berubah beberapa kali, dia menarik napas, pintu di belakangnya terbuka, seorang polisi muncul: “Hai, Tuan Mis, Anda datang, pagi yang baik? Ini juga wilayah kelola Anda?”
Senyum mengembang, Mis berbalik: “Hai Eisen, kita memang berjodoh. Cuaca hari ini bagus, jadi mood juga baik, sayangnya, tempat ini juga wilayah kelolaku.”
“MATI empat orang, ada satu orang bawahanmu... Oh, mungkin lebih tepat disebut stafmu, lagipula bisnismu legal... Dia dipukul hingga pingsan, sedangkan stafmu yang MATI itu ditembak tepat di kepala. Dari sudut profesional, tembakan itu sangat mengagumkan. Tiga orang lainnya beridentitas tidak jelas langsung dilempar ke mesin kompresi hingga jadi seperti biskuit kompresi. Kubayangkan kau pasti akan alergi biskuit kompresi selama tiga bulan setelah melihatnya. Itu makanan sampah, aku selalu menyarankan semua orang untuk tidak memakannya.” Polisi bernama Eisen jelas sengaja menjatuhkan Smith, kali ini terlihat mulai menikmati situasi, “Oh, tentu saja bisa dimaklumi, mafia biasa melakukan hal seperti ini - melemparkan target eksekusi ke tempat pembuangan sampah untuk dikompres jadi biskuit. Maksudku... sebagai orang Amerika mungkin kita sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini, haha.”
Eisen tertawa terbahak sambil menepuk bahu Smith. Smith juga tersenyum, tatapannya menancap tajam ke arah lawan bicara dengan api kemarahan mulai menyala di matanya. Setelah menarik kembali tangan, sang lawan juga menghapus senyumnya: “Begini, karena kejadian ini terjadi di wilayah kewenanganmu, wajar jika kami memintamu membantu penyelidikan...”
“Tentu saja, membantu polisi mengungkap kasus adalah tanggung jawab setiap warga negara.”
“Selain itu, bersama tiga mayat yang dikompres itu terdapat sejumlah besar heroin. Perkiraan sementara sekitar 200 kilogram. Saat ini kami menduga keterlibatanmu dengan narkoba ini...”
“Apa maksudmu!” teriak Smith sambil melangkah maju, “Orang lain yang membuat keributan di pabrikku dan membunuh pekerjaku, tapi kalian malah menuduh aku bersalah? Begitukah logika kerja polisi seperti kalian?”
“Hanya kecurigaan sementara, jangan tegang.” Eisen tersenyum sambil mengangkat kedua tangannya, “Membuat deduksi rasional berdasarkan petunjuk tertentu lalu memverifikasinya adalah pekerjaan kami sebagai polisi. Jika benar akan menuntutmu, tentu kau juga berhak memanggil pengacara untuk membuktikan bahwa kau tidak bersalah. Silakan tunggu di sini sebentar, nanti kami akan mengantarmu ke kantor polisi. Ke depannya mungkin masih ada hal-hal yang perlu bantuanmu, tolong jangan menolak.”
Dengan senyumnya ia berbalik pergi, namun setelah dua langkah menoleh lagi: “Oh ya, kau berhak tetap diam sekarang. Tapi... maaf, kurasa kalimat ini sudah terlalu sering kau dengar sampai kupingmu kapalan. Tak perlu kuperpanjang, tapi ada satu hal yang harus kusampaikan: tadi saat datang kau ngebut, surat tilang sudah kutaruh di wiper mobilmu. Jangan lupa bayar denda. Selamat tinggal, warga baik... Tuan Smith.”
“Tai anjing!” Dengan gerakan tangan yang melengkung, kepalan tangannya menghantam pintu kayu hingga berlubang Byur!. Di kejauhan, polisi itu mengangkat bahu dalam badai salju sebelum siluetnya menghilang di tikungan jalan.
"Sementara itu, di depan lubang besar di tengah tempat pembuangan sampah, blok sampah besar yang dikompresi telah diangkat. Sekelompok orang mengelilingi tumpukan sampah ini. Banyak benda sudah berdarah dan terluka parah hingga sulit dikenali, namun beberapa masih bisa diuji. Ditambah dengan perlawanan yang dihadapi FBI dalam operasi bandara tadi malam, situasi saat ini sebenarnya sudah jelas. Hasil uji tidak perlu terlalu banyak, pekerjaan tersisa hanyalah spekulasi dan prediksi."
"Dua orang Jepang, satu orang Amerika. Berdasarkan kesaksian saksi mata di bandara, mereka hampir hancur lebur begitu masuk mobil. Mobilnya juga cocok, kemungkinan besar mereka. Masalahnya sekarang adalah siapa pelaku sebenarnya? []? Keajaiban Kreasi? Atau TULIP yang tak kenal ampun dalam membunuh? Selain itu... 200 kilogram heroin itu mungkin milik Keluarga Gambino, tapi sekarang tanpa bukti, mustahil menjerat mereka. Biasanya mereka tidak melibatkan geng kriminal dalam pekerjaan. Apakah 200kg heroin dianggap sebagai bumbu dalam biskuit? Atau ini lelucon khas pihak lawan?"
Di tepi lubang besar, tidak hanya Deni LaWang dan Michelle Philip yang memiliki identitas FBI. Karena sensasi yang ditimbulkan TULIP di Tiongkok sebelumnya, tanggung jawab atas peristiwa ini tidak hanya pada satu dua tim. Selain Deni dan Michelle, hanya ada satu pria dan satu wanita lainnya yang datang. Keempat orang ini sekarang berdiri di sini, menganalisis berbagai kemungkinan dalam kasus ini.
"Saya rasa kemungkinannya adalah TULIP." Agent Denny yang tinggi kurus berkata, "Tentu saja, ini murni intuisi setelah melihat rekaman kemarin. Dia seperti tipe orang yang suka melakukan hal seperti ini."
"Jika ini ulahnya, tindakan ini sudah melewati batas." Michelle mengerutkan kening, "Berdasarkan petunjuk yang ada, meskipun pihak Tiongkok mengklaim TULIP adalah orang mereka, intelijen saat ini semua mengarah ke satu arah - kedua belah pihak tidak memiliki hubungan hirarkis yang pasti. Basically, TULIP tetap seorang free agent. Hanya karena situasi sekarang sensitif, belum ada yang serius melawannya. Jika saya yang harus melawan sebuah organisasi sendirian, pembunuhan tadi pagi adalah untuk deterensi, insiden siang tadi untuk memperoleh intelijen. Dia ingin memaksa cabang Amerika Pei Luo Jia mundur, melepaskan kesempatan ini. Deterensi itu sudah cukup. Untuk apa membunuh dua orang Jepang tak penting ini? Apakah balas dendam karena insiden di Kota Jianghai Tiongkok?"
“Benar, tindakan ini hanya akan menghasilkan kerugian lebih besar daripada keuntungan.” Seorang agen di samping mengangguk, “Kedua orang Jepang ini datang ke New York sebagai utusan. Nilai intrinsik mereka kecil, tetapi MEMBUNUH mereka—entah untuk menjaga muka atau alasan lain—pasti akan memicu reaksi keras dari cabang Pei Luo Jia di Amerika. Meskipun gaya tindakan ini mirip, kecuali TULIP sudah gila, seharusnya dia tidak akan melakukan hal seperti ini. Menurutku mungkin ada pihak lain yang sengaja meniru gaya TULIP. Lagi pula, orang yang dipukul hingga pingsan tadi mengatakan bahwa pelakunya adalah pria. Kekuatan yang ditunjukkan TULIP memang bisa membuat seorang pria kekar pingsan dengan satu tamparan, tapi jika pelakunya pria... Satu-satunya partner TULIP hanyalah anak laki-laki Tiongkok bernama Gu Jiaming itu. Meski mungkin dia punya kemampuan bertarung yang baik, tapi... sepertinya belum mencapai tingkat seperti ini...”
“Narkoba berasal dari Keluarga Gambino. Hubungan Keluarga Gambino dengan Salieri sedang tegang sekarang, sementara Gu Jiaming memiliki koneksi dengan pasangan ibu-anak dari keluarga Salieri.” Di tengah badai salju, agen wanita di sebelah menyesuaikan kacamata di hidungnya, “Ini hubungan yang terlalu jelas... Terlalu gamblang. Meskipun 200 kilogram narkoba akan memberi masalah bagi Gambino, tapi menurutku teknik MEMBUNUH ala TULIP ini terkesan terlalu murahan. Dia seharusnya bisa langsung MEMBUNUH Smith atau godfather baru John* D'Amico. Heh, ini berlebihan. Siapa yang paling berkepentingan membuat TULIP gila dan menghancurkan peluang rekonsiliasi antara Pei Luo Jia Amerika Utara dengannya?”
"Dia berhenti sejenak, Michel di hadapannya mengangguk: 'Keajaiban Kreasi.'"
"Benar, di Amerika, hanya mereka yang saat ini memiliki konflik kepentingan langsung dengan Pei Luo Jia. Jadi menurutku, kemungkinan Keajaiban Kreasi lebih dari 70%, sedangkan TULIP... kurang dari 30%..."
Di tempat pembuangan sampah, FBI sedang menganalisis kasus ini. Di sebuah kamar yang dikepung badai salju di New York, sebuah telepon menghubungkan ke Jepang di seberang lautan. Castro sedang berbicara dengan Morikami Kura: "...Mengenai insiden Tuan Watanabe kali ini, ini kelalaian dari pihak kami. Saya pasti akan bertanggung jawab sepenuhnya. Siapapun lawannya, pasti akan kami temukan. Hmm, dia datang, hehe... Dua tahun lalu saat dia bermain di sini, kami juga berdiskusi dengan baik. Sampaikan salam saya untuk Aki juga... Ada pepatah Tiongkok, pahlawan muncul dari pemuda... Hmm, Selamat tinggal..."
Setelah menutup telepon, manajer Pei Luo Jia Amerika Utara itu tetap dengan ekspresi datar. Kemudian tersenyum ke arah seberang meja kerjanya: "Tuan Morikami menyampaikan salam untukmu, Zhuang... Untuk kejadian tadi malam, mereka curiga mungkin TULIP. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku baru saja kembali, belum bisa memastikan." Suara lembut seperti wanita terdengar dari seberang, "Tapi melihat yang terjadi kali ketiga ini, ada perbedaan dengan dua kali sebelumnya. Kurang tepat."
"Aku juga berpikir begitu. Silakan lanjutkan."
"Tanpa tujuan, tanpa manfaat." Zhuang*Amilton berhenti sejenak, "Dua serangan pertama TULIP memiliki tujuan yang sangat jelas: Pembunuhan jarak jauh pertama di jalanan memberikan daya hantam terkuat, dia menunjukkan kemampuannya, pembunuhan paling santai, kendali presisi atas situasi; Kedua dia mengambil data-data itu, meskipun semua sudah data lama sebelumnya, tapi setelah diorganisir dan dikalkulasi, tak ada yang tahu efek seperti apa yang akan dihasilkan, secara implisit ini adalah ancaman yang lebih besar. Tapi untuk ketiga kalinya, dia sama sekali tidak punya alasan untuk menyerang Tuan Watanabe dan kawan-kawan, sekalipun ingin membuat mereka MATI, diam-diam memberi tahu FBI sudah cukup, tapi justru aksi langsungnya setelah itu malah membuat orang curiga. Kabarnya ada heroin keluarga Gambino yang dibuang di sampah, ini semakin menggelikan... Selain itu, murni pertimbangan pribadi saya, darah menggenang di mobil tempat Tuan Watanabe dan kawan-kawan MATI, sebagai wanita cantik seperti TULIP, seharusnya tidak membiarkan tubuhnya terciprat darah di mana-mana, siapapun yang berpikir seperti itu telah melakukan penghinaan terhadap sang nyonya cantik."
"Sepertinya kita memiliki kesepahaman." Castro menundukkan kepala, sesaat kemudian tersenyum ke arah lawan bicara, "Perhatikan Keajaiban Kreasi, bersiaplah untuk menyerang mereka kapan saja. Kita tidak boleh diperlakukan seperti orang bodoh oleh mereka."
Semakin pintar seseorang, mungkin semakin takut pada orang gila, karena terlalu banyak berpikir dan mencakup semua aspek, kadang justru terhalang oleh keraguan kecil. Bagi yang disebut Orang Bijak, tindakan tanpa pola mungkin justru paling menakutkan. Orang bodoh tak bisa mengalahkan orang pintar, tapi orang gila... selalu punya peluang menang 50% dalam situasi apapun. Jika bisa mengendalikan kegilaan ini, peluangnya mungkin bisa lebih tinggi. Di pagi buta bersalju ini, Jiaming sedang memikirkan hal seperti itu.
## Bagian Dua Ratus Empat Puluh Satu Sosok yang Familiar
"Segelas kopi panas, empat egg tart, terima kasih."
Berdiri di depan konter warung, ia mengusap dahinya sambil memikirkan rombongan itu. Konsekuensi beberapa hal masih belum jelas, berpikir berlebihan tak ada gunanya. Dirinya bukan orang jenius, untuk menyusun strategi hanya bisa mengandalkan pengalaman, serta pemahaman akan karakter orang-orang yang melampaui zaman puluhan tahun. Di akhir kehidupan sebelumnya, banyak penghuni Dunia Kegelapan kini telah MATI. Karakter mereka, berbagai tindakan dan Keputusan yang dibuat, semuanya telah dianalisis dan diteliti - inilah keunggulan terbesarnya.
“Jika orang seperti Kelly Vernam bisa membantuku mencari cara. Di kehidupan sebelumnya hanya menjadi pembunuh polos, terhadap Kelly Vernam si lesbian pintar luar biasa ini, di hati lebih berupa kekaguman. Memikirkan ini, tiba-tiba bayangan ibu-anak Marylin melayang lagi di pikiran. Kebaikan Marylin padanya, dia pahami dan tersentuh, tapi terhadap Heidi... Dia sedang dalam masa pemberontakan, karena tak ingin membuatnya terluka, terpaksa pergi. Tentu saja, ini alasan palsu. Kepergiannya pasti menyakiti Heidi, tapi lebih baik jauh dari pandangan... Mungkin setelah Heidi melewati masa remaja pemberontakan ini, semua bisa jadi teman lagi... Mungkin teman yang tidak tidur bersama... Dia membayangkan perasaan bersama Marylin tanpa hubungan intim, memang, agak risih.”
“Ini kau.”
“Terima kasih.”
Menerima makanan dalam kantong plastik, saat menoleh melihat Yahan dan tantenya serta beberapa pengawal sedang bertahan dari badai salju keluar gedung seberang. Kepala Yahan tertutup jas hujan, wajah mungil, seluruh tubuh terbungkus rapat. Di samping mereka ada pria gemuk berwajah bulat yang sedang berbicara dengan gerakan tangan.
Cuaca begini masih jalan-jalan, wanita memang makhluk luar biasa... Mendesah, dia keluar dari restoran cepat saji sambil makan dan mengikuti dari belakang...
“Aduh, Yahan, Yahan, kau cepat ke sini. Bagaimana menurutmu kalung ini? Pengerjaannya bagus, warnanya cantik, 13.000, nggak mahal kok.”
Karena datangnya badai salju, supermarket besar di pusat Manhattan ini sepi pengunjung—tentu saja, itu relatif dibandingkan keramaian di hari biasa. Lagipula, meski disebut supermarket, banyak toko bawahan di sekitarnya, terutama butik-butik mewah yang memiliki pintu masuk terpisah. Saat ini, sekelompok orang sedang memilih barang di toko perhiasan ini. Sebenarnya hanya sang Tante yang punya obsesi belanja sedang asyik memilih-milih di konter, sementara pria gemuk kecil bernama Mantou mengobrol di sebelahnya—keduanya cocok bergaul, dalam 1-2 hari sudah jadi teman akrab karena hobi ngerumpi. Yahan sendiri hanya duduk di bangku panjang di tepi toko, menopang dagu dengan bosan sambil memandang ke luar. Biasanya dia suka belanja, tapi belakangan ini mood-nya lagi nggak bagus.
“13.000, itu dolar AS lho.” Yahan menoleh saat dipanggil Tante, “Dan menurutku agak terlalu norak, rasa emasnya terlalu kuat bukan?”
“13.000 dolar AS, makanya aku bilang nggak mahal.” Tante mengangkat alisnya dengan gaya sok jago, mengingat kemampuan finansial Keluarga Zhang memang tak menganggap pemborosan segini berarti, “Dan noraknya pas buat Tante seperti aku, lihat, terlihat dramatis kan?”
"Melihat Tante menggoyang-goyangkan kalung di lehernya, Yahan tak bisa menahan tawa, tapi dalam hati ia mulai paham. Keributan Tante ini sebenarnya hanya ingin menghibur dirinya yang sedang murung." Mantou yang di sampingnya melirik beberapa kali: "Tidak juga. Kalung berbentuk bulir gandum ini justru memberi kesan sederhana. Menurutku kalung ini sangat cocok dengan Nyonya Zhang."
"Kau memang pandai bicara, Mantou. Masa depanmu cerah, aku yakin padamu." Tertawa kecil, Tante menurunkan suaranya, "Hei, jujur saja. Kurasa kau orang baik, apa kau berniat merayu Yahan? Akui saja padaku."
"Uh, hehe..." Wajah Mantou memerah sambil tertawa canggung, "Menurutku... kalung ini sangat cocok untuk Nona Zhang. Uh, ka...kau...bagaimana pendapatmu?"
"Jangan berpura-pura! Terus terang saja, Yahan baru saja patah hati. Jika kau bisa membuatnya bahagia, aku akan membantumu." Setelah berbisik, ia menoleh, "Wah, benar juga! Yahan, lihatlah! Permata biru ini sangat cocok untukmu... Tolong ambilkan kalung ini, dan yang itu juga. Bungkus yang rapat... Yahan!"
Sambil tersenyum ia berjalan mendekat dan menarik tangan Yahan. Saat hendak membawanya pergi, tiba-tiba Yahan seperti terkena sengatan listrik. Ia berdiri tiba-tiba, matanya menatap keluar toko, lalu melepaskan genggaman tangan Tante dan keluar dengan cepat.
"Ada apa? Siapa yang kau lihat?"
Saat mengikuti Yahan ke koridor luar toko, pandangan mereka disambut plaza indoor dengan air mancur di tengahnya. Lift-lift dan koridor yang saling terhubung membentuk enam lapisan bangunan berbentuk cekung yang berpendar cahaya, semuanya merupakan toko-toko berbagai ukuran. AC sentral memancarkan hawa hangat yang nyaman, diiringi alunan musik Inggris lembut yang mengalun. Ratusan pembeli hilir mudik di antara kerumunan, membuat pencarian satu tatapan tertentu terasa seperti rintangan yang sulit.
Setelah berdiri memandang cukup lama, Yahan menggelengkan kepala dengan kecewa: "A-Aku mungkin salah lihat."
"Siang mikirin, malem mimpiin. Sekarang lihat orang sedikit langsung dikira dia!" Tante menepuk tengkuknya dengan ekspresi kecewa pada besi yang tak bisa menjadi baja, "Sudah setengah tahun, kamu ini keras kepala..."
"Tapi... Benar-benar mirip dia..."
"Suruh ngomong nggak mau, pacar aku aja sampai kamu bahas... Udah deh, lupakan! Ayo masuk pilih perhiasan, jangan merusak moodku!"
Dengan dengusan tidak puas, Tante menariknya masuk dan memaksanya memilih perhiasan. Tanpa peduli protes, semua aksesoris yang menarik matanya diborong hingga memenuhi setengah kantong belanja medium. Pengawal di belakang pun ditugasi membawa barang-barang itu sebelum mereka melanjutkan tur ke toko-toko lain.
"Tapi, sejak pandangan sekilas tadi, sepanjang perjalanan Yahan terus terlihat tidak fokus. Sesekali matanya menjelajah sekeliling, berusaha mencari bayangan yang familiar. Sejak menonton rekaman pembunuhan di jalanan kemarin, firasatnya terus mengganggu: Jiaming ada di New York. Hipotesis inilah yang membuatnya ragu apakah sosok yang terlihat tadi benar-benar Jiaming yang mengikuti dari belakang, atau sekadar halusinasi akibat kerinduannya."
"Ayo sini, lepas baju, lepas baju, biar Tante lihat posturmu..."
Sebelum sempat bereaksi, tubuhnya sudah didorong Tante ke dalam ruang ganti. Tangan sang wanita mulai membuka kancing bajunya.
"Aku tidak suka baju ini, tidak usah..."
"Kamu tidak suka tapi Tante suka! Jas resmi ungu ini sangat cocok untukmu. Pakailah, Tante tidak akan menyusahkamu!"
"Memakai rok di cuaca begini bisa flu."
"Di dalam ada pemanas! Lagipula kamu yang terus memikirkan orang yang salah justru lebih mudah sakit, bahkan lebih parah dari flu. Menurut Tante, kamu harus berdandan cantik untuk menarik banyak anak muda mengejarmu... Cepat lepas!"
Dalam riuh suara mereka, satu per satu jaket luar, pakaian dalam, celana panjang, dan celana termal dilepas paksa lalu dilempar ke lantai. Sepatu hak tinggi ditendang ke sudut. Yahan yang sudah hanya mengenakan paha jenjangnya tertawa geli sambil berusaha melawan, tangannya meraih pinggang berlekuk wanita di depannya.
"Berani melawan Tante? Dasar anak durhaka! Durhaka..."
“Aha, pelecehan seksual……”
Suara ceria dua wanita yang mirip seperti saudari terdengar dari ruang ganti. Karena menggunakan bahasa China, para penjaga toko Amerika di luar tidak mengerti detail kejadian. Roti Kukus Kecil dan para pengawal berdiri tanpa ekspresi dengan otot berkedut. Roti Kukus Kecil menyatukan tangan di belakang punggungnya, menatap langit seperti dalam lamunan. Tiba-tiba terdengar "Puff!", tangannya menutup hidung dan mulut saat darah mengalir dari sela-sela jari. Sebelum sempat bereaksi, ketua pengawal di sampingnya sudah menyodorkan tisu. Keduanya saling bertukar pandang dengan ekspresi aneh.
“Terima kasih.”
“Tidak perlu.”
Beberapa saat kemudian, pintu ruang ganti akhirnya terbuka. Yahan muncul dengan gaun panjang berwarna ungu tua, membuat orang-orang di sekitar membelalak. Di luar toko dengan dinding kaca luar, beberapa pembeli melambatkan langkah secara bawah sadar, memberi komentar sindiran sambil menunjuk ke arah Yahan di dalam toko. Saat pintu ruang ganti ditutup, cermin ubin panjang memantulkan bayangan Yahan saat ini.
"Gaun panjang anggun berwarna dasar ungu tua dengan pinggiran putih menjuntai ke lantai, proporsi emas antara bagian atas dan bawah tubuh sempurna menonjolkan postur tinggi menjulang Yahan yang memesona. Pinggang rampingnya terikat lembut, ujung gaun tak selebar pakaian formal biasa—sederhana namun elegan, menyiratkan citarasa Timur yang kental. Ditambah wajahnya yang masih memudar pasca sakit dan kesedihan menggenang di hati, wajah pucatnya justru menjadi personifikasi sempurna dari konsep 'kecantikan klasik Timur' yang mistis bak asap dan tinta."
"Ayo, lihat sendiri! Biarkan matamu membuktikan ketajaman wawasan dan selera estetika Tante. Sungguh memikat sampai mati..."
Dengan cekikikan, Yahan didorong ke depan cermin fitting. Melihat bayangannya di kaca, ia menggeleng lesu sambil tersenyum getir. Tiba-tiba, siluet samar melintas di penglihatannya. Ia berputar brusak—di balik dinding kaca toko, kerumunan orang lalu lalang. Kebanyakan melirik tak sengaja ke arahnya, tapi bayangan itu telah lenyap bagai ditelan bumi.
Halusinasi lagi karena overthinking...
"Ada apa?" Tatapan Tante mengikuti arah pandangannya yang bingung menyisir kerumunan. Tiba-tiba, "Aaaaa!" teriaknya, "Roti Kukus, lihat! Di tengah kerumunan itu... Bukankah itu dalang mafia yang kau ceritakan? Kenapa dia kabur dari rumah sakit? Astaga, dia melihat kita!"
Di pandangan, tidak jauh berjajar banyak kursi dan meja plastik, tepat di area hidangan lezat toko ini. Saat itu, lebih dari sepuluh orang yang dipimpin pria Amerika berambut pirang sedang duduk di sana, di antaranya dua orang yang dikenali Yahan. Dua hari sebelumnya karena mereka yakin Yahan sedang menguping, maka baru berkenalan dengan si roti kukus. Adapun pria berambut pirang itu adalah tokoh utama yang tinggal di kamar pasien nomor 14. Selama beberapa hari di rumah sakit yang sama, sesekali berpapasan, bisa dibilang "kenalan" yang belum pernah menyapa.
Saat ini kedua kelompok terpisah tidak jauh. Lingkaran yang terpancar dari Yahan setelah keluar ruang ganti sepertinya juga memengaruhi area tersebut. Beberapa anggota mafia ikut menatap ke sini, beberapa bahkan masih bersiul. Menyadari tatapan Tante dan yang lain, pria berambut pirang itu menunjukkan sikap kenalan, mengangkat gelas kopi kertas di tangannya, memberikan salam dari jauh, kemudian membawa lebih dari sepuluh orang dengan penuh semangat mendekat...
Meski memuja film klasik "The Godfather", Tante tentu tidak menganggap mafia sungguhan sebagai orang baik yang suka menegakkan keadilan dunia. Melihat mereka terang-terangan mendekat, mulai merasa tegang: "M-mafia datang, haruskah kita lapor polisi ya?"
"Kayaknya nggak perlu, mereka juga nggak berani terang-terangan berbuat jahat..." Si roti kukus di samping mempertahankan senyuman, berbisik pelan.
“Hal buruk? Hal buruk apa yang akan dilakukan...” Bola mata wanita itu berputar dua kali, bibirnya bergumam, “Orang macam apa ini, kalau sakit ya tinggal di rumah sakit saja. Kami perempuan-perempuan yang belanja masih bisa dimaklumi, tapi sekumpulan pria yang bosan keluar mal-mal, mesum... Tn. Chen, apakah orang-orang ini punya niat jahat? Konon mafia juga jago dalam urusan penculikan... Oh iya, Yahan, cepatlah ganti baju dan keluar...”
Dengan gerakan memutar, kedua wanita itu kembali masuk ke ruang ganti. Setelah beberapa saat keluar, Yahan sudah mengenakan kembali setelan pakaian musim dinginnya. Sementara itu, Mantou dan kawan-kawan mulai menyapa dan mengobrol dengan kelompok tersebut. Setelah perkenalan singkat, dikatakan pemimpin kelompok pria berambut pirang itu bernama Robert. Mungkin lukanya belum sepenuhnya pulih, wajahnya tampak memucat seperti Yahan. Setelah saling mengenal, dia mulai mengajak kedua si cantik itu untuk minum kopi.
“Saya sungguh minta maaf atas kejadian kemarin dulu. Neil dan yang lain terlalu tegang sehingga terjadi salah paham dengan Nona Zhang. Jika tidak keberatan, bagaimana kalau kita minum kopi bersama? Anggap saja sebagai permintaan maaf untuk kejadian itu?”
Meskipun tidak semua anggota geng kriminal itu jahat, tapi minum kopi dengan mafia? Siapa tahu bisa terjadi sesuatu yang tak terduga. Tante itu tersenyum ringan: “Hehe, maaf. Saya masih harus ke tempat berikutnya, kebetulan mau...”
“Tidak apa, mari pergi minum segelas.” Penolakannya belum selesai diucapkan, Yahan yang sedang memikirkan sesuatu tiba-tiba menyetujui, memotong penolakan halusnya. Robert tersenyum, mengulurkan tangan mengisyaratkan sang Nyonya berjalan lebih dulu, pandangannya yang datar menyapu kerumunan orang. Yahan mengangguk, lalu berjalan menuju ke arah sana...
## Bagian Dua Ratus Empat Puluh Dua Senjata Tersembunyi
“Kalau begitu, Pak Robert bergerak di bisnis pengiriman kapal, pasti sudah mengunjungi banyak tempat ya?”
“Tentu, Argentina, Brasil, Kolombia, juga negara Asia seperti India, Myanmar, Pakistan...”
“Sungguh hebat.”
“Tujuan berikutnya aku berencana ke Tiongkok yang megah dan indah...”
“Benarkah?”
Di depan meja kopi, Yahan dan Robert terlihat akrab berbincang. Di meja sebelah, Tante, roti kukus kecil, dan lainnya sedang berbisik-bisik.
“Hei, terdengar meyakinkan. Menurut kalian si Robert ini benar-benar sudah ke begitu banyak tempat?”
“Kurasa benar. Bisnis pengiriman kapal mereka sebenarnya penyelundupan - narkoba, perdagangan manusia...”
“Robert sialan...” Tante menggigit gigi sambil bergumam, lalu menoleh ke arah roti kukus kecil. “Menurutmu Yahan tidak tertarik padanya kan?”
“Kurasa tidak. Nona Zhang sepertinya punya rencana lain...”
Beberapa orang berbisik-bisik menggunakan bahasa Tionghoa di sini, sesekali anggota mafia melirik dengan bingung. Namun empat pengawal yang mengikuti terlihat sangat gagah, mereka juga membawa senjata. Saat ini dipastikan kelompok ini pasti tidak berani bertindak sembarangan pada turis, malah terlihat sangat percaya diri. Kedua pihak saling menguji dengan sikap yang tampak ramah. Secara kualitas keseluruhan, preman Amerika seperti mafia sebenarnya jauh kalah dibanding empat pengawal bekas tentara bayaran, setidaknya dari penampilan luar, aura keempat orang di sini justru lebih unggul.
Di sebelah, sambil melanjutkan percakapan formal dengan Robert, Yahan memandang sekeliling dengan bingung, lalu tersenyum dan menoleh kembali. Tak lama kemudian, sekelompok pria-wanita dengan kostum mirip Robert dan anak buahnya muncul dalam pandangan. Yang memimpin adalah seorang si cantik berjaket kulit hitam dengan rambut panjang merah api. Melihat Robert, dia langsung berjalan mendekat.
"Hai, Robert."
Perempuan itu mengayunkan tangan, nada bicaranya sangat genit, namun pandangannya bawah sadar tertuju pada Yahan di samping.
"Hai, Jane. Kukira kita masih punya waktu sebelum janji temu kita."
"Aku bukan tipe cewek yang suka telat." Duduk langsung di sisi lain meja, jas hujan hitam perempuan itu digantung di sandaran kursi, memperlihatkan bentuk tubuh indah yang terbungkus jaket kulit. Kedua tangannya menyentuh meja, jari-jemarinya mengetuk-ngetuk, matanya melirik ke kiri-kanan, "...Lalu... ini pacar barumu? Kecantikan Oriental ya."
“Robert tidak berbicara, Yahan tersenyum lalu berdiri: \"Kalau begitu, saya rasa kami harus pergi. Selamat tinggal, terima kasih untuk kopinya.\"”
“\"Selamat tinggal.\" Robert mengangguk. Melihat suasana di kedua pihak mulai memanas, Tante dan yang lain segera berdiri, mempersiapkan untuk pergi. Namun belum dua langkah melangkah, jalan depan sudah dihadang oleh orang-orang yang dibawa si cantik seksi. Wajah Robert berubah pucat: \"Biarkan mereka pergi, kita bicara.\"”
“\"Kurasa kau belum menjawab pertanyaanku.\" Si cantik jaket kulit menarik napas dalam lalu tersenyum, \"Pacar? Tidak mau memperkenalkan?\"”
“\"Minggir.\" Kali ini suara Yahan terdengar dingin. Robert dan Jian sama-sama menatapnya. Jian tersenyum lalu berdiri, menepuk meja dengan lembut: \"Maaf, tolong ulangi perkataanmu. Belakangan ini aku agak alergi dengan orang Tiongkok. Apa kau ingin membuatku bersenang-senang? Nona! Jangan-jangan kau juga bisa Kung Fu China, bisa satu lawan sepuluh!\" Sifatnya jelas sedang tidak baik, hingga di akhir kalimat hampir berteriak. Tante segera menyelamatkan Yahan, pemimpin pengawal keluarga Chen melangkah ke depan. Robert juga memukul meja hingga berbunyi Byur.”
“\"Jian, kupanggil kau ke sini untuk memberi kesempatan pada kedua pihak! Kau ingin bertarung di sini? Kau kira aku takut padamu!?\"”
"Kesempatan? Hmph..." Jian tersenyum dingin, jarinya menunjuk dada lawan. "Kau ditembak senjata ya? Sekarang kuberitahu, yang menembakmu adalah orang kami. Terus bagaimana? Kau bilang kesempatan... Jangan kira kami tidak tahu kejadian pagi ini di Tempat Pembuangan Sampah Kael, 200 kilogram bubuk putih. Kau pikir kami tidak tahu siapa pelakunya? Orang kami di FBI pertama kali memeriksa data Keluarga Salieri. Berani kau bilang ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Salieri?"
"200 kilogram bubuk putih?" Ekspresi Robert penuh ketidakpercayaan.
"Berpura-puralah terus. Ketahuilah, Gambino dan Salieri takkan berakhir! Jika mau bernegosiasi, pertama-tama akui hal ini, lalu setidaknya suruh kakakmu Joseph yang berbicara denganku! Bukan antek sepertimu yang hanya bisa ngoceh di hadapanku!"
"Antek? Omonganmu seperti bilang kau bukan pelacur yang menjual daging ke Smith. Jika aku antek, lalu kau apa? Di mataku, mainan isi angin di toko alat bantu seks pun lebih terhormat darimu..." Robert tertawa ringan. "Tapi jika kalian benar kehilangan 200 kilogram bubuk putih, heh... Aku turut berduka cita, hahahaha!"
Pertengkaran mereka membuat Yahan dan yang lain mulai paham situasi: penembakan, 200 kilogram heroin, konflik Gambino vs Salieri... Ini jelas negosiasi dua mafia yang sedang berkonflik. Sang Tante merasa cemas, tapi Yahan justru melangkah maju: "Biarkan aku keluar."
Jian menoleh, belum sempat bicara, seseorang di depannya mengulurkan tangan menghadangnya. Sekejap itu, Yahan juga berbalik sambil tersenyum: "Kau tertarik dengan Kung Fu China?"
Tiba-tiba, wajah pria di depan itu kena pukulan. Meski tenaganya tak terlalu besar, sebelum sempat bereaksi, bahunya diseret ke depan. Yahan mencengkeramnya lalu memberikan tendangan keras. Seketika, pria itu menutupi selangkangan sambil berguling-guling kesakitan. Seni Anti Serigala - Tendangan Selangkangan - kembali menunjukkan daya hancur luar biasa di sini.
Tapi meski pernah berlatih, kondisinya baru sembuh dari sakit parah. Melihat orang lain menyergap, ia mencoba menangkis dengan susah payah. Saat akan menghadapi serangan berikutnya, bayangan manusia melesat maju: "Jangan berkelahi, jangan berkelahi, semua jangan ceroboh..." Teriakan itu disertai dorongan kuat hingga dua pria yang hendak menyerang Yahan terlempar jatuh.
Sesaat kemudian, empat pengawal sudah membuka jaket. Wanita seksi berjaket kulit meraba pinggang. Semua orang mulai menarik senjata. Udara berdesis "Puff", "Puff", "Puff", "Puff". Lengan wanita itu bergetar. Pistol-pistol di kerumunan sekitar beterbangan - termasuk miliknya dan tiga orang lain yang pertama menarik senjata. Ada yang menghantam kepala orang, jatuh ke tanah; ada yang terbentur dinding; ada juga yang melayang lebih jauh.
Berdiri di sana, wanita berambut merah itu gemetar lengannya, menunjukkan ekspresi tak percaya.
Sebuah pistol terbang sejauh lima-enam meter, di meja sebelah ada pria gemuk sedang makan mie dalam mangkuk besar. Tiba-tiba terdengar "Byur!", sesuatu yang besar menghantam mangkuknya, kuah mie terciprat ke mana-mana. Dia tertegun sejenak, mengambil pistol dari mangkuk yang sudah terbalik, lalu menoleh ke kerumunan yang sedang berhadapan sambil mengeluarkan sendawa.
Pria gemuk itu bangkit dan langsung lari, menabrak meja hingga jatuh. Dia bangun dan terus kabur. Orang-orang sekitar yang melihat keributan besar ini menoleh ke arah sini. Beberapa saat kemudian, mereka yang tadi berbisik-bisik langsung berhamburan pergi, area sekitar pun mendadak sepi.
Lagi-lagi suara letusan. Topi seorang pria kekar di samping Jian terbang ke udara. Saat hendak jatuh, suara kecil itu kembali terdengar. Semua orang terbelalak menatap topi yang terus melayang naik ke langit-langit. Enam kali berturut-turut, meninggalkan enam lubang peluru baru di plafon.
Kerumunan orang yang kabur masih dalam keadaan gemparan, namun di sisi ini justru sunyi senyap. Semua orang di pihak Gambino tidak ada yang berani bergerak. Kemampuan menembak yang sedemikian akurat ini menunjukkan bahwa pihak lawan hampir bisa mengambil setengah kepala manusia di sini tadi, dan mungkin itu hanya karena peluru mereka tidak cukup. Ketika topi itu jatuh ke tanah, semua orang memandangi arah datangnya peluru. Di sudut sana terdapat pot tanaman hias yang rimbun, saat ini hanya terlihat daun-daun yang bergoyang halus, tapi tidak tahu ada apa di baliknya.
Seiring kerumunan orang di sekitar yang mulai pergi, tampak seseorang mencolok berdiri di sebelah konter tak jauh, meminum kopi dalam cangkir kertas. Joseph memandangi ke arah sini dengan tersenyum, lalu perlahan mulai berjalan mendekat.
“Hmph.” Setelah sedikit menenangkan diri, memandang Joseph yang mendekat, Jian yang mengenakan jaket kulit hitam membuka bibirnya, menggigit ibu jari sendiri dengan gigi mutiaranya, tersenyum menggoda ke arah Robert. "Sekarang siapa yang jadi antek, siapa pelacur? Bukannya kau yang ingin bicara denganku? Atau harus memanggil kakakmu dulu?" Kesadaran bahwa Joseph berada di belakang peristiwa ini justru meredakan rasa malu karena pistolnya terlempar. Joseph adalah rival Smith, kalah darinya bukanlah aib. Sementara Robert, melihat kemunculan sang kakak, memalingkan kepala dengan wajah tak berkutik. Bagi dirinya, kegagalan menyelesaikan masalah ini dan kehadiran sang kakak telah menjadi cercaan tersendiri.
"Hei, ada acara apa ini? Pesta dansa kah?"
Bersamaan dengan langkah Joseph, Yahan mendorong orang di depannya, berlari ke arah pot tanaman tempat suara tembakan berasal. "Yahan!" teriak Tante sambil mengejar bersama Mantou dan lainnya. Sekejap, mereka telah menghilang dari pandangan dua kelompok mafia yang saling berhadapan.
Memutar sudut itu, pandangan Yahan dengan cepat mencari sesuatu di kerumunan orang di depan. Beberapa pistol yang menari-nari di area ini sebelumnya telah berdampak pada sejumlah orang, kini di depan beberapa lift turun telah terjadi kekacauan kecil, kerumunan yang padat, beberapa satpam berlari kecil ke arah sini. Tiba-tiba, bayangan yang familiar muncul di penglihatan, tapi ketika ingin melihat lebih jelas, sudah menghilang. Dia berlari cepat ke arah lift di sana, menyelusup ke kerumunan.
Di dalam lift, lautan manusia yang berdesakan. Yahan terjepit di tengah, mati-matian menerobos ke depan, matanya menjelajah, hatinya diliputi kecemasan yang bolak-balik datang, hampir menangis. Tidak jauh di belakang, Tante, Roti Kukus Kecil, dan empat pengawal juga berjuang menerobos. Tapi karena jumlah mereka banyak dan ukuran tubuh besar, justru bergerak lambat. Untuk sementara, wanita berpakaian mewah itu hanya bisa mengayunkan tas belanja sambil berteriak kencang:
"Yahan! Yahan! Tunggu aku! Tunggu aku——"
## Bagian Dua Ratus Empat Puluh Tiga Tak Berbekas
Gu Jiaming, pengecut...
Menggigit gigi, kata-kata bisu bergelayut di bibir tapi tak bisa diteriakkan. Tante dan yang lain mengikuti di belakang. Jika Jiaming benar-benar datang ke New York, pasti ada urusannya. Tapi saat ini, bagaimanapun ingin bertemu sekali, sekadar melihat wajahnya tanpa bicara apapun, setidaknya agar dia yakin pria itu benar-benar ada di sini...
Di depan semua kerumunan orang yang ramai, menyebarkan informasi seperti ada tembak-tembakan di atas, konflik mafia, dan sebagainya. Kekacauan terus meluas selangkah demi selangkah. Orang-orang di semua lantai berlarian menyelamatkan diri melalui eskalator listrik ke bawah, teriakan-teriakan keras silih berganti. Di belakang terlihat penjaga berusaha mengendalikan ketertiban, tetapi hasilnya hampir tak ada. Suara Tante terus terdengar dari belakang, tapi dia tidak berani berhenti. Bagaimanapun, selama Jiaming ingin bersembunyi, dia pasti tidak akan muncul di tempat yang ada orang dikenal.
Di tengah keriuhan, Yahan berpegangan pada pagar tangga sambil bertarung mati-matian turun. Beberapa kali hampir terjatuh karena desakan orang. Setelah turun satu lantai, masih ada lantai berikutnya. Matanya menyisir kerumunan, bolak-balik, kepala-kepala yang bergerak tak karuan hanya bisa dibedakan dari warna rambut dan ras. Akhirnya sampai di lantai satu. Air mancur dalam ruangan besar memancarkan riak air yang terus berubah diiringi alunan musik. Sosok-sosok lalu lalang di depan mata terus berganti, tapi tak kunjung ditemukan sosok yang dicarinya. Menoleh ke atas, kerumunan padat di eskalator listrik yang berlapis-lapis. Melihat dia menoleh, Tante mengayunkan kantong belanja di tangannya kuat-kuat, menyapu pandangan dari lantai satu, dua, tiga... Tapi selain wajah-wajah asing, tak ditemukan apapun...
Gu Jiaming, jangan sampai aku menemukanmu...
“Apakah Jiaming ada di sini, sebenarnya dia sendiri juga tidak yakin. Hanya saja di negeri asing, sejak kemarin melihat sosok yang mirip Jian Suyan, keinginan itu muncul secara bawah sadar. Jiaming memang hebat, tapi orang hebat belum tentu Jiaming. Dia paham itu. Namun saat orang yang bersembunyi itu menembak, perasaan itu datang begitu kuat - bayangan yang terus bergerak cepat, wanita anggun yang sangat mirip Jian Suyan... membuatnya nekat turun ke bawah.”
Tante sudah di tangga terakhir. Dia menoleh, melangkah bingung beberapa langkah di kerumunan. Tak jauh, seorang pria kurus tinggi juga panik berdesakan keluar dari kerumunan, melongok ke belakang, lalu berjalan maju dengan wajah bingung...
“Wei, Zhuang...”
“Kenapa situasimu berisik? Ketahuan?”
“Tidak, dua keluarga mafia sedang berkonflik. Mall ini kacau. Sekarang aku mengikuti Zhang Yahan. Dia sendirian, terpisah dari pengawal dan pria gemuk dari []...”
“Awas Jian Suyan, Al. Kau pelacur terbaik. Aku tak mau kehilanganmu...”
“Tidak ada orang mencurigakan di sekitar. Situasi kacau, sulit mengendalikan semua faktor. Zhuang, aku punya 15 detik aman...”
“Kau ingin...”
“Benar.”
“Yakin?”
“Ya.”
“OK, semoga sukses...”
Dialog yang ringkas. Dia berjalan cepat ke depan secara alami. Para pengawal baru turun setengah tangga eskalator. Zhang Yahan masih berjalan bingung beberapa langkah di depan, menengok ke kiri-kanan. Tangan kanannya dengan wajar masuk ke dalam jaket. 6 meter, 5 meter, 4 meter, 3 meter... semakin dekat...
Hanya terpisah 2 meter. Seolah-olah cukup meraih atau melangkah untuk menyentuh punggung wanita di depan. Saat langkah itu diayunkan, posisi tepat berada di belakang pilar bundar - blind spot yang tak terlihat oleh pengawal di eskalator. Tangan mulai menghunus senjata, tiba-tiba seluruh tubuhnya kaku sejenak.
Bagian belakang kepalanya ditekan sesuatu. Kemudian, tangan lain muncul di ujung pandangannya, melingkari lehernya dengan lembut lalu menarik seperti sedang menutup ritsleting. Semua terjadi dalam sekejap. Tangan di belakang kepalanya dengan lihai mencabut alat komunikasi mini di daun telinganya. Dingin meresap hingga ke sumsum tulang. Tangan kirinya mencengkeram leher, darah merembes dari luka tipis silet. Tak ada cara menghentikannya.
Seluruh tenaga mendadak terkuras habis. Hanya terpisah 1 meter dari wanita itu, persis seperti berdiri di belakangnya. Tapi mulut terkunci, tubuh lumpuh. Wanita itu masih bingung menggelengkan kepala, lalu berlari kecil ke satu arah. Dia terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, punggungnya menempel di pilar sebelum perlahan ambruk ke lantai. Darah mengalir deras dari sela-sela jarinya...
Sesosok bayangan berjalan ke arah berlawanan, mengenakan earphone, menyalakan switch channel komunikasi.
“Halo? Zhuang?”
“Siapa kau... Bagaimana kabar Aier?”
“Dia... dengarkan baik-baik...” Kesunyian sejenak, kemudian dari kerumunan orang yang riuh terdengar jeritan histeris seorang perempuan: “Wah, bisa membuat wanita berpendidikan berteriak seperti ini, kurasa dia pasti melihat banyak darah. Dan kita harus menyingkirkan faktor film horor, setuju?”
“Kau siapa? Mau apa?”
“Orang yang ingin kalian lawan, aku ingin bernegosiasi denganmu.”
“Bahas apa?”
“Misalnya urusan deklarasi perang antara kita, atau masalah perdamaian...”
Dalam dialog ini, pihak sana tentu tidak tahu bahwa Jiaming telah membuka perangkat komunikasi mini, membuka penutup jam tangan, menarik kawat tembaga tipis dan menyambungkannya. Kode-kode alamat tak terhitung bergulir di layar jam tangan.
Negosiasi semacam ini tentu tak bermakna. Beberapa saat kemudian, Jiaming menginjak-injak perangkat mini itu hingga hancur, menoleh ke kerumunan yang semakin gempar sambil mencatat alamat di jam tangan.
“Persis seperti Detektif Conan, ya kan...” Bergumam sendiri, dia berbalik menyusup ke arus orang-orang kacau dan keluar dari pintu gerbang.
Tepat sebelum teriakan “Ah—” itu meledak, Tante dan beberapa pengawal telah berlari ke sisi Yahan: “Lari kemana saja kau? Siapa yang kau lihat? Cepat katakan...”
“Aku、Aku takut……melihat salah, Aku tidak tahu……Aku tidak bisa bicara……” Mulai gelagapan sambil menggelengkan kepala, tiba-tiba jeritan mengerikan itu mengguncang semua orang di sekitar. Menoleh ke belakang, terlihat seorang manusia sedang bersandar di tiang aula, tangan kiri menekan erat tengkuknya, darah mengalir dari celah jari hingga membasahi pakaian. Meski matanya masih melotos, jelas dia sudah MATI, atau……sudah mustahil diselamatkan.
“Yahan, kita jangan……jangan mendekat……” Tante menarik lengan Yahan yang ingin melihat lebih dekat, bicaranya terbata-bata. Dari berbagai penjuru, sebagian manusia buru-buru menjauh, sementara yang penasaran mulai mengeroyok. Mantou yang berada di samping langsung berlari maju, berjongkok di depan mayat itu.
“Kau kenapa? Sebenarnya kenapa?”
Teriaknya keras, namun mereka jelas tidak mungkin menjawab lagi. Saat jarinya menggeser perlahan tangan yang menutupi leher, lebih banyak darah tumpah deras. Melihat tangan kanan mayat masih terselip di dalam pakaian, dia mengulurkan tangan dan menariknya perlahan——ternyata tangan kanan mayat itu memegang erat senjata. Mantou terkejut hingga melompat mundur dua langkah: “Wah...”
“Melihat mereka membawa senjata, sepertinya dia tidak ingin campur tangan lagi dalam hal ini.” Mengeluarkan tisu dan mengusap darah di tangannya, dia kembali ke sisi kedua wanita itu: “Hmm, sepertinya… tenggorokannya dibelah. Dia memegang senjata, dan… saat di eskalator, aku agak ingat, orang ini sepertinya sengaja mendekati Nona Zhang. Hmm, waktu itu kau ada di dekat tiang, apakah Tn. Chen ingat?”
“Benar, aku juga ingat orang ini pernah mendekati nona.” Setiap profesional yang terlatih tentu memiliki metode memori sendiri, mereka dapat merekonstruksi ulang segala hal dalam periode waktu tertentu di pikiran. Tn. Chen mengingat-ingat lalu mengangguk. Tante berkata dengan panik: “Lalu… apa maksudnya itu?”
“Artinya orang ini awalnya berniat merugikan nona, seseorang diam-diam memberinya serangan, menyelamatkan nona… orang ini sangat hebat…”
“Bagaimana bisa… bagaimana bisa ada orang yang ingin membunuh Yahan?” Mendengar kabar ini tiba-tiba, Tante berteriak khawatir.
“Belum tentu ingin membunuh, kemungkinan besar ingin menculik…”
Saat Tn. Chen sedang menjelaskan hal-hal ini, Yahan tiba-tiba melepaskan genggaman Tante dan berlari mendekati mayat di tanah. Matanya menatap genangan darah yang mengalir, sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau jijik. Sesaat kemudian, tubuhnya berputar sambil terus mengamati kerumunan orang di sekitarnya.
“Yahan, kau…”
“Tante jangan mendekat!” Melihat Tante hendak menyusul, Yahan berlari dua langkah ke luar, mengayunkan tangan sambil berteriak kencang. Kali ini, Tante sama sekali tidak mau mengalah, suaranya keras dan tegas: “Aku tak peduli siapa itu! Jangan lari sembarangan! Kau dalam bahaya!”
“Aku tidak dalam bahaya, jangan ikuti aku! Dia akan melindungiku!”
Suaranya terdengar panik, wajahnya sudah mulai merah menahan tangis. Beberapa saat kemudian, Yahan berteriak dengan suara tersedu-sedu: “Jangan ikuti aku, aku akan pulang, kumohon, hanya kali ini... Dia akan menjagaku, aku takkan kenapa-napa, aku ingin menemuinya, jika kalian ikut dia takkan muncul, aku sangat rindu menemuinya, kumohon...”
Sampai di sini, Yahan sudah menangis keras-keras, air mata mengalir deras dari matanya. Tante memalingkan muka, mengusap hidung dan mulutnya, pandangannya menatap tajam ke arah gadis itu dengan bicara cepat: “Kau tahu, aku bukan ibumu kandung... Tapi aku memperlakukanmu seperti adik perempuan sendiri, bahkan bisa dibilang seperti putri kandung... Jadi jika kau sampai kenapa-napa...” Tiba-tiba suaranya meledak, “...AKU AKAN MATI DI HADAPANMU!”
“Terima kasih, Tante.” Yahan tersenyum, mengusap air matanya, lalu berbalik dan berlari ke pintu.
Memandang bayangan gadis itu yang semakin menjauh, Tante berdiri kaku di tempat sambil bergumam: “Bagaimana bisa begini jadinya, kita kan tidak menghina siapa-siapa selama di Amerika... Ini masalah apa sebenarnya?!”
“Tenang saja, Nona Zhang pasti baik-baik saja.”
“Iya, jangan khawatir.”
Di sampingnya, Roti Kukus Kecil dan Tn. Chen segera menghibur wanita itu.
Di depan, kerumunan orang berdesak-desakan.
Mendorong pintu, dia berlari keluar menghadapi badai salju.
## Bagian Dua Ratus Empat Puluh Empat Badai Salju
Angin utara meraung, mobil-mobil menjelajahi jalanan, para pejalan kaki di kedua sisi jalan mempererat pakaian mereka yang sudah gemuk. Karena badai salju terlalu lebat, sosok di seberang jalan hampir kabur tak terlihat. Dia berdiri di sana memandang lama, tapi sosok yang diharapkan tak kunjung muncul.
"Gu Jiaming, jangan biarkan aku menemukanmu..."
Masih menggigit gigi dengan sedikit kesedihan di bibirnya mengulang nama itu, dia mengusap rambut yang agak berantakan ke belakang kepala, lalu berjalan cepat ke satu arah.
"Kalau mereka mau membunuh orang itu untukku, pasti dia akan mengikutiku... Aku cuma ingin melihatmu sebentar, takkan bicara atau merepotkanmu, cuma ingin memastikan kau sudah sampai. Sekarang juga tidak mau, keterlaluan..." Dalam hati yang sedih berpikir, pandangan tajamnya menyapu sekeliling... "Kau mau mengikutiku tapi bersembunyi, aku tak percaya tak bisa menemukanmu sama sekali!"
"Cukup sekali lihat, sekali saja... Dengan begitu, aku bisa pulang ke rumah sakit dengan rela, takkan main ke blok jalan lagi merepotkan..."
Di seberang jalan, sosok berjas hujan kuning-abu membawa kantong barang keluar dari toko, bergerak searah dengan Yahan. Melewati mobil kecil yang parkir, dia mengetuk jendela.
"Setelah beberapa lama, orang di dalam baru membuka jendela. Dua baris kursi depan belakang, tiga pria dan satu wanita total empat orang, wajah mereka menunjukkan ekspresi ketakutan: 'Emm, ada perlu apa?' Beberapa saat kemudian, pria berkacamata yang duduk di dekat jendela pertama kali berbicara."
"'Ini pesanan Kakak Suyan. Hati-hati, masih panas.' Jiaming mengulurkan tangan memberikan kantong berisi susu teh sambil tersenyum, 'Dia bilang terima kasih, dan jangan terlalu capek.'"
"Sikapnya santai. Qiao Guorui di depan jendela mobil menerima kantong itu dengan tatapan kompleks. Saat Jiaming mengangguk hendak pergi, barulah dia memanggil: 'Adik Jiaming.'"
"Hmm?"
"'Bisakah kami bertemu dengan Kakak Suyanmu?'"
"'Eh...' Jiaming menggeleng, 'Kakak Suyan bilang, belum saatnya untuk saling memperkenalkan diri.'"
"'Oh.' Qiao Guorui mengangguk kecewa lalu tersenyum, 'Kalau butuh bantuan, bilang saja kapan saja.'"
"Jendela mobil ditutup. Bayangan itu perlahan menghilang dalam badai salju. Qiao Guorui membuka kantong: 'Ayo, satu gelas untuk masing-masing. Wah, panas... Ada juga egg tart. Sepertinya ini pertama kalinya [] menerima kiriman dari Jian Suyan. Jangan sungkan.'"
"'Apa perlu menyusul Zhang Yahan?'"
"'Hmm, tidak usah.' Qiao Guorui menggigit setengah egg tart, 'Gu Jiaming yang mengawal dari belakang basically berarti Jian Suyan juga akan muncul kapan saja. Bu Guru Zhang tidak masalah, santap saja. Tapi kurasa nanti Bu Guru Zhang pasti akan kembali...'"
“Roti kukus kecil bilang Zhang Yahan sedang mencari Jian Suyan, sepertinya Jian Suyan tidak mau menemuinya, kenapa ya?”
“Untuk menjaga misterius dan deterensi, tidakkah kau lihat Gu Jiaming juga enggan menampakkan diri? Mereka sekarang memiliki dua orang di lokasi rahasia. Jika salah satunya bersatu dengan Zhang Yahan, maka kita hanya perlu mewaspadai satu orang tersembunyi yang tersisa untuk bertindak. Dua orang di kegelapan membuat variabel relatif lebih banyak. Aku hanya tidak menyangka anak buah Jiaming ini ternyata pernah menjalani pelatihan profesional. Apakah ini termasuk 'prajurit lemah tak ada di bawah jenderal kuat'?”
“Atau 'suami lemah tak ada di bawah istri kuat'?” Fang Guolin di kursi pengemudi tersenyum, “Bukankah Jian Suyan adalah calon istri yang dipelihara sejak kecil Gu Jiaming?”
“Kamu percaya itu?” Tiga pria di sekitar serentak tertawa, seseorang di barisan belakang berkata: “Lalu kenapa Gu Jiaming dan Jian Suyan bahkan tidak mau bertemu sekilas dengan Zhang Yahan? Meski tidak tinggal bersama, bertemu sekali kan tidak apa? Mereka kan berteman baik.”
Catatan pertama Jian Suyan dalam arsip [] muncul sebagai teman studi Zhang Yahan di luar negeri. Jadi hubungan mereka belum diragukan sementara ini. Qiao Guorui menggelengkan kepala: “Ini tidak jelas, apa yang mereka perselisihkan?”
“Jangan-jangan mereka punya hubungan spesial...” Yu Guoqing di barisan belakang membuat ekspresi aneh, “Dua wanita bertengkar sampai satu menangis minta ketemu, yang lain sama sekali tidak mau muncul... Tidak mungkin, coba pikir, kenapa dia tidak ikut Zhang Yahan sendiri, malah menyuruh Gu Jiaming yang menemani.”
Byur, bungkus aluminium egg tart dihantam Fang Guolin ke kepala Yu Guoqing: "Tidak mungkin, pikiranmu terlalu kotor. Jian Suyan dia... Jian Suyan mana mungkin orang seperti itu."
Fang Guolin yang selalu mengagumi Jian Suyan membela: "Ini tidak adil". Namun selanjutnya, penasihat militer yang diakui Qiao Guorui mengangguk: "Bisa jadi. Hei, Guolin, kau tidak bisa mengabaikan petunjuk yang ada di depan mata. Ini hanya kesimpulan logis. Guolin, pernahkah kau berpikir kekagumanmu pada Jian Suyan sebenarnya juga mengandung emosi seperti itu? Jangan pukul aku! Seperti kata pepatah kuno, lesbian juga indah. Puisi Xi Murong bilang: Saat musim semi kembali, bunga lili liar yang terlupakan akan tetap tumbuh di lembang yang sama... Aduh, jangan pukul aku! Haha..."
"Kalian ini benar-benar mengganggu!" wajah Fang Guolin berubah masam. "Lesbian-lesbian, kenapa tidak bilang Zhang Yahan nangis-nagis suka sama Gu Jiaming!"
Yu Guoqing tersenyum: "Itu tidak logis. Kesimpulan kami masuk akal. Lihat, Zhang Yahan dan Jian Suyan lesbian, makanya Zhang Yahan memperlakukan Gu Jiaming seperti adik sendiri. Saat Jian Suyan tidak ada... Bukankah di data penyelidikan dia sering menghilang? Mereka berkomunikasi melalui Gu Jiaming. Lihat, semuanya masuk akal kan?"
Fang Guolin protes: "Kalau begitu dia suka Gu Jiaming lebih masuk akal!"
"Aku tidak setuju..."
"Aku lebih percaya dua wanita dewasa berhubungan lesbian. Setidaknya mereka sudah matang..."
“Hmm, aku juga merasa seharusnya mereka berdua yang lesbian. Gu Jiaming sekarang baru enam belas tahun, apakah mereka bisa saling mencintai sedemikian dalam sampai bisa menangis di depan umum? Kudengar perasaan lesbianlah yang paling kokoh.” Qiao Guorui mengusap dagunya, “Guo Qing, kau pulang dan buat laporan analisis tentang kemungkinan ini untuk diserahkan.”
“Tidak mungkin, bos...”
Suara tawa mengejek memenuhi gerbong. Fang Guolin bergumam, “Menurutku Gu Jiaming juga cukup baik.” Tatapan aneh tiga kawannya membuatnya berpaling, memutuskan untuk tak lagi menghiraukan tiga babi egois ini. Terlentang di kemudi sebentar, di jalan jauh, bayangan Yahan yang sedikit kebingungan kembali muncul dalam badai salju. Keempat orang di gerbong itu menonton dengan bosan.
Berjalan berhenti-henti, pandangan terkadang terpaku, terkadang melirik ke sekeliling. Dari kejauhan, seperti kucing terlantar yang tak berdaya dan bingung. Bolak-balik ini sudah menghabiskan waktu lewat sepuluh menit. Jelas dia belum menemukan orang yang dicari. Meski terhalang badai salju, keempat orang ini seolah bisa melihat setiap jejak kesepian dan kekecewaan di wajah itu. Sejenak, bayangan itu bergerak ke arah lain. Tiga makhluk jantan dalam mobil saling mengangguk: “Lesbian.”
Bercampur di antara pejalan kaki, bayangan Jiaming mengikuti dari belakang dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Posisi yang dipilihnya cerdik, memungkinkannya melihat Yahan dengan jelas. Namun setiap kali Yahan menoleh, dia bisa segera bersembunyi di balik bayangan orang lain. Ini sebagian besar berkat jalanan Manhattan yang tetap ramai oleh kerumunan orang meski diterpa badai salju.
Setelah menyeberangi jalan ini, Yahan berbelok ke sebuah gang sempit yang lebih sepi. Tak berjalan jauh, dia tiba-tiba berhenti sendirian lalu menoleh ke belakang dengan cepat. Jiaming buru-buru menempel di cekungan pintu rumah di samping. Tak lama kemudian, Yahan akhirnya berbalik dengan wajah kecewa, lalu berjongkok sambil memeluk lututnya.
Seorang diri, terisolasi, berjongkok di tengah badai salju yang menerpa jalanan Manhattan.
Sekitar satu menit kemudian, sebuah mobil kecil berhenti di pinggir jalan. Yang keluar adalah tante Yahan. Berdiri di samping pintu mobil sambil memegang tas kecil, tante itu akhirnya bertanya, "Tidak ketemu?"
"Maaf, mungkin aku... salah lihat..."
"Lupakan dia." Sang tante tersenyum, mengulurkan tangan. "Ayo kita pulang."
"Hmm."
Beberapa saat kemudian, mobil itu menghilang ditelan badai salju di kejauhan. Jiaming menggelengkan kepala, tersenyum getir. Entah senyuman itu untuk menertawakan dirinya sendiri atau orang lain. Saat baru saja keluar dari sudut gang, tiba-tiba dia membeku.
Dari seberang jalan, seorang wanita seksi berambut merah bernama Jian dengan jaket kulit hitam datang bersama sekelompok besar orang. Karena kemunculan Joseph, emosinya sedang sangat tidak stabil. Dan jelas sekali... dia mengenali Jiaming...
“Kedua pihak saat ini hanya terpisah tiga empat |meter.” Perempuan berambut |Hong itu tiba-tiba berhenti, kerumunan di belakangnya pun ikut menghentikan langkah dengan bingung. Perempuan dan |Jiaming saling bertatapan selama beberapa |detik, jemarinya menyisir rambut |merah api sambil tersenyum: "Sendirian?"
Jiaming |mengangkat bahu: "Jalan-jalan."
"Tangkap... tangkap dia!" Perempuan |Hong itu menudingkan |jarinya, "Aku mau dia |MATI!"
Dengan gerakan |memutar badan, Jiaming langsung berlari sekencang-kencangnya.
## |Bagian Dua Ratus Empat Puluh Lima |Gang Dalam
Dua |mobil polisi berhenti di luar pusat perbelanjaan yang |keteraturan-nya mulai pulih, |dentang sirene terus berbunyi seolah memberi ketenangan psikologis. |Joseph dan saudaranya |Robert duduk di kedai makan seberang jalan, menyaksikan |keributan yang pelan-pelan mereda.
Karena kemunculan penembak misterius dan |Joseph, pihak |Gambino tak mendapat keuntungan namun juga tak mengalami |kerugian berarti. Kedua belah pihak yang tak bisa |bertarung maupun berkompromi akhirnya berpisah tanpa hasil.
|Joseph sebenarnya tak menyetujui |negosiasi sepihak yang dilakukan |Robert. Tapi sebagai saudara yang tumbuh bersama, ia paham |adiknya ini memang ber|sifat |panas. Usai tertembak, inisiatifnya mengajak berdamai sudah termasuk bijaksana. Sayangnya pihak |Gambino juga baru mengalami masalah besar, membuat kedua belah pihak sama-sama emosi dan tak mungkin berdamai.
“Tadi malam di pabrik pengolahan sampah Kael yang dikelola Smith, beberapa orang MATI. Salah satunya adalah bawahannya, seorang Amerika plus dua turis Jepang, dilempar ke mesin kompresi dan dihancurkan...”
“Hal seperti ini sering mereka lakukan sebelumnya. Kalau sampai MATI anak sendiri... Mungkin sedang menangani pengkhianat?”
“Sepertinya tidak. Ada yang melapor ke polisi duluan. Sebelum mereka bereaksi, polisi sudah mengepung pabrik itu termasuk agen FBI. Tampaknya dua turis Jepang yang tewas itu identitasnya penting. Lalu mereka menemukan 200 kilogram heroin di tumpukan sampah itu. Basically bisa dikonfirmasi itu milik Keluarga Gambino yang disimpan di pabrik itu. Heh, hal ini benar-benar aneh...” Joseph menggoyang-goyangkan gelas kopi di tangannya sambil berkomentar.
“Si bajingan Jian bilang FBI mentransfer data-data kita?”
“Tidak tahu bagaimana kabarnya bocor, tapi basically benar...” Joseph menggeleng sambil menyalakan rokok, “Orang FBI menyelidiki data-data kita, jadi mereka sementara menganggap kita terlibat. Smith sekarang masih di kantor polisi membantu penyelidikan, makanya sifat Jian jadi seburuk itu.”
“Hal ini sudah meledak...”
“Perang total tidak akan pecah, lagipula sudah hampir abad ke-21, Lima Keluarga Besar pasti tidak ada yang menginginkan hal seperti ini terjadi. Siapa yang merusak aturan, akan ditekan secara kolektif.” Joseph mengetuk-ngetuk abu rokoknya, berhenti sejenak, “Tapi konflik terselubung mungkin akan naik level. Beberapa waktu terakhir ini kau harus hati-hati. Mengingat karakter wanita gila Jane itu, mungkin dia akan mencoba mengganggumu lagi. Ngomong-ngomong... menyelidiki data-data di pihak kita, jangan-jangan...”
Tiba-tiba teringat sesuatu, ekspresi Joseph membeku di udara. Robert penasaran bertanya: “Ada apa?”
“Ti-Tidak, tidak ada. Apa pernah kuceritakan, Marilyn dan Heidi punya teman dari Tiongkok yang sekarang tinggal di manor sana, uh...” Ucapnya terputus, lalu menggeleng sambil tersenyum, mengalihkan topik, “Ngomong-ngomong, pengaturanmu hari ini sangat bagus.”
“Hmm?”
“Penembak jitu hebat itu, dari mana kau menemukannya? Kapan bisa dikenalkan?”
“Penembak?” Robert tertegun, “Bukannya kau yang menyuruhnya?”
Satu detik kemudian, keduanya membelalak bersamaan.
“Bukan kau?”
“Bukan kau? Oh! My God, lalu siapa?”
Setelah berpikir sejenak, Joseph tersenyum: “Wanita Tiongkok itu? Aku ingat dia. Orang suruhannya? Siapa sebenarnya dia?”
“Tidak tahu jelas. Dia datang ke rumah sakit untuk berobat, katanya salah satu penyandang dana rumah sakit. Keluarganya pasti sangat kaya.” Robert mengangguk, “Aku akan menyelidiki setelah pulang.”
Di tengah badai salju yang menderu di jalanan Manhattan, sekelompok orang sedang berlari dikejar-kejaran.
Pemuda Tiongkok berjas hujan abu-kuning berlari di depan, di belakangnya sekumpulan pria kekar berjas hitam mengejar, ada yang kulit hitam maupun putih. Dengan cepat melintasi bangunan-bangunan yang diselimuti badai salju, tong sampah di pinggir jalan, majalah-majalah di kios koran – semua benda kecil yang terlihat sesekali dilempar pemuda itu ke kerumunan pengejar di belakangnya. Di tengah hujatan, sesekali pengejar berjas yang mengambil jalan pintu untuk memblokir depan justru dikelabui si pemuda yang lincah, atau menemukan jalan kecil samping membuat penyergap hanya terkapar kosong.
Tak lama, sebuah Jeep meraung dari belakang bergabung dalam pasukan pengejar. Di atasnya berdiri perempuan berambut merah dengan pakaian kulit ketat, dengan girang mengayunkan ikat pinggang di tangannya hingga menarik perhatian pejalan kaki. Komunitas motor ekstrem seperti ini memang umum di Brooklyn, tapi jarang terlihat di Manhattan belakangan. Kecepatan manusia tak mungkin menyaingi mobil, tapi di area Manhattan yang dipenuhi toko-toko bercabang-cabang ini, pemuda itu sesekali menerobos pusat perbelanjaan dan baru keluar dari pintu belakang setelah lebih dari sepuluh menit, membuat Jeep itu harus berputar-putar mengejarnya.
"Perburuan seperti ini berlangsung hampir setengah jam lebih, rombongan akhirnya mengejar pemuda itu ke gang belakang di antara beberapa rumah. Para pengejar datang dari kedua sisi, memojokkannya di sudut. Semua terengah-engah. Wanita berambut merah tertawa di dalam mobil: "Lari terus, terus lari!"
"Aku juga mau lari, tempat ini... tidak begitu bagus..." Mengangkat pandangan ke sekeliling, terlihat seorang wanita menjulurkan kepala dari jendela gedung. Ketika tatapan mereka bertemu, Byur! Jendela langsung ditutup. Semua yang melihat adegan ini tertawa terbahak-bahak.
Di tengah gelak tawa, pemuda itu tiba-tiba menyambar ke samping. Seorang pria di barisan depan gagal menghentikannya. Byur! Dia menubruk jendela kamar sebelah hingga pecah. Badai salju menerobos masuk dengan suara Huuu! Sepasang suami istri yang sedang menonton TV di dalam kamar kaget setengah mati. Saat sadar, tak terhitung orang berjas hitam sedang memanjat ambang jendela rumahnya.
"Ka...ka...kalian mau apa? Aku...aku akan lapor polisi!"
Sang Baron (kepala rumah tangga) mengangkat gagang telepon seperti memegang pistol, mengayunkannya sambil berteriak. Tapi tak ada yang menghiraukan. Semua orang melintasi ruang tamu, serambi, lalu melanjutkan pengejaran keluar dari gerbang rumahnya.
Menerobos keluar dari gedung, pemuda itu berlari menuju pintu masuk di depan. Namun sebelum sampai, jeep yang menderu sudah muncul di sana, berbelok dan melaju kencang. Di belakang, anggota Gambino yang mengenakan jas hitam mengejar dalam jumlah besar. Dikepung pengejaran dari kedua sisi, dia menoleh dan berlari menuju terowongan sempit di antara dua gedung. Menginjak-injak sampah yang menumpuk di ujung, dia melompati dinding rendah yang menghalangi. Anggota mafia pun berdatangan mengejar. Di depan, ujung gang terhubung ke jalan raya. Mungkin sudah jengkel dengan taktik kabur liciknya, seseorang mengeluarkan senjata. Byur! Peluru menggesek dinding di belakang Jiaming. Di saat yang sama, Jiaming berhasil keluar dari terowongan.
Keributan terdengar dari kerumunan di belakang, seolah menyalahkan tindakan menembak sembarangan di jalanan—padahal hanya mengejar anak kecil... Baru saja keluar dari mulut gang, jeep di sudut jalan sudah berbelok mengejar lagi. Jiaming menyebrang jalan ke seberang. Di depan terhampar gang dalam, tapi pintu masuknya sempit sehingga kendaraan tak bisa masuk.
Dia berlari masuk ke dalam. Kerumunan pengejar menyusul, sementara jeep memblokir mulut gang. Tak jauh dari sana, langkahnya terhenti. Dinding setinggi dua lantai berdiri tegak di depan. Gedung-gedung menjulang di kedua sisi tanpa jendela di bagian samping, menjamin tak ada yang akan melihat kejadian di sini. Menoleh ke belakang, belasan anggota mafia terengah-engah menghadang. Beberapa mengayunkan tangan: "Lari, terus lari..."
Dengan langkah penuh kesombongan, wanita berambut merah mendekat, tersenyum pada pemuda dalam kegelapan: "Selamat datang di New York. Sepertinya kau tak punya tempat untuk pergi, tinggallah dan bermainlah di sini."
Melihat sekeliling, Jiaming mengangguk, wajahnya seolah menyiratkan senyuman tipis. Namun dalam kegelapan, segala sesuatu terasa samar. Jane hendak berbicara lagi ketika dering telepon tiba-tiba berbunyi. Ia mengeluarkan ponsel: "Halo? Smith... Iya, sedang menangani suatu hal, urusan kecil saja... Baik, aku segera ke sana. Dadah, dua puluh menit sampai." Setelah menutup telepon, wanita itu tersenyum memandangi para bawahannya, lalu menunjuk Jiaming: "Anak ini kuberikan pada kalian. Perlakukan dia baik-baik, harus lembut. Jangan selalu menumpahkan nyawa. Aku hanya ingin mematahkan anggota tubuhnya saja, hehehahahahaha..."
Dengan senyum genit, ia melambaikan gestur 'dadah' pada Jiaming sebelum berbalik menuju mulut gang. Begitu Jeep meraung pergi, sekelompok pria berjas hitam saling pandang kebingungan.
"Hei Tom, kau yang suka urusan begini, kau saja yang maju."
"Bercanda? Kenapa bukan kau? Aku tak mau menyentuh anak kecil seperti ini."
"Hans, kau paling ahli mematahkan tangan-kaki orang, sampai mirip prosedur keguguran tanpa rasa sakit..."
"Menyentuhnya? Kau merendahkanku? Ayo, duel satu lawan satu..."
"Cuma memberi saran..."
"Tolonglah, Jane sudah bilang, ini harus dilakukan. Kalian mau dibencinya? Cepat selesaikan lalu pulang, Jenny masih menungguku."
"Kalau begitu kau saja yang lakukan..."
"Sekelompok orang ribut-ribut, akhirnya, pria yang baru saja menembak Jiaming didorong ke depan. Ini seorang pria kulit hitam berpostur kokoh bernama Billy, mengenakan jas hujan besar dan botak. Sambil berjalan menuju Jiaming yang berdiri di kedalaman gang, dia bergumam: 'Hei, asyik nggak New York? Orang Tiongkok, aku benar-benar nggak ngerti kenapa kalian orang Tiongkok selalu pengin ke Amerika, sekarang jadi begini... Semoga kau bisa mengambil pelajaran.'"
"Melihatnya mendekat, lebih dari sepuluh orang di sini mengobrol santai. Mematahkan anggota badan orang bukanlah hal baik, juga tak ada mesum haus darah yang mau menyaksikan detailnya. Tapi sekitar beberapa detik kemudian, suara Billy tiba-tiba terhenti. Dentuman 'byur' menggema di udara. Beberapa orang menoleh - kegelapan tetap menyelimuti, sosok pemuda masih berdiri tegak, sementara pria bernama Billy terbaring tak bergerak di kakinya."
"'Hmm, berikutnya? Tolong cepatin bisa nggak?'"
"Di dalam gang sempit, orang-orang di sisi ini membeku. Sepi mencekam menyergap seketika."
## Bagian Dua Ratus Empat Puluh Enam Siapa Kau
"'Sudah kubilang kau cuma berkhayal, kau nggak percaya. Apa yang dipikirkan siang, dimimpikan malam. Sekarang malah berkhayal di siang bolong. Kau nyaris bikin aku MATI kaget! Beberapa hari ke depan kita nggak jalan-jalan dulu, saljunya gede banget. Hari ini aku telepon ayahmu, kita buruan pulang. Lagian pemeriksaan di rumah sakit ini hampir selesai, masa tinggal di Amerika buat perawatan. Pulang yuk pulang... Dadaku sampai sekarang masih berdebar byur-byur-byur...'"
Dengan suara wanita yang terus mengoceh, mobil kecil berhenti di tepi jalan di bawah rumah sakit. Keluar dari pintu mobil, masuk gedung, naik lift, sepanjang perjalanan Tante tak henti berbicara. Hal hari ini jelas telah membuatnya cukup ketakutan.
Sepanjang perjalanan kembali ke kamar pasien, Yahan sepertinya belum sepenuhnya sadar dari kondisi linglungnya. Sambil terus berbicara, Tante melemparkan semua kantong belanjaan di tangannya ke ranjang, kemudian berlari ke kamar mandi untuk membersihkan riasan. Beberapa saat kemudian, dia muncul dengan wajah masih basah bekas air, anting dan kalung sudah dilepas, rambut yang sebelumnya dikonde kini terurai. Meski selalu bilang hidupnya bergantung pada kosmetik, wanita tiga puluhan tanpa riasan ini tetap memancarkan aura kedewasaan alami. Setelah merapikan barang-barang yang dibeli hari ini, dia mengulurkan tangan menyentuh dahi Yahan.
"Gak apa-apa kan? Mau kupanggilkan dokter? Menurutku kamu harus tidur dulu, setelah bangun semuanya pasti akan membaik. Ayo sayang, tidurlah, jangan pikirkan apapun. Ibu keluar dulu ya."
"Tante, jangan khawatir. Aku baik-baik saja."
Duduk di tepi ranjang, senyum lembut Yahan dibalas dengan sorot mata meremehkan: "Cih, omongan tanpa bobot seperti itu jangan diucapkan..."
Saat membuka pintu, Yahan tiba-tiba melompat dari ranjang dan berjalan ke pintu. Tante menoleh dan melihat Mantou sedang mengobrol dengan beberapa pengawal di luar, tak ada yang aneh: "Ada apa?"
"Eh, tidak... Mantou, bisa masuk sebentar?"
"Mantou?"
"Aku?"
Semua orang memandangi dengan pandangan aneh, roti kukus kecil juga mengangkat tangan menunjuk diri sendiri. Setelah Yahan mengangguk, barulah dia berkata "Oh" dengan ragu-ragu lalu masuk ke kamar.
Dengan lembut menutup pintu, Tante melirik ke pengawal di kedua sisi: "Jangan menguping ya." Kemudian berjalan menuju kamarnya sendiri.
Di dalam kamar terasa sunyi senyap. Cahaya redup dari langit berdebu salju di luar jendela membuat suasana kamar pasien ini terasa muram. Yahan mengangguk: "Silakan duduk." Sambil berjalan ke lemari kecil di samping, "Kopi? Atau jus?"
"Eh, jus..." Duduk di sofa, roti kukus kecil merasa suasana agak aneh. Jangan-jangan wanita ini putus asa karena tak menemukan orang yang dicari, lalu ingin menggoda naik ranjang? Tapi dia punya hubungan dengan Jian Suyan. Meski menggoda, haruskah aku menyetubuhinya? Hatinya dilanda kebingungan.
Lamunan liar seperti ini tentu tak dianggap serius, apalagi saat melihat wajah datar Yahan. Pada dasarnya dia paham, hal mesum seperti ini mustahil jatuh ke tangannya. Kalau tidak, wanita ini takkan menunjukkan ekspresi yang bisa bikin pria impoten. Kemungkinan terburuk yang paling mungkin adalah...
"Jus jeruk."
"Oh, terima kasih."
Meletakkan jus di depan roti kukus kecil, Yahan duduk di sofa seberang. Mereka saling menatap kaku. Roti kukus kecil terpaksa menempelkan jus ke mulutnya. Tiba-tiba Yahan bertanya pelan: "Roti kukus kecil, sebenarnya kamu ini siapa?"
“Hmm?” Sepasang tatapan polos dan tak berdosa muncul dari balik gelas kaki tinggi.
“Kau sangat hebat, bisa bertarung, juga ahli senjata, tahu bahwa orang itu hari ini ingin melawanku, sama sekali tidak takut pada mafia, kau jelas sengaja mendekati kami, sebenarnya kau ini siapa?” Suaranya terdengar lembut, Yahan mengangkat kepala, “Kau ingin ikut denganku, setidaknya beri tahulah aku?”
Gudur, gudur... Mengangkat gelas, roti kukus kecil menghabiskan segelas besar jus jeruk dalam sekali teguk, kemudian tersenyum dan berdiri: “Maaf, aku keluar sebentar untuk jemput telepon.”
Badai salju menderu, setelah keluar dari sekumpulan bangunan pencakar langit, langit dan bumi sama-sama diselimuti kabut putih. Jeep menyusuri jalan gunung naik, tapi tak lama kemudian tergelincir dan mogok karena salju menumpuk di jalan. Membiarkan sopir mengutak-atik mesin di depan mobil, wanita berambut merah turun dari kendaraan, langsung menginjak salju menuju pinggang gunung.
Seorang bawahan mengikuti di sampingnya, sesekali bercanda. Melihat villa di pinggang gunung semakin dekat, dia mengeluarkan telepon sebesar batu bata, memutar sebuah nomor.
Di suatu gang dalam di wilayah Manhattan, bunyi lonceng terdengar, bercampur dengan rintihan kosong badai salju yang melintasi gang, terasa agak aneh. Telepon terjatuh di tanah, darah mengalir melewatinya. Dari sudut ini terlihat, di kegelapan gang, berserakan mayat-mayat yang bertumpangan tak beraturan。
Suara langkah kaki halus terdengar, bayangan seseorang yang mengenakan jas hujan abu-abu kekuningan melemparkan tongkat di tangannya, lalu berjongkok di depan telepon yang terus berdering, memandang dengan penuh minat pada genangan darah tempat telepon itu terus berbunyi, hingga bunyi dering tiba-tiba berhenti.
"Tai anjing, apa yang dilakukan orang-orang ini, telepon tidak diangkat juga..." Di pinggang gunung, perempuan berambut merah mematikan teleponnya dan mengumpat kesal. Saat itu dia sudah sampai di depan villa, memasuki aula, Smith duduk di sofa tengah dikelilingi beberapa pemimpin pasukan kecil keluarga yang duduk sembarangan. Duduk di sebelah Smith, dia tersenyum genit: "Hai, baik-baik saja?"
"Polisi tidak punya bukti, lagipula kami korban dalam hal ini, apa yang bisa mereka lakukan? Cuma Eisen bajingan itu yang sengaja mau mempersulitku." Smith mengerutkan alisnya, "Kau hari ini bernegosiasi dengan Robert? Bagaimana hasilnya?"
"Pihak sana mau berdamai, kuberikan tamparan." Berjalan ke bar menuangkan segelas baijiu, Jane menggigit bibirnya, "Tapi kemudian Joseph muncul, dan mereka menyiapkan penembak jitu yang sangat hebat... Singkatnya, tidak terjadi pertempuran langsung, masalah juga belum terselesaikan... Aku yang akan bertanggung jawab untuk kelanjutan hal ini."
"Joseph? Penembak jitu?" Smith mengerutkan kening, "Aku ingin tahu detail prosesnya."
“OK。”Jane mengangguk, mulai menceritakan kejadian di bidang bisnis hari ini dari awal. Dia tidak menyembunyikan kekalahannya, semua detail diceritakan sesuai fakta sebenarnya. Setelah penjelasannya selesai, Smith mengangguk, berdiskusi sebentar dengan beberapa orang di sekitarnya. Selain sikap Jane yang agak agresif, pihak mereka sebenarnya tidak mengalami kerugian nyata. Setelah hal ini, dilanjutkan dengan urusan keluarga lain yang perlu diselesaikan bersama. Setelah lebih dari satu jam, hampir tiba waktu makan siang, Smith bertanya: "Ngomong-ngomong, Tom dan yang lain mana? Tidak ikut pulang?"
"Telepon mereka tidak diangkat, langit tahu lari ke mana." Jane mengangkat bahu, "Hari ini bertemu dengan bocah Tiongkok itu."
"Bocah Tiongkok?"
"Yaitu orang yang pernah kami temui di tempat Marilyn, aku pernah bilang akan mengingatnya." Jane tersenyum, "Dia terpisah dari kelompoknya, lalu aku bersama Tom dan yang lain menangkapnya. Bocah ini benar-benar licik, membawa kami berlarian di Manhattan hampir satu jam, tapi akhirnya berhasil kami halangi. Saat itu setelah menerima teleponmu, aku segera pulang. Sekarang mungkin... bocah itu sudah hampir MATI."
"Ini tidak baik, hanya akan membuat kedua belah pihak tidak punya ruang gerak." Smith berkata dengan nada menegur, "Lagipula itu turis Tiongkok. Sekarang pengaruh Tiongkok di dunia semakin meningkat, jika terjadi hal seperti ini pada turis mereka, mereka akan memberi tekanan. Begitu pemerintah mendapat tekanan, kita juga akan kesulitan."
“Aku sudah melakukannya, Bagaimana ini?” Nada suara Jane terdengar agresif. Terkait sikap Smith yang bersikap baik pada Marilyn demi menjatuhkan Joseph, ia selalu menyimpan kecemburuan. Kali ini jelas mengira Smith takut melukai teman Marilyn. Sebelum sempat mengucapkan kalimat berikutnya, tiba-tiba Smith berdiri dan mengayunkan tamparan.
Suara "Prak!" bergema di ruang tamu. Yang lain mengerti situasi dan pergi. Smith melototi perempuan itu: "Aku sedang mengajarkanmu cara bertindak, singkirkan kepentingan pribadimu! Kalau bukan karena pernah tidur denganku, orang yang bicara seperti ini sudah MATI!" Ia berhenti sejenak, "Bagaimanapun, telepon mereka untuk kembali makan siang bersama. Sudah sampai di titik ini, kita harus selalu siap berperang dengan Salieri."
Dengan pandangan tertuju pada Smith, Jane menyeka darah yang mengalir dari bibirnya, duduk diam di sofa sambil mengeluarkan telepon dari tas. Melihat sikapnya yang lamban dan penuh kekesalan, Smith merebut paksa telepon itu dan mulai memutar nomor.
Belasan detik kemudian, sambungan telepon tersambung.
“Halo? Eh... Hmm... Hmm...”
Percakapan berlangsung sekitar satu menit, hanya suara Smith yang terpotong-potong terdengar. Setelah menutup flip phone perlahan, matanya kosong tak tentu arah.
“Eh, di mana mereka sekarang?” Berusaha memperbaiki hubungan dengan Smith, Jane akhirnya bertanya setelah beberapa saat.
Tidak langsung menjawab, Smith mengangkat kepala, menghela napas dengan ekspresi rumit, lalu mengembalikan telepon sambil menatap wajah wanita itu: "Kalian... berapa total orangnya?"
"Eh, Hans dan dua orang lainnya sudah kembali bersamaku. Di pihak Tom ada dua puluh orang. Totalnya dua puluh tiga," jawab Jane bingung.
"Dua puluh tiga... dua puluh... Kau bilang kalian berhasil memblokir bocah Tiongkok itu?"
"Iya, di Manhattan... Ada jalan buntu di Sixth Street..."
"Dia sendirian?"
"Tentu sendiri! Sebenarnya ada apa?" Menyadari ada yang tidak beres, Jane bertanya sambil berdiri. Seketika, Smith berputar kasar dan mengayunkan tamparan lebih keras yang menjatuhkannya ke sofa. Smith berteriak di dalam kamar:
"Benar! Mereka SATU orang, kita DUA PULUH! Pelacur sombong ini! Kau terjebak taktik mereka, tahu?! Telepon ini tersambung ke kantor polisi! Dua puluh orang, pas jumlahnya! SEMUA MATI! Setelah kau pergi, SEMUA MATI di gang sempit itu—"
## Bagian Dua Ratus Empat Puluh Tujuh Keputusan Yahan
Pintu kamar diketuk lagi sekitar sepuluh menit kemudian. Membuka pintu untuk mempersilakan mantou masuk, masih dengan jus jeruk. Setelah mantou menyesap, Yahan baru bertanya: "Sudah selesai menelepon? Bisa dijelaskan sekarang?"
“Hmm aah.” Mantou mengangguk, tersenyum, “Atasan bilang ada beberapa hal yang bisa kuaku jujur padamu. Syukurlah, aku tidak perlu repit mengarang omong kosong. Singkatnya, aku anggota organisasi bernama [], sebenarnya juga bagian dari Keamanan Nasional Tiongkok, mirip Badan Keamanan Nasional Amerika atau FBI yang sering kau lihat di film. Aku agen rahasia dengan kode Mantou, awalnya bertugas di Amerika. Tapi setelah operasi ini, identitasku sudah diekspos. Mungkin aku bisa ikut kalian pulang.”
“Agen rahasia?” Yahan membelalakkan mata, “Kenapa harus ikut aku?”
“Seperti kejadian di pusat bisnis hari ini, kau dalam bahaya.”
“Benar-benar menargetkanku? Kenapa harus MEMBUNUHku?”
“Bukan membunuh, lebih mungkin menculik. Alasan utamanya mungkin mereka ingin menggunakanmu untuk melawan Nona Jian Suyan.”
Yahan tertegun sejenak, sorot matanya tiba-tiba berbinar tak terkira: “Melawan dia? Dia benar-benar datang?”
“Betul. Sebenarnya kau sudah melihatnya sejak lama, hanya tidak berani percaya saja.”
“Wanita yang MEMBUNUH orang kemarin malam itu?”
Dalam beberapa kalimat ini, Mantou tiba-tiba merasa seperti berhadapan dengan wanita yang berbeda. Cahaya di mata Yahan kembali, senyum tulus mulai merekah di wajahnya. Teringat hipotesis atasan tadi bahwa Jian Suyan dan Zhang Yahan mungkin lesbian, Mantou tak bisa menahan diri mengeluh: Lesbian benar-benar kejam! Aku saja belum punya pacar, ini benar-benar pemborosan sumber daya masyarakat...
Di hati merasa menyesal seperti ini, di wajah tentu tak bisa menampakkan sedikitpun, hanya mengangguk dan berkata: "Benar, yang itu sekarang sudah bisa dikonfirmasi sebagai Nona Jian Suyan. Alasan dia menyerang karena semua orang di mobil itu adalah pembunuh yang lebih dulu datang survei lokasi. Mereka mempersiapkan penculikan untukmu, lalu... sangat disayangkan, mereka jelas-jelas bertemu dengan orang yang tidak seharusnya mereka temui."
"Oh, hehe..." Yahan tersenyum, "Sifatnya memang selalu sangat kasar..."
"Ngomong-ngomong, saudara kecil bernama Gu Jiaming juga sudah datang. Kejadian di bidang bisnis hari ini adalah perbuatannya. Kau lari keluar mencari orang, sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnya dia selalu mengikutimu dari belakang, hanya saja kau benar-benar tidak menyadarinya."
“Dia terus mengikuti di belakangku?” Yahan tersenyum, “Heh, dia… mereka berdua itu, eh, apakah mereka pernah menghubungi kalian? Maksudku… apakah Suyan yang menyuruhmu datang melindungiku?”
“Ini bukan urusan itu. Kami sebenarnya selalu ingin bertemu secara resmi dengan Nona Jian Suyan. Beliau telah banyak membantu urusan kami, namun kami belum sempat menyampaikan terima kasih. Kedatangan kami untuk melindungi Nona Zhang juga sekadar menggunakan bunga orang lain untuk dipersembahkan kepada Buddha, sebagai bentuk kesungguhan kami. Ngomong-ngomong, hubunganmu dengan Nona Jian sangat dekat. Jika lain kali bertemu dengannya, bisakah kau sampaikan…”
“Tidak ada gunanya.” Yahan memotong pembicaraannya, “Selama itu keputusannya, aku tidak bisa membujuknya dalam hal apapun. Kalian pasti tahu, sifatnya buruk dan dia seorang anarkis. Tapi karena dia mau membantu kalian, bukankah itu berarti dia menyukai kalian? Jangan sekali-kali kalian mencarinya. Dulu ada hal yang membuatnya marah padaku, lihatlah, sampai sekarang dia masih belum mau menemuiku.”
Berbohong seperti ini, wajah Yahan memerah. Mantou hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Setelah beberapa saat, Yahan mengangkat kepala: “Apa aku benar-benar banyak merepotkannya?”
“Jujur saja, menurutku di antara teman tidak ada konsep merepotkan. Tapi sejak serangan mengerikan di Akademi Hati Kudus Jianghai, diam-diam memang banyak hal terjadi.” Mantou mengangguk, “Mengingat kamu dan Nona Jian berteman sangat akrab, dari kejadian itu kamu pasti sudah tahu, ada sekelompok orang yang ingin berbuat jahat pada Nona Jian. Setelah insiden Akademi Hati Kudus, kami pernah mendeteksi rencananya untuk membuat keributan di Tokyo, Jepang, karena markas besar mereka berada di sana.”
“Jepang? Militeris? Rasialis ya?”
"Tidak, tidak ada hubungannya dengan hal-hal seperti bangsa atau negara, ini murni organisasi kepentingan." Mantou tersenyum, "Selama masa persiapannya, Anda sudah lebih dulu datang ke Amerika untuk pengobatan. Sebenarnya di sini juga ada cabang organisasi itu. Setelah mengetahui mereka akan membahayakanmu, Nona Jian mengurungkan niat ke Jepang dan memprioritaskan kedatangan ke Amerika dengan tujuan melindungimu. Harusnya ini cukup membanggakan, kekuatan organisasi ini tersebar di seluruh dunia, tapi di Kota Jianghai setiap operasi mereka selalu gagal total. Jika bukan karena tidak bisa mengalahkan Nona Jian, mereka tidak akan berusaha keras menyasar orang-orang di sekitarnya."
"Jadi... karena hubunganku ya..." Yahan bergumam pelan. Mereka berdua berbincang lagi di dalam kamar. Mantou menceritakan berbagai pencapaian Jian Suyan satu per satu. Yahan menyimak dengan seksama, sesekali mengeluarkan decak kagum. Bagaimanapun juga, dia tak pernah menyangka bahwa Gu Jiaming yang luar biasa itu ternyata mencapai tingkat yang begitu mengagumkan. Dibandingkan dengannya, pikiran-pikiran kecilnya sendiri terasa sangat kekanak-kanakan. Setelah sekitar setengah jam lebih, dia mengangguk dan mengantar Mantou ke pintu: "Terima kasih. Jika tidak ada hal tak terduga, sepertinya aku akan memesan tiket pesawat malam ini untuk pulang. Tidak bisa terus tinggal di sini dan merepotkan orang."
"Pulang malam ini? Pengamatan perawatanmu seharusnya masih dua hari lagi kan?"
“Apa artinya observasi penyembuhan? Hanya sebagai referensi tambahan untuk pengobatan. Sebenarnya ini bukan penyakit mematikan. Di dalam negeri dirawat dengan baik, menjalani perawatan yang baik, ada juga yang sembuh total. Jika tidak berhasil, akhirnya harus transplantasi ginjal.” Yahan tersenyum tegas, “Bagaimanapun juga, aku HARUS pergi malam ini.”
“Baik, akan kusampaikan ke atasan. Selain pengawal pribadimu, akan ada sekelompok orang terpercaya yang mengawalmu pulang dengan aman ke negara. Tentu saja, di antara orang-orang terpercaya itu termasuk aku.” Mantou menunjuk dirinya sendiri sambil tertawa, “Tapi kurasa kamu harus membatalkan pengobatan beberapa hari ini, mungkin sulit meyakinkan Nyonya Zhang.”
“Cukup tunjukkan tangisan padanya.” Yahan tersenyum sambil membuka pintu, menyilakan Mantou keluar lebih dulu, kemudian berkata pada kapten penjaga di luar: “Tn. Chen, tolong pesankan tiket pesawat untuk kita semua kembali ke Jianghai malam ini ya? Aku ingat jam satu setengah pagi?”
“Pergi malam ini?” Ekspresi Tn. Chen terlihat bingung, “Badai salju hari ini sangat besar. Meskipun TV tidak menyebutkan pembatalan penerbangan, tapi situasinya mungkin tidak baik. Dan... maksud Nyonya...”
“Aku akan langsung bicara dengan Tante. Tidak masalah. Ada alasan sangat penting yang membuatku harus pergi SEKARANG JUGA. Kamu pesan tiket dulu, aku mau yang paling cepat berangkat. Penerbangan langsung atau transit tidak masalah. Jika hari ini dibatalkan, beli jadwal berikutnya.”
“Baik, segera kulakukan.”
Tn. Chen mengangguk, berjalan ke salah satu sisi koridor. Yahan yang ingin menemui Tante, berjalan beriringan dengan Mantou di sisi lain. Beberapa saat kemudian, Mantou tiba-tiba menoleh: “Ada pertanyaan yang ingin kutanyakan.”
“Apa?”
“Mengapa kau tidak pernah meragukannya? Apa kau langsung percaya begitu saja? Tahukah kau, sebelumnya aku terus berpikir—jika kau tidak percaya, cara apa yang harus kupakai untuk meyakinkanmu? Kami tidak membawa dokumen apa pun. Hal seperti ini pasti tidak akan mendapat tanggapan melalui jalur resmi. Lalu mengapa kau begitu saja mempercayai ucapanku?”
“Aku tidak tahu apakah kau benar-benar nyata, tapi aku yakin kau tidak akan mencelakaiku.”
“Apa karena wajahku terlihat jujur dan polos, lalu kau langsung percaya?”
“Bukan begitu. Kau kan tahu betapa tangguhnya dia.”
“Hmm...”
Senyum cerah merekah di wajah Yahan: “Jika kau berniat mencelakaikan aku, mungkinkah kau bisa tetap di sampingku selama ini saat dia mengawasi? Sudah pasti kau MATI sejak lama.”
Mendengar keyakinan penuh dalam ucapan Yahan, Roti Kukus Kecil mengernyitkan dahi lama sebelum akhirnya mengangguk pasrah: “Memang juga...”
“Pesawat akan berangkat pukul 1:30 dini hari besok. Artinya, kita hanya punya waktu maksimal 12 jam sebelum target itu 'terbang' meninggalkan jangkauan kita. Saat itu, pasti banyak anggota [] yang berjaga di sekitarnya. Kecuali kita mengirim pengebom bunuh diri atau menggunakan rudal darat-ke-udara militer, akan sulit membuat Nona Zhang yang cantik itu tetap di Amerika...”
Di kamar formula, Zhuang*Amir menyilangkan tangan, melaporkan situasi kepada Castro dengan lugas. Di seberang meja kerja, Castro memegang selembar kertas yang diberikan lawannya, menunjukkan ekspresi bingung: "Tentu saja hal mustahil, skandal diplomatik akibat meledakkan pesawat akan membuat pemerintah Amerika menekan kita paling keras, tapi... Apa bedanya rencanamu ini?"
"Tidak perlu meledakkan pesawat."
"Wah, bagus." Castro mengulang dengan kagum, "Tidak perlu meledakkan pesawat."
"Membiarkannya pergi akan membuat kita kehilangan muka total, tak bisa angkat kepala di depan cabang Jepang." Kata Zhuang*Amir, "Dengan kematian Earl, kita belum menyelidiki konfigurasi [] atau fondasi TULIP. Yang mengerikan adalah TULIP sepertinya memantau setiap gerakan kita, kalau tidak mustahil dia bisa membunuh Earl seakurat itu - dia pelacak terbaik. Rencana ini meski terlihat agak gila, paling-paling bisa ditangani sebagai konflik kelompok. Yang terpenting, inilah strategi militer yang benar. Di wilayahku, rencana ini bisa melawan siapapun, tanpa hambatan... Kau paham, kau hanya terlalu hati-hati terlalu lama. Dalam hatimu kau tahu ini rencana terbaik."
"Hehe." Setelah kesunyian sejenak, Castro mengangkat kepala, "Kalau setiap orang dilawan dengan cara begini, buat apa aku membutuhkanmu?"
"Kau perlu kubujuk untuk menggunakannya."
“OK。”Kali ini，pihak sana mengangguk tegas，“Mari kita mulai，waktu sangat mendesak.”
Di sisi lain，hampir bersamaan dengan Castro menerima rencana ini，di sebuah kafe di depan samping rumah sakit tempat Yahan tinggal，Jiaming menutup laptopnya sambil mengerutkan alis.
“Pukul 1:30 dini hari... itu berarti malam ini juga... merepotkan...”
## Bagian Dua Ratus Empat Puluh Delapan Deklarasi Perang
Raungan badai salju mengaburkan batas siang dan malam，tanpa disadari，lampu-lampu mulai menyala di sepanjang jalan，malam pun tiba.
Di pintu belakang Kantor Polisi Distrik 5 Manhattan，beberapa mobil berhenti di bawah lampu jalan，lebih dari sepuluh orang turun secara bergantian. Yang memimpin adalah seorang pria kulit putih berusia 40-50 tahun，ekspresinya datar namun memberi kesan ramah，disusul anggota Keluarga Gambino seperti Smith dan Jian. Setelah Smith menelepon menggunakan ponsel，beberapa menit kemudian seorang pria berpakaian preman membuka pintu belakang menyambut rombongan ini dalam badai salju.
“Hai，Tn. Damico，apa kabar？Smith，Lauro，Louis，Jian...”
Pria itu menyapa hampir semua orang satu per satu. John Damico yang memimpin menjabat tangannya dengan senyum tipis：“Hai，Inspektur Jonas，faktanya，aku ingin segera melihat para martir dari keluarga-keluarga itu.”
“Tentu，semua sudah diatur. Anda bisa melihat mereka kapan saja.”
"Sambil berbicara, Jonas membawa kelompok ini masuk melalui pintu belakang. Di kota dengan total populasi lebih dari 10 juta ini, setiap kantor polisi memikul pekerjaan yang sangat penting. Oleh karena itu, meskipun ini hanya cabang, gedung ini memiliki skala yang cukup megah. Sepanjang perjalanan masuk, Jonas menyapa orang-orang di sekitarnya. Beberapa mengangguk lalu lewat, sudah terbiasa, sementara yang lain melirik penasaran ke arah kelompok ini. Tak lama kemudian, kerumunan sampai di depan lift, lalu turun ke bawah tanah lantai dua dengan menggunakan lift dalam dua kelompok terpisah.
Melewati terowongan panjang, di samping terdapat berbagai ruangan seperti laboratorium forensik, klinik, ruang pembedahan mayat. Di ujung paling jauh terdapat ruang penyimpanan mayat.
"Sebenarnya dokter forensik sudah memeriksa siang tadi, penyebab kematian cukup jelas. Tapi sesuai prosedur, laporan forensik detail baru akan keluar lusa. Pengiriman ke rumah duka mungkin baru bisa dilakukan tiga hari lagi, dan kebetulan hari itu tepat..."
"Saya harap bisa dipercepat sehari sebelumnya, Pak Jonas."
"Tentu, saya akan berkoordinasi dengan bagian forensik semampunya."
Detektif itu mengangguk, lalu mengajak semua orang masuk ke ruang penyimpanan mayat. Karena di luar juga sedang musim dingin, suhu rendah di ruang penyimpanan tidak terasa lebih menusuk. Tak lama kemudian, detektif itu membuka peti baja berpendingin di sekeliling sesuai nomor, menampilkan dua puluh mayat di hadapan semua orang.
“Pak Damico, silakan lihat, ini adalah laporan pemeriksaan awal. 20 orang, masing-masing dengan cara mati berbeda: silet, benda berat... mungkin tongkat kayu menghantam kepala... dua orang lehernya dipelintir, satu orang dadanya mendapat Pukulan Berat hingga rongga dada ambruk, beberapa lainnya dihukum tembak. Kita bisa menyimpulkan banyak orang bertindak dalam sekejap, dan yang paling aneh - tujuh korban tembak MATI oleh pistol mereka sendiri. Tidak ada darah orang lain atau peluru sisa di TKP...”
“Mustahil...” Smith mengerutkan alisnya, “Mereka 20 orang bersenjata. Sekalipun disergap banyak orang, mustahil merebut semua senjata sekaligus lalu membunuh mereka. Hal semacam ini...”
“Makanya kami juga curiga.” Inspektur Jonas mengangguk, membuka terpal penutup mayat, “Lihat, Tom. Kau tahu, Hmm, bahkan saya pun tahu kemampuan duel satu lawan satunya bagus. Fakta menunjukkan dia sempat menghunus pistol, tapi tangan kanannya diremukkan persendiannya. Lalu senjatanya dipelintir dengan cara paling terdistorsi untuk mengarahkannya ke pelipisnya sendiri. Tembakan tunggal MATI seketika, dengan pistol tetap terkunci di genggamannya.”
“Setelah melihat ekspresi semua orang, Jonas terdiam sejenak: "Aku yakin kalian semua tahu artinya ini. Pada saat dia menarik senjata, seseorang dengan kecepatan tertinggi berlari maju. Satu tangan memegang senjata bersamaan dengannya, tangan lain langsung mematahkan persendian lengannya, lalu Byur! menembak... Karena salju turun terlalu deras, dan senjata mereka semua telah melalui proses peredaman suara khusus, orang-orang di jalan luar tidak menyadari suara ini."
"Ini benar-benar di luar nalar," kata seorang pria di sekitar, "Tom sekuat banteng, tidak mungkin ada yang bisa mematahkan tangannya dengan satu pukulan. Lagi pula dia bahkan belum sempat menembakkan satu peluru pun."
“Tidak, ada yang bisa.” Setelah kesunyian sejenak, Smith mengangguk, “Joseph bisa melakukannya, dan... lihat dada Donald, sudah cekungan. Tulang dada hancur berkeping-keping, ini luka, bukan akibat pukulan cue stick. Ini sapuan kaki paling bertenaga. Petinju kelas atas sebenarnya bisa mematahkan pilar batu, bahkan tembok... Joseph memang mampu.”
Jonas juga mengangguk: “Tapi masalahnya dia tak bisa membunuhnya 20 orang sekejap mata. Sekalipun ada 20 Joseph menyergap di sana, tak ada jaminan pistol mereka langsung dilumpuhkan saat ditarik, lalu dipelintir untuk menghabisi mereka.”
“Dunia ini tidak ada ekspresi tanpa alasan.” Pada saat ini, John*D'Amico yang selama ini melihat data-data dan mendengarkan pendapat orang lain baru membuka mulut berbicara, "Alasan kita merasa bingung, hanya bisa membuktikan bahwa mereka melakukannya dengan sempurna."
“Lalu bagaimana harus kita lakukan?” tanya Smith.
Damico terdiam sejenak: "Bocah Tiongkok yang jadi umpan itu, kalian tahu latar belakangnya?"
"Hasil penyelidikan hanya menunjukkan dia manusia biasa. Tidak bisa menyelidiki lebih dalam. Setelah peristiwa Tang Jingyao, pemerintah Tiongkok sangat waspada pada kami. Jadi informasi dari sana sangat minim." Smith ragu-ragu, "Tapi konon dia teman Marilyn dan putrinya di Tiongkok, terkait peristiwa beberapa tahun lalu."
"Beberapa tahun lalu, kasus itu masih kuselidiki, ingat?" Damico mengangguk. Beberapa tahun lalu dia juga salah satu petugas utama pimpinan tertinggi Keluarga Gambino. Makanya saat Gotti Jr. turun tahta, dia wajar jadi godfather baru. "Peristiwa itu seharusnya didominasi pemerintah Tiongkok, terutama melihat situasi Salieri belakangan ini. Ambisi kita terhadap Tiongkok terlalu besar, sehingga memicu kewaspadaan pemerintah mereka. Kasus Tang Jingyao mungkin sudah terendus pemerintah Tiongkok sejak awal, jadi mereka menyelesaikannya dengan cara gelap sekaligus menyelamatkan Marilyn dan putrinya..."
Melewati mayat-mayat dengan berbagai kondisi kematian, jari Damico mengetuk-ngetuk dengan lembut unit baja tempat mayat: "Saat ini, Lima Keluarga Besar tidak akan mengizinkan pecahnya perang total."
Semua orang diam, memandanginya dengan fokus. Mereka tahu ini saatnya dia mengambil keputusan.
“Aku baru saja mengambil alih posisi ini, juga mustahil menantang semua orang, harus berusaha mengekspresikan niat baik, menarik mereka ke pihak ini adalah prinsip yang tak berubah. Tapi 20 manusia MATI, jika tetap diam begini, di masa depan kita tidak akan punya posisi apa pun di Amerika, semua orang tahu, John*DamiCo adalah pengecut……”
“Jadi... Aku tahu kalian sudah mempersiapkan, operasi dimulai sekarang, sebelum semua orang bereaksi, aku ingin Old Victor membayar biaya yang cukup. Aku kasih waktu 2 hari, sampai besok lusa malam, tepatnya sampai waktu ini tanggal 23, Segalanya harus berhenti. Saat itu, aku bisa dengar suara penghentian dari keluarga lain, tanggal 24 adalah Natal, aku akan meminta maaf pada Old Victor.”
Pukul sembilan malam.
Kota yang terang benderang, mobil-mobil lalu lalang, menerobosi taburan salju bertebangan, kerlip lampu New York di tengah titik-titik putih yang memenuhi langit ini justru terlihat tenang dan anggun.
Di kamar bergema musik lembut, Yahan dan wanita yang dipanggilnya Tante sedang merapikan barang-barang di ranjang, sebagian besar adalah kosmetik dan baju yang dibeli sejak tiba di Amerika. Tapi sungguh, jumlahnya benar-benar mengejutkan.
“Aku benar-benar benci salju hari ini tidak menghentikan pesawat, aku juga kacau, benar-benar setuju denganmu. Hei hei, Yahan, kumohon, meski kau harus pergi, beri alasan yang bisa kubawa. Setidaknya, saat ayahmu menghujatku, mentalku bisa sedikit seimbang...”
Sambil merapikan kosmetik, Tante kembali bergumam kesal di samping. Mungkin karena statusnya sebagai ibu tiri, dia tak pernah bisa menolak permintaan serius Yahan. Bayangkan saja, sebagai penanggung jawab pengiriman Yahan ke Amerika, jika pulang tanpa alasan jelas, meski Zhang Jing'an takkan sampai memukul atau menghujat, kekecewaan dalam hati pasti ada. Pasti perlu usaha ekstra untuk mengambil hatinya lagi nanti. Apalagi sebagai ibu tiri, tuduhan "sengaja merugikan kondisi kesehatan Yahan" adalah hal paling harus dihindari.
Mengerti kesulitan di hatinya, Yahan mendekat dan memeluknya dari belakang dengan mesra: "Sudahlah, aku tahu, Tante. Tapi alasan sebenarnya memang tak bisa diungkapkan. Nyawa manusia dipertaruhkan, pagi tadi kami bahkan melihat pembunuhan! Ini alasan terkuat. Aku akan meyakinkan Ayah."
"Kita punya pengawal, di rumah sakit juga aman. Lagipula kasus itu belum jelas penyelidikannya. Kalau kau tinggal 2 hari lagi, rumah sakit mungkin bisa temukan metode penyembuhan lebih baik..."
"Makanya kubilang alasan sesungguhnya tak bisa diungkapkan..."
"Baiklah, baiklah! Kalah denganmu..." Tante meliriknya sambil tersenyum pasrah, "Aku pasti berutang padamu di kehidupan sebelumnya!"
"Sudah, Tante rapikan saja koleksi berhargamu ini. Aku pergi keluar lihat kondisi jalan."
Tersenyum keluar pintu, di telinga samar mendengar Tante berkata: "Kenapa pesawat tidak berhenti mengudara..." Hati tak bisa menahan geli. Berdiri di lorong, di luar jendela kaca raksasa lampu neon berkedip-kedip, mobil dan pejalan kaki lalu lalang, cahaya lampu mengalir tak menentu. Akan segera meninggalkan metropolis ini, teringat Jiaming selalu mengikuti dirinya, tiba-tiba hati bagai terbebaskan, beban berat yang sejak pagi menggelayut di hati lenyap sama sekali.
Tapi, di mana kau bersembunyi sebenarnya... Pandangannya menyapu hamparan salju bertebaran, namun akhirnya tak menemukan apa-apa, dalam hati ia bergumam pelan: Setelah pulang nanti, takkan ada alasan lagi untuk menolak menemuiku kan...
## Bagian Ratus Empat Puluh Sembilan: Lautan Manusia
"Tadi malam, aku bermimpi memasuki hutan dengan banyak pohon, bentuknya seperti garis-garis dalam gambar sketsa sederhana, agak menyeramkan, jadi kupikir hari ini pasti ada masalah..." Menjepit hidungnya, Qiao Guorui menatap pejalan kaki di tepi jalan, berkata sambil lalu.
"Aku juga merasa akan ada masalah." Cui Guohua mengangkat alisnya, mengambil teleskop untuk mengamati bangunan di pinggir jalan, "Tapi mimpi itu selalu berkesan seram, mana ada pertanda baik? Kapan kau mulai percaya hal-hal begini?"
"Bukan percaya, hanya merasa akan ada masalah. Masih harus menunggu sampai Nona Zhang naik pesawat, baru urusan ini selesai, bukan?"
Dalam kelompok tempat Cui Guohua berada, Qiao Guorui yang berperan sebagai penasihat termasuk salah satu partner pertamanya. Keduanya sudah bekerja sama sejak masa pelatihan, bolak-balik hampir 20 tahun. Hingga Cui menjadi Ketua Kelompok, sampai sekarang, anggota silih berganti - MATI, diganti, pergi, pensiun. Melewati ribuan momen hidup dan MATI, bisa bertahan sampai saat ini, tak bisa dipungkiri ini adalah jodoh atau takdir. Karena itu Cui Guohua, Qiao Guorui, bahkan pimpinan [] sering bercanda bahwa mereka adalah "bebek mandarin pelarian". Meski ini cuma gurauan, kini muncul hal-hal yang mulai menyentuh sisi sentimental.
"Setelah urusan ini selesai dan pulang ke Tiongkok, kau akan menikahi Yali, kan?"
"Hmm." Qiao Guorui mengangguk, "Dia bersikeras. Jadi mungkin setelah pulang, aku akan urus surat nikah dengannya."
"Lao Zhang bilang padaku, kau bisa dipindahkan ke kantor internal atau dikeluarkan sebagai kepala dinas level satu." Cui Guohua tersenyum, "Dia bilang, kita orang dalam sepenuhnya, pasti dapat posisi enak."
"Hehe, lalu mulai korupsi seperti orang-orang yang kita tangkap sendiri?"
"Kan orang dalam. Asal jaga profil rendah, satu dua miliar pasti bisa kututupin." Cui Guohua mengangkat bahu. Pria di sebelahnya tertawa.
"Seumur hidup tangkap pencuri, tapi di ujung karir nodai reputasi?" Menggelengkan kepala, "Aku tidak akan pergi."
“MATI berkali-kali, sudah berkontribusi banyak untuk negara, kau layak mendapatkannya. Apa mungkin kami masih membiarkanmu tinggal di rumah kecil dua kamar dengan Yali? Nanti ketika anak laki-lakimu besar, pasti perlu studi ke luar negeri juga.” Cui Guohua menepuk bahunya, “Lagipula ini aturan tim kami, kalau sudah menikah, minggirlah ke belakang. Konfusius pernah bersabda, manusia tak boleh terlalu mulia, nanti bagaimana orang lain bisa mengikuti? Contohnya Guo Lin yang nona-nona itu, apa kau mau dia menghabiskan hidupnya seperti kita, sampai tua hanya makan Qingcai dan berani macam-macam?”
“Maksud Konfusius jangan jadikan obyek sempurna sebagai contoh, bukan menyuruh semua jadi buruk.” Meliriknya, “Ngomong-ngomong, kalau kau mundur, mau korupsi juga?”
“Tentu saja!” Cui Guohua berkata dengan sikap defensif, “Duduk di posisi ini karena kasus korupsi parah. Kalau dituduh khianati rahasia negara, langsung jadi musuh nasional. Tapi setelah turun jabatan, dengan backingan atasan, cari uang receh itu wajar. Badanku penuh luka, butuh kursi pijat terbaik, cuaca ekstrim harus ke dokter dan minum obat, butuh AC. Kalau belum menikah harus sewa perawat, kalau sudah menikah urusan makin banyak. Anakku wajib kuliah ke luar negeri, Cambridge atau Harvard, asal lulus ujian harus aku kirim. Harus kasih uang untuk PDKT dengan MM. Kalau ada anak pengusaha kaya yang bikin muntah, aku harus ajak saudara berantem massal, lalu traktir makan beberapa kali. Makanya sekarang aku takut begini?”
“Berlebihan、usaha berlebihan.” Qiao Guorui memandanginya dengan pandangan hina, kemudian menggelengkan kepala, “Masih kalimat yang sama, aku tidak akan pergi ke belakang. Aku dan Yali sudah sepakat, setelah menikah, aku tetap melanjutkan tugasku. Aku baru 38 tahun, harus menikmati kesuksesan beberapa tahun lagi sebelum pensiun.”
Cui Guohua menarik napas, ekspresi wajahnya sedikit lebih serius: “Kau harus memikirkan istrimu. Jika kau melakukan hal berbahaya ini, bagaimana dengannya?”
“Hanya perbedaan surat nikah saja. Meski tidak menikah, kami tetap tinggal bersama.” Qiao Guorui meliriknya, “Justru kamu, jika syarat bersama Mingjuan adalah tidak ada bahaya, maka kamu yang harus mundur. Jujur saja, Mingjuan sudah menunggumu bertahun-tahun tapi kamu tidak menyentuhnya sama sekali. Bahkan aku tidak tega melihatnya. Yali sudah berkali-kali menghujatmu.”
“Hal yang tidak bisa bertanggung jawab, tidak akan kulakukan... Tapi kamu harus mundur.” Memegang teleskop dan melihat keluar sebentar, Qiao Guorui yang sudah punya rencana malas menghiraukannya. Cui Guohua perlahan mengerutkan alis, “Apa yang dilakukan orang-orang itu?”
“Apa?” Qiao Guorui juga mengambil teleskop, memandang ke arah gedung tempat Yahan berada: “Wanita itu... mafia? Mereka datang ke sini... Sepertinya kita harus bersiap lapor polisi...”
Berjalan di plaza kecil tengah badai salju, yang berada di barisan terdepan adalah perempuan berambut merah bernama Jian.
Organisasi seperti mafia mungkin terlihat liar tanpa hukum, namun sebenarnya memiliki aturan internal yang sangat ketat. Setidaknya dalam hal MEMBUNUH, mereka selalu mengendalikannya dengan ketat karena aksi pembunuhan bayaran pribadi berpotensi memicu perang. Tapi pada dasarnya, mereka tetap merupakan geng kriminal paling terkenal di dunia. Saat senja tadi, setelah John*D'Amico mengangguk setuju, Keluarga Gambino segera melancarkan aksi balas dendam terhadap Salieri dengan kecepatan tertinggi.
Pemilihan lembaga penelitian medis ini sebagai target aksi, tentu saja inisiatif Jane sendiri. Kegagalan negosiasi dengan Robert pagi itu, ditambah kematian dua puluh orang kemudian, hampir menjadikannya pendosa dalam Keluarga Gambino. Karena itu begitu persiapan balas dendam dimulai, ia langsung memilih Robert sebagai target utama. Fakta bahwa setelah negosiasi langsung bertemu anak itu, kemudian menggiring mereka ke gang sempit yang sudah disergap, membuat Robert mustahil lepas dari keterlibatan.
Lembaga penelitian di gedung ini bukan rumah sakit. Jika tidak ada koneksi yang merekomendasikan, pasien biasa sama sekali tidak diterima, sehingga bukanlah institusi yang terbuka untuk publik. Di lantai atas gedung, terdapat gedung perkantoran dan ruang kerja berbagai perusahaan. Pada malam hari, kecuali memiliki name tag akses, gedung tidak mengizinkan orang tak berkepentingan masuk. Dalam rintik salju yang samar-samar, lampu di aula utama menyala, dua satpam berjaga di meja layanan. Sekelompok orang berdiskusi sebentar di luar. Seorang pria paruh baya berkulit putih berbaju jaket kulit, mengitari plaza kecil, menaiki tangga, dan memasuki lobi utama gedung.
Dua satpam mengangkat kepala, kemudian, kobaran api menyala dua kali dengan samar di dalam aula, dentuman senjata yang disaring peredam suara melesat keluar aula, perlahan menghilang dalam deru badai salju.
Jalanan New York, meski belum tengah malam, tentu tidak bisa dibilang terpencil. Tapi antara jalanan dan aula itu terhalang taman bunga kecil, posisi aula juga sedikit lebih tinggi. Dalam cuaca seperti ini, sedikit keributan tidak akan menarik perhatian pejalan kaki di kejauhan. Setelah Sui Bian membawa pasukannya pergi, dua bawahan mengganti seragam satpam, sementara yang lain menuju ke lokasi satpam lainnya. Sui Bian lalu memimpin lebih dari sepuluh orang tersisa masuk ke lift, bersiap menuju lantai tiga untuk mencari Robert yang masih berada di rumah sakit.
"Ingat, target kita kali ini adalah bajingan Robert itu, bukan orang sembarangan. Lembaga penelitian ini punya koneksi luas, para dokternya... Kecuali mereka menembakmu, jangan lukai mereka, paham? Habisi Robert dan orang-orang di sekitarnya, lalu kita pergi, harus cepat... Amy, kalau masuk lift sebelah, di sini sudah penuh."
Setelah memberikan pengarahan singkat, pintu lift perlahan tertutup. Seperti ratu yang dikerumuni pria, Sui Bian menekan kode angka lantai tiga sambil mengeluarkan pistol dari pinggang dengan wajah dingin. Suara "Krak-krak" terdengar saat ia melakukan pemeriksaan akhir dengan teknik ahli. Di atas, angka 1 berubah perlahan menjadi 2. Beberapa orang di belakang juga telah menghunus senjata, lift tiba-tiba riuh oleh suara logam, lalu "Creek" — lift berhenti. Seluruh jarak pandang tiba-tiba berubah hitam pekat.
"Eh, pemadaman listrik..."
Memang benar terjadi pemadaman listrik.
Cahaya lampu mobil yang mengalir di keramaian pasar masih terus menyala, namun dari dalam mobil yang memandang ke luar, pemandangan beberapa blok jalan di sekitar yang tiba-tiba berubah menjadi kegelapan benar-benar bisa disebut spektakuler. Pada saat ini, Qiao Guorui sedang memegang telepon berniat menghubungi nomor darurat 911, perubahan tiba-tiba ini membuatnya tak kuasa menjulurkan kepala untuk melihat: "Ada apa?"
"Jelas sekali, listrik padam..." Cui Guohua menoleh melihat sekeliling, "Apa karena salju merusak kabel listrik?"
"Aku punya firasat buruk, mungkin ini tidak sesederhana itu..."
Kalimat ini belum selesai diucapkan, tiba-tiba Cui Guohua waspada menoleh ke samping. Terlihat sebuah truk kontainer raksasa tiba-tiba memutar kabinnya, menderu mendekat. Lampu truk menyinari tubuh mereka berdua, semakin terang...
Braak——
Truk itu menabrak keras bodi mobil kecil, mendorongnya hingga menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Kemudian, seolah tepat mengenai tangki bensin, seluruh mobil kecil meledak menjadi bola api yang menjulang di antara jeritan pejalan kaki. Kobaran api itu bersinar terang di malam bersalju yang menderu.
Di koridor lantai tiga gedung yang tidak jauh, orang-orang yang berlarian keluar dari kamar menyaksikan pemandangan ini.
"Yahan, ada apa di luar? Ngapain sih, barang-barang belum sepenuhnya dirapikan, kok listrik sudah padam..."
Suara Tante terdengar dari dalam kamar. Yahan menatap kobaran api itu, menggenggam erat kerah bajunya, lalu melihat ke kedua sisi. Orang-orang yang terpisah-pisah telah terbangun oleh pemadaman listrik, satu per satu keluar dari kamar. Saat ini di lorong terdapat sekitar dua puluh orang: pengawal pribadinya, beberapa pasien di lembaga penelitian ini, dua dokter, anggota mafia Robert, dan Mantou yang sedang berjalan ke arah sini sambil menatap kobaran api: "Ada apa?"
Mantou menggelengkan kepala: "Tidak tahu, tapi sepertinya buruk. Kita harus..."
Belum selesai bicara, tiba-tiba dua dentuman senjata bergema di antara gedung-gedung yang gelap. Kemudian, dari kamar di belakang Robert yang tidak jauh, lima enam bawahan bersenjata berlari keluar. Atas perintah Robert, mereka bergegas menuju arah suara tembakan.
"Jangan khawatir, semua! Kembalilah ke kamar masing-masing. Tidak akan ada masalah, tenang saja!"
Robert berteriak beberapa kali di lorong. Tn. Chen dan yang lain sudah melindungi Yahan di depan. Mendengar suara tembakan, Tante panik berlari keluar dengan wajah ketakutan: "Ada apa? Ada apa..."
"Sepertinya ada masalah." Mantou mengerutkan kening sambil memandang mobil yang sedang meledak tepat di bawahnya, "Kita harus pergi."
Beberapa saat kemudian, di pinggir jalan sekitar seratus meter dari lokasi ledakan, Cui Guohua dan Qiao Guorui muncul berturut-turut dalam sebuah mobil kecil, menatap kobaran api yang membubung di depan.
“Lihat, ideku membuka pintu di bawah mobil memang bukan main. Bisa kabur melalui selokan kapan saja, juga naik mobil dari selokan. Setelah pulang ke negeri, aku akan mendaftarkan hak eksklusif.”
Mengambil tas besar dari jok belakang, Qiao Guorui dengan lihai merakit senapan runduk krak-krak-krak di tangannya, mahir menyesuaikan bodi senjata. Kemudian mengeluarkan berbagai senjata api, sebagian dilempar ke Cui Guohua, sebagian disimpan di badannya sendiri.
“Aku benar-benar benci mulut gagakmu... Baru bilang bakal ada masalah langsung beneran ada masalah...”
Mengerutkan kening, Cui Guohua mengeluarkan walkie-talkie: “Perhatian semua anggota, kemungkinan Pei Luo Jia sudah bertindak, titik perhatian musuh siap memblokir gerbang gedung kapan saja... Roti Kukus, bawa Nona Zhang ke parkiran bawah, persiapkan pengantaran putri kami pulang.”
“Ini namanya intuisi Orang Bijak, bukan mulut gagak.” Mengangkat senapan runduknya, Qiao Guorui membidik sopir yang turun dari truk. Begitu turun, pria ini langsung mencari tempat persembunyian di sekitar titik ledakan, jelas ingin memastikan kematian mereka berdua, tanpa sadar target sudah berada di belakangnya. Dari posisi ini, kelihatan sesekali dahinya menyembul, bidikan di mirror sudah terkunci pada target, ia tersenyum: “Siswa Cui, terima realita saja, prediksiku benar.”
"Lagipula kamu selalu jago meramal hal buruk yang tidak terbukti, aku sudah terbiasa..." Bergumam sendiri, Cui Guohua menutup jas hujan yang penuh senjata, lalu keluar dari mobil. Di dalam mobil, Qiao Guorui meletakkan senapan runduk dan menghidupkan mesin. Dalam jarak pandang, Cui Guohua berjalan dari belakang mendekati sopir truk itu, menepuk bahunya: "Butuh bantuan?"
Sesaat menoleh, orang yang waspada itu refleks menarik senjata. Tapi bersamaan, pistol Cui Guohua sudah menempel di kepalanya. Byur! Percikan darah menyembur beberapa meter: "Ini peringatan..."
"Kurasa peringatan tidak diperlukan lagi... Awas trotoar!" Di earphone, terdengar suara Qiao Guorui yang mulai tegang. Di kedua ujung jalan, puluhan mobil tiba-tiba melesat mendekat. Truk berisi kontainer yang meledak sebelumnya sudah memblokir separuh jalan, lalu lintas seharusnya macet. Tapi mobil-mobil ini malah naik ke trotoar, melaju dari kedua arah. Kerumunan orang panik bercerai-beraikan - jelas situasi tidak normal. Beberapa pejalan kaki di tepi jalan serentak membuka mantel, mengeluarkan pistol, senapan serbu, senapan patah, dan berbagai senjata lain yang diarahkan ke Cui Guohua dan Qiao Guorui di mobil tak jauh.
Dentuman senjata seketika menggema di jalanan, disusul jeritan-jeritan panik. Pertempuran bersenjata besar-besaran pun pecah di tengah kota New York.
Byur——
Salju menari-nari di tengah kobaran api yang silih berganti. Cui Guohua dan Qiao Guorui berlarian menyelamatkan diri, sementara dentuman senjata dari rumah-rumah di kedua sisi jalan bergema mendukung mereka. Namun ketika belasan mobil kecil menerobos trotoar tiba, lima hingga enam puluh pembunuh berpengalaman muncul serentak di jalanan. Berbekal kendaraan anti peluru sebagai tempat persembunyian, mereka mengeluarkan berbagai senjata lalu menggempur penyergapan [Yan Huang Juexing] dengan daya rusak yang mencengangkan.
Hanya dalam belasan detik, tembakan dari lapisan bangunan di kedua sisi sudah sepenuhnya ditekan. Meski memiliki keunggulan inisiatif, akurasi tembakan dalam badai salju ini memang buruk. Ketika lima puluh hingga enam puluh pembunuh terhebat melepaskan tembakan serentak, daya hancur yang ditimbulkan cukup membuat siapapun merinding. Teriakan di jalan belum reda ketika orang-orang yang kabur dari mobil yang macet masih berlarian ke ujung jalan yang aman. Pada Putaran Pertama penembakan, lebih dari separuh pembunuh sudah bergerak dari berbagai arah menuju gedung tempat Yahan berada.
"Gak bisa ditekan, bos! Jumlah mereka terlalu banyak! Kok bisa ada operasi sebesar ini? Perang apa..."
"Ah Min terluka! Tadi untung kena peluru senapan mesin, kalau senapan runduk..."
"Sekarang harus gimana? Sudah lapor polisi sesuai rencana, tapi lawan mengerahkan pasukan sebanyak ini. Polisi juga pasti gak bisa selesaikan hal beginian cepat-cepat..."
"Lebih dari 60 pembunuh... Dalam kekacauan seperti ini, mereka bahkan bisa menerobos lingkaran tentara sekalipun..."
Suara terus terdengar di earphone, di belakang ada pembunuh yang mengejar, Qiao Guorui memutar earphone: "Orang Amerika ini sudah gila, mereka sekarang ingin menghabisi semua orang sekaligus, bukan hanya kita, bahkan Jian Suyan. Semua orang evakuasi sesuai rencana awal, saling mendukung. Kita sekarang tidak bisa mengendalikan situasi besar, bahkan jika polisi datang, mungkin butuh setengah jam baru bisa memahami situasi. Untuk sementara hanya bisa mengalihkan sebagian kekuatan mereka, dengan menjamin keselamatan diri sebagai target utama, kita sudah berusaha, soal roti kukus kecil..."
"Bawa Nona Zhang sebisa mungkin mengulur waktu, ini di dalam kota, orang Amerika ini sehebat apapun, maksimal hanya punya waktu setengah jam sampai empat puluh menit. Jian Suyan sekarang belum diketahui sedang apa, dia pasti ada reaksi, tapi..." Tenaga manusia ada batasnya, meskipun perempuan berkode TULIP ini sebelumnya menciptakan banyak keajaiban, lawan mengerahkan kekuatan yang benar-benar superior. Begitu banyak pembunuh elite menggunakan taktik jumlah besar, mungkin bahkan Yoritomo Taku juga tidak bisa menghadapinya. Kalimat ini tidak dia ucapkan, hanya melirik gedung hitam pekat itu, menarik napas dalam-dalam.
Roti kukus kecil, semoga beruntung...
## Bagian Dua Ratus Lima Puluh Senjata Berat
Terjebak perangkap!
Saat lampu di lift mati, hal pertama yang muncul di pikiran setiap orang adalah penyergapan oleh Keluarga Salieri. Namun, mereka yang terlibat dalam operasi ini jelas bukan pemula. Tanpa menunggu perintah Jane, seseorang langsung membuka lubang inspeksi di atas lift, memanjat ke atap lift, dan menyalakan senter. Shaft lift yang menghubungkan lantai-lantai tampak hitam pekat. Lift sebelah yang belum sampai lantai dua sudah berhenti, beberapa kawan mulai keluar dari dalam dan sedang mencongkel pintu lift lantai dua.
"Sial! Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Apakah kita disergap..."
"Awas..."
Dalam kepanikan, shaft lift dipenuhi teriakan yang diredam. Tak lama kemudian, semua orang telah keluar dan berada di atap lift. Pintu lift lantai dua sedikit terbuka, orang di bawah melongok ke koridor - yang terlihat hanya kegelapan, kecuali cahaya mobil dari jendela jalanan. Tak terlihat sosok manusia di koridor.
"Bukan penyergapan. Seluruh gedung... tidak, sepertinya seluruh jalan mengalami pemadaman..."
Mendengar ini, Jane mengayunkan tangan menyuruh anak buahnya membuka paksa pintu lift lantai tiga. Baru membuka celah selebar orang, sorot lampu darurat menyinari: "Ada yang terjebak lift? Kau... Charlie!"
Orang yang memegang lampu darurat itu adalah salah satu anggota Salieri, yang kebetulan mengenal beberapa orang di dekat Jane saat ini. Dalam jeritan kaget, orang-orang di sini langsung melepaskan beberapa tembakan. Dentuman senjata dalam kegelapan mengguncang beberapa lapisan bangunan atas dan bawah. Pada titik ini, semua orang tidak lagi ragu. Sebagian berlari ke koridor lantai tiga, sementara yang lain menyerbu lantai dua, mulai memblokir jalur pelarian Robert.
Beberapa menit kemudian, rentetan tembakan yang mengejutkan padatnya bergema di sepanjang jalan. Dari kejauhan, terdengar seperti perang yang meledak di kota New York. Saat berbelok di sudut setelah pintu lift, melalui jendela kaca besar di ujung koridor, Jane menyaksikan ekor api oranye-merah dari roket melesak miring dari gedung seberang ke jalanan. Dalam hujan salju yang memenuhi langit, cahaya api itu menyala terang menerangi pandangan. Disusul oleh gemuruh ledakan yang samar.
Secara bawah sadar, dia meraih walkie-talkie di pangkuannya.
"Menyuapi, ada yang bisa kasih tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini? Terima kasih."
Area yang ditempati sangat luas, struktur internal gedung ini sebenarnya bisa dibilang rumit. Selain koridor kecil antar kamar mandiri, saluran utama pada dasarnya membagi interior menjadi empat area yang cukup besar dengan formasi karakter ''. Bagi Jane dan rombongan yang baru keluar dari lift, pemandangan di jalan bawah bisa terlihat jelas dari koridor luar tempat Yahan dan yang lain berada. Ledakan mobil di pinggir jalan sebelumnya mungkin masih bisa dianggap sebagai kecelakaan lalu lintas biasa. Namun ketika belasan kendaraan antipeluru melesat dari kedua ujung jalan, berbagai senjata api saling silang di koridor jalanan, lalu ditindak oleh puluhan pasukan - Robert sudah ternganga melihat kekacauan dengan kerumunan orang yang berlarian di bawah. Dalam hatinya dia paham, apapun ini, mungkin bukan hal yang bisa dilakukan mafia secara terang-terangan, bahkan Keluarga Gambino sekalipun.
Saat ini, anak buahnya sudah mulai bentrok dengan penyusup yang menyerbu. Meski logikanya mengatakan Keluarga Salieri mustahil mengerahkan kekuatan sebesar ini untuk melawannya, namun ketika anak buahnya mengenali Jane yang berambut merah - kesimpulannya nyaris membuatnya runtuh mental. Terutama ketika hampir separuh pasukan dari mobil-mobil itu menerobos masuk ke gedung, perasaan yang muncul di hatinya hampir seperti keputusasaan. Sementara itu, Yahan dan yang lain sedang dipandu Mantou mencari cara untuk keluar.
“Orang-orang Pei Luo Jia ini gila, aku bersumpah, mereka semua gila... Hanya untuk menangkap satu orang, mereka mengerahkan puluhan pembunuh. Membunuh presiden negara pun tak perlu sebanyak ini. Bercanda macam apa ini, lebih baik mereka semua beralih jadi tentara bayaran...” Sambil berjalan, Mantou yang kini membawa tas kulit hitam terus bergumam mengeluh. Baru saja Yahan menjelaskan latar belakangnya yang tak biasa, meski ada pertanyaan di hati orang-orang sekitar, mereka tahu ini bukan saat yang tepat untuk bertanya. Melihatnya mengeluarkan pistol dari badan, Tn. Chen berkata: “Kita sekarang sama sekali tidak bisa turun.”
“Lihat saja penampilan mereka.” Mantou mengangkat bahu, “Sebenarnya melompat dari lantai tiga di posisi mana pun juga tak akan MATI, tapi sekarang luar sudah sepenuhnya dikendalikan orang mereka, sudah pasti jalan buntu, ke parkiran pun jangan harap. Sekarang kita hanya bisa mengandalkan lingkungan di sini untuk bertahan sampai polisi datang, mungkin lebih dari setengah jam... Lagipula ini lembaga penelitian, banyak laboratorium dan ruang riset, yang bisa menahan napas lama bisa lompat ke air dan pura-pura jadi spesimen, haha... Awas!”
Lelucon yang tiba-tiba muncul dalam tekanan sebesar ini terasa sangat kaku. Sebelum lelucon dinginnya selesai, sebuah sosok tiba-tiba muncul di depan dan mengarahkan senjata ke arah mereka. Saat Mantou berteriak, beberapa pengawal sudah mendorong Yahan dan putrinya masuk ke kamar sebelah. Kemudian, suara tembakan bergema.
Tangan masih menggenggam tas kulit hitam, roti kukus kecil berdiri tak bergerak di sana. Tn. Chen pertama kali mengintip keluar, melihat sosok di persimpangan jalan tak jauh telah roboh di tanah. Pria berpenampilan menggemaskan dan terlihat muda ini mengangkat senjata dengan satu tangan, menekan picu secara tenang ke arah persimpangan jalan itu. Setiap percikan api yang muncul, membuat orang-orang yang ingin menerjang keluar panik mundur.
"Pergi."
Dengan kalimat sederhana, Yahan dan yang lain berbalik ke jalan sebelah di bawah perlindungan pengawal. Tak lama kemudian, roti kukus kecil juga mundur ke sini, dengan mahir mengganti peluru: "Tidak tahu dari mana datangnya, orang-orang ini tidak profesional. Tapi dilihat dari waktunya, para profesional akan SEGERA SAMPAI di lantai tiga. Cari kamar untuk bersembunyi."
Jarak tiga lapisan bangunan saja, basically bisa diabaikan. Dentuman senjata di dalam gedung semakin sengit, diduga kelompok pembunuh Pei Luo Jia telah menerobos masuk. Mereka mendorong pintu laboratorium di sebelah dan mundur ke dalam. Gedung berperangkat lengkap seperti ini seharusnya memiliki sistem pembangkit listrik darurat, tapi diduga orang-orang Pei Luo Jia telah melakukan sentuhan kecil, membuat sumber daya cadangan juga kehilangan fungsi. Laboratorium ini gelap gulita, sorot senter menyapu ruangan - laboratorium ini sangat luas dengan berbagai perangkat dan instrumen tersebar di seluruh sudut, bahkan beberapa bak kultur raksasa yang bisa memuat tubuh manusia seperti candaan roti kukus kecil pun berdiri tegak di sana.
Di atas meja di tengah ruangan, sebuah kantong diletakkan. Roti kukus kecil membuka ritsletingnya. Suara langkah kaki bergema di luar pintu. Yang masuk justru Robert dengan beberapa bawahannya. Mereka membawa senter di tangan, tak menyadari kehadiran Yahan dan lainnya di tengah ruangan. Namun dari sisi ini, laras senjata sudah mengarah ke mereka. Saat cahaya senter menyapu, Robert baru tertegun melihat situasi ini, lalu menutup pintu kamar dengan cepat.
"Aku tak tahu kalian siapa. Tapi dalam situasi sekarang... Pasukan kalian sedikit, personel kami juga kurang. Menurutku kita perlu saling membantu. Bagaimana menurut kalian?"
"...Matikan lampu."
Tanpa banyak keraguan, roti kukus kecil meletakkan senjatanya. Melihat aliansi terbentuk, Robert mengayunkan tangan memberi isyarat. Ia dan bawahannya mulai mendekat ke tengah. Roti kukus kecil mengeluarkan benda seukuran layar komputer dari tasnya. Sesaat kemudian, cahaya merah menyala di laboratorium.
"Imaging termal?" Robert melirik sambil berbisik. Roti kukus kecil mengangguk, menaruh layar itu di bawah meja eksperimen agar cahaya merah tak terlihat dari luar. Sekelompok orang bersembunyi di antara perangkat eksperimen dan meja laboratorium sekitarnya.
"Cuaca bersalju lebat, ditambah pemadaman listrik... Alat ini sangat berguna..."
Jawaban berbisik itu, di tengah ekspresi terdiam Robert dan semua orang, Manto mengeluarkan berbagai bagian tubuh dari tas kulitnya, merakit senjata besar sepanjang lebih dari satu meter yang terlihat lebih berat dan kompleks daripada senapan runduk. Kemudian, menekan peluru penetrasi sepanjang delapan sembilan sentimeter satu per satu ke dalamnya. Dalam gumamannya, wajah yang sebelumnya agak menggemaskan itu kini memancarkan rasa mengerikan yang tak bisa ditahan.
“Sial! Bunuh aku... Ayo maju...”
Dentuman senjata di luar yang awalnya sengit berangsur mereda, di laboratorium tercipta sunyi senyap. Tak lama kemudian, telapak tangan lembut menghampiri dan menepuk bahu roti kukus kecil - ternyata Yahan yang perlahan mendekat.
"Roti kukus, bisakah kau berikan aku senjata?"
Dalam cahaya merah samar, dia berbisik.
Jane tak pernah membayangkan akan menghadapi hal aneh seperti ini.
Pemilihan operasi balas dendam ini memang mengandung unsur pribadinya, namun telah mendapatkan persetujuan dari Smith bahkan John*D'Amico. Di pihaknya seharusnya memiliki keunggulan mutlak. Siapa sangka begitu masuk langsung terjadi pemadaman, saat membuka pintu lift menuju lantai tiga, nasib buruk mulai terjadi.
Perlawanan di depan tidak terlalu kuat, namun ketika dentuman senjata di luar gedung semakin rapat, suara pertama yang muncul di walkie-talkie adalah teriakan minta tolong dari orang-orang yang tertinggal di aula. Teriakan itu berhenti mendadak dalam waktu kurang dari tiga detik. Kepanikan langsung merambat ke lantai dua. Tugas awal mereka sebenarnya adalah mencegah Robert dan kawanan melarikan diri dari lantai tiga, namun dengan teriakan panik di walkie-talkie, pertahanan ini hancur dalam setengah menit. Empat orang langsung terbunuh, sisanya buru-buru menyelamatkan nyawa. Tak lama kemudian, mereka sudah mencapai lantai tiga.
Dalam kegelapan, kekacauan emosi hampir membuat tujuan awal mereka terlupakan. Tentu saja, sekarang membahas tentang memburu Robert sudah tidak relevan. Karena hal pertama yang terpikir oleh Jane sebenarnya mirip dengan Robert: pihak mereka terjebak dalam penyergapan. Mengingat dua puluh orang yang mati secara misterius siang tadi, Jane kini tidak meragukan lagi bahwa Keluarga Salieri memiliki kekuatan seperti itu. Rupanya mereka telah mendapatkan sekutu yang sangat kuat, sehingga berani menembakkan roket secara sembarangan di jalanan New York.
Dalam kondisi hampir terkepung dari depan dan belakang, kelompok ini mencari kemungkinan untuk kabur. Dentuman senjata sengit——sebagian besar dari pihak mereka sendiri yang ditembakkan secara panik dalam ketakutan——beberapa orang di sekitar mereka MATI lagi. Lebih dari dua puluh orang datang bersama, dalam hitungan menit, hanya enam orang yang masih hidup. Mereka menemukan sebuah kamar untuk bersembunyi, lalu kabur diam-diam beberapa saat kemudian. Baru mereka sadari situasinya mulai terasa aneh.
Jika orang-orang ini adalah pembantu Keluarga Salieri, seharusnya target mereka hanyalah kelompok kami. Namun pada saat ini, dentuman senjata masih terus terdengar. Saat kembali menyusuri jalan, mereka secara mengejutkan menemukan banyak mayat peneliti, dokter, dan pasien. Artinya, kelompok ini sama sekali tidak memihak pihak manapun. Mereka benar-benar berniat membunuh semua orang di sini.
Hati masih dipenuhi kepanikan, baru saja tiba di depan pintu kamar berikutnya, bersamaan dengan suara tembakan yang tiba-tiba, seorang kawan di samping tubuhnya terlempar ke udara. Lima orang sisanya masing-masing terjatuh ke kamar di kedua sisi. Jian yang masih memegang senjata belum sempat berdiri, suara tembakan menggema di telinganya. Tepat di depan matanya, dinding tiba-tiba tertembus peluru, kerikil beterbangan menghantam wajahnya meninggalkan percikan darah. Saat menoleh, peluru itu seperti meleset menyamping, menghancurkan dinding samping lainnya, entah ke mana terbangnya. Udara mendadak sunyi sesaat. Kawan dari kamar seberang berlari keluar membawa senjata, namun tembakan tak terdengar. Satu per satu mereka keluar dari kamar, menatap mayat di ujung lorong.
Beberapa saat lalu mereka baru melewati area itu. Jelas bahwa penembak yang membunuh kawan mereka adalah pria yang kini tergeletak di lantai ini. Kepalanya telah hancur berkeping-keping. Melihat lubang peluru yang mengerikan di dinding, terlihat jelas pola peluru itu menembus beberapa lapis tembok sebelum akhirnya menghantam kepala pria ini.
"Pasti senjata modifikasi khusus dengan peluru penembus baja khusus, baru bisa mencapai efek seperti ini," ujar seorang kawan di samping Jian yang sangat fanatik dengan persenjataan, sambil menelan air liur dengan suara parau. "Tapi untuk mengkoreksi pola pergerakan peluru setelah menembus beberapa dinding... orang ini benar-benar hebat..."
Jian menarik napas dalam-dalam: "Aku hanya ingin tahu siapa dia. Apakah dia di pihak kita..."
Saat itu juga, fakta nyata langsung menjawab keraguannya. Dengan suara Byur, serpihan batu beterbangan. Peluru menembus beberapa lapisan dinding penghalang, menancap di tubuh seorang kawan di sebelahnya. Seketika, darah dan serpihan daging menyembur keluar, mengotori seluruh wajah dan rambutnya...
Di dalam laboratorium, di depan pencitra termal, Mantou memanggul senjata besarnya sambil terus menembak secara histeris ke segala arah. Cahaya merah memantulkan wajahnya yang sedikit terdistorsi. Semua orang menjauh darinya. Dalam kegelapan, suara sirene polisi mulai terdengar samar. Tapi yang lebih jelas adalah dentuman senjata sengit di jalanan. Para pembunuh Pei Luo Jia sambil memburu anggota [], juga memanfaatkan kemacetan lalu lintas untuk menghadang polisi New York yang baru tiba dengan tembakan akurat. Sementara sosok TULIP yang menjadi fokus semua pihak, hingga saat ini masih belum menunjukkan sedikitpun petunjuk...
## Bagian Dua Ratus Lima Puluh Satu: Tusukan Silang
Dentuman senjata mendidih di antara lapisan bangunan yang gelap. Suara jendela pecah, peralatan kaca hancur, dan mesin rusak bergantian mengguncang gendang telinga semua orang. Yahan mencengkeram erat gagang pistolnya, berdesak-desakan dengan Tante di belakang mesin uji besar. Peluru melesat mengoyak udara, menciptakan percikan api dan suara dentuman di berbagai sudut ruangan. Sesekali serpihan debu dan batu berjatuhan dari dinding di belakang mereka.
Di tengah kamar, sambil menyeret monitor termal itu, Mantou menggendong senjata besar yang agak menakutkan sambil terus bergerak. Peluru dimasukkan ke laras senjata, pelatuk ditarik, percikan api menyala sekejap, proyektil melesat Byur! menembus dinding, menghantam musuh di beberapa ruangan sekitarnya. Daya hancurnya benar-benar luar biasa. Robert dan kawan-kawan serta para pengawal Yahan juga terus menembak dalam kegelapan, bergerak terbatas di antara berbagai perangkat eksperimen. Sisi laboratorium yang berbatasan dengan koridor awalnya memiliki jendela-jendela raksasa untuk memudahkan pengamatan dari luar, namun sekarang bersama louvers-louvers lainnya telah hancur lebur diterjang hujan peluru. Seluruh lapisan bangunan yang terlihat mata telah berubah menjadi zona MATI paling berbahaya.
Di luar gedung, dentuman tembakan bertautan dengan sirene polisi yang samar-samar terdengar. Seolah ada teriakan peringatan, tapi segera menghilang. Yahan bergumam, "Setengah jam... setengah jam..." Matanya menatap jam tangan wanita bercahaya mahal di pergelangan Tante-nya: "Masih... masih lima belas menit lagi. Hanya lima belas menit..." Itu perkiraan waktu dari Mantou. Tapi sekarang, setiap menit terasa seperti abadi...
Dengan susah payah ia mencoba meluruskan tubuhnya, menatap ke arah lapisan bangunan yang terus dihujani tembakan. Tiba-tiba rentetan peluru senapan mesin menyambar perangkat di sebelahnya, memercikkan bunga api yang menyilaukan. Suara nyaring itu membuatnya terkejut hingga terjatuh ke belakang. Tante segera menariknya: "Kau hati-hati!"
“Bersembunyi yang baik!” Mantou berkata dengan suara berat, menyeret perangkat pencitraan termal yang sedang merangkak cepat dari kejauhan, tiba-tiba bangkit dan menembak, lalu kembali merunduk. Gangguan kuat pada perangkat berasal dari sosok-sosok manusia, kalori dari peluru yang melintas, serta api yang membakar di berbagai titik. Saat ini layar display tampak kabur oleh bayangan cahaya, dia hanya bisa terus menembak mengandalkan perasaan dan pengalaman. Akurasi mungkin berkurang, tapi ancaman dari senapan runduk yang dimodifikasi ini tetap dahsyat, setidaknya sampai sekarang para pembunuh belum bisa mendesak maju.
Baru saja memasukkan peluru penetrasi ke dalam laras, tiba-tiba muncul titik terang jelas di layar. Hampir secara bawah sadar, Mantou melompat ke belakang perangkat di sampingnya. Sebuah roket meluncur meraung melewati koridor luar, kemudian kobaran api ledakan menyapu dengan dahsyat, mengguncang setiap sudut laboratorium.
Bukan hanya di gedung lembaga penelitian, saat ini di jalanan luar juga benar-benar ramai sekali. Di antara tarian salju yang memenuhi langit, mobil-mobil tak berpenghuni pada dasarnya telah memblokir seluruh blok jalan. Beberapa mobil yang meledak kini membakar hebat dalam badai salju, dentuman senjata terus menggila tak henti.
Harus diakui, kepolisian New York sebenarnya cukup efisien. Hampir dalam lima menit setelah kerusuhan terjadi, mobil patroli pertama sudah tiba di persimpangan jalan. Namun, tepat setelah petugas pertama yang bersembunyi di belakang mobil berteriak grogi: "Kami dari Los Angeles, eh... maksudnya Polisi New York..." pengeras suara di tangannya langsung meledak ditembak peluru yang datang entah dari mana, mobil polisi ini langsung mendapat serangan dahsyat dan meledak menjadi bola api dalam tiga menit. Bisa dibayangkan petugas yang sepertinya baru ditransfer dari Los Angeles ini sekarang pasti memiliki pemahaman baru yang mendalam tentang situasi keamanan New York.
Setelah itu, mobil polisi bantuan terus berdatangan, memblokir kawasan sekitar. Diperkirakan lebih dari ratusan petugas berbaris di belakang garis pertahanan yang dibentuk mobil-mobil polisi, melakukan konfrontasi tembak-menembak dengan teroris di dalam jalanan. Jumlah pembunuh yang masih berkeliaran di jalan raya saat ini sekitar dua puluh orang, tapi masing-masing adalah prajurit berpengalaman. Dengan memanfaatkan ribuan kendaraan sebagai tempat persembunyian, sambil sesekali menghadapi gangguan dari anggota [], mereka juga berhasil mempertahankan posisi dengan mantap melawan serangan dari kedua ujung jalan, mengunci para petugas di kedua sisi jalan.
Meskipun anggota [] yang sebelumnya bersembunyi di gedung-gedung di kedua sisi jalan masih sesekali melakukan tembakan gangguan ke jalanan di bawah, mereka kini telah terjebak dalam situasi yang sangat sulit. Kekuatan yang dikerahkan Pei Luo Jia melampaui semua prediksi sebelumnya - termasuk di jalan raya, di dalam gedung institut, maupun para pengejar mereka saat ini, diperkirakan totalnya melebihi delapan puluh orang. Baik dalam tradisi maupun realita, pembunuh seharusnya menjadi simbol aksi solo, penyamaran, dan ketidakpastian. Bahkan untuk membunuh presiden suatu negara, hanya satu atau dua pembunuh profesional yang bertindak. Mengerahkan puluhan pembunuh untuk menangkap satu orang, maknanya telah setara dengan perang.
Gedung-gedung hitam pekat di kedua sisi jalan, lantai bawah awalnya berisi berbagai toko dan supermarket, sementara lantai atas umumnya merupakan gedung perkantoran perusahaan-perusahaan besar maupun kecil. Ketika pemadaman listrik dan dentuman senjata tiba-tiba terjadi, sebagian orang berhasil meninggalkan gedung dalam kekacauan, sementara sebagian lainnya terperangkap di dalam, mencari tempat persembunyian dengan ketakutan. Saat para pembunuh Pei Luo Jia yang memburu personel tim [] mulai menerobos masuk, di malam yang hanya diisi oleh riuh rendah tembakan ini, jeritan atau teriakan minta tolong perempuan yang sesekali terdengar samar, terasa semakin mencekam.
"Sial! Kudengar... pembunuh terhebat Amerika, Zhuang*Amir adalah penggemar 《Seni Perang Sun Tzu》..." Melemparkan senjata di tangannya, menyelinap ke dalam kamar yang gelap, Qiao Guorui berbicap sambil terengah-engah pada Cui Guohua, "Menggunakan yang kuat untuk menindas yang lemah, yang banyak menekan yang sedikit, hal seperti ini baru bisa disebut strategi militer yang benar. Orang ini jadi mesum karena terlalu lama jadi pembunuh, sekarang malah datang memuaskan ideologi militernya. Tolong, meskipun operasi TULIP dalam sehari bagai menampar muka Pei Luo Jia Amerika di depan seluruh dunia sampai malu, tapi dia kan pembunuh..." Di balik kekesalannya, tersirat decak kagum, lagipula operasi gabungan banyak pembunuh sekaligus bukan pemandangan biasa.
"Tapi bagaimanapun, operasi ini sangat efektif, bukan..." Memandang jalanan di bawah dari jendela hitam pekat, Cui Guohua berkata, "Menerjang sekaligus membuat semua pihak kelabakan, lalu langsung menyelesaikan masalah. Meski semua pembunuh kehilangan keunggulan persembunyian, daya rusak gabungan mereka cukup membuat semua pihak pusing. Jika di kota menengah dalam negeri, kekuatan ini hampir bisa menghancurkan lembaga pemerintah mana pun. Tapi... Jian Suyan sampai sekarang belum muncul, entah ada persiapan apa atau tidak. Jika tidak... Mantou dan kawan-kawan PASTI MATI..."
“Kecuali Jian Suyan bisa mengetahui segalanya sebelumnya, tapi……” Qiao Guorui menggelengkan kepala, “Sekarang aku hanya berharap dia tidak muncul dalam situasi seperti ini. Rencana Zhuang*Amir pasti memanfaatkan kesempatan ini untuk memaksa Jian Suyan menampakkan diri, lalu menyelesaikan semua hal sekaligus. Ini juga strategi militer yang benar… Cabang Jepang Pei Luo Jia terlalu banyak mengalami kerugian dalam urusan TULIP, Yoritomo Taku dua kali dipaksa mundur, Da Nei Zhangdu dan Tak terhitung dewa-dewa semuanya MATI di tangannya. Begitu Jian Suyan terbunuh, aliansi cabang Amerika dan Jepang pasti akan semakin erat. Saat itu, cabang-cabang lain Pei Luo Jia akan bersatu dengan sendirinya, situasi akan menjadi sangat rumit… Selama Jian Suyan tidak muncul, aku sudah berpesan pada Mantou sebelumnya. Jika situasi menjadi tidak terkendali, dia akan akhirnya membunuh Zhang Yahan…”
Tanpa suara, Cui Guohua mengangguk.
Api berkecamuk, aliran udara mengamuk. Fragmen kertas, plastik, hingga logam beterbangan di seluruh ruang, kemudian menghujani wajah semua orang seperti hujan deras.
Karena posisi persembunyian yang bagus, Yahan dan Tante tidak mengalami kerusakan besar. Dua tiga orang di sekitarnya mengalami luka ringan. Mantou bangkit dari lantai, melemparkan imager termal yang sudah hancur, menurunkan senapan runduk yang memiliki daya hancur mengerikan, lalu menyemprotkan senapan mesin ke luar. Yang lain terus menembak sembarangan ke luar jendela. Berbagai cairan nutrisi mengalir bebas di lantai karena pecahnya perkakas percobaan dan efek ledakan tadi.
Sambil terus menembak, Mantou yang sudah berlumuran darah berbisik: "Semua ke sini, tempat ini tidak bisa ditinggali lagi, kita harus menerobos keluar dari samping, cepat..."
Dentuman senjata menggema di kamar. Di antara kobaran api ledakan dan percikan bunga api peluru, Robert berguling-guling dalam genangan cairan nutrisi lalu menghampiri: "Kita tidak perlu keluar, kita..."
"Kita HARUS keluar! Kau boleh memilih tetap di sini!" Setelah serangan roket tadi, para pembunuh ini bisa menembak lagi kapan saja. Mantou menggeram sementara beberapa pengawal sudah melindungi Yahan dan ibunya yang merunduk. Robert menunjuk ke sebuah peralatan percobaan besar di samping dan membalas teriak: "Itu... seharusnya untuk filtrasi... Terserah mesin sialan apa ini! Yang kutahu ini terhubung ke dua lantai! Kita bisa ke lantai dua lewat pipanya - asal kau hancurkan sekatnya dengan tembakan!"
“Aku mulai menyukai laboratorium ini……” Mantou tertegun sejenak, "Kita turun melalui jalan pintas... lantai dua, semoga mereka tidak menyergap terlalu banyak orang..."
“Lantai dua? Semoga kita sudah mempersiapkan cukup personel...”
Ini adalah parkiran tiga lapisan yang terletak tak jauh dari gedung pertempuran. Sebuah mobil sport silver membeku dalam kegelapan. Zhuang*Amir saat ini duduk di kursi pengemudi, dari posisi ini bisa melihat jelas tembakan senjata di gua lantai tiga gedung tersebut, serta situasi pertempuran polisi dengan para pembunuh di kedua ujung jalan.
Seperti kabar angin yang didengar Qiao Guorui, sebagai pembunuh nomor satu di Amerika, Zhuang*Amir lebih menyukai pengetahuan militer. Di sini kita tak perlu menilai bakat alaminya di bidang ini, tapi tak diragukan lagi, menjadi seorang jenderal adalah cita-cita yang dipendamnya sejak masa muda. Setelahnya salah kaprah menjadi pembunuh, impian ini tentu hanya bisa menjadi harapan.
Pembunuh adalah profesi yang kesepian dan misterius. Memilih target, merancang strategi, memberikan pukulan mematikan pada target, lalu musnah dengan cepat. Secara militer, hal semacam ini bisa dikategorikan sebagai strategi, serangan kejutan, mengalahkan banyak dengan sedikit. Namun sepanjang karier pembunuhnya, hal seperti ini sudah terlalu sering dilakukan. Operasi militer mengalahkan banyak dengan sedikit memang membangkitkan semangat, tapi seperti kata Qiao Guorui, strategi militer sejati adalah mengalahkan yang lemah dengan yang kuat, mengalahkan yang sedikit dengan yang banyak adalah jalan kemenangan. Kini, duduk di dalam gerbong, barulah ia merasakan getaran seorang jenderal.
Tentu saja, dia bukan tipe karakter yang tidak rasional. Pengaturan operasi kali ini bukan untuk memuaskan nafsu militer kecilnya, melainkan hasil analisis yang menunjukkan rencana ini memiliki tingkat keberhasilan tertinggi. Hanya satu hal yang tak terduga: Operasi mengerahkan semua pembunuh cadangan untuk memburu TULIP seharusnya dilakukan saat Zhang Yahan dan rombongan menuju bandara - metode terbaik untuk mengejutkan mereka. Namun, karena menerima kabar bahwa mafia akan menyerang lembaga penelitian ini, rencana terpaksa dipercepat.
Jika lembaga penelitian diserang mafia, dengan perlindungan [], Zhang Yahan pasti tidak akan celaka. Tapi pihak kepolisian pasti akan turun tangan. Jika kekuatan NYPD bahkan FBI dan Biro Keamanan Nasional ikut campur lebih awal, variabel risiko akan melonjak drastis. Oleh karena itu, lokasi serangan harus diubah ke sini. Mengingat ini tempat tinggal sementara Zhang Yahan, mungkin TULIP telah meninggalkan jebakan tersembunyi. Tapi...
Sekalipun ada persiapan, mustahil menghadapi taktik jumlah besar yang begitu overwhelming. Ketika nyawa Zhang Yahan terancam, dia pasti akan muncul.
"Apakah TULIP masih belum muncul?"
"Belum. Target saat ini mencapai lantai dua, sepertinya ingin kabur ke parkiran bawah. Tim Pedang Taring dan Pisau Tajam sudah menghalangi mereka..."
"Sudah tujuh belas menit. Tak perlu lagi menahan diri. Beri tekanan sesungguhnya! Paksa TULIP keluar!"
"Apakah boleh jika target sampai terbunuh?"
“Harus terlihat seperti akan membunuhnya, kalau tidak sengaja benar-benar membunuh juga tidak apa, saya yakin TULIP akan menyadari keseriusan hal ini, tak peduli dimana dia berada!” Menutup walkie-talkie, pandangannya tertuju ke lapisan bangunan yang diselimuti tembakan silang, "Kecuali dia tidak ada di sana..."
Jika dia tidak ada di sana...
Lalu dimana dia berada...
Otaknya berpikir cepat memecahkan masalah ini, jarinya mengetuk-ngetuk kemudi suara "Dong, Dong..." bergema samar di dalam gerbong. Beberapa menit kemudian, telepon berdering menjawab keraguannya.
"Halo... Hmm, saya di sini... Kau bilang apa!?"
Tiba-tiba, jemarinya membeku di udara. Beberapa saat kemudian, suara dari pihak seberang yang sedang kalut mengulangi kabar ini:
"Tuan Castro MATI..."
## Bagian Dua Ratus Lima Puluh Dua Siapa Papanya Kau
"...Tuan Castro MATI." Suara berat terdengar dari ujung telepon yang jauh, "Sepuluh menit lalu, lebih dari lima puluh pembunuh bersenjata lengkap menerobos basis cabang. Kami tidak tahu bagaimana mereka mengetahui posisi di sini, tapi... Tuan Castro MATI dalam proses evakuasi. Mereka mungkin dari Keajaiban Kreasi, ada yang melihat James..."
Terdiam di gerbong hampir setengah menit, dia mengulurkan tangan membuka jendela mobil, membiarkan angin salju dingin menerpa: "Ada yang mirip TULIP?"
"Ini... Kami tidak punya data detail tentang TULIP..."
“Maksudku ini dugaan!” Tiba-tiba Zhuang*Amir berteriak, “Tolong berikan perkiraan yang memungkinkan! Kita mengerahkan banyak orang di sini, membuat basis kosong, semua demi membunuhnya! Tapi sekarang malah dia yang balik membunuh kita! Berikan hipotesis yang masuk akal, setuju!”
“Ini…” Dalam kekacauan pikiran sejenak, Zhuang*Amir sebenarnya sudah punya hipotesis sendiri. Dari pihak lain juga tidak yakin. Beberapa saat kemudian, dia melanjutkan perkataannya, “Sepertinya… ada pembunuh perempuan yang diduga TULIP terlibat, tapi tidak bisa dikonfirmasi…”
Suara *Prak* terdengar saat telepon dilempar. Zhuang mengambil walkie-talkie: “Semua dengarkan, rencana diubah. Bunuh target dan semua musuh di gedung, bersiap untuk evakuasi.”
Kalimat ini baru selesai diucapkan. Begitu tombol walkie-talkie dilepas, seseorang di sisi lain menekan tombol bicara: “Tapi… kami sudah menangkap target. Haruskah membunuhnya…”
“Eh, tertangkap?”
Lantai dasar gedung, parkiran.
Ruang gelap yang menegangkan membuat sesak napas. Sorotan lampu mengikuti arah senjata, terkonsentrasi di sudut samping parkiran.
“Buang senjatamu! Cepat buang!”
Mengikuti suara teriakan, sosok-sosok mulai mengepung dari tiga sisi. Jumlahnya tidak banyak, hanya empat pembunuh yang tersebar. Namun ketika salah satu pembunuh yang memegang senapan serbu mulai mengaum, Mantou yang baru saja duduk di kursi pengemudi perlahan mengangkat tangan dan melemparkan senjata keluar mobil.
Saat ini, pintu gerbong masih belum tertutup. Mantou dan Tn. Chen telah duduk di barisan depan, sementara Yahan beserta ibunya baru saja memasuki gerbong belakang. Robert yang separuh tubuhnya berlumuran darah kini duduk di mobil belakang. Dua orang lainnya yang belum sempat masuk juga telah mengangkat tangan. Dari segi jumlah, pihak kami masih unggul. Namun dalam situasi saat ini, anggota kelompok kami yang tua, lemah, terluka, dan sakit tidak banyak berarti. Yang terpenting, di atap mobil tak jauh dari sini, seorang pembunuh sedang membidikkan roket ke arah kami. Meski kini kami telah berada di dalam mobil, mesin bahkan belum dinyalakan. Jika mereka melepaskan tembakan roket, mustahil ada yang selamat.
"Sial..."
Mantou yang juga terluka dan mengucurkan darah itu mengutuk dalam hati. Seandainya dirinya sendirian, mungkin masih bisa menyelamatkan diri dengan terjun ke samping. Tapi bagaimana mungkin dua wanita di barisan belakang bisa mengikuti? Sorotan senter dari senjata pembunuh di depan terlalu menyilaukan matanya, membuat dadanya semakin sesak. Qiao Guorui pernah memprediksi skenario terburuk: bila keamanan tak lagi terjamin, Segalanya harus dihancurkan! Bagaimanapun juga Pei Luo Jia tak boleh mendapatkan tawaran yang bisa mengancam TULIP. Sekarang... Sudah waktunya?
Sambil berpikir demikian, pembunuh di samping pintu mobil sedang berbicara dengan rekannya. Meski suara di earphone tak terdengar, tapi ucapan langsungnya masih bisa ditangkap. Di seberang sistem komunikasi itu pastilah Zhuang*Amir yang memimpin operasi ini.
“Hmm, ya, kami ada di parkiran, sesuai dengan titik D meninggalkan mereka dalam prediksi……”
“Tidak bermasalah, semua orang bisa datang, situasi sudah terkendali……”
“Aku bersama Eisen, Tony, Arthur di sini. Jika mereka berani macam-macam, roket di tangan Eisen akan mengubah mereka jadi babi panggang dalam sekejap……”
“Baik……”
Percakapan selesai. Di sebelah sepertinya memberi instruksi. Orang ini berjalan ke barisan belakang, mengarahkan laras senjata ke Yahan: "Kau, keluar!"
Sepertinya sudah mengantisipasi situasi ini. Wajah Yahan yang agak memucat tak menunjukkan keheranan. Justru Tante yang berteriak: "Jangan! Kalian mau apa!" Saat ingin menarik Yahan, dia menoleh dan menghibur dengan suara rendah.
"Tenang, pasti ada yang akan menyelamatkan kita. Aku tahu."
Setelah berkata pelan, menarik napas dalam, dia keluar dari mobil.
"Sini!"
Mengarahkan laras senjata ke depan, Yahan menatap si pembunuh. Karena silau lampu depan, bawah sadarnya memiringkan kepala: "Jangan sakiti mereka! Atau kalian akan MATI dengan menyedihkan!"
"Sedikit omong kosong! Jalan!" Pembunuh mendorongnya dengan gagang senjata. Yahan merapikan baju yang agak berantakan, berjalan sambil sesekali menoleh.
"Ke sana, nona, silakan masuk ke mobil itu sebentar!"
Dengan suara bicara orang itu, jarak perlahan menjauh. Lima langkah, sepuluh langkah... Mantou menutup matanya sebentar, tubuhnya gemetar halus. Di satu sisi lampu depan terlalu menyilaukan, di sisi lain tangannya menurun sedikit. Senjata di tubuhnya bukan cuma satu—jika ditarik, mungkin dia bisa langsung membunuh wanita di depan, tapi dirinya juga PASTI MATI... Keringat bercampur darah mengalir, namun di hatinya ada keraguan. Lampu depan terlalu menjijikkan, jangan-jangan orang itu sudah menyadari maksudnya.
Lima belas langkah, Yahan sampai di samping mobil off-road dengan pintu belakang terbuka, lalu berhenti.
"Masuk!"
"Hei, menurutku naik Chrysler merah di sebelah itu lebih keren, bukan?"
Suara yang tiba-tiba muncul dari mulut pembunuh di depan yang menyorotkan senter terlalu silau, terdengar seperti candaan. Pembunuh utama di antara keempat orang meliriknya: "Hei Tony, sekarang bukan waktunya..."
Di parkiran, saraf Mantou tiba-tiba menegang. Dengan intuisi agen rahasianya, seluruh ruang seolah membeku kurang dari setengah detik, tapi dalam sekejap memberi perasaan kegelapan yang pekat.
Sesaat kemudian, raungan tembakan meledak! Peluru yang menjelajahi udara bagai ribuan meteor membelah ruang sekeliling!
"Kau bukan Tony..."
"Bin—go—"
Bercampur dalam dentuman marah senapan mesin, ada suara panik, ada nada santai. Sorot lampu menyilaukan yang menyimpang dari penumpang mobil, dua senapan mesin diayunkan keluar dari tangan pria itu. Seorang pembunuh yang masih berdiri di samping mobil nyaris langsung hancur menjadi fragmen daging oleh peluru. Di atas mobil tak jauh, pria yang membawa roket terlempar. Sebuah roket meledak menghantam langit-langit parkiran seiring terlemparnya tubuhnya, batu-batu beterbangan, berbagai benda dari lantai atas berjatuhan. Pria di sebelah Yahan kini sudah tergeletak penuh lubang di atas mobil sport merah.
Seketika, situasi berbalik. Tiga pembunuh langsung meregang nyawa. Mantou yang sudah bereaksi segera memutar kunci kontak, berusaha menyalakan mobil. Bibi kecil di jok belakang masih terpaku dalam keterkejutan. Yahan melirik sekeliling. Pembunuh yang tiba-tiba berbalik itu sudah melangkah mendekat. Bersamaan, dentuman senjata terdengar puluhan meter jauhnya. Peluru menari-nari memercikkan bunga api di bodi mobil sekitar. Lebih banyak pembunuh telah datang.
Hujan peluru gila-gilaan mengucur deras. Kini agak sulit kembali ke mobil Mantou. Yahan tetap berdiri, menatap pria Amerika yang mendekat. Sebuah tangan menekuk tubuhnya rendah. Pembunuh pengkhianat ini menyibak mayat di atas mobil sport, membuka pintu.
"...Karena mobilmu itu aku tak punya kuncinya."
"Nada suara yang agak familiar bagi Yahan, seolah sedang memberikan penjelasan kepada mayat di tanah tentang alasan permintaan tadi." Dalam suara bicara itu, dia didorong masuk ke kursi penumpang mobil sport. Pria itu melompat ke kursi pengemudi dan menarik pintu mobil dengan keras "Byur!".
Menyalakan mesin, engine langsung hidup dalam sekejap.
"Perhatikan untuk menutup jendela, mengenakan sabuk pengaman, tarik napas dalam - tidak apa-apa jika ingin berteriak. Mobil sport ini hanya butuh tiga detik dari start sampai kecepatan 100 kilometer per jam." Sambil berbicara, mobil sport melesat seperti roket. Bersamaan dengan itu, sebuah roket melintas di posisi parkir mobil tadi dan meledakkan mobil off-road di sebelah. "Aku jamin dengan kepribadian wujudku yang sekarang ini..."
Untuk sesaat, seolah bisa mendengar desing angin halusinasi. Nada suara yang familiar itu samar-samar, membuatnya merasa seperti dalam ilusi. Akselerasi maksimal mobil sport membuat tubuhnya terhujam ke jok kursi. Terburu-buru mengambil sabuk pengaman, terdengar suara "Krek!" yang berhasil terkunci dengan tepat. Pria pengemudi di sampingnya tampak terkejut dengan gerakan gesitnya, secara bawah sadar bersiul. Menoleh ke belakang, Yahan melihat cahaya api yang menjauh dengan cepat, sementara mobil Baozi melesat ke arah lain.
Mobil sport nyaris melakukan drift saat melewati dua tikungan tajam dalam sekejap mata. Dalam kegelapan, bayangan puluhan kendaraan melintas di depan mata. Sebelum sempat menarik napas, mobil itu melaju kencang menuju dinding buntu di depan.
Jarak puluhan meter hanyalah sekejap mata bagi mobil sport ini. Tanpa sempat menjerit, dia menutup mata dengan keras.
Braak——
Suara ledakan yang hanya bisa didengar di jalan luar. Bahan peledak yang telah dipersiapkan meluluhlantakkan seluruh dinding luar parkiran. Sebuah mobil sport menerobos serpihan batu sambil meraung kencang!
Pada kecepatan setinggi ini, meski tidak menabrak tembok secara langsung, benturan dengan batu beterbangan sudah cukup mengerikan. Tapi di dalam gerbong hanya terdengar beberapa dentuman redup. Ajaibnya, kaca sama sekali tidak pecah. Saat membuka mata kembali, pemandangan pasar yang gelap melintas secepat kilat. Para pembunuh Pei Luo Jia tentu sudah menguasai jalan di belakang gedung. Tapi kemacetan di sisi ini belum terlalu parah. Sirene meraung di kedua ujung jalan. Menyusuri trotoar yang masih cukup lancar, mobil sport melesat ke satu arah.
Peluru Byur! menghantam kaca mobil, lalu mental dari kaca antipeluru.
Menoleh ke belakang, sebuah roket memicu ledakan berantai beberapa mobil.
Di depan ada titik blokir mobil polisi. Tapi lebih banyak kendaraan bahkan menghadang trotoar. Roket kedua meledakkan mobil tepat di depan. Dengan memutar kemudi keras, mobil sport menerobos masuk ke sebuah gedung di samping.
"Tiga lantai bawah gedung semuanya adalah area parkir. Di mobil sport silver lantai dua, Zhuang*Amir sedang berbicara melalui walkie-talkie: 'Hadang dia, apapun yang terjadi hadang dia! Apa? Kau bilang apa? Keras sedikit, suaramu tidak jelas!' Saat menoleh tiba-tiba, sebuah mobil sport merah melesat melalui jalur spiral tak jauh di depannya menuju lantai tiga."
"Tak perlu menjelaskan, aku sudah melihat! Ubah ke Rencana C, sergap dia!"
Sambil berkata demikian, dia dengan cepat menghidupkan mobil. Sebelum sempat bergerak, ledakan dahsyat menggema di atas kepala. Mobil sport merah itu menerobos pagar sementara parkiran lantai tiga, meluncur langsung ke jembatan layang sisi samping. Percikan api dari bawah tubuh mobil menyambar tepat di atas kepalanya.
Badai salju memenuhi langit!
Mobil sport silver melesat keluar, menerjang ke lantai tiga!
Jembatan layang berbelok tajam di titik ini. Karena waktu yang terbatas, polisi baru sempat mengontrol lalu lintas di beberapa blok sekitar namun belum menghentikan arus kendaraan di sini. Chrysler merah nyaris seperti mengaum saat menyelip ke tikungan, bodi mobil menyapu pagar dalam sambil memuntahkan percikan api. Satu detik kemudian, dengan kendali penuh mobil itu menyusup celah-celah arus lalu lintas di depan, menyusul dan menyalip kendaraan lain. Di belakang, aksi penyusupan tiba-tiba ini memicu tabrakan berantai skala kecil. Beberapa saat kemudian, mobil sport silver lain kembali menerobos area ini, melintasi titik-titik tabrakan beberapa mobil kecil dan meninggalkan kecelakaan berantai dengan skala lebih besar.
“Yahan menoleh ke belakang, tubuhnya menempel erat pada sandaran kursi. Dalam jarak pandang, kecepatan mobil sport terus meningkat, melewati tikungan di kejauhan, semakin jauh terlihat persimpangan jalan yang ramai lalu lintas, jalan utama New York.”
“Tak terhitung mobil terlontar ke belakang.”
“Dengan kebingungan, mulutnya tak tahu harus berkata apa. Pria yang menyetir mobil telah mengeluarkan walkie-talkie dan meletakkannya di depan, menekan sebuah tombol. Dari sana terdengar suara-suara riuh rendah.”
“Siapa sebenarnya? Aku mau jawaban pasti, apakah dia TULIP!?”
“Kami... tidak bisa memastikan. Dia menyamar sebagai Tony. Kudengar teriakan terakhir Yosua adalah namamu, bukan Tony...”
“Selain TULIP, kurasa tak ada yang punya kemampuan seperti ini...”
“Dia menuju persimpangan jalan. Qiao, Will... hadang dia!”
“Meski tak jelas siapa yang berbicara, Yahan mulai memahami bahwa mereka bahkan telah menyiapkan orang di depan. Setelah keriuhan, sistem komunikasi mendadak hening sesaat. Persimpangan jalan semakin dekat, lalu lintas padat merayap. Di kedua sisi jalan, pepohonan, neon, gedung-gedung menyatu menjadi pemandangan malam New York yang paling sibuk. Tentu saja dia tak bisa membedakan siapa musuh potensial. Perlahan, pria di kursi pengemudi mengulurkan tangan, menekan tombol transmit walkie-talkie.”
“Di belakang, termasuk Zhuang, semua walkie-talkie mengalunkan suara yang sama - suara Jian Suyan yang datar, netral, dan sedikit angkuh.”
“Siapa papamu? Zhuang?” Dari komunikator, senyuman datar terdengar, “Ini aku.”
Persimpangan jalan, lampu lalu lintas mulai menghitung mundur, tepat saat cahaya lampu berganti, keempat sisi sekaligus berubah menjadi lampu hijau. Segera setelahnya, terdengar suara tak terhitung klakson, rem, serta tabrakan.
Sebuah mobil sport merah melesat dengan kecepatan tertinggi keluar dari area tengah tabrakan besar, menerjang menuju kejauhan Jembatan Manhattan yang berpendar gemerlap dalam pemandangan malam. Di belakangnya, badai salju yang terangkut angin menari-nari dalam sorotan lampu terlihat sangat mistis...
## Bagian Dua Ratus Lima Puluh Tiga Pelarian
Salju menari-nari, di kedua sisi berdiri gedung-gedung pencakar langit yang berpendar gemerlap. Di jalanan pusat kota New York, sebuah mobil sport merah melesat dengan kecepatan tinggi. Dalam sekejap, telah menyalip dua mobil di depannya. Dengan keras meluncur ke jalur sebelah, hampir bersenggolan dengan sebuah mobil mewah hitam. Seandainya berada di luar mobil, mungkin akan terdengar desing angin sengit saat kedua kendaraan bersilangan. Setelah memutar kemudi, mobil sport yang melaju di atas 150 kilometer per jam itu langsung terlempar di jalanan.
Di depan, sebuah mobil mempercepat laju. Menubruk bodi mobil yang sudah miring ke samping ini dengan keras.
Cahaya lampu yang memaksa itu, dalam sepersekian detik telah mencapai tingkat kecerahan yang menyilaukan mata.
"Aaaaa—"
Tak tahan memanggil, di detik kedua mobil hampir bertabrakan, Yahan dengan keras memalingkan kepala. Dalam sisa cahaya, lampu mobil itu sudah langsung sampai di depan mata.
Swish——
Hanya selisih milimeter, mobil sport meluncur masuk ke jalan kecil di samping secepat kilat. Mobil yang melintas dengan kencang itu langsung menginjak rem, diikuti kekacauan di belakang. Masih gemetar, Yahan menarik napas dalam-dalam sambil menempelkan punggungnya ke jok. Di matanya, ribuan lampu berpacu ke belakang.
Sejak keluar dari jalan yang diblokir tadi, adegan menegangkan yang bikin sesak napas seperti ini bukan lagi pengalaman pertamanya.
Persimpangan jalan dengan empat lampu hijau di awal bisa dibilang sebagai pembuka. Sejak itu, berbagai adegan kejar-kejaran yang biasanya cuma ada di film mulai bermunculan di hadapannya. Tentu seru kalau nonton sebagai penonton, tapi saat jadi tokoh utama di dalamnya, situasinya jadi mengerikan. Batas kecepatan mobil di New York biasanya 55-65 km/jam karena padatnya lalu lintas sehari-hari. Meski salju mengurangi volume kendaraan, jalanan jadi lebih licin. Saat mobil sport melesat 3-4 kali lebih cepat dari batas, yang dirasakan bukan lagi sensasi menegangkan, tapi benar-benar mempertaruhkan nyawa.
Tak terhitung mobil di sekeliling seketika tersingkir jauh, tubuh terus menerus oleng ke kiri dan kanan karena mobil sport melesat dengan kecepatan ekstrim di antara arus kendaraan. Setiap aksi nyalip nyaris seperti pengalaman hidup dan MATI. Karena menurut perasaan, prosedur mengemudi sedikit saja salah, kecepatan sedikit saja kesulitan dikendali, bagian mana pun dari mobil sport ini bisa bertabrakan dengan objek di sekitarnya. Pada kecepatan seperti ini, tabrakan sekecil apapun akan membuat seluruh mobil sport diperkirakan bisa terbang.
Terutama dalam cuaca bersalju seperti ini, kemampuan cengkeram ban sudah sangat menurun. Setiap kali melewati tikungan 90 derajat atau lebih, begitu kemudi diputar, mobil bisa terlempar melintang puluhan meter. Ini adalah drift batas maksimum yang sebelumnya hanya bisa dia lihat di film. Pada setiap tikungan tajam itu, gaya sentrifugal yang dahsyat melemparkan tubuhnya ke satu sisi, memberinya perasaan mobil sport sudah di luar kendali. Namun setiap kali, mobil sport itu selalu berhasil masuk ke jalan berikutnya. Meski sudah berulang kali menyuruh hati untuk tidak takut, setiap kali berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan dalam jarak sedekat itu, wajahnya tetap memucat dan tak bisa menahan teriakan kaget.
Hal seperti ini, tak peduli sudah berapa kali mengalaminya, tak akan pernah terbiasa... Dalam hati berpikir demikian, dia tak bisa menahan diri untuk melihat pria di sebelahnya. Rambut pirang yang menipis, bibir tipis, hidung bengkok seperti paruh elang - wajah yang sama sekali asing dan tidak menarik baginya. Namun dengan prasangka yang ada sebelumnya, mata itu justru memberi kesan sangat tajam dan bisa diandalkan. Dia tidak menatapnya, hanya fokus memandang jalan di depan sambil memegang kemudi. Tangan kanannya seringkali menurunkan gigi dengan kecepatan memusingkan, semuanya seperti prosedur komputer yang telah dirancang, presisi dan tenang. Pemandangan seperti ini cukup menenangkan hatinya.
Walkie-talkie di depan mobil sesekali masih mengeluarkan suara rombongan orang jahat itu.
"Kau tak bisa kabur, Jian Suyan! Ini New York! Bukan Jianghai."
Mungkin karena terpicu hal tertentu, ancaman tanpa kandungan teknologi itu justru pertama kali terdengar dari walkie-talkie. Saat itu mobil sedang melintasi Jembatan Manhattan. Karena agak longgar, pihak kami membalas dengan senyum dingin yang wajar.
"New York? Maksudmu New York adalah wilayahku? Zhuang, Castro baru saja MATI, hadapilah realita!"
"Tak peduli Castro bagaimana, sekarang kau hanya bertarung sendirian! Tak akan ada yang datang menolongmu!"
“Mengerahkan lebih dari setengah kekuatan tempur cabang Amerika untuk memblokirku, hanya membuktikan betapa hebatnya kalian... Lalu siapa yang situasinya lebih baik? Pemerintah Amerika mengawasi kalian, FBI dan Badan Keamanan Nasional mengawasi kalian, Surga Kebijaksanaan membencimu. Membunuh bos kalian, efisiensi Keajaiban Kreasi dari atas ke bawah begitu mengagumkan. Sekarang ada pula []... Ha, bersekutu? Mengapa Pei Luo Jia Jepang membunuh James di Jianghai? Apakah membunuhnya benar-benar bisa memfitnah []? Masih berpikir untuk menjilat pantat Morikami Kura... Kalian semua bodoh!”
“Kalau begitu kita lihat nanti.”
Suara Zhuang menjadi muram saat membahas hal ini. Faktanya, Keajaiban Kreasi berpusat di Amerika. Meskipun saat itu James ke Jianghai memang berseberangan dengan [], taktik pembunuhan ini tetap terkesan kekanak-kanakan. Tujuan Pei Luo Jia Jepang jelas untuk menjebak cabang Amerika ke dalam masalah. Castro, Zhuang dan yang lain sebenarnya paham, namun karena ada niat kerjasama di pihak ini, beberapa taktik kecil sengaja diabaikan dan dimanfaatkan momentumnya. Namun berbeda antara memahami dalam hati dengan diungkapkan secara terbuka. Saat walkie-talkie ini terhubung ke seluruh jaringan komunikasi dan didengar semua pembunuh, moodnya tentu semakin memburuk.
Situasi kedua belah pihak sama-sama tegang, sehingga setiap dialog ini sebenarnya terpisah oleh jeda waktu yang lama. Nada suara Zhuang tenang dan muram, sementara pihak ini terdengar sarkastis dan ironis. Setelah dialog panjang usai, pria itu membuka jendela dan melemparkan walkie-talkie keluar, kemudian memutar kemudi dengan kasar.
Bagian belakang mobil terlempar ke depan!
Sekejap itu, pria itu mencabut pistol dan menarik pelatuk saat bodi mobil miring. Di jalan raya, mobil sport itu berputar seperti gasing selama dua putaran penuh sebelum kembali ke arah semula. Yahan yang pusing tujuh keliling masih menjerit ketakutan saat menoleh ke belakang, menyaksikan sebuah mobil pengejar meledak menjadi bola api raksasa sebelum tertinggal jauh.
Sejak awal hingga sekarang, kejar-kejaran maut ini telah berlangsung lebih dari empat puluh menit di tengah kota New York. Sesekali terlihat mobil polisi melintas dengan sirine meraung, lalu tertinggal. Kendaraan para pembunuh terus memblokir dari segala arah, beberapa bahkan menjulurkan badan dari mobil sambil menembaki dengan senjata otomatis. Bunyi peluru menghantam badan antipeluru bergema dramatis. Pasti ini malam paling kacau dalam sejarah New York... pikirnya dalam hati.
Setelah menerobos masuk ke kawasan Brooklyn via Jembatan Manhattan, mereka menggiring pasukan pengejaran ke Queens. Gedung-gedung megah yang diterangi lampu jalan berkilauan melintas sekejap sebelum lenyap di belakang. Tak lama kemudian, mobil sport itu kembali ke Manhattan. Dalam badai salju yang memenuhi langit, Yahan menoleh dan baru menyadari sesuatu di antara gedung-gedung tinggi yang samar-samar tertutup kristal es.
“Itu itu itu……itu adalah……”
Untuk sesaat terkejut oleh penemuan sendiri, ingin memperingatkan tapi takut mengganggu konsentrasi orang di sampingnya. Setelah mengucap beberapa kata, diam seribu bahasa sambil menempel di sandaran mobil. Setelah beberapa saat, suara terdengar dari samping: “Itu bukan syuting berita.”
“Eh……”
Menoleh ke samping, pria di sebelahnya menarik kemudi dengan keras, mobil sport kembali melesat. Tanpa menoleh, dia berkata: “Ini wilayah mereka, helikopter yang terus mengikuti itu juga milik mereka. Kalau tidak, bagaimana mungkin para penjahat ini bisa menentukan posisi kita dengan mudah?”
“Lalu……kita harus bagaimana?”
Menyadari keberadaannya tak mungkin membantu, dia tetap bertanya dengan hati-hati. Sepanjang perjalanan, kendaraan para pembunuh terus mengejar, sekarang baru tahu ternyata ada helikopter yang berani terbang dalam badai salju ini. Andai lampu merah di jalan tidak terus berubah tanpa alasan jelas, mungkin beberapa kali blokade tak bisa dihindari. Kini, bagaimana mungkin mobil sport bisa lebih cepat dari helikopter……
Beberapa saat kemudian, jawaban singkat datang dari samping: “Kita terus kabur.”
Beberapa menit kemudian, Jembatan Washington.
Membentang di kedua sisi Sungai Hudson, sebagai salah satu jalur utama masuk-keluar New York, Jembatan Washington memiliki aturan tetap: membatasi masuk tapi tidak keluar. Mendekati tengah malam, kerlip lampu oranye-hijau membingkai megahnya jembatan gantung suspensi. Dalam salju malam, mobil-mobil lalu lalang. Namun di sisi jembatan ini, mengejutkan ada belasan mobil polisi berjaga di kedua sisi jalan, sirine meraung-raung, siap siaga.
Mobil sport melesat mendekat, di tempat dengan arus lalu lintas padat, kecepatannya sedikit diperlambat, namun tetap terus menyalip kendaraan. Di belakang, helikopter itu masih mengikuti dengan ketat. Melihat mobil sport mendekat, mobil-mobil polisi mulai bergerak.
200 meter, 100 meter, 50 meter, jarak menyusut dalam sekejap. Yahan menahan napas menunggu konflik antara kedua pihak, namun mobil sport itu justru langsung melintasi ujung jembatan. Saat menoleh ke belakang, belasan unit mobil polisi baru saja berkumpul dengan cepat di bagian tengah, menghalangi Pintu Masuk Jembatan.
mobil sport melaju di atas jembatan, memandang ke kejauhan, dalam tirai salju yang luas dan megah, kedua sisi Sungai Hudson terpampang pemandangan malam New York yang memesona. Meski tidak familiar dengan New York, Tante pernah mengajak jalan-jalan ke sini juga. Meninggalkan Jembatan Washington berarti sudah keluar dari radius efektif pusat kota New York, lewat dari sini adalah wilayah New Jersey.
Di langit, helikopter masih terus mengikuti mobil sport dengan gigih, terbang melintasi sungai lebar di tengah badai salju. Tinggal dia satu-satunya yang tersisa.
## Bagian Dua Ratus Lima Puluh Empat Aku kembali
Mobil sport meninggalkan Jembatan Washington, melaju ke barat dengan kecepatan tetap di atas 180 kilometer per jam, menerobos di antara arus kendaraan. Namun karena kendaraan pengejar sudah tertinggal, sensasinya terasa lebih stabil. Helikopter masih mengikuti di belakang. Tak lama kemudian, mobil sport keluar dari jalan kota dan masuk ke jalan tol. Kerlip lampu mengalir, kepingan salju berputar-putar, penyapu kaca depan bergoyang kiri-kanan. Satu penyapu kaca yang patah kini bergoyang lebih liar. Dibandingkan dengan ketegangan dan kekacauan selama lebih dari satu jam sebelumnya, segalanya tiba-tiba terasa hening.
Sosok di sampingnya masih berpenampilan asing, terasa sangat jauh dari Jiaming yang biasa, unik, sekaligus aneh. Hingga sekarang dia justru merasa bingung, kedua tangan memegang sabuk pengaman, sesekali melirik ke pria itu, ke luar jendela, atau ke depan sambil mengatupkan bibir tak tahu harus berkata apa. AC dalam mobil terasa pengap, mungkin terkena dampak tembakan tadi. Tapi dia sungkan meminta menyalakan AC lebih dingin – ini bukan jalan-jalan. Bunyi penyapu kaca yang patah bersahutan: splash—splash—splash.
Entah berapa lama kemudian, yang pertama berbicara tetap orang di sampingnya: "Kalau sesak, jendela boleh dibuka sedikit."
"Tapi ada helikopter pengejar di belakang..."
"Sedikit saja tak apa. Kemampuan menembak mereka tidak seakurat itu."
"Oh."
Mengangguk, dia membuka kaca mobil sedikit, angin dingin yang menyegarkan langsung menerobos masuk. Saat ini mungkin sudah meninggalkan area kota, rumah-rumah di kedua sisi jalan semakin berkurang. Meski pemandangan yang terlihat masih dipenuhi kerlip lampu, jelas tak semeriah New York. Setelah beberapa percakapan awal, mood aneh Yahan perlahan menjadi tenang: "Penampilanmu sekarang sangat aneh..."
"Nggak ada cara, orang Amerika memang berperilaku seperti ini."
"Kau selalu suya asal bicara."
"Hehe..."
Keduanya tertawa, lalu tanpa sadar memalingkan pandangan. Mengingat kembali persahabatan tanpa sekat dulu, situasi sekarang terasa canggung. Sekejap mata, Yahan tiba-tiba menyalahkan diri sendiri: Andai dulu tak membuka topeng, mungkin sekarang...
"Apa kau ketakutan beberapa hari ini?" Mobil sport dengan mulus menyalip kendaraan di depan, meninggalkannya jauh di belakang. Pria itu berbicara.
"Tentu takut." Yahan merenung, "Sejak Desember, seperti masuk film, sebenarnya apa yang terjadi?"
"Aku juga ketakutan..." Jiaming melirik ke samping, memutar kemudi lalu mendorong kembali sambil mengerutkan alis, "Tinggal tenang di rumah, tiba-tiba diculik dan ada pembunuhan, harus lari ke Amerika mengurus semua ini. Seperti... mimpi lama yang kembali menghantui..."
Untuk nada melankolis Jiaming yang mulai terasa, Yahan tak begitu memahami. Dia menoleh ke belakang: "Helikopter itu masih mengikuti kita, bagaimana dong?" Setelah hembusan angin salju, panas dalam mobil turun drastis. Dia kembali menutup jendela.
"Gugurkan saja."
"Pakai apa?" Yahan tersenyum, "Roket?"
"Haha, barang itu tidak kubawa." Jiaming menggelengkan kepala, "Tak jauh di depan seharusnya ada pos bayar. Kita lewati dulu baru bicara."
"Mobil ini tidak mungkin melewati pos bayar kan?" Meski tahu kemampuan Jiaming luar biasa, bodi mobil sport ini penuh jejak tembakan. Jika bayar melalui saluran normal, pasti akan dicegat. Apalagi masih ada helikopter yang membuntuti. Melihat senyuman Jiaming, hatinya mulai mengerti. Sesaat kemudian, pos bayar besar dengan 16 jalur muncul di depan, terang benderang - rintangan penting masuk-keluar New York. Karena cuaca salju, mobil yang antri berkurang. Pandangan Yahan mencari jalur kosong: "Sana! Sana! Ah...sudah dilewati orang...Mobil-mobil ini jalan semua lambat..."
Hatinya deg-degan. Baru saja menoleh ke helikopter, mobil sport sudah tiba-tiba menambah kecepatan. Menyelinap di depan gerobak, saat menoleh kembali, palang pos bayar yang sedang turun tiba-tiba mendekat.
"Aaaa——"
Byur——
Mobil sport menabrak pagar sementara, menerobos keluar dari gerbang tol. Yahan menoleh ke belakang, melihat beberapa staf bawahannya yang sedang mengamuk berlari keluar. Dulu saat melihat kejadian kabur dari pembayaran tol di TV, dia selalu merasa jijik. Tapi sekarang, hatinya justru merasakan ketegangan tersembunyi, tak bisa menahan tawa lebar. Saat tubuhnya berbalik, telinganya mendengar Jiaming di samping berkata: "Duduk yang kuat."
"Eh, apa..."
"Kita harus menggoyangkan ekor yang mengikuti dari belakang."
"Tapi itu pesawat..."
Sebelum kalimat selesai, Jiaming membuka tutup kotak biru di dashboard, menekan tombol merah di dalamnya.
Nitrogen Monoksida...
Hanya sempat membaca huruf Inggris di sebelah tombol merah, belum sempat mempertimbangkan maknanya, tiba-tiba tekanan dahsyat kembali menyergapnya ke kursi. Seperti akselerasi ekstrem saat mobil sport mulai melaju, kekuatan G tambahan kembali menyambar mobil yang sudah melesat kencang ini.
Di telinga sudah terdengar deru gila turbo yang berputar...
Pandangan menyapu panel meteran: jarum speedometer melonjak drastis dalam hitungan detik - 200, 220, 240, 260... Mobil merah melesat bagai roket, sekejap sudah menembus 300 kilometer per jam, terus naik. Dengan susah payah menoleh, serpihan salju di belakang mobil menari-nari bagai angin puyuh. Helikopter yang samar-samar di udara, dalam sekejap mata sudah terlempar jauh.
Segalanya tertinggal, bahkan seluruh ruang seolah tiba-tiba ditarik ke belakang...
Dengan kecepatan yang hampir gila, mobil sport merah menerobos keluar dari jalan tol. Itu adalah jalan kecil yang tak jelas tujuannya, melaju dengan kecepatan demikian. Tak lama kemudian, tiga cabang jalan muncul di depan. Mobil itu membelok ke kiri. Kecepatan sudah turun menjadi 180 kilometer, melesat sambil sesekali disalip mobil dari arah berlawanan yang lenyap dalam sekejap.
Beberapa menit kemudian, pemandangan di kedua sisi jalan semakin sepi. Dari kejauhan terlihat rumah-rumah peternakan dengan lampu masih menyala. Musim dingin telah tiba, tanaman di luar sudah dipanen. Di beberapa area, rumput rendah tertutup salju yang terlihat samar-samar, menciptakan kesan muram. Meski tahu Amerika relatif lebih sepi dibanding Tiongkok, tapi baru kurang dari satu jam meninggalkan New York sudah menemui tempat terpencil begini, sungguh terasa di luar nalar. Yahan menatap ke luar jendela: "Ini dimana ya?"
"Amerika, suatu tempat di New Jersey. Nama pastinya aku juga tak tahu." Menggerutkan alis sambil beberapa kali mengganti persneling, meski kecepatan sudah dikurangi, suara mesin puff-puff masih terdengar samar dari dalam mobil. Jiaming bergumam: "Mobil ini sudah hampir kolaps..."
"Akan rusak?"
"Mengemudilah pelan-pelan saja. Akselerasi nitro terlalu membebani mesin, ditambah sudah dihajar sepanjang malam dengan peluru dan bom. Bisa bertahan sampai sini saja sudah ajaib." Jiaming tersenyum. Ekspresi wajah orang Amerika itu justru terlihat janggal karena senyum aslinya, "Ini kan bukan Mark 5."
“Bagaimanapun sulit menerima bahwa kecepatan sekarang masih disebut menyetir pelan, tapi dibandingkan sebelumnya, kecepatan saat ini benar-benar jauh berkurang.” Yahan ragu-ragu sejenak, “Apa Tante dan mereka akan baik-baik saja?”
“Seharusnya lebih aman dari kita. Orang bernama Mantou itu cukup bisa diandalkan, apalagi ada kawan mereka di sekitar. Polisi juga sudah datang... Kau bawa telepon?”
“Tidak bawa.” Yahan membuka kedua tangan kosongnya, lalu tersenyum mengangkat kepala, “Selain diriku sendiri, tidak ada yang kubawa.”
“Cukup. Perangkat komunikasiku... Hmm, sudah hancur. Nanti kita cari tempat untuk menghubungi mereka. Mungkin ada kota kecil atau toko...”
Yahan mengangguk: “Lalu setelah itu?”
“Penerbangan hari ini harus dibatalkan, jangan sampai mereka bertindak gegabah... Lakukan repatriasi rahasia. Oh ya, kondisi kesehatanmu...”
“Dokter bilang perlu observasi 2 hari lagi. Tapi sepertinya mereka juga tidak yakin... Dan setelah kejadian ini, rumah sakit itu sudah hancur reputasinya... Kau akan ikut pulang dengan kami?”
Menatap pandangan Yahan, Jiaming tersenyum kecut: “Eh, aku masih ada urusan...”
“Eh...”
“Tapi seharusnya sederhana, mungkin bisa pulang bersama. Tapi ingat... karena berbagai alasan, kau tahu, aku tidak boleh terlihat oleh Tante-mu.”
“Pengecut...” Yahan melotot padanya, lalu menunduk tersenyum, “Kau pernah ke Amerika sebelumnya ya?”
“Dulu... Jalan tengah di persimpangan tadi pernah kukunjungi. Yang ini belum, aku tidak tahu jalannya kemana.”
“Lalu kenapa kau ke sini?”
"Kesulitan mengendali." Jiaming tertawa, "Kau kira aku ini Tuhan? Mobil yang ditambahkan nitrogen oksida ini seperti roket, nabrak sedikit saja MATI sudah sangat yakin. Kondisi jalan di sana buruk, sebiji kerikil bisa bikin mobil ini terbang. Aku terpaksa berlari maju ke arah ini."
"Kulihat kau sama sekali tidak takut."
"Coba melupakan saja." Jawabnya sambil melihat Yahan yang mulai memandangi dengan renung, "Dulu pernah kuberi tahu kan, aku ini pembunuh."
"Tak pernah sejauh ini." Perempuan itu menatapnya lekat, "Dulu hanya kau anak yang sangat hebat, sekarang... entah bagaimana mengatakannya. Kau jadi... sangat aneh..."
"Aku..." Saat Jiaming hendak menjawab, mesin mengeluarkan suara 'puff-puff'. Mobil sport itu akhirnya mogok total di pinggir jalan. Jiaming mencoba starter lagi, menginjak pedal beberapa kali, lalu menoleh ke Yahan: "Rusak..."
Salju bertebangan di pinggir jalan terpencil New Jersey. Sebuah mobil sport merah penuh bekas peluru berdiam dengan lampu oranye dari kabin. Seorang pria Amerika yang jorok membungkuk di depan kap mesin terbuka. Di sampingnya, wanita Tiongkok cantik berputar-putar sambil meniupkan hawa hangat ke telapak tangan, sesekali menendang tumpukan salju dengan bosan.
"Mobilnya masih bisa diperbaiki?" Suara nyaring wanita itu memecah kesunyian.
"Sepertinya sulit, tapi harus dicoba." Pria itu menjawab tanpa menoleh.
"Kau benar-benar bisa memperbaiki mobil?"
"Paham sedikit."
“Aku kira waktu itu di depan Xu Mo kau benar-benar cuma asal-asalan memperbaikinya mobil tuaku……Masih berapa banyak hal tentangmu yang tidak kuketahui?”
“Sebenarnya aku adalah orang dari masa depan.”
“Berlebihan!” Wanita itu mengangkat mata, mengangguk, “Teruslah berlebihan!”
“Yaudah, bicara jujur malah tidak dipercaya.” Pria itu menghembuskan serpihan salju di bagian internal dengan susah payah, memukul dua kali dengan palunya, kemudian menoleh ke belakang, “Kalau kedinginan, masuk saja ke mobil, jangan ngacau di sini.”
“Tidak mau pulang.” Wanita itu menghembuskan napas hangat ke tangannya beberapa kali. Pria itu melanjutkan memperbaiki mobil sementara dia mondar-mandir beberapa putaran. Entah teringat apa, tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak di pinggir jalan sampai tertunduk-terangguk. Pria itu berdiri tegak memandangi wanita yang tertawa seperti idiot: “Kepalamu kena hantam toilet ya?”
“Haha, tidak boleh tertawa? Barusan kau...haha...masih ingat? Kau bilang...” Tangannya yang satu menutupi perut, satunya menunjuk ke arah pria sambil tertawa membungkukkan badan, “Kau bilang...aku rusak, haha...kau yang rusak...kau yang rusak, haha...”
Pria itu menatapnya tanpa ekspresi cukup lama sebelum kembali fokus memperbaiki mobil. Wanita itu akhirnya berhenti tertawa dengan susah payah: “Hei, tidak bisakah kau mengembalikan penampilanmu? Aku jadi risih melihatmu seperti ini...”
“Kira ini sulap? Semudah itu. Di sini bahkan tidak ada air.”
“Radiator ada air panas, tanahnya basah air dingin...”
“Idiot...”
“Gu Jiaming, kau...Aaaaa——”
Belum selesai bicara, dia melihat mereka tiba-tiba menerjang. Saat itu, sempat dikira mereka sedang marah. Tubuh mereka bertiga terhempas keras di semak bersalju pinggir jalan. Kemudian, dia melihat tatapan penuh keseriusan di mata mereka, jari menunjuk ke hamparan rumput salju yang renggang dan merosot di depan: "Cepat, merangkak dan sembunyikan dirimu di mana saja. Jangan dekat-dekat mobil ini."
Di balik badai salju tak jauh, siluet hitam membawa pilar cahaya samar muncul di langit malam.
Helikopter itu... ternyata menemukan jalan ini, menyusuri jalanan mendekat...
Tanpa ragu-ragu, dia merangkak menjauh. Saat menoleh, Jiaming mengeluarkan sebuah tas dari mobil sport lalu menutup pintu mobil perlahan.
Tak lama, helikopter mendekat. Sorotan lampu dari pesawat menyinari mobil sport yang mogok itu.
Dia berbaring di belakang tumpukan jerami sekitar 20 meter dari jalan, berusaha membiarkan salju menutupi tubuhnya yang menggigil kedinginan. Bayangan Jiaming sudah tak terlihat. Di langit, helikopter melayang di samping mobil sport. Sejenak, pintu pesawat seperti terbuka.
Dentuman senjata nyaring menggema dalam badai salju!
Setelah itu, pilar cahaya kuning oranye menyambar miring dari udara. Karena orang di dalam pesawat tertembak, roket yang ditembakkan kehilangan akurasi dan Braak meledak di salju di samping jalan. Pesawat segera naik ke ketinggian, senapan mesin putar di satu sisi pesawat maraung marah, menyapu area tertentu di hamparan salju sehingga debu dan salju beterbangan. Di atas salju, sebuah bayangan tiba-tiba melompat keluar, menoleh dan menembak lagi sebelum berlari kencang ke arah hutan gelap di kejauhan.
Helikopter segera mengejar.
Berbaring di tumpukan salju, menunggu dengan dingin. Perlahan, pesawat menjauh, dentuman senjata juga menghilang. Lima menit... sepuluh menit... Segalanya di antara langit dan bumi dikembalikan ke sunyi senyap. Dia masih terbaring di sana, tiba-tiba kehilangan arah pikiran, hanya merasakan salju yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Ketakutan perlahan merambat. Memandang hutan tempat pesawat dan manusia menghilang, sesekali bergerak sedikit, tangan tergenggam kencang.
Saat belum bertemu, ada sedikit kekecewaan di hati. Setelah bertemu, Segalanya menjadi santai dan tanpa beban. Baru saja melihatnya memperbaiki mobil di sana, pengalaman hampir MATI berkali-kali sejam lalu, semua masa lalu—tiba-tiba tak lagi penting. Namun dalam sekejap, dia tiba-tiba menghilang lagi.
“Dia tahu dia sangat hebat, tapi sejauh apa 'kehebatan' ini bisa mencapai, bagaimana mungkin kekuatan seorang manusia melawan sebuah pesawat, dia tidak tahu... Tidak pernah tahu, ternyata menunggu seseorang, bisa sepian dan takut sampai sejauh ini...”
Antara langit dan bumi tertutup salju putih. Di tepi jalan tak jauh, lampu kuning oranye yang terlihat hangat dari mobil sport masih menyala sendirian. Dia menatap lampu itu, tapi tak berani mendekat, jika helikopter itu kembali, pasti akan menyelidiki mobil sport ini. Tapi bersembunyi di sini juga tidak ada artinya, jika mereka kembali, meski bersembunyi di sini, pasti akan ditemukan... Tapi dia juga takut pergi, kalau-kalau dia kembali...
Tanpa jam di tangan, rasa takut di hatinya merentangkan setiap detik. Dalam tumpukan salju, tangan dan kaki perlahan mati rasa. Tiba-tiba, tanpa disadari, dia menoleh ke belakang, sebuah bayangan berhenti di sampingnya.
“Sudah lama menunggu?” Dalam badai salju, dia mendengar suara itu berkata, “Aku kembali...”
## Bagian Ratus Lima Puluh Lima Meraih dan Kehilangan Cinta
Di tengah badai salju, jalanan sepi, dari badan mobil memancar cahaya kuning oranye, menjadi satu-satunya titik terang di malam kelam ini.
“Menurutku kita harus mencari tempat yang ada AC...”
“Aku tidak mau jalan lagi, kaki lemas.”
“Kalau tidak ada AC, akan semakin dingin.”
“Di luar lebih dingin, jadi aku pantang keluar!”
“……”
Di dalam mobil sport, seorang pria dan wanita sedang duduk berdampingan dengan bosan. Jiaming telah melepas kamuflase di wajahnya, sambil terus memantau apakah ada kendaraan yang lewat. Yahan melepas sepatunya, kedua paha berselimut kaos kaki wol tertekuk di kursi. Bagian tubuhnya yang membeku masih terasa kaku, sambil mengusap-usap perlahan, dia menatap wajah biasa sang pemuda yang sudah lama tak terlihat, tersenyum memuji:
"Akhirnya kelihatan enak dipandang lagi, teman sekelas Jiaming."
"Aku juga merasa penampilan ini lebih keren... Tapi jelas nggak bisa ngalahin kerennya mobil ini..."
"Menurutku mobil ini bagus lho." Tertawa sambil bersandar di jok yang sudah direbahkan semaksimal mungkin, "Aku ngantuk banget, mau tidur. Jangan kamu padamin lampu..."
"Daya baterai hampir habis. Nanti pasti mati sendiri. Menurutku kita bisa tumpang mobil... Orang Amerika kan ramah dan suka menerima tamu."
"Makanya mereka kejar kita dari New York sampe sini pake pesawat dan meriam?"
"Heh, udah deh jangan ngaco."
"Nggak ada mobil lewat!"
"Kita bisa jalan kaki. Di depan pasti ada tempat buat istirahat." Jiaming menatapnya, "Aku gendong kamu."
"Nggak mau. Kamu lebih pendek dari aku..."
"..." Jiaming menyeringai, menunjukkan senyum kekecewaan, "Aku tahu tubuhku sedikit lebih pendek dari orang lain. Tapi setidaknya masih lebih tinggi dikit dari kamu lah."
"Dari awal kenal, kamu selalu lebih pendek." Yahan berbaring menatap langit-langit mobil sport, "Kapan tumbuh tingginya sih?"
“……”
“Aku selalu menganggapmu sebagai anak kecil, tapi entah sejak kapan, kau sudah tidak lagi… Sebenarnya sudah sejak lama sekali bukan…” Dia berbaring di sana dengan tatapan kebingungan, suaranya lembut bagai mimpi, “Kita tetap Teman kan… Gu Jiaming…”
Di sampingnya, Jiaming tersenyum: “Tentu… Selalu Teman terbaik.”
……
“…Saat aku masih sangat kecil, ayah selalu sibuk bekerja, jarang pulang. Di villa besar itu, hanya ibu yang menemaniku. Sekarang selain melihat foto, wajahnya sudah tidak jelas kuingat.” Suara Yahan yang berbaring itu terdengar lembut, “Saat ibu MATI, usiaku sekitar 8 tahun… Ayah dan ibu sebenarnya menikah karena pernikahan strategis, tanpa perasaan. Tapi dalam hatiku tetap menyalahkan ayah yang tak pernah menemani ibu dengan baik. Setelah pemakaman, ayah pulang lebih sering, tapi dibandingkan keluarga normal tetap jarang. Sejak itu, aku mulai sering sendawa…”
“Entah penyakit apa, dari usia 8 tahun terus sendawa bertahun-tahun. Kau tahu? Seperti flu, setiap belasan detik sendawa sekali. Aku sudah punya sindrom nefrotik, keluarga terus mencari dokter ke sana kemari. Oh ya, nanti bisa kutunjukkan rekaman video waktu itu: seorang gadis kecil berbaju putri duduk dengan mulut menganga, tiap beberapa saat sendawa sekali, terlihat bodoh…”
Mengenang rekaman video di kamera, dia berbaring di sana, meniru ekspresi membeku saat sendawa. Perempuan yang telah dewasa itu terlihat matang dan anggun, wujudnya membawa daya tarik unik yang mengundang perhatian.
"Tentu saja, tidak setiap saat mengalami sendawa. Saat tidur agak membaik, kalau bersabar bisa tahan beberapa menit. Tapi orang yang belum mengalaminya pasti tak bisa membayangkan mengerikannya perasaan itu. Tiba-tiba ada yang 'dentang' di perut, terus berulang. Lama-lama benar-benar sakit. Tapi mungkin karena sering berolahraga, sekarang perutku jadi sangat kokoh. Setiap lihat diri sendiri di cermin selalu merasa cantik, haha..." Dia tersenyum, menoleh ke Jiaming. "Mau lihat?"
"E..." Mereka bertatapan sejenak. Jiaming mengangkat bahu. "E... kau lanjutkan saja..."
"Hmph." Yahan dengan bangga mengerutkan hidung, berbaring lebih nyaman. "Masalah hati... Setelah diperiksa dokter, katanya penyakit mental. Sebenarnya ya gangguan jiwa, tidak bisa disembuhkan. Kuncinya ada di hati. Diduga karena papanya jarang pulang setelah ibu meninggal yang bermasalah. Setelahnya papanya lebih sering pulang, tapi tetap tidak membaik. Saat itu perasaanku terhadap ayah sangat asing... Setahun kemudian, papanya menikahi Tante."
“Gelap, kurus, ekspresi sangat serius, itulah kesan pertama saat melihat Tante. Ibu tiri dalam buku dongeng selalu orang jahat, waktu itu Tante seperti Janda Hitam, aku pernah menangis ketakutan beberapa kali karenanya... Sebenarnya ayah dan Tante juga tidak punya perasaan khusus, hubungan mereka seperti teman biasa, sama sekali bukan pasangan kekasih. Sejak saat itu, Tante yang setiap hari merawatku, lalu bolak-balik mencari dokter ke berbagai tempat - Beijing, Changsha, bahkan sampai Eropa. Aku tidak bicara padanya, dia juga tidak banyak bicara padaku. Dia hanya selalu menemani di sampingku. Lebih dari setahun kemudian, suatu pagi saat bangun tidur setengah sadar, menggosok gigi dan cuci muka, minum susu... tiba-tiba aku sadar: rupanya aku sudah tidak sendawa lagi...”
“Kata dokter... hatiku kekurangan rasa memiliki, mudah sekali melekat pada sesuatu dan sulit melepaskannya. Selama di Cambridge, setiap hari menulis diari panjang, bertahan selama tiga tahun tak peduli hujan atau angin. Kadang saat semua orang jalan-jalan, di malam hari aku harus pulang untuk menulis diari, hasilnya semua memanggilku Gadis Diari, haha...” Dia tertawa riang, kemudian gerbong menjadi sunyi. Di keheningan itu, keduanya seolah bisa mendengar suara napas masing-masing.
Entah berapa lama, Jiaming seperti tersadar, “Hmm,” Yahan memalingkan muka, menggigit bibir: “Bagaimana denganmu, Jiaming?”
“Eh? Apa?”
“Kau bilang ada yang mau kau jelaskan padaku.”
Setelah kalimat itu, mobil kembali sunyi.
……
Lama kemudian, Jiaming membuka suara: “Aku tidak tahu harus berkata apa.”
Di sisi lain, Yahan memandangnya dengan tenang.
"Aku sudah memikirkannya selama setengah tahun, lalu terus memikirkan selama setengah bulan ini. Sejak berusia sepuluh tahun, ada tiga teman di dunia ini: Lingjing, Shasha, dan kau. Tapi... tapi..."
Dia ragu-ragu sejenak. Lampu dalam mobil berkedip beberapa kali sebelum listrik akhirnya habis. Kemudian, mereka terbenam dalam kegelapan pekat. Setelah lama sekali, akhirnya dia menggigit gigi dan berkata: "Tapi... aku tak tahu harus berkata apa... Bagaimanapun, ada hal yang salah dariku, ada yang tidak. Bahkan jika kejadiannya terulang, aku tetap akan seperti ini. Aku tak bisa menjelaskan... Maaf... Hal-hal ini benar-benar sulit..."
Dalam kegelapan yang lama, tiba-tiba terdengar suara tawa ringan Yahan yang lega: "Itu sudah cukup, Jiaming... Jika kau banyak berdalih, aku akan marah."
"Hah?"
"Inilah kamu yang kukenal. Tak peduli pendapat siapa pun, selalu melakukan yang kamu anggap benar. Kau bahkan bisa datang ke Amerika untuk membunuh begitu banyak orang, tapi tak pernah membela diri... Aku paling benci orang yang hanya ingin membenarkan diri. Karena sebenarnya, akulah yang salah dalam hal ini. Karena..."
"Hmm, bisakah ini kanggap sebagai pujian?"
Dalam kegelapan, tawa Yahan sekejap menghilang. Sejenak kemudian, suaranya lembut dan pelan: "Karena... Jiaming, aku cemburu, aku cemburu pada Lingjing dan Shasha. Meskipun mereka juga teman baikku, tapi rasa cemburu ini begitu menyiksa. Kadang saat teringat, kecemburuan ini membuatku tak bisa makan, sulit bernapas, hanya bisa menangis... Selama lebih dari setengah tahun ini, sebenarnya akulah yang selalu cari gara-gara, tapi kau terus mengalahkanku..."
Dia menarik napas, suaranya mulai cerah: "Beberapa hari ini aku merenungkan keadaanku, tiba-tiba sadar: wanita memang tak boleh dimanjakan. Seperti dulu, kau selalu bilang aku kekanak-kanakan, terus menggangguku, tak pernah memberi kelonggaran. Alhasil aku tak berani berkata apa-apa, hanya bisa terus kau ganggu..."
"Kapan aku begitu?" Jiaming memprotes.
"Pernah! Siapa yang selalu melemparku ke lantai kantor? Siapa yang merebut sofaku? Siapa yang selalu memanggilku idiot? Malam Natal tahun lalu, saat aku mencoba bicara baik-baik, kau malah menyelimutiku dan memukuliku. Selalu menendang pantatku, mengambil untung, bahkan memaksaku memanggilmu Kakak Jiaming..."
"Hei, yang itu aku ingat. Kamu yang mulai memukul duluan, lagipula panggilan 'kakak' itu kamu yang memilih sendiri."
“Bukan kau yang memukulku, mana mungkin aku berteriak……” Yahan dengan marah berhenti sejenak, kemudian mengumpulkan perasaan, “Pokoknya, saat kau sangat jahat aku takut padamu. Ketika kau merasa bersalah dan meminta maaf, aku merasa diriku benar. Andai saat itu kau memarahiku, mungkin aku akan ketakutan, dan tidak akan ada kejadian setengah tahun ini…… Sebenarnya semua ini salahmu……”
Penyelesaian seperti ini jelas hanya candaan yang dipaksakan. Saat itu Yahan masih belum melepaskan simpul masalahnya. Kecuali menangkapnya dan menjadikannya budak seks, pasti akan terjadi konflik tanpa komunikasi selama setengah tahun lebih ini. Jiaming menyeringai, lalu mengangguk: “Sepertinya aku harus lebih sering memukulmu ke depan, itu keahlianku……”
“Berani kau! Mulai sekarang kau harus lebih baik padaku. Sebagai imbalan karena aku memaafkanmu, kau harus…… Hmm……” Dia berpikir sejenak, “Harus setara dengan perlakuanmu pada Lingjing dan gesekan barulah boleh.”
“Lalu hubungan kita sekarang ini apa?”
“Guru dan mahasiswa.”
“Bukan teman terbaik?”
“Teman seperti apa yang kau inginkan dariku?” Tanpa disadari, kepala Yahan perlahan menghampiri, bersandar di bahu Jiaming. Pertanyaan menggoda itu terlontar. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum, “Hmm, ngantuk sekali. Jangan ganggu aku, aku mau tidur…… Pinjam bahumu sebentar tidak apa?”
“Biarin saja.” Jiaming menatap kegelapan di luar kaca mobil, jalanan sepi dari kendaraan. “Tapi nanti malam pasti sangat kedinginan. Kau yakin mau tidur di mobil?”
Tidak menjawab pertanyaan bermasalah yang terlalu praktis darinya, Yahan hanya merebahkan tubuhnya ke posisi yang lebih nyaman. Setelah waktu yang lama, suara yang terdengar tenang namun samar menyimpan kesedihan baru terdengar di dalam gerbong.
“Aku putus cinta… Jiaming…”
## Bagian Dua Ratus Lima Puluh Enam Hubungan Pertemanan
Tanpa pemanas, tanpa lampu, di luar jendela salju berjatuhan, dia duduk diam dalam kegelapan itu, jarinya mengetuk pelan bantalan kursi di sampingnya. Gerakan kecil terjadi di sebelah, tubuh lembut Yahan kembali menghampiri.
Ketukan di tangannya berhenti. Yahan telah memeluk tangan kanannya seperti bantal, tubuhnya juga bawah sadar terus berdesakan ke arah ini. Bagi Jiaming, cuaca seperti ini bukan masalah, tapi berbeda bagi Yahan. Baru sembuh dari penyakit, setelah lama bersembunyi dalam salju yang membuat tangan-kakinya membeku, meski sempat menghangat setelah naik mobil, seiring waktu suhu dalam mobil terus turun. Dia yang tertidur pun merasa kedinginan, secara alami mendekat ke Jiaming.
Bagi dua orang yang sebelumnya berakrab-akrab, kontak fisik seperti ini sebenarnya bukan masalah besar. Saat bercanda, tak ada yang menganggap serua sentuhan-sentuhan ini. Ini mungkin terkait perbedaan usia dan persepsi mereka sebelumnya. Namun setelah beberapa hal terungkap, Jiaming kini merasa sedikit canggung. Tentu saja, itu hanya masalah kecil. Lampu gerobak menyala dari belakang, melintas cepat di samping mobil sport yang mogok. Sopir jelas melirik ke arah sini, tapi tak bermaksud berhenti. Cahaya itu menghilang ditelan badai salju.
“Hmm……”
Di dalam gerbong yang kembali gelap, Yahan mengerang pelan. Tubuhnya meringkuk lebih kencang karena kedinginan. Kedua betis jenjangnya yang sudah melepas sepatu tertekuk di kursi, kaki berbungkus kaos kaki bulu menggosok-gosokkan diri. Mencari sudut hangat untuk dimasuki, tapi meski sudah beberapa kali merentangkan kaki, tak kunjung menemukan tempat nyaman. Akhirnya meringkuk lagi.
Melihat kegelisahannya yang terus bergerak, Jiaming menghela napas kecewa. Perlahan melepaskan genggaman Yahan, lalu melepas jaket luar dan membungkuskannya di betisnya. Kaki sudah terbungkus, tapi bantal hangat yang tadinya dipeluknya sudah menghilang. Yahan yang setengah sadar kembali memeluk, bergumam dalam mimpi.
“Hmm... Dingin... Jiaming, jangan bergerak...”
“Dengan diikat tidak akan kedinginan…” ucapnya dengan suara rendah, dia menarik kedua lengan jaket luar, mengikat simpul untuk memastikan wanita itu tidak bisa melepaskannya. Dari telinganya terdengar gumaman Yahan yang terputus-putus: “Dingin… Jiaming…”
“Jangan… lepas baju… aku kedinginan…”
Jiaming yang sedang merapikan pakaiannya tiba-tiba tertegun, lalu menepuk punggungnya dengan ekspresi antara ingin tertawa dan menangis. Dalam kegelapan, Yahan sepertiku membuka mata setengah sadar. Di balik kegelapan, sebuah tangan mengelus lembut tulang punggungnya: “Shhh, tidurlah…” Meraba-raba, dia memeluk tubuh hangat di sampingnya lalu tertidur lagi dengan wajah puas.
“Tidurlah…”
Setelah lama, suara Jiaming kembali terdengar perlahan. Tangan kanannya menempel di punggungnya seolah merangkul seluruh tubuh wanita itu. Sesaat kemudian, dia tersenyum dan menutup mata dalam tidur pulas.
……
Saat terbangun, langit sudah mulai terang kelabu. Rintikan salju masih berlanjut ketika suara deru mobil yang melintas membuatnya membuka mata. Semalam, tak ada satu pun mobil yang berhenti di sini – tampaknya bentuk mobil sport yang rusak ini cukup menakutkan.
Perlahan melepaskan pelukan Yahan, menyangga tubuh lemasnya lalu membaringkannya di kursi sebelah. Udara dalam mobil masih menggigit. Dia melepas satu lagi sweater dan menyelimutkannya.
Membuka pintu dan keluar, meregangkan badan di tengah badai salju yang dingin. Di jalan sudah terdapat salju yang menumpuk, memperlihatkan beberapa jejak roda kendaraan. Dengan pakaian tipis, dia berputar-putar mengelilingi mobil sport yang menyedihkan itu, lalu melakukan latihan ringan di pinggir jalan. Tak lama kemudian, suara "Byur" terdengar dari dalam mobil, diikuti situasi kekacauan di dalam gerbong mobil. Ketika mendekat, Yahan terlihat berguling-guling dengan kikuk di dalam mobil. Setelah memahami situasi, barulah dia melirik Jiaming yang muncul di luar jendela dengan perpaduan kemarahan dan haru, melepaskan jaket luar yang membungkus betisnya, lalu buru-buru memakai sepatu dan merangkak keluar dari mobil.
"Kau ingin MATI ya! Kabur cuma pakai satu baju!" Dengan marah dia menyodorkan sweater ke tangan Jiaming. Karena gerakannya terlalu kasar, sepatu olahraga yang belum dipasang haknya terlepas sebelah dan melayang jauh di jalan, membuatnya melompat-lompat beberapa kali. Setelah Jiaming memakai sweaternya, dia segera mengenakan jaket luar, baru kemudian melompat-lompat untuk mengambil sepatunya.
Byur! Seluruh tubuhnya terjatuh ke tumpukan salju di pinggir jalan.
"Hehe..." Tawa tak terbendung bergema di hamparan salju. Yahan bangkit dengan geram, memasang sepatu dengan kasar, melirik putih ke Jiaming. Tapi kemudian dia tak bisa menahan diri untuk tidak memalingkan muka sambil tertawa.
"Maksudmu apa ini? Kalau bukan karena kau, aku tidak akan terjatuh! Jika kau masih tertawa, aku benar-benar akan mengusirmu!"
Dengan wajah yang garang mengucapkan kata-kata ancaman, namun senyum di wajahnya sama sekali tidak terlihat kejam. Jiaming menggelengkan tangan: "Tidak, aku hanya berpikir si cantik memang benar-benar cantik, jatuh pun terlihat anggun, hehe... Eh, jangan sembarangan menendang, aku tidak tertawa lagi, tidak tertawa lagi, kau awas jangan sampai terpeleset lagi..."
Langit masih kelabu saat ini, entah matahari sudah terbit atau belum. Setelah mengejar-ngejar mobil sport sebentar, Yahan merapikan poni rambutnya yang berantakan di dekat telinga. Saat ini dia mengenakan setelan olahraga hangat berwarna hitam dengan sepatu olahraga wanita putih sederhana, rambutnya diikat ekor kuda simpel. Karena kekacauan semalam dan harus tidur seadanya di dalam mobil, bajunya sudah mulai kusut. Meski demikian, sosok wanita dengan tinggi badan melebihi 1,65 meter ini tetap memancarkan pesona unik - terlihat sehat, mandiri, anggun. Wajahnya yang klasik penuh keindahan Timur meski tanpa riasan, memancarkan vitalitas dan keceriaan yang belum terlihat selama setengah tahun terakhir.
"Wah, mobil kok bisa jadi seperti ini, sungguh menyedihkan..."
“Semalam aku tidak sempat memperhatikan hal lain, sekarang di bawah cahaya langit yang redup melihat mobil sport itu, baru bisa melihat jelas luka-luka yang bertumpuk di atasnya. Meski sistem anti peluru menjamin orang di dalamnya tidak terluka, tapi seluruh bodi mobil penuh bekas peluru belang-belang, penuh lubang, banyak peluru masih menancap di bodi. Lampu depan-belakang, plat nomor, spoiler belakang sekarang sudah hancur atau patah, sangat memilukan. Sambil berdecak kagum atas keajaiban mobil sport ini bisa bertahan sampai sini baru hancur, Yahan menoleh: "Lalu sekarang kita harus bagaimana?"
“Tentu tidak diam di sini. Malam tadi belum banyak yang memperhatikan, siang hari orang melihat mobil seperti ini pasti lapor polisi." Jiaming tersenyum, "Cari tempat sarapan saja."
“Di mana ada?"
“Ada dua arah, pilih salah satu. Asalkan sudah pergi dari mobil ini, kita bilang turis Tiongkok, pasti ketemu orang lokal yang mau jemput kita."
……
“Kalau begitu, Pei Luo Jia itu geng kriminal terkuat di dunia?"
“Lebih tepatnya organisasi pembunuh bayaran."
“Ribet juga, apalagi asal Jepang..."
Pagi-pagi buta, berjalan di tepi jalan yang tertutup salju, di kedua sisi hamparan salju membentang, di kejauhan depan ada hutan kecil yang jarang. Keduanya berjalan santai sambil membahas topik yang tidak biasa. Baru setelah penjelasan singkat Jiaming, Yahan paham makna sebenarnya musuh yang dihadapi Jiaming, dan alasan kenapa sampai mencarinya ke sini.
“Awalnya hanya bertanya sekadar, di hati tidak mengharapkan Jiaming akan jujur menceritakan semua hal ini padanya. Dia juga anak dari keluarga besar, paham pria sering menyimpan rahasia. Karena sekarang menyukai Jiaming, meski Jiaming menahan informasi, dia akan tetap menerima sebagai bentuk tanggung jawab. Karenanya, ketika remaja setinggi dirinya itu mulai bercerita tentang Dunia Kegelapan, setelah terkejut, dia pun memandang penuh keraguan.”
“Emm, hal-hal ini... Bagaimana bisa kau begitu jujur memberitahuku...”
Keraguannya justru dibalas senyum polos Jiaming yang menoleh: “Karena kau ingin tahu. Ini bukan urusan besar, tak masalah juga kalau kau tahu.”
“Apakah Lingjing dan Shasha juga tahu?”
“Hmm...” Gelengan kepala, “Mereka tidak jelas detailnya. Tapi untuk ke Amerika kali ini, kuberi tahu ini terkait insiden di kampus dulu, ada yang mau menyerangmu. Lingjing langsung menyuruhku segera berangkat. Shasha menyuruhku Bunuh habis semua bajingan itu. Mana bisa menunda pengobatanmu, hehe...”
Mendengar perhatian Lingjing-Shasha padanya, Yahan tersipu malu lalu tersenyum bahagia: “Berarti akulah satu-satunya yang tahu identitasmu?”
“Mereka tidak bertanya jadi tak kuceritakan. Tapi Kaoru juga tahu.”
“Maksudku di antara Lingjing, Shasha, dan ketiga orang itu.” Terhadap dua gadis yang sekaligus adalah teman dan rival asmara ini, dia tidak punya banyak kekecewaan. Bahkan sekarang dia merasa lebih dekat dengan mereka. Hanya saja, ada hal yang tidak diketahui Lingjing dan Shasha, sementara dia mengetahuinya. Perasaan memiliki rahasia sendiri membuatnya sangat puas. Menendang bola salju di tanah, dia tersenyum: “Kalau begitu, ternyata Kaoru adalah muridmu, pantas saja di sekolah dia hanya bicara denganmu dan hanya menurutimu... Aku kira itu karena hubungannya baik dengan Lingjing...”
Sambil berbicara, dia melirik Jiaming: “Tapi kau benar-benar kejam, tahu? Si cantik gunung es itu, berapa banyak anak laki-laki di sekolah yang ingin mendekatinya, tapi dia cuek. Hanya padamu dia menurut. Waktu itu hanya karena klub bela diri membicarakan keburukanmu, dia langsung menghajar puluhan orang sendirian sampai terluka. Eh, kau malah tidak menghiburnya, menyuruh cewek yang sudah luka itu lari maraton di lapangan, sampai kehujanan... Tidak punya perasaan...”
Mengabaikan sindiran simbolis dalam senyuman Yahan, Jiaming menggelengkan kepala: “Tapi karakter seperti itu tidak baik. Marah karena hal sepele, terang-terangan cari keributan kelompok, itu tindakan anak kecil. Kalau aku benar-benar marah, mungkin akan kulemparkan bom untuk meledakkan semua orang...”
“Baron Kekerasan...” Yahan meliriknya, “Aku tahu karaktermu yang tidak pernah peduli omongan orang, tapi orang di sekitarmu akan kesal. Waktu itu Lingjing juga mendengar orang membicarakanmu, dia hampir berkelahi dengan orang itu. Hal yang kau anggap sepele justru dianggap penghinaan oleh orang terdekatmu. Semua ini karena mereka peduli padamu.”
“Aku tahu. Makanya saat ada yang memberi perhatian besar pada Lingjing, aku pergi menyanyi. Ketika ada yang mencoba merayu Shasha, aku main basket... Tapi Kaoru tidak boleh punya emosi seperti itu. Tak peduli apa yang dia pikirkan, yang tidak boleh dilakukan tetap tidak boleh. Dalam hal ini tidak ada alasan atau dalih yang bisa diterima. Karena dalam misi yang akan dia jalani nanti, satu kesalahan kecil saja bisa membuatnya MATI.”
Terpengaruh oleh perkataan Jiaming, Yahan terdiam sejenak. Saat melewati sebuah pohon, Jiaming menepuknya perlahan. Yahan menjerit dan berlari, namun kecepatannya tak cukup untuk menghindar. Serpihan salju bertaburan di rambutnya. Setelah bercanda dan saling menghujat, dia berkata: “Kau benar-benar berencana mengirim Kaoru melakukan hal semacam itu? Aku sangat menyukai cewek ini. Maksudku... mungkin karena hubunganmu denganku, dia selalu bersikap baik. Sesekali kami mengobrol dan menyapa. Bagi orang lain, ini hal yang langka. Bukannya kau bilang orang Jepang itu hanya ingin memanfaatkannya sebagai umpan si cantik? Dia tidak harus terlibat dalam urusan itu kan?”
“Tapi itu jalan yang dia pilih sendiri. Setiap orang punya keinginan untuk menunjukkan dan membuktikan diri.” Jiaming yang berjalan di depan berbalik sambil tersenyum dan mengangkat tangan bingung, “Tapi mungkin tidak terlalu berbahaya, situasi Pei Luo Jia sekarang juga sulit. Ada organisasi di Eropa bernama Dark Celeste yang sudah bersatu dengan pihak Tiongkok, Jepang juga punya musuh mereka, ditambah kegagalan urusan Amerika kali ini, hubungan kedua pihak mungkin akan retak... Amitabha, semoga dunia damai selamanya,.”
Jiaming merapatkan telapak tangan di pinggir jalan untuk berdoa, Yahan tersenyum dan mendekat dua langkah: “Lalu kenapa kau masih di Amerika? Ayo kita cepat pulang.”
“Ada urusan kecil. Aku punya dua teman di Amerika, keluarga mereka sedang ada masalah. Harus diselesaikan dulu baru bisa pergi.”
“Tak pernah kudengar kau punya teman dekat di Amerika...” Yahan mengerutkan kening, “Pria atau wanita?”
“Hehe, wanita...”
“Eh...” Yahan tertegun, dalam hatinya sensitif bertanya-tanya jangan-jangan orang ini juga punya dua istri di Amerika. Meski tahu ini tak mungkin, pertanyaan di hatinya tak tertahan ingin diungkapkan. Saat masih hati-hati memilih kata-kata, Jiaming mengulurkan tangan ke pinggir jalan. Sebuah mobil kecil datang dari arah badai salju, lalu berhenti di tempat ini.
Jendela diturunkan, seorang pria kulit hitam berusia sekitar empat puluh tahun dengan wajah biasa menjulurkan kepala: “Hei, ada masalah?”
## Bagian Dua Ratus Lima Puluh Tujuh Kota Kecil
Dalam badai salju, mobil melaju ke depan. Yahan dan Jiaming duduk di belakang. Dua orang kulit hitam di barisan depan sesekali menoleh dan berbicara, tersenyum menanyakan situasi di Tiongkok, terlihat cukup penasaran dengan negara Timur yang berjarak setengah bola bumi dari Amerika itu.
Meskipun mengalami begitu banyak niat jahat beberapa hari ini, hampir-hampir menerobos dari hujan peluru, tapi harus diakui kebanyakan orang Amerika biasa masih mau membantu orang asing. Setelah menghentikan mobil dan berbincang sebentar, mereka pun mengizinkan Jiaming dan Yahan naik ke mobil serta berbincang dengan akrab. Tentu saja, sulit diperkirakan berapa persen dari ini karena wajah cantik Yahan. Setidaknya menurut Jiaming, dirinya sekarang jelas hanya sekadar barang tambahan Yahan.
Dua orang kulit hitam di barisan depan kemungkinan adalah paman dan keponakan. Pria paruh baya yang menyetir bernama Markus, sementara pemuda kulit hitam di sebelahnya yang tampak berusia sekitar 20-an tahun bernama Mike. Saat ini Mike sedang dengan antusias bercerita pada Yahan tentang situasi di sekitar sini, wajahnya penuh senyum. Bahasa Inggrisnya sangat lancar hingga mengejutkan, membuat Yahan yang pernah terpapar peradaban Inggris saja harus berusaha keras untuk menangkap maksudnya. Sesekali dia tersenyum elegan dan menjawab beberapa kalimat, namun tetap mampu memancing tawa lepas dari kedua pria di depan. Bagaimanapun juga dia adalah nona dari keluarga kaya, keterampilan pergaulannya bahkan mungkin setara diplomat. Mampu membuat orang merasa akrab sekaligus menjaga jarak yang tepat. Hanya saja di kursi, tangannya terus memegang tangan kanan Jiaming, sesekali melirik pemuda yang sedang menikmati pemandangan di sebelah. Seandainya daya tariknya tidak terlalu kuat, mungkin pria di depan akan mudah menyadari bahwa sejak awal, target yang benar-benar dia perhatikan hanyalah pemuda biasa di sampingnya ini.
Perkenalan diri di hadapan dua orang kulit hitam, keduanya adalah sepasang kakak-beradik yang datang berlibur ke New York. Tak disangka semalam uang mereka ditipu oleh pemandu yang kabar, meninggalkan mereka di tempat liar seperti ini. Ingin mencari tempat untuk menelepon pun tak bisa... Kebohongan ini terasa agak aneh. Jika diteliti detailnya, tentu akan ditemukan keanehan, namun Yahan bersikap anggun dan sopan, sementara Jiaming terlihat seperti pemuda polos. Kedua orang di depan itu tidak lagi banyak curiga, hanya fokus memaki pemandu tak punya hati itu.
Setelah berbincang sebentar, Jiaming dan Yahan memahami bahwa jalan yang biasanya sepi ini menuju ke kota kecil terpencil di sekitarnya. Alasan sedikitnya kendaraan adalah karena beberapa tahun terakhir telah dibangun jalan raya baru yang melintasi kota kecil tersebut, sehingga jalan lama ini pun perlahan ditinggalkan. Di tengah canda tawa, tak lama kemudian sebuah kota kecil di Amerika yang diselimuti salju putih mulai terlihat di ujung jalan.
Jalan yang memanjang lurus, area yang tersusun rapi seperti kotak-kotak, deretan villa yang tertutup salju tebal. Di pekarangan dan rumput hijau depan villa terlihat beberapa keluarga sedang membersihkan salju. Salju yang turun sepanjang malam hingga pagi hari sudah tidak terlalu deras lagi, berpadu dengan atmosfer kota kecil ini dan cahaya lampu hangat dari jendela-jendela rumah, justru memberikan kesan tenang. Sesekali ada pejalan kaki yang berpapasan saling menyapa. Beberapa anak berlarian kejar-kejaran di hamparan salju, menciptakan pemandangan damai bak adegan film.
"Musim dingin di sini memang cukup dingin, tapi sudah lama tidak ada badai salju sebesar ini. Aku yakin kau akan menyukai tempat ini, kota kecil kami sangat indah. Di sini ada bir terbaik di seluruh Amerika."
Ketika Mike menoleh dan mengucapkan kalimat ini, Jiaming merasa dia seperti kurcaci dalam legenda—hanya kurcaci yang akan merekomendasikan minuman pada orang lain—setelah mendapatkan senyuman Yahan, dia pun menoleh, menutup jendela, tapi malah melambai ke seberang jalan sementara kecepatan mobil melambat. Dari sisi jalan datang seorang polisi kulit putih seumuran Mike yang juga melambai sambil tersenyum.
"Hai, Paman Markus, Mike, terlihat segar. Kalian... uh, siapa dua orang ini..."
"Oh, mereka temanku..."
Awalnya agak khawatir Mike akan menceritakan masalah mereka ke polisi, yang pasti akan memicu berbagai hal tak karuan. Tapi ternyata Mike hanya menjelaskan nama mereka sekilas. Polisi itu tampak sangat akrab dengan Mike, langsung menyapa keduanya tanpa membahas hal lain, mengobrol sebentar dengan Mike sebelum melambaikan tangan pergi. Setelah menutup jendela, Mike baru menoleh kembali.
"Velen teman masa kecilku, orang baik. Sekarang jadi polisi, semua hal harus dilakukan secara prosedural. Kalau kalian tidak bawa paspor, banyak urusan jadi rumit... Maksudku, jika perlu kita bisa melapor sekarang, tapi kasus seperti ini banyak di Amerika, biasanya laporan cuma sia-sia. Kurasa kalian belum tidur semalaman, mungkin kamar yang hangat lebih cocok. Sementara bisa telepon teman di New York. Ah, lihat, penginapan sudah di depan..."
Mike berkata sambil menunjuk ke sebuah gedung tiga lapisan dengan papan tua di sudut jalan. Tampaknya dia tidak sepenuhnya bodoh. Setiap tahun ada banyak imigran ilegal yang masuk ke Amerika dari Tiongkok. Begitu ketahuan polisi, konsekuensinya tentu deportasi. Kebohongan yang dibuat Jiaming secara spontan meski mungkin terjadi, dia jelas sudah mempersiapkan kemungkinan lain dan memberikan bantuan. Tak lama kemudian, mobil berhenti di pinggir jalan. Paman dan keponakan ini mengajak Jiaming dan Yahan masuk ke hotel bernama MacLaren.
"Perkenalkan, ini satu-satunya penginapan di kota ini. Bisa juga disebut bar, kafe, tempat kumpul... Hehe, siapa yang peduli. Meski bukan hotel berbintang, aku jamin kalian akan merasa nyaman. Di luar kota ada pabrik terbengkalai dan kastil tua peninggalan sebelum Perang Saudara, plus danau cantik. Karena lingkungan di sini cukup bagus, sering ada turis dari New York yang liburan, kebanyakan mahasiswa dan pemuda. Untuk sesekali menerima tamu ini, tempatnya dihias dengan sangat baik. Tentu sekarang kebanyakan kosong, kalian bisa pilih kamar terbaik sesuka hati."
Mike dengan deskripsi hidup memperkenalkan, keempat orang masuk ke dalam penginapan. Lantai pertama diatur dalam mode hotel dan kafe, dengan kursi-kursi tertata rapi, bar panjang, TV besar yang sedang menayangkan program basket, bahkan ada supermarket kecil di bagian dalam yang menjual kebutuhan sehari-hari dan camilan. Beberapa warga yang terlihat sebagai penduduk lokal duduk jarang-jarang di dalam sambil mengobrol, kebanyakan pria tua berjanggut putih. Begitu bel pintu berbunyi, mereka menoleh menyapa Markus, memberi isyarat pada Mike sebelum memandangi dua pendatang asing. Mike sekilas memperkenalkan identitas keduanya, lalu pergi ke bar untuk mengurus administrasi kamar.
Mungkin karena koneksi Mike, tidak ada permintaan pemeriksaan paspor atau sejenisnya. Setelah mempersilakan keduanya menandatangani nama sembarangan, seorang wanita gemuk yang terlihat ramah membawa mereka melalui tangga samping sambil membual tentang penginapannya.
"Kamar terbaik se-Amerika Utara, menjamin kenyamanan dan kedekatan dengan alam seperti rasa rumah, lebih baik dari Waldorf-Astoria maupun Mayflower. Kebetulan dua kamar terbaik sedang kosong, kalian sangat beruntung. Hai, Nona Zhang, apa kamu pacar Mike? Hehe haha..."
Meski terus berbicara tanpa henti dan sesekali tertawa, bos penginapan gemuk bernama Monica ini tidak menimbulkan kesan negatif. Sejujurnya, tata interior penginapan memang dirancang dengan teliti. Cahaya lampu yang hangat, sentuhan warna kuning muda dan merah muda di berbagai sudut, serta hiasan kecil dan bingkai foto yang asyik di dinding, benar-benar memberikan perasaan seperti pulang ke rumah. Justru Mike yang terlihat agak malu dengan dugaan sang wanita. Tak lama, mereka tiba di depan dua pintu kamar di ujung koridor. Si wanita gemuk membuka pintu kamar lalu menyerahkan dua kunci kepada Yahan.
"Dua kamar di sudut, pasti yang terbaik. Balkonnya sangat cantik, nikmatilah."
Setelah tersenyum dan mengucapkan itu, si wanita gemuk segera berbalik pergi. Mike tertawa: "Silakan pilih kamar, telepon sudah tersedia di dalam. Menurutku kalian sebaiknya mandi dulu dan beristirahat. Aku akan minta Monica menyiapkan makanan untuk dikirim ke sini. Percayalah, kentang kari dan steak goreng buatannya sangat enak. Istirahatlah yang baik, nanti sore aku akan kembali."
Sambil melambaikan tangan, dia turun melalui tangga. Di koridor hanya tersisa Yahan dan Jiaming yang saling bertatapan lalu memilih kamar masing-masing secara acak. Meski tidak terlalu luas, interior kamar benar-benar memancarkan kehangatan. Balkon yang menghadap ke jalanan dan hutan di seberang terlihat sangat indah. Setelah menyelamatkan pintu kamar, Yahan mengikuti Jiaming masuk ke salah satu kamar lalu duduk di tepi ranjang yang lembut sambil berkata: "Aku ingin tahu situasi Tante."
“Hmm, aku akan menghubungi SEKARANG JUGA.” Setelah menginspeksi kamar mandi dan keluar, Jiaming berkata, "Di dalam ada jubah mandi yang tebal, kau bisa mandi dulu, tidak akan kedinginan."
“Aku tidak mau, aku ingin tahu dulu apakah Tante mereka baik-baik saja.”
Melepas jaket, menendang sepatu, Yahan berguling-guling di ranjang lalu berbaring sambil menatap Jiaming. Jiaming mengangkat bahu, mengambil telepon di tepi ranjang, lalu mengeluarkan tas kecil berisi alat dari badannya sambil tersenyum: "Bukan tidak mau memperdengarkan, tapi panggilan pertama memang bukan ke orang baik. Telepon ini perlu dimodifikasi, kira-kira butuh beberapa menit."
“Oke, kalau begitu aku mandi dulu. Kalau sudah terhubung dengan Tante, suruh aku bicara dengannya ya.”
“Tentu.”
Melihat Jiaming langsung membongkar pesawat telepon, Yahan bangkit dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Suara melepas pakaian terdengar gemerisik. Dua tiga menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka lagi. Yahan menyembulkan kepalanya di tepi pintu, pergelangan tangan putih bersih yang telanjang mengetuk pintu kayu: "Hei Jiaming, bisa tolong ambilkan sandal untukku?"
“Oke.” Mengambil sandal yang sudah disiapkan di rak sepatu dekat pintu, Jiaming menyodorkannya. Saat Yahan meraihnya, terlihat bahu dan lehernya yang putih bersih. Yahan bersandar di pintu sambil memandangnya, bertanya dengan serius seolah sudah lama mempertimbangkan: "Jiaming, menurutmu berapa lama lagi urusan yang harus diselesaikan di Amerika itu?"
“Tidak pasti.” Jiaming menggelengkan kepala, “Jika ini menyangkut hal seperti MEMBUNUH… Malam ini juga aku bisa langsung terbang ke New York, tapi tindakan ini justru akan memperkeruh keadaan ke depannya. Selain itu tentu ada solusinya, tapi tetap bermasalah… Heh, nanti akan kujelaskan padamu.”
“Oh.” Yahan tersenyum, menutup pintu kamar mandi. Tak lama kemudian, suara dari luar samar-samar terdengar, Jiaming sedang menggunakan suara perempuan milik Jian Suyan untuk berbicara: “Halo… Pak James…” Air hangat mengaliri tubuh telanjangnya yang putih bersih, dia memejamkan mata dengan rileks. Bisa merasakan kehadiran orang itu dalam jarak sedekat ini, sensasi yang sudah lama tak dirasakan…
Usai mandi, saat keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi yang dikencangkan, suara yang terdengar telah berubah menjadi suara laki-laki khas Jiaming, dan menggunakan bahasa China—dia baru saja menghubungi telepon kedua.
“Halo, saya ingin bicara dengan Cui Guohua… Ya, Gu Jiaming… Kakak Suyan masih terus memantau gerakan Pei Luo Jia… Saya bersama Kak Yahan… Posisi spesifik tidak bisa diungkap, sesuai instruksi Kak Suyan…”
Dari jendela kaca transparan dekat balkon terlihat salju bertebaran di luar. Di dalam kamar yang hangat, Yahan yang mengenakan jubah mandi menaiki ranjang. Dari balik jubah mandi, terlihat kaki ramping nan putih.
“Meng…ada…kan… tanpa… konsep… Oh…”
Membentuk gerakan bibir tanpa suara di depan Jiaming, kemudian didorongnya dengan gerakan santai hingga limbung terjatuh di ranjang. Dia tersenyum mendengarkan Jiaming melanjutkan telepon.
“Pei Luo Jia Amerika kali ini benar-benar kehilangan semangat, terutama karena Keajaiban Kreasi… Kenapa Keajaiban Kreasi ikut campur? Uh, aku tidak tahu, kukira Kakak Suyan sudah berdiskusi dengan kalian, aku tidak tahu dia bernegosiasi dengan Keajaiban Kreasi… Menurut karakternya, kurasa paling-paling hanya memberi beberapa sindiran… Bagaimana mungkin Keajaiban Kreasi melewatkan kesempatan seperti ini… Hmm, aku ingin tahu situasi Tante Yahan, Bibi Zhang itu… Syukurlah tidak apa-apa, Kakak Yahan ingin meneleponnya… Tolong cepat sambungkan, terima kasih…”
Setelah mengatakan ini, Jiaming tersenyum menyerahkan mikropon ke Yahan. Yahan yang menerimanya lalu bangkit dari posisi bersujud di ranjang, menunjuk hidung Jiaming tanpa suara: “Kau penipu ulung!” Beberapa saat kemudian, suara Tante terdengar dari mikropon.
“Kau ke mana saja selama ini… Aku hampir mati ketakutan, kukira kau ditangkap… Lembaga [] ini apa sih, kayak pemain opera, awalnya kukira sedang syuting film… Pokoknya aku tidak suka Amerika, sekarang kau di mana, kapan bisa pulang? Kita harus segera kembali…”
“Tenang saja, Tante, tidak apa-apa.” Setelah setengah hari diteriaki Tante yang cerewet, Yahan akhirnya mendapat hak bersuara, “Aku diselamatkan orang yang sangat hebat… Sehebat Black Ranger lah, jangan khawatir… Iya, orang yang pernah kubicarakan itu… Tidak kubilang? Tante pasti tahu maksudku…”
“Dengan mengatakan hal seperti itu, Yahan memandang Jiaming yang berpura-pura sibuk di sebelah dengan wajah merah padam. Sungguh memalukan bicara seperti ini di hadapannya... Tapi sudahlah, semua orang sudah tahu segalanya, tak usah malu lagi...”
“Tak bisa kasih tahu lokasinya... Hmm, rahasia... Tante jangan usil ya, biarkan orang-orang [] yang mengatur kepulanganmu. Aku pasti aman... Dia sangat hebat, mana mungkin aku celaka... Mending Tante jalan-jalan ke Hollywood ditemani pengawal profesional, cari tanda tangan Marlon*Brando. Kalau nggak mau kasih, bunuh kudanya lalu taruh di ranjangnya... Aku nggak peduli, yang jelas aku belum bisa pulang, mungkin... Entahlah, lihat situasi dulu. Perkiraanku sampai lewat Natal...”
## Bagian Dua Ratus Lima Puluh Delapan: Kecerobohan
Sambil berguling-guling memegang telepon, sepertinya Yahan dan Tante sedang asyik mengobrol. Jiaming menggelengkan kepala, memberi isyarat diam lalu pindah ke kamar lain. Tak lama kemudian, bos wanita Monica mengantar makanan dengan gerobak kecil yang rapi. Saat mengetuk pintu kamar Jiaming, pria itu masih memakai baju yang sama tapi jelas sudah mandi.
“Cepat sekali mandinya?” kata Yahan.
“Mandi kilat,” jawab Jiaming sambil tersenyum. Tangannya membuka tutup gerobak, aroma sedap langsung menyerbak - steak wangi, telur ayam, roti kecil, sup krim jagung, dan kopi, masing-masing dua porsi. “Sarapan mewah sekali.”
“Kurang lebih sesuai standar makan siang.” Yahan yang masih mengenakan jubah mandi tebal tersenyum sambil mengangkat bahu, “Lalu butuh pesan apa lagi? Tuan?”
“Hmm, perlu si cantik yang makan bareng aku biar sempurna, pekerjaannya lebih baik guru.”
“Seperti keinginanmu.” Mengangguk, senyuman Yahan bersinar cemerlang sambil mendorong kereta makan kecil masuk, “Tapi kenapa harus guru ya?”
“Aku kan mahasiswa, godaannya seragam... Uh, batuk-batuk...”
“Mati!”
Tertawa sambil menendang. Awalnya hanya pura-pura, tentu mustahil mengenai Jiaming, tapi karena keseimbangan terganggu, sandal terbang dengan suara "prak" dan ditangkap Jiaming dengan sigap, “Wah!” Dia menginjak karpet dengan kaki telanjang.
“Kembalikan sandalku... Uh... Hmm...”
Ucapan refleksnya belum selesai, Jiaming sudah membungkuk dengan natural, menjepit pergelangan kaki putih mulusnya, lalu memasangkan sandal itu. Yahan langsung diam. Entah mengapa, area yang dijepit Jiaming terasa meriang. Saat Jiaming membuka tirai kamar, dia baru menggeliatkan kaki di karpet, lalu mendorong kereta makan. Tirai terbuka menampakkan pemandangan salju di balkon yang mirip dengan sisi lain, cahaya matahari menyinari meja kecil dengan dua kursi yang saling berhadapan. Dia menarik napas.
“Eh... Indah sekali, berapa lama kita akan tinggal di sini? Jiaming?”
“Tak tahu, mungkin 1-2 hari.”
“Baru saja menelepon Tante, katanya pesawat akhirnya berhenti, mungkin akan berhenti beberapa hari.”
“Sepertinya kau sudah mulai mencintai tempat ini ya.”
Sambil bercanda, mereka duduk di kedua sisi kursi dan mulai menyantap makanan. Karena semalam tidak istirahat baik dan belum makan, keduanya terlihat persis seperti serigala yang melahap makanannya. Namun ketika melihat Jiaming dengan cepat menghabiskan lebih dari separuh makanan di depannya, Yahan sambil tersenyum memotong setengah steak, mengambil dua potong roti dan menyodorkannya.
“Banyak amat nih...” sambil menyesap sup jagung kental yang memenuhi mulutnya, dia berbicara tak jelas.
“Kalau begitu aku tidak sungkan lagi.”
Meskipun sebagian kecil makanan telah disodorkan, Jiaming tetap dengan cepat menyelesaikan hidangannya. Saat duduk menyeruput kopi, Yahan memperlambat tempo makannya sambil mengajukan pertanyaan: “Pagi tadi kau bilang punya dua teman yang sedang bermasalah di sini...”
“Hmm, keluarga mereka bagian dari mafia.” Jiaming mengangguk polos, menjelaskan singkat tentang kekuatan mafia New York - konflik antara Gambino dan Salieri. “Kalau cuma sementara, sebenarnya hal ini mudah ditangani. Kau tahu kan, aku ini pembunuh. Tinggal cari tempat lalu 'Byur!' ke John*Damic... Aku jamin Gambino bakal kacau lagi selama setengah tahun...”
"Saat menyamar sebagai Jian Suyan yang dingin dan angkuh, bertindak tanpa ampun, mungkin akan menimbulkan tekanan dahsyat saat mengucapkan kata-kata ini. Tapi dengan wajah biasa-biasa saja ditambah ekspresi bercanda seperti ini, Yahan sama sekali tidak merasakan ketegangan. Namun anehnya, dia tahu perkataan lawannya benar. Dalam mood aneh, tiba-tiba dia tertawa: 'Cih, penampilanmu sekarang mana mirip pembunuh? Orang bisa mengira kau sedang main game.'"
"'Hmm, tidak ada cara lain. Kamuflase seperti ini yang terbaik, lagipula ini penampilan asli...' Dia mengusap hidungnya, 'Tapi cara ini hanya mengatasi gejala, bukan akar masalah. Sebenarnya Gambino tidak masalah, yang kukhawatirkan adalah...'"
"'Apakah organisasi Pei Luo Jia itu?'"
"...... Jiaming tertegun sejenak, kemudian menjentikkan jari sambil tersenyum: 'Tepat sekali. Sebenarnya dalam situasi sekarang, Pei Luo Jia sudah cukup mudah mengetahui bahwa mereka adalah temanku. Tapi kondisi Pei Luo Jia saat ini... Heh, dulu Castro memberikan hak besar kepada Zhuang*Amir. Karena Castro sudah MATI, Zhuang mungkin akan menjadi pengelola wilayah Amerika Utara. Orang ini suka baca 'Seni Perang Sun Tzu', pasti pihak Amerika Utara akan berusaha mati-matian menyembunyikan kekuatan mereka. Jika aku pergi, dia tidak akan terus-terusan balas dendam. Tentu, mungkin setiap hari akan mengutukku... Hmm, dia akan mengutuk TULIP...'"
“Kalau sudah memutuskan untuk memberitahu Yahan, Jiaming tidak menyembunyikan apa pun. Ini bukan rahasia yang terlalu penting atau gelap, apalagi posisi Yahan berbeda dengan Lingjing dan Shasha. Untuk kedua cewek itu, dia ingin memberikan perlindungan. Sedangkan dengan Yahan, dia selalu berteman secara setara. Kemampuannya sebenarnya tidak terlalu hebat, yang dimilikinya hanyalah teknologi 20 tahun lebih maju dan pemahaman tentang para pembunuh saat ini. Teknik membunuh itu berasal dari keinginan untuk tidak mati dulu, cara menangani masalah juga berdasarkan pengalaman sebelumnya. Kalau bicara analisis, reaksi, atau kreativitas, paling-paling dia setara manusia biasa, bahkan kalah dari Yahan. Lagipula, punya teman yang bisa diajak bicara apa saja di dunia ini, rasanya memang sangat menyenangkan.”
“Kalau begitu, tidak bisakah minta bantuan Keajaiban Kreasi untuk mengawasi?” Yahan bertanya dengan bingung.
“Sepertinya hanya itu caranya. Sekarang Keajaiban Kreasi sedang menekan Pei Luo Jia. Surga Kebijaksanaan terlalu terkait dengan FBI dan Biro Keamanan Nasional Amerika, basically bagian dari mesin negara. Mereka akan berusaha menjaga keseimbangan kedua belah pihak. Dalam situasi seperti ini, dengan sedikit bantuan dari Keajaiban Kreasi, menurut sifat hati-hati Zhuang, seharusnya tidak akan ada masalah besar.” Jiaming mengangguk sambil tersenyum, “Tapi… Aku benar-benar tidak ingin terlibat dengan organisasi-organisasi ini…”
Yahan menghabiskan sisa steak terakhirnya, menyesap kuah kental: “Kedengarannya seperti orang tua…”
“Berutang budi, akan sulit dikembalikan nanti. Aku benar-benar tak ingin terlibat dalam hal seperti ini, tapi ada beberapa hal yang tak bisa kutahan sendiri...” Dia tersenyum kecut.
Yahan mengerutkan alis: "Lalu bagaimana... Minta bantuan [], kau berutang budi pada mereka, lalu [] berutang pada Keajaiban Kreasi. Dengan persekutuan kedua dunia ini, bukankah Pei Luo Jia akan semakin takut bergerak? Katamu [] lumayan bagus."
"Berutang budi pada mereka, akhirnya harus bergabung. Tapi itu bukan hal penting. Yang utama..." Jiaming menyesap kopinya, "Guruku pernah bilang, bahkan MATI pun, seumur hidup jangan pernah gabung organisasi mana pun, jangan diperintah siapa pun. Sebenarnya fasilitasnya di Pei Luo Jia sudah tinggi, tugasnya tidak banyak, waktu luang ada, bisa mengatur sendiri... Tapi dia tetap membelot. Mungkin demi kebebasan..."
Seolah terinfeksi emosi tertentu dalam ucapan Jiaming, Yahan tersenyum. Di hatinya tak menemukan solusi baik. Setelah beberapa saat, bertanya: "Apa hubunganmu dengan kedua wanita itu? Aku menanyakan ini mewakili Lingjing dan Shasha!"
Jiaming tertawa: "Dua orang yang kuselamatkan beberapa tahun lalu, lalu kenal. Yang satu 30 tahun, satunya putrinya yang baru genap 14 tahun. Apa yang kau pikirkan? Hehe, cuma Teman baik saja..."
Mendengar perkataan Jiaming, barulah Yahan merasa lega. Dengan malu-malu, dia mencoba pamer kemampuan. Setelah saling bercanda, mereka membereskan peralatan makan dan mendorongnya ke luar pintu sesuai instruksi Monica. Karena kurang tidur semalam, keduanya merasa perlu tidur lagi. Setelah mengucapkan selamat pagi di depan pintu, Jiaming baru kembali ke kamarnya. Tiba-tiba pintu di belakangnya didorong terbuka lagi. Yahan berdiri di luar sambil menatapnya, lalu melesat ke hadapannya dalam dua tiga langkah dengan wajah memerah.
"A-Apa yang terjadi..." Jiaming mundur selangkah, refleks mengambil posisi siaga sambil memiringkan badan.
"Aku... eh... aku..." Gagapnya sambil menarik napas dalam, "Eh... dompetku... kayaknya ditaruh di sini... Ah... ah... tidak ada ya?... Hmm, mungkin aku salah ingat. Dadah, selamat pagi, tidur nyenyak ya..."
Suara puff-puff terdengar saat Yahan berlari kencang keluar. Kira-kira dua detik kemudian, dia kembali melesat ke pintu sambil tersenyum dan menutup pintu kamar Jiaming. Tinggallah Jiaming terpaku di tempat, mengangkat matanya ke langit-langit.
Di luar pintu, Yahan yang masih mengenakan jubah mandi putih tebal termenung sejenak. Kemudian dia mengatupkan bibir, mengembungkan pipi, dan menampar pelan dahinya sendiri: "Idiot, gila cowok... Dasar sakit jiwa..."
Membuka pintu masuk ke kamar, dia terkapar di ranjang dalam tiga langkah, menarik selimut lalu bergerak-gerak di dalamnya sebentar, kemudian mengulurkan tangan untuk melemparkan jubah mandi yang dilepas ke lantai tepi ranjang. Memiringkan kepala dan menutup mata, beberapa saat kemudian berguling ke sisi lain, cahaya di jendela terlalu menyilaukan, tak lama kemudian berguling kembali.
Setelah beberapa kali bolak-balik seperti ini, dia turun dari ranjang sambil membungkus diri dengan selimut, melompat-lompat ke jendela untuk menutup tirai, berputar sambil melompat, Byur! Terjatuh ke lantai bersama selimutnya, torso telanjang menyembul dari selimut.
Kamar ini cukup hangat, lagipula tak ada yang melihat, dia menarik selimut dengan kesal. Lama kemudian baru bergerak-gerak seperti ulat kembali ke ranjang yang lembut. Namun sambil berguling-guling, untuk sementara waktu, sama sekali tak bisa tidur.
"Zhang Yahan, kau MATI kau..."
Dalam kegelapan, terdengar gumaman wanita yang lembut. Di kamar sebelah, Jiaming tidur di ranjang, telah memasuki tidur lelap.
Sekitar lebih dari dua jam kemudian, Yahan di sini juga sudah tertidur. Jiaming membuka mata, bangkit. Waktu menunjukkan siang hari...
## Bagian Dua Ratus Lima Puluh Sembilan
Sulit digambarkan seperti apa perasaan itu.
Saat terbangun, mungkin sudah sekitar pukul 3 sore. Selimut terasa lembut, kamar hangat dan nyaman. Samar-samar, seseorang meletakkan sesuatu di bantalnya, lalu dengan lembut mengambil betisnya yang terbuka di luar selimut, menarik selimut untuk menyelimutinya.
Setelah menyelesaikan semua itu, orang tersebut berjalan ke bagian dalam, menutup tirai, mengambil jubah mandi yang tergeletak di bawah tanah dan memasukkannya ke kamar mandi. Saat hendak keluar, sosok yang tidak terlalu tinggi itu samar-samar terlihat seperti Jiaming.
Masalah tekanan darah rendah terus menghantuinya. Gambaran-gambaran kabur ini membutuhkan waktu lama sebelum akhirnya berubah menjadi sinyal konkret dalam pikirannya. Ia berbaring diam di sana dengan senyum lembut. Beberapa saat kemudian, dengan susah payah ia menopang tubuhnya untuk duduk. Selimut meluncur dari kulitnya yang sehalus sutra, hingga seluruh torso telanjangnya terpapar udara. Baru kemudian ia menarik selimut dengan lembut, menatap arah kamar mandi sementara pipinya mengembang tanda kesal.
Bajingan ini... Pakaiannya yang lain sudah diganti di kamar mandi saat mandi tadi. Sekarang dia bahkan mengambil jubah mandiku, jelas-jelas ingin membuatku berlarian tanpa busana. Menghadapi ulah iseng Jiaming ini, ia tersenyum antara jengkel dan gemas. Tapi tentu saja tak ada yang melihat, jadi tak masalah telanjang. Saat hendak membuka selimut dan turun dari ranjang, matanya baru menyadari benda yang diletakkan Jiaming di tepi tempat tidur. Pada detik itu, barulah ia sadar bahwa otak gila cowok-nya lagi-lagi membuat hal sederhana menjadi rumit.
Bungkusan pakaian musim dingin yang dilipat rapi, mulai dari baju hingga kaus kaki tersusun di sebelahnya. Entah sejak kapan, pemuda yang semalam bersamanya di mobil itu telah bangun. Di kota kecil yang masih asing ini, dia berhasil mendapatkan semua kebutuhan perempuan itu, mengatur segalanya dengan sempurna, lalu menghilang tanpa suara...
Kamar yang sunyi. Tiba-tiba perasaannya terasa lembut dan hangat, seperti kenangan sempurna saat ibuku masih ada. Perasaan yang tak pernah kurasakan lagi sejak kepergiannya...
Wanita itu berdiri di depan cermin ganti baju dengan mantel abu-abu muda berbulu kuning di bagian dalam. Topi besar di belakang mantel terlihat sangat hangat. Bagian bawahnya hanya celana panjang cokelat sederhana dan sepatu olahraga hangat. Seluruh penampilannya dibungkus tebal ala gaya praktis Amerika. Postur rampingnya tak terlihat, tinggi tubuhnya yang relatif jangkung untuk orang Timur pun tak mencolok di Amerika. Hanya wajah ayu nan kalem itu yang masih bisa dipamerkan... Begitu pendapatnya sambil berpose-POSS di depan cermin. Jiaming memang sempurna dalam segalanya, kecuali selera estetikanya... yang hanya level menengah...
Dengan perasaan dendam di hati, Yahan mengetuk pintu kamar Jiaming. Namun setelah menunggu lama, tak ada tanda-tanda aktivitas. Menyeringai, ia berbalik dan menuruni tangga. Baru kemudian menyadari Jiaming telah lama duduk di meja kopi lantai satu, asyik mengobrol dengan pemuda kulit hitam bernama Mike. Melihatnya turun, Jiaming berdiri dan melambaikan tangan.
"Akhirnya bangun. Mike sudah menunggumu di sini sejak tadi. Aku sudah memesan makanan untukmu, SEKARANG JUGA akan diantar."
"Hmm." Yahan tersenyum sambil duduk di kursi Jiaming, "Kalian membicarakan apa?"
"Eh, tentang... beberapa hal di Tiongkok. Katanya... Nona Zhang adalah seorang guru?"
Kehadiran Yahan membuat Mike menjadi gelisah. Setelah Yahan menjawab santai beberapa pertanyaan, pemuda kulit hitam itu baru kembali lancar berbicara. Tak lama kemudian, Jiaming datang membawa piring berisi makanan untuk Yahan, lalu duduk di sampingnya.
"Membahas apa?"
"Ya hal yang sama seperti yang kalian bicarakan tadi."
Mata Jiaming membelalak: "Masa sih? Kau juga tertarik dengan itu?"
"Tertarik apa? Bukannya kalian sedang membicarakan Tiongkok?"
"Eh..." Jiaming tertegun sejenak, kemudian kedua pria di ujung meja saling bertatapan sambil tersenyum, "Benar, benar... Tadi kami juga membahas bahwa kau seorang guru, hehe..."
Pada dasarnya yang dikatakan sama seperti masalah Mike, tapi tawa mereka berdua benar-benar aneh. Yahan awalnya hanya bersikap sopan dan formal terhadap anak muda kulit hitam ini, namun sekarang malah lebih memperhatikannya karena Jiaming. Setelah memandangi keduanya, dia menunduk makan: "Malas peduli apa yang kalian bicarakan... Misterius sekali..."
Mungkin karena topik tadi terlalu sensitif, sekarang setelah Yahan datang, tidak tepat untuk melanjutkannya. Karakter Jiaming memang pendiam, apalagi perhatian Mike kini tertuju pada Yahan. Dia malas mencari topik lain, hanya memandang pemandangan salju di luar jendela. Fakta membuktikan ras kulit hitam penemu rap ini cukup pandai bersosialisasi. Mike dengan santai mengangkat beberapa topik, sementara Yahan merasakan tatapan Jiaming yang melintas di wajahnya, sesekali mengangguk membalas seadanya. Percakapan di meja makan pun terus berlanjut. Sambil makan, hatinya mulai kesal. Menurut omongan orang bernama Mike ini, kalau diajaknya dirinya dan Jiaming jalan-jalan keluar kota kecil, bukankah seharian ini harus berhadapan dengan bola lampu hitam ini. Sedang merencanakan alasan untuk tetap di kamar berdua dengan Jiaming, suara lonceng angin di pintu terdengar. Polisi kulit putih yang pagi tadi mereka temui masuk sambil menyapa Mike, lalu duduk di sebelah dengan segelas baijiu.
"Hai, Vilon, sudah pulang kerja?"
“Ya, sampai sekarang.” Pagi tadi saat bertemu Yahan, orang ini tidak melihatnya terlalu detail. Duduk berseberangan sekarang, ia tak tahan melirik Yahan beberapa kali, lalu berkata dengan setengah hati, “Sudah lihat berita?”
“Apa?” Mike mengangkat bahu, “Aku sibuk sepanjang pagi, lihat berita apaan.”
“Tadi malam New York benar-benar menegangkan! Terjadi pertempuran senjata terbesar sepanjang sejarah di Manhattan, tiga blok jalan diblokir. Lalu ada kejar-kejaran mobil hampir satu jam, sebuah mobil sport ugal-ugalan di seluruh kota, bahkan langsung menerobos dari Jembatan Washington, wuih... Wuih... Mike, kau percaya ada orang yang bisa ngebut sampai 150 kilometer per jam di New York dalam cuaca seperti itu?”
Mungkin juga karena ingin menarik perhatian Yahan, ia menceritakan hal ini dengan penuh semangat. Benar saja, Yahan mengangkat kepala, bertukar pandang gelisah dengan Jiaming. Dalam jarak pandang, Jiaming membelalakkan matanya seperti bayi tak berbahaya yang penasaran, menunggu polisi melanjutkan cerita. Mike juga menganga: “Mana mungkin! Hanya Tuhan yang bisa melakukan hal seperti itu, Yesus pun pasti tabrakan dan tewas!”
“Kalau begitu dia adalah Tuhan.” Viren mengangkat tangan bingung, “Dalam situasi dikejar banyak musuh yang tidak diketahui jumlahnya, mobil sport itu tidak hanya berhasil kabur dari New York, tapi juga menghabisi sebuah helikopter di hutan sebelah selatan sejauh 20 kilometer. Kami sudah menemukan reruntuhan mobil sport dan helikopter di pinggir jalan. FBI dari New York masih berada di hutan itu, mungkin pengemudinya sudah melarikan diri... Di pihak kami...”
Saat berbicara, pandangannya yang penuh keraguan beralih ke Jiaming dan Yahan. Mereka saling bertukar pandang, Jiaming berkata: “Jangan-jangan, kau mengira ini kami?”
“Eh, ini, kalian...”
“Aduh Viren, mereka temanku.” Seorang pria kulit hitam di samping protes tak puas, “Meski mereka juga punya masalah... Lihatlah, apakah mereka terlihat seperti orang yang bisa ngebut di New York? Menurutmu?”
Penampilan Yahan sangat lembut dan memikat, sama sekali tidak seperti pelaku kejahatan. Sedangkan Jiaming memberikan kesan personifikasi sempurna dari sebuah konsep: orang ini tidak bisa menyelesaikan apapun. Viren memandang mereka sebentar, lalu tertawa: “Hehe, kalau memang kalian, saranku jangan sampai ketahuan FBI. Aku tidak mau beradu tembak dengan orang yang bisa menghancurkan helikopter, haha...”
“Hmm.” Jiaming mengangguk serius, “Asal kau tidak menarik senjata, aku jamin hanya FBI yang akan kuhabisi.”
Mereka semua tertawa. Sejenak kemudian, pria kulit hitam itu bertanya: “Sebenarnya apa yang terjadi? Perang besar mafia?”
“Masih belum jelas.” Viren menggelengkan kepala, “Aku cuma polisi rendahan, mana mungkin tahu banyak. Tapi biasanya keributan antar mafia tidak sampai sebesar ini, apalagi ini kan New York, bukan Chicago era 20-30an. Di kantor kami berbisik, jangan-jangan ini ulang raja narkoba Kolombia atau Triad Tiongkok. Para raja narkoba memang punya nyali besar dan nekat, tapi menurutku kasus ini tidak mirip gaya Triad yang lebih suka bekerja secara terselubung.”
Masalah ini masih jadi perbincangan ketika lonceng angin penginapan kecil berbunyi lagi. Kali ini masuk tiga orang pria muda berkulit hitam berpostur tinggi. Melihat Viren dan Mike yang duduk di sudut, pemimpin kelompok itu mengerutkan alisnya lalu mendekat. Kedua pria di kursi langsung berdiri.
“Hei Mike, ini kejutan yang tak terduga. Kau kembali? Kalau begitu...” Dia berhenti di tepi meja, tangan terlipat di dada. Postur tubuhnya yang kekar memancarkan tekanan dahsyat. Matanya melirik dua orang asing di sebelah, tertahan beberapa detik di wajah Yahan. “...Bisakah kita menyelesaikan urusan kita sekarang?” Nada bicaranya sama sekali tidak mengandung niat baik.
“Jangan cari masalah, Gamor.” Viren menepuk meja dengan lembut, “Masalahmu dengan Mike kan cuma karena Jessica. Sekarang Jessica sudah tidak ikut kau maupun Mike. Belum selesai juga urusan kalian?”
“Ini tidak ada hubungannya dengan Jessica, ini urusan antar pria.” Jiamoor berkata, “Masalah kita harus diselesaikan. Kau mau ikut campur, Willen? Dengan identitas sebagai polisi?”
“Jika kau suka.” Willen sama sekali tidak mundur.
“OK.” Jiamoor yang bertubuh besar mengangguk, berdiri di samping meja, terlihat seperti godfather yang menunjuk Mike dengan jari, berkata kata demi kata, “Kau pengecut.”
Jiaming memiringkan kepalanya ke samping, menyeringai dengan bosan.
## Bagian Dua Ratus Enam Puluh Ciuman Pertama
“Jadi harga diri pria memang sesuatu yang berharga ya...”
Menjelang senja, berjalan di jalan kota kecil yang dipenuhi tarian salju, Jiaming mengeluarkan komentar sarkastik. Di sampingnya, Yahan asyik menendang bola salju sepanjang jalan. Lampu jalan menyala, cahaya oranye-kuning menerangi jalanan kota kecil dengan lembut. Hanya sedikit pejalan kaki yang lewat, jendela-jendela rumah sudah dipenuhi cahaya lampu.
Hanya mereka berdua. Tidak ada Mike, tidak ada Willen, tidak ada lagi orang yang mereka kenal.
“Tantangan yang terjadi pada sore hari itu diterima oleh Mike tanpa ragu. Berdasarkan percakapan mereka, penyebab masalah ini sebenarnya sederhana—hanya konflik kecil karena persaingan cinta seorang wanita, yang kemudian berubah menjadi duel satu lawan satu antar pria untuk menyelesaikannya. Dari penjelasan Wei Lun kemudian, mereka juga mengetahui lebih banyak situasi. Kota kecil ini sebenarnya dihuni banyak veteran pensiunan, beberapa di antaranya adalah mantan elit pasukan khusus, dan kebanyakan berkulit hitam. Karena itu, di mata mereka, kepalan tangan mungkin lebih efektif daripada hukum untuk menyelesaikan masalah, sehingga melahirkan adat militeristik khas kota ini: begitu ada konflik antar anak-anak di kota, mereka akan berjanji untuk bertarung satu lawan satu di tempat yang sama tepat sehari kemudian.”
“Wei Lun yang besar di kota ini sejak kecil, meski kini menjadi polisi, sudah terbiasa dengan adat ini. Baginya, menyelesaikan segala masalah dengan pertarungan adil justru lebih baik daripada menyimpan dendam tak berujung. Begitu Mike setuju, keputusan pun final: keesokan sorenya mereka akan duel di pabrik terbengkalai luar kota. Metode penyelesaian seperti ini bisa diterima Jiaming, hanya saja...”
“Tak tahan disebut pengecut—inilah akar kegelisahannya. Dengan mengeksploitasi kelemahan mental ini, dulu ia pernah membunuh banyak orang.”
“Baik, aku tahu kau tak pernah peduli pada hal-hal tak berguna itu.”
Berjalan di sampingnya, Yahan tersenyum tipis. Awalnya menurut rencana Mike dan Viren, mereka ingin menemaninya berkeliling kota kecil. Namun Yahan mengaku tidak enak badan dan memilih tinggal di penginapan. Setelah keduanya pergi, barulah ia memanggil Jiaming untuk keluar bersama - sebuah strategi kecil dalam hatinya. Tapi kota kecil ini memang tak punya banyak tempat menarik. Toko-toko yang sudah sedikit itu pun hampir semua tutup di hari bersalju lebat tanpa kedatangan orang asing. Yang bisa dirasakan mungkin hanya suasana hangat khas kota kecil.
"Tau rahasia agar tidak pernah kalah saat berdebat dengan orang?" Jiaming menoleh bertanya.
"Apa?"
"Jangan pernah menganggap serius omongan lawan. Begitu kau mulai peduli, pasti kalah."
"Bisa nggak kamu berhenti membahas teknik hujatan seolah-olah itu ilmu olimpiade?!"
"Tapi ini sangat berguna untuk kalian perempuan."
"Kapan aku pernah menghujat orang?!" Yahan tertawa geli sambil protes.
"Siapa tau perlu sewaktu-waktu."
Kota ini memang tak terlalu besar, hanya beberapa blok jalan yang bisa dijelajahi. Pemandangan gunung dan sungai di kejauhan sudah tertutup salju. Di bawah kegelapan malam yang mulai menyelimuti, hanya siluet-siluet samar yang terlihat. Berjalan santai dalam cahaya lampu jalan, saat sampai di gerbang kota, mereka menemukan sebuah toko yang menyatu dengan SPBU masih buka. Di balik konter, bos paruh baga sedang menyandar sambil menonton TV di dinding. Saat pintu terdorong terbuka, sang bos menoleh sekilas. Melihat pasangan ini tak berbahaya, ia hanya berkata "Silakan lihat-lihat" sebelum kembali asyik menonton film.
Bersatu dengan pom bensin, supermarket ini sebagian besar ditujukan untuk melayani pelanggan yang sedang dalam perjalanan jauh. Sebagian besar area menampilkan makanan siap saji, minuman, tas perjalanan, serta berbagai barang hiburan untuk perjalanan. Namun, di dalamnya juga ada area kecil yang memajang berbagai buku dan rekaman video. Tampaknya toko kecil ini lebih banyak melayani warga kota. Dalam cuaca seperti ini, tidak ada tempat yang bagus untuk kencan. Berdiri berbalikan sambil menikmati pemandangan salju mungkin romantis bagi bocah lelaki dan gadis kecil seusia, tapi satu adalah bu guru yang 6-7 tahun lebih tua, satunya lagi mahasiswa dengan identitas biasa namun latar belakang misterius sebagai pembunuh. Meskipun posisi keduanya samar-samar, melakukan hal seperti itu hanya akan mengundang tawa. Hingga sekarang, mereka hanya bisa mondar-mandir tanpa tujuan di satu-satunya supermarket yang masih buka ini. Yahan membalik-balik buku berbahasa Inggris di rak, sementara Jiaming melihat-lihat tas petualangan, tenda portable, dan sesekali mengambil pisau tentara ekspedisi untuk diperiksa.
Di luar jendela, kepingan salju terus berjatuhan. Mungkin karena bosan menjaga toko sendirian, dan yakin pasangan aneh ini tidak berbahaya, sang bos tidak menghiraukan mereka. Setelah berputar-putar, Jiaming mengambil sebotol soda untuk Yahan, membuka satu botol untuk dirinya sendiri, lalu pergi ke konter untuk membayar: "Tidak apa-apa baca buku di sini?"
“Silakan, sofa di sebelah sana bisa dipindahkan untuk duduk.” Mendengar bahasa Inggris Jiaming yang lancar, sang bos tampak agak terkejut, kemudian tersenyum, “Orang Jepang?”
“Orang Tiongkok.”
“Oh, Tiongkok ya... Lebih dari dua puluh tahun lalu saya pernah ke Vietnam...”
“Perang Vietnam?”
“Bukan kenangan indah... Hal-hal tentang perang...” Sang bos mengambil segelas baijiu di tepi konter, menunjukkan senyum penuh niat baik, “Tentara Tiongkok sangat kuat, terutama Mental mereka... Tapi waktu itu Tiongkok sangat tertinggal, sekarang Bagaimana? Oh, bahasa Inggrismu begitu fasih, tinggal di New York ya?”
“Tidak, kami selalu di dalam negeri, kali ini sedang berlibur. Tiongkok sekarang... sudah cukup baik, kalau ada waktu bisa main ke sana.”
“Pasti.”
Saling tersenyum, Jiaming membawa air soda menuju Yahan. Supermarket tidak besar, meski tertutupi suara TV, tapi dialog bertiga tadi masih jelas terdengar oleh Yahan yang sekarang mengerutkan alis: “Benar-benar membenci perasaan saat orang langsung bertanya apakah kita orang Jepang atau Korea...” Dia menghabiskan tiga tahun masa studinya di Cambridge, tentu paham posisi Tiongkok di dunia saat ini. Jiaming justru tersenyum tak acuh: “Beberapa tahun lagi akan membaik, nanti Tiongkok akan menjadi opsi pertama.”
“Kau tahu lagi?”
“Tentu saja.”
Yahan menatapnya dengan mata tajam beberapa saat, lalu tersenyum kuminati: “Tak kulihat kau cukup patriotik, pantas dijuluki anggota tim percontohan.” Biasanya saat melakukan sesuatu sedikit saja, Jiaming selalu bilang “Ini tugas anggota tim”, entah sudah berapa lama sejak dia meninggalkan tim itu. Tapi tentang Ucapannya yang terkenal ini, Yahan tentu sangat memahami.
Menyesap soda, menggeser sofa dan bangku, mereka berhenti di area perpustakaan. Yahan membaca novel bahasa Inggris berjudul "Parfum - Kisah Seorang Pembunuh". Tentu saja ketertarikannya muncul karena kata "pembunuh". Jiaming sibuk membongkar rak, melihat komik seperti "Superman" dan "Kelelawar", semakin lama semakin merasa gaya komik Amerika tak seindah komik Jepang. Rak buku ini didominasi buku-buku praktis dan majalah, sedikit sekali komik atau sastra klasik. Di sudut tersusun rapi majalah mesum seperti "playboy", tapi dia malas membukanya. Akhirnya dia mengambil buku pengajaran memasak dan mulai asyik membacanya. Yahan terus mengawasinya, melihat pria ini malah memilih buku masak ketimbang majalah mesum, sampai berkali-kali mengangkat mata.
Di dalam toko kecil itu, waktu terus berdetik-detik. Yahan asyik dengan novelnya, sesekali Jiaming berjalan mondar-mandir. Sang bos asyik menonton TV warna di dinding yang sedang menayangkan film terbaru Nicolas Cage bulan April lalu, "City of Angels". Saat film mencapai separuh jalan dan lagu tema "ANGEL" mengalun lembut dengan vokal perempuan, Yahan tak kuasa meletakkan bukunya. Jiaming yang sedang baca majalah pun menoleh.
"Gunakan seluruh waktumu, menanti dengan getir kesempatan kedua.
Berharap kembali ke titik transisi yang tepat.
Selalu ada alasan yang membuat segalanya terasa tak pantas.
Saat hari merangkak senja, aku butuh nafas lega, butuh jalan keluar indah..."
Suara perempuan yang merdu dan memikat, sempurna bagai suara surgawi. Untuk sejenak, seluruh supermarket yang sepi seolah diselimuti oleh daya magis nyanyian ini. Di malam salju yang hening dan hangat ini, diiringi oleh nyanyian semacam ini, pasti memiliki kekuatan untuk menyentuh semua orang. Di TV, tokoh utama wanita sedang mencari Seth dengan kesepian di dalam villa, sementara Seth terus mengikuti di belakangnya...
"……Terbalut dalam sayap malaikat, terbang menjauh dari dunia fana.
Menjauhi kamar gelap yang suram, serta ketakutan yang tak berkesudahan.
Kau diselamatkan dari rawa khayalan kosong, meninggalkan ketergantungan yang membisu.
Terbalut dalam sayap malaikat, semoga kau menemukan penghiburan……"
Beberapa menit kemudian, lagu perlahan mereda. Di TV, tokoh utama wanita tertidur dengan tenang ditemani Seth. Yahan membuka mulutnya: "Film Nicholas Cage yang... apa judulnya ya..."
"City of Angels..." Jiaming santai menunjuk rak rekaman video di samping. Yahan mengambil rekaman video sesuai petunjuknya: "Sepertinya ada pemutar rekaman video di penginapan... Kita beli ini untuk ditonton nanti setuju? Lagu ini sangat indah lho."
"Hmm..." Jiaming tersenyum, lalu mengangkat bahu tanda setuju.
Karena sudah memutuskan untuk menonton film di kamar, kentang goreng, kuaci, minuman ringan dan sebagainya tentu tak boleh ketinggalan. Yahan yang antusias membeli sekantong besar camilan di supermarket, kemudian mereka berdua kembali ke penginapan. Waktu masih sekitar pukul delapan, aula di lantai bawah cukup ramai. Keduanya masuk ke kamar Yahan, mengunci pintu, lalu mengeluarkan camilan dan menyiapkan tempat duduk sebelum mulai memutar rekaman. Yahan mematikan lampu. Mereka duduk di sofa yang sama seperti saat makan siang, dipisahkan oleh meja kecil penuh camilan. Namun bagi Jiaming, pemandangan ini lebih mirip fragmen pertemuan teh di Zhongnanhai.
"Tidakkah kau berpikir begitu?" Saat Jiaming membagikan pemikirannya, Yahan mengambil sekantong besar keripik kentang dan menghantamkannya ke kepala sang pemuda sambil tersenyum: "Makanlah makananmu."
Dari segi alur cerita, plot "City of Angels" tidak bisa dibilang terlalu inovatif. Seorang malaikat yang bertugas menerima mayat di rumah sakit jatuh cinta pada seorang dokter wanita, lalu memutuskan untuk menjadi manusia. Setelah akhirnya melewatkan malam romantis bersama, sang dokter tewas dalam kecelakaan mobil yang menjadi transisi yang terkesan klise. Lagu "ANGLE" jelas menjadi salah satu daya tarik film ini, sementara daya tarik lainnya terletak pada akting Nikolai Cage yang dikuasai sempurna. Dalam ekspresi seni, hal-hal yang memiliki referensi konkret sebenarnya lebih mudah diungkapkan. Namun untuk konsep abstrak seperti malaikat atau Tuhan, manusia tidak bisa memiliki gambaran pasti. Namun melalui aktingnya, Nikolai benar-benar berhasil mengekspresikan perasaan "malaikat" yang non-manusiawi. Konsep ini memang tergolong non-mainstream, tapi dibandingkan dengan penggambaran "Tuhan" yang kaku karena tidak bisa lepas dari sifat manusiawi di banyak film lain, Seth yang diperankan Nikolai Cage justru memberi kesan lebih mendekati Tuhan bagi penonton.
Tapi terlepas dari kualitas filmnya, daya tariknya bagi Jiaming tidak begitu besar. Duduk dalam kegelapan menemani Yahan menonton film romantis, di dalam hatinya ia memikirkan hal lain dengan bosan, sesekali menanggapi sepatah dua patah ucapan Yahan yang tentu saja tetap bersifat kontradiktif seperti biasa.
"Aduh, mata Nikolai Cage sangat tampan..."
"Saat melotot agak menyeramkan."
"Malaikat dengan jas hujan hitam... Keren sekali, posturnya juga sangat bagus..."
"Sebagai seorang malaikat, tidakkah menurutmu bulu dadanya terlalu lebat?"
“Baru seperti ini ada kewibawaan pria, kau anak kecil sehelai rambut ngerti apa... Orang Amerika benar-benar sulit dipahami, menurutmu wanita ini sudah menyukai Seth, kenapa masih bicara tentang menikahi dokter itu?”
“Kau yakin membicarakan cinta sejati yang serumit ini dengan anak kecil sehelai rambut adalah pilihan yang rasional?”
“Cih...”
Melepas sepatu, Yahan meringkukkan paha di sofa. Sampai tokoh utama wanita MATI dalam kecelakaan mobil, ia menyaksikan dalam kesunyian sampai akhir. Dalam kegelapan, tak tahu apakah ada air mata yang jatuh. Saat kredit film muncul, suaranya terdengar dari kegelapan: “Halo, tokoh utama wanita sudah MATI pergi ke surga, kenapa Seth tidak ikut MATI? Kan dulu dia malaikat, MATI juga tidak ada yang ditakutkan, lagipula bisa ketemu tokoh utama wanita di surga... Halo, tertidur?”
Suara itu menggantung setengah menit. Jiaming di sebelah sepertinya sudah bersandar di sofa mulai tidur siang. Tulisan kredit di TV seluruhnya hitam, cahaya pun padam. Dari jarak ini ekspresi Jiaming tak jelas terlihat. Dengan marah ia bersujud di sofa, setengah tubuhnya menjelajahi meja kecil, melambaikan tangan di depan mata Jiaming: “Hei, aku sedang bicara denganmu, film bagus begini malah tidur...”
Memandang wajah tidur Jiaming dari dekat, Yahan merasakan kekecewaan di hati, tapi sumber kekecewaan ini samar-samar tak jelas. Persis di saat itu, Jiaming lesu membuka mata: “Karena inilah pesan yang ingin disampaikan film: optimis positif, semangat terus maju, rajin belajar...”
Ekspresi di matanya mungkin hanya merasa film itu membosankan, tapi tidak terlalu mengantuk. Keempat mata mereka bertatapan, Yahan tersenyum: "Heh, kukira kau sudah tertidur..." Berencana untuk kembali duduk di sofa, namun suaranya pelan-pelan menghilang di tenggorokan, tubuh yang menjulur tetap mempertahankan posisi itu.
Perlahan-lahan, senyum yang sengaja dibuat itu akhirnya menghilang. Dia merapatkan bibirnya, menarik napas dalam, kemudian mencium mulut Jiaming.
Dalam kegelapan kamar yang sunyi, terjadilah ciuman pertama antara guru dan murid yang terpisah tujuh tahun ini...
## Bagian Dua Ratus Enam Puluh Satu Bisikan
Itu adalah ciuman yang sangat murni.
Dalam kegelapan, empat bibir bersentuhan sederhana tanpa gerakan lebih lanjut. Keduanya bisa merasakan suara napas masing-masing. Hanya saja, bibir Yahan sedikit gemetar seperti sayap kupu-kupu, terasa ragu dan malu.
Beberapa saat kemudian, keempat bibir itu berpisah.
Udara hening, ekspresi wajah Yahan yang kompleks terlihat sekilas. Saat senyum perlahan muncul dengan susah payah di wajahnya, air mata telah mengalir turun. Suara lembutnya terisak: "Maaf, aku bukan ingin bersaing dengan Lingjing dan Shasha, aku hanya... tak tahan..."
Dia masih bersujud di sofa seperti sebelumnya, hanya memalingkan wajah ke samping: "Aku tahu perasaanmu pada Lingjing dan Shasha, tahu kau pasti takkan berpisah dari mereka. Kau tumbuh besar bersama mereka, sedangkan aku justru pendatang baru. Tapi ada hal-hal yang tak bisa kutahan... Aku sudah marah-marah padamu selama setengah tahun, tapi yang paling menderita sebenarnya juga aku... Aku tak tahu bagaimana bisa menyukai anak kecil yang enam tahun lebih muda dariku. Tapi dalam setengah tahun ini, air mataku untukmu lebih banyak daripada yang terkumpul selama 20 tahun sebelumnya..."
"Aku ingin kau tahu, tapi kau bilang sudah tahu segalanya... Setelah tahu, kau juga tak bicara apa-apa padaku..." Di tengah isakannya, mungkin merasa kalimat ini terdengar aneh, dia tak tahan menyunggingkan senyum getir, "Pokoknya... Aku tak pernah berpikir untuk bersaing dengan mereka. Tapi kuharap kau juga bisa baik padaku... Aku tak bisa mengendalikan lagi. Kau anggap aku sebagai teman atau guru, aku... Hmm..."
Sebelum selesai bicara, bibirnya kembali tertutup. Kali ini, Jiaming yang aktif merangkulnya. Dalam kegelapan, terdengar suara ciuman samar dan napas yang semakin terburu-buru. Beberapa detik kemudian, Jiaming baru menghela napas pelan: "Jika kau terus bicara seperti ini, aku akan merasa diri benar-benar sampah sampai ke dasar..."
Yahan memegang bahunya, menyesuaikan napas yang tersengal-sengal: "Lebih baik lagi padaku..." Air mata mengalir deras.
"Bolehkah?"
"Kau... Jika kau masih bicara seperti ini, aku benar-benar tak bisa menahan lagi..." Dia berusaha menekan isakan yang mengguncang, "Kau ingin aku menangis keras-keras di hadapanmu?"
Hal berkembang sampai ke titik ini, wajar sudah tidak banyak lagi kebutuhan untuk beromong kosong. Camilan di meja bundar berjatuhan satu per satu dengan suara gemerisik, diiringi teriakan kecil "Aaaaa" dari Yahan saat Jiaming menggendongnya dengan lembut. Sejak awal perkenalan, usia mereka memang berbeda jauh. Dari segi tinggi badan, Jiaming selalu memberi kesan seperti anak-anak. Karena itu, gaya menggendong putri yang terasa sedikit tidak selaras ini merupakan pengalaman pertama bagi keduanya. Berbaring di pangkuan Jiaming, Yahan merangkul bahu dan lehernya sambil berbisik: "Dulu memanggilmu Kakak Jiaming, bermimpi kau menggendongku, terasa lucu... Tak menyangka benar-benar terjadi. Aku merasa seperti anak kecil..."
"Bagiku... Sudah sejak lama..."
Jiaming menjawab pelan sambil meletakkan tubuhnya di ranjang yang lembut, tapi bagian atas tubuhnya ikut tertarik membungkuk.
"Benar boleh?" Sebuah tangan menyelusup ke helai rambut yang halus. Sebelum Yahan berniat menangis di depan orang ini, Jiaming tersenyum sambil mengelus tengkuknya. "Maksudku penyakitmu..."
"Eh..." Tubuhnya kaku sejenak, kemudian Yahan berbisik kecil, "Kata dokter... Asal tidak terlalu sengit, tidak apa-apa..."
"Hmm..."
"Lagipula... Sudah begini... Jangan cari-cari alasan..."
"Tapi tanganmu mengikatku, bagaimana aku melepas pakaianmu..."
Dengan malu-malu, dia melepaskan cengkeraman tangannya pada Jiaming, lalu menelungkupkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kosong, dada naik turun drastis menampilkan gejolak dalam hatinya.
“Terlihat seperti kodok yang menunggu untuk dibedah...”
“Jangan bercanda...” Yahan terisak, beberapa saat kemudian berbisik hampir tak terdengar, “Aku... aku belum pernah melakukan ini sebelumnya... bisakah kau lebih lembut...”
“Hmm.”
……
Dalam kegelapan, ciuman yang penuh eksplorasi, sentuhan yang tak tentu arah. Dia berusaha merilekskan tubuh kaku, membiarkan tangan itu membuka kancing bajunya satu per satu. Perlahan melepaskan jaket tebal berbulu halus, sweater baru merah muda. Dengan bantuannya membuka gesper ikat pinggang, melepaskan belenggu di pinggang. Saat sensasi mencapai paha, secara bawah sadar dia menjepit tangan itu, menarik napas dalam sebelum melepaskannya. Bersamanya perlahan melepaskan celana panjang, mengendurkan kait bra yang dibelinya siang tadi. Hingga akhirnya, di tangan pria itu, terlepaslah celana dalam putih polos yang juga dibelinya - mempersembahkan tubuh telanjang yang masih perawan...
Pemuda itu dengan lembut menyelimuti tubuh mereka berdua.
Segalanya berlangsung lambat dalam kamar gelap. Kadang sensasi di kulit membuatnya hampir sesak napas. Keraguan, ketegangan, dan rasa terbakar di setiap titik kontak kulit. Dia membeku disana, merasakan untuk pertama kalinya emosi aneh yang dibangkitkan seorang pria. Saat tangan tak sopan itu menyelusup di antara pahanya, nafsu pun datang bagai air bah.
Meski menggigit gigi dengan kuat, suara erangan ringan tetap tak tertahan keluar dari tenggorokan. Tubuh di dalam selimut terasa membara. Dia memegang lembut tangan yang sedang usil itu, namun tak bisa menghentikan interaksi apa pun. Entah kapan, emosi sengit di tubuhnya tiba-tiba meledak. Anggota tubuh dan organ dalam tiba-tiba kehilangan kekuatan, mengambang ringan tak bisa bergerak. Dalam pikiran chaos yang kacau, sesuatu ingin protes. Di saat yang sama, paha yang semula rapat akhirnya terpisah tanpa bisa melawan. Tubuh yang sempat dia rasakan tapi tak berani sentuh, kini dengan lembut merebahkan diri...
Tak lama, antara paha akhirnya datang rasa sakit yang tertekan hingga level terendah, seperti baja dan api. Dari dalam hati naik, erangan tak tertahan dari tenggorokan. Sesuatu memenuhi seluruh tubuhnya, atau lebih tepatnya, ritual yang punya makna besar bagi kehidupannya, akhirnya selesai.
Tubuh mereka berdua berpelukan tanpa sekat. Dia mulai menangis dengan lembut...
……
Mungkin itu bukan hubungan seks yang sempurna. Tapi jika dinilai dari makna dan perasaan masing-masing, hubungan itu hampir sempurna. Dari awal hingga akhir, mereka tetap dalam posisi memeluk yang sama. Dia merasakan setiap gerakan tubuhnya di atasnya, merasakan sakit yang muncul lalu berangsur mereda, hingga akhirnya jelas merasakan dia memancarkan cairannya ke dalam tubuhnya. Dari kegembiraan awal hingga ketidakmampuan menahan diri, di hatinya justru muncul perasaan tenang dan hangat layaknya pasangan tua. Perasaan ini sebagian besar berasal dari cara Jiaming menenangkan dan mengalah padanya.
Meski tubuh lelah, rasa puas memenuhi hati. Mereka berpelukan, berbicara dengan suara hampir seperti bisikan, baru tertidur lelap setelahnya. Setelah kejadian, kalimat pertamanya terasa agak konyol, kesal, dan mengasihani diri: "Aku tidak akan bersaing dengan Lingjing dan Shasha..."
Usai mengucapkannya, dia merasa diri sangat bodoh, lalu menambahkan: "Jadi... kau tak boleh meninggalkanku setelah puas, tak boleh setelah ini... bilang tak mengenalku..."
Kalimat seperti ini tentu membuat Jiaming sulit menjawab, hanya eratkan pelukannya. Menyandar di bahu Jiaming, dia berbisik: "Apa aku akan hamil?"
"Tidak tahu juga..."
"Apa kau ingin aku melahirkan anakmu?"
"Hmm..." Bagi sebagian orang, membicarakan anak saat pengalaman pertama naik ranjang mungkin aneh, tapi bagi keduanya yang saling memahami, hal seperti itu tidak bermasalah. Mungkin karena mereka sama-sama orang konservatif... Dengan dengusan kecil sambil mengangguk, Jiaming berkata dengan sedikit keraguan: "Tapi..."
"Aku mengerti... Kau biasanya tidak supa bergaul dengan orang, sebenarnya sangat menghargai perasaan kan... Kau ingin menjadi ayah yang normal bagi anak..."
“……”
“Tapi kalau begitu… Aku mungkin tidak akan bisa memberimu anak seumur hidup…”
“…Maaf.”
“Tidak apa…” Yahan tersenyum berkata, “Aku mengerti, dan… aku tidak takut omongan orang, tapi setelah punya anak, postur tubuh pasti berubah. Sekarang aku adalah selirmu, tidak mau kau cepat bosan padaku… Jiaming, menurutmu apakah semua selir di dunia yang rela menjadi simpanan bersikap sepertiku ini…”
“Kau bukan.”
“Teman terbaik yang bisa diajak naik ranjang… juga sama saja…” Yahan berusaha menahan rasa kantuk, bergumam pelan, “Ada yang demi uang, ada yang demi cinta. Mulai hari ini, Zhang Yahan resmi menjadi selir Gu Jiaming.”
“Tak bisa menjawab ucapan seperti ini, Jiaming juga tahu, tidak perlu jawabanku. Dengan mata berkabut, Yahan menemukan bibir Jiaming dan menciumnya perlahan: ‘Aku... tak peduli lagi... Teman baik，selir, asal kau memperlakukan aku baik, aku akan kuminati... Keagungan、pendapat orang lain、penilaian, semuanya tak mau aku urusi. Jiaming, setuju satu hal ya?’”
“Hmm？”
“Kita masih sangat muda, masih banyak waktu. Aku lebih tua enam tahun darimu, tapi baru dua puluh tiga tahun. Apa yang ada di jalan di depan, tidak ada yang tahu. Tapi... jika suatu hari kau merasa sudah bisa, dan kita masih bersama, biarkan aku memberimu seorang anak, ya?”
“……Hmm.”
“Hari ini... aku sangat bahagia...”
Berbisik pelan, di pangkuan Jiaming, Yahan tersenyum dan terlepas dalam mimpi indah...
## Bagian Dua Ratus Enam Puluh Dua Pagi yang Sederhana
Mendekati fajar, di saat kegelapan malam paling pekat, dia terbangun dari ranjang.
Celah tirai memantulkan cahaya dari rumah di seberang jalan. Salju entah masih turun atau tidak. Di sampingnya samar-samar terasa kehangatan kulit telanjang seorang wanita, dalam kegelapan terlihat siluetnya yang tertidur lelap.
Turun dari ranjang, mandi dan gosok gigi di kamar mandi. Mencuci pakaian kotor sekilas, dia mematikan lampu kamar mandi lalu keluar. Lorong diterangi lampu kuning redup yang sengaja diatur, menciptakan kesan malam dan tidur. Menuruni tangga, kebetulan bertemu nyonya pemilik penginapan gemuk yang juga bangun pagi.
“Sudah bangun segini pagi? Anak muda memang bersemangat ya.”
“Hmm, mau olahraga dulu.”
“Kebiasaan bagus itu, kau akan menemukan banyak kawan... Kira-kira jam berapa kembali? Aku akan siapkan sarapan untukmu dan kakakmu. Mau makan apa?”
“Hmm, susu, sandwich telur ham, kue krim... terserah deh...”
“Tapi ini semua makanan tinggi lemak, apakah Nona Zhang akan suka?”
“Dia tidak pilih-pilih makanan, dan tidak pernah gemuk meski makan banyak. Lagipula sekarang dia justru butuh nutrisi...”
“Benar-benar cewek yang bikin iri...”
Setelah mengobrol sejenak dengan nada iri sang pemilik toko, Jiaming tersenyum dan keluar. Lampu jalan masih menyala, badai salju sudah jauh melemah, sepertinya akan berhenti. Dingin yang menyegarkan menyergap dari depan, dia menarik napas dalam udara pagi, lalu mengusap lembut pembuluh darah di dekat pelipisnya.
Sejak sakit kepala pertama kali muncul setelah bertemu pengguna kekuatan supernatural saat regenerasi, rasa sakit ini tampak semakin sering dengan kecepatan tertentu. Setelah diuji oleh Dongfang Ruo kala itu, sensasi nyeri yang muncul sesekali menjadi lebih jelas. Sampai sekarang, sakit kepala sporadis ini belum sampai mengganggu. Setiap pagi buta, saat sensasi tubuh mencapai puncak, ia tiba-tiba muncul tanpa tanda-tanda. Dari yang awalnya hilang sekejap, perlahan memanjang menjadi satu detik, dua detik, dan kini butuh lebih dari sepuluh detik baru rasa sakitnya menghilang.
Meski keahlian utamanya adalah bedah, sebagai seseorang yang pernah mempelajari ilmu medis, dia memahami dasar-dasar penyakit otak. Sensasi nyeri ini mirip dengan reaksi ringan setelah otak manusia biasa bekerja berlebihan - tidak sampai tingkat penderitaan, tidak terlalu menyiksa, bahkan seringkali justru meningkatkan kewaspadaan. Namun jika terus berkembang dalam tingkat ini, mungkin suatu saat akan menimbulkan masalah... Selain itu, seiring munculnya rasa sakit ini, perubahan-perubahan halus yang terjadi secara bertahap tampaknya mulai terlihat pada tubuhnya.
Perlu diketahui, sebelum regenerasi, usianya sudah mencapai 40 tahun. Akumulasi kerusakan selama bertahun-tahun telah menyebabkan keausan fisik yang luar biasa. Setelah regenerasi, melalui pelatihan beberapa tahun terakhir dengan metode latihan efisiensi tertinggi tanpa kesalahan, tubuh remaja ini - meski daya rusak fisik murni masih terbatas oleh tinggi badan dan berat badan - dalam hal kelincahan dan ketajaman sebenarnya sudah mencapai bahkan melampaui kondisi puncak sebelum regenerasi. Di mata para peneliti kemampuan fisik Pei Luo Jia kala itu, kondisi ini hampir menyentuh batas maksimal manusia biasa. Namun dalam setahun terakhir, seiring rasa sakit kepala yang mulai menarik perhatiannya, dia juga terkejut menemukan bahwa berbagai aspek kualitas fisiknya justru melakukan lompatan kualitatif melampaui batas yang sudah ada.
Perasaan manusia sangatlah halus, dan perkiraan terhadap diri sendiri seringkali terlalu tinggi karena pengalaman yang sederhana. Mungkin keunggulan yang terlalu mencolok saat menghadapi musuh seperti Pei Luo Jia selama ini telah menciptakan emosi kesombongan, namun bagaimanapun juga, selama perasaan ini ada, kemungkinannya benar-benar eksis. Selama beberapa hari ini, dia telah melakukan banyak spekulasi - pertempuran di Jianghai, pertempuran di Amerika, meskipun keunggulan besar tercipta karena pemahamannya yang mendalam tentang musuh, namun dalam banyak kesempatan dia juga merasakan kemudahan yang melebihi perkiraan. Setiap kali menyerang, membuka tembakan, kemungkinan musuh menghindar tercermin lebih jelas dalam pikiran, refleks terkondisi menghadapi bahaya juga menjadi lebih akurat dan cepat.
Mampu melakukan terobosan di atas batas, memang merupakan hal yang menyenangkan. Namun sakit kepala aneh yang menyertainya membawa kekhawatiran tersembunyi. Jika benar bisa melampaui batas fisik manusia biasa, apakah ini membuktikan diri telah menjadi pengguna kekuatan supernatural? Karena phoenix bisa melakukan regenerasi diri, menjadi manusia berkekuatan supernatural juga bukan tidak mungkin. Tapi kekuatan supernatural apa sebenarnya ini? Penguatan fisik lebih lanjut, atau kekuatan akhir legendaris yang mengarahkan segala hal ke hasil ideal melalui sebab-akibat tak kasatmata——keberuntungan?
Ketidakmampuan merasakan evolusi tubuh secara jelas, kemungkinannya... kurang dari sepuluh persen, tapi bagaimanapun tetap ada...
Sambil berlari perlahan ke depan, Jiaming merenungkan kondisi tubuhnya. Mungkin karena banyak veteran di kota kecil ini, bahkan di pagi bersalju seperti ini, terlihat banyak orang berolahraga di jalanan. Tak lama berlari, dia berpapasan dengan Mike, pemuda kulit hitam yang sedang berlari cepat dari arah berlawanan. Keduanya saling menyapa. Mike tersenyum dan bilang nanti mau mengunjungi Yahan. Jiaming menjawab sekadarnya, dalam hati bergumam: "Masih sempat mikir merayu cewek di saat seperti ini? Awas nanti sore duel babak belur." Hatinya sama sekali tidak merasa cemburu, malah agak kasihan melihat orang ini. Bayangkan, belum setengah hari sejak dia suka pada seorang gadis, eh si cewek sudah telanjang di ranjangnya. Perasaan seperti ini... sangatlah tegang.
Berpisah dengan Mike, Jiaming melanjutkan lari santai. Di tepi jalan yang remang-remang, dua lampu jalan tampak rusak. Lubang besar nyaris membuatnya terjungkal. Setelah melompati lubang, dilihatnya seseorang sedang keluar dari selokan: "Haa, perbaikan darurat. Awas-awas."
Seorang gadis kulit putih berjaket tebal seperti beruang abu-abu yang kebetulan lewat berseru: "Paman Jerry, pasang papan peringatan dong!"
"Tahu, sudah ditaruh di mobil."
Tukang reparasi paruh baya itu berlari ke van tak jauh untuk mengambil barang. Saat berbelok di sudut jalan depan, seorang pemuda menginjak salju tebal dengan suara "Byur". Pria ini tampak bugar, kemarin ketika pria bernama Gamor menantang Mike untuk duel, dia berdiri di samping. Kini terlihat dia berpakaian tipis dengan tali di punggung yang menarik ban mobil besar, terus melakukan lompat kodok ke depan—metode latihan fisik khas pasukan khusus.
Jiaming mengamati sebentar. Pria itu mengangkat kepala dan sepertinya mengenali turis Tiongkok yang pernah dilihatnya kemarin. Namun karena Jiaming adalah teman Mike, tatapannya yang menatap pemuda itu berlari santai memancarkan ekspresi merendahkan. Kedua kakinya menendang, tubuhnya menarik ban mobil itu lalu menerjang ke depan. Di udara terdengar suara "Huu" menusuk angin, sementara kedua ibu jarinya menunjuk ke bawah dengan keras.
Menyaksikan gerakan penghinaan ini, Jiaming menoleh dengan tatapan membeku. Pria itu balas menatapnya penuh provokasi. Tumbuh besar di kota kecil, latihan rutin harian membuatnya hafal medan bahkan dengan mata tertutup. Di sudut jalan, tanpa ragu dia berbelok 90 derajat, melompat ganas. Pagar villa menyapu tatapan sombongnya. Ban itu menyemburkan gumpalan salju "Brak" ke udara...
Dong——
"Aaaaa..."
Saat membawa sarapan masuk ke kamar penginapan, cahaya di luar jendela sudah terang. Tirai jendela telah dibuka, memperlihatkan jalanan yang cerah dan sejuk setelah hujan salju lebat. Wanita itu mengenakan jubah mandi putih besar, setengah berbaring di ranjang terlihat lembut dan malas. Selimut menutupi paha dan tubuh bagian atas, memperlihatkan betis dan kaki ramping yang putih di ujung ranjang. Dia memakai kacamata hitam besar yang entah dari mana ditemukan, sedang membuka-buka novel yang dibeli bersama rekaman video tadi malam.
Melihat dia masuk, wanita itu menutup buku, melepas kacamata hitamnya, dan memandangnya dengan tenang.
"Nyonya pemilik penginapan bilang kau pergi sejak jam lima pagi. Aku kira kau akan meninggalkanku sendirian di sini."
"Hehe, ada hal saat olahraga pagi... ada orang jatuh ke selokan... Seharusnya kau makan dulu. Tadi nyonya pemilik bilang kau sudah turun tapi menolak sarapan dan kembali ke atas. Lapar kan?"
"Menunggumu." Dia tersenyum meregangkan leher rampingnya yang seperti gading, tubuhnya mulai duduk. "Perut sudah sangat lapar, ini semua salahmu..."
"Biar kuraba."
"Boleh."
Awalnya Jiaming bercanda, tapi saat Yahan tersenyum membuka sedikit selimut, gerakan ini menjadi wajar. Tangannya menyusup ke dalam selimut, lalu masuk ke dalam jubah mandi. Yahan mengkerutkan tubuh sambil tertawa kekek: "Agak ke atas sedikit." Kemudian mengulurkan tangan mengambil piring.
“Baik berdasarkan standar pasien maupun manusia biasa, tingkat eksplorasi kesehatan Yahan berada di atas batas lolos. Jiaming meletakkan tangannya di sana sejenak, dia tersenyum: "Bagaimana?" Pipinya memerah.
“Cukup baik, umpan lezatnya sudah habis dimakan kelaparan.”
“Sudah kukatakan, karena dulu sering sendawa jam-jam tertentu. Waktu itu mau kutunjukkan, kau malah tak berani lihat.”
“Cepat atau lambat satu hari juga sama saja. Setelah kau selesai makan, aku mau periksa dengan teliti.”
“Mimpi kali.” Sebagai gadis yang baru pertama kali mengalami hubungan, meski di hati sudah sepenuhnya menuruti kemauan Jiaming, tetap saja tak tahan digoda berlebihan. Pipinya memerah sambil tertawa: “Siapa yang jatuh ke selokan itu?”
Membagi sarapan menjadi dua porsi besar dan kecil, mereka duduk di ranjang menyantap makanan. Sambil menenggak susu, Jiaming bercerita tentang si bodoh yang awalnya BS terhadapnya, lalu jatuh ke selokan, dan kerumunan orang yang panik menyelamatkannya sebelum dibawa ke rumah sakit kecil di kota untuk pertolongan pertama. Yahan tertawa terpingkal-pingkal sampai hampir menumpahkan susu ke ranjang.
Setelah sarapan, mereka menyalakan TV mencari acara. Jiaming turun mengembalikan peralatan makan, lalu naik lagi bertanya: “Pagi ini mau jalan-jalan ke kota?”
“Hmm... nggak deh.” Yahan menggelengkan kepala, “Aku masih capek banget...”
Bola matanya berputar dua kali, Jiaming menatapnya: “Masih sakit?”
Yahan melotot padanya, wajahnya memerah: "Itu... tadi pagi aku pakai air panas... hmm, sudah tidak sakit, cuma agak pegal... ngapain kau ketawa-ketawa sih, kan ini semua ulahmu..." Melihat ekspresi Jiaming yang berusaha menahan tawa dengan wajah menjengkelkan, rasa malunya justru hilang, suaranya semakin keras, "Pokoknya... hmm, cuma lemas dan tidak bersemangat, penginnya tiduran seharian di ranjang..."
Jiaming mengerutkan kening: "Penyakit ginjalmu..."
"Itu tidak berpengaruh seperti ini lho..." Berkaitan dengan kondisi tubuh, Yahan bersuara lantang, "Dokter bilang boleh, asal tidak terlalu... terlalu sengit. Penyakitku sudah sembuh total..."
"Jangan panik, aku tidak bilang ada masalah." Sambil tersenyum menahan bahu Yahan, Jiaming berkata, "Penyakitmu baru sembuh, akhir-akhir ini tubuhmu juga lemah. Setelah melakukan hal semacam itu, siapa pun pasti lelah. Reaksimu mungkin lebih kuat saja... Hmm, ke depan harus lebih terkendali, haha..." Di tengah tawanya, Yahan memukulnya dua kali dengan geram, memberinya tendangan, baru kemudian Jiaming tertawa sambil menghindar.
"Sudah, jangan turun dari ranjang. Istirahat saja pagi ini, pasti akan membaik."
"Sebenarnya tidak terlalu lelah, cuma rasa malas lebih dari biasanya, pengin bermalas-malasan di ranjang..." Yahan mengangkat bahu, "Aku baca buku di ranjang saja... Kau mau ke mana pagi ini?"
"Aku juga tidak ke mana. Lagi tidak ada urusan, temani kamu saja."
Mendengar perkataannya, Yahan tersenyum hangat tanpa berkata-kata, namun sudut bibirnya dipenuhi kepuasan mendalam. Tubuhnya bergeser ke samping, menarik selimut ke arah ini sebagai isyarat mengajak Jiaming naik ke ranjang untuk menemaninya. Jiaming justru berdiri di samping sambil mengangkat bahu, tertawa: "Masih mau naik? Ini bukan untuk tidur, apa kau ingin besok tidak bisa bangun... Kita mungkin akan pergi setelah hari ini, paling-paling besok. Aku akan mencuci pakaian kemarin yang kotor, lalu mengeringkannya agar mudah dibawa... Hehe, menemanimu di kamar saja sudah cukup, dasar perempuan mesum..."
Kali ini Yahan tidak membantah. Tiba-tiba dia duduk dari ranjang: "Ah... Biar aku saja yang mengerjakan itu, aku..."
"Sedikit omong kosong, tidur yang baik!" Jiaming tersenyum sambil merapikan selimutnya, lalu masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, suara nyanyiannya yang riang terdengar dari dalam. Yahan mengenakan kacamata, membuka buku, tanpa sadar tersenyum sambil menitikkan air mata. Dilepasnya kacamata itu, diusapnya air mata, namun beberapa saat kemudian kembali menangis tersenyum. Air matanya jatuh di lensa kacamata dan halaman buku, dihapusnya perlahan dengan handuk. Sekitar puluhan menit kemudian, Jiaming selesai mengurus beberapa pakaian mereka dan datang mengambil camilan. Yahan segera membersihkan lensa dan mengenakan kembali kacamata.
“Suara TV sudah dikecilkan sampai minimum, Yahan membalik-balik halaman buku di ranjang, Jiaming duduk di kursi sambil makan kuaci sambil memandang pemandangan di luar jendela. Tak lama kemudian, Yahan mengangkat kepala: "Hei, kamu pilih saluran TV favoritmu, besarkan suaranya."
“Tidak akan mengganggumu?” Jiaming menoleh.
“Tidak apa-apa.”
“Oh.” Mengangkat bahu, Jiaming mendekat untuk membesarkan suara, memilih film animasi yang sedang tayang, kemudian menoleh lagi, memandangi Yahan cukup lama: "Kacamatanya cantik, dari mana ketemu, tidak kulihat kamu membawa apa-apa..."
“Tadi pagi aku bilang mau baca buku, pinjam dari nyonya pemilik penginapan.” Yahan melepas kacamatanya dan melihatnya sebentar, lalu mengangkat mata, “Mantan pemuda terpelajar 20 tahun lalu pakai kacamata baca seperti ini... Kau mengejekku ya.”
“Mana ada, aku benar-benar merasa kamu pakai ini sangat cocok, hmm, sangat berkesan intelek, lagi tampak serius, bikin orang tak tahan ingin... hehe... Sudah, aku nonton TV...”
“Cih...”
Di dalam kamar, suara TV, gemerisik halaman buku, dan obrolan mereka sesekali terdengar. Di luar jendela salju mulai reda, waktu pagi pun mengalir dalam suasana tenang dan hangat seperti ini...
## Bagian Dua Ratus Enam Puluh Tiga: Jurus Andalan
Sepanjang pagi berdiam di kamar, Mike datang sekali lalu segera pergi, mungkin agak menyadari keakraban antara Jiaming dan Yahan. Meski mustahil menyangka mereka adalah pasangan kekasih, cukup terasa nuansa canggung seorang diri dalam suasana itu.
Saat Mike datang, Yahan langsung lari ke kamar mandi mengganti pakaian musim dingin yang konservatif. Setelah pemuda kulit hitam yang cinta tak berbalas pergi, barulah ia berbaring di ranjang melanjutkan bacaannya. Menjelang siang, ia bangun dengan penuh semangat. Kondisi Yahan sebenarnya tidak parah, fisiknya bahkan mungkin lebih baik dari orang biasa. Setelah beristirahat setengah hari, ia pun pulih.
"Setelah makan siang, nanti sore kita nonton Mike berkelahi?" tanya Yahan sambil berdandan sederhana di depan cermin.
"Hmm, bagaimanapun dia sudah memberi kita tumpangan dan banyak membantu. Apalagi kurasa dia masih tertarik padamu... Kasihan, tidak fair kalau tidak mendukungnya..."
"Cih..." Yahan memelototinya, "Kau selalu bicara sinis. Dia hanya orang baik yang hidup di negara demokratis dan bebas."
"Ya, dia orang baik. Aku mengerti..."
"Hehe, malas berurusan denganmu..." Dulu saat hubungannya dengan Lingjing dan Shasha masih harmonis, Jiaming sering mengajari trik memberi "kartu orang baik". Yahan paham candaannya. Setelah selesai berdandan, mereka turun tangga sambil mengobrol. Setelah makan siang di luar penginapan, salju telah berhenti total. Langit terasa dingin tapi cerah, jalanan, atap, dan pepohonan tertutup salju tebal.
"Salju berhenti. Pesawat mungkin segera beroperasi lagi. Seharusnya tidak mengganggu rencana pulang setelah Natal."
"Aku ingin tahu bagaimana kabar Tante sekarang."
“Dia baik-baik saja, pagi ini sudah menelepon untuk menanyakan. Selain sifatnya yang agak bermasalah, tidak ada masalah besar... Hehe, Tante-mu cukup menarik.”
“Menarik? Memang sih, orang tiga puluhan tapi sifatnya masih seperti anak kecil...”
“Kau juga sama kan?”
“...Aku tidak mau bicara denganmu... Sebenarnya saat baru menikah dulu, Tante sangat pendiam. Setelah semua orang akrab, dia menjadi cerewet. Aku merindukan Tante yang dulu...”
“Saat membawamu yang terus bersendawa berkeliling itu?”
“Hmm.”
“Ayahmu tidak tahu karakternya saat menikahinya dulu?”
“Ayah tahu, tapi aku tidak. Lagipula mereka menikah bukan karena cinta sejati atau semacamnya. Tante sangat takut dan hormat pada Ayah, tentu tidak berani bersikap cerewet di hadapannya... Kalau dipikir-pikir, Tante juga bukan orang kaya sebelum menikah. Mungkin setelah tiba-tiba masuk ke keluarga besar, merasa harus bersikap tegas agar dianggap serius. Sebenarnya aku tahu Tante selalu ingin memberi Ayah anak, lebih baik anak laki-laki untuk mewarisi keluarga. Tapi Ayah tidak mengizinkan.”
“Kenapa?”
“Itu masalah antara dia dan ibu kandungku. Pernikahan ayah dan ibu bersifat politis. Kakek dari pihak ibu juga punya aset lumayan di Beijing. Entah bagaimana kesepakatan mereka, pihak kakek mensyaratkan jika orang tua punya anak, harus memprioritaskan anak itu untuk mewarisi Keluarga Zhang. Awalnya cuma perjanjian lisan, tapi entah kenapa ayah malah melakukan vasektomi...” Dia menengadah, “Hmm, kalau dipikir-pikir, jangan-jangan sebenarnya mereka juga punya perasaan...”
“Siapa yang tahu urusan orang dewasa? Waktu itu kau masih kecil.”
“Tapi dari yang kuingat, hubungan mereka berdua tidak terlalu mesra. Ibu selalu sendirian di rumah merawatku.” Yahan menarik napas. “Anak pertama mereka adalah aku. Karena perempuan, rencananya mau punya anak lagi. Katanya ibu pernah hamil lagi tapi keguguran, setelah itu tidak hamil lagi. Karena hal ini, sejak kecil aku sempat beberapa tahun dibina untuk jadi calon pemimpin negara. Ibu tidak lama kemudian MATI. Aku juga mulai punya kebiasaan aneh sering sendawa. Waktu itu aku benci ayah, menolak semua hal tentangnya, jadi dia berhenti menyuruh orang mengajarku hal-hal itu. Tapi kemudian kudengar, setelah ibu dikuburkan, dia melakukan vasektomi...”
Bercakap santai, sesekali bola salju putih berjatuhan dari pepohonan di tepi jalan. Getaran sedikit lebih kuat membuat tumpukan salju berhamburan deras. Jiaming mengambil sedikit salju ke mulutnya: “Bisa diatasi dengan dokter. Nanti bisa punya anak lagi.”
“Benar, tapi ayah tidak punya maksud untuk melepaskan. Aku lebih memilih percaya dia orangnya serius dan kaku, janji pasti ditepati. Sebenarnya aku lebih berharap Tante bisa melahirkan anak laki-laki untuk ayah, beberapa kali ingin bicara tapi hubungan kita belakangan ini renggang, sekarang sadar sebagian besar kesalahanku.”
Jiaming meliriknya, mengangkat alis heran: “Bagaimana tiba-tiba mau refleksi diri?”
Yahan tersenyum: “Senang saja, jadi teringat masa lalu. Kesalahan-kesalahan yang dulu, ingin kuperbaiki semua. Sebenarnya dulu aku terlalu sombong, hubungan dengan banyak orang rusak, memperlakukan keluarga seperti rekan kerja, masih dendam mereka selalu mengincar posisi ayah, dan sudah bertahun-tahun bersitegang dengan ayah...” Dia mengayunkan tinju, “Hari ini adalah hari pertama Zhang Yahan memulai kehidupan baru sebagai selir, tentu harus belajar lebih lembut dan paham perasaan orang...”
“Terus menyebut diri selir membuatku bersalah... Nanti mau kuberi gelar Karyawan Teladan?”
“Tentu saja, bersalah terus sampai mati kau...”
Meski membahas topik selir dan sejenisnya, senyum di wajah Yahan tulus terpancar, seolah kembali ke masa sebelum kesenjangan muncul. Dua orang yang berbeda usia itu tetap terbiasa bercanda, meski sekarang tinggi badan Jiaming sudah menyamai Yahan. Walau sebagai baron ia masih terlihat kekanakan, tak lama lagi mungkin akan melebihi Yahan. Tentu saja, di masa depan, keduanya tetap tak akan terlihat seperti pasangan kekasih standar. Faktanya, hubungan mereka lebih didominasi perasaan mesra layak kakak-beradik atau teman dekat yang tanpa batas.
Melanjutkan perjalanan, tak lama setelah keluar dari kota kecil, terlihatlah pabrik terbengkalai yang ditimpa salju di kejauhan. Duel satu lawan satu Mike baru akan dilakukan lewat jam tiga lebih nanti sore. Karena tidak ada kegiatan lain, mereka memutuskan untuk menunggu di lokasi terlebih dahulu. Sebelum mendekat, alunan musik heavy metal bernada ritme sudah menggema dari kejauhan.
"Benar-benar selera musik yang sulit dipuji..."
Bergumam, keduanya berjalan mendekat. Di depan pintu pabrik sudah berdiri beberapa pria dan wanita yang sedang berbicara, tampaknya para pemuda dari kota —— Tentu saja, faktanya itu bukanlah pintu sebenarnya. Seluruh sisi bangunan pabrik terbuka, memperlihatkan ruang persegi panjang di dalamnya. Area bawah terlihat lapang, sementara koridor di lantai dua masih bisa diakses, membuatnya mirip lapangan basket dalam ruangan. Atap gentengnya sudah bolong di beberapa tempat, tapi di area yang tidak terlalu kentara. Di dalam arena selain belasan pria-wanita, terdapat juga speaker tua, motor, TV, meja kursi, beberapa piring api yang membakar, serta tumpukan barang tidak karuan. Di samping tergantung dua karung pasir latihan, dua orang sedang berlatih dengan giat: seorang wanita gagah dengan ikat kepala kuning, dan seorang pria kulit hitam Gamor yang kemarin menantang Mike. Pria bertubuh kekar ini diperkirakan setengah kepala lebih tinggi dari Mike, kini sedang memukul karung pasir hingga berbunyi byur-byur.
Di kerumunan juga ada dua pria paruh baya berusia 40-an tahun, bertubuh atletis yang diduga mantan prajurit. Salah satunya berdiri di dekat karung pasir, mengawasi latihan Gamor.
Musik mengalun tinggi, terlihat ini adalah tempat kumpulan privat para pemuda kota kecil, dan juga terbuka untuk umum. Karena ketika Jiaming dan Yahan mengangguk pada orang di sebelahnya, mereka pun membalas anggukan ramah tanpa maksud menghalangi. Keduanya melihat dekorasi di dalam pabrik terbengkalai ini, kemudian menggeser kursi ke depan perapian untuk menghangatkan tangan. Namun sebagai orang asing, keduanya tetap lebih mencolok. Tak lama kemudian, Gamor si pria kulit hitam berhenti berlatih tinju, berjalan mendekat sambil tersenyum.
"Hai, apa kabar, Teman." Dia mengulurkan tangan sambil tersenyum, membuat keduanya tak bisa tidak berdiri untuk berjabat tangan. Sikapnya yang ramah saat ini tampak tulus, "Jangan dipikirkan, ada beberapa hal antara aku dan Mike, tapi bukan masalah besar. Di sini kalau ada masalah ya biasa diselesaikan dengan bertarung, setelah itu semua dilupakan. Bagaimana menurut kalian tempat ini?"
"Hmm, cukup bagus..."
Setelah percakapan singkat, wanita berkerudung itu juga berhenti berlatih dan mendekat, kemudian dua orang lagi menyusul. Jiaming mulai paham, sebagian besar dari mereka mungkin tertarik pada Yahan. Tentu saja, kecantikan selalu menarik perhatian, ini hal biasa. Wanita berkerudung itu sepertinya pacar Gamor bernama Shelly, terlihat ada sedikit nuansa persaingan dengan Yahan. Biasalah kalau wanita berkumpul, bukan masalah serius. Postur tubuh wanita ini sangat atletis, pukulannya pun terlihat bertenaga. Jika benar-benar bertarung, Shasha, Lingjing, maupun Yahan mungkin bukan lawannya.
“Di masa sekarang, jika bukan orang Amerika yang benar-benar berniat memahami Tiongkok, pemahaman mereka tentang negara Timur ini sebenarnya penuh kesalahpahaman. Tapi tentu saja tidak mungkin bertanya pertanyaan merendahkan seperti 'Apakah di negaramu masih menggunakan tali jerami untuk bersih-bersih setelah ke toilet?' di depan si cantik. Dalam pandangan orang-orang Amerika ini, seni paling legendaris dari Tiongkok tak lain adalah Kung Fu. Tak lama kemudian, topik beralih ke hal ini. Saat seseorang bercanda menanyakan apakah Yahan bisa, Yahan mengedipkan matanya lalu menunjuk Jiaming.
“Aku tidak bisa, tapi adik laki-lakiku pernah belajar.”
Jiaming melotot dengan wajah dramatis ke arah Yahan yang tersenyum menutupi mulutnya. Saat itu Gamor dan yang lain sudah mulai bersorak meminta Jiaming tampil. Jiaming hanya bilang ilmu bela diri itu dipelajarinya untuk main-main, sekarang hampir lupa semua, mana bisa dibandingkan dengan mereka. Sekelompok orang yang penasaran dengan "Kung Fu China" itu, wanita bernama Sherry tersenyum mengatakan hanya ingin melihat pertunjukan. Melihat Jiaming masih berwujud remaja, dia tertarik mengajak bertarung.
“Tenang saja, jangan malu. Kami pasti tidak akan melukaimu. Ayo, tunjukkan sedikit...”
Mengikuti sorak-sorai beberapa orang, Jiaming bangun dengan wajah kecewa. Diam-diam ingin mencubit Yahan yang sudah melompat menjauh sambil tertawa. Melihatnya mulai renggang, sepuluh lebih orang dari jauh-dekat mulai berkumpul ke sini. Mereka tentu tak mengira Jiaming punya ilmu Kung Fu China tingkat tinggi, kebanyakan hanya ingin melihat keramaian. Dua mantan tentara veteran itu juga terlihat sangat tertarik dengan "Kung Fu China".”
“Hmm, baiklah, kalau memang harus datang.” Jiaming melirik orang-orang di sekitar, “Aku akan tunjukkan satu trik istimewa. Kau yakin benar ingin datang?”
Ditatap dalam-dalam oleh Jiaming, Shelley tiba-tiba merasa agak gugup, lalu tersenyum mengangguk: “Tentu.”
“Baik, persiapan mulai. Tolong... hmm, tunggu sebentar...”
Jiaming berdiri tegak di tengah kerumunan. Setelah beberapa detik, dengan napas dalam yang berlebihan, ia mengepal erat tangan kiri lalu mengulurkannya perlahan dengan khidmat. Matanya menatap serius ke arah wanita itu: “Kau siap?”
“Hmm, siap.” Ekspresi terlalu serius Jiaming membuat Shelley tak sengaja meninggikan suara dengan wajah tegang.
“OK, kalau begitu... peganglah tanganku.” Tangan kiri Jiaming tetap mengepal sambil mengangguk.
“Eh?”
“Tolong pegang tanganku.”
“Oh.”
Wanita itu mengangguk, mengulurkan satu tangan memegang lengan kiri Jiaming: “Di sini?”
“Terserah kau, yang penting kau yakin sudah memegang. Kau konfirmasi sudah pegang?”
“Konfirmasi.”
“Benar-benar konfirmasi?”
“Benar.”
“Kurasa lebih baik pakai dua tangan. Tak apa, yang penting kau pegang erat.”
Ucapan serius Jiaming membuat suasana menjadi tegang. Proses konfirmasi berulang ini mirip pertunjukan sulap. Semua orang menahan napas menanti trik agar tangan mereka bisa lepas dari kendali.
“Baik, karena kau sudah yakin memegang erat, siap-siap, satu, dua, tiga, awas!”
Sekejap itu, Shelley mencengkeram erat lengan kiri Jiaming. Kemudian Jiaming mengayunkan tangan, suara "ngank" bergema di dahinya. Karena musim dingin, suara ini terdengar semakin nyaring.
Kerumunan orang terdiam terkejut. Kedua tangan Shelley masih mencengkeram lengan kiri Jiaming yang tak bergerak. Setelah beberapa saat, dia baru mengangkat kepala dengan wajah bodoh. Jiaming memegangi rambutnya dengan tangan kanan, mengedipkan mata, bertatapan dengan ekspresi dramatis...
## Bagian Dua Ratus Enam Puluh Empat Mengayunkan Tinju
Api berkobar dalam beberapa wajan besi rusak. Di luar pabrik, salju putih menimpa bukit dan kota kecil. Di tengah arena persegi panjang ini, dua pemuda kulit hitam sudah mulai berkelahi. Pertempuran tingkat ini tidak ada nilai tontonan bagi Jiaming. Dia dan Yahan berdiri di sudut belakang dekat dinding. Yahan sesekali mengayunkan tinju memukulinya, terkadang memegangi perut sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hei...sudah cukup..." Jiaming meliriknya, tak bisa menahan senyum di bibir, "Sudah setengah jam kau masih seperti ini. Ada yang menekan titik tawamu? Tak lihat Mike dan orang itu sudah berkelahi? Bahkan jika kau terus tertawa, ngapain harus memukuliku sambil tertawa..."
“Jia... jia kau menekan titik tawa aku, huu, perutku sakit.” Yahan membungkuk sambil senyumannya bersinar tak karuan. Tapi, meski si cantik, tertawa terputus-putus selama setengah jam lebih, benar-benar berlebihan. Orang-orang di kejauhan memandangnya dengan penuh kekaguman. “Aku... begitu lihat ekspresi seriusmu, langsung tahu kau mau bikin komedi absurd... Tapi tak kusangka kau sebegitu liciknya, haha... Aku ingat pertarunganmu dengan Han Gangcheng dulu...”
“Han Gangcheng? Siapa itu?”
“Bukan kali, kau lupa.” Yahan menahan tawa, memandanginya dengan tatapan aneh, “Waktu itu bola mereka mengenai kepala Lingjing, kau meludahi orang di atas ring, memberikan tendangan pemutus keturunan, lalu menyemprotkan semprotan anti-serigala sambil beriklan itu lho.”
“Wah, sudah lama sekali, siapa yang ingat... Itu masih baik hati aku, kalau benar-benar bertarung, satu pukulan saja sudah kuhabiskan dia...”
“Hehe, kesanku saat itu sangat dalam. Guru Chen Guxia kebetulan datang ke kampus, aku membawanya ke area atas, kau terus kabur-kaburan, aku bahkan bertarung mati-matian memujimu di hadapannya. Bilang moralmu bagus, tidak suka perkelahian, jadi saat Pertempuran terjadi hanya tahu lari. Guru Chen malah mempercayainya. Saat itu dia bilang, tidak suka berkelahi adalah sifat baik, bahkan memuji bakat dan pondasimu bagus. Tak lama setelah pujian itu, kau malah muntahkan air liur ke orang... Hmph, penipu kau ini...”
“Hal-hal itu aku tidak bohong padamu!”
“Tapi ada hal lain yang kau sembunyikan dariku, dan... Lingjing dan Shasha juga baru tahu kalau kau bisa ilmu bela diri setelah lama bersama. Berapa banyak kecemasan yang mereka rasakan untukmu sebelumnya. Seperti saat pertarungan Han Gangcheng di ring itu, mereka mengira kau akan dipukuli, panik sekali...”
“Tapi aku tidak punya niat jahat...”
“Intinya... ini salahmu...”
Setelah menyimpulkan, Yahan mulai memukul punggung Jiaming dengan semena-mema. Dalam situasi seperti ini, berdebat dengan wanita tak ada gunanya. Tapi pukulannya lemah, lebih mirip pijat. Keributan mereka terlihat seperti adik-kakak yang akrab bagi orang luar. Di sisi lain, Mike di ring baru saja dipukul jatuh oleh lawannya, tapi dengan keras kepala bangkit kembali.
"Ah, Mike kayaknya kalah melawan Gamor itu. Haruskah kita bantu? Atau kau beri dia petunjuk?" Karena merasa berhutang budi pada Mike, Yahan mengusulkan.
Jiaming menggelengkan kepala sambil tersenyum: "Ini tradisi mereka. Setelah sekali bertarung, apapun hasilnya, permusuhan lama selesai. Lebih baik kita tunggu selesai dulu, nanti aku obati lukanya. Aku ahli dalam hal ini."
"Oh." Yahan mengangguk, lalu tersenyum bertanya, "Kau benar-benar ingin jadi dokter bedah nanti?"
“Tidak pasti, tapi kalau dipikir sekarang, aku memang lebih ahli dalam hal ini. Ibu Ye... uh, dia juga merasa aku melakukannya dengan baik. Ada apa? Menjadi dokter itu tidak baik? Bukankah orang sekarang mengharapkan anak-anak mereka menjadi dokter atau pengacara ketika besar nanti.”
“Tidak, hanya...” Dia mengangkat mata putihnya, “Sulit membayangkanmu menjadi dokter dengan sikap serius seperti itu.”
“Sebenarnya sifat asliku memang serius, setuju?”
“Tidak merasa kalimat itu kurang meyakinkan?”
“……”
Topik apa yang dibahas pasangan yang baru saja meningkatkan hubungan ke tahap lebih lanjut? Mengenang masa lalu, memandang masa depan, melakukan hal-hal bodoh tanpa alasan, berbicara omong kosong... Singkatnya, meski dengan sifat batin Jiaming yang matang, kali ini tetap harus menemani Yahan bercumbu sebentar. Tapi dalam suasana seperti ini, tentu ada hal lain yang bisa dibahas. Sambil memandangi pertarungan di arena, ketika muncul jurus yang cukup mengesankan, Yahan yang juga tertarik dengan ilmu bela diri mulai bertanya metode penanganan yang tepat pada Jiaming.
“Uh, jurus ini bisa kupatahkan dengan teknik Wing Chun, tapi pasti butuh tenaga besar... Hmm, seperti ini...”
“Teknik Tai Chi 'empat liang mengangkat seribu kati' sepertinya bagus, harus dilakukan bagaimana...”
“Berputar, tendangan samping... Lebih baik menendang bagian tengah atau bagian atas ya...”
Sambil berbicara, Yahan mempraktikkan jurus pada boneka pasir yang tergantung di samping. Yahan cukup terlatih dalam bela diri, meskipun terlihat lemah lembut, dalam situasi normal dia mampu mengalahkan tiga empat pria kekar. Namun teknik bertarungnya lebih banyak mengadopsi gerakan judo dan karate yang dipadukan sedikit Kung Fu China. Sebagai anak dari keluarga besar, sejak kecil dia memang belajar bela diri yang menekankan efektivitas praktis. Sedangkan Kung Fu China yang mudah dipelajari namun sulit dikuasai - kini kebanyakan hanya jadi tontonan - meski pernah dipelajarinya, saat digunakan hanya bisa dikategorikan sebagai latihan penguat tubuh. Jiaming pun hanya bisa tersenyum sambil menjelaskan prinsip dasar ilmu tersebut padanya.
"Yang kau sebutkan hanya jurus indah Wing Chun saat dipamerkan. Untuk benar-benar dipakai dalam duel, jurus ini harus dibongkar. Sebenarnya Kung Fu China dalam pertarungan nyata sangat mematikan, kebanyakan dilarang dalam kompetisi. Bagi cewek, menendang bagian bawah lawan jelas jurus paling ampuh. Dari gerakan mundur tadi, bisa langsung maju dan tendang keras-keras. Hehe, jangan pukul aku, serius! Dijamin satu tendangan langsung KO. Kesempatanmu berkelahi memang jarang, tapi jika ada yang nekat mengancam, jangan ragu pakai jurus ini."
"Tai Chi yang lembut adalah sebuah realm, saat dipraktikkan hanya terlihat cantik, namun mencakup penguasaan paling menyeluruh terhadap diri sendiri dan musuh. Ini cukup kamu pahami saja. Ketika benar-benar mencapai tingkat 'Level Empat mengalahkan ribuan', pukulan langsungmu bahkan bisa melebihi daya ribuan. Ah, jangan terlalu dipikirkan... Tai Chi yang digunakan untuk bertarung sangat dashyat, bahkan bisa disebut ilmu pukulan terkuat. Tai Chi di sini mengajarkan cara menggunakan tenaga lembut untuk melancarkan serangan, sederhananya seperti menghantam dengan meteor besi. Lihat..."
Karena Yahan tertarik, Jiaming pun tak perlu menyembunyikan pengetahuannya. Lagipula Yahan tidak akan serius berlatih ilmu bela diri, hanya sekadar hiburan. Sambil tersenyum berbicara, dia membuat gerakan-gerakan tidak karuan. Tentu saja dia tidak mungkin benar-benar memukul karung pasir malang itu. Namun ketika kepalan tangannya meluncur lembut membentuk busur, sesekali menampilkan tendangan samping aneh atau tendangan gaya Tiongkok yang tampak tak bertenaga, Sherry yang menyaksikan pertunjukan ini pun tersenyum menghampiri. Meski baru saja dipukul kepala oleh Jiaming hingga membuat semua orang tertawa, tak ada yang marah karena hal sepele ini. Malah dia sendiri sambil menutupi dahi tertawa cukup lama.
"Latihan pukulan? Minat? Tadi gerakannya bukan seperti ini..."
Setelah dikibuli Jiaming, para penonton justru semakin ber-simpati pada turis asing ini. Sherry yang baru saja dipukul itu malah memandangi Jiaming dengan lebih nyaman. Tanpa basa-basi, dia mulai mengajarkan metode dasar pukulan kepada ketiganya.
“Tubuh harus stabil, menggenggam tinju tidak perlu terlalu kencang, badan bagian atas sedikit membungkuk……gaya-gaya ini seharusnya sudah kalian lihat di TV juga. Yang paling penting, fokus sepenuhnya, pada detik ini, yang ada di depan matamu hanyalah musuhmu, seluruh kekuatan tubuhmu harus terkumpul pada satu titik, dalam sekejap mata, pukulkan……Aaaaa!”
Dengan teriakan itu, Shelley mengayunkan tinjunya dengan keras, Byur! Karung pasir berat itu terpental jauh. Pukulan ini jelas melebihi kekuatan manusia biasa, dia tampak puas sendiri, lalu mengangguk bangga ke arah Jiaming sambil tersenyum, kemudian menegakkan kembali karung pasir dan memperagakan tendangan berputar sempurna kepada mereka berdua. Jiaming pura-pura terdiam takjub, menatap karung pasir yang bergoyang-goyang di depan matanya.
Pandangan seperti ini sangat memuaskan hati Shelley, untuk sesaat dia merasa sangat bangga.
“Wanita selalu punya batasan fisik, tenagaku tidak seberapa, hanya ada yang mengajari kami teknik memukul yang benar saja. Paman Hans dulu adalah anggota angkatan laut marinir. Kalian harus tahu, ini adalah teknik militer, kelihatannya sederhana tapi butuh latihan keras untuk menguasainya……Sekarang yang paling ahli tentu Gamor, lihat saja di lapangan……Tapi jangan khawatir, aku tahu kalian teman Mike, sebenarnya Gamor belum mengerahkan seluruh kemampuannya, dia tahu batasan, tidak akan berlebihan……”
Kota ini memiliki budaya yang garang, terlihat Mike juga merupakan orang yang telah lama berlatih dan memiliki banyak pengalaman dalam perkelahian. Namun jika bicara tentang kekuatan sebenarnya, dia masih kalah dari Gamor. Saat ini dia terus terdesak mundur. Di dalam pabrik tidak ada batasan area spesifik, mereka bertarung ke mana saja, para penonton hanya perlu minggir. Terhadap Jiaming yang tampak tak berbahaya, Sherry tanpa curiga mulai bersemangat bercerita tentang pacarnya.
"Tahukah kamu? Cita-cita Gamor adalah menjadi petinju, tapi bukan yang formal. Di Amerika ada pertarungan tinju bawah tanah, di situlah para ahli sejati berkumpul. Gamor ingin bertarung di kompetisi seperti itu, tapi kekuatannya sekarang masih kurang. Petinju bawah tanah sejati bisa mematahkan pohon besar dengan satu pukulan, meledakkan karung pasir seperti ini pun hal mudah. Kepalan tangan mereka bahkan setara baja, sulit dibayangkan... uh..."
Ucapannya terhenti tiba-tiba. Sherry menatap ke depan dengan pandangan penuh kengerian, sementara Yahan di sampingnya menarik napas tajam.
Semuanya terjadi dalam sekejap mata. Mike terkena tendangan berputar keras dari Gamor. Meski pertahanannya cukup standar, saat tendangan itu menghantam area di bawah lengan silangnya, kekuatan dahsyat langsung membuat tubuhnya terlempar.
Posisi pertarungan mereka saat ini hanya berjarak beberapa meter dari Jiaming dan yang lain. Di belakang Mike, terpampang sebuah kotak besar berukuran sekitar 1,5 meter. Kotak kasar ini terbuat dari baja bekas yang dilas manual, bagian bawahnya untuk menyimpan barang sedangkan di atasnya terletak sistem audio tak terpakai. Entah karena selera humor atau seni seseorang, tepi atas kotak dipagari batang baja tipis menyerupai pagar manor, dilengkapi pintu besi di tengahnya. Meski terlihat megah, saat tubuh Mike terlempar sejauh 2 meter, batang baja ini akan menancap langsung ke kepalanya.
Hampir bersamaan dengan terlemparnya Mike, beberapa orang menunjukkan ekspresi panik - kebanyakan mereka yang terlatih dan bereaksi cepat. Namun karena semua orang secara bawah sadar menghindari radius pertarungan, tak ada yang bisa memberikan dukungan secepatnya. Sementara itu, Gamor yang belum menyadari krisis ini masih mempertahankan gaya serangannya setelah tendangan berputar. Sherry berusaha berlari ke arah Mike, namun jelas sudah terlambat untuk penyelamatan.
Sesaat kemudian, suara "Dang!" bergema di dalam pabrik, disusul gemuruh benda-benda beterbangan. Sherry yang berlari keluar menabrak punggung Jiaming.
Tubuh Mike jatuh dengan suara "Prak!" di lantai.
Di depan, Gamor yang terkejut dengan situasi tak terduga gagal melakukan tendangan kedua. Pusat gravitasinya terganggu membuatnya duduk terkulai di tanah.
Di bawah tubuh Mike, terhampar lantai lembap yang terlihat setelah peti besi besar yang semula diletakkan di sini tiba-tiba bergeser. Jiaming sekarang berdiri tepat di sampingnya. Kemunculan bayangan ini jelas sangat mendadak, karena sesaat sebelumnya dia masih berdiri di dekat karung pasir yang berjarak 5-6 meter dari sini. Shelly yang berlari cepat ingin menolong sosok yang muncul tiba-tiba ini, namun kakinya meluncur, menarik helai bajunya sambil berlutut setengah dan terjatuh ke tanah.
Bahkan tidak ada yang menyadari bagaimana Jiaming tiba-tiba berhasil melintasi jarak beberapa meter itu. Namun dengan kemunculannya, setelah suara benturan yang meredam, seluruh peti baja besar itu terlempar bagaikan bola, menubruk sepeda motor Harley berwarna biru tua yang berada tiga meter jauhnya hingga jatuh BRAAK. Sedangkan speaker di atasnya kini terbang lebih jauh, remuk redam di antara tumpukan barang-barang, dengan lebih banyak rongsokan berjatuhan BYUR-BYUR-BYUR dari atas tumpukan.
Seluruh ruangan sunyi senyap, sepi bak kelas kampus yang kosong di akhir pekan. Mereka mungkin tak sempat melihat bagaimana Jiaming mendekat, namun karena semua pandangan telah lebih dulu tertuju ke sana, hampir semua orang menyaksikan dengan jelas - pemuda biasa yang baru saja jadi bahan lelucon ini, setelah muncul, mengayunkan satu pukulan sederhana ke arah koper besar dari baja itu.
Kini di atas motor Harley, sisi koper yang terkena pukulan telah jelas-jelas ambles ke dalam...
## Bagian ke-265 Perpisahan
Api unggun menyala di sekeliling, kerumunan orang terjerembab dalam kesunyian yang tak terkatakan. Dibandingkan dengan ledakan tawa yang muncul setelah kesunyian sebelumnya, dari pandangan penuh kengerian semua orang saat ini, jelas bahwa kesunyian kali ini tak akan diikuti efek lanjutan seperti itu. Mike dan Gamor yang terbaring di tanah menatap bayangan pemuda itu dengan kepala terangkat. Di belakang Jiaming, Shelley masih berlutut sambil menggenggam helai bajunya, satu tangan menutup mulutnya. Matanya menatap kosong ke arah peti besi besar dan tumpukan barang yang terus ambruk, gumamnya terdengar: "oh-
my-god……oh-my-god……”
"Batuk... batuk..."
Beberapa saat kemudian, batuk tiba-tiba menggema di dalam pabrik yang sebelumnya hanya dipenuhi suara napas orang-orang. Menoleh, Yahan menatap ke arah sini dengan pandangan kosong sambil terus membersihkan dadanya dengan tangan - dia tersedak air liur.
Berdiri di tempatnya, Jiaming menarik napas dalam-dalam, senyum samar mengembang di wajahnya.
Bagi manusia biasa, menjadi pusat perhatian kerumunan yang memandang dengan rasa kagum atau takut hingga gagap bicara, tentu merupakan hal yang memuaskan keangkuhan. Namun bagi Jiaming, keangkuhan semacam ini justru meninggalkan perasaan tak berdaya yang samar. Dengan santai dia membantu Shelley di belakangnya bangkit, menepuk bahu gadis itu: "Serangan kelompokmu bagus, terus berusaha." Langkahnya kemudian beringsut mendekati Yahan.
“Di seberang, Yahan menepuk dada, memandangnya dengan tatapan terpana. Senyumnya memancarkan keheranan dan rasa penasaran. Sebelumnya dia sudah tahu betapa hebatnya Jiaming, tapi belum pernah menyaksikan saat dia benar-benar menyerang, tingkat yang tidak manusiawi seperti ini.”
“Dengan lembut, dia menggenggam tangan perempuan itu.”
“Hmm, kau……”
“Kita harus pergi.”
“Hmm? Ke mana……”
“Meninggalkan tempat ini.”
“Sekeliling sunyi. Saat mereka berjalan bergandengan keluar dari pabrik, beberapa orang di depan secara bawah sadar minggir. Melewati Mike, Yahan menoleh sambil tersenyum, melambaikan tangan sebagai ucapan terima kasih dan selamat tinggal. Tak lama, keduanya menghilang dari pandangan semua orang di dunia yang tertutup salju……”
“Meninggalkan kota kecil, malam itu mereka menginap di tenda di hutan bersalju dekat sana. Tanpa kebisingan kota, bahkan tanpa jejak buatan manusia. Di antara pepohonan, mereka membersihkan salju lalu menyalakan api unggun. Langit malam pasca-salju tak berawan, melalui kerangka hutan dari batang-batang pohon tegak, gemerlap bintang berkilauan jelas terlihat.”
“Berkat pengetahuan hidup di alam liar Jiaming yang luas, semua persiapan sudah dilakukan. Malam itu tidak dingin. Tentu, karena kondisi tubuh Yahan yang bermasalah, mereka hanya berpelukan tidur semalaman. Keesokan harinya, mereka kembali ke New York yang sudah dipenuhi semangat Natal.”
Karena salju sudah berhenti, penerbangan yang sempat ditunda kini telah beroperasi kembali. Namun situasi masih belum stabil sepenuhnya. Setelah kematian Castro, jika menggunakan pesawat, dikhawatirkan pihak manor akan melakukan hal-hal tidak biasa dengan risiko ditekan habis-habisan oleh pemerintah Amerika. Masalah kepulangan diserahkan pada [] untuk mengatur. Sepanjang hari itu, mereka berdua berkeliling ke berbagai toko tersibuk di pusat kota New York. Menjelang malam, [] telah mengatur kapal kargo laut yang akan membawa mereka pulang secara diam-diam melalui metode menyusup. Sekitar lewat pukul sembilan malam, Jiaming dan Yahan berpisah sementara. Jiaming menyetir sendiri menuju Manor Salieri.
Melewati tembok perimeter, menyelinap melewati plaza kecil yang dijaga ketat dan taman, lalu menyusup masuk ke lantai dua villa. Kamar yang pernah dia tinggali masih persis seperti dulu, bahkan selimut yang berantakan masih mempertahankan kondisi sejak dia pergi dua hari yang lalu.
Masuk dengan mendorong jendela, melewati kamar, dan memasuki lorong dalam villa. Aroma samar alkohol tercium, suara dari episode TV terdengar sayup-sayup, pemanas ruangan terasa kurang maksimal. Saat tiba di sudut tangga lorong, lampu ruang tamu di bawah dalam kondisi padam meski TV menyala. Cahaya yang berkedip-kedip menerangi sebagian area ruang tamu. Kemudian, dia melihat sosok Marilyn terbaring di sofa.
Dalam cahaya TV yang berkedip-kedip antara terang dan gelap, dia berjalan mendekati tanpa suara. Wanita berambut pirang itu terlihat tertidur meringkuk di sofa dengan hanya mengenakan gaun tidur tipis.
Wanita Barat memang mudah menua. Banyak wanita mengalami perubahan postur tubuh menjadi gemuk dengan cepat setelah melahirkan. Meski tidak terlalu signifikan, lingkar pinggang biasanya lebih besar satu lingkaran dibanding orang lain. Memasuki usia 30-an, munculnya kerut wajah, bintik-bintik, dan kulit kendur terjadi lebih cepat daripada orang Timur. Tapi mungkin karena pengalaman hidup, gejala penuaan ini sama sekali tidak terlihat pada Marilyn.
Di usia 30-an, kulitnya tetap halus dan mulus seperti gadis remaja. Pinggangnya ramping, paha jenjang nan seksi, dada montok tanpa kesan gemuk. Sudah melahirkan Heidi untuk Tang Jingyao sejak remaja 10-an tahun, hidup menyendiri dalam kesepian di Amerika selama bertahun-tahun. Sejak diselamatkan Jiaming tahun 95, dia mulai membuka diri pada dunia luar. Kematangan pribadinya berkembang, namun tubuhnya tetap memancarkan vitalitas gadis belia. Tapi kini, tubuh seksi nan memikat itu menyimpan kelelahan bak mayat hidup yang tak pernah terlihat sebelumnya.
Gaun tidur yang sedikit berantakan, bau alkohol menyebar di sekitarnya. Dia meringkuk berbaring di sana, bahkan dalam tidur pun alisnya tetap mengerut. Rambut pirangnya yang berantakan terurai di samping tubuhnya. Saat Jiaming mendekat, tangan kirinya yang tergantung di tepi sofa bergetar halus. Byur—suara botol alkohol jatuh ke lantai, separuh isinya tumpah mengalir membasahi karpet di sekelilingnya. Di atas meja depan, terlihat beberapa botol whiskey kosong yang sudah habis diminum.
Berjalan mendekat, dia mengambil botol itu dan meletakkannya di atas meja. Berjongkok di depan sofa, dia memandangi wujudnya yang tertidur. Adegan seperti ini benar-benar pertama kali dia saksikan darinya.
Masih teringat jelas, lebih dari tiga tahun lalu di Jianghai, setelah Tang Jingyao MATI, dia ingin bunuh diri. Saat itu dia berhasil dihentikan—mungkin itu momen tersakit dalam hidupnya. Namun setelahnya, dia malah memilih untuk menggoda anak kecil demi melupakan rasa sakit itu. Bahkan di masa itu pun, dia tak pernah melihatnya berubah menjadi seperti wujud yang terlihat hari ini.
Mungkin seperti cinta sejati yang tak bisa menjadi jaminan untuk menghabiskan sisa hidup bersama, tanggung jawab dan sikap mengalah justru bisa membuat pasangan bertahan sampai rambut memutih. Kehilangan sandaran hati ternyata lebih menyakitkan daripada kehilangan kekasih. Tiga tahun lalu, yang dia lihat adalah wanita seperti tusizi yang tak bisa hidup tanpa inangnya. Dulu dia mengira tusizi ini akan matang seiring waktu, setidaknya mengurangi rasa ketergantungannya. Tapi nyatanya sekarang, tumbuhan parasit ini justru semakin bergantung, semakin tak bisa diselamatkan...
"Dia jarang menghela nafas, karena jarang ada hal yang benar-benar membuatnya merasa kekecewaan. Namun saat ini, akhirnya dia menghela nafas pelan, sulit menjelaskan perasaan di hatinya. Di depan, Marilyn sekali lagi mengerutkan tubuhnya, gemetar halus. Jiaming berdiri, menemukan remote AC di ruang tamu, menaikkan derajat panas. Ketika menoleh kembali, bayangan di sofa telah duduk tanpa terasa, menatapnya seperti hantu."
"Jiaming tidak terlalu terkejut. Di seberang, seolah sedang mengkonfirmasi apakah ini halusinasi. Untuk sesaat keduanya diam. Tiba-tiba Marilyn memalingkan kepala ke samping, muntah keras. Bau alkohol dan asam memenuhi ruang tamu. Jiaming mengambil tong sampah kecil mendekat, kemudian menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut."
"Muntah yang seperti gelombang menerjang berlangsung sekitar setengah menit. Setelah mulai bisa bernapas pendek-pendek, Marilyn memalingkan wajah: 'Kau, benar-benar...' Ucapannya terhalang serbet yang digunakan Jiaming untuk mengusap-usap mulutnya."
"'Aku masih punya beberapa jam sebelum pergi dari Amerika, datang melihatmu.'"
"Jiaming berkata datar. Setelah kesunyian sejenak, Marilyn berkata dengan suara seperti hendak menangis: 'Maafkan aku...'"
"'Tidak. Ketidakjelasanku waktu itu sebenarnya kesalahanku... Kau benar...'"
Marilyn menggelengkan kepala dengan wajah kurus kering, pikirannya masih kacau seolah tak tahu harus menjawab bagaimana: "Heidi... Heidi tertidur, sudah lama aku meninabobokkannya... Akhirnya tertidur, lalu aku... Aku akan memanggilnya turun. Kau tunggu dia, kau harus menemuinya... Dia sudah menangis lebih dari sehari..."
Ia berusaha bangkit tapi kembali limbung jatuh. Jiaming menggelengkan kepala: "Nanti saja, tidak perlu terburu-buru." Tangannya menggendong tubuh Marilyn yang berbau alkohol menyengat, bercak-bercak muntahan mengotori gaun tidurnya, baunya mirip pengemis atau pemabuk dari gang gelap di New York. Sepanjang dibawa naik tangga, kedua tangan Marilyn mencengkram erat lengan Jiaming bagai takut ia akan menghilang, bibirnya komat-kamit: "Maafkan aku... Maafkan..."
"Kelihatannya beratmu bertambah." Jiaming melontarkan canda.
Masuk ke kamar Marilyn, Jiaming menuju kamar mandi dan mengisi bak dengan air panas. Saat hendak menurunkannya, Marilyn menggeleng panik. "Kau perlu mandi air hangat, tenang, aku tidak akan pergi."
Marilyn masih membelenggu tangannya dengan keras, berbisik lembut: "Mandikan aku."
“Bagi hubungan antara dua orang, ini bukanlah hal yang tabu. Jiaming menaruhnya di air panas, melepas gaun tidur dan pakaian dalam yang basah kuyup, lalu mengambil handuk mandi untuk membersihkan tubuhnya. Saat dia berkata sambil tersenyum, ‘Selain Heidi, aku tak pernah melakukan hal seperti ini untuk orang lain. Kau kan bukan anak kecil,’ barulah Marilyn mulai membersihkan diri sendiri, meski tetap membiarkannya menemani di samping.”
“Kondisi tubuhnya yang lemah ditambah mabuk membuatnya limbung saat berdiri. Dalam kepulan uap panas, mentalnya pun mulai berkabut. Setelah mandi dengan susah payah, Jiaming membungkus seluruh tubuhnya dengan handuk mandi besar dan menggendongnya ke ranjang. Setelah lama meringkuk di sisinya, Marilyn bertanya lemah, ‘Kau masih menginginkanku?’”
“Hmm, masih.”
“Jawaban tanpa keraguan itu menenangkan hatinya. Tubuh telanjang bulatnya terbungkus handuk mandi lebar, ia merapat erat ke Jiaming sambil meringkuk di sampingnya. Meski penampilan Jiaming masih seperti pemuda, dirinya sudah menjadi wanita matang yang mandiri. Namun mungkin jarang kamera bisa menangkap kontras sempurna konsep ‘burung-burung kecil yang bergantung pada manusia’ ini. Setelah berbincang sebentar di ranjang tentang Heidi, Jiaming melambai ke arah pintu: ‘Masuklah.’”
“Pintu kamar dibuka perlahan. Yang muncul di sana adalah gadis kecil yang menunduk, wajahnya penuh kepanikan dan kekurusan. Jarinya menarik-narik helai bajunya dengan lembut, di wajahnya masih terlihat bekas air mata. Mungkin agar gerakannya tidak ketahuan, dia tidak memakai sepatu. Kaki mungilnya yang tanpa alas kaki menggesek-gesek lantai dengan gelisah.”
“Setelah ragu sejenak, dia masuk ke kamar dengan malu-malu. Marilyn secara bawah sadar duduk tegak, menarik-narik handuk mandi di tubuhnya, menjauh sedikit dari Jiaming. Tapi Heidi tidak seperti biasanya yang langsung menerkam Jiaming. Gadis kecil itu malah mengitari Jiaming, memanjat ranjang, lalu duduk di sebelah ibunya. Marilyn mengulurkan tangan memeluknya.”
“Sambil mengelus lembut kepala Heidi, Jiaming tersenyum: 'Aku tidak tidak menyukaimu. Hanya ada beberapa hal yang masih terlalu kecil untuk kamu pahami.'”
“‘Maafkan aku...’”
“‘Sudah kukatakan, aku tidak tidak menyukaimu.’”
“‘Kau tidak menyukaiku. Kau menyukai Ibu.’ Bisik gadis itu dengan suara penuh kekesalan yang masih menyisakan ketidakrelaan, ‘Aku tidak bisa merebutnya darimu...’”
“Tak tahu harus menjawab bagaimana, Marilyn hanya bisa memeluk putrinya dalam diam, pandangannya panik menatap Jiaming. Jiaming hanya tersenyum: 'Aku tidak mau berdebat dengan anak kecil. Badanmu juga kotor, mandi air hangatlah dulu. Masih ada dua jam sebelum aku pergi. Sementara itu, aku akan menyiapkan makanan untuk kalian.'”
Dia sambil berkata turun dari ranjang, kemudian menyusul ke lorong, dengan gerakan balik menutup pintu. Ibu dan putri di ranjang memandangi pintu kamar yang tertutup, Marilyn tersenyum lembut: "Pergilah mandi." Heidi mengangguk, turun dari ranjang, namun tiba-tiba menarik keras. Dalam suara lembut Marilyn, dia menyeret handuk mandi besar masuk ke kamar mandi, Byur! suara pintu terkunci.
Telanjang bulat duduk di ranjang, Marilyn sejenak tak tahu apakah harus tersenyum atau marah, atau mungkin khawatir untuk putrinya. Beberapa saat kemudian, dengan kondisi fisik yang melemah, ia terpaksa turun ranjang dan mencari pakaian di lemari. Di dalam kamar mandi, Heidi kecil masih memeluk handuk mandi, wajahnya masih menampakkan senyum usai ulah iseng, namun air mata telah mengalir deras. Tiba-tiba ia menggigit handuk tebal itu, tubuhnya gemetar menahan isak tangis bisu, perlahan-lahan melorot ke bawah sambil bersandar di dinding...
## Bagian Dua Ratus Enam Puluh Enam: Pulang ke Rumah
"Jurus pamungkas? Jurus pamungkas apa?"
Di luar jendela terhampar permukaan laut biru laut tak berujung. Dari dalam kabin kapal yang hangat, Tante menoleh sambil bertanya dengan bingung.
“Kau pegang tanganku.”
“Eh, buat apa?”
“Pegang saja nanti juga tahu.”
“Baiklah.” Dengan kekecewaan memegang lengan mereka yang terulur, kemudian dahi-nya ditepuk. Dia tertegun sejenak, mata berkerut memandang ke depan anak angkat yang tertunduk-terangguk: “Ini jurus andalan?”
“Tentu.” Wanita di depan mengangguk tersenyum terasa sangat wajar.
“Pria kau benar-benar membosankan...” Tante menilai tanpa ekspresi, “Lepaskan dia.”
“Menurutku ini menarik, lagipula saat itu semua orang tertawa senang, wanita yang dipukul itu pun senang. Aku hampir tertawa sampai sesak nafas, sakit perut... Hmph, sudah susah payah didapat, tetap tidak akan kulepaskan.”
“Bisa membuat wanita lain tertawa, membuktikan dia dasarnya playboy. Bagaimanapun... Kau tidak mau membawanya ke sini untuk kulihat, aku rasa ini bermasalah, Yahan, kau harus memikirkannya matang-matang...”
“Sudah-sudah, jangan marah lagi.” Yahan tersenyum sambil terkapar mendekat, merangkul bahunya, “Waktu kau lihat parfum yang dia titipkan untukmu lewat aku, kan kau senang juga... Aku tidak bisa bawa dia ke sini tentu ada alasannya. Kita saudari baik, jangan marah ya...”
“Saudari apaan, aku ibumu!” Mengetuk kepala Yahan dengan lembut, Tante juga menyeringai kecewa. Bertahun-tahun ini, meski sudah dekat seperti saudari kandung dengan Yahan, dia justru memahami sisi keras kepala dalam karakter gadis itu. Begitu memutuskan sesuatu, takkan pernah berubah. Dirinya tak bisa membujuk, tapi menggerutu tetap harus dilakukan.
“Orang macam apa yang tidak bisa ditunjukkan... Jangan-jangan kau suka pria sudah beristri, mau jadi selingkuhan?”
Tepat sasaran, Yahan mengedipkan matanya: “Tante, bagaimana pendapatmu tentang lesbian?”
“Lesbian? Orang itu perempuan?”
“Hmm, wanita yang sangat cantik pula.”
“Cantik sekali……” Tante tertegun sejenak, “Kau tidak bermaksud mengatakan Jian Suyan yang katanya teman kuliahmu itu, yang naik kapal bersamamu, kan!?”
“Hmm-hmm.” Yahan cepat-cepat mengangguk, melihat tante tiba-tiba berdiri: “Bagaimana bisa begini……”
“Tapi… kami sudah memasak nasi mentah jadi matang nih……” Yahan menyipitkan mata sambil tersenyum.
“Nasi mentah apa… Jangan bercanda. Kalau Ayahmu tahu, pasti MATI dipukuli kau!” Setengah percaya pada ucapan Yahan, sekaligus jarang memarahinya, tante hanya bisa menakut-nakuti dengan nama Zhang Jing'an. Tapi ancaman ini jelas tak ada deterensi, Yahan tetap tertawa tak berdosa di depannya. Bertiga berkutat dalam kabin kapal dengan omongan tak jelas, akhirnya tak bisa Konfirmasi hal ini. Tante Byur! membuka pintu dan keluar, Yahan buru-buru menyusul.
“Tante, kau kenapa sih?”
“Malas berurusan denganmu. Kalau kau tidak mau mengaku terus terang, aku akan mencarinya!”
“Eh-eh-eh. Jangan dong, Tante. Dia bilang tidak mau diganggu.”
“Sekali-kali mengganggu, masa dia berani memakan aku!”
Bertiga berjalan cepat di lorong tepi kapal, berpapasan dengan beberapa awak. Tak lama, terlihat Qiao Guorui dan Fang Guolin di depan. Selama Yahan jalan-jalan berdua dengan Jiaming, tante sudah lumayan akrab dengan mereka. Sekadar memberi salam, lalu menarik lengan Guorui: “Eh, lihat Jian Suyan itu belum?”
“Jian Suyan?” Qiao Guorui menyesuaikan kacamata, bertukar pandang dengan Fang Guolin, “Kami sedang dalam perjalanan untuk urusan ini. Mereka sekarang di kabin nomor 2. Kalian juga mencari dia? Mantou dan Xiao Wu memang pantas dapat karma, berkelahi dengan Nona Jian.”
“Berkelahi? Bagaimana?” Yahan dan tante sama-sama membelalak.
Qiao Guorui batuk-batuk canggung: “Eh, begini ceritanya. Mantou itu kan sudah lama hidup bebas, dia penasaran dengan Nona Jian. Lalu gerombolan Xiao Wu juga ikut penasaran. Sejak naik kapal, Nona Jian terus mengurung diri di kabin. Mereka mendatangi... ehem... mungkin ingin berkenalan, tapi akhirnya... kayaknya memutuskan untuk duel... ehem... soal ilmu bela diri...”
Penjelasan ini terkesan ditutup-tutupi. Yahan pernah dengar dari Jiaming bahwa anggota [] punya rasa ingin tahu besar terhadap karakter virtual Jian Suyan. Meski selalu bersikap hormat, kali ini mereka ikut naik kapal untuk mengawal Yahan pulang ke Tiongkok, sehingga mungkin melakukan beberapa tindakan iseng. Mengenai karakter Jiaming, pasti akan memberi pelajaran awal pada mereka, karena dasar hubungan baik kedua pihak memang dibangun di atas saling pengakuan kekuatan. Yahan paham dalam hati, jadi diam saja. Tapi si tante sudah berteriak: “Duel? Xiao Wu itu... yang pagi tadi di luar villa latihan memecahkan batu bata? Kulihat dia menendang pohon sampai patah. Kalian biarkan dia duel dengan seorang wanita... apa yang mau diduelkan?”
“Hmm... Xiao Wu memang... hmm, dia selalu tertarik pada seni bela diri. Sebelumnya pernah belajar ilmu bela diri tradisional Tiongkok, kemudian pergi ke Jepang belajar judo dan karate, lalu belajar muay thai. Kalau bicara soal kemampuan bertarung tangan kosong, dia memang yang paling kuat di tim kami, tapi...” Dia menatap ekspresi kaget dan kesal Tante, lalu menoleh ke Yahan sambil bergumam apakah dia tidak memberitahukan latar belakang Jian Suyan? Sebagai mata-mata dan agen rahasia yang berpengalaman, dia tak bisa bicara blak-blakan, hanya berkata: “Tapi... meski Xiao Wu kuat, sekarang lima lawan satu, kemungkinan menangnya tetap kecil. Tenang saja...”
Mendengar "lima lawan satu", Tante mengangguk, lalu mengerutkan alisnya: “Bagaimanapun juga, berkelahi dengan cewek seperti itu salah kalian. Dia terlihat lemah lembut, badannya terlihat lemah seperti tertiup angin langsung jatuh, bahkan tidak sekuat Yahan yang sedang sakit. Ini tidak masuk akal... Lima lawan satu? Dia baru naik kapal, selain Yahan tidak kenal siapa-siapa, mau cari empat kawan dari mana? Mungkin cari pelayan restoran?”
Begitu kalimat ini terlontar, ekspresi ketiga orang di sekitar langsung berubah penuh dramatis. Yahan sulit menahan tawa, namun mendengar lima orang melawan satu, hatinya mulai merasa khawatir. Jiaming sekali pukul bisa melempar peti besi besar itu, sensasinya sepertinya sama seperti menghancurkan batu bata atau menendang pohon besar hingga patah... Pandangan Qiao Guorui dan Fang Guolin berputar aneh-aneh, lima perempuan melawan satu pria saja sudah tidak benar, apalagi sekarang lima pria melawan satu perempuan... Setelah ragu sejenak, akhirnya berkata: "Uh, sebenarnya... Xiao Wu dan Mantou, ditambah Guo Qing, Guo Zi, Guo Chao mereka berlima melawan Nona Jian..."
Tante langsung berteriak: "Apa!?"
"Ini... Nona Zhang belum memberitahumu?"
Pandangan Tante beralih ke Yahan. Yahan baru saja mengangkat bahu: "Kalian juga tahu sifatnya, selalu pemarah, menghadapi segala hal selalu langsung frontal. Kalian sembarangan mengintip dan mengawasinya, tentu saja dia marah..."
Qiao Guorui tersenyum: "Saya bisa menjamin, bukan maksud atasan untuk menguji, murni si Mantou itu gatal kulitnya. Dia terlalu lama di Amerika, sering dengar cerita tentang TULIP jadi penasaran, makanya menghasut Xiao Wu dan kawan-kawannya berbuat seperti ini. Bos Guohua sempat bertanya apakah perlu meminta Nona Zhang untuk mediasi, tapi sekarang sepertinya sudah terlambat, biarlah mereka makan sedikit penderitaan. Lagipula setelah kejadian ini, mereka bisa ambil cuti luka beberapa bulan..."
“Tapi mereka ada lima…” Terhadap hal seperti melawan lima orang sendirian, Yahan masih merasa ragu di hati. Sampai Guo Lin tersenyum dan berkata: “Ini syarat Nona Jian.” Barulah hatinya tenang. Tante di sampingnya melototkan mata ke arah sekelompok orang ini: “Sifat pemarah apa? Pengawasan apa? Rasa penasaran apa? TULIP lagi apa? Hei Yahan, kau harus jujur, sebenarnya ada apa yang belum kau beri tahu padaku!”
Pada saat ini mereka juga sudah mendekati kabin kapal Nomor 2, sebuah ruang kargo yang cukup besar di atas kapal barang dengan ukuran sebesar lapangan basket. Meski ruangannya luas, isinya tidak banyak - hanya beberapa kotak kayu besar-kecil di satu sudut, sementara area lainnya dipenuhi peralatan olahraga yang biasanya digunakan kru kapal untuk berlatih. Namun saat ini terlihat jelas seluruh ruangan dalam keadaan berantakan: berbagai alat fitness berserakan, serpihan kotak kayu betebaran di mana-mana, namun bayangan Jian Suyan dan rombongan 'roti kukus kecil' sama sekali tak terlihat. Tampaknya lomba telah sepenuhnya berakhir, sementara beberapa anggota [] terlihat hilir mudik di dalam kabin.
Melihat Qiao Guorui dan Yahan serta yang lain masuk, salah seorang mendekat sambil mengangkat tangan bingung: "Kalian terlambat. Tim medis baru saja menggotong Mantou dan kawan-kawan. Nona Jian rupanya masih menunjukkan kebijaksanaan, beberapa orang mukanya babak belur tapi selain Xiao Wu yang patah tulang tangan, belum ada kerusakan parah. Tapi... mereka juga sampai muntah darah, cedera internalnya setidaknya butuh 1-2 bulan untuk pulih..."
Fang Guolin membuka mulutnya: "Xiao Wu patah tulang tangan?"
"Benar." Orang itu mundur beberapa langkah, "Kabin kapal sangat luas, Nona Jian terus berlari sambil bertarung. Dari beberapa orang, Xiao Wu yang paling mendesaknya. Saat itu di posisi inilah Xiao Wu menangkap bahunya dan menekan ke bawah - itu teknik tendangan lutut muay thai, kau tahu, sebelumnya Xiao Wu belum ditugaskan ke kelompok kami, semua orang masih membicarakan kejadian saat dia bertarung dengan pasukan khusus Rusia, menangkap, langsung tendangan lutut, lalu orang itu kolaps, tulang dada hancur berkeping... Saat itu kami juga merasa situasinya berbahaya, siapa sangka Nona Jian memelintir tubuhnya, seluruh diri ini terlempar sejauh 2 meter, lalu langsung berputar kembali, berputar dan menendang lurus, rasanya seperti meteor hammer..."
Ilmu bela dirinya juga tampak matang. Kini menirukan adegan saat itu, melakukan tendangan berputar yang whoosh whoosh : "Xiao Wu mungkin belum sempat bereaksi, tangannya menghadang sekenanya, seluruh tubuhnya terlempar. Nah, dua kotak kayu beserta guci di dalamnya itu hancur kena hantamannya. Wuih... Wuih... Jarak hampir 10 meter, seperti tembakan meriam. Kami kemudian mendekat untuk menolongnya, kedua tangannya sudah patah, mungkin Nona Jian juga tidak bisa mengontrol tenaganya..."
Memandangi pemandangan berantakan yang memenuhi kabin ini, pria itu terlihat sangat bersemangat sambil bercerita pada Qiao Guorui tentang proses pertarungan tadi. Tante memandang peralatan fitnes besar yang roboh di sudut, tanpa sadar mendekat. Dua pilar baja sebesar lengan di belakangnya kini membentuk sudut 90 derajat dengan cara yang aneh. Sebelum sempat bertanya, pria yang sedang menjelaskan itu langsung menunjuk ke arahnya: "Itu hasil tendangan Nona Jian..."
"Gudur," tante menelan air liur dengan tatapan kosong.
"Lalu... Suyan?" Yahan bertanya bingung, "Dia ke mana? Tante sedang mencarinya..."
"Aku... aku... aku..." Tante gagap tak bisa melanjutkan.
"Heh, Nona Jian ke toilet mungkin. Sebentar lagi keluar..."
Di saat yang sama, dari sudut kabin muncul sosok wanita berbusana sport ketat dengan aura dingin. Tangannya membersihkan debu yang masih menempel di pakaiannya, lalu menoleh ke arah mereka.
Ekspresi polos di wajahnya awalnya datar, namun saat melihat Yahan dan tante di sampingnya, senyum elegan akhirnya mengembang. Saat naik kapal tadi, tante sempat berbincang singkat dengan "Jian Suyan" versi tenang ini melalui perkenalan Yahan. Sungguh sulit menyambungkan citra wanita anggun ini dengan pemandangan penghancuran gila di kabin kapal.
"Hai, sudah datang?" Sambil tersenyum menyapa Yahan, Jian Suyan mendekat, "Aku tadi seperti mendengar ada yang mencari aku."
"Tanteku!" Yahan mengangkat tangan sambil tertawa ceria.
"Oh, ada keperluan apa, Tante?" Terhadap tante Yahan, Jiaming tetap menjaga sopan santun. Ia mengangguk dan mendekat sambil tersenyum. Tante yang menggandeng helai baju Yahan tersenyum kaku sambil mundur selangkah: "Hehe... hehe... Sebenarnya... sebenernya tidak ada urusan penting... Maksudku... Ehm, begini ceritanya... Itu... Itu... Parfum yang kamu berikan kemarin itu e... enak diminum, aku suka... sangat suka..."
"Parfum... enak diminum?" Ekspresi wajah sang wanita kali ini mungkin pertama kalinya menunjukkan kebingungan dan keheranan yang begitu jelas.
"Iya... iya! Hehe, aku duluan ya. Kamu ngobrol saja dengan Yahan... Pelan-pelan... Dah."
Sambil berkata demikian, ia mendorong Yahan ke depan. Dengan senyuman tetap merekah, ia buru-buru keluar dari pintu kabin kapal. Menahan Yahan yang hampir menabraknya, Jian Suyan berkedip bingung: "Ada apa? Yahan... Kenapa kamu tertawa terpingkal-pingkal begini..."
"Kayaknya dia ketakutan oleh Kakak Suyan." Fang Guolin yang sudah menebak kronologi kejadian tersenyum kecut.
Mengenai hal Tante, Yahan tentu tak mungkin menceritakan seluruh proses di sini. Setelah bertukar canda ringan, saat keluar dari pintu kabin, Qiao Guorui terlihat ragu-ragu. Sebelum sempat bicara, Jian Suyan tersenyum tipis: "Pak Qiao, saya ingin berbicara dengan Kapten Cui Guohua. Bolehkah?"
Seketika Qiao Guorui menghela napas lega: "...Kami telah menanti hari ini sejak lama."
## Jilid 6 Di Bawah Langit Biru Cerah
## Bagian 267 Jurus Terselubung
Musim semi 1999, Jianghai.
Tahun baru Imlek baru berlalu, lentera yuanxiao belum tiba. Beberapa hari sebelumnya gerimis salju turun, cuaca masih dingin. Tapi Jianghai tetaplah metropolis besar. Bahkan di hari pertama Tahun Baru, banyak toko yang buka. Setelah hari ketiga, keramaian pasar kembali ramai dan hiruk-pikuk. Keluar dari toko emas, Dongfang Wan mengembuskan nafas putih, menegakkan kerah jas hujannya seolah ingin terlihat lebih matang.
Xu Yiting mengikuti dari belakang, tangan membawa kotak hiasan mewah. Kacamata besar yang dulu jelek di wajahnya telah diganti bingkai ramping yang elegan. Kepang di belakang kepala telah berubah menjadi ekor kuda. Seluruh penampilannya memancarkan kecerdasan dan keanggunan, namun aroma khas mahasiswa tetap tak tersembunyikan. Jarak menuju kedewasaan mandiri masih sangat jauh.
“Nanti setelah sampai di perusahaan Pak Wang, aku yang akan bawa barangnya ke atas.” Menembus kerumunan orang di tepi jalan, Dongfang Wan berkata pada kawannya, “Kau bisa jalan-jalan dulu di supermarket bawah sini sekalian belikan aku lipstik merek yang kita beli kemarin, buat hadiah sepupuku.”
“Hah? Tapi reputasi Wang Qiming itu... Bukankah lebih baik kita naik bersama?”
“Justru karena aku tahu reputasinya buruk.” Dongfang Wan mengerutkan kening, tersenyum masuk ke mobil sport yang diparkir di pinggir jalan, “Kalau di jam begini dia tidak di rumah tapi di kantor, pasti sedang menggoda karyawan wanitanya lagi. Babi gemuk itu terkenal dengan slogan 'kalau ada urusan, sekretaris yang kerja; kalau tidak ada urusan, sekretaris yang dikerjain'. Tapi mau bagaimana? Kita masih perlu jaringan supermarketnya untuk mencetak uang... Memberi babi emas cocok dengan karakternya, hari ini juga kontrak ini harus ditandatangani...”
“Justru karena itu, kita harus naik bersama.”
“Heh, aku dari keluarga Dongfang. Dia tidak akan berani berbuat macam-macam padaku. Tapi kalau kau ikut naik, situasinya bisa berbeda. Bisa-bisa dia ngocol terus cari-cari kesempatan mendekatimu... Ini cuma kontrak kecil, pasti bisa disepakati. Tapi aku malas berdebat panjang lebar. Urusin sini cepat-cepat, buru-buru pulang buat makan malam. Selama tahun baru ini, kakakku dijadwalkan ketemu banyak orang. Aku juga harus ikut menemani.”
Sambil berbicara, mobil sport mulai meluncur mulus menyatu dengan arus kendaraan di depan. Setelah enam bulan berlatih, kemampuan menyetir Dongfang Wan sudah jauh lebih baik dibanding awal yang menakutkan. Saat kecepatan bertambah, dua gadis itu kembali melanjutkan obrolan mereka.
“Sudah pergi bersilaturahmi tahun baru di hari pertama?”
“Hmm. Semua paman dan bapak-bapak itu sudah pulang, aku berkeliling bersilaturahmi dan menerima banyak amplop merah.”
“Menurut orang dewasa di keluargaku, Huang Bingxiang beberapa tahun terakhir sering kurang beruntung. Sudah lama menjabat Sekretaris Komite Provinsi tapi tak ada promosi atau mutasi. Tapi... kabar terakhir dari atasan tidak menguntungkan baginya.”
“Paman... Aku memang tak pernah paham urusan-urusan itu. Beliau mungkin juga tak kenal aku. Tapi Pangeran Wan sempat berbicara denganku. Beliau tahu aku kerja paruh waktu untukmu...”
Dongfang Wan tersenyum: “Tentu mereka sudah tahu, tapi mungkin tak menganggapnya penting. Justru posisi pamanmu sekarang adalah payung pelindung keluarga Huang. Saat krisis keuangan tahun lalu, keluarga Zhang dan Liu paling terpukul, lalu keluarga Lü dan kami. Keluarga Huang justru selamat tanpa cedera berkat pengaruh Sekretaris Huang. Tapi... jika kabar terakhir ini benar, kita harus khawatir bila Sekretaris Huang jatuh, keluarga Huang bisa runtuh dihajar banyak pihak...”
“Aduh, lalu... bagaimana ini?”
“Hehe, jangan khawatir. Aku cuma dengar desas-desus tak jelas. Pembicaraan orang dewasa sering tak bisa dipercaya. Lagipula seorang Sekretaris Komite Provinsi tak mungkin jatuh begitu saja. Ngomong-ngomong, kau lihat Gu Jiaming waktu itu?”
“Ya. Lingjing pergi bersama sepupu. Paman sempat bicara dengannya. Xiao Wan ingin menemuinya?”
“Cih, mana ada mau ketemu dia.” Dongfang Wan menggelengkan kepala kesal saat menyebut Jiaming, “Dia kan anggota perusahaan juga, udah buang tenaga bikin laboratorium buat dia, tapi jarang dia dateng. Otaknya aneh-aneh terus, aku juga berharap dia bisa ngasih sesuatu yang menarik. Terakhir ngobrol sama kakakku soal dia, situasinya agak aneh...”
“Senior... Senior Dongfang?”
Tanpa menyadari pipi Xu Yiting yang memerah, Dongfang Wan hanya mengangguk: “Iya, beberapa waktu lalu dia terus nanya-nanya soal Gu Jiaming, terus bilang dengan ekspresi kontemplatif kalau Gu Jiaming itu hebat, suruh aku jangan prasangka. Aneh kan? Kan mereka rival asmara, kok tiba-tiba muji? Kayaknya kakakku belum bisa move on dari Ye Lingjing. Sekarang puji-puji, jangan-jangan mau ngelakuin sesuatu diam-diam. Tunggu aja, Gu Jiaming bakal kena batunya nih... Eh? Kok wajahmu aneh gitu?”
“Aduh! Itu... Soalnya Jiaming kan sepupuku...”
“Lagian kan kalian juga jarang kontak... Tapi bener juga sih, lupakan deh. Gimana tuh kutek kuku yang kita beli kemarin? Bagus nggak...”
Bertiga mengikuti interaksi dalam urusan pekerjaan selama setengah tahun ini, mereka sudah seperti saudari yang dekat. Namun, yang tidak diketahui Xu Yiting adalah kedekatan Dongfang Wan dengannya sebenarnya juga dipengaruhi oleh faktor Jiaming. Awalnya Dongfang Wan penasaran dengan Jian Suyan, kemudian menemui Jian Suyan bertemu dengan Xu Yiting. Mengira kedua manusia ini memiliki hubungan tertentu, barulah ini menjadi momentum bagi keduanya untuk mendekat dan Dongfang Wan mengajaknya menjadi wakilnya. Sebaliknya, keluarga Dongfang memiliki begitu banyak orang berbakat. Bahkan di Akademi Hati Kudus dulu, banyak kandidat yang lebih cocok dan lebih dekat dengan Dongfang Wan dibanding Xu Yiting yang baru saja berhenti narkoba dalam kondisi fisik-mental yang hedonis. Mustahil dia diperlakukan sebagai teman baik oleh Dongfang Wan.
Hanya saja hal-hal ini sekarang sudah pasti tidak mungkin diungkapkan oleh Dongfang Wan. Awal perkenalan Xu Yiting dengan Dongfang Wan juga melibatkan faktor Jiaming. Namun setelah beberapa kali bantuan Dongfang Wan, kontribusi kecil Jiaming menjadi tak berarti. Beberapa kali "tidak mau menolong saat kritis" justru membuatnya semakin condong ke pihak Dongfang Wan. Kini, hubungan sepupu ini hanya sekadar sapaan saat bertemu, tidak bisa dibilang memiliki perasaan yang mendalam.
Bertiga di mobil berbicara hal-hal pribadi antar cewek. Tak lama kemudian, mobil sport sudah sampai di jalan tersibuk Kota Jianghai, tempat Supermarket Xinghu terbesar milik Wang Qiming berada. Kawasan ini merupakan pusat perbelanjaan dan hiburan terbesar di sekitarnya, berbagai bioskop dan pusat perbelanjaan sudah buka, jalanan dipadati kerumunan orang. Setelah parkir, Xu Yiting disuruh belanja sendiri. Melihat ekspresi ragu tapi sebenarnya girang di wajahnya, Dongfang Wan tak bisa menahan tawa. Dengan membawa kotak hadiah, ia naik ke gedung di atas supermarket melalui pintu belakang.
Sejak kecil Dongfang Wan hidup berkecukupan. Ditambah sifatnya yang lebih ambisius dari cewek biasa, ia tak terlalu tertarik pada aktivitas belanja. Selama setengah tahun terakhir fokusnya tercurah pada pabrik mainan miliknya, sehingga kehilangan kesenangan berbelanja gila-gilaan layaknya gadis normal. Kantor Wang Qiming berada di Level Empat gedung ini. Ia naik melalui tangga belakang. Meski musim semi baru mulai, ini tetap puncak musim belanja. Tangga dipenuhi spanduk dan papan nama - ada yang sudah jadi ada yang belum, kebanyakan berisi promo dan diskon. Ada yang dari sebelum Tahun Baru Imlek, ada juga yang baru. Di sudut tangga, terlihat papan promo besar yang belum selesai. Tertulis lima karakter besar dengan spidol warna-warni: "Viscount di tepi sungai berkata". Entah iklan apa yang akan menyusul di belakangnya.
Subenar benar-benar berani... Entah siapa yang menulis hal tidak berkualitas seperti ini, dia menatap lama-lama lalu tak bisa menahan tawa. Tapi jika mendaftarkan merek "Kawakami" untuk produk perlengkapan ranjang, mungkin kalimat ini cocok untuk iklan. Dengan hati yang polos memikirkan urusan iklan, gadis tujuh belas tahun itu mengeluarkan wajah matang, membawa kotak hadiah sambil melompat-lompat menuju lantai atas.
Sampai di Level Empat, pintu kantor perusahaan Xinghu terbuka. Masuk dan jelaskan maksud pada sekretaris. Sekretaris cantik itu langsung hormat begitu tahu dari keluarga Dongfang, tapi Ny. Wang sedang ada tamu. Untuk sementara hanya bisa menyajikan teh dan memintanya menunggu di luar. Wang Qiming ini cuma orang kaya baru dengan reputasi buruk di kalangan atas. Ucapan "Ada urusan disuruh sekretaris, tidak ada urusan menyetubuhi sekretaris" tersebar luas. Dongfang Wan sambil minum teh melirik penasaran ke sekretaris itu. Sang sekretaris juga penasaran pada nona borjuis yang bisa buka perusahaan bernilai jutaan karena koneksi keluarga meski masih mahasiswa. Mereka saling melotot beberapa saat. Tak lama kemudian, Dongfang Wan berjalan melihat peraturan di dinding kantor, tanpa sadar melihat sosok familiar menyelinap di ujung lorong.
Orang itu adalah... Lei Qing?
Pemboros kelas kakap dari keluarga Lei ini telah mengganggu dirinya cukup lama, meskipun sempat meninggalkan Jianghai dan pulang ke rumah pada paruh kedua tahun, namun menjelang akhir tahun dia kembali lagi. Bagaimanapun dia termasuk orang yang berpendidikan baik, jika hanya berteman biasa, banyak sisi yang tidak menjengkelkan. Tapi justru karena mengetahui maksud perhatian besar dari mereka, bahkan pertemuan normal pun kini membuat Dongfang Wan merasa jijik. Saat bayangan itu terlihat samar-samar, dia hendak menyusul ketika pintu kantor terbuka, Wang Qiming menyambut dengan senyum lebar: "Haha, Nona Dongfang, maaf membuatmu menunggu lama, sungguh permisi karena harus menangani beberapa hal mendesak..."
Sekretaris sebelumnya mengatakan Wang Qiming sedang menerima tamu penting, namun saat dia keluar dari kantor, tidak terlihat orang lain di dalam. Setelah basa-basi, mereka berdua masuk ke kamar. Kantor ini menggunakan dinding kaca satu arah yang tidak bisa dilihat dari luar tapi transparan dari dalam, sebenarnya ini bukan hal aneh. Tapi ketika beberapa menit kemudian mereka membahas masalah kontrak, Dongfang Wan baru akhirnya mengerti apa yang terjadi.
"Emm, Nona Dongfang, hal ini... sebenarnya... sebelumnya tidak direncanakan... sungguh memalukan... Ada klausul dalam perjanjian departemen mainan supermarket kami dengan pihak lain... Mohon maaf... Sebelumnya tidak mengecek dengan teliti... Seperti yang Anda tahu, kami orang-orang kasar... Ya, kami dikibuli..."
Menerima babi emas yang disumbangkan, Wang Qiming langsung curhat panjang lebar kepada Dongfang Wan. Katanya pihaknya telah dikibuli dengan kontrak yang tidak karuan. Intinya: Maaf, kami tidak bisa menandatangani kontrak ini. Di tengah permintaan maaf yang berulang, Dongfang Wan menata emosi lalu mengangguk sambil tersenyum, mengucapkan basa-basi pamitan. Wang Qiming berusaha mengembalikan babi emas itu, tapi tentu saja Dongfang Wan menolak.
Simpan sendiri buat obat kencing nanah! Dalam hati melontarkan kutukan, langkah kakinya semakin cepat begitu keluar pintu gerbang. Momen Tahun Baru seharusnya jadi waktu emas untuk menjalin koneksi bisnis. Kontrak-kontrak ini bahkan sudah dirancang bersama kakaknya sejak lama. Tapi dua kontrak tiba-tiba gagal tanpa alasan jelas. Awalnya mengira ini karena kurang pengalamannya, ternyata ada dalang di balik layar.
Hatinya seperti terbakar api, ingin segera menelepon Lei Qing dan memaki habis-habisan. Tapi setelah dipikir, niat itu diurungkan. Di dunia bisnis, persaingan memang hal biasa. Belum ada bukti kuat itu ulah Lei Qing. Kalau tiba-tiba menelepon, malah dikira hubungan mereka istimewa. Sambil berpikir demikian, di depan papan promosi "Zi Zai Chuan Shang Ri" di sudut lantai dua, keyakinannya semakin mengkristal.
Melalui jendela di sudut tangga, terlihat di kerumunan orang di plaza kecil bawah, mengejutkan ada dua orang yang dikenalnya. Salah satunya tentu Rei Qing, satunya lagi adalah Gu Jiaming, teman sekelas laki-laki yang paling merepotkan dan sudah lama tidak terlihat. Dikelilingi beberapa pengawal pribadi Rei Qing, keduanya sedang menuju ke sebuah kafe di sebelah.
Apa artinya ini? Gu Jiaming mengkhianati organisasi? Dua bajingan ini berkomplot menjebakku? Memikirkan ini, hatinya tiba-tiba terasa dingin. Bahkan dirinya sendiri tidak tahu mengapa muncul perasaan seperti ini. Namun perasaan itu SEGERA menghilang, karena dari gambaran yang terlihat, Gu Jiaming tampak agak enggan, sementara Rei Qing meski terlihat antusias tapi jelas menunjukkan niat jahat, membawanya ke kafe itu dengan paksa. Memang, terlepas dari mental Rei Qing, Gu Jiaming adalah orang yang tidak bisa dipengaruhi ancaman atau bujukan. Dulu saat Rei Qing mengira Gu Jiaming adalah pacarnya, mereka beberapa kali bentrok. Orang itu terlihat acuh tak acuh, tapi sebenarnya pendendam. Begitu kebencian sebenarnya muncul, mustahil menjadi teman, berapa pun uang yang Rei Qing keluarkan.
Jadi ini kasus penjahat dihukum penjahat lain! Perasaan senang memenuhi hatinya. Dalam penilaiannya, Rei Qing masih kalah dibanding Gu Jiaming. Meski sekarang Rei Qing terlihat lebih dominan, jika Gu Jiaming benar-benar marah, kemungkinan besar Rei Qing yang akan kalah.
Beginilah yang kupikirkan, rasa kesal karena baru saja kehilangan satu bisnis sepertinya tidak terlalu terasa lagi. Diam-diam turun dari gedung, kemudian berlari melewati beberapa tiang listrik, bersembunyi di balik taman bunga. Kebetulan mobil sport Cadillac berkepala besar milik Lei Qing parkir di sebelahnya. Dia mengeluarkan kunci ingin menggoresnya, tapi akhirnya mengurungkan niat. Ketika menatap ke arah kafe itu, barulah mulutnya menganga dengan heran.
“Bu Guru Zhang kenapa juga ada di sana…”
Melihat melalui jendela kaca kafe, ternyata di meja kopi yang sedang berbicara dengan Lei Qing adalah Guru Yahan yang mengenakan setelan santai putih nan casual. Ekspresi Lei Qing penuh hormat, sama sekali tidak terlihat arogan seperti sebelumnya. Gu Jiaming duduk di samping Bu Guru Zhang, bersandar di jendela kaca sambil bermain-main dengan jam tangannya dengan bosan.
Aneh, apakah Bu Guru Zhang sudah sedekat itu dengan Lei Qing? Kenapa sebelumnya tidak tahu…
Tiba-tiba, dia merasa pandangan Jiaming seperti sengaja atau tidak sengaja melirik ke arah sini. Hati Dongfang Wan berdebar kencang, belum sempat menunduk, pandangan itu sudah melintas begitu saja. Jiaming membuka mulut, menguap lebar…
## Bagian Dua Ratus Enam Puluh Delapan Ini Mobilku
“Masalah beberapa bisnis yang hilang tanpa alasan akhir-akhir ini mulai ada titik terang…” Di toko kosmetik pilihan di pusat perbelanjaan, Dongfang Wan dengan wajah masam menemukan Xu Yiting yang sedang berbelanja.
“Ada apa?” Xu Yiting meletakkan lipstik mahal di tangannya, pelayan yang sedang antusias menjelaskan juga langsung menutup mulutnya, mungkin ketakutan oleh aura pembunuh yang menyelimuti Dongfang Wan.
“Tadi di lantai atas, Wang Qiming ragu-ragu menandatangani kontrak denganku. Kebetulan aku melihat Lei Qing keluar dari kantornya... Ah sudahlah, ini cuma bisnis puluhan ribu sampai belasan juta per transaksi. Yang penting sekarang buka pasar, semua orang ini akan kuingat baik-baik, hmph... Berapa harga satu lipstik ini?”
“Ehm... Lipstik ini impor dari Eropa...”
“Aku bisa baca bahasa Inggris. Harganya?” Dongfang Wan mengambil lipstik yang baru saja direkomendasikan pelayan kepada Xu Yiting, tanpa mengangkat kepala ia memotong penjelasan sales. Sang sales tersenyum: “2.380, ini varian termahal di toko kami.”
“Satu lipstik sampai 2 ribu lebih? Kalian merampok ya?” Mengernyitkan alis, saat pelayan hendak mengeluarkan segudang brosur merek, ia mengembalikan lipstik tersebut sambil mengeluarkan kartu kredit. “Ambil dua, bungkus yang rapi. Terima kasih.”
Sales itu tertegun sejenak, kemudian menerima kartu kredit, lalu berbisik dengan sales di sebelahnya. Tampaknya mereka decak kagum melihat kemurahan hati Dongfang Wan. Sebagai seorang gadis, penampilan Dongfang Wan tidak bisa dibilang modis, rias wajahnya sederhana, hanya memberi kesan pantas. Padahal tidak tertarik pada lipstik ini, bahkan sudah memberi komentar "terlalu mahal", tapi tiba-tiba membeli dua tangkai sekaligus. Orang kaya memang sungguh berbeda.
Tidak mempermasalahkan lipstik, Dongfang Wan menoleh dan melanjutkan percakapan dengan Xu Yiting. Xu Yiting mulai terbata-bata: "Xiao Wan, lipstik ini... terlalu mahal, kau..."
"Oh, katanya ini yang termahal. Sepupu-sepupuku tidak terlalu suka berdandan, tapi pasti pakai yang termahal. Saat memberi hadiah, tempelkan label harga 23.800, dijamin mereka merasa bangga... Ini tidak penting, yang penting..." Ia mengangkat mata putihnya, "Gu Jiaming, Bu Guru Zhang dan Lei Qing berpisah setelah keluar. Aku tidak berani menunggu lama, jadi mencarimu. Aneh juga bagaimana Bu Guru Zhang bisa kenal Lei Qing. Kukira pasti ada konflik seru antara Gu Jiaming dan Lei Qing."
"Lei Qing selalu mengira sepupumu adalah pacarmu. Dulu masih menjaga sikap, sekarang berani mengganggu bisnismu. Sepupumu pasti tamat riwayatmu karena ulahmu ini."
“Nasibmu.” Dongfang Wan tersenyum, “Kenapa, kau kasihan padanya? Sebenarnya menurutku Lei Qing yang akan tamat riwayatnya, sayang hari ini tidak melihat... Hmm, jangan lihat aku seperti itu. Meski tidak suka sepupumu, tapi aku juga merasa dia orang yang sok keren. Banyak hal tidak suka diperlihatkan ke orang, tapi yang meremehkannya sekarang semua kena batunya, bukan? Kalau bukan begitu aku juga tidak akan kerjasama dengannya——meski sebenarnya dia tidak banyak berbuat...”
Sambil membicarakan gosip Jiaming, sambil membungkus lipstik dan membawanya, naik ke mobil sport merah, Dongfang Wan menyerahkan sebatang lipstik ke Xu Yiting: “Nih, tunjangan Tahun Baru, jadi kau tidak bisa mengeluh aku menarikmu bekerja saat tahun baru juga.”
“Tapi, ini...” Xu Yiting tertegun, matanya membelalak.
“Barang ini katanya mahal, tapi bukankah sama saja fungsinya? Aku tahu ini bukan barang hemat, terima saja. Hey, aku bosnya, tidak perlu mengulurkan tangan lama-lama, ambil!”
Dengan paksa menyodorkan lipstik itu, Xu Yiting terbata-bata memegangnya: “Tapi... sebenarnya saat tahun baru juga tidak kerja berat, hanya mengatur beberapa data-data, tidak sampai setengah jam, ini terlalu...” Dia tersipu malu, “Aku pasti akan simpan saja tidak berani pakai...”
"Dongfang Wan tersenyum, mengangkat bahu tanpa konfirmasi. Mobil sport menyala dengan mulus, keluar dari parkiran. Di depan terhampar persimpangan jalan yang padat kendaraan. Saat lampu merah menyala, kerumunan manusia menyeberang ke seberang jalan. Setelah melewati sudut jalan, mobil sport tiba-tiba berhenti di tepi jalan, lalu mundur perlahan beberapa meter. Dua gadis di dalam mobil memperhatikan gemparan di plaza kecil di samping dengan penasaran."
"Itu adalah plaza di belakang gedung supermarket yang baru saja dikunjungi. Sekelilingnya ada bioskop besar, dan beberapa kafe serta warung yang ditata apik. Saat ini kerumunan besar telah berkumpul di sudut plaza. Mobil sport Cadillac besar milik Lei Qing baru saja diparkir di sana, terus-menerus mengeluarkan suara alarm. Lei Qing bersama empat pengawalnya sedang berhadapan dengan penjaga plaza, suara keributan mereka terdengar samar-samar."
"Ada apa? Lei Qing ngapain lagi?"
"Penasaran, dia turun dari mobil. Xu Yiting segera menyusul. Keduanya berjalan menuju kerumunan. Belum sempat mendekat, suara ribut sudah terdengar."
"Bercanda macam apa ini?! Tentu saja mobilku! Kenapa bukan milikku? Kalian ini sebenarnya mau apa? Aku suka menendang mobil sendiri... Panggil petugas yang berwenang!"
"Kalau memang milikmu kenapa pintunya tak bisa dibuka? Semua orang lihat, kuncimu sama sekali tak berguna..."
"Iya betul! Kulihat dia menekan tombol mobil lama sekali, tiba-tiba alarm berbunyi. Pasti orang ini pencuri mobil..."
“Kudengar sekarang ada orang yang menggunakan kunci elektronik serba bisa untuk mencuri mobil, tapi ini kan mobil sport terbaik, bagaimana mungkin alat kecil miliknya bisa membukanya……”
“Pencuri mobil zaman sekarang benar-benar lancang, sampai berani membawa 4-5 orang bersama-sama untuk mencuri……”
“Anak kecil, kira aku takut dia? Coba tanya-tanya sekitar, ayah ini punya julukan Lembu di Pinggang……”
“Mana ada julukan sepanjang itu……”
“Gagah! Tidak boleh? Pokoknya jangan biarkan dia pergi! Dia baru saja menendang pintu mobil, meski ini mobil bagus dan tidak rusak parah, tetap harus ganti rugi! Ini kan mobil mewah internasional……”
Dalam keriuhan, empat pengawal melindungi Lei Qing di belakang. Belasan satpam plaza tidak berani bertindak. Namun karena kerumunan semakin banyak dan saling menyahut, Lei Qing jelas kewalahan membela diri. Setelah mendengarkan sejenak, Dongfang Wan pun paham garis besar kejadian.
Mobil sport ini tentu milik Lei Qing. Rupanya sebelumnya terjadi kesalahan teknis dimana kunci elektronik gagal membuka pintu dan malah memicu alarm. Dengan empat pengawal bertubuh besar di sampingnya, warga biasa yang cenderung takut pada kekerasan biasanya tidak akan berani protes. Kebetulan lewat seorang mantan anggota Jalan Hitam yang juga pecinta mobil. Melihat Lei Qing menendang pintu mobil setelah dua kali gagal mematikan alarm, dia langsung memanggil satpam. Kerumunan penonton semakin banyak, sorak-sorai massa membuat Lei Qing hampir terjebak status sebagai pencuri mobil.
SIM Lei Qing memang ada di dalam mobil sport, tapi karena pintu tak bisa dibuka seketika, tentu saja tak bisa membuktikan kepemilikan mobil. Sejak kecil hidup dalam kemewahan, tiba-tiba mendapat tuduhan dari banyak orang, wajahnya memerah saat membela diri, pasti hatinya sudah dipenuhi rasa tidak adil. Seorang pengawal yang menghubungi kenalannya di Jianghai justru semakin menarik sorak-sorai kerumunan.
"Telpon... Telpon orang... Sekarang preman yang ketahuan mencuri mobil masih berani minta bala bantuan buat berantem? Kami sudah lapor polisi! Nanti juga ketahuan kau ini penjahat atau bukan, ngapain masih nelepon..."
"Wei, Xiaoqiang. Aku di Plaza Batu Biru. Bantu panggilin beberapa orang. Sial! Maling mobil sekarang makin lancang. Begini, dengar ya..."
"Geng kriminal? Kami anggota Partai Komunis tidak takut sama preman!"
Jumlah kami lebih banyak, lokasinya di area tersibuk kota, ada banyak satpam, polisi juga akan datang segera. Melihat si anjing terpojok ini masih melawan, kerumunan semakin bersemangat. Meski punya koneksi, Lei Qing tak bisa mempengaruhi situasi di sini. Wajahnya memerah seperti hati babi karena merasa terzhalimi. Tiba-tiba dia berteriak kencang membuat semua orang kaget. Dongfang Wan dan Xu Yiting mengira pembuluh darahnya akan pecah. Lei Qing tiba-tiba berlari dua langkah ke mobil, mengangkat batu besar dari tanah. Empat pengawal langsung mengerubunginya.
"Para pengawal ini semua menerima pelatihan agen rahasia profesional, sebenarnya membawa senjata. Sikap siap tempur mereka berbeda dari manusia biasa, membuat belasan satpam sama sekali tidak berani mendekat. Melihat Lei Qing membawa batu hendak menyerang, semua orang mundur teratur. Namun Lei Qing dengan wajah merah padam, berteriak kencang, lalu melemparkan batu ke jendela mobil sport."
"Byur! Ledakan dahsyat menggema, alarm mobil sport kembali berbunyi nyaring. Tapi kualitas kaca jendela benar-benar tangguh, hampir tidak meninggalkan jejak. Batu besar itu memantul kembali ke tanah, menggelinding beberapa kali lalu menghantam kaki kanan Lei Qing."
"Auuu——"
"Teriakan histeris yang menyayat hati terdengar dari kerumunan orang. Lei Qing memeluk kaki kanannya, melompat-lompat dengan satu kaki, lalu akhirnya duduk lesu di tanah. Di bawah ancaman psikologis dan fisik, terakhir yang terdengar dari kerumunan adalah jeritan penuh penderitaan dan kekesalan:"
"Ini mobil aku——"
"Dia menangis..."
"Anak yang malang..."
"Di pinggir kerumunan, dua gadis bertukar pandang, lalu berpelukan sambil tertawa terbahak-bahak..."
"Tadi kenapa meninggalkan aku? Aku tak peduli, kau harus beri penjelasan..." Mobil tua yang sudah berumur perlahan melaju di jalan. Di kursi pengemudi, Yahan yang mengenakan baju santai putih tersenyum lebar sambil menyetir dan menelepon.
"Aku melihat Dongfang Wan."
"Hah?"
"Saat di kafe, dia bersembunyi di balik taman bunga mengintip kita. Wanita ini... waktu itu melihat Lingjing dan Shasha terlalu mesra di jalan, langsung khotbahkan kalau mereka lesbian..."
"Aku juga merasa begitu."
"Haha, mereka biseksual... Bagaimanapun, berpisah lebih aman. Tapi tanpa peringatanku kau sudah tahu nyetir kabur, responmu juga cepat ya."
"Kompak! Apa sih artinya kompak... Sudah, di sini banyak mobil. Sekarang kau ada di posisi mana?"
"Kafe North Island, ke arah persimpangan Jalan Rakyat."
"OK, kebetulan aku belok ke arahmu. Ketemu di persimpangan."
Telepon dimatikan. Tak lama kemudian, Jiaming tiba di persimpangan depan. Mobil kecil yang familiar berbelok dan berhenti di sampingnya. Melepaskan pintu mobil, Yahan menyunggingkan senyum cerah: "Naik."
## Bagian Dua Ratus Enam Puluh Sembilan Fragmen Kecil-kecil
"Kau kenal Lei Qing bagaimana? Lihat dia mengangguk-angguk hormat di hadapanmu. Apa dia berutang banyak uang padamu?" Menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman, Jiaming bertanya penasaran.
“Keluarga dia punya kekuatan sangat besar, lebih besar dari keluarga Dongfang. Mana mungkin berutang sama saya. Saya cuma kenal kakak perempuannya, Lei Ying.” Yahan tersenyum, “Lei Qing adalah putra kedua keluarga Lei. Punya kakak laki-laki dan perempuan yang sangat dominan dan hebat. Kakak tertuanya Lei Xin saya tidak kenal, tapi katanya sudah secara resmi menguasai operasi grup bisnis Lei. Dengan Lei Ying juga tidak terlalu dekat, tapi tetap teman, kenal di Inggris. Waktu itu ada beberapa perguruan taekwondo dan karate yang bersatu menekan perguruan silat Tiongkok. Eh dia seorang cewek datang setiap hari tendang satu, langsung jungkirbalikkan semua perguruan di sekitar. Waktu itu di Cambridge jadi berita besar, kami semua menganggapnya sebagai pahlawan.”
“Oh oh, Lei Ying... Si adik Lei yang malang...” Jiaming mengangguk, tiba-tiba pandangan Yahan yang aneh mencuri perhatiannya, “Ada apa?”
“Aku rasa karakter Lei Ying mirip dengan Jian Suyan yang kamu perankan. Tapi dia tidak secantik Jian Suyan, juga tidak selancang kamu... Kemarin dengar kamu bilang waktu kecil selalu ada prototipe orang yang kamu tiru. Waktu menyelamatkan Kaoru kamu jadi pembunuh Eropa. Jian Suyan ini, jangan-jangan kamu kenal Lei Ying?”
“Lei Ying... Aku akui pernah dengar, tapi Jian Suyan bukan dia...”
“Lalu siapa dong?”
“Jian Suyan...” Dalam kesunyian mobil, ekspresi Jiaming membeku. Mulutnya terbuka tapi tak mengeluarkan kata. Pandangannya menembus langit di depan, seolah mencari kata sifat yang tepat di hatinya. Saat ekspresinya kembali normal, tetap saja ia menggelengkan kepala dengan senyum getir:
“Aku juga tidak tahu siapa dia, tidak bisa mengatakan……”
“Benarkah ada orang seperti itu?” Yahan membelalak.
“Hmm.” Jiaming mengangguk, “Hanya bertemu dua kali, tidak pernah bicara, aku tidak terlalu kenal. Bagaimanapun... aku lebih baik menghina Pei Luo Jia daripada menghina wanita ini……”
“Lalu kenapa kau menyamar sebagai dia?”
“Hehe, aku sedang berharap Pei Luo Jia akan menghinanya……” Senyum penuh antisipasinya tertuju ke luar jendela. Mobil kecil melaju di antara arus kendaraan, dikelilingi gedung-gedung tinggi dengan papan iklan warna-warni, di tepi jalan terlihat senyuman riang orang-orang yang masih membawa suasana Tahun Baru, serta kedamaian yang ia rasakan di hutan baja bernama Jianghai ini……
Singkatnya, entah Pei Luo Jia, [], maupun Keajaiban Kreasi, pergulatan hidup-mati serta intrik di Dunia Kegelapan selama periode sebelumnya, secara resmi berakhir setelah kepulangannya dari Amerika ke Jianghai. Tahun Baru Yi Mao baru saja berlalu, semua orang bertambah satu tahun usia. Di mata semua orang, ia kembali menjadi pemuda tujuh belas tahun yang kaku, jujur, sedikit sombong namun tetap ramah.
“Hai, Jiaming, akhirnya datang juga. Sudah beberapa hari tidak melihatmu, oh, Bu Guru Zhang juga……”
“Iya, setelah Tahun Baru kemarin, rombongan besar pulang ke rumah leluhur untuk sembahyang.”
“Benar, kalian kan keluarga besar, memang sudah tradisi... Ini, bawa bumbu penyedap ini.”
“Kenapa?”
“Tadi Lingjing si nona-nona itu keluar beli micin, kebetulan Shasha dan ayahnya datang berombongan, katanya mau memberi salam tahun baru ke Shifu Ye. Lingjing lari pulang buat nyalain petasan, eh micinnya udah dibayar malah lupa dibawa. Bukan aku yang bilang, calon istrimu itu emang dari dulu ceroboh. Nah, ini uang kembaliannya……”
“Hehe, kasih ke aku sini、kasih ke aku sini……”
“Ngomong-ngomong, Bu Guru Zhang, sudah lama nggak ketemu, aku ada sesuatu, nggak tahu……”
“Heh, Paman Lin, panggil aku Xiao Zhang saja, ada perlu apa?”
“Begini, anakku Xiaohui tahun ini masuk semester terakhir SMP. Kami ingin dia masuk SMA yang bagus, tapi nilainya cuma pas-pasan. Cewek karakternya agak kalem, tapi setidaknya penurut, nggak pernah berperilaku sembarangan……”
Baru saja melewati tahun baru, kompleks perumahan masih dipenuhi suasana meriah. Puncak keramaian tiga hari pertama sudah lewat, tapi kadang masih terdengar suara petasan dari rumah-rumah yang dikunjungi. Anak-anak berlarian di jalan dan antar gedung sembari main petasan kecil dan kembang api. Meski sudah dibersihkan, sisa kemasan petasan berwarna merah masih terlihat di sudut tembok dan bawah tiang listrik. Saat melewati warung kecil, pemiliknya Paman Lin menyapa mereka, lalu membahas masalah syarat masuk Akademi Hati Kudus dengan Yahan.
“Sebelumnya sudah pernah belajar di perguruan silat Keluarga Ye selama beberapa waktu, meski kemudian ada masa vakum setengah tahun, tapi semua orang masih saling kenal. Walaupun tidak jelas posisi spesifik Yahan di Akademi Hati Kudus, tapi setidaknya tahu dia adalah guru di sana. Berdiri di sana mengobrol beberapa menit, Yahan yang sedang mood bagus belakangan ini memberinya beberapa petunjuk cara, kemudian pergi ke arah perguruan silat Keluarga Ye bersama Jiaming yang membawa MSG, meninggalkan Lao Lin di belakang yang tersenyum cemerlang sambil berkata terima kasih.”
“Aku tidak tahu Guru Yahan yang jujur juga mau mengajari orang main pintu belakang.”
“Mana bisa disebut main pintu belakang? Menjalin koneksi secukupnya ini sebenarnya masih termasuk cara formal, setuju? Kau juga tahu air yang terlalu jernih tak ada ikannya. Kalau benar-benar main pintu belakang, dulu waktu kau dan Shasha masuk Akademi Hati Kudus, sama sekali tidak ada proses formal, cuma aku yang langsung bicara ke kepala bagian penerimaan murid. Itu baru namanya main pintu belakang, setuju?”
“...Apakah itu berarti main pintu belakangmu?”
“...Iya... Kau mau tinggal semalam ini?”
“Hmm...”
Kesunyian sesaat, Yahan menyesuaikan kacamata di hidungnya, keduanya saling bertukar pandang lesu di sudut jalan, kemudian "Cih!" tertawa bersama, berjalan menuju pintu gerbang perguruan silat yang tak jauh.
Wushu Ye juga pernah menyelenggarakan kelas liburan musim dingin, namun tahun ini tidak berhasil merekrut banyak orang sehingga untuk sementara dihentikan. Memasuki aula perguruan silat, terlihat dua pimpinan tertinggi Shazhu Bang sedang pemanasan di ring, sementara yang lain bersorak-sorai di pinggir arena. Kebanyakan dari mereka sudah kenal dengan Jiaming, tersenyum dan mengangguk hormat padanya. Dua orang yang melihat Yahan malah bersiul sambil tertawa. Xiao Meng yang berpakaian rapi seperti pengusaha itu memberi salam hormat pada Jiaming. Dalam insiden penculikan Akademi Hati Kudus oleh Tak terhitung dewa-dewa, tukang pisau Shazhu Bang ini telah menyaksikan kemampuan Jiaming. Sejak beberapa kali pertemuan setelahnya, dia selalu menjaga sikap penuh hormat.
Melewati halaman tengah, suara TV terdengar dari kamar dalam. Duan Jingxian sedang berbicara dengan Liu Zheng sambil mencela kekurangan putrinya.
"...Cewek macam-macam, beli monosodium glutamat saja tidak becus. Kayaknya nanti susah menikah. Bandingkan dengan Shasha yang selalu bersih dan rapi dalam segala hal..."
"Ah, tidak juga. Shasha kami tomboi. Kalau bukan karena pengaruh Lingjing kalian, mungkin dia sudah ikut aku berkecimpung di dunia hitam. Kau kan tahu waktu kecil dia sering berkelahi. Baru sekarang mulai membaik. Tapi soal menikah, pasti banyak yang mau memperistri Lingjing. Tapi siapa berani menikahi Shasha kami? Haha..."
“Bukankah ada Jiaming? Dulu kan selalu bilang Lingjing itu calon istri Jiaming yang dipelihara sejak kecil, tapi hasilnya... Eh, Lingjing kenapa masih berdiri di sini? Cepat pergi beli micin!”
“Oh.”
Jawaban singkat Lingjing terdengar, lalu pintu kamar terbuka. Lingjing yang mengenakan jaket katun hitam dan celana jeans berlari keluar tergesa-gesa, dua kuncirnya berkibar-kibar. “Aduh!” Hampir saja dia menabrak Jiaming.
“Kau... Jiaming!”
“Ini, micin.”
Ekspresi gembira muncul di wajah Lingjing sebelum akhirnya menerima micin itu. Matanya juga melihat Yahan di samping. Dari dalam terdengar suara Ibu Ye dan Liu Zheng: “Jiaming datang?”
“Ah, Kakak Yahan juga ikut. Aku mau keluar pasang petasan.” Lingjing tersenyum pada Jiaming lalu berlari ke luar sambil membawa micin. Jiaming mengangkat bahu, menyerahkan beberapa kotak hadiah ke tangan Yahan yang juga sudah penuh, lalu mengejar Lingjing: “Hei, micin tadi... Kenapa malah dibawa keluar lagi...”
Dengan segudang hadiah di tangan, Yahan hanya bisa menghela napas melihat kekacauan ini. Pintu terbuka lagi, Duan Jingxian menyambut dengan senyum: “Yahan datang ya... Lho kenapa bawa banyak-banyak? Cepat masuk! Nanti jatuh... Oh iya, Jiaming mana? Katanya ikut?”
“Selamat Tahun Baru, Tante Ye... Jiaming sedang mengejar micin. Hadiah di atas ini dari Jiaming, si bocah ini...”
“Hehe, cepat masuk... Cuacanya dingin...”
Di sisi ini Ibu Ye menarik Yahan masuk, kemudian bertemu dan menyapa Liu Zheng. Di sisi lain, Lingjing dan Jiaming juga keluar ke depan pintu. Lingjing membawa kembang api di satu tangan, sambil menghisap rokok di tangan lainnya, batuk-batuk hingga seluruh tubuhnya gemetar.
"Hei, biar aku saja, lihatnya kau ketakutan begini..."
"Batuk... Ini bukan takut, aku cuma tersedak asap... Aaa——!" Dengan tersenyum dia menyentuhkan sumbu ke puntung rokok, menjerit sambil melompat ke belakang dan melemparkan petasan. Dalam gemuruh petasan dan kepulan asap, Lingjing menutup telinga dengan jari, dirangkul Jiaming dengan satu tangan. Beberapa saat kemudian, suara petasan mereda. Melihat tak ada orang di ujung jalan, Lingjing menengadah dan mencium lembut pipi Jiaming sebelum berbalik masuk.
"Kau ini ayam betina ya? Sentuhan kecil saja segini sudah——" Berjalan di samping Lingjing, Jiaming menyeringai pelan.
"Kalau kau ayam jago," Lingjing menyemburkan malu.
"Lalu di mana ayam betina satunya?"
"Sedang mengerjakan PR liburan di kamar. Separuh belum selesai, sekarang sibuk mencontek... Ayo cepat masuk, ibuku sudah kangen. Baru beberapa hari tidak bertemu, sampai segini rindunya... Sepertinya kau lebih seperti anak kandungnya. Di rumah dia selalu mengomeliku, jangan-jangan dulu kita sengaja ditukar? Aku ini putri Pangeran Gu, sedangkan kau anak kandung orang tua kita?"
“Bawalah bungkus micin ini, biar mereka mengakui kau sebagai putri kandung mereka.”
“Iya ya, kok bisa lari ke situ lagi...”
“Bodohnya kau...”
Tertawa-tawa masuk, kemudian dilanjutkan dengan ucapan tahun baru formal. Bagaimanapun, keluarga Ye bagi Jiaming sudah seperti rumah sendiri. Setelah beberapa patah kata, Lingjing langsung menariknya masuk ke kamar tidurnya. Kamar pribadi Lingjing yang sederhana dan elegan sudah sering dikunjungi Jiaming. Melihat Shasha sedang menyalin PR liburan di meja belajar, Jiaming mendekat dari belakang lalu tiba-tiba memeluknya, kedua tangan menutupi tonjolan dada gadis itu.
Tanpa reaksi berlebihan, Shasha tetap menyalin soal PR. Hanya alis yang baru saja berkerut kini tersirat senyuman. Beberapa saat kemudian dia berkata: “Enak dipegang? Suami.”
“Lagi pula kan sudah kusentuh berkali-kali. Apalagi sekarang pakai baju tebal begini, mana ada sensasi sentuhannya...”
“Kalau gitu lepasin! Jangan ganggu aku ngerjain PR. Aku nggak mau masuk kuliah nanti dimarahin guru lagi. Kalau kau frustasi, pergilah menggelepar-gelepar sama Lingjing...”
“Aku mau bantu ibu memilih sayur.”
Lingjing tersenyum, melarikan diri dari kamar. Setiap kali Jiaming dan Shasha bersatu, dia sering jadi yang dikerjai. Tapi sekarang di sini, tentu tidak mungkin. Setelah menemani Shasha sebentar di kamar, Jiaming juga berlari ke dapur membantu. Di dapur hanya ada Ye Han yang memakai celemek bertindak sebagai koki besar dan Duan Jingxian yang sedang memilih sayuran. Lingjing malah tidak ada, entah kabur ke mana. Jiaming ingin membantu, malah didorong keluar oleh Ibu Ye: "Anak laki-laki jangan terlalu rajin, ini pekerjaan cewek. Kalau kamu terlalu pintar, nanti mereka jadi tidak bisa. Keluar, keluar..."
"Tapi Papanya Ye..."
"Hehe." Papanya Ye yang berpenampilan gagah tapi berwatak santai dan ramah tersenyum padanya, "Aku adalah bukti nyata teori yang menyedihkan ini. Keluarlah, keluarlah."
Keluar dari dapur, Yahan dan Liu Zheng sedang mengobrol di ruang tamu. Lingjing sedang menggotong selimut besar dari kamar orang tua. Melihat Jiaming dan Yahan, dia ditanya: "Ada apa?"
"Perlu bantuan?"
"Tidak perlu, aku cuma mau merapikan ranjang di loteng. Mulai malam ini Jiaming akan tidur di sini. Soalnya sebelum tahun baru imlek sudah ada bersih-bersih total. Aku tinggal bawa selimut ke atas saja."
Di sebagian besar liburan musim panas dan musim dingin, Jiaming tinggal di loteng kecil ini. Keluarga Huang semakin jarang dikunjunginya. Meski Lingjing bilang tak perlu membantu, Jiaming tetap tersenyum mengambil selimut - ini juga rumahnya sendiri, tak perlu sungkan. Aroma masakan menyeruak dari dapur. Jiaming dan Lingjing menyusun jebakan di loteng. Tak lama, Yahan dan Liu Zheng juga naik, mengaku membantu tapi sebenarnya cuma melihat-lihat.
Siang itu, dua meja disusun di perguruan silat. Lebih dari sepuluh orang makan terpisah - awalnya Liu Zheng ingin membawa anak buahnya pergi, tapi akhirnya dipaksa tinggal oleh Papanya Ye dan Ibunya Ye. Mempersiapkan makanan memang merepotkan, tapi tindakan ini tanpa disadari membawa konsekuensi baik.
Pukul dua siang, orang dari perguruan silat lain datang menantang dojo. Secara resmi mengajak duel, tapi sebenarnya orang yang pernah berselisih dengan Ye Han beberapa kali. Mungkin mabuk setelah pesta Tahun Baru, mereka membawa algojo untuk mengganggu, malah bertemu dengan algojo geng kriminal yang baru saja kenyang minum baijiu. Hasilnya bisa ditebak. Jika bukan karena bujukan Ye Han, mereka pasti harus berbaring di rumah sakit lebih dari setahun. Beberapa hari kemudian perguruan silat itu dihancurkan bersih. Liu Zheng tentu bersumpah tak terlibat, tapi keaslian pernyataan ini tak ada yang mau menyelidiki.
Kehidupan yang datar dan penuh hal sepele berlalu hari demi hari dalam suasana meriah Tahun Baru. Setelah perayaan Cap Go Meh tanggal lima belas bulan pertama, Akademi Hati Kudus pun resmi memulai semester baru. Paruh kedua semester dua SMA dimulai di tengah gemuruh petasan yang seolah tak kunjung padam.
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh: Gedung Runtuh
"Sebelum tahun baru kamu ke New York? Beneran? Pasti lihat Patung Liberty dong, Empire State Building, foto-foto, aku mau lihat foto... Oh iya, nonton pertandingan Nicks ga? Kamu tau kan, pacarku fans berat Nicks, suka begadang nonton basket, bikin kesel banget..."
"Tom Yun suka basket? Kok aku ga tau... Katanya dia ga suka apa-apa kecuali piano."
"Tom Yun? Itu kan sudah lama sekali. Aku sudah ganti dua pacar. Sekarang Darling-ku... hehe, lain kali kuperkenalkan. Dia model, sangat berapi-api lho... Hmm, kamu masih ingat Tom Yun? Jangan-jangan karena dulu dia suka sama kamu? Kalau kamu tertarik, bisa kuhubungkan. Kami masih berteman baik kok."
"Tom Yun... Aku? Mana mungkin..."
"Aku dari dulu sudah tau dia punya perasaan. Dia pianis kutu buku, kamu juga main piano. Kan dulu sempat belajar sama dia di waktu luang. Meski Xu Mo selalu mengejarmu, yang lain agak minder... Tapi kupikir kamu sudah tau semua... Ngomong-ngomong, gimana hubunganmu dengan Xu Mo sekarang?"
"Aku dan Xu Mo... Dari awal memang tidak ada apa-apa. Ga tau kenapa kalian selalu mengira kami harus jadian."
“Aura Xu Mo cukup cocok denganmu kan, latar belakang keluarganya juga setara, semua orang berpikir begitu... Tentu saja, memilih siapa sepenuhnya urusanmu sendiri. Tom Yun sudah lama diam-diam menyukaimu, dia juga cukup baik...”
“Sudah-sudah, jangan sembarangan menjodohkan orang. Aku dan Tom Yun hanya teman, dia memang baik, tapi... Kalian berteman baik lagi setelah putus ya?”
“Kenapa tidak boleh? Bagaimanapun... berpisah dengan baiklah. Dari awal juga tidak terpikir akan menikah dengan mereka. Aku juga merasa Tom Yun baik, tapi kalau untuk menikah, keluarga pasti tidak mengizinkan. Kau tahu kan, teori mengorbankan segalanya demi cinta itu terlalu idealis. Pada akhirnya harus cari orang dengan latar belakang setara yang bisa membantu menyelesaikan masalah keluarga. Tom Yun juga paham kok. Setelah tinggal bersama, perlahan mulai timbul gesekan. Mudah bertemu tapi sulit tinggal serumah, memang begitu. Kami memutuskan sebelum emosi jadi tak terkendali. Sekarang masih sering telepon, dia punya pacar baru yang juga guru, pernah kulihat, cukup kalem, auranya agak mirip denganmu lho...”
“Oh, hehe...”
“Heh, jangan bahas ini lagi. Ngomong-ngomong, hari-hari awal masuk kuliah kan masa tersibuk untuk kalian guru?”
“Hmm, memang agak sibuk, tapi selama mengikuti ritme rutin sih sederhana. Meski bukan kerja lembur, dihitung seperti lembur juga, gajiannya lumayan.”
“Orang lain mungkin biasa saja, tapi kamu masih kurang sedikit gaji? Tapi dulu jarang lihatmu datang ke jamuan-jamuan seperti ini. Sejak pulang dari Amerika, kamu jadi lebih terbuka ya.”
“Lumayan. Kata dokter suasana hati yang ceria bagus untuk kondisi kesehatanku, itu... keponakan bibimu, yang... apa itu...”
“Keponakan bibi sepupu... ngomong sendiri juga jadi kedengarannya aneh, hehe...”
“Hmm, sudah kutanyakan, sekarang pindah kelas akan sangat merepotkan, karena... dia sudah menjalani satu semester di kelas 10...”
“Bibi sepupu bilang Guru Ou tidak kompeten, katanya siswa kelas khusus lebih pintar, gurunya juga lebih baik... Aku tidak tahu soal ini, tapi perusahaan bibi sepupu sekarang berkembang pesat, baru mulai merambah pasar luar negeri, dari semua koneksi yang ada cuma mereka yang punya relasi di Eropa, aku tidak bisa menolak permintaan muka mereka...”
“Hmm, heh, kelas khusus... sebenarnya tidak beda jauh, tapi... begini saja, pendaftaran masih belum ditutup, suruh bibi sepupumu cari koneksi ke sekolah, di sini akan kuatur surat pindah sekolah ke institusi lain, lalu buat surat pindah balik, proses masuk-keluar, masuk kelas mana terserah pilihannya, tapi ke wali kelasnya, lebih baik bibi sepupumu menyumbang hadiah...”
“Begitu tidak masalah?”
“Hanya ini solusinya. Kalau tiba-tiba bilang tidak mau sekolah di sini tanpa alasan, bahkan pimpinan sekolah yang bicara, pasti Guru Ou akan curiga, di permukaan mungkin diam tapi di hati akan menyimpan dendam...”
“Mengerti, mengerti, kalian guru juga punya kesulitan sendiri, tapi keluarga Anda sudah serba cukup, aku bingung harus berterima kasih bagaimana...”
“Ah tidak, ini cuma bantuan kecil antar teman, jangan dipikirkan...”
“Aku tahu hubungan interpersonal seperti ini paling merepotkan, Yahan, sungguh terima kasih...”
Cahaya terang benderang, alunan musik《Many Hearts》dari Muji mengalun lembut. Pelayan-pelayan yang sibuk membawa piring berkeliling, sosok-sosok berbaju jas resmi beraneka warna. Tanggal enam belas bulan pertama, usai perayaan Yuanxiao. Ini adalah jamuan malam kalangan elite masyarakat Jianghai.
Dengan sepatu hak tinggi hitam, gaun malam ungu yang elegan, rambut hitam panjangnya disanggul rapi, Yahan dengan mahir menjaga senyumnya sembari berbincang dengan teman perempuannya. Ia menyapa dua pemuda yang berpapasan, mengayunkan tangan tanda pamit, lalu diperkenalkan oleh seorang pedagang paruh baya—yang pantas dipanggil paman—kepada CEO baru perusahaannya. Setelah mengobrol cukup lama, ia akhirnya menyelinap ke sudut ruangan untuk meneguk air jernih.
Meski menjadi guru sejak pulang dari Cambridge, pengalamannya menghadapi adegan spektakuler semacam ini tak bisa dipandang remeh. Meski jarang menghadiri acara kumpul-kumpul, ini bukanlah beban berat baginya. Matanya menyapu kerumunan tanpa fokus, tak menemukan sosok yang dicari. Tiba-tiba suara sapaan terdengar lagi di sampingnya: "Hai, Guru Zhang Yahan."
Umumnya tak ada yang menyebut "guru" setelah nama lengkap seseorang. Sekilas kebingungan terlintas di hati, namun senyum anggunnya langsung pulih seketika. Saat menoleh, terlihat seorang pemuda tak dikenali berkacamata kawat emas sedang menatapnya dengan ujung bibir tertarik naik. Sorot matanya seolah menyiratkan... sikap meremehkan.
"Orang ini Yahan belum pernah lihat sebelumnya, tapi sepertinya juga anak bangsawan dengan latar belakang keluarga baik. Aura-nya memang bagus, namun kesombongan yang terpancar dari seluruh tubuhnya bisa langsung terlihat. Kemungkinan besar sejak kecil selalu hidup mulus." Setelah ragu-ragu sejenak, barulah dia melihat Xu Mo di sebelah yang mengangguk memberi salam padanya.
"Hehe, Halo. Nama saya Ying Zifeng. Dengar dari Xu Mo tentangmu, jadi selalu ingin berkenalan."
Pria berkacamata Ying Zifeng tersenyum mendekat sambil mengulurkan tangan. Yahan juga menjabat tangannya sambil merapikan rambut di pelipis telinga: "Halo, saya Zhang Yahan."
Mengingat ini pertemuan dengan orang asing, setelah salam-salaman tak ada topik bernutrisi yang bisa dibicarakan. Ying Zifeng terang-terangan menyindir rasa suka Xu Mo pada Yahan, namun Yahan tetap tersenyum pura-pura tidak paham. Beberapa saat kemudian, Ying Zifeng melambaikan tangan pergi, meninggalkan Xu Mo dan Yahan di tempat ini - mungkin inilah maksud awalnya memberi salam tadi.
“Hubungan Yahan dengan Xu Mo sebenarnya selalu merupakan perhatian sepihak. Yahan selalu menolak dengan tegas, namun karena dia tidak pernah punya pacar, Xu Mo juga tetap tidak mau menyerah. Seperti kata pepatah: "Kau boleh tidak menyukaiku, tapi tidak bisa menghentikanku untuk menyukaimu." Dalam setengah tahun terakhir ini, Yahan terluka karena mengetahui kebenaran hubungan Jiaming dengan Lingjing dan Shasha. Xu Mo mengira ada kesempatan, sehingga hubungan ini terlihat semakin jelas. Namun sejak peristiwa Tak Terhitung Dewa-dewa, kemudian Yahan berobat di rumah, lalu pergi ke Amerika, dan baru bertemu lagi setelah masuk kuliah. Awal semester sangat sibuk, Yahan sudah bersama Jiaming, semakin mengabaikannya. Mereka sering terlewat di kampus, hingga akhirnya ada kesempatan untuk membahas lebih detail.
Setelah beberapa saat kesunyian, pria pemalu namun bersemangat itu baru tersenyum: "E, sifat Zifeng memang tidak baik, mungkin ucapannya kurang enak didengar, tapi secara umum dia teman yang baik, jangan kau marahi dia."
"Tentu tidak." Yahan tersenyum formula tanpa ucapan tambahan.
Kesunyian yang sengaja dibuat membuat Xu Mo sedikit tidak nyaman: "Setelah peristiwa mengerikan di kampus kemarin, kudengar kau sakit. Ingin menjengukmu, tapi katanya kondisimu cukup serius sehingga tidak bisa bertemu... Lalu kudengar kau berobat ke Amerika. Kulihat berita badai salju di New York waktu itu cukup ganas. Apakah kau baik-baik saja?"
"Tidak apa, bukankah aku baik-baik saja? Terima kasih atas perhatianmu, dan..." Dia tersenyum mengangkat gelas anggur di tangannya, "Aku dan dia sudah berbaikan lagi..."
“Uh……”
“Aku sekarang lagi bersama pria itu, kau juga lihat, aku sekarang setiap hari sangat bahagia. Antara kau dan aku, aku tak bisa banyak bicara, tapi kau selalu paham......” Dia menatapnya, berbisik pelan, “Aku selalu wanita sederhana, suka ya suka, kalau sudah tidak bisa menyukai, bagaimanapun juga tidak bisa. Selama bertahun-tahun perasaanmu padaku, aku sangat tersentuh, sungguh, tapi aku sekarang hidup dengan baik, dia sangat baik padaku, juga sangat mempercayaiku, tapi bagaimanapun, aku takut hal-hal tak berguna memengaruhi kita. Kau...... uh, aku tidak tahu harus bilang apa, tapi......”
“Maksudmu...... suruh aku jangan mengganggumu?” Setelah ragu-ragu sejenak, Xu Mo yang wajahnya memucat berkata.
“Aku tahu kau orang baik, tapi aku bukan wanita yang luar biasa, aku tahu banyak wanita menyukaimu......”
“Jangan bilang orang baik...... kartu orang baik ya......” Xu Mo tersenyum ironis, menggelengkan kepala, “Kau orang baik, di kampus semua menganggapnya bahan ejekan, katanya teman baikmu Gu Jiaming yang menyebarkannya...... Kalau begitu, bisakah aku menemuinya? Setidaknya biar tahu kalah di tangan siapa......”
“Dia sekarang tidak di sini, kalau ada kesempatan, tentu.”
“Hmm, hehe...... hehe......” Xu Mo mengangguk, tersenyum getir, sepertinya masih ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya tak terucap, lalu perlahan pergi sambil tertawa getir di kerumunan orang. Di tengah kerumunan, tertinggal punggung yang kesepian.
Melepas napas lega, dia bukan tipe wanita yang dingin secara alami seperti Kaoru. Terhadap perhatian besar Xu Mo selama bertahun-tahun ini, klaim tidak tersentuh jelas merupakan trik penipuan. Namun memandangi punggung itu, yang lebih dominan adalah rasa gembur dan kebebasan. Dalam hal cinta sejati, mood-nya akhirnya tetap condong pada tradisi, lebih memilih hanya dimiliki oleh satu pria dewasa saja sudah cukup, meski kekurangannya adalah pria tersebut tidak hanya memilikinya seorang wanita.
Memikirkan ini, tanpa sadar mengangkat bahu dengan kekecewaan. Pandangan menyapu sekeliling sekali lagi, akhirnya menemukan beberapa bayangan familiar di sudut aula. Jiaming, Lingjing, dan pasir bertiga sedang mengelilingi meja kecil, sambil berkejaran tertawa dan menyantap makanan. Suasana meski meriah, terasa jelas ada "jangan mendekat" dan sikap tidak mau diganggu.
Benar-benar memancarkan pandangan iri, Oh.
Hatinya tak terhindarkan mulai terasa kecut. Sejak kepulangannya dari Amerika, karena mood-nya yang lebih cerah, banyak pendapatnya terhadap ayahku sebelumnya telah berubah. Kini dia memiliki posisi penting di Akademi Hati Kudus, banyak anak orang kaya berlatar belakang kuat yang ingin mendapatkan rekomendasi ke universitas unggulan, bahkan studi di universitas name tag dunia, sebagian besar harus melalui koneksinya. Dengan demikian, manusia yang berutang budak akan memberikan manfaat bagi seluruh Keluarga Zhang. Meski tetap tak ikut campur dalam operasi Grup Zhang, kehadirannya di jamuan-jamuan tak perlu seperti ini sebenarnya mengandung maksud berdamai dengan ayah. Ayah dan Tante telah tiba di jamuan ini, kini sedang berbincang dengan para bos bisnis di sisi ruangan. Adapun Jiaming dan yang lain, tujuan datang ke acara ini murni hanya untuk makan malam belaka.
Mengingat sudah bersama Jiaming dan menerima fakta bahwa dia juga tinggal bersama Lingjing dan Shasha, sejak pulang dari Amerika, Yahan sering berkumpul bertiga sambil bermain riang. Lagipula sebelumnya dia memang sudah berteman baik dengan Lingjing dan Shasha, dan bagaimanapun juga tidak bisa membenci mereka. Lagipula relatif terhadap Yahan, Lingjing dan Shasha yang berusia lebih muda juga seusia dengan Jiaming. Sebagai cinta sejati yang egois, sesekali melihat kedua gadis itu, hatinya hanya merasa sedikit bersalah. Tapi rasa bersalah tetaplah rasa bersalah, cinta memang egois. Dia hanya bisa mempertahankan status quo ini, menjalin hubungan ambigu dengan Jiaming. Untungnya sifat Jiaming yang santai membuat perselingkuhan ini tidak terkesan sembunyi-sembunyi, malah lebih terasa terang-terangan. Secara mental akhirnya masih bisa diterima.
Akademi Hati Kudus biasanya memulai tahun ajaran baru setelah Festival Lentera. Hari ini tanggal enam belas bulan pertama, hari pertama pendaftaran di kampus. Jiaming, Lingjing, dan Shasha memindahkan barang-barang dari keluarga Ye, kembali ke kamar sewaan untuk membersihkan dan merapikan. Setelah semua urusan selesai, Yahan yang melihat mereka kelelahan mengusulkan makan malam bersama di jamuan ini.
Dalam jamuan seperti ini, kebanyakan orang punya koneksi dan lingkaran sendiri. Meski Yahan jarang datang, cukup banyak yang mengenalinya sehingga tak terhindar dari berbagai basa-basi. Melihat beberapa orang menikmati hidangan enak di samping mereka, hatinya mulai kesal - perutnya masih kosong. Saat melangkah ke arah trio itu, Jiaming tersenyum menoleh namun kemudian memandang bingung ke samping. Yahan mengikuti pandangannya dan melihat Ying Zifeng di kerumunan yang juga sedang menatapnya sambil mengerutkan alis, ekspresinya penuh ketidaksenangan seolah menuduhnya tak tahu diri.
Wajar saja jika teman menunjukkan kemarahan saat mengalami kekecewaan, namun dalam urusan perasaan, tak suka ya tak suka. Penolakannya pada Xu Mo sudah dilakukan dengan hati-hati dan sopan. Si "ayam berkacamata empat" ini siapa? Apakah dia dan Xu Mo hubungan khusus... Alisnya berkerut, tapi nama Ying Zifeng terasa agak familiar, sepertinya pernah mendengarnya dimana. Karena tak kunjung ingat, dia mendekati trio itu dan duduk: "Wah, kalian bertiga santai sekali. Aku sudah diganggu sepanjang malam..."
“Lagi-lagi cari Kakak Yahan buat main pintu belakang ya?” Lingjing tersenyum sambil menyodorkan sepiring makanan yang sudah dipersiapkan sebelumnya ke hadapan Yahan. Mendengar kata "main pintu belakang", Yahan langsung menyadari ekspresi Jiaming yang tiba-tiba berubah jadi cabul. Hubungan mereka memang belum sampai tahap itu, tapi sejak lelucon terakhir, Jiaming terus-terusan menggodanya dengan topik semacam ini. Dengan mata melotot penuh amarah tapi tetap tersenyum, Yahan menerima makanan itu. Jiaming tertawa: "Kayanya ini pasti urusan confess atau gitu deh. Barusan aku liat Guru Xu. Lagian kalo dia sama Kakak Yahan ya pasti bahas-bahas gituan. Oh, itu pria di kerumunan yang ngeliatin Kakak Yahan kayak istri yang menggerutu, jangan-jangan juga gagal confess ya? Dendamnya kerasa banget sih..."
"Hmm, di mana? Di mana?"
Mendengar ini, Lingjing dan Shasha penasaran mencari-cari "istri penggerutu" versi laki-laki di kerumunan, tapi tentu saja bayangan Ying Zifeng sudah tak terlihat. Yahan menggelengkan kepala sambil tersenyum: "Aku juga ga tau jelas. Orang itu temannya Xu Mo. Mungkin karena aku nolak Guru Xu Mo, dia jadi sebel banget sama aku. Namanya Ying Zifeng, entah asalnya dari mana. Aku kayaknya pernah dengar tapi ga ingat..."
"Ying Zifeng?" Jiaming berhenti makan. "Itu putra kedua Ying Haisheng kan? Kakaknya Ying Zilan, harusnya kamu pernah dengar..."
“Grup Chao Hai, Raja Tanah Tenggara?” Mata Yahan melebar. Ia baru teringat, Grup Properti Chao Hai pimpinan Ying Haisheng adalah tokoh tingkat Kaisar di industri properti Tiongkok saat ini. Dari Shanghai hingga Guangzhou, Shenzhen, Hong Kong-Makau, bisnis properti Grup Chao Hai baik langsung maupun tidak langsung mencakup hampir 30% kuota pasar properti nasional. Di tengah tren pasar properti Tiongkok yang terus naik tanpa penurunan, skala Grup Chao Hai benar-benar mencapai tingkat yang sulit diperkirakan.
Untuk mencapai posisi quasi-monopoli seperti ini di Tiongkok, Ying Haisheng memiliki jaringan hubungan yang kuat di pemerintahan pusat. Meski secara resmi hanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pengaruhnya luar biasa besar. Beberapa tahun terakhir setelah putra sulungnya Ying Zilan mulai menerima tanggung jawab mengelola grup, Ying Haisheng perlahan mundur dari dunia bisnis, namun deterensi-nya sama sekali tidak berkurang. Raksasa seperti ini, dalam ingatan Yahan, mungkin hanya Fang Zhitian yang pernah mengunjungi Jianghai setahun lalu yang bisa disetarakan. Aset Keluarga Zhang tidak terkait dengan industri properti, sehingga Yahan awalnya tidak ingat nama Ying Zilan. Diingatkan oleh Jiaming, ia pun terkejut.
“Hah, bukankah ini teman sekelas Jiaming yang itu, asyik bermain ya... Yahan...” Sedang memikirkan urusan Ying Zifeng, suara merdu tiba-tiba terdengar dari belakang. Saat menoleh, terlihat Tante yang mengenakan gaun malam mewah tersenyum memandangnya. Jiaming berdiri dan memanggil "Tante", disusul Lingjing dan Shasha yang saling menyapa. Setelah obrolan singkat, Tante memberikan kode mata dan menarik Yahan ke samping.
“Eh, teman sekelas Gu Jiaming ini dari keluarga Huang kan?”
“Hmm, iya.”
“Keluarga Huang sedang bermasalah.” Tante memandangnya sambil berbisik, “Baru saja ngobrol dengan ayahmu di sana, semua orang membicarakan kabar ini.”
Yahan tertegun: “Ada apa?”
“Huang Bingxiang tumbang. Selama ini posisinya sebagai Sekretaris Komite Provinsi selalu terasa setengah-setengah. Belakangan atasan bilang situasi genting, tapi tak ada yang menyangka secepat ini. Baru usai Festival Lentera, hari ini sore dia sudah dilaksanakan shuanggui.” Wanita berbaju gaun itu melirik Jiaming yang sedang asyik menyantap hidangan, “Semua paham - begitu orang di level ini kena shuanggui, basically tamatlah riwayatnya. Keluarga Huang terlihat makmur beberapa tahun terakhir, tapi sebenarnya kemampuan mereka terbatas. Semua mengandalkan pengaruh Huang Bingxiang. Begitu dia jatuh, tembok rubuh ditambah dorongan massa... Keluarga Huang pun ikut runtuh...”
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh Satu Gesekan
Tuhan berfirman: Pohon tumbang, kera-kera pun berpencar.
Baiklah, kita harus mengakui bahwa |Tuhan di atas sepenuhnya fiktif. Namun sejak |Huang Bingxiang ditahan dalam status |shuanggui, situasi keluarga Huang selama sebulan terakhir benar-benar seperti pepatah "pohon tumbang dan kera pun bubar", menjadi semakin tidak terkendali.
April 1999, nuansa musim semi datang bergelombang. Dalam udara sejuk gerimis tipis, |Jiaming berbaring di |balkon lantai dua |villa keluarga Huang, menyaksikan kerumunan orang yang kadang ramai kadang sepi di bawah, merasakan sensasi sebuah keluarga yang perlahan tercerai-berai.
Sudah lebih dari sebulan, |Huang Bingxiang dan istrinya masih dalam status |shuanggui. Sebagai |pimpinan setingkat |Sekretaris Komite Provinsi, kasus seperti ini akan memiliki |durasi panjang. Berbagai masalah akan diurai satu per satu di meja pemeriksaan. Pukulan terberat bagi keluarga Huang adalah efek domino - bukan hanya satu orang yang harus menanggung, tapi menyebar ke banyak pihak. Para |paman dan bapak-bapak generasi Jiaming yang menguasai |perusahaan kecil hingga |departemen, semua yang punya |posisi strategis telah menjalani |pemeriksaan.
|Paman Ketiga |Huang Bingxing telah |ditangkap. Putranya |Huang Haoyun - yang dulu pernah |mengejar |Yahan - telah beberapa kali menjalani |interogasi. Situasinya terlihat sangat buruk. Bahkan |Huang Haobing putra |Huang Bingxiang pun telah diinterogasi berkali-kali. Meski usianya baru |tujuh belas tahun sehingga mungkin tidak terlalu terdampak, bagi remaja pecinta |basket yang penuh energi ini, keadaan keluarga sekarang bagai jatuh dari |surga ke |neraka.
Faktanya, di Tiongkok dengan kondisi nasionalnya yang khas, sebenarnya tidak akan muncul konstelasi keluarga besar yang ketat seperti di Jepang. Munculnya kekuatan keluarga yang disebut-sebut ini, sebagian besar dipengaruhi oleh tetua yang memiliki kekuatan politik tertentu setelah berdirinya negara. Seperti contoh keluarga Huang, ayah Huang Bingxiang - yaitu kakek Jiaming - memiliki seorang pejabat penting di pusat pada generasinya. Oleh karena itu, banyak kerabat yang sebelumnya memiliki hubungan darah, memanfaatkan jalur ini untuk memperoleh posisi tertentu. Setelah reformasi dan pembukaan, keluarga Huang mulai berbisnis, Huang Bingxiang masuk ke dunia politik, dan orang-orang yang sebelumnya memiliki koneksi keluarga secara bertahap bergabung. Mereka memperoleh manfaat sendiri, entah menduduki posisi di perusahaan tertentu atau membangun perusahaan sendiri melalui koneksi, besar kecil, sehingga membentuk keluarga Huang seperti hari ini.
Daya pemersatu datang melalui hubungan yang menguntungkan diri sendiri. Pada generasi kedua mungkin belum terlalu besar, tapi ketika muncul generasi Jiaming, jaringan ini mulai menjadi rumit dan saling terkait. Kelompok perusahaan keluarga bergaya Tiongkok yang disebut keluarga Dongfang dan keluarga Zhang juga kebanyakan terbentuk seperti ini. Kebangkitan keluarga Huang bukan karena Huang Bingxiang, namun dalam beberapa tahun terakhir, semua koneksi keluarga Huang yang bisa berjalan mulus, bisnis-bisnis yang hampir tidak pernah merugi, sebenarnya semuanya karena payung besar Huang Bingxiang yang melindungi secara politik. Dan ketika Huang Bingxiang tumbang, keluarga yang kehilangan payung pelindung ini langsung terhempas dalam badai dahsyat.
Pesanan yang semula mungkin sepenuhnya ditolak, berbagai cek yang sebelumnya diambil kini menuntut pencairan seketika, sementara pinjaman bank yang sebelumnya selalu mendapatkan lampu hijau kini juga mulai menagih pembayaran. Hal ini memaksa perusahaan-perusahaan kecil untuk mengajukan kebangkrutan. Harus diakui, Huang Bingxiang adalah seorang Tionghoa secara tradisional yang sangat baik kepada keluarganya. Perkembangan bisnis kerabat di berbagai pihak semuanya mendapat perhatiannya. Oleh karena itu, ketika bayangan raksasa di atas keluarga Huang ini menghilang, puluhan bahkan ratusan perusahaan besar-kecil dalam jalur Huang hampir dalam semalam menghadapi berbagai masalah yang mematikan.
Dalam waktu lebih dari sebulan, para kerabat keluarga Huang telah datang silih berganti - ada yang pulang lalu pergi lagi, ada yang berdiskusi strategi untuk urusan Huang Bingxiang, atau meminta bantuan/mengeluh tentang usaha kecil mereka. Namun terhadap hukuman mati di lapisan politik seperti Shuanggui, keluarga Huang putus asa menyadari mereka tak punya kekuatan untuk campur tangan. Meski sebelumnya di bawah perlindungan Huang Bingxiang, banyak perusahaan cabang keluarga yang megah tapi berongga tanpa pondasi kokoh, aset utama Grup Huang masih mempertahankan skala yang cukup. Sekalipun situasi sementara sulit, setelah ini keluarga Huang masih bisa mempertahankan kehidupan mewah, tapi terhadap perusahaan-perusahaan kosong yang hanya mengandalkan nama Huang Bingxiang, keluarga Huang kini tak bisa memberikan bantuan apa pun.
Hasil penyelidikan Shuanggui masih belum keluar, namun pemandangan kemerosotan total sudah mulai terlihat. Bahkan Jiaming, yang biasanya di kampus sesekali merasakan banyak petunjuk dan perbincangan. Huang Haobing sempat mengambil cuti studi untuk sementara waktu, namun akhir-akhir ini mulai kembali ke kampus. Namun seluruh diri ini telah berubah menjadi sunyi dan membeku, seperti penderita autisme tingkat dalam.
Justru Xu Yiting, yang dulunya tidak pernah diterima, bahkan semakin diabaikan semua orang setelah ayahku pecandu narkoba MATI, tiba-tiba menjadi objek sorotan. Hal ini terlihat dari sikap anggota keluarga Huang yang sengaja atau tidak sengaja mencari bicara dengannya setiap kali dia datang selama lebih dari sebulan ini - kemungkinan besar karena kedekatannya dengan Dongfang Wan. Tentu saja, yang melakukan hal seperti ini hanyalah beberapa remaja sebaya. Di kalangan orang dewasa, belum sampai pada tingkat harus sengaja membangun hubungan dengan Xu Yiting.
Seolah semua hubungan dalam keluarga ini berubah dalam semalam. Orang-orang yang harmonis sebelumnya mulai bertengkar dan gelisah karena ambruknya berbagai kepentingan, tidak tahu harus ke mana. Selama lebih dari sebulan, wajah orang dewasa penuh kesuraman. Anak-anak sebagian besar tidak berani tersenyum. Sesekali beberapa anak yang tidak paham sopan santun bermain kejar-kejaran di halaman, pasti akan mendapat hujatan. Keluarga Huang masih memiliki uang. Para hamba tetap bekerja tertib di kawasan villa ini. Namun pandangan sesekali yang dilemparkan ke orang-orang ini, serta bisikan terselubung, sudah benar-benar berubah aromanya.
Dalam lebih dari sebulan, Jiaming pulang dari kampus lebih beberapa kali, menyaksikan pemandangan orang-orang berlalu lalang, kadang-kadang ada perwakilan bank yang ingin menarik kembali pinjaman datang mencarinya, pemandangan keributan.
Bukanlah tipe yang merindukan ikatan keluarga, terhadap sikap keluarga ini sebelumnya, tidak ada banyak cinta, secara alami juga tidak bisa disebut benci. Namun tak bisa dipungkiri, selama enam tujuh tahun ini identitasnya memang terhubung dengan keluarga ini. Setidaknya di mata orang lain, dirinya adalah anggota keluarga Huang, kadang juga berbincang dengan tetua keluarga Huang, tak ada yang menganggapnya tidak terkait dengan keluarga Huang. Perasaan seperti ini baginya tidak berarti apa-apa, namun dalam situasi seperti sekarang, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang sangat menarik baginya.
Perasaan memiliki keluarga.
Di awal regenerasi dulu pernah terpikir, mungkin dirinya perlu sebuah keluarga. Apa arti keluarga, ia tidak tahu, keluarga Huang tidak memberinya kesan berbeda, ia pun menerimanya begitu saja, lagipula segalanya tidak penting. Lalu ada Lingjing, ada Shasha, ada Yahan, keluarga Huang menjadi semakin tak berarti baginya. Namun dalam aura abu-abu kemerosotan total dan kesuraman di depan matanya ini, ia bisa merasakan keindahan yang mirip kematian atau kehancuran, seperti darah yang memercik saat ia MEMBUNUH. Bagaimanapun, gerombolan orang sembrono tak tertolong ini memang berbeda dengan pejalan kaki biasa di jalan. Keluarga, saudara?
Aaaaa, bagaimanapun, semua orang memang memiliki hubungan bawaan lahir, hal ini mungkin benar, perasaan keluarga ya?
"Dia pernah membunuh banyak orang, menyaksikan perpecahan keluarga-keluarga besar, tetapi hanya kali ini ia benar-benar terlibat langsung. Perasaan ini terasa baru dan menarik baginya."
"Ingat Sabtu malam lalu, ia duduk di atap gedung menyaksikan pemandangan di bawah. Malam musim semi yang agak dingin, anak-anak yang biasanya suka bercanda di luar kini sudah menonton TV atau mengerjakan PR di kamar. Beberapa bos besar mungkin sedang berdiskusi strategi atau sibuk menghubungi relasi. Air kolam renang yang biru jernih, seorang petugas kebersihan sedang menyaring sampah dengan jaring. Tiba-tiba Paman Huang Bing'an muncul dari tangga sambil menghisap rokok, melihat Jiaming yang duduk di tepi, tertegun sejenak sebelum kemudian melambai."
"Jiaming, jangan duduk di tepi sana, berbahaya." Ia menepuk kursi di balkon, "Datanglah duduk di sini."
"Sebagai pimpinan cabang keluarga Huang, Huang Bing'an sebenarnya selalu menjaga profil rendah. Posisinya dalam keluarga tidak seprestisius Paman Kedua Huang Bingxiang, juga tidak seperti Paman Ketiga Huang Bingxing yang memimpin perusahaan dan suka menguasai segalanya. Karena itu, dalam peristiwa yang melanda seluruh keluarga Huang ini, mungkin dialah yang paling sedikit terdampak di level atas. Namun dengan kedua adiknya bermasalah, tampaknya ia juga tidak tenang. Kali ini dengan mengajak Jiaming, mungkin karena kehabisan topik pembicaraan, tiba-tiba ia mulai bercerita tentang adik perempuannya - yaitu ibu Jiaming - dengan nada penuh penyesalan dalam ucapannya."
Sebuah keluarga yang besar, seringkali memiliki berbagai macam aturan. Ada yang mungkin menguntungkan perluasan keluarga, ada juga yang terlihat tanpa alasan jelas. Dahulu keluarga Huang bersikeras agar ayahku Jiaming menjadi menantu yang diambil masuk ke keluarga mereka. Ayahku menolak, sementara karakter ibu Jiaming juga keras kepala. Beliau memimpin pertengkaran dengan beberapa saudara laki-laki, lalu bersama ayahku meninggalkan keluarga Huang. Jika bukan karena ini, mungkin mereka tidak akan pergi bekerja ke luar kota setelah melahirkan Jiaming, dan MATI dalam bencana longsor itu.
Secara garis besar menceritakan beberapa hal tentang ibu Jiaming, kemudian membahas kondisi terbaru Huang Haobing. Sebagai saudara dalam satu keluarga dan sekelas di sekolah, semua orang berpesan agar Jiaming menjaga Haobing dan sebagainya. Jiaming tentu mengangguk setuju, tapi tidak terlalu memikirkannya. Hanya saja sosok kabur orang tua yang selama ini samar, kini mulai menjadi lebih konkret.
Namun meski perasaan "rumah" membuatnya penasaran, Jiaming tidak mungkin melakukan apapun untuk keluarga Huang. Sekalipun dia menjual badan ke [], mustahil mencapai level politik seperti Sekretaris Komite Provinsi yang terkena double regulation. Namun pihak Keamanan Nasional masih memiliki pertimbangan terhadap TULIP yang terhubung dengan keluarga Huang. Saat pertama kali memanggil personel terkini dalam skala besar untuk interogasi, yang datang ke keluarga Huang ada polisi, juga beberapa petugas lapisan rendah dari divisi penanganan urusan domestik Keamanan Nasional. Namun di antara mereka, mengejutkan terlihat bayangan Ketua Kelompok Ye Lian yang menangani anti-terorisme domestik dan internasional. Bisa dibayangkan, sebelum operasi mereka, mungkin terjadi dialog seperti ini:
“Aaaaa, hari ini kalian pergi ke keluarga Huang untuk tangkap orang? Aku ikut juga.”
“Tidak mungkin, urusan sederhana seperti ini perlu Ketua Kelompok Ye turun tangan? Cuma memanggil beberapa orang untuk dimintai keterangan saja, tenang, tidak akan ada masalah kok, aku jamin orang-orang ini tidak menerima apapun dari keluarga Huang...”
“Kalian terima suap bukan urusanku, ingat traktir makan di hotel saja. Kali ini aku ikut... Batuk-batuk, takut kalian tidak hati-hati dalam bertindak, menyentuh orang yang tidak semestinya, MATI tidak tahu penyebabnya...”
Ini adalah dialog imajinasi Yahan saat bercanda, tapi mungkin tidak jauh berbeda. Kebetulan hari itu Jiaming ada di rumah. Saat semua orang berbicara di ruang tamu, pria berbaju sipil berparas lembut seperti wanita ini langsung mendekati Jiaming: “Batuk, Anak buah Jiaming, pertama kali bertemu, mungkin kau belum mengenalku tapi mungkin tahu... Namaku Ye Lian, pernah melihat serangan Nona Jian... Sebenarnya, kami juga menyesalkan masalah Sekretaris Huang kali ini.”
“Oh...” Melirik sekeliling, Jiaming mengangkat bahu, “Aku juga menyesalkan, Erbo biasanya baik padaku... Jangan berpikir macam-macam, politik ya politik, Kakak Suyan juga tidak berniat ikut campur.”
“Tentu, sikap Sekretaris Huang terhadap keluarga memang tak tercela, hanya ada masalah dalam sikap terhadap negara... Tolong sampaikan salamku ke Nona Jian. Ngomong-ngomong, pertemuan pertama, tidak ada hadiah. Ini amplop merah, Anak buah Jiaming bisa beli permen...”
Ye Lian yang berpostur tinggi kini tersenyum sambil menepuk kepala Jiaming, menyelipkan amplop merah ke tangannya. Setelah dibuka, isinya selembar uang kertas 10 RMB. Terhadap keberaniannya yang nyaris nekat ini, Jiaming justru mulai mengagumi.
Kalau begitu carikan kesempatan untuk membuatnya MATI saja.
Sambil memikirkan hal-hal membosankan di hati, tiba-tiba terdengar teriakan halus di telinga. Mengangkat kepala, terlihat di jalanan luar halaman seorang gadis berpakaian setelan olahraga hijau sedang bertahan dengan payung, melompat-lompat sambil mengayunkan tangan ke arah dalam. Gadis berusia tujuh belas tahun ini memancarkan energi dan kesegaran yang luar biasa, terlihat sangat jelas di antara jalanan yang lembap oleh hujan dan bayangan pohon.
Sudah |nanti sore|Keterangan waktu hari |Minggu|Hari dalam minggu，|satu malam|Durasi waktu spesifik akan ada |belajar malam|Aktivitas akademik di |kampus|Lokasi cerita。Dia |tersenyum|Ekspresi wajah |mengayunkan tangan|Gerakan tubuh sesuai glosarium，|membawa|Aksi membawa sebuah |payung|Benda pelindung hujan lalu |gerakan memutar|Gerakan tubuh |turun tangga|Aktivitas mobilitas vertikal。Saat melewati |tangga|Struktur vertikal，terlihat beberapa |pelayan|Pekerja domestik sedang |pindah|Perpindahan tempat tinggal sebuah |lemari|Perabotan kamar ke |lantai atas|Lokasi spesifik。Seorang pria berjanggut lebat dengan penampilan |hedonis|Gaya hidup，|Huang Haoyun|Nama karakter，juga sedang |limbung|Deskripsi gerakan tak stabil naik。Seketika |lemari|Perabotan kamar besar dan kerumunan |manusia|- yang lalu-lalang di |tangga|Struktur vertikal hampir |memblokir|Aksi fisik seluruh jalan。Melihat |Jiaming|Nama karakter di depannya，|Huang Haoyun|Nama karakter yang memang tak punya |simpati lebih banyak|Perasaan positif padanya |teriakan|Komunikasi lantang：“|kau|Pronomina kedua |untuk|Preposisi |Aku|Pronomina pertama |Minggir|Perintah menggeser posisi |Aaaaa|Teriakan panik！”
|Jiaming|Nama karakter |menyingkir|Gerakan menghindar |pihak|Kelompok tertentu，|mengangkat tangan bingung|Gerakan tubuh。Setelah |Huang Haoyun|Nama karakter |pergi|Aksi meninggalkan tempat naik，|baru|Adverbia waktu dia |berlari kecil|Gerakan kaki ringan menuju |bawah gedung|Lokasi spesifik。Tak lama kemudian，dia |bertemu|Interaksi sosial dengan |Lingjing|Nama karakter di luar |villa|Jenis bangunan spesifik。
“Tadi aku melihat Huang Haoyun limbung menyetir pulang, hampir menubruk manusia. Sudah nanti sore, masih terlihat seperti belum bangun tidur, pasti lagi minum baijiu...”
“Jangan pedulikan dia, orang itu sudah menghabisi diri sendiri, sama seperti Huang Haobing.” Jiaming membuka payung, mengangkat bahu.
“Menurutku Huang Haobing juga cukup malang. Dulu di kampus dia cukup baik, jago basket, nilainya juga lumayan. Hanya dalam waktu sebulan berubah total...” Memandang kawasan villa yang tercuci bersih oleh gerimis, Lingjing berbicara sambil berjalan.
“Waktu kecil sering menggangguku.”
“Itu kan saat kecil dulu.” Lingjing terkekeh, “Waktu itu kau sengaja membiarkan diri ditindas, makanya aku selalu ingin membantumu. Dulu kau memanggilku Kakak Lingjing, kenapa sekarang tidak lagi? Kalau diingat-ingat, justru kau yang lebih sering menggangguku!”
Keluar dari penglihatan orang yang dikenal, mereka berdua berjalan bergandengan tangan dalam hujan.
Hubungan mereka yang berliku-liku telah berlangsung tujuh atau delapan tahun. Setelah menjalin hubungan fisik dan tinggal bersama selama hampir dua tahun, keduanya sudah saling mengenal dengan sangat baik. Saat ini mereka sudah memasuki semester kedua kelas 2 SMA. Setelah ujian tengah semester akan dimulai pemilihan jurusan IPA/IPS. Belakangan ini Jiaming, Lingjing, dan Shasha sedang berdiskusi agar bisa sekelas setelah pemilihan jurusan. Masalah ini bisa dibantu Yahan, tapi Jiaming menduga Yahan diam-diam akan memisahkan mereka bertiga ke tiga kelas berbeda. Tentunya alasan rumit di balik ini tak bisa diungkapkan.
“Shāshā hari ini ada hal di rumah, tidak pergi ke perguruan silat untuk bertemu Lingjing. Melihat waktu masih pagi, bertiga berbincang tentang hal-hal sepele di tengah hujan sambil berjalan ke jalanan. Saat melewati kota fotografi gaun pengantin di sebuah persimpangan, lampu merah menyala di seberang jalan. Lingjing berdiri di depan lemari pajang raksasa sambil menatap gaun pengantin model terbaru di dalamnya.
“Ada apa？Ingin memakai gaun pengantin？”
“Tidakkah kau merasa model ini sangat cantik？Lagipula aku pernah melihatnya di TV.”
“Pernah melihat？Mengapa aku tidak ingat.”
“Ah, kalian para pria tentu saja menganggap semua iklan gaun pengantin di TV terlihat sama. Aku ingat gaun ini adalah model yang baru-baru ini diiklankan oleh...hm, Kak Yusi.”
“Aktris yang sudah pudar itu...Kau masih mengaguminya sekarang？”
“Sudahlah, aku tahu kau dan Shāshā membencinya. Aku tidak akan mengaguminya lagi di dunia nyata. Tapi belakangan ini dia semakin populer, tidakkah kau tahu penggemarnya di kampus juga semakin banyak？Semua karena album terbarunya yang sangat enak didengar, membuat penghuninya bangkit kembali.” Lingjing tersenyum, mendengus pelan sambil bersenandung, “La-la-la...la-la...”
“Lagu itu kan aku yang menulis.”
“Makanya sebenarnya aku sedang mengagumi dirimu.”
“……”
Jiaming tersenyum, bingung harus berkata apa. Alih-alih menjawab, ia mengerutkan kening sambil menatap ke suatu tempat di belakangnya. Saat itu lampu hijau sudah menyala di seberang jalan. Ketika mereka berbalik untuk pergi, Lingjing melirik ke sudut jalan lain dan tiba-tiba berteriak, “Hah！”
“Jiaming, Paman Kelimamu.”
“Hmm？”
Di sisi lain sudut, sebenarnya di depan pintu utama pusat fotografi gaun pengantin, sudah terparkir beberapa mobil. Tampaknya ada tokoh penting yang datang ke sini, karena di luar terlihat samar-samar dua wartawan. Huang Bingwen, si playboy kelima keluarga Huang yang masih lajang, kini berdiri di samping mobil kecilnya sambil memegang tas dokumen, seolah ragu apakah akan masuk.
Berkat dukungan Huang Bingxiang sebelumnya, "Duke" kelima keluarga Huang yang hampir 40 tahun ini membuka perusahaan sendiri, selalu bergaul dengan banyak aktris dan model wanita Jianghai. Namun ketika Huang Bingxiang ditahan oleh komisi disiplin, meskipun perusahaannya lebih mapan dibanding perusahaan kecil lain, kini mulai banyak masalah. Meski keluarga bisa membantu, ia sendiri harus mulai bekerja keras. Dari pakaian kerjanya, jelas ia ingin membicarakan bisnis. Tapi karena datang ke toko gaun pengantin, mungkin ingin menikah atau foto pranikah. Membicarakan bisnis dalam situasi ini, jika ditolak, itu sudah bisa dibayangkan.
Berbagai bisnis keluarga Huang kini dalam kesulitan. Huang Bingwen tampak ragu. Tiba-tiba ia melihat Jiaming dan Lingjing di seberang, tersenyum sambil melambaikan tangan. Keduanya segera membalas anggukan. Bersamaan itu, sebuah suara terdengar dari belakang: "Hah, bukankah ini anak buah Jiaming?"
Menghembuskan napas, Jiaming mengerutkan alis.
"Menoleh ke belakang, di sana berdiri seorang pria paruh baya yang menggenggam sebotol minuman Jianlibao di tangannya. Dengan ekspresi terkejut, dia melambaikan tangan ke Jiaming. Namun Jiaming tahu, pria itu telah mengamati mereka dari tadi, baru sekarang memutuskan untuk menyapa. Melihat orang asing itu, Lingjing memandang Jiaming. Pria itu mulai berbicara dengan ramah: "Kalian sudah lama berdiri mengamati gaun pengantin ini. Toko ini milik temanku. Mau masuk mencoba?"
"Ah." Jiaming tidak bereaksi, tapi Lingjing tersenyum gembira sebelum menyadari keanehan situasi: "Tapi ini kan gaun pengantin..."
"Gaun pengantin apaan? Cuma rok cantik biasa. Sekarang di luar negeri lagi tren foto-foto artistic. Kalau suka, boleh kok masuk mencoba dan difoto untuk kenang-kenangan. Menurutku kamu... eh..."
"Ye Lingjing." Jiaming menyela saat pria itu pura-pura tidak mengenali Lingjing. Barulah pria itu tertawa lepas: "Hehe, Adik Jiaming. Menurutku Adik Lingjingmu pasti sangat cantik pakai baju ini. Kalau suka, kenapa tidak difoto saja? Nanti jadi kenangan indah lho."
"Adik Lingjing apaan? Aku kan kakaknya!" Lingjing protes sambil tertawa. "Tapi hari ini kami ada urusan..."
Untuk interaksi dengan orang di depannya ini, di hati Jiaming awalnya ada sedikit keinginan untuk meminggirkan. Namun melihat Lingjing yang meski menolak, tatapannya ke gaun pengantin itu memancarkan harapan, akhirnya ia pun tersenyum mengangguk. Kemudian Lingjing bertanya riang, "Paman, namamu siapa? Bagaimana kau bisa kenal dengan Jiaming?"
"Hehe, namaku Cui Guohua. Panggil saja Kakak Cui. Soal perkenalanku dengan adik Jiaming ini, itu karena..."
Kebohongannya belum sempat dirangkai. Mendengar nama itu, wajah anggun Lingjing tiba-tiba muram. Langkahnya menuju butik gaun pengantin terhenti, lalu dengan cepat ia berbalik menarik tangan Jiaming menyeberangi jalan:
"Ayo kita pergi, Jiaming!"
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh Dua Masalah Kecil
"Lho lho lho, Lingjing, jangan terburu-buru! Ada mobil di depan..."
Lampu merah di penyeberangan masih menyala. Deru mobil melintas. Lingjing terus menarik tangan Jiaming berjalan cepat ke seberang, meninggalkan Cui Guohua yang masih membeku dengan sekaleng minuman di tangan, tersenyum getir.
“Lingjing sehari-hari memiliki sifat patuh dan mudah bergaul, namun begitu menghadapi hal-hal tertentu, dia juga sangat keras kepala. Mengenai urusan Dunia Kegelapan, Jiaming tidak banyak bercerita padanya dan Shasha, tapi pernah sesekali menyebut nama Cui Guohua dari [] seperti sebuah kisah. Jiaming pernah berkata tidak ingin terlalu dalam terlibat dengan orang-orang ini, dan dia mengingatnya di hati. Itulah sebabnya begitu mendengar nama itu, dia langsung memutar arah dan pergi. Setelah menyeberangi jalan, bahkan mulai merasa kesal dengan sikap Jiaming barusan.”
“Kau dari awal sudah tahu siapa dia, kenapa tidak memberitahuku! Aku bahkan sudah berbicara banyak dengannya……”
“Uh, ini... hehe, sebenarnya tidak perlu tegang seperti ini.” Jiaming tersenyum, “Pada esensinya dia orang baik, lagipula kau suka gaun pengantin itu……”
“Aku belum suka sampai segitunya!” Mendengus sambil melotot padanya, pandangan Lingjing menyapu blok jalan seberang, lalu menarik Jiaming berbalik badan dan berjalan cepat. Sambil menyusul langkah Lingjing, Jiaming melambaikan tangan ke belakang sambil mengacungkan jari tengah.
“Hei, Lingjing, maksudmu tidak suka gaun pengantin itu sampai level suka padaku?”
“Pergi, aku masih marah.”
“Jawab dulu baru marah.”
“Heh... kalau kau terus bercanda begitu, aku benar-benar marah...” Bukankah karena menyukaimu lalu aku jadi suka gaun pengantin itu? Dengan raut wajah mendengus, dalam gerimis, dia berbisik pelan dalam hati.
Saat bertemu dengan Shasha di halte bus yang sudah disepakati, hujan kecil sudah berhenti. Menurut Shasha, ada seorang paman yang datang ke rumahnya. Meski hanya sepupu dari ayahku, hubungan mereka lebih dekat daripada saudara kandung. Baru-baru ini orang ini kembali dari luar negeri, sepertinya ayahku ingin menempatkannya di kelompok untuk mengerjakan sesuatu.
"Aku tidak terlalu suka dia, tapi tetap harus memanggilnya paman." Sambil menepuk-nepuk noda air di ekor kudanya, Shasha memberikan penilaian tentang anggota keluarga baru ini, dan bercerita tentang pertemuannya dengan Huang Haobing saat keluar dari rumah.
"Apa dia main ke rumah teman sekelas di daerah kalian?"
"Aku tidak ingat dia punya teman di sana." Shasha menggelengkan kepala, "Lagipula saat ini, mana mungkin dia punya mood untuk bermain. Keliatannya sangat hedonis sampai MATI. Kami tidak terlalu akrab, jadi aku tidak menyapanya."
Hanya membicarakan Huang Haobing sebentar, mereka pun tidak menganggapnya serius. Naik bus sampai ke kampus, bertiga membeli beberapa barang di supermarket dekat situ. Di depan rak sayuran, Shasha memilih sepotong labu tua: "Pulang bikin kue labu."
"Kamu bisa masak?" Jiaming tertawa di samping.
"Aku belajar dari Lingjing."
"Apa?" Mendengar namanya disebut, Lingjing yang sedang memilih daging ikan segar di dekat sana mendorong troli menghampiri. Shasha tersenyum: "Jiaming bilang hari ini makan kue labu." Jiaming hanya mengangkat bahu sambil tersenyum. Lingjing memandangi mereka berdua, lalu juga tersenyum: "Taruh itu. Pilih yang bagusan dikit."
"Akal bulusnya tertembus, Gesekan menjulurkan lidahnya, memandangi Lingjing memilih labu, bertanya: 'Nanti kita ajak Kakak Yahan dan Kaoru makan bersama ya?'"
"Tidak perlu, nanti kita antar ke kampus saja."
Hidup itu sendiri sebenarnya datar dan penuh hal remeh. Ketika hubungan intim antara kita sudah mencapai tingkat saling mengenal yang sangat akrab, percintaan atau semangat berapi-api perlahan akan mereda. Sesekali berdesakan di bioskop menonton film baru yang baru dirilis, mencari restoran bagus lalu bertiga duduk makan bersama. Beberapa kali Lingjing atau Gesekan tiba-tiba dapat dorongan hati ingin membuat makan malam lilin di rumah, tapi belum selesai sudah merasa lilin terlalu merepotkan, akhirnya sambil tertawa menyalakan lampu dan melanjutkan makan. Bagi trio yang sudah mesra bagai mata-mata ini, mereka tak lagi membutuhkan romansa yang sengaja direkayasa. Yang tersisa lebih banyak adalah perasaan kekeluargaan.
Pergi belanja ke jalan bersama-sama, pulang ke rumah bersama-sama, setelah makan pergi jalan-jalan sambil membicarakan urusan keluarga orang dan kabar menarik di sekolah, melewati neon warna-warni dan lampu jalan yang hangat, lampu mobil berlalu-lalang di jalanan yang mulai gelap. Sesekali pergi jalan-jalan ke pantai, menikmati matahari terbenam, duduk di tanggul yang ditiup angin laut sejuk sambil Shāsha suka menggoda anjing peking yang dipegang pengunjung dengan biji apel. Saat aroma masakan mulai tercium, Jiaming dan Lingjing sibuk di dapur, Shāsha mondar-mandir membereskan meja dan menyiapkan peralatan makan, sementara suara musik berita siang terdengar dari TV. Malam hari kamar diterangi cahaya oranye, Lingjing duduk di ranjang mengenakan piyama sambil membaca buku, suara TV di ruang tamu sudah diminimalkan, Jiaming mengganti api kompor di dapur, Shāsha yang baru mandi keluar dari kamar mandi - kadang memakai piyama, kadang telanjang bulat sambil menggosok tubuhnya dan berlari kecil ke kamar tidur, tersenyum masuk ke dalam selimut Lingjing.
Sesekali pergi keluar di malam hari, menoleh melihat cahaya lampu dan bayangan orang di jendela atas game center, inilah masa depan.
Akhirnya, setelah selesai belanja mereka pulang sekitar pukul 3 lebih sore. Lingjing mengolah labu untuk bahan kue labu, sementara Jiaming dan Shāsha membersihkan kamar yang sudah kosong lebih dari sehari. Mereka makan malam lebih awal, mandi, lalu bertiga pergi ke kampus menuju tempat tujuan masing-masing.
"Belakangan kabarnya ada pimpinan kota yang datang untuk inspeksi. Lingjing ditarik untuk membuat papan buletin, Shasha sangat populer di kalangan perempuan dan sering dipanggil ke latihan tim voli. Hanya Jiaming yang tidak ada urusan, membawa kue labu ke kelas. Saat itu belum banyak yang datang. Kaoru duduk di kursi barisan belakang kelas sambil membaca buku dengan tenang, mengenakan setelan kasual baru berwarna putih dengan pinggiran hitam. Saat duduk diam seperti itu, penampilannya seperti bangau elegan dalam lukisan tinta."
"Baru mau masuk, seseorang berlari dari samping menarik bajunya: 'Hai, teman sekelas Jiaming? Aku Fang Erjie dari kelas sebelah. Halo.'"
"'Err... Halo, ada hal?'"
"'Err, hehe...' Baron yang cukup tampan itu tersipu, 'Begini, aku punya surat yang ingin kusampaikan ke teman sekelas Kaoru. Cuma dia biasanya tidak menerima surat orang. Hehe, kau tahu lah, sebenarnya aku...'"
"'Oh, aku bantu sampaikan ke dia.'"
"'Terima kasih banyak.' Fang Erjie menyerahkan surat dengan penuh harap. Meski surat yang disampaikan melalui Jiaming biasanya tidak ada respon, setidaknya si cantik akan menerimanya. Tidak ada salahnya mencoba keberuntungan. Saat Jiaming hendak masuk, dia berbisik misterius: 'Eh, teman sekelas Jiaming, akhir-akhir ini... hm... awas hati-hati...'"
"'Apa?'"
"'Begini, kudengar Lü Fang sepertinya berencana mengganggumu. Pendeknya... kau waspada saja.'"
Sebagai ucapan terima kasih atas bantuan menyampaikan surat cinta, perkataan Fang Erjie ini terdengar sangat tulus. Jiaming mengangguk. Lü Fang? Tentu saja dia masih ingat orang ini. Dua tahun lalu saat baru masuk sekolah, saat Lu Jianchuan menendang bola hingga mengenai kepala Lingjing, akhirnya jarinya dipatahkan dan tulang dadanya dihancurkan olehnya. Kemudian Han Gangcheng yang ingin duel satu lawan satu dengannya, Lü Fang-lah yang menjadi dalangnya. Waktu itu Lu Jianchuan dan Han Gangcheng masih siswa kelas 3 SMA, sekarang sudah masuk kuliah. Namun Lü Fang masih tetap di kelas 3. Selama dua tahun terakhir tidak pernah mengganggu Jiaming lagi, mungkin karena faktor Dongfang Wan dalam pertarungan terakhir, dan latar belakang keluarga Huang milik Jiaming. Kini setelah keluarga Huang runtuh, dalam sebulan terakhir sudah terjadi beberapa kali pembalasan terhadap orang-orang yang sebelumnya bersikap semena-mena mengatasnamakan keluarga Huang. Sekarang Lü Fang datang mencarinya, memang sangat mungkin terjadi.
Sambil menggelengkan kepala dan tersenyum, dia masuk ke kelas: "Nah, kue labu buatan Lingjing, disuruhku membawakannya untukmu. Ada juga surat dari pengagummu yang minta tolong kusampaikan."
"Terima kasih." Dengan santai melemparkan surat itu ke dalam meja, Kaoru bangkit dari kursinya. Menunggu sampai Jiaming masuk ke bagian dalam, barulah dia duduk kembali.
Meskipun secara teknis merupakan hubungan guru-murid, di dalam kelas mereka hampir tidak pernah berbicara. Hanya selama pelajaran, kotak alat tulis dan tas sekolah Jiaming sering menjadi sasaran incaran gadis Jepang ini——hanya dalam hal perlengkapan sekolah dan buku-buku, dia menderita amnesia parah yang membuatnya selalu ceroboh dan kehilangan barang. Saat ini masih ada waktu sebelum belajar malam, langit di luar mulai berwarna senja, lampu kelas menyala. Seperti biasa, Jiaming bersandar di tepi jendela menatap pemandangan lapangan, sementara Kaoru membaca dengan tenang. Tak lama kemudian, gadis Jepang itu membuka kantong plastik berisi kue labu, pertama-tama menyodorkannya ke Jiaming: "Tuan Gu, mau?"
"Di rumah sudah makan..." Meski berkata demikian, Jiaming tetap mengambil sepotong dan mulai mengunyah. Senyum tipis yang nyaris tak terlihat mengambang di wajah gadis itu sebelum dia mengangguk dan mengambil sepotong untuk dirinya: "Itadakimasu." Setelah menggigit kecil, dia kembali ke bukunya.
Langit semakin gelap, lampu-lampu di lapangan menyala, suasana kelas pun semakin ramai. Entah sejak kapan, gadis di sebelahnya tiba-tiba bertanya: "Tuan Gu, apa kau memahami cinta sejati?" Jiaming memandangnya dengan tatapan aneh. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban, akhirnya Kaoru mengangguk: "Maafkan aku..."
“Cinta sejati ini... Aku juga tidak terlalu paham...” Setelah beberapa saat, Jiaming akhirnya membuka mulut, “Kurang lebih tahu sedikit, tapi tidak bisa merumuskannya untukmu. Hmm... Untuk teori kamu bisa tanya Shasa dan Lingjing, mereka suka baca novel roman. Yang aku tahu, jika ada perasaan pada seseorang, kamu akan rela melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak mau dilakukan. Ini mungkin termasuk ikatan keluarga, persahabatan, dan sejenisnya. Tapi jika tidak mau, pasti tidak ada perasaan dengan orang itu.”
“Apakah hubungan Tuan Gu dengan... dengan Lingjing dan Shasha termasuk cinta sejati?”
“Setengah mungkin, atau kurang sedikit. Hehe, waktu kami bersama, mereka masih agak kecil...”
“Kalau...” Dia ragu sejenak, “...dengan Bu Guru Zhang?”
“Setengah juga, tapi kadar cinta sejatinya lebih banyak dibanding dengan Lingjing dan Shasha.” Jiaming tersenyum, “Tapi ini tidak berarti hubunganku lebih dekat dengannya daripada dengan Lingjing... Kenapa tiba-tiba nanya ini?”
“Aku...” Kaoru berpikir sejenak, pipi putih mulusnya seperti keramik tak menunjukkan ekspresi, jelas bingung menjawab.
“Dengar dari Shasha, katanya ada isu skandalmu dengan siswa kelas tiga bernama Nie Wenchao. Karena ini?”
“Skandal?” Kaoru menoleh, matanya berkedip penuh kebingungan.
“Eh, Shasha dua hari lalu bilang padaku, setiap pagi setelah lari pagi dari lereng gunung terpencil kampus, kau duduk di bangku tepi lapangan selama setengah jam. Nie Wenchao juga duduk di sana berbicara denganmu setengah jam. Banyak yang melihat, jadi semua orang mengira kalian sedang berpacaran. Hehe, Shasha bilang Nie Wenchao itu cukup tampan, suka pakai baju putih, mirip sekali dengan Jet Li.”
Kaoru berpikir sejenak, menatap Jiaming: “Kenapa mereka tidak menyebarkan skandal aku dengan Tuan Gu?”
“Kami, hehe…” Jiaming tersenyum, “Mungkin karena penampilan kami terlalu tidak cocok. Hmm, bicarakan dirimu sendiri, apakah Nie Wenchao target pertamamu yang sudah diputuskan?”
“Karena Tuan Gu pernah berkata, harus lebih memperhatikan orang lain. Jadi setiap pagi setelah latihan, aku selalu duduk sebentar di tepi lapangan… Saat turun hari itu, ada buku di bangku panjang yang kududuki. Kuambil dan kubuka-buka. Kemudian pemilik buku itu datang mencari, mungkin itu dia. Namanya Nie Wenchao ya?” Logat bahasa China Kaoru biasanya jarang digunakan, awalnya agak kaku. Tapi belakangan ini Jiaming khusus memperbaikinya, sudah tidak ada aksen Jepang lagi. Namun di hadapan Jiaming, dia tetap berbicara satu per satu dengan perlahan, mungkin karena trauma dihujat Jiaming sebelumnya. Setelah berpikir sejenak, dia melanjutkan:
"Dia tidak kuat, seharusnya satu pukulan dariku bisa menjatuhkannya, tidak mirip Jet Li... Sejak hari itu, setiap pagi dia selalu berbicara di sebelah. Tuan Gu bilang harus banyak melihat dan mendengar, jadi aku dengarkan dia. Tapi... tidak ada yang menarik. Teman sekelas ini anak orang kaya, suka membaca, musik, hal-hal tenang, suka beli barang mahal di toko video klasik, khususnya barang seni yang mahal. Dia suka dipuji punya selera estetika, tapi di bidang lain berusaha berhemat agar disebut orang yang hemat. Kelemahannya banyak: keangkuhan, kemewahan, harga diri tinggi tapi sebenarnya rentan, tumbuh dalam pujian orang dewasa, punya perasaan superior... Ini hasil pengamatanku."
"Oooh..." Jiaming menghabiskan kue labu di tangannya, mengangkat bahu dengan penuh penyesalan, "Lagi-lagi pencinta sepihak yang malang. Tapi jatuh cinta padamu memang hal yang normal. Hmm, dengan aura seperti milikmu, cukup diam mendengarkan saja sudah bisa membuat orang salah paham kalian sedang pacaran. Jika ingin lebih intens, bisa tambahkan sedikit aksi licik. Misalnya... menyisir rambut yang berantakan dengan lembut, memandanginya selama tiga detik tanpa sengaja, lebih baik lagi... tersenyum tipis, tapi pastikan tepat ke arahnya. Berikan profil wajah dengan santai..."
"Aku..." Kaoru ragu sejenak, berbisik pelan, "Tidak terlalu bisa tersenyum..."
“Latihan perlahan-lahun, mungkin kau belum sadar, di depan orang yang dikenal kau pernah tersenyum, Lingjing, Shāsha, atau aku. Tapi senyuman tulus seperti ini justru harus ditahan. Kau bisa tetap bersikap dingin seperti biasa, itu sudah jadi penampilanmu di luar. Tapi saat menghadapi musuh, kau harus bisa mengubah segalanya jadi ilusi kapan saja. Tak perlu buru-buru, kau belum dewasa, kita masih punya beberapa tahun lagi...”
“Ya.”
Dialog seperti ini akhirnya kembali ke topik latihan MEMBUNUH dan trik penipuan. Kaoru mengangguk setuju, kemudian membuka kantong plastik untuk menyodorkannya. Jiaming berbaring di meja mulai makan potongan kedua kue labu, terus mengamati kerumunan di lapangan. Beberapa saat kemudian, Kaoru seakan teringat sesuatu, memandangi buku dengan tatapan kosong.
“Sebenarnya, aku tidak punya perasaan terhadap ayahku...”
“Hmm?”
“Tapi terhadap keluarga ada. Aku tak tahu kenapa...” Bisiknya pelan, seolah pikiran ini mulai mengganggunya. Di saat yang sama, beberapa bayangan muncul di luar pintu kelas: “Apakah Gu Jiaming ada di sini?”
Pandangan pemimpin kerumunan menyapu Jiaming. Ketika melihat Kaoru di sebelahnya, raut takut sempat muncul, tapi akhirnya mereka semua masuk: “Gu Jiaming, ayo kita ngobrol di luar.”
Itu adalah Lü Fang.
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh Tiga Angin Akan Berhembus
“Gu Jiaming, ayo kita ngobrol di luar.”
Dengan membawa sekelompok besar orang, Lü Fang dengan agak takut memasuki kelas, seketika menarik perhatian setengah teman sekelas di ruangan. Situasi ini persis seperti keributan yang akan terjadi sebelum perkelahian massal.
Saat ini yang mengikuti Lü Fang kebanyakan adalah anggota klub bela diri sekolah. Namun Jiaming langsung menyadari, di antara kerumunan orang yang tampak ragu-ragu ini, berdiri seorang pemuda asing bertubuh gelap dan kurus. Meski memakai setelan olahraga sederhana, dari beberapa aksesori kecil terlihat dia mungkin berasal dari Myanmar, Thailand atau negara Asia Tenggara lainnya. Tubuhnya tampak terlatih baik dalam muay thai. Yang penting, pemuda sekitar enam belas atau tujuh belas tahun ini jelas-jelas memancarkan Niat Membunuh dan bau darah. Tanpa sadar Jiaming mengerutkan kening.
Sejak insiden dimana puluhan anggota klub bela diri dikalahkan sendiri oleh Tsukike Kaoru, membuat hampir tidak ada yang bisa ikut lomba seni bela diri remaja nasional, anggota klub ini selalu memiliki ketakutan besar terhadap Kaoru. Lü Fang juga anggota klub, meski saat itu tidak termasuk yang dipukul, dia tahu gadis Jepang yang tampak lembut ini sebenarnya punya reputasi mengerikan. Meski berusaha berani masuk sekarang, hatinya dipenuhi keraguan. Dari jarak jauh, dia terus waspada kalau-kalau si cantik tak kenal logika ini tiba-tiba menyerang.
“Untung saja, situasi yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Dengan kue labu setengah dimakan di tangan, Kaoru hanya memandanginya dengan tenang lalu mengabaikannya. Ia menoleh kembali, menggigit sedikit kue labu, menunduk membalik halaman buku, lalu mengusap sisa kelapa yang menempel di sudut bibirnya menggunakan tangan kiri. Melihat ketenangannya, anggota klub bela diri itu serentak menelan air liur. Di satu sisi karena lega, di sisi lain tak bisa dipungkiri—setiap gerakan gadis Jepang pendiam ini memancarkan keindahan paradoks antara keanggunan lembut dan aura dingin yang menyatu.”
“Duduk di kursi bagian dalam, Jiaming menyungging senyum ramah pada ekspresi mereka: "Ada yang bisa kubantu?"”
“"Kau, batuk..." Lü Fang mengalihkan pandangan dari Kaoru, berdehem ringan, "Keluar dulu, ada hal yang perlu kita bicarakan."”
“"Tak bisakah dibicarakan di sini?"”
“"Lebih enak kalau di luar."”
“"Heh, aku tak mau keluar." Jiaming menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Aku takut—kalian kan banyak."”
Ucapan ini membuat semua orang tertegun. Mereka semua berusia enam belas tujuh belas tahun, tepat di usia berdarah panas - satu kelompok yang penuh semangat dan tak memikirkan konsekuensi, terutama anggota klub bela diri. Tak bisa dipungkiri, seni bela diri Tiongkok menekankan perawatan diri dan ketenangan pikiran, tapi itu hanya ada pada orang setingkat Chen Guxia. Pemuda yang pernah latihan bela diri umumnya lebih temperamental, suka adu kekuatan dan sulit mengakui kekalahan. Bahkan yang berwatak lembut seperti Ye Han, ayah Lingjing yang kalem, sebenarnya menyimpan sikap angkuh di tulangnya. Belum sempat mereka menunjukkan sikap mau berkelahi, pihak lawan malah tersenyum mengaku takut - situasi seperti ini benar-benar belum pernah mereka alami.
Tapi sejak pertarungan satu setengah tahun lalu, karakter buruk Jiaming yang tanpa rasa malu sudah menjadi rahasia umum di klub bela diri. Setelah tertekan sejenak, sorot mata merendahkan muncul di wajah semua orang. Saat Lü Fang hendak bicara, Dongfang Wan yang tadinya di depan kelas sudah berlari mendekat: "Lü Fang! Kau mau ngapain lagi di kelas kami?"
Hubungan Keluarga Lü dengan keluarga Dongfang tidak bisa dibilang baik, sehingga Lü Fang dan Dongfang Wan serta teman sebaya lainnya sebagian besar juga saling tidak menyukai. Kecuali Dongfang Lu yang selalu menunjukkan kerendahan hati dan tidak ada yang berani mengganggu, para pemuda lainnya memiliki gesekan satu sama lain. Oleh karena itu, terakhir kali Lü Fang membawa orang untuk mengirim surat tantangan, Dongfang Wan langsung berlari keluar. Kali ini melihat Lü Fang datang lagi, meski dalam pengetahuannya Lü Fang mungkin tidak bisa mengalahkan Gu Jiaming yang aneh ini, namun perselisihan terakhir adalah dia yang menjadi penengah. Setelah pertandingan itu, seharusnya kedua belah pihak tidak mempermasalahkan lagi. Lü Fang yang datang tanpa alasan jelas ini jelas tidak menghargai muka-nya. Setelah mempertimbangkan, ketua kelas kami yang bersemangat ini kembali berlari keluar.
"Ngeganggu? Kapan aku ngeganggu?" Lü Fang melotot tak mau kalah, "Aku cuma mengajak teman sekelas Jiaming keluar dengan ramah, belum bilang mau mukul dia!"
"Dia sudah bilang tidak mau keluar. Buat apa kalian beramai-ramai masuk ke kelas kami? Keluar! Nanti aku catat semua nama kalian dan serahkan ke guru dan departemen besok untuk ditangani."
"Kami tidak melakukan apa-apa, catat saja semaumu." Lü Fang mengangkat tangan, "Huang Bingxiang sudah dikenakan shuanggui, keluarga Huang sekarang seperti pohon besar yang tumbang. Dongfang Wan, lebih baik kau perhatikan Huang Haobing yang terlihat mau MATI itu. Buat apa kau lindungi pengecut seperti... Gu Jiaming, kau selamanya cuma tahu pakai cara licik tidak karuan dan sembunyi di belakang wanita? Berani keluar ngomong nggak... Eh... Kau..."
Suara yang sedang asyik berbicara tiba-tiba terhenti. Lü Fang memandangi Kaoru yang berdiri dari kursinya, untuk sesaat tak bisa mengeluarkan kata-kata. Karena gadis itu sekali lagi mengarahkan pandangan dinginnya ke wajahnya, lalu membuka mulut dengan suara lembut.
"Tuan Gu bilang dia tidak ingin berbicara denganmu." Katanya dengan lembut namun tegas, setiap suku kata diucapkan jelas, "Boleh aku yang menemanimu keluar?"
Udara seketika membeku.
Sebagian besar orang di belakang pernah mendapat pelajaran dari Kaoru dalam peristiwa sebelumnya. Semua orang tiba-tiba merasa mulut mereka kering, namun beberapa orang secara bawah sadar melirik ke arah pemuda asing kurus berkulit gelap itu. Seperti diduga, pria ini melangkah keluar dengan senyum genit, langsung berdiri di hadapan Kaoru, lalu mulai menatap posturnya dengan Tindakan Semena-mena: "Tuan Gu? Orang Jepang? Aku datang berkunjung, dengar-dengar ada mahasiswi Jepang yang sangat tangguh di sini. Kamukah itu? Cantik sekali, tidak terlihat seperti cewek yang berbahaya..."
Pemuda ini berkulit gelap dan kurus, namun postur tubuhnya terlihat kokoh. Dari sudut pandang estetika Tiongkok, wajahnya sama sekali tidak bisa disebut tampan. Tatapannya begitu lancang bahkan mendekati keserakahan, seolah ingin memperkosa gadis di hadapannya seratus kali dengan pandangan mata saja. Kaoru hanya berdiri di sana, memandanginya dengan dingin. Setelah jeda sejenak karena gadis itu tidak menjawab, pemuda itu tersenyum: "Orang Jepang, tidak tahu belajar aliran apa? Dari keluarga mana? Funakoshi? Yagyū? Miyamoto? Saitō? Aku dan Shifu tahun lalu pernah ke Jepang, menantang beberapa ahli legendaris karate dari aliran Wadō-ryū, Gōjū-ryū, juga mengalahkan beberapa ahli dari aliran Katori Shintō-ryū dan Tennen Rishin-ryū. Seni bela diri Jepang memang lemah, tapi masih lebih baik dari kungfu China yang lembek..."
Saat ucapannya sampai di sini, wajah Lü Fang dan yang lain di belakang mulai berubah. Tiongkok adalah tanah suci seni bela diri dunia, namun jika dikritik, pasti ada yang berpendapat kungfu China terlalu banyak gaya tapi kurang pertempuran nyata. Bagi muay thai yang mengutamakan serangan langsung dan keras, kesan seperti ini terhadap seni bela diri China memang biasa. Tapi mengatakannya di tempat yang penuh orang Tiongkok, jelas terlalu lancang. Pemuda itu seolah tidak menyadarinya, tetap tersenyum: "Aku sangat menyukaimu. Karena mereka bilang kamu hebat, dan usia kita juga sebaya, aku ingin bertarung denganmu."
Niat membunuh dari pemuda itu terasa sangat nyata. Kaoru terus menatapnya sebelum sempat menjawab, tiba-tiba suara lain datang dari luar pintu.
“Kalian banyak orang ngapain di sini?” Yang muncul di pintu gerbang adalah Dongfang Lu yang terlihat bingung. Lü Fang dan yang lain menoleh: "Hehe, tidak ada apa-apa, cuma... Amurei ingin mengajak teman sekelas Yuechi bertarung, hehe..."
Dongfang Lu yang berwatak relatif tenang, namun setelah tiga tahun menjabat sebagai Ketua Departemen, memiliki wibawa yang cukup. Ia masuk sambil mengerutkan kening ringan: "Apakah kampus kita Izinkan perkelahian seperti ini? Apalagi pria memukul wanita... Teman Amurei, maaf, kampus kami tidak Izinkan hal seperti ini terjadi..."
Sebenarnya duel pribadi seperti Lomba Mediasi memang ada di kampus, tapi tentu tidak boleh dibicarakan terang-terangan. Melihat sikapnya yang jelas, ditambah sikap Dongfang Wan yang sangat dominan, hari ini jelas tidak mungkin mengganggu Gu Jiaming. Lü Fang mengucapkan beberapa omong kosong lalu pergi sambil tersenyum bersama yang lain. Pemuda Thailand bernama Amurei itu juga tersenyum, secara lisan menyatakan memahami peraturan kampus, tapi saat berbalik sengaja menunjuk Kaoru dengan tangan sambil menunjukkan senyum lancang.
Setelah semua orang pergi, Dongfang Lu berbicara sebentar dengan adik perempuannya untuk memahami kronologi kejadian. Setelah Dongfang Wan juga pergi sambil melotot beberapa kali ke arah Jiaming, barulah ia memanggil Jiaming keluar kelas. Saat sampai di balkon, terlihat Lü Fang dan lainnya sedang menengadah ke atas dari tepi taman bunga di bawah. Di samping mereka ada beberapa orang termasuk Lu Jianchuan dan Han Gangcheng. Mereka yang sudah kuliah ini, mungkin karena kesan mendalam yang ditinggalkan Jiaming dulu, langsung pulang seketika untuk balas dendam begitu mendengar keluarga Huang tumbang.
“Amrei itu adalah putra keempat Jenderal Kazong dari Vietnam, katanya punya bakat alami dalam muay thai sejak kecil, sekarang jadi murid ahli legendaris muay thai Hiriyawan……” Dongfang Lu memperkenalkan situasi pada Jiaming sambil menunjuk ke kerumunan di bawah, “Hiriyawan si ahli muay thai, kau pasti juga dengar kan? Belakangan ini sering muncul di TV.”
“Hmm, katanya dia datang ke Jianghai untuk menantang Kung Fu China. Aku lihat iklannya.” Jiaming mengangguk.
“Amrei ikut rombongan kesini. Keluarga Lü yang bertugas menerima tamu dari Thailand ini. Karena Amrei masih muda, dia diajak berkunjung ke sini. Lü Fang jelas jadi pendamping utama. Klub bela diri yang dulu dihajar teman sekelas Yuechi, pasti sekarang mereka terus-terusan puji Kaoru di depan Amrei, lalu datang cari masalah. Tujuan utamanya biar Amrei hadang Yuechi, lalu melawanmu. Kau tahu sendiri, kejadian waktu kau baru masuk SMA itu benar-benar meninggalkan trauma besar bagi Lu Jianchuan dan Han Gangcheng. Hehe, tapi memang layak mereka dapat...”
Dongfang Lu paham betul insiden itu – tendangan bola yang mengenai kepala Lingjing. Sekarang dipikirkannya lagi, Jiaming pasti sengaja menahan diri. Dua orang itu benar-benar beruntung: “Mereka bawa Amrei kesini, pertama-tama temui Guru Chen. Tapi cuma bicara sebentar, tidak ada aksi fisik. Guru Chen bilang orang ini aura destruktifnya kentara. Barusan aku perhatikan, benar-benar terasa energi agresifnya. Kayaknya aku bukan lawannya. Ahli sepertimu pasti langsung bisa mengukur kekuatannya. Gimana menurutmu?”
“Heh, Dia sudah MEMBUNUH banyak orang, mempelajari teknik MEMBUNUH yang efisien. Pasti juga melewati banyak ujian hidup dan MATI. Orang seperti ini tak bisa menjaga profil rendah, tentu semua bisa merasakan betapa hebatnya dia.”
“Hmm, Vietnam ya, anak laki-laki jenderal. Tentu punya banyak kesempatan MEMBUNUH.” Dongfang Lu mengangguk, melirik Jiaming, “Ngomong-ngomong, tolong ya. Bagaimanapun ini anak jenderal. Kau yang biasa menjaga profil rendah, sebaiknya jangan berkelahi dengannya. Tapi kalau mereka terlalu bodoh, jangan sampai ada nyawa manusia yang hilang di kampus. Hal seperti ini akan menyulitkan [] juga.”
“Kalau begitu, suruh mereka mengontrol anak buahnya dengan baik.”
“Tolonglah, Aku belum termasuk personel inti []. Sembarangan bicara tidak baik. Lagipula internal [] bukan tembok besi.” Dongfang Lu mengangkat bahu, “Anak jenderal... itu anak jenderal lho... Kalau kau ingin melampiaskan amarah, lebih baik MEMATIKAN Shifu-nya. Tapi yang penting kau hanya ingin memukul, beri tahu aku dulu. Aku akan bilang itu orang suruhanku. Hehe, biar aku dapat paham di organisasi juga...”
“Jiaming menatapnya, Dongfang Lu berbicara langsung namun tidak terlalu menyinggung. Dongfang Lu tersenyum, melanjutkan: "Sejak kemunculan muay thai, kompetisi bela diri untuk publik pada dasarnya jarang kalah. Beberapa kali sebelumnya, Tiongkok sudah dihabisi dalam lomba, tapi dampaknya tidak besar. Tahun lalu mereka kembali menang mutlak. Kali ini tim muay thai Siliwang menantang Kung Fu China, militer dan [] mengirim orang turun. Ini proyek citra, mereka sangat serius. Jika kau membunuhnya diam-diam, [] pasti menangis darah. Lebih baik secara sah di ring pukuli dia sampai MATI. Jika Jian Suyan mau menyerang, pasti akan sangat seru."
“Tidak tertarik.”
“Aku tahu. Tapi... lihat tatapan Amulei di bawah. Sekarang dia sudah terbujuk oleh Lü Fang. Aku tahu bagaimanapun akhirnya buruk, tapi jika kau pukuli dia setengah MATI, Siliwang pasti akan muncul. Kalau para ahli bela diri gagal menang, akhirnya kau tetap harus membunuhnya.” Melihat tatapan Jiaming menjadi dingin, Dongfang Lu cepat-cepat menggelengkan tangan untuk menunjukkan ketidaksengajaan. “Aku jamin, tidak ada operasi terselubung untuk menjeratmu dalam hal ini. Bahkan tak ada niatan untuk membiarkan alur alamiah. Perkembangannya terlalu kebetulan... Baik [] maupun aku, Jian Suyan jelas jauh lebih penting dari juara tinju mana pun. Tak ada yang berani main kotor dalam hal ini. Kalau kau marah, siapa yang bertanggung jawab? Oh ya, kabar internal: Fang Zhitian akan datang ke Jianghai.”
“Dia datang buat apa, nonton pertandingan tinju?” Tidak heran di jalan melihat Cui Guohua……Jiaming bergumam dalam hati.
“Tentu saja bukan urusan seperti itu, dia menemani Ruo Ruo kesini.”
“Bagaimana kondisi otak Dongfang Ruo?”
“Masih sama, tidak ada perubahan. Ngomong-ngomong kondisinya memburuk justru karena waktu itu dia nekat menguji kau. Kau bilang tidak tahu menahu, pergi ke Eropa mencari Kekosongan Pandang Debu juga tidak ada hasil. Sekarang aku tahu identitasmu……Benarkah kau bukan Evolusioner alami? Sama sekali tidak punya kekuatan supernatural? Ruo Ruo masih ada hubungan darah dengan keluarga Huang, setidaknya bisa dibilang sepupumu.”
Jiaming menghela napas: “Kalau memang bukan aku lagi bisa apa? Urusan cukup dijelaskan sekali, kenapa kalian masih mengirimnya ke sini?”
“Bukan kau, Eropa akan mengirim orang.” Dongfang Lu berkata, “Dark Celeste akan mengirim perwakilan untuk membantu menyelesaikan gangguan kekuatan supernatural Ruo Ruo.”
“Dark Celeste?” Jiaming merasa heran——Mengingat posisi Kelly*Vernam saat ini di Dark Celeste, dia sama sekali tidak mendapat kabar ini, “Kenapa harus ke Jianghai? Langsung ke Gunung Emei tidak lebih baik?”
“Kau bahkan tahu basis Ruo Ruo di Gunung Emei dengan jelas?” Dongfang Lu membuka mulut lebar-lebar, “Tapi kedatangan Dark Celeste tidak murni untuk menyelesaikan masalah kekuatan supernatural. [] maupun Dark Celeste, urusan gelap dan terang selalu setengah-setengah. Mereka juga harus membuka perusahaan untuk mencari uang. Aku dengar Dark Celeste bisa mewakili setengah keluarga Ross. Mereka akan mengirim orang ke Jianghai untuk berinvestasi, Fang Zhitian tentu takkan melewatkan persatuan besar ini. Perkiraanku Ying Haisheng juga akan datang berebut bagian. Nanti bisa jadi pertikaian sengit antara dua raksasa internal [], haha, yang lain tentu bisa mengail di air keruh……”
Setelah berbicang beberapa kalimat lagi, bel kelas berbunyi. Percakapan ini, Dongfang Lu basically mengungkapkan isi hatinya, memperlakukan Jiaming sepenuh hati sebagai teman paling tepercaya. Tapi Jiaming tentu juga tahu ambisi dan kelicikan di balik ketenangan pemuda ini. [] terbentuk dari gabungan berbagai kekuatan, Fang Zhitian dan Ying Haisheng saat ini adalah dua raksasa terkuat. Keluarga Dongfang di organisasi ini paling-paling menempati posisi menengah. Tapi dalam 10 tahun, Dongfang Lu bisa menduduki posisi pemimpin negara []. Ying Zilan dari generasi baru yang paling brilian, kemampuan dan pergelangan tangannya selama satu dekade memancarkan cahaya menyilaukan tiada tara. Tapi diam-diam ditumbangkan Dongfang Lu, mungkin cukup membuktikan Ying Zilan hanya menguasai Jalan Penguasa, tak mampu melawan Jalan Raja sejati yang penuh keadilan.
Tapi……Apakah Dark Celeste datang untuk berinvestasi? Jiaming tersenyum dalam hati, pusat gravitasi kekuatan ekonomi keluarga Ross berada di Eropa dan Amerika, tetapi mereka sudah lama menyusup ke pasar Tiongkok. Bagi keluarga yang mampu mengguncang dunia dengan ekonomi, uang sudah tidak penting lagi, namun kekuatan supernatural - kekuatan yang mungkin menuju ke puncak dan keabadian - adalah hal yang benar-benar mereka hargai. Dark Celeste tetap menjadi organisasi yang melakukan penelitian kekuatan supernatural dengan intensitas terbesar di dunia, bahkan Keajaiban Kreasi yang terang-terangan melakukan hal ini pun tidak bisa menyainginya - meskipun semua organisasi dengan kemampuan serupa menolak mengakui telah melakukan eksperimen kekuatan supernatural, dari awal sampai akhir, mungkin pernah mengalami kegagalan, tapi tidak pernah berhenti...
Bukan untuk uang, tapi datang ke Jianghai dengan tujuan lain, yang penting adalah, dirinya sendiri tidak tahu... Kesimpulannya, ini benar-benar kesimpulan yang tidak menyenangkan baginya, meskipun... Dampaknya mungkin tidak terlalu besar...
Memuaskan napas, di kampus yang gelap oleh malam, para mahasiswa juga mulai kembali ke kelas seiring bunyi lonceng belajar malam. Di bawah gedung sekolah, Lü Fang, Lu Jianchuan, Han Gangcheng, dan pemuda Vietnam bernama Amray masih berbicara di tepi taman bunga. Entah siapa yang pertama melihatnya sedang memandang pemandangan di balkon, tiba-tiba mereka semua mengangkat kepala dengan jijik, membuat gerakan tidak senonoh.
Bagian pertama belajar malam lalu mencari Yahan.
Mata meski menatap ke bawah, namun entah itu merendahkan atau terkesan lucu, hampir tak ada pikiran tentang orang-orang ini yang muncul di pikiran. Baginya, dampak dari orang-orang ini benar-benar terlalu kerdil. Membalikkan badan, dia pergi kembali ke kelas. PR akhir pekan belum dikerjakan, dia harus menghabiskan setengah jam pelajaran untuk mencontek semua tugas. Inilah hal penting yang harus diselesaikan...
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh Empat Pertunjukan Hidup
Lampu yang sengaja diredupkan namun tak mengganggu penglihatan, musik tempo lambat dengan tata letak di sekitar, baju olahraga ketat yang lembut mengukir postur indah wanita dengan lekuk sempurna. Sehelai syal merah muda diikat di pinggangnya. Saat keluar dari ruang latihan yoga di klub perempuan elite ini, dia mengangkat tangan merapikan rambut panjang halus di belakang kepala, memancarkan aura mandiri dan elegan.
Seorang karyawan kantoran metropolitan muda nan cantik, memiliki etika dan aura yang baik. Mungkin juga memiliki posisi lebih tinggi dibanding karyawan kantoran biasa, karena dari aura yang terpancar, dia juga memiliki sesuatu yang secara alami menimbulkan rasa hormat dan deterensi. Aura ini sulit dijelaskan, tapi begitu terlihat langsung jelas —— inilah kesan pertama paling kuat yang diberikan wanita ini saat ini.
Bertegur sapa dengan seorang guru senam yang bekerja di klub kesehatan yang sedang berjalan berlawanan arah, melirik jam di ujung terowongan, waktu sudah menunjukkan pukul lima lewat beberapa menit mendekati pukul enam sore. Klub eksklusif perempuan ini menyediakan berbagai layanan kecantikan dan kesehatan wanita, selain perawatan kulit, mandi spa, pijat, desain rambut dan tata rias, juga mengajarkan yoga, senam hingga ilmu pedang. Tentu saja semua bertujuan untuk pembentukan tubuh dan kebugaran. Musim semi cepat gelap, pada jam segini para mahasiswa yang berlatih umumnya sudah pulang, para guru juga bersiap makan malam. Dia terlambat datang dan memilih ruang privat untuk latihan sendirian, sehingga baru selesai sekarang.
Klub mewah ini tentu mematok biaya tinggi, termasuk beberapa cabang perusahaan di kota-kota besar seluruh negeri, sebenarnya merupakan bagian dari Keluarga Zhang Jianghai di mana dia memegang sebagian saham. Awalnya enggan datang karena berbeda dengan seni bela diri tradisional, program kebugaran di sini lebih fokus pada pembentukan tubuh feminin ketimbang kesehatan. Singkatnya, meski ada fungsi kesehatan, sebagian besar proyek penelitian bertujuan mengajari perempuan cara menarik pandangan laki-laki. Tujuan seperti ini pernah direndahkannya sebagai perempuan mandiri. Namun beberapa bulan terakhir ini, dia rutin datang sekali atau dua kali seminggu, memilih kamar untuk berlatih yoga yang sudah lama ditinggalkannya.
Mungkin juga jadi idiot... Masuk ke ruang ganti pribadi, dia tersenyum kecut.
Di sebelah ruang ganti terdapat kamar mandi terpisah yang sudah disiapkan. Seharusnya mandi dulu sebelum berganti pakaian dan pulang, tapi mengingat waktu sudah larut, akhirnya hanya melepas baju latihan, mengusap keringat halus di tubuh dengan handuk basah, baru kemudian mengenakan gaun asalnya. Saat mengambil tas kecil hendak keluar, kebetulan bertemu Manajer Wu yang sedang pulang kerja, saling menyapa.
"Kakak Wu, pulang kerja?"
"Hmm, Yahan masih berlatih sampai sekarang?" Manajer Wu itu sekitar empat puluh tahun, perawatan tubuhnya sangat baik. Karena ada sedikit koneksi kekerabatan dengan Keluarga Zhang, hubungan mereka pun cukup akrab. "Akhir-akhir ini penampilanmu berseri lho."
"Benarkah?" Yahan tersenyum.
"Sebelum tahun baru pergi ke Amerika, ada pacar? Jatuh cinta?"
Yahan tertegun sejenak, lalu menoleh sambil tertawa: "Hehe, mana ada. Cuma sembuh dari penyakit di Amerika saja. Kondisi mentalku akhir-akhir ini memang sedikit membaik."
"Bohong. Dulu kamu tidak pernah latihan yoga, justru Wing Chun dan Tai Chi itu bahkan lebih bagus dari guru di sini. Saat tidak sakit pun tubuhmu sudah lebih sehat dari orang biasa, kenapa tiba-tiba mulai latihan yoga... Terbata-bata, aku kan manajer sini. Sekarang setiap lewat cermin kamu selalu melihat postur tubuh dan penampilanmu bawah sadar. Wajahmu merah juga kukatakan. Cewek memang, tiba-tiba ingin yoga kebanyakan agar posturnya lebih disukai orang. Yang lebih penting... Kamu pulang tanpa mandi, waktu segini... Ada yang menunggumu di rumah?"
"Mengedipkan mata, ekspresi Yahan masih tersenyum, tidak banyak berubah. Di |hati, ada sedikit kepanikan karena |ketahuan. Saat hendak mengucapkan kata-kata setengah benar untuk |mengalihkan percakapan, Suster Wu tersenyum: '|Tentu saja, aku hanya penasaran pria beruntung seperti apa yang bisa merebut |hatimu. Tapi jika kau tak mau bicara, aku tak akan memaksa.'"
Dua wanita itu bercakap sambil berjalan keluar |pintu gerbang klub. Jalanan sudah diterangi lampu sore. Dengan penampilan |wanita karier - gaun musim semi, |sepatu hak tinggi, rambut panjang - kombinasi |wanita dewasa elegan dan wanita dominan ini menjadi pusat perhatian di jalanan awal musim semi. Namun saat orang-orang memperhatikan mereka, wanita yang disebut Yahan sebagai |Suster Wu itu melihat beberapa pria keluar dari |hotel megah, alisnya |mengerut perlahan.
Sebagian mengenakan pakaian kasual, sebagian |jas. Mereka berdiri di |pintu utama hotel seolah menunggu seseorang, tapi memancarkan aura mengganggu. Dua-tiga orang di antara mereka berperilaku seperti |preman, tertawa keras sambil mengamati wanita yang lewat. Salah satu bahkan |sengaja |bersiul provokatif.
"|Sial! Negosiasi begini lebih melelahkan daripada berantem. Pengalaman |Eropa? Bos Zhao itu |sama sekali tak paham ancaman sebelum melihat |pisau di depannya!"
"Kencangkan! Mau dipanggil |polisi ya? Seperti kata |Kak Meng, kita harus |siluman..."
"Wah, |cantik nih..."
"Aduh, aku |kenal yang itu! Hahaha..."
Beberapa orang berbicara riuh, salah satunya mengangkat tangan ke arah sini sambil tersenyum menyapa: "Hai, Manajer Wu." Nona Wu yang berjalan di samping Yahan meski agak enggan tetap membalas senyum: "Hai, Kakak Wang, kebetulan ya."
"Ada urusan ke sini." Pria berjas yang disebut Nona Wu sebagai Kakak Wang berjalan mendekat dengan senyuman, diikuti oleh yang lain. Seketika terjadi serangkaian perkenalan dengan sebutan kakak-kakak anu, baru kemudian ditutup dengan: "Ini Nona Wu manajer dari Klub Wanita Neon di sana, eh, dan nona ini... hehe, saya belum kenal."
Dalam perkenalan tadi, Nona Wu nyaris tanpa jejak menghalangi Yahan di belakangnya, jelas tak ingin Yahan berkenalan dengan mereka. Bagaimanapun, dia adalah putri tunggal keluarga utama Zhang. Jika mau, mungkin bisa menggantikan posisi Zhang Jing'an memimpin keluarga Zhang. Dari belakang Nona Wu, Yahan tersenyum: "Halo, saya Zhang Yahan."
Pertemuan dadakan di jalan ini hanya akan berlangsung beberapa kata lalu berpisah. Meski mereka preman, tentu tak punya niat jahat pada dua wanita ini, paling hanya ingin ngobrol dengan si cantik. Setelah beberapa kalimat, Nona Wu hendak pamit saat salah seorang menoleh ke arah hotel: "Hai, Kakak Meng keluar."
"Melihat orang yang mereka tunggu keluar, Bu Jie membuka mulut: 'Hmm, kalau begitu kita...' Belum selesai bicara. Mereka malah tertawa: 'Manajer Wu, perkenalkan Kakak Meng kami padamu.' Seketika, Bu Jie pun terpaksa mengangguk.
Memandang ke arah hotel, terlihat seorang pria sedang menunduk merapikan jas sambil keluar. Saat ini, gaya berjalannya yang dingin dan tertunduk membawa aura dunia persilatan, meski posturnya tidak terlalu tinggi, usianya mungkin belum tiga puluh. Dari wajahnya terlihat sangat berpenampilan kalem, seandainya syuting film pasti cocok. Mengangkat kepala, melihat orang-orang di pinggir jalan sedang melambaikan tangan, dia dengan dingin mengangkat tangan memberi salam, tiba-tiba matanya berbinar, lalu bergegas mendekat.
'Aku yang perkenalkan. Bu Jie, ini Bos Kakak Meng kami; Kakak Meng, ini Bu Jie manajer klub wanita di sana, dan ini Nona Zhang Yahan... Eh, kami belum tahu Nona Zhang bekerja di bidang apa.'
Seorang pria berbaju kasual antusias memperkenalkan kedua pihak, sambil mengucapkan kalimat ini, jelas ingin mengetahui lebih banyak informasi tentang Yahan. Saat menunggu jawaban Yahan, tengkuknya dipukul dengan keras *prak*, terlihat Kakak Meng tersenyum: 'Bu Guru Zhang, lama tidak bertemu... Oh, mungkin kamu tidak ingat aku, aku...'
'Oh, kamu Xiao Meng, bukan... Kakak Meng ya? Di rumah Paman Liu kita pernah bertemu, waktu itu Jiaming yang membawaku.'
'Benar benar! Panggil saja Xiao Meng. Jiaming sekarang baik-baik saja?'
'Heh, Dia bisa bermasalah apa. Tapi pasti kamu lebih tua dariku...'"
“Bukan soal usia, sebenarnya nama panggilanku adalah Xiao Meng, gabungan dari kata 'kecil' dan 'Meng'. Bahkan 20 tahun lagi, aku tetap akan disebut Xiao Meng tanpa berubah.”
Xiao Meng dengan ceria mengangkat tangan bingung, membuat yang lain terpaku. Meski Kakak Meng masih muda, kekejamannya tak kalah dari siapa pun. Kemampuannya menduduki posisi sebagai salah satu delapan ketua cabang Shazhu Bang di usia muda, ditambah penampilannya yang menawan, membuat banyak wanita gila cowok di dunia kriminal menganggapnya sebagai 'Xiao Ma Ge' Kota Jianghai. Baik di Jalan Hitam maupun Putih, banyak wanita yang mengejarnya. Namun baik pada bawahan maupun wanita, sikap Kakak Meng yang tampak santun sebenarnya menyimpan tekanan, membuat orang yang mengenalnya tak pernah bisa mengabaikan esensinya yang seperti ular berbisa. Tapi sikapnya pada Yahan sekarang, apakah ini pertanda Kakak Meng sedang mengejar cintanya? Atau jangan-jangan wanita ini adalah putri bos Jalan Hitam yang lebih berkuasa?
Para anggota geng kriminal ini berspekulasi. Jie Wu yang juga terkejut. Alasan dia mengenal mereka karena Kakak Wang pernah memungut uang perlindungan di klub wanita. Nama Kakak Meng yang lebih tinggi hierarkinya juga pernah didengarnya, tapi tak disangka dia begitu hormat pada Yahan. Ternyata nama lima keluarga besar Jianghai memang memiliki efek intimidasi besar bagi dunia kriminal. Sayangnya, hubunganku dengan mereka sebenarnya sudah sangat renggang...
“Berbicara beberapa patah kata, Xiao Meng menanyakan hubungan antara dua wanita tersebut, kemudian berpikir mendalam sambil melirik ke arah klub wanita tak jauh. Setelah merenung sejenak, ia menyerahkan kartu nama pada Suster Wu: "Kedepannya jika ada hal, Suster Wu bisa langsung telepon saya. Urusan Bu Guru Zhang adalah urusan Shazhu Bang, jangan sungkan." Melihat situasi ini, tampaknya uang perlindungan yang sebelumnya diambil mungkin akan dikembalikan seluruhnya sebelum besok. Suster Wu berpikir dalam hati, tapi pihaknya tidak bisa menerimanya. Karena sudah ada hubungan, pembayaran yang seharusnya tetap harus dibayar, meskipun jumlahnya lebih banyak tidak masalah.”
Yahan tersenyum: “Xiao Meng hari ini makan di sini ya?”
Mendengar pertanyaan Yahan, salah satu dari mereka berkata sambil tertawa: “Bukan, kami datang untuk bernegosiasi.” Kalimatnya belum selesai, sudah mendapat tatapan tajam dari Xiao Meng: “Heh, ini... berbagai hal. Sebenarnya kami menemani paman Nona Shasha datang. Bu Guru Zhang kenal?”
“Paman Shasha? Belum pernah dengar.”
“Oh, ini sepupu bos, baru kembali dari Eropa. Tapi hubungan bos dengannya lebih dekat dari saudara kandung. Nanti Bu Guru Zhang pasti akan kenal juga. Oh, dia sudah keluar, saya perkenalkan pada Bu Guru Zhang...”
Mengemudikan mobil kecil yang sudah berumur itu kembali ke kawasan villa milik Akademi Hati Kudus, waktu sudah mendekati pukul tujuh malam. Dari kerlip lampu di area kampus terlihat bahwa belajar malam baru saja dimulai. Yahan memasukkan mobil ke garasi, masuk ke kamar, menyalakan AC, melemparkan jaket dan tas kecil ke sofa, lalu berjalan ke kamar mandi sambil membuka air panas, sebelum akhirnya langsung menuju dapur.
"Cuci beras dan masukkan ke penanak nasi, lalu buka kulkas. Masakan siang masih tersisa, entah Jiaming akan bolos lagi dan datang ke sini." Dia menaruh beberapa masakan yang ingin dimakannya ke dalam satu kotak, memasukkan ke microwave dan mengatur waktu sambil membuka kait kemejanya, lalu masuk ke kamar mandi.
Bergumam lagu riang, dia melepas semua pakaian dan berbaring di bak mandi penuh air panas. Lelah dari latihan sore mulai menguap dari setiap pori-pori kulitnya. Tak lama kemudian, suara kunci membuka pintu terdengar. Dia menyentakkan telinganya sebentar, mengidentifikasi orang dari langkah kaki, baru menutup mata lagi sambil senyum malas mengembang di bibirnya: Dia datang, berarti bisa lebih lama berendam.
Benar saja, suara gemerisik di luar mematikan microwave. Langkah kaki mendekat. Kenop pintu kamar mandi berputar pelan, "Krek!", bayangan Jiaming mengintip dari balik pintu. Yahan menyipratkan air sambil tertawa: "Bajingan pergi!" Jiaming menangkis dengan tangan, merasakan suhu air: "Panas begini, kau mau berendam semalam lagi ya?" Matanya hanya menyapu sekilas tubuh telanjang Yahan di bak mandi, lalu tersenyum sambil menutup pintu dari luar.
"Aku tadi siang latihan yoga, baru pulang," seru Yahan dari dalam bak mandi.
“Aku akan menumis masakanmu lagi.” Suara Jiaming terdengar dari dapur. Tak lama kemudian, suara "Zzzz" dari tumisan terdengar di dapur, aroma harum mulai tercium. Dia tidak membuat masakan baru, hanya memanaskan kembali sisa makanan dengan menambahkan bumbu ekstra untuk meningkatkan nafsu makan Yahan di malam hari. Biasanya, dia juga menambahkan semangkuk sup baru.
Meski bakat masak Jiaming mungkin tak sebanding dengan koki profesional, tapi cukup memadai untuk kebutuhan rumah tangga. Kurang dari sepuluh menit, pekerjaan pun selesai. Pintu kamar mandi kembali diketuk dok... dok: "Belum selesai mandi?"
"Belum banyak dicuci, maukah kau masuk dan mengusap-usap punggungku?"
"Hantu malas..."
Bergumam demikian, Jiaming tersenyum sambil membuka pintu. Terlihat Yahan sedang duduk di bak mandi beruap, kedua tangan memeluk handuk di dada yang justru semakin mempertegas lekuk tubuhnya. Punggung telanjangnya yang sensual terpapar di udara, pantat seksi dan sepasang paha samar-samar tergambar di balik air: "Katanya aku malas jangan masuk! Pekerjaan seperti ini, apa takut tidak ada pria yang berebut melakukannya?" Betisnya menendang air, memercikkan percikan ke lantai di kaki Jiaming.
“Iya iya, tapi beranikah kau?” Matanya menelusuri tubuh telanjang Yahan dari atas ke bawah, depan ke belakang. Saat Yahan hampir marah-marah karena malu, barulah ia duduk di sebelahnya. Tindakan pertamanya justru menyambar handuk yang sengaja Yahan gunakan untuk menutupi dada. Yahan berteriak "Aaaaa", menahan pipi kembung sambil melotot ke arah Jiaming, lalu menyilangkan tangan menutupi dada. Begitulah perempuan - meski sudah hidup intim dengan istrinya bertahun-tahun, jika suatu hari kau minta ia telanjang bulat untuk kau amati, mereka tetap akan malu. Tapi jika kau pura-pura tak sengaja masuk kamar mandi saat ia mandi untuk menyikat gigi atau ke toilet, selama tak ada yang membongkar rahasia, biasanya tak akan ada protes.
"Bukannya ada banyak handuk, kenapa tak ambil yang lain?" Sebenarnya penyembunyian yang terkesan menutupi sesuatu ini justru lebih menggoda daripada telanjang bulat. Yahan pun paham hal ini. Tapi saat Jiaming mengusap-usap punggungnya, ia tetap mempertahankan pose sambil mengalihkan topik: "Tadi sepulang yoga, kulihat Xiao Meng yang bilang tahu identitasmu sedang bernegosiasi dengan orang di hotel. Oh iya, ada juga paman Shasha, katanya baru pulang dari luar negeri."
"Hmm, Liu Shijie, sepupu Liu Zheng. Katanya dulu pergi ke luar negeri saat masa sulit, sekarang pulang dari Korsika, Prancis. Wuih... Wuih... Tempat itu markas utama mafia."
"Kau sudah bertemu?"
“Tidak, hari ini Shasha pernah bilang, dia tidak terlalu suka padanya. Bagaimana menurutmu?”
“Orangnya tinggi, kira-kira berusia empat puluhan, penampilannya lumayan, terlihat seperti orang yang berkecimpung di dunia persilatan. Hehe, jangan ganggu aku...” Pinggang Yahan tersentuh tangan Jiaming, dia tertawa sambil menggeliat, “Kalau mau memerankannya di film, peran paling cocok adalah tokoh terkenal yang baru bebas dari hukuman dan ingin hidup biasa. Tapi saat kami berbicara, tatapannya sangat tidak sopan, selalu berkesan penuh nafsu. Mungkin dia pura-pura baik, tapi wanita paling peka dengan pandangan seperti itu... Aku juga tidak terlalu suka, setelah bicara sebentar langsung pamit.”
“Kurangi pertemuan dengannya. Bagaimanapun dia paman Shasha.” Jiaming mengerutkan kening, lalu mengalihkan topik dengan tersenyum, “Tapi benarkah wanita sangat sensitif terhadap tatapan seperti itu?”
“Hmm.”
“Tahukah kau berapa banyak mahasiswa di kampus yang memandangimu dengan tatapan seperti itu?”
“Hehe, mereka tidak berani. Setidaknya ada satu yang kuketahui, yaitu kamu. Tak bisa membantah kan, teman sekelas Bangsat Gu? Kali ini kamu tertangkap basah oleh guru.”
“Ada yang menangkap diri sendiri?” Jiaming tersenyum, tangan yang memegang handuk meluncur ke bawah tulang lehernya. Saat menyentuh tulang ekor yang sensitif, Yahan menjerit “Ahh—” dan tubuhnya refleks bersandar ke belakang, malah mengapit tangan Jiaming di celah pantatnya yang paling sensitif.
Jiaming tersenyum getir sambil mencoba menarik tangan, namun gagal. Yahan duduk di atas tangannya, pandangan tertuju pada sisi bak mandi, dada naik turun dengan hebat, bibir bawahnya digigit perlahan.
"Hmm, kamu seperti ini... mengingatkanku pada suatu hal." Setelah tertegun sebentar, Jiaming berkata sambil tersenyum.
"A-apa..."
"Saat Tahun Baru kamu selalu bilang 'nanti-nanti', mending kita lakukan hari ini..."
"Mimpi kali..." Wajah Yahan memerah seperti anggur, suaranya keras. Tubuhnya secara bawah sadar mengkerut sebentar, lalu *Byur!* tangan Jiaming terjepit di bawah air. Jiaming antara ingin tertawa dan menangis: "Kalau gitu lepasin tangan gue dong."
"NGGAK! MAU! Siapa suruh kamu yang mulai..." Gelombang merah di wajahnya makin menjadi, Yahan menggigit gigi sambil menekuk paha kokohnya, seluruh tubuhnya merosot ke tepi bak mandi hingga lengan Jiaming terhimpit di bawah. Jiaming cuma tersenyum: "Satu tangan juga bisa nguasin kamu." Air kolom bergolak, Yahan terus bergerak-gerak gigit jari, berusaha menekan gerakan tangan di bawah air.
"Hari ini di kampus didekati Lü Fang, mungkin akan ada pertarungan dalam waktu dekat." Seluruh tangan ditekan di dalam bak mandi, tubuh Jiaming condong ke depan. Kepalanya sudah bersandar di leher telanjang Yahan, namun dia berbicara pelan tentang kejadian di kampus hari ini. Tubuh Yahan tertegun sejenak, lalu kembali duduk dengan keras: "Ha... Heh... Jangan kau bunuh dia ya... Hmm, dia kan juga... teman sekelas..."
"Aku juga tidak berniat apa-apa. Tapi dia saat ini kenal seorang praktisi muay thai, usianya seumuran kita, tapi bau darah di tubuhnya cukup kuat. Hari ini dia mengajak tantangan pada Kaoru."
"Kau suruh... Hmm... suruh Kaoru berikan pelajaran padanya ya..."
"Kaoru sekarang belum membunuh siapa pun, mungkin dia bahkan tidak peduli pada kehidupannya sendiri. Tapi intensitas niat membunuh dan keteguhan sejati masih kurang. Yang aku ajarkan padanya bukan ilmu bela diri untuk duel satu lawan satu secara konvensional. Kaoru sekarang, bahkan jika menang mungkin akan sengsara. Aku sedang mempertimbangkan konsekuensi jika kalah. Mungkin harus menambah poin pengalaman untuk Kaoru. Tapi orang itu adalah anak laki-laki seorang jenderal Vietnam. Jika tidak perlu, tidak ingin membuat perselisihan sembarangan."
"Pemuda yang tangannya tertindih menganalisis situasi ini dengan sistematis. Di dalam bak mandi, wanita telanjang bulat yang beridentitas Guru menggeliatkan tubuhnya seperti lumba-lumba, menyimak ucapan Jiaming dengan saksama. Ekspresi wajahnya berganti antara tegas dan genit, gigi terkunci rapat, sesekali mengeluarkan dengusan sederhana seolah sedang bertarung melawan monster hebat. Tak lama kemudian, terdengar lagi teriakan pelan "Aaaaa", kedua tangan yang semula menutupi dada menyelam ke bawah air, menekan di antara pahanya, seolah ingin menghentikan sesuatu namun tampak tak berdaya. Torsonya melengkung ke belakang membentuk busur, dada mulusnya yang terpapar udara di permukaan air naik turun dengan ganas dan terburu-buru."
"Kalau... kau jangan pukul. Uhh... Licik... Jangan... Hmm, masuk ke sana... Sakit..."
"Hehe, sekarang baru tahu sakit, menyerahlah."
"Tidak menyerah..."
"Menyerah!"
"Tidak, uhh..."
“Mewarisi tradisi mulia para revolusioner generasi tua, wanita beridentitas Guru mengucapkan satu kata lalu berusaha keras menggigit giginya, menolak menyerah. Tak lama kemudian, tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, torso kaku berkedut beberapa kali seolah melakukan perlawanan terakhir. Tatapannya buyar, namun rahang tetap terkunci rapat, bergoyang mengikuti tubuh. Belasan detik kemudian, tubuh di bak mandi akhirnya lunglai rebah, torso atas miring di ujung bak, tatapan yang masih tersisa seakan masih menyimpan ketidakrelaan memandangi wajah pemuda di tepi bak, dada naik turun tak beraturan. Namun tangan kiri pemuda yang terhimpit lama, akhirnya bisa menarik diri dari bawah tubuh tak berdaya ini, mengambil handuk.”
“Kali ini aku akan membersihkanmu sampai tuntas, kalau tidak masakan benar-benar dingin.”
Berbisik lembut, ia menggendong tubuh matang wanita itu dari bak mandi, mendudukkannya di tepi bak, tubuhnya limbung bersandar ke dinding, mulai mengusap dengan cermat tubuh lemah lembut bak bayi ini...
Pukul sembilan lewat empat puluh malam, belajar malam berakhir.
Aktivitas belajar malam mahasiswa biasanya terkait dengan rencana makan. Begitu lonceng tanda usai berbunyi, gesekan menemukan Kaoru yang telah merapikan barang, mempersiapkan untuk membawanya makan malam di rumah Jiaming yang sudah dimasak. Meski di luar kampus banyak pedagang makan malam, belakangan ini mereka selalu mengajak Kaoru makan di rumah.
Saat menemui Lingjing sebelumnya, papan buletin masih ada sedikit bagian yang belum selesai, mereka berdua menunggu sebentar. Ketiga orang ini keluar gerbang kampus mengikuti kerumunan siswa usai kelas, di seberang terlihat deretan stan makan yang terang benderang dengan suasana sangat meriah. Tiba-tiba seorang pemuda asing bertubuh gelap kurus namun kokoh mendekat, dengan senyum yang tidak disukai di wajahnya. Lü Fang dan yang lain duduk di stan tak jauh dari sini, memandang ke arah ini.
"Halo, Tsukike Kaoru ya... Aku sudah menunggumu lama di sini, harap kau mau menerima Tantangan yang kusampaikan sebelumnya, terima kasih."
Ucapannya sangat sopan, namun dalam tatapan sang pemuda yang berapi-api itu, tersirat perasaan dahaga darah yang mendidih dan membara.
Ia menyukai kecantikan Tsukike Kaoru, namun bagi mereka yang mengenal kebiasaan pemuda bernama Amurei ini di Vietnam atau Thailand, jelas bahwa yang lebih ia sukai adalah sensasi kuat yang didapat dari proses penghancuran keindahan...
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh Lima Kesulitan
Waktu hampir tengah malam, di jalan dekat kantor polisi Jianghai, terasa aura mencekam yang mulai memadat.
Mobil-mobil melintas bolak-balik, lampu jalan berjajar rapi di kedua sisi jalanan. Area ini bukan termasuk kawasan ramai Jianghai, lalu lintas pejalan kaki sehari-hari pun tidak terlalu padat. Namun mendekati tengah malam, jumlah pejalan kaki di kedua dunia jalan justru bertambah secara aneh. Mulanya satu dua orang mondar-mandir sambil memandangi keributan di dalam kantor polisi, lalu berkelompok kecil berjumlah 3-5 orang, hingga akhirnya semakin banyak yang hilir mudir. Sekitar 2-3 ratus orang berkeliaran di sekitar kantor polisi bagai lingkaran yang hendak mengepung gedung tersebut.
Pada waktu selarut ini, kerumunan massal sebesar ini mirip Pembukaan kerusuhan. Namun tampaknya tak satupun yang membawa senjata, hanya mengenakan baju sipil sambil menatap mati ke dalam. Beberapa polisi tambahan berjaga di gerbang kantor, tapi untuk sementara tidak menunjukkan gerak-gerik berlebihan. Kebanyakan dari mereka adalah preman jalanan yang dikenal banyak anggota kepolisian. Memang bisa ditangkap dan ditahan selama 2 hari, tapi menindak sejumlah besar orang sekaligus tetap memerlukan perintah atasan. Apalagi sebagian besar polisi lapisan bawah bahkan belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Bagaimana bisa sampai seperti ini, para preman ini tidak ingin hidup lagi……” Membuka tirai dan melihat ke luar, Mu Qingqing mengerutkan alis. Perwira polisi wanita yang baru berusia 24 tahun ini memiliki vitalitas dan wibawa yang jauh melampaui perempuan sebaya. Kemampuannya meraih promosi luar biasa ke posisi Perwira Polisi Level 2 di usia muda, sekaligus menjabat sebagai Wakil Kapten di Detasemen Penyidikan Pidana Kota, selain karena keseriusan dan kerja kerasnya, prestasi terbesar dalam karier kepolisiannya sebenarnya terkait dengan tokoh utama kita, Jiaming —— Sebelum kejadian di Kapal Pesiar Star Dream, lima orang termasuk Tank datang ke Jianghai. Setelah kasus terbongkar, dua orang dihabisi oleh Kaoru secara tak terduga. Kemudian jasa atas dua mayat ini akhirnya jatuh ke tim Mu Qingqing secara tak terduga. Awalnya kasus tidak terpecahkan, kemudian malah memicu masalah besar. Seharusnya ini dianggap sebagai kesalahan, tapi entah bagaimana pertimbangan atasan, akhirnya Mu Qingqing dan beberapa rekannya justru mendapat promosi sebagai konsekuensi akhir.
“Katanya terkait beberapa orang yang baru saja ditangkap. Satu adalah anak Lǚ Songwei, satunya lagi orang Vietnam yang katakan jago muay thai. Baru-baru ini di TV ada yang disebut ahli legendaris muay thai Xiliwang, Kak Qing juga tahu kan?” Xiao Zhao yang paling update informasi di tim masuk sambil menjawab pertanyaan Mu Qingqing.
“Xili Wang？Katanya sangat hebat ya.” Mu Qingqing mengangguk, “Lalu kenapa ada begitu banyak preman yang datang? Aku kenal beberapa. Kalkun Api, Kulit Hitam, bukankah mereka bawahan Xiao Meng dari Shazhu Bang? Biasanya cukup patuh, kenapa dua hari ini jadi kacau seperti preman sinting?”
“Di sisi lain perkelahian ada putrinya Liu Lao Da dari Shazhu Bang.”
“Putri Liu Lao Da?” Mu Qingqing tersenyum, “Dia yang kuketahui bernama Liu Huaisha kan? Tahun 95 saat aku baru jadi polisi belum lama, ditempatkan di kantor polisi sisi barat kota. Kasus 131 yang terjadi pada 31 Oktober itu mengguncang seluruh kota, puluhan orang dipenggal lehernya oleh pembunuh dari luar negeri. Saat itu yang terlibat selain putri Liu Lao Da, ada juga gadis kecil Jepang yang sangat cantik, dipukuli sampai seluruh tubuhnya luka-luka, sungguh menyedihkan... Saat itu akulah yang membuat catatan wawancara mereka.”
“Gadis kecil yang sangat cantik?” Xiao Zhao duduk di kursinya, “Barusan aku turun melihat, bersama Liu Huaisha ada dua mahasiswi cantik lagi, total tiga cewek cantik. Tidak sempat tanya apakah ada yang orang Jepang.”
Mu Qingqing mengangguk: “Bagaimanapun, aku juga tahu karakter gadis ini sangat garang, sejak kecil sudah jadi raja cari masalah. Tahun dia lulus SMP, dengar-dengar pernah bawa tongkat bisbol ke kantor untuk memburu guru... Kali ini masalah apa lagi? Cuma perkelahian biasa?”
“Katanya... cuma perkelahian. Tapi di satu sisi ada tiga cewek, di sisi lain ada anak Lü Songwei yang membawa sekitar 7-8 orang termasuk bocah jago muay thai itu. Mustahil tiga cewek yang mulai masalah duluan kan?”
“7-8 anak laki-laki mukulin tiga cewek?” Wajah Mu Qingqing berubah gelap. “Anak-anak orang kaya yang manja ini, sok kaya keluarga, benar-benar berani melakukan apa saja. Beberapa tahun terakhir Liu Lao Da punya backingan pejabat, lihat situasi sekarang, mereka kayaknya nyerempet tembok besi. Tapi... sampai ditangkep semua, parah ya? Nggak ada yang MATI kan?”
Biasanya keluarga mereka punya latar belakang kuat. Kalau cuma aktivitas kecil-kecilan, polisi juga nggak berani ikut campur. Nanti malah bikin kedua pihak benci ke polisi. Kalau sampai dua pihak ditangkep ke kantor polisi, berarti masalahnya sudah agak serius. Tapi saat Mu Qingqing tanya begitu, pihak sana malah menggelengkan kepala.
“Kayaknya nggak parah juga. Katanya belum sempet berantem, bahkan nggak ada yang terluka.”
Begitu kata Xiao Zhao, orang-orang di kantor ada yang tersenyum getir ada yang geleng-geleng kepala: “Lalu siapa yang nangkep mereka semua? Pemula baru lulus ya? Orang ini sudah menghina dua pihak, pasti bakal kena sial.”
“Nggak kenal. Sekelompok orang pakai baju sipil. Tadi aku di aula lihat Wakil Kepala Dinas baru tiba naik mobil, bajunya masih berantakan kayak buru-buru. Kepala Dinas udah datang dari tadi, sekarang lagi menghadapi Lü Songwei dan si jago muay thai. Kayaknya nggak ada tempat buat kita ikut campur.”
"Begitu dia berkata, suasana di kantor langsung hening. Semua orang saling bertukar pandang, seolah mencium aura tak biasa yang menyelimuti. Level orang yang ikut campur dalam hal ini pasti sangat tinggi......"
Saat diskusi internal di kantor polisi tentang hal ini berlangsung, di salah satu ruangan kantor polisi, beberapa orang juga pusing memikirkan masalah yang sama. Dengan didampingi pengacara, Lü Songwei dengan wajah muram mondar-mandir di depan anaknya, berulang kali......
"Sudah lama kukatakan, kau harus lebih sopan. Jangan sampai belajar Kungfu setengah-setengah lalu jadi mudah marah seperti mercon. Kau kira dengan menjadikan Amulei sebagai perisai pembenaran, tapi kau sendiri cuma bidak catur Han Gangcheng mereka. Sekarang bagaimana? Aku sudah telepon Wakil Kepana Dinas Lu. Barusan dia datang dan bilang ini di luar kemampuannya. Sekarang kita bahkan tak tahu siapa yang kau hina. Apalagi......memblokir tiga cewek di gerbang kampus, kau......kau ini mau apa? Kalau hal ini bocor, semua orang pasti berpihak pada mereka!"
Lü Fang wajahnya memerah padam: "Tapi......kami sama sekali tidak memukul orang. Jujur, Amulei yang menantang Tsukike Kaoru. Kami tidak pernah berniat menyentuh Ye Lingjing dan Liu Huaisha......"
“Tsukike Kaoru itu orang Jepang, belum pernah dengar sebelumnya. Ye... apa namanya itu, sebelum datang sempat kuselidiki, sepertinya juga tidak punya latar belakang. Hanya Liu Huaisha, dia adalah putrinya Liu Zheng. Sekarang orang-orang yang mereka panggil sudah memenuhi area luar, tapi seharusnya tidak berani bertindak sembarangan... Apa sebenarnya yang kau lakukan pada mereka!?”
“Aku benar-benar tidak melakukan apa-apa!” Melihat ayahku yang merah padam wajahnya penuh ketidakpercayaan, Lü Fang yang duduk di sana hampir menangis, “Mereka keluar gerbang kampus, si Amulei langsung mendekat. Kedua pihak saling tatap seolah akan bertempur. Tsukike Kaoru menyuruh dua temannya menjauh, Liu Huaisha tidak mau, Ye Lingjing sepertinya ingin menelepon minta bantuan. Kami masih berdiskusi apakah harus menghadangnya atau tidak. Siapa sangka baru saja Amulei dan Tsukike Kaoru bersentuhan sebentar, tiba-tiba delapan sembilan orang muncul dari samping, semua mengeluarkan pistol dan kartu polisi lalu membawa kami ke sini...”
Lü Fang merenung dengan wajah kesal: “Oh, mereka tidak terluka, malah Amulei yang dipukuli. Saat orang-orang itu muncul, dia langsung bersiap menyerang. Di antara beberapa orang itu ada yang bertubuh pendek, kedua tangannya menggantung perban, bahkan memegang senjata pun kelihatan tidak mahir. Amulei menyerang orang itu, tubuhnya masih melayang di udara, tiba-tiba ditubruk dari samping hingga terlempar. Pernah kulihat Guru Chen mendemonstrasikan ini, sepertinya teknik 'Tie Shan Kao' dari Baji Quan, tapi belum pernah kulihat orang yang tangannya patah masih bisa menggunakannya seperti itu...”
“Orang itu juga kulihat, sedang di luar.” Lü Songwei mengangguk, “Tapi Kepala Dinas Jiang sepertinya juga tak bisa berbuat banyak terhadap mereka. Menurutmu, mereka sengaja menunggu kalian melakukan kesalahan. Sebelumnya, kau hanya mencari masalah dengan bocah dari keluarga Huang itu...”
“Gu Jiaming tidak punya posisi penting di keluarga Huang. Lagipula Huang Bingxiang sudah turun jabatan...”
“Siapa tahu koneksi apa lagi yang dia punya.” Setelah menenangkan diri, Lü Songwei merapikan bajunya, “Kedepannya jangan lakukan hal seperti ini lagi. Aku akan menemui Kepala Dinas Jiang lagi. Master Xiliwang sudah mengajukan protes melalui kedutaan Thailand. Sebentar lagi seharusnya kalian bisa dibebaskan...”
Hubungan Keluarga Lü dengan Kepala Dinas Polisi Jiang Fugui tidak terlalu baik, tapi dengan Wakil Kepala Dinas Lu Jianhua mereka adalah sekutu dekat. Saat Lu Jianhua belum datang tadi, Kepala Jiang terus bersikap basa-basi sambil menyindir ada tekanan dari atasan. Ketika Lu Jianhua akhirnya datang, mereka mengunci diri di kantor Kepala Jiang untuk berdiskuali. Jiang Fugui baru menghela nafas dan mengungkapkan kebenaran.
“Bukan aku tidak mau membantumu, Lao Lü—kamu teman Lao Lu, aku panggil kamu Lao Lü saja, kamu pengusaha terkenal di Jianghai, kontribusi kamu untuk Kota Jianghai selama ini tidak sedikit, aku juga tidak akan menyembunyikan apapun. Pertama, 7-8 teman sekelas laki-laki melawan tiga perempuan memang tidak bisa dibenarkan; Kedua, Master Xiliwang sudah bicara melalui Konsulat Thailand kan? Aku tahu ini, tapi pihak Jepang juga sudah bicara. Protes langsung dari Konglomerat Kawasaki peringkat ketiga Jepang sampai ke departemen pemerintah, lalu nota diplomatik dari konsulat juga datang... Lao Lü, hal kecil seperti pertengkaran anak-anak ini, apa semuanya orang harus sampai membuat Kementerian Luar Negeri kocar-kacir? Lagipula ini memang dimulai oleh anak laki-lakimu...”
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh Enam Tamparan Menggelegar
Mendengar konglomerat Kawasaki dan nota diplomatik Jepang, Lü Songwei tiba-tiba terlihat ciut: "Tidak mungkin, gadis Jepang bernama Tsukike Kaoru itu... ada hubungan dengan Konglomerat Kawasaki?"
Jiang Fugui mengangguk: "Katanya tunangan pewaris urutan kedua Konglomerat Kawasaki saat ini. Suaminya bernama... Oh, Tenku Masaoka, nama Jepang memang aneh... Doktor ganda di bidang genetika dan rekayasa bioteknologi, punya pengaruh di kalangan akademisi internasional. Lao Lü, kasus ini benar-benar rumit. Lihatlah luar jendela, urusan Liu Zheng saja masih termasuk kecil. Kalau di hari biasa, anak-anak anjing berani mengepung kantor polisi pasti sudah kujebak semua!"
Di satu sisi ada hubungan dengan Thailand, jenderal Vietnam, di sisi lain adalah negara kepulauan Jepang. Namun jika dibandingkan, harus diakui bahwa jika kedua belah pihak berselisih untuk hal yang sama, dalam situasi saat ini Tiongkok memang akan lebih mempertimbangkan Jepang yang memiliki kekuatan ekonomi luar biasa. Ditambah lagi, kekuatan Keluarga Lü memang jauh tertinggal dibandingkan konglomerat Kawasaki, membuat Lü Songwei sesaat terbata-bata kehilangan kata-kata. Di seberang, Jiang Fugui menyalakan sebatang rokok.
"Selain itu, sebenarnya bukan aku yang mengambil keputusan dalam hal ini. Tadi kau sudah melihat orang-orang di luar. Sampai tingkat ini aku tak akan menyembunyikanmu - mereka semua adalah agen Biro Keamanan Nasional. Meski biasanya agen tidak menangani urusan seperti ini, tapi Pemimpin Fang Zhitian akan segera datang ke Jianghai. Mereka datang lebih dulu." Meski Fang Zhitian dikenal publik sebagai pedagang sukses yang tampak menjauh dari politik, hampir tidak terlihat dalam keputusan politik apa pun yang kasat mata, namun sebenarnya sebagian besar perusahaan persenjataan dalam negeri berada di bawah yurisdiksi langsung atau tidak langsungnya. Dengan pangkat mayor jenderal, dia adalah figur legendaris setengah pedagang setengah militer. Lü Songwei tentu tahu alasan sebenarnya ini. Saat hal ini disebutkan, ketiga orang di kamar itu pun menunjukkan sikap penuh hormat.
"Sebenarnya kita harus berterima kasih pada mereka. Jika benar-benar terjadi perkelahian sampai ada yang terluka, Kementerian Luar Negeri pasti akan terus-menerus ribut, dan ini jadi skandal internasional lagi... Sekarang Kapten Cui Guohua yang menangani hal ini. Tujuan mereka pastinya bukan ingin memperbesar masalah. Keputusan untuk tidak membebaskan orang juga dari Kapten Cui. Meski aku belum tahu apa tujuan menahan kedua pihak di sini, lebih baik kau meminta maaf dan menjajaki pendapat. Ikuti saja instruksi Kapten Cui, pasti ada manfaatnya. Aku juga akan membantu membicarakan hal baik tentang kalian."
Meski Kepala Jiang menyebutnya "menjajaki pendapat", pada dasarnya menyuruh pihak ini untuk aktif meminta maaf. Lu Songwei sangat paham. Meski punya pengaruh di Kota Jianghai, dia tidak seperti keluarga Huang yang punya kerabat mantan Sekretaris Komite Provinsi, atau keluarga Dongfang yang punya banyak koneksi tingkat tinggi. Sekarang dia mulai merasa ketakutan pasca-trauma. Ahli muay thai tidak masalah, tapi zaibatsu Jepang atau jenderal Vietnam yang terkenal dengan perdagangan narkoba dan bisnis ilegal - menghina salah satunya pun tidak ada untungnya. Setelah berterima kasih pada Jiang Fugui, dia segera pergi mencari agen-agen Biro Keamanan Nasional itu.
Turun melalui gedung, sekelompok agen yang dipimpin Kapten Cui Guohua yang ditunjuk Kepala Jiang sedang tertawa di ruang pertemuan samping aula. Meski mengaku dari Keamanan Nasional, anggota termuda yang terlihat seperti gadis itu mungkin belum genap 20 tahun. Namun perhatiannya langsung tertarik pada seorang wanita berjas yang pertama kali dia lihat.
Wanita ini dikenalnya, bernama Chen Yali, sekitar tiga puluh tahun. Baru-baru ini tiba-tiba menjadi asisten walikota Kota Jianghai. Meski gelarnya asisten, kewenangannya sangat besar. Banyak urusan harus melalui anggukan persetujuannya baru bisa lolos. Posisi ini membuat banyak orang mata merah, menduga dia pasti punya koneksi kuat di atas. Banyak yang mencoba menyuap atau main pintu belakang untuk mengurus sesuatu, tapi dia dengan mahir hanya meloloskan sebagian kecil. Yang benar-benar bermasalah, basically ditahan. Sikap tegas ini mungkin terkait jabatan barunya, tapi bagaimanapun, belakangan ini dia memang salah satu target merah di Jianghai.
Kini, hubungan sang target merah dengan atasan mulai terkuak. Mengenakan setelan wanita formal, perempuan dengan wajah biasa namun beraura ramah ini duduk di antara sekelompok agen rahasia. Sambil berbicara, senyumnya bersinar cerah. Di sampingnya, seorang pria paruh baya merangkul bahunya dengan mesra. Baru setelah kabar pernikahan Asisten Walikota Chen Yali beredar, Lü Songwei akhirnya tahu nama pria itu adalah Qiao Guorui.
“Semua orang bisa ngobrol ngalor-ngidul tanpa batas saat berbagi manfaat atau meminta bantuan, tapi kalau harus mengalah dan meminta maaf, lebih baik langsung ke inti permasalahan. Lü Songwei bisa mencapai posisinya sekarang karena prinsipnya: mengakui kesalahan jika salah, berdiri tegap saat dipukul. Tapi penilaian benar-salah ini bukan berasal dari moralitas, melainkan karena pihak lawan lebih kuat, otomatis pihaknya dianggap salah. Setelah mengumpulkan emosi sejenak, dia berjalan mendekati pria paruh baya bernama Cui Guohua.”
“Dalam situasi seperti ini, kedua belah pihak tampaknya tidak perlu bertele-tele. Begitu Lü Songwei mendekat, Cui Guohua langsung tersenyum dan membawanya ke sisi untuk berbincang. Namun obrolan belum beberapa kalimat, bel tanda berkumpul dari dalam kantor polisi sudah berbunyi. Para polisi berhamburan keluar dari gedung menciptakan kekacauan, sementara Kepala Jiang yang turun dari koridor sudah berpenampilan siap tempur.”
“Buru keluar dan tangkap rombongan anak anjing yang berulah itu!”
“Di Tiongkok, mereka yang terlibat dalam geng kriminal dan berani menantang pemerintah tidak akan berakhir baik. Sekarang saatnya bertindak terhadap para preman pengacau di luar.”
Tindakan bodoh Shazhu Bang kali ini sebagian juga ditujukan pada anaknya sendiri. Tentang mereka yang akan ditangkap, Lü Songwei tentu merasa senang di hati, lalu kembali berbicara dengan Cui Guohua tentang hal ini. Namun, dalam percakapan singkat ini, ia juga mulai menyadari bahwa mungkin orang-orang di depannya ini tidak benar-benar punya wewenang penuh atas kasus ini. Cui Guohua menghibur dengan kata-kata agar ia tidak perlu khawatir, namun tidak memberikan kepastian apapun untuk membebaskan mereka. Masuk akal juga, institusi seperti Keamanan Nasional kebanyakan hanya menjalankan perintah, sementara pengambil keputusan sebenarnya di belakang mereka... Fang Zhitian? Tapi jika benar orang dengan tingkat seperti itu, mana mungkin mereka benar-benar mempersulit beberapa anak kecil? Baik terhadap Vietnam maupun Jepang, pihak Tiongkok mustahil sengaja menunjukkan sikap merendahkan diri seperti ini...
Memikirkan hal ini, pikirannya mulai kacau. Di saat yang sama, terlihat anggota Keamanan Nasional dengan perban di kedua tangan masuk dari gerbang. Ia membisikkan sesuatu di telinga Cui Guohura, kira-kira mengabarkan bahwa si fulan telah tiba. Cui Guohua mengangguk: "Maaf, Tuan Lü, bisakah Anda menunggu di sini sebentar? Saya masih ada urusan, nanti akan kembali menemui Anda."
"Dari sikapnya, sepertinya ada tokoh penting yang datang lagi. Setelah Cui Guohua pergi, Lü Songwei mengintip dari samping pintu. Puluhan polisi sedang keluar dari aula, terlihat ramai dan kacau. Tapi ada juga yang masuk. Dari sudut pandang Lü Songwei saat ini, hanya terlihat samar-samar seorang pemuda berbaju seragam mahasiswa masuk ke aula dari gerbang, memandang sekitar dengan bingung: 'Saya ke sini untuk menjemput orang, harus cari siapa ya?' Beberapa saat kemudian, ia menghilang dari pandangannya."
"Lü Songwei mengamati lama, tapi sosok yang seharusnya punya identitas tertentu dalam bayangannya tak pernah muncul..."
"'...Setelah makan malam, Xiao Lu telepon kami, cerita soal urusan Amulei itu. Kami perkirakan bakal ada masalah, jadi kami ke sini buat makan malam. Ternyata benar-benar ketemu... Aduh, adik Jiaming, aku heran nih. Pacarmu Lingjing itu kenapa marah sama aku? Niatku siang tadi kan baik...'"
"Berjalan di lorong dalam kantor polisi, Cui Guohua bertanya sambil tersenyum tentang kejadian siang, terlihat agak kesal. Jiaming yang membawa kantong plastik dengan wajah polos berjalan dua langkah di belakangnya, matanya menyapu sekeliling."
"'Aku mana tahu? Aku cuma pernah sebut namamu ke dia. Sudah jelas kan, sekarang reputasi pegawai negeri buruk. Sikapnya yang membenci ketidakadilan itu kan bisa dibilang kebajikan. Paman Cui, boleh aku bawa mereka pergi sekarang?'"
“Orang-orangmu bisa kau bawa pergi kapan saja. Sisanya, karena tidak terjadi masalah apa-apa, kami rasa tidak perlu menyulitkan mereka. Lagipula sebagian adalah teman sekelasmu. Identitas Amulei lebih rumit. Karena dia sudah datang, atasan tetap perlu memberikan perlakuan khusus.”
Meski terlihat ditujukan pada Jiaming, ucapan ini sebenarnya menyasar perempuan kasar Jian Suyan. Bukan berarti [] takut pada Jian Suyan - organisasi besar pada dasarnya tidak perlu takut pada individu. Pertama, beberapa anggota tim anti-teror yang pernah kontak dengannya justru mengaguminya. Kedua, meski sifatnya buruk, dia pernah menghentikan peristiwa teror Kapal Star Dream dan menyelamatkan Fang Zhitian dkk. Selama "kekerasan" Jian Suyan masih bisa ditoleransi tanpa merusak hubungan, tentu kami akan mengalah.
Jiaming mengangkat bahu acuh: "Aku tak berkeberatan. Tapi Kakak Suyan pernah mengajariku: selama melakukan tindakan MEMBUNUH, baik gagal atau berhasil, itu kejahatan sama. Hukuman harus diberikan untuk mencegah terulangnya hal ini. Meski kini dia tidak di dalam negeri, menurutmu bagaimana reaksinya?"
"Hehe, kami tentu paham sifat Nona Jian. Tapi dalam kasus ini, bahkan jika Amulei bertindak, belum tentu menyasar dua cewek Ye Lingjing dan Liu Huaisha. Lagipula dalam peristiwa ini, dialah satu-satunya yang dipukul. Lihat saja..."
Dalam pembicaraan, terlihat di kamar interogasi yang pintunya terbuka di satu sisi koridor, bocah Vietnam itu sedang duduk menundukkan kepala. Di hadapannya berdiri seorang pria Thailand bertubuh tinggi dan kokoh, penampilannya terlihat baru berusia 20-30 tahun, diduga merupakan ahli legendaris muay thai Hiriyawan. Harus diakui, dibandingkan muridnya, sang Master ini penampilannya jauh lebih menarik. Sambil membawa aura mengerikan, juga memiliki daya tarik maskulin yang tampan dan tegas. Di dalam ruangan juga ada seorang polisi yang diam-diam berdiri menyaksikan. Perkembangan situasi sampai sekarang, catatan wawancara dan sejenisnya sudah selesai dibuat. Mengingat statusnya sebagai teman internasional terhormat, pengawasannya tidak terlalu ketat - karena bahkan Cui Guohua dan yang lain juga sudah kira-kira memutuskan untuk membebaskannya, hanya menunggu Jiaming datang untuk memberikan salam.
Melihat ada orang lewat di luar pintu, bocah Vietnam yang duduk lesu itu mengangkat kepalanya, jelas sudah mengenali Jiaming.
"……Amrei ini sifatnya keras kepala, pantas menjadi anak Jenderal Kazong dari Vietnam. Hehe, begitu melihat senjata diarahkan, pertama kali dipikirkannya bukan menyerah tapi melawan. Ngomong-ngomong, di pihak kita ada Xiao Wu yang kemarin di kapal bertarung dengan Kakak Suyanmu, tangannya patah ditendang sampai sekarang belum sembuh total, masih dibalut perban memang terlihat agak lemah. Dia langsung menyerang ingin merebut senjata, tapi ditubruk Xiao Wu dengan teknik Tie Shan Kao sampai terbang beberapa meter, uh…"
Cui Guohua tersenyum menceritakan situasi saat itu, pandangannya juga menyatu dengan Jiaming menatap kamar interogasi. Aumulei saat itu sedang menatap Jiaming dengan intens, memancarkan aura yang tidak nyaman. Melihat tatapan ini, Cui Guohua sedikit mengerutkan kening.
Empat pasang mata bersilangan di dalam dan luar kamar. Tiba-tiba, Cui Guohua merasakan udara seakan menegang, tatapan bocah Vietnam itu memancarkan aura kegelapan yang intens.
"Splash——" Suara benturan terdengar ketika kursi di bawah pemuda itu terbang ke udara.
Awalnya ini hanya sekadar formalitas yang akan segera berakhir, mengingat mereka semua belum dewasa, tentu tidak akan dipasangi borgol. Namun tepat di sekejap itu, kursi besi Braak! menghantam dinding kamar interogasi. Polisi yang berdiri di samping bahkan tidak sempat melakukan gerakan menghindar. Pemuda Vietnam itu terkapar gesit bagai macan tutul. Ahli muay thai legendaris Siriwang juga tak kalah cepat, tangannya meraih ke arah punggung murid sambil berteriak kencang memanggil "Aumulei!", suaranya menggema bak guruh di seluruh kamar dan koridor.
Rupanya Siriwang tidak menyangka muridnya akan memancarkan aura kegelapan sedahsyat ini. Gelombang suara teriakannya menyebar di sepanjang koridor, tapi tangan yang menggapai sudah terlambat selangkah. Aumulei melesat keluar kamar, menghujamkan pukulan lurus ke arah Jiaming. Cui Guohua hendak menghadang, tapi Siriwang yang juga sudah mengejar justru menghalangi posisinya di belakang.
"Waspada!"
Dalam teriakan Cui Guohua, Jiaming yang membawa kantong plastik berisi kue lapis seribu lapis, buru-buru menghindar ke belakang dengan langkah tergesa-gesa.
Seketika, dua pukulan lurus yang ganas melesat seperti angin, disusul sapuan rendah dahsyat tanpa jeda, lompatan tendangan lutut yang disambung sikutan, begitu mendarat, kaki kiri diayunkan seperti cambuk baja ke arah kepala Jiaming.
Terlihat jelas Xili Wang telah mencurahkan perhatian besar pada muridnya ini. Meski dalam insiden sebelumnya dia belum sempat menyerang sebelum terlempar oleh Xiao Wu - mungkin karena meremehkan lawan - kini dengan amarah, dalam hitungan detik rangkaian jurus muay thai yang memadukan inti kekerasan pukulan dan tendangan ini mengalir sempurna. Cui Guohua yang menyaksikan merasa ngeri dalam hati: meski bisa mengalahkan bocah ini dengan mudah, andai lawannya langsung mengeluarkan jurus seganas ini sejak awal, dirinya pun harus menghindari serangan maut untuk sementara.
Pengaruh menakutkan yang dipancarkannya membuat Jiaming terlihat kikuk dalam menghindar. Membalikkan badan, mundur, menundukkan kepala dalam kepanikan - setiap gerakan nyaris bersentuhan dengan hembusan angin keras dari tinju dan tendangan. Meski Amrei masih pemuda enam belas tujuh belas tahun, namun melalui pelatihan ketat, kekuatan tinjunya benar-benar gagah. Jika manusia biasa terkena satu pukulan, ringan bisa urat putus tulang patah, berat mungkin bisa langsung mati. Di sisi Cui Guohua, hampir-hampir menahan napas menyaksikannya menghindari serangan bertubi Amrei. Tendangan putar balik itu nyaris mengenai dahi Jiaming, Braak!! Jendela kantor polisi di sebelah seketika meledak dahsyat, serpihan kaca beterbangan memenuhi langit, rangka jendela besi terinjak hingga cekung, tepiannya terdistorsi, beberapa sekrup besar yang dilas erat terpental keluar dari dinding beton.
Dengan kemampuan merespon Cui Guohua, hampir dalam sekejap mata dia sudah bersiap menarik senjata. Namun di sampingnya berdiri seorang ahli legendaris muay thai. Di negara seperti Thailand atau Vietnam, untuk mencapai posisi setinggi itu, kemampuan personal Hiriyawan jelas melebihi Cui Guohua. Dalam dorongan pura-pura, gerakan Cui Guohua berhasil dihentikan selama beberapa detik. Hiriyawan sendiri memiliki sifat keras kepala pelarian. Kini karena tak bisa menghentikan muridnya, jelas dia ingin memastikan fakta pembunuhan itu terjadi. Lagipula ayah Amrei adalah seorang jenderal, gadis Jepang itu punya latar belakang kuat. Latar belakang orang lain mungkin tidak seberapa. Meskipun terjadi pembunuhan atau sampai cacat, setelahnya pasti masih ada ruang untuk transisi halus.
Tendangan cambuk saat berbalik berhasil mengenai jendela, sekejap mata, Jiaming yang membawa kue lapis seribu lapis telah memanfaatkan kesempatan untuk berbalik dan kabur. Amrei berteriak keras, melesat dua langkah, tubuhnya melayang, menendang keras dinding samping, melayang di udara, lutut kaki kanannya menghantam profil wajah Jiaming dengan keras.
Jiaming mempertahankan momentum kabur, merasakan bahaya, namun wajahnya sudah berbalik. Di pihak lain, Cui Guohua dengan kilau jahat di mata akhirnya mengeluarkan pistol, tangan belum sempat terangkat, ketika suara "Prak" yang nyaring dan merdu bergema di koridor. Tendangan lutut yang tampak ganas ini masih belum mengenai Jiaming, justru saat berbalik Jiaming mengayunkan tangannya, sambil menghindar ia memberikan tamparan keras ke Amrei.
Harus diakui, tamparan ini benar-benar di luar dugaan semua orang. Hiriyawan diam-diam memegang pergelangan tangan Cui Guohua, mencegahnya mengangkat laras senjata. Dalam jarak pandang mereka, Jiaming masih mundur beberapa langkah dengan kikuk, seolah kesakitan sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang baru saja menampar wajah lawan. Amrei yang baru saja ditampar kini berdiri di tempat, berpose ala muay thai. Dia melangkah dua kali, tiba-tiba berhenti, memiringkan kepalanya, lalu menggelengkan kepala dengan bingung beberapa kali. Kesannya seolah yang dia terima bukan tamparan, melainkan lemparan lembing besi...
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh Tujuh Tamparan dengan Konsekuensi Serius
Malam telah larut. Di koridor kantor polisi yang diterangi lampu terang namun terasa kaku, enam atau tujuh polisi keluar dari ruang kerja masing-masing, memandang kekacauan di koridor. Seorang staf administrasi kecil yang baru lulus dari kampus dan bergabung dengan tim belum lama tertidur siang di kantor. Konsekuensinya, seluruh kaca jendela tiba-tiba hancur berterbangan. Gadis muda yang terkejut ini kini berdiri kaku di pintu, matanya bolak-balik memandang jendela yang terdistorsi dan dua pemuda yang berhadapan di depannya, wajahnya membeku dalam ekspresi terpana.
Ini pangeran muay thai yang baru ditangkap malam ini. Mungkin Mu Qingqing tidak begitu paham situasi, tapi para polisi di beberapa kamar bawah sudah mencari tahu semuanya. Xiliwang dan Cui Guohua saling dorong-dorong, tapi orang luar tidak bisa melihat banyak teknik dalam waktu singkat. Selama beberapa saat, semua orang bingung harus berbuat apa, hanya memandang dengan penuh tanda tanya. Dalam beberapa detik singkat, Xiliwang mulai merasa ada yang tidak beres. Menurut ajarannya, sekali serangan dilancarkan, harus seperti badai yang tidak memberi kesempatan bernapas pada lawan. Tapi sejak tamparan tadi, Amulei hanya berdiri dalam posisi bertahan - entah terpaku oleh penghinaan atau jadi bodoh, bahkan tubuhnya mulai gemetar ringan.
Seberapa kuat sih sebuah tamparan? Suara tamparan tadi memang keras, tapi sebenarnya tamparan biasa saja, lebih bernuansa penghinaan daripada kerusakan nyata. Meski Xiliwang adalah Master muay thai, berapa lama dia bisa menghentikan seorang agen rahasia? Setelah menggerutu beberapa detik, tiba-tiba terdengar teriakan Amulei yang kembali menerjang ke arah pemuda itu sambil mengayunkan tinju!
Bersamaan, Cui Guohua menggunakan kedua tangannya untuk menghancurkan tekanan Xiliwang, mengangkat laras senjatanya dengan aura mengintimidasi: "Jangan bergerak!" Tangan Xiliwang kembali menekan, mata Cui Guohua berkilat tajam, jarinya sudah siap menarik pelatuk.
Detik berikutnya, senjata itu tidak meletus.
Gerakan keduanya kini semakin kasar. Dua polisi di samping langsung menyadari situasi dan paham bahwa pria ini berusaha mencegah dua orang asing tersebut melakukan kekerasan di kantor polisi. Tangan mereka langsung meraih senjata untuk memberikan dukungan. Namun di detik itu, tak seorang pun sempat menarik pelatuk. Cui Guohua, Hiliwang, bahkan para polisi di sekitar—semua terpaku pada gerakan pemuda Vietnam di depan mereka.
Bocah Muay Thai yang baru saja menghancurkan jeruji besi dengan tendangan cambuk dahsyatnya, kini melangkah dua kali. Tinjunya belum sepenuhnya terayun, tiba-tiba kaki kirinya tertekuk secara aneh membuat seluruh tubuhnya kehilangan keseimbangan. Terhuyung-huyung dua langkah ke kiri, baru bisa meluruskan kaki kirinya dengan susah payah. Tubuhnya kembali mengambil sikap Muay Thai yang sudah tidak sempurna. Amurei menggelengkan kepala pendek-pendek, napasnya mulai tersengal-sengal. Ia menarik kembali tangan kirinya, mengusap keringat di wajah. Saat usapan ketiga, tanpa sadar jemarinya meraba-raba area sekitar telinga. Sekali, dua kali... Di bawah lampu terang koridor, jejak darah mengalir dari telinga kiri menyapu pipinya seiring usapan itu, terlihat semakin mengenaskan...
"Saat itu, polisi yang berdiri tak jauh di depannya bisa melihat dengan lebih jelas. Darah mulai mengalir dari telinga pemuda itu, disusul mimisan yang deras seperti tanggul jebol. Mata kirinya memerah akibat pembuluh darah yang pecah, separuh pipinya ternoda warna merah darah akibat usapan bawah sadarnya. Setelah beberapa saat, ia perlahan mengangkat tangan, menatap takjub pada darah yang menggenangi tangannya. Bibirnya bergumam beberapa kata dalam bahasa Vietnam, lalu pandangannya beralih ke sosok pemuda di hadapannya."
"Emm, itu... jangan kau tatap aku seperti itu... Ada apa denganmu... Kau sakit ya... Apa sebelumnya kau pernah cedera internal? Hei... kau-kau... kenapa kau memandangiku begitu? Aku cuma memukulmu pelan-pelan..."
"Di depannya, Jiaming tampak juga terkejut oleh pemandangan aneh ini. Sambil terbata-bata berusaha membela diri, pipinya berkedut tak wajar, sudut bibirnya berdenyut-denyut. Ia mundur dua langkah menjauh ke jarak aman, kedua tangan yang masih memegang kantong plastik berisi kue lapis seribu itu dikibaskannya tak berdosa di udara."
Menyaksikan kejadian seperti ini, Xiliwang dan Cui Guohua telah menghentikan permainan Tai Chi mereka, berjalan mendekat. Xiliwang membimbing muridnya duduk di tepi dinding, memeriksa pipinya yang berlumuran darah. Keduanya berbicara dalam bahasa Thailand, sesekali menoleh melihat Jiaming yang berdiri tak bersalah di samping. Cui Guohua memegang pistol sambil memandang Amulei di lantai lalu ke Jiaming, mengangkat tangan dan bahu bertanya diam-diam. Jiaming menunjuk remaja di lantai, menepuk pipinya sendiri, lalu membuka tangan lebar: "Aku cuma pukul pelan, siapa tahu dia segitu rapuh..."
"Ya ampun, panggil dokter, panggil dokter..."
Satu tamparan bisa melukai manusia sedemikian parah, hal ini benar-benar sulit dipercaya. Cui Guohua menggelengkan kepala, menyuruh polisi di belakangnya segera mencari dokter. Saat masih merenungkan penanganan pasca, bayangan melesat bagai petir - Xiliwang menerjang Jiaming. Secara reflek, Cui Guohua mengangkat tangan dan menarik pelatuk.
"Hentikan!"
"Byur——"
Peluru nyaris menyambar tubuh Xiliwang. Keramik dinding pecah berhamburan. Tubuh Jiaming terlempar ke udara akibat tendangan kaki berputar, menghantam dinding ujung koridor beberapa meter jauhnya, lalu meluncur lemas ke tanah.
"Tadi sudah kusuruh berhenti, Aaaaa——"
Cui Guohua berteriak kencang, menekan laras senjata langsung ke kepala Hiriyawan. Hiriyawan yang sudah mencapai tujuannya kali ini tidak berani lagi melawan agen rahasia yang benar-benar berani menembak, hanya menoleh dan memandangnya dengan dingin. Sambil mengawasi Hiriyawan di sini, Cui Guohua berteriak ke ujung koridor: "Hei, kau baik-baik saja? Bagaimana aku bisa bertanggung jawab pada kakakmu kalau kau MATI!"
"Tentu saja... baik-baik..." Mengusap-usap tangan dan dadanya, Jiaming berpegangan pada dinding lalu perlahan berdiri. Setelah beristirahat sebentar, barulah ia maju mengambil kantong kue lapis seribu lapis yang terjatuh, "Untung kemampuan kabur dan tahan pukulanku cukup terlatih. Ahli legendaris muay thai macam apa, aku muntah..."
Dengan ekspresi merendahkan, Jiaming meludahkan sedikit darah ke tanah, lalu mengusap-usap bibirnya: "Kudengar muay thai adalah bela diri yang bisa menendang hingga MATI dalam sekali serangan. Tapi sekarang bahkan aku bisa menghadangnya. Kau belum makan hari ini? Ada kue lapis seribu lapis di sini, mau tidak? Kubeli tadi saat melewati jalan ini."
Berdiri di hadapan ahli legendaris muay thai yang sedang ditodong pistol di dahinya, Jiaming tanpa ekspresi mengangkat kantong plastik di tangannya. Keduanya saling bertatapan selama beberapa detik. Jiaming kembali meludahkan air liur bercampur darah ke tanah beberapa kali, lalu menunjukan jari tengah sebelum berbalik pergi: "Bangsat, bangsat, bangsat... Kalau nggak mau ya udah, aku sendiri yang ke ruang tahanan. Urusan di sini silakan diselidiki pelan-pelan, tapi ini bukan urusanku. Aku cuma menamparnya sekali, dia bisa sampai begini pasti sudah ada cedera internal atau masalah lain sebelumnya... Katanya si Kakak Xiao Wu memberinya serangan 'Tie Shan Kao'. Wuih... Wuih... Luar biasa betul..."
Tak lama kemudian, di sebuah kamar di lantai satu, Jiaming mendorong pintu dan melihat Kaoru, Lingjing, serta Shasha yang sedang duduk di dalam. Di sudut kamar, TV menyiarkan drama sabun tengah malam. Di depan mereka tergeletak jus dan kuaci.
"Wah, kukira kalian ditangkap dan disiksa, ternyata malah liburan. Kukira aku bisa datang lebih telat." Jiaming tersenyum sambil menutup pintu. Kaoru berdiri dan membungkuk dengan tangan terlipat, sementara Shasha yang kurang sopan langsung berlari memukulnya.
"Kau ini! Sekarang kita boleh pulang belum?"
"Itu dibawakan si Cui Guohua. Dia maksa banget, TV juga dia suruh anak buahnya yang mengangkat." Lingjing tertawa di samping, "Tapi kami tidak menyesapnya sama sekali."
"Hehe, nggak perlu sampai segitunya mengawasi mereka." Jiaming tersenyum mengangkat tasnya, "Kita mungkin belum bisa pergi dulu. Sudah makan malam?"
“Belum.” Gesekan tersenyum menerima kantong makanan itu, pertama-tama mengambil sepotong dan melemparkannya ke mulut, “Hmm, ngomong-ngomong, ada sesuatu terjadi di luar? Kelihatannya kacau, tadi kami seperti mendengar suara tembakan... Tapi Kaoru bilang pasti petasan...” Mereka sebenarnya juga menunggu untuk keluar, tapi sekarang Jiaming datang, mereka pun merasa tenang dan tidak berniat menanyai alasan mengapa belum bisa pergi sementara.
Jiaming bertukar pandang dengan Tsukike Kaoru yang duduk tenang di samping, lalu tersenyum mengibaskan tangan: “Aku juga dengar, mungkin suara petasan. Tapi kekacauan itu urusan Kakak Xiao Meng dan kawan-kawannya, nanti akan kuceritakan. Ayo, makan dulu, minum minuman mereka juga tidak apa-apa, tenang saja... Waktu lewat tadi kulihat toko di persimpangan masih buka, rasa pisang yang kalian suka, Kaoru, kau juga makanlah.”
“Baik.”
Gadis Jepang yang pendiam itu mengangguk, juga mengambil sepotong. Drama sabun di TV tetap menayangkan alur cerita klise perpisahan dan kematian. Gesekan menonton dengan antusias, berbeda dengan Lingjing yang tidak sembarangan. Melihat Jiaming duduk di sebelah, ia segera melihat debu dan noda di punggungnya: “Ada apa denganmu? Punggungmu kotor sekali... Kau berkelahi dengan seseorang...”
“Hmm, bocah muay thai yang ditangkap ke kantor polisi itu tidak terima, lihat aku lewat langsung mengejar mau mukul, akhirnya kubalas tamparan ringin...” Jiaming mengangkat bahu dengan santai.
“Satu tamparan?” Lingjing berpikir sejenak, menatap Jiaming dan bertanya pelan.
“Tenang saja.” Jiaming tersenyum, “Dia tidak akan MATI.”
……
Tiga perempuan yang sengaja diatur di sudut tenang ini tidak tahu, karena satu tamparan yang terkesan biasa ini, situasi di kantor polisi sekarang sedang dalam kekacauan. Tentu yang paling kacau adalah tim Keamanan Nasional yang dipimpin Cui Guohua.
Setelah mengangkat Amulei yang terluka ke ambulans, Cui Guohua menemui Xiao Wu: “Hei, tanya sesuatu. Tendangan besi tadi malam, apakah kau terlalu keras mengeluarkan tenaga?”
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh Delapan Kekacauan
“Apa maksudmu? Bukannya orang itu ditampar oleh anak buah Jiaming...” Xiao Wu tertegun mendengar pertanyaan Cui Guohua, “Hehe, tapi sulit juga dipastikan. Kau tahu, tanganku sekarang tidak berani pakai tenaga berlebihan. Dia yang malah berlari menghampiri, jadi agak kesulitan mengendali. Tapi cedera internal baru kambuh sekarang... itu juga... sangat tinggi ya...”
Mengangkat bahu, Cui Guohua sekarang juga pusing: “Bocah ini berani melukai orang di kantor polisi. Menurut logika Jian Suyan, wajar kalau dia MATI dipukuli. Tapi kalau kau tanya Gu Jiaming sekarang, si licik itu pasti akan pura-pura tidak tahu apa-apa. Tapi beberapa hipotesis kita sebelumnya benar. Gu Jiaming diajari Jian Suyan selama ini, mana mungkin tidak punya ilmu bela diri? Ditendang Xiliwang sampai hanya muntah sedikit darah. Dibandingkan Tsukike Kaoru di sampingnya, mungkin level bahayanya tidak kalah...”
"Saat berbicara, Kepala Dinas Jiang bersama beberapa polisi sedang menggiring belasan preman masuk. Melihat ambulans pergi, dia juga bertanya kepada orang-orang di sekitar tentang kondisi luka Amulei. Xiao Wu berpikir sejenak: 'Kondisi konkret bocah itu bagaimana? Tadi kami mendatangi tempat kejadian tapi tidak melihat apa-apa.'"
"'Dokter memeriksa sementara diagnosa gendang telinga kiri pecah, organ telinga dalam juga rusak, selaput mata kemerahan plus gegar otak. Lihat saja sikap sok jago-nya saat berlatih tadi, aku sudah hendak menarik senjata. Siapa sangka tamparan sekali langsung babak belur... Cih, muay thai...'"
"'Jika adik Jiaming benar-benar jenius bela diri dengan guru seperti Jian Suyan, sekalipun Amulei jago muay thai, wajar saja bisa terluka parah begini. Semua lukanya di pipi kiri... Apa adik Jiaming juga menampar sisi kiri?'"
"'Pastinya sisi kiri. Saat itu Amulei melakukan tendangan terbang dengan kecepatan tinggi, meski pusat gravitasi mungkin tidak sempurna, tapi masalahnya...' Cui Guohua menepuk pipi kirinya sendiri, 'Masalahnya... Tidak ada luka jelas di pipi kirinya.'"
"'Pipi kiri... Tidak luka?' Xiao Wu mengulangi penuh keraguan."
"'Benar. Mukanya penuh darah yang diusap pakai tangan sendiri, tapi jelas terlihat tidak ada lecet atau bengkak. Kalau memang ini ulahan adik Jiaming, ini ilmu apa? Ilmu Telapak Tangan Lembut (Huagu Mianzhang)?'"
“Satu tamparan yang membuat orang mengalami gegar otak, hal seperti ini tentu juga bisa dilakukan oleh Xiao Wu dan kawan-kawannya. Meskipun Amulei berlatih muay thai hingga tangan dan kakinya sekeras besi, kepala tetap menjadi salah satu titik vital yang rentan. Namun tamparan yang cukup kuat untuk mengguncang otak dan merusak gendang telinga, pada dasarnya sama seperti memukul dengan palu besi. Saat menghantam wajah, pertama-tama pasti menyebabkan pembengkakan kemerahan, baru kemudian mempertimbangkan kerusakan lainnya. Jika wajah yang dipukul bahkan tidak membengkak, bagaimana kerusakan internal sebesar itu bisa terjadi?
Setelah berdiskusi beberapa saat, mereka saling melotot bingung. Qiao Guorui dan yang lain pun berkerumun, mengemukakan pendapat mereka dengan celoteh singkat, namun kesimpulan yang didapat kebanyakan adalah kebetulan aneh. Xiao Wu menelepon Chen Guxia yang sedang berada di Akademi Hati Kudus, namun pendapat yang didapatkan juga serupa.
"Tidak ada luka di wajah, tapi menyebabkan gegar otak... Secara umum ini harusnya kebetulan. Beberapa hari lalu TV juga melaporkan kasus seorang ayah yang memukul anaknya sampai teksas saat memberi pelajaran, sebagian besar penyebabnya pasti kebetulan seperti ini. Ada atlet yang tubuhnya telah melalui latihan tak terhitung, tapi karena satu lompatan sederhana, sedikit kesalahan menyebabkan kaki patah. Itu terjadi karena gaya eksternal kecil menciptakan efek domino serius dalam tubuh, tepat di saat kritis menghancurkan keseimbangan. Kemungkinannya sangat kecil sampai bisa diabaikan, tapi bukan tidak ada sama sekali."
Chen Guxia disebut sebagai Master Seni Beladiri, bukan karena dia ahli nomor satu dalam [], namun banyak agen rahasia di [] yang dilatih olehnya. Sebagai seorang Guru, pengalamannya luas dan pengetahuan teoritisnya memang lebih unggul dari siapa pun.
"Anak itu Jiaming, basically sejak awal aku sudah memperhatikan kualitas fisiknya yang sangat baik. Kemampuan menghindarnya lebih gesit dari siapa pun. Setiap hari dia berlatih beberapa jurus pukulan yang juga pernah kulihat, benar-benar memahami esensinya. Saat itu dia menyembunyikan kemampuannya, aku kira dia hanya membenci perkelahian sehingga tidak pernah bertindak fisik dengan orang lain. Tapi mengingat dia adalah murid dari Nona Jian yang bisa mengalahkan Amurei, hal ini sangat normal... Tentu saja, jika bicara tentang mengendalikan kecelakaan seperti ini secara sengaja, setidaknya aku tidak bisa. Tapi bagi mereka yang sudah mencapai tingkat penguasaan tubuh tertentu, masih mungkin dilakukan, misalnya Jian Suyan sendiri, atau Da Nei Zhangdu yang sudah dibunuhnya, atau bahkan Guru Huiqing..."
Huiqing, biksu tua yang merawat Dongfang Ruo di Gunung Emei, adalah salah satu pendiri [] dan pernah menjadi Ahli nomor satu sejati dalam organisasi tersebut. Meski Chen Guxia pernah menyaksikan kemampuannya, bagi orang seperti Cui Guohua, nama ini hanya terdengar samar-samar. Tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan takut dan hormat pada wanita ini. Setelah menyampaikan analisis Chen Guxia, seluruh penghuni set rumah tetap terdiam membisu.
Qiao Guorui mengangkat bahu: "Kalau begitu... sesuatu terjadi?"
“Keberuntungan bagus sekali, bisa mengalami kecelakaan dengan probabilitas mendekati nol ini, besok kita patungan beli lotre?”
“Jika benar Gu Jiaming yang sengaja?” Xiao Wu mengangkat tangan bingung, “Menurutku kemungkinan ini lebih besar, kalau tidak berarti aku benar-benar membuatnya cedera internal...”
Fang Guolin di samping membawa laptop: “Apakah Gu Jiaming sama hebatnya dengan Jian Suyan? Apa dia adalah Jian Suyan yang sedang berperan?”
Semua orang tertegun sejenak, Qiao Guorui menggeser kacamatanya sambil menggeleng: “Jian Suyan punya dada montok, kalau berperan pasti Gu Jiaming yang jadi Jian Suyan. Ngomong-ngomong, bukankah di Amerika dulu sudah ada teori ini? Jian Suyan dan Gu Jiaming berdua tidak pernah muncul di tempat yang sama secara bersamaan, teori ini bukan tanpa alasan. Tapi ada satu kelemahan mematikan yang bisa menggulingkan semua kesimpulan: TULIP pertama kali muncul dalam penglihatan kita hampir dua tahun lalu, saat itu meski tidak muncul langsung, Gu Jiaming waktu itu baru 15-16 tahun. Bagaimana mungkin seorang anak seusia itu dalam dua tahun bisa memiliki sifat batin yang matang seperti itu untuk berperan sebagai... wanita seperti itu?”
“Setelah mengucapkan kalimat ini, Fang Guolin juga menyentuh bibirnya, lalu menepuk tangan di atas komputer. Bagi para agen rahasia yang pernah bersentuhan dengan kekuatan supernatural ini, hal-hal yang dianggap mustahil di dunia nyatanya jauh berkurang. Namun sifat batin tetap menjadi penghalang yang tak teratasi dalam masalah ini. Bagaimana mungkin seorang pemuda enam belas tujuh tahun bisa berperan sebagai wanita seperti TULIP - yang kuat, otoriter, bergerak layaknya robot namun tak pernah ceroboh, ahli dalam kalkulasi? Namun seringkali keindahan dan kekuatannya yang bersatu justru menciptakan aura dan daya tarik yang memikat. Di mana pun dia muncul, seolah semua pandangan harus terseret paksa ke arahnya.”
“Bagaimana mungkin wanita dengan karakter sekuat ini bisa disimulasi oleh seorang pemuda yang belum berpengalaman?”
“Adakah kekuatan supernatural di dunia ini yang bisa menyimulasikan kepribadian matang orang lain?”
“Aku belum pernah dengar skizofrenia hebat B seperti ini...”
“Benarkah anak buah Jiaming adalah Evolusioner alami?”
“Selama setahun ini aku menyelidiki data-data evolusioner alami. Makhluk-makhluk itu sama sekali bukan manusia. Salah satu monster dengan kekuatan supernatural yang sudah dilemahkan selama ribuan tahun, masih bisa bereinkarnasi menjadi mesum seperti Permaisuri Dark Celeste. Jika dia benar-benar evolusioner alami, mungkin tanpa perlu bertindak, guru-murid muay thai ini akan langsung ambruk, lalu memungkinkan kita menemukan mereka mati karena wabah pes...”
Sekelompok orang berdiskusi dengan riuh, namun tetap tidak mencapai kesimpulan. Memikirkan protes yang akan datang dari Kedutaan Thailand dan Vietnam, masing-masing merasa sedikit repot. Meskipun urusan berdebat ini bukan tanggung jawab mereka, tekanan dari atasan tak terhindarkan. Untungnya CCTV di kantor polisi merekam semua kejadian: Amurei yang tiba-tiba menyerang di kantor polisi, Sirivong yang menghajar seorang pemuda. Setelah memotong bagian awal dan akhirnya serta mengaburkan penampilan Jiaming, pada akhirnya keadilan dan anggapan umum tetap berada di pihak mereka.
Itu pembelaan diri. Melukai orang di lembaga penegak hukum lalu dibalas, itu nasibmu. Adapun soal satu tamparan sampai menyebabkan gegar otak, tentu itu kecelakaan. Untuk hal ini, kita bisa minta beberapa ahli medis melakukan analisis.
Setelah menyusun strategi awal, baru teringat Lü Songwei masih menunggu di kamar sebelah untuk anaknya dibebaskan. Saat ini penahanan sudah tidak relevan. Di sisi lain, karena sudah memutuskan berpihak pada keadilan, sikap harus tegas. Sirivong yang sebelumnya ditahan, teruskan saja penahanannya. Baru dilepas setelah ada kabar dari Thailand. Meski Jiaming mungkin tidak akan memeriksa lukanya, melukai orang di kantor polisi bukan hal sepele. Selama ada rekaman video, tidak perlu takut.
Sembari berpikir demikian, Cui Guohua sedang berjalan ke aula ketika suara kekacauan samar-samar terdengar lagi. Kepala Biro Jiang juga turun dari lantai atas. Melihat Cui Guohua, wajahnya penuh kesedihan.
“Kapten Cui, situasi semakin rumit.” Dia berkata, “Barusan selesai membuat catatan wawancara dengan para preman itu, rencana awalnya hanya akan menahan mereka 48 jam. Tapi saat melewati kamar tempat Pak Xiliwang sekarang, terjadi konflik antara kedua pihak. Dua orang tulang rusuknya patah...”
“Bagaimana bisa terjadi konflik?”
“Mereka jelas-jelas datang untuk mencari masalah. Mereka meludahi tubuh Pak Xiliwang. Sebelum personel kami sempat menghentikan, dua orang sudah terlempar. Beberapa orang di sekitar harus mengeluarkan senjata baru bisa menghentikan hal ini... Tapi para preman ini memang nekat. Meski dihadapkan senjata, mereka masih menyambar mangkok sup rumput laut jatah makan malam polisi lalu menuangkannya ke kepala petinju muay thai itu... Ambulans sedang menuju ke sini, semoga tidak ada yang MATI. Muay thai bukan main-main...”
Setelah mendengar laporan itu, Cui Guohua terdiam lama. Kemudian mulutnya terkembang, bergumam mengeluarkan sumpah serapah yang jarang diucapkannya: “Oh Shit——”
## Bagian Dua Ratus Tujuh Puluh Sembilan Memohonkan Pengampunan
Di kelas belajar malam, Lingjing mengeluarkan buku catatan baru. Dengan mengandalkan penggaris meteran, dia menggambar garis-garis kotak lalu mulai menulis kolom-kolom pembukuan rinci. Gadis sebangku yang telah menyelesaikan PRnya meregangkan badan, lalu merundukkan tubuh mendekat: “Lagi menulis pembukuan ya?”
“Hmm,” Lingjing tersenyum, “Yang sebelumnya sudah habis.”
“Buku catatan keuangan keluarga, oh.” Teman sebangku menopang dagu, memandang Lingjing dengan kagum, "Sejak kelas 10 sudah melihatmu mengurus ini, dua tahun tak pernah berubah. Kalau tidak tahu kau mahasiswa, orang pasti mengira kau sudah menikah."
Awalnya semua mengira dia mencatat keuangan untuk keluarga, belakangan baru tersiar kabar dia tinggal bersama dua teman di luar kampus, salah satunya bahkan pria - hal yang sangat mencengangkan di masa itu.
Lingjing adalah salah satu perempuan paling menonjol di kelas ini. Meski wajahnya mungkin bukan yang tercantik, kebersamaan lama dengan Jiaming telah membentuk aura unik yang memadukan kenaifan dan kematangan dalam dirinya. Dibandingkan perempuan sebaya yang karakternya masih labil, aura ini tak diragukan lagi membuatnya menjadi pusat perhatian, memikat pandangan banyak baron.
Dalam situasi seperti ini, kehidupan tinggal bersama-nya menjadi topik perbincangan terbanyak. Namun mengenai hal ini, Lingjing selalu terbuka dan berhati bersih. Setelah diketahui bahwa dia bersama Jiaming dan Shizuka adalah teman sejak kecil, orang-orang cenderung memikirkan sisi positifnya. Bagaimanapun, di mata orang lain, Jiaming yang berkarakter mengejek dan penyendiri jelas tak pantas untuk Lingjing. Pada akhirnya, dampak masalah ini justru diminimalkan. Meski berbagai rumor tetap beredar, semuanya tak mampu memberi pengaruh apapun pada Lingjing.
“Heh.” Lingjing tersenyum sambil merapikan rambut di dekat telinganya, “Semua orang tinggal bersama, lebih baik ada rencana. Sebenarnya sejak SMP aku sering membantu ibu mengurus hal ini.”
“Tau kamu berbakti lah.” Teman sebangku tertawa memandangnya dengan penuh harap, “Tidak tahu siapa yang akan menikahimu nanti... Ngomong-ngomong, tinggal bersama baron itu rasanya seperti apa? Menurutku Gu Jiaming itu pemalas banget, PR selalu nyontek, di kelas cuma tidur.”
Mendengar orang membicarakan perbuatan buruk Jiaming, Lingjing juga tak bisa menahan tawa: “Hehe... Tinggal bersama baron, saat-saat genting lebih bisa diandalkan. Pekerjaan berat dia yang kerjakan, kalau ada hal mendadak juga dia yang punya ide. Pembagian tugas lah, kalau tidak buat apa tinggal bersama?” Ia mengetuk-ngetuk buku catatan, melanjutkan menggambar halaman berikutnya.
“Lalu kalian benar-benar bagi tugas gimana? Masak, menyapu, cuci baju bergantian?” Dengan semangat Bagua, teman sebangku semakin mendekat. Lingjing mendorongnya kembali dengan bahu sambil tetap menggambar: “Siapa yang sempat ya kerjakan. Tapi Shasha tidak bisa masak, dia lebih banyak menyapu dan mencuci... Kenapa? Xiao Li, kamu wartawan nakal ya?”
“Penasaran aja.” Teman perempuan bermuka berbintik-bintik itu menyipitkan mata misterius, “Tidak mungkin kalian bergantian cuci baju dalam juga kan?”
“Ini kan juga nggak ada apa-apa……”Menggigit-gigit ujung pulpen, Lingjing menjawab sambil lalu, beberapa saat kemudian baru tersenyum dan melepaskan mereka. "Sudah, nggak mau ngobrol sama kamu lagi. Kalau penasaran banget, cari sendiri pria untuk tinggal bersama. Nanti celana dalam dan pakaian dalam pasti kamu yang cuci. Kecuali kamu sakit, mana ada pria yang mau bantu cuci celana dalammu……”Malas berurusan dengan si mata keranjang ini, Lingjing mulai mencatat belanjaan kemarin: ikan mas seekor, kacang tanah sekaleng……
"Jadi kalau Gu Jiaming mau cuciin pakaian dalammu, pasti dia mesum. Kamu dan Liu Huaisha harus awas, lho……”Si mata keranjang melanjutkan omongannya.
Lingjing tak ambil pusing: "Kami sudah main bersama sejak kecil. Kalau dia mesum atau nggak, aku lebih tau daripada dirinya sendiri." Apalagi kalau mau mesum, Jiaming pasti langsung beraksi pada dia dan Shasha. Shasha paling suka membuat-buat "trik baru" yang tidak karuan, dan selalu berusaha melibatkannya juga……Hal ini tentu tak bisa diungkapkan. Tapi begitu memikirkannya, wajahnya memerah tanpa sadar. Tangannya mencatat pengeluaran kemarin dengan gerakan mekanis.
Melihat kecantikan seperti ini jatuh ke tangan orang seperti Gu Jiaming, Xiao Li merasa tak rela: "Kalau begini terus, aku rasa Gu Jiaming akan jadi suamimu nanti."
“Begitu juga bagus kok.” Si cantik yang tak peduli menjawab sembarangan, membuat gadis Bagua yang mengkhawatirkannya kesal setengah mati. Dalam hati ia mengira Lingjing hanya bercanda: Masih siswa SMA, mana mungkin bicara pernikahan dengan santai seperti itu. Saat hendak berbicara lagi, tiba-tiba terlihat sosok di pintu gerbang menyelinap. Bu Guru Zhang, sang penyihir penjaga disiplin kampus, masuk.
Penampilan yang seharusnya cantik dan matang membeku menjadi wajah seram. Gaun setel profesional, stoking, sepatu hak tinggi, kacamata tanpa bingkai yang kaku ditambah sanggul di belakang kepala. Jika dalam banyak H-
Game, perempuan seperti ini mungkin jadi objek didikan dan penghancuran yang sangat memikat bagi penggemar. Tapi itu hanya berlaku saat proses didik dan hancur. Jika sosok ini adalah entitas jahat yang bisa menyuruhmu membersihkan lapangan seratus hari kapan saja, maka setiap melihatnya yang terasa hanyalah ketakutan dan perasaan gemetar.
Duduk tegak, Xiao Li membuka buku catatan di depannya dengan kikuk, berdoa agar sang guru tidak memperhatikan obrolannya dengan Lingjing tadi. Namun, mengikuti suara "tek-tek-tek" sepatu hak yang semakin dekat, Xiao Li mengangkat kelopak mata dan menyadari fakta bahwa Bu Guru Zhang sedang menuju ke arahnya.
Kali ini MATI... Ngobrol di kelas... Poin perilaku dipotong... Membersihkan ruangan... Nulis laporan evaluasi...
Beberapa metode hukuman berputar-putar di pikiran, meski hanya ucapan, hukuman ini tentu tidak akan semua diterapkan, tapi biasanya salah satunya. Masih berpikir, langkah kaki Bu Guru Zhang berhenti di samping mejanya: "Ye Lingjing."
"Ya..." berdiri dengan gemetar, beberapa saat kemudian, Xiao Li baru menyadari yang dipanggil bukan dirinya, duduk dengan suara byur: "Maaf..." Seketika merasa dikritik habis-habisan. Yahan dan beberapa orang di sekitarnya memandanginya dengan tatapan aneh, sampai Lingjing berdiri sambil tersenyum, Yahan baru mengangguk: "Ikut aku keluar sebentar."
Melemparkan buku kas ke dalam meja, Lingjing tersenyum sambil menjepit bahu Xiao Li, mengikuti Yahan keluar kelas. Sampai di koridor yang sepi, Yahan baru tertawa: "Ada apa dengan teman sebangkumu itu?"
"Dia akhir-akhir ini agak aneh, mungkin punya pacar..." Sekadar menjawab asal, Lingjing bertanya, "Ada keperluan, Kakak Yahan?"
"Oh, beberapa hari lagi ulang tahun tante kecilku, ada jamuan. Kalau Ayah Ye dan Ibu Ye sempat, datanglah makan. Untuk Shasha, Liu Lao Da juga harus diundang. Ini kartu undangannya." Membuka tas kecil, Yahan mengeluarkan enam buah undangan ke tangan Lingjing, "Minggu, di Hotel Gu Yuan. Kau, Shasha, dan Jiaming wajib datang ya."
"Pasti datang." Lingjing mengangguk sambil tersenyum, "Apakah tamunya banyak? Apakah kami harus pakai jas resmi?"
“Orangnya memang banyak, tapi tak perlu terlalu formal. Ini bukan makanan ala Barat, semua orang hanya makan bersama.” Yahan tersenyum, mengulurkan tangan untuk melepaskan kepang rambut Lingjing yang sedikit berantakan di belakang kepala. Setelah merapikan rambut panjangnya, baru diikat kembali dengan karet merah muda. “Ngomong-ngomong, soal urusan orang Thailand itu, sekarang sudah tidak ada masalah kan?”
“Hmm, Jiaming bilang ada petugas Biro Keamanan Nasional di sana. Basically sudah tidak akan ada masalah lagi.”
Latar belakang Jiaming telah diketahui kedua belah pihak, jadi pembicaraan ini tak perlu lagi disamarkan. Membahas insiden muay thai beberapa hari lalu, sejak Jiaming dan yang lain keluar dari kantor polisi, basically tidak ada kelanjutan kasus mereka. Di bawah pukulan Jiaming yang penuh kekuatan, pemuda Vietnam bernama Amurei mengalami gejolak otak dan membran telinga pecah, hingga sekarang masih dirawat di rumah sakit. Pihak Thailand dan Vietnam terus melakukan protes diplomasi dan negosiasi, tapi sikap Tiongkok juga sangat tegas. Dengan mengeluarkan rekaman video dari kantor polisi saat itu, semua protes pihak lawan ditangkis: Kalian berani memukul orang di kantor penegak hukum, masih mau cari alasan? MATI pun itu nasibmu!
Luka parah Amurei dianggap sebagai kecelakaan. Sedangkan Xiliwang, kami menahannya selama empat puluh delapan jam sebelum melepaskannya. Bawahan Xiao Meng meludahinya, kemudian keduanya hampir dipukuli sampai MATI. Mereka tidak membuat keributan melalui jalur hukum, hanya menyebarkan ancaman di luar akan membunuh orang-orang Thailand itu. Dampak geng kriminal membunuh warga asing terlalu buruk, [] turun tangan melalui kantor polisi untuk secara tidak langsung memperingatkan Shazhu Bang agar tidak bertindak sembarangan. Sementara itu, dalam beberapa hari terakhir, tim Thailand itu juga tetap menginap di hotel, tidak ada yang berani keluar sendirian.
Dalam tim yang terdiri dari orang Vietnam dan Thailand ini, banyak karakter tempramental. Mereka berasal dari negara-negara yang cukup kacau dimana berkelahi dan membunuh adalah hal biasa. Di sisi lain, saat berada di negara besar tetangga, mereka sangat menjaga keagungan pribadi. Keberanian Amurei dan Xiliwang bertindak di kantor polisi mungkin juga dipengaruhi emosi semacam ini. Dalam tim muay thai kali ini, pengawalnya adalah mantan tentara bayaran yang pernah mengalami perang. Andai hanya Shazhu Bang, mungkin kedua pihak sudah saling serang dengan pisau dan senjata. Tapi dengan kehadiran orang [] yang mengawasi, apapun yang mereka rencanakan mustahil dilakukan.
Oleh karena itu, setelah itu Jiaming tidak menyamar sebagai Jian Suyan untuk membunuh semua orang. Meskipun cara ini bisa menyelesaikan masalah secara tuntas dan menghindari banyak kesulitan, tetapi di Jianghai saat ini, karena [] sudah mengendalikan situasi, dia tetap harus mempertimbangkan perasaan pihak lawan.
Protes tidak membuahkan hasil. Kabarnya Vietnam sudah mempersiapkan repatriasi Amulei untuk perawatan. Awalnya dikira Siliwang akan menghentikan perjalanan pertarungannya dan pulang dalam waktu dekat, tapi setelah dua hari ditahan di kantor polisi, kemarahannya justru memuncak. Dia bersikeras melanjutkan duel dengan pihak Tiongkok. Dalam beberapa hari terakhir, kabarnya beberapa guru bela diri terkenal sudah mengalami patah tulang dan dirawat di rumah sakit akibat aksinya. Serangkaian kejadian ini mungkin sudah menjadi berita panas di Amerika, sayangnya ini terjadi di Jianghai. Hanya kalangan tertentu yang mengetahui situasinya, tanpa kabar apapun di koran atau berita. Entah ekspresi seperti apa yang akan dibuat Siliwang saat mengetahuinya. Singkatnya, berjalan malam dengan pakaian mewah pasti sangat menyebalkan.
Sementara percakapan tentang muay thai terjadi di tangga, di sisi lain Shasha yang mengenakan setelan voli ketat sedang berlatih di ruangan gedung olahraga. Dengan tiga langkah ancang-ancang, lompatan penuh energi membuat ekor kudanya berkibar. Byur! Smash keras mendarat di area lawan. Tepuk tangan yang jarang-jarang dan sorak gembira terdengar. Shasha dan beberapa kawan berpelukan sambil melompat-lompat merayakan kemenangan.
Ini murni latihan internal klub bola voli, dan karena masih jam pelajaran, tentu tidak ada penonton. Setelah satu babak selesai, masing-masing mengusap keringat di wajah sambil berbagi pengalaman tadi. Waktu menunjukkan pukul empat sore, gumpalan awan lembut melayang di langit luar gedung olahraga.
"Shasha, Wang Chunhua dari klub bisbol menyuruhku bertanya apakah kamu berminat bergabung." Seorang rekan satu tim duduk di sebelahnya sambil minum air di bangku panjang.
"Klub bisbol? Kapan aku pernah bisa main bisbol?"
"Bukankah waktu kelas 10 SMA kamu selalu bawa tongkat bisbol ke sekolah? Kamu jago di semua olahraga, jadi semua orang mengira bisbol pasti keahlian terbaikmu."
"Oh." Shasha mengedipkan matanya, "Itu buat berkelahian." Belakangan setelah tahu Jiaming jago bertarung, tongkatnya tak lagi dibawa. Tapi sebelumnya dia selalu menganggap diri sebagai pelindung Lingjing dan Jiaming, baru kemudian sadar Jiaming sama sekali tak butuh perlindungan. Perjalanan batin itu sungguh memilukan kalau diingat. Jiaming berpura-pura lemah, sialan...
Tengah larut dalam kenangan itu, dia tak menyadari tatapan takut namun penuh kekaguman dari perempuan-perempuan di sekitarnya. Baru tersadar saat seseorang menepuk bahunya: "Shasha, ada yang cari... Huang Haobing dari kelas 6."
“Er……” Mendengar Huang Haobing datang mencarinya di jam pelajaran, Shasha tidak bisa menahan rasa penasaran. Sebenarnya, mereka memang bisa dibilang teman masa kecil meskipun dulu Haobing selalu dipukulinya. Namun seiring bertambahnya usia, Lingjing, Shasha, dan Jiaming membentuk kelompok kecil sementara Haobing yang dulunya suka mengganggu Jiaming mulai menjadi lebih dewasa. Hubungan mereka pun perlahan menjauh. Selama bertahun-tahun, mereka saling mengenal namun tak pernah berinteraksi. Saat menoleh, terlihat sosok Haobing yang berantakan menunggu di lorong luar pintu. Shasha pun berdiri dan menghampiri.
Sejak ayahnya Huang Bingxiang ditahan, kondisi Haobing semakin memburuk. Pemuda basket yang dulu energik itu kini seperti mayat hidup di sekolah. Namun dari dekat, Shasha baru menyadari mata Haobing tidak hanya berkantung hitam, tapi salah satu matanya MEMBENGAK kemerahan. Bibirnya pecah-pecah, jelas bekas pukulan. Dengan hati-hati Shasha bertanya: “Haobing? Ada apa? Siapa yang memukulmu?”
Rasa keadilan yang berlebihan selalu menjadi kelemahan Shasha. Meski tak lagi dekat dengan Haobing belakangan ini, namun mengingat hubungan masa kecil mereka plus status Haobing sebagai sepupu Jiaming, dalam sekejap Shasha sudah mempersiapkan diri untuk membelanya. Tapi Haobing hanya menunduk, mengusap luka di bibir dan wajahnya: “Gak apa-apa... Sebenarnya aku... ada hal yang ingin kubicarakan...”
“Jangan bicara dulu, ikut aku.” Huang Haobing bertubuh jauh lebih tinggi daripada Shasha, namun kali ini Shasha dengan santai menepuk bahunya, membawanya seperti teman ke ruang aktivitas komunitas yang tidak jauh. Ini adalah kamar organisasi lima orang yang dulu dia dirikan karena dorongan hati, tapi tak pernah mengadakan aktivitas apa pun. Kini Xu Yiting bergaul dengan Dongfang Wan, organisasi ini sudah tinggal nama, hanya dipakai untuk menyimpan barang dan jadi ruang istirahat sementara Shasha di kampus.
Menyuruh Huang Haobing duduk di dalam ruangan, Shasha mengeluarkan handuk, mengambil baskom berisi air dan meletakkannya di sampingnya: “Bersihkan bagian yang luka, aku ambil kotak P3K.”
Biasanya mereka tidak dekat, sikap akrab Shasha justru membuat Huang Haobing gelisah. Setelah mengusap luka di wajah dengan handuk, Shasha sudah mengeluarkan kotak P3K, meletakkan yodium, kapas obat, dan salep di hadapannya. Tapi Huang Haobing yang dulu adalah anak Sekretaris Komite Provinsi, meski bukan anak manja, sama sekali tidak terbiasa dengan hal seperti ini. Setelah kebingungan, Shasha menghentikan upayanya menuang yodium sembarangan, lalu dengan hati-hati mengoleskan obat ke lukanya. Sambil membereskan perlengkapan, dia bertanya: “Ayo, ada urusan apa sebenarnya?”
“Aku... Sebenarnya aku...” Setelah lama ragu-ragu, Huang Haobing akhirnya berkata, “Aku ingin tanya, kau kenal... kenal Kak Kuan dari Server Suhua?”
"Koko Kuan?" Ekspresi Shasha menunjukkan kebingungan, "Siapa itu ya?"
"Eh, dia sepertinya... anggota Shazhu Bang juga. Benar, ada yang memanggilnya Shen Shou Kuan..."
"Shazhu Bang..." Shasha menatapnya, "Aku tidak banyak tahu urusan ayah, Koko Kuan... tidak ada kesan. Kau... sebenarnya ada masalah apa? Dia menyuruh orang memukulmu?"
"Tidak..." Huang Haobing menunduk ragu-ragu lama, "Sebenarnya... aku berutang uang padanya. Aku... bukan mau mengemplang, cuma... sementara... mungkin beberapa waktu lagi..."
Shasha memperhatikannya sejenak, lalu mengangguk. Tentang alasan Huang Haobing berutang, dia tak pantas banyak bertanya. Seandainya Huang Bingxiang tidak jatuh, Haobing pasti takkan kekurangan uang. Sekarang keluarga Huang masih ada, pasti masih memberi uang saku tiap bulan. Tapi ayahnya masih dalam pemeriksaan isolasi, mungkin dia sedang mencari cara membantu. Dulu Haobing tak paham konsep uang, tapi juga bukan orang boros... Sambil berpikir begitu, dia mengangguk dan berdiri: "Aku paham. Aku akan telepon seseorang untuk menanyakan."
"Aku bawa." Huang Haobing buru-buru menjawab, lalu mengeluarkan telepon genggam sebesar batu bata dari saku. Sebenarnya sudah ada model ponsel baru di pasaran. Ponsel yang dulu dipakai Haobing pernah dia lihat, bukan yang ini. Mungkin ponselnya sudah hilang, ini pinjaman sebelum datang minta tolong Shasha.
"Distrik Suhua……" bergumam pelan, jari-jarinya menekan nomor telepon, "Halo, Paman Meng, ini Sasha…… Heh, baiklah, Kakak Xiao Meng…… Hmm, Jiaming baik-baik saja, ada hal yang ingin kutanyakan. Apakah ada seorang Kuan di Distrik Suhua yang anggota guild? Orang-orang memanggilnya Shen Shou Kuan…… Oh, ternyata bawahan Paman Yang…… Baik, tidak usah repot-repot, aku akan menghubunginya langsung…… Tentu saja, nomor telepon Paman Yang masih kuingat……"
Mematikan telepon, langsung menghubungi nomor lain: "Halo, Paman Yang…… Ini Sasha. Bukan urusan ayah, hehe, nanti pasti main ke sana…… Begini, apakah ada bawahanmu bernama Kuan? Bukan, dia tidak menghinaku, jangan dimarahi…… Ini tentang teman sekelasku, Huang Haobing…… Ya, dia…… Kami berteman sejak kecil, dia sepupu Jiaming…… Paman pasti tahu kejadian baru-baru ini, bagaimanapun dia keluarga Jiaming. Dia punya utang pada Kuan, tapi…… Oh, oh, baik, baik…… Sudah selesai, terima kasih Paman Yang, sampai jumpa…… Pasti main ke sana, hehe……"
Dengan senyum, Sasha mengembalikan ponsel ke Huang Haobing: "Sudah, beres."
"Terima… terima kasih……" Mengangguk kikuk dengan mata berkaca-kaca. Huang Haobing yang biasanya angkuh ini tentu sangat kesulitan meminta bantuan. Setelah mengucap terima kasih, dia segera berpamitan sambil menggenggam ponselnya. Sasha berteriak dari belakang: "Jangan lupa ganti perban ya!"
Melihat punggung Huang Haobing yang pergi, Shasha duduk di sana, menghela napas pelan. Bagaimanapun juga, keluarga Huang sampai seperti ini membuatnya sedih. Tadi saat Haobing masih di sini tidak enak bertanya, baru sekarang teringat seharusnya lebih sering menelepon untuk menanyakan alasan Haobing meminjam uang. Tapi setelah Haobing pergi, teleponnya juga sudah dibawa pergi.
Nanti setelah pulang sekolah baru telfon untuk tanya...
Malas meminjam telepon orang lagi, pikirnya. Tapi setelah pulang sekolah, si gadis yang biasanya cuek ini langsung melupakan urusan itu, tenggelam dalam dunia kacau-balau nan hangat bertiga. Beberapa hari kemudian, dia sudah lupa sama sekali...
## Bagian Dua Ratus Delapan Puluh Jadikan Pacarku
Bangun pagi-pagi sekali, kira-kira sekitar pukul empat, langit di luar masih hitam. Kepala agak pusing.
Selimut bulu angsa yang lembut dan lapis rangkap menyelimuti tubuhnya. Di sampingnya dua gadis sedang tertidur lelap, aroma tubuh mereka samar tapi familiar. Lingjing menempel erat di tubuhnya tidur, satu tangan menyangkut di lehernya, miring, kaki jenjangnya terjalin dengan miliknya. Kulit gadis itu halus bak sutra, memberikan sensasi sentuhan yang nyaman. Shasha seperti biasa tidur semaunya dengan posisi miring, membelakangi dia, tetap saja menggunakan tangan kirinya sebagai bantal. Jari-jarinya bisa merasakan napas Shasha, sedikit bergerak saja bisa menyentuh bibir separuh terbuka si gadis yang sedang tertidur.
Melepaskan diri dari keadaan keterikatan fisik ini cukup sulit, namun Jiaming yang telah melewati banyak ujian akhirnya berhasil. Dengan perlahan menarik tangan dan menggeser tubuh, dia diam-diam memindahkan tangan Lingjing. Saat keluar dari selimut bulu, hawa dingin pagi akhir musim semi masih terasa. Meski secara fisik tak masalah, dia tetap mengenakan celana panjang, merapikan selimut untuk gadis yang masih tertidur di ranjang, mencium lembut dahi mereka, lalu membuka pintu menuju balkon.
Malam yang sunyi, cahaya lampu dari jalan-jalan jauh-dekat masih samar-samar terlihat, menandai waktu paling hening kota ini. Malam hampir berakhir, pagi belum sepenuhnya datang. Sesekali suara mobil melintas cepat, atau derit sepeda dan kereta dorong. Di pasar sayur terdekat, gelombang pertama pedagang sudah bangun. Pintu-pintu kedai sarapan masih tertutup rapat, namun cahaya menyembul dari celah-celahnya - mereka biasanya mulai bersiap sejak pukul 2-3 dini hari. Di lapak grosiran daging babi dan sayuran, lampu kuning sudah menyala. Suara tawa, obrolan, denting timbangan, dan gesekan pisau tajam di wadah besi bergema di keheningan fajar.
Ruang game di lantai bawah mengklaim buka 24 jam, tapi malam ini tidak ada orang yang begadang bermain, dan lampunya sudah dimatikan serta toko ditutup. Dia berdiri di balkon sambil menghirup udara pagi, rasa sakit di kepalanya menjadi semakin tajam. Namun rasa sakit ini tidak memengaruhi tubuhnya, semakin jelas sakit kepalanya, semakin jelas pula kendali terhadap sekelilingnya. Seluruh tubuhnya seolah telah mencapai batas ketajaman tertinggi. Dalam status ini, meski kehilangan hati yang kejam yang mampu membunuh segalanya, dia yakin bisa menghadapi Yoritomo Taku dalam kondisi puncak kejayaannya tanpa terkalahkan.
Melebihi batas tubuh manusia? Tentu saja, bisa juga ini hanyalah persepsi salah akibat keyakinan diri yang berlebihan. Sejak regenerasi, dia telah menguasai banyak kelemahan musuh. Setiap pertempuran sebenarnya tidak terjadi dalam kondisi yang benar-benar adil. Meski bagi seorang pembunuh hanya hasil akhir yang penting, tapi untuk menilai kemampuan asli seseorang secara objektif, kita harus mempertimbangkan semua keunggulan ini terlebih dahulu, baru kemudian menilai sejauh apa kemampuan yang tersisa jika keunggulan tersebut hilang.
Fantasi selalu memiliki kesalahan, tapi sebenarnya apa yang terjadi dengan sakit kepala ini. Jiaming bukan idiot dalam hal medis, tapi juga tidak pernah tahu jenis sakit kepala apa yang bisa membuat kondisi manusia menjadi lebih sempurna. Mungkin harus mencari rumah sakit untuk memindai otaknya, tapi untuk sementara belum menemukan dokter spesialis otak yang benar-benar bisa dipercaya... Setiap orang pada dasarnya memiliki keengganan untuk berobat, dan meski Jiaming mempertimbangkan hal ini beberapa hari terakhir, akhirnya tidak juga direalisasikan. Sakit kepala belakangan ini mungkin berkaitan dengan phoenix yang mengantarnya pulang. Manusia mustahil menyelesaikan masalah pada tingkat ini. Karena tidak bisa dipecahkan, untuk sementara dia malas menggali lebih dalam yang hanya akan menambah kekesalan.
Sebenarnya ini adalah bentuk pengecut, terkait kehidupan yang dijalaninya sekarang bersama Lingjing, Shasha, Yahan. Dia sepenuhnya menyadari hal ini. Jika masih menjadi pembunuh dari Pei Luo Jia, tanpa ragu dia akan menyuruh orang membedah otaknya untuk diteliti. Tapi sekarang, selama tidak berdampak pada kehidupan, biarkan saja berlalu.
Berdiri sebentar di balkon, sakit kepala berangsur mereda. Dia berjalan ke sana dan mendorong pintu kamar kecil di samping. Saat pertama kali menyewa set rumah ini, ada dua kamar tidur. Secara teori diberikan untuk dua cewek, sedangkan gudang barang-barang ini diurus menjadi kamar Jiaming. Pengaturan ini tentu saja hanya dibuat untuk dilihat orang luar. Secara keseluruhan, kamar kecil yang agak tertutup ini berfungsi sebagai studio Jiaming. Sebuah ranjang pegas yang telah dirapikan, meja belajar untuk menaruh komputer, berbagai perangkat buatan sendiri atau yang dibeli Jiaming terhubung dengan komputer yang telah dimodifikasi ini. Berbagai koper besar kecil dan perangkat elektronik memenuhi lebih dari separuh ruangan.
Duduk di ranjang pegas, Dia membuka komputer, kemudian memasukkan data ke dalam dokumen terenkripsi: 25 April 1999 pukul 03.45-04.20 dini hari, sakit kepala berkelanjutan, penyebab tidak jelas.
Sebelumnya, dokumen ini telah merekam banyak kali durasi sakit kepala. Waktu kekambuhan dan durasi bervariasi, namun jika melihat tren besar, frekuensi kekambuhan memang semakin sering dengan durasi yang semakin panjang.
Segala analisis dan generalisasi membuktikan bahwa Dia memang perlu melakukan pemeriksaan di rumah sakit.
，，，，，，：“……”。
“Ada beberapa hal... tidak ingin mengganggumu.” Jiaming tersenyum, menarik gadis itu duduk di sebelahnya. Masih setengah sadar, saat Jiaming mengulurkan tangan, gadis itu hanya mengenakan celana sutra tipis di kakinya yang terasa dingin menusuk. Segera menarik selimut di ranjang untuk membungkusnya: "Kau tidak merasa kedinginan?"
“Kamu juga tidak..." Membungkukkan kaki sambil duduk di sebelah Jiaming, Lingjing mengusap matanya lalu menyelip ke pangkuan Jiaming, membungkus mereka berdua dengan selimut. "Ada hal apa sih, sampai buru-buru begini..."
"Heh, beberapa informasi dari Jepang. Aku teringat sesuatu jadi bangun memeriksanya." Membuka panel informasi lalu memutar musik, alunan piano yang menyegarkan mengalun pelan di kamar. Lingjing malas melihat informasi dari Jepang, menunduk di pangkuan Jiaming sambil bersenandung mengikuti irama piano, tangannya mengetuk-ngetuk lembut paha Jiaming.
"Jiaming, hari ini ulang tahun Tante Yahan. Kita mau berangkat kapan sore nanti?"
"Hmm, mungkin setelah makan siang, Kakak Yahan akan datang menjemput kita."
"Ibu baru bisa pulang cepat jam empat setengah. Kita duluan saja?"
"Iya, kita main dulu di hotel sebentar. Lalu aku akan menyetir mobil Kak Yahan ke perguruan silat dulu, baru ke rumah sakit menjemput Ibu Ye."
"Belakangan ini Yahan sering berada di perguruan silat. Ulang tahun ibu tirinya membuat pasangan Keluarga Ye tidak bisa menolak undangan jamuan penyambutan. Meskipun kedua belah pihak tidak saling kenal, jamuan seperti itu memang tidak memerlukan keakraban. Adapun Liu Zheng, kabarnya hari itu harus bernegosiasi dengan seseorang sehingga tidak bisa hadir."
"Heh... Paman Liu bernegosiasi, tidak apa-apa kan?" Sambil menguap, dia bertanya pelan.
"Tidak masalah, tenang saja. Sekarang dia sudah jadi bos mafia paling berkuasa di Jianghai." Sambil menjawab santai, Jiaming satu tangan merangkul Lingjing, satu tangan lagi menggerakkan mouse untuk mengendalikan komputer.
Senja musim semi, pagi buta. Di dalam rumah kecil yang dipenuhi alunan musik lembut ini, mereka berbincang pelan. Tak lama kemudian, Lingjing tertidur lelap. Jiaming menyesap kopi pelan-pelan.
Bukan pengalaman pertama kalinya. Selama Jiaming tidak kabur dari ranjang dengan teknik pembunuh, Lingjing selalu menyadari kepergiannya. Tak lama kemudian, dia akan datang membawa kopi untuk menemani sebentar. Kadang seperti hari ini, tertidur di pangkuan Jiaming. Namun sekitar pukul lima, keramaian di jalanan membuat tubuh gadis itu bergetar halus sebelum akhirnya membuka mata.
"Hmm..." Menguap setengah sadar, Lingjing memeluknya sambil mengusap mata. Butuh beberapa saat sebelum dia bisa melihat jam alarm kecil di samping komputer. Mengeluarkan kaki ramping dari selimut, dia turun dari ranjang dengan lincah.
“Aku akan kembali tidur...” Bergumam sambil mencium pipi Jiaming, gadis itu berjalan kembali ke kamar tidur utama dengan sandal. Tak lama kemudian, saat Jiaming mengintip ke pintu kamar tidur, terlihat dua gadis sedang berpelukan tidur di ranjang, bagai bunga lili yang mekar dalam gelapnya malam.
Hingga kini, mereka telah paham kedua gadis ini bukan pasangan lesbian sejati. Namun hal ini tetap menjadi bahan candaan di antara bertiga. Setiap mengingat momen saat dua gadis kecil itu pertama kali menonton film bokep, lalu saling memeriksa membran perawan di ranjang - saat Lingjing dipaksa Shasha membuka pahanya - Jiaming selalu tersenyum geli. Itulah gambaran paling berharga dalam memori masa kecil mereka...
Dunia bertiga ini, meski terkesan sederhana, romantis dan dramatis berlebihan, nyatanya menyimpan upaya tersembunyi masing-masing. Andai hanya dua orang, mungkin Lingjing akan menemani Jiaming hingga subuh. Tapi gadis 17 tahun ini memiliki pikiran yang halus - dialah yang memilih kembali ke kamarnya. Saat di ranjang, Shasha sering menjadikan Lingjing target godaan dan keisengan, namun sikapnya yang ceplas-ceplos itu justru menyembunyikan rasa posesif terbesar terhadap Jiaming. Tak jarang ia merancang berbagai cara hanya untuk menyenangkan Jiaming.
“Hal-hal ini sebenarnya sudah dipahami semua orang, karena di antara mereka—selain Jiaming dan Lingjing saling menyukai, Jiaming dan Shasha saling menyukai—pada dasarnya, Lingjing dan Shasha juga saling menyukai. Hubungan mereka seperti ikatan keluarga, juga seperti cinta sejati. Hidup itu sendiri adalah proses saling mengalah. Tentu saja, hanya mereka yang rela mengalah dan berkompromi untuk pasangannya yang bisa benar-benar hidup bersama.”
“Seiring berjalannya waktu, jalanan di pagi hari segera ramai. Kedai sarapan sudah buka, pedagang di pasar sayur tak jauh juga sudah penuh. Berbagai gerobak jajanan pagi berjalan di jalanan. Para lansia yang bangun pagi dan ibu rumah tangga juga sudah keluar rumah. Bagi Jiaming dan teman-temannya, hari Minggu biasanya diisi dengan tidur sampai siang. Tapi karena hari ini sudah bangun pagi, Jiaming pun mempersiapkan diri untuk membeli bahan sarapan. Saat berjalan dari balkon menuju kamar tidur, terdengar suara bergumam Shasha.”
“Tidur... Aku mau tidur... Tolonglah, Lingjing si cantik, temani aku tidur... Jangan pergi, kalau pergi aku gigit pantatmu...”
“Suaranya penuh kekecewaan. Jiaming membuka pintu. Terlihat Lingjing yang hanya mengenakan celana dalam dan bra, berdiri tak berdaya di tepi ranjang sambil memegang celana panjang. Separuh tubuh Shasha menyembul dari selimut, masih belum sepenuhnya bangun sehingga matanya terpejam. Tubuhnya lemas seperti lumpur hidup, rambutnya acak-acakan menyerupai hantu air. Wajahnya benar-benar menempel di pantat Lingjing, kedua tangan erat memeluk paha Lingjing sambil terus bergumam, terlihat sangat malang.”
Melihat Jiaming masuk dengan ekspresi seperti tertawa namun bukan tertawa，Lingjing yang sedang memeluk celananya memberikan tatapan penuh keluhan ke arahnya："Aduh，Aku mau keluar beli sarapan nih，Kalau mau tidur kenapa tidak cari Jiaming saja……"
"Jangan……Menggendong Jiaming itu keras dan tidak senyaman dirimu……Tangannya selalu menusukku，dan dia suka memasukkan benda panjang-panjang ke mulutku……"
Tanpa memperhatikan Jiaming yang baru masuk，Shasha terus bergumam tak henti-hentinya. Lingjing tertawa geli sambil memandang Jiaming penuh tanda tanya，Hanya melihat Jiaming mengangkat tangan bingung："Benda panjang apa？Tadi malam dia terus-terusan mengisap jariku……"
"Sudahlah，Aku benar-benar harus bangun. Kau pagi ini jangan makan sarapan ya……"
"Jangan pergi，Suruh Jiaming yang beli sarapan……"
"Jangan memelukku……"
"Auuu！"
Setelah berdebat tanpa hasil，Shasha menggigit pantat Lingjing dengan garang. Celana dalam katunnya tertahan di mulut Shasha. Lingjing yang terjebak antara ingin tertawa dan menangis itu berjuang mati-matian，hingga separuh kulit bokongnya yang putih mulus terekspos. Meski tubuhnya sudah tak terhitung kali dilihat Jiaming，Lingjing tetap malu dan berusaha menutupi dengan kedua tangannya. Jiaming tersenyum sambil mendorongnya："Sudahlah，Teman sekelas Lingjing，Temani saja dia tidur. Urusan sarapan aku yang tanggung jawab."
Dorongan itu membuat Lingjing terjatuh tepat di atas kepala Shasha. Memanfaatkan kesempatan，Shasha menarik Lingjing ke ranjang sambil menjulurkan kaki mungilnya dari balik selimut untuk menendang pantat Jiaming："Pria busuk……Hidungku terimpit nih……" Jiaming berlari keluar kamar sambil tertawa.
"Di luar jalan sudah ada sarapan yang dijual, tapi selama tidak terburu-buru, kami bertiga lebih memilih masak sendiri. Tentu saja, maksudku Jiaming dan Lingjing yang masak. Membeli daging segar pagi hari, daun bawang, membawa pulang beberapa youtiao, lalu membuat sup dan merebus mie. Setelah diganggu Shasha beberapa saat, Lingjing akhirnya juga bangun. Merapikan kamar yang agak berantakan semalam dengan sederhana. Shasha masih bermalas-malasan di ranjang, lalu berkata kami bertiga benar-benar seperti keluarga: Ayah Jiaming, Ibu Lingjing, dan Putri Shasha. Mendengar omongan memalukan ini, Jiaming dan Lingjing hanya tersenyum menghina, karena secara usia justru Shasha yang paling tua di antara kami."
"Hari ini tidak ada agenda khusus. Setelah sarapan kami jalan-jalan, pulang lalu nonton film bersama. Kemudian Jiaming baca komik sementara Lingjing dan Shasha main game. Sekitar pukul 10, terdengar ketukan di pintu."
"Ini Kakak Yahan ya?" Lingjing meletakkan mesin game, berjalan ke pintu dengan sandal. Begitu pintu terbuka, dia terkejut karena tamu itu bukan Yahan. Meski pernah datang satu dua kali, tamu ini bukan pengunjung rutin - Dongfang Wan dengan seragam olahraga sehat, tersenyum santai sambil melambaikan tangan: "Hai, Lingjing, teman sekelas Jiaming ada di sini?"
"Eh... Dia ada. Silakan masuk."
Saat itu, Dongfang Wan yang mengenakan setelan olahraga terlihat sedikit seperti anak laki-laki, namun berbeda dengan kesan yang dipancarkan Shasha. Shasha selalu energik dan sengit, terkadang bisa biadab, di depan anak laki-laki yang disukainya dia tampak manja; aura Dongfang Wan justru santai, membawa kesan kemuliaan dan kesombongan, sebelum dia dihadapi amarah oleh Jiaming, karakternya masih mirip dengan aura kakaknya Dongfang Lu.
Hampir setahun ini, dia sambil kuliah sambil mengelola perusahaan mainan. Jiaming masih tercatat sebagai pemegang jabatan nominal, memiliki sebagian saham dan bagi hasil. Lingjing dan Shazha tentu mengetahuinya. Terkadang——meski sangat jarang, ini terkait mental tidak profesional sama sekali dari Jiaming——ketika Jiaming dipanggil keluar karena urusan pekerjaan, Lingjing dan Shazha juga paham.
Masuk ke kamar, Jiaming berubah posisi dari berbaring di sofa baca komik menjadi duduk. Shazha juga berhenti tengkurap di karpet main game lalu duduk bersila. Lingjing membawakan air. Dongfang Wan langsung ke inti: "Sebenarnya hari ini datang, ada hal yang perlu teman sekelas Jiaming bantu."
"Bisa tidak bantu?" Jiaming mengangkat kelopak matanya dari balik buku komik. Lingjing di depan mesin game melotot padanya.
“Apa itu, itu kan juga perusahaanmu, cuma hal-hal sepele saja.” Dongfang Wan juga mengangkat mata putihnya. Sekarang dia tidak akan marah hanya karena hal kecil, interaksi antara mereka berdua selalu seperti ini - harus selalu berdebat baru bisa mencapai kesepakatan. Tapi jujur saja, selama ada dasar teoritisnya, meski Jiaming terlihat tidak nyaman di wajah, dia tetap belum pernah menolak.
“Begini, hari ini ada jamuan di rumah Bu Guru Zhang, katanya hari ini ulang tahun Nyonya Zhang, di Hotel Gu Yuan.” Mengeluarkan dua kartu undangan dari kantong dan mengayunkannya, lalu mendorong satu ke hadapan Jiaming, “Kau juga tahu, keluarga Zhang bergerak di penjualan produk. Meski mainan jenisnya berbeda, tapi di acara minum-minum ini, pasti banyak bos supermarket besar, toko-toko besar, distributor yang datang. Nanti aku akan nempel terus sama Bu Guru Zhang, bisa kenal banyak orang. Tapi kali ini si Lei Qing pasti juga datang. Keluarganya pengaruh besar, jaringan luas, belakangan terang-terangan merusak bisnis kita. Jadi, seperti biasa...”
Kepalanya miring, jari mengetuk-ngetuk kartu undangan: “Ini undanganmu... Jadilah pacarku.”
Memegang komik, tatapan lesu Jiaming menatapnya, lalu menghela napas dan meletakkan buku itu.
“Kartu undangan istimewa apa?” Dengan gerakan cepat, Jiaming mengibaskan kartu undangan merah menyala seperti kipas di depan mata Dongfang Wan, “Aku punya enam lho.”
## Bagian 281 Kecelakaan Mobil
Waktu menunjukkan pukul satu lebih sore, cuaca di luar mendung sebentar sebelum hujan gerimis mulai turun. Hujan musim semi yang lembut segera membungkus udara dengan lapisan dingin.
“Pacar? Dongfang Wan?” Yahan yang baru saja masuk, mengenakan gaun sederhana, duduk di sofa mengobrol dengan Lingjing dan Shasha. Jiaming keluar sambil membawa jaket: “Aku belum setuju, dua orang ini... demi uang tega mengkhianatiku...”
"Hei, waktu perayaan Tahun Baru tahun lalu, orang itu mentransfer lebih dari 80.000 yuan ke kartu kreditmu. Apa 80.000 yuan masih belum cukup untuk membelimu..." Sandaran sofa digerakkan, Shasha tersenyum pada Jiaming. Lingjing juga ikut menimpali: "Iya, katanya itu bagi hasil awal tahun lalu untukmu. Tapi aku tak pernah lihat kau membantunya mengerjakan apa pun. Terima uang tanpa kerja, bahkan kami saja jengah. Cuma minta bantuan menghabisi beberapa lalat, kau sudah ngomel panjang lebar..."
"Lalat. Tapi kekuatan keluarga lalat-lalat ini lebih besar dari keluarga Dongfang. Aku cuma bocah lelaki biasa yang nilai ujiannya selalu pas-pasan, kenapa harus jadi umpan peluru terus?"
"Tapi... Dongfang Wan pasti juga merasa kerepotan. Sebagai mitra kerjanya, sedikit banyak kau harus membantu dong."
Terhadap orang seperti Cui Guohua yang terkait Dunia Kegelapan, meski menunjukkan niat baik, Lingjing tetap menjaga jarak tiga li. Namun sikapnya terhadap Dongfang Wan dan Shasha jauh lebih santai. Tapi bagaimanapun, karena memang menerima uang dari Dongfang Wan, tak mungkin sama sekali tak membantu. Dengan ekspresi kecewa, dia mengangkat tangan pada Yahan yang tersenyum: "Lalu Shasha bagaimana? Paman Liu memang tidak datang, tapi Ayah-Ibu Ye pasti akan hadir."
Hubungan sebenarnya antara Jiaming dan Yahan tidak diketahui oleh Lingjing maupun Shasha. Namun, Yahan sudah lama memahami sejauh apa perkembangan hubungan Jiaming dengan Lingjing dan Shasha. Dahulu ketika Yahan mengetahui hubungan tinggal bersama ketiganya, Lingjing dan Shasha sempat merasa gelisah di hadapannya cukup lama. Kemelut rumit ini yang terlihat di depan Keluarga Ye umumnya dijelaskan bahwa Jiaming dan Shasha adalah sepasang pacar yang telah mengkonfirmasi hubungan.
Keluarga Ye memperlakukan Jiaming layaknya anak kandung sendiri. Secara alami mereka berharap Jiaming dan Lingjing akan menjadi pasangan di masa depan. Namun karena Shasha sudah lebih dulu mengambil langkah, mereka tak bisa berbuat banyak. Kekhawatiran mereka muncul karena ketiganya masih tinggal bersama di satu tempat. Baru setelah Lingjing bersumpah memberikan jaminan bahwa hubungan pertemanan di antara mereka bertiga lebih kokoh daripada hubungan asmara, pihak orang tua Ye baru bisa menenangkan diri untuk sementara.
Namun mengingat Ayah-Ibu Ye juga akan ikut, persiapan untuk berperan sebagai pacar orang lain tentu perlu dibicarakan terlebih dahulu. Di satu sisi harus berkoordinasi jelas dengan Dongfang Wan, di sisi lain perlu memberi tahu Keluarga Ye lebih dulu. Pada dasarnya ini bukanlah urusan besar. Setelah keempatnya tertawa bersama beberapa saat, mereka pun bersiap untuk berangkat.
Sejak Natal tahun lalu hingga sekarang, hubungan Jiaming dengan Yahan sedang berada dalam bulan madu legendaris. Namun di hadapan Lingjing dan Shasha, dia selalu menjaga sikap Guru dan kakak dengan ketat. Keempat orang naik ke mobil kecil, Jiaming duduk di kursi penumpang sementara Lingjing dan Shasha duduk di barisan belakang. Saat mobil perlahan meninggalkan blok jalan itu, Yahan teringat sesuatu dan berkata pada Jiaming: "Ngomong-ngomong, kemarin aku dengar dari ayahku bahwa Huang Bingxiang sudah ditangkap secara resmi. Keluarga Huang-mu..."
"Pemeriksaan disiplin ganda sudah berakhir?" Jiaming menoleh memandangnya, "Berarti selanjutnya akan masuk ke prosedur penuntutan resmi, tidak ada ruang untuk kembali lagi..."
"Apakah masalah keluarga Huang... besar?"
"Lebih dari separuh orang akan bangkrut, ini sudah pasti..." Jiaming menggelengkan kepala, "Pemilihan waktu ancam oleh atasan kali ini terlalu tepat. Juga karena kerabat keluarga Huang yang terlalu serakah, dengan pengaruh Pangeran Kedua, perusahaan maya apa pun bisa didirikan. Pondasi tidak stabil, konfigurasi perusahaan tidak rasional, terlalu banyak pengangguran. Jika bukan karena pengaruh Pangeran Kedua yang menopang seluruh gedung, perusahaan seperti ini di masyarakat hanya akan Ganti rugi sampai MATI. Setelah kepergian Pangeran Kedua, pemasok berhenti memasok, penjualan ditekan sampai hampir tidak ada. Di sisi lain, tak terhitung orang datang menagih utang dengan kertas putih. Tidak masuk penjara saja sudah bagus, hanya bisa bangkrut. Hanya untuk markas keluarga Huang, tanpa Pangeran Kedua, semuanya juga mengalami diskon besar. Beberapa tahun ke depan, hanya akan terus merosot. Keluarga Huang tidak punya Genius bisnis, siapa pun tidak bisa menyelamatkan."
“Secara objektif mengatakan hal-hal ini,” Lingjing di barisan belakang diam-diam mengangkat tangan, memukul kepala-nya dengan byur!, lalu merunduk ke depan untuk mencubit lehernya: “Ini urusan rumahmu sendiri, kau masih bisa tertawa senang-senang!”
“Hmm... Tapi...” Digoyang-goyangkan cubitan Lingjing, Jiaming tetap tak bisa menahan tawa: “...Ya aku juga tak bisa apa-apa...”
Shasha di barisan belakang menopang dagu: “Ayahku juga punya hubungan bisnis dengan keluarga Huang, dan dia bilang berencana terus bekerja sama.”
Yahan juga menatap dua orang yang sedang berkejaran sambil tersenyum: “Emm, kalau Jiaming kau berharap, aku bisa minta ayahku bekerja sama dengan keluarga Huang. Belakangan hubunganku dengannya cukup baik, paling-paling cuma perlu masuk nama di perusahaan.”
Bagaimanapun, Tiongkok tetaplah Tiongkok, lebih mementingkan keluarga dan saudara dibanding orang asing. Yahan dkk sudah lama tahu sikap Jiaming terhadap keluarga Huang, tapi melihat keluarga Huang bermasalah, tetap tak kuasa tak peduli. Karena tumbangnya Huang Bingsiang, beberapa figur dengan identitas sensitif—seperti Liu Zheng—yang seharusnya segera menyelamatkan diri, malah memutuskan terus bekerja sama dengan keluarga Huang. Sebagian besar alasannya tentu karena Jiaming si calon menantu ini. Tentu saja, kerjasama setelah ini tetap harus dalam batas legal semata.
Bagi perhatian dari orang-orang ini, Jiaming tentu memahami. Keluarga yang tidak memberinya marga namun memberikan hubungan darah, memang tidak memiliki ikatan emosional yang terlalu dekat. Namun bagaimanapun masih ada tingkat pengakuan tertentu. Tapi untuk terlibat langsung, itu tidak perlu. Saat ini dia hanya tersenyum ambigu. Penolakan sebaiknya disampaikan saat kedua pihak sedang berdua saja. Kapal besar keluarga Huang perlahan akan tenggelam, bahkan kekuatan keluarga Zhang dan Liu pun tidak bisa menghentikan tren ini. Tapi selama tidak tenggelam sepenuhnya, tidak perlu melakukan hal-hal yang tidak signifikan.
Jamuan ulang tahun baru akan digelar pada malam hari. Datang lebih awal ke hotel hanyalah untuk bersenang-senang. Yahan akan menjemput beberapa orang, hubungan terbesar tentu karena Jiaming. Sedangkan kedatangan ke hotel sekitar pukul dua lebih, karena sebelumnya Tante sudah meminta Yahan untuk datang lebih awal.
“Dari segi pembicaraan, jamuan keluarga besar seperti ini umumnya melibatkan banyak kepentingan ekonomi yang saling mengguncang. Ulang tahun Tante Yahan tentu hanya sebagai alasan, namun bagaimanapun, yang paling menaruh perhatian pada hal ini tentu adalah sang tante sendiri. Keluarga Zhang seperti keluarga Huang, menentukan posisi berdasarkan kekuatan. Awalnya pernikahan Zhang Jing'an dengan ibu kandung Yahan memang merupakan penyatuan kepentingan, sehingga status Yahan selalu baik. Ketika Tante Yahan kemudian menikah masuk ke keluarga, semua orang paham sifatnya hanyalah seperti pengasuh Yahan. Selama bertahun-tahun, meski memiliki posisi Ibu Agung di rumah besar itu, bagi keluarga Zhang dia selalu menjadi keberadaan yang diabaikan. Zhang Jing'an menghormatinya secara formal, namun tak pernah berniat mengubah keadaan ini. Hingga saat Yahan kembali dengan selamat dari New York setelah mengalami berbagai peristiwa mengerikan, akhirnya sang tante menuai hasil kesabarannya, setidaknya mendapat pengakuan dari Zhang Jing'an. Jamuan ulang tahun ini kemungkinan besar juga bermaksud mengakui secara resmi 'Nyonya' ini di mata dunia luar.”
“Dengan makna khusus seperti ini, belakangan ini sang tante terus-menerus bersemangat mempersiapkannya. Seluruh rangkaian jamuan ditangani langsung olehnya. Namun perlu disebutkan, sebelum menikah ke keluarga Zhang, sang tante hanyalah seorang aktris yang agak terkenal. Meski selama ini telah menghadiri banyak jamuan serupa dan memiliki pemahaman tertentu, kali ini karena menyangkut dirinya sendiri, hati pun dipenuhi keraguan. Meminta Yahan datang lebih awal juga bertujuan agar 'putrinya' ini membantu melakukan pemeriksaan dan pengawasan akhir.”
“Jangan-jangan ini akal-akalan untuk menjodohkan Kakak Yahan.”
Di tengah perjalanan sambil bercanda, ketika mendekati hotel, Lingjing mulai berspekulasi. Yahan justru tersenyum cerah: "Bagus juga, lagipula bukankah ada Jiaming? Biarkan dia yang menanggung untukku, aku tidak keberatan kalau mereka bilang aku menjalin hubungan kakak-beradik."
"Kekasih publik oh." Sha Sha menepuk bahu Jiaming. Lingjing malah mendekati Yahan sambil tersenyum: "Kakak Yahan, lebih baik bilang aku pacarmu." Wajah imutnya mengembang lesung pipi menggemaskan, seolah sudah memaksimalkan kemampuan merajuk. Yahan mengangkat bahu dengan santai: "Bagus juga." Ia memiringkan wajah dan mencium lembut pipi Lingjing. Saat mereka sedang tertawa riang, tiba-tiba bayangan hitam melintas di jalan depan. Jiaming refleks menarik kemudi. Yahan berteriak pelan, sebelum sempat bereaksi—Byur! Mobil kecil berbelok dan menabrak tiang listrik di pinggir jalan.
Benturan ini tidak terlalu parah tapi cukup berarti. Sha Sha yang berpegangan pada sandaran kursi Jiaming tidak apa-apa. Lingjing yang tadi mengaku ingin menjadi kekasih lesbian Yahan hampir terbentur tongkat persneling, tapi dihadang oleh kaki Jiaming yang terentang. Yahan juga hampir membentur kemudi, namun Jiaming berhasil mengulurkan tangan sebagai bantalan di bawah dahinya. Ketika mengangkat kepala, wajahnya sudah pucat ketakutan.
"Tidak apa-apa, Lingjing, Sha Sha?"
"Aku baik-baik saja..."
"Aku baik-baik saja."
"Bagaimana dengan Kakak Yahan..."
Baru saja melewati momen menegangkan, ketiga perempuan di dalam mobil masih menunjukkan ketakutan. Setelah memastikan semua tidak apa-apa, mereka pun membuka pintu mobil masing-masing dan keluar. Jiaming menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang baru saja tertabrak dahi Yahan ke kemudi, menoleh ke belakang. Seekor anjing Sheltie berwarna kuning-putih tergeletak gemetar di tengah jalan, namun sepertinya tidak tertabrak.
Agak lebih jauh, seorang wanita paruh baya berpakaian mewah berlari kecil menghampiri: "Apa kau bisa nyetir? Kalau nabrak orang, kau sanggup ganti rugi?!"
## Bagian Dua Ratus Delapan Puluh Dua Konflik
"Apa kau bisa nyetir? Kalau nabrak orang, kau sanggup ganti rugi?!"
Hujan gerimis masih turun membasahi langit. Dampak kecelakaan itu menarik perhatian orang-orang di pinggir jalan yang mulai berkerumun, ada yang memakai payung ada yang tidak. Teriakan hujatan pedas datang dari wanita gemuk berbusana musim semi mahal bertabur perhiasan emas yang berlari dari mobil mewah tak jauh, jelas pemilik Sheltie yang masih gemetar di jalan itu.
Meski kawasan ini tidak terlalu ramai, tapi ada hotel bintang tiga di sebelahnya. Wanita beraura kekayaan ini jelas baru keluar dari hotel, gagal mengawasi anjing kesayangannya hingga menyebabkan kecelakaan. Di belakangnya menyusul seorang pemuda Baron tinggi besar berusia dua puluhan dan sopir berpostur kekar yang mungkin merangkap sebagai pengawal.
Mengulurkan tangan untuk menahan hujan, beberapa orang yang keluar dari mobil melihat ke arah wanita berwajah galak itu, lalu memandangi Sheltie di tanah, tak ada yang berminat merespon. Yahan mungkin yang paling ketakutan, setelah melihat tidak ada orang tertabrak saat keluar, sedikit tenang tapi wajahnya masih memucat. Ia menghela napas lalu menoleh ke bagian depan mobil yang terdistorsi. Mobil ini dulu termasuk mobil bagus saat dibeli, kemudian disimpan lama di garasi Keluarga Zhang. Saat Yahan menggunakannya, sering diabaikan perawatannya sehingga beberapa kali bermasalah. Sekarang akhirnya tiba waktunya ganti mobil. Memandangi Jiaming yang berdiri di sisi lain mobil dengan wajah kesal, dia tersenyum.
Saat itu wanita itu sudah berlari ke jalan, menggendong Sheltie sambil memanggil "Xiao Huan! Xiao Huan!" Tapi anjing kecil itu tampak masih shock, gemetar di pangkuan wanita tanpa reaksi normal. Wanita itu tiba-tiba berlari ke arah sini, mengitari belakang mobil seolah ingin melampiaskan amarah ke Yahan: "Apa kamu yang nyetir? Tunjukkan SIM-mu! Kalau tidak bisa nyetir jangan paksa! Jika terjadi sesuatu pada Xiao Huan-ku, hari ini kalian akan kena batunya!"
“Hukum lalu lintas Tiongkok di beberapa tempat cukup ajaib, begitu terjadi kecelakaan, seringkali pihak kendaraan bermotor yang bertanggung jawab penuh. Tapi selain fakta bahwa penyebab insiden kali ini adalah anjing yang tidak dijaga, bahkan jika benar menabrak manusia, dengan latar belakang Yahan cukup menelepon saja sudah bisa menyelesaikan lebih dari separuh masalah. Wanita itu aura-nya menggentarkan, pemuda di belakangnya malah menarik bahunya: "Ibu, sudahlah..." Shasha di samping mengibaskan tetesan air dari ekor kudanya, sudah langsung berlari maju mendorong wanita tidak masuk akal itu hingga mundur beberapa langkah.
“Apa kau gila cari pukulan? Jelas-jelas kau tidak jaga anjingmu, belum lagi kami tagih tanggung jawab, kira diri sendiri apa sih...”
Karakter Shasha sejak kecil memang keras kepala, meski bertahun-tahun ini di depan Jiaming terlihat patuh, bukan berarti di hadapan orang luar juga begitu. Baru saja kaget, sekarang sudah menunjukkan sikap berhadapan layaknya di geng kriminal, setelah mendorong tak sungkan lagi mengangkat tangan siap memukul. Wanita ini ketakutan mundur dua langkah lagi, tidak berani bicara, sementara pria di belakangnya sudah maju menyergap, menggenggam pergelangan tangan Shasha.
“Kau ngapain!?”
“Pasangan pria dan wanita ini jelas hubungan ibu dan anak. Awalnya Shasha mengangkat tangan bukan benar-benar berniat memukul, hanya ingin menakuti wanita tak masuk akal itu. Namun saat ditanya pria itu dan tangannya tertangkap, setelah berusaha melepaskan diri tapi tak berhasil, akhirnya ia benar-benar marah. Pria itu bertubuh tinggi tapi beraura kalem, justru sopir bertubuh kekar yang sudah mendekat terlihat mengancam. Dengan nada dingin Shasha berkata, 'Lepaskan.' Meski kini sudah dewasa dan masih bisa mengontrol kekuatannya, tatapan matanya yang semakin dingin menandakan kesabaran gadis 17 tahun ini hampir habis.
"Nona kecil, seharusnya kau minta maaf atas kejadian tadi... Hmm..."
"Brengsek kau!"
Sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya, Shasha sudah melontarkan hujatan. Dengan gerakan cepat pergelangan tangan, ia membalikkan telapak tangan lawan. Pria itu bereaksi gesit, mengerutkan kening sambil menarik tangannya seketika. Melihat Shasha tanpa ragu menendang, ia buru-buru mundur dua langkah. Di sisi lain, sopir kekar yang baru saja bergerak tiba-tiba membeku—jari kelingking kirinya sudah terkunci dalam genggaman Jiaming yang tiba-tiba muncul di samping Shasha. Rupanya saat hendak membantu, Jiaming mendekat untuk mendorong si kecil ini, tapi malah menjerat jarinya saat mencoba bertindak.”
“Ini juga termasuk salah satu jurus andalan Jiaming. Hanya dengan satu gerakan sederhana, hampir bisa melumpuhkan kekuatan tempur orang biasa. Dengan kecepatan dan ketelitian matanya, berapa banyak orang yang bisa menghindari serangan seperti ini? Sejenak, Jiaming menyeringai, memandang mereka dengan ekspresi kekecewaan. Tangan sopir itu kaku di tempat, wajahnya menunjukkan ekspresi yang sangat seru.”
“Melihat Jiaming menyerang, Shasha semakin bersemangat. Saat hendak berlari maju untuk memukuli habis-habisan ibu-anak ini, dia ditahan Yahan dari belakang.”
“Lupakan saja, lupakan... Jiaming...”
“Mengetahui Shasha paling patuh pada Jiaming, Yahan memegang bahu Shasha namun memanggil nama Jiaming. Di sekeliling mereka, kerumunan penonton berbisik-bisik memberikan komentar. Lingjing mengeluarkan payung dari jok belakang untuk melindungi Shasha dan Yahan dari gerimis.”
“Sudahlah, hari ini ulang tahun Tante. Dia masih menunggu kita. Jika tahu terjadi kecelakaan, pasti dianggap pertanda buruk...”
“Berdiri di belakang Shasha, Yahan berbisik pelan. Hari ini memang hari penting dalam masa depan Tante Yahan. Jiaming melepaskan jari sopir berotot yang setidaknya lebih tinggi satu kepala darinya, mengangkat tangan mundur selangkah sambil menoleh tersenyum: 'Sudahlah, mobil ini memang sudah waktunya dihapuskan.'”
“Yahan mengangguk sambil tersenyum: 'Hmm.'”
“Shasha juga mengendurkan posisi siaganya, menepik-nepik hujan di bajunya: 'Kalau bukan karena ucapan kasarnya, aku bahkan malas melihatnya...'”
"Ngomong-ngomong, Yahan punya karakter tegas saat menghadapi masalah, tapi biasanya santai menghadapi hal biasa. Awalnya dikira menabrak sesuatu, membuatnya kaget. Setelah rasa kagetnya reda dan melihat tak ada masalah, malah lega sambil tersenyum girang. Apalagi hari ini ulang tahun Tante-nya. Untuk hari ini, Tante sudah beberapa hari terakhir ini bersemangat sampai paranoid. Meski dulu pernah jadi selebriti, Tante selalu berperan kompeten sebagai sosok ibu sekaligus kakak bagi Yahan. Tapi pada dasarnya, dia tetap wanita kecil yang agak angkuh, suka memihak, dan sedikit norak. Karena hari ulang tahunnya, tentu semakin sedikit masalah semakin baik. Yahan membetulkan kacamata lalu mendekat.
"Kami masih ada urusan hari ini, dan kalian pasti juga sedang terburu-buru. Bagaimanapun, kejadian ini pada dasarnya kecelakaan. Kerusakan tiang listrik dan mobil akan saya tanggung. Mari kita hentikan sampai di sini, ya? Syukurlah tidak ada yang terluka."
Sejak kecil dia mendapat pendidikan bangsawan, mayoritas bergaul dengan kelas atas. Setelah lama berinteraksi dengan orang di Akademi Hati Kudus, sekarang bicaranya penuh wibawa. Pria di depannya hendak mengangguk, tapi wanita agak gemuk yang bersembunyi di belakang anaknya berteriak: "Apa maksudmu berhenti di sini? Bagaimana dengan orang tak tahu sopan yang mendorongku tadi? Wenqing, telepon Paman Li di satuan lalu lintas..."
Saat dia mengatakan hal itu, tidak hanya Shasha, alis Yahan juga sedikit berkerut, menunjukkan kemarahan. Dia hanya tidak ingin ada hal tidak karuan terjadi hari ini, bukan karena takut. Untungnya pria bernama Wenqing segera menghentikannya: "Ibu, sudahlah, jangan diteruskan. Masalah ini memang terjadi karena tidak menjaga Xiao Huan dengan baik. Tidak ada yang terluka sudah syukur..."
"Tapi dia mendorongku! Beraninya dia mendorongku!"
Seisi blok jalan menonton. Wanita itu menunjuk Shasha sambil berteriak, menunjukkan tekad untuk tidak berhenti. Yahan kini malas berdebat. Dia membuka tas kecilnya dan mengambil telepon: "Baiklah, kita hubungi polisi lalu lintas sekalian menelepon kantor polisi untuk menangani hal ini secara konkret."
Di era ini telepon genggam masih langka. Meski di kota besar seperti Jianghai relatif lebih umum, memiliki model terbaru yang jauh lebih kecil dari batu bata hampir menjadi simbol identitas. Namun sebelum Yahan sempat memutar nomor, Shasha di sampingnya sudah merebut telepon itu dengan wajah tidak nyaman: "Tidak perlu. Biar polisi dan polisi lalu lintas mereka yang menghubungi. Aku akan telepon Paman Yang untuk mengirim 200 orang ke sini. Kebetulan wilayah ini daerah kekuasaannya..."
Dia bergumam sambil memutar nomor. Lingjing tersenyum sambil menahannya: "Lupakan saja. Orang-orang itu bertemu polisi akan merepotkan." Yahan juga mengangguk: "Iya, urusan seperti ini tidak perlu melibatkan mereka. Bagaimana menurutmu, Jiaming?"
Jiaming mengayunkan tangannya: "Aku tidak punya pendapat. Terserah kalian mau main apa."
“Ini bukan main-main……” Yahan mendengus padanya.
“Bukannya main-main, hehe……” Entah mengapa, Jiaming tidak bisa menahan tawa, kemudian mengulurkan jari menunjuk ibu dan anak di depan.
“Mau panggil orang? Kami juga bisa! Lihat saja jiwa-jinak macam apa yang bisa dipanggil anak SMA kacangan seperti kalian……”
“Bu, sudahlah ya?”
“Sudah apa? Tadi di mal ketemu Ahu, daerah sini wilayah kekuasaannya. Wenqing, jangan terlalu polos! Pada gadis nakal begini jangan sungkan! Kalau tidak diberi pelajaran, besok-besok jadi pecandu narkoba atau ayam jalanan! Aku cuma mewakili orangtua mereka memberi pelajaran, jangan sampai tidak tahu langit tinggi bumi rendah!”
Jelas, pemuda kalem itu kalah dari ibu yang kasar. Tak lama, wanita agak gemuk itu mengangkat batu bata dan menelepon seseorang bernama "Harimau": “Halo Harimau, ini tante Ruolin. Aku di luar Hotel Changhong, ketemu beberapa anak SMA nakal. Nyetir nyaris tabrak Xiaohuan sampai MATI! Sekarang mau telepon panggil orang dari kampus… Iya, kau kirim 50 orang ke sini…”
## Bagian Dua Ratus Delapan Puluh Tiga Harimau
“Halo Harimau, ini tante Ruolin. Aku di luar Hotel Changhong, ketemu anak SMA nakal. Nyetir nyaris tabrak Xiaohuan sampai MATI! Sekarang mau telepon panggil orang dari kampus… Iya, kau kirim 50 orang ke sini…”
Dari suara percakapan itu, wanita ini jelas mengirai pasir sebagai gadis nakal biasa yang langsung menghubungi sekumpulan teman sekelas saat bermasalah, memanggil orang dengan nada geng kriminal yang penuh kesombongan. Menyaksikan pemandangan ini, Jiaming tampak cukup tertarik, sementara tiga wanita di sampingnya belum selesai berdiskusi tentang siapa yang akan dihubungi, tiba-tiba telepon berdering lebih dulu. Yahan segera menerima: "Halo? Tante... Iya, kami sedang mempersiapkan untuk segera datang, sedang belanja di jalan. Siapa kami... Aku dan teman-temanku lah, tentu ada pria dan wanita... Hei, jangan-jangan kamu benar-benar mengatur kencan buta untukku..."
"Kencan buta? Aku lihat kalian bisa pergi atau tidak hari ini..." kata wanita di kejauhan.
"...Hujatan? Nggak kok, itu suara bising jalanan. Kami akan segera sampai... Benar-benar nggak ada masalah, cuma ada orang yang bertengkar di jalan. Kamu tahu lah, teriakan hujatan di jalan, kami sedang asyik menonton..."
Saat dia berkata demikian, penonton yang mengira akan ada perkelahian massal mulai bubar perlahan. Dua satpam yang berlari keluar dari hotel melihat ada kecelakaan mobil, bergegas mendekat untuk memeriksa situasi, tapi langsung diusir dengan marah oleh wanita itu. Mungkin karena wanita ini baru-baru ini tinggal di hotel, para satpam tahu dia memiliki sedikit pengaruh.
Hujan sebenarnya tidak terlalu deras, di kedua sisi jalanan masih ada orang yang berjalan di tengah hujan, kalau mau pakai payung bisa pakai payung, kalau mau diabaikan juga bisa diabaikan. Pria kalem itu tak bisa menghentikan ibuku, sepertinya juga mulai kesal dengan tingkah laku Shāshā. Untuk sementara dia diam, merenung sejenak lalu merasa tak pantas, dengan wajah kesulitan mengayunkan tangan ke arah Jiaming: "Kalian pergilah dulu..."
Ini sebenarnya niat baik, tapi Yahan yang sedang berinteraksi dengan tante kecil yang tak kenal lelah, melihat gerakannya malah langsung mengangkat mata ke samping, enggan menghiraukannya. Wanita di belakang justru berteriak: "Pergi? Kalau berani, jangan pergi!"
Jiaming dan yang lain tentu takkan pergi. Dia bersandar di ekor mobil dengan sikap menghibur, Yahan berdiri di samping sambil menghubungi telepon, Lingjing memayungi ketiganya dengan payung besar sambil menunjukkan kemarahan halus di alisnya yang indah. Shāshā berlari ke telepon umum tak jauh untuk menelepon lalu kembali: "Tadi mau hubungi Paman Yang, baru ingat dia sedang urusan dengan ayah beberapa hari lalu, mungkin masih bernegosiasi. Aku sudah hubungi Paman An untuk minta bantuan, tapi ini bukan wilayahnya jadi mungkin agak lama..."
Dia melirik Jiaming di sebelah: "Aku juga tidak serius minta bantuan, lagian juga tidak akan ada perkelahian. Paman An punya koneksi bagus dengan pemerintah..."
Sasha bukan anak kecil lagi. Waktu yang dihabiskan bersama ayahku memang tidak terlalu lama, tapi dia sudah melihat banyak hal. Dalam situasi ini, kecelakaan mobil dan cekcok, meski daerah sini tidak terlalu ramai, bukanlah tempat terpencil. Orang yang datang pertama kali kemungkinan besar polisi, bukan geng kriminal. Apalagi Jiaming ada di sini, dia memang tak pernah takut apapun.
Sekitar satu dua menit berlalu. Yahan mematikan telepon. Sekelompok orang berjalan lurus dari ujung jalan jauh, menyeberangi jalan raya dengan gagah. Pria berbadan besar di depan terlihat sangat berotot, bahu lebar seperti harimau. Wanita di seberang mengayunkan tangan: "Hei, sini!" Kemudian menoleh: "Kenapa? Teman sekelas kalian belum sampai juga?"
Tak lama kemudian, pasukan 30-40 orang memadati area ini. Pria berbadan harimau di depan sedang menyapa wanita paruh baya sambil memperkenalkan pria lain yang posisinya satu tingkat lebih tinggi. Pria ini postur sedang, berpenampilan kalem. Bagian bawah memakai celana jeans, jaket kulit hitam di atas terbuka memperlihatkan T-shirt bergaris. Wajahnya memang terkesan intelek, tapi sikap dinginnya yang berdiri di sana secara alami memancarkan aura tegas. Melihat satu Baron dan tiga gadis yang masih bisa tersenyum meski dikepung, dia jelas canggung menyeringai, lalu dengan lesu mengamati orang-orang di sekitarnya sambil mendengar "Kakak Harimau" memperkenalkan mereka.
"Tante Ruolin, ini Kakak Meng. Sejujurnya, di Kota Jianghai ini, ada hal yang tidak bisa kuselesaikan sebagai Harimau, tapi tidak ada yang tidak bisa diselesaikan Kakak Meng... Kakak, dulu pernah kubicarakan, paman saya punya perusahaan di Shandong. Ini tanteku, dan ini anaknya Wenqing, Ruan Wenqing, lulusan magister Universitas Peking, sekarang pengacara ternama. Awalnya aku ingin merekrutnya ke perusahaan kita. Wenqing, ini Kakak Meng."
Pria berotot berjuluk Harimau terlihat akrab dengan Xiao Meng, menepuk bahunya sambil menggoyang-goyangkannya. Xiao Meng mengikuti gerakan itu dengan lesu. Wanita di sampingnya menyungging senyum lebar dan mengulurkan tangan: "Hehe, Halo Kakak Meng. Wenqing, salam dong..."
"Kakak Meng." Wenqing mengangguk sambil tersenyum, juga mengulurkan tangan ke Xiao Meng. Memandang pemimpin geng kriminal yang berpenampilan sama inteleknya ini, ia terlihat agak hormat, namun senyumannya tetap sopan dan pantas. Tapi pria itu hanya melirik sekilas ke ibu-anak ini, tangan di kantongnya tetap tak bergerak, membuat mereka agak canggung. Harimau pun berkedip, senyumnya sedikit kaku, tak mengerti mengapa Kakak Xiao Meng tidak memberi muka sama sekali.
Tapi di Shazhu Bang, Xiao Meng memang tidak dianggap sebagai manusia normal. Biasanya terlihat berpendidikan dan dingin, tapi saat diperlukan bisa tersenyum dengan hangatnya. Namun saat membabat orang, dia benar-benar seperti orang gila. Mungkin karena kegilaannya inilah dia menjadi ketua cabang termuda di geng. Meski hubungan sehari-hari cukup baik, karena posisinya satu tingkat lebih rendah dari Xiao Meng, dia tidak berani banyak bertanya, hanya mengira mood mereka lagi jelek. Sambil memberi isyarat pada ibu dan anak yang canggung itu untuk menarik kembali tangan, dia segera memalingkan wajah dan berjalan ke arah satu Baron dengan tiga gadis di tengah kerumunan.
Polisi mungkin segera datang, semua urusan harus diselesaikan cepat-cepat.
"Kalian yang nyetir nyaris nabrak orang sampai MATI masih lancang mau mukul ya? Dari kampus mana kalian?" Dua kalimat pertama masih terdengar sinis, tiba-tiba nada suaranya berubah keras seperti teriakan, "Kalian ngapain! Cantik-cantik kok jadi cewek nakal! Nyawa-nyawa ikan kali——"
Suku kata terakhir terdengar aneh dan memanjang, karena bersamaan dengan teriakannya, tatapan Xiao Meng yang sedang mengamati kaki orang-orang tiba-tiba menjadi dingin. Ruan Wenqing yang punya dasar ilmu bela diri di sampingnya langsung terkejut. Seketika dia melihat pria berkemeja kulit hitam itu mendongakkan kepala dengan kasar.
“Dulu dia pernah belajar bela diri seperti karate, taekwondo dan sejenisnya untuk perlindungan diri. Saat ini sudah mencapai tingkat sabuk hitam, tapi bagaimanapun juga tetap tidak percaya dengan hal-hal seperti niat membunuh. Namun kali ini, pandangan pria di depannya membuat hatinya merasakan dingin yang tak tertahankan. Sebelum sempat bereaksi, Hu Ge sudah ditendang keras oleh Xiao Meng dari belakang hingga terjungkal ke depan. Helai jaket kulit hitamnya masih berkibar di udara, ketika kilatan pisau tiba-tiba muncul di tengah rintik hujan.”
“Clang——”
“Waah...” Entah sebagai pujian atau terkejut, Shasha dan Lingjing, Jiaming dan Yahan masing-masing melompat ke sisi berlawanan. Perubahan situasi yang terjadi sekejap ini tidak bisa direspon oleh para anak buah di sekeliling. Saat mereka baru ingin bergerak, torso tubuh Hu Ge sudah dibanting Xiao Meng ke bagasi mobil di depan. Sebuah kapak tebangan menghunjam dari pipi kanannya langsung menembus plat besi di dalam bagasi mobil.
Satu detik, dua detik, tiga detik... Pertama kali muncul di benak kelompok ini adalah frasa "pembersihan internal". Posisi Xiao Meng di Shazhu Bang satu tingkat lebih tinggi daripada Harimau, meski sebenarnya bukan atasan langsungnya. Sebelumnya mereka masih bercanda, tiba-tiba sudah menghunus pisau. Logika pertama yang muncul tentu saja dugaan pengkhianatan Harimau terhadap geng, sehingga mendapat perlakuan ini. Tapi sekalipun mau membersihkan internal, tidak seharusnya dilakukan di jalan ramai seperti ini. Apalagi status Xiao Meng lebih tinggi, buat apa melakukan hal yang pasti membuatnya ditangkap polisi. Para anggota geng yang mengerumuni pun bingung harus bagaimana. Adapun ibu dan anak itu, sudah benar-benar terpana, sama sekali tak paham situasi.
Suara pertama yang terdengar justru berasal dari Jiaming di samping: "Wah, perlu segitunya..." Seolah decak kagum, tapi juga terdengar ingin tertawa.
"Kak... Kakak Meng..." Napas panasnya mengenai pisau baja dingin di pipinya, Harimau merasa sulit mengontrol nada bicaranya, "Ini ada apa, aku... aku tidak berbuat salah pada perusahaan, kau..." Dia menelan air liur, keringat dingin mengalir.
"Aku bukan bosmu, tidak berencana apa-apa..." Perlahan menarik kapak tebangan, pandangan dingin Xiao Meng menancap padanya. Hanya setelah menyimpan pisau di balik jaket kulit, barulah dia melepas cengkeramannya, "Setelah Lao Yang kembali, temui dia sendiri untuk menerima hukuman geng."
Suara itu terdengar angkuh dan dingin, bahkan pandangan yang dia lemparkan ke ibu dan anak itu terasa menusuk hingga ke sumsum tulang...
“Kau mau... ngapain...” Dengan rasional, Ruan Wenqing merasakan sesuatu yang aneh. Ia menghadang di depan ibuku. Harimau juga telah berdiri, mengambil dua kali napas dalam untuk menenangkan mood-nya. Tatapan Xiao Meng memberikannya perasaan yang sangat tidak baik.
“Ka-Kakak Meng... Bicaralah baik-baik, sebenarnya apa masalahnya... Apa yang salah kulakukan...”
Suaranya gemetar tak tertahan. Kontaknya dengan Xiao Meng tidak bisa dibilang banyak atau sedikit. Pemandangan seperti ini sering ia lihat sebelumnya, biasanya saat guild memanggilnya untuk "urusan". Saat itu Shazhu Bang masih berkembang, terkadang saat berebut wilayahku dengan orang lain terjadi konflik yang cukup sengit. Xiao Meng selalu membawa sikap dingin ini, bahkan saat berhadapan dengan jumlah yang lebih banyak ia tetap berlari maju, menghadapi mereka secara langsung. Kadang dengan memotong-motong satu orang lalu belasan hingga dua puluh pisau sampai hancur, banyak veteran dunia persilatan yang muntah melihat pemandangan mesum itu, hingga benar-benar kehilangan kekuatan tempur.
Secara umum, jika tidak memiliki pencerahan untuk mengorbankan nyawa, Xiao Meng yang seperti ini tak boleh disentuh.
Dia tahu. Karena itu dia juga tidak berencana menyentuh, hanya menguji sambil berharap dalam hati polisi segera datang. Persis saat itu, sebuah bayangan tiba-tiba melompat dari samping dan menendang Xiao Meng.
Shasha sangat kuminati, jadi dia melompat sambil tersenyum, memberikan tendangan ringan di kaki Xiao Meng: "Keren banget, Kakak Xiao Meng. Lain kali aku suruh ayahku traktir kamu makan."
"Mantap." Jiaming juga tersenyum mengacungkan kedua jempolnya, lalu mengangkat tangan ke arah ibu dan anak yang masih memucat dan bingung itu.
"Teman sekelas SD."
## Bagian Dua Ratus Delapan Puluh Empat Kencan Buta
Lewat jam tiga lebih, taksi berhenti di gerbang Hotel Gu Yuan. Jiaming dan yang lain turun dari mobil, hujan masih turun.
Mood Shasha sangat bagus karena tadi di jalan, kehadiran Xiao Meng membuatnya sangat menjaga muka. Di depan ibu dan anak yang masih pucat itu, dia melambaikan tangan dengan royal: "Sudah, kami nggak akan memperpanjang." Lagipula dengan sudah menang di, gadis muda yang mudah kuminati seperti dia sudah puas.
Melihat situasi saat itu dimana Xiao Meng tampak siap MEMBUNUH kapan saja, wanita yang masih gemetar itu tak berani lagi mengganggu. Yahan tidak ingin hal tabrakan sampai ke telinga Tante, jadi mereka langsung menyewa taksi menuju pesta baijiu.
Ini adalah salah satu hotel bintang empat super mewah di Kota Jianghai. Pada sore hari seperti ini, sebagian besar tamu tentu belum berangkat, tapi ada juga beberapa yang datang lebih awal. Mereka ini umumnya adalah kerabat lama Tante. Meskipun sebelumnya Tante dianggap sebagai nyonya rumah Keluarga Zhang, posisi aslinya tidak terlalu tinggi. Kerabat-kerabat ini hanya bisa menjalin koneksi kecil untuk bisnis sederhana, dan tidak pernah benar-benar bisa mengintegrasikan diri ke dalam atmosfer keluarga besar Zhang. Terhadap situasi ini, Tante punya sedikit kekecewaan.
Meskipun jamuan ulang tahun ini lebih bertujuan untuk bisnis Zhang Jing'an dengan orang lain, semua orang tahu posisinya telah meningkat signifikan. Hati Tante senang, sehingga dia memberitahu kerabat di sekitar Jianghai untuk datang. Di satu sisi dia berharap keluarga dari pihak ibu bisa menunjukkan wajah, di sisi lain setelah bertahun-tahun di Keluarga Zhang, orang-orang hanya mengingat istri sah Zhang Jing'an dan ibu kandung Yahan, sementara dirinya dianggap seperti hiasan. Meskipun keluarga almarhumah ibu Yahan memiliki kekuatan yang besar sehingga dia tak bisa berkata-kata, tetap saja ada kecemburuan dalam hati. Sekarang akhirnya ada hari dimana posisinya naik, jika tidak memberi tahu keluarga, bukankah itu seperti memakai baju mewah di malam hari? Apa lagi kesenangannya.
Sejak masuk ke aula, terus-menerus bertemu orang dan menyapa. Saat melewati ruang santai dekat taman, sekelompok besar kerabat datang—kebanyakan sepupu, saudara sepupu, keponakan dari pihak ibu tiri Yahan. Yahan tampak sangat akrab dengan mereka, menyapa dengan sebutan paman, bibi, kakak sepupu sambil memperkenalkan Jiaming dkk. Ibu tiri bermarga Liao, jadi Jiaming, Lingjing, dan Shasha memanggil mereka Paman Liao, Tante Liao sepanjang jalan.
Di villa keluarga Zhang, Zhang Jing'an sebagai kepala keluarga sibuk dengan segudang urusan. Para kerabat ini jika ada keperluan biasanya takut mengganggunya. Selama beberapa tahun terakhir, jaringan hubungan ibu tiri bahkan lebih sempit daripada Yahan. Banyak urusan yang membutuhkan bantuan pihak-pihak tertentu akhirnya secara alami merujuk ke Yahan. Seiring berjalannya waktu, para kerabat ibu tiri ini pun menjadi akrab dengan gadis berstatus tinggi namun ramah dan mudah didekati ini.
Setelah menyapa semua orang dan menemukan ibu tiri di aula pesta, ibu tiri berusia tiga puluhan ini sedang memegang beberapa kertas sambil mengerutkan alis mengecek meja makan satu per satu. Cheongsam merah menyala yang melekat di tubuhnya menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Rupanya yang ditata rapi membuktikan bahwa mantak selebriti yang pernah populer ini memang memiliki modal fisik yang memukau.
Namun, wanita yang masih tetap anggun ini tampaknya sedang dilanda kegelisahan karena jamuan hari ini. Ia mengetuk-ngetuk dahinya dengan ujung penghapus pensil yang ada di tangannya. Begitu melihat Yahan muncul, dia langsung melambaikan tangan seolah melihat juru selamat: "Yahan! Sini, cepat ke sini..."
"Tante, selamat ulang tahun."
"Tante, selamat ulang tahun..."
Melihat kepanikan wanita di depannya, jika hanya Yahan yang datang, mungkin dia tak akan menghiraukan ucapan selamat ulang tahun ini. Tapi ketika Jiaming dan yang lain mengeluarkan hadiah ulang tahun berbentuk kotak kecil dari pangkuan mereka, wajah sang tante langsung merekah senyum cemerlang nan ramah. Dia sudah pernah bertemu ketiganya. Setelah saling menyapa, dia memberikan amplop merah kepada masing-masing, mengobrol sebentar, baru kemudian menyodorkan kertas berisi daftar nama dan kursi ke hadapan Yahan sambil bertanya seolah santai.
"Yahan, kau kenal bos Yurong?"
"Hmm, bos Yurong?" Yahan mengerutkan alisnya, "Aku pernah beberapa kali bertemu, namanya Zhao Congdong ya? Ada apa?"
"Iya, awalnya kumasukkan dia di meja bos Ji dari perusahaan Dafu. Tapi katanya istri mereka pernah cekcok dulu. Menurutku harus pindah meja, tapi belum nemu konkret mau tukar dengan siapa. Bidang Yurong agak niche, harus cari orang yang punya topik bahasan sama, lalu..."
“Suruh dia duduk di sebelah Manajer Liang dari Tongxing. Manajer Liang itu orangnya pandai bicara, paling jago menghidupkan suasana. Meski bisnis mereka tidak ada hubungan, tapi kudengar mereka berdua suka baseball, jadi pasti ada bahan obrolan.” Yahan mengetuk posisi Manajer Liang di kertas.
“Ooh.” Tante kecil menggoreskan pensil di kertas sambil tersenyum, “Aku tadinya mau pindahkan dia ke sisi Bos Gu di Yunshui Ju.”
“Bos Gu...” Yahan memandang daftar tamu di meja itu, tersenyum sambil menaruh jari di bibir, berbisik, “Kalau cuma Bos Gu sih tidak akan bikin suasana jadi kaku. Tapi Juna juga ada di sana. Dia punya hubungan rahasia dengan Zhao Congdong. Karena istri Direktur Zhao ikut datang, mungkin akan jadi canggung.”
“Benarkah?”
“Aku juga hanya dengar kabar.”
“Ooh... Lalu ada Bos Zhu dari Changdong Liansuo, aku masih bingung mau taruh di mana...”
Jika ini adalah jamuan biasa, mungkin semua orang akan duduk sembarangan saja. Namun, dalam jamuan besar seperti ini, bagaimana mengatur posisi, bagaimana membuat tamu dan tuan rumah senang, bagaimana menonjolkan identitas seseorang, bagaimana mencegah orang berkeparakter kaku merasa canggung atau diabaikan, menjadi ilmu yang rumit yang menguji kemampuan Tuan dalam hubungan interpersonal. Biasanya hal-hal ini ditangani Zhang Jing'an dan wakilnya. Kali ini tugas ini diserahkan kepada Tante sendiri. Meski sudah diberi banyak petunjuk, tetap ada yang terlewat. Setelah berdiskusi selama dua puluh menit dengan Yahan di meja bundar besar itu, akhirnya selesai juga. Barulah Tante menarik napas lega, lalu teringat satu hal penting yang harus dilakukan.
"Oh ya Yahan, maaf aku panik sampai lupa memperkenalkan. Ini anak laki-laki sepupuku, Wen Congyi. Dia baru kembali dari studi di Amerika. Kalian kenalan dulu. Mungkin dia bisa jadi Guru di Akademi Hati Kudus, siapa tahu."
“Sambil tersenyum, dia berbalik dan menangkap seorang pemuda bertubuh tinggi. Wen Congyi ini usianya hampir sama dengan Ruan Wenqing yang baru saja dilihat, hanya saja dari dalam tulangnya terpancar kesan kesepian dan arogan. Bukan kesan arogan bawaan seorang penguasa, melainkan lebih bernuansa ekstrem. Baru saja Tante dan Yahan mengatur tempat duduk, Jiaming, Lingjing, dan Shasha hanya duduk minum teh sambil memperhatikan. Melihat situasi ini, Lingjing melirik Jiaming dan Shasha dengan tatapan bangga, seolah berkata: 'Sudah kukatakan kan, ini pasti kencan buta...' Suasana menggantung penuh pandangan menggoda.
Wen Congyi jelas-jelas sudah sejak tadi ditahan oleh Tante di sini. Secara umum, dalam situasi seperti ini, memperkenalkan pria dan wanita seusia dengan nada agak menggoda, sudah jelas mengarah pada kencan buta. Wen Congyi mengulurkan tangan: "Halo, saya Wen Congyi." Yahan justru pertama-tama melirik ke arah Jiaming. Melihat Jiaming pura-pura tidak melihat sambil memegang cangkir teh, sementara Lingjing dan Shasha saling bertukar pandangan menggoda, barulah ia menunjukkan senyum formula sambil mengangguk dan berjabat tangan, lalu langsung melepaskan: "Halo." Terlihat seperti dua manajer perusahaan yang sedang melakukan serah terima formal. Sebelum Wen Congyi sempat melanjutkan obrolan tak bernutrisi, Yahan sudah mengambil tas kecilnya.
"Ngomong-ngomong, Tante. Kalau tidak ada hal lain, aku ajak Jiaming mereka jalan-jalan dulu. Katanya ruang hiburan di sini baru datangkan beberapa mesin game besar. Ada perlu telepon saja."
“Eh……” Tante tertegun sejenak. Wen Congyi yang secara nominal adalah keponakannya, sebenarnya hanya beberapa tahun lebih muda darinya. Sejak kecil, nilai akademik dan kemampuan olahraganya luar biasa. Setelahnya, ia bahkan bisa studi ke luar negeri. Di mata sang bibi, ini benar-benar keunggulan yang tak terbantahkan.
Beberapa bulan lalu, saat mengetahui Yahan jatuh cinta pada seorang wanita, ia sudah mulai menentang. Hanya saja di kapal saat itu, gadis bernama Jian Suyan yang mampu menghancurkan segalanya dengan tangan kosong benar-benar membuatnya ketakutan. Ditambah ingatan akan tindakan semena-mena MEMBUNUH dengan senjata di jalanan New York dulu, ia tak berani protes terang-terangan. Akhirnya, rencananya adalah memperkenalkan beberapa pria hebat agar Yahan bisa kenalan. Begitu tahu Wen Congyi pulang ke tanah air, ia langsung mengatur pertemuan keduanya. Meski ada motif "air subur tak mengalir ke sawah orang lain" dalam niatnya, secara umum ini demi kebaikan Yahan. Tapi siapa sangka si gadis ini begitu lihai, langsung menghilang dengan mobilnya begitu kontak pertama, menunjukkan penolakan yang gamblang. Saat tersadar, Yahan sudah menarik Lingjing dan Shasha sambil tertawa berlari menjauh. Jiaming meletakkan cangkir teh, buru-buru menyusul.
“Dasar Nona…” Tante menghentakkan kaki, menyeringai masam penuh kekecewaan. Kemudian menoleh sambil tersenyum memperkenalkan hal-hal menarik pada Wen Congyi. Tentu ia harus mengalihkan topik agar keponakannya tak merasa canggung: "Aku membawamu untuk kencan buta, tapi dia sama sekali tak tertarik. Nilai manfaatmu sudah habis."
Dengan cepat meninggalkan aula jamuan ini, baru memperlambat langkah setelah sampai di lorong. Lingjing tertawa sambil berkata: "Lari cepat-cepat ngapain, Kak Yahan? Menurutku Wen Congyi itu ganteng lho. Benar kan dugaanku, memang mereka buru-buru memanggilmu untuk kencan buta." Dia terlihat cukup bangga.
"Ganteng bagaimana pun, bukan tipe yang aku suka." Yahan tersenyum sambil mengangkat bahu, penampilannya dengan gaun musim semi yang segar dan elegan membuat gerakan ini terlihat penuh percaya diri dan kecerdasan, "Dan kalian semua, awalnya di mobil bilang begini begitu, Jiaming jadi pacarku, Lingjing kamu jadi pacarku. Aku sudah punya pacar cowok dan cewek, tapi akhirnya? Begitu ada masalah kalian malah berpura-pura jadi teko teh..."
"Merusak jodoh orang bisa masuk neraka lho, siapa tahu kamu jatuh cinta pada pandangan pertama sama si ganteng." Shasha tertawa kegirangan melihat kesialan orang. Sekarang dia sudah punya Jiaming, hubungan mereka juga relatif terbuka. Untungnya tidak ada yang menjodohkannya, kalau tidak pasti dia akan menghujam atau langsung kabur, mungkin bahkan enggan berjabat tangan.
“Lain kali jika ada hal seperti ini lagi, aku akan mendorong Jiaming keluar.” Dia berpura-pura kesal sambil tersenyum, hati kecilnya justru bahagia. Dengan ini dia bisa terang-terangan melakukan tindakan menggoda dengan Jiaming. Sayangnya sejak awal sudah bilang ke Tante bahwa dirinya lesbian, kalau tidak, kali ini bisa pakai Jiaming sebagai perisai pembenaran. Setelah berpikir sejenak, dia tersenyum: “Tapi, Lingjing, menurutmu Wen Congyi ini sangat cantik? Bagaimana kalau kita perkenalkan dia jadi pacarmu?”
“Jangan! Dia juga bukan tipenku.”
“Kau suka jenis yang mana?”
“Yang seperti Sasha dong.” Jawaban satu-satunya untuk pertanyaan semacam ini, Lingjing seperti biasa langsung memeluk Sasha. Tapi tiba-tiba Sasha berteriak "Aaaaa!", Jiaming tersenyum sambil berlari dari belakang, memeluk pinggang Sasha lalu langsung lari ke depan: "Ini kan Nyonya Dang-ku, kalau mau peluk cari Kakak Yahan saja!"
Ketiganya kini telah berubah wujud menjadi manusia dewasa. Sasha yang paling tua berusia 1,67 meter, basically sudah berhenti berkembang. Di hari-hari biasa, gadis paling energik dan ceria ini justru memberi kesan paling mandiri dan matang——meski semua tahu dialah yang paling manja dan suka merajuk di rumah——dengan gaya kasual yang nekat dan ekor kuda yang tertata rapi. Kini dipeluk Jiaming hingga kakinya sedikit terangkat, tangannya terikat di pinggang tak bisa bergerak, seolah "diangkat" pergi. Pipinya langsung memerah sambil berteriak malu.
Kalau pria lain yang tiba-tiba memeluknya seperti ini, pasti langsung kena serang balik. Tapi terhadap Jiaming, tak ada sedikitpun kehendak melawan. Setelah berlari beberapa meter dan berhadapan dengan Yahan dan Lingjing, barulah tubuhnya meronta-ronta: "Lepaskan! Aku rasa aku lebih suka Lingjing sih."
“Ya, turunkan Sha Sha ku!” Terkapar kosong, Ling Jing berkata sambil tersenyum. Mengenakan gaun musim semi putih polos sederhana ala gadis, rambutnya yang baru dipotong kemarin membentuk siluet cantik nan patuh namun tetap memancarkan kecerahan. Namun ancaman yang diucapkannya sambil tersenyum tetap terdengar manja. Jia Ming memiringkan tubuh Sha Sha ke samping agar tak menghalanginya: "Bercanda, kapan pernah aku melepaskan begitu mudah setelah merebutnya?" Yang agak menyebalkan, tinggi badannya sekarang hampir sama dengan Sha Sha. Meski masih terus tumbuh, diperkirakan paling-paling hanya mencapai 1,75 meter - jauh dari postur gagah perkasa.
Koridor di sisi ini luas dengan pencahayaan yang baik. Di satu ujung terdapat aula sedang, sementara di sisi lain tak jauh dari sana terdapat taman indoor hias yang besar. Beberapa pelayan sesekali melintas di kejauhan, kadang melirik ke arah kumpulan si cantik di sini. Dengan senyum kecut, Ling Jing mencabut seikat bunga dari vas besar di sampingnya lalu mulai mengejar Jia Ming dan Sha Sha. Jia Ming yang menggendong Sha Sha segera kabur, berlarian mengitari pilar di dekat taman indoor itu. Suara tawa dan jeritan pun bergema silih berganti.
Byur-byur-byur, boom-boom-boom! Kelopak bunga merah muda beterbangan dan berhamburan. Ya Han juga ikut mengambil seikat bunga lalu membantu mengejar, di dalam hatinya bergumam: Kapan ya Jia Ming bisa menggendongku berlarian kocar-kacir seperti itu?
Di dalam hatinya berpikir demikian, cheongsam merah marun justru muncul di ujung lorong, melirik ke arah sini beberapa kali, kemudian memanggil "pipis" beberapa kali sambil mengayunkan tangan ke arah ini. Yahan tersenyum lalu berhenti, melihat Wen Congyi tidak ikut, baru berjalan mendekat: "Tante, ada apa?"
"Masih tanya ada apa?" Tante menghela napas, meliriknya dengan kesal, "Menurutku Xiao Wen itu baik makanya kuperkenalkan padamu, setidaknya bertemanlah, langsung kabur begitu saja, kau takut padanya?"
“Sudah berhenti pakai taktik provokasi?” Yahan membenahi rambutnya sambil tersenyum anggun, “Berteman saja, aku kan sudah tahu kalian. Sekarang jadi teman, nanti malah repot. Aku lebih suka pertemanan yang alami, bukan yang dipaksakan lewat perkenalan. Lagipula dia sama sekali bukan tipe pria yang kusuka.”
“Xiao Wen itu banyak cewek di Amerika yang suka padanya……”
“Playboy besar.”
“Hmm……” Tante sadar telah ceplas-ceplos, kembali meliriknya, “Tapi tidak bisa langsung bilang dia playboy. Aku cuma bilang dia populer di kalangan cewek. Baiklah, kalau dia bukan tipemu, terus tipe pria seperti apa sih yang kamu suka?”
“Tante! Kan kamu sudah tahu, aku sudah punya Suyan!”
“Cewek dengan cewek ngapain sih, kalau gitu kau dengan Tante juga boleh dong?” Tante mengerutkan kening dengan kesal, “Aku juga nggak mau maksa, tapi akhirnya kan kau harus menikahi pria. Apalagi Jian Suyan itu juga lama nggak dateng nengokin kamu. Enakan kalau suka anak laki-laki, hal ini aku aja nggak berani bilang ke Ayah. Hubungan kalian baru mulai membaik, kalau sampai dia tahu, entah bakal jadi kayak apa...”
“Yah Tante tolong dijaga kerahasiaannya dong.” Di kejauhan, Jiaming dan yang lain sudah berhenti berkejaran, sambil bercanda menunggunya. Yahan melirik diam-diam ke arah Jiaming, “Lagipula Suyan kan kamu tahu, dia punya kecenderungan kekerasan dan pendendam. Dulu demi aku di New York, dia membunuh orang seenaknya tanpa peduli. Polisi aja nggak bisa tangkap. Kalau aku sampai suka sama pria, hmph... Keluarga kita bisa jadi sasaran balas dendamnya. Kalaupun cuma aku yang jadi korban, bisa-bisa aku ditangkap, diperkosa dulu baru dibunuh, diperkosa lagi dibunuh lagi ratusan kali. Entah bakal pakai cara penyiksaan apa lagi...”
Dari kejauhan, Jiaming melototi sinis. Yahan tersenyum semakin bersemangat: “Mungkin kayak di TV, aku bakal ditelanjangin dikurung di ruang rahasia, dilarang keluar selamanya. Setiap hari dicambuk kulit, ditetesin lilin, dijadikan waifu...”
“Jangan ngasal, TV mana yang nayangin gituan...”
“Emm... maksudku rekaman video...”
Tante hati ketakutan, melotot padanya, "Bagaimana kau... menonton hal semacam itu... itu rekaman video, di realita mana mungkin ada..." Sebelumnya saat Yahan kabur dari pernikahan, Jiaming membawa rekaman video Liu Wenli menyiksaku perempuan, kebetulan dilihat Tante, sehingga kali ini tidak terlalu aneh.
"Dia nonton bareng aku lho, kalau dia mau melakukannya, Tante bayangkanlah, apa lagi yang tidak bisa dia lakukan..." Melirik Jiaming yang berwajah kekecewaan, senyumnya bersinar cemerlang.
Bagi manusia biasa, tentu takkan terpikir ke sana, tapi Tante memang pernah menyaksikan Kekuatan Jian Suyan, dalam hati juga menganggap wanita itu monster, mesum, begitu dipikir malah semakin khawatir: "Lalu, lalu bagaimana dong, kau tetap harus menikah, main-main dengannya selagi muda masih bisa dimaklumi, kau tidak mungkin seumur hidup tidak punya pacar kan, ini..."
"Sudah, aku paham, Tante, ke depannya tak perlu repot menjodohkanku ya. Urusan ini perlahan bisa kutangani sendiri. Aku tahu Tante bermaksud baik, hmm? Sini, ciuman... Hmm aah——"
Ia merangkul Tante, mencium pipinya dengan keras meninggalkan bekas lipstik samar. Tante masih gelisah, tapi mendengar perkataan Yahan, akhirnya menghela napas pasrah: "Baiklah, yang penting kau bisa menangani... Sebenarnya Xiao Wen cukup baik..." Sambil berkata demikian, ia mengeluarkan cermin rias dari tas kecil, kembali melotot kesal pada Yahan sebelum berbalik lari: "Sekarang harus merias wajah lagi..."
Berhasil menakuti Tante yang cerewet dan bersemangat, waktu sudah mendekati pukul empat. Awalnya berencana meminta Jiaming menyetir mobil untuk menjemput Ayah-Ibu Ye, tapi sekarang mobilnya tidak ada. Akhirnya hanya bisa menelepon dan meminta mereka naik taksi sendiri.
Mungkin Shasha yang paling antusias terhadap game elektronik. Namun dalam tim empat orang ini, Jiaming tidak terlalu tertarik pada hal-hal hiburan. Yahan sebagai anggota tertua sekaligus guru ketiganya secara formal, tentu tidak akan banyak mengusulkan kegiatan rekreasi. Meski Lingjing juga menyukai jalan-jalan, belanja, melihat perhiasan mewah dan rias wajah premium seperti gadis sebaya pada umumnya, dia lebih suka membaca – kebiasaan yang mungkin terkait gaya hidup hematnya, karena relatif lebih murah dibanding hobi lain. Untuk hiburan lain, dia tidak punya pendapat khusus. Akhirnya, atas usulan Shasha, mereka pergi ke game center besar di dalam hotel untuk mengisi waktu sebelum jamuan dimulai.
Tembakan rumah hantu、motor、pertempuran mobil……Empat bayangan dibagi menjadi dua atau tiga kelompok acak, memainkan satu per satu game. Game yang disukai gesekan relatif mengandung kekerasan, misalnya game tembakan, atau kejar-kejaran mobil sambil menembak, sering membentuk tim dengan Jiaming untuk menyiksaku monster di mesin game. Yahan dan Lingjing lebih menyukai hal-hal yang tenang, kadang bermain balapan atau pukul tikus tanah bersama, kadang juga berpisah. Sekitar mendekati pukul lima sore, Yahan perlahan mengumpulkan poin di mesin slot, sementara Lingjing pergi ke sisi lain untuk memainkan game kuis kecerdasan.
"Ayo Jiaming, cepat ke sini, aku tidak bisa ini……"
Di tempat tidak jauh, Jiaming dan gesekan sudah bosan dengan game tembakan rumah hantu. Gesekan sedang mencari proyek menarik berikutnya. Lingjing berbalik, memanggil Jiaming, lalu ketika menoleh kembali, ruang di sampingnya sudah diselimuti bayangan hitam.
"Tidak bisa? Aku ajari ya……Soal ini harus pilih D."
Satu tangan menahan mesin game, satu lagi menahan sandaran kursinya, Wen Congyi yang baru saja diperkenalkan Tante kepada Yahan sekarang berdiri dalam posisi setengah memeluk di sampingnya dengan senyum angkuh yang mungkin memikat banyak orang. Menghadapi sikap berakrab-akrab seperti ini, Lingjing mengerutkan alis: "Maaf, bisakah kau sedikit minggir?"
## Bagian 285 Lorong Berhadapan
"Maaf, bisakah kau sedikit minggir?"
Pria itu bersandar di samping mesin game, senyumnya akrab, aroma Naga Kuno yang samar tercium. Lingjing mengerutkan alis. Baru saja Tante Yahan jelas-jelas ingin menjodohkan Yahan, meski dia duduk bersama Jiaming dan Shasha, mereka bahkan tidak menyapa pria ini. Paling-paling hanya saling pandang sekilas. Kini dia mendekat dengan sikap akrab yang berlebihan, seolah sudah kenal lama. Ini jelas keterlaluan.
Bukan berarti Lingjing gadis yang sangat konservatif, alergi pada pria selain pacarnya. Di luar Jiaming, dia selalu punya ruang pribadi: bermain kecapi, membantu membuat papan buletin, ikut klub literasi. Dengan anak laki-laki biasa pun dia bisa bercanda. Tapi keakraban pasti ada batasnya. Sikap Wen Congyi saat ini bahkan jelas melebihi batas pertemanan biasa dalam hatinya. Gadis yang selalu menjaga etika ini pun tak segan menunjukkan ketidaksukaannya.
"Heh, cuma ingin melihatmu tidak bisa..."
Wen Congyi tersenyum mundur selangkah, mengayunkan tangan dengan santai. Tak bisa dipungkiri, pria ini tak hanya tampan tapi juga punya aura yang memikat. Senyum nakalnya mengandung nuansa hedonis, tipikal objek one night stand paling laris di bar. Lingjing memalingkan muka ke layar elektronik, mendengarnya berkata: "Ngomong-ngomong... tadi dengar Yahan menyebut, namamu Lingjing ya?"
"Hmm." Lingjing tetap mengerutkan kening, mengangguk datar.
“Konon Yahan sekarang menjadi guru di Shengxin, apakah kau muridnya? Sepengetahuanku, siswa SMA ingin berteman akrab dengan guru sepertinya agak sulit.”
Pria yang kembali dari studi di Amerika ini masih memiliki logat bahasa Inggris dalam bahasa Mandarinnya, di mata sebagian orang mungkin ini menjadi ciri kalangan elit masa itu. Namun Lingjing tak lagi menjawab pertanyaannya, karena Jiaming sudah tersenyum dan mendekat: “Ada perlu apa, si cantik?”
Satu tangan memegang sandaran kursi, satu lagi menopang tepi mesin game – pose yang sama seperti Wen Congyi tadi, bahkan lebih akrab. Lingjing justru tersenyum riang, menggelengkan kepala lalu menempelkan pipinya ke pipi Jiaming yang membungkuk. Ia menunjuk soal di layar: “Yang ini aku nggak bisa.” Dari sudut pandang samping, terlihat Shasha sedang tersenyum mengamati mereka. Diam-diam Lingjing menyembulkan bibir ke arah Wen Congyi, pandangannya penuh jijik. Shasha mengangkat alu dengan geli, mengangkat bahu, lalu berbalik mengajak Yahan bermain mesin slot.
Perbedaan fasilitas yang sangat mencolok. Sikap berdua itu membuat Wen Congyi juga mengerutkan kening. Yang paling menyebalkan, pendapatnya sebagai mahasiswa asing lulusan luar negeri ternyata tak dihiraukan. Di depan Lingjing masih terpampang soal tadi. Jiaming berpikir sejenak, lalu berkata: “Tebak saja, kita pilih C.” Ia kemudian menatap Wen Congyi dengan senyum formal.
“Halo.”
Melihat Jiaming menoleh ke arahnya, Wen Congyi segera tersenyum dan mengulurkan tangan. Jiaming juga menjabat tangannya dari balik Lingjing. Dalam gerakan yang hampir menyelubungi seluruh tubuh Lingjing ini, Lingjing memilih opsi C, kemudian mesin game mengumumkan jawaban D.
Jawaban ini persis sesuai dengan yang dikatakan Wen Congyi, namun saat ini tidak ada sedikitpun ekspresi gembira di wajahnya. Lingjing mendengus dan memukul Jiaming: "Aku sudah merasa C tidak mungkin..." Ekspresi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kekesalan, juga tidak menyebutkan petunjuk benar Wen Congyi tadi. Keintiman pasangan kekasih tidak pernah menggunakan benar-salah seperti ini sebagai standar penilaian. Wen Congyi tentu paham, namun hatinya penuh kebingungan: tadi sempat menanyakan hubungan beberapa orang ini, anak laki-laki bernama Gu Jiaming ini seharusnya berpacaran dengan Liu Huaisha, apakah sekarang sengaja berpura-pura akrab untuk memperlihatkanku?
Setelah sedikit kontak, Jiaming juga mulai menyadari: kencan buta sederhana yang dipersiapkan untuk Yahan akhirnya justru jatuh pada Lingjing yang semula hanya sebagai pendamping. Benar-benar membuat orang antara ingin tertawa dan menangis. Namun dia sudah lama paham, di antara tiga cewek ini, aura Lingjing sebenarnya paling unik. Di satu sisi, dia memiliki kecerahan dan keanggunan paling murni yang sesuai definisi umum tentang gadis, di sisi lain, dia punya kesan kematangan khusus yang sama sekali berbeda dari definisi gadis. Saat dua aura kontradiktif ini menyatu secara ajaib, bagi pria yang mengaku berpengalaman seperti dirinya, ini cukup menghasilkan gaya gravitasi yang dahsyat. Sambil berpikir demikian, dia mengangkat kepala dan tersenyum.
“Kau jago main kuis kecerdasan?”
Mendengar pertanyaan Jiaming, Lingjing juga mengangkat pandangannya ke Wen Congyi. Pria itu segera tersenyum: "Hehe, tidak juga. Cuma cakupan pengetahuan di sini tidak terlalu rumit bagiku. Seperti yang kalian tahu, di kuliah Amerika kita bisa mempelajari berbagai bidang pengetahuan yang sangat luas..."
"Oh, kalau begitu apa kau bisa tamat semuanya?"
"Tamat..." Wen Congyi agak ragu-ragu, "Ini, heh..." Saat hendak menolak, Lingjing sudah tersenyum dan menggeser posisinya: "Kau saja yang main, kami belum pernah tamat."
"Tidak, kau saja yang main. Aku cukup lihat dari samping."
"Kau saja yang main, tidak apa-apa."
Senyum manis Lingjing disertai permintaan kedua kalinya membuatnya tak kuasa menolak. Baru saja duduk di posisi Lingjing dan menjawab satu pertanyaan, terdengar suara: "Kau main saja pelan-pelan, kami ada urusan." Saat menoleh, hanya terlihat dua sosok bergandengan bahu semakin menjauh.
Telapak tangan menepuk layar elektronik, ia tersenyum kecut. Beberapa saat kemudian, menyalakan sebatang rokok sambil menggelengkan kepala, lalu mulai serius memilih opsi-opsi di layar.
Saat ini sudah pukul lima sore, tamu jamuan sebagian besar telah tiba di hotel secara bertahap. Ternyata Lingjing disukai oleh calon kencan buta Guru Yahan. Lingjing diejek oleh Yahan dan Shāsha, akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah: "Baiklah, aku tidak akan lagi bersenang-senang atas kesulitan orang lain..." Setelah menghabiskan poin di mesin slot beberapa kali, keempat orang langsung meninggalkan ruang hiburan. Dalam perjalanan ke balai jamuan, sekelompok orang berbaju beladiri berjalan mendekat. Lingjing dan Shāsha tertegun bersamaan.
Yang datang ke arah sini adalah tim pertukaran muay thai yang dipimpin oleh ahli legendaris muay thai Hirīwong. Kedua pihak pernah berseteru. Begitu melihat Jiaming yang berjalan di samping, Hirīwong menyipitkan matanya, memancarkan kilas kejam. Jiaming hanya menyeringai santai. Sejak malam itu, Lingjing dan Shāsha hanya tahu ahli legendaris ini terus menantang petinju Tiongkok, menyambut semua tantangan dengan sikap kuat, bahkan mematahkan tulang banyak orang. Tapi mereka tidak tahu tim ini ternyata juga menginap di Hotel Gu Yuan.
Jiaming tentu paham semua ini. Tapi karena Amray belum diantar pergi, [] mungkin sudah memberi peringatan untuk tidak berulah. Mereka hanya bisa membuat keributan di lomba resmi. Kehormatan Kung Fu China jelas bukan urusannya. Selama mereka tidak neko-neko, pihaknya bisa menganggap mereka tidak ada.
Dia sudah terbiasa sebagai pembunuh, di tulangnya penuh dengan kedinginan yang pragmatis. Saat ini kedua tangan menyelip di kantong pengepungan, menganggap pandangan permusuhan sekelompok orang seolah tidak ada. Pasukan orang Thailand ini mulai tampak gelisah. Selama beberapa hari ini, Xiao Meng telah mengatur sejumlah besar manusia berjaga di luar hotel, dengan ancaman: begitu ada satu orang Thailand keluar, langsung tebas MATI. Lalu berikan biaya pemukiman, atur jalan kabur, sikapnya sangat keras. Untuk sementara mereka memang tidak berani keluar sendirian, tapi tentu memiliki saluran untuk mendapatkan kabar, sedang menyelidiki dalang di balik konflik hari itu sebenarnya siapa.
Malam itu di kantor polisi, gegar otak yang dialami Amrei akibat tamparan sebenarnya bukan masalah utama. Bagi orang-orang Thailand ini, aib terbesar justru ketika Siriwong diludahi oleh lebih dari sepuluh preman yang sudah merencanakan aksi ini. Kemungkinan besar Siriwong sendiri sudah menganggap hal ini sebagai penghinaan terbesar. Selama beberapa hari terakhir, dia terus-menerus mengeluarkan pernyataan seperti "Kung Fu China hanya gerakan indah tanpa tenaga" dan "Muay Thai nomor satu di dunia" yang sudah tak terhitung jumlahnya. Setiap pertarungan, serangannya selalu sangat kejam, berusaha memukul lawan sampai nyaris tewas dalam batas peraturan, demi menarik perhatian maksimal. Sayangnya, kebebasan berpendapat di Tiongkok terbatas. [] melalui pemerintah telah memberikan perintah keras ke surat kabar dan TV, sehingga pemberitaan tentang hal ini hanya boleh disebutkan sepintas. Alhasil, pertukaran budaya China-Thailand beberapa hari ini terus berlangsung dalam suasana "persahabatan", pastinya sang ahli legendaris Muay Thai ini juga menahan amarah yang tak tersalurkan. Ketika dia melihat Jiaming, seluruh tulangnya berderak krak-krak-krak, suaranya mengerikan seperti suara petasan. Murid-murid dan rombongan di belakangnya yang melihat pemandangan ini saling berbisik, dan mereka mulai menebak-nebak identitas Jiaming. Semua menunjukkan ekspresi penuh dendam.
Tiba-tiba, suasana di koridor panjang menjadi penuh keanehan dan kekhusyukan yang luar biasa. Lingjing dan Shasha merasa keraguan di hati, sementara Yahan yang baru mendengar hal ini juga sudah mulai mengerti. Meski mereka mempercayai kemampuan bertarung Jiaming, namun tatapan penuh permusuhan dari Hiriyawan—ahli legendaris muay thai—menciptakan tekanan dahsyat yang tak mungkin ditahan sepenuhnya oleh manusia biasa. Beberapa staf hotel yang sedang hilir mudik ikut terpengaruh suasana ini, melirik ke arah Hiriyawan dan rombongannya, lalu memandang kelompok tiga pria dan satu wanita di sini, tak berani mendekat.
Sambil bersiul lagu anak-anak "Siput dan Burung Hwangli", Jiaming dengan wajah layak dipukul menatap mata merah Hiriyawan, melewati master muay thai ini. Lingjing, Shasha, dan Yahan hanya mengikuti dari belakang, tidak berani melihat wajah ganteng namun garang itu. Di saat yang sama, dari belakang pasukan muay thai, seorang pemuda Thailand bertubuh sedang maju langsung dan berdiri di tengah koridor.
Para manusia ini awalnya tidak berjalan dalam formasi rapi di hotel, mereka mengobrol santai sambil bergerak, namun secara sadar memberi ruang di satu sisi koridor untuk orang lain lewat. Tapi pemuda yang berdiri dengan tangan terlipat di dada ini sengaja menghalangi jalur laluan. Sekitar Hiriyawan sebelumnya sudah memberi peringatan agar tidak berulah, mereka tidak berani terang-terangan bilang "Aku hajar kau", namun aura menantang sudah jelas terpancar.
Di lorong yang agak sepi, dalam suasana aneh, sikap sekelompok orang Thailand yang sebelumnya penuh kebencian berubah menjadi senyum dingin. Hampir tidak ada yang berbicara, jelas mereka mengamati reaksi tiga perempuan dan seorang Baron yang jalannya dihalangi. Namun, pihak Jiaming juga tak tinggal diam. Begitu pemuda itu berdiri di tengah jalan, Jiaming langsung membuka jaket luarnya. Kemudian, semua orang mendengar suara "Krak-krak" yang nyaring.
Itu adalah suara pistol yang sedang diisi peluru.
Sambil bersenandung lagu "Siput dan Burung Hwangli", sebuah pistol muncul di tangan Jiaming. Sambil berjalan maju, dia membuka mekanisme pengaman, mengisi peluru, dengan ibu jari secara acak menarik pelatuk di belakang laras lalu menekannya kembali, melakukan pemeriksaan pada pistol tersebut. Para pendekar asal Thailand ini basically memiliki pengetahuan tentang senjata api. Begitu melihat senjata itu, senyum dingin mereka hampir membeku, berubah menjadi keraguan dan keringat dingin.
Di Tiongkok, kontrol senjata sangat ketat. Meski tamu asing seperti mereka mungkin bisa mendapatkan pistol, mustahil membawanya dengan sombong setiap saat. Dari mana Jiaming mendapatkan pistol itu tentu tidak sempat mereka pikirkan. Yang paling penting, setelah memeriksa senjata dengan santai, Jiaming berjalan sambil menguap dan melakukan latihan melebarkan dada dua kali. Laras senjata yang dipegangnya secara acak menyapu torso setiap anggota delegasi, sekali, lalu sekali lagi... Beberapa orang langsung kaku, beberapa bersiap merespons, sementara personel pendamping dengan kualitas mental rendah langsung mundur beberapa langkah. Pemuda yang tadi maju hanya menatap Jiaming tanpa bergerak, matanya melotot seperti lonceng sapi, mungkin karena tegang.
"Su Ban!" Sebelum mencapai jarak konfrontasi dengan pemuda itu, Hiliwang di belakang sudah berteriak. Pasukan segera mengulurkan tangan menyelamatkan Su Ban. Sekelompok orang hanya bisa menyaksikan Jiaming dengan lancang mengayunkan pistol sambil berlalu.
"Di depan gerbang ada pohon anggur, tunas muda hijau baru bersemi... Tunas muda hijau baru bersemi..."
Melodi aneh berputar-putar di udara. Karyawan hotel yang mengangkut vas bunga di belakang pasukan muay thai ikut kaget melihat Jiaming yang mengacungkan pistol. Dalam suasana ini, Jiaming mengarahkan pistol ke vas bunga lalu mulai... menyirami bunga...
Ciut, ciut...
Aliran air tipis menari-nari di udara, di bawah tatapan sekelompok orang Thailand yang belum sepenuhnya bereaksi, empat bayangan menghilang di sudut lorong. Di udara, terdengar samar-samar tawa kecil seorang gadis...
Sesaat kemudian, lorong itu seakan meledak tiba-tiba. Teriakan histeris yang penuh kekacauan bergema di dalam hotel, terdengar hingga jauh:
"Sialan orang Tiongkok——"
"Aku akan membunuhnya——"
"Tahan mereka——"
"Su Ban! Jangan bertindak sembarangan——"
"Jangan tahan aku, aaaaa——"
## Bagian Dua Ratus Delapan Puluh Enam Masalah Kecil Terkini
Sangkar baja, mata penuh kebuasan, Anjing Raksasa yang terkurung dalam kandang besi mengaum marah sambil terus menerjang ikatan di sekelilingnya. Dentuman keras bergemuruh menciptakan gelombang suara yang menggetarkan.
Area ini termasuk dapur dalam Hotel Taman Lama. Banyak hewan yang akan disembelih dikurung dalam sangkar-sangkar besi. Namun jarang ada anjing serigala yang bereaksi seganas ini. Di satu sisi mungkin menunjukkan vitalitas binatang tersebut, namun penyebab utamanya tak lain adalah tatapan mata di luar sangkar yang membuatnya semakin tak sabar.
Di luar kandang besi, seorang gadis berpakaian modis berjongkok di lantai. Matanya menatap tajam ke arah mata galak anjing serigala di dalam kandang. Kedua tangan di lututnya terkepal erat, ujung gaun kuning muda tersingkap memperlihatkan kaus kaki putih tipis bergaris renda resi di betisnya. Alis halusnya berkerut karena konsentrasi berlebihan, wajahnya memerah sedikit. Tatapan terlalu intensnya justru membuat gadis yang biasanya terlihat sangat sombong dan mandiri ini tanpa sengaja menampilkan kesan imut. Semakin fokus tatapannya, semakin galak anjing di dalam kandang yang ingin menerkam dan menggigitnya.
"Dia ini siapa sih......"
Sebagian staf yang lalu-lalang di dapur saling berbisik penuh tanya, memandangi gadis yang sudah berjongkok lama di depan kandang.
"Udah hampir sepuluh menit dia di sini, bikin anjingnya makin liar..."
"Kerabat Kepala Divisi?"
"Kayaknya enggak, katanya tadi masuk sembunyi dari seseorang. Langsung jongok di situ kayak tertarik banget, kayak nggak mau pergi..."
"Aturan dapur kan nggak Izinkan orang luar masuk. Kalau ketahuan Kepala Divisi pasti kena denda uang..."
"Ini tamu jamuan ulang tahun Keluarga Zhang, mungkin keluarganya miliaran juga. Bisa jadi kenal sama bos, berani usir dia? Lagian dia juga nggak ganggu..."
“Kau tahu kalau keluarganya kaya……”
“Taruhan. Pria-pria sepertimu tentu tak paham, lihat sendiri, semua pakaiannya adalah name tag termahal, tas kecilnya yang terlihat biasa itu adalah edisi terbatas terbaru Cartier tahun ini, setidaknya puluhan ribu yuan, dan harus punya identitas khusus untuk bisa membelinya……”
Dalam bisikan-bisikan para pekerja kasar dapur dan pelayan hotel, tak ada yang berani menantang tindakan gadis itu. Para perempuan lain memandangi name tag-nya dengan decak kagum. Tak lama kemudian, seorang pemuda tampan berusia tujuh belas delapan belas tahun memasuki gerbang, awalnya tertarik pada gonggongan anjing, lalu tersenyum tipis dan berjongkok bersama gadis itu di depan kandang besi.
“Ngapain? Lei Qing sudah membuatmu kehabisan akal?”
“...Oh, Kak.” Gadis itu menoleh ke pria di sampingnya, melirik jam tangannya, “Aku mencoba menakutinya. Tapi semakin kutatap, semakin ganas dia...”
“Aku dengar dari Xu Yiting tentang kejadian waktu itu, ini... juga butuh teknik khusus kan?”
“Teknik apa?” Gadis itu membelalak.
“Err, yang ini... mana aku tahu. Kenapa tidak tanya Gu Jiaming? Katanya kau minta dia pura-pura jadi pacarmu lagi...” Pemuda bernama Dongfang Lu itu mengayunkan tangan sambil berdiri, “Waktunya hampir habis, ayo kita pergi, jangan buang-buang waktu di sini.”
“Wu……” Di bawah desakan kakaknya, Dongfang Wan berdiri, kemudian mereka berdua berjalan keluar dari dapur. Saat keluar, dia menoleh dengan sedikit penyesalan melihat anjing serigala yang masih dalam Status Mengamuk, “Cuma lihat anjing, tiba-tiba teringat, jadi pengen coba. Mau tanya ke Gu Jiaming si itu… Cih, aku malas bertanya.”
“Hubungan kalian masih segitu buruk ya?” Dongfang Lu tak bisa menahan senyum, “Lah kenapa kau pilih dia jadi perisai pembenaran?”
“Perisai pembenaran… ya pasti cari orang yang tidak enak dipandang.” Dongfang Wan mengangkat tangannya dengan gerakan yang masih terkesan elegan, “Apalagi setiap kali dia jadi perisai, Lei Qing yang selalu dirugikan. Dia banyak akal liciknya… Sebenarnya aku juga tidak punya masalah besar dengannya, asal tidak bertemu. Jujur saja, aku cukup mengaguminya. Tapi aku tidak tahan dengan sikapnya yang menganggap semua orang tidak penting. Perasaan ini sudah meresap secara bertahap, pasti tidak bisa diubah lagi. Jadi setiap kali bertemu, melihat sikap egoisnya yang keterlaluan, aku langsung ingin marah…”
Dongfang Lu mengangkat alisnya: “Musuh jadi kekasih?”
“Kata ‘kekasih’ terdengar terlalu menggombal, sampai bulu kudukku merinding. Dengan Gu Jiaming… Hah…” Ekspresi mengerikan muncul di wajahnya sambil seluruh tubuhnya gemetar.
“Tapi katanya di buku dan film, orang yang saling benci seperti ini justru bisa jadi jadian.”
“Tolong, Kakak!” Melihat Dongfang Lu dengan santai mengangkat tangan, Dongfang Wan tak kuasa menunjukkan ekspresi kewanitaannya yang manja, "Meneliti kisah cinta adalah urusan kami perempuan. Ngapain ikut campur? Bahkan wanita paling bodoh pun tahu hal di TV cuma khayalan. Di dunia nyata mustahil! Dua orang dengan karakter tidak cocok meski dipaksa hidup bersama juga tidak akan bertahan, setuju?"
“Tapi lihat...” Dongfang Lu tersenyum, “Aku punya adik keras kepala yang benci novel roman. Mau tidak mau harus membantunya baca. Sebenarnya beberapa novel roman cukup menarik. Setidaknya bisa memahami psikologi perempuan...”
“Kak...”
Sejak pengalaman hidup bergantung di Kapal Star Dream, hubungan kakak-beradik ini semakin erat. Setelah bercanda, Dongfang Lu serius: “Bisnis pabrik mainan akhir-akhir ini lesu ya?”
“Iya,” Dongfang Wan mengangguk, “Lei Qing terus menghalangi. Tapi dia cuma bisa hantam uang. Aku akan lawan sampai akhir! Cih, anak boros kelas kakap. Sekarang aku semakin memandang rendah dia. Tidak punya kelas...” Wajah gadis itu dipenuhi ekspresi hina saat menyebut Lei Qing.
Dongfang Lu terdiam sejenak: "Sebenarnya maksud keluarga, lebih tidak ingin kau terlalu ambisius..." Makna tersiratnya, keluarga tidak melihat prospek baik pabrik mainannya. Hal ini tentu juga dipahami Dongfang Wan, yang hanya mengangkat mata putihnya: "Aku tahu, ayah lebih suka melihat aku manis saja pacaran dengan Lei Qing. Sekarang Lei Qing terang-terangan menghadang bisnisku, para orang tua itu mulai takut. Bagaimana mungkin tidak ingin aku ambisius? Kalau bukan karena Lei Qing, mereka justru ingin aku menjadi hebat."
Dongfang Lu tersenyum: "Lei Qing toh bukan penerus keluarga Lei. Meskipun kalian berdua bentrok langsung di Jianghai, dampaknya pada hubungan dua keluarga sebenarnya tidak signifikan. Lagipula kita semua cari untung. Cuma anggota dewan direksi yang sudah terbiasa hati-hati, sok mengatur karena alasan kekerabatan. Aku juga tidak suka. Tapi ini hanya bicara diam-diam, jangan tunjukkan kemarahan di depan mereka. Soal Lei Qing, heh... Dia memang tidak terlalu tertarik padamu. Menurutku juga begitu. Lihat dirimu, sifatnya buruk, ambisius tapi manja, tidak bisa masak, tidak bisa buat sup, tidak bisa cuci baju, belum lagi wajahnya tidak secantik putri penghancur negara..."
"Dengar, Dongfang Lu! Kalau terus bicara begitu, aku mengusirmu!" teriak Dongfang Wan sambil tertawa.
“OK、OK……” Jalan Timur mengangkat tangan tanda mundur, “Baiklah, awalnya ketertarikannya padamu memang tidak besar, mungkin juga membenci kemungkinan pernikahan politik antar kedua keluarga ini. Tapi setelahnya, sikap dinginmu yang bertahap padanya menyentuh masalah muka. Sejak kecil dia tumbuh dalam lingkungan terbaik, pacaran pun mungkin cukup dengan menghujani uang. Tuan muda, cara-nya jelas tidak canggih. Awalnya menjaga sikap kesatria, sayang tak berhasil. Sekarang sengaja melawanmu, alasan utamanya tentu untuk menarik perhatianmu, baik itu kesan positif maupun negatif. Jika kau menghujatnya, besar kemungkinan dia malah merasa bangga...”
Dongfang Wan menyipitkan mata dengan niat jahat: “Kak, jangan-jangan kau menyaranku untuk... melakukan 'itu' dengannya sekali, biar setelah puas dia melepaskanku...”
“Tentu tidak! Jika benar harus sampai ke tahap itu, lebih baik aku langsung menemui ayahnya untuk mengobrol. Saranku adalah, jika kau merasa kesulitan, ada cara yang lebih sederhana...”
Mata Dongfang Wan berbinar: “Apa itu? Cepat katakan!”
"Kau hujat dia, maksudku, hujat di depan umum. Coba pikir, aku pakai uang tabungan pribadi susah payah dirikan pabrik mainan ini demi pengakuan keluarga. Sudah bertahan sekian lama, mudahkah? Orang ini mengejar cewek tak karuan gagal terus lalu pakai uang buat menghantam orang. Kaya terus sok jagoan... Tentu saja kekayaannya memang luar biasa. Saat kau hujat dia, tunjukkan kesedihan. Menangis pun tak apa, yang penting harus ada air mata. Tunjukkan kekeras kepalamu, tunjukkan kepedihanmu. Kau bahkan bisa guyur dia dengan baijiu. Aku jamin dia takkan marah. Lalu..." Dongfang Lu tersenyum, "...lalu dia akan merasa bersalah. Karena tujuannya tercapai - kau sudah tunjukkan kelemahan di depan semua orang akibat ulahnya. Setelah ini, aku jamin dia tak hanya berhenti mengganggumu, mungkin malah bantu kembalikan semua bisnismu. Lei Qing? Heh, emang dasarnya orang seperti itu..."
Seandainya Jiaming ada di sini, mungkin tetap akan menyadari bahwa posisi Dongfang Lu sebagai pemimpin negara [] bukanlah kebetulan. Aura tengah yang penuh keseimbangan tanpa kesan penindasan, pemahaman mendalam tentang sifat manusiawi, fleksibilitas dalam bertahan dan menyerang - dalam arti tertentu bisa disebut sebagai cara tanpa kompromi untuk mencapai tujuan. Karakter dan bakat inilah yang membuat Dongfang Lu, di tengah persaingan politik generasi muda seperti Ying Zilan yang tampak brilian, justru diam-diam menduduki posisi tertinggi dalam perebutan kekuasaan antar keluarga pimpinan tertinggi [].
“Tapi, setelah sedikit mempertimbangkan, Dongfang Wan dengan tegas menggelengkan kepalanya: ‘Aku tidak mau, seperti ini… Hmph, Kakak, aku ingin mencoba dulu, aku akan mengalahkan orang itu yang hanya mengandalkan makan nasi lunak keluarga di depan umum. Jika benar-benar tidak bisa, baru pakai cara ini.’”
“Tentu saja.” Dongfang Lu tersenyum, “Sudah kuduga, dengan karaktermu yang kompetitif pasti tidak mau pakai cara ini. Sebenarnya selama permusuhanmu dengan Lei Qing tidak meningkat ke tingkat kebencian mendalam, metode ini bisa dipakai kapan saja. Tentu, jika butuh bantuan lain, jangan ragu untuk bilang. Jaringan hubungan seperti saudara atau kerabat sebenarnya juga bentuk modal. Kamu benar-benar ingin tidak memanfaatkan kekuatan keluarga, justru membatasi dirimu sendiri terlalu banyak.”
“Hanya dengan begitu orang akan benar-benar tunduk!” Dongfang Wan tersenyum penuh keyakinan.
Mereka berjalan perlahan, mendekati aula jamuan. Tiba-tiba Dongfang Lu menepuk bahu adiknya, menatap matanya: “Nah, hal yang paling penting.”
“Apa?”
“Gu Jiaming sudah punya pacar. Jangan sekali-kali kau menyukainya, ingat baik-baik...”
“Kakak!”
Seketika wajah Dongfang Wan kembali menunjukkan ekspresi marah dan manja, mengangkat tangan hendak memukul. Tapi kemampuan bertarung Dongfang Lu jauh lebih cepat. Saat tangannya diayunkan, dia sudah berlari sambil tertawa: “Harus diingat ya!” Meninggalkan Dongfang Wan menghentakkan kakinya kesal di tempat.
Jika tidak ada hal khusus, saudara kandung ini tentu akan duduk bersama. Tapi meski sama-sama siswa SMA sekarang, masing-masing punya dunianya sendiri. Sebagai penerus keluarga Dongfang, Dongfang Lu harus mengenal banyak bos, sedangkan perusahaan mainan Dongfang Wan akan menjalin hubungan dengan distributor lain. Setelah memasuki balai jamuan, keduanya mengayunkan tangan dan berpencar.
Suasana di balai jamuan sangat meriah dengan riuh rendah suara. Baru lewat pukul lima, separuh tamu undangan sudah datang, dan skalanya terbilang besar. Kelompok-kelompok orang sedang mengobrol dengan kenalan masing-masing, ada juga yang menempati meja untuk main kartu mengisi waktu. Dongfang Wan menyapa beberapa orang yang dikenalnya di sekitar, lalu matanya menyapu seluruh balai jamuan mencari bayangan Gu Jiaming. Perisai pembenaran tak ditemukan, namun bayangan Lei Qing justru tertangkap matanya. Orang itu sedang mengobrol dengan sekumpulan teman brengseknya di sudut tak jauh. Melihat pandangan Dongfang Wan, ia justru tersenyum dan melambai. Dengan jijik, Dongfang Wan memalingkan pandangannya.
Lei Qing menjalin pertemanan dengan sebagian besar anak-anak pejabat dan pengusaha kaya di Kota Jianghai. Meskipun mereka adalah anak orang kaya yang manja, jaringan hubungan mereka sangat luas. Bahkan dalam melakukan banyak hal, mereka tidak perlu mempertimbangkan dampak ekonomi sesungguhnya. Misalnya ketika Lei Qing berkata: "Aku suka Dongfang Wan, tapi dia tidak menyukaiku." Mereka mungkin akan merespons seperti menolong sampai taruhan nyawa: "Tenang, kami bantu kau merayunya." Kemudian dengan persetujuan diam-diam sebagian anggota keluarga Dongfang, penjualan pabrik mainan menyusut drastis dalam beberapa bulan terakhir. Dongfang Wan bisa membayangkan dengan jelas bahwa sesuatu yang telah ia curahkan seluruh tenaganya, bagi mereka hanyalah alat merayu.
Wataknya yang selalu kompetitif membuatnya tidak mau menerima bantuan keluarga dan bersikeras menempuh jalannya sendiri. Namun di bawah penindasan seperti ini, akhirnya ia merasakan ketidakberdayaan. Lei Qing bisa mencari banyak anak laki-laki sebagai saudara, sementara meski ia memiliki banyak perempuan sebagai saudari, paling-paling mereka hanya bisa membantunya menghabiskan parfum mahal Chanel, mantel mewah Prada, serta waktu tak terhitung untuk berbelanja gila-gilaan.
Lei Qing sekarang sudah seperti babi MATI yang tidak takut air mendidih. Tatapan jijik darinya hanya akan diabaikan secara kebiasaan. Nanti mungkin dia akan menyapa. Mungkin seperti yang dikatakan Kakak, dia ingin kuhujat dan lebih penting membuatku menangis... Menyukai seorang cewek justru mengganggunya sampai menangis, persis seperti baron TK, kekanak-kanakan... Dalam hati menggigit gigi sambil mengutuk, dia berbalik mencari jejak perisai pembenaran, tapi tetap tak menemukan apa-apa.
Hari ini datang untuk ucapan selamat ulang tahun. Dongfang Wan sebagai generasi muda hanya memakai gaun bernuansa hangat. Bayangan yang anggun dan tinggi terlihat seperti krisan sederhana, tapi karena kemarahannya, aura keseluruhannya bagai mawar es berduri. Untuk sementara tak menemukan Jiaming, dia duduk di kursi sembarangan sambil mengerutkan alisnya.
Dongfang Wan sejak kecil berwatak jujur. Tapi karena pelatihan konsisten, kecuali saat diprovokasi Jiaming, jarang terjadi ledakan di luar kendali. Ketidaksukaan pada Lei Qing dan orang itu (Jiaming) hanya berubah menjadi dingin membeku di wajah. Sesekali ada yang dikenal lewat, bisa SEGERA menampilkan senyum cemerlang dan menyapa. Tak lama, suara terdengar di belakangnya: "Ini bukan Xiao Wan? Lama tak jumpa."
Berdiri, Dongfang Wan mencari wajah sedikit sombong ini dalam memorinya. Segera dapat jawaban, lalu tersenyum: "Hai, kau... Ying Zifeng kan?"
“Hanya beberapa kali bertemu, tak kusangka Xiao Wan masih mengenaliku.” Ying Zifeng tersenyum cemerlang. Ngomong-ngomong, yang paling terkenal dari keluarga Ying tentu Ying Haisheng. Ying Zilan cukup populer di generasi muda, sementara Ying Zifeng selalu tertutupi oleh cahaya kakaknya. Meski pernah beberapa kali mengunjungi keluarga Dongfang, hubungannya dengan Dongfang Wan hanya sebatas perkenalan melalui perantara tanpa percakapan langsung. Tak disangka dia masih ingat. Kekuatan keluarga "Raja Tanah Tenggara" ini beberapa kali lipat lebih besar dari keluarga Dongfang, sehingga dia pun tak berani tidak menghormati. "Tentu saja aku ingat. Kau juga datang untuk ucapan selamat ulang tahun?"
"Menemani Guru Xu Mo."
Ying Zifeng menunjuk ke belakangnya yang tidak jauh. Dongfang Wan pun paham - Ying Zifeng adalah teman baik Guru Xu yang sudah lama menyukai Guru Yahan, rahasia umum di Akademi Hati Kudus. Setelah mengobrol sebentar, Ying Zifeng bertanya: "Ngomong-ngomong, mana Xiao Lu?" Dengan statusnya, yang benar-benar menjadi perhatiannya tentu penerus keluarga Dongfang, Dongfang Lu. Sebelum Dongfang Wan sempat menjawab, Lei Qing sudah mendekat dengan senyuman: "Hei Zifeng, lama tak jumpa. Bulan lalu tak kulihatmu di Jianghai?"
"Hei, A-Qing."
Ying Zifeng tersenyum ramah sambil berjabat tangan akrab dengan Lei Qing. Sekejap mata, Dongfang Wan menyipitkan matanya dan menoleh - di kerumunan orang, bayangan Jiaming masih belum muncul...
## Bagian 287 Taruhan
"Bulan lalu pergi ke Hong Kong, jadi tidak di Jianghai. Baru kembali beberapa hari yang lalu. Hehe, kau tahu lah, tentu untuk hal itu..."
"Perwakilan investasi Grup Syd?"
Melodi riang pesta ulang tahun mengalir di aula, di sisi Dongfang Wan, Ying Zifeng dan Lei Qing juga sedang membicarakan topik yang menarik. Di sisi lain, sekumpulan teman brengsek Lei Qing telah menghampiri. Meski dalam hati memandang rendah bergaul dengan orang-orang ini, Dongfang Wan untuk sementara tidak bisa pergi. Lagipula, pembicaraan kedua orang ini memang termasuk topik paling hangat di kalangan pengusaha kaya Jianghai belakangan ini.
Sebagai keluarga keuangan terbesar di dunia, Grup Sid di bawah naungan Rothschild akan segera masuk ke Jianghai untuk melakukan serangkaian pengembangan dan proyek investasi. Dalam situasi seperti ini, siapapun pasti berharap bisa terhubung dengan perwakilan Grup Sid. Keuntungan langsung hanyalah nomor dua, yang paling penting adalah prospek setelah menjalin hubungan dengan keluarga raksasa keuangan dunia Rothschild - baik untuk membuka pasar Tiongkok, atau masuk ke pasar Eropa dan Amerika, semuanya akan menjadi jauh lebih mudah. Itu benar-benar godaan yang tak bisa ditolak oleh pedagang manapun.
Dalam situasi seperti ini, hampir lebih dari sebulan yang lalu, sudah beredar kabar bahwa Fang Zhitian akan kembali ke Jianghai untuk bertemu langsung dengan perwakilan Kelompok Sid. Keluarga Lei dan keluarga Ying tentu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Cahaya Ying Zifeng selalu tertutupi oleh kakaknya Ying Zilan. Kembalinya selama satu bulan ini mungkin bertujuan untuk meyakinkan ayahnya agar dia yang bertanggung jawab atas urusan saat ini. Memang mudah menjadi anak orang kaya yang manja, tapi untuk naik ke level berikutnya, akhirnya harus membuktikan diri dengan kerja keras. Begitu bisa membuka jalur koneksi Rothschild ini, siapa pun di antara mereka yang manja ini pasti akan mengalami peningkatan nilai. Mendengar Ying Zifeng membicarakan ini, mereka pun saling berkomentar.
"Kelompok Sid, siapa sebenarnya perwakilan investasi mereka kali ini? Sampai sekarang belum bisa diselidiki."
"Benar, hal ini terlalu misterius. Awalnya kami kira mereka akan bertindak besar-besaran, tapi dari awal sampai sekarang tetap menjaga profil rendah. Keluarga kami punya beberapa teman di Eropa, tapi sama sekali tidak ada kabar tentang hal ini."
"Bagaimanapun, ini langkah besar Sid Company masuk ke Tiongkok. Seharusnya mereka mengirimkan orang yang kompeten... Mungkinkah presiden direktur Alfonso yang datang langsung?"
"Baru-baru ini terdengar ada perubahan personel besar di cabang Amerika Sid Company. Manajer cabang Amerika Brandon dikatakan mungkin akan mengundurkan diri. Kalian harus tahu, Brandon ini adalah genius ekspansi perdagangan. Rencana anggur merah yang dia susun tahun 94 cukup menjadi klasik... Menurut kalian mungkinkah dia yang ditugaskan perlu pasar Tiongkok?"
Meskipun kabar sudah beredar, Grup Sid baru-baru ini menjaga profil rendah. Identitas perwakilan investigasi dan investasi ini menjadi masalah sentral yang dipertanyakan semua orang. Lei Qing dan Ying Zifeng membahas hal ini, untuk sementara tidak mengganggu Dongfang Wan, hanya sesekali memandanginya dengan tatapan penuh kemenangan. Dalam urusan tingkat ini, mungkin dia punya hak untuk terlibat, tapi dengan posisi Dongfang Wan yang masih kecil di keluarga dan pabrik mainannya yang tak berarti, jelas ini mustahil.
Saat menoleh bosan, Dongfang Wan akhirnya melihat Jiaming dan rombongan. Gu Jiaming, Ye Lingjing, Liu Huaisha, dan Zhang Yahan baru saja masuk dari gerbang. Guru Zhang mengayunkan tangan lalu pergi menyambut tamu lain. Jiaming berdiri bersama Lingjing dan Huaisha sambil mengobrol. Tak lama kemudian, mereka pun melihat keberadaannya di sini. Lingjing diam-diam melambaikan tangan, kemudian Jiaming juga menoleh ke arahnya.
Wajahnya berkedut beberapa kali memberi isyarat agar Jiaming mendekat, tapi orang itu hanya melirik sekilas dan pura-pura tidak melihat. Lalu trio tersebut tampaknya berselisih paham, berdebat di tempat beberapa saat. Huaisha mendorong Jiaming dan menyapu pantatnya dengan tendangan, baru Jiaming mengangkat bahu dan berjalan ke sini. Dongfang Wan menutup mulut sambil tertawa terkekeh, membuktikan bahwa sebelumnya sudah berkoordinasi dengan Liu Huaisha dan Ye Lingjing merupakan pilihan terbaik.
"Penampilannya memang tidak bisa menyaingi kecantikan alami Kaoru, tapi pasti bisa disebut wanita berkarakter menarik. Sifat angkuhnya justru memicu keinginan menaklukkan pria seperti Lei Qing yang menganggap diri mampu. Setelah setengah hari bermuka dingin, tiba-tiba dia tersenyum. Lei Qing yang sedang asik membahas urusan grup Sid juga tertegun, memperhatikan Jiaming yang mendekat. Dengan senyum tipis, Jiaming mengulurkan tangan kanan langsung ke pinggang Dongfang Wan. Baru setengah jalan, tangannya direbut kedua tangan Dongfang Wan. Tidak sempat mencoba 'tahu', gadis itu malah mendekatkan diri seperti burung kecil. Bagi Jiaming, akting ini benar-benar menjijikkan."
Gunung es itu mencair. Dongfang Wan tersenyum cemerlang: "Sudah lama menunggumu, kenapa baru datang sekarang?"
"Maaf, ada urusan yang menyita waktu. Halo semuanya." Dia dan Lei Qing memang sudah cukup akrab. Sambil tersenyum, dia melambaikan tangan memberi salam. Ekspresi Lei Qing sedikit kompleks, tapi kemudian tersenyum memperkenalkan: "Ngomong-ngomong, perkenalkan, ini Ying Zifeng, dia..."
"Aku tahu, Gu Jiaming kan." Sebelum Lei Qing selesai, Ying Zifeng sudah tertawa, "Teman baik Guru Yahan. Xu Mo pernah cerita, sudah sering dengar. Halo, aku Ying Zifeng."
"Halo." Mereka berjabat tangan sebentar lalu melepas. Ying Zifeng tersenyum jujur, tapi Jiaming samar-samar merasakan secercah penghinaan yang tersembunyi di balik senyum itu. Kalau memang dari perkenalan Xu Mo, perasaan seperti ini wajar. Dia hanya tersenyum tipis dan bertanya basa-basi: "Sedang bahas apa semuanya?"
“Urusan Sid Group.” Dongfang Wan menggandeng tangannya, tersenyum menjawab.
“Sid…… Group……” Jiaming mengedipkan matanya, “Wow, apa itu? Perompakan Sid Meier?”
Mendengar jawaban ngaconya, wajah Dongfang Wan langsung muram. Yang lain tertegun sejenak, kemudian teman-teman Lei Qing mulai menampakkan senyum dingin yang menyindir. Lei Qing sendiri justru semakin berseri: “Masa sih, Jiaming tidak tahu urusan Sid Group? Meskipun keluarga Huang sekarang… ehm, menghadapi sedikit kesulitan, Huang Group tetap salah satu grup terbesar di Kota Jianghai. Investasi Sid Group ini pasti kalian juga akan mendapat bagian, kan?”
Ucapan yang tampak seperti pujian ini sebenarnya ironis. Jika keluarga Huang benar-benar keluarga besar dengan struktur kokoh dan sistem akar kuat, tentu masih ada ruang untuk terlibat. Sayangnya setelah Huang Bingxiang lengser, status Lima Keluarga Besar sudah bagai fatamorgana yang pudar. Kini keluarga Huang masih bergulat dengan utang dan rintangan, mana ada kekuatan untuk berkembang. Lagipula Jiaming sendiri tidak punya posisi apa-apa di keluarga Huang. Banyak yang paham statusnya di sini, langsung tertawa terkekeh. Dongfang Wan dengan wajah muram berusaha menjelaskan di pihaknya.
“Sid Group adalah salah satu perusahaan milik Rothschild. Baru-baru ini mengirim perwakilan ke Jianghai untuk menyelidiki investasi……”
“Oh……Rothschild……” Jiaming membelalakkan mata, ekspresi seperti baru tersadarkan, “Kau harusnya bilang dari awal, perwakilan keluarga Rothschild, tentu saja aku kenal, bahkan sangat akrab dengannya……”
“Berhenti berbual, Gu Jiaming! Grup Seed bahkan belum mengumumkan siapa yang akan mereka kirim. Dari mana kau tahu siapa yang datang?” Orang yang berbicara ini sebelumnya juga mengenal Jiaming, dulu tidak terlalu dihiraukan, sekarang tentu tak perlu memberi muka. Mendengar omong kosongnya, langsung tertawa menyela.
“Tapi……” Jiaming dengan santai mengangkat tangan bingung, “Karena aku akrab dengannya, tentu saja tahu.”
Dongfang Wan memalingkan pandangan ke samping, merasa putus asa pada kelicikan pria ini.
“Cih, kalau begitu katakan siapa yang datang?”
“Karena aku akrab dengannya, jika dia ingin merahasiakan, tentu aku tak bisa bocorkan. Pokoknya saat dia tiba, kalian juga akan kenal.”
“Dengar kau membual……”
Orang-orang yang mengikuti Lei Qing memamerkan ekspresi merendahkan, begitu banyak sampai hampir puff puff puff turun drastis. Ying Zifeng malah tersenyum: “Kalau begitu, terkait rencana kerjasama investasi ini, dengan koneksimu Jiaming, keluarga Huang sudah sangat yakin menangkan?”
“Untuk urusan keluarga dan bisnis, aku tidak terlibat.”
Lei Qing juga tersenyum: “Kalau begitu Jiaming pasti tahu hobi orang yang datang ini? Bagaimana kalau bocorkan sedikit, agar kami bisa lebih mudah berhubungan?”
“Dia seorang lesbian.” Seperti semua pembohong yang sudah terbiasa berbohong, jawaban Jiaming cukup tegas. Di tengah kerumunan yang terdiam, dia melanjutkan, “Tapi dia juga sangat ketat dalam memilih pasangan. Dia punya perfeksionis kebersihan secara mental. Meskipun saat sendiri, hidupnya memang agak tidak karuan, tapi itu hanya di permukaan. Selain itu, dia juga suka anak laki-laki yang naif dan polos. Tapi jujur saja, kalau kalian ingin mendekatinya, soal usia... uh, sepertinya kalian semua sudah terlalu tua...”
Sekelompok orang di depannya menunjukkan ekspresi aneh. Beberapa menyeringai dingin, sementara Ying Zifeng yang berusaha tetap tenang tampak bingung menentukan respons terhadap Jiaming. Lei Qing menutupi dahinya sambil menatap langit-langit, seolah merasa tak pantas berdebat dengan orang gila. Beberapa saat kemudian, dialah yang pertama menemukan topik pembicaraan: “Hehe, terlalu berlebihan. Aku tidak percaya ini. Begini saja, Gu Jiaming, ayo kita bertaruh siapa yang bisa lebih dulu berteman dengan perwakilan investasi itu. Aku yakin bukan kau. Taruhan 100.000.”
“Taruhan? Aku ikut juga!”
“Aku pasang di sisi Lei Qing, 200.000.”
Mendengar tantangan Lei Qing, kerumunan di belakangnya mulai bersorak. Bagaimanapun, menghadapi perwakilan investasi perusahaan seperti ini, latar belakang keluarga Lei Qing setidaknya memberi hak untuk berinteraksi. Sedangkan Jiaming? Jangan harap. Ying Zifeng tersenyum: “Jika Jiaming mau main, maukah kau jika aku jadi saksi?”
“Anak-anak keluarga besar ini biasanya tidak asing dengan taruhan untuk hal-hal tertentu. Situasi yang berkembang sampai tingkat ini membuat Dongfang Wan mengutuk dalam hati kecerobohan Jiaming, sambil memandang dingin kerumunan yang bersorak-sorai. Saat hendak mencari alasan untuk membawa pergi Jiaming, dia malah mengangkat bahu: 'Aku tidak masalah, tapi 100.000 terlalu kecil. Kalian semua kaya-kaya, bagaimana kalau 100 juta dolar AS?'”
“Seratus juta... Heh...” Lei Qing menatapnya dengan senyum getir, entah karena sinis atau geram. Ying Zifeng juga menggeleng geli. Meski berasal dari keluarga kaya, taruhan 100 juta dolar AS untuk hal sepele itu terdengar konyol—seolah ada dendam pembunuhan! Apalagi status Jiaming jelas tak memungkinkannya menyediakan uang sebanyak itu. Semua menyimpulkan ini cuma omong kosong untuk menghindar. Dongfang Wan melambaikan tangan: “Bercanda saja. Kami ada urusan, duluan ya.” Genggamannya menarik Jiaming kabur dari kerumunan.
“Kau gila? Sengaja mempermalukanku? Aku menyuruhmu melawan Lei Qing, bukan jadi bahan tertawaan!”
“Lei Qing belum mulai, aku cuma jujur saja.” Jiaming tersenyum. “Dia memang lesbian, sumpah.”
“Lesbian kepalamu!” Dengusnya sambil melotot. “Omong-omong, di mana duduk orang tua Lingjing? Sudah kujelaskan tentang sandiwara kita kan?”
"Lingjing sudah sangat perhatian, dia sudah lebih dulu memberi tahu. Kau tak perlu takut ketahuan." Jiaming menunjuk ke meja bundar di dekat jendela di tepi aula. Sasha yang duduk di sana juga berdiri mengayunkan tangan. Di sebelah mereka tentu saja duduk Ayah-Ibu Ye yang baru tiba. Dongfang Wan mengangguk: "Kalau begitu aku akan duduk sebentar di mejamu, kemudian... Aku sudah menyelidiki beberapa distributor yang tidak terhubung dengan gerombolan anak orang kaya manja itu. Jika kau lihat Lei Qing datang menggangguku, bersiaplah membantu." Dia berjalan menuju Ayah-Ibu Ye sambil menyungging senyum, bersiap menyapa.
Di sisi lain balai jamuan, setelah Jiaming dan Dongfang Wan pergi, sekelompok orang menunjukkan ekspresi merendahkan. Lei Qing dan Ying Zifeng berbincang sambil sesekali menyapa orang yang lewat.
"Gu Jiaming itu mungkin sengaja dicari Dongfang Wan untuk membuatmu kesal, tak perlu terlalu dipikirkan." Ying Zifeng tersenyum, tepat mengenai sasaran.
"Aku tahu." Lei Qing bermuka masam, "Tapi aku tidak suka bocah itu."
"Aku juga tidak, tapi...ngomong-ngomong tentang perwakilan investasi Sid, kau benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?"
"Tentu saja aku dengar, tapi apa bedanya dengan tidak tahu? Perempuan itu namanya...Kelly*Vernam ya? Wakil penuh Sid kali ini?"
“Hmm, dia bukan orang dalam struktur resmi Grup Sid. Satu-satunya intel yang didapat, anak angkat Adipati Westminster Inggris Natalia*Nis adalah teman baiknya. Jadi... Benarkah dia punya perfeksionis mental dan lesbian?” Ying Zifeng tersenyum.
“Heh, mana mungkin.” Lei Qing juga tertawa, lalu menggelengkan kepala, “Tapi ini sulit. Wanita ini sebelumnya sama sekali tidak terdengar. Sebagai teman anak angkat adipati, besar kemungkinan naik karena koneksi. Jadi soal rencana investasi, sebagian besar tergantung selera pribadinya. Bisa jadi tidak mempertimbangkan kekuatan ekonomi. Zifeng, cara terbaik adalah kau yang merayunya.”
“Jika cukup cantik, bisa dipertimbangkan.” Kemudian, keduanya tertawa lepas.
## Bagian Dua Ratus Delapan Puluh Delapan: Emas Menggerakkan Seribu Kati
Terhadap sikap merendahkan Ying Zifeng dan Lei Qing, Jiaming tentu tidak terpengaruh. Hanya saat membicarakan Grup Sid, pikirannya benar-benar tersentak kabar ini. Komunikasi online dengan Kelly*Vernam tak pernah terputus. Jiaming tahu Kelly terus mencari petunjuknya. Tapi teknologi komputer yang lebih maju puluhan tahun mustahil disusul genius mana pun dalam dua tiga tahun. Maka pemilihan lokasi tujuan di Jianghai dalam itinerary China kali ini oleh Kelly patut dipertanyakan.
Mungkin Ying Zifeng dan lainnya menganggap kedatangannya sebagai kesempatan investasi dan pengembangan yang langka, namun Jiaming paham betul bahwa alasan Dark Celeste mengirim orang ke sini, pada dasarnya adalah tertarik pada kemampuan supernatural Dongfang Ruo. Jika yang datang adalah orang lain, mungkin tujuan utamanya bisa dikatakan untuk Dongfang Ruo, sementara Keluarga Rothschild juga melihat potensi pengembangan Jianghai, sehingga membuat proyek investasi di Jianghai sebagai tambahan. Tapi melihat karakter Kelly*Fornim, Jiaming tahu pasti dia tidak mungkin tertarik pada rencana investasi dan pengembangan untuk manusia normal, bahkan tidak akan melakukan kompromi apapun, termasuk sekadar "melihat-lihat".
Wanita ini bisa menjadi gila, bisa tenang, bisa menyaksikan Natalia*Annis MATI dengan mata kepala sendiri, kemudian menghadapi gelombang pembunuhan bayaran gila dari Pei Luo Jia sendirian, berdiplomasi di antara berbagai organisasi kegelapan, menyatukan bentuk awal aliansi garis depan melawan Pei Luo Jia. Pada dasarnya, dia seperti anak kecil paling manja yang hanya melakukan hal-hal yang dia anggap menarik. Maka, alasan dia mengurungkan Gunung Emei sebagai lokasi tujuan langsung dan memilih Jianghai, kemungkinan besar memiliki tujuan lain.
Bagaimanapun, Jiaming bukanlah tipe Genius yang memiliki kelincahan berpikir luar biasa. Jika berada di Medan Perang, ia bisa mengatur strategi dalam radius terbatas dengan pengalaman hingga mencapai tingkat keyakinan 10 poin, namun visi makro-nya jelas tidak istimewa. Mungkin awalnya karena kekaguman pada Kelly-lah ia ingin mendekatinya sebagai jalan mundur, tapi menjadi bahan pikiran wanita secerdas itu setiap hari jelas merupakan hal yang menyiksa.
Duduk diam di tepi meja bundar sambil mengupas kuaci, di mata orang lain ia sudah kembali ke sosok kaku dan sunyi khasnya. Lewat pukul 05:40, tamu-tamu ucapan selamat masih berdatangan. Dongfang Wan yang sedang bercerita pada Ayah-Ibu Ye tentang pengalaman liburan musim dinginnya di Hong Kong tahun lalu, ternyata percakapan mereka tetap berlangsung hangat dan penuh tawa. Meski terhadap teman sebaya ia kerap menunjukkan sikap superior, namun pada tetua keluarga sikapnya tetap santun dan penuh hormat.
“……Kalian tahu lah, di Causeway Bay orangnya banyak banget, kondisi geografisnya rumit. Begitu lihat orangnya hilang, kami langsung panik setengah mati. Saat itu langsung buru-buru nelpon. Cari polisi lah, cari kesana kemari, sempat mikir jangan-jangan benar ada organisasi Hongxing She di Causeway Bay yang menculik orang buat urusan tertentu... Waktu itu kan saya yang ngorganisir mereka pergi, langsung cepat-cepat nelpon balik, terus ditransfer ke bos yang punya pengaruh besar di Hong Kong, mau minta bantuan... Untungnya pas malam hari, dia bisa pulang sendiri. Malam itu saya begitu takut sampai tidak bisa tidur semalaman, besoknya pakai kacamata hitam buat nutupin lingkaran mata kayak panda sambil tetap nemenin mereka jalan-jalan ke Museum Lilin di Victoria Peak...”
Dengan riang gadis itu bercerita tentang pengalaman liburan di Hong Kong. Dongfang Wan terlihat cukup imut. Duan Jingxian tersenyum: "Xiao Wan memang hebat, bisa ngatur banyak orang buat jalan-jalan bareng, apalagi pas ada masalah bisa tetap tenang. Bandingin sama Lingjing di rumah kami, disuruh beli saus aja bisa ketinggalan di warung, terus mati-matian nyari-nyari saus yang baru dibeli itu kemana. Kalau pas liburan ada yang hilang, bisa-bisa dia panik sampai nggak karuan."
"Masa sih bisa tenang? Waktu itu saya juga terlalu ketakutan sampai nggak bisa nangis, hati berdebar-debar kayak mau copot, pas nelpon tangannya gemetaran terus. Kalau nangis bisa menyelesaikan masalah, pasti saya udah duduk nangis seharian di tengah jalan..."
Dongfang Wan dan Duan Jingxian mengobrol sambil tersenyum, sementara Shasha dan Lingjing sedang membicarakan gosip-gosip kecil di kampus seperti perempuan mana yang pacaran dengan siapa atau putus dengan siapa - rumor-rumur tidak penting yang memang mereka sukai. Ye Han yang jarang bicara hanya mendengarkan sambil tersenyum, kemudian bercakap sebentar dengan Jiaming tentang kondisi terkini keluarga Huang. Meski masih ada hubungan kekerabatan jauh dengan keluarga Huang, di situasi kritis seperti ini dia pun tak bisa membantu banyak. Kabar Huang Bingxiang yang kemarin selesai menjalani pemeriksaan disiplin ganda dan akan segera dituntut ternyata belum dia ketahui. Baru setelah Jiaming bercerita, dia menghela nafas penuh penyesalan:
"Dia memang selalu baik pada keluarga. Beberapa tahun lalu saat Tahun Baru dia menawariku sebidang tanah di pusat keramaian, menanyakan apakah aku mau memindahkan perguruan silat ke sana. Karena terlalu jauh dari rumah sakit ibumu Ye, aku menolak. Tapi dia benar-benar orang baik."
Jiaming mengangguk: "Hmm, iya."
Bagi orang lain, sifat pendiam Jiaming saat ini justru lebih mirip Ye Han yang juga berkarakter tenang dan bijaksana, seolah mereka benar-benar bapak dan anak.
Balai jamuan sudah terisi delapan puluh persen, namun kebanyakan tamu memiliki teman yang mereka kenal. Di meja Jiaming duduk enam orang, untuk sementara belum ada yang datang lagi. Yahan sempat datang sambil tersenyum, menyapa Ayah-Ibu Ye, lalu meminta Lingjing menjaga kursi di sebelahnya: "Nanti setelah menyapa keluarga dan menghormati minuman para tetua, aku akan menyelinap ke sini untuk makan. Jika harus menemani minum di setiap meja, aku pasti tidak kuat. Lingjing, tolong jaga kursiku ya."
Dengan melempar pandangan genit diam-diam ke arah Jiaming, ia melangkah elegan menuju pusat jamuan yang ramai.
Beberapa menit kemudian, bayangan yang agak familiar muncul di sisi meja bundar. Wen Congyi dengan senyum ramah bertanya: "Maaf, apakah semua kursi di sini sudah ada yang menempati? Bolehkah aku duduk?" Dari arah datangnya, ia sengaja atau tidak memilih kursi di sebelah Lingjing. Sebelum Lingjing menjawab, Ye Han tersenyum: "Oh, kursi itu sudah ada yang menempati, tapi beberapa di sebelahnya masih kosong."
"Oh, terima kasih." Ia menarik kursi di sebelah Yahan dan duduk sambil memandang sekeliling. Lingjing dan Shasha jelas tidak berminat mengobrol, dan tentu saja ia tidak perlu berbasa-basi dengan Jiaming. Dongfang Wan sudah mulai berbicara dengan Duan Jingxian, membuatnya tidak bisa menyela. Akhirnya ia berdiri lagi dan mengulurkan tangan ke Ye Han: "Halo, nama saya Wen Congyi."
“Oh, aku Ye Han.” Wen Congyi menunjukkan sikap yang sangat baik, secara alami memberi kesan baik pada Ye Han. Setelah berjabat tangan, dia tersenyum: “Pak Wen pasti rajin berolahraga ya.”
“Panggil saja aku Xiao Wen. Waktu di Amerika aku selalu bertahan melakukan fitness. Apakah Pak Ye seorang pelatih kebugaran?”
Ye Han memang seorang yang bertubuh besar, terus berlatih bela diri sehingga tubuhnya atletis dan kekar. Pertanyaan ini tepat sasaran. Tak lama kemudian, Wen Congyi mulai berkonsultasi dengan Ye Han tentang ilmu bela diri. Meski Lingjing dan Shasha merasa tidak nyaman, mereka memilih mengobrol di samping. Tak berapa lama, Wen Congyi dan Ye Han sudah cukup akrab. Dia berdiri mengambil teko teh untuk mengisi cangkir semua orang, lalu dengan santai berkata pada Lingjing: “Ngomong-ngomong, tadi kuis kecerdasan itu gagal, tapi sudah sampai babak ketiga terakhir lho.”
Lingjing tidak berniat merespons, namun hal ini menarik perhatian Ye Han. Bahkan Duan Jingxian pun sedikit berhenti bicara: “Pak Wen kenal dengan Lingjing?”
“Eh, sebelumnya sudah ada yang memperkenalkan.” Wen Congyi mengangguk santai, “Barusan juga main kuis kecerdasan bersama di game center. Pak Ye dengannya... Oh, Ye Lingjing...”
“Kami satu keluarga.” Ye Han memutar jarinya, “Lingjing adalah putriku. Shasha dan Jiaming hampir seperti anak kami juga. Xiao Wan adalah teman sekelas dan sahabat mereka.”
“Sejak kecil bermain bersama dan , di hadapan dan , jarang memiliki teman lawan jenis. Perkataan terdengar biasa-biasa saja, namun keakraban yang sengaja ditunjukkan cukup membuat tidak hanya , bahkan pun tak kuasa mengamati selama beberapa detik. bahkan bisa merasakan intensitas tatapan bak calon menantu yang sedang dinilai mertua. Sebenarnya calon menantu ideal mereka tentu , namun karena sudah berpasangan dengan , tak ada lagi yang perlu dikatakan. memiliki penampilan dan aura yang baik, percakapannya pun sopan, wajar jika dinilai positif oleh pasangan suami-istri tersebut. Sebelum sempat berbicara, sudah tersenyum riang.
"Tadi dan tantenya membawanya untuk kencan buta dengan , sekalian memperkenalkannya pada kami. Kebetulan bertemu di game center, dia sangat hebat dalam kecerdasan kuis. Tapi karena kami masih ada urusan, tidak lama melihat keramaian di sana, langsung ke sini."
"Oh." mengangguk, senyum tetap tersungging meski sadar telah salah paham. mengalihkan tatapan dan kembali mengobrol dengan . Di sisi lain, dan saling bertukar kelicikan tatapan. Hanya dengan satu kalimat sederhana, seluruh simpati lebih banyak yang dibangun selama setengah hari di hadapan berubah menjadi kartu orang baik.
Wen Congyi tersenyum, tidak menyangkal hal kencan buta, hanya berbicara singkat tentang dirinya yang baru kembali dari Amerika. Tak lama kemudian, sepasang suami istri duduk di kursi kosong di area ini. Sekitar pukul enam dua puluh, kerumunan orang mulai terdiam, lampu redup. Zhang Jing'an naik ke podium utama di depan balai jamuan, mulai menyampaikan ucapan terima kasih kepada para tamu. Para pelayan wanita membawa piring berdatangan memasuki aula.
Jamuan dimulai.
## Bagian Dua Ratus Delapan Puluh Sembilan Menjadi Sasaran
Bagi tamu yang tidak terlalu penting, jamuan hanyalah kesempatan makan enak bersama dan mengobrol santai. Setelah pidato singkat Zhang Jing'an, masakan yang dimasak dengan teliti mulai disajikan berturut-turut, mengisi aula dengan suasana yang semarak.
Sebagai tuan rumah, Zhang Jing'an bersama istri, putrinya, dan beberapa kerabat mulai melakukan penghormatan dan ucapan terima kasih meja demi meja. Membawa gelas anggur, Yahan yang mengenakan gaun indah dengan senyuman elegan mengikuti ayahnya dengan sikap santun menghampiri satu meja ke meja lainnya. Meski sebelumnya dia berniat kabur di tengah acara untuk makan, melihat puluhan meja tamu di aula yang saling berbaur - kebanyakan memiliki hubungan dengan Keluarga Zhang - bahkan menyelesaikan setengah ronde saja sudah merupakan pekerjaan berat. Apalagi gelas di tangannya ternyata berisi air putih yang tidak diam-diam diganti. Lingjing dan Shasha sambil berdoa untuk "Kakak Yahan", bertaruh apakah dia akan mabuk dan terjatuh sebelum sampai ke meja mereka.
Dalam situasi ini, Jiaming juga membayangkan kapan Yahan akan mengisi botolnya dengan air putih curang. Secara lahiriah Yahan tampak lemah lembut, tapi kemampuan alkoholnya yang terasah melalui berbagai perjamuan telah mencapai tingkat yang mengerikan. Namun bahkan dewa anggur sekalipun mustahil bertahan menghadapi putaran roda yang tak berujung ini.
Di meja makan depan mereka, Ye Han, Duan Jingxian, Wen Congyi, dan pasangan baru sesekali berbincang ringan. Wen Congyi dengan santai bercerita tentang pengalaman pulang dari Amerika, namun dengan licik mengalihkan topik perjumpaan butanya dengan Yahan. Perubahan status Yahan menjadi "Tante" hanya dijadikan alasan untuk mengajaknya bertemu, tanpa disangka malah berubah menjadi kencan buta.
Dia sebelumnya tidak membantah perkataan Lingjing, kali ini dengan sikap yang penuh natural kembali menyangkal koneksinya dengan Yahan, bisa dibilang sudah berusaha sangat keras. Sesekali berbicara dengan Lingjing, karena semua orang sedang makan bersama di satu meja, Lingjing pun hanya menjawab singkat beberapa kalimat, tidak ingin merusak suasana makan semua orang. Jiaming memandang intrik-intrik kecil ini, usaha keras Wen Congyi dalam merayu cewek, tak bisa tidak merasa sangat bosan.
Di sekeliling meja makan, suara tawa dan teriakan tebak jari bergemuruh, perjamuan terus berlangsung dalam suasana seperti ini. Yahan yang telah selesai menghormati para tetua keluarga yang wajib diberi muka, wajahnya memerah berjalan limbung ke kursi ini dan duduk sejenak. Dia terlihat agak terkejut melihat Wen Congyi duduk di posisi sebelahnya, namun kemudian tersadar, bersandar pada Lingjing sambil berbisik-bisik dengan senyuman. Tak lama kemudian Shasha ikut bergabung, tiga wanita ini mulai membicarakan hal-hal menggoda dengan riuh, lalu tertawa-tawa sambil saling berkejaran. Setelah Yahan buru-buru menyantap beberapa hidangan, dia kembali limbung pergi menemani keluarganya bersosialisasi. Saat itu perjamuan telah berjalan lebih dari satu jam, banyak tamu yang mulai bebas bergerak membawa gelas anggur menyapa orang-orang yang mereka kenal di sekitar. Dongfang Wan yang duduk di sebelah Jiaming akhirnya juga meninggalkan kursinya, bersiap menemui orang untuk urusan bisnis. Sebenarnya dia sudah memilih target sejak lama, hari ini mustahil untuk benar-benar berbisnis, hanya sekadar berkenalan dengan memberikan penghormatan atau sapaan untuk mengumpulkan poin kesan.
Setelah Dongfang Wan pergi, Lingjing dan Shasha di seberang terus mengobrol dengan riang. Tiba-tiba Lingjing berlari ke sisi Jiaming, membungkuk dan berbisik: "Shasha menyuruhku bilang, awasi kupu-kupu liar yang akan mengganggu Dongfang Wan. Sebagai pengawal bunga, kau harus lebih kompeten."
Jiaming meliriknya: "Sudah tahu."
Lingjing tersenyum dan berlari kembali, berbisik di telinga Shasha, jelas menyampaikan jawaban Jiaming yang tak mengejutkan. Dua perempuan itu berbisik sebentar, lalu Lingjing kembali berlari mendekat: "Dia bilang kau jelas tak punya rasa tanggung jawab pada Dongfang Wan. Jadi jika kau tak mau bantu, malam ini kau dilarang menyentuhnya."
"Tolong?" Jiaming tertawa kecil, "Kalian harus percaya pada karakterku, setuju? Dan... sejak kapan kau jadi penyampai pesan..."
Lingjing terkekeh, kembali menjadi penyampai pesan untuk Jiaming. Dua cewek itu masih berbisik. Jiaming mengedipkan matanya, melambai pada Lingjing yang langsung berlari kecil mendekat: "Apa?"
"Ancaman kalian bermasalah. Larang aku menyentuhnya, toh masih ada yang satunya." Berbisik di telinga Lingjing, Jiaming berujar pelan. Duan Jingxian hanya terpisah satu kursi, tapi sejak kecil sudah akrab, pandangan mesra tak masalah. Jika kata-kata ini terdengar, masalah besar akan terjadi.
"Bibiku datang," jawab Lingjing sambil berkedip.
"Hah? Bukannya bibimu biasanya datang awal bulan? Selalu tepat waktu..."
"Hari ini sudah tanggal 25. Dia datang lebih awal, mau bagaimana lagi."
"Hmm, berarti malam ini bisa pertimbangkan paksakan busur pada raja..."
"Heh, kau memang tak punya tanggung jawab. Awas Shashamu memukulmu, dia sangat solid pada sesama cewek."
"Tak perlu tanggung jawab pada Dongfang Wan..."
“Lingjing membungkuk di sandaran kursi Jiaming sambil berbisik-bisik dengannya. Duan Jingxian yang melihatnya bolak-balik beberapa kali tersenyum: "Ngapain sih, misterius banget."”
“Rahasia.”
“Jangan banyak tingkah.”
Lingjing tertawa sambil berlari kembali ke kursinya, berbicara beberapa patah kata dengan Shasha. Shasha melototi Jiaming, membuatnya terpaksa mengangkat tangan tanda tak bersalah.
Sebenarnya dia sudah menyetujui permintaan Dongfang Wan dan tak berniat mengingkari janji. Tapi sekalipun berpura-pura jadi pacar, ada batasannya. Tidak mungkin setiap kali Lei Qing mendekati Dongfang Wan harus langsung diusir. Urusan seperti itu terlalu merepotkan. Saat memandang ke arah Dongfang Wan, pandangannya justru menangkap bayangan Lei Qing. Orang ini mungkin sudah minum banyak, sedang berbicara dengan Ying Zifeng sebelum akhirnya melirik Dongfang Wan dan berjalan mendekati Jiaming.
“Maaf, boleh nimbrung sebentar?” Dengan bau alkohol menyengat, Lei Qing menarik kursi yang semula ditempati Dongfang Wan di sebelah Jiaming.
Shasha tak menyukai orang ini: “Itu kan ada yang punya.” Lei Qing pura-pura tak dengar sambil duduk. Duan Jingxian dan Ye Han saling memandang bingung melihat orang yang terlibat perseteruan dengan Jiaming ini. Beberapa saat kemudian, wajah kemerahan akibat mabuk itu menatap Jiaming: “Hei, nanya sesuatu.”
“Apa?”
“Sendawa... Aku menyuruh orang menyelidikimu...” Mungkin karena mabuk, Lei Qing berbicara tanpa tedeng aling-aling, langsung pada intinya. Sebenarnya, dengan latar belakang keluarganya, dia memang tak perlu berhati-hati terhadap Jiaming. “Aku akui, kau punya sedikit koneksi. Keluarga Huang bukan apa-apa, uh... Yang paling penting... latar belakang geng kriminal Liu Huaisha itukan...”
Dengan wajah kemerahan, dia menunjuk ke arah Shasha yang duduk di seberang meja bundar: "Geng terbesar di Kota Jianghai. Makanya biro detektif tak bisa dapat banyak data tentangmu. Tapi aku malas pakai sumber lebih dalam. Kau tak sepadan. Sendawa... Ada hal-hal yang kita semua tahu. Kau sebenarnya pintar, jago komputer kan? Waktu tahun baru... uh, mobilku pintunya macet, itu ulahmu ya... Jujur saja."
Jiaming memutar kepala dengan bingung: "Mobil apa yang pintunya macet?"
"Kau... kau tak jujur... sendawa..." Lei Qing menunjuknya sambil mengeluarkan sendawa alkohol, seperti ingin mengatakan sesuatu. Tiba-tiba seluruh tubuhnya terjatuh 'prak!' ke kursi dan tertidur. Orang-orang di meja saling berpandangan. Ye Han mengerutkan alis: "Jiaming, ada masalah apa? Siapa ini?"
"Uh, dia yang sedang mengejar Dongfang Wan..."
Jiaming ragu sejenak. Di sudut pandangannya, Ying Zifeng sudah mendekat. Sesaat kemudian, dia menggendong tubuh Lei Qing yang mulai melorot: "Maaf, temanku ini mabuk."
"Dia membantu Lei Qing berdiri dan berjalan beberapa langkah, lalu berhenti sejenak. Setelah berpikir, dia tersenyum pada Jiaming: 'Ngomong-ngomong, Gu Jiaming, bisakah kita cari tempat untuk ngobrol?'" Senyum dan nada bicaranya terkesan ramah. Jiaming memandanginya sejenak, lalu menjawab: "Kurasa tidak perlu. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada hubungannya denganku."
"Oh, kalau begitu sampai jumpa..." Ying Zifeng mengangguk dan membawa Lei Qing pergi. Namun dari sorot matanya terlihat percikan kemarahan. Pria dari keluarga kaya besar ini memancarkan aura superioritas dan tekanan dahsyat. Suasana meja makan mendadak hening. Duan Jingxian mengerutkan alis dan berbisik pada Jiaming: "Orang ini tidak baik, terlalu sombong. Sebaiknya kau jangan banyak berurusan dengannya." Tanpa perlu bertanya latar belakang, Ayah-Ibu Ye jelas berada di pihak Jiaming.
Setelah insiden kecil ini, suasana meja makan menjadi muram. Shasha bergumam geram, "Sombong apa sih..." Tapi dalam hati mereka paham, orang seperti Ying Zifeng memang punya modal untuk bersikap lancang. Namun di sisi lain, mereka juga tahu kekuatan tersembunyi Jiaming sehingga tidak terlalu khawatir.
Sedangkan Jiaming, saat ini pandangannya mengarah ke arah gerbang aula. Tampaknya ada seorang pengunjung yang terlambat, seorang pria berbaju jas putih rapi yang tersenyum sambil masuk setelah melakukan registrasi di meja penerima tamu. Usianya sekitar 24-25 tahun, senyumnya hangat namun memberi kesan sangat rendah hati dan berhati-hati. Yang pertama menyadarinya adalah seorang profesor medis ternama nasional yang sedang asyik berbincang dengannya di tengah jamuan.
Jenis cendekiawan seperti ini sangat dihormati di dunia akademik, meskipun posisinya dalam jamuan ini mungkin tidak terlalu tinggi. Keluarga Zhang telah memberikan sponsor ke banyak fasilitas medis dalam negeri karena penyakit Yahan, dan ilmuwan senior ini tentu salah satu penerima sponsor tersebut. Kehadirannya dalam jamuan ulang tahun tante Yahan tidak banyak dikenal, hanya berdiskusi dengan beberapa cendekiawan sepanjang meja tentang pertukaran ilmu, sama sekali tidak tertarik dengan urusan bisnis. Saat profesor tua ini membawa pemuda berbaju putih ke meja mereka dan memperkenalkannya, beberapa ahli medis dan biologi ternama dalam negeri langsung berdiri, tersenyum sambil berdiskusi tentang topik-topik menarik. Suasana di bagian belakang jamuan seketika menjadi semarak karena kedatangan pemuda tersebut.
Rupanya pemuda yang datang terlambat ini adalah murid dari seorang raksasa akademis, atau mungkin juga seorang jenius di bidang medis. Sebagian besar tamu dalam jamuan ini adalah pedagang, bagi peneliti akademis, sekalipun dihargai tapi tidak sampai tingkat yang mendalam. Zhang Jing'an di depan yang awalnya sudah mabuk berat, melihat ada tamu baru, berdiri lagi dan mendekat untuk mengucapkan beberapa kata terima kasih dan basa-basi lainnya. Pada saat yang sama, di bagian depan ruangan beberapa bos perusahaan besar mulai berdiri setelah menyadari kehadiran pemuda di belakang, membawa gelas anggur mereka mendekat ke arah sini.
Jumlahnya hanya lima enam orang, tapi di mata yang jeli, hal ini memiliki makna yang luar biasa. Perusahaan-perusahaan yang diwakili mereka adalah grup multinasional berskala besar dengan domain yang berbeda-beda. Awalnya Zhang Jing'an juga mengira pria itu sebagai pengucap selamat biasa, namun ketika hendak pergi dan melihat beberapa bos mulai menyapa pria tersebut, barulah ia menyadari ada yang tidak beres. Setelah berbicara sebentar dengan salah satu bos, barulah wajahnya menunjukkan ekspresi seperti tersadar, kemudian mereka pun mulai mengobrol akrab dengan pria berjas putih itu. Bagi yang memperhatikan, tidak sulit melihat bahwa pria berjas yang sopan ini terus-menerus berjabat tangan dan tersenyum sambil sedikit membungkuk, gerak-geriknya samar mengandung aroma etiket Jepang yang kaku.
Dengan kata lain, pria yang disambut hangat oleh para akademisi sekaligus dihormati oleh bos-bos perusahaan besar ini, sebenarnya adalah orang Jepang.
Sebenarnya, jamuan sudah memasuki babak akhir, suasana lebih didominasi obrolan. Kehadiran pria misterius yang tiba-tiba muncul, tampaknya memiliki posisi di dunia akademis dan bisnis, memicu beberapa spekulasi penasaran. Dongfang Wan yang berbau alkohol samar kembali ke kursi di sebelah Jiaming, bertanya penasaran: "Siapa orang yang baru masuk tadi?"
Jiaming mengangkat bahu: "Aku juga tidak tahu..."
Zhang Jing'an dan lainnya mengobrol sebentar dengan pria itu, sepertinya ingin mengajaknya duduk di depan aula jamuan. Namun pria Jepang ini tersenyum sambil mengayunkan tangan, menolak dengan halus. Setelah para pedagang pergi, ia duduk di antara para cendekiawan yang lebih tua, sesekali berbicara sopan. Pandangannya menyapu seluruh aula, berhenti sejenak di posisi Jiaming.
Saat pandangan sekilas mereka bersentuhan, pria itu tersenyum dan mengangkat gelas dari kejauhan, menghabiskannya sekali teguk sebelum berdiri. Ia meminta maaf pada beberapa orang tua di sebelahnya, lalu berbalik menuju pintu gerbang.
"Aku ke toilet dulu." Jiaming tersenyum sambil berdiri, meninggalkan area kursi. Ia mengusap jam elektronik yang bergetar halus, mengeluarkan earphone dari kantong pengepungan dan memasangnya. Kemudian, ia melangkah keluar dari aula jamuan, menyusuri lorong sejauh 1 li ke dalam.
"Kapan tiba di Jianghai?"
"Penerbangan dari Yokohama, tiba di Jianghai kemarin sore."
"Kau juga ikut ramai-ramai ini, demi Dongfang Ruo atau Kelly Vernam?"
“Mungkin keduanya.” Bayangan putih berbelok di sudut depan, suara Tenku Masaoka yang santai dan fasih berbahasa China terdengar dari earphone, “Lagipula… bukankah Kaoru telah diperlakukan tidak adil?”
Seorang pelayan lewat dalam jarak pandang, Jiaming menangkap kesan aneh.
“Aku sedang diintai.” Beberapa saat kemudian, Tenku Masaoka menambahkan. Jiaming menoleh sebentar, tepat melihat bayangan Ying Zifeng yang juga mengikutinya keluar dari balai jamuan, ia hanya tersenyum getir: “Sepertinya aku juga diintai...”
## Bagian Dua Ratus Sembilan Puluh Kucing Liar, Anjing Kampung
Pada momen ini, kedatangan Ying Zifeng jelas terkait Lei Qing atau urusan lain yang bersikeras ingin "berbicara" dengannya. Secara tertentu, dipandang sebagai orang baik-baik selalu menjadi salah satu target yang dikejar Jiaming. Jika sampai dianggap lemah dan bisa diinjak-injak, biasanya ia tak ambil pusing. Tapi dalam situasi seperti ini, dorongan untuk tersenyum getir mulai muncul.
“Sebenarnya apa yang terjadi?”
Mengingat posisi Ying Haisheng di [], anaknya sama sekali tak boleh celaka di sini. Kalau tidak, di Tiongkok basically mustahil untuk terus berkecimpung. Tapi dengan pengalaman puluhan tahun bergumul dengan asap peringatan dan pergulatan hidup-MATI, kondisi seperti ini bagi Jiaming sama sekali bukan masalah besar. Ia menekan earphone, terus menggali detail kejadian.
“Kejadian di Dark Celeste beberapa waktu lalu, belum juga kau dapat kabar?”
“Kejadian apa?”
“Kami menyelidiki, tahun lalu sepertinya [] memperoleh intelijen terkait Kekosongan Pandang Debu, mengirim orang ke Eropa untuk investigasi jangka panjang, tapi kebocoran informasi terjadi... Kira-kira tidak ada yang tahu fungsi sebenarnya, tapi kerangka Evolusioner alami yang MATI, kau tahu seberapa besar godaannya bagi peneliti paranormal...”
Kekosongan Pandang Debu - sarira biksu Tiongkok yang diduga sebagai Evolusioner alami. Sebagai dalang di baliknya, Jiaming tentu sangat paham. Saat itu Dongfang Ruo kondisinya memburuk setelah kontak dengannya, [] menduga Jane Suyan mungkin Evolusioner alami. Melalui Dongfang Lu, mereka menghubungi Jiaming dengan kesungguhan luar biasa untuk meminta bantuan. Dengan kekecewaan, Jiaming terpaksa memalsukan kabar bahwa Kekosongan Pandang Debu bisa menyembuhkan gangguan mental, sekaligus mengalihkan perhatian [] ke Eropa secara samar.
Di timeline asli Jiaming, Kekosongan Pandang Debu memang pernah muncul di Eropa, tapi baru digali belasan tahun kemudian. Kali ini karena petunjuk ngawur Jiaming, berbagai organisasi paranormal menggali dan meneliti di Eropa. Hutan purba, kastil, dan pemakaman terbolak-balik sepanjang tahun. Jiaming tetap memantau. Awalnya dikira tidak ada hasil, tapi dari Tenku Masaoka baru tahu Dark Celeste memanfaatkan keakraban mereka dengan Eropa berhasil mendapatkan beberapa harta kesayangan.
"Apa yang konkret ditemukan tidak diketahui, namun kami punya alasan untuk percaya bahwa hal-hal tersebut mungkin mirip dengan legenda penghisap darah Eropa Utara. Mereka mungkin berhasil memodifikasi sekelompok manusia, memberinya kekuatan supernatural..."
Manusia yang dimodifikasi, Evolusioner, penelitian tak pernah terhenti sejak pengguna kekuatan supernatural menyadari kemampuan mereka. Meski berbagai organisasi saling mengontrol dan menghentikan penelitian terbuka serta eksperimen biologis dalam beberapa tahun terakhir, di balik layar mustahil diurungkan. Dalam beberapa dekade terakhir muncul karya-karya cacat seperti Dongfang Ruo, Munen dari Dewa-dewa, bahkan Kelly*Vernam - semuanya produk eksperimen semacam ini.
Namun, banyak hasil penelitian membuktikan: kemampuan mereka menguasai kekuatan supernatural berasal dari konstitusi bawaan yang spesifik. Modifikasi ini sangat tidak stabil - baik tubuh maupun mental penerima prosedur berpotensi runtuh kapan saja. Contohnya gangguan mental Dongfang Ruo, kegilaan Munen yang tak peduli hidup dan MATI, sedangkan Kelly*Vernam meski relatif stabil, kecenderungan lesbiannya mungkin bukan satu-satunya efek samping dari kekuatan supernatural tersebut.
“Dulu sudah mengalami terlalu banyak hidup dan MATI, tidak merasa pengguna kekuatan supernatural itu aneh. Tapi selama bertahun-tahun ini, aku sudah beradaptasi dengan hari-hari yang biasa-biasa saja. Orang-orang di sekitarku juga rakyat jelata biasa. Saat ini berjalan di lorong hotel yang terang benderang, bersimpang dengan pelayan yang membawa barang. Dari telinga terdengar riuh pesta minum di bilik VIP dan aula. Tapi di sini malah membicarakan hal supernatural yang jauh dari realita seperti ini, Jiaming tak bisa menahan gelengan kepala: "Ada hubungannya dengan penghisap darah? Kekuatan macam apa itu? Apa menggigit leher wanita bisa bikin mereka orgasme?"
“Bukan.” Tenmasa Masaoka mendorong pintu kamar mandi di depannya. Suara datar mengalir dari earphone Jiaming: “Yang abadi.”
“Hah…” Jiaming tertegun sebentar, lalu menahan hidung sambil tertawa: “Tiga orang yang ngejar kamu ini juga jenis begitu?”
“Kurasa iya. Laboratorium Dark Celeste kacau balau, tujuh kabur. Permaisuri juga tidak berani menyembunyikan, sengaja membocorkan kabar. Katanya salah satunya sangat kuat, antek-anteknya kurang. Kenapa mereka lari ke Jianghai masih belum jelas. Tapi keberuntunganku memang bagus, baru datang langsung ketemu. Mereka... sepertinya juga tertarik pada pengguna kekuatan supernatural lain. Mungkin terlalu sering jadi objek penelitian, sekarang ingin meneliti orang lain…”
“Oh begitu…”
"Dengan demikian, alasan Kelly Vernam datang ke Jianghai menjadi jelas. Pertama untuk Dongfang Ruo, kedua untuk menangkap kelompok manusia hasil rekayasa ini. Adapun tujuan Tenku Masaoka lebih egois - setelah menjadi target, jika meminta bantuan [], perlindungan pasti didapat. Tapi ini wilayah [], setelah masalah selesai, bahan eksperimen berkualitas tinggi untuk penelitian kekuatan supernatural ini mungkin takkan ada bagian untuk Takamagahara."
Seorang pria gemuk keluar dari kamar mandi. Jiaming mendorong pintu masuk. Lampu terang benderang, kaca di depan wastafel bersih tanpa debu. Vas bunga di sudut berisi bunga kuning-putih, aroma parfum menyebar. Hotel bintang empat, toiletnya pun berkelas. Di hotel sebesar ini, setiap lantai memiliki beberapa kamar mandi. Yang satu ini berkelok-kelok dan relatif sepi. Tenku Masaoka jelas masuk ke bilik khusus, suaranya terdengar sambil tertawa: "Aku lihat kau tadi tersenyum, kenapa? Masih merendahkan para abadi?"
Merasakan sekeliling, hanya mereka berdua di kamar mandi saat ini. Tak perlu berkomunikasi lewat telepon. Jiaming berkata datar: "Tak ada kekuatan supernatural yang tak terkalahkan di dunia ini. Yang merasa hebat hanya karena belum memahaminya."
"Kedengarannya seperti buku pelajaran pembunuh Pei Luo Jia."
"Bukankah memang begitu?"
"Heh..."
"Saat itu suara gagang pintu diputar terdengar dari luar pintu, bayangan Ying Zifeng masuk ke dalam. Tenku Masaoka hanya tersenyum, tidak berbicara lagi. Sebenarnya, itu memang materi pelatihan pembunuh Pei Luo Jia. Kekuatan supernatural tidak akan menjadi kuat hanya karena keunikannya, yang kuat tetaplah kekuatan penggunanya sendiri. Jika orang seperti Jiaming atau Yoritomo Taku memiliki kekuatan supernatural tambahan, pasti kekuatannya akan berlipat ganda. Bagi manusia biasa, sekalipun kekuatan supernaturalnya sangat ajaib, Jiaming tidak akan merasa kesulitan. Tentu saja, jika sampai pada tingkat Evolusioner alami dalam legenda yang kekuatannya begitu dahsyat hingga bisa bertahan dari tembakan senapan mesin atau ledakan bom secara langsung, itu cerita lain lagi - sama sekali bukan level yang sebanding."
Setelah pura-pura buang air kecil di bilik khusus, Jiaming berjalan ke wastafel. Ying Zifeng yang juga sudah selesai buang air kecil mendekat sambil tetap tersenyum memandanginya: "Ada waktu untuk ngobrol?"
"Di sini?"
"Aku tahu ini bukan tempat yang romantis." Memutar keran air, Ying Zifeng tersenyum, "Tapi hanya beberapa kalimat saja."
"Oh, silakan." Kalau tidak kubiarkan kau menyelesaikan ucapanmu, kurasa kau tidak akan bisa mati dengan tenang...
"Aku tidak menyukaimu." Dengan aura superior, senyum tipis masih tersisa di wajah Ying Zifeng, tapi pandangannya pada Jiaming mulai menunjukkan secercah penghinaan, "Sebenarnya aku tidak perlu mengatakan ini semua. Tapi tiba-tiba aku menyadari, seseorang sepertimu... Sungguh aku benci kelicikan, kebodohan, dan ketebalan muka mu."
“Aku tahu kau, kau berasal dari keluarga Huang. Tapi baik saat keluarga Huang berkuasa dulu maupun sekarang ketika mereka dalam kesulitan, kau tak pernah punya posisi, tidak dihargai juga tidak memberi kontribusi. Di kampus kau bertindak semaunya, bahkan di ring pertarungan menggunakan jurus paling menjengkelkan. Meski berhasil memanfaatkan celah, tak ada yang menyukaimu. Kau hanya kenal beberapa cewek: ayah Liu Huaisha adalah pemimpin pasukan kriminal terbesar di sini, kau bukan pacar Dongfang Wan—semua orang bisa melihat itu, kau cuma perisai pembenarannya. Hubunganmu dengan Guru Zhang Yahan baik itu hanya karena kau menumpang nama Dojo Keluarga Ye, menjadi adik juniornya secara nominal...”
“Tentu saja kau paham komputer, tapi kalau ambil satu teknisi komputer dari perusahaanku secara acak, pasti lebih hebat darimu. Gu Jiaming, kau tidak punya kekuatan sama sekali. Hanya mengandalkan hubungan dengan satu dua cewek untuk masuk ke kalangan atas, tapi masih bisa bersikap sombong dan puas diri. Tahukah kau? Jika Lei Qing benar-benar ingin melakukannya, dengan sedikit kekuatan saja dia bisa langsung MATIkan kau, bahkan Liu Zheng pun tak bisa menyelamatkanmu. Tapi dia tidak. Kau harus tahu batasan, jangan terus mengganggu dan mengoceh ngawur di segala situasi. Saat kau ngawur tentang urusan Grup Xide di depan banyak orang tadi, sikapmu benar-benar membuatku muak sampai puncaknya...”
“Kau bisa menganggap ini sebagai intimidasi, ancaman, atau apapun, terserah. Kau bahkan bisa mencari cara untuk membalas dendam padaku, bahkan menggunakan kekuatan keluarga Liu. Tapi sungguh, di mataku kau benar-benar bukan siapa-siapa. Lebih baik kau renungkan baik-baik, hal-hal yang bukan milikmu, dunia yang bukan tempatmu, jangan berkhayal muluk tentang betapa hebatnya dirimu. Aku sangat membenci... ini adalah peringatan tulus, melihat temanku merasa jijik saat berinteraksi dengan manusia kerdil sepertimu.”
Dengan keunggulan yang mutlak, serangkaian peringatan diucapkan dari posisi tinggi. Saat ini, aura Ying Zifeng benar-benar tak tertandingi, menunjukkan kepuasan sebagai Niji keluarga Ying secara gamblang. Bahkan dia yakin, banyak orang akan menganggap rasa superior ini memang pantas. Tentu saja, semua ini akan terasa memuaskan jika Jiaming benar-benar tak berdaya - saat keunggulan absolut memungkinkanmu terus terang berkata "Aku tidak menyukaimu" pada orang yang hanya bisa ketakutan dan minggir tanpa bisa marah.
Ying Zifeng jelas sedang dalam kondisi mental yang sangat membengkak, namun pembengkakan ini ditopang kekuatan nyata. Ini membuat orang percaya bahwa sikapnya bukanlah kamuflase B, tapi kehebatan sejati. Setelah mengucapkan semua itu tanpa memberi kesempatan Jiaming menjawab, dia membersihkan tangan dan berjalan ke pintu. Melihat punggungnya, bibir Jiaming tak kuasa menahan senyum sinis sambil menggeleng pelan dalam hati.
Penuh percaya diri dan bersemangat, memang wajar jika anak-anak keluarga Ying memiliki sifat batin seperti ini. Namun pada akhirnya, ini tetaplah seorang anak orang kaya yang manja yang belum matang. Jika kakaknya Ying Zilan yang menghadapi situasi ini, mungkin dia juga akan mengancam seseorang karena perasaan tidak nyaman. Tapi seperti singa yang memburu kelinci, dia pasti akan menggunakan seluruh kekuatannya. Bahkan ketika berurusan dengan si kecil sekalipun, sebelum melakukan hal yang bisa menimbulkan dendam, Ying Zilan pasti akan menyelidiki semua koneksi sosial pihak lawan terlebih dahulu baru membuat keputusan.
Sejak Shazhu Bang menjadi geng kriminal terbesar di Jianghai, upaya untuk mencari informasi tentang Jiaming dkk melalui detektif swasta basically menghadapi hambatan besar. Meski Ying Zifeng tidak bisa masuk [], jika benar-benar ingin menyelidiki, beberapa hal yang lebih dalam tetap bisa dia dapatkan. Saat itu setidaknya dia akan menyadari bahwa dirinya memiliki hubungan rumit dengan [] dan berbagai pihak lain. Untuk mengurai hubungan ini lebih lanjut memang harus melalui [], tapi setidaknya melalui petunjuk yang semakin kabur ini dia bisa mengevaluasi kembali lawannya. Seperti sekarang, hanya mendapatkan petunjuk permukaan yang bahkan diketahui orang Mars lalu tergesa-gesa mengancam, ini hanya membuktikan bahwa dia benar-benar belum matang.
Karena hubungan Ying Haisheng, pada akhirnya Ying Zifeng tidak bisa dibunuh. Jiaming pun berniat mengabaikan sepenuhnya perkataan itu, menarik kembali pandangannya, dan melanjutkan cuci tangan. Namun, tepat saat itu, suara ribut terdengar dari luar pintu. Sosok tinggi besar Ying Zifeng belum sempat bertahan sampai keluar, pintu toilet sudah didorong kasar dengan suara Byur! Yang pertama masuk adalah tiga orang Thailand dengan raut wajah sangar, disusul seorang lagi yang menaruh papan bertuliskan "Perbaikan Toilet" di depan pintu. Keempatnya masuk, lalu menutup pintu kembali dengan suara Byur!
Blek kedua...
Begitu melihat orang-orang Thailand ini, Jiaming langsung paham mereka adalah anggota tim Suriwong. Sambil mengangkat mata putihnya ke cermin, ia menggelengkan kepala penuh penyesalan - gelengan ini ditujukan untuk Ying Zifeng yang juga dihadang keempat orang Thailand di pintu. Mereka berbicara dalam bahasa Thailand. Salah satunya menatap Ying Zifeng: "Mereka makan di satu kamar." Rupanya setelah Jiaming menakut-nakuti mereka dengan senjata air, seseorang sengaja mengawasinya di aula jamuan, sehingga mereka juga punya kesan terhadap Ying Zifeng.
Dengan penuh penyesalan, Ying Zifeng ditahan. Orang Thailand tinggi besar bermuka sangar di depan mengacungkan jari ke arahnya, berbahasa Mandarin terbata-bata: "Kau! Tinggal!" Gerakan menunjuknya sangat gagah, mungkin meniru Bruce Lee. Lalu secara alami jarinya beralih ke Jiaming: "Kau! Tempur denganku!" Sambil berkata demikian, ia melangkah perlahan mendekati Jiaming. Tubuhnya sudah sepenuhnya tegang, memasuki status siaga pertempuran.
"Kalian mau ngapain! Biarin aku keluar!" Ying Zifeng yang baru saja memberi peringatan penuh wibawa pada Gu Jiaming, kini justru dihadang beberapa BANGSAT. Wajahnya jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Meski menyadari orang-orang Thailand ini mungkin praktisi bela diri atau murid muay thai, tapi sejak kecil dia juga belajar teknik pertahanan diri yang lebih hebat dari orang biasa. Dengan menggenggam pinggiran pintu, dia mencoba mendorong orang yang menghalangi: "Ini di Tiongkok! Aku akan laporkan tingkah kalian ke Xiliwang!"
Tiba-tiba sebuah pukulan keras menghujam.
Kedua tangan berusaha menahan, tubuh Ying Zifeng terhuyung mundur dua langkah. Perutnya ditendang hingga badannya terlempar ke dinding, lalu jatuh terduduk kesakitan. Orang Thailand bermuka sangar itu menoleh: "Kau! Jangan cari masalah!" Kemudian dia berbalik mendekati Jiaming. Bersamaan, pintu kecil bilik khusus di samping terbuka. Tenku Masaoka berjas putih muncul, matanya menyapu para orang Thailand itu.
Harus diakui, baik aura maupun kharisma, Tenku Masaoka jauh lebih matang dibanding Ying Zifeng - meski perusahaan keluarganya mungkin masih kalah dengan Grup Chaohai sang "Raja Tanah" di Tiongkok. Kehadiran pria ini di toilet membuat para orang Thailand ragu sejenak: Lihat penampilannya necis, takut bermasalah kalau dipukuli. Tapi sekejap kemudian, keraguan itu berubah menjadi jalan buntu dengan satu solusi akhir.
“Memutar-mutar leher, sedikit merapikan dasi bermotif bintik-bintik keperakan, Tenku Masaoka langsung berjalan ke pipa air di sebelah Jiaming, tepat menghalangi antara pria Thailand dan Jiaming.
Mungkin karena sikapnya yang terlalu santai, beberapa pria Thailand masih ragu-ragu. Dia mencuci tangan, lalu merapikan rambutnya di depan cermin sambil berbicara dengan tepukan lembut: "Sejak kapan kau bisa mentolerir binatang kecil mengganggu di telingamu?"
"Sejak dipaksa pacarku bergabung dengan Perhimpunan Perlindungan Binatang Kecil, aku jadi lebih toleran." Jiaming tersenyum tipis, menjawab sekilas.
"Oh, itu kebiasaan yang bagus. Maksudku... untungnya pacarku kejam, kalau disuruh lindungi binatang kecil, aku pasti MATI..." Mengambil selembar tisu, Tenku Masaoka mengusap tangan sambil menoleh ke pemimpin kelompok Thailand, "Jadi, mereka itu petarung muay thai? Yang bersama pangeran Vietnam itu?"
Percakapan mereka yang tidak terlalu cepat membuat pria Thailand yang kurang lancar berbahasa Mandarin tetap bisa memahami intinya. Perhatiannya kini beralih ke pria Jepang yang tetap santai: "Kau? Mau bertarung?" Auranya menyiratkan hawa menusuk tulang dan dahaga darah, jelas bukan orang baik. Tapi bagi Tenku Masaoka, aura seperti ini tak berarti apa-apa.
"Aku benci masalah. Jadi untuk binatang kecil yang menjengkelkan, biasanya aku..." Senyum tipisnya mengembang, jari-jari tangan kanannya berputar-putar di udara seolah mencari kata. Lalu dia menemukannya, "...BEGINI!"
Di bawah keran wastafel, jari-jari tangan kanan tiba-tiba melesat. Di bawah sorot lampu, aliran air yang terlontar itu seperti rantai perak yang menyembur ke wajah pria Thailand itu. Tangan kanan Tenku Masaoka pun mengayun mengikuti momentum. Jarak hampir 2 meter antara mereka sebenarnya ideal untuk jurus muay thai. Pria Thailand itu menghadang dengan kedua tangan sementara kaki kanannya sudah menendang lurus. Namun dalam sekejap, semua jurus andalannya berubah menjadi sia-sia. Di mata semua orang, Tenku hanya menggerakkan tangan kanannya lalu langsung mencengkeram kepala pria Thailand itu seperti memegang bola, lalu menghantammnya ke bawah.
Byur! Suara itu menggema di kamar mandi yang sunyi.
Keramik putih wastafel hancur berkeping-keping. Di pandangan Jiaming, meski pria Thailand itu buru-buru menghadang dengan siku, kepalanya yang besar tetap menghantam sudut wastafel hingga pecah. Tubuh kokohnya braak! menubruk lantai, lalu tak bergerak lagi.
Sudut wastafel yang pecah membuat air mulai merembes ke bawah. Tenku mematikan keran. Di dekat kakinya, genangan darah menyebar dengan mengerikan...
## Bagian Dua Ratus Sembilan Puluh Satu - Belalang Hijau
Ketika petarung terkuat pertama sudah tumbang, pertarungan selanjutnya tak lagi memiliki ketegangan.
Pertarungan yang ditentukan dalam satu jurus, perbedaan kekuatan yang terlalu timpang, basically mustahil membangkitkan nafsu bertempur dari tiga anggota tersisa asal Thailand. Orang yang berjaga di gerbang gemetar seolah hendak membuka pintu, namun Tenku Masaoka basically tidak memberi mereka ruang untuk keluar. Pada sekejap mata itu, dia sudah langsung menerjang ke depan, menekan seorang yang menghadang dengan Byur ke dinding. Tangan calon pembuka pintu belum sempat menyentuh gagang, seluruh tubuhnya sudah terlempar ke belakang. Adapun anggota ketiga yang tersisa, sepertinya juga tak punya banyak pilihan. Mundur selangkah, angkat tangan, lalu melancarkan sapuan kaki muay thai yang sederhana namun dahsyat.
Murid-murid yang bisa mengikuti Xiliwang ke Tiongkok sebenarnya memiliki kemampuan yang cukup mumpuni. Sapuan kaki ini sederhana dan langsung, namun telah ditempa melalui ribuan latihan. Bahkan pipa besi pun mungkin akan langsung patah. Namun, dalam sekejap mata yang muncul di kamar mandi hanyalah suara "Creek——" nyaring, entah siapa yang melemparkan potongan kecil sabun ke lantai. Kaki orang itu terayun tinggi, tubuhnya berputar seperti gasing yang memalukan, lalu Byur terjatuh dengan tengkuk menghantam keras tangga marmer dua tingkat di dalam kamar mandi. Sambil memegangi kepala, dia berguling beberapa kali di lantai, darah terus mengucur dari rambut kusutnya...
Melihat sekilas orang yang terjatuh karena sabun, Tenku Masaoka melepaskan orang Thailand yang ditahannya di dinding, menarik bahunya dan melakukan tendangan lutut muay thai yang keras. Tak lama kemudian, orang malang itu muntah darah dan meringkuk di lantai seperti udang. Seluruh proses hanya memakan beberapa detik, empat orang Thailand yang awalnya terlihat garang kini sama sekali tak berdaya. Di dalam kamar mandi, Ying Zifeng berdiri sambil memegangi perutnya, memandangi adegan ini dengan perasaan bimbang.
"Sejak kapan kau bisa menerima orang-orang biasa yang berani menggonggong di telingamu?"
Ini adalah ucapan Tenku Masaoka kepada Gu Jiaming sebelumnya. Sebagai "orang biasa" yang baru saja "menggonggong", keraguan Ying Zifeng tentu beralasan. Bagaimana mungkin Gu Jiaming yang terlihat tak berguna ini punya teman sehebat itu?
Dalam situasi normal, dia takkan takut pada seseorang seperti ini. Tak peduli sekuat apa pun seseorang, tetap tak bisa menahan senjata. Dengan kekuatan Keluarga Ying, bahkan tentara pun bisa dimobilisasi - master bela diri macam apa yang perlu ditakuti? Tapi situasi lebih kuat dari manusia. Terjebak di ruang sempit seperti kamar mandi, menyaksikan genangan darah di lantai, pandangan Ying Zifeng bolak-balik tegang antara Tenku Masaoka dan Jiaming. Ingin mengatakan sesuatu, tapi tak menemukan kata-kata yang tepat.
Untungnya Tenku Masaoka tampaknya tidak punya niat menyerangnya, hanya melirik sekilas sambil membersihkan bagian jas putih yang sedikit basah akibat cipratan air di sisi kiri. Perhatiannya lebih tertarik pada pria yang terpeleset sabun tadi, kemudian tersenyum sambil menoleh ke belakang.
"Sadis banget... Tendangannya terlalu tinggi, putarannya terlalu cepat, dia sampai keseleo pinggang..."
"Bukan urusanku." Jiaming mengangkat tangan bingung dengan ekspresi dramatis, "Kamu main kasar begitu, lagi pula mereka orang Thailand. Kalau sampai bikin masalah internasional, itu tanggung jawabmu sendiri."
"Hei, kan kamu yang melempar sabun tadi."
"Mata sebelah mana yang lihat aku sembarangan lempar sabun? Cih..." Dengan senyum mengembang, Jiaming berjalan memutar melewati Tenku Masaoka, "Darah sudah menggenang. Kalau ada yang MATI, kamu bakal dapat masalah besar. Dadah, ini urusan enggak ada hubungannya denganku. Kalau polisi tanya, jangan lupa bilang aku enggak ada di TKP."
Tangan kanannya memegang gagang pintu kamar mandi, Jiaming berpikir sejenak lalu menoleh ke sisi lain sambil berkata pada Ying Zifeng: "Ayo pergi, jangan berdiam di sini."
Meski sebelumnya terjadi percakapan tidak menyenangkan yang dipicu oleh Ying Zifeng sendiri, saat Jiaming mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba muncul rasa syukur tak terduga di hatinya. Citra Jiaming di matanya pun membaik beberapa tingkat. Rasa sakit di perutnya tidak terlalu parah. Saat dia berdiri hendak mengikuti ke pintu, Jiaming membuka pintu kayu.
Perubahan mengejutkan terjadi sekejap mata.
Di depan, kegelapan.
Dalam pandangan Ying Zifeng, tubuh Jiaming tiba-tiba terlempar seolah ditabrak truk bertenaga kuda penuh, paha mengambang di udara, punggungnya tiba-tiba membesar dalam matanya. Yang paling penting, karena dia sedang berjalan menuju pintu, bayangan ini hampir langsung menubruknya.
Perubahan terjadi tiba-tiba. Dengan tergesa-gesa dia bahkan tak sempat berpikir untuk menghindar. Kepalanya terkena pukulan keras, mungkin lengan Jiaming yang sedang mengayun di udara, seperti pukulan memusingkan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung mundur, berputar lalu terjatuh di sudut dinding.
Suara kehilangan makna, di pikiran hanya resonansi Bzzzt yang kacau. Gambaran berubah menjadi hitam putih. Lantai yang memanjang di depan mata, pantulan lampu yang menyilaukan dan memucat. Di sampingnya, sosok abu-abu menubrukkan tubuh Gu Jiaming ke dinding. Siluet raksasa itu bagaikan kereta perang raksasa. Ubin dinding yang tak terhitung jumlahnya retak dan mengelupas dari pusat punggung Gu Jiaming...
Kemudian, kesadaran menjauh...
Tubuh-tubuh manusia berantakan tergeletak, lampu yang mulai menyilaukan, genangan darah, wastafel keramik putih yang pecah sebagian, dan dinding ubin retak. Kamar mandi ini tidak terlalu besar maupun kecil, tapi kini mulai terasa ramai dan padat.
Empat orang Thailand yang sebelumnya terkapar di bawah, Ying Zifeng yang sudah pingsan di sudut, ditambah pemuda yang terlempar keras ke dinding hingga keramik retak dan mengelupas lalu tak sadarkan diri. Yang pertama kali menerobos masuk tadi adalah pria kekar setinggi 2 meter, rambut cokelat, mata biru, berpostur besar dan kuat. Ia menghantam pemuda pembuka pintu hingga pingsan di dinding, berbalik dan dengan gesit mengunci pintu, tangan terlipat di dada menyaksikan pertarungan sengit yang tiba-tiba meletus di depannya.
Begitu pria itu menerobos masuk, dua kawan di belakangnya langsung menyusul menerjang ke arah Tenmasa Masaoka. Dua bayangan melesat, pukulan dan tendangan bersilangan di bawah sorot lampu. Tenmasa Masaoka sudah lebih dulu mundur terbang. Namun seberapa luas kamar mandi bisa? Setelah dua langkah mundur, punggungnya sudah menempel dinding. Kaki menendang dinding belakang, tubuh berputar, tendangan cambuk mendarat dengan putaran tubuh penuh momentum. Lelaki kurus berbaju santai biru di depan mengangkat kaki menghadang, terhuyung beberapa langkah mundur. Tapi pria berjas hitam di sampingnya sudah menyambar maju dengan pukulan lurus.
Dalam waktu hanya dua detik, pukulan lurus yang ganas diikuti pukulan kait kanan yang dahsyat, tubuh pria berjas hitam telah mendekat. Memanfaatkan momentum, dilanjutkan dengan serangan sikut seperti gunung menghancurkan. Tenku Masaoka menyusun kedua telapak tangan menggunakan teknik judo untuk menangkis dan mendorongnya, kemudian mengayunkan tangan kanan - vas bunga raksasa di sudut belakang pria itu langsung hancur berantakan.
Byur! Ledakan dahsyat memecah kesunyian. Keramik dan percikan air beterbangan tak karuan. Menghadapi vas bunga setinggi satu meter, pria berjas hitam itu tak menghindar. Dengan pukulan berat ia terus mendesak, mengabaikan serpihan dan air yang membasahi tubuhnya. Pukulan kedua dan ketiga tetap tak kenal ampun menghujam Tenku Masaoka. Bersamaan, pria tinggi kurus berbaju santai biru itu telah menguasai posisi, mendekati musuh yang terpojok di sudut, melancarkan tendangan kilat yang menyapu habis.
Tenku Masaoka melompat tiba-tiba.
Memanfaatkan dinding bersudut 90 derajat, ia menendang dengan kaki kanan dan melesat ke dinding kiri. Setelah menolak dengan kaki kiri, tubuhnya sudah berada di samping pria berjas hitam, melayang ke area belakang yang tak terjaga. Namun dalam pertarungan tangan kosong, lompatan seperti ini justru berisiko. Dua pukulan pria berjas itu meleset, lalu pukulan kanannya meledak dari bawah ke atas bagai naga marah mengamuk. Pukulan meriam penghancur langit itu mengarah ke perut Tenku Masaoka yang masih di udara dan tak bisa menghindar.
Pria kurus tinggi berkaos biru santai itu gagal menginjak target, namun menghantam keras bilik kecil di sebelahnya. Suara "Braak!" terdengar, serpihan dinding kayu bilik khusus beterbangan bersama toilet keramik putih di dalamnya yang seolah dipukul palu berat, terbelah separuh, air menyembur deras ke bawah.
Menghadapi pukulan berat dari bawah yang tak terhindarkan, Tenku Masaoka yang masih melayang di udara membentangkan telapak kiri lembut. Ibu jari yang kaku menekan telapak tangan, membentuk tameng di depan perutnya. Pria berjas hitam yang baru saja memecahkan vas bunga itu, dengan kepalan tangan masih basah oleh noda air, menghantam telapak kiri yang dikepal rapat. Udara berdesis "Creek—" samar, tubuh Tenku Masaoka meluncur ke samping dengan memanfaatkan gaya pukulan, sudah berada di belakang pria itu. Lengan kanannya mengayun deras menghantam punggung lawan.
Tenku Masaoka bukanlah prajurit bertipe kekuatan kasar. Lebih sering ia tampil sebagai pemimpin yang mengatur strategi atau penasihat. Namun menerima serangan berat darinya jelas bukan hal menyenangkan. Meski berpostur kekar, pria berjas hitam itu terpelanting ke depan setelah terkena pukulan, menabrak dinding sudut. Di sisi lain, pria kurus tinggi berkaos biru santai terus melancarkan serangan gencar tanpa henti ke arah Tenku Masaoka.
Saat itu, jelas terlihat pria kekar berambut cokelat yang menjadi pemimpin dari ketiganya telah mengunci pintu, memandang pertarungan ini dengan tenang. Tiga bayangan bersilangan di ruang yang tidak terlalu luas, menghindari beberapa tendangan cepat si kurus tinggi, petinju berbaju hitam itu juga dengan cepat mendekat. Tenku Masaoka tiba-tiba menyelinap, memanfaatkan celah saat tendangan si kurus tinggi meleset, lalu mendekat dengan gesit.
Braak! Tenku Masaoka meraih tubuhnya, memanfaatkan inersia putaran tubuh si kurus tinggi sendiri, menggunakan tenaga lawan untuk menekannya ke wastafel di samping.
Terlihat seperti tekanan biasa yang mengikuti alur, namun daya rusak yang dihasilkan luar biasa. Diterjang torso si kurus tinggi, separuh wastafel porselen putih hancur berkeping seperti potongan tahu. Cermin utuh di dinding seketika dipenuhi jaring retakan laba-laba, lalu remuk dan berhamburan. Sisi dahi pria kurus tinggi itu seketika mengucurkan darah. Namun, pemandangan aneh terjadi sesaat kemudian.
"Kutangkap kau..."
Saat wastafel dan kaca cermin hancur berterbangan, yang muncul di wajah si kurus tinggi adalah... sebuah senyuman. Terluka sedemikian parah, masih bisa tersenyum. Bersamaan itu, Tenku Masaoka juga menyadari: saat dirinya meraih si kurus, pihak lawan juga telah mencengkeram bajunya erat-erat, tanpa tanda-tanda akan melepas.
Pukulan berat dari bawah ke atas menghantam dadanya.
"Ngh..."
“Pukulan keras tepat mengenai dada, kedua tangannya menyilang menghadang pukulan kedua yang menuju dahi. Akhirnya ia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman tangan yang mencengkeramnya. Dada tertembus pukulan lagi, tubuhnya mundur beberapa langkah. Petinju berbaju jas hitam itu tak melanjutkan serangan. Beberapa saat kemudian, luka serius mulai terlihat. Darah mengalir dari sisi dahi pria kurus tinggi yang bangkit dari tumpukan fragmen porselen putih, dengan santai membenahi bagian kepala yang berlumuran darah sambil menunjukkan senyuman.”
“Tenmasa Masaoka menepuk-nepuk bagian dadanya yang terkena pukulan, tersenyum sambil berkata dalam bahasa Inggris: "Kalian sudah mengikutiku sepanjang sore. Kukira kalian akan mencari tempat bagus untuk menyerang, tapi ternyata langsung kehilangan kesabaran di sini. Kalian... sungguh mengecewakan."”
“"A Han, kamu lihat kan." Pria kurus yang terluka itu menoleh ke belakang, "Sudah kukatakan, dia tahu kita sedang melacaknya."”
“Pria kekar berambut coklat di belakang tak berkomentar. Dengan tangan terliput di dada, dia bertanya: "Kau juga pengguna kekuatan supernatural, mengapa tak gunakan kemampuanmu?"”
“"Urusanku sendiri?" Tenmasa Masaoka tersenyum tipis, "Tapi kenapa kalian begitu tertarik dengan kekuatan supernatural orang lain?"”
“Wajah pria kekar itu berubah muram. Setelah beberapa saat, dia merapikan sarung tangan besi kulit di tangannya, melangkah mantap ke arah Tenmasa Masaoka. Suara seraknya bergema dalam ruang.”
“"Aku ingin melihat!"”
"Seluruh kamar, jarak terpanjang tidak lebih dari lewat sepuluh meter. Menyaksikan pria kekar yang terus mendekat, Tenku Masaoka menundukkan kepala sambil tersenyum, kedua tangannya saling merangkup pelan-pelan di depan dada, mengeluarkan cahaya biru yang samar: 'Kau ingin melihat, maka biarkan kau melihat...' Senyum itu terlihat ringan dan bebas, namun seolah menyiratkan sedikit harapan, pandangannya tertuju pada ruang di belakang pria kekar tersebut."
"Pada jarak 2 meter dari semua orang, pria kekar berambut cokelat tiba-tiba berhenti."
"Sakit kepala ini..."
"Suara datar yang berasal dari orang kelima dalam kamar yang belum terdeteksi, kini berdiri di belakang pria kekar itu, mengeluarkan helaan nafas bagai berbicara sendiri."
"Orang-orang ini tidak memiliki banyak nilai yang layak diamati, ngapain kau ikut campur..."
Desahan bergema, di dalam kamar mandi yang hancur lebih dari separuh masih ada cahaya lampu terang. Kabut dingin, namun naik dari dalam hati tiga pria Eropa. Sekejap mata, aura berbahaya bagai jarum runcing, tiba-tiba meledak, menusuk masuk ke dalam pikiran setiap manusia. Seperti tatapan mati dewa kematian, tiba-tiba mengalihkan fokus ke mereka...
## Bagian Dua Ratus Sembilan Puluh Dua: Pangeran
Sesaat sebelumnya masih tenang, namun di detik berikutnya, niat membunuh yang mengerikan tiba-tiba muncul. Semua orang——bahkan Tengkuk Tenku Masaoka tak kuasa menahan kontraksi otot yang kaku. Helaan napas samar terdengar dari belakang pria kekar berambut cokelat itu. Sesaat kemudian, pria itu meneriakkan skill tempur sambil membungkuk dan mengayunkan tinju ke belakang, tapi kakinya tiba-tiba terangkat dari lantai——seseorang telah menubruk pinggangnya hingga terlempar.
Jika mengikuti sebagian besar pelatihan, ketika menghadapi situasi ada orang di belakang, metode terbaik adalah tubuh menerjang ke depan dengan keras, bukannya menyerang ke belakang secara tergesa-gesa. Namun mungkin karena mengandalkan kekuatan fisiknya yang luar biasa, di momen seperti ini dia langsung memilih untuk berputar dan memberikan pukulan berat. Dua rekannya di depan juga langsung melancarkan serangan ke Tenku Masaoka saat teriakan pertama terdengar. Tapi, baru saja kontak pertama terjadi, tubuh pria kekar berambut cokelat itu sudah terlempar melayang melewati sisi mereka.
Persis seperti cara dia masuk tadi - dengan mengandalkan tubuh besar bagaikan kereta perang yang menabrak pengurus pintu hingga terpelanting ke dinding. Sekilas seperti pengulangan kejadian sebelumnya, hanya saja kali ini kedua paha pria berambut cokelat itu melayang di udara, dengan kecepatan yang mengerikan menghantam dinding di ujung terjauh. Sementara bayangan yang menggendongnya dengan merangkul pinggang di depannya, bergerak begitu cepat sampai tak bisa dilihat jelas.
Bersih, tegas, tanpa menghiraukan pukulan kosong pria berambut cokelat itu. Seketika melesat melewati sisi Tenku Masaoka, hendak menabrak dinding di belakang. Tapi pria kekar itu berhasil menyeimbangkan diri sejenak, kedua paha menendang ke belakang. Dengan suara "creek" meluncur di lantai, kemudian menempel mati di sudut dinding. Kedua siku tangannya sudah menghantam ke bawah dengan keras ke arah musuh yang posturnya agak pendek di depannya.
Di belakang, pria tinggi kurus itu tampak terkejut oleh kejadian tak terduga. Tendangan berputar samping yang dahsyat tidak ditujukan pada Tenku Masaoka, tapi secara bawah sadar diarahkan ke bayangan manusia di depan pria kekar. Pada saat bersamaan, Tenku Masaoka menghadang pukulan berat dari pria berjas hitam, kilatan cahaya biru menyembur keluar.
Di depan adalah siku kedua tangan pria kekar berambut cokelat yang menghantam dengan dahsyat, di belakang adalah tendangan berputar yang menderu. Terjepit di antara dua orang ini, bayangan manusia yang relatif lebih pendek tiba-tiba mundur. Tubuh perkasa setinggi dua meter pria kekar itu baru saja didorongnya seperti peluru ke arah dinding dengan kekuatan dan inersia yang tak terkira, namun kini tiba-tiba melompat berputar ke belakang. Tendangan pria tinggi kurus itu meleset, lalu ia pun berputar dan mengayunkan kaki.
"Krek!" Suara tulang betis paling rentan pria tinggi kurus itu retak tertendang. Tubuhnya terpelanting berputar, sementara siku pria kekar berambut cokelat itu menghantam kosong. Dalam posisi kaki mengarah ke belakang, seluruh tubuhnya nyaris terjungkal ke lantai. Tiba-tiba bayangan yang sudah melompat berputar itu membesar dalam pandangannya. Memanfaatkan inersia ayunan kaki, langkah lebar ke samping diambil. Ubin lantai remuk berdebam, kedua tangan terkepal sejajar menghunjam dadanya.
Braak——
Seluruh permukaan dinding menjadi cekung. Tubuh pria kekar berambut coklat yang semula menghantam lantai ke depan, kini hampir tertanam di dinding kamar mandi akibat ayunan tinju yang tampak lemah. Darah menyembur deras dari mulutnya. Bayangan di depan berputar lagi, tinju kiri mengayun menghantam tulang punggung pria kurus tinggi yang kehilangan keseimbangan sebelum sempat mendarat. Kemudian, dengan lompatan gesit, menghindari semburan darah, lutut kaki kanan menghantam keras sisi kepala pria kekar itu.
Tubuh pria kurus tinggi terlempar, menghantam tumpukan pecahan keramik putih wastafel. Anggota tubuhnya kejang-kejang. Pria kekar berambut coklat mulutnya penuh darah, tendangan lutut dari samping yang menghantam kepalanya membuat seluruh tubuhnya kehilangan tenaga. Perlahan ia ambruk ke lantai, anggota tubuhnya gemetar ringan. Di sisi lain, Tenku Masaoka menggerakkan kedua tangannya seperti konduktor orkestra. Cahaya biru menghilang, kamar mandi pun kembali sunyi.
"Waktu sangat singkat, hanya dua tiga detik. Pemuda yang terjepit di antara dua orang itu bagaikan bola——atau lebih tepatnya, pusaran raksasa. Hanya dengan beberapa putaran tubuh, tendangan kaki, dan pukulan, ia melemparkan kedua lawannya dengan kekuatan dahsyat secara fluid yang tak terucapkan. Tenku Masaoka menatap dua pria yang masih kejang-kejang di tanah, lalu memandang pemuda yang sudah berhenti. Mulutnya terbuka seolah kehilangan kata-kata, akhirnya menghela napas panjang "Huu...". Di belakangnya, pria berk jas hitam masih berdiri tegak. Banyak bagian tubuhnya telah membeku menjadi es, memancarkan kabut dingin yang menusuk——inilah kekuatan supernatural andalannya: kemampuan membeku.
"Kekuatan tingkat dasar. Mempercepat penyembuhan luka secara drastis, meningkatkan toleransi rasa sakit, meminimalkan kerusakan mekanis seperti tembakan senjata... Metode pemanfaatan terbaik adalah saling tembak dengan lawan..." Tanpa menghiraukan pandangan terkejut Tenku Masaoka, Jiaming berjongkok mengusap tubuh pria kekar berambut cokelat itu. "Bawa senjata saja tidak mau, main pukul-pukulan... Benar-benar pemula di antara pemula..."
"Wah..." Dua detik kemudian, Tenku Masaoka seolah baru tersadar. "Kau... sungguh cepat sekali..."
Pengguna kekuatan supernatural yang paling hebat sekalipun, tetap dikendalikan oleh otak. Sekalipun kemampuan regenerasi fisik luar biasa, sebelum kerusakan pada kepala dan tulang leher pulih, basically hanya bisa jadi bulan-bulanan. Jiaming menendang kepala pria kekar berambut cokelat itu sekali lagi, lalu berjalan ke samping Tenku Masaoka. Ia mengayunkan tinju ke kepala jas hitam yang masih berdiri tegak. Byur! Balok es pecah. Sebuah kepala manusia terbang menghantam dinding, kemudian gulirik jatuh ke lantai: "Hawa dingin yang dahsyat..."
"Kalau musim panas tiba, kita bisa buka kedai minuman dingin." Tenku Masaoka tersenyum, jari-jari tangan kirinya bergerak lincah. Cahaya biru berkelebat. Darah yang menyembur dari leher yang terputus tiba-tiba membeku menjadi kristal es berwarna darah di udara. Butiran-butiran kecil es darah berjatuhan ke tanah, berkilauan jernih.
Begitu seseorang mati, meski banyak bagian tubuh yang membeku, mayat itu perlahan mulai roboh. Tenku Masaoka dengan sigap menyangga tubuh tak berkepala itu hingga bersandar di dinding. Jiaming mematahkan sebatang kristal es darah: "Kedai minuman dingin, jual ini?"
"Kalau pacarku suka, kenapa tidak?" Tenku Masaoka mengangkat tangan sambil tersenyum, tapi tiba-tiba wajahnya sedikit kejang. Jiaming justru memasukkan batang es darah itu ke mulutnya, memakannya seperti kentang goreng. Ia kemudian mengerutkan alis: "Bawa pisau tidak?"
Tenku Masaoka menggerakkan tangan kanannya, sebilah kodachi sepanjang 30 sentimeter meluncur dari lengan bajunya. Kemudian ia mengeluarkan sarung tangan karet medis dari kantong baju dan melemparkannya ke Jiaming: "Kau awas, jangan merusak bagian penting spesimen."
"Spesimen... Otak bisa kau bawa pulang? Paling-paling diiris tipis selektif, kan?" Dengan mahir memakai sarung tangan, Jiaming menghunus pisau sambil menoleh bertanya. Saat itu seluruh kamar mandi dipenuhi mayat bergelimpangan dengan genangan darah, dialog mereka membuat suasana lebih mirip ruang operasi. Dengan kesabaran mereka, jika ada yang mendekat dari luar basically bisa didengar. Lagipula orang-orang ini sudah memasang tanda perbaikan, dipercaya untuk sementara tidak akan ada yang mengganggu.
Tenku Masaoka menunjuk kepala beku di lantai dengan jarinya: "Aku cari kotak, yang beku ini dibawa ke Jepang. Sisanya beri ke [] saja."
"Aku tidak mau ada yang lolos."
"Aku paham. Nanti semuanya aku bekukan dan potong pakai pisau."
Sulit dibayangkan, di tempat seperti ini, saat seseorang berdiskusi bagian tubuh mana yang akan diiris tipis, emosi seperti apa yang akan muncul. Hanya saja, ketika Jiaming memegang pisau dan mendekati pria kurus tinggi itu, pria yang tulang belakangnya sudah bergeser akibat pukulan namun tetap sadar karena kekuatan supernatural ini langsung menunjukkan ekspresi mengerikan, anggota tubuhnya kejang-kejang, mulutnya sepertinya ingin berteriak. Tapi sebelum sempat mengeluarkan suara apa pun, Jiaming sudah langsung melepas dagunya. Kemudian dia tidak melakukan hal mesum, hanya mengambil lengannya dan menggoreskannya dengan pisau. Darah mengalir, sesekali ujung pisaunya menyentuh otot di luka itu. Setelah setengah menit, dia memasang kembali dagu pria itu baru kemudian berdiri.
"Kecepatan Pemulihan yang terlihat mata telanjang, tapi masih kurang cepat. Meski dalam derajat tertentu berhasil, ini cuma yang direkayasa tingkat paling rendah..."
Tenku Masaoka mengangguk: "Tapi yang paling kami khawatirkan, apakah teknologi ini bisa diproduksi massal. Kau tahu, jika dipasang di tentara, prajurit yang bisa tahan belasan bahkan dua puluh peluru tanpa MATI, itu terlalu mengerikan..."
"Yang kusayangkan, dengan tingkat mereka mustahil lolos dari laboratorium Dark Celeste. Ini hanya membuktikan... mungkin masih ada satu dua yang sangat kuat di antara mereka..."
“Tanya mereka.” Tenku Masaoka tersenyum, kilatan cahaya biru mengembang di jarinya saat menekan pelipis pria kekar berambut cokelat itu. Jiaming berjongkok di sebelah pria kurus tinggi: “Nah, kabar buruknya... kami masih butuh satu orang lagi untuk diiris tipis sebagai eksperimen. Kabar baiknya, kami perlu beberapa data. Lihat, fungsi otak si pria kekar itu sudah dihentikan sementara. Kami memutuskan memberikan kesempatan mengkhianati kawan ini padamu. Bagaimana?”
Trauma akan potensi pembedahan eksperimental tampaknya telah membayangi pikiran mereka. Di bawah tekanan kekuatan mutlak, pria kurus itu menjawab dengan gamblang: “Dia... dia... Namanya... Pangeran...”
“Pangeran?”
“Anjing peliharaanku dulu juga bernama Pangeran,” ujar Tenku Masaoka.
“Kami... tak tahu... asal-usulnya... Suatu hari... tiba-tiba muncul... di laboratorium... membawa kami keluar... lalu... mengajak kami ke sini...”
“Yang lain? Sekarang di mana?”
“Tak... tak tahu... Kami... bertengkar... berpisah... Pangeran... sejak tadi... sudah pergi... Kami tak tahu di mana dia...”
Rasa sakit dari tulang belakang yang terkilir membuat wajah pria kurus itu pucat pasi, otot-ototnya mengeras. Sambil mengeluarkan air liur, ia gemetar menjawab. Jiaming mengerutkan kening: “Seperti apa rupa Pangeran itu?”
“Kami... tak pernah lihat... dia pakai topeng... jubah hitam.” Nafas pria kurus itu tersengal-sengal. “Kami hanya tahu... dia sangat pendek...”
Tiba-tiba, serpihan porselen putih hancur menjadi serbuk di genggaman Jiaming. Dia membeku seketika.
“Kurcaci...”
## Bagian 293: Terurai
“Kurcaci...”
Kata ini muncul di dalam hati, Jiaming berdiri, senyum tipis mengembang di wajahnya. Di mata Tenku Masaoka, suasana sesaat itu tiba-tiba terasa aneh. Namun perasaan ini cepat berlalu, menghilang seketika. Jiaming mengubur seluruh emosi di dasar hatinya.
Dalam beberapa dekade sebelum bereinkarnasi, ingatan sepuluh tahun pertamanya telah dihapuskan secara paksa. Setelah menjadi pembunuh, ia terus bertempur, menyaksikan banyak hal aneh bagi manusia biasa: berbagai pengguna kekuatan supernatural, genius, mesum, bahkan monster hasil eksperimen manusia gagal. Semua itu telah menjadi biasa. Begitu terbiasa, akhirnya ia paham: sekalipun memiliki bakat luar biasa, pada dasarnya tetaplah seorang manusia. Namun dalam situasi tertentu, ada empat yang melampaui batas kemanusiaan, dianggapnya mustahil dipahami maupun dikalahkan.
Phoenix api yang memberinya kesempatan regenerasi, Natalia*Annis yang telah mencapai kesadaran diri kekuatan supernatural, kurcaci yang membunuh Yoritomo Taku, serta... Jian Suyan.
"Di dunia sebelumnya, pertama kali bertemu kurcaci yang memiliki kekuatan supernatural luar biasa itu, baru terjadi belasan tahun kemudian. Alasan semua orang sampai bertempur, juga agak aneh-aneh. Tapi menurut penuturan orang ini, kurcaci itu ternyata mungkin diciptakan oleh laboratorium Dark Celeste. Tapi di kehidupan ini karena kabar yang aku sebarkan, membuat Dark Celeste menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi eksperimen. Pola pergerakan kedua dunia sudah sama sekali berbeda, bagaimana menghitung hal ini? Lagipula, mengapa dia datang ke Jianghai..."
Pikiran seperti ini berputar-putar sebentar di benaknya. Dia juga tidak terlalu memikirkannya. Atau mungkin di dunia ini kurcaci hebat tidak cuma itu satu. Bahkan jika kurcaci dengan kekuatan supernatural super itu datang, dengan konstitusi anehnya yang bisa menekan kekuatan supernatural bahkan memicu backlash, belum tentu akan sesulit pertempuran sebelumnya. Memetik lagi sepotong kristal es yang terbentuk dari darah dari mayat itu dan memasukkannya ke mulut, rasa sakit dan kesadaran muncul bersamaan di pikiran. Dengan mengayunkan tangan, dia melemparkan kodachi kembali, lalu melepas sarung tangan.
"Hal-hal sisanya tak kupedulikan. Tanya saja pelan-pelan. Sudah lama di toilet, mungkin mereka akan mencariku."
"Kalau ada kabar akan aku beri tahu."
Menerima barang-barang tersebut, Tenku Masaoka mengangguk. Sebuah interogasi tidak berakhir begitu saja, banyak detail yang perlu dipahami, kemudian dia harus menanyakan hal yang sama kepada pria kekar berambut cokelat itu. Setelah membunuh kedua orang ini, pasti Tenku akan memberi tahu anggota [] untuk mengambil sebagian mayat. Bagaimanapun ini terjadi di wilayah Tiongkok, urusan seperti ini tetap harus melalui departemen pemerintah. Namun karena dia sudah berhasil menangani tiga orang terlebih dahulu dan membawa pulang sebagian mayat pengguna kekuatan supernatural yang sudah diiris tipis untuk diteliti, pembicaraan akan lebih mudah.
"Orang-orang Thailand ini, menurutmu harus dibunuh?" Melihat Jiaming hendak pergi, Tenku Masaoka bertanya, sebenarnya ini hanyalah pertanyaan formal belaka. Jiaming mengangkat tangan: "Apa hubungannya denganku? Kalau ada masalah, itu perselisihan antara kalian orang Jepang dengan Thailand. Aku cuma siswa SMA yang biasa-biasa saja, jangan tanyakan hal kekerasan seperti ini padaku..."
Baru saja dia menghabisi dua orang dengan cara paling brutal, membuat mereka berada dalam kondisi setengah hidup-setengah mati. Kalimat yang diucapkannya benar-benar terdengar ironis. Tenku Masaoka tersenyum: "Biarkan mereka hidup sebentar lagi. Jujur saja aku ingin langsung menghabisi Shiliwang itu, tapi di atas ring tanpa menggunakan kekuatan supernatural, kurasa aku tidak bisa mengalahkannya. Oh ya... ada juga yang di sudut sana. Meskipun kau sengaja memukulnya hingga pingsan sebelum mau menyerang, tapi dari percakapan kalian, hubunganmu dengannya memang tidak harmonis. Jika aku jadi kau, akan kuhabisi dia dalam 'kecelakaan' ini sekalian."
“Putra Ying Haisheng, Bunuh dia. Aku takut kau tidak bisa keluar dari Tiongkok.” Jiaming memandangi pria yang pingsan itu, mengerutkan kening, “Nanti hidupku juga hancur...”
Membuka pintu keluar, hanya terdengar Tenku Masaoka menyiul dari belakang. Saat meletakkan tanda lelang di depan pintu yang sedang diperbaiki, kepalanya kembali sedikit pusing. Jelas, Tenku Masaoka mulai menggunakan kekuatan supernaturalnya lagi.
Sepanjang perjalanan, pikirannya menyusun spekulasi tentang Kurcaci, para yang MATI ini, serangkaian situasi kedatangan Kelly ke Jianghai, berusaha menyatukan semua hal dalam satu jalur. Namun akhirnya kekuatannya tidak mencukupi. Sambil lalu, dia juga mencoba membaca mood dan pikiran Tenku Masaoka saat ini.
Niat menjebak orang boleh ada, kewaspadaan terhadap orang harus tetap ada - ini aturan besi Dunia Kegelapan. Pada dasarnya Tenku Masaoka adalah orang yang baik hati. Tapi begitu menyentuh lingkaran kita, pasti akan terlibat banyak hal. Berbeda dengan kebanyakan pembunuh berhati kejam atau penguasa, seandainya Jiaming sekarang tidak memiliki Kekuatan sama sekali, hanya manusia biasa yang tak berguna, mungkin malah bisa sepenuhnya mempercayai Tenku Masaoka dan menganggapnya sebagai Teman. Karena pada esensinya dia adalah tipe tokoh utama komik yang tidak suka membunuh orang tak bersalah. Masalahnya, eksistensi Jiaming saat ini merupakan ancaman bagi banyak pihak dan berada di luar kendali, sehingga berbagai kewaspadaan dan pengujian tak terhindarkan terjadi.
Seperti yang dikatakan Jiaming, tiga pengguna kekuatan supernatural abadi tadi pada dasarnya adalah beberapa pemula yang tak terselamatkan. Jika Tenku Masaoka menggunakan seluruh kemampuannya, menghabisi ketiga orang ini akan menjadi hal yang mudah. Meski mungkin ada sedikit kesalahan dalam penilaian sebelum bertindak, secara umum tidak terlalu meleset. Musuh yang bisa dihabisi dengan mudahnya sengaja dibawa ke Jiaming untuk melibatkannya, tujuannya jelas ingin menilai kekuatan sebenarnya Jiaming.
Kamuflase dengan tidak menunjukkan kemampuan sebenarnya, selalu menjaga aura misteri adalah satu metode. Mengeluarkan seluruh kekuatan juga termasuk. Kali ini Jiaming memilih opsi kedua. Tapi saat keputusan diambil, prosesnya justru membuatnya sendiri terkejut.
Saat Tenku Masaoka mengaktifkan kekuatan supernaturalnya, sakit kepala itu kambuh seperti biasa. Lantas, daya rusak mengerikan yang muncul dari fisik puncak - bahkan melebihi puncak - membuatnya sendiri bergidik. Belakangan serangan sakit kepala semakin sering dan intens. Ini pertama kalinya ia bertarung habis-habisan dalam kondisi seperti ini. Ekspresi terkejut Tenku Masaoka yang menoleh itu jelas tertangkap matanya.
Semoga kemampuan yang bahkan membuatku sendiri terperangah ini... bisa MEMUASKAN kalian para pengamat...
Tengah malam. Hujan siang tadi meninggalkan awan gelap yang belum berlalu. Langit hitam pekat tanpa bintang sama sekali. Ini adalah kamar mewah di lantai atas hotel, lampu tak dinyalakan.
Di luar jendela lantai besar yang megah, cahaya neon kota berkilauan. Arus lalu lintas di jalanan bawah bergerak hilir mudik, lampu jalan membentuk jaring laba-laba yang saling bersilangan di seluruh kota. Tenku Masaoka duduk diam di atas karpet, lalu membuka mata.
Urusan malam itu akhirnya ditangani oleh [] dan pihak kepolisian. Karena tiga mayat hidup jatuh ke tangannya, dia berhasil mendapatkan sebagian spesimen tubuh yang diinginkan. Sisanya secara alami diserahkan ke [] untuk diproses.
Karena sifat khusus peristiwa ini, seluruh penanganan dilakukan dengan sangat rahasia. Setelah bertukar intelijen singkat dengan anggota [], dia pun bisa pergi. Mengenai kondisi para mayat hidup ini, dia juga tidak berhasil mendapatkan petunjuk lebih lanjut. Untuk melindungi kerahasiaan Jiaming, sebelum [] tiba, dia sudah membunuh kedua orang yang tersisa.
Empat orang Thailand yang dibekukan sebagian untuk menghentikan pendarahannya tidak mati, meski hanya tersisa napas tipis sebagai korban luka parah. Ying Zifeng yang terseret dalam insiden tapi selamat membuat anggota [] jelas lega, bahkan menyampaikan terima kasih. Mengenai cerita tentang Jiaming dari mulut Ying Zifeng, Tenku Masaoka mengelak dengan samar. Bagaimanapun dalam arsip [], Jiaming mungkin sudah bukan anak biasa lagi melainkan murid Jian Suyan. Nantinya mereka mungkin akan meminta klarifikasi ke Jiaming, tapi itu hanya formalitas belaka.
Saat ini, yang mengisi pikirannya bukanlah hal-hal tersebut.
Mandi, duduk tenang, memperbaiki aliran energi, membuat tubuhnya sepenuhnya rileks. Setelah merasakan semua kelelahan dan pikiran kacau telah hilang, dia perlahan bangkit dari tanah, menekuk lutut, tubuh sedikit membungkuk ke depan, seolah ada musuh kuat di depannya.
Kedua tangan menggapai ke depan, tiba-tiba berlari sprint ke arah depan. Saat sampai di sudut dinding, seluruh tubuhnya berhenti mendadak. Kaki kiri yang melangkah menjejak tanah, memanfaatkan gaya tak kasat mata untuk melompat balik! Berputar! Tendangan kaki!
Itulah adegan di kamar mandi ketika Jiaming bertindak sekejap mata. Saat itu dia juga sedang menghadapi musuh, mungkin ada beberapa hal yang terlewat. Tapi saat ini, dengan pemahamannya tentang seni bela diri dan pertarungan fisik, dia mulai merekonstruksi kejadian saat itu, sambil terus melakukan penilaian dan generalisasi dalam pikirannya.
Sapuan rendah dengan putaran tubuh ke belakang ini, secara teknik tidak aneh, namun masalahnya terletak pada momentum dahsyat yang tiba-tiba berhenti dalam sekejap. Seluruh tubuhnya masih bisa melompat mundur, memanfaatkan gerakan berputar untuk mengubah segalanya secara transformasi cerdik. Tak hanya berhasil menghindar dari tendangan yang datang dari belakang, tapi juga berhasil menendang musuh dengan akurat. Dia memeriksa luka pria tinggi kurus itu - hanya dengan satu sapuan ini, tubuhnya bukan saja terlempar, bahkan betisnya sudah mengalami retakan tulang. Orang yang biasa melatih kaki seperti ini biasanya memiliki tulang betis yang jauh lebih kuat dari manusia biasa. Untuk membuat retakan tulang dengan sekali tendangan, pendekar lux kelas atas bukan mustahil melakukannya. Tapi dalam kondisi berlari maju sekuat tenaga lalu SEGERA menghentikan momentum sebelum menendang, rangkaian gerakan yang terlihat sederhana ini sungguh mengerikan.
Meniru postur Jiaming, dia terus-menerus mengurai dan menyusun ulang setiap gerakan. Gerakannya menjadi lambat dan penuh konsentrasi. Setelah sapuan ini, dia segera berputar kembali mengikuti arah rotasi tubuh, melangkah ke samping dengan satu kaki. Kedua tangan di depan dada bergerak sejajar dari samping. Dalam imajinasinya, pria kekar berambut cokelat itu sedang terkapar ke lantai.
Sebagai orang Jepang, gerakan mengayunkan tinju yang terlihat sederhana dan tak berdaya ini benar-benar dia kuasai.
Ilmu ninja - Shinken.
## Bagian Dua Ratus Sembilan Puluh Empat Penilaian
Satu kaki melangkah ke samping, kedua tangan mengayun datar. Gaya ini terlihat sederhana, namun mampu menjadi rahasia dalam ilmu ninja. Shinken sesuai namanya, adalah jurus yang mendekati pembunuhan satu pukulan. Kekuatan jurus ini berasal dari tanah, akhirnya seluruh kekuatan tubuh terkonsentrasi pada kedua tangan. Saat menghantam dada musuh, langsung mempengaruhi organ dalam seperti jantung dan paru-paru. Hanya dari prinsip mekanika, tingkat kematiannya lebih ganas dibandingkan tendangan lutut jarak dekat muay thai.
Namun, rahasia penghancuran besar seperti ini memiliki faktor ketat terhadap lingkungan, waktu, dan penguasaan target. Tubuh manusia saat itu ibarat pengumpul kekuatan. Seluruh energi tubuh mengalir serempak ke kedua tangan, lalu meledak pada target. Efek terlambat atau terlalu cepat meski sesaat pun akan berbeda seribu li. Terkadang bahkan bisa melukai diri sendiri. Tenku Masaoka pernah melihat beberapa orang menggunakan jurus ini pada target statis yang memang menunjukkan daya hancur mengerikan. Namun jika dipaksakan dalam pertempuran, meski musuh terluka, sang pengguna juga bisa salah mengatur tenaga saat konsentrasi penuh, menyebabkan patah tulang tangan atau kerusakan organ dalam. Persis seperti orang menuruni tangga dalam kegelapan: mengira sudah sampai tanah datar, ternyata masih ada satu anak tangga tertinggal. Sedikit saja injakan yang meleset, rasanya sungguh tidak mengenakkan.
Oleh karena itu, sebagai rahasia ilmu ninja, Shinken lebih banyak dipelajari melalui latihan untuk memahami metode penggunaannya. Teknik yang benar-benar digunakan dalam pertarungan biasanya merupakan kompromi dalam hal tenaga. Namun, apa yang ada dalam pikiran Tenku Masaoka sama sekali bukan Shinken yang dilakukan asal-asalan.
Gerakan memutar, melangkah menyamping, mengayunkan tinju - seluruh rangkaian gerakan ini selesai dalam kurang dari satu detik. Langkah menyamping itu bahkan membuat ubin lantai remuk. Kekuatan serangan terkonsentrasi hingga puncaknya. Dalam ingatan Tenku Masaoka, momen itu seperti gelombang pasang yang menerjang, segenap kekuatan ruang terkoyak dan terkumpul pada satu titik dalam sekejap, lalu meledak dahsyat. Pukulan ini benar-benar merupakan Shinken yang paling sempurna dan standar, layak dimasukkan ke dalam buku pelajaran ilmu ninja sebagai contoh demonstrasi terbaik.
Saat itu tubuh pria kekar berambut cokelat juga sedang terjun ke bawah sekuat tenaga. Dia hanya berbalik, dalam waktu kurang dari satu detik, sempurna mengendalikan posisi dada pria kekar tersebut. Ketajaman seperti ini hampir mencapai tingkat yang tidak manusiawi. Karena itu, di bawah pukulan maut Shinken, tubuh kekar setinggi 2 meter dengan berat lebih dari 100 kilogram itu berubah arah, bahkan membuat dinding di belakangnya menjadi cekung. Belakangan setelah diperiksa, tulang dada pria itu nyaris hancur menjadi serbuk, organ-organ dalamnya kacau balau dan remuk. Meski masih menyisakan nyawa berkat kekuatan supernatural immortality, pembekuan sebagian besar tubuhnya pun tidak bisa memperpanjang umurnya lebih dari belasan detik. Sebelum sempat ditanyakan beberapa pertanyaan, dia sudah MATI, bahkan tanpa perlu dipenggal kepalanya.
Tenku Masaoka tidak pernah secara resmi berlatih Shinken, namun telah melakukan penelitian mendalam tentang metode pengaplikasian tenaga dalam seni bela diri ini. Semakin dia menganalisis gerakan-gerakannya, rasa takjub di hatinya semakin bertambah. Dalam pertempuran nyata, aplikasi sempurna Shinken bahkan dilakukan dalam kondisi terpecah konsentrasi melawan dua musuh. Tingkat pengendalian tubuh dan situasi sekitar yang dibutuhkan sulit dibayangkan. Yang paling mengerikan adalah setelah jurus ini, dia sama sekali tidak berhenti, langsung melanjutkan dengan Shinken berikutnya.
Berputar, mengayunkan tinju ke belakang!
Belum sampai dua detik sejak menendang pria kurus tinggi itu terbang, posisinya masih menghadap sempurna ke pria kekar berambut cokelat. Dengan gerakan sederhana mengayunkan tinju ke belakang, menarik setengah lingkaran dari bawah ke atas, tepat mengenai tulang leher bagian belakang pria kurus itu.
"Tulang belakang bergeser, orang itu terlempar dengan mudah."
Saat itu, darah pria berambut cokelat menyembur ke depan, tepat mengarah ke tengkuk Jiaming.
Tubuh yang masih berputar belum berhenti, berbalik lagi, melompat, menghantam pelipis pria kekar itu dengan tendangan lutut lagi, sekaligus menghindari semburan darah.
Tiga detik singkat, dua putaran sederhana. Tenmasa Masaoka terus mengurai setiap gerakan di kamar gelap - perlahan membongkar setiap gerakan langkah demi langkah, lalu menyusunnya kembali berulang kali, berusaha merekonstruksi kejadian saat itu dengan kecepatan maksimum. Tiba-tiba, bola energi biru muncul di udara. Prak! Cahaya biru mengalir deras dari dinding.
Dengan satu tangan menempel di dinding, Tenmasa Masaoka berdiri membungkuk. Napas berat bergema di udara. Es merambat di dinding dari telapak tangannya, suhu ruangan anjlok drastis bagaikan musim dingin yang tiba-tiba datang.
"Huu... Mustahil... Tidak mungkin dilakukan..."
Seandainya lampu menyala, mungkin akan terlihat jelas pembuluh darah yang menonjol di dahi dan sekitar pelipis Tenmasa. Meski dikenal rendah hati, sebagai pengguna kekuatan supernatural alamiah dan anggota penting Takamagahara, upayanya sejak kecil tak kalah dari siapa pun. Kesuksesannya yang mulus melahirkan rasa percaya diri tersendiri. Sering kali dalam hati ia membandingkan diri dengan teman sebayanya yang luar biasa: Mikado Ki, Munen Kamigami, Ritsumei Michiaki... Tak pernah sekalipun ia merasa inferior.
Tentu saja, Mikado Ki si orang itu masih agak sulit diprediksi. Meskipun dia adalah anak dari Morikami Kura, dia selalu tidak peduli dengan urusan Pei Luo Jia. Kecuali dalam hal lolicon yang cukup mesum, aspek lainnya dia selalu menjaga profil rendah, jarang memiliki musuh, bahkan Takamagahara tidak menganggapnya sebagai musuh resmi. Semua orang hanya tahu dia memiliki kekuatan supernatural, tapi tidak pernah melihatnya digunakan. Hanya saat menyelidiki data masa kecilnya, intelijen samar-samar didapatkan. Kekuatan itu sepertinya disebut Api Cahaya Tak Terbatas, belum diketahui kebenarannya. Tentu saja, Morikami Kura sendiri adalah orang kuat super di elemen api, kemungkinan Mikado Ki menggunakan api tetap ada.
Karena kepercayaan diri seperti ini juga, saat pertama kali bertemu Jiaming yang masih bocah lelaki, meskipun decak kagum melihat anak sekecil itu bisa melakukan hal-hal hebat, dia tidak menganggap Jiaming sebagai lawan sejati atau partner kerjasama. Setelah Tsukike Kaoru bertunangan dengannya, dia mengirim Kaoru ke Tiongkok hanya untuk menghindari masalah. Baru ketika waktu semakin dekat, anak ini dua kali memaksa Yoritomo Taku mundur, bahkan menghabisi Da Nei Zhangdu dan Tak terhitung dewa-dewa, barulah dia benar-benar ketakutan.
Jika bukan karena sebelumnya sudah mengenal Jiaming, ditambah Jiaming yang tidak menyembunyikan hubungannya dengan Kaoru, dikombinasikan dengan intelijen yang banyak, dia bahkan hampir mengira perempuan kuat dan elegan itu benar-benar nyata. Rasa penasaran menumpuk hari demi hari, sehingga munculah ujiannya hari ini.
Yoritomo Taku maupun Da Nei Zhangdu, pembunuh tingkat khusus dari Pei Luo Jia memang dianggap mengerikan oleh orang-orang Takamagahara. Namun jika dibandingkan, Tenku Masaoka juga tidak akan merendahkan diri. Meski ada perbedaan kemampuan, belum tentu selisihnya besar. Tapi dalam tiga detik ini, sebuah fakta mengejutkan terungkap: Dia tidak bisa mengimbangi!
Para pengguna kekuatan supernatural, karena menghabiskan sebagian besar usaha untuk melatih kemampuannya, pasti memiliki kesenjangan dalam pertarungan fisik dibanding pembunuh murni. Namun Tenku Masaoka telah mencapai realm di mana pemanfaatan kekuatan supernaturalnya dikuasai sempurna. Melalui dekonstruksi sempurna selama tiga detik ini, dia terus meniru pertarungan kedua pihak dalam pikirannya. Bahkan dengan mengerahkan semua kekuatan supernatural dan teknik tempur, dengan kekuatan besar dan ketajaman reaksi ekstrim lawan, dirinya sudah MATI. Apalagi Gu Jiaming sebagai Jian Suyan telah berulang kali menunjukkan tekanan perhatian sempurna setara Yoritomo Taku.
Dia pernah menilai data tempur Yoritomo Taku, menilai data tempur Da Nei Zhangdu, bahkan Munen... Ritsumei Michiaki... Tak seorang pun yang pernah memberinya perasaan tak berdaya seperti ini. Ini mungkin membuktikan bahwa kekuatan nyata lawan benar-benar satu level di atasnya... Bagaimana mungkin. Orang seperti ini, hanya pernah dia dengar dari para tetua Takamagahara - mungkin Natalia*Annis dari Dark Celeste bisa mencapai tekanan sempurna terhadap puncak manusia biasa setelah kekuatan supernaturalnya sepenuhnya bangkit. Tapi sebagai manusia biasa, mungkinkah melatih tubuh sampai level ini...
"Apalagi, dia baru berusia tujuh belas tahun..."
Berbagai kehendak ini bergema dalam pikiran. Tiba-tiba, dia mengulurkan tangan menutup mulutnya. Seuntai darah mengalir dari sela-sela jari. Setelah berdiri lama di tepi dinding, perlahan dia menutup mata. Dengan napas panjang, tangan yang mengeluarkan kekuatan supernatural itu ditarik kembali. Pembuluh darah leluhur yang menonjol di dahinya pun perlahan tenang.
"Huu..."
Mengambil saputangan dari kantong kemeja untuk membersihkan darah di bibir. Kemudian mundur beberapa langkah, mengambil tisu dari meja teh di sebelah untuk mengelap tangan. Tenmasa Masaoka yang sudah kembali tenang mendekati kamar mandi di sebelah dan menyalakan lampu.
Berkumur, mencuci muka. Dengan kekuatan supernatural di tangannya, dia membekukan baskom air hingga mendekati titik beku. Membenamkan seluruh wajahnya dalam air es selama setengah menit. Baru kemudian mengangkat kepala, menatap bayangannya di cermin.
"Cukup... Penilaian seperti ini mengandung kesalahan, tidak objektif... Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi pada dasarnya... Tenmasa Masaoka, kau patut bersyukur tidak memiliki musuh seperti itu..."
Setelah berbicara sendiri di depan cermin, dia membersihkan noda air di kepala. Kembali ke kamar tidur bagian dalam, berbaring di ranjang. Lalu mulai menghubungi seseorang. Tak lama berselang, dia berkata: "Hmm, tolong sambungkan ke Ryuudou Yui..."
Waktu berlalu dalam keheningan selama belasan detik. Dari seberang muncul suara gadis Jepang yang penuh semangat: "Halo? Saya Yui, siapa ini..."
"Yui, aku baru saja mendapat ancaman eksistensial..."
"Aaaaa! Tenmasa-kun, kau sekarang di Tiongkok kan? Bagaimana kabarmu? Sudah menemukan TULIP itu?"
“Hmm, Tuan Ichiya Kokujiro itu sudah ditemukan. Dibandingkan dia, aku benar-benar jauh tertinggal. Jadi sekarang merasa sangat tertekan...”
“Hah? A... Ada apa?”
“Karena dia benar-benar bisa sembilan kali semalaman, Yui. Kita belum pernah melakukan sebanyak itu, kan?”
“……” Sunyi di ujung telepon. Tak diketahui suasana hatinya seperti apa.
“Aku sekarang merasa inferior, Yui. Aku sangat ingin... membuktikan bahwa masih ada harapan, bahwa aku bisa melampauinya, itu...”
“J-jangan ngomong sembarangan!” Mungkin karena malu, suara di seberang melemah. Beberapa saat kemudian, saat Tenku Masaoka berhasil memainkan suasana inferior dengan sempurna, wanita itu berbisik lebih pelan: “Lagipula... sekarang sudah malam. Apa kau mau aku langsung ke Tiongkok SEKARANG JUGA? Paspor pun tidak kubawa...”
“Ehh... Pesawat... Terlalu lambat. Yui, begini saja. Kau lakukan di sana sambil mendeskripsikannya lewat telepon, lalu aku akan menirukan di sini...”
“Me... Mesum! Tenku Masaoka benar-benar mesum!!” Teriakan malu-marah dari seberang. Tampaknya sudah mengantisipasi ini, pria di ranjang itu dengan gesit menjauhkan telepon dari telinganya sambil tersenyum. Beberapa saat kemudian, wanita itu masih enggan menutup telepon: “Lagipula ini ruang tamu villa sewaan. Meski sudah larut, mereka belum tidur. Jika melakukan ini di sini... aku pasti akan diusir sebagai wanita mesum. Sangat yakin...”
“Hmm……” Tenku Masaoka terdiam sejenak，“Yui, tahukah kau? Aku pernah meneliti banyak data Tiongkok, bahkan seorang Tionghoa asli mungkin tak seakurat pengetahuanku tentang Tiongkok di beberapa aspek……”
“Tahu dong, kenapa ngomongin ini lagi.”
“Makanya aku tahu, hanya cewek Jepang seperti dirimu yang mau menjelaskan hal ini dengan serius. Di Tiongkok, mustahil ada yang begini……hehe haha……Yui, aku tersentuh sekali. Kau membuatku menyadari betapa bahagianya menjadi orang Jepang. Aku cinta Jepang, sungguh……Yui, ayo kita janji, setelah masa magangmu selesai dan ada telepon di kamar tunggalmu, kita coba lakukan hal ini ya……”
“……” Sunyi yang mencekam. Tenku Masaoka tergelak-gelak di ranjang sambil menjauhkan mikropon. Beberapa saat kemudian, jeritan kemarahan wanita masih terdengar dari sana.
“Tenku Masaoka! Kau MATI——”
Setelah menggoda pacarnya, suasana hatinya menjadi rileks. Malam itu ia tertidur nyenyak.
Sesuai itinerary, Kelly*Vernam diperkirakan tiba di Jianghai empat hari kemudian. Tapi tepat di pagi buta lewat jam tiga lebih, dering telepon memecah kesunyian kamar sewaan Jiaming, Lingjing, dan Shasa. Jiaming membuka mata dan bangun, sementara Lingjing sudah mengusap matanya turun dari ranjang: “Hmm… Biar aku yang angkat……”
"Mengulurkan tangan Dang menyentuh dada Jiaming, memberi isyarat padanya untuk tidur lagi, karena Shasha yang sedang tertidur seperti gurita memeluknya. Jika harus bangun pasti akan merepotkan lagi." Gadis berbaju katun putih pendek itu mengenakan mantel, mengusap matanya masuk ke ruang tamu: "Halo... Oh, Ibu, ada apa?"
"Jiaming? Dia sedang tidur di kamar..." Mendengar namanya dipanggil, Jiaming kembali duduk di ranjang. Gadis itu melambaikan tangan menyuruhnya terus tidur, kemudian nada suaranya tanpa sadar menjadi tegang, "Apa? Kakek Buyut stroke? Aku akan membangunkannya SEKARANG JUGA... Ah? Kalau begitu... Baiklah, besok kami akan izin ke sana, Hmm... Oke..."
Dengan lembut dia menutup telepon, berlari kecil kembali ke ranjang. Jiaming membuka selimut, menyelimuti tubuhnya: "Ada apa? Kakek Buyut stroke?" Kakek Buyut yang mereka sebutkan adalah salah satu dari sedikit tetua keluarga Huang yang masih tersisa dari dua generasi sebelumnya. Lingjing bersandar pada tubuh Jiaming, memandangnya sambil berbisik: "Ibu bilang Kakek Buyut mendengar kabar Paman akan diadili karena kasus rel ganda, langsung kena stroke. Dibawa ke rumah sakit... Tidak tertolong..."
Keluarga Huang sangat besar, keluarga Lingjing bukan garis keturunan langsung, hanya kerabat jauh delapan generasi yang jarang bertemu. Dengan Kakek Buyut ini pun hanya beberapa kali bertatap muka. Tapi dia selalu menghormati tetua keluarga. Saat ini hatinya sedih, lama tak bersuara. Jiaming memeluknya sambil menghela napas: "Apa kata Ibu Ye ya..."
“Kami akan izin pulang besok, harus mempersiapkan mulai mengurus acara kematian. Ibu bilang, kau adalah garis keturunan langsung, mungkin perlu izin lebih lama, sebaiknya seminggu. Saya tidak ditentukan, tapi ingin menemani kau bersama……”
## Bagian Ratus Sembilan Puluh Lima Punggung
Acara duka rutin tujuh hari. Orang-orang datang bergantian memberi penghormatan, siang hari pesta makan bergiliran, malamnya meja judi. Jika dalam keadaan normal, bagi mereka yang hubungannya tidak terlalu dekat dengan almarhum, mungkin ini bisa jadi kesempatan langka berkumpul. Tentu saja, kali ini berbeda.
Dua bulan terakhir meski Huang Bingxiang diisolasi untuk pemeriksaan, kabar dari berbagai pihak menyebut dia tak punya peluang lagi. Tapi beberapa orang masih menyimpan harapan, mencari koneksi ke sana kemari. Kini pemeriksaan selesai, persiapan gugatan hukum dimulai. Seluruh hal ini seperti bukti yang tak terbantahkan. Di tengah keruntuhan keluarga Huang, tiba-tiba ada acara duka ini. Kesedihan untuk orang tua mungkin sedikit, lebih banyak rasa kesal dan kekacauan yang muncul dari peristiwa dua bulan terakhir.
Orang-orang yang mondar-mandir bingung, suasana mencekam, anak yang diam, prosesi penghormatan formulaik di ruang duka. Seluruh villa keluarga Huang, diiringi lagu duka monoton, seolah diselubungi lingkaran suram dan lesu. Sesekali orang lewat di jalan, memberi komentar ke dalam. Ada yang senang, curiga, merendahkan.
Jika keluarga Huang di masa lalu mengadakan acara duka, mereka melakukannya dengan sangat meriah. Orang-orang yang lewat pasti berkomentar: "Ribuan karangan bunga!", "Sekretaris Komite Kota datang sendiri!", "Itu kan bos grup perusahaan anu!" dengan nada kagum, seolah ini bukan acara berkabung melainkan pesta untuk pamer.
Jatuhnya Huang Bingxiang mengguncang keluarga Huang dan seluruh kalangan di Jianghai. Meski kasus korupsi tingkat provinsi takkan bocor sebelum persidangan, banyak yang sudah tahu. Arah omongan berubah menjadi "keluarga koruptor", "MATI pun tak cukup menebus dosa". Warga sekitar yang menyaksikan keluarga Huang berkembang pesat lalu runtuh seketika, pasti merasa miris.
Dulu, acara duka seperti ini dipadati orang. Jalan-jalan sekitar ramai mobil. Suasana hiruk-pikuk: tamu berduyun memberi hormat dan hadiah, lalu ngobrol bisnis sambil menunggu jam makan. Anak-anak bermain kejar-kejaran, baru dimarahi orang dewasa jika terlalu keterlaluan. Tapi kali ini, barulah terasa suasana duka yang sesungguhnya.
Pepatah "Pohon tumbang, kera pun tercerai-berai." Tapi unta kurus keluarga Huang yang hampir MATI ini tetap lebih besar dari kuda. Rombongan yang datang memberi penghormatan tetap banyak, hanya saja beberapa pimpinan partai dan pemerintah tentu tak mau terlibat dalam Air keruh keluarga ini. Para bos dan orang-orang kaya yang masih memegang nilai kemanusiaan, kebanyakan hanya memberi penghormatan sejenak, kemudian mengaku ada urusan dan pergi lebih awal. Bagi yang bertahan untuk makan siang atau makan malam di sini, tentu tak lagi membicarakan bisnis. Saat Huang Bingxiang menjabat, perhatiannya pada keluarga terlalu berlebihan. Akibatnya kini, tak terhitung perusahaan kecil hampir mencapai kebangkrutan. Kelompok kecil berjumlah 3-5 orang yang berbicara di halaman atau villa, kebanyakan bermuram durja. Beberapa orang ketika membicarakan nasib malang, kerap bertengkar sengit.
Dalam situasi seperti ini, yang paling menjadi korban kolateral adalah anak-anak kecil yang belum paham membaca suasana. Saat bermain di dalam atau luar rumah, mereka bisa tiba-tiba dihujat kapan saja. Setelah 1-2 hari berlalu, bahkan anak paling nakal pun menjadi ciut. Di peralihan musim semi ke musim panas, Langit siang yang muram seolah memantulkan suasana berat yang bahkan membuat anak paling naif sekalipun tertekan. Musik duka dan suara panggilan peziarah dari pengeras suara terdengar monoton mengalun jauh.
Di belakang villa, dekat area rumput hijau dan kolam, terdapat sebuah lorong di mana Yahan sedang berdiri bersama seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun lebih. Rambutnya disanggul rapi di belakang kepala, mengenakan kacamata hitam lebar berbahan tempurang penyu, kemeja putih dengan kerah kupu-kupu, jaket hitam, dan gaun musim semi berwarna putih polos. Postur tubuhnya yang tinggi dipadukan dengan sepatu hak tinggi bertumit tipis, menampilkan penampilan perempuan intelektual yang matang namun menjaga profil rendah. Sambil berjalan perlahan, ia terus berbicara.
“……Hal keluarga Huang, sungguh memprihatinkan... Saat reformasi dan pembukaan baru dimulai, keluarga Huang termasuk yang paling cepat berkembang. Waktu itu Huang Wuping masih di Politbiro Pusat. Villa keluarga Huang ini juga menjadi simbol generasi pertama yang kaya di Jianghai kala itu, dirancang oleh perusahaan keluarga kami dengan pengawasan langsung kakak tertua saya. Setelah Huang Wuping mundur, Huang Xiao'er... Heh, saat itu yang berkuasa di keluarga Huang masih generasi Huang Wuping. Kami biasa memanggilnya demikian... Karir politiknya terbilang mulus, meski sempat membuat beberapa orang sakit hati selama masa jabatannya. Setelah kematiannya di tahun 89, promosi Huang Bingxiang mulai menemui hambatan. Tapi dia memang tangguh, bertahan dengan susah payah selama sepuluh tahun ini bahkan sampai naik ke posisi Sekretaris Komite Provinsi, sebenarnya ingin memajukan keluarganya. Namun kalau dipikir, dia terlalu dominan terhadap keluarga. Bahkan saat krisis keuangan pun dia paksakan keluarga ini bertahan. Andai diberi beberapa tahun lagi, mungkin sistem ekonomi keluarga Huang benar-benar akan kokoh. Sayang, mereka terlalu ambisius. Masalahnya terjadi di momen sensitif begini...”
Sambil berbicara, lelaki tua itu menggelengkan kepala pelan. Yahan tersenyum. Hubungannya dengan keluarga Huang tidak terlalu dekat, dan tidak ada hubungan bisnis langsung antar kedua keluarga. Dengan bijak dia berkata, “Kalau menurut Paman Geng, bagaimana masa depan keluarga Huang setelah kejadian ini?”
Lelaki tua itu tersenyum memandangnya: "Keluarga Zhang kalian selalu fokus di bidang industri berat saja, tak ada irisan dengan bisnis keluarga Huang. Mengapa sekarang mulai melirik ke sini juga?"
"Ah, Paman Geng tahu aku tak pernah ikut campur urusan keluarga. Aku hanya penasaran saja, mengingat pandangan Paman selalu tepat."
"Keluarga Huang..." Paman Geng terdiam sejenak, "Dulu saat hubungan Huang Bingxiang masih jadi tameng, mereka terlalu rakus menjalar ke segala bidang tanpa pondasi kuat. Setelah kejadian ini, pasar yang ditinggalkan akan dirampas habis. Dari total aset keluarga Huang yang kami perkirakan sekitar 13 miliar sebelumnya, mungkin hanya 2-3 miliar yang tersisa setelah badai ini."
Yahan mengerutkan kening: "Penyusutan drastis..."
"Itu perhitungan optimis. Untuk bertahan sebagai perusahaan besar, manajemen Huang harus punya wawasan memangkas cabang-cabang usaha. Fokus ke pengolahan makanan yang jadi pondasi terkuat mereka, baru mungkin bertahan. Jika masih ragu-ragu melepas aset, dalam dua tahun ke depan kemungkinan besar akan diambilalih sepenuhnya."
“Melihat tindakan lapisan pengambil keputusan keluarga Huang beberapa tahun terakhir, situasinya mungkin tidak terlalu optimis.”
“Tidak optimis.” Paman Geng menggelengkan kepala setuju, “Hal semacam ini... melihat dia membangun gedung merah, menjamu tamu, lalu gedungnya runtuh. Ah... ngomong-ngomong, dua minggu lagi cucu perempuan keduaku bulan purnama, keponakan Yahan sudah terima kartu undangan belum?”
“Kartu undangan...” Yahan sedikit mengerutkan alis, “Belum sampai mungkin, tapi ayah dan tante sudah bilang. Xiao Jingping bulan purnama, pasti akan datang.”
“Haha, lupa aku ini. Jianzhong dan yang lain belum mengirim undangan. Tapi janji ya, keponakan Yahan harus datang. Hari itu akan ada banyak pemuda berbakat datang, Paman Geng akan pilihkan satu, atau kamu pilih sendiri juga boleh. Paman percaya pesona keponakan Yahan, bocah-bocah itu pasti tak ada yang bisa menghadang.”
“Ah Paman, jangan begitu.” Yahan tersenyum, “Belakangan ini setiap ketemu paman-paman selalu mau menjodohkan aku. Apa aku sudah jadi perawan tua yang tak laku?”
“Setelah Tahun Baru usai, kau akan berusia 24 tahun. Kami yang menyaksikanmu tumbuh besar mengizinkanmu menunda pernikahan, tapi setidaknya harus punya pacar... Baiklah, aku tak akan memaksamu. Bagaimanapun pilihanmu nanti, wawasan tinggi itu bagus. Di Jianghai yang luas ini, aku tidak percaya tak ada yang cocok.” Paman Geng mengayunkan tangannya sambil tersenyum, “Kepala Fang Zhitian tiba di Jianghai hari ini. Untuk jamuan resmi malam ini di pemerintah kota, Yahan kau ikut? Jika iya, kami dan Paman Cui akan menantimu.”
“Hmm... Tidak perlu. Mungkin aku akan makan di keluarga Huang dulu sebelum pulang.” Yahan tersenyum, langkah keduanya berhenti.
“Makan di keluarga Huang?”
Alis Paman Geng berkerut sebentar lalu kembali normal, meski keraguan di hatinya tetap ada. Jika keluarga Huang masih berjaya, datang bersujud menyembah di pemakaman lalu makan bersama masih wajar, tapi itu hanya kesopanan bukan kewajiban. Apalagi dalam situasi sekarang, Fang Zhitian adalah raksasa lintas ekonomi-politik. Bahkan saat Huang Bingxiang masih menjabat, orang takkan melewatkan jamuan malam demi pemakaman. Kini Huang Bingxiang telah tumbang, hubungan keluarga Zhang-Huang pun tak pernah dekat. Sang keponakan perempuan ini malah memilih...
Tapi alasan dia melakukan ini, mungkin hanya karena masih tidak peduli dengan urusan keluarga. Setelah merenung dalam hati, akhirnya bisa menerima. Melihat Huang Haoyun yang terlihat agak murung turun dari lantai atas tak jauh, saat ini sedang menatap punggung Yahan sambil mendekat, aku pun tersenyum: "Kalau begitu sekarang aku akan menemui Paman Cui untuk mengobrol sebentar. Kurasa kalian anak muda juga tidak tertipu dengan omongan panjang orang tua sepertiku. Tapi jika masih ada waktu setelah makan, sebaiknya kita mampir ke jamuan resmi. Kamu yang di Akademi Hati Kudus, berkenalan dengan orang-orang seperti Fang Zhitian juga ada manfaatnya. Sudah, dadah-dadah... Tidak perlu mengikutiku..."
"Ah mana bisa... Selamat tinggal Paman Geng..." Awalnya ingin terus menemani beliau berjalan beberapa langkah, tapi melihat gestur tangan Paman Geng yang seolah memberi isyarat tertentu, saat berbalik badan akhirnya bertemu juga dengan Huang Haoyun, pria yang pernah memiliki sedikit interaksi denganku lima tahun silam.
Kasus suap keluarga Huang. Ayah Huang Haoyun yaitu Huang Bingxiang kini sudah ditangkap, Huang Haoyun sendiri juga terguncang dalam kasus ini. Meski akhir-akhir ini berhasil melepaskan diri dengan susah payah, detail persendian masalahnya tak perlu dijelaskan panjang lebar, pasti terasa sangat pahit.
Ingat tahun 94 musim panas itu, diri sendiri baru pulang dari Cambridge, bisa dibilang mengalami gelombang kencan buta. Huang Haoyun adalah salah satu pengagumnya, tapi sebelum kedua pihak bahkan belum ada tanda-tanda kemajuan, semuanya sudah gagal. Pada dasarnya, anak orang kaya yang manja seperti itu saat itu memang tidak cocok dengan selera sendiri. Namun saat ini teringat, justru karena dialah, diri sendiri pertama kali datang ke villa keluarga Huang ini, dan akhirnya bertemu dengan Jiaming. Lima tahun waktu tidak bisa dibilang panjang atau pendek. Melihat pria di depan mata ini sekarang, anak orang kaya yang manja yang dulu begitu bersemangat kini telah menjadi murung dan lesu. Meski masih mengenakan jas mahal yang rapi, tetap memancarkan aura suram, persis seperti keseluruhan rumah besar keluarga Huang ini. Hati pun tak bisa tidak merasa merenung.
"Hai, Huang Haoyun."
“Ah, hai Yahan... Ehm, dari belakang tadi kulihat sepertimu...” Sebenarnya sejak awal perkenalan, interaksi antara mereka berdua tak banyak. Saat baru kembali dari Inggris, Yahan tampak anggun dengan kecantikan wajah dan aura pesona unik yang memikat. Menurutnya kedua keluarga cukup setara statusnya. Usai gagal dalam usaha pendekatan, harga dirinya yang terluka membuatnya terus mengingat bayangan itu dalam hati. Lima tahun berlalu, dia tak mencapai apa-apa bahkan keluarganya mulai runtuh. Sementara wanita di hadapannya kini semakin matang percaya diri, kecantikan dan intelektualitasnya menyatu sempurna dengan aura elegan, justru membuatnya merasakan jarak yang menganga. Setelah kekacauan sesaat, dia mengajak bicara dengan topik yang agak dipaksakan: “Ehm, itu... Tua Geng dari Grup Hengjian ya?”
“Iya, cucu perempuannya baru saja lahir, sedang membicarakan hal-hal seputar bayi.” Yahan tersenyum sambil membenahi rambut di pelipis telinga. Meski merasa kasihan pada pria di hadapannya, tak ada topik yang bisa dibicarakan.
“Hmm, heh...” Tatapan Huang Haoyun terlihat kosong. Dulu setiap acara grup besar seperti Hengjian pasti langsung dia ketahui dan catat dalam memorandum untuk menghadiri perayaan bulan purnama. Tapi sekarang, haknya untuk hadir di jamuan seperti itu saja dipertanyakan. Setelah berpikir sejenak, dia hanya bisa berkata: “Itu... kau mencari Jiaming ya.”
“Hmm.” Yahan mengangguk dan tersenyum tanpa menyembunyikan apa pun, “Baru datang, sempat ngobrol sebentar dengan Pak Geng, belum ketemu dia juga. Sekarang sudah jam tiga, tidak mungkin masih tidur siang, kan... Aku ke kamarnya dulu, dadah...”
“…Dadah.”
Setelah sekian lama, Huang Haoyun baru menyadari harus mengangkat tangannya. Memandang bayangan indah yang semakin menjauh dalam pandangannya, emosi kompleks di hatinya sulit diuraikan.
## Bagian Dua Ratus Sembilan Puluh Enam Goyang
Di ruang tunggu bandara, kerumunan orang berdesakan. Papan waktu elektronik besar terus memperbarui data. Setelah pengumuman berbahasa Mandarin standar dari penyiar, disusul terjemahan bahasa Inggris yang sama fasihnya, pukul dua empat puluh nanti sore, sebuah pesawat dari Hong Kong kembali mendarat tepat waktu di Jianghai.
Rombongan penumpang baru mulai keluar dari pintu kedatangan. Dua wanita meninggalkan aula bandara melalui terowongan khusus dikelilingi empat orang staf atau pengawal berbaju jas. Salah satunya adalah wanita paruh baya sekitar 30-40 tahun. Di sampingnya, si cantik dengan kecantikan awet muda jelas menjadi pusat perhatian enam orang ini. Saat ini, wanita tersebut mengenakan topi tenis bertepi lebar dan kacamata hitam besar yang menutupi setengah wajahnya. Rambut hitamnya yang lurus terurai di punggung, mengenakan pakaian kasual longgar sambil terus menunduk dan menarik tepi topinya, menunjukkan sikap yang sangat low-profile. Namun, di tengah keramaian bandara, ketika enam orang ini berjalan cepat, penampilan gadis itu tetap menarik perhatian beberapa orang, memicu beberapa percakapan kecil di antara kerumunan sekitar.
“Oh, MM itu cantik sekali...”
“Ada empat pengawal yang mengikuti, hehe, mungkin putrinya pengusaha kaya besar, lebih baik jangan mengincar.”
“Wanita anggun memang incaran pria terhormat, lihat-lihat saja tidak apa.”
“Kurasa wanita cantik tadi agak mirip Fang Yusi.”
“Tidak mungkin... Di mana? Di mana...”
“Sudah pergi semua... Menurutku tidak mungkin, bukankah Fang Yusi sekarang di Hong Kong? Kalau ada itinerary ke Jianghai, pasti akan sensi...”
“Itu juga benar...”
Dua tahun pertama debutnya, Fang Yusi sempat mencapai puncak popularitas. Setelah mengalami titik terendah dari tahun sebelum lalu hingga tahun lalu, reputasinya kembali terangkat oleh album musik yang dibuat matang. Dunia luar menilai idola masa muda remaja itu setelah dua tahun pengendapan akhirnya menjadi lebih matang, kini mulai menunjukkan tren persaingan posisi diva di industri musik domestik. Popularitas dan pengaruhnya masih terus meroket. Jika benar datang ke Jianghai, tentu akan diawali dengan serangan promosi besar-besaran. Setelah beberapa orang di sekitar berdiskusi, keenam orang yang keluar bandara sudah naik ke dua mobil kecil yang telah menunggu di pinggir jalan.
Duduk di jok belakang mobil, wanita muda berpakian kasual melepas kacamata hitam besar, kemudian melempar topi tenisnya. Mengambil karet gelang, ia dengan cekatan mengikat rambut panjangnya. Yang muncul di sini jelas wajah Fang Yusi yang cantik namun segar - meski karakternya kurang baik, tapi untuk menjadi idola publik, dia tetap memiliki modal yang cukup istimewa.
“Kamar di Hotel Goldenrod sudah dipesan, tidak jauh dari Pemerintah Kota Jianghai, sangat cocok untuk jamuan resmi menyambut Tuan Fang malam nanti. Yusi, apakah kita langsung berangkat sekarang?”
Duduk bersamanya di barisan belakang mobil adalah bibinya dari keluarga yang sama, Fang Shujuan yang juga berperan sebagai manajernya. Setelah menutup pintu mobil, dia bertanya secara rutin lalu hendak menyuruh sopir berangkat. Namun, Fang Yusi di sampingnya yang sedang mengikat rambut panjangnya menjadi ekor kuda sambil mengayunkan tangan: "Untuk sementara tidak ke hotel, kita ke keluarga Huang. Jika kabarnya benar, keluarga mereka sedang mengadakan pemakaman sekarang kan? Pas untuk menyampaikan belasungkawa... Datang langsung setelah turun pesawat akan memberi kesan baik. Kakak Liang, kamu tahu alamat keluarga Huang kan?"
"Tahu." Sopir di depan memberi gestur OK. Dua mobil mulai melaju perlahan, sementara manajer di sebelahnya memandangi keponakannya dengan tatapan penuh kebingungan, seolah ingin bertanya tapi ragu.
"Sebenarnya... Menurut kabar yang beredar, Sekretaris Huang itu pasti akan dihukum. Grup Huang sekarang sedang sibuk menyelamatkan diri sendiri, banyak cabang perusahaan milik keluarga Huang di Jianghai yang hanya tinggal menunggu pengumuman kebangkrutan. Yu Xiaoman sangat lega bisa membatalkan kontrak endorse dengan mereka, aku benar-benar tidak mengapa kamu malah bersemangat seperti dapat harta karun ingin menjadi endorser keluarga Huang, bahkan merendahkan nilai diri. Harusnya artis wanita papan atas biasa saja mematok harga lebih tinggi dari ini untuk endorsement."
“Ya, Tante tenang saja, aku sudah punya rencana.” Sejak kontrak endorsenya dengan Grup Huang habis beberapa hari lalu, dan Yu Xiaoman secara aktif menghubungi Huang untuk endorse, kalimat serupa sudah diucapkan manajernya lebih dari 10 kali. Fang Yusi tetap tersenyum, "Memberikan sumbangan di tengah kesulitan, pasti lebih menyentuh hati daripada sekadar menambah kemewahan."
“Membuat siapa terharu?” Pandangan penuh tanya sang tante kembali mengarah padanya, “Dari mana kamu dapat informasi internal? Masih adakah harapan untuk urusan keluarga Huang? Meskipun ada, Grup Huang bukan perusahaan bagus. Dengan popularitasmu sekarang, bahkan perusahaan 500 besar dunia saja mengejar-ngejar untuk endorsement... Atau jangan-jangan kamu tertarik pada seseorang di keluarga Huang? Tapi keluarga Huang sekarang...”
“Aduh... Tante tolong jangan nebak-nebak ya, tenang saja, tenang saja. Kapan aku pernah melakukan bisnis rugi?” Fang Yusi tertawa, “Intinya, urusan keluarga Huang serahkan padaku. Semakin buruk situasi mereka, semakin banyak keuntungan yang bisa kita dapat.”
Tahun lalu dia mendapatkan lagu dari band konsep. Setelah melalui proses packaging bertahap, pembentukan image matang, baru meluncurkan serangan besar. Ini termasuk kasus sukses comeback terbaik di industri hiburan. Tapi tentang detail "konsep" itu sendiri, Fang Yusi sama sekali tidak bocorkan, bahkan ketika ditanya bagaimana cara menghubungi band "Konsep", dia tetap menutup mulut rapat-rapat.
Sikap hati-hati seperti ini, di satu sisi tentu karena adanya janji dengan Jiaming yang mutlak tidak boleh menyebarkan kabar konkret ini. Jika saja orang-orang dekat ini ada yang salah bicara, dan nantinya lebih banyak penyanyi yang mengganggunya di kampus, bisa jadi dirinya akan di-banned oleh penulis lagu genius ini. Meskipun anggota band ini belum dewasa, setiap lagunya bisa menjadi klasik. Jika dia benar-benar tidak nyaman denganku setelah ini, dengan kemampuannya menciptakan lagu yang bisa membuat hampir semua selebritis tenar, itu sungguh mengerikan.
Di sisi lain, meskipun usia sebenarnya Fang Yusi belum genap 23 tahun, dia sudah berkecimpung 5-6 tahun di dunia hiburan yang keruh ini. Di bawah kendali kepentingan, bahkan terhadap tantenya sendiri, hatinya belum tentu bisa mempercayai sepenuhnya. Kedatangannya yang tergesa-gesa ke Jianghai ini, meski bisa dianggap karena adanya tokoh penting seperti Fang Zhitian, tapi dalam hatinya yang utama adalah ingin menunjukkan sikap baik di depan Jiaming. Kesulitan keluarga Huang saat ini jelas merupakan titik jebol pertahanan terbaik.
Band "Concept" sejak paruh kedua tahun lalu basically menghilang. Setelah itu hanya merilis tiga lagu melalui studio Huang Lao, yang diberikan kepada selebritis yang terlihat paling "cocok" menyanyikannya. Meski Fang Yusi berpayudara besar, dia tidak bodoh. Dia tahu citra materialistisnya sebelumnya membuat para remaja band "Concept" jengah. Anak bernama Gu Jiaming itu bilang hanya akan menulis satu lagu, meski diminta pun mungkin tidak akan dikabulkan. Tapi masalah keluarga Huang kali ini bisa jadi sebuah kesempatan.
Dan, kesuksesan album terakhir itu juga membuatnya kini lebih mudah mendapatkan lagu-lagu bagus. Bahkan jika tak bisa menyentuh hati anak-anak itu, melakukan sesuatu untuk keluarga Huang kali ini bisa dianggap sebagai balas budi yang baik. Agar anak-anak kecil tak mengira dirinya hanya materialistis dan tak peduli apapun.
Dalam hati yang datar, teringat mantan pacar yang pernah menciptakan lagu untuknya. Andai statusnya dulu sudah seteguh sekarang, mungkin banyak hal bisa dipilih. Mereka berdua mungkin takkan berpisah. Siapa yang tak ingin hidup dengan kemurnian dan kenaifan... seperti dalam drama...
Dia bersandar di jendela, memandang pemandangan di kedua sisi jalan. Langit digantungi awan gelap khas musim semi. Mobil melaju stabil menuju arah keluarga Huang di tengah kota...
Sekitar waktu yang sama, Jiaming sedang duduk di kamar kecilnya di villa keluarga Huang sambil meneguk jus yang baru dibeli, membaca komik. Jari-jari tangan kirinya mengusap-usap dahi. Sejak tahun ini, sakit kepala akan kambuh setiap beberapa hari meski tak bertemu kekuatan supernatural. Meski rasa sakit bisa ditahan dan memberinya ketajaman analisis, tetap saja menyebalkan. Kerutan di dahinya mungkin karena sakit kepala, atau bayangan lain di ruangan itu.
"Mengenakan pakaian kasual yang mahal dan tampan, Tenku Masaoka saat ini sedang membalik-balik buku pelajaran SD Jiaming dengan penuh minat di sudut kamar. Baru saja pergi membeli jus dan bertemu dengannya, lalu dia pun ikut masuk. Bagi dua orang yang sama-sama berasal dari Dunia Kegelapan, menjangkau sisi privasi lawan sebenarnya adalah hal yang cukup berbahaya. Bahkan sekedar menguji bisa menyentuh sisik terbalik, tapi di sisi Jiaming ini tidak ada yang terlalu penting. Keduanya yang memahami data-data ini pun melanjutkan aktivitas masing-masing."
"Kamar ini tidak besar, hanya berisi ranjang, meja, dan kursi dengan tata letak sederhana. Lebih banyak mencerminkan tahun-tahun monoton Jiaming saat masih anak-anak sebelum usia 10 tahun. Di dalam laci meja masih tersimpan beberapa aksesori kecil dan mainan yang dikumpulkannya sebelum regenerasi. Sudut dinding hanya menumpuk buku pelajaran tidak berguna dari SD sampai SMP. Tenku Masaoka tidak punya tempat duduk, hanya berjongkok di tumpukan buku sambil menggigit apel merah di tangannya, membalik halaman buku."
"Menghubungi [], sudah mencari lebih dari sehari tapi masih belum ada kabar si pendek itu. Dibandingkan tiga pemula dua malam lalu, tiga orang lainnya tampak lebih lihai. Mungkin meski dibawa si pendek ke Jianghai, mereka punya rencana sendiri - bersembunyi atau kabur. Tapi kemarin Cui Guohua juga sangat yakin, beberapa orang asing di wilayah Tiongkok pasti akan ketemu juga cepat atau lambat."
"Kenyataannya." Jiaming menyesap jusnya, membalik halaman komik. "Bagaimana gerak-gerik Pei Luo Jia?"
“Beberapa hari ini sudah diperintahkan untuk mengawasi ketat, seperti biasa. Sejak serangan mendadammu ke cabang Amerika pada Natal tahun lalu, cabang Jepang menjadi lebih kalem.” Tenku Masaoka mengerutkan kening, mengambil buku matematika lain, namun ucapannya tak berhenti, “Tapi kau harus tetap waspada. Selama ini ancamanmu ke Pei Luo Jia sudah terlalu banyak. Begitu ada kesempatan, mereka pasti akan mencari cara untuk menghabisiimu.”
“Minamoto Yoritomo sudah mundur dua kali di bawahku, ditambah serangkaian hal lain. Selama aku di Jianghai dan situasi internasional tak berubah, mereka seharusnya tak berani bertindak gegabah…” Jiaming berhenti sejenak, “Lagipula masih ada Jian Suyan.”
Tenku Masaoka meliriknya: “Kemungkinan identitasmu terendus tetap ada.”
“Latar belakangku bersih. Siapa yang percaya seorang anak bisa menghabisi Da Nei Zhangdu? Jika aku Evolusioner alami, hmph…”
“Itu benar…” Tenku Masaoka menggigit apel merah, sambil membuka buku lain, lalu kembali mengerutkan kening, “Kau genius, harus kuakui. Meski sebagai seorang genius, kamarmu terlalu sederhana. Tapi kusadari…”
Dengan buku pelajaran di tangan, ia tersenyum pada Jiaming: “Sejak musim dingin tahun 91, kau seperti jadi orang yang berbeda!”
Komik terbalik di atas meja menampilkan halaman terakhir. Kesunyian menyelimuti kamar. Pandangan Jiaming akhirnya tertuju pada tumpukan buku pelajaran. Wajar jika Tenku Masaoka yang profesional bisa melihat jejak perubahan. Perbedaan kecil pada tulisan tangan pasca-regenerasi, rekaman absen kelas, kesalahan selektif dalam soal-soal tertentu – di mata profesional teliti seperti ini, semuanya…
"Pada November 1991, dua pembunuh dari Pei Luo Jia kebetulan datang ke Jianghai untuk merekrut bakat. Hari itu aku kabur dari rumah dan secara kebetulan bertemu mereka. Lalu mereka MATI. Kehidupanku mungkin mulai berubah sejak hari itu... Jika bukan karena hal itu, kita seharusnya akan menjadi musuh di masa depan."
Sambil membicarakan hal ini dengan santai, Jiaming mengeluarkan komik lain dan membukanya. Tenku Masaoka bersiul, melemparkan buku kembali ke tumpukan lalu berdiri, seolah merasa lega di hati. Namun, kabar yang bisa diperoleh mungkin hanya sampai di sini. Meski terlihat santai, sebenarnya kedua pihak tetap mempertahankan presisi secara kebiasaan. Ia berputar di kamar dengan tata letak sederhana ini sambil berkomentar: "Sepertinya keluarga ini memang tidak terlalu baik padamu..."
"Setidaknya bisa menampungku hidup." Jiaming menatap komik dengan nada datar.
"Jika kau meminta, aku bisa menyiapkan order miliaran untuk membantunya. Kebetulan Keluarga Longtang punya koneksi di bidang ini, paling-paling untungnya sedikit berkurang. Kalau aku yang meminta, mereka tidak akan menolak."
"Makan saja apelmu."
“OK……”
Bisnis ratusan juta disambut pantat dingin, Tenku Masaoka hanya mengangkat tangan bingung dengan acuh. Persis saat itu, ketukan pintu terdengar dari luar: "Hei, Gu Jiaming, semua orang main kartu, keluarlah ikut satu buah!"
Jiaming mengerutkan kening. Biasanya mereka tidak pernah memasukkan bagiannya dalam urusan apapun, hari ini tiba-tiba menjadi begitu antusias. Setelah berpikir sejenak, barulah ia mengerti. Meski Lingjing dan Shasha ingin menemaninya ke pemakaman, namun mereka bukan kerabat langsung dan tetap harus bersekolah. Karena akan berpisah beberapa hari, Lingjing yang biasa mengatur keuangan keluarga mengambil dua ribu yuan untuk mengisi dompet Jiaming. Walau terbiasa hidup hemat, keluarga Huang tetap keluarga besar. Dulu melihat orang lain mengeluarkan ratusan bahkan ribuan yuan tanpa ragu, kini mereka hampir dewasa. Lingjing tahu sifat Jiaming yang ceroboh dalam hal-hal kecil, akhirnya memasukkan ribuan yuan ke dompetnya agar jika perlu mengeluarkan uang, Jiaming tidak malas ambil kartu ke bank dan menimbulkan masalah yang memalukan semua orang.
Dua ribu yuan ini sebenarnya tidak ada gunanya bagi Jiaming. Tapi ketika membeli jus hari ini, kebetulan dilihat beberapa sepupu sebayanya. Meski kondisi keluarga Huang sulit, ribuan yuan sebenarnya bukan masalah besar, tapi tetap saja sejumlah uang. Rupanya mereka ingin mengajaknya keluar untuk mengeruk keuntungan. Dengan santai Jiaming menoleh: "Tidak, aku masih ada urusan."
"Hei! Saat ini susah cari orang, jangan rusak suasana dong... Ah, halo, kau juga cari Jiaming?"
Orang di luar pintu berbicara setengah jalan, jelas ada orang lain yang datang lagi. Yang terdengar kemudian adalah suara perempuan: "Jiaming, buka pintu." Di sisi ini, Tenku Masaoka justru tersenyum sambil membuka pintu kamar. Melihat Yahan yang berdiri anggun di luar, dia malah lebih dulu menyapa pria tinggi berwajah sangar di sebelahnya: "Hei, main kartu? Aku ikut."
Aura yang dipancarkan Tenku Masaoka cenderung cerah dan ramah, sangat bisa dipercaya. Namun karakternya juga jelas menunjukkan keistimewaannya. Pria tinggi itu awalnya mengerutkan alis dengan nada kesal. Tiba-tiba melihat orang seperti ini keluar dari kamar Jiaming, dia tertegun sebentar: "Eh, oke... oke... kamu..."
"Namaku Tenku Masaoka, teman Jiaming dari Jepang." Tenku Masaoka tersenyum memperkenalkan diri. "Aku dan Jiaming sama-sama anggota klub penggemar Ghibli. Kali ini sambil liburan, sekalian mengantarkan beberapa komik untuknya. Kau tahu lah, dia cuma tertarik pada itu. Tapi aku lebih suka permainan kartu. Meski aturan Tiongkok masih agak kurang kupahami, mungkin kau bisa memberiku petunjuk. Ngomong-ngomong, saudara ini namanya..."
Meski mengaku orang Jepang, logat dan pengucapannya justru sangat kental Tiongkok. Pria tinggi itu belum sempat bereaksi, sudah diseret dengan akrab oleh Tenku Masaoka: "Eh, namaku Huang Jianpeng, itu..."
"Hehe, Jianpeng, nama yang bagus. Oh ya, tak keberatan kalau kupanggil Jianpeng kan? Nama Tiongkokku Lin Zhengze, panggil saja Zhengze... Ah, lupa bilang, Bu Guru Zhang, kita ketemu lagi nanti."
“Suara dua orang itu menjauh dengan cepat，Yahan memandang ke arah sana dengan sedikit kebingungan，kemudian masuk sambil menutup pintu: \"Hmm，kenapa dia mengenaliku，Tenku Masaoka... Ah，pernah dengar ayahku menyebut，sepertinya doktor double degree dari Jepang，juga pewaris konglomerat besar... Lalu bagaimana kau mengenalnya?\"”
“Dia bilang tadi，komunitas penggemar anime，ini lebih banyak di Jepang。”Jiaming duduk di kursi sambil tersenyum。
“Cih，percaya saja kau...”Yahan mengerutkan hidung melotot padanya，tapi kemudian menggelengkan kepala，“Sudahlah... Saat dia membuka pintu tadi aku sempat berpikir kapan kau mulai punya pacar... Ngomong-ngomong，Huang Jianpeng kalian itu tidak jujur berjudi，dia bisa main ribu，apa Tenku dkk akan bermasalah?”
“Tenku Masaoka adalah pembunuh dan pengguna kekuatan supernatural terhebat di Jepang。”
“Kalau begitu biarlah，nasibmu sial...”Yahan terdiam sejenak，tertawa terkekeh。
Melemparkan tas kecil ke ranjang Jiaming，kemudian melepas jaket hitam dan melemparkannya juga，sedang hendak duduk di tepi ranjang tapi melihat Jiaming tersenyum membuka tangan ke arahnya dengan tatapan menggoda。Yahan tersenyum tetap di tempat: “Mau apa?”
Jiaming hanya santai membuka tangannya。
“Kau mau apa bilang saja，kalau kau tidak bilang bagaimana aku tahu mau apa?”
“Kemarilah。”
“Cih... Kau anggap aku peliharaanmu saja...”
"Begitu kata mereka, namun setelah beberapa saat deadlock, Yahan akhirnya berjalan mendekat dan duduk di pangkuan Jiaming. Melepas kacamata hitam yang melambangkan intelektual, diikuti suara krekk saat sepatu hak tipisnya ditendang. Dia menekuk kedua kakinya ke tubuh Jiaming, memperlihatkan betis halus nan mulus dari balik stoking putih pendek yang tersingkap bersama gaun putihnya. Berada di kursi besar depan meja belajar dalam posisi berpelukan ini, tangannya mengusap-usap betis dan pergelangan kaki sambil mengeluarkan erangan kecil nyaman. Ekspresi relaks terpancar di wajahnya.
"Sepanjang pagi pakai sepatu hak tinggi lari kesana-kemari, sumpah capek banget. Pijitin dong kakiku."
"Tapi nggak perlu sampai mengerang begitu juga kan." Jiaming tersenyum, satu tangannya memegang kaki berbungkus stoking putih itu dengan lembut, "Lagian habis lari sehapan, nggak bau ya?"
"Kau yang bau! Kapan pernah kakiku bau? Cuma kau yang bau! Aku aja nggak ngeluh, malah berani... Aaah, jangan mainin rambutku! Susah-susah ngegelunginnya."
"Rambut kalian perempuan kalau dikonde gini," Jiaming mengusap-usap sanggul kepalanya sambil tertawa, "rasanya kayak acar sayur..."
“Ini untuk mengikat rambut panjangmu...” Yahan teringat lirik lagu itu, melontarkannya tanpa sadar, lalu wajahnya memerah. Mereka sudah terbiasa bercanda dengan kata-kata mesra, namun saat serius mengucapkan kalimat yang mirip pengakuan cinta seperti ini, tetap membuatnya malu. Kemudian ia berpura-pura cemberut sambil tersenyum, "Apa maksudmu acar... Eh, maksudmu 'kita wanita'? Lingjing dan yang lain masih kecil, mana mungkin mengikat rambut untukmu! Dasar playboy besar, ngaku! Jangan-jangan ada gundik lain!"
Menurut pengetahuannya tentang Jiaming, kemungkinan hal seperti ini sebenarnya kecil. Tapi karena hatinya masih khawatir, separuh kalimat itu adalah candaan, separuhnya lagi sungguhan. Jiaming tertawa: "Apa sih? Saat menari, Lingjing juga sesekali mengikat rambutnya. Dikepang kecil-kecil lalu dililit seperti menu cacing tanah. Saat menyentuhnya aku jadi ingat Buddha..."
"Cih, selera apresiasi nol... Hei, jangan macam-macam... Nanti aku harus mengikatnya lagi..." Suara mendengus protes itu tak menghentikan Jiaming yang tetap mengulurkan tangan mengambil jepit rambut. Seketika, rambut hitamnya mengurai seperti air terjun. Sisa-sisa kematangan pada Yahan lenyap seketika. Di pangkuan Jiaming, yang tersisa hanyalah gadis lemah lembut berbalut putih dari ujung kepala hingga kaki.
"Aku lebih suka penampilanmu yang seperti ini..."
Memeluk tubuh Yahan, Jiaming berbisik. Mendengar perkataannya, Yahan hanya mendengus manja secara simbolis, mengusap-usap kelelahan di pahanya. Pipi Jiaming bergesekan lembut di kemeja belakangnya. Dalam keheningan yang berlangsung lama, tiba-tiba Jiaming berkata: "Aku agak pusing..."
"Ada apa?" Hatinya berdebar ingin menoleh, tapi tubuhnya sudah terkunci dalam dekapan Jiaming. Dengan punggung bersandar pada Yahan, Jiaming tertawa: "Terakhir kali tiga hari lalu kan..."
"Di sini?" Pipi Yahan memerah mendadak, warna merah jambu mengembang di wajahnya. Sebuah kancing baju di dadanya telah terbuka, tangan itu menyusup pelan ke dalam kemeja putih yang agak kencang. Hanya dengan perasaan, dia bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Karena kondisi kesehatan Yahan dan stamina Jiaming yang di atas manusia biasa, setelah bercinta Yahan biasanya lebih cepat lelah. Mempertimbangkan kesehatannya, Jiaming selalu membatasi permintaannya. Tapi setelah keintiman sampai tahap ini, kelanjutannya sudah bisa ditebak. Yahan tidak menghalangi tangan nakal yang menyusup ke dalam kemejanya. Saat tangan lain Jiaming membuka ujung gaun, barulah dia berbisik: "Tunggu dulu..." Berjongkok di kursi, torso membungkuk di atas meja belajar, tangan meraih tirai jendela di depan.
Di depan tepatnya adalah jendela di bagian belakang villa. Meski menggunakan kaca buram yang tak tembus pandang, namun jika didekati, garis besar sosok manusia tetap bisa terlihat. Dengan wajah merah padam dan napas sedikit tersengal, dia menarik tirai hingga kamar terbenam dalam kegelapan. Saat merasakan hawa dingin di bagian bawah tubuhnya, seluruh badannya tiba-tiba lemas tak berdaya.
Posisi menggoda seperti ini nyaris memudahkan Jiaming untuk melepaskan celana dalamnya. Karena sifatnya yang sensitif dan mudah terangsang, saat telapak tangan hangat menyentuh area selangkangan, tempat itu sudah basah kuyup...
"Eh... ke ranjang yuk..."
"Nggak, aku mau coba begini..."
"Duduk gini...?"
"Ujung gaunnya diturunin, orang lain nggak bakal lihat apa-apa..."
"N-ngeboong diri sendiri... Lagian... Kemarin-kemarin udah dicoba, aku langsung... Hmm... kehabisan tenaga... Ke ranjang..."
"Heh, nanti aja..."
"Aku... Ahh... Kasih tanganmu buat aku gigit... Kalau nggak... aku bakal teriak..."
"Di TV biasanya pake celana dalam..."
"Mesum..."
Dalam kegelapan, Yahan duduk di pangkuan Jiaming. Ujung gaun putihnya mengembang seperti daun teratai, bergoyang lembut hingga tak terlihat aktivitas apapun. Hanya bagian betis seksi seputih akar teratai yang tersembul dari balik gaun, sementara celana dalam putih yang sudah dilepas tergantung di pergelangan kaki kiri berbaju stoking pendek, berayun-ayun mengikuti bisikan manja di dalam kamar...
## Bagian Dua Ratus Sembilan Puluh Tujuh Bernyanyi Lirih
“Sore di akhir musim semi yang sedikit berawan, di dalam kamar yang tirai jendelanya tertutup, cahaya redup. Gaun putih polos yang sudah dilepas tergeletak sembarangan di atas meja belajar, di tepi ranjang terdapat sepatu hak tinggi yang terlempar. Bayangan seorang wanita setengah berbaring di ranjang, selimut ditarik hingga pinggang, memperlihatkan torso yang masih mengenakan kemeja wanita dengan kerah kupu-kupu. Bagian dada yang ketat, pinggang ramping yang anggun menegang, meski berbaring dengan malas, tetap memancarkan aura intelektual.
Hanya saja saat ini, seorang pemuda yang duduk di tepi ranjang sedang memasukkan tangannya ke dalam selimut, menciptakan gerakan-gerakan yang berirama.
Gaun panjang sudah tergeletak di meja, celana dalam putih lembut juga terlempar sembarangan di bagian dalam ranjang. Mengikuti gerakan paha wanita di bawah selimut dan napas lega yang sesekali diselingi erangan lembut, suasana menjadi penuh pandangan menggoda: Kegelapan, ranjang, si cantik, tangan pemuda yang bergerak di bawah selimut, serta bagian bawah tubuh wanita yang pastinya sudah telanjang bulat di balik selimut. Beberapa menit kemudian, Jiaming menarik tangannya keluar, di genggamannya terdapat handuk putih yang masih hangat. Ia memutar badan dan melemparkannya ke baskom berisi air hangat di kursi sebelah, mencucinya beberapa kali, membuang airnya ke kamar mandi, lalu mengeluarkan baskom baru, mencuci handuk sekali lagi sebelum memerasnya.
"Sudah habis?" tanya Jiaming.
"Sepertinya sudah."
"Kalau begitu cuci muka."
Handuk panas menutupi wajah Yahan, setelah membersihkan bagian wajah, bergerak turun mengusap lehernya. Jiaming mengulurkan tangan melepaskan satu per satu kancing baju wanita, memperlihatkan torso Yahan yang indah, lalu membersihkannya dengan handuk hangat.
"Kalau tahu akhirnya harus dibuka lagi, ngapain aku repot-repot mengancingnya tadi..."
Suara perempuan itu lembut dan manja. Tenaganya mungkin belum pulih sepenuhnya, tapi setiap kali usai mengalami badai dahsyat seperti ini, benar-benar satu jari pun tak ingin digerakkannya. Kulitnya bergetar halus, perasaan kuminati memenuhi setiap sudut tubuh dan jiwanya. Karena itu, tugas pembersihan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Jiaming. Handuk hangat menggosok keras permukaan kulitnya. Ia mengerjapkan mata perlahan, kepala bergerak nyaman di atas bantal: "Hmm, Jiaming... kamu sengaja ya?"
"Apa?" Jiaming sedang membuka kemejanya ke dua sisi, memasukkan handuk ke punggungnya dengan bingung.
"Maksudku..." Dengan suara gemetar yang semakin lembut, dada dan perut Yahan sedikit terangkat. Kulitnya menegang memudahkan usapan Jiaming, "Kamu selalu suka membersihkan bagian bawah dulu, baru kemudian wajahku, torso..." Bibirnya yang menggoda seolah menemukan senjata untuk menggoda Jiaming.
Dengan kesal menyeringai, tangan kanan Jiaming masih terulur di belakangnya, sementara tangan kiri yang semula berada di sisi pinggangnya kini ditarik kembali ke perut kecilnya yang putih dan kencang, jari-jarinya menyentuh kulitnya. Ruangan pun menjadi sunyi, sepasang mata saling bertatapan penuh gelak tawa, satu sisi menyimpan ancaman terselubung sementara sisi lain dengan gigih menunjukkan senyuman penuh perlawanan, menggigit bibir bawah dengan gigi putihnya. Sorot mata Yahan yang tegang mengikuti pergerakan tangan kiri Jiaming yang mulai merayap turun dari perutnya, sesekali ujung jarinya menyentuh kulitnya.
Menyusuri perut, pusar, kemudian tangan kiri itu menyelusup di antara selimut. Tubuh wanita itu bergetar halus, tiba-tiba tangan yang menyelusup di antara pahanya mengencang mencengkeram.
"Ah—aku menyerah—"
Jeritan rendah langsung meluncur dari tenggorokan Yahan, kakinya mengatup erat di balik selimut, tubuhnya meringkuk bagai udang yang tak berdaya sambil tertawa memohon: "Aku salah, Kakak Jiaming, aku tidak berani lagi..."
"Salah apa?" Mendekatkan wajahnya ke pipi Yahan, Jiaming kini satu tangan menopang punggungnya sementara tangan lain menekan erat di antara pahanya. Meski Yahan sudah memiliki tubuh wanita dewasa, ia terlihat seperti anak kecil yang dipeluknya. Perlawanan simbolisnya membuat mata Yahan di jarak sedekat ini seakan memancarkan cairan bening.
"Aku... aku salah, tidak seharusnya membocorkan kebenaran, ah—"
Setelah teriakan itu, dalam napas pendek-pendek yang terburu-buru, Yahan bahkan tidak berani melakukan perlawanan simbolis lagi. Jelas bahwa "ancaman" baru dari tangan Jiaming yang menyelusup ke dalam selimut berhasil mempan. Meski kedua tangan Yahan juga berada di dalam selimut, nyatanya sama sekali tidak memiliki kemampuan atau keinginan untuk menghentikan Jiaming. Dengan leher yang mengkerut, kedua tangan Yahan perlahan menarik helai baju Jiaming.
"Aku tidak akan berani lagi... Jangan ganggu aku, Kakak Jiaming, jangan... Hmm... hentikan..."
"Lihat kau masih berani bicara... Buka kakimu." Keinginan awal untuk Yahan muncul karena sedang pusing, dia juga ingin mencari hal untuk mengalihkan perhatian. Sekarang rasa pusing sudah hilang, namun melihat ekspresi Yahan yang sengaja menggoda tapi tubuhnya sama sekali tidak sanggup menahan, nafsu hampir tak terbendung lagi. Dalam hal ini, tubuh Yahan yang matang dan sensitif, namun dibandingkan gadis penuh energi seperti Lingjing dan Shasha, kemampuannya dalam hal seperti ini memang relatif lemah. Justru karena itu, perempuan dengan job change guru ini terlihat semakin menggoda.
“Kau tidak boleh iseng saat kesempatan ini……” Yahan dengan wajah merah padam mulai mengendurkan pahanya, Jiaming baru menarik tangannya. Tak lama kemudian, di bokongnya terdengar suara "Prak!" ditampar. Yahan langsung menyunggingkan bibir, mengayunkan tinju ke arahnya, namun pukulan ini bahkan lebih lemah dari tekanan saat pijat. Setelah mengeringkan tubuhnya, Jiaming mengancingkan kemejanya, lalu mengambil celana dalam dari sisi dalam ranjang. Kedua tangannya menyusup ke balik selimut, disusul gemerisik aktivitas. Yahan berbisik lirih: "Terbalik!"
"Hah... Kenapa tidak bilang dari tadi……"
"Kalau tidak kupasang bagaimana aku bisa merasakannya... Kau sengaja!" Tuduhnya sambil wajah memerah.
"Sengaja apanya? Dasar mesum! Kau melarangku menyalakan lampu, tapi memaksaku membantu memakaikan. Andai kubawa celana ini sambil mengamati lama-lama, pasti kau tuduh aku penyimpang."
"Bukankah kau memang... Ah— bukan bukan! Kakak Jiaming..." Tangannya berusaha menarik celana dalam yang terbalik, namun Yahan yang sensitif langsung mengerutkan tubuh. Kedua tangannya melindungi area selangkangan yang tiba-tiba terbuka, lalu cepat-cepat menyerah. Jiaming tersenyum kesal: "Baiklah, pakai sendiri."
"Aku malas bergerak……"
"Kalau begitu biarkan saja begini."
"Boleh saja. Nanti saat Lingjing pulang sekolah mencarimu, biar dia lihat aku berbaring di ranjangmu tanpa celana dalam. Lihat bagaimana kau jelaskan padanya... Akan kukatakan ada mesum yang menggodaku sepanjang siang sampai habis tenaga lalu membuangku di sini. Siapa pelakunya... Aku tidak tahu. Tenang, aku pasti teguh sampai mati, takkan sebut namamu."
"Dasar... Perempuan mesum……"
“Selimutlagi ada suara gemerisik, kemudian Jiaming mengambil gaun di atas meja, juga menyelipkannya ke dalam selimut. Setelah segalanya rapi, dia merapikan selimut Yahan: "Baiklah, tidurlah."
“Hmm.”
Bercumbu tetap bercumbu, setelah urusan seksual tubuh Yahan kelelahan, dia memang suka tidur. Kali ini dia mengangguk patuh seperti gadis kecil, memandang Jiaming membawa baskom kembali ke kamar mandi, disusul suara menuang air dan dengungan lagu pelan Jiaming. Suara musik dari ruang altar, suara bersujud menyembah, serta keributan orang-orang yang berjudi atau mengobrol juga samar-samar terdengar. Ruang yang tak besar, ditambah kegelapan setelah tirai ditutup, membuat pandangan tak bisa menjangkau banyak hal. Faktanya seluruh kamar memang tidak terlalu luas, tapi ini adalah kamar Jiaming - meja kursi, buku-buku yang bertumpuk di sudut, cahaya lampu kuning hangat dari kamar mandi, bersama selimut tipis yang ditimpa tubuhnya, semuanya membuatnya merasa penuh kehangatan.
“……Perasaan kuminati dan kehangatan seolah meresap ke dalam darah, mengalir ke setiap sudut tubuh, membawa kedamaian dan ketenangan yang tak terbayangkan dalam hati. Pengalaman pertama melakukan hal paling intim di kamar Jiaming, pertama kalinya benar-benar merasakan ranjang milik 'dia'—sebelumnya dia juga pernah tidur di ranjang Jiaming ini, bahkan bermimpi basah, tapi saat itu Jiaming belum menjadi miliknya, tentu berbeda—seolah mereka sudah menjadi suami istri sejati, merasakan kehangatan saat dia menemaninya tidur di kamar tidur mereka sendiri. Bagi sang gadis, ini memiliki makna yang sangat luar biasa.
Dengan kedekatannya pada Jiaming saat ini, dia paham betul bahwa Jiaming tidak menganggap tempat ini sebagai rumah yang penting. Bersama Lingjing dan Shasha, mereka memiliki dunia yang dibangun bersama, juga apartemen kecil warisan orang tua sebagai basis rahasia. Namun bagaimanapun, kamar sederhana ini benar-benar menjadi pembawa masa kanak-kanaknya. Seorang pemuda yang telah memiliki hubungan sedekat ini dengannya, tumbuh besar di dalam ruangan ini. Meski pertumbuhannya tak hanya terbatas pada rumah ini, saat ini dia seolah bisa merasakan aura keberadaan Jiaming yang menyelubunginya layaknya cairan, menyentuh setiap inci tubuhnya tanpa terlewat.
“……Aa po tao shu...aa wang shang pa...” Bersenandung lembur, Jiaming mengibaskan noda air di tangannya sambil keluar dari kamar mandi kecil. Matanya yang masih berbinar memandangnya penuh arti, membuatnya tertegun: “Kenapa belum tidur?”
“Tidur.” Yahan berkata pelan, namun tak ada niatan menutup mata. Jiaming mengangkat bahu, duduk di depan meja belajar bersiap membaca komik, kemudian menoleh ke Yahan: “Aku buka jendela ya?”
“Jangan, ada cahaya aku tidak bisa tidur.” Yahan menjawab.
“Kalau... baiklah...”
“Nyalakan saja lampu meja, nyalakan lampu meja tidak apa.”
“Hah?” Jiaming meliriknya, dalam hati berpikir nyalakan lampu meja kan sama saja, tapi akhirnya tak berkata apa-apa, memutar kenop lampu meja kecil di atas meja. Cahaya kuning keemasan tumpah ke bawah, menerangi area sekitar meja belajar sebagai pusatnya. Yahan merasakan pancaran lampu meja itu, di ruangan dengan tirai tertutup rapat yang memang sudah beraura malam, setelah lampu dinyalakan semakin memperkuat kesan datangnya malam. Yahan berbaring miring, memandangi Jiaming yang sedang membalik halaman komik. Dalam hatinya terasa seolah mereka benar-benar berada di kamar milik mereka sendiri, di malam yang hanya milik berdua. Dia tidur di sebelahnya, sementara pria itu menyalakan lampu kepala ranjang sambil membaca buku, menanti waktu istirahat tiba.
Tanpa disadari, dia merasa biji matanya mulai basah. Satu tetes air mata mengalir pelan di balik bayangan, menyusuri sudut mata. Tapi di dalam hatinya, hanya ada kehangatan dan kedamaian yang mengisi relung jiwa.
Sudah lebih dari empat bulan bersama Jiaming, di depan siapapun dia bisa mengakui dengan jujur, ini adalah periode paling bahagia dalam hidupnya. Namun berbeda dengan Lingjing dan Shasha, dia adalah seorang dewasa. Meski selalu bersikap kekanakan di depan Jiaming, dia telah menerima kursus kepemimpinan paling formal. Di kampus, dia bisa ikut campur dalam banyak urusan. Walau tidak mengelola perusahaan keluarga, dia mampu menjaga hubungan dengan para tokoh ekonomi-politik Jianghai yang menguasai kekayaan miliaran sambil secara paralel menggalang dana sponsor untuk Akademi Shengxin dengan kecakapan luar biasa. Dia punya kemampuan, tanggung jawab, dan jiwa pemimpin. Sebagai orang dewasa, hal terpenting adalah dia tak bisa menghindari pertimbangan tentang masa depan.
Lalu, seperti apakah masa depannya, atau lebih tepatnya masa depan mereka?
Dia menyukai Jiaming, ini sudah pasti. Bahkan jika bicara tentang cinta, dia yakin perasaannya tulus. Saat di Amerika, seperti pecandu narkoba yang memilih mengabaikan masa depan, dia terlibat hubungan dengan Jiaming. Namun ketika gejolak awal mulai mereda, tentu saja dia tersadar: dia telah merebut pria yang menjadi milik Lingjing dan Shasha. Yang terpenting, mustahil bagi Jiaming untuk berpisah dari kedua gadis itu – ini sudah kepastian.
Dia berpikir seperti ini, di dalam hatinya tentu saja tidak ada niat untuk memisahkan mereka. Bahkan terhadap Lingjing dan Shasha, dia selalu memiliki perasaan bersalah yang samar. Selama lebih dari empat bulan ini, kesempatannya untuk benar-benar berduaan dengan Jiaming sangat sedikit. Namun jika ada kesempatan seperti itu, dia bahkan akan memilih untuk mengajak Lingjing dan Shasha bermain bersama berempat. Hanya ketika kedua perempuan lain itu sibuk, barulah dia dengan tenang menguasai Jiaming. Tapi hal seperti ini mungkin pada suatu saat akan berakhir. Lingjing akan dewasa, Shasha akan dewasa, Jiaming juga sudah besar. Bagaimana ketika dia harus memilih seorang wanita untuk dinikahi? Saat mereka semua memasuki masyarakat yang kompleks, mungkinkah hubungan seperti ini tetap terjaga? Apalagi... jika Lingjing dan Shasha mengetahuinya...
Batas antara Tuan dan anak, tidak lain adalah apakah mempertimbangkan masa depan. Seseorang yang mengabaikan masa depan sama sekali tidak bisa disebut matang. Namun setiap kali pikiran seperti itu muncul tanpa disengaja, dia lebih memilih untuk tetap memiliki kenaifan yang polos. Justru karena perasaan gamang inilah, dia menjadi sangat menghargai setiap kebahagiaan dan kepuasan saat ini, sekaligus membuatnya semakin lengket di depan Jiaming, seperti anak kecil yang haus akan segala keintiman. Selama bersama Jiaming, segala hal yang dulu dianggap memalukan bisa dia lakukan. Dia memanggilnya Kakak Jiaming, sengaja melawannya, lalu merengek-rengek minta ampun saat hukuman datang. Setelah berhubungan intim, sebenarnya dia belum tentu benar-benar tidak bisa bergerak, tapi dia lebih memilih seperti ini - membiarkan Jiaming membersihkan area intimnya, memandikannya, memakaikan baju, bahkan saat ingin ke toilet sebelum tidur pun dia bisa minta digendong Jiaming pergi dan pulang. Layaknya bayi, dia membiarkan Jiaming melakukan segalanya untuknya, merasakan keintiman yang bahkan pacaran biasa belum tentu memiliki dengan keserakahan.
Jika dikatakan mentalnya agak mesum, dia pun akan mengaku dengan sikap defensif. Setiap kali memikirkan kemungkinan perpisahan di masa depan, rasa takut dan kekosongan di hatinya menjadi tak tertahankan.
Sambil membaca komik, Jiaming sesekali meliriknya. Biasanya Yahan langsung tertidur begitu kepala menyentuh bantal saat kelelahan, hari ini tampaknya lebih letih lagi, tapi mengapa matanya masih bergerak-gerak tak mau terpejam. Beberapa saat kemudian, mungkin menyadari sesuatu, ia menunduk membaca buku tak lagi memandangi Yahan. Lalu, suara nyanyian perlahan mulai terdengar dalam kamar.
Hanya nyanyian sederhana yang tulus, tanpa iringan musik, juga tidak dinyanyikan dengan serius. Yahan berbaring di ranjang, matanya terpejam, awalnya mendengun pelan dan perlahan, lalu perlahan muncul lirik. Suaranya tidak melengking, biasanya datar dan lembut, kali ini terdengar lelah, suaranya lembut nan halus.
"Saat kau menatapku...
Aku belum membuka mulut tapi kau sudah menebak,
Cinta ini tak kumiliki kendali penuh,
Atau mungkin tak memenuhi syaratmu..."
Dengungannya diselingi lirik, kadang beralih ke desahan hidung pelan, itu melodi lagu "Pertama Kali" karya Michael Wong, sambil bernyanyi kepalanya bergoyang pelan di atas bantal.
"Oh~ Saat pertama kukatakan mencintaimu,
Napas tersengal jantungku terus bergetar,
Oh~ pengalaman pertama aku menggandeng kedua tanganmu,
meletakkannya pelan-pelan tak tahu harus ke mana melangkah,
itulah alasan kita saling mencintai,
itulah yang kita pertahankan MATI-matian......”
"Suara rendah bergetar, Yahan di atas bantal sambil menyanyi, sambil tersenyum dengan rasa puas diri. Bakat menyanyinya sebenarnya tidak terlalu bagus. Lagu ini seharusnya baru akan diciptakan pada tahun 2001. Alasan dia tahu, tentu saja karena kelicikan Jiaming yang menjiplak. Hanya saja tidak diberikan ke penyanyi untuk dirilis sebagai album. Dia pernah mendengar Jiaming bersenandung beberapa kali, tapi tidak terlalu hapal. Kadang fals, kadang lupa lirik, lalu mengulur suara dengan "hmm-hmm la-la" sambil melanjutkan. Namun suara itu bergema di dalam kamar kecil, mengalir murni bagai air, seperti setiap gadis yang sedang jatuh cinta..."
"Ah～，
Ingin sadar tapi pusing menyerang，
Oh～，
Dua puluh empat jam tak berpisah，
Itulah～～～～"
Dalam keheningan, di bawah cahaya lampu meja, Jiaming mendengarkan nyanyian wanita di sampingnya. Suara yang memang tidak keras itu, ketika memasuki verse kedua, perlahan mulai melemah. Dalam desahan, berubah menjadi suara napas yang teratur. Melihat jam tangan, kira-kira sudah pukul empat. Setelah menyelesaikan halaman terakhir komik, dia duduk di tepi ranjang. Kepala Yahan sedikit miring ke dalam, satu tangan terjulur keluar dari selimut. Pipi cantiknya memancarkan semburat pink sehat. Saat tangan Jiaming membelainya, terasa seperti mengusap giok halus yang lembut.
Telinga, dahi, mata, hidung, bibir…… Tangannya dengan lembut mengelus, Yahan mengeluarkan suara "umm", tangan naik ke atas, namun malah menggenggam telapak tangan Jiaming dan menempelkannya di pipi. Jiaming tersenyum, di saat yang sama, langkah kaki terdengar di luar pintu, berhenti di depan kamar.
Ada dua orang, jelas datang mencari dirinya. Jiaming menarik tangannya, mematikan lampu meja, menyemprotkan penyegar udara ke sudut kamar, lalu membuka tirai separuh jalan agar cahaya masuk. Kedua orang itu sepertinya sedang berdiskusi siapa yang akan mengetuk, tetapi setelah belasan detik, suara "tok-tok-tok" akhirnya terdengar: "Jiaming!"
"Ada apa?" Membuka pintu kamar sedikit, Jiaming melihat dua kerabat yang seharusnya dipanggil sepupu di luar, namun dalam seketika hatinya sudah paham. Kedua orang ini biasanya dekat dengan si Huang Jianpeng, pasti terlibat dalam taruhan kali ini... Jiaming yang selalu penyendiri di rumah, sejak kecil ditindas, membesar dengan hanya diacuhkan oleh orang-orang macam ini, tak pernah punya hubungan dekat. Melihat ekspresi datarnya, kedua sepupu itu saling pandang, postur tubuh mereka lebih tinggi dari Jiaming, kemudian dengan sikap defensif berkata:
"Orang Jepang itu temanmu? Kau berteman dengan sembarang orang? Itu kan orang Jepang! Dia curang di meja taruhan kami, kau bilang gimana?"
## Bagian Dua Ratus Sembilan Puluh Delapan Wanita Aaaaa
"Teman Jepangmu itu curang di meja taruhan kami, kau bilang gimana……"
“Bertiga berdiri di pintu, berbicara dengan kata-kata keras. Jiaming menoleh melihat Yahan yang tertidur di ranjang, kemudian mengusap dahinya dengan kekecewaan.”
“Eh… Kalian sudah kalah begitu cepat?”
“Kau bicara apa!”
“Gu Jiaming, maksudmu apa!”
“Kira-kira perkataan Jiaming itu benar-benar menyentuh titik kelemahan mereka. Reaksi mereka seketika itu memang berlebihan—satu orang langsung menudingkan jarinya, sementara yang lain sepertinya hendak menangkap atau mendorong Jiaming. Meski orang seperti Jiaming biasanya tak mudah diganggu, bukan berarti orang takut padanya. Di keluarga Huang, mungkin lebih karena menganggapnya membosankan dan malas berurusan.”
“Alis Jiaming berkerut. Didorong tak masalah, tapi jika pintu terbuka lebih lebar, mereka pasti akan melihat Yahan di ranjang. Meski hubungan kakak-beradik mereka ‘terang benderang’, tetap tak baik dilihat orang asing. Dia mundur, pintu terkunci prak di depan mereka.”
“Hal begini perlu dibahas? Menurut aturan, siapa yang ribuan, seret keluar dan pukulinya...”
“Pintu kamar dipukuli beberapa kali. Teriakan dari luar: ‘Gu Jiaming, kau ingat baik-baik!’ Seandainya mereka masih 11-12 tahun, mungkin sudah menghancurkan pintu. Tapi sekarang sudah dewasa, perkelahian tak mudah meletus. Mendengar langkah kaki menjauh, Jiaming menggelengkan kepala.”
Jika Tenku Masaoka benar-benar mau melakukan , mana mungkin ketahuan oleh para pemula ini. Kemungkinan besar mereka melihatnya sebagai orang asing tanpa latar belakang, lalu mencari alasan untuk mengemplang setelah kalah uang. Jika mereka benar-benar ingin menyeret Tenku Masaoka keluar untuk memukulinya, baru perlu dilihat - tapi siapa yang akhirnya akan dihajar masih jadi pertanyaan. Duduk di tepi ranjang, tangannya sudah hendak mengambil komik baru lainnya tapi tiba-tiba ragu-ragu.
Ada yang janggal. Meski orang-orang ini suka menipu untuk menang uang, tapi seharusnya tidak sampai sekelas ini. Keluarga Huang meski sedang bermasalah, tetap keluarga besar. Para pemuda baru dewasa ini masih bisa mengeluarkan ribuan keping atau 10.000 keping. Kemampuan judi Tenku Masaoka jauh di atas manusia biasa. Jika melihat menang-kalah saja, preman seperti Huang Jianpeng seharusnya sudah tahu level lawannya setelah kalah. Orang ini meski reputasinya buruk dan diketahui suka curang, tapi jika selalu menjelek-jelekkan orang lain setiap kalah, mana mungkin bisa tetap buka meja judi. Jadi tuduhan tergesa-gesa ini pasti ada urusan lain...
Setelah merenung sejenak, dia menarik selimut untuk Yahan yang masih tertidur di ranjang, menutup tirai, lalu membuka pintu dan menuju ruang tamu untuk menyaksikan keributan.
Villa keluarga Huang sangat besar, ruang tamu di gedung utama pun tidak hanya satu. Di hari penyelenggaraan pemakaman ini, salah satunya dijadikan ruang istirahat dan hiburan bagi para pemuda yang berkumpul. Sekumpulan remaja pria-wanita berdiri atau duduk di dalamnya, bercanda dan berlebihan dengan riang. Mayoritas yang berkumpul di sini adalah anak muda di bawah 30 tahun yang memiliki hubungan erat dengan keluarga Huang, sehingga suasana tidak muram dan tertekan seperti di tempat lain. Saat ini sebagian wajah mereka terlihat serius, sebagian misterius, ada yang berbinar-binar berbicara penuh semangat, menciptakan keriuhan yang gaduh.
Meski kebanyakan dari mereka terbiasa hidup manja sebagai anak orang kaya sehari-hari, namun dibandingkan generasi lain mereka masih memiliki ambisi tertentu. Terbiasa hidup mulus, mereka belum banyak tergerus realita. Menghadapi musibah yang menimpa keluarga Huang ini, mereka pun mengerahkan imajinasi masing-masing, mendiskusikan rencana demi rencana untuk menyelamatkan keluarga Huang dari konflik api-air dan menopang gedung yang hampir roboh. Sementara yang sudah merasakan kerasnya masyarakat, dengan lebih realistis menyerukan semua orang untuk bersatu membuktikan bahwa meski Huang Bingxiang telah jatuh, masa depan keluarga Huang tetap penuh harapan di tangan mereka.
Satu dua orang berbicara dengan penuh semangat, meskipun sebagian besar hanya omong kosong, namun suasana tetap cukup baik. Dalam atmosfer seperti inilah, dua remaja perempuan berusia 17-18 tahun dengan wajah penuh kejutan berlari masuk dari pintu, berbicara sesuatu pada kawan mereka. Ketika Jiaming tiba, yang terlihat adalah para remaja pria dan wanita bergegas dari pintu sebelah menuju rumput hijau dekat ruang duka, entah ada tokoh penting apa yang membuat mereka begitu tertarik.
Seketika, ruang tamu yang sebelumnya ramai tiba-tiba menjadi setengah kosong. Jiaming dengan mudah melihat di sudut ruangan dekat meja panjang, dua sepupunya yang sebelumnya memanggilnya bersama Huang Jianpeng sedang bertengkar sengit dengan beberapa orang. Tenku Masaoka yang mengenakan setelan olahraga putih duduk dengan wajah kecewa, sementara di sampingnya berdiri dua sepupu dari keluarga Huang yang jarang terlihat - seorang dewasa dan remaja, mengetuk meja sambil berhadapan dengan Huang Jianpeng.
Biasanya Jiaming jarang tinggal di villa ini. Dia hanya bertemu mereka sekali-sekali dalam acara keluarga. Meski tahu kedua wanita ini adalah sepupunya, Jiaming bahkan tak pernah menyapa. Namun berkat kemampuan memori fotografisnya, dia tahu: wanita lebih muda berbaju hitam itu bernama Huang Feifei, mahasiswi di kota tetangga. Yang berusia 25-26 tahun dengan gaya karyawan kantoran adalah Huang Ruoxin, saat ini menjabat sebagai Kepala Divisi Keuangan di salah satu cabang perusahaan Grup Huang.
Meskipun jumlah orang di ruang tamu telah berkurang hampir setengah, keramaian di area ini masih menarik banyak penonton. Dari situasi yang terlihat, kemungkinan dua MM bersama Tenku Masaoka berdebat melawan Huang Jianpeng dan enam pria lainnya. Namun Tenku Masaoka saat ini sedang asyik memotong kuku dengan bosan, tanpa banyak bicara, sehingga situasinya berubah menjadi dua lawan tujuh. Tapi dalam hal bertengkar di situasi dimana mustahil melakukan kekerasan fisik, perempuan memang selalu memiliki keunggulan. Huang Feifei yang sehari-hari tidak dikenal sebagai pribadi yang suka mengganggu, kali ini justru melotot marah ke arah Huang Jianpeng. Sementara Huang Ruoxin tetap menjaga senyum dinginnya, dengan tenang menghadapi teriakan-teriakan keras dari Huang Jianpeng dan kawan-kawannya.
“……Huang Ruoxin yang sudah lama bekerja, kemampuannya diakui, dan memimpin sekelompok orang. Penampilannya sebagai wanita kantoran dengan stoking kaki indah, sepatu hak tinggi, dan anting-anting saat ini mirip dengan Yahan yang biasa bergaul di luar. Namun dia berasal dari cabang samping keluarga Huang, melalui perjuangan dan kerja keras baru diakui keluarga. Aura dingin dan angkuhnya terasa tajam seperti duri es, berbeda dengan Yahan yang mendapat pendidikan bangsawan formal. Meski Yahan juga memberi kesan angkuh dan sulit didekati, kesan jaraknya justru tenang dan harmonis. Seringkali hanya dengan senyuman atau kerutan alis bisa membuat orang merasakan presisi yang dijaganya, tanpa menyakiti berlebihan. Namun, kedinginan tajam Huang Ruoxin ini justru berhasil menekan semangat Huang Jianpeng dkk. dengan kuat, menampilkan sikap seperti sedang bernegosiasi. Wanita itu berbicara dengan tempo terkendali sambil jari-jari ramping tangan kirinya mengetuk meja dengan elegan dan tenang, memberi tekanan psikologis pada lawan.
“……Omongan tidak logis, tidak bisa menunjukkan bukti. Huang Jianpeng, semua keluarga tahu kamulah yang biasa main ribu! Tamu dari jauh datang, kau menjelek-jelekkan orang tanpa logika dan bukti. Di hari seperti ini, aku benar-benar tidak ingin menghujat. Lebih baik kau juga belajar lebih sopan!”
“Apa... Apa maksud tidak logis? Kalau aku main ribu, mana mungkin aku kalah dari dia? Sebelas babak berturut-turut, setiap kali tepat mencegat kartuku! Ada kebetulan seperti ini?”
“Huang Jianpeng, aku beritahu kamu, waktu aku main kartu di Macau, pernah lihat taruhan yang buka besar 50 kali berturut-turut. Kalau mau bilang orang main ribu, lebih baik tunjukkan bukti. Kalau nggak sanggup kalah, jangan khawatir, kita kan satu keluarga. Kakak di sini punya uang, mau aku tanda tangani cek untukmu?”
“Huang Ruoxin kau...”
Kata-kata Huang Ruoxin tajam menusuk, langsung menempatkan Huang Jianpeng pada posisi tidak punya kemampuan dan hidup bergantung pada wanita. Karena lawannya wanita, ditambah Huang Ruoxin punya posisi tertentu di keluarga, tidak bisa dihujat sembarangan atau dipukul. Pria di seberang itu wajahnya langsung memerah, terus mengulang-ulang kalimat seperti "sudah mencegatku sebelas kali, jelas-jelas ribu, sengaja..." Enam tujuh orang ikut menyemangati, tapi malah kalah argumen. Sekelompok orang yang melihat jadi merendahkan. Tapi, pertama kali yang diperhatikan Jiaming adalah cincin perak di jari telunjuk kiri Huang Ruoxin, yang bergoyang-goyang di atas meja seiring ketukan jarinya.
Konvensi internasional, makna cincin di jari telunjuk biasanya hanya satu: menanti cinta sejati.
Berdiri di pintu sambil tersenyum paham. Menyadari kedatangan Jiaming, Tenku Masaoka sengaja atau tidak menganggukkan kepala, pandangannya melirik ke belakang. Saat pertengkaran mulai agak mereda, dia berdiri sambil tersenyum: "Sudahlah, ini cuma salah paham, main-main saja, ngapain serius. Kalau Saudara Huang merasa tidak adil, 20.000 yuan ini boleh diambil kembali, anggap saja ini tidak pernah terjadi..."
“Aku tidak mau uangmu!” Huang Jianpeng protes keras. Huang Ruoxin yang sudah setengah hari bertengkar dengan Jianpeng, melihat pria di sampingnya berbalik mendukung, ikut berkomentar: “Kamu tidak perlu menjaga muka dia.” Huang Feifei menyambut dari samping. Tenku Masaoka tersenyum mengucapkan basa-basi, sudah menunjukkan sikap “sudah cukup begini”, menarik kursi, baru hendak pergi ketika Jiaming sudah mendekat, jarinya menunjuknya dua kali, menyeringai merendahkan: “Orang Jepang... main kecurangan.”
“Ada pendapat?”
Tenku Masaoka tersenyum mengangkat bahu, Jiaming tetap tenang: “Perlu ditanya? Main curang...” Dia mengangkat tangan, wajar saja, “Tentu harus diseret keluar dulu dipukuli, nanti ketemu sekali K kamu sekali...”
Dialog mereka berdua ini, bagi mereka yang punya identitas rahasia, tentu hanya gurauan belaka, tapi orang lain tak bisa melihat. Sebelum Tenku Masaoka sempat menjawab, Huang Ruoxin di samping mengepalkan meja: “Gu Jiaming, ini bukan urusanmu, buat apa ikut-ikutan! Minggir!” Seketika, dingin bagai es.
Di seberang, Jiaming tertegun mengangkat tangan dengan senyum penasaran, sementara Tenku Masaoka memalingkan pandangan ke kaki kursi bawah tanah di samping, tersenyum menjepit hidungnya dengan jari.
Wanita ya...
## Bagian Dua Ratus Sembilan Puluh Sembilan Selamat Tinggal Fang Yusi
“Gu Jiaming, ini bukan urusanmu, buat apa ikut-ikutan! Minggir!”
Huang Ruoxin memandangi Jiaming yang tiba-tiba muncul dengan dingin. Beberapa saat kemudian baru menyadari ada yang tidak beres, karena Huang Haoxin yang bertugas membagikan kartu di sebelian Huang Jianpeng sudah mulai berbicara tegas melihat sikap Jiaming: "Jiaming, kau sudah tahu konsekuensinya. Teman yang kau ajak ini, bagaimana tanggung jawabmu!" Dia yang selalu menjadi sekutu dekat Huang Jianpeng ini biasanya tidak pandai bicara. Melihat Huang Ruoxin bersikap dominan, awalnya ragu-ragu, tapi kini justru menjadi yang pertama angkat bicara dengan penuh kemenangan.
"Masih perlu dibahas? Siapa yang nakal langsung digebukin!" Melihat pandangan tajam sepupu Ruoxin tertuju padanya, Jiaming berpura-pura tak bersalah lalu menunjuk Tenku Masaoka, "Jangan gitu dong, Kak Ruoxin. Biar dia sendiri yang jelaskan. Menyabot 13 babak berturut-turut, kalau tidak bermasalah namanya bukan hantu..."
"Heh..." Tenku Masaoka menggelengkan kepala, mengangkat tangan sambil tersenyum, "Aku... harus mengakui, 13 babak terakhir ini memang menggunakan trik ribuan..."
"Kamu..." Huang Ruoxin awalnya masih ingin melanjutkan, tapi tertegun melihat pengakuan jujur Tenku Masaoka. Pikirannya mendadak kosong. Dari sisi Huang Jianpeng langsung terdengar teriakan: "Liat kan...""Masih mau ngomong apa lagi..."
Jiaming mendekati meja seolah mendukung, mengangguk ke arah Huang Jianpeng: "Makanya, jelas-jelas ini salahmu..." Ia mengambil sebuah kartu dan membalikkannya, mengusap permukaannya dengan jari, "...Kak Haoxin."
"Lagi ngomong apaan sih, Gu Jiaming..."
“Ribuan kali kau curang, Kakak Haoxin. Lilin rambut di kepalamu itu tolong dicuci dulu. Sekarang kau hitung, mana ada kartu remi di sini yang tidak ada bekas lilinnya? Aku rela pakai margamu. Teknik curang begini bahkan di TV sudah dijadikan pengetahuan umum, setuju...” Dengan sentakan, seluruh set kartu remi berhamburan di meja. Huang Jianpeng mundur dua langkah, beberapa lembar kartu berjatuhan di depannya.
Dengan gerakan tangan malas, Jiaming juga enggan berdebat dengan orang-orang yang sudah kehabisan kata ini. Sebelumnya, Tenku Masaoka tidak membongkar triknya hanya untuk menjaga muka. Pada dasarnya, hal semacam ini bagi mereka berdua bahkan tidak layak disebut lelucon. Pria Jepang itu mengangkat tangan dengan senyum khasnya yang ramah lalu berbalik pergi. Ekspresi Jiaming lesu: “Hebat sekali, baru datang sudah bisa menggoda dua sepupuku... Kau tidak takut dibunuh Yui?”
“Ini soal aura dan pesona, aku juga tidak bermaksud... Lagipua pria Jepang diperbolehkan lebih terbuka saat di luar negeri...”
“Lóngtáng Yui di rumahmu juga mengizinkan?”
“Eh... Ini...”
Keduanya berjalan berdampingan dengan suara bisikan nyaris tak terdengar. Orang di sekitar tidak menyadari percakapan mereka. Namun Huang Ruoxin dari belakang tiba-tiba menyusul dan menyodorkan tangan dengan percaya diri ke Tenku Masaoka: “Hai. Namaku Huang Ruoxin.”
“Bukan berarti Huang Ruoxin adalah gila cowok, siapa pun yang mengenalnya tahu si cantik dari keluarga Huang ini selalu bersikap tertutup, mengejar kesempurnaan, dan punya syarat tinggi untuk pria. Pernah menjalin hubungan dengan beberapa pria berkualitas, tapi semuanya gagal sebelum tiga bulan. Kali ini membela Tenku Masaoka, di satu sisi mungkin karena tingkah Huang Jianpeng dkk benar-benar membuatnya jengkel, di sisi lain, aura Tenku Masaoka pasti punya Daya Hancur tersendiri baginya. Kita semua dewasa, lagipula dia selalu agresif dalam pekerjaan dan masa depan, sekarang menghadapi lawan jenis berkualitas, sekadar menyapa pun terlihat anggun, bersih dan rapi. Jiaming justru pertama kali tersenyum: "Hai, Kak Ruoxin."”
“Halo, tadi benar-benar terima kasih, aku Tenku Masaoka.”
“Benar orang Jepang? Tapi bahasa Mandarinmu sepertinya lebih baik dari orang Tiongkok...” Melepaskan tangan, Huang Ruoxin tersenyum sambil mengerutkan alis, “Tentu saja, permainan kartumu juga hebat.”
“Aku sangat kagum dengan budaya Tiongkok, jadi belajar dengan giat.”
“Tapi bahasa bukan sesuatu yang bisa dikuasai sempurna hanya dengan belajar, bukan?”
“Oh, karena hobi, aku sering ke Tiongkok. Apakah nona Huang tertarik dengan anime? Soalnya aku promotor dan koneksi Komunitas Penggemar Anime Ghibli di Tiongkok...”
“Ani...me?”
Karena sudah mulai mengobrol, ketiganya pun duduk di kursi di bawah jendela. Setelah mendengar penjelasan Tenku Masaoka, Huang Ruoxin mengedipkan matanya dengan ekspresi terkejut: "Eh, itu... aku juga tertarik sih, cuma..." Tertarik? Mana mungkin! Sejak kecil pikirannya selalu fokus pada usaha keras, pengetahuan tentang anime masih sebatas "itu untuk anak kecil". Setelah jeda sejenak, Huang Ruoxin mengalihkan topik: "Kalau boleh tahu, pekerjaan utama Tuan Tenku adalah..."
"Oh, untuk sementara aku belum menemukan pekerjaan tetap yang kusukai. Kadang kerja paruh waktu di supermarket, bantu-bantu di minimarket teman, atau saat musim ramai di beberapa restoran. Sebenarnya sesekali aku juga membantu di Ai no Miya Tokyo..."
"Ai no Miya?"
"Eh... itu tempat hiburan eksklusif kelas atas yang khusus melayani perempuan dari kalangan elite..."
“……”
Dengan ramah dan terampil menghadapi pertanyaan Huang Ruoxin, terlihat senyum di wajah perempuan itu mulai terasa dipaksakan. Jiaming di sampingnya menggelengkan kepala dengan kekecewaan. Bisa dibayangkan, di bawah bimbingan Ryuudou Yui, Tenku Masaoka bukan kali pertama melakukan hal yang merusak hati perempuan ini. Sebagai pewaris kedua konglomerat Kawasaki, sang kakak telah mengambil alih urusan bisnis keluarga. Posisinya di Takamagahara cukup tinggi namun tidak masuk dalam lapisan pengambil keputusan, sehingga selalu bebas. Saat bosan, ia melakukan eksperimen di lembaga penelitian kekuatan supernatural atau membedah beberapa mayat sesuai keahlian biologinya - tentu tanpa gajian. Lebih sering ia membantu pacarnya yang kerja paruh waktu di klub malam, atau menikmati kehidupan sederhana bersama teman. Dengan retorika menghindari inti masalah, dalam lima menit ia berubah dari pemuda sopan pencinta budaya Tiongkok menjadi host klub malam top.
Setelah berbincang-bincang, senyum di wajah Huang Ruoxin semakin terlihat canggung. Dia bukan orang bodoh, tentu juga bisa merasakan bahwa banyak jawaban Tenku Masaoka hanya sekadar bercanda untuk menghindari topik. Karena Jiaming adalah teman Tenku Masaoka, banyak percakapan tentu tak bisa lepas dari perannya sebagai perantara. Setiap kali topik menyangkut dirinya, Jiaming juga asal ngawur membahas hal-hal seperti anime, sambil memandang ke arah Huang Jianpeng dan lainnya yang sedang berbicara dengan Paman Kelima Huang Bingwen tak jauh dari sana, sesekali menunjuk ke arah Jiaming. Teknik curang kekanak-kanakan mereka baru saja dibongkar Jiaming, mungkin sekarang mereka sedang menyebarkan fitnah lagi.
Benar saja, tak lama kemudian Huang Bingwen menghampiri dengan wajah muram.
"Jiaming, katanya kau menghadiri jamuan ulang tahun Keluarga Zhang kemarin lusa, ya?"
Sebagai adik bungsu Huang Bingxiang, Huang Bingwen tahun ini belum genap 40 tahun. Sebelum Huang Bingxiang jatuh, dia dikenal sebagai salah satu berlian lajang di Jianghai. Sesekali merayu selebriti kelas dua, bergaul dengan teman-teman brengsek, menikmati hidup bahagia ala "ada urusan disuruh sekretaris, tidak ada urusan menyetubuhi sekretaris". Namun sejak Huang Bingxiang tumbang dua bulan terakhir, dia jelas mulai merasakan krisis dan berusaha lebih sopan sambil sibuk mengurusi keluarga. Ekspresi muramnya sekarang menunjukkan pasti ada masalah lagi di perusahaan. Sebelum Jiaming sempat mengangguk, justru Huang Ruoxin di sampingnya yang bertanya: "Paman Kelima, ada apa?"
Huang Bingwen tidak menjawab, menatap Jiaming sambil menghela napas: "Kau di jamuan itu, berkonflik dengan Putra kedua keluarga Lei dari Grup Leiming, Lei Qing?"
"Konflik? Aku tidak mengerti……"
Jiaming tersenyum, Huang Jianpeng menghampiri dari kejauhan: "Jangan pura-pura tidak tahu. Kau sudah beberapa kali menyamar sebagai pacar Dongfang Wan. Lei Qing sedang mengejar Dongfang Wan, kau dijadikan perisai pembenaran masa tidak tahu? Kau terlalu ceroboh. Lei Qing bisa bersabar sampai sekarang, itu sudah sangat baik……"
Ekspresi Jiaming tetap tenang: "Ada apa?"
"Kerjasama antara Qinhuang Trade dengan Grup Leiming sudah dirundingkan lebih dari empat bulan, semula dikira ada harapan. Tapi tadi perusahaan menghubungi, Grup Leiming tidak akan mempertimbangkan kerjasama lagi……" Ekspresi Huang Bingwen tidak senang, tapi akhirnya tidak kambuh, "Menurut kabar, ini karena Lei Qing bilang, selama terkait denganmu Jiaming, Lei Ming tidak akan memberikan kemudahan apapun. Aku sempat heran, bagaimana bisa kau terlibat dengan keluarga Lei……"
Aset dasar keluarga Huang berada di bidang produk pangan, yang awalnya tidak banyak bersinggungan dengan bisnis keluarga Lei. Namun di cabang lateral Huang, terdapat banyak perusahaan kecil dengan pondasi tidak stabil yang merambah ke bidang lain. Perusahaan bodong seperti ini belakangan sudah bangkrut lebih dari separuh. Qinhuang Trade awalnya sempat menjalin hubungan dengan keluarga Lei dan memiliki kemungkinan kerjasama tertentu. Dua bulan lalu setelah Huang Bingshang bermasalah, keluarga Lei tidak langsung menghentikan perundingan kerjasama, sehingga keluarga Huang mengira masih ada harapan dan berusaha menyelamatkan perusahaan cabang lateral ini. Meski sejak awal sudah mempersiapkan kemungkinan gagal, namun alasan penolakan kali ini melibatkan Jiaming. Dalam perkataan Huang Bingwen tetap terasa nada menyalahkan yang jelas.
Huang Ruoxin membantu berbicara di samping: "Paman Kelima, Qinhuang Trade memang sejak awal tidak memiliki banyak dasar, termasuk salah satu cabang perusahaan yang sudah dipersiapkan untuk diurungkan. Hal ini..."
"Aku tentu tahu, tapi selama masih ada satu persen kemungkinan, kita harus berusaha. Jika proposal kerjasama ini benar-benar disepakati, Qinhuang Trade akhirnya masih bisa diselamatkan. Bagaimanapun juga ada aset tetap senilai beberapa juta. Sekarang menyelamatkan satu demi satu, tapi..." Huang Bingwen mengayunkan tangannya. Huang Ruoxin tetap termasuk anggota keluarga yang memiliki kemampuan nyata. Melihat dia membantu berbicara untuk Jiaming, dia tidak melanjutkan: "Tapi Jiaming, ke depannya kamu juga harus lebih perhatikan, usahakan jangan sampai bentrok dengan orang seperti Lei Qing..."
"Sepertinya masalahmu juga banyak..." Tenku Masaoka mengangkat alisnya, berkata perlahan.
"Tak ada cara, ini konsekuensi aura dan pesona, selalu jadi incaran kecemburuan. Aku pun tidak menginginkan ini..."
“Lei Qing tidak terlalu dihargai di keluarga Lei. Kali ini bertemu Lei Xiaoyuan, aku bisa memberinya pelajaran untukmu...”
Keluarga Lei adalah salah satu anggota [], namun orang boros kelas kakap seperti Lei Qing tidak mendapat pengakuan di bidang ini. Kunjungan Fang Zhitian ke Jianghai kemungkinan besar akan disusul oleh Lei Xiaoyuan yang pasti bertemu dengan Tenku Masaoka. Jika kita menyelipkan beberapa kata buruk tentang Lei Qing saat itu, bisa dibayangkan dia pasti akan dimarahi ayahnya. Meski percakapan halus mereka tidak terdengar jelas, Huang Bingxiang memperhatikan Tenku Masaoka. Melihat orang asing yang tidak dikenalnya, ia mengulurkan tangan: "Halo, saya Huang Bingxiang, Anda...?"
“Tenku Masaoka, saya dari klub penggemar Ghibli Anime di Tiongkok...” Menyampaikan perkenalan standar. Tanpa minat pada anime, Huang Bingxiang mengangguk datar. Tidak berminat meladeni orang Jepang tanpa latar belakang ini, ia mengucapkan beberapa basa-basi lalu memandang ke luar jendela.
Memandang ke arah aula duka, puluhan orang berjalan megah di hamparan rumput tepi sungai. Di barisan terdepan tampak kepala keluarga Huang saat ini, Huang Bing'an. Di sampingnya, mengejutkan, berdiri Fang Yusi - salah satu aktris paling top dalam negeri. Anggota keluarga Huang lainnya yang tua-muda mengerumuni mereka dengan riuh, bagai bulan dikelilingi bintang yang mengitari kolam renang menuju villa.
“Fang Yusi...” Senyum kejutan samar mengembang di wajah Huang Bingxiang, “Tidak ada kabar kalau dia akan datang hari ini.”
Terakhir kali Fang Yusi datang ke Jianghai, karier hiburnya sedang mengalami penurunan dan masa suram. Namun seiring kesuksesan album terakhirnya, dia telah berhasil merebut kembali hati sebagian besar penggemar dan penonton. Baru saja Huang Ruoxin, Huang Jianpeng dan beberapa orang lain sedang bertengkar. Mereka tak tahu mengapa sekelompok besar orang berbondong-bondong keluar. Saat melihat ternyata yang datang adalah dia, mereka semua memberikan ekspresi kejutan. Bahkan Tenku Masaoka, setelah melirik beberapa kali, bertanya pada Jiaming: "Benarkah itu Fang Yusi?"
“Kau juga penggemarnya?” Jiaming sedikit terkejut. Huang Ruoxin bertanya sambil tersenyum: "Pak Tenmasa juga suka Fang Yusi?"
"Album terakhirnya pernah kudengar, cukup bagus, terutama lagu utamanya..." Tenku Masaoka menatap Jiaming, menambahkan dalam bahasa Jepang dengan senyuman, "Yui sangat terobsesi dengan ini."
Huang Ruoxin tidak mengerti kalimat terakhir dalam bahasa Jepang itu, hanya tersenyum sambil menjelaskan: "Faktanya Nona Fang telah menghubungi kami beberapa hari yang lalu, dalam dua tahun akan menjadi endorser produk keluarga Huang. Tapi kemarin dia masih di Hong Kong, hari ini tiba-tiba terbang ke Jianghai, benar-benar di luar dugaan."
“Hal Fang Yusi menjadi endorser keluarga Huang, sebagian besar orang di kamar ini belum mengetahuinya. Huang Jianpeng untuk sementara juga lupa pertengkaran tadi: “Benarkah? Kak Ruoxin? Fang Yusi mau endorse kita? Bagaimana caranya membujuknya?”
“Yang ini... tidak tahu juga. Pokoknya aku baru dengar kabar ini kemarin. Faktanya Nona Fang yang aktif menghubungi kami. Bahagian periklanan yang bertanggung jawab atas ini pun mulai tidak percaya ini nyata, entah apa alasannya...”
“Fang Yusi sekarang sangat populer, mustahil dia mau meng-endorse kita secara inisiatif. Jangan-jangan dia punya koneksi dengan tokoh pimpinan tinggi? Sebenarnya urusan Paman masih ada peluang?”
Seketika, obrolan ramai terdengar di sekeliling. Karena separuh lebih orang telah pergi sebelumnya, ruang tamu ini kini relatif sepi. Huang Bing'an mengantar Fang Yusi ke sini. Sebagai orangtua keluarga Huang saat ini, tentu dia tak bisa lama menemani selebriti ngobrol di tengah upacara duka. Saat masuk, melihat Huang Bingwen yang dulu gemar merayu artis juga ada di situ, dia memberi isyarat agar sepupunya membantu menerima tamu penting. Sementara Fang Yusi, matanya langsung tertuju pada Jiaming di dekat jendela. Senyum memancar darinya saat menyapa semua orang.
“…Sebenarnya tak perlu repot-repot. Saya sebaya dengan kalian semua, tak perlu sungkan. Biar saya santai ngobrol dan lihat-lihat saja. Paman Huang, kalau sibuk silakan urus keperluan dulu… Panggil saya Yusi saja, jangan terlalu formal dengan sebutan Nona Fang…”
Dengan senyuman itu, rombongan masuk ke ruang tamu. Tanpa disadari, Fang Yusi bergerak ke arah Jiaming. Tak lama, dia sudah berada di dekatnya…
## Bagian Tiga Ratus Kalian Tak Tahu
Di ruang tamu yang riuh, Fang Yusi mengatakan bisa berjalan-jalan sendiri melihat-lihat, tapi sebenarnya tak bisa lepas dari situasi bulan dikelilingi bintang. Baru setelah Huang Bingwen memarahi beberapa kali, sekelompok manusia ini menjadi sedikit lebih sopan, tak lagi mengajukan pertanyaan dengan riuh. Namun mereka tetap berkumpul di sekeliling, berusaha mencari celah untuk meminta tanda tangan dari si cantik atau hal lainnya. Bagi yang membawa kamera dan sejenisnya, sudah dihujani bisikan teman-temannya untuk segera mengambilnya. Bagaimanapun, Fang Yusi mungkin akan tinggal di sini selama beberapa jam, kesempatan berfoto bersama pasti bisa ditemukan.
Dalam situasi seperti ini, Huang Bingwen awalnya menyarankan untuk mengajak Fang Yusi berkeliling di dalam dan luar villa. Sebelumnya menjemput Fang Yusi bisa dianggap sebagai menyambut tamu penting, tapi dengan berjalan-jalan bebas, gerombolan penggemar ini tentu tak bisa terus mengikuti. Ini juga bisa membuat sekitar Fang Yusi sedikit lebih tenang. Namun Fang Yusi berkata baru turun dari pesawat dan agak lelah, lagipula ini acara duka, tak ada alasan untuk berwisata. Ia langsung berhenti di ruang tamu ini, mengobrol dengan dua tiga janda keluarga Huang yang baru dikenalnya tentang hal-hal semasa hidup almarhum, menenangkan beberapa patah kata. Tak lama kemudian ada yang menyajikan teh untuknya.
Memegang teh itu di tengah kerumunan orang, usianya tidak terlalu tua, namun sifat batinnya tampak dewasa. Namun saat ini sikapnya justru sangat santai, tak lama kemudian sudah mengobrol dengan beberapa wanita sebaya di sebelahnya. Meski Huang Bingwen terkenal sebagai playboy, namun keluarga Huang sudah kehilangan gelombang opini publik seperti dulu. Ketika sesekali mencoba menyapa Fang Yusi yang memanggilnya "Paman", dia hanya bisa mengangguk. Seandainya di masa lalu, Huang Bingwen pasti hanya mau menerima sapaan seperti "Kakak" dari wanita cantik manapun.
"Yusi, apa judul album berikutmu..."
"Bisakah kami mendengarkan dulu..."
"Album terakhirmu sangat bagus, aku membeli versi orisinal untuk koleksi."
"Semua postermu telah kukumpulkan."
Dalam riuhnya suara, Fang Yusi tersenyum menjawab satu per satu. Di satu sisi tidak boleh membocorkan rahasia, di sisi lain harus menjawab dengan sopan tanpa mengabaikan siapa pun atau memberi kesan asal-asalan. Meski baru berusia 23 tahun, keahliannya dalam hal ini sudah sangat mumpuni. Sambil berbicara, pandangannya sesekali seolah tak sengaja menembus kerumunan, mengarah ke jendela beberapa meter di kejauhan.
Pemuda yang berdiri di sana sedang berbicara dengan pria berbaju kasual putih. Yang terlihat hanyalah siluet samping yang biasa saja. Namun pria berbaju putih itu tampaknya agak tertarik padanya, sesekali melirik ke arahnya.
"Kurasa dia seperti sedang melihatku."
Huang Ruoxin yang sedang ke kamar mandi, berdiri di dekat jendela. Tenku Masaoka mengangkat alisnya dengan bangga berkata.
"Kenapa bukan melihatku?"
“Tolong, kau kira dia akan tertarik pada bocah lelaki kekanak-kanakan sepertimu yang suka berlagak muda ini?”
“Apa kau kira dirimu secantik alamiah si mesum Mikado Ki itu?”
Tenku Masaoka tertegun: “Kau malah kenal si lolicon mesum itu?”
“Ada sedikit pemahaman.”
“Kupikir kau tahu segalanya tentang Pei Luo Jia, pantas saja mereka selalu mentok setiap berhadapan denganmu...” gumamnya, sementara di kejauhan Huang Ruoxin sedang mendekat. Dia mengangguk, “Aku mau cari tanda tangan Fang Yusi...”
Saat itu sebagian besar orang di sekitar adalah FANS Fang Yusi. Begitu satu orang mulai minta tanda tangan, suasana pasti akan kacau. Sebelumnya ketika sekelompok orang ingin tanda tangan, Huang Bingwen sudah berusaha menghentikan. Tapi Tenku Masaoka bukan anggota keluarga Huang, tiba-tiba maju sendiri. Orang lain tentu tak bisa protes, apalagi... Fang Yusi sendiri tampak sangat antusias padanya. Hanya dengan beberapa kata, gadis itu sudah tertawa terpingkal-pingkal. Ketika Tenku Masaoka menyebut hal tanda tangan, Fang Yusi malah sibuk mencari pulpen tanda tangan dari manajernya, berdiskusi apakah akan menandatangani di dada atau belakang pakaian kasualnya.
"Sejujurnya, penampilan Tenku Masaoka tidak tergolong sangat tampan. Aura rendah hatinya adalah tipe pria yang semakin dirasakan pesonanya seiring waktu. Huang Ruoxin mulai tertarik padanya setelah melihat gaya Tenku Masaoka bermain kartu. Meski dalam percakapan tadi sikapnya terkesan sembrono dan sempat membuatnya kecewa, setelah direnungkan justru membuatnya terasa lebih misterius—tak tertebak. Kini, sepulang dari kamar mandi, menyaksikan Tenku Masaoka dengan mudahnya mengakrabkan diri dengan Fang Yusi, ia mengerutkan kening lalu mendekati Jiaming."
"Hei, temanmu itu sebenarnya siapa sih?"
"Orang Jepang, heh... Sebenarnya aku juga tak terlalu paham latar belakangnya."
"Benarkah kalian kenal di klub penggemar anime?"
"Aku suka baca komik..."
"Jiaming yang selalu menjaga profil rendah di keluarga Huang hampir tak punya eksistensi. Interaksi resmi mereka berdua mungkin baru pertama kali ini. Tapi mengingat statusnya sebagai kerabat, seharusnya ada alasan untuk menjalin keakraban. Huang Ruoxin melirik Jiaming sambil mengerutkan alis: 'Di Jepang, kebanyakan orang terbiasa dengan jam kerja teratur sembilan pagi sampai lima sore. Menurutku aura dia tidak sesuai dengan... uh... gambaran yang dia sebutkan tadi...'"
"Waktu telah menunjukkan pukul empat setengah. Jiaming melihat jam tangannya, menangkap ekspresi serius Huang Ruoxin yang sedang merenung, tak kuasa menahan senyum: 'Aku kurang paham soal itu, Kakak Ruoxin. Tanya langsung saja padanya... Ada urusan harus kuselesaikan, aku pamit dulu.'"
Di sisi ini, Jiaming bersiap untuk pergi. Di sisi lain, Fang Yusi telah menyelesaikan tanda tangan untuk Tenku Masaoka. Beberapa pemuda keluarga Huang di sampingnya mulai menanyakan hal endorse iklan. Setelah dikonfirmasi bahwa dia memang akan menjadi duta produk Huang selama dua tahun ke depan, seseorang mencoba bertanya: "Kak Yusi, kenapa memilih keluarga kami?"
"Tidak juga." Mata Fang Yusi berputar dua kali, melihat Jiaming pergi dari samping. Bayangan punggungnya menembus kerumunan orang, mulai menjauh. "Sebenarnya teman sekelas Jiaming dulu sangat membantu aku. Aku selalu berharap bisa membantu keluarga Huang. Cuma sebelumnya kontrak Huangshi dengan Xiao Man masih berlaku, jadi aku tidak bisa berbuat banyak. Makanya ketika dengar kontraknya habis, aku langsung booking duluan biar tidak ada yang rebut..."
"Teman sekelas Jiaming... itu siapa ya..."
"Tidak mungkin?"
"Jiaming!?"
Dengan kondisi keluarga Huang saat ini, hampir mustahil ada selebriti level satu yang mau menerima endorse ini. Di balik senyum memikat Fang Yusi, kerumunan orang menunjukkan kebingungan dan keterkejutan. Meskipun selama ini low profile, sebagian besar sebenarnya mengenal Jiaming. Hanya saja saat ini mereka benar-benar tidak bisa langsung merespon. Di tengah kerumunan, sosok itu pun perlahan berbalik. Ekspresinya datar, tidak terlihat senang maupun marah.
Suara riuh, perbincangan berdesakan. Ini mungkin pertama kalinya Jiaming mendapat sorotan sebanyak ini di keluarga Huang, namun dia tidak terlihat bahagia. Dengan ekspresi datar, dia menjawab seadanya pertanyaan tentang bantuannya pada Nona Fang. Melihat Tenku Masaoka membuat gestur menghina yang lesu di kerumunan orang, tiba-tiba kepalanya mulai terasa sakit lagi.
Saat pandangannya beralih ke luar jendela, sebuah iring-iringan mobil sedang memasuki pintu gerbang keluarga Huang. Tak lama, Tenku Masaoka juga mengalihkan pandangannya ke sana.
Di sebelah, Fang Yusi terlihat semakin akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Meski tidak bisa mengetahui detail bantuan Jiaming padanya, perasaan "mendapat untung" itu memudar karena keluarganya sendiri juga membantunya. Karena tidak terlalu memanfaatkan pihak lain, tentu semua orang bisa berteman baik. Topik beralih ke kesulitan yang dihadapi keluarga Huang akhir-akhir ini, kasus Huang Bingxiang. Fang Yusi berbicara dengan beberapa anggota keluarga Huang:
"Kudengar Bapak Fang Zhitian punya banyak koneksi di pusat. Haknya juga sangat besar. Kalian sudah mengumpulkan beberapa bahan, jika minta bantuannya pasti akan sangat efektif. Kebetulan dia datang ke Jianghai hari ini, jadwal penerbangan kami mungkin tidak jauh beda. Perkiraanku dia sekarang sudah sampai di balai kota..."
"Tapi hubungan kami dengan Bapak Fang tidak terlalu dekat... Sebenarnya kami pernah mengunjunginya, tapi waktu itu tidak mendapatkan data-data..."
"Kalau begitu kunjungi malam ini saja. Aku sendiri cukup mengenal Bapak Fang, kebetulan kami satu marga..."
Begitu katanya, Fang Yusi tentu tak mengira seorang selebriti seperti dirinya bisa mendominasi arah peristiwa politik. Namun kemampuan adalah satu hal, sikap adalah hal lain. Jika keluarga Huang benar-benar menghadiri jamuan malam ini untuk menemui Fang Zhitian, mungkin dia akan ikut bertanya secara tidak langsung di samping. Tapi dia tak tahu, keluarga Huang sebenarnya punya hubungan dengan Fang Zhitian. Meski tak banyak yang tahu, keponakan Fang Zhitian yang paling disayangi, Dongfang Ruo, kebetulan memiliki hubungan darah dengan keluarga Huang. Saat Dongfang Ruo sebelumnya datang ke Jianghai, dia pernah kontak dengan Jiaming dan memanggilnya "sepupu laki-laki". Kemudian Fang Zhitian pernah membawa Dongfang Ruo mengunjungi keluarga Huang. Namun setelah itu, meski keluarga Huang ingin mendekati raksasa politik ini, Fang Zhitian selalu menjaga batas. Kali ini Huang Bingxiang dikendalikan oleh dua jalur, mungkin sudah melalui persetujuannya. Adapun upaya keluarga Huang kemudian untuk menjalin koneksi dengan Fang Zhitian, tak pernah membuahkan hasil.
Tujuan utama Fang Yusi datang kali ini adalah untuk meninggalkan kesan pada Jiaming: dirinya memang materialistis dan berpikiran sempit, tapi saat dirinya tidak kekurangan, bantuan orang lain akan tetap diingatnya.
Aku bukan orang jahat, pikirnya. Saat keluargamu mengalami kesulitan sekarang, aku akan berusaha membantu sebisa mungkin. Meski mungkin tak banyak, setidaknya sudah kucoba.
Dia ingin banyak orang memahami hal ini.
“Tapi, tak lama kemudian, suasana di seluruh ruang tamu sepertinya mulai terasa aneh, karena banyak orang yang memandang ke arah ruang duka. Didampingi Huang Bing'an, seorang pria paruh baya yang mendorong kursi roda sedang keluar dari ruang duka. Di atas kursi roda tersebut duduk seorang gadis berambut pendek berusia sekitar enam belas atau tujuh belas tahun, mengenakan pakaian kain dan celana panjang putih polos, terlihat seperti gadis desa yang seumur hidup tinggal di pedesaan di sinetron, memancarkan aura kemurnian. Sayangnya, dia sedang sakit. Tubuh gadis itu terlihat ringkih dan lemah, seolah-olah hembusan angin biasa saja bisa menerbangkannya ke langit.”
“Empat pengawal mengiringi pria paruh baya yang mendorong kursi roda tersebut. Dalam beberapa saat terakhir, area sekitar keluarga Huang sudah dipenuhi lebih banyak orang yang terlihat seperti pengawal - ada yang berseragam militer, berjas, atau berpakaian sipil. Jelas bahwa target yang mereka lindungi adalah pria paruh baya yang sedang berbincang dengan Huang Bing'an ini, menunjukkan identitasnya yang sangat istimewa.”
“Bukankah itu Fang Zhitian?”
“Pak Fang juga baru turun dari pesawat, mana mungkin langsung ke sini...”
“Langsung datang begitu saja?”
“Di tengah gemuruhnya obrolan, gadis berbaju putih di kursi roda yang awalnya terlihat sekarat itu seperti berusaha duduk lebih tegak. Dia membuka matanya yang kurus kering. Gadis ini buta, bola matanya yang keruh tak bisa melihat apapun. Namun arah pandangannya saat ini tepat mengarah ke ruang tamu di sisi ini.”
“Melalui jendela yang terbuka, dia 'melihat' Jiaming yang mulai pusing di dalam kamar.”
"Seketika, Huang Bing'an dan yang lain memasuki villa, kemudian langsung menuju ke arah sini. Ketika bayangan Fang Zhitian mendorong gadis itu muncul di gerbang, seluruh kamar tiba-tiba menjadi hening. Penglihatan Huang Bing'an yang tidak baik menyapu sekeliling kamar, lalu menyelamatkan seorang manusia dan bertanya: 'Omong-omong, di mana Jiaming? Pak Fang ingin menemuinya untuk suatu hal.' Orang itu belum sempat menjawab, Fang Zhitian ternyata sudah menemukan posisi Jiaming saat ini, mendorong kursi roda mendekat. Kerumunan orang secara otomatis berpisah ke kedua dunia. Fang Yusi, Huang Bingwen, Huang Jianpeng, Huang Ruoxin... Hampir semua orang di kamar mulai terkejut memandangi bertiga, ingin menghubungkan identitas kedua pihak secara logis..."
"'Halo, Anak Buah Jiaming kan? Aku pernah melihatmu di foto... Aku Fang Zhitian...' Katanya sambil mengulurkan tangan ke Jiaming. Saat Jiaming mengerutkan kening sejenak lalu mengulurkan tangan kembali untuk berjabat, barulah dia tersenyum mengangguk, 'Karena ada beberapa hal yang membutuhkan bantuanmu, harapannya kita bisa menemukan tempat untuk bicara sebentar. Oh, Nona Fang juga ada di sini ya, Bapak Huang, sudah lama tidak bertemu...'"
“Lepaskan Jiaming,” dia tersenyum lagi dan menyapa Fang Yusi, kemudian menyusul Huang Bingwen. Saat itu Huang Bing'an juga telah datang, memandangi Jiaming dengan tatapan penuh kebingungan. Jelas, kedatangan Fang Zhitian dari jauh ke Jianghai, pertama-tama langsung mengunjungi keluarga Huang untuk berziarah, lalu tiba-tiba ingin mencari seorang anak laki-laki yang paling tak memiliki eksistensi di villa keluarga Huang, benar-benar membuatnya sulit memahami. Setelah berjabat tangan dengan Huang Bingwen, pandangan Fang Zhitian tertuju ke satu sisi, tertegun sejenak, lalu kembali tersenyum: “Tenmasa-kun, kau juga datang? Seingatku, kita sudah lama tidak bertemu.”
“Kuduga kau mungkin datang ke sini, jadi aku menunggumu di tempat Jiaming.”
Di bawah tatapan penuh keheranan Huang Ruoxin dan Huang Bingwen, Tenmasa Masaoka dan Fang Zhitian saling menyapa. Huang Bing'an yang berdiri di samping mencoba bertanya: “Eh… Bapak ini…?”
“Tenmasa, dia adalah pewaris urutan kedua konglomerat Kawasaki Jepang, memegang gelar doktor ganda di bidang biologi dan domain, prestasi akademisnya luar biasa. Selain itu, dia juga tunangan Yuechi, putri sulit CEO Pool Sakura Jepang, Tenmasa Masaoka…” Fang Zhitian melirik sekeliling, mengangkat tangan bingung, “Masih banyak hal tidak karuan lainnya yang tidak perlu disebutkan, eh… Kalian tidak tahu?”
Jelas saja, mereka tidak tahu…
## Bagian 301 Keunggulan Unik
Sekitar pukul lima, dering telepon membangunkannya dari tidur.
Membuka mata setengah sadar, di kamar dengan tirai tertutup cahaya redup, sejenak terasa seperti sudah malam. Tubuh masih terasa lelah, tangan meraba-raba di ranjang merasakan sesuatu yang tak biasa, tapi akhirnya berhasil mengambil tas kecil yang berdering, menyambungkan telepon. Saat suara dari pesawat telepon terdengar, kesadarannya baru mulai pulih. Benar, ini bukan di rumah. Nanti sore tadi, dia tertidur di ranjang Jiaming.
"Hmm, suaramu kenapa... baru bangun tidur?"
Telepon dari ayahnya membuatnya agak terkejut. Beberapa bulan terakhir meski hubungan antara ayah dan putrinya telah membaik, kebiasaan menelepon sekadar menanyakan kabar tetap tak ada. Pada dasarnya, Zhang Jing'an adalah ayah yang serius, cara menunjukkan kasih sayangnya pun tetap halus dan kaku. Sekarang terpikir, andai ibunya tidak MATI, mungkin pola hidupnya akan berjalan mulus di bawah pengaturan ketat ayahnya. Tapi ibunya sudah MATI, dengan keras kepala dia menolak semua rencana ayahnya. Karena perasaan bersalah dalam hati, Zhang Jing'an melonggarkan batasan untuk putrinya, menghasilkan pola hubungan aneh seperti telepon sapaan yang canggung ini.
Tapi kalau bukan sekadar menyapa, dan akhir-akhir ini tak ada urusan yang perlu dibantu, tentu ayah perlu sesuatu dariku. Perasaan ini... agak aneh juga.
"Uhh... baru bangun tidur, Ayah, ada apa?"
“Oh, jadi kau tidak di keluarga Huang? Mereka bilang kau pergi ke sana, jadi aku menelepon untuk bertanya. Kalau memang tidak di sana……”
“Aku ada di keluarga Huang lho……”
Suara malas menjawab sambil bangkit dari ranjang, siluet benda-benda di depan mata mulai jelas perlahan. Dia bergumam: “Tadi siang agak lelah, istirahat sebentar di kamar teman…… Ada apa?”
“Utamanya mau tanya, apa kau melihat Fang Zhitian lewat ke sana.”
“Fang Zhitian?” Tubuhnya meraba-raba menyalakan lampu meja di sisi lain meja belajar. Dia melirik jam tangan di pergelangan, alisnya sedikit berkerut. Saat membuka jendela, di luar masih terang hari. Memandang miring ke barat, bukit dan hutan di sana tampak disinari matahari sore yang menggantung merah membara di kejauhan, “Bukannya pesawatnya ke Jianghai baru mendarat jam tiga lewat empat puluh? Malam ini masih ada jamuan resmi di pihak pemerintah kota, mana mungkin dia bisa ke sini……”
“Tidak tahu juga. Tapi katanya dia benar-benar pergi ke keluarga Huang…… Sudahlah, kalau memang tidak kelihatan, kau istirahat saja, jangan pusingkan ini……”
“Lagi pula aku sudah bangun, nanti akan keluar melihat-lihat……”
Menutup telepon, mencium aroma aura Jiaming yang masih melekat di selimut ranjang, gadis berbaju putih dan rok putih itu bangkit mengenakan kaus kaki putih yang sudah miring di kakinya. Setelah memakai sepatu hak tinggi di bawah ranjang, barulah dia limbung berjalan ke toilet sebelah.
Beberapa menit kemudian, gadis dengan wajah oval putih mulus masih bertotol noda air itu mengikat longgar rambut panjangnya, mengenakan kacamata kura-kura, menyampirkan jaket hitam, merapikan gaunnya, baru kemudian mengambil tas tangan dan melangkah keluar pintu.
Di ruang duka, alunan musik masih terus terdengar. Orang-orang yang hilir mudik di koridor sambil bergosip, seluruh pemandangan sepertinya tak berbeda dari sebelum ia tertidur. Hanya saat melewati salah satu ruang tamu, ia tiba-tiba berhenti sebentar, mengangkat jam tangannya sekali lagi.
04.53, bukannya mereka sudah pergi...?
Sambil menyimpan tanya dalam pikiran, dua orang tua di seberang sudah menyadari kehadirannya, melambai-lambai. Dengan senyum anggun, ia merapikan kerut di helai bajunya lalu mendekat: "Paman Geng, Lao Cui, belum pulang juga?"
"Sekarang tentu tak masalah pulang lebih malam," jawab Lao Geng sambil tersenyum.
"Sekarang? Ada apa...?"
Pikiran mulai dipenuhi tanda tanya. Tatapannya tiba-tiba tertangkap oleh sosok di ruang tamu sebelah. Ia menyamping dua langkah, berjinjit mengintip: "Aaaaa... Itu... Fang Yusi?"
"Benar, tadi memang ada di sana." Lao Geng dan Lao Cui juga melirik ke arah itu. "Ngomong-ngomong, kabarnya dia akan menjadi endorser Huang untuk dua tahun ke depan, dan itu permintaannya sendiri. Kami tadi sedang menduga, jangan-jangan dia dapat info kalau urusan keluarga Huang kali ini benar-benar ada transit yang tak terduga..."
“ juga mengangguk: "Hmm, setelah hari ini, mungkin banyak orang akan berpikir seperti itu. Tapi kasus Huang Bingxiang memang seperti sudah dipakukan, benar-benar membingungkan ya."
“Hal-hal dalam sistem, terkadang bisa mengejutkan, itu juga mungkin terjadi.”
Dua senior lintas generasi saling bertukar pendapat. Di hati Yahan muncul keraguan. Beberapa hubungan antara Fang Yusi dan Jiaming memang dia pahami, tentu juga tahu bahwa sebenarnya Jiaming tidak punya banyak simpati pada Fang Yusi. Tapi dengan pengalaman kedua orang ini, bagaimana mungkin mereka hanya mengandalkan usaha seorang selebriti besar merangkul keluarga Huang untuk menganggap ada transisi dalam urusan keluarga Huang? Apa yang dilakukan Fang Yusi... Ah, Fang Zhitian...
Teringat pertanyaan ayahku, barulah dia menyadari topik pembicaraan di kamar ini terasa serupa. Mengikuti arah pandangan sesaat semua orang, dia mendekati jendela. Kemudian menyusul pemandangan paviliun segi delapan di tengah danau buatan belakang villa keluarga Huang. Di dalam paviliun kecil itu duduk empat orang, Fang Zhitian adalah salah satunya.
“Fang Zhitian yang pertama datang ke sini, ini benar-benar hal yang tak terduga...”
“Asal-usul Tenku Masaoka itu sendiri sudah cukup menakutkan.”
Dua orang tua di belakang terus berbicara, seolah juga meminta pendapat Yahan. Bagaimanapun dia pernah menjalani pelatihan sistem, meski masih muda, kemampuan bernegosiasi dengan berbagai pihak di Akademi Hati Kudus menunjukkan wawasan dan kompetensinya. Namun pandangan Yahan tertuju pada pemuda di paviliun itu, alisnya mengerut penuh tanda tanya.
“Jiaming...”
“Yahan kau juga kenal anak itu?” Mendengar gumaman Yahan, Pak Cui di belakang bertanya.
“Eh... Ah, Jiaming? Tentu kenal, dia mahasiswaku. Sebenarnya hubungan kami juga cukup dekat.”
“Apa ada hal yang sangat unik darinya sehari-hari?”
“Keunikannya?” Yahan mengangkat bahu, “Karakter-nya memang kurang supel, tapi selama sudah jadi teman, tetap bisa akur kok. Sebenarnya ada apa sih, dia-”
“Itu yang aneh. Begitu turun dari pesawat, Bapak Fang langsung ke sini khusus mencarinya. Lalu orang Jepang bernama Tenku Masaoka di sampingnya, selain punya prestasi akademis, juga pewaris konglomerat Kawasaki dan punya hubungan pernikahan strategis dengan Chiying Textile. Katanya kenal Gu Jiaming dari klub komik. Setelah diidentifikasi Bapak Fang, identitasnya benar-benar mengejutkan semua orang. Gu Jiaming ini... Bagaimana bisa mengenal begitu banyak tokoh penting... Oh ya, kabarnya Fang Yusi juga pernah dibantunya, jadi endorse untuk keluarga Huang ini hanya untuk membalas budi...”
Di dalam kamar, perbincangan berpusat pada satu isu yang sama. Kehadiran Fang Zhitian memberi ruang teka-teki bagi semua orang. Hanya karena etika, mereka tidak berkerumun mengelilingi paviliun. Empat sosok yang duduk santai di paviliun kecil itu, dari kejauhan terlihat semakin misterius.
Di saat yang sama, di ruang tamu sebelah, Fang Yusi menunjukkan senyum getir pada manajernya: "Tante, sekarang aku tiba-tiba merasa... Apakah aku terlalu tidak tahu diri... Heh..."
Pertemuan antara Fang Zhitian, Tenku Masaoka, perempuan tunanetra Dongfang Ruo di kursi roda, dan Jiaming yang terlihat bosan akhirnya berakhir pada pukul lima lewat sepuluh menit. Saat memasuki villa, seperti biasa terdengar suara salam. Keluarga Huang tentu berusaha mempertahankan Fang Zhitian untuk makan malam, namun karena ada jamuan resmi pemerintah kota malam itu, undangan tersebut hanya formalitas belaka. Tenku Masaoka yang identitasnya terbongkar tak berniat berlama-lama di keluarga Huang. Adapun Jiaming, untuk sementara belum ada yang berani menyapanya, terutama karena bingung harus memulai pembicaraan dari mana.
Melihat Jiaming mendekat, Yahan pun beringsit mendekat. Namun karena Jiaming kini menjadi pusat perhatian kerumunan, dia agak ragu untuk mengajak bicara. Jiaming yang berjalan di belakang ternyata sudah menyadari kehadirannya. Dengan senyuman, justru Fang Zhitian-lah yang pertama menyapa: "Ah, benar, ini kan Nona Yahan dari keluarga Zhang?" Entah di mana pria super sibuk ini pernah mengingat wajah Yahan.
Fang Zhitian yang kaya raya dan berpengaruh besar, meskipun menarik minat banyak orang, tentu tidak mungkin dikerubungi semua orang sekaligus. Yang tetap menemani dan berbincang dengannya hanyalah Huang Bingxiang selaku tuan rumah. Saat menyapa Yahan, tidak ada hambatan berarti. Setelah melirik Jiaming dan menerima sambutan sopan dari Yahan, Fang Zhitian justru membahas urusan bisnis.
"Begini, Perusahaan Zhang sudah lama punya reputasi bagus di bidang industri berat domestik dan manufaktur mesin perkakas. Cabang perusahaan saya di Timur Laut baru-baru ini membutuhkan mesin untuk pembuatan laras senjata. Saya tahu bidang ini mungkin belum dikuasai Zhang, rencananya beberapa hari lagi saya akan datang langsung. Tapi karena hari ini bertemu Nona Zhang, tolong sampaikan ke ayahanda. Sekitar beberapa hari lagi saya akan datang untuk membahas persiapan administrasi... Tentu saja, regulasi bidang militer di dalam negeri sangat ketat. Jika Zhang berminat berkembang ke sektor ini, akan ada serangkaian prosedur, inspeksi, perizinan, dan pembatasan tertentu setelahnya. Jika tidak berminat, masih ada waktu beberapa hari untuk pertimbangan. Tapi pasti ini akan menjadi proses yang sangat menyita waktu..."
Bagi perusahaan swasta domestik yang terjun ke industri militer, ini bukan hal sederhana. Meski ada pembatasan setelahnya, keuntungan yang didapat sulit diperkirakan besarnya. Mendengar janji dari raksasa industri militer seperti Fang Zhitian, meski Yahan jarang terlibat bisnis keluarga, perasaannya seperti melihat kue pai jatuh dari langit. Tanpa pikir panjang, dia langsung menyetujui tawaran itu.
Percakapan Fang Zhitian dengan Yahan berakhir di sini. Setelah berkeliling beberapa menit di villa dan melihat waktu sudah larut, barulah dia bersiap pamit. Pada saat itu, Jiaming yang sudah lama mencari kesempatan, bersama Yahan menyelinap keluar dari keluarga Huang dan naik ke mobil sport wanita baru Yahan, bersiap langsung menuju Shengxin.
Sambil menyetir, hati Yahan masih diliputi gejolak. Sikap yang ditunjukkan Fang Zhitian tadi jelas merupakan niat kerja sama dengan Keluarga Zhang. Dengan dukungan tokoh sekaliber Fang Zhitian, setidaknya dalam beberapa tahun ke depan perkembangan Zhang bisa dijamin mulus. Langkah masuk ke industri militer berarti Zhang akan memiliki lebih banyak koneksi politik setelah ini.
Situasi keluarga dua tahun terakhir memang tidak terlalu baik. Awalnya aku dipersiapkan sebagai pewaris Keluarga Zhang, namun pengamatan selama ini menunjukkan pada yang lain bahwa aku tidak berminat di bidang ini. Kerabat-kerabat lain pun mulai mengincar posisi pewaris Zhang. Meski hubunganku dengan ayah tidak begitu akrab, dia terus bersikukuh agar aku perusahaan. Hal ini memicu antipati banyak saudara. Intrik di dewan direksi pun datang bergelombang. Namun dengan adanya kesempatan perkembangan perusahaan seperti ini, wibawa dan posisi ayah pasti akan melonjak. Sebagian besar pihak lain mungkin tidak akan berani lagi mengeluarkan omong kosong. Hampir bisa diprediksi betapa girangnya ayah mendengar kabar ini nanti.
Di dalam hatinya, Segalanya ini tentu berasal dari Jiaming. Jika Fang Zhitian adalah kapal induk di dunia politik-ekonomi, keluarga Zhang hanyalah kapal penangkap ikan kecil. Jika bukan karena Jiaming, mustahil keluarga Zhang akan diliriknya. Namun sebelum sempat berkata apa-apa, Jiaming yang sudah paham betul isi hatinya hanya tersenyum kekecewaan sambil melambaikan tangan.
"Jangan berpikir macam-macam. Tak perlu berterima kasih padaku. Tadi saat duduk bersama, dia basically berbicara dengan Tenku Masaoka. Aku juga tidak menyebutkan hal apapun tentang keluarga Zhang, bahkan tidak menyinggung sama sekali. Jelas-jelas sebelum datang ke sini dia sudah punya niat membantu keluarga Zhang."
Mobil sport melaju keluar dari jalan setapak di samping villa keluarga Huang, bergerak mulus ke jalan raya. Sambil menyetir, Yahan tersenyum: "Tapi pasti itu karena dia teringat padamu. Kemungkinan besar dia ingin memberimu utang budi pribadi."
"Kau pikir utang budi orang semacam itu mudah diberikan? Alasan dia mempertimbangkan keluarga Zhang pasti karena keluarga Zhang sudah punya kekuatan untuk bekerjasama. Tak perlu merasa berhutang padanya. Lagipula aku pernah menyelamatkan nyawanya. Kalau bukan karena aku, dia sudah MATI dipukuli Yoritomo Taku."
"Kalau begitu... Aku juga tidak mau berterima kasih. Barang suamiku, wajar saja kalau kuambil untung sedikit." Dagunya mendongak, senyumnya cemerlang, lalu kembali serius: "Tapi sebenarnya ada urusan apa dia mencarimu kali ini? Apa tidak terlalu mencolok? Dulu kau selalu bersembunyi, apa sekarang tidak bermasalah?"
"Ini memang hal yang tak terhindarkan..." Jiaming berhenti sejenak, ekspresinya mulai menunjukkan kesal, "Sengaja datang tergesa-gesa begitu mendarat dari pesawat, sengaja bilang mau mencariku, sengaja menyapa, bahkan sengaja duduk di paviliun tengah danau yang terlihat semua orang selama puluhan menit. Fang Zhitian... sebenarnya hanya ingin memperlihatkan semuanya ke orang lain."
Yahan mengerutkan alis: "Kenapa?"
"Urusanmu mempengaruhi Xu Mo, Xu Mo sendiri adalah teman baik Ying Zifeng. Aku yang jadi perisai pembenaran Dongfang Wan juga membuat Lei Qing membenciku. Sebenarnya [] bisa mengendalikan semua ini, tapi masalahnya ada di acara minum dua hari lalu dimana Ying Zifeng bermasalah..." Ia menatap profil Yahan sambil menyeringai, "Awalnya bukan masalah besar, walau ada yang MATI, Ying Zifeng cuma dipukul pingsan. Tapi ketiga korban MATI itu kebetulan pengguna kekuatan supernatural. Kasus ini menjerat [] sekaligus mengungkap kakak Ying Zifeng yaitu Ying Zilan. Dia khawatir adiknya akan celaka dan memutuskan datang ke Jianghai. Orang ini sudah menjadi salah satu penguasa dalam formasi resmi []. Jika dia bertindak, akan timbul konflik internal di [] yang tak mudah diselesaikan."
“Jadi inilah tujuannya, sebagai salah satu teknik hak penguasa: penyeimbangan.” Jiaming tersenyum, “Ying Zilan ini orang yang selalu merasa diri tinggi, juga sangat perhatian pada adiknya. Fang Zhitian takut orang ini terlalu sensitif, kalau-kalau sembarangan melakukan hal yang berdampak padaku, akan langsung memicu serangan Jian Suyan. Keluarga Ying Haisheng ini berbeda dengan geng kriminal atau preman biasa. Begitu mereka bermasalah, separuh Tiongkok akan bergolak. Dengan tindakannya kali ini, bukan hanya Ying Zilan, jika Ying Zifeng atau Lei Qing ingin berbuat sesuatu padaku, basically juga akan lebih sopan... Lihatlah, cuma datang sekali, duduk setengah jam, basically semua potensi bahaya sudah ditanganinya.”
Yahan berpikir sejenak: “Lalu bagaimana denganmu di keluarga Huang? Kalau mereka bertanya hubunganmu dengan Fang Zhitian, hubunganmu dengan Tenku Masaoka, bagaimana kau jelaskan?”
“Heh, yang ini tidak masalah.”
“Lalu... hal lainnya? Misalnya Pei Luo Jia...”
“Pei Luo Jia mungkin akan lebih jelas memperhatikanku, inilah masalah terbesarnya…” Jiaming menghapus senyumannya, menghela napas ringan. Saat menyadari Yahan memandangnya dengan khawatir, barulah ia tersenyum sambil menjepit pipi gadis itu, membuatnya fokus ke jalan depan. “Tenang, tidak apa-apa. Fokus saja menyetirmu, dasar cupu… Aku cuma merasa otakku kurang encer. Andai saja sepintar Kelly*Vernam… Lihatlah, kemunculannya kali ini pertama-tama menyelesaikan masalah laten yang mungkin meledak dari dalam, lalu meningkatkan eksistensiku – meski sebenarnya tidak signifikan karena sebelumnya Pei Luo Jia sudah tahu koneksiku dengan Jian Suyan. Tapi bagaimanapun, perhatian yang tertuju padaku mungkin bertambah. Jika Pei Luo Jia bertindak terhadapku, Jian Suyan akan membalas mereka. Fang Zhitian pada dasarnya tidak melakukan apa-apa tapi mendapat hasil yang paling menguntungkan. Ah politikus, inilah sifat politikus! Terjebak olehnya tapi tak bisa marah… Kurasa urusan keluargamu benar-benar konsekuensi dari rasa bersalahnya, jadi tak perlu sungkan – rebut saja semua keuntungan yang ada.”
Suaranya penuh decak kagum, menunjukkan kekaguman tulus pada orang-orang berpikiran cerdik itu. Setelah beberapa kalimat lagi yang berhasil menghilangkan kekhawatiran Yahan, ia pun tersenyum sambil meregangkan badan: “Tapi, aku punya keunggulanku sendiri. Secerdas apapun mereka…” Ia mengangkat bahu.
“…Setidaknya aku bisa Bunuh mereka.”
## Bagian Tiga Ratus Dua Melewati Batas
Malam telah larut, neon perkotaan bersama dengan keriuhan nafsu merambat di keramaian pasar. Ini adalah salah satu jalan di Kota Jianghai dengan bar terbanyak. Berbagai suara musik bergema dalam kegelapan malam yang diterangi lampu hias. Di sepanjang jalan, terlihat preman-preman dengan pakaian aneh dan mencolok, laki-laki dan perempuan dalam kelompok kecil berjumlah 3-5 orang, tubuh mereka bau alkohol. Ada yang berjongkok di sudut jalan, muntah di tempat, jiwa-jiwa yang gelisah.
Sebuah taksi berhenti di pinggir jalan. Yang pertama turun adalah seorang gadis berusia enam belas tujuh tahun. Kemeja putih longgar dilapisi jaket tanpa lengan ungu muda, bagian bawahnya celana jeans biru dengan sepatu olahraga. Ekor kuda yang tertiup di belakang kepala memancarkan aura anggun, tapi yang paling menarik adalah wajahnya yang cantik nyaris sempurna dengan aura dingin. Begitu turun, langsung menarik pandangan banyak orang di pinggir jalan.
Yang turun mengikutinya adalah seorang pemuda dengan wajah biasa. Keduanya memiliki tinggi tubuh yang hampir sama. Untuk perempuan, melebihi 1,65 meter sudah dianggap tinggi, tapi tinggi yang sama pada laki-laki masih dianggap agak pendek. Setelah membayar ongkos, gadis itu dipimpin pemuda menuju bar bernama "39 Derajat" di sudut jalan. Saat bayangan mereka menghilang di pintu bar, sopir baru menggelengkan kepala dan pergi. Dalam hati ada sedikit penyesalan - gadis seperti ini sama sekali tidak cocok dengan anak laki-laki di sampingnya...
Di dalam bar yang dipenuhi kerumunan orang, dentuman musik mengikuti suara DJ mengguncang gendang telinga semua orang. Dua orang berjalan menembus kerumunan, satu di depan satu di belakang. Saat melewati bar, pemuda itu menoleh dan berkata beberapa patah kata. Gadis cantik beraura dingin itu mengangguk patuh, duduk di bangku bundar dekat bar, mengikuti bayangan pemuda itu yang menghilang dalam kerumunan. Tak lama kemudian, muncul di mulut terowongan menuju kantor yang dijaga dua pria kekar.
“Aku mau temui Xiao Meng!”
Berdiri di hadapan dua pria kekar yang hampir lebih tinggi dua kepala darinya, pemuda itu mengerutkan alisnya dan menaikkan volume suara. Dua pria kekar itu saling bertukar pandang: “Bagaimana kau tahu Kakak Xiao Meng sedang di sini? Kau ini siapa?”
“Masuk dan beritahu dia Gu Jiaming mencarinya, pasti dia tahu.”
Sebelum dua orang itu sempat menjawab, di belakang mereka pintu sebuah kantor tiba-tiba terbuka. Seorang pria berjaket kulit dengan wajah kalem muncul, wajahnya memancarkan kejutan: “Jiaming kenapa datang? Urusan apa telepon saja padaku.” Dua pria kekar itu buru-buru mundur selangkah sambil mengangguk: “Kakak Xiao Meng.” Dalam hati mereka bertanya-tanya tentang asal usul pemuda ini.
Ternyata penampilan Xiao Meng yang terlalu kalem ini selama ini. Meski bersikap santai saat berhadapan dengan anak buah atau ketua cabang lain dalam geng, sebagian besar waktu ia tetap menjaga sikap dingin. Aura muramnya dan kegilaan saat membunuh selalu membuat banyak orang takut atau segan. Melihatnya bersikap begitu lembut kepada seorang pemuda, ini benar-benar pengalaman pertama bagi mereka berdua.
Tak lama kemudian, mereka berdua memasuki kantor. Interior di sini terlihat seperti bilik VIP KTV, tiga sisi dipenuhi sofa dengan meja rendah persegi di tengahnya yang sekarang berisi beberapa hidangan dan minuman. Yang berhadapan dengan aula bar justru sebuah dinding kaca satu arah, memungkinkan penglihatan jelas ke luar - mungkin tadi Xiao Meng melihat kedatangan Jiaming melalui ini. Di dalam kamar ada dua orang lain, salah satunya pria berjas yang tampak kemerahan karena mabuk, ditemani wanita berpakaian mencolok yang mesra mendampinginya. Sebagai ketua cabang, Xiao Meng tidak hanya mengelola satu dua arena hiburan, mungkin pria ini adalah pengelola bar tersebut. Melihat Xiao Meng membawa Jiaming masuk, dia tersenyum dan berdiri:
"Kakak Meng, ini...?"
"Pacar nona, Gu Jiaming. Kalian keluar dulu. Aku ada urusan dengan Jiaming. Jangan biarkan siapa pun masuk."
Pria itu tertegun sejenak, baru tersadar bahwa "nona" yang dimaksud Xiao Meng adalah putrinya Liu Zheng. Ia mengangguk cepat-cepat sambil membawa wanita itu keluar, lalu memberi perintah pada dua pria kekar di luar. Kedua pria kekar itu mengangguk dan berjaga di pintu kantor. Jiaming duduk di sofa, langsung membuka pembicaraan: "Apa kamu tahu seluk beluk paman Shasha, Liu Shijie?"
“Dia?” Xiao Meng mengerutkan kening, “Aku tidak banyak berurusan dengannya, tapi bos sangat baik padanya. Belakangan ini bos pergi bernegosiasi ke Xinning, menyerahkan beberapa urusan padanya. Beberapa hari lalu saat perundingan dengan Bos Wen di Distrik Timur, dia juga ikut. Jika harus kukatakan... kurasa dia yang baru pulang dari luar negeri seolah punya rasa superior, mulutnya tak lepas dari gaya mafia, seperti bagaimana mereka melakukan sesuatu. Dalam beberapa aspek, masih terasa tidak cocok dengan situasi konkret Jianghai...”
Jiaming mendengarkan dengan tenang, kemudian mengangkat kepala: “Pulang dari Korsika?”
“Katanya dia pernah ke Pulau Korsika Italia. Dulu dia punya hubungan nyawa-nyawa dengan bos. Sekarang akhirnya kembali, bos menganggapnya seperti saudara kandung sendiri. Kami tidak menyelidiki lebih jauh. Ada masalah?”
Sampai di sini, wajah Xiao Meng tiba-tiba berubah dingin, sudah menunjukkan kesiapan untuk MEMBUNUH. Jiaming memandangnya datar, menggelengkan kepala: “Bukan berarti dia bermasalah. Dia paman Shasha, awasi saja baik-baik. Jangan bertindak gegabah.” Sambil berkata demikian, dia mengeluarkan kantong plastik kecil berisi serbuk dari baju dan meletakkannya di meja, membukanya sambil berkata: “Tapi dia cukup dekat dengan Yang Zhenxing, ya?”
Dengan pengalaman Xiao Meng, kantong plastik itu langsung dikenali sebagai kemasan narkoba. Dia mengangguk: “Setelah hubungan bos dengannya diumumkan, beberapa divisi tentu ingin menjilatnya. Belakangan ini Lao Yang yang paling cocok sifat dengannya. Narkoba ini...”
“Kubeli di wilayah Lao Yang. Coba kau tes.”
Xiao Meng mengangguk, mengeluarkan pisau kecil dari tubuhnya dan menggoreskan sedikit bubuk putih, lalu mengangkatnya ke hidungnya dan menghirup keras. Seluruh tubuhnya langsung gemetar. Beberapa saat kemudian, dia menjepit hidungnya sambil mendengus beberapa kali, lalu ragu-ragu memandang Jiaming: "Ini..."
"K2, kemurnian meningkat 20%, efek halusinasi hampir dua kali lipat, tapi tingkat kematian juga naik. Singkatnya, dia melanggar batas." Wajah Jiaming tampak muram. Pertemuan sebelumnya dengan Fang Zhitian sesuai analisisnya - Fang Zhitian hanya berpura-pura di depan semua orang. Obrolan mereka hanya menyentuh tentang Jian Suyan, yang tentu tidak mau dijelaskan detail oleh Jiaming. Satu-satunya informasi yang terungkap dalam obrolan santai itu mungkin adalah hal ini.
Air yang terlalu jernih tak ada ikannya, pengawasan terlalu ketat tak ada pengikutnya. Bahkan penegak hukum paling integritas pun tak bisa menuntut masyarakat bersih seperti air jernih. Dalam hal narkoba, negara mengontrol ketat, tapi tetap ada yang jual dan yang pakai. Kelompok besar seperti Shazhu Bang pasti tak bisa menghindar. Tapi negara punya batasan: selama ada latar belakang, mereka tak akan gegabah bertindak. Untuk narkoba, boleh dibuat palsu, tapi begitu mau bikin yang berkemurnian tinggi bereputasi - tingkat kecanduan dan kematian meningkat. Kalau sampai terjadi masalah, atasan dan bawahan semua kena getah. K2 bagi pecandu adalah dewa, tapi dalam hukum alam tak kasatmata, ini barang terlarang yang mutlak tak bisa ditoleransi.
Dalam masalah narkoba sebelumnya, Shazhu Bang selalu sangat berhati-hati. Meskipun ada bisnis perdagangan narkoba, mereka benar-benar tidak berani melakukannya secara berlebihan. Kebocoran K2 kali ini kebetulan terjadi saat kedatangan Fang Zhitian, ketika pusat gravitasi penjagaan [] berada di Jianghai. Namun dalam beberapa hari saja, hal ini telah terdeteksi oleh intelijen [] yang melaporkan ke level atas. Kelompok besar terkadang tak terhindarkan dari kesalahan. Fang Zhitian tidak terlalu memperhatikan hal ini, tapi karena ingin mengobrol dengan Jiaming, dia menyebutkannya secara santai - yang kemudian memicu operasi penyelidikan Jiaming.
"Masalah narkoba di dalam kelompok selalu dikendali ketat. Saya juga pernah dengar Liu Shijie ingin menggarap bidang ini. Dia belum mengajukan secara resmi, bos juga sama sekali belum memberikan sikap. Saya selalu bertindak setelah mendengar perintah bos - semua anggota kelompok tahu ini. Jadi dia sama sekali tidak banyak berdiskusi dengan saya... Tak disangka pihak Lao Yang..."
“Paman Liu akan pulih dalam 2 hari, tolong sampaikan bahwa hal seperti ini tidak boleh melewati batas.” Pengawasan negara Tiongkok sangat kuat tak tertandingi. Kelompok seperti Shazhu Bang terlihat megah, namun sebenarnya bagai gelembung. Jika negara sedikit melonggar dan memberi bantuan, Shazhu Bang bisa mencapai situasi makmur seperti sekarang. Namun ketika negara memutuskan bertindak, dalam semalam bisa membuatmu runtuh total. Logika ini Jiaming pahami, Xiao Meng tentu juga mengerti. Saat berbicara, pandangan Jiaming menyapu aula bar di balik dinding kaca. Dari posisi ini terlihat keributan samar di sekitar bar - dua kelompok pria sedang bersengketa memperebutkan wanita. Satu pihak jumlahnya lebih banyak dengan gelombang opini publik kuat, sementara lawannya hanya seorang pria bertubuh kekar dan tinggi, tampaknya sedang mabuk namun tetap garang, tak mau mengalah meski berhadapan banyak orang.
Sebagai pusat pertikaian, Tsukike Kaoru duduk dingin dan tenang. Di depannya terletak secangkir air jernih. Sesekali matanya menatap ke arah kantor tempat Jiaming berada. Gadis kristal ini hanya duduk diam, sama sekali tak menganggap orang-orang di sekitarnya sebagai ancaman.
Memandangi situasi konfrontasi itu, Jiaming tersenyum tipis karena ia mengenal pemuda mabuk tersebut. Itu Huang Haobing, tak disangka dia juga ada di sini.
## Bagian 303: Membiarkan
Sebagai putra mantan Sekretaris Komite Provinsi, Huang Haobing saat kecil memang suka mengganggu orang, tetapi secara keseluruhan tidak bisa disebut sangat nakal. Meski pernah mengganggu Jiaming yang belum genap sepuluh tahun hingga membuatnya kabur dari rumah, namun kemudian meski dipukuli habis-habisan, setidaknya tidak menyalahgunakan status sebagai putra Sekretaris Provinsi untuk menekan orang. Seiring bertambah dewasa, dia mulai menyukai basket. Sebagai pemuda olahraga yang penuh semangat, meski sesekali masih terlibat perkelahian, dibandingkan dengan teman sebaya yang liar tanpa batas, dirinya belum bisa disebut sebagai anak orang kaya yang manja tak terselamatkan.
Bunga di rumah kaca tak bisa menghadapi hujan dan angin. Begitu Huang Bingxiang dikenakan shuanggui, semua pihak telah memastikan bukti-bukti yang mengikat sehingga tak bisa dibatalkan. Huang Haobing pun hampir runtuh mental. Awalnya dia pernah mengeluarkan semua uang tabungan pribadinya untuk mencari orang yang bisa memohonkan pengampunan. Tapi hal yang bahkan seluruh keluarga Huang tak sanggup lakukan, apalagi seorang pemuda yang tak pernah merendahkan diri seperti dirinya. Ditambah sifat egois manusia yang muncul bagai angin puyuh setelah kejatuhan Huang Bingxiang, banyak perusahaan kecil langsung bangkrut. Sebagian anggota keluarga Huang yang terbiasa hidup mulus malah mulai membenci Huang Bingxiang yang dulu pernah menolong mereka. Mereka beranggapan tanpa Huang Bingxiang pun mereka bisa sukses, dan sama sekali tak akan terpuruk seperti sekarang, menganggap diri murni dibebani oleh Huang Bingxiang. Meski pendapat ini bukan arus utama, bisik-bisik diam-diam tak terhindarkan. Haobing yang dulu dikasihi semua orang, tiba-tiba diabaikan. Mendengar ucapan-ucapan seperti ini, selama beberapa bulan terakhir Jiaming hampir bisa mencium bau busuk yang semakin menyengat dari tubuh pemuda itu.
Berdasarkan pengalamannya, hanya dengan kontak sekilas saja dia sudah tahu jelas: Saat ini Huang Haobing mungkin sudah mulai menjadi pecandu narkoba. Dan hanya dalam satu dua bulan, dia telah terjerumus dalam kecanduan narkoba yang tak bisa dilepaskan.
Pada esensinya, Jiaming adalah orang yang sangat dingin dalam sifat batin. Hubungan darah tidak cukup menjadi alasan untuk kedekatan antar manusia. Sebelumnya membantu Xu Yiting berhenti narkoba karena rasa kasihan Yahan yang terlalu umum. Terhadap kondisi Huang Haobing saat ini, secara alami dia mempertahankan sikap menyaksikan dengan tatapan dingin——tentu saja, mungkin bahkan tidak tertarik untuk sekadar menyaksikan.
Daya tarik menakjubkan Kaoru selalu jelas bagi Jiaming. Sengaja meninggalkannya di dekat bar juga bertujuan agar dia lebih merasakan suasana kekacauan dan kemerosotan ini. Kehadiran gadis cantik yang terlihat lemah lembut seperti dirinya di bar yang dipenuhi preman dan pemuda nakal, sudah bisa diperkirakan akan menerima ajakan ngobrol kasar dari pria. Namun, kemunculan Huang Haobing tetap mengejutkan Jiaming. Rupanya dia kebetulan lari ke bar ini untuk menghilangkan kesedihan dengan baijiu, dan dalam keadaan mabuk berat kebetulan melihat teman sekelas yang dikenalnya, lalu kabur dan ikut campur.
Selama waktu pertengkaran kedua pihak, manajer bar yang sebelumnya keluar dari kamar sekarang berjalan cepat mendekat. Dengan hati-hati mengetuk pintu, baru kemudian masuk ke dalam kamar: "Kakak Meng, Kakak Ming, bagaimana dengan hal ini..." Sambil berkata, dia memberi isyarat ke keributan kecil yang akan naik level di luar.
Xiao Meng mengerutkan kening: "Ada apa?"
"Ini cuma persaingan dan kecemburuan biasa. Tapi perempuan itu, sepertinya dibawa masuk oleh Kak Ming." Pria yang lebih tua puluhan tahun dari Jiaming ini menggunakan panggilan hormat, "Selain itu, yang mabuk itu namanya Huang Haobing. Lao Yang belakangan ini sangat menghormatinya. Katanya... Oh iya, katanya dia masih kerabat Kak Ming ya..."
"Lalu buat apa ditanya lagi, sudah pasti..."
Xiao Meng sedang berbicara ketika Jiaming mengayunkan tangan di sampingnya, berkata datar: "Kejadian hari ini, jangan ikut campur. Biarkan mereka berantem."
Manajer itu melirik Xiao Meng, setelah mendapat isyarat persetujuan, baru mundur keluar.
Tak lama kemudian, Huang Haobang sudah terempas keras di lantai dekat bar. Kerumunan sekitar langsung kacau, beberapa orang menerjang dan mulai menghajarnya. Meski bertubuh besar dan atletis dari main basket, dia tak punya pengalaman berantem profesional. Ditambah belakangan mulai kecanduan narkoba, kini dikepung beberapa orang sama sekali tak bisa melawan. Sekalipun sedang mabuk berat, mustahil ada peluang menang. Dalam hujan pukulan dan tendangan, pria yang tadi mengajak ngobrol Tsukike Kaoru kembali berdiri di samping gadis itu, sepertinya masih terus mengoceh.
Duduk di sofa, Jiaming memandang segalanya dengan dingin. Tiba-tiba teringat sesuatu: "Huang Haobang... Belakangan ini Lao Yang yang suplai narkobanya ya?"
“Seharusnya Shen Shou Kuan bawahan Lao Yang.” Xiao Meng menjawab, “Aku tidak terlalu paham, beberapa hari lalu... sepertinya Shasha yang bicara ke pihak Lao Yang, lalu Shen Shou Kuan mulai menjilatnya, mengirainya seperti saudara sendiri. Dengar-dengar dua hari lalu di sebuah bar sisi barat kota dia mabuk dan membuat masalah. Wilayah itu milik San Qing Bang, kemudian Shen Shou Kuan yang maju, hampir bertempur dengan San Qing Bang. Karena Shen Shou Kuan begitu melindunginya, di tempat-tempat kawan biasa, dia diperlakukan seperti keluarga sendiri.”
“Shasha...” Jiaming mengerutkan kening, “Aku tidak dengar hal ini, tapi Shasha tidak suka pecandu narkoba. Untuk apa dia minta Lao Yang urus Huang Haobing?”
Xiao Meng mungkin juga tidak paham detail persoalannya. Saat membuka pintu dan berbicara dengan dua pria kekar di gerbang, pria yang mengelilingi Kaoru itu melihat si cantik tak menghiraukannya. Tangan kirinya mendorong dingin, tubuh pria setinggi lebih dari 1.8 meter itu langsung kehilangan keseimbangan dan terlempar 2 meter. Sekeliling tertegun, lalu riuh rendah suara terkejut, sorak sorai, dan nyindir. Memalukan di depan wanita, kawannya tentu tidak menyerang, hanya mengejek. Beberapa pria yang masih memukuli Huang Haobing berhenti, tertawa terbahak-bahak melihat kejadian ini.
Xiao Meng tentu juga melihat pemandangan ini, menoleh kembali dan berkata: “Konon sebelumnya Huang Haobing berutang pada Shen Shou Kuan sejumlah uang akibat kecanduan narkoba. Awalnya dikira dia punya keluarga dan kekuasaan, tapi setelah ditanya ternyata ayahnya sudah turun jabatan. Bocah ini tak bisa melunasi utang, lalu Shen Shou Kuan hendak menyuruh orang memukulinya. Hasilnya… kira-kira dia meminta Shasha menghubungi Lao Yang untuk membujuk. Lao Yang memarahi anak buahnya. Shen Shou Kuan tentu salah paham, tidak hanya menghapus utang narkobanya, sekarang bahkan sudah menanggung semua kebutuhan hidupnya…”
“Heh…” Jiaming tersenyum geleng-geleng kepala. Dari sisi Xiao Meng terdengar: “Atau kuberi tahu juga ke Lao Yang, jamin mulai sekarang tak akan ada satu pun di Kota Jianghai yang berani menjual narkoba padanya.”
Di aula bar luar kantor, pria yang bangkit dari lantai jelas merasa malu. Dorongan spontan Kaoru tidak terlalu kuat, dia hanya mengira kehilangan keseimbangan karena efek alkohol sambil bergumam dengan hujatan sambil berdiri. Satu tangan menepuk keras permukaan bar di depan Kaoru, tangan lain hendak menyentuh tubuhnya. Tiba-tiba, tubuhnya terlempar ke udara, berputar dua kali seperti kupu-kupu sebelum terhempas keras ke lantai. Seorang kawan di sampingnya secara bawah sadar hendak menyerang, namun gadis itu mengayunkan tangan kanan - dengan suara Byur! - kepala pria itu ditindih ke bar. Botol alkohol pecah berkeping-keping dalam cahaya yang berkelap-kelip, ujung pecahannya yang tajam kini menempel di tenggorokannya. Dalam cahaya yang fluktuatif itu, Jiaming bisa membaca gerak bibir Kaoru: "Aku sedang menunggu seseorang. Jangan cari masalah."
Xiao Meng yang menyaksikan kejadian dari luar juga terkejut oleh adegan kilat tadi. Gadis itu tetap duduk stabil di bangku bundar, tangan kanan menekan kepala pria, tangan kiri memegang pecahan botol yang menancap di lehernya, dengan ekspresi dingin membeku. Cahaya lampu bar mengalir di pipinya yang sempurna bagai kristal, membekukan momen dramatis nan mempesona di depan mata semua orang.
Jiaming memikirkan urusan Huang Haobing, menggelengkan kepala: "Lupakan saja, tak peduli dia, kau juga tak perlu menyebarkan kabar... Aku harus pergi, urusan K2 masih perlu kusahkan kau menyampaikan pada ayah Shasha. Dia sudah berkecimpung di Jianghai selama bertahun-tahun, tahu presisi gerakan."
"Aku antar kau pergi."
Xiao Meng mengikuti Jiaming keluar, dua pria kekar secara alami mengikuti di belakang. Di depan meja bar, orang-orang tertegun oleh serangan mendadak Kaoru, untuk sementara kawan-kawan mereka tak berani bertindak sembarangan. Sebagian menyuruh meletakkan barang, beberapa wanita yang terlihat seperti gadis nakal menyuarakan ancaman penuh - ada yang ingin menghancurkan wajah Kaoru dengan asam, ada yang ingin memerkosanya bergiliran, ada yang ingin memotretnya telanjang. Jiaming mendengarnya dari kejauhan, tersenyum: "Gadis nakal sekarang benar-benar liar ya..."
"Setahun lalu mereka benar-benar melakukannya, katanya ada teman sekolah yang membantah salah satu dari mereka, kemudian diperkosa bergiliran dan difoto telanjang, kabar burungnya seperti ini..." Xiao Meng menoleh bertanya pada salah satu pria kekar, "Sepertinya ada kejadian seperti itu kan?"
"Ada, kadang terlihat fotonya tapi tak menyebar. Katanya wanita itu kemudian pergi atau bunuh diri, tapi ada juga kabar pihak lawan juga orang jalanan, dua wanita berebut kakak tertua, akhirnya hal yang terjadi, siapa yang tahu..."
"Wow, benar-benar hebat..." Jiaming penuh semangat, berdecak kagum: "Wuih... Wuih..."
Pada saat yang sama, Huang Haobing yang sudah babak belur tiba-tiba bangkit dari lantai. Dengan kasar ia menghantamkan seorang pria ke bar, lalu melancarkan serangan bertubi-tubi kepada beberapa orang yang baru saja memukulinya. Namun keperkasaan ini hanya bertahan beberapa detik. Beberapa saat kemudian, Huang Haobing kembali dijatuhkan ke lantai. Meski satu kawannya sedang ditahan oleh gadis dingin di sebelah, pihak lawan yang tampak tidak punya hubungan dengan pemabuk ini terus memukulinya. Orang yang baru saja terhantam ke bar mengumpat kasar, mengambil botol bir dari meja terdekat lalu menerjang. Begitu tangannya diayunkan, botol alkohol itu hancur berkeping-keping menjadi serbuk.
Di sampingnya, Xiao Meng mengayunkan punggung tangan kanannya dengan kuat. Botol alkohol itu pecah, lalu dengan momentum yang sama ia menghantam wajah pria tersebut. Tubuh pria itu seperti perisai yang rubuh ke lantai, wajahnya berlumuran darah. Beberapa orang yang sedang memukuli Huang Haobing membeku: "Kak Meng... Kakak Xiao Meng..." Meski Xiao Meng jarang datang ke sini, para preman ini jelas mengenal figur ikonik seperti "Xiao Ma Ge dari Kota Jianghai".
Mengeluarkan tisu dan dengan dingin mengusap-usap cairan di punggung tangan, pandangan menusuk tulang Xiao Meng menyapu sekeliling. Di dalam bar, anggota geng Shazhu Bang tiba-tiba mengerumun. Gadis yang duduk di bangku bundar melepaskan orang yang ditahannya, lalu mendekati Jiaming sambil membungkuk hormat, kemudian berdiri tenang di sampingnya.
"Kakak Xiao Meng, saya adik laki-laki Yong Ge. Ini semua teman-teman saya..."
Tak tahu mengapa Kakak Xiao Meng muncul di sini, atau kenapa tiba-tiba menyerang. Salah seorang dari mereka mendekat sambil tersenyum, yakin ini bukan masalah serius. Sementara itu, Jiaming berjongkok dan mulai mengeksplorasi isi pangkuan dua orang yang tergeletak. Karena jaraknya agak jauh dari Xiao Meng tadi, kawan-kawan mereka berteriak: "Hei, kau ngapain!"
"Kau ini siapa?!"
"Asal meraba-raba..."
Xiao Meng menyapu mereka dengan tatapan dingin: "Kalian semua ingin MATI, ya?"
Mengambil dua bungkus pil dan sekantong kecil narkoba dari pangkuan seseorang, Jiaming bertanya sambil menunduk: "Yong Ge itu siapa?"
"Cuma preman kelas teri." Jawab Xiao Ming singkat, lalu bertanya, "Bagaimana dengan mereka?"
"Seret semua keluar dan hajar." Ia menyerahkan barang-barang itu ke Kaoru sambil menjelaskan, "Obat halusinasi, obat perangsang... Oh iya, yang perempuan-perempuan itu juga satu kelompok... Mereka tidak perlu dipukuli."
Para pendekar dunia persilatan yang berkeliaran ini biasanya memiliki kebiasaan tidak mengusik wanita. Orang-orang di sekitar yang tidak tahu identitas Jiaming, hanya melihat cara Xiao Meng berbicara dengannya, mulai merasa takut di hati. Beberapa wanita nakal yang baru saja menghujat tadi, melihat jari Jiaming menunjuk ke arah mereka, berusaha membela diri. Namun setelah mendengar mereka tidak perlu dipukuli, baru lega. Tapi tak disangka, Jiaming hanya berhenti sebentar dan berkata: "Yang bilang akan merusak wajah, seret keluar dan rusak wajahnya! Yang bilang mau perkosa bergilir, seret keluar dan perkosa! Yang bilang mau foto telanjang, perkosa dulu baru foto! Apa yang mereka inginkan, lakukan sesuai keinginan mereka."
Begitu kata-kata ini keluar, bahkan anggota Shazhu Bang di sekitar pun terkejut. Hal seperti ini memang pernah mereka lakukan, tapi ketika diucapkan oleh seorang pemuda berwajah tak berbahaya dalam situasi seperti ini, terasa sangat aneh. Beberapa orang mengira ini candaan, tapi nada bicaranya sama sekali tidak seperti bercanda. Para wanita dan kawanannya langsung ketakutan. Xiao Meng hanya melirik dingin: "Tidak dengar? Seret mereka keluar!"
Seketika, tangisan, hujatan, dan rengekan memenuhi kerumunan. Sepuluh lebih pemuda-pemudi langsung ditangkap. Dalam gemuruh musik, orang-orang di jauh sana sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba jari Jiaming menunjuk ke seorang gadis berpakaian aneh di samping: "Oh ya, dia tidak termasuk."
Anggota Shazhu Bang yang menyeret gadis itu protes: "Dia juga bagian dari kelompok mereka..."
“Tetapi dia tidak bisa melakukannya.” Jiaming berkata dengan datar, “Anggota tim lainnya, jika ada kesempatan, seharusnya bisa membuatnya.” Tidak jelas bagaimana dia menilai konsekuensi dari nada suara para wanita ini, tetapi dengan kehadiran Xiao Meng, semua orang tidak berani banyak bertanya dan melepaskan gadis itu. Selamat dari malapetaka, gadis nakal yang menangis itu nyaris pingsan sambil terduduk di lantai, menyaksikan beberapa perempuan kawannya diseret keluar dari pintu belakang bar. Dalam silang cahaya lampu yang terang-gelap, noda air berbau anyir menggenang dari antara pahanya di atas lantai.
Seorang anggota Shazhu Bang datang menanyakan tingkat kekerasan pemukulan yang diinginkan. Xiao Meng menjawab: “Patahkan kedua kakinya, buat mereka tidak bisa turun dari ranjang selama dua bulan.” Pada saat yang sama, Jiaming berjongkok dan bertukar pandang dengan Huang Haobing yang wajahnya berlumuran darah namun terlihat sangat terkejut, lalu berkata:
“Perlu kusuruh ambulans untukmu?”
## Bagian Tiga Ratus Empat Kelly
Dua hari berikutnya, Tenku Masaoka mencari jejak para yang direkayasa di kota. Jiaming kembali ke keluarga Huang untuk menjelaskan hubungannya dengan Fang Zhitian, dengan mengarang kebohongan seadanya. Kabar yang kemudian beredar malah berupa rumor rahasia seperti “Dongfang Ruo punya hubungan khusus dengan Gu Jiaming” yang tersebar dari mulut ke mulut di kalangan yang tertarik.
“Konon si tunanetra Dongfang Ruo kasmaran diam-diam pada Gu Jiaming...”
“Katanya saat Dongfang Ruo datang ke Jianghai dulu, dia pernah berhubungan dengan Gu Jiaming...”
“Dengar-dengar Dongfang Ruo waktu berkunjung ke Jianghai kemarin diperkosa oleh Gu Jiaming... Dia kan tuna netra, tak punya kemampuan perlindungan diri, akhirnya Gu Jiaming memanfaatkan kelemahannya, begitu begini... Fang Zhitian sebenarnya datang untuk meminta pertanggungjawaban, tapi kalian juga tahu, Dongfang Ruo itu kan tuna netra, harus ditangani diam-diam, mungkin dengan menyuruh Gu Jiaming menikahinya, hal ini bisa selesai...”
“Binatang... binatang buas... Gu Jiaming ini benar-benar binatang... Andai saja waktu Dongfang Ruo datang kemarin aku lebih dulu...”
Paragraf terakhir memang mengandung unsur candaan, tapi dunia lebih menertawakan kemiskinan daripada pelacuran. Jika Jiaming benar-benar sudah menggauli Dongfang Ruo tapi masih belum MATI, orang lain tentu hanya bisa iri. Tuna netra itu apa artinya, yang penting koneksi Fang Zhitian bisa membawa manfaat sebesar apa.
2 hari kemudian pada nanti sore, Kelly*Vernam akhirnya tiba di Jianghai.
Bunyi "Ding" lembut saat Gula Batu jatuh ke dalam gelas kopi. Sendok kecil mengaduk pelan-pelan. Wanita berambut pirang itu menyesapnya lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum: "Aroma ini..."
“Kau mengajakku keluar untuk mengobrol atau khusus datang minum kopi?” Di seberang wanita pirang itu, Yahan yang mengenakan setelan kantor tersenyum. “Mencari kopi Eropa asli di sini tidak mudah, Millie. Tapi jika benar ada syarat khusus, aku bisa beri tahu beberapa klub underground yang cukup autentik.”
"Waktu menunjukkan sekitar pukul satu siang, cuaca cerah. Karena sudah memasuki musim panas pada dasarnya, matahari yang agak menyengat memancarkan cahaya dan panasnya dengan semena-mena di langit. Ini adalah kafe di dekat Akademi Hati Kudus. Sejak liburan panjang Mei mulai diterapkan tahun ini, hari-hari ini merupakan periode ujian tengah semester di akademi tersebut. Di jalan di luar kafe, para mahasiswa berjalan berkelompok dua atau tiga orang, suasana santai dan tegang berbaur secara unik - pengalaman yang pasti pernah dirasakan semua orang yang pernah menjadi pelajar."
"Di pagi hari aku menerima telepon dari teman sekelas di Cambridge yang sebelumnya sudah janjian bertemu, tapi akhirnya baru bisa ketemu siang ini. Senior bernama Milia yang berdarah Jermanik ini setelah lulus bekerja di Grup Sid. Kali ini dia datang ke Tiongkok sebagai asisten yang menyertai tim investasi grup tersebut. Tentu saja, dalam tim perintis yang penuh elit seperti ini, tugas asisten hanyalah urusan-urusan dasar yang paling melelahkan. Tapi selama bisa ditangani, ini akan menjadi pengalaman sangat berharga dan berguna untuk karir di dunia bisnis nanti."
"Masih tidak perlu." Milia tersenyum, "Kapan ada waktu? Begitu turun dari pesawat kemarin, selain menemani para bos dalam acara jamuan, aku harus mengatur data-data tak terhitung. Mengajakmu ngobrol ini pun pakai waktu yang disisihkan di sela-sela siang hari. Sekarang kamu bagaimana kabarnya?"
"Jadi guru, simpel saja." Yahan tersenyum sambil menepuk-nepuk tumpukan soal ujian di sampingnya.
"Aku kira kamu akan bekerja di perusahaan keluarga. Waktu di Cambridge dulu sudah dengar situasi keluargamu tidak biasa lho."
"Minatku tidak ke sana..."
“Berkah di depan mata tapi tak sadar, kau tak tahu betapa aku ingin punya perusahaan keluarga. Rasanya pasti menyenangkan bisa menjadi nona bangsawan yang menunjukkan kemampuan.”
Yahan tersenyum ambigu: “Perusahaan Sid juga bagus, kan? Perusahaan kelas dunia. Sekarang kau bisa mencapai level ini, meski lelah pasti bahagia?”
“Memang cukup memberi kepuasan, aku suka tantangan.” Milia si rambut pirang menyesap kopinya, “Tahu? Asal bisa melewati ujian kali ini, ilmu yang kudapat cukup untuk menjabat sebagai manajer regional di perusahaan multinasional mana pun. Nanti kalau kau jadi bos perusahaan keluarga, pertimbangkan untuk merekrutku ya.”
“Bagaimana hubunganmu dengan Hans sekarang?”
Milia yang sedang meneguk kopi langsung tersedak, matanya membelalak: “Aduh, sudah lima enam tahun! Jangan-jangan kau kira kami masih bersama?”
“Tapi dulu kalian sangat mesra. Kupikir kalian akan menikah...”
“Masa-masa di kampus itu... Dia workaholic, aku juga workaholic. Makanya otomatis jadian. Tapi jujur, setelah pengalaman pertama di ranjang, rasanya jadi hambar. Setelah lulus sempat tinggal bersama sebentar. Bayangkan, pasangan yang belum menikah tapi tinggal bersama, dalam sebulan bercinta kurang dari sekali... Jadi kami berpisah baik-baik. Sekarang kadang masih makan bersama, bisa dibilang teman baik. Setelah tak ada prosedur naik ranjang, hubungan kami justru lebih harmonis. Keahlian kami berdua saling melengkapi, kadang saling bantu menyelesaikan tugas pekerjaan.”
“Lebih dari teman, belum mencapai kekasih.”
“Apa?”
Percakapan mereka sebagian besar dalam bahasa Inggris, sebagian kecil pakai bahasa China. Tapi Millia bukan ahli Tiongkok. Setelah Yahan menjelaskan, barulah dia mengangguk: “Kurang lebih seperti itu perasaannya. Lalu kamu? Bagaimana kehidupan percintaanmu sekarang?”
“Sangat berwarna.” Yahan menjawab sambil tersenyum.
“Sangat—kaya—ragam?” Millia mengulang satu per satu dengan perlahan, tubuhnya condong ke depan dengan antusias, “Kau sedang mengayuh dua perahu sekaligus?”
“Bicara nanti saja.”
“Saat baru lampus dengar kabar, ada yang bernama Xu Mo mengejarmu, keluarga terpandang, tahun lalu di reuni teman sekelas Cambridge mereka juga menyebut Xu Mo ini, dia pacarmu kan?”
“Aku dengannya bahkan teman biasa pun tidak pernah melakukan. Gosip benar-benar menakutkan.” Yahan menyeruput kopi, segera membocorkan, “Aku sedang menjadi selir orang.”
“Bohong!”
“Ngapain bohong, ini juga bukan hal yang sangat membanggakan.” Hal-hal semacam ini mungkin hanya bisa dibahas di depan teman sekelas asing yang tidak terkait kepentingan, Yahan mengangkat mata putihnya.
“Orang itu pejabat tinggi di Tiongkok?”
“Bukan.”
“Lebih besar daripada kekuatan keluargamu?”
“Bukan.”
“Lalu kenapa kau mau menjadi selirnya?”
“Karena aku benar-benar suka padanya.” Yahan tersenyum, satu per satu dengan perlahan, “Aku sangat, sangat... mencintainya.”
“Ooh.” Millia menatapnya lama, kembali duduk di tempat semula, “Terserah kau. Tapi bagaimana rasanya? Maksudku aku tidak tahan kalau priaku punya wanita lain.”
"Perasaan... Kadang sangat senang, kadang merasa tersakiti, kadang juga merasa bersalah. Saat senang aku bersembunyi di dalam selimut sambil tertawa, saat sedih dan bersalah aku duduk termenung. Aku juga tidak tahu apakah kita benar-benar punya masa depan, tapi..." Dia mengangguk, "Aku akan berusaha!"
Ucapan ini lebih tepat disebut sebagai monolog dibanding obrolan dengan teman. Tentu saja Millie juga memahaminya. Setelah dia selesai berbicara, Millie mengalihkan topik: "Ngomong-ngomong, perusahaan keluargamu itu kan Hainan Heavy Industries?"
"Iya, kemarin di jamuan penyambutan kau melihat papaku?"
"Zhang Jing'an? Hmm." Millie tersenyum sambil mengangguk. Sebelum datang ke Jianghai, dia sudah mempelajari situasi ini dengan detail. Pertanyaan ini terdengar agak dibuat-buat. Dengan senyum tipis dia melanjutkan, "Sebenarnya tujuan kedatangan kami belum benar-benar ditentukan. Mungkin membangun pusat perbelanjaan, atau pabrik bahan mentah, pabrik produk jadi, dan sejenisnya. Tapi sebagian besar mungkin di bidang elektronik berteknologi tinggi. Sayangnya tidak ada peluang kerjasama dengan industri berat, kalau tidak aku bisa memutuskan banyak hal."
"Tujuan belum ditentukan? Hanya datang untuk melihat-lihat?" Yahan mengerutkan alis, "Tapi... Kudengar ada wanita bernama Kelly*Vernam dalam tim kalian kali ini?"
"Bagaimana kau tahu?" Millie terkejut.
"Eh... Papaku pulang kemarin, kira-kira menceritakan pembicaraan dengan Mr. Geweite, lalu menyebut ada wanita bernama Kelly*Vernam yang sepertinya memiliki posisi tinggi, agak aneh..."
“Kami memberi tahu dunia luar bahwa dia sedang berwisata, kebetulan kami adalah teman sehingga sekadar teman seperjalanan. Tapi pandangan ayahmu benar-benar tajam……” Milia memandanginya dengan kagum, “Ini rahasia dagang, tapi tidak apa-apa memberitahumu. Wanita bernama Kelly*Vernam inilah pengambil keputusan utama kali ini, dia memiliki wewenang penuh atas itinerary ini. Semua keputusan harus melalui persetujuannya baru bisa berlaku.”
Mungkin karena wanita-wanita hebat selalu punya keinginan saling membandingkan, ekspresi Milia saat ini sangat kompleks: “Entah hubungan tingkat berapa yang dia miliki dengan pimpinan perusahaan, ini kan cuma kasus investasi. Tuan Jiwitt yang merupakan manajer terbaik di dunia pun harus patuh pada komandonya. Bahkan murid SD pun tahu, hal seperti ini paling ditakuti kalau diintervensi orang yang tidak paham. Benar-benar tidak mengerti alasan di balik keputusan pimpinan kali ini. Kelly itu terlihat lebih muda dari Yahan, sebelumnya juga tidak pernah dengar dia punya reputasi di bidang investasi atau manajemen. Tiba-tiba muncul begitu saja, akhirnya Tuan Jiwitt pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyuruh kami mengumpulkan semua data yang mungkin diperlukan, membuat rencana-rencana tak terhitung sebagai referensi. Belum pernah melakukan pengumpulan data tanpa tujuan jelas seperti ini…”
“Mengenai data dasar sebagian besar perusahaan di area Jianghai, kurasa aku bisa membantu.” Yahan tersenyum samar, “Tapi… sebenarnya Kelly*Vernam itu orang seperti apa sih?”
Millia kali ini mengajaknya keluar, di satu sisi untuk bernostalgia, tapi yang lebih penting tentu untuk meminta bantuan "ular lokal" ini mengumpulkan beberapa barang. Meski tugas pengumpulan data kali ini benar-benar konyol, bahkan jika tidak melakukan apa-apa pun mungkin tidak akan dihujat, tapi jika dikerjakan dengan sangat hebat, tentu akan meningkatkan poin di hati sang bos. Awalnya ingin mengungkitnya di akhir, tapi tak disangka setelah keluhan-keluhan justru Yahan yang membuka mulut lebih dulu. Dengan girang, ia tersenyum membuka tas kecilnya dan mengeluarkan dompet.
"Wanita itu sih, aku juga tidak terlalu kenal. Sebelumnya sudah dapat pemberitahuan, tapi tak ada yang pernah melihatnya sampai naik pesawat. Selama di pesawat juga tidak banyak berinteraksi, duduk sendiri sambil main kartu tarot sepanjang jalan. Mr. Guivett yang mencoba bicara pun dia tidak terlalu merespon. Tapi kalau kau ingin melihat, di sini ada foto dirinya."
Dia mengeluarkan foto dan menyodorkannya di depan Yahan. Foto itu mungkin direplikasi tanpa menggunakan film negatif, warnanya terlihat sedikit tidak natural, beberapa bagian terlalu mencolok. Latar belakang foto tampaknya di Venesia, jalanan di tepi dasar sungai dengan kapal-kapal yang hilir mudik. Seorang gadis kulit putih berdiri di atas kapal kecil yang mengikuti arus, wajahnya memancarkan kesan polos dengan sentuhan liar, di hidungnya terpasang kacamata hitam yang lebar hingga terkesan berlebihan. Rambut hitamnya agak berantakan, namun helaian rambut halus yang menyapu ke mulutnya menciptakan daya tarik yang memikat. Pakaian kasual yang kusut, celana jeans berkerut, kedua tangan dengan santai terselip di kantong - seolah-olah bahkan saat kiamat tiba, dia tetap tenang tanpa peduli.
"Atasan mengirimkan ini untuk identifikasi, Pak Witt menitipkannya padaku."
"Dia cantik ya, aura yang sangat memikat. Ngomong-ngomong, tidakkah kau merasa dia mirip selebriti film?" kata Yahan sambil tersenyum setelah mengamati foto itu.
"Selebriti film? Siapa?"
"Itu lho..." Dia berpikir keras sejenak, mungkin sedang blank mendadak, sebuah nama terhenti di mulutnya lama tak terucap. Di saat yang sama, sebuah tangan dari belakang mengambil foto itu: "Mirip Sophie*Mae?"
"Betul. Polos, liar, plus aura yang elegan." Yahan menoleh sambil tersenyum. Di belakangnya berdiri Jiaming yang baru saja masuk tadi, menatap foto itu dengan alisnya sedikit berkerut.
“Jiaming, bagus kau sudah datang. Bantu saya bawa tumpukan soal ujian ini ke kantor. Saya mungkin masih perlu waktu sebentar baru masuk.”
“Membantu guru membawa soal ujian... Rasanya saya jadi siswa teladan berprestasi.”
Sambil mengerutkan kening meletakkan foto, Jiaming bergumam sambil membawa soal ujian, bersiap menghilang. Yahan tersenyum: “Siswa teladan berprestasi? Aku sih mau juga.” Milia bertanya: “Dia siapa?”
“Muridku.” Jawab Yahan datar.
Keduanya mengobrol lagi di kedai kopi sekitar setengah jam lebih. Saat Milia hendak kembali ke hotel tempatnya menginap untuk melanjutkan pekerjaan, telepon Yahan berdering. Setelah menerima telepon, raut wajahnya aneh.
“Ada apa?” Tanya Milia.
“Sophie*Marceau akan mengunjungi kampus kami nanti sore. Katanya keputusan dadakan, sudah memberi tahu pihak kampus, lalu pihak kampus baru memberi tahu kami... Proyek kalian kan tidak ada hubungannya dengan sekolah? Banyak tempat di Kota Jianghai yang bisa dikunjungi, kenapa langsung memilih kampus kami...”
“Nona Kelly mau mengunjungi sekolah?” Milia mengerutkan kening sejenak, lalu mengangkat bahu. “Tak tahu. Dia memang makhluk aneh. Tapi... Kau tidak ingin dia berkunjung?”
“Tidak... Hanya merasa heran...”
……
……
Di sisi lain, setelah menaruh soal ujian di kantor Yahan, saat melangkah keluar pintu, Jiaming sedikit mengerutkan kening.
Di hati sepertinya ada perasaan tidak enak, tapi tidak bisa dijelaskan secara konkret. Mungkin kesan terlalu dalam yang ditinggalkan Kelly Vernam saat mengguncang Dunia Kegelapan membuatnya terpengaruh saat melihat foto wanita itu lagi. Sekalipun kedatangannya kali ini benar-benar untuk mengonfirmasi keterkaitan antara Jian Suyan dengan "Bu Guru si cantik" dalam ingatannya, kamuflasenya mustahil langsung terbongkar seketika.
Seharusnya tidak...
Mungkin saja...
## Bagian Tiga Ratus Lima: Nama Ibu Anda Siapa
Hingga memasuki kelas, pikiran Jiaming sebenarnya masih terpaku pada urusan Kelly Vernam, tapi secara lahiriah sama sekali tak terlihat.
Nanti sore ada dua sesi ujian tengah semester. Kelas sudah diisi lebih dari separuh siswa. Ada yang sedang kebut-kebutan belajar, tapi kebanyakan mengobrol berkelompok sambil merencanakan liburan Mei pertama mereka. Kaoru yang anehnya malah belajar materi kuliah fisika dengan rapi di meja jelang ujian, benar-benar tak ada duanya.
Karena ujian, meja yang biasanya berpasangan kini diatur berjajar tunggal. Tapi bagaimanapun, kursi Kaoru tetap di sebelah Jiaming. Saat ini dia mengenakan setelan putih sederhana, rambut panjangnya menutupi sebagian profil wajah. Hiasan sakura putih nan anggun menempel di atas kepalanya. Wujudnya yang sedang asyik membaca membuat setiap teman yang lewat - baik laki-laki maupun perempuan - tak kuasa menahan pandangan.
"Aura tenang dan indah inilah yang selama dua tahun terakhir menarik begitu banyak surat cinta untuknya, sekaligus menghancurkan hati rapuh para remaja pria. Meski baru tahun 99 dan belum masuk era keterbukaan gender dimana fujoshi merajalela, dia bahkan pernah menerima beberapa surat cinta kalem dari perempuan, membuktikan betapa mempesonanya gadis cantik Jepang ini. Saat pertama datang ke Tiongkok, kesannya hanyalah cantik namun dingin bagai duri yang tak boleh didekati. Setelah dua tahun, duri-duri itu telah tertahan, mengubah kesan dinginnya menjadi ketenangan yang mampu menaklukkan semua gender."
"Lingjing bilang saling oper alat di lokasi ujian tidak baik, takut kau lupa bawa perlengkapan lagi. Jadi dia siapkan satu set alat tulis untukmu."
Melemparkan kantong plastik kecil berfungsi sebagai kotak alat tulis ke meja Kaoru, Jiaming berjalan ke meja di bagian dalam lalu duduk.
"Terima kasih." Mengangguk, setelah jeda sejenak barulah berbisik pelan, "Tenmasa-kun kemarin bilang, sudah dikonfirmasi Pei Luo Jia akan bertindak dalam beberapa hari ini. Orang-orang mereka mungkin sudah menyusup ke Jianghai, hanya saja belum terdeteksi."
"Hmm, aku tahu. Kedatangan Kelly Vernam ke Tiongkok menandakan kerjasama [] dengan Dark Celeste telah naik ke tingkat lebih tinggi. Tentu mereka akan bertindak. Tapi operasi kali ini relatif misterius, aku juga belum menangkap intinya. Tapi kurasa, mungkin hanya misi pembunuhan biasa..."
"Ada bau darah di sekitar Tuan Gu."
“Tadi malam aku Bunuh seorang pembunuh yang datang ke Jianghai, tapi cuma antek satu ekor……” Jiaming menjawab sambil lalu. Sejenak kemudian, dia tertegun, menoleh ke gadis Jepang di sebelahnya, “Kau bisa merasakan aku pernah MEMBUNUH? Bau darah?”
Sulit dipastikan, apakah di detik itu ada senyum tipis yang nyaris tak terlihat di profil anggun gadis itu. Dia menatap Jiaming: “Karena menduga Tuan Gu akan pergi MEMBUNUH, aku sengaja bilang begitu, ini bahan ejekan.”
“……Kau juga mulai nakal.” Beberapa saat kemudian, Jiaming mengangkat mata putihnya.
“Apakah Tuan Gu ingin menepuk kepalaku? Aku bisa melihatnya.”
“Malam ini aku akan menepuknya dengan keras.”
Lelucon dingin berakhir di sini. Sejak Tenku Masaoka datang, emosi Kaoru selama 2 hari ini terlihat lebih hidup. Entah apa yang dia bicarakan dengan Kaoru, tapi secara umum bisa dibayangkan, Tenku Masaoka tak punya banyak perasaan pada Kaoru. Yang dia suruh Kaoru lakukan hanyalah menggoda ku, menyelundupkan ku ke perang dengan Pei Luo Jia tanpa terasa.
Hal seperti ini tidak bisa dianggap tabu. Jiaming yang memanfaatkan orang lain, tentu juga harus mempersiapkan diri untuk dimanfaatkan balik. Yang dia pedulikan bukanlah jebakan seperti ini, melainkan setiap kali menyadari transformasi bertahap Kaoru, selalu teringat dunia masa lalunya - mayat yang menyentuh seperti kupu-kupu setelah bunuh diri di rumah tua keluarga Yuechi. Gadis itu dahulu, setelah disakiti dan diperkosa, menjaga hati yang terluka selama delapan tahun dalam kesepian, akhirnya memilih mengakhiri nyawanya, hanya menyisakan jasad dingin nan indah. Di dunia lain, gadis yang sama membebaskan diri dari jalan masa lalunya, bertumbuh perlahan. Kata "ceria" mungkin tak pernah ada dalam kehidupan aslinya.
Bukan berarti dia terlalu sentimental. Perbandingan semacam ini membantu memahami pemikiran Morikami Kura, Fang Zhitian, Natalia*Nis secara lebih objektif. Namun bagaimanapun, hal-hal seperti ini selalu terasa ajaib, memicu renungan yang dalam.
……
……
Sekitar pukul tiga setengah, bel pertama ujian berdering. Selanjutnya ada waktu istirahat sekitar dua puluh menit.
Duduk bosan di kursi memandang pemandangan lapangan, jam elektronik di tangan kiri tiba-tiba bergetar. Setelah memasang earphone dan mendengar kabar yang datang, tanpa sengaja membuka mulut lebar. Beberapa menit kemudian, Dongfang Wan bahkan berlari sambil membawa telepon, menepuk meja kuliahnya: "Cepat! Cepat!" Misterius sampai MATI.
“Apa？”Hubungan dengan Dongfang Wan sehari-hari selalu terasa ada membran pemisah, tapi sebenarnya bisa dibilang termasuk pertemanan yang cukup unik. Melihatnya sedang tegang kali ini, Jiaming pun ikut keluar, berlari turun dari gedung sekolah. Dongfang Wan berkata: “Aku akan bawa kau ketemu seseorang.”
“Hah？”
“Orang yang kemarin kau pamer kenal di depan Ying Zifeng itu! Pembuat keputusan dari grup Sid yang datang kali ini. Denger ya, di rombongan Sid ini, Witt cuma figure permukaan. Yang punya wewenang sebenarnya bukan Witt, tapi seorang cewek. Ini rahasia, jangan bocorin! Susah payah baru bisa kudapat info ini dari kakak dan papanya.”
“Rahasia...” Melewati taman bunga, Jiaming mengulang dengan nada kecewa. Sebenarnya tuduhan bahwa Witt bukan pengambil keputusan juga agak kurang tepat. Kelly*Vernam memang punya posisi tertinggi di delegasi investasi ini, tapi bukan berarti dia akan terlibat langsung dalam setiap hal. Secara tepat, dia mewakili pemimpin Dark Celeste, Natalia*Annis - sosok setingkat kepala keluarga yang mewakili separuh kekuatan keluarga Ross. Investasi Sid yang terlihat sangat vital bagi para pedagang Jianghai ini, bagi Natalia*Annis mungkin cuma hal sepele yang bisa diabaikan.
“Kemarin kau asal nebak bilang yang datang cewek, ternyata benar. Namanya Kelly*Vernam. Kudengar dia sedang berkunjung ke sini. Ayo kita cari dan lihat, biar kau tahu seperti apa orangnya.”
“Jiaming menghela napas: 「Lihat sekilas lagian kenapa, kau mau kerjasama bisnis mainan dengannya?」”
“Pabrik mainanku kan tidak besar, memang tidak punya hak untuk kerja sama dengan mereka. Tapi waktu itu kau membual habis-habisan di depan Ying Zifeng, Lei Qing dan yang lain, masa tidak penasaran siapa sebenarnya orang utamanya? Lagipula... grup sebesar ini yang mau berbisnis di Jianghai, meski biasanya pasti cari perusahaan besar berintegritas, tapi belum tentu juga kan? Keluarga Huang... hmm, meski sedang ada rintangan, tapi kan sudah sangat mengenal Jianghai, siapa tahu ada kesempatan kerjasama. Katanya belakangan kau sampai membuat Fang Zhitian datang ke rumah, eh...”
Dongfang Wan adalah orang yang perhatian, terutama ketika hal-hal tertentu sedikit berkaitan dengannya, rasa tanggung jawabnya seringkali luar biasa. Setelah beberapa saat, dia menoleh bertanya: 「Ngomong-ngomong... Fang Zhitian cari kau buat apa sih? Kabarnya kau mengganggu Ruoruo, tapi waktu itu kalian cuma bertemu beberapa kali saja, aku juga ikut.」”
“Batuk... sebenarnya Dongfang Ruo waktu itu jatuh cinta pada pandangan pertama padaku, pulang terus langsung sakit...”
“Mati kau.” Senyum menghina tak terkira, lalu menggelengkan kepala. “Sudahlah, aku tahu keahlianmu mengacau dan berlagak aneh itu memang juara.” Dia memiliki pemahaman yang dalam dan sadar tentang Jiaming, tahu bahwa bertanya pun mungkin percuma, apalagi orang ini ada hubungan dengan Kakak Suyan yang pernah menyelamatkan Paman Fang, wajar kalau ada keanehan di antara mereka.
Meski Dongfang Wan memanggil Jiaming keluar, dia hanya tahu bahwa Kelly sedang mengunjungi kampus, namun tidak mengetahui lokasi pastinya. Setelah berputar-putar di dalam kampus selama setengah hari dan bertanya pada beberapa orang, akhirnya mereka menemukan sekelompok orang yang sedang berkeliling di sisi gedung laboratorium. Dari kejauhan, selain pimpinan kampus termasuk Yahan, terdapat seorang perempuan asing berpostur sekitar 1,65 meter memakai kacamata berbingkai sempit di barisan terdepan. Rambut hitamnya dipotong sangat pendek, helaian rambutnya berkibar pelan tertiup angin. Ia mengenakan kemeja lengan panjang warna kuning muda dilapisi rompi tanpa lengan bergaris abu-abu, serta celana sutra hitam yang rapi menyelimuti sepatu bot kulit hitam bertumit rendah hingga hampir separuhnya. Penampilannya mirip mahasiswi pemalu yang kalem, namun tetap memancarkan aura kemandirian. Dengan senyum tipis di bibir, ia mengangguk sopan mengikuti penjelasan para pimpinan kampus.
Di belakangnya, terlihat delapan pengawal berbaju jas hitam yang mengikuti secara berkelompok.
"Lihat, itu Kelly*Vernam. Katanya dia kerabat ketua direktur Grup Sid."
"Membawa delapan pengawal sekaligus, saya rasa dia pasti sangat tidak merasa aman." Jiaming mengerutkan kening.
“Ini memang perlu, oke…Ngomong-ngomong, waktu lihat foto kemarin, aku dengar dari ayahku. Lihat yang nomor dua dari belakang, pengawal yang bertubuh paling besar. Katanya dulu pernah jadi juara tinju kelas berat di Eropa. Oh ya, bukannya kau bilang dekat dengan Nona Kelly ini? Katanya dia lesbian, sekarang coba bilang sekali lagi di depan dia.” Dongfang Wan tersenyum menunjuk Jiaming, “Aku jamin kau akan dihajar satu pukulan sampai gepeng olehnya.”
“Darimana kau tahu dia bukan lesbian? Lagipula tidak ada alasan yang menunjukkan dia tidak bisa menyukai anak laki-laki imut.” Jiaming mengangkat bahu.
Keduanya melirik ke arah sana beberapa saat ketika bel ujian sudah berbunyi. Di kerumunan orang sebelah, Yahan justru langsung melihat kedua orang ini. Melihat Jiaming juga ada, dia hanya tersenyum dan melambai menyuruh mereka buruan ikut ujian.
Sepanjang jalan kembali ke kelas, ujian kedua sudah dimulai. Seluruh kampus tenggelam dalam keheningan yang tidak biasa. Kira-kira sekitar tiga puluh menit ujian berjalan, derap langkah kaki terdengar dari lorong luar kelas. Tak lama kemudian, bayangan Kelly Vernam muncul di depan pintu kelas.
Mungkin ini permintaan yang diajukan atas inisiatifnya sendiri. Sebagian besar pimpinan sekolah sekarang sudah tidak mengikutinya. Hanya Yahan yang menemani tamu asing penting ini, memberikan penjelasan perlahan. Delapan pengawal bertubuh besar mengikuti dari belakang.
“Ini adalah Kelas 6 Tingkat 2 SMA…”
Di ruang kelas sebelumnya, Kelly hanya melirik sekilas lalu berlalu. Namun kali ini, ia berhenti di ambang pintu kelas. Yahan mengerutkan alis, mulai menjelaskan dengan suara lembut. Para mahasiswa yang sedang mengerjakan soal ujian di dalam kelas pun terganggu, tak kuasa menatap wanita cantik berkulit putih itu. Kelly sama sekali tidak merasa risih diperhatikan, malah menyapu seluruh ruangan dengan senyum penuh rasa ingin tahu.
Beberapa saat kemudian, barulah dia berbisik dalam bahasa Inggris kepada Yahan: "Boleh saya lihat?"
"Hmm..." Pertanyaan yang ambigu itu membuat Yahan bingung mencari jawaban. Kelly menganggapnya sebagai persetujuan, lalu melangkah masuk ke kelas. Ia mengangkat kursi guru di podium sambil berkata: "Pinjam ya, terima kasih." Pengawas ujian yang bingung bertukar pandang dengan Yahan. Dengan gelengan tangan, Yahan menyuruhnya bersikap normal.
Membawa kursi itu, Kelly keluar melalui pintu depan dan berjalan memutar ke pintu belakang. Di bawah tatapan penuh tanya para mahasiswa, ia menuju sudut paling dalam kelas. Kursi itu ditempatkan persis di sebelah Jiaming. Dari depan kelas, Dongfang Wan terdiam membatu, mulutnya menganga membentuk huruf "O". Dalam hatinya bergolak: Apa mereka benar-benar saling kenal? Jangan-jangan wanita itu memang lesbian?
Yang juga menunjukkan perubahan ekspresi wajah adalah Yahan yang mengikuti di belakang Kelly. Dia tahu Jiaming mengenal Kelly Vernam ini, tapi tak pernah mendengar bahwa Kelly Vernam juga mengenalnya. Delapan pengawal berdiri di pintu belakang kelas. Yahan tak bisa berbuat banyak, hanya mengayunkan tangan ke arah mahasiswa yang menoleh ke belakang: "Fokus pada ujian!" Matanya menyaksikan gadis Kaukasia cantik itu duduk di samping Jiaming, penuh semangat mengamati soal ujiannya dan proses pengerjaannya.
Jiaming menoleh sekilas ke wanita di sebelahnya dengan raut bingung, tapi tangan tetap melanjutkan mengerjakan soal. Kelly Vernam tak berbicara, hanya tersenyum mengamatinya memecahkan soal, seolah guru privat yang sengaja Jiaming undang. Saat ini waktu sudah lewat empat poin. Matahari condong ke barat, cahaya keemasan menerpa tubuh mereka berdua melalui jendela, bagai ingin mengabadikan keheningan ini menjadi lukisan indah.
Berdiri di belakang, seiring berjalannya waktu, Yahan mulai merasa tertekan. Sebagai orang yang tahu rahasia, suasana di depannya benar-benar terasa aneh. Tapi yang lebih dominan tentu kekhawatirannya pada Jiaming.
Empat lewat seperempat, Jiaming akhirnya tidak bisa bersabar lagi meletakkan pulpen. Bukan karena dia tidak punya kesabaran, tapi suatu hal pada akhirnya harus ada konsekuensinya. Karena mereka sudah memilih dirinya, menunda waktu menjadi tidak berarti. Lagipula, sebagai anak biasa, setelah diawasi seseorang mengerjakan soal ujian selama sepuluh menit, seharusnya sudah mencapai batas kehilangan kesabaran. Kali ini, sambil memutar kepala dia bertanya pelan: "Halo, ada hal apa?"
Di samping, Kelly*Vernam tersenyum, kemudian berbicara dengan bahasa China yang tidak terlalu lancar, memilih kata-kata dengan hati-hati, namun nadanya lembut dan datar, memancarkan pesan yang sulit diungkapkan:
"Ibu kau... bernama mahal ya?"
Jiaming mengerutkan alis.
## Bagian Tiga Ratus Enam Intuisi
"Your mother... bernama mahal ya?"
Suara perempuan lembut yang dipadukan dengan logat campuran Timur-Barat aneh, bergema pelan di kelas. Atmosfer sebenarnya cukup ganjil, mirip komedi absurd dalam Chinese Odyssey. Pertama-tama memberi perasaan tertegun yang tak terpahami, udara kelas membeku sesaat, kemudian gelak tawa kecil-kecilan mulai bergema dari berbagai sudut ruangan.
Jiaming ternganga membeku di tempat, sejenak seperti kehilangan kata. Kelly masih menatapnya dengan polos. Beberapa saat kemudian, dia kembali berbicara dengan hati-hati memilih kata: "Ayahmu masih baik-baik saja?"
"Err, maaf... dia sudah MATI..."
"Oh, Kakekmu?"
"Belakangan ada yang sedang mengurus pemakaman..."
"Lalu Saudara-saudarimu?"
"Dialog yang agak mekanis sampai di sini, siapa pun pasti tahu ada yang salah. Jiaming pernah merenungkan bagian mana dari dirinya yang mungkin menunjukkan celah, bagaimana Kelly akan menguji dirinya, namun tak disangka mereka justru datang secara terang-terangan dan mengucapkan kata-kata seperti ini. Menarik napas dalam, "Kau sedang menyapa seluruh keluargaku?"
Ekspresi Kelly terlihat sedikit terkejut: "Bagaimana? Tidak bolehkah?"
"Sepertinya aku tidak..."
"Ssst——"
Baru saja Jiaming membuka mulut, jari Kelly sudah teracung di depan bibirnya, menandakan agar dia diam. Dengan rampendek yang stylish dan kacamata yang sudah dilepas, di mata orang lain dia tampak seperti gadis pemberani nan gaya. Menyimpan kacamata, dia mengeluarkan layar TV sebesar telapak tangan dari kantong pengepungan, berkata serius: "Berbicara terlalu pasti tidak baik, bisa melukai perasaanku."
Layar diletakkan di meja Jiaming. Ujung jari putih mulusnya menekan dengan lembut, berputar elegan di udara bagai mengkomandoi pembukaan konser megah. Namun alih-alih musik, yang muncul di gambaran adalah peristiwa penembakan di jalanan New York sekitar Natal tahun lalu. Meski agak kabur, siluet berbaju jas hujan putih itu masih terlihat jelas. Dalam kobaran api ledakan mobil dan kekacauan, sosok itu dengan santai menyemprotkan tembakan senapan serbu, menyatukan kegilaan dan keindahan nan paradoks.
Layar itu tidak terlalu besar, dan tidak mengeluarkan suara, sehingga seluruh gambaran mungkin hanya Jiaming dan Kelly yang bisa melihat dengan jelas. Setelah video pendek itu selesai diputar, Jiaming membuka mulut: "Jika kau ingin menemukannya..."
Belum sempat kalimatnya selesai, profil maskulin Kelly tiba-tiba mendekat, hampir menyentuh jarak mencium pipi, dengan nada kesal dan garang membuka percakapan.
"Kau telah mengekspos terlalu banyak hal - Teman Sekelas Jiaming!"
Bisikan itu tidak keras, mungkin hanya Jiaming dan dirinya yang bisa mendengar. Setelah ucapan itu, Kelly kembali duduk, empat mata menatap dingin. Area kecil ini kembali sunyi, bayangan bertiga terpateri dalam cahaya kuning keemasan.
……
……
"[] tidak berani menyelidikimu, bukan berarti aku juga takut. Kekuatan Pei Luo Jia yang kau awasi tidak bisa melacakmu, bukan berarti aku tidak bisa. Tahukah kenapa aku datang hari ini?"
Suara lembut bergema di telinga Jiaming, bagaikan gumaman sepasang kekasih, penuh nuansa kemenangan. Kelly membungkuk dan berbisik di telinganya.
"Kesalahan paling fatal: kau terlalu membuka radius efektif kerahasiaanmu. Seharusnya kau tidak menyebut namaku pada Guru Yahan di belakang..."
“Mengapa kau melihat fotoku di tempat Milia, hal kebetulan seperti ini, mengapa kau tidak merasa curiga? Heh, apakah aku benar-benar mirip Sophie* Marceau? Meski senang mendapat pujian seperti itu, tapi maaf, hari ini aku harus membongkarmu. Tentu kau bisa memilih berbagi rahasia ini denganku, atau biarkan kubuka rahasia itu sehingga tak lagi menjadi rahasia asli.”
Sejenak, Jiaming menghela napas halus dalam hati. Di kehidupan sebelumnya, dia tidak pernah bertemu langsung dengan Kelly, malah beberapa kali terseret dalam jebakan Pei Luo Jia, ditambah perubahan situasi seluruh Dunia Kegelapan saat itu membuatnya sangat mengaguminya. Dia melakukan segalanya berdasarkan pengalaman, penguasaan situasi skala kecil bisa dilakukan dengan presisi luar biasa, namun dalam hal visi makro seperti ini, bahkan Yahan mungkin lebih hebat darinya. Bermain kecerdikan di hadapan Kelly* Vernam sama saja menyerang keunggulan lawan dengan kelemahan sendiri. Sudah pasti dia tahu akan terbongkar, tapi tidak menyangka dalam bentuk seperti ini. Kini dia hanya bisa tetap mempertahankan wajah dramatis, mendengarkan gadis Kaukasia itu melanjutkan dengan suara manis lembutnya.
“Milia terpilih masuk delegasi investasi karena kami sudah menyelidiki hubungan teman sekelasnya dengan Guru Yahan sebelumnya. Sedangkan Guru Yahan... Sejak kalian kembali dari Amerika, hubunganmu dengannya di mata [] hampir bersifat publik. Jadi kami pun tentu mengetahuinya. Kemudian foto sengaja kulepaskan ke tangannya, kami memasang alat penyadap di tas kecilnya. Ini awalnya hanya salah satu foreshadowing untuk mengonfirmasi dugaan, tak kusangka fungsinya akan bekerja secepat ini...”
“Eksistensiku dalam intelijen organisasi seperti [] dan Takamagahara, sebenarnya adalah rahasia, atau sekadar teman Natalia yang sama sekali tidak penting. Kedatanganku kali ini tentu diketahui pimpinan [], tapi dengan latar belakang Guru Yahan, mana mungkin dia mengetahui keberadaanku? Bagaimana mungkin dia tertarik padaku? Namun dalam percakapannya dengan Milia siang tadi, dialah yang pertama menyebut namaku...”
“Tentu saja, mungkin ada penjelasan lain di sini. Dalam sumber informasi Guru Yahan, selain kau, ada seorang guru bernama Xu Mo yang berteman baik dengan Ying Zifeng dari Keluarga Ying. Jadi mungkin saja dia mendapatkan kabar tentangku. Tapi sekalipun Ying Zifeng, selain mungkin tahu bahwa akulah pemegang hak pengambilan Keputusan kali ini, mustahil dia punya pengetahuan lebih tentangku. Bahkan jika Guru Xu Mo sekarang sudah bermusuhan dengan Guru Yahan, ditambah lagi industri berat Keluarga Zhang sama sekali tidak mungkin memiliki irisan dengan lingkup pengelolaan Grup Seed. Sekadar untuk mengambil hati Guru Yahan, rahasia seperti ini tidak ada artinya bagi Keluarga Zhang. Jadi, dengan probabilitas lebih dari sembilan puluh delapan persen, informasi tentang diriku dia dapatkan dari sini... Mengapa kau tahu tentangku? Mengapa memperhatikanku? Apa kau kasmaran diam-diam padaku...”
Jiaming tersenyum: "Kau datang untuk mengobati Dongfang Ruo, identitas sensitif seperti ini tentu Kakak Suyan memperhatikanmu."
"Salah total!" Kelly mengucapkannya satu per satu dengan perlahan, "Anggap saja kau punya alasan untuk memperhatikanku. Tapi jika kau bukan orang yang kubayangkan, mustahil kau tahu data konkret apa pun tentangku. Sebelum yakin dengan latar belakangku, kau pasti tidak akan berani mengatakannya di depan wanita-wanitamu. Tau alasannya?"
Dia tersenyum tipis, sorot mata aneh berbinar di matanya: "Orang seperti kami yang hidup di Dunia Kegelapan, bagaikan serigala. Hal yang benar-benar menyangkut diri sendiri hanya akan dipikul sendirian dalam diam. Luka pun hanya akan diperlihatkan untuk diri sendiri. Entah kau punya ikatan hati atau tidak, semuanya tetap sama. Kasusmu sangat spesial. Kau punya tiga orang yang kau pedulikan. Di hadapan mereka, mungkin kau menceritakan berbagai hal tak karuan sebagai bahan ejekan untuk membuatmu rileks, sekaligus memberi kesan bahwa kau membuka duniamu untuk mereka. Tapi sebenarnya, kau hanya akan bicara tentang hal-hal yang sudah terselesaikan dan benar-benar kau kendalikan. Begitu menghadapi ketidakpastian, atau ketika bahaya sesungguhnya datang, kau akan menjauhkan semua orang dan memilih menghadapinya sendirian."
"Jadi... Jika kau tidak cukup mengenaliku, dari awal kau takkan membicarakanku dengan Guru Yahan, bukan?"
Jiaming tertegun sejenak: "Jika ini hal yang dilakukan Kakak Suyan, sebenarnya aku..."
"Tidak ada orang yang bernama Jian Suyan!"
Dengan kepercayaan diri penuh, Kelly berkata tegas: "Dari awal sampai akhir, eksistensinya terlalu tipis. Seorang gadis tak terkalahkan dan sempurna yang muncul saat bahaya, lalu menghilang begitu ancaman berlalu. Tak ada jejaknya di belahan dunia mana pun. Di mana dia? Semua data dari berbagai aspek membuktikan bahwa ini hanyalah citra palsu."
"Cuma begitu?"
“Tentu saja tidak cuma itu, yang paling penting adalah, aku mencintainya!” Kelly mengangkat dagunya, namun Jiaming bisa melihat jelas ini adalah gejala saat dia sedang jadi penggemar berat. Sambil berbicara, kedua tangannya meremas-remas pahanya, “Dia adalah penampilan yang sempurna. Video ini kubuka setiap hari di ranjang, bergumam, andai saja dia benar-benar ada! Aku harus mengenalnya, menjadi wanitanya, membuatnya mendidik Xiao Kaili dengan baik. Tapi logikanya sama, karena dia sempurna, intuisiku berkata dia pasti tidak ada!”
“Masalahnya dia benar-benar ada, dan juga tidak sempurna...”
“Aku! Tidak! Menerima! Ini!”
Di telinga Jiaming, gadis itu mengumumkan kesimpulan ini dengan keras. Keduanya saling melotot dalam keadaan berhadapan. Jiaming membuka tangannya sambil mengedipkan mata: “Kau tidak bisa hanya karena intuisimu lalu...”
Belum selesai bicara, Kelly sudah berdiri kasar, kedua tangan menghantam meja kuliahnya. Sebuah pulpen terlempar, soal ujian beterbangan. Ketika menengadah, wajah gadis itu sudah dipenuhi air mata. Dengan geram dia berteriak: “Kau sudah membohongiku selama dua tahun!”
Seluruh pandangan di lokasi ujian tertarik ke arah mereka. Tatapan ke Jiaming seolah melihat seorang pria hidung belang yang meninggalkannya setelah puas. Jiaming masih membuka tangan, sulit mencari cara menghadapi situasi kacau ini dalam waktu singkat. Ini keterlaluan!
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Waktu Tidak Banyak
“Kau sudah membohongiku selama dua tahun!”
Ledakan emosi Kelly benar-benar mengejutkan. Ketika teriakan ini keluar disertai air mata, pemandangan di dalam lokasi ujian menjadi sangat spektakuler. Meskipun mahasiswa Shengxin lebih terbuka dibandingkan anak-anak sebaya pada umumnya, dan cukup banyak yang pacaran dini, tapi belum pernah terlihat seorang wanita beridentitas dan berposisi tinggi datang ke kampus untuk meneriakkan hal seperti ini kepada seorang mahasiswa. Serentak, semua pandangan tertuju ke arah mereka.
Dalam waktu lebih dari sepuluh menit ini, dari sikap Yahan dan delapan pengawal yang mengikuti Kelly dari belakang, sudah bisa dilihat bahwa wanita ini memiliki latar belakang yang tidak biasa. Bagi orang seperti Dongfang Wan yang mengetahui seluk-beluk gadis ini, pemandangan ini semakin membuat mereka terdiam tak percaya, tidak mengerti bagaimana Jiaming bisa memiliki energi seperti ini. Sikap Kelly*Vernam yang seperti istri yang menggerutu ini, seolah-olah Jiaming telah bermain-main lalu meninggalkannya secara kejam. Kedelapan pengawal berbaju hitam tetap diam. Meski hati Yahan juga mulai panik, melihat emosinya yang meluap, ia segera menghampiri: "Nona Kelly..."
“Kalau begitu tidak ada kesepakatan？Kau cuma menebak-nebak saja……” Jiaming mengangkat bahu, berkata perlahan, namun di hatinya sama sekali tidak percaya penilaian Kelly sepenuhnya mengandalkan intuisi. Faktanya, masih banyak masalah yang tidak diungkapkan selama proses deduksi ini. Tapi bisa dibayangkan, Kelly yang bisa sampai di sisinya pasti sudah punya jawaban untuk semua masalah itu. Dia mengerutkan kening, memikirkan cara menghadapi situasi di depan. Kelly sudah melepaskan tangan Yahan pelan-pelan, membungkukkan badan. Wajahnya yang basah air mata justru menunjukkan senyum penuh kemenangan: “Tapi aku punya kesempatan untuk membuktikannya……”
Ekspresi sedih kembali muncul di wajahnya. Dia bangkit dan mundur dua langkah, mengusap air mata. Yahan masih ingin menopangnya, tapi dia mengayunkan tangan memberi isyarat: “Terima kasih, aku baik-baik saja……” Berpaling, dia memberi perintah kepada delapan pengawal berbaju hitam: “Bunuh dia untukku!”
Begitu ucapannya meluncur, bayangan dingin seperti pisau tiba-tiba muncul dari meja - itu Kaoru. Kemudian, Yahan juga menunjukkan ekspresi tegas: “Nona Kelly! Ini di Tiongkok!”
“Aku tahu.” Kelly menengadah sambil mengendus, “Jadi cepatlah panggil polisi!”
Saat itu, suara ribut di kelas sudah bergemuruh. Pengawas ujian tidak tahu harus berbuat apa. Siswa seperti Dongfang Wan yang penuh jiwa keadilan pun bingung apakah harus menegur dengan tegas. Mayoritas siswa justru antusias menggeser meja mereka ke depan, mempersiapkan lapangan kosong untuk pemandangan pertarungan yang akan segera dimulai. Kedelapan pengawal ini hanya menerima perintah dari Kelly. Mereka melangkah maju membentuk formasi pengepungan setengah lingkaran. Kaoru mengibaskan lengan bajunya, sebuah kodachi langsung menyembul. Ia menoleh ke Jiaming, namun melihat gestur "Tidak apa, jangan ikut campur" darinya.
"Nona Kelly, apa sebenarnya yang ingin kau lakukan?" Melihat para pria kekar telah menghalangi jalan di depan, Yahan masih tidak percaya mereka benar-benar akan bertindak gegabah. Dia tahu kemampuan Jiaming, tapi juga paham keinginannya untuk menjaga kerahasiaan. Jika masalah bisa diselesaikan diam-diam, itu tentu pilihan terbaik.
Di depan, Kelly mengusap air matanya dengan lengan baju. Dagu yang angkuh terangkat: "Dia memperlakukanku buruk, jadi aku akan Bunuh dia. Jangan ikut campur!"
Yahan masih ingin berbicara, namun Kaoru sudah mendekat dari samping, menarik lengan bajunya menuju luar. Meski gadis Jepang itu sudah tidak berniat menyerang, tatapannya tetap dingin mengawasi Kelly di depan. Yahan menoleh sebentar, setelah bertemu tatapan tenang Jiaming, baru menggigit gigi melewati para pengawal: "Nona Kelly, kuharap kau tahu batas dalam bertindak. Kami takkan tinggal diam soal ini..."
Dia melangkah dua kali melewati Kelly, mengambil telepon di balkon dan mulai menelepon. Pandangannya masih menancap kuat ke situasi Jiaming di dalam kelas. Bagaimanapun hebatnya identitas Kelly*Vernam, membuat kejadian seperti ini di hadapannya benar-benar memicunya.
Suara di kelas perlahan mereda. Setelah kegembiraan awal mereda, para mahasiswa ini jelas juga menyadari membiarkan orang asing memukul teman sekelas secara terbuka bukanlah hal yang membanggakan. Tapi melihat wujud delapan pengawal profesional itu, seisi kelas pun mungkin takkan mendapat untung meski menyerbu. Apalagi pertama, Jiaming memang jarang berinteraksi dengan semua orang, kedua sikap Kelly yang menyatakan ini karena Jiaming "berlaku buruk padanya" membuat mereka sejenak merasa bingung harus berbuat apa. Hanya Dongfang Wan yang sudah menelepon memanggil bantuan, mungkin pada ayahnya atau kakaknya. Jiaming dengan kekecewaan berdiri di bawah sinar matahari dekat jendela, menyaksikan para pengawal berhenti di depannya.
Di hadapan Kelly, delapan orang yang terpilih ini terdiri dari mantan juara tinju, penguasa pasar gelap, tentara bayaran di bawah Dark Celeste, bahkan pengguna kekuatan supernatural. Saat diperintahkan untuk menyerang seorang pemuda bertubuh tidak tinggi, meski patuh, sorot mata mereka jelas menyiratkan keraguan. Namun karena Kelly sudah menyatakan "harus MATI", tingkat serangan mereka harus benar-benar tanpa ampun. Yang pertama bersiap menyerang adalah mantan juara kelas berat yang pernah disebut Dongfang Wan, menggerakkan tubuhnya sambil bergumam berat: "Are
you ready？”
Di belakang, Kelly bersemangat menjelaskan: "Dia bertanya apakah sudah siap!" Jiaming tak bisa menahan senyum getir. Jika sampai sekarang masih tidak bisa memahami pola pikir Kelly, itu sungguh keterlaluan lambatnya. Wanita gila ini sama sekali tidak peduli pada apapun, hanya mengikuti kesenangannya sendiri. Sekarang dia benar-benar ingin delapan orang ini menyerangnya tanpa ampun. Jika bisa bertahan, tentu itu akan membuktikan identitasnya. Jika bukan Jian Suyan yang asli, mungkin saja nasibnya berakhir MATI dipukuli di tempat.
“Bertiga berkomunikasi di Jaringan selama dua tahun. Dengan sumber daya yang telah dikuasai Jiaming, menemukan topik pembicaraan yang menarik bagi mereka tentu bukan hal sulit. Bisa dibilang mereka sahabat yang saling terbuka, hanya menurut estetika Kelly, obsesi bahwa dia 'harus menjadi si cantik' tetap tak tergoyahkan, tak menerima solusi lain. Kemunculan misterius Jiaming di awal memberi kesan mendalam, sehingga selama dua tahun interaksi ini, wanita ini mungkin menganggapnya sebagai game teka-teki terbesar. Sudah sampai tahap ini, transparansi menjadi mustahil dihindari. Tapi kalaupun kalah, mustahil langsung mengaku hanya karena diteror. Dalam Tingkat relasi seperti ini, Kekuatan adalah keharusan.”
Dengan senyum getir tak berbahaya, dia menyambar jaket luar dan melemparkannya ke arah sang Raja tinju. Kemudian menyusul teriakan Jiaming yang menggema di kelas:
“Lepaskan jurus batu nisan besarku!”
Baru sore hari cahaya matahari masih terik, dia duduk di tepi jendela dan melepas jaket luar lalu menggantungnya di sandaran kursi. Gerakan mengayunkan tangan secara spontan seperti mengibarkan panji-panji ini berhasil menghadang penglihatan Raja Tinju. Tubuhnya merosot, raksasa dari Eropa ini secara bawah sadar mengangkat tangan untuk menghadang dan mendorong. Kemudian terdengar suara "Byur" menggema di kelas, meski mulut Jiaming berteriak kencang, tangannya sudah mengayunkan kursi. Kualitas kursi kayu mahasiswa ini memang tidak terlalu bagus, namun empat kakinya terbuat dari pipa besi tipis. Saat dihantamkan keras ke tangan Raja Tinju melalui baju, bahkan dua kaki kursi sampai melengkung dan terlempar ke belakang, menghancurkan kaca jendela sebelum jatuh ke lantai bawah.
Jaket Jiaming juga ikut terlempar oleh ayunan Raja Tinju. Sebenarnya bisa saja jatuh ke bawah, tapi Jiaming dengan gesit menariknya kembali. Melihat si raksasa bertubuh besar ini dengan santai meregangkan otot tanpa cedera, matanya memancarkan ketakutan sambil mundur dua langkah: "Hei, serius nih?"
"Hmm." Kelly di belakangnya dengan elegan mengangkat kedua tangan.
"Jangan dekati aku!" Kursi sudah terlempar, Jiaming mundur selangkah sampai punggungnya menempel dinding. Dengan cepat dia memanjat ambang jendela sambil melototi Raja Tinju yang terus mendesak: "Kalau mendekat lagi, aku lompat!"
Si raksasa tetap melangkah maju, Jiaming tersenyum sambil mengangkat bahu.
"Lantai dua... Kau kira aku tidak berani?"
"Tangkap dia!"
Ketika teriakan Kelly terdengar, Jiaming langsung berbalik dan melompat ke lapangan di belakang. Sekelompok mahasiswa berdesakan di jendela untuk melihatnya. Namun Kelly juga berlari sambil tersenyum ke tepi jendela. Melihat pemuda di bawah yang menunjukkan jari tengah lalu menyusuri lereng gunung terpencil di belakang kampus, dia menangkupkan tangan di mulut sambil berteriak: "Larilah! Lihat bisa lari ke mana kau!" Ekspresinya seolah sudah tahu sejak awal bahwa pertarungan ini takkan terjadi di dalam kelas.
Begitu berbalik, senyum itu langsung menghilang dari wajahnya. Dengan jentikan jari pelan, gadis itu berkata datar: "Mulai sekarang, tangkap dia. MATI dipukuli!"
Di bawah terik matahari, delapan pengawal berjas hitam melompat dari jendela dan mulai mengejar pemuda yang telah memasuki lereng gunung terpencil di belakang kampus.
……
……
Karena alasan khusus, posisi Kelly di Dark Celeste - setidaknya untuk saat ini - tidak terlalu tinggi. Dia hanya cocok dengan Natalia*Nis dan kadang berkeliaran di laboratorium. Inilah juga alasan mengapa kedatangannya ke Tiongkok kali ini merupakan operasi resmi pertama yang dia jalankan atas nama Dark Celeste. Sebagian besar anggota masih belum sepenuhnya memahami otak gadis ini.
Contohnya, delapan pengawal yang memiliki penilaian lux kelas atas di dalam organisasi Dark Celeste ini, sebenarnya belum memiliki rasa percaya terhadap komando Kelly. Terutama dalam operasi kali ini—membunuh seseorang di dalam kampus tanpa menggunakan senjata pemusnah massal seperti senjata api. Perintah ini sendiri terasa absurd. Sekalipun orang Tiongkok memberi kehormatan besar, mustahil membiarkanmu MEMBUNUH di depan publik. Tentu saja perintah tidak boleh dilanggar, tapi bisa ditafsirkan. Di hadapan semua orang, target mereka kemungkinan adalah ahli dari []. Perintah "bunuh" mungkin hanya untuk memastikan mereka bertarung mati-matian. Namun ketika perintah resmi turun dan yang dihadapi adalah anak kecil, barulah mereka benar-benar kebingungan. Inilah yang memberi Jiaming kesempatan untuk bereaksi dengan begitu santai.
Saat Jiaming berlari ke lereng gunung terpencil Akademi Hati Kudus, delapan orang itu mengejarnya dengan masih menyimpan keraguan di hati. Begitu masuk hutan, Andrew si juara tinju kelas berat berbisik, "Bercanda macam apa ini? Benar-benar harus MEMBUNUH anak itu?"
"Ini perintah," kata Howard yang jago muay thai di sampingnya. Beberapa detik kemudian dia menambahkan, "Lagipula kau kan bukan belum pernah membunuh orang."
"Tapi tidak pernah yang tak masuk akal seperti ini. Kalau hari ini MEMBUNUH, malam ini kita harus mengendap-endap keluar dari Tiongkok. Lalu apa tujuan kita datang ke sini..."
"Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Intinya... pukul dia setengah mati dulu. Jika si wanita itu bersikeras suruh bunuh, ya kita bunuh lalu langsung pulang..."
Target terlalu lemah, tugas seperti ini terlalu bodoh, sehingga semua orang di hati memiliki sedikit emosi aneh. Bayangan di depan kadang muncul, kadang menghilang, sedang berjalan ke kedalaman hutan. Delapan orang menggunakan kecepatan tertinggi, namun tetap sulit mengikuti. Sampai di antara hutan lebat, jejak target benar-benar hilang, tapi bisa dipastikan pemuda itu pasti tidak jauh di sekitar. Salah satu orang memberi gestur, delapan orang langsung berpencar, memperluas radius pencarian.
Di pihak lain, Yahan juga aktif memanfaatkan koneksi, mempersiapkan protes ke delegasi Seed yang datang kali ini. Tapi, ketika Kaoru menelepon dan menghubungi Tenku Masaoka, justru dia yang datang menghentikan aksi tidak berarti ini dari Yahan.
Beberapa menit kemudian, semua orang di hutan baru mulai merasakan hal ini agak rumit. Bayangan yang mereka kejar tiba-tiba menunjukkan sedikit petunjuk, lalu lenyap tanpa jejak. Tanpa senjata, berkali-kali target lolos secara misterius dengan memanfaatkan penguasaan kondisi geografis. Benar-benar aib terbesar. Tak lama, delapan orang juga mulai memencar di hutan, berjarak puluhan meter. Kadang saling terlihat, kadang hanya mendengar suara. Tiba-tiba petinju Andrew berteriak: "Tangkap kau!"
Tak jauh, Howard secara tiba-tiba menoleh. Dari kejauhan terlihat di antara pepohonan, sehelai baju lagi menyelimuti tubuh besar Andrew yang mengerikan. Suara pemuda bergema di udara: "Tangan Penghancur Batu Besar!"
Seolah mengulang kejadian serupa, Andrew telah kehilangan kesabaran. Tangan kirinya menghadang sebuah ayunan, sementara tinju kanannya yang kekar dan kokoh telah melesat bagai petir. Meski mengendalikan kekuatan, namun gelombang tekanan dari pukulan itu tetap menakutkan. Di depannya, sang pemuda yang berlari mendekat melompat tinggi. Kali ini tanpa membawa senjata seperti bangku, ia langsung mengayunkan tangan kanannya, menangkis pukulan dahsyat itu dengan tamparan keras ke bawah.
Berakhir...
Di kejauhan 20 meter lebih, Howard menangkap bayangan pikiran ini. Tubuhnya yang semula tegang dalam siaga kini mulai mengendur. Ia hanya memandang ke arah itu dengan dingin. Dapat dibayangkan, detik berikutnya sang pemuda akan terlempar sambil muntah darah, lalu jatuh pingsan. Namun dalam imajinasinya, yang terdengar hanya suara "Byur" yang menggema.
Dasar hutan dipenuhi tumpukan daun dan ranting kering yang membuat tanah menjadi gembur. Saat itu, tubuh besar itu bagai potongan kulit babi tak bertahan, "Byur!"—terhempas jatuh dan tenggelam ke dalam tanah seperti tembakan meriam...
Sesaat kemudian, sang pemuda mengambil jaket luar yang terjatuh, lalu bergegas mendekati Howard tanpa jeda. Pergelangan tangan kanannya berputar cepat, menciptakan ritme yang mendesak dan terburu-buru.
"Sudah kuperingatkan dia, tapi... cepatlah, kepalaku pusing dan waktu kita tak banyak..."
## Bagian Tiga Ratus Delapan Malam Tiba
Matahari membara di Langit Barat menjadi mega merah yang cemerlang, bergelombang seperti ombak, di atas atap-atap kompleks perumahan dekat Akademi Hati Kudus yang berjejal rapi maupun di antara jalanan, semuanya tertutupi cahaya senja yang menyegarkan hati.
Tepat waktu pulang sekolah dan jam pulang kerja, kerumunan orang di jalanan dan pasar pun bertambah banyak. Bunyi lonceng sepeda dan klakson kendaraan sesekali terdengar. Pusat game dipenuhi mahasiswa ber-tas sekolah maupun preman yang lebih tua, keriuhan suara mereka menyatu dalam hiruk-pikuk senja. Dua gadis pelajar yang menyamar di kerumunan orang, setelah menunggu truk lewat, menyebrang jalan dan berlari ke arah pusat game.
Kedua gadis ini berusia sekitar enam belas tujuh belas tahun, dengan postur tubuh yang sudah berkembang sempurna, relatif lebih tinggi dan ramping dibanding perempuan sebaya. Wajah anggun mereka membuat mereka menjadi pusat perhatian di kerumunan. Salah satunya memakai jaket hijau danau dengan kemeja putih di bagian atas, rok panjang putih bermotif bunga-bunga kecil di bagian bawah, rambut panjang terurai memberi kesan lembut. Yang lain mengenakan setelan kasual putih dengan garis hitam lurus dan sepatu olahraga, ekor kuda di belakang kepala berkibar-kibar membuat seluruh dirinya memancarkan energi segar. Keduanya membawa tas sekolah model sama, sambil mengobrol berjalan cepat menuju pusat game.
Di dalam game center, beberapa siswa SMA yang juga membawa tas sekolah justru lebih dulu memperhatikan dua gadis tersebut. Dari pakaian mereka, jelas mereka bukan dari Akademi Hati Kudus, mungkin berasal dari sekolah lain yang datang untuk bermain game. Memandangi siluet dua gadis dengan rambut panjang berkibar-kibar dalam cahaya senja keemasan, mereka tertawa-tawa di depan pintu game center. Saat kedua gadis mendekat, seorang remaja tinggi badang tiba-tiba berlari keluar dari dalam, nyaris menabrak gadis berbaju panjang bermotif bunga. Sang gadis mengulurkan tangan menahan tubuhnya, sambil sedikit mengerutkan alis.
"Hei, nona cantik, kau menabrakku tuh." Tabrakan seperti ini jelas-jelas disengaja atau tidak. Remaja berbaju seragam sekolah itu tersenyum bicara, sementara seorang temannya di belakang meniupkan siulan menggoda. Jarinya belum sempat meninggalkan bibir, tiba-tiba muncul sosok di belakangnya. "Prak!" Suara tamparan yang nyaring sekaligus membuatnya linglung. Tubuhnya oleng beberapa kali. Saat menoleh, ternyata ada pria berparut pisau di wajah bertubuh besar. Bersamaan dengan itu, banyak orang dari dalam game center mulai mendekat.
Dari sikap mereka, jelas ini adalah preman profesional yang konsepnya sama sekali berbeda dengan para siswa yang masih berseragam. Lima enam orang itu spontan mundur beberapa langkah. Remaja yang sebelumnya menabrak itu wajahnya berkedut-kedut: "K-Kakak, kami tidak melakukan apa-apa lho..."
“Sial!” Di detik berikutnya, orang ini sudah ditendang jauh ke tengah jalan oleh pria berparut pisau itu. Beberapa sepeda bersama pejalan kaki di tepi jalan buru-buru menghindar, "Kau memang tidak melakukan apa-apa! Kalau benar kau berani berbuat sesuatu, bukan aku yang akan menghajar kau!"
"Sakit jiwa..." Dengan pandangan jijik ke arah pemuda yang tergeletak di tanah, dua gadis berbalik ke tangga di samping game center menuju lantai dua. Gadis yang lebih anggun di depan menoleh berkata: "Kak Shui, terima kasih ya, jangan sampai terlalu keras memukulnya."
Gadis berekor kuda di belakang tersenyum manis: "Cukup beri mereka luka kecil untuk mendinginkan kepala, jangan benar-benar melukai ya, haha."
Kemudian, jeritan pilu memenuhi jalanan. Beberapa siswa SMA dengan tas punggung diseret masuk ke gang belakang yang gelap oleh sekumpulan preman di bawah senja merah... Dihujani kekerasan DAN penganiayaan.
Gadis kalem yang berwajah lembut meski relatif tenang, namun sehari-hari juga sudah mendengar banyak kisah dan kabar angin. Terhadap pria pengganggu yang terlihat membosankan seperti ini, tak ada rasa kasihan yang tersisa. Awalnya mungkin hanya iseng, kali ini mereka bertemu orang dominan yang malah dipukuli. Tapi jika bertemu gadis tanpa kekuatan, mungkin pihak perempuanlah yang dirugikan. Sebagian besar kasus pelecehan dan perkosaan, mungkin berawal dari hal iseng sepele yang akhirnya tak terkendali. Sampai di gerbang lantai dua, dia mengeluarkan kunci membuka pintu kamar. Aroma nasi yang hampir matang mengepul dari dalam kamar. Kedua gadis itu tak bisa menahan tarikan napas lega: "Jiaming, kau sudah sampai rumah duluan?"
Masuk ke ruang tamu, mengenakan sandal, pemuda dengan noda air masih tersisa di rambutnya muncul dari dapur. Tampak baru saja mandi dan sudah berganti pakaian, melihat keduanya kembali, ia memberikan senyum lembut: "Ada urusan nanti sore, jadi aku pulang duluan. Bahkan ujian tidak bisa kuselesaikan. Shasha, bukannya kau bilang setelah ujian ada pertandingan voli yang harus dimainkan?"
Melemparkan tas sekolahnya, Shasha duduk di bangku panjang sambil melepas kaos kaki, mengangkat bahu sambil tersenyum: "Jangan bicara tentang itu. Setelah ujian aku mencari-cari kau, ternyata katanya kau menghina wanita asing dan dikejar-kejar sampai ke lereng gunung terpencil. Mana sempat aku memikirkan pertandingan? Langsung ditarik Lingjing kabur pulang."
"Tidak apa-apa?" Lingjing langsung mengambil celemek bergambar Doraemon dari dinding di tepi pintu dapur, sambil mengikatkannya bertanya dengan suara pelan.
“Hal sepele, sudah selesai.” Jiaming memberikan gestur OK kepada bertiga, kemudian berkata pada Lingjing, “Kau yang masak? Qingcai sudah dicuci, iga babi juga sudah dicincang, terserah kalian mau dimasak bagaimana.”
Shasha melompat dari bangku panjang: “Qingcai dicincang buat sup daging! Hongshao Paigu!”
“Kau memang jago makan.” Lingjing mengikat celemek sambil menolehkan senyum.
“Lagipula tidak ada waktu untuk mengempukkan iga.” Sambil berbicara, dia melepas jaket luar, “Urusan dapur serahkan pada dua selir kesayangan, Kaisar ini berkeringat main bola siang tadi, mandi dulu.” Mengambil baju dari kamar, dia berlari ceria menuju toilet.
Saling bertukar senyum, Jiaming dan Lingjing masuk ke dapur. Lingjing menggeser iga di talenan dengan pisau, mengambil daun Qingcai dari baskom lalu mulai mencincang. Jiaming menutup kompor api, tiba-tiba mendengar suara samar dari luar, tertegun: “Sepertinya ada perkelahian di gang belakang...”
“Heh, tadi aku dan Shasha pulang, hampir digoda di gerbang game center. Sekarang mungkin Kak Shui sedang menghajar rombongan itu di gang belakang.” Lingjing menoleh sambil tersenyum, rambutnya berkibar diterpa senja dari jendela yang melukis profilnya yang cantik dan lincah, suaranya lembut bertanya, “Eh, dulu tidak pernah ada yang berani mengganggumu sampai kampus, tidak apa-apa kan?”
“Tidak apa, hanya kecelakaan kecil, tapi malam ini harus pergi keluar.” Dari belakang merangkul pinggang ramping Lingjing, Lingjing tersenyum menabraknya, namun dia malah semakin erat memeluk, dari belakang mencium aroma wangi rambut gadis itu.
“Kalau malam masih pulang?”
“Selesai urusan langsung kembali, tidak akan lama.”
Dari kamar mandi terdengar suara Shasha bernyanyi sambil mandi, Lingjing tertawa: "Aku tidak ingin tahu urusanmu, tapi kau hati-hati ya, aku dan Shasha sangat khawatir..."
Dalam cahaya senja, aroma masakan mengepul dari rumah-rumah, menguar aura kehangatan dan kebersamaan. Tentu saja, di gang belakang yang gelap itu, beberapa pria bermata garang keluar meninggalkan korban yang masih mengerang kesakitan, bersama aroma masakan tadi, menyatu menjadi ratus wajah kehidupan...
“...Kalau begitu, Gu Jiaming masuk ke lereng gunung terpencil lalu menggoyahkan mereka dan kabur pulang?”
Saat senja sirna, pertanyaan serupa bergema di mulut banyak orang di Kota Jianghai. Di antaranya ada Fang Zhitian, Dongfang Linghai, Tenku Masaoka, juga seorang pria bernama Ying Zilan yang baru tiba dua hari lalu. Di hadapan mereka, basically intelijen yang sama, dan pertanyaan yang mengikutinya.
Sama seperti perjalanan ke Jianghai sebelumnya, Fang Zhitian saat ini sedang menginap di villa keluarga Dongfang. Setelah makan malam, dia menemani Dongfang Ruo yang duduk di kursi roda di balkon villa untuk menikmati angin sepoi-sepoi sambil minum teh dan mendengarkan laporan intelijen yang diterima. Jika di masa lalu, hal seperti ini akan dia usahakan agar tidak melibatkan keponakannya yang sakit-sakitan. Namun tampaknya sang keponakan juga mulai tertarik pada pemuda bernama Gu Jiaming ini. Karena tidak ada adegan kekerasan atau bau darah dalam urusan kali ini, akhirnya mereka berdua mendengarkan bersama.
"Kalau dipikir-pikir, alasan yang diberikan Nona Kelly*Vernam adalah karena adik Jiaming kami telah membohonginya selama dua tahun. Sebenarnya apa yang dibohonginya ya..."
Pertanyaan yang lebih mirip gumaman ini tidak mengharapkan jawaban. Fang Zhitian melirik Dongfang Ruo yang duduk di sampingnya. Terkait Gu Jiaming, sebenarnya ada kepentingan pribadi yang sulit diungkapkannya pada keponakan ini. Dalam setahun terakhir, dari beberapa percakapan, dia mulai menyadari bahwa sang keponakan memiliki perhatian khusus pada pemuda yang hanya beberapa kali ditemui ini. Sulit menjelaskan alasan pastinya. Tapi sebagai gadis belasan tahun yang menunjukkan rasa ingin tahu pada seorang anak laki-laki, perasaan ini sulit tidak dikaitkan dengan cinta sejati.
“Ada kemungkinan keponakan saya memiliki simpati samar terhadap pemuda itu, atau sesuatu yang lain—setidaknya dalam hati Fang Zhitian, ada pemahaman seperti itu. Bagi dia, Dongfang Ruo dianggap lebih berharga daripada putrinya sendiri. Di sisi lain, situasinya sangat istimewa. Setelah eksperimen kekuatan supernatural yang keliru dulu, kehidupan keponakannya selalu berada di tepi kepunahan. Apa pun yang bisa menarik minatnya akan dia prioritaskan. Meskipun dalam intelijen [], Gu Jiaming dicap sebagai penipu perasaan yang mengarungi tiga kapal sekaligus, itu tidak menjadi masalah baginya. Yang bisa didapatkan keponakannya bukanlah keabadian. Selama dia bisa merasakan kebahagiaan dengan menaruh simpati pada seorang pemuda, integritas pihak lain bukanlah halangan. Cukup dengan meninggalkan jejak bahagia dalam hidupnya yang singkat.
Tentu saja, masih terlalu dini untuk menyimpulkan pemikiran ini. Setelah merenung sejenak, dia bertanya lembut pada keponakan di sampingnya: “Ruo Ruo, apa kesanmu tentang Nona Kelly yang akan merawatmu? Kalian sudah bertemu semalam.”
“Err... Kakak asing yang cukup menarik...”
"Menarik?" Fang Zhitian mengerutkan kening. Perasaan keponakan selalu paling tajam, tapi deskripsi seperti ini terlalu umum. Namun, ketika Dongfang Ruo mengangguk seolah tak ada tambahan pemikiran, dia pun berhenti mengejar lebih lanjut. Penyakit Dongfang Ruo berasal dari kekuatan supernatural di otaknya. Baginya, setiap pemikiran setara dengan membakar Kehidupan. Daripada membimbingnya memikirkan hal-hal ini, lebih baik membiarkannya berkhayal indah tentang cinta sejati atau kebahagiaan dalam keheningan, mungkin ini hal yang lebih bernilai.
"Tapi... Gu Jiaming itu larinya cepat sekali, ya? Memang pantas menjadi murid Jian Suyan..."
"Ya, kurasa dia bisa kabur."
Dongfang Ruo tersenyum, mengangguk.
Matahari akhirnya menghilangkan cahaya terakhir di langit barat. Langit menggelap, lampu-lampu bertebaran dari dekat hingga jauh. Di luar radius efektil villa, kota besar yang akhirnya bersinar terlihat di kejauhan. Mata gadis itu kosong, memandang seluruh dunia dengan tenang, memantulkan cahaya yang seolah bisa menembus segalanya...
"Waktu berlalu, setengah jam kemudian, di sebuah kamar Hotel Gu Yuan, delapan pria sedang mengoleskan obat luka masing-masing. Sebagian bertelanjang dada, ada yang hanya mengenakan celana pendek, berbagai bagian tubuh mereka menunjukkan bengkak kemerahan dan memar yang mengejutkan. Luka-luka ini sebelumnya tertutupi jemuran pakaian, memungkinkan mereka berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa saat pulang. Ketika sampai di tempat sepi, barulah mereka punya waktu mengobati tubuh sendiri sambil mengingat proses ketegangan pertempuran singkat selama beberapa menit itu."
"Dengan kedua tangan menopang dagu, gadis bernama Kelly duduk di bangku kecil di sudut ruangan, menyaksikan para jagoan memamerkan tubuh berotot di hadapannya. Meski orientasi seksualnya lesbian, tubuh para pria yang terlatih dengan sempurna ini membuatnya terpuaskan - setiap otot dipenuhi kekuatan."
"Nana-nana, kan sudah kukatakan dari dulu harus MEMBUNUH dia! Kalian tidak tega, minimal tunjukkan sikap ingin MEMBUNUH. Sekarang baru tahu salah?" Ujarnya sambil menikmati pemandangan, "Waktu belum datang, kalian berlagak seperti petarung nomor satu organisasi. Hasilnya... Delapan orang! Dipermalukan begitu saja! Mengerti artinya 'di langit masih ada langit'? Sekarang kalian bisa kagumi aku - waktu kuteriak-teriak di hadapannya, dia tidak bisa berbuat apa-apa!"
"Ini bukan duel hidup dan MATI, lagipula kalau pakai senjata..."
"Pakai senjata?" Sebagai genius dengan kecerdasan melebihi 180, Kelly konsisten mempertahankan kebiasaan menyeringai dingin dan menyela pembicaraan orang secara ekstrem, "Jika kubilang teknik tekanan perhatiannya hampir setara Yoritomo Taku, berani kau mainkan senjata di hadapannya? Kalian memang jago bertarung fisik, tapi soal senapan, apakah delapan orang sekaligus punya keyakinan hadapi Yoritomo Taku?"
"Bagaimanapun juga..." Dia berdiri sambil cemberut tak nyaman, "Hal ini harus dirahasiakan dari siapapun. Kalian kejar sampai ke hutan lalu hilang jejak... Jangan anggap remeh rahasia ini. Mengutip pepatah, tak perlu suka padaku, tapi harus mutlak tunduk. Hanya gadis genius sepertiku yang bisa jamin kelangsungan hidup kalian. Jika tak sadar akan hal ini..." Jarinya mengkilat dingin, "Aku yang akan bunuh kalian lebih dulu!"
Begitu ucapannya melandai, desir angin tiba-tiba mengeras. Tiga sosok di depan mundur tergopoh-gopoh. Dalam sekejap mata, tubuh Kelly bergerak secepat hantu. Jari-jari rampingnya menyambar leher ketiganya secara simultan. Meski hanya simbolis, kecepatan itu membuat mereka sama sekali tak sempat menghindar!
Bel pintu tiba-tiba berbunyi.
Semua orang terkejut oleh serangan kilat itu, dalam tatapan yang masih penuh keheranan, gadis itu melangkah riang menuju gerbang. Di luar sudah menunggu seorang manajer hotel bersama pelayan yang membawa setumpuk rekaman video: "Nona Kelly, ini kaset film Sophie*Marceau yang Anda minta. Mau kami antar ke ruang pemutaran kecil atau ke kamar Anda..."
"Tak usah kalian bawa, aku sendiri yang akan membawanya pulang. Sini, berikan padaku."
Dengan susah payah menerima kotak-kotak hitam dari pelayan, ia menutup pintu menggunakan kakinya sambil berjalan ke kamar: "Dibilang mirip Sophie*Marceau... Entah benar cantik atau tidak. Kalau berani menghina, hmph..." Meski terlihat senang dengan perbandingan Jiaming tadi, siapa sangka ia sebenarnya tak terlalu paham dengan sosok Sophie*Marceau.
Pukul delapan malam, sosok anggun bernama "Jian Suyan" keluar dari gerbang sebuah kompleks perumahan. Berbalut busana musim panas sederhana, ia menyelip di antara hutan baja yang berkilauan neon, menghilang tanpa jejak...
Malam di kota ini baru saja dimulai...
## Bagian Tiga Ratus Sembilan Undangan
Malam hari, Hotel Guruyuan.
Di aula hotel yang megah berlapis emas dengan lampu gantung kristal besar yang mewah dan mahal, Fang Yusi yang berpakaian sederhana duduk di sofa area resepsi kecil di samping pintu gerbang, berbincang dengan teman yang ditemuinya secara kebetulan. Gaun putih dan topi tenis yang mirip agen rahasia terlihat agak tidak selaras di malam hari, namun hotel ini memang sering menampung banyak selebriti ternama. Kehadiran satu dua orang aneh sesekali tidak akan menarik perhatian orang lain. Tentu saja, karena si "aneh" ini juga seorang cantik, sesekali masih ada yang melirik sambil mengerutkan alis selama dua detik, lalu sopan mengalihkan pandangan.
"...Kalau begitu, apakah Pak Zhang juga teman baik Pak Nie?"
"Bisa dibilang persahabatan antar generasi. Dalam urusan pengelolaan hotel, beliau lebih senior. Saya baru pengelolaan keluarga tahun lalu, masih banyak yang harus belajar darinya." Dengan senyum jujur yang cerah, Zhang Jingfeng menatap selebriti di hadapannya. Keduanya sebenarnya sudah saling kenal sejak beberapa tahun lalu, tapi tidak terlalu akrab. Tahun lalu saat Fang Yusi datang ke Jianghai, sempat dijamu olehnya. Saat itu Fang Yusi sedang dalam masa sulit karier, sementara Zhang Jingfeng masih berharap pada Ye Lingjing MM yang pernah bekerja paruh waktu di restoran musik "Nordic Fantasy" miliknya. Jadi tidak ada rumor yang terjadi antara mereka. Tapi kali ini jelas berbeda. Reputasi Fang Yusi sudah pulih, dan bagi kebanyakan pria, godaan untuk "merobohkannya" tentu semakin menguat.
“Tahun lalu, setelah strategi cinta terhadap siswa SMA perempuan polosnya gagal total, Zhang Jingfeng pun meninggalkan "Nordic Fantasy" yang sementara dikelolanya, dan resmi mengambil alih bisnis pengelolaan hotel keluarga. Hari ini, ia baru saja mengunjungi pemilik Hotel Gu Yuan, Nie Wenshi. Saat keluar, ia bertemu Fang Yusi, dan keduanya pun duduk di aula untuk mengobrol sebentar.
“Sebenarnya bisnis utama Pak Nie bukanlah di bidang perhotelan. Hotel Gu Yuan ini hanya dibuatnya sekadar iseng. Tapi dia punya koneksi di seluruh Jianghai. Selain mendapat suntikan dana dari keluarga Dongfang dan Liu di Jianghai, hubungannya dengan departemen pemerintah juga sangat kuat. Misalnya untuk penerimaan tamu asing atau tim investigasi perusahaan asing, pemerintah，。，，……，，……”
“Yang Pak Zhang katakan benar…” Dengan senyum memikat, Fang Yusi mengangguk setuju, namun pandangannya tak sengaja tertarik pada keributan di pintu gerbang. Sekelompok orang berbaju seragam perguruan silat tertentu masuk dengan wajah sangar. Dua satpam di pintu tak sanggup menghalangi. Manajer aula yang sedang berpatroli segera mendatangi, berbicara sebentar dengan pemimpin kelompok, lalu mengantar mereka masuk ke bagian dalam hotel. Zhang Jingfeng menoleh dan tersenyum: “Ini pasti ulah lagi dari grup penggemar muay thai itu…”
Fang Yusi menunjukkan ekspresi Tipu Daya: “Apa sih?”
“Kau tidak tahu?” Zhang Jingfeng bertanya, kemudian mengangguk sambil tersenyum, “Oh iya, kau baru tiba dari Hong Kong 2 hari lalu, sibuk dengan berbagai basa-basi... Tahukah kau ada master muay thai bernama Hiriyawan yang datang ke sini?”
“Tidak tahu.”
“Ehm... Intinya ada petinju muay thai yang baru datang, akhir-akhir ini sedang melakukan Tantangan ke berbagai perguruan silat di Kota Jianghai dan ahli legendaris bela diri lainnya, terus cari masalah. Untuk memancing orang bertarung, ucapannya juga cukup menghina. Mungkin sebentar lagi mereka akan mengeluarkan papan 'Sakit Asia Timur' lagi untuk memprovokasi...”
Fang Yusi tertawa terkekeh: “Bukannya nanti dipukuli sampai MATI?”
“Masalahnya tak ada yang bisa mengalahkannya. Sungguh memuakkan, sudah lewat sepuluh hari. Banyak yang datang dengan aura mengintimidasi, lalu diangkut pakai tandu. Ambulans sudah standby di luar, langsung dibawa ke rumah sakit. Muay thai kan serangannya brutal, biasanya sampai patah tulang.”
“Hebat sekali.” Fang Yusi menjulurkan lidahnya heran, “Di TV tidak ada beritanya.”
“Pemerintah melarang siaran. Hal seperti ini terlalu ancam bagi semangat nasional kan.” Zhang Jingfeng tersenyum.
Situasi ini penuh kekecewaan. Mereka mengalihkan topik pembicaraan, mengobrol sebentar sebelum pandangan Fang Yusi tertarik lagi ke pintu gerbang. Zhang Jingfeng menoleh ke belakang, kali ini yang muncul dalam penglihatan adalah seorang wanita berusia sekitar 23-24 tahun.
Kemeja putih, atasan profesional hitam untuk perempuan, celana panjang hitam lurus. Gaya sederhana ini menonjolkan postur ramping perempuan sekaligus memberikan kesan rapi dan aura kemurnian. Di antara rambut hitam pekat yang hanya sepanjang bahu, terlihat profil perempuan beraura Timur yang hampir sempurna. Bibirnya terkuncup ringan, pandangannya tenang. Meski saat itu ada beberapa orang yang keluar-masuk pintu gerbang, Zhang Jingfeng hampir langsung yakin: Fang Yusi sedang menatapnya - perempuan cantik selalu memiliki indera darah paling tajam untuk wanita yang lebih cantik dari dirinya.
Seolah merasakan tatapan dari sini, dia menoleh sebentar. Matanya tertuju pada Fang Yusi sebelum kembali memalingkan wajah. Dari tas kecilnya, dia mengeluarkan sepasang kacamata dan mengenakannya, lalu menggantungkan sesuatu yang mirip name tag di leher. Langkahnya menuju meja pelayan di tengah aula.
"Sepertinya dia wartawan..." pikirnya dalam hati.
Perempuan itu mungkin seorang wartawan.
Saat wanita itu melangkah masuk ke pintu hotel, Xia Yin*Hansube Chai sedang sibuk berurusan dengan pelayan di meja resepsionis. Inilah kesan pertama yang dia dapatkan.
Sebagai seorang modern yang bisa menerima banyak informasi sumber daya, kesempatan untuk terkesima hingga terdiam melihat seorang wanita seperti yang digambarkan dalam buku, sebenarnya basically tidak ada, terutama bagi pria yang sudah cukup berpengalaman. Namun dalam sekejap mata, ia merasa benar-benar merasakan sensasi seperti tersetrum, tak tahan untuk terus memandangi bayangan itu beberapa kali, lagi dan lagi... sampai-sampai tujuan utamanya datang ke sini menjadi agak kabur. Baru ketika wanita itu berjalan langsung mendekat tanpa henti, kawan yang biasa latihan muay thai bersama Master Xiliwang menusuknya dengan jari: "Si cantik itu..."
*Xia Yin* Hansu Beichai adalah keturunan campuran Tiongkok-Thailand dengan nama Tiongkok Wang Jia, meskipun secara umum ia tidak punya rasa kedekatan dengan Tiongkok — walau di kuliah mengambil jurusan bahasa China. Saat tim Xiliwang datang ke Tiongkok, teman sekelas Wang Jia kami bertugas sebagai penerjemah resmi yang ikut dalam tim. Tapi karena sejak awal sudah terjadi ketidaknyamanan, pihak Tiongkok juga tidak terlalu serius menanggapi pertukaran seni bela diri Sino-Thai ini, ditambah Master Xiliwang sendiri sudah bisa bahasa Mandarin, kesempatannya untuk berperan aktif sebenarnya sedikit. Sehari-harinya ia hanya jalan-jalan di hotel bersama kawan-kawannya sambil main kartu, minum baijiu, menulis beberapa surat tantangan bernada penghinaan untuk dikirim ke berbagai perguruan silat. Karena geng kriminal luar sudah mengincar mereka, setiap keluar harus berombongan sehingga tidak bisa bersenang-senang dengan leluasa, hal ini membuatnya agak kesal.
Semua hal terhubung, jika ini terjadi lebih dari seratus tahun yang lalu, mereka mungkin akan sangat bangga dan bersemangat membayangkan diri mereka mempermalukan negara terbesar di Asia ini, Thailand ternyata jauh lebih hebat daripada Tiongkok. Namun sekarang bukan lagi seratus tahun yang lalu, pihak Tiongkok menangani mereka dengan dingin, diperkirakan dalam waktu dekat akan mengusir mereka keluar negeri. Setelah serangkaian kemenangan beruntun, sebenarnya yang lebih banyak ada di hati Wang Jia adalah keraguan - menghina Tiongkok bukanlah hal yang baik. "Kau menang terlalu banyak sekarang, mereka kehilangan muka. Jika sampai murka, bisa saja suatu malam kau dibunuh diam-diam, lalu dikatakan sebagai ulah geng kriminal" - Dalam bayangan kebanyakan rekan, pemerintah Tiongkok mungkin terlihat seperti sosok yang serius, muram, dan ahli menggunakan cara-cara tekanan tinggi untuk menangani segala hal. Bagaimanapun, Thailand sekarang tetap tidak bisa menyaingi Tiongkok.
Dalam keraguan seperti ini, dia dan sebagian anggota tim menganjurkan untuk segera pulang, lagipula tinggal di sini hanya mencari malu sendiri. Tapi Hiriyawan yang masih menyimpan amarah karena sebelumnya dipermalukan di kantor polisi, bersikeras menolak pulang ke negara asal. Akhirnya situasinya menjadi seperti sekarang... Benar-benar perjalanan yang tidak sepadan, pikirnya dalam hati. Namun, baru saja tadi, pemikirannya tampaknya mulai berubah.
"Halo, saya wartawan dari Jiangming Daily. Boleh tanya Nona Kelly*Vernam dari Eropa tinggal di kamar nomor berapa? Ada beberapa hal yang ingin saya liput tentangnya." Wanita itu mendekati meja resepsionis sambil memperlihatkan kartu pers di tubuhnya.
“Kelly Vernam, tunggu sebentar……” Tidak bisa menahan diri untuk memandangi wartawan cantik beraura menawan di depan, petugas konter mengetuk komputer, “Dia bagian dari delegasi perusahaan Sid… Apakah Anda ada janji temu?”
“Tidak, tapi kurasa aku bisa membicarakan ini setelah bertemu dengannya.”
“Maaf, tanpa janji temu Anda tidak mungkin bisa menemuinya. Seluruh lantai teratas sudah dipesan khusus untuk mereka. Jika tidak ada perjanjian, mereka tidak akan mengizinkan Anda masuk…” Petugas konter itu tersenyum, lalu menambahkan sambil mengulurkan kartu nama, “Para pengawal itu tidak mau mendengarkan. Bagi yang ingin mewawancarai, harus menghubungi juru bicara mereka Mr. Wade. Ini nomor teleponnya…”
“Oh, terima kasih.” Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum, menerima kartu nama juru bicara tersebut. Tapi seperti diketahui umum, mengingat Grup Sid sedang menjadi berita panas di Jianghai belakangan ini, jika ingin melakukan wawancara seperti ini, bahkan membuat janji via telepon pun mungkin membutuhkan waktu berhari-hari. Setelah melirik kartu nama itu, saat hendak pergi, Wang Jia di sampingnya membuat sebuah keputusan.
Ini mungkin keputusan paling keliru yang dibuatnya sejak datang ke Tiongkok. Dalam waktu yang lama setelahnya, keputusan ini terus membuatnya menyesalinya.
“Hai, Halo.” Dia berjalan mendekat, mengulurkan tangan ingin menepuk bahu perempuan itu, tapi entah mengapa kali ini hanya menyentuh udara. Perempuan itu menoleh memandangnya, dengan agak kaku dia berkata, "Kau wartawan? Sepertinya hari ini kau takkan bisa meliput berita yang diinginkan, tapi... eh, tak tahu apakah kau berminat melihat pertarungan Muay Thai dengan seni bela diri? Aku... namanya Raja Jia, penerjemah Master Muay Thai Xiliwang. Di sini akan ada pertarungan, jaminan... eh, kurasa pasti seru. Jika kau berharap, aku juga bisa membawamu mewawancarai Master Xiliwang..."
Udara terasa membeku. Mata perempuan itu menatapnya, sekejap mata dia merasa seperti kembali menjadi bocah lelaki yang pertama kali mengutarakan perasaan pada perempuan. Setelah mempertimbangkan sejenak, dia membuka mulut: "Awalnya aku ingin minum kopi, tapi kalau sudah begini... Kebetulan aku juga punya minat untuk bertukar pandangan dengan Xiliwang..."
Senyum jernih dan anggun mengembang di wajahnya: "Harapannya itu benar-benar seru."
## Bagian 310 Diam
Sebagai salah satu hotel terbaik di Jianghai, Hotel Gu Yuan selalu terkenal dengan kemewahan fasilitas dan kelengkapan sarana. Interior seluruh hotel bagaikan kota wisata mini, di dalam gedung hotel 32 lantai ini tersebar berbagai restoran, ruang hiburan, gym, taman indoor, lapangan basket, yang dapat memenuhi hampir semua kebutuhan hidup penghuni. Bahkan termasuk esekort premium yang dimaklumi bersama dan kasino bawah tanah berskala besar.
Sejak tim Muay Thai Hiriyawan datang ke Jianghai, setiap malam mereka basically berlatih di aula gym terbesar lantai satu hotel. Arena semacam ini bersifat terbuka sepenuhnya dengan berbagai peralatan fitness. Seluruh penghuni hotel boleh menggunakannya. Sebenarnya hotel menyediakan ruang latihan privat ukuran sedang, namun Hiriyawan dan kawan-kawan tetap bertahan berlatih di area publik aula. Duel-duel mereka juga selalu dilakukan di depan umum, sehingga setiap kali sesi latihan, selalu menarik perhatian banyak orang di aula.
Saat ini, suasana di dalam arena gym besar ini terasa menekan.
"Pertempuran lagi..."
"Apa masalahnya kali ini..."
"Bangsat Thailand sialan ini..."
"Bangsat itu julukan untuk orang India..."
Dari jauh dekat, orang-orang yang berolahraga di peralatan kebugaran memandang ke satu sisi gedung. Perguruan silat Yihong di Jianghai cukup terkenal, saat ini segerombolan orang sedang berhadapan dengan kelompok orang Thailand itu, di tengah terdapat arena judo yang terbuat dari tatami. Biasanya, kadang ada bos yang sedang fitness berselisih paham, lalu menyuruh pengawal mereka bertarung di sini, sementara orang-orang berteriak dan bertaruh di sekitarnya. Pertarungan semacam ini jauh lebih aman daripada pertarungan ilegal bawah tanah. Setelah pengawal-pengawal bertarung, para bos akan berbaikan dengan senyuman, bahkan mungkin menjadi teman baik setelahnya. Saat Hiriyawan baru memenangkan beberapa pertarungan di depan umum, banyak penonton yang bersorak. Tapi kemudian orang-orang Thailand ini mulai terlalu arogan, sehingga membuat orang-orang kehilangan simpati. Namun karena tidak ada yang bisa mengalahkan mereka, mau tidak mau harus diterima.
Kebanyakan yang berolahraga di sini adalah orang kaya dari luar kota, tentu ada juga warga Jianghai, sebagian besar memiliki koneksi dan kekayaan terbatas. Awalnya satu dua pertarungan bisa dinikmati sebagai tontonan, tapi setelah terus-menerus kalah, ini sudah menjadi urusan kehormatan nasional. Mereka berkumpul dalam kelompok kecil, memandang ke arah konfrontasi itu dengan wajah masam sambil berdiskusi.
"Adakah yang bisa mengundang ahli untuk mengurangi kesombongan mereka? Pak Wang, bukankah kau bilang ada beberapa jagoan di antara pengawalmu..."
“Benar, mantan pasukan khusus yang pernah ke Medan Perang. Kau kan selalu bilang orang seperti itu beda dengan pesilat biasa. Kalau duel tunggal, pasukan khusus bisa kalahkan Juara dunia. Panggil ahli yang hebat, tangani gerombolan Thailand ini, aku kasih bonus 500.000 keping emas, oke?...”
“Bos Fu, pasukan khusus melawan juara-juara biasa memang cukup. Kau kira aku tidak ingin beri mereka pelajaran? Orang yang tangannya patah Jumat lalu, katanya pelatih mereka...”
“Hiriyawan ini berbeda dengan petinju biasa. Dia juga melewati hidup dan MATI. Katanya belajar muay thai sejak SD, kemudian kondisi keluarga terlalu miskin, pernah jadi tentara di Israel, setelah latihan bertahun-tahun, baru dapat reputasi sebagai ahli legendaris muay thai...”
“Sial! Kalau dibiarkan lancang begini terus, muka kita habis... Nanti aku pulang dan bayar biksu jagoan dari Kuil Shaolin untuk turun ke sini...”
“Biksu Shaolin biasanya tidak mau berantem begini. Menurutku hal ini mungkin sudah diatur atasan. Mana mungkin negara bisa bersabar? Kalau tentara benar-benar memilih seseorang untuk lawan dia, bukan tidak mungkin...”
“Iya iya, waktu Fang Zhitian datang kemarin, aku dengar kabar pengawalnya ada yang katanya seperti ahli nomor satu Biro Keamanan Nasional. Dengar dari Bos Nie waktu itu, tidak terlalu perhatikan, tidak tahu benar atau tidak. Jangan-jangan sengaja datang untuk lawan Hiriyawan ini?”
“Mungkin saja. Nanti kita lihat bagaimana si Thailand ini MATI!”
“Tapi melihat situasi hari ini... Hah...”
Konon penyebab kejadian hari ini adalah karena seorang bocah muay thai yang mengantarkan surat tantangan ke Perguruan Silat Yihong melukai seorang murid. Saat itu Guru yang seharusnya berjaga pun tidak ada. Alasan datang ke sini sekarang adalah untuk "meminta penyelesaian". Namun pihak Hiriyawan selalu menganut prinsip "berkelahi dulu baru bicara" terhadap orang seperti ini. Pihak yang agresif itu telah membuat wajah para anggota perguruan silat berubah marah. Para murid memandangi kepala perguruan. Sang kepala perguruan masih diam, mungkin sadar tidak akan menang, tapi menghadapi situasi seperti ini terpaksa harus bertarung. Jika menunjukkan pengecut, mustahil perguruan ini bisa terus beroperasi.
Para pengomentar di arena menghela nafas melihat keadaan anggota perguruan silat. Di depan gerbang aula kebugaran ini, sekelompok pelayan hotel juga berkumpul. Kejadian serupa telah berlangsung terus-menerus di hotel selama setengah bulan. Mengetahui akan ada pertarungan lagi, beberapa satpam di pintu masuk sambil mengintip ke dalam berbicara dengan wajah geram. Saat kepala pelayan mendekat dari jauh, mereka pun berhamburan seperti kawanan burung dan hewan. Sementara itu, di sisi arena, kepala perguruan silat itu akhirnya tak tahan lagi dan bangkit berdiri.
“Perguruan silat bernama Yi Hong, pemiliknya sebenarnya bernama He Yi Hong. Dulunya dia bersekolah di sekolah bela diri, meskipun pernah memenangkan medali emas dan perak di kompetisi ilmu bela diri, namun yang disebut ilmu bela diri sebenarnya hanya untuk memperkuat tubuh dan kesehatan saja. Tentu saja dengan latihan sampai level ini, kondisi fisiknya jauh lebih baik daripada orang biasa, juga bisa menghabisi belasan preman dengan tangan kosong. Tapi dibandingkan pendekar muay thai yang dilatih dengan metode paling kejam, tetap ada perbedaan yang besar. Alasan dia masih mau bertarung, pertama karena di hadapan banyak murid, muka pasti tidak bisa diselamatkan, kedua karena benar-benar kesal, karena dari awal sampai akhir, Hiriyawan yang duduk di belakang sama sekali tidak memandangnya dengan serius.”
“Seorang Master muay thai berusia tiga puluhan tahun yang mengenakan seragam olahraga merek Nike duduk di belakang kerumunan orang, tangannya memegang kitab Buddha sambil fokus membaca. Penampilannya tampan, kulitnya berwarna kecokelatan yang sehat, garis wajahnya tajam seperti dipahat pisau, memiliki aura dingin yang bisa membuat sebagian besar perempuan tertarik. Saat ini dia duduk tegak, tubuhnya hanya bergerak saat membalik halaman buku, sepanjang waktu lainnya bagaikan patung batu. Pihak lawan datang bernegosiasi, namun yang selalu muncul adalah murid utamanya Teeraphat - pemuda yang sedang melakukan pemanasan di arena.”
“Tuan Hiriyawan, kalian bersikeras harus bertarung dulu baru mau bicara, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Silakan berikan petunjuk!”
Di seberang, He Yihong menggigit gigi mempersiapkan diri turun ke arena. Baru pada saat inilah Hiriyawan pertama kali mengalihkan pandangannya dari kitab suci Buddha dan menatap ke arahnya: "Tuan He, tingkatmu tidak sepadan untukku turun tangan. Kalahkan muridku, itu sudah cukup sebagai kemenanganmu."
"Kau..."
"Hei, Shifu He, jangan ragu lagi. Silakan naik ke arena." Memotong kemarahan He Yihong, pemuda berbaju kuning latihan di tengah arena itu menyeringai mengejek, menyatukan kedua telapak tangan dan membungkuk hormat. "Harusnya kau tahu, kita semua praktisi bela diri. Benar salahnya sesuatu, harusnya diselesaikan dengan pertarungan... Sa! Wa! Di! Kha!"
"Baik! Aku akan memberimu pelajaran dulu..."
He Yihong yang merah padam wajahnya mulai menurunkan ritsleting jaketnya hendak melepas baju. Seorang muridnya berlari dari belakang: "Shifu, Guru Ye datang. Dia bilang jangan bertarung." Di belakangnya, mengikuti seorang pria paruh baya berbaju santai olahraga yang bertubuh kekar. Kesannya pertama adalah orang yang garang, namun sorot matanya sama sekali tidak mengandung kebengisan. He Yihong tertegun melihatnya: "Ye Han, kenapa kau ke sini?"
"Istrimu menghubungi aku dan Jingxian, bilang kau datang berkelahi dengan orang Thailand. Suaranya sampai terisak-isak di telepon. Istriku menyuruhku buru-buru ke sini. Sudahlah, Lao He, sudah tua begini masih suka ceroboh..."
"Aku tidak ceroboh! Aku datang untuk berunding!"
"Kurasa kau sudah setengah melepas baju mau berlari maju..."
“Tapi mereka tidak mau mengikuti akal sehat.”
“Tak perlu sampai berkelahi juga. Sekarang ini masyarakat hukum, latihan silat untuk kesehatan dan bela diri, bertengkar karena masalah gengsi sama sekali tak berarti kau tahu! Apalagi...” Ye Han menurunkan volume suaranya, “Maaf terdengar kasar. Master Ma dan Master Chen itu orang-orang yang benar-benar jago bertarung, bahkan ada pelatih mantan pasukan khusus, sekarang bukankah mereka patah tulang terbaring di rumah sakit...”
“Lalu aku harus terus bersabar? Ye Han sejak dulu karaktermu memang selalu plin-plan, makanya perguruan silat kecilmu tak pernah berkembang... Bukan maksudku mencelamu, tapi sekarang perguruanku sudah sebesar ini, mungkinkah aku mundur? Muridku dipukuli, mustahil aku mundur. Jangan coba mencegahku, hari ini pertarungan ini harus terjadi, kalau tidak kau punya solusi lain...”
Banyak waktu, muka pria sebesar langit, tapi bertiga ini dulunya saudara seperguruan saat belajar bela diri, setelah bertahun-tahun masih berteman, hubungan yang cukup langka. He Yihong tidak bersikeras mengatakan "kau memandang rendahku" dan sejenisnya. Ye Han menghela napas, bingung harus berkata apa. Karakternya yang sederhana tidak mendukung bentuk duel satu lawan satu ini, tapi sadar pertarungan seperti ini sering tak terhindarkan. Perguruan silat He Yihong sudah sebesar ini. Jika tidak bertarung kali ini, berapa banyak murid yang mau belajar darinya nanti? Meski tujuan utamanya memperkuat tubuh dan kesehatan, sebagian besar pemuda tetap ingin bisa mengalahkan orang setelah belajar bela diri. Tapi apa gunanya bertarung? Jelas-jelas tidak bisa menang. Setelah murid dipukul, sang Master datang sendiri untuk dipukul lagi, tidak bisa lapor polisi, perasaan yang benar-benar mengesalkan.
Saat mereka berdua berbincang di sini, beberapa orang Thailand mendekat membawa wartawan perempuan ke Hiriyawan. Ketua rombongan pria Thailand berbicara pada sang master muay thai yang selama ini serius membaca kitab Buddha. Untuk pertama kalinya, senyum hangat muncul saat dia menutup bukunya, mengangguk, mungkin wawancara di Tiongkok ini memberi kesan nostalgik. Wartawan perempuan berbaju jaket hitam itu kini memandangi arena, tatapannya tertahan beberapa detik pada Ye Han, alisnya sedikit berkerut.
Di sisi lain, melihat dua orang tersebut berbicara dengan riuh, pria yang berlatih muay thai di atas parpit akhirnya kehilangan kesabaran: "Apa kalian belum selesai berdiskusi? Oh ya... Ye Han? Sepertinya aku ingat nama ini ada dalam daftar perguruan silat Kota Jianghai. Apakah keluargamu juga membuka perguruan silat? Kalau begitu mari bergabung bersama." Sebagai murid utama Hiriyawan, bakatnya tentu tidak biasa. Sejak merencanakan untuk menaklukkan seluruh Jianghai, dia telah mengumpulkan daftar semua perguruan silat di kota ini, dan yang mengejutkan, dia menghafal seluruh nama di dalamnya.
Karena baru tiba di tempat ini dan tidak mendengar percakapan sebelumnya, Ye Han mengerutkan kening: "Apakah Anda Master Xiliwang? Bukankah seharusnya bukan Anda yang mengatakan hal seperti ini?"
"Kalahkan aku dulu, baru kalian berhak bertarung dengan shifu-ku! Tapi menurutku kalian boleh menyerang bersama-sama."
"Ye Han, jangan ikut campur." He Yihong melangkah mendahului ke tengah arena pertarungan, "Bagaimanapun hasil pertarunganku, ini tidak ada hubungannya denganmu. Tapi aku juga tidak merasa diri ini begitu lemah sampai kalah dengan murid orang lain!"
Dia tersenyum, meregangkan otot-ototnya, lalu melangkah maju. Pria bernama Tirapa juga menggelengkan kepala sambil tersenyum, menyatukan kedua tangannya kembali dalam gestur penghormatan, tatapannya telah berubah menjadi dingin tanpa emosi. Di saat yang sama, wartawan wanita di belakang arena sepertinya mengatakan sesuatu yang membuat beberapa orang di sekitarnya terkejut. Hiriyawan pun berdiri sambil mengerutkan alis. Kemudian, langkah kaki terdengar di ruang yang tadinya hening saat si wanita berbalik dan langsung menaiki arena pertarungan. Orang-orang di sekitar, termasuk He Yihong dan Tirapa di dalam arena, terhenti kebingungan. Masuk ke arena saat duel sedang berlangsung jelas merupakan tindakan tidak etis, tapi... dia kan si cantik. Meski praktisi muay thai memiliki mental baja yang tak peduli gender lawan saat bertarung, tetap saja tak mungkin langsung melemparkannya keluar.
"Nona Jian." Pria yang berdiri di samping Hiriyawan di belakang berteriak, "Saya tidak tahu kesalahpahaman apa antara adikmu dan Tuan Hiriyawan. Ini pasti suatu kesalahan... Batuk... Bahkan jika bukan, kita bisa membicarakan ini dengan baik-baik..."
Wanita itu tidak berhenti. Dengan kedua tangan di saku celana, ia berjalan mendekati Tirapa di depannya, langkah kakinya mengeluarkan suara "gesekan" di atas tatami: "Bukankah setiap orang yang ingin berunding dengan Tuan Hiriyawan harus bertarung dulu?... Aku memang sengaja datang untuk berkelahi."
Hiriyawan mengerutkan alisnya: "Wartawan, ini bukan lelucon."
“Ternyata kau seorang wartawan.” Melihat wanita yang mendekat, Tirapa mengangkat tangan bingung, “Aku harus mengingatkanmu, nona wartawan cantik. Di Thailand, menghentikan duel bisa membuatmu dipukuli. Bahkan wanita sekalipun harus siap secara mental untuk dipukuli sebelum menginjak arena duel. Kau...”
“Lalu apa kau sudah siap?” Wanita itu berdiri setengah meter di hadapannya dengan nada datar. Meski tinggi badannya termasuk mencolok menurut standar wanita, namun masih lebih pendek hampir satu kepala dibanding Tirapa yang tingginya hampir 1,9 meter. Namun anehnya, saat wanita itu berdiri tegap di depannya, pria itu justru merasa gugup. Kemudian wanita itu memandang He Yihong: “Kau boleh turun.”
“Tapi...” Saat ini orang-orang yang sedang berlatih di sekitar mulai penasaran dengan kejadian ini. Awalnya mereka mengira ini cuma adegan kepala perguruan silat yang hendak dipukuli, tapi tiba-tiba muncul si cantik yang sepertinya menghentikan pertarungan. Segera keriuhan perbincangan menyebar. Tirapa hendak berbicara ketika wanita itu menatapnya dingin: “Kubilang! Apa kau sudah siap? Kalau sudah, seranglah!”
Saat ini ia mengenakan kacamata, kedua tangan santai di saku celana. Penampilan wanita intelek yang dingin ini sama sekali tidak terlihat seperti hendak berkelahi. Wajah Tirapa berubah beberapa kali, lalu ia berbicara dalam bahasa China dengan perlahan: “Aku tidak sedang bercanda!” Di sampingnya, beberapa pria kurus kering murid Hiriyawan yang belajar muay thai mulai berteriak dalam bahasa Thailand.
“Shixiong, berikan pelajaran pada wanita ini!”
"Pukul dia!"
"Wanita seperti ini tidak akan belajar tanpa diberi pelajaran..."
"Biar dia tahu rasanya sakit!"
Di tengah keributan, mereka berdua berdiri berhadapan dengan tenang. Di bawah tatapan datar sang wanita, perasaan tegang mulai terkumpul di hati Thiraphat. Kehormatan muay thai, duel yang tak boleh dihinakan, harus memberi pelajaran pada wanita ini... Bahkan tanpa disadarinya, berbagai pikiran rumit mengalir deras dalam tatapan samar ini, mood-nya benar-benar kehilangan ketenangan yang diperlukan dalam muay thai. Akhirnya, sang wanita menutup mata.
Seluruh arena bisa mendengar suara yang bergema di momen itu.
"Serang!"
Arena yang sebelumnya ramai ini tiba-tiba hening setelah suara perempuan dingin itu terdengar, seperti teriakan mengejutkan yang tiba-tiba menggema di telinga. Bersamaan, Thiraphat berteriak tak terkendali dan menyerang.
Semua tahu dia menyerang, tapi kecuali ahli legendaris muay thai seperti Hiriyawan, mungkin tak ada yang tahu bagaimana persisnya serangan itu. Karena sesaat kemudian, tubuhnya terlempar ke samping seperti tembakan meriam.
Pada detik dia menyerang, wanita itu mengulurkan tangan kanannya dan melemparkannya ke samping seperti membuang kantong sampah. Pria Thailand setinggi 1,9 meter ini benar-benar kehilangan kemampuan perlawanan sepenuhnya dalam sekejap mata.
Di pandangan semua orang, wanita itu hanya mengayunkan tangannya dengan santai, pria di depannya menghilang. Sesaat kemudian, suara BRAAK bergema, tiga mesin lari sejauh belasan meter bertabrakan. Dua di antaranya sudah terguling di lantai, bagian-bagian tubuh mesin yang bisa dilepas beterbangan. Tubuh Tirapa muncul di tengah tumpukan baja itu, bergulat beberapa kali namun sama sekali tak bisa bergerak. Darah mengucur dari mulutnya, tulang tangan kiri patah sepenuhnya, pecahan tulang mencuat keluar dari bawah kulit, membawa darah segar dan daging remuk yang membentuk pemandangan mengerikan yang tak terucapkan.
Dunia menjadi sunyi...
