Beberapa detik waktu sesak napas, sekelompok orang Thailand berbaju kuning Tao terpaku berdiri. Mereka memandang genangan darah tempat Tirapa terbaring, lalu menatap punggung wanita yang masih santai menyelipkan satu tangan di saku celana. Dengan terbata-bata mereka tak bisa berkata-kata. Saat teriakan pertama meledak, barulah mereka bereaksi dan berlarian ke arah sana.
"Sihing!"
"Tirapa!"
Pertama-tama beberapa orang yang berlari mendekat berusaha mengangkat treadmill yang menindih tubuh Tirapa, namun melihat tulang dan darah yang mengerikan itu, ketika beberapa bagian bergerak, Tirapa kembali muntah darah dan berjuang, seketika situasi menjadi kacau balau. Mayoritas orang di sekitar melihat adegan ini, tak kuasa menelan air liur, reaksinya persis seperti saat menonton film bokep, namun sejenak tak bisa mengeluarkan kata-kata. Beberapa murid muay thai sudah mengepal tangan, memandang wanita dingin di tengah arena, lalu menoleh ke Hiriyawan yang masih berdiri di luar area.
Hampir bersamaan dengan serangannya tadi, master muay thai ini tiba-tiba menggenggam kitab suci Buddha di tangannya. Penerjemah Wang Jia di sampingnya membuka mulut, ekspresinya membeku. Di sisi lain, Ye Han diam-diam memasuki arena untuk menarik He Yihong yang masih terdiam keluar. Dalam suasana seperti ini, dia dengan bosan memutar badan, lalu menunjuk Hiriyawan: "Sekarang giliranmu, mendekatlah." Persis seperti memanggil anjing piaraannya.
Orang Thailand ini pun meledak dalam sekejap mata.
"Sial! Mati kau!"
"Bunuh kau wanita busuk——"
"Aaaaa——"
Arena yang terbatas membuat orang-orang ini tidak bisa terlibat dalam operasi mengangkat Tilapa keluar. Ketidaksukaan mereka terhadap wanita yang mengacau pertarungan tadi, ditambah kejadian aneh yang tiba-tiba menimpa Tilapa, membuat perasaan intimidasi di hati mereka meledak seketika saat melihat Master dihina seperti ini. Mengikuti teriakan pertama yang melesat keluar, 20-30 orang langsung membanjiri arena. Segalanya ini berasal dari ketakutan.
Ketakutan yang menumpuk bisa membuat manusia hilang keberanian dan menjadi pengecut. Namun ketakutan yang tiba-tiba muncul sudah cukup untuk membuat manusia kehilangan rasional dan bertindak ceroboh.
Tanpa menoleh, wanita di tengah arena yang menatap Hiriyawan mengayunkan siku ke belakang.
Byur! Percikan darah mekar di wajah orang pertama. Tubuhnya langsung terlempar ke belakang. Di saat bersamaan, tangan kirinya akhirnya bisa ditarik keluar - dengan lembut menarik pukulan yang datang dari samping, sementara tangan kanannya yang ditarik kembali menyambar ke ruang di sebelah kiri, punggung tangan menghempas pipi pria di samping.
Tenaga Tai Chi yang menyatukan kekerasan dan kelembutan secara sempurna mengeluarkan desing angin dahsyat bagai cambuk baja di udara. Wajah pria itu terkena hempasan punggung tangan, percikan darah langsung menyembur. Seluruh tubuhnya berputar seperti gasing di udara sebelum menabrak kawan di belakang. Hampir tanpa jeda, tubuh wanita itu bergeser ke samping, membuat pria lain yang menendang dari belakang samping salah kalkulasi jarak dan terlempar ke belakang.
Hampir dalam sekejap mata, tiga orang terbang terlempar, rombongan orang Thailand itu seperti dipanen gandum berjatuhan. Hiriyawan berteriak: "Hentikan!" Seorang pria kurus hitam yang menendang dari depan tak bisa menghentikan kaki, tubuh wanita itu sedikit menyamping, tinju kanannya sudah menghantam titik pinggangnya. Pria ini awalnya melayang menendang, terkena pukulan itu, tubuhnya jatuh di sisi kaki wanita dengan suara "Byur" dahsyat, sama sekali tak bisa bergerak, bahkan untuk mengerang pun tak mampu.
Dari awal sampai akhir, kaki wanita itu seolah berakar, bahkan tak bergeser sama sekali. Di batang hidungnya, masih tergantung mantap sepasang kacamata.
Hujatan dan erangan bahasa Thailand memenuhi udara, murid Perguruan Silat Yihong kini sudah bereaksi, berteriak: "Ngapain! Orang Thailand, berkeroyokan saja ya!"
"Kalah ya kalah, ini namanya apa!"
"Memukul wanita! Ayah kebiri kau!"
"Lihat siapa yang berani bertindak lagi!"
Saat ini Hiriyawan sudah bicara, rombongan Thailand tentu takkan menyerang lagi. Apalagi jeda ini akhirnya membuat mereka menyadari realita, ketakutan berubah menjadi rasa takut. Sambil membopong beberapa korban luka, wanita itu kembali menunjuk Hiriyawan, kali ini dengan kata-kata terkontrol: "Sekarang! Giliranmu!" Ia menunjuk arena di depannya, pandangan dingin.
"Mendekat!"
"Sejak kedatangan Hiriyawan di Hotel Guruyuan, semua pendekar yang datang baik dengan niat baik maupun jahat, hampir semuanya harus memanggilnya Master Xiliwang. Sepertinya belum pernah ada yang berani meremehkannya seperti ini." Sekelompok murid muay thai wajahnya pucat pasi, sementara penonton kebanyakan menunjukkan ekspresi gembira. Hiriyawan meletakkan kitab Buddha di tangannya, mulai membuka ritsleting baju olahraga: "Kau ini siapa sebenarnya! Jika antara kita... maksudku antara aku dan adikmu memang ada ketidaknyamanan, menurutku kita harus berdiskusi dulu sebelum duel."
"Duel?" Wanita itu tersenyum sinis, berbalik badan melepas jaket hitamnya hingga memperlihatkan kemeja putih di bagian atas. Ia meletakkan jaket di tepi arena, melepas kartu pers, kemudian mencopot kacamata dan sepatu. Wanita yang penuh aura Timur ini berbalik menghadapi musuh di depannya, sambil melonggarkan manset kemejanya selangkah demi selangkah.
"Tak tertarik berdebat. Kita semua praktisi bela diri. Benar salahnya baru bisa ditentukan setelah bertarung."
Kalimat yang baru saja digunakan Tirapa untuk menghadapi He Yihong dan kawan-kawan kini dikembalikan utuh dengan nada dingin. Melewati tengah arena, langkahnya tak sesaat pun ragu.
"Kalau begitu, kau sudah siap?"
Kamar terlihat agak gelap tanpa lampu yang menyala. Di depan sofa besar, hanya gambar di layar TV yang berkedip-kedip, menjadi sumber cahaya bagi ruang luas ini.
“Dari jendela lantai besar yang berfungsi sebagai dinding di satu sisi kamar, cahaya neon dari keramaian pasar di bawah bisa terlihat samar-samar. Ini adalah kamar mewah di lantai teratas hotel. Meski tidak terlalu luas, namun jebakannya cukup dipikirkan matang. Di satu sisi kamar terdapat ranjang besar berkelambu tipis, sementara Kelly sedang berbaring di sofa, sesekali melirik film legendaris Sophie* Marceau 'Le Premier Ciuman' di TV, membiarkan sinar redup dari layar menyoroti lekuk tubuhnya yang memesona.”
“Lebih tepat disebut sedang mengamati tubuhnya sendiri ketimbang menonton TV. Ia terus-menerus membandingkan diri dengan perempuan di layar. Posisinya miring di sofa, paha jenjang nan seksi bertumpuk telanjang bak karya seni dari gading yang berkilauan dalam cahaya televisi. Bagi yang melihat, ini pasti pemandangan paling mengguncang visual. Bagian bawah hanya mengenakan celana dalam hitam yang lebih baik daripada tidak sama sekali, menonjolkan lekuk bokongnya yang tegang sempurna. Bagian torso hanya memakai jaket pendek yang sedikit terbuka, mengekspos lekuk dada seksi dan kulit perutnya yang mulus. Setelah bolak-balik membandingkan diri dengan layar, akhirnya ia menarik kesimpulan.”
“Kalau soal ciuman dengan pria... hmm, jelas aku lebih seksi lah...”
"Suara gadis yang magnetis membawa aroma kemalasan. Meski berambut pendek dan terlihat seperti gadis polos di kampus, saat melepaskan kamuflase, tubuhnya yang sudah sepenuhnya berkembang memiliki daya pikat yang luar biasa. Tangannya mengusap-usap paha pelan-pelan, tak lama kemudian jemarinya menekan remote kontrol di sampingnya. TV beralih dari film Sophie Marceau*, menampilkan gambaran video lain.
Masih berupa rekaman buram, dalam badai salju yang memenuhi langit, jalanan New York yang macet akibat kekacauan, kobaran api dari mobil meledak, manusia yang dikejar-kejar, gadis berbaju putih dengan senjata di kedua tangan menembak tanpa ampun. Saat adegan ini diputar berulang di kamar, jari-jari mungilnya yang mengelus sisi paha perlahan merayap ke bagian dalam lipatan kaki. Bibir seksi terjepit di antara gigi, tanpa disadari matanya yang polos kini berbinar basah, suasana nafsu seolah hampir meluap.
"Hmm..."
Mengerang, ia tiba-tiba duduk tegak. Kedua telapak tangan mengusap-usap area segitiga di antara paha, tatapan terpaku pada kotak di atas lemari kecil tak jauh. Setelah lama mengusap-usap sendiri, akhirnya ia menggelengkan kepala, memalingkan pandangan dengan penuh penyesalan, lalu menghela nafas pelan.
"Aku sangat ingin bercinta..."
"Kotak itu dibelinya seketika setelah tiba di Jianghai, sayang... sudah ketinggalan zaman. Sebagai seorang lesbian cantik yang mengejar kesempurnaan, bagaimana mungkin dia menggunakan barang usang untuk masturbasi? Jika diketahui orang, pasti akan ditertawakan..."
"Apalagi... dia memandangi layar TV sambil mengerutkan kening... dia juga hampir tiba, kan..."
Sambil berpikir demikian, akhirnya dengan perasaan berat hati dia mengulurkan tangan, mengambil walkie-talkie kecil di sebelahnya: "Halo, apakah Charles ada sekarang?"
SEGERA, suara jawaban terdengar dari seberang: "Nona Kelly? Charles baru saja turun. Jika ada kebutuhan, saya bisa melayani nona."
"Oh, kau..." jawabnya malas-malasan dalam bahasa Mandarin. Pria di seberang bernama Chen Shaojie. Meskipun termasuk dalam tim Sid Investasi, dia tidak datang bersama dari markas besar Sid di Eropa. Aslinya orang Tiongkok, bagian dari struktur eksternal Sid yang bertugas meneliti dan mengevaluasi di Tiongkok untuk bahan pertimbangan pembuat keputusan di markas besar Eropa. Ketika tim Grup Sid datang, dia otomatis digabungkan ke dalam tim.
Hanya saja dia tidak datang bersama. Terhadap identitas Kelly masih agak bingung, hanya melihat posisinya yang istimewa dan parasnya cantik. Selama lebih dari sehari ini, sementara yang lain takut dan hormat serta menjauh, hanya dia yang terus-menerus berusaha merayu Kelly. Mungkin menilai gadis naif dan polos ini adalah putri orang berkuasa, jika bisa dikuasai bisa menghemat puluhan tahun perjuangan. Mendengar Kelly butuh bantuan, dia segera ingin merebut kesempatan ini.
“Ya, Nona Kelly, saya Chen Shaojie, ternyata kau masih ingat aku, hehe.”
Saat ini dia sedang menunggu seseorang yang penting, tidak tertarik untuk berurusan dengan si kecil. Dengan bosan, dia mengambil napas dalam lalu menekan tombol bicara: "Baiklah, aku ingin membeli beberapa barang, tidak tahu apakah kau bisa membantuku."
“Tentu saja, Nona Kelly silakan bicara.”
“OK, kalau begitu kita sepakat. Kau carikan penerbangan tercepat ke Jepang, ke mana saja boleh, terbang ke Jepang cari toko bantu seks yang besar, belikan beberapa Alat Pijat dan sejenisnya, terima kasih...”
“Alat... Alat Pijat...”
“...Iya, benda untuk menenangkan diri perempuan. Jangan bilang kau polos sampai tidak tahu apa-apa. Kalau tidak tahu, tanya saja ke pelayan toko bantu seks, minta rekomendasi. Aku mau model terbaru, beli banyak-banyak, terima kasih, semoga perjalananmu menyenangkan...”
“Eh, itu...” Suara di seberang terdengar mulai putus asa...
“Pergilah, tenang saja, biaya perjalanan akan direimburse perusahaan.”
Dengan bosan meletakkan walkie-talkie, belum beberapa detik, lampu hijau kecil di walkie-talkie menyala – itu channel khusus sistem komunikasi – kemudian terdengar suara pria: “Nona Kelly, saya Charles, sepertinya menemukan jejak Jian Suyan.”
“Aaaaa!” Dia terjatuh terkapar, memencet walkie-talkie, “Dia di mana?!”
“Di lantai bawah hotel, saya sedang menuju ke sana...”
“……Tangkap dia dan bawa ke sini.” Setelah berpikir sejenak, Kelly menambahkan, "Ingat ikat seluruh tubuhnya, ikat dengan gaya seksi... Tentu saja, maksudku jika kalian bisa menangkapnya."
## Bagian Ke-312 Penghancuran
Suara "Prak-prak" bergema di aula, sepasang pria dan wanita sedang bertarung dengan sengit. Dengan pukulan dan tendangan yang dipaksakan, tatami yang semula terpaku di lantai kini telah hancur berkeping-keping. Orang-orang yang awalnya berkumpul di tepi arena telah menjauh, karena radius pertarungan mereka telah meluas jauh melampaui batas dojo judo yang kecil. Para penonton terpaksa menyaksikan dari kejauhan untuk menghindari dampak pertarungan yang bergerak cepat dan tak terduga ini.
Di tengah kerumunan yang masih terdiam terpana, dering telepon "Ding ling ling" berbunyi berkali-kali. Ye Han baru teringat membawa ponsel hari ini setelah beberapa kali berdering. Dengan tergesa-gesa ia mengangkatnya: "Halo? Oh... Shizuka, kakak ipar ada di situ? Eh, Shifu He tidak bertengkar, aku di Taman Purba..."
"Tenang saja, aku dan Shifu He tidak bertindak kasar. Rombongan Thailand itu... sulit dijelaskan sebentar. Nanti aku ceritakan saat pulang... Masih harus menunggu, aku perlu memantau... Tolong berikan telepon ke kakak ipar, suruh Shifu He berbicara dengannya..."
Setelah buru-buru menyelesaikan pembicaraan, Ye Han menepuk bahu He Yihong di sebelahnya dan menyerahkan telepon. Dari sisi lain terdengar suara: "Aku tidak sempat bertarung... seorang wanita..." dan semacamnya, sementara pandangannya tetap tertuju ke arena. Sebagai guru Seni bela diri yang mementingkan latihan hati dan tubuh, Ye Han yang berwatak lembut selalu membenci penggunaan Seni bela diri dalam pertempuran nyata. Karena itu, Jiaming yang mahir dalam jurus standar namun tak pernah mau terlibat perkelahian sangat disukainya, bahkan pernah terpikir untuk menikahkan Lingjing dengannya - tentu saja rencana itu gagal setelah Shasha ikut campur. Namun sebagai bagian dari dunia persilatan, tentu saja ia memiliki pemahaman tertentu tentang muay thai yang dijuluki sebagai seni tempur paling praktis.
Tidak memikirkan masa depan, hanya menggunakan metode pelatihan paling ekstrem di usia ketika seseorang memiliki tenaga paling prima untuk mendorong tubuh manusia ke puncak daya rusak. Cara ini akan menyebabkan kerusakan fisik yang parah. Begitu menginjak usia 40 tahun ke atas, kondisi tubuh akan menurun drastis karena overdraft di masa lalu. Namun tak bisa dipungkiri, ahli legendaris muay thai seperti Hiriyawan memang memiliki pukulan dan tendangan dengan daya hancur yang tak tertandingi. Dibandingkan seni bela diri Tiongkok di lingkungan sekarang, ini terlihat sangat mengagumkan dan menakutkan. Yang lebih mengerikan, orang Thailand umumnya memeluk Buddhisme dengan taat, terutama praktisi muay thai. Seseorang dengan kepercayaan religius yang tulus bahkan bisa menjaga mentalitas tenang seperti air dalam pertempuran paling brutal. Manusia yang melatih tubuh dan jiwa hingga ke puncak seperti ini hampir identik dengan simbol "tak terkalahkan".
Tentu saja, sifat Hiriyawan belum tentu benar-benar baik. Dulu di kantor polisi, dia bisa menyerang anak seperti Jiaming dalam kemarahan, bahkan menantang semua perguruan silat di Jianghai satu per satu karena sikap dingin pihak Tiongkok. Namun dalam setiap pertarungan sungguhan, mentalitasnya justru benar-benar tenang.
Saat ini, Dia telah mematahkan tangan dan kaki banyak pelatih seni bela diri di Jianghai. Di lingkup seni bela diri yang sempit di Jianghai, semua orang basically telah memiliki pemahaman jelas tentang kekuatannya. Jika bertujuan untuk menghadapi musuh, bertarung secara frontal dengan mengandalkan kekuatan basically adalah mencari MATI. Namun jika mengandalkan teknologi, kemampuan reaksi orang Thailand ini nyaris mencapai batas maksimum tubuh manusia. Wartawan perempuan bernama Jane meskipun sebelumnya menunjukkan kekuatan super, tetapi diperkirakan ketika benar-benar berhadapan dengan Hiriyawan, tetap hanya bisa menang dengan teknik - ini basically adalah pemikiran semua orang. Namun fakta yang terjadi justru sepenuhnya bertolak belakang dengan imajinasi mereka.
Hampir sejak awal, Dia menggunakan serangan yang nyaris murni untuk menekan master muay thai ini secara frontal. Serang! Serang! Serang lagi! Ketika keduanya melewati beberapa pukulan uji coba di awal, Hiriyawan mengeluarkan tendangan sapuan ganas. Wanita di seberang justru menggunakan tendangan kaki sama kerasnya yang membuatnya mundur selangkah. Adegan pertarungan yang superior pun muncul di depan mata semua orang.
Dalam beberapa detik, pukulan dan tendangan keduanya bertubrukan bagai badai. Bagi yang tak terlatih, bahkan mata pun tak bisa mengikuti kecepatan serangan, apalagi membayangkan bagaimana manusia bisa memiliki refleks sehebat itu. Menangkis pukulan lurus yang mendesis, tangan seperti cambuk baja menghantam serangan lain, badan miring menghindari sikutan ganas. Sebelum tendangan lutut lawan datang, siku aliran Baji yang sama garangnya sudah menghantam dada musuh. Tubuh mereka nyaris bertabrakan. Hiriyawan yang sedang menendang lutut sudah terdorong mundur, sementara pukulan telak Tai Chi yang mengerahkan tenaga maksimal sudah meluncur membelah angin.
Meski tak bisa mengikuti kecepatan refleks mereka, mundurnya Hiriyawan - sang Master Muay Thai yang terkenal akan kegarangan - membuat situasi pertempuran semakin jelas. Sulit dipercaya seorang cewek yang terlihat lemah lembut bisa bertarung seganas ini. Bahkan Ye Lian dan kawan-kawan yang pernah menyaksikan duel maut antara Jian Suyan dengan Da Nei Zhangdu yang merobohkan tembok demi tembok, pasti akan terkejut menyaksikan adegan ini. Kalau dulu pertarungan terjadi dalam kegelapan, kini semua terlihat terang benderang di bawah lampu.
Setiap pukulan dan tendangan mendesing bagai angin, beruntun seperti koreografi yang sudah dilatih. Mungkin hanya Hiriyawan yang terus mundur ini yang merasakan tekanan dahsyat di garis tipis antara hidup dan mati.
Dengan dinding di belakang semakin dekat, Dia tiba-tiba menjauhkan jarak, melancarkan tendangan frontal yang dahsyat, ingin setidaknya mengubah arah dengan gerakan ini. Namun wanita itu sama sekali tidak menunjukkan niat menghindar, pandangannya di bawah aura ganas tetap tenang bagai air mati, dengan semangat tak tergoyahkan melangkah maju dan melepas pukulan.
Seketika, seolah udara di sekitarnya tersedot oleh pukulan itu. Kepalan melesat di depan, tubuh menyusul di belakang, namun kesan yang tercipta seakan seluruh tubuhnya tertarik oleh pukulan tersebut, mengeluarkan suara "braak!" ringan di udara.
Setengah Langkah Beng!
Ini adalah metode pengeluaran tenaga paling mematikan dalam Xíngyìquán, bahkan tendangan Muay Thai pun terpental oleh pukulan ini. Tubuh Hiriyawan mundur brutal, dalam pandangannya bayangan wanita itu tiba-tiba membesar - pukulan Beng kedua menyusul beruntun, menghujam ke arah jantungnya. Saat dia mundur darurat, punggungnya sudah menempel ke dinding. Sosok wanita itu hanya berhenti sejenak sebelum pukulan Beng ketiga kanan-kiri-kanan beruntun melesat.
BRAAM! Seluruh permukaan dinding meledak berkeping-keping!
Ini sebenarnya adalah dinding partisi dengan gym lain. Kekuatan wanita ini sekarang lebih meningkat dibanding saat bertarung dengan Da Nei Zhangdu dulu. Di bawah pukulan penghancur ini, seluruh dinding langsung tertembus lubang selebar 30 sentimeter. Keramik di sekeliling dinding retak seperti jaring laba-laba. Dalam debu beterbangan, sekelompok gadis yoga di gym seberang terdiam memandang, sementara para penonton di sisi ini juga membuka mulut dengan ekspresi tak percaya.
Hiriyawan menyelamatkan diri dengan gaya paling kikuk di detik terakhir menghindari pukulan itu. Tendangan cambuk menyambar secepat kilat. Tubuhnya melompat mundur secepat kilat, lalu tiba-tiba menerjang ke depan. Sapuan kaki itu juga meninggalkan bekas mengerikan di dinding. Saat kepingan keramik beterbangan, keduanya kembali bertarung sengit.
Sebagai pendekar yang juga hanya fokus pada serangan, aliran muay thai Hiriyawan mementingkan gerakan lurus tanpa basa-basi, murni lahir untuk pembunuhan dan penghancuran. Di sisi lain, Jian Suyan yang berpenampilan lemah lembut dengan teknik gerakan lincah, justru menunjukkan daya rusak yang lebih dahsyat daripada muay thai melalui jurus-jurus Wing Chun seperti tenaga inch, palu cambuk Tai Chi, dan pukulan meruntuhkan Xingyi... Tubuhnya yang elegan kini diselimuti aura tak tergoyahkan. Saat Hiriyawan terus mundur mendekati tepi arena, murid-muridnya segera mengangkut yang terluka menjauh. He Yihong dan kawan-kawan pun sudah ketakutan hingga tak berani lagi berada di pinggir lapangan, sehingga terciptalah adegan sebelumnya.
Di bawah sorotan mata semua orang, pertarungan ini telah berlangsung selama empat sampai lima menit tanpa henti. Seiring berjalannya waktu, posisi inferior Hiriyawan semakin jelas. Kerumunan penonton di sekitar arena bertambah banyak, menyaksikan dengan takjub sang master muay thai yang dikabarkan tak terkalahkan ini terus-menerus menghindar dengan kikuk di hadapan seorang wanita. Wajahnya yang semula tampan kini berlumuran darah. Meski tatapannya masih tenang, kondisi fisiknya semakin melemah.
"Mungkin tak banyak yang tahu, saat ini di hati Jiaming juga ada sedikit keheranan. Sejak sakit kepala semakin menjadi, bahkan delapan orang pilihan hati Kelly pun tak bertahan lama di bawah penghancuran satu per satunya. Hiriyawan adalah yang pertama bisa bertahan selama ini dengan susah payah."
"Tenaga lembut Tai Chi mendorong pukulan berat lawan, tubuhnya langsung menghantam dada Hiriyawan. Dengan teknik Tie Shan Kao yang dahsyat, sebelum sempat bereaksi, tubuh Hiriyawan telah terlempar ke udara. Tanpa jeda, Jiaming melesat ke arah master muay thai yang kehilangan keseimbangan. Telapak kiri mengalihkan perhatian, sementara tangan kanan yang tersembunyi menyambar bagai ular derik. Udara retak oleh suara 'Prak!' yang nyaring."
"Hiriyawan berusaha menghadang, tapi serangan kilat ini menyusup celah antara kedua tangannya. Dua jari melukiskan busur darah yang cemerlang di udara."
"Aaaa…"
"Pertarungan mencapai titik dimana Hiriyawan pertama kali mengeluarkan jeritan binatang buas."
"Ini mungkin juga pertama kalinya sejak menyempurnakan ilmu tinjunya, dia mengeluarkan ratapan sengsara seperti itu. Tapi jeritan mengerikan itu justru memicu bukan kepuasan pada para penonton yang tak puas dengan Hiriyawan, termasuk He Yihong yang nyaris jadi korban pukulan. Yang muncul pertama di hati mereka adalah getaran dahsyat dan kengerian: Seorang master muay thai sekelas ini bisa dikalahkan sedemikian rupa - seberapa mengerikannya wanita ini sebenarnya…"
Untuk teriakan melengking musuh ini, tidak ada pikiran apa pun di hati Jiaming, juga tidak ada sedikit pun keinginan untuk menahan diri, langsung berlari maju. Selanjutnya, tidak diperlukan teknik apa pun lagi...
## Bagian Tiga Ratus Tiga Belas Pertemuan
Menyerang dari depan, pukulan beruntun bagaikan dentuman drum paling sengit bergema. Sekejap itu, tak terhitung jumlah pukulan yang mendarat telak di dada dan kepala Hiriyawan... Sekelompok murid muay thai berteriak-teriak sambil berlari maju, menarik sang Master yang langkah mundurnya mulai terhuyung-huyung. Orang-orang Thailand ini ternyata memiliki nyali, tiga empat orang membentangkan tangan, langsung menutup mata dan menghadang di depan.
Hembusan tinju yang menderu tiba-tiba berhenti tepat satu sentimeter di depan mata orang terdepan. Bayangan wanita yang sebelumnya mengamuk bagai angin puyuh menyedot, kini berhenti stabil seketika. Melindungi Hiriyawan di tengah kerumunan, kelompok ini menjerit-jerit histeris. Di depan mata mereka, Master muay thai yang hampir menjadi pembawa kehormatan dan harapan ini kini berlumuran darah. Gerakan tangan bagaikan ekor ular derik sebelumnya telah menyapu kedua matanya, membuat kedua bola mata hancur menjadi lubang berdarah yang mengerikan. Pukulan berat seperti hujan badai setelahnya bahkan membuat dadanya nyaris ambruk. Sekalipun tidak MATI, ke depannya dia sudah benar-benar menjadi orang cacat.
Murid-murid yang mengikuti latihan tinju Hiriyawan, seluruh kehormatan dan aib mereka terikat dengannya. Jika kalah dalam pertarungan di Tiongkok kali ini, paling-paling mereka akan dihinakan. Selama kekuatan Hiriyawan masih ada, tetap ada kesempatan untuk bangkit kembali. Namun nyatanya, dia justru dilumpuhkan secara paksa. Beberapa detik kemudian, kerumunan orang berteriak memanggil dokter sambil menangis, kebingungan membaringkan Hiriyawan di tanah. Beberapa orang Thailand yang menghadang di depan gemetar seperti ayakan, namun tetap berusaha bertahan. Setelah menyadari kondisi Hiriyawan, lebih banyak orang memandangi wanita yang masih menjaga gaya ayunan tinju dengan dingin, seolah siap bertarung mati-matian kapan saja.
Namun dendam adalah hak yang lemah. Ketika wanita di hadapan mereka menyapu kerumunan dengan pandangan dingin tanpa sedikitpun perasaan, lebih banyak orang justru mundur beberapa langkah secara bawah sadar. Di depan sosok seperti ini, tidak ada ruang untuk pertarungan mati-matian. Semua paham, jika mereka menggigit gigi dan nekat menyerang, hal paling mungkin terjadi adalah mereka semua harus terbaring pulang ke Thailand.
Perlahan-lahan, dia menarik kembali kepalan tangan yang menggantung di udara, mengeluarkan selembar tisu dari kantong jaket, lalu dengan dingin membersihkan darah di ujung jarinya. Nuansa kematian bak neraka di matanya pun berangsur memudar selama proses ini. Di hadapan semua orang, meski tanpa banyak gerakan, semua bisa merasakan bagaimana humanoid senjata tak terkalahkan tadi telah bertransformasi kembali menjadi wanita elegan nan sederhana. Dengan lembut merapikan rambut yang berantakan di pelipisnya, ia menyatukan kedua tangan dan membungkuk hormat:
“Sawasdee krub.”
Saat Thiraparp sebelumnya menantang He Yihong dan Ye Han dengan aura superioritas, sengaja memamerkan salam ini. Kini ketika diucapkan sang pemenang, tercipta ironi yang tak terungkapkan di udara.
Dengan putaran tubuh yang tenang, sambil berjalan ia mengancingkan manset kemeja, mengenakan sepatu dan jaket di tepi arena, lalu menyimpan kartu pers ke kantong sebelum memasang kacamata. Kini aura wartawan anggun nan tenang telah kembali, langsung menuju pintu keluar gym.
Dalam hening, kerumunan membuka jalan, memandangnya melangkah keluar pintu gerbang...
“Kami mengikutinya keluar dari hotel, lalu... aku kehilangan target...”
"Masih di kamar di lapisan teratas itu," suara pria asing bernama Charles terdengar di channel khusus sistem interkom. Kelly masih duduk di tengah sofa, paha jenjang dan seksi menganga, menyandar di kedua sisi sofa, membentuk garis lurus "" yang sempurna dan tegang, penuh dengan keindahan seni yang sulit diungkapkan. Sambil mendengarkan pembicaraan, dia memutar arah tubuhnya, lalu menekan torso ke salah satu paha, betis belakang terlipat ke belakang, satu tangan melingkari perut, tangan lain diangkat ke langit-langit dengan gerakan yang sama anggunnya, menyelesaikan pose yoga berkesulitan tinggi dengan mudah dan penuh gaya.
Bibir imutnya mengerucut, namun pandangannya tetap tertuju pada layar TV di depannya.
Di sana, tayangan adegan pertarungan yang baru saja terjadi di aula kebugaran bawah terus diputar. Gambarannya meski sedikit goyang, kali ini jauh lebih jelas dibanding rekaman video sebelumnya. Ini hasil transmisi rekaman langsung Charles dari bawah. Tatami di arena sudah hancur lebur, beberapa bagian dinding retak akibat pukulan tangan dan kaki. Satu pria dan satu wanita terlihat sedang bertarung sengit di dalam gambaran.
"Aaaaa..." Dia membuka mulut menarik napas dalam, lalu mengerutkan alis: "Bencinya!"
Jian Suyan datang, malah pergi mencari keributan dengan para jagoan Thailand, lalu menghilang dengan mobilnya setelah pertarungan. Ini membuatnya sangat tidak kuminati.
Di walkie-talkie, tiba-tiba terdengar suara yang lebih menyebalkan: "Hei, nona Kelly, itu... Aku Chen Shaojie, aku sudah menghubungi penerbangan ke Jepang, jam tiga pagi besok, aku hanya ingin mengonfirmasi, eh..."
Dengan suara "prak", meski sedang mempertahankan pose yoga, Kelly tiba-tiba menyerang, memutuskan percakapan dengan orang ini. Namun, posisi yoga yang sempurna pun menjadi tidak seimbang. Ia menggeliat duduk kembali, mengenakan sepatu hak tinggi hitam di samping sofa, berdiri melakukan beberapa gerakan peregangan sederhana, kemudian berjalan setengah telanjang ke arah meja.
Dengan sekali tepukan, delapan laptop di meja panjang ini sekaligus memulihkan status kerja. Saat ini, setiap layar komputer terbagi menjadi enam gambaran pengawasan. Pandangannya menjelajah di antara empat puluh delapan sublayar ini, jarinya sesekali mengetuk, segalanya normal.
Beberapa saat kemudian, ia mengambil walkie-talkie dan menekan tombol: "Charles, suruh orangmu bersiap pengamanan, dia kembali."
"Baik... Di mana dia?"
"Intuisiku mengatakan dia sudah naik. Kau tahu, untuk gadis polos, intuisi selalu akurat..."
“……OK，Aku mengerti.” Charles adalah orang dekat Natalia, dan dalam delegasi saat ini, bisa dibilang yang paling memahami gaya-nya. Semua tindakannya konon didasarkan pada intuisi perempuan-nya, namun "intuisi" ini selalu tepat secara menakutkan. Setelah beberapa saat, Charles bertanya: “Nona Kelly, apakah Anda perlu Transfer sementara?”
“Tolong, Charles, aku mencintainya!”
“Hmm, baiklah…”
Sistem interkom terdiam sejenak. Dia duduk di samping meja panjang, memandangi perubahan sosok di layar pemantau, lalu malas-malasan berbaring di sana. Jari-nya mengetuk pelan dua kali, melodi 《Laut Karibia yang Biru》 mulai mengalun lembut di dalam kamar.
Melodi surgawi yang hampir seperti suara merdu itu membuat suasana kamar semakin dalam dan sunyi. Kelly tetap berbaring di sana, tidak tahu berapa lama, tiba-tiba duduk tegak. Matanya menatap gambaran di layar pemantau, lalu mulai mengetik keyboard.
Segalanya tampak masih normal. Namun gambaran dari kamera rahasia justru mulai melakukan pengulangan pertama kali beberapa saat lalu. Dengan ingatan fenomenalnya, dia bisa mengingat setiap perubahan dari 48 gambaran dalam periode waktu ini. Tapi baru saja dibandingkan, ternyata ke-48 kamera tersebut mengalami kesalahan secara bersamaan.
“Bagaimana mungkin ini? Dia kan makhluk luar angkasa…”
"Dang kamera di sana dikendalikan, untuk Manfaatkan prosedur merebut gambaran langsung dari penerimaan di sini, basically mustahil." Beberapa ketukan, dia urungkan niat usaha sia-sia ini, menekan tombol talk walkie-talkie, belum sempat membuka mulut, suara sudah berkumandang dari sana, sepotong adegan yang diambil dari film tertentu, suara pria muntah bergema:
"Wei, aku cari... Zhou! Run! Fa!"
"Shit! Faa Gor tidak ada!"
Prak! Walkie-talkie ditampar ke tampilan layar utama, Kelly menghentakkan hak tinggi berdiri, wanita yang hanya mengenakan kemeja terbuka ini postur tinggi seksi, sorot mata berisi amarah terlihat cukup memikat. Seluruh sistem elektronik di sini dirancangnya sendiri, siapa sangka sekejap mata mereka berhasil kendalikan sepenuhnya, di balik pipi cantik yang tegang, tersirat juga ekspresi tegang dan bersemangat.
Mengingat sampai sekarang Charles dkk belum datang mengetuk pintunya menyelidiki, berarti mereka hanya berhasil mencegat komunikasi ruangan ini, sama sekali tidak membuat rombongan di luar curiga. Atas pertimbangan psikologis pertemuan pribadi tertentu, dia juga tidak menyuruh Charles dkk berjaga di sekitar ruangan ini. Asal bisa break through pertahanan luar, akan dapat hak menemui dirinya. Hanya... kalah telak begini, benar-benar tidak nyaman.
Saat ini sama sekali tidak bisa menghubungi Charles dan yang lain, ini berarti telah benar-benar memutuskan kemampuan adaptasinya. Tapi mengingat ini adalah game, berlari keluar untuk bergabung dengan orang lain justru telah melanggar aturan game. Dengan sepatu hak tinggi, dia berlari beberapa langkah ke tepi ranjang, membuka laci, mengeluarkan dua pistol. Dengan cekatan memeriksa magasin, dia perlahan berjalan ke pintu.
Membuka pintu, mengangkat senjata. Di luar tidak ada orang. Pistol di tangan kiri mengarah ke koridor kosong di sebelah kanan. Di saat bersamaan, tubuhnya menahan pintu sementara tangan kanan waspada ke arah kiri.
Koridor sunyi senyap. Matanya menyapu kedua ujung lorong, perlahan mulai rileks. Tampaknya belum waktunya. Berdiri di tepi pintu, tiba-tiba indra perempua itu seperti menangkap sesuatu - tubuhnya mendadak tegang bagai kucing yang siaga.
Dengan gerakan memutar, dia terkapar ke ranjang besar di belakang bagaikan macan betina cantik. Laras senjatanya mengarah ke ventilasi di atas. Seketika langit-langit di belakangnya meledak, sosok manusia jatuh. Saat berbalik, yang terlihat hanyalah wajah cantik nan dingin di balik rambut yang berkibar. Mereka sama sekali tidak berniat turun melalui ventilasi - langsung membuat lubang baru di pipa saluran.
"Tak sempat menembak, perutnya sudah terkena pukulan keras. Gadis kulit putih setengah telanjang itu terlempar ke dinding belakang dengan suara Braak, lalu jatuh meringkuk di atas ranjang mewah. Dua senjata yang tadinya di tangannya, kini sudah berpindah secara ajaib ke tangan wanita di tepi ranjang, laras senjata mengarah padanya."
"Kau sudah MATI."
Suara datar itu terdengar sementara Kelly memegangi perutnya sambil berguling-guling di ranjang. Kaki jenjangnya yang masih mengenakan heels hitam terlipat menyakitkan, meringkuk seperti udang kecil. Rintihan penuh tangis pun pecah.
"Rusak... Xiao Kaili rusak... Hiks, sakit... Aku kan sudah bilang ratusan sistem pengamanan tak berguna, harusnya taruh tahi di saluran ventilasi..."
## Bagian Tiga Ratus Empat Belas
"Rusak... Xiao Kaili rusak... Hiks, sakit... Aku kan sudah bilang ratusan sistem pengamanan tak berguna, harusnya taruh tahi di saluran ventilasi..."
Mengabaikan laras senjata yang mengarah ke tepi ranjang, Kelly berguling-guling kesakitan sambil memegangi perutnya hampir menangis. Dia tahu mereka tidak akan benar-benar menembak untuk MEMBUNUH, tapi pukulan tadi yang meski tidak menyebabkan cedera internal, mengenai perut dan membuatnya terlempar, menimbulkan rasa sakit yang tak terkatakan. Otot perut yang paling lemah hingga Organ Dalam seolah bergemuruh tiba-tiba. Dia menekan wajahnya keras-keras ke selimut lembut, paha meringkuk, bersujud di ranjang sambil menjerit-jerit. Dari belakang terlihat jaket pendeknya tergelincir ke bahu, pinggang dan bokong yang hampir telanjang bulat terpapar udara, paha jenjang yang rapat tertekan di bawah tubuh dan selimut. Kaki putih mulusnya menepuk ranjang pelan-pelan karena menahan sakit, jari kaki sesekali mengendur lalu menegang. Di belakangnya, seorang wanita yang seharusnya bernama Jian Suyan menyaksikan pemandangan ini dengan tatapan dingin.
Tapi, memang mustahil untuk membuka tembakan.
Menyaksikan Kelly meringkuk kesakitan dan mengerang selama dua menit, dia melemparkan dua senjata ke tong sampah sambil berujar datar: "Visi makro, aku kalah darimu. Tapi kendali situasi skala kecil, kau kalah dariku."
“Hmph.” Kelly entah kesakitan atau menjawab dengan mendengus beberapa kali, tangan masih menekan perutnya, memandangi wanita di tepi ranjang dengan sembunyi-sembunyi. Saat menyadari gaya yang sedang diambilnya sekarang, barulah dia membuka mulut sambil menahan penderitaan: “Hmph, aku tak mau banyak bicara denganmu... Kalau kau mau 'mengerjakan' aku, lakukan dari belakang. Kalau tidak... pergilah tutup pintu. Kau mau orang lain melihatmu? Ugh... Sakit MATI...”
Dengan pandangan dingin mengarah padanya, Jian Suyan berbalik badan. Sambil berjalan menuju pintu kamar yang terbuka, dia melepas jaket luar yang sudah berdebu. Merangkak di saluran ventilasi memang tak bisa dibilang bersih - jaket dan celana panjangnya penuh debu. Mengibas-ngibaskan jaket untuk membersihkan noda di celana, tangannya hendak menutup pintu ketika tiba-tiba Kelly yang meringkuk di ranjang melompat. Begitu Suyan menoleh, bayangan itu sudah menyambar secepat kilat, muncul seketika di depan mata.
Dua bayangan manusia berkecimpung jadi satu!
Meja panjang di samping tiba-tiba terlempar ke udara, laptop melayang di udara, salah satu di antaranya dihantam sembarangan, Byur! suara ledakan memercikkan ribuan percikan api listrik di udara. Hanya dalam waktu kurang dari dua detik, kamar yang semula Mengamuk kembali menjadi tenang. Kelly dicekik lehernya oleh satu tangan lawan, tubuh setengah telanjangnya langsung ditindih ke dinding. Kedua kaki yang masih mengenakan hak tinggi tak bisa menyentuh lantai, hanya bisa mengetuk-ngetuk dinding dengan putus asa di udara. Kedua tangannya memeluk erat lengan yang mencekiknya, berusaha bernapas dengan susah payah.
"Hah... Hah... Tolong..."
Adegan yang terpampang di kamar saat ini. Seorang wanita cantik berkemeja putih dan celana panjang hitam berdiri dingin di tepi dinding, dengan satu tangan menindih gadis Kaukasia cantik lain ke tembok. Tubuh setengah telanjang gadis itu dengan kaki ramping yang putih mulus menggelepar di udara, bunyi hak tinggi Byur-byur-byur menghantam dinding menciptakan situasi kejam namun menyentuh. 《Laut Karibia Biru》 bergema bagai suara merdu di ruangan. Beberapa saat kemudian, wanita berkemeja putih itu memiringkan kepala dengan dingin dan menyatakan: "Kau MATI untuk kedua kalinya."
"Aku... Batuk... Aku tak menerima!" Wajahnya merah padam bagai api, Kelly yang masih berusaha melawan mulai sedikit tenang, tetap bersikukuh, "Kalau berani, Bunuh aku..."
"Boleh saja." Jawab wanita itu dengan datar.
“Hmm...” Merasakan tubuhnya yang semakin sulit bertahan di udara, Kelly tiba-tiba mengerahkan tenaga. Kaki rampingnya langsung menjepit pinggang wanita di depannya, baru bisa sedikit meredakan desahan napasnya. Tentu saja, posisi yang disebut "akar pohon tua yang menjalar" ini memang terkesan ambigu. Apalagi dilakukan oleh dua wanita cantik, visualnya memang indah tapi memberi kesan aneh, terutama ketika salah satunya sedang mencekik leher yang lain.
Namun sepertinya Kelly masih kurang puas dengan kemiringan tubuhnya saat ini. Dengan kaki yang erat menjepit pinggang lawannya, dia mengajukan proposal tanpa tedeng aling-aling: "Hei, kau mendekatlah, biar kita sama-sama nyaman... Maksudku kalau kau suka gaya bicara seperti ini..." Penampilannya sama sekali tidak seperti orang yang sedang terancam nyawa, lebih mirip koala yang sedang santai di batang pohon.
Tubuh wanita di depannya tidak bergerak, hanya alisnya yang berkerut: "Bayangan tadi, itu kekuatan supernaturalmu?"
"Hmm... aku takkan memberitahumu!" Memeluk lengan wanita itu, Kelly mendengus bangga. "Tapi aku justru heran, bagaimana mungkin kau bisa melihat melalui ilusi kekuatan supernatural."
"Bisa membuat ilusi untuk menipu ya? Kalau orang lain tidak bisa membedakan, memang cocok untuk MEMBUNUH. Kalau gagal membunuh, setidaknya bisa kabur..."
Tidak heran... Di kehidupan sebelumnya, Pei Luo Jia telah melancarkan puluhan operasi pembunuhan terhadap Kelly. Meskipun dia tidak ikut serta, dia tahu betul betapa besar investasi yang dikucurkan Pei Luo Jia. Bertahan hidup selama bertahun-tahun dalam jerat maut seperti ini, bahkan berhasil memperkuat kekuatan anti-Pei Luo Jia secara global - inilah alasan yang membuat semua orang bergidik. Sekarang Jiaming akhirnya paham: dengan kemampuan supernatural dan kecerdasan luar biasa ini, wajar jika dia selalu bisa menghindari bahaya. Yang lebih mengerikan, setiap kali menggunakan kekuatan spesialnya, Kelly selalu menyembunyikannya dengan sempurna. Setelah puluhan operasi pembunuhan, tak seorang pun menyadari kemampuan mengendalikan ilusinya. Kontrol diri selevel ini... Pantas saja di kemudian hari dia dijuluki "Putri Takdir", popularitasnya bahkan melampaui "Permaisuri" di era sebelumnya.
Bagaimanapun, saat itu Natalia*Annis sudah MATI.
Selama setahun terakhir, keduanya telah berbagi segalanya di jaringan. Jiaming tentu sudah paham: sang "Putri Takdir" yang sesungguhnya memiliki mentalitas remaja biasa - kadang iseng, kadang serius, kompleks tapi juga polos, selalu penasaran pada banyak hal dengan karakter yang tak kenal batas. Ketika semua ini bertemu dengan IQ super tingginya, terjadilah reaksi kimia yang membentuk sosok mengerikan itu. Kecuali fetish kebersihan seksualnya yang memang agak aneh (tidak seperti orang normal), secara umum kepribadiannya justru sangat sesuai dengan standar gadis remaja biasa bagi Jiaming.
Dia tidak menyukai pria, menganggap mereka kotor, menganggap dirinya sebagai lesbian paling polos. Namun di saat yang sama, dia juga mendambakan sosok perempuan yang sempurna. Terhadap wanita lain pun, dia enggan melakukan kontak seksual, bahkan dengan Natalia*Annis sekalipun tidak ada hubungan intim. Maka sejak awal, meski sangat tertarik dengan urusan bercinta, dia hanya bisa menenangkan diri sendiri dengan alat-alat aneh yang dibelinya. Entah bagaimana dia mempertahankan sifat ceria ini di tahun-tahun tersulit saat terus dikejar-kejar, dengan cara apa dia menyelinap waktu untuk melepas tekanan...
Pikirannya melayang-layang memikirkan hal-hal ini. Tiba-tiba timbul rasa keakraban dengan gadis yang masih penuh semangat muda dan belum banyak mengalami penderitaan ini. Sebenarnya mau tidak mau juga harus akrab, toh sudah memasang perangkap sedemikian panjang, bukan untuk membunuhnya... Persis ketika hendak menurunkan Kelly, tangan satunya tiba-tiba mengeluarkan pistol dari pangkuan, mengarah ke pintu kamar. Kelly yang terguncang-guncang di genggamannya malah asyik berceloteh mencari hiburan di tengah kesulitan.
“Apakah kemampuan melihat melalui ilusi atau imun terhadap kekuatan supernatural? Katakanlah. Aku sangat tertarik dengan kemampuan penghancur mantra seperti ini, Natalia juga bisa melihat melalui ilusi sampai batas tertentu... Hmm, tapi aku belum pernah dengar orang yang benar-benar kebal terhadap kekuatan supernatural, pasti bukan kamu. Sebenarnya kemampuan ilusi tidak sesederhana itu, harus menyusun gambaran utuh yang kamu bayangkan dalam sekejap mata, *batuk*, dan butuh konsentrasi berlebihan yang selalu membuatku sakit kepala...”
Dia berbicara sementara pandangannya mengikuti laras senjata di tangan wanita itu ke arah pintu kamar. Mendengar kata "sakit kepala", wanita itu mengerutkan kening: “Bagaimana kau bisa menebaknya? Aku tidak ada, hmm?”
Tiba-tiba, gadis kulit putih di hadapannya membentuk mulut monyong dengan kilau air mata di mata: “Hei, kenapa kau harus bicara hal seperti ini? Aku susah payah menemukan cewek yang kusukai, menanti di sini dengan harapan penuh dia datang, tapi belum sempat ngobrol beberapa kalimat, sekarang kau mau bilang kalau kau tidak ada? Haruskah kau mengatakannya!”
Mengenai teknik Kelly yang bisa menangis sesuka hati, hari ini di kampus sudah kulihat, jadi tidak terlalu membebani. Tapi karena dia bicara seperti itu, jelas dia sedang tidak ingin membahas hal-hal seperti "intuisi". Mengernyitkan kening, sebuah sosok akhirnya muncul di gerbang.
“Nona Kelly, aku dengar ada keributan di sini, kau tidak apa-apa? Sebenarnya aku sudah lama ingin bicara tentang rencana ke Jepang, aku benar-benar... Aaaa! Ada apa di sini! Apa yang terjadi! Siapa kau ini, aku... aku peringatkan kau, le-le-le-lepaskan Nona Kelly sekarang juga...”
Berdiri di pintu, pria bernama Chen Shaojie terpaku memandang laras senjata yang mengarah padanya. Serpihan langit-langit, meja panjang yang terguling, laptop yang masih memutar musik di lantai. Di tengah kekacauan itu, Nona Kelly yang selama ini ia sukai terangkat melayang di udara dalam situasi yang aneh.
Jian Suyan yang mengacungkan pistol meski berpakaian agak netral hari ini, tetap terlihat sebagai wanita cantik. Sementara Kelly tampak lebih seksi, tubuhnya yang sudah setengah telanjang kini terangkat miring di udara dengan leher terjepit. Jaket terbukanya tak lagi menutupi tubuh, hanya mengenakan bra hitam yang memperlihatkan pinggang ramping dan lekuk torso-nya. Paha seksi nan jenjangnya melilit pinggang lawan, satu sepatu hak tinggi sudah terlepas sementara satunya masih melekat. Menyaksikan pemandangan ini, meski sedang dihadang pistol, Chen Shaojie tak bisa menahan air liurnya.
Pada saat yang sama, tatapan penuh kemarahan Kelly menancap: "Liat apa?! Pergi sana! Belum pernah lihat orang pacaran?!"
Dua wanita yang "bercinta" seintens ini... memang belum pernah kulihat...
## Bagian Tiga Ratus Lima Belas Tembakan
“Ngapain lihat-lihat! Pergi sana! Belum pernah lihat manusia pacaran ya!”
Dalam teriakan marah Kelly, Chen Shaojie berkata ketakutan: “Nona Kelly, kau tidak perlu takut, aku tahu pasti kau sedang diancam…”
Belum selesai bicara, sebuah peluru *prak* melintas di dekat telinganya. Orang itu berteriak keras lalu langsung berlari, suaranya bergema di koridor hingga jauh berpencar. Dua wanita di kamar saling bertukar pandang: “Lepaskan kakimu, aku akan menurunkannya.”
“Aku tidak mau! Batuk-batuk… Kau belum menghajarku sampai mati!”
Kelly menggelengkan kepala dengan angkuh. Meski napasnya tersengal, jelas terlihat di pipinya yang cantik tertulis dua kata “layak dipukul”. Tangan Jian Suyan hendak menambah tekanan, tiba-tiba pandangannya tertuju ke sisi lain kamar.
Di sana terhampar jendela panorama besar di dinding luar hotel. Saat pandangan itu menembus udara jalanan ratus meter, terlihat jelas pemandangan gedung seberang dengan kerlip lampu yang membingungkan.
Seketika, dia membawa Kelly melompat ke belakang. Jendela panorama raksasa itu meledak seketika oleh desingan peluru. Angin dingin yang tajam seperti pisau menerobos masuk ke kamar di lantai paling atas gedung, mengaum keras dengan suara hampa di dalam ruangan.
Tubuh mereka mendarat di ruang dalam lapisan sebelah dalam ranjang setengah kamar lainnya. Jian Suyan mengulurkan tangan dan melempar dengan rotasi, ranjang besar berdiri seperti paravent dengan suara Braak. Pada saat yang sama, Kelly merangkak cepat ke dalam sambil tersenyum girang: "Benar-benar datang, orang ini memang ceroboh..."
"Siapa?"
"Orang yang kabur dari laboratorium." Dengan senyum dia membuka laci meja samping ranjang, memperlihatkan tujuh delapan senjata ringan-berat yang sudah ditumpuk rapi di dalamnya. "Dia bernama Adipati." Dalam deru angin yang menderu, dia menambahkan.
"Berikan aku senapan runduk." Keduanya kini berlindung di belakang ranjang besar. Angin dingin mencukur wajah. Jian Suyan berseru keras, lalu menatap ke arah dinding yang menunjukkan jejak tembakan runduk tadi. "Kemampuan menembaknya sangat buruk," ujarnya datar. Matanya menyapu cepat ke luar, lalu alisnya berkerut. "Ada yang tidak beres..."
"Kau sadar?" Kelly yang menggendong senapan runduk berat merangkak mendekat dari belakang sambil tersenyum. "Di semua jendela ini sudah kutempel membran transparan berderajat pembiasan tinggi. Tembakan tadi bahkan tidak akan mengenai kita meski tidak menghindar. Ngomong-ngomong, cepat ambil walkie-talkie-ku dan pulihkan komunikasi. Masih ada beberapa hal yang harus kubicarakan dengan orang lain."
Angin dingin meraung, tubuhnya saat itu hampir setengah telanjang. Ia menyerahkan senapan runduk kepada Jian Suyan di depannya, lalu memeluk kaki dan bersandar di punggungnya. Perempuan di depan mengerutkan kening, menarik ujung kain di lantai dengan keras sehingga selimut yang semula tergeletak di ranjang terseret. Dengan gerakan cepat, ia melemparkannya untuk menutupi walkie-talkie yang terjatuh di kejauhan. Setelah menariknya kembali, walkie-talkie itu dilemparkan ke tangan Kelly sementara selimut membungkus tubuh perempuan itu sebelum ia ditendang kembali.
"Haha." Kelly tidak marah. Ia menggulung-gulungkan diri dengan selimut di lantai, menekan beberapa tombol pengaturan pada walkie-talkie sambil berbicara: "Sebenarnya kau tidak perlu keluar bertarung dengannya. Lebih baik kita berdua berbincang di sini... Charles, sudah tersambung?"
Mengabaikannya, perempuan di samping itu dengan gesit membongkar senapan runduk, kemudian menyesuaikan dan merangkainya kembali. Jari-jarinya menari lincah bagai pertunjukan seni yang sulit diungkapkan. Akhirnya suara muncul dari walkie-talkie: "Nona Kelly, kau baik-baik saja? Chen Shaojie bilang..."
"Suruh pria kotor itu minggir! Nona Jian ada di sini... Bagaimana situasi di sana?"
"Sudah melakukan kontak. Nona Kelly, aku segera ke sana."
"Sudah kukatakan Nona Jian ada di sini. Kau tidak perlu datang!"
"Hanya konfirmasi. Nona Natalia menyuruhku menjagamu."
“Benar-benar pria yang menyebalkan!” Sumpah serapah terlontar, Kelly mengangkat kepala, namun melihat tatapan Jian Suyan sudah tertuju padanya. Senyum cemerlang langsung merekah di wajahnya, "Iya kan?"
“Kau menempatkan orang di seberang?”
“Banyak orang!” Kelly membetulkan sambil tersenyum, “Orang itu punya sifat pemarah. Sudah kupermalukan dulu, pasti dia tidak akan melepaskanku. Lagipula dia sangat hebat, intuisi bilang dia pasti akan datang memberi peringatan duluan. Makanya, aku sengaja tinggal di sini menunggunya.”
Mendengar kata "intuisi" lagi, dia mengerutkan kening: “Kalau aku, langsung saja menerjang.”
“Tapi dia tidak sehebat kamu. Selainmu, aku tidak bisa bayangkan siapa lagi yang bisa masuk tanpa memicu semua alarm yang bertebaran ini... Apa kamu alien? Makanya dulu aku sudah usul untuk menaruh kotoran di saluran ventilasi yang biasa dipakai pembunuh, tapi mereka melarang. Cuma pasang beberapa ratus alarm...” Kelly membungkus diri dengan selimut bulu, duduk bersila. Matanya berbinar-binar, jari-jari putih mulusnya saling meremas, persis penggemar fanatik yang sedang bertemu idola, terus saja mengoceh. Wanita di seberang menghela napas, senapan runduk di tangannya bergerak, lalu berdiri: “Kalau aku mau membunuhmu, tidak peduli ada kotoran atau tidak. Lagipula kalau saluran ventilasi dipenuhi barang begitu, kamar-kamar ini masih layak ditinggali...”
"OK！OK！" Dia berkata, tiba-tiba melompat dari belakang ranjang besar, melakukan transisi halus, tubuhnya sudah menempel di pilar semen tengah dinding luar kamar. Senapan runduk dibidikkan ke gedung di seberang. Kamar besar ini awalnya dirancang dengan dua bilik khusus, separuh jendela hancur sementara separuhnya masih utuh. Tubuhnya bersembunyi di tepi jebolan, diterpa angin kencang yang membuat baju melekat ketat dan berkibar-kibar. Kelly di belakang ranjang menjulurkan leher seperti boneka yang terjatuh, menatap bayangannya dengan mulut menganga membentuk huruf "O" khas orang gila cowok.
Sesaat kemudian, laras senjata tiba-tiba berbalik arah mengarah ke pintu. Bersamaan dengan itu, seorang pria kulit putih juga mengarahkan senjatanya ke arahnya, jelas ini Charles yang tadi bersikeras ingin datang. Dua bayangan ini saling berhadapan sejenak. Kelly melepas satu-satunya sepatu hak tinggi di kakinya dan melemparkannya keras-keras ke arah pintu: "Sudah kukatakan jangan datang! Natalia pun tak berani ikut campur urusan kebebasanku!"
"OK！OK！" Melihat Kelly marah, pria kulit putih itu segera mengangkat kedua tangan di bawah bidikan senapan runduk sambil mundur, "Jangan marah, aku hanya ingin memastikan kau benar-benar aman. Maaf, takkan mengganggu kalian lagi. Aku pergi dulu, aku pergi... Hei, Nona Jian, akhirnya bisa bertemu. Sampai jumpa lain kali kita ngobrol..."
Pria ini bersikap cukup ramah, memastikan Kelly benar-benar baik-baik saja, lalu tersenyum sambil mundur dari tepi pintu. Kelly berteriak lagi: "Tunggu! Bagaimana situasi di sana?"
"Batuk, sangat kacau..." Charles kembali, berjongkok di depan pintu, melemparkan sepatu hak tinggi itu ke dekat Kelly, "Orang dari [] tidak punya pengalaman menghadapi orang ini, tim kami... sebenarnya juga kurang pengalaman. Tapi sejauh ini, hanya mengejar Adipati berlarian di gedung itu, sepertinya belum ada kemajuan berarti..."
"Oke, kau boleh pergi. Beri tahu saya perkembangan terbaru kapan saja." Kelly melambai. Charles tersenyum lalu menghilang dari pandangan mereka. Kelly menatap Suyan yang mendekat sambil tertawa: "Orang ini sebenarnya gay lho."
"Dia bukan." Jawab Jian Suyan dengan datar.
"Kamu juga tahu ini?" Kelly tak tahu bahwa pria ini pernah menyusup ke Dark Celeste, akhirnya mengumpulkan banyak pembunuh dan menghancurkan Dark Celeste sepenuhnya. Saat itu Kelly lebih suka berpindah-pindah negara, tak pernah ke markas besar, hanya punya kontak satu arah dengan Natalia. Hingga akhirnya, Jiaming pun tak pernah benar-benar bisa mendekatinya. Hanya ketika Dark Celeste hampir runtuh, Kelly yang mencium gelagat buruk kembali, tapi terlambat - sebagian besar kekuatan Dark Celeste sudah dihancurkan.
Saat semua orang mengepung Natalia*Annis, Jiaming yang bersembunyi di lokasi rahasia juga menyadari kehadiran Kelly. Hanya saja saat itu dia hanya menyaksikan Natalia MATI tanpa melakukan serangan apapun. Kemudian dimulailah perjalanannya mengelilingi dunia untuk melawan Pei Luo Jia. Terkadang Jiaming teringat pemandangan terakhir Natalia yang terbaring di pangkuannya, menyadari bahwa sang Permaisuri yang tak terkalahkan itu mungkin telah kehilangan keinginan hidup karena tekanan tertentu - mungkin akibat tindakannya sendiri. Namun di ruang-waktu sebelumnya, Jiaming tidak punya kapasitas untuk menganalisis hal ini.
Dia menyaksikan kelemahan Yoritomo Taku yang lahir dari cinta sejati. Bagi dirinya saat itu, perasaan yang hanya menambah beban ini adalah sesuatu yang murni mengganggu. Tapi mungkin akumulasi fragmen-fragmen bawah sadar ini - kehidupan Natalia, kehidupan Yoritomo Taku, dan banyak kehidupan lain - secara tak sadar memicunya merenungkan makna kebebasan. Faktanya, di antara pembunuh biasa Pei Luo Jia, posisinya sudah paling tinggi dengan kebebasan cukup besar. Bahkan jika menemukan misi mustahil, setelah memberikan analisis dia masih punya hak memilih. Namun rasa haus yang tak terungkap di hatinya mendorongnya membelot setelah mencuri data-data yang akan jadi tawaran aliansi. Ketidakpatuhan tunggal dalam hidupnya ini akhirnya bertemu Phoenix, mungkin memang takdir semata.
“Apakah karena dia menyukai Natalia?”
“Hmm aah, banyak orang yang sebenarnya sudah tahu, dia sangat suka Natalia, tapi bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
Tak perlu dikatakan, hal serupa pernah dia lakukan... Dengan ekspresi wajah perempuan sempurna yang tetap, Jian Suyan mengalihkan topik pembicaraan: "Sekarang bisa kau ceritakan padaku?"
“Cerita apa?”
“Seluruh kejadian, kenapa datang ke Jianghai, dan juga apa sebenarnya yang terjadi dengan orang itu di sana? Serta... bagaimana tepatnya kau bisa menembus penyamaranku?”
Kelly memutar kepalanya sambil berpikir, perlahan menunduk menunjukkan ekspresi kecewa, tapi kemudian tersenyum cemerlang: “Sebenarnya menurutku kau baik sekali, dari awal sampai akhir, kau tetap mempertahankan penampilan ini dengan sempurna, terus menggunakan suara perempuan, bahkan setelah aku tahu kebenaranmu... Ew ew ew, aku harus melupakan fakta ini...”
“Kembali ke inti pembicaraan.” Suara khas Jiaming terdengar di detik berikutnya, “Ini kebiasaan profesional.”
“Aku membencimu!” Kelly tiba-tiba berteriak, “Jangan lagi gunakan suara seperti itu, itu suara Gu Jiaming si bocah menjijikkan! Ini batas terakhirku, jika kau melanggar lagi, aku akan...” Tangannya menyilang di udara: “Memutuskan hubungan denganmu!”
Perempuan di seberang tertegun sejenak, lalu tersenyum pasrah dengan suara perempuan datar: “OK.”
“Baiklah.” Kelly mengangguk puas, “Secara singkat, ada tiga hal utama yang membuatku datang ke Jianghai: Pertama, ada seorang cewek bernama Dongfang Ruo yang mengalami mutasi kekuatan supernatural. Ini yang paling sepele; Kedua, untuk menghabisi si Duke di seberang sana. Dia kabur dari laboratorium dan membuat kekacauan besar di basis Dark Celeste. Natalia sendiri yang turun tangan, tapi kalah dan sekarang tertidur lelap.”
“Apa yang kau katakan!?”
## Bagian Tiga Ratus Enam Belas Suyan Na
Dalam rekaman memori, sebagai Permaisuri Dark Celeste, Natalia mengalami dua kali proses kesadaran diri akan kekuatan supernaturalnya. Bagaimanapun, secara garis besar, dia adalah hasil reinkarnasi berturut-turut dari para Evolusioner alami generasi sebelumnya. Bagi manusia biasa, mustahil menanggung kekuatan besar para Evolusioner alami sekaligus, sehingga hanya bisa mengalami kesadaran diri bertahap seiring pencapaian level tertentu dalam tubuh.
Para Permaisuri generasi awal dikabarkan memiliki 5-6 catatan kesadaran diri seumur hidup. Tingkat seperti itu sudah sepenuhnya melampaui konsep manusia biasa. Namun selama ribuan tahun, kekuatan itu perlahan terkikis. Generasi terakhir hanya mengalami dua kali kesadaran diri, meski tetap jauh melampaui manusia normal. Jiaming memasukkan mereka dalam level tak terkalahkan, meski akhirnya sang Permaisuri dengan dua kesadaran diri itu tetap tewas dikeroyok teknologi tinggi dan taktik kelompok. Predikat "tak terkalahkan" perlu diskon, tapi di era senjata tradisional, makhluk supernatural seperti ini basically invincible.
Setelah kesadaran diri pertama, Natalia meskipun belum mencapai status tak terkalahkan, basically sudah mendekati puncak manusia biasa. Terakhir kali dikalahkan Yoritomo Taku di Kapal Star Dream, dia kembali ke Eropa mencari kesadaran diri kedua. Meskipun belum ada terobosan, kekuatannya mungkin sudah meningkat. Kali ini ternyata dikalahkan oleh orang seperti ini dan terjatuh dalam tidur panjang. Selain terkejut, pemikiran lain pun muncul di hatinya.
"Dia memasuki fase kesadaran diri kedua?"
"Hmm, selama dua tahun tidak ada kemajuan, setelah ini akhirnya berhasil break through, patut dirayakan." Kelly menepuk tangan, "Tapi meski begitu, Pak Adipati itu tetap ingin kuantarkan pulang."
Wanita yang menggendong senapan runduk panjang di seberang mengerutkan alis: "Sebenarnya namanya apa? Dulu kudengar orang menyebutnya Pangeran?"
"Eh..." Kelly tertegun sejenak, "Kalau dipikir-pikir, aku jarang mendengar dia memperkenalkan diri. Saat di laboratorium biasanya kupanggil Subjek Percobaan Nomor 1758. Lagipula Pangeran atau Adipati sama saja, baru diakui setelah diberi gelar oleh Permaisuri."
"Nomor 1758..." Dia mengangkat mata putihnya, "Lalu bagaimana kalian bisa membuat monster seperti ini?"
“Dibuat? Tidak, dia bukan buatan kami, kami hanya bisa meneliti.” Kelly tersenyum jujur, “Sebenarnya hal ini berawal dari tahun lalu, aku tahu akar masalah ini juga ada bayangan bocah lelaki Gu Jiaming yang menyebalkan. Sejak paruh kedua tahun lalu, [] mengirim banyak orang ke Eropa untuk menyusuri gunung-gunung terpencil dan kastil-kastil, katanya mencari sarira atau semacam tulang mayat. Kalau mereka tertarik, kami sebagai tuan rumah tentu tidak boleh kalah. Jadi kami juga mengirim banyak tim eksplorasi.”
“Setelah lebih dari setengah tahun tidak menemukan tulang mayat bernilai, pada Desember tahun lalu mereka justru menemukan sebuah kastil yang konon terkait legenda penghisap darah. Setelah banyak korban MATI, akhirnya sampai ke kamar dalam kastil. Situasi saat itu benar-benar aneh, tahu? Struktur eksternal dan perangkap sama sekali tidak tersentuh, tapi di dalamnya malah ada kerusakan aneh yang terlihat baru terjadi beberapa tahun terakhir. Ini membuktikan... baru-baru ini ada yang masuk ke kastil dengan teknik ajaib lalu bertempur.”
“Mengingat mereka sudah lebih dulu masuk, tentu tidak ada harta karun yang tersisa. Tapi yang kami temukan justru seorang anak kecil yang terbenam di dalam dinding—benar-benar mengejutkan. Saat itu seperti adegan kartun, misalnya Tom and Jerry berkelahi, kucing besar memukul tikus hingga terlempar dan menancap di dinding. Dindingnya seperti keju, membentuk siluet manusia. Seperti kita tahu, hal ini mustahil terjadi di dunia nyata. Tubuh manusia terlalu rentan. Sekalipun sudah sangat terlatih, jika dipaksa masuk ke dinding dengan kekuatan sebesar itu, pasti akan hancur jadi daging hancur asam. Bahkan meski menabrak manusia besi tak termusnahkan, kerusakan dinding pasti akan meledak dari titik pusat. Tapi faktanya, setelah kami bongkar batu-batu di sekitarnya, anak itu...masih hidup setelah digali.”
Bahkan Kelly yang berpikiran terbuka dan mudah menerima hal baru masih merasa sulit mempercayai kejadian ini. Ia berhenti sejenak: "Lalu kami bawa dia ke laboratorium. Tim lain tetap di kastil untuk menganalisis kekuatan macam apa yang bisa menghasilkan efek seperti itu. Setelah sekitar lebih dari setengah bulan meneliti, kami menyimpulkan bahwa orang ini..." Dia mengangkat tangan bingung, menunjukkan gigi dengan ekspresi lucu seperti hantu, "Emm...seorang penghisap darah."
“Baiklah aku tahu kau tidak percaya, tapi aku juga tidak percaya. Tapi faktanya memang seperti ini, jika kau melukai dia dengan pisau, lukanya akan cepat pulih. Bahkan jika kau terus menusuknya seperti menusuk keju, dia masih bisa bertahan dengan napas terakhir. Tentu saja kurasa jika kepalanya dipenggal pasti dia akan MATI, tapi belum sempat kucoba karena banyak orang yang menghalangiku...”
Di gedung seberang terjadi kekacauan luar biasa dengan api yang sudah mulai membara. Kelly bersembunyi di balik ranjang sambil berbicara keras dengan tawa gembira, sementara Jiaming membayangkan dia membawa pisau dapur ingin memenggal kepala anak kecil, matanya berbinar-binar penuh semangat dan rasa ingin tahu. Kemudian muncul pemandangan kacau dimana sekelompok peneliti berusaha menghentikannya yang sedang mengamuk.
“Sebenarnya ini bukan hal yang terlalu sulit dipahami, Suyan. Lihat, di dunia ini ada pengguna kekuatan supernatural, Evolusioner alami, kecantikan seperti aku yang bertahan setelah dimodifikasi dan tidak tahu kapan akan MATI, lalu alien sepertimu yang menguasai teknologi ratus tahun lebih maju dari Bumi. Mengapa tidak bisa ada penghisap darah? Lagipula sejak dulu sudah ada legenda tentang mereka. Atau mungkin vampir pertama yang bernama Kain itu sebenarnya seorang Evolusioner alami dengan kekuatan khusus, sehingga warisannya bisa bertahan turun-temurun.”
“Err... Bagaimanapun, tidak memenggal kepalanya, kami akhirnya memberinya transfusi darah. Dia sangat sensitif terhadap darah, tapi bukan sembarang darah bisa, setelah sekitar lebih dari setengah bulan menggelepar-gelepar, akhirnya menemukan plasma yang cocok untuknya, lalu... dia bangun, mengaku sebagai Marquis dengan sifat yang sangat kasar, seperti monyet liar yang belum dididik, mengancam dengan cakar dan gigi...”
“Err, itu Pangeran.”
“Terserah lah, yang penting aku! TIDAK! TERIMA!” Sekarang dia terlihat seperti gadis kecil yang mengamuk karena marah, “Sifatnya terlalu kasar, aku menyedot separuh darah dari tubuhnya lagi, sehingga dia jadi lebih tenang dan memudahkan eksperimen selanjutnya. Saat santai, kami sempat mengobrol tentang masa depan dan cita-cita. Kami akhirnya tahu, awalnya dia hendak mencari harta kesayangan di Kastil itu, siapa tahu bertemu dengan seorang Evolusioner alami. Setelah berdiskusi sebentar, si Evolusioner alami itu yang tidak menyukainya langsung menamparnya hingga terlempar ke dalam tembok. Tapi katanya orang itu juga anak kecil lewat sepuluh tahun yang sepertinya tidak suka MEMBUNUH, jadi dia tidak MATI, hanya terjepit di tembok dan pingsan selama beberapa tahun.”
Meski sudah banyak melihat dunia, bahkan pernah kontak dengan makhluk ajaib seperti phoenix, mendengar kisah mitos ini secara tiba-tiba. Jian Suyan masih tertegun beberapa saat: “Sekarang benar-benar... ada Evolusioner alami?”
“Semua itu dia yang bicara, siapa yang tahu. Tapi kekuatan seperti itu, secara ilmiah sangat sulit dijelaskan. Dia mengalahkan Natalia, tapi justru saat kekuatannya lebih besar, malah terhempas oleh tamparan orang lain, bertahun-tahun tak bisa sadar. Jika mengikuti tingkat Natalia, kami perkirakan setidaknya perlu empat kali kesadaran diri ke atas untuk memiliki kekuatan seperti itu.” Kelly menepuk tangan, “Dan ada kabar baik. Anak itu orang Timur kalian, namanya sepertinya... pohon apa...”
“Pohon?”
“Begini, Nomor 1758 tidak paham bahasa China. Saat itu anak Timur itu menggendong kardus besar yang mungkin berisi TV atau apa. Di dalam kardus... belum tentu manusia, tapi pasti semacam makhluk hidup. Saat benda itu bicara dengan anak itu, Nomor 1758 hanya ingat sedikit fragmen suara. Setelah berdiskusi, kira-kira ada karakter China 'Shu'.”
Seorang anak kecil memeluk kardus besar... semakin dipikir semakin terasa aneh. Dia bergumam beberapa saat: “Mungkinkah... Kuromura Hiroki?”
"Evolusioner alami" bagi manusia, kekuatannya begitu besar hingga sulit diperkirakan, dan dalam hatinya teringat juga seseorang yang selalu tidak bisa dipahami. Di ruang-waktu sebelumnya, pemuda bernama Kuromura Hiroki ini telah berkali-kali masuk dalam penglihatan organisasi kegelapan. Secara lahiriah dia tidak memiliki kekuatan apa pun, namun sekaligus menjaga hubungan baik dengan Mikado Ki, Munen, Tenku Masaoka dan lainnya. Dia selalu suka menggendong tas perjalanan sambil berwisata kaki ke Jepang, Tiongkok, Eropa, Amerika, bisa berteman dengan siapa saja. Namun dalam konflik kegelapan yang semakin sengit, dia tidak pernah memihak pihak mana pun, seorang individu independen dengan sifat santai dan ramah. Banyak yang mungkin pernah menyelidikinya, tapi akhirnya tidak ada hasil. Jiaming pernah melakukan kontak dengannya saat menyamar di keluarga Yuechi, melalui Tenku Masaoka bertukar beberapa patah kata. Meski tidak ada interaksi lebih lanjut, nama ini selalu diingat. Lagipula, beberapa tahun sebelumnya, dia memang masih seorang anak.
"Itu nama Jepang kan." Kelly mengerutkan kening, "Lagi pula suara bahasa Jepang juga berbeda. Tapi siapa Kuromura Hiroki ini? Kenapa aku tidak tahu?"
"Dia bukan orang yang terlibat kepentingan gelap, tapi... kalau orang dalam koper itu berbicara bahasa China, bisa menyebutkan karakter 'pohon' saat memanggil nama."
“Tapi anak itu juga berbicara dalam bahasa China, kalau dia orang Jepang, kenapa harus menggunakan bahasa China untuk berkomunikasi? Ah, iya…” Seolah teringat sesuatu, Kelly mengerutkan alis, menggigit lembut jarinya dengan gigi mutiara, “Nomor 1758 mengatakan suara dalam peti itu adalah suara wanita, saat anak laki-laki itu berbicara dengannya, sepertitu menyebut nama seperti Suoyana... Tapi kenapa orang China punya nama asing? Tentu saja tidak menutup kemungkinan ada wanita asing dalam peti itu, tapi tiba-tiba aku berpikir, jangan-jangan itu merujuk pada...”
Dia berhenti sejenak, matanya berbinar dengan senyum penuh keingintahuan: “...Suyan ya.”
Seketika, Jiaming merasakan bulu kuduknya berdiri!
Yang terkunci dalam peti itu... Jian Suyan...
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Belas Raja Mengerikan
Kemungkinan keseluruhan kejadian ini sangat kecil, ucapan Kelly saat ini lebih terdengar seperti candaan. Pikiran yang sama melintas di benak Jiaming, beberapa saat kemudian dia menggelengkan kepala, mana mungkin ada kebetulan seperti ini!
“Bagaimanapun informasi ini semua berasal darinya, sulit membedakan mana yang benar dan palsu. Tapi setelah memotong beberapa bagian tubuhnya untuk dianalisis, laboratorium memang mendapatkan beberapa terobosan. Sebagian orang... bisa menerima kemampuan regenerasi tingkat dasar. Kemampuan ini secara kebetulan sejalan dengan arah penelitian terakhir laboratorium. Meskipun menurutku prospeknya dalam memperpanjang umur manusia tidak terlalu optimis, para pemimpin keluarga Rothschild tiba-tiba menjadi sangat antusias sampai keterlaluan...”
“Seperti eksperimen kekuatan supernatural sebelumnya, basically menggunakan berbagai cara untuk menegangkan area spesial di otak subjek uji, berharap bisa melahirkan kesadaran diri kemampuan. Teknik seperti ini meskipun setelah diteliti memiliki probabilitas keberhasilan tertentu, tapi sama sekali mustahil mengendalikan arah kemampuan, dan bahkan jika sebagian manusia berhasil menyadari kekuatannya, lebih dari sembilan puluh persen akan MATI dalam waktu singkat karena masalah otak. Sesekali ada beberapa kasus sukses, contohnya Dongfang Ruo itu, atau Tak terhitung dewa-dewa di masa lalu, yang terkadang terlihat sama seperti manusia normal, tapi apa yang mereka tanggung di belakang layar, sulit untuk diungkapkan. Sedangkan hal kali ini, basically merupakan pertama kalinya muncul mutasi tetap di bawah faktor ancaman buatan, wajar jika disebut sebagai tonggak sejarah oleh orang-orang bodoh itu.”
Menurut data-data sebelumnya, kemampuan Kelly sebenarnya juga hasil eksperimen, hanya saja hal seperti ini biasanya tabu bagi pihak yang bersangkutan. Dia hanya menyebut Dongfang Ruo dan Tak terhitung dewa-dewa tanpa menyebut diri sendiri, tentu kami juga tidak mungkin menanyakannya. Jian Suyan mengangguk: “Meningkatkan aktivitas sel tubuh dengan metode khusus, konsekuensi langsungnya hanya overdraft kehidupan, malah memperpendek umur. Lagipula kemampuan yang didapat dari eksperimen seperti ini, tubuh yang sudah berhenti berkembang basically tidak mungkin bisa beradaptasi sepenuhnya dengan perubahan, akhirnya mungkin hanya membuat organ-organ tubuh meninggalkan kendali.”
Meski Kelly memiliki sifat kekanak-kanakan perempuan, dia tetap peneliti paling profesional. Saat ini dia mengangguk mati-matian: "Ya, aku juga merasa begitu. Tapi bagi mereka, dengan keberadaan penghisap darah di tangan, jika menemukan cara mengubah orang lain menjadi vampir, mungkin mereka bisa memperpanjang usia seratus tahun lebih. Sayangnya penelitian belum membuahkan hasil, malah memberi kesempatan pada No.1758 untuk memulihkan kekuatannya, lalu dia membawa sekelompok subjek eksperimen menerobos keluar dari basis."
Selama pembicaraan, laporan pertempuran dari gedung seberang juga terdengar melalui walkie-talkie. Kekuatan supernatural Pangeran itu aneh dan berubah-ubah, sulit diprediksi. Bahkan pengepul berpengalaman dalam menghadapi pengguna kekuatan supernatural dibuat berputar-putar, situasinya sangat genting. Jiaming mengangkat senapan runduk berdiri di tepi kamar mencoba mengamati, berharap bisa mengonfirmasi apakah Pangeran itu mantan kurcaci pengguna kekuatan supernatural. Namun bayangan itu tak pernah muncul dalam pandangan.
“Sebenarnya aku bisa menentukan hal di pihakmu, itu karena terinspirasi dari Nomor 1758.” Kelly yang setengah telanjang di bawah selimut bulu sambil menggosok-gosok betisnya yang mulai dingin oleh angin, berkata dengan bangga, “Mari kita analisis. Tawaran terbesar bocah sial Gu Jiaming itu adalah latar belakang bersihnya. Seorang anak kecil normal tak mungkin berubah menjadi orang dewasa berpengalaman, kecuali dia Evolusioner alami. Pasti ada ketidaksesuaian. Tapi selama Nomor 1758 di laboratorium, dari wujud anak kecil saat diselamatkan hingga tubuhnya cepat menua, meski posturnya masih pendek, jelas terlihat seperti lelaki tua. Jadi aku berpikir, mungkin Gu Jiaming itu penghisap darah, atau makhluk luar angkasa...”
“Kau idiot...”
“Hmph, sebenarnya kamuflasemu mustahil terbongkar dalam logika manusia. Tapi sekarang ada kemungkinan itu, kenapa aku tak bisa membuat hipotesis berani? Sejujurnya, anak sial Gu Jiaming itu meninggalkan terlalu banyak jejak saat berulah dulu. Jika aku, pasti tak akan tinggalkan petunjuk jelas sebanyak itu. Dari awal sampai akhir, aku takkan pernah membiarkan Suyan sempurnaku punya koneksi dengan bocah lelaki memalukan itu.”
Dia tersenyum manis dan menyimpulkan: “Jadi, Suyan, kau benar-benar butuh aku!”
Wanita di seberangnya juga tersenyum: “Aku memang menghubungimu karena membutuhkanmu.”
“Tapi aku sama sekali tidak menerima pilihan menjadi pemain cadangan!” Dengan wajah yang tegang, dia berbicara satu per satu dengan perlahan, “Diberi 7 miliar, bicara soal membantu menjaga orang jika ada hal, membuat genius gadis cantik sepertiku bingung selama dua tahun! Kuberitahu, aku tidak pernah berpikir untuk jadi pengasuh, hal seperti ini…” Tangannya menggambar tanda silang di udara: “Sang! At! Tidak! Mau! Terima!”
“Heh, lalu kau mau bagaimana?”
“Aku ingin jadi tokoh utama, aku tidak terima wanita cantik genius hebat seperti ini jadi karakter figuran!” Dia berdiri, kedua tangan menggambar lingkaran besar di udara, postur seksi yang anggun terpapar sempurna dalam angin, “Aku ingin terlibat langsung dalam pekerjaan menciptakan gadis paling sempurna di dunia, meski sebelumnya kau menyelesaikan sebagian, tapi mulai sekarang aku juga akan ikut setiap langkah selanjutnya, aku tidak terima ada cacat sedikitpun di gadis sempurna ini… Wow, membayangkannya saja sudah indah, sehari-hari berperan sebagai anak laki-laki biasa, tinggal bersama dua cewek cantik, bahkan menggoda seorang bu guru cantik, tapi saat waktunya tepat, kau akan memulihkan wujud aslimu, sungguh luar biasa…”
Jian Suyan adalah manusia nyata, Gu Jiaming berubah menjadi kamuflase... Jiaming menghela napas di seberang, sulit memahami obsesi cewek ini terhadap konsep "perempuan sempurna". Tapi konsep kesempurnaan itu sendiri hanya ada dalam imajinasi. Jian Suyan versi Jiaming selaras dengan beberapa pemikirannya, sehingga dia lebih memilih menerima ini dan menganggap keberadaan Gu Jiaming sebagai ilusi. Saat hatinya sedang memuji idealisme ekstrem ini, Kelly kembali duduk sambil membenamkan diri dalam selimut bulu.
"Dan kerja sama kita pasti luar biasa." Katanya misterius, "Kau tahu kenapa 1758 menempatkan target pertama setelah keluar justru di Jianghai yang kebetulan ini?"
"...Lagi-lagi terkait aku?"
"Bingo, karena yang pertama ingin dibalasnya bukan aku, tapi Evolusioner alami yang memukulnya itu. Saat meninggalkan laboratorium, mungkin dia tak sengaja melihat data-data yang kususun. Waktu itu aku sedang memperkirakan apakah kau Evolusioner alami, tentu ini hanya bagian dari hipotesis. Tentang hubunganmu dengan Gu Jiaming itu tak berani kumasukkan ke data... Tapi... Karena anak yang jadi Evolusioner alami dulu orang Tiongkok, dan target dugaan pertamaku ada di Jianghai, makanya dia ke Jianghai... Uuh, aku tahu ini salahku, maaf ya Suyan, kau jangan marah, setuju..."
Niat membunuh yang mengerikan tiba-tiba mekar, lalu langsung menyurut sepenuhnya. Kelly membuat wajah malang sambil menggoyang-goyangkan lengan perempuan di seberang. Melihat emosinya hanya berfluktuasi energi sebentar lalu langsung terkendali, barulah dia tersenyum hati-hati: "Ada satu hal lagi, kau juga tidak boleh marah ya."
“Nomor 1758 saat melarikan diri membawa serta enam orang yang direkayasa. Kita tahu, salah satunya sangat berbahaya - dia adalah pembunuh dari Pei Luo Jia. Perkiraanku, orang ini yang paling dihargai Nomor 1758 karena membutuhkan organisasi seperti Pei Luo Jia untuk melakukan pencarian yang tak bisa diselesaikan sendirian. Aku tahu kalian [], Tenku Masaoka, dan kau sedang mencari para pembunuh Pei Luo Jia yang baru menyusup ke Jianghai. Tak perlu ditebak lagi, mereka pasti ingin menghubungi si Kurcaci kecil itu untuk koordinasi operasi. Lagipula sesuai gaya Pei Luo Jia, mereka pasti akan menyarankan untuk menculik orang terdekatmu sebagai tawaran, dan setelah penghadangan hari ini, Kurcaci itu akan mengkonfirmasi bahwa kau bukan 'pohon' yang dicarinya. Karena masih anak-anak, dia akan mengalihkan kecurigaannya ke bocah lelaki menjengkelkan yang biasa kau perankan. Bagaimanapun, siapa yang tahu kalau Evolusioner alami bisa berubah wujud...”
“Pei Luo Jia...” Suara Jian Suyan berbisik pelan sementara pandangan tenangnya tertuju pada gedung berkecamuk di seberang jalan, “Harus bagaimana?”
“Sebenarnya sangat sederhana.” Kelly mengangkat bahu dengan santai. “Nomor 1758 memang hebat, tapi kau sama sekali tak perlu khawatir akan apapun. Fang Zhitian ada di Jianghai, dua tim dari [] di Jianghai, Tenku Masaoka di Jianghai, kau di Jianghai, aku juga di Jianghai. Yang terpenting, kontrol skala besarku ditambah kekuatanmu yang cukup untuk menguasai situasi lokal, keyakinanku bahwa kita pasti partner wanita tercantik dan terkuat di dunia. Yoo, tak terkalahkan!”
Dia membuat pose superhero, tersenyum penuh percaya diri dan bersinar: “Bahkan jika Morikami Kura membawa Yoritomo Taku ke sini, kita akan mengirisnya dan membawa potongannya kembali ke Eropa.”
“Heh.” Jiaming terkekeh. Dalam hal ini, kekhawatiran berlebihan membuatnya agak ragu. Setelah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Pei Luo Jia, bayangan organisasi itu masih tersisa di hatinya. Pikiran yang pernah terlintas hanyalah: jika kau memaksaku, aku akan bertarung mati-matian. Hatinya tak pernah punya inisiatif untuk menyerang Pei Luo Jia. Jika bukan karena peringatan Kelly, mungkin ia belum menyadari bahwa kekuatan yang berkumpul di Jianghai sekarang sudah cukup untuk menggoyang pondasi Pei Luo Jia: “Kalau begitu, segalanya menjadi sederhana.”
“Uh-huh.” Kelly mengangguk keras, "Selanjutnya tanggal 1 Mei kalian akan libur, kau harus cari alasan untuk mengumpulkan orang yang ingin kau lindungi. Nomor 1758 sebenarnya punya trauma psikologis terhadap Evolusioner alami. Jika dia bertindak, dalam alam bawah sadarnya dia akan mengira hanya punya satu kesempatan. Tugas kita adalah menemukannya sebelum dia bergerak, lalu..."
“Lalu... habisi dia.” Dalam desir angin, suara itu terdengar datar, tak kunjung hilang. Kelly di samping mulai bertepuk tangan.
“Benar! Kita yang paling hebat.” Dia berseru antusias, "Rencana selanjutnya sudah kupikirkan. Setelah mengiris Nomor 1758 dan mengirimkannya, kita langsung ke Jepang. Pei Luo Jia terlalu menyebalkan, mereka selalu mengganggu Suyan. Sebagai gadis sempurna, aku tak bisa menerima provokasi ini. Dengan gabungan kekuatan kita berdua, pasti bisa menghabisi Morikami Kura. Hmph, berani-beraninya dia mengusik, harus siap MATI. Benar, bunuh seluruh keluarganya, semua marga Morikami harus punah. Oh ya, kita juga bisa hack seluruh jaringan komputer Jepang pakai virus modifikasi buatanmu kemarin. Kendalikan semua perangkat yang terhubung! Dengan perencanaan matang, dalam satu jam saja Jepang bisa kehilangan ratusan ribu nyawa. Mungkin termasuk Morikami Kura..."
Dalam teriakan gadis bule itu, sekejap mata Jiaming seolah melihat ramalan Nostradamus yang menjadi nyata: Tahun 1999, pemandangan mengerikan saat Raja Teror turun dari langit...
## Bagian 318 Ketenangan
Saat hampir tiba di rumah, waktu sudah lewat jam sebelas malam. Keramaian pasar sunyi, angin malam sejuk, jalanan biasa-biasa saja, permukiman sederhana, lampu kota yang jauh di kejauhan, sesekali terdengar suara TV atau bunyi lain. Mobil di kejauhan gang... Betapa biasa namun nyatanya dunia ini, hampir membuat orang merasa bahwa semua yang terjadi dan terlihat dalam beberapa jam ini hanyalah ilusi semata.
Evolusi alami, penghisap darah, heh...
Pintu game elektronik masih terbuka. Di jam seperti ini, jalanan sudah hampir tak ada pejalan kaki, tapi bisnis di dalam tetap seksi. Dua pemuda berpakaian trendy sedang berdiri di pintu sambil merokok. Dalam sorotan lampu, pemandangan ini justru terasa hangat dan membekas. Mungkin mereka jarang ke sini. Melihat Jiaming lewat, yang terlihat seperti target gampang diintimidasi, mereka melototkan mata dengan menantang. Kebetulan Kak Shui keluar, menyapa Jiaming. Dua pemuda itu langsung mengalihkan pandangan dengan canggung, tak berani melotot lagi.
"Hei Jiaming, katanya kamu dekat sama kepala sekolah Akademi Hati Kudus? Maksudku... ada guru bermarga Zhang..."
"Kepala sekolah? Hehe... Kakak Yahan memang salah satu pejabatnya, tapi basically... lebih sering urusan dengan para bos, nangani hal-hal yang guru biasa enggak sanggup." Jiaming berhenti di tangga, tersenyum. "Ada perlu apa?"
"Gini...", Kak Shui mengangkat tangan bingung. "Aku punya sepupu, tahun ini lulus SMP, mau sekolah di sini. Tapi Akademi Hati Kudus susah masuknya. Nilainya kurang bagus, mainly karena agak bodoh, tapi penurut banget."
“Aku akan bicarakan dengan Kakak Yahan untukmu, seharusnya tidak masalah.” Jiaming mengangguk, kemudian mengulurkan kantong kertas di tangannya, “Ngomong-ngomong, Kak Shui, mau kacang chestnut? Baru dibeli.”
“Tidak perlu, cepatlah naik. Kulihat mereka belum tidur, mungkin sedang menunggumu.” Kak Shui menunjuk ke jendela berlampu di lantai atas, lalu berbalik ke game center, “Kalau begitu... terima kasih ya, lain kali aku traktir kalian makan.”
“Ah, tidak usah sungkan.”
Membawa kacang chestnut goreng gula yang masih hangat ke atas, mengeluarkan kunci untuk membuka pintu, tiba-tiba sebuah bayangan menerjang: “Hajar...!”
Palu plastik isi angin menghantam keras kepalanya, disusul serangan badai yang menghujani seluruh tubuhnya, bahkan lebih kejam daripada saat dia melawan Hiriyawan. Tangan kirinya memeluk kepala, pandangannya tertuju pada kaki gadis tanpa alas kaki yang terlihat dari bawah gaun tidur: “Bikin pulang malem! Bikin pulang malem...!”
“Menyerah! Menyerah!” Tangan kanannya mengulurkan kantong kertas ke posisi mencolok, “Baru dibeli, untuk menebus dosa!”
“Nah gitu dong.” Lingjing tersenyum mendekat, mengambil kantong kertas, “Aku tidak marah lagi, serang terus, Sasha.”
“Eh, separuhnya punyaku lho.” Melihat Lingjing mengambil makanan, aliansi istri penggerutu langsung berubah dari mode eksternal ke konflik internal. Sasha melempar palu, beralih mengejar Lingjing, sementara teman sekelas Jiaming dengan licik mengunci pintu dan menyerbu dari belakang.
“Aaaaa——”
“Akan kuperlihatkan padamu makna sebenarnya dari Rahasia Raja Penghancur——Gembok!”
Meski secara usia masih tergolong remaja, namun dalam hal kematangan fisik, Lingjing dan Shasha tak kalah dengan orang dewasa. Tinggi tubuh sekitar 160cm mereka telah berkembang sempurna dengan proporsi menggoda. Lingjing adalah tipe gadis lembut aliran giok kecil nan anggun, sosok khas gadis pedesaan tepi sungai Jiangnan. Sementara Shasha dengan energi melimpah sehari-hari memiliki postur lebih seksi dan atletis. Proporsi emas pada tubuhnya, kaki jenjang nan memesona, serta lekuk tubuh yang indah membuat popularitasnya di sekolah tak kalah dari Lingjing yang kalem.
Dalam hal pertemanan, Shasha memperlakukan sama rata pria dan wanita. Boleh menyebut saudara, tapi siapa pun yang menunjukkan niat lebih jauh akan langsung diputus hubungannya tanpa kompromi. Jika masih mengganggu setelah dua kali peringatan, langkah berikutnya adalah menyuruh geng kriminal menghajarnya. Selama dua tahun, beberapa pria yang awalnya terlihat dekat dengannya akhirnya menerima pukulan, membuat orang paham gaya berteman Shasha: meski terlihat liar, ia sangat menjaga kesucian diri. Sikap ini justru melipatgandakan daya tariknya. Banyak yang diam-diam bertanya pada Jiaming cara menjadi "teman baik" Shasha seperti dirinya, karena meski punya banyak teman, status "sahabat sejati" hanya dipegang Lingjing dan Jiaming yang jumlahnya bisa dihitung jari.
“Kalau teman baik semacam ini bisa dimanfaatkan, bukankah aku sudah duluan mencoba, mana sempat giliran kalian?” Setiap menghadapi pertanyaan seperti ini, Jiaming memberikan pencerahan dengan kalem, tapi selalu ditanggapi dengan ejekan: “Elu doang?”
“Kakak pemimpin Sha Sha cuma menganggapmu sebagai adik laki-laki saja kan...”
“Teman sekelas Sha Sha belum pernah pacaran, pasti masih perawan...”
Tak ada yang tahu, gadis yang mereka anggap polos ini justru sering berlaku gila di rumah, penuh rasa ingin tahu yang menggebu. Lesbian sudah dicoba, 3P hampir dua tahun ini, SM ringan, berbagai posisi, musim dingin tahun lalu mempersiapkan mental berbulan-bulan mulai menggunakan mulut. Setelah mencoba tidak terlalu suka, hanya sesekali sebagai variasi. Belakangan meneliti "ilmu main pintu belakang", teori sudah dikumpulkan banyak, kadang malah bertanya ke Jiaming. Jiaming sebenarnya tak terlalu ambil pusing soal nafsu ini. Saat dia cerita ke Lingjing, Lingjing langsung memukulinya sambil tertawa, menyebutnya cewek mesum cabul. Tak lama kemudian dua perempuan itu pasti berkejaran di ranjang. Rasa ingin tahunya besar, tapi setelah setengah tahun meneliti akhirnya masih agak takut, belum berani mencoba.
Saat itu Shasa mengenakan gaun tidur dan tersungkur di karpet depan TV akibat dorongan Jiaming. Keduanya bergulat cukup lama dengan suara Byur-byur-byur. Shasa jelas tak mampu melawan Jiaming, terhimpit di lantai dengan tangan terkunci dan kaki terinjak dalam posisi aneh. Gadis itu tak bisa bergerak, tapi Jiaming juga sulit bergerak. Lingjing duduk bersila di sofa sambil memeluk bantal, mengunyah kacang chestnut goreng gula: "Aku cuma nonton, takkan ikut campur..."
"Wah wah, Ye Lingjing si cewek kecil berpikiran sempit! Kau kira setelah menggangguku dia takkan mengganggumu? Ini konspirasi untuk menghancurkan kita satu per satu, konspirasi!"
Teriakan Shasa tak membuahkan hasil. Lingjing mengambil kantong kertas menuju kamar mandi: "Aku tak peduli. Aku akan menyalakan air panas. Jiaming, persiapkan diri untuk mandi."
Meski terkunci dalam posisi saling mengikat yang membatasi gerak Shasa, Jiaming masih punya sedikit ruang gerak dibandingkan Shasa. Dengan satu tangan yang masih bisa bergerak, ia perlahan menarik gaun tidur Shasa ke atas: "Sebenarnya gaya seperti ini juga lumayan..." Terhimpit di bawah, tubuh Shasa mulai memanas. Paha jenjangnya yang dipaksa terbuka lebar terus meronta dengan suara Byur-byur-byur sambil berteriak: "Mesum... diperkosa... mandi dulu lah... Tidak, tidak boleh di sini..."
Setelah berkejaran, Jiaming akhirnya melepaskannya dan pergi ke kamar mandi untuk mandi. Saat keluar, waktu sudah lewat jam dua belas malam. Dua perempuan itu masih terus bercanda di dalam kamar.
Malam semakin larut, suara riuh perlahan mereda berganti percakapan riang. Lampu padam, terdengar erangan bernuansa kemerahan dan napas pendek-pendek yang akhirnya tenggelam dalam bisikan halus menuju mimpi indah.
Gemerlap bintang-bintang yang jarang berkedip di langit malam yang luas, menjaga kedamaian kota ini.
Sekitar pukul tiga dini hari, Jiaming terbangun. Dengan hati-hati ia bangkit dari ranjang. Dalam kegelapan, ia memandang siluet dua gadis yang terlelap di kedua sisinya, rambut halus mereka terserak di bantal. Mungkin karena begadang sampai larut malam, kali ini Lingjing tidak terbangun saat ia bangun. Setelah memakai pakaian, ia menata selimut kedua perempuan itu lalu menyelinap keluar, melompat langsung dari balkon.
Pukul setengah empat, di sebuah villa di seberang Akademi Hati Kudus, seorang wanita berbaju tidur sutra terbangun lesu. Suara dari balkon membuatnya terjaga. Seorang sosok mendorong pintu kaca masuk: "Uhh... kenapa datang sekarang? Kau diusir ya..."
"Tak ada tempat lain. Bisa kutunggu beberapa jam?" Pemuda itu melepas sepatu di tepi ranjang lalu menyelip ke dalam selimut. Wanita itu memeluknya dengan lembut: "Di sini selalu ada posisimu."
“Ada rencana untuk liburan Mei?” Pemuda itu bertanya dengan suara lembut, merasakan lekuk tubuh di balik piyama.
“Kalau kau mengajakku, aku jadi punya rencana.”
“Ayo pergi berkemah, aktivitas besar yang menyehatkan jiwa raga. Ke gunung sebelah utara kota, diorganisir oleh orang-orang hebat.”
“Kita ikut?”
“Lingjing dan Shasha juga ikut. Ditambah Fang Zhitian, Dongfang Ruo, Kelly*Vernam, dan beberapa orang tidak karuan... Pokoknya... Pasti ramai...”
Tubuh perempuan itu kaku sejenak. Dia tahu tentang acara kemah ini - liburan panjang pertama Mei di Tiongkok. Kemarin sore, Fang Zhitian juga tiba-tiba ingin mengadakan aktivitas luar ruangan selama liburan. Tapi saat diucapkan pemuda ini, situasinya langsung terasa berbeda. Namun, merasakan dua tangan yang mengelus punggung dan bokongnya, tubuhnya pelan-pelan melunak lagi. Tanpa bertanya, dia mengangguk.
“…Baik. Kalau kau bilang pergi, aku ikut.”
## Bagian 319 Membodohi
30 April, cerah.
Saat tiba di pintu gerbang villa keluarga Dongfang, kira-kira pukul setengah sebelas pagi. Ujian tengah semester Akademi Hati Kudus baru saja menyelesaikan mata pelajaran terakhir. Dia yang mengumpulkan lembar jawaban lebih awal, setelah pamit pada Lingjing dan Shasha, langsung menuju ke sini - bahkan Dongfang Wan yang seharusnya pulang ke rumah tertinggal. Tentu saja, tujuannya datang ke sini bukan untuk Dongfang Wan.
Beberapa hari yang lalu di villa keluarga Huang, Fang Zhitian datang menemui Jiaming dengan dua tujuan. Di satu sisi untuk menunjukkan sikap tertentu, di sisi lain melalui percakapan santai mengajukan sebuah permohonan. Intinya adalah berharap selama Dongfang Ruo menjalani pengobatan di Jianghai, Jiaming dapat menemani gadis itu berkeliling melihat-lihat. Saat itu Jiaming mempersepsikan permintaan ini sebagai upaya memanfaatkan sebagian kekuatan Jian Suyan untuk melindungi Dongfang Ruo. Apalagi kekuatan spiritual gadis tunanetra itu tidak terkendali - duduk di sampingnya selama setengah jam membuat kepalanya terus berdenyut sakit tanpa henti. Waktu itu Jiaming spontan menolak, namun kini situasinya berbeda sehingga ia memutuskan mengubah sikap.
Pengejaran yang terjadi di lapisan bangunan seberang jalan Hotel Gu Yuan kemarin malam, akhirnya tetap tidak berhasil menangkap peliharaan kecil Nomor 1758 yang disebut Kelly. Ditambah pengalaman bertempur dengan kurcaci pengguna kekuatan supernatural di ruang-waktu lain, Jiaming tentu saja juga tidak menganggap dirinya bisa dengan mudah menangani mereka. Untuk menambah tawaran di tangannya, setelah memikirkannya sejenak, dia mulai mempertimbangkan Dongfang Ruo.
Gadis malang yang buta ini kekuatan spiritualnya benar-benar dalam keadaan amukan dan kekacauan. Kekuatan supernatural telah menghancurkan tubuhnya dan mendorongnya ke ambang kehancuran. Setelah Kelly memeriksanya, sebenarnya tidak ada metode pengobatan yang bisa diandalkan. Meskipun ada beberapa konsep, karena ide-idenya sering terlalu imajinatif dan gila, sulit diketahui apakah Fang Zhitian mau mengambil risiko membiarkan keponakannya. Bagaimanapun juga, perempuan ini pernah menunjukkan kemampuan ramalan yang nyata di saat genting - mata yang bisa menembus masa depan, skill level S+ super BUG inilah jaminan yang sebenarnya dibutuhkan Jiaming.
Tidak perlu dia selalu cemerlang dalam keseharian. Asal bisa menunjukkan kilatan inspirasinya saat menghadapi bahaya mematikan, itu sudah sangat membantu. Meski ide ini tidak ada jaminannya, kondisi saat ini adalah kekuatan supernaturalnya aktif terus. Dengan tinggal di dekatnya, kepala ini akan terus pusing setiap saat. Meski agak menyiksa, tapi kondisi mentalnya justru selalu terjaga di level tertinggi. Kewaspadaan, refleks, dan wawasan benar-benar melampaui batas maksimum. Cukup dengan menemukan jejak-jejak sekecil apapun, dia sanggup balik memangsar seluruh orang-orang ini.
Setelah menyebutkan namanya di pintu gerbang, sekitar satu menit kemudian seorang personel perimeter dari [] mengantarnya masuk. Keluarga Dongfang biasanya tidak terlalu mencolok, hanya karena kedatangan Fang Zhitian, sistem keamanan di sini sepenuhnya diambil alih oleh [] sehingga level proteksi langsung melonjak drastis Swiswiswis. Sepanjang perjalanan masuk, dia melihat beberapa agen rahasia dari tim Cui Guohua. Xiao Wu yang terkenal jago berkelahi masih membalut perban di satu tangannya. Melihatnya, si anak itu tersenyum dan melambaikan tangan. Di tepi atap villa, Mantou yang memakai topi matahari layaknya rapper cilik sedang duduk mengamati sekitar dengan teleskop, ekspresinya jorok.
Masuk ke aula villa, baru sadar di dalam sudah ramai seperti jamuan resmi. Sebagian adalah para pimpinan Kota Jianghai, konon dipanggil Fang Zhitian untuk rapat. Namun Fang Zhitian sedang menerima tamu yang lebih penting, untuk sementara belum keluar. Sebagian lagi adalah Lei Qing dan sekelompok anak orang kaya Jianghai yang manja, mereka dijamu Dongfang Lu di ruang samping. Melihat Jiaming masuk, Dongfang Lu segera mengakhiri candaan dengan beberapa orang di sampingnya dan menyambutnya: "Ujian selesai? Di mana Xiao Wan?"
Dongfang Lu saat ini sudah tahu identitas Jiaming. Keduanya sebelumnya telah berkali-kali saling menukar intelijen. Sapaan akrabnya kali ini juga tidak terkesan dipaksakan. Jiaming mengangkat bahu: "Aku menyerahkan kertas ujian lebih awal dan langsung ke sini. Entah dia di mana."
“Xiao Wan sangat mementingkan efisiensi, lembar jawaban ujian seringkali juga diserahkan lebih awal. Tapi sepertinya setiap kali kamu selalu lebih dulu darinya. Jika kita bandingkan siapa yang lebih cepat menyerahkan—kamu menang.” Dongfang Lu tersenyum, “Ada apa? Ada keperluan?”
“Aku mau menjemput Dongfang Ruo jalan-jalan.”
“……” Wajah Dongfang Lu menjadi suram, “Kenapa? Jangan-jangan kamu benar-benar... seperti kabar angin, tertarik pada Ruo Ruo, atau dia padamu...”
“Jika aku tertarik pada kekuatan Fang Zhitian, akan kupikirkan cara ini.”
Jiaming berkata datar. Dongfang Lu menatapnya, kemudian justru pertama kali tertawa: “OK, Paman Fang ada di belakang. Aku akan memberitahunya dulu. Kamu tunggu di sini, silakan merasa di rumah.”
Setelah menyapa beberapa orang, Dongfang Lu berjalan ke belakang villa. Jiaming berdiri bosan di bar ruang samping. Lei Qing dan beberapa tuan muda manja yang sering bermain bersamanya sedang berbincang, sesekali melirik ke arahnya, tapi untuk sementara belum mau mencari masalah. Saat itu Xiao Wu yang masih membalut perban di tangannya masuk dari gerbang samping, membawa seorang pria beraura prajurit setinggi sekitar 1.8 meter mendekat, menyapa ramah: “Hai, adik Jiaming.”
Jiaming melirik sekilas, berpura-pura seperti pertama kali bertemu: “Halo, ada perlu?”
“Aku Xiao Wu.” Dia mengulurkan tangan sambil tersenyum, “Tapi kamu juga di Amerika saat Natal tahun lalu. Jujur saja, aku tak percaya kamu tidak tahu siapa aku.”
Jiaming mengangkat tangan bingung tanpa komentar.
“Oh ya, kakakmu mana?”
“Mau apa? Kamu kemarin belum cukup dipukul, masih mau tangannya cacat beberapa bulan lagi?” Sampai di sini, dia tidak lagi menyamarkan ekspresinya, hanya tersenyum sambil menunjuk perban di tangan Xiao Wu. Xiao Wu sama sekali tidak tampak kesal: "Bisa mendapat petunjuk dari ahli level tinggi seperti itu adalah kehormatan bagiku. Ngomong-ngomong, tadi malam dia menghabiskan Hiriyawan dalam pertarungan itu, sangat keren."
"Aku hanya tahu dia mencari masalah dengan Hiriyawan, tapi tidak ada rekaman videonya, tapi... mungkin bisa ditebak juga."
"NO、NO、NO! Tidak melihat langsung rekamannya, bagaimana mungkin merasakan keseruan dan kesengitan pertarungan itu, benar-benar menggugah! Lima menit waktu, benar-benar melumpuhkan Hiriyawan. Kami sekelompok besar orang pagi tadi berkumpul menonton lebih dari dua puluh kali, idola banget, sangat memuaskan, Wuih... Wuih... Oh oh oh..."
Melihat Xiao Wu yang terlihat sangat bersemangat sampai lupa diri, Jiaming mengedipkan matanya: "Kalian sekelompok orang... onani sambil nonton rekaman?"
"Ehh..." Xiao Wu membeku di tempat. Pria beraura militer di sampingnya tersenyum mengulurkan tangan: "Jangan hiraukan dia, dia maniak bela diri, lihat orang berkelahi langsung semangat. Halo, nama saya Lou Dingfang, biasa dipanggil Xiao Lou. Kalau kakakmu tidak mengalahkan master muay thai itu, seharusnya aku yang bertarung. Tapi setelah lihat rekamannya, sepertinya aku juga akan kesulitan melawan Master Xiliwang itu."
Pria yang dijuluki Gedung Kecil ini bertubuh tinggi, namun wajahnya memberi kesan lemah lembut dan intelektual. Tentu tidak seperti Ye Lian yang benar-benar memiliki wajah perempuan, tetapi jika memakai kacamata, penampilannya memang lebih mirip cendekiawan daripada prajurit. Kulitnya putih mulus dengan bibir merah dan gigi putih. Penampilan seperti ini justru dipadukan dengan aura militer yang tegar. Setiap gerak-geriknya alami tanpa sedikit pun kesan ragu-ragu. Jika harus dijelaskan lebih konkret, sosoknya seperti versi moderat dari "robot" Fujita Tsuyoshi dalam film
. Namun Jiaming tahu persis, pria ini adalah salah satu petarung terkuat Yanhuang Juexing setidaknya dalam hal kemampuan duel satu lawan satu. Hanya saja tanggung jawabnya berbeda dengan Cui Guohua atau Ye Lian. Biasanya ia tetap di Beijing dan jarang keluar kota untuk misi mata-mata atau tugas lain. Kali ini Fang Zhitian bahkan mengerahkan orang ini ke ring pertarungan, rupanya kesal dengan ulah Hiriyawan. Setelah memberi salam singkat, Gedung Kecil yang tersenyum ramah ini langsung menunjukkan sikap militer yang lugas: "Saya sangat mengagumi kemampuan bertarung kakakmu. Jujur saja, saya ingin punya kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi dengan Nona Jian."
Secara harfiah, ia berbicara tentang ilmu bela diri. Namun dari sikap dan nuansa bicaranya, ini jelas-jelas sindiran terbuka tentang ketertarikannya pada Jian Suyan. Jiaming tertegun sejenak: "Uh... Dia tidak akan menjalin kontak dengan kalian. Lagipula... Kakak Suyan adalah calon istriku yang dipelihara sejak kecil. Sebenarnya apa yang ingin kau diskusikan dengannya?"
"Calon... istri???"
Saat itu, Xiao Wu yang berada di samping akhirnya juga mendekat: "Batuk, Xiao Lou, sejak dulu aku belum memberitahumu, Nona Jian adalah calon istri yang dipelihara sejak kecil adik Jiaming..." Namun dari ekspresinya, jelas dia juga tidak percaya. Xiao Lou mengerutkan alisnya, kedua pihak saling bertukar beberapa kalimat lagi sebelum Xiao Wu menariknya pergi: "Haha, Xiao Lou sejak kecil dibesarkan di keluarga militer, dari umur tiga tahun hanya tahu berlatih ilmu bela diri, setelah masuk militer, seluruh dirinya dijalankan berdasarkan prosedur formal, agak langsung, tapi tetap orang baik. Adik Jiaming, jangan lupa kasih tahu kakakmu ya, pertarungan tadi luar biasa." Setelah menjauh, barulah berbisik sambil tertawa: "Mana ada orang merayu cewek seperti caramu ini..."
Setelah kedua orang itu pergi, Lei Qing yang sepertinya mendapatkan informasi di sebelah datang dengan wajah muram: "Gu Jiaming, kau ke sini ngapain?"
Jiaming mengangkat kepala: "Ini rumahmu?"
"Kau datang mencari Ruo Ruo, mau menjemputnya keluar?"
"Terus kenapa?"
"Lalu Xiao Wan dianggap apa?" Lei Qing tersenyum, "Tebakanku benar, kalian ini pura-pura saja."
"Heh..." Jiaming menunduk tersenyum, lalu menghela napas sebelum menatap ke atas, "Sebenarnya, belum sadarkah kau?"
"A...apa?"
"Baik, akan kubicarakan padamu sekali ini dengan gamblang." Jiaming mengangguk, menunjukkan ekspresi serius, "Sebenarnya aku punya bakat, inilah perbedaan terbesar antara kita."
Lei Qing mengerutkan alisnya: "...Apa?"
“Bakat ini terdengar sederhana, tapi sebenarnya tidak dimiliki oleh sembarang orang. Mungkin hanya satu dari ribuan atau puluhan ribu orang yang memilikinya. Kau mungkin mengira aku berlebihan, tapi bakat memang sesuatu yang acak. Sekaya dan setinggi apapun posisi keluargamu, belum tentu bisa diwariskan... Seperti pepatah, di hadapan Tuhan semua manusia setara. Bakat semacam ini adalah...”
Dia mendekat ke telinga Lei Qing, berbisik misterius: "Aku jago... merayu cewek!"
## Bagian Tiga Ratus Dua Puluh Hati
“Aku jago merayu cewek!”
Tanpa banyak ketegangan, setelah kalimat itu diucapkan, Lei Qing tertegun sejenak sebelum kemarahan "kau mengerjai aku" terpancar di wajahnya. Tapi sebelum sempat bicara, Jiaming sudah menepuk bahunya.
“Aku paham perasaanmu. Kau anggap aku berbohong, mengerjaimu, memperlakukanmu seperti orang bodoh. Tapi hadapilah realita. Semua fakta ini jelas terpampang di depan matamu, bukan? Keluargaku miskin, posisiku lebih rendah, tampangku juga tidak segantengmu. Tapi mereka lebih memilihku. Entah itu Dongfang Wan, Dongfang Ruo, atau Bu Guru Zhang yang disukai Guru Xu Mo – kenapa semua punya hubungan baik denganku? Aku baru sekali bertemu Dongfang Ruo tapi sudah bisa mengajaknya jalan-jalan. Fakta-fakta ini ada di depanmu.”
“Hmph, kau kira dengan datang ke sini, Paman Fang akan menyerahkan Ruo Ruo padamu?”
“Uh, ada kesempatan untuk membuktikan.” Jiaming mengangkat tangan, “Tapi, kau mengerti? Aku benar-benar punya bakat ini. Mungkin kau merasa dirimu kaya, banyak wanita akan mendekatimu, tapi begitu bertemu wanita seperti Dongfang Wan yang sama sekali tidak menganggap latar belakang keluargamu, kau jadi tak berdaya. Tapi aku berbeda, bahkan aku sendiri sulit memahaminya, tapi... meskipun aku tidak melakukan apa-apa, mereka tetap lebih baik padaku daripada padamu, ini adalah kemampuan bawaan...”
Ucapan belum selesai, Dongfang Wan yang membawa tas sekolah masuk dengan kepala tertunduk dari gerbang. Ketika mengangkat kepala melihat Jiaming berdiri bersama Lei Qing, terkejut lalu segera menyungging senyum menyapa: “Ah, Jiaming, kenapa kau datang ke rumahku?”
Lei Qing menatap Dongfang Wan dengan ekspresi membeku. Jiaming berkata tulus: “Nah, salah satu realita, sudah ada di depan matamu.”
Melihat ekspresi aneh keduanya, Dongfang Wan mengerutkan alis: “Kalian bicara apa sih?”
Jiaming mengabaikannya, mengangkat tangan: “Inilah hidup.”
Lei Qing bukan orang bodoh, tapi ekspresinya berubah-ubah, hatinya jelas mulai goyang. Dongfang Lu muncul di lorong seberang, melihat adik perempuannya sudah pulang, tersenyum mendekat: “Hei, apa yang kalian bertiga bicarakan... Ngomong-ngomong, Jiaming, Paman Fang bilang, Ruo Ruo hari ini milikmu, tapi sore nanti jangan lupa bawa dia ke titik kumpul di Taman Laut Biru untuk persiapan berkemah.”
Ekspresi Lei Qing mulai runtuh.
“Bawa Ruo Ruo keluar?” Dongfang Wan mengerutkan alis, “Gu Jiaming, untuk apa kau membawa Ruo Ruo keluar! Kepalanya sedang sakit sekali beberapa hari ini.”
“Dia sakit kepala? Kebetulan aku juga, semua orang bisa bertukar pengalaman soal sakit kepala.” Jiaming memalingkan kepala ke samping, berbisik di telinga Rei Qing: “Lihat, dia cemburu.”
“Tidak boleh!” Dongfang Wan menolak keras, “Aku tidak bercanda. Ruo Ruo punya penyakit, kalau kau bawa dia keluar dan terjadi sesuatu, bagaimana! Kau tahu cara menjaganya?”
“Bukankah kesediaan Pak Fang mewakili kepercayaannya padaku?”
“Pokoknya tidak boleh.” Dongfang Wan menatap mati dia beberapa saat, kemudian menggelengkan kepala, “Bagaimanapun, jika dia keluar, aku akan ikut. Hmph, lihat mau ngapain sih!” Dia malas melanjutkan, berbalik badan dan naik melalui tangga di sisi lorong.
Jiaming mengerutkan kening. Dongfang Lu melihat adik perempuannya, lalu menatap kedua orang di sini: “Tadi sedang membahas ini?”
Jiaming menjawab santai: “Oh, bukan. Aku baru dengar dari Bu Guru Zhang bahwa Rei Qing punya kakak bernama Rei Ting, ingin berkenalan...”
Dongfang Lu mengangguk, sambil tersenyum: “Heh, Kak Ting Ting? Aku pernah ketemu, lain kali jika ada kesempatan...”
Belum selesai bicara, Rei Qing tiba-tiba menggeram rendah: “Gu Jiaming, berani-beraninya kau sentuh kakakku, nyawamu taruhannya!” Usai berkata, ekspresinya berkerut sambil berbalik pergi. Dongfang Lu kaget setengah mati, melihat punggung itu sambil bibirnya berkedut penuh kekecewaan: “Kau mainin dia lagi?”
“Cuma sedang meneliti bersama...” Jiaming tersenyum dramatis.
“……Beberapa waktu lalu kondisi Ruo Ruo semakin tidak stabil, katanya dalam sehari bisa pingsan beberapa kali. Tapi sejak datang ke Jianghai beberapa hari ini, entah kenapa tiba-tiba menjadi lebih stabil. Dulu kekambuhannya justru karena datang ke Jianghai, sekarang malah membaik setelah ke sini. Beberapa psikolog bilang mungkin dia punya ikatan emosional khusus dengan Jianghai, heh, kami rasa itu omong kosong. Meski agak membaik, banyak hal tetap harus diperhatikan. Obat-obatan tertentu harus selalu dibawa. Dia harus minum obat setiap tiga jam, itu hanya penjagaan dasar. Begitu mentalnya mulai kacau, harus segera disuntik obat penenang khusus. Kehadiran Xiao Wan juga membantu, dia pernah menyuntikkan intravena untuk Ruo Ruo. Heh, tentu hal seperti ini pasti mudah bagimu......”
Suara Dongfang Lu terus mengoceh tentang hal-hal yang perlu diperhatikan sambil menuntun Jiaming melewati lorong depan. Di tengah gumamnya yang tak putus, rasa sakit menggelora dari kedalaman otaknya, perasaan aneh yang tak tergambarkan.
“Sebenarnya sifat Xiao Wan memang agak keras, tapi dia tidak punya niat buruk. Kadang bicaranya kasar, tapi itu semua demi kebaikan orang lain. Begitu Ruo Ruo datang ke Jianghai, Xiao Wan langsung berteman akrab dengannya. Meski dia sering berselisih denganmu, tapi di hatinya sangat mengagumimu. Apalagi dia sangat memuja Jian Suyan. Hehe, tentu aku tidak akan bilang kalau Jian Suyan sebenarnya adalah seorang bocah lelaki yang berperan... Nah, ini kamarnya.”
Mengeluarkan kunci dan membuka pintu, ini adalah kamar tidur yang luas meski perabotnya tidak banyak. Ranjang besar yang nyaman, meja samping ranjang, meja kursi sederhana—mungkin karena Dongfang Ruo sudah buta, perabot berlebih sudah dibersihkan. Saat pintu kamar terbuka, tirai di seberang ruangan terbuka lebar. Jendela itu begitu besar hingga sensasi cahaya matahari keemasan yang mengalir masuk menciptakan kesan megah bagai gereja di ruang kosong ini. Kursi roda berhenti di tengah pancaran sinar itu, gadis berbaju putih sederhana duduk tenang di atasnya, menutup mata merasakan kehangatan. Cahaya menyilaukan di wajahnya membentuk lingkaran cahaya keemasan.
"Ruo Ruo, bagaimana perasaanmu hari ini?"
Memandu Jiaming masuk, Dongfang Ruo juga telah memutar kursi rodanya menghadap pintu. Tubuhnya kurus, rambut rapi terpotong sebatas telinga. Jika hanya melihat wajah, ia mirip bocah lelaki pemalu yang agak takut pada orang asing. Senyum lembut mengembang di wajahnya, meski matanya tak berfokus, arah pandangannya tepat ke dua orang: "Kakak Lu... dan Kakak Jiaming, kalian datang ya?"
Tanpa perkenalan sama sekali, ia bisa menilai identitas mereka dengan akurat. Dongfang Lu menoleh melihat Jiaming, terkejut karena tak ada ekspresi heran di wajahnya, lalu tersenyum pasrah. Meski tak tahu apa yang pernah dialami Jiaming, orang yang hebat sampai tingkat ini mana mungkin takut pada fenomena supernatural kecil.
“Dia berjongkok di sebelah kursi roda: "Hmm, Jiaming hari ini berencana mengajakmu jalan-jalan, Paman Fang bilang ingin menanyakan pendapatmu, jika kau mengangguk, hari ini jadi milik Jiaming."”
Tanpa banyak perenungan, Dongfang Ruo perlahan mengangguk: "Baiklah."
“Bagus kalau begitu, kalian mengobrol dulu, aku pamit. Oh ya Jiaming, semua obat Ruo Ruo ada di peti besi kecil ini, ada penjelasan singkat. Tentu, jika Xiao Wan ikut, dia sudah paham.” Dia menunjuk peti besi kecil yang tergantung di sisi kursi roda, lalu menepuk bahu Jiaming sebelum keluar dari kamar. Jiaming memandang gadis di kursi roda dari kejauhan, gadis itu pun mengangkat kepala. Tapi kali ini, sepertinya dia tak yakin dengan posisi Jiaming. Lama berselang, akhirnya dia bertanya pelan dengan ragu: "Sepupu Jiaming?"
“Kau tak bisa melihatku, bagaimana tahu kalau aku yang datang?”
Jiaming tersenyum mendekati kursi roda lalu berjongkok, menatap gadis lemah itu. Dalam sorotan matahari, tubuhnya terlihat sangat rapuh: "Terakhir kali kita bertemu, kakimu masih baik-baik saja. Ada apa?"
“Setelah pulang, aku tidur di ranjang selama lebih dari dua bulan, lalu tak merasakan apa-apa lagi.” Senyum getir menghiasi wajah Dongfang Ruo, suaranya lembut gemetar bagai debu yang diam dalam terang matahari.
Memandang matanya, Jiaming mengerutkan kening. Ada sesuatu yang aneh yang tak dia sadari sebelumnya, tapi sejak masuk kamar sampai sekarang tiba-tiba muncul dari dalam hati. Setelah berpikir sejenak, dia berbisik: "Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau tak bisa melihatku?"
Dongfang Ruo tersenyum: "Sepupu Jiaming, aku ini tunanetra."
“Tapi kau tahu kalau yang masuk adalah kami.”
“Indra orang buta selalu lebih tajam daripada manusia biasa, tapi... kalau dikatakan melihat, juga hampir sama. Tapi saat Kakak Jiaming menyembunyikan diri, tidak hanya kekuatan spiritualku yang tak bisa melihat, bahkan suara pun tak terdengar...” Saat mengucapkan ini, senyumnya terlihat gugup. Jiaming mengangguk: “Kekuatan spiritual...”
“Aku punya kemampuan supernatural, Kakak Jiaming kan sudah tahu.”
“Heh.” Jiaming mengangguk, “Hanya aku yang tak bisa kau lihat...”
“Nenek Huiqing bilang, kau tidak berada dalam Garis Sebab-Akibat, mungkin bukan orang dari dunia ini...” Saat mengatakannya, dia jelas merasakan sesuatu sehingga terlihat sangat ketakutan, tapi tetap melanjutkan, “Entah kenapa, setelah melihatmu waktu itu, kepalaku terus sakit. Tapi saat ketemu lagi di sana tadi, tiba-tiba sakitnya hilang, seolah kau yang menyerap rasa sakit itu... Jangan marah, hal-hal ini tidak kuceritakan ke Paman mereka. Setiap orang punya rahasia, pasti ada alasannya kenapa kau tak mau orang tahu. Jadi meski Nenek Huiqing tanya, aku tak pernah bilang. Aku tak mau merepotkan orang...”
Jiaming tertegun, merasa kehabisan kata-kata.
“Karena... karena Kakak bukan orang jahat. Saat itu waktu Kakak sangat marah... itu malam ketika kau mencariku, aku takut melihatmu karena kau seperti api menyala. Waktu itu kukira pasti akan MATI. Tapi kau tidak membunuhku... Cuma bom itu hampir meledakkan rumah lama keluarga Xiao Wan. Kalau rumah hancur mereka tak punya tempat tinggal. Bisakah Kakak... hanya menakuti mereka sedikit saja...”
## Bagian Tiga Ratus Dua Puluh Satu: Teman Lama
Saat iring-iringan mobil megah berangkat ke utara meninggalkan pusat kota Jianghai, waktu menunjukkan sekitar pukul empat sore. Senja mendekat, sinar matahari keemasan di langit barat membakar awan-awan menjadi merah padam, sementara permukaan laut di timur membentang tak berujung, memantulkan riak biru yang paling menyejukkan di batas cakrawala. Jalan raya membelit laksana naga di antara pegunungan dan lautan, menghilang ke kejauhan dalam pemandangan spektakuler ini.
Enam belas unit bus mewah berkapasitas 45 penumpang, disertai mobil dinas pemerintah dan jeep militer, membentuk barisan ekspedisi berkemah yang megah. Awalnya ini hanyalah acara berkemah biasa, namun setelah kabar keterlibatan Fang Zhitian dan perwakilan Grup Sid tersebar, kuota peserta langsung menjadi rebutan sengit - persis seperti perjalanan Kapal Star Dream sebelumnya. Yang berhasil mendapatkan tempat pada dasarnya adalah pengusaha kaya atau keluarga pejabat dengan koneksi kuat di Jianghai. Beberapa yang sedang libur bahkan berniat mengikuti konvoi dengan mobil pribadi, namun urung setelah mendapat teguran halus dari Fang Zhitian.
"Ayo...semua lihat ke sini, ke sini...tersenyum...siap-siap difoto..."
Di luar jendela, satu sisi adalah garis pantai yang membentang, sisi lain adalah area pabrik yang banyak ditinggalkan. Berdiri di depan bus, Tenku Masaoka dengan pakaian wisata sedang mengayun-ayunkan kamera sambil berbicara lancar dalam bahasa China. Banyak orang menjulurkan kepala dari kursi sambil tersenyum. Shasha dan Lingjing duduk di posisi bersebelahan. Di depan dekat koridor adalah Yahan yang sedang minum air, di sisi dalam adalah Kaoru yang sedang menopang dagunya melihat pemandangan. Dongfang Wan duduk di belakang dekat jendela, sedangkan Dongfang Ruo duduk di sampingnya. Kursi roda lipat diletakkan di koridor tengah. Posisi Jiaming dan Lingjing dipisahkan oleh koridor. Tempat di sisi dalam dekat jendela kosong, milik Tenku Masaoka yang sedang mengambil foto di depan.
Dalam riuh suara tawa, banyak orang berdiri dari kursi mereka. Beberapa orang di dekat koridor bahkan menjulurkan kepala. Bahkan Dongfang Ruo yang penglihatannya terbatas menyunggingkan senyuman, jelas tertarik dengan pemotretan. Kaoru hanya melirik sebentar, lalu memalingkan wajah melanjutkan menikmati pemandangan, sebelum akhirnya disambar dari belakang oleh Shasha yang menarik baju di bahunya: "Kaoru, ayo bangun... ayo difoto."
"Keju——"
Kilatan kamera menyapu, dengan ekspresi sedikit terkejut dan enggan, wajah Kaoru yang terlihat seperti boneka beruang terangkat tertangkap dalam foto.
"Satu lagi, satu lagi..."
"Kalau sudah dicuci, jangan lupa beri kami satu copy ya."
"Bahasa China Tuan Tenku sangat lancar ya..."
Setelah berfoto, dia berjalan kembali ke kursi. Beberapa wanita di barisan depan menoleh dan berbicara. Salah satunya adalah keponakan direktur kantor investasi Kota Jianghai, sisanya kerabat pedagang. Meskipun Tenmasa Masaoka bukan pria ganteng yang langsung mencuri perhatian pada pandangan pertama, aura sehat dan cerahnya ditambah latar belakang keluarga tak diragukan menjadikannya kuda putih idaman. Meskipun orang Jepang, gadis-gadis modern biasanya tertarik pada kisah asmara lintas negara seperti ini. Namun di belakang bus, sekelompok kecil pria berusia dua puluhan dan beberapa wanita tampak berbisik-bisik dengan wajah tak ramah. Jika diungkapkan secara retorika muluk, mungkin mereka tidak suka orang Jepang merayu cewek Tiongkok. Tapi sejujurnya, Tenmasa telah mencuri sorotan mereka.
Tapi mereka hanya berani berbisik di belakang. Selain status Tenmasa, kehadiran Yahan saja sudah cukup mengintimidasi orang kaya baru Jianghai. Apalagi dengan kehadiran Shasha yang ayahnya, Liu Zheng, menguasai lebih dari separuh Jalan Hitam Jianghai - siapapun harus memberi muka. Ditambah Dongfang Wan dan Dongfang Ruo yang berada di posisi komando, sekeras apapun protes mereka, tak ada yang berani menunjukkannya di depan para wanita ini.
Tenku Masaoka dengan sopan menghadapi beberapa wanita di depannya. Lingjing dan Shasha berbicara riuh, berdiskusi dengan Dongfang Wan tentang jawaban ujian tengah semester beberapa hari ini, terkadang Yahan juga menyelipkan beberapa kalimat. Di antara mereka, prestasi akademik Lingjing yang terbaik, disusul Kaoru, meski ia hanya menyandar sambil menatap pemandangan dari kursinya, tak berminat mengobrol tentang soal ujian. Sebenarnya ia cukup senang bisa keluar bermain bersama, hanya saja tak tahu harus bermain apa dan sulit mengekspresikannya. Jika tidak menghitung Jiaming, nilai Shasha yang terendah - sesekali merengek saat jawabannya berbeda, sementara Dongfang Wan meski nilainya biasa saja namun sangat percaya diri, sering berdebat panjang dengan Lingjing tentang jawaban yang tak sesuai, bahkan mengeluarkan buku catatan kecil untuk menghitung beberapa menit, baru kemudian mencatat dengan diam: "Lagi berkurang beberapa poin."
Ketika menghadapi pertanyaan terkait sejarah atau geografi, Dongfang Ruo yang mengenakan gaun putih sesekali ikut menyela. Sehari-hari dia tentu tak punya kesempatan belajar, pengetahuan ini didapat dari novel atau bacaan sampingan. Dari lima kalimat yang diucapkan, empat di antaranya salah. Di sore hari, setelah berjam-jam jalan-jalan di pusat perbelanjaan, semua sudah saling akrab. Terhadap gadis malang yang terus-menerus dilanda penyakit ini, Lingjing, Shasha dan lainnya menunjukkan simpati dan rasa sayang yang besar, sambil tersenyum membetulkan kesalahannya. Biasanya Dongfang Ruo akan lemas berjam-jam setelah berbicara sebentar, tapi hari ini dia tetap ceria sepanjang sore. Dongfang Wan takjub melihat perubahan ini, berulang kali menanyakan kondisi fisiknya.
Sudah bisa ditebak, Jiaming pusing sepanjang sore.
Duduk di kursi sambil sesekali tersenyum mengobrol dengan Lingjing dan Yahan, di hati Jiaming bergema perkataan Kelly: "Makanya, kau benar-benar membutuhkanku." Untuk misi mata-mata jangka pendek atau kamuflase, dirinya memang bisa tampil sempurna tanpa cacat. Tapi ketika harus mengintegrasikan diri dalam kehidupan nyata selama bertahun-tahun, celah yang muncul benar-benar di luar perkiraan. Tak disangka identitasnya sudah ditebak oleh Dongfang Ruo. Andai saja gadis berhati lembut ini tidak ingin merepotkan orang lain, mungkin sudah jadi rahasia umum di [].
Kalau sampai terjadi, saat dirinya masih berlagak jadi wanita yang mondar-mandir di depan mereka, pasti akan menjadi bahan ejekan terbesar di Dunia Kegelapan.
Tentu saja, pekerjaan Jiaming adalah pembunuh bukan mahasiswa. Meski Dongfang Ruo tidak pernah membicarakannya dengan siapa pun, mengingat kedekatan hubungannya dengan Huiqing dan Fang Zhitian, seluruh hal ini secara alami juga tidak bisa dipercaya sepenuhnya.
Menurut penjelasan Dongfang Ruo, sakit kepalanya sendiri seharusnya berasal dari penyerapan kekuatan supernatural dan kekuatan spiritual orang lain. Hanya saja, pengguna kekuatan supernatural biasa sebenarnya kekuatan spiritualnya tidak begitu kuat. Mereka pada dasarnya hanya tahu keberadaan kekuatan supernatural tanpa memahami asal-usulnya. Mungkin hanya ketika kekuatan spiritual tumbuh berlebihan hingga seberantakan tingkat Dongfang Ruo, barulah bisa merasakan aliran kekuatan spiritual tersebut.
Tidak mengerti bagaimana Phoenix mengubah kepalanya menjadi penyedot debu kekuatan supernatural—ataukah dia pernah dikepung oleh pengguna kekuatan supernatural sehingga membenci semua pemilik kemampuan itu? Tapi secara garis besar, tubuhnya seharusnya bisa memperlakukan kekuatan supernatural seperti bensin—menyerapnya untuk meningkatkan kemampuannya. Hal-hal ini sulit dipastikan hanya dengan imajinasi. Dari sisi medis pun tentu tidak mungkin meneliti hasilnya. Atau meminta bantuan Kelly untuk pemeriksaan mungkin ide bagus, tapi untuk saat ini... Dia juga tidak mungkin menyerahkan rahasia terbesarnya begitu saja pada orang lain. Pada akhirnya, di dunia ini hanya ada beberapa orang yang benar-benar dia percayai, dan Kelly belum termasuk di dalamnya.
Sambil memikirkan hal-hal seperti ini, Gu Jiaming berbincang santai dengan Lingjing dan yang lain. Jarak dari pusat kota ke lokasi tujuan kurang dari satu jam perjalanan mobil, sekitar 40-50 kilometer. Jarak sedekat ini bahkan belum cukup bagi mereka untuk menyelesaikan pembahasan soal ujian. Di sebelah, Tenmasa Masaoka menerima telepon dari Ryuudou Yui. Mendengar kabar bahwa pria ini pergi berkemah dengan banyak orang, melalui percakapan bercumbu diselingi peringatan agar tidak main mata dengan cewek lain, Tenmasa terus mengangguk sambil tertawa, "Hei! Hei!". Setelah menutup telepon, dia melihat tingkah beberapa cewek di sekitar Jiaming dan ikut nimbrung dengan penasaran: "Gimana rasanya punya tiga pacar? Bagikan pengalaman, biar aku nggak terus-terusan dikekang Yui. Haha."
Dengan fasilitas yang dimiliki Tenmasa Masaoka, andai benar-benar ingin jadi playboy, mungkin ratusan bahkan ribuan wanita bisa dia ajak bercanda dalam suasana harmonis. Jiaming menggelengkan kepala sambil tersenyum, menjawab santai: "Yui cuma sok jagoan."
Di saat yang sama, seorang gadis cantik berpenampilan modis mendekat dari belakang. Matanya tertuju pada Lingjing yang sedang mengerjakan soal dengan ekspresi aneh: "Ye Lingjing?"
"Eh?" Lingjing yang sedang mencorat-coret di buku catatan Dongfang Wan menoleh. Dia mengerutkan alis melihatnya beberapa saat sebelum akhirnya berseru gembira: "Jiang Yuwei!"
"Haha, ternyata benar kamu!" Gadis itu bertepuk tangan riang. Kemudian dia berbisik meminta tukar tempat dengan penumpang di belakang Jiaming. Setelah duduk, dia menyondongkan kepala untuk melihat Jiaming di depannya, lalu mengacungkan jari ke arah Lingjing sambil mengerutkan alis: "Dia... Gu Jiaming?"
“Hmm aah。”Lingjing tersenyum mengangguk，“Kamu masih ingat dia ya, Jiaming, Jiang Yuwei juga masih ingat?”
“E……”Ekspresi canggung muncul di wajah Jiaming。Ingatannya telah melalui latihan ketat yang intensif, basically bisa disebut memori fotografis。Meski tidak sengaja mengingat, tapi jika suatu saat membutuhkan memori tertentu, basically bisa langsung teringat。Tapi gadis ini sama sekali tidak bisa diingat, mungkin teman sebelum usia sepuluh tahun，“Sepertinya……tidak ingat。”
“Kami dan Yuwei adalah teman sekelas SD。”Lingjing tertawa，“Kelas prasekolah, SD, kami satu kelas。Tapi Yuwei belum sebulan di kelas tiga sudah pindah ke Amerika kan。”
“Nama Inggrisku sekarang Lucy*Jiang。”Jiang Yuwei mengangguk, melirik Jiaming dua kali, lalu memberikan tatapan ambigu ke Lingjing，“Kamu masih melindunginya ya? Apa sekarang dia masih sering diganggu seperti dulu?”
“Dia sih, masih seperti dulu, tidak pernah aktif mengganggu orang。”Lingjing tersenyum mengangguk。Dalam persepsinya ini pujian, tapi di telinga orang lain terdengar aneh。Jiang Yuwei mengerutkan kening：“Anak laki-laki lebih baik tegas。Aku ingat dulu setiap ada yang mengganggunya, kamu yang maju。Sekarang masih begitu……Ngomong-ngomong, perkenalkan pacarku。”
Sekitar menyadari terus membicarakan hal ini tidak baik, Jiang Yuwei mengubah topik. Walau usia mereka sama, bagi Lingjing dan Shasha, memperkenalkan pacar di depan umum jelas masih hal yang memalukan. Berbeda dengan Jiang Yuwei yang mendapat pendidikan Amerika. Lingjing tersenyum menoleh ke belakang: "Orang asing?"
"Mana ada, orang Tiongkok. Aku tidak mau pacaran sama bule." Ia menoleh memanggil, "Andy, kemarilah, kuperkenalkan si cantik." Dari kelompok anak orang kaya yang sedang berbisik-bisik memandangi Tenku Masaoka dengan tidak suka itu, bangunlah seorang pemuda berambut cepak. Tidak terlalu tampan, tapi terlihat gagah, tubuh kekar seolah memancarkan aura niat membunuh. Dengan senyum ia mendekat, lalu berunding dengan orang di sisi dalam Jiang Yuwei untuk bertukar tempat.
"Pacarku, dia besar di Amerika sejak kecil. Nama Tiongkoknya Li Song, bisa dipanggil Andy juga. Tentu saja bisa berbahasa China. Andy, ini teman SD-ku di sini Ye Lingjing, dia Gu Jiaming, dan..."
Sisanya ia tak tahu namanya. Lingjing buru-buru memperkenalkan satu per satu: Shasha ke Dongfang Wan, ke Dongfang Ruo, ke Yahan lalu ke Kaoru. Semuanya wanita-wanita cantik luar biasa. Terutama saat Kaoru menoleh sekilas memberi salam, pria bernama Andy itu tertegun membelalakkan mata, hanya bisa mengucap "Halo si cantik" dengan gagap. Namun saat akhirnya memperkenalkan Tenku Masaoka yang ramah menoleh mengulurkan tangan, Andy mengerutkan kening, pura-pura tidak melihat, langsung duduk setelah berkata "Halo".
“Tenku Masaoka sudah sering datang ke Tiongkok bertahun-tahun lalu. Di masa kini, masih banyak warga yang membenci Jepang, dan dia sudah terbiasa dengan hal itu. Tapi saat melihat Tsukike Kaoru mereka meneteskan air liur, sementara terhadap Tenku Masaoka menunjukkan wajah tidak nyaman - ini jelas perbedaan fasilitas yang terbuka. Tenku Masaoka tidak marah, hanya tersenyum lalu duduk.”
Di tengah celoteh riuh Jiang Yuwei, percakapan mulai mengarah ke situasi umum kedua pihak, kemudian dia juga mulai menjelaskan urusan Andy: "Dia main beladiri bebas di sana, level profesional loh. Tapi di lomba bela diri seluruh Amerika kemarin performanya kurang bagus, cuma masuk 16 besar." Meski bilang performa buruk, raut wajah Jiang Yuwei penuh kesombongan, berhenti bicara menunggu pujian.
Lingjing dan Shasha memang melototkan mata, menunjukkan ekspresi kagum: "Mana ada buruk? Peringkat 16 besar seluruh Amerika Ya."
"Luar biasa sekali, luar biasa sekali."
Kekaguman ini sebagian besar berisi unsur berlebihan dan kesopanan, tapi di telinga Jiang Yuwei dan Andy tentu sangat menyenangkan. Yahan di depan hanya tersenyum tanpa bicara. Pengalamannya membaca orang cukup kaya - dari detail kecil tadi mereka tidak mau berjabat tangan dengan Tenku Masaoka, plus cara memandang para wanita ini, dia tahu pria itu bukan orang baik. Apalagi sikap Jiang Yuwei yang agak memandang rendah Jiaming pernah di-bully, meski tidak kentara. Karena ini cuma gadis kecil yang tidak perlu disanjung, dan percakapan juga tidak jadi canggung, dia memilih tidak ikut campur.
“Faktanya, standar untuk menentukan seseorang bukanlah orang baik, Jiaming yang menginjak tiga kapal jelas lebih licik dan tak bermoral dibandingkan Andy itu. Namun di hatinya tak banyak umpatan, inilah standar ganda wanita. Dongfang Wan di belakang hanya mendengarkan mereka bicara, sesekali tersenyum. Karena tak terlalu akrab dan pihak lawan juga tak punya nilai ekonomi, tak perlu mencari topik pembicaraan secara dipaksakan.”
Jiang Yuwei yang keangkuhannya terpuaskan kini tersenyum cemerlang, menatap Jiaming beberapa kali: “Ngomong-ngomong, kalau Jiaming masih sering ditindas, Andy bisa mengajarinya beberapa jurus. Lihat posturnya masih seperti dulu, pasti kalah kalau berkelahi. Oh ya, Lingjing, aku ingat dulu keluargamu punya perguruan silat ya?”
Lingjing mengangguk: “Sekarang masih buka.”
“Iya iya, aku ingat dulu kau jago berkelahi. Tapi waktu itu selalu baru ketika Jiaming ditindas kau baru menyerang. Kami sekelompok gadis kecil sempat menganggapmu sebagai idola. Ngomong-ngomong, latihan pagimu itu Tai Chi kan?”
Dulu saat Lingjing berlatih silat bersama ayahku, tak terhindarkan harus unjuk kebolehan di depan teman-teman. Kadang ketika Jiaming diganggu, dengan kemampuan reaksi supernya, beberapa bocah lelaki sekalipun bukan lawannya. Meski masih kalah ganasnya dibanding Sasha yang bisa memukul dengan benda apa saja, persahabatan Jiaming dan Lingjing justru terbangun dalam hubungan perlindungan seperti itu. Baru kini Lingjing mengangguk, Andy pun tersenyum membuka mulut.
“Bagaimana Lingjing juga pernah belajar Kung Fu? Bisa apa saja?”
Di sini dia menganggap diri paling jago Kung Fu, lagi pula baru pulang dari luar negeri, dengan suara bahasa Mandarin yang aneh sekali buka mulut, langsung berkesan seperti guru.
“Cuma buat olahraga aja.” Lingjing tersenyum menjawab, “Yang lebih kuasai Tai Chi dan Wing Chun, Bagua Zhang juga pernah belajar sedikit, Shasha lebih jago Jeet Kune Do-nya, tentu saja, tak ada yang bisa menyaingi Jiaming.”
“Jiaming hebat?” Jiang Yuwei membelalak, Andy juga heran bertanya: “Jiaming hebat ya?”
“Mana ada, aku cuma bisa memainkan jurus, nggak pernah berkelahi.” Jiaming tersenyum rendah hati.
Dongfang Wan di samping ikut menyeringai: “Dia kalau berantem cuma bisa kabur, atau pakai taktik licik, kalau nggak dipaksa, sama sekali nggak berani nyerang...”
Andy mengangguk: “Nggak berantem itu bagus.” Ekspresinya tetap meremehkan, “Tapi Kung Fu China cuma buat olahraga, kelihatan bagus aja, Jeet Kune Do masih ada gunanya, tapi di panggung dunia, yang paling kuat jelas Muay Thai, tentu saja cewek nggak cocok latian ini.”
Jiaming menoleh: “Kalau Kakak Andy latian bela diri apa ya?”
“Saya sudah mencoba berbagai macam.” Andy tersenyum penuh percaya diri, “Yang paling banyak dilatih adalah tinju, tapi karate, Jeet Kune Do, judo, muay thai, taekwondo, Gracie jujitsu... banyak yang pernah saya latih. Sebenarnya dulu juga pernah mempelajari seni bela diri Tiongkok. Semua hal ini baru bisa disadari setelah mengalami sendiri, peran seni bela diri dalam pertempuran nyata sangat buruk. Mungkin di dalam negeri dibesar-besarkan, tapi sebenarnya tidak ada artinya, terlalu banyak gerakan pura-pura. Namun begitu naik ring, yang diandalkan tetap kekuatan murni dan kemampuan merespon. Jika ingin belajar bela diri untuk bela diri, saya sarankan latihlah yang seperti Jeet Kune Do.”
“Oh...” Jiaming dan Tenku Masaoka di depan saling bertukar pandang, lalu mengangguk.
Melihat ada yang menanggapi perkataannya, Andy pun terus berbicara tanpa henti. Ucapan-ucapannya yang agak aneh, kadang diselipi kosakata bahasa Inggris, bercerita tentang pengamatan di dunia tinju, pemahamannya tentang seni bela diri, seolah sudah menjadi wujud ahli legendaris. Matanya sesekali melirik ke arah tempat Kaoru di depan, mungkin berharap bisa melihat lagi wujud si cantik. Tapi sandaran kursi yang tinggi dan ketidaktertarikan Kaoru pada pemahaman bela dirinya membuatnya tetap bersandar di dekat jendela menikmati pemandangan. Suaranya yang keras justru membuat banyak penumpang di sekitarnya menoleh mendengarkan kuliah dari sang profesional, sesekali ada yang mengajukan pertanyaan.
Seketika, suasana di dalam mobil menjadi akrab. Andy berbicara tentang pandangannya mengenai seni bela diri, hampir tidak sabar untuk langsung memukul beberapa orang guna menguji kekuatannya. Dalam ucapannya, ia membocorkan bahwa ada seorang Teman dalam pasukan ini - seorang pasukan khusus yang dibawa Fang Zhitian, yang juga sangat hebat. "Itu pasukan khusus lho!" Secara instan, semua orang semakin mengaguminya. Kadang ada yang bertanya tentang Seni bela diri Tiongkok. Pandangannya tentang ketidakbergunaan seni bela diri sebenarnya bukan maksud merendahkan, tapi murni karena melihat banyak contoh yang tidak berguna dalam pertempuran nyata. Setelah menjelaskan beberapa menit, semua orang pun manggut-manggut "Oh... Aaaa..." menerima penjelasannya. Mereka adalah profesional, masyarakat umum yang punya perasaan terhadap warisan budaya nasional, basically tidak punya kekuatan untuk berdebat.
Tenku Masaoka dan Jiaming di depan menunjukkan senyum yang tidak jelas apakah itu kekaguman atau apa. Sesekali Tenku Masaoka berbisik ke Jiaming: "Kung Fu China payah, dengar? Karate Jepang tetap lebih baik." Jiaming membalas: "Turun duel satu lawan satu." Tenku Masaoka langsung mundur: "Bercanda." Hari ini ia baru saja melihat video Jiaming menghancurkan Hiriyawan. Dirinya sendiri belum tentu bisa mengalahkan Hiriyawan, ini jelas mencari MATI.
Pidato dari belakang pada dasarnya dianggap sebagai lelucon untuk menyegarkan perjalanan. Matahari terbenam membara di langit barat, jalan raya telah menjauh dari laut. Sesekali masih terlihat pabrik-pabrik yang ditinggalkan di pinggir jalan - konsekuensi dari perencanaan keliru Kota Jianghai lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Tenku Masaoka dan Jiaming di depan hampir berkomunikasi dengan gerakan bibir tentang pertarungan antara Jian Suyan dan Hiriyawan. Secara umum, pengguna kekuatan supernatural membutuhkan banyak waktu untuk mempertahankan dan melatih pemanfaatan kemampuan mereka, sementara seni bela diri murni tidak sebaik itu. Pertarungan fisik Tenku Masaoka sebenarnya tidak jauh berbeda dibandingkan Hiriyawan, namun dia menggunakan sikap bertanya kepada Jiaming yang dengan santai berbagi pengetahuannya.
Pukul lima sepuluh, hamparan rumput hijau luas yang dikelilingi pepohonan dan air muncul di depan mata semua orang. Sebelah hutan yang rimbun membentang hingga punggung bukit, aliran air jernih mengalir dari gunung. Rumput telah dibersihkan oleh tim pendahulu. Di bawah senja, pemandangan yang memikat ini, bagaimanapun, selalu menyegarkan hati bagi orang-orang yang terbiasa hidup di perkotaan ketika tiba-tiba disuguhkan panorama alam seperti ini.
Perlahan-lahan mobil terdepan merapat ke pinggir jalan. Lokasi tujuan untuk kegiatan berkemah liburan ini akhirnya tercapai.
## Bagian Tiga Ratus Dua Puluh Dua Hutan
Senja, padang rumput, puluhan mobil kecil dan bus terparkir rapi di pinggir jalan yang jauh. Di lapangan seluas 2-3 lapangan sepak bola, tenda-tenda berbagai ukuran berdiri satu per satu. Di tepi aliran sungai dan di dalam hutan, penuh dengan orang-orang yang berjalan berkelompok. Bagi kebanyakan orang, kegiatan berkemah dan masak liar seperti ini memiliki daya tarik tersendiri, terutama ketika seseorang seperti Fang Zhitian juga terlibat langsung.
Peralatan seperti panci, mangkok, dan alat masak lainnya telah disediakan secara lengkap, meski ada juga yang membawa sendiri. Makanan sudah disiapkan sebelumnya, bagi yang tidak mau repot bisa langsung mengambil yang instan. Tapi kegiatan seperti ini memang menekankan aspek keseruan. Banyak pria-wanita muda yang berpartisipasi, dan cukup banyak yang ingin memamerkan kemampuan di depan lawan jenis. Di bawah senja, orang-orang yang mendirikan tenda, mengumpulkan kayu bakar di hutan, atau mencuci beras dan sayuran di tepi sungai saling tertawa riang. Di area paling depan dekat hutan telah dibangun panggung kayu untuk pertunjukan, ditambah beberapa lapangan kosong yang disisihkan - kegiatan seperti ini memang selalu membutuhkan hiburan.
Aktivitas yang melibatkan begitu banyak orang tentu memiliki organisator yang mengatur formasi masing-masing tim, umumnya sepuluh orang per set dengan pembagian tugas kasar. Ada juga reward tim untuk meningkatkan motivasi, namun sebenarnya persyaratannya tidak terlalu ketat. Setelah pembagian, pasangan kekasih atau orang yang saling kenal bisa membentuk grup bebas. Kelompok delapan orang di sekitar Jiaming otomatis dianggap sebagai satu tim. Jiang Yuwei dan pacarnya Andy sudah saling kenal, tapi mereka punya tim kecil sendiri yang berkemah di dekatnya. Beberapa cewek yang tertarik pada Tenku Masaoka sejak obrolan di mobil kini bergabung juga, total lebih dari 20 anggota terbagi dua di tepi hutan, mengerjakan tugas masing-masing.
Alunan musik bergema di bawah senja. Jiaming dan Tenku Masaoka berhasil menancapkan enam tenda kecil. Lingjing dan Shasha tidur sekamar. Adapun Dongfang Ruo, meski kondisi fisiknya membaik hari ini, namun karena bertahun-tahun sakit, dietnya harus dikontrol dan perlu perawat khusus malam hari - mungkin menjadi tanggung jawab pihak Fang Zhitian. Dalam hal teknik survival, keduanya tergolong profesional. Beberapa tenda kecil segera selesai. Tenku Masaoka ditarik beberapa wanita untuk membantu. Kaoru dan Dongfang Wan mengumpulkan kayu bakar di hutan. Lingjing, Yahan, dan Shasha mencuci sayuran di tepi sungai. Jiaming mengambil air jernih dengan ember plastik, membuka meja lipat kecil, menyusun bumbu dapur, lalu membersihkan sepetak rumput untuk mempersiapkan api unggun.
“Pemandangan ratusan orang dewasa yang berkumpul bermain permainan rumah-rumahan sebenarnya cukup menarik. Tenda-tenda besar kecil memenuhi hamparan rumput tepi sungai, peralatan masak sederhana dan api unggun, terlihat seperti kamp pengungsi pasca bencana. Tapi semua orang bersemangat, bahkan seseorang seperti Fang Zhitian pun ikut memasang tendanya sendiri, lalu menggulung lengan baju dan membual ke orang sekitar: "Aku sangat ahli memanggang hidangan liar lho." Sekelompok orang dari Grup Sid di sebelah juga bersorak dengan semangat.
Dongfang Ruo duduk di kursi roda, menghadap ke arah matahari terbenam di atas hutan. Pandangannya mengikuti gerakan Jiaming yang mondar-mandir di sampingnya: "Sepupu Jiaming sangat mahir ya."
"Di rumah aku dan Lingjing bergantian masak, aku ini suami rumah tangga." Jiaming menjawab sambil menoleh, "Tubuhmu tidak ada rasa tidak enak kan?"
"Kalau Sepupu Jiaming ada di sebelah, kepalaku tidak terlalu sakit. Ini hari paling tenang yang kurasakan sejak tahun lalu."
“Kalau begitu baguslah.” Jawabnya dengan datar. Saat menoleh, Kaoru juga sedang membawa beberapa kayu bakar keluar dari hutan, lalu menyusunnya satu per satu di samping Jiaming. Penampilannya hari ini sederhana namun elegan: kaus lengan panjang bergaris hitam-putih yang ramping, jaket pendek, dan celana panjang kasual. Wajahnya yang sempurna bagai keramik putih tetap menunjukkan ekspresi datar tanpa senyum. Namun saat menyusun tumpukan kayu perlahan di sebelah Jiaming, ada nuansa kebahagiaan dalam kesendirian yang terasa. Melihat kedatangannya, Andy yang sedang pamer ilmu bela diri di kejauhan langsung meningkatkan volume suaranya.
“…Saat itu, aku langsung melompat mundur, memutar badan lalu memberikan tendangan berputar. Akhirnya petinju Barat itu terjatuh. Wasit langsung menghitung detik. Dia masih berusaha bangkit, padahal saat itu tenagaku juga sudah habis. Lucy yang melihat, darah mengalir di kepala dan badan, dua tulang rusuk patah, tangan kiri basically mati rasa… Tapi aku bertahan…”
“Jujur, itu pertarungan tersulit yang pernah kulalui, tapi justru paling membantuku berkembang. Di dunia lomba memang begitu, semakin banyak luka, semakin besar kemajuan…”
“Yang paling penting dalam pertandingan profesional… Setiap orang akan bermain defensif. Kau tidak boleh membiarkan musuh membaca maksudmu. Perhatikan tatapanmu – jangan sampai matamu langsung menatap titik yang ingin kau serang. Sebelum menyerang, kau harus sudah memperhitungkan semua gerakan musuh. Gunakan tatapanmu untuk Tipu Daya lawan…”
Orang ini toh seorang petarung bela diri bebas profesional, sebenarnya ada kemampuannya. Beberapa anak orang kaya yang manja dalam rombongan juga tertarik dengan hal ini, sejak turun mobil mereka terus mengobrol sambil memasang tenda. Setelah Andy beberapa kali memamerkan daya rusak tinju dan tendangannya, kerumunan anak manja penuh hormon laki-laki di sekitarnya pun berkerumun. Sambil berbicara, matanya sesekali melirik ke arah sini. Sayangnya, Kaoru yang beraura polos itu hanya fokus menyusun api unggun, sama sekali tak tertarik dengan urusan pertarungan. Beberapa penonton di sampingnya mengambilkan ranting besar untuk ditendangnya. Ia mengatur gaya: "Perhatikan tatapanku! Perhatikan!" teriaknya keras, sementara sorot matanya diam-diam mengarah ke sini.
Sebenarnya, tak bisa dikatakan bahwa ketertarikan pada Kaoru pasti merupakan kelicikan playboy. Secara fisik, gadis Jepang secantik boneka porselen ini memang memiliki daya tarik visual yang luar biasa. Terutama sejak dua tahun tinggal bersama Jiaming, duri-duri dinginnya yang seperti landak itu mulai sedikit terkikis, kecuali ada yang sengaja mendekati. Fakta bahwa setiap keluar rumah pasti menarik perhatian banyak orang tak terbantahkan. Meski kerumunan ini sedang asyik membahas seni bela diri, tak sedikit yang diam-diam melirik ke arahnya. Dongfang Ruo berbisik: "Banyak yang memperhatikan Nona Kaoru di sana." Kekuatannya membuatnya merasakan getaran nyata dari tatapan-tatapan itu, hingga tak kuasa menahan senyum.
“Ahli itu, mata harus menatap mati ke tempat yang tidak terpikir oleh orang lain.” Jiaming berkeluh-kesah, “Benar-benar misterius ya.”
“Misterius bagaimana?” Tenku Masaoka yang baru selesai memasang tenda mendekat sambil berjongkok di sebelahnya.
“Bagaimana rasanya dimintai tolong sama si cantik?”
“Wanita dunia 3D yang menyeramkan...” Tenku menggelengkan kepala sambil tersenyum, memandang pertunjukan tendangan berat yang mematahkan pohon di seberang, lalu berbisik, “Salah satunya bau ketiak, coba tebak yang mana?”
“Yang paling cantik itu.”
Bagi dua orang dengan wawasan luar biasa, diskusi seperti ini jelas membosankan. Tak lama kemudian, Lingjing dan yang lain kembali. Setelah api unggun menyala, semua orang memasang rak besi dan mulai memasak. Di hamparan rumput tepi sungai, banyak orang bertebaran, namun kebanyakan adalah bangsawan muda yang biasa dilayani di rumah. Hanya sedikit yang sefasih kelompok Jiaming ini. Seluruh area tiba-tiba dipenuhi belasan asap tebal dari kegagalan membuat api yang mengepul ke langit sore. Di tengah kepulan asap, para pria-wanita yang terkena asap itu saling kejar-kejaran sambil tertawa. Lingjing menghampiri Jiaming: “Xiao Wan mana?”
“Masih di hutan kali.” Jiaming menoleh sebentar, “Anak orang kaya, belum pernah kerja kasar. Mengumpulkan kayu bakar saja lambat...”
“Awas dia dengar nanti tantangmu duel lagi.” Lingjing tertawa terkekeh, “Aku akan mencarinya.”
“Jangan, biar aku saja. Hutan ini tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil. Khawatir kau tersesat tidak bisa keluar.”
Di tengah protes malu Lingjing, Jiaming dan Kaoru menanyakan arah kasar lalu memasuki hutan. Seperti yang dia katakan, hutan ini bukanlah hutan belantara dalam, namun pepohonan yang membentang sepanjang jalan menanjak memiliki skala cukup besar. Langit senja yang masih belum gelap membara seperti api kemerahan, memancarkan keindahan spektakuler di barat melalui celah-celah dedaunan. Di tepi hutan, banyak orang sedang mengumpulkan kayu bakar atau bahkan memotong ranting untuk dibawa pulang. Semakin ke dalam, semakin sepi. Jiaming memperhatikan situasi sekitar, mengikuti arah yang ditunjuk Kaoru menuju kedalaman hutan.
Pencarian seperti ini sebenarnya tidak memiliki kepastian menemukan orang. Jiaming tidak khawatir tersesat, hanya berjalan santai. Faktanya, seberapa bodoh pun Dongfang Wan, mustahil hilang di sini karena di perimeter luar yang lebih jauh, pasukan pengawal telah mengelilingi area ini secara diam-diam. Tidak mungkin ada yang masuk hutan lalu hilang selamanya. Namun semakin tidak berharap, semakin mudah kebetulan terjadi. Sampai di bawah pohon besar, gemerisik semak di dekatnya terdengar. Tengkuk yang muncul di sana, persis seperti gaya rambut Dongfang Wan hari ini.
Ngapain sih, janji ketemu orang kek gini? Nggak mirip juga sih...
Dia datang mencari seseorang, tindakannya bisa disebut sah dan tidak perlu menyembunyikan jejak. Baru melangkah dua langkah ke depan, tiba-tiba Dongfang Wan bangkit dari semak belukar. Saat itu celananya tergelincir hingga paha, kedua tangannya sedang menarik celana ke atas. Bokong putih mulus dan pahanya membentuk lukisan warna yang sangat menggoda di bawah bayang-bayang cahaya hutan yang bersilangan. Sambil menarik tepi celana, sang gadis masih melirik ke kiri kanan dengan sembunyi-sembunyi, jelas baru saja selesai melepas kebutuhan kecil.
Intuisi wanita sungguh menakutkan. Meski tak mengeluarkan suara apa pun, saat Jiaming menyeringai ringan, pandangan Dongfang Wan tiba-tiba beralih ke arahnya. Tatapan mereka bersilangan, memercikkan bunga api.
Pada sekejap mata itu, kami bisa menyebutnya dengan profesional sebagai "saling pandang". Tentu saja, mungkin hanya Dongfang Wan yang mengalami situasi kebingungan itu. Tertegun sejenak, Dongfang Wan mempertahankan ekspresi yang mulai membeku, tiba-tiba berjongkok lagi.
## Bagian Tiga Ratus Dua Puluh Tiga Korban Salah Target
Langkah kaki "desau-desau" bergema di hutan, berdua berjalan berurutan dengan cara yang aneh.
Jiaming menyelipkan tangan di saku berjalan di depan sisi, Dongfang Wan membawa setumpuk ranting kering dan kayu bakar mengikuti, bola matanya berputar-putar, sesekali menggigit bibir dengan wajah yang kompleks. Setelah berjalan beberapa li, Jiaming menoleh: "Uh..." Kata-katanya belum keluar, pandangan Dongfang Wan yang seolah ingin MEMBUNUH sudah melotot ke arahnya.
"Uh... Lupakan saja..."
Mengangkat tangan, terus berjalan. Setelah beberapa saat, Dongfang Wan menggigit gigi membuka mulut: "Hei."
"Apa?"
"Kau... melihat apa..."
“Tidak melihat.”
“Mana mungkin tidak melihat?”
“Terlalu jauh, sama sekali tidak melihat apa-apa.”
“Kau bohong!”
“Di dalam hutan gelap gulita.”
“Kalau benar tidak melihat, mana mungkin ekspresimu begini!”
“Sebenarnya kau berharap aku melihat atau tidak sih?”
Setelah tanya-jawab cepat bagai menggoreng kacang, mereka bertiga kembali saling melototi. Ekspresi Dongfang Wan berkerut, matanya menatap mati ke arahnya, bibir bawah terkunci di antara gigi-giginya seolah ingin menggigit hingga berdarah demi menakuti lawan. Konon di zaman kuno ada jenderal yang mempersiapkan pasukan berani mati ratusan orang untuk bunuh diri di depan formasi, membuat semangat musuh langsung runtuh. Taktik ini memiliki kemiripan prinsip. Sayangnya kini sudah abad ke-21, tindakan melukai diri sendiri semacam ini justru akan membuat musuh mati ketawa ketimbang takut. Jiaming bagai babi MATI tidak takut air mendidih, dengan wajah tenang membuat si perempuan akhirnya menyerah.
“Kalau berani bocorkan, aku... aku...”
Dia mengulang "Aku..." berkali-kali tanpa kelanjutan. Jiaming mengangkat tangan bingung: “Aku memang tidak melihat apa-apa, Fondasi tidak tahu sedang apa kau...”
“Hmph...”
“Perlu bawa barang?”
“Pergi sana!”
“OK。”
Mereka melanjutkan perjalanan dalam hutan. Dongfang Wan yang berjalan di belakang Jiaming terus menatap tajam ke punggungnya. Sesekali Jiaming menoleh, melihat sorot mata tajam dan bibir terkunci rapat yang persis seperti dewa penjagal, membuatnya menyeringai lalu memalingkan muka.
“Benar tidak melihat?”
“Tidak” baru aneh...
“Kalau kau berani ngomong sembarangan……”
“Aku juga takut kena jarum panjang……”
“Apa katamu?!”
“Nggak……” Lagian nggak cantik-cantik amat……
Percakapan yang kadang terdengar. Mendekati tepi hutan, saat hamparan rumput mulai terlihat samar, Jiaming menunjuk ke arah puluhan mobil yang parkir: “Ehm... Sebenarnya ada kamar mandi di sana……”
Niat Membunuh di belakangnya melonjak drastis. Dongfang Wan yang sedang membawa ranting-ranting kering tiba-tiba melemparkannya ke arahnya. Sambil berkata: “Awas...” Baru berlari dua langkah, suara Byur! terdengar dari belakang. Saat menoleh, ranting-ranting berceceran di tanah. Dongfang Wan yang ingin mengejarnya tersandung akar pohon yang menjulur, terjatuh keras ke tanah. Lemparannya tadi juga tak sampai jauh, kini terlihat jelas dadanya yang indah terbungkus ketat baju menghantam tanpa tindakan pencegahan di antara ranting-ranting, penderitaannya seolah bisa dirasakan.
“Ck……” Jiaming berhenti memandang ekspresi kesakitannya, “Aku baru mau ingetin, ada akar pohon...”
“Aku akan Bunuh kau!”
Dongfang Wan maraung marah, mengambil sebatang ranting dari tanah dan langsung berlari maju. Jiaming baru menggeserkan kaki untuk berbalik, tiba-tiba Dongfang Wan yang berusaha bangun terpeleset lagi. Byur! Tubuhnya terjatuh kembali. Jiaming mengerenyitkan giginya.
“Aku bilang, jangan kecerobohan...”
“Kau Mati——”
“Bangsat……”
"Ketika Lingjing duduk di tepi tenda, Shasha sedang bersemangat melempar kayu bakar ke api unggun. Yahan memotong sayuran di meja kecil sementara Kaoru duduk tenang sambil memeluk lututnya. Tak jauh dari sana, Jiang Yuwei mendekat dan duduk di sebelahnya: 'Hai, Lingjing.'"
"'Hmm.'"
"'Di mana Jiaming?' Jiang Yuwei melirik ke sekeliling, 'Kenapa dia tidak terlihat?'"
"'Pergi ke hutan mencari orang. Ada perlu?'"
"'Ah tidak.' Jiang Yuwei tersenyum, 'Aku hanya berpikir, kalian berdua masih bersama, hehe.'"
"Lingjing tampak bingung: 'Apa maksudmu? Bersama itu aneh?'"
"'Bukan juga.' Jiang Yuwei memainkan beberapa helai rumput di tangannya, 'Teman-teman SD dulu, basically sudah tidak kenal lagi, dan... jangan marah ya, aku selalu penasaran kenapa kamu hanya dekat dengannya? Dulu dia sering ditindas sampai menangis...'"
"'Uhh...' Ekspresi Lingjing berubah mengenang, 'Tapi setelahnya jadi jauh lebih baik.'"
"'Menurutku hampir sama saja. Dan kamu tahu, waktu itu semua orang ingin bermain denganmu, tapi kamu selalu bersama Jiaming. Kami semua merasa kesal.'"
"'Karena aku punya cahaya keibuan.' Lingjing menggerakkan kepalanya, senyumnya jernih bagai kristal."
"'Tapi... kalau Jiaming terus ditindas dan harus kamu jaga terus sebagai pacarnya, tidak merasa rugi?'"
“Sebenarnya kami saling menjaga, meski sekarang aku ingin… Kalau saja dia benar-benar sepenuhnya diurus olehku…” Lingjing mengedipkan matanya, suaranya terdapat sedikit kekecewaan, namun segera kembali tenang, “Lagipula kami selalu berteman baik, bukan berarti kami pacaran. Jiaming sudah punya pacar… Nah, itu Shasha yang sedang main api.”
“Jiaming bukan pacarmu!” Jiang Yuwei membelalak, kemudian baru lega, “Cih, Aku pikir tadi, karakter Jiaming memang selalu seperti itu, di mobil juga bilang hobinya baca komik…”
“Baca komik juga tidak ada salahnya, dan menurutku Jiaming juga baik. Jiang Yuwei, apa kau punya prasangka terhadap Jiaming?”
Berdiskusi tentang Jiaming sebenarnya tidak masalah, tapi mendengar komentar seperti ini, Lingjing mulai tidak nyaman di hati. Namun mereka segera mengubah topik: “Sudahlah, kalian kan teman baik, aku tidak akan membicarakan hal buruk tentang Jiaming lagi. Tapi… orang Jepang itu siapa sih?”
“Teman Jiaming, mereka kenal di… ehm, klub penggemar anime yang sama.”
“Pacarku selalu punya pendapat negatif tentang orang Jepang.” Jiang Yuwei mengangkat bahu, “Meski keluarganya di Amerika, tapi dia sangat patriotik. Waktu lomba kemarin, ada yang tidak perhatikan kewarganegaraannya, tanya apa dia orang Jepang, konsekuensinya dia langsung mengusir orang itu. Kenapa Jiaming mau berteman dengan orang Jepang sih…”
“Tapi… Tenmasa tidak punya niat jahat terhadap Tiongkok.” Lingjing sedikit mengerutkan kening, “Hal ini… Menurutku harus dipisahkan penilaiannya ya…”
"Orang Jepang... Sudahlah, tidak usah dibahas. Ngomong-ngomong, kudengar keluarga Dongfang Wan itu sepertinya sangat hebat..."
"Xiao Wan ya." Lingjing mengangkat bahu, "Bisa dibilang cukup hebat, tapi bagaimana menjelaskannya?"
"Kamu kan tahu. Orang-orang yang datang bersama hari ini, keluarga mereka semua punya bisnis. Keluarga Tan Junrong bisnisnya sangat besar, aset perusahaan hampir mencapai miliaran. Dia mengenal Dongfang Wan, katanya putri pengusaha kaya dengan kekayaan keluarga ratusan miliar. Apakah kalian dekat dengannya?"
Latar belakang keluarga Jiang Yuwei cukup mapan, di Amerika dia membuka perusahaan kecil. Jika tidak demikian, mustahil dia bisa pindah sejak kelas 2 SD. Namun, melihatnya berbicara penuh kekaguman tentang Dongfang Wan sementara sama sekali tidak mengetahui latar belakang Yahan, Shasha, Dongfang Ruo, dan Tenku Masaoka, Lingjing hanya tersenyum kecil.
"Tidak terlalu dekat juga. Dia sekelas dengan Jiaming, dan katanya mereka sering adu argumen. Uh, semua orang tahu karakternya yang kompetitif. Dia membuka pabrik mainan kecil dengan tabungan pribadinya, setiap hari memutar otak mencari investasi dan pasar. Benar-benar mengagumkan. Tapi sejak tadi masuk hutan mencari barang yang terbakar belum keluar, Jiaming sengaja masuk untuk mencarinya."
Jiang Yuwei melirik ke arah hutan, lalu berbisik pelan: "Jiaming dan dia jangan-jangan..."
“Belum selesai bicara, sebuah suara terdengar dari dalam hutan. Itu teriakan Dongfang Wan: "Jangan lari!" Lingjing menoleh ke belakang. Di sisi tenda, Jiaming berlari keluar dari pepohonan. Yang mengejarnya dengan tongkat kayu di tangan tak lain adalah Dongfang Wan.
“Hei, tenang dulu, jangan ceroboh...”
“Kau berhenti di situ, biar aku pukuli kau sampai MATI...”
“Kau anggap aku idiot ya.”
Tongkat kayu swiswiswis diayunkan di udara. Di sisi ini, Lingjing, Shasha, Yahan, Kaoru, dan yang lain penasaran berdiri. Saat keduanya kejar-kejaran mendekat, baru semua orang sadar penampilan Dongfang Wan saat ini benar-benar kikuk: rambut agak acak-acakan, wajah dan dahi kotor debu, jaket kuning mudanya juga ternoda di beberapa tempat. Yang paling mencolok justru noda di area dada montok. Melihat situasi ambigu begini, para wanita sejenak ragu mencegah. Mereka menyaksikan Jiaming dan Dongfang Wan mengelilingi gadis di kursi roda beberapa putaran. Yang pertama mendekat justru Dongfang Lu yang melihat kejadian dari kejauhan. Ia tersenyum mendekat, berusaha menghentikan adik perempuannya.
“Ada apa lagi ini?”
“Tanya dia!” Dongfang Wan menunjuk Jiaming dengan tongkat.
“Kalau begitu aku yang jelaskan ya.”
“Jangan berani-berani!”
“Tolonglah...”
Semua orang malu, Dongfang Lu melihat adik perempuannya yang penuh noda, pikirannya langsung melayang ke berbagai kemungkinan. Tapi setelah dipikir lagi, jika berdua benar-benar melakukan hal itu di hutan, ekspresi mereka mungkin tidak akan seperti ini. Saat hendak mendekat, Dongfang Wan dengan wajah memerah sudah mengeluarkan sikap tidak mengenal saudara: "Ini urusanku dengan dia! Dongfang Lu jangan ikut campur! Aku lihat berapa lama dia bisa kabur hari ini!"
"Lagipula perseteruanmu dengannya bukan cuma sekali dua kali..." Dongfang Lu mencoba menenangkan. Jiaming mengangkat tangan: "Dan kali ini murni salah paham..."
"Kali ini beda!" Wajah Dongfang Wan memerah dan pucat bergantian, "Gu Jiaming coba kau ulangi lagi!"
"Taruh barangmu dulu baru aku berhenti bicara."
"Adik, ini kan bukan masalah besar..."
"Kau tahu apa?! Gu Jiaming beraninya lawan terbuka!"
"Aku tidak ahli berkelahi, keahlian khusus saya adalah kabur..."
"Adik, tenanglah, sebenarnya ada apa sih..."
"Kalian berhentilah berkelahi..." Dongfang Ruo tersenyum lembut di tengah keributan.
"Aku bunuh kau--"
"Aduh..."
Suasana kacau balau, bayangan tongkat melayang, dalam jeritan kesakitan Dongfang Lu menutupi dahinya sambil berjongkok di tanah...
## Bagian Tiga Ratus Dua Puluh Empat Pertengkaran
Langit berangsur gelap, api unggun membakar di tumpukan rumput tepi sungai. Aroma makanan dan suara riuh kerumunan orang bergema di udara malam. Mengikuti alunan musik, sorotan lampu sederhana menyinari panggung yang telah dipasang di depan. Pembawa acara yang ditunjuk panitia telah menyampaikan sambutan. Beberapa penyanyi dengan popularitas sedang tampil membawakan program interaktif, kebanyakan improvisasi tentang perkemahan ini. Di area kecil di bawah panggung, banyak meja panjang tertata rapi. Sesekali orang membawa masakan gorengannya sendiri sambil berteriak menyebut nomor tim mereka. Setelah dicicipi dewan juri, hidangan-hidangan lezat ini langsung direbut oleh kerumunan dengan riang gembira.
Lomba ini bukan kompetisi kuliner yang terlalu serius. Hadiah yang diberikan juga tidak memiliki daya tarik berarti bagi para hadirin, sekadar hiburan belaka. Agen-agen rahasia [] menyamar di antara kerumunan. Sebelum mencicipi, para juri sebenarnya telah melakukan pemeriksaan racun secara diam-diam. Tentu saja, sebagai manusia biasa, suasana ketat seperti ini sama sekali tidak terasa.
Di perkemahan kecil Jiaming, nasi sudah lama matang. Di bawah usaha bergantian Jiaming, Lingjing, dan Yahan, beberapa masakan telah siap. Shasa dan Dongfang Ruo dengan antusias mengirimkan dua piring untuk ikut lomba. Tenku Masaoka menyalakan api kecil di sebelahnya, dengan riang membakar ayam panggang Tokyo rahasia. Bunyi cicit tetesan minyak yang menetes ke api memancarkan aroma menggoda. Dua wanita yang mulai tertarik padanya berjongkok di sampingnya, berbicara penuh kekaguman.
"Irisan daun bawang, penyedap ayam... sekalian bawa dua piring, jangan lupa dicuci..."
Wajan berputar di atas api besar. Jiaming yang mengenakan kantong plastik putih sebagai kok berpura-pura, dengan lihai mengayunkan spatula. Di belakangnya, Kaoru yang berwajah tenang membantu. Dongfang Wan menjepit masakan di meja kecil dengan sumpit, wajah kesal: "Sosis ini utuh semua, bagaimana bisa dimakan!"
"Ambil utuh terus gigit sendiri!"
"Gu Jiaming, aku tidak sedang bicara denganmu!"
"Hei hei jangan mendekat..." Jiaming menggebok spatula, "Cuma pakai dua sumpit, kapan saja bisa kuhantam kau!"
“Hmph.” Dongfang Wan mengangkat pisau dapur di meja kecil, mencucinya bersih di tong air, lalu mengiris sosis menjadi potongan tipis dengan suara 'ping-ping-ping'. Irisan dimasukkan ke semangkuk kecilnya sambil terus mengeluh: “Makan begini sama sekali tidak higienis.” Namun jelas terlihat dia juga sedang bersemangat, menoleh bertanya pada Dongfang Ruo: “Ruo Ruo, kau mau makan apa lagi? Menurutku tahu yang dia masak tidak enak, hmm, telur tumis lebih wangi, tapi penampilannya aneh...”
Bagi Jiaming dan kawan-kawan, kegiatan memasak nasi dan menumis sayur sudah seperti prosedur standar. Sebaliknya, Jiang Yuwei dan kelompoknya justru kacau balau—hanya menyalakan api saja memakan waktu lama, hasil nasinya separuh gosong. Saat ini Lingjing sedang diminta Jiang Yuwei untuk menyelamatkan situasi. Tak lama kemudian Yahan dan Shizuka juga ikut membantu. Beberapa pria sibuk mencuci sayur dan mengangkut air. Sementara selain Jiang Yuwei, para wanita lainnya justru menganggur, memandangi kesibukan Lingjing dengan tatapan dingin sambil mengobrol riuh.
Dongfang Wan mendorong gadis di kursi roda berlari ke sana kemari. Tak lama kemudian, Dongfang Lu yang kepala nya dipasangi tambalan datang. Melihat hidangan di meja yang ditutupi kubah transparan, lalu mencium aroma ayam panggang Tenku Masaoka di sebelah, ia menjilat bibirnya: "Wah, gak apa-apa kan numpang makan di sini? Di tempat kami cuma ada nona-nona dan tuan muda. Semua pada cari jalan sendiri. Yang tersisa cuma beberapa cewek kecil yang lagi latihan jadi calon istri berbakti. Masakannya aja gak jelas namanya......"
"Tidak boleh!" Yang pertama protes justru Dongfang Wan yang mendorong kursi roda, "Pulang sana! Kami di sini tidak menerima orang luar."
"Kita kan saudara, buat apa saling bunuh? Lagipula aku baru saja kau pukul pakai tongkat. Adik, jangan tega-tega dong."
"Targetku itu Gu Jiaming, ngapain kau nyelonong? Dongfang Lu, nasibmu!"
"Tolong, jangan tunjuk aku dengan jari. Aku sensitif nih..." Jiaming mengangkat mata putihnya.
"Kau dan Jiaming saling gak suka juga bukan cuma sehari dua hari. Buat apa ribut..."
"Kali ini beda..."
Di tengah keributan mereka, Dongfang Lu akhirnya berhasil numpang tinggal. Meski Dongfang Wan biasanya keras kepala, tapi dia bukan tipe perempuan yang gak tahu diri. Pukulan tongkatnya tidak terlalu keras, sehingga luka di kepala Dongfang Lu pun tidak parah.
Tak lama kemudian, Dongfang Wan sepertinya menemukan sesuatu lagi, berjalan mendekati Jiaming sambil tersenyum: "Hei, ada yang sedang merayu Lingjing, lho."
Mengikuti petunjuknya, Lingjing masih sibuk membantu di sana. Termasuk Shasha dan Yahan, beberapa pria yang terlalu perhatian sebenarnya wajar. Tapi yang terus mengikuti Lingjing ternyata Tan Junrong - pria yang sebelumnya disebutkan Jiang Yuwei, katanya keluarga mereka punya aset bernilai miliaran. Perusahaan kecil keluarga Jiang di Amerika juga punya hubungan cukup dekat dengan keluarga Tan, katanya sudah berteman turun-temurun. Jiaming melirik: "Si cantik pasti selalu ada yang suka. Teman sekelas Xiao Wan, sebenarnya kamu ingin bilang apa?"
"Hmph, menurutku, bagaimanapun juga, kakakku pasti lebih baik darinya. Ye Lingjing juga bukan pacarmu. Aku mulai bingung dengan hubungan kalian... Bertiga tinggal bersama, Liu Huaisha adalah pacarmu, tapi setiap kali ada yang mengejar Lingjing, kenapa selalu kau yang jadi perisai..."
"Kami adalah teman masa kecil. Aku bahkan pernah jadi perisai pembenaran untukmu, apalagi untuk Lingjing pasti lebih wajar." Jiaming membersihkan panci, menaruhnya di atas api sambil mengetuk pelan-pelan.
“Memang benar jadi perisai pembenaran, lagian kau babi MATI tidak takut air mendidih.” Dongfang Wan melotot ke arahnya, “Tapi Ye Lingjing sebenarnya suka tipe orang seperti apa? Aku tahu dia mandiri, tapi tidak tertarik pada siapa pun itu terlalu aneh. Aku sampai sekarang tidak tahu kenapa Kakakku mengurungkan..."
“Sebenarnya itu karena... Lingjing dan Shasha adalah pacarku, Jian Suyan yang kau kagumi juga calon istri yang dipelihara sejak kecilku..."
“Kau MATI!”
Dongfang Wan melotot, sementara Dongfang Lu yang di sampingnya menghampiri: “Membicarakan keburukanku?”
“Kau juga minggir.” Dongfang Wan tersenyum mendorong kakaknya pergi, “Di sini lagi menjodohkanmu, jangan ikut campur.”
“Menurutku kalian berdua yang dijodohkan. Hari ini kalian berdua aneh. Hei, Jiaming, bercanda boleh saja, tapi jangan main-main dengan perasaan Xiao Wan..."
“Dongfang Lu, kalau masih ngomong begitu aku mengusirmu. Tidak kau lihat Lingjing sedang diganggu di sana? Sebagai teman, kenapa tidak membantu?”
“Teman sekelas Lingjing bisa menghadapi sendiri, lagipula kepalaku ada benjolan.”
Dalam saling membunuh dua saudara ini, sisi Lingjing tiba-tiba kacau seperti panci meledak. Yang pertama bertengkar justru Shasha yang sedang membantu Lingjing, lawannya adalah tiga wanita dari tim yang menyaksikan dengan tatapan dingin.
Sifat Shasha memang masih menyimpan aura keras kepala sejak kecil, sering main pukul dan menghajar orang dengan tongkat bisbol. Namun setelah bergaul dengan Jiaming dan Lingjing, dia menjadi lebih rasional. Tentu esensi karakternya yang langsung masih bertahan. Setelah bertengkar sebentar, dia langsung menarik Lingjing dan Yahan untuk pulang dengan wajah kesal. Setelah ditanya, masalahnya ternyata sederhana: para perempuan itu berasal dari keluarga berkecukupan yang jarang mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka benar-benar kikuk dalam hal bertahan hidup di alam liar. Ketika Jiang Yuwei meminta bantuan Lingjing, beberapa baron dari grup mereka—bahkan pacar mereka—langsung menunjukkan perhatian berlebihan. Dengan penampilan dan aura yang tak bisa menyaingi, wajar jika perasaan mereka jadi tidak nyaman.
Tak bisa membantu, tiga perempuan itu asyik mengobrol di satu sisi. Karakter polos Shasha membuatnya bertanya tanpa beban saat membutuhkan sesuatu, "Ada tidak? Tolong lempar ke sini." Saat permintaan pertamanya diabaikan, dia mengulang. Jawaban sinis pun datang dari sana. Maka ledakan pun tak terhindarkan.
"Apa itu? Kita yang datang bantu, masak nasi saja tidak bisa—enggan sekadar menggerakkan tangan. Masih berani menyindir-sindir terus. Ngapain kita harus bantu orang begituan sih..."
Dalam nada Kemarahan Shasha, Yahan berdiri di sebelah Jiaming, juga mengerutkan alisnya, berkata pelan: "Sikap ketiga wanita itu memang keterlaluan, tapi... mungkin merasa Lingjing mencuri perhatian mereka. Sebenarnya menurutku Jiang Yuwei itu juga agak tidak etis..."
"Sudahlah, sudahlah." Lingjing menghibur Shasha, "Jangan marah, sejak awal memang seharusnya aku tidak datang. Piknik liar seperti ini kan cuma buat bersenang-senang, baru asyik kalau masak sendiri..."
"Ini bukan urusanmu Lingjing! Jiang Yuwei yang mengajakmu datang, setuju? Membantu itu pertemanan, tidak membantu itu wajar. Kau tidak dengar apa yang mereka katakan?... Bilang keluargamu cuma punya perguruan silat kecil, hmph, sok kaya. Cukup telepon saja bisa membuat perusahaannya bangkrut..."
Masyarakat kelas atas Jianghai tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil. Meski teman-teman Jiang Yuwei punya latar belakang tertentu, separuh aset mereka di luar negeri, sisanya masih jauh di bawah perusahaan besar seperti Keluarga Zhang atau Dongfang. Ditambah latar belakang Jalan Hitam Shasha dan Yahan yang jarang hadir di acara basa-basi, dari belasan orang ini hanya latar belakang keluarga Dongfang Wan yang diketahui. Setelah tanya Jiang Yuwei dan tahu keluarga Lingjing cuma punya perguruan silat kecil, mereka sama sekali tidak menganggap serius. Sementara Shasha kesal, ketiga wanita itu juga dicegah pacar masing-masing sambil terus mengata-ngatai.
"Tidak ada yang memintamu datang membantu..."
"Mau jago masak? Masak seumur hidup saja..."
“Wanita tak berkualitas……”
“Kau jangan halangi aku……Putus……Aku akan mengingatnya, lihat siapa yang bisa mengalahkan siapa ah……”
Baru saja memang gesekan yang pertama kali meledak, beberapa wanita ini sepertinya memanfaatkan hal ini, terus-menerus menyebut-nyebut kualitas, meski terpisah jarak lebih dari 10 meter, suara mereka masih bisa terdengar samar-samar di sini. Sebelum gesekan sempat mengembangkan keinginan memukul orang, Dongfang Wan langsung berjalan menghampiri.
“Main? Main apa? Asalkan konsekuensinya bisa kau tanggung, aku temani.”
Seketika, suasana di sana hening, tiga wanita itu refleks menutup mulut, memalingkan pandangan kesal ke samping……
## Bagian 325 Musim Kesal
Di tengah keriuhan suara manusia, perasaan Du Li sangat sesak.
Awalnya perjalanan ini seharusnya menyenangkan, di satu sisi karena bertahun-tahun di luar negeri jadi lama tidak ikut aktivitas kelompok seperti ini, di sisi lain tentu karena peserta perkemahan ini adalah orang-orang penting dengan identitas dan posisi atau keluarga mereka. Membangun jaringan pasti menguntungkan. Akhirnya setelah dirayu teman-teman, melalui koneksi temannya Andy dia mendapat kuota partisipasi. Tapi selama perjalanan baru sadar benar-benar terasa aroma tahun sial ini.
Hal-hal yang bikin gila, sebenarnya semuanya remeh-temeh. Semalam janji mau sewa kamar hotel dengan pacar, baru nyadar kalau datang bulan datang lebih awal, mungkin karena perubahan jam biologis akhir-akhir ini bikin sekresi internal kacau. Seharusnya bukan masalah besar, saling pengertian saja sudah cukup, tapi malah saling ngomel sampai bertengkar. Pagi ini pengen minum susu kedelai, yang dibeli malah tahu sutra. Mobil kecil keluarga lagi diperbaiki, di luar susah cari taksi. Pas makan siang ada lalat jatuh ke sup dan nggak bisa keluar, dan lain-lain. Mood pun terus-terusan jelek.
Dalam situasi begini, rencana kemping hari ini sempat kepikiran buat dibatalkan. Tapi setelah ngobrol sama pacar, pertimbangkan masih banyak teman-teman yang ikut, nggak enak kalau merusak suasana. Sepanjang perjalanan di mobil, ketidaknyamanan yang bertubi-tubi ditambah lagi sedang datang bulan, bikin perasaan negatif ini terus terbawa.
Pas lagi sial, minum air dingin aja kayak ada pasirnya. Sebenarnya seringkali karena mood lagi jelek, jadi hal-hal kecil pun diperhatiin banget. Sepanjang jalan, senyuman pacar aja udah bikin kesel, apalagi lihat dia tersenyum ke orang lain - rasanya kayak ada sesuatu yang nggak beres. Lihat beberapa kawan juga jadi terasa agak renggang. Jiang Yuwei beberapa kali debat sama dia, malah merasa mereka kayak sengaja nyusahin. Di luar bilangnya teman, tapi kalau ditanya seberapa dekat hubungannya, belum tentu juga. Cuma karena latar belakang keluarga mirip, saling kenal, ya udah numplek gitu aja.
Di antara kawan-kawan ini, keluarga Tan Junrong yang paling berkecukupan, disusul oleh dirinya. Sebagian besar anggota lainnya berasal dari keluarga dengan aset ribuan hingga jutaan, tanpa akar yang terlalu dalam. Sebagai anak-anak orang kaya baru, sifat angkuh cukup umum di antara mereka. Hubungan antar baron masih terbilang baik, namun di antara perempuan-perempuan muncul keinginan saling membandingkan. Meski tak terlihat di permukaan, percakapan dan interaksi mereka tidak sampai terlalu akrab. Menurut Du Li, Jiang Yuwei yang baru tujuh belas tahun jelas masih kekanak-kanakan dan penuh keangkuhan. Yang lain masing-masing punya masalah sendiri, tapi He Yun yang baru dikenalnya cukup baik, bersikap ramah dan mudah diajak bicara. Setelah naik mobil, mereka mengobrol beberapa kalimat. He Yun bicara dengan presisi, tidak membuatnya jengah maupun merasa diabaikan. Mood-nya pun mulai membaik, tapi tak lama kemudian muncul lagi objek kebencian baru.
Itu adalah beberapa orang yang duduk di depan, tampaknya juga kelompok kecil berisi dua baron dan enam perempuan. Dinamika mereka jauh lebih harmonis dibanding sepuluh lebih orang di belakang. Keenam perempuan itu cukup cantik, terutama cewek di dekat jendela paling depan. Ia jarang berbicara, hanya terlihat saat menaruh barang bawaan di rak kargo atau ketika diselimut menarik untuk berfoto. Namun kecantikan nan indah dan dinginnya mampu membuat semua wanita yang menganggap diri menarik merasa inferior—meski yang lain juga cantik, tapi belum sampai membuat Du Li merasakan hal ini.
Dalam situasi seperti ini, topik pembicaraan beberapa baron di sekitar hampir seluruhnya beralih—sengaja atau tidak—ke gadis di depan. Dari enam wanita, hanya satu yang terlihat sudah dewasa dengan wajah anggun dan aura elegan, satu lainnya tampak tunanetra, sementara tiga sisanya adalah mahasiswa yang sedang riuh membahas jawaban ujian tengah semester... Ini benar-benar menjengkelkan, terutama ketika menyadari pacar sendiri juga bertarung mati-matian menatap ke depan sambil tertawa dengan kawan di sampingnya. Perasaan itu sungguh membuat kesal.
Namun, ketika seorang kawan mengenali gadis bernama "Dongfang Wan" di belakang, kabar yang disampaikan benar-benar mengejutkannya. Keluarga gadis ini memiliki aset mencapai ratusan miliar dengan berbagai koneksi di tingkat pusat dan daerah. Bagi Jianghai, keluarga Dongfang adalah ular lokal sejati. Meski pernah mendengarnya, dia tak pernah membayangkan bisa menjalin kontak dengan manusia dari tingkat kemampuan seperti ini. Bahkan jika sebagian besar peserta perkemahan memiliki latar belakang tertentu, kebanyakan hanya setara dengan level mereka. Dalam bayangannya, orang dengan latar belakang seperti itu tak mungkin mau naik bus bersama mereka.
Terkejut, takut dan hormat, kemudian berubah menjadi jijik. Dia cukup cantik, ditambah latar belakang keluarga yang baik, di antara teman sebaya selalu menjadi pusat perhatian seperti bulan dikelilingi bintang. Perasaan jijik ini samar-samar, meski tidak parah, tetap membuat hatinya sesak, sulit diuraikan dengan jelas. Lelaki beraura matang dan bersinar di antara kerumunan ini juga membuatnya sedikit tidak nyaman, meski ketampanannya tidak mencapai nilai sempurna, tapi mudah menimbulkan perasaan akrab. Namun jelas bukan pria baik yang menjaga kesucian diri, sementara itu canda mesranya dengan beberapa wanita di depannya benar-benar memuakkan. Ketika dia maju sambil tersenyum menawarkan foto untuk semua orang, secara bawah sadar dia menghindar. Setelah tahu pria ini ternyata orang Jepang, keyakinannya semakin kuat.
Orang Jepang bukanlah orang baik, mereka yang bergaul dengan orang Jepang tentu juga bukan karakter yang jujur. Keluarga dengan aset ratusan miliar, pasti sudah melakukan banyak hal yang merugikan negara...
Saat memikirkan semua hal ini di hati, Jiang Yuwei tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Setelah lama ragu-ragu di sana, dia malah berlari mengaku sebagai teman sekelas. Hal ini membuat perasaannya semakin tidak nyaman. Tentu saja, suasana hati seperti ini sebenarnya tidak ada artinya. Seperti saat mood sedang buruk dan melihat orang yang tak enak dipandang di jalan, toh akhirnya tak ada hubungan dengan diri sendiri. Hanya sekilas terpikir saja. Namun perasaan "tersaingi" itu tetap sulit dihilangkan. Ketika tak bisa mengendalikan api saat memasak di alam terbuka dan nasi terbakar hangus, barulah dia benar-benar ingin meledakkan hujatan. Yakinlah bahwa kedatangannya kali ini memang sebuah kesalahan.
Tujuan Jiang Yuwei memanggil Ye Lingjing untuk membantu tentu dia ketahui. Karena sudah mulai kecewa dengan perkemahan ini, dia pun malas melibatkan diri. Sambil mengobrol dengan He Yun dan perempuan lain di samping, melihat beberapa pria berduyun-duyun menunjukkan perhatian, hatinya juga merasa jijik. Tentu jijik tetap jijik, para pria yang hina ini memang tak bisa dia urus. Tapi ketika pacarnya sendiri akhirnya ikut membantu, barulah kekecewaan dalam hati secara diam-diam mencapai titik kritis. Saat gadis bernama Liu Huaisha menyuruhnya melemparkan teko air, akhirnya meledaklah semuanya.
"Nggak bisa gerakin tangan sendiri ya... Dasar suka ikut campur..."
"Sindiran pedas yang sedikit, namun dia meremehkan sifat Shasha, pertengkaran pun pecah. Sebelumnya dia juga sempat memperhatikan latar belakang orang-orang ini - menurut penjelasan Jiang Yuwei, di antara mereka mungkin hanya Dongfang Wan yang memiliki latar belakang keluarga baik. Ye Lingjing konon keluarganya membuka perguruan silat kecil, ayah Shasha sepertinya tidak memiliki pekerjaan resmi - meski dijelaskan secara samar, kemungkinan besar tidak memiliki latar belakang hebat. Perempuan bernama Zhang Yahan adalah seorang guru, di zaman sekarang, orang yang benar-benar punya koneksi tentu tidak akan menjadi guru kecil. Sedangkan Gu Jiaming, konon ada hubungannya dengan keluarga Huang, tapi kabarnya dulu tidak terlalu dihargai, apalagi sekarang keluarga Huang sudah tumbang. Mengenai orang Jepang - anggota klub anime, pasti juga bukan orang penting."
Dalam situasi seperti ini mereka saling menghina beberapa kali, tapi tak disangka yang pertama muncul justru Dongfang Wan itu.
"Main? Main apa? Asal konsekuensinya bisa kau tanggung, aku temani!"
Mendengar kalimat itu, wajahnya tiba-tiba memerah bagai api. Mood yang terpendam selama dua hari baru menemukan kesempatan untuk meledak, tiba-tiba terpotong lagi. Dalam hati ingin membalas hujatan, tapi kepala dipalingkan ke samping, muluh sama sekali tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Seandainya latar belakang keluarganya tidak sebaik ini, mungkin dia akan menganggap remeh Dongfang Wan. Tapi justru sebagai orang kaya, dia lebih paham betapa dahsyatnya uang. Sebagai pedagang, dia mengerti benar konsekuensi menghina keluarga Dongfang.
Sama sekali tidak berani bicara, tidak berani ribut. Perasaan seperti ini bagi siapapun pasti sangat menyiksa. Du Li memalingkan kepala ke samping, hampir matanya memerah. Wajahnya penuh darah sambil menatap lantai, mendengus pelan, takut dibenci oleh mereka. Ingin menangis tapi harus bertahan mati-matian. Pacarnya mengulurkan tangan ingin memeluknya untuk menghibur, tapi ditepis keras olehnya.
Untungnya Dongfang Wan juga bukan tipe orang yang tidak mau mengalah meski sudah benar. Setelah melototi Du Li beberapa saat dan melihat tidak ada reaksi, dia pun pulang dengan wajah masam. Di sisi lain, Jiang Yuwei dan Tan Junrong berencana untuk meminta maaf. Du Li mengayunkan tangan melepaskan pacarnya, lalu langsung pergi ke belakang.
Beberapa saat kemudian, He Yun menyusul dan menghiburnya pelan-pelan. Dua wanita ini bersolidaritas membicarakan beberapa hal. He Yun membisikkan ke telinga Du Li: "Kupikir Tan Junrong sangat tertarik pada Ye Lingjing itu. Tapi sepertinya Ye Lingjing tidak berminat padanya. Li Jie, karakter Tan Junrong sehari-hari..."
Setelah bergumam beberapa saat, Du Li akhirnya tersenyum: "Kau benar. Karakter anak orang kaya baru Tan Junrong memang selalu semena-mena. Jika keluarga Ye Lingjing benar-benar tidak punya latar belakang... Tapi sulit dikatakan. Ye Lingjing adalah teman Dongfang Wan, dan banyak tamu yang datang kali ini punya koneksi. Mungkin dia..."
Melekat di telinga Du Li, gadis bernama He Yun kembali bergumam pelan. Dalam kegelapan, kedua wanita itu tertawa kompak.
## Bagian Tiga Ratus Dua Puluh Enam Neraka Ajakan Ngobrol
"Du Li memang dari dulu sifatnya kurang baik, kemarin dia bertengkar dengan pacarnya, jangan kau ambil hati..."
"Mungkin merasa kalian merebut sorotan darinya..."
Di tepi api unggun, Jiang Yuwei dan Tan Junrong berbalas pantun meminta maaf. Meski di mata insider seperti Du Li, penilaian terhadap Tan Junrong hanya sebatas "anak orang kaya baru", namun saat ini wajahnya yang agak berkesan intelek itu mempertahankan senyum kesatria yang sopan sambil mengucapkan permintaan maaf pada Lingjing. Berdiri di samping Lingjing, Jiaming yang telah meletakkan spatula memandangi mata Tan Junrong dengan sorotan polos nan tajam. Beberapa saat kemudian, ekspresi pura-pura santai Tan Junrong berubah canggung.
"Emm... ada keperluan apa?"
"Tidak." Jiaming tersenyum, "Aku hanya berpikir... banyak orang merasa diri kaya lalu tak kenal logika. Seperti Kak Tan yang berkualitas seperti ini jarang ada. Itu... Dongfang Wan benar-benar harus belajar menahan diri, mencontohmu..."
Ucapan ini terdengar mendadak di situ. Tan Junrong bingung menangkap apakah ini pujian atau sindiran. Sementara di belakang, Dongfang Wan yang sejak tadi bermuka masam justru tertawa: "Hei, Gu Jiaming, aku ganggu kamu sampai mana? Kamu cari masalah ya."
Jiaming mengangkat tangan bingung lalu pergi. Jiang Yuwei dan Tan Junrong sepertinya masih ingin meminta bantuan Lingjing, namun kali ini sikap Lingjing lembut tapi tegas. Ia menggelengkan kepala sambil tersenyum: "Maaf, aku tidak akan ikut." Berbalik tubuh mengikuti Jiaming pergi. Tan Junrong tampak masih ingin berbicara, disentak oleh Jiang Yuwei. Keduanya tersenyum pada orang-orang sekitar sebelum kembali ke sisi sana, mulai membantu orang lain mengurus kekacauan.
Setelah insiden kecil ini, hal-hal selanjutnya basically mengikuti ritme rutin tanpa kejutan. Intinya semua orang duduk melingkar sambil makan sambil menonton pertunjukan di panggung. Gaya makan lesehan seperti ini membuat Dongfang Wan sangat tidak nyaman, namun karena ini pengalaman baru, tingkah lakunya yang gelisah justru dianggap sangat menarik oleh semua orang.
Setelah makan, aktivitas berlanjut dalam kelompok-kelompok kecil sesuai keinginan. Dalam kompetisi memasak tadi, pihak kami mendapat hadiah jam tangan dan boneka besar berbentuk anjing. Jam tangan pria berkualitas cukup baik diberikan pada Tenku Masaoka sebagai kenang-kenangan, sementara boneka anjing diserahkan pada Kaoru sesuai ucapan Jiaming. Saat Dongfang Wan sedang mendorong Ruo Ruo mencari Fang Zhitian, dia melihat boneka anjing yang imut ini langsung memukul dada dan menghentakkan kaki - meski sehari-hari bersikap dingin dan tegar, ternyata dia sangat tertarik dengan hadiah semacam ini. Terbukti bagaimanapun sifat batinnya, perempuan tetaplah perempuan.
"Pelatihan selama dua tahun terakhir ini, aura Kaoru yang awalnya benar-benar dingin kini sudah jauh lebih lembut. Namun saat dia diam, tetap terpancar aura 'jangan mendekat' yang jelas. Jika ada yang sengaja mendekat atau menunjukkan perhatian besar, aura itu langsung terasa dan membuat orang mundur. Tapi gadis cantik nan dingin seperti boneka porselen ini tiba-tiba berubah total saat menggendong boneka besar itu, persis seperti saat dia memeluk boneka panda setahun lalu. Sosok cantiknya memancarkan kesan polos dan kekanakan, wajah berbentuk kuaci tetap indah. Saat boneka porselen sempurna itu berubah menjadi Barbie yang anggun, dalam waktu kurang dari sepuluh menit, jumlah orang yang mengajak ngobrol semakin banyak. Dia hampir tenggelam dalam kerumunan pemuda-pemuda berbakat yang datang dengan berbagai alasan. Dongfang Wan dan Shasha yang mendorong kursi rodanya hanya bisa terdiam. Mereka tahu Kaoru punya daya tarik, tapi tak menyangka saat lapisan dingin itu terlepas, pesonanya bisa sebesar ini. Bahkan Fang Yusi, selebriti besar yang sedang bersama Fang Zhitian di dekat situ, tidak pernah dikerubungi penggemar sebanyak ini.
"Wah, wah, ini..."
Sepuluh menit yang lalu, saat melihat Kaoru menggendong boneka besar, Tenku Masaoka sebagai tunangan resmi telah menunjukkan kemampuan meramalkan layaknya Orang Bijak, menyingkirkan orang lain dan kabur sendirian. Dongfang Lu yang sudah makan tentu masih ada urusan lain, juga sudah lama menghilang. Atau mungkin hanya Dongfang Wan yang selalu solidaritas saat ini masih menghentikan kursi rodanya di tempat semula, sambil berdecak kagum sambil bingung bagaimana harus bersikap. Shasha sempat punya niat membebaskan Kaoru dari kepungan, tapi dicegat Jiaming yang menariknya pergi sehingga urung dilakukan. Saat ini mendekat dan berdiri bersama sama saja dengan menyumbang MATI, karena yang gagal mengajak ngobrol Kaoru mungkin akan terlebih dahulu bertindak ke MM di sampingnya. Daripada semua orang menderita... hmm, lebih baik biarkan Kaoru seorang diri turun ke neraka saja...
“Menyuapi... Wei wei, kukatakan kalian benar-benar tidak punya solidaritas, Gu Jiaming, kau menjadi perisai pembenaran juga boleh lho...”
Melihat Jiaming dan kawan-kawan kabur dengan santainya, Dongfang Wan mengeluarkan kecaman penuh semangat kepahlawanan, yang dibalas dengan senyuman Jiaming.
“Haha, menjadi tameng untuk perempuan tidak menarik sepertimu masih bisa ditolerir. Saat ini kalangan elit Jianghai sedang berkumpul, jika ada pria yang nekat muncul, pasti akan menjadi korban pembunuhan malam ini. Apalagi... ini juga bagian dari ujian Kaoru...”
“Ujian apaan sih, ngomong tidak karuan... Wei, tidak punya solidaritas begini hati-hati nanti disambar Rei lho, Bu Guru Zhang, Lingjing, kalian...”
“Maaf, solidaritas saya selalu untuk menusuk teman dua kali demi diri sendiri. Langit dan bumi yang besar, diri sendiri yang terbesar. Kalau kau punya solidaritas, pergilah sendiri. Katakan saja kau adalah pacar Kaoru, saya yakin semua orang pasti akan tersentuh. Amitabha, dadah.”
“Gu Jiaming——”
Saat ini suasana di tepi rumput sangat ramai. Pertunjukan lagu di panggung, berbagai permainan di bawah seperti dua orang tiga kaki, tebak karakter, lingkaran karet. Meski sederhana, tapi suasana sudah ramai, semua orang bermain dengan antusias. Melihat beberapa bayangan menghilang di kerumunan, Dongfang Wan menghentakkan kaki kesal, tapi tak bisa berbuat apa. Dalam situasi seperti ini, perempuan yang diajak ngobrol dua patah kata, mustahil langsung marah-marah bilang "saya bukan datang untuk kencan buta". Dengan kemampuan dua saudari dari keluarga Dongfang ini, tentu bisa saja melakukan itu. Tapi karena acara kumpul-kumpul ini tujuannya untuk bersenang-senang, kecuali ada yang sengaja mau merusak atau orang lain keterlaluan, hal yang merusak suasana begini, orang yang punya etika sedikit pun tak mungkin melakukannya.
Disebut dikerumuni orang, tapi tentu tak sampai sedramatis itu. Posisi sekarang Kaoru kira-kira: ke mana pun pergi, ajakan ngobrol pasti beruntun datang. Kalau Dongfang Wan sekarang berdiri bersamanya, pasti juga akan menjadi anggota neraka ajakan ngobrol ini.
“Ngapain... Seperti game mengerjai orang yang sudah direncanakan bersama...”
Dia bergumam pelan, Ruo Ruo di kursi roda justru tersenyum: "Menurutku mereka terlihat menarik, lho. Xiao Wan, bukannya kamu bilang harus punya solidaritas..."
"Eh... Menarik? Ruo Ruo kamu aneh deh, meski aku tahu kamu jarang diajak ngobrol, tapi nggak perlu iri sama hal kayak gini. Biar kamu nggak tersiksa, *batuk*, mending kita nggak usah ke sana. Aku dorong kamu main tebak kata aja, kalau bisa jawab sepuluh bisa dapet boneka besar."
Matanya berputar-putar licik, akhirnya teman sekelas yang sok solidaritas ini mengambil keputusan mutlak dengan mendorong sepupunya ke arah lain. Memang, dalam menjalani masa depan, selalu ada hal-hal yang membuat kecewa. Kaoru, bukan aku nggak mau bantu, tapi... semoga kamu beruntung...
Di sisi lain, Jiaming dan kawan-kawan yang sudah kabur dari Kaoru sedang bersemangat mempersiapkan diri di arena permainan dua orang tiga kaki. Yahan yang punya koneksi di kalangan atas Jianghai sedang mengobrol dengan beberapa janda berpengaruh tak jauh dari sana. Shasha yang mengaku sebagai pacar Jiaming dengan sah menempel di sisinya, sementara Lingjing menggenggam tangan satunya. Usai bermain dua orang tiga kaki, saat Shasha pergi main game tutup mata pukul gong untuk hadiah, Lingjing mengerutkan alis: "Jiaming, aku rasa... apakah seharusnya aku nggak ikut membantu tadi? Jadi bikin Shasha juga mulai nggak nyaman..."
“Dia suka menolong, tapi juga memiliki pikiran yang halus. Bagaimanapun juga, keluarga kecil bertiga selalu menjadi prioritas utamanya. Tahun lalu, karena urusan Fang Yusi, Shasha sempat marah. Sejak itu, dia bahkan tidak pernah membeli poster selebriti atau album lagi. Mungkin karena dia lebih dewasa, dia selalu merawat keluarga kecil bertiga ini dengan sangat hati-hati. Banyak detail kecil yang terlihat tidak disengaja, sekarang ketika diingat kembali akan terasa sangat mengharukan. Sepanjang perjalanan mereka selalu bercanda, tapi tidak pernah bertengkar sekali pun. Ini berkat kenaifan Shasha, usaha Jiaming dan Lingjing, dan terkadang Jiaming bahkan merasa Lingjing terlalu berlebihan.”
Melihat ekspresi Lingjing yang sedikit menyalahkan diri sendiri, Jiaming mengetuk kepala gadis itu sambil tersenyum: “Idiot, Shasha memang selalu polos. Lihatlah dia yang berjalan linglung seperti sekarang, mana ada kesedihan yang tersisa?” Di hamparan rumput hijau, gadis tinggi semampai itu berjalan perlahan dengan mata tertutup sambil memegang stik drum. Gerakannya yang anggun itu terlihat agak lucu, “Tapi memang seharusnya kita tidak membantu. Tapi ini juga bukan salahmu.”
“Hah?”
“Kau lihat, acara kumpul-kumpul seperti ini mana mungkin ada yang benar-benar kelaparan. Sekalipun kita memasak panci sampah, hidangan di gerobak makan sana jauh lebih profesional dari masakan kita. Aktivitas piknik seperti ini sebenarnya tentang keseruan mengerjakan sendiri. Saat kau membantu, para baron lain juga tidak berhenti, tentu saja para cewek itu merasa diabaikan. Aku perhatikan penampilan Du Li itu, mungkin belakangan ini 'bibi'-nya agak... uh, kurang lancar...”
“Ah, apa maksudmu 'bibi kurang lancar'...” Lingjing menyemburkan malu, lalu berkata, “Kalau begitu, harus minta maaf pada mereka...”
“Minta maaf apaan!” Dengan ulah iseng, Jiaming memeluk tubuh Lingjing dalam pangkuannya. Takut dilihat kenalan, Lingjing berjuang melepaskan diri sambil menengok sekitar dengan wajah memerah. Tapi saat itu basically tak ada yang memperhatikan pasangan kekasih yang sedang bercumbu. Jiaming mengusap ujung hidung anggunnya, “Kalau kau minta maaf sekarang, mereka malah akan mengira kau pamer pesona. Biasanya cerdas, tapi urusan keluarga jadi bodoh. Kukira kena efek racun Shasha. Ketahuilah, membantu orang itu selalu benar, dan... pada dasarnya ini ulah Jiang Yuwei yang sengaja memprovokasi...”
“Eh?”
“Aku tahu kau menghargai persahabatan teman sekelas, tapi Jiang Yuwei ini...” Di bawah tatapan bingung Lingjing, Jiaming mengangkat bahu, “Dia tidak etis...”
## Bagian Tiga Ratus Dua Puluh Tujuh Malam yang Riuh
“Yu Wei?” Mendengar Jiaming membicarakan hal ini, Lingjing mengerutkan kening, “Ada apa dengannya?”
“Dia sengaja memanggilmu kesana.” Jiaming tersenyum, melihat Shasha di lapangan salah arah, berteriak “Sedikit ke kiri” beberapa kali, baru berbisik di telinga Lingjing, “Tan Junrong itu naksir padamu, kamu sudah tahu kan?”
“Heh, begitu kamu bilang, saat dia dan Yu Wei datang kemudian...” Lingjing menekan bibirnya, berhenti sejenak, “Aku tidak akan melibatkan diri.”
“Bukan hal buruk juga, ada yang ngejar membuktikan kamu punya daya tarik.”
“Bukan keinginanku!” Lingjing mengerutkan alis kesal.
Jiaming tersenyum tipis: “Sebelumnya Jiang Yuwei pernah bilang kan, bisnis keluarganya punya koneksi erat dengan keluarga Tan Junrong. Keluarga Tan punya perusahaan besar dengan aset miliaran. Karena kedua pihak ingin menjalin hubungan baik, naksirnya Tan Junrong padamu, menjalin koneksi tentu cara terbaik. Jika tebakanku benar, sebelumnya dia pasti sudah bertanya tentang hubungan kita.”
“Iya.” Sorot mata Lingjing berkilat kesal, “Pantas dulu dia terus menjelek-jelekkanmu. Saat kusebut Shasha pacarmu, dia langsung diam. Jiang Yuwei ini... kenapa begini. Jika kita sudah pacaran, demi Tan Junrong itu, dia tidak akan berusaha mencegah kita putus ya.”
“Hehe, jangan dipikirkan. Anggap saja dia orang biasa yang kita kenal.”
Saat mulai membenci seseorang, seringkali semua interaksi mereka akan diartikan buruk dalam hati. Meski Lingjing biasanya santai, kali ini menyangkut orang dan hal yang paling ia perhatikan, sikapnya pun tak bisa dihindari. Jiaming mencoba menenangkannya, meski sebenarnya di hatinya, meski agak membenci kemunculan hal seperti ini, sebenarnya ini cukup normal. Justru tidak normal jika perempuan seperti Lingjing tidak mendapat banyak perhatian dari pria.
Tentu saja, meski mengakui fakta itu, dia menyukai sifat batin Lingjing dan tidak ingin dia menjadi ekstrem. Tapi sebagai istri, menunjukkan kebencian sebesar itu terhadap perhatian pria lain, apapun tingkatannya, tetap membuatnya senang. Saat mengobrol dengan Lingjing di sini, Shizuka akhirnya berhasil memukul gong besar di tengah arena dan mendapatkan gelang. Di saat yang sama, di hamparan rumput hijau tak jauh, banyak orang membentuk lingkaran persegi panjang. Staf membawa lampu penerangan dari mobil di kejauhan, sementara orang-orang di sekitar terlihat antusias, entah sedang mempersiapkan apa.
Sebagian kerumunan mulai berduyun mendekat. Dari dekat, ternyata ada beberapa pria yang sedang tertawa siap berkelahi. Melihat sikap santai mereka, ini jelas pertandingan persahabatan. Tapi di tengah kerumunan, Jiaming juga mendengar bisikan seperti "si cantik" atau "pertarungan perjodohan".
“Apa ini, jaman sekarang masih ada orang yang berkelahi demi wanita? Heboh banget……” Pasir-pasir yang semangat dan penasaran langsung menarik Jiaming untuk melihat keributan. Di saat yang sama, Dongfang Wan yang mendorong kursi roda muncul dari kerumunan dengan wajah berseri, melihat Jiaming dan teman-temannya langsung berlari kecil mendekat: "Haha, seru banget, seru banget! Baru hari ini aku tahu arti sesungguhnya dari penghancur negara, benar-benar tak bisa diungkapkan, haha……"
“Apa sih?”
Ruo Ruo yang duduk di kursi roda tersenyum lembut: “Katanya Nona Tsukike dari awal sampai akhir hanya bilang satu kalimat: ‘Aku hanya suka pria yang bisa melindungiku.’ Konsekuensinya, mereka yang tadinya berdebat akhirnya mau berkelahi.”
“Iya betul!” Dongfang Wan sambil terengah-engah menyambung, “Padahal mereka bilang cuma mau uji kemampuan bela diri, dari debat teori sampai duel persahabatan, benar-benar bikin MATI ketawa……”
“……”
Jiaming tersenyum tipis, sementara Lingjing dan Pasir-pasir terdiam. Tentu saja situasinya bukan sekedar karena Kaoru mengucapkan satu kalimat lalu para pengagumnya langsung berperang rebutan, tapi topik pembicaraan akhirnya pasti mengerucut ke poin "perlindungan untuk cewek". Anak orang kaya yang belajar karate atau judo untuk bela diri memang banyak, masing-masing sok santai mengutarakan pendapat. Ketika muncul perbedaan pendapat, satu sisi mengajak duel sambil tetap menolak mengakudi perang ini demi si cantik. Inilah yang disebut Dongfang Wan sebagai contoh nyata penghancur negara. Kecantikan pembawa malapetaka mungkin memang merujuk pada tipe perempuan seperti ini.
Menempatkan Kaoru dalam situasi seperti ini sebenarnya adalah salah satu bentuk eksplorasi untuknya. Meskipun Jiaming berharap dia belajar kemampuan diplomasi yang luwes, Kaoru justru menggunakan metode lain untuk menyelesaikan masalah. Meski tidak sesuai dengan tujuan awal, secara keseluruhan hasilnya masih bisa diterima. Orang-orang ini mungkin adalah individu sukses atau yang pernah menerima pendidikan elit. Kemampuan membedakan, kontrol diri terhadap hasrat terhadap perempuan sebenarnya cukup baik. Meski hanya kalimat sederhana, namun bagaimana menjaga presisi, mencegah mereka merasa curiga, menghindari kesan bahwa wanita ini sengaja menghasut, hingga akhirnya menghasilkan konsekuensi yang membuat semua orang merasa pertarungan ini sepadan - semuanya adalah hal yang sangat sulit dikendalikan.
Shasha tertarik dengan keramaian ini, Dongfang Wan tentu juga ingin melihat akhir dari lawakan ini. Beberapa cewek pergi bersama, namun Jiaming mengaku ada urusan dan meninggalkan pasukan kecil ini sendirian, berjalan ke sisi lain arena.
……
……
Mengingat ini adalah aktivitas berkemah untuk relaksasi, dalam tingkat tertentu tentu ada unsur larangan membahas urusan bisnis. Baik Fang Zhitian maupun anggota delegasi Sid, setidaknya secara permukaan telah mengintegrasikan diri dalam hiburan santai ini. Jika tidak ikut bermain game dengan yang lain, mereka mengobrol di rerumputan sambil makan barbekyu. Ada juga pria-wanita yang saling menyukai, berbisik kata-kata manis di lokasi rahasia, bahkan lari ke hutan di tepi untuk melakukan hal-hal yang tak pantas ditampilkan di publik.
Namun, bagi kebanyakan orang, terutama di Tiongkok di mana banyak hal bergantung pada koneksi, aktivitas sosial secara alami merupakan salah satu aspek terpenting dalam urusan resmi. Dalam situasi seperti ini, mengobrol dan berlebihan bersama dapat menjadi katalis penting untuk kerjasama bisnis di masa depan. Sebagian besar tokoh yang duduk nyaman sambil makan barbekyu dan berbincang dengan Fang Zhitian berasal dari kalangan politik Jianghai, sedangkan mereka yang duduk bersama anggota Grup Sid umumnya memiliki topik bisnis yang relevan. Di sinilah makna peribahasa "Yang sejenis akan berkumpul, manusia terpisah berdasarkan kelompoknya".
Sementara Lei Qing, sang pemboros kelas kakap yang susah payah memperoleh otonomi dari ayahnya dan ingin membuktikan diri melalui proyek kerjasama dengan Grup Sid, juga berusaha mendekati nona Kelly Vernam yang berstatus tinggi namun misterius. Tapi jelas ini tidak semudah itu.
Alasannya? Tampaknya dia sudah punya pacar.
Pria kulit putih bernama Charles ini memiliki wajah tampan dan aura matang yang bisa membuat banyak pria inferior. Jika ini situasi publik seperti minum baijiu dan berlebihan, Lei Qing tentu bisa mencari cara untuk melewati Charles ini dan berbicara secara natural dengan wanita di sampingnya. Tapi setelah makan, keduanya tidak ikut game atau bergabung dengan kerumunan, hanya jalan-jalan sambil mengobrol di tepi hutan. Ketika Lei Qing mencoba menyapa, yang didapat hanyalah respon sopan dari Charles. Adapun Kelly di sampingnya, sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk berbicara dengannya.
“Kalau begitu, apakah Tuan Charles adalah pacar Nona Kelly? Aku tahu pertanyaan ini sangat lancang……”
Untuk mengonfirmasi hal ini, setelah bertukar beberapa kalimat, Lei Qing langsung mengajukan pertanyaan. Matanya tak bisa menahan diri untuk melirik ke arah Kelly di sampingnya. Saat ini dia mengenakan gaun hitam berikat pinggang, legging elegan, dan sepatu hak tinggi yang sempurna menonjolkan aura anggun dan bangsawannya. Namun saat ini dia sama sekali tidak menghiraukannya, malah memalingkan kepala untuk menatap hutan di sebelah. Senyum samarnya tetap terpancar, namun sekaligus tepat menyiratkan perasaan tidak ingin diganggu berlebihan hari ini.
Mungkin mendekatinya hari ini adalah sebuah kesalahan…… Dalam hati Lei Qing, terlintas kenangan akan omong kosong Jiaming dulu: "Dia itu lesbian…… agak tidak karuan…… juga suka bocah lelaki……” Bercanda macam apa ini…… Dalam gejolak pikiran ini, Charles tersenyum: “Aku terus berusaha untuk itu, tapi apakah benar-benar terjadi, itu tergantung apakah Kelly akan memberiku kesempatan ini……”
“Menggunakan pepatah Tiongkok, Tuan Charles dan Nona Kelly sangat cocok.”
“Terima kasih.”
Sebelumnya saat mengobrol dengan Ying Zifeng, sempat terlintas kehendak untuk merayu Nona Kelly ini. Namun setelah beberapa kali pertemuan singkat, penampilan anggun dan elegannya ditambah keunggulan Charles membuatnya sepenuhnya mengurungkan niat itu. Tentu saja, koneksi tetap perlu dijalin, hanya saja dalam situasi sekarang ini tampaknya kurang cocok. Saat hendak berpamitan dan pergi, seseorang menepuk bahunya. Ketika menoleh, ternyata Jiaming: "Eh... Gu Jiaming! Kau ngapain..."
"Tidak ada, melihat orang yang dikenal, datang untuk menyapa."
"Heh..." Charles berada di sebelah, Lei Qing juga tak bisa kambuh, hanya tersenyum dingin, "Aku tidak terlalu dekat denganmu kan."
"Aku tahu, tapi bukankah kita bertaruh waktu itu?" Jiaming menunjuk halus ke arah Kelly, "Sudah kubilang tentang bakatku. Karena kau ada di sini, ini kebetulan yang tepat......"
"Ha——" Lei Qing tersenyum sambil memalingkan kepala. Pagi ini Jiaming membual bisa merayu cewek, sempat membuatnya terkesima sebentar. Tapi setelah tenang, jelas ini cuma karangan belaka. Di depan Charles, tentu ia takkan cerita tentang taruhan itu——meski perjanjiannya belum pasti——belum sempat bicara, Jiaming sudah mendekat: "Hei si cantik, selamat datang di Tiongkok! Malam ini langit cerah, semua orang bersemangat. Bagaimana kalau kita cari tempat untuk happy sebentar?"
Saat Dia berbicara, Kelly di seberang mempertahankan aura anggun dan elegan, memandang dingin ke arahnya. Rei Qing tiba-tiba merasa orang ini benar-benar sedikit absurd — jangan-jangan dia orang gila. Meski menganggap dirinya tidak ada hubungannya dengan Gu Jiaming, tapi mereka baru saja bertukar salam. Rei Qing pertama-tama berkata pada Charles: "Tuan Charles, sungguh meminta maaf, dia sebenarnya..."
Belum selesai bicara, tiba-tiba Kelly di seberang tertawa: "Aku tidak tertarik pada pria, tapi jika kau benar-benar ingin... Kupikir ranjang besar di mobil sana cukup bagus, ayo kita kesana."
Rei Qing terdiam melihatnya, sementara Charles dengan sikap pantas mengayunkan tangan: "Bersenang-senanglah." Setelah menoleh, Rei Qing terbata-bata: "Mereka... mereka berdua... benar-benar sudah saling kenal sebelumnya?"
"Sebelumnya?" Charles mengangkat alis, "Sepengetahuanku, memang sudah kenal sebelum hari ini... Mereka berdua seharusnya pertama kali bertemu kemarin..."
"Kem-kem-kem... kemarin?"
"Ya, hal ini seharusnya bisa dipastikan. Tapi... Tuan Rei? Ada apa denganmu?"
Rei Qing menganga mulutnya, berdiri terpaku di tempat, sebuah kalimat terus berputar di kepalanya.
"Aku punya bakat... yaitu... merayu..."
Bakat ini terlalu memalukan.
……
……
“Byur!” Suara benturan keras terdengar saat pintu belakang mobil hitam mirip gerbong pers terbuka. Di dalam gerbong yang hampir kedap udara itu terdapat berbagai barang tidak karuan: komputer, kamera, teleskop, alat penyadap, receiver satelit, dispenser air, penggiling kopi, kompor kecil, mi instan, pakaian dalam, stoking... Sebagian besar berserakan. Tentu saja, ada juga sebuah ranjang.
“Aku tidak mau naik ranjang dengan bocah lelaki, sebelumnya semua bohong belaka.”
“Ini benar-benar hal yang disayangkan. Kau tahu, setelah mendengar ucapanmu, hatiku sekarang terluka.”
“Tapi kalau Jian Suyan yang datang, mungkin bisa kuperhatikan.”
Begitu masuk ke dalam mobil, wanita yang semula elegan dan anggun itu langsung menendang hak tingginya dengan "Prak-prak!", stokingnya menginjak lantai sebelum ia duduk di ranjang. Tangannya sibuk mengoperasikan beberapa perangkat elektronik rumit sembari melemparkan sepasang stoking ke lantai.
“Untuk area kota, kami belum punya banyak petunjuk. Tapi daftar peserta perkemahan sudah difilter—sekitar tiga puluh tujuh orang diduga mungkin telah disusupi Pei Luo Jia. Aku tidak percaya kau sudah punya petunjuk... Mau lihat daftarnya?”
“Aku juga punya daftar, tapi tampilkan punyamu dulu.” Jiaming duduk di ranjang tunggal itu, lalu menarik celana dalam merah muda indah yang sudah kusut dari bawah tubuhnya. “Sensasi sentuhannya bagus, aku suka model seperti ini.”
“Aku sudah pernah memakainya, masih ada baiku di situ loh.” Kelly memutar Layar genggamnya ke arah Jiaming, “Kalau kau suka, ambil saja untuk onani...”
“Kau benar-benar dermawan... Terima kasih, lain kali kalau butuh baru aku minta.” Meletakkan celana dalam kecil itu di sebelah, Jiaming tersenyum menatap layar, lalu menunjuk sebuah nama, “Yang ini sudah terkonfirmasi, dia bukan infiltrasi tapi memang pembunuh Pei Luo Jia asli. Dua tahun lalu seharusnya menyelesaikan pelatihan di cabang Jepang, tapi sebagai bidak catur tersembunyi yang ditempatkan di Amerika. Untuk operasi kali ini, sengaja ditarik kembali. Saat ini dia... Heh, sedang berusaha menguji kemampuanku. Aku akan mengawasinya, mencoba menemukan titik kontaknya.”
“Wow.” Kelly menatap data-data wanita di layar, “Bagaimana bisa kau tahu intelijen seperti ini?”
“Aku punya bakat bawaan.” Sambil memain-mainkan kamera digital portabel terbaru, Jiaming tersenyum menjelaskan, “Cabang Jepang Pei Luo Jia saat ini mungkin mengendalikan sekitar 1.500 pembunuh bayaran profesional. Di seluruh dunia juga ada hampir 300 orang tersembunyi dengan berbagai identitas. Dari mereka, yang bisa kukenali mungkin sekitar 1.200. Yang benar-benar tersamar mungkin hanya belasan. Kebetulan, yang satu ini aku kenal...”
“Cih, bakat macam apa itu...” Bahkan Kelly terkejut dengan ucapan Jiaming, beberapa saat kemudian baru mengangkat mata putihnya.
“Tapi bagiku, ini memang bakat alami sejak lahir.” Jiaming tersenyum, mengambil kamera itu turun dari mobil, “Barang ini aku pinjam ya.”
“Pergilah, tolong tutup pintu mobilnya.”
Mengayunkan tangan, menunggu hingga bayangan itu menghilang di luar gerbong, Kelly perlahan mengetuk komputer, mengirimkan pesan dan perintah. Sejenak, dia mengerutkan alis.
"Bakat bawaan sejak lahir... Apa maksudnya..."
……
……
"Berbalik, lihat kamera... Lihat kamera, senyum, senyum, benar, dua si cantik berpelukan... Ciuman..."
Dalam lensa kamera DV, Shasha dan Lingjing tersenyum sambil berpelukan, kemudian menendang, Jiaming cepat menghindar lalu memotret Yahan. Di depan kamera, Yahan membuat beberapa wajah hantu sambil tersenyum lalu juga menghindar: "Kenapa selalu memotretku? Potret Xiao Wan, potret Kaoru. Kaoru paling fotogenik, atau seharusnya kau memotret pertarungan di dalam sana."
"Pertarungan seperti ini tidak ada nilai pengambilan gambarnya." Dengan santai menjawab, Jiaming menyapu lensa ke seluruh area sekitar arena. Dua pria berpakaian pelindung sedang saling pukul di dalamnya. Dongfang Wan dan Ruo Ruo ada di samping, melihat kamera mendekat, mereka membuat gestur mau memukul. Berbalik lagi, Kaoru menggendong anjing tutulnya berdiri di antara kerumunan, pandangannya mengarah ke sini. Melihat Jiaming sedang merekam, dia dengan inisiatif menggeser anjingnya sedikit agar kamera bisa menangkap wajahnya.
Tentu saja, dalam pencahayaan lampu dan kobaran api yang kabur seperti ini, dari jarak sejauh itu, pada dasarnya hanya bisa melihat bayangan samar-samar.
"Aku yang rekam, aku yang rekam! Lingjing, lihat ke kamera, menarilah dong... Haha, tidak mau ya tidak apa-apa..."
“Di era ini perangkat DV belum terlalu umum, setidaknya Lingjing dan Shasha sebelumnya tak banyak bersentuhan. Saat ini mereka berebutan mengambil dari tangan Jiaming untuk mencoba, sesekali bertanya fungsi tombol ini atau itu. Pertarungan di arena dengan alat pelindung dan wasit sebenarnya belum terlalu sengit. Namun yang turun ke lapangan kali ini adalah Andy, pacar Jiang Yuwei. Meski duel ini dipicu oleh Kaoru, dan mereka yang turun ke lapangan punya motif pamer di depan si cantik—apalagi di sini tak cuma satu dua kecantikan—alasan permukaan tetap menggunakan retorika muluk: berlatih, saling menguji. Jiang Yuwei berdiri di sisi arena, setelah mendengar alasan duel ini, wajahnya jelas mulai tidak nyaman.”
“Di antara penonton sekitar, Jiaming juga bisa mengenali beberapa wajah dari [], seperti Ye Lian, si roti kukus kecil yang selalu bersikap tidak serius, atau prajurit kecil gedung yang baru dikenalnya pagi tadi. Kebanyakan mereka menonton sambil bercanda. Andy sebenarnya punya dasar Kung Fu, tapi di mata mereka tentu belum level hebat. Sisanya hanya gerakan indah tanpa tenaga.”
“Awalnya menonton bersama Jiang Yuwei, Tan Junrong yang melihat Lingjing sedang asyik dengan DV kini sedang menyusuri kerumunan menuju sini.”
“Hei, main DV? Aku tahu ini, biar aku yang ajari.”
Melihat Lingjing sedang bertanya kepada Jiaming tentang fungsi sebuah tombol, Tan Junrong dengan santai mendekat sambil tersenyum berkata. Lingjing berdiri di samping Jiaming, meliriknya sebentar, kemudian menyisir rambutnya dengan gerakan lembut sambil tersenyum manis: "Tidak perlu, Jiaming sudah mau mengajari aku." Sikap akrab yang terpancar dari caranya bersikap wajar ini jelas tak tersembunyi.
“Hehe……” Tan Junrong tertegun sejenak，memberi salam pada Jiaming，kemudian memperhatikan penjelasannya. Dia yakin diri dengan pengetahuan di bidang ini，sekali Jiaming melakukan kesalahan，dia bisa melakukan intervensi. Namun kesempatan seperti itu tak kunjung muncul. Tadinya dikira setelah semua orang sebelumnya bersama-sama membakar api dan memasak，sudah saling mengenal，Lingjing pasti juga akan berbicara dengannya. Tapi sambil mengutak-atik DV，Lingjing tetap tertawa bersama Shasha di sisi lain tubuh Jiaming，seolah dia seperti udara yang sama sekali tidak ada. Lama-kelamaan timbul rasa canggung，akhirnya mengajak Jiaming mengobrol tanpa alasan jelas，tapi perhatiannya tetap tertuju pada Lingjing，sambil mencari-cari topik pembicaraan yang masuk akal di dalam hati.
Dalam sekejap ini，Bian menghempaskan seorang lagi dengan tendangan，kemudian menyusul berbincang sabar dengan sekelompok penggemar seni bela diri，menunjukkan keunggulan dan kekurangan mereka. Ini sendiri bukan lomba yang ketat，kekuatan yang ditunjukkan serta pandangannya tentang seni bela diri，untuk sementara waktu juga mendapat persetujuan semua orang. Setelah berbicara kira-kira sebentar，Dia kembali ke tengah arena，tersenyum sambil berkata：“Siapa lagi yang mau mencoba，tidak masalah，bagaimanapun semua orang hanya datang untuk mainin...Eh，sudah tidak ada lagi？”
“Sebenarnya pertandingan seperti ini, di satu sisi disebut duel, di sisi lain semua orang agak paham, ini untuk pamer di depan si cantik. Sebagian yang merasa hebat tapi tak berminat ikut campur, tentu tak akan turun arena. Setelah beberapa orang selesai berduel, ini bisa dianggap sebagai penutupan. Andy tentu jadi pemenang terakhir. Sambil mengambil jaket luar yang diletakkan di samping, dia berpura-pura tak sengaja bertanya: "Ngomong-ngomong, kudengar duel kalian ini demi si cantik atau apa, jangan-jangan untuk Nona Tsukike?" Matanya beralih ke sisi lain, "Apa Nona Tsukike juga suka nonton pertarungan?"
Orang-orang di sekitar terlihat heran: "Kau kenal Nona Tsukike?"
"Tentu saja, kami datang naik mobil yang sama."
Pertemuannya dengan Jiang Yuwei terjadi di Amerika, cinta mereka tumbuh di sana. Standar cintanya sangat berbeda dengan orang biasa di negaranya, apalagi hubungan mereka pun tak terlalu mendalam. Jika benar-benar dipaksa memilih antara Jiang Yuwei dan Tsukike Kaoru, dia pasti akan mengesampingkan kebencian pada orang Jepang dan memilih tanpa ragu. Kini setelah menang, dia sengaja mengarahkan topik pembicaraan ke hal ini, menyisakan benang merah untuk interaksi selanjutnya dengan Kaoru. Di seberang arena, wajah Jiang Yuwei yang menyaksikan adegan ini semakin muram.
Di tengah sikap akrab Andy, Kaoru memasuki arena tanpa sepatah kata, menggendong anjing bernoda itu ke sisi lain dan menyerahkan boneka besar tersebut kepada Jiaming. Ia membungkuk hormat sebentar sebelum mundur ke tengah area. Di bawah tatapan penuh tanya semua orang, gadis cantik yang memesona itu mengangguk ke arah Andy, membuka telapak tangannya. Suara dingin namun sopan bergema: "Kau yang terhebat? Kalau begitu... Ayo bertanding denganku..."
## Bagian ke-328 Lengkeng Dingin
"Kau yang terhebat? Kalau begitu... Ayo bertanding denganku..."
Ucapan dingin namun santun itu mengguncang arena, pertama-tama memancing keheranan dan keterkejutan. Andy terpaku di tempat dengan wajah bingung, mengangkat tangan tak mengerti situasi. Namun beberapa saat kemudian, sorak-sorai dan tepuk tangan mulai bergemuruh dari kerumunan.
"Bagus!"
"Bersikaplah bijak pada si cantik ya."
"Iya, nona, berikan dia pelajaran!"
Menyaksikan kekalahan orang, ikut ramai, dan bersorak memang menjadi sifat alami manusia. Bagaimanapun, kehadiran gadis cantik pasti lebih menarik daripada adu beberapa pria. Di antara semua, mungkin Mantou dan kawan-kawanyalah yang paling bersemangat: "Ayo ayo, hukum dia! Aku taruh untuk si cantik menang, ada yang mau ikut taruhan?"
Suasana semakin memanas, sementara Andy di tepi arena hanya bisa canggung menatap gadis cantik yang berdiri beberapa meter jauhnya: "Eh, Nona Tsukike, kalau Anda tertarik dengan ini, mungkin kita bisa... Eh..."
“Seranglah.” Dengan nada menolak, Kaoru menjawab dengan tenang, suaranya lembut namun tegas.
Di bawah cahaya lampu, angin malam menyapu kerumunan orang, rambut berkibar-kibar dalam cahaya itu. Memandang wajah yang hampir sempurna itu, Andy menggelengkan kepala: "Tidak bisa, aku tidak mau berurusan dengan wanita..."
Ucapannya belum selesai, bayangan hitam tiba-tiba melintasi cahaya lampu. Sekejap itu, perasaan seperti ditatap ular berbisa tiba-tiba menyergap hati Andy. Hanya terdengar suara "prak!", saat nalurinya hendak bertahan, bayangan gadis itu sudah berada di hadapannya. Tangan kanannya merapatkan lima jari, ujung jari rampingnya menunjuk tenggorokannya: "Kau sudah MATI."
Meski seorang petarung terlatih, dalam kehidupan Andy sebelumnya tak pernah ia merasakan sensasi absurd namun nyata seperti ini. Seolah dalam sekejap mata, dirinya benar-benar terbunuh oleh mereka. Mendengar suara gadis yang dingin itu, meski hatinya sudah terpikat, tubuhnya bereaksi secara bawah sadar: tangan kiri menghalau, tangan kanan menyergap, mencengkeram erat pergelangan tangan yang terulur.
Saat itu juga, lengan gadis itu melesat seperti ular, bahkan meninggalkan sensasi terbakar seperti cambuk di telapak tangannya. Tangan kiri langsung menyusul, namun lengan itu berayun cepat seperti kilat, menyambar dan membalikkan cengkeraman pada pergelangannya. Baru saja melepaskan diri, seketika itu pula terkunci kembali.
【！！】Sampai saat ini, rasa takut dan tegang di hati baru sepenuhnya muncul dari lapisan bawah sadar, berubah menjadi kesadaran yang nyata. Seketika, dia mengerahkan seluruh tenaga untuk mundur terbang ke belakang. Gadis itu melangkahkan langkah busur tanpa ekspresi, tangan kanannya yang sesaat tertahan di pinggang kiri berubah menjadi bilah tajam yang menyambar.
【，！】Iaido, seni menghunus pedang Jepang!
【。】Sekelilingnya sunyi senyap.
【】Yang awalnya merupakan teknik menghunus pedang berkecepatan tinggi dalam kendo, kini diganti gadis itu dengan tangan sebagai pedang - menjadi serangan sederhana yang mengguncang jiwa. Andy yang telah mundur ke tengah arena membelalak melihat bajunya: bekas robekan sekitar 10 sentimeter persis seperti terkena senjata tajam. Garisan bersih dan anggun inilah yang membuat semua orang di sekitar melototkan mata.
【】Yang dikira hanya pertunjukan, siapa sangka ternyata dia benar-benar sehebat ini. Malahan beberapa pria ini masih berharap bisa menarik perhatiannya lewat format duel...
Di antara kerumunan penonton, tidak banyak mahasiswa Akademi Hati Kudus yang hadir, sehingga mereka tidak mengetahui rekaman Kaoru yang pernah mengalahkan puluhan anggota klub bela diri akademi dengan tangisan hantu yang mengerikan. Namun, hampir seketika saat tubuhnya melesat maju, tatapan Ye Lian dan Xiao Lou di tepi arena langsung berubah penuh kegilaan saat melihat tangan kanan yang menempel di tenggorokan Andy. Serangan memukau Jian Suyan yang membutakan kedua mata Hiriyawan dalam rekaman video kemarin, hampir persis dilakukan dengan gaya yang sama: seluruh lengannya seperti cambuk yang menyambar udara dengan suara gemeretak cemerlang.
Beberapa gerakan sederhana tadi, bagi mereka yang mengetahui, hampir seperti melihat reproduksi ulang Jian Suyan - elegan, efisien, dingin, menyatukan keindahan dan daya rusak dengan sempurna.
"Karena kau tidak mempersiapkan diri, aku sudah menahan serangan. Selanjutnya tidak akan lagi." Tatapannya tertuju pada Andy yang sudah terpojok di tengah arena, Kaoru menyatakan dengan datar, "Silakan menyerang."
Andy menepuk-nepuk bagian baju yang robek di dadanya, menatap wajah di seberang dengan kebingungan. Beberapa saat kemudian, dia menarik napas dalam-dalam, mengepalkan tangan kanan di belakang dan mengulurkan tangan kiri ke depan, mengambil posisi serangan andalannya: "Hei, aku akui... agak meremehkan lawan. Tapi... ayo mulai."
“Baru saja serangan itu benar-benar mengejutkannya, tapi setelah melalui begitu banyak pertandingan, dia takkan menganggap dirinya jauh lebih lemah dari lawan. Tadi itu dia benar-benar melakukan kesalahan besar meremehkan lawan, tapi sekarang sama sekali tidak akan begitu... Meski tak terlalu ingin bertarung dengan si cantik, tapi karena dia menyukai ini dan jelas telah berlatih keras, harus mengalahkannya secara kemampuan bertarung dulu sebelum bisa membicarakan hal lain.” Sambil berpikir demikian, di seberang, gadis itu langsung berjalan mendekat.
Lampu di empat sudut arena menerangi bayangannya dengan indah, rambutnya dibelai lembut angin malam yang menembus kerumunan orang. Tanpa sikap menyerang atau bertahan, gadis itu hanya berjalan mendekat secara alami. 5 meter, 4 meter, 3 meter... Saat masuk radius 2 meter, dia langsung mengayunkan tinju.
Seketika, bayangan Kaoru bergerak. Di tengah hempasan tinju, rambut hitamnya berayun cepat. Melangkah, membungkuk, berputar, bergeser—dalam serangan cepat Andy, tubuhnya bergerak lebih cepat di sekelilingnya dengan langkah misterius, terlihat lambat tapi sebenarnya cepat. Dalam beberapa detik, mereka hampit berputar tiga empat lingkaran besar. Serangan Andy mulai tak bisa mengimbangi gerakannya, setiap tinju hanya mengenai bayangan semu si gadis yang anggun. Rambut menyapu bibirnya, dingin namun genit. Tanpa sengaja, lengan, bahu, dan punggungnya terkena serangannya yang menyakitkan hingga sumsum tulang. Suara datar terdengar:
“Inilah Kung Fu China yang kau remehkan—Bagua Zhang.”
“Belum cukup murni...” Di tengah kerumunan, Gedung Kecil bergumam. Di sisi lain, Jiaming mengangkat bahu dengan kekecewaan: "Suka pamer..."
"Ngomong apa sih! Kaoru bertarung dengan cantik." Lingjing melotot padanya, memilih ikut berteriak bersama Shasha, "Semangat! Semangat! Kaoru terlalu hebat, Aku cinta kamu Oh!"
Di arena, Andy yang ingin melepaskan diri dari situasi canggung ini mundur dengan cepat, berusaha menjaga jarak. Namun hasilnya basically tidak efektif. Beberapa saat kemudian, setelah bertukar pukulan dengan Kaoru, dia mencoba memanfaatkan keunggulan tenaga untuk mengusir mereka - saat terdesak, dia juga tidak peduli belas kasihan lagi - tapi Kaoru yang mengandalkan kelincahan justru ahli dalam teknik meredakan serangan. Beberapa pukulan dan tendangan yang tak terhindarkan berhasil dinetralisirnya dengan mudah. Dalam satu langkah gesit, Andy langsung menyambarnya.
Memperpendek jarak, memaksimalkan keunggulan tubuh dan kekuatan. Saat tinjunya menghabisi, tendangan lutut juga melesat keras. Bayangan gadis itu practically menyelip ke pangkuannya, telapak tangan lembut menekan dada. Seketika, tubuh Andy terlempar bagai terpental, dadanya tertembak keras. Setelah mendarat, terhuyung-huyung mundur tujuh langkah baru bisa berhenti. Di seberang, sang gadis tanpa ragu berlari maju.
"Tai Chi yang kau remehkan: Lan Que Wei, Pie Shen Chui..."
"Kaoru yang telah belajar di sini selama dua tahun, sebenarnya tidak banyak berlatih Kung Fu. Pada dasarnya, teknik yang paling dikuasainya masih berasal dari Chiseisenran yang dipelajarinya sejak kecil. Dasar ilmu ninja ini terletak pada ilusi visual yang diciptakan melalui permainan cahaya dan gerakan tubuh. Saat itu, empat lampu sorot di sudut arena menerangi ruangan, bayangan setiap orang tertarik memanjang - lingkungan yang sempurna untuk mengaktifkan Chiseisenran. Meski Andy memiliki kekuatan tertentu, bagaimana mungkin dia bisa menunjukkan prestasi bagus di domain orang lain? Bayangan yang menginjak langkah Bagua tiba-tiba mendekat, namun saat serangan dilancarkan, bayangan itu sudah melesat melewati tangannya. Kekuatan serangan kedua kembali ditangkis dengan teknik lembut. "Aaaaa!" Sakit tajam tiba-tiba terasa di tulang rusuk yang rentan, seolah-olah iga sudah hancur berkeping-keping."
"Ini adalah... tenaga inci dari Wing Chun!"
Ketika dia terpental jauh lagi, tidak ada serangan lanjutan. Di antara napas tersengal Andy, Kaoru berdiri tak bergerak di depannya, memandangnya dengan dingin.
"Kau lemah. Tidak menguasai apa-apa dengan benar."
Siapa yang menang dan kalah, bahkan orang awam sekalipun sekarang mungkin sudah melihat dengan jelas, basically tidak perlu melanjutkan pertarungan. Setelah mengucapkan kalimat ini, dia berbalik badan menuju ke luar arena. Sebelum melangkah melewati garis arena yang telah digambar oleh orang banyak, seorang gadis berbaju jaket kuning muda dan celana jeans biru tiba-tiba berlari mendekat, tersenyum sambil memeluknya—ini adalah Shasha. Lingjing memegang perangkat DV, merekam penuh semangat suasana kembalinya sang pemenang.
……
……
Setelah duel seperti ini, ketika Kaoru menggendong boneka anjing bersama Jiaming dan yang lain, jumlah orang yang mengajak ngobrol pun berkurang drastis. Lingjing basically tidak melibatkan diri dengan Tan Junrong, tak lama kemudian pria itu pun pergi dengan rasa jengah. Bagaimana hubungan Andy dengan Jiang Yuwei akan berubah ke depannya, pesta pora di hamparan rumput terus berlanjut tanpa hambatan. Sesekali masih ada yang bertarung di arena sementara, tentu sebatas tingkat pertukaran antar Teman.
Sekitar pukul sebelas, Fang Yusi tampil dengan penampilan puncak. Menjelang tengah malam, pesta pun memasuki babak akhir. Bayangan seorang wanita berjalan menuju lereng berumput di tepi aliran sungai.
Di sini tidak banyak orang，jarak pandang juga relatif terbuka，wanita bernama He Yun ini duduk sebentar di lereng rumput，lalu mulai berbicara...
## Bagian Ratus Dua Puluh Sembilan Permintaan Maaf
"Hei，Johnny，Aku sudah sampai，sedang berkemah... kau baik-baik saja?"
Suara wanita itu terdengar di tepi sungai kecil. Dari nada bicaranya, sepertinya hanya percakapan biasa dengan dunia luar. Mungkin karena baru kembali dari Amerika, logat asing masih melekat dalam intonasinya. Namun, suaranya tetap lembut dan ringan. Meski bukan yang tercantik dalam lingkaran Jiang Yuwei, tak bisa dipungkiri dialah yang paling ber-afinitas. Bahkan auranya memiliki kemiripan dengan Tenku Masaoka.
"Malam ini memang tidak ada acara khusus, cuma main-main saja... Sudah kenal beberapa teman baru... Hubunganku dengan Du Li semakin akrab, hehe. Seperti yang kukatakan sebelumnya, bukan bermaksud menyombong, tapi mencari teman baru itu mudah bagiku... Hmm, sudah melihat orang yang ingin kulihat, tapi kami belum sempat berbicara..."
"Tan Junrong... Masih ingat tuan muda kaya yang pernah kuceritakan sebelumnya?... Hehe, dia jatuh cinta pada si cantik bernama Lingjing... Menurutku mereka sangat cocok, aku yakin mereka akan jadian... Ih, masa iya dia mau sama aku..."
"Ngomong-ngomong, mereka mengadakan semacam lomba pertarungan malam ini, heh... Andy tahu tidak? Dia dikalahkan dengan mudah oleh gadis kecil bernama Tsukike Kaoru. Ya Tuhan, pertarungannya sangat seru... Dari tadi aku terus memperhatikan... Tidak ada yang spesial sih, tapi untuk aktivitas luar ruangan seperti ini, harapannya pasti ada kejutan..."
"Sudah tidak ada hal lain? OK, dadah..."
Suara percakapan terdengar terputus-putus, kontennya juga biasa saja, mungkin hanya menceritakan beberapa hal yang terjadi selama perjalanan kepada teman. Setelah menutup telepon, dia duduk lagi di lereng rumput sebentar, akhirnya berdiri dan berbalik pergi.
Angin malam berhembus lembut. Tak lama kemudian, bayangan gadis itu muncul lagi di tepi lereng, berjalan perlahan seolah mencari sesuatu. Beberapa menit kemudian dia mundur, kali ini benar-benar tak muncul lagi.
Dari semak belukar yang jarang sekitar 10 meter, Jiaming berdiri sambil memegang kamera DV. Meski menggunakan teknologi penglihatan malam infrared, gambaran tetap tidak jelas. Namun perangkat penyadap terarah telah merekam suara telepon tadi. Sambil bosan menatap layar, dia membandingkan serangkaian data yang muncul di jam elektronik, lalu bersiul: "Tim wartawan nakal pun punya kandungan teknologi ya..."
Tak lama kemudian, bayangannya muncul lagi di dalam gerbong mobil kecil Kelly. Gadis Kaukasia yang sudah tidur di ranjang itu duduk sambil memeluk selimut dalam keadaan setengah tertidur, melihatnya menampilkan peta kota dari komputer. "Bencilah. Kalau di Dark Celeste, orang yang mengganggu tidurku harus dibunuh semua." Kulit di atas dadanya yang montok telanjang di bawah lampu, udara penuh aroma tubuh wanita yang bercampur bau mesum. Entah apa yang dilakukannya di mobil sebelum Jiaming datang.
“Maaf、Maaf, tapi saya jamin ini pasti intelijen berharga... Oh bukan, informasi..." Pita dari kamera DV dikeluarkan, jam elektronik di pergelangan tangan terhubung ke komputer. Setelah operasi, titik cahaya muncul di atas gambaran kota, "Orang yang bertanggung jawab atas kontak He Yun berkode Johnny, ini mungkin posisi pertamanya, bisa kirim orang untuk memeriksa, tapi saya tidak ingin membuat kecurigaan. Menurut tingkat kehati-hatian mereka kali ini, Pangeran pasti tidak bersama mereka. Sekarang sudah tahap operasi resmi, sedikit kesalahan di mana saja bisa membuat proyek diurungkan, jangan ganggu mereka."
Melihat peta itu, Kelly menyeringai tidak puas: "Makanya aku benci game yang terlalu mudah..."
"Itu karena aku terlalu memahami mereka." Jiaming tersenyum, "Selain itu rekaman DV ini bisa diberikan ke timmu untuk analisis. Tentu saja, bagian tentang Lingjing dan yang lain, simpan untukku. Nanti akan dibuat jadi kenangan perjalanan."
"Bocah lelaki yang menyebalkan." Kelly memberikan penilaian datar padanya.
……
……
Acara selesai, game bubar. Di atas rumput tepi sungai, tumpukan api unggun masih membara. Beberapa yang masih bersemangat bermain ada yang minum baijiu dan makan barbekyu, ada yang duduk di sekitar api main kartu. Kebanyakan dari mereka adalah agen rahasia yang sedang bertugas jaga, sebagian besar mempersiapkan diri sebelum tidur, tentu ada juga yang sudah terlelap. Di antara beberapa tenda yang dipasang asal-asalan, Du Li keluar dan mendekati tenda lain yang berjarak beberapa meter: "Tan Junrong, Young Master Rong, sudah tidur belum?"
“Hmm?” Dalam nada suara yang terdengar bingung, Tan Junrong yang masih mengenakan pakaian rapi membuka tirai dan mengeluarkan kepalanya, "A Li, ada apa?"
"Er." Du Li menyungging senyum, "Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan, kira kau sudah tidur."
"Heh, masuklah. Sedang baca buku."
Tenda ini tidak terlalu besar, tapi ruangnya cukup untuk membentangkan kantong tidur. Untuk dua orang duduk masih terasa lapang. Tan Junrong mengeluarkan dua buah selimut sekali pakai, membuka termos: "Mau susu?"
"Young Master Rong bahkan bawa susu?"
"Baru saja beli di gerbong makan. Rasanya masih cukup asli. Kau tahu, di dalam negeri, kerugian terbesarnya adalah sulit menemukan yang asli. Kopi, pizza, semuanya ada yang palsu. Di Amerika jauh lebih baik." Sambil mengeluh, Tan Junrong menyodorkan susu, "Ngomong-ngomong, sudah tidak bertengkar lagi dengan Huanwen kan? Aku sudah lama menantikan kalian putus. Begitu putus, tentu saja aku akan langsung mengambil kesempatan."
Wang Huanwen yang disebut Tan Junrong adalah pacar Du Li. Sejak kemarin mereka sudah bertengkar. Ketidakharmonisan selama perjalanan ini, ditambah bantuan Lingjing yang antusias dibawa air oleh Wang Huanwen, membuat Du Li tidak nyaman. Setelah makan malam mereka bertengkar lagi, meski akhirnya berhasil berbaikan. Du Li tersenyum: "Ini kata Young Master Rong ya. Kalau sudah bilang begitu, aku SEKARANG JUGA putus dengan Wen."
“Jangan, jangan... Aku mengakui punya keinginan terhadap kecantikanmu A Li, ingin mengambil kesempatan, tapi memisahkan sepasang kekasih itu, apalagi Huan Wen juga teman baikku. Kau mau dia membenciku seumur hidup?” Tan Junrong tertawa palsu mengalihkan topik, “Ngomong-ngomong, kau belum bilang urusan apa?”
“Hmm...” Du Li menggigit bibir bawahnya dengan canggung, melirik sekeliling tenda, lalu tersenyum, “Sebenarnya aku datang untuk meminta maaf.”
“Minta maaf?” Tan Junrong membelalakkan matanya. Dia sudah mengenal Du Li bertahun-tahun, karena itu paham betapa luar biasanya kata ini keluar dari mulutnya.
“Iya, sebelum makan tadi aku marah-marah tidak jelas, merepotkan semua orang. Pasti banyak yang merasa canggung...”
“Eh, ini... Bukan begitu, dan sebenarnya A Li sedang marah ke Huan Wen kan? Kalau minta maaf... Harusnya bukan ke aku...”
“Aku tahu kau suka Ye Lingjing itu.” Du Li mengedipkan mata penuh kelakar.
“Hmm...”
“Awalnya kau dan dia sudah cukup akrab, tapi gara-gara aku marah, dia jadi kesal. Akibatnya... Jujur saja, hatiku merasa sangat bersalah...”
“Hmm… Heh, soal ini…” Awalnya kemarahan Du Li membuat Shasha menarik Lingjing pergi. Sejak itu, Lingjing tidak menghiraukan orang-orang ini sepanjang malam. Di hati Tan Junrong, ada sedikit kebencian terhadap Du Li. Tapi melihat orang ini datang meminta maaf, dia merasa tidak bisa benar-benar marah. Lagipula, meski marah, apa gunanya? Hubungan kedua keluarga selalu baik. Hanya seorang wanita, jika benar-benar tidak bisa mendapatkannya, masih banyak cara lain yang bisa digunakan. Tidak perlu sampai marah pada Du Li karena ini. Dengan senyum tipis, dia menggelengkan kepala: “Hal ini apa hubungannya denganmu? Daya tarikku saja yang kurang…”
“Bercanda, daya tarik Young Master masih kurang? Aku benar-benar tidak tahu siapa lagi yang punya daya tarik. Gu Jiaming di samping Ye Lingjing itu?” Du Li tertawa ringan, “Kulihat dia sepanjang malam tidak mau menghiraukan kita, bahkan pada Yu Wei pun tidak begitu ramah. Sebagian besar karena aku. Besok aku akan meminta maaf padanya. Dengan ada jalan mundur, seharusnya dia tidak akan marah lagi.”
“Kurasa sebenarnya tidak perlu…” Meski mulut Tan Junrong mengucapkan demikian, hatinya terpengaruh oleh perkataan Du Li ini. Ia pun menerima fakta bahwa Lingjing sengaja bersikap tinggi hati karena masih menyimpan dendam atas kejadian sore tadi. Menyimpan dendam semalaman hanya karena urusan sepele, bahkan melampiaskan amarah ke dirinya… Seketika, kesan baik Lingjing di hatinya sedikit menurun. Namun, saat teringat wajah dan aura Lingjing, hatinya kembali berdebar kencang. Jika suatu saat ia jatuh cinta padanya dan meminta maaf untuk kemarahan kali ini, perasaan seperti…
“Sebenarnya aku juga melakukan ini untuk diriku sendiri.”
“Hah?”
“Tak ada pilihan, perempuan bernama Ye Lingjing itu lebih cantik dan beraura baik dariku. Tidakkah kau lihat sikap Huanwen? Kalau bukan karena ekspresinya yang bahagia meski diperlakukan semena-mena, aku takkan sampai marah. Menurutku Ye Lingjing sepertinya lebih berminat pada Young Master Junrong. Acara berkemah kali ini – kau juga tahu – bagi kebanyakan orang pada dasarnya adalah ajang kencan buta. Ye Lingjing yang belum punya pacar dan latar belakang keluarga biasa, setelah berteman dengan Dongfang Wan lalu ikut acara seperti ini, tujuannya jelas mencari pacar berkualitas. Kita sudah saling kenal. Jika Young Master tidak mengejarnya, aku khawatir Huanwen akan punya niat…”
“Hmm, sebenarnya ini bukan hal buruk…” Tan Junrong berkomentar spontan, lalu buru-buru menambahkan, “Heh, maksudku kesadaran finansial pada perempuan bukanlah hal buruk. Bukan bermaksud menjelekkan Huanwen ya.”
"Pesan tak perlu panjang, cukup menggoyang pikiran Tan Junrong." Tak lama kemudian, Du Li keluar dari tenda, melambaikan gestur "OK" imut ke He Yun yang sedang berjongkok di dekat api unggun sambil asyik menambah kayu bakar sendirian.
Langkah pertama operasi, sukses!
……
……
Di pihak lain, usai membersihkan diri dengan air panas, Lingjing yang sedang duduk di sleeping bag sambil bersandar pada tumpukan barang bawaan langsung menutupi wajahnya dengan buku saat melihat Jiaming masuk: "Buat apa kau masuk ke tendaku jam segini, bajingan? Pergi cari pacarmu Shasha sana!"
"Kalau besok pagi ada yang lihat aku keluar dari tendamu, bahaya. Jadi aku tidur di sini separuh malam, nanti pindah ke tenda Shasha." Meletakkan DV, Jiaming membuka sleeping bag dan mengintip ke dalam. Lingjing sudah melepas celana panjang, hanya memakai celana dalam katun putih di bagian bawah - soal ini dia memang konservatif, beda dengan Shasha yang lebih berani. Tapi justru saat Shasha pakai lingerie sederhana malah lebih menggoda ketimbang lace seksi. Ini masalah aura pribadi.
Lingjing mendengus sambil menepis tangannya: "Masa di situasi begini kau masih tak bermoral? Kalau ketahuan keluar dari tenda Shasha oleh Xiao Wan atau Kakak Yahan, malu dong."
“Hah, yang penting aku tidak canggung. Dan... tadi aku cuma mau mencoba apakah sleeping bag-nya cukup besar. Sepertinya kita berdua bisa masuk ke dalamnya.”
“Kau mau menghancurkan aku, ya.” Lingjing tersenyum sambil memukulnya dengan buku, kemudian menarik Jiaming yang duduk di samping untuk berbaring di perutnya. Meletakkan buku, ia mulai memijat kepala Jiaming dengan lembut.
“Jiaming...”
“Hmm?”
Sepuluh jari rampingnya menjelajahi pelipisnya, menghadirkan sensasi sejuk yang menenangkan sekaligus meredakan rasa sakit dan ketegangan di kepalanya yang sudah berlangsung seharian. Di mata Lingjing, terpancar kekhawatiran yang nyaris tak tertangkap: “Jiaming, kau tidak enak badan?”
“Hmm...” Jiaming tertegun, bingung bagaimana harus menjawab...
## Bagian ke-330 Kecurigaan Mesum
“Jiaming, kau tidak enak badan?”
Suara lembut itu lebih merupakan pernyataan daripada pertanyaan. Sudah dua tahun hubungan mereka terjalin, sementara waktu yang dihabiskan bersama mencapai tujuh atau delapan tahun. Sebagai gadis tradisional yang telaten, pengertian Lingjing terhadap Jiaming bahkan melebihi pengenalan akan dirinya sendiri. Setiap gerak-gerik tidak biasa dari Jiaming, langsung bisa ia tebak alasannya.
Tak bisa dipungkiri, meski di depan orang lain bisa sama sekali tak peduli dengan gengsi seperti "muka" atau "berdarah" yang tak berguna, dalam beberapa hal Jiaming memang memiliki maskulinisme yang sulit ditandingi orang lain. Dia sama sekali tidak membiarkan Lingjing dan Shasha menyentuh dunia kegelapan, dengan prinsip sebisa mungkin tidak membuat mereka khawatir. Sejak sakit kepala-nya kambuh, di depan Lingjing dan Shasha dia bahkan tidak menunjukkan ekspresi kesedihan sekecil mengerutkan kening. Tapi setelah setengah tahun, Lingjing tetap menyelidiki gejala ketidaknyamanan di kepalanya, dan mengungkitnya saat ini.
"Hmm..." Kepalanya bersandar di perut Lingjing, satu tangan menyusup masuk ke dalam selimut tidur merasakan kehangatan dan kehalusan kulitnya, Jiaming tertegun sejenak lalu tersenyum: "Akhir-akhir ini... memang agak pusing."
"Kau tidak bilang..." Lingjing sedikit menyindir, "Sudah periksa ke rumah sakit?"
"Biasa saja, hal sepele." Jiaming menenangkannya, "Mungkin akhir-akhir ini mental agak tegang, jadi migrain. Jangan lupa aku juga pernah belajar, hal seperti ini wajar."
"Tetap harus periksa. Masih mahasiswa sudah migrain. Ibu di rumah sakit, kau periksa juga kan mudah."
"Huh, justru karena Ibu di rumah sakit aku jadi takut pergi. Bertahun-tahun ini setiap ke rumah sakit mana mungkin tidak diomeli sampai MATI—jangan nakal, jangan sembrono, jangan terlibat geng kriminal, jangan nekat melakukan hal berbahaya, jangan kerakusan, hidup harus teratur, nonton TV main game jangan sampai larut, kalau tidak tidak boleh tinggal di luar, harus pulang... Tolooong—"
“Sambil berbicara sambil berguling-guling, kemudian pipinya dijepit oleh Lingjing yang tersenyum: 'Ibu melakukan ini demi kebaikanmu. Lagi memijatmu, jangan bergerak-gerak.' Dengan sindiran halus mengetuk tubuhnya, 'Lagipula itu ibuku, jangan kau panggil "ibu" semesra itu.'”
“Itu ibuku.”
“Ibuku!”
“Pokoknya kalau kau menikah denganku juga sama saja.”
“Hmph, masa mau menikah denganku. Sekalipun orang tuaku sangat menyayangimu, kalau tahu kau main dua hati dengan aku dan Shasha, pasti kakimu dipatahin. Semakin dalam cintanya, semakin keras hukumannya tahu kan? Nanti lihat bagaimana kau menjelaskan.”
“Batuk, kita baru tujuh belas delapan belas tahun, masih lama. Kalau benar-benar mentok... Aku nikahi Shasha dulu lalu cerai, terus bersama kamu, sekaligus tetap berteman dengan Shasha. Nanti juga tidak ada yang bisa protes. Jual beli gagal, kebaikan hati tetap ada. Meski jarang, tapi bukan tidak mungkin tetap berteman setelah menikah...”
“Nanti bersiaplah dikejar-kejar Paman Liu.” Lingjing tersenyum mengalihkan topik yang berpotensi memicu ketegangan, “Sudah, tidak usah bahas ini. Pulang nanti harus periksa ke dokter, minum obat lebih baik.”
“Berdasarkan pengalaman praktikku bertahun-tahun, anak muda sebaiknya jangan minum obat...”
“Jangan membantah.”
“Kalau begitu aku bantah paru-parumu, sekalian bantah dadamu...” Jiaming mendekati tubuh atas Lingjing sambil tertawa. Kemudian dari dalam tenda terdengar suara protes yang diredam: “Jangan gerak! Kalau masih gerak, aku tidak mau peduli lagi!”
“Tawa kecil dan candaan ringan berakhir, tenda kecil akhirnya tenang. Di bawah bayangan lampu, Jiaming masuk ke dalam kantong tidur, kepalanya bersandar di perut gadis itu, memeluk erat pahanya. Kehangatan yang familiar dan sentuhan lembut sepuluh jarinya perlahan meredakan kegelisahan dan rasa sakit di kepalanya dalam suasana lembut ini.”
“Ini pertama kalinya kekuatan supernatural yang menegangkan itu bisa diredam oleh faktor manusia...”
……
……
“Melewati tengah malam, di penghujung dini hari, dia baru keluar dari tenda. Menekan dahinya, menghela napas lega sambil mengangkat bahu dengan wajah segar dan bersemangat.”
“Masih ada orang berjalan di antara tenda-tenda di padang rumput. Beberapa mobil yang parkir tak jauh menyala lampunya, samar terdengar suara acara TV. Bagaimanapun, pukul tiga setengah dini hari adalah puncak tidur nyenyak kebanyakan orang. Memandangi tumpukan api unggun yang masih membara, Jiaming menarik napas panjang.”
“Huu... Pei Luo Jia...”
“Bergumam pelan, dia berputar melewati beberapa tenda lalu menghilang. Beberapa saat kemudian kembali ke tendanya sambil membawa beberapa perekam mini. Menancapkan earphone, dia menyimak satu per satu. Khusus kaset mikro milik Tan Junrong, diputar ulang dua kali.”
“……Aku datang ke sini untuk meminta maaf……Aku tahu kau suka pada Ye Lingjing itu……Kharisma Young Master Rong masih belum cukup, aku benar-benar tidak tahu siapa lagi yang punya kharisma……Besok aku akan meminta maaf padanya……Sebenarnya ini juga untuk kepentinganku sendiri……”
Suara percakapan Du Li dengan Tan Junrong terus berulang di earphone, Jiaming menggelengkan kepala dengan lemah, pandangannya datar dan dingin.
“SEMUA MATI...”
……
……
Pagi-pagi buta.
Saat sinar matahari mulai terbit, orang-orang yang bangun tidur mengambil Air di tepi aliran sungai untuk bersuci. Jiaming kembali dari membeli sarapan di bus yang berfungsi sebagai mobil makan di tepi jalan, Kaoru juga membawa kotak makan besar mengikuti dari belakang. Dalam kelompok kecil ini, Yahan yang cenderung mengantuk karena tekanan darah rendah mungkin yang paling terlambat bangun. Saat keluar dari tenda sambil mengusap mata berkabut, Lingjing sedang berbicara dengan Jiang Yuwei di satu sisi, Shasha juga mendengarkan di samping. Melihat Yahan, Shasha segera tersenyum dan membawakan baskom air.
“Kakak Yahan, ini air panas yang kami simpan untukmu.”
“Heh, terima kasih Shasha.” Membawa air panas hendak masuk kembali, tiba-tiba berhenti sejenak dan melirik ke belakang, “Shasha, apa lagi yang dibicarakan Jiang Yuwei dengan Lingjing itu?”
“Kakak Yahan juga tidak menyukainya ya?” Shasha bertanya sambil tersenyum dengan suara pelan.
“Sebenarnya bukan masalah besar, tapi...Lingjing dan kamu sekarang tinggal bersama Jiaming, aku tidak yakin dengan Tan Junrong itu...”
"Yahan selama ini sering berinteraksi dengan pria dan wanita kelas atas, dia sudah punya pengalaman sendiri dalam hal melindungi diri. Di depan orang lain, dia bisa tampil matang dan elegan, tidak mengabaikan orang lain namun tetap bisa menciptakan batas tak kasat mata di sekitarnya. Jika ada yang berminat padanya, begitu melakukan kontak, akan langsung merasakan penolakan. Kemampuan seperti ini tentu tidak dimiliki Lingjing. Kejadian kemarin sore yang 'pihak terkait bingung, pengamat jelas' itu juga sebagian dia lihat. Tapi saat ini, ketika hubungan jelas antara Lingjing, Shasha dengan Jiaming disebut terang-terangan, Shasha masih merasa canggung, tersenyum malu-malu."
"Iya, aku juga tidak terlalu suka dia. Sebenarnya Lingjing juga sudah tahu. Tapi Jiang Yuwei kan bukan mau jadi perantara... Eh, Kak Yahan, pakaian dalammu tidak ada yang hilang kan?"
"Apaan?"
"Dengar dari Jiang Yuwei, Du Li pagi ini bangun dan menemukan bra dan celana dalam yang dia ganti kemarin hilang. Dia curiga ada bajingan mesum yang menyusup di pasukan kita, sekarang sedang diam-diam menyelidiki."
"Masa sih..." Yahan memalingkan kepala. Di kejauhan terlihat Du Li berdiri di depan tenda sedang berbicara dengan beberapa perempuan, alisnya berkerut sambil mengamati setiap laki-laki yang lewat dengan tatapan membuat merinding. Setelah menarik pandangan, Yahan membawa baskom air masuk ke dalam, "Aku cek punyaku... Sepertinya tidak ada yang hilang..."
“Du Li awalnya mungkin tidak bermaksud menyebarkan kabar itu, namun desas-desus selalu menyebar dari satu orang ke orang lain. Saat mentari pagi menggantung di langit timur, para perempuan di area kecil ini sudah berbisik-bisik membahas hal tersebut. Banyak dari mereka bahkan tidak memberitahu pacar mereka sendiri, melainkan memandangi semua pria dengan tatapan seolah melihat mesum. Lingjing langsung melaporkan kejadian ini kepada Jiaming. Dia tahu Jiaming selalu waspada di malam hari dan bangun lebih pagi. Namun ketika ditanya apakah ada yang berkeliaran secara sembunyi-sembunyi di pagi buta, Jiaming mengaku tidak terlalu memperhatikan.”
“Tidak mungkin! Kalau aku memang mau, tinggal bilang saja... Haha, jangan pukul aku. Menurutku, hal mesum seperti ini biasanya dilakukan orang Jepang yang terkenal gangguan mental. Jujur saja, apa kau punya hobi mengumpulkan celana dalam perempuan cantik?”
Saat itu yang berdiri bersama Jiaming hanyalah Lingjing, Shasha, Yahan, dan Kaoru. Mendengar omong kosong Jiaming, Shasha yang sedang mengambil makanan dari kotak besar langsung menendang pantatnya: “Gu Jiaming, kau berani mengucapkan kata-kata begitu? Layak dipukul!”
Sebagai tokoh utama yang dituduh, Kaoru duduk tenang sambil menyantap bubur. Kali ini dia melirik Jiaming dengan ekspresi datar: “Aku hanya tertarik pada celana dalam Guru.”
“Wah——”
"Tiga wanita lainnya serentak berteriak, jari-jari mereka menunjuk ke arah Jiaming. Jiaming menyeringai dengan kekecewaan. Sejak dulu, Kaoru jarang membantah, tapi begitu membuka mulut, seringkali keluar lelucon absurd. Jenis canda serius seperti ini—kalau dibantah malah bikin terlihat bodoh, kalau diam saja hanya bisa menerima gurauan. Dia mengangkat tangan bingung: "Para fujoshi ini menatapku seperti apa? Shasha yang seharusnya jadi mentornya..." Batuk...", dia melambai ke Tenmasa Masaoka yang tak jauh, mengalihkan topik, "Masaoka, kemarilah sebentar."
"Apa?"
"Kau Baron mesum dari Jepang ini, tadi malam jangan-jangan pergi mencuri celana dalam orang?"
Tenmasa Masaoka tertegun, belum paham soal kasus hilangnya celana dalam wanita: "Tolonglah, walau aku orang Jepang, tapi aku jujur... Eh, kenapa kau memandangiku seperti itu..."
"Kau sadar tidak kalau ucapanmu sama sekali tidak persuasif..."
Sementara keriuhan terjadi di satu sisi, sebuah tenda di seberang baru terbuka. Tan Junrong yang sudah rapi berpakaian keluar, ekspresinya terlihat agak tegang. Dia berdiri di tepi tenda, mengamati semua orang di sekitarnya dengan tatapan curiga layaknya pada tersangka. Beberapa saat kemudian, pandangannya bertemu dengan Du Li yang memiliki tatapan serupa beberapa meter jauhnya—seperti banyak digambarkan dalam novel: Percikan api tercipta saat empat mata mereka bersentuhan...
## Bagian Tiga Ratus Tiga Puluh Satu: Jangkrik
"Tuan Rong."
“Menemukan pakaian dalam bekas pakai dicuri di pagi hari memang hal yang sangat tidak nyaman, namun prioritas tetap ada. Begitu melihat Tan Junrong, Du Li langsung teringat rencana yang telah diputuskan sebelumnya. Ia tersenyum mendekatinya. Tan Junrong mundur secara neurotik selangkah.”
“E, apa... Hei, Li, pa-pagi baik...”
“Young Master Rong, ada apa denganmu? Wajahmu terlihat pucat.”
“Heh, tidak apa, semalam kurang tidur...” Sebagai orang yang berpengalaman, meski ada ganjalan di hati, Tan Junrong tertawa terbahak menekan perasaan tidak nyaman, “Pengalaman pertama pakai sleeping bag, tidak senyaman di ranjang. Bagaimana denganmu, Li?”
“Haha, kemampuan adaptasiku kuat, tidur nyenyak sampai subuh tanpa terbangun...” Sebenarnya ia mulai mengeluhkan kemampuan adaptasinya sendiri. Semalam setelah berdiskusi rencana jahat dengan He Yun sampai larut, hatinya lega sampai tertidur nyenyak sambil bersenandung lagu 'Kami adalah Hama'. Andai tidak begitu, kewaspadaan malamnya mungkin akan lebih tinggi sehingga bisa menemukan si mesum pencuri pakaian dalam. Dalam penyesalan samar, ia menunjuk Lingjing di kejauhan: “Ngomong-ngomong, Young Master Rong, mari kita meminta maaf. Kurasa... hehe, lebih baik pergi bersama.”
“Nanti saja ketemu lagi...” Tan Junrong tersenyum, “Aku mau cuci muka dulu.”
Begitu keluar dari penglihatan Du Li, tatapan Tan Junrong kembali dipenuhi kemarahan: “Sial! Ulah iseng siapa ini? Kalau ketahuan...”
Dengan mood seperti ini, setelah selesai membersihkan diri di tepi sungai kecil, dia pura-pura pergi ke toilet di pinggir jalan. Melihat kerumunan orang yang ramai, dia berbalik menuju hutan di sisi lain sambil terus memandang penuh kewaspadaan ke kanan-kiri selama berjalan. Setelah akhirnya tiba di tempat sepi, tangannya baru menyusup ke dalam baju dan mengeluarkan satu set pakaian dalam wanita seksi dengan pinggiran renda pink.
Bra yang sudah kusut akibat diusap-usap dan celana dalam semi-transparan itu dipegangnya dengan ekspresi kompleks beberapa saat, pandangan tetap waspada mengamati sekeliling. Setelah beberapa saat, dia mengangkat celana dalam kecil semi-transparan itu ke hidungnya dan menciumnya, lalu mengumpat: "Sial!..." Akhirnya semua barang di tangannya dilempar ke tanah.
Setelah sekali lagi melirik sekeliling, Tan Junrong berbalik pergi. Baru beberapa langkah, dia kembali tidak tenang dan berbalik - membiarkan pakaian dalam tergeletak begitu saja di tanah terlalu mencolok... Dia mengambilnya lagi, berjalan ke semak belukar di samping dan melemparkan barang-barang itu ke dalam. Setelah berdiri sebentar merenung, dia kembali berjongkok mencoba menutupi kedua benda itu dengan daun-daun kering dan ranting.
“Kemarin sore, sekelompok besar orang masuk ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar, hingga sekarang, sisa-sisa ranting yang benar-benar tersisa juga tidak banyak. Setelah mencari-cari daun dan debu di sekeliling untuk ditaburkan di atasnya, membuat kedua tangan menjadi kotor, namun ketika berdiri melihat, tumpukan besar di semak belukar masih terlihat cukup mencolok. Setelah menatap lama sambil bertepuk tangan, akhirnya dia berbalik pergi, namun belum beberapa detik, dia kembali untuk kedua kalinya.”
“Kali ini, pandangannya berkilauan dengan tekad baja. Dia menyambar pakaian dalam dari tumpukan kecil itu, mengeluarkan korek api dan membakarnya. Sambil membakar, matanya yang tajam masih tegang mengawasi sekeliling. Menjauh dari rumput tepi sungai, hutan di pagi hari sunyi senyap, sinar mentari pagi yang cerah menyorotkan kilauan keemasan melalui celah-celah pepohonan. Dia menarik napas dalam-dalam, menyaksikan kedua benda itu berubah menjadi debu dan abu di tangannya, lalu akhirnya berbalik pergi.”
“Jebakan untukku... Akan kutunggu saatnya menangkapmu...”
“Gumaman penuh kebencian menghilang di antara pepohonan. Pada saat yang sama, di pohon berjarak ratusan meter dari tempat ini, dua pasukan khusus yang bertugas pengamanan sedang mengawasi situasi dengan senapan runduk, saling berkomentar: 'Orang kaya benar-benar mesum ya...'”
“Dengan jarak diperpendek hingga 20 meter, Roti Kukus Kecil bersembunyi di balik semak belukar, memandangi resi yang telah menjadi abu: 'Bangsat... Malah dibakar, sungguh disayangkan... Tidak, terlalu memalukan...'”
Di sisi lain, di belakang pohon besar, Jiaming sedang merekam punggung Tan Junrong yang pergi dengan kamera DV sambil berdiskusi dengan Tenku Masaoka di belakangnya tentang kejelasan gambaran: "Gimana perasaanmu? Menurutku ini sudah cukup bagus."
"Dulu bilang orang Jepang mesum, sekarang aku rasa orang yang ngomong gitu benar-benar tidak punya prinsip... Manusia tidak boleh mesum sampai tingkat segini." Tenku mengeluarkan decak kagum.
"Betul, aku juga berpikir begitu. Orang ini terlalu mesum... Makanya aku memutuskan untuk membongkar hal-hal yang dilakukannya, mengembalikan dunia yang bersih untuk semua orang." Jiaming mengangguk setuju.
"Sebenarnya... yang kumaksud itu kamu..."
"Oh, tapi ini pelajaranku dulu waktu di Jepang bersama para senior."
"Aku tidak percaya Jepang punya senior seperti ini..."
"Sekarang kau tidak ingin bilang kalau Jepang itu negara yang polos kan?"
"Hanya saja menurutku tidak semesum dirimu..."
Di sisi lain, Tan Junrong keluar dari hutan. Setelah mencuci tangannya di sungai kecil, akhirnya memastikan masalah perangkap telah berakhir. Selanjutnya tinggal menangkap pelaku saat operasi keduanya. Hatinya mulai tenang saat bertemu dengan seorang kawan: "Eh, Young Master Rong tahu tidak? Semalam pakaian dalam Du Li dicuri..."
"Du Li?" Dia tertegun sejenak, lalu mulutnya menganga. "Masa sih? Orang mesum pencuri pakaian dalam? Ini benar-benar memalukan..."
"Memalukan! Memalukan banget..."
“Hal kemarin……sungguh memalukan, kalian datang membantu tapi aku bersikap seperti itu, sebenarnya……sangat menyesal, karena kemarin juga mengalami beberapa hal yang membuatku agak……Heh, singkatnya, jangan dipikirkan lagi……”
Setelah sarapan, Tan Junrong dan Du Li datang untuk meminta maaf. Terlihat jelas, wanita seperti Du Li jarang memiliki pengalaman meminta maaf, tapi hasil permintaan maafnya cukup memuaskan, tepatnya agak memuaskan dirinya sendiri. Karena bahkan setelah meminta maaf, sikap Lingjing terhadap Tan Junrong tetap tidak berubah - sopan tapi jelas renggang.
Jiang Yuwei tampak khawatir dengan situasi ini, kemudian mengundang Lingjing dan yang lain untuk mendaki gunung pagi itu, mungkin bermaksud memberi kesempatan pada Tan Junrong. Tentu saja ditolak serentak karena mereka berencana bermain game Monopoli di sini pagi ini, tidak ikut aktivitas apapun.
“Tidak mungkin! Susah-susah camping malah mengurung diri main catur? Membosankan sekali.” Jiang Yuwei memandangi Jiaming dkk dengan tatapan seperti melihat monster. Lingjing tersenyum: “Main game di tenda juga menarik kok.”
“Kami adalah grup delapan orang yang membosankan dan tidak menarik,” Jiaming menyeringai kesal padanya, “Kalau tidak suka jangan datang, terima kasih.”
“Hei, kita kan teman sekelas! Kok sikapmu begini sih!”
“Gu Jiaming adalah simbol kelicikan dan ketidakmaluan, kau jelas tak punya kesadaran yang jelas tentangnya.” Dongfang Wan menyambut di samping. Meski dia juga menyukai operasi kolektif, terhadap keputusan semua orang untuk tetap tinggal bermain game papan ini dia mengangkat tangan setuju, alasannya terletak pada kondisi tubuh Ruo Ruo yang tidak baik, secara alami tidak bisa melakukan hal-hal seperti mendaki gunung atau petualangan. Sebagai perawat paruh waktu, dia juga harus bersama pasien. Awalnya mengira hanya akan menonton TV sepanjang pagi, sekarang jelas merupakan kondisi terbaik.
Jiang Yuwei mendapat respons dingin, hatinya kesal, berbalik ingin meyakinkan target utama secara terpisah: "Lingjing, kalau mereka tidak mau pergi, kita saja yang pergi, banyak orang juga ikut."
"Terima kasih, sungguh tidak jadi pergi."
"Jangan merusak suasana begini setuju..."
"Kau baru yang merusak suasana." Melihatnya terus mengoceh tak mau melepaskan Lingjing, Shasha di samping tak sabar bersuara, "Dia sudah bilang tidak pergi, kapan berhentinya kau ini! Mau memperkenalkan pacar untuk orang lain juga bukan caranya seperti ini!"
Jiang Yuwei tertegun sebentar: "Aku tak tahu apa yang kau maksud..." Lingjing membuka mulut: "Shasha, sudahlah." Shasha justru mengerutkan kening: "Lingjing, beberapa hal lebih cepat jelas lebih baik. Jiang Yuwei, kukasih tahu, Lingjing pasti takkan pernah menyukai Tan Junrong itu!"
“Rencana di hati terbongkar, Jiang Yuwei melirik Lingjing yang juga mengangkat bahu penuh penyesalan sambil bergumam, ‘Kalian salah sangka.’ Ia berbalik pergi. Baru semalam ia bertengkar dengan pacarnya Andy karena urusan Kaoru, kini menghadapi situasi ini, moodnya langsung anjlok. Kembali ke tenda, saat keluar matanya merah membara, jelas habis menangis. Setelah bicara dengan Tan Junrong, ia bersama Du Li dkk bergabung dalam rombongan pendakian. Dipandu beberapa panitia, mereka meninggalkan perkemahan menyusuri aliran sungai.
Mungkin karena ucapan Jiang Yuwei tadi, Tan Junrong tidak ikut kebanyakan orang beraktivitas. Sekitar pukul sepuluh pagi, melihat Lingjing keluar sendirian dari tenda, ia menyelinap di belakang. Namun saat jarak menyusut jadi 10 meter, seseorang tiba-tiba menepuk bahunya: “Hei, Young Master, kebetulan sekali ya.” Menoleh, ternyata Jiaming yang membawa kamera DV.
“Emm, ada perlu apa?”
“Nggak ada. Baru saja syuting, lihat kamu ngikutin Lingjing dari belakang, ini…” Ia mengayun-ayunkan kamera DV. Tan Junrong teringat rumor bahwa dirui dicurigai naksir Lingjing, wajahnya berubah pucat: “Terus kenapa? Urusannya bukan urusan lo kali!”
“Tidak ada hubungannya.” Jiaming mengangkat bahu, tersenyum tulus, “Sebenarnya, gambaran yang tidak sengaja kurekam di hutan pagi ini juga tak ada kaitannya denganku... Tapi kurasa Rong Shao mungkin tertarik, jadi kubawa untuk diteliti...”
## Bagian Tiga Ratus Tiga Puluh Dua Menyewa Pembunuh untuk MEMBUNUH
“Aku harus MEMBUNUHNYA.” Gumamnya.
Hidup manusia hanya beberapa dekade, keinginan tulus untuk MEMBUNUH mungkin jarang muncul. Sebagai anak orang kaya yang manja dengan kekayaan keluarga melebihi miliar, kemungkinan Tan Junrong merealisasikan niat ini jelas jauh lebih besar daripada orang biasa. Kekayaan melebihi miliar - nilai ini mungkin akan terdepresiasi drastis beberapa tahun kemudian, tapi di tahun 1999 sekarang, di banyak tempat 1,5 juta saja sudah bisa disebut pengusaha kaya, gelar miliarder masih bisa menakutkan banyak orang.
Harus MEMBUNUHNYA! Dalam tenda kecil itu ia mondar-mandir sambil menggigit gigi, di hatinya mengulang kehendak ini untuk Keseribu Seratus Sembilan Belas kalinya.
Mengingat rekaman DV yang ditontonnya beberapa menit lalu, ancaman yang diterimanya, darahnya terus mendidih hingga sulit duduk tenang. Dengan begini, tuduhan pagi tadi juga menemui alasan. Tak disangka akan bertemu manusia licik seperti ini. Licik! Taktik kotor! Hina! Rendahan! Gu Jiaming harus MATI!
"Dalam lebih dari dua puluh tahun kehidupannya sebelumnya, dia bisa dibilang hidup dalam kemewahan. Sesekali bersikap lancang dan sewenang-wenang, biasanya untuk mengecek perempuan atau menyuruh preman memukul orang, tapi tidak pernah sampai menghilangkan nyawa. Tentu saja, alasan utamanya karena penanganan pasca kasus pembunuhan terlalu merepotkan. Tapi kali ini, dia sudah memutuskan bahkan masalah sebesar apapun harus dihadapi untuk membunuh orang ini. Yang terpenting, tidak ada sedikitpun rasa bersalah di hatinya - seolah dia sedang melaksanakan kehendak Tuhan."
"Berdiri dan duduk bergantian di dalam tenda selama kurang lebih setengah jam, dia membangun mental. 'Membunuh' kini telah menjadi target hidup seperti rencana lima tahun yang terukir dalam pikirannya. Tak peduli harus menggunakan semua koneksi dan uang, dia pasti akan menghabisi orang ini. Setelah menarik napas dalam beberapa kali, dia mulai menghubungi orang lewat telepon."
"『Wei, Paman Gu, ada urusan... Aku tahu koneksimu di Jianghai banyak. Tolong perkenalkan seseorang... Aku mau bunuh orang... Bukan becanda, uang bukan masalah, berapapun akan kukeluarkan... Yang penting bisa diandalkan... Tenang, targetku ini tidak punya latar belakang kuat... Oke, aku akan langsung bicara dengannya, urusan ini tidak ada hubungannya denganmu, Paman Gu... Tidak masalah jika agak terlambat... Hmm, Kakak Pisang? OK, aku tunggu telponnya...』"
"Biasanya saat membayar orang untuk bantu berkelahi, tak pernah segugup ini. Membayar orang untuk MEMBUNUH, bagaimanapun juga ini pertama kalinya. Tapi tidak bisa memberitahu ayah, pasti dia punya banyak koneksi. Paman Gu orang yang bisa dipercaya, tapi... Kakak Pisang? Tahu kalau anggota geng punya berbagai julukan, tapi nama segini aneh benar. Kira-kira menunggu lewat sepuluh menit, telepon berdering."
"Halo?"
"Halo, aku Pisang." Suara di seberang telepon sulit ditebak usianya, lambat dengan serak, terdengar cukup bisa diandalkan, "Kau yang bayar?"
"Hmm, aku..."
"Idiot! Mulai sekarang jangan sebut data pribadi, juga jangan banyak tanya. Satu hal penting: harga langsung 300.000. Setelah kami cek data dan putuskan menerima, bayar DP 150.000. Sisanya 150.000 setelah sukses. Jaminan aman dan terpercaya, bermasalah?"
"Ti-Tidak."
"Oke. Sekarang ceritakan latar belakang target secara garis besar. Data detail nanti akan kuminta taruh di suatu tempat untuk kami verifikasi. Di telepon cukup garis besarnya saja."
"Baik. Dia... pria, kira-kira 17-18 tahun, sepertinya tidak ada latar belakang kuat. Orang dari Grup Huang. Tapi kau tahu, keluarga Huang sudah hancur. Bahkan sebelumnya dia tidak disukai keluarga, posisinya sangat rendah. Sekarang tentu semakin..."
"Sebut nama."
"Eh?"
Mungkin tak tahan dengan kelambanannya, Pisang di seberang telepon berteriak: "NAMA! Kenapa dalam latar belakang tidak ada nama?!"
"Oh, dia Gu Jiaming."
"......" Suara hening lama di mikropon. "Maksudku... NAMAMU."
“Aku……Kau pernah bersumpah tidak menanyakan data pribadi……”
“Sekarang berbeda, namamu.” Pisang berbicara satu per satu dengan perlahan.
Tan Junrong bukan orang bodoh, situasi tiba-tiba berubah tanpa alasan jelas, hatinya menenggelam, mulai gugup mengulangi, “Kau pernah bersumpah tidak menanyakan data pribadi……”
“Shuo a!”
“……”
“Tidak mau bicara ya, kau diam pun kami bisa menyelidiki!” Mendengar kesunyian dari pihak Tan Junrong, anggota geng kriminal bernama Pisang maraung marah keluar, “Bunuh Gu Jiaming! Kuberi tahu! Seluruh keluargamu PASTI MATI! Beraninya kau masih berkecimpung di Tiongkok, kalau tidak Shazhu Bang akhirnya akan menemukanmu! Sial! Berani-beraninya mengusik orang, anak kemarin sore tak tahu langit tinggi tanah rendah, bunuh Gu Jiaming, lebih baik kau makan pisang……”
Pisang yang marah terus menerus mengaum di ujung mikropon, Tan Junrong menganga lebar, tak tahu harus berkata apa, akhirnya hanya bisa menutup telepon dengan Byur. Tak bisa memahami, apakah Gu Jiaming ini punya latar belakang Jalan Hitam……Beberapa detik kemudian, telepon berdering lagi, dia menekan tombol penerimaan, hujatan kemarahan terus mengalir dari sana.
“Sial! Aku belum selesai mengutuk, malah dimatikan……Nomor ini kan, coba saja, cepat atau lambat akan kubongkar latarmu, saat itu bunuh bunuh bunuh bunuh bunuh. Dasar kurang ajar, beraninya mematikan telepon, ayah punya koneksi di kantor telekomunikasi juga……”
“Bangsat, ternyata ketemu orang gila……” Menutup telepon lagi, Tan Junrong duduk lama tak sadarkan diri. Pengalaman pertama keinginan membunuh dalam hidupnya berubah menjadi kekacauan pikiran yang penuh keraguan setelah dihujat. Bukannya orang yang dicari Paman Gu itu katanya bisa diandalkan? Ada masalah apa sebenarnya? Apa karena dapat instruksi dari ayah, dia sengaja cari orang gila untuk menipuku atau bagaimana……
Di sisi lain, Markas Besar Shazhu Bang di Jianghai. Hampir jam sebelas malam, sekelompok orang duduk di ruang tamu bermain mahjong. Liu Zheng hari ini sedang beruntung, menang beberapa putaran berturut-turut sehingga mood-nya sangat baik. Di babak ini dia sedang menunggu kartu terakhir, tangannya yang kikuk meraba-raba ubin sambil ekspresi wajahnya berubah-ubah aneh. Beberapa pemain lain yang juga kepala pasukan Shazhu Bang tahu Liu Zheng biasanya bersikap santai, lagipula tidak terlalu ambisi menang-kalah, jadi sambil bermain mereka mengobrol soal urusan rumah tangga dan kegiatan geng. Mulai dari istri Hai melahirkan, Xiao Su ditusuk lagi, sampai melihat Jiaming jalan-jalan dengan Shasha minggu lalu. Dalam suasana seperti ini, seorang anggota geng membawa telepon ke Liu Zheng: "Bos, telepon dari Kakak Jiao."
"Hmm." Tangannya yang satu menerima telepon, sementara tangan lainnya masih meraba ubin mahjong. Tekniknya memang payah, kartu ini sulit ditebak apakah akan menyelesaikan kombinasi atau tidak, membuatnya semakin tegang. "Wei, Ah Jiao, ada apa?"
"Ada apa? Ada yang mau menyewa pembunuh..."
“Menyewa pembunuh, setiap hari ada, kan kau dapat bisnis lagi, hal baik ya……” Aaaaa, sepertinya hampir ketemu, di sini ada satu...
“Hal baik? Ada orang yang mau membunuh menantumu juga hal baik?”
“Bagus sekali!” Ketemu. Tangannya yang kanan membalik, menghantam ke meja, baru setengah jalan, ekspresi girangnya langsung beku, Byur suara ledakan dahsyat bergema di ruang tamu, seluruh meja seakan akan hancur berantakan, domino di atasnya melompat-lompat. Tiga kakak tertua yang sedang mengobrol kaget, tertegun di tempat, masa sih, bos hari ini pertama kali menang dengan aura segitu, jangan-jangan akhirnya dapet kuminati besar?
“Bagus sekali?” Pisang berteriak di telepon, “Liu Lao Da kau tidak punya sifat manusiawi ya, aku aja khawatir, orang ini terlalu kejam, semua orang di jalanan juga harus punya hati nurani dong, masa ke putri dan menantumu sendiri tega sampai segini... Oh, apa kau tidak puas sama menantumu? Menurutku bocah itu baik kok, karakternya memang agak lembut, tapi kita orang jalanan, masa kau mau anakmu jadi penerus bisnis gelap? Sekarang sudah hampir abad ke-21, jadi geng kriminal nggak ada masa depan... Bahkan jika tidak puas, nggak sampai mau dia MATI kan, dia juga nggak melakukan hal yang merugikan Shasha... Bukan maksudku nyerocos, eh, jangan tutup telepon dong...”
Tak menghiraukan omelan tak berujung dari mikropon, Liu Zheng dengan wajah pucat menghantamkan telepon genggamnya ke meja Byur, matanya menyapu tajam ke beberapa orang di hadapannya. Awalnya mengira anak buah Hu Da Man Guan yang datang melihat, seseorang terbata-bata: "Bos, ini... tipuan..." Tetap diabaikannya, ia menarik napas dalam: "Kalian membicarakan Jiaming?"
"Eh, iya." Seorang kakak tertua di samping mengangguk, "Minggu lalu melihatnya jalan-jalan dengan Shasha, itu... belanja banyak barang, heh..."
"Semua kenal Jiaming kan?"
"Tentu saja..." Tampaknya ada masalah, mereka saling bertukar pandang dengan keraguan di hati.
Liu Zheng mengulurkan tangannya: "Benar, menantu laki-laki saya, pacarnya Shasha. Semua orang tahu, anak yang baik sekali. Tak pernah berkelahian, tak menghujat, berkarakter kalem, sopan pada semua orang. Tak pernah menyalahgunakan koneksi Shazhu Bang untuk mengganggu siapapun. Hura-hura sama sekali tidak, bandingkan dengan para BANGSAT diluar sana yang hanya bisa niru gangster film, ada yang bisa menyainginya? Siapa berani maju!?"
"Benar, benar..."
Dia menepuk meja dua kali: "Anak yang begitu baik. Kau bilang Shasha adalah putriku, tapi aku harus akui sifatnya buruk dan kasar, setiap hari membawa tongkat bisbol memukul orang dan tidak bisa masak. Kau tahu mereka tinggal di luar kampus, Shasha selalu makan gratisan. Kadang aku merasa dia tidak pantas untuk Jiaming, karakter seperti dia bisa menghina siapa? Bahkan saat kita muda dulu, orang melirik saja kita langsung marah-marah, tapi aku mustahil marah pada anak seperti Jiaming..."
"Hmm..." Semua orang mengangguk setuju.
"Tapi sekarang ada yang mau menyewa pembunuh untuk dia." Liu Zheng mengerutkan mulut, "Barusan A Jiao telepon, ada yang berani sentuh Jiaming. Siapa yang bisa jelaskan ini hal apa?"
"Ti-Tidak mungkin..."
"SIAL! Bos, suruh bunuh siapa..."
"Bikin keluarganya MATI semua..."
"Berani sentuh kita..."
"Urusan Jiaming adalah urusan kita sendiri..."
Seketika, emosi semua preman, bajingan, anak jalanan, dan bos Jalan Hitam di ruangan itu meluap.
Liu Zheng menyapu habis semua ubin mahjong di mejanya: "Sial! Di dunia ini sudah tidak ada orang baik... Hari ini kita akan menegakkan Jalan Langit!"
## Bagian Tiga Ratus Tiga Puluh Tiga Lao Gu
Tan Junrong masih terus kesal.
Kejadian setengah jam yang lalu benar-benar di luar perkiraannya. Dia mematikan telepon, tentu bukan karena benar-benar takut dilacak——OK, harus diakui ada sedikit kekhawatiran——Saat ini dia agak ragu dengan identitas geng kriminal Banana. Secara logika, Paman Gu seharusnya tidak menipunya, tapi Paman Gu juga tidak seharusnya mengirim orang gila untuk menangani hal seperti ini. Sejak percakapan pertama, telepon hujatan Banana yang marah terus menerus berdering. Jika diangkat terus dimaki, jika tidak diangkat terus berdering, akhirnya terpaksa dimatikan sekalian.
Hubungan dengan Paman Gu sebenarnya cukup rumit. Dia memiliki koneksi di dunia hitam-putih Jianghai, dulunya orang kepercayaan lama ayahku, kemudian juga membantu banyak urusanku seperti menghubungkan geng kriminal untuk memukul orang, mengatur alur cerita klise Pahlawan Menyelamatkan Gadis Cantik di depan wanita, dll. Hal-hal ini tidak akan Paman Gu laporkan ke ayahku, karena itu Tan Junrong sangat mempercayainya. Tentu, mungkin urusan ingin MEMBUNUH ini terlalu ekstrem, dia benar-benar berkoordinasi dengan ayahku, lalu pihak ayah sengaja mengirim seseorang untuk menjebakku——Saat ini ini spekulasi yang paling bisa kuterima, karena itu sampai sekarang belum memutuskan apakah harus menelepon Paman Gu lagi untuk meminta pertanggungjawaban.
“Awalnya keinginan untuk MEMBUNUH sudah jelas terpateri di pikiran. Dengan semangat dia menelepon, tapi prosesnya tak sesuai dugaan—dan ketidaksesuaian ini benar-benar terlalu aneh. Rasanya seperti disiram air dingin di kepala. Dia duduk sambil berpikir tak karuan lama sekali. Kadang ingin menghubungi Paman Gu, kadang ingin menelepon ayahku. Juga merenungkan seberapa besar kemungkinan Gu Jiaming benar-benar punya pengaruh, apakah perlu diuji lagi. Mengingat ancaman sebelumnya, dia merasa terhina. "Harus membunuh orang ini, tak ada kompromi!" Tapi akhirnya, dalam setengah jam tak ada yang bisa dilakukan.
Semangat tempurnya sudah pudar. Emosinya kacau. Sepertinya perlu dipertimbangkan lagi apakah harus sampai tingkat MEMBUNUH... Ataukah mematahkan anggota tubuhnya? Dengan pikiran ini, dia mengambil telepon dan menekan nomor Paman Gu.
“Halo, Rong Shao, urusannya sudah beres?”
“Tidak beres.” Tanggapan Tan Junrong terdengar keras.
“Hah? Ada apa?”
“Apa maksudmu? Orang itu benar-benar gila! Baru bicara beberapa kata langsung berteriak di telepon. Paman Gu, jangan-jangan kau mempermainkanku?”
“M-Mana mungkin... Tidak mungkin. Rong Shao tidak mengatakan sesuatu yang menghina dia, kan?”
Tan Junrong merasa tersudut: “Aku bukan idiot! Baru beberapa patah kata, dia langsung marah. Paman Gu, jujurlah! Apa kau sudah memberi tahu ayahku? Dia tahu tak bisa mengontrolku, jadi sengaja cari orang untuk mempermalukanku!”
“Tidak ada, hal-hal ini juga bukan tidak pernah dilakukan orang. Kalau aku mau memberi tahu Pak Tan, pasti sudah berkoordinasi denganmu soal larangannya... Kurasa mungkin Banana Ge tidak mau melanjutkan bisnis ini atau bagaimana. Jangan kau khawatir, Young Master Rong, nanti aku telepon dia...”
“Aku malas berdebat... Bagaimanapun, Paman Gu, tolong selidiki data seseorang bernama Gu Jiaming. Keluarganya dari Grup Huang. Jangan kau bohongi aku lagi soal ini...”
“Gu Jiaming... OK, aku akan langsung cek sistem kepolisian. Young Master Rong, kenapa kau tidak percaya padaku...”
“Nanti telepon aku lagi.”
“Baik, akan kukabari begitu ada hasil.”
Setelah menutup telepon, Tan Junrong duduk terdiam... Apa mungkin geng kriminal yang biasa menangani urusan MEMBUNUH ini kalau menolak pesanan langsung mengancam "bunuh seluruh keluargamu"? Lalu merusak hubungan kedua belah pihak secara mutlak? Tidak masuk akal, pembunuh pun pasti menerima pesanan berulang... Saat sedang berpikir, sosok manusia membuka tenda - Andy yang bertengkar dengan pacarnya dan tidak ikut aktivitas kelompok: "Hey, Young Master Rong, kulihat kau jarang keluar tenda. Makan yuk."
“OK, SEKARANG JUGA.”
“Ngomong-ngomong, Young Master Rong.” Andy tersenyum, “Nanti akan kuperkenalkan teman yang pernah kubicarakan, mantan pasukan khusus. Hehe, meski kemarin aku kalah dari Nona Tsukike, tapi temanku ini ahli Kung Fu asli...”
……
……
Di saat bersamaan, Jianghai.
Di lantai tiga sebuah gedung tua, terdapat kamar-kamar yang agak berantakan. Seorang pria paruh baya berjuluk "Lao Gu" sedang memasak mi instan di dapur yang berantakan, telepon masih terjepit di bahunya.
"...Hmm, namanya Gu Jiaming... Entah bagaimana penulisannya yang tidak jelas, pokoknya tiga karakter ini... Maaf merepotkan, Kepala Wu. Tolong kirim data via faks setelah selesai, lain kali saya traktir makan... Hehe, dah..."
Dengan suara "Prak" ia melemparkan gagang telepon. Dalam hati ia mempertimbangkan apakah harus menelepon Banana Ge lagi. Karena situasinya sudah jelas - Tan Junrong mengajukan permintaan, pihak sana tidak menerima, jadi beberapa hujatan pun dilontarkan sebelum ditutup. Ada banyak alasan menolak bisnis ini: mungkin situasi sedang genting, mungkin identitas orang itu agak sensitif - faktanya siapa pun yang berani menghina Tan Junrong pasti punya latar belakang tertentu. Meski Tan Junrong bilang tidak ada latar belakang sama sekali, dia sudah siap mental. Atau mungkin karena cuaca hari ini buruk, membuat Banana Ge tidak punya mood. Siapa yang tahu? MEMBUNUH berbeda dengan menyuruh preman kecil untuk berkelahi, menolak pesanan adalah hal biasa.
Tapi, mengingat ini Tan Junrong... Lebih baik telepon lagi...
Sambil berpikir demikian, saat tangannya baru mengangkat pesawat telepon dan belum sempat memutar nomor, bel pintu berbunyi di dalam kamar. Ia mengerutkan alis: "Siapa itu? Salah alamat!"
Bel pintu tampaknya tidak akan berbunyi lagi, mungkin hanya ulah iseng anak kecil di sekitar. Namun karena kehati-hatian, sambil menekan nomor telepon ia berjalan mendekati pintu. Saat dering telepon bergema di mikropon, sepertinya suara yang sama juga terdengar dari luar. Dengan satu tangan memegang receiver, melalui lubang pengintip ia melihat bayangan beberapa pria berjas hitam di luar. Sekejap mata, ketegangan yang tak terkatakan merambat dari tengkuknya.
“……”
"Halo, aku Jia Ming, ada di depan pintu rumahmu."
Intuisi yang tak bisa dijelaskan, firasat berbahaya membanjiri pikirannya. Ia tahu pasti, hal ini mungkin sudah parah, meski tak tahu penyebabnya. Begitu kalimat itu terucap, seorang pria paruh baya bermuka serius di luar pintu mengayunkan jarinya di samping tubuh.
Ia melemparkan telepon dan berbalik lari!
Braak! Pintu di belakangnya ditendang hingga berdebuk, mengangkat debu setinggi langit-langit kamar. Dengan tiga langkah sekaligus ia sampai di jendela darurat, hendak melompat ke bawah. Namun saat melihat pemandangan di bawah, tiba-tiba ia tertegun. Saat menoleh, beberapa pria berjas hitam berdiri di luar pintu memandangnya dengan dingin.
Yang pertama muncul adalah Ketua Perkumpulan Shazhu Bang Liu Zheng, diikuti beberapa bos departemen penting Shazhu Bang, ditambah pisang spesialis urusan pembunuhan. Seiring ekspansi Shazhu Bang, status orang-orang ini semakin melambung - mereka semua tokoh berpengaruh di Jalan Hitam Jianghai. Biasanya sulit bertemu satu pun, tapi kenapa tiba-tiba semua berkumpul di sini? Apakah Perang Dunia III akan pecah? Memang ada kunci bunker di sini...
"Loncat! Loncat! Di bawah ada 300 orang menantimu! Loncat pun nanti harus naik lagi!"
Liu Zheng memasuki ruangan dengan para pengikutnya. Aura bos geng veteran ini menggetarkan. Lao Gu gemetar, hampir bersujud: "To... Tuan-tuan, sebenarnya ada masalah apa..."
Fax di meja samping berbunyi "Krak-krak", mengeluarkan dokumen profil Gu Jiaming. Suara mi instan mendidih di dapur terdengar jelas. Liu Zheng menjentikkan jari: "Bawa mi itu! Sial, sampai belum sempat makan siang... Dan itu, masih belum terkoneksi dengan grup tur?"
"Sedang memanggil orang, tapi jumlahnya banyak jadi agak lama," jawab seseorang sambil memegang telepon di gerbang.
“Semua hal tidak karuan ini sama sekali tidak efisien……” Liu Zheng bergumam pelan, mencari kursi dan duduk di depan Lao Gu itu, mengayunkan tangan: “Duduklah.” Di seberang, orang itu langsung bersujud.
Saat itu, Lao Gu berada dekat mesin faks. Hampir sekilas ia melihat catatan “Pacar Gu Jiaming, Liu Huaisha, adalah anak tunggal Liu Zheng dari Shazhu Bang” dalam dokumen. Hatinya nyaris tenggelam ke dasar laut dalam sekejap mata. Liu Zheng sambil menerima mi instan, menyuapkannya dalam mulutnya, sambil mengambil dokumen faks itu dan membaca. Kemudian langsung melemparkannya ke wajah lawannya: “Katakan, siapa?”
“Bos, hal ini tidak ada hubungannya denganku, aku sama sekali tidak tahu… Ada yang menyuruhku menyelidiki orang ini…”
Sebelum kalimatnya selesai, Liu Zheng mengayunkan panci besi kecil berisi mi ke kepala pria itu. Kuah mie mendidih langsung mengalir deras. “Aaaaa——” Ia berteriak kesakitan sambil berguling di lantai, terus menjerit-jerit. Bersamaan itu, orang di luar pintu membawa telepon masuk: “Bos, Jiaming mengangkat telepon.”
“Jangan biarkan dia berteriak.” Menunjuk tubuh yang berguling di lantai, Liu Zheng menerima telepon dan berjalan ke luar: “Halo, Jiaming?… Oh, memang agak ribut di sini sedang main mahjong. Lao Yang kalah uang sampai nangis histeris. Lupakan itu, sekarang kau di mana?”
Di sisi lain, di hamparan rumput tempat berkemah, saatnya makan malam. Jiaming memegang telepon dengan mulut menganga, ekspresinya sangat tidak percaya.
Malah membuat ayah Shasha terseret ke dalam. Ini… Bisa dibilang seperti ulat yang mengurung diri sendiri dalam kepompong…
## Bagian Tiga Ratus Tiga Puluh Empat Tidak Takut Apapun
“……Apa, menyewa pembunuh untuk membunuhku? Heh... Beli sampai ke Paman Liu kamu ya... Aku kurang lebih paham situasinya, sebenarnya agak rumit, orang itu belum tentu benar-benar berani...” Di atas rumput tepi sungai, Jiaming sambil menerima telepon mengerutkan alisnya, memandang jauh ke Tan Junrong, tak menyangka orang ini benar-benar berani melakukannya, “Tenang saja Paman Liu, kamu juga tahu kami sedang bersama Fang Zhitian di sini, di mana-mana ada pasukan khusus, polisi berpakaian sipil, MEMBUNUH... Siapa yang berani...”
“Tapi di sana kalian cari telepon saja perlu setengah hari...” Liu Zheng berteriak di telepon, “Setelah pulang nanti aku akan memasangkan ponsel untuk kalian semua.”
“Batuk, Paman Liu... Oke oke, aku tahu, hal ini bisa kuselesaikan sendiri... Paman Liu, jangan sampai kamu ingin menghabisi orang itu ya, dia tidak pantas dihukum mati... Nanti pulang akan kuberitahu, urusan ini akan kuselesaikan, percayalah... Iya iya, aku pasti awas, kamu tahu aku pernah latihan ilmu bela diri, kalau berkelahi juga bukan lawan sembarangan... Di sana Shasha memanggilku untuk makan, Paman Liu mau bicara dengan Shasha... Oh, dadah...”
Tewas di telepon, Jiaming mengangkat bahu dengan kekecewaan, Tenku Masaoka menghampiri dari samping: “Ada apa? Tadi teleponnya terlihat sangat mendesak mencari kamu.”
“Tidak ada.” Dia menghela napas, “Aku sendiri malah dikibuli...”
Di sisi lain, Liu Zheng memegang telepon dengan ekspresi agak aneh, beberapa orang di sekitarnya menghampiri: “Bos, gimana kabarnya?”
"Tidak apa-apa, anak kecil memang butuh keyakinan dan pengertian. Jiaming bilang urusan ini akan dia selesaikan sendiri. Karena dia bersama Fang Zhitian dan rombongannya, untuk sementara seharusnya tidak bermasalah. Lagipula mereka sekelompok cukup lihai..." Nada suara Liu Zheng terdengar kecewa, "Katanya buku, saat yang tepat orangtua tetap harus memberi ruang kebebasan untuk mereka berkembang, ya kan..."
"Lalu kita... tidak ikut campur?"
"Bercanda macam apa ini! Kita lakukan bagian kita, jangan beri tahu si anak kecil!" Liu Zheng memelototinya, langsung mengeluarkan pistol dari balik baju, melangkah maju dan menempelkannya ke kepala pria yang masih berguling-guling di tanah. Membungkuk perlahan, berbicara satu per satu dengan tegas:
"Kenapa teriak-teriak? Tidak lihat para bos semua tegang? Kalau ada nyawa melayang siapa yang bertanggung jawab! Apa kau mau seluruh keluarga mati semua!? Aaaaa?"
……
……
Tepi sungai, jam makan siang.
Sambil menyantap makanan, ekspresi Tan Junrong mulai cemas. Di sebelahnya duduk Andy, lalu teman yang diperkenalkan Andy padanya. Pria bernama Wu Mingfei ini adalah salah satu pasukan khusus yang mengikuti Fang Zhitian, tentu saja mengenakan baju sipil sambil makan dan berdiskusi dengan Andy tentang pertarungan kemarin dengan Kaoru. Bekas pasukan khusus seperti ini jika sudah pensiun, sebagian besar memilih menjadi pengawal orang kaya. Yang benar-benar kompeten sangat dicari. Biasanya Tan Junrong akan antusias dengan pergaulan semacam ini, tapi kali ini jelas tidak bermood.
“……Menurut penjelasan bos Gedung Kecil kami, gadis bernama Kaoru yang bertarung denganmu kemarin, fondasi seni beladirinya berasal dari teknik ninja Jepang bernama 'Chiseisenran'. Namun orang yang mengajarkannya Kung Fu China juga sangat hebat, telah menyatukan sempurna elemen-elemen ini dengan fasilitas fisiknya. Dalam kondisi pencahayaan kurang terang, sangat sulit menangkap pola pergerakannya. Jika bertarung di ring gedung olahraga sesungguhnya, mungkin akan lebih mudah......”
Menurut penuturan Wu Mingfei, seseorang bernama Xiaolou sepertinya adalah kapten tim mereka. Begitu disebut namanya, kekaguman langsung terpancar. Memang Xiaolou, Banana... Makhluk Aneh menggunakan nama-nama aneh, pikir Tan Junrong dalam hati. Andy bertanya bingung: "Ilmu ninja Jepang? Jadi yang dia gunakan bukan Kung Fu China?"
“Heh, Andy, menurutku setelah bertahun-tahun belajar beladiri bebas, pemahamanmu di bidang ini masih dangkal ya... Teknik yang dia pakai adalah kombinasi ilmu ninja dan Seni bela diri Tiongkok, tapi dia sudah berhasil menambahkan interpretasi pribadinya ke dalamnya. Tahukah kau, meniru itu mudah, tapi menginternalisasi pengetahuan itu menjadi bagian dari dirimu-lah yang paling sulit. Pasti guru yang mengajarinya juga seorang Master... Andy, pemahamanmu tentang Seni bela diri Tiongkok selalu keliru. Kekuatan, kecepatan, kemampuan tank - itu semua benar, tapi masalahnya kau pikir gerakan mekanis murni dengan prinsip pengungkit menjauh dan akselerasi bisa menciptakan kerusakan fisik maksimal. Faktanya, sistem internal tubuh manusia jauh lebih kompleks daripada penelitian ilmiah biasa. Dengan kekuatanmu sekarang, bahkan jika bos gedung kecil kita diam saja kau pukuli, belum tentu kau bisa melukainya...”
“Mana mungkin...”
“Aku pernah mencoba... Dia sedang tidak keluar sekarang, nanti kalau ada kesempatan akan kutunjukkan. Xiao Lou... Jangan terkecoh nama feminin dan kulitnya yang putih lembut seperti wanita, seolah mudah rusak tersentuh. Tapi beberapa pasukan khusus biasa benar-benar tidak bisa mengalahkannya. Kami di ketentaraan memanggilnya Terminator...”
Setelah mengobrol beberapa saat, Andy beberapa kali melirik Tan Junrong, akhirnya bertanya: “Young Master Rong, dari ekspresimu, ada hal yang bermasalah?”
“Heh, tidak...” Tan Junrong menggelengkan kepala, tapi ekspresinya sama sekali tidak persuasif.
Andy dan Wu Mingfei bertukar pandang: "Rong Shao, jangan-jangan karena cewek itu? Sebelumnya tak pernah kulihat kau khawatir akan hal seperti ini..."
Wu Mingfei penasaran bertanya: "Cewek apa?"
"Bukan..." Tan Junrong tersenyum, berpikir sejenak, akhirnya berkata, "Pagi tadi ada masalah, dikibuli orang."
Andy mengerutkan kening: "Tidak mungkin, siapa..." Awalnya ingin bilang berani-beraninya mengganggu Rong Shao, tapi setelah dipikir, banyak juga orang berkualifikasi di tim kemping ini, lalu ganti kalimat: "Jika ada masalah di sini, Rong Shao bisa cari Mingfei. Bagaimanapun dia bertanggung jawab atas keamanan sini."
Wu Mingfei mengangguk: "Setidaknya di sini, urusan biasa masih bisa kubantu. Atau kalau perlu, hubunganku dengan bos kami juga baik. Rong Shao, kau teman Andy, berarti temanku juga. Ada masalah silakan bicara."
"Heh, sebenarnya... Aku agak sulit menjelaskan detailnya? Aku dikibuli bajingan itu, sekarang dia pegang rekaman videoku. Tapi masalahnya... hal ini... aku..."
"Aku paham, Rong Shao." Wu Mingfei tersenyum geleng-geleng kepala, "Bos kami pernah bilang, orang yang suka main licik biasanya tidak punya kekuatan nyata. Rekaman video ya? Sekarang ada yang menuntutmu, ini bidang keahlian kami. Meski belum tentu bisa menghabisi dia, tapi mengambil kembali barang dengan damai pasti bisa. Bagaimanapun kami bertugas menjaga keamanan sini. Pemerasan siapapun pelakunya, tidak kami izinkan. Bisa tahu siapa orang itu..."
Wu Mingfei berbicara sesuai seleranya, Tan Junrong mengangguk: "Heh, poin ini Aming tidak perlu kau khawatirkan. Dari yang kudengar, orang itu benar-benar tidak punya latar belakang. Nah..." Ia memutar lehernya, "Itu yang pakai jaket biru di sebelah sana, si bocah bernama Gu Jiaming."
Begitu melihat ke arah sana, wajah Wu Mingfei berubah drastis, mulutnya yang menganga lama tak bisa tertutup. Di sisi lain, Tan Junrong masih melanjutkan: "Dia terutama punya satu Teman, Dongfang Wan dari keluarga Dongfang, tapi sepertinya hubungannya tidak terlalu dekat. Konon awalnya dari keluarga Huang, sejak kecil sudah MATI orang tua, di keluarga Huang juga tidak dihargai. Dulu di kampus, selalu jadi bulan-bulanan. Perempuan bernama Ye Lingjing di sebelahnya, keluarganya hanya punya perguruan silat kecil..."
Saat sampai di sini, Andy teringat sesuatu: "Eh? Tunggu, Aming. Tadi kau bilang Master Kaoru pasti adalah Master Seni Bela Diri, jangan-jangan belajar di keluarga Ye Lingjing? Kalau begitu... bagaimana bisa disebut perguruan silat kecil..."
Menoleh, terlihat Wu Mingfei tersenyum agak kaku. Setelah beberapa saat, baru berkata: "Young Master Rong, benarkah itu Gu Jiaming?"
"Emm, ada apa?" Hati Tan Junrong sedikit mencelup.
“Heh, ada beberapa hal yang bersifat rahasia, aku tidak tahu, bahkan jika tahu pun tidak bisa membocorkannya. Tapi mengenai Gu Jiaming itu... mari kita bahas hal permukaan saja. Rong Shao benar, Dongfang Wan itu anggota keluarga Dongfang, adik perempuan Dongfang Lu. Oh, katanya kemarin Dongfang Lu dikejar adiknya sampai dipukul tongkat, entah kalian lihat atau tidak. Dia adalah pewaris keluarga Dongfang, dan hubungannya cukup baik dengan Gu Jiaming.”
Andy membuka mulut lebar: “Ti-tidak mungkin? Bocah itu ternyata Dongfang Lu?”
Wu Mingfei menarik napas dalam: “Sebenarnya posisi Dongfang Wan di keluarganya tidak terlalu penting. Dia mendirikan pabrik mainan sendiri, basically tidak banyak meminta bantuan keluarga. Lalu Gu Jiaming... Benar, dulu dia memang sering diganggu. Keluarga Ye Lingjing memang mengelola perguruan silat kecil. Tapi kenapa kalian tidak memikirkan orang lain di sekitarnya? Guru Yahan yang bersamanya adalah putrinya Zhang Jing'an, memiliki koneksi luas di Jianghai. Mereka bertiga menjalin persahabatan yang mengabaikan perbedaan usia, teman terbaik yang bisa saling membantu tanpa syarat. Untung Rong Shao tidak bertindak gegabah, kalau tidak, dia sendiri sudah cukup membuatmu menderita.”
“Masih ada... Andy, aku kira kau sudah tahu. Tsukike Kaoru yang bertarung denganmu kemarin adalah putri sulung Chairman Pool Sakura dari Jepang, grup multinasional dengan aset bernilai miliaran. Di Akademi Hati Kudus, dia tidak bergaul dengan siapa pun kecuali Gu Jiaming. Tahun lalu ketika ada yang membicarakan hal buruk tentang Gu Jiaming, dia sendirian memukul lebih dari 50 anggota klub bela diri. Tenku Masaoka yang jadi tunangannya itu bukan cuma doktor ganda di bidang biologi internasional, tapi juga pewaris urutan kedua konglomerat Kawasaki - salah satu tiga raksasa keuangan Jepang. Kalian pasti pernah dengar, kan...”
Andy dan Tan Junrong terdiam kaku.
“...Lihat gadis berkursi roda di sebelahnya. Itu keponakan kesayangan Kepala Fang yang sejak kecil sering sakit-sakitan. Selain kakinya tidak sempurna, matanya juga buta. Ke mana-mana pasti dikawal satu batalyon lengkap dokter. Tapi Gu Jiaming bisa membawanya keluar seperti ini. Dari situ kau bisa tahu seberapa besar kepercayaan Kepala Fang padanya... Ngomong-ngomong, beberapa hari lalu Kepala Fang baru tiba di Jianghai. Begitu turun pesawat, belum sempat ke penginapan langsung cari Gu Jiaming di keluarga Huang. Kalian tidak tahu?”
Keduanya menggelengkan kepala dengan gerakan kaku.
“Hal-hal dalam seperti alasan sebenarnya aku juga tidak tahu, jadi tidak bisa berkomentar... Hal semacam ini hanya bisa diakses oleh bos kami yang levelnya setara dan orang-orang dengan identitas khusus. Yang kuketahui, bos kami juga mengenalnya, setiap kali menyebut selalu memanggilnya 'adik Jiaming'. Jadi... Tuan Rong, aku tidak tahu apa kesalahpahamanmu dengannya, tapi masalah ini benar-benar...”
Wu Mingfei menunjukkan ekspresi sulit di wajahnya, bersamaan itu dari perkemahan di seberang muncul seorang perempuan membawa kaleng daging ikan keluar dari tenda, dia menunjuk dengan jarinya.
“Oh, ada juga dia, tadi lupa menyebutkan, kalian kenal dengannya?”
Andy mengangguk dengan keraguan: “Katanya pacarnya Gu Jiaming, namanya Liu Huaisha...”
“Hmm, benar, ayahnya adalah bos Shazhu Bang di Jianghai, Liu Zheng. Meski di Tiongkok geng kriminal tidak punya masa depan, tapi Liu Zheng pasti punya backingan dari atasan. Aku biasanya ikut bos mereka di Beijing, kali ini datang ke Jianghai juga tidak terlalu paham situasi, tapi sekilas melihat, Shazhu Bang sepertinya geng terbesar di Jianghai, tanpa tandingan. Tentu menurut data-data, sifat Liu Huaisha termasuk baik, meski kadang bertengkar dengan orang, kecuali benar-benar masalah besar, jarang menggunakan kekuatan geng untuk menekan orang. Tuan Rong jangan khawatir... Tuan Rong?”
Tuan Rong sudah benar-benar membeku, akhirnya dia mengerti sumber Kemarahan Pisang di telepon tadi. Memang mereka jarang menggunakan kekuatan geng, tapi masalahnya... Kali ini dia sendiri yang datang sendiri...
……
……
Menjelang sore, langit mulai mendung, sepertinya akan turun hujan.
Saat Dongfang Wan membawa jus masuk melalui pintu tenda, Jiaming sedang memungut biaya jalan terakhir yang membuat Shasha bangkrut, tertawa dengan lancang: "Haha, cepat bayar! Kalau nggak mau bayar, jual badan buat lunasin utang!"
"Dari dulu kan udah dijual ke kamu." Lingjing tersenyum.
"Apa sih. Dia cuma mau narik biaya jalan dari aku doang." Shasha berteriak kesal, mengambil apel dan melemparkannya.
Sekelompok orang berdesakan di dalam tenda ukuran sedang ini, suara mereka riuh rendah tapi jelas semuanya dalam mood bagus. Dongfang Wan yang suka aktivitas kelompok ini pun cukup puas dengan suasana tersebut, sambil tersenyum memberikan jus ke Shasha: "Shasha kalah ya? Haha, ini hadiah pertama buat kamu." Sistem hukuman mereka adalah yang kalah harus mengerjakan pekerjaan kasar. Karena Dongfang Wan adalah korban sebelumnya, dia merasa bersimpati pada Shasha - atau lebih tepatnya senang sudah menemukan kambing hitam pengganti.
Shasha menerima minuman: "Ngomong-ngomong, cuaca di luar keliatan mendung. Hari ini nggak hujan kan?"
"Menurut ramalan cuaca beberapa hari ini nggak akan hujan." Jiaming melihat ke langit di luar tenda sambil mengerutkan kening. Dongfang Wan menyodorkan minuman ke Ruo Ruo yang sedang membaca novel roman braille di pojok, memelototinya: "Idiot, kapan ramalan cuaca pernah akurat?"
“Bagaimana kalau turun hujan?” Ruo Ruo memegang jus, mulai khawatir, “Apa kita pulang naik mobil?” Bagi gadis ini, belasan tahun Kehidupan yang dihabiskan dalam penderitaan penyakit, bergulat antara laboratorium dan biara, pengalaman bermain bersama banyak orang sambil mendengar tawa Semua orang benar-benar belum pernah terjadi. Apalagi dalam setahun terakhir, kesempatan untuk menekan sakit kepala secara signifikan juga jarang. Di hati sang gadis, mungkin inilah momen paling memuaskan sekaligus paling melekat dengan Segalanya. Mendengar perjalanan tiga hari mungkin dipersingkat jadi satu hari, suaranya hampir terdengar seperti hendak menangis.
“Mana mungkin.” Dongfang Wan menenangkan, “Suruh orang bawa tenda besar, duduk di dalam makan hotpot, main game begadang. Haha, sebenarnya di tempat begini, melihat hujan juga menarik lho.”
Di papan catur yang penuh pembantaian, beberapa orang di dalam tenda membicarakan hujan. Wajah Shasha ditempeli ranting, duduk di bawah tanah. Dari balik tirai gerbang, dia melihat Tan Junrong lewat, tak sengaja mengerutkan kening: “Tan Junrong itu, kenapa kelihatan langkah gonta-ganti?”
“Terjebak perasaan cinta kali.” Dongfang Wan sambil makan, penasaran bersandar di tirai. Kini hanya terlihat punggungnya yang sedang menuju tempat parkir di pinggir jalan, “Tidak kelihatan langkah gonta-ganti sih. Tapi main-main pakai jas, Dia sakit jiwa?”
“Tadi wajahnya kelihatan agak aneh.” Shasha mengangkat bahu, “Cih, udahlah, dasar katak lumpur yang ngarep makan daging angsa. Kalau dia berani datangi kita lagi, nanti pulang aku bakal kumpulin ratusan orang buat hajar habis-habisan, dijamin sampai dokter aja nggak bisa ngebentuk lagi badannya.”
“Wow.” Dongfang Wan mengangguk, “Memang beda ya kalau putri gangster.”
“Ada masalah?”
Dongfang Wan tersenyum: “Mana berani aku.”
Sebelumnya Dongfang Wan sering berselisih dengan Jiaming, sampai Shasha juga punya kesan buruk padanya. Tapi sekarang karena sudah jadi partner dalam misi ini, permusuhan pun mencair. Setelah bercanda sebentar, tiba-tiba Dongfang Wan menarik lengan Shasha sambil tegang: “Awas, awas, musuh datang!”
“Musuh apa?” Shasha juga menoleh ke luar, lalu terkejut: “Bercanda apa sih, beneran datang mau serang!”
Teriakan mereka membuat Lingjing, Jiaming, Tenmasa dan yang lain berdesakan mendekati pintu, mengintip lewat celah tirai. Tampak Tan Junrong berjas rapi membawa buket besar mawar merah mendekat. Meski sedang berkemah, panitia menyediakan bunga dari pusat kota untuk dijual. Buket mawar merah sebesar itu plus penampilannya yang formal membuat semua orang menoleh.
“Dia kelihatan nekat banget, kayak benar-benar pasang badan.” Dongfang Wan berdecak kagum.
“Jangan-jangan mau langsung lamar...” Shasha juga ikut kaget.
“Mana ada orang seperti ini...” Lingjing berbaring di atas tubuh Shasha, mengerutkan alisnya.
"Ksatria sejati, inilah yang disebut aura tekad tanpa keraguan." Tenmasa yang dikenal sebagai orang yang ahli tentang Tiongkok kembali menunjukkan pengetahuannya yang luas.
"Orang ini sakit jiwa." Yahan berkata dengan jijik.
"Mungkin bukan untuk Lingjing..."
Jiaming belum selesai bicara, Dongfang Wan sudah menoleh: "Kau tidak punya kecerdasan, ya? Kalau bukan Lingjing lalu siapa lagi!" Shasha menimpali: "Jiaming, keluarlah dan habisi dia..."
"Jangan langsung kekerasan dong. Belum tentu Lingjing. Katanya playboy jenis ini gampang berubah hati..."
"Hanya idiot sepertimu yang bisa ngomong begitu!" Dongfang Wan melotot padanya. Kali ini Shasha berada di aliansi garis depan bersamanya, mengangguk mati-matian. Setelah berpikir sebentar, Dongfang Wan merasa ada yang aneh. Gu Jiaming ini sudah lama bicara tidak sesuai hati, dan situasi di depan mata sudah jelas sekali. Ia mengangkat dagunya: "Baik! Berani taruhan?!"
"Hei, tidak perlu sampai segitunya kan? Musuh dari luar sedang mengancam, buat apa berperpecahan..."
"Kalau kau yakin bukan, ayo bertaruh. Kenapa? Takut?"
Jiaming mengangkat bahu, tampak dilema. Matanya berkedip-kedip lama sebelum akhirnya mengangguk seperti pasrah: "Baiklah... kau mau taruhan apa?"
"Sesukamu!" Merasa sudah memegang kemenangan, Dongfang Wan tidak takut apa pun.
"Kalau begitu, jika Tan Junrong bukan mencari Lingjing, saat dia memberi bunga nanti, kau harus mendatanginya dan bilang: Aku ingin mempersembahkan keperawananku padamu. Lalu tampar dia!"
Begitu kata-katanya keluar, wajah Dongfang Wan langsung memerah. Ruo Ruo di kursi roda tertawa, Lingjing dan Shasha melompat memukuli Jiaming. Yahan di samping menyemburkan suara malu. Setelah beberapa saat, Dongfang Wan menggigit gigi: "Baiklah! Tapi kalau dia datang untuk Lingjing, malam ini kau harus mengatakan di depan umum ke Luo Yuanyuan: Aku ingin keperawananmu, lalu mencium pantatnya!"
Luo Yuanyuan yang disebut Dongfang Wan adalah wanita lajang berusia tiga puluhan berperilaku aneh yang juga ikut berkemah. Tubuhnya gemuk seperti bola, benar-benar nama sesuai dengan aslinya. Di dalam tenda pecah suara Braak tawa, dalam suasana seperti ini, Jiaming mengangguk keras: "OK."
"Semua jadi saksi! Yang kalah tapi tidak mengakui adalah babi!" Dongfang Wan mengangguk, perjanjian taruhan resmi berlaku.
Beberapa saat kemudian, Tan Junrong berjalan melewati depan tenda...
Yahan bertanya bingung: "Tidak mungkin, benar bukan?" Pandangan semua orang beralih ke Dongfang Wan. Namun dengan penuh keyakinan dia mengangkat dagu ke arah Jiaming: "Dia belum mengirimkan bunga, mungkin tidak tahu Lingjing di sini, atau sedang mencari waktu yang romantis."
Katanya: "Pokoknya aku pasti menang!"
Dia tidak takut apapun!
## Bagian Tiga Ratus Tiga Puluh Lima Maaf, Aku Mencintaimu
Sekitar lewat jam tiga sore, pasukan pendaki gunung mulai kembali ke perkemahan. Saat keluar dari hutan, Du Li dan He Yun berjalan bersama sambil mengobrol riang. Pacar Du Li, Wang Huanwen mengikuti dari belakang, sesekali menyela pembicaraan.
"Hanya dua tiga hari mengenal He Yun, kami langsung menjadi teman baik. Meski rencana jahat kami terkesan merusak pertemanan, tapi bagaimanapun Du Li merasa hari ini menyenangkan. Kebahagiaan ini dibangun dari imajinasi nasib malang orang lain. Seharian mereka berimajinasi cara menghasut Tan Junrong sampai dia tak tahan dan bertindak pada Ye Lingjing dkk... Hal-hal seperti ini, memikirkannya saja sudah bikin senang."
Mengenai pacar Wang Huanwen, menurutnya hubungan ini benar-benar bisa dihilangkan. Begitu kemping selesai, mereka akan putus. Bagaimanapun, dia hanya bersama dirinya karena keluarganya kaya. Dalam emosi seperti ini, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Setelah bercerita pada He Yun, kedua wanita ini tertawa terbahak-bahak.
"Intinya jangan terlalu banyak bicara. Kita hanya perlu sesekali menyindir. Young Master Rong yang terbiasa mendapat segalanya ini, semakin terhambat semakin tak rela. Bisa saja dalam dua hari kemping ini dia langsung bertindak kasar pada Ye Lingjing itu. Tapi kalau ketahuan kau menghasut, efeknya akan jauh berkurang..."
"Tahu tahu, tentu aku paham. Nanti aku akan lebih menjalin hubungan baik dengan Young Master Rong. Hubungan kami sebelumnya juga sudah cukup bagus. Nanti kita lihat bagaimana Tan Junrong tergila-gila pada Ye Lingjing itu. Haha, kasihan wanita yang jadi incaran Tan Junrong, sama sekali tak punya hak memilih... Tapi He Yun, tadi kau bilang 'bertindak kasar', maksudnya kasar seperti apa sih? Hehehehe..."
“A Li kau sudah punya pacar, aku bahkan belum punya pacar. Seorang yang polos sepertiku mana tahu apa yang keras itu……”
“Kalau suka ambil saja.”
“Takut kau memukulku……”
Gelak rendah dua fujoshi terus bergulung, hamparan rumput tepi sungai itu kian mendekat dalam jarak pandang. Dalam kemabukan Du Li yang lupa diri, He Yun menatapnya dengan garis busur merendah yang sekejap muncul di sudut bibir. Perempuan ini bukan pembunuh biasa dalam formasi resmi Pei Luo Jia, tak perlu sering menjalankan tugas. Sebagai bidak catur yang tersirat, latar belakang mereka relatif bersih. Setelah pelatihan pembunuh usai, mereka mulai menjalani hidup layaknya manusia normal di berbagai penjuru dunia. Eksistensi tipe ini adalah untuk kondisi darurat – saat muncul misi yang tak cocok untuk pembunuh reguler namun terlalu sulit bagi pemula. Jika kinerja mereka hebat, mungkin akan diatur masuk ke lingkaran bisnis atau politik, memperoleh kehidupan mewah dan reputasi gemilang guna mendukung operasi gelap Pei Luo Jia lebih baik.
Kedatangannya kali ini untuk mengikuti perkemahan, tujuan di satu sisi adalah memberikan bantuan saat Pangeran bertindak terhadap Ye Lingjing dan yang lain, di sisi lain untuk menguji kedalaman Gu Jiaming. Bagaimanapun tindakannya yang hati-hati, belum tentu mengandung bahaya besar. Wanita Du Li ini, mulutnya mengatakan takkan ada yang menyadari maksudnya, tapi tidak menyadari dirinya sendiri telah menjadi orang yang dihasut tanpa suara. Melalui Du Li memengaruhi Tan Junrong, lalu melalui Tan Junrong bertindak terhadap Ye Lingjing, akhirnya menilai respons Gu Jiaming. Dia hanya mengikuti arus, selama konflik meledak, dia pasti bisa memicunya, bahkan jika mereka menyelidiki, mungkin hanya sampai di Du Li lalu terputus.
Memandangi wanita yang berfantasi dengan semangat ini, hatinya benar-benar mulai merasa belas kasihan. Wanita bodoh, hanya perlu sedikit dihasut, langsung bisa melakukan hal apa saja, sama sekali tidak mandiri... Dalam senyuman masing-masing yang menyimpan pemikiran, kedua wanita itu melihat seseorang berdiri di atas rumput tepi sungai, memegang buket bunga mawar.
Mengenakan jas dengan dasi rapi, penampilannya persiap seperti pengantin pria yang hendak menikahi seseorang. Banyak orang yang keluar mulai memandanginya sambil berkomentar. Du Li terkejut melihatnya dan berkata sambil tersenyum, "Lho, Tan Junrong mau apa? Berdandan seperti pangeran impian, menunggu untuk memberikan bunga kepada Ye Lingjing? Bukannya dia tidak ikut mendaki gunung tadi?"
He Yun yang melihatnya juga mulai terkejut, tapi bagaimanapun, orang ini perilakunya aneh, mungkin sudah menjadi gila karena cinta sejati, ia mengedipkan matanya ke Du Li: “Mungkin Ye Lingjing masih belum keluar dari hutan, kurasa, sikap seperti ini bukan bermaksud melamar langsung kan? Dia gila?”
“Demensia karena cinta, kegilaan karena cinta, aku benar-benar mengaguminya. Meskipun dulu dia suka menghantam orang dengan uang, aku belum pernah melihatnya terbuai oleh seorang cewek secepat ini, Ye Lingjing itu benar-benar ‘beruntung’.” Du Li juga paham dan mengedipkan mata ke He Yun, “Menurutmu apa berikutnya? Kukira setelah Ye Lingjing keluar pasti akan menamparnya, kalau begitu, hari-hari di mana Tan Junrong mengamuk mungkin benar-benar dipersingkat dalam perkemahan ini, perkembangan hal ini benar-benar di luar dugaan...”
Dalam desah kekaguman, Tan Junrong yang melihat bayangan Du Li malah membawa bunga menyambutnya. He Yun mencolek bahu Du Li: “Ingat, bicara tentang Ye Lingjing padanya dengan wajar.”
“Aku tahu.” Diam-diam membuat gestur OK, Du Li berjalan mendekat.
“Hai, A Li.” Ekspresi Tan Junrong serius, tanpa emosi.
“Hai, Young Master Rong, dandananmu ini bukan mau melamar cewek ya.” Du Li tersenyum, “Aku mendukungmu lho.”
“Eh... benarkah?”
“Tentu saja, kurasa kamu menunggu Lingjing ya, dia pergi ke hutan? Tapi kami tidak melihatnya...”
Du Li berbicara, namun melihat Tan Junrong menarik napas dalam-dalam, kemudian memandanginya dengan tatapan menyala-nyala sambil meninggikan suara: "Sebenarnya... aku sedang menunggumu." Suara ini gemetar namun mengandung aroma kedewasaan, seandainya dikategorikan dalam novel roman, sudah terasa aroma seolah telah menunggunya ribuan tahun.
Du Li seketika merasa canggung.
Senyumnya membeku di wajah dengan kebingungan, sudut bibir He Yun yang awalnya tersenyum puas kini juga sedikit berkedut. Jelas perkembangan peristiwa ini di luar perkiraannya, Sial! Ini bagaimana? Dalam emosi seperti ini, di atas rumput, Tan Junrong mulai berbicara keras kepada Du Li.
……
……
Jiaming, Dongfang Wan dan yang lain terus bersembunyi di belakang.
Setelan resmi, mawar, aura tanpa ragu dari Tan Junrong, namun bukan datang untuk Lingjing melainkan langsung menunggu di tepi hutan, membuat Dongfang Wan dan kawan-kawan benar-benar tak memahami maksudnya. Tentu saja perjanjian taruhan harus dilanjutkan, meski ada tanda-tanda tak biasa, Dongfang Wan masih yakin pada penilaiannya. Sekalipun dia belum berencana mengungkapkan perasaan pada Lingjing, pasti juga bukan membawa bunga untuk wanita lain, mungkin ingin berdiskusi dengan seseorang. Begitulah pikirannya.
"Saat ini orang-orang yang pergi rekreasi sudah mulai kembali. Langit berawan, sekelompok orang bersembunyi di belakang tenda sambil mengintip. Dongfang Wan bahkan berharap Lingjing berjalan melewati Tan Junrong, tapi tentu saja Lingjing menolak. Akhirnya Dongfang Wan mengalah, lagipula jika dia benar-benar ingin mencari, pasti bisa menemukannya. Para pria dan wanita yang keluar dari hutan sambil tertawa-tawa memberikan komentar tentang Tan Junrong, tapi dia tidak peduli. Akhirnya, Jiang Yuwei dan lainnya muncul, disusul Du Li dan He Yun. Tan Junrong menyambut mereka."
"Mungkin mencari teman untuk memberi semangat, atau meminta pendapat mereka apakah Lingjing sepadan dengan kecerobohannya ini."
Dongfang Wan berkata dengan percaya diri. Di sisi lain, Tan Junrong mengobrol sebentar dengan Du Li, lalu berkata keras: "Sebenarnya... aku sedang menunggumu!"
Senyum Dongfang Wan membeku di wajahnya.
"Baiklah, aku sudah nekat..." Mengabaikan penonton di sekelilingnya, Tan Junrong menggigit giginya dan mengumumkan: "A Li, sebenarnya... aku menyukaimu!"
Orang-orang berhenti melangkah, menyaksikan pengakuan ini.
"Keluarga kita sudah berteman turun-temurun, kita teman sejak kecil. Meski karena berbagai alasan kita jarang bersama, dalam hatimu selalu seperti adik perempuan tersayang - bukan sekadar hubungan darah, tapi... kau selalu orang terdekat di hatiku. Masih kuingat cincin yang kau berikan saat kita TK dulu. Waktu main peran pengantin, kau jadi pengantinku. Cincin itu masih kusimpan..."
“Setelahnya karena hubungan bisnis keluarga, aku pergi ke Amerika dan kau lama di Eropa, hari-hari pertemuan kita semakin sedikit, tapi setiap pulang ke Jianghai berkumpul adalah momen paling bahagia, karena aku bisa bertemu lagi denganmu, bisa bicara tentang hari-hari di luar negeri, ngobrol tentang para Guru tidak karuan, bersama-sama menghujat orang tua yang terlalu ketat, lalu pergi bersenang-senang…… Aku hanya benci waktu itu kita masih Kecil, tak bisa bersamamu, juga tak bisa confess padamu, sampai aku merespon, kau sudah hamil. Berkali-kali kukatakan pada diri sendiri masih ada kesempatan, tapi setiap kau pulang bukan hidup sendiri, aku pun hanya bisa terus menunggu, menunggu……”
“Siapa yang paling cocok untukmu, siapa yang paling mengertimu, siapa yang paling selaras dengan hatimu, A Li…… Aku tahu sekarang mengatakan ini pasti membuatmu sangat canggung, sulit, tapi aku sudah bersabar begitu lama, tak bisa bersabar lagi……” Dia bersujud, mengulurkan bunga mawar, tanpa ragu.
“Maaf! Aku mencintaimu!”
……
Du Li membuka mulut lebar, panik, pipi He Yun bergetar, seolah sulit menerima pemandangan di depan mata ini. Sesaat, di kerumunan orang ngank tepuk tangan guncang langit, Semua orang berteriak: “Menerima dia! Menerima dia……”
Belakang, Dongfang Wan berkedip-kedip, ekspresi kaku: “Bercanda macam apa ini, ini pasti tidak nyata, kau tak bisa menakutiku…… Bercanda macam apa ini…… Bercanda macam apa ini……” Sekelompok orang menoleh, memandanginya dengan tatapan berkabung.
Tiba-tiba, Wang Huanwen berlari maju dari belakang Du Li, satu pukulan menghantam Tan Junrong ke tanah, kelopak mawar beterbangan di udara, hujatan bergema di sekeliling.
"Sial! Istri teman tak boleh diganggu, aku anggap kau teman, Tan Junrong, kau malah mencuri kekasihku——"
## Bagian Tiga Ratus Tiga Puluh Enam Berbangga Sejenak
"Sial! Istri teman tak boleh diganggu, aku anggap kau teman, Tan Junrong, kau malah mencuri kekasihku——"
Dalam maraung marah Wang Huanwen, kekerasan memutus suasana romantis. Tan Junrong terjatuh oleh pukulan, tapi dia bukan orang lemah. Melihat Wang Huanwen hendak menyerang lagi, dia menyepak perut lawannya, bangkit dari tanah, dua pria ini berkelahi sambil berguling-guling dengan suara byur-byur-byur.
"Hei, kalian jangan berkelahi, jangan berkelahi……"
Suasana kacau balau. Du Li agak panik berteriak di pinggir, tapi suaranya tidak keras dan tak berusaha melerai. Bagaimanapun, melihat dua pria berkelahi karena dirinya, bagi seorang wanita ini sungguh hal yang menyenangkan. Konon pria sehari-hari berkhayal harem, wanita sehari-hari berkhayal begini……
Keriuhan ini datang secara aneh, orang-orang di sekitar menonton dengan penuh semangat. Di belakang, Dongfang Wan memandangi dua orang yang berkelahi itu dengan wajah memucat. Beberapa orang di sebelahnya sesekali meliriknya sambil berkedip dengan polos dan baik hati. Untuk sementara, dia hanya bisa pura-pura tidak melihat. Sampai Jiaming yang menahan tawa mengangkat tangan bingung, Ruo Ruo di kursi roda baru menarik pergelangan tangannya: "Jangan pergi, Xiao Wan, mengakulah kalah... Sepupu Jiaming..."
"Batuk, ini... tidak ada hubungannya denganku, cuma tadi dia bersumpah seperti kutukan, ini, itu..."
"Gu! Jia! Ming!" Dongfang Wan menggigit gigi sambil menoleh memandanginya, mata berkilauan seolah akan meledak emosi atau dihabisi sampai mau menangis, "Aku akan ingat hari ini..."
"Tolong..."
"Hmph." Dongfang Wan melepaskan genggaman Ruo Ruo, wajahnya akhirnya menunjukkan tekad baja: "Tidak usah menahanku, aku Dongfang Wan selalu berbicara jujur!"
"Aku juga tidak pernah ingkar janji..." Jiaming berbisik, dilototi pandangan penuh dendam dari wanita ini, kembali membuka tangan tak berdosa. Memandangi langkah Dongfang Wan yang seperti maju ke medan perang, Lingjing menahan tawa: "Hei, apakah ini keterlaluan? Kau menyuruh cewek benar-benar naik ke atas mengatakan..."
Jiaming menyeringai："Langit dan bumi menjadi saksi. Aku juga tidak bilang dia menyerah itu tidak boleh, tapi semua perkataan berasal darinya. Jika aku kalah, bukankah aku juga harus mencium pantat wanita gemuk itu……"
Di tengah perbincangan, Dongfang Wan sudah memasuki lingkaran yang dibentuk orang-orang. Tan Junrong dan Wang Huanwen masih berkelahi, Du Li berteriak di samping, sikapnya lebih mirip wasit daripada orang yang mencegah perkelahian.
Tiba-tiba muncul seorang wanita dengan ekspresi penuh dendam, membuat semua orang semakin tertarik. Di dalam lingkaran, Du Li dan yang lain mengenal Dongfang Wan, tahu keluarganya memiliki aset miliaran. Melihatnya semakin mendekat, Du Li berdiri di sisi sambil mengawasi. Wang Huanwen menendang Tan Junrong, mengusap darah di bibirnya, memandang Dongfang Wan di belakang Tan Junrong tak berani maju lagi.
Tan Junrong hendak membalas serangan, tapi akhirnya menyadari suasana mulai aneh. Bahunya ditepuk, saat menoleh melihat Dongfang Wan memandangnya dengan mata penuh kebencian, dia jadi bingung.
"Ada... ada apa?"
Dongfang Wan terus menatapnya, gigi menggeretak menggigit bibir bawah. Setelah lama demikian, baru menarik napas dalam-dalam: "Aku……@#%&?#^$……"
Kalimatnya meluncur begitu cepat seperti sajak, mungkin bahkan dirinya sendiri tak tahu apa yang diucapkan. Orang-orang yang melihat intermezzo absurd ini serentak tertegun. Tan Junrong dengan lingkaran hitam seperti panda di matanya yang memerah akibat pukulan, bingung: "Apa ini..."
Sebelum selesai bicara, Dongfang Wan menghantam pipinya dengan tamparan keras, lalu berbisik hampir tak terdengar: "Maaf..." sebelum berbalik pergi.
"Ke...kenapa memukulku..." Mengusap bagian yang ditampar, Tan Junrong memandang penonton sekitar dengan wajah bertanya, melirik Wang Huanwen, lalu Du Li. Semua orang saling pandang dalam kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi? Tebakan bisu pun tak seabsurd ini. Bahkan He Yun pun otaknya kacau balau, sama sekali tak memahami kekacauan yang mengubah dunia dalam setengah hari.
Di sisi lain, Yahan dan kelompoknya yang awalnya bersimpati pada Dongfang Wan kini tertawa terbahak. Jiaming protes dengan mata melotot: "Ini tidak masuk akal! Itu bisa dianggap sudah diucapkan? Memalukan!" Tenku Masaoka yang awalnya ingin melihat keributan menyambut: "Memalukan! Sungguh memalukan..."
"Hmph." Melihat ekspresi frustasi Jiaming, Dongfang Wan merasa prestasi besar tercapai. "Lagipula kau tak pernah bilang tidak boleh bicara cepat. Yang penting aku sudah mengatakannya."
"Bicara ngawur yang tak ada yang paham disebut sudah mengatakannya? Kukira kau orang yang jujur, wuih... wuih..."
“Aku memang jujur, tapi bukan bodoh. Ini namanya fleksibilitas, kau tahu? Siapa bilang tak ada yang paham? Aku paham! Kalau kau tak paham, berarti telingamu bermasalah, pergi ke rumah sakit lah!”
Perasaan bangganya bertahan sekitar satu menit sebelum dia menoleh penuh tanya ke Jiaming: "Halo, bagaimana kau yakin Tan Junrong tidak meng-confess ke Lingjing? Dari awal fondasinya saja tidak ada yang berpikir begitu, berani-beraninya bertaruh denganku..."
Menyimpulkan pengalaman setelah suatu peristiwa adalah kunci kesuksesan. Dongfang Wan yang sejak kecil menerima pendidikan seperti itu secara alami mengembangkan kebiasaan ini. Menghadapi pertanyaannya, Jiaming mengangkat bahu: "Sebenarnya kau harus tahu, aku tidak pernah bertaruh dengan manusia."
"Hah?"
"Penjudi sejati adalah yang memastikan kemenangan sebelum taruhan dimulai. Saat taruhan benar-benar dimulai, itu hanya proses memanen buah kemenangan. Sama seperti ahli strategi militer sejati - kemenangan taktis tidak berarti, kemenangan strategislah yang utama."
"Terus kenapa... Kapan orang ini jadi cerewet begini? Jujur saja dong..."
"Aku hanya merasa mood baikmu sulit didapat..."
"Bilang!"
"Baiklah, aku pegang senjata Tan Junrong."
"......" Dongfang Wan membelalak.
“Secara singkat, aku tahu aksi memalukan yang dilakukan Tan Junrong, dan meninggalkan bukti kuat. Dia kan ingin mengganggu Lingjing, pagi ini aku sudah mengancamnya agar MATI niat itu. Untuk menunjukkan kesungguhan pada semua orang, kusyaratkan: asal dia berani mendekati Du Li di depan umum, urusan selesai… Jadi sejak kemunculannya, aku sudah tahu rencananya…”
Ucapan ini disampaikan santai. Lingjing tersenyum gemulai saat menyadari betapa banyak yang telah Jiaming lakukan diam-diam. Dongfang Wan hanya bisa menganga, merasa baru saja keluar dari neraka: “Kau… kau sudah tahu tujuannya sejak awal, tapi masih… masih bertaruh denganku!”
“Tolong, aku tidak pernah mengajak taruhan. Itu semua ide kamu sendiri. Semangatmu begitu membara, terpaksa aku mengalah. Lagipula syaratmu juga kejam, akhirnya malah mengemplang…”
“Hmph, semangat… Hmph, mengalah… Mengemplang…” Dongfang Wan melotot, napasnya tersengal-sengal. Akhirnya dia menendang kaki Jiaming sekuat tenaga sebelum berlari: “Gu Jiaming, kau akan kukenang!”
Memandang punggung yang menjauh, Jiaming membersihkan debu di celana. Tiba-tiba Shasha menendangnya sambil tertawa: “Bajingan.”
“Penjahat.”
“Bangsat…”
“Bukan orang baik juga…”
……
……
Menjelang sore, hujan tak kunjung turun.
Aku babi…
Dongfang Wan adalah babi……
Babi yang tak berubah……
Seekor babi bodoh……
Langit dipenuhi awan gelap, namun di ufuk barat terhampar senja cerah nan mempesona bernuansa Guili. Awan di sisi ini jelas terpisah dengan lapisan langit sana, membentuk pemandangan yang luar biasa indah.
Duduk di tepi sungai kecil, Dongfang Wan menyiksa diri dengan merefleksikan kesalahannya, menggigit gigi penuh kebencian.
Sebenarnya, karena karakter mereka, konfrontasi langsung antara dirinya dengan Gu Jiaming bukanlah hal baru. Persinggungan ini sudah ada sejak hari-hari pertama di SMA. Pengalaman pertama... saat itu dia justru membelanya. Namun pada Lomba Mediasi dengan Han Gangcheng kala itu, Gu Jiaming menunjukkan kekuatan ilahi dengan meludah disusul Tendangan Selangkangan yang memenangkan pertarungan. Ditambah semprotan anti-serigala versi ekstra pedas setelahnya, berhasil menghanyutkan sedikit simpati yang mulai terbangun... ke dalam selokan...
Jurus joroknya terbukti efektif. Kemenangan justru kehilangan makna. Sejak itu, pertentangan tak berkesudahan pun terjadi. Dia mengagung-agungkan kekuatan kolektivitas, sementara pria itu sama sekali tak percaya pada organisasi. Jujur saja, awalnya dia sempat berkhayal dengan sedikit narsis - jangan-jangan tingkah lakunya itu sengaja untuk menarik perhatiannya atau orang lain. Bukankah orang yang kurang diperhatikan sering menggunakan cara aneh untuk mendapat sorotan? Tapi setelah sekian lama, barulah ia sadar: mungkin orang ini memang benar-benar tak peduli apapun. Hanya mereka yang tak pernah kekurangan perhatianlah yang bisa membentuk karakter seperti ini.
Setelah berbagai kali konfrontasi，setelah mengamati dengan cermat，ternyata ditemukan banyak kemampuannya——Dia bukan tipe wanita yang akan sepenuhnya kehilangan rasional hanya karena membenci seseorang，dalam hal ini dia memiliki perbedaan esensial dengan makhluk seperti Du Li——Bisa mengoperasikan komputer，dan sangat hebat；Bisa bermain basket，sama hebatnya；Bisa merancang perangkat elektronik，berbagai mainan，dalam hal ini bahkan mencapai tingkat puncak；Menguasai ilmu bela diri，meski belum banyak dikonfirmasi secara frontal，tapi mungkin juga tidak kalah...
Setelah pemahaman-pemahaman ini mulai terbangun, dia bahkan mulai mengagumi orang ini. Meski pertengkaran dan debat masih terus terjadi, namun seringkali kemarahannya tidak lagi meledak sehebat dulu. Karena memahami sifat mengejek dari orang itu, dia bisa mengatur emosi - tidak terjebak tipuannya, tidak terpancing amarah, mengabaikan segala kejahatannya, tidak terhasut, dan tidak mudah marah. Tapi tak disangka, beberapa kalimat santainya tetap bisa menjeratku hingga hampir terpaksa mengucapkan "Aku ingin menyerahkan keperawananku padamu" di depan umum.
Kalau dipikir-pikir, orang itu benar-benar seperti musuh alami baginya.
Dongfang Wan, kau benar-benar memalukan...
Tidak merayakan, kenapa aku dengannya tidak beres begini!
Suatu hari pasti akan mengambil kembali harga diri yang hilang...
Di bawah matahari sore, dia di atas bukit rumput kecil memikirkan hal-hal ini, dalam YY-nya, kadang frustasi + benci, kadang puas diri...
## Bagian Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Pisau
Saat api membakar, senja pun perlahan mulai terjadi.
"Langit malam yang diselimuti awan gelap terasa begitu suram, tanpa secercah cahaya. Bahkan hutan di sekitarnya terkesan lebih dalam. Saat angin malam berhembus, padang rumput ini bagai padang rumput luas di bawah senja yang kelam, dengan tenda-tenda bergaya Mongolia bertebaran di sekeliling. Jiaming sedang membakar sate daging di api unggun ketika Dongfang Lu menghampiri."
"Yang benar saja, kau mengganggu Xiao Wan lagi."
"Dia yang semangat sekali, aku cuma membalas sekenanya." Jiaming mengangkat tangan, "Yang memalukan dia malah mengemplang."
"Kurasa kau punya niat bermain-main dengan perasaannya..."
"Kau mau bayar aku?"
Dongfang Lu tertegun sejenak, lalu mengangkat tangan: "OK, lebih baik memang tidak. Kau sudah punya Ye Lingjing dan Liu Huaisha... Lagipula dia kan adikku..."
Ia melemparkan sebatang kayu ke api unggun, nada bicaranya menyiratkan peringatan samar. Bagaimanapun itu adik kandungnya. Sepanjang siang langit memang mengancam akan hujan. Meski hingga kini belum turun juga, semua orang di padang rumput sudah mulai mempersiapkan tenda untuk antisipasi kebocoran di bawah arahan penyelenggara. Menginap dalam tenda saat hujan lebat jelas menjadi pengalaman baru yang menarik bagi mereka, sehingga semangat semua orang begitu berkobar.
“Tahun ini semester kedua saya akan kuliah di Beijing.” Setelah jeda sejenak, Dongfang Lu melanjutkan, “Kalian masih punya satu tahun, sementara Xiao Wan di sini pada dasarnya akan sendirian.” Jiaming mengangkat bahu: “Dulu kalau ketemu di jalan, mana ada waktu dia tidak dikelilingi banyak teman? Ngapain kau khawatir?”
“Xiao Wan terbiasa jadi pemimpin. Kalau bicara soal teman sejati, berapa banyak yang benar-benar ada? Tadi aku lihat dia duduk sendirian di rumput tepi sungai sambil merenung. Mungkin dia menganggapmu sebagai teman—terutama karena kau jarang melibatkan diri dengannya.”
“Singkatnya, kau sedang bilang adikmu punya sifat hina ya? Orang baik-baik dia cuekin, malah senang kalau diperlakukan kasar.”
“Cewek dengan karakter angkuh kebanyakan punya kebiasaan seperti itu, tentu tidak semuanya...” Dongfang Lu tersenyum tanpa tersinggung, “Tapi hubungan persahabatan Xiao Wan denganmu justru terbangun karena kau jarang mengindahkannya, bukan? Yang paling utama tentu karena dia selalu kalah darimu.”
“Sebentar memperingatiku bahwa dia adikmu, sebentar lagi menyindir dia punya perasaan padaku. Sebenarnya apa maksudmu ini?”
“Fakta aaaaa.” Dongfang Lu memutar kepalanya, “Tapi dia tidak cocok untukmu, atau kamu juga tidak cocok untuknya... Bagaimana ya, intinya harapanku setelah aku ke Beijing, kau sebagai Teman bisa menjaga Xiao Wan, cuma permohonan, lagian sekarang juga kau tidak membencinya kan. Dan bahkan jika dia suka padamu, anggaplah kalian berkecimpung bersama, menurutku suatu hari pasti akan berpisah, meski tanpa Lingjing dan Liu Huaisha, ini murni... kalian tidak cocok...”
“Wooo...” Jiaming mengangkat tangan bingung.
“Xiao Wan itu, sebenarnya di beberapa aspek agak kurang peka...” Dongfang Lu terus mengoceh.
“Poin ini sudah aku tahu sejak lama.”
“Setiap keluarga punya kitab sulit dibaca, pepatah ini benar. Ayahku dulu jadi penguasa, ada bantuan Ibu di dalamnya, setelahnya ibu MATI muda, posisi ayah jadi tidak stabil. Saat itu kami masih kecil, melihat gerombolan itu berintrik politik berebut posisi, juga tidak menganggapku sebagai pewaris sejati, diam-diam sindiran pedas aaaaa semuanya ada. Xiao Wat sifatnya ekstrem, sejak saat itu mulai tidak suka pada orang-orang ini, sampai dia selalu bilang ingin mengandalkan diri sendiri, sekarang jarang mencari koneksi keluarga.” Dongfang Lu mengingat-ingat, “Waktu itu ayah bilang padaku harus bersabar, jadi... Xiao Wan mungkin mengiraiku terlalu lemah, tidak punya harga diri sama sekali, setelahnya perlahan menjauhiku. Kami semua masih anak kecil, setelah agak renggang, hubungan jadi tidak hangat tidak dingin. Tapi... peristiwa Kapal Star Dream memberi kami guncangan besar, hubungan saudara bisa membaik lagi juga tidak mudah...”
Saat menoleh, Jiaming memandangnya dengan ekspresi aneh, lalu tertawa: "Ngapain kau cerita ini ke aku? Apa kau gay..."
"Bangsat... Hanya ingin berbagi perasaan, tak ada salahnya kan?" Dongfang Lu tersenyum, "Lagipula jika terjadi masalah, bantu saja jika bisa. Bagi kau kan cuma urusan sederhana. Eh... Kenapa sih orang bermata panda di sebelah sana terus melirik ke sini..."
Jiaming menoleh dan melihat Tan Junrong yang wajahnya penuh memar berdiri di pinggir perkemahan. Beberapa plester menempel di wajahnya. Insiden pendekatan dramatis siang tadi telah membuat kelompok mereka remuk redam. Perkelahian antara Wang Huanwen dan Tan Junrong sempat dihentikan sementara oleh campur tangan Dongfang Wan, tapi sekarang mereka sudah saling benci. Namun harus diakui, aksi cengeng Tan Junrong benar-benar mengguncang. Du Li yang sudah mau putus dengan Wang Huanwen menjadi bimbang dan terus bergumul. Rencana awalnya menggunakan Tan Junrong untuk melawan Ye Lingjing sudah terlupakan jauh ke awan.
Du Li kacau balau formasi pasukannya, rencana He Yun juga sudah gagal total. Yang paling membuat kesal adalah mereka bahkan tidak tahu bagaimana perubahan ini bisa terjadi. Tan Junrong yang sebelumnya sangat tertarik pada Ye Lingjing tiba-tiba berbalik arah tombak... Apa artinya ini? Cinta sejati bisa membuat orang mengamuk, tapi tidak sampai membuat orang jadi paranoid seperti ini. Sementara Wang Huanwen yang sudah mulai ada masalah dengan Du Li, awalnya hanya menganggapnya sebagai emosi kecil antar kekasih. Namun setelah Tan Junrong melakukan confess, sikap dingin Du Li yang masih tetap sama membuat Wang Huanwen yang tertekan semakin memperbesar sikap dingin ini dan menghubungkannya dengan tindakan confess itu. Mereka bertengkar lagi, Wang Huanwen menghujatinya sebagai tipe yang suka barang baru dan bunga liar, Du Li membalas dengan menyebutnya sakit jiwa, paranoid dan hanya bisa berpikir dengan bagian bawah tubuh. Setelah pertengkaran sengit, mereka pun terlibat dalam konflik tanpa komunikasi.
Begitulah, kegelapan pun terjadi. Yang lain memilih bijak untuk tidak campur tangan dan menjaga diri. Di hati Wang Huanwen bergumul perasaan kecewa: pertama, ia masih cukup menyukai Du Li; kedua, ia juga menyukai latar belakang keluarga terpandang Du Li. Tapi saat ini, meminta maaf berarti kehilangan muka. Jika tidak meminta maaf, bisa jadi sampah masyarakat Tan Junrong akan menyusup masuk. Di pihak lain, Du Li sama sekali tidak kecewa. Bagaimanapun, selalu ada yang mencintainya. Kalkulasi kecil dalam hatinya adalah apakah harus menerima Tan Junrong - sebenarnya ini sudah tak perlu dipikir panjang lagi. Hanya saja, baru saja bertengkar dengan Wang Huanwen dan belum resmi putus. Jika langsung berpindah ke pelukan orang lain setelah di-confess, apakah akan membuatnya terlihat terlalu sembarangan? Ingin mendekati Tan Junrong untuk membantunya merawat lukanya, tapi juga merasa malu. Dilema yang cukup rumit.
Mengenai Tan Junrong, dia benar-benar pengecut yang suka menindas yang lemah. Sejak mengetahui latar belakang orang-orang di sekitar Jiaming, dia sudah sepenuhnya menghilangkan niatnya terhadap Lingjing. Karena dipaksa mengancam untuk mengakui cinta pada Du Li, dia langsung mulai mempertimbangkan kemungkinan serius untuk mendekati Du Li. Hmm, sebenarnya kerja sama antara dua keluarga kuat ini juga tidak buruk. Tapi yang membuatnya cemas sekarang adalah urusan menyewa pembunuh bayaran. Kak Pisang menghujatnya terlalu keras melalui telepon, saat itu bahkan menganggapnya gila. Sekarang jika mereka benar-benar menepati janji, bukan hanya seluruh keluarganya, bahkan beberapa ayam yang dikirim kerabat desanya sebagai hadiah beberapa hari lalu mungkin tidak akan selamat. Sambil melihat ke arah Jiaming, dia bergumul apakah harus meminta maaf dan menjelaskan salah paham... Sementara He Yun juga berusaha mencari petunjuk sambil merefleksikan alasan kegagalannya.
Di perkemahan kecil ini, sekelompok manusia berantakan seperti novel roman Qiong Yao yang lebih rumit...
"Mungkin dia pikir tambalan di kepalamu lebih keren daripada miliknya." Jiaming mencapai tujuan jahatnya sambil tersenyum menjawab. "Batuk..." Dongfang Lu mengusap bekas pukulan adik perempuan di dahinya tadi malam, "Ini... Meski aku akui punya bakat sejak kecil, tapi yang terpenting adalah hasil kerja keras dan usaha. Iri saja tidak ada gunanya bagi orang biasa..."
"Sungguh mengagumkan..." Jiaming berhenti sejenak, menambahkan, "Lelucon dinginmu..."
"Sebenarnya aku serius."
“Lain kali suruh adik perempuanmu pukul intinya, akan kuberikan yang lebih keren……”
Setelah mengobrol ngalor-ngidur sebentar, Dongfang Lu teringat hal lain: “Ngomong-ngomong, sebenarnya kau dan Kelly Vernam itu sedang ngapain sih?”
“Apa izin aksesmu di [] belum cukup untuk terlibat dalam hal-hal seperti ini?”
“Tidak.” Dongfang Lu mengangguk, “Dan fokusku bukan pada cara bertempur. Tentang hal ini, aku bisa dapat info dari ayah, tapi dia juga tidak banyak bicara. Tapi… Aku khawatir perkemahan kali ini berbahaya… Kelly Vernam seharian ini jarang terlihat, dan Ruo Ruo juga sama sekali tidak peduli. Beberapa orang yang tahu latar belakangnya ingin mendekati, tapi tidak menemukan alasan.”
“Kelly…” Jiaming melirik ke arah tempat parkir mobil di kejauhan. Di antara bayang-bayang yang terpantul api unggun, seorang wanita berbaju hitam sedang bersandar di bagasi mobil sambil menatap langit. Seorang pria berkulit putih bernama Charles berjaga di sampingnya, “Aku juga tidak tahu apa maunya. Tapi… Biarkan dia untuk sementara. Ini bukan urusan yang bisa kau ikut campur, lebih baik tidak usah tahu.”
“O…” Dongfang Lu mengangkat tangan, belum sempat bicara, dari tenda di belakang tiba-tiba Dongfang Wan mendorong Ruo Ruo keluar: “Hei! Cepat ke sini! Ruo Ruo bilang dia kurang enak badan!”
“Apa?!”
Bertiga berdiri, menatap ke arah Dongfang Ruo yang duduk di kursi roda. Gadis rapuh berbalut putih itu tidak terlihat kesakitan, sambil bergumam: "Tidak ada hal penting kok, aku belum konfirmasi, cuma tiba-tiba merasa... Hei, Xiao Wan..."
"Kau selalu bilang sebelumnya juga, tapi akhirnya pingsan setelah konfirmasi. Aku akan panggil dokter dan Paman Fang! Kalau ya bagus! Kakak tolong jaga dia." Dongfang Wan melambaikan tangan, berlari kencang memanggil orang. Jiaming mengerutkan alis: "Kau benar-benar merasa tidak nyaman?"
"Emm, tidak juga, bukan masalah tubuh..." Ruo Ruo menggigit bibir, menjawab dengan hati-hati karena keraguan di hati, "Aku merasa... sepertinya ada hal yang akan terjadi, tapi sensasinya samar, jadi..."
Jianghai, blok jalan panjang dengan kerlip neon.
"Bos, lihat langit ini kayaknya mau turun hujan, perlu bawa payung ga?"
"Bangsat, hal begini aja harus nanya! Ambil terus pergi!"
Area ini merupakan blok jalan yang dipadati supermarket dan pusat perbelanjaan kelas menengah ke bawah. Malam masih awal, kerlip lampu dan neon menyinari kerumunan pejalan kaki yang mulai berkurang semangatnya karena langit yang muram. Liu Zheng baru saja keluar dari restoran dekat supermarket bersama beberapa anak buah, menyeringai mendengar pertanyaan.
"Pendatang baru memang merepotkan, siapa yang rekrut anak buah ini? Kok sampai ditempatkan ikut aku..."
"Bos, Sha Qiang kemampuan bertarungnya jago."
“Bandingin kemampuan bertarung, Hmph, siapa yang takut...” Liu Zheng tersenyum, “Tau nggak julukan bosmu waktu muda? Gunting Kaki Pencabut Nyawa!”
Mendengar nama yang terdengar familiar ini, beberapa orang di belakang saling bertukar pandang bingung. Hanya Xiao Meng yang tetap tenang mengikuti. Liu Zheng mengacungkan dua jarinya ke depan: “Tau kan Gunting Kaki Pencabut Nyawa? Aku bakal melayang di udara terus terjang kepalamu pakai kaki! Gak percaya?”
“Err, Bos... Ini...”
“Jujur aja aku juga gak percaya, haha, cuma bercanda. Jaman sekarang, jago bertarung bukan segalanya. Abad ke-21 hampir tiba, yang paling penting itu otak, bisa cari uang itu baru bener.” Dia meniru gaya bicara gangster film Hong Kong, membuat beberapa anak buah baru terkesima, lalu menambahkan pandangannya sendiri, “Tapi jago bertarung juga penting kok, aku sendiri juga jagoan...”
Di tengah obrolan, Xiao Meng mengangkat kepala: “Bos, urusan kali ini biar anak buah saja yang urus. Bos tidak perlu ikut.”
“Masa iya gak perlu? Anaknya mau bunuh menantuku, sudah seharusnya orang tua bertemu langsung. Tenang, aku juga gak berniat MEMBUNUH...” Liu Zheng melambaikan tangan, “Dia bernilai miliaran, kalau sampai berantem repot juga. Ngomong-ngomong, persiapan Lao Yang sudah selesai?”
“Seharusnya hampir. Dia belum telepon.” Xiao Meng mengeluarkan telepon dari kantong pengepungan, baru menyerahkannya ke Liu Zheng setelah tersambung.
“Lao Yang, ya... Kalau gitu kalian berangkat dulu untuk penyusunan strategi, aku akan menyusul nanti... Kali ini lebih baik aku yang pergi...” Jelas dari telepon ada yang berusaha mencegahnya pergi, “Jangan sampai terlalu berlebihan, juga jangan sampai benar-benar ada nyawa manusia yang hilang. Sebenarnya aku cuma mau bicara dengan mereka, paling-paling memukulinya sekali. Haha, kalau anak buah muda yang emosional yang bertindak, aku takut keterlaluan. Aku juga sudah tua, kalau berkelahi juga tidak sampai langsung membuat orang MATI... Hehe...”
Sambil berkata begitu, dia sudah mendekati mobil kecil yang dipinggirkan di jalan. Saat pintu mobil terbuka tiba-tiba, suasana berubah secara drastis.
“Bos waspada——!”
Byur——
Dentuman senjata terdengar, seorang anak buah terlempar ke udara. Dua pejalan kaki di pinggir jalan tiba-tiba mengepung. Sekejap mata, blok jalan itu bergema dengan tembakan. Di wilayah Tiongkok mana bisa sering melihat adegan baku tembak seperti ini? Kerumunan di dekatnya sempat bingung bereaksi, baru beberapa detik kemudian mereka lari pontang-panting. Orang-orang yang jauh malah mengira ada petasan, beberapa bahkan ingin mendekat untuk melihat. Tapi dalam hitungan detik, 7-8 orang sudah terguling dalam genangan darah. Pengawal Liu Zheng sebenarnya juga membawa senjata, tapi pengalaman mereka masih kurang. Hanya Xiao Meng yang langsung menendang senjata dari tangan seorang pembunuh, menghantamnya ke bodi mobil sampai keduanya bergulat.
Kerumunan orang di sekitar mobil kecil ada yang langsung jatuh, ada yang berpencar kocar-kacir. Liu Zheng berlari ke warung makan yang baru saja dibuka di sebelah, mencabut pistol dan menembak ke arah sosok yang mengejar dari belakang. Kemudian dengan kasar membalikkan meja kursi di depannya, berbagai masakan dan kuah beterbangan. Sosok pengejar itu juga tiba-tiba menyusul dengan cepat.
Ingin menembakkan peluru kedua ke belakang, tapi lawan bergerak secepat kilat - meja bundar yang terlempar kembali ditabrak hingga terbang, tubuhnya tiba-tiba menubruk Liu Zheng, langsung mencengkeram tangan yang hendak menembak. Braak! Keduanya menabrak mobil kecil di samping hingga terbalik. Tubuh Liu Zheng menghantam dinding, pistolnya jatuh. Penyerang ini rupanya tidak berniat membunuh, satu tangan langsung menekan kepala Liu Zheng untuk dibenturkan ke dinding, tapi berhasil dihadang. Tangan kanan Liu Zheng yang tertempel di dinding tiba-tiba berputar seperti ular piton, berusaha memelintir lengan lawan.
Kekacauan melanda, tungku untuk masak rubuh dengan suara Braak!, memercikkan cahaya merah tak terhitung. Meja bundar menabrak dinding, jatuh ke jalanan dan berguling-guling Gulirik, menghadang dua orang yang sedang bergulat di sudut. Hanya dalam satu dua detik, saat meja itu berguling lagi, terlihat pertarungan mereka telah berakhir. Sang pembunuh terhuyung mundur beberapa langkah, bekas torehan pedang menakutkan membelah dari atas kepala, menyayat dada dengan mengerikan hingga berhenti di perut. Lengan kanannya putus di siku, hujan darah menyembur deras. Lengan terputus di tanah masih menggenggam pistol erat.
Liu Zheng berdiri kukuh di hadapannya, memegang pisau dapur yang diduga berasal dari lapangan jajanan yang terbalik. Dalam tarikan napas pendek, sorot mata dahaga darah sang pria garang bagai singa mengamuk.
"Sial! Bermain senjata saja sudah keterlaluan... Kau malah berani main pisau denganku!"
## Bagian 338 Rancangan
"Sial! Bermain senjata saja sudah keterlaluan... Kau malah berani main pisau denganku!"
Di bawah kilauan neon jalanan berlumuran darah, Liu Zheng menggenggam erat pisau dapur sambil menyaksikan tubuh pembunuh itu bergoyang beberapa kali, perut terkoyak menganga sebelum ambruk dalam semburan darah. Begitu keributan di sisi ini mereda, seorang pembunuh lain yang sedang menembak dari balik mobil kecil kebetulan menoleh ke arahnya. Tanpa ragu, Liu Zheng melayangkan pisau itu ke arahnya.
"Byur!" Kaca belakang mobil kecil langsung berubah menjadi pola salju di bawah tebasan pisau itu. Bilah pisau tertancap langsung ke dalam kaca. Si pembunuh menghindar dengan kikuk, saat hendak menembak lagi, Liu Zheng sudah lebih dulu mengambil pistol dari tanah dan melepaskan dua tembakan beruntun.
Di tengah jalan, dua mobil kecil bertabrakan dengan suara "Braak!".
Peristiwa ini baru terjadi sekitar lewat sepuluh detik. Pejalan kaki yang berlarian di jalan masih banyak, beberapa yang responnya lambat bahkan baru menyadari ini bukan syuting atau halusinasi setelah kecelakaan terjadi, lalu menjerit-jerit melarikan diri. Melihat si pembunuh berguling di tanah, Liu Zheng hendak melepaskan tembakan ketiga ketika tanpa sengaja melihat seorang pria bertubuh tinggi berambut pirang sedang mendekat sambil memegang koran di tangannya.
"Bangsat..."
Liu Zheng bereaksi cepat dengan menerjunkan diri ke balik meja bundar. Kobaran api dari senapan patah menyembur, koran itu beterbangan. Saat Liu Zheng sedikit sadar kembali, terlihat pria asing berambut pirang bertubuh tinggi itu justru berhasil menembak pembunuh di sisi lain. Apa yang terjadi? Ada orang tak dikenal yang ingin membunuhnya, tapi juga ada orang asing tak dikenal yang berusaha menyelamatkannya...
“Cepat pergi!” Lidah api senapan patah terus menyembur, dalam teriakan kerumunan, Liu Zheng berlari ke supermarket di samping. Di jalanan depan-belakang, baku tembak telah meluas ke skala 10 sampai 20 orang, mereka seolah muncul tiba-tiba, menerobos pintu gerbang mal. Saat terakhir kali menoleh, Liu Zheng juga kaget melihat pemandangan ini. Meski memimpin geng kriminal besar seperti Shazhu Bang, senjata api bukan tidak bisa didapat, tapi di wilayah Tiongkok, untuk tidak melanggar batasan polisi, tradisi menggunakan pipa besi dan kapak tebangan masih dipertahankan. Ini pertama kalinya dia melihat begitu banyak orang saling tembak secara profesional dan semena-mena di jalanan.
Sekitar pukul delapan setengah, hujan akhirnya turun.
Di perkemahan didirikan tenda besar mirip rumah penanggulangan bencana, saling terhubung satu sama lain membentuk ruang-ruang interkoneksi di antara rumput. Berjalan di dalamnya seperti berada di gerbong kereta api. Di tengah berdiri tenda besar berbentuk lingkaran ala sirkus. Mempertimbangkan beberapa orang belum makan, di sini sedang diadakan prasmanan mewah. Suara musik dan rintik hujan di atas tenda menciptakan suasana yang sangat nyaman. Mengganti tenda kecil dengan tenda besar sebesar istana ini hanya memakan waktu setengah jam lebih, membuktikan panitia mempersiapkan diri untuk hujan. Fakta membuktikan, selama ada uang, bersenang-senang selalu bisa dilakukan.
“Wow, rasanya seperti taman bermain besar, gerak-gerik mereka cepat sekali.”
“Berjalan di terowongan yang dibentuk oleh tenda-tenda, Lingjing melihat ke sekeliling dengan penasaran. Di berbagai ruang privat di kedua sisi terowongan ini, berbagai aktivitas sedang berlangsung—tidak hanya kegiatan kemarin, bahkan ada arena taruhan dan ruang film. Semua ini terlihat begitu memesona. Sebagian besar game bisa mendapatkan poin yang kemudian ditukar dengan hadiah berlimpah di kamar tertentu. Meski masing-masing aktivitas tidak terlalu baru jika dilihat terpisah, daya hantam kebaruannya dalam konteks waktu dan tempat seperti ini tetap bisa menaklukkan hati banyak orang. Melihat orang-orang di sekitar dengan wajah bahagia dan puas, Jiaming tersenyum.”
“Kalau ada paman Ruo Ruo di sini, apapun yang kau bayangkan bisa mereka sediakan dalam setengah jam. Ini masih bisa ditahan lah.”
“Setelah masuk ke tenda, semua orang berpencar sesuai keinginan masing-masing. Lagipula, 7-8 orang terus berkumpul bersama memang terlihat agak bodoh. Shasha ditemani Kaoru, sementara Yahan juga akan diikuti oleh agen rahasia dari []. Tenku Masaoka kemungkinan besar akan mengawasi dari jauh. Masalahnya basically tidak ada. Tapi mengenai ‘ketidaknyamanan’ Ruo Ruo setengah jam lebih yang lalu, Jiaming masih merasa ada yang tidak beres.”
Terhadap kemampuan ramalan gadis yang sakit dan lemah ini tidak banyak penelitian. Setelahnya, Fang Zhitian serta beberapa dokter yang telah lama merawat Dongfang Ruo datang, juga menyatakan tidak ada banyak preseden yang bisa dijadikan referensi. Sebagai ahli kekuatan supernatural dari Dark Celeste, Fang Zhitian awalnya berharap Kelly bisa memberikan kesimpulan. Tapi gadis berbaju hitam itu hanya melipat tangan di dada, melirik sekali dan berkata: "Tidak tahu." Lalu pergi. Justru Dongfang Lu memberikan dugaan yang lebih masuk akal: Ruo Ruo awalnya tidak ingin aktivitas ini berakhir terlalu cepat, tapi melihat hujan akan turun, mungkin dia telah meramalkan hal ini, sehingga kepalanya menjadi tidak nyaman.
Setelah itu, hujan benar-benar turun, seolah membuktikan kebenaran dugaan Dongfang Lu dari sisi tertentu. Tapi Jiaming masih merasa ada keanehan: Jika itu benar-benar persepsi tentang masa depan, tentu dia juga seharusnya merasakan bahwa aktivitas serupa taman bermain besar ini justru seharusnya menyenangkan, mana mungkin merasa tidak nyaman. Namun ramalannya sebelumnya sangat jelas, kali ini perasaannya kabur bahkan dia sendiri tidak paham, mungkin perasaan tentang masa depan itu masih dalam wilayah abu-abu.
Memasuki musim panas, hujan yang turun langsung mengguyur deras. Ketika Jiaming dan Lingjing pergi ke tenda di tengah untuk makan, mereka baru bertemu lagi dengan Jiang Yuwei yang wajahnya terlihat muram.
Karena memperkenalkan Lingjing kepada Tan Junrong hingga dibenci semua orang, lalu bertengkar dengan Andy karena urusan Kaoru, ditambah lagi pernyataan cinta tiba-tiba siang tadi yang membuatnya merasa Tan Junrong benar-benar playboy yang keterlaluan, saat melihat Lingjing sekarang, ekspresinya agak canggung, terlihat ingin menghindar namun akhirnya malah menyapa Lingjing dan berkata pelan: "Maaf, pagi tadi..."
"Nggak apa-apa, kamu juga belum makan?"
"Uhh..."
Sejujurnya, karena Lingjing tidak menunjukkan kalau punya pacar di lingkungan luar, Jiang Yuwei yang memperkenalkan Tan Junrong padanya meski ada sedikit motif egois, sebenarnya tidak bisa dianggap sebagai hal yang terlalu keji. Sekarang setelah urusan Tan Junrong berhasil diredakan dengan mudah oleh Jiaming, Lingjing yang bukan pendendam tentu tidak akan terus menyimpan dendam. Teman sekelas lama ngobrol beberapa kalimat itu hal yang wajar. Tapi pagi tadi, Jiaming yang selama ini dianggapnya "lemah dan tidak berguna" malah berani menyela pembicaraannya sampai membuatnya kehilangan muka. Saat Jiang Yuwei berbicara dengan Lingjing sekarang, dia sengaja mengabaikan Jiaming di samping. Tapi Jiaming yang sedang sibuk makan dan berpikir juga sama sekali tidak tertarik untuk berinteraksi dengannya.
"Lingjing, liat ke sana? Banyak selebriti besar, Fang Yusi juga ada. Pengen banget lari ke sana minta tanda tangan."
“Ini... agak tidak sopan ya...” Mengetahui Jiaming dan Shasha selalu punya pendapat tentang Fang Yusi, Lingjing menyesap makanannya sambil berkata, lalu menoleh melihat Jiaming. Tapi saat itu dia sedang mengerutkan alisnya sambil memainkan jam elektronik di pergelangan tangannya, malas memberi pendapat tentang hal ini.
Di sisi lain, Jiang Yuwei mengangguk: "Iya, di situasi seperti ini sulit minta tanda tangan... Kau tidak tahu, bahkan di New York pun lagunya sedang hits belakangan ini, tentu saja di kalangan komunitas Tionghoa kita. Edisi terbatas emas yang dia rilis awal tahun ini katanya hanya dicetak seribu keping lebih. Ada orang di kampus yang beli satu, suka pamer..."
"Itu aku juga pernah lihat." Lingjing tersenyum, "Ada orang di kelas kita yang punya."
"Makanya, kalau kenal selebriti sana kan bagus, ada yang bisa bantu bicara pasti langsung beres... Hah, apa kau tidak merasa Fang Yusi sedang melihat ke arah kita..."
"Eh... Kayaknya tidak juga..." Lingjing mengerutkan alisnya sedikit.
"Dia mendekat..."
"Bukan ke arah kita kali."
Melihat Jiaming di sebelahnya yang masih memperhatikan jam elektronik, namun saat menangkap pandangan Lingjing, Jiaming juga menoleh sambil tersenyum. Langkah Fang Yusi awalnya tampak ragu-ragu, tapi setelah sampai di seberang meja panjang berisi makanan, akhirnya ia membuka mulut dengan senyuman: "Hai, Lingjing, Jiaming." Hari ini ia mengenakan gaun putih mirip jas resmi dengan tas kecil cantik di tangan, terlihat anggun dan berkelas. Lingjing yang memperhatikan pendapat Jiaming tersenyum hati-hati sambil melambaikan tangan, sedangkan Jiaming santai menjawab: "Hai, sudah makan?"
Dalam pesta makan seperti ini, mana ada orang yang menyapa dengan kalimat begitu... Ekspresi Jiang Yuwei di samping mereka tiba-tiba kaku. Kenapa dua teman sekelas lama ini terlihat akrab sekali dengan selebriti besar...
"Sudah makan." Fang Yusi menyungging senyum anggun. "Beberapa hari lalu di rumah Jiaming, aku mungkin agak kurang sopan..."
"Tak apa, ada yang lebih kasar darimu." Tentu saja itu merujuk pada Fang Zhitian yang tak ada berani menegurnya.
"Heh, ngomong-ngomong, ini siapa..." Tak jelas apakah Jiaming marah atau biasa saja, Fang Yusi beralih memperhatikan Jiang Yuwei di sebelah. Melihat Jiaming kembali asyik dengan jam tangannya, Lingjing membantu memperkenalkan. Jiang Yuwei yang grogi menyapa selebriti itu. Jiaming mengangkat kepala sambil tersenyum: "Eh, Kak Yusi, edisi terbatas emas yang kamu rilis awal tahun ini masih ada sisa?"
“Edisi terbatas emas itu... Aku juga tidak tahu pasti, harus tanya manajer dulu. Tapi untuk edisi putih keemasan yang katanya terbatas 180 set, aku sengaja menyimpan dua eksemplar. Jenis ini biasanya cuma untuk promosi, tidak dijual, semuanya buat hadiah. Jiaming, apa kau tertarik?” Jiang Yuwei membelalakkan mata. Fang Yusi tampak agak malu, “Tapi Jiaming pasti tahu kan, ini cuma trik pemasaran. Ditambahin beberapa gambaran, kemasan lebih bagus. Lagipula lagunya kan semuanya karya Jiaming...”
“Kau juga tahu kan, Lingjing suka lagu-lagumu. Kalau bisa kasih satu eksemplar bertanda tangan, pasti dia senang sekali.”
“Benarkah?” Mata Fang Yusi berbinar. Lingjing malah mengerutkan alis sambil menarik lengan baju Jiaming: “Jiaming, tidak usah lah.”
“Kenapa tidak? Kita semua teman baik. Kalau suka, jangan sungkan. Kak Yusi juga bukan pelit. Meski lagunya sama, tapi kalau dipamerin pasti bikin muka kita bangga...”
“Heh... Nanti aku telepon suruh orang kirim ke Lingjing.”
“Uh...” Lingjing mengangguk, “Terima kasih, Kak Yusi.”
Jiang Yuwei di samping membuka mulut lebar, kepalanya bolak-balik memandangi Fang Yusi, Jiaming, lalu Lingjing, seolah sedang mengamati fenomena supernatural yang tak bisa dipahami. Jiaming menunjuk jam tangannya ke Lingjing, berbisik lembut: “Masih ada urusan. Lingjing bisa main di sini atau cari Sasha mereka. Aku harus pergi dulu.” Lingjing mengangguk mantap, “Hmm.”
“Kalau begitu aku pergi dulu. Oh ya Kak Yusi, di tempatku ada dua lagu baru yang kubuat, cocok untukmu nyanyi. Beberapa hari lagi akan kukirim, sekarang masih ada urusan, aku pergi dulu…” Setelah mengayunkan tangan, Jiaming berbalik pergi dari gerbang tenda besar. Fang Yusi membeku di tempat dengan wajah penuh kejutan, baru beberapa saat kemudian menyadari dirinya sama sekali belum sempat bicara...
Memandangi punggung yang menjauh, Lingjing mengerutkan alisnya, sorot matanya penuh kekhawatiran. Karena biasanya, informasi yang terunggah dari jam tangan Jiaming itu termasuk jenis hal yang sebaiknya tidak mereka sentuh. Dia tak ingin tahu, dan jika pun tahu tak bisa berbuat apa-apa, apalagi kebanyakan informasi itu tak ada hubungannya dengan kehidupan mereka.
Tapi, dia tidak tahu bahwa pesan yang satu ini terkait.
Hanya dalam hitungan menit, informasi yang sama telah tersebar ke banyak orang di area ini melalui berbagai saluran.
“Pukul delapan dua puluh lima menit, terjadi baku tembak sengit di Jalan Xilan. Situasi saat ini sudah terkendali. Konfirmasi Shazhu Bang Liu Zheng tertembak, telah dibawa ke Rumah Sakit Rakyat Kedua Kota Jianghai...”
“Kenapa hal ini bisa terjadi secepat ini? Katamu dulu, selama pengamatannya terhadapku belum ada hasil, mereka seharusnya bersabar.” Di dalam tenda kecil, Jiaming mengerutkan kening.
Kelly yang baru masuk sedang mengibas-ngibaskan kondomnya yang basah: “Mungkin rencana yang kau buat sore ini membuat mereka ketakutan. Meski menarik, tapi terlalu sembrono. Kau sendiri yang bilang, mereka sangat sensitif.”
“Tapi belum sampai segitunya...”
“Maka hal itu jadi lebih sederhana, kembali ke titik yang paling tidak mengandung teknologi. Kita membalikkan sebab-akibat, jika kita tidak bermasalah, berarti merekalah yang bermasalah.” Kelly menjilat bibirnya, “...mereka mengalami perpecahan... Pei Luo Jia dan Pangeran mulai saling curiga.” Di bawah cahaya lampu, gerakan gadis kulit putih ini terlihat imut namun penuh kelicikan, seolah-olah dia juga telah menyelipkan tangan gelap tak kasat mata dalam seluruh peristiwa ini.
Jiaming mengangkat alisnya: “Apa yang kau lakukan pada mereka?”
“Nggak ada apa-apa kok.” Gadis itu mengangkat tangan, “Cuma nomor 1758 itu selalu sombong, mungkin tidak disukai orang, dan dengan karakter egoisnya, mungkin di saat tertentu akan mengkhianati anggota Pei Luo Jia untuk mengalihkan perhatian kita, memudahkannya menyerang. Kemarin malam setelah dapat alamat yang kau beri, aku cuma bikin kabar palsu... Lagian dia pasti akan melakukan ini juga cepat atau lambat, Xiao Kaili juga nggak bohong kok. Entah siapa yang mencuri kabar ini seperti harta karun, yang jelas kalau ada masalah, itu semua salah dia...”
## Bagian Tiga Ratus Tiga Puluh Sembilan Hati Pembunuh yang Hilang
Untuk memperebutkan kendali tersembunyi atas dunia ini, berbagai organisasi kegelapan telah terlalu sering saling bersaing dengan licik—menebar niat jahat, memasang jebakan, menghasut dan memecah belah, menyebarkan intelijen palsu, bahkan melempar kulit semangka. Tentu saja, harus kami klarifikasi bahwa banyak individu atau organisasi tidak melakukan ini demi hal sepele seperti kendali. Namun agar ideologi yang mereka anut dapat berjalan mulus, pertarungan dengan pihak yang menghalangi menjadi keniscayaan. Yang sejenis akan berkumpul, manusia terkelompokkan secara alami. Tapi ketika kekuatan organisasi-organisasi ini mencapai tingkat tertentu, yang mampu menghalangi—sengaja atau tidak—pasti juga grup kepentingan dengan pengaruh sama besarnya.
Pembunuh dari Pei Luo Jia yang bisa bertahan dan unggul dalam pertempuran tiada henti ini jelas bukan orang sembarangan. Mereka yang mengalami ribuan pertempuran seperti Jiaming, meski tak punya kemampuan mengatur strategi skala besar, intuisi dan presisi mereka dalam radius efektif cukup untuk menembus kebohongan dan jebakan satu per satu. Dalam konteks inilah, kemampuan Kelly merancang kebohongan sederhana hingga meyakinkan pihak lawan menjadi bukti keahlian taktisnya yang luar biasa.
Tentu mungkin masih banyak hal lain yang dilakukannya, tapi itu semua sudah tidak lagi menjadi pertimbangan Jiaming.
Setelah kira-kira selesai mengobrol, Kelly mengenakan kondom dan pergi dari tenda. Jiaming menimbang-nimbang hal yang harus dilakukan selanjutnya. Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki halus terdengar di tepi tenda, berputar-putar lama. Jiaming menggelengkan kepala sambil tersenyum, lalu membuka tirai: "Hei, masuklah."
"Sudah tahu kau akan menemukanku." Yahan di luar tenda tersenyum manis, melipat payung lalu membungkuk masuk. Karena hujan ini cukup deras, meski hanya sebentar, rambut dan punggungnya sudah banyak ditimpa air hujan. Jiaming berdiri dan mulai mengusap-usapnya. Saat sampai di bokong, Yahan tertawa menghindar, pura-pura melotot: "Ngapain, tak sengaja tersentuh ya!"
"Cantik, bagian mana lagi dari dirimu yang belum kusentuh? Coba ceritakan."
Yahan mencibir: "Harus tetap anggun dong." Dia mengikat ujung gaun yang diikat hingga lutut, lalu duduk bersila di atas tas perjalanan Jiaming. Karena hujan, bagian betis dekat hak tinggi yang tertutup stoking sudah basah. Dia mengeluarkan tisu dari tas kecilnya dan mulai membersihkan. Di bawah cahaya lampu, gaya duduknya membuat betis berstoking kulit tampak seksi dan jenjang: "Aku tadi lihat kau berselingkuh dengan Kelly di sini!" ujarnya sambil tertawa.
"Wah, kalau begitu..." Jiaming tersenyum, "Harus bagaimana aku?"
"Tergantung apa yang kau punya untuk menghalangi mulutku ini."
“Setelah mengucapkan kalimat ini, wajahnya sedikit memerah. Benar saja, Jiaming menunjukkan ekspresi aneh: ‘Uh, kau ingin aku menggunakan apa...’ Sebelum selesai bicara, Yahan sudah melemparkan tisu itu ke arahnya.”
“Sudahlah, aku tidak bercanda. Aku melihatmu pergi dari Lingjing, jadi datang untuk memeriksa, ternyata melihat Kelly sedang kencan diam-diam denganmu. Kurasa pasti ada sesuatu, awalnya tidak ingin mendatangi, masih ragu-ragu, eh ketahuan olehmu...”
“Ekspresi Jiaming menjadi khidmat. Setelah beberapa saat, saat Yahan mulai tegang: ‘Sebenarnya yang kupikirkan awalnya adalah kaos kaki bau...’”
“‘Kau masih berani bicara!’”
“Yahan menendang ke arah Jiaming, tapi tangannya langsung menangkap kaki itu, sekaligus melepas hak tingginya. Tubuh Yahan limbung, hampir kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke belakang: ‘Hei, lepaskan aku!’”
“‘Tidak.’”
“‘Aku tidak mau lanjut...’”
“‘Tidak.’”
“‘Nanti ada yang lihat...’”
“‘Biarkan mereka melihat.’”
“‘Kutendang kau nanti... Aaaaa——’”
"Baru saja dia selesai bicara, kaki satunya juga digenggam Jiaming. Dengan santai melepas sepatu hak tingginya lalu menaruhnya perlahan. Yahan berusaha melawan sebentar, kedua tangannya menahan tas di belakang, menatap malu-marah saat pahanya dibiarkan dimainkan sesuka hati di pangkuan Jiaming. Jiaming memang menyukai kaki panjangnya, dia tentu tahu. Jika sedang berdua saja, tubuh telanjangnya pun sudah dilihat seluruhnya. Hal seperti ini sebenarnya bukan masalah besar, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Rasa malu bercampur keraguan. Beberapa saat kemudian, Jiaming hanya duduk diam memeluk pahanya. Dia pun duduk tenang, sesekali melirik Jiaming sambil menyimak suara di luar tenda. Selain rintik hujan, sunyi senyap.
"Hei, sebenarnya... situasi saat pertama kita bertemu dulu juga mirip seperti sekarang."
"Hmm." Jiaming mengangguk sambil tersenyum, "Saat itu kau hampir diperkosa orang..."
"Hmph!" Yahan melotot lalu menendang perut Jiaming, "Itu kan karena kau tidak mau menolongku!"
"Tolong, mana mungkin aku tidak menolong. Kalau bukan karena ucapanku bahwa kau dari Keluarga Zhang, mana mungkin mereka berhenti di tepi tebing itu."
“Hal ini tentu juga dipahami Yahan, hanya saja saat itu dirinya cemas sepanjang perjalanan, hampir runtuh karena ketakutan. Sekarang ketika mengingatnya, meski perkenalan dan kebersamaan mereka memiliki manisnya tersendiri, melihat senyuman tak peduli di seberang, hatinya kembali mendidih. Memandanginya dengan mata melotot, bertanya: "Hei, waktu itu kau selalu ingin menjaga kerahasiaan. Jika kalimat itu tidak berpengaruh, apakah kau juga tidak akan menyerang untukku? Membiarkanku begitu saja di... eh, di..." Sekarang terbayang kembali rasa takut pasca-trauma itu, bibirnya pelan-pelan tergigit.
Jiaming tersenyum: "Menurutmu?"
Yahan mengangkat mata putihnya: "Hmph, dari dahuu sudah tahu kau tidak akan. Kau waktu itu dingin seperti es, mana mungkin mau membunuh untuk wanita sial yang baru dikenal, apalagi hanya urusan keperawanan sepele." Meski tahu karakter Jiaming, ledakan dendam ini agak tak masuk akal. Tapi bayangan dirinya yang hampir menjadi bunga layu membuat amarah tak tertahankan, kaki menendang-nendang di pangkuan Jiaming...
"Sudahlah, jangan marah. Sebenarnya sama sekali bukan seperti yang kau bayangkan. Waktu itu jika mereka tidak berhenti, fondasiku sudah siap membunuh, setuju?"
"Eh? Kau baik hati segitu?" Mood mulai membaik, Yahan melirik curiga.
"Tidak bohong."
"Kenapa?"
“Alasan waktu itu tentu saja tidak ingin hal seperti itu memengaruhi Lingjing yang masih polos, tapi saat ini tentu tidak bisa mengatakan demikian, dia hanya tersenyum: ‘Aku bukan es beneran, meski bisa menahan diri di depan cewek cantik, tapi tetap akan ada simpati lebih banyak. Waktu itu Yahan kamu cantik dan beraura, bagaimanapun juga cepat atau lambat akan kuambil tindakan, bisa menyelamatkanmu tentu lebih baik.’”
“Kalau gitu, waktu itu kamu sudah mulai punya pikiran mesum ke aku?”
Jiaming hampir tersedak air liur sendiri: “Ehem, itu... sedikitlah...”
“Mesum banget sih.” Telapak kaki digelitik Jiaming, Yahan terkekuk sambil menahan bibir, “Waktu itu kamu baru sekitar tiga belas tahun, sudah berani bernafsu ke tubuh kakak perempuan yang lebih tua...”
“Ehem, pantas saja aku menemukan kaset video mesum di kamarmu...”
Dalam hujan deras, mereka bertiga tertawa riang di dalam tenda. Yahan teringat kejadian-kejadian masa lalu, lalu tiba-tiba mengingat Kelly yang baru saja pergi: “Tadi Kelly cari kamu, benar-benar tidak apa-apa?”
“Masalah kecil, aku masih mempertimbangkan cara terbaik.” Jiaming berpikir sejenak, “Oh iya, ada sesuatu yang ingin kuberikan untukmu.”
“Apa nih?” Mata Yahan berbinar melihat Jiaming mengorek-ngorek tas perjalanannya, tapi yang dikeluarkan malah sebuah pistol. “Saat bersama Lingjing dan yang lain, tolong perhatikan seseorang untukku...”
Lebih dari sepuluh menit kemudian, sebuah Porsche silver melaju dari rumput tepi sungai ke jalan raya di sebelahnya, menerobos tirai hujan yang memenuhi langit dengan kecepatan tertinggi. Lampu depannya bagai kilat, menggoreskan jejak cahaya keperakan di jalanan yang gelap, lalu seketika membelok memasuki jalur gunung yang tertutup hutan di depan, menuju arah Jianghai di selatan.
Di kursi pengemudi, Jiaming memegang kemudi, di dalam pandangannya tersirat keteguhan.
Kelly bertanggung jawab atas seluruh situasi, sementara Dia yang bertanggung jawab untuk bertempur.
Seluruh situasi tercipta agak terlalu cepat, bahkan melebihi imajinasinya semula. Para pembunuh Pei Luo Jia mulai berselisih paham dengan sang Pangeran, sehingga meski jejak para pembunuh ini belum bisa dilacak, tentang sang Pangeran telah muncul dugaan yang sangat mungkin terbukti. Namun masalahnya, menghadapi klan darah yang luar biasa kuat ini, siapapun yang ingin memasang umpan harus siap mental menjadi mangsa yang justru ditelan.
Hanya dirinya sendiri yang mengerti, dia bukanlah Evolusioner alami. Perasaan tak berdaya yang mendalam saat menghadapi Kurcaci itu di kehidupan sebelumnya, masih bisa dia ingat dengan jelas hingga kini. Itu adalah puncak kejayaan seluruh hidupnya. Bersama Yoritomo Taku yang terkuat, mereka hampir menjadi kombinasi terhebat di seluruh dunia. Sebelumnya, demi membunuh target tertentu mereka bahkan pernah menyusup ke basis militer, menghancurkan kota dengan rudal. Ketika merenungkan perasaan itu, seolah mereka bisa melakukan segalanya. Justru dalam kondisi perasaan seperti inilah kedua belah pihak bertemu tanpa persiapan mental, bertarung tanpa alasan jelas. Baru saat itulah dia menyadari perasaan itu sepenuhnya palsu, hanya MATI yang nyata! Yoritomo Taku MATI dalam pertempuran itu. Keberhasilannya membunuh lawan, dalam tingkat tertentu, juga karena faktor keberuntungan. Beberapa orang mungkin mengira kekuatan individu tetap terbatas, namun nilai sebenarnya dari penyusup ulung, pembunuh bayaran, atau agen rahasia, hanya kalangan dalam yang memahami. Ketika konflik internasional semakin memanas di era deterensi nuklir, pada dasarnya merekalah yang diam-diam bertempur - mengandalkan kemampuan mereka memperoleh intelijen dari basis rahasia musuh, membunuh pemimpin negara atau menculik pejabat penting. Jika satu divisi prajurit tidak bisa dikerahkan ke medan perang, maka orang yang bisa menyusup ke markas divisi untuk menyelesaikan tugas, memiliki nilai lebih penting dari seluruh divisi. Keunggulan seperti ini tak bisa digantikan dengan jumlah, hanya elit yang bisa berperan.
Tentu saja, kekuatan manusia selalu memiliki batas. Ketika mencapai realm Yoritomo Taku setelahnya, peningkatan kekuatan tempur murni hampir mustahil. Meski banyak tugas bisa diperkuat dengan teknologi tinggi, dalam hal kemampuan tempur murni, mereka telah mencapai batas maksimum tubuh manusia - ketajaman, kecepatan, kekuatan, kemampuan tersirat, semuanya demikian. Mereka juga sangat memahami: jika bisa break through sedikit saja dari dasar ini, bahkan sedikit, akan memberikan efek yang luar biasa besar. Basis yang sebelumnya sulit diinvasi bisa menjadi seperti wilayah tak bertuan, mengikuti di belakang orang lain dari awal sampai akhir tanpa ketahuan ada yang di belakang——tepat ketika data ilmiah menganggap terobosan ini masih jauh di awang-awang, monster itu menghancurkan mitos tersebut.
Bahkan Kelly, sekalipun merancang terlalu banyak jebakan, mungkin hanya bisa melukainya secara parah. Tapi jika mereka benar-benar ingin kabur, tidak ada jaminan besar bisa menangkapnya. Pada akhirnya, tugas seperti ini tetap harus jatuh ke pundak sendiri.
Tapi kenangan masa lalu itu, bahkan sekarang ketika aku merasa telah melewati batas, saat memikirkan kurcaci ini, keraguan tetap muncul. Apakah ada waktu yang lebih tepat untuk menyerang? Haruskah menunggu lebih lama? Perlukah memobilisasi lebih banyak orang? Namun setelah berbicara dengan Yahan, baru kusadari pikiran ini mulai menggelikan. Jika diriku yang dulu, hal seperti ini sama sekali takkan terpikir. Kehilangan hati sebagai pembunuh membuatku gamang. Meski kini telah menemukan titik keseimbangan, dalam situasi saat ini dimana mereka mengincar orang-orang yang kusayangi, setiap hari yang kutunggu mungkin menambah bahaya bagi mereka.
Apa lagi yang perlu diragukan?
Hujan dan angin seperti pisau. Mobil kecil meluncur dari pegunungan, menyusuri jalan tepi pantai. Hampir bersenggolan dengan truk berat, dalam sekejap telah lenyap dari pandangan. Saat perjalanan ke Jianghai telah separuh jalan, tiba-tiba terdengar Dang! di sisi bodi mobil.
Jiaming dengan dingin memutar kemudi, membelokkan mobil di tikungan. Di jendela sebelah, sosok hitam mengejutkan telah menempel di sana.
“Aku sudah melihat jelas, kau bukan Evolusioner alami.” Suara serak terdengar dengan aneh. Pada saat yang sama, Jiaming langsung membuka pintu mobil di sebelah sana: "Tentu saja bukan." Katanya sambil langsung berlari maju ke arah sana. Melihat Jiaming melepaskan kemudi dalam kecepatan tol seperti ini, bayangan kejutan terlihat di mata pria itu. Mobil meluncur sejauh ratus meter sebelum menabrak tebing gunung di seberang. Dengan ledakan Braak yang dahsyat, mobil meledak menjadi bola api raksasa...
## Bagian 340 Penekanan Terkuat
Dalam dentuman Braak yang menggema, api berkobar angkuh di tengah hujan malam. Mengikuti hujatan itu, dua bayangan manusia telah lebih dulu terbang keluar dari badan mobil, terlibat beberapa kali di udara sebelum terhempas keras ke lereng rumput di sisi jalan.
Mobil yang melaju kencang tiba-tiba melompat keluar, bagi banyak karakter yang telah melalui pelatihan, hal ini bukanlah dongeng khayalan yang berlebihan. Namun nyawa manusia, meski telah menjalani banyak latihan dan mampu menyesuaikan koordinasi tubuh dengan cepat dalam situasi kritis, tetap mustahil sepenuhnya kebal terhadap kerusakan. Kualitas fisik Pangeran memang jauh melebihi manusia biasa, ditambah berbagai kekuatan supernatural yang dimilikinya. Tapi pada kecepatan seperti ini, jika terganggu oleh hal-hal tanpa alasan jelas, tetap ada kemungkinan terluka. Melihat mereka tiba-tiba melepas kemudi dan menerjang ke arahnya dengan gila, dia pun terkejut dan berusaha menghindar, namun salah satu kakinya tiba-tiba tertangkap. Sesaat kemudian, gambaran kekacauan berputar muncul di matanya sebelum tubuhnya menghantam lantai dengan keras.
Rasa sakit seolah seluruh tubuh remuk redam menyebar, di sisi penglihatannya api baru saja mulai menyala...
Persis seperti berbelanja di bidang bisnis yang sering dikunjungi, akhirnya mendapatkan kesempatan jual dengan harga gila-gilaan... Kekuatan supernatural itu rentan. Meski kemampuannya jauh lebih stabil daripada pengguna kekuatan supernatural biasa, pada esensinya tetap rapuh. Baru saja, kemampuan mengambang di udara yang ingin digunakan tergesa-gesa itu bermasalah. Sudah bertahun-tahun tidak melakukan kesalahan konyol seperti ini dalam pertempuran, konsekuensinya pun terasa sangat menyakitkan. Tapi sebenarnya, tidak terlalu bermasalah.
“Kerusakan pada dasarnya timbal balik. Dalam situasi di mana dia juga terlempar hingga kesakitan, manusia biasa setidaknya akan pusing dan muntah darah. Selanjutnya tinggal MEMBUNUH saja.” Pandangan kejam itu berbalik, pertama-tama melihat...
Laras senjata yang mengarah ke dadanya.
Perasaan kesal dan kebingungan yang mendalam belum sempat muncul, tubuh secara bawah sadar ingin melompat dan terbang menjauh. Namun kaki kiri masih dicengkeram erat oleh mereka. Baru sedikit melompat, kobaran api menyembur dengan Tindakan Semena-mena di tengah hujan malam itu. Peluru merobek daging, cahaya menyambar Langit. Tubuh berjubah yang mirip anak kecil itu terlempar bagai selimut karung yang Hancur dalam hujan.
“Kubunuh ibumu—kau seumur hidup cuma bisa mengutuk satu kalimat ya—”
Peluru senapan serbu mengalir deras dari picu yang ditekan mati. Pada jarak sedekat ini, kemungkinan meleset basically tidak ada. Rentetan tembakan seperti pisau baja menyapu dari dada Pangeran, menghancurkan Segalanya di rongga dada dan perut. Jika manusia biasa, satu tembakan pertama saja sudah mematikan. Namun bahkan di tengah kerusakan hebat ini, Jiaming masih bisa merasakan perlawanan sengit monster di tangannya. Benar... benar... inilah sensasinya, manusia abadi...
“Grr... Aaaaaa——”
"Torso dihancurkan peluru, perlawanan tubuh itu semakin menjadi-jadi bagaikan ikan hidup yang baru diangkat dari air. Tak seperti ikan, sosok itu mengeluarkan jeritan memilukan nan gila-gilaan layaknya binatang buas di udara."
"Akhirnya, dalam pergolakan dahsyat, tubuh yang rusak itu terlempar bak peluru meriam, membentuk lengkungan darah dan daging hancur yang memenuhi langit, menghantam batu raksasa beberapa meter di depannya sebelum terguling ke belakang batu. Bersamaan itu, Jiaming berguling bangkit sambil memeluk kepalanya erat-erat, bola matanya memerah bak darah segar."
"Posisi bersujud di tanah hanya bertahan sekejap mata. Ia segera menggigit gigi erat dan bangkit. Magasin kosong senapan serbu di tangan kanannya jatuh, sementara tangan kiri mencabut pistol dari pinggang. Dua jarinya menyambar magasin cadangan dari kantong dan dengan gesit memasangnya ke chamber. Di balik batu, sosok misterius mulai bangkit sambil mengacungkan senjata."
"Meski tubuhnya masih berupa wujud mengerikan yang tak utuh, ia langsung memilih serang balik. Kecepatan reaksi ini bahkan memenuhi standar ketat Pei Luo Jia, tak diragukan lagi sangat hebat. Namun baru saja berdiri, melihat situasi di depan, sumpah serapah langsung meluncur dari bibirnya lagi:"
"Peluru dari seberang tanpa ampun melucuti senjatanya, lebih jauh merusak tangan kanannya."
"Bongkar mobil... bongkar mobil... kau cuma bisa bongkar... Kenapa nggak bisa mundur... nggak bisa ngerem... nggak bisa belok sih——"
Bahkan Jiaming yang biasanya tenang dalam berbagai situasi, kali ini nada suaranya jelas dipenuhi kepuasan yang membanggakan. Peluru menggoreskan kobaran api di permukaan batu, di seberang mobil meledak berapi-api. Sebuah truk berat dari jalur gunung di seberang mendekat, sepertinya hendak berhenti melihat kecelakaan, namun tiba-tiba melesat dengan kecepatan lebih tinggi. Sorot lampu truk menyapu area ini, matanya merah darah, berjalan maju tanpa ragu-ragu sambil membawa senjata.
Tentu saja, kemerahan di matanya bukan berarti dia kehilangan akal karena kejutan tak terduga ini. Kekuatan supernatural monster di depannya sungguh mengerikan, darah leluhur di dahi Jiaming kini berdenyut-denyut. Sakit kepala tak tertahankan seperti pisau menggerogoti tengkoraknya, jika bertambah parah sampai tingkat tertentu, mungkin dia benar-benar akan menjadi gila. Harus membunuhnya... Di tengah sakit kepala, seluruh dirinya seolah terbelah dua - separuh merasakan penderitaan, separuh lagi menjaga kejernihan dan ketajaman pikiran yang belum pernah ada sebelumnya, menangani segalanya dengan metodis. Hanya satu kehendak di pikirannya: Bunuh dia! Tak ada cara lain.
"Ini... mustahil--" Semua perkembangan sama sekali berbeda dari prediksi, Pangeran yang bersembunyi di balik batu raksasa itu berteriak dengan suara penuh ketidakpercayaan, "Kau bukan Evolusioner alami itu..."
"Tentu saja bukan..."
"Jika kau bukan Evolusioner alami, tak mungkin lebih kuat dari Jian Suyan..."
“Suyan dan Jiaming, dua eksistensi yang muncul di hadapan publik, selalu memiliki hubungan subordinasi. Secara umum diyakini Jiaming adalah murid Jian Suyan. Namun dalam prakiraan yang dibuat Kelly, pernah terpikir jika semua ini adalah ilusi, maka pemuda berlatarbelakang bersih berusia lewat sepuluh tahun itu seharusnya merupakan Evolusioner alami. Jika tidak, masalah usia sama sekali tak bisa dijelaskan. Sedangkan hipotesis bahwa mereka berdua sebenarnya satu orang, muncul setelah Pangeran memberi inspirasi pada Kelly, kemungkinannya rendah. Ditambah Kelly tidak ingin investigasinya terlalu banyak terendus oleh Dark Celeste, maka tidak direkam resmi. Saat melarikan diri dari basis, Pangeran pernah melihat catatan Kelly. Semua asumsinya tentu berdasar ini: Jika Jian Suyan lebih hebat dari Jiaming, maka Jiaming hanyalah remaja biasa. Jika sebaliknya, Jiaming adalah Evolusioner alami. Berdasarkan logika inilah, ketika menemukan Jiaming bukan Evolusioner alami, Pangeran langsung menurunkan kewaspadaan, sehingga menyebabkan terjadinya tragedi di depan mata.
Dalam kebingungannya, dia akhirnya menyadari fakta lain: "Tidak mungkin, kau bisa... kau bisa kebal terhadap kekuatan supernatural!"
"Bingo, semua tebakanmu benar..." Di tengah hujan, Jiaming berdiri di puncak batu besar, mengarahkan senjata ke tubuh berdarah yang bergulat di bawah. "Bagaimana? Tak berdaya saat kekuatanmu tidak bisa digunakan?"
"Tidak mungkin——"
Dentuman senjata kembali menggema, melukai garis darah terang. Seketika, tubuh Pangeran melesat ke udara setinggi enam tujuh meter sambil berteriak. Ekspresi Jiaming tiba-tiba berkerut, kedua tangannya erat memeluk kepala yang seolah siap meledak kapan saja.
Berada di udara, menyaksikan pemandangan ini, Pangeran tiba-tiba menunjukkan kilau sukacita. Senjata terakhir yang tersembunyi di balik bajunya belum sempat ditarik ketika bayangan dewa kuno di bawahnya kembali mengangkat senjata di tangannya. Peluru merobek tubuh yang tak bisa menghindar di udara. Dia berguling-guling jatuh ke kejauhan, bahkan sebuah peluru menembus dahinya. Meski satu tembakan ini belum mematikan baginya, rasa sakit yang ditimbulkan sudah tak tertahankan. "Hehahahaha——" Bergulingan di antara rumput tepi sungai, dia berusaha mengendalikan uap air hujan di udara untuk mengganggu penglihatan mereka. Sambil menggerakkan tubuhnya sekuat tenaga, dia tertawa terbahak-basah: "Aku mengerti! Bukan mutlak, bukan mutlak! Asalkan kemampuanku melebihi kau, kau takkan sanggup menahannya, hahahaha——"
"Kalau begitu coba saja! Lihat siapa yang bisa mengungguli siapa! Coba kau terbang lagi kalau berani!"
Hujan malam, ilalang, bukit, bebatuan berserakan, hutan lebat... Jiaming mengejar dari belakang. Sebelum masuk ke hutan, sebuah batu besar tiba-tiba terbang dari tanah dengan akselerasi tinggi, menghantam ke arahnya dengan kekuatan dahsyat.
“Terlalu lambat terlalu lambat terlalu lambat——” Tubuh yang sedang dalam Lari Cepat tiba-tiba meluncur ke bawah tanah, batu besar yang tak sempat mengubah arah melayang melewati atas kepalanya. Jarak yang semakin menjauh ditambah gangguan pada kekuatan supernatural yang tidak melalui media kontak dengan tubuh Jiaming meski tidak terlalu signifikan, tetap membuat Pangeran kesulitan mengendalikan batu tersebut. Saat kecepatannya menurun, sebuah peluru lagi menembus kepalanya. Dengan jeritan "Aaaaa", dia kembali berlari gila-gilaan sementara batu besar itu menghantam jalan di bawahnya, memblokir separuh jalan raya tepi pantai.
“Pakai lagi kemampuanmu, pakai lagi... Biar kulihat berapa banyak peluru yang bisa ditampung kepalamu...”
Sambil terus mengejar, Jiaming bergumam pelan. Tiba-tiba kakinya menginjak kekosongan, tubuhnya menghilang dari hamparan rumput - tempat itu sebenarnya adalah lubang dalam. Pangeran yang sedang berlari sambil mengendalikan lapisan rumput hijau kamuflase, saat Jiaming menginjaknya, kekuatan supernaturalnya kehilangan efek. Seketika seluruh tubuhnya bersama lapisan rumput jatuh ke bawah. Pangeran girang, berbalik dan mengeluarkan pistol terakhir, namun sebelum sempat membidik, tubuh Jiaming sudah menyembul dari ujung lain hampir bersamaan dengan jatuhnya...
## Bagian Tiga Ratus Empat Puluh Satu Medan Pembantaian
Hujatan yang tak kreatif belum sempat meluncur, kobaran api sudah menyala di seberang. Peluru menyelinap masuk ke tulang belikatnya, membuat tangan kanannya langsung mati rasa disertai rasa sakit yang menusuk.
Tubuh non-manusia membuat kualitas fisiknya jauh melebihi manusia biasa. Namun karena terbiasa mengandalkan kekuatan supernatural yang kuat sehari-hari, dalam hal refleks tubuh murni, menghindari, dan menembak, ia kalah jauh dibanding Jiaming. Jika bukan karena kemampuan regenerasi tubuhnya yang hampir immortal, mungkin sepuluh dirinya sekaligus sudah dibunuh habis-habisan. Meski pengalaman bertempurnya cukup banyak, dalam situasi saat ini hanya keputusan cepat untuk kabur saat menyadari bahaya yang sedikit membantu. Menahan rasa sakit dahsyat dari berbagai bagian tubuh, ia memutar arah dan melanjutkan pelarian ke hutan tak jauh.
Bagi dirinya, selain insiden beberapa tahun lalu ketika ditampar hingga terbang oleh anak yang diduga Evolusioner alami, sudah puluhan tahun ia tidak mengalami situasi sekikuk ini. Bahkan dalam insiden tahun lalu itu, paling-paling pertarungan selesai dalam sekejap mata. Tidak seperti sekarang dimana ia dipukuli hingga luka-luka dan kabur seperti anjing terlantar. Perasaan terhina inilah yang paling tak tertahankan bagi yang terbiasa merasakan kepuasan diri.
Ia berusaha meningkatkan kecepatan dengan kekuatan supernaturalnya. Sesekali rasa sakit menyengat dari tubuhnya. Menghadapi kemampuan aneh yang belum pernah dijumpai ini, hampir membuatnya kehilangan Nafsu untuk bertempur. Di saat bersamaan, beberapa orang di dalam hutan sedang melakukan dialog diam-diam.
“Ha, sebelumnya membual diri begitu hebat, tapi akhirnya berakhir kikuk seperti ini. Hei, selain jadi sasaran empuk yang tak bisa mati, apa lagi gunanya dia……”
Dalam kegelapan, seorang sniper yang bersembunyi di ranting pohon memandangi ke arah sini dengan tatapan elang, mengeluarkan senyum dingin. Sejenak kemudian, suara kawan yang bisa memantau lokasi kejadian terdengar.
“Sepertinya kemampuannya diganggu oleh sesuatu... Tapi kemampuan regenerasinya benar-benar mesum, belum pernah kulihat sebelumnya, sama sekali tidak bisa mati. Hei, apakah ada yang seperti ini di organisasi kita……”
“Haruskah kita tangkap dia untuk diteliti……”
“Berkhayal saja! Ini karena kekuatan supernaturalnya dibatasi oleh sesuatu, makanya dia dipukuli sampai segini kikuk. Kau tidak punya kemampuan untuk menekannya, kalau sampai dia benar-benar melawan... Jangan lupa dia bisa kabur dengan mudah meski dikepung banyak orang dari []……”
“Tapi... Kenapa yang datang malah Gu Jiaming itu? Kondisinya juga terlihat aneh, terlalu kuat……”
“Tidak sesuai intel, ini persis standar Jian Suyan……”
“Jangan-jangan dia memang Jian Suyan?”
“Sebelumnya tidak ada yang pernah melihat anak ini bertarung secara resmi. Kondisinya terlihat tidak wajar, seperti habis makan obat... Intel kurang, serahkan hal ini ke atasan untuk dianalisis setelah pulang……”
“Masuk radius efektif... Bos, kita tembak?”
Dalam perbincangan, bayangan Pangeran sudah berada kurang dari 20 meter dari hutan. Jiaming mengejar dengan cepat dari belakang. Di sistem komunikasi, sang manajer terkekeh: "Si pendek hitam itu juga hampir tidak bertahan, tunggu dia minta bantuan..."
Pangeran terjatuh ke dalam hutan yang gelap!
Dua detik kemudian, di pohon besar berjarak lebih dari seratus meter dari tepi hutan, seorang pria menarik napas dalam. Senapan runduknya diturunkan lalu diangkat, mengambil posisi bidikan paling standar. Dalam hujan malam, kobaran api samar terdengar dari jalan raya di luar hutan. Jarak pandang melingkar tiba-tiba memasukkan bayangan Jiaming yang sedang berlari ke dalam radius efektif.
Perasaan yang sulit diungkapkan. Sekejap mata, mata merah menyala Jiaming tiba-tiba menatap ke arah sini.
Cret cret cret... Bayangan itu melesat miring sejauh belasan meter. Dalam sekejap, tubuhnya berubah arah empat kali berturut-turut. Penembak di sini mengikuti insting bawah sadar, jari secara refleks menarik pelatuk. Peluru mengoyak hamparan rumput di tanah. Bersamaan, kobaran api senapan serbu menyala di domain kegelapan hutan, dentuman senjata memecah kesadaran.
Bayangan Jiaming menghilang di balik pohon besar pertama. Tapi... tidak muncul lagi dari sisi lainnya.
Peluru-peluru dari berbagai arah berdesingan tet-tat-tat-tat menuju satu titik, mencabik-cabik rerumputan dan dedaunan, melucuti kulit pohon, menembus batang kayu hingga serpihan kayu mekar bagai bunga. Sebuah roket dengan ekor api yang menakjubkan melesat melewati pepohonan, BRAK! Meledak tepat di titik sasaran, memercikkan ribuan bunga api yang membawa serta rumput dan serpihan kayu sebelum akhirnya padam dalam guyuran hujan lebat. Kegelapan kembali menyelimuti area tersebut, dentuman senjata pun berangsur mereda. Sebatang pohon besar roboh dengan gemuruh di tepi hutan, disertai bunyi "kreek-kreek" yang menusuk.
"Konfirmasi kematian?"
Dalam kesepian yang diterpa hujan dingin, akhirnya seorang pria berbicara dengan suara berat, desahan napasnya terdengar jelas.
"...Tidak terlihat."
"Target hilang..."
"Poin C kehilangan target..."
"Poin D... Tidak bisa dikonfirmasi..."
"Target hilang..."
"Target hilang..."
"Sama... Target hilang..."
Konfirmasi serupa berdatangan. Sang pemimpin terdiam sejenak sebelum memberi perintah: "Yang terdekat... Xiao Lin, verifikasi. Lainnya, beri perlindungan..."
"Siap."
"...Waspada!"
Hampir bersamaan dengan jawaban Xiao Lin, sniper di atas pohon itu berteriak pelan. Di dalam bidikan teropongnya, semak-semak di hutan tiba-tiba bergetar dari kiri ke kanan seolah ditiup angin kencang. DANG! Pelatuk pun ditariknya.
Seratus meter di kejauhan, dentuman serupa menggema. Di antara riuh tembakan, terdengar suara tubuh manusia saling berbenturan.
Dua bayangan melintas bersilangan.
Teropong bidik bergoyang sedikit ke kanan, dia tahu dirinya gagal menangkap kesempatan. Dalam jarak pandang, bayangan yang sebelumnya bersembunyi di semak tiba-tiba terlempar ke udara. Tubuh itu masih terhuyung-huyung mundur akibat daya hantam, kepala dan badan mulai terpisah sebelum sempat bereaksi. Sesuatu yang tajam melesat melewati lehernya dalam sekejap mata. Melalui lingkaran teropong bidik, adegan mengerikan dalam kegelapan ini memancarkan daya hantam yang luar biasa.
Bagai bayangan layar lipat yang ditetak katana. Setelah bilah pedang melintas, objek terbelah secara sempurna. Bahkan tanpa melihat pedangnya, hanya dengan memperhatikan potongan yang mulus bak karya alam, orang bisa merasakan kekuatan dan kilatan maut dari tebasan itu.
Dalam kegelapan, bayangan kepala manusia terlempar, menghantam batang pohon besar sebelum memantul dan jatuh di semak. Tubuh tanpa kepala mundur dua langkah lagi. Dari leher yang terpotong, semburan darah seperti air terjun baru menyembur, lalu tubuh itu jatuh dengan suara byur di antara semak.
Dentuman peluru menggema sesaat sebelum kembali senyap. Kegelapan yang mencekam menyelimuti, semua orang menahan napas. Desau hujan di dedaunan menjadi latar belakang dunia. Tiga menit kemudian, semburan api senjata berpola kipas menyala dari balik pohon puluhan meter jauhnya, menyapu hutan tanpa tujuan. Setiap orang bisa merasakan kesengsaraan dan kepahlawanan yang terpendam dalam tembakan itu, sebelum sebuah tubuh manusia akhirnya ambruk.
Peluru seperti badai sekali lagi menutupi area ini, kali ini dengan dua roket berturut-turut. Serangan seperti bombardemen karpet ini berlangsung selama belasan detik, sebelum keheningan kembali menyelimuti. Karena berada di area dengan dedaunan lebat, kobaran api baru mulai mereda setelah satu menit penuh.
Target yang mereka kejar, sekali lagi menghilang bagai air menyusup ke dalam kegelapan pekat ini, tanpa meninggalkan jejak.
"Target hilang..." Saat nyala api terakhir padam, suara yang sama kembali terdengar, membuat yang lain baru memastikan dengan membuka mulut perlahan.
"Target hilang..."
"Ini mustahil..."
"Kumpulkan mental kalian..."
"Semua melakukan penyamaran bebas, keputusan menembak diserahkan pada penilaian masing-masing. Tuan-tuan, ini ujian bagi kita..."
Di antara semak dan serpihan batu sekitar 20 meter dari lokasi sebelumnya, seorang yang bersembunyi diam-diam membawa senapan serbu mulai berpindah posisi dengan hati-hati. Kegelapan di sekitarnya luar biasa, namun bagi mereka yang terlatih ketat, masih ada visibilitas terbatas. Memandangi hutan yang sunyi seperti dihantu ini, firasat buruk mulai menggelayuti hatinya.
Sebagai pembunuh berpengalaman di Pei Luo Jia yang dikirim ke Jianghai, pendidikannya selalu mengajarkan untuk menyatu dengan kegelapan. Kembali ke alam gelap seharusnya memberi rasa aman seperti pulang ke rumah. Tapi di hadapan seseorang yang justru lebih menguasai kegelapan, rasa aman dalam bayangan ini mulai sirna setelah dua kali pembunuhan penuh tantangan tadi.
“Dengan sikap paling waspada dan lembut, dia mundur diam-diam di antara semak belukar. Meski cemas, dia punya alasan untuk percaya bahwa kemampuan menyembunyikan dirinya takkan kalah dari siapa pun. Dalam hati, dia memprediksi lokasi kemungkinan kemunculan pihak lawan sambil menyesuaikan postur tubuhnya.”
“Di tengah pikiran itu, sekejap kemudian, kilatan tajam yang dingin menempel di tenggorokannya. Seseorang membungkuk tanpa suara di belakangnya. Detik ini terasa seperti mimpi.”
“Telapak tangan dengan kekuatan cukup untuk menghancurkan rahangnya menutupi mulutnya. Suara berbisik di telinganya, seolah ingin mempermudah, menggunakan bahasa Jepang.”
“Bunuh orang? Aku yang ajari...”
“Bilah pisau mengiris dari kiri ke kanan dengan ringan. Sekilas dia teringat ikan koi yang pernah dilihatnya di akuarium Tokyo Tower. Mereka berenang bebas di kolam jernih dekat pintu keluar, bagai pisau yang melesat ini - keindahan dingin yang cemerlang. Saat itu dia tak sempat mengaguminya, hanya lewat sambil... membunuh.”
“Sungguh ingin melihatnya sekali lagi...”
“Saat darah menyembur, pikirannya melayang.”
## Bagian Tiga Ratus Empat Puluh Dua Perpecahan
“Kalau begitu... posisi sudah terkonfirmasi...”
“Berdasarkan sinyal yang dikirim, di hutan dekat pabrik kulit hewan yang ditinggalkan sebelumnya... Jika intel akurat, kita bisa mulai...”
“Nona Kelly...”
Di dalam tenda, suara riuh rendah tawa dan keriuhan di luar masih terdengar samar-samar. Hujan turun beruntun, menciptakan suara gesekan yang bising namun berirama. Saat ini, ruangan tersebut telah diatur menyerupai lokasi rapat operasi militer. Beberapa laptop berjajar di atas meja, berbagai informasi terpampang di layar. Setelah mendengar laporan yang masuk, Fang Zhitian menoleh ke belakang dan bertanya pada Kelly di sampingnya: "Nona Kelly, pendapatmu..."
Kelly dengan dingin mengangkat tangan: "Aku bisa menjamin keakuratannya."
"Kalau begitu tidak ada masalah." Fang Zhitian tersenyum. Saat menoleh kembali, kilau renungan baru terlihat di kedalaman tatapannya. Ia mengetuk-ngetuk jari di atas meja panjang di sebelah: "Sesuai rencana semula, beri tahu pihak Jianghai untuk mempercepat operasi. Kendalikan ketat semua jalur dari Jianghai ke utara. Selain itu, pasukan khusus bisa mulai operasi. Usahakan semua hal selesai malam ini. Untuk Tuan Pangeran itu... syaratnya usahakan tangkap hidup-hidup..."
Begitu perintah ini dikeluarkan, suasana di dalam tenda seketika menjadi kaku. Suara ketukan keyboard komputer dan dering telepon mulai ramai terdengar. Beberapa saat kemudian, Fang Zhitian dan Kelly berpindah ke sisi lain: "Sekarang kita hanya bisa berharap penelitian tubuh Tuan Pangeran itu benar-benar memberi manfaat untuk kondisi Ruo Ruo. Nona Kelly, terima kasih."
“Masih seperti kata sebelumnya, tidak bisa menjamin semua hal.” Tangan terlipat di dada, Kelly saat ini mengenakan kacamata kawat emas, senyum samar terpancar di wajahnya, memancarkan keanggunan dan kebijaksanaan yang meyakinkan, tanpa sedikitpun kesan gadis muda yang berpura-pura dewasa. Fang Zhitian yang telah bertemu banyak orang, namun jarang menemukan perempuan seperti ini - terkadang polos layaknya gadis yang belum mengenal dunia, terkadang memberontak seperti penari yang haus akan hal baru, terkadang anggun bak Permaisuri, terkadang kesepian seperti istri yang ditinggalkan, bahkan terkadang menunjukkan kebijaksanaan seorang peneliti seperti yang terlihat sekarang.
Alisnya sedikit terangkat, dia mulai berbicara: “Kondisi tubuh subjek eksperimen 1758 telah dikonfirmasi sebagai penghisap darah legenda. Darahnya mampu menciptakan yang MATI yang tidak sempurna, peningkatan kondisi fisik adalah manifestasi paling nyata. Penyakit Nona Dongfang terletak pada kekuatan spiritual yang berlebihan, tubuh rentan manusia biasa sulit menanggung energi magis sebanyak ini. Maka, untuk menyembuhkannya, tentu ada dua arah: satu dengan memusnahkan kekuatan spiritual tersebut, atau memodifikasi tubuhnya hingga mampu menampung kekuatan sebesar itu. Faktanya, beberapa hari ini saya berpikir, mungkin dia sendiri sudah melakukan hal ini...”
“Apa?”
“Bukan aktivitas yang disadari, melainkan kegiatan yang terdominasi oleh bawah sadar.” Kelly menundukkan pandangannya, berbicara sambil berpikir, “Ada sebuah teori: saat manusia bermimpi terjatuh dari ketinggian, tepat sebelum menyentuh tanah, mereka pasti akan terbangun. Jika tidak, otak mungkin menerima realita kematian dan takkan pernah bangun lagi dari tidur. Tubuh manusia memiliki mekanisme perlindungan spontan. Kemampuan Nona Dongfang sangat unik - meski tak bisa mengendalikan kekuatan melihat masa depan ini, secara bawah sadar kemampuan tersebut tetap melekat pada eksistensinya. Ketika kekuatan supernatural merusak tubuhnya, sistemnya akan otomatis melakukan penyesuaian: di satu sisi meningkatkan ketahanan fisik, di sisi lain melemahkan kemampuan tersebut. Namun karena ketidakseimbangan yang ekstrim antara kedua faktor, penyesuaian ini basically bisa diabaikan. Kita bisa membuat hipotesis: jika status kesehatannya tetap stabil, mungkin dalam beberapa ratus tahun dia akan sepenuhnya beradaptasi dengan kemampuan ini...”
“Tapi... penggunaan darah Pangeran untuk memodifikasinya, jelas juga dapat meningkatkan kemampuan adaptasi saat ini?” Fang Zhitian bertanya.
“Akan ada peningkatan.” Kelly mengangguk, “Namun subjek eksperimen yang menerima modifikasi dari yang MATI sendiri tidak ada yang sempurna. Jika modifikasi ini membawa penderitaan lebih besar dan tak terlepaskan bagi Nona Dongfang dalam waktu dekat, Tuan Fang juga harus mempersiapkan diri secara mental untuk melepaskannya.”
“Ada kesempatan... lebih baik daripada tidak ada sama sekali...” Fang Zhitian berhenti sejenak, “Bagaimanapun juga, harus berterima kasih pada usaha Nona Kelly. Sebenarnya, beberapa hari ini dia sangat tenang, kurasa ini pasti karena Nona Kelly telah melakukan sesuatu ya?”
Kelly tersenyum ambigu: “Kalau begitu aku pergi dulu. Urusan pertempuran bukan urusanku.” Setelah melangkah beberapa langkah, dia tiba-tiba menoleh seakan teringat sesuatu: “Bagaimanapun, ada satu hal yang perlu kusampaikan sebelumnya. Begitu Nona Dongfang bisa hidup seperti manusia normal, besar kemungkinan dia akan kehilangan kemampuan meramalnya. Ini hipotesisku.”
Tanpa menunjukkan keheranan, Fang Zhitian menyungging senyum lembut: “Kupikir ini konsekuensi terbaik untuknya.”
Kelly mengangguk sambil tersenyum. Saat berbalik untuk keluar, senyum di bibirnya belum sirna, tapi tiba-tiba matanya memancarkan ekspresi yang sangat aneh. Sesaat kemudian, dia berubah menjadi orang lain.
Dalam kegelapan, berbagai ekspresi silih berganti di wajah itu dengan cepat. Suara lemah terdengar dari bibir yang bergetar.
“Dia benar-benar bisa mengalahkan Pangeran?”
“Tak ada yang tahu apakah Pangeran akan langsung menyerang di detik pertama...”
“Menurutmu tidak?”
“Pasti ada yang bermasalah...”
“Bukankah ini bisa membuktikan kesempurnaannya... kesempurnaan yang kuat... hmph, lebih hebat darimu.”
“Tak kusangka dia memilih opsi nekad seperti ini...”
“Tapi pilihan itu kau yang berikan, tentu saja bisa dia lakukan.”
“Dia akan MATI...”
“Lagi pula kau yang ingin menguji batas kemampuannya...”
“Aku tak mau lagi menjadi mesum yang hanya mencintai diri sendiri...”
“Tapi aku sangat merindukan perasaan mencintai diri sendiri ini...”
“Dia belum berhasil mempengaruhi kita, cuma sedikit hebat saja.”
“Lagipula belum tentu bisa menandingi Natalia yang sudah mengalami kesadaran diri kedua kali……”
“Tapi Jian Suyan lebih sempurna dari Natalia, karena Jian Suyan palsu!”
“Kita hanya mencari tempat berlindung!”
“Aku ingin menjadi manusia normal!”
Dalam hujan deras, dia berjalan sambil menggigit gigi. Namun, bahkan kata-kata paling sengit pun langsung lenyap di antara gerakan bibirnya yang memikat seketika setelah terucap. Dengan suara "Splash", tangan kanannya tiba-tiba meraih pistol mini silver dari pinggang. Tubuhnya gemetar kaku saat laras senjata langsung menekan dahi kanannya, sementara heels hitam elegannya berhenti mendadak dalam guyuran hujan.
Tarikan napas pendek-pendek——
“Kalau merasa tidak normal, mati saja!”
“Mati ya mati! Siapa takut? Ini juga bukan pertama kalinya!”
“Bercanda macam apa ini……”
“Tembak! Tembak! Tembak!”
“Bisulah——”
Dengan suara "Prak" lagi, kedua tangan menggenggam gagang pistol. Dengan susah payah mengalihkan laras senjata, tatapannya garang meski gumamannya terdengar kecewa: “Setiap manusia punya naluri perlindungan diri... Setiap manusia punya alam bawah sadar...”
Seorang prajurit yang awalnya ditugaskan diam-diam untuk pengamanan kini berdiri dengan bingung tak jauh dari sana, menatap pemandangan aneh ini. Dalam aktivitas kali ini, senjata api jelas harus dikendalikan ketat. Tapi mereka adalah Kelly Vernam, jelas di luar radius efektif kendali. Tapi... apa asyiknya mengarahkan pistol ke dahi sendiri? Sesaat ingin berlari maju, tapi juga ragu. Jika dia bunuh diri di depan mataku, konsekuensinya takkan bisa kutanggung... Dalam pergulatan batin itu, akhirnya wanita itu menurunkan pistolnya. Kepalanya menoleh keras, sorot matanya menyala-nyala: "Ngapain melototin?! Nggak pernah liat orang bunuh diri ya!"
Dengan suara "Hmph!", dia menyelipkan pistol kembali ke pinggangnya. Dengan marah, dia berjalan maju. Begitu masuk ke area lampu, tubuhnya yang basah kuyup hujan seakan kembali menjadi gadis manja dan menggemaskan yang mengaku sebagai "Xiao Kaili". Bibirnya menyungging, bahunya lunglai.
“Sudahlah sudahlah, semuanya tidak sesuai prosedur booking. Menyuruhnya inisiatif menyerang jelas cuma gurauan untuk menguji reaksinya, eh malah benar-benar nekat terjun. Kali ini setelah dipukul, bagaimana aku bisa tangkap hidup-hidup nomor 1758? Lebih baik dulu terima saran Fang Zhitian untuk mengganggu satu divisi wilayah militer Jianghai langsung lakukan operasi pengepungan...” Dengan kesal menghela napas, dia mengibaskan rambut basah kuyupnya. “Yasudah, mandi air hangat saja, besok anggap hal ini tidak pernah terjadi...” Di tenda sebelah, Cui Guohua, Qiao Guorui, Fang Guolin, Ye Lian dan lain-lain berkumpul sambil berdiskusi kebingungan tentang situasi di depan mata.
“Yang pergi adalah adik Jiaming... Ada yang bisa jelaskan kenapa dia pergi?”
“Pasti dari pihak Jian Suyan yang mengatur. Siapa tahu dia ngapain...”
“Berdasarkan kecepatan mobil, jarak ke lokasi ledakan pertempuran, waktu koneksi kabar kembali—semua cocok dengan Gu Jiaming.”
“Jangan bilang Gu Jiaming terlibat langsung dalam pertempuran ini...”
“Sekadar bantuan serangan Jian Suyan pun, di Tingkat kemampuan segini, anak tujuh belas tahun tetap berbahaya...”
“Mungkin ini ujian untuknya? Prajurit sejati hanya muncul dalam pertempuran. Untuk menjadi manusia seperti Jian Suyan, Tantangan seperti ini pasti diperlukan.”
Kamu berkata, aku pun berkomentar, sebenarnya ada beberapa pertanyaan nyata dalam hati mereka. Setelah beberapa saat, Qiao Guorui menghela napas: "Sebenarnya semua orang pasti punya simpati lebih banyak padanya. Yang sekarang kukhawatirkan justru tuduhan dari pihak lain... Kabar itu disampaikan ke Nona Kelly dari sana, lalu oleh Nona Kelly diteruskan ke sini. Dalam situasi seperti ini, hubungan Jian Suyan dan Gu Jiaming dengan organisasi luar negeri lebih erat dibanding dengan kita... Jujur saja, mungkin ini bukan situasi terbaik, tapi Nona Jian memang sudah banyak membantu kita..."
## Bagian 343 Negara
Kekhawatiran Qiao Guorui memang beralasan. Seperti pertimbangan Jiaming, di sebagian besar negara, orang-orang berkemampuan yang melayani negara asalnya adalah pola pikir inersia - terutama di []. Mungkin dari namanya saja sudah terlihat, tujuan pendirian dan arah perjuangan organisasi ini bukanlah untuk perdamaian atau cinta yang polos. Berbeda dengan Pei Luo Jia yang merupakan organisasi pembunuh dunia tanpa batas negara, juga berbeda dengan Dark Celeste yang merupakan separuh kekuatan besar seperti Rothschild, yang berjuang untuk hegemoni keuangan global. Ada kemiripan sebagian dengan Surga Kebijaksanaan, tapi relatif lebih berfokus pada pengembangan ilmiah dan kecenderungan global.
Dalam situasi seperti ini, [] mungkin lebih dekat dengan Aliansi Pelindung Kanguru Australia yang namanya terdengar lucu, sebagai organisasi regional dan etnis murni yang hanya melayani Tiongkok bahkan perluasan kekuatan Tionghoa di seluruh dunia. Hubungannya dengan pemerintah lebih erat, sebagian besar anggotanya memiliki kepercayaan nasionalis, dan dalam beberapa aspek lebih fanatik. Saat negara semakin berkembang, bahkan ada yang mulai menyembah "Teori Superioritas Pria Kekar". Dalam kondisi seperti ini, kemampuan seseorang untuk tetap independen dianggap sebagai hal subversif oleh sebagian orang. Kedekatannya dengan organisasi luar negeri yang melebihi hubungan dengan pihak sendiri jelas merupakan bagian dalam kisah yang lebih serius, meskipun organisasi yang terlihat dekat dengannya saat ini masih merupakan sekutu kita.
Pada dasarnya, peradaban manusia mungkin telah berkembang selama ribuan tahun, tetapi pola berpikir manusia tetap berputar-putar pada model yang tidak berubah selama ribuan tahun.
Setelah Qiao Guorui selesai berbicara, Ye Lian di sampingnya meliriknya: "Kau khawatir siapa?"
"Siapa lagi," kata Fang Guolin yang sedang menuangkan air sambil menoleh, "Kakak Ying Zifeng yang suka memihak itu."
Qiao Guorui tersenyum sambil mengangkat bahu: "Memang Ying Zifeng punya masalah dengan Gu Jiaming, tapi Ying Zilan baru datang. Kemungkinan dia membantu adiknya membuat skenario sepertinya kecil. Meski semua orang paham logikanya, kebanyakan tetap menyimpan prasangka... Contohnya Guohua, meski mengaku setia pada negara dan bisa menjaga ketenangan, tetap saja punya pemikiran tersembunyi dalam hal-hal seperti ini..."
"Wei wei wei!" Cui Guohua melotot padanya, "Kau ini calon suami yang sudah meninggalkan pasukan, berani-berainya mengoceh tentang informasi sensitif bersama kami! Keluar! Keluar! Keluar!"
"Lihat, aku sudah bilang..."
Di tengah tawa mengejek semua orang, seseorang membuka tirai dan masuk sambil tersenyum: "Sebenarnya yang dimaksud Guo Rui pasti aku, kan?"
"Ah, Tuan Fang."
"Tuan Fang, kau datang kemari?"
Orang yang baru saja masuk adalah Fang Zhitian yang membawa secangkir kopi panas. Setelah menyelesaikan urusan dengan Kelly dan memberi perintah, ia berjalan-jang lalu mendengar beberapa orang membicarakan hal ini. Tanpa ragu ia membuka tirai dan masuk, mungkin sudah menyapa terlebih dahulu, lalu menatap Fang Guolin sambil tersenyum: "Ngomong-ngomong, sebelumnya Guo Lin atau siapa pernah punya anggapan kalau Nona Jian Suyan sebenarnya adalah Gu Jiaming yang sedang berperan, benar bukan?"
“Beberapa orang saling pandang. Sebelumnya dalam peristiwa New York, Fang Guolin memang pernah secara spontan menyebutkan teori ini, namun kemudian segera membatalkannya. Setelah itu, semua orang paling-paling hanya menyebutnya saat bercanda. Tak disangka hal ini sampai ke telinga Fang Zhitian. Fang Guolin mulai mengerutkan alisnya dengan keraguan. Baru dua tiga tahun dia bergabung dengan [], terhadap tokoh penting seperti Fang Zhitian, tetap ada rasa takut dan hormat yang cukup: "Ti-Tidak mungkin... Apakah Tuan Fang mencurigai hal ini?"
“Uhh... Bukan juga.” Fang Zhitian tersenyum, “Hanya teringat jika teori ini benar, seluruh peristiwa akan menjadi sangat menakjubkan, membuat orang merasa... hehe, di dunia ini masih ada hal-hal yang tak bisa dipahami. Namun meskipun operasi adik Jiaming kami kali ini cukup mengejutkan, seharusnya hanya memberikan bantuan untuk Nona Jian. Informasi lebih konkret harus menunggu tim kami sampai di lokasi baru bisa dikonfirmasi. Mengenai kekhawatiran Guo Rui tadi, sebenarnya jika aku ingin lebih tenang, mungkin juga akan memilih membuat batas dengan institusi dalam negeri. Kalau tidak, selalu sulit membuat diri merasa nyaman.”
“Aaaaa? Tuan Fang...”
Fang Zhitian saat ini merupakan salah satu pimpinan negara di []，pernyataan seperti ini tentu tidak berani dikritik siapapun. Namun kejujurannya membicarakan hal sensitif di depan beberapa orang tetap mengejutkan. Fang Zhitian tersenyum sambil mengayunkan tangan: "Jangan terlalu terkejut. Aku bukan ingin mengubah [] menjadi sarang neo-Nazi. Nasionalisme ekstrem memang membantu negara, tapi akan sangat berbahaya jika seluruh negara dipenuhi orang seperti itu. Para pemimpin di atas tetap rasional, mereka juga tidak akan mengizinkan situasi seperti itu terjadi."
Ia membentangkan tangan seperti sedang mengobrol: "Sebuah negara seharusnya terdiri dari berbagai jenis manusia dengan ide beragam - ada yang ingin membahagiakan dunia, ada yang hanya peduli diri sendiri; sebagian ingin memproteksi negara dari penindasan, sebagian berharap negara kuat untuk melakukan invasi; ada yang menginginkan dunia tanpa perang, juga yang hanya ingin hidup sederhana bersama orang terdekat. Setiap orang punya ruang mewujudkan pemikirannya. Barulah itu negara yang sehat. Nona Jian tidak merugikan kepentingan nasional. Keinginannya melindungi orang tersayang dari keterlibatan dalam tanggung jawab rumit adalah syarat yang sangat masuk akal, sekaligus...tujuan dasar eksistensi sebuah negara."
Ia menyesap kopi dengan tenang. Di sisi lain, Cui Guohua membuka mulut: "Banyak hal akan lebih mudah jika Nona Jian bersedia membantu."
“Ini adalah cara mengelak tanggung jawab.” Fang Zhitian menjawab, “Setiap orang melakukan usaha terbaiknya dan menyelesaikan urusannya sendiri, itulah kewajiban dasar. Pemikiran bahwa kekuatan diri tidak cukup sehingga harus memaksa orang lain bertindak adalah salah. Meski seringkali kita terpaksa melakukan hal seperti ini, tapi untuk hal yang masih bisa diselesaikan sendiri, sebisa mungkin kita lakukan sendiri. Sebenarnya dari 1,2 miliar penduduk Tiongkok, yang paling tidak kurang adalah bakat. Yang tertinggal... hanyalah Sistem saja...”
Setelah menghabiskan kopinya, dia menepuk tangan dan berdiri: “Mengenai Ying Zilan, sebenarnya tidak perlu khawatir. Pertama, Zifeng itu orang yang angkuh. Ketidaksukaannya pada seseorang belum tentu diceritakan ke kakaknya. Kedua... bagaimanapun juga Nona Jian pernah menyelamatkan nyawaku. Selagi aku masih bisa berbicara, harap [] bisa lebih sederhana dan fokus pada pekerjaan nyata. Itu yang terbaik.”
Dalam [], Fang Zhitian dan Ying Haisheng berada di utara dan selatan. Secara relatif, kekuasaan Ying Haisheng lebih rendah. Tapi karena [] berdekatan dengan institusi politik negara, tentu melibatkan banyak koneksi dan persaingan. Hubungan Fang Zhitian dengan karakter fiksi Jian Suyan lebih dekat, sehingga keluarga Ying ingin memanfaatkannya sebagai bahan kritik. Kali ini Jian Suyan terlihat lebih dekat dengan Dark Celeste. Jika di kemudian hari keluarga Ying menggunakan ini sebagai alasan untuk menekan karakter ini, kemungkinan Fang Zhitian akan berada dalam posisi sulit. Yang pertama terkena dampak tentu para agen-agen rahasia yang memahami kekuatan Jian Suyan ini.
“Namun karena Fang Zhitian telah menyatakan sikap seperti ini di sini, tentu saja tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan setelahnya. Pertama, mereka juga memiliki simpati terhadap Jian Suyan. Kedua, kekhawatiran bermusuhan dengan orang seperti ini telah dihilangkan, secara alami ini sangat meringankan.”
“Sekitar pukul 10, beberapa tim pasukan khusus bersenjata lengkap mulai bergerak dari berbagai arah untuk mengepung hutan tempat Jiaming baru saja bertempur.”
“Area tak bertuan ini sangat luas. Melompati hutan lebat di tepi jalan, terdapat pabrik kulit besar yang telah ditinggalkan karena kesalahan perencanaan. Di kejauhan ada desa kecil. Di antara ladang dan bukit yang tersembunyi dalam tirai hujan hitam pekat, satu tim prajurit pertama kali menemukan reruntuhan mobil di pinggir jalan.”
“Setelah diguyur hujan selama puluhan menit, api dari ledakan mobil telah padam. Jejak baku tembak di lereng berumput ini semakin kabur tersapu hujan, namun tak bisa mengelabui orang-orang terlatih ini. Dengan gerakan hantu, mereka melakukan eksplorasi lalu menerobos masuk ke hutan. Segala informasi terkumpul di komandan melalui radio sebelum dikirim kembali.”
“Temukan Medan Perang Pertama...”
“Mobil yang hancur adalah Porsche 911 sport. Nomor plat sesuai dengan yang dikendarai Gu Jiaming. Perkiraan awal sopir melompat keluar sebelum tabrakan lalu bertempur. Kecepatan diperkirakan melebihi 130 kilometer per jam...”
“Medan perang berlanjut ke hutan... Kami mendengar tembakan dari arah barat hutan, jarak lebih dari 2 kilometer...”
“Memasuki...”
“Temukan mayat! Beridentitas tidak jelas!”
“Temukan mayat! Beridentitas tidak jelas!”
“Mayat ditemukan! Beridentitas tidak jelas……”
Hujan lebat dan angin kencang, gambaran yang dikirimkan kamera terlihat kabur. Di depan berbagai komputer dengan layar pemantau tak terhitung, Ye Lian dan yang lain terpaku melihat siluet di gambaran tersebut. Dalam lebih dari 10 menit, tim pasukan khusus yang bergerak diam-diam ini telah menemukan belasan mayat berturut-turut. Di samping mayat-mayat itu terserak senjata yang dibuang. Hasil pemeriksaan menunjukkan semua korban MATI ini adalah prajurit yang telah menjalani pelatihan intensif.
Di kegelapan hutan, rentetan mayat ini membentang hingga ke kejauhan. Di beberapa tempat terlihat jejak peluru hingga tembakan meriam yang mengenaskan. Hanya Gu Jiaming yang diprediksi, tetap tak terlihat.
Pukul 10:20, para prajurit yang melacak sumber dentuman senjata akhirnya mengalami bentrok pertama dengan sang pembunuh yang bersembunyi di balik pepohonan...
## Bagian Ke-344 44 Menarik Picu
Dentuman senjata di tengah hujan malam terdengar terputus-putus. Kadang tiba-tiba menjadi kacau dan sengit, lalu kembali senyap. Dari kejauhan, keributan itu bergerak aneh ke arah barat. Saat tim prajurit ini menyamar dan mengikuti dari belakang sejauh sekitar dua kilometer, jejak mereka akhirnya terendus. Peluru sniper pertama pun menyambut mereka dalam selimut kegelapan malam.
Sekitar karena faktor keberuntungan, peluru runduk dari jarak ratusan meter ini meleset dengan tidak akurat. Sulit dipastikan apakah karena dampak cuaca buruk hujan lebat atau karena pihak lawan yang telah berubah menjadi burung yang mudah ketakutan setelah mengalami beberapa kejadian sebelumnya. Setelah tembakan ini, belasan orang seketika menyatu dengan pepohonan di sekitar, sementara sniper di sini mulai mengonfirmasi posisi lawan, menandakan bahwa Belalang Hijau dan Belalang Sembah hari ini akhirnya memulai bentukan pertama mereka.
Setelah satu tembakan, seluruh hutan kembali tenggelam dalam kesunyian. Dalam lingkungan seperti ini, duel dengan senapan runduk sebenarnya adalah hal yang tegang sekaligus membosankan. Kedua pihak berusaha menyembunyikan diri dan mengamati lawan. Karena jumlah personel di pihak kita lebih banyak, satu atau dua orang dengan kemampuan siluman yang relatif unggul mulai bergerak perlahan dengan penuh kewaspadaan ke arah sana. Hujan seolah turun tak henti-hentinya, hanya desau rintik hujan yang terdengar, suasana sepi menyelimuti sekeliling.
Dalam jarak yang semakin menjauh, daya deterensi senapan runduk benar-benar terlalu besar. Meski jumlah personel di pihak kita terlihat lebih banyak, tetap tidak boleh bertindak gegabah. Jika ini hanya duel antar sniper, situasi dimana kedua pihak tetap diam selama dua tiga hari dalam kondisi buruk adalah hal biasa. Tentu kali ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut seperti itu. Namun, setelah beberapa kali suara tembakan bergema di kejauhan, pasukan ini benar-benar memulai pertempuran skala besar dengan pembunuh yang bersembunyi di hutan, tepatnya hampir setengah jam kemudian.
Meskipun Pei Luo Jia telah mengerahkan kekuatan besar untuk operasi ini, mereka tetap tidak mungkin bisa memindahkan pasukan militer. Sebelumnya sudah ada hampir 20 orang yang MATI, dan sekarang hanya tersisa beberapa pembunuh di area ini. Begitu posisi sniper lawan akhirnya terdeteksi, tiba-tiba semburan api senjata muncul dari balik pohon-pohon besar dan semak belukar di sekitarnya. Dalam beberapa detik bentrok senjata, sniper Pei Luo Jia tertembak di kepala dan langsung MATI. Beberapa pembunuh lainnya kabur diam-diam sementara pasukan khusus mengejar mereka. Tak lama kemudian, mereka telah keluar dari hutan dan melihat bangunan pabrik kulit hewan yang telah lama ditinggalkan.
Dalam hujan deras, lebih dari sepuluh orang menyebar dan turun diam-diam dari lereng bukit. Tak lama kemudian, mereka memasuki area pabrik yang gelap gulita dan sunyi senyap. Suasana mencekam dengan bau mesiu dari tembakan sebelumnya masih terasa menggantung di antara sekumpulan bangunan tua yang rusak ini, seolah belum sepenuhnya hilang...
Suara air menetes jatuh ke tanah.
Sensasi seluruh tubuh basah kuyup memang tidak menyenangkan. Namun saat nyawa terus menerus terancam, berbagai perasaan pun menjadi bisa diabaikan. Secara relatif, peran pelatihan mungkin masih sekunder. Dalam kegelapan, setiap inci kulitnya menegang sambil merasakan kekuatan yang terpendam di tubuhnya. Senjata di tangannya basah kuyup oleh hujan, di tengah malam awal musim panas tetap terasa dingin, namun bagian yang digenggam erat sudah menghangat. Dalam ketegangan yang dingin, dia merasakan segala yang bisa dirasakan.
Seketika, mengangkat senjata dan menyamping, dia meluncur seperti hantu melewati persimpangan jalan kecil. Aman—Dia waspada mengamati sekeliling: debu di lantai, barang-barang berserakan, jendela pecah di belakang, hujan yang menggenangi koridor, jejak air dari langkahnya. Kemudian memasuki titik aman berikutnya. Hujan deras tanpa lampu atau kilat, di rumah yang telah lama ditinggalkan ini, kegelapan terasa sangat perkasa. Mungkin berasal dari bakat alami atau hasil eksplorasi, dia memiliki kepekaan khusus terhadap kegelapan—bahkan bisa disebut rasa aman. Kemampuan beradaptasi dengan kegelapan ini, yakinnya tak kalah dari siapa pun.
Dia bernama Chang Yanfeng, pekerjaannya adalah prajurit, tergabung dalam formasi khusus dan rahasia di dalam tubuh tentara. Menurut penyebutan umum internal, seharusnya disebut Brigade Khusus Ketujuh. Meskipun formasi ini ada, tidak menetap di wilayah militer mana pun dan mungkin tidak diakui secara eksternal. Dia menerima pelatihan di Wilayah Militer Shenyang, kemudian menjalankan tugas pengamanan di Beijing, beberapa kali terlibat dalam misi rahasia anti-teror, pernah terluka dan mendapat penghargaan. Saat ini meski tidak memimpin bawahan, pangkat militernya sudah Letnan Dua. Jika performanya bagus, diperkirakan dalam setengah tahun ini bisa mendapatkan pangkat Letnan Satu.
Tentu saja, saat ini urusan pangkat militer tidak ada dalam pikiran. Dengan kewaspadaan di kedua ujung lorong, dia perlahan membungkukkan badan, mencium gagang pintu kamar di samping: aroma debu yang menusuk tulang. Diam-diam menuju pintu berikutnya, sesekali menoleh untuk memastikan tidak ada yang mengikuti jejak kakinya. Akhirnya saat menemukan pintu di sudut, dia bersandar di dinding sebelah sambil menekan tombol kecil di sakunya dengan pola teratur menggunakan tangan kiri. Beberapa saat kemudian, tombol memberikan getaran balasan. Dia mulai menghitung angka dalam hati, lalu mengenakan kacamata hitam warna terang.
Lima, empat, tiga, dua, satu...
Byur, suara batu menghancurkan kaca jendela. Dia dengan keras menendang pintu, sambil secara bersamaan menyalakan senter kuat yang terpasang di senjata. Cahaya menyilaukan menerangi kamar. Kiri! Kanan! Atasan! Segera dia mematikan senter, melepas kacamata hitam, masuk dengan kewaspadaan sambil mengirim informasi melalui tombol kecil: "Mayat terdeteksi..."
Dalam kamar usang yang berantakan, tergeletak satu mayat. Dinding penuh lubang peluru, sudut kamar berserakan senjata jatuh. Meja belajar usang tetap utuh. Mayat itu tampaknya seorang pembunuh, tangan kanannya dipatahkan hingga terlepas, kepala dipelintir ke belakang membentuk wujud cacat. Tak ada luka lain selain itu.
Dia menarik napas tajam. Senjata orang ini terlempar ke udara, menunjukkan bahwa itu dipegang sebelum MATI, tetapi tidak ada luka lain yang terlihat. Ditambah dengan jejak di lokasi kejadian, seolah-olah saat membuka tembakan, seseorang berlari maju dan mematahkan tangannya hingga terlepas, lalu memelintir kepalanya ke arah berlawanan——Tugas apa sebenarnya kali ini? Sepanjang perjalanan dari hutan, situasi yang kulihat benar-benar sulit dipercaya. Dari yang kuketahui, sangat sedikit manusia yang memiliki kemampuan seperti ini. Bahkan Komandan Detasemen Lou mungkin kesulitan...
Menelan air liur, dia melaporkan situasi, menyelinap keluar dari kamar, berjalan beberapa meter ke depan, naik melalui tangga. Saat memeriksa sebuah pintu kamar, dentuman senjata tiba-tiba bergema dari kejauhan - mungkin rekan satu tim mulai bertempur dengan seseorang. Secara bersamaan, kulit kepalanya terasa kebas, tubuhnya tiba-tiba melesat ke depan.
Sebuah bayangan melompat dari langit-langit, terkapar kosong.
Dengan gerakan memutar tiba-tiba, mengangkat senjata. Bayangan Hitam itu menerjang, lidah api menyembur dari laras senjata, peluru tiba-tiba menyapu seluruh lorong. Tubuh mereka bertabrakan hingga terpental beberapa meter, menghantam dinding di belakang.
Tangan yang mengangkat senjata dijepit kuat oleh mereka, belati tajam menyambar pinggang pada saat bersamaan. Dengan gerakan balik, dia memelintir pergelangan tangan lawan. Dentuman senjata, suara benturan, dan desing peluru melukiskan lorong sementara tubuh mereka bergulat dan saling menghantam, debu beterbangan di udara lembap. Chang Yanfeng melepas gagang pistol, beralih ke kuncian sambil menghantamkan pergelangan tangan lawan ke dinding, memaksa lawan melepas belati. Namun tangan kanan lawan tiba-tiba menarik pistol dari pinggang. Tubuh Chang Yanfeng maju, mereka menerobos pintu kamar belakang dan terkapar masuk ke dalam ruangan usang.
Tubuh keduanya nyaris bersamaan terjatuh ke lantai. Byur! Peluru melesat melewati pinggang Chang Yanfeng. Tangan kirinya menekan pergelangan tangan lawan dengan keras, siku kanannya menghantam dua kali dalam jarak dekat. Dengan gerakan terbalik, dia mencabut tusukan militer dan menikamnya ke kepala lawan. Sang pembunuh menendang dadanya sekuat tenaga. Tusukan militer menggores lantai dengan suara Splash! memercikkan bunga api dan gesekan kasar. Keduanya saling menjauh, lalu bangkit serentak. Melihat sang pembunuh mengangkat senjata, tusukan triad militer tiba-tiba terlepas dari genggamannya. Seketika, bilah baja itu menancap dalam di bahu lawan. Laras senjata sang pembunuh pun mengarah ke dahinya.
Ini hampir merupakan pilihan mengorbankan diri bersama. Satu-satunya perbedaan mungkin hanya siapa yang lebih dulu.
Sebagai tusukan triad model 56 standar tentara Tiongkok, efek lukanya bisa dibilang sempurna. Siapa pun yang tertusuk akan kekurangan darah dan MATI dalam hitungan menit tanpa perangkat medis profesional. Tapi tak disangka, sang pembunuh sama sekali tidak menghindar. Tubuh keduanya kaku sejenak dalam kegelapan. Darah menyembur deras dari alur luka. Pada detik itu, dia bisa melihat senyum kejam dan terdistorsi di seberang.
Sekilas, pandangannya beralih ke samping.
Ruangan tidak terlalu besar, dua orang terbang masuk bersama-sama akibat benturan, bergulat lalu berguling, pada saat ini posisi mereka sudah hampir mencapai jendela. Sekeliling gelap gulita, di luar jendela hujan malam yang pekat, namun dalam jarak dekat ini dia masih bisa melihat dengan jelas sebuah laras panjang senapan runduk yang diam-diam melayang di udara - laras itu menyembul dari lubang kaca yang pecah, tepat mengarah ke pipi si pembunuh, seolah-olah sudah ditempatkan di sini selama bertahun-tahun tanpa pernah bergeser.
Byur! Api menyambar, kepala si pembunuh meledak seperti semangka. Daging, otak putih, dan rambut beterbangan seperti kembang api ke dinding seberang ruangan. Chang Yanfeng berdiri terkagum-kagum di tempatnya. Pengalaman lolos dari maut ini sangat berharga. Menyaksikan langsung kepala seseorang tiba-tiba hancur dari lehernya dalam jarak sedekat ini benar-benar memberikan sensasi yang tak terlukiskan. Meski sudah mengalami banyak hal, pemandangan seperti ini baru pertama kali ia saksikan.
Mayat tak berkepala itu jatuh ke belakang.
Baru pada saat inilah gambaran yang sempat terlihat sekilas tapi tak sempat diproses sebelumnya muncul dari alam bawah sadar: Saat dia melemparkan pisau tentara dan lawan mengangkat senjata, laras senapan itu dengan tenang menyembul dari luar jendela. Seolah-olah kepala si pembunuh sengaja mendekatkan diri ke lubang laras. Ketika kepala itu mencapai posisi ideal, orang di luar tanpa ragu langsung menarik pelatuk...
## Bagian 345 Kegilaan
“Suara napas dalam kesunyian, seiring dengan robohnya mayat tak berkepala si pembunuh, dia mungkin menahan napas selama dua tiga detik sebelum akhirnya menyadari: orang di balik jendela itu mungkin adalah target yang harus ditemukan dan dibantu dalam misi kali ini.”
“Senapan runduk menghilang dari jendela, dentuman senjata terdengar dari kejauhan. Di balkon luar jendela, sunyi senyap menyelimuti. Dia menarik napas dalam-dalam, mengulurkan tangan mencabut pisau komando dari mayat itu. Saat hendak mengejar lewat jendela, tiba-tiba secercah kobaran api menyala di tengah hujan malam di luar.”
“Bangsat...”
“Dengan tergesa memutar badan dan melompat keluar—BRAK! Ledakan dahsyat mengguncang. Gelombang kejut dan kobaran api menyembur deras dari belakang. Tubuhnya terlempar melewati pintu, terdorong aliran udara dahsyat melintasi koridor tengah, menghancurkan pintu kayu lapuk di seberang, dan terpelanting masuk ke ruangan lain.”
“Refleksnya cepat. Basahan akibat kehujanan tadi justru menyelamatkannya dari luka parah dalam ledakan ini. Tapi tubuhnya terhempas keras. Tergeletak di lantai, pandangan berkunang-kunang. Matanya menangkap cahaya api yang membakar, telinganya berdenging Bzzzt-bzzzt. Dengan susah payah menopakkan laras senjata untuk bangkit, baru saja berbalik—seluruh tubuhnya tiba-tiba kehilangan kendali, terbang ke belakang dan PRAAK! menempel di dinding.”
“Sekejap mata, seolah ditindih telapak tangan raksasa tak kasat mata!”
Fenomena yang tak bisa dipahami membawa ketakutan yang tak terucapkan. Namun, setelah terlibat langsung dalam banyak misi rahasia, dia perlahan mulai menjumpai manusia dan peristiwa yang tak bisa dijelaskan. Cahaya api menyinari dari kamar sebelah. Dengan berusaha menenangkan diri, dia melihat di ujung ruangan seorang Kurcaci berjubah compang-camping yang berpenampilan seperti dewa kematian dalam film Barat, berdiri di sudut. Satu tangannya mengarah ke dirinya, sementara jari tangan satunya bergerak pelan-pelan. Pisau komando yang sebelumnya jatuh di lantai kamar tiba-tiba terbang kembali.
Jari itu melayang di udara sejenak, lalu tiba-tiba menuding ke arahnya. Seluruh tubuhnya lumpuh. Dengan refleks dia menutup mata rapat-rapat. Tiba-tiba badannya kehilangan sandaran, terjatuh dari dinding. Pisau itu menghantam kepalanya, tapi tak menusuk masuk. Di udara, terdengar suara penuh Kemarahan, dendam, dan ketidakrelaan: "SHIT——"
Saat membuka mata, tubuh Kurcaci itu dengan cepat menghancurkan jendela di seberang, lalu melompat tiba-tiba ke luar.
Tempat ini dulunya pabrik. Lantai atas terdiri dari kantor atau ruang kendali, satu sisi berupa lorong, sementara jendela di sisi lain menghadap bengkel besar tempat pekerja beraktivitas. Begitu Kurcaci itu menghancurkan jendela, Bayangan Hitam tiba-tiba menerjang dari udara di samping. Dua siluet itu terlihat sejenak di bidang penglihatan jendela, sebelum jatuh Byur ke bengkel di bawah.
Menyambar senapan serbu dan berlari ke jendela, di ruang hitam pekat di bawah, samar-samar terlihat dua bayangan yang sedang kejar-kejaran, muncul dan menghilang di antara tumpukan kotak kayu dan barang-barang.
Baru saja terkena dampak ledakan, sekarang kepala dipukul lagi, pandangan yang jelas sangat terbatas. Hanya bisa melihat samar-samar kontur barang-barang yang bertumpuk di bawah. Kurcaci berbaju jubah hitam compang-camping itu sepertinya ingin kabur, tapi orang di belakangnya terus memburu tanpa ampun. Kedua sosok itu memiliki kelincahan yang luar biasa. Sang kurcaci tak ingin bertarung, namun setiap kali berusaha lari, selalu dikejar lawan. Dalam kegelapan, gerakan tinju, sapuan kaki, sikutan, dan tendangan lutut mereka secepat ilusi. Sang kurcaci berusaha mati-matian menangkis, menghindar, bahkan nekat menerima beberapa pukulan demi bisa kabur.
Posturnya pendek, terlihat seperti seorang anak. Sesekali ketika benar-benar tidak bisa menghindar, menangkis, atau menahan, pukulan seberat angin langsung melayangkannya seperti tembakan meriam. Baru saja menghantam tumpukan kotak kayu tua, orang yang mengejarnya sudah menyusul masuk. Suara braak dan splash bergemuruh di dalam, kotak kayu yang terbelah dua dan serpihan kayu pecah berhamburan seperti ledakan. Sebuah sosok di tengah terus-menerus mengejar dan memukuli musuh, apapun yang di depannya dihancurkan dan dilempar tak karuan. Melihat pemandangan ini, Chang Yanfeng ternganga lama tidak bisa menutup mulutnya. Kekagetan ini bukan hanya karena daya rusak yang gila di depan matanya, tapi juga karena sulit dibayangkan - makhluk apa yang bisa tahan pukulan sedemikian rupa? Kurcaci itu ternyata belum berubah menjadi daging hancur? Dari atas bahkan bisa terdengar suara beberapa tong minyak besi yang terlempar, dari suaranya dinilai mungkin sudah penyok akibat pukulan.
Seolah-olah ada tikus beruntung yang berlarian panik di kamar penuh barang. Baron kasar mengayunkan palu besar mengejar tanpa henti. Saat palu berputar seperti kincir angin, semua barang dalam kamar hancur dalam kejar-kejaran ini. Tikus itu pun terluka, tapi masih bertarung mati-matian untuk kabur.
Meski merasa heran, faktanya adalah kurcaci itu benar-benar tidak mati. Dalam kegelapan, suara rintihan kesakitan dan hujatan penghinaannya memenuhi udara. Namun setiap kali, akhirnya dia bisa merangkak sambil berguling keluar dari tumpukan serpihan kayu yang berantakan akibat pukulan. Seringkali di detik berikutnya, dia kembali ditabrak oleh penyerang yang datang menerjang dan terhempas ke tumpukan barang-barang berikutnya.
Saat mendekati tepi bengkel, kurcaci itu akhirnya menyambar kesempatan. Dengan teriakan "Aaaaa—", tubuhnya melesat seperti panah dan menghancurkan pintu kamar di bawah. Bayangan di belakang hanya terhenti sejenak, lalu segera menyusul. Sesaat setelah menerobos masuk, dentuman senjata bergema di jendela kamar—ternyata ada seorang pembunuh yang bersembunyi di dalam.
Dentuman senjata yang sengit berlangsung selama beberapa detik sebelum berubah menjadi pertarungan kacau. Tampaknya bayangan yang sebelumnya mengejar masuk tiba-tiba mundur keluar. Dua pembunuh keluar berurutan, menghujamkan pukulan berat dan tendangan kaki dengan kecepatan luar biasa. Pembunuh di belakang langsung menghunus pisau. Namun momentum serangan mereka hanya bertahan dua detik. Setelah menangkis beberapa kali dengan gesit, pembunuh di depan masih terus menerjang. Bayangan Hitam itu tiba-tiba berbalik arah, kedua tangannya berputar—posisi mereka langsung bertukar. Kepala pembunuh di depan terpuntir keras ke samping, beberapa langkah terhuyung, lalu rubuh tak bergerak.
Sang pembunuh di belakang yang masih belum sempat menurunkan pisau tentaranya, dadanya ditubruk keras oleh bayangan hitam yang tiba-tiba mendekat menggunakan bahu. Dengan tergesa-gesa menusukkan pisau, bayangan itu mengangkat tangan kanan di depan dada sementara tangan kiri menyabet tajam. Pisau tentara itu terlepas dengan suara "Huu" dan melayang ke langit.
Gagal menyerang, ketika hendak bertahan pun sudah terlambat. Dihajar pukulan di dahinya, saat tangan berusaha menangkis, sebuah tinju lagi mendarat di dadanya. Tinju itu berubah menjadi sikut yang menghantam wajahnya. Terpojok di sudut bengkel dekat pintu, dari posisi Chang Yanfeng terlihat tubuh pria itu terpaku ke tembok. Dalam hitungan detik, kepalanya dihujani puluhan pukulan bagai angin puyuh. Hanya fokus pada pemukulan tak kenal ampun ke kepalanya. Saat bayangan hitam tiba-tiba berhenti dan mengejar ke pintu, tubuh pria itu menggelepar seperti mi lemas di sudut.
Beberapa menit kemudian, saat mengejar ke lantai bawah, ia melirik mayat itu. Bukan hanya tujuh lubang mengeluarkan darah, seluruh wajahnya sudah berdarah dan terluka parah. Tengkorak hancur berkeping-keping seperti keramik pecah dalam karung goni...
Menjelang waktu ini, semua acara pada dasarnya sudah mendekati akhir. Meski aktivitas seperti main kartu, mahjong, atau nonton film bisa berlanjut sepanjang malam bagi yang ingin, bagi kebanyakan orang teratur sudah mulai mempertimbangkan waktu tidur malam ini.
Berdiri di pintu serangkaian tenda besar, Lingjing membuka matanya menatap ke luar. Tenda kecil milik Jiaming tampak hitam pekat, tidak terlihat seperti ada orang di dalamnya. Setelah melihat ke sekeliling sejenak, dia menarik kembali pandangannya dengan kekecewaan sambil sedikit mengatupkan bibir. Dia berbalik melewati satu tenda, sengaja atau tidak mengamati sekitar, akhirnya masuk ke tenda yang berfungsi sebagai kasino. Shasha sedang duduk di meja judi bermain poker dengan sekelompok cewek, di depannya bertumpuk belasan lembar uang sepuluh yuan——meski semua punya latar belakang tertentu, tapi karena semuanya perempuan, saat ini tidak terjadi persaingan cemburu karena pria, tentu tidak perlu bertaruh terlalu keras. Setelah melihat kartu trufnya dengan misterius, dia menutupnya dengan keras "Prak!", lalu tersenyum penuh teka-teki ke arah pemain lain: "Tidak ikut!"
"Cih... tidak ikut tapi sok jagoan... Aku juga tidak ikut..."
"Menang berapa sih?" Mendekati belakang Shasha, Lingjing membungkuk mengambil kartu trufnya diam-diam, lalu mengangkat mata putihnya kesal. "Cih..."
"Hehe, sepasang Xiao Wu sebenarnya juga besar lho..." Shasha tertawa sambil berdiri, "Sudah, aku tidak main lagi. Kalian lanjut saja."
"Kenapa tidak main lagi?" Lingjing bingung.
"Sudah jam sebelas lebih, waktunya mepet..." Shasha menunjukkan jam tangannya, lalu melirik ke kiri-kanan, "Ngomong-ngomong, Jiaming mana? Jangan-jangan masih ada urusan? Sampai segini waktunya?"
"Emm, siapa yang tahu." Lingjing mengatupkan bibir sambil mengangkat bahu, membuat ekspresi imut tapi kecewa.
“Pergi! Ayo cari dia.”
“Jaga-jaga kalau dia benar-benar ada urusan...”
“Kita juga tidak mengganggunya, cuma mau lihat dimana dia saja...”
Di kelompok tenda terdapat berbagai program hiburan, juga beberapa ruang istirahat terpisah. Dua gadis ini menyisir satu per satu ruangan, sekitar lewat sepuluh menit kemudian tiba di tenda besar. Saat itu masih banyak orang, Shasha menarik tangan Lingjing: “Liat, Kakak Yahan ada di sana, yuk kita tanya dia.”
Saat dia mengangkat tangan, Yahan di kejauhan sudah melihat mereka, tersenyum memberi salam dan berjalan mendekat. Saat jaraknya tinggal sekitar 8-9 meter, tiba-tiba wajah Yahan berubah drastis. Tangan kanannya terangkat memegang pistol yang diarahkan ke mereka: “Jangan bergerak! Jangan macam-macam! Angkat tangan!”
Yahan yang biasanya lembut membuat beberapa orang yang mengenalnya bingung dengan situasi ini, hanya bisa menatap kaku ke arah sana. Tapi bagi Lingjing dan Shasha, pistol berwarna biru keabuan dengan bodi logam ini sudah sangat familiar. Buatan Amerika, pistol otomatis SWM459 kaliber 9 milimeter – mereka juga masing-masing memiliki satu.
Mengira Yahan sedang bercanda, Lingjing tersenyum: “Kakak Yahan, aku menyerah deh, jangan... eh...” Di tengah kalimat, akhirnya dia menyadari sesuatu yang tidak beres. Saat menoleh, dilihatnya wanita bernama He Yun berdiri dua meter di belakang mereka dengan senyum mengembang, perlahan mengangkat tangan kirinya yang memegang belati tajam...
## Bagian Tiga Ratus Empat Puluh Enam Semuanya Sudah Beres
“Jangan bergerak!”
Dalam teriakan tegas Yahan, He Yun tersenyum sambil mengangkat belati di tangannya. Tentu saja, sebagai seorang pembunuh, mungkin dia tidak akan terancam oleh manusia biasa seperti ini. Alasan dia tetap berdiri di tempat adalah karena hampir bersamaan dengan Yahan mengangkat pistol, beberapa agen rahasia yang telah ditempatkan di sekitarnya pun sudah mengerumuni. Ketika salah satu dari mereka menempelkan pistol ke punggungnya, pada dasarnya membuktikan bahwa semua niatnya telah diketahui sebelumnya.
Acara kumpul-kumpul yang terlihat bebas ini sebenarnya telah dikelola dengan sangat ketat diam-diam. Sebagai bidak catur yang ditempatkan di dalamnya, dia praktis tidak mungkin menyembunyikan senjata secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, dia hanya bisa menggunakan belati. Belati itu direbut oleh agen perempuan di belakangnya, lalu tangan mereka meraba seluruh tubuhnya. Lingjing dan Shasha mundur terkejut beberapa langkah, tidak benar-benar memahami apa yang terjadi. He Yun memandangi Yahan dan yang lain dengan dingin, lalu mengangguk sambil tersenyum.
"Sungguh aneh, ternyata kalian sudah lama mengetahui keberadaanku... Pantas saja sepanjang malam ini kau terus mengikutiku..."
"Hmph." Yahan mendengus pelan, "Sudah ada yang memberitahuku, begitu melihat kau sengaja mendekati Lingjing dan mereka, langsung mengeluarkan pistol saja sudah tepat. Tapi tak kusangka kau benar-benar menyembunyikan pisau..."
"Heh, ini benar-benar..."
Dari sudut pandang seorang tawanan, He Yun ini benar-benar terlihat cukup tenang. Ia menggelengkan kepala sambil tersenyum getir. Pada saat itu, orang-orang di sekitarnya mulai merespon. Melihat pelaku kejahatan sepertinya sudah terkendali, tidak terjadi gemparan besar. Mereka hanya saling memberi petunjuk sambil berpencar ke segala arah. Beberapa agen rahasia yang ditempatkan di lokasi rahasia mendekati He Yun, sementara Yahan mengeluarkan teriakan lemah "Aaaaa".
"Splash!" Sekitar belasan senjata di berbagai jarak hampir bersamaan ditarik, mengarah ke sisi Yahan. Pada momen inilah suasana benar-benar mulai berubah menjadi kacau.
Seorang pria yang tak mencolok tiba-tiba merebut senjata Yahan saat melewati belakangnya. Dengan satu tangan mencekik lehernya, Yahan yang awalnya memegang senjata berubah menjadi sandera.
"Kakak Yahan!"
Kerumunan di sekitar tiba-tiba menjadi gempar. Dalam kekacauan ini, belasan senjata dari berbagai jarak berhadapan bagai musim dingin yang sunyi, suasana mencekam. Setelah lama, pembunuh pria yang menempelkan laras senjata ke dahi Yahan akhirnya berbicara kata demi kata: "Jangan ada yang bergerak, atau aku akan membuka tembakan."
"Kau tidak bisa kabur." Seorang agen rahasia berbicara sementara beberapa orang melindungi Lingjing dan Shasha di belakang. Sang pembunuh tersenyum: "Aku tidak berencana kabur. Tapi jika dia MATI, pikirkan apakah Jian Suyan akan menyalahkan kalian karena gagal memberikan perlindungan?"
Dalam waktu setengah menit singkat, orang-orang di dalam tenda besar telah pergi dengan cepat di tengah kekacauan. Di luar tenda terlihat kerumunan kepala manusia yang jelas-jelas telah mengepung area ini sepenuhnya. Dalam situasi saling berhadapan ini, seorang gadis kulit putih berbaju jas hitam masuk sambil mengusap dahinya. Alisnya berkerut, kepalanya menunduk seolah mencari jarum di lantai. Di belakangnya, beberapa pria kulit putih yang terlihat sebagai pengawal terlatih menyebar di sekeliling.
Melihat formasi wanita ini, sang pembunuh yang menyandera Yahan sama sekali tidak panik. Dengan senyuman ia berkata: "Tak kusangka yang datang adalah Nona Kelly. Apakah Anda bisa mengambil alih kendali di sini? Atau harus memanggil orang lain? Menurutku kita sebaiknya tidak membuang-buang waktu..."
"Aku tak peduli waktu! Aku mau tidur, baru saja dibangunkan..." Baru setelah mendekat, gadis kulit putih itu akhirnya mengangkat kepala. Penampilannya benar-benar seperti baru bangun dari ranjang - rambut berantakan, wajah pucat, jas resmi yang asal dilepas begitu saja. Dengan gerakan tak sabar, ia menarik selendang kiri. Wajah cantiknya memancarkan aura pemberontak dan malas: "Aku baru saja mulai menyesuaikan jet lag. Tidur kurang bikin cepat tua. Mengganggu kecantikan tidur... Kau tak boleh begini, kau akan MATI..."
Dia berbicara sambil terus mengusap dahinya seolah berbicara sendiri, pria itu tersenyum: "Aku tahu tindakan ini sangat tidak baik, tapi keadaan darurat, harap dimaklumi. Dalam lima menit, aku harus berbicara langsung dengan Nona Jian Suyan." Ia menunjuk jam besar yang tergantung di atas tenda, "Sekarang jam sebelas tujuh belas, aku bisa menunggu sampai jam sebelas dua puluh dua. Lewat dari itu, aku tidak tahu hal tidak menyenangkan apa yang akan terjadi pada semua orang......"
"Cuma begitu? OK, aku ngerti..." Dengan jentikan jari tak sabar, Kelly menguap, "Si anu, suruh orang ambil tangga buat copot baterai di atas sana. Aku baik-baik aja, nanti pagi kita lanjutin, dadah..."
Mengayunkan tangan hendak pergi, baru dua langkah, sang pembunuh bersuara berat: "Nona Kelly, aku tidak bercanda denganmu!"
Tiba-tiba berhenti, Kelly menepuk dahinya, sepasang mata besar nan indah melotot tajam: "Jadi kau mengancamku?"
"Jika ini bisa membantu semua orang melihat realita, silakan saja berpikir begitu."
Belum habis kata sang pembunuh, Kelly tiba-tiba menggerakkan jarinya: "OK, kita berhenti bercanda. Bunuh dia." Dengus pelan, ia berjalan keluar tanpa menoleh. Perintahnya langsung dituruti Charles yang tanpa ekspresi mengeluarkan pistol dari pangkuannya. Sang pembunuh terlihat bingung, melihat Kelly lalu Charles sambil membuka pelatuk pistol: "Hei, kau benar-benar tidak mempertimbangkan konsekuensinya?"
"Kau bawa senjata air mau nakuti siapa?!"
Saat Kelly mengayunkan tangan, suara Byur! bergema di dalam tenda. Yahan menjerit "Aaaaa——!" Kepala si pembunuh tertembus peluru dari sisi kiri. Tubuhnya rubuh sementara jarinya terus menarik picu secara bawah sadar. "Ssshh! Ssshh!..." Aliran air pertama membasahi rambut panjang Yahan, lalu menyembur ke segala arah. He Yun yang semula masih santai kini terdiam membeku melihat pemandangan ini, darah menggenangi lantai.
"Lawan pura-pura..." Bahkan tak berniat menoleh, Kelly mengeluarkan penilaian hambar. He Yun berteriak "Jangan!" seolah ingin melakukan perlawanan terakhir, namun langsung ditindih beberapa orang. Yahan yang ketakutan mengepal tangan erat-erat, lehernya mengkerut sambil berdiam di tempat dengan nafas tersengal. Dari sudut matanya, ia menangkap mayat berdarah di lantai. Baru saat Lingjing dan Shasha menerkamnya, ia menahan air mata sambil memeluk mereka, "Sudah... sudah tidak apa-apa..."
Sepertinya... semuanya sudah berakhir... Hujan pun reda sekitar pukul dua pagi.
Seluruh perkemahan hampir sepenuhnya diselimuti kegelapan sunyi. Hanya di iring-iringan mobil yang parkir di tepi jalan, beberapa lampu masih menyala. Dari banyak peserta perkemahan, sebenarnya ada mobil khusus yang dimodifikasi menjadi pemandian kecil dengan bilik khusus dan air panas. Tapi di jam segini, yang datang mandi basically bisa dihitung jari.
Atau lebih tepatnya, hanya satu orang.
Mengenakan pakaian yang agak tipis, membawa baskom berisi air panas, Yahan duduk diam di sana. Di bawah cahaya lampu, siluet tubuhnya yang anggun memancarkan kesan kesepian dan keterasingan. Sudah mandi dua jam yang lalu, bangun sekarang lalu mandi lagi. Rambut panjangnya masih basah, tapi dia tidak mengambil pengering rambut untuk mengeringkannya. Tangan meremas handuk dalam air panas, tiba-tiba melepaskannya dengan bingung. Duduk di bangku pendek, kedua tangannya memeluk lutut.
Tangan bawah sadar mengusap profil wajah yang terkena cipratan air tadi. Mata berkaca-kaca, air mata ditahan kuat agar tidak jatuh. Entah apakah wajahnya terkena percikan darah? Sekarang mungkin sudah tidak... Mungkin tidak... Seharusnya tidak kena... Saat itu posisi tembakan, tempat dia terjatuh, darah seharusnya menyembur ke sisi lain lalu menciprat ke tanah, dirinya pasti tidak kena... Tapi orang itu MATI, MATI di tempat yang begitu dekat, terlihat langsung...
Pengalaman pertama dalam hidup menyaksikan kematian seseorang dari jarak dekat dan jelas. Atau mungkin sebenarnya bukan yang pertama baginya. Saat pertama kali ikut perkemahan bersama Jiaming, lalu peristiwa Jiaming tertembak, namun dalam kedua peristiwa itu, perasaan lain telah meredam guncangan di hatinya. Pertama karena terlalu ketakutan, kedua karena khawatir akan keselamatan Jiaming. Dia bahkan ingin mencincang orang itu menjadi daging hancur, mana sempat untuk merasa takut. Tapi kali ini, dia benar-benar merasa mual melihat genangan darah yang berserakan.
Atau mungkin juga bukan rasa mual, melainkan perasaan rumit yang tak terungkapkan. Dia hanya bisa duduk diam seperti ini, memelintir handuk lalu membasahkannya lagi. Malam awal musim panas yang baru turun hujan, terasa agak dingin. Dia mendengar suara mobil, mengintip dengan sembunyi-sembunyi melalui tirai yang tergantung di bodi mobil. Ternyata suara mobil sport yang menjauh. Memandangi lampu mobil yang semakin redup, dia menghela napas pelan. Benar, dia masih mengkhawatirkan Jiaming...
Tidak tahu mengapa dia pergi, tidak tahu kapan akan kembali, apakah ada bahaya. Peristiwa kali ini memberinya perasaan tidak baik. Lingjing dan Shasha justru terlihat tenang - mungkin juga pura-pura tenang - menghibur dia beberapa kalimat. Setelah menunggu sebentar, menjelang pukul satu, mereka bertiga tertidur bersama. Mungkin ini lebih baik, mungkin juga Jiaming tidak ingin mereka mengkhawatirkannya.
Dalam kondisi psikologis seperti ini, tanpa sadar kapan, seseorang berjongkok diam-diam di belakangnya, kemudian memeluknya dengan lembut. Saat dua tubuh bersentuhan, dinginnya malam musim panas lenyap. Ia merasakan kehangatan tubuh di belakangnya, dua tangan yang melingkari tubuhnya masih menempel beberapa plester luka. Pria itu mengenakan baju baru, aroma sabun mandi yang samar masih melekat - sama seperti dirinya - mungkin semuanya sudah baik-baik saja...
Air mata jatuh tanpa disadari... Di tepi jalan sekitar enam tujuh kilometer jauhnya.
Lampu jalan menyambung satu demi satu, menyala sepi menuju kejauhan di jalan raya tengah malam yang sunyi ini. Setelah hujan lebat, cahaya lampu terang namun dingin, tetesan air mengembun di penutup lampu lalu jatuh ke tanah. Di jalan yang agak sepi ini, sebuah Jeep off-road juga terparkir sendirian di pinggir jalan. Seorang wanita turun dari mobil, memeriksa ban yang rusak.
Tinggi badan sekitar 170 cm, postur tubuh beraura Timur dengan wajah oval yang cantik, rambut dikepang ekor kuda. Mengenakan kaos oblong katun putih lengan panjang, jaket pendek biru bertudung, celana jeans wanita yang pas, memberikan kesan segar dan mandiri. Setelah memeriksa ban, wanita itu mengerutkan kening. Ia membuka pintu belakang Jeep untuk mengambil peralatan reparasi, sembari mengangkat ban pengganti dan melemparkannya ke tanah. Saat berjongkok menggunakan kunci pas untuk melepas mur, bayangan hitam bergerak cepat seperti angin muncul dari kegelapan di kejauhan.
Tangannya berhenti sejenak, dia menoleh sambil berdiri membawa kunci Inggris. Di tanah liar sekitar sepuluh meter darinya, bayangan itu tiba-tiba berhenti dengan desau angin menderu. Embun di rerumputan terbelah oleh kekuatan angin, terpental jauh. Saat rerumputan bergetar dan tenang kembali, seorang kurcaci berbaju jubah hitam telah berdiri di sana.
Tinggi badannya sekitar 1,2 meter. Jubahnya compang-camping hingga tak berbentuk. Di bawah lampu jalan, terlihat sebagian besar kulitnya yang aneh dan berkerut. Wajah kecil di balik jubah hanya terlihat sebagian, dengan lipatan kulit yang mengerut seperti orang tua. Tentu saja, seberapa banyak yang bisa dilihat wanita di depannya masih dipertanyakan. Melihat wajah polos penuh tanda tanya itu, seluruh tubuh kurcaci gemetar. Matanya memancarkan dendam membara.
Mereka saling mengukur satu sama lain. Setelah beberapa saat, wanita itu memiringkan kepala. Suaranya lembut tapi tegas: "Tuhan?"
Tak ada jawaban. Wanita itu menghela napas dan memiringkan kepala lagi: "...Yao?"
"...Terima kasih." Dia mengangguk sopan, sepertinya memutuskan untuk mengabaikan kurcaci aneh ini. Saat hendak kembali membungkuk memperbaiki mobil, tiba-tiba dari arah sana terdengar suara menggigit gigi: "Jane Suyan--"
"Suara itu terdengar agak aneh——dia tentu tidak menyadari itu adalah logat orang yang terbiasa berbahasa Inggris——tapi begitu mendengar tiga kata ini, sang wanita heran menoleh: "Bagaimana kau tahu namaku?" Dia berpikir sejenak, "Oh, di sini adalah Jianghai, seharusnya kau melihat..." Sebelum kalimatnya selesai, si Kurcaci menyela dengan kasar dalam bahasa Inggris.
"Karena kau memilih menungguku di sini, mari mulai!" Dia merentangkan kedua tangan, pusaran hitam yang aneh tiba-tiba muncul di depan tubuhnya. Aura hitam mengelilingi butiran cahaya kecil yang berputar kencang. Seketika, ruang seluas beberapa meter persegi di sekelilingnya seperti kehilangan Gravitasi. Tak terhitung tetesan air melayang, menggantung di udara. Sambil mengoperasikan kemampuan aneh ini, senyum ganjil merekah di wajah Kurcaci, bagai pemain pertunjukan yang lama tertahan akhirnya mendapat kesempatan. Angin tiba-tiba menguat, membawa tetesan air berputar dalam deru.
“Seandainya orang lain yang menyaksikan pemandangan supernatural di depan mata ini, mungkin akan mengira bertemu dewa atau hantu, awalnya pasti ketakutan setengah mati. Wanita itu membuka bibirnya tipis, juga terbata-bata menatap, terlihat agak dramatis, sedikit kerepotan, juga kesal. Sepertinya dia tidak mengerti mengapa setelah menyetir sepanjang jalan tanpa melakukan apapun, tiba-tiba harus mengalami ban meletus dan diganggu orang mesum. Bahunya merosot lesu, memandang kegelapan di kejauhan, menghela nafas, untuk sesaat kehilangan semangat. Sejenak kemudian, melirik si pendek mesum yang sedang bersemangat itu.
“Sinting... benar-benar...”
## Bagian Tiga Ratus Empat Puluh Tujuh Dugaan
Kemunculan peristiwa ini cukup mendadak, dan akhirnya yang tiba-tiba juga meninggalkan perasaan penuh tanda tanya dan kebingungan—setidaknya bagi banyak yang terlibat langsung dalam peristiwa ini, mungkin begitulah perasaan mereka.
Karena itu, Kelly yang pagi-pagi sudah dibangunkan hingga tak bisa tidur lagi, saat ini merasa sangat kesal.
“Bercanda macam apa ini... Tertangkap? Mana mungkin bisa tertangkap! Bukannya Gu Jiaming sudah kabur pulang dari tadi!”
Dengan mata melotot duduk di ranjang, Kelly yang baru saja bangun satu tangan mencengkeram selimut, satunya lagi meremas-remas rambutnya, membuatnya terlihat seperti singa yang baru berlarian seharian.
“Sebenarnya, dia tidak ditangkap, kejadiannya... agak aneh...” Charles mengangkat tangan bingung, "Kabar yang dibawa Gu Jiaming pagi tadi mengatakan Pangeran berhasil kabur, semua orang basically tidak berharap banyak. Tapi saat melakukan pencarian rutin tadi, mereka menemukan Pangeran di pinggir jalan 6 kilometer utara sini... Lebih tepatnya, menemukannya dalam keadaan sudah pingsan lagi..."
“Siapa yang melakukannya?”
“Tidak tahu. [] juga tampaknya tidak punya informasi, persis seperti saat terakhir dia dipukuli sampai pingsan di dalam kastil menunggu tim kita menggali keluar. Kali ini lebih memprihatinkan, dia benar-benar dipukuli... sangat mengenaskan.” Charles menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Di TKP ada jejak ledakan kekuatan spiritual skala besar, terlihat dia menggunakan kekuatan supernatural terkuatnya di akhir, tapi tidak ada petunjuk siapa lawannya. Seolah Pangeran mengerahkan semua kekuatannya untuk menyerang, lalu diinjak-injak sampai pingsan oleh orang itu...”
Cahaya kekesatan muncul di mata Kelly yang bergumam, “Dia sudah berjanji tidak akan menangkapnya...”
Mengerti maksud Kelly, Charles menggelengkan kepala: “Bukan serangan Gu Jiaming. Faktanya, sisa energi spiritual di TKP sangat jelas, jadi mudah menentukan waktu ledakan melalui rekayasa balik. Waktu ledakan sekitar pukul tiga, pada saat itu Gu Jiaming sudah kembali ke sini...”
“Apa yang kau katakan!” Secara tiba-tiba mengangkat kepala, Kelly tertegun memandangi pria di depannya, lama tak bisa menutup mulutnya. Meski sebelumnya merasa kesal dan marah, namun aura yang terpancar tetap menunjukkan kekecewaan dan gaya hidup hedonis, baru sekarang semangatnya bangkit. Seolah merasakan pikirannya, Charles mengangguk sambil tersenyum: “Benar, dengan begini, kemungkinan ada orang-orang dari internal [] yang turun tangan, mereka mengerahkan kekuatan yang tidak bisa kami prediksi.”
“Mustahil... Bahkan jika [] benar-benar punya orang seperti itu, pastilah orang-orang tua aneh seperti Biarawati Huiqing yang pernah mengalami perang. Selama serangan dari Pei Luo Jia tidak melukai fondasi mereka, mereka sama sekali tidak mungkin bertindak. Di kalangan pemuda, [] tidak memiliki orang yang bisa menghabisi Nomor 1758 dengan diam-diam...”
“Mengingat munculnya sosok seperti Gu Jiaming, kurasa... ini bukan hal yang aneh lagi...”
Terdiam sejenak, Kelly rebah kembali ke ranjang dengan suara Byur: “Sudahlah, sudahlah, sudahlah! Kekuatan [] perlu dievaluasi ulang. Nomor 1758 kali ini dipukul sampai seperti ini, mungkin perlu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk sadar kembali... Hmph, lagipula ini bukan lagi spesimen percobaanku... Cuma kalau pulang pasti akan ditertawakan Natalia sampai MATI...”
Dark Celeste dan [] meskipun secara teknis berkolaborasi, kerja sama mereka paling-paling hanya dalam hal melawan Pei Luo Jia. Untuk subjek eksperimen seperti Pangeran yang mampu menciptakan pengguna kekuatan, di manapun ditangkap, hampir pasti tidak akan diserahkan ke pihak lain. Kedatangan Kelly kali ini secara permukaan memang mengatasnamakan kerjasama menangkap orang itu, tapi sebenarnya sama sekali tidak berniat menangkapnya di Tiongkok. Kalau tidak, bagaimana mungkin masih ada kesempatan untuk penelitian independen? Persis seperti ketika Dark Celeste mendapatkan penghisap darah di Eropa, jika [] meminta kerjasama penelitian, pasti akan dicemooh SB.
Dalam konteks ini, semua persiapan dan rencana hanya bertujuan mengusir Pangeran. Saat berdiskusi strategi dengan Jiaming, Kelly berulang kali memohon agar tidak terlalu serius - cukup hindari konfrontasi, lindungi diri, dan usir saja dia. Faktanya, saat itu Kelly masih memandang kemampuan Jiaming satu tingkat di bawah Pangeran. Siapa sangka Jiaming nekat langsung menghadang, lalu kembali tanpa cedera. Terbangun pukul 2 pagi oleh Charles, dia duduk di ranjang tertegun lama karena takjub. Tapi keesokan paginya, kabar yang diterimanya justru Pangeran "dijemput" oleh [], membuatnya merasa dunia ini benar-benar kacau.
Kemungkinan terbesar adalah [] mengerahkan kekuatan tersembunyi mereka. Tapi, tentu saja tidak bisa menutup mata pada faktor ancaman potensial lain...
“Hmph, jika sampai aku tahu ini ulahmu...” Setelah Charles pergi, dia berbaring sambil mengerutkan hidung, mata melotot ke atap mobil tempat foto Jiaming yang menyamar sebagai Jian Suyan menempel mengejutkan, “Aku akan... Hmph, aku akan MATI menggigitmu!”
Sementara dia mengutuk dalam hati, pihak [] Fang Zhitian juga sedang terhanyut dalam suasana kebingungan dan kejutan yang berbaur.
“Apa tidak ada yang mau memberitahu saya apa yang sebenarnya terjadi?” Fang Zhitian berjalan mondar-mandir di dalam tenda sambil tersenyum, “Orang itu dipukul pingsan di tanah seperti barang yang siap dipungut, ini... Eh, apakah ini semacam selera humor khusus seseorang? Jujur, saya benar-benar tersentuh, ini seperti Saudara Lei Feng di era baru...”
“Sudah pasti.” Orang-orang di sekitar bersikap santai, Cui Guohua tertawa, “Selain Jian Suyan, siapa lagi?”
“Benar, pasti dia.” Fang Guolin menyambut di samping.
Qiao Guorui tersenyum: “Sebenarnya, sebelumnya saya pikir meski punya kemampuan, dia mungkin tidak akan membantu kita menangkap Pangeran ini. Bagi Dark Celeste, ini bukan konsekuensi terbaik...”
“Kakak Suyan kan orang Tiongkok juga!” Fang Guolin melotot ke Qiao Guorui, “Meski dia tidak suka bergaul dengan orang-orang seperti kita, semua yang dilakukannya untuk kebaikan kita. Kok bisa kau berpikir begitu tentang dia!”
“Wei wei.” Qiao Guorui meliriknya, “Kau tidak terlalu dekat dengannya kan? Langsung memanggil Kakak Suyan kesana kemari, seolah kalian bahkan belum pernah bertukar kata sekalipun...”
“Hmph, ini panggilan hormat! Dia sepertinya punya hubungan pribadi dengan Nona Kelly itu, tapi tetap diam-diam membantu kita melakukan hal ini. Siapapun dia, pantas kusebut kakak... eh, kalau pria kusebut kakak! Kakak Jiaming!”
“Belum dipastikan apakah itu dia, setuju...”
“Bagaimana mau memastikan, siapa yang berencana memanggil Nona Jian ke depan kita untuk ditanya?”
“Bukan berarti ingin MATI.” Seseorang tertawa, “Lagipula Ye Lian sudah pergi bertanya ke adik Jiaming.”
Persis saat itu, Ye Lian membuka tirai masuk. Pipi tampannya yang mirip wanita itu menampakkan kekecewaan: “Sudah kutanakan, tapi adik Jiaming kita juga diam terpaku disana setengah hari. Lalu bilang bukan perbuatan Nona Jian, karena si bajingan itu lari terlalu cepat. Akhirnya dia dan Nona Jian bubar jalan.”
Meniru ekspresi Jiaming yang membeku, dia jelas-jelas tidak percaya dengan alasan itu. Fang Zhitian di depan tertawa: “Hanya adik Jiaming kita yang paling jago berakting. Kurasa dia cocok jadi politikus.” Jelas semua sudah yakin pelakunya adalah Jian Suyan. Tentu saja, dalam arti tertentu semua orang di tenda ini sebenarnya sudah menebak fakta...
Demikianlah, pihak [] mencurigai Jian Suyan, sementara Kelly curiga pada [] dan juga mulai menaruh kecurigaan pada Jiaming. Adapun Jiaming sendiri, dalam keterkejutan emosional, terpaku selama beberapa hari, menatap penuh curiga setiap orang di sekitarnya. Di satu sisi ia menyelidiki kekuatan tersembunyi [], di sisi lain meneliti apakah Kelly menjadi bodoh atau sengaja merancang konspirasi agar [] menangkap Sang Pangeran. Ia juga mulai mencurigai adanya orang yang lebih pandai berpura-pura lemah daripada dirinya yang sedang bersembunyi di sekitarnya. Saat ini ia menyaksikan kerumunan orang saling mencurigai, lalu terguling-guling di tanah sambil tertawa terbahak.
Beberapa hari kemudian, ia bermimpi di malam hari. Dalam mimpinya, Lingjing berdiri dengan tangan di pinggang, melahap sebuah gunung dalam sekali santap lalu tertawa terbahak: "Jiaming kamu tidak menyangka ya, sebenarnya aku adalah Evolusioner alami..." Kemudian Shasha muncul membawa tongkat bisbol, sekali pukul membuat Matahari beterbangan di langit: "Hmph, itu bukan apa-apa! Aku Evolusioner alami yang lebih B! Kami sudah lama tahu perselingkuhanmu dengan Kakak Yahan, bersiaplah MATI..." Persis ketika dagunya hampir terlepas, Yahan berdiri di belakangnya sambil tertawa seram: "Jiaming, jangan takut. Sebenarnya aku adalah Sang Pencipta..."
Terbangun dari mimpi itu, tubuhnya berkeringat dingin. Entah karena mimpi itu terlalu mengerikan, atau karena luka tersembunyi yang ditinggalkan setelah berkelahi dengan si Kurcaci.
Bagaimanapun, seluruh peristiwa ini berakhir dalam suasana yang mendadak. Investigasi lanjutan [] dan intrik Kelly untuk sementara tidak perlu dia libatkan lagi. Keributan setelah Yahan menarik senjata di tenda besar berhasil disamarkan dan berlalu. Bagaimanapun, sebagai anak keluarga besar, peluang mengalami penculikan atau terlibat dalam peristiwa pembunuhan balas dendam yang tak jelas alasannya memang lebih tinggi daripada orang biasa. Yahan sebelumnya pernah nyaris diculik, kemudian ada yang mencoba menculiknya lagi dan menembak Jiaming. Jika hal seperti ini terulang, itu hanya membuktikan bahwa kekayaan keluarganya terlalu melimpah dan memancing iri hati.
Setelah berkemah, Shasha baru tahu Liu Zheng terkena tembakan dan dirawat di rumah sakit. Ketika mengunjunginya, kondisi papanya ternyata cukup baik. Peluru sudah dikeluarkan, lukanya pun sudah dijahit. Dengan fisik yang prima, dia sekarang sudah bisa turun ranjang. Urusan geng untuk sementara diserahkan pada pamannya, Liu Shijie. Semuanya berjalan relatif normal.
Shasha bukan pertama kali melihat ayahnya masuk rumah sakit. Saat kecil lebih sering, sekarang sudah jarang, tapi kemampuan mentalnya sudah terlatih. Berdiri di kamar pasien, dia memarahi ayahnya habis-habisan, dengan marah tidak mau lagi berurusan dengannya. Liu Zheng hanya bisa tersenyum getir sambil meminta maaf. Setelah Shasha keluar pintu kamar, barulah dia dengan serius berdiskusi dengan Jiaming tentang peristiwa ini. Kasus pembunuhan kali ini benar-benar terjadi terlalu mendadak. Liu Zheng yang tidak memiliki akses ke informasi level atas, secara alami langsung menghubungkannya dengan Tan Junrong yang pernah mengancam akan menyewa pembunuh untuk MEMBUNUH Jiaming. Setelah mengetahui bahwa memang terjadi peristiwa pembunuh di lokasi perkemahan, keyakinannya semakin kuat. Jiaming untuk sementara hanya bisa mengikuti alur pembicaraan. Tampaknya Liu Lao Da sudah memiliki niat membunuh terhadap keluarga Tan.
## Bagian Tiga Ratus Empat Puluh Delapan: Juni
Dengan latar belakang Liu Zheng saat ini, dia jelas bukan orang baik dalam arti tradisional. Hal-hal seperti MEMBUNUH dan membakar, Memaksa yang Baik Jadi Pelacur, dulu dilakukan langsung, sekarang mungkin lebih banyak dilakukan secara tidak langsung. Shazhu Bang menguasai lebih dari separuh wilayahku di kota besar seperti Jianghai. Jika ingin menyingkirkan seseorang, ini sama sekali bukan lelucon. Tapi sebagai keluarga miliarder, keluarga Tan juga memiliki latar belakang tertentu di level atas masyarakat. Meski Liu Zheng benar-benar ingin bertindak, tentu tidak mungkin langsung MEMBUNUH seluruh keluarga begitu muncul keinginan.
Hal semacam ini tentu tidak mungkin diutarakan secara gamblang kepada Jiaming, namun makna tersirat dari "Kau tak perlu khawatir, urusan ini akan kuselesaikan" terasa sangat jelas. Secara lahiriah, Jiaming pun tidak bisa berkomentar banyak. Setelahnya, melalui [], pihak atasan memberi Liu Zheng petunjuk samar bahwa insiden penembakan ini hanyalah konsekuensi tak terduga dari keterlibatannya dalam suatu peristiwa besar yang mustahil diungkap, namun jelas tidak terkait dengan Keluarga Tan. Rencana eksekusi yang telah disusun Liu Zheng akhirnya dibatalkan. Meski sempat mengganggu operasi cabang perusahaan Tan di Jianghai beberapa kali, situasi akhirnya tidak sampai ke titik yang tidak terkendali.
Pertengahan Mei, Akademi Hati Kudus mengelompokkan siswa ke jurusan Sastra dan Sains. Jiaming, Lingjing, dan Shasha memilih Sastra. Namun sementara Lingjing dan Shasha ditempatkan di kelas yang sama, Jiaming justru dipisahkan. Hanya Kaoru yang tetap mendampinginya, tetap duduk sekursi dengan Jiaming.
Setelah acara berkemah selesai, tampaknya karena ada kabar dari Eropa bahwa masalah kedua kesadaran diri Natalia bermasalah, Kelly yang awalnya berencana meneliti Pangeran di sini terburu-buru pulang. Sebelum pergi, dia berulang kali menanyai Jiaming apakah dia sengaja memukul hingga pingsan Pangeran dengan cara tertentu, namun Jiaming tentu saja menyangkal dengan jujur. Setelah tinggal beberapa hari bersama Jiaming, sakit kepala Dongfang Ruo tampaknya mulai membaik. Fang Zhitian secara alami mengaitkan fenomena ini pada Kelly. Beberapa hari kemudian, dia membawa Pangeran yang masih pingsan dan Ruo Ruo kembali ke Gunung Emei, sementara urusan investasi dan kerjasama dengan Grup Sid diserahkan ke orang lain. Meskipun Ruo Ruo menyembunyikan latar belakang Jiaming, sakit kepalanya yang tiba-tiba memburuk membuatnya harus kembali mencari Jiaming. Memikirkan hal ini, Jiaming justru merasa pusing – demi keponakan ini, Fang Zhitian mungkin benar-benar sanggup melakukan apa saja.
Tak lama kemudian, investigasi [] tentang malam itu mulai membuahkan hasil. Beberapa foto buram menunjukkan sebuah jeep off-road melintasi pos bayar dekat Jianghai sekitar pukul empat dini hari. Rekaman video menangkap siluet samping yang mirip Jian Suyan. Mundur ke pukul tiga, sosok ini persis muncul di lokasi tempat Pangeran dipukul hingga pingsan. Foto-foto ini mengonfirmasi keagungan Jian Suyan bagi [], namun saat informasi ini sampai ke Jiaming, ia tertegun di depan layar komputer selama setengah menit, terasa dingin dari tengkuk hingga punggung.
Di dunia sebelumnya, pria ini hanya dua kali bertemu wanita bernama Jian Suyan tanpa kontak langsung. Kekuatan yang santai dari wanita ini meninggalkan kesan mendalam, mungkin karena itulah ia menggunakan identitas ini sebagai tubuh pengganti. Namun masalahnya bukan di situ.
Di dunia sebelumnya, pertemuan dengan Suyan terjadi 20 tahun kemudian, sekitar tahun 2022. Saat itu Suyan berambut panjang, cantik dan elegan, terlihat seperti gadis awal 20-an. Namun hari ini di tahun 2002, wanita bernama Jian Suyan ini masih tetap berpenampilan gadis muda yang nyetir jeep dengan santai. Mengingat percakapannya dengan Kelly tentang Suyan dalam koper, hatinya hanya merasakan keanehan yang tak terucapkan.
Setelah mendapatkan petunjuk tentang Jeep tersebut, [] telah mengerahkan jaringan informasi luas yang mencakup seluruh negeri untuk melakukan penyelidikan. Setelah melalui proses pengorganisasian yang sulit, terungkap bahwa ini adalah mobil plat palsu dengan sumber yang tidak jelas, pertama kali muncul dalam penglihatan orang-orang dua tahun lalu di pos bayar jalan tol provinsi Hunan dengan slip pembayaran pertama yang bisa dilacak. Dalam dua tahun, mobil ini bergerak ke selatan menuju Guangxi, memasuki Yunnan-Guizhou, masuk ke Sichuan, kemudian melaju ke Tibet, dari Xinjiang ke Qinghai, melewati Gansu, menembus wilayah panjang Daerah Otonomi Mongolia Dalam hingga mencapai Heilongjiang, lalu kembali ke selatan, hampir menyelesaikan perjalanan mengelilingi Tiongkok sebelum akhirnya memasuki Jianghai dan muncul di hadapan semua orang.
Setelah mendapatkan intelijen seperti itu, Jiaming membayangkan kebetulan yang sulit diungkapkan ini. Dia menghabiskan dua tahun untuk berkeliling ke seluruh negeri, tiba di perimeter Jianghai pada pagi hari itu, lalu dikira sebagai Pangeran yang melarikan diri. Tanpa bertanya lebih dulu, pertempuran pun dimulai. Saat kekuatan supernatural sang Pangeran menyerang, dengan kekuatan yang tetap perkasa seperti biasa, dia menjatuhkan musuh ke tanah, lalu bertepuk tangan dan pergi dengan santai, seolah hanya menyelesaikan hal yang paling sepele——kira-kira merekonstruksi seluruh rangkaian peristiwa ini, Jiaming tersenyum getir sejenak. Jika ini benar-benar sekadar kebetulan, maka Dewa Takdir benar-benar memiliki selera humor yang cukup menjijikkan.
Namun, seolah-olah menyadari ada yang menyelidikinya, setelah Jianghai, jeep ini menghilang sepenuhnya dari pandangan semua orang bagai menguap dari peradaban. Baru pada April tahun berikutnya, bayangan ini muncul untuk kedua kalinya di Chechnya yang masih dalam perang. Ini merupakan kisah lanjutan yang sementara tidak dibahas lagi.
Pada hari-hari yang penuh hal remeh-temeh, Jiaming melewati ulang tahun ketujuh belasnya. Di hari ulang tahun itu, ia membeli dua gaun pengantin dan satu setelan jas dari toko fotografi pernikahan yang pernah dilihat Lingjing sebelumnya, menyewa kamera profesional, lalu bertiga memotret secara sembunyi-sembunyi di rumah sepanjang hari. Mereka bergantian menjadi pengantin pria. Jiaming yang memakai gaun pengantin putih tanpa riasan profesional, dipaksa Lingjing dan Shasha untuk memakai lipstik, sama sekali tak terlihat secantik dan seanggun Jian Suyan. Senyum penuh kekecewaannya tampak lucu dan kikuk. Malam harinya, mereka mengundang Yahan dan Kaoru untuk berpesta, namun Dongfang Wan juga datang tanpa diundang sambil membawa hadiah, berdalih sebagai perhatian bos kepada bawahan. Enam orang ini barbekyu dan bermain riang di atap gedung hingga tengah malam, bahkan diam-diam pergi ke tempat Yahan untuk makan kue tambahan menjelang pagi. Terkadang terasa, kebahagiaan memiliki beberapa istri juga tak semudah yang dibayangkan.
Setelah kegilaan di awal bulan, seluruh Mei berlalu dalam suasana biasa-biasa saja. Menjelang akhir Juni saat ujian akhir semester mendekat, cuaca sudah menjadi sangat panas. Siang itu setelah makan, Shasha dan Lingjing keluar dari rumah sambil berjalan dan berdiskusi tentang rencana liburan musim panas.
“Tentu saja pergi ke pantai tinggal selama dua bulan. Panggil Kakak Yahan, kalau Kaoru tidak kembali ke Jepang juga bisa diajak main, lagipula villa-nya besar sekali...” Berlibur di villa pantai keluarga Shasha memang sudah jadi tradisi, kini dibahas pun langsung terlontar. Selama setengah tahun ini, hubungan dengan Yahan sudah kembali intim seperti dulu, apalagi dengar kabar Kaoru mungkin tidak pulang ke Jepang, tentu lebih baik diajak bersama.
“Kita bersama Jiaming, kamu tidak takci merasa canggung?” Lingjing tersenyum, “Ngomong-ngomong, klub pariwisata Xiao Wan katanya mengadakan aktivitas pertama setelah pemilihan jurusan, liburan seminggu ke Huangshan lho.”
“Makanya kalau ajak mereka semua jadi tidak canggung.” Lagipula hubungan segitiga sudah diketahui Yahan, Shasha pun tak perlu lagi menyembunyikannya, “Tapi klub pariwisata Xiao Wan masih jalan? Dia sendiri yang bayarin semua orang, lagipula dulu anggota kelas 6 saja, sekarang sudah berpisah.”
“Katanya dia tetap ingin lanjutkan. Di kelas barunya klub pariwisata diperbesar, dengar-dengar liburan musim dingin sudah direncanakan ke Eropa, sedang tentukan lokasi sekarang.”
“Wuih... orang kaya ya...” Shasha menggeleng takjub.
“Beberapa hari lalu Jiaming cerita soal pulau kecil itu padaku.”
“Hmm?” Mendengar Lingjing tiba-tiba ganti topik, Shasha menoleh penasaran.
“Waktu itu di Kapal Star Dream, aku dan Jiaming terperangkap di pulau kecil itu. Sekarang kalau diingat, tempat itu sangat cantik. Jiaming bilang kalau nanti punya uang, bisa cari koneksi untuk beli pulau tak berpenghuni itu dan bangun villa, pasti keren banget!”
“Waktu itu aku nggak lihat detail…” Shasha berpikir sejenak, lalu mengulurkan tangan memukul Lingjing, “Hei, teman sekelas, kamu dan Jiaming punya memori bagus begini, pamer di depan aku ya? Awas aku PK kamu!”
“Kan sudah kubagi separo?” Lingjing berlari kecil sambil berbalik, tersenyum, “Bagaimana menurutmu?”
Shasha mengerutkan kening: “Di laut bisa ada badai.”
“Dibangun kokoh saja. Waktu badai dulu pulau kecil itu juga nggak tenggelam.”
“Pasti butuh uang banyak ya. Apalagi... beli pulau, selalu terasa seperti halnya pengusaha miliaran.”
“Jiaming bilang perlu koneksi, tapi untuk poin itu basically nggak masalah. Dia cuma sebut sekilas, kayaknya mudah saja. Artinya mungkin bisa dilakukan. Hmm, rekening keluarga kita sekarang ada sekitar 500.000. Masih ada 1 tahun SMA dan 4 tahun kuliah, total 5 tahun. Menurutku bukan mustahil. Tapi dibanding Jiaming, aku merasa sangat tidak berguna...”
“Kalau gitu liburan musim panas ini kita kerja part-time cari uang!”
“Boleh juga.”
“Hmm, bantu ayahku menghitung uang di dalam kelompoknya. Sesekali bisa dikorupsi juga. Toh itu uang haram, kita berdua anggap saja sedang menjalankan Jalan Surga.”
“Bercanda lagi...”
“Aturan kelompok, wanita tidak akan langsung tebas MATI, paling-paling diperkosa bergiliran seratus kali. Jiaming pasti tidak tahan ini, aku suka lihat dia bantu aku memukul orang, haha……”
“Menurutku paling bagus kalau Paman Liu tidak suka dia, lalu dia malah memukuli Paman Liu sekalian, menculikmu lalu kabur, begitu baru bagus kan?”
“Hmm, begitu paling romantis.”
Meski tidak menunjukkan penolakan jelas terhadap bisnis geng kriminal ayahku, faktanya Shasha tetap menjaga jarak dari hal-hal ini. Saat dia bicara begini, Lingjing tahu pasti itu hanya gurauan. Mereka kini sudah memasuki kampus, mendekati gedung sekolah. Lingjing mengerutkan kening: “Ngomong-ngomong, kamu sudah dengar tentang urusan keluarga Huang kan?”
“Paman kedua Jiaming?”
“Iya, kemarin dengar vonisnya sudah jatuh, hukuman mati. Dapat info dari Du Yuan...”
“Wah, aku juga dengar dari Du Yuan si mulut besar itu. Pamannya katanya wakil walikota ya... Tapi katanya masih bisa banding, biasanya tidak secepat ini... Lagipula Jiaming juga tidak ngandelin keluarga Huang...”
“Cuma agak sedih aja, Paman kedua Huang ini baik banget ke orang...”
Saat itu tengah hari yang paling terik, jumlah orang yang memasuki area pengajaran juga tidak banyak. Ketika keduanya berbelok melewati taman bunga di depan, sekitar belasan meter dari gedung sekolah, tiba-tiba terdengar jeritan kaget dari sekeliling. Sebuah bayangan hitam muncul tiba-tiba dari tempat tak jauh di samping lalu terjatuh dari langit, mengeluarkan gema suara "Prak" yang berat. Lingjing dan Shasha yang ketakutan langsung menoleh tajam, namun area itu tertutup oleh taman bunga sehingga tak terlihat apapun.
"A-Apa yang terjadi..."
"Ada sesuatu yang jatuh..."
"Ada yang bunuh diri... kayaknya..."
"Ada orang yang bunuh diri!"
Di antara gemuruh suara-suara yang saling bersahutan, Lingjing dan Shasha berjalan mendekat dengan wajah penuh keterkejutan. Orang-orang di sekitar mulai mengeroyok, tak lama kemudian orang-orang dari lantai atas dan bawah juga berhamburan keluar ke balkon. Pandangan Shasha menembus taman bunga, matanya terpaku pada lantai yang sudah ternoda merah di kejauhan. "Glek," dia menelan air liur keras-keras, tubuhnya mulai gemetar halus. Lingjing tiba-tiba menutup mulutnya dengan tangan.
Itu adalah Huang Haobing.
## Bagian Tiga Ratus Empat Puluh Sembilan Penyebab Kematian
Maka, pada siang yang terik itu, pemuda yang sejak kecil selalu menjadi sorotan banyak orang namun tak lagi diperhatikan siapapun setelah ayahnya jatuh dari kekuasaan, memilih mengakhiri kehidupannya. Dia melompat dari gedung sekolah di hadapan semua orang, menemui ajal dengan cara yang paling rendahan.
Kematian Huang Haobing tidak menimbulkan gelombang besar dalam keluarga Huang. Tentu saja, melihat seorang anak tumbuh dari kecil lalu tiba-tiba MATI, ada yang berduka, ada yang merenung, tapi akhirnya semua hanya mundur ke kesedihan diri sendiri. Usaha keluarga Huang dalam setengah tahun seperti pohon besar yang tumbang perlahan merosot total, setiap orang berjuang untuk masa depannya sendiri. Mungkin di mata beberapa orang, dalam suasana seperti ini wajar jika ada yang MATI, sehingga mereka pun menerima kematian Huang Haobing sebagai hal yang normal.
Setelah pemakaman sederhana, polisi juga melakukan prosedur rutin dengan menanyakan situasi di keluarga Huang dan sekolah, jawaban yang didapat hampir serupa.
"Karena urusan keluarga... Dulu kami pernah bermain basket bersama, karakternya sangat jujur... Ayahnya Huang Bingxiang, dulu keluarganya punya kekuasaan dan pengaruh, tapi tidak pernah ada kejadian mengganggu orang. Dia hanya tertarik pada olahraga, latihan tim basket tidak pernah bolong, kalau ada urusan juga izin dengan aturan..."
"Teman sekelas Huang cukup baiklah, tumbuh besar dalam lingkungan seperti bulan dikelilingi bintang, tapi karakternya tidak sombong. Pada guru-guru selalu sopan, biasanya membawa sekelompok teman sekelas laki-laki main basket, anak laki-laki yang sangat bersinar. Tapi sejak ayahnya bermasalah, karakternya berubah. Beberapa hari lalu bukan putusan sidang pertama keluar? Pasti karena hal ini..."
“Di kelas sebelumnya masih ada beberapa teman sekelas yang cukup dekat, bulan lalu kelas dipecah, lingkungan menjadi asing, orang pun jadi lebih pendiam... mungkin ini juga salah satu alasan yang memicu dia...”
“Huang Haobing? Hmm, sekursi selama sebulan lebih... hampir tak ada percakapan, orang yang sangat muram... Aku baru tahu belakangan kalau dia itu Huang Haobing...”
“Kemungkinan urusan geng kriminal...”
“Ini... agak sulit dijelaskan, tapi beberapa bulan lalu dia dipukuli orang, katanya karena utang uang ke geng kriminal... Dia tak mau cerita, kemudian juga tidak jelas, tapi aku heran, sekalipun ayahnya bermasalah, bagaimana bisa dia kekurangan uang...”
“Aku tahu dia memberikan tabungan pribadinya secara gegabah ke banyak orang... Dia pikir mereka mungkin punya koneksi, entah berapa yang dipakai, pokoknya dalam satu dua bulan uangnya habis diberikan ke orang, kemudian dia pernah meminjam uang... Tentu saja dapat, dulu dia cukup baik.”
“Benar-benar dipukuli——katanya anggota geng kriminal——Aku melihat sendiri hari itu, wajah babak belur... Jangan-jangan dia dikejar pinjaman berbunga tinggi, sebenarnya keluarganya sangat kaya... Tapi mungkin harga dirinya terlalu tinggi, ayahnya mengalami hal memalukan, mustahil minta uang ke keluarga untuk beli koneksi, sebenarnya sudah terdesak...”
“Mungkin bukan pinjaman berbunga tinggi... Dia pecandu narkoba...”
“Yang pasti setengah tahun terakhir dia tak pernah main basket lagi...”
“Kondisi tubuh semakin memburuk, belakangan seluruh diri ini tidak punya semangat, terlihat kurang tidur, setiap hari ada lingkaran hitam. Tapi keluarganya mengalami hal seperti itu, kami juga tidak merasa ada yang aneh sih...”
“Pasti kecanduan narkoba. Sekarang kalau diingat-ingat, benar-benar mirip pecandu. Tapi... baru setengah tahun saja...”
“Benar kecanduan, aku pernah melihatnya sekali.”
“Pecandu narkoba...”
“Apaan sih, dulu dia memang suka main ke atap gedung. Kalian juga lihat kan, lantai enam setinggi itu, di atas sama sekali tidak ada pagar pelindung. Wajar saja kalau dia yang kurang tidur belakangan ini kehilangan keseimbangan dan jatuh... Kita semua masih mahasiswa, mana mungkin ingin MATI. Pasti kecelakaan. Kalau aku sih pasti tidak mau mati, tidak masuk akal. Sudah kupikirkan lama, mungkin bisa diperagakan begini. Lihat, beginilah cara terpelesetnya. Menurutku harus memberi saran ke kampus... Hei hei hei, aku belum memperagakan... Aku belum selesai bicara... Aduh...”
Tak lama kemudian, orang terakhir itu dipukuli oleh orang tak dikenal berkepala tertutup di sebuah gang sempit dengan alasan tidak jelas. Namun saat masuk kuliah semester berikutnya, gedung sekolah benar-benar dipasangi kawat berduri setinggi yang mustahil dilompati orang biasa. Sejak itu, tidak pernah lagi ada mahasiswa jatuh dari atap gedung sekolah. Mereka yang ingin bunuh diri di kampus, terpaksa memilih metode lain yang lebih mudah.
Malam hari, di sebuah jalan di Server Suhua, Kota Jianghai.
“Ini adalah bagian dari kawasan tua Jianghai, jalanan relatif sempit dan ramai. Saat lampu kota mulai menyala, berbagai lapak pedagang berjajar di kedua sisi jalan—termasuk jajanan khas, pasar malam yang baru buka, kerumunan orang yang sibuk masih cukup besar. Kilauan neon yang saling bertautan cukup menyilaukan mata semua orang. Di depan sebuah bangunan dengan banyak meja kartu dan mahjong, gadis itu mengerutkan alis sambil menatap papan nama di sekitarnya.”
“Cuaca panas. Gadis tinggi itu mengenakan T-shirt putih lengan pendek, celana panjang putih juga, dengan sandal wanita biasa di kakinya. Rambutnya sependek anak laki-laki, memberi kesan energik dan segar. Melihatnya mengamati gerbang beberapa kali, seorang pria keluar: ‘Ada yang bisa dibantu, nona?’”
“‘Oh, saya mencari Koko Kuan. Apa dia ada di sini?’”
“‘Koko Kuan? Iya di sini.’ Pria itu menoleh ke kamar dalam, ‘Lihat, dia sedang telepon. Silakan masuk duduk sebentar.’”
“‘Baik.’ Gadis itu mengangguk dan masuk. Di kamar dalam, Koko Kuan yang sedang menerima telepon juga mengintip beberapa kali. Begitu menutup telepon, dia langsung berlari keluar: ‘Kau... putrinya Tuan Liu? Benar kan?’”
“‘Hmm.’ Gadis itu mengangguk datar, ‘Ayahku Liu Zheng, saya Liu Huaisha. Kau... sudah menerima telepon Paman Yang?’”
“Benar、benar, tadi Kakak Tertua sudah menghubungi, cepat masuk cepat masuk... Kau masih bengong apa, cepat ambilkan minuman ringan!” Berteriak pada anak buah di sampingnya, Koko Kuan baru tersadar sepertinya perlu meminta pendapat mereka, “Nona, jus jeruk minuman ringan biasa diminum kan? Ada minuman lain juga.”
“Heh, minuman ringan saja, tidak usah repot.” Sejak kecil sudah terlalu banyak bos yang dilihatnya, Sha Sha kali ini bersikap santai sambil mengangguk. Keduanya masuk ke dalam kamar yang dijadikan kantor. Koko Kuan tampak kebingungan merapikan barang-barang yang berserakan di kamar. Saat anak buah mengantarkan minuman ringan dan mundur keluar, Sha Sha duduk sambil tersenyum: “Tolong tutup pintunya ya?”
Pintu kamar tertutup, pandangan Sha Sha menatap meja teh sejenak merenung, kemudian menengadah: “Eh, sebenarnya tidak ada urusan penting, aku hanya ingin bertanya... tentang beberapa hal...”
“Baik... baik...” AC berdesau menghembuskan udara, tapi panas belum juga turun. Koko Kuan terlihat jauh lebih tegang daripada Sha Sha. Meski tampak santai, di dahinya sudah mengkilat butiran keringat sambil terus mengangguk.
“Itu... ada seorang bernama Huang Haobing... Koko Kuan kenal?”
“Huang Haobing, Tuan Muda keluarga Huang tentu saja kenal...” Koko Kuan mengangguk, “Sebelumnya Nona juga pernah bilang agar kami mengurusnya, Kakak Tertua sendiri yang menelepon. Tapi belakangan ini... eh...”
“Hubungan antara kedua pihak juga tidak terlalu dekat, Koko Kuan pun tidak bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada Huang Haobing. Namun Sha-sha mengangguk sambil bergumam, "Ya, aku pernah berjanji akan menjaganya..." Dia menarik napas dalam-dalam, "Begini, aku ingin tahu, apakah dia mengonsumsi narkoba?"
“Nona tidak...tahu?” Ekspresi Koko Kuan terlihat terkejut.
“Benarkah?” Bibir Sha-sha sedikit menganga, “Lalu...apakah sebelumnya dia mengambil narkoba darimu tanpa membayar, jadi kau menyuruh orang memukulinya?”
“Err, memang ada kejadian seperti itu, tapi saat itu aku belum mengenalnya. Semua itu dilakukan oleh para bawahan. Nona juga tahu, kalau tidak bisa bayar tapi mau ngutang terus, ya pasti dipukuli lah. Tapi setelahnya aku sudah suruh mereka minta maaf, dan sejak itu basically tidak menagih uangnya lagi. Ini atas perintah bos langsung, sekadar pengaruh satu orang saja, jumlahnya juga tidak banyak, pihak kami masih bisa mengambil alih kendali...”
“Lalu diberikan secara gratis?”
Entah mengapa, suara gadis itu terdengar parau. Koko Kuan mengangguk, kini menyadari kesalahannya dalam hati: "Hal semacam ini... Saat itu kami tidak tahu Nona tidak diberi tahu. Seandainya tahu, pasti bisa menjamin dia tidak akan mendapatkan setengah gram pun narkoba di Kota Jianghai, ini..."
Dengan panik berusaha membela diri, beberapa saat kemudian Sha-sha justru menatap ke atas sambil tersenyum, kilau air mata samar di matanya: “Tidak apa, ini bukan salahmu. Dulu aku sempat berpikir untuk menelepon dan bertanya...” Dia berdiri, suara di bibirnya nyaris tak terdengar, “Aku yang menjebaknya sampai MATI...”
Berbalik keluar pintu, mengucapkan selamat tinggal. Koko Kuan yang menyadari telah melakukan kesalahan, seketika tak tahu harus membela diri, kepala terasa sakit tak tertahankan. Dengan langkah gonta-ganti, Shasha berbelok melewati bagian depan bangunan, mengangkat pandangan - seorang pemuda berseragam Akademi Hati Kudus tengah membawa setangkai bunga besar di gerbang, sepertinya dihadang bawahan Koko Kuan sehingga tak bisa masuk. Hanya saja di tengah keramaian pasar ini, mengenakan seragam sekolah dengan penampilan tak mentereng namun membawa bunga seolah hendak melamar, jelas terlihat tidak pas.
Jika sedang biasa, mungkin dia langsung tertawa. Tapi saat ini sama sekali tak ada mood untuk tersenyum. Mengepitkan bibirnya, dia melangkah mendekat sambil melirik: "Kau melacak aku ya."
## Bagian Tiga Ratus Lima Puluh Di Sampingmu
"Kau melacak aku ya."
Mood-nya lagi jelek, matanya masih berkilauan. Shasha menegakkan dagu, nada bicaranya terdengar kesal. Meski sehari-hari sangat dekat dengan Jiaming, tapi dalam hidup pasti ada momen memalukan dan penyesalan yang tak ingin diketahui keluarga. Melihat kemarahannya, Jiaming tersenyum menyodorkan bunga: "Kagum padamu."
Memandangi Jiaming, tatapan Shasha berkedip-kedip. Beberapa saat kemudian kepalanya tetap berpaling: "Hari ini aku tak punya mood..."
"Terimalah. Jika kau tak mau menerima, mungkin mereka akan menyeretku keluar untuk dipukuli..."
Ini masih di depan pintu tempat bermain mahjong. Sebelumnya, Koko Kuan menyambut Shasha dengan sangat meriah. Begitu keluar, dia langsung diganggu oleh seorang anak muda. Beberapa anak buah melihat ekspresi wajah Shasha, segera mengepung dengan sikap tidak ramah. Shasha menoleh ke belakang, mengayunkan tangan dengan santai: "Tidak apa-apa, dia temanku. Terima kasih, silakan lanjutkan pekerjaan kalian." Barulah rombongan itu mundur, salah satunya melotot tajam ke arah Jiaming.
"Kulihat kau lebih baik ke mereka daripada ke aku..." Melintasi kerumunan orang, Jiaming berjalan di belakang Shasha sambil berkata. Shasha mendengus, tetap diam.
"Lingjing bilang akhir-akhir ini kau bertingkah misterius. Hari ini entah dengar omongan siapa lagi jadi melamun bodoh. Pulang sekolah juga sembunyi-sembunyi tidak pulang. Aku lihat kau ke sini, jadi aku menyusup diam-diam..." Dia terus mengoceh di belakang. Shasha menoleh keras sambil tertawa kesal: "Kamu yang bodoh dan sembunyi-sembunyi! Murid SD bikin kalimat ya!"
"Sekali-sekali mengulang pelajaran. Tapi kudapati ini bisa jadi tulisan kaligrafi. Lihat, kau bodoh dan sembunyi-sembunyi, aku misterius dan diam-diam..."
"Kau..."
"Aduh, tolong pegang bunganya sebentar. Aku mau beli sesuatu..."
“Tanpa memberi kesempatan bicara, dia menyodorkan bunga itu. Shasha bawah sadar menangkapnya. Melihat Jiaming berbalik dan pergi, barulah dia bereaksi: "Hei, aku akan buang ini lho... Aku buang..." Mengangkat buket bunga itu, dia berbalik ingin melemparkannya ke selokan pinggir jalan. Matanya masih menatap Jiaming, tapi melihatnya sama sekali tidak menengok. Setelah goyang-goyang beberapa kali, akhirnya dia tak tega membuangnya. Bibirnya mengencang karena marah.
“Wah, permainan papan terbaru. Yang ini sepertinya bagus, bawa pulang untuk main...”
Setelah membeli barang, Jiaming mengayun-ayun kotak kertas di tangannya. Shasha pura-pura tidak melihat, menyodorkan kembali bunga dengan wajah masam. Ekspresi polos Jiaming berpura-pura tidak tahu, tatapan layak dipukulnya seolah menantang: "Buang saja... buang..." Sebenarnya Shasha tidak sengaja ingin mendramatisir, tapi kejengkelan di hati tak terhindarkan. Dia berbalik dan terus berjalan, bunga masih tergenggam di tangan, diayun-ayunkan sembarangan seperti membawa barang biasa. Sejujurnya, Jiaming dan dua cewek ini sudah terlalu akrab sejak kecil. Meski sering mencari permainan baru, hal romantis seperti memberi bunga justru jarang dilakukan karena terasa dibuat-buat. Tapi bagaimanapun, sebagai perempuan, mendapat bunga tetap bikin hati senang.
Hanya saja, meski sedikit kebahagiaan menerima bunga bisa sedikit meredakan perasaan kesal di hati, itu tak bisa menahan Jiaming yang tak tahu situasi terus mengganggu di samping. Sesekali ia membeli sesuatu di sebelah, lalu mendekat seperti nyamuk yang berdengung Bzzzt-bzzzt. Walau dalam hati tahu Jiaming sengaja berlaku konyol karena melihatku tak bahagia, tapi kelakuannya yang keterlaluan ini mungkin bahkan Tuhan pun takkan tahan.
“Wah, sisir di stan itu cantik, Shasha apa kita perlu beli... Tapi aku tak menyisir rambut, kamu pertimbangkan ya...”
“Warna gaun itu bagus, aku suka...”
“Apa benar? Shasha lihat, kita belum pernah makan itu, mau coba?”
“Sayang tak ada kacang chestnut goreng gula, kalau tidak bisa dibeli untuk dibawa pulang, sungguh disayangkan... Kok bisa tak ada kacang chestnut goreng gula, tidak ada tidak ada tidak ada...”
“Kamu bilang kita pulang naik taksi atau bus? Harus transit, menurutku lebih baik taksi, tapi aku tak bawa uang, Shasha bawa? Shasha-shasha bodoh-bodoh...”
“Hmm, permen kapas mungkin...”
“Wah, ini pisau sulap yang bisa ditarik, Shasha lihat, kelihatan seperti asli tapi tak bisa menusuk sampai MATI, persis seperti senjata air buatanku...”
Melihat Jiaming di belakang samping mengayunkan pisau sambil berdesau-desau, Shasha akhirnya merasa tak tahan lagi. Tiba-tiba berhenti dan berbalik: “Kukatakan kapan berhentinya... Uhh...”
“Aku menusuk——”
Ucapan Shasha baru saja keluar, Jiaming mengarahkan kapak tebangan itu ke pantatnya. Kali ini Shasha tepat berbalik, pisau menusuk posisi sensitif. Meski tenaganya tak besar, rasa sakit kecil terasa. Shasha mundur selangkah secara bawah sadar. Darah panas langsung naik ke kepala. Ini terjadi di jalanan. Meski mungkin tak banyak yang melihat, satu tindakan ini sudah cukup mengumpulkan energi ledakannya.
“Aku... KUBERI kau menusuk! Kuberi kau menusuk kauberi kau menusuk kauberi kau menusuk...”
Mengayunkan buket bunga di tangannya, Shasha tiba-tiba melompat. Prak-prak-prak! Ia memukuli kepala pria itu mati-matian. Kelopak bunga beterbangan. Pandangan pejalan kaki sekitar tertarik ke situ. Kakek-kakek yang main kartu di depan warung kecil juga berhenti, memandangi. Gadis penuh energi itu seperti orang gila memukuli pemuda yang hanya melindungi kepala dengan tangan sebagai simbol perlawanan. Saat bunga habis, tinjunya berputar seperti kincir angin menghujani tubuh pemuda itu, diselingi tendangan. Dari kerumunan, terdengar bisik-bisik.
“Liat kan? Ini akibat menghina si cantik...”
“Pemandangan... menyenangkan. Kalau pacarku, aku rela dihujani tiap hari begini...”
“Pemuda itu terlalu beruntung...”
“Dihajar segitu masih tak melawan, ini pria atau bukan sih...”
“Berani lawan? Langsung kubunuh dia...”
“Anak-anak jaman sekarang ya...”
Secara garis besar, tak ada yang simpati pada nasib Jiaming, malah banyak yang memandang iri. Setelah dipukuli sekitar setengah menit, tubuh Jiaming dipenuhi kelopak bunga. Shasha melotot padanya, lalu berbalik badan dan pergi. Mereka sudah berada di tepi jalan. Saat berbalik, tiba-tiba terdengar suara rem "Creek——" yang memekakkan telinga...
Jiaming mengulurkan tangan dan langsung menggendong Shasha kembali. Sebuah mobil kecil melesat melewati sisi tubuhnya dengan kecepatan tinggi.
Masih terhuyung-huyung, Shasha yang meringkuk di pangkuan Jiaming hanya bisa melotot, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Mobil itu berhenti tak jauh dari mereka. Sopir sedang membuka kaca jendela setengah-setengah saat teriakan sumpah serapah sudah terdengar: "Sial! Kau..."
Kepala besar itu baru mengeluarkan separuh wajah ketika mendadak melihat pemuda yang tadinya dipukuli itu dengan wajah merah padam mengambil batu bata dari tanah dan melemparkannya ke arahnya. Dengan cepat dia menyembunyikan kepala. Batu bata itu menyambar dekat telinganya yang runcing, lalu dengan suara "Prak!", kaca spion kanan mobil hancur berkeping-keping.
"Bangsat kau..." Sopir yang berwatak keras itu mendorong pintu mobil terbuka lebar saat melihat wajah polos pemuda di depannya. Baru menginjakkan satu kaki, dia baru menyadari sang pemuda sudah mendekat sambil membawa Kapak tebangan berkilat-kilat, wajahnya berubah menjadi sosok dewa pengamuk.
"Dasar kurang ajar! Nyetir kebut-kebutan hampir tabrak orang masih lancang! Hari ini ayah akan MATI-in kau——Turun sini!"
Dia memang ahli bermuka dua. Baru saja masih bersikap pasrah menerima pukulan dan hujatan, tiba-tiba ekspresinya berubah total menjadi preman tak kenal hukum. Aura niat membunuh yang terpancar membuat semua orang seolah menyaksikan langsung adegan kekerasan di tengah keramaian jalan. Pasir membuka mulut lebar menyaksikan punggung garangnya yang berjalan menjauh. Sebelum sampai setengah jalan, sopir sudah membanting pintu mobil dan pergi dengan mobil kecilnya. Samar-samar terdengar gumamnya: "Anak-anak jaman sekarang semakin tak kenal aturan..."
"Jangan sampai aku melihatmu lagi, atau kubunuh seluruh keluargamu! Mobil tua ini akan kuhancur tiap kali kulihat—Sial! Mau MATI itu mudah..."
Mengacungkan kapak tebangan, Jiaming berteriak di pinggir jalan. Setelah mobil menghilang di ujung jalan, dia berbalik dan tiba-tiba menusukkan kapak ke dadanya sendiri, tersenyum puas ke arah Pasir. Dalam gemerisik suara, pisau sulap itu masuk-keluar dengan lentur. Pasir berlari menghampiri dan menendangnya kesal: "Kau selalu pakai barang palsu untuk nakuti orang..."
"Hmm, takutnya jika pakai yang asli malah lebih menyeramkan..."
Usai lawakan itu, Pasir lupa ingin memukulinya. Tertawanya berangsur mereda diganti kesunyian. Dia mengangkat bahu dan melangkah melewatinya: "Kau tak mengerti sama sekali apa yang terjadi..."
"Apa susahnya? Cuma urusan Huang Haobing yang kecanduan narkoba itu kan."
"Eh, kau..."
Jiaming berjalan mendekat, menggenggam tangannya: "Saat kau memohonkan pengampunan untuknya dulu, Lao Yang mengira Huang Haobing adalah Temanmu. Alhasil para pecandu narkoba tidak mau menerima uangnya, malah menyuruh anak buah untuk lebih memperhatikannya. Pernah suatu kali dia cekcok dengan seseorang di kampus, Koko Kuan-lah yang memanggil orang untuk memukul lawannya. Semua hal ini... Aku sudah tahu sejak awal." Jiaming tersenyum, "Kakak Xiao Meng yang memberitahuku. Dia bahkan pernah bilang bisa berkoordinasi dengan Lao Yang agar Huang Haobing tidak bisa mendapatkan narkoba lagi. Tapi kuberi tahu dia tidak perlu."
Shasha menatapnya, menggigit bibir lalu mengulurkan tangan membersihkan kelopak bunga di bajunya. Jiaming tersenyum: "Untung tidak membeli bunga mawar... Baiklah, seandainya bisa meramalkan kejadian seperti ini sebelumnya, pasti kusuruh Kakak Xiao Meng memutus sumber narkoba Huang Haobing. Tapi pada dasarnya ini bukan salahmu. Dia sendiri yang memilih bunuh diri, memilih jadi pecandu, memintamu menghubungi telepon. Kau pun melakukannya. Konsekuensi setelahnya bukan tanggung jawabmu. Dia harus bertanggung jawab penuh atas pilihannya. Apalagi niatmu saat itu tulus baik, itu sudah lebih dari cukup."
"Tapi niat baik justru menimbulkan masalah..."
“Itu dia yang melakukan sendiri, sebenarnya saat aku meneleponmu dia sudah terlibat kecanduan narkoba. Dalam situasi seperti itu, kehendaknya juga tidak kuat. Bayangkan saja, jika kau benar-benar menolaknya, atau menyuruh orang lain memutus sumber racunnya, orang pertama yang akan membencimu adalah dia... Baiklah, jika kau ingin membantunya, kau harus membuatnya berhenti dari kecanduan narkoba. Kau tidak bisa membujuknya, tidak bisa melaporkannya ke pihak berwajib, tidak bisa memaksanya ke pusat rehabilitasi narkoba. Apapun yang kau lakukan, dia tetap akan membencimu. Pecandu narkoba itu mengerikan, dia mungkin mencuri atau merampok, nekat melakukan tindakan kriminal. Pedagang narkoba pasti bukan orang baik. Jika dia terus mengganggu, meski kau yang bicara, dipukul dan dihujat sudah pasti. Gesekan, jika mau ikut campur, semua urusan akhirnya akan kembali padamu. Jika dia terlalu banyak terikat denganmu tapi akhirnya MATI, kau akan semakin menyalahkan diri sendiri... Dan aku akan cemburu...”
Gesekan tersenyum, lalu kembali menunduk: "Tapi... pasti ada caranya kan?"
"Tidak akan ada cara mudah, akhirnya tetap merepotkan. Aku hanya tahu, dia telah memilih Jalannya sendiri. Gesekan, jika dia datang memohon padaku, aku juga akan membantu sebisaku dalam radius efektif. Tapi aku tak bisa bilang padamu: kau harus begini, jangan begitu. Keputusan hanya bisa dia buat sendiri. Selama dia merasa suka, gaya hidup hedonis, jadi pecandu narkoba, atau MATI, semuanya bukan masalah besar. Dan jika kau ikut campur, dia akan benci padamu..." Jiaming berhenti sejenak, "Heh, sebenarnya awalnya aku tak ingin berkata seperti ini. Jika Lingjing yang datang, pasti akan membuatmu merasa benar dan dunia terlihat indah. Tapi aku justru akan bilang tak ada cara untuk memuaskan dua pihak. Gesekan, akulah orang jahat itu. Saat melihatnya kecanduan narkoba dan hidup hedonis, yang kupikirkan adalah: kalau memang tak bahagia, lebih baik MATI saja, toh bukan masalah besar..."
"Kau selalu punya prinsip..."
"Sebenarnya cita-cita masa depanku dulu adalah kebebasan..."
"Hah?"
“Hmm, kebebasan yang seperti Tindakan Semena-mema itu, tak peduli hukum, tak peduli aturan, bisa berbuat apa saja sesuka hati. Tapi perlahan sadar, kehendak seperti ini sangat menggelikan. Misalnya jika sesuai dengan ideal saya, saya seharusnya bisa membuatmu terus bahagia, Huang Haobing juga hidup seperti orang tak berarti, dan setelah semua hal terselesaikan saya tak akan terlibat masalah. Faktanya situasi seperti ini tidak ada...” Di antara kilau neon sepanjang blok jalan, Shasha menggandeng lengannya, dia menusukkan pisau sulap ke tubuhnya berkali-kali, “Seperti dua anak laki-laki berkelahi demi cewek, menurut aturan game seharusnya yang menang dapat keunggulan kan? Tapi kadang-kadang, cewek malah suka yang kalah, menang tidak serta-merta mewakili kehebatan...”
“Bicara panjang lebar, persis seperti orang tua...” Shasha mengerutkan hidungnya, “Sebenarnya kau pikir aku bodoh karena memusingkan hal seperti ini ya?”
“Kebaikan hati itu bagus.” Jiaming tersenyum.
“Tapi di hatimu kau tidak setuju.”
“Tapi aku suka.” Jiaming berkata, “Sebenarnya menurutku, dibandingkan kau sama sekali tak menganggap MATI-nya penting, aku lebih suka melihatmu repot memikirkan kematiannya. Cuma ingin bilang... uh...”
Dia diam lama, memandangi Langit tak berkedip. Shasha mengerutkan kening: “Bilang apa sih...”
“Lebih baik tidak. Agak mesra, kau tahu saja...” Jiaming mengayunkan tangan. Shasha memukulinya sambil tertawa: “Apaan sih?! Cepat katakan cepat cepat!”
“Shasha melompat-lompat di samping Jiaming setengah hari, setelah ancaman mencubit lengan, menendang pantat, menjepit leher semuanya dikeluarkan, barulah Jiaming menggelengkan kepala dengan kekecewaan: 'Baiklah, sebenarnya aku ingin bilang... Saat kau senang atau sedih, aku selalu di sini menemanimu, tahu isi hatimu, itu sudah cukup. Bagaimana? Sangat mesra kan.'”
“Mirip lirik drama sabun kemarin, apalagi dengan kalimat tambahan di belakang, sama sekali tidak menyisakan ruang untuk rasa haru...”
“Aku cuma merasa ini cocok dengan perasaanku sekarang jadi kuucapkan saja.”
“Ssshh!...” Shasha berpura-pura mengejek, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan senyum. Di lubuk hatinya, kematian Huang Haobing masih membekas, tapi saat ini perasaan itu terbelah ajaibnya dari kegembiraan. Mengibaskan ekor kudanya, ia menarik napas dalam: “Sebenarnya, kau ingat pertemuan pertama kita?”
“Wah, saat kau sedang mandi di kamar, aku masuk dan melihat tubuh telanjangmu, lalu kau menangis histeris minta dinikahi?”
“Bagaimana mungkin ada hal seperti ini!” Shasha menendangnya, “Pertemuan pertama kita, Huang Haobing mengganggumu dan Lingjing, lalu aku memukulnya. Setelahnya juga berkali-kali. Kalau bukan karena hubungan buruk ini, mana mungkin aku sampai harus berbagi pria dengan saudari seperjuangan... Haobing memang suka menggertak saat kecil, tapi semakin dewasa sifatnya membaik. Selama ini kupikir dialah yang mempertemukan kita. Sekarang dia MATI seperti ini... Aku mulai sedih...”
Jiaming menepuk bahunya. Shasha terdengar kaku saat mengaku sedih, sepertinya tidak terbiasa menggunakan kata ini untuk dirinya sendiri.
“Jiaming, menurutmu... Kenapa ayahku harus berdagang narkoba?”
“Semua geng kriminal pasti melakukannya.”
“Bukankah Shazhu Bang sekarang geng terbesar di Jianghai? Lebih kuat dari gabungan semua geng lain?”
“Hmm.”
“Bagaimana jika ayahku ingin cuci tangan dan melarang perdagangan narkoba?”
Jiaming menunduk tersenyum: “Jika dia melarang, banyak nyawa manusia yang akan MATI...”
“Eh...” Shasha memandanginya dengan tatapan penuh tanya.
“Akan banyak orang yang ingin membunuhnya, lalu... banyak anggota geng yang menentangnya, Shazhu Bang terpecah-belah, nyawanya akan terancam. Kemudian aku akan mengajukan syarat pada orang-orang seperti Cui Guohua, untuk menyingkirkan sebagian, menangkap sebagian, membunuh sebagian. Pedagang narkoba dari luar kota akan mencoba menyusup masuk, hadapi dengan cara sama: usir, tangkap, bunuh. Beberapa tahun kemudian, Shazhu Bang akhirnya berhasil dibersihkan, mereka menjalankan bisnis legal, kehidupan mulai stabil, atau bisa juga membentuk perusahaan, go public. Tapi tak akan ada lagi orang yang ingin berkelahi. Lalu perdagangan narkoba di Jianghai perlahan bangkit kembali, Shazhu Bang baru mulai bermunculan... mungkin beberapa sekaligus, lalu kembali ke situasi dimana beberapa geng saling berkonflik dan bentrok...”
“Serepotan itu ya...”
“Hmm, sebenarnya orang luar tidak takut. Kalau punya kenalan di pemerintah, bisa dengan percaya diri bilang Tiongkok tidak ada geng kriminal. Karena begitu pemerintah bertindak, benar-benar tak ada yang bisa bertahan. Tapi yang paling ditakuti adalah jika ada orang yang...” Ia menusukkan pisau sulapnya ke pantat Shasha, “...menusuk dari belakang.”
Melirik sebentar tangan kanan Jiaming yang memegang pisau, Shasha menggigit bibirnya sambil berpikir. Beberapa saat kemudian melirik lagi, terus berpikir. Setelah beberapa langkah, tiba-tiba ia berbalik dan berjalan kembali.
“Hei, kau mau apa?”
“Aku juga mau beli satu. Beli yang asli, untuk menebasmu sampai MATI...”
“Nggak perlu lah...”
Tak lama kemudian, dua bayangan berlarian saling kejar dalam gemerlap neon kota malam itu. Mereka menembus kerumunan orang yang tak pernah berhenti, perlahan menghilang di kejauhan malam...
Karena urusan Huang Haobing sedikit banyak memengaruhi emosi Shasha, selama liburan musim panas bertiga tidak mempersiapkan rencana perjalanan apapun, tetap menghabiskan waktu di villa tepi pantai. Kaoru telah pulang ke Jepang, Yahan sesekali menginap 1-2 hari. Hubungan terlarangnya dengan Jiaming membuatnya takut ketahuan pandangan menggoda oleh Lingjing dan Shasha jika terlalu lama menginap. Bagaimanapun, syarat kedua gadis akan hubungan intim tidak terlalu sering. Dengan pertemuan sesekali, mood Yahan membaik. Ia mulai menjalin kontak dengan beberapa bisnis Keluarga Zhang, mengerjakannya dengan antusias. Hubungan dengan ayahnya juga mulai membaik.
Memasuki pertengahan Agustus, tibalah ulang tahun ke-45 Liu Zheng.
Shazhu Bang beberapa tahun terakhir berkembang pesat skala. Jika mengadakan pesta besar, tamu undangan dari berbagai pihak bisa memenuhi Ratus meja sekalipun. Karena ini ulang tahun biasa, Liu Zheng hanya mengundang beberapa kerabat dekat untuk jamuan keluarga. Dari internal geng, hanya tokoh berkepala naga tingkat tinggi seperti Xiao Meng ah, Lao Yang ah yang diundang. Sisanya adalah kerabat jauh atau teman berhubungan erat, total mencapai lebih dari sepuluh meja. Jiaming sudah dianggap calon menantu, dipanggil sejak pagi untuk membantu memasang jebakan di lokasi acara. Kemudian diperkenalkan ke berbagai kerabat, sibuk sepanjang pagi hari.
Tentu saja, yang disebut meminta dia membantu, sebenarnya cuma mengikuti dari belakang. Liu Zheng ini orangnya tidak banyak aturan ke keluarga, setelah akrab dengan Jiaming, sudah terasa seperti persahabatan yang mengabaikan perbedaan usia, sesekali bercanda sambil bercerita rahasia dunia hitam. Hubungan Shasha dengan ayahnya cukup harmonis, tapi jarang menghabiskan waktu bersama. Jiaming yang sibuk di pihak Liu Zheng, malah dia kabur bermain dengan Lingjing. Saat tamu sudah datang 70-80%, ruangan besar hampir penuh, barulah dia kembali: "Jiaming kok bisa akrab dengan siapa saja... Maksudku orangtua cewek, Papanya Ye dan Ibunya Ye juga, papaku juga..."
Ucapannya terdengar beraroma cemburu, tapi memikirkan akan menikah dengan Jiaming, sebenarnya tentu senang. Jiaming asal ngoceh, telinga mendengar Liu Zheng berkata: "Wah, karaktermu salah tulis, ini tulisan kursif, kasih ibu kue makan, masa mahasiswa, kemampuan baca masih kalah sama aku. Lao Yang kok bisa menugaskanmu untuk registrasi tamu..."
Kata-katanya kasar, tapi sebenarnya bukan bermaksud mencela, lebih ke bangga karena bisa membaca tulisan acak-acakan yang tidak dipahami orang lain — kebanyakan kaum semi buta aksara punya keangkuhan seperti ini. Shasha mengerutkan kening: "Kenapa dia selalu bilang 'kasih ibu kue makan'? Dulu tidak pakai mantra mulut begini, apa sekarang sedang trend umpatan baru?"
Jiaming mengangkat bahu: "Tidak tahu, akhir-akhir ini dia sering bilang kalimat itu. Hari ini dari pagi terus mengulang-ulang, nanti langsung tanya saja dia..."
Mereka berdua mengobrol, tak lama kemudian Liu Zheng datang. Jiaming bertanya dengan halus. Melihat putrinya di sini, Liu Zheng tampak tidak nyaman: "Ahem... tidak tahan, keluar kata-kata kotor. Aku sedang belajar bahasa Inggris belakangan ini..."
Jiaming dan Shasha saling pandang: "Ada kalimat begitu dalam bahasa Inggris?" Jiaming yang menguasai beberapa bahasa, bahkan bisa meniru berbagai logat bahasa Inggris, sama sekali tidak ingat ada frasa "Beri ibumu kue" dalam bahasa Inggris.
"Err, maksudku... yang sering ada di film. Katanya cara terbaik belajar bahasa Inggris ya nonton film asing, jadi baru saja aku beli beberapa DVD luar negeri."
Dulu dia punya koleksi film bokep luar negeri. Shasha pernah diam-diam mengambil dan menontonnya bersama Lingjing, yang akhirnya memicu insiden lesbian. Mendengar kata "film asing", mereka langsung terpikir ke situ. Wajah Shasha memerah: "Aku tanya Lingjing saja apakah dia tahu." Berbalik mau kabur, Jiaming baru sadar: "Sial! Bajingan!" Shasha menoleh: "Kau menghina siapa?" Liu Zheng tersenyum canggung: "Sepertinya maksudnya memang begitu..."
Setelah memandangi si pemuda nakal dan paruh baya nakal dengan pandangan merendahkan, Shasha akhirnya menghilang. Mungkin akan pamer ke Lingjing tentang metode menghina baru yang dipelajarinya. Liu Zheng kebingungan sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ragu. Beberapa saat kemudian, dia menarik Jiaming ke samping dan berbisik misterius: "Jiaming, biasanya Paman Liu bagaimana terhadapmu?"
Jiaming tersenyum sambil mundur selangkah: "Kau mau apa?"
“Bangsat, kau ini bocah, putrinya sudah kuserahkan masih bersikap seperti ini padaku……”
“Di TV, bajingan yang mau menjerumuskan orang selalu pakai ucapan seperti ini……”
“Paman Liu Zheng ini mirip orang jahat?” tanyanya dengan sikap defensif, kemudian sendiri merasa itu konyol, “Baiklah, ke kalian aku selalu bersikap baik, uh... Maksudku... Sebenarnya...”
Dia kembali ragu-ragu, melakukan persiapan mental sejenak, akhirnya menghela napas dan berkata serius: “Baiklah, sebenarnya aku ingin kau membantuku menyelidiki pendapat Shasha.”
“Pendapat soal apa?”
“Ya... Kira-kira tanyakan padanya...” Liu Zheng mengangkat tangan bingung, “Bagaimana sikapnya jika aku menikahi ibu tiri... Kau tahu, setelah ibunya meninggal, aku membesarkannya dengan susah payah. Waktu itu Shazhu Bang masih berjuang, tiap hari berkonflik dengan orang, mengurusnya saja sudah kewalahan, seringkali harus menitipkannya di tempat lain. Dia juga sejak kecil terbiasa tinggal sendiri, untungnya tidak terlalu menjauh dariku, sebenarnya ini juga ada hubungannya denganmu dan nona Lingjing, kalau tidak mungkin dia sudah membenciku... Dulu tidak berani dekat-dekat dengan banyak orang, tapi sekarang sudah stabil, bisa memikirkan hal lain. Meski hubunganku dan Shasha cukup baik, tapi jarang bersama, aku tidak tahu isi hatinya. Kau yang paling mengerti dia, jika dia benar-benar membenci calon ibu tirinya, aku bisa urung menikah. Aku hanya punya satu putri...”
Liu Zheng memiliki perasaan terdalam terhadap putrinya. Dalam arti tertentu, meski kini telah menjadi bos geng kriminal ternama, pandangannya tentang keluarga tetap konservatif. Seandainya dia seperti bos lain, pasti sudah punya wanita simpanan ketiga, ke-N, mana mungkin masih meminta pendapat putrinya soal pernikahan ulang.
Otot wajah Jiaming berkedut: "Bercanda macam apa ini? Masih perlu ditanya? Shasha dia..." Ekspresinya menunjukkan penyesalan, "Pasti mendukung. Dia malah senang ada yang mengurusmu. Tapi... kalau mau dia memanggil 'Tante' dengan ikhlas, karakternya harus bagus."
"Kalau begitu, bantu sampaikan ini ke Shasha." Liu Zheng menyambut inisiatif itu, "Jujur saja, aku lebih bisa bernegosiasi dengan lawan daripada bahas hal begini dengan anak sendiri."
"Semakin sering dilatih pasti bisa..."
"Cih... ucapan anak kecil jangan ditiru..."
"Eh, siapa sebenarnya orangnya?"
Liu Zheng tersenyum: "Kenalan saat lukaku dirawat, perawat di rumah sakit tempat ibu Lingjing bekerja..."
"Perawat?" Jiaming teringat beberapa MM cantik di sana, "Kakek makan rumput muda! Yang mana?"
Liu Zheng membusungkan dada bangga: "Umurnya memang cukup muda, kepala perawat bermarga Hu, 30 tahun, lulusan universitas. Dulu terlalu pilih-pilih, sampai sekarang belum menikah. Sebenarnya, kalau mau, wanita untukku tak pernah kurang—ah, ini bukan urusanmu—tapi dia benar-benar cocok. Ingin kuberi status resmi. Oh ya, bahasa Inggris-ku diajarnya..."
“Ajar kau hadiahkan ibu kau kue...”
“Batuk, ini murni belajar mandiri、murni belajar mandiri, meneliti sendiri...”
Cinta sejati memang membuat manusia jadi bodoh...Jiaming teringat Kepala Perawat Hu di rumah sakit itu, wajahnya terbilang cantik, beraura, biasanya dingin, mengerjakan hal-hal dengan tanpa cela, tapi pada orang yang saling mengenal cukup ramah, seharusnya bukan rombongan yang hanya tertarik uang atau gelar bos geng Jalan Hitam. Jiaming melirik Liu Zheng, malah agak bingung bagaimana identitasnya bisa mengejar si cantik beraura beridealisme ini, dalam waktu tiga bulan sudah sampai tingkat pernikahan. Melihat pandangan Jiaming, Liu Zheng melotot memamerkan: “Lihat apa? Paman Liu ini juga punya daya tarik!”
Sebenarnya ucapan ini memang tak salah. Jiaming mengangguk: “Sebenarnya Kepala Perawat Hu memang bagus.” Liu Zheng lega menepuk bahunya, tiba-tiba melihat sekelompok orang masuk pintu, wajahnya langsung muram: “Ada yang mau merebut kembali harga diri yang hilang, aku duluan... Eh, hal ini nanti kalian pulang baru bilang ke Shasha ya...”
## Bagian Tiga Ratus Lima Puluh Satu Biru yang Menghilang
Sebagai bos mafia yang kekuasaannya menjangkau lebih dari separuh kota Jianghai, tidak berarti Liu Zheng kemudian bisa berbuat semena-mena tanpa hambatan. Faktanya, meskipun tantangan terang-terangan seperti ini tidak berasal dari dalam kota, di luar Jianghai pun terjadi persaingan kepentingan antar berbagai kota. Ketika kuota kepentingan Shazhu Bang di Jianghai mendekati titik jenuh, tentakel perkembangannya terus berekspansi keluar, berharap bisa mengembangkan jaringannya ke kota-kota sekitarnya. Beberapa kali dalam semester pertama tahun ini dia pergi sendiri ke luar kota untuk bernegosiasi, semua demi tujuan tersebut.
Intervensi paksa ke area kekuasaan Jalan Hitam wilayah lain, menghancurkannya lalu merebut kuota sendiri, hal semacam ini bukanlah hal langka di dunia bawah tanah. Tentu saja, dalam situasi Tiongkok saat ini, kekuatan kriminal tidak bisa bertindak terang-terangan seperti di daerah konflik luar negeri, kebanyakan mempertahankan kondisi keseimbangan. Di kota besar berpopulasi 10 juta seperti Jianghai, pencapaian Shazhu Bang yang menguasai lebih dari separuh kuota kota hampir mustahil, yang dari sudut pandang tertentu merupakan hasil dari hubungan rumit antara Jiaming dengan [], peristiwa Kapal Star Dream, penyelamatan nyawa Fang Zhitian dkk, pembunuhan Da Nei Zhangdu, pengusiran Yoritomo Taku, hingga intervensi dan toleransi [].
Tentu saja, Shazhu Bang memiliki kesempatan baik dan perhatian seperti ini, di tempat lain mungkin juga ada guild besar yang memiliki koneksi luas. Beberapa orang yang berani mencari masalah saat jamuan ulang tahun Liu Zheng ini sebenarnya adalah pemimpin pasukan kriminal dari luar kota yang baru-baru ini terlibat konflik kepentingan dengan Shazhu Bang. Tentu saja, begitu masuk pintu mereka tidak melakukan hal yang tidak biasa, paling-paling hanya mengucapkan beberapa kata sarkas yang tidak jelas. Hanya saja karena mereka datang tanpa diundang, Liu Shijie dan lainnya secara alami tidak mungkin mengizinkan mereka masuk. Ketika Liu Zheng mendatangi mereka dan berbicara dengan sikap tegas di samping, beberapa orang itu akhirnya pergi dengan senyum dingin dari gerbang, tentu tidak lupa melemparkan beberapa komentar samar, tapi Liu Zheng sendiri jelas tidak takut pada siapa pun.
Setelah jamuan ulang tahun yang meriah, Jiaming mencari kesempatan untuk memberitahu Shasha tentang hal ayahnya Liu Zheng yang menyukai seorang wanita. Sasha tertegun lama, lalu melompat dan memukul Jiaming. Perasaan ini terlalu aneh - ayahnya sendiri yang akan menikah tapi tidak memberitahu langsung, malah menyuruh pria lain menyampaikan. Melihat keduanya saling kejar-kejaran di ruang tamu, Lingjing yang baru saja mengeluarkan masakan dari dapur tersenyum: "Ini hal baik, Kak Yahan dan tantenya sangat akur, seperti dua saudari."
“Cih…” Shasha menggerakkan tangan dengan kesal, “Pokoknya soal menikah atau apapun aku tak peduli. Tapi aku juga malas menjalin hubungan baik dengannya. Lagian aku tidak tinggal di rumah. Aku takkan memanggil ibu tiri. Hal seperti ini… Nanti kalau dia tewas bagi warisan, pastinya aku dapat separuh. Jiaming, kalau kau rasa setengah kurang, bilang sendiri ke ayahku… Yang penting ayahku senang. Tapi dia sendiri tak berani ngomong langsung padaku…”
“Wah, mas kawin sebanyak ini langsung mau kau beri ke Jiaming. Baik banget sama dia ya…”
“Lagian dia yang menampungku.”
“Nggak boleh! Shasha nggak tahu, perempuan harus punya rencana cadangan. Uangmu jangan semua diberikan ke dia. Nanti kalau pria berubah hati, menangis pun takkan bisa balik.”
Lingjing mengutip pandangan dari TV, Shasha malah mencubitnya sambil tertawa: “Kau bicara manis. Kalau Jiaming minta, uangmu pasti semua diberikan. Mulut dan hati tak seirama.”
“Memberi uang padanya karena penghasilanku kalah banyak. Lihat, kalau digabung, aku pasti untung. Apalagi sekarang semua uang padaku. Hmph, kalau dia berani putus, yang untung juga aku.”
“Pura-pura aja. Kalau Jiaming putus denganmu, kau pasti menangis histeris. Mana peduli uang… Aku sudah tahu sifatmu. Titik-titik di tubuhmu mana yang belum kulihat!”
“Cih, aku juga lihat milikmu, nggak rugi. Lagian… Peduli dia? Nggak ganteng pula. Kalau berani bilang putus, langsung kulempar, lalu jalan-jalan. Pasti senang banget!”
Dua cewek saling bercanda, Jiaming hanya tersenyum dan berkata: "Jangan bicara yang tidak-tidak." Shasha dengan santai menjawab: "Dia sudah lama berkecimpung di dunia itu, aku sudah siap secara mental dari dulu. Tapi sekarang Shazhu Bang berkembang begitu pesat, pasti tidak akan ada bahaya besar lagi..."
Secara lahiriah tidak keberatan dengan pernikahan kembali ayahnya, tapi nyatanya, beberapa hari kemudian Shasha dan Jiaming diam-diam mengunjungi rumah sakit untuk melihat Kepala Perawat Hu. Sebenarnya karena pengaruh Jiaming, mereka sudah saling kenal sebelumnya. Kepala perawat ini cukup baik, hubungannya dengan Ibu Ye juga harmonis. Jika dia menikahi Liu Zheng, hubungan kedua keluarga pasti akan semakin akur. Meski tak diungkapkan, dalam hati Shasha sebenarnya sudah mengakui wanita ini - setidaknya tidak membenci.
Dengan persetujuan Shasha, Liu Zheng pun lega. Dalam telepon dengan Jiaming, sepertinya mereka sudah memutuskan untuk menikah akhir tahun ini. Kali ini tidak perlu Jiaming jadi perantara, mungkin setelah pasti akan mengajak putrinya makan berdua lalu memberitahu hal ini. Jujur saja, frekuensi makan berdua ayah-anak ini bisa dihitung jari.
September hampir tiba, masuk kuliah.
Di awal semester ini, Jiaming dan yang lain secara resmi memasuki kelas 3 SMA. Dongfang Lu yang berada di tingkat lebih tinggi (kelas 10) justru sudah resmi berkuliah di universitas di Beijing. Sebelum berangkat, dia sempat menelepon Jiaming untuk memintanya menjaga Dongfang Wan, sekaligus membicarakan hal-hal terkait Ying Zifeng dan Ying Zilan. Keluarga Dongfang termasuk dalam faksi Fang Zhitian. Meski Lei Qing terus mengganggu adik perempuannya, keluarga Lei pada dasarnya masih satu faksi yang sama. Dia sama sekali tidak pernah khawatir tentang apa pun. Namun keluarga Ying memiliki posisi berbeda dengan Fang Zhitian - mengingat Fang Zhitian pernah datang langsung ke keluarga Huang untuk menemui Jiaming, Jiaming mulai khawatir apakah kedua orang ini akan melakukan sesuatu.
Pada tanggal 29 Agustus mendaftar, tanggal 30 Agustus, Jiaming, Lingjing, Shasha bersama Kaoru dan Dongfang Wan yang datang tanpa diundang pergi bersama ke pusat perbelanjaan membeli perlengkapan sekolah.
Meski sudah melewati Chushu, panas musim panas masih belum mereda. Cahaya matahari pagi yang semakin terik membakar Bumi. Setelah membeli banyak barang, beberapa orang ini lari ke kedai minuman dingin di tepi jalan untuk makan es. Dongfang Wan bercerita tentang pengamatan selama berwisata ke Huangshan, sambil mempersiapkan rencana untuk menarik Jiaming dkk masuk ke komunitasnya.
"...Komunitas kalian yang tidak karuan itu sudah lama hanya tinggal nama, setuju? Sebenarnya aku sudah meyakinkan Yiting, cuma karena belum dapat persetujuan kalian, dia tidak bisa pindah. Wei wei, siapa yang mau menyatakan persetujuan? Aku benar-benar bicara dengan kesungguhan hati lho..."
Lingjing tersenyum, menjauhkan diri dari koneksi: "Kau bicara dengan Shasha, pergilah. Dialah bos kami."
“Gesekan?” Nada suara Dongfang Wan tiba-tiba berubah sangat lembut. Gesekan menggelengkan kepala dengan tegas: "Teguh menolak pembubaran... Menyuapi, Xiao Wan, aku bilang setiap tahun kau menghabiskan begitu banyak uang mengajak sekelompok orang liburan untuk apa sih? Tidak merasa terbuang percuma?"
"Tambahin teman dong... Tapi awalnya memang ingin membuat skala besar. Setelah ada pabrik mainan, ini benar-benar jadi liburan santai. Makanya aku mengajak kalian masuk."
Secara objektif, Dongfang Wan memang memiliki keinginan mengendalikan yang agak kuat di beberapa aspek, tapi dalam memperlakukan teman sangat tulus dan antusias. Saat mengajak Lingjing dkk liburan, sama sekali tidak ada pikiran tidak karuan. Setelah berbicara lama dan melihat Gesekan dkk tetap tak tergoyahkan, akhirnya dengan kekecewaan mengalihkan topik ke rencana liburan semester depan, mencoba meningkatkan godaan dari aspek lain.
"Sudah direncanakan sebelumnya, liburan musim dingin ke Eropa. Tapi lokasi tujuan terlalu banyak, belum dikonfirmasi. Banyak tempat ski di Eropa lho - Swiss, Prancis, Inggris..." Sambil menghitung negara dengan jari, pandangan Dongfang Wan mengamati ekspresi Lingjing dkk. Saat itu juga, ponsel Gesekan berbunyi. Dia tersenyum membuka: "Halo... Gesekan ya... Dia tidak ada..."
Di telepon terdengar seperti suara tawa Liu Zheng, Jiaming menduga apakah dia sudah memutuskan tanggal pernikahan dan bersiap mengajak putrinya makan. Sejenak, Shasha tertawa: "Hmm, iya, aku bersama Lingjing dan yang lain. Kan sudah masuk kuliah, kami keluar beli alat tulis. Siapa lagi... Kaoru, Jiaming, dan Xiao Wan... Dongfang Wan, kamu tidak kenal..."
Selanjutnya, hanya terlihat dia terus mengangguk: "Hmm-hmm... Hmm-hmm... Hmm-hmm... Hei ayah, kapan kamu jadi cerewet begini. Cuma kelas 3 SMA kok, nilai aku sekarang naik cepat, bisa menghadapinya. Ujian masuk kuliah pasti lancar... Sudah-sudah. Hmm, aku kasih ke Jiaming..."
Menyeringai, Shasha menyodorkan telepon: "Ayah mau bicara denganmu."
"Oh," sambil tersenyum menerimanya, Jiaming berbicara ke telepon: "Hai Paman Liu, ada perlu?"
Dari seberang terdengar suara napas terburu-buru. Beberapa saat kemudian, Liu Zheng mulai berbicara: "Jiaming, perlakukan Shasha baik-baik. Aku serahkan dia padamu..."
Sekejap itu, perasaan tak terucapkan menyergap. Intuisi prajurit berpengalaman membuatnya bahkan bisa mencium aroma bahaya melalui telepon. Sinar matahari cerah menerobos dari jendela, langit membiru dengan awan putih seperti kapas. Dongfang Wan di seberang sambil menjilat es krim bercerita tentang ciri khas berbagai negara Eropa. Segalanya dipenuhi aroma segar dan bebas beban.
Dia mengangkat telepon dan berdiri. Lingjing dan yang lain memandang ke arahnya. Jiaming tersenyum tipis, berjalan ke samping di bawah tatapan mereka, lalu berkata dengan datar: "Beri tahu aku lokasimu sekarang."
Di ujung telepon tak ada jawaban yang benar. Beberapa saat kemudian, terdengar suara Liu Zheng yang terdengar lega disertai tawa...
## Jilid Ketujuh: Api Agustus
## Bagian Tiga Ratus Lima Puluh Dua: Kematian
Setelah Liu Zheng MATI, polisi hanya datang sekali, mengambil gulungan rekaman video, dan mengajukan beberapa pertanyaan singkat. Tampaknya ada perintah dari atasan, sehingga meski perlu melakukan prosedur standar, mereka tidak mengganggu orang lain untuk sementara. Kasusnya sendiri terlihat jelas, sebenarnya tidak banyak perlu interogasi atau penyelidikan.
Pemakaman diadakan di villa terbesar milik keluarga Liu. Saat suara suona yang melankolis samar-samar terdengar dari luar, Jiaming sedang menonton rekaman video cadangan di kamar kecil yang remang-remang—bukan kali pertama baginya.
Gambaran di layar menunjukkan ruang kerja Liu Zheng. Ada dua orang: Liu Zheng sendiri dan Liu Shijie yang dianggapnya seperti adik kandung. Karena suatu alasan, Liu Zheng sedang marah besar. Liu Shijie terus-menerus membela diri. Setelah suara dinyalakan, terungkap percakapan mereka tentang narkoba.
"Liu Shijie yang telah berjuang bertahun-tahun di luar negeri dan baru kembali ke tanah air tahun ini, dalam beberapa hal bisa disebut pria yang cukup mumpuni. Meskipun tak ada prestasi mencolok selama di luar negeri, pengalaman di berbagai bidang telah membekalinya. Kini, dengan kepercayaan dari Liu Zheng di Jianghai, ia berniat membuka jalan baru. Beberapa bulan lalu, ia menyambungkan jalur narkoba dari luar negeri, memasok zat berkualitas tinggi seperti K2 melalui jaringan seorang bos dekatnya di Shazhu Bang untuk diedarkan diam-diam. Liu Zheng sempat memarahinya setelah tahu, tapi Liu Shijie tetap nekat mengendalikan bisnis gelap ini, memicu pertengkaran kali ini."
"Sebenarnya bos sudah sangat baik padanya. Kasus penyelundupan K2 kemarin, kalau dilakukan orang lain pasti kena hukuman geng minimal potong tangan atau kaki. Tapi waktu itu bos malah mengajaknya analisis detail situasi dalam negeri. Sayangnya dia seperti tak menggubris..."
"Dia selalu bilang di dunia hitam harus kejam, kalau ada kesempatan harus direbut. Menurutnya selama operasi berjalan mulus dan ada koneksi di atas-bawah, pemerintah tidak lebih dari itu..."
"Dia yakin Shazhu Bang bisa sebesar ini karena bos punya koneksi rahasia di tingkat atas. Faktanya selama ini pemerintah memang seolah mendukung kami. Makanya dia pikir selama ada 'pintu belakang' itu, menjual K2 dalam skala besar pun tak masalah. Apalagi keuntungannya memang gila-gilaan karena kompetitor tak ada yang berani jual..."
Kesaksian beberapa orang yang dekat dengan Liu Shijie sepertinya cukup menjelaskan masalah kali ini. Faktanya, Jiaming tentu tahu memang ada perhatian dari atasan, namun perhatian ini bukan karena Liu Zheng. Liu Zheng sendiri mungkin juga merasa tanpa alasan jelas, tapi di mata Liu Shijie, hal ini secara alami dianggap sebagai simbol bahwa Liu Zheng tidak mau bertindak, bukan tidak mampu. Setelah bertahun-tahun tidak sukses di luar negeri, karakternya telah menjadi ekstrem. Teguran Liu Zheng yang terlalu santai kali ini, ditambah operasi terselubung yang kembali dilakukannya, membuat Liu Zheng yang sebenarnya sudah berniat pensiun dan berkeluarga, akhirnya meledak amarahnya setelah ketahuan.
Jika hal seperti ini benar-benar terjadi dan menarik perhatian atasan, hampir bisa dipastikan akan mencelakakan seluruh Shazhu Bang. Di layar, ekspresi Liu Zheng terlihat keras, sementara Liu Shijie tidak mengakui kesalahannya dan mulai membela diri dengan konfrontasi langsung. Kemudian, Liu Zheng langsung mengeluarkan senjata dari laci, maksudnya "jika kau ingin mencelakakan seluruh kelompok, aku akan menghabisi kau dengan tanganku sendiri sekarang juga". Mungkin ini hanya ancaman biasa, tapi Liu Shijie yang lama berkecimpung di negara-negara kekerasan secara refleks terkondisi langsung menarik senjatanya dan menarik pelatuk.
Mungkin seorang yang sedikit normal pun bisa mengerti bahwa Liu Zheng sebenarnya tidak benar-benar ingin MEMBUNUH. Sangat sulit membayangkan bagaimana pria neurotik ini memandang masalah, mungkin juga dari sisi tertentu menjelaskan alasan mengapa selama bertahun-tahun di luar negeri dia hanya terus-menerus melarikan diri. Setelah satu tembakan, Liu Zheng dengan ekspresi tak percaya memegangi jantungnya, perlahan kembali duduk di kursi. Liu Shijie yang sudah panik total tampak benar-benar bingung menentukan langkah selanjutnya. Meski kontrol senjata dalam negeri ketat, dia telah terbiasa membawa senjata untuk rasa aman. Agar tembakannya di luar tidak menarik perhatian, senjatanya dilengkapi alat peredam suara khusus. Tembakan kali ini memang tidak mengundang orang luar, tapi jelas sejak saat ini dia tak bisa lagi tinggal di dalam negeri.
Pada layar yang agak buram, Liu Zheng duduk sambil memegangi dadanya. Ekspresi bos Jalan Hitam ini di detik-detik terakhir menunjukkan keterkejutan, namun perlahan berubah datar dengan senyum ironis tipis di bibirnya. Di hadapan laras senjata saudara histerisnya, dia perlahan mengulurkan tangan membuka laci di depannya. Liu Shijie terus-menerus mengancamnya untuk tidak bergerak, tapi mungkin karena terintimidasi ekspresi Liu Zheng, dari awal sampai akhir dia tak berani menembak lagi.
“……Liu Zheng mengeluarkan kartu kredit/debit dari laci, meletakkannya di atas meja, lalu mendorongnya ke arahnya sambil berkata datar: "Cepat pergi, atau kau tidak akan bisa pergi." Kemudian, dengan cueknya dia mulai menekan nomor telepon. Meski suara benar-benar dimatikan, Jiaming bisa tahu isi percakapan itu: "Halo, saya mencari Liu Huaisha..." Lalu, dia tersenyum. Mungkin memahami makna di balik lokasi tembakan yang mengenainya. Saat itu, senyumnya bersih tanpa embel-embel - tanpa aura preman atau kegagahan bos Jalan Hitam, tanpa tekanan dan kewaspadaan yang terpendam di matanya. Hanya seperti seorang ayah biasa...
Lebih dari sepuluh menit kemudian, ketika Jiaming dan yang lain tiba, dia masih mempertahankan posisi menelepon itu. Di kamar yang dingin, napasnya telah berhenti. Sinar matahari di luar jendela memutih dan menyilaukan.
“……Denganmu di sisi Huaisha, aku sebenarnya tenang. Kau selalu tahu batasan, tahu kapan harus mundur. Aku tahu Huaisha tidak suka pekerjaanku ini. Sebagai ayah, banyak yang kutunggalkan darinya... Banyak hal dalam hidup tidak bisa dipilih, untung ada kau dan nona Lingjing yang membuatnya bahagia bertahun-tahun. Dia memang belum paham sopan santun, tapi toleransilah sedikit. Setelah ini, jangan biarkan dia terlalu sedih. Cukup ingat dia punya ayah seperti aku...”
“……Sudah berkecimpung selama bertahun-tahun, sebenarnya sudah lama siap secara mental. Kalau bukan karena hal ini, dalam setengah tahun ini aku sudah berencana mengurangi urusan Shazhu Bang secara bertahap, menikah di akhir tahun dan berhenti total. Tapi... Batuk-batuk, Heh... Manusia berbuat, Langit mengawasi. Setelah sekian lama melakukan banyak hal jahat, Langit masih memberiku akhir hidupnya damai seperti ini... Untuk Perawat Hu, tak perlu dijelaskan khusus. Anggap saja hal ini... Tidak pernah terjadi...”
“...Sebenarnya kalau dipikir-pikir, aku juga tidak terlalu suka padanya. Hanya saja aku lelah. Dia agak mirip ibu Gesekan. Ibunya... Batuk, ibunya bukan meninggal karena kecelakaan. Sebenarnya dibunuh musuh. Aku tak berani memberitahu Gesekan. Takut Gesekan membenciku..."
Menghela napas panjang: "Dia sudah pergi selama bertahun-tahun... Aku mulai merindukannya..."
Mengusap-usap dahinya yang mulai berdenyut pelan, Jiaming mengingat-ingat kata terakhir Liu Zheng, ekspresi gadis itu saat telepon didekatkan ke telinga Shasha. Rekaman video berubah menjadi bintik salju desau-desau. Seorang lagi berbicara di dalam kamar.
"Liu Shijie sepertinya punya pengalaman melarikan diri. Dia menggunakan paspor palsu, mengganti pesawat tiga kali dalam sehari sebelum mendarat di Bandara Heathrow London, Inggris. Saat ini kami sudah menguasai hotel tempat dia tinggal sementara. Bisa membawanya pulang kapan saja..."
“Yang berbicara saat ini adalah seorang anggota tim di bawah Ye Lian dari []. Kematian mendadak Liu Zheng pasti akan membawa konsekuensi buruk bagi Jianghai. Namun bagi [], yang menjadi perhatian bukanlah gejolak masyarakat dalam tingkat tertentu, melainkan apakah pada momen genting ini akan ada orang yang gila melancarkan pelampiasan amarah dan pembantaian skala besar. Oleh karena itu, pendapat dari beberapa pihak akhirnya perlu menjajaki sikap Jiaming.”
Liu Shijie beraksi dengan cepat dan terampil, namun kejadian ini telah mengguncang semua orang dalam waktu singkat. Dengan jaringan luas [], tentu bisa menangkapnya. Mereka hanya menunggu anggukan Jiaming untuk segera membawanya kembali sebagai kebaikan hati. Namun, setelah memandangnya sejenak, Jiaming hanya menggelengkan kepala dengan dingin: “Awasi dia untuk sementara, pastikan dia tidak menyadarinya... Terima kasih.”
“Eh... Tidak masalah, tapi setelah kematian Liu Lao Da, tanpa penerus yang layak, Shazhu Bang diperkirakan akan remuk redam. Dalam hal ini, kami ingin tahu pendapat Nona Jian...”
“Sudah cukup!” Jiaming berdiri dari kursinya sambil tersenyum geleng-geleng kepala, “Dengan kepergian Paman Liu, Shazhu Bang tidak ada hubungannya lagi dengan kita. Biarkan saja...”
Membuka pintu, suara musik duka di pemakaman tiba-tiba mengeras. Waktu menunjukkan sore hari tanggal 1 September, cahaya matahari masih menggantung tinggi di langit. Di kampus sudah mulai ada aktivitas sekolah. Orang-orang hilir mudik, tapi suasana tetap terasa sepi dan suram. Kekacauan di Shazhu Bang sudah di depan mata, para anggota geng tentu mengetahuinya. Ada yang menggosok tangan bersemangat ingin merebut posisi, tapi kehidupan stabil bertahun-tahun lebih dirindukan. Kebanyakan justru merasa sedih. Tapi tak ada yang memperhatikan Jiaming dan pria biasa di sampingnya. Tentu tak ada yang menyadari, lewat beberapa kalimat singkat tadi, nasib Shazhu Bang praktis sudah ditentukan.
Dari belakang menuju aula utama, ruang altar yang dipenuhi karangan bunga dikelilingi anggota Shazhu Bang. Para pelayat datang silih berganti, petugas penerima tamu meneriakkan identitas mereka. Foto terakhir dan jasad Liu Zheng dipajang di depan. Sebagai satu-satunya keluarga, Shasha berpakaian duka putih berlutut diam di sisi. Kepalanya tertunduk, mata memerah. Tak menangis maupun bicara. Saat ada yang memberi penghormatan, ia membalas dengan membungkukkan kepala. Usai bersujud, kebanyakan pelayat mencoba menghiburnya. Tapi ia tetap diam membatu, pandangan membeku menatap lantai.
Lingjing mengenakan kain hitam di lengannya, saat ini sedang memegang segelas air dan bersujud di sampingnya menemani. Dia menyodorkan air ke mulut Shasha dan menyuapinya hingga habis. Melihat Jiaming tiba, wajahnya penuh kekhawatiran memberikan beberapa kode mata: "Dia sudah bersujud di sini sejak pagi selama 7-8 jam tanpa bergerak, belum mau makan. Kau coba mencegahnya."
Menghela napas tipis, Jiaming mengangguk lalu membungkuk berbisik beberapa patah kata, berusaha membantu Shasha bangkit untuk duduk. Sejujurnya ucapan yang bisa diberikan sama dengan Lingjing. Shasha perlahan menggelengkan kepala menolak. Sebenarnya hanya di depan Jiaming dan Lingjing dia bereaksi seperti ini. Pada orang lain, basically bahkan tidak ada mood untuk memberi respon.
Berbeda dengan Lingjing, tenaga Jiaming lebih besar. Merangkul bahu Shasha, dengan lihai dia mengangkat tubuhnya. Setelah bersujud sepanjang pagi, lututnya pasti sudah mati rasa. Karena dipaksa Jiaming, dia pun tidak melawan. Saat didudukkan di bangku, Lingjing segera memijat pahanya lalu berkata pada Jiaming: "Aku sudah suruh dapur memasak bubur. Jiaming, kau ambilkan ke sini."
Jiaming mengangguk, menepuk bahu Sasha lalu berbalik pergi. Saat itu, terlihat Sasha yang akhirnya berubah posisi dari bersujud menjadi duduk, beberapa pria dan wanita di belakang juga mendekat. Orang-orang ini terdiri dari berbagai usia, kebanyakan kerabat jauh Sasha yang hampir tidak ada hubungan darah. Pandangan mereka pada Jiaming dan Lingjing menyiratkan permusuhan, mungkin karena Sasha hanya merespon keduanya.
Ulang tahun Sasha jatuh pada tanggal 5 bulan 9 penanggalan lunar, secara resmi genap 18 tahun pada 13 Oktober 1999 - masih tersisa lebih dari sebulan. Jika bisa menjalin hubungan baik dengan Sasha atau memperoleh hak asuh sementara dalam periode ini, mereka berkesempatan mendapat bagian dari harta warisan besar yang ditinggalkan Liu Zheng. Melihat kedekatan kedua remaja ini dengan Sasha yang bukan kerabat, mereka seolah melihat perampok yang ingin mencuri harta mereka. Lebih dari sehari, berbagai komentar sinis dan ejekan terdengar dari belakang sambil mengunyah kuaci, bahkan tak segan mengatakannya di hadapan kedua remaja. Setiap kali kondisi Sasha menunjukkan perubahan sekecil apapun, mereka langsung berkeroyokan menunjukkan perhatian dan penghiburan. Tentu, melihat keadaan Sasha, Jiaming dan Lingjing juga memilih untuk mengabaikan sikap mereka. Di situasi seperti ini, mungkin saja perhatian dari saudara bisa sedikit menghibur Sasha.
Orang-orang ini mengelilingi area, namun masih menyisakan beberapa celah udara. Hanya saja dua anak-anak berusia enam tujuh tahun, mungkin atas instruksi orang tua mereka, sambil berkata "Kakak Shasha, jangan sedih lagi" dan sejenisnya, berdesak-desakan di antara Shasha dan Lingjing. Sepertinya mereka ingin secara diam-diam menggeser Lingjing yang sedang memijat Shasha. Lingjing melirik Jiaming, melihat pandangannya terlihat dingin, lalu hanya menggelengkan kepala perlahan. Di ruang altar ini tak perlu terjadi ketegangan. Lagipula dia pernah belajar ilmu bela diri. Di antara orang-orang ini, bahkan orang dewasa pun sulit mendorongnya, apalagi anak-anak. Akhirnya dia tetap diam mempertahankan posisinya.
Menggelengkan kepala hendak keluar, Xiao Meng yang sepertigus baru selesai menelepon mendekat dari samping: "Mau kusuruh orang mengusir mereka?" Saat ini di antara beberapa bos Shazhu Bang, mungkin hanya pria berhati kejam berusia tiga puluhan inilah yang paling teguh pendiriannya. Dia tidak banyak berpikir untuk berpolitik setelah kematian Liu Zheng, lebih memilih memegang kendali hak lebih besar. Tentu saja, hak yang sudah dimilikinya sebelumnya juga tidak mudah direbut orang lain.
Jiaming melirik ke arah sana, lalu menggelengkan kepala halus: "Lingjing bisa menghadapinya... Saudara Shasha masih akan terus berdatangan. Siapa tahu ada yang benar-benar peduli padanya. Jika situasi menjadi terlalu tegang, hatinya juga akan sakit..."
Bertiga pergi ke dapur. Keluar dari gerbang, wajah Xiao Meng baru memperlihatkan aura kejam: "Lao Yang belum datang, menghubunginya pun dia menolak bicara, orang-orang di wilayahku sekarang sedang mempersiapkan perang. Kakak tertua sudah MATI, hal ini mungkin tidak akan dia jelaskan..."
Sebelumnya Liu Shijie memiliki hubungan dekat dengan Yang Zhenxing, diam-diam menjual narkoba untuk mencari uang melalui jaringan mereka. Meski Liu Zheng kali ini tewas di tangan adik yang selalu dia perhatikan, dalam level tertentu juga ada kecurigaan memelihara musuh dalam selimut, tapi Yang Zhenxing tetap tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Bagaimanapun jika Liu Zheng tidak MATI, setelah menangani urusan Liu Shijie, kemungkinan besar akan menangani dia juga. Sekarang Liu Shijie kabur, sedangkan Yang Zhenxing punya kemampuan cukup untuk mendirikan kelompok sendiri. Meski hanya sepersekian dari Shazhu Bang, di Jianghai sekarang bisa dibilang termasuk kelompok berskala besar, apalagi belum pasti apakah masih ada yang bersekutu dengannya di dalam Shazhu Bang.
Xiao Meng ingin membersihkan internal untuk Liu Zheng, entah untuk dirinya sendiri, untuk Liu Zheng, atau karena rasa takut dan hormat pada Jiaming. Saat ini situasi Shazhu Bang di berbagai aspek masih belum jelas, dia tidak berani bertindak gegabah. Tapi jika bisa mendapatkan dukungan dari pihak Jiaming, jelas akan menjadi sekutu tambahan, apalagi Shasha pasti berada di pihak Jiaming yang juga bisa dianggap legitimasi. Namun Jiaming menggelengkan kepala: "Selama masa pemakaman, jangan pikirkan ini. Biarkan Paman Liu beristirahat dengan tenang yang paling penting. Urusan lain... tunggu sampai nanti. Semua hal... sudah kau kerjakan dengan baik, terima kasih..."
Menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran tidak karuan di kepalanya. Makna Liu Zheng baginya sebenarnya hampir setara dengan Ayah-Ibu Ye, meski belum sampai tingkat menganggapnya sebagai seorang ayah, tapi setidaknya sebagai tetua keluarga yang cukup baik. Emosinya saat ini seperti gudang mesiu yang bisa meledak kapan saja. Tentu dia juga tahu, saat ini memandangi Shasha adalah hal paling penting yang harus dilakukan, sekaligus alasan terbesar untuk menahan sifatnya.
Masuk ke dapur, yang sedang memasak bubur daging bukanlah pelayan, melainkan Duan Jingxian yang datang karena mengkhawatirkan kondisi Shasha. Ye Han sedang mengobrol dengan beberapa orang yang juga datang untuk pemakaman di ruang lain. Pasangan suami-istri ini toh bukan anggota geng kriminal, mustahil bisa akrab dengan kebanyakan orang di ruang depan. Jika mencoba menghibur Shasha, kerabat-kerabat Shasha langsung memandanginya dengan permusuhan. Emosi mereka terhadap orang dewasa yang dekat dengan Shasha namun tidak memiliki hubungan kekerabatan ini jauh lebih intens. Untuk menghindari kecurigaan, mereka pun memilih duduk di belakang. Saat Lingjing ingin memasak bubur, dia meminta bantuan ibunya sendiri, bukan para pelayan yang mungkin sudah diberi uang oleh kerabat Shasha dan terlihat mulai tidak ramah.
“Shasha baik-baik saja?” Bubur masih belum matang, Duan Jingxian berbicara dengan Jiaming di sampingnya, “Ah, kenapa harus terjadi di saat seperti ini. Beberapa hari lalu Lingjing bilang padaku, Liu Zheng sedang mempersiapkan pernikahan... Pasti dengan Xiao Hu dari rumah sakit kami, kemarin emosinya juga tidak stabil... Bagaimana hal ini harus ditangani...”
“Paman Liu bilang anggap saja tidak pernah terjadi. Hidup di dunia persilatan, sebenarnya Paman Liu sudah siap secara mental sejak lama... Emosi Shasha sangat buruk, kami membantunya bangun dan duduk sebentar, dia sudah bersujud seharian... Ibu Ye, kalian mau tinggal untuk makan malam?”
“Hmm.” Duan Jingxian mengangguk, “Sekalian membantu berjaga malam, aku sudah izin cuti, tidak masalah... Ngomong-ngomong, para kerabatnya...”
“Pasti ingin hak asuh. Sebenarnya Shasha akan genap delapan belas tahun di bulan Oktober, mereka tidak punya harapan. Tentu saja, di mata mereka, Shasha sekarang sendirian, jadi mungkin bisa mereka tentukan segalanya.”
“Lihat saja mereka sangat memusuhi kalian dan Lingjing, banyak juga yang bicara sinis di belakang...”
“Malah terang-terangan di depan kami.” Jiaming tersenyum, “Tidak apa, orang-orang ini tidak bisa berbuat banyak, paling-paling cuma omong doang. Dengan kondisi Shasha seperti ini, kami malas menghiraukan mereka.”
Duan Jingxian mengangguk, kemudian wajahnya menunjukkan kekhawatiran: “Lalu... warisan Liu Zheng, banyak yang terkait geng kriminal kan? Kalau Shasha mewarisi, apakah tidak bermasalah...”
“Banyak hal yang tidak bisa terbelah. Ubah yang bisa digerakkan menjadi uang, biarkan yang tidak bisa tetap seperti adanya, Shasha mungkin akan mendapatkan lebih dari 10 juta. Tapi sebenarnya aset Shazhu Bang bahkan mencapai miliaran, tapi... geng kriminal memang tidak sejelas grup atau perusahaan besar biasa. Sekarang Paman Liu sudah MATI, aset yang ada di tangan orang lain kemungkinan besar tidak mau dikembalikan. Bagaimanapun, uang ini sudah cukup, kami juga tidak akan memikirkan lebih jauh...”
“Jiaming, kau selalu berhati-hati saat menghadapi masalah besar.” Duan Jingxian tersenyum sambil mengulurkan tangan merapikan rambutnya yang agak berantak, “Tapi bagaimana kau bisa tahu banyak soal urusan geng kriminal?”
“Paman Liu pernah cerita padaku. Sebenarnya dia sudah lama membuat wasiat, sekarang belum diumumkan. Tapi, mungkin menyerahkan Shasha pada Ayah-Ibu Ye juga bisa jadi solusi.” Jiaming berhenti sejenak, “Hanya takut ada yang bergosip.”
Duan Jingxian tersenyum: “Kami juga suka Shasha, sudah seperti satu keluarga. Gosip tidak kami takuti. Tapi hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan hukum kan?”
“Ini geng kriminal. Selama semua orang mengakui, cukup diucapkan. Siapa yang peduli hukum?”
Sambil berbincang, bubur sudah matang. Jiaming membawanya keluar. Begitu masuk dari samping, terdengar suara nyaring: “Wah, masa sih? Ngapain sih kalian! Kami datang menyembah Liu Lao Da, keluarga nggak mau bersujud malah duduk pijat-pijat di sini. Cewek kecil lumayan cantik tapi nggak tau sopan santun ya, aaaaa!”
Menengadah ke atas, di sana ada seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dengan sikap lancang, diikuti lima pria dengan aura mengerikan di wajahnya, menantang para anggota Shazhu Bang di sekitar ruang altar. Jiaming masih ingat pemimpin kelompok ini - bos markas besar dari beberapa kota tetangga yang pernah diusir saat perayaan ulang tahun Liu Zheng sebelumnya. Ekspresinya jelas menunjukkan maksud demonstrasi karena Liu Zheng sudah MATI...
## Bagian 353 Ledakan
"Apa yang dijunjung tinggi orang Tiongkok? Solidaritas dalam kehidupan underground, bakti pada orang tua. Sekarang ini pemakaman Liu Lao Da, putrinya duduk di samping tanpa ada keluarga yang membalas salam pelayat. Apa ini? Tidak boleh seperti ini!"
Pria itu terus berbicara lancar di tengah ruang altar. Kerabat-kerabat di sekitar Shasha saling bertukar pandang dengan ekspresi berbeda. Seorang paman dari pihak ayah Shasha hendak berlari maju bicara, tapi ditarik oleh istrinya yang berdiri di belakangnya. Sang wanita berbisik sesuatu di telinganya, wajahnya langsung memerah marah namun akhirnya ragu takut maju lagi.
Pada dasarnya, para kerabat ini pada akhirnya tidak memiliki latar belakang geng kriminal. Meskipun sebelumnya karena pengaruh Liu Zheng mereka bisa bersikap semena-mena di situasi tertentu, kini Liu Zheng telah MATI. Yang mereka hadapi sekarang adalah kakak tertua geng kriminal sejati dengan kekuatan kelompok yang sangat besar, bahkan tak kalah dari Shazhu Bang di masa kejayaan Liu Zheng. Saat ini, hati anggota Shazhu Bang juga sudah mulai tercerai-berai. Jika mereka menghina pihak lawan, ke mana lagi mereka bisa mencari bantuan?
Saat itu Xiao Meng dan beberapa kakak tertua belum keluar. Seorang manajer pemakaman mendekat, sepertinya ingin membuat beberapa orang ini lebih sopan, namun diam-diam dihadang oleh beberapa orang di belakang mereka. Pria pemimpin menunjuknya, kemudian mengarahkan jarinya ke anggota geng Shazhu Bang di sekitar:"Apa? Apa yang kukatakan salah? Kenapa semua memandangiku seperti ini? Oh, si itu..." Jarinya akhirnya menunjuk ke paman Sha Sha,"Barusan kulihat kau terlihat sangat tidak nyaman, sepertinya ingin berlari ke luar. Tidak apa-apa, katakan saja apa yang ingin kau ucapkan. Di sini semua adalah orang-orang kalian, tidak perlu takut... Tidak ada yang mau bicara? Berarti aku benar. Seperti yang dikatakan di TV: Kalau sudah salah, harus berani mengaku. Kalau dipukul, harus berani tegak..."
“Keluarlah!” Dengan teriakan itu, yang tiba-tiba maju adalah Lingjing di samping Shasha. Wajahnya dingin membeku, jarinya menunjuk ke luar pintu gerbang ruang altar. Gadis tujuh belas tahun yang lincah ini, tatapan kemarahannya dipenuhi aura berwibawa yang menggetarkan. Orang itu tampak tak menyangka penantangnya adalah seorang cewek cantik, mulutnya menganga sementara matanya menyorotkan tatapan menilai: "Aku tak pernah dengar Liu Zheng punya anak haram."
"Keluarlah!" Tanpa penjelasan lebih, Lingjing mengulangi kalimat itu perlahan-lahan. Sikapnya tegas tanpa rasa takut, namun lawannya yang sudah berpengalaman menghadapi berbagai situasi genting ini sengaja hanya membawa lima orang untuk demonstrasi di pemakaman Shazhu Bang, cukup membuktikan nyalinya. Ia mendekat sambil tersenyum: "Aku datang untuk memberi penghormatan terakhir pada Bos Liu. Kau usir aku? Dengan alasan apa... Oh iya, lupa memperkenalkan diri, Xue Cheng dari Xin Ning Bang. Si cantik ini...?"
Sambil tetap tersenyum, ia mengulurkan tangan hendak menggenggam jari telunjuk Lingjing yang masih menunjuk ke pintu. Tapi baru setengah jalan, tangan lain sudah menyambar dari samping berjabat tangan dengannya. Jiaming menoleh, menyerahkan mangkok bubur ke Lingjing sambil mengangguk: "Aku saja." Lingjing menerima mangkok itu lalu mundur ke samping Shasha tanpa sepatah kata.
"Hai, Bos Xue ya, halo-halo..." Jiaming tersenyum ramah, "Bagaimanapun, ini ruang altar. Beri muka untuk yang MATI dong?"
“Aku tentu saja memberi kehormatan besar pada yang MATI. Tapi, kau ini siapa... Shazhu Bang sudah kehabisan orang? Kok yang muncul malah anak-anak kecil...” Sambil bicara, dia mencoba menarik kembali tangannya. Beberapa saat kemudian, wajahnya mulai berubah merah padam karena meski tangan lawannya terasa tak terlalu kuat, tangannya sendiri sama sekali tak bisa dilepaskan.
“Siapapun aku tidak penting. Yang penting kalau sudah memberi muka, jangan sampai ada darah di ruang altar, ya?” Sikap Jiaming tetap sopan, menunjuk sekeliling, “Lihat, semua orang sedang menahan emosi. Kalau sampai terjadi hal tidak baik, siapa yang untung? Setuju?”
Di tengah percakapan, Xue Cheng akhirnya berhasil menarik kembali tangannya, seolah belenggu tadi hanyalah halusinasi. Dengan tatapan penasaran mengamati Jiaming sejenak, dia tersenyum: “Bocah, namamu siapa? Berkecimpung di mana? Aku sangat mengagumimu. Mau ikut aku?”
“Aku Gu Jiaming, pacarnya Shasha. Bukan dari dunia gelap. Terima kasih atas tawarannya.”
“Gu Jiaming... Aku akan ingat.” Menepuk-nepuk pipi Jiaming sambil tersenyum, Xue Cheng melambaikan tangan menuju ruang samping, “Ayo kita mainin mereka di sana. Tunggu jam makan ya.”
Orang-orang yang datang memberi penghormatan, selama ada sedikit hubungan, kebanyakan akan tinggal untuk makan. Kedatangan Xue Cheng kali ini bukan sekadar demonstrasi. Upaya Shinning Bang untuk masuk ke wilayah Jianghai sudah berlangsung lama, namun sebelumnya terhalang Shazhu Bang. Semua usaha terasa sia-sia. Kini saat Shazhu Bang bubar, inilah kesempatan emas mereka. Xue Cheng telah membangun koneksi di Jianghai selama lebih dari setengah tahun, mengenal banyak orang. Baru masuk ke ruang samping, sudah disambut panggilan dari para bos Jalan Hitam: "Ah Cheng", "Cheng-zi", "Kakak Cheng" silih berganti. Mereka yang sebelumnya hanya sekadar kenal, kini dalam situasi ini jelas ingin mempererat hubungan dengan Shinning Bang. Sambil menyapa dengan angkuh, sesekali Xue Cheng melirik ke arah pintu kaca sambil bergumam: "Sama sekali tak mengerti sopan santun..." Namun ketika melihat Jiaming, matanya terpaku sejenak pada tangannya sendiri, lalu menggeleng tak mengapa ilusi aneh tadi.
Setelah kematian Liu Zheng, hal-hal seperti ini pasti akan terus berulang. Jiaming menemani Lingjing menyuapi Shasha bubur. Kerabat yang tadi tak berani ikut campur, kini terlihat canggung. Namun tak lama kemudian, ekspresi angkuh dan jijik mereka kembali seperti semula. Wajah Shasha kosong, sesekali air matanya tumpah deras tak terbendung.
“Setelah menghabiskan bubur, Shasha tetap bersujud di sana. Jiaming menyuruh Lingjing tidur sebentar di belakang, sementara dia menemani Shasha menerima para pelayat yang berdatangan. Sekitar pukul empat sore, dia masuk ke kamar dalam untuk mengambil sesuatu. Saat keluar, dia bertemu dengan sepupu Shasha yang mungkin merupakan kerabat paling sukses di antara yang hadir. Konon keluarganya memiliki perusahaan bernilai beberapa juta, seorang pengusaha sukses dengan postur tubuh besar dan gemuk, mungkin karena terbiasa memerintah, sikapnya sangat angkuh dengan aura superior. Dia melambai ke Jiaming: "Nah, Jiaming kan? Kemarilah sebentar."
Membawa Jiaming ke kamar samping, sepupu itu mengayunkan tangan menyuruhnya duduk, bicaranya langsung ke inti: "Sebenarnya... aku terutama ingin membicarakan urusan Shasha."
"Aku tahu kau dan Shasha teman baik, sudah kenal sejak kecil, selalu sekelas, hubungan juga baik. Tapi beberapa hal, harap kau pahami, pacaran di usia anak-anak itu tidak benar. Kami tidak akan mengizinkan hal seperti ini terjadi karena... satu sisi berdampak buruk, sisi lain, tugas kalian sekarang adalah belajar, bukan main-main dengan urusan cinta monyet, mengerti?"
Jiaming mengangkat tangan bingung: "Tapi..."
“Tidak ada ‘tapi’.” Paman sepupu mengayunkan tangan dengan tegas, memutuskan segalanya, “Hal seperti ini, singkatnya kami tidak akan izinkan. Perempuan tentu akan menikah, harus pacaran, tapi saat ini fokusnya harus belajar. Setelah lulus kuliah, baru bicara soal ini. Ayah Shasha sudah MATI, kita sebagai saudara wajib menjaganya. Tak peduli nanti Shasha ikut keluarga mana, kami mustahil membiarkan pacaran dininya.”
“Tapi bulan Oktober nanti Shasha genap 18 tahun, dia…”
“18 tahun lagi bagaimana? Dia bisa mandiri? Tak butuh keluarga lagi? Kami semua saudara jelas takkan tinggalkan yatim piatu yang masih SMA ini. Bagaimanapun, kamilah yang akan menjaganya. Xiao Gu, jangan kira kami punya masalah denganmu, tapi ini keputusan bersama, kami harus bertanggung jawab atas masa depan Shasha…”
Berisik berbicara selama belasan menit, pokok pembicaraannya intinya seperti ini. Jiaming mendengarkan sambil mengangguk sopan, menunjukkan bahwa dia paham. Mereka bertiga kembali ke ruang altar, di antara kerabat-kerabat itu ada seorang gadis kecil berusia 7-8 tahun sedang mencoba menyuapi Shasha minum dengan gelas, tapi Shasha sama sekali tidak menghiraukannya. Ketika Jiaming membawa gelas air mendekat, barulah dia minum sedikit. Saat tidak ada orang yang datang, dia kembali memeluk bahu Jiaming sambil meneteskan air mata diam-diam. Melihat sikap akrab Jiaming yang tidak berubah sedikitpun, wajah paman sepupu itu baru berubah pucat pasi. Padahal sudah berbicara panjang lebar dengan bocah ini yang terus mengangguk pura-pura mengerti, sekarang baru tahu bahwa semua perkataannya hanya dianggap angin lalu.
Waktu telah melewati pukul lima, cahaya matahari bergeser ke Barat, suasana ramai mulai terasa di dalam dan luar rumah besar. Di dalam kamar dan halaman, meja bundar untuk makan malam sudah disiapkan. Ratusan orang yang hadir dalam pemakaman ini mulai berdatangan duduk, karena jumlahnya banyak, puluhan meja dibagi menjadi beberapa area. Shasha yang sudah bersujud seharian dan kelelahan fisik mental dibopong Lingjing untuk makan dan istirahat sebentar. Ketika Jiaming, Ye Han, dan Duan Jingxian masuk, Lingjing sedang berusaha membuka baju Shasha agar bisa tidur di ranjang. Dikelilingi orang-orang terdekat, Shasha menggelengkan kepala, suaranya parau tercekat: "Jangan... nanti malam masih ada yang datang..."
“Tidurlah semalaman, kau tidak tidur tadi malam, biar Lingjing yang menemanimu, urusan di luar serahkan padaku.” Kemarin adalah malam pertama berjaga, Shasha hampir terisak-isak menangis semalaman di ruang altar sampai suaranya mulai serak. Jiaming membuat keputusan, Lingjing dan pasangan keluarga Ye juga mengangguk setuju. Shasha seakan bawah sadar menggelengkan kepala, tapi perlawanan dalam hatinya akhirnya berkurang. Setelah berpikir sejenak, dia tak bisa menahan tangis lagi.
Dengan cuaca seperti ini hanya mengenakan pakaian tipis, setelah menggulung celana Shasha terlihat lututnya yang bersujud selama 2 hari mulai bengkak kemerahan. Ibu Ye memberinya obat, kebetulan Ye Han perlu kembali ke perguruan silat untuk urusan tertentu, sekalian disuruhnya mengambil pelindung lutut untuk besok. Setelah menemani Shasha berbincang sebentar, Jiaming keluar menuju jamuan yang sudah berlangsung lebih sejam. Tak lama kemudian, Lingjing menyusul. Keduanya tidak punya banyak pengalaman menghadapi hal seperti ini. Jiaming bisa membunuh semua yang ingin dibunuhnya, tapi sama sekali tak bisa membantu perasaan Shasha, malah mungkin memperburuk moodnya. Justru penghiburan dan perhatian Ibu Ye mungkin lebih berpengaruh.
Mood sedang kesal, sakit kepala mulai kambuh lagi. Saat itu jamuan sedang mencapai puncak keramaian, di sekitar meja bundar terdengar riuh rendah. Xiao Meng yang bertanggung jawab mengatur dan para pengurus Shazhu Bang sedang sibuk menghormati tamu dengan minuman di berbagai sudut. Jiaming dan Lingjing mencari meja untuk makan. Lingjing tidak nafsu makan, sedangkan Jiaming memaksakan diri untuk mengisi energi. Beberapa saat setelah makan, paman sepupu Shasha yang merah padam karena mabuk mendekat dengan bau alkohol menyengat: "Xiao Gu, hal yang kubicarakan denganmu tadi sore bukan main-main!"
"Uhh, aku tahu." Jiaming mengangguk sambil menyuap berbagai hidangan ke perutnya dengan lahap. Di saat yang sama, keributan kembali terjadi di meja yang tidak jauh dari situ.
"Ini tidak pantas, tuan rumah setidaknya harus muncul sebentar. Sungguh tidak menghargai tamu..."
"Aku tahu dia masih gadis remaja. Tapi muncul untuk bicara beberapa patah kata tidak masalah kan? Aku tidak memaksanya minum... Tentu saja, kalau dia suka minum lebih banyak juga tidak apa-apa."
Di meja ini, yang memimpin adalah Xue Cheng dari Xinning Bang. Di sampingnya duduk beberapa bos mafia asli Kota Jianghai, dengan berbagai tingkat sikap merendahkan. Bahkan ada seorang ketua cabang Shazhu Bang saat ini. Makna dalam ucapan mereka kurang lebih meminta Shasha setidaknya muncul sebentar, "mana ada tuan rumah yang membiarkan tamu makan sendiri?" Dalam arti tertentu, ini hampir bisa disebut tantangan telanjang - menguji kekuatan Shazhu Bang saat ini, menguji respons pihak lain, sekaligus menegaskan wibawa kelompok mereka. Setiap kali grup besar merosot, selalu muncul penantang seperti ini. Ketika gelombang opini publik kuat, jika bereaksi berlebihan bisa memicu konflik. Tapi jika menunjukkan sifat penakut, pasti akan diremehkan.
Teriakan dari sisi ini membuat banyak anggota Shazhu Bang di sekitarnya berdiri: "Apa maksudmu?" Xiao Meng dan lain-lain dengan wajah muram segera mendekat. Di dekat Lingjing, Jiaming meletakkan sumpit, berdiri dengan setengah pasrah dan berjalan ke sana. Tak lama kemudian, Lingjing juga berdiri mengikuti dari belakang. Paman Sasha marah, berteriak "Hei!" beberapa kali, tapi Jiaming tidak menoleh. Sambil duduk di kursi, dia mengumpat "Tidak tahu tata krama!" tapi akhirnya tidak mengejar.
Mengeluarkan tisu dan mengusap-usap mulut dengan senyum datar, Jiaming berhenti di depan meja bundar: "Hai, butuh teman minum baijiu?"
"Wah, kau lagi." Xue Cheng menatap Jiaming sambil mengangguk, "Kau bukan tuan rumah, aku juga tak bilang harus minum. Tapi kan ada banyak paman dan tetua di sini, muncul sebentar nggak apa-apa kan... Oh iya, kau kan pacarnya. Sudah datang ya sudah, minum dua gelas juga nggak masalah. Siapa itu, buka botolnya!" Sambil menoleh, bibirnya yang tersenyum mengeluarkan kata-kata: "Sial! Berani-beraninya!" Meski suaranya kecil, orang-orang di sekitarnya bisa mendengar dengan jelas, jelas ditujukan pada Jiaming.
Di antara mereka, ketua cabang Shazhu Bang yang punya niatan mendekati Xin Ning Bang toh mengenal Jiaming. Ia membuka pembicaraan: "Jiaming, urusan apa kau ikut-ikutan ramai di sini? Kau kan jarang minum baijiu. Minum ini bisa mabuk seketika. Besok kan masih sekolah, pulang sana..."
"Nggak apa, besok aku izin." Jiaming tersenyum, melihat orang di sebelah Xue Cheng mengeluarkan botol Quanxing Daqu 52 derajat dari bawah meja. Sebelum dibuka, ia langsung menyambar botol itu. "Ngapain dibuka? Langsung minum dari botol saja."
Xue Cheng tertawa terbahak: "Hebat! Berani! Ayo kita adu minum langsung dari botol..." Beberapa bos di sekitar mulai ikut bersorak-sorai: "Memang pahlawan muncul dari pemuda!" "Ini baijiu 52 derajat lho." "Bisa nggak sih..." "Eh, siapa yang mau bantu buka tutup botol untuk adik kecil ini..."
Melihat Jiaming memegang botol alkohol tanpa bergerak, seorang bos di sampingnya mengulurkan tangan untuk membuka botol, tapi Jiaming menggelengkan kepala: "Tidak perlu..." Melempar botol dengan lembut ke udara, berputar satu lingkaran, lalu menangkap leher botol dengan tepat.
Botol Quanxing Daqu ini bagian bawahnya berbentuk persegi, kaca badan botol setebal mungkin. Saat dipegang, seperti membawa palu raksasa. Seketika, udara di sekitarnya seakan membeku. Senyum masih mekar paling cemerlang di wajah setiap orang. Hanya terdengar suara "Byur!", botol itu meledak di atas kepala Xue Cheng. Seluruh torso-nya langsung terhempas ke meja. Cairan alkohol dan fragmen kaca beterbangan berkilauan di udara, sementara darah mengalir bercampur kuah masakan di atas meja.
Sekejap kemudian, sekeliling sunyi senyap.
## Bagian Tiga Ratus Lima Puluh Empat: Pria Tangguh
Mereka yang berkecimpung di Jalan Hitam, sebenarnya sudah punya pencerahan siap dipukul kapan saja. Meski New Ning Bang kuat di luar kota, Jianghai tetaplah wilayahku Shazhu Bang. Kali ini mereka membawa lima asisten handal, tapi faktanya jika lawan mau bertindak, membawa ratusan orang pun takkan bisa menghindar. Sudah ada persiapan akan masalah, tapi setelah provokasi di ruang altar, Xue Cheng sebagai individu sudah mulai merasa tenang sementara.
Sikap ragu-ragu anggota Shazhu Bang dan sikap angkuh para bos lain yang berubah menjadi merendah, selama satu nanti sore di ruang samping, semakin banyak orang yang ingin membahas masalah kerjasama setelah ini dengannya. Bahkan seorang ketua cabang Shazhu Bang juga secara samar menunjukkan maksud ingin bergabung, jelas melihat kekacauan di masa depan Shazhu Bang sudah tak terhindarkan. Kelompok yang lebih lemah berencana mencari perlindungan di bawah organisasi yang lebih besar demi keamanan di masa depan.
Baru pada saat ini Xue Cheng akhirnya yakin, Shazhu Bang yang dulunya mendominasi Jianghai, setelah kematian Liu Zheng, akhirnya kehilangan pengaruh dan deterensi awalnya. Meski Xiao Meng yang kejam di dalam hati masih bisa mengintimidasi sebagian orang, bawahan Yang Zhenxing yang tetap tak muncul di pemakaman ini menguasai bagian terbesar kekuatan Shazhu Bang, para kakak tertua dari beberapa cabang lain juga bukan tipe yang mudah diatur. Namun dibandingkan Xin Ning Bang, semua ini sudah tak sepadan. Baik Xiao Ming yang sering bertindak tanpa memikirkan konsekuensi maupun para kakak cabang seganas apapun, tak ada yang berani mengambil risiko membangkitkan kemarahan Xin Ning Bang. Mulai sekarang, dengan mengandalkan kekuatan Xin Ning Bang, seluruh Jianghai akan menjadi kerajaan Xue Cheng.
Bukan hanya Xue Cheng yang memiliki perasaan seperti ini di hatinya. Sebagai bos-bos yang lebih memahami situasi Jianghai, mungkin mereka memiliki firasat yang lebih kuat. Xin Ning Bang adalah kelompok besar yang membentang di beberapa kota menengah di luar Jianghai. Sejak tahun lalu, mulai muncul tanda-tanda persaingan dengan Shazhu Bang. Wilayah Shazhu Bang sibuk melakukan ekspansi ke luar, sementara Xin Ning Bang juga berusaha melakukan infiltrasi ke Jianghai untuk memperoleh bagian kepentingan di kota besar yang sangat strategis ini. Setengah tahun lebih persaingan diam-diam dan konflik terbuka, kedua belah pihak belum secara resmi merusak hubungan dan terlibat bentrokan terbuka. Namun secara keseluruhan, Shazhu Bang sementara unggul dalam perebutan wilayah luar, sedangkan Xue Cheng sang bos yang dikirim Xin Ning Bang untuk membuka situasi di Jianghai terus menerus menemui kebuntuan di mana-mana. Di bawah deterensi Shazhu Bang, memang terdapat tak terhitung 'paku lunak' yang menghadang perjalanannya.
Alasan mengapa Shazhu Bang sampai melakukan hal seperti ini adalah karena adanya dugaan diam-diam di antara semua orang bahwa Liu Zheng memiliki jalur koneksi yang erat dengan level atas pemerintah. Hal ini terlihat dari berbagai aspek. Mereka tentu tidak tahu bahwa pemerintah telah memberi ruang gerak implisit ke Shazhu Bang dalam banyak hal, bahkan Liu Zheng sendiri kerap merasa bingung. Kebetulan di saat ini, Liu Zheng MATI sehingga jalur koneksi ini terputus. Kekacauan langsung muncul di Shazhu Bang, membuat semua orang panik. Pertanggungjawaban Xiao Meng dkk terhadap Yang Zhenxing dan persiapan perang Yang Zhenxing, bahkan di luar kota, semalam rombongan Xinning Bang telah menguasai seluruh wilayahku Shazhu Bang, yang juga menjadi momentum pembentukan pengaruh Xue Cheng di sini.
Meski sebagian orang masih memilih untuk menunggu, para bos berpengalaman dalam hal ini mengerti bahwa dalam situasi seperti ini, semakin cepat seseorang mengambil sikap dan melakukan taruhan cantik, semakin besar kepentingan yang akan diperoleh. Adapun mereka yang plin-plan, meski aman untuk sementara, kemungkinan besar tidak akan berkembang baik di masa depan. Dalam situasi ini, banyak orang segera memilih Xinning Bang yang jelas memiliki koneksi politik dan persetujuan diam-diam dari atasan. Jangankan Shazhu Bang yang sekarang terlihat memiliki kesetaraan kekuatan antar departemen, bahkan jika ada karakter seperti Liu Zheng yang berhasil mengkonsolidasikan Shazhu Bang lagi, setelah perubahan ini Shazhu Bang tetap tidak akan bisa menghentikan intervensi Xinning Bang ke Jianghai.
Oleh karena itu, ketika jamuan malam tiba dan semua orang sudah asyik mengobrol serta kenyang setelah makan minum baijiu, Xue Cheng secara terang-terangan melakukan tantangan. Dengan dukungan banyak orang yang telah dia dapatkan, dia harus segera membuat mereka menunjukkan komitmen, sekaligus memperlihatkan kepada lebih banyak orang bahwa begitu banyak pihak sudah siap berpihak padanya - bukankah Jianghai akan mengalami perubahan besar? Mengapa kalian tidak segera membuat pilihan?
Mengenai kemungkinan Shazhu Bang melakukan tindakan berlebihan - ketidakpuasan pasti ada, sikap tegas di permukaan juga wajar. Tapi soal tindakan fisik... Dengan begitu banyak bos duduk mengelilingi Xue Cheng sekarang, bahkan orang impulsif seperti Xiao Meng pun tak berani membuat kejadian. Bukan hanya Xue Cheng yang yakin, semua orang di sekitarnya juga berpikir demikian. Ketua cabang Shazhu Bang yang meminta Jiaming berhenti minum baijiu dan pulang itu justru menunjukkan hatinya sudah condong ke Xinning Bang. Membantu Jiaming keluar dari kesulitan hanyalah karena masih mempertimbangkan hubungan lama dan tidak ingin anak kecil ini celaka.
Bagi level atas Shazhu Bang, sebenarnya mereka sudah memiliki pemahaman tertentu tentang Jiaming: seorang pemuda dengan karakter dan sifat yang baik, sesuai penilaian Liu Zheng sebelumnya "...anak yang sangat baik, tidak berkelahi, tidak menghujat, berkarakter kalem, sopan kepada semua orang, juga tak pernah menggunakan koneksi Shazhu Bang untuk mengganggu siapapun, tidak terlibat dalam pesta pora..." Meski dalam pandangan mereka agak kurang darah dan keheroikan yang dibutuhkan di dunia hitam, namun sebagai orang yang telah berkecimpung di Jalan Hitam selama bertahun-tahun, mungkin justru karakter seperti inilah yang lebih mereka sukai. Melihat Jiaming pertama kali berdiri di depan meja Xue Cheng, beberapa kakak tertua lapisan yang cukup berbaik sangka padanya segera bergegas mendekat, berusaha mencegah agar dia tidak terlalu dihina.
Tak ada yang menyangka bahwa pemuda bersikap tenang seperti ini ternyata mampu melakukan hal yang begitu sengit.
Sama sekali tanpa pertanda, di mata semua orang, pemuda itu menerima botol alkohol dan melihatnya, lalu melemparnya dengan lembut. Dengan sederhana menggenggam leher panjang botol, kemudian tanpa berpikir langsung menghentakkannya ke bawah. Itu benar-benar pukulan paling biasa yang bisa dibayangkan. Jika dilakukan orang lain, memukul kepala seseorang dengan botol seperti ini biasanya akan melibatkan seluruh tenaga tubuh, mengayunkan lengan sepenuhnya, dengan aura mengerikan yang tiba-tiba memancar dari seluruh tubuh - semacam "serangan mendadak". Setidaknya ekspresi wajah akan berubah. Tapi jari-jari tangan kirinya masih dengan lembut menempel di meja, tubuhnya yang berdiri santai bahkan tidak bergerak sedikitpun, wajahnya masih memancarkan senyum tak berbahaya yang datar, ketika botol itu langsung meledak di atas kepala Xue Cheng. Botol minuman ini dibuat sangat tebal, sulit dibayangkan berapa tenaga yang dibutuhkan untuk menghancurkannya di kepala manusia dalam sekali pukul. Tapi yang terlihat oleh semua orang hanyalah ayunan tangan tanpa kesan agresif itu, lalu torso Xue Cheng langsung Byur! menghantam meja. Dentuman keras disertai pecahan mangkuk dan cipratan kuah di mana-mana.
Adegan ini membekukan senyum semua orang yang hadir.
"Kenapa kau begitu menyebalkan?" Suara datar keluar dari mulut pemuda itu, "Sepanjang sore ini aku harus mendengar ocehan dan rengekanmu, bzzzt-bzzzt seperti lalat! Ibu kau tidak mengajarimu tata krama sebagai tamu ya?"
Suara itu terdengar di telinga semua orang. Darah di kepala Xue Cheng mengalir deras seperti mancur Baotu di atas meja yang penuh sisa makanan dan kuah sup. Anak buah yang paling dekat dengan Jiaming langsung merespon: "Kau benar-benar sial!" Tinjunya langsung menyambar ke arah kepala Jiaming.
"Hentikan! Siapa yang berani bertindak!" Teriakan itu berasal dari bos cabang Shazhu Bang yang bergegas melindungi Jiaming dari penghinaan. Namun tepat saat teriakannya melengking, Jiaming yang ingin dibantunya justru bergerak lebih cepat. Tangan kirinya menyambar, menahan pukulan berat itu tepat beberapa senti dari pelipisnya, sementara tangan kanannya yang masih memegang pecahan botol kaca langsung menusuk ke atas.
"Aaaaa——!" Jeritannya menggema di seluruh halaman villa. Cuaca panas membuat semua orang hanya memakai pakaian tipis. Pecahan botol tajam itu menembus otot lengan lawannya sampai menyentuh tulang. Dalam penderitaan akibat daging yang terkoyak itu, Jiaming dengan santai menarik tangan kanannya – otot lengan yang terlatih itu terkoyak sepanjang tulang seperti sobekan kertas.
Darah menyembur dan memercik, tubuh pria yang berjuang mati-matian itu nyaris terlempar ke belakang. Keempat orang lainnya tiba-tiba bergerak serentak. Namun pada saat bersamaan, Jiaming melangkah maju menyusuri meja, dengan gerakan santai meraih kerah baju salah seorang di antara mereka, menariknya mendekat. Genggaman tangan kokoh pada leher botol kaca tebal itu langsung menusuk perut lawannya tiga empat kali berturut-turut. Saat tubuh korban dilemparkan, seorang lagi telah menyambur mendekat.
Mereka semua adalah anggota Jalan Hitam yang berpengalaman tempur. Meski senjata telah disita saat masuk, teriakan ganas mereka saat menyerbu tetap memancarkan aura mengerikan. Beberapa bos di sekitar meja makan buru-buru mundur - dukungan mereka pada Xin Ning Bang masih sebatas keputusan spontan, belum siap untuk konfrontasi terbuka dengan Shazhu Bang. Ekspresi kebingungan jelas terpancar. Sementara remaja yang masih menggenggam leher botol alkohol itu tetap tenang, bahkan setelah menumbangkan dua orang, ketenangannya justru mengerikan. Dengan langkah ringan, kepalan tangan lawan melesat melewati telinganya. Tangan kiri mengunci lengan lawan di bahunya, sementara tangan kanan seperti ular piton melilit dari pundak, menekan, lalu menusukkan leher botol ke rusuk lawan.
Tinggi badan Jiaming hanya sekitar 1,7 meter, sementara mereka setinggi 1,9 meter. Saat lengan mereka dipeluk dan ditekuk untuk menusuk balik, orang-orang di sekitar bisa mendengar suara "Krak" nyaring yang menyertai jeritan keras mereka. Lengan lawan terlipat ke belakang membentuk sudut tumpul mengerikan yang sulit digambarkan. Tubuhnya terjatuh bersujud ke tanah mengikuti tekanan ini, dan hampir bersamaan dengan bottleneck botol alkohol yang menancap di pinggangnya, lutut pemuda itu sudah menghantam biji matanya.
Dalam dua langkah menjatuhkan atau melemparkan tiga orang, seseorang di sisi meja makan sudah langsung mencabut ikat pinggang di pinggangnya, mengayunkannya dengan suara mendesing; sementara orang di seberang meja mengeluarkan pisau kupu-kupu dari gantungan kunci, mengayunkan beberapa kali seolah hendak melompati meja bundar dan langsung menyerang. Jiaming dengan cepat menangkap ikat pinggang itu dan menariknya ke arahnya, kekuatan dahsyatnya membuat orang di sisi itu terlempar ke udara dan menghantam meja makan. Namun baru saja bersentuhan, seluruh meja bundar pecah berantakan di bawah tendangan keras Jiaming yang membelahnya dari tengah dengan suara 'Splash!'. Dada orang ini ditendang langsung, bersama Xue Cheng yang belum sadar dari meja, terlempar ke udara. Orang yang mengayunkan pisau kupu-kupu di seberang baru saja melompat, tiba-tiba melihat meja hancur ditendang, Jiaming melemparkan dua orang, lalu menendang keras dadanya. Tubuhnya terlempar ke belakang dalam posisi melompat seperti bersujud, lututnya mendarat pertama kali, berguling sekali sambil menjerit kesakitan sebelum akhirnya berhenti. Kelihatannya kedua pahanya sudah tidak bisa berdiri lagi.
Hanya beberapa detik, gerakan-gerakan yang terlihat santai itu telah mengubah sekelompok anggota Jalan Hitam yang garang menjadi sekumpulan teriakan pilu. Meja bundar yang terlempar pecah berkeping-keping, menyebarkan mangkok-mangkok masakan ke sekeliling. Mereka yang tidak sempat menghindar terkena cipratan sup bening, sementara ketua cabang Shazhu Bang yang sebelumnya bersikap ramah pada Xue Cheng malang tertimpa mangkok tepat di kepala. Kuah mengalir dari kepalanya menetes tak henti. Dia terduduk lemas, menjilat bibirnya, bahkan tak sempat bereaksi. Beberapa bos yang cukup mengenal Jiaming dari jauh terpaku, tak percaya bagaimana pemuda lugu yang mereka kenal bisa berubah menjadi mesin kekerasan seperti ini.
“Ew…… Aaaaa……”
Xue Cheng yang sebelumnya dipukul botol alkohol di kepala, kini kembali terkena dampak. Tubuhnya bersama kursi terjengkang ke tanah di belakang. Meski tak ada luka mematikan, dia masih linglung sambil merintih, berusaha bangun dengan goyah sambil memegangi kepalanya. Di belakangnya, sang pemuda memandang dingin dengan ikat pinggang hasil rampasan di tangan. Dengan langkah mantap, tali kulit diayunkan keras. Gesper logam menghantam punggung Xue Cheng hingga dipaksa bersujud.
“Apa apaan! Barusan aku tanya, kenapa kamu begitu menyebalkan, kenapa sih!” Pemuda itu berkata sambil menendangnya hingga terbang, “Jawab aku!”
Xue Cheng berlumuran darah berguling-guling di tanah, tak mampu bicara. Jiaming menyerang dan menendang perutnya, membuat seluruh tubuhnya meringkuk seperti udang sambil memuntahkan baijiu dan masakan: “Jawab!”
Di pekarangan sunyi senyap, ratusan orang menyaksikan Xue Cheng ditendang dan dicambuk dengan ikat pinggang. Suara pemuda itu terdengar histeris mengerikan:
“JAWAB! Kamu sialan, bicara! Kenapa begitu menyebalkan! Kenapa kenapa kenapa... Tidakkah kau tahu moodku sedang jelek! Aaaaa! Bicara! Bicara! Bi——ca——ra—— Ibumu mengajarimu sopan santun bagaimana! Aku sedang bertanya! Sungguh tak tahu adat! Kau! Harus! Menja——wab! Aaaaa——”
"Seorang manusia dipukuli hingga seperti ini, mana mungkin masih punya sedikit pun kemampuan bicara. Apalagi dia terus-menerus menendang dan memukul, mungkin pihak lawan meski ingin bicara pun sudah dipukul balik. Hingga akhirnya, terlihat pemuda itu mengikat lehernya dengan ikat pinggang, menarik seluruh tubuhnya berdiri dari tanah. Dalam teriakan, wajah yang menyedihkan itu menghadap semua orang di halaman. Bagian kepala yang masih mengucurkan darah, wajah yang dipukuli hingga tak lagi menyerupai bentuk manusia, muntahan kotoran, ditambah kesulitan bernapas karena dicekik, seluruh wajah memerah bagai api, mata melotot, lidah mulai menjulur keluar……"
"Bicara lah——Jawab aku……"
Xue Cheng yang dicekik itu perlahan wajahnya semakin mengerikan, paha gemetar dalam perlawanan, mulai melurus. Tampaknya kapan saja bisa menghembuskan napas terakhir. Pemuda yang kelelahan memukul akhirnya melepaskan cekikan, membiarkan tubuhnya terjatuh ke tanah. Dengan geram dia menyandangkan tangan di pinggang, mondar-mandir beberapa langkah, lalu mengambil tisu di meja sebelah untuk membersihkan tangan. Meski dikelilingi kakak tertua dunia hitam terpandang di Jianghai, ekspresi agak gila dari pemuda ini tetap membuat mereka ciut.
"Sialan! Kau tetap tak mau bicara, kau benar-benar tidak mau! menjawab!" Menunjuk Xue Cheng yang tinggal satu tarikan napas di tanah, dia menggigit gigi hingga berbunyi, seluruh tubuhnya gemetar. Suaranya menggema di halaman, "Dibuat seperti ini pun kau diam, benar-benar pria tangguh! Persetan denganmu! Aku menyerah……"
Satu tangan mengangkat ibu jari di udara, perkataan sampai di sini, sepertinya dia tidak berniat lagi memukul orang. Melihat sekeliling kerumunan yang masih tertegun, Jiaming menunjuk ke tanah sambil mengangkat tangan: "Kenapa kalian memandangiku! Tidak lihat ada orang terluka di sini? Darahnya mengalir! Hubungi ambulans! Kalau sampai ada nyawa manusia yang hilang siapa yang bertanggung jawab!"
Setelah meneriakkan kata-kata penuh semangat kepahlawanan ini, dia mengusap keringat di dahinya dengan tisu: "Sungguh tidak tahan dengan kalian..." Berbalik lalu memberikan tendangan ke Xue Cheng, "Aku bilang di ruang altar tidak boleh ada darah, bukan di luar ruangan juga! Sambutlah seluruh keluargamu!" Setelah mengucapkan ini, akhirnya dia berbalik dan pergi dengan marah, sementara Lingjing yang telah menyaksikan seluruh proses sejak tadi tersenyum mengikuti di belakangnya.
Di kerumunan orang, beberapa orang akhirnya mulai bergerak. Xiao Meng menghela napas kecewa, menunjuk beberapa anak buah di sampingnya: "Telepon ambulans, masih terpaku di sini... Benar-benar tidak tahan dengan kalian orang-orang yang tidak punya simpati..."
Melewati beberapa meja makan, Jiaming dan Lingjing kembali duduk di kursi mereka semula. Pandangan paman gemuk Shasha yang membeku mengikuti Jiaming, ekspresinya agak kaku. Melihat Jiaming duduk, entah ingin pergi atau tetap di situ, hanya keringat yang terus mengucur deras di dahinya. Jiaming mengangkat sumpit dan menyuap makanan, bergumam pada Lingjing: "Hu... Agak dingin." Kepalanya berputar, bertatapan dengan pandangan paman Shasha selama dua detik.
Dia adalah anak yang sopan, menelan sepotong masakan dengan susah payah, wajahnya kembali dipenuhi senyum: "Uhh, iya, Paman, barusan kamu ingin bicara apa denganku? Bisa tolong ulangi sekali lagi……"
## Bagian Tiga Ratus Lima Puluh Lima 4 Detik
Matahari sore mengempiskan helai cahaya terakhir di kaki bukit, Jiaming dan Lingjing berjalan di jalanan di luar villa. Lampu jalan di kejauhan dan cahaya toko-toko mulai menyala satu per satu. Jiaming berjalan sambil melakukan gerakan meregangkan dada, Lingjing menggendong kedua tangannya di belakang mengikuti di sampingnya, sepatu kulit hak pendeknya menendang-nendang kerikil di jalan. Ujung gaunnya terkadang terangkat memperlihatkan kulit betis halus dan kaus kaki putih. Sesekali dia menengadah menarik napas dalam udara jalanan sore tadi, lalu menoleh memandang wajah Jiaming.
"Kenapa terus-terusan mengintip aku?"
"Karena tampan."
"Oh, soal itu aku sudah tahu sejak lama."
"Dibilang gemuk langsung mengembang."
Sesekali mobil kecil melintas di jalanan dekat mereka, Lingjing tertawa jernih: "Pengalaman pertamaku melihatmu menyerang dan memukul orang di depan banyak orang seperti itu, sungguh... sangat keren."
"Heh, karena orang itu terlalu menyebalkan, aku sudah bersabar lama-lama…"
"Kamuflase kan?" Biji matanya berputar licik dalam orbital, "Ekspresi mengamuk seperti itu... Fondasiku belum pernah melihat ada yang bisa membuatmu begitu emosi…"
Jiaming tersenyum sambil mengangkat mata putihnya: "Kau juga membencinya bukan?"
“Tak pernah kuduga kau begitu brutal, tapi sungguh memuaskan ditonton.” Dia terkekuk menghela napas, “Aku bahkan sama sekali tak merasa jijik dengan kekerasanmu...”
“Jika Ayah-Ibu Ye ada di luar, aku pasti tak berani menyerang di depan mereka.” Jiaming berpikir sejenak, “Sebenarnya bagaimanapun, setelah Paman Liu MATI, mereka yang ingin berebut kekuasaan di Shazhu Bang atau Jianghai kemungkinan besar akan berdampak pada Shasha. Xue Cheng itu juga bukan orang hebat, tentu aku tak akan marah sampai tak tahan karena dia. Tapi menunjukkan sikap di depan banyak orang akan sangat bermanfaat untuk masa depan. Meski tidak bisa menyelesaikan selamanya, setidaknya tidak akan ada preman kecil tak tahu diri yang mengganggu setiap hari... Karena tidak langsung bertindak di ruang altar, kau tak menganggapku pengecut kan?”
“Kalau kau langsung berkelahi di pemakaman Paman Liu, barulah aku anggap kau preman.” Dia menjerat pergelangan tangan Jiaming, berbisik lembut, “Aku kan sudah paham betul sifatmu?”
Angin dingin awal musim gugur berhembus, mereka berjalan berpegangan tangan di jalanan, masing-masing menyimpan kesedihan mendalam untuk Shasha dan pemakaman dua hari ini. Banyak hal bisa diselesaikan dengan penghancuran, Jiaming mungkin bisa BUNUH semua yang tak disukai, tapi terhadap perasaan Shasha saat ini dia tetap tak berdaya—bagaimanapun dia tak bisa menghidupkan kembali Liu Zheng. Beberapa menit kemudian, Lingjing merapikan rambut yang tertiup angin di pelipisnya: “Setelah kejadian ini, benarkah masalah akan datang pada Shasha?”
“Seharusnya bisa, menarik kulit harimau untuk membuat bendera besar. Shasha toh adalah putrinya Paman Liu, kali ini masih ada nilai manfaat yang bisa dioptimalkan. Tapi dengan pengawasan Xiao Meng, tidak ada masalah.”
Lingjing mengangguk, lalu menghela napas: “Liu Shijie itu terlalu terkutuk! Sekarang dia kabur cepat, tidak tahu kapan bisa menangkapnya. Urusan Paman Liu ini...”
“Kapan saja bisa menangkapnya.”
“Hah?”
Jiaming mengangguk: “Dia di Eropa, basically sudah di bawah kendali pergerakannya. Untuk menangkap dan membawa pulang, kapan saja bisa... Tapi untuk sementara jangan beri tahu Shasha. Kali ini aku juga tidak berencana membuat rombongan itu bertindak.”
Lingjing membelalak: “Kenapa sih?”
“Shasha masih terluka.” Jiaming menjelaskan, “Sekarang Paman Liu baru meninggal, yang membuatnya sedih hanyalah kematian Paman Liu. Mengenai pelaku pembunuh atau semacamnya, mungkin belum sepenuhnya merespon. Bahkan jika kita tangkap dan bunuh di hadapannya, Shasha hanya akan tambah sedih. Tunggu sampai beberapa waktu kemudian, ketika kesedihannya mulai tertekan, barulah dia pelan-pelan mulai membenci si pelaku. Saat itulah kita tangkap kembali. Dengan cara ini... seharusnya lebih mudah membuat Shasha melepaskan beban. Pokoknya sekarang kau cari kesempatan untuk sering-sering menyebut si pelaku sialan itu.”
“Licik sekali... Tapi memang ini yang terbaik.” Lingjing merenung sejenak, “Hei, datanglah malam ini.”
“Apa?”
“Malam ini.” Lingjing memelototinya dengan geram, “Shasha semalam tidak tidur. Aku khawatir malam ini dia juga akan keras kepala tidak mau tidur. Kau datanglah bersama.”
“Tapi Ayah-Ibu Ye ada di sini lho, itu kan orang tuamu sendiri. Kalau sampai mereka menangkap kami bertiga di satu ranjang... pasti akan MATI dipukuli...”
“Kamu tidak bisa sembunyi-sembunyi datang ya? Masih menyebut diri pembunuh, agen rahasia.” Ekspresi Lingjing seperti ingin menerkam dan menggigit, “Kemampuan hebatmu itu sekarang hilang ke mana?”
“Haha, tadi ngomongin Ayah-Ibu Ye jadi aku lupa...”
Menembus trotoar yang ditiup angin malam sejuk, mereka berpegangan tangan mulai berjalan menuju arah villa. Sesekali menghindari pejalan kaki dari arah berlawanan, diselingi obrolan dan tawa.
“Hei, om sepupu Shasha mau bicara apa denganmu tadi? Dari tadi raut mukanya aneh...”
“Hehe, habis melihatku memukul orang seperti itu, siapa pun pasti akan melihatku dengan tatapan aneh.”
“Sebenarnya apa sih? Bukannya tadi dia bilang ini bukan lelucon...”
“Dia melarangku pacaran dini...”
“Hm...”
“Mungkin dia sadar telah melakukan kesalahan, jadi pura-pura mabuk lalu langsung terkapar di bawah meja... Tenang saja, kerabat seperti ini akan terus berdatangan. Nanti mungkin ada yang mengajakmu mengobrol, baru kau paham apa maksud mereka...”
Sepanjang jalan kembali ke villa, Lingjing pergi menemani Shasha, sementara Jiaming hanya duduk bosan di luar. Pesta sudah bubar, para bos besar sedang berpamitan dengan Xiao Meng dan lainnya. Ketika melihat Jiaming, tatapan mereka kebanyakan menunjukkan kompleksitas. Xue Cheng dari Geng Xinning yang dipukuli sampai babak belur dalam pesta itu, mungkin akan menjadi cacat permanen walau sudah diobati - sebenarnya dalam pandangan orang-orang Jalan Hitam, dipukuli adalah hal biasa. Tapi melihat seorang pemuda dengan kemampuan bertarung sehebat itu, itulah yang paling mengejutkan. Lima orang yang dibawa Xue Cheng kali ini, setidaknya dalam hal perkelahian, sebenarnya cukup terkenal di dunia hitam. Tapi siapa sangka mereka bisa ditumbangkan dengan mudah, hanya dalam waktu tiga empat detik, dengan rangkaian gerakan yang mengalir sempurna. Meja langsung meledak ditendang, lima orang itu tak bisa bangun lagi. Jika benar-benar bicara soal penyergapan atau duel satu lawan satu, belasan orang biasa di hadapan pemuda ini mungkin benar-benar tak ada artinya.
Bagi mereka yang sudah mengenal Jiaming sebelumnya, akhirnya "mengerti" mengapa Bos Liu begitu puas dengan menantu laki-lakinya ini. Masuk akal, dia bos mafia. Tentunya tidak mungkin mencari pacar untuk putrinya yang lemah dan bahkan tak bisa mempertahankan diri. Dengan kekuatan yang ditunjukkan Jiaming kali ini, main pertarungan pasar gelap atau semacamnya pasti akan menang terus.
Begitu Liu Zheng meninggal, Jiaming langsung menunjukkan deterensi sekuat itu. Sebagian orang mulai merenungkan apakah dia akan naik ke posisi lebih tinggi dengan memanfaatkan sisa pengaruh Liu Lao Da. Tapi sebenarnya kemungkinannya kecil. Sebelumnya Jiaming sama sekali tidak terlibat dalam aktivitas guild. Urusan operasi Jalan Hitam pun mungkin belum terlalu dipahaminya. Lebih tepatnya, dunia hitam butuh kekuatan nyata, tapi sekadar bisa bertarung saja tidak cukup. Beberapa bos tangkapan mungkin punya simpati lebih karena hubungan dengan Liu Zheng, tapi dukungan? Itu pasti tidak ada——Tentu saja, bagi Xiao Meng sendiri, jika Jiaming benar-benar punya niat ini, posisinya hanyalah pilihan ganda yang tidak perlu direnungkan lama.
Di luar radius kepentingan Shazhu Bang, semua orang sudah mulai menyoroti potensi konflik antara Shazhu Bang dan Xinning Bang berikutnya. Dalam kondisi Shazhu Bang yang melemah sekarang, apapun bentuk demonstrasi yang dilakukan, Xinning Bang mungkin tidak akan memilih mundur. Meski Xue Cheng sudah dikirim ke rumah sakit, sebagian besar orang telah membuat pilihan secepatnya untuk mulai menjalin koneksi aktif dengan Xinning Bang. Tentu saja, ini urusan di luar acara pemakaman, untuk sementara belum perlu dijelaskan terlalu banyak.
“Menjaga malam kebanyakan diisi dengan permainan taruhan seperti mahjong atau poker. Yang berminat tentu saja bisa menonton TV atau rekaman video. Meski sudah larut, sesekali masih ada yang datang. Shasha dipaksa Lingjing menyeretnya ke kamar tidur. Urusan menerima tamu sebagian besar diserahkan pada kerabat Shasha. Kebanyakan dari mereka telah melihat aksi Jiaming saat makan malam tadi. Sekarang mereka sangat takut pada pemuda itu. Sebaliknya, Ye Han dan Duan Jingxian yang sebelumnya di dalam kamar mendengar kabar angin. Saat tengah malam, mereka bermain halma di meja bersama Jiaming dan mulai bertanya.
“Err... Memukul orang... hehe, memang benar aku bertindak...” Mengusap rambutnya, Jiaming tersenyum malu-malu, “Utamanya orang itu sangat menyebalkan, jelas-jelas datang mencari masalah. Mulai menghina Paman Liu sampai berteriak minta Shasha keluar menghormati minuman. Aku benar-benar tidak tahan, langsung pukul kepalanya pakai botol alkohol. Hmm, aku juga jungkirbalikkan meja... Sekelompok mereka ingin memukulku, untung ini wilayah Shazhu Bang, semua orang bergegas melerai... Seandainya tidak dilerai, mungkin akan kupukul lagi...”
Jiaming menirukan gerakan memukul dengan botol alkohol. Duan Jingxian tertawa: “Kukira kau peacemaker murni, siapa tahu kalau marah juga bisa memukul orang. Dulu tak pernah berkelahi... Tapi ini bagus, anak laki-laki harus punya sedikit keberanian berdarah...”
"Tahu Jiaming rajin berlatih bela diri, kondisi fisiknya cukup baik." Ye Han menepuk bahunya, "Sebenarnya kalau Jiaming benar-benar menyerang, tidak akan kalah dari siapa pun. Dia hanya tidak mau bertindak... Sebenarnya ada saat-saat yang tidak bisa dihindari, masalah yang bisa diselesaikan harus diselesaikan. Tapi orang-orang ini berlatar belakang geng kriminal, harus tetap bersabar. Kau sudah memukulnya kali ini, ke depan harus lebih waspada."
"Hmm, aku akan." Jiaming mengangguk, tersenyum.
Di sisi lain, di aula sebuah villa di Kota Jianghai, sekelompok orang sedang berkumpul menikmati makan malam.
"Kakak memanggil kita untuk apa sih? Pria gemuk, kau tahu tidak?"
"Masalah dengan Shazhu Bang mungkin." Pria gemuk berjulukan Shishen mengangkat bahu sambil memegang nasi kotak, "Dengar-dengar adik Jiaming terlibat konflik dengan seseorang..."
"Sudah kuduga akan ada masalah... Kali ini siapa lagi yang mencari MATI..."
"Bajingan dari Xinning Bang mungkin."
"Geng besar oh, kali ini bagaimana mengendalikan presisi..."
"Pengin lihat si cantik Jane melakukan pembantaian, Wuih... Wuih... Rasanya..."
"Rasanya apaan! Kalau dia sampai membantai, bonus tahun ini jangan harap. Ingat, harus penuh cinta, harus Harmoni..."
Dalam riuh suara percakapan, Ye Lian yang membawa beberapa dokumen turun dari lantai atas. Wajahnya yang tampan bak perempuan tersenyum: "Benar, ini tentang masalah Shazhu Bang. Tapi soal Xinning Bang atau lainnya, untuk sementara tidak terlalu kupedulikan. Yang paling penting... Ini pertama kalinya adik Jiaming menyerang di depan orang lain..."
Melemparkan dokumen-dokumen itu ke meja di depan rombongan ini, Ye Lian mengangkat tangan bingung: "Lihatlah, lima orang, empat detik... Meski tidak ada rekaman video lokasi kejadian, inilah adik Jiaming kita..."
## Bagian Tiga Ratus Lima Puluh Enam Tidak Diizinkan
Tujuh hari pemakaman, dalam suasana yang agak sibuk dan monoton, perlahan berlalu. Beberapa yang datang menyatakan sikap atau membuat masalah tentu ada, tapi untuk sementara belum menimbulkan masalah besar. Bagi kebanyakan kelompok Jalan Hitam, mungkin masih menunggu perubahan lebih lanjut dari Shazhu Bang sebelum bertindak. Xue Cheng dan lainnya dikirim ke rumah sakit, meski tidak MATI, setidaknya satu dua tahun tidak bisa beraktivitas seperti manusia normal. Sebagai kakak tertua Jalan Hitam, hal seperti ini tentu mustahil diselesaikan dengan melibatkan polisi. Untuk sementara, New Ning Bang belum memiliki kemampuan untuk menyatakan perang resmi dengan Shazhu Bang di Jianghai. Saat ini, semuanya dibiarkan begitu saja.
Pada hari keempat, kondisi sedih ala burung unta Shasha mulai membaik. Ia sudah tidak menangis lagi, bisa memaksakan senyum dan berbicara dengan Lingjing, Jiaming, serta yang lain. Kerabat-kerabat masih terus berdatangan, menghibur sebentar lalu menetap, mungkin menunggu pengumuman wasiat Liu Zheng. Dari rombongan ini, yang pernah menyaksikan kemarahan Jiaming malam itu tidak banyak. Sebagian besar hanya mendengar cerita orang, belum tentu benar-benar menyadari seberapa hebat seorang pemuda. Ditambah mereka yang kurang tahu, melihat sikap Shasha pada orang lain hanya sekadar formal, sementara pada Jiaming dan kawanannya begitu mesra, bisik-bisir pun merebak. Di jaman sekarang, pacaran dini bukanlah hal yang umum. Setelah tersiar kabar, kebanyakan orang dewasa masih bersikap kritis.
Sikap ini tak bisa disalahkan. Lagipula mayoritas adalah kerabat Shasha. Jadi meski kritikan mereka mengandung banyak tujuan terselubung, Jiaming malas terlalu ambil pusing. Justru suatu hari ketika Jiaming tidak ada, Shasha dan Lingjing sedang duduk mengobrol di satu sisi. Beberapa paman dari pihak Shasha datang menunjukkan perhatian. Bersamaan itu, ada dua anak yang kenal dengan Shasha—mungkin karena orang tua mereka diam-diam menggambarkan Lingjing dan Jiaming sebagai sosok licik—salah satunya sambil berbicara dengan Shasha, berusaha halus menggeser Lingjing seolah musuh.
"Kakak Shasha, jangan sedih lagi, setuju?"
"Kakak Shasha, kami masih di sini..."
"Kakak Shasha, main ke rumah kami nanti ya..."
Sebagai seorang anak, jika mendengarkan ucapan itu dengan murni sambil melihat ekspresi patuh yang ditunjukkan, meski dalam tingkat tertentu mudah membangkitkan kesedihan orang lain, namun juga benar-benar bisa menimbulkan rasa haru dan kasih sayang. Meski Shasha sudah mulai menyikapi orang sekitar dengan sopan, namun akhirnya kesedihan di hatinya hanya membuatnya mengangguk tanpa banyak bicara. Tentu saja, kedua anak itu bertarung mati-matian menghiburnya, dan dia pun memaksakan diri menunjukkan senyum tipis sambil mengulurkan tangan membelai kepala gadis kecil yang lebih tua di antara mereka. Gadis itu tersenyum menggunakan pantatnya untuk menekan kaki Lingjing. Lingjing sendiri tak ingin mempermasalahkan hal ini dengan anak kecil, hanya menggeser tubuhnya sedikit mengubah arah. Seketika, suara "Prak!" bergema di wajah gadis kecil itu.
Tamparan itu benar-benar terlalu keras, bahkan Lingjing yang berpengalaman pun nyaris terkejut. Beberapa orang yang sedang berbicara di sekitar langsung membeku. Terlihat Shasha menundukkan kepala sedikit dengan senyum kompleks yang bercampur kesedihan, memandangi gadis kecil itu dengan tenang. Gadis kecil yang terjatuh karena tamparan mendadak itu menutupi wajahnya, memandang mata Shasha dengan tatapan bingung sebelum akhirnya menangis tersedu-sedu. Tak ada yang menyangka bahwa Shasha yang baru saja membelai dahinya dengan penuh kasih, tiba-tiba bisa menyerang dengan melemparkan tamparan begitu saja.
Tangan kanan yang memukul orang itu perlahan turun ke kaki, jari-jari pura-pura menggenggam lalu menganga, berulang beberapa kali. Dalam kesunyian Shasha yang tenang, ibu gadis kecil itu buru-buru menariknya bangun, ingin berkata sesuatu tapi ketakutan melihat kondisinya, akhirnya hanya membawa anaknya pergi. Beberapa tuan lainnya saling pandang, buru-buru bicara sesuatu lalu pergi. Sejak kejadian itu, orang yang sengaja ingin melakukan aksi licik di depan Shasha berkurang, meski dalam perbincangan nama Shasha sendiri tiba-tiba dimasukkan—ada yang bilang dia dibutakan oleh orang berhati jahat, bahkan ada yang ekstrim menyebutnya pengkhianat yang bersikap kejam pada kerabat sampai memukul anak kecil. Namun selain keluarga gadis yang dipukul saat itu, kerabat lainnya tetap bertahan. Toh sebagai keluarga, tentu harus memakai cinta untuk menyadarkan gadis yang terbutakan, melindungi kepentingannya...
Mayat Liu Zheng dimakamkan di pemakaman pinggiran Jianghai pada pagi hari 7 September. Langit pagi itu dihiasi gerimis Xiao Yu. Saat kerumunan meninggalkan pemakaman, Shasha menggenggam tangan Jiaming dan Lingjing dengan suara letih: "Aku ingin pulang..." Bulu matanya yang panjang berkilauan oleh tetesan air, entah air mata atau hujan. Saat naik mobil, Jiaming menyuruh sopir pergi lalu menyetir sendiri. Di persimpangan jalan kecil, mobil kecil ini belok ke arah Akademi Hati Kudus, berpisah dengan iring-iringan mobil yang kembali ke villa.
Orang-orang sebenarnya sudah punya banyak keluhan dan gosip tentang kedekatan berlebihan ketiga orang ini. Begitu Liu Zheng baru dikuburkan, Shasha langsung meninggalkan semua pelayat. Di belakang, pasti banyak pandangan penuh permusuhan dan ketidaknyamanan. Tapi bagi Jiaming, selama Shasha menginginkannya, segalanya tidak masalah. Saat mobil kecil sampai di depan game center dekat Akademi Hati Kudus, Shasha tertidur lelap di jok belakang sambil bersandar di bahu Lingjing. Dia tidur sampai sore, bangun setengah sadar saat hujan reda. Setelah mandi hampir setengah jam, gosok gigi, mengeringkan rambut, dan berdandan rapi di depan meja rias, dia keluar dengan setelan olahraga hijau muda dan ekor kuda segar. Dengan senyum ke dua orang yang sedang duduk di sofa: "Aku siap." Seolah kembali menjadi gadis olahraga keras kepala yang penuh energi.
Jiaming membuka tangan. Shasha duduk di antara mereka. Lingjing memeluk kepalanya dan mencium pipinya keras-keras sebelum masuk dapur membuatkan makanan. Dalam kamar yang sunyi, Shasha berbaring di atas Jiaming sambil main game, sesekali menggeleng dan mencolok dadanya karena ulah Jiaming. Tak lama kemudian Xiao Meng menelepon, memberitahu bahwa besok pagi akan ada pembacaan wasiat Liu Zheng di villa. Tanya apakah perlu persiapan khusus. Jiaming bilang tidak perlu, lalu mematikan telepon.
Setelah makan malam, cuaca perlahan gelap. Saat suara ramalan cuaca CCTV terdengar dari TV, Jiaming keluar dari dapur sambil membawa mangkok cucian. Lingjing sedang membersihkan kamar, sementara Shasha tidak terlihat. Setelah bertanya pada Lingjing, barulah tahu bahwa dia pergi refreshing ke atap gedung. Mereka berdua sengaja memberinya waktu sendiri. Lebih dari setengah jam kemudian, Jiaming baru naik ke atas. Shasha sedang duduk di kursi bawah kanopi kecil, kedua tangan memeluk lutut, memandang pemandangan malam di kejauhan dengan diam.
Malam setelah musim gugur tiba, siang hari turun hujan lagi, udara terasa sedikit kedinginan. Dari posisi atap gedung, rumah-rumah yang dibangun mengelilingi Akademi Hati Kudus di bawah berjejer rapat. Jauh di kejauhan, jalanan dengan arus lalu lintas tak henti dan gedung-gedung tinggi seperti hutan di arah pusat Kota Jianghai, seluruh kota diselimuti cahaya yang memikat. Saat mengenakan jaket pada gesekan, gesekan bersandar di pangkuannya.
"Sebenarnya ini trik penipuan..." ujarnya terisak.
"Hmm."
"Aku bilang sudah siap secara mental, bahwa bahkan jika dia MATI pun aku tak akan terkejut. Sebenarnya sama sekali tidak... Dia sudah melewati bertahun-tahun, kira sekarang dia takkan MATI lagi. Dia bilang ingin menikahi, aku sangat berharap dia bisa mundur dengan selamat..."
"Hmm."
“Tapi Dia tetap MATI, mengapa justru di saat ini, karena hal tanpa alasan jelas itu. Sebelumnya Dia sudah melakukan begitu banyak perbuatan buruk, kali ini Dia tidak ingin melakukannya, malah bermasalah karena narkoba... Jiaming, ini balasan, kan?”
“Bukan...”
“Aku ingat waktu kecil sering melihatnya terluka, tapi bahkan luka paling parah pun dia tak pernah MATI...” Merangkul tubuh gadis yang gemetar dan menangis, Jiaming mendengar dalam diam. Dalam tangisan itu, Shasha berbicara terputus-putus tentang semua yang diingatnya: kisah masa kecil, memori singkat tentang ibunya, fragmen Liu Zheng terluka. Sebenarnya Jiaming sudah beberapa kali mendengar ini, tapi seolah ingin mengosongkan seluruh memorinya, Shasha terus mengalirkan kata-kata tanpa arah. Sesekali dia teringat detail kecil yang belum pernah terpikir sebelumnya: Liu Zheng pernah menyimpan senjata di bawah bantalnya yang dicurinya untuk mainin, atau saat Liu Zheng bawa wanita ke rumah lalu dia pukul orang pakai pigura foto ibu, lalu kabur saat dimarahi...
Sekitar lebih dari satu jam kemudian, dia perlahan berhenti. Lingjing pernah naik sekali, melihat mereka berdua di pintu lalu pergi diam-diam. Sebenarnya memori Shasha tentang ayahku mungkin takkan habis diceritakan sehari semalam, tapi setelah bicara sebanyak ini, dia seolah teringat hal lain. Memandang kota yang bermandikan cahaya lampu dalam kegelapan malam, dia terdiam lama.
“Jiaming... Apa yang akan tertulis dalam wasiat papanya ya...”
“Mewariskan semua yang bisa kau terima, lalu... memisahkanmu sepenuhnya dari Shazhu Bang dan geng kriminal itu...”
Liu Zheng, bos Jalan Hitam yang kapan saja bisa menghadapi bahaya, tentu sudah lama membuat surat wasiat. Jiaming menduga mungkin hanya ini saja. Dia pasti tidak ingin putrinya terlibat lagi dengan dunia hitam, kemungkinan besar membagi rata hak kepemimpinan ke semua ketua cabang, lalu menyisihkan sebagian untuk Shasha. Meski tidak banyak yang bisa bertahan dengan aman, setidaknya untuk Shasha sendiri, dijamin tidak akan kekurangan di kemudian hari. Shasha merenung sejenak:
"Jiaming... Aku benci narkoba. Semua orang juga begitu, Huang Haobing begitu, Papanya juga... Aku ingin warisan yang Ayah tinggalkan... Aku tidak mau mereka jual narkoba lagi..."
## Bagian ke-357 Perbedaan Pendapat
8 September 1999, cuaca mendung.
Pagi-pagi buta di musim gugur, angin mengeringkan jalanan Jianghai yang masih lembap, membawa hawa sejuk yang nyaman. Saat lampu merah menyala, mobil kecil berhenti di depan zebra cross. Tangan sopir bersandar di jendela, mengetuk puntung rokok, lalu menjulurkan kepala melihat ke luar.
"Hoi Bos, pintu gerbang Akademi Hati Kudus sudah kelihatan... Hmm, persimpangan Zilan, tinggal satu blok lagi. Ah Cheng bilang mereka sudah sampai duluan, Ah Jie di sisi lain... Tenang, tidak masalah. Foto-foto sudah kami hafal, langsung bertindak begitu keluar... Oke Bos, urusan saya, tenang saja..."
Dengan penuh keyakinan menyelesaikan ucapannya, dia meletakkan telepon genggam di tangannya. Melihat lampu merah akan berakhir hitungan detik, ia menghisap rokok lalu membuang puntungnya keluar mobil. Saat hendak menginjak gas, sarung tangan putih bersih tiba-tiba terulur ke depan. Seorang polisi lalu lintas memiringkan kepala sambil berbicara di walkie-talkie, kemudian mendekat dengan wajah tegas memberi hormat.
"Wah, cantik banget ya..."
"Sejak kapan Jianghai punya polwan secantik ini..."
"Model kali, nggak cuma cantik tapi juga tinggi banget, dan... yang paling penting... eh, dia nggak punya payudara?"
Bisikan-bisikan dalam mobil berubah menjadi keterkejutan yang tak terucapkan. "Polwan" itu mengusap dahi di luar jaca mobil: "Keluarkan SIM." Yang keluar justru suara pria yang sangat maskulin.
"Masa sih, Pak Polisi... hehe, kami kan nggak melanggar aturan lalu lintas." Sopir itu tersenyum. Setelah saling pandang beberapa saat, polisi di luar jendela berkata dingin: "Keluarkan... Aku paling benci ada yang bilang aku wanita..."
Alasan ini tak terbantahkan. Keempat orang dalam mobil saling pandang lalu tertawa. Sopir menggeleng sambil mengeluarkan SIM: "Ini... Tapi kami benar-benar tidak melanggar. Bisa cepat nggak?"
"Nggak bisa cepat." Membuka SIM sebentar, polisi itu mengambil kamera yang tergantung di dada untuk memotret bagian bawah mobil. Mundur beberapa langkah, ia menekan tombol rana lagi ke plat nomor. Mereka saling pandang bingung, mulai tegang: "Eh, Pak Polisi, ini ngapain sih?"
“Ngapain?” Polisi lalu lintas meliriknya, “Baru-baru ini mendirikan kota peradaban tahu? Ini jalan percontohan. Buang puntung rokok sembarangan, kau tunggu saja kena denda.”
Sopir itu terkejut membelalak, merunduk memeriksa puntung rokok di samping mobil, pasrah membuka mulut. Kemudian membuka pintu mobil turun, mengambil puntung rokok itu ke tangan: “OK、OK. Aku salah, bapak polisi, aku mengaku salah. Sudah kupungut, lihat...”
Saat memegang puntung rokok, tiba-tiba mereka mengangkat kamera dan menekan tombol rana: “Sekarang tertangkap basah...” Membekukan ekspresinya dalam foto, akhirnya mulai kesal: “Polisi juga tidak boleh mengerjai orang seperti ini...” Beberapa orang di dalam mobil ikut berteriak.
“Iya. Mencari masalah...”
“Kuberi tahu, aku kenal Kapten Gao kalian...”
“Bukannya cuma bilang kau cantik...” Sebelum kalimatnya selesai, wajah polisi itu berubah, menyambar pistol dari pinggangnya: “Kau bilang apa? Ulangi lagi, terima kasih, tolong ulangi sekali lagi!”
Suasana di dalam dan luar mobil berubah drastis, orang di dalam mobil memucat: “Ja...jangan gegabah, aku salah...”
“Turun dari mobil!”
Beberapa perkembangan hal aneh hingga sekarang, semua orang sudah paham ada yang tidak beres. Saat polisi lalu lintas meneriakkan kalimat ini, pria yang memegang puntung rokok di tangan tiba-tiba ingin melarikan diri. Baru saja melangkah, kakinya tersapu secara tak sengaja, torsonya menghantam tanah dengan keras. Kemudian, dadanya mendapat tendangan hebat: "Aku bilang turun dari mobil! Kalian berani melawan? Tiga orang di dalam, letakkan semua pisau di tangan kalian! Kira aku tidak melihat? Turun! Turun! Tunggu sampai aku marah-marah, tamat riwayatmu..."
Di dalam gerbong, sekelompok orang terdiam terpana...
Saat adegan absurd terjadi di sisi ini, di beberapa persimpangan jalan dekat Akademi Hati Kudus, kejadian serupa juga terjadi secara beruntun. Meski caranya berbeda-beda, hasil akhirnya sama: tiga atau empat orang dibawa ke mobil polisi terdekat. Sementara itu, di ruang tamu rumah sewaan Jiaming bertiga, ledakan perbedaan pendapat dan pertengkaran resmi pertama dalam dua tahun ini juga terjadi.
"Aku tidak setuju. Sudah kupikirkan semalaman, aku benar-benar menolak hal ini..." Duduk di sofa kecil di sebelah, Lingjing masih mengenakan piyama baru bangun tidur. Rambut panjangnya berantakan di belakang kepala, suaranya sedikit ditinggikan dengan ekspresi cemas dan kesal.
“Tapi… sudah diputuskan…” Duduk di samping, Shasha menundukkan kepala, suaranya meski tidak keras, namun ekspresinya terlihat sangat keras kepala, menunjukkan sikap tidak akan menarik kembali ucapannya. Jiaming duduk berseberangan, menoleh melihat Lingjing, lalu memandang Shasha, tampaknya tidak tahu harus berkata apa.
“Itu… waktu juga sudah tidak, aku akan keluar beli sarapan…”
Jiaming mencoba berbicara, namun sebelum selesai, Lingjing dan Shasha hampir serentak menyela ucapannya: “Jangan pergi!”
“Juga tidak lapar…”
“Uh… Heh…” Duduk kembali dengan kekecewaan, Lingjing meliriknya dengan kesal, kemudian duduk di sebelah Shasha: “Shasha, aku bukan ingin ikut campur urusanmu, tapi hal semacam ini… semua orang tahu…”
“Aku tahu, kau khawatir padaku, tapi… ini keputusan yang sudah kupikirkan lama… Jiaming juga setuju untuk membantuku…” Mendengar perkataan Shasha, Lingjing kembali melirik Jiaming, Shasha berkata, “Jangan salahkan Jiaming, kau tahu, dia tidak akan menarik janjinya.”
“Tapi ini geng kriminal! Shasha kau baru belum genap delapan belas tahun pergi berkecimpung dalam geng kriminal? Meski Jiaming membantu tetap sangat berbahaya setuju. Shasha, aku mengerti perasaanmu, tapi…”
“Justru karena itu geng kriminal aku harus melakukannya.” Shasa menatap Lingjing, biji matanya mulai memerah, seolah sebentar lagi akan menangis. Lingjing menghela napas, sementara Shasa justru merangkul bahunya dengan lembut. “Kematian ayah Xu Yiting karena kecanduan narkoba, nyaris menghancurkan hidupnya. Huang Haobing juga MATI karena barang haram itu. Sekarang giliran ayahku, lagi-lagi karena perdagangan narkoba... Lingjing, aku ingin berbuat sesuatu. Aku cuma ingin melakukan hal yang berarti...”
Shasa terisak-isak di bahunya. Lingjing menengadah memandang sudut langit-langit, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menarik napas dalam sebelum berkata kaku: “Pokoknya aku tidak setuju. Aku tidak mau kau terlibat urusan semacam itu...”
Shasa terdiam lama: “Maaf, aku akan berganti pakaian dulu...” Ucapnya sambil akhirnya bangkit dari sofa, mengusap air mata menuju kamar dalam. Begitu pintu tertutup, tatapan jernih Lingjing yang penuh kekecewaan tertuju pada Jiaming. Jiaming menghela napas dan mendekat: “Maaf, aku tidak tahu kau akan sangat menentang...”
“Kau jelas-jelas tahu!” Jiaming memeluknya, namun ia memalingkan wajah ke sisi lain.
“Bibir cemberut setinggi ini, bisa mati botol saus……” Jiaming tersenyum mencoba menjepit bibirnya dengan tangan, ditepis oleh Lingjing yang marah. Saat menempelkan pipi ke wajahnya, dia melawan beberapa kali sebelum akhirnya menyerah. Sentuhan kulit yang dingin. “Shasha nggak nyaman… Aku nggak bisa banyak, cuma ini yang bisa bantu… Dia memang nekat mau lakukan hal ini. Kita bisa melarang, tapi dia tetap nggak akan senang. Urusan geng kriminal, aku sudah jual intelijen ke Fang Zhitian, pemerintah akan bantu. Aku juga akan awasi. Kalau ada masalah, Kaoru akan temani dia main gila-gilaan. Nggak apa-apa, ya?”
“Aku takut… Jiaming, aku tahu suatu hari kita pasti punya urusan masing-masing. Nggak akan kayak sekarang yang tiap hari sekolah-pulang cuma bertiga tinggal bersama. Tapi aku nggak pernah bayangin kemungkinan geng kriminal, apalagi begini cepat… Jiaming, aku takut…”
Tak tahu harus jawab apa, Jiaming perlahan mencium pipinya, diam cukup lama. Setelah lama sekali, Lingjing baru berkata: “Aku nggak ikut. Kalian siang ini pulang makan?”
“Siang mungkin nggak pulang. Hari ini kayaknya ada hal.”
“Hmm.” Lingjing mengangguk. Di saat yang sama, Shasha keluar dari kamar. Dia mengenakan setelan olahraga hitam-putih yang rapi, satu tangan di pinggang, tersenyum pada keduanya dengan postur tubuh anggun yang membuatnya terlihat sangat bersemangat. Lingjing berjalan mendekat sambil merapikan rambut di dekat telinganya: "Pulang cepat, atau aku akan mengusirmu."
Shasha tertegun sejenak: "...Terima kasih."
"Terima kasih kepala kau." Lingjing melotot padanya, "Aku mulai membencimu, selalu merepotkan orang."
"Hehe." Shasha tertawa kikuk sambil memeluk Lingjing, mendekatkan mulutnya ke pipinya, "Jiaming sudah mencium sisi sana, sisi ini milikku..."
Perbedaan pendapat internal di pihak Shasha tidak diketahui orang. Karena hari ini adalah hari pengumuman wasiat Liu Zheng, sejak pagi villa besar yang pernah digunakan untuk pemakaman sudah dipenuhi orang. Tidak seperti Jiaming yang konservatif memperkirakan warisan Liu Zheng untuk Shasha hanya sekitar 10 juta lebih, orang luar yang tidak tahu - termasuk berbagai kerabat yang berusaha mencari hubungan - memandang Shazhu Bang sebagai kekuatan besar dengan total aset yang tidak jelas, tapi secara logika properti bernilai miliaran pasti akan diwariskan sepenuhnya. Meski Shasha mendapat bagian terbesar, mereka yang bisa mendapat sedikit saja sudah cukup untuk hidup mewah.
Selain kerabat dan teman yang masih menyimpan sedikit keikhlasan dan harapan dalam hati, sebagian besar orang yang menunggu di sini saat ini tentu adalah anggota Shazhu Bang. Shazhu Bang terbagi menjadi tujuh cabang, dengan kekuatan yang bervariasi dan fokus bidang yang berbeda-beda. Enam ketua cabang telah datang memberi penghormatan segera setelah kematian Liu Zheng. Meski ada satu yang berpikir untuk mendekati Xin Ning Bang, enam ketua cabang ini telah berkumpul di sini sejak pagi hari ini.
Konflik kepentingan dan perbedaan pendapat pribadi diabaikan dulu. Orang yang berkecimpung di dunia ini sekarang hanya mengejar uang. Untuk mendapatkan kedamaian di masa depan, pertemuan negosiasi menjadi kebutuhan mendesak. Namun ketidakhadiran Yang Zhenxing, manajer cabang terbesar di Shazhu Bang selama beberapa hari terakhir, membuat situasi menjadi tidak jelas. Kematian Liu Zheng berkaitan erat dengan kombinasi perdagangan narkoba Yang Zhenxing dan Liu Shijie. Dengan kematian Liu Zheng, Yang Zhenxing kemungkinan besar akan mendirikan grup sendiri atau bahkan menganeksasi yang lain. Tujuan utama pertemuan ini tentu untuk menyelesaikan masalah rumit yang sangat mendesak ini.
Tapi, seperti yang diduga beberapa orang di titik waktu sensitif ini, sekitar pukul tujuh setengah pagi, Yang Zhenxing muncul untuk pertama kalinya dalam lebih dari sepuluh hari dengan membawa banyak orang...
## Bagian Tiga Ratus Lima Puluh Delapan: Pukul Aku
"Lao Yang, kau tidak bisa seperti ini..."
"Kau bahkan tidak datang ke pemakaman bos, harus ada penjelasan..."
"Untuk hal seperti ini, aku juga tidak bisa membantumu..."
Di sisi aula, 4-5 bos sedang berkumpul berbicara. Secara permukaan tentu mengutuk Yang Zhenxing, namun nada bicara mereka sama sekali tidak terdengar kemarahan. Jelas di situasi yang belum pasti ini, tak ada yang ingin merusak hubungan secara resmi dengannya. Yang Zhenxing tersenyum dengan sebatang rokok di mulut, wajahnya yang akan genap 50 tahun depan justru terlihat bersemangat dibandingkan wajah-wajah khawatir di hadapannya, sambil mengangkat tangan bingung.
"Tak ada cara lain. Hal ini tentu saja kuketahui, dan ingin segera datang. Tapi semua tahu, ayahku MATI di Shanxi. Pulang untuk pemakaman bolak-balik sudah makan banyak hari. Antara solidaritas atau bakti, aku juga dilema, paham kan..."
"Masa sih? Katanya ayahmu sudah MATI karena kanker paru-paru tahun lalu, bahkan kau pernah adakan pemakaman..."
"Berhasil diselamatkan, itu cuma rumor. Pasti cuma rumor!"
"Kenapa tidak beri tahu kami saat Pangeran wafat?"
"Ini karena dengar bos MATI. Kalau kuberi tahu kalian saat seperti ini, pasti kalian akan ikut terbebani. Lebih baik bebannya kutanggung sendiri. Kemarin sore aku tiba, langsung pergi bersujud menyembah di pemakaman bos..."
Dia mengoceh tak karuan, menyangkal semua tuduhan, beberapa orang saling bertukar pandang, juga merasa kecewa. Di saat seperti ini, menuntut pertanggungjawabannya atas perdagangan narkoba bersama Liu Shijie sebelumnya, semua orang belum tentu punya kekuatan. Setelah kematian Liu Zheng, Shazhu Bang kehilangan solidaritas, bayangan Xinning Bang semakin mendekat. Bermusuhan dengan Yang Zhenxing jelas hanya menguntungkan kekuatan lain. Setelah mengobrol sebentar, Xiao Meng dan seorang manajer divisi lain keluar dari ruang dalam. Melihat Yang Zhenxing, matanya menyipit, tapi wajahnya menunjukkan senyum datar: "Akhirnya berani datang, tidak takut ditebas MATI ya?"
"Apa maksudmu!" Mendengar kata-kata kasar Xiao Meng, seorang anak buah Yang Zhenxing tiba-tiba melangkah maju, terlihat seperti orang yang biasa berkelahi. Wajah Xiao Meng berubah: "Kau ini apa? Berhak bicara seperti itu padaku?" Saat hendak menyerang, Yang Zhenxing segera mendorong anak buahnya kembali.
"Ngapain, salah minum obat ya! Berani lancang di depan Kakak Meng!" Tegurannya bergema, kemudian tersenyum sambil menoleh: "Maaf-maaf, pendatang baru, belum paham aturan, salahku, salahku..."
"Salahmu?" Xiao Meng tersenyum sinis, "Bos MATI, beberapa hari ini kau bahkan tidak muncul, bagaimana penjelasanmu? Kematian bos berkaitan denganmu, bagaimana lagi?"
“Salah paham、pasti salah paham.” Yang Zhenxing mempertahankan ekspresi tenang, “Xiao Meng, hal-hal ini bisa dijelaskan. Urusan bos sudah seperti ini, apa lagi yang kau mau? Nanti kita semua masih ada rapat, semuanya pasti akan diklarifikasi...”
Setiap divisi Shazhu Bang memiliki fungsi berbeda dengan karakteristik relatif unik. Wilayah Yang Zhenxing dan jumlah saudaranya paling banyak, terutama berkutat di bisnis paling menguntungkan. Xiao Meng yang masih muda dengan anak buah berkarakter keras, sering menangani urusan seperti MEMBUNUH atau memutilasi. Karenanya, dia lebih waspada terhadap Xiao Meng dibanding anggota lain yang bisa diakali. Persiapan tempur intensif beberapa hari ini juga antisipasi jika loyalis Liu Zheng yang sebenarnya tiba-tiba marah.
“Hmph, bisa diklarifikasi?” Xiao Meng menunjuknya dua kali dengan jari, berbicara perlahan kata demi kata, “Nanti kita lihat bagaimana kau menjelaskan!”
Yang Zhenxing mengangguk, lalu teringat sesuatu: “Ngomong-ngomong, kenapa Nona belum datang juga? Sudah hampir pukul delapan.”
“Seharusnya segera sampai.”
“Belum tentu.” Yang Zhenxing menggelengkan kepala, “Akhir-akhir ini lalu lintas Jianghai kacau, jangan-jangan ada masalah. Siapa yang mau menghubungi?”
“Mana mungkin...” Ucap bos itu terhenti tiba-tiba. Xiao Meng di sampingnya mengerutkan alis, mengamati ekspresi Yang Zhenxing sambil mengeluarkan telepon dari kantong. Yang Zhenxing tersenyum pahit, namun sebelum sempat menelepon, seorang anak buah berlari mendekat: “Nona sudah datang.”
Kali ini giliran Yang Zhenxing yang wajahnya sedikit berubah. Diam-diam ia membuat gestur di belakangnya. Seorang bawahan berjalan ke samping dan memencet telepon. Beberapa saat kemudian, dering lonceng terdengar dari kerumunan orang.
Shasha baru saja masuk dari pintu. Beberapa kerabat yang cukup akrab dengannya sedang berbicara di sebelah. Jiaming berjalan di sisi lain sambil membawa dua bungkus mi instan. Dari kantongnya ia mengeluarkan telepon, memandanginya cukup lama sebelum akhirnya membuka tombol panggilan: "Halo!"
"Siapa ini? Bicara! Katakan siapa kau! Halo——" Teriakannya begitu keras hingga hampir seluruh aula bisa mendengar. Namun pihak seberang tampaknya tidak menjawab, langsung mematikan teleponnya. Memandangi telepon itu lama-lama, sang pemuda bergumam: "Salah sambung?" Jarinya menekan nomor lagi. Saat ia menempelkannya ke telinga, dering telepon tiba-tiba berbunyi dari bawahan Yang Zhenxing di belakang. Pandangan Jiaming menembus kerumunan, tersenyum mantap ke arah sini. Sorot mata Xiao Meng dan yang lain serentak terfokus di tempat ini.
Jiaming melirik ke arah sini. Bawahan Yang Zhenxing itu pun balas memandang dingin. Dering telepon terus berbunyi dari tubuhnya. Dalam suasana aneh yang mulai tercipta ini, Jiaming tetap mengangkat teleponnya sambil perlahan mendekat bersama Shasha.
Sejak masuk pintu, Shasha sudah langsung melihat Yang Zhenxing di sini. Tatapannya nyaris langsung gemetar. Mungkin karena genggaman tangan Jiaminglah yang membuat gadis penuh dendam ini tidak langsung meledak. Berhenti di depan orang itu, Jiaming tetap mempertahankan posisi telepon di telinganya: "Halo..."
“Entah ada jawaban atau tidak di sana, namun pandangan Jiaming tetap terkunci pada sosok yang terus menerus terdengar dering telepon di depannya. Setelah beberapa saat, ia meningkatkan volume suaranya: \"Halo!\"”
“Apa kau yang menghubungiku?” teriaknya ke arah pria di depannya.
“Bicara lah!”
“Benar atau tidak?!”
“Kau ini bisu ya?!”
“Kalau bisu ngapain bawa telepon?! Otakmu bermasalah ya!”
Setelah meneriakkan kalimat demi kalimat ke arah pria itu, Jiaming mengangkat bahu dan mematikan telepon: “Kalau bukan kau, bilang saja. Telepon temuanku ini. Jika kau diam, mana mungkin aku tahu ini milik temanmu...” Usai bicara, ia melemparkan telepon ke akuarium ikan mas di sampingnya. Pandangannya menyapu Yang Zhenxing, dengan kekecewaan ia mengusap dahinya, lalu berjalan menghampiri Xiao Meng. Sepanjang waktu ini, tatapan Sha Sha tetap membara mengincar wajah Yang Zhenxing.
“Kakak Meng, tolong bantu. Aku punya beberapa identitas palsu di sini.” Ia mengeluarkan setumpuk plastik dari pangkuannya. “Ketemu di toilet umum tadi. Tolong selidiki seluruh anggota keluarga mereka untuk pengembalian. Seperti Yu Xingcheng, Fei Jie, heh...”
Xiao Meng melirik Yang Zhenxing sebelum menerima barang itu: “Kok bisa segampang ini?”
“Memang segitu mudahnya. Mau bagaimana lagi? Cuma ke toilet umum saja bisa ketemu identitas palsu plus telepon. Kau lihat sendiri tadi, mana mungkin orang sengaja mengantarkan ke sini. Ngomong-ngomong, tolong minta orang bawa peralatan makan dan air panas. Aku dan Sha Sha belum sarapan. Pengacara juga masih lama datangnya...”
Di bawah pandangan Yang Zhenxing yang mulai terlihat serius, Jiaming menarik Shasha untuk duduk di sofa sebelah. Saat itu situasinya agak aneh, orang-orang sekitar juga tidak berani mengganggu. Shasha duduk diam, sementara Jiaming dengan cuek membuka kemasan mi instan dan menyeduhnya dengan air panas. Beberapa menit kemudian, ia menyerahkan semangkuk mi kepada Shasha, lalu mulai menyantap mi-nya dengan lahap di hadapan puluhan pasang mata yang menatap.
Didampingi belasan anak buahnya, Yang Zhenxing duduk di sofa seberang sambil tersenyum: "Lama tidak bertemu, Jiaming. Dan juga keponakanku Shasha."
"Hmm, sudah lama sekali. Paman Yang masih berenergi seperti dulu ya," sapa Jiaming ramah. Di sampingnya, Shasha tetap membenamkan wajah di mangkuk mi dengan ekspresi dingin.
"Hehe, kabarnya kamu sekarang semakin jago, Jiaming. Katanya beberapa hari lalu kamu menghajar Xiao Xue dari Geng Xinning? Benar kan? Sayang aku tidak ada di sana saat itu, pasti akan kusaksikan langsung gaya bertarungmu."
"Kesempatan masih ada." Jiaming tersenyum tipis. "Waktu itu memang sudah tidak tahan lagi. Xue Cheng itu benar-benar menyebalkan - pria dewasa tapi cerewet seperti nenek-nenek. Siapa pun yang melihat pasti ingin menghajarnya. Tentu saja, kalau Paman datang lebih cepat, pasti bisa melihat aksiku lebih awal. Sebenarnya aku ini orang yang cinta damai, selalu menghindari perkelahian..."
“Sudah lama tahu Jiaming kamu rajin berlatih bela diri, tapi tetap tak menyangka kemampuan bertarungmu sehebat ini.” Yang Zhenxing berkata dengan penuh perasaan, “Tapi lebih baik tidak berkelahi. Sekarang semua orang yang berkecimpung di dunia ini tahu, sikap suka kekerasan sudah ketinggalan zaman. Kamu bisa menyelesaikan beberapa masalah, tapi biasanya malah memicu lebih banyak masalah. Apalagi bertarung selalu kalah melawan jumlah orang. Dengan Xiao Meng dan kawan-kawannya mengawasi, kamu bisa memukul Xue Cheng, tapi...”
Dia tersenyum sambil mengangkat tangan: “Ini cuma perumpamaan. Masa kamu berani pukul aku?”
Ini adalah ujian kemampuan murni sekaligus tantangan. Saat ini dia berjarak dua tiga meter dari Jiaming, sementara di belakangnya berdiri belasan bawahan penuh niat membunuh. Tentu saja dia berani bercanda seperti ini. Di seberang, Jiaming melototkan mata, menyedot mi ke mulutnya dengan kasar sambil mengunyah kuat-kuat, tangan menyeka kuah mi di sudut bibir. Senyumnya tiba-tiba menjadi sangat cemerlang.
Setelah menaruh mangkuk mi, tangannya langsung meraih asbak di meja.
Sorot mata Yang Zhenxing langsung menjadi dingin. Tubuh belasan orang di belakangnya tiba-tiba menegang.
Sesaat kemudian, terdengar teriakan "Aaaaa" di dalam kamar. Seorang tubuh menghantam lantai. Disusul suara-suara kekacauan yang tak terbendung. Suara Jiaming yang terdengar dramatis bergema di kerumunan: "Ini bukan salahku! Kalian semua dengar tuh, dia yang suruh aku pukul dia..."
## Bagian Tiga Ratus Lima Puluh Sembilan Testamen
“Sial!... Beneran nekat. Apa tidak ada satupun dari kalian yang bisa menghadangnya? Aaaaa...”
Perban putih terlilit berlapis membentuk sanggul di kepala. Di dalam ruang tamu, Yang Zhenxing menggerutu sambil menahan sakit. Luka akibat hantaman asbak sudah dijahit, namun rasa sakit tak serta merta hilang. Ingatannya kembali pada pukulan tadi - lebih dari sepuluh orang tak satu pun mengulurkan tangan menghadang, bahkan dirinya sendiri terkena tanpa alasan jelas, membuat hatinya mendidih oleh kemarahan.
Tentang Jiaming, ia yakin telah cukup mengenalnya. Pemuda ini selalu hati-hati dan waspada. Meski juga berlatih bela diri untuk perlindungan diri, tak pernah suka memukul orang. Aksi terhadap Xue Cheng mungkin membuktikan kemampuannya, namun memukul orang di wilayahku sebenarnya bukanlah hal istimewa. Hanya saja perubahan mendadak pemuda ini dari pasif menjadi agresif membuatnya berpikir: Jangan-jangan Jiaming adalah langkah persiapan rahasia Liu Zheng sebelum MATI? Ambisi semacam ini sudah sering ia temui. Jika Jiaming benar-benar menyimpan niat jahat, ingin memanfaatkan momentum kematian Liu Zheng untuk mengangkat posisi Shasha, hal itu pun bukan sesuatu yang aneh.
“Demi alasan seperti ini, dia dengan santai melontarkan tantangan. Pertama, untuk membuatnya menyadari posisi sekarang, jangan sampai kucing dan anjing kecil terus ikut campur. Kedua, dia juga ingin mencari kesempatan untuk memukulinya—dengan lebih dari sepuluh orang di sekitarnya, mana mungkin takut dengan satu orang. Dalam situasi seperti ini, tentu dia tidak bisa terang-terangan menyentuh orang dekat Shasha. Tapi jika pihak lawan tidak tahan hasutan, sebelum orang lain datang melerai, beberapa pukulan dari pihaknya sudah cukup membuat anak tujuh belas tahun itu terbaring di rumah sakit.”
“Tentu, tak ada yang menyangka kejadiannya akan seaneh ini. Asbak itu menghantam, lebih dari sepuluh orang ikut menyerang. Aku coba menangkis, tapi siapa sangka tangkisan meleset. Asbak itu tepat menghantam kepala. Akhirnya semuanya kacau-balau, tendang-tinju tapi tak satu pun berhasil menyentuh helai bajunya. Kalau disebut keberuntungan, tak pernah kulihat orang seberuntung ini. Tapi kalau soal kekuatan, mana mungkin seorang pemuda bisa sehebat ini...”
“Tapi kejadiannya benar-benar aneh. Kami semua jelas melihat dia menyerang, tapi tak ada yang bisa menghadang...”
“Saat kutendang, dia agak mengelak ke belakang...”
“Gerakannya juga tidak cepat...”
“Mungkin semua tak menyangka si bodoh itu benar-benar nekat menyerang. Akhirnya saat dia betul-betul melakukannya, tak ada yang sempat bereaksi...”
Semua orang saling memandang kebingungan sambil menganalisis penyebabnya. Seorang anggota lain bertanya dengan lega: “Bos, langsung kita usir mereka?”
“Mengusir apa!” Yang Zhenxing mengerutkan kening, tanpa sadar kembali menggerakkan bagian yang terluka, "Dasar kurang ajar, kapan saja bisa bertarung? Meski dia benar-benar hebat, mungkinkah satu lawan lima puluh atau seratus? Sekarang mengusir, geng Xinning sedang mengawasi di samping. Meski pendukung kita banyak, begitu Si Xiao Meng nekat bertarung mati-matian sampai ikan mati jaring putus, kita semua akan minum angin barat. Xu Fangyuan itu saudara lama Liu Zheng juga, pasti akan berpihak ke sana. Hal-hal begini muncul sekarang... Benar-benar..."
Kematian Liu Zheng adalah peluang baginya, tapi di tahap ini juga sesuatu yang tak ingin dia lihat. Tentu, sekarang kematian Liu Zheng terkait dengannya, dia sudah terjebak dalam situasi sulit. Pilihannya mendirikan kelompok sendiri atau dianggap pengkhianat dan ditangani.
"Kalau begitu... Panggil Ah Ba masuk?"
"Bahkan jika aku ingin menyusahkannya, bukan di sini. Ingin membuat mayat? Ah Ba itu seperti banteng liar, menyerang tanpa presisi... Sekarang berkecimpung di dunia ini harus pakai otak. Bisa bertarung buat apa? Jika aku langsung MATI pukuli Gu Jiaming di sini, Shasha pasti bertarung mati-matian denganku. Lihat bagaimana akhirnya." Yang Zhenxing berpikir, mendengar keributan di luar, "Sudahkah pengacara datang?"
"Iya, sudah pukul sembilan."
Menarik napas dalam-dalam, Yang Zhenxing bangkit dan berjalan ke arah pintu. Di tengah jalan, dia mengubah pikiran dan berhenti: "Lebih baik kasih dia kesempatan. Pertama harus bicara dulu dengan Aba, tidak boleh Bunuh, kalau tidak siapa pun tidak bisa melindunginya! Hmph... Aku ingin lihat apakah bocah ini benar-benar sehebat itu......"
"Nah, setelah dia meninggal, Segalanya harta benda diwariskan kepada putrinya Liu Huaisha. Tapi, sebagian besar aset memiliki perjanjian khusus... Para bos, saya juga anggota perusahaan, di sini tidak perlu pakai bahasa resmi. Total 32 arena hiburan di Distrik Xinhua dan Anhe, 5 rumah makan, 3 parkiran, 2 tempat penanganan sampah, 6 bengkel cuci mobil, aset 5 cabang perusahaan dijual ke Tuan Yang Zhenxing dengan harga 12,8 juta. Daftarnya di sini... Server Suhua..."
Di ruang rapat berperedam suara, pengacara mengumumkan hal-hal terkait kelompok dalam wasiat Liu Zheng. Seperti perkiraan Jiaming, Semua aset basically terpisah dari Sha-sha. Tentu saja, berbagai biaya dan pendapatan jelas melebihi 10 juta. Dari surat wasiat terlihat, Liu Zheng bermaksud meninggalkan pendapatan properti sekitar 50 juta untuk putrinya, sekaligus memisahkan identitasnya sepenuhnya dari Jalan Hitam. Sebagai Liu Zheng, dia juga telah menghitung jumlah dana yang bisa dikeluarkan masing-masing orang. Setelah wasiat dilaksanakan, meski aliran dana mereka agak tersendat, basically tujuh bos ini sudah bisa dianggap memiliki kekuatan sendiri.
Di sini sedang diumumkan hal-hal terkait geng kriminal. Di ruang tamu luar, puluhan kerabat dengan ekspresi berbeda-beda saling berdiskusi. Wasiat Liu Zheng hampir tidak menyentuh mereka. Beberapa orang yang disebut sebagian besar adalah yang pernah membantu sebelumnya, seperti menyewakan toko padanya. Setelah kematian Liu Zheng, semua itu diberikan gratis ke milik mereka. Yang lain sama sekali tidak mendapat penjelasan. Namun, mereka yang tidak kebagian memang kecewa. Bahkan yang mendapat bagian karena bantuan sebelumnya juga menunjukkan ekspresi tidak puas. Menurut mereka, Liu Zheng yang kaya dan bermodal kuat sebenarnya sudah memberikan aset-aset itu saat disewakan dulu. Pengulangan pernyataan sekarang tidak menambah apa-apa bagi mereka.
Tentu, sebatas diskusi. Tak ada yang berani membuat keributan. Tujuh bos sedang berunding di dalam. Seberani apapun, tak ada yang berani masuk menantang pengacara apakah ada kesalahan. Di tengah perbincangan, seorang pria memasuki gerbang.
Saat ini sebenarnya cukup banyak orang yang lalu-lalang. Namun pria ini langsung menarik perhatian mayoritas orang. Pertama karena postur raksasanya: tinggi 2,1 meter dengan tubuh kekar. Bagian atas hanya memakai rompi merah, otot-ototnya menegang. Kepala botaknya dihiasi dua parut pisau yang mengerikan. Wajahnya seperti dewa penjagal. Begitu masuk, matanya mengawasi sekeliling dengan tatapan garang sambil berjalan ke dalam.
"SIAPA YANG BERANI MEMUKUL BOS SAYA BARUSAN!"
“Pertanyaan itu meluncur, semua orang langsung tahu tujuan kedatangan orang ini. Barusan Jiaming melempar asbak ke kepala Yang Zhenxing, membuat semua orang di aula kaget setengah mati. Tanpa perlindungan Liu Zheng, siapa yang berani melakukan hal seperti ini? Saat ini Yang Zhengxing masuk untuk mendengarkan wasiat, belasan bawahannya masih memencar di aula. Salah satu dari mereka membuat gestur, pandangan si raksasa bertubuh besar itu langsung beralih ke dispenser air di sudut ruang tamu.
Jiaming berdiri dengan bosan di sana, sambil menggeleng-gelengkan kepala dan bersenandung, menunggu lampu kecil pemanas air menghilang sebelum mengambil cangkir untuk mengisi.
“Hei!”
Si raksasa berjalan mendekat sambil berteriak. Melihat Jiaming tidak merespon, ia menoleh untuk konfirmasi: “Dia?” Setelah mendapat jawaban positif, tangan kirinya meraih bahu Jiaming. Beberapa bawahan Xiao Meng berusaha mendekat, tapi dihalangi dengan pura-pura tak sengaja oleh anak buah Yang Zhenxing.
“Kau benar-benar pura-pura tidak tahu saja!”
Dalam hujatan, Jiaming memutar badan dengan ekspresi dramatis sambil memegang cangkir. Si raksasa mengangkat kepalan tangan sebesar mangkuk cuka, menghantam langsung ke kepala Jiaming.
Pukulan itu tepat mendarat di dahi!
Pada sekejap mata itu, tubuh Jiaming sedikit condong ke belakang, lalu langsung menghantamkan kepalanya. Hanya terdengar suara "Krek" yang berat, si raksasa terhuyung-huyung mundur dua langkah, tangan kiri menekan bahu kanannya yang tulangnya tampak menonjol. Orang ini mengatupkan gigi, wajah garangnya yang sudah menyeramkan kini menjadi mengerikan tak terkira, tangan kanannya gemetar halus. Jiaming tetap berdiri tegak, bahkan setetes air pun tak tumpah dari gelasnya. Beberapa bawahan Yang Zhenxing terpaku, sementara orang-orang dari pihak Xiao Meng juga terdiam sejenak sebelum akhirnya mundur dengan wajah berkedut, terperangah luar biasa.
Tepat terkena pukulan itu, dahi Jiaming memerah sedikit. Ia mengusapnya, lalu menyesap air sebelum memandang lawannya sambil menarik napas lega: "Terima kasih, rasanya lebih baik setelah dipukul." Sambil masih memegang cangkir teh, tubuhnya melesat maju disertai tendangan dahsyat.
Seketika, tubuh besar si raksasa terlempar ke belakang bagai peluru meriam, menyeret sebuah kursi. Seorang bawahan Yang Zhenxing yang tak sempat menghindar ikut terhantam hingga terguling-guling.
"Kutebak, kau pasti..." Jiaming tersenyum tipis, "...merasa sangat enak, bukan?"
Setelah pengumuman wasiat selesai, keributan pecah di dalam kamar.
“……Banyak hal yang tidak ingin kubicarakan. Selama beberapa tahun aku menjabat, |saudara hidup berkecukupan dan mewah. Xiao He yang mengikutiku sekarang bahkan sudah membeli |villa. Apa yang dicari semua orang di dunia hitam ini? Kalau semua sudah kaya, mungkinkah kita sampai ke tahap ini... Jujur saja, ada beberapa hal tentang |gesekan di sini yang tak ingin kusebut. Masalah bos itu ulah Liu Shijie si |pengkhianat, apa hubungannya denganku? Memang aku dekat dengannya, tapi Lao Shu, Ah Li, kalian juga tidak dekat? Bos memberi |perhatian padanya, siapa berani |mengusir...” Yang Zhenxing yang |bertahan dari ikat kepala putih mengetuk |meja sambil berteriak.
“Menurutku kesalahan Lao Yang dalam hal ini tidak banyak...” Bos yang dijuluki Ah Li membela.
“Yang kita bicarakan sekarang adalah urusanmu membantu Liu Shijie |perdagangan narkoba.” Xiao Meng yang |menyampingkan badan |berkata dengan nada dingin.
“Siapa yang tidak pernah sentuh |narkoba? Liu Shijie memang memberiku |jalur, tapi kenapa ini disebut melanggar |batasan? |Batasan itu cuma omongan, siapa yang pernah lihat wujudnya? Selama bisa lolos sedikit, ya diteruskan. Kita yang |terlibat dalam geng kriminal memang sejak awal berhadapan dengan |polisi dan |pemerintah, apalagi bos punya |koneksi atasan...”
“Tapi bos |MATI karena ini!” Xiao Meng |Byur berdiri.
“|Gesekan ada di sini, bisakah kita tidak terus membahas ini?” seseorang menjadi penengah.
|Gesekan memandang sekeliling dengan |nada dingin: “Tidak apa, aku suka mendengarnya.”
“Ada hal-hal yang Shasha tidak mengerti.” Yang Zhenxing mengusap bagian kepala yang sakit, menarik napas lega, “Terkadang saat orang-orang bicara agak kasar, itu bukan berarti marah. Sang bos dalam rekaman video memang membahas masalah perdagangan narkoba, tapi seringkali mungkin hanya karena dia tidak suka sikap Liu Shijie yang terlalu otoriter, dan ingin membuatnya lebih sopan. Seni mengelola bawahan itu sangat rumit, untuk membuat mereka takut, tentu harus bersikap tegas terlebih dahulu, apalagi karena hubungan keluarga. Tapi siapa sangka Liu Shijie tidak menganggap bos sebagai saudara...”
“Aku hanya tahu berdagang narkoba itu salah.”
“Hmm...” Perkataan Shasha membuat ketujuh orang yang hadir saling pandang. Mereka tentu tahu perdagangan narkoba itu salah, tapi dalam dunia hitam, seseorang tidak bisa memilih hanya mengerjakan hal yang "benar". Yang Zhenxing tersenyum pahit:
“Tentu... Heh, tapi mari kita kesampingkan dulu masalah ini. Aku tidak peduli siapa yang harus bertanggung jawab atas apa. Semua orang tahu keadaan Geng Xinning, sudah hampir setahun mereka tidak akan membiarkan kita tenang. Bos sudah tiada, yang terpenting sekarang kita harus bersatu untuk melindungi diri sendiri... Banyak pihak di luar sana yang ingin melihat kita jadi bahan tertawaan. Aku tidak mau ada perpecahan, anggap saja ini semua salahku... Salahku, cukup? Urusan pembalasan dendam atau memberi kesempatanku menebus kesalahan bisa kita bicarakan nanti. Semua mengerti kepentingan strategisnya. Kepalaku sudah kena pukulan sekali, kalau masih kurang puas bisa pukuli lagi, tapi perusahaan tidak boleh kacau. Pokoknya begitu, kita harus memikirkan masa depan. Untuk masalah surat wasiat, bagian yang seharusnya menjadi milik Shasha akan kuberi dua kali lipat.”
“Aku tidak peduli.” Shasha memandangnya dengan dingin, “Aku tahu berdagang narkoba itu salah...”
“Shasha, urusan perusahaan ini sebaiknya kau...”
“Yang Zhenxing ingin mengatakan sesuatu tapi mengurungkannya, seolah ingin menasihati dengan lembut. Namun sebelum selesai berbicara, Xiao Meng di seberang menyelanya: ‘Perusahaan adalah milik bos. Jika bos sudah pergi, Shasha berhak memimpin jika ingin.’”
Yang Zhenxing mengerutkan kening: “Sekarang kita sedang membahas pelaksanaan surat wasiat, bukan waktu yang tepat untuk membahas siapa yang memimpin perusahaan kan?”
“Satu hal. Di catatan tambahan surat wasiat bos disebutkan, jika penerima hibah dianggap bermasalah, klausul ini bisa dibatalkan. Jika Shasha berminat memimpin perusahaan, bagianku bisa kuserahkan.”
“Shasha masih mahasiswa.”
“Tinggal sebulan lagi genap delapan belas tahun. Di usia delapan belas tahun, aku sudah pernah membunuh.”
“Kau sengaja membuat masalah ya, Xiao Meng?”
Kedua pihak saling berkonfrontasi, adu argumen selama setengah hari. Di puncak keributan, tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat “Braak”. Pintu rubuh, sesosok tubuh besar terbang masuk dengan wajah berlumuran darah, berguling di tanah sambil menggeram dan meronta-ronta. Yang Zhenxing membeku melihatnya. Jiaming berdiri di gerbang, memandang kedua orang yang sedang adu mulut di dalam.
“Kenapa? Negosiasi gagal?” Dia mengangkat bahu, “Kebetulan, di sini juga sama.”
## Bagian Tiga Ratus Enam Puluh Kembang Api
“Gu Jiaming, kau...”
Jari menunjuk ke pria yang terbaring di tanah, Yang Zhenxing hampir tak bisa berkata-kata. Si pria bertubuh besar berjulukan Aba baru-baru ini mengikutinya, bertindak seperti banteng liar yang tak pernah membedakan kekuatan pukulan. Kemampuannya bertarung tak diragukan, konon berasal dari latar belakang pukulan diam-diam di selatan. Setelah dikejar-kejar, dia sendirian menghabisi lebih dari dua puluh preman. Masalahnya, dia benar-benar tak punya batasan. Begitu meledak, manusia biasa pasti akan MATI dipukulinya. Bahkan orang terdekat sekalipun sulit menghentikannya.
Sebagai pribadi, Yang Zhenxing selalu menganggap diri sebagai pelaku hal-hal besar dengan pengendalian diri luar biasa. Meski baru saja ditepuk oleh Jiaming, kemarahannya takkan sampai pada tingkat ingin seketika BUNUH orang untuk pelampiasan. Awalnya hanya ingin menguji apakah Jiaming mungkin punya ilmu bela diri. Lagipula akan ada banyak orang yang menahan. Jika benar dia punya latihan, tentu takkan sampai tewas. Siapa sangka hasilnya justru seperti yang terlihat sekarang.
Pikirannya masih sama seperti sebelumnya - pertama-tama curiga Jiaming pasti mengobrak-abrik sesuatu hingga jadi begini. Melihat sikap santainya yang bahkan masih memegang cangkang, mustahil dia menghajar mereka sampai separah ini melalui konfrontasi langsung. Dalam pandangannya, Jiaming tersenyum sambil mengangkat tangan bingung:
“Aku apa? Cuma ngobrol aja kok.” Dengan nada datar, Jiaming masuk dan meraih kerah si raksasa bertubuh besar, menariknya berdiri. Pria berwajah berlumuran darah ini masih punya kemampuan merespon, berteriak "Aaaaa" sambil tiba-tiba meraih pergelangan tangan Jiaming. Otot lengan pria itu kekar, tampak sebesar paha Jiaming. Begitu tergenggam, otot-ototnya mengeras dan darah leluhur berdesir seperti ular raksasa yang mengerikan. Melihat perlawanannya, Jiaming yang memegang cangkir teh di tangan kiri membungkuk, tubuhnya sedikit tertegun.
Tangan diayunkan, cangkir teh Dang! menghantam kepala lawannya: "Kau tidak punya hati nurani, ya? Lihat tuh ganggu rapat orang! Nanti mereka masih harus kerja!" Lengan kanan yang terkunci kuat bagai baja tetap tak tergoyahkan. Setelah menghancurkan cangkir, tangan kiri Jiaming meraih pegangan pintu gerbang yang terlempar di lantai. Sambil terus menarik si raksasa berdiri, kakinya menendang perut lawannya berulang kali...
Braak! Pintu gerbang yang roboh tadi berdiri lagi dan menutup rapat. Dari celah pintu terdengar suara Jiaming: "Sudah aman, lanjutkan..." Kemudian, disusul oleh suara pukulan yang kacau-balau.
Tidak tahu berapa lama waktu berlalu, akhirnya suasana di luar menjadi tenang. Yang Zhenxing menarik kembali pandangannya dengan wajah agak pucat, menyapu sekeliling ruangan yang sama sunyinya: "Hm, tentang hal itu, sebenarnya..." Baru saja mengucapkan itu, suara ledakan dahsyat kembali mengguncang kamar, membuatnya terkejut. Menoleh ke belakang, pintu yang rusak itu telah roboh kembali ke lantai. Di aula luar, beberapa bawahan sedang mengangkut raksasa bertubuh besar itu keluar sambil melirik ke arah ini. Di ujung pandangan, Jiaming memegang cangkir teh baru berdiri di dekat dispenser air, terkejut oleh ledakan itu. Tatapan empat mata mereka membentuk sarkasme yang tak terucapkan...
Pagi itu, masalah wasiat Liu Zheng akhirnya tidak mencapai kesepakatan.
Dalam wasiat Liu Zheng, pembagian seluruh aset dimaksudkan untuk memberi kesempatan Shasha menarik diri. Namun sebagai orang yang telah lama berkecimpung, dia mungkin telah memperkirakan kemungkinan mati di tangan orang dalam sendiri, sehingga menyisakan ruang modifikasi di beberapa aspek. Bagi Shasha, tentu tidak mau menyerahkan semuanya begitu saja kepada Yang Zhenxing. Dengan bantuan Xiao Meng, perundingan alot antara kedua pihak akhirnya hanya menghasilkan ketidakpuasan di kedua belah pihak.
Hal ini belum selesai. Shasha tentu bisa membuktikan melalui hukum bahwa beberapa hal adalah miliknya, tapi Yang Zhenxing juga menguasai sebagian saham. Lagipula urusan dalam geng kriminal, jika benar-benar ingin bertarung habis-habisan seperti ikan mati jaring putus, akhirnya tetap bergantung pada kekuatan. Entah melalui pemerintah yang menangkap fakta kejahatan lawan untuk memasukkannya ke penjara, atau mengerahkan saudara-saudara untuk bertempur sampai MATI. Jika tidak, hal ini takkan pernah berakhir. Saat kepergian Yang Zhenxing, sikapnya dibuat sangat rendah. Dia punya ambisi besar, tidak mau tunduk di bawah Xin Ning Bang. Saat ini mungkin masih ada harapan dalam hatinya, meski Shasha berkarakter keras kepala tapi tetap gadis kecil. Ketika Xin Ning Bang menekan, orang-orang seperti Xiao Meng pasti akan memilih berdamai dengannya, dan segalanya akan terselesaikan.
Mengenai Gu Jiaming... Hatinya agak kacau. Sebenarnya mereka sudah saling kenal lebih dari sehari dua. Hampir segera setelah Jiaming berteman dengan Shasha, mereka sudah bertemu. Saat itu dia adalah ketua cabang Shazhu Bang. Setelah Cao Dongfeng berencana memberontak dan gagal, sebagian besar kekuatannya dibagikan padanya. Dia memanfaatkan momentum untuk berkembang, akhirnya menjadi salah satu ketua cabang terkuat di Shazhu Bang. Setelah bertahun-tahun mengenal, sehari-hari memanggil "Paman Yang", dulu hanya mengira dia anak laki-laki berkarakter baik bahkan agak pengecut dan tak berbahaya. Baru hari ini setelah kematian Liu Zheng, tiba-tiba menyadari ternyata dia begitu menakutkan.
"Setelah pintu itu roboh, pandangan datar mereka yang berdiri di sebelah dispenser air membuatnya merasakan jantung berdebar yang sulit diungkapkan... Namun sulit menjelaskan, sikap dominan yang tiba-tiba ditunjukkannya ini apakah untuk Shasha atau ambisi ingin naik jabatan. Usia tujuh belas memang masa mulai tumbuhnya ambisi. Semula ingin mengatakan beberapa patah kata sebelum pergi, tapi akhirnya tak ada kata yang terpikir."
"Sementara dia mencoba membaca pikiran Jiaming, di sisi lain ketika sebagian besar orang telah dijadwalkan untuk makan siang, Xiao Meng menemui Jiaming dengan keraguan."
"Begini... Sekarang bos sudah tiada. Bagaimanapun urusan wasiat ini, Shazhu Bang tetap perlu penanggung jawab sementara. Kandidat harus diterima umum, biasanya keluarga terdekat bos. Tapi Jiaming kamu pasti paham, sungguh sulit memegang kendali penuh. Yang dibutuhkan semua orang adalah keseimbangan... Jika saya usulkan Shasha sebagai manajer, yang lain mungkin tidak akan protes. Tapi soal kesediaan memimpin, ini hak prerogatif kalian. Dari wasiat bos jelas terlihat dia tidak ingin Nona Shasha terlibat lagi di lingkaran ini. Menurut saya, bahkan urusan Lao Yang sebaiknya Nona Shasha tinggalkan saja. Sisanya akan kami tangani bersama Brother Xu. Lao Yang pasti akan dapat ganjaran setimpal..."
Xiao Meng ini memang terkenal hati paling kejam terhadap orang luar, tapi loyalitasnya pada Liu Zheng tak perlu diragukan. Tentu saja, loyalitas ini mempertahankan hingga sekarang, mungkin ada dampak Jiaming di baliknya. Di aula villa yang agak lengang, Jiaming menggelengkan kepala sambil tersenyum: "Shasha ingin Dang, biarkan saja. Kapan pun dia bosan, mundur juga tak masalah. Tapi, mempersiapkan diri—setelah hal ini, dia tak akan membiarkan Shazhu Bang lagi melakukan perdagangan narkoba. Heh, apapun yang dia katakan, kau cukup mendukung saja..."
"Aaaaa..." Xiao Meng bisa dengar terkejut. "Hari ini pagi hari dia terus bilang tak suka perdagangan narkoba, tapi... ini akan bermasalah. Bagian perdagangan narkoba menyumbang lebih dari sepertiga pendapatan tahunan Shazhu Bang, hampir setengah kuota. Hal seperti ini mustahil..."
"Segalanya tergantung usaha manusia." Jiaming menghela napas. "Siapa yang tidak tunduk, pukul saja. Ini kan cita-cita indah... Heh, jangan bingung. Aku tahu bagaimana pikiranmu. Aku juga tahu, bahkan kaisar pun butuh waktu untuk reformasi. Orang yang mengganggu kepentingan semua orang, akhirnya akan tewas dibunuh. Tapi aku akan berusaha. Paling lambat sepuluh hari, perintah akan turun. Jianghai akan melakukan operasi anti prostitusi dan ilegal lagi. Meski biasanya kebijakan atas selalu ada akal bawah, kali ini agak berbeda. Apa pun yang ingin dia mainin, aku harus menemani. Sekarang dia sudah bicara soal ini..."
Jiaming menunduk mengocok jari, terdengar datar: "Siapa berani lanjutkan, kubuat kepala manusianya turun drastis..."
"Cepat pergi cepat tiba ya."
“Di luar ketika lampu kota mulai menyala, suara Lingjing terdengar dari dalam kamar.”
Setelah makan malam, Jiaming menarik tangan Shasha yang masih emosional untuk pergi refreshing. Lingjing sudah seharian kuliah dan punya banyak buku yang harus direview, jadi tidak ikut—faktanya dia juga tahu, membiarkan Jiaming dan Shasha berdua justru lebih efektif daripada bertiga.
“Kau mau ajak aku ngapain sih!”
“Mengalami langsung seperti apa sebenarnya kehidupan geng kriminal yang ingin kau terjuni itu.”
Naik bus dari persimpangan jalan, transit sekali, sekitar pukul delapan mereka tiba di rumah peninggalan orang tua Jiaming. Tempat ini tentu pernah dikunjungi Shasha sebelumnya. Lama tak berpenghuni, debu menutupi berbagai barang. Shasha mengibaskan pembersih bulu ayam di atas TV tua: “Hidup geng kriminal? Cuma bersih-bersih kamar dengan penerangan seadanya?”
“Tentu tidak.” Membuka lemari di samping, beragam benda berhamburan keluar dengan suara blek—parang berbagai ukuran, pipa besi, tongkat. Jiaming memeriksa beberapa pisau yang berkilat di bawah lampu sebelum menyarungkannya kembali. Akhirnya ia membungkus kapak tebangan sepanjang setengah meter dengan koran dan menyimpannya di dalam jaket. Melihat ekspresi bingung Shasha, ia tersenyum dan melemparkan tongkat bisbol dari sudut ruangan: “Kau pakai ini saja.”
“Buat apa sih? Mau tawuran?”
“Ikut saja.” Jiaming tersenyum mengajaknya turun tangga, dari ruang barang di sebelah lantai satu mengeluarkan motor baru berkilat, melemparkan helm ke Shasha. Motor melesat seperti angin menyusuri jalanan Jianghai.
Sekitar setengah jam berikutnya, motor melaju kencang di jalan tol menyusuri berbagai jalanan. Angin menderu di telinga. Shasha memeluk tongkat bisbol sekaligus memeluk Jiaming, jantung berdebar kencang, seluruh tubuhnya panas membara. Namun, saat motor berhenti di pinggir pasar malam, barulah dia mulai merasa heran. Selanjutnya, Jiaming menuntunnya berkeliling beberapa blok jalan, mengunjungi dua supermarket, bahkan sempat tinggal sebentar di toko buku yang masih buka. Perlahan dia merasa memegang tongkat bisbol terasa konyol. Di tengah perjalanan, Lingjing menelepon. Jiaming tersenyum menyamping menjawab, entah berbicara apa, tapi pasti memberi jawaban yang memuaskan kuminati-nya.
“Hei, tolong, sebenarnya kita kemari ngapain sih? Sudah jalan-jalan lebih dari dua jam, aku hampir MATI lelah...”
Saat sedang makan malam di lapak pinggir jalan, Shasha bertanya untuk keseribu seratus sembilan belas kalinya. Jiaming melihat jam tangannya: "Acaranya hampir mulai, jangan makan terlalu kenyang." Waktu menunjukkan sekitar pukul sepuluh, keramaian puncak di blok jalan sudah mereda. Selanjutnya, masuklah ke wilayah program kehidupan malam sejati. Setelah mengendarai motor melewati beberapa persimpangan, kegembiraan Shasha mulai memudar. Dengan bosan ia merangkul punggung Jiaming sambil ingin pulang tidur. Pancaran neon tak terhitung menyelinap di depan matanya, tubuhnya terasa terguncang sebentar saat motor naik ke jalur dalam untuk pejalan kaki.
"Sudah sampai?" Biasanya kendaraan yang sampai di area ini kebanyakan akan berhenti. Namun di tengah kebingungan Shasha, teriakan panik tiba-tiba terdengar dari depan lalu tertinggal di belakang. Jiaming memutar gas terus-menerus meningkatkan kecepatan. Bahkan jika ada orang di depan, ia langsung menerjang melewatinya. Disusul riuh rendah suara kekacauan. Rupanya sebagian besar pejalan kaki di sini adalah pria-wanita muda dengan kemampuan merespon yang lumayan. Beberapa bahkan sempat menghujat sambil mengejar setelah menghindar. Tiba-tiba Jiaming membelokkan setang, menabrak hingga seorang yang berusaha menghindar terlempar ke udara. Motor berhenti dengan bunyi 'creek'. Shasha membeku menyaksikan tubuh itu terpental beberapa meter. Beberapa pengejar di belakang yang tadinya menghujat pun tertegun.
"Sampai. Turun."
Tanpa mempedulikan orang yang tertabrak, Jiaming turun dari motor. Ini adalah pintu masuk bar bernama "Midnight Carnival". Orang yang terlempar itu adalah penjaga pintu bar. Shasha ragu-ragu turun, entah mengapa nama bar itu memberinya perasaan familiar. Jiaming mendorong pintu terbuka, menoleh memberi isyarat agar Shasha masuk. Baru teringat olehnya, ini adalah bar terbaik yang dikelola Yang Zhenxing.
Hampir pukul setengah sebelas, puncak keramaian di bar. Begitu pintu terbuka, alunan musik memekakkan telinga dari DJ langsung menyergap. Melewati belokan kecil, seluruh bar dipenuhi kerumunan kepala manusia. Sebuah band kecil sedang bernyanyi histeris di panggung kecil seberang. Lampu-lampu berkedip kacau, tak terhitung pria-pria merah dan wanita-wanita hijau memenuhi lantai dansa, menari-nari dalam ekstase. Jiaming menarik Shasha menerobos kerumunan. Seorang pria yang kesal didorong mulai memaki-maki tak mau minggir. Shasha tak mendengar jelas, Jiaming langsung menamparnya hingga terkapar, menginjak tubuhnya untuk terus berjalan.
Sampai di bawah panggung, Jiaming mengeluarkan kapak tebangan dari jaketnya lalu melompat ke atas. Dengan kasar ia mencabut segudang kabel dari sistem audio, merobohkan perangkat-perangkat. Seketika, seluruh musik di ballroom lenyap bagai saraf yang terputus tiba-tiba. Sensasi yang tak terucapkan.
Lampu hias berwarna-warni yang memusingkan masih berputar, namun suara seolah lenyap sepenuhnya dari bumi. Meski ada orang berbicara keras, yang tercipta hanyalah ilusi keheningan yang tak tergambarkan. Penyanyi di panggung tetap berteriak histeris, namun tak ada suara yang keluar. Jiaming mengayunkan kapak tebangan di tangannya. Beberapa anggota band langsung bereaksi, buru-buru lari ke samping. Sekitar dua detik kemudian, orang-orang di lantai dansa baru tersadar, memandang ke arah ini dengan terkejut. Beberapa pria yang tampaknya berkecimpung di Jalan Hitam juga membelah kerumunan mendekat. Jiaming memasang kabel, berdiri di depan mikropon itu, mengetuk-ngetuk tiang logam dengan kapak tebangan. Pandangannya menyapu seluruh ruangan dengan dingin: "Merebut kembali harga diri yang hilang."
Tiga kata datar mengudara dari sistem audio. Sesaat kemudian, dia langsung mengangkat satu set perangkat audio di depannya, berputar dan melemparkannya ke dinding lampu hias di belakang. Byur! Ledakan dahsyat mengguncang, kaca raksasa di seluruh dinding tiba-tiba pecah berantakan. Tak terhitung lampu hias meledak serentak. Sirkuit listrik bar mengalami korsleting sejenak, percikan api listrik mekar di belakangnya dengan cara paling spektakuler, bagai kembang api yang cemerlang...
## Bagian 361 Menghalau
Percikan api listrik beterbangan memenuhi langit, kerumunan di lantai dansa memandang kejadian ini dengan bingung dan takjub——mereka semua pemuda, melihat Jiaming datang sendirian merebut kembali harga diri yang hilang, mengira dia sedang mabuk. Tak banyak yang benar-benar takut. Saat sekumpulan pria kekar berdesakan mendekat dari segala arah, beberapa bahkan mulai bersemangat, bersorak sorai.
Orang paling depan melompat ke panggung kecil dan menendang ke arah Jiaming. Namun seketika terdengar suara "prak!", tubuhnya terhuyung mundur beberapa langkah sebelum roboh. Pipinya terkena silet kapak tebangan yang diayunkan, seperti tamparan keras yang membuat separuh wajahnya berdarah dan terluka parah.
Berdiri di tengah kerumunan sambil memegang tongkat bisbol, Shasha menyaksikan dua orang berlari maju hanya untuk terlempar kembali. Kapak tebangan melukai udara dengan garis darah, jeritan kesakitan mulai terdengar. Wajah beberapa orang di kerumunan mulai pucat, lalu sebagian besar mulai bergegas menuju pintu keluar.
"Serius nih……"
"Ya Tuhan……"
"Apa yang dilakukan pemilik bar ini sampai ada yang nekat datang bertarung mati-matian……"
Tak menyangka Jiaming benar-benar menggunakan teknik kekerasan seperti ini untuk berulah. Mendengar suara perbincangan, kerumunan orang terus mundur. Dia berdiri di tempat yang tak jauh dari panggung kecil, tiba-tiba terisolasi. Bawahan Yang Zhenxing berhamburan keluar dari beberapa kamar di samping, ada juga yang menerobos kerumunan dari luar pintu. Di atas panggung, kapak tebangan itu tiba-tiba menghunjam bahu seorang pria. Jiaming langsung menendang pria itu hingga terlempar, tubuhnya berputar, kepalan tangan yang memegang gagang pisau menghantam wajah orang yang berlari dari belakang dari atas ke bawah. Darah menyembur dari wajahnya, pria itu pun bersujud di panggung dengan suara byur. Dalam sekejap, lima enam orang sudah tumbang.
Dari kamar kecil, seorang pria berbaju santai yang sepertinya pengelola berlari keluar. Melihat kejadian ini, dia buru-buru berbicara: "Sebenarnya ada masalah apa, semua orang bisa bicara baik-baik... Aaaaa—"
Ucapan belum selesai sudah berubah menjadi jeritan menyayat hati. "Ibu kau lah yang ngomong!" wajah Jiaming mengerikan, melemparkan kapak tebangan itu sembari menusuk pahanya sampai tembus. Orang-orang di belakang baru hendak menyerang, tapi melihat Jiaming yang baru saja masih di panggung kecil beberapa meter jauhnya tiba-tiba menghampiri seperti bayangan. Memegang gagang pisau, mencabut, berputar, mengayunkan tebasan—dada dua orang langsung menyemburkan air terjun darah. Seseorang di belakang lagi yang baru menunjukkan ekspresi terkejut langsung terkena tebangan miring di pahanya.
“Keluar bergabung dengan geng kriminal, tidak berarti semua punya kesadaran untuk bertarung mati-matian. Melihat Jiaming hampir di setiap tebasan pisau menyemburkan darah tanpa ampun menggorok orang, orang-orang di belakang langsung berpencar, mengambil benda apa saja yang bisa dijangkaunya untuk berlindung. Beberapa orang di sisi lain yang melihat Shasha berdiri dengan tongkat bisbol di tangan, ragu-ragu sejenak baru berani menyerbu. Saat itu hati Shasha juga sedang kalut, dia mengayunkan tongkatnya yang langsung dihadang oleh seseorang. Sekejap kemudian, sebuah sofa kecil dari belakangnya terbang seperti peluru meriam, menghantam orang itu hingga terpental dua tiga meter. Beberapa orang lain yang masih ingin menangkap Shasha langsung berhenti langkah dengan wajah pucat, mulai mundur.
Menoleh ke belakang, orang-orang di sekitar Jiaming telah tumbang seperti sayuran terpotong, jeritan kesakitan bersahutan, darah berceceran di mana-mana menggenangi lantai. Tiga empat orang yang masih berdiri memegang papan meja atau botol minuman, tapi sama sekali tak berani mendekat. Jiaming memegang pisau dengan satu tangan, memandang dingin ke arah sini, menendang seorang pria yang masih menggeletak kejang-kejang dan berdarah di dekat kakinya, lalu perlahan melangkah mendekat.
"Mulai hari ini, kalian tak perlu lagi berkecimpung di dunia ini." Dia berhenti sejenak, lalu berkata, "Jangan ada yang berani pergi." Saat itu, membawa hawa dingin yang menusuk.
"Waah... muntah... batuk-batuk..."
Di atas tanggul penahan banjir, Shasha berjongkok di sana dengan wajah pucat pasi, muntah tak karuan. Jiaming berjongkok di belakangnya sambil menepuk-nepuk bahunya pelan-pelan, botol air mineral tergenggam di tangan. Motor mereka terparkir di tepi jalan tak jauh dari situ. Dari lokasi ini, pemandangan malam Jianghai terlihat memesona. Cahaya-cahaya berkilauan mengalir di aspal jalan, garis pantai melengkung seperti bulan sabit yang merangkul lautan. Di permukaan laut, bayangan-bayangan kapal tampak belang-belang diterangi cahaya. Tanggul ini dulunya merupakan taman rekreasi terbuka, tempat Jiaming, Lingjing, dan Shasha sering berkunjung. Pemandangan senja di sini kerap terlihat megah, dikunjungi banyak pejalan kaki yang mengajak anjing peliharaannya beraneka ras. Shasha selalu suka menggoda hewan-hewan itu dengan inti apel.
"Maaf."
Jiaming berbisik lembut. Shasha menganga hendak muntah lagi sambil menggelengkan kepala: "Bukan urusanmu, aku... Wuah... Muntah..."
Mengingat kembali adegan berdarah di dalam ballroom, Shasha tidak bisa menahan perasaan mual. 30-40 orang, semakin banyak yang terbunuh, darah menggenang di lantai, bau darah menyatu dengan jeritan kesakitan. Awalnya mereka masih ragu-ragu mencari celah untuk menyerang, setelah lebih dari separuh rombongan dihabisi Jiaming, beberapa mulai kabur dan merengek-rengek minta ampun. Jiaming tetap menyerang tanpa ragu. Terkadang terlihat darah menyembur sejauh tiga meter. Kira-kira 2-3 orang berhasil melarikan diri, sisanya mulai bertarung mati-matian namun hasilnya tetap sama. Sebenarnya dulu dia pernah melihat sekilas konflik Jalan Hitam dari kejauhan, tapi tidak ada yang seintens ini. Dia hanya berdiri di tengah memegang tongkat bisbol, menyaksikan mereka berlari menyerang Jiaming - terlempar, pisau ditusukkan tanpa ragu, darah menyembur, kepala manusia dibenturkan ke dinding, meja yang diangkat lawan hancur berantakan saat pisau diayunkan. Hingga akhirnya yang tersisa hanya jeritan menyayat, bau darah, bau darah, jeritan menyayat... akhirnya berubah menjadi rasa mual yang tak tertahankan.
Dulunya sudah tahu Jiaming mungkin hebat, tapi tak pernah terbayangkan dia bisa menjatuhkan hampir seisi ruangan dengan begitu mudah, juga tak menyangka perasaan yang muncul justru seperti ini. Dia tak tahu apakah Jiaming menahan diri. Saat hendak keluar, emosi muntahnya hampir tak terbendung. Hatinya gelisah memikirkan apakah ada yang MATI, tapi tentu mustahil memeriksa satu per satu. Udara terasa lebih segar setelah keluar, hingga saat tiba di tepi pantai, akhirnya dia benar-benar muntah.
“Ew... sangat muntah... Ew...”
Setelah selesai muntah, dia mengulurkan tangan menerima air mineral dari Jiaming, menyesap gudur gudur beberapa kali sebelum sedikit pulih. Saat bangkit, Jiaming ingin menolongnya tapi tiba-tiba dia mengulurkan tangan lagi. Berdiam beberapa saat di tempat hingga tenang, lalu duduk di bangku panjang tak jauh sambil kehabisan tenaga.
“Apa ada yang MATI?” Mengerutkan alisnya, kekhawatiran pertamanya adalah ini.
“Kalau cepat ditangani, mungkin tidak.” Jiaming tersenyum, “Aku tidak terlalu mengerahkan tenaga.”
“Mengerikan... Kau sengaja menakutiku?”
“Memang beginilah kalau berantem, namanya juga geng kriminal.”
Bertiga duduk dalam kesunyian di bangku itu, Jiaming merangkul bahunya: “Aku tidak ingin kau benar-benar menyukai hal semacam ini... Lebih baik kau membenci.”
“Sebenarnya kau tetap tidak mau aku terlibat dengan geng bawah tanah kan?”
“Apa yang kau ingin lakukan, aku akan membantumu.” Jiaming berhenti sejenak, “Tentang larangan perdagangan narkoba, aku akan berusaha sebisaku. Tapi sebenarnya pendapatku sama dengan Lingjing, kontak dengan hal-hal seperti ini tidak baik. Karena sudah berjanji padamu, aku hanya bisa mencegahmu seperti ini.”
“Kau sengaja menakutiku...”
“Bukan menakutimu, kadang perasaan memang seperti ini. Misalnya...” Dia berpikir sejenak, “Kau seorang pembunuh, saat pertama kali membuka tembakan ke bayi dalam gendongan, mungkin perasaannya seperti ini, sangat mual... Geng kriminal sebenarnya juga mirip, hal-hal terkait moral selalu serupa.”
“Dulu kau sering bilang diri sendiri pembunuh, tapi kau belum pernah melakukan...” Shasha duduk tegak, menatapnya, “Kau belum pernah kan?”
“Belum pernah, tapi perasaannya mirip.”
“Kalau belum pernah bagaimana tahu perasaan... Uhh, jangan bilang soal perasaan. Ingin muntah.” Dia diam sejenak, menatap wajah Jiaming lama-lama, “Hei, kau bilang tidak mau aku suka, jangan-jangan kau sendiri yang suka perasaan itu?”
“Ha.” Jiaming tersenyum ambigu, memandang laut gelap di depan. Saat menoleh kembali, baru melihat Shasha masih menatapnya mati-matian, tiba-tiba tersenyum dan merangkulnya.
“Aku akan pertimbangkan saranmu. Uhh, lelah... lapar dan mengantuk, ingin tidur. Biarkan aku bersandar...” Menempel di dada Jiaming sambil menutup mata, setelah beberapa detik baru menarik napas dalam-dalam dan duduk tegak, “Sudah, kita pulang saja. Merebutmu terlalu lama, Lingjing pasti cemburu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi、apa yang sebenarnya terjadi, apakah Xiao Meng dan kawanannya yang melakukannya? Berapa banyak orang yang datang?”
Saat memasuki aula bar, Yang Zhenxing tak tahan menjepit hidungnya. Di bawah cahaya lampu, seluruh arena terlihat berantakan dengan genangan darah di mana-mana. Karena sengaja dibiarkan untuk ditinjau, kekacauan itu belum diurus. Ia membuka mulut lebar-lebar dan memandang sekeliling lama: “Ada saudara kita yang MATI?”
“Tidak ada mayat, tapi… hampir semuanya dihabisi.” Asisten yang sedang mengurus kekacauan di dalam mendekat dan berkata, “Meski sembuh nanti, tangan atau kaki saudara-saudara kita ini mungkin tidak akan berfungsi normal. Dokter Fang bilang, penyerangnya punya presisi…”
“Hitung biaya pemukiman.” Yang Zhenxing menghembuskan napas, menunggu sejenak sebelum berteriak kesal, “Lanjutkan! Siapa mereka! Berapa banyak!”
“Kalian berdua…”
“……” Yang Zhenxing tertegun, “Kau bilang apa?”
“Kami bertanya pada beberapa saudara yang emosinya masih stabil. Dua orang, sepertinya… Nona Liu dan pacarnya Gu Jiaming. Gu Jiaming membawa pisau, sementara Nona Liu hanya memegang tongkat bisbol sebagai pengawas, basically tidak ikut bertindak…”
“……” Berdiri membeku sejenak, baru kemudian Yang Zhenxing membuka mulut dengan kaku, “A-Aku tidak punya pisau? Apa aku terlalu miskin?”
“Dipakai… tidak dipakai…”
“Sialan kau, dipakai atau tidak! Mereka ketemu Superman ya?!”
“Saudara-saudara basically sudah membawa senjata, tapi menurut cerita mereka, waktu itu Gu Jiaming sekali tebas satu orang. Ada yang angkat meja langsung dibelah sampe kena orangnya juga. Bos, soal ini……”
“Aku sudah tahu, aku mau lihat kondisi rekan yang terluka……” Mengayunkan tangan, dia berbalik keluar. Insiden ini sepertinya membuat emosinya juga kacau. Saat sudah sampai di pintu bar, asistennya mengejar lagi: “Bos, eh bos……”
Yang Zhenxing menoleh: “Apa?”
“Rekan yang terluka bilang, saat pergi dia tinggalkan pesan, minta disampaikan untukmu, katanya…… ini baru permulaan……”
“Sial!”
Geramnya melontarkan umpatan itu, persis saat dia berbalik, suara “Puff” menggema di udara. Dengan wajah bingung dia terjatuh berlutut. Peluru tak jelas asalnya menembus pahanya, menyemburkan daging dan darah sebelum menghunjam tanah beton di belakang.
Di atap gedung ratusan meter jauhnya, gadis Jepang berbaju merah mengalihkan pandangan dari bidikan. Dengan ekspresi datar dia memasukkan senapan runduk ke dalam kotak cello, rambut ekor kudanya berkibar lembut ditiup angin malam……
## Bagian 362 Pemutihan
Beberapa bulan setelah musim panas itu berakhir, banyak perubahan terjadi di Jianghai. Tentu saja, sebagian besar masih terkonsentrasi pada lapisan Jalan Hitam yang sulit diakses oleh manusia biasa. Tak lama setelah kematian Liu Zheng, Yang Zhenxing yang merupakan penguasa kekuatan terbesar Shazhu Bang pertama kali ditembak hingga kakinya patah di jalanan. Setelah itu, sepertinya terjadi beberapa perbedaan pendapat internal di Shazhu Bang. Namun dengan beberapa bos markas atau anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu, seluruh Shazhu Bang sementara bersatu di bawah pengaruh atmosfer aneh. Yang menggantikan sebagai manajer adalah putrinya Liu Zheng yang masih berusia tujuh belas tahun dan duduk di kelas 3 SMA - Liu Huaisha.
Posisi ayah digantikan oleh putri. Meski sudah mendekati abad ke-21, hal ini tidak jarang terjadi dalam organisasi komunitas semacam ini. Tentu saja, semua orang paham gadis kecil tidak mungkin mengurus hal penting. Mengangkatnya ke posisi atas, paling-paling hanya sebagai simbol untuk menyeimbangkan konflik antar bos internal Shazhu Bang. Sementara itu, kelompok besar Xin Ning Bang yang sebelumnya terus merebut wilayahku di sekitar Jianghai akhirnya menemukan kesempatan tepat. Memanfaatkan kelemahan Shazhu Bang, mereka dengan dominan memasuki Jianghai dan ingin melakukan aneksasi terhadap wilayah Shazhu Bang.
Jenazah Liu Zheng belum dikuburkan, serangkaian pergolakan internal kembali terjadi di Shazhu Bang. Namun sang bos baru yang masih remaja itu seolah menunjukkan sifat polos yang dianggap sebagai karakter unik, bertekad untuk berkonfrontasi langsung dengan Xin Ning Bang. Perintahnya tidak masuk akal, semua orang hanya menonton seperti melihat lawakan. Tapi tepat di saat ini, pemerintah tiba-tiba melancarkan operasi anti maksiat dan ilegal yang sangat ketat. Polisi seolah memfokuskan sasaran pada Xin Ning Bang yang baru masuk dengan agresif, berkoordinasi dengan beberapa kota tetangga, menangkap puluhan pemimpin besar maupun kecil dari Xin Ning Bang. Masuknya Xin Ning Bang bahkan belum dimulai, sudah terhempas ombak besar terdampar di tepian.
Memanfaatkan angin timur ini, Shazhu Bang yang mulai lebih sopan berhasil menghindari krisis terbesar untuk sementara. Banyak yang bilang warisan Liu Zheng masih melindungi putrinya, kali ini keberuntungan mereka sangat baik. Tapi begitu badai berlalu, gadis yang di mata orang luar tak mengerti apa-apa ini membuat keputusan paling bodoh: Mulai sekarang Shazhu Bang tidak akan lagi berdagang narkoba, dan tidak mengizinkan transaksi narkoba di wilayah mereka.
Ini adalah plot yang bahkan sulit ditemukan di komik bergenre! Karena semua orang tahu, dalam hal kemungkinan operasional nyata, tingkat keberhasilannya mendekati nol persen.
Seperti orang baik yang mengharapkan perdamaian dunia, harapan memang indah, tetapi hanya harapan yang bisa terwujud yang benar-benar memiliki makna. Bahkan pemerintah akan memahami bahwa air yang terlalu jernih tidak akan ada ikannya, namun putri seorang bos Jalan Hitam justru berteriak ingin memberantas narkoba di sini. Tepat seperti dugaan, ketika keinginan ini mulai terungkap, hal pertama yang memicu adalah penolakan keras dari dalam Shazhu Bang. Semua orang menganggap ini sebagai sikap sok kuasa seorang gadis yang sama sekali tidak memahami operasi Jalan Hitam. Namun, suasana Jianghai saat itu masih diselimuti tekanan pemerintah yang sedang membersihkan Jalan Hitam, mengarahkan seluruh peristiwa ke jalur yang sama sekali mustahil sebelumnya.
Sementara pemerintah mengancam Xin Ning Bang, mereka juga melakukan pembersihan besar-besaran di pasar narkoba Jianghai. Sebenarnya ini hal biasa yang terjadi setiap operasi, masyarakat sudah terbiasa dan memiliki kemampuan bertahan tertentu. Hanya soal menangkap beberapa orang, lalu setelah sorotan mereda, semuanya akan bangkit kembali seperti abu yang hidup. Tapi kali ini di Shazhu Bang, seiring dengan pengungkapan maksud atasan, beberapa manajer yang paling vokal menentang langsung dijebloskan ke penjara. Kemudian, dana besar berjumlah 10 juta demi 10 juta dari sumber misterius mulai menyuntikkan Shazhu Bang. Rencana reformasi yang teliti satu per satu didorong, memulai reformasi terstruktur terhadap bisnis perdagangan narkoba kelompok ini. Orang-orang baru terkejut menemukan bahwa di balik gadis naif penuh semangat itu, ternyata berdiri pendukung yang luar biasa kuat - dan pendukung ini kemungkinan besar adalah pemerintah.
Bukanlah zaman para bandit. Di tanah Tiongkok ini, setiap kelompok kriminal yang bisa bertahan hidup, mungkin memiliki kesepahaman tertentu dengan pemerintah. Ada yang melakukan kerja sama di bidang tertentu, tapi yang bisa bertindak se-terang-terangan seperti ini sungguh sangat sedikit. Sebagian orang mulai berteriak ketakutan bahwa pemerintah ingin "merekrut" mereka, tapi tujuan semua orang bergabung dalam dunia hitam memang demi uang. Saat aliran dana besar terus disuntikkan, berbagai rencana dijalankan, beberapa perusahaan penampungan personel didirikan dan mulai beroperasi normal di bawah pengaturan profesional, perlawanan internal secara bertahap diredam hingga titik terendah.
Dalam latar belakang seperti ini, Shazhu Bang mulai membersihkan diri, namun perebutan wilayah antar geng kecil justru semakin memanas. Ketika kuota perdagangan narkoba yang dikuasai Shazhu Bang tiba-tiba menyusut, orang-orang lain mulai berebut wilayah begitu melihat kesempatan. Di hadapan keuntungan besar, bahkan banyak yang berani berperang melawan Shazhu Bang.
"Kalian sendiri juga pernah melakukannya, sekarang berhenti malah melarang orang lain menyentuh? Menghalangi rezeki orang bisa kena bacok!" Dengan teriakan yel-yel seperti ini, bentrokan dengan geng-geng kecil itu semakin sengit. Sementara itu, Xinning Bang yang ditekan bersama oleh pemerintah dan Shazhu Bang tetap belum menyerah, terus membujuk kelompok-kelompok lain untuk berpihak padanya di tengah momentum ini. Seluruh Jianghai melewati Oktober, November, Desember dalam atmosfer seperti ini. Saat tahun 2000 tiba, wilayah ini masih diselimuti kekacauan dan kecemasan.
Di luar dunia hitam Jianghai, ada beberapa hal yang terpengaruh oleh kematian Liu Zheng, menimbulkan perubahan tak terduga yang tidak bisa diprediksi.
"Tuan Fang bilang, suruh saya menyampaikan terima kasih kepada Nona Jian... Uh, apakah ini membingungkan? Sebenarnya maksud beliau, jika ada kesempatan berterima kasih langsung bertatap muka atau lewat telepon, itu akan lebih baik..."
Awal Januari 2000, tak lama setelah Xiaohan, jalanan Jianghai diselimuti dingin yang tiba-tiba. Di bawah langit kelam, para pejalan kaki sudah memakai sweater tebal. Duduk di dekat jendela kafe yang menghadap jalan, Ye Lian melepas syal sambil berbicara dengan pemuda berbaju sekolah di sebelahnya.
"Kalian benar-benar tak bisa melupakan pencariannya ya." Jiaming melihat jam tangannya, "Aku cuma punya waktu 7 menit lagi."
"Cuma agak aneh, organisasi sehebat itu dengan jaringan seluas jaring laba-laba mencari dia. Kalau tidak ketemu ya sudah, tapi bahkan satu jejak pun tak ada..." Ye Lian tersenyum, "Tahu? Aku pernah curiga dia itu kau yang menyamar, tapi setelah kejadian dengan Pangeran itu, aku sadar pikiran itu bodoh."
"Uhh." Jiaming mengangguk ambigu, "Memang bodoh."
"Baiklah, kalau memang tidak mau muncul, aku tak akan bahas lagi. Tapi intelijen itu benar-benar menyelamatkan banyak hal. Hanya dengan menangkap mata-mata itu saja, kalau sampai berhasil, kebocoran data sistem rudal bisa membuat kita rugi miliaran. Jadi maksud Tuan Fang, kalau ada kebutuhan lain, jangan sungkan. Semua orang untung itu baru benar-benar untung."
“Makan tuh kue buat ibumu...” Jiaming menyesap kopi sambil mengutuk dalam hati, “Uhh, yang perlu akan kusampaikan.”
“Buru-buru jemput Shasha?”
“Dia bolos dua kelas lagi siang ini.” Jiaming menyeringai, jika tidak berhasil membawa pulang dia sebelum makan malam, Lingjing pasti akan marah-marah, benar-benar...
“Sungguh iri... Proses pemutihan Shazhu Bang basically tidak bermasalah, tapi... Haruskah terus berkonflik begini? Bukan mau protes, cuma merasa tak ada artinya...”
“Ada yang senang, itu sudah bermakna... Kenapa? Ada isu dari atasan?”
“Belum sementara ini. Hasil razia prostitusi dan ilegal sangat gemilang, prestasi Walikota Qu juga bertambah. Selama geng-geng bertarung tiap hari tanpa banyak korban, kami juga oke. Tapi... Kalau Shazhu Bang terus begini, Jalan Hitam akan perlahan meminggirkan mereka. Pada akhirnya apa bedanya dengan polisi? Aku sangat kagum dengan idealisme Shasha, kebahagiaannya tentu penting. Mungkin saat kalian berusia 30-40 tahun bisa bilang ke anak: Dulu waktu ibu jadi bos, siapa berani jual narkoba langsung kuhabisi! Tapi... Kapan kau akan membuatnya mengerti? Tindakan ini sebenarnya kurang bermakna.”
Jiaming membuka tangannya: “Menurutku sangat bermakna. Di bawah kepemimpinannya, perdagangan narkoba di Jianghai berkurang setidaknya separuh.”
“Tentu, tapi para pengedar terus bermunculan. Mau bertahan begini saja?”
“Demi keadilan.” Jawab Jiaming sambil berdiri melihat jam tangannya, “Aku akan mencarinya, dadah...”
“Dadah...”
“Ah, iya.” Setengah perjalanan, Jiaming kembali sambil mengerutkan alisnya, “Mulai sekarang kalau kita ketemu, ngobrol di jalan saja, jangan ke tempat seperti ini lagi...”
“Aku pikir ini lebih resmi.”
“Bukan. Wajahmu terlalu kewanitaan. Orang-orang lewat langsung mengira kau wanita, lalu heran melihatmu pria. Akhirnya pandangan mereka ke kita jadi tidak karuan... OK, cukup segini...”
Jiaming melambaikan tangan dan pergi. Ye Lian terdiam lama: “Bangsat...” Mengeluarkan cermin dari kantong dan mengamati wajahnya lama, yakin penampilannya sangat maskulin: “Selera estetika orang-orang ini bagaimana sih.” Gerutunya terdengar sampai ke meja belakang dimana seorang anak berkata: “Bu, kakak itu cantik sekali.” Seketika wajahnya runtuh.
“Jangan asal ngomong, itu kakak laki-laki.”
“Tapi dia sedang bercermin. Apa mau merias wajah? Aku cuma lihat Ibu yang bawa cermin rias, Papah enggak pernah...”
“Aku ini agen rahasia...”
Dalam hati ia ingin membela diri tapi hampir menangis...
Dengan perasaan kesal yang demikian, setelah membayar dan keluar dari kafe, ketika menoleh ke arah persimpangan jalan di sebelah kiri, bayangan Jiaming masih terlihat berdiri di sana. Satu tangannya memegang tiang listrik, tangan lainnya menopang dahi, tak bergerak sama sekali untuk beberapa saat. Jalanan saat itu dipenuhi orang-orang yang pulang kerja dan sekolah, sosok itu sesekali tertutup oleh pejalan kaki. Dia melirik beberapa kali, dalam hati bergumam: "Kau kan tidak tampan, buat gaya apa lagi?" Kemudian teringat bahwa pose itu mirip orang muntah karena salah makan, menoleh melihat kafe sekali lagi, ketika memandang kembali, sosok itu telah menghilang di sudut jalan.
## Bagian 363 Kikuk
Langit sore yang muram, angin dingin menerpa koridor di luar villa. Dari ruang samping terdengar suara televisi, beberapa orang duduk di sofa menonton.
"Waduh, katanya nona besar baru berusia tujuh belas tahun." Setelah beberapa saat menonton, pemuda yang jelas-jelas linglung tiba-tiba berbicara.
"Bulan Oktober tahun lalu sudah genap delapan belas," jawab seseorang di sebelahnya sambil lalu.
"Oh," orang itu mengangguk, tak lama kemudian bertanya lagi, "Katanya nona besar sangat cantik ya?"
"Memang cantik... Hei, Ah Xiang, jangan-jangan kau bermaksud? Nona Shasha sudah punya pacar, lebih baik lupakan saja..."
"Apaan sih! Cuma bertanya." Ah Xiang tertawa sebentar, "Ngomong-ngomong, bagaimana karakter nona besar?"
"Hah, buat apa nanya begitu? Hehe, pertama kali ketemu nona besar, grogi ya?"
"Sedikitlah. Dari luar dengar-dengar nona besar kalau mengerjakan sesuatu... ehm, sangat hebat. Pertemuan pertama ini, harus memberi kesan baik dong."
“Lihat dia yang tegang, beberapa orang di sekitar saling bertukar pandang, lalu tertawa serentak: ‘Ini ngapain sih, haha, katanya Ah Xiang di luar sana tidak takut langit maupun bumi, tidak memberi muka siapa pun, sekarang malah takut sama gadis kecil.’”
“‘Putri besar, masa bilang takut, hormatlah. Dulu waktu Zheng Ge masih ada, dia pernah bantu lunasin beberapa utang judiku, aku masih ingat,’ kata pria bernama Ah Xiang sambil bersikap masa bodoh, ‘Hei, nggak usah ketawa segitunya lah.’”
“‘Hehe, tenang-tenang, meski sifat Nona Shasha agak kaku seperti robot, tapi biasanya nggak marah sama orang dalam. Bebas saja, ceritakan saja kejadian kemarin sesuai fakta. Jujur aja, geng kecil seperti He Wen She berani ngasih ultimatum, sesuai sifat Putri besar, pasti langsung berkelahi lagi.’”
Ah Xiang duduk tegak: “Baguslah, soal berantem Ah Xiang nggak pernah takut. Sialan! Aku udah nggak betah lama sama si Da Tou Wen itu, kalau Putri besar bilang, aku langsung cari waktu buat habisi dia.”
Orang-orang di sekitar tertawa menyetujui. Beberapa saat kemudian, salah seorang berkata dengan nada haru: “Jujur ya, beberapa bulan lalu kita semua masih mau lihat Nona Shasha jadi bahan ejekan. Siapa sangka Shazhu Bang beneran berhenti urus narkoba? Menurut kalian, ini pasti rencana buat membersihkan nama geng kita, ya?”
“Tentu, bagian narkoba udah hampir bersih semua. Kalau terus begini, nanti jadi perusahaan besar dan go public pun mungkin.”
“Katanya Nona Shasha punya koneksi atasan?”
“Pastinya itu koneksi yang ditinggalkan bos.”
“Tapi kalau terus-terusan berkelahi seperti ini, juga merusak keharmonisan... Kabarnya pihak Geng Xinning sudah beberapa kali mencari pembunuh bayaran.”
“Bilang begitu, tapi konsekuensinya, katanya semua pembunuh itu sudah mati. Apa benar ada kejadian seperti ini aku juga tidak tahu, kalian pada tahu tidak?”
“Pernah dengar. Tapi sepertinya tidak pernah terjadi sekalipun...”
“Mungkin memang benar ada.” Mendengar semua orang ramai membicarakan ini, Ah Xiang menyela, “Chen sang tukang pisau dari Hedong sana, kalian kenal tidak?”
“Yang suka bertarung mati-matian itu? Katanya baru-baru ini rumahnya kebakaran sampai MATI?”
“Bukan kebakaran biasa, ada yang sengaja membakar.” Ah Xiang menurunkan suaranya, “Katanya dia terima pesanan untuk menargetkan Nona besar, hari itu mau ngeblokir orang di gerbang Shengxin. Setelah orangnya pergi, kabar pembunuhan tidak ada, malah malam itu rumahnya kebakaran. Saat membersihkan TKP, mayatnya, kakaknya yang bekerja di bar, plus pacar kakaknya bertiga MATI, seluruh keluarga dihabisi.”
“Baru-baru ini sibuk urusan Geng Xinning sama Kakak Meng, jadi tidak dengar kabar ini...”
“Tapi menurutku mungkin saja. Secara logika kita sudah berperang lama, mustahil tidak ada sama sekali upaya pembunuhan bayaran, tapi memang tidak pernah terjadi...”
“Jangan-jangan semua pembunuh sudah dihabisi... Mungkin sekeluarga besar diam-diam dibasmi...”
“Benar, ada beberapa hal aneh juga di pihak Xin Ning Bang kan? Shi Ming yang kecelakaan mobil sampai jadi daging hancur ditabrak gerobak, lalu Huo Jia'an yang bertugas mengatur personel tempur juga tiba-tiba keracunan makanan, masuk rumah sakit tapi tidak tertolong sampai jadi vegetatif. Setelahnya investigasi pun tidak membuahkan hasil...”
“Ssst. Hal-hal ini sudah dikatakan Kakak Xiao Meng, jangan diomongin sembarangan. Pokoknya tidak ada hubungannya dengan kita, anggap saja tidak pernah terjadi...”
“Betul, betul...” Sambil mengangguk setuju, semua orang merasakan perasaan kompleks yang sulit diungkapkan. Di balik Shazhu Bang seolah ada bayangan kekuatan yang kuat, tapi anehnya sebagai tulang punggung kelompok, mereka sama sekali tidak tahu latar belakang sosok ini. Untuk sesaat mereka bingung apakah harus takut atau justru bangga. Di saat yang sama, seseorang menghampiri: “Xiang-ge? Nona memanggilmu ke sana.”
“Baik.” Setelah menunggu setengah jam, Ah Xiang menghela napas dan mengikuti orang itu melewati terowongan internal. Sebelum sampai ke kamar di ujung, sudah terdengar suara gadis yang marah-marah: “Bercanda macam apa ini! Barang 2 juta bermasalah minta pertanggungjawaban ke aku? Hah, dia kan pedagang narkoba, sudah pasti ada risikonya. Mau negosiasi silakan! Mau bikin semua orang resah jelang Tahun Baru? Aku siap temani sampai tuntas...”
Saat mendorong pintu masuk, dia langsung melihat sosok gadis yang sedang dilanda kemarahan itu.
“Wajah oval yang cantik dan detail, kunciran rambut ekor kuda yang rapi, postur tubuh sekitar 1.7 meter. Meski cuaca sedang memakai sweater tebal, tetap terlihat siluet ramping dan proporsional gadis itu. Setiap gerakannya memancarkan vitalitas cerah khas remaja 18 tahun. Di balik seragam sekolah biru-putih yang ketat, terlihat sweater turtleneck merah muda. Gadis itu kini sedang berjalan mondar-mandir di dekat jendela sambil mengerutkan kening, kedua tangan terbenam dalam kantong.”
“Meski membawa aura pemberontakan, menghubungkan sosok cantik ini dengan identitas manajer komunitas besar yang menguasai 10.000 anggota dalam sekejap, tentu sulit diterima kebanyakan orang. Rasanya agak canggung untuk langsung menyapa. Xiao Meng yang sedang duduk di dekat pintu mengangguk ke arahnya: ‘Ah Xiang datang, silakan duduk.’”
“Hmm, Kakak Meng... Bos...”
“Saat dipanggil ‘bos’, gadis di dekat jendela langsung tersadar. Senyum merekah di wajahnya: ‘Kak Xiang, panggil saja Sha Sha. Katanya kamu sudah lama menunggu di luar? Maaf ya, kami kira urusan di tempatmu butuh waktu lama. Silakan duduk, jangan sungkan.’”
“Begitu terima telepon langsung bergegas kesini. Baru sampai.”
“Melihatnya masih berdiri sopan, Xiao Meng menepuk sofa di sebelahnya: ‘Duduklah! Dengar kabar kemarin ada masalah di tempatmu. Si Kepala Besar Wen datang ngasih ultimatum, ceritakanlah. Sebenarnya kami sekarang punya konflik dengan banyak pihak, tak masalah tambah beberapa geng kecil lagi.’”
“Oh, seperti ini.” Ah Xiang mengangguk, “Kemarin Da Tou Wen datang dan bilang, tentang kuota narkoba, kalau kita tidak mau mengerjakan, masa harus membiarkan para pecandu kelaparan. Katanya dia sudah berdiskusi dengan beberapa bos, kalau kita tetap seperti ini, maka……”
Masalah Shazhu Bang saat ini basically menghadapi ketidakpuasan dari berbagai pihak sejalan. Setiap kali basically tidak jauh berbeda. Saat Ah Xiang baru bicara setengah, anggota geng yang tadi membawanya masuk juga datang, berbisik di telinga Xiao Meng. Xiao Meng tersenyum, mendekati Shasha dan membisikkan pesan. Seketika, gadis yang tadi masih berteriak ingin berperang melawan geng kriminal kejam itu langsung berubah wajah, melihat jam tangan: “Kenapa tidak segera menghadangnya!” Menoleh, “Ah, Xiang Ge, urusan ini nanti bicarakan saja dengan Kakak Xiao Meng, aku ada hal harus segera pergi, permisi dulu……”
Dia berbalik mengangkat tas sekolah dari sofa di belakang, lalu berlari secara sembunyi-sembunyi ke arah lain. Melalui jendela kaca, terlihat jelas sosoknya yang sedang berlari kencang menuju pintu belakang villa.
Xiao Meng mengangkat tangan dengan ekspresi kekecewaan, memberi isyarat pada Ah Xiang untuk tetap di tempat sambil menggelengkan kepala keluar. Tak lama, dia kembali membawa seorang pemuda yang juga membawa tas sekolah: “Lihat, dia sudah kabur……”
“Persis seperti ini tidak boleh ya.” Pemuda yang tampak biasa-baik saja itu mengerutkan kening, “Hari ini bolos dua kelas lagi, Lingjing pasti akan marah-marah. Kalau dia sudah marah, aku dan bos kalian semua dalam bahaya... Sudah berapa lama pergi?”
“Baru saja.”
“Sudahlah, aku akan mencarinya...” Pemuda itu melihat jam tangannya, mengangguk ke A Xiang di dalam kamar, kemudian juga berjalan menuju pintu belakang. Xiao Meng masuk ke kamar sambil tersenyum: “Hal sudah diketahui, besok akan ada orang yang pergi berunding dengan Da Tou Wen. Kalau dia paham situasi itu bagus, kalau tidak beres, A Xiang di pihakmu mungkin harus mempersiapkan perkelahian, tidak bermasalah kan?”
“Profesional.”
“Heh, baguslah.”
Setelah menjelaskan urusan di kamar, meninggalkan villa, saat mendekati halte bus di sekitar sana, A Xiang kembali melihat pemuda ber-tas sekolah yang sedang menunggu bus itu. Hatinya bertanya-tanya: Inikah pacar Nona Shasha? Bagaimana melihatnya sama sekali tidak ada daya tariknya.
Sebelum dia mendekat, sebuah motor melesat dari sudut belakang, tiba-tiba berhenti di depan halte bus. Ksatria di atas motor menyangga kaki sambil melepas helm VR, memperlihatkan wajah Shasha yang penuh senyum: “Hei, Ganteng, mau numpang?”
“Meski saat ini memakai seragam sekolah, dalam cahaya senja, gadis yang mengendarai motor itu tetap memancarkan aura gagah dan memikat. Pemuda dengan wajah lesu berjalan mendekat, prak! menepuk tengkuknya hingga kepalanya mengkerut. ‘Gebrak dia,’ kata Ah Xiang dalam hati.”
“Namun, dalam pandangan, gadis Jalan Hitam yang dianggap punya pihak pendukung kuat oleh orang lain hanya mengembungkan pipi, menunjukkan ekspresi pasrah. Pemuda berkata: ‘Dilarang nyetir, turun!’”
“Tolonglah, biarkan aku merasakan sensasinya.”
“Aku sudah dewasa... Cuma nyetir setengah jalan.”
“Baiklah, aku takut kau...”
“Dengan wajah kesal turun dari motor, pemuda duduk di depan. Gadis kemudian naik dan merangkul erat tubuhnya. Kedekatan mereka yang berpelukan itu jelas sudah melampaui batasan. Motor melesat dalam langit suram sore itu, menghilang di ujung jalan... Kembali ke rumah kontrakan, mereka disambut kemarahan Lingjing yang meledak.”
Keputusan yang dibuat Jiaming pada bulan September lalu untuk memperkenalkan Shasha ke dunia Jalan Hitam, seringkali membuatnya merasa seperti dirasuki hantu ketika mengingatnya. Dia pada dasarnya bukan manusia normal, dan pandangannya terhadap dunia hitam sebenarnya jauh dari penolakan yang dirasakan kebanyakan orang. Awalnya, pemikirannya adalah karena Shasha ingin mencoba, biarkan dia merasakannya sekali saja. Bagaimanapun juga, setelah kematian Liu Zheng, gadis yang memiliki hubungan intim dengannya ini tidak memiliki saudara selain dirinya dan Lingjing. Meskipun permintaan itu terkesan manja, dengan pertimbangan kemampuannya yang memadai, dia menyetujuinya dengan sikap yang hampir seperti memanjakan.
Dengan menyerahkan sebagian intelijen tentang Pei Luo Jia yang diketahui saat ini sebagai transaksi dengan [], Jiaming mendapatkan hak mutlak atas dunia bawah Jianghai. Dukungan sumber daya masif dari [], perencanaan oleh para profesional, serta bantuan dari pihak pemerintah—tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan di dunia hitam. Pada periode ini, dia berharap ketika suatu hari nanti Shazhu Bang akhirnya berhasil diputihkan, dan Shasha telah memuaskan idealisme berdarah panasnya, dia akan menyadari fakta bahwa saat ini mustahil memberantas narkoba sepenuhnya. Shasha bukanlah orang yang tidak paham sopan santun—suatu hari ketika dia berhasil keluar dari bayangan kesedihan atas kematian ayahnya, secara alami dia akan menerima kenyataan ini. Namun selama proses ini, terjadi banyak hal sepele yang sama sekali tidak dia antisipasi.
"Lingjing tidak menyukai urusan Jalan Hitam. Dia juga khawatir akan keselamatan Shasha. Terhadap hal-hal ini, dia selalu menjaga sikap observatif. Dengan perlindungan Jiaming, sebagian kekhawatirannya bisa berkurang. Tapi di saat bersamaan, Shasha memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap urusan ini. Ketika Shasha sering menyita waktu untuk mengurus urusan Shazhu Bang dan belajar menanganinya sampai harus meninggalkan pelajaran, Lingjing akan benar-benar menunjukkan kemarahannya."
"Mengenai karakter dua perempuan ini: Shasha bertipe 'mulut pisau tapi hati tahu' (tampak kasar namun lembut hati). Lingjing biasanya kalem dan imut, tapi ketika serius bisa sangat tegas. Dia tidak menghujat, hanya berbicara dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya menangis – kekhawatirannya terhadap Shasha sangat tulus. Shasha pun tak berani membantah atau bercanda, hanya memeluknya sambil terus meminta maaf. Kali ini pun sama, ketika mereka pulang ke rumah, Lingjing sudah menyiapkan makanan sendirian. Kali ini dia diam saja, mempersilakan mereka makan. Sambil makan, air matanya mengalir menetes ke mangkuk."
"‘Maaf...’ terisak-isak berkata, Lingjing berdiri dan berjalan ke kamar sambil mengusap air mata. Shasha segera melompat bangkit, berlari ke pintu dan memeluknya, bergumam: ‘Aku salah...’"
"‘Lagipula kau tidak pernah mendengarkan aku...’ tangisnya."
"‘Aku benar-benar salah...’ Shasha terus mengakui kesalahan."
"‘Aku juga tidak bilang laranganmu terhadap perdagangan narkoba mereka itu tidak baik. Tapi kau tidak boleh menelantarkan pelajaran! Ujian akhir semester sudah dekat, kau malah bolos...’"
"‘Aku janji akan lulus dengan baik...’"
“Pokoknya kalau nanti kau gagal ujian, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa...”
“Mulai hari ini aku akan belajar setiap malam, bohong itu babi...”
Harus diakui, ledakan diam Lingjing justru paling membuat Shasha tidak berdaya. Bertiga masuk ke kamar, satu menangis, satu menghibur dan mengakui kesalahan. Jiaming di luar tersenyum sambil makan, setelah beberapa saat, mengulurkan tangan mengusap-usap kepalanya.
Entah mengapa, sakit kepala yang sempat mereda selama beberapa bulan setelah urusan Pangeran, tiba-tiba menjadi sering seperti letusan gunung berapi dalam setengah bulan terakhir. Awalnya ketika Kelly datang, karena sakit kepala semakin parah, dia berencana melakukan pemeriksaan sendiri. Tapi setelah urusan Pangeran selesai, frekuensi sakit kepala tiba-tiba berkurang, akhirnya dia malas melanjutkan. Sebagai manusia biasa, harus diakui dia juga punya kebiasaan buruk menghindari pengobatan. Tapi sekarang, pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan tampaknya sudah menjadi keharusan...
Setiap kali bertengkar seperti ini, kedua cewek justru menjadi semakin mesra. Terutama di cuaca dingin seperti ini, bertiga telanjang berkumpul dalam satu selimut memiliki daya pikat yang luar biasa. Tapi karena malas turun untuk membersihkan bekasnya, frekuensi hubungan fisik mereka justru berkurang. Malam itu, dua cewek itu berbaring di dada Jiaming dan mengobrol selama berjam-jam, baru tertidur lelap menjelang pukul satu dini hari. Sekitar pukul dua, Jiaming bangun dari ranjang, mengenakan pakaian, turun dari jendela, menuju rumah sakit terdekat yang paling sepi.
“Cuaca berangin dan dingin tiba-tiba menyerang. Di tengah malam yang sedalam ini, rumah sakit sepi. Saat Jiaming tiba di departemen radiologi, satu-satunya dokter jaga sedang terbungkus selimut tidur nyenyak. Dia menusukkan jarum bius ke leher mereka, mengunci pintu, lalu mulai mengatur setting di komputer...”
Dalam aliran cahaya neon kota, waktu berlalu tanpa terasa. Pukul empat dini hari, membawa kantong kertas besar, Jiaming keluar dari gerbang rumah sakit. Dia berdiri di tepi jalan memandang arus lalu lintas di kedua sisi. Area ini bukan jalur utama Jianghai, hanya sesekali ada mobil yang melintas cepat. Hanya lampu jalan yang memanjang lurus dan sepi. Dia duduk di tepi taman bunga, angin dingin berhembus saat ekspresinya tampak bingung. Mungkin untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun ini, setelah urusan malam hari selesai, dia tak terlalu buru-buru pulang.
Setelah duduk sebentar, matanya tertuju pada lampu jalan terang. Dari kantong kertas, dia mengeluarkan hasil pemindaian X-ray otak, menatapnya tanpa berkedip. Sesaat kemudian, dia menarik napas dalam-dalam udara dingin, lalu menutup mata.
“Bagaimana bisa... ngapain sampai jadi begini...”
## Bagian Tiga Ratus Enam Puluh Empat Booking Itinerary
“Guru Qin, mengembalikan buku.”
Di Perpustakaan yang sunyi, dari arah konter peminjaman terdengar suara perempuan jernih. Xu Yiting tersenyum sambil meletakkan beberapa buku pelajaran bisnis kuliah di atas konter.
“Ah, Xiao Xu? Buku seberat ini sudah selesai dibaca?”
Yang menjabat sebagai pustakawan adalah seorang perempuan berambut memutih, tergolong paruh baya. Rambutnya membuat penampilannya terlihat lebih tua, namun jika disebut nenek-nenek, matanya masih memancarkan keceriaan dan vitalitas khas orang paruh baya. Singkatnya, Bu Qin ini memiliki aura unik yang mampu memengaruhi orang lain. Dulu kampus sempat membuat beberapa proyek kerja sambil kuliah secara simbolis, Xu Yiting sering datang membantu di perpustakaan sehingga mereka pun cukup akrab. Melihat kedatangannya kali ini, Bu Qin meletakkan buku di tangannya dan keluar dari kamar dalam, dengan lincah mengarsipkan beberapa buku sambil mengenakan kacamata.
"Sepertinya Xiao Xu nanti mau jadi wanita karier tangguh, ya."
"Ah tidak, cuma mempelajari dulu saja. Bagus juga untuk persiapan masa kuliah."
Tidak bisa dipungkiri, apa yang akan menjadi karakter seseorang pada akhirnya dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Sebelumnya, Xu Yiting memiliki karakter yang tertutup, mengenakan kacamata besar yang mempermalukan dengan dua kepang di belakang kepala, tidak bergaul dengan orang-orang dalam keseharian, dan memang tidak banyak yang mau melibatkan diri dengannya. Namun belakangan ini setelah bersama Dongfang Wan, belajar menjadi asisten, memimpin beberapa urusan perusahaan mainan, serta membuka diri, akhirnya ia berhasil keluar dari bayangan ayahku. Kini dengan mengganti kacamata besarnya menjadi bingkai ramping yang cantik, dipadukan potongan rambut pendek yang rapi serta jas hujan putih yang pas, membuat seluruh diri ini terpancar aura intelektual yang jarang dimiliki perempuan sebaya. Di kampus, bahkan mulai banyak anak laki-laki yang mengajak ngobrol atau memberinya surat cinta. Tapi hal-hal seperti ini sering menjadi bahan candaan antara dia dan Dongfang Wan. Setelah mengalami banyak hal yang mungkin tidak dialami teman sebayanya, untuk cinta sejati, dia belum memiliki banyak harapan untuk sementara.
"Tapi ujian akhir semester kan sudah dekat. Lewat semester ini, tahun depan akan jadi masa tersibuk untuk kalian para mahasiswa. Nanti harus lebih fokus ke pelajaran ya." Mengetahui situasi Xu Yiting, Guru Qin itu tidak banyak mengkritik "interaksi tidak fokus pada studi"-nya. Setelah merapikan buku-buku, dia mengembalikan kartu anggota perpustakaan. "Ngomong-ngomong, sudah Konfirmasi mau masuk universitas mana?"
"Beijing saja." Jawab Xu Yiting sambil tersenyum.
"Qinghua? Universitas Peking?"
"Aku mana sehebat itu. Yang penting bisa masuk universitas mana pun di Beijing."
“Ini sudah ada kesepakatan dengan Dongfang Wan, ya.”
“Hehe.” Xu Yiting tersenyum tanpa konfirmasi. Situasinya memang seperti itu, tapi tak perlu dijelaskan lebih lanjut. Guru Qin mengangguk, Xu Yiting melambaikan tangan masuk. Baru beberapa langkah, terdengar suara dari belakang: “Oh iya, sepupumu sepertinya masih di dalam, sudah lebih dari dua jam belum keluar.”
“Sepupu?” Xu Yiting mengedipkan matanya, lalu tersenyum mengangguk.
Masih ada beberapa anak keluarga Huang di Akademi Hati Kudus. Namun sejak Huang Haobing melakukan bunuh diri, yang disebut sepupu olehnya hanyalah Jiaming. Hubungan mereka pun tidak terlalu dekat, paling-paling hanya saling menyapa saat bertemu. Sebenarnya dulu pernah ada masa dimana Xu Yiting bahkan membenci Jiaming. Tapi ketika hidupnya sudah punya tujuan dan berkecukupan, banyak hal bisa dianggap lelucon. Asal-usul kebencian itu sendiri sulit dijelaskan. Dulu dirinya hidup sangat kekurangan, punya rasa rendah diri terhadap semua orang dan hal. Jiaming adalah kerabat tapi tak bisa membantunya, lama-lama perasaan ini berubah jadi pelampiasan amarah. Padahal faktanya, Jiaming juga anak yatim piatu - mana mungkin bisa membantunya? Tentu saja, mungkin itu juga kecemburuan. Meski status mereka sama, dia punya banyak teman hebat seperti Lingjing, Shasha, Kaoru, juga Bu Guru Zhang yang baik hati.
“Perpustakaan Akademi Hati Kudus sebenarnya juga merupakan yang terbesar dan terlengkap di kota ini. Di Tiongkok, melakukan sesuatu pertama-tama harus memperhatikan kemewahan, tanpa peduli apakah itu bisa memberikan manfaat maksimal. Mayoritas mahasiswa Akademi Hati Kudus berasal dari keluarga kaya, hanya sedikit yang benar-benar rajin datang ke perpustakaan setiap hari. Namun banyak cendekiawan dan peneliti di kota ini menggunakan koneksi untuk mendapatkan kartu akses, sering meminjam buku. Saat ini, perpustakaan yang biasanya jarang digunakan terlihat sangat sepi. Xu Yiting naik ke lantai dua, menghabiskan setengah jam seperti biasa memilih beberapa buku manajemen bisnis universitas. Saat melewati beberapa ruang baca, matanya sengaja atau tidak sengaja melirik ke dalam.
Awalnya memang tidak berniat berinteraksi khusus dengan Jiaming. Namun selama setengah tahun terakhir, kesan Xiao Wan terhadap Jiaming tampaknya berubah drastis. Saat dua perempuan ini membicarakannya, meski keduanya masih mengerutkan alis, terlihat jelas bahwa Xiao Wan sudah menganggapnya sebagai teman. Tidak banyak orang di ruang baca. Saat melewati sebuah pintu, dia melirik ke dalam. Bayangan Jiaming duduk di meja paling ujung, asyik membaca sesuatu. Tidak ada yang perlu disapa, dia berbalik badan hendak pergi. Tapi tepat di saat yang sama, dari jarak sekitar dua puluh meter, bayangan itu tiba-tiba mengangkat kepala seolah merasakan sesuatu, menatap ke arahnya.
Senyum mengembang di wajah, Xu Yiting pun berjalan mendekat.
"Sepupu."
"Oh, kau juga mau meminjam buku?" Setelah meliriknya, Jiaming mengangguk.
“Hmm, kebetulan ya.” Dia tersenyum dan duduk di depan Jiaming, menjulurkan kepala melihat halaman buku yang terbuka serta catatan lain yang sama sekali tidak dimengerti——tentu saja, isi buku itu juga tak dipahaminya, terlihat gambar jaringan informasi otak manusia, area-area, dan berbagai istilah profesional beserta simbol-simbol, “Kau sedang baca buku kedokteran ya?”
“Hmm.” Jiaming mengangguk, lalu tersenyum, “Aku mungkin akan jadi dokter nanti... Heh, setengah kemauan sendiri, setengah terpaksa.”
“Pengaruh tante Duan Jingxian kan? Tapi bukannya katanya dokter bedah?” Keluarga Lingjing memang punya hubungan dengan keluarga Huang, jadi tentang Duan Jingxian, dia juga cukup mengenal.
“Tak perlu dikotak-kotakin, cuma meneliti saja.” Jiaming berkata sambil mencoretkan simbol-simbol lain di buku catatannya, meski simbol-simbol itu sama sekali tak bermakna, tidak karuan dan sama sekali tidak masuk akal. Xu Yiting melirik sebentar, mengangkat alis hendak pergi, teringat sesuatu, “Oh ya, Xiao Wan lagi mengorganisir liburan musim dingin, beberapa hari lalu bilang mau mengajak kau dan Lingjing serta mereka. Kalian ikut?”
“Heh...” Jiaming terkekeh, “Dia kan bukan pertama kali ini, kok tiap kali masih harus ngajak juga...”
“Xiao Wan menganggapmu Teman, gimana?”
“Mungkin tidak ada waktu deh, aku tanya dulu ke Lingjing sama Shizuka apakah mereka antusias... Ngomong-ngomong, kalian mau ke mana?”
"Prancis." Dia menggigit bibir sejenak, "Itinerary dasarnya dirancang Xiao Wan merujuk panduan wisata: Pertama terbang ke Amsterdam di Belanda, lalu transit ke Lyon. Dari Lyon naik mobil ke resor ski Val d'Isère di Alpen, main ski selama 2 hari, kemudian naik kereta ke Paris, jelajahi 4-5 hari sebelum pulang. Bagaimana?"
"Paris... Heh, kebetulan." Jiaming merenung, "Liburan musim dingin mungkin aku ke Paris juga, tapi... Itinerary berbeda dengan kalian. Aku tidak akan main ski, masih ada urusan..."
"Selesai ski baru urusan dong, ramai-ramai bersama."
"Ah, lupakan. Aku tidak bisa."
Xu Yiting tersenyum: "Nggak banyak yang bisa kok. Aku juga sama sekali tidak bisa. Tapi Xiao Wan bilang, jatuh beberapa kali pasti bisa. Kayaknya dia juga pengalaman pertama."
"Lebih baik tidak. Urusan resmi."
"Aku beri tahu Xiao Wan, biar dia yang membujukmu." Mengedipkan matanya, Xu Yiting menggendong buku berdiri, "Aku duluan pergi."
"Nggak usah bilang ke dia."
"Dadah..." Gadis itu melambai sambil tersenyum pergi. Saat bayangan itu menghilang di luar pintu, pandangan Jiaming kembali tenang bagai air tergenang. Jari-jarinya membalik halaman buku kedokteran tebal itu, lalu alisnya berkerut halus: "Paris, sekarang masih ada?"
"Masih. Mereka sedang merancang transaksi besar. Hmm, kukonfirmasi dulu..."
Dialog dua manusia ini merambat melalui dua komputer yang terpisah setengah bola bumi. Sesaat kemudian, informasi masuk: "Benar. Mereka sudah nongkrong lebih sebulan. Wah, 10 juta euro, benar-benar transaksi raksasa..."
“Oh, bantu awasi dia untuk sementara, hal ini akan segera berakhir.”
“Kau yang datang ke sini, atau aku yang mengantarkannya untukmu?”
“Kira-kira sebulan lagi, aku akan pergi ke Paris.”
“Bagus sekali, besok aku akan pindah ke villa di Paris, Natalia juga ikut lho.”
“Permaisuri dengan kesadaran diri kedua itu terlalu menakutkan, aku tidak ingin menemuinya.”
“Tidak masalah, kurasa kau bisa mengalahkannya.”
Di depan komputer, Jiaming tersenyum dengan kekecewaan.
“Bicarakan itu nanti, di sini ada data-data kondisi kesehatan seseorang, bantu analisis situasinya.”
“Oh, kirimkan.”
Jari-jarinya mengetuk keyboard, Jiaming mengirim data ke ujung bumi. Kemudian, ia menarik napas dalam-dalam menunggu jawaban. Waktu mengalir dalam keheningan tengah malam. Entah kapan, Lingjing datang membawa secangkir kopi dalam keadaan setengah tertidur, lalu merebahkan diri di kakinya. Jiaming menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Sekitar beberapa menit kemudian, barulah muncul satu baris bahasa Inggris di layar komputer: “Dari mana kau menemukan riwayat penyakit ini...”
“Bagaimana situasinya?”
“Aku sudah meminta beberapa ahli melihatnya. Jika kau ingin hasil paling konkret dan pasti, harus menunggu analisis. Tapi jika mau kesimpulan kasar, sekarang bisa kukatakan - sembilan puluh sembilan persen kemungkinan orang ini, dia...”
Dia memandang hasil analisis di sebelah sana dengan tenang. Sepuluh menit kemudian, dia mematikan komputer, menggendong tubuh Lingjing kembali ke kamar tidur, lalu menyelip di antara dua tubuh yang tertidur lelap. Gesekan suara dedaunan bergumam pelan sesuatu, memeluk lengannya dan mendekat. Di balik selimut yang hangat, Jiaming menatap langit-langit, perlahan menutup matanya...
Keesokan harinya adalah hari Sabtu, waktu yang tepat untuk tidur larut. Namun tepat pukul delapan, terdengar ketukan di pintu. Jiaming buru-buru mengenakan pakaian dan membuka pintu. Dongfang Wan dengan jaket bulu angsa kuning cerah sedang berdiri di anak tangga sambil mengembuskan napas dingin, lalu tersenyum cemerlang:
"Hei."
## Bagian Tiga Ratus Enam Puluh Lima: Berangkat
Setelah Dongfang Wan pergi, Lingjing bangkit dari sofa sambil mengikat rambut belakangnya dengan karet gelang menuju dapur: "Ke Paris? Jiaming, kenapa tiba-tiba ingin ke sana?"
"Iya, Paris... romantis sekali." Suara Sha Sha terdengar dari kamar dalam. Saat ini dia sedang berbaring di ranjang, menyembulkan senyuman: "Cewek-cewek di sana sangat terbuka."
"Batuk... Kalian mau ikut? Jika mau, kita bisa ikut Dongfang Wan bersama-sama."
"Boleh juga." Lingjing membawa baskom air cuci muka sambil tersenyum keluar dari dapur: "Kebetulan kita bisa pergi bersama, biar Sha Sha tidak tinggal tidak karuan selama liburan musim dingin..."
“Aku mana ada tidak karuan, tapi komunitas… tidak, urusan perusahaan memang banyak. Tahun Baru sebentar lagi, aku agak tidak ingin pergi…” Shasa bergumam di ranjang. Terlihat, di hatinya saat ini juga ada perlawanan. Pergi berlibur ke Paris bertiga dengan Jiaming dan Lingjing, hal ini memang memiliki daya pikat yang sangat besar baginya.
Jiaming tersenyum: “Sebenarnya… hal ini juga ada hubungannya denganmu Shasa. Tapi, pergi atau tidak tetap tergantung keputusanmu… Dapat intelijen, orang itu ada di Paris.”
Shasa tertegun sejenak, kemudian tubuhnya berguling Byur! kembali berbaring di ranjang, menatap langit-langit dengan bengong. Lingjing membelai rambut sampingnya yang terurai, mengedipkan matanya: “Liu Shijie?”
“Uhh, dia sedang merancang kasus besar di Paris. Kupikir aku bisa memberinya kejutan.”
Sudah setengah tahun sejak meninggalnya Liu Zheng. Selama ini Shasa tidak sengaja menyebut Liu Shijie, mungkin juga paham bahwa orang yang sudah kabur tidak bisa ditemukan polisi, pihaknya pun tak berdaya. Dia fokus pada usaha antinarkoba Shazhu Bang. Ketika waktu telah berlalu begitu lama, Jiaming pun mulai paham bahwa sudah saatnya mengakhiri hal ini. Setelah menyelesaikan yang harus dilakukan, menghukum yang bertanggung jawab, mungkin Shasa bisa keluar dari bayangan Liu Zheng ini. Baik Shazhu Bang maupun narkoba, dulu saat Liu Zheng masih hidup dia tidak ingin berurusan dengan ini. Ke depannya, Jiaming dan Lingjing tentu juga tidak ingin ini menjadi masa depannya.
Kamar itu sunyi. Lingjing tak lagi mengajak ikut, Jiaming menanti jawabannya. Beberapa saat kemudian, Sha Sha berguling di ranjang: "Aku tidak ikut, Jiaming pergilah... Terserah... Lingjing, kau juga main-main ke Prancis saja."
"Kalau gitu aku juga tidak pergi." Lingjing memeras handuk untuk Jiaming, "Nanti telepon Xiao Wan ya, Jiaming. Bagaimana kalau kau ikut mereka? Apa tidak ganggu urusan di Paris?"
"Urusan sih simpel, tidak masalah. Tapi aku kan bukan mau liburan..."
"Dia sudah datang menjemputmu dengan tulus, kau jelas mau pergi tapi memaksa pergi sendiri. Nanti dia juga sakit hati. Xiao Wan itu selalu antusias ke semua orang..." Lingjing meliriknya, "Wah, sepertinya dia lebih perhatian ke kamu. Jangan-jangan dia naksir?"
"Ini sulit dijawab." Jiaming yang sedang cuci muka meletakkan handuk, berpikir mendalam, "Kau juga tahu, orang yang dekat denganku pasti akan menemukan keindahan dalam diriku. Sulit mencari cewek yang tidak tertarik..."
"Cih—" Lingjing dan Sha Sha di kamar dalam serentak tertawa. Sebuah bantal meluncur dari kamar. Jiaming melemparkan handuk, bergegas masuk: "Cari masalah ya! Dasar, hari ini sudah bayar uang perlindungan belum! Jangan sembunyi, kau yang di selimut tanpa baju itu!"
Pagi-pagi buta, dari dalam kamar terdengar suara berkejaran yang bergemaar... Akademi Hati Kudus akhirnya menyambut ujian akhir semesternya. Berbeda dengan kebiasaan sekolah umum yang biasanya baru libur sebelum tahun baru imlek, liburan musim dingin Akademi Hati Kudus relatif lebih panjang. Ini mungkin karena pertimbangan bahwa banyak keluarga mahasiswa biasanya memiliki banyak basa-basi sosial. Beberapa hari setelah hari raya Laba, ujian akhir pun berakhir. Sekelompok guru dengan cepat memeriksa lembar jawaban, memberi nilai dan menulis komentar. Begitu pengumuman dibagikan, tibalah masa liburan.
Para mahasiswa telah libur. Guru seperti Yahan masih memiliki banyak pekerjaan penanganan pasca yang harus diselesaikan. Ketika mendengar rencananya pergi ke Paris, ekspresinya menunjukkan kerinduan: "Aku benar-benar ingin ikut main ke sana. Sudah lama aku tidak ke Eropa... Mungkin aku ambil cuti saja dan ikut..." Setelah tinggal sendiri di Inggris selama beberapa tahun, suasana Eropa sudah sangat ia kenal. Dalam arti tertentu, bisa dibilang dia adalah ahli serba bisa di sana. Setelah bernostalgia sebentar, dia tersenyum lagi, "Heh, cuma bercanda. Kau ke sana untuk urusan resmi. Shizuka dan yang lain juga tidak ikut. Lebih baik aku di rumah saja dan lebih sering mengajak mereka main. Tapi... Kenapa setiap musim dingin kau selalu pergi melakukan hal-hal sensasional?"
"Ini semua sudah diatur oleh penulis."
"Apa?"
"Hmm, maksudku... Sebenarnya aku adalah Sinterklas."
“Ah, Natal sudah lama berlalu.” Bertiga saat ini duduk di ranjang hangat dalam kamar, tepat setelah bercinta, Yahan memeluk dadanya dengan malas sambil menelungkup, bahu putih bersihnya terpapar udara di luar selimut. Setelah tersenyum, ia kembali menatap tajam wajahnya, “Hei, jangan-jangan ada si cantik lain yang menunggumu untuk diselamatkan? Setelah kau selamatkan, kau akan mengajaknya ke penginapan seperti padaku, habis memanfaatkan lalu menyembunyikannya di sini. Cepat jujur!”
“Hmm, soal itu, terlalu banyak cewek cantik yang kukenal dan banyak yang berpotensi seperti itu. Aku belum bisa memastikan siapa... Coba pikir, Xiao Hong mungkin, lalu Xiao Qing, kemudian Xiao Hua juga sepertinya bermasalah...”
Dia menghitung jari dengan serius. Yahan memukulinya sambil tertawa: “Bagaimanapun, mainkan saja baik-baik. Aku tahu kau hebat, urusan balas dendam Paman Liu pasti beres, tapi jaga juga dirimu. Jika lagi ada peluru beterbangan, sehebat apapun kau tetap riskan kena musibah... Aku tahu kau paham semua ini, tapi hal seperti ini tak ada salahnya diingatkan... Belakangan mereka mulai mengganggu lagi, kadang aku benar-benar ingin punya bayi, sebenarnya jadi ibu tunggal juga tidak buruk...”
“Yahan memiliki keluarga dan latar belakang terpandang, parasnya cantik dengan aura memikat, sehingga tak pernah kekurangan pengagum dari berbagai kalangan. Dulunya ia bersikap dingin pada kebanyakan orang, terutama selama paruh kedua tahun lalu saat berkonflik dengan Jiaming, ekspresi wajahnya yang beku berhasil mengusir banyak pelamar. Namun sejak awal tahun ini, suasana hatinya lebih cerah dan cara bergaulnya pun berubah, sehingga jumlah pengagumnya kembali bertambah. Sayangnya, dalam urusan seperti ini, Jiaming tak bisa membantu dengan teknik yang sah. Yahan yang sudah terlatih memang punya cara sendiri untuk menghadapi mereka, tapi dengan jumlah yang semakin banyak, hal ini tetap saja merepotkan.”
“Dari standar hubungan pacaran, waktu yang mereka habiskan bersama sebenarnya tak banyak. Mungkin karena merasa bersalah pada Lingjing dan Shasha, Yahan tak pernah mengeluh. Setiap kali bisa bersama, ia selalu berusaha membahagiakan. Namun dalam sebuah hubungan asmara, siapapun pasti ingin bisa lebih lama dan lebih terbuka bersama sang kekasih. Keinginannya memiliki anak mungkin lebih didorong oleh rasa kesepian yang sering menghampiri. Menghadapi topik seperti ini, Jiaming tentu tak bisa merespon. Setelah hening sejenak, Yahan berkata: “Oh ya, belakangan ini kamu masih sering sakit kepala? Sudah periksa ke rumah sakit?”
“Ah. Beberapa hari lalu sempat periksa, hasilnya… luar biasa…”
“Ada apa?”
“Pas di-CT scan otak, ketemu dua karakter terpateri: IDIOT… itu pun ditulis dalam aksara oracle…”
“…Bahkan hasil CT scan-nya pun unik, memang hebat.”
“Iya, hebat… Aaaaa——Jangan gigit aku, sakit sakit sakit sakit sakit……”
Sejak Liu Zheng meninggal, Shasha bisa dianggap sebagai yatim piatu. Meski mewarisi harta yang besar, ia tak punya rumah sendiri. Begitu libur dimulai, ia langsung ditarik oleh Ayah-Ibu Ye ke perguruan silat untuk tinggal bersama Lingjing. Loteng yang dulu sering ditempati Jiaming sudah direnovasi dan kini menjadi kamar eksklusif Shasha. Bagaimanapun juga, sejak dulu ia sering menganggap tempat ini sebagai rumahnya sendiri, jadi kali ini pun tak ada kesulitan beradaptasi. Meski nyaman, dalam menangani urusan Shazhu Bang jadi agak merepotkan. Tapi di hadapan Ayah-Ibu Ye, tentu saja ia tak mungkin menunjukkan kesan harus menyediakan banyak waktu untuk berkecimpung di geng kriminal.
Karena beberapa pertimbangan, setelah liburan Kaoru memilih tetap di Jianghai. Berkat undangan Lingjing, gadis Jepang yang tenang dan cantik ini pun ikut menetap di perguruan silat, bisa pergi-pulang bersama Shasha setiap hari. Didikan keluarga Jepangnya membuatnya sangat paham tata krama. Di mata Ayah-Ibu Ye, gadis yang terlihat penuh kedamaian ini dengan cepat membuat mereka berdua berhasil membangun simpati lebih banyak. Hanya saja, ketika Jiaming pulang dari Eropa dan ingin menginap di perguruan silat, ia terpaksa tidur di sofa. Seringkali ia menemukan alat tulis yang menghilang di tempat-tempat tak terduga seperti kaki ranjang atau sela sofa—konsekuensi dari Kaoru yang ikut mengerjakan PR liburan bersama Lingjing dan yang lainnya di sini. Tentu saja, ini adalah kisah lanjutan.
Tanggal 19, salju pertama tahun 2000 mulai turun. Hari keberangkatan yang disepakati adalah tepat sehari setelah. Untungnya meski salju lebat, pesawat tidak dibatalkan. Bangun pukul 06.00 pagi, langit masih gelap, hanya terlihat serpihan salju kelabu. Jiaming menginap di sofa perguruan silat. Saat berpakaian dan bangun, lampu dapur menyala. Ibu Ye dan Lingjing sudah bangun lebih awal menyiapkan sarapan untuknya. Setelah bersih-bersih dan makan sedikit, mereka memanggil taksi di persimpangan. Saat mobil kecil perlahan menjauh, terlihat bayangan Lingjing melambaikan tangan di belakang.
Pukul 06.40 tiba di bandara. Langit masih kelabu, lampu-lampu sekitar menyelimuti aula bandara dalam suasana hangat dan kejayaan. Begitu turun mobil, langsung terlihat Dongfang Wan yang mengenakan jas hujan mengayun-ayunkan bendera di pintu masuk bandara. Sebagian besar teman sekelas lain sudah datang, 50-60 orang membentuk adegan spektakuler dengan membawa koper besar dan kecil. Laki-laki dan perempuan berbicara riang di aula bandara.
"Bagaimana bisa baru sampai sekarang ini." Jiaming melotot sambil tersenyum, terlihat ingin menendangnya, namun kakinya baru sampai di udara, berputar dengan cantik mengubah posisi tubuh, bertepuk tangan keras, "Sudah sudah, hampir lengkap semuanya, absen berkumpul, teman-teman sekelas, Ladies and Gentlemen, perjalanan romantis Prancis kita, dimulai, cowok ganteng itu, kalau mau merayu cewek nanti saja dibilang, keluarkan dulu Yiting, terima kasih, daftar nama masih ada padanya, kalau mau bantu bawakan barangnya silakan, tidak ada yang menghalangi..."
## Bagian Tiga Ratus Enam Puluh Enam Tiga Puluh Ribu Kaki
Melalui tirai salju yang kelabu memenuhi langit, di ujung laut luas tak bertepi sebelah timur muncul semburat putih keabu-abuan pertama fajar, pesawat terbang menuju langit, dari jendela terlihat ke bawah, seluruh kota bagai hutan baja dalam cahaya lampu yang kabur namun megah, sungai yang memantulkan cahaya mengalir deras dari tengah kota menuju laut, di permukaan laut kelabu kehitaman yang dipenuhi salju di kejauhan, juga terlihat samar-samar titik-titik cahaya kapal yang keluar masuk pelabuhan.
Jiaming duduk menempel erat di sandaran kursi dekat jendela, karena seorang teman sekelas perempuan di sampingnya sedang mengangkat kamera ke bawah untuk memotret, meski tubuhnya telah mengenakan sabuk pengaman, tapi kedua tangan terangkat panjang, menunjukkan kecintaan yang penuh pada pemandangan salju kota ini.
"Kalau tidak... ganti posisi?"
"Eh... tidak usah..."
"Tetap lebih baik ganti."
“Gadis ini bernama Wang Tujia, penampilannya cukup cantik. Selama beberapa tahun menjadi teman sekelas, meski lingkaran pertemanan Jiaming sempit, mereka tentu saling mengenal. Setelah menolak beberapa kali, akhirnya dia menukar posisi dengan Jiaming. Membungkuk di depan jendela, dia memotret kota yang semakin menjauh. Saat itu, lebih dari separuh kabin pesawat dipenuhi remaja yang sedang berlibur. Mereka semua berbicara riang gembira. Melihat Jiaming berganti posisi, Dongfang Wan menoleh ke belakang dari arah depan samping.”
“Hei, lupa bertanya. Kenapa Lingjing dan Shasha tidak mau ikut main?”
“Shasha masih ada urusan. Awalnya aku ke Paris juga ada hal yang harus diselesaikan, jadi mereka tidak ikut...”
“Oh begitu... Sekarang Shasha sudah jadi kakak pemimpin...” Dongfang Wan berpikir sejenak, “Ke Paris buat apa?”
“Belanja.”
“Nggak serius, nggak mau cerita ya udah.” Dengan pengalaman sering berhadapan dengan Jiaming, Dongfang Wan paham: jika pihak lawan tidak mau bicara, memaksa hanya akan bikin kesal sendiri. Mengayunkan tangan, dia kemudian tersenyum sambil mengedipkan mata ke arah Jiaming, berbisik dengan gerak bibir: “Si cantik lho, untung kau.” Tiket pesawat ini diaturnya. Rupanya penempatan Wang Tujia di sebelah Jiaming juga hasil rancangannya.
"Jika diperlukan, Jiaming sebenarnya juga bisa mengobrol dengan kebanyakan orang, hanya saja karena sudah bertahun-tahun menjadi remaja pendiam yang kikuk, saat ini tak perlu mengubahnya. Setelah pesawat keluar dari awan, sinar matahari menyinari jendela di sisi kiri. Wang Tujia mengambil beberapa foto, lalu mulai merasa bosan. Penampilannya lumayan, di sekolah biasanya termasuk perempuan yang cukup aktif, sayangnya ditemani Gu Jiaming yang membuatnya tak menemukan topik obrolan, akhirnya hanya menatap awan di luar jendela dengan bosan. Tak lama kemudian, akhirnya menoleh: 'Hei, Gu Jiaming.'"
"'Hmm?'"
"'Itu... hubunganmu dengan Xiao Wan cukup akrab ya?'"
"'Akh?'"
"'Umm, semua orang berpikir begitu... tentu saja Xiao Wan ramah pada semua orang.'"
"'Oh.'"
"Dia menjawab dengan kaku. Dongfang Wan di depan samping sepertinya mendengar namanya, menoleh dengan bingung. Wang Tujia melambaikan tangan sambil tersenyum, pihak sana tentu membalas senyuman sebelum kembali dengan wajah penuh tanya. Setelah keheningan lagi, Wang Tujia berkata: 'Gu Jiaming, kamu sepertinya... uh, kurang suka bicara ya? Kita sudah sekelas lebih dari dua tahun, belum banyak mengobrol kan?'"
"'Hmm, mereka bilang karakternya memang buruk...'"
"'Haha, tidak juga kok.' Wang Tujia buru-buru menyangkal sambil tersenyum, 'Tapi hubunganmu dengan Ye Lingjing dan Liu Huaisha selalu sangat baik. Banyak yang iri dengan relasi kalian.'"
"'Hubungan buruk sejak kecil yang sekarang sulit dipisahkan.'"
“Banyak teman sekelas laki-laki yang kukenal ingin mengejar Ye Lingjing dan teman Liu Huaisha, sayangnya mereka hanya memberikan perhatian khusus padamu, banyak orang yang iri setengah mati.”
Bagaimana kau bisa mengenal banyak teman sekelas laki-laki... Di dalam hati, Jiaming berpikir jahat, namun yang diucapkannya adalah: “Standar mereka berdua cukup tinggi, haha, dan selama SMA kami sudah sepakat tidak membicarakan hal-hal itu...”
“Oh begitu ya... Eh, ngomong-ngomong, pernah nonton 《Dunia Truman》?”
“Belum...”
“Uhh, kalau begitu...”
Berinteraksi dengan berbagai macam orang juga termasuk bagian dari eksplorasi yang harus diterima anak-anak dari keluarga terpandang. Melihat Wang Tujia yang tampak kesulitan mencari topik pembicaraan di sampingnya, Jiaming nyaris tertawa. Sebenarnya alasan mengapa mereka harus bersusah payah seperti ini bukanlah untuknya, juga bukan sekadar sopan santun, melainkan lebih karena hubungan baik Jiaming dengan Dongfang Wan. Keduanya menghabiskan waktu dalam situasi tanya-jawab ini, Dongfang Wan menengok beberapa kali, akhirnya tak tahan lagi dan berdiri: “Xiao Jia, kita ganti tempat yuk? Aku ingin duduk di tepi jendela melihat pemandangan luar.”
“Baik.” Wang Tujia menghela napas lega, tiba-tiba tersenyum sangat cemerlang. Mereka berpindah tempat melewati Jiaming, Dongfang Wan duduk di sebelah Jiaming sambil memasang sabuk pengaman dan mengangkat mata. Dia sudah terbiasa berhadapan dengan Jiaming, kali ini pun terasa sangat natural.
“Haihh, sudah diaturkan si cantik tapi tidak bisa mengendalikan... Bagaimana harusnya kukatakan padamu...”
Jiaming tertawa: “Pacarku dulunya putri bos geng kriminal, sekarang jadi kakak pemimpin Jalan Hitam. Pengaturanmu ini sama sekali tidak realistis.”
“Kau takut sama Shasha? Menurutku selama ini apapun yang kau katakan pasti dia dengar. Kau ini manusia paling licik.”
“Itu namanya penghormatan...”
“Baiklah, penghormatan.” Dongfang Wan tidak mau berdebat. Ia melirik jam tangannya, lalu memandang keluar jendela yang semakin gelap. “Zona waktu yang menarik. Baru saja terang, sudah gelap lagi. Di Amsterdam nanti kita masih pagi... Oh ya, dalam perjalanan ke Paris ini mungkin kita akan bertemu Ying Zilan. Kau tahu siapa dia?”
“Tentu saja, kakaknya Ying Zifeng. Namanya mirip.”
“Dia jauh lebih hebat dari Ying Zifeng... Sebenarnya kedatangan mereka ke Paris terkait kerjasama dengan Grup Sid. Tapi para bos di atas pasti sudah berkoordinasi. Jika kita pergi, pasti akan bertemu. Aku tidak tahu apakah Lei Qing ikut, tapi kalau pun iya, kau tak perlu jadi perisai pembenaran lagi. Jangan sampai menghina mereka.”
“Kukira kau akan membatalkan perjalanan setelah dapat kabar seperti itu...”
“Aku baru tahu saat hendak berangkat. Tidak ada cara lain, kakakku yang memberi tahu lewat telepon. Sebenarnya Lei Qing sudah setengah tahun tidak menggangguku.” Dongfang Wan menyeringai. “Sepertinya karena kau membodohinya waktu itu. Tapi dia jadi bahan tertawaan di antara mereka. Nanti awas kalau dia melihatmu bisa langsung menghunus pisau...”
“Rasanya ikut denganmu adalah keputusan yang salah...”
“Haha.”
“Jelas sekali, bisa membuat Jiaming merasa kesal sangat membahagiakannya, meskipun sebenarnya kesal itu tidak banyak mengandung kesungguhan. Pesawat melaju lancar di atas awan, musim dingin telah tiba di belahan bumi utara, cuaca di berbagai tempat sebenarnya tidak terlalu baik. Hanya sesekali saat menembus awan atau terbang rendah, orang bisa merasakan suasana suram dalam kegelapan itu. Semua penumpang di kabin asyik mengobrol dengan gembira, membicarakan produk khas Belanda, salju Prancis, romantisme Paris. Mereka yang belum pernah ke sana sebagian besar membawa brosur perjalanan, saling bertukar pendapat dengan antusias. Dongfang Wan melihat brosur perjalanan berwarna itu sambil mengerutkan alis.”
“Ngomong-ngomong, setelah sampai di Paris, apakah kamu akan berpisah dengan kami?”
Jiaming mengangguk: “Sepertinya iya.”
Entah mengapa, wajah Dongfang Wan tiba-tiba menjadi muram. Setelah beberapa saat, dia berkata: “Kamu benar-benar tidak menarik sama sekali.”
“Eh, eh... Aku ke sana untuk urusan kerja, bukan main-main.”
“Museum Louvre, Place de la Concorde, Menara Eiffel, Gapura Kemenangan, dan Disneyland. Kamu tidak mau melihat-lihat?”
“Tidak ada antusiasme.” Tempat-tempat itu sudah tak terhitung kali dikunjunginya... Teringat pagi itu di Place de la Concorde, saat pertama kali bertemu Natalia yang sedang menjual bunga sambil bersepatu roda...
“Makanya kamu benar-benar tidak menarik.”
Jiaming tersenyum: “Kenapa? Apa kamu sangat ingin aku menemani jalan-jalan? Tidak mungkin kan, jangan-jangan kamu...”
“Aku hanya bersikap baik pada semua orang.” Dongfang Wan mengangkat dagunya, tanpa sedikitpun ekspresi gugup, “Lagipula kau pergi sendirian, paham bahasa Prancis? Kau bahkan tak bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik. Di sini setidaknya ada pemandu wisata yang bisa menemani dengan bahasa Inggris dan Prancis.” Untuk liburan luar negeri ini, dia sendiri menyewa dua pemandu, hanya saja pemandu ini bekerja sesuai instruksinya, jauh lebih baik daripada pemandu biro perjalanan biasa yang selalu membawa turis ke "toko khusus". Jiaming melihat ke depan di mana sepasang pria-wanita sedang mengajari beberapa teman sekelas bahasa Prancis dengan kikuk, lalu mengangkat bahu.
“Aku juga tahu bahasa Prancis lho. 'Halo' dalam Prancis itu... Bonjour!”
“Itu bahasa Prancis ala Tiongkok, setuju?” Dongfang Wan tersenyum sikut menyikutnya. “Perhatikan bentuk mulutku. Salam pagi itu Bonjour; salam malam itu Bonjour; selamat malam itu... Aaaaa--”
Dia sedang asyik menjelaskan tiba-tiba seluruh badan pesawat bergetar. Saat itu tak tahu sedang melintasi negara mana, di atas awan terlihat kilatan petir memanjang. Jiaming membuka mulut memandang badan pesawat yang gemetar. Dongfang Wan terpaku di kursi, satu tangannya *PRAK* menekan lengan Jiaming, mencengkeram erat, matanya Gulirik melihat sekeliling, tak mengucap sepatah kata pun.
“Semua penumpang... semua penumpang harap tenang. Ini hanya aliran udara normal di ketinggian, sebentar lagi akan membaik...”
Seorang pramugari berjalan cepat dari koridor menuju arah ekor pesawat, mengucapkan kata-kata menenangkan. Jiaming mencoba mengangkat tangan kanannya yang dicengkeram Dongfang Wan, namun dengan suara "Prak!" tangan itu kembali ditekan secara bawah sadar. Melihat sekeliling, wajah semua penumpang jelas pucat. Meski memahami kemungkinan kecelakaan pesawat kecil, berada di ketinggian 10.000 meter dengan kotak besi ini terus bergetar memang bukan pengalaman menyenangkan.
"Itu..." Dongfang Wan menyandar kaku, suaranya dipaksa tenang, "Di mana parasutnya? Mengapa pesawat tidak punya parasut..." Meski pandangannya kosong, jelas pertanyaan itu ditujukan pada Jiaming. Melihat kesungguhan hatinya bertanya, Jiaming tersenyum dan memutuskan berbaik hati menjawab:
"Biasanya kita terbang terlalu tinggi. Terjun dari sini dengan udara tipis dan suhu beku, turun sampai ketinggian aman 4.000 meter pun kita sudah jadi patung es. Lagipula penumpang tidak terlatih, bahkan jika terjun, sebenarnya sama seperti bunuh diri... Prak! Langsung hancur..."
Tiba-tiba jari Dongfang Wan mencengkeram kuat, kuku hampir menembus daging. Jiaming mengerutkan kening: "Ini sudah terlalu keterlaluan..."
Dongfang Wan meliriknya: "Kau tidak takut?"
Jiaming tertawa: "Bukankah pramugari sudah bilang ini hal normal? Kau belum pernah mengalaminya sebelumnya?"
"Belum..." Melihat ketenangannya, Dongfang Wan sedikit ikut tenang, lalu bergumam, "Kau... benar-benar manusia yang membosankan..."
Di ketinggian 30.000 kaki, kotak besi raksasa masih gemetar dan melesat...
## Bagian Tiga Ratus Enam Puluh Tujuh Bandara dalam Hujan
Setelah getaran pesawat mereda, kecemasan di kabin akhirnya stabil. Saat Dongfang Wan pergi ke kamar mandi, Wang Tujia yang sedang mengobrol dengan beberapa anak laki-laki menoleh: "Hei, Gu Jiaming."
"Hmm?"
"Kau benar-benar tidak takut sama sekali tadi?"
Jiaming tertegun: "Kenapa tanya begitu?"
"Kulihat wajah pramugari itu sampai pucat, tapi kau malah masih bisa bercanda."
"Tidak juga." Jiaming tersenyum kecil, "Lihat saja anak-anak di sebelahmu tadi, Li Song dan yang lain bilang itu pengalaman seru."
"Semua orang tertawa kaku. Tapi hanya kau yang masih menggodai Xiao Wan seperti biasa..."
"Aku tidak perhatikan ekspresi pramugari." Jiaming tertawa, "Lagipula ada si cantik di samping, harus bertahan mati-matian. Sebenarnya aku juga takut."
Walau tak punya hubungan dekat, Wang Tujia tersenyum: "Kupikir kau sama sekali tidak takut." Tak bisa melanjutkan pembicaraan. Saat itu Dongfang Wan datang dari arah kamar mandi, wajahnya merah merona penuh noda air. Sampai di kursi Jiaming, dia menarik napas panjang sambil menepuk dada: "Aku hampir mati ketakutan!" Semua orang di pesawat telah melepas mantel atau jaket tebal. Wan yang kini mengenakan sweter kuning muda berbulu halus, dengan sempurna menonjolkan lekuk torso atasnya. Gerakan menepuk dada sambil tertawa ini memang memancarkan pesona imut dan daya tarik sensual.
Jarang ada percobaan merasakan sisi imut dari Dongfang Wan seperti ini.
Masuk ke kursi di dalam dan duduk, Dongfang Wan bertanya: "Barusan kau bilang apa tentang si cantik sama Tu Jia?"
"Bicara tentangmu."
"Cih... cih!" Kira-kira takut dengan penyelesaian ini, Dongfang Wan tersenyum menatap mati dia lama, menunjukkan ketidakpercayaan. Jiaming mengangkat bahu: "Aku rasa... kau harus punya keyakinan pada diri sendiri, tak peduli faktanya seperti apa."
"Aku tidak percaya padamu setuju? Kau akan bilang aku... bilang aku..." Dia terbata-bata lama, baru mengayunkan tangan dan menoleh ke jendela, "malas berurusan denganmu." Awalnya mengira Jiaming akan mengatakan sesuatu untuk membuatnya marah, tapi setelah lama menunggu dan menoleh ke belakang, Jiaming sedang duduk sambil membaca komik 《Detektif Conan》 dengan asyik. Dia menghela napas kecewa, mengeluarkan tape recorder dan mulai mendengarkan musik.
Setelah melewati aliran udara itu, pesawat pun terbang dengan stabil menuju Amsterdam. Di tengah perjalanan, mereka menyantap hidangan paket. Dongfang Wan yang bosan mendengarkan musik kemudian mengeluarkan majalah perjalanan. Tak lama, ia meminjam komik dari Jiaming sambil berkata "Dasar kekanak-kanakan", namun tetap membacanya dengan serius. Namun setelah beberapa bagian, ia mengembalikan komik itu dengan wajah tak bersemangat: "Sangat bagus." Tapi ekspresinya sama sekali tak mencerminkan pujian itu. Entah mengapa, raut wajahnya tampak cemas seolah ingin mengatakan sesuatu, namun gagal menemukan topik pembicaraan. Setelah menatap Jiaming beberapa detik, ia memalingkan muka ke jendela. Beberapa saat kemudian, Jiaming yang telah menyelesaikan satu bab mengangkat bahu, menyimpan kembali komik itu ke dalam tas sambil berkomentar: "Jangan dipaksakan. Bacaan ini tidak cocok untuk orang yang sudah kehilangan kemurnian."
"Apa maksudmu kehilangan kemurnian? Aku masih..." Tiba-tiba Dongfang Wan berbalik membalas secara bawah sadar. Di tengah kalimat, wajahnya memerah bagai api lalu ia membalikkan badan sambil berkata "Cih!". Jiaming terkejut dengan reaksinya, baru setelah beberapa saat ia mengedipkan mata: "Hm, maksudmu apa?"
“Kalimat ini memantik gudang api!” Dongfang Wan menyikut dada Jiaming dengan siku, yang berhasil dihadang secara bawah sadar oleh Jiaming. Kepalan tangan langsung menghantam mata kanannya, berusaha mengubahnya menjadi tokoh utama hewan dalam komik "". Tubuhnya menyamping, pukulan ini Byur! menghantam sandaran kursi. Teman sekelas laki-laki di belakang memandang penuh tanya, Jiaming tersenyum: “Hei, ini terlalu kejam ya.”
“Kau kabur cepat juga!” Melihat ada penonton, Dongfang Wan mendengus keras, lalu berkata: “Malas debat sama kau.” Memasang earphone dan melanjutkan mendengar lagu. Jiaming menggelengkan kepala, duduk rapi kembali membaca komik.
Dalam sisa waktu di pesawat, keduanya tidak melanjutkan diskusi soal keperjakaan. Jiaming asyik membaca komik, sementara Dongfang Wan mengganti kaset dan mulai belajar bahasa Prancis ala sistem kebut semalam. Menjelang pukul dua belas malam, pesawat mulai turun. Beberapa menit kemudian, Boeing 747 raksasa ini menembus awan, mempertontonkan pemandangan malam Amsterdam yang megah diselimuti hujan lebat. Saat lepas landas dari Jianghai masih terlihat matahari terbit, tapi saat tiba di Amsterdam, waktu justru mundur ke pukul lima pagi. Bagi yang pertama kali naik pesawat jarak jauh, mungkin ini saja sudah cukup membuat manusia merasa dunia begitu ajaib. Pesawat mendarat di Bandara Schiphol Amsterdam. Sesuai itinerary, seluruh rombongan akan transit sekitar tiga jam di bandara terbesar keempat Eropa ini, sebelum transit ke Lyon, Prancis.
Tiga jam bukan waktu yang panjang maupun pendek. Tentu saja, bahkan di dalam bandara, ada banyak tempat untuk menggerus waktu: area belanja bandara yang super besar—bahkan terkesan berlebihan, hidangan lezat dunia yang terkumpul di lantai dua bandara, berbagai kedai kopi khas, ruang istirahat, kamar mandi, ruang meditasi. Di Bandara Schiphol, bahkan langka terdapat sebuah museum dan kasino bandara. Semua orang yang telah memahami situasi sebelum tiba langsung bersemangat luar biasa. Setelah turun dari pesawat, mereka melapor sejenak lalu bergerak terpisah dalam kelompok kecil berjumlah 3-5 orang. Jiaming sendiri tidak punya tujuan khusus, hanya duduk di dekat pagar sementara lantai dua, memandang hujan lebat dan cahaya lampu yang kebingungan di balik jendela kaca raksasa. Wang Tujia yang baru saja memutuskan tujuan bersama beberapa teman sekelas akhirnya berlari menghampirinya: "Gu Jiaming, ikut kami main yuk! Mereka berencana ke kasino."
"Kasino? Heh, aku enggak ikut. Aku enggak bisa judi."
"Aku juga enggak bisa! Tapi Liang Mingchao dan Li Song bisa, dulu pernah main di Macau. Luo Jingwen juga bilang bisa kok. Ini kan kasino resmi, lihat-lihat gak masalah. Ayo lah!"
Melihat semangatnya, Jiaming tersenyum mengulang: "Sudahlah, aku enggak ikut. Kalian saja yang main."
"Oh." Si cantik punya harga diri. Setelah diulang dua kali, tentu tak melanjutkan bujukan. Mengayunkan tangan, ia berbalik pergi.
Setelah orang-orang itu pergi, Dongfang Wan berlari naik sambil membawa tas kecilnya, terlihat bersemangat entah mau ke mana. Melihat Jiaming duduk di sini, dia mengerutkan hidung dan mendengus pelan, lalu memutar kepala dan berlari pergi dengan sikap angkuh.
Jiaming duduk merenung, tiba-tiba menyadari dirinya memang tidak punya tempat tujuan. Di kehidupan sebelumnya, meski secara resmi dia adalah pembunuh dari markas Pei Luo Jia Jepang, namun setelah meraih reputasi - terutama selama periode kerja sama dengan Yoritomo Taku - sebagian besar operasinya justru di Eropa. Termasuk masa penyamaran selama setahun lebih untuk meruntuhkan Dark Celeste, termasuk kematian Yoritomo Taku di Eropa, termasuk dua kali menyaksikan serangan Jian Suyan, semua terjadi selama pengembaraannya di Eropa. Bandara ini pernah dia datangi berkali-kali. Tahun 2014 saat dia dibuntuti sekelompok polisi, bahkan sempat memasang bom di seluruh area bandara. Meski sebagian berhasil dibongkar polisi, dua diantaranya tetap meledak dan dikabarkan menewaskan lebih dari sepuluh orang. Sekarang teringat hal itu, rasanya agak rindu.
Sambil berjalan mengikuti ingatan menuju dua kamar yang pernah meledak itu, di tengah jalan baru sadar jalannya tertutup. Baru teringat bahwa sekarang masih tahun 2000, dua aula itu baru ada setelah perluasan tahun 2003. Kemudian hilang lagi setelah diledakkan tahun 2014. Sungguh perasaan yang aneh.
Mengingat kembali perasaan setiap kali tiba di bandara saat itu, terlihat santai tapi sebenarnya setiap kali sangat tegang——Tentu saja mungkin bukan sepenuhnya ketegangan, saat itu dia sudah terbiasa, selalu menjaga mental tetap waspada, memperhatikan segala hal di sekitar, dan secara bawah sadar menghitung jalan keluar jika ada yang terasa aneh. Beberapa orang mungkin mengira pembunuh bisa bertindak dengan gaya dan santai, tentu beberapa pemula yang baru memulai jalan ini mungkin seperti itu. Tapi begitu mengalami beberapa kali tembakan mendadak atau kepungan polisi, gaya dan kenyamanan itu pasti akan lenyap seketika. Ancaman kematian bisa membuat bayangan yang tak terhapuskan di hati manusia. Mungkin bisa mempertahakan tampilan santai dan tenang, tapi di kedalaman hati pasti akan terdistorsi. Sejak itu, kepekaan dan ketegangan akan menjadi bagian darimu. Setiap malam, kau tak bisa lagi merasakan tidur nyenyak yang sesungguhnya.
Tentu saja bagi pembunuh yang telah menjalani pelatihan Pei Luo Jia, sejak sebelum debut, mereka sudah terbiasa dengan keadaan hati yang penuh krisis. Namun kebiasaan tidak berarti normal, hanya pada saat ini, berjalan di bawah lampu terang supermarket dalam bandara, barulah ia bisa melihat dirinya yang dulu dengan jelas: Ia berjalan santai di depan, terkadang mengenakan jas, terkadang seragam kerja personel bandara, kadang bercengkerama dengan orang di sekitarnya, kadang berdiri di depan rak dengan cermat memilih barang bebas pajak, kadang memesan segelas kopi, duduk di depan jendela menikmati hujan. Tapi begitu ada situasi mencurigakan sekecil apapun, dalam waktu kurang dari 0.5 detik ia akan merenggut nyawa siapapun - entah dengan senjata, pisau, atau bahkan hanya sendok pengaduk kopi.
Kini ketika dipikir-pikir, delapan tahun telah berlalu dalam sekejap. Ia meninggalkan kehidupan itu menjadi anak kecil, lalu tumbuh dari anak kecil menjadi pemuda seperti sekarang. Ketika kembali ke bandara ini, berdiri di bawah lampu terang ini, ia tak perlu lagi terlalu waspada akan ada orang yang tiba-tiba melompat keluar membawa senjata...
"Jangan bergerak! Aku polisi penyidik internasional Dongfang Wan, kau sudah ditangkap..." Sambil memegang biskuit, Dongfang Wan melompat dari belakang rak depan.
"Aku... Bangsat... Sudah lama melihatmu, menyelinap sembunyi-sembunyi dari sana..." Jiaming menghela napas lemas.
"Aku juga sudah lama melihatmu! Mau gaya POSS apa lagi sendirian di sini? Berdiri di sini setengah hari, mau beli termos?" Ia menunjuk barang di rak depan Jiaming.
“Aku sedang berpikir bagaimana menggunakan termos ini untuk menghancurkammu secepat mungkin... Kau sendirian mau ngapain lagi?”
“Tidak tahu harus berbuat apa.” Dongfang Wan mengangkat tangan bingung, “Begitu banyak barang, melihat beberapa ingin membeli, tapi tidak mungkin kubawa ke Prancis, main-main di Paris lalu dibawa pulang, lalu... jadi bingung mau ngapain...”
“Di sana ada banyak makanan.”
“Tidak tahu yang mana enak, plus bahasa kurang lancar. Meski ada yang paham bahasa China atau Inggris setengah matiku, tapi... lebih baik tidak usah...”
Mereka berjalan sambil berbincang. “Kenapa tidak ikut pasukan besar? Kalau ada pemandu kan komunikasi lebih mudah.”
“Kau juga kabur sendirian... Untuk belanja, aku lebih suka bebas sendiri.”
“Aku tahu ada museum yang bisa dikunjungi.”
Dongfang Wan mengangkat dagunya: “Aku tidak tertarik dengan seni.”
“Wang Tujia mereka pergi ke kasino.”
“Aku selalu benci hal-hal yang didapat tanpa usaha...”
“Diam di ruang istirahat? Atau pergi berdoa?”
“Tapi itu juga membosankan, lagipula aku tidak beragama...”
“Pijat di sauna.”
“Sekarang ini, apa aku gila?”
“Kau memang gila...” Jiaming diam sejenak, mengulurkan tangan, “Tampaknya kita punya bahasa yang sama.”
“Lalu mau ngapain?” Dongfang Wan tersenyum sambil berjabat tangan.
“Aku lapar, ayo makan dan minum kopi sambil nunggu pesawat.”
“Hei hei hei, aku tidak terlalu lapar, lagipula...”
“Kalau tidak mau ya sudah.”
"Tidak punya solidaritas! Barusan bilang ada bahasa yang sama..." Dongfang Wan berdiri di situ, memandang bayangan Jiaming yang semakin menjauh, mendengus lalu mengejarnya lagi. "Kamu yang pilih makanannya, kalau tidak enak kamu yang bayar ya." Tampaknya saat hangout dengan orang lain, dia sudah terbiasa membayar sendiri sebagai cewek.
Akhirnya, dua orang yang bosan ini memutuskan untuk makan-minum. Setelah lebih dari dua jam, saat semua orang berkumpul kembali di luar, langit sudah terang. Mungkin karena pemandu sudah mengingatkan sebelumnya, yang belanja barang tidak banyak, tapi semuanya terlihat sangat menikmati. Kelompok Wang Tujia, Liang Mingchao, Li Song tampak paling bersemangat. Hingga naik pesawat dan sampai di Lyon, mereka terus riuh memamerkan keberuntungan hari ini. Liang Mingchao menang ribuan keping di kasino. Semua bilang ini pertanda baik, sepertinya perjalanan ini akan jadi sangat menyenangkan.
Pesawat tiba di Lyon saat langit sedang gerimis salju kecil, rombongan naik ke dua mobil wisata besar yang sudah disewa sebelumnya melalui koneksi di sini, bersiap menuju resor ski Val d'Isère di daerah ski Kelly yang berjarak lebih dari 200 kilometer. Waktu setempat Prancis tampak masih pagi, namun jam biologis rombongan yang telah lama terbang sudah mendekati malam. Setelah keriuhan sesaat, sebagian besar memilih untuk tidur sebentar sebelum mencapai lokasi tujuan. Ribuan keping yang dimenangkan pagi tadi seolah mempererat hubungan kelompok Wang Tujia, Liang Mingchao di belakang dengan suara rendah mengajarkan trik taruhannya dengan ekspresi berseri-seri, tak hanya anak laki-laki, beberapa perempuan juga terus mengangguk, jelas sudah jatuh cinta pada profesi menjanjikan bernama perjudian ini.
"Liang Mingchao dan Li Song sama-sama punya simpati lebih pada Luo Jingwen..." Bersandar di kursi besar berbulu halus yang nyaman di dalam mobil, Dongfang Wan bergosip dengan Jiaming dan Xu Yiting di sebelahnya, "Wang Tujia juga banyak yang suka loh, tapi kurasa dia cukup baik padamu, Jiaming..."
"Aku tak peduli siapa suka sama siapa." Xu Yiting tersenyum, "Jujur saja, tadi kalian pergi kemana? Sekejap mata langsung hilang, kucari lama sekali."
“Ketemu waktu lagi jalan-jalan.” Dongfang Wan menyeringai dengan santai, “Lalu makan bareng. Dia asal pesan pizza, aromanya ternyata enak. Terus ada kopi dan beberapa camilan kecil... Ngomong-ngomong, aku heran. Menunya pakai bahasa Inggris, kami nggak ngerti. Tapi sepupumu cuma asal tunjuk-tunjuk, kombinasi makanannya pas banget... Gu Jiaming, apa kamu sebelumnya pernah ke sini?”
## Bagian Tiga Ratus Enam Puluh Delapan Konflik Internal
Mobilnya terlihat baru, tapi kualitasnya belum tentu bagus. Di tengah jalan mogok sekali. Untung bukan masalah serius. Setelah diperbaiki di tengah badai salju, kami melewati pegunungan bersalju dan tiba di Warthill pukul lima sore. Di sini juga turun serpihan salju sebesar bulu angsa, langit kelabu muram seolah malam sudah tiba. Seluruh Warthill diselimuti cahaya lampu yang indah. Penginapan dan restoran bergaya Eropa dengan struktur kayu, lampu hiasnya memancarkan aura hangat nan eksotis di lembah pegunungan bersalju.
Dua bus besar yang membawa mahasiswa yang tertidur lemas terpesona oleh pemandangan ini, saling mendorong untuk bangun. Sebagian decak kagum akan keindahan lembah, sebagian lagi mencari kereta gantung dan kereta kabel legenda dalam senja yang dipenuhi salju. Tak lama kemudian, bus wisata besar berhenti di depan penginapan empat lantai. Begitu pintu terbuka, angin salju yang dingin langsung menyusup ke dalam mobil, membuat semua orang ribut mencari jaket. Saat masuk ke dalam penginapan, mereka berubah menjadi keriuhan antusias dan decak kagum yang memenuhi aula penginapan dengan gemuruh.
Interior penginapan di area salju didominasi nuansa hangat: lampu dengan nuansa hangat, langit-langit bernuansa hangat, dinding bernuansa hangat, serta sofa kursi yang terlihat sangat hangat. Warna-warna cerah dan hidup digunakan tanpa kesan norak. Berbagai mural bergaya Eropa, pilar-pilar di aula, bahkan perapian dengan ornamen indah. Segalanya sempurna untuk membuat orang-orang yang sebelumnya menggigil kedinginan merasa seperti berada di surga.
Aula yang awalnya hanya diisi beberapa orang, tiba-tiba dipenuhi oleh suasana ramai. Karena sudah melakukan booking sebelumnya, manajer penginapan itu mungkin sudah menunggu di aula sejak perkiraan waktu kedatangan nanti sore. Meski rombongan ini terlambat tiga jam, bos Prancis beruban dengan pakaian kesatria itu tak menunjukkan tanda kelelahan. Melihat begitu banyak orang tiba, kerut di wajahnya langsung berlipat ganda saat tersenyum. Saat berbicara dengan dua pemandu wisata dan memberikan deskripsi, bahasa Prancis yang keluar dari mulutnya persis seperti menembakkan senjata perangkap.
Pada waktu berikutnya, dimulai kegiatan jelajah garis besar dan alokasi kamar dalam keributan. Penginapan hanya memiliki empat lapisan, namun area internalnya benar-benar luas. Tentu saja banyak kamar single relatif mewah. Tapi dengan lebih dari lima puluh orang yang bertugas bersama, tempat yang perlu dihemat secara alami harus dihemat. Lagipula tinggal bersama bagi mahasiswa bisa dianggap sebagai pengalaman normal. Konsekuensi alokasi terakhir menempatkan kamar Jiaming di lantai dua, berbagi ruangan dengan seorang baron yang juga minim eksistensi. Sebelumnya sama-sama tak menjalin kontak, basically hubungan mereka hanya sekadar mengucapkan "Huu" saat berpapasan, lalu saling bisa diabaikan.
Meski waktu di sini baru memasuki malam, bagi semua orang yang masih mempertahankan jadwal harian ala Tiongkok, jam biologis mereka sudah mencapai tengah malam. Setelah makan malam mewah ala Prancis yang meriah bersama di restoran besar penginapan, waktu berikutnya berubah menjadi waktu bebas. Banyak yang tidur di mobil sore hari, kini baru tiba di area ski dengan semangat membara, lalu berjanji untuk jalan-jalan melihat-lihat sekitar penginapan. Ada juga yang seperti Dongfang Wan dengan jadwal ketat, sudah menguap terus saat makan malam, kini tentu berencana kembali ke kamar tidur.
Bagi Jiaming, setelah selesai makan malam, ia mulai berkeliling area ski. Tanpa tujuan khusus, juga tidak ada rasa krisis, sekadar memeriksa lingkungan sekitar sesuai kebiasaan profesionalnya, mengumpulkan data yang bisa dikuasai. Musim ski sedang puncaknya, turis dari berbagai negara terlihat di mana-mana menghidupkan kota kecil ini. Seiring makin gelapnya malam, pertunjukan ketangkasan motor es yang menegangkan dimulai di pusat kota. Setelah menonton sebentar, sekitar pukul delapan setengah, ia berbalik kembali ke penginapan.
Melewati koridor panjang, saat menaiki tangga, suara sedikit kacau terdengar dari lantai tiga. Beberapa teman sekelas yang mendengar keributan langsung berlari penuh semangat ke atas.
"Ada apa?"
"Katanya Liang Mingchao dan Li Song berkelahi..."
"Berebut apa ya..."
“Hal perjudian, cepat periksa...” Dalam perbincangan semua orang, Jiaming juga ikut naik ke lantai tiga. Dalam alokasi kamar, para perempuan basically tinggal di lapisan penginapan ini. Tentu saja, beberapa pasangan dengan hubungan baik yang belum tidur, secara alami ada situasi berkumpul di kamar masing-masing. Contohnya Liang Mingchao, Li Song, Luo Jingwen, Wang Tujia ditambah dua pria dan satu wanita lainnya, tujuh orang dengan hubungan baik berjanji di kamar Luo Jingwen dan Wang Tujia untuk main kartu atau catur. Namun, ketika Jiaming naik, hanya terdengar suara seperti berguling-guling berkelahi dari dalam kamar. Luo Jingwen memukul pintu dengan keras sambil berteriak marah: “Kalian berdua ini gila apa sih!” Wang Tujia juga ikut memukul pintu: “Hei, kalau mau berkelahi keluar! Ini kamar aku dan Jingwen!”
Seorang pelayan yang bingung mendekat, langsung diusir dengan ayunan tangan oleh kerumunan.
Jika perjalanan ke luar negeri hanya melibatkan dua-tiga orang, biasanya akan harmonis seperti satu keluarga. Tapi ketika jumlah orang banyak, perbedaan pendapat bukan hal yang sulit dibayangkan. Suara dari dalam tidak berlangsung lama. Dongfang Wan yang menyelimuti jas hujan berlari mendekat sambil mengerutkan alis, masih tampak mengantuk. Ia menyibak beberapa orang dan mendorong tubuh Jiaming ke samping: “Ada apa ini? Kalian cari pelayan ambil kunci atau hantam saja pintunya...”
Baru saja dia tertidur, mengira ada kejadian besar, langsung hendak menyuruh teman sekelas laki-laki di sebelahnya membentur pintu. Luo Jingwen cepat-cepat mengayunkan tangan: "Tidak apa-apa, Xiao Wan, cuma dua orang itu tiba-tiba berperilaku aneh... Hei, kalian tidak buka pintu kami akan bentur..."
Kali ini, keributan di dalam akhirnya berhenti. Samar-samar terdengar suara Li Song: "Cukup sampai di sini..."
"Aku yang cukup? Kalau tidak tahan bercanda jangan memulai!"
Pintu terbuka dengan byur. Li Song berdiri di gerbang, tampak lengkap anggota badannya, tidak ada luka di wajah. Entah apa yang mereka bahas dengan keributan tadi. Jiaming berniat jahat berkhayal sebentar. Li Song berteriak: "Siapa yang tidak tahan! Siapa! Cuma ke kasino sekali, dari Amsterdam sampai di pesawat, dari naik pesawat sampai turun pesawat, dari Lyon sampai sini. Habis makan malam masih terus bicara! Mau begadang? Kau Tang Sanzang ya!"
"Aku begadang urusanku sendiri! Kau cuma kalah beberapa ratus keping di kasino, tidak rela lihat orang menang, mentalmu tidak nyaman ya!"
"Beberapa ratus keping itu uangku untuk menemani kalian main. Aku tidak peduli! Tapi aku tidak suka kau terus membual tentang 'teknik judi' sepanjang jalan. Di dunia ini mana ada teknik judi? Kalau mau berlebihan sekali saja cukup! Kau mengoceh seharian seperti baca mantra tali pengikat kepala, aku minta berhenti kenapa tidak bisa!"
"Mana ada tidak ada teknik judi! Cari tempat kita bertaruh!"
Dua orang saling membongkar bekas luka di gerbang，Luo Jingwen, Wang Tujia dan yang lain segera mendorong mereka masuk："Lihatlah kalian seperti apa……"
"Jangan lanjutkan di lorong……"
"Padahal berteman baik, buat apa ribut untuk hal sepele begini……"
"Padahal dia tak tahan dijadikan bahan lelucon……"
"Siapa yang tak tahan dijadikan bahan lelucon……"
Dalam dorong-mendorong, Dongfang Wan di sisi ini wajah muram："Hei, tolonglah，kita sekarang di luar negeri，mau jadi bahan ejekan orang ya!"
Setelah dia berkata begitu，keduanya akhirnya dengan wajah muram didorong masuk ke kamar oleh yang lain. Sebenarnya sampai titik ini，yang lain sudah paham penyebabnya. Kombinasi tujuh orang ini basically terdiri dari pria ganteng dan wanita cantik dengan fasilitas memadai. Perempuan seperti Luo Jingwen dan Wang Tujia，lingkaran pergaulannya mungkin berbeda dengan Lingjing dan Shasha，tapi dalam hal penilaian kecantikan hampir setara. Dari empat pria dan tiga wanita，Liang Mingchao dan Li Song adalah dua anak laki-laki paling menonjol，sama-sama punya kebiasaan percaya diri berlebihan dan suka cari perhatian. Meski di permukaan terlihat akrab，sebenarnya saling tak mau mengalah.
Tidak hanya dalam hal menarik perhatian, mungkin lebih banyak persaingan dalam menarik pandangan cewek. Saat menunjukkan perhatian pada Luo Jingwen, mereka tak bisa melupakan Wang Tujia. Ketika pamer di depan Wang Tujia, mereka ingin Luo Jingwen juga melihatnya. Kebetulan beberapa cewek tidak memberikan sikap jelas ke siapapun, sehingga kombinasi kecil ini tetap bertahan dalam keadaan ambigu. Semua merasakan sensasi menegangkan seperti berjalan di atas tali, tapi tak ada yang mau memilih—mereka hanya menganggap ini sebagai manifestasi daya tarik masing-masing.
Mungkin juga karena keberuntungan Liang Mingchao kali ini terlalu baik. Dia tidak hanya menang uang, kebetulan juga menguasai beberapa trik sulap kartu kecil. Pamer tentang hal ini sudah terlalu lama, ditambah suasana liburan yang cocok untuk mengembangkan percintaan dan menampilkan diri, konflik antara mereka berdua akhirnya meledak secara resmi.
Tapi, di bawah mediasi kuat perempuan, setidaknya secara permukaan, mereka sudah sementara menyelesaikan konflik. Saat pintu kamar tertutup, Dongfang Wan mengayunkan tangan memberi isyarat untuk berpencar. Saat berbalik mau pergi, tiba-tiba seolah menyadari Jiaming juga ada di samping. Dia mengerutkan alisnya memandanginya lama, kemudian menguap lebar, menginjak langkah kecil sambil diam seribu bahasa kembali ke kamar.
“Bocah lelaki kecil yang membosankan, persaingan cemburu yang menjemukan, kemarahan memalukan yang tak berarti. Setelah menyaksikan semua ini, Jiaming kembali ke kamar dan tidur. Rekan sekamarnya baru kembali sekitar lewat sepuluh malam. Suara lampu dinyalakan dan dimatikan sesaat, kemudian kamar pun hening. Tengah malam tiba, langkah kaki tergesa-gesa tiba-tiba berhenti di depan pintu. Kesadaran Jiaming yang sedang terlepar tertarik setengah bangun - itu langkah lari Dongfang Wan... Tak lama kemudian, ketukan pintu terdengar. Dia membuka mata, menarik sisa kesadarannya sepenuhnya.”
“Rekan di ranjang sebelah masih terlelap seperti babi mati. Jiaming membuka pintu. Dongfang Wan terengah-engah berdiri di sana. Pakaiannya terlihat asal dikenakan, kerah baju yang semula rapi kini berantakan. Rambutnya pun acak-acakan, mirip istri yang baru kabur dari perselingkuhan dengan tergesa-gesa memanjat tembok. Jiaming menguap: ‘Cari siapa? Ada apa?’”
“Liang Mingchao dan Li Song bermasalah lagi...”
“Berantem lagi?”
“Bukan. Mereka pergi berjudi, Liang Mingchao kalah banyak. Katanya ketahuan main kecurangan lalu ditangkap.” Wajah Dongfang Wan penuh kecemasan. Jiaming menyeringai, sedikit mengerutkan kening.
“Tidak ada kasino di sekitar sini.”
“Katanya ini bukan kasino, cuma sekelompok orang yang iseng main uang di kamar sembarangan. Luo Jingwen dan teman-temannya hampir menangis saat kabur... Liang Mingchao itu... awalnya bilang ini cuma taruhan dadakan yang tidak akan ketahuan..."
“Bodoh dan naif...” Jiaming mengutuk dalam hati. Kawasan ski di Eropa setiap musim ramai dikunjungi turis dari berbagai negara bak PBB. Tempat ini tidak punya kasino resmi. Meski menggelar kasino ilegal bawah tanah berisiko, siapa yang mau melewatkan peluang bisnis sebesar ini? Yang bisa mengumpulkan orang untuk berjudi secara spontan biasanya adalah ular lokal yang spesialisasi mengatur taruhan dadakan. Di mana ada keuntungan, di situ ada geng kriminal...
## Bagian Tiga Ratus Enam Puluh Sembilan Kepala Bisa Dipenggal, Gaya Rambut Tidak Boleh Berantakan
Umumnya liburan ke luar negeri kebanyakan orang sebenarnya tidak bisa disebut benar-benar bebas. Mengikuti pemandu wisata dengan itinerary terjadwal, mengunjungi toko suvenir yang ditentukan, pulang ke tanah air hanya membawa beberapa foto dan oleh-oleh samar-samar - pada dasarnya semua itu tanpa makna.
Karena alasan ini, perjalanan yang diorganisir Dongfang Wan pada dasarnya bebas. Meski menggunakan uang untuk menyewa pemandu dan penerjemah, tetapi pada dasarnya, orang-orang ini hanya bisa memberi saran, tidak punya banyak hak bersuara. Dengan demikian, kebebasan meningkat, pilihan bertambah, dan kemungkinan masalah pun meningkat. Dalam perjalanan sebelumnya ke Hong Kong, katanya pernah ada kasus seseorang tersesat lalu bisa pulang sendiri. Dongfang Wan yang berwatak kuat menyukai tantangan, saat menceritakan kejadian itu setelahnya seolah menganggapnya sebagai episode indah. Namun saat kejadian sebenarnya, perasaan ragu dan panik yang dialami bisa dibayangkan persis seperti yang terlihat sekarang. Tapi...
"Tapi... kalau sudah terjadi hal seperti ini, kenapa kau panik mencari aku..."
"Yiting sudah memanggil orang satu per satu, aku cari kau duluan untuk segera ke sana..."
"Tapi kenapa harus kita..."
"Ehh..." Ekspresi Dongfang Wan yang awalnya juga panik tiba-tiba terhenti. Saat Jiaming menyebutkan hal ini untuk kedua kalinya, dia baru tersadar, menutup mulut dan tertegun sesaat. Jelas tidak menemukan jawaban yang tepat, "Banyak omong! Mau ikut atau tidak? Sudah terjadi hal seperti ini masih banyak bicara..."
Meski kata-katanya terdengar dominan bahkan kasar, ekspresi tegangnya bahkan membuat air mata hampir menetes. Jiaming menyeringai: "Baiklah, aku takut. Ambil baju dulu... Hei, tunggu aku pakai ya..."
"Baru saja mengambil jaket luar belum sempat pakai, sudah diseret Dongfang Wan lari keluar, teman sekamar lelaki itu baru bangun, setengah sadar menyaksikan kejadian ini. Langkah kaki mereka semakin menjauh, suara Dongfang Wan terdengar: "Yesus cepat bangun, lalu ikut orang-orang segera ke sini." Yesus adalah panggilan teman sekamar itu, mengangguk, baru teringat bertanya: "Ke mana? Ngapain?" Tapi mereka sudah lari sampai suara langkah kakinya tak terdengar.
"Urusan begini harusnya pertama hubungi kedutaan dan lapor polisi dong, kau mau menyelesaikan sendiri?" sambil mengikuti turun tangga, Jiaming berkata. Dongfang Wan di depan tetap menggeleng: "Nanti dulu. Liang Mingchao dolar kabur berjudi, kalau lapor polisi plus hubungi kedutaan, pasti banyak masalah, semangat liburan jadi hilang semua. Lagipula ini daerah wisata internasional, mereka pasti tak berani buat masalah terlalu besar. Dan... pokoknya mungkin nanti aku juga akan menghadapi hal serupa, kita kan banyak orang, kalau perlu baru hubungi kedutaan dan negoisasi dengan polisi..."
Melihat wajah paniknya yang menyimpan sedikit kegembiraan, Jiaming langsung paham: gadis bersemangat polos hingga agak idiot ini sudah menganggap insiden ini sebagai ujian bagi dirinya sendiri. Seperti dalam game, tantangan monster level tinggi memberi EXP lebih banyak, tapi syaratnya...
“Kau harus jamin bisa bertahan hidup dulu……” Tiba-tiba terpikir, sebenarnya dirinya memang bisa memberikan jaminan sampai tingkat tertentu, tak disengaja mengerutkan kening…… Jangan-jangan Dongfang Wan adalah tokoh utama wanita komik bergenre……
Sepanjang jalan melewati lorong menuju aula, dua pemandu wisata, Luo Jingwen yang panik, serta beberapa baron yang turun lebih dulu sudah menunggu di sana. Melihat Dongfang Wan berlari lama hanya untuk menarik Jiaming, meski bingung, tentu tak bisa mempermasalahkan hal ini sekarang. Salah satu pemandu berkata: “Nona Dongfang, menurutku meski tak ingin masalah jadi besar, setidaknya kita harus menghubungi kedutaan. Kalau-kalau ada masalah……”
Belum selesai bicara, Dongfang Wan sudah mengangguk: “Aku tahu. Aku, Jiaming, dan Jingwen akan pergi dulu. Paman Chen ikut sebagai penerjemah. Paman Wang tunggu di sini sampai Yiting memanggil yang lain turun, baru berangkat bersama. Jika ada masalah, segera hubungi telepon. Jumlah kami banyak, menjelaskan dengan baik seharusnya tak masalah. Jingwen, ayo berangkat.”
“Tapi……” Kemampuan Dongfang Wan di antara teman sebaya memang cukup baik, tapi hanya sebatas itu. Belum sampai level bisa berhadapan dengan geng kriminal. Luo Jingwen ragu sejenak, akhirnya menyusul. Jiaming mengencangkan baju berjalan di belakang. Dari penjelasan panik Luo Jingwen, secara garis besar sudah memahami situasi detailnya.
Situasi tentu bermula dari perkelahian malam itu. Meski saat itu atas bujukan beberapa cewek, Liang Mingchao dan Li Song sempat berdamai sementara, namun mereka semua masih muda dan panas kepala. Selama persaingan cinta ini belum ada penyelesaian, keadaan tentu tidak akan membaik. Keduanya saling menghindari percakapan, namun masing-masing menyimpan perasaan. Liang Mingchao diam-diam bertanya pada dua pemandu wisata tentang lokasi kasino terdekat. Kebetulan kedua pemandu yang sedang berkeliaran itu mendengar kabar tentang taruhan kecil yang diadakan sementara. Mengetahui Liang Mingchao menang pagi itu, mereka langsung memberi tahu. Liang Mingchao pun pulang dengan semangat mengajak semua untuk kembali ke kasino.
Sebagai remaja 17-18 tahun, meski masih kurang pertimbangan, mereka mulai bisa berpikir. Separuh dari mereka menolak ide pergi ke kasino ilegal tanpa perlindungan hukum, dengan Li Song sebagai penentang paling sengit. Justru sikap Li Song ini membuat Liang Mingchao yang biasanya tidak nekat menjadi bersikeras ingin mencoba. Setelah debat panas, akhirnya keputusan diambil: mereka akan pergi melihat-lihat, berjanji akan segera pergi jika situasi berbahaya. Lagipula di kawasan wisata resmi seperti ini, keamanan masih terjamin.
Dalam situasi seperti ini, rombongan bersama dua pemandu menemukan kamar di sisi lain kota kecil. Sekitar 30-40 orang berkumpul di dalamnya, terlihat seperti pesta taruhan sederhana yang diorganisir oleh para pelancong dari berbagai daerah, suasana harmonis. Semua orang mulai merasa lega dan mulai berjudi, namun Liang Mingchao yang sangat ingin menunjukkan diri kali ini tidak beruntung, selama setengah jam pertama kondisinya tidak menang maupun kalah. Sindiran pedas Li Song membuat Liang Mingchao tampak biasa saja di luar, tapi dalam hati mungkin sudah mulai tidak nyaman. Namun, inilah awal ketidaknyamanan yang sebenarnya.
Dalam waktu berikutnya, Liang Mingchao mulai kalah besar-besaran hingga menghabiskan semua kemenangan pagi itu plus keping emas yang dibawanya. Rombongan mulai merasa aneh, tapi karena Li Song ada, Liang Mingchao memilih tidak pergi dan langsung mengambil kartu kreditnya untuk menarik uang tunai. Meski ada yang mencegah, Liang Mingchao bersikeras bisa menang kembali. Sikapnya teguk dan menggunakan uang sendiri, yang lain tentu tak bisa banyak komentar. Namun setelah kalah lagi seribu yuan, dia yang panik akhirnya memutuskan curang.
Sudah bermain selama 2-3 jam di sini, Liang Mingchao yakin sudah memahami semua orang di meja taruhan. Yang duduk hanyalah penjudi tidak profesional yang mengandalkan keberuntungan. Jika dia curang dengan cerdik, pasti tak ada yang tahu. Maka tragedi pun terjadi.
Baru pertama kali curang, dia langsung ketahuan.
"Jika hanya dia seorang, mungkin cukup dengan meninggalkan uangnya atau menerima pukulan. Tapi kebetulan di sini ada pemuda-pemuda emosional, apalagi ada MM yang menyaksikan. Liang Mingchao yang merasa aksi curangnya tidak diketahui orang, berteriak tuduhan palsu. Li Song dan kawanan pun ikut mengerumuni. Meski ada konflik internal, saat kritis harus bersatu. Namun saat berhadapan, baru mereka sadar situasi buruk: lawan tidak cuma satu orang. Begitu suasana memanas seperti pedang terhunus, lebih dari sepuluh pria kekar kulit putih—ada yang tinggi besar ada yang garang—muncul sekaligus. Empat pria, tiga wanita, plus dua pemandu yang enggan cari masalah di pihak kita, bahkan kalau jumlahnya digandakan pun tetap tak berdaya. Li Song yang sok pintar usul bikin kekacauan dengan menuduh pihak lawan berjudi tipu uang orang. Tapi langkah ini justru mengokohkan perselisihan tanpa ruang perdamaian."
"Melihat situasi genting, dua pemandu menyelamatkan Luo Jingwen dan tiga lainnya kabur. Sedangkan Liang Mingchao, Li Song, dan Wang Tujia yang paling vokal saat konfrontasi justru disandera. Dari sinilah masalah atasan bermula."
"Kalian ini... Daripada bertahan mati-matian, lebih baik mengaku dan merayu... Malah merusak bisnis orang..." Dongfang Wan menghela napas setelah dengar kronologi, "Tapi mereka cari uang. Kita bayar saja... Jiaming, pendapatmu?"
“Hah?” Di samping ada beberapa baron yang masih diliputi keraguan. Namun mendengar Dongfang Wan justru meminta pendapat Jiaming dalam hal seperti ini, mereka merasa heran. Jiaming juga mengangkat kepala dengan pikiran yang melayang-layang, "A...Apa...Seharusnya...Menurutku...Iya..." Sikap linglungnya ini dianggap sebagai ketakutan oleh yang lain. Melihat dia begitu takut, rasa takut kecil dalam hati mereka jadi tidak berarti, membuat mereka merasa sangat puas.
"Baik, kalau begitu. Untungnya masih ada uang di kartu kreditku, cuma tidak tahu berapa harga yang mereka minta..." Bergumam sendiri seperti itu, di tengah badai salju, pondok yang berfungsi sebagai kasino pun telah terlihat. Rumah-rumah di Wadiseer kebanyakan berbahan kayu dengan struktur kokoh, terlihat megah dan berwibawa. Tiga pria kekar berjaket kulit hitam menunggu di gerbang. Melihat rombongan mendekat, mereka menunjukkan ekspresi "jalan ini tertutup". Dengan tenang Dongfang Wan berkata, "Paman Chen, tolong terjemahkan. Kami datang untuk meminta maaf." Pemandu wisata berkeluarga Chen meneriakkan terjemahannya. Ketiga pria itu memandangi kumpulan anak-anak kecil ini, tersenyum dingin sambil minggir dan menoleh ke dalam, memberi isyarat agar mereka masuk.
Membuka pintu, aura hangat menyergap dari depan, namun yang pertama terdengar adalah tangisan seorang pemuda dan gadis. Selain tiga orang di luar, di dalam kamar terdapat total sembilan pria kulit putih. Liang Mingchao duduk di sebuah kursi di tengah aula, sambil menangis terus mengucapkan permintaan maaf. Seorang pria berpostur sekitar 2 meter terus menampar wajahnya berulang-ulang, meski wajahnya baru memerah, sepertinya baru mulai dipukul belum lama. Li Song dan Wang Tujia berjongkok di dekat dinding. Wang Tujia yang biasanya berkarakter seperti anak laki-laki kini juga terus menangis. Tiga empat pria berdiri di sekitarnya berkomentar dalam bahasa Prancis, jelas sedang mendiskusikan bagaimana rasanya gadis Timur ini. Untungnya pakaian Wang Tujia masih lengkap, mereka belum melakukan hal apa pun.
"Hentikan!"
Melihat Liang Mingchao yang dipukuli, Dongfang Wan langsung berteriak dalam bahasa Prancis. Kalimat sederhana ini entah sudah lama dipendam dalam hatinya, teriakan kali ini penuh semangat. Setelah pria kekar yang memukul itu berhenti, barulah dia meminta penerjemah: "Sampaikan dengan sopan bahwa kami datang untuk meminta maaf. Kerugian mereka hari ini akan kami ganti rugi semampu kami."
“Pemandu Wisata Chen melontarkan ucapan itu. Pria kekar yang memukul itu mendengar, seketika tertawa, diikuti gelak tawa seluruh ruangan. Pintu kamar di belakang tertutup, tiga orang dari luar juga masuk. Hanya karena riuh tawa ini, Luo Jingwen sudah pucat ketakutan. Beberapa teman sekelas laki-laki di sebelah Jiaming yang awalnya berusaha tenang, melihat formasi lebih dari sepuluh orang ini, tiba-tiba mulai panik. Hanya terdengar orang itu berbahasa Prancis: "Apa uang bisa menyelesaikan segalanya?"”
Ucapan mereka ini, selain si pemandu wisata, mungkin hanya Jiaming yang paham. Setelah diterjemahkan, Dongfang Wan tersenyum kecut:
“Uang tentu tak bisa menyelesaikan segalanya. Tapi, kami berharap ada cara lebih baik untuk menyelesaikan salah paham hari ini.”
“Salah paham? Heh... Menurutku ini bukan salah paham yang mudah diselesaikan.” Sambil memutar badan, ia menampar Liang Mingchao lagi di wajah. Kali ini lebih keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Temanmu perlu belajar arti kehidupan. Jelas-jelas, kalian orang Tiongkok, kurang pendidikan.”
“Maaf, saya tidak sependapat...” Dongfang Wan tetap mempertahankan senyuman, nada suaranya terdengar tegang. “Tapi hari ini kita bukan untuk membahas itu. Mari selesaikan masalah yang ada, ya?”
Pria kekar itu memandang Dongfang Wan diam-diam: “Kalian sedang liburan?”
“Benar.”
“Katanya rombongan kalian besar?”
“Apa hubungannya dengan masalah ini?”
"Orang-orangmu mengacaukan bisnisku..." Orang Prancis itu berhenti sejenak, "Dalam beberapa hari ke depan, kalian akan menghadapi banyak bahaya yang tak terhitung jumlahnya. Maafkan aku karena tidak suka mendeskripsikan bahaya tersebut di hadapan Nyonya, tapi aku bisa jamin, itu semua adalah hal-hal yang tidak ingin kita lihat bersama. Faktanya, setiap orang berhati nurani tidak ingin menyaksikan tragedi terjadi. Dan beruntungnya... aku bisa menjamin keselamatan kalian."
Jiaming memandang kejadian ini dengan bosan, menyadari bahwa melalui negosiasi sebelumnya, mereka mengirai Dongfang Wan sebagai orang kaya yang bisa dengan mudah ditipu.
Dongfang Wan memaksakan senyum: "Kalian mau berapa?"
"Perhatikan pemilihan kata Nyonya, jangan samakan kami dengan perampok, itu tidak sopan... Faktanya selain memberikan perlindungan keamanan, yang paling penting adalah temanmu telah merusak bisnisku. Setidaknya selama sebulan kami tidak bisa berbisnis..." Ia bergumam sejenak, lalu mengacungkan satu jari, "Begini, 100.000... euro."
“Angka ini diucapkan, semua orang tertegun sejenak. Di wajah Dongfang Wan muncul sedikit kemarahan. 100.000 euro dibandingkan dengan hal di depan mata, ini sama sekali bukan memeras, tapi perampokan. Untuk sesaat kamar menjadi sunyi, dan karena kesunyian ini, suara gesekan di luar pintu mulai terdengar di telinga semua orang. Ketika pria kulit putih di pintu dengan arogan membuka pintu, para pria dan wanita mulai membanjiri masuk. Sepuluh, dua puluh... Saat mencapai sekitar tiga puluh, lebih dari sepuluh orang ini pun mengerutkan alis. Tiga puluh hingga empat puluh mahasiswa jelas tidak punya kekuatan tempur, tapi jika benar-benar terjadi konflik, hal yang bisa menimbulkan perselisihan internasional ini akan cukup merepotkan mereka.”
“Sebagian perempuan yang ketakutan masih belum masuk di luar pintu. Tapi, karena sudah ada begitu banyak orang dalam sepenuhnya di dalam kamar, kejantanan para baron pun mulai bangkit. Mereka berdiskusi tentang perkembangan hal ini, menyebut 100.000 euro, sebagian langsung berteriak.”
“Apa? Perampokan?!”
“Langsung lapor polisi saja lah.”
“Lapor melalui kedutaan...”
“Sial! Langsung pukul saja! Kita sebanyak ini takut sama 10-an ekor ikan kecil?!”
“Di kerumunan tidak sedikit yang suka berkelahi. Suasana langsung memanas. Dongfang Wan berdiri di depan terus diam, bibirnya terkunci rapat. Jelas sedang memikirkan solusi terbaik untuk hal ini. Pria kulit putih yang berdiri paling depan melihat situasi hampir lepas kendali, bertanya: ‘Bagaimana? Sudah diputuskan?’”
“Dengan dukungan belakang dari kerumunan besar, Dongfang Wan juga mendapatkan kembali keberaniannya. Setelah ragu-ragu sejenak, dia membuka mulut: 'Harga ini terlalu keterlaluan.' Begitu kata-katanya meluncur, suara dukungan langsung bergema di belakangnya. Beberapa mahasiswa pria sudah mengangkat kursi kayu berat di samping: 'Mau berkelahi?'”
“Aksi berbahaya ini seketika memicu reaksi. Tiga orang yang berdiri di sebelang Wang Tujia saling bertukar pandang, tangan menempel di pinggang, lalu berbalik berjalan mendekati kerumunan. Wang Tujia yang sudah berhenti menangis membelalakkan mata, entah melihat apa, bibirnya bergetar ketakutan beberapa kali tapi tak bisa mengeluarkan suara. Suasana di ruangan hampir mencapai titik beku. Ketiganya melangkah mantap, sementara beberapa pria berpostur tinggi yang bermaksud pamer di depan perempuan dengan kilau jahat di mata sudah siap menyerang. Sekejap mata, Jiaming melangkah keluar dengan kedua tangan terbuka.”
“Jangan ceroboh! Jangan ceroboh! Bicaralah baik-baik!”
“Arah langkahnya tepat menuju tiga pria kulit putih yang mendekat. Gerakannya seperti ingin melerai dengan pelukan, namun pria berbadan besar di depan tanpa sadar terdorong mundur dua langkah. Kemudian, ketiganya secara bersamaan dihadang oleh Jiaming yang membentangkan kedua lengan. Sisi pria kulit putih bersuara, kerumunan mahasiswa juga ramai, saling tindih dalam kekacauan. Jiaming terus meneriakkan 'Jangan ceroboh! Bicaralah baik-baik!' sambil menahan ketiga orang ini dengan kuat. Adegan yang tampak biasa ini membuat wajah ketiga orang yang didorongnya berubah drastis.”
“Mereka sama sekali tidak bisa maju.”
"Tujuan ketiga orang ini keluar adalah untuk deterensi maksimal." Pria kulit putih pemimpin melihat mereka bertiga justru dihadang seorang pemuda, pandangannya menyapu dari sisi. Waktu seakan memotong segalanya menjadi gerak lambat kamera - satu detik, dua detik. Dalam riuh suara, ketiganya mulai mencabut senjata di pinggang, benda yang sempat dilihat Wang Tujia hingga ia tak berani bersuara. Kerumunan di belakang tak menyadari bahaya yang mengintai, masih terus ribut. Dongfang Wan berkata: "Jiaming kau pulang." Seolah ingin mendekat dan menariknya kembali.
"Tenang! Tenang! Semua tenang." Dua tangan mengibas-ngibas liar berusaha menghadang orang. Situasi Jiaming masih terlihat kacau luar biasa. Namun sekejap kemudian, ketiga pria itu mundur selangkah seperti tersengat listrik, tak lagi maju. Sorot mata pria kulit putih pemimpin memancarkan keheranan. Kedua tangan Jiaming tetap bergerak gemulai di depan dada bak sedang berusaha mendamaikan: "Bagus. Tenang, tenang..."
Selain pria kulit putih pemimpin dan tiga orang yang dihadang Jiaming, dari sudut ini, sama sekali tidak ada yang bisa melihat apa yang baru saja terjadi. Pada sekejap mata itu, gerakan tangan yang terlihat acak-acakan tiba-tiba menyusup ke dalam pakaian mereka, menjepit pergelangan tangan mereka yang sudah mulai mencabut senjata, lalu menyambar tiga pucuk senjata tersebut langsung dari telapak tangan mereka secara berurutan. Dari samping, yang terlihat oleh mata orang itu adalah Jiaming yang tiba-tiba seperti sulap memegang tiga pucuk senjata di tengah gerakan tangannya yang tak karuan. Di bawah tatapannya, dua senjata dengan gesit dimasukkan ke dalam jaket terbuka, sementara senjata ketiga diayun-ayunkan ke arah keempat orang itu sebelum akhirnya ikut disimpan. Ketiganya yang mundur menarik tangan keluar dari pakaian mereka, masih gemetar tak terkendali.
Sesaat kemudian, Jiaming diseret mundur oleh Dongfang Wan yang menggenggam lengannya. Kepalanya tertunduk, suaranya berbisik gemetar: "Kau gila? Mau mencegah perkelahian macam apa ini?"
"Aku pernah belajar ilmu bela diri..."
"Tiga dirimu digabung pun tak sebesar salah satu dari mereka! Mampus kau melawan mereka... Lagipula mereka kan tak paham bahasa China yang kau ucapkan!"
"Mungkin mereka paham, cuma sengaja berpura-pura B..."
"Malas berdebat denganmu. Kita kan ada banyak orang di sini, tak perlu kau yang jadi pahlawan..."
“Tiga Jiaming digabung pun tidak sebanding dengan satu orang mereka” tentu berlebihan, namun saat Dongfang Wan menengadah, yang terlihat adalah tiga orang yang tadi dihadang Jiaming mendekati bos mereka, berbisik-bisik seolah Jiaming benar-benar mengatakan sesuatu. Sambil berpikir demikian, sang bos dengan wajah muram menatap ke arah Dongfang Wan, bergumam: "Hal hari ini, lupakan saja, anggap tak pernah terjadi."
“Apa yang Paman Chen katakan?” Dongfang Wan bertanya heran. Pemandu wisata bermarga Chen itu terdiam lama: "Mereka bilang...sudah selesai, anggap tak ada yang terjadi..."
Begitu kata-kata itu terucap, seketika seluruh kamar hening. Semua orang membeku bagai patung. Beberapa bule yang berdiri agak jauh tampak bingung, mendekat dan bertanya. Sang bos mengayunkan tangan: "Kita pergi." Membawa anak buahnya keluar melalui arah pintu belakang...
Meski penasaran, langkah selanjutnya tentu membawa Liang Mingchao yang dipukuli untuk diobati, sekaligus menenangkan Wang Tujia dan Li Song. Kejadian ini terasa tak berujung pangkal. Dongfang Wan mengerutkan alisnya lama, melihat Jiaming hendak pergi, buru-buru menyusul dan menariknya ke samping: "Hei, sebenarnya apa yang kau katakan pada mereka..."
“Tidak juga, aku juga heran...” Jiaming sama-sama menunjukkan ekspresi di luar nalar, “Aku kan tidak bisa bahasa Prancis, pakai bahasa universal...”
“Bahasa universal apa...”
“Sudah kau lihat, pelukan.”
“Bukan... Memeluk memang bahasa universal untuk menunjukkan niat baik, tak kusangka di luar negeri satu pelukan bisa menyelesaikan segala hal. Apa mereka sampai segitu kurang kasih sayang? Tapi mungkin juga benar...” Jiaming mengusap dagunya sambil bergumam, “Seluruh dunia adalah satu keluarga. Dengan cinta semua bisa diselesaikan, buat apa pakai kekerasan? Liang Mingchao dkk dipukuli karena sikap mereka buruk... Bukankah ada lagu yang bilang: Aku dan kau, hati menyatu, tinggal di desa bumi yang sama, demi mimpi, menempuh seribu li, berkumpul di... uh, Utara...”
“Lagu apa itu? Aku sama sekali tak pernah dengar...” Dongfang Wan mengerutkan alis, “Jangan ngaco. Sebenarnya kau bilang apa ke mereka? Bahasa dunia... Jangan-jangan cek... Tapi kau tak mungkin punya uang sebanyak itu untuk menakuti mereka...” Ia berpikir sejenak, “Atau jangan-jangan cek kosong?”
“Bersumpah pada langit, aku benar-benar tak mengatakan apa-apa, tak memberi mereka apapun...” Ekspresi Jiaming serius. Di momen sangat tegang ini, jarang ia berkata jujur, sehingga terasa sangat defensif.
“Kalau begitu...” Dongfang Wan menatapnya lama, akhirnya memutuskan percaya. Ia menghela napas, “Mungkin mereka melihat jumlah kita banyak, mencari jalan mundur. Tapi... mundurnya terlalu cepat, langsung pakai lift... Bukan, dia langsung lompat dari sumur lift... Sebenarnya apa yang terjadi...”
Seluruh hal ini benar-benar di luar dugaan, perkiraannya meski dia mencoba memikirkan sampai kepala pusing pun mustahil bisa menebak jawabannya. Sekelompok orang kembali ke penginapan dengan semangat berkobar-kobar, jelas sejak pulang nanti akan ada cerita seru yang bisa dibanggakan. "Pergilah kali ini ke Prancis untuk ski malah ketemu geng kriminal, tapi akhirnya berhasil kami takuti sampai kabur lho!" Dalam euforia ini, bisa diramalkan bahwa besok waktu bangun semua orang pasti akan molor semua.
"……Letakkan tiga senjata di suatu tempat, Jiaming malas meladeni orang-orang dengan kelebihan usaha ini, kembali ke kamar dan melanjutkan tidur. Tepat sehari setelah, bangun pukul delapan pagi, di luar masih turun salju, pergi ke restoran sarapan, setelah minum kopi, sekelompok teman sekelas masih belum ada yang bangun. Saat ini tamu terbanyak di penginapan adalah mereka, saat mereka tidur, penginapan terasa kosong melompong, Jiaming berjalan santai naik ke lantai empat tepi balkon pemandangan, samar-samar mendengar suara pembicaraan, ternyata Liang Mingchao dan Wang Tujia."
"……Maaf, kita benar-benar tidak cocok, jika cocok, semua orang sudah saling kenal selama bertahun-tahun, pasti sudah tinggal bersama sejak dulu……"
Ini adalah perkataan Wang Tujia. Perkiraannya setelah kejadian kemarin, mood Liang Mingchao yang ingin bersaing dan cemburu dengan siapapun sudah memudar. Saat dia dalam bahaya, Luo Jingwen malah kabur duluan. Ada ganjalan di hatinya, secara natural juga mustahil memilih Luo Jingwen lagi. Maka dia memanfaatkan pagi-pagi sekali untuk mengantarmu dan mengutarakan perasaan ke Wang Tujia.
Saat ini ditolak, mood Liang Mingchao jelas mulai kacau. Dia berhenti sejenak: "Apakah karena kemarin aku di hadapan mereka..."
“Bukan, saat itu, siapa pun tidak akan sanggup bertahan, aku juga menangis seperti itu, saat itu aku sangat takut……”
“Tapi aku ini pria……”
“Kita masih mahasiswa, oke? Bukan karena ini……”
“Lalu karena apa? Kau suka Li Song.”
“Aku juga tidak suka dia! Aku tidak suka kalian siapa pun! Puas?”
Setelah Wang Tujia selesai berbicara, Bruk～ Bruk～ Bruk～ menginjak lantai pergi. Awalnya Jiaming mendengar ada dua orang yang sedang confess, sudah berbalik ingin pergi, tapi Wang Tujia datang terlalu cepat, begitu sampai di lorong, langsung melihat punggung Jiaming, langkah kakinya berhenti sesaat, kemudian berlari kecil melewati sisi Jiaming. Jiaming menggelengkan kepala, berbalik lagi menuju balkon.
Dia tentu juga tidak berniat mengobrol dengan Liang Mingchao, murni hanya lewat. Saat mendekati balkon, terlihat Liang Mingchao duduk di kursi, wajahnya diolesi obat, kepala dibalut kain kasa, ketampanan dan kerennya sudah hilang sama sekali. Melihat Jiaming lewat, matanya langsung menatapnya. Sejenak, dia memeluk kepalanya: "Apa kesalahanku……"
Kalimat itu terdengar pelan seperti gumaman. Jiaming melihat sekeliling, hanya ada dirinya sendiri. Berpura-pura tidak dengar agak tidak sopan. Dia berhenti sebentar, lalu menghela napas: "Sebenarnya jadi pria ganteng itu sulit lho……"
"Eh? Kenapa?" Liang Mingchao mengangkat kepala memandangnya.
"Kepala bisa dipenggal... tapi gaya rambut tak boleh berantakan……"
Dengan penuh perasaan, Jiaming menepuk bahunya lalu berlalu.
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Puluh Serangan Mendadak
Karena cuaca, ditambah kejadian tadi malam, hari pertama liburan ski sebenarnya terbuang percuma di tengah hamparan Salju Berterbangan.
Meski cuaca bersalju seperti ini kurang cocok untuk ski luar ruangan, kota kecil ini sebenarnya tidak membosankan. Berbagai arena hiburan mungkin tak akan membuat jenuh meski dimainkan selama setengah bulan. Sekelompok orang baru bangun bertahap saat siang, setelah makan siang melihat cuaca tak cocok untuk naik gunung lalu berpencar. Dengan pengalaman kemarin malam, mungkin mereka tak akan sembarangan cari masalah lagi.
Meski disebut liburan ski, dalam pasukan ini sebagian besar memang belum bisa ski. Memanfaatkan cuaca bersalju ini, banyak yang menyewa peralatan ski untuk berlatih di lereng kecil dekat kota. Di samping lereng ini terdapat restoran mewah dengan jendela besar. Yang belum kenyang makan siang memesan hidangan lezat di lorong, sambil menyantap sambil menonton keriuhan sekelompok orang yang berkejaran di lereng. Berhadapan dengan restoran ini terletak penginapan tempat mereka menginap. Saat Jiaming muncul di balkon, Dongfang Wan di lorong restoran bawah mengacungkan pisau dan garpu sambil berteriak: "Hei, Gu Jiaming, turun sini!"
Dia saat itu mengenakan jas hujan putih, penampilan gadis Timur yang penuh semangat membuat beberapa orang asing di sampingnya melirik. Jiaming yang memang sedang bosan mengangguk dan berbalik turun, saat tiba di restoran itu, Dongfang Wan memesan steak saus untuknya: "Hidangan di sini enak rasanya, kupanggil kau untuk mencicipi." Di piringnya sendiri juga steak yang sama, sudah habis separuh, "Aku siang tadi sudah makan."
"Sudah makan bisa makan lagi, hidangan Prancis porsinya tidak banyak."
20-an anggota bermain riang di lereng salju luar, di dalam restoran juga ada tujuh delapan teman sekelas, sambil makan mereka saling bercanda. Dongfang Wan duduk berseberangan dengan Jiaming, sambil menyantap steak sambil berbicara:
"Sudah pernah coba warung pangsit di sebelah kampus? Pangsitnya enak, kadang aku sarapan di sana."
"Sarapan biasanya makan di rumah."
"Oh, hampir lupa di rumahmu ada dua si cantik... Tapi pangsitnya benar-benar enak lho, terus di Jalan Xinglong sana, banyak hidangan lezat..."
Dongfang Wan yang biasanya mengejek dengan "Ssshh!" terhadap banyak hiburan teman sebaya, kali ini justru bisa menyebutkan berbagai hidangan lezat layaknya ahli. Semangatnya jelas-jelas mengirai Jiaming sebagai teman minum dan makan yang bisa diajak bicara terbuka. Saat dia asyik bercerita, beberapa orang di sekitarnya pun berkerumun riuh, saling bertukar pengalaman.
Kecuali Jiaming punya hobi buruk atau Hati jahat, dia biasanya hanya mendengarkan diskusi membosankan seperti ini tanpa berkomentar. Saat ini dia sibuk menyantap makanan. Dongfang Wan yang sebelumnya bersemangat bicara, kini hanya mengangguk-angguk. Tatapannya beralih ke lereng salju di samping, lalu tiba-tiba tersenyum. Jiaming menoleh dan melihat Wang Tujia limbung bangkit dari tumpukan salju di luar. Li Song berlari hendak menolongnya, tapi ditolak dengan gelengan kepala. Liang Mingchao dengan tambalan di wajah mengawasi dari bawah atap kecil tak jauh, matanya penuh kegembiraan atas kesengsaraan orang lain.
Pikirannya belum sampai sekelam itu untuk bersenang-senang melihat Wang Tujia jatuh hanya karena ditolak. Ini lebih karena ucapan Wang Tujia pagi tadi: "Dia tidak suka padaku, juga tidak padamu Li Song..." Karena itu dia memandang rendah usaha sia-sia Li Song ini.
Sambil menepuk-nepuk tubuhnya untuk membersihkan serpihan salju, Wang Tujia menoleh dan melihat teman sekelas di restoran saling memberi komentar. Dengan kekecewaan, dia mengangkat bahu. Duduk di tangga depan restoran, dia melepas papan ski sambil menggerakkan rambutnya: "Siapa yang berani menertawakanku akan kuhadapi... Sepertinya aku memang tidak berbakat untuk ini..."
“Begitu dia mendekat, suasana di sini langsung kembali meriah. Sekelompok baron riuh-rekomendasi tempat makan enak yang mereka tahu, kebanyakan cuma cari alasan untuk mengajak MM jalan suatu waktu. Di tengah pameran gaya merak para pria itu, Raja Tujia duduk di tepi meja: "Gu Jiaming, kamu bisa ski kan?"
Pertanyaannya terdengar santai, tak memicu kecurigaan dari yang lain. Jiaming mengangkat bahu: "Nggak terlalu bisa."
"Berarti bisa dong? Habis makan ajariku ya."
"Hmm, aku juga nggak jago. Intinya... cuma berdiri di papan ski lalu meluncur. Lainnya nggak tau. Han Wen dan yang lain juga jago kok, atau mungkin Luo Jingwen mereka..."
"Mau belajar ski? Aku bisa ngajar." Mendengar rekomendasi Jiaming, pria bernama Han Wen buru-buru menawarkan diri, "Mau sekarang? Sore ini dijamin bisa."
"Oke, tapi perutku laper. Makan dulu." Raja Tujia tersenyum, "Besok kalau saljunya habis, tanggung jawab ngajarin aku ya." Matanya melirik sekilas ke Jiaming yang tak bergeming, lalu memesan jus besar dan mulai menghisap sedotannya. Beberapa menit kemudian, usai menghabiskan steak, Jiaming ke kamar mandi. Saat keluar, Raja Tujia menghampirinya dari samping.
"Hei, kemarin kamu beneran ngatasin mereka gimana sih?"
Suaranya berbisik penuh kerahasiaan, ekspresinya sembunyi-sembunyi bak sepasang selingkuh. Jiaming mengerutkan kening bingung: "Apaan sih?"
“Aku melihat semuanya.” Wang Tujia menatapnya mati, "Ketika ketiga orang itu lewat, mereka ingin menarik senjata. Tapi setelah kau menghadang sebentar, semuanya berubah."
"Hah? Tidak mungkin?" Jiaming membuat ekspresi ketakutan, "Senjata apa?"
Wang Tujia membelalak: "Aku tidak percaya mereka bisa mengubah rencana semudah itu!"
"Apa yang kau bicarakan sih, tidak jelas ujung-pangkal... Senjata, maksudmu apa? Jangan nakut-nakuti aku!"
Awalnya Wang Tujia yang menginterogasi Jiaming, namun dalam beberapa kalimat posisi mereka seolah bertukar. Keduanya saling pandang di lorong depan kamar mandi. Wang Tujia bukan Dongfang Wan yang sudah lama bermusuhan dengan Jiaming. Melihat ekspresi serius dan panik Jiaming, hatinya mulai goyah. Mulutnya membuka-tutup beberapa kali sebelum akhirnya mengerutkan alis: "Bercanda macam apa ini? Kau benar-benar tidak tahu apa-apa?"
"Aku bahkan tidak mengerti omonganmu. Senjata apa yang kau maksud? Kalau begitu... lebih baik kita laporkan ke polisi. Haruskah? Aku akan panggil Xiao Wan untuk menjelaskan..."
Jiaming ragu sejenak, lalu bergegas pergi mencari orang. Wang Tujia buru-buru menarik lengannya: "Eh, jangan-jangan... Tidak apa-apa... Pokoknya... bukan masalah besar. Anggap saja aku tidak pernah bilang..."
Tangannya melambai-lambai di udara sebelum ia berbalik dan pergi dengan menunduk. Jiaming bertanya dari belakang: "Benar tidak apa-apa?"
"Tidak ada!" Wang Tujia mengayunkan tangan dengan kesal, bayangannya menghilang di sudut lorong. Jiaming mengerutkan alis sambil berbalik. Dongfang Wan berdiri di pintu kamar mandi seberang, menatapnya sebelum akhirnya mendekat.
“Wang Tujia sepertinya punya simpati lebih banyak padamu.”
“Bisakah kau melakukan hal yang lebih bermakna daripada Bagua...”
“Tadi dia secara Inisiatif minta diajari meluncur, tapi kau malah menolak.”
“Aku sudah bilang... tidak terlalu bisa...”
“Pokoknya semua hal kau bilang tidak bisa, kau tidak terlalu bisa nyanyi, tidak terlalu bisa komputer, tidak terlalu bisa perkelahian, tidak terlalu bisa...” Dongfang Wan menghitung dengan jari, lalu teringat sesuatu, “Ngomong-ngomong, tadi kalian ngomongin apa sih?”
“Aku sampai sekarang belum paham maksudnya tadi...”
Dongfang Wan berhenti, melototkan mata. Jiaming mengangkat tangan dengan kekecewaan sambil melotot balik. Beberapa saat kemudian, Dongfang Wan menyeringai: “Pokoknya kau memang selalu begini, sepuluh kalimat tidak ada yang jujur... Tapi kurasa Wang Tujia benar-benar tertarik padamu...”
“Kecuali otaknya kemasukan Air...”
Keduanya saling bersahutan, sudah terbiasa dengan situasi konfrontasi langsung ini. Dongfang Wan terus memancing dengan pertanyaan aneh, sementara Jiaming tetap bersikap acuh tak acuh. Kemampuannya menggeser tanggung jawab sangat mumpuni, mentalitas Dongfang Wan pun sudah terlatih memiliki kemampuan tank yang kuat. Setelah mengobrol beberapa saat, saat melambaikan tangan pergi dengan mobilnya, wajahnya justru terlihat memuaskan, entah karena mentalnya sudah stabil atau akhirnya menjadi mesum.
"Sikap curiga Wang Tujia terhadap Jiaming memang beralasan. Meski sempat terbius oleh sikap polos Jiaming, pengalaman pertama menghadapi situasi mencekam seperti tadi malam tentu tak mudah dilupakan. Saat semua orang pergi ke bar setelah makan malam, Wang Tujia lagi-lagi mencoba mendekati Jiaming dengan berpura-pura santai, mengajaknya bergabung bermain, menyanyi atau berdansa. Jiaming tetap bersikap tak tahu apa-apa. Wang Tujia yang belum terlatih sehebat Dongfang Wan akhirnya kalah lagi setelah bertanya secara tak langsung. Jiaming duduk sebentar di bar sebelum teleponnya berdering - panggilan dari Lingjing dan Shasha di Jianghai.
Saat keluar dari pintu belakang bar, hembusan angin dingin menyergap dari depan. Kota ini memang mewah tapi tak terlalu luas. Dari posisi ini, siluet megah Pegunungan Alpen membentang di kegelapan malam.
"Sekarang jam berapa di sana?" suara Lingjing di telepon berbisik.
"Jam setengah sepuluh malam. Di Jianghai kan lewat empat pagi, kok sudah bangun?" Jiaming tersenyum.
"Nggak bisa tidur, jadi menelepon aja."
"Awas flu."
"Aku di dalam selimut kok, hehe. Shasha di sebelah sini masih tidur kayak babi MATI. Begitu kamu nggak ada, dia sempat kabur buat negosiasi sama orang tadi malam, heboh banget..."
“Lagi pula di rumah dia juga sering bernegosiasi dengan orang.” Saat Sha Sha bernegosiasi biasanya tidak pakai teknik, lebih sering langsung mengancam: "Kau harus lakukan ini, jangan lakukan itu! Tidak mau dengar? Berarti tidak ada kesepakatan? Pukul!" Karena ini, selama setengah tahun lebih banyak yang ingin menyewa pembunuh untuknya. Tapi Kakak Pisang dari Shazhu Bang sendiri adalah profesional, ditambah perlindungan diam-diam dari [] dan Jiaming, tujuh delapan kelompok pembunuh sering menghilang tanpa alasan sebelum sempat mendekat, ada yang bahkan dampaknya sampai ke seluruh keluarga. Setelah itu rombongan geng yang dapat kabar datang minta damai, Sha Sha malah mengira ini efek dari sikap tegasnya. "Orang-orang ini memang tidak punya nyali, harus bicara keras pada mereka. Lihat, belum mulai konflik sudah datang minta damai." Sha Sha sering membanggakan ini pada Jiaming dengan bangga, tapi di depan Lingjing tidak berani terang-terangan pamer hal seperti ini.
“Kaoru ikut pergi dengannya ya?”
“Hmm, Kaoru sekarang tinggal di loteng kecil, 2 hari ini keluar-masuk bersama Sha Sha.”
Dari suaranya jelas Lingjing sedang bosan, bersembunyi dalam selimut sambil bercerita detail tentang kejadian 2 hari terakhir di rumah. Lebih dari sepuluh menit kemudian, terdengar notifikasi baterai lemah dari telepon. Jiaming berkata: “Baterai hampir habis, aku cari telepon untuk nelpon balik...”
“Hmm, aku ingin kau terus bicara sampai aku tertidur...” Suara malas Lingjing terdengar dari sebelah sana, seiring dengan itu, sebuah bayangan hitam tiba-tiba muncul di belakang Jiaming, mengangkat tongkat yang menderu turun menghantam tengkuk Jiaming dalam hembusan angin salju!
Byur! Tongkat itu menghantam tubuh Jiaming dengan keras...
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Puluh Satu Dua Setengah Tahun
Hampir bersamaan dengan ayunan tongkat bayangan hitam di belakang, Jiaming sudah menyimpan teleponnya dan bersiap pergi. Pukulan ini meleset dari sasaran, Byur! mengenai bahu Jiaming. Jiaming terjatuh, kemudian yang terdengar dalam angin salju adalah teriakan rendah seorang wanita.
“Aah...” Jiaming menarik napas sambil memegangi bahunya yang sakit, menoleh ke belakang. Sosok yang berdiri di belakangnya ternyata Wang Tujia yang masih memegang tongkat kayu. Mulutnya menganga lebar, meski ayunan sebelumnya begitu mantap, kini setelah mengenai sasaran justru menjadi panik: “Itu... Aku sebenarnya... cuma ingin menakut-nakuti... Tapi kau... kau tiba-tiba mundur... Kau... Kau tidak apa-apa kan? Aku... aku...”
“Kau... Kau sakit jiwa!”
“Jiaming... Wang Tujj, ngapain kau?!”
Hujatan Jiaming bergema bersamaan dengan suara wanita lain yang muncul tiba-tiba dari belakang Wang Tujia. Dongfang Wan yang mengerutkan alis itu langsung merebut tongkat kayu dari tangan Wang Tujia begitu tiba, lalu dengan gelisah menarik Jiaming berdiri dari tanah. Matanya menyapu tengkuk Jiaming sebelum tangan menjabat kerah bajunya seakan ingin memeriksa lebih dalam. Jiaming mundur selangkah sambil memegangi bahunya: "Ngapain sih!"
"Mau lihat kau ada apa!" Dongfang Wan melotot sambil berteriak keras, melemparkan tongkat kayu itu ke salju dengan kasar. Ia menolehkan kepala: "Wang Tujia, ini sebenarnya bagaimana? Ngapain kau pukul dia?!"
"Aku... Aku cuma... mau mencobanya aja..." Wang Tujia menjawab gemetar sambil menundukkan lehernya seperti kura-kura.
“Kau mau uji dia apa sih, seharian ini lihat tingkahmu dengannya terasa aneh……”
“Otaknya kemasukan air……”
“Tapi semalam beberapa orang itu jelas-jelas……”
“Apa yang terjadi tadi malam？”
“Aku sama sekali nggak ngerti omonganmu！”
“Tapi aku melihat……”
“Diam！Apa yang sebenarnya terjadi！”
“Diam——”
Bertiga saling menyela bagai panci meledak, Jiaming yang tak bersalah kena pukul juga ikut berteriak-teriak geram. Akhirnya tak ada yang bisa menjelaskan masalah sebenarnya. Berdiri saling pandang sejenak, Dongfang Wan menyambar tangan Jiaming: "Ayo, pulang dulu periksa lukamu. Nanti kita bahas hal ini lagi……"
“Aku bisa jalan sendiri……”
“Kalau gitu cepatlah！”
“Hal sepele saja, cuma agak sakit, aku pulang sendiri terus kasih obat... Kenapa kau kabur ke sini? Pulang sana main-main...”
“Aku takut pukulan ini bikin kau cacat. Ngapain sok jago karakter maskulin sekarang? Bantu periksa luka kenapa sih... Lagian kau memang nggak pernah peduli soal itu.”
Dongfang Wan yang perhatian itu tampaknya tak akan berhenti sebelum memastikan kondisi lukanya. Saat bertiga ribut-ribut kembali ke penginapan, melewati sudut koridor, Jiaming dengan kekecewaan menghantamkan bahunya ke dinding saat Dongfang Wan berjalan cepat di depan. Tak disangka separuh bangunan penginapan ini berbahan kayu, debu pun mengalir deras. Dongfang Wan menoleh bingung: “Ada apa?” Sudah melewati sudut, ia tak melihat debu yang bertebaran di belakang.
“Nggak apa. Baru aja terpeleset.”
“Lantai pakai karpet, kok bisa terpeleset? Jangan-jangan kena gegar otak tadi?”
“Dia mukul bahuku oi!”
“Mukul bahu kan bisa berdampak ke kepala. Aku lihat pukulannya nyaris ke samping kepala...”
Jiaming mulai tak berdaya, bahunya melorot: “Ya udah, ya udah. Sebenarnya kaki kiri nggak sengaja nyandung kaki kanan. Aku cuma ngomong asal, OK?”
Dongfang Wan mengangguk: “Dari tadi bilang aja kenapa sih.”
Jiaming menunduk: “Aku salah, Kakak...”
“Sepanjang jalan sampai ke kamar tamu di lantai tiga yang ditempati Dongfang Wan dan Xu Yiting, saat ini Yiting juga belum kembali. Jiaming duduk di tepi ranjang Dongfang Wan melepas jaket, menarik kerah sweater untuk memperlihatkan: "Bagaimana?"”
“Wah, sampai tiga lapis pakaian masih membiru, dia memukul sangat keras... Wang Tujia bertindak terlalu tidak presisi...”
“Berkat bantuanmu...”
Dongfang Wan mengangguk: "Hmm, untung aku bawa minyak obat." Dia membenamkan diri mencari di tas beberapa saat, kemudian memanjat ranjang dari belakang Jiaming, "Kau pegang bajunya ya, aku akan mengobatimu."
“Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Posisi ini sulit kau jangkau. Biar aku saja.”
Berlutut di belakang Jiaming, Dongfang Wan menekan botol minyak obat dengan telapak tangan sreeet-sreeet mengguncang berkali-kali, lalu mengangkat tangan dan prak! memukul area bahu Jiaming. Jiaming mengerenyitkan gigi menoleh pelan: "Kurasa kau bisa lebih keras lagi..."
“Ah... Oh, oh... Terlalu keras? Maaf, maaf...” Jari-jari dingin mengusap lembut di bahu Jiaming, namun telapak tangan itu seolah menyimpan api. Dongfang Wan diam-diam berlutut di belakang tanpa bicara, tak tahu sedang memikirkan apa. Saat penginapan menjadi sunyi, suasana perlahan mulai berubah ke arah yang aneh. Jiaming memiringkan kepala: "Hei, apa kau konspirasi dengan Wang Tujia? Kok baru dia memukul, kau langsung kabur keluar?"
“Kalimat ini baru saja diucapkannya, Dongfang Wan tiba-tiba berteriak sakin kekuatan di tangannya bertambah: 「Konspirasi! Konspirasi... konspirasi! Apa yang layak kau konspirasi! Otakmu kemasukan air ya! Aku cuma melihat Wang Tujia sembunyi-sembunyi mengikutimu keluar, jadi penasaran mau lihat. Kau kira apa? Siapa sangka dia keluar mau memberimu pukulan memusingkan!」”
“「Oh, ternyata mau melihat Bagua. Tak kusangka kau juga punya rasa penasaran seperti itu...」”
“「Bagaimana dengan Bagua? Besok akan kukhotbahkan bahwa kau mencampakkan Wang Tujia setelah puas, jadi dia mengejarmu dengan tongkat. Nanti kau tunggu saja Li Song cs yang akan menantangmu duel satu lawan satu.」”
“「Lagipula ini bukan duel pertama...」”
“「Benar juga. Kau memang jorok, mungkin mereka juga bukan tandinganmu.」” Sepertinya teringat pertarungan pertama Jiaming di ring, Dongfang Wan tersenyum sambil menekan bahunya lebih kuat. “「Hei, ingat pertama kali kenalan waktu kau duel dengan Han Gangcheng. Sekarang diingat-ingat, sudah dua setengah tahun ya. Udah kenal lama begini, jujur saja waktu itu kan kau sengaja berakting aneh. Sebenarnya kau memang bisa mengalahkan Han Gangcheng, kan?」”
Sambil mengusap bagian yang sakit di bahunya, senyuman Dongfang Wan menyembul dari belakang Jiaming seperti sedang merebah di bahunya. Jiaming menyeringai: “「Hmm, waktu itu memang sengaja mainin dia.」”
“Aku sudah tahu!” Dongfang Wan berteriak, memukul bahu Jiaming di sisi lain dengan keras, "Waktu itu kau benar-benar membuatku kehilangan muka, tau tidak? Setengah tahun aku tidak berani bilang ke orang lain bahwa aku dekat denganmu... Tapi emang waktu itu kita belum terlalu kenal sih... Ngomong-ngomong, kalau kau bisa mengalahkannya, ngapain pakai semprotan anti-serigala segala... Desau, waktu itu wajahku langsung hijau..." Dia tampak kesulitan menahan tawa.
"Hobi pribadi." Jiaming membuka tangannya, "Nggak bisa dijelaskan."
"Mesum... Jadi di perguruan silat keluarga Ye beneran belajar banyak? Bisa lawin berapa orang sekaligus?"
"Nggak mungkin segitunya. Tergantung situasi, kalau dua-tiga orang menyerang bareng, mending kabur saja..."
"Wang Tujia itu kan cewek, tiga pukulan pasti bisa menanganinya? Kok malah kena serangannya!"
"Yang menyerang tuh pukulan memusingkan, serangan mendadak! Ngerti nggak sih!"
"Oh..." Dongfang Wan mengangguk, "Terus dia ngapain nyerangmu sih..."
"Kapan berhentinya nih pertanyaannya!"
Untuk pertanyaan yang sudah dijawab beberapa kali ini, Jiaming langsung membentak balik. Dongfang Wan hanya tersenyum manis tanpa marah—sifatnya memang sudah terlatih—ditambah hari ini sebuah pertanyaan yang lama mengganjal di hatinya akhirnya terjawab, mungkin bahkan jika Jiaming lebih kasar lagi dia masih bisa menerimanya. Di saat yang sama, Xu Yiting masuk dari luar pintu, tertegun melihat kondisi kedua orang ini. Sebelum sempat bertanya, Dongfang Wan langsung menjelaskan: "Sepupumu hari ini entah bagaimana membuat Wang Tujia tersinggung, sampai dipukul tongkat olehnya. Sekarang sedang diolesi obat."
Baru sadar bahwa selama mengobrol tadi tangan mereka terus mengusap-usap, ketika menarik tangan terlihat decak kagum: "Memar sepertinya sudah berkurang banyak, pantaslah yang terlatih bela diri..." Dia masih ingin menempelkan plester ke badan Jiaming, tapi langsung ditolak. Kondisi tubuhnya sendiri paling tahu, luka kecil begini dalam satu dua jam pasti sudah hilang, buat apa repot-repot.
Setelah mengobrol sebentar di kamar, akhirnya pergi. Entah apakah Dongfang Wan akan kembali menanyakan alasan ke Wang Tujia. Tapi sekalipun ditanyakan, ini tetap hanya dugaan. Lagipula sudah terlalu banyak dugaan Dongfang Wan terhadapnya, satu ini tidak akan berpengaruh. Tapi teringat sekarang, Wang Tujai yang cantik dan biasa dikelilingi banyak pria seperti bintang mengelilingi bulan, ternyata curiga sampai nekat memukul diam-diam untuk menguji. Dibandingkan dengan Dongfang Wan yang ingin tahu segalanya tapi takkan pernah melakukan hal seperti itu, justru terlihat lebih imut.
Malam itu, Wang Tujia datang lagi untuk meminta maaf. Setelah pukulan itu, meski masih ada keraguan di hatinya, dia tak berani melakukan ujian lagi. Keesokan harinya cuaca membaik, meski hanya mendung, semua orang tetap naik kereta gantung ke gunung. Jiaming tentu bisa bermain ski, tapi sebelumnya belajar ini hanya untuk menyelamatkan nyawa, tak bisa dibilang antusias. Meluncur santai di lereng salju landai, melihat banyak orang yang tak bisa main hingga berguling-guling di salju juga cukup menghibur. Dongfang Wan yang baru bisa meluncur dasar, menantang Jiaming berlomba. Jiaming sengaja membiarkannya menang sekali, membuat nona ini girang seharian.
Karena kejadian kemarin, Wang Tujia tak lagi mengganggu Jiaming. Dia meminta Luo Jingwen mengajarinya setengah hari, akhirnya bisa juga bermain ala kadarnya. Puluhan orang bermain sampai sore baru pulang. Semalam tak ada kejadian. Keesokan pagi setelah bangun, semua berfoto bersama beberapa kali, lalu naik mobil meninggalkan Val d'Isère. Dari Lyon pindah ke kereta api, sore hari tiba di ibu kota Prancis——Paris.
## Bagian 372 Paris
Malam 22 Januari 2000, Paris, Prancis.
Neon berpendar, jalan-jalan memancarkan cahaya, meskipun area kota Paris pada akhir Januari diselimuti aliran dingin yang mematikan, keindahan asli kota ini sama sekali tidak berkurang. Gapura Kemenangan berdiri megah dan anggun, Menara Eiffel bersinar gemerlap, dari kejauhan terlihat seperti emas yang mengalir dalam kegelapan malam. Kedua sisi Sungai Seine penuh kemegahan berwarna-warni, mengikuti aliran sungai, lampu-lampu di kapal yang berlayar menambahkan daya tarik kota dengan bintik-bintik cahaya. Sebagai ibu kota seni dan romansa yang termasyhur di dunia, dalam kemegahan malam ini, Louvre, Katedral Notre Dame, Place de la Concorde, Champs-Élysées, Gereja Sacré-Cœur, Montmartre... seluruh kota bagaikan karya seni agung.
Pukul sembilan malam, malam kota baru memasuki waktu paling memukau. Di lobby Hotel Mercure di Distrik 2 Paris, cahaya lampu berkilauan. Belasan pria dan wanita dari Timur tengah mengobrol dan menunggu rekan lainnya di lobby. Beberapa orang sudah keluar ke jalan, menunjuk-nunjuk sambil menikmati pemandangan malam kota dengan ekspresi penuh antusiasme.
Ini tentu adalah rombongan Dongfang Wan yang tiba di Paris sore tadi. Setelah menyelesaikan prosedur check-in di hotel dan menikmati makan malam, sebagian dari mereka berencana untuk menjelajahi pemandangan Paris. Saat ini, di aula hotel bersama mereka selain dua pemandu wisata, terdapat juga empat orang Timur yang telah dewasa. Dari tiga pria dan satu wanita ini, selang Lei Qing yang sudah kita kenal, wajah-wajah lainnya terasa asing – mereka adalah perwakilan perusahaan besar yang memiliki koneksi dengan Grup Sid. Seorang pria berkacamata kawat emas berusia sekitar 26-27 tahun secara implisit menjadi pemimpin kelompok, memancarkan aura tenang dengan sedikit kesombongan yang sulit ditangkap oleh orang biasa. Saat ini ia sedang berbincang dengan beberapa remaja di sebelahnya, termasuk Luo Jingwen. Di hadapan pria ini, gadis yang biasanya cukup angkuh itu berubah menjadi burung kecil yang manja, dengan senyuman yang jelas menunjukkan upaya mengambil hati.
Setelah beberapa saat mengobrol di aula, Wang Tujia berlari turun dari lantai atas. Matanya melirik ke kiri kanan sebelum mendekati kelompok Luo Jingwen dan berbisik: "Eh, liat Gu Jiaming nggak?"
"Nggak lihat tuh."
“Oh...” Melihat Luo Jingwen tidak memberikan jawaban, dia bertanya kepada orang lain lagi, dan sebagian besar jawaban yang didapat pun serupa. Ekspresi Li Song di kerumunan orang mulai berubah tidak nyaman. Pria yang sedang berbincang dengan Luo Jingwen tersenyum tipis: "Tu Jia... akrab dengan teman sekelas Gu Jiaming itu?" Meski sebelumnya hanya ada satu kali perkenalan, bahkan mereka belum sempat mengobrol, dia jelas-jelas mengingat nama lawan bicaranya.
“Apa?” Mendengar pertanyaan pria ini, Wang Tujia menoleh ke belakang, “Oh, kita semua kan teman sekelas. Mengajaknya main bersama... Kok Pak Ying juga mengenalnya?”
“Oh, pernah dengar namanya.” Pria bermarga Ying itu menepuk bahu Lei Qing di sampingnya sambil tersenyum, “Lei Qing kan rival asmaranya. Lagipula waktu anak buahku datang ke Jianghai sebelumnya juga pernah bertemu dengannya, kalau dipikir-pikir... mereka sempat bertaruh kecil, anak buahku masih berutang satu miliar padanya...”
“Satu miliar...” Seketika, remaja di sekitar berhenti bicara, menunjukkan ekspresi tak percaya. Luo Jingwen ragu-ragu berkata: “B-bercanda ya?”
“Haha, tentu saja bercanda, hehe, cuma guyonan...”
“Aku tidak suka bocah itu...” Lei Qing bergumam pelan di samping sambil mengangkat mata putihnya.
Dalam gelak tawa semua orang, ada juga keraguan mengapa Lei Qing menjadi rival asmara Gu Jiaming. Tapi kebanyakan tidak enak bertanya langsung, mengingat Jiaming datang bersama mereka. Jika terlalu banyak dibahas, nanti saat jalan-jalan bersama pasti canggung. Setelah beberapa kalimat, bayangan Dongfang Wan turun dari lantai atas sambil mengerutkan alis: "Hei, ada yang lihat Gu Jiaming?"
Setelah mendapat jawaban negatif, Dongfang Wan mendekat dengan kesal - entah karena melihat Lei Qing atau tidak menemukan Jiaming. Lalu menyapa si pria berkacamata: "Hai, Kakak Zilan, mobil yang kalian bawa cukup kan?"
"Mobil dari Grup Sid. Sekarang sekitar 20 orang, pasti cukup." Pria berkacamata kawat emas itu tak lain adalah Ying Zilan, kakak Ying Zifeng. Sebagai penerus keluarga Ying, sejak usia 18 tahun dia mulai mengelola aset keluarga. Selama ini di dunia bisnis dalam negeri dijuluki genius, di internal [] praktis sudah dikonfirmasi sebagai calon penerus utama. Grup Chao Hai milik keluarga Ying yang dijuluki Raja Tanah Tenggara sebenarnya tidak kalah dari Grup Sid. Tapi di belakang Sid ada keluarga Ross dan Natalie*Annis. Kehadirannya kali ini jelas sebagai bentuk penghormatan pada kerjasama ini.
"Kalau begitu, berikan satu mobil untuk kusetir."
"Kau tidak punya SIM Prancis, lagipula tidak hafal jalan. Di sini beda dengan dalam negeri..."
“Aku nyetir pelan-pelan, ikut iring-iringan kalian. Jangan bilang mobil dari Grup Sid yang dibagikan ke kita bakal diperiksa polisi lalu lintas ya.”
“Hmm, itu bener juga…” Ying Zilan tersenyum, “Dari Zifeng dan Aqing dengar, nyetirmu lelet kayak siput. Kami sesuaikan kecepatanmu, ga takut ada masalah sih…”
“Itu namanya kehati-hatian, setuju!”
Dalam pembelaan Dongfang Wan, semua tertawa mengejek. Ying Zilan bertanya: “Kalau gitu…tunggu teman sekelas Jiaming?”
“Sudahlah…” Dongfang Wan mengangkat tangan bingung, “Katanya ke Paris ada urusan, awalnya emang ga mau bareng kita. Sekarang sampai Paris, mungkin lagi urusin hal dia sendiri…”
“Sendirian? Dia paham bahasa Prancis?”
“Mungkin ada yang jemput, mungkin ada cara lain. Pokoknya urusan orang ini…” Mau bilang ‘sama sekali ga ngerti’, tapi lihat Lei Qing di samping, lalu bergumam seperti istri yang menggerutu, “Aku malas ngurusin…ayo…yang penting dia balik ke hotel malam ini.”
Begitu dia bilang berangkat, semua langsung sepakat. Sekelompok orang keluar dari hotel. Dongfang Wan menyerahkan kameranya ke Xu Yiting, lalu ajak 2-3 teman sekelas yang akrab naik mobil yang sama – otomatis meminggirkan Lei Qing. Lei Qing yang sudah biasa diremehkan, sebenarnya juga sudah ilfil. Mungkin masih ada ganjalan di hati, tapi lama-lama juga akan hilang. Iring-iringan mobil berangkat dari gerbang hotel, menyusuri jalanan kota megah berlapis emas, bergerak maju sesuai arahan Ying Zilan.
Waktu malam tidak terlalu panjang, sebenarnya perjalanan ini hanyalah sekilas melihat pemandangan malam dari dalam mobil. Sebagai simbol kuno Paris yang megah dan agung, Katedral Notre Dame yang anggun memikat dalam kegelapan malam, Istana Besar Paris yang anggun, melalui Istana Élysée menuju Plaza Charles de Gaulle yang gemerlap lampu, melintas di bawah Gapura Kemenangan yang menjulang megah, saat melewati Champs-Élysées yang paling terkenal, sekumpulan perempuan hampir menjerit, di sini mungkin adalah tempat dengan kepadatan merek-merek ternama dunia tertinggi.
Melewati Champs-Élysées akan sampai di Plaza Concorde yang memikat di malam hari. Seandainya Jiaming berada di sini mungkin akan membangkitkan kenangan, bertahun-tahun yang lalu... atau beberapa waktu kemudian, dialah yang pertama kali bertemu Natalie*Annis di Plaza Concorde, meskipun saat itu dia hanyalah seorang gadis penjual bunga yang mengenakan sepatu roda.
Sambil menyetir sambil fotoin, Istana Versailles yang letaknya agak jauh. Karena kecepatan menyetir Dongfang Wan yang terlalu hati-hati, semua orang akhirnya memutuskan untuk tidak ke sana. Tak lama setelah melewati Sungai Seine, rombongan langsung putar balik. Menyusuri sungai, terlihat banyak kafe dengan ciri khas masing-masing. Inilah kafe-kafe tepi kiri Paris yang terkenal di seluruh dunia. Tak berapa lama, Menara Eiffel yang menjadi simbol modern Paris pun benar-benar muncul di depan mata. Sebagai keajaiban kedelapan dunia, menara raksasa setinggi lebih dari 300 meter ini memancarkan pesona tak terucap baik dari jauh maupun dekat. Badan menara yang terang benderang menerangi seluruh langit malam di plaza dewa perang. Semakin mendekat, menara berpendar cahaya keemasan ini terasa semakin megah dan agung. Iring-iringan mobil berhenti sebentar di sekitar plaza. Setelah istirahat sejenak dan menghabiskan gulungan film dalam jumlah fantastis, barulah perjalanan dilanjutkan.
Karena beberapa mobil memiliki sistem interkom bawaan, sambil berjalan, Ying Zilan juga menjelaskan ciri-ciri pemandangan sekitar kepada semua orang melalui sistem tersebut. Pengetahuannya luas dan penjelasannya cukup menghibur, sehingga sepanjang perjalanan semua orang sudah sangat mengaguminya. Perempuan seperti Luo Jingwen yang berada dalam mobil yang sama dengannya terus mengobrol tanpa henti. Seandainya Jiaming ada di sini, meski cukup familiar dengan Paris, mungkin yang bisa dia tunjukkan hanyalah "titik sniper ini memiliki jarak pandang yang bagus" atau "area ini adalah blind spot kekuatan polisi, cocok untuk MEMBUNUH"...
Iring-iringan melewati Area 13 Paris, baru saja menyeberangi Sungai Seine dan berputar kembali. Area ini juga disebut Quartier de Gobelins dengan komunitas Tionghoa yang besar. Semua orang saling menunjuk dan berjanji akan berbelanja ke sini dalam 2 hari. Ketika sampai di Area 10, beberapa orang mulai mengenali bangunan sekitar - lokasi stasiun kereta Paris tempat mereka datang sore tadi. Sedikit lebih jauh lagi akan memasuki Area ().
Saat itu sudah jam sebelas malam. Semua orang turun dan makan malam di sebuah kedai dekat: "Area ini termasuk paling kacau di Paris, banyak copet, kadang ada konflik geng kriminal... Kawasan lampu merah juga cukup makmur, tapi kalian belum dewasa jadi tidak kami ajak..." ujar Ying Zilan. Dia tentu tidak khawatir dengan geng kriminal, namun pernyataan terakhirnya justru membuat hubungannya dengan teman sekelas laki-laki semakin dekat. Anak kecil paling suka ketika orang dewasa tidak memperlakukan mereka seperti anak-anak.
Setelah makan malam, saat Lei Qing pergi ke kamar mandi, Dongfang Wan berbicara sebentar dengan Ying Zilan dan memutuskan untuk berangkat duluan. Sebenarnya hotel tempat Ying Zilan dan rombongannya menginap juga tidak di area ini, sudah waktunya untuk berpisah. Dengan adanya pemandu, Dongfang Wan dan kawan-kawan tentu tidak akan tersesat. Awalnya Ying Zilan tidak setuju, tetapi melihat Lei Qing yang entah sembelit atau karena alasan lain lama tidak keluar, ditambah desakan kuat Dongfang Wan, akhirnya dia mengangguk setuju. Empat orang mereka naik satu mobil untuk pulang, sedangkan empat mobil lainnya dikembalikan oleh rombongan Dongfang Wan. Dua pemandu bisa menyetir, dan mengingat latar belakang keluarga kebanyakan orang ini cukup terpandang, mencari satu dua orang yang bisa menyetir memang bukan masalah.
Ketika Lei Qing keluar, yang menunggunya hanya tiga orang yang datang bersama. Ying Zilan menepuk bahunya dengan kekecewaan: "Karakter Xiao Wan terlalu kuat, buat apa kau memaksakan diri? Urungkanlah niatmu..."
Empat mobil kecil berjalan berurutan, melewati sudut jalanan Paris yang hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Paris memang kota yang tak pernah tidur, tapi mendekati tengah malam, arus orang di beberapa blok jalan mulai berkurang.
"Jalan ini lalu lintasnya lebih sepi, menuju hotel juga lebih cepat."
"Pemandu wisata berbicara melalui walkie-talkie," Dongfang Wan yang sedang bersandar di kemudi memandang ke depan. Sebagian besar toko di kedua sisi jalan sudah mengunci pintu, hanya beberapa bar yang masih buka. Pejalan kaki di jalan tidak banyak, tapi area ini tampaknya tidak terlalu kacau. Sebuah bus besar melintas dari ujung jalan seberang dengan suara menderu, cahaya lampunya menyilaukan mata mereka. Sesaat kemudian, ia melihat beberapa orang berlarian keluar dari sebuah warung tengah malam di pinggir jalan depan, seolah melihat hantu. Di dalam warung, samar terlihat kobaran api.
"Ada apa? Kebakaran? Haruskah kita lapor polisi?"
Dongfang Wan yang peduli segera menekan walkie-talkie dan bertanya ke Xu Yiting sambil menoleh: "Aku tidak tahu nomor darurat Prancis, apa harus telepon 911?" Sebelum kalimatnya selesai, pintu kaca warung itu tiba-tiba hancur berantakan. Sebuah sosok manusia terbang keluar dan terjatuh keras di trotoar, meninggalkan percikan darah yang segar. Meski suara benturan tidak terdengar dari dalam mobil, semua yang menyaksikan adegan ini bisa merasakan kerasnya tabrakan itu.
Seseorang lagi terbang keluar.
Korban kali ini tidak terlalu parah lukanya. Ia terhuyung-huyung bangkit, di belakangnya muncul sosok lain yang mengikuti dari pintu.
Dongfang Wan dan Xu Yiting sama-sama membelalakkan mata.
"Sosok wanita yang tegas seperti es, membawa aura ketenangan dan kesantunan. Wajah oval dengan aura Timur, rambut panjang sepanjang bahu. Saat ini dia mengenakan kacamata hitam abu-abu muda, memandangi sosok yang terhuyung-huyung berlari, kemudian mengeluarkan suatu benda dari kantongnya."
"Meski tanpa pengetahuan senjata yang profesional, semua orang bisa mengenali bentuk granat tangan itu dengan jelas."
"Berdiri di gerbang yang kacau-balau, dia memelintir granat itu lalu melemparkannya ke dalam pintu toko. Langkahnya kemudian menuju mobil sport di pinggir jalan. Braak! Ledakan dahsyat menyemburkan lidah api dari pintu toko, menelan sosok yang tergeletak tak berdaya. Gelombang kejut ledakan menerbangkan ujung gaun dan helai rambutnya. Di tengah kobaran api ini, dia membuka pintu mobil dan masuk."
"Bersamaan dengan itu, pelarian yang hendak menyebrangi jalan terhuyung-huyung menuju sisi seberang."
"Derum mobil sport menghantam tubuhnya hingga terlempar. Dalam sekejap, kendaraan itu telah melesat ratusan meter, menghilang di tikungan jalan di depan mata semua orang."
"Ka... Kakak Suyan..."
Menatap arah di mana bayangan itu menghilang, Xu Yiting terbata-bata berkata. Sebelum sempat bereaksi, mobil kecil yang selama ini melaju dengan kecepatan kura-kura tiba-tiba mengalami perubahan. Meski tetap terlihat sunyi, getaran halus dari turbo yang berputar seolah meningkat berkali-kali lipat dalam sekejap. Dongfang Wan menginjak gas sekuat tenaga, satu tangannya memindahkan gigi. Seketika itu juga, mobil yang berada di posisi paling belakang melesat bagai roket.
Jarak ratusan meter terlampaui dalam sekejap. Di antara teriakan kaget Xu Yiting, Dongfang Wan memutar kemudi dengan nekat. Mobil nyaris drift saat menerobos tikungan di depan.
Beberapa detik kemudian, mobil mulai memperlambat laju.
Dalam jarak pandang di depan, mobil sport yang melesat tadi telah lenyap dari pandangan. Baru pada saat inilah cahaya sirine polisi mulai menampakkan sedikit petunjuk di ujung jalan depan...
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Puluh Tiga: Aku Akan Menemuimu
"Aku tahu maksudmu datang ke Paris!"
Dengan suara Byur, Dongfang Wan terkapar di seberang meja makan Jiaming. Senyumnya merekah cemerlang, wajahnya yang berdandan rapi memancarkan vitalitas dan sorot mata yang berbinar-binar.
Waktu masih pagi-pagi buta, Jiaming duduk di posisi lantai dua restoran yang menghadap jalanan sambil menyantap sarapan. Langit tampak diselimuti kesedihan, terlihat atmosfer dingin yang masih menyelimuti jalanan. Para pejalan kaki semua membalut erat jaket luar mereka, bergegas dalam perjalanan. Tentu saja, di dalam hotel terasa hangat seperti musim semi, AC sentral menciptakan dua dunia yang berbeda meski hanya dipisahkan sekat tembok. Dongfang Wan mengerahkan tenaga cukup besar, dia menghentikan pisau dan garpu di tangannya, menatapnya: "Apa?"
"Aku tahu untuk apa kau datang ke Paris." Dongfang Wan mengulang dengan suara kecil, "Tadi malam aku melihat Kakak Suyan."
"Oh." Mendengar ini, Jiaming mengangguk lalu melanjutkan makan.
"Kau datang ke Paris untuk mencarinya kan?" Dongfang Wan berbaring di atas meja, mendekat lagi.
"Ada hubungannya denganmu?"
"E... tidak. Tapi... bolehkah kau membawaku menemui dia?"
"Kau kenal dekat dengannya?"
"Dia pernah menyelamatkanku dulu." Dongfang Wan tersenyum, "Biarkan aku menemuinya, bicara beberapa patah kata, mengungkapkan terima kasih boleh kan?"
"Tidak boleh." Jiaming menggeleng menolak.
"Kenapa sih."
"Tidak ada alasan, dia juga tidak mengenalmu."
"Darimana kau tahu dia tidak kenal aku! Kami sudah dua kali mengobrol, dan setiap kali aku selalu memperkenalkan diri padanya!"
"Dia calon istriku yang dipelihara sejak kecil, pastinya aku lebih memahaminya daripada kau. Cuma dua kali ngobrol, apa kau pernah melakukan hal yang membuatnya berkesan?" Melihat ekspresi panik Dongfang Wan, Jiaming berbicara tanpa mengangkat kepala.
"Tapi mungkin saja dia masih ingat aku!"
“Oh, semalam aku bilang padanya kita datang bersama, lalu dia bertanya, Dongfang Wan? Teman sekelasmu? Jelas dia sudah tidak ingat kamu.”
“Hmph, ternyata kamu sudah bertemu dengannya.” Bibir Dongfang Wan mengerut, akhirnya tidak melakukan gerakan seperti memukul orang, “Kalau sudah bilang padanya, sekarang dia pasti sudah kenal aku dong, aku cuma ingin bicara sedikit dengannya saja.”
“Bicara apa?”
“Ehh... belum terpikir, tapi aku sangat mengaguminya, tolong...” dia menyatukan kedua tangan, “Aku belum pernah minta bantuan apapun padamu kan? Tolonglah, biarkan aku menemuinya, tidak akan menyita waktu... atau melihatnya dari jauh saja...”
“Tidak boleh.”
“Tolonglah...”
“Tidak boleh.”
“Tolonglah...”
“...Kapan berhentinya kau, teman sekelas!”
“Masa sesama teman sekelas tidak mau bantu!”
Mereka saling melotot beberapa saat, Dongfang Wan menunduk: “Aku salah, tidak seharusnya berteriak padamu. Jiaming, kita sudah kenal bertahun-tahun, meski sering bertengkar tapi tetap berteman, tidak pernah ada perbedaan pendapat besar kan? Lihat, setiap liburan aku selalu mengajakmu, anggap saja ini bantuan kecil...”
“Tidak bisa. Bantuan lain tidak masalah, tapi yang ini tidak... Benar-benar tidak bisa...” Jiaming mengangkat tangan bingung, selesai makan lalu berdiri. Saat menoleh, Dongfang Wan masih mengikuti sampai keluar restoran, melewati lorong: “Jangan ikuti aku, setuju?”
“Tidak baik, kecuali kau setuju denganku, kalau tidak hari ini aku akan terus mengikutimu ke mana pun kau pergi.” Dongfang Wan menengadahkan wajah sambil bertatapan dengan Jiaming, lugas dan tegas.
Jiaming memandanginya beberapa saat: "Kalau begitu aku ke toilet."
"Aku juga ikut."
Langit pagi yang suram, bersamaan dengan Dongfang Wan yang mengikuti Jiaming ke toilet pria, mari alihkan pandangan kita ke sebuah jalan di Distrik 17 Paris.
Jalanan abu-abu kehitaman berpadu dengan langit yang muram, dalam cuaca sedingin ini hanya sedikit pejalan kaki terlihat. Di kedua sisi jalan dominan berdiri gedung-gedung tempat tinggal rapat. Sisi dengan lorong panjang juga terpasang papan-papan toko bergelantungan, sebagian besar berupa klinik kecil, tempat kumpulan privat atau gym yang beroperasi di dalam gedung. Dinding seberangnya dipenuhi mural bergaya street hip-hop berwarna-warni, juga coretan cat semprot berisi hujatan. Di ujung jalan terdapat dua bengkel mobil yang pintunya terbuka, pintu-pintu kecil gedung tempat tinggal dari luar tampak seperti mulut gua yang gelap dan dalam, beberapa berpendar-pendar lampunya.
Dari pintu masuk seperti ini, naik ke lantai dua, melewati terowongan yang gelap. Di salah satu kamar terdapat beberapa ranjang pasien. Saat ini ada belasan pria asing berwajah sangar berkumpul di sekitar salah satu ranjang. Di atas ranjang terbaring seorang pria yang seluruh tubuhnya dibalut perban, sedang berbicara dengan susah payah. Pria kekar yang duduk di tepi ranjang tampaknya merupakan pemimpin mereka. Posturnya tinggi besar, tinggi badannya melebihi dua meter, dengan parut pisau dari telinga kiri melintasi hidungnya yang membuatnya terlihat garang dan mengerikan.
"...Jadi begini, enam orang kalian, bisa dihabisi dengan mudah oleh seorang wanita?"
Pria berparut pisau itu mengerutkan alisnya, mengulang kalimat tersebut dengan suara lembut. Pasien di ranjang tampak ketakutan, tidak berani menjawab. Beberapa saat kemudian, seseorang dari belakang ragu-ragu berkata: "Bos, Bai Xiong dan yang lain pasti tidak selemah itu..."
“Aku tahu. Saat kita bersama sebagai tentara bayaran, Beruang Putih mungkin bukan yang terbaik, tapi sama sekali tidak lemah. Dia pernah menghajar tiga tentara Soviet sendirian di bar perbatasan, pukulan pertamanya langsung mematahkan tulang rusuk seseorang...” Pria berparut pisau memandangi pria di ranjang dengan tatapan penuh kewaspadaan, “Sedangkan menurut ceritamu, Su, saat Beruang Putih mengayunkan tinju ke wanita itu, dia bahkan tidak mencoba menghindar, langsung mematahkan lengannya dengan tekaan tangan. Kau tahu, alasan dia dijuluki Beruang Putih karena pernah benar-benar MEMBUNUH seekor beruang. Itulah mengapa kuserahkan kepemimpinan tim padanya. Tapi sekarang, kelima orang itu MATI, hanya kau sang pendatang baru yang selamat. Kau tahu cara kami biasanya menangani pengkhianat?”
“Tapi... Bos, aku sungguh...” Pria di ranjang itu menggigil seluruh tubuh, “Aku benar-benar tidak berbohong...”
Pria berparut pisau menatapnya lama: “Memang belum ada bukti kau berbohong, tapi cerita ini terlalu mustahil. Beruang Putih ditambah lima orang lainnya total enam orang. Bahkan Serigala Abu-abu dan Singa Gunung berdua sekalipun takkan bisa menghabisi mereka dalam sekali serangan. Kau bilang lawannya cuma seorang wanita dari Timur? Aku belum pernah melihat wanita sehebat itu.”
“Tapi... Bos...”
“Cukup, Sam. Dia bilang wanita ini datang untukmu, menuntut kami langsung menyerahkanmu. Menurutmu siapa dia sebenarnya?”
“Pria berparut pisau menoleh ke belakang, memandang seorang pria Timur di kerumunan orang. Terlihat pria paruh baya ini mengenakan mantel militer hijau, terlihat cukup gagah, jelas merupakan Liu Shijie yang kabur ke Eropa setelah membunuh Liu Zheng. Dia tersenyum santai: "Jika berasal dari Tiongkok, seharusnya ada koneksi dengan Jianghai. Untuk investigasi, kita bisa mulai dari sini."”
“Baik, beri tahu petugas di bea cukai. Aku segera butuh data terkait Jianghai Tiongkok dalam satu bulan. Siapapun dia, aku akan menemukannya lalu menghabisinya. Sam, ini urusanmu, kau yang tangani.””
“"A Su..." dia menoleh, "Tak peduli siapa dia, benarkah dia bilang akan mengunjungi kita malam ini?"””
“"Be-be-benar... benar..."””
“"Dan dia tidak tanya alamat kita dimana?"””
“"Ti-ti-tidak... Dia cuma bilang menyampaikan pesan ini... Jika kita tidak menyerahkan Sam, dia akan datang..."””
“"Baik. Bagaimanapun, malam ini semuanya akan terungkap. Benar tidaknya omonganmu A Su akan terjawab. Adapun yang harus kita lakukan..." Dia berhenti sejenak, "Kita harus menemukannya sebelum malam, bawa ke hadapanku. Jika dia secantik yang kau katakan, aku tak keberatan membiarkan Sam 'berdiskusi' baik-baik dengannya. Tentu saja, mulai dariku, total lebih dari dua ratus orang di sini akan mendapat giliran... Hahahahaha..."””
“Tawa mengejek bergema di antara kerumunan. Tak lama kemudian, lebih dari seratus orang di seluruh gedung mulai bergerak untuk urusan ini...”
Lebih dari 2 jam kemudian, setumpuk data-data tebal diserahkan ke tangan Liu Shijie. Tanpa usaha besar, dia sudah menemukan nama yang relatif familiar —— meski bukan wanita cantik.
Memandangi nama ini, dia merenungkan selama beberapa menit di kamar terpisah, lalu mengambil dokumen dan keluar. Di lorong, sesekali ada yang menyapanya. Kelompok ini cukup kuat, sebagian besar terdiri dari Orang Rusia. Belum lama ini mereka mutlak mengalahkan beberapa geng besar di Distrik 17 yang terdiri dari Orang Arab dan Afrika, kini menjadi organisasi kriminal teratas di Paris. Bisnis utama mereka perdagangan narkoba dan penyelundupan manusia, sedang merencanakan transaksi besar yang dia usulkan. Ide ini meski terkesan gila, tapi tingkat kelayakannya ada. Jika segalanya lancar, mungkin dalam setengah bulan mereka bisa melaksanakannya, lalu setiap orang akan mendapat porsi uang besar, bahkan bisa langsung membubarkan kelompok sehingga separuh hidup mereka tak perlu lagi melakukan hal-hal seperti ini. Siapa sangka ketika hal ini sudah di depan mata, tiba-tiba muncul masalah seperti ini.
"Hei, Sam, dengar-dengar cewek cantikmu berhasil menghabisi Beruang Putih ya!" Saat melewati sebuah pintu kamar yang difungsikan sebagai gym, seorang pria kekar yang sedang memukul karung pasir memanggilnya. Orang ini dikenal sebagai yang paling ganas dalam kelompok, dijuluki Singa Gunung, mantan tentara bayaran yang pernah ikut pertarungan tinju bawah tanah. Kekuatannya luar biasa dan sifatnya kejam. Dalam perkelahian jalanan, dia bahkan bisa mengalahkan kelompok kecil puluhan orang sendirian. "Sudah ketemu siapa dia? Aku sudah tak sabar ingin mencicipi rasa gadis cantik Oriental yang hebat ini, haha..."
"Yang benar saja, itu cewekku! Kalau mencicip, harus aku duluan!" Dia tahu hubungan baik antara Singa Gunung dan Beruang Putih, tapi dalam kelompok seperti ini, tak boleh menunjukkan kelemahan sedikit pun.
"Gak masalah, siapa yang menangkap, dia yang dapat!" Singa Gunung membuka kedua tangannya sambil tersenyum memperlihatkan gigi, kilatan kekejaman muncul di matanya. Sesaat kemudian, dia berbalik dan menghajar karung pasir di depannya.
Braak! Suara ledakan dahsyat menggema. Seluruh karung pasir meledak di bawah pukulan itu, pasir beterbangan ke mana-mana. Seseorang di dalam ruangan mulai protes: "Hei Singa Gunung, kau mulai lagi..."
"Maaf, maaf... Lain kali akan kuperhatikan..." Singa Gunung menganga sambil tertawa.
"Manfaatkan waktu ini," Liu Shijie mengambil dokumen dan pergi. Sungguh... Sekarang berkelahi bukan cuma soal tenaga, tentu saja, penegakan hukum di Paris relatif ketat, seringkali mustahil bawa senapan serbu untuk berkonflik dengan orang. Tapi kalau sudah berkecimpung di dunia ini, yang paling penting tetap otak... Sambil berpikir begitu, dia masuk ke kamar bos Si Bekas Luka.
"Sudah diselidiki?"
"Wanita itu tidak ketemu, tapi ada satu orang yang pasti terkait dengan hal ini."
"Oh, aku lihat..."
"Tapi sekarang dia ikut grup tur. Sepengetahuanku, Akademi Hati Kudus ini punya pengaruh besar di Jianghai. Kalau orang mereka bermasalah di Paris, mungkin akan menarik perhatian..."
"Gu Jiaming... Kau yakin dia terkait? Kalau sudah yakin kenapa tidak? Aku kan bukan mau bunuh semua orang, Paris juga bukan surga. Turis Amerika saja tiap tahun ada yang MATI... Kalau memang ada koneksinya, suruh beberapa orang habisi dia. Untuk wanitanya cari pelan-pelan, hehe... Siapa tahu dengan begini dia muncul..." Si Bekas Luka menutup dokumen, mengembalikan ke Liu Shijie, "Urusanmu, kau yang mengambil alih kendali."
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Puluh Empat Api Senyap
"Pergi, jangan menarik-narik..."
"Setujui dulu permintaanku!"
"Ini di jalan, orang pada lihat. Jaga penampilanmu dong!"
"Enggak mau! Biar orang lihat, nanti kau pulang jelaskan hubungan dekat kita dengan Shasha!"
"Kalau masih begini aku pukul kau."
"Aku takut denganmu?"
"Dalam suara berbicara, Jiaming berbalik badan, menepuk bagian atas kepala Dongfang Wan. Dongfang Wan memiringkan kepala, melotot dengan ekspresi 'babi MATI tidak takut air mendidih': 'Kau suka? Coba lagi! Pokoknya kalau kau tidak setuju, hari ini kita takkan berakhir!'"
"Kau..." Jiaming mengangkat tangan, membeku di udara cukup lama, akhirnya menggeleng dan tidak jadi memukul. "Malas berurusan denganmu..." katanya sambil terus berjalan.
"Haha, aku yang akan berurusan denganmu..." Dongfang Wan melompat-lompat mengikuti dari belakang. Melihat dia lengah, dia melompat hendak menepuk kepalanya. Tapi saat tangan diayunkan setengah jalan, akhirnya ditahan. "Pria kepala wanita pinggang. Meski orang ini selalu terlihat tanpa tabu, siapa tahu dia benar-benar marah."
Waktu menunjukkan lewat pukul dua siang. Langit mendung. Sekelompok orang berjalan di blok jalan ramai Area 13 Paris, sesekali masuk ke toko-toko untuk belanja besar. Menurut itinerary yang sudah dibooking, hari ini seharusnya kunjungan pertama ke Louvre dan museum-museum. Tapi mungkin karena dorongan naluri belanja perempuan, akhirnya diputuskan untuk jalan-jalan belanja di sini dulu. Tim yang awalnya 60+ orang kini terpecah menjadi beberapa set. Setelah sepakat waktu dan tempat kumpul, masing-masing pergi ke tempat favorit mereka. Adapun pasangan Jiaming dan Dongfang Wan, di bawah pandangan penuh keheranan semua orang, sudah terlibat konflik sejak pagi hari.
Sebagai salah satu dari dua dewasa yang menjadi pemimpin tim operasi ini, menyaksikan Jiaming menampar kepala Dongfang Wan, Rei Qing di depan hampir tak bisa menahan diri untuk menyerang, namun ditahan oleh Ying Zilan di sampingnya: "Sudahlah, itu urusan bercumbu antara mereka berdua, ngapain kau ikut campur."
"Bercumbu atau bukan, pantaskah memukul orang seperti itu?!"
"Dia juga tidak menggunakan tenaga besar, lagipula lihatlah Xiao Wan masih tersenyum. Mungkin mereka berdua memang menyukai gaya seperti ini..."
Rei Qing menggerutu lama: "Aku sama sekali tidak melihat kelebihan apa pun dari bocah itu..."
Ying Zilan tersenyum ambigu. Beberapa saat kemudian, barulah ia mendorong kacamatanya: "Dulu kita pernah membahas, karakter Xiao Wan yang terlalu keras mungkin akan menyulitkannya menemukan pasangan di masa depan. Dongfang Lu sendiri mengangguk setuju, bilang... mungkin nasibnya kurang beruntung sampai jadi perawan tua yang akhirnya menikahi pria penurut, atau beruntung menemukan pria yang bisa mengendalikannya di masa muda. Biar hatinya tunduk dengan sukarela. Itu yang terbaik..."
"Maksudmu Gu Jiaming bisa mengendalikannya?"
"Hehe, beberapa hal tak sesederhana penampilan luar. Bibiku - yang sekarang membantu memimpin Hubei - kau tahu kan, karakternya sangat kuat. Pamanku justru lembut, tapi begitu pulang ke rumah, bibi selalu mendengarkannya. Hal-hal seperti ini sulit dijelaskan... Asal ada cinta ya..."
“Ying Zilan tersenyum tipis sambil menjelaskan. Sebenarnya, sebagai personel internal [], sejak adik laki-lakinya terlibat masalah setelah kontak dengan Gu Jiaming ini, dia sudah diam-diam menyelidiki data-data pihak lawan. Hubungan dengan Dongfang Wan kemungkinan besar hanya tipuan. Tapi hal seperti ini sekarang tidak perlu dijelaskan secara detail kepada Lei Qing, biarkan saja dia mempertahankan kebencian terhadap Gu Jiaming. Adapun soal adanya Jian Suyan di belakang Gu Jiaming itu, karena dia tidak terlibat langsung, untuk saat ini belum ada pengalaman personal yang nyata.”
Saat sedang membicarakan hal ini, telepon di saku berbunyi. Setelah mengangkat dan berbicara sebentar, alisnya sedikit berkerut, tapi ekspresi tidak senang itu langsung hilang. Lei Qing menoleh bertanya: “Masih tidak mau menemui kita?”
“Hmm.” Ying Zilan mengangguk, “Jawaban sama. Mereka juga tidak tahu soal nona Natalia dan nona Kelly, karena atasan tidak memberi tahu bahwa mereka akan datang...”
“Tapi nyatanya mereka sudah datang.”
Ying Zilan tersenyum: “Meskipun Grup Sid berada di bawah Rothschild, operasional umum biasanya tidak diintervensi. Sepertinya kedatangan nona Natalia ke Paris ini benar-benar untuk liburan atau santai. Kita yang berulang kali ingin mengunjunginya malah terlihat kurang sopan, tapi...”
Sambil bergumam, Ying Zilan menoleh ke belakang memandang dua orang yang berjalan paling akhir, lalu berbalik mendekat. Lei Qing buru-buru menyusul: “Hei, teman sekelas Jiaming.”
“Hah?” Jiaming yang sedang tak sabar berkejaran dengan Dongfang Wan mengangkat kepala.
“Heh, begini, dengar-dengar kau dekat dengan Nona Kelly, apa kali ini bertemu dengannya?”
“Nona Kelly yang mana?” Jiaming tertegun.
Ying Zilan sedikit mengerutkan alis, seolah mengamati apakah kebingungannya sungguhan atau pura-pura, kemudian tersenyum: “Nona Kelly*Vernam, eh... kalau tak salah ingat, waktu berkemah di pinggiran Jianghai dulu kau kan bersamanya...”
“Oh, Kelly itu.” Jiaming menepuk kepalanya, “Tidak terlalu dekat, waktu di Jianghai memang sempat ngobrol sebentar, ada apa?”
“Tidak ada, cuma Nona Kelly dan Nona Natalia tiba di Paris dua hari lalu, eh... kau tidak tahu?”
“Tidak tahu, cuma bertukar beberapa kalimat, mustahil ada koneksi...”
Ying Zilan mengamati ekspresi tak bereaksi Jiaming beberapa saat, akhirnya mengangguk sambil tersenyum dan pergi. Lei Qing yang menyusul di sampingnya berkata: “Ini mustahil, waktu di Jianghai mereka jelas...” Teringat bakat merayu Jiaming, dadanya kembali sesak. Ying Zilan menepuk bahunya: “Dia tidak bohong, aku bisa lihat.” Dalam hal ini, dia jelas sangat percaya diri.
Melihat punggung kedua orang itu, Jiaming mengerutkan kening. Menyaksikan Dongfang Wan yang mendekat dengan wajah penuh rasa ingin tahu, tubuhnya kembali melakukan perlawanan tak sabar: "Pergi!" Melepaskan genggaman tangannya lalu berbalik dan lari. Meski suhu udara saat itu rendah, kerumunan orang di jalanan Paris tetap padat. Belum berlari beberapa langkah, kembali disergap Dongfang Wan yang mencengkeram pakaian di punggungnya. Dalam pergulatan mereka, pandangan Jiaming menembus keramaian orang, tertuju pada beberapa pria di kerumunan sebelah belakang...
"Target terdeteksi, saat ini hanya ada bocah Timur ini seorang. Dia memiliki beberapa kawan, tapi tidak sesuai dengan data wanita itu..."
Di jalanan yang ramai, berbagai papan reklame raksasa dan gambar promosi seakan memenuhi langit kota. Saat lampu hijau menyala, pria berkebangsaan Rusia berjas hujan abu-abu berhenti di tepi jalan. Matanya mengikuti sekelompok orang di seberang jalan, sambil berbicara di telepon dan membuat beberapa gestur. Rekan berambut eksplosif di sampingnya berbalik menuju jalan di sisi lain. Ini adalah persimpangan jalan berskala besar, bisa diakses dari segala arah. Dengan menyebar, hal-hal yang bisa ditemukan akan semakin banyak.
“Namanya adalah Andre*Lutai, julukannya Penembak, sebelumnya pernah menjadi tentara bayaran selama beberapa waktu. Karena kemahirannya menggunakan busur dan anak panah, serta anak panah busur silang, ia mendapatkan kode ini. Tentu saja, kemampuan dalam hal senjata api juga cukup baik, hanya tidak setonjol ketepatan tembakan panahnya. Ini mungkin karena dalam situasi saat ini, senjata api sudah terlalu umum.”
“Untuk sementara, dia adalah pemimpin tim tiga orang ini. Dua anggota lainnya meski tidak pernah menjalani pelatihan tentara bayaran yang benar-benar ketat, tetapi dalam melakukan tugas juga sama hebatnya. Setelah menelepon dan menerima instruksi dari sana, lampu hijau telah berubah menjadi merah, trotoar mulai dibuka. Ia bersama rekan di sampingnya menyelinap di antara kerumunan orang sambil mengirim perintah melalui walkie-talkie mini ke rekan di pihak lain.”
“Cari kesempatan yang tepat, di pihak kami sedang mempersiapkan aksi. Jika pertama kali gagal, kau yang buka tembakan. Target hanya satu, jangan sampai kena orang di sekitarnya...”
……
……
“Wei, Jiaming, tunggu... Tunggu-tunggu!”
Dengan erat menggenggam satu tangan Jiaming, Dongfang Wan berhenti di depan stan kecil di sudut jalan. Di sini dijual cendera mata kecil-kecilan, sebagian besar berupa korek api berbagai desain: model Menara Eiffel, Gapura Kemenangan, Menara Runcing, model pistol...
“Kau sakit jiwa ya, apa bagusnya ini? Kalau mau lihat lihat saja sendiri, jangan tarik aku. Mereka sudah jauh mau nyebrang jalan...”
“Jauh ya sudah, aku mau berhenti lihat-lihat. Kalau mau pergi, setujui dulu permintaanku!”
Sambil berbicara, dia mengambil korek api berbentuk pistol dan menanyakan harga pada bos itu. Melihat Jiaming masih melakukan perlawanan, dia menggoyang-goyangkan borgol imitasi: "Tidak tahu apakah ini asli, kalau tidak aku akan membelinya..."
"Kau jatuh cinta padaku? Sampai segitunya ingin selalu menempel denganku?"
"Sesukamu lah berkata." Dongfang Wan menggelengkan kepala, kemudian membayar korek api pistol itu. Jiaming menyeringai: "Baik, kita pulang menyewa kamar, setelah itu akan kuperkenalkan Suyan padamu."
"Otakmu rusak..."
"Lihat, ternyata masih ada yang lebih penting dari menemuinya... Ngomong-ngomong, barang sudah kau beli, kita hanya berdiri di sini? Mereka sudah sampai di seberang jalan..."
"Ide bagus, kalau kau tidak setuju, kita akan tetap berdiri di sini saja..." Pertengkaran mereka sudah berlangsung sejak pagi, bahkan saat Jiaming ke toilet dia tetap berdiri di luar pintu. Kini dia terlihat lelah namun tetap keras kepala, tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangan Jiaming erat-erat.
"Kau yang sakit jiwa..." Jiaming meronta beberapa kali, tentu tidak mungkin menggunakan tenaga penuh. Melihat tidak bisa lepas, dia mulai membuka jari-jari Dongfang Wan satu persatu. Dongfang Wan pun bersikukuh, seluruh tangannya mengepal kencang sampai jari-jarinya mulai memutih. Namun kekuatan lembut Jiaming tetap tak tertahankan, jari kelingking terbuka perlahan, disusul jari manis. Saat tangan itu menyentuh jari tengah, tiba-tiba dia menutup mata, menarik napas dalam-dalam.
"Aaaaa——"
Jeritan wanita itu dalam sekejap menggema di jalanan Paris, pejalan kaki di sekitar seolah berhenti sejenak, memandang ke arah sini. Bahkan Ying Zilan dan yang lainnya yang sudah menyeberang jalan pun menjulurkan leher untuk melihat. Jiaming menghentikan gerakannya, menyaksikan Dongfang Wan menatap langsung ke arahnya, bekas-bekas kelembapan mulai terlihat di matanya: "Aku cuma ingin melihatnya saja, aku cuma ingin melihatnya saja... Paling-paling mengucapkan terima kasih, aku tahu dia pasti tidak punya kesan apa-apa padaku, ngobrol sebentar saja tidak boleh... Kau juga belum pernah menanyainya, kau terlalu pelit... Terlalu pelit..."
Gadis yang biasanya keras kepala itu bergumam pelan, tampak akhirnya tidak bisa menahan tangis. Jiaming menghela napas. Seandainya dia tidak menganggap Dongfang Wan sebagai teman, dari awal dia sama sekali tidak akan melibatkan diri. Tapi justru karena sikap inilah yang membuatnya kini serba salah. Setelah jeda sejenak, akhirnya berkata: "Baiklah, aku setuju..."
"Benarkah!" Gadis itu bersemangat menunjuknya, "Nah, kau sudah bilang sendiri, janjimu harus ditepati ya."
"Bukan aku sengaja melarangmu bertemu, tapi kau tahu bagaimana orangnya. Ke Paris ini berbahaya, jadi dia tidak punya waktu untuk mengobrol. Aku cuma bisa mengatur tempat untukmu, kau bisa melihatnya dari jauh, bagaimana?"
"Boleh juga... Terima kasih." Dongfang Wan tersenyum, membuka tangan lalu memeluk Jiaming, "Sebenarnya sejak dia menyelamatkanku, yang paling kukagumi adalah dia. Terima kasih terima kasih terima kasih..."
Saat lampu merah berikutnya tiba, mereka berdua berjalan menyusuri orang-orang ramai yang menyeberang...
……
……
“Pejalan kaki berdesakan, dua pria berkebangsaan Rusia berhenti di persimpangan, memandang pemuda dan gadis yang melintas di depan mereka, lalu menatap durasi lampu merah. Di sisi lain, rekan yang terpisah telah mencapai jalan seberang, perlahan mendekati persimpangan ini. Di celah-celah kerumunan, dia membuat gestur OK secara diam-diam.”
“Detik demi detik berlalu. Dalam situasi ini, titik waktu terbaik untuk menembak harus dipilih beberapa detik sebelum peralihan lampu. Begitu target MATI, lampu berubah, arus kendaraan akan memisahkan kedua dunia. Mereka akan pergi dengan tenang memanfaatkan momen ini.”
“Serahkan padamu.” Andre berbisik sambil menepuk bahu rekannya. Di seberang jalan, gadis itu memain-mainkan korek api berbentuk pistol sambil berkomunikasi dengan Jiaming.
“Hitung mundur empat detik...”
“OK.” Dari balik jas hujan, pria itu mengeluarkan senjata berpemasang peredam suara. Di sela kerumunan, dia mulai mengkalibrasi sudut tembak.
“Hitung mundur tiga detik...”
“Di tengah kerumunan seberang jalan, pria tersebut menyelipkan tangan ke pangkuan, menyiapkan tembakan susulan. Andre di sisi ini juga melakukan gerakan serupa.”
“Hitung mundur dua detik...”
“Dengan bantuan Jiaming, Dongfang Wan menarik picu korek api. Laras senjata yang tersembunyi di balik jas hujan telah mengunci posisi. Kerumunan pejalan kaki mulai menunjukkan diskontinuitas.”
“Hitung mundur satu detik...”
“Nyala api menyembur dari laras. Dongfang Wan tersenyum. Ying Zilan melambaikan tangan dari kejauhan... Di sisi jalan ini, Mental manusia mulai menegang.”
“Selanjutnya, lampu hijau.”
“Sekarang.” Kata Andre.
Tanpa pertanda apapun, di samping pria kekar Rusia dengan kode Penembak, darah dan otak putih yang mengejutkan tiba-tiba menyembur ke belakang. Tengkorak kawan di sebelahnya terpental tiba-tiba oleh peluru yang datang senyap...
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Trio Paling Mengerikan Sepanjang Sejarah
Kilas balik beberapa detik sebelumnya, dua orang sedang berjalan di trotoar, lampu merah terus menghitung mundur.
"Hei, cara pakai korek api bentuk pistol ini? Picunya sama sekali nggak bisa ditarik..." Karena Jiaming menyetujui permintaannya, Dongfang Wan kini terlihat sangat bersemangat, asyik memainkan mainan barunya sambil terus mengoceh.
Jiaming mengabaikannya.
"Jangan-jangan kita dibohongi... Katanya korek api, masa nggak bisa. Aku mau balik ke sana minta ganti..." Dongfang Wan mengerutkan alis siap berbalik badan, "Keterlaluan, menganggap kita turis lalu menipu..."
"Kau idiot." Jiaming menariknya, "Biar aku lihat."
"Dari tadi sudah kubilang untuk diperiksa, tadi nggak mau... Cih..."
"Aku salah..." Dengan ekspresi kecewa, Jiaming memeriksa korek api berbentuk pistol di tangan Dongfang Wan, "Nah, di sini ada mekanisme pengaman, buka dulu baru bisa dipakai..."
"Wah... Buat korek api kok dibuat mirip senjata beneran, aneh..."
"Biar nggak memicu nafsu."
"Hehe, kalau terpicu gimana?" Dongfang Wan tertawa, "Masa bisa bikin orang mati."
"Bisa jadi." Jiaming mengangkat bahu, "Dunia ini penuh keajaiban, segalanya mungkin terjadi."
"Kalau gitu, lihat aku ledakkan kepala orang itu."
Dongfang Wan tersenyum mengangkat senjata, membidik foto seksi aktris Prancis di papan reklame besar tak jauh darinya, lalu menarik pelatuk. Api menyembul tanpa suara. Lampu merah berakhir, suara mesin mobil terdengar dari seberang jalan. Di toko audio sebelah, seorang penyanyi sedang berteriak histeris.
Sesaat kemudian, di seberang jalan, seorang pria tiba-tiba kehilangan tengkorak kepalanya oleh peluru yang melesat.
"Haha, nggak ada yang MATI dipukuli ya."
Dongfang Wan melepas pelatuk, lalu meniup laras senjata sambil berpose ala koboi Barat. Jiaming mengangguk setuju. Satu detik kemudian, jeritan histeris seorang wanita menggema di belakang mereka. Di depan, Ying Zilan membeku. Keduanya menoleh bingung...
Kerumunan di kedua sisi jalan tiba-tiba mulai gempar...
Kejadian sekejap mata itu membuat Andre sama sekali tak memahami situasi.
Darah tiba-tiba menyembur deras. Saat menoleh, kawannya di samping masih berdiam kaku. Dari alis ke atas, wajahnya telah berubah jadi gumpalan kabur - darah, otak putih, tulang, dan rambut hancur bercampur. Pada detik itu, manusia sulit mencerna realitas secara konkret. Darah terus memancar dari lubang di kepala seperti air mancur, berbuih-buih dengan campuran zat kuning-putih. Lebih banyak lagi cairan itu telah terciprat ke belakangnya tadi.
Seorang wanita gemuk berpakaian mahal disiram hingga seluruh wajah dan kepalanya basah.
Dia tertegun selama satu hingga dua detik, mata kosong menatap tengkuk berlumuran darah yang rusak di depannya. Bersamaan dengan itu, Andre telah mengeluarkan pistolnya, namun dia belum tahu harus menembak ke siapa karena tidak melihat dari mana peluru itu datang...
Kemudian terdengar jeritan mengerikan sang wanita gemuk, puluhan kali lebih nyaring daripada teriakan Dongfang Wan tadi, membuat orang-orang dari jauh-dekat menoleh ke arah ini. Hampir secara bawah sadar, Andre menyembunyikan kembali pistolnya. Dia bingung apakah harus menembak target di seberang karena sebelumnya mereka berdua sedang mengawasi pemuda itu, apalagi posisinya membelakangi mereka. Secara teori, mustahil pemuda itu yang menembak. Jika sembarangan menembak tanpa target jelas, dia bisa jadi yang MATI berikutnya.
Gemparan tiba-tiba meletus, jeritan bergema di mana-mana. Dalam pandangan Andre, di jalan samping seberang, seorang pria mengeluarkan senjata - rekan satu timnya yang bersiap melakukan tembakan susulan. Kemudian, adegan mengejutkan kembali terulang.
Orang itu mencabut senjata, sekejap setelah laras terangkat, pistol itu terbang ke langit bersama darah dan jari-jari yang terputus. Di jalanan yang riuh, kerumunan manusia berlalu-lalang, berbagai suara bercampur menjadi satu: deru mobil, jeritan, alunan musik... Namun saat pemandangan ini masuk ke penglihatan Andre, yang dirasakannya adalah suasana dingin membeku seolah televisi ditekan tombol mute - teriakan histeris di layar tak sampai ke telinga penonton. Sebutir peluru sunyi melesat miring, tepat menghantam tangan yang memegang senjata, meledakkan tangan itu dan melempar senjatanya.
Tubuh pria itu bergetar akibat hantaman peluru. Sebelum sempat bereaksi, peluru berikutnya sudah menembus lehernya. Percikan darah menyembur dari belakang tengkuk, melukis parabola Merah Segar yang terbang jauh.
Penembaknya tetap tak bisa dilacak, seolah peluru-peluru itu ditembakkan oleh hantu tak kasatmata.
Setelah dua tubuh roboh, di kedua sisi jalan, kerumunan yang awalnya padat mulai berlarian tercerai-berai. Andrei tidak berani menarik senjata, dia mundur dua langkah, pandangannya menatap mati ke arah kerumunan itu. Remaja pria dan gadis itu sudah bereaksi dari keterkejutan awal, sang gadis menyelamatkan tangan remaja itu, berbalik dan lari panik tanpa memilih jalan, kemudian bertabrakan dengan orang lain. Untungnya tidak jatuh, hanya terhuyung-huyung sebentar, lalu terus berlari ke tepi jalan. Tidak ada jejak tembakan, Andrei merasakan dingin di tengkuknya. Siapapun orang itu, kemungkinan besar masih berada di antara kerumunan, memandanginya dengan tenang di sisi jalan ini.
Beberapa detik terasa lebih menyiksa daripada kiamat. Sekelilingnya penuh orang berlarian, tapi akhirnya, mobil pertama melintas di sisi ini, memutus penglihatan antara kedua ujung jalan.
Menghela napas panjang, jendela mobil melintas di depan matanya. Saat kekacauan di seberang jalan kembali terlihat, tubuhnya berguncang hebat.
Dia berdiri di sana, menundukkan kepala tak percaya. Di bagian kiri dada tubuhnya, percikan darah mekar dengan jelas. Pria kekar Rusia ini perlahan mengangkat tangan, seolah ingin mengkonfirmasi apakah itu nyata. Saat jari menyentuh cairan kental itu, dia mengangkat kepala dan akhirnya melihat suatu bagian dalam kisah yang halus.
Pemuda yang ditarik gadis itu berlari ke sana kemari menoleh ke arah sini. Meski hanya sekejap, dia bisa merasakan pandangan itu dengan jelas. Kemudian, helai baju di bawah tubuh pemuda itu berkibar sebentar.
Puuut——
Peluru menembus mata kirinya yang melotot. Kepala pria kekar itu tersentak ke belakang tiba-tiba. Peluru berikutnya langsung menembus biji mata kanannya, mengubah kedua mata itu menjadi dua lubang darah mengerikan.
Mobil melesat di jalan. Beberapa detik kemudian, kendaraan yang secara bawah sadar memperlambat kecepatan ditabrak bus dari belakang. Kemudian, kecelakaan beruntun terjadi dalam kekacauan ini...
Tak ada yang tahu apa yang terjadi.
Saat kepala pertama meledak, Dongfang Wan menoleh melihat pemandangan aneh itu. Jeritan wanita itu—sama sekali belum paham situasi—hanya secara refleks terus menarik picu korek api. Nyala api muncul dari laras senjata berkali-kali. Ketika percikan darah meletik dari tubuh orang kedua di sisi dekatnya, barulah dia tersadar di tengah jeritan semua orang. Setelah ragu dua detik, tiba-tiba dia meraih tangan Jiaming dan mulai mencari posisi aman seperti orang lain.
Ying Zilan bisa dibilang orang yang bereaksi paling cepat. Ia mendorong Lei Qing di sampingnya ke balik tiang, sambil segera menghunus pistolnya. Posisinya di [] saat ini tidak terlalu tinggi, namun karena hubungan ayahnya dan reputasi keluarga, sebenarnya ia bisa saja membawa banyak pengawal. Tapi karena pernah menjalani pelatihan dan sebelumnya jarang menghadapi bahaya, apalagi kali ini ia sedang liburan dengan sekelompok mahasiswa, akhirnya tidak membawa pengawal. Dalam kekacauan ini, sulit dipastikan apakah ini insiden kebetulan atau serangan yang memang menargetkannya.
"Cepat cari tempat untuk bersembunyi!"
Sambil memerintahkan beberapa mahasiswa di sekitarnya mencari perlindungan, ia berjongkok di belakang stan di sudut jalan, matanya menyisir kerumunan mencari penembak. Di sisi lain yang dekat jalan, tangan seorang pria yang memegang senjata tertembak peluru. Pistol dan jari terputusnya melayang ke udara, belum sempat jatuh, peluru berikutnya sudah menembus tenggorokannya.
Ia bisa memperkirakan arah datangnya peluru, tapi saat menatap ke sana, sama sekali tidak menemukan penembaknya. Lebih dari sepuluh orang di jalanan termasuk Jiaming dan Dongfang Wan, sebagian sudah menyadari sesuatu yang salah, sebagian masih terdiam bengong. Tapi di manakah laras senjata itu?
Dalam riuh rendah suara, Dongfang Wan yang tersadar tiba-tiba berbalik dan menggenggam tangan Jiaming, lalu buru-buru melarikan diri. Sebagai keturunan keluarga besar yang pernah menjalani pelatihan antisipasi serangan, begitu melihat situasi ini, langkah pertamanya adalah berlari ke toko audio di pinggir jalan. Tersandung-sandung dalam prosesnya, begitu mereka menerobos masuk ke dalam toko, suara tabrakan keras BRAK menggema dari belakang. Dia menarik Jiaming berjongkok di sudut dinding, menekan bahunya mati-matian: "Jangan angkat kepala, jangan angkat kepala..." Di tengah alunan musik, di luar jalanan, mobil-mobil saling bertabrakan dengan suara gemuruh BRAAK.
Beberapa menit kemudian, ketika sirine polisi berbunyi nyaring di jalanan, mereka keluar dari toko audio dan menyaksikan pemandangan kekacauan total di persimpangan. Mobil-mobil berjejalan satu demi satu di jalanan, orang-orang panik merangkak keluar dari kendaraan lalu lari menjauh. Di kedua sisi jalan, tiga mayat berserakan dalam posisi berbeda-beda. Di bawah raungan sirine, polisi berlarian kesana kemari...
Peristiwa penembakan di persimpangan jalan berdampak besar, tak lama kemudian berita tersebut ditayangkan. Untungnya kecepatan mobil saat itu tidak terlalu tinggi, meski menabrak lebih dari sepuluh kendaraan, tidak ada korban jiwa. Saat melihat berita ini, Jiaming dan yang lain sudah kembali ke hotel. Dengan kehadiran Ying Zilan di sini, mereka bisa dianggap sebagai turis dengan identitas khusus. Lagipula tidak ada indikasi jelas yang menghubungkan mereka dengan peristiwa tersebut, polisi tentu tidak akan menginterogasi mereka. Bagaimanapun, jumlah saksi mata di sekitar lokasi saat itu sangat banyak.
Meski ada begitu banyak saksi, tak satu pun bisa menjelaskan dari mana peluru itu ditembakkan. Tentu ini menjadi hal yang membuat polisi Paris pusing. Begitu kejadian usai, Ying Zilan menelepon beberapa orang, lalu segerombolan pengawal atau agen rahasia menjemput mereka kembali ke hotel. Meski target dari kejadian ini belum dikonfirmasi, Ying Zilan, Lei Qing dan yang lain berusaha mencegah rencana perjalanan Dongfang Wan keesokan harinya, dengan syarat minimal membawa beberapa pengawal. Sebagai orang yang berkarakter ceplas-ceplos, emosi Dongfang Wan langsung berubah dari takut menjadi bersemangat setelah kejadian. Meski menyetujui usulan Ying Zilan untuk membawa pengawal, begitu tiba di hotel, dia langsung cerewet bercerita dengan sangat hidup kepada kawan-kawannya. Kini mereka punya bahan obrolan menarik sepulangnya - selama di Paris, mereka secara langsung mengalami lokasi pembunuhan bayaran.
"Setelah melewatkan satu siang dengan penuh semangat, ketika sudah selesai makan malam, dia berdiam diri sejenak di kamar. Memandangi kegelapan malam yang pelan-pelan menyelimuti jalanan Paris, satu per satu lampu mulai menyala, barulah dia keluar dari kamar. Saat turun ke lantai dua, bertemu dengan Xu Yiting: 'Yiting, apakah kamu melihat Jiaming?'"
"'Jiaming... Sekarang tidak tahu juga, sehabis makan kayaknya dia pergi keluar... Padahal dia sendiri yang bilang penegakan hukum Paris buruk, jangan keluyuran sendirian... Dia memang tidak bisa bersosialisasi... Ada keperluan sama dia?'"
"'Oh, nggak, cuma nanya aja... Eh, Yiting, aku mungkin ada urusan nanti malam, kamu tidur saja dulu jangan tungguin aku.'"
"'Oh.' Sambil mengangguk, memandangi Dongfang Wan yang berlari kecil menuruni tangga, Xu Yiting mengerutkan kening. Seharian ini dia mendengar orang membicarakan hubungan Jiaming dan Xiao Wan... Jangan-jangan dia beneran saling suka sama sepupu laki-lakinya... Pasangan yang tidak cocok banget..."
"Urusan seperti ini bukan ranahnya untuk memberikan pendapat. Baik sebagai bawahan maupun teman, memberikan saran sembarangan tentang hal seperti ini hanya akan menimbulkan kejijikan. Dia menggelengkan kepala, memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu apa-apa."
"Dengan cepat menuruni tangga, Dongfang Wan menuju parkiran bawah tanah."
"Sepanjang perjalanan seperti pencuri yang terus berlari kecil, baru setelah masuk ke dalam mobil, dia dengan hati-hati mengeluarkan selembar kertas yang dilipat rapi dari dalam bajunya. Membandingkannya dengan peta area kota Paris di mobil, kemudian menentukan rute di sistem pelacakan GPS, akhirnya menyetir keluar dari hotel."
Hatinya mulai tegang, berdegup Bruk-bruk-bruk-bruk, mungkin karena alasan ini mobil dikemudikannya jauh lebih cepat dari biasanya. Sepanjang jalan dia hati-hati mencocokkan peta, sekitar lewat empat puluh menit kemudian, dia tiba di depan hotel yang tidak terlalu megah di Distrik 17 Paris. Area sekitar ini bukan kawasan komersial makmur Paris, sejauh mata memandang lebih banyak gedung-gedung tempat tinggal warga yang bagai hutan, dipenuhi jendela pengaman tak terhitung seperti sangkar. Meski lampu jalan terang benderang, gedung-gedung tinggi yang terlihat tetap memberi kesan sesak dan kelabu. Mungkin inilah daerah rakyat jelata Paris, pikirnya sambil membawa kertas memasuki pintu gerbang hotel.
Setelah menunjukkan identitas palsu di meja resepsionis aula, dia mendapatkan kunci pintu kamar bernomor 1407. Kebanyakan hotel di barat tidak memiliki lantai tiga belas, artinya kamar ini sebenarnya berada di lantai 13 yang sesungguhnya. Sungguh selera humor yang buruk, mau menakuti aku? Mengingat wajah menyebalkan Jiaming, dia menyeringai. Saat naik lift ke lantai, di dalam ruang sempit itu, perasaan negatifnya kembali muncul.
Jika trik penipuannya bagaimana... Seandainya Jian Suyan tidak terlihat di sini, dia mengelabuiku untuk datang ke hotel ini, maka ini akan berubah menjadi... sewa kamar hotel... itu...
Setelah memikirkan hal ini, keraguan memenuhi hatinya. Puluhan metode kejam untuk melawan bajingan melintas di pikirannya sebelum lift tiba di lokasi tujuan. Dia menarik napas dalam-dalam, keluar, dan membuka pintu kamar - tidak ada siapa-siapa. Ini hanyalah kamar hotel biasa, dengan sebuah teleskop panjang yang sudah diatur sudutnya terpasang di dekat jendela, mengarah ke sebuah blok jalan di bawah. Selembar kertas terjepit di teleskop: "Tetap di sini, jangan takut, semuanya akan baik-baik saja."
"Ngapain sih ini..."
Mendekati teleskop dan mengintip melalui lensanya, terlihat sebuah jalanan yang agak sepi dengan beberapa mobil kecil parkir rapi. Hampir tidak ada pejalan kaki yang sedang jalan-jalan, tapi lebih dari sepuluh orang berkelompok di sana-sini - ada yang duduk di pagar sementara, bersandar di tembok, atau mengandeng tiang lampu jalan. Laki-laki dan perempuan sedang mengobrol. Setelah mengamati lama, Dongfang Wan melihat beberapa orang tambahan keluar dari gedung sebelah, tapi tidak ada tanda-tanda Jian Suyan. Para wanita itu tersenyum genit seperti pelacur dari gang kembang api, sementara kebanyakan pria berwajah garang dengan pakaian aneh - jelas bukan orang baik-baik.
"Gu Jiaming ini, jangan-jangan cuma bohong ya..."
Sambil terus menggerutu, dia duduk bermain-main dengan teleskop secara bosan. Namun seiring berjalannya waktu, perlahan dia menyadari sesuatu yang aneh: Jumlah orang di jalanan itu semakin lama semakin banyak.
“Ada yang datang dengan mobil, berhenti di ujung jalan atau di jalan utama luar lalu berjalan kaki, ada juga yang langsung keluar dari gedung-gedung samping, saling bercanda dan menyapa. Tidak banyak wanita, situasinya terlihat seperti perkumpulan geng kriminal. Terkadang polisi patroli lewat di persimpangan jalan, melihat formasi seperti ini, setelah beberapa saat langsung kabur——mungkin kelompok ini punya koneksi di kantor polisi. Menjelang pukul sembilan, jalanan itu dipadati hampir 200 orang yang berkumpul secara perlahan, gelombang opini publiknya dahsyat, formasinya spektakuler.”
“Tepat pukul sembilan, bayangan putih akhirnya muncul dalam jarak pandang. Jas hujan putih, rampanjang sepanjang bahu, melangkah dengan gaya elegan yang familiar, sang wanita masuk dari ujung jalan sebelah. Semua pandangan tertuju ke sana, di tengah kerumunan, suasana yang sulit diungkapkan mulai memadat.”
“Apa mungkin Kakak Suyan adalah bos dari orang-orang ini?”
“Di hatinya, dia berpikir demikian, namun kejadian selanjutnya tidak sesederhana yang dia perkirakan...”
“Bersamaan dengan munculnya wanita berjas hujan putih di ujung jalan, seseorang berlari ke kamar di lantai dua: 'Bos, sepertinya wanita itu benar-benar datang.'”
“'Aku sudah lihat.' Pria kekar dengan parut pisau di wajah menyilangkan tangan di dada, berdiri di tepi jendela lantai dua sambil menatap bayangan di bawah, 'Sam, kau punya kesan dengan wanita ini?'”
“'Tidak.' Liu Shijie menggelengkan kepala, 'Belum pernah melihatnya sama sekali.'”
“Sungguh cantik.” Si Bekas Luka tersenyum, “Berani juga kau. Aku belum pernah melihat orang yang berani langsung masuk melihat formasi seperti ini. Ayo turun, dengarkan apa yang dia katakan.”
Dia berbalik dan keluar dari kamar, Liu Shijie mengikuti di belakang: “Bos, apakah semua orang harus membawa senjata?”
“Aduh, kita ada lebih dari 200 orang, dia cuma seorang wanita. Kalau mau berkonfrontasi, berani dia masuk begini saja? Pasti ada tawaran di tangannya, dengarkan dulu... Tapi dia yang membunuh Beruang Putih, hari ini Andre dan kawan-kawan mati tanpa alasan jelas. Apapun itu, hari ini dia tidak akan bisa keluar dari sini.” Senyumnya dingin, “Tapi untuk jaga-jaga, atasan sudah mengatur?”
“Sniper sudah siap.”
“Nah gitu dong!”
Membuka tangan, dia memimpin keluar melalui pintu koridor. Matanya menatap wanita berbalut putih yang mendekat dengan tenang, tapi pandangannya tertuju pada Liu Shijie di belakangnya. Bibirnya merekah senyum bak binatang buas yang mencium mangsa.
Tiga puluh meter, dua puluh lima meter, dua puluh meter... Si Bekas Luka tertawa, membuka tangan menyambut.
“Hei, si cantik. Boleh tanya, kamukah yang kemarin menghancurkan kios kecilku? Perkenalkan dulu, mereka biasa memanggilku Zaret... Eh, apakah kau bisa bahasa Prancis? Atau aku sudah siapkan penerjemah Inggris, mungkin penerjemah Mandarin?”
Suara Zaret terdengar, wanita berbaju putih menggelengkan kepala dengan senyum samar. Saat berjalan masuk, para algojo yang berkumpul di sekitarnya tidak menghalangi, namun mengepung dengan penuh permusuhan, memblokir jalan keluarnya. Tiba-tiba, seorang pria yang mendekat akhirnya menjulurkan tangan secara menantang, mendorong bahunya.
Lalu terdengar jeritan.
Sekejap mata, wanita itu hanya mengangkat tangan kiri dengan santai, menjepit telapak tangan yang mendorong lalu memutarnya ke arah berlawanan. Suara tulang hancur bergema bersamaan dengan pria yang terhempas ke lantai, pelipisnya membentur tanah mengucurkan darah. Setelah dua gerakan itu, langkahnya terus melaju tanpa jeda. Namun seketika, dua algojo terkuat Zaret yaitu Grey Wolf dan Mountain Lion berlari maju, menghadang di depannya.
Tubuh wanita itu berhenti. Suara datar berbahasa Prancis murni menggema di jalanan: "Hari ini aku bukan untuk berkenalan. Pesan konkret seharusnya sudah disampaikan orang kemarin. Serahkan orang di belakangmu, aku akan pergi."
Memandangi pria yang ditumbangkan wanita itu, Zaret mengerutkan kening: "Manfaat apa yang kudapat jika menyerahkan? Kerugian apa jika tidak?"
Wanita itu tersenyum ramah sambil mengangguk, bagai sales yang menawarkan mekanisme pengaman: "Jika menyerahkan, kalian bisa bertahan. Jika tidak," senyumnya mengembang, "kalian akan sampai MATI."
Kira-kira tidak menyangka akan mendapat jawaban langsung seperti ini, Cih Reti tertegun sejenak, kemudian menyusul tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Begitu dia tertawa, semua orang di sekitar ikut tertawa dengan nada ejekan. Pria berjuluk Singa Gunung melangkah ke depan, menundukkan kepala memandanginya: "Kulihat kau ingin MATI ya?" Cih Reti sudah puas tertawa, berkata: "Dasar apa yang kau punya?"
“Seolah sama sekali tak merasakan tekanan dahsyat dari kepungan lebih dari dua ratus orang, wanita berbalut putih itu tetap tersenyum: 'Sebenarnya banyak hal lain yang bisa dibahas, misalnya rencana yang kalian lakukan, atau berbagai macam ancaman. Tapi tidak perlu. Yang kukatakan sekarang pasti yang paling mendekati fakta. Tak ada ancaman sia-sia. Serahkan orangnya, kalian hidup, aku pergi. Jika tidak, aku akan membunuh kalian dan membawanya pergi. Sesederhana itu.'”
Mungkin sikap tenang sang wanita membuat orang-orang di sekitar merasakan tekanan aneh, tawa mereka berhenti satu per satu. Liu Shijie melangkah ke depan: "Kau ini siapa sebenarnya?"
“Namaku Jian Suyan. Aku datang untuk Liu Zheng.”
“Kalau begitu, baik, Nona Jian Suyan!” Suara wanita itu berhenti, wajah Cih Reti sudah memperlihatkan tatapan garang. Dia mengulurkan tangan, menunjuk ke arah wajah mereka. “Bagaimanapun, aku juga bisa memberitahumu, kau sudah tak perlu berpikir untuk pergi.”
Setelah mengatakan ini, saat hendak berbalik, suatu keributan di seberang jalan menarik perhatiannya. Ratusan pasang mata tertuju ke sana, melihat sebuah mobil mewah hitam berjenis limusin perlahan mendekat. Lebih dari sepuluh orang mencoba memberi isyarat bahwa area ini tidak bisa dimasuki, namun sopirnya seolah tidak melihat sama sekali, terus menyetir masuk. Mobil seperti ini biasanya antipeluru, tanpa instruksi jelas, kerumunan akhirnya membuka jalan, membiarkan kendaraan itu berhenti perlahan sekitar 30-40 meter dari mereka.
Dikelilingi kerumunan, Jian Suyan tersenyum sambil mengangkat bahu: "Oh, tamu tak diundang..."
"Sebenarnya siapa..." Zaleite dan Liu Shijie serentak mengerutkan kening, menoleh ke Jian Suyan. Tapi mereka tidak terlalu khawatir dengan perubahan kecil ini. Mobil panjang seperti itu sekalipun penuh, berapa banyak orang yang bisa masuk? Mereka memperhatikan limusin hitam yang diam terparkir, kerumunan di sekitarnya menunggu perkembangan.
Sekitar setengah menit kemudian, pintu belakang limusin hitam akhirnya terbuka. Seorang wanita keluar dari dalam.
Wajahnya yang sempurna dihiasi senyum angkuh nan samar. Setelan jas wanita rapi dengan dasi, rambutnya diikat ekor kuda hitam legam. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan putih, membuatnya mirip kepala pelayan bangsawan dalam drama TV. Pandangannya menyapu lebih dari dua ratus orang di sekeliling, berhenti sejenak di arah Jian Suyan. Ia menganggukkan dagu sebagai salam. Wanita itu berjalan ke sisi lain mobil membuka pintu belakang. Gemerincing sepatu hak tinggi menyentuh aspal bergema di jalanan malam itu.
Wanita itu mengenakan gaun malam berwarna ungu tua, seolah baru kembali dari jamuan bangsawan paling megah. Wajahnya yang sempurna dipenuhi aura kemewahan, rok panjang menyapu lantai, hak tinggi yang ramping, sarung tangan putih bergaya renda resi di kedua tangannya. Kalung berlian mewah menghiasi lehernya yang putih mulus, rambut panjang yang diikat longgar terlihat anggun dan elegan. Matanya menyapu ke depan, lalu tertuju pada wanita berbaju putih, sambil menunjukkan senyuman.
"Kalian ini sebenarnya siapa? Hal-hal yang bukan urusan kalian, lebih baik jangan ikut campur!"
Melihat kedua wanita ini sama sekali tidak seperti manusia biasa, meski Viscount tidak takut pada siapa pun, pertama-tama ia bertanya dengan hati-hati. Namun jawaban yang didapatnya bukanlah yang diharapkan.
"Yang paling lucu di dunia ini adalah orang-orang yang jelas-jelas domba, tapi mengira diri mereka serigala..." Bahkan pandangannya tak singgah sekalipun pada Viscount. Mengikuti suara langkah hak tinggi, di bawah tatapan lebih dari dua ratus orang, wanita bergaun malam itu berjalan tanpa peduli ke arah Jian Suyan, senyum anggung dan hangat mengembang di bibirnya. "Akhirnya kita bertemu, Jian Suyan."
Malam 23 Januari 2000 di Paris, dalam suasana seperti ini, tiga "wanita" paling mengerikan di dunia dalam arti tertentu akhirnya berkumpul untuk pertama kalinya.
"Putri Takdir" Kelly*Vernam;
"Permaisuri Dark Celeste" Natalie*Annis;
Jian Suyan.
## Bagian Ke-376 Jalan Berdarah
Gaun panjang berwarna ungu tua bergoyang lembut di bawah cahaya lampu jalan yang terang, bagai bayangan anggun nan dingin yang misterius. Entah mengapa, meski lebih dari dua ratus orang berkumpul di jalan panjang ini yang tak bisa dibilang sepi, saat ini hanya terdengar dentuman tajam sepatu hak tinggi yang bergema jelas, seakan menghunjam ke dalam hati setiap orang. Kelly dengan gaya androgynous bersandar santai di sisi mobil, tersenyum menyaksikan adegan ini. Di sekelilingnya berdiri anggota geng kriminal dengan raut wajah sangar. Dari atas terlihat kerumunan manusia yang berdesakan, mengepung seluruh jalan hingga tak bisa ditembus air sekalipun.
Zaret memandang semua ini dengan wajah muram.
Sebagai pendiri organisasi kriminal besar ini, dia telah melewati banyak pertempuran sengit. Berjuang di tepi jurang hidup dan MATI, barulah mencapai posisi seperti sekarang. Meski situasi aneh ini takkan membuatnya takut, ketenangan ekstrim ketiga wanita ini menunjukkan mereka pasti punya senjata rahasia. Kini Zaret telah menanggalkan sikap meremehkan lawan bahkan cenderung mengejek dari awal. Karena satu-satunya keputusan yang bisa diambil sekarang adalah...
Yang disebut |bernegosiasi，prasyarat terbesar selalu adalah adanya ruang untuk berdiskusi. Namun dalam |situasi saat ini, ketiga |wanita ini begitu |sombong. Salah satu langsung mengajukan |syarat saat mendekat, yang lain sama sekali tidak menganggap 200 lebih |orang di sini, bahkan mengoceh tentang |serigala dan domba. Dalam |posisi unggul ini, jika dia terus |bersabar, mungkin dia tak perlu lagi |menjadi bos. Melihat wanita berbaju |jas resmi yang elegan masih berjalan di |kerumunan, |Dia mengeraskan |pandangannya lalu |mengayunkan tangan: "Tak perlu |bernegosiasi lagi. |Bunuh mereka."
|Setelah mengucapkan kalimat itu, |dia |berbalik badan dan pergi.
Namun tepat saat |berbalik itu, |dia |tiba-tiba |membeku. Di |hadapannya muncul |senyuman anggun Natalia. |Ungu tua |gaun panjangnya |berayun lembut dalam udara malam, seolah bayangan ini telah berdiri |di belakangnya sejak lama, menanti |tolehannya untuk |tatapan pertama. Udara seakan |membeku dalam |sekejap. Di |hotel |tingkat atas yang berjarak |beberapa kilometer, Dongfang Wan tak percaya |mengusap |matanya.
|Detik berikutnya, |suara |terkekuk sang wanita bergema di telinga Zarett: "|Kau |yakin?"
Suara itu memiliki keindahan dan kemurnian khas bangsawan Eropa Utara, mengikuti adegan seperti mimpi ini seolah membawa daya hipnosis. Namun Zarath segera merespons, kepalan tangan sebesar mangkuk cuka menghantam tanpa ampun ke arah senyuman indah itu. Secara bersamaan, pertempuran meletus di sekitar ketiga orang, sementara kerumunan di sekitar mobil limusin mulai menghantam bodi mobil dengan pisau tentara, batang besi, dan rantai besi yang mereka bawa.
Di dalam mobil, sopir yang sedang mengobrol dengan pria di kursi penumpang menghembuskan asap dengan santai.
Natalia mengangkat tangan kirinya dengan lembut.
Seperti dihalangi oleh kekuatan tak kasat mata, pukulan berat Zarath meleset tepat di atas kepala Natalia. Sebelum pukulan pertama benar-benar meleset, pukulan kedua sudah menyusul menuju perut wanita yang terlihat lemah itu. Terintimidasi oleh kejadian sebelumnya, dia mengerahkan seluruh kekuatannya - setiap pukulan mengeluarkan desing angin yang seperti maraung di udara. Seolah juga tertekan oleh aura ini, Natalia tersenyum sambil mundur selangkah, lalu selangkah lagi... Pada pukulan ketiga dan keempat, saat pukulan kelima menciptakan aliran udara yang mulus namun mengerikan, Zarath yang sedang fokus tiba-tiba menyadari fakta mengejutkan.
Wanita di depannya... terbang!
Di hatinya ada perasaan absurd yang sempurna. Jika bukan karena seluruh konsentrasinya tertuju pada apa yang terjadi, mungkin sulit menyadari fakta ini. Dalam pandangannya, ujung rok ungu tua yang elegan itu berayun di jalan berwarna hitam besi, terlihat seperti penari ahli yang sedang memadukan langkah-langkah rumit. Namun di balik rok itu, sepatu hak tinggi itu benar-benar telah meninggalkan permukaan tanah. Meski tidak tinggi, dia yakin tubuh wanita itu benar-benar terpisah dari tanah, seperti layang-layang yang tertiup angin kencang dari pukulan tangannya.
Bersamaan dengan penemuannya, lengan kiri wanita berbaju sarung tangan renda putih itu menembus pertahanannya seperti hantu. Jari-jari ramainya menunjuk tepat di dadanya.
Dalam ketergesaan, Zarret mengayunkan pukulan sekuat tenaga. Dua bayangan itu pun terpisah.
Tubuh Zarret terlempar ke belakang seolah ditabrak meteor hammer. Saat melayang di udara, otaknya sempat merekam keraguan - apakah pukulannya mengenai lawan? Rasanya seperti menyentuh sesuatu, tapi juga seperti kosong. Namun dalam pandangannya, sosok wanita itu benar-benar terbang ke udara, berputar-putar seperti terkena pukulan berat sementara roknya berkibar-kibar. Yang kemudian terdengar adalah tawa "haha" wanita itu yang tak terkendali.
Di udara, muncul beberapa garis hitam yang tidak normal.
Tubuh Zarret menghantam tanah dengan keras.
Jatuhan kali ini jelas sangat keras, namun tubuh prajurit berpengalaman tetap bisa melakukan penyesuaian secepat mungkin. Pandangan menyamping ke arah bayangan unggu di bawah lampu jalan yang mendarat ringan dalam putaran, kedua tangan terangkat anggun. Tiga suara tet-tat, berputar bagai menari, senyum mengarah ke sini bersamaan dengan lampu jalan di samping wanita itu tiba-tiba padam.
Deretan lampu jalan menerangi jalanan terang-benderang. Padamnya satu lampu tidak terlalu mengganggu penglihatan, namun kejadian berikutnya memberikan dampak visual yang luar biasa: Di sekitar tubuh sang wanita, empat kepala manusia terbang lepas dari leher pemiliknya. Orang-orang yang tadinya berlari untuk membantu ini tiba-tiba terkapar tanpa kepala, darah menyembur dalam bentuk yang mengenaskan. Empat jasad tak berkepala melintasi wanita anggun yang membuka tangannya, jatuh bruk-bruk di jalan di sekelilingnya. Tiang lampu jalan logam mulai ambruk ke kerumunan di bawah, kabel yang putus memercikkan percikan api. Barulah Cih Reti memahami situasi: Hanya dengan beberapa putaran tubuh, wanita itu—entah dengan pisau tak kasatmata seperti apa—telah memutus segalanya di sekelilingnya.
“Sialan!” Adegan yang sulit dipahami ini setidaknya menjelaskan mengapa ketiga wanita itu bisa begitu tanpa rasa takut. Zaret tiba-tiba mengulurkan tangan ke dalam pangkuannya, belum sempat mengeluarkan senjata, tubuh kekar seorang pria terlempar dari samping dan menghantam tanah, langsung menabraknya - itu adalah Shan Shi yang wajahnya berlumuran darah. Melihat ke samping, terlihat wanita berbaju jas hujan putih itu dengan satu tangan mencengkeram lengan kiri Hui Lang, tangan lainnya menempel di profilnya, mengayunkan tubuhnya di udara seperti kincir angin sebelum menghantamkan kepala pria itu ke tiang lampu jalan hingga besi baja penyangganya berlekuk. Wanita bernama Jian Suyan ini berputar dengan lihai, pisau tentara di tangan Hui Lang tiba-tiba menyambar seperti kilat, membelah kepala seorang pria kekar yang berlari mendekat. Di sisi lain, dia tak hanya mengalahkan Shan Shi dan Hui Lang yang paling tangguh, beberapa orang di sekitarnya sudah tergeletak di tanah - ada yang tangan atau kakinya terdistorsi dalam sudut yang sulit dipercaya, ada yang dadanya terkoyak hingga nyaris tak bernyawa. Dalam waktu singkat, cara pembunuhannya bahkan lebih cepat daripada wanita setan di sisi ini.
Mereka adalah kelompok besar seperti ini, setiap anggota sebenarnya memiliki senjata, hanya saja hari ini berada di dalam kota. Jika benar-benar terjadi baku tembak beberapa ratus orang di area kota seperti ini, itu sudah tidak berbeda dengan kerusuhan bersenjata. Tidak peduli bagaimana polisi Paris atau seberapa banyak koneksi mereka, pasti tidak akan bisa bertahan di Paris di masa depan. Di sisi lain, karena memperkirakan hari ini tidak akan terjadi pertempuran besar-besaran, dia hanya menganggap ini sebagai acara kumpul-kumpul sederhana. Dalam rencana awal, setelah menyelesaikan orang yang datang dari pihak lawan, mereka masih memiliki pesta dansa besar untuk berpesta. Tapi saat ini, hanya melihat awal cerita ini, hatinya sudah dipenuhi penyesalan dan ketakutan yang mendalam.
Tapi masalahnya tidak terlalu besar. Pasti ada orang yang membawa senjata. Meskipun melawan tiga orang di antara dua ratus lebih orang agak sulit diaktifkan, keunggulan masih ada di pihak mereka. Lagipula di titik tertinggi, mereka sudah menempatkan sniper profesional. Asalkan... asalkan bisa melewati kekacauan di depan mata...
Sambil otaknya memikirkan hiburan seperti ini, Zaret yang terbaring di tanah menggigit giginya keras-keras, mencabut pistol dari tubuhnya. Pada saat yang sama, beberapa orang dengan kapak tebangan di tangan berlari sambil berteriak menuju Natalia.
Adegan empat orang yang kepalanya terpenggal tiba-tiba itu benar-benar terlalu menakutkan. Tanpa teriakan keras, diperkirakan tidak akan ada yang berani maju lagi.
Tanpa menganggap serius orang-orang ini, Natalia tersenyum berjalan ke arah Zaret. Dua jarinya bergerak mengayun ringan di udara seperti konduktor musik.
Orang yang paling depan tiba-tiba hilang keseimbangan, tubuhnya terangkat oleh angin ke udara. Kemudian, jari Natalia mengayun ke depan.
Byur——
Dentuman senjata menggema, memercikkan bunga darah di tubuh pria itu. Mayatnya bruk! jatuh tepat di jalan di depan Zaret.
Perempuan itu terus berjalan tanpa jeda.
"Setan!" Byur! Mayat kedua jatuh. Lalu yang ketiga. Ketiga mayat ini menari-nari di ujung jari Natalia bagai perisai hidup. Tak ada lagi yang berani menyerang. Beberapa orang yang semula ingin maju berbalik panik, terjatuh berantakan di kerumunan belakang. Zaret berteriak histeris, jari gila-gilaan menekan pelatuk.
Byur-byur-byur-byur——
Dang——
Yang muncul di depan Natalia hanyalah jejak kaki nyaring. Saat tangan kanannya terulur, dentam logam bersahutan. Zaret menghabiskan semua peluru. Saat dilihatnya, di depan Natalia terbang melayang tutup saluran hitam pekat, berubah jadi perisai raksasa. Semua peluru menancap di permukaannya. Satu peluru nyasar bahkan mengenai pria yang hendak menyerang Suyan.
Tidak ada yang bisa memahami fenomena seperti ini, tangan kanan Natalia meski terulur di belakang penutup lubang got, namun sama sekali tidak menyentuh penutup itu sendiri. Selain udara, penutup got ini tidak bersentuhan dengan apapun, ia melayang dengan tenang di bawah kendali Natalia, melanggar hukum alam.
Suyan bertindak secepat kilat, setiap pukulannya penuh kekuatan tak tertandingi, setiap gerakannya selalu ada yang jatuh berdarah; Di sisi lain, Kelly terlihat lebih misterius, setiap orang yang menyerangnya akan mendapati kecepatan lawan tiba-tiba menjadi luar biasa gesit, sesaat sebelumnya masih di depan, namun sekejap bisa menusuk dari belakang. Meski keduanya menunjukkan kemampuan bertarung luar biasa, setidaknya masih dalam batas kemampuan manusia. Tapi di sisi Natalia, semuanya benar-benar menjadi fenomena supernatural. Zarett menganga, Liu Shijie terdiam, tak ada yang berani mendekat. Namun mungkin karena ketakutan yang luar biasa melahirkan kegilaan, saat Natalia terus melangkah maju, seseorang mengangkat rantai besi sambil berteriak, menyerang lagi. Serangan ini diikuti oleh dua orang di sampingnya.
Penutup got berputar di udara, Natalia sambil tertawa ringan meraih tepinya, lalu mengayunkannya ke belakang dengan langkah besar.
Mustahil membayangkan wanita berbaju gaun malam elegan bisa melakukan langkah busur yang gagah perkasa seperti ini. Saat rantai besi diayunkan ke arahnya, dia menggunakan penutup got besar itu sebagai senjata, menghempaskannya kembali dengan keras.
“Ping——Byur——Braak——”
Dalam rentetan suara keras, rantai besi yang bertabrakan dengan penutup lubang got pertama-tama hancur berkeping-keping di udara. Kemudian penutup besi besar itu menghantam tubuh dua orang dengan dahsyat, melontarkan mereka seolah-olah ditembakkan meriam. Orang ketiga di belakang pun tak terelakkan ikut terlempar. Selanjutnya, lima enam orang di kerumunan berhamburan seperti labu menggelinding. Natalia tersenyum puas menyaksikan pemandangan ini sambil menarik kembali penutup lubang got, matanya tertuju ke arah Jian Suyan. Di sampingnya, dua orang tampak mengeluarkan senapan serbu dari balik jaket, tapi karena kerumunan yang kacau dan kehadiran Suyan yang telah menyadari keberadaan mereka, mereka tak berani sembarangan menembak selama masih ada perisai pembenaran di sekitar.
“Hei, Jian Suyan, tangkap!”
Dengan ayunan kuat, penutup lubang got berat itu melesat seperti lembing besi menuju sosok perempuan berbalut putih.
Peluru besi itu melengkung di udara. Dua penembak di depan terlempar bagai ditabrak kereta api, menambah kekacauan di belakang. Kepala seorang pria yang tertabrak langsung meletus menjadi hujan darah. Jiaming yang sedang menoleh pun kaget melihat penutup lubang got yang melesat gila itu.
Umumnya pengguna kekuatan supernatural hanya memiliki satu jenis kemampuan dengan banyak batasan. Karena itu, dalam pendidikan pembunuh Pei Luo Jia, mereka diajarkan untuk memandang kekuatan ini sebagai senjata tambahan. Pengguna kekuatan supernatural bukanlah makhluk omnipoten - kemampuan mereka seringkali terbatas durasi dan intensitasnya. Contohnya Munen yang hampir menyempurnakan manipulasi angin, tetap tidak bisa benar-benar Terbang. Jika terjatuh dari ketinggian, ia hanya bisa menunda jatuh beberapa detik untuk menghindari kematian. Namun beberapa pengecualian memang mengerikan sampai tingkat tertentu. Saat mengejar kurcaci dengan imun terhadap kekuatan supernatural sebelumnya, kemenangannya terlihat mudah. Tapi dalam kehidupan sebelumnya ketika bersatu dengan Yoritomo Taku, mereka nyaris MATI sembilan kali sebelum akhirnya menyelamatkan nyawa berkat keberuntungan. Mungkin hanya makhluk aneh seperti penghisap darah atau Natalia yang mengalami dua kali kesadaran diri, yang bisa mengoperasikan berbagai kekuatan supernatural dengan tindakan Semena-mena dan mencapai hasil sehebat ini.
Penutup lubang got berputar dan terbang dengan kekuatan ribuan ton. Wanita berbaju putih menyilangkan tangannya untuk menahan, lalu desing angin memecah ruang. Dia secara mengejutkan berhasil memegang tepi penutup besi itu, memutar tubuh mengikuti momentumnya untuk mengayunkannya. Tiga orang di sekitar terkena dampak pertama - tulang-tulang mereka hancur berkeping-keping. Saat lingkaran besar senjata improvisasi ini terayun, suaranya menggema: "Kelly!"
“Wei wei wei, bercanda macam apa ini, kalian dua monster bisa estafet aja, aku... aku... aku... Aku tidak mauaaa...”
Ketika melihat tutup got berputar mendekat, Kelly langsung memutar arah dan kabur. Di depan, seseorang mengayunkan pisau menyerang. Dia mengulurkan tangan untuk menangkis, sekejap kemudian tubuhnya sudah berada di belakang lawan - entah bagaimana caranya menerobos - dengan gerakan balik menusukkan pisaunya ke tengkuk lawan. Saat menoleh kembali, tutup got itu sudah hampir menghantam. Dengan tergesa-gesa tangan kanannya melambai, sebuah tongkat logam sepanjang setengah meter muncul di genggamannya. Dang! Tertancap di titik pusat putaran tutup got. Seketika percikan api berhamburan, suara melengking yang menusuk telinga menggema.
"Aaaaa——!" Teriaknya sambil langsung menahan tutup got yang terus berputar itu. Seketika kemudian, tutup got itu melesat ke udara dan Braak! Menghantam jendela lantai dua. Entah berapa banyak barang yang hancur, percikan api listrik berceceran keluar.
Seperti memegang benda panas, dia melemparkan tongkat besi itu. Kelly melompat-lompat sambil mengibaskan kedua tangannya: "Kalian berdua ingin MEMBUNUH aku ya!" Melihat ada orang mendekat, tubuhnya bergerak cepat. Menekan kepala lawan dan menghantarkannya ke gerbong dengan keras. Satu nyawa langsung melayang.
Pada saat ini, empat pria berbaju jas akhirnya keluar dari mobil. Mereka berdiri di samping pintu, siap menembak siapa pun yang mengeluarkan senjata. Mereka yang bisa mengikuti Natalia ke sini pastilah menempati posisi puncak di Dark Celeste. Setiap kali mereka mengangkat tangan dengan wajah dingin, seringkali seseorang langsung terlempar bersama senjatanya. Yang sempat lolos karena pelatihan tentara bayaran, langsung ditekan dengan tekanan perhatian presisi di sudut ruangan hingga tak bisa bergerak.
Di depan teleskop kamar hotel, Dongfang Wan terdiam membeku, napasnya hampir tersengal. Dari posisinya yang paling strategis, formasi 200 orang itu terlihat seperti tiga pusaran raksasa di lautan: gerakan aneh Kelly, kekuatan supernatural wanita berbaju ungu tua, dan efisiensi mematikan Jian Suyan.
Dalam sekejap mata, tiga penyerang sekaligus dikunci lengannya oleh Suyan. Tongkat besi direbut, satu kepala hancur, satu tubuh terhempas. Langkah silang, kepala penyerang terakhir sudah diputar 180 derajat dan dibuang ke belakang - tanpa perlu sekilas pandang.
Dia pernah membayangkan sebelumnya betapa hebatnya Jian Suyan, sering terlibat dalam hal-hal berbahaya. Namun semua imajinasinya ternyata tak ada yang menyamai kenyataan yang dilihatnya sekarang. Dalam bayangannya tak ada gambaran bau darah dan kegilaan seperti ini. Baru sekarang ia menyadari, imajinasi kekanakannya sebelumnya benar-benar meremehkan kemampuan Suyan. Seseorang menghadapi lebih dari 200 orang tanpa rasa takut - meski sebenarnya bertiga, tapi esensinya kurang lebih sama. Apalagi sekarang, dalam situasi lawan bersenjata, mereka tetap bisa MEMBUNUH dengan sistematis. Beberapa detik yang lalu ia menyaksikan algojo yang menyamar di kerumunan mencoba menembak dari belakang, lalu langsung ditusuk mati oleh Kapak tebangan yang dilempar sembarangan. Pantas saja Jiaming tak pernah menceritakan hal-hal ini. Faktanya, jika tidak melihat langsung, mungkin ia akan mengira ini cuma omong kosong atau ancaman.
Gudur. Entah sudah berapa kali dia menelan air liur. Tiba-tiba bayangan melesat lewat di jarak pandang. Kepalanya terangkat kaget, sepertinya ada yang jatuh dari lantai atas...
Kepalanya menyembul keluar jendela. Di jalan bawah samar terlihat seseorang tewas terjatuh. Sebelum sempat konfirmasi, jendela dua kamar di sebelahnya pecah Byur! Kali ini ia jelas-jelas melihat seseorang terlempar, Jatuh ke tepi jalan dengan bunyi gedebuk. Bersamaan itu, dari gedung seberang juga ada benda cepat jatuh, bentuknya mirip manusia.
“Bercanda... Bercanda macam apa ini... Bunuh diri massal gitu?”
Dongfang Wan berdiri di depan jendela sambil berpikir. Dari salah satu ruangan di dekatnya, terdengar gemparan. Diam-diam ia mendekati pintu, membuka celah kecil dan mengintip ke luar. Suara "plok" terdengar, tubuh seorang pria jatuh terkapar di karpet lorong tak jauh dari sana, darah menggenang—Tembakan.
Beberapa orang segera mendekat dan mengangkat mayat itu. Tak lama kemudian tim pembersih muncul. Pria yang memimpin melihat ke arahnya, menatap beberapa saat lalu tersenyum ramah sambil mengangguk penuh sikap kesatria. Dongfang Wan yang sedang mengintip di balik pintu terdiam lama. Baru ia ingat, pria ini adalah orang yang setengah tahun lalu ikut Kelly*Vernam ke Jianghai. Namanya Charles, entah itu pengawal atau pacar...
Pada titik ini, Dongfang Wan akhirnya paham. Meski terlihat hanya tiga orang yang melakukan pembantaian di dalam, sebenarnya di perimeter luar sudah ada pasukan yang lebih dulu menguasai situasi. Ia menatap noda darah yang membuatnya mual—beberapa detik lalu masih ada mayat di sana. Setelah menutup pintu, barulah ia mengerti maksud Jiaming meninggalkan kertas yang menyuruhnya tetap di sini tanpa perlu takut.
Membungkuk di depan teleskop melanjutkan pengamatan terhadap pertarungan di bawah, seiring berjalannya waktu, jumlah korban jiwa di tanah terus bertambah, darah mengalir tanpa henti, seluruh permukaan jalan dipenuhi genangan-genangan merah, benar-benar berubah menjadi sungai darah...
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Puluh Tujuh Perkenalan Pertama
Darah mengalir, di jalanan tengah malam yang dipenuhi jeritan kesakitan. Sebagian mungkin sudah MATI, terbaring tak bergerak di aspal sementara para pelari menginjak-injak tubuh mereka. Ada yang merintih kesakitan sambil bergulat di genangan darah, dengan anggota tubuh patah dan terdistorsi, dada yang cekung, atau kepala yang mengucurkan darah deras. Yang paling mengerikan adalah mereka yang anggota tubuh atau kepala langsung terpenggal — pemandangan ini paling banyak terlihat di sekitar wanita berbaju panjang ungu. Dengan satu ayunan pisau tak terlihat yang mampu memotong tiang listrik, sering terlihat pilar darah menyembur ke langit disertai anggota tubuh yang beterbangan. Di tengah jalan yang banjir darah ini, kerap terlihat sosoknya yang dengan anggun mengangkat rok panjang sambil hati-hati melompati genangan merah segar, terlihat santai dan kontras dengan kekacauan di sekitarnya.
Relatifnya, pihak Kelly jarang terjadi situasi kerusakan besar-besaran seperti ini. Dia berlarian dan melompat lincah bagai elf, banyak orang yang menyerbu dari depan dalam sekejap mata telah diselipkannya ke belakang, di bawah pengaruh halusinasi kekuatan supernatural, sama sekali tidak bisa melihat gerakan apapun, kemudian ditusukkan belati, bersih dan rapi dengan satu tusukan mematikan. Sedangkan di sisi Jiaming situasinya jauh lebih kompleks - ada yang tangan kakinya terpotong, ada yang langsung patah tulang, ada yang kepalanya terpenggal, ada juga yang langsung meledak oleh tongkat besi dalam pukulan penuh kekuatan, jika terkena pukulan atau tendangan penuh dari depan, setelah terhempas ke tanah langsung muntah darah berlebihan seolah takkan berhenti sebelum mengeluarkan semua organ dalam.
Seluruh pertempuran sejak menit-menit awal sudah ditentukan nada utamanya.
Ada yang berteriak, ada yang melawan, ada yang kabur. Tapi ketika dua tim pria bersenjata muncul di kedua ujung jalanan, seolah sudah menegaskan bahwa kabur pun bukan jalan keluar terbaik. Liu Shijie yang menyadari keanehan sejak awal langsung lari kembali ke dalam gedung, namun ketika Zha Leite juga ingin kabur ke lantai atas, baru putus asa menyadari: untuk masuk ke pintu kecil di tangga itu, harus menghabisi wanita berrok panjang di jalur tersebut terlebih dulu. Untuk sementara, terpaksa dikelilingi beberapa sekutu dekatnya, mati-matian mencari celah waktu untuk melarikan diri.
“Mungkin patut disyukuri, seandainya ini konflik biasa antarkelompok atau balas dendam, mereka mungkin langsung mengincar bos seperti dirinya. Namun saat ini tiga wanita itu sedang asyik membantai, seolah melupakannya sama sekali, membiarkan mereka berlarian di kerumunan. Tapi ketika Zarett kembali mendapat senjata dari kawan, masih saja dihalau oleh beberapa pria bersenjata yang turun dari mobil.”
“Oh……Shit——Shit——”
Di tengah kekacauan, sambil terus menghujat dan mengangkat senjata untuk membalas, mereka mati-matian mencari tempat persembunyian. Baru saat ini menyadari dengan putus asa bahwa kemampuan yang dulu ditempa saat jadi tentara bayaran, bolak-balik antara hidup dan mati, ternyata tak bisa memberi ancaman berarti ke pihak sana. Dalam usaha mundur mati-matian, seorang kawan di sampingnya terlempar terkena tembakan, disusul peluru lain yang menembus bahu seseorang. Kakinya terhuyung-huyung tersandung mayat di tanah, tiba-tiba terguling jatuh ke genangan darah. Seorang saudara di sampingnya belum sempat menolong, Puff! Sebuah golok militer menyambar seperti cahaya putih menyilaukan yang menembus dimensi. Kepala manusia melayang tinggi diikuti hujan darah. Merangkak mundur beberapa langkah, pandangannya menembus celah kekacauan - wanita berjas hujan putih di seberang kerumunan sedang mengamat-amati ke arah sini.
“Sial... Akhirnya mereka menyadari...”
"Kehendak seperti kilat menyambar di hati," dengan tergesa-gesa ia bangkit berdiri, terhuyung-huyung berlari beberapa langkah. Pertempuran hampir mencapai babak akhir, sekitar sepertiga orang sudah MATI bergelimpangan di tanah. Sisanya yang tidak kabur mati-matian mencari tempat persembunyian, hampir tak ada yang berani mendekat. Hanya mantan saudara seperjuangan saat jadi tentara bayaran yang masih tersisa sedikit keberanian, mencoba mencari celah untuk Serang. Tapi baik yang nekat maju maupun yang menarik senjata dari jauh, semuanya berakhir dengan takdir yang sama: tumbang seketika. Memandang barisan prajurit bersenjata di ujung jalan, keputusasaan menyelinap di hatinya. Tiba-tiba terdengar suara dari gang sempit tak jauh: "Bos, ke sini..." Ia menoleh dan melihat beberapa orang melambaikan tangan di mulut gang kecil.
"Sial!... Itu jalan buntu..." Makian meluncur dari mulutnya meski tak ada pilihan lain. Dengan gerakan memutar tubuh, ia berlari masuk ke dalam gang sempit itu.
Gang itu panjang namun tetap buntu. Dinding licin di kedua sisi hanya bisa dipanjat sampai ketinggian dua-tiga lapisan lantai gedung. Di atasnya bertumpuk jeruji anti maling. Deretan gedung tinggi menjulang membentuk semacam halaman tak berujung. Baru berlari beberapa li, saat menoleh ke belakang ia melihat Bayangan Putih sudah berdiri di mulut gang seperti hantu, memandangnya dengan tatapan dingin.
"Bego lo!... Panjat ke atas!"
Tidak banyak orang yang mengikuti di belakangnya. Dia berlari sambil berteriak, anak buah di belakang melihat ke atas. Melompat sekali untuk meraih jendela pengaman di atas lantai tiga - mereka bukan pemain akrobat, bahkan jika menumpuk tangga manusia pun tak bisa mencapai setinggi itu. Melihat bayangan putih yang mendekat, belum sempat bicara, Viscount tiba-tiba melompat. Kaki menendang dinding samping, memanfaatkan inersia untuk melompat ke sisi lain. Berkat latihan rutinnya, dia berhasil meminjam kekuatan dari kedua dinding sebanyak empat lima kali. Tiba-tiba menarik ikat pinggang, melilitkan ke tepi bawah jendela. Dengan sekuat tenaga, akhirnya berhasil mencengkeram jendela dengan mantap.
"Huu..." Napas panjangnya belum sempat melihat ke arah anak buah, desing angin tiba-tiba berdengung di telinga. Sebatang tongkat besi meluncur menghantam lengan yang mencengkeram jendela. "Aaaaa!" Jeritannya bergema di gang. Tubuhnya Braak! terjatuh ke tumpukan kantong sampah di bawah. Berjuang keluar dari kantong sampah, belum sempat berdiri, bayangan putih itu sudah berada di depan mata, membungkuk memandanginya.
Di belakang, sekelompok anak buah sudah berantakan tergeletak di gang.
Huu… hirup… Bagi Zaret, waktu seolah berhenti sekejap mata. Di depan matanya adalah wajah oriental yang sangat cantik, keputusasaan mendalam mengalir dalam hatinya. Kemudian, suara wanita itu terdengar: "Sudah kukatakan, serahkan Liu Shijie padaku, atau kau akan MATI." Perempuan bernama Jian Suyan berdiri tegak, memandangnya dengan dingin. "Kuberi kau waktu satu hari lagi."
Suara kekacauan kembali bergema di telinganya. Entah harus merasakan apa, namun… sepertinya nyawanya terselamatkan. Di jalanan luar gang, bayangan-bayangan manusia berseliweran. Ia hanya terduduk mematung, menatap wanita dalam kegelapan di hadapannya. Angin dingin menerobos masuk ke gang, meraung-raung. Tiba-tiba, sosok lain menarik pandangannya ke arah mulut gang.
Tak… tak… tak…
Derap kaki nyaring itu seakan menggema tepat di depannya walau dari kejauhan. Sesosok manusia berlumuran darah terlempar dari ujung gang ke seberang. Kemudian, wanita bergaun malam bak putri itu muncul dalam jarak pandang, tatapannya yang samar tersenyum menoleh ke arah ini.
Di sampingnya, perempuan bernama Jian Suyan menoleh ke belakang. Dalam desau angin yang merintih, niat membunuh yang tak terucapkan mulai memadat.
Sosok ungu itu tiba-tiba membesar dalam pandangannya.
"Pada sekejap mata, angin kencang yang menderu seperti Braak tiba-tiba menerobos masuk dari mulut gang. Entah benda apa yang melintas di sekitarnya. Saat dia membuka mata di detik berikutnya, tak terhitung fragmen keramik di dinding berhamburan Blek-blek menuju ujung gang, sementara kantong-kantong sampah di belakang meledak dan menari-nari memenuhi langit. Di depannya, bayangan putih itu ternyata telah menghilang, berganti dengan sosok wanita berbaju ungu panjang yang kini berdiri satu meter di hadapannya, menatap ke langit."
"Di ketinggian tujuh hingga delapan meter di atas, Jian Suyan dengan satu tangan mencengkeram jendela pengaman, tubuhnya berayun pelan di terpa angin, matanya menatap dingin ke kegelapan di bawah."
"Hehe..." Gaun panjang yang megah berkibar-kibar di angin. Wanita di bawah itu mengangkat tangan menyentuh bibirnya, tersenyum bak bunga mekar. "Bagus... Baru menarik begini..." Pada detik berikutnya, Viscount akhirnya menyaksikan dengan jelas pemandangan manusia terbang.
Tanpa gerakan mengumpulkan tenaga sedikit pun, bayangan ungu itu tiba-tiba melesat ke langit!
Sebuah jendela pengaman berhamburan Dang menjadi fragmen-fragmen yang beterbangan, disusul pecahnya Braak kaca rumah. Terdengar jeritan kaget dari dalam rumah. Viscount di bawah menutupi kepalanya, kali ini benar-benar ketakutan.
Dua bayangan putih dan ungu terus memanfaatkan jendela dan dinding rumah di atas sebagai pijakan, bagai pertunjukan akrobat yang terus melesat ke atas. Seiring perubahan posisi, suara kehancuran dari pertarungan sengit mereka bergema hingga jauh.
Di luar gang, pertempuran telah berhenti. Kelly berdiri di mulut gang menyaksikan pertarungan berbahaya antara dua orang itu, kemudian mengangkat bahu dan berbalik memasuki gedung di sebelahnya. Ia naik lift menuju atap gedung. Di jalanan, lebih dari 200 orang kini separuhnya menjadi korban jiwa. Hampir 100 orang yang tersisa, melihat lawan telah menghentikan serangan, kini juga terlalu takut untuk melakukan gerakan apapun.
Di atas gang, dua bayangan saling bersilangan. Jendela anti maling di samping tiba-tiba ditendang hingga cekung. Natalia menginjak jendela di seberang lalu mengayunkan tangan bagai pisau angin tak kasatmata yang tiba-tiba merobek ruang. Jendela anti maling dan kaca di seberang terbelah oleh Braak, bahkan dinding beton pun tercorek jejak dalam. Tiba-tiba ia menengadah, melihat bayangan putih mencabut pipa air besi dari jendela di lantai atas lalu mengayunkannya ke bawah.
"Sial!" Dengan tenaga penuh, tubuh Natalia melesat ke atas menghindari tongkat maut yang nyaris menyambar. "Braak——Dang——!" ledakan dahsyat menggema. Jendela yang terkena hantaman langsung cekung membentuk lubang mengerikan. Melihat Natalia berhasil kabur, Jian Suyan menendang dinding untuk berpindah ke sisi lain. Natalia yang belum sempat memegang kusen jendela melihat kesempatan ini, kedua tangannya mengayun bagai pisau: "Aku lihat bagaimana kau berpindah tempat!"
"Kilatan tak kasat mata terus menghujam ke titik jatuh lawan. Jian Suyan yang melayang di udara mengubah arah secara tiba-tiba dengan tongkat besi di tangannya. Ssst! Sebagian besar helai jas hujan terkoyak. Wanita itu berputar di udara sebelum menemukan pijakan berikutnya. Tongkat besi berputar kencang seperti kincir angin menyerang Natalia. Keramik dan semen beterbangan di ketinggian puluhan meter, meninggalkan cekungan dalam di dinding.
Natalia kembali tergesa gesa menggeser posisi mendekati Jian Suyan. Tebasan tangan menyambar tajam. Dengan daya hantam tongkat, wanita berbaju putih itu justru berlari beberapa langkah di dinding vertikal. Kedua tangan menyusut seperti ular berbisa menusuk kepala Natalia.
Swish——Cling——
Ujung tongkat besi menyambar sisa bayangan gaun ungu. Setelah merobek ujung gaun, tongkat itu tertancap di celah jendela pengaman. Bayangan putih melesat ke atas, menggunakan jendela lain sebagai pijakan untuk menerjang Natalia yang menari-nari seperti kupu-kupu.
Tongkat besi berputar di udara mengaum, menghantam dengan kekuatan ribuan ton.
"Kau pikir kau Sun Wukong ya——"
"Braak!" Suara ledakan dahsyat menggema. Natalia menarik jendela di sampingnya seperti jaring besi, tubuhnya melesat memanfaatkan momentum. Sambil melipat jendela dengan tongkat besi di udara, tiga pisau angin raksasa berhamburan dari ayunannya. Bilah tak kasat mata itu menyambar ke atas, merobek dinding di kedua sisi. Blek! Keramik berhamburan bagai hujan, menghancurkan dua jendela seketika. Jian Suyan berputar dengan gesit, tongkat besi yang terseret dampak terpotong tiga bagian dan jatuh ke kegelapan di bawah.
Detik berikutnya, dia langsung mengejar Natalia yang berada di atas, menghancurkan jeruji anti maling tempat Natalia berdiri dengan satu tendangan.
"Ya Tuhan..."
Pertempuran terus berlanjut. Zaret yang tak pernah percaya dewa bersujud di tumpukan kantong sampah, membuat tanda salib di dadanya sambil memandang dua sosok yang terus bergulat di udara tinggi. Berbagai puing berjatuhan di sekitarnya. Di lift gedung sebelah, Kelly menatap angka yang terus berubah sambil mengetuk lantai dengan hak sepatu mengikuti irama musik. Alisnya berkerut saat kecepatan lift melambat - belum sampai di atap gedung.
Pintu lift terbuka, seorang pria yang kikuk tak tertahankan di luar terus-menerus menekan tombol lift. Begitu pintu terbuka, dia mengayunkan senapan serbu di tangannya hendak masuk, namun saat melihat sosok di dalam, berusaha menghentikan langkahnya dan terjatuh dengan suara "Prak" di lantai.
"Kau...kau...kau...kau..."
Liu Shijie yang dipenuhi senjata dan amunisi terlihat seperti gudang senjata berjalan. Tapi ini tak mengubah situasi kacau-balau-nya. Sambil duduk di lantai mengayunkan senapan serbu, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu. Kelly dengan tangan di kantong baju, memandang lesu ke pria yang sedang mengarahkan senapan serbu ke arahnya. Beberapa detik kemudian, dia menyeringai pasrah: "Masuk tidak? Kalau tidak, minggirlah dari pintu. Kami sedang buru-buru, Kakak."
"Aku...aku..." Sebelum Kelly selesai bicara, dia merangkak sambil berguling keluar.
"Sakit jiwa..." Jari menekan tombol tutup. Sejenak kemudian lift melanjutkan naik. Di ruang sempit itu, dia terus mengangkat mata putihnya dengan bosan. Tak lama, lift akhirnya tiba di lantai teratas. Melewati lorong, dia naik ke atap gedung. Hampir bersamaan, dua bayangan berpencar di tepi atap.
Angin malam menderu. Tiga sosok berdiri membentuk segitiga. Setelah deadlock beberapa saat, Kelly membuka tangannya.
"Bagaimana? Sudah selesai berdiskusi? Kalau sudah, lihatlah ke sini. Masih ada si cantik di sini."
"Dia semakin kuat saat menghadapi lawan kuat..." Setelah lama melototi Jian Suyan di seberang, Natalia membuka mulut dengan ragu, lalu memandang sobekan gaunnya, "Ini pertama kalinya aku bertemu manusia yang kebal terhadap kekuatan supernatural. Kau benar-benar hebat."
"Ternyata benar..." Kelly mengangguk dengan ekspresi kontemplatif, kemudian menatap wanita berbaju putih yang berdiri di tepi lantai atas, pandangannya penuh kompleksitas.
"Kau merobek bajuku..." Wanita berbaju putih mengangkat bahu sambil memandang ujung jas hujan yang terkoyak.
"Kalau begitu kau juga merusak gaunku..." Natalia tersenyum, "Ini pertarungan pertamaku setelah kesadaran diri. Tapi kurasa kau sangat mengenaliku, mengapa?"
"Jodoh, mungkin." Suyan tersenyum tipis.
Natalia menatapnya lama, kemudian tiba-tiba tersenyum lagi: "Anehnya, aku percaya kau tidak berbohong... Seolah kita sudah saling mengenal lama..." Terbawa emosi yang tak jelas, dia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka telapak tangan. Dengan anggun, ratu berhak tinggi itu berputar di atas dinding dengan lebar kurang dari 10 sentimeter, senyumnya merebak seperti bunga mekar: "Jadi... sekarang bagaimana? Timur-barat-selatan-utara... satu dua tiga empat lima enam tujuh... Lebih dari 20 sniper terbaik sedang mengintaimu, menunggu perintahku untuk menembak. Ingat, kau telah merusak gaun favoritku – sekarang aku benar-benar ingin membunuhmu..."
“Aku punya tombol.” Suyan tersenyum sambil mengeluarkan remote kontrol kecil dari kantong pengepungan, “Begitu kutekan, seluruh area timur, barat, selatan, utara... satu dua tiga empat lima enam tujuh... total 18 gedung di sekitar akan meredup dengan suara Braak atau menjadi sejarah. Harus bagaimana ya? Serangan teroris paling mengerikan dalam sejarah Prancis dengan korban MATI terbanyak... Hanya memikirkan namanya saja sudah membuatku bersemangat, sekarang sangat ingin menekannya... Apalagi...” Dia tersenyum, “Jangan bercanda, fondasinya kau sebenarnya tidak suka memakai rok.”
“Wow.” Natalia tertegun, Kelly di sampingnya membuka telapak tangan: “Sudah kukatakan, si mesum ini suka skala besar.”
“Aku benar-benar membenci perasaan dikenal orang... tapi tatapanmu membuatku nyaman... bocah lelaki mesum yang suka menyamar jadi perempuan...” Melihat wajah Suyan yang sedikit terkejut, senyumnya menjadi semakin cemerlang sambil berbalik melompat ke bawah gedung, meninggalkan tawa merdu seperti lonceng perak bergema di langit malam, “Aku duluan ya, besok main ke tempatmu, dadah...”
“Sekarang kau masih suka menjual bunga di Plaza Concorde?”
“Jiaming berteriak keras dari belakang. Di ruang bawah, bayangan ungu berputar anggun, sesaat kemudian mendarat di tepi jalan seperti kupu-kupu. Gadis itu berbalik mengayunkan tangan, masuk ke dalam mobil yang parkir di dekatnya. Di jalanan, darah merah seperti sakura. Jiaming berdiri di sana, mengusap hidungnya. Cairan kental di jarinya tak berbeda warna dengan genangan di jalan. Dalam hembusan angin dingin, sakit kepala yang tak tertahankan.”
“Memang, kekuatan supernatural yang terlalu kuat masih menyebabkan kerusakan padanya. Jika Natalia benar-benar menggunakan kekuatan penuh, mungkin konsekuensinya tak akan berakhir imbang seperti sekarang.”
“Aku tak pernah tahu kau ternyata tahu banyak hal tentangnya...”
“Suara Kelly bergema dari belakang. Jiaming mengusap darahnya, melompat turun. Saat menoleh, dilihatnya Kelly dengan tangan terlipat di dada, tubuhnya bersandar di dinding tangga. Tatapannya penuh kesedihan yang dalam.”
“Kenapa tatapan begitu, kau tiba-tiba ingin jadi filsuf?”
“Filsuf juga tak masalah. Tapi selama setengah bulan ini aku terus memikirkan satu hal. Fakta bahwa kau benar-benar imun terhadap kekuatan supernatural semakin menguatkan kekhawatiranku...” Matanya menatap tajam ke arah bayangan putih perkasa di depan, tanpa secercah senyuman.
“Sekarang aku ingin kau katakan bahwa gambar pemindaian otak itu bukan milikmu.”
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Puluh Delapan Suka Kau juga Tidak Apa
27 Januari dini hari, sebuah gedung tempat tinggal di Paris.
“Bangun bangun bangun!” Teriakan Natalia terdengar dari kamar tidur. Jiaming yang sedang membawa panci berisi bubur mengintip ke dalam. Terlihat Natalia berbaju jubah tidur sedang menginjak-injak Kelly yang meringkuk di ranjang. Setelah mencium aroma sarapan, barulah dia menoleh siap meninggalkan si malas di tempat tidur: “Aaaaa, waktunya sarapan!”
Saat perempuan itu melangkah keluar, Kelly juga langsung terduduk di ranjang dengan topi tidur segitiga merah seperti Sinterklas yang masih setengah tertidur: “Aku sudah bangun!”
Tak lama kemudian, suasana sarapan pun diwarnai percakapan silih berganti.
“Kemarin kita berhasil menjual 15 unit pesawat tempur ke Afrika…” ujar Kelly sambil menyantap bubur daging.
“Beberapa hari lalu ada kelompok teroris yang berencana menabrakkan pesawat ke Gedung Pentagon Amerika… Sungguh tolol.” Natalia mengerutkan alisnya sambil memisahkan kuning telur dari mata sapinya, bergumam dengan nada merendahkan.
“Menurutku itu ide bagus… Pasti akan banyak korban jiwa yang mengguncang seluruh dunia…”
“Nah nah, kita lihat saja nanti.”
“Tadi malam aku menemukan beberapa surat cinta di kamar tidur, kalian mau lihat?”
“Nanti kita lihat. Tapi menurutku Baron di sini punya selir, bisa dilihat dari banyak hal…”
“Sekarang aku pikir akan lebih sempurna kalau ada yang bisa masak ikut dalam operasi kita berdua. Sayangnya kau harus pulang besok…”
Kira-kira setelah sarapan, memanfaatkan waktu subuh, ketiganya merapikan jejak-jejak yang tersentuh di kamar - hal-hal remeh-temeh, sekalian mengeluarkan surat cinta pemilik rumah untuk dibagikan dengan penuh keingintahuan. Faktanya ini bukan kamar milik siapa pun di antara mereka, hanya permainan yang sedang disukai Natalia belakangan ini. Entah darimana ide ini muncul, akhir-akhir ini dia dan Kelly sembarangan menempel selebaran. Setelah satu dua hari, jika selebaran di kunci pintu belum disobek, berarti tuan rumah tak ada di rumah. Malam itu mereka masuk untuk merasakan pengalaman tinggal di rumah orang. Satu-satunya penyesalan adalah kedua wanita ini tak ada yang bisa memasak. Kini keahlian Jiaming membuat mereka berdecak kagum, Natalia pun mulai berencana memperluas jaringan kriminalnya.
Beberapa hari ini, selain sesekali menghubungi Dongfang Wan, Jiaming mengikuti mereka berpindah-pindah dari rumah ke rumah asing. Siang hari mengembalikan kamar ke kondisi semula, lalu Kelly membawa Jiaming ke laboratorium untuk pemeriksaan kepala. Geng kriminal terkuat di dunia ini pun terkadang melakukan kesalahan, seperti kemarin malam ketika tuan rumah pulang mendadak, bertiga terpaksa melompat dari jendela dan kabur. Meski kikuk, tetap menyenangkan.
Mengenai karakter Natalia, sebenarnya Jiaming sudah lama memahaminya, sehingga dalam interaksi kali ini terasa tidak asing lagi. Tentu saja, jika bukan karena kemampuannya bertarung seimbang dengan Natalia saat menyamar sebagai Jian Suyan, mungkin mereka tidak akan memberinya kesempatan untuk bergabung seperti ini. Natalia memiliki kepribadian yang lincah, seringkali suka mengalami kehidupan secara tidak karuan, namun tetap menyimpan kesombongannya sendiri. Tentang apa yang Jiaming dan Kelly lakukan di laboratorium, setelah memberi persetujuan diam-diam, dia sama sekali tidak menanyakan apapun. Jiaming bahkan yakin, meski di belakang, Natalia mungkin malas melakukan investigasi. Setelah kesadaran diri kedua, Natalia akan semakin kuat, bagi manusia biasa bagaikan makhluk asing atau Dewa. Jika bukan karena karakternya yang seperti ini, di kehidupan sebelumnya mungkin dia tidak akan dikepung begitu rupa bahkan tidak kabur, akhirnya MATI di pangkuan Jiaming.
“Oleh karena itu, saat melihat bayangan ini, Jiaming sering teringat pada wanita yang mati di pangkuannya di kehidupan sebelumnya. Di depan orang, dia adalah nahkoda Dark Celeste yang kuat dan tak tertandingi, separuh jiwa Rothschild, bahkan dengan kesombongan Ying Zilan sekalipun, dia harus bersikap hormat. Di belakang layar, dia hanyalah perempuan biasa dengan rasa ingin tahu yang besar, terkadang memiliki selera humor yang aneh, ceria, dan mampu mewujudkan segala ide gila menjadi kenyataan. Tapi secara umum, dia masih manusia normal — setidaknya jauh lebih normal dan baik daripada dirinya dulu. Dia berharap, di kehidupan ini, dia mungkin tidak akan mati karena hal seperti itu lagi, dan itu satu-satunya harapannya.”
“Kami bertiga biasanya berpisah di pagi hari dan berkumpul kembali saat senja, pergi melakukan kenakalan yang bisa dibilang cukup berwarna. Bersama Kelly di laboratorium agak membosankan, tim medis terbaik dunia bekerja 24 jam non-stop menganalisis data-data pemindaian otak Jiaming. Karena alasan tertentu, Kelly juga tidak punya mood untuk bercanda di lab akhir-akhir ini, selalu cemberut sambil terus menghitung dan menghitung. Karena penyebab sakit kepala Jiaming cukup sederhana, sebenarnya di hari pertama, penyebabnya sudah terkonfirmasi.”
“Kepala manusia punya banyak area yang berbeda, tahu kan?”
"Setelah data pindai hari itu keluar, Kelly memasang wajah masam sambil mengetuk-ngetuk gambar pindai yang tergantung di dinding. Di tengah laboratorium bahkan ada proyeksi tiga dimensi kepala yang terus berputar, membuat emosi Jiaming mulai tidak nyaman: "Aku tahu.""
"Setiap area memimpin fungsi berbeda tubuh manusia. Berdasarkan hasil penelitian saat ini, penggunaan optimal otak manusia tidak melebihi sepuluh persen. Karena itu, banyak fungsi area yang belum kita ketahui dan tidak bisa dijelaskan secara pasti. Tapi posisi ini, terletak di kiri atas kelenjar pituitari, bagian medula dan korteks antara temporallobe dan occipitallob..." Dia mengendalikan komputer, menyoroti suatu bagian, "Beberapa tahun lalu kami punya istilah khusus untuk area ini, disebut..."
"Area Albe." Kata Jiaming.
Kelly meliriknya dengan heran: "Benar, rupanya kau juga tidak buta informasi. Itu ditetapkan oleh orang itu. Diam-diam dia melakukan penamaan. Jika tidak salah, area ini menguasai kekuatan supernatural manusia, sebenarnya bisa dikatakan sebagai amplifikasi, pemancaran dan penerimaan kekuatan spiritual. Area ini sangat ajaib. Dari penelitian 10.000 kasus penyakit otak, kecuali kerusakan akibat kekuatan eksternal, area ini tidak pernah menunjukkan gejala penyakit otak alami. Mengapa tadi aku bilang kasusmu langka? Kau satu-satunya orang yang bermasalah di area ini yang pernah aku lihat. Mengerti?""
"Oh, jadi aku imun terhadap kekuatan supernatural..."
“Dari sudut pandang eksperimen, kamu memang bahan paling berharga. Sekarang para ahli di luar sana ingin mengiris tipis dan menelitimu. Mungkin dengan modelmu, mereka bisa menciptakan banyak manusia yang imun terhadap kekuatan supernatural. Tentu saja perlu penelitian lebih lanjut, imun terhadap kekuatan supernatural, benar-benar...” Membelakangi Jiaming, Kelly mengetuk keyboard komputer sambil berkata dengan kaku. Suasana agak canggung, Jiaming mengangkat bahu.
“Sepertinya ini hal baik. Aku memiliki kemampuan unik di dunia ini, atau mungkin...”
“Baik kepalamu! Atau kepalamu! Apa kau benar-benar tidak mengerti? Imun terhadap kekuatan supernatural lalu bagaimana! Unik lalu bagaimana!” Kelly tiba-tiba menoleh sambil berteriak, “Aku belum pernah melihat orang dengan tumor sebesar ini di kepala bisa bilang 'baik'. Sudah dua tahun kamu sakit kepala, kenapa tidak bilang dari dulu? Kenapa tidak periksa lebih awal? Tahukah kau ini tidak bisa diangkat? Saat bertarung dengan Natalia, hidungmu mimisan, kira aku tidak lihat? Kamu... kamu sudah MATI!”
“Batuk...” Setelah lama terdiam canggung, Jiaming berkata, “Harus optimis...”
“Pergi dengan optimisme sialanmu...”
Setelah berpisah dengan Natalia, tiba di laboratorium, Kelly kembali menyibukkan diri dengan berbagai perhitungan dan pengembangan yang tidak karuan. Jiaming sesekali duduk di belakang membantu atau sekadar duduk diam, mendengarkannya merenung lalu melontarkan hujatan. Ia menatap gambar pindaian otak di atasnya cukup lama, berkata: "Sepengetahuanku, bahkan jika kedokteran berkembang 20 tahun lagi, seharusnya belum bisa menghasilkan sesuatu sehebat ini..."
"Son of bitch!" Kelly berbicara tanpa menoleh.
"OK, Aku salah." Jiaming mengangkat tangan, diam, tak lama kemudian berkata lagi, "Sebenarnya ini baru pertemuan kedua kita..."
"Bisakah kau berhenti sebentar!" Dengan suara Dang, pena atom di tangannya dihempaskan ke meja, Kelly menoleh sambil mengerutkan alis dan mata merah berurat darah, "Tidak berbicara sebentar saja kau MATI ya!"
"Kau juga sebaiknya berhenti." Mengulurkan tangan mematikan layar komputer, Jiaming tersenyum, "Tentu sikapku yang menghindari pengobatan juga bermasalah, tapi konsekuensinya... tidak ada jalan lain, tak perlu menghitung terus, besok pagi aku akan pergi, satu sore ini cuma terbuang percuma."
"Aku rela!" Kelly melototinya beberapa saat, lalu memalingkan wajah, "Aku sedang meresepkan obat pereda sakit untukmu."
"Tidak perlu, rasa sakit membantuku merasakan dunia ini lebih jelas... Aku ini pembunuh."
"Pada akhirnya kau akan mati kesakitan!"
Jiaming mengangkat tangan bingung, Kelly melototinya beberapa kali lalu kembali menulis: "Mau atau tidak, tetap kuresepkan."
"...Sebenarnya ada Jian Suyan yang asli di dunia ini."
"Aku tahu." Kelly tetap tidak menoleh.
"Hah?"
“Kau anggap aku orang bodoh ya. Pangeran akhirnya dipukul hingga pingsan oleh siapa? Apa aku tidak penasaran? Setelahnya [] menyelidiki banyak hal, semakin kupikir semakin risih, dugaan sudah ada... Tentu saja baru kukonfirmasi langsung dari mulutmu, tapi perasaan ya begitu-biasa saja...”
“Dia wanita yang benar-benar sempurna...”
“Lalu bagaimana!” Kelly memutar tubuh sambil memegang kertas, wajah penuh kebencian menatap Jiaming, dada naik turun karena napasnya, “Dua setengah tahun lalu kau tiba-tiba mentransfer puluhan miliar padaku tanpa alasan, awalnya aku ingin membunuhmu, tapi belum sempat menemukanmu, malah menyamar sebagai wanita di Jaringan dan mengobrol selama dua setengah tahun...”
“Ehm, aku tidak menyamar sebagai wanita...”
“Apa urusannya kalau ini keinginan sepihakku! Tapi kau juga tidak menyangkal! Sama seperti Natalia, jujur aku benci perasaan dimengerti orang, waktu itu kau baru...” dia membuat gestur tinggi badan yang menyebalkan, “15 tahun kan? Setelah tahu hal ini aku bingung berbulan-bulan, tapi toh sudah mengobrol bertahun-tahun. Kau sekarang bilang kita baru bertemu kedua kalinya? Persetan dengan pertemuan kedua! Tiba-tiba muncul, baru dua kali ketemu langsung bilang mau MATI, tidak tertolong! Kau pikir aku mau jadi pengasuh gadis-gadis kecil di rumahmu setelah kau MATI?!”
Dia meneriakkan semua itu sekaligus, bibirnya terkunci rapat, tatapannya menatap mati Jiaming dengan gigi tergigit-gemetar. Jiaming tertegun cukup lama, menyaksikan gadis itu akhirnya menarik napas lega lagi, kembali duduk di kursi: “Sebenarnya untukmu juga pernah terpikir banyak alasan tidak karuan, bahkan ingin menguji asal-usulmu bla bla bla, tapi sekarang sudah kubicarakan. Kau beri tahu aku juga malas dengar, suka padamu terus kenapa...”
“Err, urusan cinta online... sebenarnya...”
Kelly tidak punya mood mendengar omongannya yang tidak masuk akal, menundukkan kepala sejenak, berkata: "Malam ini kau rias wajah Suyan dengan gaya minimalis, buat lebih cantik, kita cari atap gedung yang luas, sebaiknya bisa melihat seluruh Paris..."
"Hah?"
"...Memberikan pengalaman pertamaku padamu, meski membran itu sudah tidak ada, tapi ini beneran pertama. Memang ingin mencari waktu dan tempat yang lebih romantis, tapi tidak ada pilihan. Aku juga sudah berpikir, terus berfantasi tentang lesbian itu tidak sehat, harus mencoba dengan pria. Kaulah yang terbaik, lalu... aku akan merobohkan Natalia, hidup bahagia selamanya... Sudah kuputuskan, kau juga tidak dirugikan, lakukan saja sesuai keinginanmu, pokoknya buat nyaman saja..."
"Setelah selesai bicara, dia berbalik badan dan Swiswiswis menulis beberapa lembar kertas lagi. Jiaming terbata-bata tak bisa berkata-kata, tidak tahu apakah ini karena sudah terlalu lama menikmati hari-hari tenang sehingga tingkat kemesumannya menurun, atau memang Atribut non-manusiawi Kelly setinggi itu. Waktu berlalu sunyi di kantor utama ini. Jiaming setengah berbaring di kursi sambil menatap langit-langit, pikirannya terbang bolak-balik. Entah kapan, Kelly telah mengembalikan ekspresi dingin penuh jijiknya, berkata dengan nada keras: 'Ingin apa lagi?'"
"Ah, ini... Aku sedang berpikir harus mencari waktu untuk pergi ke Jepang..." Matanya masih menatap langit-langit putih itu, jeda sejenak, seolah hendak mengajak minum teh sore, "Membunuh Morikami Kura."
## Bagian Tiga Ratus Tujuh Puluh Sembilan Masa Depan Kita
"Menyuapi... Hal Shasha sudah selesai... Bawa dia pulang? Hehe, Aku tidak pernah terpikir itu, apalagi Liu Shijie juga sudah MATI... Dua hari lalu saat kabur dihabisi oleh kawannya sendiri, hal seperti ini mustahil diserahkan ke Shasha sendiri..."
Pagi hari, Jiaming sedang bertelepon dengan Lingjing.
“Mainin? Hehe, Paris sebenarnya cukup baik, tapi beberapa hari ini tidak bersama Dongfang Wan dan yang lain, juga tidak ke banyak tempat... Hadiah tentu sudah kubeli, yaitu... Baik, tidak usah dibicarakan dulu. Aku mungkin sampai rumah malam ini, ada makanan di pesawat, tidak perlu mempersiapkan. Malam ini... Hmm, aku tidur di sofa saja, kau dan Shasha tidur, Kaoru perlu satu kamar, jangan biarkan Ayah-Ibu Ye repot lagi, kan bukan orang lain... Waktu hampir habis, mereka menungguku... Hmm, dadah...”
Tewas di telepon, dia membawa tas besar-kecil keluar dari telepon umum. Langit belum terang, lampu jalan memanjang di jalanan, angin pagi menusuk dingin, Bandara Charles de Gaulle terang benderang, Dongfang Wan dan Xu Yiting sudah mengayunkan tangan dari kejauhan.
Mobil-mobil kecil berdatangan dari kedua ujung jalan dan berhenti di tepi. Jiaming berlari beberapa langkah, suara klakson nyaring tiba-tiba berbunyi di sampingnya. Pintu mobil terbuka di sebelahnya, yang keluar justru Natalia yang mengenakan jas hujan kuning, menepuk bahu Jiaming lalu menoleh dan melambaikan tangan ramah ke arah Dongfang Wan, memberi isyarat agar mereka menunggu lagi.
“Kelly tidak datang, jadi aku yang menyumbangmu.”
“Heh, kemarin sudah sepakat tidak perlu diantar.”
“Bermain dengan Kelly menyenangkan ya, tadi malam?”
“Uh...” Jiaming mengusap hidungnya, “Hal semacam ini...”
Natalia tertawa: “Pokoknya begitu kembali langsung sarafnya kambuh, semua kepribadian muncul. Maksudku... kau harusnya memahami situasinya kan?”
“Hmm.” Jiaming mengangguk, “Kepribadian ganda Super Kill, bagaimana?”
“Tidak ada apa-apa. Dia bicara dengan cermin, lalu bilang sangat menyukaiku, minum sedikit baijiu lalu tidur. Tengah malam dia masuk ke kamarku, kan aku bukan lesbian... Berguling-guling sepanjang malam sampai tidak bisa tidur nyenyak...” Mengingat situasi Kelly, Natalia menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit. Setelah hening sejenak, ia menghela napas. "Aku dengar hal tentangmu dari Kelly. Aku... minta maaf."
“Di Tiongkok ada pepatah, hidup dan MATI ada yang mengatur nyawa.”
“Hal terkait kekuatan supernatural memang ajaib, mungkin ada transisi... Heh, baiklah. Aku tahu ucapan seperti ini tak bermakna, tapi sungguh berharap suatu hari kau bisa kembali. Kau cukup menarik.” Natalia tersenyum. "Aku tahu kau meminta bantuan Kelly untuk beberapa hal. Urusan selanjutnya, kau bisa tenang."
“Terima kasih.”
“Semoga perjalananmu lancar.” Natalia mengangguk, berbalik menuju mobil kecil. Saat sampai di pintu, ia teringat sesuatu dan menoleh kembali. "Kalau begitu... Aku selalu merasa kita saling mengenal, atau kau sangat memahamiku. Apakah ini persepsi yang salah?"
“Uhh.” Memandangi sorot mata Natalia yang sedikit serius, Jiaming berpikir sejenak lalu mengangguk. "Anggap saja aku pernah bermimpi sangat menarik, dan melihatmu dalam mimpi itu."
Natalia tersenyum memandanginya, perlahan membuka mulut: "Kau merasa bersalah padaku?"
“...Ada.”
“Hal dalam mimpi itu?”
“Hmm.”
"Meski tak paham apa yang sebenarnya terjadi, tapi kurasa kau bicara jujur." Entah bagaimana dia memahami situasi ini, sang wanita berbalik masuk ke jok belakang mobil lalu mengayunkan tangan, "Tapi...coret semua. Apa pun itu, aku tak marah lagi. Soalnya sekarang aku baik-baik saja, kan...Semoga kita bertemu lagi."
Angin dingin menderu, sesekali suara berputar kencang turbo pesawat melesat di Langit. Mobil hitam perlahan menjauhi Bandara Charles de Gaulle di bawah sinar lampu jalan yang terang dan elegan, meninggalkan radius efektif penglihatannya. Di alam gaib, seolah ada suara selimut yang dihancurkan bergema sesaat. Jiaming menarik napas lega, senyum tipis mengembang di wajahnya sebelum berbalik mendekati Dongfang Wan dan mereka.
"Ying Zilan dan Lei Qing ingin menemui Nona Natalia tapi gagal terus. Kalian malah main bersama seperti Teman selama empat lima hari. Kalau mereka tahu, bisa mati kesal."
"Hmm, untung mereka tidak tahu. Nanti semuanya jadi ribut lagi..."
"Tenang, aku tak bilang ke mereka. Banyak juga teman sekelas yang tidak kenal. Mereka seharusnya tidak akan tahu."
"Makasih."
Hingga musim dingin berakhir, Jianghai tak lagi diselimuti salju.
Hadiah dari Paris yang dibawa pulang dibagikan ke Ayah-Ibu Ye, Lingjing, Shasha, tentu saja Yahan dan Kaoru juga mendapat satu buah. Selain menghadiri acara keluarga Huang pada malam Tahun Baru Imlek dan hari pertama Tahun Baru, kehidupan Jiaming pada dasarnya sudah terpisah dari keluarga besar ini——pada kenyataannya memang sudah begitu sejak awal, namun kali ini situasinya cukup spesial. Setelah keluarga Huang mengalami serangkaian pukulan, hubungan antar beberapa kerabat justru menjadi lebih erat. Melalui kunjungan pribadi Fang Zhitian kepadanya, Jiaming tidak lagi dianggap sebagai anak kecil yang bisa diabaikan. Dari tingkat perhatian orang dewasa, hampir menjadi yang terdepan di generasi muda. Dia membenci kesulitan seperti ini, ditambah setelah penyebab sakit kepalanya terungkap, dia semakin malas menghadapi orang-orang yang tidak perlu. Ketika bisa menghilang, dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghilang.
Setelah Tahun Baru, Akademi Hati Kudus memulai semester baru. Jiaming dan teman-temannya memasuki semester terakhir kelas 3 SMA. Dua hari sebelum masuk sekolah, mereka merapikan kamar sewaan, kemudian membantu Yahan membersihkan villanya. Keempatnya sering berkumpul bersama selama periode setelah Tahun Baru, pergi main ke taman bermain, mendengarkan musik, atau minum kopi. Tinggal setengah tahun lagi menuju ujian masuk perguruan tinggi, di antara keempatnya hanya Yahan dan Lingjing yang cukup khawatir.
Sebagai Yahan, dia mengkhawatirkan ke mana Jiaming akan pergi setelah masuk universitas. Lingjing sedang benar-benar merencanakan masa depan bertiga. Faktanya hal ini cukup rumit, Jiaming tidak peduli pada apapun, Shasha belakangan ini kehilangan motivasi belajar, sementara dia sendiri sebenarnya juga sedang berjuang menentukan jalan hidupnya. Karakternya yang santai dan ramah membuatnya tidak membenci hal apapun, dengan kata lain tidak ada sesuatu yang sangat dia sukai secara ekstrem.
Selama lebih dari dua tahun tinggal bersama, dia telah mengalami banyak hal yang belum pernah dialami teman sebayanya, merasakan berbagai emosi yang belum pernah dirasakan remaja seusianya. Namun kegiatan seperti kerja paruh waktu, membagi flyer, atau memainkan piano di restoran justru memberinya kepuasan melalui kebersamaan bertiga, bukan karena jenis pekerjaannya. Tentu jika dipaksa memilih, piano tetap menjadi hal yang lebih disukainya, tapi belakangan dia sedang mempertimbangkan untuk belajar menjadi perawat atau dokter penyakit dalam - karena Jiaming sepertinya berencana mengikuti ujian dokter bedah. Kita tentu ingat, cita-cita ini berasal dari paparan Ibu Ye sejak beberapa tahun silam. Jiaming bersikap acuh, namun setelah bertahun-tahun, Lingjing akhirnya menganggap ini sebagai rencana yang sudah dipersiapkan Jiaming untuknya.
Dalam upaya serius merencanakan masa depan bertiga, otak kecil Lingjing baru-baru ini diuji berat. Satu-satunya orang yang bisa memberinya masukan relatif serius, menurutnya mungkin hanya Kakak Yahan.
"Kecapi, menurutku kamu lebih baik belajar kecapi." Setelah mempertimbangkan, Kakak Yahan yang selalu mandiri berkata padanya, "Ini masa depanmu. Tentu saja memilih proyek yang kau sukai paling ideal, aku tahu kau menyukai Jiaming dan ingin lebih banyak waktu bersama di kuliah, tapi bayangkan jika kau benar-benar memilih jadi perawat atau dokter, sementara kau tidak terlalu suka ini. Bahkan jika nanti bisa membuka klinik kecil bersama Jiaming, lama-kelamaan, bagaimana jika kau bosan? Dan kamu pasti tahu, orang dengan profesi sama lebih mudah mengalami konflik. Kamu selalu pintar dan serius, jaga-jaga jika di beberapa tempat mulai bersikeras..."
“Karakter Jiaming sekarang memang sangat baik, tapi lama-kelamaan apakah akan sedikit berubah? Di TV sering diperlihatkan, orang yang bersama akhirnya berpisah sebenarnya bukan karena hal besar, tapi konflik dari hal-hal sepele. Kadang saat mood semua orang baik, omongan apa pun tidak dianggap serius. Jaga-jaga kalau mood jelek, satu kalimat santai saja bisa memicu keributan. Jika kau menyukai Jiaming sampai kehilangan diri, perkiraannya Jiaming juga akan cepat bosan dengan hal seperti ini.”
Lingjing awalnya ingin bilang hubungan mereka saat ini harmonis, bertiga tentu akan berusaha menghadapi segalanya. Tapi setelah menoleh dan merenung, siapa yang tahu hal di masa depan? Buku pun bilang, sumpah kekasih adalah yang paling tidak bisa diandalkan.
Sebenarnya, bujukan Yahan seperti ini mungkin juga tidak lepas dari kepentingan pribadinya. Dia sejak awal sudah khawatir apakah Jiaming akan pergi jauh saat kuliah nanti, apakah sama sekali tidak punya waktu untuk melibatkannya. Jika Lingjing dan gesekan terus nempel terus di dekatnya, perkiraannya posisinya sendiri mungkin akan sepenuhnya hilang dalam sekejap.
Selain hal-hal ini, setelah masuk kuliah, Jiaming dengan Lingjing, dengan Shasha, dengan Yahan, dengan kehidupan, Segalanya tetap seperti biasa.
——Oh, mungkin tidak bisa dikatakan sama seperti dulu, ini hanya persepsi yang salah.
Ketika mengetahui tumor di kepalanya dan mulai serius memikirkan hal ini, Dia menemukan sakit kepala mulai bertambah parah, percobaan semakin sering. Kelly setiap beberapa hari mengobrol dengannya, mengirimkan data eksperimen yang menenangkan. Jiaming tentu tahu dengan tingkat pengobatan sekarang, bahkan usaha maksimal pun mustahil menyelesaikan hal ini. Sebenarnya di pikiran dia sudah ada serangkaian rencana pelatihan untuk Kaoru hingga lulus kuliah bahkan masuk masyarakat, namun di bawah pengaruh tumor, Dia menemukan diri mulai ragu, apakah harus membiarkan gadis yang terlihat garang tapi sebenarnya naif ini benar-benar terlibat dalam domain seperti itu. Di sisi lain, beberapa hal tentang Shasha mengganggunya, membuat sisi kegelapan di hatinya menjadi lebih destruktif.
Awalnya dalam rencananya, setelah menyelesaikan urusan Liu Shijie dan keinginan balas dendam di hati Shasha mereda, Dia harus bersama Lingjing mencegah, perlahan menariknya keluar dari lingkaran geng kriminal. Langkah pertama rencana ini jelas berhasil. Setelah memberitahu Shasha tentang akibat yang menimpa Liu Shijie, Dia jelas melepaskan beberapa beban mental. Bayangan psikologis dari kematian ayahnya perlahan menjauh, namun pengaruh dari Liu Zheng justru semakin menjadi di luar perkiraan Jiaming.
Setelah melepaskan beban mental, dia mulai lebih serius memahami urusan Shazhu Bang.
Awalnya keterlibatan Shazhu Bang Shasha hanya menyentuh hal-hal ekstrem yang pada dasarnya berasal dari perdagangan narkoba, memutuskan negosiasi, konfrontasi terbuka, atau konflik sengit. Jiaming berpikir hal-hal seperti ini mungkin bisa memuaskan keinginan bermain gadis remaja 17-18 tahun yang memberontak. Namun setelah mengetahui kematian Liu Shijie, gadis itu setelah mengambil napas dalam-dalam justru benar-benar mulai berusaha ke arah menjadi bos geng kriminal. Persis seperti saat kita memulai semester baru dan berkata "semester ini aku akan memulai hidup baru, rajin belajar", seolah gadis itu menganggap ini sebagai titik awal kehidupan barunya. Dia mulai peduli pembukuan, operasi kelompok, mencoba memahami segala detail. Berbeda dengan Lingjing yang sedang mempersiapkan kuliah, dia dengan sikap mengabaikan kuliah sama sekali, perlahan terlibat langsung dalam Shazhu Bang.
Hal ini menciptakan suasana tidak Harmoni di rumah.
Frekuensi keluar malamnya mulai meningkat, sering bolos kuliah dan tidak lagi peduli urusan belajar/mengerjakan PR. Setiap malam saat mengerjakan PR bersama Lingjing, pikirannya tetap terfokus pada urusan Shazhu Bang. Melihat sikapnya begini, Lingjing juga marah dan sesekali menegur. Shasha yang merasa bersalah awalnya meminta maaf dan pura-pura tidak tahu, tapi mulai berani hati membantah pelan-pelan. Jiaming yang jadi penengah justru asyik sendiri, baru bisa meredakan perang keluarga skala kecil ini.
Akhir Maret, ujian bulan pertama semester ini, nilai Shasha jatuh berantakan. Lingjing menangis kesal lagi. Beberapa hari kemudian, Shasha akhirnya menemukan beberapa hal di Shazhu Bang. Ternyata banyak keputusan penting Shazhu Bang sebenarnya dibuat oleh Jiaming dan Xiao Meng. Mayoritas alasan sebenarnya sama sekali tidak dia ketahui, semua orang terus menutupinya dari dia. Tak lama kemudian, Xiao Meng memberitahu Jiaming tentang hal ini. Jiaming mengira Shasha akan menanyakannya, tapi siapa sangka selama beberapa hari itu Shasha sama sekali tidak bereaksi. Hanya beberapa kali saat makan dia melamun memandangi Jiaming, mungkin sedang mencari kata-kata hujatan. Pandangan itu membuat Jiaming sedikit gugup.
Di awal April, kehidupan bertiga yang dulu polos dan sempurna akhirnya menghadapi hambatan pertama yang seharusnya baru mereka temui setelah masuk masyarakat.
"Aku... ingin pindah keluar..."
Malam itu setelah makan malam, Shasha meringkuk di sudut sofa, berkata pelan dengan nada menguji.
## Bagian Tiga Ratus Delapan Puluh: Mood
"Aku... ingin pindah keluar..."
TV sedang menayangkan Berita CCTV. Shasha memeluk bantal peluk di sudut sofa sambil berkata lemah, matanya bergerak-gerak menguji antara Jiaming dan Lingjing. Suaranya bercampur dengan suara TV yang riuh. Lingjing sedang mengambil jepit rambut yang jatuh di lantai, menoleh: "Apa?" Tapi Jiaming sudah mendengar jelas, langsung menatapnya tajam.
“Aku ingin...” Di bawah pandangan Jiaming, Shasha ragu-ragu cukup lama, akhirnya menarik napas dalam-dalam, “Aku ingin pindah sementara waktu. Sekarang urusan Shazhu Bang semakin banyak, kadang aku pulang agak larut. Papanya dulu punya kamar sendiri di sana. Menurutku begini lebih praktis...”
Tak ingin memberi waktu bagi mereka untuk berpikir macam-macam, begitu membuka mulut, dia langsung berbicara cepat-cepat. Lingjing berdiri memandanginya, bahkan sebelum kalimatnya selesai, sudah berbalik dan berjalan ke kamar: “Aku mau mandi.” Sepertinya hendak mengambil pakaian.
“Uh... Aku...”
Percakapan terpotong begitu saja. Shasha yang susah payah memberanikan diri menjatuhkan bahu, bertatapan dengan Jiaming yang tampak bingung. Padahal sikap Jiaming sehari-hari selalu memanjakan mereka, tapi kali ini dia tahu ini masalah serius. Dengan perasaan bersalah, Shasha menundukkan kepala, lalu melirik Jiaming sekali lagi sambil mengatupkan bibirnya. Persis di saat itu, dari kamar tidur terdengar suara “plash” ringan, seperti pakaian atau sesuatu jatuh ke lantai.
"Jiaming berdiri dan berjalan ke pintu kamar. Pandangannya melihat pakaian yang semula rapi terlipat di lemari pakaian besar kini berhamburan di lantai. Gadis itu mengenakan setelan rajutan bergaris-garis warna. Cuaca belum sepenuhnya hangat, kakinya masih mengenakan kaus kaki putih bulu. Ia duduk bersandar di ranjang di antara pakaian yang berserakan, kaki kiri rampingnya terentang sementara kaki kanan meringkuk di sampingnya. Dengan gelengan kepala yang agak kacau, ia menatap Jiaming di pintu beberapa saat, air mata mulai menggenang di matanya."
"Tak lama kemudian, Shasha juga berlari masuk. Ia memalingkan wajah dan diam-diam menyeka matanya dengan lengan baju."
"Suasana pun menjadi dingin. Ekspresi Shasha terlihat ragu-ragu. Ia melangkah beberapa kali, mungkin ingin memeluk Lingjing, tapi akhirnya berjongkok memunguti pakaian yang berserakan. Lingjing kembali menyeka matanya dengan lengan baju, akhirnya menempelkan dahinya ke lutut sementara isak tangis mulai terdengar."
"'Lingjing, maaf... Tapi aku...'"
"Setelah meletakkan pakaian di ranjang, Shasha mendekat dan merangkul Lingjing, tapi kemudian digoncang dan ditolak tubuhnya."
"'Liu Huaisha, kau pikir aku mengganggumu ya?'"
"'Bukan... Tapi aku... Aku... Aku juga tidak bisa apa-apa...'"
Dua gadis berpelukan di kamar. Jiaming mengernyitkan pelipis, sakit kepala kembali menyerang. Seharusnya dia merangkul mereka berdua dan membujuk agar suasana tenang, namun tak ada kata-kata penghibur di benaknya. Dia berjalan dua langkah di ruang tamu, satu tangan menopang dinding, merasakan denyut di kepalanya, lalu beringset ke sofa. Saat hendak duduk, belok ke meja teh di sudut, menuang segelas air. Gelas terhenti di bibir, terdengar suara perempuan tertangis dari kamar tidur, menyatu dengan gemuruh televisi malam itu.
"Kau benar-benar tidak berniat sekolah lagi? Tidak kuliah? Jadi ketua geng kriminal lebih menarik? Kalau... kalau kau mengalami hal seperti Paman Liu, apa yang harus aku dan Jiaming lakukan?"
"Tapi... aku benar-benar tidak tahu harus ngapain..."
"Bukannya kau suka voli? Tahun lalu kau masih bicara jadi desainer baju. Banyak hal bisa dilakukan. Terlibat geng kriminal itu berbahaya, kau tahu..."
"Aku main voli, tapi tidak suka jadi atlet bertahun-tahun. Desainer cuma omong kosong..."
"Kita masih siswa SMA. Masuk geng kriminal itu tidak bisa ditolerir. Bahkan setelah lulus kuliah pun... Putuskan setelah lulus kuliah saja. Saat itu kau akan mengerti..."
"Tapi Shazhu Bang sedang ada masalah. Banyak geng baru mau masuk. Malam ini harus bernegosiasi, sudah kuelakan. Tapi tidak mungkin terus..."
“Aku benci kau seorang cewek selalu bernegosiasi-bernegosiasi. Kau pikir aku salah, aku tak seharusnya ikut campur urusanmu ya? Aku mengiraimu... Aku menganggapmu... Aku tidak mau kau bermasalah...”
Lingjing berbicara sambil menangis lagi. Jiaming berputar-putar di ruang tamu beberapa kali, akhirnya menyadari dirinya pun tak tahu harus berbuat apa. Dia membuka pintu dan pergi, mengendarai sepeda menuju villa Yahan. Di tengah jalan, dia menelepon Xiao Meng.
“Halo, Kakak Meng, malam ini yang mau bernegosiasi itu siapa lagi... Geng kecil dari Xin Ning lagi? Bukan masalah... Cuma bertanya saja. Sikap Shazhu Bang yang sangat tegas melarang perdagangan narkoba sudah jelas, masih ada yang nego-nego terus, jadi aneh saja... Ini bukan PBB, geng kriminal sekarang juga sering menyelesaikan masalah dengan musyawarah... Hehe, ngerti. Tolong carikan data tentang bos Xin Ning Bang, yang namanya Zhao Zhenhai kalau tidak salah. Data keluarganya dulu pernah diselidiki kan?... Aku belum lihat. Coba periksa alamat rumahnya, orang-orang dekatnya juga... Hmm, sampai tiga generasi yang tidak boleh nikah antar saudara dekat... Gapapa, lagi mood jeuk muter-muter, mungkin mau berkunjung ke bibi sepupunya di Xin Ning... Ha, bercanda. Tunggu datanya ya...”
Angin malam berhembus. Dia memutuskan telepon sambil bergumam, “Bibi sepupu... Kalau berkunjung pasti sekeluarga sekalian dikunjungi semua...”
“Lampu jalan memanjang, dia berputar mengelilingi plaza depan Akademi Hati Kudus, tak lama sampai di kawasan villa. Villa tempat tinggal Yahan saat itu terang benderang, di depannya terparkir dua mobil kecil. Sepertinya sedang ada tamu yang berkunjung. Selama setahun terakhir hubungannya dengan ayahku semakin membaik, mulai terlibat urusan keluarga, tamu-tamu seperti ini pun semakin sering datang.”
“Biasanya masuk langsung pakai kunci, kali ini mustahil. Jiaming memarkir sepeda lalu menekan bel pintu. Dari dalam terdengar samar suara diskusi sengit. Tak lama, Yahan yang masih mengenakan setelan putih profesional membuka pintu. Melihat dia, tersenyum sambil mengarahkan mulut ke dalam memberi isyarat ada tamu: "Masuklah."”
“Selamat siang Guru Yahan.”
“Berteriak keras sebelum masuk ke ruang tamu. Tampak tujuh orang pria-wanita di ruang tamu sedang menatap ke arah ini. Dua di antaranya masih diingat Jiaming, kerabat Yahan. Entah sedang membahas apa. Seorang pemuda tinggi berkacamata kisi-kisi mendekat: "Yahan, ini muridmu?" Terlihat cukup akrab.”
“Ah.” Yahan mengayunkan tangan datar, "Kalian lanjutkan dulu, aku ada urusan dengannya." Berbalik membawa Jiaming ke perpustakaan samping.”
“Begitu pintu kamar tertutup, ekspresi datar profesional Yahan berubah menjadi senyuman lebar. Merangkul leher Jiaming sambil berbisik setelah mencium: "Masalah-masalah tidak karuan. Aku akan usir mereka dulu. Tunggu di sini ya."”
“Tak perlu, aku juga harus segera pergi...”
“Uhh, janganlah.” Kedua tangan merangkul lehernya, tubuh Yahan lemas seperti melekat di pangkuannya, menengadah dan bibirnya mencuat, “Kau susah-susah datang, benar ini bukan urusan besar, aku sudah menyuruh mereka pergi.”
“Aku memang ada keperluan, terutama ingin meminjam mobilmu untuk jalan-jalan.”
“Ke mana?” Yahan bangkit dari posisi lemasnya, sorot mata penasaran terpancar.
“Emm, itu... ngomong-ngomong, pria berkacamata yang sok tahu itu siapa sih? Sepertinya sengaja ingin menarik perhatianmu, perlu kupukul dia?”
“Cih, orang tanpa status jelas, banyak sekali kau bisa lawan?” Yahan memelototinya, “Lupakan dia, mau ke mana kau? Lingjing dan Shasha ikut?”
“Sebenarnya... heh, Shasha dan Lingjing lagi konflik lagi. Dia ingin pindah keluar karena Lingjing selalu protes dia pulang telat dan keluar malam. Sekarang otakku kacau, pingin jalan-jalan sejenak untuk jernihkan pikiran...”
Yahan mendengarkan Jiaming sambil mengerutkan alis: “Shasha tidak mau putus denganmu kan?”
“Tidaklah, dia tidak bilang begitu.”
“Kalau begitu...” Senyum mengembang perlahan di bibir Yahan, “Bolehkah aku bersyukur dalam hati sebentar saat tidak ada orang lain?”
Jiaming menghela napas: "Cukup bersenang-senang satu malam saja." Saat mengulurkan tangan menjepit hidungnya, dia tidak kabur atau menghindar. Wajah cantiknya merekah senyum cemerlang. Setelah beberapa saat baru berkata: "Kalau begitu kau tunggu dulu, AKU SEGERA mengusir mereka, lalu menemaniimu pergi jalan-jalan!"
"Tunggu-tunggu." Melihat emosinya mulai bersemangat, Jiaming segera menyelamatkannya, "Aku bukan mau jalan-jalan."
"Hmm?"
"Mungkin... akan ada bau darah."
Yahan tertegun, kemudian merespon. Senyum di wajahnya menghilang. Setengah tarikan napas kemudian baru mengangguk: "Kunci ada di tas, aku ambilkan."
Pintu terbuka. Bunyi hak tinggi bergema di lorong yang perlahan menjauh, tak lama kemudian kembali mendekat. Yahan kembali ke perpustakaan, menyerahkan kuncinya: "Hati-hati."
"Kau tahu." Jiaming tersenyum menggoyang-goyangkan kunci. Saat hendak membuka pintu, terdengar suara Yahan di sampingnya: "Dengar, ini bukan masalah hati atau senang melihat orang lain celaka. Lingjing dan Shasha adalah cewek terbaik. Aku yang salah menyembunyikan hubungan denganmu dari mereka. Kau tidak boleh menyakiti mereka."
Dia berhenti sebentar, tertawa pelan: "Selain itu... malam ini aku menunggumu..."
## Bagian Tiga Ratus Delapan Puluh Satu Kegilaan
Bintang-bintang gemerlap membentang luas, Bima Sakti bagai kain tipis merambat di langit, bulan seperti perahu, di bawah langit malam yang jernih, pegunungan dan sungai berkelok-kelok di hamparan daratan yang luas. Di timur terbentang lautan nan luas, di antara gunung dan sungai, kota-kota dengan kerlip lampu tersebar bagai papan catur dan jaring laba-laba. Jalan raya modern menghubungkan kota-kota ini, kereta api, mobil, kapal hingga pesawat menyatukan seluruh dunia.
"Mengapa aku bisa mencapai tahap ini? Karena kita punya otak!"
Di kedua sisi jalan raya dari Xinning menuju Jianghai yang membelah sawah dan bukit dalam kegelapan, sesekali terlihat cahaya desa. Sebuah bus 80% baru melaju mulus. Seorang pria yang memberikan kesan dewa penjagal duduk di bagian tengah belakang gerbong, sedang berbicara dengan penumpang di sebelahnya.
"Sekarang semua orang berkecimpung di dunia ini demi uang, buat apa berkelahi dan saling membunuh? Kalau soal berkelahi, dulu saat aku merebut wilayahku dengan Boss Gao di kota tua, aku melawan belasan orang sendirian, terus kenapa? Cuma jadi algojo. Belakangan mereka menghadangku dengan 20 lebih orang, aku kabur, tubuhku kena lebih dari sepuluh tusukan pisau. Untungnya aku beruntung. Kalau kalian menghadapi adegan spektakuler seperti itu, Wuih... Wuih... Boss Gao itu, kalian tahu kan, dulu di sekitar kota tua dia bisa menguasai segalanya, arogannya bukan main. Kalau waktu itu aku tidak MATI, tentu dia yang MATI. Diam-diam aku merangkul beberapa kakak tertua di sekitar untuk menghalanginya langsung, memotongnya jadi daging hancur dan melemparkannya ke sungai. Tepat sehari setelahnya, kelompok mereka runtuh. Ini namanya apa? Taktik merangkul sekutu ala Kaisar Qin. Sejak saat itu aku tahu, melakukan sesuatu tidak bisa cuma mengandalkan tenaga. Kalau tidak pakai otak, mustahil aku bisa mencapai posisi sekarang."
Seperti nada bicara khas film gangster, pembukaan tentang pentingnya menggunakan otak di dunia hitam ini diikuti ritual pamer kisah heroik masa lalu. Di bawah tatapan penuh kekaguman para anak buahnya, dia mengayunkan tangan melanjutkan cerita.
"Kenapa kali ini harus bernegosiasi dulu dengan mereka... Shazhu Bang sekarang sangat tak kenal logika karena punya koneksi. Jujur saja kalian pasti juga tahu, saat Liu Zheng masih berkuasa pun tidak sekejam ini. Sekarang di area Jianghai mereka berani melarang pengiriman narkoba. Putrinya Liu Zheng itu namanya siapa ya... Dia kira dirinya Lin Zexu kali... Sekarang semua orang kesal padanya. Xin Ning Bang basically juga akan berperang total dengan mereka..."
“……Sebelumnya dengan kekuatan kelompok kami sejujurnya, masih ada perbedaan yang cukup besar untuk berkembang ke Jianghai. Tapi sekarang berbeda, inilah saatnya. Begitu Shazhu Bang dihancurkan, seluruh Jianghai akan mengalami perubahan besar. Saat kita pergi bernegosiasi kali ini, perkiraan saya sama seperti orang lain, Shazhu Bang tidak akan memberi jawaban yang baik. Tapi, hehe, inilah momentum kerjasama kita dengan Xin Ning Bang. Nanti kekuatan di Jianghai, kita bisa dapatkan sebagian. Tunggu saja lihat... Inilah gunakan otak untuk berpikir hal-hal, jangan seharian berteriak langsung pukul ini pukul itu. Kau pikir diri sendiri Jet Li ya... Hah...”
Suaranya yang mulai terdengar bingung itu disertai bunyi klakson mobil yang berbunyi. Kecepatan tampaknya mulai berkurang. Di sisi jalan sekitar puluhan meter depan, sebuah mobil sedan hitam terparkir. Seorang manusia berdiri di tengah jalan mengayunkan tangan. Sorot lampu depan menyinari, tapi wajahnya tidak jelas terlihat. Hanya gestur tangannya yang terlihat agak arogan dan lesu.
“Sial! Orang itu mobilnya mogok minta bantuan... Xiao Li, jangan pedulikan dia!”
Xiao Li merujuk pada anak buah yang bekerja sebagai sopir. Setelah mengucapkan ini, dia menoleh ingin melanjutkan ceramah pada anak buahnya. Suara klakson mobil berbunyi keras di depan, tanpa perlambatan sedikitpun memaksa orang itu minggir. Namun beberapa detik kemudian, Xiao Li tetap menginjak rem. Bus berhenti, sorot lampu kuat menyinari depan mobil yang hanya berjarak setengah meter dari tubuh penghalang jalan. Sang bos di belakang mengerutkan kening, lalu menggeleng sambil tersenyum: "Dasar idiot, bakal dipukul nih. Xiao Li juga punya sifat panas..."
Tepat seperti dugaannya, sebelum ucapan itu selesai, sopir depan sudah mengumpat geram: "Sialan!", lalu langsung mendorong pintu samping kursi sopir dan melompat keluar. Dalam dua tiga langkah sudah mendekati si penghalang jalan: "Kau gila ya! Nggak mau hidup?! Kau..." Saat mendekat, melihat ternyata seorang pemuda berpenampilan tak berbahaya yang tampak di bawah 20 tahun, dia tertegun sejenak. Kemudian lawannya melihat plat nomor depan dan tersenyum: "Sudah lama menunggu. Aku mencari bos kalian."
Kedatangan mereka ke Jianghai memang untuk bernegosiasi, dan negosiasi geng kriminal selalu mengandung risiko konflik bersenjata. Meski sang bos sudah bilang tidak akan berkelahi, saraf semua orang sudah tegang sejak tadi. Saat pemuda itu mengucapkan kalimat itu, Xiao Li tiba-tiba menggapai ke belakang punggungnya, mengeluarkan kapak tebangan dan menempelkannya di leher pemuda: "Kau ini manusia apa sih?!"
Seolah tak merasakan ancaman pisau itu, pemuda menoleh memandangnya dengan suara yang mulai serak.
“Yeyoushen……”
Pada detik berikutnya, teriakan "Aaaa—!" menggema di depan mobil. Lengan Xiao Li yang memegang pisau remuk terdengar gemeretak tulang, dipelintir seperti kue kering oleh seseorang.
Saat jeritan histeris itu menyobek langit malam, penumpang di dalam mobil baru tersentak kaget dan menoleh. Orang di kursi penumpang depan mungkin yang paling jelas menyaksikan—tubuhnya sudah melonjak berdiri. Dalam pandangan kabur yang diterangi cahaya terang di depan mobil, tubuh Xiao Li tiba-tiba terlempar ke udara bagaikan ekor naga raksasa yang diayunkan. Kaca depan raksasa mobil berdentum "Byur!", hancur berkeping-keping menghujani angkasa.
Xiao Li yang terlempar bagai karung usang itu menghantam gerbong, membentur pagar besi di samping kursi pengemudi sebelum akhirnya terjatuh menyedihkan di koridor gerbong. Penumpang depan yang baru saja berdiri itu langsung duduk kembali sambil melindungi wajahnya. Bersamaan, sosok itu langsung melompat masuk melalui jendela depan yang pecah.
Hanya segelintir yang langsung paham situasi ini. Tapi mereka semua adalah veteran yang pernah menjilati darah di ujung pisau. Begitu kacau-balau, banyak yang langsung berdiri sambil menghunus senjata. Orang di kursi penumpang depan langsung menerjang—untuk kemudian terlempar keluar melalui jendela samping oleh sikutan santai lawannya.
“Sebuah kapak tebangan menyambar dari depan, tangan pemuda itu tiba-tiba menyambut. Sinar darah tiba-tiba mekar di udara. Kapak yang sedang mengayun itu entah bagaimana berpindah tangan, malah membelah bahu tuannya hingga ke bawah rusuk meninggalkan garis darah. Orang lain terlempar oleh tendangan. Dalam satu dua detik, pemuda itu melangkah dua kali. Lima orang yang baru saja berdiri di sekitarnya sudah terkapok di kursi mobil oleh ayunan tangannya. Beberapa kapak yang terpental berbenturan dengan gerbong sebelum menyentuh tanah. Sementara itu, seorang di depan sudah menarik pistol.
Pisau baja memantulkan cahaya lampu, tiba-tiba menebas ke bawah!
Sebuah lengan putus di siku. Sinar darah belum sempat menyembur ketika suara BYUR! mengguncang malam. Pistol di tangan yang terputus itu sudah berpindah ke genggaman pemuda, dan picu pun ditarik.
Penarik senjata lain di samping sang bos terpelanting oleh hantaman peluru.
Selama dua detik lebih, dentuman senjata itu menghentikan gerak-gerik semua orang di gerbong. Di Tiongkok yang jarang bersentuhan dengan senjata api, bahkan para penjahat sekalipun punya rasa takut bawah sadar terhadap suara ini. Ekspresi sang bos membeku di udara, tak berani bergerak. Dalam sekejap, tubuh-tumbuhan di gerbong sudah berantakan tertumpah darah. Dia belum pernah melihat pembunuh berhati paling kejam seperti ini.
Jiaming mengangkat bahu, meletakkan senjata. Matanya memandang sekeliling dengan bosan.
"Kakak——"
Setelah bereaksi, sebuah suara juga terdengar di belakangnya. Seorang pria yang sebelumnya tidak terkena pukulannya kini merangkak sambil berguling melewati kursi, menerjang sopir yang sedang muntah darah tanpa sadar. Kaca depan mobil telah ditingkatkan, bahkan orang biasa mustahil membuat keributan meski mengerahkan seluruh tenaga. Tubuhnya menghancurkan kaca secara langsung—Jiaming hampir menggunakan seluruh kekuatannya. Kekuatan lemparan ini bisa dibayangkan besarnya. Saat ini dia terbaring di sana, tulang-tulangnya hancur tak terhitung, hidup atau MATI sama-sama bermasalah. Jiaming menoleh, pria yang berteriak itu tiba-tiba mengangkat kepala, sepasang mata kemerahan penuh kebencian melotot padanya.
"Kau harus Bunuh aku hari ini, atau..."
"Byur——"
Tanpa keraguan, Jiaming mengangkat tangan. Dentuman senjata kembali menggema. Peluru menembus dahi pria itu, menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Gerbong tiba-tiba sunyi sepi. Dengan lesu, Jiaming mengedipkan matanya, memandang sekeliling, lalu mendekati sang bos.
Menyaksikan bayangannya semakin dekat, sang bos tak berdaya terjatuh di kursinya.
Berjalan sampai di sampingnya, Jiaming berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, hendak berbicara namun seperti menyadari sesuatu lalu mundur selangkah, menoleh ke samping. Di sebelah, pria kekar setinggi sekitar 1,9 meter itu memang sejak tadi memandanginya dengan tatapan kebencian. Melihat Jiaming menoleh ke arahnya, secara bawah sadar dagunya sedikit terangkat. Menyaksikan tatapan itu, Jiaming menyipitkan mata dengan kekecewaan.
"Apa kau memandangiku seperti itu? Ada masalah denganku?"
Mengingat kejadian dengan pria sebelumnya, orang ini tak berani bicara lagi meski tatapannya tetap keras. Sang bos di depan tanpa sadar membuka mulut: "Dia..."
"Byur——"
Suara tembakan kembali menggema, darah menyembur ke belakang, kaca jendela mobil di samping hancur berantakan. Pemuda itu menurunkan pistol, ekspresi lesunya mirip guru yang menghadapi segerombolan mahasiswa bermasalah. Ia berjalan menghadap sang bos dan duduk: "Ngomong-ngomong... tadi kau mau bicara?"
"A... aku... aku cuma... ti-tidak ada..."
"Santai saja, bersahabatlah... Jangan galak seperti dia, juga jangan terlalu kaku. Kalau kita ngobrol, kau akan tahu aku ini orangnya santai..." Jiaming mengulurkan tangan menepuk bahunya. Karena tangan yang dipakai menepuk masih memegang pistol, bahu sang bos bergetar kaget. "Aku mau tanya, mobil penuh orang ini mau ke mana?"
"Ke... ke-ke-ke... ke Jianghai..."
Belum selesai bicara, Jiaming mengayunkan pistol disertai tamparan. Darah segera mengalir di dahi sang bos. Dia menarik kembali tangannya dengan pandangan kesal.
"Kau tidak memperhatikan perkataanku... Sudahlah, aku malas berdebat panjang. Pergi ke Jianghai untuk bernegosiasi dengan Shazhu Bang?"
"Ya... ya..."
"Kau ingin berdagang narkoba?"
"Tidak..." Baru keluar separuh kata, tamparan tiba-tiba kembali mendarat. "Ya... ya ya ya ya ya..." Ia mengangguk mati-matian.
"Harus jujur... Dunia macam apa ini? Hal buruk seperti ini kaukatakan dengan lantang. Kau membuatku sedih, tahu? Tentang perdagangan narkoba, kurasa..."
Setelah lama berpikir dengan kerepotan, dia meraih rambutnya. "Tentang narkoba... itu tidak baik, itu salah. Kau mengerti?"
"M-mengerti... Aku berhenti..."
"Lagi? Yang paling penting?"
"Apa... yang mana?"
Prak! Tamparan kembali bergema. Jiaming menekankan: "Pikir lagi!"
"Aku..." Sang bos berpikir lama, akhirnya mengangkat kepala. "Aku tidak ke Jianghai. Tidak akan!"
Balasannya adalah senyum cemerlang. Jiaming mengeluarkan saputangan, menyeka sidik jari di pistol dengan riang. Diambilnya tangan sang bos, dipaksakan pistol ke genggamannya. "Lihat? Kau paham. Aku tersentuh." Tepukan hangat mendarat di wajah garang itu.
"Berjalan beberapa langkah, dia menoleh ke belakang. Sang bos mungkin sedang berpikir apakah harus menembak dari belakang, tiba-tiba terkejut sampai hampir menjatuhkan pistolnya: 'Ngomong-ngomong, lihat mobil yang berantakan ini... Kau tahu ini seharusnya tidak ada hubungannya denganku, kan?'"
"Ti-Tidak, tidak apa-apa... Ini salah kami sendiri yang ceroboh..."
"Oh iya, kenapa bisa ceroboh begitu... Meskipun kita semua berkecimpung di geng kriminal, tidak boleh sembarangan seperti ini. Kalau begitu... Tahu cara menangani mayatnya kan?"
"Ta... Tahu..."
"Kalau begitu tidak akan mengganggu para bos lagi."
Dengan senyum manis, sang pemuda membungkuk lalu turun dari depan mobil. Bayangan mengerikan itu melambaikan tangan di jalan sebagai salam perpisahan. Beberapa saat kemudian, mobil menyala dan melaju menuju arah Ningbaru. Hingga saat ini, seluruh bus masih terpaku dalam suasana ketakutan yang mencekam, tak seorang pun berani bergerak...
Kendaraan melesat cepat. Angin dingin menerobos masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Lampu jalan bergerak mundur cepat dalam jarak pandang. Dia mengulurkan satu tangan merasakan dinginnya malam, kegilaan dan kegelisahan dalam pikirannya sedikit mereda setelah pembunuhan tadi.
Tiba-tiba, telepon berdering. Itu telepon dari Yahan.
## Bagian Tiga Ratus Delapan Puluh Dua: Keluarga
Sekitar satu jam lagi menuju Kota Ningbaru, Jiaming mengurangi kecepatan saat menerima telepon Yahan.
"Lingjing dan Shasha mencarimu, sekarang mereka ada di sini. Kamu lari ke mana?"
"Eh..."
"Tidak dengar jelas, kalau tidak biar Lingjing yang bicara denganmu!" Suara Yahan di telepon terdengar sangat marah, "Pergi keluar bahkan tidak pamit, kamu sudah bosan hidup?! Dua cewek ini sampai mau nangis, mengira kamu kabur dari rumah karena marah. Di mana pun kamu sekarang, segera kembalikan mobilku dengan baik!"
"Itu... Aku tahu, mungkin butuh sekitar satu jam lagi..."
"Jangan bilang ke aku, bilang saja ke mereka berdua!"
Di ujung telepon terdengar suara gesekan, kemudian jelas dua perempuan mendekatkan diri ke mikropon. Suara Lingjing masih terdengar normal: "Halo, Jiaming..." Sementara suara Shasha terdengar gugup: "Jiaming... Kamu di mana..."
"Hehe, aku cuma jalan-jalan, tidak ada masalah. Sekarang sudah keluar kota, pulang mungkin butuh satu jam lagi..."
Mendengar tidak ada kemarahan dalam suaranya, Shasha mulai tenang: "Hehe, kami cuma penasaran kamu ke mana. Tidak ada masalah kok. Kalau kamu sibuk tidak perlu buru-buru pulang, haha..." Tertawa yang berusaha menutupi sesuatu terdengar di telepon. Sebenarnya kedua perempuan ini tahu cara menghubungi Jiaming. Jika cuma ingin bertanya, cukup telepon dari rumah. Ngapain harus ke tempat Kakak Yahan lalu minta orang lain menelepon untuk menguji, Jiaming menginjak rem.
"Tidak apa, aku balik sekarang. Kalian main dulu di tempat Kakak Yahan saja. Aku sekalian beli kacang chestnut goreng gula untuk dibawa pulang."
“Baik, datang lebih awal... Aaaaa…” Lingjing menjawab lembut di seberang, tiba-tiba menjerit kencang. Dari telepon terdengar tawa gesekan dedaunan, disusul suara Prak-prak berantakan sebelum akhirnya mati. Entah bagaimana lagi dua cewek itu berkejaran. Jiaming menghentikan mobilnya, tersenyum memandang hamparan bintang di luar jendela. Arah Xinning, lampu jalan berkelok seperti ular dalam kegelapan malam.
“Zhao Zhenhai... untung kamu…”
Bergumam pelan, dia memutar kemudi tajam, melesat kembali ke arah semula.
Saat tiba di villa Yahan sudah lewat sepuluh malam. Yahan dan Shasha sedang main game fighting di depan TV. Lingjing memasak mi sup daging iris sebagai makan malam di dapur. Begitu pintu terbuka, aroma sedap langsung menerpa. Tak lama, bantal peluk dari arah Yahan melayang: “Akhirnya kamu pulang juga!”
Ucapan ini agak menggoda, tapi saat ini Lingjing dan Shasha jelas tak ambil pusing. Shasha yang paling garang duduk di depan mesin game sambil mencibir. Yahan yang skill gamenya lebih rendah segera kendalikan karakternya untuk menghajar Figuran Shasha sampai jerit-jerit. Dari dapur Lingjing mengacungkan pisau dapur, melotot ke arahnya. Sadar posisinya jadi bulan-bulanan, Jiaming mengangkat kantong kertas: “Batuk... kacang chestnut goreng gula favorit kalian… Shasha ayo lawan Kak Yahan sebelum dia manfaatkan kesempatan ini untuk mengalahkanmu…”
"Dengan begitu dikatakannya, Shasha baru tersadar, melotot padanya lalu berbalik tubuh bermain-main riang dengan Yahan. Sementara Jiaming meletakkan kantong kertas, menuju dapur untuk membantu Lingjing mempersiapkan makan malam."
"Sudah tahu salah kan, jadi takut... Kalian bertengkar lagi lain kali, mungkin aku benar-benar kabur dari rumah..."
Merangkul Lingjing dari belakang, Jiaming tersenyum berkata demikian. Reaksi yang muncul tentu perlawanan setengah tertawa setengah kesal dari Lingjing.
"Jangan macam-macam, Kakak Yahan ada di sini. Lagipula... Hmph, bukan salahku..."
Meski konflik sementara teralihkan karena Jiaming, bukan berarti kedua gadis itu telah sepakat. Bermain di rumah Yahan hingga larut malam, dalam perjalanan pulang, Lingjing dan Shasha tak lagi membahas rencana pindah. Bertahun-tahun bersama, ini keluarga sejati. Perbedaan pendapat takkan menciptakan permusuhan.
Dengan menghindari topik itu, mereka terus bercanda sampai naik ranjang tidur, bertiga pura-pula tak terjadi diskusi sebelumnya. Menjelang pagi, Jiaming terbangun dari mimpi. Jam elektronik di sampingnya memancarkan cahaya fluoresens samar - pertanda ada informasi baru masuk ke komputernya.
——Diam-diam bangkit dari ranjang, sampai di rumah kecil yang awalnya berfungsi sebagai gudang barang, baru menyadari informasi ini sebenarnya berasal dari Tenku Masaoka. Setelah menatapnya cukup lama, tanpa sadar mengerutkan alis. Beberapa saat kemudian, dari sana kembali mengirim pesan: "Kuhitung kau pasti sudah bangun, sudah selesai membacanya?"
——Sudah. Setelah kasus Yoritomo Taku dan Tak terhitung dewa-dewa, Pei Luo Jia telah memberi tanda "sementara tidak boleh diuji" pada Jianghai dan Jian Suyan. Aku juga kurang lebih tahu, tapi hal seperti ini bisa diubah kapan saja. Apakah sumber kabar ini bisa diandalkan?
——Orangnya seharusnya bisa dipercaya, tapi keandalan informasinya masih perlu dikaji. Mata-mata yang kita tempatkan menganggap ini kesempatan langka, sehingga nekat membawa kabar itu keluar dengan risiko MATI. Peristiwa Pangeran tahun lalu bisa dianggap kerugian terbesar Pei Luo Jia belakangan ini. Lagipula menggunakan kekuatan sebesar itu dalam operasi keseluruhan, benar-benar tindakan bodoh. Kalau tidak, setidaknya bisa mengambil kembali sebagian hasil. Kami juga pernah mendiskusikan hal-hal ini. Sebenarnya aku juga berharap Morikami Kura sudah sebodoh itu, tapi dari pengamatan bertahun-tahun, memobilisasi banyak anggota untuk membantu Pak Pangeran itu, lalu membiarkan mereka hancur total di sini, sungguh tidak seperti gaya paman ini.
Jiaming terdiam sejenak. Pertempuran yang terjadi karena Pangeran pada paruh kedua tahun lalu memang terasa aneh. Pembunuh berbeda dengan prajurit atau tentara bayaran - jumlah yang banyak tidak serta-merta meningkatkan kekuatan. Mengirim 4-5 orang untuk membunuh Fang Zhitian atau 40-50 orang untuk misi pembunuhan sebenarnya tidak berbeda signifikan. Seperti dalam peristiwa Kapal Star Dream, Pei Luo Jia hanya menjadi perantara, sementara pelaku sebenarnya adalah para pelarian yang tergiur kekayaan. Saat Tak terhitung dewa-dewa datang ke Akademi Hati Kudus, mereka tidak membawa gerombolan pembunuh melainkan memimpin pasukan tentara bayaran. Namun dalam urusan Pangeran, Pei Luo Jia menggunakan para pembunuh layaknya prajurit biasa. Memang bisa diasumsikan bahwa karena Pangeran memiliki kekuatan besar, Pei Luo Jia mengirim banyak orang sebagai bentuk kesungguhan. Tapi pada kenyataannya, para pembunuh gagal memainkan peran penting, akhirnya saling tidak percaya dengan Pangeran, dan hanya menjadi umpan peluru. Tanpa pemimpin yang kompeten, keunggulan jumlah tidak berarti apa-apa, dan Pei Luo Jia tampak membiarkan situasi ini. Menurut pemahaman Jiaming tentang Morikami Kura, sulit dipercaya bahwa Morikami Kura adalah orang sebodoh itu. Tapi...
——Kalau dipikir-pikir, di bawah manajemen Morikami Kura, masih ada yang bisa menggunakan pergelangan tangan licik untuk melewati level atas dan mengeluarkan perintah palsu atas namanya...
——Hal sebesar ini ingin disembunyikan dari mata Morikami Kura dan bermain curang diam-diam, kemungkinan kejadiannya tidak tinggi. Tapi jika benar demikian, itu membuktikan pasti ada masalah besar di internal Pei Luo Jia. Karena inilah, selama lebih dari setengah tahun terakhir, Morikami Kura bisa menyuruh orang menyelidiki diam-diam, bahkan para pimpinan Pei Luo Jia pun tidak tahu detail peristiwa ini. Tentu saja, kau juga harus waspada.
Hubungan antara Pei Luo Jia dan [] sekarang memang sudah tidak bisa didamaikan. Menggunakan jurus seperti ini untuk menghasut konflik kedua belah pihak sebenarnya tidak bermakna. Jika mereka punya tujuan tertentu, mungkin ingin memperkeruh konflik antara Pei Luo Jia dengan Jian Suyan dan Dark Celeste. Sampai di sini, Tenku Masaoka di sisi komputer mungkin masih ragu-ragu, tapi Jiaming di sini terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut. Jika kabarnya benar, orang yang diam-diam bermain api seperti ini mungkin hanya...
Setelah duduk merenung di ranjang kecil beberapa saat, menghitung dampak peristiwa ini, cahaya lampu dari balkon menyembul. Ada suara gesekan halus dari sebelah. Tak lama kemudian, gadis yang membawa kopi muncul di pintu, kali ini adalah Shasha yang mengenakan piyama. Setelah menerima kopi dan meletakkannya di meja, Jiaming mengulurkan tangan merangkulnya dalam pangkuan, lalu membungkusnya dengan selimut.
"Ada apa? Tidak bisa tidur?"
"Cuma sadar kau bangun..."
"Wah, hebat. Shasha juga sudah sampai usia susah tidur ya..."
“Heh, jangan kau anggap aku seperti putrimu dong…” Dengan dahi menempel di dada Jiaming, Shasha tersenyum sambil menyenggolnya, “Aku juga bisa mikirin hal-hal serius lho!”
“Hmm hmm, paham, paham.” Jiaming mengangguk sambil tersenyum manis.
Melihat senyumnya yang tak bersungguh-sungguh, Shasha menyenggolnya lagi. Matanya menatap kosong ke layar komputer yang penuh dengan hal-hal tak dikenalnya. Setelah lama terdiam, akhirnya dia berkata: “Hei, Jiaming... Apa selama ini aku memang terlalu kekanak-kanakan? Selalu merepotkan kau dan Lingjing?”
Jari Jiaming yang sedang menggerakkan mouse berhenti. Dia menjepit pipi gadis dalam pangkuannya: “Kenapa tiba-tiba bahas ini?”
“Hari ini aku ngomongin soal pindah keluar, bikin kalian berdua nggak nyaman...”
“Kalau itu sih, menurutku…” Jiaming berpikir sejenak, “Nggak sampai level nggak nyaman sih...”
“Terus level apa dong?”
“Kegelisahan mungkin. Kayak kegelisahan remaja yang katanya buku, kegelisahan hidup… Semua orang pasti ngalamin. Tapi ini bukan salah siapa-siapa…” Tangannya mengetik cepat sambil menyesap kopi.
“Aku pengen ngelakuin sesuatu yang berarti, tapi nggak tau harus mulai dari mana…” Suara Shasha lirih. “Dulu waktu pertama kenal, kau masih kecil banget. Suka banget dijahilin. Waktu itu aku selalu merasa jadi kakak pemimpin yang melindungi kalian. Tapi pelan-pelan, kalian nggak butuh perlindungan lagi… Sebenarnya dari dulu juga nggak pernah butuh. Aku jadi kayak orang bodoh aja…”
“Aku tidak semuda itu kan……” Jiaming bergumam pelan. Tapi kalau dipikir, Shasha lebih tua setahun darinya, perkembangan cewek juga lebih cepat dari anak laki-laki, jadi wajar kalau dia punya kesan seperti itu.
“Nggak bisa masak, pelajaran juga biasa aja, ceroboh, nggak anggun dan tak bisa melindungi siapa pun, semua hal selalu kau dan Lingjing yang menjaga aku……” Shasha bergumam kecil, “Lingjing lebih baik dariku dalam segala hal, dia bahkan sudah tahu mau jadi apa, sampai rencana masa depan pun sudah dia susun……Waktu dia cerita tentang rencana hidupnya, aku juga mikirin diri sendiri. Tapi nggak nemu yang cocok. Lingjing mau bareng kamu sampai rela nggak main kecapi demi jadi dokter atau perawat. Tante Duan sendiri kan dokter, Lingjing dari kecil juga terpapar peradaban, karakternya baik, sekarang mau jadi perawat pasti lolos. Tapi aku? Aku nggak bakal jadi dokter bagus, disuruh jadi perawat juga takut nyuntik orang……Pokoknya nggak bisa apa-apa……”
“Setelah papanya MATI, dia meninggalkan Shazhu Bang. Aku tahu kau dan Lingjing tidak terlalu suka Jalan Hitam. Pertama kusuruh Shazhu Bang dilarang berdagang narkoba, tapi lama-lama... Kupikir sudah ada pondasi di depan mata. Mulai pelan-pelan mengenal hal-hal ini, lalu perlahan membuat Shazhu Bang membersihkan diri jadi bisnis legal. Saat itu aku sudah bisa mengelola semuanya... Tapi aku juga tahu, kalau terus-terusan kau dan Kakak Xiao Meng yang mengatur, aku pasti mustahil bisa... SMA boleh manja, bahkan kalau berhasil masuk kuliah pun masih boleh manja. Tapi setelah kuliah? Apa aku harus terus-terusan manja di depanmu dan Lingjing? Lambat laun kalian pasti jengah...”
Dia mengencangkan selimut di pangkuan Jiaming: “Aku suka kalian berdua. Tidak mau dibenci...”
Jiaming menepuk pelan-pelan sambil tersenyum: “Sebenarnya, kalau mau di-mesra-in, aku tahu ada tipe orang yang harus memberi tanpa syarat. Tak peduli kau hebat atau tidak, bisa masak atau tidak, berbakti atau tidak, paham perasaan orang atau tidak - mereka harus menerima tanpa syarat. Saat kau punya masalah, tinggal lempar ke mereka. Mau petualangan, mereka cari cara bantu. Bahkan kalau gagal dan tak bisa maju, asal kau menoleh, mereka pasti masih menunggu di tempat untukmu pulang...”
“Pacarku ya?”
“Keluarga，lebih bisa diandalkan daripada pacar，yaitu si ganteng di hadapanmu dan si cantik yang sedang tidur di ranjang besar sebelah，jadi menurutku kekhawatiranmu sama sekali tidak perlu.”
Mungkin merasa ucapan ini terlalu mesra，Shasha tersenyum，pipi menempel di pangkuannya lama tak mau keluar：“Tapi kurasa kalau aku terus bersikap begini，pasti suatu hari nanti akan dibenci juga...”
“Jaminan tidak membencimu...” Jiaming memandangi gadis yang meringkuk di pangkuannya，berhenti sejenak，pandangannya menjelajahi kamar yang familiar ini，“Hanya ingin memberikan perlindungan abadi...” Saat nyeri halus di kepalanya mengganggu saraf，ia berbisik lembut.
“Bualan... Janji di saat seperti ini tidak bisa dipercaya...” Shasha bergumam puas，“Tapi... baiklah，aku juga tahu cewek bercita-cita jadi kakak pemimpin Jalan Hitam itu kacau，Jiaming kalau kau tidak mau aku lanjutkan，aku akan berhenti urusi Shazhu Bang，belajar serius，kuliah di universitas bagus，gitu ya...”
Jiaming tertawa，setelah beberapa saat baru membuka mulut：“Sekarang... cuma bisa memikirkan satu hal ini yang ingin dilakukan?”
“Err...” Shasha tertegun，menoleh bingung memandangi Jiaming，“Yah，kurasa begitu，lagipula aku memang tak punya cita-cita... Tapi sudahlah，aku sudah putuskan berhenti，pikiranku memang selalu tidak karuan，apa yang terlintas ya dilakukan，mungkin setahun dua tahun lagi sudah tidak mau lagi，sampai-sampai kuliah pun tak sempat...”
“Kalau begitu lakukan saja.” Jiaming meletakkan mouse, membungkuk rendah dan memeluk erat Shasha dengan kedua tangan, “Kalau nanti sudah tidak ingin melakukannya lagi, baru kembali ke sini dan menangis di hadapanku.”
## Bagian 383 Pemilihan
Demikianlah, setelah lebih dari satu minggu, Shasha akhirnya pindah keluar.
Sebenarnya kalau dikatakan pindah sepenuhnya tentu tidak juga. Shasha tetap pergi sekolah setiap hari, siangnya bersama Lingjing dan Jiaming baik di kampus maupun kembali ke kamar sewaan untuk makan. Mereka berjanji Shasha harus kembali menginap saat tidak ada urusan. Hanya saja di markas besar Shazhu Bang, kamar Liu Zheng yang dulu sudah ditata ulang. Setiap malam Shasha belajar mengelola berbagai urusan Shazhu Bang di sana.
Menerima hal ini dengan tenangnya Lingjing tentu berkat persuasi Jiaming. Meski teknik menggerakkan hati dan menjelaskan logika bukan keahlian Jiaming, namun dengan kedekatan hubungan mereka, banyak hal sebenarnya tidak perlu dukungan logika. Bahkan omong kosong sekalipun, jika keluar dari mulut Jiaming akan tetap berguna berkali-kali lipat dibanding pendapat orang lain.
Di sisi lain, keinginan Shasha telah terpenuhi. Waktu di sekolah justru menjadi sangat serius, berusaha menunjukkan pada Lingjing bahwa dia bisa menyeimbangkan geng dan pelajaran. Semangat ini tentu patut dipuji. Usaha gadis yang darahnya mendidih ini membuat Lingjing terkesan. Namun mengingat prestasi akademik Shasha sebelumnya tidak terlalu bagus, ditambah setengah tahun terakhir SMA harus menyisihkan malam hari untuk mempelajari operasional Shazhu Bang, apakah nanti bisa masuk kuliah masih sulit diprediksi.
Meski berhasil dibujuk Jiaming dan menyetujui rencana Shasha pindah ke wilayah Shazhu Bang selama setengah tahun ini, Lingjing tidak serta merta merasa senang. Hari itu ketiganya bersama-sama merapikan kamar di Shazhu Bang, membeli berbagai barang kebutuhan pokok, bahkan menyimpan persediaan makanan cepat saji hingga mirip persiapan menjelang ledakan nuklir sebelum Lingjing merasa cukup tenang. Namun, saat kembali ke rumah dan menghabiskan waktu berdua dengan Jiaming di malam hari, bayangan kesepian tetap terpancar dari raut wajahnya.
"Sebenarnya, hidup berdua saja yang bisa disebut hubungan pasangan normal kan? Tapi sekarang Shasha tidak di sini, aku selalu merasa seperti ada yang kurang... Orang ini, apa hari ini Shazhu Bang memang ada urusan? Kenapa harus ikut ke sana... Menurutku dia cuma ingin mencoba sensasi tinggal sendiri yang baru..."
Suara riuh rendah dari jalanan di bawah gedung dan dentuman suara TV yang keras memenuhi ruangan. Setelah makan malam, Lingjing yang baru saja pulang sekolah dan berpisah dengan Shasha mulai menggerutu. Secara usia, keduanya bahkan belum genap delapan belas tahun. Dari penampilan luar, Lingjing masih memancarkan aura gadis polos bak kristal yang jernih, namun gaya mengomelnya saat ini persis seperti ibu matang yang khawatir akan pemberontakan anaknya.
"Inilah yang disebut perasaan satu keluarga ala pasangan suami-istri tua. Sebenarnya kita bertiga sudah terbiasa hidup bersama. Dulu mengira ini tidak normal, tapi sekarang justru jika dipisah jadi berdua-dua, malah bakal sulit beradaptasi..." Jiaming berkomentar sambil menoleh tersenyum.
“Kalian pria sangat suka seperti ini ya.” Lingjing memicingkan matanya, “Dua cewek mengikutimu, tidak mengeluh tidak cemburu, berpisah bahkan masih merasa tidak nyaman. Aku bilang kenapa yang mengeluh malah aku, kenapa aku yang bersikeras melarang dia pindah lalu menyuruhmu jadi penengah? Yang seharusnya khawatir dan tidak nyaman kan kamu!”
“Batuk...” Jiaming canggung menjepit hidungnya, “Ini... sepertinya kita butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan kehidupan berdua ini...”
“Shasha kan bukan tidak pulang tinggal, bukannya dia bilang akan sering kembali kalau ada waktu?”
“Bilang sih begitu. Tapi semangatnya sekarang yang ingin menyelesaikan urusan Shazhu Bang dalam setengah tahun, lalu ikut kita kuliah, menurutmu berapa banyak waktu yang bisa dia luangkan? Apalagi... perasaan ini, sekarang ini kan suasana dunia berdua, dulu Shasha juga pernah tinggal di tempat lain, kenapa waktu itu tidak merasa kehilangan... Akhirnya Shasha tetap pindah keluar...”
Lingjing tertegun, akhirnya mengendurkan bahunya: “Pokoknya... tidak terlalu suka perasaan begini...” Dia menarik napas dalam-dalam, “Aku saja belum siap...”
Jiaming tertawa: “Lalu kapan dulu yang kamu persiapkan itu?”
“Setelah lulus kuliah ya.” Lingjing mengangkat bahu, “Meski sudah kuliah, kami bertiga pasti tetap bersama... Awalnya kupikir begitu, tapi sekarang setelah melihat banyak kampus. Spesialisasi kami bertiga belum ditentukan, mungkin sekota saja sudah bagus, setidaknya bisa tinggal bersama... Ngomong-ngomong Jiaming, beneran mau jadi dokter bedah? Ibu selalu bilang kamu harus ambil itu, tapi dia tidak mau memaksa, cuma saran saja. Kamu sih selalu santai, menurutku pilih jurusan yang paling disukai saja...”
“Tetap dokter bedah, tidak perlu mikir banyak.” Jiaming mengangguk sambil tersenyum, “Profesi ini cocok untukku, aku juga suka.”
“Kalau gitu sudah diputuskan! Sekarang tinggal urusan Shasha... Aku langsung gemetar setiap ingat dia...” Ekspresi manja kesal muncul di wajah Lingjing, tangannya cepat-cepat memasukkan sampah ke kantong plastik, lalu menyerahkan tas itu ke Jiaming yang sedang duduk di sofa menahan tawa, “Nah, jangan cuma nonton, buang sampah dong, Tuan Besar.”
Jiaming menarik tangannya: “Pergi bersama.”
“Ini juga harus kutemani?!” Lingjing tertawa.
“Jalan-jalan, berdua saja, tidak asik ya?”
“Dulu juga sering berdua kok.”
“Waktu itu masih dunia bertiga, beda. Ayo ayo.” Jiaming langsung menariknya hendak keluar, Lingjing buru-buru melawan: “Tunggu sebentar, aku ganti baju dan sepatu dulu.”
Keluar dari rumah, di luar senja telah sepenuhnya tiba. Lampu jalan di kedua sisi jalan dan lampu rumah warga satu per satu menyala. Beberapa keluarga baru mulai makan. Orang pulang kerja, yang sedang jalan kaki, atau mahasiswa yang pulang terlambat setelah sekolah bercampur menjadi satu. Mereka berdua membuang tas ke tempat sampah di persimpangan, lalu berjalan menyusuri jalan hingga sampai ke Plaza Akademi Hati Kudus yang ramai, kemudian masuk ke jalan di sisi lain. Lingjing menggandeng tangan Jiaming. Meski di sekitar juga ada pasangan mahasiswa yang berjalan bersama, tapi kemesraan selaras seperti mereka berdua benar-benar tak ada duanya. Jika tidak terlalu norak, ya terlalu labil. Anak-anak tetaplah anak-anak, belum mengalami pencucian hidup, selalu kekurangan rasa yang abadi.
"Ngomong-ngomong memang iya juga ya, sejak kecil kita bertiga selalu bersama. Sekarang rasanya hanya kita berdua yang jalan-jalan, Shasha di tempat tinggal lain sama sekali tidak tahu. Terasa... aneh. Kita bertiga sejak awal kenal... benar-benar hampir tak pernah berpisah kan? Meski kamu pulang ke keluarga Huang saat tahun baru, atau waktu ke Amerika itu, ketika Shasha atau aku liburan sendiri, tetap terasa seperti semua masih bersama. Sudah kenal kamu sejak enam tahun..." Memandangi arus mobil yang lalu lalang, gadis cantik itu mengusap rambut di dahinya.
"Memori sebelum tertembak di usia sepuluh tahun... memang agak tidak jelas ingatnya..."
"Benar juga sih, tapi kalau dihitung dari usia lebih dari sepuluh tahun, sampai sekarang sudah hampir tujuh tahun. Tak lama kemudian kami kenal Sha Sha, banyak kejadian yang terjadi..." Lingjing berkata sambil menempelkan dahinya di bahu Jiaming.
"Kalau dipikir-pikir, waktu itu kalau tidak ada botol anggur merah Paman Liu, mungkin kita bertiga akan tetap berteman sampai masuk masyarakat? Hmm... Lalu mungkin kalian akan menemukan orang yang disukai, kita akan jadi sahabat selamanya..."
"Gak mungkin." Lingjing tersenyum manis. "Menurutku meski tanpa anggur itu, aku mungkin tetap akan berbaring di ranjangmu. Sha Sha juga mungkin begitu. Cuma kalau semakin lama, masalah antara kita makin rumit. Bisa-bisa kita malah bertengkar. Aku dan Sha Sha mungkin bahkan gak bisa berteman... Waktu itu aku sudah suka padamu, Sha Sha juga tahu. Tapi sebenarnya dia juga suka padamu, cuma dia gak ngomong. Kamu tahu kan, Sha Sha dulu selalu merasa jadi kakak pemimpin. Dia bahkan bersumpah mau membantuku supaya kamu suka padaku. Tapi kemudian dia bilang kalau dia juga suka padamu waktu itu. Cuma karena masih kecil yang belum paham, jadi gak terlalu dipikirin. Kalau enggak, pasti dia bakal stres..."
"Nah, aku gak tahu kalau pesonaku sehebat itu..." Jiaming menggaruk hidungnya dengan malu-malu.
“Aneh juga kalau dipikir-pikir, kau kan tidak ganteng, sifat aneh kadang suka bertindak sembarangan——Hehe, tentu saja ini pendapat orang lain ya, tapi kami sudah tinggal bersama begitu lama, akhirnya jadi suka. Dulu waktu aku dan Shasha masih cewek cantik, ke mana-mana dipuji, surat cinta juga pernah dapat, ada yang confess juga. Kau berani bilang kalau kita tumbuh besar bersama, pasti tidak ada perasaan sama sekali ke kami?”
“Menurutku kemungkinan besar aku akan merasa minder dan menyimpan perasaan ini dalam hati, tidak berani mengatakannya.”
“Nah, kan!” Lingjing tersenyum cemerlang, “Kalau sampai saat itu kami bertiga saling suka, itu akan jadi tragedi. Coba bayangkan saja sudah bikin hati sakit. Mau pilih aku atau Shasha, yang satu pasti tidak akan bahagia. Kalau semua saling khawatir malah tidak bisa bersatu... Perasaan seperti ini hanya dibayangkan saja sudah tidak nyaman. Jadi sekarang kelihatannya, minuman baijiu saat lulus SMP itu benar-benar akhir terbaik.”
“Uhh, menurutku kalau aku tahu pikiran kalian berdua, mungkin aku akan tetap memaksa untuk membuat kita tinggal bersama bertiga.”
“Hehe, kau memang tidak bisa melakukannya. Sejak kecil, pemikiranmu selalu menyimpang. Baik keluarga Huang, Guru, maupun orang-orang di masyarakat, kamu tidak pernah memberi muka siapa pun. Tapi pada aku dan Shasha, kau selalu berhati-hati, tidak mau melakukan hal yang sedikit pun memaksa. Seperti saat Shasha pindah kali ini, jika orang lain pasti akan berusaha mencegahnya. Aku tahu persis, Shasha paling menganggapmu penting. Jika kau bilang tidak boleh, dia pasti langsung menurut. Tapi kau bahkan tidak punya keinginan untuk mencegahnya, langsung menyetujui sejak awal, lalu malah menggelepariku... Dari kecil sampai besar, kamu basically tidak pernah berubah...”
Jiaming mengangkat bahu: “Kalau begitu, justru kamu yang semakin tidak imut...”
“Apa yang kau omongkan!” Menggigit bibir, Lingjing mencubit tangan pria itu dengan keras, nada suaranya penuh ancaman.
“Matang ya.” Jiaming tersenyum, “Aku kadang melihatmu bersama teman sekelas di kampus, langsung berpikir, ah, Lingjing sudah jauh lebih matang. Cantik, santai, beraura. Saat kau bicara, orang lain mendengarkan dengan serius, bahkan lebih hebat dari Kakak Yahan... Sebenarnya pertama kali naik panggung kau juga tegang. Saat kecil setiap kali tampil di pertunjukan, atau kita ikut turnamen pertarungan, kau selalu gugup. Aku masih ingat kejadian waktu itu, saat kita baru mulai tinggal bersama. Setiap hari terasa segar. Ah, iya, Malam Natal itu saat aku menyanyikan Dongfeng Po, di perjalanan pulang kau meniru cara bicara Dongfang Lu... Dulu kau adalah calon istri yang dipelihara sejak kecil Jiaming, sekarang jadi istri muda Jiaming. Setiap malam harus menemaniku tidur, sudah dipakai berkali-kali, bunga layu tak berharga. Senior Dongfang, kau orang baik. Aku tak pantas untukmu... Hehe...”
Lingjing menunduk, ragu beberapa saat: “Karena sudah tidak segar, tidak imut, jadi kau tidak suka lagi?”
“Tidak, malah lebih kusukai. Sukanya tak terungkap, tak bisa kaubayangkan...” Jiaming merangkulnya, berhenti sebentar, “Kapan pun, aku akan ingat jelas. Sebenarnya dibanding perasaan waktu itu, kurasa aku lebih menyukai keakraban sekarang ini... Ah...”
“Bilang aku tidak imut.” Lingjing menyundul keras pipi pria itu. “Sudah lebih dari dua tahun tidur bersamamu, apa lagi yang belum kau lihat? Kalau aku masih berpura-pura manis di hadapanmu, bukannya kau akan muntah melihatku? Kemanisan ini bukan untukmu. Saat urusan luar butuh senyum manis ke paman-paman aneh dan tante-tante mencurigakan, barulah daya pikat ini berguna...V...” Gadis itu mengacungkan dua jari, menyunggingkan senyum polos nan mematikan yang layak menghiasi papan iklan. Sepasang kekasih yang lewat terpana, sang pria menoleh tak berkedip selama beberapa detik sebelum dicekik jerit oleh pacarnya.
Jiaming mencubit lembut pipinya. Lingjing merangkul pinggang Jiaming sambil tertawa geli. Setelah berjalan beberapa langkah, Lingjing mengulurkan tangan memanggil taksi: “Aku tak ingin pulang. Mari kita jenguk Shasha bersama.”
Maka, di hari pertama berpisah, ketiganya malah tidur semalam di kamar sisi Shasha. Keesokan harinya tetap pergi sekolah bersama. Baru saja berpisah, sebenarnya mereka semua mulai merasa kurang nyaman. Setelah sekitar lebih dari setengah bulan saling menyesuaikan, kebiasaan baru mulai stabil. Sesekali Shasha pulang ke rumah, separuh waktu makan malam di kamar sewaan, separuhnya makan di luar. Lingjing dan Jiaming justru semakin sering ke Shazhu Bang. Kadang jika bermain sampai larut, seperti biasa merekaberdesakan di satu ranjang bersama Shasha. Lagipula selama dua tahun ini mereka sudah terbiasa berdesakan, 3P dimainkan dengan mahir. Perpisahan singkat ini justru memberi sensasi seperti pengantin baru. Kadang malam di rumah, Lingjing yang merasa terlalu mendominasi Jiaming, langsung menendangnya ke geng untuk menemani Shasha.
Dalam masa bolak-balik ini, Shasha mulai memahami alur kerja Shazhu Bang. Selanjutnya tinggal pengalaman manajemen nyata saja, yang melibatkan banyak alasan sebenarnya yang gelap dan sulit diungkap. Awalnya Jiaming menyuruh Xiao Meng menyembunyikan hal ini dari Shasha, kini semuanya terbongkar. Meski tak tahu guncangan seperti apa yang terjadi dalam hati Shasha, dari sikapnya setidaknya untuk sementara belum terlihat niat mundur.
Sambil mempelajari urusan Jalan Hitam, efisiensi persiapan ujian masuk perguruan tinggi tidak terlalu tinggi. Namun berkat usaha Sha Sha, nilainya setidaknya lebih baik dibandingkan saat dia malas-malasan dulu. Tapi, beberapa kali Jiaming datang sendiri, dia menemukan Sha Sha justru antusias belajar memasak. Dengan semangat dia belanja banyak bahan di supermarket untuk dipraktekkan ke Jiaming. Mungkin karena Lingjing dan Jiaming sedang dalam dunia berdua, Sha Sha juga mulai tertarik dengan kehidupan berdua. Sayangnya bakatnya di bidang ini kurang, akhirnya permainan masak-masakan yang menyakitkan ini selalu harus diselamatkan oleh keahlian Jiaming agar perut mereka berdua bisa kenyang.
Waktu terus bergulir melewati April 2000. Hingga pertengahan Mei, di suatu hari libur ketika Lingjing, Sha Sha, dan Jiaming sedang istirahat di Dojo Keluarga Ye, Yahan yang sedang berkunjung tanpa sengaja membicarakan sesuatu dengan Ayah-Ibu Ye: "Om, Tante, Lingjing sudah memastikan akan mengambil jurusan piano ya?"
"Sepertinya begitu. Dia belum bilang resmi, tapi kayaknya ada niat begitu."
Karena Lingjing selalu punya pendirian sendiri, dan pola asuh keluarga Ye yang tidak terlalu ketat, hal-hal seperti ini sepenuhnya diserahkan pada Lingjing. Setelah memanggil si gadis untuk dikonfirmasi, Yahan pun mengangguk.
“Kalau mau memilih piano, ngomong-ngomong aku ini sebenarnya Guru pembuka jalan Lingjing. Jadi begini... Bakat Lingjing dalam belajar piano pasti yang tertinggi yang pernah aku lihat. Dulu saat kuliah di Cambridge, aku kenal seorang Senior yang sekarang jadi salah satu manajer di Akademi Seni Musik Wina, Austria. Belakangan ini dia datang ke Jianghai... Jujur sih pendidikan di dalam negeri juga bagus, tapi kalau yang terbaik di seluruh dunia ya tentu Wina. Mereka punya penerimaan murid di Tiongkok juga, tapi kuotanya sedikit, alokasi per daerah... Heh, banyak alasan sebenarnya. Kalau Lingjing berminat, aku bisa langsung minta dia sebagai Teman untuk mengatur sesi wawancara, tidak perlu serius, Biarin saja main-main. Tentu studi di luar negeri ini hal besar, tapi meski tidak mau pergi, menurutku bimbingan darinya juga sangat membantu... Menurutku, Lingjing pasti lolos seleksi. Soal pergi atau tidak, semua tergantung keinginan Lingjing...”
Begitu ucapan itu keluar, Keluarga Ye langsung bersemangat. Lingjing mengerutkan alis, memandangi Jiaming dan Shasha sejenak tak tahu harus berbuat apa. Beberapa menit kemudian baru berkata: “Aku tidak ingin studi di luar negeri...”
## Bagian Tiga Ratus Delapan Puluh Empat Ujian
"Penolakan Lingjing terhadap usul studi ke luar negeri, sebenarnya sudah diperkirakan Yahan sebelumnya. Setelah mengajukan sekali, dia tak membahas lagi. Namun meski Yahan diam, pasangan suami-istri keluarga Ye belum tentu mau menyerah. Sebagai orang tua, mereka selalu memikirkan masa depan anak-anak. Meski biasanya membiarkan putrinya bebas, dalam urusan masa depan, mereka tak tahan untuk ikut campur. Dengan sikap teguh, Lingjing mendengar orang tuanya terus mengomel, akhirnya dengan marah dia kembali ke kamar. Keluarga Ye untuk sementara terpaksa memahami situasi lain terlebih dahulu.
Sebenarnya untuk studi ke luar negeri, hal yang perlu diselesaikan tidak sedikit. Paspor, aplikasi studi, dan sebagainya harus dipersiapkan. Banyak prosedur yang rumit. Tentu dengan koneksi Yahan, menyelesaikan ini semua hanya masalah mengucapkan sepatah kata. Setelah berdiskusi sepanjang sore, keesokan harinya Jiaming mengantar Lingjing ke pertemuan privat seorang musisi.
"Apaan sih, kan sudah kubilang nggak mau pergi. Jiaming, kenapa kamu juga ingin aku pergi..."
Karena hati tak nyaman, sampai di depan pintu hotel, wajah Lingjing tetap tampak muram.
"Tapi katanya ini pertemuan seniman paling top di Kota Jianghai. Beberapa pianis yang dulu kau sukai juga ada. Cuma dengar-dengar saja nggak apa-apa kan..."
"Apa kemarin papanya ngomong sesuatu ke kamu?" Lingjing berdiri di anak tangga sambil melotot padanya.
Jiaming mengelus rambutnya sebagai bentuk pengakuan: "Batuk, mereka sebenarnya... berharap kau punya lebih banyak pilihan."
“Kalau kau bagaimana, kau sudah tahu aku tidak punya rencana studi di luar negeri.” Lingjing sengaja tidak mengizinkan, “Kau jelas-jelas tahu pemikiranku, masih membawaku ke sini... Aku merasa seperti sedang dijual.”
Jiaming diam-diam menghela napas.
Di tepi jalan orang berlalu-lalang, mereka bertiga berdiri di tangga depan hotel. Setelah beberapa menit, Lingjing meliriknya dengan mata. Mungkin semalam juga mendapat tekanan dari orang tua, kali ini dia secara mengejutkan meluapkan sifat: “Aku benar-benar tidak mengerti pikiranmu, apa pun yang orang tua katakan kau ikuti. Aku senang kau menghormati mereka, tapi... kalau benar-benar lulus ujian dan aku dipaksa orang tua kuliah di luar negeri, bagaimana denganmu dan aku? Kau tidak peduli ya!”
Orang yang paling sabar pun punya tiga bagian kemarahan. Pria yang sudah tinggal bersama selama tiga tahun tidak memahami pikirannya. Meskipun ada maksud baik untuknya, Lingjing tidak bisa menekan mood saat ini. Jiaming mengangkat tangan: “Kalau begitu... jangan pergi...” Saat itu juga, Yahan keluar dari hotel: “Kalian sudah datang, jadi... masuk?”
Tidak tahu hasil diskusi mereka, Yahan memandang Lingjing lalu Jiaming. Jiaming tersenyum: “Itu... lebih baik tidak... Lingjing tidak mau pergi...” Sebelum selesai bicara, Lingjing malah berbalik: “Aku akan pergi... Kalau aku lulus lihat kau bisa apa...” Separuh kalimat terakhir diucapkan pelan, hanya Jiaming yang bisa dengar. Beberapa langkah kemudian dia menambahkan dengan suara lebih tenang: “Lagipula aku hanya melihat diskusi mereka, tidak perlu memetik... Kalau harus memetik juga akan kuselesaikan tidak karuan...”
“Ekspresi wajah Yahan terlihat sedikit terkejut. Melihat Lingjing mendekat dan berkata: "Kakak Yahan ayo kita masuk." Ia pun segera melambaikan tangan pada Jiaming: "Jiaming, ikutlah."
“Kalau begitu… aku tidak ikut masuk saja.” Jiaming melambaikan tangan dari tempatnya berdiri, “Aku akan belanja di supermarket seberang, menunggu kalian keluar.”
“Kakak Yahan jangan hiraukan dia.” Setelah mengucapkan itu, Lingjing masuk dengan penuh kekesalan. Yahan membuat beberapa gestur bertanya pada Jiaming sebelum akhirnya mengikuti.
Menyaksikan dua bayangan itu menghilang dari jarak pandang, Jiaming yang berdiri di tepi jalan menarik napas lega. Jarinya mengusap dahi, tangan lainnya menopang dinding luar hotel sambil berjalan perlahan. Saat tiba di gang kecil samping hotel, ia berhenti dengan satu tangan menempel di dinding. Pembuluh darah di pelipisnya menonjol seperti cacing tanah merayap.
Byur! Ubin di dinding hotel pecah ditinju. Beberapa saat kemudian, tinju berikutnya meninggalkan cap dalam di permukaan keras. Jiaming menunduk, “Wuah!” memuntahkan semua yang dimakan pagi tadi…
Lebih dari satu jam kemudian, Lingjing keluar dari hotel dan bertemu Jiaming dengan ekspresi frustasi.
“Ada apa?”
“Dipaksa memainkan satu lagu…” Lingjing menatap Jiaming dengan mata terbelalak, lama sekali baru memalingkan wajah, “Tapi beberapa guru di sana benar-benar memberi pencerahan, ya… andai saja… andai saja…”
“Mainnya tidak karuan ya?”
Lingjing mengangguk: "Ya, mainnya tidak karuan... Kamu yang menyuruhku datang!" Setelah mengucapkan kalimat ini, dia menendang tiang listrik di depannya dengan geram, sampai kesakitan mengusap betis sambil melompat-lompat. Jiaming tersenyum hendak menolongnya, tapi ditolak dengan kasar. Tiba-tiba terdengar teriakan "Aaaaa", Jiaming mengulurkan tangan ke bawah lututnya dan menggendongnya.
"Kau..." Saat itu mereka berada di jalan ramai. Pipi Lingjing memerah, tapi karena sedang emosi, dia tak peduli tatapan orang sekitar. Setelah beberapa kali mendorong gagal, dia mulai memukul Jiaming dengan tangan, siku, dan dahinya ke dada Jiaming tanpa henti: "Kamu yang suruh aku datang, kamu yang suruh... Sakit jiwa, otakmu kacau, babi, babi aaaaaa..."
"Aku juga ingin kau punya kesempatan tampil di depan para Master ini. Ini kan impianmu sejak dulu, setuju..."
"Pokoknya tak peduli, main asal-asalan juga pasti tidak lulus..." Setelah lelah memukul, dia melepaskan tangan dan menundukkan kepala, memejamkan mata seperti mayat pasrah digendong Jiaming: "Gendong aku pulang... Aku belum mau MATI, masih banyak waktu untuk impian..."
Tapi... Aku mau MATI...
……
……
"Menggendong pulang? Jauh sekali, hai wanita..."
"Aku tidur, jangan berisik."
"Heh..."
……
……
“Untuk pertunjukan kali ini, penilaian Lingjing sendiri adalah tidak karuan. Tapi tepat sehari setelahnya di villa Yahan, terjadi percakapan berbeda antara dia dengan Jiaming.”
“Lingjing tampil cukup baik kemarin lho.”
“Hah? Bukannya dia bilang sendiri kalau bermainnya tidak karuan?”
“Tidak karuan.” Di sofa ruang tamu, Yahan yang terbungkus handuk mandi berbaring di pangkuan Jiaming dengan ekspresi terkejut. Suara dialog pria-wanita di TV sesekali terdengar, “Oh, maksudmu kemarin dia marah padamu. Tapi dari awal sampai akhir, Lingjing memang terlihat sedang menyimpan kesal. Saat diminta tampil, dia juga ogah-ogahan. Tapi akhirnya tetap memainkan satu komposisi...”
“Terus kenapa bisa?”
“Di sekelilingnya para Master semua. Saat semua orang menyuruh anak kecil ini tampil, tentu Lingjing tidak bisa menolak. Mood-nya sedang tidak baik, lalu naik ke panggung memainkan 《Lagu Perpisahan》 karya Chopin. Hehe, orang berbakat memang begitu. Dia menemukan ketenangan dari musik. Setelah selesai, beberapa Master tertawa sambil bilang gadis kecil ini pasti sedang bertengkar dengan pacarnya. Cukup didengar langsung ketahuan. Mengerti? Mereka bahkan bilang, orang yang bisa membuat cewek seperti ini marah pasti bajingan. Setelah selesai bermain, amarah Lingjing juga sudah reda. Lalu dia segera mencarimu. Tapi urusan Wina pasti tidak bermasalah.”
Setelah menceritakan hal ini, Yahan berguling di sofa sambil menatap Jiaming: “Aku rasa akhir-akhir ini kau aneh sekali.”
“Ada apa?”
“Masalah Lingjing aku tahu jelas, dia sama sekali tidak pernah berpikir untuk studi ke luar negeri atau semacamnya, hanya ingin selalu bersamamu. Jadi awalnya dia menyebutkan soal Wina hanya sekadar omongan, tapi kau malah menyuruhku bicara dengan Ayah-Ibu Ye... Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan, antara kau dan Lingjing... ada masalah apa?”
Saat menyebut Lingjing, ekspresi Yahan menunjukkan kekhawatiran. Jiaming tak bisa menahan senyum, lengannya yang halus pasca-mandi meluncur masuk ke dalam jubah mandi: "Tolonglah, kalau memang ada masalah antara kami, harusnya kau senang ya..."
"Aku bukan orang yang picik seperti itu!" Yahan meraih tangannya, tiba-tiba duduk tegak. "Satu hal terpisah dengan hal lain, aku bisa membedakan. Aku memang mencintaimu, ingin bersamamu secara sah, hanya kita berdua. Tapi hal ini memang salahku. Kau sudah bersama Lingjing dan Shasha lebih dulu, mereka juga sahabatku... Aku hanya merasa bersalah pada mereka. Kok bisa kau berpikir begitu tentangku, kau... kau menganggapku seperti apa!"
Dengan sikap serius, Yahan menatap tajam Jiaming. Setelah beberapa saat baru berkata: "Aku tahu ini hanya candaanmu, tapi... sebenarnya ada masalah apa? Tolong beri tahuku."
Kamar menjadi hening. Jiaming memandangi wanita cantik di hadapannya yang menunjukkan wajah bingung dan cemas, lalu tersenyum tipis: "Tidak ada masalah. Aku hanya... berharap dia punya lebih banyak kesempatan memilih. Dia menyukai hal ini, jadi aku ingin dia punya fasilitas terbaik. Hanya itu saja."
Dia menunjukkan wajah tulus, meski masih ada keraguan di hatinya, namun Yahan terpaksa percaya: "Jangan berpikir macam-macam begitu. Karier dan kehidupan sama pentingnya. Biasanya orang seumuran kalian belum mempertimbangkan kehidupan. Jadi mau kuliah di luar negeri atau apapun, kalian bebas memilih lingkungan terbaik. Tapi Lingjing dan kau sudah punya kehidupan sekarang. Belajar piano di Wina tidak seperti kuliah biasa yang terjadwal, semuanya tergantung guru. Tiga tahun, empat tahun, lima tahun, bahkan ada yang delapan sembilan tahun. Jika kau dan Shasha tidak bisa ikut, dia bagaimana? Jika dia kenal cowok lain di sana, kau bagaimana? Seniman paling tidak karuan... Tentu saja aku percaya Lingjing, tapi jangan terlalu dipikirkan..."
## Bagian Tiga Ratus Delapan Puluh Lima Gadis yang Menggendot Panda
Hujan Musim Semi mengagetkan musim semi di langit jernih lembah, Musim Panas penuh padi mengikat terik yang bersambung.
Waktu melewati titik balik matahari musim panas, terik Juni datang bergulung seperti tekanan besar jelang ujian. Saat itu sistem ujian belum diubah, waktunya tetap awal Juli setiap tahun. Menjelang setengah bulan sebelum ujian, bahkan di kelas 3 SMA Akademi Hati Kudus yang terkenal santai, tekanan ujian menyelimuti seperti mantra. Setiap kelas dipenuhi mahasiswa yang tegang mengulang pelajaran. Bahkan siswa dengan hak rekomendasi karena latar keluarga pun terpengaruh suasana ini, kehilangan semangat bermain.
Lingjing yang terkenal dengan sifatnya yang kalem, belakangan lebih sering merasa frustrasi. Tentu ini bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena Shasha yang tidak berguna. Sebagai mahasiswi berprestasi akademik dan moral, sejak merencanakan masa depannya, dia sudah tak perlu khawatir tentang diri sendiri. Targetnya adalah Akademi Seni Pusat Beijing. Ujian seni lebih awal sudah dilewati, ujian masuk kuliah tentu juga tak jadi masalah. Jiaming dan Shasha memilih universitas biasa di Beijing asal-asalan. Tapi bahkan universitas tier dua pun tetap butuh nilai. Kini Lingjing terus khawatir kalau-kalau ujian nasional Shasha berantakan, mengacaukan rencana sempurna mereka.
Di sisi lain, urusan Wina juga benar-benar membuatnya resah. Meskipun penampilan waktu itu hanya sekadar pengisi waktu dan tidak ada sinyal resmi penerimaan, namun mungkin karena koneksi Yahan, tak lama kemudian surat penerimaan dari Akademi Musik dan Seni Wina benar-benar dikirim langsung ke Perguruan Wushu Ye. Memang koneksi itu sangat berguna. Hanya dengan satu pemberitahuan, urusan yang mestinya melewati proses rumit bisa langsung selesai. Kadang terpikir, jika Kakak Yahan benar-benar mengajukan syarat, mungkin tanpa perlu tampil sama sekali, hanya dengan jaminan sederhana, Wina mungkin akan menerimanya.
Membandingkan Akademi Seni Tengah, institusi kelas dunia seperti Akademi Musik Wina yang merupakan nomor satu di dunia jelas memiliki keunggulan tertentu. Keluarga Ye baru-baru ini agak bimbang dalam memilih sekolah mana. Sebenarnya jika sepenuhnya mengikuti pilihan mereka, secara alami mereka berharap putrinya bisa studi di luar negeri untuk berlapis emas. Baik dari segi kualitas pembelajaran, atmosfer seni, maupun pertimbangan fasilitas berbagai aspek, Wina jelas menjadi pilihan utama. Namun Lingjing bersikukuh pada Akademi Seni Tengah dan sama sekali tidak mempertimbangkan Wina, sehingga mereka pun tak bisa banyak berkomentar. Hanya saja dalam hal ini, Lingjing menyimpan sedikit dendam pada Jiaming, ingin melihatnya panik. Penolakannya tidak terlalu tegas. Keluarga Ye pun menyimpan dua rencana - toh belum masuk kuliah, masih ada kemungkinan Lingjing berubah pikiran. Jika sampai akhir dia tetap menolak ke luar negeri, terpaksa mereka harus menerima Akademi Seni Tengah.
Di sisi lain, setelah beberapa bulan belajar, Shasha sepenuhnya terlibat dalam operasi Shazhu Bang, baru benar-benar memiliki aura kakak pemimpin. Jika sebelumnya status "kakak pemimpin" ini masih dicurigasi sebagai vas bunga, namun seiring perkembangan beberapa bulan terakhir, banyak anggota lapisan dasar Shazhu Bang mulai benar-benar mengenalnya. Dalam operasi seluruh kelompok, masalah perdagangan narkoba juga tidak lagi langsung berkonflik seperti dulu. Jalan Hitam Jianghai yang terendam dalam pertumpahan darah selama setengah tahun, akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda membeku. Pada tingkat tertentu, mungkin banyak anggota [] juga mulai bisa bernapas lega karenanya.
Langit cerah, awan berarak seperti kapas, dari tengah hutan di pinggiran kota Jianghai, terdengar suara berat yang memekakkan, dua bayangan saling bersilangan dengan cepat di antara pepohonan. Sesaat kemudian, salah satu sosok berbalut putih itu tiba-tiba terlempar ke belakang, menghantam batang pohon di belakangnya.
Pakaian putihnya yang sederhana berjuntai di tanah bersama tubuhnya yang lemas, rambut panjangnya yang seperti sutra terurai. Beberapa detik kemudian, gadis itu mengangkat kepala dengan darah mengalir dari bibirnya, wajahnya seputih porselen yang dingin, kecantikannya dipadu tekad membara yang sulit diungkapkan. Sambil berjuang berdiri, dia mengambil karet rambut dari kantong pengepungan dan mengikat helai-helai rambutnya yang berantakan: "Lagi."
"Cukup, hari ini sampai di sini." Pemuda di depannya mengayunkan tangan dengan santai. Gadis itu tertegun sebentar: "Aku masih bisa lanjut."
"Sudah kukatakan cukup ya cukup. Kalau diteruskan, ini akan jadi proses aku memukulinya. Tidak ada makna buatmu." Pemuda itu memasukkan tangannya ke kantong, lalu tersenyum, "Hmm, kecuali kau suka dipukuli, baru itu jadi bermakna."
Di sekitar yang sepi, gadis berwajah dingin itu menyisir rambut di dekat telinganya, senyum tipis mengembang lalu lenyap seketika: "Jika Tuan Gu suka, Kaoru juga bisa." Selama beberapa tahun ini, hanya di hadapannya sang gadis akan menunjukkan senyuman seperti itu.
"Wow, meski aku juga sangat ingin..."
Melakukan jawaban gurauan yang formula seperti ini, mereka berjalan santai di dalam hutan, cahaya matahari menembus dedaunan dan menyebarkan cahaya keemasan berbintik-bintik, gadis itu memiringkan wajah untuk melihat ekspresi lawannya. Lebih dari dua tahun, berbagai pelatihan terus berlanjut, jadwal pemuda itu tidak tetap, kadang dua hari sekali, kadang tiga hari sekali, terkadang siang atau malam. Kadang dia merasa, momen paling tenang dan memuaskan dalam hidupnya mungkin adalah waktu-waktu setelah latihan selesai. Sambil berjalan mereka mengobrol, perlahan dia bahkan bisa bercanda dengannya, melihat ekspresi kesal atau geli di wajahnya, hatinya terasa hangat.
Ini adalah perasaan yang belum pernah dia alami sebelumnya dalam kehidupan masa lalunya di Jepang.
Sambil berpikir demikian, melihat lawannya sudah mendahuluinya beberapa langkah, dia buru-buru berlari kecil mengejarnya. Setelah lama merenung, akhirnya dia berkata: "Kurasa, kemajuanku sangat kecil..."
“Heh, kemajuanmu sudah sangat besar.” Jiaming menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Latihan mentalmu masih kurang. Saat bertarung denganku, kau tidak bisa menunjukkan sikap bertarung mati-matian yang sesungguhnya. Jika tidak, dengan kekuatanmu sekarang, aku juga akan merasa sedikit repot... Dan alasan utamanya adalah, memang kau sudah berkembang, tapi dalam beberapa tahun ini, perkembanganku jauh lebih besar...” Saat menyebut kemajuan ini, wajahnya juga menunjukkan kecut ironi diri. Sejak mengetahui tumor otaknya, hati sebagai pembunuh yang dulu murni itu kembali padanya. Ditambah rangsangan rasa sakit, sekarang bahkan menghadapi Yoritomo Taku di masa keemasannya pun, dia takkan lagi merasa takut sedikitpun.
Hal-hal ini tidak diketahui Kaoru. Dengan ekspresi datar, dia mengangguk, “Oh,” dan setelah beberapa saat menambahkan: “Ujian tinggal seminggu lagi. Aku sudah berjanji pada Tenmasa-kun, akan ikut Tuan Gu ke Beijing. Tenmasa-kun bilang, setelah ujian tidak perlu pulang, jadi lebih baik...”
Perkataannya belum selesai, Jiaming di sampingnya menggelengkan kepala: “Tidak, tidak perlu lagi. Setelah semester ini, aku takkan mengajarimu apa-apa lagi.”
Sekejap mata, Kaoru membelalak, membeku di tempat. Di bawah teriknya cuaca, namun seolah ada sensasi dingin merambat entah dari mana, tiba-tiba merembes ke seluruh punggungnya, membuatnya tak lagi merasakan panas di sekitarnya.
Jiaming berjalan beberapa langkah, baru menoleh sambil mengayunkan tangan: “Ayo pergi.”
Dia berjalan beberapa langkah seperti zombie, mata melotot besar, pandangan goyah ke sana kemari, tidak tahu apakah melihat jalan atau apa, kedua tangan mengepal erat, kuku menusuk telapak tangan: "Aku... Aku... Aku belajarnya tidak baik..." Entah kalimat tanya atau pernyataan.
Dalam beberapa langkah ini, mereka telah keluar dari hutan kecil, di luar terbentang lereng rumput hijau. Dari sini terlihat samar-samar siluet Jianghai. Jiaming duduk di bawah naungan pohon, menepuk tanah di sebelahnya. Mereka pun duduk berjajar di lereng rumput, angin dingin berhembus, bagai pasangan kekasih yang sedang piknik di pedesaan.
"Jangan terlalu dipikirkan, ini bukan masalahmu. Aku yang tidak bisa lagi mengajar. Yang sudah kau pelajari ini masih sangat berbahaya jika berhadapan dengan orang-orang hebat sebenarnya. Tapi akhir-akhir ini kupikir, sebenarnya kau tidak perlu terlibat dalam hal-hal seperti ini. Aku tahu sejak kecil kau sudah melalui banyak pengalaman. Awalnya juga tidak mau ikut campur urusan hidup mati orang lain. Tapi setelah sekian lama bersama, kurumi jika memungkinkan, kehidupan Normal tetaplah yang terbaik."
Sambil berkata demikian, dia mengulurkan tangan menepuk bahu gadis di sebelahnya. Namun gadis itu hanya duduk kaku memeluk paha, mungkin sulit merasakan apapun, hanya diam mendengarkan. Jiaming tersenyum, kedua tangan ditekuk di belakang kepala, berbaring di lereng rumput.
“Pei Luo Jia melatih para pembunuh, dari Ratus orang hanya tersisa 2-3 orang. Sebelum operasi pertama mereka, tangan-tangan ini sudah dipenuhi darah orang lain, terbiasa dengan hidup dan MATI. Karakter orang seperti ini akan terdistorsi. Tapi manfaatnya, mereka benar-benar tanpa tabu. Mental seperti ini memberikan peningkatan besar pada kekuatan mereka. Aku dulu juga seperti ini, seumur hidup tidak punya pemikiran selain MEMBUNUH. Tapi setelah membunuh begitu banyak orang dan mengalami begitu banyak hal, perasaan saat beberapa orang MATI selalu muncul di otak, sekali dua kali tiga kali... Seperti mengingatkanku bahwa masih ada hal lain yang bisa dilakukan...”
Dia bermain-main dengan rambut panjang Kaoru di tangannya sambil berkata: “Lalu aku benar-benar melakukannya. Hal ini sederhana, awalnya kukira akan sulit, tapi ternyata sangat mudah. Cukup melangkah keluar, lagipula awalnya aku memang tidak punya apa-apa untuk hilang. Lalu... aku mendapatkan sesuatu, perlahan mengenalinya, beradaptasi dengannya, lalu perlahan terinfeksi. Meski tidak lama, tapi kurasa perasaan ini sangat baik... Heh, aku tahu kau tidak mengerti. Tidak mengerti itu lebih baik. Hal-hal ini juga tidak pernah kubicarakan pada siapa pun.”
“Sekarang menggunakan kata-kata tidak karuan ini untuk mencegahmu, aku juga merasa benar-benar tidak persuasif, tapi...anggap saja sebagai harapanku, kau belum benar-benar terlibat dengan rombongan itu, kau sangat polos, jadi kuharap kau bisa mengurungkan ide bodoh menjadi pembunuh atau sejenisnya, baik di Tiongkok maupun Jepang, hiduplah dengan baik untuk sementara waktu, hal seperti mempermainkan pria itu murni candaan belaka, jika kau benar-benar melakukannya, kurasa aku akan sangat sedih...”
Di bawah pepohonan jalanan, kesunyian berlangsung sejenak, Kaoru membuka mata besarnya, wajahnya memucat sambil menoleh ke belakang: "Apakah...apakah karena aku selalu memikirkan keluarga, Tenmasa-kun...Tenmasa-kun juga ingin menggunakan aku untuk mempengaruhimu, jadi kau tidak mau mengajariku lagi? Jika memang begitu..."
Jiaming menepuk dahinya sendiri: "Sudahlah, percuma aku berbicara...Sudah kuduga akan sia-sia. Tapi, tak apa."
Dia duduk tegak, memandangi gadis di sampingnya: "Kau, setelah ujian selesai tetap kembali ke Jepang, mau kuliah atau tidak, di Tiongkok atau Jepang, terserah keinginanmu..."
"Aku...aku tidak suka..." bisik Kaoru pelan.
"Aku tak peduli kau MATI, yang jelas setelah ujian ini, aku harus menangani beberapa hal dulu, entah Juli atau Agustus, aku akan mengunjungimu di Jepang, saat itu sebagai tuan rumah, persiapkan akomodasi dan semacamnya tidak masalah kan?"
"Ya, ya."
"Nanti kau akan paham, tapi hal-hal yang kubicarakan sekarang, jangan diberitahu ke Tenmasa Masaoka, nanti saat aku kesana, dia pasti juga akan tahu."
"Baik."
"Lihat, langsung memberimu perintah jauh lebih nyaman. Ayo bangun, kita pulang."
Mengikuti Jiaming sepanjang jalan kembali ke Jianghai, hingga sampai di asrama Akademi Hati Kudus, pikiran berkabut tanpa tahu memikirkan apa. Hanya saat berpisah dengannya di plaza gerbang kampus, dia menatap kosong punggung yang menjauh sampai menghilang, bahkan sempat mengejar beberapa langkah, tapi akhirnya tetap tak menemukan kata yang bisa diucapkan. Perkataan Jiaming memang tak dipahaminya. Dulu saat ada hal tak dimengerti, bisa meminta pendapat Tenku Masaoka. Tapi di lubuk hati dia paham, dari sisi pribadi Tenku memang bisa diandalkan, namun dia hanya ingin mempengaruhi guru melalui dirinya. Banyak hal, terutama yang terjadi sekarang, tak boleh diungkapkan. Banyak hal tak terjangkau pemahamannya, tapi satu hal yang berhasil dicerna: dia tak mau lagi mengajarinya. Waktu untuk melihatnya telah berakhir.
Meski sejak mulai dari awal sudah terpikir bahwa orang itu takkan menjadi miliknya, tapi dia juga tak menyangka akan terjadi di saat ini. Dulu sempat mengira masih ada waktu empat tahun, mungkin setelah empat tahun itu berlalu, dia akan berkata pada dirinya sendiri bahwa semuanya sudah cukup, hal yang diinginkannya pun sudah tercukupi, saat itulah dia bisa benar-benar melepaskan Segalanya... Hingga di titik ini...
Waktu berlalu, cahaya matahari miring perlahan, dia memeluk boneka panda besar itu di ranjang. Boneka murahan yang sudah dicuci berkali-kali selama dua tahun ini, bulu halus di banyak bagian sudah rontok, tapi tetap setia menemaninya dengan diam. Waktu makan telah lewat, kegelapan pun menyelimuti. Cahaya kota berkelap-kelip di kejauhan, suara jangkrik malam musim panas bergema dari hutan. Dengan mata terbuka, dia masih memeluk erat panda itu, tak tahu berapa lama. Akhirnya, sebutir air mata memantulkan cahaya bagai mutiara, mengalir di pipinya.
Dalam kegelapan, tetesan air mata jatuh sunyi...
## Bagian Tiga Ratus Delapan Puluh Enam Segalanya Tak Lain Hanya Masa Lalu
"...Baiklah, yang paling penting, latihan-latihan dan poin-poin ini harus kalian ulangi lagi. Tinggal sepuluh hari menuju Gaokao... Tahu-tahu sudah bel pulang, belum selesai ngomong kok sudah berdiri? Duduk! Waktu kita memang terbatas, tapi cukup untuk mengulang materi. Dua hari sebelum ujian akan ada libur untuk rileks, tapi tetap harus belajar! Ini hari terpenting masa depan kalian. Sekian, kelas ditutup... Jangan lupa catat ini semua ya."
Tongkat pengajar memukul papan tulis beberapa kali, guru di podium akhirnya pergi membawa rencana pelajarannya. Jiaming tertidur di atas meja, Kaoru duduk diam di sampingnya dengan wujud dingin yang tak berubah, entah sedang memikirkan apa. Saat guru itu keluar dari pintu kelas, Dongfang Wan masuk melalui pintu belakang sambil mengetuk-ngetuk meja Jiaming.
"Uhh, ada apa?" Jiaming mengusap matanya lalu duduk.
"Wah, si bos ini benar-benar hebat, menyambut ujian masuk perguruan tinggi dengan sikap seperti ini."
"Langsung ke intinya."
"Baiklah, aku sudah tanya dari Lingjing dan Shasha. Benarkah kau akan kuliah ke Beijing?"
"Memang benar isian preferensinya ke sana. Karena Lingjing mau masuk Central Academy of Art, aku dan Shasha akan menemani... Aku tahu kau juga akan ke sana, tapi pertemuan sesama perantau lebih baik kita lakukan setelah sampai Beijing. Sekarang melakukan ini bukankah terlalu dini... Sudahlah, jika kau mau, aku bisa memberikan bahuku untuk kau peluk sambil menangis."
"Mati saja! Lebih baik memeluk kepala babi sambil menangis daripada memelukmu."
"Oh, kesempatan ini hanya sekali. Kesempatan tak datang dua kali."
"Itu bagus sekali... Ngomong-ngomong, aku ke sini untuk memberitahumu secara resmi: kamu dipecat."
"Dipecat apa?"
“Pabrik mainan kecilku itu, kau tahu, dua tahun terakhir berjalan cukup baik. Kami akan menghadapi ujian lagi dan bersiap ke Beijing. Keluarga sudah lulus verifikasi, memberiku sejumlah besar uoin. Pokoknya selanjutnya bukan urusanku lagi. Mengenai uang pesangonmu... nanti di Beijing baru kuberikan.” Dia tersenyum manis, beberapa saat kemudian seolah khawatir Jiaming tidak senang dengan masalah uang pesangon, “Pokoknya jumlahnya besar, asal kau puas saja.”
“Oh, ternyata ada uang pesangon juga... Jujur saja, kalau tidak kausebut hampir saja kulupa kalau aku masih punya pekerjaan di pabrik mainan...”
Dongfang Wan sambil tertawa berkata: “Kau juga sadar diri tidak punya rasa tanggung jawab ya? Hanya bos toleran sepertiku yang bisa menerima sikap kerjamu. Bagaimanapun, setelah sampai Beijing aku masih akan punya kegiatan. Yiting juga ikut. Sekarang aku punya modal awal yang besar, nanti akan dikembangkan lebih besar. Datanglah membantuku nanti! Strategi perencanaanku, kecerdasanmu ditambah ketekunan Yiting. Aku sangat yakin dengan masa depan!”
“Hm, terdengar seperti masa depan sengsara dimana Yiting sendirian dieksploitasi. Tidak merasa bersalah memperlakukan saudari baikmu seperti ini?”
“Yiting menikmatinya. Lagipula secara hubungan, dia lebih tepat disebut adikmu. Ngomong-ngomong, ini wisata terakhir sebelum liburan musim panas. Rencananya ke Guilin, mau ikut?”
“Tidak tertarik.”
“Wei wei, ini wisata terakhir, setuju? Tidak mau memberi muka sama sekali?”
“Muka siapapun tidak akan kuberi.”
“Cih, suka... Tapi tadi waktu bicara sama Lingjing, dia keliatan antusias. Meski Shasha bilang pasti sibuk, ya sudahlah, aku tahu sekarang dia jadi kakak pemimpin... Bagaimanapun, kalau mau pergi, nanti bilang ke aku saja.”
Setelah lama bergaul dengan Jiaming, Dongfang Wan kini memancarkan aura tenang yang tak tergoyahkan oleh situasi apapun. Dengan senyum tetap mengembang, begitu selesai bicara, bel sekolah pun berbunyi.
Tak lama kemudian, Ujian Nasional.
Setelah tiga hari paling tegang berlalu, kontras dengan tekanan berat sebelumnya, kampus kini terasa sangat sepi. Siswa harian langsung pulang membawa tas besar, sementara siswa asrama sudah mengemasi barang dan akan pergi secara bertahap dalam beberapa hari. Tentang sekolah yang telah menjadi saksi tiga tahun kebersamaan, mungkin ada perasaan haru di hati. Ruang kelas, lapangan, asrama, ruang kegiatan, gedung olahraga—semua ini mungkin akan sering teringat, namun rasanya sudah berbeda. Waktu telah menarik garis ajaib di sini.
Ada yang bernostalgia, ada yang sedih. Tentu juga ada yang bersemangat karena akhirnya terbebas dari belenggu sekolah. Untuk perempuan seperti Dongfang Wan, sejak lulus dia sudah menyusun rencana masa depan yang ambisius. Memandang kampus yang sunyi, seolah melihat masa depan yang siap terbang. Dalam arti tertentu, dia bisa dibilang perwakilan kaum optimis—punya target, pondasi, prinsip, tanpa kebingungan. Meski kemampuan rata-rata, kebahagiaannya jauh melebihi orang biasa.
Di sisi lain, sebagai saudari baiknya, Xu Yiting mengunjungi Yahan di kawasan villa para pengajar untuk mengucapkan terima kasih, baik pada Yahan maupun Nona Suyan. Kehidupan barunya berasal dari kebaikan hati Yahan dan bantuan Suyan. Meskipun sejak itu hubungan pribadinya dengan Yahan tidak menjadi terlalu dekat, dia paham siapa yang patut dihargai. Dia juga berharap suatu hari bisa bertemu kembali dengan wanita berkarakter kuat yang memberinya kehidupan baru itu, untuk mengucapkan terima kasih secara tulus.
Saat Dongfang Wan menyelesaikan mobilisasi perjalanan terakhir dan merapikan segala urusan sekolah, sebuah limusin yang diperpanjang menunggu dengan diam di samping asrama tepi hutan. Sopir berdasi rapi berdiri di samping pintu mobil, profesional layaknya adegan film. Tak lama kemudian, pria paruh baya berjas muncul membawa dua koper, diikuti gadis yang menggendong boneka panda. Wajahnya sederhana namun memesona, mengenakan kemeja putih dan rok panjang putih. Saat melangkah, dia menoleh memandangi gedung kecil tempatnya tinggal sendiri selama bertahun-tahun. Angin berhembus, menggerakkan lembut rok panjangnya.
"Nona Kaoru, masih ada barang yang perlu diambil?"
Pria paruh baya yang membawa barang menaruh koper di mobil, menunggu sejenak sebelum mendekat dan bertanya.
Tanpa jawaban, setelah beberapa saat, gadis itu menggelengkan kepala perlahan, berbalik bersiap naik ke mobil. Pada saat yang sama, beberapa bayangan muncul berlarian dari jalan setapak di hutan tak jauh.
"Kaoru, sudah mau pergi?"
Yang berlari di depan adalah Lingjing dan Shāshā. Jiaming menyelipkan tangan di kantong, mengikuti dari belakang. Melihat mereka, ekspresi gadis itu langsung melunak. Meletakkan panda besar di kursi, ia berbalik langsung dipeluk Shāshā. Lingjing menggenggam tangannya: "Cepat sekali perginya, tidak bilang-bilang. Untung hari ini kami datang... Awalnya ingin mengajakmu menginap di rumahku. Nilai ujian belum keluar, formulir jurusan juga harus diisi kan..."
"Iya betul." Shāshā menyambung, "Mau pulang ke Jepang tidak perlu terburu-buru begitu. Tinggal di perguruan silat saja, kita bisa main bersama selama liburan musim panas." Selama setahun ini, saat Jiaming tidak ada, Kaorulah yang sering menemaninya. Karena itu hubungan mereka juga sangat erat. Rencana awal ingin beraksi bersama selama liburan, tak disangka Kaoru sudah harus pulang ke Jepang. Shāshā yang sentimental menunjukkan wajah kecewa.
Pandangan menyapu Jiaming yang tersenyum di belakang, gadis itu menggeleng halus: "Formulir jurusan tidak perlu kuisi. Tapi, mungkin kita bisa bertemu lagi di Beijing."
"Tapi sebenarnya kalau pulang sekarang juga tidak ada urusan kan."
"Iya iya, tinggal saja main di sini."
“Ada urusan.” Kaoru mengangguk untuk menunjukkan bahwa ia berkata jujur, kemudian memeluk Shasha, lalu Lingjing. Ketika kedua gadis berpisah, ia ragu-ragu mendekati Jiaming. Sebelum sempat menentukan apakah harus mengulurkan tangan, Jiaming sudah tersenyum dan memeluknya, menepuk punggungnya beberapa kali: "Semoga perjalanannya lancar."
"Aku akan menunggu di Tokyo." Berbisik dalam bahasa Jepang, ia membungkuk hormat kepada Jiaming, kemudian ke Lingjing dan Shasha. Masuk ke gerbong, ia melambai kepada ketiganya melalui jendela. Tak lama kemudian, mobil kecil itu menyusuri jalan yang menjauh, menghilang dari pandangan mereka.
"Keluarga Kaoru rumit ya? Jiaming dulu pernah bilang." Kembali ke kamar sewaan, Lingjing berbaring di ranjang berkata dengan nada melankolis.
"Iya." Jiaming mengangguk, "Cukup kompleks."
"Entah apakah kita bisa bertemu lagi di Beijing..."
"Masih banyak waktu. Pasti akan bertemu." Jiaming tersenyum, "Meski tidak di Beijing, setelah kita semua terjun ke masyarakat, pasti ada kesempatan. Lagipula kalau benar-benar ingin, kita bisa liburan ke Jepang dan minta dia jadi pemandu wisata. Tak perlu sedih seperti ini."
"Aku mau sedih, kenapa?" Lingjing menantang sambil menaikkan dagunya.
Shasha menambahkan: "Aku masih ingat pertama kali bertemu. Waktu Jiaming dan aku diculik, gadis kecil berbaju kimono itu dipukuli sampai babak belur, ekspresinya datar sekali... Siapa sangka kita bisa jadi teman selama tiga tahun ini. Tiga tahun yang berlalu sekejap mata..."
Kaoru sudah pergi, semangatnya tidak tinggi. Lingjing menatap langit-langit di atasnya cukup lama, lalu mengangguk: "Iya, banyak hal terjadi... Menyewa rumah dan tinggal di sini, aku masih ingat pertama kali membersihkan di sini. Perlahan-lahan kami membeli barang-barang, bersama-sama mengatur kamar. Saat itu kami bersama-sama membawa meja dari tepi ranjang pulang, ada orang yang menendang bola dan menabrak kepalaku, Jiaming marah. Kemudian jadi heboh, akhirnya benar-benar menjadi teman sekelas Kaoru... Pengalaman pertamaku kerja paruh waktu, lalu ikut Kapal Pesiar Star Dream berlayar main, Jiaming menyanyi, membentuk band... Begitu-begitu..."
"Tiga tahun... SMA..."
Dia berhenti sejenak, mengangkat tangan kanannya ke udara, menatap cahaya yang merembes di antara jari-jarinya.
"...Berakhir."
## Bagian Tiga Ratus Delapan Puluh Tujuh: Gurauan
SMA memang sudah berakhir, tapi banyak hal masih belum selesai.
"Baju Lingjing ini mau dibawa pulang ya?"
"Album foto lebih baik ditaruh di sini, kalau sampai Ayah-Ibu Ye melihat pasti ketahuan."
"Baju itu rencananya mau kubawa ke kuliah. Sementara diurus dulu ke perguruan silat."
"Kopernya terlalu kecil, berapa banyak yang bisa dibawa..."
"Ini kan bukan mau pindah rumah, cuma isi koper kecil sebagai simbol saja..."
“Suara riuh di tengah keramaian, ketiganya mencari-cari barang di berbagai sudut kamar untuk dibawa. Karena SMA sudah berakhir, rumah yang disewa untuk bersekolah sebenarnya tidak perlu lagi dipertahankan. Namun bagi mereka bertiga, rumah ini menyimpan terlalu banyak kenangan dan usaha. Sebelum ujian nasional, mereka sudah membeli rumah ini dari pemilik sebelumnya dengan uang, dan terdaftar atas nama Shasha.
Membeli rumah ini hampir menghabiskan separuh lebih simpanan Jiaming selama tiga tahun terakhir. Tentu saja hal ini harus dirahasiakan dari Keluarga Ye. Memindahkan beberapa barang asal-asalan hanya untuk pura-pura, karena sebenarnya sejak SMP mereka jarang menghabiskan liburan di rumah, terutama saat musim panas yang panas, biasanya mereka pergi ke villa Shasha. Meski SMA sudah berlalu, masih ada dua bulan sebelum kuliah dimulai, jadi rumah ini masih punya nilai guna. Tak perlu langsung dikosongkan.
"Wah, rumah yang luar biasa! Beberapa tahun lagi ketika kita kembali ke Jianghai, tempat ini akan jadi basis pertahanan kita. Wow, kucing pembawa rezekiku yang imut..."
Setelah membantu Lingjing merapikan barang-barangnya, Shasha menaruh tangan di pinggang sambil mengeluarkan perasaan haru, lalu menggendong celengan berbentuk kucing pembawa rezeki di atas meja belajar dan menciumnya. Saat dikocok, bunyi koin di dalamnya bergemeretak berat.
"Jika suatu hari kita kehabisan uang, di sini masih ada simpanan darurat yang banyak, haha..."
“Jebakan yang kubuat sendiri, tentu bagus.” Lingjing mengangkat bahu, “Tapi kau tidak pernah tinggal di sini...” Terkait hal ini, dendamnya masih sangat besar.
“Aduh, Lingjing jangan terus-terusan menasihatiku. Lagipula dua bulan lagi kita semua akan ke Beijing, aku hanya sibuk sebentar ini saja. Urus semua hal sampai jelas, atur semuanya... Sudah, sudah, Jiaming jangan tertawa lagi, setuju? Aku tahu sebagian besar urusan dikerjakan Kakak Xiao Meng, tapi paling lama hanya dua bulan. Biarkan aku puas sekali ini, Bagaimana? Begitu sampai di Beijing, kalian berdua mau menghancurkan atau menghujani aku, aku pasti tidak melawan, oke...”
Shasha mengangkat mata, “Apalagi akhir-akhir ini Xin Ning Bang dan beberapa geng kecil lainnya jadi lebih diam. Entah takut pada kami atau sedang menyiapkan jebakan, aku dan Kakak Xiao Meng sedang mengatur...”
Jiaming mengangkat alis: “Perlu bantuan?”
“Tenaaaang!” Shasha memanjangkan suara, menggelengkan kepala, “Percayalah, mereka tidak bisa main tipu!”
Dengan percaya diri penuh Shasha, Jiaming pun tidak berkata lagi. Lagipula Shazhu Bang diawasi orang-orang [], diperkirakan tidak akan terjadi hal apa-apa.
Tepat sehari setelah Lingjing membawa koper kecil kembali ke perguruan silat, saat keluar, baik Lingjing maupun Jiaming sama-sama merasa malu besar seperti buru-buru kabur. Masalah mengirim Lingjing ke Wina, keluarga Ye masih belum menyerah. Biasanya pulang ke rumah langsung dihujani omelan. Seandainya hanya orang tua mereka saja mungkin masih bisa ditahan, tapi hari ini kebetulan ada tamu. Begitu tahu kabar Lingjing tak mau studi ke luar negeri, suasana langsung berubah seperti pengadilan tiga tingkat dengan berbagai pendapat yang dilontarkan. Perlu diketahui, itu adalah institut musik terkemuka di dunia. Meski Konservatori Pusat juga bagus, analoginya seperti perbandingan Tsinghua dan Harvard. Di kota maju pesisir seperti Jianghai, pola pikir masyarakat pun tak terlalu konservatif. Selama keluarga punya fasilitas, kebanyakan akan memilih menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri untuk berlapis emas.
Pandangan tersebut tentu tak bisa dibilang salah. Hubungan Lingjing dengan Jiaming juga belum resmi diumumkan sebagai pacaran. Hanya bersikukuh pada argumen "Aku sudah terbiasa di dalam negeri", akhirnya dihujani kritik tanpa ampun. Mereka semua adalah kerabat dekat yang sering berinteraksi, hubungannya juga cukup baik, sehingga tak bisa bersikap masa bodoh tanpa sopan santun. Usai makan siang, Lingjing hampir menangis sambil memukuli Jiaming: "Aku tidak tahu kalau Wina bagus? Aku tidak tahu? Kalau bukan karena kau dan Shasha, aku sudah di luar negeri! Masih berani ketawa, tadi saat mereka membujukku di luar, kau malah bersembunyi di dapur! Masih ketawa, terus ketawa, ketawa lagi..."
“Jangan terus-terusan mengkritik, aku juga sudah cukup dihujani omongan. Serangan mereka datang bergiliran. Ayah-Ibu Ye memintaku mencegahmu, tapi mereka sendiri tidak banyak bicara. Justru para paman, bibi, kakak tertua, dan kerabat lain yang langsung menghujani. Mereka bilang aku teman baikmu, pasti lebih efektif memberi nasihat. Kita semua masih muda, meski bertiga punya hubungan dekat, jarak dalam/luar negeri takkan memutuskan. Yang penting masa depan bersama... Lihat kan? Mereka jelas-jelas menganggap aku dan Shasha akan menjerumuskanmu seumur hidup!”
“Ini semua gara-gara kau memaksaku ikut acara kumpul-kumpul aneh itu! Paman Cui di Kantor Imigrasi itu benar-benar keterlaluan. Dia yang duduk di posisi ketiga sebelah kiriku tadi, pasti kau kenal? Mungkin orang tuaku cerita padanya, dia jadi semangat luar biasa. Langsung urus administrasi studiku ke luar negeri pakai koneksinya. Sepanjang hari promosi manfaat studi luar negeri, tinggal tunggu anggukanku... Aku lupa dia kepala bagian atau wakil...” Lingjing menubruknya geram, beberapa saat kemudian menengadah: “Menurutmu, lebih baik aku ke luar negeri atau Beijing?”
“Kan masih keluarga sedarah. Kau diterima di akademi seni tertinggi luar negeri, wajar mereka antusias. Mungkin sudah mulai membanggakan ke orang lain... Kalau menurutku, tentu ingin kau temani ke Beijing. Tapi demi masa depanmu, Wina mungkin...”
“Kubunuh kau, Gu Jiaming!”
Lingjing berteriak, mengejar Jiaming sambil memukul tanpa tujuan. Saat itu pertengahan Juli, cuaca panas. Setelah kejar-kejaran sebentar, Lingjing sudah terengah-engah. Matanya mendelik pada Jiaming penuh kemarahan, "Kau... kau berani bilang begitu padaku... Aku benar-benar kesal..." Beberapa saat kemudian dia melanjutkan, "Semua ini gara-gara kamu. Tapi... kamu tahu kan, omongan orang tuaku dan kerabat itu, jangan kamu anggap serius..."
Meski masih kesal karena peristiwa Jiaming yang dulu menyuruhnya ikut wawancara, Lingjing paham bahwa saat ini Jiaming pasti juga sedang tertekan. Setelah bertahun-tahun bersama, dia tahu Jiaming jarang peduli pada orang. Sikapnya terhadap tetua keluarga selalu acuh tak acuh. Pada keluarga Huang dia hampir tidak punya ikatan emosional, tapi khusus pada orang tua Lingjing dia selalu menunjukkan rasa hormat yang luar biasa, bahkan memperlakukan mereka layak orang tua kandung sendiri. Hubungan seperti ini tentu membuatnya senang. Tapi kali ini, jika orang tuanya ikut membujuk, menurutnya hal itu justru bisa meninggalkan bayangan psikologis pada Jiaming.
“Dia selalu menjadi perempuan yang luar biasa, urusan studi ke luar negeri sama sekali tidak dia pedulikan. Lagipula Konservatorium Musik Pusat di dalam negeri juga termasuk salah satu institusi terbaik, masa depannya sendiri pun dia punya keyakinan penuh. Tapi kerabat-kerabat itu jelas tidak berpikir demikian, bahkan cinta sejati dan keluarga seolah bisa disingkirkan di hadapan hal-hal seperti masa depan. Di antara orang-orang yang dia kenal, tidak jarang terjadi kasus putus dengan pacar langsung karena ada kesempatan ke luar negeri. Sekarang dia bahkan mulai menyesal, seandainya saat Jiaming mengajaknya ke acara kumpul-kumpul kecapi dulu dia tidak sengaja tidak mengizinkan karena sikap Jiaming, semuanya pasti akan jauh lebih sederhana sekarang.
Dalam hati menyalahkan Jiaming, menyalahkan diri sendiri, sekaligus menyalahkan sikap keras kepala orang tua. Mereka memang tidak otoriter bilang 'kamu harus ke Wina' atau semacamnya, tapi setiap kali melihat dia selalu menyelipkan beberapa patah kata. Kadang dia berpikir, seandainya dulu yang diberitahu ke orang tua bukan hubungan Jiaming dengan Shāshā, tapi hubungan Jiaming dengan dirinya sendiri, mungkin alasan seperti itu akan membuat mereka berhenti. Pernah juga terpikir untuk menyebarkan kabar palsu tentang Jiaming yang pindah hati, tapi akhirnya tidak dilakukan. Lagipula liburan musim panas tidak harus di rumah, dia dan Jiaming kabur ke Akademi Hati Kudus ini. Tapi setelah kabar kelulusannya tersebar, banyak kerabat yang langsung datang ke perguruan silat, kemudian menelepon ke sini. Topik pembicaraan setelah mengangkat telepon biasanya tidak jauh berbeda:
"Halo Lingjing, ini Bibi. Dengar kamu tidak mau sekolah di Wina, memilih kuliah di Beijing? Meski Beijing juga bagus, tapi kalau bisa ke Wina kan..."
1-2 hari langsung dibombardir telepon seperti ini. Kalau pulang, saat berjalan di jalan, tetangga sekitar yang familiar mungkin akan menyapa: "Lingjing, kabarnya Akademi Musik Wina juga mengirimkan surat penerimaan untukmu... Kenapa kau tidak pergi..."
Dalam suasana seperti ini, Shasha yang sibuk dengan kegilaan terakhir sebelum kuliah juga sering menghilang dari rumah tiap tiga hari, hanya sesekali menghubungi Lingjing via telepon membicarakan hal-hal tidak karuan seputar urusan rumah tangga. Kecuali kalau datang langsung ke Shazhu Bang, baru Shasha yang sudah mulai menunjukkan aura kakak pemimpin akan merengek-rengek minta maaf, bilang butuh waktu sekitar sebulan untuk menyusun rencana pencucian detail Shazhu Bang. Selain itu, Xin Ning Bang juga sepertinya main licik. Beberapa hari lalu Shasha berhasil mencium konspirasi, sehingga belakangan ini dia sangat bersemangat, merasa diri sudah menjadi karakter utama dalam pertumpahan darah Jalan Hitam, sedang mempersiapkan jebakan untuk menjerat Xin Ning Bang juga. Singkatnya, sekarang dia terlihat seperti protagonis dalam game komputer berlatar belakang dunia hitam.
Selama liburan musim panas yang sepi, Lingjing kadang ikut ke Shazhu Bang, kadang pulang ke rumah untuk dihujani pertanyaan, kadang juga mengikuti kelas master piano untuk mengasah teknik. Jiaming sering bolak-balik di antara dua tempat. Tentu saja, ini hanya gambaran yang dilihat Lingjing dan Shasha. Sebenarnya masih banyak hal lain yang harus dia kerjakan.
Di sisi lain, Dongfang Wan telah menelepon beberapa kali, mengatakan grup tur ke Guilin bersiap berangkat akhir bulan. Memasuki puncak musim panas, naik bus ber-AC ke Guilin untuk menjelajahi gua batu. Lingjing yang belakangan kesal dengan omelan keluarga dan prihatin akan kejatuhan Shasha dalam dosa mulai tertarik dengan ide ini, namun dengan syarat harus bisa membujuk Jiaming ikut—lebih baik jika Shasha juga disertakan. Sayangnya setelah beberapa kali dibujuk, Jiaming tetap menolak sehingga keputusan akhir belum bisa diambil.
Gelombang panas berlanjut, kehidupan liburan musim panas yang mulai membosankan pun merangkak pelan. Pada sore hari tanggal 28 Juli, Lingjing dan Jiaming malas-malasan menonton TV di rumah. Cuaca yang pengap membuat semangat mereka lesu. Lingjing berbaring di sofa dengan balutan kemeja putih lengan pendek dan celana sutra tipis, kaki mungilnya yang tanpa alas bertumpu di paha Jiaming. Menurut pengamatannya, belakangan Jiaming sering termenung dengan ekspresi kosong—mungkin akibat desakan kerabat yang ingin mengirimnya studi ke luar negeri. Ia menepuk-nepuk sofa: "Jiaming, setuju tidak kita jalan-jalan ke Guilin?"
Pertanyaan yang sama telah dilontarkan berulang kali. Dengan lesu, Jiaming menggeleng sambil menatap layar TV: "Tidak." Gerakan sederhana itu memicu badai rasa sakit yang seperti ombak mengguncang lautan, merobek-robek kesadarannya.
“Oh.” Dengan ekspresi kecewa, Lingjing mengangguk lalu membuat mulut monyong kesal, menoleh menonton drama sabun cengeng yang sedang tayang di TV. Melihat Jiaming yang terpaku menonton, perasaannya semakin tidak nyaman: “Sama sekali tidak menarik, setiap kali seperti ini, tokoh utama wanita terus menangis mati-matian, cuma bisa nangis doang...”
Dari arah sofa, Jiaming tersenyum kecut: “Orang yang putus ya memang biasanya seperti ini. Kalau kita, bukankah juga akan begini?”
“Tapi nggak akan berlebihan sampai segitunya, hmph.” Ia melototi Jiaming, “Kau ini, kalau bilang putus padaku, aku malah senang bukan main. Menangis mati-matian?”
“Kalau begitu, kita putus saja.”
Suara datar itu menggema di dalam kamar. Tubuh Lingjing sejenak kaku, menatap Jiaming selama beberapa detik sebelum pandangannya beralih santai ke layar TV. Tangannya mengganti channel dengan remote. Kaki telanjang yang semula menyender di paha Jiaming ditariknya. Gadis itu melipat kakinya dengan anggun.
“Aku tidak suka candaan seperti ini.”
## Bagian 388 Arus Gelap
“Aku tidak suka candaan seperti ini.”
Di tengah suara iklan TV, nada bicara Lingjing terdengar kaku. Alisnya yang cantik mulai mengernyit menahan amarah. Lama kemudian, baru terdengar helaan napas panjang dari Jiaming di sofa.
“Aku serius.”
“Sudah kukatakan, aku tidak mau bercanda soal ini!”
Lingjing melotot, meninggikan suaranya, tangan menggenggam remote kontrol sembari menekan-nekan tak karuan. Suara TV awalnya naik swiswiswis, setelah beberapa saat turun kembali. Lingjing melemparkan remote kontrol, dengan keras kepala menatap layar TV.
Jiaming membungkukkan tubuh, kedua tangan menangkup kepala, jawabannya masih sama: "Putus…"
"Apa sebenarnya yang orang tuaku bicarakan padamu? Atau para kerabat? Sudah kubilang tidak mau bercanda begini, jangan kau buat seperti sinetron lah!" Tiba-tiba melontarkan kalimat itu pada Jiaming, Lingjing berguling turun dari sofa, berjalan ke meja teh menuangkan air untuk dirinya sendiri. Suaranya gemetar mengikuti mood, "Sudah kukatakan tidak mau studi di luar negeri, tidak mau, tidak mau! Aku sama sekali tidak pernah ingin jadi musikus besar. Bahkan sekarang urusan ini kubicarkan pun tidak apa! Ini semua sudah kau tahu dari dulu, ngapain masih mikir sana-sini? Kalau kau tetap bersikap begini, aku… Aku juga bisa marah!"
"Bukan karena masalah kecapi…"
"Lalu karena apa?" Meneguk habis segelas air, Lingjing berbalik badan, "Kalau bukan ini, masih ada hal apa lagi?"
Jiaming mengusap dahi, diam-diam menatap lantai. Lingjing terus memandanginya.
"Kau bicara."
"Banyak hal…"
“Banyak hal apa? Karena orang-orang di rumah selalu mengganggumu? Aku yang menyuruhmu liburan ke Guilin? Aku...” Mata Lingjing berkaca-kaca, merenung lama di tempat, “Aku... Karena aku selalu marah-marah soal urusan Shasha? Aku terlalu cerewet? Aku tidak suka geng kriminal? Atau kau lebih suka Shasha daripadaku... Kau sudah bosan padaku?”
“Bukan itu semua...”
“Lalu apa katakanlah!”
Melirik tajam ke arahnya, Lingjing menanti jawaban dari seberang. Suara TV terus bergema di kamar, seolah dalam celah suara itu, tubuh mereka berdua membeku tanpa gerak, hanya irama napas yang terdengar jelas dalam kesenyapan.
Sebenarnya sebelumnya, Jiaming sudah mempersiapkan beberapa set alasan, bahkan ekspresi wajah saat bicara pun sudah direncanakan matang. Namun saat tiba waktunya, semua kata yang dipersiapkan berputar-putar di kepalanya, tak ada yang cocok untuk situasi ini. Ia membuka mulut, akhirnya tak bisa mengucapkan apa-apa. Setelah menunggu lama, Lingjing akhirnya bicara.
“Apa orangtuaku bicara sesuatu padamu? Benar kan?”
“Bukan, kau tahu mereka takkan melakukan hal seperti itu...”
“Kau suka cewek lain?” Lingjing menarik napas dalam, berhenti sejenak, “Kaoru?”
“Bukan.”
“Kalau begitu... Dongfang Wan?”
“Mana mungkin...”
“Bukan Dongfang Wan, paling bukan Xu Yiting.”
“Aku jarang berinteraksi dengannya...”
“Lalu siapa dong...”
“Tidak ada siapa-siapa...”
“Kak Yahan?”
Setelah beberapa dugaan berturut-turut, suara terhenti mendadak di udara. Nama terakhir "Lingjing" sebenarnya hanya disebutkan asal-asalan. Siapa sangka Jiaming tiba-tiba membeku, tubuhnya pun ikut kaku. Beberapa saat kemudian, dengan gemetar dia bertanya lagi: "Apa Kakak Yahan?"
"...Bagaimana kau bisa menebaknya?"
"Aku... Tentu saja cuma nebak... Ha..." Lingjing membuka mulutnya, tiba-tiba perasaan absurd yang tak terkira membanjiri pikirannya. Dia sengaja menaruh pilihan ini di urutan terakhir karena menganggapnya paling tidak mungkin. Namun tiba-tiba semua kenangan sejak pertama kali bertemu Yahan hingga sekarang bermunculan. Dengan tertawa getir sebentar lalu berhenti, tangan kirinya menyentuh mulut, bingung harus membuat ekspresi wajah seperti apa: "Tapi... Kau pasti bohong, kalian... Kakak Yahan lebih tua tujuh tahun darimu! Mana mungkin, bagaimana... Kak Yahan dia... Dia..."
Sambil berkata demikian, Lingjing merosot di sofa dengan bahu lemas, langkah terhuyung. Kedua tangannya memegangi kepala, sepuluh jarinya tenggelam dalam helaian rambut panjangnya: "Kapan... Kapan ini terjadi..."
Jiaming terdiam sejenak: "Tahun lalu di New York."
"Saat Kak Yahan sakit, kau menyelamatkannya, lalu..." Dia berpikir sebentar, "Lalu kalian berbaikan... Oh, pantas saja sejak pulang Kak Yahan mulai berbicara lagi dengan kami, bahkan main bersama. Kau... Kau... Sudah kau beri tahu Shasha?"
"Belum..."
"Lalu ngapain kau kasih tahu aku?!"
Lingjing berteriak dengan mata memerah, melihat Jiaming kembali menunduk diam. Ia mengambil sebuah apel dari meja dan melemparkannya ke arah Jiaming, disusul remote kontrol yang dibuang dengan tangan satunya. Dalam sekejap, berbagai benda seperti apel, remote kontrol, bantal peluk, dan pakaian beterbangan menuju Jiaming. Marah akan sikap diam Jiaming, Lingjing hampir melempar semua benda yang terjangkau. Remote kontrol dan beberapa apel menghantam kepala Jiaming lalu memantul. Saat persediaan apel habis, tangan bawah sadarnya meraba-raba piring buah...
Seketika, darah menyembur.
Tangan Lingjing yang memegang pisau buah membeku di udara. Jiaming menarik napas dalam, memandang luka di lengan kirinya yang menganga, tetap membisu. Setelah beberapa saat, Lingjing menelan ludah, meletakkan pisau, lalu mendekat. Ia mengambil bantal peluk di sebelahnya, kemudian jaketnya sendiri, menekan-nekan luka di tangan Jiaming. Darah tetap mengalir. Matanya berkaca-kaca, namun dengan keras kepala membuka matanya lebar-lebar, tak membiarkan setetes pun air mata jatuh.
Setelah beberapa kali menekan, ia bangkit dengan tenang. Masuk ke kamar tidur bagian dalam, mengambil kotak P3K. Dengan cermat membuka kancing baju Jiaming, melepas kemejanya. Mengeluarkan iodin dan kain kasa, mulai membersihkan lukanya.
Suara iklan terus mengalun dari layar TV. Dua bayangan di belakang meja seperti potret sunyi. Jiaming duduk di sana, menyaksikan Lingjing yang bersujud di samping kakinya dengan gemetar membersihkan luka, mengoleskan obat, lalu membalutnya. Tubuh gadis yang anggun namun rentan itu terus bergetar halus. Setelah luka terbungkus rapi, diam-diam ia merapikan perlengkapan, kemudian mengembalikan kotak P3K ke kamar. Saat kembali, di tangannya telah tergenggam kemeja milik Jiaming.
Pakaian itu diletakkannya di sebelahnya. Gadis itu melangkahi tubuhnya, kembali ke posisi semula. Matanya menatap layar TV.
"Sudah lebih dari setahun, mengapa baru mengatakan sekarang?"
"Mengapa harus Kakak Yahan?"
"Aku... Aku dan Shasha bisa terus menemanimu, tapi..."
"Apakah kehadiran kami berdua masih belum cukup?"
Mungkin masih trauma oleh genangan darah tadi, Lingjing tidak lagi berteriak. Tatapannya tertancap pada televisi, nadanya tetap datar. Namun tak ada jawaban dari seberang. Jiaming mengenakan kemejanya, memicingkan mata dalam kepedihan. Entah apa yang dipikirkannya. Kemudian, mereka berdua hanya duduk bisu di sofa yang sama, membiarkan waktu berlalu mengikuti dentang "Tik! Tok!" jarum jam.
Sepuluh menit, dua puluh menit, iklan di TV berakhir, berganti film kekerasan. Cahaya matahari di luar jendela perlahan condong ke barat, Lingjing duduk di sana, tak tahu harus ngapain, tak tahu apa yang diharapkannya, juga tak yakin bisa memaafkan hal yang dilakukan Jiaming, otaknya kacau balau. Andai Sasha ada... Tidak, mungkin lebih baik Sasha tidak ada. Dia takkan tahan dengan hal begini, tapi dirinya sendiri juga tak sanggup. Kakak Yahan... Dalam emosi seperti ini, tiba-tiba teringat kejadian saat kecil.
Masih ingat waktu SD dulu, dirinya terlalu dominan, di kelas sering dihujat sebagai wanita tomboi. Kemudian duduk di bukit rumput sambil menangis, Jiaming datang dan berkata: "Meski kau wanita tomboi, aku akan menikahimu." Saat itu dirinya hanya merasa malu, langsung menamparnya. Lalu berkonflik selama tiga hari, duduk di samping tapi tak mau memulai bicara, dalam hati berharap Jiaming datang minta maaf atau memancing topik pembicaraan. Namun Jiaming tak pernah meminta maaf. Saat ke perguruan silat, sengaja tutup pintu tak mengizinkannya masuk, berharap dia mengetuk pintu. Mungkin dengan berkata "Buka pintunya", dirinya punya alasan untuk bicara. Tapi saat pintu dibuka, dia sudah pergi begitu saja.
Sejak kecil, itu adalah karakternya. Dirinya menangis penuh kesedihan di rumah, akhirnya juga dirinya yang pertama mencari dia, berbaikan seolah tak terjadi apa-apa. Situasi saat itu, betapa mirip dengan sekarang. Apa yang dia harapkan? Mungkin penjelasan, permintaan maaf, pengakuan, bahkan jika itu hanyalah kelicikan licik pria yang tak tahu malu. Mungkin... mungkin dirinya akan terpikat oleh bujuk rayu, tertipu untuk memaafkannya bahkan mencari alasan untuknya. Sekalipun itu tipuan, tak masalah...
Namun segalanya selalu begini. Dia menggunakan kesunyian untuk menggantikan permintaan maaf. Dia tahu penyesalan itu ada. Dirinya memotongnya dengan pisau, mungkin benar-benar ingin membunuhnya, dia pun akan menghadapinya tanpa bergerak. Tapi apa gunanya? Saat kecil, apapun masalahnya, dirinya selalu bisa bicara dulu, tersenyum dulu, berdamai dulu. Tapi kali ini... berbeda...
Dia menunggu dengan diam, menunggu. Cahaya matahari di ufuk mengikis sisa merah. TV memutar film kartun anak-anak. Tak ada yang berbicara. Entah kapan, telepon berdering. Lingjing secara bawah sadar mengulurkan tangan, mengangkat mikropon di sampingnya: "Halo..."
Dari seberang telepon terdengar suara penuh semangat: "Halo, siapa yang angkat telepon? Aku Dongfang Wan."
"Aku Ye Lingjing."
"Lingjing! Sudahkah kau bujuk Jiaming? Besok pagi sudah berangkat loh. Cuaca panas begini, naik bus AC ke Guilin yang sejuk, main di gua yang hangat di musim dingin, berenang di Sungai Li. Hal baik begini, mana bisa tidak ikut."
“Jiaming bilang dia tidak jadi pergi.”
“Ah? Lupakanlah, dari tadi aku sudah tahu dia pasti tidak mau pergi. Kalau kau dan Shasha? Ikutlah bersama, ramai-ramai lebih seru. Di Beijing nanti belum tentu ada kesempatan seperti ini lagi.”
“Shasha juga tidak ikut……” Jawab Lingjing lirih seperti hantu. Setelah jeda sejenak, “Boleh aku ikut main?”
“Ten——tu——saja——selamat datang selamat datang. Kumpul di gerbang kampus besok pagi jam enam tepat. Berangkat lebih awal biar sejuk. Mau aku dan Yiting menjemputmu?”
“Tidak perlu, aku bisa datang sendiri. Terima kasih.”
“Bagus sekali! Jangan lupa bawa baju renang dan pelampung ya. Sebenarnya pelampung bisa beli di sana sih……”
Di telepon, Dongfang Wan terus mengoceh panjang lebar. Setelah menutup telepon, Lingjing duduk menunduk selama setengah menit. Akhirnya menarik napas dalam, mengangkat kepala, dan berdiri. Matanya yang memerah berlinang air mata, tapi tak setetes pun jatuh.
Sampai di pintu, dia memakai sepatu dan kaus kaki. Lingjing membuka pintu dan keluar: “Aku pulang tidur.” Pintu kamar tertutup perlahan. Beberapa saat kemudian, suara pemilik game center menyapa Lingjing terdengar dari bawah.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Jiaming menarik napas dalam, mematikan TV, dan meraba perban di lengannya. Dia mengangkat telepon dan memutar sebuah nomor.
“Halo... Kaoru, besok sore aku terbang ke Tokyo.”
Saat malam tiba, arahkan pandangan kita ke sebuah villa di pinggiran Kota Ningbaru.
Meski luas wilayahnya, villa besar ini sebenarnya tidak memiliki ciri khas yang menonjol. Namun dengan lampu-lampu yang mulai menyala bertahap, suasana di seluruh bangunan terasa mencekam. Belasan mobil mewah berjejer di jalanan luar villa. Beberapa orang dengan pakaian beragam kini menunggu AUDIENSI sang Tuan di ruang tamu.
"Hei, Lao Huang, apa yang kau katakan itu benar-benar sehebat itu?"
Yang sedang berbicara dengan orang di sebelahnya adalah seorang pria paruh baya bertubuh agak gemuk dengan tahi lalat di sudut mata. Jika waktu bisa diputar ulang, kita akan melihatnya di beberapa pertemuan bos geng kriminal Jianghai - dia adalah pemimpin kelompok menengah di Kota Jianghai yang dijuluki "Raja Gunung Cui". Saat ini kelompoknya sedang berseteru dengan Shazhu Bang. Alasan kedatangannya ke Xinning adalah sang pemilik villa, Zhao Zhenhai bos Xin Ning Bang. Tapi yang akan menemui mereka kali ini bukan orang tersebut.
Menanggapi keraguannya, Lao Huang di sebelahnya berbisik: "Tidak hebat? Sudah sampai di sini, tak ada salahnya kuberitahu. Lagipula nanti kau juga akan tahu... Grup Chao Hai, pernah dengar?"
"Bercanda! Semua yang terjun di bisnis pasti tahu Grup Chao Hai. Ada apa? Apakah orang di dalam... punya hubungan dengan Chao Hai?"
"Lebih dari sekadar hubungan. Dia adalah Putra kedua Chairman Ying Haisheng dari Grup Chao Hai, bernama Ying Zifeng. Coba pikir - dengan latar belakang seperti itu, bukankah membungkam Shazhu Bang hanya masalah menggerakkan lidah?"
Bos Cui terdiam lama: "Wah, serius? Xin Ning Bang bisa menjalin koneksi dengan Putra kedua Grup Chao Hai?"
"Koneksi memang ada sedikit, tapi yang paling utama, si nona-nona kecil dari Shazhu Bang itu menghina Putra kedua Duke. Bos Zhao juga punya cara, Shazhu Bang kan baru-baru ini katanya sedang reformasi, mulai berubah jadi baik. Bos Zhao menyuap koneksi, baru-baru ini menyuruh seorang bos mengajak Putra kedua Duke dan temannya ke sebuah bar milik Shazhu Bang. Seorang teman Putra kedua Duke naksir salah satu nona di sana, lalu mau mengeluarkan uang... Hal-hal seperti ini, kau pasti sudah tahu lah..."
Si Tuan Cui mengangguk, dia yang sudah biasa menghadapi badai, langsung paham beberapa hal setelah mendengar ini: "Wanita itu bukan pekerja seks?"
"Katanya mahasiswa yang kerja paruh waktu, kerja sambil kuliah. Tapi status Putra kedua Duke dan temannya kan tinggi, biasanya kalau ada hal begini dan dia mau bayar, kami bantu urusin, pasti mudah selesai. Temannya Putra kedua Duke yang sudah mabuk itu, lagipula wanita di bar kan biasanya santai saja. Tapi siapa sangka si nona kecil itu kebetulan ada di dekat situ. Bukannya melayani, malah langsung memanggil orang untuk memukuli temannya Putra kedua Duke."
Bos Cui tertawa: "Nah, perselisihan ini pasti akan berlanjut."
"Tentu saja." Lao Huang juga tertawa, "Tapi saat itu semua orang tidak yakin, ketika Putra kedua Duke keluar, ternyata mengenal nona kecil itu. Saat itu Putra kedua Duke tidak berkata apa-apa, tapi membuat bos yang disuap Zhao Lao Da ketakutan setengah mati. Setelah keluar, Putra kedua Duke menanyakan kelakuan kejam Shazhu Bang baru-baru ini sambil menyungging senyum dingin, lalu Anda sudah tahu, terjadilah hal yang sekarang. Bagaimanapun, Putra kedua Duke bertindak, menangani nona kecil itu pasti mudah saja. Alasan menghubungi kalian adalah jika Shazhu Bang bermasalah, Jianghai tidak boleh ikut bermasalah. Kita bisa membagi wilayah Shazhu Bang, tapi harus bertahap. Jika sampai membuat masyarakat bergolak, Anda tahu, tidak ada yang bisa menjamin keselamatan kita. Jadi Putra kedua Duke menjadi saksi penengah agar kita bisa berdamai dan mengatur hal-hal selanjutnya. Adapun orang-orang Shazhu Bang sekarang..."
Dia mengayunkan tangannya, tersenyum licik.
"Hehe, mari kita lihat nanti."
## Bagian Tiga Ratus Delapan Puluh Sembilan Pekarangan Kecil Keluarga Yuechi
29 Juli 2000, Tokyo, Jepang, keluarga Yuechi.
Mood Buntarou belakangan ini mulai menurun.
Kaoru telah menyelesaikan pelajaran tiga tahunnya di Tiongkok dan bulan ini kembali ke Jepang.
Bagi Buntarou, kepulangan Kaoru seharusnya menjadi kabar baik. Tentu saja, alasan di balik perasaan baik ini selalu enggan ia renungkan lebih dalam. Alasan di baliknya rumit - ada perasaan teman masa kecil, semangat kompetitif, mungkin juga rasa kasihan atau cinta. Terserahlah! Yang pasti semua orang tahu pertunangan Kaoru dengan Tenku Masaoka hanyalah formalitas. Perasaan Kaoru selalu dingin, sedangkan Tenku Masaoka juga sudah punya pacar resmi dengan hubungan yang harmonis. Pikiran-pikiran Buntarou pun tak perlu dipusingkan.
Tentu saja, meski tumbuh besar bersama, yang utama dalam hati Buntarou saat ini bukanlah hal-hal terkait kasih sayang. Tiga tahun silam Kaoru secara simbolis bertunangan dengan Tenku, lalu pergi ke Jianghai dengan alasan belajar seni bela diri Tiongkok dari seorang master tak dikenal. Namun sebenarnya tak ada yang menganggap serius alasan ini. Tapi hanya dalam setahun di Tiongkok, pada pertarungan di hadapan kepala keluarga, Kaoru yang sebelumnya peringkat kekuatan tidak tinggi di antara teman sebaya berhasil mengalahkannya dengan satu jurus Chiseisenran yang hebat, menjadi kejadian yang menggemparkan seluruh keluarga Yuechi.
Sejak kecil selalu menjadi pemimpin di antara teman sebaya, dia tidak akan mudah menyerah. Kekalahan waktu itu memang menunjukkan kekuatan Kaoru telah melampauinya, namun dalam hal perbedaan kemampuan, setidaknya menurutnya saat itu dirinya terlalu meremehkan lawan. Jika tidak, pasti tidak akan kalah begitu telak. Karena penghinaan dari kekalahan itu, selama dua tahun terakhir dia terus berlatih keras, meninggalkan kemajuan teman-temannya jauh di belakang, dengan tekad untuk bertanding lagi dengan Kaoru. Namun selama ini, belum juga menemukan kesempatan.
Selama dua tahun berturut-turut, semua orang ingin melihat serangan Kaoru lagi untuk membuktikan apakah kekuatannya benar-benar setinggi itu. Keinginan ini dimiliki Buntarou, para lawan seumuran, mungkin juga dewan tetua dan kepala keluarga. Tapi seolah sengaja menghindari hal ini, dalam tiga kali liburan musim dingin dan panas, Kaoru selalu mencari alasan tetap di Tiongkok atau memanfaatkan koneksi keluarga Tenmasa. Bahkan saat pulang, sama sekali tidak terlibat dalam urusan keluarga. Kadang malah sama sekali tidak bisa ditemui. Meski ini sudah dunia modern dimana gadis yang bertunangan tidak sepenuhnya dianggap milik keluarga lain, namun pertunangan Kaoru dengan Tenmasa Masaoka sendiri adalah tawaran aliansi keluarga Yuechi dengan Takamagahara. Ketika pihak Tenmasa menggunakan status tunangan untuk menutup beberapa hal, pihak keluarga pun tidak bisa bertindak berlebihan.
Maka, dua tahun pun berlalu. Jalan kuliah Kaoru masih belum diputuskan. Karena sudah lulus SMA, kepulangan kali ini dari Jianghai dalam arti tertentu bisa dibilang benar-benar melepaskan diri dari Tiongkok dan kembali ke rumah. Perasaan ini tentu berbeda dengan sensasi saat dia pulang selama liburan musim dingin atau musim panas, namun masalahnya terletak pada sikap Kaoru yang seolah ikut berubah.
Sejak kecil tinggal bersama, Buntarou paham betul dengan gadis yang seperti adik perempuannya ini. Setelah ibunya meninggal, hati Kaoru terus berada dalam kondisi dingin dan fase tertutup diri. Baik terhadap orang lain, diri sendiri, maupun berbagai hal, sikapnya selalu dingin. Sesekali memandang wajah sempurna bak boneka porselen itu, di hatinya tak terhindarkan muncul rasa iba. Namun saat itu mereka semua masih kecil, dia pun tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berlatih keras, menunggu hari di mana dia memiliki kemampuan untuk membantunya, mengubah sesuatu.
Sebagai putrinya Kepala keluarga, Kaoru sejak kecil tidak mendapat perlakuan istimewa. Bakatnya pun tidak terlalu baik. Setelah ibuku meninggal, hatinya semakin tertutup. Setiap hari dia hanya berlatih, berlatih tanpa henti. Metode latihan yang lebih giat dari siapapun ini tidak membawa hasil nyata, bahkan seringkali membuatnya luka-luka dan mendapat Teguran dari Shifu ilmu ninja. Sebagai penguasa tertinggi di antara teman sebaya, Buntarou terkadang ingin memberinya bantuan. Tapi metode latihan Kaoru tidak memiliki kesalahan, tingkat kesungguhannya juga tidak kalah dari siapapun. Bagi Buntarou yang sama-sama menyembah prinsip "satu buah usaha, satu buah hasil", dari mana bisa mengajukan saran yang lebih baik? Dia hanya bisa menyimpulkan Kaoru memang kurang bakat. Tapi bagaimanapun, tetaplah dia contoh bagi para trainee seangkatannya. Sesekali saat menang dalam duel, menangkap pandangan dingin namun berbinar yang Kaoru arahkan padanya, selalu memberi kepuasan besar. Dia iri padanya, mungkin bahkan mengaguminya - itu yang terbaik.
Apakah pemikiran seperti ini objektif atau tidak tidak bisa dikonfirmasi. Tapi sejak kekalahan Buntarou di tangan Kaoru dua tahun lalu, mimpi indah ini runtuh. Dia tidak bisa menerima perasaan ini, lalu berlatih mati-matian untuk merebut kembali reputasinya. Namun saat kepulangan Kaoru kali ini, barulah dia sadar: Bahkan perasaan dingin seperti fase tertutup diri itu, mulai mengalami perubahan.
Ekspresi datar dan dingin yang sama, sikap menjaga jarak dengan semua orang. Latihan setiap pagi, makan bersama semua orang. Tapi, dia bukan lagi gadis yang berlatih keras sampai terluka dan sama sekali tidak peduli pada dirinya sendiri. Setelah pulang, di waktu luangnya dia membuat beberapa perubahan kecil di halaman kecil tempat tinggalnya. Ini mungkin hal yang paling mengejutkan semua orang.
Sebagai putrinya Kepala keluarga, satu-satunya perbedaan Kaoru dengan yang lain mungkin terletak pada kepemilikannya atas halaman kecil pribadi. Dulu tinggal bersama ibunya di sini, setelah ibuku MATI, tinggallah gadis ini sendirian.
Tsukike Masazora tidak pernah datang ke sini. Setiap hari ada hamba yang datang untuk membersihkan sekadarnya. Halaman ini tidak terlalu besar, dulu ketika ibu dan putri masih tinggal bersama, tertata cukup rapi. Setelah wanita yang menjadi ibu MATI, perlahan tidak dihias berlebihan lagi. Kaoru tinggal sendirian, hanya menggunakan dua ruangan: ruang tamu dan kamar tidurnya. Tata letak sederhana, lebih baik daripada tidak sama sekali. Dua pohon di halaman sudah lama tidak dirawat, ikan di kolam kecil sudah MATI semua - untung belum jadi lubang air busuk. Di sudut halaman lama menumpuk sampah, bekas alat latihan Kaoru yang belum ditangani sejak dia pergi ke Tiongkok. Ruangan lainnya hampir semua terkunci dan diblokir.
Namun saat kembali kali ini, pada hari kedua, tanpa sepatah kata pun dia membersihkan sampah di halaman. Mungkin karena tidak menemukan kunci yang dulu sembarangan dia taruh, pada hari ketiga dia menghancurkan pintu kamar yang terkunci di halaman. Kemudian ketika orang-orang melewati halaman kecil itu, mereka bisa melihat bayangan gadis itu sedang mengetuk-ngetuk memasang kunci baru.
Sebagai tunangan Tenku Masaoka, Kaoru saat ini sudah memiliki identitas dengan hak istimewa. Namun ketika orang lain bertanya apa yang akan dia lakukan dan apakah membutuhkan bantuan pekerja, jawabannya hanya gelengan kepala datar. Jelas bahwa dia tidak ingin orang lain ikut campur dalam hal yang sedang dikerjakannya. Dalam hari-hari berikutnya, gadis itu sendirian memindahkan berbagai perabot dari kamar ke halaman, bahkan kamar tidur ibuku pun dikosongkan. Suatu kali Buntarou lewat, tepat melihat gadis berbaju putih dan rok panjang biru laut sedang menyeret lemari besar keluar dari kamar. Lemari kosong yang tampak besar itu ternyata tidak terlalu berat. Setelah menaruhnya di halaman, saat menoleh ke arah kamar, Buntarou tiba-tiba merasakan sesuatu: wajah cantik yang masih tanpa ekspresi itu seolah mengandung kerinduan yang tak terucapkan. Kerinduan ini tampak sama dengan tatapannya saat kecil dulu, hanya saja pandangan masa kecil itu selalu menusuk tulang, sedangkan sekarang perasaan dingin itu sama sekali tidak mengandung emosi negatif. Dia tiba-tiba merasa kehilangan arah.
Mungkin dia sudah dewasa, dan mulai menghadapi hidupnya dengan serius. Begitulah dia membujuk dirinya sendiri.
Setelah barang-barang dipindahkan, dilanjutkan dengan beberapa hari membersihkan dan memperbaiki. Gadis itu mengenakan kerudung dan masker, membersihkan debu dan jaring laba-laba di seluruh kamar, serta mengganti tatami yang usang dan lembap dengan yang baru sepotong demi sepotong. Ia tidak terburu-buru menyelesaikannya. Setiap hari setelah bekerja sebentar, ia duduk di bawah koridor sambil menyesap secangkir teh. Kesannya tidak seperti sedang melakukan pekerjaan melelahkan yang umumnya tidak akan dilakukan perempuan, melainkan sekadar hiburan dan rekreasi yang santai dan menyenangkan.
Hampir seluruh bagian rumah diperbaiki dari dalam hingga luar, baru kemudian perabotan dimasukkan satu per satu. Barang-barang itu ada yang baru dan lama, yang lama tentunya telah dibersihkan dan diperbaiki dengan hati-hati. Setelah setengah bulan, seluruh halaman tampak bersinar baru, persis seperti saat ibu dan putri tinggal bersama dulu. Rumput liar di sudut halaman telah dicabut, sampah di kolam kecil dikeruk, airnya diganti sehingga menjadi jernih. Setelah sekali keluar, dua batang teratai yang dipindahkan dari luar ditambahkan ke air, menciptakan suasana elegan.
Selama ini, banyak orang mengawasi halaman kecil itu, diam-diam menduga apakah Kaoru yang telah tiga tahun di Tiongkok hanya menjadi pekerja kasar selama itu. Tsukike Masazora juga pernah datang melihat, mungkin mengira putrinya mulai memperhatikan kualitas hidup, namun tak berkomentar. Bagaimanapun, dia akan menjadi bagian keluarga Amagai nanti. Selama Tenku Masaoka tak berkeberatan, segalanya baik-baik saja. Kaoru juga beberapa kali pergi keluar, membeli barang-barang seperti peralatan elektronik kecil bahkan TV untuk kamarnya, juga beberapa komik. Latihan hariannya singkat: beberapa set jurus Tiongkok biasa-biasa saja di halaman, lari-lari kecil. Lebih sering dia hanya duduk termenung di halaman, tenang, seolah menanti sesuatu.
Baru hari ini Buntarou akhirnya paham, pembersihan dan persiapan penuh harapan selama lebih dari setengah bulan ini ternyata untuk...
Seorang pemuda Tiongkok seusia Kaoru tiba di keluarga Yuechi dengan barang bawaan sederhana, menempati kamar yang telah dipersiapkan Kaoru dengan cermat. Itu kamar tidur terbesar di halaman kecil, tempat ibu Kaoru yang telah meninggal dulu tinggal...
## Bagian 390 Kecemburuan
Jiaming tiba di Tokyo pada pukul dua siang.
Kaoru menyetir mobil untuk menjemputnya, dari Bandara Haneda menuju lokasi keluarga Yuechi, di sepanjang jalan memberi komentar dan menjelaskan jalanan serta pemandangan yang dilewati. Karakter Kaoru yang biasanya pendiam, meski berusaha menunjukkan sikap ramah, ekspresinya tetap datar, penjelasannya pun sangat singkat. Sebenarnya dia tidak pernah tertarik pada hal-hal seperti jalan-jalan atau belanja yang digemari cewek sebaya, banyak tempat yang dijelaskannya bahkan tidak terlalu dia pahami. Jiaming hanya tersenyum mendengarkan tanpa bicara, meski secara teknis ini kunjungan pertamanya ke sini, Tokyo sebenarnya sudah seperti telapak tangannya sendiri. Begitu terus hingga mereka tiba di kediaman besar keluarga Yuechi sekitar pukul tiga setengah sore.
Awalnya Jiaming mengira Kaoru akan mempersiapkan kamar di luar atau menginap di hotel. Melihat halaman kecil yang sudah dirapikan itu, dia tertegun sejenak. Tempat ini meninggalkan kesan mendalam padanya, bisa dibilang ini spot paling berkesan dari seluruh kompleks keluarga Yuechi yang diingatnya.
Dia ingat saat itu dia menyusup ke keluarga Yuechi dan mengenal banyak orang termasuk Tenku Masaoka. Ketika pertama kali diperkenalkan dengan halaman kecil ini, dia merasa bingung - sebagai tunangan Tenku Masaoka dan putri kepala keluarga Yuechi, wanita itu ternyata telah tinggal delapan tahun di halaman kotor nan berantakan tanpa pernah keluar. Tak lama kemudian, untuk pertama dan terakhir kalinya dia melihat pemandangan di dalam: selain ruang tamu dan satu kamar tidur kecil, semua kamar terkunci. Dua ruangan yang terbuka itu memiliki tata letak sangat sederhana. Seorang wanita bernama Kaoru yang mengenakan kimono cerah duduk di kamar tidur gelap nan menusuk tulang, membuka pergelangan tangannya sendiri. Darah mengalir di lantai bagikan kelopak sakura raksasa.
"Setelah keluarga Yuechi binasa, banyak hal langsung terlupakan di kedalaman pikiran. Namun adegan yang ia anggap muram namun indah ini terkadang terlintas. Mungkin karena wanita yang MATI itu terlalu cantik... Saat itu dia berpikir demikian."
"Aku tinggal di sini."
Setelah memperkenalkan diri seadanya. Wanita itu mengantar Jiaming ke kamar yang sudah diurus rapi. Melihat ada TV dan komik, Jiaming tak bisa menahan senyum. Barang bawaannya sedikit. Ia menaruh tas ransel, menyalakan TV untuk menyaksikan channel berbahasa Jepang yang sudah bertahun tak ditonton. Kaoru mengambilkan air untuknya cuci muka, kemudian berjalan-jalan di halaman kecil sambil mengamati sekeliling.
Kesan halaman kecil langsung terlihat jelas, baru-baru ini diurus habis-habisan. Banyak tempat tetap sederhana, menggunakan perabotan lama. Di mata Jiaming, mungkin karena perabotan yang diganti tidak ada tempat penyimpanannya. Kamar yang ditempatinya adalah kamar utama, hanya satu-satunya ruangan yang diubah menjadi wujud ramai yang sama sekali berbeda. Kolam kecil di halaman jernih sampai dasar, dua ekor ikan koi kecil berenang lesu di dalamnya, diperkirakan baru dimasukkan belakangan ini, terlihat persis seperti mau MATI. Berdiri di pintu kamar tidur kecil Kaoru, Jiaming justru menatap lama dalam kesunyian. Kaoru berdiri di sampingnya mengikuti.
"Guru tidak mau istirahat sebentar?"
"Heh, tingkatku belum sampai harus istirahat hanya karena naik pesawat."
"Eh, kalau begitu... Aku bawa Guru melihat-lihat keluarga Yuechi?"
"Baik juga..."
Baik terhadap Tokyo maupun keluarga Yuechi, mungkin justru dirinya yang lebih saling mengenal. Dengan pemikiran seperti itu, akhirnya Jiaming mengangguk, kemudian bertiga keluar dari halaman kecil, dipandu Kaoru menyusuri jalan-jalan untuk berkeliling.
Sebenarnya, sebagai klan ninja yang mewarisi tradisi kuno, wilayah keluarga Yuechi ini memiliki area yang sangat luas, nyaris seperti desa besar atau kastil. Tidak semua yang tinggal di sini adalah ninja atau tentara bayaran. Mengikuti perkembangan zaman, banyak anggota keluarga Yuechi yang telah meninggalkan takdir sebagai ninja dan bertanggung jawab atas berbagai hal lain, seperti Pool Sakura yang terkenal di dunia luar, bahkan ada yang berkecimpung di lingkaran politik. Di dunia modern, jika hanya melakukan aktivitas dalam kegelapan, mungkin tidak akan bisa bertahan hidup. Tentu saja, untuk saat ini, tradisi ninja tetap menjadi hal paling penting yang mereka pegang teguh.
Jika berada di zaman kuno, tempat ini mungkin merupakan desa ninja dengan pengamanan paling ketat. Namun seiring perkembangan beberapa dekade terakhir, banyak hal telah berubah. Saat ini, keluarga Yuechi terbagi menjadi dua area: luar dan dalam. Area luar terdiri dari perumahan untuk anggota ras biasa seperti pedagang, politisi, dan keluarga mereka. Meski terdapat sistem pertahanan dan pengamanan, tampilannya seperti desa modern biasa dengan jalan lurus, taman, villa atap merah dan dinding putih. Area dalam digunakan untuk pelatihan ninja dan tempat tinggal anggota inti. Singkatnya, ini adalah tempat persembunyian bagi mereka yang berstatus gelap - termasuk Kepala keluarga, Pool Sakura, pejabat tinggi politik, ninja dan tentara bayaran yang melakukan operasi gelap. Pertahanannya sangat ketat dengan berbagai sistem modern maupun kuno. Menurut Jiaming, di sini hampir setiap beberapa langkah terdapat kamera rahasia tersembunyi, senjata api otomatis/semi-otomatis, jebakan pintu rahasia, hingga pintu masuk terowongan bawah tanah. Jika diaktifkan, tempat ini akan segera berubah menjadi benteng pertahanan paling ketat yang bahkan burung pun tak bisa lewat dengan bebas.
Tentu saja, pertahanan internal pada hari-hari biasa tidak akan seketat itu. Orang dari lapisan luar yang ingin masuk cukup memberi salam, seperti di sebuah pabrik tempat semua orang saling kenal - masuk untuk berkunjung tentu saja hal sepele. Halaman tempat Kaoru tinggal termasuk dalam radius efektif lapisan dalam. Meski tanpa prosedur registrasi formal, dengan Kaoru sebagai pemandu dan berusaha mengabaikan berbagai hal tersembunyi, sekumpulan bangunan di tengah hutan ini benar-benar terasa damai dan harmonis.
Seperti jalan setapak berbatu di desa pedesaan, pagar kayu atau batu, sekumpulan bangunan bergaya Jepang kuno yang tampak klasik, bercampur dengan rumah-rumah modern, plaza semen, atau lapangan latihan bela diri dengan ubin cantik di dinding luar, pintu dan jendela kaca dari lantai ke langit-langit bahkan dilengkapi lift yang tersembunyi di balik pepohonan. Yang paling dominan mungkin pohon-pohon raksasa kuno di mana-mana, teduh rimbunnya menahan terik musim panas. Jalan berkelok-kelok, seringkali saat berbelok kita akan terkejut melihat pemandangan indah yang tersembunyi, mirip taman bergaya Tiongkok yang mengutamakan jalan berliku menuju ketenangan. Tentu saja, suasana di sini terasa lebih menusuk tulang.
"Rumah itu adalah tempat semua orang makan..."
"Itu lapangan latihan bela diri..."
"Kepala keluarga dan para tetua bekerja di area sana..."
"Nona Nakamura tinggal di sini, dia seorang dokter..."
"Di bawah itu ada Gudang Senjata, latihan senjata api juga dilakukan di sana..."
“Di sini dulunya adalah taman, waktu Ibu masih hidup suka datang ke sini……”
Belum sampai sore, kemungkinan besar para ninja yang sedang latihan punya tugas masing-masing, seluruh area terlihat sepi. Kaoru berjalan sambil menjelaskan hal-hal di sekitar kepada Jiaming, mungkin ini percakapan terlama yang dilakukannya selama bertahun-tahun. Pipinya memancarkan semburat merah samar, meski ekspresinya tetap datar, tapi bisa dirasakan kegembiraan di hatinya. Sesekali mereka berpapasan dengan pejalan kaki atau mobil kecil yang lewat, tapi tak ada yang menyapa——ini mungkin kebiasaan Kaoru. Nama-nama orang ini sebenarnya dikenal Jiaming, saat berpapasan terasa tatapan penuh tanya atau keheranan dari mereka. Sikap dingin Kaoru tentu sudah menjadi rahasia umum di seluruh keluarga Yuechi.
“Hubungan dengan ayahku bagaimana?”
“Belakangan ini tidak ada upaya komunikasi darinya.” Kaoru menggelengkan kepala dengan datar, tak terlihat kekecewaan sama sekali. Soal ini jelas tak dia pedulikan.
“Sudah berapa lama?”
“Kira-kira... setahun setengah.”
“Terakhir bicara tentang apa?”
Pertanyaan Jiaming yang spontan membuat Kaoru terdiam sejenak: “Saat kepulangan liburan musim dingin tahun lalu, dia menanyakan situasiku di Tiongkok... Aku tak menjawab.”
“Oh...” Jiaming mengangguk. Pertanyaan tentang situasi di Tiongkok mungkin berkaitan dengan mentor yang dia ikuti. Setelah berjalan beberapa langkah, Jiaming bertanya: “Masih ingin membantu urusan keluarga?”
“Aku tidak tahu……” Kaoru berkata pelan sambil menggelengkan kepala, pandangannya terlihat kosong, “Mereka… menyuruhku bertunangan dengan Tenmasa-kun, setelah itu tidak ada syarat apapun lagi… Kurasa… mereka sudah tidak menginginkanku lagi……”
“Heh, sepertinya tempat ini tidak cocok lagi untukmu, lebih baik kau pindah saja.”
“Tuan Gu… harapanku untuk pergi dari sini?”
“Tapi ini juga merepotkan. Kau sendiri tidak punya target, tinggal di sini setidaknya ada yang merawat. Jika di luar, mungkin tempat tinggalmu akan berantakan seperti kandang anjing. Di keluarga Amagai juga tidak tepat, pacarnya sangat hebat dalam hal ini. Meski kalian saling kenal, belum tentu dia tidak cemburu……”
Ingin membuat Kaoru mandiri adalah rintangan besar. Mungkin nanti hanya Tenku Masaoka yang bisa mengurusnya. Seperti Dongfang Lu, jika hanya sebagai Teman tanpa terlalu banyak dampak hebat, orang ini memang sah dalam moral pribadi dan bisa dipercaya. Sambil tersenyum menepuk bahu Kaoru, tiba-tiba beberapa orang berlari maju dari seberang: “Kau ngapain!”
Mengenakan seragam latihan putih dengan katana panjang di tangan, pemimpinnya adalah Buntarou. Sudah terlalu lama, sebelumnya menyadari ada orang di sana, Jiaming tidak terlalu memperhatikan. Sekarang menoleh dan mengenalinya, agak memahami perasaannya pada Kaoru. Tatapan penuh Kemarahan yang menusuk dan Niat Membunuh yang tegas kini bisa dimengerti. Dengan senyum, Dia menarik kembali tangan yang masih di bahu Kaoru: “Apa kabar.”
“kau ini siapa!” sama sekali mengabaikan sikap baik Jiaming, Buntarou dengan satu tangan menekan gagang pedang. Meski mengenakan seragam latihan, demi mengejar kekejaman dan keaslian, saat semua orang telah memiliki kendali tertentu, latihan kendo umumnya menggunakan pedang sungguhan. Melihat kemarahannya saat ini, jika bukan karena Kaoru yang dengan halang menghadang di depan, mungkin dia sudah tidak bisa menahan diri untuk menebas...
## Bagian 391 Perbedaan
“kau ini siapa!”
Awalnya mendengar Kaoru membawa seorang baron dari Tiongkok masuk ke halaman yang baru saja dia bersihkan, kemudian mengajaknya berkeliling keluarga Yuechi, hati Buntarou sudah diliputi kecemasan kompleks. Emosi ini datang dari berbagai sisi, bahkan dirinya sendiri tak bisa menjelaskannya. Begitu mendengar hal ini, hatinya langsung gelisah dan ingin mengubah sesuatu. Dengan membawa beberapa sekutu dekat, pandangan pertama yang dilihatnya adalah tangan anak laki-laki itu dengan tindakan semena-mena menepuk bahu Kaoru. Tanpa sempat berpikir panjang, dia langsung berlari maju, mempersiapkan diri untuk menebas.
Selama ini, sikap dingin Kaoru telah diketahui seluruh keluarga Yuechi. Faktanya, dalam lingkungan seperti ini, tidak sedikit orang dengan karakter aneh bahkan mesum. Alasan Kaoru mendapat perhatian tentu karena statusnya sebagai putrinya kepala keluarga. Apapun alasannya, banyak hal yang diketahui semua orang: Kaoru tidak dekat dengan siapa pun, tidak melakukan interaksi sia-sia, tidak menunjukkan keakraban atau perhatian khusus pada siapapun. Saat pertarungan mungkin ada kontak fisik, tapi saat itu Kaoru begitu destruktif dan ganas, membuat mustahil timbul niat mesum. Kontak fisik bersahabat seperti tepukan bahu sekalipun, tak mungkin dilakukan bahkan pada sesama wanita. Melihat gerakan pemuda Tiongkok itu, Buntarou langsung menganggapnya sebagai tindakan tidak sopan. Menyadari tubuh Kaoru seakan tak sengaja menghadang, sebelum pemuda itu menjawab, matanya sudah beralih pada gadis teman masa kecilnya.
“Kaoru, dia ini siapa!”
“Bukan urusanmu.”
“Aku Gu Jiaming, teman sekelas dan sekursi Kaoru di Tiongkok. Salam kenal semuanya.”
Jawaban Kaoru terdengar dingin dan tegas, namun Jiaming di belakang justru tersenyum memperkenalkan diri dalam bahasa Jepang. Mendengar statusnya hanya sebagai teman sekelas, Buntarou menyorotkannya tatapan penuh pertimbangan sebelum kembali ke Kaoru: “Kaoru, kau lupa peraturan kita. Orang tak berkepentingan dilarang masuk ke kediaman dalam. Kau malah mengajaknya berkeliling, kau...”
“Dia bukan orang tak berkepentingan.”
“Aku pikir identitasnya tidak diakui. Keamanan hari ini di sini adalah tanggung jawabku, jadi aku punya kewajiban mencegah orang luar yang tidak jelas identitasnya menyelidiki rahasia keluarga Yuechi. Mengingat dia datang dari Tiongkok dan hanya teman sekelasmu, menurutku identitasnya mungkin tidak bisa diandalkan...”
Ucapan yang mengalir deras tiba-tiba terhenti. Di depan matanya, gadis itu melangkah maju langsung berdiri berhadapan dengannya. Meski ekspresinya tetap datar, tapi tatapan dan aura-nya membuat Buntarou yang tumbuh bersamanya sejak kecil pun bisa memahami jelas: mungkin karena ucapannya tadi, mood gadis di hadapannya sedang sangat buruk. Itu perasaan ketika suasana hati yang awalnya gembira tiba-tiba dikacaukan.
Bertahun-tahun ini mungkin pertama kalinya sang gadis merasakan kegembiraan seperti ini. Jika ini karena dirinya, Buntarou mungkin akan menganggapnya sebagai harta seumur hidup. Tapi sekarang, karena gangguan dari pemuda Tiongkok di belakangnya yang merusak mood-nya, justru muncul perasaan senang yang tak terungkap di hati Buntarou. Sekaligus, tangannya sudah erat memegang gagang pisau. Cara gadis ini mengekspresikan suka-duka sangat langsung - mungkin sebentar lagi dia akan menyerang dan memukul orang.
Fakta bahwa dia bisa marah sekuat ini, dalam arti tertentu sudah lama tidak terjadi. Memikirkan ini, Buntarou merasakan sedih yang samar di hatinya.
Cahaya matahari sore menembus celah-celah pepohonan. Kedua pihak berhadap-hadapan dengan tenang di jalan. Beberapa orang mengamati situasi dari kejauhan di antara rumah-rumah. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rok panjang biru laut dan helaian rambut di dekat telinga gadis itu. Pandangan Buntarou menjadi tajam.
Serangan dimulai!
"Kaoru!"
Saat katana hendak dihunus, suara pemuda itu juga bergema dari belakang Kaoru. Buntarou yang sedang dalam konsentrasi tinggi mungkin tidak menyadari tekanan khusus pada pengucapan tersebut. Tetapi emosi Kaoru tiba-tiba menjadi tenang, menghilangkan niat untuk menyerang.
"...Ya."
Menunduk menjawab, dia mundur dua langkah dan kembali ke sisi Jiaming. Jiaming tersenyum sambil melihat jam tangannya.
"Lupakan, mengikuti aturan itu benar. Jangan sampai aku yang melanggar protokol. Sudah hampir pukul lima, kunjungan hari ini cukup sampai di sini. Mari kembali ke tempatmu dan mempersiapkan makan malam."
Dalam bahasa Jepang yang jelas terdengar oleh Buntarou, dia melanjutkan: "Maaf, sebelum identitasmu diverifikasi, kau tak diizinkan masuk ke area publik di kediaman dalam. Sekarang pukul empat lima puluh. Sebelum makan malam, kurasa kami belum bisa menyelesaikan verifikasi identitasmu." Meskipun halaman Kaoru memiliki dapur, tempat itu tak pernah digunakan untuk memasak. Kaoru selalu makan bersama orang lain - fakta yang sangat Buntarou pahami.
Begitu kalimat ini diucapkan, pandangan Kaoru kembali tertuju ke arahnya. Jiaming tersenyum sambil menepuk bahunya: "Tak apa, hari ini kita makan di luar. Menurut deskripsi wisata, ada beberapa restoran enak di Tokyo. Waktu menyetir ke sana pas, pulang agak malam juga tidak apa-apa. Uh... permisi dulu."
Karakter Kaoru yang polos membuatnya biasanya tak peduli makan di restoran atau kantin ramai. Tapi kali ini, mungkin terasa berbeda. Makan di restoran jelas lebih baik daripada kantin. Dengan begini menjamu tamu, mungkin Jiaming juga akan lebih senang. Tanpa menghiraukan Buntarou dkk, ia langsung berbalik badan. Kalimat "pulang agak malam" Jiaming terdengar terlalu menggoda di telinga orang lain. Wajah Buntarou langsung berubah hijau, menggigit gigi sambil bergumam: "Maaf, setelah identitasmu dikonfirmasi, keluarga Yuechi akan menyambutmu untuk mengunjungi bagian mana saja..."
Setelah dua bayangan itu benar-benar menghilang dari pandangan, barulah orang-orang di belakang mulai berdiskusi ramai.
"Teman sekelas Kaoru di Tiongkok ya..."
"Kelihatannya biasa saja."
"Cuma bocah kurang ajar yang tak tahu langit tinggi bumi rendah..."
"Jangan-jangan Kaoru suka dia? Setelah pulang, dia sampai menghabiskan setengah bulan merapikan kamar. Rupanya untuk tempat tinggalnya..."
"Suka... Kurang mungkin... Tapi sikap Kaoru padanya memang sangat berbeda, ya..."
"Bangsat! Diam semua!" Buntarou tiba-tiba berteriak mendengar perbincangan mereka, "Cuma bocah yang datang liburan ke Jepang mengandalkan status teman sekelas. Kaoru belum cerita ke dia bagaimana tempat keluarga Yuechi sebenarnya, hmph. Dengan mimpi indah di pangkuan, mungkin masih mengira bisa menjilat putri keluarga besar. Besok... akan kubuat dia paham... perbedaan antara dia dengan dunia ini..."
……
……
"Wah, perbedaan ya perbedaan... Ini zaman apa lagi, setiap kekuatan gelap sudah beradaptasi dengan budaya dunia. Kalau tidak, pasti akan didiskualifikasi zaman. Kok orang-orang keluargamu masih berperilaku seperti fanatik militaris, siap-siap bawa katana mau PK orang kapan saja..."
Saat mobil keluar dari pintu gerbang Yuechi, Jiaming pura-pura menghela nafas. Faktanya ia sudah tahu persis kondisi keluarga Yuechi. Bersandiwara di depan Kaoru ini cuma tindakan iseng. Singkatnya, ini keluarga kuno di tepi krisis yang sedang bertransformasi. Karena aliansi dengan Takamagahara, nasib mereka bisa eksis atau punah. Di siklus sebelumnya mereka tersingkir beberapa tahun kemudian. Tentu kali ini perubahan yang dibuat Jiaming memicu efek kupu-kupu sehingga pengaruh Pei Luo Jia jauh menurun, mungkin bisa terhindar dari nasib buruk itu.
“Tapi, sebagai Kaoru, belum tentu dia akan mempertimbangkan masalah yang terlalu rumit di depan Jiaming. Bukan berarti dia tidak punya kemampuan berpikir, tapi hanya saja di dekat Jiaming, dia merasa tidak perlu berpikir.” Karena itu, dengan penuh permintaan maaf, dia menunduk dan mengucapkan: “Maaf.”
“Bocah Buntarou itu sebenarnya cukup baik... Setidaknya padamu dan keluarga Yuechi.” Jiaming mengangguk.
Pandangan Kaoru tertuju padanya: “Bagaimana Tuan Gu tahu nama Buntarou?” Dia ingat sebelumnya tidak ada perkenalan resmi yang terjadi.
“Aku tahu jauh lebih banyak dari yang kau bayangkan.” Dia tersenyum. Sebenarnya, baginya yang sudah melalui hampir 30 tahun, berjalan di jalan yang sama dengan orang berbeda yang menjelaskan lingkungan sekitar, perasaan ini mirip dengan di Bandara Amsterdam dulu. Seolah kekuatan besar menghapuskan 30 tahun secara mutlak, menyatukan dua zaman. Sepanjang jalan dia melihat bayangan dirinya yang dulu, sensasi ini seperti samsara yang memungkinkannya mengamati diri sendiri lebih jelas, menemukan makna regenerasinya.
Perasaan ini sangat ajaib. Tapi tentu, dia tetap seorang pembunuh bukan penyair. Bagi dia, ini hanya semacam melankoli ringan yang ada di pikiran sebagai hiburan. Mungkin siapa pun dengan pengalaman serupa akan merasakan kontras ini. Setelah merenung sejenak, alisnya berkerut: “Tapi terlihat meski ada hubungan dengan Tenmasa, kedudukanmu di keluarga Yuechi tidak terlalu dihormati... Kalau begini...”
“Aku bisa mengalahkan mereka.”
“Oh, tentu saja aku tahu, kelompok orang tadi, kekuatanmu bisa menangani mereka semua. Tapi setelah melakukan ini, kamu jadi lebih bernilai manfaat. Nanti pasti tidak akan diabaikan seperti sekarang... Mungkin bahkan setelah secara nominal pindah ke pihak Tenku Masaoka, tetap tidak bisa melepaskan diri dari mereka. Aku terlalu paham...”
“Begini...”
“Aku tidak suka.” Jiaming memotong pembicaraannya, “Bagaimanapun, jika Tenku karena sikap tidak jelasnya membuat deterensi tidak cukup, mungkin... Uhh...”
Sepertinya ada ide tertentu, pandangannya tertuju ke luar jendela mobil, tersenyum dengan dingin.
Bangunan di pinggir jalan berjajar seperti adegan film, menyusuri jarak pandang ke belakang dengan cepat...
## Bagian Kesembilan Ratus Sembilan Puluh Dua Hidangan Laut Segar
“Tuan Gu pernah ke Tokyo sebelumnya?”
“Lebih familiar dari yang kau bayangkan.”
Saat pulang setelah makan malam, Kaoru mengajukan pertanyaan ini dengan penasaran. Karena setelah makan di restoran, mereka berdua berkeliling pusat kota lebih dari sejam dengan mobil yang dikemudikan Jiaming. Terlihat jelas penguasaannya terhadap Tokyo. Meski jarang memperhatikan hal-hal seperti jalan-jalan, Kaoru bisa mengenali beberapa tempat sepanjang rute yang sebenarnya merupakan aset rahasia Pei Luo Jia. Jiaming tidak menyembunyikannya, malah fokus mengamati berbagai hal di sekitarnya setiap kali melewatinya: kamera rahasia di jalanan, lampu lalu lintas, patroli polisi, dan kantor polisi terdekat. Bukan pandangan pertama kali, melainkan penguatan memori yang sudah ada.
Mengapa Jiaming datang ke Tokyo, dia sudah lama memiliki keraguan di hatinya. Namun bagaimanapun, karena Jiaming tidak secara inisiatif mengatakannya, dia juga tidak mau bertanya. Yang terpenting adalah dia sudah datang, apapun yang ingin dilakukan, dia akan membantu sepenuhnya... Tentu saja kata "membantu" mungkin kurang tepat. Di hatinya, terutama setelah mengetahui identitas dan prestasi Jian Suyan, Jiaming selalu memiliki citra yang hampir tak terkalahkan.
Kembali ke keluarga Yuechi, Kaoru membantu Jiaming menyelesaikan prosedur verifikasi identitas. Faktanya, hal ini tidak serumit yang dikatakan Buntarou. Karena dia adalah temannya, hanya perlu beberapa kata saja. Setelah kembali, Jiaming sudah mandi dan berbaring di ranjang membaca komik, suara TV dikeraskan. Setelah mandi, Kaoru duduk memeluk boneka panda besar di tepi ranjang sambil menonton TV, berbicara santai. Sekitar jam sebelas, Kaoru kembali ke kamarnya. Lampu di halaman dimatikan, keduanya tertidur dengan suara jangkrik berkicau di luar.
Di villa tempat tinggal kepala keluarga Yuechi, lampu di perpustakaan lantai satu masih menyala. Tsukike Masazora sedang melihat data-data di belakang meja belajar. Di dalam ruangan ada tiga orang: dua pria paruh baya yang merupakan tetua sekaligus pelatih ilmu ninja keluarga Yuechi, dan seorang pemuda yang adalah kakak tiri Kaoru, Tsukike Tetsuya.
“Sebenarnya, Tetsuya adalah anak dari selir Tsukike Masazora, atau lebih tepatnya saat dia dilahirkan, status ibuku masih sebagai selir. Ibu Kaoru adalah istri sah, meski tidak pernah ada ikatan emosional, gelar itu tak pernah berubah. Oleh karena itu, terhadap adik tiri yang bernama Tetsuya itu, pria tersebut selalu tidak punya simpati lebih banyak. Tapi sebelumnya dia basically tinggal di luar negeri, baru dua tahun ini pulang, kesempatan bertemu dengan sang adik pun jarang, apalagi sampai terlibat dalam hubungan yang berarti.”
“Melihat perubahan internal keluarga Yuechi dalam dua tahun terakhir, terhadap anak laki-laki yang ilmu ninjanya kurang mumpuni tapi logikanya sangat meyakinkan ini, Tsukike Masazora jelas sangat kuminati. Bahkan diam-diam ada rencana menyerahkan masa depan Yuechi ke tangannya. Pertama, mungkin dia juga sudah menyadari situasi memalukan Yuechi saat ini, berharap pemikiran lebih terbuka untuk melakukan perubahan penting pada keluarga Yuechi. Kedua, siapa pun yang mengenalnya pasti paham dia punya konsep memprioritaskan anak laki-laki daripada perempuan. Kaoru sebagai cewek, bagaimanapun dia berusaha, fakta bahwa tidak akan mendapat perhatian sudah ditetapkan.”
“Hal ini tidak perlu kau yang mengatakannya, Tetsuya. Aku juga sudah dengar. Kaoru mempersiapkan selama setengah bulan hanya untuk membuat teman sekelasnya tinggal di sini. Hal ini...”
Meletakkan data-data dari Tetsuya di tangan, Tsukike Masazora mengangguk, untuk sementara tidak memberikan tanggapan. Meski menganut paham patriarki yang parah, namun dengan status sebagai putrinya, perasaan akhirnya tetap berbeda. Tentu saja, sikap dinginnya terhadap Kaoru awalnya bersifat multidimensional. Meski membenci istri, tapi putri ini tetap darah dagingnya, namun karena jarak antara ayah dan anak telah berlangsung bertahun-tahun, tentu dia juga tidak punya inisiatif untuk menggantikan apapun. Hanya saja setelah mendengar kabar ini hari ini, di hatinya muncul emosi yang kompleks.
Putri yang menjadi dingin sejak kematian ibunya tiba-tiba mulai memperhatikan sekeliling. Menghabiskan setengah bulan merapikan rumah, bahkan mengganti kamar-kamar yang seharusnya menyimpan kenangan menyakitkan tanpa ragu. Meski bertahun-tahun tak terlalu menyorotinya, sikap seriusnya bisa dilihat siapa pun. Dan sekarang, rupanya pembersihan total warisan ibunya oleh putrinya adalah untuk menjamu seorang anak laki-laki. Hal ini membuatnya merasa tidak nyaman, dan sebagai pembaca, kita mungkin bisa menganggap ini ada unsur perasaan "pantat ayah yang setengah" yang sedang bermain di sini.
“Aku juga mendengar kesibukan adik perempuan selama lebih dari setengah bulan ini. Tentu saja, sebagai tata krama menjamu teman memang tak bisa disalahkan. Tapi sekarang dia adalah tunangan Tenmasa-kun. Meski Tenmasa-kun akhir-akhir ini sedang menjamu tamu dari Tiongkok untuk pertukaran seni bela diri, dia bisa datang kapan saja. Aku hanya berpikir, apakah ini akan menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu jika dia melihat hal seperti ini.”
“Menurutku kekhawatiran Tetsuya ada benarnya.”
Keluarga Yuechi tidak termasuk kuat dalam kekuatan gelap. Hubungan mereka dengan Takamagahara lebih tepat disebut bergantung daripada kerjasama. Karena itu, suka atau tidaknya Tenmasa Masaoka-lah yang paling penting. Begitu Tetsuya selesai berbicara, seorang pria paruh baya di sampingnya mengangguk setuju. Tsukike Masazora menghela napas: “Besok pagi aku akan langsung bicara padanya.”
Yuechi Tetsuya mengangguk: “Menurutku cukup dengan mengganti kamar tamu untuk teman sekelasnya itu. Aku yakin adik juga akan memahaminya.”
Keesokan harinya sebelum fajar, Kaoru seperti biasa sudah bangun. Saat berjalan ke lorong dengan setelan olahraga sederhana, dia baru menyadari Jiaming sudah duduk di sana mengikat tali sepatu. Hatinya kembali dipenuhi kekaguman. Setelah tiga tahun pelatihan dari Jiaming, panca indranya sudah luar biasa kuat. Di pagi yang sunyi senyap ini, bahkan semut merayap di halaman pun takkan luput dari pendengarannya. Tapi saat Jiaming bangun dan keluar, dia sama sekali tidak menyadarinya. Jiaming menoleh padanya sambil tersenyum, lalu menunjuk dahinya: “Kalau kau ikat kain putih di dahi lalu tulis ‘Pasti Menang’, kau bisa jadi gadis cantik penuh semangat dan sinar matahari muda seperti di film animasi.”
“Bukan semua seperti itu,” Kaoru tersipu.
“Heh, kau yang memimpin jalan?”
“Hmm.”
Mengikuti langkah kecil Kaoru keluar dari halaman, kegelapan malam pekat menyelimuti. Di balik rimbun pepohonan, kerlip lampu terlihat bertebaran jauh-dekat. Pada jam segini, beberapa orang sudah mulai beraktivitas. Setelah melewati kawasan permukiman, mereka memasuki jalan setapak di tengah hutan. Bayangan pepohonan menari-nari dalam kegelapan, tapi bagi mereka berdua, tentu bukan halangan. Mereka terus berlari kecil.
“Tenmasa akhir-akhir ini tidak datang, ya?”
“Aku tidak menghubunginya. Tapi katanya, Tenmasa-kun sedang sibuk menerima tamu pertukaran seni bela diri. Guru Chen dari Shengxin juga ikut dalam rombongan itu.”
“Oh, Chen Guxia...”
Sambil berlari, mereka mengobrol ringan. Mendengar kabar ini, Jiaming mengangguk. Beberapa bulan terakhir, ia tak terlalu mempedulikan berita-berita yang tak relevan dengannya. Tapi mengingat situasi Pei Luo Jia sedang buruk, setelah konflik terselubung mereda, waktunya mereka membuat aksi demonstrasi yang membosankan. Dengan kolaborasi tiga kekuatan - [], Dark Celeste, dan Takamagahara - ditambah dukungan kekuatan Takamagahara di Jepang, rasanya Pei Luo Jia takkan melakukan pembunuhan bayaran yang justru akan memperuncing konflik.
“Kalau acara pertukaran seni bela diri, pasti berhubungan dengan dojo Arajima itu.”
“Hmm, sepertinya di Dojo Kenjutsu Meizang milik Master Arajima Shinsei.”
Arakan Masayo (Catatan: nama karangan penulis) sangat terkenal di dunia Kendo Jepang saat itu. Meskipun lawannya adalah anggota Pei Luo Jia, aroma penghormatan masih terasa dalam penyebutan Kaoru kali ini. Jiaming tersenyum mengangguk, tentu saja dia mengenal orang ini - mantan pelatih Pei Luo Jia yang sudah mengundurkan diri sebelum Jiaming bergabung, namun sesekali masih menunjukkan kemampuannya. Berasal dari latar belakang pembunuh, seni bela diri pembunuhannya bahkan melampaui Da Nei Zhangdu. Dalam radius 10 meter, sebagian besar pembunuh level satu Pei Luo Jia akan langsung kehilangan lengan sebelum sempat menarik atau menembakkan senjata. Teknik menghunus pedangnya yang mematikan bahkan mampu membelah tembok atau lempengan besi.
"Luka Guru Chen sudah pulih total, kekuatannya dalam memukul masih luar biasa. Tapi jika dibandingkan dengan Arakan, masih sedikit kalah. Tapi tujuan utamanya ke Jepang kan cuma untuk demonstrasi kekuatan, seharusnya dia tidak akan turun tangan. Selama Pei Luo Jia tidak berani membunuh, itu sudah membuktikan penurunan kekuatan mereka. Tapi soal Arakan..." Jiaming merenung sejenak, "Ini bisa jadi proyek..."
"Guru ingin bertanding dengan Arakan Masayo?"
"Arakan tetap lebih mudah dibunuh daripada Yoritomo Taku..." Jiaming tersenyum samar. Tapi sebenarnya Yoritomo Taku mungkin juga mudah - cukup tangkap gadis penjual mi itu dan paksa dia bunuh diri di hadapanku... Bisa jadi si bodoh itu benar-benar akan melakukannya...
"Begitu mengobrol sambil jogging pelan, berputar dari lereng gunung terpencil, semburat putih keabu-abuan di ufuk timur mulai terlihat. Keluar dari hutan, terlihat sebuah plaza tak jauh di depan. Di samping plaza terdapat area latihan indoor yang luas. Saat ini 20-30 orang sedang saling bertarung di plaza dengan katana, dentingan senjata yang nyaring terus bergema. Beberapa yang tidak sengaja terluka sedang membalut luka mereka di tepi lapangan dengan santai. Di persimpangan jalan kecil tepi plaza, berdiri seorang pria paruh baya berusia sekitar 50 tahun dengan ekspresi serius. Di sampingnya ada pemuda sekitar 20 tahun berwajah tampan kalem. Melihat pria paruh baya itu, emosi Kaoru mulai bergejolak."
"Tsukike Masazora dan Tsukike Tetsuya, Jiaming memang mengenal mereka. Tapi mengenai yang terakhir, kalau tidak muncul sekarang mungkin sudah terlupakan. Meski berpotensi menjadi penguasa masa depan klan Yuechi, tak ada yang menganggapnya serius. Banyak omongan teorinya terdengar masuk akal, tapi dalam ingatan Jiaming, saat menyusup ke klan Yuechi dan mempermainkan mereka, sampai klan itu binasapun orang ini tidak pernah menunjukkan performa mengesankan. Melihatnya sekarang... agak disayangkan."
"Mungkin jika diberi waktu beberapa tahun, dia benar-benar bisa melakukan berbagai hal tidak karuan yang cukup dikenang."
"Mereka adalah... ayahku dan kakak tiri."
Kaoru berbisik kepada Jiaming, lalu berlari mendekat. Tsukike Masazora menatap keduanya sejenak sebelum berkata, "Kaoru, ikut Ayah. Ada hal yang perlu dibicarakan." Pandangannya ke arah Jiaming jelas menunjukkan sikap meremehkan. Setelah ayah-anak itu pergi, Tsukike Tetsuya juga menghampiri sambil tersenyum.
"Gu Jiaming? Halo, saya Tsukike Tetsuya, Kakak Kaoru."
"Halo, Kaoru sering bercerita tentangmu."
"Eh... Benarkah?"
"Haha..."
Jiaming hanya tersenyum samar. Keduanya kini berdiri di tepi lapangan latihan yang diterangi cahaya pagi. Dari kejauhan, Buntarou sepertinya melihat kehadiran Jiaming. Ia menghentikan latihan bertarungnya dan mulai mendekat.
"Bahasa Jepang Tuan Gu sangat fasih. Apa diajarkan Kaoru?"
"Belajar mandiri."
"Wah, itu luar biasa." Tsukike Tetsuya yang terbiasa tinggal di luar negeri masih memiliki aksen asing saat berbahasa Jepang.
"Mungkin karena materi belajarnya bagus."
"Haha, tentu saja... Oh ya, jangan tersinggung ya. Apakah Tuan Gu tahu kalau Kaoru sudah bertunangan?"
"Pernah dengar."
"Tunangan Kaoru adalah salah satu pewaris konglomerat Kawasaki, namanya Tenku Masaoka. Dia juga punya prestasi di bidang biologi. Orangnya baik. Kira-kira beberapa hari lagi akan datang ke sini. Nanti akan saya perkenalkan. Saya yakin Tuan Gu akan akrab dengannya..."
Ucapan ini sebenarnya tidak bisa dibilang sopan, lebih banyak mengandung unsur peringatan dan ancaman. Mungkin karena menganggap Jiaming hanyalah mahasiswa biasa, mereka malas memberikan respons yang diplomatis. Di saat yang sama, Buntarou sudah mendekat sambil membawa pedang, berjalan ke arah Jiaming dengan senyuman. Berbeda dengan sikap garangnya kemarin, kini dia terlihat sangat akrab.
"Hei, teman sekelas Kaoru, juga sedang olahraga? ... Kemarin itu salah paham, ada beberapa hal, hehe, tanggung jawab resmi, kau pasti mengerti... Hei, Tetsuya."
Jiaming tersenyum sambil menjabat tangannya: "Gu Jiaming."
"Oh, iya benar, Gu Jiaming. Menurut adat Tiongkok... Tidak keberatan kalau kupanggil Jiaming saja, ya? Menurut data, kau pernah belajar Kung Fu, pasti juga paham Kendo dong? Aku tahu Kung Fu Tiongkok sangat hebat. Setelah menonton sejauh ini, apa darahmu sudah mulai mendidih? Mau turun mencoba?"
"Jangan lah, pakai pedang sungguhan?"
"Pedang asli menguji kekuatan sekaligus melatih nyali. Kaoru meskipun perempuan, juga dibesarkan seperti ini. Bagaimana?"
"Kalau sampai melukai orang kan tidak baik."
"Tenang saja, kami sudah terbiasa. Akan ada presisi. Seperti pepatah kalian... Hentikan tepat di titik kritis. Hehe, tentu saja jika mau pakai pedang bambu juga boleh."
Sebelum Jiaming menjawab, pandangan mereka beralih ke hutan di samping. Kaoru muncul pertama dengan kepala tertunduk, diikuti Tsukike Masazora yang wajahnya semakin serius. Melihat dua orang di dekat Jiaming, sorot mata Kaoru mulai tegang: "Kalian mau ngapain?"
Jiaming mengerutkan kening sedikit, melangkah mendekat: "Ada apa?"
"Tidak apa-apa." Kaoru menunduk lagi, meski cahaya saat ini redup, bekas merah jelas terlihat di pipinya. Rupanya diskusi antara ayah-anak tadi tak mencapai kata sepakat, konsekuensi Tsukike Masazora yang marah.
Mendengar pertanyaan Kaoru, Buntarou mengangkat tangan: "Biasa saja, kami cuma... ehm, mengajak Jiaming turun main-main pakai pedang bambu. Soalnya... bukankah Jiaming juga pernah belajar Kung Fu di perguruan silat? Cuma mau membandingkan perbedaan aliran bela diri... hehe..."
Kaoru memandangi Jiaming yang tampak kecewa dengan ekspresi kompleks. Buntarou tertawa sambil mengangkat tangan. Tsukike Masazora mendekat dengan wajah serius. Melihat ekspresi ayahnya, Tsukike Tetsuya sepertinya sudah tahu hasil pembicaraan. Hatinya berdesir: "Bagaimana kalau Buntarou yang terkuat di antara kami yang berduel dengan Tuan Gu? Apa pendapat Tuan Gu?"
Data tentang Jiaming mungkin hanya mencantumkan latihan bela diri dasar di perguruan silat kecil. Melihat kepercayaan diri Tsukike Tetsuya dan bekas tangan di wajah Kaoru, dia menghela nafas. Baiklah...
"Yaudah, main-main saja..."
## Bagian 393: Tiada Cela
Jiaming memutuskan untuk turun ke arena “mainin”, tatapan Kaoru terlihat agak kompleks, tapi akhirnya tidak mengatakan apa-apa. Bertiga berjalan menuju arena tersebut, Buntarou mengayunkan tangan, sekitar dua tiga puluh orang di sekitarnya berhenti satu per satu. Karena semua terbiasa menggunakan pedang asli, mencari pedang bambu di sekitar justru menjadi bermasalah. Memanggil orang untuk mengambil dari tempat yang lebih jauh, Jiaming mengambil sebilah pisau dan mencoba beberapa gerakan. Buntarou mendekat, beberapa orang pun mulai berdiskusi dengan persahabatan di plaza itu.
“Salah salah, pegang seperti ini seperti ini. Sesuai karakteristik katana kami, cara memegang ini paling menguntungkan untuk menebak, menggabungkan Serangan dan Pertahanan. Faktanya jika sudah terbiasa...”
Di ufuk timur terbit fajar, cahaya merah membara menembus celah-celah pohon menyinari plaza dengan panorama penuh semangat. Kaoru berdiri di tepi arena memperhatikan. Tsukike Masazora memandang dengan dalam, perasaannya terhadap putrinya ini agak rumit. Sehari-hari ia bisa bersikap acuh tak acuh, tapi jika harus berbicara, ia tidak mau sekadar menggunakan perintah. Terutama setelah memaksanya bertunangan dengan Tenku Masaoka, sementara dia juga menunjukkan kemampuan bertarung hebat dua tahun lalu. Untuk beberapa hal, ia mencoba melibatkan diri dengan nalar.
“Tetsuya selama ini berada di luar negeri, mungkin kau tidak tahu, saat itu kemampuan kendo-nya tidak kalah jauh dari Buntarou. Kakakmu adalah orang yang berbakat, seharusnya tadi kau tidak membiarkan teman sekelasmu turun ke lapangan, dia akan kalah telak.” Tsukike Masazora adalah orang yang konservatif, tindakan Kaoru yang tidak menghentikan hal ini justru dianggap wajar. Sekarang dia mengira putrinya mungkin mulai menyukai bocah itu, dan apapun perasaannya sendiri, setelah pria mengambil keputusan, wanita tidak seharusnya banyak bicara.
Setelah mengatakan hal itu, melihat Kaoru tidak bereaksi, dia melanjutkan: "Menyuruhnya pindah bukan berarti memaksamu mengusirnya. Kau sekarang adalah perempuan yang bertunangan dengan Tenmasa-kun, meski kau tahu Tenmasa punya pacar, tapi muka-nya harus kau jaga. Diam-diam mau bagaimana, aku tidak akan ikut campur. Kesabaranku ada batasnya. Asal kau mengangguk, aku akan menghentikan pertarungan ini. Kuharap kau mengerti hal-hal ini, apalagi Tenmasa-kun semalam sudah..."
Kaoru menunduk diam. Seorang pria telah membawa dua pedang bambu ke arena, menyerahkannya ke Jiaming dan Tsukike Tetsuya. Di saat yang sama, suara dari belakang tiba-tiba terdengar: "Wah, seramai ini, Pak Yuechi, Kaoru, dan... masa sih..." Menoleh ke belakang, ternyata yang muncul di tepi hutan adalah Tenmasa Masaoka yang mengenakan T-shirt olahraga. Sambil memandang situasi di arena, dia berjalan mendekat dengan mulut menganga dan alis berkerut.
Pada saat bersamaan, Jiaming yang memegang pedang bambu menoleh ke arah ini.
"Haha, Jiaming, benar-benar kau!"
"Seolah menemukan jalan mundur yang bisa diambil, sekejap mata, Tenku Masaoka tertawa dengan berlebihan. Tak menghiraukan Tsukike Masazora yang sedang menyapanya di samping, dia membuka tangan dan melangkah besar ke arah Jiaming. Dengan sikap mesra seolah ingin memeluk, Jiaming menyipitkan mata memandanginya.
"Kalian... saling kenal?" Melihat Tenku Masaoka mendekat, Tsukike Tetsuya juga mulai mengerutkan alis penuh kebingungan.
"Tak sekadar kenal, kami sangat akrab. Tetsuya, nanti akan kuceritakan..." Tenku Masaoka tersenyum sambil mengayunkan tangan, menepuk bahu Jiaming. Kemudian menoleh dan berbisik kecil: "Aku datang tepat waktu... Ada apa? Tak perlu mengganggu anak kecil, kalau sampai ada nyawa melayang nanti repot..."
Jiaming mengangkat tangan: "Apa maksudmu. Mereka cuma mengajakku main ke gelanggang."
"Bercanda macam apa ini, kau kan jarang main. Kalau sampai mereka memancingmu menyerang, berarti masalahnya sudah serius..."
Dengan kehadiran Tenku Masaoka sebagai penengah, pertarungan hampir pasti bisa dicegah. Jiaming melirik ke arah Kaoru. Meski jaraknya cukup jauh, namun di bawah cahaya pagi yang terang, kemampuan observasi Tenku Masaoka langsung menangkap keanehan pada Kaoru. Ekspresi "benar-benar tak tahu harus bagaimana dengan orang-orang ini" muncul di wajahnya sambil mulai melakukan negosiasi dengan susah payah.
“Hmm, hal ini menurutku... Heh, meski tak tahu detailnya bagaimana, tapi kira-kira bisa ditebak. Ayah memukul putrinya, kau pukul anak laki-lakinya. Kalau pukulannya terlalu keras, aku khawatir Kaoru nanti akan kerepotan...” Dengan kemampuan bertarung Kaoru saat ini, jika sengaja menghindar, mungkin seluruh keluarga Yuechi tak ada yang bisa menamparnya. Tenmasa Masaoka menghela nafas, “Kasih muka bagaimana? Aku jamin, kejadian seperti ini tak akan terulang lagi.”
“Kalau begitu serahkan padamu.” Dengan gerakan tangan, pedang bambu dilemparkan ke tangan Tenmasa Masaoka. Jiaming membuka telapak tangan, menunjukkan urusannya sudah selesai. Tak peduli pada orang-orang di sekitar, ia berbalik dan pergi. Saat itu Tsukike Masazora dan Kaoru sudah mendekat. Melihat Jiaming pergi, Kaoru melirik ke arah orang-orang, lalu diam-diam mengikuti di belakangnya. Tsukike Tetsuya tertegun sejenak: “Hei, ini maksudnya bagaimana?”
Tsukike Masazora bertanya: “Tenmasa-kun kenal dengan teman sekelas Kaoru ini?”
“Bukan sekadar kenal, sangat memahami. Untung aku datang tepat waktu.” Memandang punggung kedua orang yang menjauh, Tenmasa Masaoka menggeleng sambil tersenyum, “Kalian tak tahu? Saat di Tiongkok, Kaoru belajar seni bela diri darinya.”
“Apa!?”
Sekejap mata, ekspresi orang-orang di sekitar bermacam-macam: ada yang terkejut, tak percaya, merasa absurd. Tsukike Tetsuya mengerutkan alis sambil melotot, Buntarou membuka mulut lebar yang lama tak bisa menutup. Bahkan Tsukike Masazora pun wajahnya penuh keterkejutan. Sesaat kemudian, kerumunan orang mulai dipenuhi bisikan-bisikan.
“Orang-orang yang terlibat dalam pertarungan dua tahun lalu, sedikit banyak pernah menduga betapa hebatnya guru Kaoru, sekarang dikaitkan dengan pemuda seusianya, reaksi pertama kebanyakan merasa tertipu. Tapi Tenku Masaoka berkarakter baik, ditambah dia yang paling memahami urusan Kaoru di Tiongkok, pada akhirnya pikiran semua orang penuh konflik. Hanya Tsukike Tetsuya yang tidak ikut pertarungan dua tahun lalu yang tertegun, kemudian berkata: "Lalu... lalu kenapa?"
"Heh, tidak ada apa-apa..." Tenku Masaoka tersenyum sambil menepuk bahunya, "Tapi sepengetahuanku, dia biasanya tidak menyerang. Begitu bertindak, konsekuensinya sulit diprediksi. Tentu... kau kakaknya Kaoru, mungkin dia hanya ingin mengobrol santai denganmu."
Tsukike Masazora mengerutkan kening: "Kesabarannya dalam ilmu bela diri tinggi? Maksudku... dia hanya seorang anak..."
"Hal ini sulit dijelaskan, aku juga tidak bisa menggambarkannya secara konkret." Karena ditanya Tsukike Masazora, Tenku Masaoka menjadi serius, menarik napas dalam penuh kekaguman, "Tapi... jika dia ingin membunuhku sekarang, pilihanku adalah lari sejauh mungkin. Beberapa tahun ini dia semakin hebat. Bahkan Takamagahara pun mungkin tidak aman..."
"Setelah kejadian kali ini, mungkin bahkan Tsukike Masazora tidak akan mudah menyentuh putrinya. Jujur saja, pagi tadi mereka benar-benar dibuat kaget."
"Sebagai tunangan, ini sudah menjadi tanggung jawabmu sendiri."
“Wow, hal seperti ini kau beri tahu aku saja. Kalau bertemu Yui, jangan sekali-kali bicara sembarangan, aku bisa MATI... Ngomong-ngomong, Yui sudah lama ingin ketemu, tiba-tiba kau datang begini, aku belum sempat bilang ke dia.”
“Tapi kau juga cepat sekali. Aku baru tiba kemarin, pagi-pagi kau sudah di rumah keluarga Yuechi.”
“Datang pukul dua pagi. Sekarang kami bekerja sama dengan [], sebagian jaringan intelijen keluarga Yuechi juga melalui pihak kami. Kemarin ada yang melaporkan mereka mengakses data-datamu, setelah diselidiki, Tentu saja ketahuan. Kebetulan semalam aku sibuk di Shinjuku sampai tengah malam, langsung saja ke rumah Yuechi. Untung aku datang tepat waktu, kalau tidak Yuechi Tetsuya setidaknya harus rawat inap setengah tahun, nanti perantaraku juga repot. Tapi ngomong-ngomong, kok tiba-tiba mau main ke Tokyo? Ada yang bisa kubantu?”
“Aku datang untuk Bunuh Morikami Kura.”
“Emmm...”
Di pagi hari bertemu dengan Tenku Masaoka, setelah makan siang, Jiaming, Kaoru, dan Tenmasa bertiga pergi ke pusat kota Tokyo. Kemudian bertemu dengan rombongan Chen Guxia. Kali ini yang ikut Chen Guxia kebanyakan mahasiswa peraih penghargaan dalam lomba bela diri nasional. Tentu saja karena prinsip "gedung dekat air duluan keburu bulan", ada beberapa anggota klub bela diri Akademi Hati Kudus. Jiaming terkenal buruk di klub bela diri Akademi Hati Kudus. Orang lain mengenalinya, tapi yang dia kenal tidak banyak. Saat itu rombongan sedang berjalan di jalanan ramai distrik Ginza. Jiaming, Tenmasa, dan Kaoru yang diam seperti boneka porselen berjalan di depan, masing-masing memegang gelas besar jus sambil berbicara datar tentang tujuan ke Tokyo. Bukan hanya Tenku Masaoka yang tertegun, tatapan Kaoru juga tiba-tiba menancap ke arahnya.
Setelah lama mengamati ekspresi Jiaming, barulah wajah Tenku Masaoka menunjukkan perasaan kompleks. Jiaming justru santai melihat ke sekeliling, menoleh ke belakang: "Uhh, pemandu kalian itu kenapa? Kok matanya melototi aku terus?"
"Pemandu apa..." Tenku Masaoka juga menoleh, melihat ke arah pemuda yang sedang menjelaskan distrik Ginza kepada Chen Guxia di belakang, lalu tersadar. "Uhh, dia Han Gangcheng. Kau tidak mengenalinya?"
"Uhh, kalau kau bilang begitu, aku agak ingat. Sebelumnya memang pernah bertemu dengannya..."
“Bisa dengar penilaian seperti ini darimu, pasti dia sangat sedih…” Tenku Masaoka yang telah menyelidiki data-data detail Jiaming menghela napas, “Tiga tahun silam saat kalian baru masuk Akademi Hati Kudus, kau pernah berkelahi dengannya. Kau mempermainkannya habis-habisan, meludahi bahkan hampir menendang bagian paling berharganya. Sekarang dia kuliah di Todai, Guru Chen sebelumnya juga pernah mengajarinya seni bela diri, jadi kali ini ikut bergabung. Tapi benar-benar tak disangka bisa bertemu denganmu, kurasa dia sangat terkejut…”
“Kalau dipikir-pikir, aku juga terkejut. Tiga tahun lalu masalah pertama saat masuk Akademi Hati Kudus adalah dia, sampai lulus SMA ketemu lagi, ini benar-benar seperti takdir dalam legenda…”
“Seperti yang ditulis di buku?”
“Benar, seperti yang tertulis di buku.” Jiaming menyesap jusnya, “Ngomong-ngomong, duel dengan Makoto Aramaki itu besok sore kan?”
“Besok pukul dua setengah siang, Masazora Tsukike dan yang lain seharusnya juga ikut.” Tenku Masaoka mengangguk, “Ada antusiasme?”
“Aku akan datang sendiri.” Jiaming berhenti sejenak, “Mulai besok sore, kalian semua jangan kenal aku lagi.”
Mendengar ini, tatapan Kaoru tiba-tiba mengawasinya ketat, Tenku Masaoka mengerutkan kening: “Benar-benar akan dilakukan? Semuanya sudah diputuskan?”
Jiaming mengangguk: “Jika tidak ingin terguncang, lakukan sesuai perkataanku. Dengan begitu meski gagal, masih ada ruang untuk kalian.”
Lama kemudian, Tenku Masaoka menghela napas: “…Sepertinya malam ini aku akan sangat sibuk.”
Kegelapan malam yang tenang, langit berbintang sepi, sepanjang hari dari sore hingga malam itu Kaoru terus diam membisu.
“……Tidak bisa menanyakan atau mempertanyakan keputusan Jiaming, juga tidak merasa punya kemungkinan untuk mengubahnya, gadis itu sudah terbiasa dengan keheningan yang berlangsung lama. Tapi diam tak berarti bisa menyembunyikan perasaan rumit. Dari sikap diamnya yang tak biasa, orang yang mengenalnya mungkin bisa melihat kegelisahan hatinya yang tak wajar saat ini.”
“Setelah berjalan-jalan di distrik komersial sibuk Ginza sepanjang sore, karena mempertimbangkan kualitas boneka panda yang buruk dan sudah mulai rontok bulunya, Jiaming dan Tenmasa bersama-sama memilih singa besar yang mahal untuknya. Hingga penampilannya menggendong boneka sambil jalan-jalan lebih mirip hantu cantik yang sunyi, memancing tatapan tak terhitung. Meski Tenku Masaoka benar-benar akan bersorak gembira dan menunjukkan sikap terhormat atas hal ini, fakta tidak menyenangkan tak bisa diubah.”
“Setelah makan malam di restoran luar, mereka berpisah dengan Chen Guxia dkk. Kembali ke rumah kecil dan mandi, Kaoru keluar mengenakan jubah bergaya kimono merah tua, betis putih kemerahan di bawah kaki ramping tanpa alas kaki, kerah terbuka memperlihatkan tulang selangka indah. Jelas tak ada apa-apa di dalamnya. Saat berjalan di koridor, Jiaming sedang duduk di tepi lorong, bersandar pada tiang rumah, memandang langit berbintang. Kaoru dengan diam duduk di sebelahnya.”
“……Guru sudah memutuskan?”
“Ah, sudah lama mempertimbangkannya.”
“Aku tidak mengerti, meski... Aku tahu Guru sangat hebat, tapi ini tetap berbahaya……”
“Aku juga tahu ini berbahaya.” Jiaming menengadah sambil tersenyum, langit berbintang di atas yang terpotong rapi oleh atap kecil bagai kue yang diiris, “Tapi tidak ada cara lain, sekarang adalah waktu terbaik. Jika tidak dilakukan, mungkin tidak akan ada kesempatan lagi.”
“Tapi... Guru malah lebih dulu menyentuh Araka Mamiyo, bukankah ini membuat kecurigaan?”
“Aku punya alasan sendiri. Kau akan mengerti nanti.”
Kaoru terdiam lama, kedua tangan menyangga di lantai belakang, entah sejak kapan akhirnya membuka mulut: “Sebenarnya, aku suka Guru.” Suaranya datar namun jernih, bagai bintang-bintang yang ia tatap di langit malam itu.
“...Nah, aku tahu.”
## Bagian Tiga Ratus Sembilan Puluh Empat Memulai Operasi
“Sebenarnya, aku suka Guru.”
“...Nah, aku tahu.”
Di bawah kegelapan malam yang sunyi, pengakuan datar dan jawaban datar. Mungkin cinta sejati tak perlu diungkapkan sebergelora yang kita bayangkan, mungkin itu pun bukan cinta yang pasti. Tapi apakah cinta sejati yang pasti dan murni itu? Bagaimanapun, setelah perasaan saling pengertian ini, Kaoru tersenyum. Sangat jarang ia tersenyum secemerlang ini, namun sekaligus menyayat hati seperti lukisan indah.
“Tapi Guru tidak akan menerimaku, kan?”
"Nah, kau tahu, urusanku juga cukup bermasalah." Jiaming tersenyum sambil memiringkan kepala, "Lingjing dan Shasha dua cewek tinggal bersamaku saja sudah keterlaluan. Setelahnya berantakan, ada lagi Yahan yang terus kusembunyikan dari mereka. Sebenarnya aku tidak peduli masalah beginian, tapi kalau bicara menerima siapa... aku merasa agak aneh..."
"Guru padaku... bukan suka yang seperti itu, kan?"
"Aku tidak terlalu paham apa itu cinta sejati atau perasaan suka yang konkret. Perasaanmu padaku... heh, kurasa aku tahu. Entah itu kekaguman, kerinduan, atau akumulasi tiga tahun yang tidak karuan... Kupikir aku mengerti. Kau memang cantik, mungkin cewek tercantik yang pernah kulihat. Tapi... tidak ada cara... Masalahku rumit..."
"Tapi aku menyukai Guru, sangat-sangat menyukai." Kaoru menunduk dalam kesunyian sejenak, "Hanya ingin berada di sisi Guru. Asal bisa mengikuti Guru, apa pun boleh dilakukan padaku. Jika Guru tidak menginginkanku... hidupku... tidak ada artinya lagi..."
“Kau hanya... tidak memberi diri sendiri banyak kesempatan untuk memilih...” Jiaming ragu-ragu sejenak, lalu tersenyum, “Baiklah, aku tahu ini terdengar seperti alasan, tapi... mungkin selama setengah tahun terakhir, aku menganggapmu sebagai murid sejati. Atau lebih tepatnya, teman yang tidak setara atau saudara yang tidak murni. Sebenarnya dalam hatiku sudah menganggap demikian lebih awal. Jika saat itu, ketika kita semua sedang bermasalah, mungkin berbagi cerita atau bahkan tidur bersama tidak apa. Meski bagiku itu tidak membuktikan apa-apa, tapi sekarang, hmm...”
Dia berhenti sebentar, duduk tegak sambil menyorotkan tatapan penuh pertimbangan ke Kaoru di sampingnya, kemudian menyeringai. Tangannya meraih sabuk pinggang Kaoru, membukanya pelan-pelan, lalu merambat ke tepi jubah merah marun. Kaoru menengadahkan kepala dengan mata terpejam, kulit seputih gioknya perlahan terpapar di udara.
"Splash!" Tubuh Kaoru menegang, matanya terbuka lebar. Jiaming cepat-cepat menarik kembali jubahnya, mengikat sabuk dengan gerakan cepat, lalu menepuk dahinya sambil berdiri: "Tidak boleh! Tidak boleh! Stimulasinya terlalu besar tapi tidak bisa dilakukan. Lebih baik kita mandi dan tidur saja..." Ia menggeleng sambil berjalan melewati Kaoru. Dari belakang terdengar suara gadis itu.
"Guru."
"Aduh, aku tahu ini klise, tapi... nanti kau akan mengerti." Ia menoleh dengan senyuman cemerlang, "Jangan berpikir macam-macam. Aku juga menyukaimu."
Malam itu berapa banyak orang yang berpikir kacau sulit dipastikan, tepat sehari setelahnya pada sore hari, "pertukaran" di Dojo Pedang Meizou tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Waktu yang ditetapkan adalah tanggal 31 Agustus tahun 2000.
Dojo Pedang Meizou sebenarnya terletak di sebuah gedung olahraga menengah di distrik Ueno, Tokyo. Aramaki Shinsei terkenal di kalangan internal dunia pedang, namun teknik pedangnya lebih menekankan pada aspek mematikan dan penerimaan murid yang ketat. Dalam persepsi masyarakat biasa, reputasinya tidak bisa menyaingi dojo-dojo besar "formal" di Tokyo. Tentu saja dia tidak memperdulikan hal ini.
Di masa lalu ketika masyarakat gelap masih relatif damai, pertukaran duel semacam ini bukanlah hal yang aneh. Perusahaanku mengalahkan perusahaanmu dalam persaingan bisnis, pengikutmu mengalahkan pengikutku dalam duel - situasi seperti ini umumnya tidak memicu konflik besar. Acara kali ini juga merupakan semacam perkumpulan serupa. Duel tidak dibuka untuk umum, hanya pihak terkait yang akan berpartisipasi. Sekitar pukul satu siang, orang-orang yang diundang mulai berdatangan. Penonton menempati tribun atas, sementara Chen Guxia, Aramaki Shinsei dan lainnya berada di arena bawah, bertukar beberapa kata basa-basi pura-pura.
Di pihak Takamagahara, Tenku Masaoka tentu saja datang bersama pacarnya Ryuudou Yui, dan beberapa ahli kekuatan supernatural yang ingin melihat-lihat. Di pihak keluarga Yuechi, Kepala keluarga Tsukike Masazora tentu tidak bisa datang sendiri, hanya dikawal oleh seorang pelatih dengan beberapa pembunuh hebat yang sudah debut. Tsukike Tetsuya dan Buntarou juga mengejutkan hadir di antara mereka. Sekitar berpikir kali ini tak ada masalah, datang untuk menambah pengalaman. Selain dua kekuatan ini, ada juga orang-orang biasa yang mengetahui situasi, tak perlu dijelaskan. Kaoru juga datang, tapi tidak bersama keluarga Yuechi maupun Tenku Masaoka, sendirian menduduki posisi dengan kedinginan.
Di pihak Pei Luo Jia, tempat ini sendiri adalah wilayahku mereka. Selain beberapa satpam biasa yang tidak banyak tahu alasan sebenarnya, di tribun penonton juga duduk beberapa pembunuh yang tersebar. Ditambah dengan Arakan yang hebat, meskipun semua orang marah-marah, hasilnya tetap imbang. Namun, ketika waktu hampir tiba, seorang pria berbaju bunga naik ke tribun penonton, langsung menarik perhatian semua orang. Yang mengejutkan, itu adalah Mikado Ki si lolicon mesum yang sejajar dengan Tenku Masaoka. Begitu tiba, dia tidak melibatkan diri dengan orang dalam sepenuhnya, malah pertama-tama menyapa Tenku Masaoka dan yang lain dengan sikap tidak peduli, penuh semangat. Saat melihat Kaoru, jelas terlihat ekspresi penyesalan di wajahnya - dulu lolicon yang sangat menjanjikan, kini hampir jatuh dalam dosa menjadi wanita dewasa. Kemudian di pagar sambil menghadap ke bawah ke arah Chen Guxia dan lain-lain, dia berseru dalam bahasa Mandarin: "Yahooo, Tn. Chen! Arakan si tua ini memang bukan orang baik, tapi ilmu pedangnya masih asal-asalan. Semua harus menghabisinya! Semangat, semangat ya! Aku akan mendukung kalian!"
Setelah basa-basi, pada pukul dua setengah, duel dimulai. Sebenarnya yang turun ke lapangan hanyalah para murid, pertarungannya sangat membosankan. Semua orang sebenarnya hanya datang untuk melihat sikap pihak lawan. Jumlah orang tidak banyak, membuat gedung olahraga terasa lapang. Kaoru duduk di samping, pandangannya sama sekali tidak mengikuti pertarungan 'huaa-haa' di bawah, hanya memerhatikan pintu masuk di sekeliling. Di jarak yang tidak terlalu jauh darinya, Buntarou dan Tsukike Tetsuya juga sedang berbisik-bisikan.
"Hei, kenapa Kaoru datang sendirian? Kukira dia akan operasi bersama Gu Jiaming itu..."
“Bagaimana tahu, Gu Jiaming itu sudah menghilang sejak pagi hari ini, tapi karena Kaoru datang ke sini, perkiraannya dia juga akan datang nanti.”
“Aku bilang...apakah Gu Jiaming itu benar-benar gurunya? Jangan-jangan bukan guru seni bela diri, cuma guru bahasa China?”
“Tapi Tenku Masaoka bilang dia sangat hebat. Tenmasa kan jarang berbohong.”
“Tapi aku tidak melihat kehebatan apa pun dari Gu Jiaming itu...”
“Jangan-jangan karena Gu Jiaming adalah temannya, dia sengaja membual.”
“Pokoknya menurutku bocah itu biasa saja, gaya memegang pisaunya tidak standar...”
“Lagipela dia masih sangat muda, mana mungkin...”
"Orang-orang ini dalam bisikan-bisikan meragukan karakter Jiaming dan Tenku Masaoka, di sisi lain, Ryuudou Yui yang berkumpul dengan Tenku Masaoka juga berbicara dengan suara kecil."
"Bagaimana belum datang juga, kau kan sudah pernah bersumpah."
"Batuk, mungkin waktunya belum tiba. Dia bilang akan mengantarmu, kan kau tahu. Orang itu suka pamer, begitu muncul pasti cahaya 10.000 zhang, menarik pandangan semua orang."
"Tapi apakah kali ini masih begitu? Jangan bicara tentang penonton di tribun ini, Aramaki saja sudah sulit dilawan, apalagi sekarang ditambah Mikado Ki, apakah Jian Suyan benar-benar akan muncul?"
"Pokoknya aku percaya, semua orang pasti akan terkesima, tapi apapun yang terjadi, hanya melihat penampilan adik perempuan Suyan saja sudah merasa bahagia. Akhir-akhir ini aku juga giat berlatih teknik di bidang ini, mungkin nanti bisa berperan sebagai Yaoji legendaris penghancur negara, Yui, apa kau tidak merasa bersemangat?"
"Bersemangat... bersemangat apanya! Baru terbayang mau hajar kau saja aku sudah bersemangat!"
Bertiga di atas terus bercumbu, waktu berjalan hingga lewat jam tiga lebih, prestasi pertarungan nyaris 2-1. Pihak Chen Guxia sedikit kalah, sambil menyaksikan pertarungan, dia terus menganalisis situasi perang dengan orang di sampingnya. Di sisi lain, Master pedang bernama Aramaki Shinsei dengan tenang bersujud mengenakan gi warna teh, memejamkan mata dengan aura sakral, postur tubuhnya tinggi kurus dengan kerangka besar sepenuhnya tubuh, mental masih perkasa, dagunya dihiasi janggut kambing kecil, usia lewat lima puluh tahun namun memancarkan vitalitas tak terucapkan. Sekalipun duduk dengan tenang, orang tetap bisa merasakan ledakan kekuatan yang siap meledak kapan saja. Sebuah katana ber-sarung hitam pekat tergeletak di rak pedang di sampingnya.
Dudak tidak jauh dari Chen Guxia, Han Gangcheng yang datang bersama namun tidak masuk daftar pertandingan mengerutkan alisnya memandang sekeliling. Gu Jiaming ternyata tidak hadir, membuatnya merasa aneh. Faktanya, sejak kemarin melihat Gu Jiaming lagi, mood-nya terus-menerus kesal. Setelah berbisik ke orang di sebelahnya, ia berdiri: "Aku ke kamar mandi." Seluruh gedung olahraga terasa sunyi di siang musim panas ini. Melewati pintu utama, ia belok tajam di lorong menuju area lain. Saat masuk kamar mandi, tiba-tiba ia tertegun.
Gemericik air terdengar. Di depan wastafel keramik putih yang sedang mencuci tangan, mengejutkan, ternyata Gu Jiaming yang absen di tribun penonton. Ia mengenakan T-shirt putih dengan jaket tipis warna krem pasir. Merasa ada yang masuk, ia menoleh sebentar lalu melanjutkan cuci tangan.
Menarik napas, Han Gangcheng melewatinya, mengulurkan tangan membuka pintu bilik khusus pertama. Baru sadar pintu terkunci.
"Di situ sudah ada orang," ujar Jiaming sambil lalu.
Apa aku buta sampai nggak tahu ada orang?... Dalam hati bergumam, ia masuk ke bilik sebelah. Tak lama, suara air berhenti. Langkah kaki menjauh.
Entah karena dorongan mental apa, tiba-tiba Han Gangcheng keluar dari bilik dan mengejar ke luar.
Yang tidak ia ketahui: tak lama setelah ia pergi, bilik kecil yang terkunci tiba-tiba "Splash——Byur——" terbuka. Beberapa tubuh manusia berseragam satpam meluncur keluar, menghantam lantai. Mayat yang menumpuk di bilik ini mencapai tujuh delapan orang. Tidak ada bekas darah, tapi mereka semua sudah MATI.
Mungkin karena itu juga, lorong ini menjadi sunyi seperti ini...
"Hai! Gu Jiaming!"
Berlari keluar dari lorong, Han Gangcheng memanggil bayangan di depan.
"Hmm? Ada urusan denganku?"
Menghentikan langkah, Jiaming menoleh sambil merapikan lengan bajunya yang basah kuyup.
"Jangan berpura-pura bodoh, Gu Jiaming. Jangan bilang kau lupa kejadian tiga tahun silam!"
"Yang kuingat kita tidak begitu akrab, si... apa namanya... Oh, Han Gangcheng, aku menyesal tentang masa lalu itu, tapi kalian yang memulai..."
"Aku ingin bertarung lagi denganmu, lihat apakah kali ini kau masih bisa menghindar!"
"Boleh."
Jiaming menjawab langsung. Reaksi ini justru membuat Han Gangcheng tertegun, baru setelah beberapa saat sadar harus menentukan waktu dan tempat. Tapi Jiaming sudah lebih dulu bicara: "Tapi hari ini aku sibuk, terlalu banyak yang ingin bertarung. Ambil nomor antrian."
Usai berkata demikian, Jiaming berbalik pergi. Han Gangcheng membuntuti: "Kau tunggu saja!"
Di tengah percakapan mereka, Jiaming sudah sampai di pintu gerbang gedung olahraga. Saat hendak masuk, Han Gangcheng berkomentar: "Kalau mau menonton pertandingan, lewat pintu samping ke tribun penonton." Mendengar ini, Jiaming menghela napas dan mengangkat tangan sambil tersenyum: "Tidak apa, mereka pasti mengerti." Mengeluarkan kartu undangan dari kantong dan mengacungkannya ke dua satpam, ia langsung masuk.
Han Gangcheng mengikuti, masuk pintu, hanya melihat Jiaming berdiri di sana, menoleh memandangi orang-orang di tribun sekitar, lalu menoleh lagi ke sekeliling, kemudian berbalik menuju sudut di sebelah. Di sana terdapat tumpukan kursi. Karena Jiaming telah menyetujui tantangannya, Han Gangcheng pun tak lagi menghiraukannya, langsung menuju tepi arena pertarungan. Belum jauh melangkah, suara Byur tiba-tiba bergema di gedung olahraga yang agak kosong. Setelah suara Braak berkepanjangan, bunyi benda berat diseret di lantai batu terus berbunyi, orang-orang di atas dan bawah sekejap mata memusatkan pandangan ke situ.
Han Gangcheng menoleh kembali, melihat Jiaming sedang menyeret sebuah kursi turun, kemudian banyak kursi yang ditumpuk roboh berantakan. Meskipun bagian tengah arena pada dasarnya dilapisi tatami, area tepinya masih berupa lantai gerusan air. Bunyi kaki kursi yang digesek di lantai itu nyaring tak tertahankan. Memandangi Jiaming yang berjalan mendekat dengan gaya seolah tak ada orang lain, raut Han Gangcheng tampak tidak ramah. Di dojo orang lain, semua memilih posisi bersujud sebagai bentuk penghormatan. Bahkan jika ingin duduk di kursi untuk menonton, seharusnya tidak membuat keributan seperti ini. Seketika kemarahan yang meluap-luap menyergapnya, hampir saja ingin menghujat Gu Jiaming yang telah mempermalukan seluruh Tiongkok.
Dalam sekejap itu, ekspresi bingung muncul di wajah Buntarou dan lainnya di tribun. Gu Jiaming memang telah datang, tapi: "Apa yang orang ini ingin lakukan?"
Adapun Tenku Masaoka, saat itu baru mulai terdiam dan berbicara dengan Ryuudou Yui: "Memang sudah datang, tapi kedatangannya terang-terangan seperti ini... Ini benar-benar... penipuan terhadap penonton..."
Gemuruh suara bergema di gedung olahraga. Kaoru menatap bayangan di bawahnya, pandangannya tetap samar, namun kedua tangan di atas lututnya telah menggenggam kepalan erat. Di sisi tribun yang berseberangan, Mikado Ki membungkukkan tubuh ke depan dan mulai tersenyum.
Kursi diseret ke area tatami. Jiaming melewati Han Gangcheng. Sampai saat ini, seorang satpam yang berdiri di tepi tatami pun berbalik dan mengulurkan jari ke arahnya: "Hei..." Bersamaan, Han Gangcheng juga membuka mulut: "Hei..."
Suku kata pertama baru saja terucap ketika pemandangan yang sama sekali tak terduga oleh Han Gangcheng telah terjadi. Hanya terdengar ledakan dahsyat "Byur!", Jiaming dengan refleks melempar kursi itu dan menghantam kepala satpam di depannya. Seketika, tubuh satpam terlempar ke udara sementara kursi yang menghantam kepalanya terbang lebih tinggi. Seorang di belakang buru-buru menghindar. Para pembunuh Pei Luo Jia di tribun serentak berdiri. Tsukike Tetsuya dan Buntarou menganga seperti kodok. Ketika satpam yang lebih jauh hendak menyerbu, Jiaming telah melompati tubuh seorang pendekar dan melangkah masuk ke arena, berjalan langsung menuju Araki Masayo di seberang.
“Dua pendekar di arena masih belum menentukan pemenang. Meski ajaran guru kebanyakan tentang fokus dalam pertarungan dan mengabaikan segala hal di luar bahkan kiamat sekalipun, melihat seseorang mendekat, mereka pun menghentikan pertarungan. Pandangan ragu-ragu mereka tertuju pada guru di tepi arena.”
“Arakawa Mashiro……”
Suara Jiaming bergema di gedung olahraga. Pendekar Jepang yang pertama bereaksi langsung mendekat: “Hei, kau…” Tangannya langsung mendorong Jiaming. Bukan satpam kelas ikan-ikan kecil, dia sangat percaya diri. Tapi bersamaan dengan itu, karena orang ini menghalangi pandangan, Jiaming pun membalas dengan dorongan telapak tangan.
Braak! Hampir bersamaan dengan kontak fisik, tubuh orang ini langsung terbang beberapa meter, terguling-guling seperti labu.
“Arakawa Mashiro.” Sang pembunuh di tribun mengeluarkan senjata. Jiaming tak menghiraukan, berjalan sambil berbicara, “Aku datang untuk membunuhmu.”
## Bagian 395 Senjata yang Memukau
“Arakawa Mashiro, aku datang untuk membunuhmu.”
Suara datar namun santai itu bergema di gedung olahraga yang agak sepi. Selain Kaoru, Tenku Masaoka, dan Ryuudou Yui yang sudah mengetahui rencana ini, semua orang tertarik pada kejadian mendadak ini. Lelaki tua di seberang tiba-tiba membuka mata, memandang tajam ke arah pemuda yang mendekat ini.
Jika sebelumnya adegan satpam yang terlempar oleh kursi hanya membuat Han Gangcheng merasa bingung dan heran, maka saat ini melihat orang Jepang yang terlempar beberapa meter jauhnya, otaknya hampir mencapai batas kehabisan daya. Perasaan santai seperti ini, kecepatan dan akurasi, bahkan tidak pernah terbayangkan olehnya. Di tribun, Buntarou, Tsukike Tetsuya dan yang lain mulut ternganga lama tak bisa menutup, mengingat tantangan mereka kemarin pagi, kedua telapak tangan mereka kini basah oleh keringat dingin.
Chen Guxia nyaris langsung berdiri. Sebagai anggota internal [], dia tentu tahu latar belakang Jiaming memiliki pelindung besar bernama Jian Suyan. Hingga kini, semua orang juga sedikit banyak mengakui bahwa kemampuan bela diri Jiaming seharusnya cukup baik. Tapi meski bagus, seorang pemuda delapan belas tahun pasti punya batasan. Menghadapi tujuh delapan pembunuh Pei Luo Jia ditambah Aramaki Mayoyo yang kekuatan pedangnya bahkan tidak kalah dari pembunuh kelas atas seperti Yoritomo Taku, dia malah berjalan mendekati mereka dengan tangan kosong! Sambil berjalan masih sempat berbicara, sekalipun berani tapi ceroboh, tidak seharusnya bersikap seperti ini.
Tapi mungkin Jian Suyan saat ini juga sudah sampai ke sini...
Dalam berbagai macam pikiran yang bergejolak, para pembunuh di tribun tidak membuka tembakan. Di satu sisi, karena ini adalah perguruan silat, sebelumnya juga pernah ada orang yang datang menantang dojo dengan kata-kata kasar. Di sisi lain, perhatian mereka saat ini lebih tertuju pada Takamagahara dan Kolam Bulan di seberang tribun. Dengan Arakan Mashiyo yang berada di posisi komando di bawah, dalam jarak ini mereka memiliki keyakinan penuh pada Master pedang tersebut. Sementara di pihak lain, sambil mengamati perubahan situasi, orang-orang ini juga telah mulai siaga, waspada terhadap kemungkinan konflik yang bisa terjadi kapan saja.
Suasana di seluruh gedung olahraga nyaris berubah menjadi tong mesiu api yang siap meledak setiap saat setelah kalimat Jiaming, membuat orang tak bisa menahan perasaan sesak napas.
Detik berikutnya, sebuah suara memecahkan perasaan beku itu.
"Baka!"
Secara terang-terangan mengucapkan niat MEMBUNUH dengan sikap merendahkan lawan, seiring gema suara Jiaming, seorang murid Arakan di tepi arena langsung melompat keluar. Katana keluar dari sarungnya dengan suara gemerincing yang tajam, dan sekejap kemudian, kilatan pedang itu seperti halilintar menyambar ke atas kepala Jiaming.
“Hanya satu tebasan ini. Dari mengeluarkan pedang dan melompat, hingga pedang katana menebas ke atas dan membelah ke bawah, seluruh gerakan dilakukan dengan cepat dan lancar mengalir sempurna, sudah cukup menunjukkan kesabaran orang ini benar-benar solid. Jika menggunakan mentalitas mengajar seperti Chen Guxia, mungkin akan memuji serangan ini. Namun sebelum pedangnya menyentuh, Jiaming langsung menendang. Bilah pedang menyambar dari depan tubuhnya ke lantai, tubuh pria itu terlempar beberapa meter, bertabrakan dengan dua kawannya. Seketika, orang-orang Jepang di sekitar arena pertarungan mulai berloncatan. Di saat yang sama, gemerincing bilah pedang yang menegangkan menggema di seluruh gedung olahraga.”
“Xin——”
Pedang katana yang tajam bagai naga putih melesat keluar dari sarung hitam. Begitu tangan kiri Arakawa Shinsei menyentuh gagang pedang, tubuh Master pedang Jepang ini meledak dari posisi bersujud diam. Seragam kendo cokelat teh yang longgar berubah menjadi ilusi di udara, desing angin "Splash" terdengar seperti payung yang tiba-tiba terbuka dalam badai. Bahkan sebelum kedipan mata, tubuhnya sudah tiba-tiba muncul di depan Jiaming, seluruh diri seperti busur yang ditarik kencang, tatapan penuh niat membunuh ganas. Berhadapan dengan senyum Jiaming yang terlihat belum bereaksi sama sekali.
Sesaat kemudian, cahaya pedang berbentuk bulan separuh melesat ke langit!
"Aslinya, pedang samurai yang ditarik dengan gerakan balik hanya diseret di belakangnya dengan satu tangan. Namun, saat tubuhnya berhenti seketika, tangan kanannya menggenggam palsu bagian belakang gagang pedang bagai poros putaran, sementara tangan kiri mengikuti inersia mendorong bilah pedang dari bawah ke atas. Tampak seperti tebasan mengalir, namun sesungguhnya mirip cambukan yang kecepatan dan kekuatannya meningkat secara tak terduga. Semangat 'satu pedang menentukan hidup-mati' dalam ilmu pedang Jepang terpancar sempurna di sini."
"Jika respons terlambat sedikit, bukan hanya tubuh Jiaming yang berdaging, bahkan tembok pun mungkin akan terbelah dua dari bawah."
"Namun Jiaming hanya memiringkan badan dengan gerakan tampak lambat namun sebenarnya cepat. Bodoh-bodoh, seolah ada ledakan tak kasat mata di sekitarnya yang mendorong tubuhnya ke samping secara pasif. Bilah pedang nyaris menggeser tubuhnya, melesat melewati dada, ujung hidung, dan dahi dengan selisih tipis. Di detik itu, kedua tangannya masih terbuka lepas tanpa pertahanan, helaian baju berkibar, senyuman tak pudar dari wajahnya."
"Aramaki..."
"Dalam gumaman rendah, bilah pedang tiba-tiba ditarik lalu menghujam langsung ke leher Jiaming."
Dari diam ke bergerak, dari kondisi ekstrim tiba-tiba menarik pedang, lalu mengayunkan sekuat tenaga. Bersih dan rapi tanpa keraguan. Jiaming masih dalam posisi miring, bahu mengkerut, kepala menunduk. Bilah pedang mengayun rata di atas tengkuknya.
"Kau..."
Kepalanya belum terangkat, pedang tiba-tiba berbalik dari kiri ke kanan. Tepat saat itu, Jiaming melangkah menyamping ke belakang Arakawa Shinsei, tangan kiri terangkat menghayunkan pukulan.
"Lewat..."
Hanya sekadar berpapasan. Arakawa melangkah maju mengikuti ayunan pedang yang meleset, berputar sambil memegang pedang dengan kedua tangan dan menghujam balik. Kepalan Jiaming masih di udara, kilatan katana sudah menyambar dadanya. Tubuhnya yang sedang berlari ke arah ini, meski kaki berhenti, masih terbawa inersia. Seolah sengaja menubruk bilah pedang. Saat mustahil menghindar, torso-nya tiba-tiba melengkung ke belakang seperti dahan tertiup angin.
Bagi Jiaming, pedang Arakawa bukan katana tapi kipas daun.
Ayunan penuh Master pedang tentu takkan menciptakan angin. Tapi bagi Jiaming, maknanya seperti itu. Bilah pedang menyambar, tubuhnya otomatis terdorong anginnya. Lengan yang terangkat di udara tak mungkin mengenai lawan. Katana menyambar di bawah lengannya, ujung pedang hampir menempel di dada. Pupil Arakawa Shinsei tiba-tiba menyempit.
Jiaming mengangkat tangan kirinya di udara, jari-jari terbuka lalu menggenggam.
"Saatnya……"
Waktu membeku sekejap.
Byur——
Kepala Aramaki Shinsei meledak seperti semangka……
Dentuman senjata bergema di tengah gedung olahraga, menjalar jauh ke sekeliling.
Tak seorang pun bisa mengantisipasi konsekuensi ini, segalanya terjadi bagaikan dunia mimpi.
"Aramaki kau ketinggalan zaman……"
Dalam waktu singkat sepanjang satu kalimat, kecepatan bicara Jiaming sebenarnya sangat cepat - seluruh proses dari Aramaki Shinsei mengeluarkan katana dan menyerang, Jiaming menghindar dengan menyamping, melangkah sambil memukul, hingga mayat Aramaki terbang bersama katananya, semuanya terjadi kurang dari dua detik. Yang terlihat orang hanyalah asap hijau tipis membubung dari laras pistol di tangan kiri Jiaming.
Basically tak ada yang bisa langsung menerima konsekuensi ini. Meski Kaoru selalu mengagumi Jiaming, dia tak pernah membayangkan guru ini bisa menyelesaikan Aramaki Shinsei dengan begitu bersih dalam dua detik. Tentu saja kekaguman itu kini semakin mendalam. Bahkan Tenku Masaoka yang sudah tahu kemampuan Jiaming pun terlihat bodoh, sementara Mikado Ki di sebelahnya mulut menganga membentuk "O", kepalanya miring seperti karakter anime. Yang lain termasuk Chen Guxia, otak mereka basically sudah kacau.
Menyimpan senjata di dalam lengan baju sejak awal sebenarnya bukanlah strategi genius. Dengan kesabaran Aramaki Shinsei, dalam jarak dekat, perbedaan antara pisau dan senjata tidak signifikan. Bahkan bisa dikatakan pisaunya lebih cepat daripada peluru, mirip dengan Jiaming. Pembunuh biasa sekalipun menembak, dia memiliki kemampuan merespon yang cukup untuk menghindari jalur peluru. Hasil seperti ini pada dasarnya bukan diciptakan oleh trik spektakuler, tapi murni bergantung pada kecepatan.
Terlalu cepat.
Setiap tebasan pisau Aramaki dalam jarak dekat mengandung keyakinan untuk langsung membunuh musuh. Namun Jiaming tetap menghindar. Jika lawannya orang lain, meski mereka menyembunyikan senjata di lengan baju dan mencoba serangan kilat, dia cukup percaya diri bisa menghindar. Tapi... kali ini tidak bisa.
Bukan karena dia lambat, tapi kecepatan Jiaming benar-benar di luar dugaan. Dengan gerakan bersih dan rapi, satu tembakan tepat ke kepala.
Tentu saja, sebagai orang-orang yang terlatih secara profesional, meskipun dalam kekacauan, para pembunuh yang awalnya saling waspada ini langsung bereaksi. Senjata di tangan mereka segera mengarah ke Jiaming di bawah. Namun bagi Jiaming, bahkan waktu reaksi sesingkat itu mungkin sudah terlalu lama bagi mereka.
Bersamaan dengan terlemparnya Aramaki Shinsei, pistol lain sudah muncul di tangan kanan Jiaming. Kemudian, seluruh perangkat pencahayaan di gedung olahraga tiba-tiba memancarkan cahaya.
Waktu adalah siang hari, bahkan jika semua lampu penerangan ini dinyalakan, tidak akan terlalu mengganggu. Namun perubahan lingkungan sekitar yang tiba-tiba tetap membebani penglihatan manusia. Mengikuti dentuman senjata di tangan Jiaming, tubuhnya mundur ke belakang dengan derap kaki Dreng-dreng-dreng. Dari tribun yang tinggi, tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi ilusi yang kabur.
Dari sudut pandang Chen Guxia, kedua tangan Jiaming memegang senjata, menarik pelatuk sambil berpindah posisi dengan cepat seolah sudah dilatih sebelumnya. Ayunan lengannya diiringi rentetan Byur-byur-byur-byur-byur-byur-byur yang menggema di seluruh gedung olahraga. Rombongan pembunuh di tribun terus memercikkan darah dan daging remuk. Dalam sekejap, delapan orang sudah roboh semua. Setelah tembakan berhenti, asap mesiu tipis membubung. Hanya bayangan Mikado Ki yang menghilang dengan cepat dari tribun. Suara alarm berbunyi, satpam berhamburan masuk melalui pintu gerbang dan pintu samping. Jiaming berdiri sendirian di tengah arena, memandang sekeliling dengan ekspresi datar, lalu mengangkat senjatanya lagi.
Setelah murid Arakan, kepala seorang tiba-tiba pecah mengeluarkan darah, disusul seorang satpam di pintu gerbang, kemudian dua murid ilmu pedang lagi. Sambil terus menembak sembarangan, dia berjalan menuju pintu samping gedung olahraga... Pembunuhan pun dimulai...
Ketika Chen Guxia dan yang lain keluar dari pintu depan, sistem transportasi di belasan blok jalan sekitar saat ini sudah kacau balau. Sepertinya sejak tadi, lampu merah mulai menjadi gila - saat seharusnya merah malah hijau, seharusnya hijau malah merah. Karena kecelakaan mobil, jalan-jalan besar kecil mulai macet total. Tak ada satu pun mobil polisi yang bisa memberikan bantuan ke sini dengan cepat...
## Bagian Tiga Ratus Sembilan Puluh Enam: Tak Jelas
Siang itu, sebelum polisi tiba, gedung olahraga terkenal terbakar hebat akibat ledakan. Api membakar selama lebih dari satu jam baru bisa dipadamkan. Kemudian dari reruntuhan dikeluarkan hampir 40 mayat yang terbakar hangus. Para korban ini sebenarnya sudah MATI sebelum kebakaran terjadi. Jejak darah membentang dari dalam gedung hingga pintu belakang. Luka mematikan kebanyakan akibat tembakan. Pelakunya hanya satu orang.
Karena sistem pemantauan komputer di dalam gedung sudah dihancurkan sejak awal, wajah pasti pelaku hanya bisa diidentifikasi lewat gambar mosaik komputer yang dibuat saksi mata. Namun karena keterangan para yang selamat ambigu, identitas pelaku ini tidak bisa langsung dikonfirmasi.
"Tidak tahu siapa orangnya, sekitar 20-an tahun... Bercanda, mana mungkin kami kenal orang kejam seperti itu. Saya dan pacar saya Yui ini orang-orang berstatus. Pak polisi kalau ngomong sembarangan awas saya laporkan pencemaran nama baik lho..."
“Tidak kenal, dari logatnya mungkin orang Tokyo, mana mungkin bisa membedakan kewarganegaraan Tiongkok atau Jepang, yang jelas semua orang yang ada di sana saat itu mendengar dengan jelas... logat Tokyo asli, kalau tidak tinggal di sini belasan tahun tidak akan dapat nuansa seperti itu... Aku yakin...”
“Benar, logat Tokyo asli, mutlak. Aramaki, aku datang untuk membunuhmu. Aramaki kau ketinggalan zaman. Kau dengar, asli kan...”
“Pada dasarnya bisa dibayangkan, pohon besar diterpa angin, reputasi Aramaki yang begitu gemilang, dunia luar bilang dia menggunakan pisau lebih cepat daripada orang lain pakai senjata, ini kan, tidak terima, atau balas dendam, pemuda sekarang memang punya karakter kuat...”
Entah itu mengganggu atau menyimpan niat jahat, karena anggota Pei Luo Jia habis menjadi korban jiwa, sebelum orang dari tingkat kepemimpinan lebih tinggi pemerintah turun tangan, seluruh kantor polisi Tokyo terjerumus dalam kekacauan. Tentu saja, orang seperti Tenku Masaoka, Chen Guxia dan lainnya, setelah memberikan keterangan langsung bisa pergi, tak ada yang berani terlalu menghalangi.
Chen Guxia dan kawan-kawan dengan rasa terkejut yang besar buru-buru kembali ke hotel, beberapa rekan Tenku pulang ke Takamagahara. Setelah mengantar Chen Guxia, Tenku dan Yui berdua pergi ke keluarga Yuechi. Pada sore hari, hanya terlihat anggota keluarga Yuechi berbisik-bisik di mana-mana. Setelah hal ini dilaporkan ke Tsukike Masazora, sekelompok besar orang juga terdiam terkejut cukup lama. Melihat perubahan ekspresi wajah orang-orang tua ini, sungguh menarik.
Bahkan setelah Tenku Masaoka membocorkan identitas Jiaming, tak seorang pun pernah membayangkan bahwa guru seni bela diri Kaoru ternyata sosok yang begitu luar biasa.
Seseorang yang bisa menghabisi Arashimaru Masayo hanya dalam sekali tatap mata di jarak dekat, di bawah pengawasan delapan pembunuh Pei Luo Jia—andai sebelumnya dia benar-benar tidak puas dengan keluarga Yuechi, mungkin kelompok kita sudah MATI berkali-kali...
Namun, setelah berhasil menerobos pembunuhan keluar dari gedung olahraga, Jiaming tidak kembali ke keluarga Yuechi. Dia juga tidak menghubungi Kaoru maupun Tenku Masaoka. Saat ini, dia telah menghilang dari penglihatan semua orang.
"Ayo kita kunjungi Kaoru." Setelah menyaksikan perubahan ekspresi para lelaki tua, Yui mengajukan usul.
Sebenarnya, meski sudah mengenal Kaoru sejak awal dan kurang lebih memahami sifat batin dingin perempuan ini, hubungan Yui dengan Kaoru tak pernah akrab karena pertunangannya dengan Tenku. Tapi karena beberapa alasan kali ini, Yui jelas telah menyingkirkan prasangka hatinya. Ketika Tenku meliriknya curiga, dia tersenyum sambil mengangkat mata putihnya.
"Ngapain kau memandangiku seperti itu! Aku terkesan dengan penampilan Gu Jiaming hari ini. Kau sama sekali tidak punya kesempatan, lagipula kau tidak seganteng dia..."
"Tidak mungkin! Meski hubunganku dengan Kaoru memang biasa saja, tapi kata-katamu itu sungguh menyakitkan, Yui! Walaupun aku kalah bertarung, setidaknya penampilanku masih lumayan. Orang itu kalau dilempar ke kerumunan pasti langsung hilang, mana ada yang ganteng!"
“Kalau begitu beranikah kau langsung menghadapi Aramaki Mayoyo di tengah situasi seperti itu, mengatakan ‘Aku akan MEMBUNUH-mu’ lalu membunuhnya?”
“Ini bukan soal ingin MATI… Memang terlihat megah, persis seperti pertunjukan. Tapi kalau gagal, langsung tewas. Kalian para wanita memang suka hal-hal tidak berguna. Apalagi… terlalu cepat. Sama sekali tidak memuaskan. Mengaku sebagai Ichiya Kokujiro [Pria Sembilan Kali Semalam], ternyata cuma penembak jitu yang selesai dalam dua detik...”
Sambil terus menggerutu, mereka bertiga menuju pekarangan kecil Kaoru. Mentari senja telah tenggelam, jalanan mulai dihiasi bercak-bercak cahaya lampu. Saat tiba di gerbang pekarangan, dari kejauhan terlihat Kaoru sedang membersihkan kamar tidur tempat Jiaming pernah tinggal. Setengah bulan lebih dia menghabiskan waktu menyusun jebakan dan merapikan ruangan, tapi sang tamu hanya menginap dua malam. Di bawah cahaya lampu hangat, gadis itu dengan fokus membersihkan setiap item di kamar, seolah sedang merawat harta seumur hidup. Mereka bertiga berdiri lama dari kejauhan, tidak masuk.
“Eh… Gu Jiaming ini… apa dia akan kembali lagi…” Wajah Yui berkerut sedih, “Melihat Kaoru seperti ini, aku sampai ingin menangis. Buat apa dia datang membunuh Morikami Kura...”
“Hmm, siapa yang tahu…” Tenmasa mengangkat bahu, menarik pundak pacarnya, “Mari kita pergi. Sepertinya dia tidak butuh penghiburan orang lain...”
“Bukan hanya keluarga Yuechi, setelah kejadian nanti sore, informasi detail tentang hal ini dikirim ke seluruh dunia melalui berbagai saluran. Saat menerima surat dari Chen Guxia nanti sore, Fang Zhitian kebetulan berada di Jianghai. Setelah membaca informasi yang dideskripsikan sangat detail ini tiga kali, dia mungkin terdiam selama satu menit, kemudian dalam mood yang kompleks menyebarkan informasi tersebut, memanggil beberapa orang untuk berdiskusi. Dongfang Lu yang kembali ke Jianghai saat liburan musim panas juga termasuk salah satunya. Setelah melihat kabar tersebut, semua orang menunjukkan berbagai ekspresi, keterkejutan bisa dibilang titik kesamaan terbesar. Bahkan Dongfang Lu yang sebelumnya mengetahui identitas asli Jian Suyan pun terkejut oleh tindakan gila ini.”
“Kemampuan Gu Jiaming perlu dilakukan penilaian ulang...”
Fang Zhitian membuka percakapan, yang lain pun melanjutkan: “Ini bukan masalah penilaian ulang lagi, kekuatan seperti ini... Seorang anak kecil usia delapan belas tahun, bagaimana bisa hebat sampai tingkat ini? Penilaian kemampuan Jian Suyan sebelumnya juga hanya sampai tingkat ini. Orang seperti Arajime, penilaiannya setara level dengan Yoritomo Taku...”
“Lalu sehebat apa Jian Suyan seharusnya? Bukan manusia?”
“Kembali ke kesimpulan yang sebelumnya kita urungkan... Jika Jian Suyan adalah dia yang berperan, setidaknya dalam hal kemampuan, perkiraannya tidak ada bedanya...”
“Lalu bagaimana dengan orang yang memukul hingga pingsan Pangeran itu?”
Melihat beberapa orang terus-menerus memperdebatkan identitas, Dongfang Lu menyela: "Menurutku, dengan memandang Gu Jiaming dan Jian Suyan sebagai satu kesatuan, yang perlu kita pikirkan sekarang bukanlah mengapa Gu Jiaming bisa sehebat ini, melainkan... tujuan sebenarnya apa yang ingin dicapainya dengan bertindak terang-terangan seperti pertunjukan ini. Membunuh Aramaki Shinsei ini sama sekali tidak memberikan fondasi makna bagi dirinya..."
"Jiwa balas dendam Jian Suyan sangat kuat. Lihat saja hal di New York, hal di Prancis. Mereka sama sekali tidak memiliki hambatan moral, setiap peristiwa justru semakin dikobarkan. Pei Luo Jia sebelumnya juga banyak merepotkan mereka. Mungkinkah karena dia baru lulus SMA, jadi ingin melakukan sesuatu... sebagai peringatan?"
"Insiden New York dan Paris memang besar, tapi kalau dipikir-pikir lagi, mereka tidak melakukan hal yang tak bermakna. Masalahnya, untuk apa membunuh Aramaki Shinsei..."
"Karena Jian Suyan sudah dewasa? Sedangkan Gu Jiaming masih anak-anak? Jadi tindakannya lebih tidak karuan?"
Perenungan yang tak keruan tidak akan membawa konsekuensi. Tak lama kemudian, Dongfang Lu menelepon ke Guilin untuk bertanya pada adik perempuannya apakah ada tindakan mencurigakan dari Jiaming belakangan ini. Jawaban yang diterima justru sangat formal:
"Gu Jiaming? Dia memang selalu bermasalah, menurutku tidak ada perubahan. Karakternya selalu risih sampai MATI, diajak main ke Guilin pun aku dan Lingjing bergantian membujuk tetap tidak mau, bikin kesal... Tapi bagus juga, setidaknya Lingjing berhasil kubujuk. Biarkan dia sendiri menjaga rumah kosong sendirian, haha..."
Mendengar jawaban adik perempuannya, Dongfang Lu mengerutkan kening lama: "Lingjing pergi ke Guilin sendirian denganmu? Apa perkataannya tidak didengar oleh Gu Jiaming?"
"Apa sendirian, di sini kita banyak orang, setuju... Kak, sebenarnya ada masalah apa? Apa Gu Jiaming lagi melakukan hal-hal tidak karuan?"
"Eh... Tidak, cuma bertanya saja. Guilin asyik tidak?"
"Lumayanlah. Ramai-ramai lebih seru... Lingjing sudah kembali, nanti kutanyakan. Hal-hal aneh begini... Jangan mati dulu..."
Telepon diletakkan di sana, beberapa saat kemudian Dongfang Wan kembali: "Halo, Kak, Lingjing bilang tidak ada hal aneh dengan Jiaming. Tapi pertanyaannya sama denganku, tanya apa Jiaming baru-baru ini bikin ulah, hehe..."
"Tidak. Kalian mainlah yang senang di sana, aku cuma iseng bertanya saja. Jangan lupa bawa oleh-oleh untukku."
Dengan jawaban seperti ini, kerumunan orang tetap tak bisa menarik benang merah. Dongfang Lu tidak tahu bahwa jika bukan karena Dongfang Wan menyebut namanya, mengatakan kakaknya menelepon untuk menanyakan kabar terakhir Jiaming, mungkin Lingjing sudah menangis sambil menceritakan masalah putusnya. Tentu saja, di depan orang Jiaming selalu terlihat sebagai pasangan resmi dengan Shasha. Tindakannya yang tiba-tiba ini memang agak aneh. Tapi setelah main 1-2 hari tiba-tiba ditanya tentang masalah hatinya, Lingjing nyaris benar-benar menangis.
Perbincangan, analisis, penalaran tak membuahkan hasil. Jiaming bertindak sendirian di Tokyo melakukan hal ini. Sekelompok orang khawatir, apakah ini akan memicu kembali konflik antar organisasi. Di sisi lain, dengan MEMBUNUH secara semena-mena di wilayah orang, semua menduga mungkin dalam waktu dekat dia akan menghadapi pengejaran dan pemburuan sengit. Mungkin bahkan sulit kembali ke Tiongkok.
"Segera tambahkan anggota, diam-diam menjaga keamanan keluarga Gu Jiaming termasuk Liu Huaisha, Ye Lingjing, Zhang Yahan, pasangan pemilik perguruan silat keluarga Ye, dan pasangan Zhang Jing'an. Perketat pengawasan di pintu masuk pelabuhan, antisipasi serangan balik gila dari Pei Luo Jia. Pembunuhan Mikado Ki mungkin tak berarti baginya, tapi sangat berguna bagi kita. Di sisi lain, kerahkan semua tenaga di Jepang untuk menghubungi Gu Jiaming, beri bantuan untuk misinya. Sekarang bukan saatnya heran kenapa dia sehebat ini. Saya perkirakan... hal ini akan menjadi besar."
Tak lama setelah mendapat kabar, Fang Zhitian langsung mengambil keputusan ini. Tapi ketegangan yang ditinggalkan Gu Jiaming tak bertahan lama di benak semua orang. Matahari terbenam lalu terbit lagi, tepat sehari setelahnya tanggal 1 Agustus hari jadi militer. Malam itu, ketegangan dari pemuda itu berubah menjadi getaran dahsyat yang langsung membalikkan tatanan kekuatan kegelapan dunia...
## Bagian Tiga Ratus Sembilan Puluh Tujuh Mikado Ki
1 Agustus 2000 pukul tujuh malam.
Musim panas memiliki siang yang panjang, saat ini cahaya matahari baru saja menghilang di ufuk barat, hari yang terik akhirnya mulai mereda dengan suasana yang lebih sejuk. Mengenakan kemeja bunga yang segar dan bandana sedikit pemberontak di dahinya, Mikado Ki berjalan lesu di sebuah basis Pei Luo Jia di pinggiran Tokyo.
Meski disebut basis, secara eksternal tempat ini tampak seperti villa pribadi bergaya Jepang yang luas. Tembok tinggi, anjing serigala, bahkan menara observasi—mengelilinginya dengan mobil membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit. Orang awam langsung tahu ini adalah kediaman keluarga sangat kaya. Di dalamnya terdapat taman-taman indah yang saling terhubung, namun sebenarnya merupakan benteng pertahanan modern dengan persenjataan lengkap termasuk rudal darat-ke-udara di lantai bawah tanah pertama. Pei Luo Jia memiliki beberapa basis yang sangat dijaga ketat di Jepang, yang satu ini karena letaknya dekat Tokyo, merupakan yang paling mencolok sekaligus paling "bodoh" dalam strategi.
“……Makan malam belum selesai, sudah memanggilku datang. Semua yang perlu dibicarakan sudah jelas di data yang diserap kemarin, kan? Kalian ini tidak efisien. Ikan buntel selezat malam ini tidak selalu bisa dimakan, ini mempertaruhkan nyawa, tahu? ...Sebenarnya makan bukan yang utama. Yang paling penting, si lolita hari ini imut banget, hampir saja aku berhasil. Pertama kali, pasti butuh usaha lebih untuk membujuk adik kecil pertama kali melakukan dating kompensasi. Yang ini sudah kupancing beberapa hari, jadi paman aneh pun punya kandungan teknologi. Tolong hargai dong! Hampir berhasil hari ini, iya kan?”
Berjalan di koridor yang dipenuhi kamera tersembunyi, senjata api bahkan pemancar laser, emosi Mikado Ki jelas tidak nyaman. Dia meneguk baijiu, bicara ngawur. Di belakangnya dua pembunuh Pei Luo Jia hanya mengikuti langkah, tidak berani menjawab.
Peristiwa pembunuhan Arako Mayoyo kemarin sore tidak hanya mengguncang organisasi-organisasi musuh seperti Kolam Bulan, Takamagahara, dan [], namun dampaknya tentu lebih besar di internal Pei Luo Jia. Arako adalah veteran di Pei Luo Jia. Saat ini, sebagian besar pembunuh level tinggi dalam organisasi pernah belajar darinya. Para penyintas yang melewati hidup dan MATI ini memiliki penilaian paling akurat tentang kekuatan lawan - hidup ya hidup, MATI ya MATI. Bagi sosok seperti Arako, faktor kebetulan atau meremehkan lawan hampir tidak ada. Justru karena itu, sosok misterius yang bisa membunuhnya dalam sekali tatapan di jarak dekat terasa semakin menakutkan.
Pertarungan itu akhirnya berubah menjadi pembantaian. Meski Arako dan 8 orang pembunuh telah MATI, tetap ada pengamat dari pihak Pei Luo Jia yang selamat, misalnya para murid Arako. Namun mereka yang belum mengalami situasi hidup-MATI sesungguhnya ini, meski menyaksikan langsung, belum tentu bisa sepenuhnya memahami bahaya saat itu sehingga tidak mampu membuat penilaian akurat. Dalam kondisi ini, Mikado Ki yang berhasil pergi dari lokasi kejadian secara utuh secara alami menjadi orang paling berhak memberikan penilaian.
Sejujurnya, Mikado Ki tidak pernah menunjukkan kekuatannya di hadapan orang lain——setidaknya di Pei Luo Jia saat ini, tidak ada seorang pun yang bisa bersumpah telah menyaksikan aksinya. Namun, penilaian terhadap kekuatannya selalu berada di level tertinggi. Menempatkannya setara dengan ahli seperti Tak Terhitung Dewa-dewa, Arakan Mashiyo, Da Nei Zhangdu, bahkan Yoritomo Taku, memang terasa sebagai hal yang aneh.
Namun, sebagai satu-satunya anak laki-laki Morikami Kura dan calon penerus Pei Luo Jia yang paling potensial, lolicon ini justru memiliki karakter pemberontak. Andai saja dia sekadar berkarakter malas-malasan, mungkin masih bisa dimaklumi. Masalahnya, di satu sisi dia bertindak semaunya tanpa batas, di sisi lain dia mengelola urusan di bagian Tengah Pei Luo Jia. Bila kau bilang dia tidak melakukan apa-apa, dia menyerahkan semua tugas ke orang lain lalu membiarkannya terlepas, namun tanpa pernah membuat kesalahan. Bila kau bilang dia peduli pada urusan Pei Luo Jia, nyatanya dia setiap hari sibuk merayu lolita, berperan sebagai paman aneh, melakukan berbagai hal tidak karuan——kecuali urusan yang benar-benar penting.
"Ditambah lagi dengan sifat humor gelapnya yang sering mendorongnya untuk tidak pernah ikut serta dalam rapat internal atau memberikan saran konstruktif sehari-hari. Tapi selama ada kesempatan untuk membuat orang mual, dia langsung muncul dengan penentangan yang sangat lancang. Dalam hal ini, dia selalu bertolak belakang dengan ayahku. Artinya, kesalahan orang lain mungkin dia abaikan, tapi begitu ada kesalahan dari pihak ayahku atau saran yang bisa ditentang, dia langsung melompat keluar, membesar-besarkan masalah sepuluh kali lipat, sungguh membuat sakit kepala."
"Lama-kelamaan, para pimpinan Pei Luo Jia pun tahu ada konflik antara Bapak-Anak ini. Tapi konflik keluarga ini belum sampai ke tahap kebencian. Dia selalu memilih momentum yang tepat untuk melawan, jadi semua orang memilih bersabar. Kali ini karena lebih banyak pihak dari faksi Morikami Kura yang terlibat, dua orang pengawal di belakangnya pun tak berani menyentuh sarang tawon saat Mikado Ki sedang marah."
"Jadi apapun masalahnya, soal efisiensi ini, Para bos... Data yang kusampaikan kemarin sudah jelas. Apa yang tertulis disana ya begitu adanya, benar?"
Melewati koridor demi koridor dan melewati verifikasi identitas, Mikado Ki yang kini duduk di meja panjang ruang rapat yang sunyi terus mengetuk-ngetuk meja sambil memberi penjelasan pada beberapa sesama pimpinan di sekitarnya, wajahnya masih dipenuhi kegerahan.
“Seperti yang tercantum dalam data-data, orang itu memang mengerikan, baru bertatap muka, si tua Aramaki langsung ambruk, bahkan tidak sampai dua detik. Katanya dalam radius 10 meter tidak takut siapa pun, tapi saat itu jarak mereka berdua bahkan kurang dari 2 meter, pisau nyaris menggesek dada anak itu, Byur... Kepalanya langsung meledak. Kalian mau aku bagaimana? Tentu saja kabur sejauh mungkin, kan? Biar bisa hidup menyerahkan laporan ke kalian...”
Mendengar nada bicaranya yang sembrono, salah seorang manajer yang mungkin dekat dengan Aramaki mengerutkan alis: “Aki, Guru Aramaki adalah senior kita, tolong hormati! Jangan seenaknya!”
“Kau saja yang menghormatinya. Aku kan tidak punya hubungan khusus dengannya. Kita sama-sama manajer, apa aku pernah minta kau menghormatiku? Tidak kan? Penghormatan harus datang dari hati. Aku tidak kenal dekat, buat apa menghormati, iya kan?”
“Ehem, tapi kami menilai saat itu kau seharusnya tidak melakukan interaksi lari dari pertempuran, secara tidak langsung...”
“Bercanda macam apa ini? Kabur tanpa bertempur? Kau tidak punya otak apa? Orang itu sangat hebat, kalau bertempur aku langsung MATI, setuju!” Mikado Ki berteriak, “Aku bukan pembunuh, aku sama seperti kalian adalah manajer, di medan perang sama seperti jenderal. Tiongkok ada pepatah bagaimana ya… Aku lupa, tapi jenderal itu bersembunyi di belakang mengatur strategi, biarkan umpan peluru yang berlari maju, kan? Yang paling penting bagi manajer itu apa? Wawasan! Sekilas lihat aku tahu orang itu sangat jago, jadi langsung kabur, akhirnya aku selamat, yang berwawasan payah semuanya MATI. Aku masih hidup, sudah cukup membuktikan kehebatanku!”
Suaranya belum habis, orang itu Byur! menepuk meja dengan telapak tangan: “Memalukan, ini sikap bicara yang tulus?”
Suara pertama selesai, Mikado Ki menepak tampilan layar utama lebih keras, Prak! suaranya semakin nyaring, lalu terlihat dia Sreeet menggapai-gapai tangan yang kesakitan sambil bicara tanpa kompromi: “Lalu menurutmu apa sikap bicara yang benar! Kalau aku di sini bicara formula dengan kalian bisa ngelantur seharian. Santai sedikit itu sikap yang lebih jujur! Mengerti tidak! Tak terhitung dewa-dewa dulu pernah bilang benar, hadapi realita, keburukan bawaan orang Jepang...”
“Kami hanya ingin penilaian objektif tentang level sebenarnya orang itu!”
“Penilaian objektifnya memang sangat hebat, faktanya terpampang jelas di depan mata. Lebih dari 40 orang sudah dibunuhnya. Kau mau aku melakukan penilaian profesional? Tolonglah, sudah bertahun-tahun aku tidak memegang senjata. Bahkan jika kau beri aku senapan serbu untuk menembak target, belum tentu total skor bisa mencapai 10 lingkaran. Kau sakit jiwa ya!”
“Kau...”
Di depan orang lain, terutama di hadapan lolita cantik, Mikado Ki selalu menunjukkan sikap santun dengan karakter yang sangat baik dan ramah. Namun di dalam organisasi Pei Luo Jia kali ini, dia malah membuka tangannya dengan ekspresi "Ayo pukul aku" yang sangat memancing amas, membuat lawannya mengeluarkan asap dari tujuh lubang wajah.
Di saat yang sama, pintu kamar samping terdorong. Seorang pria paruh baya berbaju kimono berdiri di luar lalu masuk. Laki-laki berjanggut lebat ini bertubuh sedang, sekitar 170 cm, terlihat agak sekarat. Namun begitu masuk, semua orang di ruangan langsung menunjukkan sikap hormat. Ekspresi memuakkan Mikado Ki berangsur menjadi datar, seolah merasa bosan, lalu membuka mulut: “Ha, ayahku, lama tak berjumpa.”
“Tak perlu dilanjutkan lagi.” Pria itu mengerutkan kening, “Aki, ikut aku jalan-jalan.”
“Oke.”
Setidaknya secara eksterior, halaman bergaya Jepang biasa ini menyaksikan bapak-anak keluar bergantian di koridor sunyi. Mikado Ki di belakang mengamati punggung ayahnya dengan sikap tak acuh. Beberapa saat kemudian, Morikami Kura berbicara: “Ternyata Gu Jiaming itu?”
“Tiba-tiba muncul……Ayahku sudah berhasil break through Tingkat kekuatan diri sendiri?” Mikado Ki mengangkat bahu, jawabannya terdengar sedikit di luar konteks。
“Mengingat Gu Jiaming sehebat itu, kekuatan Jian Suyan basically tidak bisa diperkirakan. Tapi saat Yoritomo Taku kedua kali menghadapinya, ketika dia membunuh Da Nei Zhangdu, masih belum sekuat Gu Jiaming yang sekarang. Ini alasannya kenapa……Dan kenapa dia juga datang ke sini untuk membunuh Aramaki yang fondasi-nya sama sekali tidak penting……”
Morikami Kura berbicara perlahan. Faktanya nada suaranya membuktikan bahwa ia sudah memiliki dugaan sendiri tentang hal-hal ini, tak membutuhkan jawaban dari mereka. Mikado Ki tentu paham hal ini. Bertiga berjalan menuju gazebo kecil, Mikado Ki menemukan bangku bundar dan duduk: “Siapa yang tahu, mungkin kenangan perjalanan kelulusan SMA.”
“Dia tak pernah melakukan hal tak bermakna. Meski masih belum jelas sekarang, tapi pasti dia datang bukan hanya untuk Aramaki. Dia datang untuk seluruh Pei Luo Jia.” Membelakangi anak laki-lakinya, senyum muncul di wajah Morikami Kura, “Jika memang begitu, baik dia maupun Jian Suyan, bisa menjadi referensi terbaik untuk break through kekuatan.”
Morikami Kura adalah salah satu pengguna elemen api terkuat di dunia, namun tubuh manusia biasa pada akhirnya memiliki batasannya. Bahkan tubuh bereinkarnasi yang berevolusi secara natural seperti Natalia harus melewati transformasi berulang kali untuk memiliki kekuatan besar. Bagi pengguna kekuatan supernatural biasa, benar-benar meningkatkan kualitas kemampuan mereka hampir mustahil. Sebagai Morikami Kura, selama bertahun-tahun ini ia terus mencari cara untuk menembus batasan kekuatan supernatural. Mungkin karena inilah, keberadaan misterius Gu Jiaming dan Jian Suyan yang ditunjukkan akhirnya membuatnya meninggalkan tempat pertapaannya.
Menanggapi emosinya saat ini, Mikado Ki hanya tersenyum secara ironis: "Kau akan MATI."
Morikami Kura tidak menjawab, membelakanginya, memandangi ikan-ikan kecil yang berenang di kolam. Mikado Ki pun duduk dengan rasa bosan, menengadah melihat ornamen pada tiang pendopo. Beberapa saat kemudian, pemimpin Pei Luo Jia ini sedikit menoleh ke belakang: "Mengapa hubungan bapak-anak bisa berakhir seperti ini?"
“Aaaaa, kau tanya hal ini tiba-tiba, membuatku merasa sangat mendadak...” Ucapan begitu, DIA tak menunjukkan emosi mendadak apa pun, mengulurkan tangan mengelus hidung, kepala masih menengadah seolah ada harta kesayangan di tiang, "Itu, saat kecil AKU juga terlibat langsung pelatihan masih ingat kan. Kejam sekali, bagaimanapun AKU ini anak laki-laki bos, beri Aku hak istimewa lebih baik, pengalaman pertama tertembak sakit sampai MATI, anak kecil memang akan menyimpan dendam..."
Pembicaraan seperti ini jelas ngawur. Mikado Ki berpikir sejenak, lalu melanjutkan: "Kau tahu kan, aku ini lolicon. Saat ikut pelatihan kedua, aku masih bocah lelaki kekanak-kanakan. Jujur saja kelakuan seperti itu sangat cocok untuk merayu adik-adik kecil, sampai ingin kembali ke masa lalu... Lalu ada seorang loli berusia 12 tahun, cantik dan imut. Dia menyelamatkanku sekali, lalu ketakutan dan terus menangis. Aku pun menyuruhnya berhenti menangis. Kakak tertua yang baik dan adil pasti akan menjaganya, lagipula aku ini anak bos..."
"Lalu... Janji harus ditepati. Aku terus melindunginya. Tapi itu kan babak eliminasi. Pada akhirnya pasti akan ada yang terdiskualifikasi. Ayah ingat? Aku datang dan memintamu untuk melepaskannya. Lalu kau menyetujuinya. Saat itu sangat bahagia, merasa punya hak istimewa. Tahukah kau hal paling menyenangkan di dunia ini? Memiliki hak istimewa di lingkungan paling kejam. Merasa bisa pamer padanya, senang sekali. Tapi ketika menoleh, kau langsung menarik senjata dan membunuhnya..."
Dia menyeringai dengan nada datar: "Saat itu hanya kami berdua yang tersisa. Dia memakai gaun putih, seluruh tubuh berlumuran darah. Melihatku mengayunkan tangan, wajah penuh noda darah itu pun tersenyum. Dialah loli tercantik yang pernah kulihat seumur hidupku. Sampai sekarang tak pernah melihat yang lebih baik. Loli terbaik di dunia..."
"...Dia kubunuh olehmu. Menurutmu harus bagaimana aku sekarang..."
Di sini, ada sedikit kesedihan yang terasa.
## Bagian Tiga Ratus Sembilan Puluh Delapan Apa yang Masih Tersisa
"Loli terbaik di dunia ini... kau telah membunuhnya. Menurutmu apa yang harus kulakukan sekarang..."
Nada suara Mikado Ki terdengar datar dengan kesedihan samar, namun ekspresi acuhnya di pendopo membuatnya terlihat seperti sedang mereview animasi atau buku. Morikami Kura di pendopo perlahan menoleh: "Karena ini?"
"Lucu kan? Tapi ini bukan hal besar, tak masalah mengatakannya." Mikado Ki mengangkat bahu, "Lihat, sudah bertahun-tahun berlalu. Aku sudah dewasa. Menurutmu konsep menjadi dewasa itu seperti apa? Terus membuang hal-hal rapuh dari diri, mengganti dengan anggota tubuh yang lebih keras. Agar bisa bertahan, tak terluka. Tangan, kaki, kepala, berbagai organ dalam tubuh - semuanya diganti hingga bersih. Biarpun cacat, tak masalah. Bedanya apakah orang lain yang menggantikan atau kau sendiri. Saat kuceritakan, mereka bilang: Orang dewasa melakukan ini untuk kebaikanmu... Tentu saja."
“Tapi di mana letak maknanya?” Mikado Ki terdiam sejenak, lalu mengangkat kepalanya lagi, “Bukankah makna hidup adalah berusaha mempertahankan sedikit bagian asli diri di dunia yang memaksa kita mengganti anggota tubuh dengan yang cacat ini. Jika terluka, harus ganti tangan, ganti kaki, ganti kepala, ganti jantung, ganti pantat, bahkan mengganti alat kelamin pria dengan wanita - ganti saja, menjadi manusia jahitan pun tak masalah, tidak mengganti berarti tidak bisa bertahan hidup. Tapi kita harus berusaha mempertahankan sesuatu. Kita telah mengganti lebih dari separuh tubuh, mengganti 99%, asalkan 1% masih bisa dipertahankan dengan usaha, itu sudah bermakna... Apa yang masih bertahan...”
Suaranya datar dan perlahan: “Kejam, acuh tak acuh, berhati kejam... Aku telah melihat tidak kurang dari sepuluh ribu orang bodoh yang berpikir cukup hidup polos saja, lalu terburu-buru membuang semua hal berharga sebelum benar-benar terjepit. Sungguh ingin kubunuh semua mereka... Gadis-gadis kecil itu begitu indah, setidaknya mereka masih polos, masih memiliki sesuatu yang belum terbuang...”
“Bagaimanapun, Gu Jiaming maupun Jian Suyan akan datang membunuhmu.” Mikado Ki bangkit dari bangku batu sambil berkata demikian, lalu berbalik keluar dari pendopo, “Meski terdengar tak sopan, tapi... kuharap mereka bisa membunuhmu, Tuan Ayah.”
Morikami Kura menoleh dalam diam. Dalam pandangannya, anak lelakinya yang memberontak itu mengayunkan tangan terakhir kali sebelum punggungnya menghilang di balik pintu gerbang taman.
"Beberapa saat kemudian, manajer yang sebelumnya berdebat dengan Mikado Ki dalam rapat tiba menghampiri. Tatapan Mikami Kura masih tertuju ke arah pintu pekarangan sambil berkata: "Suruh orang mengikutinya.""
"Mengikuti... Aki?"
Mikami Kura mengerutkan kening: "Tidakkah Anda merasa dia agak berbeda hari ini?""
"Sepertinya ada sedikit, tapi... Apakah Bapak mencurigainya sebagai orang lain yang menyamar?""
"Bukan, awalnya aku juga berpikir begitu, tapi dia memang Aki. Ada hal-hal tertentu yang mustahil diketahui orang luar, cukup awasi saja. Selain itu... Aku punya firasat, mereka sudah masuk, Gu Jiaming... atau Nona Jian Suyan itu. Siagakan seluruh pertahanan.""
"Hai!""
Perintah Mikami Kura membuat manajer tersebut kaget, lalu segera mengeluarkan perintah siaga tertinggi ke seluruh basis. Sementara manajer itu memberikan instruksi detail, Mikami Kura memandangi ikan di kolam dengan tatapan semakin dalam, kemudian berbalik menuju pintu pekarangan di sisi lain - arah yang berlawanan dengan Mikado Ki yang baru saja pergi.
Di bawah kegelapan malam, pekarangan yang berlapis-lapis tetap sunyi tanpa perubahan tampak, namun jaring pengawasan dan pencarian mulai menyebar dalam suasana tenang itu. Setelah melewati dua pekarangan, manajer itu kembali menghampiri: "Mikami-sama, mengingat target mereka adalah Anda, perlukah kami tambahkan pengawal dan perkuat pertahanan di sini...""
“Tidak perlu.” Morikami Kura menggelengkan kepala, “Aku akan kembali ke bawah. Jika dalam pertahanan seperti ini dia bisa mendekatiku, aku mau memberinya kesempatan bertarung yang jujur.” Melihat ekspresi mereka yang ragu-ragu, dia menambahkan alasan: “Jangan khawatir tentangku, Tuan Inoue. Aku sekarang membutuhkan Tantangan sesungguhnya untuk membantu mencapai peningkatan level yang lebih tinggi. Jika mereka benar-benar sehebat itu, itu akan menjadi kandidat terbaik.”
Di sisi lain, saat level pengamanan ditingkatkan, Mikado Ki berjalan di jalan keluar. Meski tatanan basis terdiri dari halaman yang saling terhubung dengan gaya klasik, sistem pengamannya merupakan hasil elektronik level tertinggi. Saat mendekati pintu kaca yang tidak terbuka otomatis, dia langsung tahu apa yang terjadi. Mengetuk dinding samping, lalu memasukkan password dan memverifikasi sidik jari, ekspresinya tetap tidak senang—mungkin karena harus melewati banyak prosedur membosankan seperti ini untuk keluar.
“Lambat laun semua akan celaka karena teknologi modern……”
Bergumam tidak nyaman, dia menyadari pengawasan diam-diam dari belakang dan kamera rahasia di dinding yang mengikuti gerakannya. Tentu saja ini tidak luput dari perhatiannya. Dalam hati dia mengerti alasan di balik ini, menggelengkan kepala pelan. Setelah melewati satu halaman, dua halaman, saat pintu halaman ketiga terbuka—tanpa tanda-tanda—jejaknya menghilang dari lensa kamera pengawas.
Di ruang kendali, dua operator terus mengganti gambaran layar. Secara paralel, orang yang diam-diam mengikuti Mikado Ki dari belakang melaporkan fakta bahwa mereka kehilangan jejak target.
Di halaman seperti ini, kehilangan jejak target di bawah begitu banyak rekaman pengawasan adalah hal yang mustahil.
……
……
Saat menerima kabar hilangnya Mikado Ki secara tiba-tiba, Morikami Kura yang sedang menutup pintu kamar di belakangnya sendirian tertegun sejenak: "Cari."
Eksterior yang terlihat seperti tempat tinggal bergaya Jepang biasa, saat memasuki kamar akan terlihat koridor panjang dengan pintu lift di ujungnya. Di bawahnya terdapat basis bawah tanah dengan pengawasan lebih ketat, tempatnya selama bertahun-tahun melakukan pengasingan diri untuk mencari momentum breakthrough. Berdiri di tepi pintu mendengarkan desisan halus dari luar, dia mengerutkan alis dan melangkah ke depan.
……
……
Halaman tempat Mikado Ki menghilang.
Dalam kesunyian total, dua orang muncul di tepi gerbang halaman, bertukar pandang, lalu membuka pintu kamar masing-masing untuk mencari. Beberapa detik kemudian, dua orang lain muncul tanpa suara di serambi, diikuti dua lagi, menyisir setiap kamar satu per satu.
Proses ini memakan waktu sekitar setengah menit. Enam orang keluar berturut-turut dari kamar-kamar, saling memandang di bawah atap kecil sambil menggelengkan kepala. Orang dengan pangkat tertinggi segera melaporkan ke atasan. Dengan cepat dia menekan kode komunikasi pada tombol, sementara lima lainnya menjaga kewaspadaan di setiap sudut halaman yang mungkin menjadi persembunyian. Jepang tetaplah tanah asal ninjutsu - jika legenda tentang kemampuan Mikado Ki benar, mungkin dia menggunakan trik optik untuk mengelabui semua pengawasan.
Bagaimanapun, selera humor jahatnya memang sudah dikenal semua orang. Hal-hal yang bisa merepotkan orang lain, seringkali dia lakukan dengan semangat.
Pencarian seperti ini tidak membuahkan hasil. Sambil menunggu perintah atasan, tiba-tiba terdengar suara "Splash" di halaman kecil lain di luar gerbang. Sebuah pintu kamar terbuka tiba-tiba. Bayangan Mikado Ki muncul dalam jarak pandang enam orang sambil merapikan ikat pinggangnya, melirik dengan lesu sebelum menunjuk jari tengah ke panel kontrol di dinding: "Yang paling menjijikkan adalah toilet pun ada yang mau mengintip!"
Kemunculan kembali Mikado Ki sampai ke telinga manajer bernama Inoue, sekaligus terdengar di earphone Morikami Kura. Saat ini, dia tepat berdiri di depan pintu lift. Membuka tutup transparan di samping lift, memasukkan password, diikuti identifikasi sidik jari dan pupil. Sistem sinar laser di dinding akan otomatis melakukan verifikasi tubuh manusia - sistem teraman di dunia yang hanya bisa dibuka oleh beberapa orang terbatas untuk mengakses tempat eksklusifnya.
Segalanya OK. Dia mengangkat kepala. Pintu gerbang di depannya perlahan berpisah.
Pada saat yang sama, di ruang kendali basis raksasa, seorang operator menekan tombol namun tidak ada reaksi. Dia mengerutkan kening tipis.
Komputer tercanggih, konsol operasi, gambaran ratusan kamera yang rapat memenuhi dinding di depan mata—ini hanyalah bagian dari sistem pemantauan basis. Saat diperlukan, kamera bisa diganti kapan saja, atau menggunakan berbagai senjata otomatis di sini untuk mengancam musuh di dalam basis. Namun, bahkan perangkat terbaik pun terkadang mengalami sedikit kerusakan. Setelah menekan tombol tanpa respons, dia menekannya lagi. Melihat layar, sistem masih belum beroperasi sesuai prosedur. Ditekan dua kali lagi, pandangannya secara bawah sadar beralih ke samping. Baru kemudian disadari, beberapa orang di kejauhan juga memandang ke arah berbeda dengan ekspresi bingung.
Kemudian, di tengah ruang kendali, manajer dengan posisi tertinggi menatap ratusan layar di depannya dengan mulut menganga.
Sebuah gambaran muncul serentak di semua komputer dan kamera pemantau, membesar perlahan di hadapan semua orang.
Warna hitam-putih yang kontras, seekor panda besar berdesain Q yang bodoh dan lucu memegang tiga tangkai hio dengan kesalehan, hadir di depan semua orang. Entah sebagai tanda berkabung atau ironi, semua sistem basis yang melibatkan komputer pada detik ini sepenuhnya hilang fungsi.
Pintu lift terbuka. Sorot mata Morikami Kura tiba-tiba menyempit. Di detik berikutnya, tangan kirinya menyambar ke depan secepat kilat!
Bersamaan, sebuah tangan lain menyembul dari dalam lift, jari-jari menerobos angin, gesit bagai petir yang menggelegar!
Kedua tangan—bersilangan!
## Bagian 399 Setelah Bungaku Mekar
Langit batu di bulan Mei bagaikan latar belakang teatrikal yang dalam, seolah notasi pertama per set simfoni Beethoven yang mengawali pertunjukan. Seluruh suasana mencapai klimaks dalam sekejap setelah momen kedamaian.
Sesaat sebelum seluruh sistem pertahanan komputer kehilangan kendali, Mikado Ki sedang mengusap-usap tangannya dengan saputangan putih sambil melangkahi pintu gerbang.
"Mengapa harus begitu tegang?" ujarnya, "Sejak pelajaran pertama seharusnya sudah diingatkan, kita harus menjaga mentalitas yang rileks namun penuh ketegangan. Orang yang gugup akan selalu dialihkan pandangannya, dikacaukan, dimasuki saat lemah, dan... dibunuh."
Dengan tatapan datar, dia memandangi beberapa orang. Sikap acuhnya persis seperti saat menatap titik-titik di udara dalam keadaan hampa. Bersamaan dengan itu, suara mekanis singkat bergema dari dinding. Sebelum sempat menoleh, lidah api tiba-tiba menyembur dari senjata otomatis di sudut ruangan.
Dentuman senjata yang serupa tiba-tiba merobek langit malam, mengiringi bunyi alarm yang muncul mendadak. Kekacauan dan keributan memenuhi seluruh basis. Saat virus merebut kendali sistem, semua orang di basis dinilai sebagai penyusup oleh Penilaian sistem, sekaligus menyeret mereka ke jurang malapetaka.
“Jika dalam keadaan normal mungkin tidak masalah, tapi sekarang dengan level pengamanan yang ditingkatkan ke maksimal, sistem elektronik sudah memiliki izin akses penuh. Sementara orang di ruang kendali pusat masih terpaku, Mikado Ki kehilangan lagi seorang pembunuh yang tubuhnya hancur terkena peluru. Untungnya Pei Luo Jia pernah mempertimbangkan kemungkinan invasi sistem elektronik. Meski tidak pernah membayangkan skenario separah ini, sistem senjata masih dalam status membantu dari semua konfigurasi yang ada, memungkinkan orang-orang di sekitarnya bereaksi cepat.”
“Empat pembunuh yang tersisa berusaha menerobos ke blind spot sambil mencabut pistol mereka, bersiap menghancurkan sistem senjata di berbagai titik. Mikado Ki sendiri menerobos sebuah pintu dengan kasar dan berguling masuk. Harus diakui, meski belum terlihat aksinya dalam menyerang, kemampuan melarikan dirinya benar-benar dilengkapi firasat dan bakat yang sulit ditandingi orang biasa.”
“Dari dulu sudah kubilang, cepat atau lambat kita semua akan binasa oleh teknologi modern ini...”
“Serangan serupa tiba-tiba terjadi di seluruh basis. Semua senjata aktif dan menembak secara membabi buta. Beberapa area di sudut utara basis bahkan meledak dari kedalaman tanah, semburan api menjulang ke langit. Sistem komunikasi lumpuh total. Sistem pencahayaan di dalam basis berkedip-kedip seperti lampu hias karnaval, mencoba membutakan semua orang. Bahkan sprinkler pemadam kebakaran aktif bersamaan. Singkatnya, semua yang bisa dikendalikan komputer bergerak dengan cara yang paling menjijikkan.”
“Di saat yang sama, di depan pintu lift tempat Morikami Kura hendak turun, dua tangan bersilangan dalam sekejap.”
……
……
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Morikami Kura adalah salah satu pengguna elemen api terkuat di dunia ini.
Tentu saja, sebagai pengguna kekuatan supernatural biasa, bahkan jika menggali lebih dalam, mustahil untuk menguasai sistem supernatural sebesar milik Natalia. Namun, persis seperti pembunuh biasa yang seringkali lebih ahli dalam pertarungan fisik dibanding pengguna kekuatan supernatural, jika kau hanya memiliki satu hal tertentu, barulah kau bisa lebih memahami dan menguasai teknik yang lebih hebat. Jika tidak, meskipun kau memiliki kemampuan menyemburkan api, itu hanya setara dengan membawa penyembur api portabel yang membutuhkan waktu setengah hari untuk memadatkan mental sebelum bisa menyemburkan nyala api. Jika kekuatan supernatural Natalia diibaratkan seperti supermarket dengan berbagai barang jualan, kekuatan api Morikami Kura lebih mirip karya seni paling indah - puncak kesenian dalam pertempuran menggunakan kekuatan supernatural.
Bahkan jika melawan Natalia, dalam pertempuran sebenarnya, dia mungkin tidak akan kalah.
Mantra instan, kompresi kekuatan maksimal, pedang api yang digunakannya mampu menyaingi semburan api dari alat pemotong las. Bagi anggota pendiri Pei Luo Jia yang pernah menyaksikan pertempuran aslinya, gerakan sederhana mengulurkan tangan ini bisa melepaskan ledakan kekuatan sekuat bom dalam sekejap mata - tak terhitung banyaknya orang yang langsung berubah menjadi arang yang terbakar hanya oleh gestur tangan sederhana ini.
Kemenangan antar pembunuh mungkin memang ditentukan dalam sekejap mata yang sederhana.
Morikami Kura sangat yakin dengan kekuatannya. Meski tahu kekuatan lawan sangat superior, dia tidak pernah meremehkan. Saat menyerang ini, kekuatan supernaturalnya telah mencapai puncak pemadatan dalam sekejap, meledak dengan dahsyat. Menurut perkiraannya, api yang membara akan segera memenuhi ruang sempit lift, meledak ke segala arah. Api akan menyembur di sekelilingnya, menerjang dinding dan pintu di kedua sisi lorong, gelombang kejut ledakan membalikkan atap, kobaran api menjadi tak terkendali. Tak ada manusia yang bisa selamat dari kekuatan seperti ini - tentu saja, inilah masalah terbesarnya.
Kemampuannya hilang.
Api tidak muncul. Lengan Jiaming menerobos keluar dari lift dengan suara Braak, tiba-tiba menekan wajah pria paruh baya yang belum sempat terkejut. Seluruh tubuhnya kemudian melesat seperti tembakan meriam keluar lift, mendorong Morikami Kura ke dinding lorong sejauh 2 meter.
Dengan kekuatan dan kecepatan seperti ini, paha Morikami Kura terangkat dari tanah. Seluruh tubuhnya seolah ditarik oleh kepalanya, terbanting langsung ke belakang.
Bagi mereka berdua, satu kesalahan sudah cukup.
Tak sempat memikirkan mengapa kekuatan supernaturalnya hilang, saat kaki terangkat, tangan kanan Morikami Kura bergetar. Lima jarinya yang mengarah menusuk seperti pisau baja ke rusuk Jiaming. Hampir bersamaan, tangan kiri Jiaming yang bebas memegang kodachi tajam, menyambar ke atas dengan gerakan cepat.
Byur——
"Sinar darah beterbangan, lengan terputus Morikami Kura melayang ke langit-langit. Bilah pedang menyayat dari pinggang kanan hingga bahu kiri Ra, meninggalkan luka mematikan. Tengkuknya langsung ditanamkan ke dinding, ubin retak, bata dinding hancur menjadi serbuk. Dinding berstruktur ini tidak roboh karena di antara dua lapisan batu bata terdapat potongan baja tebal."
"Kodachi Ra terlempar dari bahu kirinya. Jiaming menarik kembali tangan kanan yang menekan kepala lawan, menangkap gagang pedang yang berputar di udara lalu mengayunkan ke bawah - memenggal lengan satunya. Tiga tusukan secepat kilat menyusul, bilah pedang tertancap di tubuh Morikami Kura sebelum ia mundur dua langkah."
"Lengan terputus Morikami Kura baru kini jatuh di hadapannya, prak! menghantam lantai."
"Dalam sekejap mata, serangan bunuh yang mengerahkan seluruh kekuatannya berakhir di sini."
"Bagaikan kembang api paling cemerlang di kegelapan malam, hanya menyala sesaat."
"Dia tetap berdiri, memandang Morikami Kura. Kepala dan jantung telah menerima trauma mematikan, namun ekspresi wajah itu masih bisa berubah. Setelah keterkejutan samar, darah baru mulai mengucur dari mulutnya. Memandang pemuda di hadapannya, dalam sekejap ia menyadari semua hal, lalu tersenyum ironis."
"Aki... Ini... Sungguh menyakitkan..."
"Kemudian, api berkobar."
……
……
“Saat kekacauan dimulai, para manajer Pei Luo Jia yang berpengalaman dan berkumpul di halaman ini juga telah memahami perkembangan situasi di depan mata dalam waktu sesingkat mungkin. Dari peningkatan pengamanan ke level tertinggi hingga pengkhianatan tiba-tiba sistem elektronik, tak seorang pun mengerti alasan terjadinya hal ini. Namun kemampuan mereka mendaki posisi saat ini dalam organisasi seperti ini jelas bukan sekadar birokrat omong kosong tanpa kemampuan adaptasi. Sebagian kecil sistem senjata langsung dihancurkan oleh orang yang bereaksi seketika saat diaktifkan, kemudian setelah menemukan sistem komunikasi lumpuh, mereka segera membuat keputusan paling tepat.”
“Sistem komputer disusupi, harus segera menghentikan unit utama...”
“Putuskan kabel listrik dan sumber daya cadangan!”
“Kumpulkan anggota, lalu temukan penyusupnya!”
Dengan beberapa kalimat sederhana, sekelompok orang membagi tugas menuju arah berbeda. Patut disyukuri ini bukan basis tertutup yang sepenuhnya dikuasai komputer. Sebagai organisasi pembunuh, yang lebih dipercaya tetaplah kekuatan manusia. Jika tidak, di hadapan teknologi komputer yang lebih maju 20 tahun, cukup dengan satu port akses, Jiaming mungkin bisa memblokir seluruh basis dan meledakkan diri untuk melenyapkan semua orang dalam sekejap.
Pada saat yang sama, manajer yang bertanggung jawab atas keamanan basis bernama Inoue belum jauh meninggalkan halaman kecil tempat Morikami Kura berada ketika perubahan mendadak terjadi. Dia buru-buru mengumpulkan beberapa orang dan bergegas kembali untuk memeriksa kondisi keamanan di area ini. Sebelum sempat memasuki gerbang halaman, suara ledakan dahsyat menggema di depan mata mereka. Api berkobar-kobar meledakkan pintu kayu, dalam sekejap mata ruangan itu seolah meledakkan bom pembakar dahsyat yang berubah menjadi lautan api mengikuti dentuman ledakan.
Tak seorang pun bisa memasuki area dalam. Gelombang panas menerjang, mereka hanya berdiri terbata-bata memandang.
“BOSS……”
Sulit mendeskripsikan perasaan apa yang muncul di momen ini.
Lautan api seperti amber melahap segalanya di sekitar. Jiaming berdiri di sana merasakan nyeri hampir tak tertahankan di pikirannya, tangan menekan dada sebelah kiri. Di titik inilah tadi dia nekat menerima tekaan tangan Morikami Kura. Sekarang, mungkin ada tulang rusuk yang patah. Tapi dibandingkan siksaan di pikirannya, rasa sakit di dada basically tidak berarti. Dengan mengencangkan pakaian, dia bisa menganggapnya seperti tak pernah terjadi.
Saat ini dia berada di tengah lautan api dahsyat yang terbentuk dari vitalitas terakhir Morikami Kura. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya di lautan api phoenix yang terasa seperti berada dalam air, kini api melahap segalanya. Namun dalam radius setengah meter di sekitar tubuhnya, muncul kubah pelindung transparan. Kekuatan yang dibayar dengan rasa sakit ini membuat cahaya api supernatural sama sekali tak bisa melukainya.
Pada saat ini, barulah dia sempat mengambil napas dalam-dalam.
Semuanya berakhir...
Seperti semua pembunuhan yang pernah dilakukannya di kehidupan sebelumnya: pengumpulan intelijen intensif, tata letak dan perhitungan yang rumit, persembunyian panjang. Aksi sebenarnya hanya terjadi dalam sekejap, cemerlang bagai meteor. Batas antara kelangsungan hidup dan MATI menjadi jelas pada momen ini.
Bahkan Morikami Kura pun tak terkecuali. Di hadapan MATI, semua orang setara.
Bahkan dirinya sendiri...
Rasa hampa yang besar tiba-tiba mengisi hatinya. Berdiri di tengah lautan Api, dia menutup mata seolah ingin merasakan keaslian momen ini. Segalanya terasa luar biasa sederhana. Tugas yang harus dilakukannya tampaknya sudah selesai. Lingjing, Shasha, Yahan...
Dua detik kemudian, dia berbalik badan. Memisahkan kobaran api, melangkah menuju pintu di ujung lautan Api. Diiringi rasa sakit yang seperti merobek otaknya seinci demi seinci. Yang menantinya adalah ratusan pembunuh dari Pei Luo Jia yang lolos pelatihan kejam!
Membunuh bukan bagian tersulit. Rintangan sebenarnya adalah cara keluar.
Bagaimanapun juga, aku ingin bertemu mereka lagi...
……
……
Api berkobar dan menjalar di halaman. Gelombang panas menyergap dari depan. Belasan pembunuh yang berdatangan mengamati dari jarak berbeda, bingung. Tiba-tiba kobaran api bergetar. Sesuatu muncul, memisahkan cahaya api.
“BOSS……”
Inoue membelalak secara tiba-tiba, detik berikutnya dentuman senjata menggema, percikan darah mekar dari dua pembunuh di sampingnya. Daya hantam membawa tubuh manusia terbang ke belakang, sekejap mata seorang kawan di kejauhan terlempar kembali. Seseorang menerobos keluar dari lautan Api itu.
"Bunuh..."
Inoue mengangkat senapan serbu di tangannya, menarik pelatuk. Sosok itu seperti macan tutul menyerbu ke pintu seberang. Dengan merangkul, busur cahaya peluru melesat ke dinding kedua dunia. Tubuh pertama masih melayang di udara, dada seorang lagi tertembus peluru. Peluru, daging remuk, darah...
"...lah!"
Seorang pembunuh yang menghadang di gerbang terlempar. Bayangan itu muncul seketika, berputar tiba-tiba bagai tatapan dewa kematian. Saat api senjata menyembur, Inoue terkapar ke semak belukar. Tubuhnya masih di udara ketika kawan di dekatnya ditembak kepala.
Peluru menyambar kepala, rasa terbakar yang menyakitkan!
"Dia——"
Raungan histeris bergema dalam kegelapan malam yang kacau.
Pada satu malam itu, seluruh basis mendidih...
## Bagian Empat Ratus Api Cahaya Tak Terbatas
Saat dentuman senjata, kekacauan, dan api ledakan menerangi langit malam itu, polisi dari wilayah Tokyo pun berdatangan. Cahaya lampu patroli memenuhi jalan di sekitar manor, sementara wartawan yang datang kemudian dihalangi di kejauhan. Peristiwa ini terjadi dengan sensitivitas yang terlalu tinggi. Begitu koneksi Pei Luo Jia di lingkaran politik level atas bergerak, para polisi ini pun bingung menentukan tindakan yang tepat. Mereka hanya bisa terus menyaksikan kekacauan yang berlanjut sambil menjelaskan pada wartawan bahwa ini adalah serangan teroris yang sangat keji, situasi telah terkendali, dan tidak ada komentar lebih lanjut.
Di dalam basis saat ini, selain api yang terbentuk dari tembakan dan ledakan, seluruh area lain telah diselimuti kegelapan. Pasokan listrik terputus, semua sistem elektronik berhenti beroperasi. Dentuman senjata sesekali terdengar, seolah-olah ada ribuan binatang buas yang kejam terkurung di tempat gelap. Orang-orang yang tak bisa melihat gambaran jelas hanya mendengar suara gesekan taring mereka yang mengerikan, mencoba menebak perkembangan situasi saat ini.
"Aku harus masuk..."
Mobil berhenti di lereng rumput pinggir jalan. Kaoru melihat barisan mobil polisi yang membentuk jalur blokade dan wartawan yang dihalangi di depan, situasi kekacauan di jalanan. Dengan keras kepala, dia berbicara, namun salah satu tangannya sedang dipegang Tenmasa Masaoka dengan santai, tapi sama sekali tidak bisa melepaskannya. Dari dekat hingga jauh, berbagai identitas manusia berkumpul di sekitar manor ini: polisi, wartawan, pejabat pemerintah darurat, kemungkinan pembunuh Pei Luo Jia yang bersembunyi di kerumunan, anggota keluarga Yuechi, orang dari Takamagahara, ditambah Ryuudou Yui yang tiba kemudian sebagai "" yang bisa dibilang terkait maupun tidak - semuanya diam-diam mengawasi perkembangan hal ini. Sepertinya tak ada target pasti di antara mereka, tapi mungkin begitu ada yang memancing, pertempuran hidup-mati akan langsung pecah di jalanan ini.
Tersentuh oleh niat membunuh yang tersirat ini. Meski masih tersenyum, suara Tenmasa Masaoka terdengar dingin: "Masuk itu mudah, tapi apa kau bisa membantu? Hanya akan membuat seluruh keluarga Yuechi ikut terseret."
Bukan tipe wanita yang tidak mengerti hal. Karena tak bisa melepaskan diri, Kaoru juga tidak akan mengucapkan kata bodoh seperti "Aku harus masuk!". Memandang manor itu dengan wajahnya pucat, menggigit gigi hingga berderak, seluruh tubuhnya gemetar. Ekspresi ini justru menambah aura tegas pada sosok cantiknya. Merasakan mood-nya, Ryuudou Yui mendekat dan memegang tangan satunya lagi.
“Tenang saja, dia sangat hebat, pasti tidak apa-apa. Yoritomo Taku sudah dua kali kalah darinya, Da Nei Zhangdu, Tak terhitung dewa-dewa, dan Ara Maki juga sudah dibunuhnya. Kali ini juga pasti aman.”
Sebagai sesama wanita, menghibur pihak lain tak perlu alasan. Meski semua orang merasa situasi di depan mata mustahil selamat, Yui bisa langsung memastikan Jiaming akan baik-baik saja. Memandang kegelapan di dalam manor itu, Tenku Masaoka menggelengkan kepala pelan.
“Setengah jam yang lalu seluruh kabel listrik dan sistem pertahanan basis diputus, itu pun dilakukan secara proaktif oleh orang-orang Pei Luo Jia. Sebelumnya, sistem pertahanan mengidentifikasi mereka sebagai penyusup. Dalam keadaan tak waspada, entah berapa kerugian personil mereka... Selain itu, aku merasakan jejak ledakan kekuatan supernatural elemen api yang sangat tidak biasa di sana. Secara logika, pengguna kekuatan supernatural biasa mustahil memiliki kemampuan seperti ini... Sudah lebih dari satu jam pertarungan berlangsung. Bisa seorang diri memaksa Pei Luo Jia sampai tingkat ini, Gu Jiaming benar-benar...”
Sambil berbicara, dia kembali menggelengkan kepala. Bukan menyangkal, melainkan decak kagum yang tulus. Karena menjaga sikap anggun sebagai ability user, ia tak bisa langsung mengucapkan penilaian seperti "tak terkalahkan", namun dalam hati jelas mengakui fakta ini. Di dunia ini memang ada beberapa yang kekuatannya melampaui batas, misalnya Pangeran yang berhasil menerobos laboratorium Dark Celeste dan memutar-putar tim operasi [] seperti mainan, beberapa sesepuh legendaris [] yang pernah ikut perang dan masih hidup, Natalia yang telah mengalami, serta setelah malam ini - terlepas apakah Morikami Kura MATI atau tidak - Gu Jiaming saat ini pasti akan ditambahkan dalam daftar tersebut. Sedangkan dirinya sendiri, meski mengorbankan nyawa sekalipun, mustahil mencapai prestasi sehebat ini.
Di tengah decak kagum akan kekuatan Jiaming, di dalam basis yang gelap dan kacau, ada juga yang mengeluarkan keluhan menggelikan tentang hal ini.
"Bercanda macam apa ini? Sudah lebih dari satu jam berlangsung, beberapa ratus orang mengejar satu target, malah jadi seperti main petak umpet. Kita semua ini pembunuh profesional, kok bisa bedanya segitu jauh? Berapa korban yang sudah jatuh di pihak kita? Tolong kasih angka korban yang lebih menggembirakan dong! Rekaman sejarah Pei Luo Jia kan ada di sini, kita semua adalah saksi. Apa kalian tidak merasa terhormat?"
Di halaman yang sebelumnya dihancurkan oleh tembakan, suasana kini berantakan. Karena listrik padam, hanya beberapa lampu darurat yang menyala di dinding. Beberapa perabotan disusun berdekatan, dengan api unggun sebagai penerangan. Malam musim panas ini semakin panas akibat api unggun, membuat sekeliling terasa gerah. Sekelompok manajer sibuk berdiskusi tegang tentang tindakan darurat, sementara Mikado Ki sendiri duduk di tangga gerbang, melempar barang rongsokan ke kolam di halaman sambil bergumam kesal.
"Ngapain sih, cuacanya panas MATI! AC tidak ada bikin tidak nyaman. Basis masih punya dua pengguna kekuatan supernatural Elemen Es kan? Belum pada MATI kan? Panggil mereka untuk mendinginkan suhu! Untuk apa sih pengguna kekuatan supernatural itu? Biasanya sok jagoan, sekarang saat dibutuhkan malah menghilang. Apa perlu memanggil Tenku Masaoka dari luar? Aku yakin sekarang pasti bisa menemukan bahasa yang sama dengannya. Sekarang asal ada es di dekatku, mau khianati seluruh Pei Luo Jia pun aku rela..."
Sebenarnya banyak cara untuk mengatasi panas ini. Tapi semua orang sibuk panik menangani masalah, tak ada yang peduli. Salah seorang manajer menegur, "Mikado-san, semua sedang sibuk menangani hal ini. Bicara seperti itu tidak terlalu tidak sopan?"
“Sibuk? Tidak memanggil kalian untuk sibuk, jika aku yang jadi kalian, sekarang akan menghadapi realita. Seluruh sistem pertahanan sudah dihancurkan orang sampai hancur lebur, BOSS dibunuh orang. Dari awal semua sudah berada di posisi inferior, dikalahkan telak... Sekarang kita harus fokuskan usaha utama untuk menghadapi kekacauan berikutnya, bukan mengorbankan segalanya untuk balas dendam. Jika benar ingin balas dendam, nanti kumpulkan data, teliti kelemahan lawan, cukup satu pembunuh untuk menghabisi dia. Inilah gaya pembunuhan profesional. Lalu sekarang ini apa? Bicaralah denganku setelah kau benar-benar tenang.”
“Tapi sekarang kita belum mengonfirmasi...”
"Belum ada konfirmasi kalau ayahku sudah MATI? Perlukah aku beri konfirmasi padamu? Kekuatan supernatural elemen api-nya akan meledak sepenuhnya sekali waktu saat menjelang ajal, makanya apinya bisa membesar sebegitu hebat, lalu... mayatnya jadi habis terbakar..." Mikado Ki membuka kedua tangannya, "Ngomong-ngomong, sekarang dia sudah MATI, bukankah seharusnya aku yang berkuasa di sini sekarang."
Tangan menjuntai di sisi tubuh, menepuk-nepuk paha, dia terlihat persis seperti orang yang merasa sombong. Begitu kata-katanya keluar, manajer yang tadi hendak menentang tiba-tiba menyadari kebanyakan orang justru saling bertukar pandang tanpa bicara, langsung mencium sesuatu yang tidak beres. Mikado Ki memang dikenal gila dalam bekerja, tapi sama sekali bukan orang bodoh. Kekuatannya justru menjadi menakutkan karena tidak bisa dipahami orang. Jika berbicara seperti ini tanpa dukungan siapapun, siapapun dia sehebat apapun, akhirnya pasti MATI. Tapi melihat sikap ambigu sebagian besar manajer sekarang, artinya: Dia sudah sepenuhnya mengendalikan situasi...
Suasana tiba-tiba membeku. Kau lihat aku, aku lihat kau, tak ada yang mau pertama kali angkat bicara. Senyum tipis mengembang di bibir Mikado Ki: "Kalau begitu... Semua orang setuju?"
Begitu ucapannya selesai, Inoue - yang paling keras menentangnya dan paling setia pada Morikami Kura - tiba-tiba melangkah maju menudingnya: "Mikado Ki! Aku tidak akan menerima hal ini! Karena ini semua ulahmu... Kamu dalang pengkhianatan!"
Menghadapi tuduhan ini, Mikado Ki tersenyum tipis: "Kenapa bicara seperti itu?"
"BOSS hari ini sendiri sudah curiga padamu. Kau tiba-tiba menghilang lalu muncul, langsung terjadi masalah. Kalau BOSS kalah, itu karena terganggu oleh tingkahmu! Dan... insiden tahun lalu di Jianghai, BOSS sudah menyuruhku menyelidiki diam-diam. Meski belum ada bukti, 90% yakin saat itu kaulah yang menggunakan sistem BOSS untuk mengeluarkan perintah, menyebabkan kerugian sebesar itu!"
Suaranya tegas, menuduh Mikado Ki. Dentuman senjata dari kejauhan kembali terdengar samar. Mikado Ki diam, senyum ironis mengembang di bibirnya. Matanya berpindah dari lantai ke pria di hadapannya. Para manajer lain terlihat bingung. Beberapa saat kemudian, suara Mikado Ki terdengar: "Jika... ini benar..." Ucapnya disertai senyum kecut dan nada menggoda.
"...Lalu apa?"
"Kau..."
Ekspresi wajah Inoue berubah drastis. Tangannya menarik senjata dengan gesit - sebelum menduduki posisi ini, dia dulunya pembunuh tingkat A Pei Luo Jia. Saat senjata ditarik, tangan kanan Mikado Ki yang menggantung di samping tubuh tiba-tiba menggenggam kepalan tangan, lalu jari-jarinya terkembang lebar.
Cahaya menyilaukan bagai chaos awal terbelah tiba-tiba membesar.
Sru——
Kilauan membutakan itu MELAHAP seluruh ruang dalam sekejap!
Waktu kehilangan maknanya. Dalam lautan cahaya ini, semua aroma, sentuhan, suara, orientasi arah, bahkan pola pikir lenyap. Hanya ada cahaya, cahaya, dan cahaya...
PENCABUTAN PANCINDRA dalam hitungan detik!
Ini pertama kalinya mereka menyaksikan kekuatan supernatural Mikado Ki - Api Cahaya Tak Terbatas!
……
……
Waktu berputar 24 jam sebelumnya, di Dojo Meizou Ken.
Di dalam gedung olahraga, api yang disebabkan oleh ledakan memerahi langit dan terus meluas. Di gang dua blok di belakang, dia menatap api itu dengan bosan, berpikir sejenak lalu berbalik untuk pergi. Tiba-tiba sosok muncul di ujung gang yang lain, membuatnya cepat-cepat mengangkat tangan dengan senyum.
"Hei, aku cuma penonton, nggak ngelakuin hal keji apa-apa kok, pahlawan. Gak perlu sikap begini..."
Sosok itu mendekat, berkata datar: "Tahun lalu, kerjasama Pei Luo Jia dengan Pangeran... itu ulahmu."
"Batuk... Ini fitnahan..."
"Aku tak punya waktu buat debat kusir. Kau ingin menggunakan hal ini untuk membuatku menghabisi Morikami Kura, jadi aku datang."
"Emm, kalau Nona Jian Suyan..."
"Kau hanya perlu paham, aku punya kemampuan dan niat untuk ini. Soal seranganmu ke Liu Zheng, bisa kubiarkan. Tapi kau juga harus berusaha mengeluarkannya dari sarang tikus bawah tanah itu..."
……
……
Jari di senjata Jing Shang mengarah ke depan. Dalam cahaya itu, dia menembak berdasarkan insting akan Niat Membunuh, tapi jelas tak efektif. Mikado Ki berdiri tiga meter di belakangnya, tangan menggenggam kepala yang mulai berdarah.
Byur! Darah menyembur. Tubuh tak berkepala itu rubuh ke tanah.
Suara helaan napas terdengar di kamar. Ekspresi Mikado Ki muram. Dia melempar kepala itu sembari berbalik:
"Sekarang... sudah tak ada yang berkomentar?"
Tengah malam, Jianghai.
Langkah kaki tergesa-gesa bergema di lorong villa, disusul ketukan pintu. Lampu di kamar menyala, sejenak kemudian Fang Zhitian yang baru saja tidur membuka pintu sambil mengusap mata dengan wajah lesu.
"Dongfang Linghai... Ada apa? Bukannya sedang main kartu di bawah? Baru saja aku tertidur kau sudah membangunkanku. Kalah total sampai habis-habisan? Kalau ini bukan hal penting, kau jangan harap bisa tidur malam ini. Kita harus pergi jalan-jalan dengan mobil..."
"Ini benar-benar masalah besar! Benar-benar penting!" Dongfang Linghai menggenggam selembar kertas, ekspresinya penuh gejolak. "Tapi... Menurutku intelijen seperti ini harus diverifikasi ulang. Jujur saja aku juga sulit mempercayai hal semacam ini. Benar-benar... Benar-benar luar biasa..."
"Sudah, sudah." Fang Zhitian menguap lebar sambil berjalan ke balkon, bersiap membuka jendela. "Bukan maksudku meremehkanmu. Setelah sekian tahun berjuang, apa lagi yang belum kita alami? Perlukah segitu hebohnya? Katakan saja, aku tidak akan ketakutan..."
"Kabarnya dari Jepang. Malam ini juga, adik Jiaming kita sendiri menerobos masuk ke Pei Luo Jia dan menghabisi Morikami Kura."
Angin dingin berhembus dari luar jendela, bayangan pohon terombang-ambing. Fang Zhitian menoleh ke belakang, tertegun beberapa saat. "Hah, aku mendengar suara halusinasi?"
Dongfang Linghai menggelengkan kepala, mengulangi: "Gu Jiaming telah membunuh Morikami Kura. Kemudian..."
Ia menjilat bibirnya yang kering karena emosi. Suara taikun paruh baya mendekati lima puluh tahun itu terdengar serak: "Era Pei Luo Jia... Telah berakhir..."
## Bagian Empat Ratus Satu Selamat Datang di Rumah
Agustus, Tokyo.
Sinar matahari musim panas membawa kelembapan dan suhu tinggi yang berkelanjutan ke kota pesisir raksasa ini. Setelah kejadian pada malam 1 Agustus, bagi sebagian orang kota ini seolah diselimuti suasana mencekam. Suasana ini sekaligus bagai kabut - ke arah mana akhirnya segala hal akan berkembang, bahkan apakah yang mereka lihat saat ini benar-benar fakta, semuanya seperti titik pusat labirin berliku, tak ada yang bisa mengendalikan sepenuhnya.
Arakawa MATI. Setelah kekacauan di basis Pei Luo Jia yang menyusul, dan kabar kematian Morikami Kura yang kira-kira sudah dikonfirmasi, Chen Guxia masih belum pergi. Di satu sisi, tak ada yang tahu apakah kabar kematian Morikami Kura hanya kamuflase asap. Di sisi lain, ini juga untuk mencari keberadaan Gu Jiaming.
Kekacauan yang terjadi di markas Pei Luo Jia malam itu, tak ada yang tahu bagaimana akhirnya. Dari sisi Pei Luo Jia tentu berakhir dengan malu besar. Tapi apakah Gu Jiaming yang berlari masuk berhasil keluar lagi? Meski kemungkinannya sangat tipis, jika benar keluar, di manakah dia sekarang? Tak hanya pihak [] yang tak tahu, bahkan Takamagahara tempat Tenku Masaoka, Kaoru yang diketahui umum punya hubungan dengannya, maupun keluarga Yuechi - semuanya sepertinya belum mendapat kabar pasti.
Maka dalam dua hingga tiga hari ini, berbagai kekuatan mengerahkan sejumlah besar anggota untuk mencari ke luar. Kepolisian Tokyo juga meningkatkan upaya pencarian "teroris" dalam peristiwa 1 Agustus. Namun, hingga tanggal 4 Agustus, selain beberapa kucing dan anjing tak terkenal yang dijadikan kambing hitam, hal yang benar-benar menarik minat justru belum muncul di sisi lain. Pei Luo Jia membeku seolah telah MATI.
Seluruh kekuatan ditarik kembali. Bagi mereka, setelah mengalami peristiwa seperti ini, tantangan pertama yang dihadapi tentu saja adalah pergantian penerus baru. Berita kematian Mikado Kura tidak mungkin disebarkan begitu saja, bahkan di kalangan pimpinan internal pun ada sikap ambigu. Akibatnya, para manajer lainnya tentu tidak mudah mengakui posisinya. Meski sebelumnya telah melakukan banyak persiapan, Mikado Ki masih menghadapi masalah besar. Tentu saja, orang luar tidak akan memahami ini. Saat Pei Luo Jia sepenuhnya bertahan di dalam, yang mereka rasakan hanyalah pertanda kekacauan yang tersembunyi.
Seperti yang dikatakan Dongfang Linghai, era Pei Luo Jia yang berdiri dengan susah payah berkat ambisi dan pergelangan tangan Mikado Kura, tampaknya telah berlalu.
Segalanya datang terlalu cepat, terjadi terlalu cepat, dan berakhir juga terlalu cepat. Sebuah titik transisi tiba-tiba muncul, membuat semua orang merasa tidak siap. Bukan hanya Fang Zhitian yang linglung setengah hari setelah menerima kabar baru mengerti situasi, saat kabar sampai ke Eropa, Kelly melihat pesan itu dua kali, setelah konfirmasi tertegun lama, kemudian geram memaki: "Bitch..." Seolah paling mewakili emosi kompleks di hati semua orang.
Hal serupa pernah dipikirkan banyak orang, banyak juga yang ingin melakukannya, tapi tak pernah terwujud. Kini seseorang tiba-tiba datang, saat orang lain belum sempat merespon sudah menyelesaikan urusan dengan mudah lalu bertepuk tangan pergi, yang tertinggal tentu bola mata jatuh berantakan.
Hari itu, cahaya satu manusia langsung mengalahkan semua orang di Dunia Kegelapan.
Menjelang musim gugur tiba di tanggal 8 September, bungaku mekar lalu ratusan bunga terbunuh!
Tentu saja, dalam situasi saat ini, tidak banyak orang yang bisa mengonfirmasi identitas Jiaming dengan jelas. Di Pei Luo Jia, Mikado Ki tentu mengetahuinya, tetapi apakah dia akan mengungkapkannya adalah cerita lain. Bahkan mereka yang pernah bertempur dengan Jiaming pada malam itu, jika melihat data-data biasa Jiaming, mungkin tidak bisa menghubungkan pembunuh setan malam itu dengan anak laki-laki yang terlihat biasa itu. Tenku Masaoka dan Kaoru tentu juga paham, sementara di pihak [], hipotesis bahwa Gu Jiaming yang bertindak telah dikirim kembali. Bagaimanapun, meski berhasil membunuh Arajima dalam satu putaran, dibandingkan kemungkinan Jiaming yang bertindak, investigasi organisasi-organisasi ini mungkin lebih condong pada spekulasi kemunculan Jian Suyan di Tokyo.
Untuk hal seperti ini, sekalipun sudah dikonfirmasi dalam hati, para pihak yang tahu tidak akan menyebarkan informasi sembarangan. Selama beberapa orang tertentu mengerti situasi internal, itu sudah cukup.
Di tengah terik musim panas ini, tanpa kabar lebih lanjut, setelah tiga hari berlalu, semakin banyak orang yang cenderung pada hipotesis bahwa penyusup telah MATI. Bagaimanapun, dalam sebagian besar spekulasi, jika Morikami Kura terbunuh, Pei Luo Jia seharusnya mengambil sikap mengejar-kejar pelaku tanpa kompromi. Namun kini mereka lebih sibuk menangani konflik internal. Di sisi lain, dalam menyelidiki suatu hal, aturannya seringkali semakin lama waktu berlalu semakin sedikit petunjuk yang tersisa. Jika dalam tiga hari awal tidak ditemukan apa-apa, mungkin itu menandakan bahwa pencarian selanjutnya akan sia-sia.
Dalam latar belakang seperti ini, pada pagi hari tanggal 5 Agustus, bayangan kesepian Jiaming muncul di jalanan Jianghai saat semua orang tak menyangka.
Celana casual, kemeja putih lengan pendek, membawa tas ransel yang hanya berisi beberapa helai pakaian. Saat menginjakkan kaki di tanah Jianghai, ia menarik napas dalam. Hatinya terasa hampa, sedikit lega namun juga sedih. Sinar matahari menyinari, terang benderang seperti musim panas pertama dalam ingatannya.
Semua hal yang harus dilakukan hampir selesai. Seperti suatu hari ketika kau punya segudang kewajiban, sibuk sejak pagi. Awalnya kira ini akan berlangsung seharian bahkan sampai malam tanpa istirahat. Tapi ternyata semua selesai sebelum sore. Kau berbaring di ranjang, menikmati cahaya keemasan dari jendela. Rileks namun tetap terasa... kehilangan arah...
Awalnya ia sudah mempersiapkan diri untuk MATI di markas Pei Luo Jia. Tapi malam itu, sakit kepala hebat akibat kekuatan supernatural Morikami Kura terus menguji batas kesabarannya. Semuanya ternyata lebih mudah dari perkiraan. Beberapa kali nyaris pingsan atau gila karena rasa sakit itu. Namun mentalnya bergerak di atas senar yang tegang hingga batas maksimal, seolah memasuki kondisi kebingungan magis dimana segalanya terasa tak nyata.
Seperti sedang mengendalikan tubuh yang bukan miliknya, jiwa melampaui fisik. Dalam kondisi itu, basis organisasi Pei Luo Jia yang gelap dan hancur menjadi domain-nya. Sosok-sosok bayangan, reruntuhan, setiap tempat persembunyian dan blind spot, laras senjata, ketegangan, kedipan cahaya, darah, peluru yang bersilangan, debu yang melepaskan, tubuh manusia yang hancur... Di bawah penderitaan dahsyat, ia seolah terjerumus ke dalam dunia mimpi yang terpisah. Bagaimana akhirnya bisa berlari maju keluar, bahkan dirinya sendiri mulai bingung...
Bagaimanapun, hal ini telah selesai dilakukan. Reaksi organisasi seperti [] mungkin bisa ditebak. Membunuh Morikami Kura bukan karena orang-orang tak berkepentingan ini. Hanya berharap mereka tidak terlalu sombong banget. Jika tidak, mungkin di masa depan akan ada kesempatan untuk mengetahui bahwa Mikado Ki yang sama sekali tidak mengikuti aturan game dan bertindak semaunya, bisa jadi merupakan entitas yang lebih mengerikan... Tentu saja, semua ini sudah tidak ada hubungannya lagi dengannya.
Dia berpikir mungkin dia mulai merasa takut pada MATI, tetapi ketakutan ini bukan berasal dari kelemahan, melainkan hanya karena terlalu terikat. Sekarang teringat, delapan tahun setelah regenerasi ditambah usia kehidupan sebelumnya, lima puluh tahun perjalanan waktu, mungkin sudah mencapai batas kehidupan yang bisa dimilikinya. Atau mungkin phoenix itu membuat Penilaian seperti itu. 5 Agustus, sore tadi Shizuka seharusnya sudah pulang dari tugas, beberapa hari ini dia tidak ada, mungkin Sasha dan Yahan juga bertanya-tanya. Ingin melihat mereka lebih lama lagi, tetapi rasa sakit yang tak pernah berhenti di pikirannya terus mengingatkannya bahwa waktu yang dimilikinya mungkin sudah tidak banyak lagi.
Melewati blok jalan kota yang ramai kendaraan dan pejalan kaki, Jianghai beroperasi penuh daya hidup seperti makhluk hidup organik yang besar. Dia berdiri sebentar di halte bus, tiba-tiba merasa tidak yakin tujuan yang harus dituju. Apakah pulang dulu ke rumah kontrakan, mencari Sasha, menghubungi Yahan yang sudah kembali ke Keluarga Zhang, atau kembali ke Wushu Ye untuk menemui Ayah-Ibu Ye...
Setelah beberapa saat berpikir seperti ini, akhirnya dia berbalik, berjalan ke kios koran di pinggir jalan, menggunakan telepon berbayar untuk menelepon nomor Yahan. Dalam pertempuran di Pei Luo Jia, jam elektroniknya yang memiliki fungsi telepon terlepas, sekarang pergelangan tangannya masih dibalut perban.
Telepon tersambung, pelayan yang mengangkat telepon menyuruhnya menunggu sebentar. Sesaat kemudian, Yahan mengangkat mikropon: "Halo..." Mendengar suara familiar di seberang, Jiaming tersenyum: "Hei, si cantik, ada waktu untuk menemani aku makan minuman dingin?"
"Minuman dingin! Sudah saat seperti ini kau masih memikirkan minuman dingin? Kau ngilang ke mana saja beberapa hari ini?" Suara Yahan di ujung telepon terdengar tergesa-gesa, "Sudah lama tidak bisa menghubungimu. Hal tentang Shasha kau tahu? Semalam meneleponmu semalaman, lalu pergi mencari ke rumah kontrakan, juga ke tempat Ayah-Ibu Ye. Tapi takut membuat mereka khawatir, hal ini belum kuceritakan..."
"Shasha? Ada hal apa?" Jiaming mengerutkan alis.
"Tadi malam, segerombolan polisi nyaris membersihkan Shazhu Bang, katanya punya bukti perdagangan narkoba Shasha atau semacamnya, bahkan menyebutnya sebagai raja narkoba terbesar lokal... Untung Xiao Meng cepat tanggap melindunginya kabur, lalu pagi ini koran sudah memuat berita, ditulis dengan sangat bombastis..."
Dalam suara Yahan yang terus berbicara, Jiaming membalik-balik beberapa buah koran di sampingnya. Benar, headline utama Jianghai Daily "Penjahat Narkoba Terbesar Lokal Ternyata Mahasiswi SMA" menulis tentang hal ini, beberapa koran lokal lain juga memuat berita serupa, seolah ingin memanfaatkan serangan opini untuk langsung mengkristalkan masalah ini.
“Jiaming kamu sekarang di mana sebenarnya, beberapa hari ini sama sekali tidak bisa menemukanmu. Lingjing pergi liburan, tahu kamu tidak ikut, Shasha juga takut menghubunginya, akhirnya menghubungi aku, lalu Ayah-Ibu Ye juga ikut disembunyikan... Oh ya, kemarin aku ke perguruan silat, sepertinya Lingjing juga sudah menelepon, katanya tiba-tiba memutuskan pergi ke Wina, panik sekali, Ayah-Ibu Ye sedang mempersiapkan barang-barang, kalian sebenarnya ada masalah apa...”
Terhadap hal ini, Yahan jelas sangat khawatir, Jiaming saat ini juga bingung, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi selama Shasha tidak bermasalah, banyak hal untuk sementara tidak masalah. Dia diam sejenak, berkata: "Aku juga tidak terlalu jelas, beberapa hari ini ada urusan di luar Jianghai. Tapi... tenang saja, sepertini cuma hal sepele, jangan beri tahu terlalu banyak orang. Urusan Shasha akan kutangani, setelah selesai akan kuhubungi kamu."
"Hmm, ini hal penting, nomor telepon Xiao Meng sekarang adalah... cepatlah hubungi, kalau tidak ketemu, Shasha hampir MATI karena panik..."
Setelah MATIkan telepon, Jiaming sekalian membeli satu buah koran, berjalan ke halte mobil. Saat melambaikan taksi dan berpapasan dengan beberapa orang yang sama-sama menunggu, kantong pengepungannya sudah menampung satu ekor telepon. Mobil mulai nyetir dari halte, dia mengeluarkan telepon, mulai menghubungi beberapa poin krusial...
"Ketika menerima kabar bahwa Jiaming muncul kembali di Jianghai, di dalam perpustakaan, Fang Zhitian sedang memegang salinan yang sama dari 'Jianghai Daily'. Setelah mendengar laporan yang disampaikan orang tersebut, wajahnya menunjukkan ekspresi kompleks, lalu tersenyum dingin. Dengan suara 'Prak!', dia menghantam koran itu ke meja kerja."
"Ha, lihatlah apa yang harus dilakukan sekarang... Ying Zifeng... Kupikir dia sudah bosan hidup!"
"Kalau begitu... Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Biarkan dia MATI! Apa lagi yang bisa dilakukan? Orang itu baru saja kembali setelah membunuh Morikami Kura di markas Jepang dengan nyawa tinggal 9 helai... Harus diketahui, membunuh Morikami Kura! Jika dia pulang dan kita menyambutnya dengan hal seperti ini, jika dia mengusir kita, membunuh siapa pun tak bisa disalahkan..." Emosi yang kompleks bercampur, Fang Zhitian yang biasanya pendiam pun berteriak.
Ying Zifeng bukan bagian dari sistem [], namun sebagai putra kedua Ying Haisheng, dia tentu memiliki koneksinya sendiri di tingkat atas. Kali ini dengan membuat bukti palsu, lalu memerintahkan pimpinan tertinggi pemerintah untuk menutup kasus ini di kantor polisi Jianghai, sekaligus mengendalikan koran untuk memastikan opini publik. Mungkin juga mengetahui bahwa Liu Huaisha dan Gu Jiaming memiliki beberapa hubungan, semua hal diselesaikan dalam satu hari secara teknologi. Dari segi teknis, benar-benar layak disebut dengan kecepatan yang luar biasa, sempurna tiada tara. Atau dari sudut ini, adik kedua keluarga Ying yang selalu tertutupi cahaya kakaknya ini memang memiliki kemampuan yang cukup baik, tidak bisa disamakan dengan Lei Qing si pemboros kelas kakap yang hanya tahu menghantam orang dengan uang.
“……Orang yang dia pilih pada dasarnya bekerja secara terpisah, perintah keras langsung turun dari atasan ke polisi Jianghai yang kemudian langsung bergerak. [] juga punya batasan, fokus beberapa hari ini tertuju ke seberang lautan, beberapa aksi berturut-turut ini bahkan membuat mereka agak kewalahan. Baru setelah markas besar Shazhu Bang dibersihkan, Xiao Meng berhasil kabur bersama Shasha, laporan akhirnya sampai ke Fang Zhitian. Sifat kasus ini sudah terbukti, mustahil dianggap tak pernah terjadi.”
Setelah berteriak demikian, Fang Zhitian mengayunkan tangan menyuruh orang itu keluar dari perpustakaan. Duduk merenung sebentar, ketukan pintu terdengar. Orang itu masuk lagi: “Tuan Fang, Ketua Kelompok Ye Lian baru saja menerima telepon dari Gu Jiaming yang menanyakan penyebab insiden ini. Ketua Kelompok Ye bingung bagaimana menjelaskannya, menyuruh saya minta petunjuk Bapak.”
Fang Zhitian mengangguk: “Nomor teleponnya berapa? Saya akan telepon dan jelaskan langsung padanya.”
Lampu merah berganti hijau. Saat mobil melewati persimpangan itu, Jiaming menerima telepon Fang Zhitian. Mungkin karena beberapa panggilan sebelumnya membawa kabar tak menyenangkan, ekspresinya agak dingin. Lebih tepat disebut santai atau acuh daripada marah.
“……Sekitar sebulan lalu, Ying Zifeng dan beberapa orang pergi ke bar milik Shazhu Bang dimana Liu Huaisha juga ada. Karena suatu hal, kedua pihak terlibat konflik tertentu. Sangat mungkin Ying Zifeng merasa tersinggung karenanya... Sebenarnya menurut penyelidikan kami, dia sengaja dihasut. Sumber masalah ini mungkin berasal dari Xin Ning Bang...”
Fang Zhitian di sana memberikan penjelasan, Jiaming menatap pemandangan yang terus mundur di luar jendela, ekspresinya terlihat bosan: "Tidak pernah kudengar dia menyebut hal ini..."
"Hehe, mungkin cewek itu tidak ingin membuatmu khawatir. Sejujurnya masalah ini... Kami juga sama sekali tidak menyangka. Jika sudah tahu sebelumnya, pasti tidak akan membiarkannya terjadi. Sebenarnya jika ingin menyelesaikan juga tidak bermasalah, aku akan segera meminta polisi memperbaiki kasus ini. Di sisi pemberitaan, bisa kuminta mereka mencetak permintaan maaf di halaman depan. Xin Ning Bang juga bisa kuhilangkan sepenuhnya. Kalau kau angguk, kita langsung lakukan..."
"Lain kali saja..."
"Jujur saja aku tahu kau sedang marah sekarang, Jiaming. Masalah di Jepang itu, aku harus mewakili seluruh [] mengucapkan terima kasih padamu. Aku punya beberapa teman baik dan guru yang meninggal karena Pei Luo Jia... Secara prinsip Ying Zifeng memang salah dalam hal ini, tapi... Tidak ada cara, kau tahu, karena hubungan dengan Ying Haisheng, aku tetap berharap kau tidak terlalu memikirkannya. Bagaimanapun juga, dia tetap anak Ying Haisheng, Ying Zilan juga sangat menyayangi adiknya ini..."
"Aku masih ada urusan, lain kali..."
Tanpa komentar apapun, Jiaming menghilangkan teleponnya, lalu melemparkannya keluar jendela. Telepon itu menghantam jalan raya hingga hancur berkeping-keping, cepat menjauh. Sopir taksi dengan ekspresi terkejut menoleh lewat kaca spion, Jiaming menatapnya sebentar lalu mengayunkan tangan.
"Tolong belok kiri di depan, berhenti di persimpangan..."
## Bagian Empat Ratus Dua Tidak Pulang
“Pada nanti sore, awan putih seperti kapas melayang di atas langit Jianghai, cuaca menjadi sedikit lebih teduh. Saat dua bus wisata memasuki jalan utama Jianghai, mahasiswa laki-laki dan perempuan di dalam mobil saling memberi petunjuk sambil tertawa riang dengan semangat yang menggebu.”
“Lingjing, kau benar-benar memutuskan untuk pergi ke Wina?”
Di kursi bagian tengah, Dongfang Wan mengerutkan alisnya menanyai Lingjing yang duduk di tepi jendela. Selama beberapa hari di Guilin, semangatnya terus menurun. Dongfang Wan yang cukup sensitif dalam hal ini tentu bisa melihatnya. Saat membicarakan kembali kampus di Beijing dalam perjalanan pulang dan mendengar kabar ini, dia juga sudah bisa menebak jawabannya. Perkiraannya, jawaban ini pasti hasil pergulatan panjang Lingjing sebelum akhirnya memutuskan. Selama perjalanan ini, mungkin dia terus mempertimbangkan hal tersebut.
“Lingkungan di Wina... mungkin akan lebih baik...” Lingjing memalingkan wajahnya, senyum jernih mengembang di wajahnya.
“Kalau kau sudah memutuskan, maka... kapan kau akan berangkat? Sebelum pergi, mari kita adakan acara kumpul-kumpul, bagaimana?”
“Kira-kira... besok...” Lingjing mengangkat bahu dengan halus, “Agak terburu-buru...”
“Apa? Kok cepat sekali!”
“Makanya sebelum itu aku mengajak semua liburan bersama.”
“……Menganggap Lingjing sebagai teman yang layak dijadikan sahabat, Dongfang Wan yang polos ini tentu merasa sedih mendengar kabar keberangkatannya. Ia terus memegangi tangan Lingjing sambil berceloteh riuh. Sebagai orang yang memahami hubungan emosional bertahun-tahun antara Lingjing, Jiaming, dan Shasha, hatinya penuh tanya, namun pertanyaan itu mustahil dilontarkan. Setelah memberi nasihat tentang kehidupan di luar negeri, ia menuliskan nomor teleponnya untuk Lingjing. Menjelang stasiun, akhirnya ia memberanikan diri menanyakan kabar Jiaming.
“……Dia akan datang menjemputmu nanti, kan?”
“Jiaming... mungkin tidak. Mungkin Shasha yang datang. Aku sudah meneleponnya tentang kedatangan hari ini, tapi sejak pagi teleponnya terus tidak bisa dihubungi...”
“Aku yakin Jiaming pasti datang! Kalian kan sangat dekat... Tapi tak apa, kalau dia tidak muncul, kakakku yang menjemputku hari ini bisa mengantarmu pulang. Jangan salah paham, dulu dia memang menyukaimu, tapi sekarang sudah bertobat dan kembali ke jalan yang jahat, hehe...”
Sementara itu, kecepatan bus mulai berkurang. Para siswa saling memanggil, baron-baron sibuk mengambil barang bawaan dari unit. Perempuan-perempuan berkerudung atau memegang payung mulai gaduh bersiap turun. Tak lama, bus berhenti total. Sekelompok orang berdesakan turun, dan dalam sekejap, luar berubah menjadi lautan payung teduh.”
Barang-barang Lingjing tidak banyak, namun ditambah beberapa barang tidak karuan yang dipaksakan dibeli bersama Dongfang Wan di Guilin, semuanya muat dalam sebuah tas travel besar. Ada baron yang ingin membantunya membawa, tapi ditolaknya dengan gelengan kepala. Kembali ke Jianghai, hatinya serasa dipenuhi lebih dari 10.000 pita yang ruwet, enggan turun dari mobil, namun akhirnya tetap diselamatkan Dongfang Wan menyusup ke kerumunan orang. Begitu menginjak tanah di bawah, seolah seluruh kekuatannya habis tersedot sekejap mata. Ketenangan hati yang sempat terpelihara di dalam mobil lenyap seketika. Di sekelilingnya adalah kerumunan bersemangat dengan payung-payung warna-warni. Jantungnya seperti diremas sesuatu yang tak terlihat, napas tercekat, bingung harus melangkah ke mana.
Sesaat kemudian, Dongfang Wan menepuk bahunya: "Hei, hei..." Jarinya menunjuk ke depan, entah sedang mengatakan apa. Lingjing memandang dengan bingung ke arah tersebut—hanyalah lautan manusia: punggung, profil, senyum, samar-samar tak bisa dibedakan.
Tangan menggenggam tas perjalanan, digandeng Dongfang Wan, ia terhuyung-huyung melangkah beberapa langkah dalam kerumunan. Seiring pergeseran pemandangan, pandangannya baru bisa menembus kerumunan. Dari seberang parkiran yang sedang berjalan ke arah sini—bukankah itu Jiaming?
"Sepertinya kakakku kehilangan kesempatan..." Dongfang Wan menghela napas penuh penyesalan di sampingnya, meski wajahnya tetap tersenyum bahagia.
Tak tahu ekspresi apa yang ada di wajahnya saat ini, Lingjing menelan air liur, merasa tenggorokannya mengeluarkan suara "gudur" yang keras. Langkah kakinya kaku, pandangannya tertuju pada bayangan yang mendekat, sama sekali tak bisa dialihkan. Sejenak, dia menembus kerumunan orang, mendekat, mengangkat tas perjalanan besar miliknya, sambil berbincang santai dengan Dongfang Wan yang juga tak terlalu jelas didengarnya.
Pandangannya beralih ke lengannya. Di bagian yang dulu dia torehkan pisau itu, perban sudah menghilang, atau mungkin berpindah ke pergelangan tangan. Mengapa bisa begitu? Sambil memikirkan hal ini, dia ingin mengatakan sesuatu, namun tak menemukan kata yang tepat. Hingga Jiaming berkata, "Ayo kita pergi." Barulah dia mengerutkan kening, mengikutinya menembus kerumunan.
"Pagi tadi aku ke tempat Shasha. Dia bilang kamu akan tiba jam segini, menyuruhku menjemputmu..."
"Telepon Shasha... tak terhubung..." Suaranya terdengar serak.
"Urusan guild mereka sedang kacau balau belakangan ini, tak apa..."
Taksi mudah ditemukan. Begitu keluar parkiran, sudah ada di gerbang. Jiaming membuka pintu mobil. Lingjing masuk, menerima tas perjalanan tapi tak memberi ruang: "Terima kasih sudah menjemputku." Dengan susah payah mengucapkan ini, dia Byur! menarik pintu mobil tertutup.
"Mobil kecil menyala, perlahan menjauh. Di tepi jalan tak jauh, pintu sebuah Santana terbuka. Dongfang Lu keluar, memandang Jiaming yang berdiri di sini dengan sedikit kebingungan. Bersamaan itu, Dongfang Wan berlari dari belakang: 'Hei, Jiaming, apakah kalian bertengkar karena Lingjing akan pergi ke Wina?'"
"Hmm, tidak juga..."
"'Tenang saja, sekarang ini waktunya semua orang berjuang untuk diri sendiri. Lagipula... teman sebaik apapun pasti harus berpisah sementara di saat seperti ini...'" Dongfang Wan menghibur dengan caranya sendiri. Dongfang Lu yang kini telah mendekat menyapa, kemudian menyuruh adiknya kembali ke mobil. Setelah sang adik dengan bijak pergi, barulah ia menghela nafas.
"'Masalah Shazhu Bang, Fang Zhitian memang tidak bereaksi cepat. Tapi bagaimanapun Ying Zifeng adalah putra Ying Haisheng. Ini sangat rumit. Sejujurnya, kekuatan Ying Haisheng, kau juga tahu. Dan Ying Zilan sangat perhatian pada adiknya ini, meski pihak yang bersangkutan tak terlalu menghargai... Hmm, tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu...'"
Setelah mengetahui seluruh kejadian melalui salurannya sendiri, perkataan Dongfang Lu tak berbeda dengan Fang Zhitian. Jawaban yang diterimapun sama samarnya.
"'Nanti saja...'"
“Hmm... Sekarang pimpinan internal [] sudah mengetahui identitasmu. Banyak yang mengira kau dan Jian Suyan adalah orang yang sama. Sejujurnya, cara kau Bunuh Morikami Kura sangat brilian, justru aku khawatir ini akan menimbulkan masalah besar. Kombinasi seperti Takamagahara, [], dan Dark Celeste memang didirikan berdasarkan ancaman eksternal. Sekarang ancaman itu hilang, berikutnya mungkin akan muncul konflik internal...”
“Hmm.” Jiaming mengangguk tanpa komentar, lalu berbalik pergi. Terlihat dia sudah tak peduli sama sekali dengan hal ini. Dongfang Lu menatap punggungnya sambil menyipitkan mata penuh kebingungan. Saat kembali ke pintu mobil Santana, perkataan Dongfang Wan justru membuatnya tertegun: “Kakak, tahukah kamu? Lingjing akan pergi ke Wina.”
“Apa katamu!”
Sepanjang perjalanan kembali ke perguruan silat, melihat senyuman orang tua, Lingjing baru bisa sedikit menyemangati diri.
“…Ini souvenir dari Guilin saat jalan-jalan ke Tujuh Bintang, ini rok yang kubeli untuk Ibu. Papa, ini penjepit kertas untukmu. Ini untuk Shasha, ini… ini untuk Jiaming…”
Sambil mengeluarkan barang-barang dari tas satu per satu, meski berusaha terlihat sangat bersemangat, antusiasme Lingjing tetap rendah. Keluarga Ye pun bisa melihatnya, ekspresi keduanya mulai menunjukkan kekhawatiran.
Sejak pengumuman dari Wina datang, mereka terus berusaha meyakinkan putrinya untuk studi di luar negeri. Namun ketika putrinya tiba-tiba menelepon dan mengatakan ingin pergi besok, pasangan orang tua ini pun dilanda kecemasan. Di satu sisi mereka mempersiapkan berbagai kebutuhan dalam 1-2 hari ini - prosedur administrasi dan dokumen studi sebenarnya sudah lama disiapkan. Di sisi lain, setelah berdiskusi, mereka mulai menebak-nebak alasan perubahan pikiran mendadak putrinya. Sekarang mereka sudah punya dugaan di hati, tapi belum berani bertanya langsung. Mereka tahu karakter putrinya yang terlihat lemah tapi sebenarnya keras kepala, juga mengerti dia punya pertimbangan sendiri untuk banyak hal. Bagaimanapun studi ke luar negeri adalah hal baik. Masalah seperti ini memang dialami semua orang di berbagai usia. Mungkin setelah pulang nanti, semuanya akan memudar dengan sendirinya.
Setelah membagi-bagikan hadiah kira-kira, Lingjing duduk sebentar. Kemudian mandi dan berganti baju musim panas yang bersih dan nyaman. Tak lama setelah kembali ke kamar tidurnya, dia melihat ibunya masuk.
Di dalam bak mandi tadi dia menahan suara sambil menangis keras. Sekarang matanya masih sedikit merah, di wajahnya dia paksakan senyuman: "Aku terlalu lelah, tadi di kamar mandi hampir tertidur..."
"Hmm." Duan Jingxian mengangguk, duduk di samping Lingjing lalu mengulurkan tangan memeluk putrinya. Lingjing pun membenamkan diri di pangkuan ibu: "Ibu..." Suaranya tercekat pelan.
Menggendong Lingjing cukup lama, Duan Jingxian berakrab-akrab menggosok dagunya di rambut putrinya: "Aku dan papamu sudah lama memikirkannya... ini karena Jiaming kan..."
Permasalahan masa remaja pasti pernah dialami semua orang. Hubungan antara putrinya, Jiaming, dan Shasha yang masih anak-anak ini, mereka mengira sudah memahaminya. Sekarang Jiaming dan Shasha sedang pacaran, sementara putrinya yang sudah lama berada di antara mereka mengklaim itu hanya persahabatan murni. Perasaan tulus yang terbentuk sejak masa kanak-kanak ini mungkin bisa bertahan seumur hidup. Karena itulah mereka tak pernah melarang interaksi ketiganya. Namun setelah sekian lama bersama di usia remaja yang penuh gejolak, wajar saja jika putrinya mulai memiliki simpati lebih pada Jiaming.
Awalnya, Keluarga Ye berharap putri mereka bisa dipersatukan dengan Jiaming yang sudah tumbuh bersama sejak kecil. Bahkan sebelum hubungan Jiaming-Shasha resmi, mereka sudah membayangkan pernikahan Lingjing-Jiaming di masa depan. Tapi Shasha lebih dulu mengambil langkah. Kini mereka menyadari frekuensi kunjungan Jiaming-Shasha ke perguruan silat yang semakin jarang, bersamaan dengan keputusan mendadak putri mereka ke Wina yang ingin segera berangkat. Rupanya Lingjing sudah tak sanggup lagi menahan perasaan pada Jiaming sementara Shasha tetap menjadi sahabat karibnya - satu-satunya solusi adalah menjauh.
Dalam hal seperti ini tidak ada yang benar atau salah, Jiaming dan Shasha benar, putrinya juga tentu tidak bersalah. Dalam situasi saat ini, mereka tentu mendukung putrinya pergi ke Wina. Masa muda, percintaan… Waktu perlahan akan memudarkan segalanya. Sebenarnya ini hanyalah usia yang paling murni, mungkin suatu hari nanti Jiaming dan Shasha akan putus, Lingjing kembali, lalu bertiga bersatu secara wajar juga bukan hal yang mustahil.
Tidak tahu bahwa kebenaran peristiwa ini jauh lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Setelah menenangkan dengan kalem beberapa saat, Lingjing memeluk ibunya, namun sama sekali tidak mau bicara. Waktu menunjukkan hampir pukul lima sore. Duan Jingxian beranjak ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Melihat Lingjing terlihat lelah, ia menyuruhnya tidur sebentar. Namun, beberapa saat kemudian, bayangan ramping Lingjing muncul di pintu dapur: "Bu, jangan masak untukku. Aku… ingin keluar sebentar…"
“Err…” Ibu Ye memegang spatula, sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Tertegun sejenak, akhirnya tak bisa mengucapkan apa-apa.
“Itu… ke rumah Jiaming… dan Shasha. Besok aku mau berangkat, semua orang merayakan… Hadiah dari Guilin juga harus kubawa… Itu…”
“Ibu tahu, cepatlah pergi.” Senyum mengembang di wajah Ibu Ye. “Kalau terlambat nanti tak sempat makan malam.”
Berdiri di pintu berusaha keras mempertahankan senyuman, memandang senyuman ibuku, tiba-tiba Lingjing berlari memeluknya: "Ibu, terima kasih... maaf..." Bagaimanapun, anak yang akan merantau, yang selalu dikhawatirkan adalah orang tua. Saat melihat senyuman itu, barulah ia sadar yang selama ini terus dipikirkannya adalah percintaannya sendiri, sementara mengabaikan perasaan keluarga. Tapi memang masa muda seperti ini, Duan Jingxian menepuk bahu putrinya: "Jangan bodoh, cepat pergilah..."
"Uhh..." Lingjing berlari keluar dapur, melihat ayahnya di ruang tamu sedang memeriksa barang bawaannya, tiba-tiba memeluk dari belakang lalu mencium pipinya sebelum kabur. Ye Han bingung menoleh: "Ada apa? Ada apa?"
Sekejap mata, Lingjing sudah keluar dari kamar.
Kehangatan dari orang tua sebenarnya tak bisa menghilangkan kekecewaan di hati. Masalah perasaan bukan soal matematika yang bisa dihitung satu tambah satu sama dengan dua. Naik bus sampai gerbang Akademi Hati Kudus, di bawah sinar matahari sore yang terik, plaza depan akademi yang belum mulai kuliah terasa sunyi. Melewati sini, teringat masa lalu mereka biasa berangkat sekolah bersama, jalan-jalan setelah makan malam. Bayang-bayang pasangan itu seolah masih berjalan di sampingnya, membuat hatinya semakin sesak tak tertahankan.
Segalanya di sepanjang jalan tetap sama, hanya mood yang berubah... Sampai di bawah game center yang ramai, naik tangga, dia berdiri cukup lama di depan pintu yang familiar itu, akhirnya mengeluarkan kunci dan membuka pintu. Kamar itu sunyi seperti sudah MATI, suara ketukan keyboard yang familiar seolah datang dari ujung langit, juga tiba-tiba berhenti, baru kembali berbunyi beberapa saat kemudian. Biasanya di waktu seperti ini, dapur pasti sudah riuh dengan suara berisik, aroma nasi mengepul, bunyi pisau dapur di talenan, spatula saling beradu, biasanya Jiaming dan dia yang mengerjakan ini semua, Shasha menonton TV di luar, atau membantu menata peralatan makan...
Dia menutup pintu, mengganti sepatu, duduk diam-diam di sofa sebentar, kemudian dari kamar tidur menuju balkon, berjalan ke pintu kamar kecil di samping. Jiaming yang sedang main komputer di dalam menoleh, mereka saling bertatapan dalam diam beberapa saat, dia mundur dengan tenang bagaikan siluman.
Langsung menuju dapur, dia membuka tong meter, mulai mencuci beras dan memasak nasi seperti biasa. Setelah penanak nasi dinyalakan, dia mencuci beberapa batang daun bawang, lalu ke ruang tamu membuka kulkas, mencari bahan yang bisa dimakan: telur ayam, daging cincang yang sudah disimpan beberapa hari, sosis... Sosis ditaruh di piring, siap dikukus bersama nasi. Daging cincang dihaluskan, telur dipecahkan, segalanya dilakukan dengan lancar, pejamkan mata pun bisa melakukannya.
Minyak dituang ke dalam panci, suara sssss mulai terdengar. Dia melakukan segalanya sesuai langkah-langkah seperti biasa dengan diam-diam: telur dadar, sup telur dengan daging cincang, sosis diiris tipis. Entah sejak kapan, Jiaming telah menyalakan TV di ruang tamu, mungkin sudah menyelesaikan urusan di komputernya, kemudian masuk ke dapur untuk mengambil peralatan makan sambil melihat apa yang sedang dilakukannya: "Daging itu sudah disimpan berhari-hari, masih bisa dimakan?"
"Tidak apa-apa, tidak busuk."
Jawaban datarnya membuat mereka terlihat seperti pasangan muda yang hubungan mesra mereka mulai memudar setelah lama menikah. Dapur yang tidak terlalu luas membuat mereka harus saling menggeser badan saat berpapasan. Bagi keduanya, ini juga bisa terasa sangat selaras.
Makanan dihidangkan di meja saat langit mulai gelap. Mereka duduk di meja makan, menyantap hidangan sederhana ini dalam keheningan. Nafsu makan Jiaming terlihat sangat baik, dalam sekejap sudah menghabiskan dua mangkok. Lingjing hanya menyendok beberapa suap, lalu meletakkan sumpitnya dan memperhatikan Jiaming makan. Setelah lama terdiam, dia membuka mulut: "Besok aku ke Wina."
Gerakan Jiaming terhenti sebentar, lalu melanjutkan makannya sambil mengangguk: "Hmm."
Lingjing menarik napas dalam-dalam: "Aku tidak bisa menghubungi Shasha... Tapi selama ada kamu, dia pasti baik-baik saja..."
"Tidak ada masalah besar. Shasha sekarang di..."
"Bagaimana aku harus memberitahunya?"
Suara yang datar, Lingjing menatap mati ke arahnya, langsung menyela ucapannya, "Kau belum memberitahu dia tentang halmu dengan Kakak Yahan kan, aku...aku bisa bilang apa padanya? Alasan ke Wina yang harus kusampaikan ke Gesekan..."
Dia terdiam sejenak: "Aku akan menghubunginya setelah tiba di sana, nanti...jika kau sudah mengaku terus terang padanya..."
Sejak itu, kesunyian kembali menyelimuti mereka berdua. Setelah makan malam dan mencuci piring, Jiaming menonton TV di ruang tamu sementara Lingjing duduk di ranjang kamar tidur merapikan barang-barang kecil di meja belajar. Sesekali matanya tertuju pada siluet Jiaming di ruang tamu, terpaku lama-lama. Jika Jiaming menoleh ke arahnya, ia akan segera mengalihkan pandangan ke meja, sibuk merapikan benda-benda kenangan itu.
Setiap barang ini menyimpan makna khusus yang tak tergantikan baginya. Souvenir dari liburan bersama Jiaming, slip gaji pertama sebagai pekerja paruh waktu, tiket kapal "Star Dream", hadiah-hadiah spontan dari Jiaming, buku catatan keuangan keluarga, album foto pernikahan bertiga mereka - Lingjing, Jiaming, dan Gesekan... Hingga sudah lewat pukul sembilan, ia mengeluarkan sebuah koper kecil dan mulai mengemas barang-barang yang ingin dibawa. Jiaming juga muncul dari kamarnya membawa tumpukan barang.
"...Catatan-catatanku. Jika suatu hari nanti kau benar-benar main kecapi, mungkin bisa membantumu. Ini ada kartu nama. Jika menghadapi masalah di Wina yang tak bisa kau selesaikan, apapun itu, hubungi dia. Basically semua bisa diurus. Ini juga ada kartu kredit/debit, password-nya tanggal ulang tahunmu..."
“Dia berbicara， meletakkan barang di sebelah Lingjing. Lingjing tampaknya tidak menolak，hanya memandang pergelangan tangan Jiaming yang dibalut perban lama-lama，kemudian bertanya：‘Di situ kenapa bisa begitu?’”
“Tidak sengaja……”
“Kau tidak pernah tidak sengaja……”
Lingjing berkata demikian. Jiaming tidak menjawab，dia pun tidak bertanya lagi. Sekitar pukul 10，setelah merapikan barang yang akan dibawa，Lingjing mengunci koper. Keduanya berdiri lama di tepi ranjang. Jiaming berkata：“Aku akan mengantarmu memanggil taksi……” Saat mengangkat koper hendak pergi，Lingjing tiba-tiba berlari dari belakang dan merangkul pinggangnya erat-erat.
“Alasan sebenarnya apa，katakan padaku!” Suaranya terisak，tangisannya meledak.
Merasakan gemetar tubuh gadis di belakangnya，Jiaming menutup mata. Lama kemudian baru berbalik badan，memeluk Lingjing seakan ingin menekan tubuhnya ke dalam tubuhnya sendiri.
Malam musim panas，tubuh mereka terasa membara. Lingjing merangkul leher Jiaming，bibirnya gemetar mencari-cari mulut sang pria，canggung seolah ini pertama kalinya mereka.
“Malam ini……aku tidak pulang……”
## Bagian 403 Seluruh Keluarga
Saat cahaya pagi menerobos jendela ke ranjang，dia membuka mata.
Sinar matahari cerah, dia hanya merasa tubuhnya lemas, bahkan satu jari pun tak ingin digerakkan. Matanya memandangi lengannya yang telanjang di tepi ranjang. Setelah lama, pemandangan, suara, dan aroma baru perlahan meresap ke dalam pikiran.
Dengan lemah, dia membalikkan tubuhnya. Jiaming sudah tak ada di sampingnya. Dari arah dapur terdengar suara memasak sarapan dan aroma yang mengikutinya. Matanya akhirnya melihat koper kecil yang tergeletak di lantai.
Lalu dia hanya terduduk memandanginya dalam waktu yang lama.
Menyingkirkan selimut tipis di tubuhnya, dia bangkit dari ranjang dalam keadaan telanjang bulat. Dengan langkah gonta-ganti, dia berjalan ke ruang tamu, menepuk kepalanya sendiri, lalu kembali ke kamar. Membuka lemari, mengambil celana dalam dan bra. Setelah mengaitkan kait bra, memandangi pakaiannya di lemari, dia terbuang-buang bersandar di tepi ranjang. Mendengar suara dari dapur, tak tahu harus melakukan apa.
Beberapa saat kemudian, Jiaming keluar dari dapur membawa mi yang sudah dimasak. Matanya langsung tertuju pada sosok gadis dengan tubuh indah yang bersandar di tepi ranjang. Tatapan Lingjing berpindah ke arahnya. Mereka saling memandang sejenak sebelum Jiaming meletakkan mi di atas meja: "Makanlah sarapan dulu sebelum pergi..." Bibir Lingjing mengerut. Ia mengambil celana sutra tipis berwarna merah muda dari lemari dan mengenakannya. Setelah memakai celana panjang, ia memakai T-shirt bergambar Snoopy. Saat itu Jiaming sudah kembali ke dapur. Dengan gerakan kasar, gadis itu menutup pintu lemari pakaian lalu menyisir rambutnya di depan cermin. Ketika sampai di pintu kamar tidur, ia berhenti, menarik napas dalam-dalam sementara dadanya naik turun drastis.
Pada sekejap mata saat membuka mata, hatinya bahkan sempat mengira kembali ke masa lalu, merasakan kedamaian dan ketenangan. Selimut di sebelahnya kosong. Suara sarapan memasak dari dapur... Inilah kebahagiaan. Namun koper di lantai dan perkataan Jiaming tetap menghancurkan mimpi indah sesaat itu tanpa ampun.
Lalu, air mata pun mengalir deras.
Di hatinya seolah ada sesuatu yang bergejolak, dia ingin berlari ke pangkuan Jiaming dan menangis histeris, ingin berteriak menanyakan mengapa mereka harus putus, ingin mempertanyakan apakah ada alasan terpaksa dalam hatinya, ingin mengatakan bahwa dia tidak keberatan dan tidak percaya urusan Kakak Yahan, bahkan pernah terpikir olehnya untuk menerima segalanya dengan mengorbankan diri, meskipun harus merendahkan keagungannya, asalkan Jiaming tidak meninggalkannya... Asalkan segalanya masih bisa dipulihkan.
Semalam dia sudah berpikir seperti ini. Asalkan Jiaming bisa memberikan penjelasan, atau setidaknya meminta maaf, bahkan sekadar berkata "Aku terpaksa, ada alasan yang tidak bisa kuungkapkan", maka dia akan memaafkannya, seperti... seperti pertengkaran-pertengkaran jarang mereka sebelumnya yang akhirnya berdamai. Bahkan terpikir olehnya, karena mereka sudah berusia delapan belas tahun, mungkin dia bisa memberinya anak...
Namun, semua ini hanyalah fantasi belaka...
Dia berlari ke toilet, membasuh pipinya di bawah keran yang berisik, membiarkan air dingin mengembalikan rasionalitasnya di pagi buta, lalu mengusap wajahnya dengan handuk secara sembarangan, menarik napas dalam-dalam, kemudian kembali ke kamar tidur dan mengangkat koper itu. Semua keributan ini sengaja dibuat gaduh, berharap Jiaming masih punya sesuatu untuk dikatakan, namun dari sisi Jiaming hanya ada kesunyian. Setelah berdiri sebentar di kamar tidur, dia melangkah ke ruang tamu: "Aku... Aku pergi, kau tidak perlu mengantarku..." Kemudian, Byur! Dia menerobos keluar pintu kamar.
Lari menuruni tangga, menuju jalan raya. Di bawah sinar matahari pagi, dia menyeka air mata yang tumpah, berusaha berjalan dengan lebih tegas. Setelah jauh melangkah, akhirnya menoleh ke belakang. Di balkon lantai dua, sebuah bayangan tegak berdiri lama, memandang ke arah sini tanpa suara. Dia berdiri sejenak, akhirnya memutar kepala dan membelok di tikungan sudut jalan.
Gedung kecil itu, sosok itu, kenangan-kenangan itu, cinta pertamanya dan masa muda, akhirnya tenggelam dalam cahaya pagi yang berapi-api...
Dia kembali ke perguruan silat, tidak sarapan, kemudian bersama orang tua mengambil barang bawaan dan pergi menuju bandara. Banyak kerabat dan teman yang datang mengantar, hanya Jiaming dan Shasha yang tidak hadir. Hal ini semakin menguatkan dugaan Keluarga Ye. Terhadap perilaku putrinya yang buru-buru pergi, mereka pun tidak berkata apa-apa.
Berpisah satu per satu, berpesan-pesan, kemudian melewati pemeriksaan dan naik pesawat. Pada waktu yang sama, di sebuah gedung perusahaan di Guangzhou, Ying Zilan dan Ying Haisheng sedang melihat beberapa buah data-data. Ekspresi Ying Zilan terlihat gelisah.
"Bagaimana baru sekarang kabar ini dikirim? Gu Jiaming, Ye Lingjing, Liu Huaisha... masalah anak buah kali ini... Aku sudah suruh orang-orang mengawasi dan melapor setiap saat, ternyata mereka cuma makan tai!" Sepertinya menyadari keseriusan masalah ini, Ying Zilan yang biasanya berpenampilan elegan sulit menahan Kemarahan-nya, "Ayah, harus segera perintahkan anak buah untuk pergi, lalu suruh koneksi kita di sana menjamin keamanannya maksimal. Gu Jiaming juga harus ditenangkan. Kemampuannya bertindak di Jepang itu, sekali dia bergerak, anak buah kita terlalu berbahaya. Penerbangan Ye Lingjing tinggal beberapa menit lagi. Dia tidak minta Fang Zhitian menutup kasus Liu Huaisha, kurasa... dia ingin mengantar pergi semua orang... Aku harus SEKARANG JUGA ke Jianghai..."
"Panik apa?" Mendengar putranya ingin buru-buru ke Jianghai, Ying Haisheng mengerutkan kening, "Masalah Jepang lagi-lagi Jepang. Ini cuma dugaan saja. Jepang tetaplah Jepang, di sini Tiongkok. Jangan lebay. Sudah bertahun-tahun masih seperti anak kemarin sore. Akarnya di Tiongkok, mana mungkin dia berani main tipu. Cari dulu metode kontaknya, telepon untuk jelaskan. Untuk hal ini, kita akan meminta maaf sekaligus minta bantuan Fang Zhitian. Si Fang tua sudah berlawanan denganku bertahun-tahun, tapi jika aku bermasalah, dia sendirian tak bisa menopang []. Jadi pasti akan jadi mediator. Tenang saja..."
"Aku pernah ketemu dia. Kalau Gu Jiaming itu benar-benar pembunuh Morikami Kura, dia tak akan main sesuai aturan biasa..."
“Sudah kubilang, aku punya presisi untuk urusan ini, jangan berlebihan!”
Prak, telapak tangan Ying Haisheng menampar meja.
Di dalam kabin setelah menemukan posisi sesuai tiket pesawat, Lingjing meletakkan tas kecilnya. Pesawat menuju Wina ini tidak sepenuhnya penuh. Mendekati waktu lepas landas, pramugari mengingatkan satu per satu kursi tentang sabuk pengaman. Dia menatap pemandangan sibuk di luar jendela, menunggu waktu berlalu detik demi detik.
Hampir setiap detik, dorongan untuk berlari kembali menggelegak di hatinya bagai genderang perang. Dia menyandarkan kepala di jendela, menggigit gigi erat, tubuhnya gemetar halus.
“Nona, mabuk pesawat?”
Pria paruh baya di sebelahnya yang telah mengamatkannya beberapa saat membuka mulut.
Dia menggelengkan kepala perlahan.
Pria paruh baya itu tersenyum: “Pengalaman pertama naik pesawat memang begitu. Tapi melihat penampilanmu, kutebak... mahasiswa yang akan studi di luar negeri...”
Lingjing tak ingin menjawab. Pria itu berkata: “Maaf.” Lalu tak bertanya lagi.
Suara pengumuman terdengar, lalu pesawat mulai bergerak.
Seolah tiba-tiba menyadari sesuatu, Lingjing mengalihkan pandangannya. Mengikuti pergerakan pesawat, matanya menyapu seluruh permukaan Jianghai dengan keserakahan bagai ingin menelan segalanya. Pesawat naik stabil, jalanan yang familiar dalam ingatan, gedung-gedung tinggi, pegunungan yang membentang di kejauhan, serta sungai besar terlihat jelas membesar lalu perlahan menjauh. Kenangan menerjang bagai air pasang yang dahsyat, dia menggenggam erat sandaran kursi di kedua sisinya sampai jari-jarinya membiru. Andai saat ini pesawat berhenti, dia akan berlari pulang tanpa peduli apapun.
Pesawat membawanya terbang menembus langit.
Pria paruh baya di sebelahnya memandangi profil gadis itu, kemudian dengan licik mengalihkan pandangan ke arah pramugari-pramugari cantik sambil menyapu sekilas beberapa orang di kursi belakang. Seketika, dia memberi gestur kepada beberapa kawannya.
Pesawat belum memasuki awan, siaran yang sudah membeku tiba-tiba berbunyi lagi:"Para Nyonya dan Pak, selamat datang di penerbangan dari Jianghai ke Wina. Pesawat adalah alat transportasi paling istimewa, kita akan pergi ke tempat yang sama sekali berbeda dari masa lalu, atau mungkin hanya menjadi episode kecil dalam perjalanan hidupmu, atau juga akan mulai menyambut kehidupan baru, menjauh dari kenangan masa lalu. Di sini kami mengucapkan semoga perjalanan Anda menyenangkan, lancar tanpa hambatan, dalam menghadapi Tantangan hidup di masa depan, bisa berjalan mulus, semoga kau selamanya cantik, bahagia, sehat, dan terbuka. Semoga setiap hari ada senyum, menjauhi hal-hal yang nggak nyaman, kenangan tidak menyenangkan, tidak lagi mengalami kerusakan, bahkan jika menghadapi kegagalan kecil, bisa dianggapi sebagai ujian penuh niat baik dari Tuhan, karena kecerdasan dan ketegaranmu akhirnya akan mengatasi Segalanya, di sini, kami menyumbangkan lagu Zhou Huajian untuk semua orang...《Hujan Tak Menghalangi》..."
Siaran tidak jelas gaya arsitekturnya ini membuat semua orang di kabin ramai membicarakan, sebagian besar pramugari bahkan tertegun dengan ekspresi kaku, mengira terjadi hal seperti pembajakan pesawat, hanya Lingjing di tepi jendela yang tiba-tiba mengangkat kepala, meskipun suara di siaran itu standar suara perempuan, tapi sekejap mata itu, dia seperti merasakan aura Jiaming, seolah di balik siaran itu ada bayangan yang saling mengenal sedang memandangnya, tersenyum berbicara padanya.
Lalu, melodi itu mulai berbunyi...
Sampai pesawat terbang keluar dari jangkauan mata telanjang, di tepi jalan yang mengelilingi bandara, Jiaming yang bersandar pada sebuah mobil kecil perlahan menarik kembali pandangannya.
Membuka pintu mobil, dia duduk sebentar di kursi pengemudi sebelum menyalakan mesin. Mobil kecil itu berakselerasi mulus, masuk ke jalan kecil di depan, lalu menyusup dengan kecepatan tinggi ke dalam arus lalu lintas yang padat.
Telepon berdering. Dia memasang earphone, suara terdengar dari seberang.
"Halo, Jiaming. Ini Ying Zilan. Aku tidak tahu apa yang kau lakukan sekarang, tapi aku ingin meminta maaf atas hal yang dilakukan adik laki-lakiku. Tentang kejadian ini..."
Di telepon, suara itu terus menjelaskan dengan tenang sementara Jiaming mendengarkan diam-diam. Penjelasan ini berlangsung selama tiga-empat menit: "Untuk detailnya, aku akan segera ke Jianghai. Kuharap kau... bisa memberinya kesempatan..."
Dalam keheningan, Jiaming tetap membisu. Sekitar setengah menit kemudian, suara di seberang berganti: "Halo, ini Ying Haisheng. Gu Jiaming, tentang urusan Jepang, aku tahu kau hebat. Tapi Ying Zifeng adalah anakku. Jika sesuatu terjadi padanya, aku jamin akan datang sendiri ke Jianghai..."
Sebelum Ying Haisheng selesai bicara, Jiaming membuka mulut dengan datar.
"Kalian datang ke Jianghai, akan kukirimkan foto keluarga utuh untuk kalian."
Kemudian, panggilan berakhir.
## Bagian Empat Ratus Empat Hujan Tak Menghalangi
"Aku harus segera ke Jianghai! Ayah, suruh Zifeng pergi SEKARANG JUGA..."
Bunyi telepon yang diputus bergema dalam kamar. Memandangi pesawat telepon yang masih berdengung, wajah Ying Haisheng menjadi pucat pasi, muram bagai langit hendak runtuh. Melihat Ying Zilan hendak pergi, dia tiba-tiba bangkit berdiri.
“Kau berhenti di situ! Di Jianghai kami juga sudah mengatur banyak orang, buat apa kau tergesa-gesa ke sana sekarang!”
“Mungkin masih bisa diselamatkan……”
“Tak ada yang perlu diselamatkan! Biarkan saja anak anjing yang tak tahu diri itu bermasalah! Tapi Gu Jiaming pun takkan berani bertindak keterlaluan. Jika dia nekat, kami juga bisa membalas!”
“Bagaimanapun, Zifeng adalah adikku.” Ying Zilan melototi ayahnya, “Dia harus segera pergi……”
Di saat yang sama, Jiaming menyetir mobil melintasi jalanan Jianghai. Di ketinggian 10.000 kaki, melodi "Tak Terhalang Hujan Badai" bergema di kabin pesawat menuju Wina.
Lingjing duduk di sana, mendengarkan dengan tenang.
……
……
“Kaulah taruhan satu-satunya dalam hidupku.
Hanya menyisakan serpihan kenangan.
Membuatku tak menyesal
Memberi sepenuh hati.
Takut kau sedih, takut kau menangis.
Takut kau sepi, takut kau linglung.
Gunung dan jalan ribuan li di dunia fana.
Kutetap setia siang malam……”
Dalam alunan lagu itu, sepasang pria-wanita di kursi belakang berdiri. Saat melintasi koridor menuju depan kabin, pandangan mereka menyapu gadis itu sekilas. Pria paruh baya di sampingnya sedang membaca koran, baru mengangkat kepala setelah kedua orang itu lewat, lalu membalik halaman koran. Di barisan belakang, tiga orang lainnya pun bangkit.
Di jalanan Jianghai di bawah Langit, Jiaming menginjak gas dalam-dalam. Mobil melesat seperti angin puyuh melewati beberapa kendaraan di depan, termasuk sebuah mobil polisi yang berisi dua orang membelalakkan mata: "Bangsat, gila nyawa!"
Guangzhou, Ying Zilan meletakkan telepon: "Telepon anak buah dan orang di sekitarnya sama sekali tidak bisa dihubungi."
Ying Haisheng yang baru saja menutup telepon lain mengayunkan tangan: "Hubungi orang lain yang mungkin berada di dekatnya. Mau kabur... Jadwal penerbangan yang sudah lepas landas pun harus kita putar balik ke Jianghai..."
"Kau adalah langkah tak henti sepanjang hidupku.
Biarkan kuukir hamparan langit.
Kau bebas menari di angkasa.
Mengejar tanpa keraguan.
Cinta adalah perjalanan panjang.
Mimpi indah pun nestapa.
Sukaduka jalan kehidupan.
Kujahit tambal-sulam tak kenal lelah..."
Nyanyian mengalun, sepasang pria-wanita itu dihadang pramugari di pintu kokpit. Mereka menunjukkan dokumen. Setelah memeriksa, pramugari dengan wajah tegang berkomunikasi via telepon ke dalam kokpit. Tak lama, pintu kokpit terbuka. Mereka menyerahkan dokumen: "Biro Keamanan Nasional. Siaran ini apa maksudnya? Kami dapat laporan intelijen dini hari tentang kemungkinan teroris menyusup di pesawat ini. Segera hubungi bandara untuk kembali ke Jianghai."
Pada waktu yang sama, di kantor manajer kantor polisi Jianghai dan regu polisi bersenjata, seseorang berkata: "Ya!" dan menutup telepon. Kemudian, bel tanda berkumpul tingkat tertinggi tiba-tiba berbunyi. Seketika, suara langkah lari dari lantai atas ke bawah, dalam dan luar halaman bergemuruh menjadi satu. Polisi dan anggota polisi bersenjata dengan berbagai seragam berhamburan keluar menuju plaza berkumpul. Bos yang hari ini mengenakan jas berlari di koridor sambil melambaikan tangan ke belakang: "Cepat, cepat, keadaan darurat..."
Di sebuah villa berjarak sekitar sepuluh menit berkendara dari bandara, Ying Zifeng menuangkan segelas anggur merah di bar. Setelah berpesta semalaman, dia baru saja bangun dengan kancing kemejanya terbuka tidak terkancing. Menoleh, dia mengangkat gelasnya ke seorang bos Jalan Hitam yang tidur di ruang tamu semalaman: "Shazhu Bang sudah tamat, selamat." Senyumnya penuh percaya diri dan elegan.
Turbin meraung dan berputar, ekor mobil tiba-tiba berbelok. Suara rem terdengar ketika mobil kecil itu melakukan drift di tikungan jalan 90 derajat dengan gerakan penuh ketegangan. Pejalan kaki di pinggir jalan terdiam membeku. Lama kemudian, dentang sirine polisi mengejar dari belakang. Wajah pengemudi mobil polisi itu terlihat agak pucat.
Bunyi telepon berdering.
Di villa keluarga Dongfang, Fang Zhitian menunggu sambungan telepon: "Wei, Jiaming, ini Fang Zhitian. Aku sudah dengar dari Ying Haisheng. Masalah ini masih bisa didiskusikan, jangan kau..."
"...Maaf, aku sedang terburu-buru."
Suara panggilan terputus bergema. Fang Zhitian melemparkan mikropon ke meja, melangkah keluar kamar: "Mobil belum datang? Cepat!" Ia mengayunkan tangan ke arah Dongfang Lu di ruang tamu, "Xiao Lu ikut, bantu mencegah Gu Jiaming. Masalah besar akan terjadi..."
"Apa yang hendak Jiaming lakukan sekarang?"
"Dia buru-buru mengantar orang menuju reinkarnasi..."
……
……
"Cukupkah cintaku padamu."
"Cukupkah perhatianku untukmu."
"Bisakah kuminta kau tak acuh tak acuh."
"Tak ingin kau lihat lukaku."
"Seperti hujan tak kenal lelah yang dulu."
"Cukupkah yang kumiliki."
"Cukup indahkah mimpiku."
"Bolehkah mengejar."
"Takkan menyerah..."
……
……
"Biro Keamanan Nasional..."
Di kokpit, co-pilot menoleh. Setelah menyampaikan maksud, pasangan itu menyerahkan dokumen. Pilot memeriksa sejenak lalu mengembalikan. Saat mereka hendak menerima, dari balik dokumen muncul laras senjata berperedam suara. Dua orang dari belakang mengarahkan senjata ke pinggang mereka. Orang ketiga mengarahkan senjata ke pramugari sambil menutup mulutnya.
Tirai menutupi bagian kabin ini. Para penumpang terhanyut alunan lagu dari pengeras suara. Sekilas tak terlihat ada enam tujuh orang yang berdesakan di sini. Di sisi belakang, dua anggota tersisa dari kelompok pasangan itu hendak bangkit. Dua pucuk pistol tanpa suara menekan tengkuk mereka, memaksa mereka duduk kembali diiringi alunan musik.
Mobil kecil yang melaju kencang membelok di sudut jalan. Dongfang Wan yang baru keluar dari rumah teman sekelasnya berteriak "Aaaaa" sambil menghindar. Matanya menyaksikan mobil itu berhenti di depan sebuah villa tak jauh, dua orang berlari keluar dan buru-buru menuju pintu gerbang villa yang dijaga dua pria berjas. Salah satunya membawa telepon genggam. Dia ingin mencatat plat nomor untuk melapor polisi, tapi melihat mereka jelas anggota geng kriminal, kehendaknya pun menguap. Dua orang yang turun tergesa-gesa dari mobil dihadang, keempatnya bertengkar di depan pintu. Salah seorang menampar wajah anggota geng penjaga pintu. Ketika ketegangan memuncak bagai pedang terhunus, seseorang di dalam villa nampaknya memberi perintah. Pintu kecil terbuka, pria pembawa telepon itu segera masuk.
Harapannya melihat sampah-sampah itu bertikai pupus. Kekecewaan kecil menggelayut di hati Dongfang Wan. Tiba-tiba suara turbo yang berputar membesar secara drastis. Sebuah mobil lain melesat lebih cepat menyusup ke jalanan ini, menerobos melewatinya.
……
……
Sirine polisi memenuhi langit. Tanpa banyak instruksi atau komando, mobil-mobil polisi berderet-deret dengan cepat menuju jalan raya kota. Pemandangan itu membuat pejalan kaki di tepi jalan terpana.
Pada saat bersamaan, iring-iringan Fang Zhitian dan lainnnya melesat keluar dari rumah keluarga Dongfang. Bergerak serempak, tim-tim operasi di berbagai lokasi berbeda di kota: Ye Lian, Cui Guohua...
Langit.
Suasana tegang hampir membeku. Di kokpit, co-pilot mengangkat bahu, mengeluarkan sebuah simbol: "Dark Celeste. Sudah bertahun-tahun kerjasama, jangan lukai perasaan, biarkan pesawat ini tiba dengan selamat di Wina, setuju?"
Kemudian, dua orang di luar kabin digeledah senjatanya dan langsung dipukul hingga pingsan.
Suara Zhou Huajian yang berusia namun lembut bergema di kabin. Tak ada yang tahu hal-hal yang terjadi di sekitar mereka, tak ada yang menyadari bahaya yang mungkin muncul. Lirik itu dinyanyikan sekali, lalu sekali lagi, Lingjing terus mendengarkan, hingga akhirnya tak bisa lagi menahan tangis. Tangisan itu begitu keras, meski ia menutup mulutnya erat-erat, suara itu tetap terdengar oleh orang-orang di sekitar. Tubuhnya gemetar hebat dalam isakan, air mata mengaliri pipa indahnya bagai mutiara yang menyentuh.
Pria paruh baya di sampingnya mengeluarkan tisu, menunggu sampai ia sedikit tenang sebelum memberikannya.
Seolah dilindungi oleh bayangan raksasa, dalam alunan musik ini, pesawat melunas keluar dari awan, pembawa kenangan menyedihkan sang gadis dan masa depan yang masih misterius, menuju arah Wina.
Di gerbang villa, Jiaming keluar dari mobil. Bulan Agustus yang panas terik, waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi, sinar matahari yang hampir tegak lurus menyengat seakan ingin membakar segalanya...
Dongfang Wan tertegun sejenak baru kemudian mendekat.
Awalnya di hati masih mengumpat siapa lagi orang nekat yang ngebut, siapa sangka mobil kedua berhenti, yang keluar ternyata Jiaming, ia tak bisa menahan keterkejutannya. Bagi dirinya yang selalu menyetir lambat, mobil dikendarai seperti itu pasti sampai MATI, kenal Jiaming selama ini, ia juga tak pernah tahu kemampuan menyetirnya ternyata sehebat ini. Tapi yang paling penting, ia belum pernah melihat sisi Jiaming seperti ini.
Mengingat kembali bayangan sosok yang melangkah keluar dari pintu mobil, bahkan terasa... agak mirip aura Jian Suyan, sikap santai datar yang menganggap remeh Segalanya.
Kehendak ini hanya sesaat di pikiran, yang di depan mata tetaplah Gu Jiaming yang biasa ia kenal, bukan bayangan samar paling dikagumi di hati, berlari kecil mendekat: "Jiaming, aku dengar kabar Shasha, dia..."
Baru setengah kalimat, ia baru sadar Jiaming ternyata berjalan menuju villa geng kriminal itu, sejenak bingung. Dua pria bertubuh besar berjaga di gerbang terlihat tidak ramah pada pemuda yang mendekat ini, salah satunya baru saja ditampar tanpa alasan. Melihat Jiaming mendekat, yang satu maju duluan, diikuti yang lain.
Hati tak tahu harus berkata apa, tapi menyaksikan Jiaming makin dekat dengan dua raksasa geng kriminal itu, ia juga mendekat, bawah sadar mengulurkan tangan ingin menyelamatkannya: "Hei..."
Bersamaan, pria besar yang baru dipukul tadi bersiap menghadang Jiaming: "Hei..."
Byur Bzzzt-bzzzt-bzzzt——
Sesaat kemudian, seluruh pintu besi besar gemetar mengeluarkan suara berderit kuno yang terus berlangsung lama! Dongfang Wan terpaku di tempatnya.
Baginya, segalanya terjadi sekejap mata. Sisa suara "wei" masih menggantung di udara ketika Jiaming mengangkat tangannya. Bayangan itu tiba-tiba melesat ke depan seperti ilusi. Dua pria kekar dengan berat diperkirakan melebihi 100 kilogram tiba-tiba diremas wajahnya. Tubuh mereka terseret kepala mereka sendiri, melintasi jarak 2 meter dalam sekejap.
Seperti mengulang momen kematian Morikami Kura, tengkuk keduanya dihantamkan keras ke pintu besi. Dalam terang matahari, darah, otak putih, dan kepala yang pecah bertebaran. Saat Jiaming melepas cengkeramannya, kedua mayat itu ambruk seperti kantong karung usang. Dongfang Wan yang berdiri di pinggir jalan menyaksikan segalanya dengan bibir menganga gemetar, pikirannya belum bisa mencerna belokan tak terduga ini.
Dalam kebingungan emosionalnya, Jiaming seolah menoleh dan berkata: "Pergi dari sini."
Di dalam villa, Ying Zifeng akhirnya menerima telepon dari ayahnya dan kakak laki-lakinya.
Pembukaan Pei Luo Jia telah usai. Ini adalah Api Agustus yang sesungguhnya.
## Bagian Empat Ratus Lima: Ada yang Mencari
Di bawah sinar matahari, gadis itu berdiri di pinggir jalan menyaksikan adegan di depan pintu gerbang, membeku seperti patung karena terkejut.
Tapi, saat ini yang menyaksikan pemandangan ini bukan hanya dia seorang. Banyak orang di halaman villa juga memandang ke arah sini dengan tatapan yang membeku sesaat. Mereka yang sedang minum dengan sedotan terhenti di tempat, yang melonggarkan dasi di bawah terik matahari berhenti bergerak. Seseorang di kolam renang muncul ke permukaan dengan tubuh terapung-apung. Singkatnya, beberapa detik yang singkat itu menciptakan ilusi waktu berhenti bagi kebanyakan orang.
Villa ini bukanlah aset keluarga Ying. Setelah Ying Zifeng menyusun serangkaian rencana untuk Shazhu Bang dan melaksanakannya dengan kecepatan yang luar biasa tadi malam, kehancuran Shazhu Bang tampaknya sudah pasti. Maka dia datang ke Jianghai dan dijamu oleh sekelompok bos geng kriminal yang ingin merampas Shazhu Bang. Villa besar ini adalah properti paling mentereng yang bisa ditawarkan salah satu bos. Semalam, enam tujuh kelompok geng berkumpul bersama Viscount kedua keluarga Ying untuk berpesta semalaman.
Aktivitas kotor atau menjijikkan apa yang terjadi semalam tidak perlu dibahas. Intinya, pagi ini di villa ini berkumpul para "elit" terbaik dari geng-geng tersebut. Hanya yang bisa berkelahi, berbicara, dan MEMBUNUH yang berhak hadir di sini. Meski ikut dalam acara kemarin, sebagian besar bertugas sebagai pengawal sambil menjalin hubungan dengan rekan sejawat. Karena mulai sekarang, Kota Jianghai akan menjadi wilayah kekuasaan mereka.
Bukan berarti tidak mempertimbangkan kemungkinan Shazhu Bang melakukan serangan balik atau perlawanan seperti sekaratnya binatang buas. Namun, kemungkinan tersebut sangat kecil. Meskipun polisi pertama-tama menyerang sejumlah pemimpin Shazhu Bang, jumlah anggota mereka basically tidak berkurang. Dalam situasi seperti ini, mereka pasti tidak berani membuat ulah lagi. Lagipula, yang berada di sini hari ini adalah Duke keluarga Ying. Sekalipun Shazhu Bang merebut seluruh Jianghai, identitas ini tetap seperti langit dibandingkan tanah.
Oleh karena itu, meski suara rem mendadak tadi sempat menarik perhatian mereka, saat melihat seorang pemuda delapan belas atau sembilan belas tahun turun dari atas, mereka tidak memperdulikannya lagi. Inilah mengapa ketika dua anggota di pintu gerbang terlempar ke pintu dan menyaksikan kepala mereka meledak, perasaan tipu daya dan absurditas yang lebih besar menyergap.
Sesaat kemudian, ledakan dahsyat "Byur!" kembali menggema. Pintu yang tidak terkunci kini berlumuran darah, ditendang habis-habisan oleh bayangan itu. Sang pemuda melangkah masuk dari luar gerbang.
Hal seperti ini sudah tidak perlu terlalu banyak penjelasan atau klarifikasi. Meski merasa menggelikan melihat pemandangan di depan mata, para pelarian yang berada di sekitar villa saat ini jelas adalah orang-orang yang telah mengalami banyak situasi genting. Tanpa menunggu komando, semua orang langsung bergerak mengambil tindakan. Ada yang melambai ke orang di sebelahnya, menyuruh masuk untuk memberi tahu hal ini; orang di kolam renang bertumpu di tepi dengan kedua tangan, melompat keluar dari air, memperlihatkan tubuh tinggi besar dengan otot kekar yang memiliki parut pisau; orang yang sedang berjemur di bawah payung pantai berdiri, membuang kacamata hitam; orang yang sedang minum menjatuhkan gelas; orang yang sedang melonggarkan dasi langsung merobek dasi tersebut, sekaligus membuka kemeja putih yang digunakan untuk berpura-pura kalem; dari jarak jauh-dekat, masing-masing melirik dengan tatapan garang sambil berjalan mendekati pintu gerbang.
Awalnya, dua orang yang duduk di bawah payung teduh di atas rumput tepi pintu adalah yang pertama mendekati Jiaming. Yang lebih pendek mengenakan kemeja bunga terbuka, mengangkat tangan untuk mengelus hidungnya. Dua pukulan beruntun membuat kemejanya melesat liar, sementara kakinya secara bersamaan menyudut dengan tendangan lutut dahsyat.
Di depannya, langkah kaki Jiaming tak berhenti, tubuhnya membungkuk rendah mengeluarkan pukulan. Kedua tangannya meraih ke depan lalu melepaskan. Pria berkemeja bunga yang baru saja hendak menyerang itu tubuhnya tiba-tiba terlipat tak wajar dari pinggang, dadanya hampir menempel lutut, "swish——" terlempar dari hamparan rumput. Di bawah terik matahari, debu putih bercampur batang rumput yang beterbangan, seketika membentuk jejak setinggi 4-5 meter mengikuti tubuh yang terlempar. Pria kekar berdampingan dengan si kemeja bunga yang berwajah garang itu bahkan belum sempat bertindak atau bersuara, sudah digenggam kedua tangan Jiaming. Sekejap kemudian roboh kaku seperti gajah mati, leher, bahu, dan tulang lengannya terdistorsi secara tak wajar——Dari wajah penuh amuk tiba-tiba menjadi MATI.
Pria berkemeja bunga itu meringkuk seperti udang di rerumputan 5 meter jauhnya, tak bisa bergerak bahkan mengerang. Seluruh tubuhnya kejang-kejang halus, organ dalam hancur, darah terus muntah dari mulutnya.
Hidup dan mati, saat ini bagai metafora ajaib yang terpampang nyata di depan mata semua orang.
Tanpa kata, tanpa Kemarahan atau belas kasihan, langkah Jiaming tak terhalang sejenak oleh kedua pria itu. Ia terus melangkah sunyi ke arah kerumunan. Di antara orang-orang, hampir setengah dari mereka secara bawah sadar memperlambat atau bahkan menghentikan langkah mereka sekejap mata.
Menjilati darah di ujung pisau, mereka pernah melihat PEMBUNUHAN, tapi tidak pernah melihat yang seperti ini.
Di tepi jalan luar pintu gerbang, Dongfang Wan masih berdiri di sana dengan seluruh tubuhnya gemetar. Dua orang di luar pintu, dua orang di dalam pintu, mati dalam sekejap di depan Gu Jiaming yang pernah dianggapnya familiar. Dia pernah melihat serangan "Jian Suyan" dari jarak jauh, saat itu tergetar selama beberapa hari hingga tak bisa tidur, tapi tetap tak sekuat pemandangan hari ini yang seolah memiliki kekuatan menyedot jiwa - mengerikan, menakutkan, panik, bingung. Hatinya menyuruhnya segera pergi dari sini, tapi langkah kakinya terkunci mati tanpa sedikitpun kehendak untuk pergi. Pandangannya mengikuti bayangan Jiaming seolah dihisap oleh daya magis tertentu, jiwa berguncang.
Itu adalah orang yang telah dikenalnya selama tiga tahun, manusia yang familiar. Pada momen ini, dia tiba-tiba menjadi sosok yang sama sekali berbeda.
Di dalam pintu gerbang, sebelum kedua pihak bersentuhan, dari kerumunan di samping, seseorang tiba-tiba berlari maju: "Kau benar-benar..." Di tangannya memegang senapan patah, suara byur saat memasang peluru. Detik berikutnya, suasana akhirnya terbebas dari kesunyian MATI ini, mulai MEMBAKAR.
Dang——
Dentuman senjata menggema di halaman villa. Tubuh pria yang mencoba menarik pelatuk senapan patah itu terlempar ke belakang bersama semburan darah. Jiaming bahkan tidak melirik sekilas. Tak seorang pun sempat melihat gerakan tiba-tiba lengannya yang terangkat. Asap biru samar-samar menyebar di udara, aroma mesiu menyengat. Di saat bersamaan, tangan kirinya mengarahkan laras senjata hitam legam ke pria yang berjalan paling depan, lalu menarik pelatuk.
Udara meledak.
"Sial...!"
"Berpencar——"
"Ambil senjata cepat...!"
Anggota geng kriminal Jianghai yang membawa senjata ternyata tidak banyak. Ada yang membalikkan meja, ada yang terjatuh. Pada detik pertama dentuman senjata terdengar, enam tujuh orang dari kelompok yang sebelumnya bersikap hebat itu telah tumbang bagai pin bowling. Genangan darah mengotori seluruh area. Di luar pintu gerbang, Dongfang Wan akhirnya menundukkan leher sambil menjerit, mulai berbalik mencari tempat berlindung. Pemuda di halaman itu memegang senjata dengan kedua tangan, bergerak laksana mesin yang telah diprogram sebelumnya, mulai melaksanakan prosedur pembunuhan tanpa cela. Setiap kali pelatuk ditarik, pasti ada seseorang yang ambruk dalam genangan darah. Di sekitar Ying Zifeng, anggota [] yang ditempatkan kakaknya juga mulai merespon. Orang pertama yang mendekat baru saja mengangkat senjatanya ketika peluru langsung melubangi kepalanya.
Kekacauan paling berdarah berlangsung sekitar belasan detik pertama, lebih dari tiga puluh orang kehilangan nyawa selamanya di dunia ini. Selama periode ini, di hamparan rumput depan mengalir sungai darah, mayat-mayat berserakan tak beraturan. Sesekali ada yang menemukan senjata api dan berlari ke luar, langsung ditembak kepala tanpa ampun. Setelah itu, agen rahasia yang datang dari samping akhirnya mulai berkumpul, bersama anggota geng kriminal bersenjata, memanfaatkan keunggulan perhatian musuh, menyerang ke arah Jiaming.
Peluru jatuh di tempat kosong. Pada detik mereka berlari ke luar, bayangan Jiaming tepat menghilang di sisi kolam renang seberang sudut 90 derajat.
Setelah ragu sebentar, Ketua Kelompok memberi beberapa gestur. Mereka kembali menyerbu ke arah Jiaming. Saat jari menarik pelatuk, bayangan Jiaming melesat cepat ke arah kamar berdinding kaca lebar di tepi kolam. Seorang yang belum sempat kabur di tangga tiba-tiba terbang tertabrak, menjadi yang pertama menerobos dinding kaca belakang.
Ini adalah ruang besar transparan dua sisi. Pada sekejap mata itu, Jiaming mendorong orang itu hingga menabrak pintu kaca di seberang. Di hadapan pandangan semua orang, sebuah lemari minuman terlempar ke udara dan pecah berkeping-keping, berbagai cairan berwarna beterbangan. Kemudian bangku tinggi dan bar yang menghadang di kamar hancur berkeping-keping, peralatan minum dan serpihan kayu berhamburan. Dua bayangan ini melesat bagai kereta perang melintasi jarak hampir 20 meter dalam ruangan, menghancurkan segala penghalang di depan mereka. Entah bagaimana perasaan orang yang diterbangkan Jiaming ini, tapi rasanya tak ada yang mau mengalami sensasi seperti itu.
Sebagian besar penembak jalanan tak sempat bereaksi, tapi para agen terlatih langsung mengarahkan laras senjata mereka ke dinding seberang di antara hujan reruntuhan. Lalu... Braak! Dinding itu pun ditembus...
Hanya karena sedetik keraguan, nyala api senjata berkobar. Dua agen kehilangan nyawa oleh peluru yang menembus dari dalam kamar.
Bagai gajah yang kemasukan tikus, villa besar itu bergemuruh dalam riuh tembakan. Setiap dentuman senjata menandakan seorang "orang sial" lagi yang meregang nyawa.
Pembunuhan berpindah ke dalam villa.
Anggota Jalan Hitam yang sebelumnya didorongnya hingga menghancurkan seluruh kamar itu sekarang mungkin seluruh tulangnya sudah remuk. Keluar dari kamar berlubang di dinding, melewati sudut koridor, tiga orang yang tak sempat menghindar terjatuh ke tanah.
"Hei, Viscount Feng... Ying... Zi... Feng... Si Ganteng... Ying... Zi... Feng... Ada di rumah? Ada yang nyari..."
Gurauan bernada dingin yang tak terdefinisikan bergema di koridor. Seseorang mengeluarkan kepala dari kamar, tengkoraknya tersingkap oleh tembakan. Jiaming melangkahi mayat itu sambil bergumam lirih: "Kau bukan..."
Menembak panel kontrol di depan hingga hancur, belok ke sisi lain. Granat tangan tiba-tiba meluncur dari ujung koridor seberang. Dengan reflek ia menyambar vas bunga di sampingnya dan melemparkannya. Granat yang masih melayang di udara masuk tepat ke botol vas, terbawa kembali ke arah lemparan semula. Jiaming menendang pintu kamar terdekat, dua tembakan menjatuhkan penghuni kamar yang masih terpaku. Ledakan dahsyat mengguncang seluruh villa.
Berdiri di depan beberapa mayat hangus terbakar, Jiaming mengedipkan mata dengan ekspresi datar: "Bukan..."
Membelah lautan darah, ia menerobos ke lantai dua villa. Di balik sudut berikutnya, senapan serbu tiba-tiba mengarah padanya.
Secara tiba-tiba menyampingkan tubuh, dengan gerakan spontan menekan, peluru meluncur menderu dari samping tubuhnya, meninggalkan jejak percikan api menakjubkan di dinding dan langit-langit belakang. Dengan gerakan balik menjambret senjata, agen rahasia itu menghadang dengan tangan sambil menendang ke arahnya. Tubuh Jiaming berputar gesit, telah mendarat di area kosong. Mereka ini juga anggota [], bagian dari faksi Ying Haisheng, prajurit berpengalaman. Tapi sehebat apapun takkan bisa menyaingi Da Nei Zhangdu, Munen Dewa-dewa, atau Arashimaru Masayo. Hanya dalam beberapa jurus, tubuhnya ditendang Jiaming hingga terbentur ke dinding. Dentuman senjata menggema, sosok itu seketika berubah menjadi saringan darah yang berlubang-lubang.
"Kau juga bukan......"
Dengan bosan melemparkan senapan serbu, suara-suara samar mulai terdengar. Sampai di ujung koridor melongok ke luar, beberapa mobil hitam perlahan menyala di hamparan rumput. Sebuah sosok dikepung agen-agen masuk tergopoh-gopoh ke dalam mobil. Di balik jendela, kepalanya miring sedikit menampakkan senyum: "Itulah dirimu......"
Pada detik berikutnya, dia langsung menerobos keluar dari jendela lantai dua.
“Darah bermekaran, orang terus terjatuh. Empat mobil berusaha melaju secepat mungkin keluar dari pintu gerbang villa. Saat itu, satu mobil polisi yang sebelumnya mengejar di belakang Jiaming baru tiba di depan villa. Dua polisi baru turun, mendengar dentuman senjata yang tak henti, terdiam di tepi jalan. Keempat mobil sudah melintas dengan kencang. Polisi di sebelah kiri mobil polisi buru-buru menghindar. Mobil ketiga berpapasan dengan mobil polisi, "Sreeek!" menyisakan percikan api besar.
Di saat yang sama, mereka melihat seorang pemuda bersenjata mengejar keluar dari gerbang villa, wajahnya masih tersenyum, mengandung ironi yang dingin menusuk.
Menghadapi situasi seperti ini, biasanya harus menarik senjata untuk menghentikan. Tapi kedua polisi sama-sama tak bisa merespon. Mereka menyaksikan pemuda itu langsung berlari ke sebuah Santana di tepi jalan, membuka pintu mobil. Polisi di sebelah kanan mobil polisi sudah menarik pistolnya, baru terangkat setengah, belum sempat berteriak, tiba-tiba dia menyimpan kembali pistolnya. Mulutnya menganga, keringat dingin membasahi wajah, jantung berdegup kencang seperti genderang perang.
Di depan matanya, pemuda itu seolah mengabaikan keberadaan polisi, langsung mengeluarkan sebuah roket.
"Yaa—Huu—"
## Bagian Keempat Ratus Enam Kembang Api Kota
"Yaa—Huu—"
Di bawah pandangan kedua polisi, roket itu meluncur dengan suara menderu. Cahaya api merah menyala tiba-tiba menyambar di samping mobil polisi, menerjang iring-iringan mobil yang sedang ngebut menikung di sudut jalanan.
Dalam suara ledakan Braak, gelombang kejut bergejolak menerjang. Mobil paling belakang langsung terbalik oleh tembakan roket, api ledakan menjulang setinggi lebih dari dua zhang. Tiga mobil lainnya melintas terhuyung-huyung melewati tikungan itu. Salah satu mobil gagal berbelok tepat waktu, menubruk dinding sebuah villa di sebelah. Mobil itu tak juga berbalik arah, terbirit-birit menerobos taman mereka menuju sisi lain. Beberapa saat kemudian, terdengar lagi suara mobil menabrak dinding dari kejauhan, mungkin telah menubruk jalan raya dari sisi seberang.
Api membakar hebat, manusia di dalamnya seharusnya juga sudah meledak, saat ini sedang terbakar menjadi debu. Jiaming meletakkan roket, berdiri di sana memandangi kekacauan ini dalam diam. Polisi yang membawa senjata menatapnya dengan hampa, sementara yang bersembunyi di belakang mobil polisi melirik lubang di dinding belakang, lalu menatap Jiaming yang memegang roket di sini. Melihat pemandangan mengerikan ini, mereka yang membawa senjata berat yang hanya pernah ditembakkan dalam film, dengan senjata Tipe 64 di pinggang tanpa peluru cadangan, sama sekali tidak berani melakukan operasi sembarangan.
Maka bertiga pun tetap berdiri seperti itu.
Sampai suara mobil mewah itu berusaha lari dari sisi lain villa manusia terdengar, Jiaming menyeringai: "Mobil impor..." Langsung melemparkan roket ke jok belakang Santana, memandangi dua polisi, lalu berbalik badan naik ke mobil.
"Duduk di kursi pengemudi, Jiaming melihat Dongfang Wan sedang bersembunyi di samping ban sebelah sini, pandangannya sedikit berkedip saat meliriknya, baru kemudian seperti tersadar dari mimpi dan mundur ke pinggir jalan. Jiaming memandanginya beberapa saat, lalu mendorong pintu mobil: 'Mau nebeng?'"
"'Ah... itu... tidak, lebih baik... tidak usah...'"
"Mungkin tiba-tiba menganggap Jiaming sebagai sosok menyeramkan seperti Mowang, Dongfang Wan mengayunkan tangan. Ekspresinya saat itu sangat kompleks. Jiaming memandanginya, akhirnya tersenyum: 'Selamat tinggal...' Terpengaruh senyum dan perpisahan itu, ekspresi Dongfang Wan perlahan tenang: 'Eh...'"
"'Terima kasih sudah terus mengundangku main.'"
"Dengan senyuman, Jiaming menutup pintu mobil dan melambaikan tangan. Mobil kecil itu menyala, berbelok tajam, lalu gaspol menerobos kobaran api, akhirnya menghilang di sudut jalan."
"Seolah dicekam emosi tak terdefinisi, Dongfang Wan berdiri mematung, menyaksikan mobil itu menjauh. Mengingat senyuman dan perpisahan tadi, biji matanya mulai lembap. Tiba-tiba ia merasakan: mungkin dalam waktu yang sangat lama, mereka mustahil bertemu lagi..."
Dua mobil melaju di jalan utama kota, kemudian bergabung dengan satu mobil lain yang muncul dari sisi seberang. Ying Zifeng duduk di jok belakang mobil tengah, melihat kendaraan di sekitar dan pejalan kaki di kedua sisi jalan mulai bertambah. Dikelilingi agen rahasia pelindung tanpa tanda-tanda Gu Jiaming mengejar, barulah hatinya mulai tenang. Di telepon, dia hanya sempat mendengar ayahku dan kakaknya menjelaskan garis besar sebelum dibawa kabur oleh pasukan agen. Dia pun tak paham bagaimana tiba-tiba Gu Jiaming menjadi begitu ganas. Tapi ini wilayah dalam negeri, mana mungkin dia berani menyerbu sekelompok besar agen rahasia terang-terangan di jalanan ramai seperti ini untuk MEMBUNUH.
"Sial! Ini... ini apa-apaan? Aku mau balas dendam! Segera transfer personel, siapa saja boleh! Pastikan tangkap dia... Dia sudah Bunuh begitu banyak orang, tak perlu ditangkap lagi! Ditembak mati di tempat! DITEMBAK MATI DI TEMPAT...!"
Jarinya gemetar di udara, seolah sudah membayangkan suasana Jiaming tertembak. Sebenarnya mengenai urusan Shazhu Bang, khususnya Gu Jiaming, Ying Zilan tahu adiknya memendam ketidaknyamanan. Pernah diingatkan sekali bahwa di balik Jiaming ada latar belakang tertentu yang tak mudah dihadapi, mencegahnya melakukan tindakan gegabah. Nasihat baik ini justru berubah jadi racun di telinga Zifeng yang sejak kecil telah memendam kecemburuan pada kakak yang selalu mencuri perhatian. Setiap percakapan selalu diselingi sindiran pedas atau dipotong di tengah jalan, membuat semua peringatan Zilan terasa seperti pandangan rendah dan penghinaan.
Kau Ying Zilang sekarang adalah penerus keluarga Ying, siapa di seluruh negeri yang tidak menghormatimu? Sedangkan aku, hanya karena seseorang memiliki latar belakang kecil, kau berani memperingatiku di sini! Kemarahanmu kemudian karena masalah Shasha bahkan sampai melakukan balas dendam, mungkin efek sebaliknya dari nasihat ini juga berperan besar.
Jarinya bergerak di udara, mengutuk dan bersumpah lama, baru sadar dari ketakutan: "Telepon mana, telepon mana... Teleponku, tadi telepon ada di mana? Cepat ambilkan telepon, siapa yang punya telepon!"
Merebut telepon dari seorang agen dengan garang, jemarinya menekan nomor. Tiba-tiba agen di sampingnya menoleh ke belakang. Di persimpangan jalan jauh, Santana hitam melesat keluar dari arus lalu lintas kacau dengan drift kecepatan tinggi. Ban bergesekan dengan aspal, menimbulkan debu dan asap hijau. Mobil itu menyelip di antara kendaraan, mengejar dengan cepat. Telepon Ying Zifeng jatuh di kursi, dia segera mengambil dan memutar nomor, berteriak ke depan: "Cepat pergi! Orang gila ini... Orang gila ini... Angkat telepon sana!"
Belum waktunya pulang kerja, jalanan kota ini terlihat luas lagi, sehingga jarang terjadi kemacetan. Tapi bagaimanapun, ngebut di jalan utama kota yang selalu ramai kendaraan tetap membutuhkan keahlian teknis. Untungnya kemampuan para agen rahasia ini cukup mumpuni. Tiga mobil kecil melesat cepat sambil oleng kiri-kanan, Ying Zifeng dengan susah payang berhasil menelepon beberapa kali. Ajaibnya, dari belakang Jiaming tidak bisa mengejar terlalu dekat. Selain menghubungi para manajer departemen keamanan termasuk kantor polisi yang dikenalnya, dia juga menelepon satu per satu bos-bos lain di Kota Jianghai yang pernah dapat untung darinya - intinya meminta mereka segera kumpulkan semua anak buah untuk berantem. Para bos itu menyahut "No problem!" penuh semangat lalu setuju.
Mengetahui banyak polisi sedang menuju ke lokasi, hati Ying Zifeng agak tenang. Empat mobil terus kejar-kejaran, menerobos sebuah persimpangan jalan di depan. Sekitar satu menit lebih kemudian, di depan persimpangan berikutnya yang mereka hadapi... lampu merah.
Arus lalu lintas yang melintang bagai tembok raksasa menghadang tiga mobil Ying Zifeng. Sementara beberapa mobil polisi dari sebuah kantor cabang ternyata sudah parkir di seberang persimpangan. Jarak ke persimpangan semakin dekat, tapi hitungan lampu merah masih sekitar dua puluh detik. Para agen dalam mobil setelah diskusi singkat memutuskan: "Darah penghabisan!"
Mobil sedan pertama memperlambat kecepatan, tiba-tiba membelok tajam. Dua mobil di belakangnya mulai bersiap berputar. Saat pintu mobil terbuka tiba-tiba, dari jendela mobil kecil yang melaju kencang di arus lalu lintas muncul sebuah tangan. Prak! Peluru ternyata berhasil melesat tepat di samping pintu mobil yang terbuka lebar dalam kondisi kecepatan tinggi ini, menyemburkan kobaran api sekali, dua kali, tiga kali... Penumpang di dalam mobil panik dan segera menarik pintu kembali.
Di samping Santana, seorang pengemudi mobil yang sejajar dengan Jiaming mendengar suara samar. Ia melirik ke samping dengan santai, lalu melirik lagi, dan sekali lagi. Braak! Suara rem mendadak. Mobil itu tiba-tiba membelok tajam, menerobos pagar pembatas dan meluncur ke trotoar.
Bersamaan, arus lalu lintas di persimpangan tiba-tiba terputus. Polisi bereaksi cepat, berhasil memberi perintah ke ruang kendali untuk mengubah kedua lampu lalu lintas langsung ke merah. Meski perubahan lampu hijau ke merah sempat menimbulkan kepanikan sesaat, persimpangan berhasil dikosongkan. Namun ketiga mobil yang sudah melambat ini tak mungkin lagi menerobos. Saat mobil polisi di seberang persimpangan hendak bergerak, dari dalam Santana, Jiaming menembakkan senjatanya menghancurkan kaca depan. Kobaran api merah roket melesat ke depan dengan suara Braak!
Pilar cahaya itu menerobos celah-celah kekacauan lalu lintas. Seketika, ia menembus garis kuning pemberhentian, melintasi zebra cross, menyusup ke persimpangan yang menjadi pusat perhatian semua kendaraan, lalu... Braak! Meledak dahsyat di tiang lalu lintas di tengah taman bunga kecil itu.
Ini adalah pilar besi berongga dengan diameter melebihi satu meter, berdiri megah di pusat persimpangan jalan setinggi lebih dari 20 meter. Di bagian atas terdapat lampu lalu lintas merah-hijau, dengan kabel listrik yang memanjang dari segala penjuru. Puncaknya dipasang rangka baja yang menyangga dua papan iklan raksasa: satu sisi menampilkan Saudara Haier yang hanya memakai celana dalam untuk promosi peralatan elektronik, sisi lain menampilkan si cantik seksi yang memakai bra tambahan untuk promosi program pelangsingan.
Ledakan menarik perhatian semua orang di sekitar persimpangan jalan ini. Kemudian, disertai bunyi "creek" beberapa kali, struktur itu seperti raket raksasa mulai roboh ke samping sambil menarik kabel listrik dari segala penjuru.
Di sudut jalan, kerumunan orang menjerit melihat struktur raksasa itu ambruk ke arah gedung perkantoran, lalu mulai kabur dengan panik.
Ying Zifeng terdiam membeku: "Gila... Dia sudah gila..." Duduk di mobil kedua dengan kendaraan lain menghalangi di belakangnya, tembakan roket tidak mengenai dirinya. Tapi tak disangka, dia berani melakukan hal di depan mata ini di pusat kota yang makmur.
Suara blub-blub-byur, kabel listrik itu tertarik hingga terikat kencang. Beberapa kabel tipis mulai putus bergantian, memancarkan kilat api biru di udara. Bagian kabel yang tertarik merobek struktur yang tertanam di dinding gedung seberang jalan, memuntir paku keling, besi, dan rangka logam dengan suara byur-byur-byur dari beton, bagaikan ular yang mengalah mulai berguling-guling di jalanan sambil berjalan satu inci demi satu inci, menyemburkan debu secara bertubi. Orang-orang di bawah berhamburan menghindar, sementara lebih banyak lagi yang terdiam menyaksikan adegan spektakuler layar lebar Hollywood ini.
Kemudian, lampu lalu lintas di tiang itu meledak, menghujani langit dengan kembang api.
Papan iklan raksasa dengan suara Braak menempel di gedung di sudut jalan. Di tengah ledakan dahsyat ciut yang memekakkan, dinding kaca luar yang halus dan megah mulai melepaskan, tak terhitung fragmen seperti sisik ikan yang dicukur pisau, terus mengelupas ke arah jalanan...
Ying Zifeng menoleh, hati dipenuhi ketakutan dan keputusasaan tak terkatakan yang bahkan seratus kali lipat lebih hebat dari serangan tiba-tiba di villa tadi. Sekejap itu, tiba-tiba ia mengerti betapa mengerikannya situasi di depan matanya. Mobil Santana hitam melesat menembus arus lalu lintas, belok tajam tanpa sedikit pun memperlambat kecepatan, langsung menubruk ke arahnya...
Hampir bisa ia melihat tatapan penuh keteguhan dan dingin menusuk dari pengemudi di dalam mobil itu...
## Bagian Empat Ratus Tujuh Xiaoqiang Lari Cepat
Dalam ledakan dahsyat yang diselingi gesekan nyaring, papan iklan meninggalkan retakan besar di dinding gedung, kabel yang tegang mengeluarkan suara keras, salah satunya putus dengan Byur, melayang di Langit. Kaca dinding, dekorasi, berbagai benda berhamburan seperti hujan, jatuh dengan Braak. Papan iklan besar yang sebelumnya tergantung di dinding gedung terdorong keluar, sebagian besar putus, hanya tersisa satu pilar baja yang bergoyang-goyang di udara, akhirnya jatuh menghancurkan atap mobil yang parkir di pinggir jalan, kemudian menutupi seluruh trotoar, membubungkan debu pekat yang memenuhi seluruh persimpangan.
Santana hitam menderu datang!
"Sial!"
Di mobil kecil yang ditumpangi Ying Zifeng, sopir itu melihat aura serangan lawan, langsung mengutuk sambil menginjak gas sepenuhnya, memutar kemudi dengan gila. Braak! Haluan Santana akhirnya menabrak ekor mobil kecil. Daya hantam dahsyat membuat mobil kecil berputar seperti gasing 3-4 putaran, sementara Santana kehilangan kendali, ekornya menyapu dan menghantam haluan mobil ketiga, lalu bodinya menabrak pagar sementara di pinggir jalan sebelum terlempar ke trotoar dan menabrak dua mobil yang sudah berhenti.
"Plakat baja besar menggores luka dalam berbentuk busur di tubuh gedung sudut jalan, terhalang tepi pusat perbelanjaan lantai satu. Setelah jeda sejenak, akhirnya jatuh dengan getaran dahsyat yang mengguncang semua orang, menghancurkan beberapa mobil. Kerumunan orang berlarian tercerai-berai, kabel-kabel bergelantungan seperti kucing yang terjerat benang mainannya sendiri, atau Godzilla yang terbelit kabel baja jembatan."
"Gedung kehilangan dinding luarnya. Orang-orang di studio lantai atas atau gedung perkantoran terlihat panik di tepian. Kertas putih beterbangan ditiup angin kencang dari dalam gedung, bagai menara yang diterjang tornado dalam film 'The Day After Tomorrow'..."
"Seluruh situasi baru tenang sejenak. Mobil melintang di depan tidak terpengaruh benturan sebelumnya. Beberapa agen rahasia langsung membuka pintu mobil dan berlari turun. Di tengah keramaian kota, mereka mulai menembaki Santana yang menabrak trotoar. Salah satu mengeluarkan granat tangan dari pangkuan, belum sempat menarik ringnya. Sebuah benda melintas di udara dan mendarap tepat di dalam pintu mobil yang terbuka."
"Itu juga sebuah granat tangan."
"Berpencar——"
"Teriakan bergema. Beberapa orang berlari ke arah berbeda. Ledakan api menyembur dari mobil, mengubah sedan antipeluru menjadi bola api di tengah jalan."
"Dua pucuk pistol muncul dari belakang Santana, larasnya menyemburkan lidah api."
Seorang agen yang salah arah berlari dan tidak bersembunyi di balik mobil lain tertembak di dada, terlempar ke udara akibat gelombang kejut ledakan. Orang lain yang bersembunyi di balik mobil hanya menyembulkan sebagian senapan mesin, saat peluru melintas, senapan serbu itu terpental jauh. Tak lama kemudian, seseorang yang baru saja mengangkat senjata dan mengintip langsung tertembak tangannya yang memegang senjata hingga berdarah-darah.
Tekanan perhatian. Dengan kondisi Jiaming saat ini, bahkan Yoritomo Taku dalam keadaan terkuatnya sekalipun mungkin harus mengakui kekalahan.
Mobil Ying Zifeng berhenti berputar, sekelompok orang pusing-pusing akibat guncangan. Pelipis Ying Zifeng menghantam kaca antipeluru dengan keras, darah mengalir dari kepalanya sebelum akhirnya diseret keluar dari mobil. Mobil ini memang antipeluru tapi tak tahan ledakan. Sekarang tanpa kecepatan, sementara lawan memiliki granat tangan dan roket, tentu harus kabur sebelum mereka menggunakan senjata itu.
Orang-orang dari tiga mobil melindungi Ying Zifeng sambil berlari menuju supermarket besar di seberang dengan memanfaatkan mobil sebagai perisai. Ying Zifeng melihat beberapa mobil polisi mendekat dan hendak mengusulkan bergabung. Tapi Ketua Kelompok Operasi hanya melirik: "Orangnya terlalu sedikit, tidak bisa menghentikan." Lalu menariknya untuk terus berlari.
Sambil berlari, melemparkan beberapa granat tangan ke arah Jiaming, bahkan juga meledakkan dua mobilnya sendiri untuk mengganggu pandangan mereka dengan api. Menerobos masuk ke supermarket, di jalan sudah tergeletak empat agen rahasia. Jiaming menatap bayangan orang-orang yang kabur, membawa senjata, menyusuri zebra cross sambil bergumam: "Lari... lari... lari... Lihat bisa lari ke mana..." Mendengar sirene polisi mendekat, dia mengangkat tangan. Kaca depan mobil polisi terdepan tiba-tiba berubah menjadi layar statik, darah menyembur dari kursi pengemudi. Byur! Mobil yang kehilangan kendali menabrak tiang besi di sisi jalan. Mobil berikutnya, yang di belakang tak sempat menghindar, Braak! Terjadi tabrakan beruntun. Yang lebih belakang lagi sudah tak berani mendekat.
Di waktu yang sama, di jalan tak terlalu jauh dari sana, Fang Zhitian duduk di limusinnya bersama Dongfang Lu dan dua orang lain. Mereka menyaksikan gambaran di TV mobil. Serangkaian kejadian di persimpangan jalan itu terekam seperti siaran langsung. Beruntungnya, salah satu anggota tim Ye Lian kebetulan berada di dekat lokasi, sehingga merekam dan mengirimkan segalanya.
"Ya Tuhan..."
Papan iklan raksasa yang ambruk, gedung yang mengelupas, pejalan kaki yang berlarian, mobil yang hancur tertimpa, di lokasi ledakan, pemandangan darah dan MATI yang bercampur. Meski sudah tahu sebelumnya bahwa Jiaming dan Jian Suyan sebenarnya adalah entitas yang sama, mungkin juga pernah menduga tingkat kekuatan Jiaming, tapi saat ini tetap sulit menyembunyikan getar ketakutan di hati. Bagaimanapun dia berusaha memikirkannya, tak terbayangkan Jiaming bisa membawa hal ini sampai ke tingkat seperti ini.
"Tak disangka dia akan melakukan sampai buah ini... Dia sengaja memperbesar masalah, sudah tidak peduli lagi..."
Fang Zhitian bergumam, berhenti sejenak, mengerutkan alis dalam-dalam, menggigit gigi dengan keras: "Sekarang aku benar-benar ingin membunuh Ying Zifeng dengan tanganku sendiri..."
Dongfang Lu menoleh memandangnya: "Paman Fang?"
Fang Zhitian menarik napas dalam, menggelengkan kepala: "Setelah kejadian dengan Pei Luo Jia itu, bagaimanapun pihak yang bersangkutan berpikir, orang luar pasti akan menganggap Gu Jiaming atau Jian Suyan sebagai bagian dari kita. Ini sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai deterensi. Tapi setelah masalah ini membesar, semua orang akan tahu kita sudah putus hubungan... Ying Zifeng... Aku juga agak keliru dalam hal ini. Dia biasanya selalu punya presisi, kenapa tiba-tiba marah sebesar ini..."
Ada beberapa hal yang tidak diungkapkan oleh Fang Zhitian, namun Dongfang Lu juga memahami dengan jelas dalam hatinya bahwa situasi internal [] sangat kompleks. Saat ini, faksi Fang dan Ying terus bersaing, meski sebelumnya konflik ini ditekan ke titik terendah akibat tekanan dari Pei Luo Jia. Namun dengan kematian mendadak Morikami Kura - meski berita kematian ini belum 100% terkonfirmasi - setelah ancaman eksternal hilang, persiapan untuk persaingan internal harus dilakukan. Bagaimanapun, di saat seperti ini ketika tiba-tiba ditemukan bahwa Ying Zifeng mungkin melakukan kesalahan yang berpotensi memancing kemarahan Gu Jiaming, secara alami hal ini akan membuatnya mempertimbangkan implikasi terhadap dirinya sendiri.
Bagaimanapun, ini merupakan kesempatan baik untuk mengancam Ying Haisheng.
Jika masih dalam masa perang dengan Pei Luo Jia, untuk mencegah pemborosan energi internal, Fang Zhitian pasti akan langsung berdiskusi dengan Ying Haisheng begitu menerima kabar, lalu menghentikan operasi Ying Zifeng. Dengan menyelesaikan masalah secara top-down sekaligus, meski Jiaming marah saat kembali, karena kejadiannya sudah berlalu, hal ini lebih mudah dijelaskan. Atau memberi Shazhu Bang beberapa manfaat berturut-turut juga tidak masalah - biarkan mereka marah, yang penting manfaatnya sudah diterima. Jika berada di posisinya, tentu akan bertindak sama. Pada dasarnya tidak ada yang salah.
Masalahnya, tidak ada yang tahu peristiwa apa yang membuat karakter Jiaming tiba-tiba menjadi begitu destruktif seperti gudang mesiu yang siap meledak. Sebelum sempat bereaksi, ledakan kekerasan yang sama sekali tak terduga oleh siapapun tiba-tiba terjadi.
Beberapa hal tidak sesederhana itu. Bagi [], Ying Haisheng saat ini justru belum boleh MATI. Dia bisa MATI dalam perjuangan politik melawan Fang Zhitian, namun sama sekali tidak boleh MATI karena dibunuh. Jika tidak, fondasi [] pasti akan terdampak. Bagi keluarga Ying yang memiliki sistem akar kuat di dalam [], ini bukan sekadar masalah pohon tumbang dan kera punah. Berbagai koneksi politik saling bertautan. Begitu dia MATI secara tidak normal, berikutnya pasti akan terjadi gesekan internal skala besar. Meski Fang Zhitian juga akan menggunakan berbagai cara dalam pertarungan semacam ini, dia tidak bisa membiarkan [] kehilangan energi. Inilah alasan Kemarahan dan penyesalannya.
"Jangan biarkan pasukan Cui Guohua dan Ye Lian ikut bertempur. Segera berangkat ke sana."
Setelah berpikir sejenak, Fang Zhitian berkata.
"Tapi keluarga Ying juga punya kekuatan sendiri. Mereka sekarang sudah dalam perjalanan ke sini, ditambah polisi dan pasukan polisi yang sedang mendekat. Ying Zifeng sepertinya juga menelepon teman-temannya dari geng kriminal. Dalam situasi seperti ini, jika tidak ikut campur, jumlah korban mungkin akan terus bertambah. Khawatirnya ini akan berkembang sampai tak bisa diurus..." kata seseorang di samping.
Fang Zhitian memalingkan kepala, menatap persimpangan jalan yang berantakan di TV: "Dengan ikut campur kita bisa mengurus? Lihatlah situasi sekarang - bagaimana mungkin diurus? Kota Jianghai... dibandingkan basis Pei Luo Jia bagaimana? Dia sendiri menyerbu masuk, hanya dalam beberapa hari sudah kembali gesit dan penuh semangat. Ying Zifeng tidak tahu siapa yang dia hadapi, tapi kita harus paham... Meski tidak mengerti kenapa dia bisa sehebat ini..."
Dia bergumam sejenak, menghela napas: "Kami sekarang tidak berani ikut campur. Begitu kedua pihak bertumpah darah, benar-benar tak ada ruang untuk berdiplomasi. Mari amati dulu. Aku belum paham betul apa yang dia inginkan. Kesempatan menjadi penengah paling hanya sekali. Harus dipastikan dulu, baru mungkin berdialog. Jika Ying Zifeng tewas dibunuh sebelum itu, ya sudah nasibnya..."
Dentuman senjata menggema di dalam supermarket.
Alarm meraung, para pembeli yang tak terhitung berteriak ketakutan sambil berlarian. Mengikuti Jiaming yang masuk ke supermarket, beberapa polisi juga menyusul masuk. Sambil mengarahkan pengunjung untuk evakuasi, mereka memanggil markas besar untuk dukungan. Faktanya, bantuan dari markas besar sudah dalam perjalanan. Hanya saja Kota Jianghai cukup luas, pasukan ini perlu waktu untuk tiba.
Supermarket yang luas itu terasa lengang setelah dievakuasi. Di lantai dua sesekali terdengar suara tembakan, juga jeritan pelanggan yang belum sempat kabur dan hanya bersembunyi di sudut-sudut.
Di ruang kosong yang dipenuhi bayangan, Jiaming berjalan di antara rak-rak barang. Tangan kiri menggenggam senjata yang menempel di paha, tangan kanan mengelus produk di rak. Supermarket ini pernah dikunjunginya bersama Lingjing dan Shasha. Di dekat rak depan sana, mereka pernah memilih celengan.
Sebuah sosok muncul diam-diam di samping belakang. Jiaming mengangkat tangan. Senjata di tangan orang itu terlempar Byur! Kepalanya meledak, seluruh tubuhnya terpental. Setelah melihat sekilas, ini salah satu anak buah Ying Zifeng. Mungkin sengaja memancing untuk mengalihkan perhatiannya.
"Petak umpet..."
Bergumam sambil mengangguk, mata dipenuhi urat darah merah, memancarkan aura merah segar yang aneh. Jiaming mengusap dahinya yang urat-uratnya menonjol, di depannya adalah area buah-buahan. Ia mengambil sebuah apel dan menggigitnya, mengunyah beberapa kali lalu melemparkannya ke samping. Setelah berjalan beberapa langkah, ia merobek pisang dan memakannya dalam dua tiga gigitan, lalu melemparkan kulit pisang itu.
Pada saat yang sama, seorang polisi tiba-tiba berlari keluar dari balik rak barang sambil mengangkat senjata dan menarik picu.
Byur——
Ciut——
Dua suara nyaris bersamaan. Peluru menyambar rambut Jiaming. Langkah polisi itu tepat menginjak kulit pisang yang dibuang Jiaming, langsung kehilangan keseimbangan. Sebelum sempat jatuh, tubuhnya sudah ditendang jauh oleh Jiaming.
Bersamaan itu, suara berdengung halus datang dari lift barang di depan. Jiaming memiringkan kepala beberapa saat, lalu berbalik badan menuruni tangga.
Setengah menit sebelumnya, di kantor lantai tiga, Ying Zifeng berbisik-bisik di telepon.
"Halo, kalian... sampai? Benar benar, kami di Supermarket Chengming. Kalian di... area pintu belakang..."
Telepon itu berasal dari bos terdekat yang sedang mengurusi urusan Putra kedua keluarga Ying. Dengan sigap ia mengerahkan semua anggotanya, membawa senjata menuju arah yang ditentukan. Jalanan di belakang terhalang deretan bangunan besar. Meski melihat kekacauan di sana, kini itu bukan prioritas. Untuk memastikan lokasi pasti, ia menelepon kembali tepat saat sampai di belakang supermarket.
“Di dalam supermarket, kalian cepat masuk! Orang itu pakai kemeja putih, celana panjang hitam, rambut botak. Nggak banyak orang di sini, pasti langsung kelihatan. Dia mau bunuh aku. Kalian ledakkan saja tempat ini, tanggung jawab aku……”
Usai bicara, dia tiba-tiba Tewas di telepon. Bersama beberapa orang, naik lift barang turun ke lantai satu. Yang penting bisa mengulur waktu, berapa pun itu. Asal pasukan bantuan bisa sampai, semuanya akan beres……
Turun lewat lift ke lantai satu, masuk gudang yang remang-remang. Jiaming bergegas ke pintu belakang. Tiba-tiba pintu gerbang dibuka paksa. 30-40 pria garang berhamburan masuk. Si bos depan mengamati Jiaming: “Kemeja putih, celana hitam…” Tangannya melambai, keroyokan blek blek blek mengeluarkan senjata – parang berkilauan. “Tebas MATI!”
Jiaming memiringkan kepala mengamati kerumunan ini. Mengedipkan matanya, bibirnya berkedut halus.
10 meter…8 meter…6 meter,5 meter. Jiaming mengangkat tangan dingin. Byur! Peluru menghantam orang paling galak di depan, terlempar ke belakang.
Mengejar ke belakang supermarket, suara Ying Zifeng yang dijaga para agen rahasia menghilang di tikungan jalan. Jiaming memburu, di seberang ada pasar sayur besar. Baru melangkah ke tikungan, firasat bahaya menyergap. Langkah mundur, nangk! Peluru runduk meledakkan debu di sudut tembok.
Tim agen rahasia keluarga Ying menerima perintah darurat. Sniper ini yang pertama tiba. Setelah berkoordinasi dengan beberapa agen di sekitar Ying Zifeng melalui komunikator, dia menghadang Jiaming dari atas gedung tujuh lantai di seberang jalan.
Hampir tanpa ragu, di bawah terik matahari, Jiaming langsung menerjang. Sniper di atas gedung dengan cepat menyesuaikan posisi, membidik Jiaming di tengah kaca pembidik. Saat jarinya hendak menarik pelatuk, laras pistol Jiaming sudah mengarah ke atas gedung. Kilatan cahaya menyambar tiba-tiba di depan mata sniper. Byur! Tepi beton di sampingnya meledak. Refleks, dia berputar dan menjatuhkan diri ke dalam tepi bangunan, napas tersengal: "Bercanda macam apa ini..."
Pecahan beton melukai wajahnya. Di jarak segitu, orang itu ternyata bisa membuat efek senapan runduk hanya dengan pistol! Di tangan satunya... sebuah cermin? Ini terlalu menggelikan...
Meski akurasinya masih ada kesalahan kecil, tapi basically sudah hampir sempurna.
Pasar sayur dalam kekacauan. Ying Zifeng ditopang berjalan di kerumunan yang padat. Darah masih mengalir dari dahinya. Dengan panik dia berteriak: "Mereka di mana? Di mana tim penyelamat? Orang gila itu hampir menyusul!"
"Lewat pasar, mereka ada di sana!"
"Apa masih belum berangkat?!" Teriak Ying Zifeng sambil mendorong pejalan kaki di depannya, berlari pincang.
Gudang lantai satu supermarket.
Para polisi yang selamat datang dengan ciut sambil membawa senjata, kemudian semua membeku di tempat. Di depan mata mereka terhampar lebih dari tiga puluh mayat yang tersebar di seluruh gudang. Terlihat jelas mereka bukan orang baik-baik, belati penggal yang berkilauan berhamburan di lantai...
Setelah dua kali bentrok berturut-turut, Jiaming menghindari tembakan sniper lawan dan membalas tembakan. Dengan kecepatan luar biasa ia menyebrangi jalan, kemudian langsung menerobos masuk ke pintu gerbang gedung itu.
"Sial!"
Perasaan tidak enak menggelora di hatinya. Sang sniper hampir bisa merasakan langkah dewa kematian yang semakin mendekat. Dengan tali yang sudah terikat di badan, ia langsung melompat keluar dari atap gedung.
Di posisi lantai enam ia menendang dinding, berayun keluar sambil cepat-cepat mengulur tali. Saat mencapai posisi lantai empat, ia menendang lagi sambil terus mengulur tali. Ketika tubuhnya melayang melewati jendela lantai tiga, tiba-tiba pupil matanya menangkap bayangan yang membesar secara tiba-tiba.
Byur——
Jiaming yang menerobos ke lantai tiga menghancurkan jendela, langsung menerjang ke arahnya. Dua bayangan bersilangan di udara sekejap, kemudian kilatan pisau menyambar. Talinya putus, kedua tubuh terjatuh ke atap kecil di atas lantai satu. Satu detik kemudian, Jiaming berdiri sambil mengeluarkan belati berlumuran darah. Ia berlari menyusuri atap semen panjang menuju arah pasar, lalu melompat ke udara dan langsung mendarat di kanopi pasar. Di sambungan kanopi depan, ia melompat ke kerumunan orang di bawah.
Seorang penjual daging sedang memotong daging, pisau baru terangkat, tiba-tiba sebuah bayangan jatuh dari atas ke talamannya. Hatinya terkejut, namun tangannya sudah tak bisa ditarik kembali. Byur! Pisau itu menghunjam ke bawah, bayangan itu telah muncul di tengah kerumunan orang tiga meter jauhnya, menghilang dengan cepat dari jarak pandangnya.
Sebuah taksi berhenti di tepi pasar, beberapa orang melindungi Ying Zifeng yang berlari masuk. Ketua Kelompok Operasi bertanya: "Yang lain di mana?"
Sopir menginjak gas: "Belum sampai, urusannya darurat! Aku merebut mobil ini, pergi dulu baru bicara!"
Mobil perlahan mulai bergerak maju. Ying Zifeng melepas kegelisahannya, berbaring lemas di kursi. Tiba-tiba, sosok manusia melesat dari belakang tiang pasar di samping depan, melangkahi sebuah stan dan melompat ke udara.
Cahaya matahari yang menyilaukan menyinari ke bawah, kemudian tertutupi oleh bayangan hitam.
Braak——
Bagai ledakan petir yang dahsyat, orang itu menggunakan momentum udara untuk melepaskan pukulan sederhana. Pukulan ini menghantam pintu samping taksi. Seketika, kaca depan dan belakang serta kaca jendela mobil hancur menjadi serpihan-serpihan yang beterbangan dalam ledakan hebat.
Seluruh mobil berguncang hebat seolah hendak terbang...
"Kau... masih bisa lari?"
## Bagian Empat Ratus Delapan Kota yang Terluka Berdarah
"Kau... masih bisa lari?"
Pukulan sederhana itu menimbulkan daya hantam yang luar biasa besar. Pintu mobil di sisi itu ambles dengan suara byur, seluruh kendaraan seolah dipukul palu besi seberat beberapa ton. Dentuman dahsyat menggetarkan, mobil terpental ke samping. Seluruh kaca hancur berantakan menjadi serpihan yang beterbangan, menghujani tubuh setiap orang. Saat Jiaming berbaring di jendela mobil yang compang-camping sambil menyunggingkan senyuman ke arah dalam dan mengucapkan kalimat itu, Ying Zifeng hanya bisa menatap bayangan itu dengan gigi gemertak dan tubuh gemetar tak terkendali.
Meski dia tahu ada manusia yang bisa mencapai batas kekuatan hingga mampu menciptakan efek serupa, tapi pasti takkan sehebat hantaman petir yang terjadi di depan matanya ini. Ying Zifeng nyaris terlempar nyawanya. Beberapa orang di sampingnya yang sempat terdiam kaget segera bereaksi, mengarahkan laras senjata ke arah Jiaming. Tepat sebelum itu, tangan Jiaming yang memegang senjata sudah tiba-tiba menyodok masuk dari balik jendela, menekan kepala dua orang di sebelahnya.
Byur——
Darah memercik memenuhi gerbong.
Dalam jarak dekat，daya rusak pistol besar yang telah dimodifikasi di tangan Jiaming mencapai puncaknya. Dua kepala manusia bahkan bahunya meledak berkeping-keping，daging dan darah menyergap orang di sekitarnya hingga penuh di wajah dan kepala. Hampir separuh tubuh Ying Zifeng dipenuhi darah segar dan remukan daging. Saat ini ia hanya terduduk mematung menatap laras senjata Jiaming，giginya gemertak. Tangan kirinya menepuk-nepuk tubuhnya berkali-kali，kemerahan darah menempel di telapak tangannya yang tak kunjung hilang，sepertinya ia mulai kehilangan akal.
Ratusan orang di pintu keluar pasar terduduk mematung menyaksikan adegan ini. Entah sejak kapan，suasana telah senyap bak malam hari.
Sesaat kemudian，peluru menggesek tanah menyemburkan percikan api. Di jalan yang lebih jauh，dua puluh lebih mobil polisi berbelok di sudut jalan dengan gelombang opini publik yang dahsyat，melaju ke arah sini. Seorang sniper menjulurkan tubuhnya di atap mobil，membidik ke arah ini. Jiaming menunduk，sebutir peluru meraung melewati atas kepalanya. Dua pistolnya tetap mengarah ke Ying Zifeng dalam gerbong，sementara dua agen rahasia yang selamat tak berani bergerak.
"Lari cepat-cepat ngapain，aku dari tadi pengen ngomong sama kamu..."
Jiaming mengetuk-ketuk kepala Ying Zifeng dengan pistolnya，kemudian senyumnya menghilang："Kau punya sepuluh menit untuk menjelaskan urusan terakhir."
Usai berkata demikian，ia mundur dua langkah lalu berbalik menerobos kerumunan orang yang kacau di pasar sayur. Dalam sekejap，ia menghilang tanpa jejak. Dalam hiruk-pikuk orang yang berlarian，dua puluh lebih mobil polisi akhirnya mendekati taksi berlumuran darah itu.
Di layar TV mobil menyaksikan adegan ini, Fang Zhitian menutup matanya dengan agak sakit kepala, lalu menghela napas panjang: "Syukurlah... Dia ingin bernegosiasi..."
Seorang yang duduk di sebelahnya selesai berbisik dengan pihak sana, mengerutkan alis, lalu mendekat: "Mungkin... Sulit dikatakan, yang dia katakan adalah memberi Ying Zifeng sepuluh menit untuk mengurus urusan terakhir, mungkin ingin membuatnya semakin takut. Ying Zifeng... Sekarang sudah hampir kehilangan akal..."
"Eh..." Fang Zhitian tertegun sejenak, "Sepuluh menit... Di mana dia sekarang?"
……
……
Tidak ada yang tahu di mana Jiaming berada.
Ketika 20 lebih mobil polisi tiba, menyeret Ying Zifeng yang setengah linglung dari mobil, dan berdiskusi dengan dua agen rahasia yang tersisa. Segera mengerahkan tenaga kerja lain di belakang untuk melakukan penyelidikan di sekitar, namun tentu saja tidak ada hasil. Sedangkan agen rahasia dari tim Ye Lian yang selama ini mengikuti dari belakang sambil mengirimkan laporan langsung, kini telah sepenuhnya kehilangan jejak target.
Jiaming meninggalkan hitungan mundur sepuluh menit, tak ada yang tahu apa yang akan dilakukannya. Sebagai pihak kepolisian, mereka yakin dengan lebih dari 20 mobil personel bersenjata lengkap bisa tak terkalahkan di kota ini. Tapi pihak agen rahasia tidak sependapat. Namun terlepas dari perbedaan estimasi kekuatan musuh, mereka tetap harus bertindak. Dua pilihan tersedia: mengawal Ying Zifeng ke kantor polisi atau ke markas rahasia agen. Karena agen dari faksi Ying Haisheng sedang dalam perjalanan, mereka memutuskan untuk mengerahkan seluruh kekuatan mengantar Ying Zifeng ke kantor polisi dulu. Jika lawan bisa menghancurkan seluruh kantor polisi sendirian——hmm, pemikiran seperti itu sebenarnya tak ada artinya...
Iring-iringan mobil bergerak megah di jalan raya. Beberapa menit kemudian, bergabung dengan beberapa mobil antipeluru yang dikemudikan agen rahasia. Ying Zifeng yang dipindahkan ke jok belakang mobil itu masih gemetar dengan tubuh berlumuran darah. Baru sekarang dia mulai merespon: "Dia akan datang... Dia pasti datang... Kita di mana sekarang? Jam berapa... Aku tanya jam berapa ini!!"
Merebut jam tangan seorang agen, matanya melotot melihat waktu. Dengan suara gemetar ia bertanya: "Sudah berapa menit? Berapa menit berlalu?" Dari jendela ia memandang keluar dengan panik. Seorang agen di sampingnya berusaha menenangkan: "Tenang, Pak Ying. Semua aman. Lihatlah depan-belakang kita dijaga ketat. Lagipula dia tidak menyerang tadi, berarti sasaran utamanya bukan Bapak. Atau mungkin..."
“Apa maksudnya sudah aman! Apa maksudnya sudah aman! Hah?” Ying Zifeng yang berkemeraht-merahan hampir menjerit histeris, "Bukankah dia datang untuk membunuhku? Bukankah dia datang untuk membunuhku! Kalau bukan aku yang jadi target, apa mungkin kau yang jadi sasaran?! Sekeliling kita semua orang kita... Bagaimana dengan pejalan kaki di pinggir jalan, apakah mereka juga orang kita!?"
Sambil menunjuk-nunjuk pejalan kaki di tepi jalan sambil berteriak, dia terjebak dalam kondisi histeris yang membuat orang lain tak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi dengan kecemasan akan batas waktu sepuluh menit, semua perhatian kini tertuju pada situasi di pinggir jalan. Iring-iringan mobil berbelok di persimpangan berikutnya. Di antara gedung-gedung tinggi, sopir mobil polisi di barisan depan tiba-tiba menunduk memandang langit: "Itu apa..."
Polisi di barisan depan dan belakang serentak mengisi peluru ke senjata mereka. Saat mengangkat pandangan, yang pertama terlihat adalah titik merah muda kecil yang perlahan membesar.
"Kantong plastik kali..."
"Bukan, kayaknya... pesawat..."
"Helikopter kendali jarak jauh..."
Dalam kewaspadaan tinggi, orang-orang di mobil-mobil sepanjang iring-iringan juga menyadari keanehan di atas jalan. Satu, dua, tiga... Lebih dari puluhan helikopter mainan kendali jarak jauh berwarna-warni membentuk formasi, "Bzzzt-bzzzt" terbang mendekati konvoi.
Di dalam mobil antipeluru, Ying Zifeng membuka mulut lebar-lebar sambil menatap helikopter-helikopter remot kontrol yang berwarna-warni itu, matanya membelalak: "Dia datang, dia datang..." Sambil bergumam, tubuhnya tiba-tiba terjengkang ke arah pintu mobil, "Dia datang... Keluarkan aku! Aku tidak mau di sini, aku tidak mau MATI dalam mobil ini, tempat ini tidak aman——"
"Itu cuma helikopter remot kontrol..."
Agen rahasia menghadangnya, pada saat yang sama, empat mobil polisi berhenti di pinggir jalan. Total 20 polisi membawa senjata berlari ke kedua sisi jalan. Jalan ini tidak bisa dibilang makmur, pejalan kaki di tepi jalan tidak banyak. Begitu melihat pemandangan seperti film anti-teror ini, mereka semua bawah sadar lari terbirit-birit.
Pandangan polisi mengamati lapisan bangunan di kedua sisi, mencari target. Para sniper membuka atap mobil, helikopter berputar-putar di atas iring-iringan kendaraan.
Sekejap itu, Ying Zifeng membuka pintu mobil dengan histeris. Di bawah hadangan agen rahasia, dia langsung melompat keluar.
"Dia di atap gedung..." Seorang polisi di seberang jalan berteriak ke walkie-talkie. Laras senjata diangkat, mengarah ke bagian atas gedung ini.
Sebuah bayangan hitam berdiri di tepi gedung itu, menatap iring-iringan kendaraan di jalanan bawah.
Setelah beberapa kali perlawanan, Ying Zifeng bangkit dari tanah. Agen rahasia di belakangnya mengejar ke bawah.
Pesawat kendali jarak jauh pertama jatuh, menghantam kaca jendela mobil polisi yang sedang melaju di depan.
Lantai atas.
Dibawah terik matahari, dia mundur selangkah, melepaskan remote kontrol rumit di tangannya. Menatap langit biru itu, menghela nafas panjang: "Hampir..."
Sungai Waktu seolah tersendak sejenak oleh helaan nafas ini. Di atas jalanan, pesawat kendali jarak jauh yang berputar-putar mulai jatuh. Tak terhitung pandangan mengikuti mainan ini. Seseorang mulai memberi perintah: "Tembak, gugurkan mainan itu!" Ying Zifeng yang berlari keluar gerbong disambar agen rahasia, berjuang mati-matian.
Lalu... ledakan membalikkan mobil polisi!
"Pesawat yang dikendalikan dari jarak jauh jatuh ke tanah, ledakan dahsyat Braak bergema berturut-turut dalam sekejap. Gelombang kejut bergejolak, membalikkan mobil-mobil dan mendorong tiba-tiba beberapa mobil polisi yang sedang melintas. Di tengah kobaran api, asap pekat bergumpal di jalanan. Ying Zifeng yang panik dan tak memahami situasi melepaskan diri dari tarikan orang lain, berlari menuju tempat yang dianggapnya teraman di tengah hempasan gelombang..."
Di dalam gedung, telapak tangan mengetuk gas. Jiaming turun melalui koridor, bersenandung nada tak dikenal.
SEGERA, Ying Zifeng menerobos masuk ke gedung yang masih dalam proses dekorasi.
"Gas air mata!"
"Cepat menyelamatkan orang——"
"Tangkap dia! Tembak mati di tempat jika melihat tersangka..."
Dari Langit terlihat debu membubung di jalan antara dua baris gedung. Api berkobar dari kendaraan yang meledak, kendaraan-kendaraan berantakan dalam kekacauan. Agen-agen rahasia mengejar Ying Zifeng yang berlari masuk ke gedung, sementara sebagian mulai menyelamatkan korban di tengah asap, lebih banyak lagi polisi bersenjata membanjiri gedung.
Lari! Lari! Lari!
Mungkin karena ketakutan oleh sindiran kematian Jiaming, sekaligus juga memicu potensinya, Ying Zifeng berlari dengan gila di gedung yang belum selesai didekorasi. Aula, koridor, kamar—tak ada yang bisa menghentikan tekadnya untuk kabur. Saat ini, dia hanya ingin melarikan diri dari derap kaki yang mengejarnya, mencari tempat untuk bersembunyi. Daging dan lendir yang menempel di kepala, wajah, dan tubuhnya seolah berkata: meski jumlah kami banyak, semuanya sia-sia.
Agen rahasia di belakangnya berulang kali mencoba menangkapnya, tapi anehnya gagal.
Rangka kayu, ember plastik, kardus, kotak makan yang ditinggalkan—kerumunan orang saling kejar di koridor. Akhirnya, kaki Ying Zifeng menginjak pipa besi, tergelincir tiba-tiba, dan tubuhnya terjun ke tanah. Agen dari belakang melompat ke udara, menjatuhkannya ke lantai: "Pak Ying, kita sekarang..."
Tap—
Derap kaki bergema di mulut koridor depan. Bayangan itu menarik seutas tali, mendarat di tanah.
Ying Zifeng yang tengkurap mengangkat kepala. Agen yang menangkapnya juga mendongak, mengangkat senjata.
Beberapa agen yang mengejar dari belakang mengacungkan berbagai senjata di tangan mereka. Lalu, dentuman senjata dahsyat menggema di seluruh gedung.
Percikan api beterbangan, asap mesiu menyebar. Cermin di kegelapan sana hancur berantakan menjadi serbuk di tengah riuh tembakan. Darah segar kembali menyirami tubuh Ying Zifeng.
"Aaaaa—"
Dalam pertempuran silang di kedua sisi koridor, Ying Zifeng bangkit dengan nekad dan berlari pulang ke arah asal. Saat melewati beberapa agen rahasia, seseorang terlempar ke belakang setelah tertembak, seolah kecepatannya menyamai lari Ying Zifeng. Bahkan detail seperti kedipan mata dan ekspresi terdistorsi orang itu melayang di udara terlihat jelas olehnya.
Membiarkan para agen rahasia bertarung melawan dewa kematian, ia menerobos keluar koridor sambil berteriak. Di aula depan, beberapa sosok mencoba mengejarnya. Wajahnya memucat ketakutan, tubuhnya terhenti mendadak hingga terjatuh. Namun sejenak kemudian ia bangkit lagi dengan perlawanan gila-gilaan, berlari ke arah lain yang sepi. Bahu kanannya tertusuk sesuatu - entah peluru nyasar atau senjata lain yang menembus tulang belikatnya. Tubuhnya oleng sejenak, tapi nyawanya terus berlari. Di depannya, tangga menuju lantai dua...
Setidaknya saat ini, pemandangan tubuh manusia yang meledak dan darah segar yang menggenang telah membuatnya benar-benar gila.
Ini adalah kekacauan yang tak terkatakan.
Seiring sosok bersenjata itu bergerak maju di dalam gedung, dentuman tembakan terus bergema sementara bunga-bunga kematian mekar tak henti. Di sini, jumlah personel tak lagi menjadi jaminan keunggulan. Ketika presisi bidikan dan refleks superlatif mencapai puncaknya, ia menjelma menjadi dewa kematian. Setiap objek yang bergerak dalam jarak pandangnya langsung dihancurkan. Ledakan saat baku tembak meruntuhkan tangga, memerangkap sebagian besar polisi di lantai bawah. Tanpa bala bantuan, suara tembakan dan ledakan di lantai dua tiba-tiba mereda. Ying Zifeng tertembak di paha, bersandar di pinggir lorong sambil menggigit gigi menahan rintihan. Dari balik derap langkah, sosok bayangan tiba-tiba muncul di ujung koridor sebelum terlempar oleh hujan peluru. Saat menoleh, sosok mengerikan itu terlihat sedang mengarahkan senjata sambil melangkah perlahan.
“Aaaaa……”
Dengan teriakan parau, Ying Zifeng merangkak sambil berguling ke persimpangan koridor berbentuk T. Sebuah granat tangan meluncur dari genggaman Jiaming, meledakkan ujung lorong lain dengan gelombang kejut bergulung-gulung. Api menjadikan area itu zona terlarang. Ying Zifeng berbelok, mati-matian merayap menuju koridor ketiga.
Di jalanan kacau balau luar, seorang manajer kepolisian mengomandoi anak buahnya untuk naik ke lantai dua. Sambil menyeka keringat dingin di dahinya, ia bergumam: “Aku tak paham apa yang terjadi... Putra kedua Duke keluarga Ying itu... siapa sebenarnya yang dia musuhi...?”
“Paha mengucurkan darah segar, di tanah membentuk garis darah yang panjang. Ying Zifeng merangkak hingga tak berdaya, mendengar langkah kaki dari belakang mendekat: 'Sepuluh menit telah lewat, kau sudah siap?'”
“Jangan bunuh aku... Jangan bunuh aku...”
Sosok yang mengangkat senjata tersenyum: “Perdagangan narkoba adalah hal yang bisa dihukum tembak. Kau minta aku jangan membunuhmu, tapi cewek itu hanya sedikit mengganggu 'kegembiraan'-mu memanggil pelacur. Mengapa kau tak berpikir untuk tidak membunuhnya...”
“Jangan bunuh aku...”
Gemetar di tanah sambil merangkak maju, Ying Zifeng kini hanya bisa menggigil sambil mengulang kalimat itu. Secara tiba-tiba, laras senjata di belakang terangkat. Sebayang sosok muncul di ujung koridor, dia mengangkat tangan menunjukkan sikap "bersahabat", sementara beberapa bayangan lain muncul di sekitarnya dengan senjata terarah.
“Jangan ceroboh, aku hanya ingin bicara. Mari cari... cara penyelesaian...” Orang itu melangkah mendekat sambil menghela napas, “Kurasa masalah ini sudah terlalu besar...”
“Paman Fang...” Ying Zifeng menatap sosok yang mendekat itu lama sekali, akhirnya bergumam pelan.
“Dengan membunuhnya, semua selesai.”
“Kau tahu tidak semudah itu.”
“Suara percakapan bergema di koridor, Ying Zifeng tiba-tiba seolah mendapat tenaga lagi, merangkak gila-gilaan ke depan: "Paman Fang tolong aku! Paman Fang..." Saat ini dia rentan seperti anak kecil. Meski keluarganya tidak terlalu akrab dengan keluarga Fang, meski dia tidak banyak menyukai Fang Zhitian, kehadiran pemimpin [] ini benar-benar memberi keberanian besar. Mendekati Ying Zifeng, Fang Zhitian mengulurkan tangan kiri: "Berikan tanganmu, aku akan menyelamatkanmu."
Ying Zifeng yang merangkak di tanah mengulurkan tangan kanan, menggenggam tangan itu.
Tangan kanan Fang Zhitian ditarik ke belakang, saat muncul kembali mengacungkan pisau tentara tajam sepanjang setengah meter. Kilau pisau menyambar udara.
"Aaaaa——"
Jeritan menyayat hati menggema di koridor. Bukan teriakan pertama Ying Zifeng hari ini, tapi pasti yang paling menyakitkan. Darah menyembur deras, tangan kanan Ying Zifeng terputus tepat di siku.
"Jadi kau harus memberiku tawaran bicara dulu..."
Dari mengulurkan tangan, mengayunkan pisau, hingga memotong lengan itu dengan paksa, pria paruh baya pemegang hak besar ini bahkan tidak berkedip. Bergumam selesai bicara, dia menyerahkan lengan terputus dan pisaunya ke Cui Guohua di belakang, lalu menendang Ying Zifeng. Saat Ye Lian membalut lengan terputus Ying Zifeng yang menjerit-jerit, dia menegakkan kepala.
“Kau tahu, hari ini sampai begini, aku sangat kerepotan.” Pria paruh baya itu tersenyum, “Tapi, ingin kukatakan, belum benar-benar mencapai batasan, masih ada kemungkinan untuk diperbaiki. Jadi... aku ingin berbicara...”
## Bagian Empat Ratus Sembilan Aku Seperti Embun Turun ke Dunia
“Aku ingin berbicara...”
Suara Fang Zhitian bergema di koridor itu, kemudian ruang ini pun sunyi. Hanya Ying Zifeng yang sudah pingsan masih terus mengeluarkan darah dan kejang-kejang. Dari jarak jauh-dekat ada orang mendekat. Cui Guohua mengayunkan tangan, seorang pengikutnya segera pergi menanganinya. Setelah lama berdiam diri, Jiaming memiringkan kepala: “Bicaralah.”
“Kita semua tahu, orang ini tidak penting. Membunuhnya atau membiarkannya, sebenarnya sama saja tidak bermakna.” Fang Zhitian menunjuk Ying Zifeng di lantai, bergumam sejenak, “Yang benar-benar penting adalah ayahnya, Ying Haisheng.”
Jiaming tertawa: “Aku tidak keberatan membunuh seluruh keluarganya.”
“Aku mengerti. Aku juga tahu, orang yang bisa masuk Pei Luo Jia dan membunuh Morikami Kura pasti punya kemampuan itu. Jika kau benar-benar ingin membunuh Ying Haisheng, tidak ada yang bisa menghentikanmu. Tapi beberapa hal... kau juga tahu, heh, jika Ying Haisheng tiba-tiba MATI, [] akan kacau. Bagaimanapun, aku harus mempertahankan situasi saat ini. Jika kau benar-benar melakukan ini, aku harus menghadangmu. Kau tentu bisa membunuhku, aku yakin Guohua dan Ye Lian pun tak bisa melindungiku. Lagipula dulu kau pernah menyelamatkan nyawaku. Tapi bagaimanapun... selalu ada orang-orang yang tak bisa kau lindungi.”
“Saya tidak tahu persis apa yang terjadi, atau mungkin bukan hanya Shazhu Bang, tapi saya percaya kau punya alasanmu. Apapun itu, saya yakin tujuanmu sudah tercapai.” Fang Zhitian tersenyum, “Jika hal ini bisa dihentikan, saya jamin tidak ada yang akan ditindak. Baik Lingjing, Huai Sha, orang tua Lingjing, keluarga Bu Guru Zhang, maupun pihak Ying Haisheng - semua tanggung jawab saya. Percayalah setelah ini, keluarga Ying tidak akan berani bertindak sembarangan lagi, bukan?”
Beberapa kalimat pendek itu diucapkannya perlahan, setiap kata dipilih dengan cermat. Ekspresi Jiaming seperti tertawa namun bukan tertawa, laras senjata masih mengarah ke Ying Zifeng tanpa bergeser. Beberapa saat kemudian, Fang Zhitian tertawa: “Hal ini juga akan memberi saya banyak tekanan.”
Kesunyian kembali menyergap. Waktu berdetak tik! tok! Tiba-tiba Ye Lian tersenyum: “Kalau tidak segera mengantar sampah masyarakat ini turun, mungkin dia benar-benar akan MATI.”
Kali ini, laras senjata akhirnya bergeser.
“Hanya ini?”
Memandangi Ying Zifeng yang tergeletak, sorot mata Jiaming terlihat dalam. Namun udara akhirnya mereda secara tiba-tiba. Fang Zhitian tanpa menyembunyikan kelegaannya menarik napas panjang. Melihat Jiaming mundur, dia buru-buru berkata: “Ah, iya, lihatlah, keributan di luar ini sudah keterlaluan. Menurut saya...”
“Aku akan memberimu penjelasan.”
Suara serak itu menggema. Jiaming berbalik dan menghilang di sudut sana. Fang Zhitian tetap berdiri dengan mulut menganga, lama sekali baru menoleh: “Ha, aku tidak minta penjelasan apa-apa. Kita bisa berdiskusi mencari alasan bersama. Masih banyak detail yang belum dibahas...”
Setelah mengucapkan kalimat ini, dia menoleh ke belakang: “Tangan itu jika dikirimkan, mungkin masih bisa disambung… Aku sekarang sakit kepala, perlu memikirkan bagaimana penanganan pasca hal ini selesai…”
“Dia sepertinya sudah merencanakan ini sejak pagi.” Cui Guohua berkata, “Jika kita datang lebih awal, apakah korban akan lebih sedikit?”
“Tidak.” Fang Zhitian menghela napas, “Di belakang Ying Zifeng ada Ying Haisheng. Ini dilakukannya untuk menunjukkan pada Ying Haisheng bahwa dia punya Kekuatan dan tak kenal kompromi. Bahkan tentara sekalipun, mungkin tak mampu menembusnya untuk sementara. Orang seperti ini, Ying Haisheng pun tak berani menyentuhnya… Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, tapi hari ini melihatnya, perasaannya sangat berbeda dengan sebelumnya…”
Setelah beberapa saat, dia menggelengkan kepala lagi: “Tak ada semangat sama sekali, seperti MATI…”
Mobil pergi dari jalan raya, berbelok ke jalan setapak desa. Kemudian, dia melihat Shasha yang duduk di depan pintu. Xiao Meng yang mengikutinya, juga berjalan mendekat dari kejauhan.
Hal yang terjadi di Jianghai siang hari, tak akan diketahui di desa kecil ini. Tapi Xiao Meng punya saluran, sepertinya sudah mengetahui sesuatu, tapi tampaknya belum memberitahu Shasha.
Bertiga makan siang bersama, lalu pergi ke pantai tak jauh dari desa. Xiao Meng mengikuti dari belakang, di samping Jiaming, Shasha mulai menangis: “Benar harus pergi? Masalah kali ini… jelas-jelas jebakan orang… Kenapa kau tidak ikut pulang berombongan dengan kami…”
“Aku juga akan pergi, tapi masalah kali ini terlalu besar. Pasti ada beberapa hal yang perlu penanganan pasca. Setelah kau sampai di Eropa, kabar dariku akan datang. Oh ya, kabar baik: Lingjing akan ke Wina, kau bisa bertemu dengannya.”
“Benarkah？Dia tidak bilang saat menghubungi aku beberapa hari lalu.”
“Ini semua karena urusanmu ini Me, tapi tak masalah, aku punya koneksi di sana.”
“Maaf ya... Kalau bukan karena kemanjaanku ingin membentuk kelompok, pasti tak akan begini...”
“Tak apa, dulu sudah ku bilang, tak peduli masalah apa yang kau hadapi, aku akan menyelesaikan segalanya untukmu.”
Speedboat menuju kapal penyusup menerjang ombak. Setelah mengantar Shasha naik, Jiaming tersenyum pada Xiao Meng: “Sebenarnya bisa membersihkan nama Shazhu Bang, tapi berkecimpung di geng kriminal tak ada masa depan. Di Eropa akan ada banyak kesempatan baik, kau bisa memilih jalanmu sendiri, hanya... tolong jaga dia.”
“Tak masalah.”
“Terima kasih.”
Speedboat berbalik arah. Jiaming memandang Shasha yang terus melambaikan tangan di kapal, lalu membalas lambaiannya sampai bayangan gadis itu menghilang di biru jernih gelombang laut. Hatinya teringat kejadian masa kecil.
“Kau anak laki-laki, malah perlu dilindungi perempuan...”
“Aku jago Jeet Kune Do lho...”
“Aku datang menantang dojo... Suruh dia duel denganku...”
“Berani jangan kabur...”
“Aku akan melindungimu...”
“Lingjing milikku... Kubuat kau kesal...”
“Cao Dongfeng, bajingan... Berani duel satu lawan satu, kau pengecut...”
“Kumohon, jangan pukul lagi, kau akan MEMBUNUHnya...”
“Aku tak mau pergi, dulu kau tak pernah berani menghujatku, kalau pergi kita pergi bersama...”
“Aku sangat menyukaimu... Jiaming.”
“Sebelum Lingjing bilang suka padamu, aku sudah menyukaimu, cuma waktu itu aku tak sadar...”
“Jiaming... Papanya MATI...”
“Aku tak izin mereka berjualan narkoba lagi... Aku ingin mencoba...”
Sha Sha yang penuh kekerasan saat pertama bertemu, Sha Sha yang kasar hanya percaya pada kekuatan, Sha Sha yang selalu ingin melindunginya dengan sok kuat, Sha Sha yang menangis bersujud saat dia dipukuli, Sha Sha yang polos menyukai dirinya sendiri, Sha Sha yang naif, Sha Sha yang sedih, Sha Sha yang jujur, Sha Sha yang baik hati, Sha Sha yang berusaha belajar menjadi lembut dan berbakti yang imut, gambaran-gambaran tak terhitung seolah berkumpul di depan mata...
“Maaf ya, ini... penipuan terakhir untukmu, apapun yang terjadi, maafkan aku ya?”
Di tempat yang sangat jauh, gadis kecil delapan tahun silam perlahan menampakkan senyuman.
“Namaku... Liu! Huai! Sha!”
Fang Zhitian duduk di kamar, pelan-pelan mengusap dahinya yang mulai kembung. Cui Guohua masuk dari luar pintu.
“Menjelang pukul tiga sore, seluruh keluarga bos Xin Ning Bang Zhao Zhenhai dibunuh. Katanya ada yang masuk membantai semua orang dalam waktu kurang dari lima menit, lalu membakar tempat itu. Saat ini mayat-masih sedang dibersihkan.”
Fang Zhitian mengangkat kepala: “Bos geng kriminal. Pembunuhan balas dendam di dunia persilatan sampai keluarga habis itu hal biasa, kecelakaan seperti ini tidak perlu dibahas.”
“Kami menemukan Gu Jiaming.”
“Hah?” Fang Zhitian tertegun, “Dia masih di TKP?”
“Bukan, dia sedang duduk di tanggul penahan banjir tepi pantai, melihat matahari terbenam.”
“Bukankah itu bagus? Anak muda yang melihat hal-hal indah akan menjadi lebih terbuka, tidak seperti kami orang tua ini... Lalu? Dia tidak melakukan hal-hal tidak karuan kan?”
“Ada darah di tubuhnya, lalu... Dia meletakkan senjata begitu saja di kursi sebelah. Ada yang menelepon polisi, sekarang polisi sudah mengepung tempat itu.”
“Kepala sakit sekali... Ini benar-benar tidak memberi kesempatan untuk hidup tenang...”
Matahari sore membakar awan merah membara di Barat di langit, lautan menjadi semakin memikat dengan gemerlapnya. Gelombang bergoyang dengan tenang, kapal-kapal berlayar di kejauhan. Tanggul laut yang ditanami pohon dan hamparan bunga ini biasanya ramai dikunjungi pejalan kaki di senja musim panas. Tapi hari ini, puluhan mobil polisi telah mengepung area ini, bahkan memblokir jalan raya. Ratusan polisi turun dari kendaraan, bersembunyi di belakang mobil patroli sambil saling berbisik, bergumam pelan, tidak berani mengambil tindakan.
Di atas tanggul laut yang mereka awasi, seorang pemuda berkemeja putih duduk diam di bangku panjang. Matanya menatap arah perbatasan langit dan laut yang megah, telah duduk tenang seperti itu untuk waktu yang lama.
Ketika Dongfang Lu masuk, ia berdiskusi sebentar dengan manajer kantor polisi, kemudian tetap berjalan sendirian ke arah sini. Langkahnya tak terburu-buru, entah mengapa, saat melihat punggung pemuda yang duduk di kursi itu, tiba-tiba ia merasa terharu. Meski ada keraguan, ketakutannya tidak banyak, mungkin karena mereka sudah saling mengenal, atau mungkin karena sosok itu terlihat kesepian di tengah awan purba yang membentang hingga horizon langit-laut.
Sebuah senapan serbu diletakkan di sampingnya. Dongfang Lu berdiri beberapa detik di tepi bangku panjang, lalu menggeser senapan itu dan duduk di sebelahnya. Berdua mereka menatap awan keemasan yang diwarnai senja jingga kemerahan, bagai kawanan flamingo raksasa yang terbang menuju ujung cakrawala. Jiaming bersenandung lembut sebuah lagu yang liriknya didengar oleh Dongfang Lu.
"……Aku duduk di ranjang memandang keluar jendela, kenangan bertebaran,
Kehidupan adalah ilusi megah, waktu adalah pencuri yang merampas segalanya,
Di usia tujuh tahun menangkap jangkrik, kira sanggup menguasai musim panas,
Tujuh belas tahun mengecup wajahnya, mengira cinta akan abadi...
Adakah keabadian semacam itu, yang takkan pernah berubah,
Keindahan dalam pelukan, takkan lagi hancur berkeping,
Membuat tahun-tahun ganas tak berani mencakar wajah,
Memisahkan perpisahan dan kematian, siapa yang mendengar...
Aku duduk di ranjang menoleh melihat siapa yang terlelap,
Wajah tua itu sepertiku yang memejamkan mata,
Mereka yang pernah mencintaiku dan kucintai, kini mengelilingiku,
Rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terbawa itu akhirnya menjelma menjadi setetes air mata terakhir...
Adakah setetes air mata yang bisa membersihkan penyesalan,
Berubah menjadi hujan deras yang turun di jalanan tak bisa kembali,
Beri aku kesempatan lagi untuk mengubah kisah ini,
Masih berutang padanya permintaan maaf seumur hidup...
Adakah sebuah dunia di mana malam tak pernah gelap,
Bintang-bintang, matahari, semua makhluk tunduk pada perintahku,
Bulan tak sibuk purnama atau sabit, musim semi tak pergi jauh,
Dahan erat memeluk dedaunan, siapa yang bisa mendengar...
Di telinga dan pandangan, kehidupan ini..."
Suara humming sampai di sini, Jiaming berhenti sebentar, entah terpikir apa, perlahan meredam hingga nyaris tak terdengar. Dongfang Lu hanya menangkap beberapa kata "hitam pekat... siapa lagi..." namun melodi hummingnya sudah hilang. Dia membacakan dengan suara lirih. Setelah beberapa saat, Dongfang Lu membuka mulut: "Hal yang mustahil..."
Jiaming menatap langit itu tanpa menjawab. Dongfang Lu menarik napas dalam-dalam, berbicara santai: "Saat Paman Fang mencarimu, helikopter bersenjata dan tentara sudah diberangkatkan. Kalau kau hanya membunuh Ying Zifeng tanpa melakukan apapun, tentu tak masalah. Tapi masalahnya terlalu besar, tak bisa diurusi..."
Dia menoleh, melambai-lambaikan tangan sambil tersenyum ke arah polisi di kejauhan, lalu kembali: "Tangan Ying Zifeng sudah disambung, tapi mentalnya agak kacau... bisa dibilang gila sementara. Kalau tak bisa pulih selamanya, sama seperti MATI. Tapi... jujur, dia masih bisa sembuh."
“Paman Fang akan bernegosiasi dengan Ying Haisheng. Beliau tahu kau tidak ingin diingat orang, tapi kau pernah menyelamatkannya, membantu semua orang mengusir Yoritomo Taku, membunuh Da Nei Zhangdu, Tak terhitung dewa-dewa, Arashiro Masayo, yang terpenting menghabisi Morikami Kura dan menangkap Sang Pangeran. Terutama Ruo Ruo, kekuatan spiritualnya sudah lebih tenang, tapi sepertinya masih mungkin terjadi masalah lagi. Nanti... Heh, tidak perlu bahas yang jauh-jauh. Intinya, dia selalu ingat hutang budi padamu. Untuk urusan kali ini, dia juga sudah berusaha keras menahan tekanan. Menurutku... kita harus bisa memahami dia...”
“Tentu saja, setelah keributanmu ini, pengaruh Ying Haisheng akan turun drastis. Paman Fang juga akan mendapat keuntungan. Tapi membicarakan ini agak... Heh... Adegan saat kau menyerang pagi tadi dilihat Xiao Wan kan? Sepanjang sore dia linglung. Aku juga sibuk, tidak sempat bicara dengannya. Selain itu, kudengar Lingjing tiba-tiba pergi ke Wina... Sebenarnya ada apa? Tidak bisa dijelaskan?”
“Suatu hari kau akan tahu.” Jiaming membuka mulut dengan datar.
“Sudahlah.” Dongfang Lu bersandar di kursi, “Lalu sekarang bagaimana dengan senjatamu ini?”
“Tangkap aku.”
“......” Dongfang Lu menatapnya beberapa saat, “Jangan bercanda.”
“Apa aku terlihat sedang bercanda?” Jiaming tersenyum, “Panggil mereka kemari. Sudah kukatakan, untuk urusan ini akan kuberi penjelasan.”
“……”
Setelah menatap beberapa saat lagi, bibir Dongfang Lu bergetar. "Sudahlah, kalau tertipu juga aku yang kena. Tunggu di sini, aku ambil borgol. Kalau kau melawan, jadikan aku sandera untuk kabur. Mengingat kita pernah berteman, tolong jangan terlalu keras... Aku sudah lihat taksi yang kau pukul itu..."
Ia menghela napas, berdiri, melangkah dua langkah lalu berhenti. Menoleh memandangi Jiaming sejenak, memastikan lagi bahwa ini bukan tipuan, barulah berjalan menuju arah mobil polisi.
Jiaming menutup matanya.
Tempat ini pernah tak terhitung kali dikunjunginya. Saat pulang sekolah bersama Lingjing dan Shasha dulu, ketika Shasha terluka dalam perkelahian, di sini ia membalut lukanya. Mereka berkejaran di antara pepohonan dan hamparan bunga - kenangan masa SMP. Setelah tinggal bersama, di sore hari mereka sering jalan-jalan ke sini. Shasha suka menggoda hewan peliharaan orang dengan biji buah bekas makanannya. Lingjing memungut cangkang kerang di pantai bawah, bertelanjang kaki dengan celana digulung, melompat-lompat di air bagai peri riang. Pernah mereka memelihara anak kucing yang kemudian menghilang. Saat itu Lingjing menggendongnya, bertiga mereka berjalan di bawah senja membara hingga lampu kota mulai menyala, menginjak neon-neon yang bertebaran. Perasaan itu disebut kebahagiaan.
Suara turbo bergemuruh samar di langit, dia membuka mata. Sebuah pesawat penumpang besar terbang menembus awan di langit sore itu. Lingjing sudah sampai di Wina, Shasha juga sudah naik kapal. Kapal itu menuju markas besar Dark Celeste di Venesia. Dengan Kelly yang mengurus mereka, seharusnya tidak ada masalah ke depannya. Apakah mereka akan mengalami gegar budaya? Apakah tidak familiar dengan lingkungan baru? Apakah akan menangis...
Seperti lirik lagu yang berbunyi, masih berutang satu permintaan maaf seumur hidup pada mereka...
Terus-menerus mundur ke masa lalu, tiba-tiba dia teringat kenangan yang terpendam lama.
Musim gugur tahun 2002 itu, dia menerima tugas penilaian promosi pembunuh dari Pei Luo Jia. Menerobos masuk villa keluarga Huang, membunuh habis semua orang yang ada di sana. Saat naik ke lantai dua untuk meletakkan bom, tiba-tiba menemukan seorang gadis bersembunyi di bawah meja. Gadis itu memakai gaun putih, pandangannya penuh ketakutan, keras kepala, dan pantang menyerah. Dia mengarahkan laras senjata ke gadis itu, lalu menarik pelatuk.
Sekarang teringat, wajah gadis itu di alam gaib tumpang tindih dengan Lingjing.
Dia memeluk kepalanya, rasa sakit yang merobek segalanya tiba-tiba menyergap. Satu tetes air mata yang tak pernah muncul selama beberapa dekade, tiba-tiba jatuh dari matanya.
Bangkit dari bangku panjang, Jiaming berjalan menghampiri Dongfang Lu yang membawa borgol.
"Harus seperti ini, ya?"
"Ada hal yang ingin kuminta."
"Katakanlah."
"Saat keluarga Ying sudah tumbang suatu hari nanti, bunuh Ying Zifeng."
“Hmm... bukannya lebih memuaskan kalau lakukan sendiri?” Melirik Jiaming, Dongfang Lu mengangkat bahu, “Baiklah, kalau aku dapat kesempatan itu. Ngomong-ngomong, ini pertanyaan terakhirku, benar-benar mau?”
“Kepalaku sakit sekali...”
“Sama penyakitnya dengan Bos Fang.”
Suara “Krek” terdengar, borgol mengkilap terkunci di pergelangan tangan Jiaming...
“Ngapain... menangkapnya?” Fang Zhitian melempar berkas dokumen ke meja, “Awalnya tidak ada rencana ini, aku sedang tidak ada kerjaan apa?”
Dongfang Lu mengangkat bahu: “Dia yang minta sendiri.”
“Dia benar-benar ingin memikul tanggung jawab ini, memberi kita penjelasan... Tapi bagaimana cara menghitung tanggung jawab ini.”
“Tidak ada yang lebih berat daripada hukuman mati.”
“Menghukum mati dia lagi bagaimana. Masalahnya... Aku sama sekali tidak butuh penjelasannya ini. Kalau dia memberi penjelasan, bagaimana aku harus berurusan dengan Takamagahara, Dark Celeste...” Fang Zhitian kembali mengusap dahinya, sejenak kemudian, “Sudahlah, bawa ke pengadilan, tuduhannya... membantu pelarian bandar narkoba Shazhu Bang, asal-asalan hukum beberapa tahun, lagipula dia pasti bisa kabur kalau mau... Benar-benar cari masalah. Oh iya, kirim dia ke penjara yang lebih lunak, ruang privat lebih baik, takut ada yang digebukin sampai mati kalau ada yang ganggu...”
Akhir Agustus.
Di antara bukit-bukit yang dipenuhi pepohonan hijau penuh vitalitas, sebuah gerbong tahanan melintas di jalan gunung sepi di bawah terik matahari. Sopir berwajah feminim mengenakan earphone, sambil menyetir sambil menggeleng-gelengkan kepala bersenandung riang.
Saat mendekati persimpangan jalan berikutnya, sebuah truk tiba-tiba melaju kencang dan menghadang jalan. Pintu truk terbuka, seorang gadis berbaju musim panas berornamen hijau muda melompat keluar, mengarahkan senapan patah ke kursi sopir gerbong tahanan, tatapannya tajam seperti pisau es.
Gerbong tahanan langsung berhenti. Sopir bernama Ye Lian keluar sambil tersenyum dan mengangkat kedua tangan: "Nona Kaoru ya? Kami tahu Anda datang ke Jianghai. Tuan Fang bilang, Anda bisa menemuinya kapan saja. Jika Anda ingin membawanya pergi, silahkan."
Gadis Jepang bermata dingin seperti pisau itu mengarahkan senjatanya sambil curiga menuju bagian belakang gerbong tahanan. Seorang "penumpang" turun dari atas. Para tahanan lain dan dua polisi penjaga memandang bingung. Dinginnya gadis cantik itu mencair saat ia terjatuh ke pelukan lawannya.
Mereka berbicara di pinggir jalan. Perlahan gadis itu menggelengkan kepala, air mata menggenangi pipinya, lalu terjadi perdebatan. Ye Lian menghidupkan truk yang menghadang jalan, mundur ke jalan kecil yang tadi dilalui, sekalian menyapa seorang pria Jepang di dalam mobil sport di tepi jalan.
“Lebih dari sepuluh menit kemudian, orang yang turun dari mobil akhirnya kembali ke dalam. Ye Lian mengangkat tangan dengan kekecewaan, lalu menghidupkan gerbong tahanan. Gadis itu menatap sosok di dalam mobil, perlahan mengejar beberapa langkah, lalu beberapa langkah lagi. Tiba-tiba, kilatan tekad muncul di matanya saat mengisi peluru senapan patah dengan suara 'Splash', lalu berlari kencang ke arah gerbong tahanan. Belum jauh berlari, pria Jepang yang semula berada di mobil muncul di belakangnya, merebut senjata dari tangannya, lalu memeluk erat gadis itu. Kemudian melambaikan tangan ke arah orang di mobil sebagai ucapan perpisahan.”
“Gadis yang dipeluk oleh tunangan formalnya itu bergerak bagai binatang terkurung, namun perlawanannya sia-sia. Tatapannya tertuju pada pemuda di gerbong tahanan yang membalas dengan pandangan hangat. Perlahan, dalam pertukaran pandangan ini, gerbong tahanan semakin menjauh hingga akhirnya menghilang di ujung pandangan...”
“Akhir Agustus.”
“Aku akan BUNUH dia.”
“Di kantor Fang Zhitian, Ying Haisheng menyatakan syaratnya dengan tenang.”
“Tapi dia sebentar lagi MATI.” Fang Zhitian mengetuk-ngetuk setumpuk data di samping Ying Haisheng, menarik napas panjang sebelum melanjutkan dengan suara berat, “Tumor di kepalanya sudah sebesar durian. Hal seperti ini...”
“Lalu dosa yang ditanggung anakku sia-sia? Dia sudah GILA...”
"Maafkan kejujuranku, ini akibat perbuatannya sendiri. Dia memfitnah cewek itu melakukan perdagangan narkoba, kau tahu, lebih dari 50 gram bisa dihukum mati. Fitnah seperti ini setara dengan pembunuhan." Fang Zhitian mengangkat bahu, "Apalagi ini cuma gangguan mental sementara, pasti akan sembuh."
"Aku akan membunuhnya." Mengabaikan perkataan Fang Zhitian, Ying Haisheng mengulangi ancamannya.
"Beberapa hari lalu Takamagahara dan Dark Celeste mengirim protes terkait penangkapan dia, sampai bikin negara sahabat kaget. Lao Ying, kalau alasan ini masih kurang, jangan lupa di belakangnya masih ada Jian Suyan yang lebih hebat."
"Sekarang sudah bisa dipastikan, Jian Suyan itu cuma samarannya. Mana ada Jian Suyan yang asli!"
"Kurasa dasar asumsimu salah. Dulu kan kau sudah lihat sketsa komputer wajah Jian Suyan? Ini ada data baru untukmu." Fang Zhitian mengeluarkan kunci, membuka brankas pengaman di meja kerjanya, lalu menyerahkan sebuah dokumen. Saat dibuka, sebuah foto buram jatuh keluar.
"Maret tahun ini, di pegunungan dekat ngarai Argun Chechnya, sekelompok pengungsi yang menghindari perang bertemu seorang wanita Tiongkok yang sedang traveling. Mereka bersama-sama selama sekitar satu hari. Tepat sehari setelahnya, wanita ini menghilang selama 5 jam. Di periode itu, sebuah pasukan penindas Rusia berjumlah 500 orang lengkap dengan persenjataan datang memeriksa mereka. Terjadi konflik kecil yang menewaskan beberapa orang, termasuk sepasang orang tua yang semalam sebelumnya pernah menjamu wanita Tiongkok itu."
“Beberapa jam kemudian wanita itu kembali, melihat kejadian ini lalu menghibur anak yang menjadi yatim piatu. Saat itu ada seseorang yang merasa gambaran itu indah, mengeluarkan kamera dan dengan kikuk memotret. Tak lama kemudian wanita itu pergi lagi. Malam itu, dentuman senjata dan hujan tembakan meriam di lembah itu terus berlangsung selama dua jam. Pagi hari berikutnya, mayat-mayat di perkemahan itu bertumpuk seperti gunung, sungai darah mengalir. Lebih dari 500 prajurit Rusia, hampir semuanya MATI.”
“Beberapa yang masih hidup tersisa, tapi sudah gila. Mereka mengigau telah melihat Dewi pembunuhan dari mitos atau malaikat jatuh, padahal pelakunya hanya satu orang. Kau harus tahu, 500 prajurit terlatih yang bersenjata sampai gigi di medan perang tanpa ampun, betapa dahsyat kekuatan yang bisa mereka keluarkan. Menurutku daya rusaknya setidaknya melebihi 500 agen rahasia terbaik. Intelijen kami mendapatkan foto ini saat investigasi. Jika dibandingkan dengan foto lalu lintas tahun lalu saat menyelidiki Pangeran, kau akan melihat kemiripan yang mencolok antara dua wanita itu.”
Dalam foto yang kurang sempurna itu, terlihat seorang wanita berwajah oriental sempurna sedang menggendong bocah lelaki yatim piatu yang menangis kehilangan orang tua, menghiburnya dengan lembut. Kilatan kamera mengabadikan profil cantiknya dalam keabadian. Ying Haisheng memandangi foto ini sangat-sangat lama.
“Jika yang menyerang kali ini bukan Gu Jiaming, melainkan dia, jika Gu Jiaming sama sekali tidak mau berkompromi, Pak Ying katakan apa yang harus kulakukan? Memobilisasi tentara atau meminta senior-senior di organisasi untuk bertindak? Sejujurnya, saat itu yang kupikirkan bukan hanya memenggal tangan Zi Feng. Jika Gu Jiaming bersikeras, akan kupenggal kepalanya. Jika dia masih bertahan, terpaksa kusuruh semua personel tentara dan polisi mundur, biarkan dia menuju Guangzhou...” Fang Zhitian memandangnya sambil mengangguk, “Dia mengalah. Kita baru saja bolak-balik di gerbang kematian.”
Di sebuah balkon tak jauh dari kamar ini, Dongfang Lu memegang dokumen yang sama dengan milik Ying Haisheng. Tangannya memukul-mukul pagar sementara matanya memandang jauh ke depan dengan ekspresi kompleks.
“Kau sakit. Tumor jenis baru, kata dokter mungkin akan MATI...” Beberapa hari lalu, dia mendatangi tempat Gu Jiaming, “Kau mau MATI, makanya melakukan hal seperti itu...”
“Semua orang akan MATI...”
“Tapi kenapa harus memberi tahu kami? Menghilang diam-diam bukan lebih baik?” Tatapannya tertuju pada bayangan itu, seolah melihat panorama sore itu ketika langit terbakar merah oleh kejayaan matahari terbenam.
“Akan ada prasangka, dugaan, pengujian. Hari itu kutaruh bom di pesawat, melarang kalian menyelidikiku, tapi kalian tetap melakukannya secara terselubung. Makin banyak tahu, makin banyak pertanyaan. Kalian takkan membiarkan sosok seperti ini selamanya berada di luar penglihatan. Semua ini... tertuju pada mereka...”
“Tapi tak ada yang berani menyentuh mereka. Paling-paling cuma pengawasan.”
“Masalahnya bukan hanya kalian.” Jiaming menggelengkan kepala di seberang, “10 tahun, 20 tahun, pengawasan atau ujian, mustahil sempurna. Suatu hari mereka tanpa sengaja menemukan, akan menyadari, cap bakar Gu Jiaming seperti Hantu Dendam yang mengganggu mereka, setiap saat mengingatkan. Jika aku MATI, pengawasan atau perlindungan ini akan lebih sederhana, suatu hari mereka akan keluar dari bayanganku, menjadi manusia biasa sebagaimana mestinya...”
“Bagaimana jika ada yang ingin menjebak mereka?”
“Jika bertemu orang yang lebih tak kenal batas dariku, mereka akan menyesal. Beberapa tahun kemudian, segala sesuatu yang muncul karena kepentingan akan memudar. Apalagi...” Dia berhenti sejenak, “Suatu hari jika aku menghilang, siapa yang bisa benar-benar yakin aku MATI?”
Dongfang Lu menatap lama bayangan itu, lalu berdiri, berbalik pergi. Setelah beberapa langkah, menoleh ke samping.
“Bagaimana bisa mempercayai orang lain?”
“Setidaknya bisa mempercayaimu, bukan?”
Dia terdiam sejenak.
“...Tenang saja.”
Hari itu, Venesia, Dark Celeste.
Gesekan duduk di sana, memandangi wanita Kaukasia bernama Kelly yang sambil berbicara meletakkan beberapa buah dokumen di meja. Waktu membeku dalam kamar, dia membalik halaman satu per satu, tubuhnya mulai gemetar, hingga tak terbendung tangisnya, air mata membanjiri seluruh pipi. Dia melihat sekali, lalu lagi, akhirnya tiba-tiba menyapu semua barang di meja belajar, berlari maju keluar pintu.
Gadis itu menangis, terus mencari pintu keluar di lorong yang seperti labirin, orang-orang yang lewat menoleh memandanginya.
Tidak lama kemudian, Wina.
Di ruang pertunjukan, gadis berbaju gaun putih bermain kecapi dengan tenang, tak lama kemudian para mentor yang berperan sebagai dewan juri di samping mulai bertepuk tangan sambil tersenyum. Gadis itu berdiri memberi hormat, cahaya dari luar jendela menerpa profil anggun nan kesepiannya.
Pandangannya menembus para mentor, menembus tirai putih yang berkibar di jendela, menatap langit timur dengan awan putih seperti kapas. Terbayang kembali ratusan musim panas cerah sebelumnya, serta dia (laki-laki) dan mereka (perempuan) di bawah langit cerah itu.
Musim panas hampir berakhir...
Jianghai.
Yahan dengan tas kecil biru dan rok panjang keluar dari pintu gerbang villa Keluarga Zhang. Bedak tipis di wajahnya tak bisa menyembunyikan kulit pucatnya yang seolah kehilangan warna darah, membuat penampilannya terlihat rapuh namun memancarkan keindahan lemah akibat penyakit bagai nyala api pucat.
Pintu limusin hitam terbuka. Ia masuk, lalu mobil perlahan mulai bergerak.
Ye Lian yang duduk di seberang menyodorkan telepon yang telah tersambung. Setelah menarik napas dalam, dia (perempuan) menerimanya.
“……Aku sudah membaca suratmu, mengetahui semua hal. Aku sudah memikirkannya, aku tidak menyalahkanmu……” Dia menengadahkan kepala, menampakkan senyuman sambil berusaha mengembalikan kelembapan di biji matanya. Pandangannya tertuju pada satu titik di kegelapan kosong langit-langit mobil, butiran kenangan demi kenangan mengalir di depan matanya.
“Aku ingin memiliki seorang anak darimu...”
Di telinga, seakan terdengar suara bernyanyi lembut yang tertinggal di kejauhan tak bernama...
Adakah mawar yang takkan pernah layu,
Selalu sombong dan sempurna tak mau berkompromi,
Mengapa akhir hidup bagai sobekan kertas,
Tak sebanding sehelai kelopak yang pernah merekah...
Adakah pembatas buku yang menghentikan hari itu,
Senyuman paling polos dan tahun tercantik,
Tas sekolah penuh kue dan minuman ringan,
Mata yang hanya memandang tanpa curiga membuat kami tak kenal aturan...
Adakah sajak yang tak menemukan titik akhir,
Masa muda yang selamanya menetap dalam tahun-tahun kami,
Anak laki dan perempuan dengan gitar dan sepatu dansa,
Tertawa melupakan kepahitan dunia hanya menyisakan manisnya...
Adakah besok yang memulai hidup dari awal,
Membuatku kembali merasakan kemarin yang terbuang,
Takkan kusia-siakan bertahan hidup maupun menjalani hidup,
Takkan biarkan penyesalan cerita ini terdengar siapa pun,
Aku tak mau berpisah...
Dalam kegelapan, Jiaming meletakkan telepon, senyum tipis membekas di sudut bibirnya...
## Jilid Delapan Pintu Masa Lalu
## Bagian Empat Ratus Sepuluh Hu Bugui
Awal tahun 2004, Kota Yujiang.
“Tidak lama setelah Tahun Baru, awan gelap yang bergulung-gulung menekan langit hingga gelap gulita, sepertinya akan turun salju. Mu Qingqing menutup pintu, mengibaskan jas hujan lalu melemparkannya ke rak baju. Di dalam kamar yang diterangi lampu kuning hangat, suara lagu dari TV terdengar - lagu tema versi TVB 《Beautiful Life》 berjudul 《Cacat yang Indah》 dinyanyikan Andy Lau. Kemudian adik perempuan melompat dari sofa dengan sandal berbunyi "tek tek tek": "Kak, pulang ya?"
“Aku tidak percaya kalian dan ibu benar-benar melakukan ini, datang dari jauh hanya untuk menjodohkanku dengan orang asing..." Setelah mengganti sandal, dia masuk ke kamar dan melihat adiknya yang mengenakan sweater kuning muda berlari-lari menyambut tas kertas di tangannya: "Apa ini?"
“Kacang chestnut goreng gula, baru matang.”
“Wah, aku suka!”
“Ibu mana?” Mu Qingqing melirik ke beberapa kamar dalam tapi tidak melihat bayangan ibunya, mulai curiga.
“Pergi belanja sayur di pasar dekat sini. Katanya mau masakkanmu makanan enak selama sempat datang ke sini.” Mu Zhenzhen mengupas kulit chestnut sambil menunjukkan ekspresi ingin tahu, "Kak, gimana pendapatmu tentang orang yang kau temui hari ini?"
"Aku sama sekali belum siap mental, tahu?" Mu Qingqing mengerutkan kening, "Aku senang kalian akhirnya bisa datang dari Jianghai. Katanya mau ajak aku keluar, ya sudah bolos kerja ya sudah bolos saja. Tapi ternyata dijodohin lagi! Orang lokal pula. Kapan sih Ibu bisa mengembangkan jaringannya sampai sini? Kayak grup kencan buta lintas daerah yang terorganisir..."
Adiknya tertawa: "Itu dari jalur bibinya sepupu kedua keponakan ketiga cucu... Ah pokoknya jalur keluarga yang ruwet! Tahun lalu kamu tidak pulang untuk Tahun Baru, sampai sekarang juga belum punja pacar. Ibu di rumah terus mengomel, lalu dengar ada pria lajang yang dikenal di sini, fasilitasnya juga bagus. Dia sibuk minta tolong orang sampaikan pesan dll selama berhari-hari, lalu buru-buru datang ke sini. Kebetulan aku juga libur. Ya sudah... Gimana tadi? Ada kemungkinan jadi kakak iparku?"
"Pertemuan pertama, mau merasakan apa? Ibu kabur, jadi cuma ngobrol biasa." Mu Qingqing tersenyum, "Aku cerita tentang tingkat bahaya pekerjaanku, wajahnya langsung berubah. Kayaknya kalau aku pakai seragam polisi datang, pasti lebih seru."
"Berarti gagal deh..." Melihat kakaknya tertawa, Mu Zhenzhen menyeringai lalu merebahkan diri di sofa, "Kak, umurmu sudah 29. Kalau tidak segera menikah, cepat tua lho."
"Oh, perempuan harus disiram pria baru bisa hidup, ya?"
“Bukan begitu, tapi kalau kamu terus-terusan tidak punya pacar tetap, ibu di rumah juga selalu mengomeliku, padahal aku baru 24 tahun, sangat tidak adil.”
“Hehe.” Menghadapi adik perempuannya, Mu Qingqing menggelengkan kepala sambil tersenyum, memandang keluar jendela. "Kalian benar-benar memilih waktu yang tepat datang hari ini. Cuaca seperti ini sudah bertahun-tahun tidak terlihat, sepertinya akan ada badai salju besar... Aku akan menjemur pakaian dulu."
Baru saja masuk ke kamar, telinganya sudah mendengar teriakan adiknya di ruang tamu: "Kak, pinjamkan senjatamu untuk kucoba!"
"Tidak boleh!" Suara polwan itu tiba-tiba muncul dari pintu kamar tidur.
"Coba-coba saja..."
"Tidak! Boleh!"
"Oh." Wajah sang adik langsung muram, menunduk mengunyah kacang chestnut.
Sebenarnya, kami ingat bahwa mengikuti kakaknya menjadi polisi memberantas kejahatan selalu menjadi cita-cita Mu Zhenzhen, seorang gadis dengan jiwa keadilan yang berapi-api. Hanya saja karier kepolisian kakaknya terlalu penuh risiko - cedera kecil atau insiden sesekali langsung membuat keluarga panik setengah MATI. Meskipun akhirnya Mu Zhenzhen berhasil masuk akademi kepolisian, saat mulai bekerja secara resmi, keluarga nyaris memaksanya dengan ancaman MATI untuk masuk departemen pemerintah sebagai staf administrasi. Benar-benar pengorbanan antara loyalitas dan bakti. Sejak itu, tekadnya pelan-pelan tergerus waktu. Terhadap perlengkapan sang kakak inilah, dia kini sangat bernafsu.
Tentu saja, slogan propaganda dunia luar menyatakan kesetaraan gender, tetapi dalam beberapa pekerjaan, terutama saat menjadi polisi yang benar-benar mengungkap kasus, tekanan yang diterima perempuan jauh lebih berat dibandingkan laki-laki. Jika bukan karena sikapnya yang tegas, Mu Qingqing mustahil bisa mencapai posisi saat ini di kepolisian. Namun, terlalu giat bekerja membuat kehidupan pribadi terbengkalai. Beberapa pacar yang pernah dia miliki, dan beberapa kencan buta yang dipaksa keluarga, semuanya berakhir hanya setelah beberapa kali nonton bioskop atau jalan-jalan.
Meski berparas cantik dan memiliki fasilitas memadai, setelah beberapa kali kencan, orang biasanya merasa dia terlalu menekan. Dia sendiri juga merasa pacar mengganggu pekerjaannya. Dua tahun lalu setelah promosi dan transfer luar, dia ditugaskan sebagai Kapten tim penyidik kriminal di kota menengah Yujiang. Awalnya mengira bisa lepas dari omelan orang tua di rumah, baru hari ini dia terkejut menyadari bahwa tenaga kerja memang bisa mengalahkan takdir - keluarga yang berada jauh di Jianghai ternyata masih bisa mengirim mak comblang ke sini.
Setelah mengambil baju yang dijemur di balkon luar kamar tidur, saat masuk ke ruang tamu, langkah kaki ibunya sudah terdengar membuka pintu. Melihatnya pulang, mata sang ibu berbinar: "Bagaimana? Qingqing, gimana perasaanmu hari ini?"
"Eh, lumayanlah. Kami saling bertukar nomor telepon, nanti bisa berhubungan," jawab Mu Qingqing sambil menghindari topik.
"Bu, aku laporkan, kakak bohong. Yang ini pasti gagal lagi."
"Mu Zhenzhen——"
"Memanggilku dengan gigitan gigi penuh kebencian lagi untuk apa, aku ini sedang menjalankan pengakuan jujur berdasarkan jiwa keadilan demi mencegahmu tersesat. Siapa suruh tidak mau kasih 'senjata' untuk kumainkan... Aaaaa—Ini namanya Bunuh dibungkam! Memang segala sesuatu di bawah langit hina, Hati wanita paling beracun! Mu Qingqing, kau bahkan ingin membunuh adikmu sendiri... Ibu, lihatlah dia, setelah rahasianya terbongkar langsung menunjukkan taring!"
"Mu Zhenzhen, hari ini aku takkan berdamai denganmu!"
Melihat adik perempuan berlindung di belakang ibu, Mu Qingqing menggigit gigi sambil melemparkan ucapan. Setelah melirik ekspresi wajah ibu, dia menyambar dua bantal peluk dan Byur! merebahkan diri di sofa. Mulailah dia berperan burung unta. Sekalipun adiknya menyelinap untuk menendangnya, tetap diabaikan.
Langit perlahan gelap, hujan mulai turun di luar. Lampu jalan satu per satu menyala dalam senja. Dari rumah dengan cahaya kuning hangat, aroma masakan mulai menyeruak. Tentu saja, disertai ocehan tak putus-putus dari sang ibu. Adik menonton TV, kakak berperan burung unta. Tentu saja, setelah makanan dihidangkan, burung unta pun tak bisa terus bersembunyi. Di meja makan, sambil bertarung diam-diam dengan adik, wajahnya menunjukkan ekspresi menderita sambil menerima ceramah. Saat dering telepon tiba-tiba berbunyi, kilau sukacita "akhirnya bebas" baru berkedip di wajah Mu Qingqing.
"Halo..." Sejenak, wajahnya menjadi serius, "Baik, aku mengerti, akan segera ke sana... Ibu, Adik, aku sudah kenyang, masih ada urusan, pulang malam ini, kalian tidak perlu menungguku."
Setelah menutup telepon, dia berbalik dan mengambil pistol dari lemari kecil di belakang, menyelipkannya di pinggang, dengan gesit mengenakan mantelnya. Seluruh gerakan ini mengalir sempurna. Adik perempuan yang selalu memimpikan bisa seperkasa ini memandangnya dengan mata berbinar-binar, belum sempat memuji, sang kakak sudah mengambil payung dan menerobos masuk ke dalam tirai hujan...
Jianghai.
Hotel tersebut megah berlapis emas, diiringi alunan musik, para pelayan membawa gelas anggur berkeliling di antara kerumunan orang. Ini adalah acara kumpul-kumpul angkatan 2000 Akademi Hati Kudus. Sebagian besar peserta saat ini sudah mahasiswa tingkat empat yang baru saja kembali dari liburan. Meski ada yang absen, skala enam belas kelas dulu akhirnya tetap menciptakan suasana yang cukup meriah.
Dengan segelas minuman di tangan, Dongfang Wan berjalan di antara kerumunan sambil tersenyum elegan, sesekali menyapa orang yang dikenalnya. Tiga tahun lebih telah menghapus sisa-sisa kekanakan dari wajahnya. Semangat dan antusiasme yang dulu terlihat jelas kini mulai tertahan dalam. Percaya diri, angkuh, dan jarak halus mungkin menjadi kesan pertama kebanyakan orang padanya, sulit menimbulkan keakraban seketika. Namun, dengan kecantikan yang mencolok, di mata banyak pria yang menganggap diri tinggi, wanita seperti ini justru memicu keinginan menaklukkan yang besar. Tentu saja, banyak yang mencoba, tapi sampai saat ini jumlah yang berhasil tetap nol.
"Berjalan sebentar di kerumunan orang, dia bertemu Xu Yiting di tempat yang dijanjikan. Selama tiga tahun lebih, ini adalah partner dan saudari terbaiknya, juga salah satu orang yang paling dipercaya. Tentu, di mata banyak orang, peran yang dimainkan Xu Yiting mungkin hanya identitas sebagai pelayan wanita di samping putri, selalu setia membereskan kekacauan setelah kemanjangannya."
"Waktu hampir habis, tidak ada hal menarik lagi, mari kita pergi."
"Yu Feng tadi sepertimu sedang mencari kau."
"Oh, aku bertemu dengannya." Dongfang Wan mengangguk, "Bilang ingin aku naik ke panggung berpidato, aku menolak. Lalu tanya apakah aku ada waktu besok... Ayo pergi."
Kedua wanita mulai berjalan keluar, senyum penuh arti muncul di wajah Xu Yiting: "Kau setuju tidak?"
"Dia bilang ada hal yang perlu dibahas, makan siang bersama. Semoga benar-benar ada urusan. Aku tahu keluarganya kenal beberapa produsen elektronik. Jika bisa login koneksi itu, pasti berguna di kemudian hari."
"Sepertimu hampir tidak bicara dengannya." Xu Yiting tersenyum, "Dia kan studi di Eropa? Barusan ngobrol, katanya akhir tahun melihat Ye Lingjing."
"Wina?"
"Hmm, dia main kecapi di sebuah teater, katanya sudah cukup terkenal. Gadis pianis jenius dari Timur atau semacamnya. Waktu itu Yu Feng ada urusan, dengar satu lagu langsung harus pergi. Tidak sempat mencarinya... Katanya... perasaan nada kecapinya sangat murni dan sedih..."
Mereka keluar dari aula hotel, angin dingin menyergap dari depan. Dongfang Wan terdiam sejenak: "Ye Lingjing... Sudah tiga tahun lebih tidak pulang ya."
“Hmm, selama beberapa tahun ini pergi bersilaturahmi ke perguruan silat, sekali pun tidak pernah pulang." Xu Yiting mengangguk pelan, menghela napas, "Ditambah tahun ini, sudah masuk tahun keempat ya…"
## Bagian Empat Ratus Sebelas Kacang Chestnut Goreng Gula
Kantor Polisi Yujiang.
Melipat payung, bergegas masuk ke koridor, bawahan polisi Xiao Ke menyambut: "Kak Qing, bukannya katanya ibu dan adikmu datang? Sekarang masih sebatas kecurigaan, di sini belum bisa segera keluar hasilnya, tidak perlu datang langsung."
"Hehe, ada petunjuk lebih baik daripada tidak." Mu Qingqing tersenyum gugup, "Sekarang bagaimana kondisinya?"
"Kami menemukan fragmen kertas di dalam kantong sampah yang baru saja diambil, setelah direkonstruksi, sepertinya target operasi geng Si Kepala Ikan. Tapi gambar di kertas itu sangat kasar, ada bagian yang hilang, sebagian lagi basah kena air hujan, kami masih sulit memastikan..."
"Bawa aku melihat."
"Kak Qing, apa kau tidak berpikir Liu Zhiming sebenarnya membohongi kita, tujuan dia cuma untuk biaya perantara itu?" Di perjalanan menuju kantor, Xiao Ke bertanya.
"Heh, berani dia?"
"Tapi istrinya sakit, uang keluarga habis terpakai, sampai meminjam ke rentenir. Jangan-jangan dia kebetulan tahu rencana geng Si Kepala Ikan, lalu sengaja membuat skenario seperti ini."
“Lebih baik percaya itu ada daripada tidak. Jika tidak terjadi apa-apa itu bagus, tapi jika benar-benar terjadi sesuatu, semua orang akan kesulitan.” Masuk ke kantor besar di ujung, beberapa polisi yang berkumpul di sekitar meja menoleh sambil memberi jalan. Di atas meja terletak gambar compang-camping yang disusun dari fragmen kertas, disandingkan dengan peta detail Kota Yujiang sebagai referensi. Namun...
“Apakah tidak ada fragmen lain yang terlewat? Sudah dicek di TKP juga?”
“Sudah habis. TKP juga sudah diperiksa. Kelompok Yutou sudah pergi dari sana 2-3 hari, ditambah angin kencang beberapa hari ini. Sekalipun ada yang tertinggal, pasti sudah terbawa angin...”
“...Ini tidak bisa diidentifikasi. Dua persimpangan jalan tanpa penanda, tempat seperti ini terlalu banyak. Meski ada beberapa anak panah, tapi...”
Mu Qingqing mengerutkan kening, mengambil sepasang sarung tangan karet dari laci: “Bawa saya melihat kantong sampah itu.”
Di kamar kecil sebelah, berbagai barang dalam kantong sampah sudah dipisahkan menjadi beberapa tumpukan. Sisa makanan mengeluarkan bau menyengat. Meski karena musim dingin baunya belum terlalu kuat, tetap saja cukup mengganggu. Mu Qingqing berdiri sambil mengaduk-aduk dengan tongkat kecil. Sekitar lebih dari sepuluh menit kemudian, ia keluar sambil mengerutkan alis dan melempar beberapa cangkang kastanye ke meja.
“Ini dari Bank ICBC di Jalan Wuyi. Mereka mungkin sedang merencanakan perampokan bank...”
“Eh, tidak mungkin, Kak Qing. Orang-orang Yutou dulu memang liar, tapi tidak sampai berani begini... Lagipula, dari mana kau tahu...”
Mu Qingqing baru setahun lebih di sini, bukan orang lokal, tapi langsung diangkat jadi kapten polisi penyidik kriminal. Meski kompetensinya tak diragukan, banyak yang masih meragukan kepemimpinannya. Bawahan yang melontarkan kalimat tadi jelas menunjukkan ketidakpercayaan. Mu Qingqing mengangkat bahu, mengambil papan tulis kecil di sampingnya dan mulai merekonstruksi gambar dari sobekan kertas yang compang-camping.
“Dua persimpangan jalan, gedung-gedung di sini lebih besar skalanya dibanding yang di sana. Ini lokasi bank. Bank ICBC di daerah Yujiang berpusat di cabang ini. Saat pertama dibangun, respons polisi di sini sangat cepat. Tapi sejak tiga tahun silam kantor polisi direlokasi, area ini justru jadi blind spot.” Anak panah di papan tulisnya menunjuk ke diagram. “Jika melakukan aksi di sini, kabur ke arah sini, lalu menyiapkan mobil... itu skenario paling ideal. Yang paling penting—” jarinya mengetuk-ngetuk deretan kulit kastanye di meja.
Mu Qingqing mengambil beberapa kulit kastanye dari meja, lalu menggoreskan kapur tulis di papan hitam.
“Tempat tinggalku sekarang ada di sekitar sini, setiap hari melewati persimpangan jalan bank ini. Ada pasar di sini, seseorang menjual kacang chestnut goreng gula, aku sering membelinya. Kalian pasti juga pernah makan. Kacang chestnut goreng gula itu kalian tahu, meski sekarang tersedia sepanjang tahun, tapi sebenarnya selalu ada yang jelek setelah digoreng. Aku biasanya suka makan, sudah mencoba beberapa tempat lain di Yujiang yang jual ini, jadi bisa dibilang punya hak bersuara. Dari Jianghai sampai Yujiang, mungkin hanya stan ini yang kacang chestnut goreng gulanya tidak pernah ada yang jelek, pasti sudah diseleksi saat dipotong...”
Ucapan ini membuat ekspresi semua orang menjadi kompleks. Xiao Ke tersenyum: "Ini bisa dianggap setiap profesi punya ahlinya sendiri ya..."
"Heh, kalau dipikir begitu juga benar. Kalau kita makan kacang chestnut goreng gula dan dapat yang jelek tentu akan dimuntahkan. Tapi aku periksa semua cangkangnya, tidak ada yang dimuntahkan. Meski mereka mungkin sedang beruntung atau pedagang lain kebetulan dapat kiriman chestnut bagus, ada satu hal yang tidak mungkin kebetulan: ketrampilan mengiris pedagang ini sangat baik, setiap potongan tepat di tempatnya. Aku sampai bingung bagaimana dia melakukannya, setelah makan beberapa kali baru sadar, presisi seperti mesin. Mungkin... karena orang bodoh lebih fokus kali ya..."
"Orang bodoh?" seseorang bertanya bingung. Lalu ada yang berkomentar: "Katanya sih pedagang kacang chestnut itu memang punya masalah di otak..."
“Tidak jelas.” Mu Qingqing menggelengkan kepala, “Kau jarang bicara saat bertransaksi dengannya, dia tampak normal seperti orang lain. Tapi saat tidak ada urusan, dia sering melamun dengan tatapan kosong, terlihat sangat fokus memikirkan sesuatu, hampir tidak pernah berkomunikasi dengan orang... Tapi ini tidak penting lagi, tempat itu cuma persinggahan sementara kelompok Fish Head. Sekarang mereka pasti sudah merencanakan aksi, mustahil mereka berkeliaran di jalan sembarangan. Kemungkinan terbesar mereka sedang melakukan survei lokasi...”
“Persimpangan jalan cocok, ukuran bangunan sesuai, ditambah cangkang kastanye ini. Menurut laporan intel Liu Zhiming, bukankah Fish Head punya sepupu laki-laki kejam yang baru pulang? Jadi jika benar mereka ingin membuat masalah, delapan puluh persen kemungkinan...”
Dia mengetukkan ujung pulpen ke papan tulis, “Ini dia!”
Saat melewati persimpangan itu dengan mobil, Mu Qingqing menghentikan kendaraannya.
Maksud kelompok Fish Head masih sebatas dugaan. Sulit memastikan apakah mereka benar-benar berani merampok bank. Intel dari informan juga kurang bisa diandalkan. Yang bisa dilakukan hanyalah seperti katanya: bersikap waspada dengan prinsip 'lebih baik percaya ada daripada tidak', mengambil tindakan pencegahan sejak dini.
Menghabiskan beberapa waktu untuk memahami situasi di bank, membuat beberapa hipotesis. Cuaca tidak baik, dalam beberapa hari terakhir——atau besok mungkin akan turun salju. Setelah kota sekitarnya terkepung salju lebat, tingkat kesulitan untuk melarikan diri dan penyelidikan akan meningkat drastis. Jika mereka ingin bertindak, kemungkinan besar akan memilih beberapa hari ini sebelum cuaca menjadi lebih buruk. Mendekati akhir tahun, tugas mereka juga berat, mungkin telah mengatur pembagian kerja. Sebagian orang memikirkan ibunya dan adik perempuannya yang akan datang, mendesaknya pulang ke rumah. Waktu mendekati pukul sepuluh malam.
Perlahan menyetir mobil sambil mengamati berbagai bangunan di sekitar jalanan, persis seperti yang dia pikirkan sebelumnya. Jika ingin melakukan aksi di sini, bank adalah tempat yang paling bernilai. Berhenti di pintu keluar-masuk, dia melirik bank dari kejauhan. Di sisi lain pasar sayur, cahaya kuning masih menyala——penjual kacang chestnut goreng gula itu.
Terkadang dia benar-benar mengagumi pemuda penjual kacang chestnut goreng gula ini——tampak lebih muda darinya, namun usia konkret sulit ditentukan, mungkin antara 21 hingga 29 tahun. Wajah yang sangat biasa, dengan janggut tipis. Beberapa pakaian terlihat usang tapi tidak kumal, seolah telah dicuci berulang kali hingga warnanya memudar, namun tetap dipakai selama belum sobek, sangat hemat. Kesan pertama yang diberikan adalah bersih, jujur, dan introver. Jika berdandan, mungkin bisa berperan sebagai baron yang agak pemalu.
Dia selalu merasa, seorang pria seusia ini seharusnya tidak menghabiskan hari-harinya berjaga di gerobak kacang chestnut goreng gula. Tentu saja kenyataannya tidak sesuai dengan perkiraannya.
Sejak melihat gerobak kacang chestnut goreng gula ini muncul di awal tahun lalu, setiap hari sebelum pukul enam pagi dia sudah bisa melihat gerobak kecil itu muncul. Lampu kuning hangat bertenaga baterai menyala dalam kabut tipis pasar menjelang fajar, bertahan hingga senja naik. Saat pedagang pasar mulai pulang satu per satu, lampu itu menyala lagi. Terus berjaga hingga semua orang pergi, pasar menjadi sepi, dia masih tetap di sana. Tepat pukul sepuluh malam, baru tepat waktu membereskan dagangan. Setiap hari, tak peduli hujan atau terik.
Awalnya tidak terasa apa-apa. Tapi berkat sifat rakus dan penyakit profesinya, perlahan dia mulai memperhatikan gerobak kacang chestnut ini. 365 hari setahun, semua orang pasti punya hal berbeda atau mengalami gangguan tak terduga. Tapi hanya gerobak ini yang selalu ada, setidaknya dari pukul enam pagi sampai sepuluh malam. Setiap kali lewat, gerobak itu pasti ada tanpa terkecuali. Dia baru tinggal di sini setahun lebih, tapi terkadang merasa gerobak ini bagai koordinat konstan dalam ruang dan waktu baginya.
Seolah-olah adalah suatu tanda yang diletakkan Tuhan di sana, orang-orang atau benda di sekitar, tumbuhan atau bangunan semuanya akan berubah seiring waktu, hanya mobil kecil ini yang tetap berhenti di sini, diam-diam menjaga fajar dan malam setiap hari. Saat langit belum terang, ia menyalakan lampu, menunggu lampu jalan padam, matahari terbit, pejalan kaki semakin banyak. Saat malam tiba, ia masih tetap menyala di sana, menjaga pejalan kaki di keramaian pasar yang semakin berkurang hingga mencapai keheningan.
Tentu saja, pikiran seperti ini hanya sesekali muncul di hati, namun karena itu, dia sering pergi ke sana membeli kacang chestnut goreng gula untuk dimakan.
Namun, semua ini mungkin juga karena pria penjual kacang chestnut goreng gula itu agak aneh. Banyak orang menyebutnya orang bodoh, tapi berbeda dengan pasien melamun bodoh pada umumnya. Jika kau membeli barang darinya, baik dalam hal penawaran harga atau urusan lain, ia sangat terampil. Beberapa kalimat sederhana juga sepenuhnya seperti manusia normal. Tapi dia tidak melakukan komunikasi lain dengan orang. Lebih banyak waktu, dia hanya duduk di belakang gerobak kecilnya dengan tatapan kosong, mengerutkan alis seolah memikirkan banyak hal, atau merenung, atau mengenang, sesekali tersenyum samar. Jika hanya melihat dari jauh, mungkin akan mengira dia sangat matang. Karena inilah, orang sama sekali tidak bisa menebak usianya.
Setelah berkali-kali membeli kacang chestnut goreng gula, Mu Qingqing pernah mendengar pedagang sebelah bercerita. Beberapa kali, pria itu seperti pulih normal dan sempat berbicara dengan orang sekitar. Setiap kali membuat orang terkejut, namun setelah beberapa kalimat, ia kembali ke kondisi tatapan kosong. Orang-orang pun beranggapan: mungkin karena keunikannya sebagai orang bodoh, kacang chestnut guraunya bisa seenak ini. Bagaimanapun, tetap saja dia cuma penjual kacang chestnut.
Memeriksa waktu, Mu Qingqing membuka pintu mobil dan turun. Payung terkembang, ia berjalan ke arah pasar. Hujan mulai reda, udara dingin membantu perenungannya. Saat ini sudah memasuki waktu tutup lapak, ia ingin membeli lagi untuk makan malam. Mungkin menyapa beberapa patah kata, siapa tahu sedang beruntung bertemu si bodoh dalam kondisi normal – keputusan untuk mencoba keberuntungan.
Tanpa disadarinya saat turun dari mobil, lelucon kecil ini akan mengubah – atau lebih tepatnya menentukan – banyak hal di kemudian hari.
Sebanyak apapun masa depan yang pernah kita bayangkan, nyata hanya ada satu: yang kita pilih sendiri.
## Bagian Empat Ratus Dua Belas Yang MATI
Sepuluh menit yang lalu, Pintu Samping Bank Administrasi Bisnis Jalan Liburan Mei.
Sekelompok bayangan hitam sibuk bergerak dalam hujan.
Memindahkan jalur kamera pengintai, menginvasi sistem satpam, mereka yang memegang laptop melakukan segalanya dengan terstruktur. Setelah memberi gestur 'OK', seorang lain mulai membuka gembok dengan alat. Suara halus terdengar, tak lama kemudian pintu terbuka.
“Bebek jaga di luar.” Bayangan Hitam yang memimpin mengayunkan tangan, bersiap masuk, lalu mengetuk sisi lain tirai hujan, “Aku merasa, waktu kita lewat tadi, apakah orang di seberang sana melihat kita?”
“Penjual kacang chestnut goreng gula?” Orang yang dijuluki Kepala Ikan menjawab, “Hu Ge tidak masalah, itu orang bodoh, cuma bisa jualan kacang chestnut. Kemarin kita makan beli dari dia.”
“Di profesi kita harus hati-hati... Kehati-hatian menjaga kapal selama puluhan ribu tahun.” Hu Ge menepuk bahu si penjaga, “Bebek, waktu jaga jangan mondar-mandir dekat bank. Pergi makan sesuatu, sekalian awasi si penjual kacang chestnut. Kalau bermasalah... Bunuh dia tidak masalah.”
“Ya, Hu Ge.”
Bebek mengangguk. Setelah kawan-kawannya masuk, dia melangkah keluar dari kegelapan, mengencangkan jas hujan, memandang sekeliling jalan, lalu berjalan ke gerobak chestnut di kejauhan.
“Bos, kasih saya setengah kilo.”
Berdiri di bawah kanopi gerobak, Bebek melirik ke kiri kanan. Pria di seberang mengisi kantong kertas dengan chestnut, menimbang lalu menyodorkan: “Delapan koma lima.” Suara harganya jelas dan lancar, tak terdengar aneh. Tapi sebagai orang lokal, Bebek paham si bodoh ini memang begitu - cuma bisa jualan chestnut, tidak bisa komunikasi atau bicara, seperti robot dengan prosedur yang sudah diatur.
“Kakak Yinhu terlalu curiga. Tapi dia dari luar kota, wajar saja…” Pikirnya sambil berdiri di depan mobil kecil, makan dan mengobrol seadanya.
“Bos, bisnis akhir-akhir ini lancar ya?”
“Cuaca mulai dingin, apakah bisnis kalian akan lebih ramai?”
“Di sini setelah malam hampir tidak ada pembeli, kenapa kau tetap di sini terus?”
Dalam hati ia menghitung detik-detik waktu berlalu, obrolannya hanyalah kamuflase untuk ketegangan yang dirasakan. Matanya terus awas sekitar, tangan kiri melemparkan kacang chestnut ke mulut, tangan kanan tetap tak lepas dari gagang pistol hitam di pinggang. Pria penjual kacang chestnut gula di seberang hanya menunduk, tanpa jawaban. Mendekati pukul 10, ia mulai merapikan barang-barang di mobil dengan teratur.
“Lima menit lagi pukul 10… Tepat waktu tutup ya, Bos.” Bebek tersenyum sambil melihat jam tangan. Setelah memastikan sekeliling tak ada keanehan, ia mengerutkan kening lalu berbalik menyebrang jalan kecil mencari toilet. Kebiasaan buruknya, semakin tegang semakin ingin kencing.
Setelah sosok itu menghilang, sebuah Mercedes bekas berhenti di persimpangan jalan sebelah. Polwan di dalam mobil melihat jam tangan, lalu turun sambil membuka payung.
“Sudah tutup ya, Bos. Masih ada sisa?”
Berdiri di bawah parkiran, Mu Qingqing bertanya. Sejenak kemudian, pria di seberang mengeluarkan kantong kertas: “Hanya segini sisanya.”
“Berapa harganya? Saya beli semuanya.”
“5 potong.” Mereka meletakkannya di timbangan elektronik, sekitar 6 liang lebih. Mu Qingqing mengeluarkan uang 10 yuan. Saat si penjaja mengambil uang dari laci, matanya menyapu sekeliling, sebuah pertanyaan meluncur spontan: "Bos, akhir-akhir ini ada lihat orang aneh-aneh di sini?"
Menyadari otak mereka bermasalah, awalnya hanya bertanya basa-basi tanpa mengharap jawaban. Tapi siapa sangka, setelah menyerahkan uang 5 koin padanya, pria itu justru membuka mulut datar: "Yang kau tanya rombongan yang sembunyi-sembunyi masuk bank tadi, atau yang sekarang sedang membidikmu dengan senjata mainan di seberang itu?"
Mu Qingqing tertegun selama satu detik, kemudian, berputar dan menarik senjata!
Byur——
Byur——
Dua dentuman nyaring merobek tirai hujan yang sunyi, bergema jauh dalam kegelapan malam.
Si bebek seluruh diri ini bersembunyi di belakang tiang trafo sana, menekan tombol di kantong pengepungannya mengirim sinyal ke dalam bank. Di sisi ini, tubuh Mu Qingqing terbang keluar. Pria penjual chestnut gula mematikan lampu yang tersambung baterai, bersiap pergi.
Byur——
Asap hijau mengepul, uap hujan bergelombang. Dentuman senjata dari kedua pihak saling silang, peluru-peluru melesat di samping mobil kecil. Pria itu seolah tak merasa, mendorong gerobaknya mengeluarkan suara creek, mulai melangkah pergi.
Byur——
"Kau awas, nyawamu tidak mau lagi!" Dalam riuh tembakan, Mu Qingqing tiba-tiba muncul dari belakang menerkam pria penjual chestnut hingga terkapar, sambil membalas tembakan. Pria di seberang yang baru mengintip kepala, kembali dipaksa masuk.
“Dia toh seorang polisi penyidik terlatih yang pernah mengalami banyak situasi genting. Mereka yang memegang senjata mungkin bahkan belum pernah beberapa kali menembak. Setelah beberapa tembakan, terpojok di belakang pilar dan tidak berani keluar. Mu Qingqing mengarahkan laras senjatanya ke sana, napasnya tersengal-sengal. Dengan singkat dia memberi kabar pada rekan di kantor polisi. Saat hendak perlahan mendekat untuk menangkap mereka, pria yang sebelumnya ditubruknya ke tanah sudah berdiri, sedang mengibas-ngibaskan bagian bajunya yang basah.
Orang bodoh tetap saja bodoh, bahkan tidak tahu takut...
Saat pikiran ini melintas di benaknya, tiba-tiba peluru melintas di sampingnya. Di belakang, tiang listrik dan aspal jalan sekitar menyemburkan percikan api. Dari pintu bank yang jauh, enam orang telah keluar dan mulai menembak ke arahnya. Salah seorang di sana berteriak: "Cepat ke sini!" Jelas memanggil orang yang bersembunyi di belakang trafo.
Dengan tergesa-gesa mencari tempat berlindung, Mu Qingqing sembari menembak ke arah trafo lagi, menghalangi orang yang hendak kabur di balik pilar. Dalam jarak pandangnya, si bodoh itu masih tetap asyik mendorong gerobak kecil, sementara peluru-peluru menari-nari di sekitarnya.
"Hei——"
Berlindung di balik tiang listrik, Mu Qingqing sendiri masih kesulitan mengamankan posisi. Apalagi harus menyelamatkannya. Untung jarak dari bank ke sini sekitar seratus meter, ditambah hujan lebat seperti tirai, membuat tembakan kedua belah pihak tidak akurat. Untuk saat ini, Mu Qingqing hanya bisa terus menembak untuk mencegah orang di belakang trafo kabur, sambil menunggu bala bantuan datang.
“Malam musim dingin, hujan dingin, jalanan panjang, lampu jalan redup, dua kelompok yang saling menembak dari kejauhan, serta seorang pria yang mendorong gerobak kecil berjalan di tengah hujan tembakan, membentuk gambaran aneh namun memesona.”
“Namun perhatian satu orang akhirnya tak bisa menandingi enam orang. Setiap kali tembakan dari sisi Mu Qingqing berhenti, pria di seberang jalan itu langsung memanfaatkan kesempatan untuk berlari beberapa langkah. Melewati trafo, melintasi tiang lampu jalan di depan, dia menyembunyikan tubuhnya di balik pohon besar. Memandang ke depan yang sudah tak ada lagi tempat berlindung, jika dia berhasil menemukan celah untuk keluar, mungkin akan langsung menyerbu ke arah bank.”
“Sial——”
“Dengan umpatan tidak pantas dari mulut seorang wanita terhormat, Mu Qingqing membidik ke arah bank sambil menarik pelatuk dengan gila-gilaan. Peluru di tangannya ditembakkan sekaligus, sementara seluruh tubuhnya melesat keluar seketika. Dari balik tirai hujan terdengar jerit kesakitan, lalu seseorang berteriak: ‘Kepala Ikan——’ Tembakan acaknya ternyata benar-benar mengenai target.”
“Berguling-guling beberapa kali di aspal, mengganti magasin, Mu Qingqing berlindung di ruang yang tertutup mobil kecil sambil mendekati pohon besar di depan dengan cepat. Saat ini dia sudah tak punya waktu untuk memikirkan si bodoh penggerak gerobak. Yang penting, meski tak bisa menangkap semua orang sekaligus, setidaknya harus menahan salah satunya. Beberapa tembakan dilepaskan saat gerobak kecil itu sudah mendekati tepi jalan tempat pohon berdiri. 5 meter, 4 meter, 3 meter, 2 meter... Tiba-tiba sosok di balik pohon itu menerjang keluar, berhadapan langsung dengan Mu Qingqing. Dua laras senjata bersilangan di udara.”
“Letakkan……” Jika bicara soal kecepatan menembak, Mu Qingqing pasti bisa jauh lebih cepat. Namun tepat di detik ini, melihat wajah pria di depannya yang terdistorsi, bahunya tiba-tiba terasa nyeri hebat—sebutir peluru menembus dari sana.
Dua dentuman senjata berkumandang dalam jarak dekat. Tubuh Mu Qingqing oleng, gagal mengenai pria itu, sementara si pria berjuluk Bebek juga meleset. Kemudian, pria yang hendak berlari ke arah bank itu persis terhadang gerobak dorong di jalan.
“Sial! Enyahlah kau!”
Di momen genting ini, pria itu secara bawah sadar membidik Mu Qingqing untuk tembakan kedua. Sambil itu, kakinya juga siap menendang si bodoh penggerak gerobak untuk kabur. Sirine polisi sudah terdengar dari kejauhan. Tubuh Mu Qingqing terjatuh ke tanah, matanya menyaksikan laras senjata bergerak mengarah padanya.
Lalu, suara tembakan pun menggema.
Jianghai, pintu hotel.
Angin dingin berhembus saat sopir keluarga Dongfang sudah menunggu di bawah. Dongfang Wan dan Xu Yiting mengobrol sebentar sebelum sekelompok orang muncul dari pintu gerbang—laki-perempuan yang jelas beridentitas tinggi. Ini hotel bintang empat terbaik di Jianghai, tempat para anggota perusahaan besar berbisnis tiap hari. Mereka bercakap-cakap di depan pintu sebelum mobil salah satu pihak datang dan pertama kali pergi.
“Di sisi lain, yang memimpin adalah seorang wanita yang usianya tidak bisa dibilang tua, mengenakan jaket hitam, memancarkan aura elegan. Tidak seperti Dongfang Wan yang menunjukkan kesombongan dan sikap arogan secara terbuka, wanita ini justru memancarkan kelembutan dan ketenangan yang menyejukkan. Hanya jarak tak kasat mata yang tetap terasa sama. Penampilannya yang rapi dan rambut panjang yang diikat longgar menyiratkan konservatisme. Tangan kirinya memegang tas kecil sengaja atau tidak sengaja menghadang di depan tubuhnya. Bahkan saat berjabat tangan dengan sangat akrab atau tersenyum paling cemerlang, semuanya hanya sampai titik tertentu. Meski terlihat tidak akan pernah menyulitkan atau menolak siapa pun, aura seperti ini langsung dikenali oleh Dongfang Wan.”
“Dia tentu juga bisa bersikap seperti itu, hanya saja itu tidak sesuai dengan karakternya. Malas melakukannya. Lagipula, wanita yang baru berusia awal dua puluh tahun, jika tidak menunjukkan sikap tegas secara jelas, justru akan membuat orang menganggapmu tidak mampu.”
“Wanita itu mengobrol sebentar dengan orang di sebelahnya, kemudian baru berbalik dan mendekati keduanya. Senyum hangat dan tulus terpancar di wajahnya: ‘Xiao Wan, Xiao Ting, lama tidak bertemu. Datang untuk reuni kelas?’”
“Xu Yiting tersenyum menyapa: ‘Bu Guru Zhang.’”
“Dongfang Wan tersenyum: ‘Bu Guru Zhang datang untuk urusan bisnis?’”
“‘Sebuah kontrak, hanya melihat-lihat saja.’ Wanita cantik itu mengangguk. Bertiga mereka turun dari jalan mundur hotel, mengobrol ringan tentang kondisi terbaru Dongfang Wan. Kemudian dia melihat jam: ‘Sudah sangat malam, tidak bisa lama-lama. Jika pulang terlalu larut, nanti dimarahi.’”
Xu Yiting berkata: "Hehe, Tao Tao di rumah sudah mencari ibu ya?"
"Iya." Di samping, sopir sudah membukakan pintu mobil untuknya. Membicarakan hal ini, sang ibu yang sudah memiliki anak tersenyum ceria, "Xiao Ting waktu kamu datang tahun lalu dia baru bisa bicara, sekarang sudah sangat nakal, bisa jalan, kakeknya juga selalu memanjakannya... Tidak usah panjang lebar, aku harus pergi, main-main saat Tahun Baru ya."
"Pasti!" Keduanya menjawab dengan ceria di samping pintu mobil. Setelah kendaraan itu menjauh, mereka saling bertukar pandang. Dongfang Wan berkata: "Sepertinya Bu Guru Zhang juga hidup bahagia ya."
Xu Yiting mengangguk: "Hanya saja tidak tahu siapa sebenarnya ayah Tao Tao..."
"Yang penting bahagia, tapi anak kecil memang merepotkan..."
Membahas hal ini, emosi keduanya tidak bisa dibilang murung, tapi juga tidak bersemangat. Bagaimanapun hubungan mereka dengan Bu Guru Zhang cukup baik, terutama Xu Yiting. Dalam beberapa hal, guru Yahan ini memiliki hutang budi yang setara dengan kehidupan baru baginya. Namun jika bicara tentang gosip paling menarik di dunia bisnis Jianghai 2-3 tahun terakhir, mungkin kasus Nona Yahan dari keluarga Zhang yang hamil tanpa menikah inilah yang paling memicu imajinasi banyak orang.
Sebelumnya, semua orang tahu bahwa Zhang Jing'an dari Keluarga Zhang tidak memiliki anak laki-laki, hanya memiliki seorang putri tunggal yang pernah dibina sebagai penerus aset keluarga. Namun putrinya ini memiliki karakter yang agak memberontak, pernah pergi jauh ke Inggris, dan setelah pulang ke negara asal tidak mau mempelajari pengelolaan perusahaan, malah menjadi seorang Guru di Akademi Hati Kudus. Meski demikian, pengaruh implisitnya tetap ada. Zhang Jing'an hanya memiliki satu-satunya putri ini, jika dia mau kembali, pada akhirnya perusahaan itu secara natural akan tetap menjadi miliknya.
Dalam situasi seperti inilah, di awal musim panas 2001, tersiar kabar bahwa nona keluarga Zhang tiba-tiba hamil. Pada bulan Oktober tahun yang sama, dia melahirkan seorang bayi perempuan. Sebelumnya, banyak yang memberikan perhatian besar padanya, namun tak satupun yang benar-benar dikonfirmasi sebagai pacarnya. Selama kehamilan, Zhang Jing'an menganggap putrinya telah mempermalukan keluarga, tidak hanya sekali melampiaskan petir kemarahannya, bahkan pernah bersumpah akan memukuli putrinya sampai MATI, meski tentu saja tidak dilakukan.
Setelah dikonfirmasi tidak mungkin melakukan aborsi, keluarga Zhang akhirnya berkompromi. Mereka memberi syarat agar putri mereka menyebutkan siapa ayahku sih, bagaimanapun harus ada status resmi. Namun nona keluarga Zhang dengan tekad membara tetap tidak menyebutkan satu nama pun.
Pada periode itu, dia tinggal di villa kecil di sebelang Akademi Hati Kudus, mempekerjakan seorang pengasuh untuk merawatnya. Menurut kabar yang dibocorkan pengasuh tersebut, nona keluarga Zhang selama kehamilannya rutin membaca buku, mendengarkan musik, menonton film edukasi prenatal, dengan pola hidup yang teratur. Bahkan ketika ayahku atau kerabat lain datang membuat keributan, dia tetap mempertahankan suasana tenang tanpa menghiraukan, seolah-olah ayah anak itu selalu ada di sampingnya dan tak pernah pergi.
Demikianlah, 10 bulan kemudian, bayi perempuan lahir dengan selamat, dipanggil Tao Tao, hingga kini belum memiliki nama resmi. Meski Zhang Jing'an pernah bersumpah memutus hubungan dengan putrinya, dia sangat menyayangi cucu perempuan ini. Setelah itu, nona keluarga Zhang mengundurkan diri dari jabatannya di Akademi Hati Kudus, menyelesaikan masa nifas, lalu mulai resmi belajar manajemen di Zhang. Karena anak ini tak memiliki ayah, berbagai dugaan hina bermunculan. Kerabat Zhang yang terlibat kepentingan bisnis pun berharap Zhang Jing'an memutus hubungan dengan putrinya, lalu mulai menyebarkan rumor liar. Mulai dari Zhang Yahan diperkosa hingga hamil, Bu Guru Zhang yang kehidupan pribadinya terlalu bebas hingga gemar mengadakan pesta seks dengan mahasiswa, hingga rumor tentang nona keluarga Zhang yang menggoda pria sudah beristri hingga hamil - semuanya beredar tanpa henti. Namun pihak yang bersangkutan tidak menghiraukan, sehingga tak menimbulkan gejolak besar.
Patut dicatat, meski selama masa kehamilan, ada pengagum penuh cinta seperti Xu Mo yang datang, umumnya menyatakan tak peduli siapa ayah anaknya, mereka tetap mau menikahinya. Namun tanpa terkecuali, semua ditolak secara halus oleh Yahan. Setelah anaknya lahir hingga sekarang, ia mulai bekerja di perusahaan keluarga Zhang. Meski sebagai ibu tunggal, berbagai pengagum tetap banyak, bahkan Zhang Jing'an mengatur beberapa pemuda berbakat yang tak merendahkannya untuk kencan buta. Tapi hingga kini belum ada kabar ia punya ketertarikan dengan siapa pun. Setidaknya di mata orang luar, hidupnya terlihat cukup berisi - punya keluarga, putri, dan hidup dengan bahagia.
Vila keluarga Dongfang dan rumah tempat Yiting tinggal sekarang berada di arah yang berbeda. Bertiga membahas beberapa hal tentang Guru Yahan, lalu berpisah. Saat mobil kecil mengantarnya pulang, Dongfang Wan memberi tahu sopir lokasi tujuan lain. Mobil itu belok ke jalan lain, perlahan meninggalkan kota. Sekitar satu jam kemudian, berhenti di bawah bukit pemakaman luar kota.
"Jangan ikut aku naik."
Mengenakan mantel, Dongfang Wan berkata pada sopir.
"Tapi..."
"Tak apa."
“Membawa tas kecil berwarna kuning keemasan, suara nyaring hak sepatunya bergema di anak tangga level satu. Dengan senter kecil di tangan, dia menyusuri nisan demi nisan sesuai memori, akhirnya berhenti di sebuah makam. Tempat ini jarang dikunjunginya. Sejak tahu dari kakak dua tahun lalu, dia pernah datang tiga hari berturut-turut. Entah mengapa, di tengah pegunungan dengan barisan nisan rapat memenuhi penglihatan, hanya di depan nisan ini dia selalu merasakan halusinasi yang tak nyata.
Persis seperti perasaan saat musim panas itu, di jalan yang diterpa cahaya matahari langsung, ketika pemuda itu tersenyum padanya.
“Terima kasih sudah terus mengajakku main.”
Usai senyum itu, pemuda itu memutar kemudi dan menghilang dari pandangannya, tak pernah muncul lagi.
Perasaan samar mulai mengganggunya sejak saat itu. Sulit baginya memahami hakikat perasaan ini. Meski tahu janji bertemu di Beijing mungkin batal—Lingjing tiba-tiba berangkat ke Wina, dan dia mungkin juga tak akan muncul di Beijing, apalagi setelah kejadian hari itu—dia tetap mencari beberapa hari sebelum masuk kuliah. Hasilnya sia-sia seperti perkiraan. Hingga dua tahun kemudian, dia melihat nisan ini.
Tiba-tiba perasaan tak jelas itu menjadi jelas lagi. Setelah menatapnya tiga hari, dia berangkat lebih awal ke Beijing, memutuskan untuk melupakan. Kalau bukan karena reuni teman sekelas hari ini, karena obrolan dengan Xu Yiting tentang Lingjing, mungkin dia tak akan tiba-tiba ingin datang.
“Tapi… Kau selalu menolak untuk pergi ya…”
Menghela napas, dia berdiri dalam kegelapan sejenak, kemudian berbalik pergi.
Di batu nisan di belakangnya, terpampang foto Hitam Putih yang familiar namun terlihat konyol, di bawahnya hanya tertulis lima karakter sederhana——Makam Gu Jiaming.
Yujiang, tirai hujan.
Cahaya hitam menyala di langit, Byur! Suara tembakan bergema, Mu Qingqing terjatuh di tengah hujan, merasakan peluru melesat melewati telinganya yang terasa terbakar.
Dalam jarak pandang, kepala pria itu berputar dengan menyedihkan ke satu sisi, tubuhnya berpilin di udara selama satu putaran sebelum terlempar.
Di sampingnya, pria penjual kacang chestnut goreng gula memegang spatula, tepat saat lawan menendang, dia menyambit kepala lawan dengan alat itu...
## Bagian Empat Ratus Tiga Belas Gedung Kecil di Pinggir Sungai
Saat terbangun, hari sudah siang. Di luar jendela kamar pasien mulai turun salju, ibuku dan adik perempuan berjaga di samping.
Rasa sakit di bahu membuatnya menghabiskan beberapa detik mengingat kejadian semalam: baku tembak, kacang chestnut goreng gula, peluru, orang-orang yang terlempar, dan spatula itu. Saat bangun dari ranjang, adikku terkejut lalu——tentu saja——segala sesuatu menjadi kocar-kacir.
“……Kakak Qing kamu sudah tidur semalaman, bahu tertembak peluru tapi lukanya tidak terlalu parah. Dokter bilang saat jatuh kepalamu terbentur tapi juga tidak serius. Kami kemalaman datang tadi malam, hanya berhasil menangkap satu anggota organisasi Kepala Ikan yang dijuluki Bebek, lainnya kabur. Saat ini kami sedang memperketat penyelidikan dan...”
“Dan Xiao Ke, tolong kalau buru-buru bicara, bisakah pakai tanda baca...”
“Oh, baik.” Anggota tim yang baru bergabung di kepolisian kriminal itu mengangguk, “Cuma segitu... Oh iya, kepala dinas bilang karena kamu tertembak, boleh cuti. Lagi pula Tahun Baru sebentar lagi, kasus ini diserahkan ke Kapten Zhong untuk bantu.”
“Bantu apaan? Zhong Jimin merebut pekerjaanku ya...”
Mu Qingqing menyeringai, “Perkara sebesar ini, selama lukaku tidak masalah, aku akan ke TKP. Kasus ini milikku, suruh Zhong Jimin minggir. Ngomong-ngomong, penjual kacang chestnut goreng gula itu, tidak kenapa-kenapa kan?”
“Dia baik-baik saja. Semalam kami ingin memanggilnya untuk keterangan, tapi dia tidak mau bicara, cuma terus dorong mobilnya. Sebelum pingsan, kakak bilang dia membantumu, jadi semua orang tahu dia orang bodoh... Keterangannya basically kami tidak bisa mempersulit...”
“Oh.” Mu Qingqing mengangguk, “Dia yang... yang namanya Bebek itu, langsung dipukul pingsan, menyelamatkan nyawaku.”
“Ya, ya.” Saat membicarakan hal ini, Xiao Ke tertawa, “Spatula besinya terbuat dari baja wootz, sangat berat. Tiba-tiba diayunkan, orang biasa memang tidak bisa menahan. Si Bebek itu dipukuli sangat sengsara, sekarang masih di kamar pasien sana, belum bangun juga.”
Mu Qingqing sama sekali tidak mau cuti, bahkan ingin cepat keluar dari rumah sakit untuk bekerja. Beberapa hari berikutnya, dia terus-menerus diomeli ibu dan adiknya. Tertembak saja sudah sangat mengkhawatirkan, tapi setelah tertembak punya kesempatan cuti malah tidak mau, tidak pulang merayakan Tahun Baru – sungguh perilaku yang memalukan. Berbagai kosakata untuk mengadili pendosa sepanjang zaman terus menerus dijejalkan ke dirinya.
Bagi Mu Qingqing, kasus besar di depan matanya ini memang tidak ingin dia lepaskan. Dulu dipindahkan ke kota ini bukan keinginannya sendiri, penuh dengan konflik dan tarik ulur. Tapi karakternya yang tekad membara meyakini bahwa selama bekerja keras dan punya prestasi cukup, pasti bisa mengajukan transfer kembali. Lebih baik gigit gigi dan transfer permanen kembali ke Jianghai daripada setiap tahun hanya punya waktu terbatas untuk pulang kampung.
Apalagi pulang sekarang buat apa merayakan Tahun Baru? Dia sudah bisa membayangkan serangkaian kencan buta yang dijadwalkan pagi-siang-sore setiap hari, omelan orang tua dan kerabat tentang pernikahan. Ya Tuhan, biasa-biasa saja sudah cukup – sekarang dengan perban di bahu dan tambalan di tengkuk pergi kencan buta... Masih kurang malu dari kehidupan sebelumnya?
Ibuku dan adik perempuan pada akhirnya juga memiliki urusan mereka sendiri. Awalnya berencana datang selama satu atau dua malam lalu pergi, namun karena insiden tertembaknya, mereka tinggal dua hari lebih lama. Melihat kondisinya tidak terlalu parah, dan tidak bisa dibujuk, akhirnya mereka pergi dengan kesal. Salju yang dikira akan lebat ternyata turun rintik-rintik selama beberapa hari. Suhu udara turun drastis, jalanan luar akhirnya mulai terasa putih. Mu Qingqing hanya tinggal tiga hari di rumah sakit sebelum pulang ke rumah. Setiap hari pulang-pergi kantor diantar-jemput oleh seorang polisi sekitar yang mewakili menyetir mobil. Saat melewati persimpangan jalan itu, dia sengaja mengamati area pasar sayur di sana, seolah pertempuran senjata malam itu tidak pernah terjadi, Segalanya tetap seperti biasa.
Kacang chestnut goreng gula, pria penjual kacang chestnut goreng gula, gerobak kecil dengan kanopi biru itu. Saat ada pembeli, pria itu akan berdiri menjual, tanpa pelanggan dia tetap duduk termenung memikirkan sesuatu. Saat dia membeli, mereka dengan sigap menimbang dan menyebutkan harga, tapi ucapan terima kasihnya seolah sama sekali tidak didengar. Tidak diketahui hal apa yang terjadi malam itu sampai membuatnya sementara memulihkan kesadarannya, mengeluarkan alarm seperti itu.
Beberapa hari berikutnya, salju mulai turun lebat.
Katanya kerusakan parah butuh seratus hari penyembuhan, tapi itu waktu untuk pulih total. Dengan perawatan tepat, kondisi Mu Qingqing sudah bisa bergerak seperti manusia normal dalam seminggu, meski bahunya masih dibalut perban dan tidak bisa berolahraga berat. Di sisi lain, urusan pihak Kepala Ikan justru tidak banyak kemajuan.
Dari interogasi terhadap Bebek serta investigasi selanjutnya, ada dua orang yang kembali dari luar negeri: sepupu Fish Head, Yin Hu sebagai pemimpin, dan satu orang lainnya yang ahli dalam komputer, bahan peledak, dan sejenisnya, dijuluki Kacamata. Keduanya tergolong penjahat kejam yang tidak segan-segan membunuh. Setelah tujuh hari berlalu, belum ada petunjuk yang ditemukan, membuktikan kemungkinan menangkap mereka semakin kecil. Namun menurut Mu Qingqing, mereka masih memiliki kesempatan. Salju tebal memblokir pegunungan, polisi melakukan pengawasan ketat pada jalan masuk/keluar Yujiang. Yang lebih penting, tembakan sembarangan yang dilakukannya malam itu tampaknya mengenai Fish Head. Jika melarikan diri dalam kondisi terluka, pasti akan meninggalkan jejak.
Dari nada bicara Bebek selama interogasi, Yin Hu dan Kacamata tidak hanya haus darah tetapi juga sangat arogan, tidak menganggap serius polisi daratan. Setelah analisis tim, jika pihak lawan benar-benar sekejam itu dan rencana mereka digagalkan, kemungkinan balas dendam terhadap Fish Head cukup tinggi. Kasus serupa jarang terjadi tapi bukan tidak mungkin. Mayoritas menyarankan Mu Qingqing untuk meningkatkan kewaspadaan. Setelah diskusi santai ini, setiap kali melewati persimpangan jalan itu, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti dan memeriksa. Balas dendam terhadap dirinya sulit dilakukan, tapi jika targetnya si bodoh itu, segalanya menjadi jauh lebih mudah.
Salju lebat seperti bulu angsa telah turun selama beberapa hari berturut-turut. Di atap rumah, tiang listrik, dan kanopi pasar, terlihat timbunan salju tebal dan kristal es di mana-mana. Beberapa ranting pohon telah roboh, timbunan salju besar-besaran tertumpuk di pinggir jalan, sementara jalan raya juga mulai sulit dibersihkan. Seluruh Kota Yujiang telah berubah menjadi kota yang ditimpa salju. Atap mobil kecil penjual kacang chestnut goreng gula pun tertutup salju, tetap menunggu di sana sebelum pukul enam setiap hari. Saat lampu jalan menyala di malam hari dengan voltase rendah yang redup, pejalan kaki tak terlihat di tepi jalan yang dingin. Di tengah hujan salju yang lebat, cahaya dari baterai masih bersinar di sudut pasar itu, menemani kesepian dunia ini.
Beberapa hari ini Mu Qingqing tak bisa menikmati kacang chestnut goreng gula. Dua kali membelinya pun dibagikan ke kantor polisi untuk dinikmati bersama. Duduk di dalam mobil memandang titik cahaya di tengah badai salju, ia bertanya-tanya: Apa yang bisa dilakukannya? Lari memberitahunya untuk berhati-hati mungkin ada yang akan balas dendam... Sungguh ide yang kacau, itu kan orang bodoh. Seratus kali diingatkan pun mungkin tak dianggap. Tapi bagaimanapun, spatula itu pernah menyelamatkannya. Setelah mengamati selama dua malam, ia menyadari si bodoh itu hanya memakai baju tipis tanpa sarung tangan, syal, atau topi. Beberapa helai pakaiannya saja sudah membuatnya merinding, tapi tubuhnya memang kuat. Pantas saja bisa dengan mudah menjatuhkan si beken bernama Bebek.
Dalam beberapa hari ini terjadi sebuah insiden kecil. Orang yang sebelumnya dikenalkan ibuku untuk kencan buta denganku menelepon lagi, mengajakku makan dan nonton film. Setelah tahu aku terluka, dia sengaja membawa bunga menjengukku. Mu Qingqing tidak punya perasaan khusus pada pria ini, tapi begitulah kencan buta - usianya sudah tidak muda lagi. Tak lama kemudian, dia melupakan hal ini, menunggu perkembangan hubungan selanjutnya.
Bagaimanapun, dia bukan tipe yang suka berutang budi. Malam kedelapan setelah kejadian itu, dia pulang kerja agak terlambat. Saat tiba di persimpangan jalan pukul 10.15, gerobak penjual kacang chestnut goreng gula sudah pergi. Setelah berpikir sebentar, dia menyetir mobilnya untuk menyusul. Langit masih menghujani salju, jejak roda dan sepatu hak di jalan masih jelas terlihat. Saat mendaki tanjakan sempit dengan salju setebal lebih dari 10 sentimeter, dia memarkir mobilnya. Jalan ini terlihat sulit untuk dilalui mobil, lebih baik berjalan kaki.
Memakai mantel, sarung tangan, topi, dan syal. Salju setebal kira-kira lewat sepuluh sentimeter berderak "gesek" saat diinjak. Melihat bekas gerobak dan jejak kaki di depan, dia tak bisa tidak mengagumi: Berjalan biasa saja sudah sulit di tempat ini, tapi mendorong gerobak kecil itu sampai atas tanpa slip? Benar-benar hebat.
Begitu menanjak tanjakan, setelah belokan muncul turunan lagi, saat ini sudah sampai di pinggiran kota. Tak jauh dari situ, di satu sisi terdapat aliran sungai hitam pekat yang bergerak deras dengan pepohonan samar-samar yang ditanam di tepiannya. Di sisi lain yang berdekatan dengan gunung, terlihat rumah-rumah yang jarang-jarang dengan pagar kebun sayur. Sebagian besar lampu jalan sudah rusak, hanya ada cahaya kuning redup yang jarang-jarang. Dari dalam rumah juga terlihat cahaya lampu, tapi di cuaca seperti ini semua pintu sudah terkunci. Suara televisi masih bisa terdengar, namun secara keseluruhan seluruh jalan seolah terperosok dalam rawa kegelapan. Angin yang bertiup dari sungai membuat suasana terasa semakin dingin menusuk tulang.
Menyusuri bekas roda kendaraan cukup jauh, di seberang sungai muncul sebuah gedung kecil dua lantai. Ketika mendekat, barulah ia sadar arah bekas roda itu mengarah ke sana. Di sisi jalan ini terdapat sebuah warung kecil yang pintunya terbuka. Seorang nenek tua sedang menghangatkan diri di konter sambil menonton TV. Melihat Mu Qingqing lewat, ia melirik sebentar.
Tiba-tiba terdengar teriakan "Aaaaa—" dari rumah kecil tepi sungai itu, seperti erangan sakit yang tertahan, atau geraman binatang buas di malam hari. Mu Qingqing tertegun, melihat nenek di warung itu juga melirik ke arah sana. Ia segera menghampiri: "Tante, ada apa di sana?"
Nenek itu tampak ramah, kembali melirik ke arah rumah: "Oh, mungkin anak muda itu lagi sakit kepala..."
"Hah?"
“Kau tidak tahu ya… Gedung di seberang sana awalnya adalah gedung berbahaya yang rencananya akan dihancurkan, tapi sampai sekarang belum juga dibongkar. Dulu sering ada gelandangan atau pengemis yang tinggal di situ. Tapi kalau dipikir-pikir, gedung itu dibangun di tepi sungai, sekarang goyah-goyah kalau dilewati sampai bikin takut. Siapa yang tahu kapan rubuh? Dari dulu tidak ada yang berani tinggal lama. Tahun lalu datang anak muda itu, entah dari mana dia dapatkan mobil untuk jualan kacang chestnut goreng gula…”
“…Duh, otaknya entah kena penyakit apa. Sehari-hari masih lumayan, setidaknya saat jualan masih waras. Kadang-kadang malah suka sakit kepala di malam hari, bukan sekali dua kali. Aku juga pernah naik melihat, sakitnya benar-benar parah, menyiksaku… Sekarang sudah agak mendingan, dulu lebih sering kambuh. Tapi tidak lama, sebentar lagi pasti sembuh. Duh, sebenarnya tampak seperti anak baik, usia 20-an tahun. Tidak ada yang urus, ya beginilah jadinya… Kau kenal dia?”
Mu Qingqing mendengarkan wanita itu selesai berbicara, mengangguk tanpa komentar. Kemudian berbalik menuju gedung kecil di seberang. Dalam kegelapan dia menyalakan senter. Gedung ini dibangun di tepi sungai, tertimbun salju tebal yang menunjukkan telah lama ditinggalkan. Sebagian tanah dan bebatuan di sisinya mulai gembur. Angin berdesir "wuuwu" menerpa, benar-benar terlihat limbung. Menyusuri tangga menuju lantai dua, pintunya tidak terkunci. Dari dalam terpancar cahaya lampu redup. Dorong pintu, terlihat ruangan terbuka di empat sisi dengan kondisi sangat sederhana.
Dinding di satu pihak terdapat lubang yang hancur, jendela tanpa kaca, bahkan bingkai kayu sudah tidak berbentuk. Lantai rumah bahkan jelas miring. Dalam cahaya dari baterai yang terhubung, di kamar terdapat dua unit kecil berisi barang-barang tidak karuan. Di sudut kamar terdapat gulungan selimut tipis—kira-kira itu ranjang. Dalam cahaya, terlihat karung berisi kacang chestnut dan ember di sisi lain berisi chestnut yang sudah dibelah pisau. Pisau sekarang tergeletak di lantai. Pria penjual kacang chestnut goreng gula itu meringkuk di tepi dinding, menggigit gusi hingga berdarah, seluruh tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin mengucur deras dari dahinya.
## Bagian Empat Ratus Empat Belas Rekrut
Serpihan salju masuk melalui lubang di dinding, angin dingin sungai menerpa. Saat tiba-tiba melihat pria itu menahan sakit dalam cahaya lampu temaram, Mu Qingqing tertegun sejenak lalu segera berlari mendekat.
"Hei... Kau..."
Selama bertahun-tahun jadi polisi penyidik, dia pernah menyaksikan banyak penderitaan. Tapi menyaksikan pria ini menggigit gusi sampai berdarah, seluruh tubuh bergetar tak terkendali di lantai, hatinya tetap berdebar kencang. Bagaimanapun, ini pasti sakit luar biasa. Sentuhan pertama pada tubuh mereka—di musim dingin kejam ini—terasa membara seperti api. Ini jelas fenomena yang sangat tidak normal.
"Hei..."
"Awalnya sudah merasa pakaian pria itu tipis, setelah beberapa kali didorong dengan tangan, kesan ringannya semakin terasa. Sensasi panas membara di seluruh tubuhnya malah semakin kuat, keringat mengucur deras seperti hujan, seolah seluruh darah dalam tubuhnya sedang mendidih. Dia menarik napas dalam dua kali, berjalan ke pintu, lalu mengeluarkan teleponnya."
"Halo, yang jaga hari ini... Xiao Chi? Aku Mu Qingqing, segera panggilkan ambulans ke Fuchi, jalan Yanjiang, nomor... Suruh mereka cepat ke sini! Di tepi sungai ada gedung kecil dua lantai yang sudah rusak, aku akan menunggu di sini..."
"Setelah menutup telepon, dia berdiri di tangga sambil menghirup udara dingin lagi. Ketika menoleh kembali, secara tak terduga melihat pria di dalam kamar sudah hampir pulih, kedua tangannya menopang di lantai sambil terengah-engah, membiarkan butiran keringat terus menetes dari wajahnya."
"Ini adalah..."
"Dia berdiri di pintu mengamati cukup lama. Pria itu menghabiskan sekitar setengah menit untuk menyesuaikan napas, keringat di dahinya berhenti mengucur. Kemudian dengan limbung dia berdiri, terdiam selama lebih dari sepuluh detik, mengambil ember dan mengisi air dari pipa di sudut rumah. Dia merendam handuk yang tergantung di sampingnya, lalu membasuh wajah dengan air dingin itu. Di malam seperti ini, air dingin yang diletakkan di luar akan membeku dalam waktu singkat, tapi dia tampak sama sekali tak peduli dengan suhu air. Setelah selesai, samar terlihat uap panas menguap dari wajahnya."
Mu Qingqing membuka mulutnya dan menyaksikan segalanya. Tubuh pria ini cukup kuat, bahkan setelah mengalami sakit kepala yang parah, dia masih bisa menggelepar seperti ini. Setelah mencuci wajahnya, dia menggantungkan handuk dengan rapi, lalu kembali ke bawah cahaya lampu, mengambil pisau, dan mulai membuat bekas torehan pedang pada cangkang kastanye satu per satu, dari awal sampai akhir, tanpa sekalipun menatapnya.
Tidak jelas bagaimana kondisi mental mereka sebenarnya, tetapi jika setiap hari disiksa rasa sakit seperti ini tanpa keluarga di sampingnya, mungkin siapa pun akan dibuat gila. Mu Qingqing menarik napas lega di depan pintu, beberapa menit kemudian, cahaya ambulans muncul dalam kegelapan malam...
Waktu terus berlalu, salju masih turun, terkadang deras terkadang ringan, sesekali berhenti sebentar. Yujiang dekat daerah pegunungan, tanpa kota industri besar di sekitarnya. Salju tahunan memang biasa di sini, tetapi kontinuitas hujan salju tanpa henti seperti tahun ini tetap merupakan situasi yang mengejutkan. Banyak gubuk di pinggiran kota telah runtuh. Masih ada lebih dari seminggu menuju Tahun Baru, situasi di kantor polisi menunjukkan polarisasi - sebagian orang sudah bersiap libur kerja, sementara yang lain justru menjadi lebih sibuk dari sebelumnya.
Mu Qingqing masih terus mengejar jejak orang-orang seperti Kepala Ikan. Dua hari lalu, dia sempat menemukan alamat rahasia mereka, namun ketika tiba di lokasi ternyata mereka sudah kabur. Petunjuk kembali putus, tapi setidaknya dia mengetahui sebagian hal - bahwa mereka belum melarikan diri sepenuhnya. Selain itu, Kepala Ikan yang terkena tembakan sembarangan darinya mengalami luka parah. Tanpa fasilitas pengobatan formal selama beberapa hari ini, bertahan dalam kondisi seperti itu pasti sangat menyiksa. Setelah menyatukan semua petunjuk, Mu Qingqing berkomentar: "Bertahan sampai sekarang belum MATI, nyawanya benar-benar tangguh."
Mendengar kabar ini, dia sedikit lega. Bukan karena Kepala Ikan masih hidup, tapi karena dengan membawa pasien kritis, pasti mereka tidak bisa kabur jauh. Permainan petak umpet ini, seberapa lama pun berlangsung, pada akhirnya pasti akan terbongkar juga.
Selama beberapa hari ini, selain mengorganisir petunjuk terbatas, merenung, dan melakukan investigasi sederhana di area-area yang dicurigai, ada satu hal lagi yang dilakukan Mu Qingqing sepulang kerja. Dia membeli dua selimut, pakaian hangat, sarung tangan, dan barang-barang sejenisnya untuk dikirim ke gedung kecil di tepi sungai. Semua ini dilakukan setelah pukul sepuluh malam.
Kedua belah pihak masih tidak bisa berkomunikasi. Saat dia merapikan selimut dan menata pakaian di samping, pria itu terus mengupas kulit kacang di bawah cahaya lampu, mengabaikannya dan tidak peduli dengan kehadiran orang baru di rumah. Mu Qingqing pada dasarnya bukan tipe yang suka bersosialisasi. Jika manusia normal bersikap acuh tak acuh seperti ini padanya, pasti sudah lama dia pergi dengan marah. Tapi karena lawannya adalah orang bodoh, dan toh sudah pernah membantunya, seperti kebanyakan manusia biasa - kita berbuat baik hanya untuk ketenangan hati sendiri. Saat ini, setidaknya dia sudah melakukan semua yang bisa dilakukan.
Ambulans yang datang malam itu tidak berguna sama sekali. Alasannya karena komunikasi benar-benar terhambat, apalagi memaksa mereka ke rumah sakit. Masalah otak terlalu rumit, tanpa diagnosis detail dokter pun tidak berani sembarangan menilai. Dokter hanya menyebutkan dua jenis obat penghambat sakit kepala tanpa efek samping, tapi itu tidak berarti apa-apa. Bagaimana caranya membuat orang bodoh yang tidak bisa diajak komunikasi minum obat? Mu Qingqing juga tidak punya waktu luang untuk menjadi pengasuh.
Dalam beberapa hari ini, mereka tidak mengalami kekambuhan lagi.
Setelah beberapa kali mengunjungi gedung kecil itu, Mu Qingqing mulai khawatir di hati. Setiap kali datang, gedung kecil itu terlihat bergoyang-goyang. Belum lagi salju yang semakin menumpuk tiap hari, benar-benar tidak tahu kapan bangunan berbahaya ini akan runtuh.
Kekhawatirannya memang beralasan. Setelah sehari berlalu, kekhawatiran itu akhirnya menjadi realita. Pagi ini saat berangkat kerja, pukul tujuh gerobak kecil itu belum juga muncul di persimpangan pasar. Syukurlah saat lewat lagi pukul sembilan pagi, mobil dan si orang bodoh itu akhirnya ada di sana. Sore harinya, dia menyempatkan diri ke tepi sungai dan menemukan seluruh gedung sudah ambruk, reruntuhannya ditimpa salju seolah kejadian itu sudah terjadi sejak kemarin.
"Tante, gedung kecil itu... kapan ambruknya?" tanyanya pada ibu pemilik warung kecil di sebelah.
"Itu mah ambruk kemarin sore."
"Lalu... si penjual kacang chestnut goreng gula yang bodoh itu, semalam menginap di mana ya?"
"Dia tuh, pagi ini bikin kita kaget setengah mati. Dia parkirkan mobil kecilnya di pinggir jalan, tidur bersandar begitu saja semalaman. Badannya hampir seluruhnya tertutup salju. Pas aku buka warung pagi tadi, kukira dia sudah MATI... Kau tahu lah, para pengemis dan sejenisnya biasanya sulit bertahan di musim dingin. Tapi siapa sangka, dia cuma mengibaskan salju dari badannya lalu bangun lagi. Tubuh anak muda itu memang kuat, tapi kalau terus begini, sekuat apa pun mungkin tidak akan bertahan lebih dari beberapa hari lagi, ya..."
“Mu Qingqing juga sempat terkejut, tidak menyangka orang itu bisa bertahan di salju semalaman. Setelah lama berdiri di samping gedung kecil yang ambruk, dia kembali ke kantor polisi dan menanyakan tempat penampungan gelandang. Tapi sepertinya tidak cocok untuk manusia yang punya kesadaran diri jelas namun tak pernah berkomunikasi ini. Setelah lama berpikir, sekitar pukul sembilan malam, dia pergi ke pintu pasar.”
“Di tengah hamparan putih, lampu gerobak masih menyala di bawah lampu jalan. Dia mendekat dan mengamati pria penjual kacang chestnut goreng gula itu lama-lama. Rambutnya agak berantakan, wajahnya biasa-biasa saja, seperti mudah hilang di kerumunan. Saat menunduk berpikir, ekspresinya memancarkan kesedihan mirip karyawan kecil tak berambisi, atau pemalu yang sedang memendam perasaan. Mengingat fakta dia tidur di salju semalam, perempuan itu mendekati gerobak: ‘Aku mau beli.’”
“Saat pria itu berdiri dan mengulurkan tangan, dia menempelkan dahi ke dahi pihak lawan.”
“Delapan potong setengah per kilo. Mau berapa?”
“Tidak sakit juga, tubuhmu benar-benar kuat...”
“Sambil bergumam, dia menunggu waktu mendekati pukul sepuluh. Ketika pria itu mulai membereskan barang untuk pergi, dia berlari kecil dan memegang salah satu pegangan gerobak.”
“Lewat sini, lewat sini.”
“Sang pria memandanginya dengan tatapan tenang.”
Melihat pandangan seperti ini, teringat spatula di malam hujan itu, Mu Qingqing mulai merasa ngeri di hati, waspada setiap saat kalau mereka menyabetkan spatula ke arahnya. Mengayunkan kedua tangan, berusaha memberi isyarat seekspresif mungkin.
“Tempat tinggalmu sudah runtuh, runtuh berarti tidak bisa ditinggali lagi, kau tahu tidak. Aku akan mencarikanmu tempat tinggal, kalau tidak kau akan MATI beku... Aku ingin membantu, paham tidak soal bantuan? Ini untuk kebaikanmu, aku akan membawamu ke tempat lain...”
Setelah mengulang-ulang perkataan ini berkali-kali, dia merasa dirinya benar-benar agak bodoh, kemudian berusaha mendorong mobil kecil itu. Entah apakah omelannya yang berulang-ulang berpengaruh, mereka melepaskan pegangan mobil dan berdiri di sana memperhatikannya. Dengan susah payah dia mendorong kereta dorong itu turun dari trotoar.
“Ayo sini.”
Awalnya ingin membawa si bodoh ini pergi, siapa tahu dia malah hanya berdiri menonton di samping. Mobil di atas salju terasa luar biasa berat, Mu Qingqing mulai membenci dirinya sendiri. Mercedes bekasnya tidak bisa distarter dalam cuaca seperti ini, kemarin dibawa untuk perawatan, kalau tidak bisa digunakan untuk menarik kereta dorong ini. Tapi karena sudah mulai melakukannya, dia tidak punya kebiasaan untuk niat mundur. Menggigit gigi mendorong melewati satu blok jalan, sampai terengah-engah, bahu kanannya juga mulai terasa sakit, mungkin bagian yang tertembak lagi kena dampak.
“Kau juga bantu dorong dong...”
Di depan ada tanjakan kecil. Karena dampak luka tembak, Mu Qingqing yang belakangan ini memang mulai melemah, mendorong sebentar lalu kakinya terpeleset, hampir terjatuh ke bawah. Tiba-tiba, satu tangan mencengkeram erat salah satu pegangan gerobak. Mu Qingqing lega, mendorong sambil berjalan ke depan, merasa jauh lebih ringan. Kekuatan orang ini luar biasa...
"Sini sini..."
"Depan belok kiri..."
"Belokan berikutnya belok kanan, lurus saja..."
Di jalanan mendekati tengah malam, sesekali mobil melintas. Berdua mendorong gerobak kecil itu perlahan menjauhi jalan besar. Di samping mereka tumpukan salju tebal dan bayangan pohon di bawah lampu jalan. Sekitar lewat dua puluh menit, mereka tiba di bawah sebuah gedung. Mu Qingqing memarkirkan gerobak di parkiran bawah gedung, lalu mengangkat sekarung berangan dari gerobak, menyuruh si bodoh itu membawanya sambil menggandeng lengannya. Dia membuka pintu sebuah kamar di lantai satu.
"Aku tinggal di sini. Kamar sebelah biasanya kosong, kau bisa menempatinya. Ruang tamu boleh kau pakai, toilet dan dapur juga... Lagipula dapur pun tak pernah aku pakai untuk masak. Di sini ada pisau, bangku, ember... Untuk sementara tinggallah di sini. Jika sudah ketempat yang lebih baik, akan kau pindahkan. Mengerti?... Ah sudahlah, berulah sesukamu asal jangan masuk kamar tidurku..."
——Ini adalah rumah yang dibagikan kantor untuknya tinggal, dua kamar satu ruang tamu cukup luas, ada toilet dan dapur, yang penting tidak perlu biaya perawatan. Kamar tidur sebelah selain saat adik perempuan atau ibuku menginap, biasanya juga kosong. Karena kedua belah pihak tidak bisa berkomunikasi, dia mengulang-ulang penjelasan berkali-kali, kemudian dengan kekecewaan menepuk kepala. Biarin saja, dia sudah berbuat semampunya, apa lagi yang bisa dilakukan.
Badan terasa sangat lelah, masuk ke toilet mandi lalu keluar, melihat si bodoh duduk di sudut ruang tamu dengan tenang menangani kastanya, barulah dia menghela napas lega, kembali ke kamar mengunci pintu, mengganti obat di bahu, lalu terjatuh di ranjang dan tertidur pulas.
Pistol terselip di bawah bantal.
12 Januari 2004, tanggal 21 Desember kalender lunar, seminggu sebelum Tahun Baru Imlek, memulai kehidupan tinggal bersama yang mulai terasa aneh.
——Setelah sekian lama, dia mengingat kembali seperti ini.
## Bagian Empat Ratus Lima Belas Kelompok Pendendam
Istilah "tinggal bersama" sebenarnya agak berlebihan untuk menggambarkan situasi mereka saat itu, faktunya hanya saling menghormati wilayah masing-masing. Awalnya Mu Qingqing sudah mempersiapkan gangguan dalam hidupnya setelah membuat keputusan, namun beberapa hari kemudian baru menyadari bahwa hal ini tidak separah yang dia bayangkan.
Si orang bodoh itu tidak membuat keributan, diam dan tenang. Setiap pagi sebelum jam enam sudah keluar, jam sepuluh malam baru pulang beres-beres lapak. Sekitar jam sepuluh dua puluh tepat waktu sampai rumah, lalu duduk di sudut rumah membelah kulit kacang dengan pisau. Baru saat ini ada sedikit suara, tapi tetap tidak mengganggu. Mu Qingqing duduk di sebelahnya memperhatikan gerakan tangan saat membelah kacang, selalu merasakan fokus yang sulit diungkapkan. Jam dua belas mandi air dingin, lalu tidur. Meski tidak ada komunikasi, harus diakui dia tidak jorok, beberapa pakaian yang ada selalu rapi, tidak sampai dibenci.
Tentu saja, bagi Mu Qingqing, selain memperhatikan beberapa hari pertama, dia juga tidak punya banyak waktu meneliti kehidupan dan rutinitas orang itu. Setiap hari ada hal yang harus dikerjakan, jam kerja relatif tetap. Pulang kerja malam bebas mengatur waktu. Kalau pulang lebih awal, mandi lalu nonton TV sebentar langsung tidur. Kalau pulang larut, bisa bertemu dengannya. Setelah mandi dia menyalakan TV dan beristirahat sebentar di sofa. Suara TV yang agak keras bisa menutupi suara lembut kacang dilempar ke ember plastik di sudut. Kadang Mu Qingqing mencoba bertanya beberapa kalimat seperti menguji keberuntungan, tentu tidak mendapat jawaban. Setelah beberapa hari, dua orang yang masih asing ini akhirnya beradaptasi dengan ritme masing-masing. Dalam kesunyian, hidup berdampingan tanpa masalah.
Pada hari perayaan tahun baru imlek, salju berhenti. Suasana sukacita Tahun Baru diam-diam menyebar ke seluruh kota. Atap pasar tempat menjual kacang chestnut goreng gula runtuh sebagian karena tertimbun salju tebal, namun tak mampu meredam semangat warga yang sedang mempersiapkan kebutuhan tahun baru. Dalam beberapa hari berikutnya, Mu Qingqing juga mulai menyiapkan persediaan makanan di rumahnya, sebagian besar tentu saja mi instan dan sosis kalengan. Kemampuan memasaknya biasa saja, paling-paling bisa menggoreng telur atau memasak sayur asal-asalan. Tapi mau bagaimana lagi, lokasi tempat tinggalnya bukan termasuk area perkotaan yang ramai. Selama masa tahun baru, layanan delivery memang tidak tersedia.
Lagipula kalau merayakan tahun baru masih harus pesan antar, itu terlalu menyedihkan.
Tanggal 26 bulan ke-12 penanggalan lunar, pria yang sebelumnya dijodohkan dengannya datang mengunjunginya ke kantor polisi sambil membawakan setangkai bunga. Kejadian seperti ini pertama kali terjadi di Yujiang, sehingga rekan-rekan di kantor pun bersorak-sorai membuatnya malu. Kemudian mereka berdua pergi menonton film bersama. Pria itu mengundangnya untuk merayakan tahun baru di rumah keluarganya. Mu Qingqing menduga ibunyalah yang kembali ikut campur, akhirnya dengan halus menolak karena hubungan mereka belum cukup dekat untuk hal seperti itu.
Kasus perampokan bank masih belum ada perkembangan. Hanya saja mendekati akhir tahun, tersiar kabar samar bahwa luka tembak di kepala ikan memburuk dan saat ini hampir MATI.
"Kabar dari mana ini?"
“Tidak jelas, ada kabar-kabar seperti itu. Kami dengar dari Ah Huang yang sering kasih laporan ke kami, tapi dia dengar dari dua orang yang sama-sama kasih kabar serupa. Saat ini kami sedang…”
“Selidiki lapisan demi lapisan, cari akar informasi ini. Jangan takut repot. Siapa yang tidak kooperatif, traktir mereka merayakan Tahun Baru di kantor.” Mu Qingqing memberi perintah, “Selain itu, perketat pengawasan di beberapa jalan utama keluar Kota Yujiang. Begitu kepala ikan MATI, anggota lain kemungkinan besar akan kabur. Terutama beberapa hari ini, kalau mereka pergi, kita tidak bisa bongkar kasus ini lagi…”
Kawasan pegunungan pinggiran Yujiang.
Setelah salju berhenti, seluruh dunia memutih. Bukit-bukit membentang di pandangan mata, diselimuti salju putih. Pandangan kita bergerak dari atas ke bawah, menstabilkan gambaran di antara bukit yang putih bersih. Salju menutupi pepohonan dan bebatuan di lereng gunung. Beberapa tungku batu bata di pinggang gunung juga ditelan warna putih. Namun di dekat tungku, ada sepetak tanah yang tergali, membentuk makam kecil. Di depannya tertancap hio, taruh korban persembahan sederhana, uang kertas terbakar. Enam orang berdiri di depan makam.
“Kepala ikan… Aku yang celakakan dia…”
Kertas persembahan membakar api di depan nisan. Pria kekar berkacamata hitam di barisan paling depan perlahan membuka mulut. Setelah kalimat itu, keheningan panjang menyelimuti sebelum akhirnya dia menoleh ke belakang. Suaranya berat: “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Di belakang ada lima orang, selain si kurus tinggi yang dijuluki kacamata, keempat anggota lainnya dulunya adalah bawahan Fish Head. Mereka saling bertukar pandang, salah satu dari mereka berkata: "Hu Ge, kita harus menghindar dulu. Manfaatkan situasi salju tebal yang memblokir gunung dan momentum Tahun Baru. Masih ada waktu untuk pergi."
Yin Hu menatapnya, rongga mulutnya bergerak-gerak beberapa kali, lalu mengulurkan jarinya: "Sepupuku MATI, kau mau aku pergi?"
Orang itu tampak ragu-ragu: "Hu Ge, hal semacam ini... pasti ada risikonya. Mereka itu polisi, tidak perlu kita lawan sampai titik darah penghabisan. Selama gunung hijau masih ada, tak perlu khawatir kayu bakar habis. Hu Ge..."
"Selama gunung hijau masih ada, tak perlu khawatir kayu bakar habis. Hmph, 20 tahun lalu aku meninggalkan tempat ini karena ucapan itu, sekarang ada orang lagi yang ngomong begini..." Yin Hu berbalik badan, berjongkok di depan makam sambil melemparkan lebih banyak kertas sembahyang ke api. "Wanita itu MEMBUNUH sepupuku, aku ingin dia MATI. Kalau tidak, bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan ini pada saudara-saudaraku?"
"Hu Ge, kalau begitu... hal ini bisa menjadi sangat besar..."
"Takut urusan jadi besar? Ha..." Yin Hu berbalik sambil tersenyum, menunjuk-nunjuk dada orang itu. "A Shu, dulu kalian bergaul dengan saudaraku. Bagaimana perlakuan saudaraku padamu? Sekarang dia MATI, kalian malah takut urusan jadi besar? Toh kita tetap harus kabur, BUNUH dia, kita semua bisa pergi bersama."
“Setelah kematian Fish Head, A Shu jelas menjadi yang paling berwibawa di antara keempat bawahan yang tersisa. Meski tahu sifat Harimau Perak yang berwatak kasar, setelah bertukar pandang dengan ketiga rekannya, akhirnya dia berkata: "Hu Ge, masalah ini benar-benar serius, kau harus mempertimbangkan..." Melihat wajah Harimau Perak di seberang mulai muram, satu tangan menyusup ke dalam jaket. Seketika, dia juga secara tiba-tiba menarik pistol Black Star dari pinggangnya dan mengarahkannya ke raksasa di depannya: "Hu Ge, kau lakukan caramu, kami lakukan cara kami. Jangan bertindak sembarangan."
"Kemampuannya meraih kepercayaan ketiga rekannya juga berasal dari karakter destruktifnya sebagai penjahat berbahaya yang pernah menodai tangannya dengan nyawa manusia. Setelah lama membeku di bawah Fish Head, kepalanya tiba-tiba menegak, aura-nya tak kalah mencekam dibanding pihak lawan."
Suasana di hamparan salju tiba-tiba berubah mencekam. Kacamata menunduk tanpa bicara, ketiga lainnya juga tidak menarik senjata. Keduanya saling berhadapan dalam kebekuan. Senyum tipis mengembang di wajah Harimau Perak. Tangan kanannya perlahan mengeluarkan sebatang rokok, lalu maju selangkah menempelkan dahinya langsung ke lubang laras. Kata-katanya terucap satu per satu dengan berat:
"Ada apa? Sangat tegang? Aku hanya mengambil rokok... Pistol ini... adalah pemberianku. Coba kau tembak apakah pelurumu bisa mengenaimu..."
"Hu Ge, aku tak ingin sampai ke tahap ini, tapi kau sudah kehilangan rasionalitas..."
"Buang omong kosong! Tembak sekarang!"
A Shu tersenyum, mundur selangkah sambil menurunkan laras. Di detik berikutnya, kilau dingin melintas di matanya saat pistolnya tiba-tiba terangkat. Berbarengan, bayangan Harimau Perak menyambar maju seperti angin.
Byur——
Dentuman senjata menggema di atas salju, kemudian seluruh tubuh A Shu terlempar terbang hingga 3-4 meter, menyemburkan hamparan salju tinggi-tinggi. Yin Hu terus melaju, tangan kanannya mencabut pisau tentara dari pinggang dan melemparkannya secepat kilat, sementara tangan kiri telah mengarahkan pistol. Di saat bersamaan, si kurus tinggi berkacamata merentangkan kedua tangan, dua pucuk senjata muncul di genggamannya.
Dengan suara 'plop', pisau tentara itu menembus kepala A Shu. Tubuhnya roboh di hamparan salju, tangan kanannya masih menggenggam erat senjata. Meski sebelumnya sempat menembak sekali, seperti prediksi Yin Hu, peluru itu berhasil dihindari lawan. Tiga laras senjata kini mengarah ke tiga orang tersisa. Beberapa detik kemudian, Yin Hu menurunkan senjatanya, menghampiri mayat A Shu dan mencabut pisau berlumuran darah itu.
"Kalian anak buah saudaraku, kukanggap kalian orang dalam. Urusan ini belum beres. Aku punya tanggung jawab pada kalian. Jika nanti memilih berpisah, aku pahami. Aku orang yang adil. Ikut aku, akan ada keuntungan dibagi rata. Kalian kena masalah, kubalas dendam. Tapi siapa yang kabur sekarang, jadi musuhku."
Bibirnya terkunci rapat, jarinya menusuk-nusuk udara keras. "Ada yang masih punya pendapat?"
Suasana hening menyelimuti.
"Baik, kita bertindak malam ini."
Tanggal 28 bulan ke-12 penanggalan lunar, Mu Qingqing sibuk bukan main.
"Yang bisa mengetahui kabar dari Kepala Ikan secara samar, kebanyakan adalah orang-orang dengan latar belakang Jalan Hitam, umumnya para pelaku kawakan. Saat sampai di kantor polisi, sikap mereka santai seperti pulang ke rumah, bicara banyak tapi tidak mengungkapkan kebenaran. Orang-orang ini hanya tahu informasi terbatas, mustahil menganggap mereka sebagai tersangka sejati untuk diinterogasi. Sulit untuk menemukan pegangan rekaman mereka dan memberikan ancaman yang tepat. Masalah ini tertunda lebih dari setengah bulan, tinggal 2 hari lagi menuju Tahun Baru. Tekanan pada Mu Qingqing juga besar, untungnya dia pernah terkena tembakan dalam kasus ini sehingga atasan tidak bisa menegur keras. Malam ini setelah berdebat lama dengan seorang informan, waktu sudah lewat jam 11 malam belum juga pulang kerja. Baru keluar dari ruang interogasi, telepon dari Xiao Ke datang dengan suara panik."
"Halo, Qing-jie, apa kau sudah pulang sekarang?"
"Belum, ada apa?"
"Aku juga tidak yakin. Baru dapat kabar dari Ching Pi Nan, Kepala Ikan MATI! Yin Hu, Kacamata dan gerombolannya ingin membalas dendam padamu. Katanya karena perpecahan internal dalam kasus ini, A Shu tewas dibunuh. Kau tahu kan, A Shu yang kalau berkelahi tidak peduli nyawa itu. Aku sedang berusaha konfirmasi. Syukur kau masih di kantor polisi, hati-hati ya!"
Tidak perlu penjelasan panjang. Begitu kabar sampai, Mu Qingqing langsung tahu tindakan terbaik. Tapi setelah ragu-ragu sedetik, dia berbisik: "Ini buruk..."
"Kenapa?"
"Saat ini... ada orang di rumah..."
## Bagian Empat Ratus Enam Belas: Awal Pergolakan
Menjelang akhir tahun, bisnis justru mulai sepi. Jam 11 malam, dia selesai memotong kacang mete yang akan dijual besok, merapikan barang-barang.
"Setelah menyimpan kacang chestnut, dia meneguk segelas air lalu mengambil sapu mulai menyapu. Tinggal dua hari lagi menuju Tahun Baru, sesekali suara kembang api terdengar dari luar, cahayanya menyala merah sesaat di jendela bertirai. Tiba-tiba, dia berdiri tegak, pandangannya seolah menembus tirai jendela mengarah ke kegelapan di seberang."
"Setelah lebih dari setengah bulan, sesuatu telah menghancurkan tatapan renung yang tenang itu. Kebencian dan niat membunuh menarik jiwa yang bersemayam di dalam tubuh itu kembali ke realita."
"Pria kurus tinggi itu menurunkan teleskop, menyodorkannya ke Yin Hu di sampingnya: 'Dia ada di rumah.'"
"'Lalu buat apa bicara lagi? Habisi dia lalu kabur.' Yin Hu mengunyah permen karet, kilatan kejam melintas di matanya. Dia membuka tas di tangan kirinya, membagikan senjata ke orang-orang di sekitarnya. 'Jangan hemat peluru. Saat ini... anggap saja sedang main petasan.'"
"Kompleks perumahan terpencil ini diselimuti salju. Lima orang melangkah di antara pepohonan, derap kaki mereka mengeluarkan ritme 'gesekan' berirama. Mereka kemudian menuju jalan raya, berbelok ke sebuah gedung. Di langit gelap, sesekali kembang api warna-warni melintas. Saat melewati parkiran, si Kacamata berhenti sebentar, mengetuk sebuah kereta dorong yang terparkir di sana."
"Yin Hu melirik, alisnya berkerut."
"'Yang jual kacang chestnut goreng gula itu?'"
"'Ini dia...'"
Berdiri di bawah gedung, lima orang menengadah ke atas, memandang ke arah yang berbeda di lapisan bangunan. Tapi tentu saja tidak terlihat apa-apa. Yin Hu menyeringai, beberapa orang masuk ke koridor lantai satu. Dia mengeluarkan permen karet dari mulut dan menempelkannya di lubang pengintip pintu kamar, kemudian mulai mengetuk.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Lima laras senjata sekaligus dicabut. Tapi, seketika itu juga mereka melihat seorang pria di depan mata. Yan Jing mendorong orang itu ke tembok belakang secara tiba-tiba, laras senjata ditekankan di dahinya. Yin Hu dan tiga orang lainnya berlari masuk dengan kecepatan tertinggi, pintu kamar ditutup keras dengan suara "byur".
Di dalam kamar, beberapa orang dengan gesit "swiswiswis" menggeledah beberapa ruangan, lalu berlari keluar.
"Tidak ada..."
"Tak seorang pun..."
"Bukannya katanya dia tinggal sendirian di sini?" Yin Hu melirik orang-orang di sekelilingnya, kemudian mengarahkan laras senjatanya ke tepi pintu, "Lalu siapa orang ini?"
Yan Jing memalingkan kepala: "Sepertinya kita harus menunggu dia kembali di sini?" Pada saat yang sama, salah satu bawahan Yutou berkata: "Ini... itu penjual kacang chestnut goreng gula..."
Mendengar ini, Yin Hu tertegun sejenak, lalu tiba-tiba tertawa "Ha": "Itu penjual kacang chestnut goreng gula? Mereka tinggal bersama di satu tempat? Bukannya kalian bilang ini orang bodoh yang tak tahu apa-apa, cuma bisa duduk merenung seharian? Lalu sekarang..."
Dia mengayunkan tangannya beberapa kali di udara, berjalan menuju pintu: "Kalau begitu sekarang... kalian beritahu aku apa yang sedang dia pikirkan? Memikirkan sesuatu... haha. Begini caranya kalian menyelidiki, jadi sekarang, si Ganteng, bisakah kau memberitahuku kenapa seharian kau menundukkan kepala, sebenarnya sedang..." Laras senjata menekan dahi lawannya, wajah Silver Tiger terdistorsi, menggigit gigi, "Kau sekarang... sebenarnya sedang memikirkan! apa! saja! ini!"
Kali ini benar-benar kalah karena kecerobohan, diperdaya sampai sekarang baru mengira-ngira apa yang terjadi, di hatinya juga menyalahkan bawahan sepupu yang sama sekali tidak profesional. Wajahnya menjadi mengerikan seketika, namun tiba-tiba, pria yang didorong ke dinding mengangkat kepalanya, bibirnya sepertiku menampakkan senyum lembut: "Aku sedang menyapu."
"Hah?" Si bodoh yang tak pernah mau mengobrol tiba-tiba bicara, lima pasang mata langsung menatap tajam ke arahnya.
"Jadi... jika dibuat berantakan, aku akan sangat terganggu."
Sesaat kemudian, suara tulang hancur. Seluruh tubuh Mirror terbang ke belakang. Saat itu, lehernya terkena pukulan sederhana yang membuat seluruh tulang belakangnya remuk. Di udara, kepala dan tubuhnya hampir terlipat menjadi satu. Bersamaan, senjata di tangan Silver Tiger hancur menjadi bagian-bagian terkecil, menari-nari di langit...
……
……
“Creek” suara rem mendadak, setelahnya Byur! percikan salju menari-nari di tepi jalan. Tak sempat menghiraukan Mercedes bekas yang menabrak timbunan salju, Mu Qingqing bersama beberapa polisi berlari keluar dari pintu mobil, peluru siap tembak, kemudian dari arah berbeda, menyerbu gedung tempat dia tinggal.
Melihat dari jendela, tak ada lampu menyala dalam kamar. Mu Qingqing mendekati dengan hati-hati, menunggu dua tiga kawan tiba. Tiba-tiba pintu terbuka, lampu dinyalakan, lalu... tentu saja pencarian kalang-kabut pun dimulai.
“Tak ada manusia...”
“Teraman...”
“Mustahil, kereta dorong parkir di luar, dia pasti sudah pulang... Malam ini dia tidak pergi, pasti terjadi sesuatu! Suruh orang luar waspada sekitar!”
Mu Qingqing menarik napas dalam, menatap kamar. Segalanya tampak persis seperti biasa, baru saja dibersihkan. Tentu dia paham kebiasaan bersih si bodoh itu. Setelah menggoreng kacang chestnut, pasti membersihkan seperti biasa. Tapi setelahnya tak pernah ada kepergian... Masuk akal, jika geng Harimau Perak benar datang, seorang diri dia mustahil bisa melawan, bahkan jika mencoba pun percuma.
“Jie Qing? Bukannya kau tinggal sendiri? Siapa yang kau maksud?”
“Si bodoh penjual kacang chestnut goreng gula.” Mu Qingqing mengerutkan alis, “Tempat tinggalnya rubuh. Karena pernah membantuku, kusementara rekrut dia.”
Setelah memberikan penjelasan tersebut, dia membagi tugas kepada anggota tim: mencari petunjuk, menyelidiki karakter mencurigakan, serta mengakses rekaman CCTV dari beberapa blok sekitar. Usai alokasi tugas, Mu Qingqing mengetuk pintu rumah tetangga untuk menanyakan suara mencurigakan atau aktivitas tak biasa, namun tetap tidak membuahkan hasil. Kembali ke rumah, bersama seorang polisi lain ia memeriksa setiap sudut ruangan dengan cermat, berharap menemukan jejak yang terlewat. Menjelang jam dua belas malam, seorang polisi melaporkan via telepon: tidak ada temuan dari kamera rahasia.
Hasil ini sudah terprediksi. Yujiang berbeda dengan kota besar - kamera pengawas jarang-jarang dan tidak merata. Seorang profesional bisa dengan mudah menghindari Segalanya. Pukul 00:15, dengan wajah muram ia duduk di sofa sambil mencoba merangkai kembali benang merah kasus ini. Tiba-tiba, suara gesekan kunci terdengar dari pintu.
Refleks, tangan kanannya mencabut pistol dari pinggang. Polisi di sebelahnya langsung masuk ke posisi Siaga. Suara kunci di pintu berhenti sesaat. Dua detik kemudian, pintu terbuka. Sebuah sosok masuk.
Beberapa saat kemudian, Mu Qingqing mengendurkan bahu sambil menghela napas panjang. Pistol di tangannya turun. Lelaki yang berdiri di ambang pintu itu ternyata pria yang selama ini mereka buru.
"Kau ke mana saja, Aaaaa..." Ucapannya meluncur begitu saja. Dengan datar, mereka menjawab: "Membuang sampah."
Mengangguk, Mu Qingqing berkata pada polisi di sebelahnya: "Tidak apa-apa, mungkin ini intelijen palsu, atau mungkin mereka belum datang. Beri tahu semua orang..." Tiba-tiba dia membeku, menoleh melihat pria yang sedang masuk ke kamar tidur, lalu memandang polisi di sebelahnya dengan keraguan akan penilaiannya sendiri.
"Dia baru saja berbicara?"
……
……
Swedia, Bandara Internasional Stockholm.
Dalam hujan salju yang memenuhi langit, Mikado Ki yang mengenakan mantel kulit hitam keluar dari aula bandara bersama rekannya, lalu menguap lebar sambil menarik napas dalam-dalam. Kota di hadapannya terlihat putih berselimut salju.
"Udara Eropa memang beda dengan Jepang, ya? Kau yang sudah menjelajah banyak tempat, merasakan hal yang sama?"
"Ini masalah perbedaan suasana hati saja." Kuromura Hiroki yang menggendong tas travel besar tersenyum, "Tentu, udara segar pedesaan, aroma keramaian kota metropolitan, atau debu industri penuh aura baja - masing-masing punya ciri khas. Tapi semuanya tergantung mood kita."
"Jujur saja, aku iri padamu. Kabarmu selama beberapa tahun terakhir dari Tiongkok ke Rusia lalu Eropa - andai tidak banyak urusan, aku juga ingin keliling dunia."
Kuromura Hiroki mengangkat bahu sambil tertawa: "Apa yang perlu diiri? Dompet sering hilang, perut kelaparan, cari kerja paruh waktu... Sudah lebih dari sepuluh kali aku mengalami kesalahpahaman konyol seperti ini, pengalaman yang menyakitkan..."
Mikado Ki tersenyum mendengarkan sampai dia selesai berbicara, kemudian mengubah ekspresi wajah: "Ngomong-ngomong, di saat sensitif seperti ini, kau datang ke Swedia, jangan-jangan mau menonton pertunjukan ya?"
"Bercanda macam apa ini, aku memang pernah dengar soal Kekosongan Pandang Debu, tapi kau tahu, dengan karakternya yang begitu transenden seperti aku, mana mungkin ikut campur urusan kalian, cuma itinerary yang sudah dibooking. Booked, nah, ini lihat jadwal perjalananku..."
Melihatnya benar-benar mengobrak-abrik tas perjalanan untuk mencari itinerary, Mikado Ki menghela napas kecewa: "Hei, kita sudah saling kenal lama begini, jangan mainin aku begitu, kalau tidak ketemu sih tidak apa, kebetulan Eropa sebesar ini bisa bertemu... Kau harus kasih tahu sesuatu padaku..."
Keluarga Murakami di Jepang bukan termasuk keluarga besar, tapi selama ini menguasai banyak rahasia dan kisah unik, memiliki hubungan baik dengan berbagai pihak, posisinya di Dunia Kegelapan bisa dibilang transenden. Menyadarinya menggunakan hubungan sebagai senjata, pria paling spesial dalam keluarga Murakami selama ratusan tahun ini juga memandanginya dengan kekecewaan beberapa kali, lalu tersenyum.
“Kau sendiri sudah menyelidiki semuanya, masih perlu aku bicara apa lagi... Baiklah baiklah, kabar angin keluarga, penghisap darah tahu kan? Kudengar beberapa tahun lalu di Tiongkok mereka menangkap satu ekor, sebelumnya mereka berperang dengan gereja Vatikan, lalu penghisap darah dikalahkan, akhirnya punah. Konon ada jasa Kekosongan Pandang Debu di situ, artinya Kekosongan Pandang Debu itu barang hebat. Aku juga tak tahu apa itu sebenarnya. Ngapain semua orang berebut barang mitos samar-samar begini? Benar-benar tak mengerti kalian. Kalau mitos itu nyata, pendekar pedang Tiongkok menyerbu keluar, mana ada dari 8 juta dewa kami yang bisa menghadang...”
"Bahkan kekuatan supernatural mungkin nyata, penghisap darah belum tentu cuma mitos," kata Mikado Ki.
"Evolusi ya, evolusi ini... siapa yang bisa memastikan..."
Sebuah mobil mewah berjenis panjang menunggu di pinggir jalan. Setelah mengobrol sebentar, Mikado Ki berjalan mendekati mobil. Saat hampir tiba, dia menoleh lagi: "Eh iya, aku selalu ingin tanya seseorang. Ada wanita bernama Jian Suyan... kau tahu?"
Kuromura Hiroki mengangkat alisnya, menunjukkan ekspresi aneh: "Tahu dong, si cantik itu."
"Kau benar-benar tahu?" Mikado Ki mengerutkan alis, "Lalu... wanita ini sebenarnya..."
Pemilihan katanya agak ragu-ragu, namun Kuromura Hiroki jelas sudah mengerti maksudnya. Matanya menatap tirai salju itu dengan ekspresi bernostalgia: "Kurasa aku tahu bagaimana dia datang... Tentang dia, aku hanya punya satu pendapat - jangan sekali-kali membuatnya marah. Kalau tidak... Aku khawatir seluruh Jepang takkan sanggup menanggungnya..."
"Ini berlebihan sekali... Tapi..." Mikado Ki terdiam sejenak, lalu menjentikkan jarinya, "Mengerti."
## Bagian Empat Ratus Tujuh Belas Malam Tahun Baru (Bagian Atas)
21 Januari 2004, Ibu Kota Austria, Wina.
Terbangun dari mimpi dengan perasaan dingin menusuk hingga ke sumsum tulang.
Mungkin di musim panas masa SMP dulu. Dia dan Shasha mengikuti kompetisi seni bela diri. Jiaming ikut, Cao Dongfeng juga masih ada - berputar-putar seperti lalat seharian. Bertiga mereka bersatu melawan orang luar, berpura-pura akrab di hadapannya. Sebenarnya memang benar-benar dekat. Di masa itulah aku pertama kali mencium Jiaming, memanfaatkan urusan publik untuk kepentingan pribadi. Aku yang masih kecil dengan kuncir imut itu deg-degan dalam hati...
Masih anak-anak kecil, tapi di malam hari mereka tidur di ranjang yang sama. Bertiga berdesakan, diselimuti selimut tipis. Tubuh saling bersentuhan. Malam musim panas yang sejuk, perasaan segar antara satu sama lain. Tapi ketiganya tak ada yang mau memejamkan mata untuk tidur. Tanpa rasa kantuk, mereka tengkurap di ranjang memandang ke luar jendela. Bulan purnama di pucuk pohon sungguh indah. Sasha bangkit, bilang akan mengambil mainan untuk bermain kartu. Langkah kaki halus bergema di lorong. Saat kembali, dia membawa beberapa tusuk permen kapas. Bertiga duduk di ranjang menjilat-jilat. Permen kapas cepat meleleh, menempel di tangannya. Dia menunduk menjilat, hingga rambut wajahnya yang terjuntai ikut tertempel. Jiaming dan Sasha menertawakannya. Dia berusaha keras melepaskan permen kapas lengket itu, mencoba membuka mata, lalu... benar-benar terbuka.
Lalu kesedihan...
Cahaya menyelinap melalui tirai putih. Dia terbiasa mematikan pemanas sebelum tidur. Baru tadi dalam keadaan setengah sadar merasakan dingin, berusaha mencari kehangatan tubuh di sampingnya, kesadaran pun perlahan pulih. Matanya menatap langit-langit. Rasa pedih di hidung tak kunjung hilang. Sudah lebih dari tiga tahun berlalu, tubuh ini masih menyimpan memori itu. Duka bagai kutu busuk yang tak henti melawan waktu.
Rambut panjang seperti saat kecil telah lama dipotong. Kini rambutnya pantas sampai bahu. Jarang teman sekelas perempuan di departemen musik melakukan hal seperti ini, kecuali mereka yang mengambil jalur karakter. Tapi dia bukan. Kecantikannya selalu berupa kecantikan tradisional yang lembut. Rambut seperti ini seolah menjadi simbol ketangguhan dan kemandirian yang terpancar keluar. Beberapa orang mengatakan dia eksentrik, tapi tak banyak yang mengerti bahwa setiap hari di sini, dia menggigit gigi melewatinya.
Sudah tiga setengah tahun di Wina. Tinggi badannya bertambah dua sentimeter, beratnya turun empat kilogram. Jika hanya melihat data, sebenarnya tidak banyak perubahan. Tapi nyatanya dia menjadi lebih ramping, sekaligus lebih cantik dan matang. Dua tahun pertama ada banyak pengagum dengan berbagai cara, ada yang kalem ada juga yang terbuka. Pernah ada baron sial berpikiran sempit yang menganggap penolakannya sebagai cara kejar-kejaran. Awal tahun sebelumnya, seorang karakter kasar yang telah mengobrol beberapa patah kata mencoba bertindak nakal padanya. Di lorong luar kelas, di depan banyak orang, dia dengan keras memelintir tangan pria itu hingga patah. Orang yang main seni sekalipun terlihat kuat, di hadapan teknik sendi pilihan Jiaming mereka tidak ada perlawanan sama sekali. Sekelompok orang yang menyaksikan hanya bisa terdiam. Tak ada yang menyangka gadis lemah lembut dan anggun seperti air ini memiliki sisi seperti itu. Sejak itu, masalah serupa jauh berkurang.
Bukan sekadar perhatian besar. Selama beberapa tahun ini, dia menolak banyak hal - menolak interaksi kampus yang terlalu intens, menolak kenangan berlebihan, bahkan menolak pulang ke rumah atau mendengar kabar tentang Jianghai. Dia terus mempertahankan semacam harapan, berharap perpisahan dulu disebabkan alasan khusus - dia memahami Jiaming, bahkan hingga kini keyakinannya akan pemahaman ini bukanlah sesuatu yang maya. Ini merupakan bentuk kepercayaan diri sekaligus kebutuhan, sebab tanpa itu, segala keindahan yang terbangun dari kenangan masa lalu pasti akan runtuh bagai tanah longsor, tak tersisa setetes pun.
Jika Jiaming sudah memiliki hubungan dengan wanita lain selama lebih dari setahun, pasti takkan tiba-tiba mengungkapkannya. Entah itu benar atau tidak, pasti ada alasan lain dibaliknya.
Dia berharap Jiaming sedang menghadapi ancaman, berharap dia tiba-tiba menghadapi masalah yang tak bisa diselesaikan namun enggan diungkapkan, bahkan berharap - meski klise seperti drama TV romantis - alasan sebenarnya adalah karena tekanan, sengaja membuatnya studi ke luar negeri demi masa depannya, lalu memilih untuk putus. Apapun alasannya, tinggal setahun lagi. Ketika semua ini selesai, saat hal yang dia nantikan darinya terlaksana, dia akan kembali ke Jianghai, melemparkan semua ini dihadapannya dan berkata: "Kau salah menilai Ye Lingjing, kau telah melukai hatiku..."
Bagaimanapun, inilah satu-satunya harapan yang bisa dipegangnya. Setelah putus, kenangan dan harapan menjadi satu-satunya hal yang bisa diraih...
Selama ini, Jalan Timur pernah mencarinya sekali. Mereka berbincang sebentar, sebenarnya tidak ada banyak topik yang bisa dibahas. Seolah merasakan suasana hatinya, mereka tidak membahas apapun tentang Jiaming atau Jianghai. Setiap tahun, hubungan dengan keluarga hanya melalui beberapa telepon. Orang tua juga sepertinya menghindari topik tentang Jiaming dan Shasha. Dengan pikiran yang mati rasa ini dia menghindari segalanya. Yang menyedihkan hanyalah tidak bisa menghubungi Shasha. Nomor telepon lamanya sudah tidak bisa dihubungi. Apakah Jiaming masih bersamanya? Pergi kuliah ke Beijing? Atau mungkin Jiaming juga sudah berpisah dengannya? Kalau tidak, pasti dia akan menelepon untuk mencariku. Tapi jika telepon tersambung, apa yang harus mereka bicarakan? Hingga sekarang dia masih tidak bisa membayangkan...
"Pria yang kami sukai bersama telah mencampakkan kami..." atau "Dia bajingan..." Shasha lebih menyukai Jiaming daripada diriku, pasti dia tidak akan sanggup menerima ini...
Dia menyalakan AC dengan remote control. Beberapa saat kemudian baru bangkit dari ranjang, rambutnya acak-acakan. Di atas selimut ada album foto yang semalam dilihatnya sampai tertidur, lalu ditaruh sembarangan di meja samping ranjang. Melihat jam alarm, waktu sudah menunjukkan lewat jam dua belas siang. Jarang-jarang dia tidur sampai larut seperti ini.
“Hari ini Malam Tahun Baru Imlek, karena perbedaan zona waktu, di rumah mungkin sudah lewat pukul tujuh malam. Dia duduk di ranjang menghubungi telepon rumah, berbicara dengan orang tua selama lebih dari sepuluh menit hingga matanya berkaca-kaca. Beberapa tahun terakhir ini, sepertinya orang tua mulai menyesali keputusan mengirimnya ke Wina. Di telepon mereka tak berani banyak menyuruhnya pulang, tapi sebenarnya dia sendiri merasa bersalah pada mereka - demi Jiaming bahkan tidak mau menemui orang tua sendiri, sungguh terlalu manja. 'Cinta bukan segalanya dalam kehidupan', semua orang tahu pepatah ini, tapi saat kita masih Nian Shao Qing Kuang, siapa yang bisa benar-benar menahan perasaan seperti ini?”
“Setelah menghabiskan waktu lama menelepon lintas benua, baru saja turun dari ranjang ketika ketukan pintu terdengar. Dia mengintip lewat lubang pengintip. Di luar ada pria berjas putih berusia sekitar tiga puluh tahun dengan mata biru muda, kacamata tipis berbingkai perak, rambut pirang sebahu, terlihat sangat tampan. Tangannya terlipat di dada sambil menjepit kantong dokumen. Melihat tidak ada yang merespons, dia menekan bel pintu lagi.”
“Guru Julian, beri aku lima menit.”
“Beberapa menit setelah mengucapkan ini, ketika dia membuka pintu kembali, sudah mengenakan pakaian musim dingin rapi, wajahnya sudah dicuci, rambutnya juga disisir rapi. Hanya saja di tangannya masih memegang sikat gigi: ‘Aku masih harus gosok gigi, silakan masuk.’”
“Uhh, aku berpikir... sebenarnya tidak masalah jika kuperlihatkan sekali penampilanmu yang baru bangun tidur, bukan? Dengan begitu aku tidak perlu berdiri di luar selama beberapa menit...”
“Maaf.”
Menjawab dengan datar, Lingjing menutup pintu kamar mandi. Setelah beberapa saat keluar, kondisinya sudah rapi sepenuhnya: "Guru Julian, aku... aku sudah izin kemarin..."
"Bukan tentang hal ini." Julian mempertahankan senyum memikat, "Aku tahu hari ini adalah Tahun Baru paling tradisional dan penting di Tiongkok. Faktanya, ada teman yang merekomendasikan restoran Tiongkok bagus. Akan ada acara kumpul-kumpul malam ini, kurasa kau bisa ikut."
Kamar tidak besar. Julian duduk di sofa. Lingjing duduk di tepi ranjang berpikir, lalu mengangkat kepala sambil tersenyum: "Sebenarnya, aku tidak terlalu ingin ikut aktivitas seperti ini hari ini..."
"OK. Jika katakan aku yang ingin ikut, merasakan adat istiadat Tiongkok, dan berharap kau mau menemani... Kau tahu, aku tidak terlalu paham tentang Tiongkok, juga ada hambatan bahasa."
Sunyi sejenak, Lingjing mengangguk: "Jika Guru menghendaki begitu, aku akan ikut."
“Selama beberapa tahun tinggal di Wina, mentor Julian bisa dibilang orang yang paling dekat dan paling dikenalinya. Guru muda berbakat ini tidak hanya pernah terlibat dalam pertunjukan musik Tahun Baru di aula emas, bahkan menjadi mentor piano kehormatan keluarga kerajaan Austria. Dia banyak membantunya, memperkenalkannya kerja sambil kuliah di gedung opera. Selain popularitas, setidaknya gajian cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan belajarnya. Kamar dengan fasilitas dan lokasi strategis di luar kampus ini juga berhasil disewanya berkat rekomendasinya. Kartu kredit dan kontak yang diberikan Jiaming saat putus dulu, semuanya masih disimpannya rapi. Suatu hari nanti dia akan melemparkan kembali semuanya sambil memintanya meminta maaf.
Julian memandanginya beberapa saat, kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepala: “Bercanda saja. Hanya merasa kau perlu aktivitas sosial yang lebih normal. Kalau memang tidak suja, aku tidak memaksa. Sebenarnya hari ini aku datang untuk memberikan dokumen ini.” Dia mengayun-ayunkan map dokumen di tangannya, “Tahun lalu pernah kubahas rencana pascakelulusanmu, saat itu kau langsung menolak. Tapi kuharap kau pertimbangkan lagi. Popularitasmu sudah cukup tinggi, beberapa perusahaan telah menunjukkan ketertarikan untuk mengembangkan kariermu di Eropa. Aku juga sudah menghubungi beberapa teman. Ini serangkaian rencana yang kubuat, aku akan menjadi manajermu sampai hari kau naik panggung aula emas.”
“Guru, ini...”
Julian mengayunkan tangan: "Kau punya bakat, kecerahan. Asalkan terus berkembang, pasti akan meraih kesuksesan besar. Karena banyak hal, aku sudah kehilangan kecerahan. Tak bisa fokus pada kecapi lagi. Jadi berharap bisa meninggalkannya sementara waktu, mungkin bisa menemukan perasaan ini kembali. Ini semua pantas kau terima."
Dia menggenggam tangan Lingjing, menaruh dokumen di atasnya, melepaskannya sebelum mereka meminggirkan. Lingjing mengerutkan kening: "Guru, aku tidak akan tinggal di Eropa..."
"Jangan buru-buru menjawab. Pertimbangkan beberapa hari. Ada urusan lain, aku pergi dulu."
Julian melihat jam tangan, melambaikan tangan pergi. Lingjing mengantarnya ke gerbang, memandang bayangan itu turun tangga, lalu mengunci pintu dan menyimpan dokumen di laci.
Album foto di meja samping ranjang juga harus dimasukkan. Saat setengah masuk, dia ragu sejenak, menariknya keluar dan membuka satu halaman. Melihat beberapa detik lalu menutupnya, menekannya di lutut lama tak dilepas. AC di belakang menggerakkan tirai, cahaya putih membanjiri seluruh kamar. Bayangan itu duduk di tepi ranjang, kesepian seolah akan larut dalam cahaya...
Julian keluar dari pintu gerbang apartemen, mengeluarkan dua tiket acara kumpul-kumpul restoran Tiongkok dari kantong pengepungan. Melihatnya sebentar lalu menyobek dan membuang ke tong sampah.
Tak jauh dari situ, mobil Teman sedang menunggu. Orang itu bersandar di pintu mobil, melihatnya lalu tersenyum: "Lagi-lagi cepat sekali keluar. Hanya di depan cewek ini, kau selalu tak bisa cari topik. Haruskah kukatakan ini pertanda baik atau buruk?"
“Dia terlalu sensitif, aku tidak ingin dibenci olehnya seperti ini。”
Dari kedua sisi masuk ke pintu mobil, kemudian kendaraan perlahan mulai bergerak: “Kalau begitu, kau benar-benar ingin mengatur masa depannya? Membangun seorang Dewi Musik Timur?”
Julian tersenyum: “Aku seharusnya akan pergi ke Tiongkok。”
“Eh?”
“Dia sangat keras kepala, tidak akan tinggal di Eropa, jadi pertama-tama aku mengatur segalanya untuknya, barulah dia mau mengalah dan membiarkanku mengatur masa depannya di Tiongkok. Lagipula... Timur seharusnya bisa memberikanku lebih banyak inspirasi, sejak lama aku sudah ingin pergi melihat...”
“Sungguh kerja keras, kurasa sekarang kau benar-benar tidak bisa fokus pada kecapi lagi...”
“Sekarang aku lebih fokus padanya。”
“Seperti setiap seniman yang jatuh cinta pada karyanya sendiri?”
“Tepat。” Julian mengangguk, “Persis seperti... setiap seniman, akan jatuh cinta pada karyanya sendiri。”
Saat mobil berbelok di sudut jalan depan, dia teringat album foto yang ditaruh di meja samping ranjang kamar. Foto-foto di dalamnya pernah dilihatnya. Itu foto pernikahan, satu Baron dengan dua gadis. Dalam foto-foto itu, Lingjing tersenyum manis dan menawan, atau licik dan lincah. Emosi yang layak disebut bahagia ini, selama tiga tahun menjadi mentornya, belum pernah dia lihat。
Suatu hari akan muncul lagi...
Kendaraan melintasi bangunan-bangunan indah nan megah, sambil memikirkan ini, alisnya yang mengerut mulai meregang。
Di saat yang sama, Lingjing duduk dalam cahaya itu, menekan album foto di pangkuannya, pandangannya kabur。
Di persimpangan jalan kota yang sepi dan terpencil ribuan mil jauhnya, pria di belakang gerobak mengangkat kepalanya, memandang ke langit malam di mana kembang api terus meletus dan berhamburan, cahayanya berkedip-kedip, menerangi wajah yang dipenuhi kenangan...
## Bagian Empat Ratus Delapan Belas Malam Tahun Baru (Bagian Akhir)
Dengan kanopi menyertai, malam tahun baru ini bagi Mu Qingqing tidak berjalan dengan baik.
Setelah kepanikan palsu dua malam sebelumnya, mayat Tikus ditemukan oleh orang-orang Xiao Ke, seolah menandakan bahwa grup kriminal ini mengalami perpecahan internal dan kemungkinan balas dendam terhadapnya semakin besar. Menurut hukum alam, masa seperti ini biasanya paling mudah menemukan jejak lawan - baik saat membalas dendam maupun kabur, selalu ada jejak-jejak yang tertinggal. Namun selama dua hari, geng Yin Hu seolah menguap dari muka bumi, petunjuk yang sebelumnya samar-samar bisa dirasakan kini putus di udara, menghilang tanpa jejak.
Kasus tak terpecahkan, Malam Tahun Baru tiba, semua orang sudah libur. Dia merasa seperti anak yang terabaikan di jalanan, hatinya terasa hampa. Sebenarnya bukan karena kasusnya - dia tidak punya teman di sini. Sejak pagi orang-orang sudah mulai pergi satu per satu. Dia bingung harus ke mana. Masak pulang nonton TV saja? Sepanjang nanti sore, dia duduk di kantor yang sepi, mencoba mengurai kembali benang-benang kasus ini.
Faktanya seluruh kantor polisi tentu juga tidak sepi orang, tapi saat ini petugas jaga yang diatur tidak satu sistem dengannya, sebelumnya juga tidak akrab, jadi tidak perlu ikut nimbrung saat mereka berkumpul main kartu—singkatnya, harus menjaga sikap anggun, terutama di hari seperti ini, tak perlu membiarkan orang lain menyadari perasaan sebagai pendatang asing di tanah orang—emosi kelas menengah yang khas.
Maka seorang diri ia asyik mengatur arsip di kantor hingga pukul lima setengah, menelepon keluarga dan beberapa teman untuk memberi salam tahun baru, baru kemudian menyetir pergi. Melewati persimpangan jalan yang dilaluinya setiap hari, ia melirik ke arah pasar sayur. Di bawah langit batu yang semakin gelap, jalanan sudah sepi, rumah-rumah telah menyalakan lampu, hanya gerobak penjual kacang chestnut goreng gula yang masih terparkir di tumpukan salju.
Haruskah memintanya pulang...
Kehendak itu sekilas melintas di benaknya. Ia menggelengkan kepala, menginjak gas menjauh. Andai pun mendatanginya untuk berbicara, besar kemungkinan sia-sia belaka. Jika mendorong keretanya pergi, harus menanggung risiko dipukul spatula. Bertemu dengannya saat sedang cukup waras untuk diajak komunikasi—sungguh sebuah rintangan yang sulit.
Malam sebelum kemarin mendengar mereka tiba-tiba berbicara, setelah sedikit ragu-ragu, hal pertama yang dia tanyakan dengan cepat adalah nama mereka. Ternyata efektif, mendengar pertanyaannya, si bodoh di pintu kamar tidur itu ragu cukup lama, mengusap dahi dengan tangan, baru kemudian dengan suara serak mengucapkan tiga kata. Tapi setelah itu tidak peduli bagaimana ditanya, mereka sama sekali tidak merespon, kembali ke dunia renungannya. Tapi setidaknya ini membuktikan bahwa sebenarnya mereka tidak melamun bodoh, melainkan menderita penyakit mental tertentu yang disebabkan sakit kepala.
Setelah diingat-ingat, nama itu memang sederhana dan biasa sekali, seantero Tiongkok pasti ada banyak orang yang bernama... Gu Jiaming... Tidak heran terdengar familiar, mungkin sebelumnya pernah mendengar orang dengan nama yang sama...
Sepanjang jalan pulang ke rumah, setelah ganti baju mengeluarkan berbagai jenis daging dan sayuran yang sudah disimpan dari kulkas. Tahun Baru sebenarnya idealnya makan hotpot kecil sendirian, tapi masalahnya tidak ada tungku untuk hotpot kecil, akhirnya terpaksa batal. Sambil menonton TV menunggu malam tiba, memilih sayur, mencuci sayuran, kemudian meletakkan talenan di meja teh sambil memotong-motong, bertahan sampai Gala Imlek dimulai baru menyiapkan semuanya satu per satu, disajikan dalam mangkuk-mangkuk kecil yang memanjakan mata. Menurut pengalamannya, acara bagus Gala Imlek ada di belakang, masakan matang pas di waktu yang tepat.
Kemudian, puncak acara sepanjang malam benar-benar tiba...
Membuka gas, menyalakan api, minyak dimasukkan ke panci baru mulai dipanaskan, dia sudah mengerutkan alis, atas bawah seperti anjing kecil mengendus ke segala arah. Kompor gas ini sudah lama tidak dipakai, selang plastik bocor gas, melihat dapur yang penuh dengan mangkok-mangkok kecil, saat itu juga matanya terbelalak.
Malam yang begitu indah, entah bisa tidak kalau ditempel pakai selotip plastik...
Mood sulit dideskripsikan, sibuk mondar-mandir di dapur, kemudian dengan kekecewaan kembali ke ruang tamu menonton TV sebentar, memandangi mi instan dan sosis di meja, program Gala Imlek terasa semakin tolol. Menjelang pukul delapan setengah mandi, lalu ganti baju keluar rumah, memeluk sekantong besar keripik kentang - pokoknya dia sudah memutuskan, malam ini lebih baik mati kelaparan daripada makan makanan yang direndam air panas...
“Jika pergi ke pusat kota dengan mobil, sepertinya ada beberapa hotel yang mengadakan jamuan Tahun Baru. Tapi meski punya uang, makan sendirian di sana pasti terlihat lebih bodoh. Dia membawa keripik kentang, berjalan kaki di sekitar beberapa blok jalan. Jalanan dipenuhi salju, lampu jalan memantulkan bayangan pohon belang-belang. Langit berpendar cahaya bergantian, kembang api tak henti. Di pinggir jalan terlihat anak-anak berkelompok bermain kembang api. Berjalan sendirian di jalan yang dipenuhi kembang api ini benar-benar memberi perasaan seperti tokoh utama wanita di MTV - biasanya alur cerita cinta yang sangat romantis. Untuk saat ini hanya bisa menghibur diri seperti ini. Awalnya tidak begitu lapar, tapi semakin banyak keripik dimakan, perut justru mulai terasa kosong.”
“Setelah melewati beberapa blok jalan, setetes hujan dingin jatuh di ujung hidungnya. Langit mulai turun hujan. Dia mengencangkan mantel, berlari cepat ke atap kecil tak jauh. Hujan tidak deras, tapi jelas takkan berhenti dalam waktu dekat. Jika berlari pulang sekarang pasti basah kuyup seperti ayam. Baru sekarang benar-benar muncul perasaan tak berdaya dari dalam hati... Tahun Baru begini...”
“Menyusuri atap-atap kecil sambil berlari dan berhenti, belok ke persimpangan jalan berikutnya. Cahaya gerobak kecil menyala di sudut pasar sayur. Dia menyelimuti mantel, menunduk dan berlari cepat menyeruduk. Byur! Menabrak mobil kecil. Seorang pria bernama Gu Jiaming duduk di belakang sedang menengadah melihat kembang api, meliriknya sekilas.”
“Huu... Cuaca seperti ini memang hanya kau yang masih jual kastanye di sini.”
“Mau berapa?”
“Biarin saja, makan sampai sakit panas dalam dulu... Ngomong-ngomong, dalam kondisi kau seperti ini aku sama sekali tidak bisa membedakan apakah kau sedang linglung atau sadar...”
Atap mobil kecil bisa menahan hujan, dia berjalan ke bagian dalam. Pihak lawan yang awalnya duduk di atas kotak kayu tegak, saat ini sedang memasukkan chestnut ke dalam kantong kertas. Mu Qingqing mendorong kotak kayu itu hingga melintang, membagi setengah bagian untuk duduk, kemudian menepuk separuh sisanya sebagai isyarat masih ada tempat untuknya.
Setelah chestnut ditimbang dan uang dibayar, dia berdiri sejenak memandanginya. Beberapa saat kemudian, duduk di sisi lain kotak kayu. Mu Qingqing membalikkan badan sambil mengangkat tangan bingung: “Sekarang aku tidak punya rumah.”
“Pipa gas di rumah rusak, bahkan tidak ada tungku. Mau masak pun tidak bisa, kabur keluar malah kehujanan, benar-benar... Malam Tahun Baru paling menyedihkan. Aku masih saja seperti orang bodoh di sini berbicara denganmu, bahkan tidak tahu apakah kau mendengarkan...”
Menyangga dagu, Mu Qingqing berbicara sambil makan dengan nada kecewa. Ketika menoleh, baru sadar pihak lawan hanya menatap kembang api sambil menunjukkan ekspresi beraura nostalgia. Setelah menghela napas panjang, barulah dia kembali berbicara.
“Aku ingat dulu kau selalu menunduk... Tapi, orang yang bertanggung jawab atas kembang api ini aku kenal. Dia punya kerabat di balai kota, punya koneksi. Setiap tahun menghabiskan ratusan ribu untuk kembang api semacam ini. Kerja satu proyek bisa istirahat setahun. Sebelum tahun baru dia mentraktir rombongan makan, aku juga ikut... Uhh, ada hidangan sirip hiu yang rasanya enak...”
“Turun hujan, jalanan luar terasa semakin sepi dan sunyi, hanya berdua yang duduk di atas koper di samping mobil kecil. Mungkin karena mereka takkan mendengarkan, Mu Qingqing mengemil kacang chestnut, sesekali mengobrol tentang kenangan kacau seperti saat kecil menjahili adik perempuan, mantan pacar yang berubah hati, atau alasan dipindahkan ke Yujiang karena dijebak. Di malam belang-belang cahaya ini, punggung saling membelakangi, suara mereka tenggelam dalam kembang api dan gerimis...
Tepat jam 10 malam seperti biasa mereka berhenti berjualan. Berdua mendorong kereta melewati jalan-jalan dengan bayangan lampu yang belang-belang. Saat tiba di depan gedung, Mu Qingqing mencoba mengangkat tungku dari kereta dorong berkali-kali tapi gagal. Akhirnya Jiaming yang membawanya masuk kamar. Api dinyalakan, Mu Qingqing dengan kikuk mulai menumis di ruang tamu sementara dia memotong chestnut di sampingnya. TV menyiarkan Gala Imlek.
"Bagaimanapun... Akhirnya tahun baru bisa dilewati juga..."
Masakan pertama sukses, dia sangat gembira. Masakan kedua agak gosong. Saat masakan ketiga, baru ingat bubuk cabai tertinggal di dapur. Buru-buru masuk mencari sampai panik. Saat keluar dari dapur, api menjilat-jilat di depan mata. Tumisan di wajan terlempar lincah. Pria bernama Gu Jiaming itu memegang spatula, tangan kanannya terulur ke arahnya.
Tertegun sejenak, barulah dia menyerahkan bubuk cabai di tangannya. Selanjutnya, dia menyaksikan satu per satu hidangan matang berturut-turut, aroma harum memenuhi kamar. Meski semua bahan dan bumbu disiapkannya sendiri, namun karena kendala komunikasi, bahkan membantu sebagai asisten pun tidak mungkin baginya.
"Masak iya? Sebelum sakit kau dulu seorang koki ya..."
Walau sulit dipercaya, tak lama kemudian meja pun terisi penuh dengan berbagai hidangan mewah – jauh lebih mewah dari bayangannya semula. Di saat inilah dia mulai menyesal habis makan keripik kentang dan kacang chestnut goreng gula tadi. Mengambil dua kaleng bir dari kulkas, dia menyodorkan satu kaleng ke pria yang baru selesai mencuci panci dan hendak kembali memotong chestnut, lalu menariknya ke sofa sambil berusaha berkomunikasi dengan gerakan.
"Makan bersama dong."
Setelah susah payah membujuknya memegang sumpit, Mu Qingqing merasa mulai paham trik komunikasi. Menunggu dia bicara dengan sadar memang seperti mengandalkan keberuntungan, tapi dengan menempatkannya pada posisi tertentu dan bertahan sebentar, dia pun akan bertindak alami. Qingqing menduga pria ini benar-benar mantan koki, buktinya cara memegang spatula begitu lihai.
Menjelang tengah malam, Gala Imlek memasuki babak akhir. Beberapa penampilan puncak biasanya ditempatkan di bagian ini. Sambil menyesap bir, Mu Qingqing yang sudah beberapa kaleng minum mulai memberanikan diri bertanya sambil tersenyum pada pria di sebelahnya: "Kau dulu pasti koki utama ya..."
"...atau mungkin bercita-cita jadi chef..."
“Tidak tahu kau orang mana……”
“Jangan-jangan karena kecelakaan mobil atau sesuatu yang bikin hilang ingatan? Dulu baca koran bilang, beberapa veteran bahkan ada peluru tertinggal di kepala, beberapa dekade tidak terasa, cuma sesekali sakit kepala. Jangan-jangan kau juga begitu……”
“Waktu itu tidak tanya asalmu, Gu Jiaming…… Kayaknya harus cari waktu untuk memeriksakanmu……”
“Mungkin kau masih punya keluarga, orang tua, kerabat, teman, pacar atau apa…… Eh, tapi lihat wajahmu yang melamun bodoh, mukanya juga tidak ganteng-ganteng amat. Kalau diam terus, mana bisa dapat pacar…… Tidak terima? Kalau tidak terima coba bicara dong……”
“Eh, ada apa denganmu……”
Kalimat-kalimat yang sedikit mabuk itu terhenti ketika ia baru menyadari: tubuh pria di sebelahnya mulai gemetar, pembuluh darah di dahinya membengkak seperti mau meletus. "Splash!" Kaleng bir di tangannya tiba-tiba diremas menjadi gumpalan, cairan menyembur keluar.
“Kau kenapa…… Kambuh penyakit…… Aku cari obat pereda sakit……”
"Krek… krek-krek…" Suara gigi yang saling menggesek. Saat Mu Qingqing berdiri, pria itu juga bangkit sambil gemetar. Kaleng jatuh ke lantai, kedua tangan menekan dahi yang berkeringat. Kemudian, dengan susah payah ia berbalik melewati sofa, melangkah tertatih menuju kamar tidur.
“Hei……”
Memanggil beberapa kali, tentu tidak ada respons. Mu Qingqing berlari kembali ke kamar tidur, mengobrak-abrik kotak P3K untuk mencari obat, mengambil air panas dan bergegas kembali. Baru kemudian ia menyadari pria itu telah meringkuk di sudut kamar tidur, kedua tangan memeluk dahinya, menahan penderitaan yang luar biasa. Ia berlari maju ingin menyuapkan obat, namun lengan pria itu kokoh bagaikan batu karang. Sebagai polwan terlatih yang kekuatannya bahkan tak kalah dari polisi pria, kali ini tangannya sama sekali tak mampu membengkokkan...
Malam itu, ia tidak bisa tidur nyenyak.
Penderitaan mendadak yang dialami pria itu berlangsung sekitar seperempat jam. Obat gagal masuk, dan efektivitasnya pun diragukan. Persis seperti kejadian di gedung berbahaya dulu, setelah penderitaan berlalu, ia mencuci muka lalu dengan tenang naik ranjang untuk tidur. Gala Imlek di ruang tamu telah usai, berantakan di mana-mana. Mu Qingqing yang tak punya mood membereskan, akhirnya memilih ikut tidur juga.
Pengaruh alkohol membuatnya cepat terlelap. Namun tak lama kemudian, rasa kantuk itu menipis. Dalam keadaan setengah sadar, ia seolah mendengar suara-suara samar, terbangun sesaat lalu kembali tertidur. Ketika matanya terbuka lagi, jarum alarm menunjukkan pukul empat setengah dini hari. Tenggorokannya kering. Berguling-guling di ranjang cukup lama, akhirnya ia memutuskan bangun.
Membuka pintu kamar tidur, cahaya lampu jalan memantulkan sinar ke salju, masuk lewat jendela berwarna putih keperakan. Ruang tamu ternyata sudah kembali rapi sepenuhnya, mangkok masakan dan bahan-bahan sudah dirapikan, bahkan spatula hingga tungku pun sudah hilang. Seorang pria bernama Gu Jiaming duduk di tepi jendela, memandang keluar tanpa bergerak. Perlahan dia mendekat, berjongkok di sampingnya mengamati profil wajah itu.
"Bagaimana jika suatu waktu aku bawa kau ke rumah sakit untuk periksa?"
## Bagian Empat Ratus Sembilan Belas Berkumpul
Sejak makan malam tahun baru, keduanya mulai saling mengenal, setidaknya menurut Mu Qingqing.
Kasus Silver Tiger mengalami terobosan beberapa hari kemudian. Beberapa mayat ditemukan terkubur di gunungan sampah pinggiran kota, korban pembunuhan. Mu Qingqing sempat mencurigai Jiaming yang terlihat aneh hari itu, tapi kecurigaan itu hanya melintas sekilas dalam pikirannya. Akhirnya kasus ini ditetapkan sebagai perseteruan mafia, karena pelaku tak kunjung ditemukan sehingga perkara harus ditutup.
Waktu berlalu, memasuki bulan Maret-April saat rerumputan mulai hijau, Mu Qingqing akhirnya bisa berkomunikasi dasar dengan Jiaming melalui gestur tangan yang tak kenal lelah, lalu menyuruhnya melakukan ini-itu. Dia menyelidiki data semua warga bernama Gu Jiaming di sistem kepolisian, tapi terlalu banyak hasilnya. Pengecekan detail pun tak memberi petunjuk. Jika memang ada di level di luar izin aksesnya, kemungkinan tak ada hubungannya dengan Jiaming ini. Bahkan jika ada kaitan, tak ada artinya juga karena pria ini sudah jadi idiot.
Beberapa kali kencan dengan insinyur dari perjodohan itu, nonton film dan jalan-jalan. Putus di bulan April, dia juga tidak terlalu kecewa. Bagaimanapun, Yujiang tetap kota asing baginya, tidak ada rencana menetap di sini.
Jiaming sesekali kambuh, durasi dan intensitas nyerinya bervariasi. Indikatornya adalah volume jeritan yang tak tertahankan. Suatu hari di April, saat serangannya parah, Mu Qingqing mati-matian menyuapkan obat pereda ke mulutnya. Konsekuensinya, tangan besi itu mencekik lehernya, membantingnya ke tepi ranjang. Butiran obat dan gelas air panas berhamburan. Genggaman baja itu tak bisa dilepaskan, napasnya semakin tersengal. Dari pinggangnya, dia cabut pistol dan tempelkan ke pelipisnya.
Pelatuk akhirnya tak ditarik. Sebelum keputusan final, dia pingsan dicekik. Pagi berikutnya, bangun dalam keadaan tidur bersama. Pemeriksaan cepat: baju masih rapi, tak ada jejak pelanggaran. Pria di sebelahnya tidur lelap seperti bayi. Tapi setiap kambuh, keringatnya bau menyengat. Rasanya seperti menginap dengan gelandangan. Dia ngambek berhari-hari, mungkin karena kedinginan saat pingsan. Dua hari kemudian, jatuh sakit.
"Flu datang seperti kereta api yang pertama kali ditampilkan di layar lebar dengan suara Braak, demam mencapai 40 derajat. Bertahun-tahun tidak pernah sakit separah ini. Satu-satunya penghiburan adalah Jiaming yang mulai mencurigai sesuatu. Pagi hari dia membuatkan bubur, siang dan malam bahkan pulang sekali untuk membelikan makanan, menaruhnya di meja dekat jendela lalu pergi diam-diam. Entah apakah setelah serangan hebat ini kesadarannya mulai pulih. Namun setelah kejadian ini, baru sebulan kemudian dia kambuh lagi, menciptakan siklus kekambuhan terpanjang yang pernah dilihat Mu Qingqing."
Setelah sembuh, segalanya kembali normal. Mu Qingqing tiba-tiba merindukan sensasi minum bubur ayam cincang pake telur pindang sambil bertahan dengan hidung merah Hong Bizi. Pertengahan April, dengan paksa dia menyeret mereka ke rumah sakit untuk melakukan serangkaian pemindaian otak. Hasilnya sangat mistis.
"Tidak tahu apa itu..."
"Jika difokuskan ke satu titik, saya akan menyebutnya tumor. Tapi sekarang... Saya belum pernah melihat kondisi medis seperti ini. Perlu analisis, saya sarankan..."
Mu Qingqing tidak paham hasil pemindaian kepala itu. Rumah sakit di Yujiang tidak terlalu besar, tentu dia juga tidak bisa setiap hari membawa orang kesana untuk diperiksa. Akhirnya dia memutuskan mencari waktu untuk mengirimnya ke rumah sakit besar di Jianghai atau tempat lain untuk diagnosis. Tapi Jiaming sepertinya bisa memahami semua ini. Saat melihat hasil pemindaian, ekspresinya menunjukkan kekacauan emosi yang membuat Mu Qingqing kaget, mengira dia akan segera kambuh di tempat. Untungnya akhirnya hanya alarm palsu.
“Tim penyidik kriminal kadang sangat sibuk, sesekali juga sepi. Beberapa kali dia pergi duduk di pasar sayur, saat bertemu Jiaming sedang memborong chestnut di toko sebelah, dia membantu berjualan sebentar. Setelah beberapa kali mengobrol dengan pedagang kaki lima sekitar, saat orang memanggilnya 'nyonya pemilik penginapan', dia selalu menunjukkan kekecewaan, terlihat jelas orang-orang ini sangat penasaran dengan hubungan mereka.”
“Di bulan Mei, kesal karena sebuah kasus, dia membeli beras, telur pindang, daging tanpa lemak pulang ke rumah. Sehari sebelumnya memasak panci besar bubur putih, pagi harinya bangun sangat pagi menunggu Jiaming bangun lalu menariknya ke dapur. Setelah berisyarat lama, kembali ke kamar tidur. Satu jam kemudian, bubur matang ditaruh di tepi ranjang. Sejak itu rutin setiap hari. Mu Qingqing merasa wajar saja, toh dia sudah berbaik hati memberikan sebuah rumah untuknya tinggal, membantu melakukan beberapa hal juga seharusnya kan? Moodnya pun jadi sangat baik.”
“Hari-hari seperti ini beruntun berlangsung selama lebih dari sebulan.”
“Di akhir Juni, kepala dinas memanggilnya. Memberikan sebuah berkas kasus. 'Wei Zhiqiang, julukan Si Bodoh Qiang, Qiang Nyawa Kacangan. Orang ini ada kesan?'”
“Kasusku di Jianghai, saat mentransfer ke sini, kasusnya diserahkan... Dia MEMBUNUH lalu kabur...”
“Dia sekarang berada di Hong Kong, baru-baru ini terlibat dalam kasus perampokan dan pembunuhan di sebuah toko perhiasan, dan dekat dengan bos He Yisheng Min Kun. Terkait kasus ini, Triad setempat dan Departemen Investigasi Kejahatan Terorganisir sangat serius menanganinya, pihak Jianghai juga menganggapnya penting. Oleh karena itu, diputuskan untuk melakukan investigasi bersama. Dari Jianghai akan mengirim seorang Kapten Ding ke sana. Berkasmu juga sudah ditransfer kembali ke Jianghai. Setelah ke Hong Kong ini, kau bisa langsung kembali ke Jianghai untuk lapor. Lihatlah dokumen ini, selamat atas promosimu.”
Kepala dinas menepuk bahunya sambil tersenyum: "Jangan terlalu terkejut, kemampuan dan kerja kerasmu sudah dilihat semua orang. Tapi ada satu hal, meski semua tahu kau bekerja mati-matian, soal investigasi bersama dua wilayah ini, semua paham ini seperti atasan yang ingin menunjukkan prestasi. Tapi orang-orang yang benar-benar bekerja di lapangan tidak ingin campur tangan orang luar terlalu banyak. Tugasmu sebenarnya hanya menyerahkan beberapa data-data, anggap saja seperti liburan. Ini tugas yang menyenangkan, hal paling penting yang harus kau lakukan... ingat bawa kartu kreditmu lalu gunakannya sampai limit..."
Dengan "Prak!", Mu Qingqing mengambil sikap sempurna lalu memberi hormat: "Akan tunduk pada instruksi pimpinan!" Kemudian dia juga tertawa riang.
Berusaha keras bekerja di sini demi bisa cepat kembali ke Jianghai. Kini target akhirnya tercapai, perasaan Mu Qingqing sangat lega. Namun saat pulang kerja, ketika menyetir sampai di persimpangan jalan itu, alisnya mulai mengerut. Beberapa saat kemudian, dia memarkir mobil di pinggir jalan dan berjalan menuju pasar sayur.
“Membuatku agak kerepotan, bagaimana jika kau kutinggal di sini… Tapi aku harus kembali ke Jianghai, juga perlu ke Hong Kong…”
Matahari terbenam, berdua duduk di atas koper di belakang gerobak, menyaksikan pedagang di pasar menutup lapak dan pergi. Mu Qingqing merenung lama, akhirnya membuat keputusan: “Sudahlah, apa kau mau ke Hong Kong? Fasilitas medis di sana juga bagus, mungkin bisa menyembuhkan penyakit otakmu. Jika Hong Kong tidak memungkinkan, setidaknya aku harus kembali ke Jianghai, rumah sakit di Jianghai seharusnya juga bagus… Jadi diputuskan, aku akan membawamu ke Hong Kong berobat. Jika benar-benar tidak bisa, kita kembali ke Jianghai. Dengan menyembuhkan penyakitmu, aku sudah melakukan yang terbaik…”
Setelah memutuskan, dia mulai menelepon: “Halo, Yao Lu, ini Qingqing… Tentu ada urusan baru menghubungimu. Aku tahu kau punya kemampuan luar biasa. Begini, aku ingin membawa seseorang ke Hong Kong. Dia tidak punya identitas palsu maupun paspor… Eh, dia pria… Ganteng atau tidak urusanmu apa, dasar penggosip… Yang jelas kondisiku seperti ini, berikan pendapat yang membangun…”
Austria, Wina.
“Pokoknya… beginilah, beberapa tahun terakhir terus berlarian di Eropa, tak menyangka bisa bertemu Lingjing. Tapi, aku juga dengar kabar kau diterima di Akademi Musik Wina…” Duduk di kursi luar kedai kopi, Li Yunxiu tersenyum memandang wanita di hadapannya. Dulu saat bekerja sebagai dokter sekolah di Akademi Hati Kudus, hubungan mereka tidak terlalu dekat. Li Yunxiu tentu mengingatnya, tapi tak menyangka dia juga masih ingat. Begitulah mereka mulai mengobrol sebentar.
“Aku sebenarnya sudah lulus, beberapa hari lagi akan tiba di Jianghai.” Memakai kemeja putih, celana jeans biru gaya wanita. Lingjing menopang pipi dengan tangan, memberikan sebuah senyum, "Sudah empat tahun di sini, akhirnya mencapai akhir, perasaan seperti baru dibebaskan."
Li Yunxiu menyesap kopinya："Ngomong-ngomong, kalau kau memang akan pulang dalam beberapa hari ini, bisakah sekalian bantu aku mengantar sesuatu? Ini pernak-pernik kecil yang kubeli di Prancis, pasir dalam botol lho." Dengan tersenyum dia mengeluarkan kantong kecil dari saku, setelah dibuka terlihat botol mini yang dirangkai dengan garis merah berisi pasir halus，"Bercahaya dalam gelap, katanya melambangkan romansa Prancis. Tolong berikan ke seorang cewek bernama Fang Guolin. Dia cuma bisa main komputer, sampai sekarang belum punya pacar. Sebagai kakak, aku harap ini bisa membantunya. Hmm, sekarang dia seharusnya di Jianghai, alamatnya..."
Setelah memberi penjelasan demikian, dia mengaku masih ada keperluan lalu berdiri dan pergi. Memandang punggung yang menjauh, Lingjing mengerutkan kening, seolah merasakan sesuatu yang tak wajar, kemudian memasukkan tas kecil ke dalam handbag.
Membelok di sudut jalan, Li Yunxiu menghela napas pelan. Di jari ramping tangan kanannya, setetes darah mengalir dari lengan baju dan jatuh senyap ke tanah.
Dengan kewaspadaan penuh, dia berjalan perlahan. Setelah melewati satu blok lagi, samar terdengar suara tembakan dari tempat yang sangat dekat - hanya orang yang telah menjalani pelatihan khusus seperti dirilah yang bisa mengidentifikasinya dengan jelas.
Menarik napas dalam-dalam, dia mulai berlari.
Venesia, markas besar Dark Celeste.
Setelah menerima telepon di balkon, Kelly masuk ke kamar. Natalia sedang duduk di sofa, sambil minum anggur merah dan menonton X-Men di layar besar. Melihatnya masuk, dia mengungkapkan kekesalan: "Ini benar-benar tindakan sembarangan..."
"Yang lebih sembrono datang, tim Chambers yang bertanggung jawab atas keamanan Ye Lingjing hampir punah total. Li Yunxiu... sepertinya menyerahkan Kekosongan Pandang Debu kepada teman sekelas Lingjing kita. Untungnya pengejar berhasil dialihkan, untuk sementara seharusnya belum menyadari keberadaan Lingjing..."
"Benar-benar ada yang mengejarnya? Apakah [] ingin menarik kita ke dalam masalah lebih cepat..."
"Masalahnya pengejarnya hanya satu orang. Menurut kesaksian dua yang selamat, peluru sepertinya tidak berpengaruh besar padanya, kekuatannya begitu dahsyat... hmm, hampir seperti Gu Jiaming..."
"Lagi-lagi yang MATI..." Natalia meletakkan gelas anggur, "Mikado Ki membeku selama empat tahun, saat pertama kali menyerang, sebenarnya melakukan apa... Aku benar-benar membenci perasaan seperti ini..."
Dia berpikir sejenak: "Aku akan pergi ke Jianghai bersama Ye Lingjing, lalu berunding dengan [] tentang hal ini. Jika bertemu di jalan, aku ingin mencoba lagi sensasi menghadapi yang MATI."
Insiden terakhir saat Pangeran menerobos keluar dari basis sebelum kesadaran diri, Natalia selalu menganggapnya sebagai rasa malu. Saat menyebut hal ini, kilau dingin berkedip di matanya, udara dalam kamar tiba-tiba terasa turun beberapa derajat. Anggur merah mengalir di antara bibirnya, merah menyala seperti tetesan darah...
Kelly keluar dari pintu kamar.
Naik kapal, pindah kendaraan, kira-kira setengah jam kemudian, dia tiba di sebuah basis.
Di ruang tembak, dentuman senjata silih berganti. Dia menyusuri terowongan panjang, beberapa saat kemudian melihat seorang gadis Timur berambut ekor kuda panjang. Mengenakan kaus hitam dengan paha jenjang nan runcing, mengganti peluru dan menembak dengan fokus ke sasaran empuk yang bergerak cepat di depan - satu tembakan satu sasaran, terstruktur rapi.
Mengamati sejenak, kemudian membuka pintu kaca dan melepas penutup telinga di kepala wanita itu: "Ada hal yang harus kau tangani."
"Apa?"
Meski sudah dipasang peredam suara, dentuman senjata masih cukup mengagetkan. Kelly menyeringai, lalu berteriak sekerasnya: "Sahabat terbaikmu! Ada bahaya——"
Perempuan bernama Liu Huaisha berdiam memandang wajahnya, tiba-tiba mengangkat tangan dan BYUR! Menghancurkan sebuah sasaran. Kelly menutup telinga dengan ekspresi kecewa.
"Aku ingin ke Jianghai..."
Tiongkok, Emei.
Huiqing masuk ke kamar, Fang Zhitian berdiri.
"Hal ini... mungkin tidak sederhana." Huiqing mengerutkan kening, "Ruo Ruo sakit kepala parah tapi tetap bersikeras ke Jianghai. Dia bilang akan ada kejadian besar di sana, musuh hebat yang mungkin menewaskan banyak orang. Kondisi fisiknya dua tahun terakhir semakin menurun, tapi kali ini visinya sangat jelas - kemungkinan besar akan terjadi."
"Jika kita pergi kesana justru menggenapi ramalan Ruo Ruo... Bagaimana jika kita lakukan sebaliknya..."
“Masalahnya Gu Jiaming sudah MATI, Kekosongan Pandang Debu adalah satu-satunya yang mungkin membantu Ruo Ruo.” Huiqing memandangnya dengan tajam, “Kami tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan. Di Jianghai, aku akan membawa Ruo Ruo ke sana.”
Ia mengibaskan kipas debu di tangannya, menorehkan desing angin seperti pedang di udara: “Justru ingin melihat... makhluk apa yang datang membunuh kali ini...”
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Kembali
Juli, Hong Kong.
“Ngapain kau seriusin dia? Kan tau dia bodoh, beneran...”
Pagi-pagi buta di bilik VIP restoran, dengan meja makan sebagai batas, dua kelompok saling berhadapan dalam posisi negosiasi. Postur bos He Yisheng Min Kun yang mulai berlemak menyuap setengah telur dadar ke mulut, berbicara dengan tidak jelas sambil bersikap masa bodoh: “Sebenarnya urusan kecil saja, kita semua saudara sejalan. Kalau kepepet ya wajar nekat, menurutku normal... Baiklah, kalau dia memang bersalah, aku minta maaf di sini. Kakak Da Fei, Tuan yang maha pengertian, harap maklum.”
“Aku juga tidak ada maksud lain, Kakak Kun, cuma beberapa hal harus dijelaskan tuntas.” Pria berambut panjang di seberang yang sedang menyesap kopi mengusap-usap mulutnya dengan tisu, “Gedung perak berada di wilayahku, orang Benua itu datang melakukan aksi ini tanpa izinku, lalu dia juga membunuh orang. Hal ini membuatku sulit memberi penjelasan ke luar. Itu belum yang paling penting, yang terpenting adalah tim kasus berat sudah mengawasi kasus ini. Mereka sangat serius menangani hal ini, tiap tiga hari datang ke wilayahku melakukan penyelidikan. Sekarang aku jadi terpasif. Kakak Kun, aku menghormati mukamu baru mau berunding dulu, kalau tidak, orang Benua itu sudah kubungkus kirim ke kantor polisi...”
“Masa sih, Kakak Da Fei? Polisi itu serakah tak ada puasnya. Sumbanganmu bulan ini kurang banyak, cari alasan saja. Semua orang di dunia bawah tahu ini ulongan sekelompok orang Benua, apa hubungannya denganmu? Kau harus lincah, ada urusan atau tidak, bolak-balik kasih pelicin. Contohnya aku bulan lalu sarapan bareng Inspektur Zheng dari tim kasus berat...”
"Sikapnya jelas terlihat mulai menghindari topik," Da Fei tersenyum, "Kakak Kun, waktu semua orang sangat berharga. Hal ini sudah kusampaikan padamu, tidak perlu memberikan jawaban. Kau lakukan caramu, aku lakukan caraku. Katanya belakangan ini kau mulai gemuk. Lihatlah, makanmu berlebihan, terlalu rumit, menghabiskan waktu lama, mungkin masih mikir mau makan apa dulu, bahkan harus menjalin hubungan dengan telur ayam atau sosis. Aku berbeda, nafsu makanku kecil, tidak banyak makan, sederhana dan cepat saja. Menjalin hubungan dengan polisi juga bukan tidak mungkin. Apa yang paling mereka suka? Tentu saja mengungkap kasus. Aku akan bantu, lagipula dia bukan saudaraku. Dia yang pertama tidak menghargai mukaku, sekarang jadi begini. Kakak Kun, apa kau memang harus melindungi dia?"
"O..." Min Kun mengangkat bahu, menepuk pantat lalu berdiri, "Biarin saja..."
Wajah Da Fei langsung muram. Suasana di sekitar tiba-tiba menjadi bagai pedang terhunus dan busur terkencang. Membuka tangan, Min Kun berbalik keluar. Saat sampai di pintu, tiba-tiba tersenyum dan kembali, kedua tangannya menampar meja makan.
“Bercanda, Kakak Da Fei. Lihat wajahmu jadi pucat, aku sampai takut kau akan menyuruh orang menghabisi ku hari ini. Aku kan penakut... Begini, sebenarnya aku nggak mau cerita ke sembarang orang. Soal Si Nyawa Busuk, kau juga tahu, dia gila saat menggorok orang. Awalnya aku mau terima dia karena lihai bertarung, tapi belum lama ini dia berkhianat, menggoda kakak ipar. Waktu aku naksir seorang cewek, dia malah nekat merebutnya. Akhirnya kami bertengkar. Masih melihat pertemanan lama, aku nggak bikin dia susah, tapi urusan begini ya nggak mungkin diumbar ke orang. Kalau benar-benar melindunginya, ngapain sampai terjadi begini? Setuju kan?”
Da Fei mengerutkan alisnya: “Berarti urusannya sudah kau lepas tangan?”
“Gimana mau urus? Orang-orang daratan ini kebanyakan nonton film gangster, mengira Hong Kong masih seperti kubangan lumpur dimana orang bisa sembarangan main pisaunya. Sekarang sudah beda jaman, nggak seperti saat Inggris masih berkuasa... Tapi bagaimanapun, dia pernah jadi bawahanku. Sepupunya dulu pernah nahan serangan pisau untukku. Kakak Da Fei, kalau benar-benar mau menghabisi dia, kuharap bisa kasih keringanan, beri dia jalan hidup...”
Pihak sebelah tetap dengan wajah muram, diam. Min Kun tersenyum sesaat lalu mengetuk meja: “Kalau begitu urusan sudah deal. Soal polisi, aku akan coba manfaatkan koneksi yang ada untuk menghapus jejak. Beberapa waktu lagi setelah urusan selesai, kita bisa minum teh bareng dan ajak Paman Jian juga. Sudah lama nggak ketemu beliau... Sarapan aku yang traktir, jangan rebut-rebutan ya.”
Menjaga senyuman keluar dari kamar, sampai tiba di tangga, Min Kun baru menggelengkan kepala dan menghela napas, lalu mengayunkan tangan: "Dulu, tidak ada yang dianggap remeh, polisi pun berani ditantang, soal Da Fei, semua tahu dia sangat hebat. Sekarang, sedikit masalah saja sudah panik berteriak-teriak, menjadi bos pasti ada masalah lah, kita yang hidup di dunia bawah tanah ini, mana mungkin tidak diganggu polisi sambil sarapan bareng mereka? Mau jadi warga taat hukum... kalau takut repot jangan jadi bos lah, bangsat, Kakak Da Fei... cuma jago ngegame pesawat aja dia..."
Bergumam begitu sambil keluar dari restoran, naik ke mobil kecil yang parkir di luar, Min Kun juga sedikit mengerutkan alis: "Temui Si Bodoh."
Tiga mobil berbelok melewati dua blok jalan, kemudian berhenti di pinggir jalan. Saat pintu mobil terbuka, seorang pria berbaju T-shirt kuning muda masuk. Iring-iringan mobil kembali bergerak.
"Gedung perak itu, sudah kubilang dari dulu jangan diutak-atik, sekarang malah sampai MEMBUNUH orang, urusan jadi gila-gilaan, aku ditekan berat tahu tidak..."
"Maaf, Kun."
"Jangan minta maaf. Sepupumu minta aku jaga kamu. Kalau kekurangan uang bilang saja..."
"Kun sudah terlalu banyak menjagaku..."
"Cukup cukup cukup, jangan bicara begitu. Tapi jangan marah kalau aku ngomong, teknik judi semrawutmu itu kalau tidak dihentikan, berapa pun uang akan habis. Kamu cuma jago memukul orang, logika simpel saja – memukul orang tidak ada masa depannya. Siapa yang punya masa depan masih mau keluar memukul orang..."
Dia menggelengkan kepala, "Tapi sekarang, ini bukan masalah aku mau bantu atau tidak. Masalahnya benar-benar sudah besar. Polisi tidak hanya mencari Terbang Besar. Sekarang mereka melakukan penyelidikan bersama. Dengar-dengar Jianghai mengirim dua polisi ke sini. Kau juga tahu hal seperti ini, mereka butuh nilai. Ada orang luar yang mengawasi, tidak boleh mempermalukan diri sendiri. Bahkan kalau tidak ada prestasi harus dibuat-buat... Sekarang, aku lihat dulu perkembangannya, lalu cari cara mengatur kaburmu. Jangan terlalu banyak mikir. Ada masalah apa-apa, aku yang bertahan dari."
"Kakak Kun……"
Min Kun tersenyum, menepuk bahu mereka dengan wajah penuh jiwa kesatriaan.
Hari keempat di Hong Kong, Mu Qingqing merasa diabaikan.
"Cuma menyerahkan data-data, lalu ada petugas khusus yang bawa kita berkeliling Hong Kong. Tempat wisata, distribusi geng kriminal, hal-hal ini nonton gangster film juga tahu. Kapten Ding, apa pendapatmu?"
"Bisa dimengerti kalau mereka tidak ingin kita terlalu ikut campur. Meski disebut penyelidikan bersama, kita tidak paham lingkungan Hong Kong sini, asing dengan lingkungan. Ini normal... Seharusnya normal."
Pria di seberang mengangguk sambil tersenyum: "Beberapa hari ini aku bicara dengan petugas yang menerima kita tentang atasan mereka. Inspektur Mu ini orangnya cukup serius. Mungkin merasa kita akan merepotkan, jadi malas melakukan formalitas."
Di mana pun masalahnya sama, jika berada di wilayahku, tentu juga tidak ingin ada orang yang sama sekali tidak paham ikut campur. Mu Qingqing tersenyum, tahu bahwa jika dia benar-benar mengajukan syarat, tentu bisa ikut dalam penyelidikan kasus. Tapi selain melihat orang lain bekerja, mungkin tidak ada yang bisa dilakukan. Ketika orang lain tidak membutuhkan, memaksa ikut campur malah akan merepotkan dan membuat dibenci: "Anggap saja sedang liburan..."
"Kau bisa sekalian mengantar Teman ke rumah sakit."
"Aku juga ingin begitu." Mu Qingqing menoleh ke belakang dengan kekecewaan, "Dia tidak mau pergi, apa lagi yang bisa kulakukan..."
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Di restoran terbuka atap gedung hotel, hawa panas pertengahan musim panas belum reda. Tapi di atap gedung ini, angin malam berhembus membawa nuansa sejuk. Dari atas, terpemandangan keramaian pasar malam Causeway Bay yang semrawut. Jiaming duduk di kursi tepi, sedang memiringkan kepala melihat ke bawah.
Sejak tiba di Hong Kong, dia mulai terlihat aneh — sebenarnya jika dipikir-pikir, perubahan ini sepertinya terus berlanjut selama setengah tahun terakhir, hanya saja belakangan ini menjadi lebih jelas.
"Penyakit apa sih yang diidap Temanmu? Sepanjang hari terus-terusan seperti sedang memikirkan sesuatu."
"Tidak jelas, ada sesuatu di kepalanya, mungkin sejenis tumor." Mu Qingqing menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Sebenarnya sekarang selain tidak mau melibatkan diri dengan orang, semua hal lain sama seperti biasa. Bisa memesan makanan juga bayar sendiri. Jika dia benar-benar sedang memikirkan sesuatu, ada perasaan... seperti hampir menemukan jalan keluar..."
“Penyakit seperti ini tidak akan sembuh dengan sendirinya.”
“Benar.” Mu Qingqing menghela napas, “Jadi kita harus mencari cara untuk membawanya ke rumah sakit...”
Kegelapan malam menyelimuti, Bandara Jianghai terang benderang.
Pesawat menembus lapisan awan, mulai turun secara bertahap. Perlahan-lahan, kilau neon kota yang tetap sama dengan pegunungan, garis pantai yang memanjang, serta lampu-lampu kapal di laut mulai terlihat dalam jarak pandang, semakin membesar.
Seolah tiba-tiba direnggut oleh suatu perasaan, dia duduk di dekat jendela, tatapannya kosong tak bergerak. Kekakuan yang disertai rasa asam dan mati rasa menyelimuti seluruh tubuhnya, sesuatu naik dari tenggorokan menyumbat mulutnya. Semua tenaga telah menghilang, hanya menyisakan keberadaannya sendiri yang mandiri di antara segalanya dalam kekosongan itu.
Bandara, pusat keramaian, kampus, pelabuhan, rumah... Setelah empat tahun, dia bisa merasakan angin Jianghai berhembus lagi. Kota ini tetap samar-samar, malamnya tak berbeda dengan dulu...
Pukul delapan dua puluh, dia turun dari pesawat. Saat menginjak tanah Jianghai, kakinya gemetar tapi segera tegap kembali. Senar yang telah tegang selama empat tahun dalam pikirannya tiba-tiba putus dengan suara Byur!
Air mata mengalir deras...
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Satu Kelinci Putih yang Kesepian
Untuk pertama kalinya tidur di rumah dalam beberapa tahun, melihat tata letak yang dulu familiar, dia sempat merasa tidak nyaman. Di rak buku kecil tersusun novel dan komik yang dulu disukainya, poster selebriti yang pernah dikaguminya menempel di dinding, foto masa kecil tertekan di bawah kaca meja belajar - ada Jiaming dan Shasha. Saat membuka laci, terlihat stiker telepon lama, berbagai perhiasan kecil, tempat pensil cantik yang usang, kuas tulis yang bulunya habis, karet rambut warna-warni, kaset musik, serta kotak plastik kecil berisi korek api, stempel lapisan batu atau kayu, Rin kecil, dadu berbagai ukuran - singkatnya, berbagai benda mungil yang estetis, penuh detail dan beragam.
Orang tua mungkin datang membersihkan setiap beberapa hari, digugurkan debu sehingga kamar tetap rapi seperti dulu. Namun waktu akhirnya membubuhkan cap bakar pudar pada benda-benda ini, atau mungkin itu berasal dari mood... Dia masih ingat alasan dulu mengumpulkan ini, tapi rasa suka masa itu kini terasa sangat jauh.
“Nyalakan lampu, buka laci-laci, kotak, balik-balik buku dan album prangko. Kenangan itu terus mengikuti, tak bisa diusir. Dia duduk di sana, seolah selalu melihat tiga anak berlarian di sekitarnya, kejar-kejaran. Saat musim panas berkipas angin sambil tiduran baca komik dan novel, sesekali saling menendang lalu berantem. Musim dingin bertiga berselimut main kartu dengan tape recorder menyanyikan lagu, di sampingnya tersedia permen dan kuaci. Gadis yang terlihat paling kalem itu selalu protes karena dua lainnya menjatuhkan kulit kuaci di ranjang...”
“Dia duduk memandangi kamar ini. Dari ruang tamu terdengar suara sinetron dan obrolan sesekali orang tua. Koper besar dari Wina tergletak di sudut ruang bagai penanda yang memisahkan usia. Malam itu sinar bulan menyusup dari kusen jendela. Dia tak bisa tidur.”
“Saat pelan-pelan ke ruang tamu minum air, pintu kamar utama juga terbuka. Ibuku keluar sambil meletakkan jari di bibir. Jam menunjukkan pukul dua pagi: ‘Masih belum tidur?’”
“‘Mungkin karena jet lag.’”
“‘Kok jadi lebih tinggi dari Ibu sekarang.’”
“‘Waktu berangkat saja sudah lebih tinggi dari Ibu.’”
“‘Dulu masih seperti anak kecil.’”
“Lingjing tersenyum, menatapnya menutup pintu. Ibu dan anak itu kemudian duduk di sofa ruang tamu berbisik: ‘Ceritakan tentang kejadian-kejadian di Wina selama ini padaku.’”
“Ya memang tak ada yang perlu diceritakan, berlatih piano, membaca, sesekali jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, duduk-duduk di tepi Sungai Donau, lari pagi, latihan fisik dan sebagainya.” Dia tersenyum, “Jurus bela diri yang diajarkan ayah tak ada satu pun yang kulewatkan.”
“Tak ada hal khusus yang terjadi?”
“Yaitu tampil di teater, tiga hari seminggu. Mereka memberiku kesempatan solo selama beberapa menit... Sebenarnya teaternya tidak terlalu besar, lebih ke mode privat. Seringkali tamunya orang-orang yang dikenal. Oh iya, aku pernah bermain gitar di tepi sungai. Saat malam hari pergi jalan-jalan ke sana, meletakkan kotak di tanah, duduk sendiri di kursi sambil bernyanyi-nyanyi. Ada yang melempar uang ke kotak. Sungai Donau memang sangat indah...”
“Penghasilannya banyak?”
“Lumayan. Cukup untuk makan enak. Orang-orang di sana sangat antusias terhadap musik. Sebenarnya suaraku tak terlalu bagus, hanya lagunya yang menarik. Lagu-lagu ini... dulu... eh...” Dia terdiam sejenak. Lagu-lagu ini dulu ditulis Jiaming, dinyanyikan selama hampir setahun bersama band konsep...
“Guru Julian yang di bandara hari ini sudah begitu menjagamu, kenapa tak mengajaknya ikut?” Melihat putrinya enggan melanjutkan topik ini, Duan Jingxian dengan halus mengubah pembicaraan.
“Dia juga ada urusan hari ini. Yang menjemputnya adalah staf perusahaan hiburan, sudah mengatur hotel. Hari ini terlalu mendadak. Rumah kita juga tak mempersiapkan dengan meriah. Nanti pasti Ibu dan Papanya sibuk mondar-mandir lagi.”
“Masih berani membantah. Kalau saja kau tidak sama sekali menyebutkannya di telepon sebelumnya, mana mungkin terlihat terburu-buru. Dulu di telepon kau pernah bilang, guru itu orang yang posisinya begitu tinggi, tapi mau membantumu mengatur segalanya, benar-benar terlalu baik padamu. Besok... Eh, hari ini traktir dia makan malam, kita sekeluarga ingin berterima kasih padanya.”
“Hmm, baiklah.”
Berbagai hal remeh dibicarakan selama puluhan menit, ibu dan putri sengaja menghindari topik paling sensitif. Tepat sehari setelah sarapan pagi, Lingjing pergi ke hotel untuk menyapa Julian dan yang lain: “Nanti malam, datanglah makan ke rumahku. Orang tuaku selalu ingin secara resmi berterima kasih pada Guru atas perawatan selama bertahun-tahun ini.”
“Bertemu mahasiswa berbakat, itu bagian dari... Tidak terlalu merepotkan?”
“Tidak juga. Kalau begitu sepakat, nanti sore aku akan jemput semuanya.”
Kedua perusahaan hiburan memiliki koneksi, Julian juga punya jaringan kuat di Tiongkok. Tapi mustahil langsung mengadakan pertunjukan begitu tiba. Lingjing sedang liburan, sementara yang lain harus sibuk dulu. Saat Lingjing pergi, Debby, teman yang ikut Julian, berkata: “Masih seperti dulu. Kalau benar-benar menganggapmu orang dekat, semestinya undangan kemarin malam. Dia selalu tanpa sadar menunjukkan karakter menjauhkan orang seribu li ini, kabarnya sudah tersebar luas di akademi musik.”
“Justru karakter seperti itu yang memikat, bukan?” Julian tersenyum.
“Pria hina...” Debby menggeleng, menepuk bahunya. “Bersiaplah sibuk.”
Setelah meninggalkan hotel, Lingjing berdiri di tepi jalan dengan perasaan gamang, tidak tahu harus pergi ke mana. Selama empat tahun, banyak hal di Jianghai dalam ingatannya tidak banyak berubah, namun sejak baru kembali, kerumunan orang di sekitar terasa begitu asing. Ia berjalan-jalan di tepi jalan, membeli sebuah koran dan memegangnya. Sebenarnya aktivitas membeli koran untuk dibaca juga merupakan pengalaman yang asing, dulu saat tinggal di sini, ia tak pernah memperhatikan hal-hal seperti ini.
Sebenarnya sebelumnya tempat-tempat yang ingin dikunjungi sudah direncanakan, tetapi ketika benar-benar hendak berangkat, tiba-tiba keraguan muncul. Hatinya dipenuhi ketakutan: apa yang akan dilihat, konsekuensi apa yang harus diterima—beberapa gambaran telah berulang kali dibayangkan selama empat tahun. Ia tidak mau menerima hasil di luar imajinasinya, bahkan dulu tak pernah membayangkan kemungkinan lain. Namun kini, perasaan gamang ini menerjang seperti ombak. Setelah lama berputar-putar di jalanan, ia naik bus menuju bekas markas besar Shazhu Bang.
Pintu gerbang terkunci rapat, sama sekali tak ada tanda kehidupan. Pukul sepuluh pagi, matahari bersinar terik. Lingjing menekan bel pintu berkali-kali, namun rumah besar yang dulu dikenalnya itu tetap sunyi senyap. Bahunya mengendur, di hatinya ada kekecewaan, tapi juga kelegaan. "Mungkin mereka pindah lokasi…" Dengan pikiran itu, ia berbalik arah menuju sisi lain Jianghai: Akademi Hati Kudus.
Segalanya seperti dulu. Masih dalam waktu liburan musim panas, gerbang kampus yang terkunci rapat, plaza besar, hanya plang berlapis emas yang diperbarui sekali, pola bunga di plaza juga diganti dengan desain baru. Mendekati siang, beberapa mahasiswa les liburan keluar berbaris dari pintu kecil samping, mengalir ke toko-toko di tepi plaza. Dulu saat mereka masih sekolah, Akademi Hati Kudus belum mengadakan les seperti ini, mungkin beberapa tahun terakhir tekanan akademik semakin besar.
Menyusuri jalan yang familiar berkeliling, pasar sayur yang tampaknya sudah diperluas muncul di depan mata. Kanopi diganti baru, stan-stan di dalamnya juga menjadi lebih rapi. Pada jam segini, pedagang di pasar tidak banyak. Dia berdiri sebentar di tepi jalan sambil membawa tas kecil. Pasar tidak jauh dari rumah, dulu sering dikunjunginya, hanya saja para pedagang yang dulu dikenalnya kini sudah tidak terlihat lagi, atau mungkin sudah tidak saling kenal. Di sebelah ada interior baru yang menjual kue dingin kesukaannya dulu, dia membeli beberapa bungkus, digantung di tangan.
Rumah-rumah di satu sisi jalan telah mengalami dekorasi baru, kini memancarkan putih kapur yang asing. Belok di sudut jalan, jalan paling familiar itu muncul di hadapannya. Rumah-rumah di tepi jalan ada yang baru ada yang lama. Dari kejauhan, game elektronik masuk ke jarak pandang, menggantung tirai pintu baru.
Cahaya matahari menyinari langsung ke bawah. Dia berjalan mendekat, melangkah dengan susah payah, akhirnya berhenti di depan pintu game center, memandang pemandangan di dalam. Waktu menunjukkan siang hari, bisnis tampak sepi. Bos bertubuh tinggi kurus duduk di belakang meja penjualan koin game sambil asyik menyantap makan siang - sudah bukan orang yang dulu lagi. Melihat ada wanita cantik berdiri di depan pintu mengamati ke dalam, beberapa orang yang sedang bermain game di dalam pun menoleh ke arahnya. Lingjing berdiri sejenak, lalu berbalik pergi. Bunyi hak tinggi menyentuh anak tangga yang baru dipasang ubin bergema "dak-dak".
Di samping telah berdiri bangunan baru. Ruko di lantai satu jelas-jelas merupakan warnet. Tangga di sisi game center dipenuhi lumut hijau. Lingjing berdiri di sana, biji matanya memerah, teringat sebuah puisi yang pernah dipelajarinya: "Kelinci putih kesepian, berlari ke timur memandang ke barat, Baju tak sebaik yang baru, Manusia tak seindah yang lama."
Tiba-tiba tersadar, semua orang ternyata telah pergi. Tempat sama namun manusia sudah berbeda, tempat sama namun manusia sudah berbeda...
"Nona, butuh bantuan?" Seorang pemuda cukup ganteng keluar dari game center, bertanya dengan sikap agak sembrono. Lingjing memandanginya beberapa detik, lalu menoleh dan naik tangga, suaranya terdengar serak.
"Aku pulang..."
"Kau tinggal di sini? Di atas tidak ada penghuni lho..."
Pemuda itu menyaksikannya naik tangga. Saat mengeluarkan kunci dari tas kecil dan mengulurkannya, gantungan kunci terjatuh "prak!" ke lantai. Wanita itu berjongkok cukup lama di lantai, akhirnya bangkit lagi dan membuka pintu.
Bunyi "creek" terdengar. Dia berdiri di ambang pintu beberapa detik, lalu melangkah masuk.
Dari pukul empat sore setelah pulang ke rumah, kondisi Mental Lingjing terlihat agak linglung. Bersamanya ada Julian dan rombongan. Sebagian dari mereka paham bahasa China, namun mayoritas tidak, sehingga komunikasi cukup memiliki tingkat kesulitan. Namun melihat keluarga Ye mengelola perguruan silat, mereka pun menemukan aktivitas olahraga favorit masing-masing di luar: memukul boneka pasir, fitness, atau bertarung di ring. Lingjing dan ibunya mencuci dan memilih sayuran di dapur untuk mempersiapkan makan malam. Kemudian sebuah mangkok pecah, membuatnya diusir keluar oleh ibunya.
Fakta sebenarnya, sebelum kepulangan ini, hampir bisa dipastikan bahwa mencari Jiaming di area Shengxin akan sia-sia. Namun melihat lumut di tangga, perasaan sedih tetap tak tertahankan. Saat mendorong pintu masuk, seluruh benda dalam kamar tertutup selimut putih - kursi, meja teh, ranjang, lemari pakaian, TV, dan lain-lain semuanya diselimuti kain putih. Debu yang menumpuk di atasnya menunjukkan bahwa tempat ini sudah lama tidak ditinggali.
Dia membuka selimut-selimut putih itu. Segalanya masih tersusun dengan sangat teratur, mempertahankan wujud saat kepergiannya tanpa banyak perubahan. Sampah sudah dibuang, peralatan makan dicuci bersih dan ditata rapi di lemari dapur. Selimut masih terlipat di ranjang, persis seperti yang dia tinggalkan. Hanya saja terlihat sudah dibersihkan. Perubahan signifikan satu-satunya adalah isi kulkas yang sudah dikosongkan seluruhnya. Jelas terlihat, Jiaming telah membersihkan segalanya dengan sempurna sebelum akhirnya pergi.
“Dia duduk termenung di sofa selama lebih dari dua jam, menyalakan TV dan menatap bintik salju yang berdesau di layar. Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk—kekecewaan atau kesedihan. Emosi ini seolah masih tersisa hingga sekarang. Betapapun banyak orang di sekelilingnya, ia tetap merasa seperti berada di kamar kosong yang ditinggalkan penghuninya. Cahaya menerobos jendela, debu berterbangan di udara, sunyi senyap bagai ujung dunia.”
“Mood-nya yang murung juga terlihat oleh Julian dan yang lain, sehingga untuk sementara tak ada yang mengganggunya. Saat makan malam, mereka tak banyak memaksa Lingjing minum baijiu atau bercerita tentang pengalaman di Wina. Julian dengan ramah mengobrol dengan Ayah-Ibu Ye, sesekali Lingjing bertindak sebagai penerjemah. Setelah makan, sang ibu dan putri merapikan meja. Kemudian di ruang tamu, Lingjing bercanda sebentar sebelum pamit. Masuk ke kamar tidur dan duduk, tak lama kemudian Julian muncul di pintu dengan senyum hangat.”
“Empat tahun tak pulang, perasaan 'tempat sama namun manusia sudah berbeda'... menyakitkan, ya?”
“Maaf.” Lingjing memaksakan senyum, “Hari ini... kondisiku kurang baik.”
“Aku paham. Tak perlu kau ceritakan, tapi... hanya ingin kau tahu, banyak yang peduli. Jika ada masalah, kunjungi aku kapan saja. Aku pendengar yang baik.”
“Terima kasih.”
“Setelah menyampaikan perhatiannya dengan dua kalimat itu, dia tak melanjutkan pembicaraan. Berbalik dan pergi. Beberapa saat kemudian, ibu yang selesai mencuci peralatan makan masuk, duduk di tepi ranjang. Memandanginya lama sebelum bertanya, “Ada apa? Hari ini ke mana saja?”
"Ibu..." Melihat senyum ibunya yang memandanginya, Lingjing mengerutkan kening. Beberapa saat kemudian, akhirnya menarik napas dalam. "Jiaming dan Shasha... Bagaimana kabar mereka sekarang?"
Pandangan Duan Jingxian bergetar, berubah menjadi kelembutan dan belas kasih yang samar. Ia mengulurkan tangan membelai pipi putrinya: "Ibu tahu kau pasti akan bertanya. Hanya saja... Kau benar-benar tidak tahu..."
"Mereka... ada apa?"
"Tunggu sebentar, Ibu akan ambilkan sesuatu untukmu lihat."
Duan Jingxian pergi dari kamar. Beberapa saat kemudian kembali membawa beberapa dokumen. Pertama-tama menyodorkan koran ke atasnya sambil menarik napas: "Sudah empat tahun berlalu. Ibu masih ingat hari itu kau baru pulang liburan, sebelumnya menelepon Ibu dan Ayahmu bilang memutuskan akan ke Wina. Jadi seharian kami mempersiapkan barang-barang untuk studi luar negerimu. Tentang beberapa hal kami juga tidak tahu. Dua hari kemudian baru ada yang memberitahu kami. Shasha... ada yang memfitnahnya. Kelompok warisan Paman Liu itu banyak anggotanya ditangkap polisi. Ibu dan Ayahmu juga mencari koneksi untuk menyelidiki hal ini. Tapi sejak hari itu, kami tak pernah bertemu dengannya lagi..."
Hampir dalam sekejap mata melihat konten koran itu, Lingjing membuka mulutnya, merasakan sesuatu yang dingin mengalir dari kedalaman sumsum tulang. "Siswi SMA Ternyata Raja Narkoba Terbesar Jianghai", halaman depan koran memuat informasi tersebut. Terpampang foto Shasha yang diambil diam-diam dari sudut tak jelas, gambaran wajahnya terlihat sangat tidak natural. Matanya tertuju pada tanggal koran itu: 5 Agustus 2000. Empat tahun lalu di sore hari itu, dia baru kembali dari Guilin dengan luka hati dan rasa kasihan pada diri sendiri yang menggunung. Saat itu dia sama sekali tak tahu apa-apa, hanya ingin pergi dari kota ini secepat mungkin, bahkan tak terpikir untuk menghubungi sahabat karibnya.
"Shasha baik-baik saja. Kami tahu dia seharusnya ke luar negeri. Awalnya kukira dia akan menghubungimu, tapi ternyata tidak. Anak itu... Jiaming yang membantunya kabur. Adapun Jiaming..." Saat menyebut nama itu, biji mata Duan Jingxian tiba-tiba menjadi lembap, kemerahan samar terlihat di ujungnya. Lingjing memperhatikan ekspresi ibuku, getaran ketakutan merambat di hatinya. Dengan suara parau yang seperti kaset rusak, dia bertanya gemetar: "Dia kenapa?"
"Lingjing... Kau harus berjanji dulu padaku, tidak akan melakukan hal bodoh lagi..."
Kegelapan malam telah terjadi, suara TV dan tawa Julian serta yang lain terdengar dari ruang tamu yang jauh, lampu berwarna kuning hangat. Di bawah atap luar jendela, angin sepoi-sepoi menggerakkan genting pelan-pelan. Di dalam kamar tidur kecil ini, dia seolah bisa melihat pintu menuju masa lalu perlahan terbuka di depan matanya...
Sementara itu, Hong Kong.
Di atas jalanan, neon yang berkedip seakan memenuhi seluruh langit. Sebuah mobil BMW 80% baru melaju di antara kerumunan lalu lintas yang padat, pejalan kaki memadati trotoar.
Ding Xiong, Mu Qingqing, dan pria bodoh penjual kacang chestnut goreng gula kini duduk di jok belakang mobil kecil. Yang menyetir di depan adalah seorang inspektur dari kelompok kasus berat bernama Zheng, dijuluki Xiao Pang. Di kursi penumpang duduk perempuan dengan rias smokey eye tebal dan gaya berpakaian trendy, kabarnya pacar Inspektur Zheng, biasa dipanggil Momo. Lima orang ini telah makan malam di luar dan kini menuju hotel tempat Mu Qingqing dan dua lainnya tinggal.
Polisi Zheng ini sebenarnya tidak bisa dibilang gemuk, hanya saja sejak lahir memiliki wajah seperti boneka, sehingga mendapat julukan akrab ini. Ketua Kelompok timnya bernama Mu Zha yang gaya kerjanya cenderung kaku. Kali ini untuk mencegah dua polisi dari daratan ikut campur dalam penyelidikan, mereka khusus menugaskan seorang anggota polisi sebagai penerima tamu. Si Gemuk yang memang mudah akrab dengan orang asing secara alami menjadi kandidat terbaik. Beberapa hari ini dia menemani bertiga jalan-jalan, karena sudah akrab, sore ini bahkan mengajak pacarnya ikut serta belanja ke Mongkok, bisa dibilang semua senang.
Pagi hari, Mu Qingqing dengan paksa menyeret pria di sampingnya berobat ke rumah sakit spesialis neurologi yang katanya cukup bagus. Siapa sangka setelah pemeriksaan singkat, hasilnya ternyata mirip dengan di Yujiang. Dokter itu memandangi hasil pemindaian lama sekali, baru kemudian ragu-ragu berkata belum pernah melihat kondisi seperti ini. Kemudian dia merancang berbagai rencana pengobatan - observasi rawat inap jangka panjang, berbagai metode pemeriksaan termasuk irisan jaringan otak. Mu Qingqing hanya bisa terpana, mulai merasa kerepotan.
Sebenarnya tidak ada rencana untuk pengobatan jangka panjang saat membawanya ke Hong Kong. Paspor, identitas palsu, semua dokumen ilegal. Ditambah dia sendiri sebentar lagi harus kembali ke Jianghai, mustahil untuk menetap lama di sini. Tapi dia juga belum siap menghadapi penyakit serumit ini. Beli lotere saja belum pernah menang, kok baru ajak orang ke rumah sakit langsung ketemu kasus langka? Sepanjang sore ini, pikirannya terus berkutat pada masalah ini.
Sejujurnya, membawa mereka ke Hong Kong bisa dibilang kecerobohan sesaat, karena saat itu sangat bersemangat mengetahui hal tentang kepulangan ke Jianghai, bergumam meski demi bubur yang dia masak, dirinya harus menolong sampai taruhan nyawa untuk Teman. Tapi jika hal ini benar-benar rumit sampai tingkat tertentu, apakah pantas memikul semua tanggung jawab untuk orang asing, dia belum memikirkannya sampai tuntas.
Lagipula dia sekarang hanya sesekali sakit kepala, jaga-jaga jika kondisi kesehatan benar-benar memburuk, langit tahu masalah apa yang akan datang. Jika lumpuh di ranjang jadi vegetatif, jika mengalami kelumpuhan separuh badan, dirinya belum menikah. Untuk orang bodoh, belajar Lei Feng tak perlu sampai sejauh ini kan?
Tanggung jawab ya...
Bisa dibilang sudah tinggal bersama selama setengah tahun, sesekali dia juga punya emosi tidak karuan. Seandainya ini suaminya, mungkin tidak terlalu buruk. Selain masalah otak mereka, sebagai rekan tinggal bersama, mereka tidak ribut, hidup teratur, kuat tenaga, tidak malas, berbakat masak dan mustahil berselingkuh. Dipikir-pikir cukup memenuhi syarat kriteria mencari pasangan. Dia termasuk gadis lajang berusia, setiap kali memikirkan hal ini selalu menggeleng sambil tersenyum menghujat diri sendiri sudah jadi gila cowok, lapar tak terkendali. Tapi kini terpikir, jika dia suaminya, dirinya punya tanggung jawab menyembuhkannya. Dan jika harus memikul tanggung jawab ini, pasti tak bisa lagi kencan buta.
Masalah ini terasa lucu ketika dipikirkan, tetapi saat dihadapkan, memang cukup serius. Masalahnya adalah, sekarang dia tidak mungkin menanggung tanggung jawab seperti ini untuk seorang pria asing, namun juga sulit untuk langsung meninggalkannya. Setelah tinggal bersama selama setengah tahun, jika pihak lain adalah manusia normal, dia basically tidak akan merasa terbebani. Tapi masalahnya ini adalah seorang pasien... Benar-benar seperti ulat yang mengurung diri sendiri dalam kepompong...
Dalam emosi seperti ini, Xiao Pang di depan menerima telepon, tampaknya dari pamannya. Kemudian dia mencari-cari di kotak barang depan mobil, mengeluarkan setumpuk dokumen. Beberapa saat kemudian dia berkata ke semua orang di belakang: "Pergi ke hotel dulu, mau mengantarkan sesuatu untuk pamanku. Kebetulan searah." Yang lain tentu saja tidak berkeberatan.
Mo Mo di sebelah berbicara dengannya beberapa patah kata, kemudian membawa poster sambil menoleh: “Nah, Kakak Qing, konser tur Fang Yusi sampai di Hongguan, apa Kakak berminat?” Perempuan ini lumayan akrab dengannya, juga termasuk rekan-rekan polisi, meski kerjanya ngoprakomputer, mengaku sebagai fujoshi seekor. Meski Xiao Pang bilang mereka pacaran, tapi melihat hubungan mereka, saat ini masih Xiao Pang yang ngejar dia, statusnya belum Konfirmasi. Mu Qingqing tersenyum: “Aku juga dengar, next stop di Jianghai ya?”
“Iya nih iya nih, kalian beruntung bisa nonton dua kali berturut-turut. Aku mati gaya sama dia.” Dia menggesek-gesekkan poster di wajah dengan wajah penuh kefanaan, “Kakak Qing, besok kita nonton bareng yuk.”
Mendengar mereka membicarakan konser, Ding Xiong juga tersenyum: "Aku juga sangat suka lagu-lagunya, jangan sampai melupakan aku ya, tapi... di berita kemarin kan dikatakan setiap pertunjukan selalu meledak, tiket sudah habis sejak lama bukan?"
“Ada, ada. Paman Si Gendut itu komposer, katanya punya koneksi bagus dengan banyak selebriti. Pasti dia punya saluran buat dapetin tiket, ya kan.”
“Betul, serahkan padaku.” Si Gendut tersenyum sambil mengocok-ocok tumpukan barang di tangannya, “Katanya ini beberapa lagu baru ciptaannya yang tertinggal di mobil dua hari lalu. Aku sekarang sedang sibuk-sibuknya mengantarkan ini untuknya. Harusnya setara dengan lima tiket konser. Bahkan mungkin bisa minta tanda tangan Fang Yusi. Tapi karena jumlahnya banyak, kalau mendadak mungkin nggak dapat posisi terbaik, posisi agak tengah.”
Nggak apa-apa, Mo Mo menepuk bahunya: “Bisa datang saja sudah bahagia.”
Si Gendut tersenyum memiringkan kepala: “Ini resmi bisa dihitung sebagai kencan kita kan?”
“Kau saja yang dihitung.”
“Oye.” Si Gendut menggeleng-gelengkan kepala, menginjak gas hingga mobil kecil melesat melewati persimpangan di depan.
Jarak ke lokasi tujuan sebenarnya tidak jauh. Meski di kota padat seperti Hong Kong yang ramai dengan arus mobil, mereka hanya butuh lewat sepuluh menit sampai di pintu utama Hotel Royal Emperor. Terlihat mobil-mobil mewah datang silih berganti, wartawan memfoto, para pengusaha kaya dan selebriti turun dari mobil. Terlihat seperti sedang ada jamuan. Si Gendut menelepon, kemudian kelima orang masuk ke aula hotel. Sambil menunggu, Ding Xiong bertanya: “Pamanmu namanya siapa?”
Si Gendut tersenyum: “Zheng Zepei. Mungkin kau pernah dengar namanya di kredit lagu-lagu.”
“Dia pamannya kau?!” Ding Xiong dan Mu Qingqing serentak berteriak, “Tentu pernah dengar! Dia sangat hebat!”
"Begitu dikatakan, wajah seperti boneka bulat Xiao Pang semakin cemerlang tersenyum, sedang bersiap-siap membual, seorang pria paruh baya berkacamata berbaju jas hitam juga keluar dari balai jamuan, langsung menuju ke sini."
"Barangnya sudah dibawa? Dua hari lalu turun mobil sampai lupa ambil, siapa sangka hari ini perlu... Hei, Xiao Mo, akhir-akhir ini ada kemajuan dengan bocah ini? Dua orang ini..."
"Ding Xiong, Mu Qingqing. Mereka perwira polisi dari Benua, sangat hebat, Inspektur Mu menyuruhku menemani mereka menyelidiki kasus ini. Aku sampai harus membuang urusan penting untuk datang ke sini..."
"Halo, halo... Tahu kau selalu sibuk, mau minta foto tanda tangan siapa lagi... Eh..."
Zheng Zepei yang berkarakter terbuka saling menyapa, membolak-balik beberapa komposisi musik sambil melakukan pemeriksaan apakah ada yang terlewat. Baru membuka halaman kedua, pandangannya menyapu area di antara beberapa orang, tiba-tiba tertegun.
Di belakang keempat orang yang berjarak beberapa li, Jiaming duduk di sofa menatap langit-langit yang terang benderang. Merasakan tatapan mereka, Jiaming melirik sebentar lalu kembali menatap ke atas, tidak lagi mempedulikan.
Menelan air liur, Zheng Zepei mengamati beberapa kali, lalu menunduk melepas kacamata dan mengusapnya dengan sapu tangan sebelum memakainya lagi. Setelah beberapa kali melirik, bawah sadarnya membuatnya berjalan ke arah sana.
"Eh, Paman?" Xiao Pang bertanya, "Dia datang bersama Kapten Mu untuk berobat, kau kenal dia?"
"Sakit?" Zheng Zepei terbelalak, "Aku... tidak terlalu yakin, mungkin salah orang..."
"Begitu katanya, tapi pandangannya tetap menatap tajam ke arah sana. Pada saat yang sama, keriuhan datang dari pintu gerbang dimana beberapa pengawal sedang menghalangi wartawan. Yang masuk saat ini adalah Fang Yusi - diva yang karier hiburnya melesat beberapa tahun terakhir dan diam-diam menjadi ratu industri musik. Ia mengenakan gaun malam hitam elegan dengan bahu kiri menampakkan kulit putih kemerahan, tersenyum dan melambaikan tangan ke wartawan di belakang. Di sampingnya ada Tan Keqing, putra raja kapal dengan kekayaan miliaran yang baru-baru ini dikabarkan sebagai pacarnya."
Aula langsung menjadi ramai. Staf penerima tamu dan beberapa tamu yang baru masuk segera mendekat. Dikelilingi orang banyak, Fang Yusi menyapa satu per satu dengan senyuman. Di sisi lain, Momo berbisik jahat: "Aku yakin Tan Keqing pasti bukan pacarnya. Paling-paling sedang mengejarnya saja."
"Kenapa?" tanya Si Gemuk. "Lihat, Kak Yusi pakai hak tinggi. Sekarang dia terlihat sedikit lebih tinggi dari Tan Keqing. Menurutmu, kalau benar pacarnya, kenapa sengaja berdandan lebih tinggi? Nggak masuk akal!"
Si Gemuk memandangi Momo beberapa saat lalu tertawa: "Kalau begitu, kamu sengaja pakai flat shoes sekarang untuk menyesuaikan tinggiku ya? Aku tersentuh sekali..."
"Mati kau! Lain kali aku pakai heels biar kau minder sampai mati!"
Sambil bercumbu, Mu Qingqing yang sedang memikirkan urusan Jiaming bertanya: "Pak Zheng, Anda benar-benar mengenalnya?"
"Anda ini... pacarnya?"
“Cuma Teman, tapi Aku sama sekali tidak tahu hal tentangnya. Sepertinya ada sesuatu yang tumbuh di otaknya, kadang terasa sakit sekali. Sehari-hari juga tidak bicara, tidak melibatkan diri dengan manusia. Jika kau kenal keluarganya, aku ingin membuat koneksi dengan mereka……”
Zheng Zepei mengerutkan alisnya sejenak, belum sempat menjawab. Di tengah kerumunan orang, Fang Yusi yang tampaknya melihatnya, mengayunkan tangan memberi salam. Ia pun buru-buru melambai, menunjuk agar mereka mendekat. Fang Yusi menunjukkan ekspresi bingung – pembicaraan serius seharusnya dilakukan di dalam jamuan. Di sini hanya isyarat biasa. Seketika tertegun, kemudian bicara dengan beberapa orang di sampingnya sebelum berbalik menghampiri. Sekelompok besar orang mengikuti di belakangnya.
“Pak Zheng, lama tidak bertemu, ada……”
Kalimatnya terpotong ketika Zheng Zepei memberi isyarat ke samping. Tiba-tiba, Fang Yusi membeku di tempatnya. Sebagai selebriti tingkat internasional, jika ada hal yang bisa disebut tidak profesional, pastilah ekspresi wajahnya saat ini.
Mulutnya menganga. Di wajahnya terpancar kejutan, kebahagiaan, keterkejutan, dan ketidakpercayaan yang bertahan lama. Di hadapan semua orang, pria berbaju T-shirt putih itu duduk tenang di sofa, menatap langit-langit. Di T-shirt-nya tergambar Snoopy yang lucu.
“Gu Jiaming……”
“Dia bermasalah, sekarang sepertinya ada sesuatu di otaknya. Katanya sama sekali tidak melibatkan diri dengan manusia……”
Fang Yusi menatap Zheng Zepei beberapa saat, lalu di bawah pandangan semua orang, berjalan mendekat. Ia berjongkok di depan pria itu, menatap matanya……
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Dua Kenangan Seperti Pisau
Pada periode awal setelah pindah dari Jianghai ke Wina, dia sempat memikirkan banyak hal.
Adegan perpisahan itu terus bermunculan di pikiran, dia membuat berbagai dugaan tentang alasan di baliknya - mungkin Jiaming menghadapi rintangan tertentu yang mengharuskannya dan Shasha untuk sementara pergi, mungkin ada urusan yang tidak membutuhkan keterlibatannya, atau mungkin orang tua telah berbicara sesuatu padanya tentang tidak ingin menghalangi masa depannya.
Beberapa hal mungkin terasa bodoh saat dipikirkan, seperti saat kita menonton drama romantis tidak karuan dan merasa tokoh utama pria-wanita terlalu plin-plan. Tapi apa sebenarnya makna keluarga? Mengingat rasa hormat Jiaming pada orang tuanya, jika ayah-ibunya benar-benar mengatakan sesuatu, mungkin dia akan benar-benar menyuruhnya pergi ke Wina.
Ini alasan yang paling rela dia terima. Tentu ada juga yang tidak ingin diterima atau dipikirkan. Namun perlahan, pikiran-pikiran ini mulai berkurang. Dia berhenti mempertimbangkan alasan awal, karena semakin banyak harapan dan renungan terhadap suatu hal, semakin parah luka hati yang terkumpul. Dalam hati dia bertekad: Aku tidak salah. Jika ini yang kau harapkan, akan kuselesaikan dulu semuanya, baru kemudian dengan tenang bisa kukejar kebenarannya. Sebelum itu, dia menolak kembali ke Jianghai, tidak mau tahu apapun tentang Jiaming. Seperti burung unta, dengan tekad membara dia menunggu datangnya hari musim semi yang hangat.
“Empat tahun terasa seperti penjara, dia berusaha tidak berpikir terlalu banyak, menunggu hari berganti hari. Kini akhirnya kembali. Musim semi tiba, dia merasa sudah waktunya menuntut jawab. Siapa sangka segalanya yang dihadapi, dalam suara ibunya, meluncur ke arah yang paling tidak ingin dia pikirkan...”
“Setelah Shasha bermasalah, aku dan ayahmu berusaha menghubunginya. Kami juga mencari sisa-sisa koneksi keluarga Huang yang dulu. Tapi selama beberapa hari sama sekali tidak bisa menghubungi Jiaming. Kami kira pasti dia bersama Shasha. Tahu-tahu beberapa hari kemudian polisi datang bilang. Jiaming membantu Shasha kabur, ditangkap...”
Perasaan terhadap Jiaming tak kalah dari anak kandung sendiri. Duan Jingxian mengusap sudut matanya yang memerah, memandangi putrinya yang sedang fokus menunggu kelanjutan cerita, mengingat kejadian musim panas itu.
“…Shasha tidak tertangkap. Kami ke kantor polisi menjenguknya. Penampilan Jiaming baik-baik saja. Dulu kami dengar di kantor polisi sering memukul orang saat interogasi, tapi dia tidak dipukul, tidak ada luka di tubuhnya, kondisi mentalnya juga baik. Dia hanya terus tersenyum pada kami, bilang tidak apa-apa. Tapi tak lama kemudian dihukum… lima tahun…”
“Kalau dia…” suara Lingjing gemetar, “sekarang di penjara?”
"Bukan." Air mata mengalir di matanya, Duan Jingxian menggelengkan kepala, "Saat itu aku dan ayahmu sudah menggunakan banyak koneksi. Tapi atasan bilang kasus ini rumit, bagaimana kerumitannya, tetap tak bisa dijelaskan. Jiaming tak pernah membocorkan keberadaan Shasha. Hukuman dijatuhkan cepat... Saat kami menjenguknya, dia terus bilang jangan memberitahumu. Dia paham karaktermu, Wina belum mulai kuliah. Jika kau tahu, pasti akan pulang, tapi kepulanganmu tak bisa membantu... Dia selalu paham dirimu..."
Ibu terdiam sejenak, senyum tipis mengembang di wajahnya, melanjutkan: "Aku dan ayahmu berdiskusi tentang hal ini. Ada hal-hal yang harus kau ketahui, karena kalian berteman sangat baik sejak kecil. Kau tahu, kami selalu menganggap kalian seperti saudara kandung sebenarnya - kau, Jiaming dan Shasha... Tapi saat itu meski kau pulang, tak ada yang bisa dilakukan. Kami memutuskan menunggu sampai kau benar-benar mulai kuliah baru memberitahu tentang hukuman Jiaming dan kepergian Shasha. Saat itu, meski kau harus bolak-balik dari Wina, setidaknya masih bisa kembali. Penjara bisa dapat pengurangan hukuman, saat dia bebas, kau juga tepat lulus dan pulang. Pertengahan September kami menjenguk Jiaming, kuingat hari itu matahari sangat terik. Aku dan ayahmu menunggu di luar sebentar, masuk ke dalam, menunggu lagi. Mereka bilang Jiaming sedang ada urusan..."
“……lewat sepuluh menit kemudian dia baru keluar dari dalam, terlihat baru saja membasuh wajah dengan air, rambut dan wajahnya masih basah. Tapi saat melihat kami, senyumannya tetap cerah. Kami bertanya kabarnya belakangan, apakah ada yang mengganggunya di dalam. Kami tahu di tempat seperti itu, pendatang baru selalu ditindas, apalagi penampilan Jiaming yang terlihat terlalu baik hati. Tapi dia bilang tidak ada. Kami toh tak bisa mengurusi hal-hal seperti ini, Ayahmu hanya bisa mengirim uang lewat koneksi untuk meminta orang menjaga dia. Lalu kami bicara tentang rencana memberitahumu, pasti kau akan buru-buru pulang. Kami juga sudah mempersiapkan segalanya. Tapi tiba-tiba dia menjadi sangat sunyi, diam begitu lama, lalu……”
Duan Jingxian mengangkat kepala, memandangi putrinya: “Lalu……dia mengungkapkan hubungan kalian.”
Sekejap mata, tubuh Lingjing seperti mati rasa. Suara ibuku bergema di kamar: “Kau……urusan tinggal bersama Jiaming dan Shasha bertiga……”
Kesunyian menyelimuti kamar, persis seperti keheningan di penjara dulu. Sulit membayangkan perasaan orang tua saat itu, tapi kini wajah ibu tak menunjukkan banyak kemarahan atau kekecewaan, hanya kesedihan yang samar. Lingjing memandanginya. Yang paling dipikirkannya bukanlah fakta bahwa hubungan tinggal bersama yang dimulai empat atau tujuh tahun lalu akhirnya diketahui orang tua, tapi gelombang kecil tetap berdesir di hatinya: “Lalu……”
“Lalu……lalu dia memberikan dokumen ini, menjelaskan alasanmu ke Wina, alasan kalian putus……”
Wajah Duan Jingxian menampilkan senyuman yang tak jelas maknanya, pilu dan dipaksakan. Ia mengulurkan kantong dokumen di tangannya sambil menepuk tangan putrinya.
"Aku dan papamu... tidak bermaksud menyalahkan kalian. Meski saat pertama tahu dulu benar-benar kecewa, kami juga tak bisa berbuat apa-apa... Hubungan bertiga kalian memang kami lihat sendiri. Dari kecil selalu bersama, segala hal dikerjakan beramai-ramai, bagai satu tubuh. Jiaming itu anak yang sejak kecil sering di-bully, lalu karakternya jadi agak ekstrem. Dulu kau selalu bilang ingin melindunginya. Belakangan dia memang tumbuh jadi pemuda baik, perhatiannya pada orang sekitar terlihat jelas. Aku dan papamu memang menyukainya, bahkan pernah berharap kau akan menikahinya saat dewasa. Saat kalian bertiga kadang menginap tak pulang, lalu tinggal bersama, kami sempat khawatir kalian masih terlalu muda. Jangan-jangan tak bisa menahan diri melakukan sesuatu. Tapi akhirnya kami memutuskan membiarkan saja. Kalau cuma kalian berdua yang tinggal serumah, pasti kami tak akan mengizinkan."
"Karena dulu sudah memikirkan hal-hal ini, saat mendengar kalian bertiga benar-benar menjalin hubungan, kami pun tak bisa berbuat apa-apa. Kalian semua masih anak-anak. Tapi yang terutama, karena saat itu melihat dokumen ini, tiba-tiba... semua perasaan jadi hilang..."
Ia menyaksikan putrinya mengeluarkan dokumen-dokumen dari kantong kertas itu, lalu mengambil selembar di antaranya.
"Dia seharusnya mulai kekambuhan beberapa tahun sebelumnya. Aku ingat waktu itu kau pernah menyebutkan tentang sakit kepala Jiaming, lalu juga menanyakan beberapa obat. Saat itu semua orang tidak menganggapnya serius. Tapi beginilah kenyataannya..." Diagnosa itu tergeletak di depan Lingjing, "Di otaknya ada tumor besar. Tumor sebesar ini pasti selalu menyakitkan. Kami tidak tahu kapan dia mengetahui hal ini. Yang pasti... setidaknya selama lebih dari setahun dari 1999 hingga 2000, dia menahan sakit kepala seperti ini. Mungkin juga tahu kabar bahwa dirinya mau MATI, tapi tetap berpura-pura baik-baik saja di depan kami... Aku tidak tahu bagaimana dia mengajukan putus denganmu, juga tidak tahu persis ke mana dia mengirim Sasha. Tapi dia benar-benar terus mempertimbangkan kalian..." Air mata mengalir turun, suaranya mulai terisak.
"Jiaming MATI, Lingjing..."
Seperti putaran waktu, dia kembali ke masa tinggal bersama dulu. Saat itu mereka bagai jiwa yang berbagi satu tubuh. Di celah-celah tak terhitung pandangan matanya, selalu terlihat gambaran pemuda menggigit gigi erat menahan penderitaan. Padahal dia jelas merasakannya...
"Ha... aaaa—"
Tubuh kaku memeluk barang-barang itu, perlahan membungkuk. Air mata sudah lepas kendali, hanya merasakan aliran yang terus menggelincir di wajah. Mulutnya menganga, udara terhembus kuat tapi tak ada suara keluar. Seluruh tubuh gemetar dalam kekakuan, seperti jiwa yang ingin menerobos keluar dalam perlawanan dahsyat. Ibuku mendekat dan memeluknya.
"Sesaat kemudian, semua orang yang sedang mengobrol di ruang tamu tiba-tiba mendengar suara tangis yang menyayat hati..."
Aula hotel.
"Siapa orang itu ya..."
"Terlihat sangat lancang..."
"Jangan-jangan mantan kekasih Fang Yusi..."
"Mungkin adik laki-lakinya..."
Di tengah perbincangan, Fang Yusi berjongkok di depan sofa, menatap mata pria di hadapannya.
"Gu... Jiaming? Ada apa denganmu... Masih ingat aku?" Pertanyaan ini tidak mendapat jawaban. Dari awal sampai akhir, mereka hanya menolehkan pandangan sebentar padanya lalu mengalihkan lagi. Dia menoleh ke Zheng Zepei yang hanya mengangkat tangan bingung, dan saat hendak bertanya pada yang lain, kilatan kamera tiba-tiba menyala.
Seperti terpicu sesuatu, pria di hadapannya juga mengangkat tangan menghalangi wajahnya secara bersamaan.
Fang Yusi menatap wartawan di perimeter selama dua detik, lalu tiba-tiba berdiri menggandeng tangan pria itu menuju kerumunan. "Ini bukan tempat untuk bicara, mari masuk dulu." Kemudian memerintahkan pengawal: "Bagaimanapun juga, ambil film kamera wartawan itu."
Semua orang terdiam menyaksikan keakraban mereka. Xiao Pang, Mu Qingqing dan lainnya terpana. Momo dengan emosi bersemangat: "Boleh kami ikut juga?"
Fang Yusi berhenti sejenak tersenyum: "Temannya adalah temanku... Ketua Sun, bisakah mereka ikut serta dalam pesta?"
Bagian kedua ucapan itu ditujukan kepada penyelenggara pesta di sampingnya. Begitu dia mengatakannya, jawaban positif pun langsung diperoleh. Namun sebelum rombongan mulai berjalan ke dalam, Jiaming melirik wanita yang menggandeng lengannya ini, lalu dengan halian melepaskan tangannya. Gerakannya tidak terlalu mencolok, namun dalam situasi dimana semua orang sedang mengamati, hampir seluruh hadirin menyadarinya. Sungguh lancang! Orang yang berani melepaskan diri dari gandengan mesra Fang Yusi seperti ini, sebelumnya basically tidak pernah terlihat, dan mungkin jarang terjadi di masa depan.
Adapun Tan Keqing, kekasih skandal yang semula menggandeng tangan Fang Yusi, wajahnya langsung menghitam seketika.
Menangkap makna gerakan ini, Fang Yusi menunjukkan senyum getir sesaat. Dalam sekejap, ekspresinya kembali berubah menjadi senyum manis nan memikat, lalu mengulurkan tangan: "Kalau begitu... mari kita masuk bersama..."
Di sebelah aula pesta, kamar yang sunyi. Setelah masuk, Fang Yusi seketika meminta penyelenggara menyediakan ruang istirahat untuk mereka. Kemudian seluruh rombongan masuk ke dalam. Saat ini, Mu Qingqing dengan wajah penuh tanya bertanya apakah dia mengetahui latar belakang Jiaming. Namun raut wajahnya terlihat agak rumit, bertukar pandang dengan Zheng Zepei.
Bagi Gu Jiaming, mungkin orang lain akan melupakan seiring waktu, tapi dia (perempuan), Zheng Zepei dan beberapa lainnya tidak. Beberapa hal sebenarnya terjadi lebih dari dua tahun lalu, saat beberapa orang yang mengetahui kebenaran membahas "konsep" awal dan Jiaming dalam pertemuan. Dulu dia sering mengirim lagu ke Huang Lao dan Zheng Zepei sesuai mood, kadang banyak kadang sedikit. Namun selama setahun terakhir, kiriman lagu terhenti total. Meski memahami karakternya, mereka tetap melakukan investigasi sederhana setelah berdiskusi.
Awalnya dikira dia sudah masuk kuliah dengan mulus, atau mungkin langsung terjun ke masyarakat karena sifat eksentriknya. Dulu hanya main musik, sekarang berhenti pun bisa dimaklumi. Tapi setelah penyelidikan sederhana, hasilnya malah kacau-balau. Status quo-nya tak terlacak, tapi informasi yang didapat justru terkesan aneh.
Seolah orang ini tiba-tiba menghadapi masalah lalu menguap dari peradaban.
Orang yang mencapai posisi ini di lingkaran musik, basically banyak berhubungan dengan berbagai kalangan. Sejak itu, begitu mereka bertemu, kemudian menggunakan koneksi masing-masing untuk menyelidiki ke lapisan yang lebih dalam, baru menemukan bahwa anak laki-laki bernama Gu Jiaming ini kemungkinan besar terjerumus dalam persaingan di lapisan politik atau acara rahasia sejenis. Kabar dari berbagai pihak samar-samar memberi pesan: Jangan penasaran lagi dengan manusia ini. Beberapa pejabat yang dekat dengan mereka juga membocorkan sesuatu: "Hal ini ada hambatan dari atasan, Aku tidak bisa menyelidiki lebih lanjut, tapi manusia yang kalian sebut ini, seharusnya sudah MATI."
Sulit menjelaskan mood masing-masing saat itu. Huang Lao, Zheng Zepei dan lainnya tentu mengeluhkan tewasnya seorang jenius, tapi juga tak berdaya. Dari zaman kuno hingga sekarang, seniman yang mengguncang urusan terlalu rumit, sebagian besar tidak mendapat akibat baik. Di sisi Fang Yusi, dia merasa agak sedih. Bahkan dia membatalkan rencana konser untuk ini. Tidak banyak diumumkan ke publik, baginya ini sebagai bentuk penghormatan.
Pertemuan dua orang ini tidak bisa dibilang menyenangkan. Sebenarnya Fang Yusi juga paham, mereka mungkin tidak menyukainya. Kalau disebut ini insiden tak terduga, memang bisa dibilang begitu. Saat itu, karena mood-nya lagi jelek, dia melampiaskan amarah pada gadis kecil bernama Ye Lingjing. Waktu itu hanya hal sepele yang tidak dipedulikan, seperti saat kesal lalu marah-marah pada orang lain tanpa sengaja melukai perasaan. Siapa sangka mereka ternyata band konsep yang asli.
Alasan Dia membencinya jelas-jelas beralasan. Setelah kejadian itu, meski sudah berusaha memperbaiki, ruang untuk berbenah sudah sangat sempit. Tapi karena kekaguman Ye Lingjing padanya, Gu Jiaming tetap memberikannya lagu yang bisa membuatnya tenar lagi, bahkan memberi kedua kalinya. Sejak itu reputasi dan posisinya melesat. Makna orang ini baginya sangat jelas di hatinya. Pernah terpikir, dirinya bukan tipe pengkhianat. Makanya saat keluarga Huang bermasalah, dia langsung mengajukan diri jadi endorser mereka dengan harapan bisa membantu. Alasannya sederhana: Kau sudah menolongku, sekarang giliranku membalas.
Tiba-tiba Dia MATI. Hingga bertahun kemudian, sekarang ini, saat pria yang terlihat kacau balau ini muncul tiba-tiba di hadapannya, semua kenangan itu kembali membuncah.
Mungkin Dia terjerumus dalam masalah rumit, atau menghadapi situasi pelik. Meski sekarang terlihat seperti orang bodoh, lalu apa...
Menarik napas dalam-dalam, dia tersenyum memandang Mu Qingqing di seberang.
"Maaf, tentang urusannya, kurasa aku tidak bisa bicara..." Berhenti sejenak, "Tapi, kalian sekarang tinggal di mana? Bolehkah aku mengunjunginya besok?"
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Tiga Aku Sangat Ingin Melihatnya
Suara tangisan menggema di dalam kamar itu. Ye Han, Julian dan yang lain berjalan ke pintu, melihat wanita yang sedang menangis di dalam, lalu serentak terdiam.
Ye Han sudah mempersiapkan diri untuk ini. Saat ini dia hanya berdiri beberapa saat lalu menghela napas. Julian dan yang lain pun tak bisa berkata apa-apa. Lingjing memang memiliki modal yang cukup menonjol, namun di akademi musik selalu kurang bergaul, dan selama empat tahun tak pernah pulang ke rumah. Banyak yang menduga dia menyimpan duka hati tertentu, tapi tak pernah menyangka akan sedemikian hancur setelah diekspresikan. Sebagai orang luar, mereka tak berhak mengomentari. Setelah beberapa kali melirik dan menghabiskan waktu sebentar di ruang tamu, satu per satu mereka berpamitan pada Ye Han. Ekspresi Julian tampak kompleks, tapi akhirnya hanya bisa menyuruhnya beristirahat baik-baik tanpa perlu terlalu khawatir.
Kerumunan orang perlahan bubar dari rumah. Ye Han menutup pintu luar, melirik ke arah pintu kamar tidur sebelum memalingkan muka, lalu menutupnya perlahan. Mengambil sebotol minuman beralkohol dari koper di samping rak TV, dia duduk di sofa menuangkan sendiri segelas penuh, menyesap perlahan-lahan.
Suara tangisan terus bergema di dalam kamar untuk waktu yang lama, baru perlahan berubah menjadi isakan. Selama bertahun-tahun, ini mungkin kali pertama dia menangis sekeras itu. Namun, dalam hal kesadaran, justru setelah beberapa saat menangis, pikirannya mulai jernih. Air mata dan suara tak kunjung reda. Sambil mengulurkan tangan menyeka banjir air mata yang tak terbendung, dia mengangkat dokumen di tangannya dan terus membacanya sampai selesai. Tangisan tak juga berhenti. Mata merah membara memandang miring ke wajah ibuku, kepala digelengkan. Ingin mengatakan sesuatu, namun terbenam dalam isakan di tenggorokan. Setelah lama sekali, baru kembali menggelengkan kepala seperti robot: "Aku... Aku tidak percaya..."
Duan Jingxian mengusap air mata di wajahnya, menggelengkan kepala. Suaranya lembut: "Aku juga tidak ingin percaya..."
"Lalu setelah itu..." Suara terisak membuat Lingjing seolah kembali ke masa kanak-kanak. Memandangi ibunya, nada bicaranya penuh keengganan yang membara. Pandangan Duan Jingxian menunduk: "Kami tidak sempat melihat Jiaming yang sedang kambuh setelahnya. September bertemu dengannya beberapa kali, memasuki Oktober, dia menolak bertemu kami... Ayahmu menggunakan koneksi untuk mencari tahu, katanya dia kambuh di dalam sana. Kami mengurus pembebasan bersyarat untuk perawatan medis, tapi dia menolak menemui siapapun. Karakter anak itu..."
“Sekarang hanya beberapa kalimat singkat, namun tak terbayangkan betapa paniknya Keluarga Ye ketika pertama kali mengetahui hal tentang Jiaming dulu, melewati berapa banyak kecemasan, mencoba berapa banyak koneksi dan menghadapi berapa banyak penolakan. Selama empat tahun ini, mereka tak berani memberitahu putrinya tentang hal ini, bahkan ketika sangat merindukannya, mereka tak berani menyuruhnya pulang melalui telepon... Ibuku mengusap air mata.”
“Dia memang seperti itu sejak kecil, karakternya baik, selalu menyetujui semua hal yang diminta untuk dilakukan, tapi tak mau bicara saat ada kesulitan. Mengidap penyakit seperti ini pun tak mau diketahui semua orang. Setelah mengantar pergi kau dan Shasha, mungkin dia merasa sudah tak ada lagi yang mengikatnya. Aku dan papamu tak berani memberitahumu karena sifatmu juga keras kepala, demi hal ini kau bisa tidak pulang selama empat tahun di Wina... Saat pertemuan terakhir dengan kami, dia meminta maaf, bilang menyesal padamu dan pada kami, tapi dia juga anak kami... Dia ingin menulis surat untukmu, tapi tak bisa menulis apa-apa...”
“Pada September 2001, seseorang datang memberitahu kami bahwa Jiaming... meninggal... Teman sekelasmu dulu yang bernama Dongfang Lu, membawa pemberitahuan penjara, sertifikat dokter, segudang dokumen tidak karuan. Katanya... Jiaming menolak menemui siapa pun sebelum meninggal... Makamnya di Bukit Guan Yin luar kota, besok akan kubawa kau mengunjunginya...”
Dalam kamar sunyi sepi, cahaya lampu kuning keemasan, debu beterbangan di udara. Seekor ngengat berputar-putar mengelilingi penutup lampu. Lingjing duduk di sana, di pipinya terpancar kesedihan yang tak terucapkan. Pandangannya menembus kekosongan di samping ibuku. Saat air mata mengalir senyap, serbuk cahaya seolah berpencar di udara, duka yang remuk tercecer di permukaan danau di sisi lain dunia...
Di saat yang sama, sekitar sepuluh li dari Wushu Ye di pesisir Kota Jianghai.
Di bawah sinar bulan, ombak yang tenang. Di villa sepi di pinggang gunung dekat situ, cahaya gemilang menyala bak istana yang bersemayam di tengah pegunungan.
Ini bukan kawasan villa terkenal di Jianghai. Tapi penduduk sekitar mungkin tahu: gunung tepi pantai ini dulunya milik seorang developer kaya. Rencana tata kota sudah disusun, pembangunan pun dimulai. Namun kemudian proyek itu mangkrak begitu saja. Konon setelah developer bangkrut dan diakuisisi, semuanya terlupakan. Hanya satu rumah contoh yang sempat dibangun, kini dimanfaatkan oleh para pendatang dari luar kota dengan beragam identitas. Setiap malam kerlip lampu menyala di basis bangunan yang penuh makam ini, menciptakan kemewahan yang agak terasa terlalu postmodern.
Kini di lantai dua villa, seorang pria sedang melapor pekerjaan kepada seseorang di balik layar besar.
“……Saat ini kami belum dapat memastikan keberadaan Kekosongan Pandang Debu. Berdasarkan informasi yang diperoleh, beberapa tim di Eropa menghadapi musuh yang luar biasa kuat. Li Yunxiu melarikan diri dengan membawa Kekosongan Pandang Debu di bawah perlindungan semua anggota tim, namun akhirnya tertangkap. Saat ini kondisinya kritis, sedangkan Kekosongan Pandang Debu masih menghilang tanpa jejak. Dapat dipastikan musuh belum memperolehnya. Adapun kabar bahwa benda itu akan muncul di Jianghai, murni berdasarkan firasat Nona Dongfang Ruo. Tuan Fang telah tiba bersama Nona Dongfang sore ini, kabarnya... ditemani juga oleh Guru Huiqing yang selama ini bersembunyi di Gunung Emei...”
“Huiqing...” Mendengar nama itu, Ying Haisheng di layar mengerutkan alis, “Mempertimbangkan perhatiannya pada gadis kecil itu, hal ini tidak mengejutkan. Urusan kalian akan menjadi rumit. Jangan biarkan mereka mengetahui tujuan kalian. Konfrontasi langsung mutlak harus dihindari. Aku akan mengirim lima tim tambahan dipimpin Ke Fangyu. Bekerjasamalah baik-baik dengannya.”
“Siap... Selain itu kami mencatat Ye Lingjing kembali ke Jianghai kemarin sore pukul tujuh...”
“Ye Lingjing? Itu...”
“Salah satu mantan pacar Gu Jiaming. Empat tahun lalu dia pergi belajar piano di Akademi Musik Wina. Anda pernah meminta kami memantau pergerakan orang-orang ini.”
Ying Haisheng terdiam sejenak: “Gu Jiaming sudah MATI. Abaikan dia untuk sementara. Fokuskan seluruh tenaga pada misi ini. Kekosongan Pandang Debu... Jangan sampai si peramal itu mendapatkannya...”
“Siap.”
Setelah koneksi terputus, pria di depan layar termenung lama, alisnya berkerut pelan saat menatap ke luar jendela: “Ke Fangyu... Hmph...”
Menoleh dan melangkah keluar dua langkah, hendak mematikan lampu, tiba-tiba berhenti di tepi pintu. Kepalanya menoleh seolah mendengar sesuatu, lalu menggelengkan kepala. Saat lampu kamar padam, suara tembakan tiba-tiba terdengar dari bawah diikuti keriuhan suara...
Secara refleks mencabut pistol, tiga langkah cepat menuju jendela. Cahaya lampu mengayunkan bayangan-bayangan tak beraturan. Kekacauan terjadi di bawah, mayat mengapung di kolam renang dengan darah menyebar di permukaan air. Tiba-tiba suara tembakan lagi terdengar. Dia mengangkat tangan menekan komunikator, menurunkan volume suara: "Situasi apa..."
"Tidak... tidak jelas..."
"Tidak terlihat musuh..."
"Ah Xiang dan Ah Le MATI..."
Sebelum suara habis, getaran dahsyat tiba-tiba datang dari bawah bagaikan mobil menabrak tembok. Penerangan villa seluruhnya bergoyang. Saat berbalik hendak keluar, suara pecahan kaca dari belakang menusuk tubuhnya. Ujung pedang berkilau menembus dada, tetesan darah jatuh...
"Uhh..."
“Saat berikutnya, ujung pedang itu ditarik kembali, darah membanjiri mulutnya. Perlahan ia berbalik, di luar jendela terhampar laut yang tenang. Bulan purnama menggantung di atas permukaan laut memancarkan cahaya suci yang lembut. Seorang pria berkebangsaan Eropa ber-tuksedo putih berdiri di tengah kekosongan di luar jendela. Rambut pirangnya diikat ekor kuda, mata zamrud yang lembut, pedang tipis peraknya memantulkan sinar bulan. Pria itu mengusap-usapnya dengan saputangan, kemudian mengangguk sambil tersenyum layaknya kesatria——ini gambaran terakhir yang dilihatnya. Di bawah tanah berkecamuk kekacauan, bayangan-bayangan pendek berlari maju ke kiri dan kanan bagai binatang terkurung. Ini hari yang spesial.
Sebuah tim penjaga berlari menerobos terowongan. Saat menghilang di sudut, dinding sebelahnya tiba-tiba ambruk menjadi debu batu. Sosok pendek itu bergulat lama sebelum akhirnya bangkit, terengah-engah kelelahan. Dalam sorot lampu yang berkedip, terpantul wajah penuh kerut seperti lelaki tua berusia ratusan tahun.
Setelah menguji lingkungan sekitar dengan cermat, ia tahu kali ini berbeda dengan pengalaman di Eropa dulu. Waktu itu ia memulihkan kekuatan melalui perawatan panjang sebelum melakukan terobosan. Mereka kini telah mengetahui kekuatannya, selama periode pasca-bangun tidur ini selalu memberinya obat untuk membuatnya linglung, atau mengambil darah dalam jumlah besar. Entah apa masalah di basis kali ini, mesin tiba-tiba rusak sehingga ia baru menemukan momentum untuk menerobos.
"Asal... asal bisa keluar... bunuh habis kalian... pasti kubunuh habis kalian..."
Sudah bertahun-tahun lamanya tak mengalami hal memalukan seperti ini. Sejak peristiwa hampir sepuluh tahun lalu di makam kuno saat bertemu bocah lelaki yang menggendong koper itu, nasib sial seolah menyelimutinya. Keluar dari satu laboratorium masuk ke laboratorium lain, tertidur berkali-kali secara terputus-putus. Tapi tak masalah, dia memiliki kehidupan yang hampir tak terbatas. Asalkan bisa memulihkan kekuatan, segalanya masih bisa diperbaiki... Asalkan kali ini bisa keluar, dia pasti akan sangat-sangat berhati-hati.
Dengan pikiran demikian, dia menerobos beberapa lapisan pengawal. Baru saat itulah dia menyadari sesuatu - tampaknya ada kelompok lain yang juga menyusup ke basis. Saat melewati terowongan pendek, tiba-tiba dia melihat bayangan-bayangan bergerak di depan. Sebuah detasemen penjaga sedang berlari ke arahnya dari sana. Saat hendak berbalik, beberapa sosok di dinding tiba-tiba terbelah dua, seolah bayangannya pun terpotong oleh bilah tak kasat mata. Perasaan familiar muncul dari dalam hati. Dari ujung terowongan terdengar langkah kaki - suara hak tinggi.
Lalu, sebuah bayangan hitam muncul dari sana.
Kerah tinggi, jubah hitam panjang yang megah. Wanita itu memiliki rambut hitam bergelombang, mata indah tajam seperti pisau, bibir merah darah. Saat melihatnya, sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. Dang! Sosok itu telah melampaui jarak lebih dari 10 meter.
"Lama tak berjumpa..."
"Wei..."
"Tubuh Kurcaci gemetar tak terbendung, saat berbalik baru hendak pergi, ilusi berkelebat—wanita itu sudah berada di hadapannya, meremas leher kurusnya dengan satu tangan menekannya ke dinding belakang."
"Pangeran... Aku sangat merindukanmu..."
"Vi... Victoria..."
"Senang kau masih ingat namaku..."
Wajah mempesona itu mendekat, wanita bernama Victoria menghembuskan nafas wangi sambil tersenyum menatap wajahnya. Meski kecantikannya memukau, yang dirasakan Pangeran saat ini hanyalah ketakutan tak berujung.
"A-Aku... Aku bisa jelaskan, selama ini aku selalu..."
"Batas alami? Dulu kau hanya pendek, tapi sekarang... Benar-benar memuakkan..." Tak menghiraukan ucapannya, wanita itu memandanginya bolak-balik sebelum memutar kepala kurcaci ke samping. Jari-jari rampingnya melepas leher kurcaci, lalu mulutnya menganga lebar—dalam teriakan penuh horor, gigi-gigi itu menyambar...
Setengah menit kemudian, mayat Pangeran jatuh ke lantai. Wanita itu menutup mata, mengangkat kepala dengan ekstase sementara kabut merah darah mengepul dari mulutnya.
Di bawah langit malam yang sama, di jalanan Hong Kong.
Mobil kembali ke hotel menjelang tengah malam. Mu Qingqing dan rombongan turun dari kendaraan.
"Nona Fang benar-benar ramah! Foto tanda tangan plus CD edisi terbatas yang dijanjikan—luar biasa!" Momo masih memeluk foto itu, meski sudah dilihatnya ratusan kali di mobil. Kini ia tak tahan lagi menciumnya, lalu menoleh ke Jiaming yang diam: "Dia pasti punya utang besar pada Gu Jiaming dulu..."
Ding Xiong tersenyum: "Dari percakapan sebelumnya, sepertinya Jiaming dulunya adalah penulis lagu yang sangat berbakat, pasti banyak membantu Nona Fang. Ngomong-ngomong, bukannya ada kabar kalau pacar Nona Fang dulu adalah penulis lagu yang kemudian putus, apakah itu dia?"
"Sama sekali tidak setuju." Mo Mo mengangkat bahu, "Pacar Nona Fang sekarang masih menulis lagu, dan namanya bukan Gu Jiaming."
Dengan berbagai pertanyaan, mereka berpisah di pintu hotel. Xiao Pang akan mengantar Mo Mo pulang, Ding Xiong berencana mampir ke bar lagi, sehingga hanya Mu Qingqing dan Jiaming yang naik lift bersama. Di dalam lift sepi, Mu Qingqing beberapa kali memandang Jiaming sambil mengerutkan alis: "Kamu ini siapa sih? Kok sampai Fang Yusi mengenalmu, bahkan bersikap begitu ramah..."
Pertanyaan itu tetap tak terjawab. Kamar mereka di lantai lima hotel. Keluar dari lift, masing-masing mengambil kunci. Karena Jiaming bisa mengurus diri sendiri dan kehadiran Ding Xiong membuat mereka tak mungkin tinggal bersama untuk menghindari kesan ambigu, masing-masing punya kamar tersendiri. Kamar Mu Qingqing 512, Jiaming 514. Saat membuka pintu, Mu Qingqing mengucapkan selamat malam. Entah mengapa, Jiaming memasukkan kartu kunci tapi tidak langsung mendorong pintu. Gerakan ini hanya sebentar. Baru setelah Mu Qingqing masuk kamar, ada firasat aneh. Persis saat hendak menutup pintu, BRAK!! Ledakan dahsyat mengguncang seluruh ruangan. Aliran udara menerjang masuk, tubuhnya terlempar ke lantai.
Bom...
Kebiasaan profesional, bawah sadarnya langsung menilai penyebab kejadian ini. Berjuang bangkit, telinganya berdengung Bzzzt-bzzzt tak henti, pikiran kacau balau. Asap tebal bergulung-gulung, beberapa gambaran melintas di otaknya. Di tengah debu, tiba-tiba dia tertegun.
Kamar 514, ledakan berasal dari sana!
Menutup hidung dan mulut, berlari keluar. Seluruh terowongan diselimuti kabut debu. Udara penuh aroma belerang dan benda terbakar hangus. Alarm berbunyi, lampu lorong berkedip Prak-prak, cahaya redup tak stabil. Baru membuka mulut, debu langsung membuatnya tersedak.
"Batuk—batuk-batuk—Gu Jiaming—Gu Jiaming—"
Sambil berteriak, dia berlari ke pintu kamar. Benar kamar 514. Area ini paling parah terkena ledakan. Api menjilat-jilat ke atas, alarm berdering, kemudian sprinkler mulai menyemprotkan air. Dalam kepulan asap tebal, Mu Qingqing dengan cepat menggeser pintu dan barang-barang yang terlempar, menerobos masuk ke pintu yang masih berapi. Suaranya parau sambil terus mencari keberadaan Jiaming...
Tak lama kemudian, di bawah hotel, seorang pria bertopi matahari meludahkan permen karetnya. Meninggalkan kerumunan penonton, mengeluarkan telepon dan mulai menghubungi seseorang.
"Hei, A Qiang, sudah selesai... Polisi dari Benua, setidaknya satu sudah MATI, kalau lebih banyak yang MATI ya salah mereka sendiri, aku juga tak bisa berbuat apa. Tapi ada satu hal... Laporan intelijen ada kesalahan, kali ini mereka datang bukan berdua, tapi tiga orang, hmm, pokoknya asal cari kamar untuk... OK lah, bagaimanapun juga, urusan kali ini mereka pasti tak bisa mengatasinya... Yang penting kau harus bersembunyi baik-baik, Da Fei sekarang sedang memburumu. Min Kun juga ingin MEMBUNUH lewat tangan orang, sejujurnya, cara seperti ini benar-benar tidak pintar... Biarkan mereka saling MEMBUNUH sekarang, polisi pasti takkan melepaskan mereka, kali ini meski tak MATI pasti terkelupas satu lapisan kulit... Menurutku yang paling penting, kau benar-benar harus kabur dari Hong Kong sekarang..."
Mobil-mobil di jalanan berlalu-lalang, sambil menelepon ia menyusuri kerumunan orang yang berdesakan. Setelah melewati dua blok jalan, tiba-tiba ia merasa ada yang tidak beres, menoleh ke belakang tapi tak melihat apa-apa, lalu terus berjalan sambil mengerutkan alis.
Setelah melewati dua blok jalan lagi, kerumunan orang mulai menipis. Ia kembali mengerutkan alis dan menoleh ke belakang, seekor Snoopy tiba-tiba masuk ke pandangannya, membangkitkan rasa familiar. Jiaming berdiri tak jauh di belakangnya, memandanginya dengan tatapan datar, sudah mengikutinya dari belakang selama beberapa blok jalan.
"Kau benar-benar sakit jiwa! Ngapain mengikutiku! Apa kau kurang dipukul..."
"Jari telunjuknya menunjuk Jiaming beberapa kali, jarak yang semakin mendekat tiba-tiba terhenti di udara. Ia berusaha mengingat——meski sebelumnya tak melihat jelas, tapi pria ini sepertinya satu kelompok dengan polisi itu... Beberapa detik kemudian, tubuhnya berputar dan langsung berlari!"
Berbelok ke gang sempit di sebelah, saat menoleh bayangan itu masih berdiam di mulut gang mengawasinya dari kerumunan; menerobos blok jalan di seberang, menoleh lagi sosok itu masih menyamar di antara orang-orang; menerjang taman kecil di depan gedung apartemen, masuk ke gang kecil, melompati tembok——begitu melewati beberapa blok, setelah memastikan tak ada yang mengikuti, akhirnya ia berhenti terengah-engah di sebuah gang.
"Dia... Sial! Urusan kali ini jadi kacau balau..."
Setelah napasnya mulai teratur, ia mengeluarkan tiga batang rokok dari saku dan menyalakan semuanya sekaligus. Setelah menghisap dalam-dalam, ia berdiri hendak pergi. Beberapa meter darinya, bayangan itu tiba-tiba muncul. Tangan pria itu masuk ke saku celana, alisnya berkerut, di bajunya tergambar Snoopy besar.
"Kau..." Ia ragu sejenak, melihat tangan lawan masih di saku, tiba-tiba menyambar pipa besi dari tumpukan barang di sebelah dan mengayunkan dengan sekuat tenaga. Di tengah ayunan, pipa besi itu terhenti di udara——pria itu menahan pipa dengan satu tangan. Sekeras apapun ia menarik, pipa itu tak bergerak seinci pun bagaikan batu karang.
Melepaskan pipa baja, dia mundur beberapa langkah dengan keringat mengucur di wajah. Kemudian dengan gerakan tiba-tiba membuka jaketnya: "Kau... jangan bertindak sembarangan! Lebih baik kita mengorbankan diri bersama..." Di dalam jaket itu mengejutkan tergantung beberapa bahan peledak rakitan. Namun sebelum selesai bicara, pipa baja di depannya tiba-tiba berayun disertai suara prak-prak tak terhitung. Dalam hitungan dua tiga detik, tubuhnya secara misterius ambruk ke tanah. Rasa nyeri hebat baru sampai ke pikiran sekarang, tulang-tulangnya entah berapa yang patah. Kedua tangan jelas patah total, sama sekali tak bisa digerakkan. Pria itu mendekat, melepas jaketnya lalu melilitkan bahan peledak berputar-putar di kepala korban, membungkus kepalanya perlahan...
Tak lama kemudian, Jiaming keluar dari mulut gang. Dari kegelapan lorong sempit itu terdengar ledakan dahsyat. Memanfaatkan kekacauan kerumunan, dia menghilang ke arah jalan datangnya.
Beberapa menit kemudian kembali ke hotel, polisi sudah tiba. Naik ke lantai, situasi kembali kacau. Xiao Pang dan Momo berbalik datang ke sini. Mu Qingqing duduk di kursi tepi lorong, mungkin basah kuyup oleh air pemadam kebakaran. Mengenakan jaket, rambut panjangnya lepek seperti rumput air, memberi kesan berantakan. Melihat kehadirannya, semua orang tertegun sejenak sebelum Ding Xiong berteriak mendekat: "Kau ke mana saja? Tak tahukah semua orang khawatir tentangmu!"
Mu Qingqing mengangkat kepala memandangnya cukup lama, tiba-tiba membungkukkan tubuh, menutup mata sambil menarik napas panjang beberapa kali dengan ekspresi terlihat lega. Setelah mengulangi gerakan ini beberapa kali, baru mengayunkan tangan untuk menggenggam tangan Jiaming: "Jangan-jangan... jangan bahas dia lagi, mungkin dia sudah ketakutan, yang penting selamat... Syukurlah... Ya ampun, kali ini benar-benar membuatku panik..."
Dia menarik Jiaming untuk duduk di kursi. Orang-orang sekitar yang menanyakan proses kejadian tentu tidak mendapat penjelasan memuaskan. Merasa penampilannya sekarang agak kikuk, Mu Qingqing berdiri: "Aku mau merapikan diri dulu, keadaan sekarang tidak karuan..." Baru pada saat ini melepas genggaman tangan Jiaming, "Bagaimanapun, hal ini harus kuselidiki. Tolong sampaikan pada Inspektur Mu kalian, tenang saja, aku tidak akan bertindak sembarangan. Tapi setelah hampir meledak, setidaknya aku berhak tahu kebenarannya."
"Aku paham." Si Gemuk tersenyum, "Inspektur baru saja menelepon tentang hal ini. Dia sedang dalam perjalanan kesini dan akan menjelaskan pada kalian nanti."
"Terima kasih." Setelah berjabat tangan, Mu Qingqing memeluk bahu Jiaming sejenak sebelum berbalik menuju kamarnya.
Teks pagi buta berikutnya, Jianghai.
Saat terbangun, suara gemerisik terdengar dari gudang. Ye Han mendekat dan melihat Lingjing yang mengenakan gaun panjang putih berjongkok mencari-cari sesuatu. Tiba-tiba, dengan tenaga penuh dia menarik cangkul dari tumpukan barang. Ketika berbalik, matanya bertemu dengan ayahnya yang berdiri di sana.
Malam itu Ye Han tidak bisa tidur nyenyak, termasuk Duan Jingxian. Tentu saja, mungkin Lingjing yang paling sedikit tidur. Dalam waktu semalam saja, dia terlihat kurus seakan-akan menyusut satu lingkaran, tubuhnya terbungkus rok panjang itu, rapuh bagai hendak terbang. Ye Han menghela napas: "Lingjing, di dalam makam itu adalah abu..."
Bahu Lingjing mengendur, gigi mutiaranya menggigit bibir bawah pelan-pelan, pandangannya beralih ke samping. Kemudian air mata mengalir lagi. Dia menyeka air matanya, lalu berjalan ke pangkuan Ye Han sambil terus menangis.
"Ayah, aku sangat ingin melihatnya..."
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Empat: Ikrar Hidup dan Mati
Langit muram, hujan turun sejak pagi hari, tak berhenti sepanjang pagi. Melalui jendela besar, jalanan kota diselimuti tirai hujan hijau kebiruan yang tak berujung. Sesekali kilat menyambar, diikuti suara Rei menggema.
"Terima kasih, sangat seru... Kau bisa pulang dulu dan menunggu telepon dari kami..."
Suara seperti itu bergema di ruangan luas yang kosong, menunjukkan bahwa ini adalah lokasi acara rekrutmen. Dongfang Wan duduk di tepi jendela, menyalakan sebatang rokok. Setelah menghisap sekali, dia mematikan puntungnya di asbak depan: "Kak Ling, untuk hari ini sampai di sini saja."
“Baik.” Wanita paruh baya yang memimpin rekrutmen mengangguk, mengambil sebuah dokumen dan keluar. Selebihnya juga mulai membereskan barang-barang mereka, sesekali melirik ke arah Dongfang Wan di sisi ruangan, menunggu instruksinya sebelum bubar atau melanjutkan pekerjaan. Namun atasan muda ini tampak tak memikirkan hal tersebut. Tangannya terlipat di dada sambil menatap hujan deras di luar. Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Kaki kanan terangkat, saat kilat menyambar, dia menengadahkan kepala dan menghembuskan asap dengan gaya elegan nan muram. Beberapa manajer pria di sekitarnya menunjukkan tatapan kagum dengan kadar yang berbeda-beda.
Perlu diketahui, usia bos perempuan ini baru 22-23 tahun. Namun dalam dua tahun terakhir dari Beijing hingga Jianghai, cara kerjanya memancarkan aura kedewasaan yang sulit diungkapkan. Kebijakannya selalu visioner - tidak konservatif namun juga tidak gegabah. Dia menyusun aturan kerja dan proses yang disempurnakan, menyediakan sumber daya memadai, lalu membiarkan perusahaan berkembang stabil layaknya organisme hidup. Sama sekali tak ada kesan kepanikan atau ketidakharmonisan seperti perusahaan swasta pada umumnya di fase awal.
Saat menghadapi rintangan kecil, dia melompati dengan ritme rutin. Ketika bertemu godaan besar, hatinya tetap tak tergoyahkan. Dia tak haus akan perkembangan cepat secara membabi buta, tak menyukai rencana berisiko tinggi, dan sangat membenci anggota tim yang eksentrik serta haus pamer. Dalam dua tahun terakhir, staf bawahannya yang berbakat namun kurang matang telah dikeluarkan lebih dari 10 orang. Namun seiring waktu, perusahaan justru berkembang pesat, secara bertahap membuka pasar dan menggerogoti pangsa pasar. Jika ditanya rahasia khusus, tak ada yang bisa menjawab. Pada dasarnya hanya empat karakter: ritme rutin. Rekan sejawat yang mengandalkan strategi tak biasa seringkali hanya bersinar sesaat, lalu terlampaui diam-diam olehnya.
"Para staf bawahannya jika membicarakan hal ini di sela-sela teh, sebagian besar hanya mengagumi kualitas keluarga dari keluarga besar. Bagaimanapun, selain mengetahui sang bos berasal dari keluarga terpandang, cantik, dan sulit didekati, mereka hanya mengenal karakternya yang membenci orang lain menghancurkan aturan."
"Semua orang pergilah makan dulu, istirahat sebentar, nanti sore datang kembali." Melihat status Dongfang Wan saat ini, setelah membereskan barang-barang, Xu Yiting tersenyum pada semua orang dan berkata lembut. Mengetahui pengaruh perkataannya, beberapa orang lainnya saling berpamitan dan berjalan keluar dengan tenang. Xu Yiting membuatkan secangkir teh dan meletakkannya di hadapan Dongfang Wan, kemudian mengambil rokok di tangannya dan mematikannya di asbak.
“Tidak suka merokok, buat apa berlagak mendalam...” Dia berkata sambil mengeluarkan syal putih dari kantong, mengikatkannya di leher lawan bicara, lalu mundur dua langkah, “Sekarang baru lebih enak dilihat. Hari ini kau pakai semua hitam, bos Zhao sebelah sampai bertanya padaku: Apa bosku lagi patah hati ya?”
Dongfang Wan duduk sambil menunduk melihat penampilannya. Hari ini benar-benar full hitam: jaket wanita hitam, rok kantoran sempit selutut bergaya klasik hitam, stoking hitam plus heels hitam. Tak tahan ia tersenyum. Hak sepatunya mengetuk lantai: “Cuma mix and match biasa, menurutku cukup oke... Betis jadi keliatan panjang...” Tangannya menyentuh stoking di betis, lalu berdiri di depan jendela besar mengamati bayangannya, “Gimana? Aku jarang merasa puas sama penampilan sendiri lho...”
“Kalau terus begini, lama-lama kau bisa jatuh cinta sama dirimu sendiri.” Xu Yiting geleng-geleng sambil tertawa, “Tahu nggak, banyak karyawan yang mengira kita lesbian. Taruhan bukaannya sampai ada yang buka.”
“Tapi kau meninggalkan aku, kau suka kakakku.” Melihat pipi Xu Yiting memerah, dia membuat ekspresi lembut tapi pasrah, “Nggak bisa deh sama kamu. Bertahun-tahun negoisasi bisnis jutaan dengan bos lain tetap cool, cuma dengar nama kakakku langsung merah. Hukuman untukmu: carikan aku cowok ganteng yang bisa bikin aku patah hati. Kita kan saudari, aku akan menukarmu dengan kakakku.”
"Daftar kandidat cadangannya terlalu banyak." Xu Yiting berjalan ke meja mengambil buku catatannya, "Tidak usah bicara yang dulu, baru-baru ini saja, tanggal 28 Juni, Bos Tian dari Long Xing mengirim mawar 99 tangkai, mengajakmu makan. Sore tanggal 28 Juni, Ke Jia'an menelepon mengajak makan. Tanggal 29 Juni, Lei Qing tetap menelepon seperti biasa, Fang Ming mengirim setangkai bunga, bunga segar itu menyiratkan harapan untuk berkembang lebih jauh denganmu. Hari itu……"
Xu Yiting membacanya penuh semangat, Dongfang Wan mengerutkan kening, berjalan ke samping menyindir: "Kamu tidak punya kesungguhan!"
"Tapi kamu tidak bisa langsung bilang tidak tertarik pada orang-orang ini, banyak yang ganteng, harus kasih kesempatan dong. Meski bukan mereka, waktu di kampus dulu juga banyak yang ngejar kamu kan? Walau banyak yang kamu usir... Aku juga tahu teori kamu itu, pacaran itu sendiri adalah proses menunjukkan pilihan lalu menonjol. Tapi penampilan mereka yang unik-unik itu malah tidak kamu suki, cara lihat masalahmu terlalu ekstrim. Tidak mungkin setiap ada yang naksir, langsung berpikir niat akhir mereka sebenarnya adalah menjebakmu di ranjang dan membuka baju."
Dongfang Wan mengeluarkan sebatang rokok: "Memang begitu dari sananya."
"Memang ada sebagian yang begitu, tapi tidak semuanya. Lagipula kalau orang yang aku suka berpikir begitu, menurutku itu wajar-wajar saja."
“Jadi kau membayangkan Kakakku bercinta denganmu dalam hati？”Dongfang Wan menyalakan korek api sambil berkata santai, tiba-tiba ditiup mati. Saat menoleh, yang terlihat adalah wajah memerah Xu Yiting yang marah. “OK, OK, aku salah bicara. Tapi menurutku ini biasa saja. Lagipula postur Kakakku sebenarnya tidak bagus, agak mempermalukan……”
Dia memalingkan kepala ke samping, akhirnya berhasil menyalakan rokok. Saat menoleh lagi, rokok itu direbut Xu Yiting dan didekatkan ke bibirnya. Setelah menghisap sekali, dia langsung tersedak parah lalu mematikan rokok di asbak. Dongfang Wan tertawa: “Sudah lama tidak mencoba ya? Hitung saja sudah lima tahun lebih kau tidak menyentuh ini……”
“Aku pernah bersumpah tidak menyentuh barang-barang ini. Kau yang membuatku melanggar janji……”
Rahasia hatinya terbongkar, Xu Yiting menunjukkan kekecewaan. Selama bertahun-tahun mereka sebenarnya satu kampus dengan Dongfang Lu, tapi frekuensi berkumpul tidak cukup sering, setidaknya belum memenuhi konsep pertemanan. Dongfang Lu sangat populer di kampus, beberapa pacarnya semuanya tingkat bunga kampus. Mereka bahkan pernah makan bersama, meski akhirnya selalu berakhir putus. Tapi Dongfang Lu tidak pernah menganggapnya sebagai teman spesial yang istimewa.
Tentu saja, dia sebenarnya lebih baik pada teman daripada pacar——Dia memang orang seperti itu, tidak pernah membiarkan siapapun di sekitarnya direndahkan atau diabaikan. Di kampus, kebanyakan orang masih menganggapnya hanya sebagai anak buah Xiao Wan. Tapi jelas dia tidak begitu, karena hubungan dengan Xiao Wan, suatu kali saat memperkenalkan pada orang lain, dia pernah berkata, ini adalah adik perempuannya yang lain……
“Yang ini tidak boleh, yang itu juga tidak boleh, kau keras kepala, ingin seseorang yang eksentrik sampai bisa kau kagumi, itu pasti sulit ditemukan.”
Dongfang Wan tersenyum: “Menurutku pasti ada, jika itu Andy Lau, aku pasti akan gila-gilaan mencintainya.”
“Memang bukan tidak ada. Sebelumnya pernah ada, sepupuku.”
“Yang mana?” Jawabnya sembari lalu.
“Sepupu Jiaming.”
Dongfang Wan terdiam sejenak: “Waktu itu aku memang tidak ada cara, setuju? Kita semua satu kelas, aku tidak mungkin bilang OUT ke dia. Kau tidak bisa karena aku bilang kau suka kakakku lalu menyerang balik bahwa aku juga suka kakakmu...”
“Tapi yang akhirnya berkompromi kan kau. Kau malah sengaja menjalin hubungan baik dengannya, setiap tahun mengajaknya jalan-jalan...”
“Iya.” Dongfang Wan menggigit bibirnya, “Dia akhirnya bahkan bilang terima kasih padaku...”
Sebenarnya ada beberapa hal yang tak bisa dipungkiri. Pagi ini saat bangun tidur, tanpa sengaja kudengar ayahku sedang berbicara di telepon. Entah di tempat mana terjadi masalah, ayahku terlihat sangat terkejut. Saat itu dia berkata: "Bagaimana bisa sampai seperti ini? Jangan-jangan Gu Jiaming kembali ke markas lagi..." Mungkin kalimat inilah yang membuat emosinya tidak stabil sepanjang pagi. Dan juga ada kabar lain yang kudengar.
“Lingjing sudah kembali, tiba dua malam lalu……”
Xu Yiting tertegun sejenak: “Lalu dia……”
“Dia tidak menghubungi siapa pun, tapi katanya sudah menandatangani kontrak dengan perusahaan hiburan, pihak sana memutuskan untuk membesarkan namanya……Kecapi……” Dongfang Wan berpikir sejenak, “Sudah empat tahun dia tidak pulang, sekarang pasti akan menyelidiki urusan sepupu Jiamingmu, pemakaman, kabar kematiannya. Kakakku sekarang di Shenzhen, aku ingin menelepon untuk memberi tahu dia.”
“Sebenarnya……aku juga tidak terlalu paham hubungan mereka dulu. Lingjing dengan sepupu Jiaming……Bukannya dulu pacar sepupu Jiaming adalah Shasha?”
“Mereka bertiga tinggal bersama……” Dongfang Wan mengangkat tangan bingung, “Ya hubungan yang paling mustahil lah. Jiaming kena penyakit terminal, putus dengannya, akhirnya dia kabur ke Wina empat tahun tidak pulang. Dulu banyak yang dekat dengannya, tapi tak satu pun dihubunginya, seperti menguap dari dunia. Dia benar-benar kejam pada dirinya sendiri.”
Kilat menyambar di luar. Xu Yiting menatap hujan di balik jendela, menghela napas. Saat hendak berbicara, dering telepon berbunyi. Dia berjalan menjawab: “Halo, Direktur Qin……Hehe, tentu saja ingat……Barangnya sudah sampai? Hmm, Anda akan datang ke Jianghai……Bagus sekali. Kapan pesawatnya? Nanti aku……dan bos kami akan menjemput……Wajar, wajar. Selama ini berkat perhatian Anda……Xiao Wan sedang tidak di sini. Ya, pesan Anda akan kusampaikan……Ada lagi……Baik, aku catat……Hmm-hmm……”
“Sambil memberikan kode mata, Xu Yiting terus berbicara di telepon, Dongfang Wan hanya mengangguk, memandang hujan di luar jendela dengan diam. Setelah beberapa saat, dia berdiri dan keluar pintu, mengeluarkan teleponnya untuk menghubungi suatu nomor.”
“Halo, Kakak, ini aku... ada hal yang ingin kusampaikan, meski mungkin sudah kau ketahui... Lingjing sudah pulang, tiba kemarin sore. Kukira setelah mengunjungi Jiaming, dia pasti akan mencariku. Haruskah kuberikan nomormu atau... Hmm, kau kembali... Bukankah urusan di Shenzhen belum selesai ditangani? ...Hmm, aku mengerti...”
Saat gemuruh petir bergema, bayangan senyum elegan nan kesepian terpantul di jendela lorong...
Pada pukul dua siang, saat melangkah masuk ke pintu gerbang Wushu Ye, hujan sudah mulai reda. Julian melipat payungnya dan menyambut Ye Han yang mendekat.
Percakapan semalam dan penyelidikan setelahnya membuatnya paham bahwa Lingjing pernah mengalami luka hati - menyukai seorang anak laki-laki yang kini telah MATI. Sejujurnya ini memang hal yang menyedihkan, karena kau bisa merebut kekasih orang untuk membuktikan nilai dirimu, tapi mustahil mengalahkan seorang mayat.
Tahu mereka akan pergi ke pemakaman pagi ini, dia menunggu sampai siang untuk datang. Kamar Lingjing masih tertutup, Duan Jingxian hari ini tidak bekerja dengan wajah penuh kekhawatiran - mungkin sudah menangis. Dia juga tahu anak laki-laki MATI itu sangat dekat dengan seluruh keluarga ini, dianggap seperti anak sendiri. Lingjing kembali dari pemakaman lebih awal, menolak makan siang meski ibunya sudah dua kali mencoba menyumbangkan makanan.
“Biarkan aku yang membawakannya.”
Beberapa tahun ini dia belajar sedikit bahasa China, sebenarnya tidak bermasalah dalam berkomunikasi. Tapi siapa sangka setelah berbicara dengan ibu Ye, makanan belum juga dihidangkan. Tiba-tiba pintu kamar Lingjing terbuka. Gadis itu mengenakan kemeja putih, celana panjang musim panas yang tebal, sepatu olahraga. Matanya masih bengkak kemerahan meski sudah dirias tipis, tetap terlihat jelas. Dengan ekspresi datar, ia menatap beberapa orang di dalam kamar, ragu sejenak sebelum akhirnya menyapa: "Ayah, Ibu... Guru Julian..."
Sulit membayangkan perasaan apa yang sedang menghantuinya saat ini. Julian juga tidak tahu situasi di depan makam tadi. Tapi secara umum, dia terlihat baik-baik saja. Suaranya masih jelas, justru membuat Keluarga Ye semakin cemas. Duan Jingxian berkata: "Lingjing, Jiaming dia..."
"Aku baik-baik saja." Dia menarik napas panjang. Sekejap, seluruh tubuhnya gemetar. Hingga gigi terkunci rapat: "Aku tidak percaya. Aku akan ke penjara untuk bertanya..."
"Tapi sekarang... tempat itu sangat jauh..."
Duan Jingxian hendak mengatakan sesuatu, tapi Lingjing langsung mengambil payung dari sudut rumah dan bergegas pergi. Ye Han melambaikan tangan, mengisyaratkan biarkan dia menyegarkan pikiran. Julian memperhatikan ekspresi semua orang, lalu berkata: "Aku antar saja. Aku bawa mobil, di luar masih hujan."
"Tidak perlu, Guru Julian..."
"Tidak apa. Aku tidak ada acara sore ini. Lagipula kondisi kamu sekarang... Lebih baik ada yang menemani. Semua juga jadi lebih tenang."
Begitu Dia berkata, ibuku juga menyambung beberapa patah kata. Kemudian beberapa orang keluar dari gerbang. Lingjing naik ke mobil kecil yang dipinjam Julian: "Ke arah mana?" Lingjing mengulurkan jari menunjuk ke depan.
Cuaca di luar jendela masih kelabu. Meski hujan sudah mereda, pejalan kaki di jalan tetap sepi. Di bawah tatapan Keluarga Ye, mereka keluar dari kompleks perumahan ini. Julian berujar: "Perusahaan sebenarnya sudah mengatur beberapa pekerjaan untukmu. Meski baru akan dimulai beberapa waktu lagi, aku tahu belakangan mood-mu sedang jelek. Sebagian besar sudah kusingkirkan. Sebenarnya memaksamu langsung kerja setelah kepulangan ini memang merepotkan, tapi... ini bisa jadi kesempatan. Aku tak tahu persis kejadian empat tahun lalu itu, tapi... kau harus melupakannya. Masih banyak orang yang peduli padamu. Baiklah, aku tahu nasihat seperti ini terdengar klise..."
Mobil kecil melintas di jalanan yang familiar. Deretan lampu jalan menyala, toko-toko di pinggir jalan berpendar cahaya: "Aku tahu mungkin dia sangat hebat. Begitu hebatnya sampai kau terus memikirkannya selama empat tahun studi di luar negeri, meminggirkan semua orang. Jujur, aku juga pernah mengalami hal serupa. Tapi akhirnya... waktu mengajariku bahwa realita itu kejam. Pada dasarnya, kita semua adalah individu mandiri di dunia ini. Kita memiliki memori yang independen. Tak ada situasi dimana seseorang tak bisa digantikan. Kau juga punya kenangan yang sepenuhnya milikmu sendiri."
Dia menghela nafas: "Mungkin kita mustahil bisa sepenuhnya memiliki seseorang. Yang bisa kita lakukan hanyalah mendekati dan mencari keselarasan dengannya..."
Hujan turun dengan suara gesekan. Lingjing bersandar di tepi jendela, diam. Mobil berbelok melewati dua blok jalan. Lingjing mengetuk kaca: "Berhenti di sini saja."
"Di sini?"
Julian tampak bingung. Setelah mobil kecil berhenti, Lingjing turun dan membuka payung: "Terima kasih sudah mengantarku keluar. Tidak perlu mengikutiku, aku baik-baik saja..."
"Hei, kau ngapain..."
Lingjing berbalik dan berjalan ke depan. Julian menyetir mobilnya perlahan sambil berbicara ke luar, "Masuklah! Mau ke mana kau sebenarnya? Aku bisa mengantarmu, katanya kan tempatnya jauh?"
Dia berjalan beberapa saat, masuk ke halte bus, diam-diam melipat payungnya lalu duduk di bangku panjang. Julian memarkir mobil, membuka payung dan mendekatinya. Melihat sekeliling, dia paham fungsi tempat ini lalu mengangkat tangan bingung: "Aku tidak mengerti..."
Langit kelabu. Lingjing duduk menatap papan neon di seberang jalanan. Julian yang tak mendapat jawaban akhirnya juga duduk di sampingnya sambil melipat payung. Lama berselang, barulah terdengar suara lembut Lingjing.
"Bukan begitu..."
"Bukan apa..."
“Setiap manusia... memiliki memori mandiri masing-masing, tapi Aku tidak ada...” Gadis itu membuka mulut perlahan, bagaikan mengigau, “Kami... tumbuh bersama sejak kecil, mulai dari saat aku kira-kira mulai ingat berbagai hal, selalu bersama... Mungkin setiap orang punya perasaan kesendirian sedikit banyak, tapi aku tidak, sama sekali tidak pernah... Saat dia diganggu, aku melindunginya, memaksanya memanggilku kakak, pagi-pagi kami lari bersama, pulangnya beli roti kukus kecil dimakan berdua, awalnya separuh-separuh, setelahnya masing-masing makan satu, sekolah bersama, mengerjakan PR, aku selalu ingin membuatnya sama sepertiku, hidupku selalu berputar di sekelilingnya...”
“Total kami bertiga, aku dengan cewek lain, dan dia, pokoknya hidup seperti itu, saat bahagia ada mereka, tidak nyaman pun tetap bersama, akhir pekan main bersama, bahkan pernah tidur sekelambu, waktu itu belum paham apa-apa, sungguh bahagia... Setelahnya suatu hari, hal itu terjadi begitu saja, tetap bertiga, anak kecil kan belum paham, minum baijiu, keesokan harinya bangun dalam keadaan telanjang, hati gelisah. Tapi toh kami bertiga bersama, lalu kami tinggal serumah, bertahun-tahun hidup begitu, terus... dan terus...”
“Betapa bahagia...” Dia membuka mulut, suaranya tiba-tiba terisak, sulit sekali menarik napas. Mungkin karena terlalu banyak menangis selama dua hari ini, akhirnya tak ada air mata yang jatuh. “Tentu ada orang lain juga, memori lainnya. Aku juga pernah main dengan teman sekelas, melakukan hal-hal lain. Tapi... apa maknanya? Hanya saat kami bertiga bersama, semuanya menjadi lengkap. Kami seperti anak-anak yang tumbuh besar bermain lumpur di pulau terpencil, sudah bersama sejak belum paham apa-apa. Jadi... hanya saat bersama kami utuh, normal. Setiap orang punya memori sendiri... Apakah tanganmu punya ingatan terpisah? Bagaimana dengan kakimu, kepalamu... Jika suatu hari tiba-tiba hilang, apakah kau masih merasa dunia ini sama? Bisakah tangan dan kaki meninggalkan tubuh lalu mandiri?”
“Aku ke Wina belajar kecapi... Itu bukan keputusanku. Karena aku percaya, dia ingin aku melakukan ini, jadi kulakukan... Meski tidak nyaman tak apa, dia yang menyuruh. Aku ingin setelah mahir baru pulang untuk menghujatnya. Bagaimanapun, biarkan aku memarahinya, lalu bisa memaafkannya. Baik soal putus denganku, maupun kebohongannya. Empat tahun sendirian bagaimana? Itu bukan ingatan seorang diri. Aku berpikir empat tahun, tapi saat kembali, dia bilang dia MATI... Aku takkan percaya. Jika percaya, lalu apa maknanya? Kami ini satu manusia...”
“Aku tahu karakternya... Dia terlalu keras kepala, tidak mau menjadikan siapa pun korban, segalanya dipikirkan untuk orang lain... Dia menghadapi masalah yang tidak bisa diselesaikan, jadi tidak ingin aku melihatnya... Aku tidak tahu hal apa yang dia alami beberapa tahun ini, pasti akan kembali, asalkan sudah ditemukan... Asalkan sudah ditemukan...”
Di bawah halte bus, suaranya tetap lembut, tidak menangis, agak serak. Julian menatap profilnya, mendengarkan segalanya, tiba-tiba merasa perempuan di depan matanya seperti pusaran yang lebih menarik dari sebelumnya. Saat hendak berbicara, Lingjing sudah berdiri membawa payung, membungkuk memberi hormat padanya.
“Maaf... Guru, aku tahu selama ini Bapak banyak membantu, juga tahu... beberapa hal lain. Pernah terpikir, dia menyakiti dan mengecewakanku, saat kembali ada sosok hebat seperti Bapak di sampingku, mungkin akan membuatnya kesal. Setelah kesal, aku akan jujur padanya... Kekanak-kanakan sekali. Sebenarnya Bapak salah, dia tidak hebat. Mungkin juga tak pernah bangga pada kelebihannya. Tidak ganteng, sifatnya aneh. Tapi bagaimanapun, aku sudah menyatu dengannya, fondasi yang tak terpisahkan. Kelebihan maupun kekurangannya, tak kuhiraukan... Guru, Bapak orang baik, terima kasih. Aku tak ingin mengulang permintaan maaf yang lain...”
Senyum tipis mengembang di wajahnya. Lingjing berbalik naik ke bus.
Julian terdiam tertegun lama di tempat, akhirnya menyetir mengikuti...
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Lima Diskusi Malam
"Insiden ledakan di hotel suatu malam tidak terlalu dikhotbahkan. Ketika Fang Yusi menemukan Jiaming melalui berbagai saluran hari itu, sudah menjelang sore. Pada waktu ini, Mu Qingqing dan Ding Xiong sedang menyelidiki kasus bersama pihak Hong Kong di kantor polisi Yau Ma Tei. Alamat tempat tinggal baru belum diatur, kedatangan mendadak Fang Yusi membuat seluruh grup terkejut."
"Sebagai identitas mereka, bukan tidak ada kesempatan menjalin kontak dengan selebriti. Xiao Pang sering mendapat merchandise langka artis karena hubungan pamannya. Tapi benar-benar melakukan kontak jarak dekat dengan bintang besar setingkat Fang Yusi tanpa hubungan tidak menyenangkan memang sangat langka. Seluruh tim langsung kocar-kacir. Hanya Ketua Kelompok Mu Cha yang selalu serius tetap cemberut. Sebelumnya sudah menggerutu dalam hati tentang Qingqing yang membawa pasien ke Hong Kong untuk urusan kasus, kini malah mengguncang pekerjaan dengan melibatkan selebriti besar. Tapi meski serius adalah serius, dia tidak menunjukkan kemarahan yang bisa mengancam semangat semua orang."
"Jika pengaturan tempat tinggal sementara belum final, saya punya villa di sini. Kalian bisa pindah ke sana dulu. Fasilitasnya tidak terlalu wah, tapi... masih lumayan..."
Setelah nanti sore berakhir, Fang Yusi yang menghabiskan lebih dari 2 jam berdua dengan Jiaming di ruang tamu mengajukan proposal ini. Meski diungkapkan secara sederhana, semua orang paham bahwa villa milik selebriti besar ini pasti sangat mewah. Mu Qingqing dan Ding Xiong sempat menolak beberapa kali, namun sikap Fang Yusi terhadap Jiaming terlihat sangat teguh. Mu Qingqing juga ingin mencari tahu lebih banyak tentang latar belakang Jiaming darinya, akhirnya menyetujui tawaran tersebut. Selain itu, mengenai kasus ledakan tadi malam, Fang Yusi sepertinya merasa memiliki saluran informasi tertentu.
"Aku... kenal beberapa teman di lingkaran kita di sini. Mereka mungkin punya koneksi. Sudah kutelepon, kuminta mereka menyelidiki. Jika ini ulah komunitas atau organisasi tertentu di Hong Kong, biasanya bisa ketahuan..."
Penjelasannya terkesan ragu-ragu. Mu Qingqing dan Ding Xiong paham bahwa dunia hiburan Hong Kong memang memiliki hubungan tidak jelas dengan Jalan Hitam, sebagian besar dikendalikan langsung oleh beberapa geng kriminal. Mengingat posisi Fang Yusi di industri hiburan saat ini, wajar jika dia memiliki akses ke pihak-pihak tersebut. Meski sumber informasi polisi mungkin tidak kalah dari geng kriminal, memiliki koneksi semacam ini tetap memberikan keuntungan lebih.
Karena ledakan tadi malam, unit kasus berat tidak mungkin lagi mengesampingkan mereka berdua dari pasukan investigasi. Namun faktanya, generalisasi petunjuk sepanjang siang ini juga tidak banyak membuahkan hasil. Karena hal ini memang datang secara aneh, meski sebelumnya pernah ada kasus pelarian mengirim bom untuk membalas dendam ke polisi, tapi sejak Hong Kong kembali ke Tiongkok, geng kriminal lokal tidak pernah se-lancang berani meledakkan polisi penyidik dari Benua yang melakukan investigasi bersama. Bagaimanapun, bom yang dilemparkan ini setara dengan menampar polisi secara terang-terangan, situasi langsung naik level dan dampaknya hanya akan semakin meluas - kemungkinan untuk ditutup-tutupi sama sekali tidak ada. Hal seperti ini tidak membawa manfaat bagi geng kriminal lokal manapun, sementara petunjuk investigasi polisi saat ini masih dalam radius efektif geng kriminal. Tidak ada banyak pelarian yang bisa kabur setelah sekali aksi. Lalu, siapa sebenarnya yang memasang bom?
Dengan pertanyaan mengganjal ini, pada sore hari itu, beberapa orang tinggal di villa Fang Yusi di Victoria Peak. Eksteriornya terlihat tidak mencolok, namun fasilitas di dalamnya sungguh mewah. Selain Fang Yusi, villa ini juga dihuni oleh manajer, sopir, koki, pengawal, dan lima enam orang lainnya. Meski di dunia luar penyanyi dan artis dianggap sebagai orang kaya, tapi yang mampu mencapai level seperti dirinya sebenarnya tidak banyak.
Malam itu Fang Yusi masih ada acara basa-basi. Setelah mengatur beberapa orang, dia pun pergi. Ding Xiong pergi jalan-jalan, sementara Mu Qingqing dan Jiaming menonton TV di ruang tamu. Melihat Jiaming yang sedang menunduk memikirkan sesuatu di sebelah, Mu Qingqing penuh dengan pertanyaan yang tak bisa dia utarakan. Sekitar pukul sepuluh malam, Jiaming menatapnya sejenak sambil mengerutkan alis. Mu Qingqing tertegun melihat tatapan penuh perenungan itu, lalu setelah lama akhirnya bertanya dengan ragu: "Sudah normal lagi? Bicara dong."
Pertanyaan ini tidak mendapat jawaban. Mu Qingqing kemudian menghela napas lega. Bagaimanapun, Jiaming selalu terlihat seperti sedang berpikir mendalam. Beberapa saat kemudian, dia melihat jam dan bersiap mematikan TV untuk tidur. Baru ketika berdiri, akhirnya terdengar suara pelan dari samping: "Kira-kira... sembilan tahun yang lalu..."
"Apa yang terjadi sembilan tahun lalu?"
Seolah karena pikiran yang kacau, Jiaming menggelengkan kepala: "Musim panas... sampai musim gugur itu... di rumah sakit... Tahun 95... bukan... Di Pei Luo Jia, aku dan... mereka... Aku yang membunuh nomor 5173... Bukan... Aku mengenalmu..."
Biasanya saat tiba-tiba pulih, ucapannya hanya beberapa kalimat singkat yang terdengar normal seperti manusia biasa, paling-paling membuat orang merasa karakternya agak penyendiri. Tapi kali ini ucapannya baru menunjukkan kondisi kekacauan. Dia tak terburu-buru, merangkai kata demi kata, lalu menggelengkan kepala pelan. Setelah mengucap "Aku mengenalmu" dengan alis berkerut, dia berhenti bicara. Mu Qingqing berusaha menyusun keseluruhan kalimat itu tanpa hasil, hanya terkejut kecil saat mendengar "Aku yang membunuh 5173".
"Kita... Tentu saja saling kenal, tapi... 5173? Sebelumnya kamu... jangan-jangan agen rahasia, hehe..." Kepekaan terhadap kalimat ini hanyalah kebiasaan profesional. Setelah tak mendapat jawaban, Mu Qingqing tak lagi memikirkannya, hanya kembali duduk. "Sembilan tahun lalu ya, benar, setidaknya kau masih tahu waktu sekarang. Sembilan tahun lalu memang Tahun 95. Saat itu... aku baru jadi polisi, masih muda dan tidak karuan, tak paham apa-apa, seharian kebingungan di kantor polisi..."
Dia menepuk bahu Jiaming, mengingat-ingat hal yang terjadi sembilan tahun lalu, meski sebagian besar sudah tidak jelas lagi. Kenangan-kenangan itu sejak lama telah bercampur aduk dalam pikiran, berbaur dengan peristiwa sepuluh tahun lalu, delapan tahun lalu, tanpa perbedaan yang jelas: "Waktu itu... Aku hanya ingat adik perempuanku selalu mencuri seragam polisiku untuk dipakai, karena ini aku sudah beberapa kali memukulnya... Aku punya adik perempuan, kau tahu? Foto di dompetku itu... Entah apakah kau pernah melihatnya sebelumnya, Nah, lihat sekali lagi..."
Dia mengeluarkan dompet dan membukanya untuk menunjukkan foto kepada Jiaming: "Sejak kecil seperti anak laki-laki, dan jiwa keadilannya berlebihan. Dulu seharian dia ingin jadi polisi... Tapi sekarang dia lebih tinggi sedikit dariku..." Dia menggerakkan tangan sambil bercerita terputus-putus tentang masa lalu, kemudian tersenyum: "Kau terus berpikir, suatu hari pasti akan mengerti semua hal. Tenang saja, hari ini ini sudah kemajuan besar. Tapi setelah mengerti, jangan sampai lupa padaku."
Meski bicara begitu, malam itu dia agak sulit tidur. Pertama karena lingkungan baru, kedua memikirkan ucapan Jiaming tentang sembilan tahun lalu, hal-hal seperti MEMBUNUH orang. Saat itu tidak mau memikirkannya, tapi setelah berbaring di ranjang, tak terhindarkan terhubung dengan tenaga besar Jiaming, peristiwa memukul orang hingga pingsan dengan sekop dulu, juga urusan Harimau Perak. Jangan-jangan dulu dia benar-benar agen rahasia atau pembunuh. Cahaya bulan mengalir dari jendela, sementara dia bergulat di tempat tidur. Kira-kira tengah malam, terdengar suara pintu dibuka di luar - Fang Yusi pulang ke rumah.
"Setelah lebih dari satu jam lagi, ia memastikan tak bisa tidur, lalu pergi ke balkon untuk berangin. Dari sini memandang ke bawah, pemandangan malam Pelabuhan Victoria sangat memikat. Di tepi kolam renang di bawah balkon, Fang Yusi yang mengenakan gaun krem pasir sedang duduk di sana, kedua kaki telanjangnya tercelup ke dalam air, tangan memegang segelas anggur merah sambil mendengarkan lagu dengan earphone, kepala bergoyang-goyang. Entah firasat seperti apa, ia menoleh ke belakang, tersenyum tipis, lalu mengacungkan gelas anggurnya ke arah balkon: 'Tidak bisa tidur? Turunlah duduk sebentar.'
Dua menit kemudian, Mu Qingqing turun ke lantai bawah: "Pertama kali ke Hong Kong, beberapa hari ini masih belum terbiasa."
"Aku juga kadang merasa tak terbiasa. Kamu tahu, kami terus berpindah-pindah sepanjang tahun, tak punya tempat tinggal tetap. Di mana pun tak ada rasa seperti rumah." Fang Yusi mengangkat gelasnya sambil tersenyum, "Minum baijiu?"
"Tidak usah."
"Minum segelas anggur merah di malam hari bisa bantu tidur. Aku akan ambilkan gelas untukmu."
Ia berjalan ke bar di kamar tak jauh, mengambil sebuah gelas kaki tinggi, lalu menuangkan anggur untuk Mu Qingqing: "Jadi polwan pasti banyak tekanan ya? Selalu kukira cewek yang bisa jadi penyidik itu keren banget, tapi pasti harus berusaha lebih keras daripada pria."
"Di mana-mana sama saja."
"Dunia hiburan berbeda. Eh..." Fang Yusi berpikir sejenak, "Tapi memang, yang dikorbankan beda. Kami..."
Ucapannya terhenti di situ. Mu Qingqing bingung bagaimana melanjutkan. Fang Yusi justru pertama kali menengadahkan kepala sambil tertawa: "Tapi bagaimanapun, polwan benar-benar hebat. Bersulang untukmu!"
“Heh, terima kasih.”
Meskipun Fang Yusi memberi kesan pertama yang kurang baik pada Jiaming, setelah bertahun-tahun berkarier di dunia hiburan, saat dia benar-benar ingin menumbuhkan simpati pada seseorang, akhirnya cukup mudah. Beberapa lelucon santai setelahnya dan cerita seputar polwan di industri hiburan berhasil menghilangkan membran awal di hati Mu Qingqing. Bertiga saling berbalas kalimat di tepi kolam renang sambil mengobrol.
“…Kalau sudah berhasil sejauh ini, dan juga sangat lelah, kenapa tidak cari waktu untuk istirahat?”
“Tidak ada cara, kami kan makan masa muda. Kalau kau istirahat sebentar, nanti mungkin tidak banyak yang mengenalimu lagi. Saat syuting beberapa film pertamaku dulu, aku merasa sangat puas diri, mengira akan langsung terkenal semalaman. Akting dipuji, nyanyi juga dipuji, sampai sok bangga. Tahu-tahu kemudian tiba-tiba redup. Kalau bukan karena… Huu, intinya sebelum benar-benar kolaps aku tidak berencana istirahat. Manfaatkan masa muda, lakukan apa yang bisa dilakukan…”
“Kapan kenalnya dengan Jiaming?”
Fang Yusi tertegun, lalu tersenyum: “Kau sudah ingin tanya ini sepanjang malam ya, uh…” Dia menyatukan kedua tangan seperti memohon, “Ada alasannya. Banyak hal tentang dia yang tidak bisa kuceritakan, kalau sampai bocor mungkin akan rumit. Tapi soal perkenalan kami… Saat itu dia masih SMA. Aku ingat dia naik ke panggung meniru adegan nyanyi ONLY-
YOU menakuti semua orang di kamar, Hehe... Tapi itu juga belum bisa dibilang benar-benar kenal, waktu benar-benar kenal malah membuatku kaget. Aku yakin dia pasti tidak punya kesan baik padaku, memalukan sekali, andai bisa mengulanginya lagi..."
Mu Qingqing mengerutkan alisnya agak tidak paham, isi pembicaraan ini juga sulit dikaitkan dengan pria yang seharian sibuk berpikir dan diam ini: "Kapten Ding bilang, dulu Jiaming mungkin penulis lagu..."
"Benar sekali." Fang Yusi tersenyum cemerlang, "Dulu dia penulis lagu dan komposer terhebat, tapi dia tidak mau terkenal. Banyak hal yang dirahasiakan. Huang Lao dan Zheng Zepei sangat mengaguminya. Dia benar-benar banyak membantuku, kalau bukan karena dia, mungkin aku sudah turun panggung dan membungkuk hormat. Jadi sekarang aku juga benar-benar berharap bisa membantunya... Ngomong-ngomong, kalian? Bagaimana pertemuan kalian?"
Akhirnya memastikan pekerjaan masa lalu Jiaming, Mu Qingqing sedikit lega. Menulis lagu? Profesi ini baginya tetap terasa jauh, tapi setidaknya termasuk seniman, sangat berbeda dengan pembunuh atau agen rahasia. Dirinya memang agak neurotik... Sambil berpikir, dia mulai bercerita tentang kejadian setelah mengenal Jiaming. Ketika menyebut dia menjual kacang chestnut goreng gula, Fang Yusi sudah terlihat heran. Saat menceritakan aksinya mendorong gerobak di tengah hujan dan tembakan malam itu, lalu memukul seorang kriminal sampai pingsan dengan spatula, Fang Yusi malah menepuk dada dan tertawa.
"Sangat berbahaya, lebih hebat dari syuting film kami."
"Iya, tenaganya sangat besar."
“Aku tahu sebelumnya dia pasti pernah belajar Kung Fu, jenis untuk memperkuat tubuh dan kesehatan. Tenaganya sekarang mungkin hasil latihan beberapa tahun terakhir. Setiap hari mendorong mobil seberat itu, ditambah sakit kepala... benar-benar... terlalu menyiksanya...”
Dua wanita berbicara seperti itu di tepi kolam renang, terkesan sangat keibuan. Fang Yusi tidak berani membicarakan situasi keluarga atau saudara Jiaming kepada Mu Qingqing. Saat ini dia sedang menyelidiki hal-hal tersebut, namun mengingat hubungannya yang pernah terlibat dengan level atas, siapa tahu Jiaming pernah menghina orang penting. Jika asal mengembalikannya, dikhawatirkan akan berdampak pada orang-orang yang dia sayangi. Akhirnya nanti malah jadi merepotkan. Rencananya sekarang adalah mengatur pengobatan untuk Jiaming terlebih dulu. Setelah sembuh, biarkan dia sendiri yang memutuskan segalanya. Urusan ini tidak perlu terburu-buru. Kalaupun tidak sembuh, merawatnya selamanya pun bukan masalah besar. Lagipula ini balas budi, semakin banyak yang dilakukan, hatinya semakin nyaman.
Keesokan harinya Mu Qingqing dan Ding Xiong harus pergi ke tim investigasi kasus berat. Fang Yusi yang tidak ada acara seharian mengusulkan mengajak Jiaming jalan-jalan, mungkin menghubungi beberapa ahli saraf ternama untuk memeriksanya. Mu Qingqing langsung menyetujui: "Jika ingin menyuruhnya melakukan sesuatu, teruslah menariknya sambil mengoceh tak henti di telinganya. Dia pasti akan setuju. Meski tidak bicara, karakternya sangat baik."
"Andai dia semudah ini diajak bicara saat pertama kali kami kenal..." Fang Yusi tak bisa menahan desahnya.
“Begitulah, di siang hari, Fang Yusi menyetir mobil sport berkeliling Hong Kong bersama Jiaming. Sesekali dia bercerita tentang kehidupannya beberapa tahun terakhir, Ye Lingjing dan Liu Huaisha dari masa lalu, berusaha membangkitkan ingatan Jiaming. Namun sepanjang pagi itu tak ada hasil. Menjelang siang, sebuah telepon masuk.”
“Halo, Paman Li, ini aku… Ada kabar soal bom? Terima kasih sudah berusaha… Hehe, sekarang… Ada teman, yang hampir kena ledakan tadi… Kalau dia… Oke oke, kami SEKARANG JUGA datang…”
Menutup telepon, mobil sport berbalik arah. Puluhan menit kemudian, tiba di sebuah villa dekat Kowloon. Beberapa pria berkacamata hitam berpenampilan sangar sudah menunggu di gerbang. Turun dari mobil, Fang Yusi menggandeng tangan Jiaming sambil tersenyum mendekat.
“Tidak perlu takut pada mereka, aku menemani kau pasti aman.”
Menjepit telapak tangan Jiaming, sang selebriti besar ini berbicara sendiri dengan riang…
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Enam SERANGAN
Hujan deras kemarin seolah ingin menenggelamkan Jianghai. Hari ini cuaca cerah tapi udara masih lembap. Sekitar lewat sepuluh pagi, villa keluarga Dongfang ramai oleh kedatangan mendadak agen-agen rahasia [] yang mengurus suatu hal.
Keluarga Dongfang memiliki banyak aset di Jianghai, namun umumnya menggunakan villa ini sebagai tempat tinggal utama. Ketika Fang Zhitian datang ke Jianghai, biasanya dia tinggal di sini sebagai teman, jarang menggunakan tempat ini sebagai kantor. Kali ini karena situasi yang sangat mendesak, tidak hanya agen rahasia sekitar Jianghai, di villa ini juga ada orang yang datang dari Gunung Emei dua hari lalu, sebagian besar adalah pasukan elite organisasi yang lincah dan terlatih. Orang-orang dengan jabatan kapten seperti Cui Guohua dan Ye Lian saat ini sedang mengadakan rapat di ruang tamu besar.
"Dua malam, lebih dari 30 orang MATI, bahkan tidak ada yang melihat langsung musuhnya. Sejujurnya, Ruo Ruo sudah memperkirakan rombongan itu akan mengejar dari Eropa, tapi tidak menyangka mereka begitu hebat. Menurutku kita semua harus meningkatkan kewaspadaan. Mengenai mereka... Ketua Kelompok Bai, hanya kau yang paling paham situasi Eropa di sini. Jelaskan pada semua orang, agar kita memiliki konsep tentang hal ini..."
"Setelah Dongfang Linghai menyelesaikan ucapannya, dia mengayunkan tangan. Seorang pria berkacamata di sampingnya berdiri: 'Baik... Tugas kami di Eropa adalah mencari jejak Kekosongan Pandang Debu. Operasi ini telah berlangsung sejak lima tahun lalu hingga sekarang. Karena sejak awal kami memang tidak yakin akan keberadaan Kekosongan Pandang Debu, data yang kami miliki sangat minim. Saat operasi dimulai, semua sumber informasi benar-benar terbatas. Namun setahun yang lalu kami menemukan sebuah situs reruntuhan - sebuah kastil di kedalaman hutan Swedia yang awalnya milik Gereja Roma, diperkirakan runtuh karena perang sekitar abad ketujuh belas dan kemudian ditinggalkan. Kami telah melakukan penggalian di sana.'"
"Faktanya, karena awalnya tidak yakin akan menemukan sesuatu di lokasi tersebut, pekerjaan kerahasiaan mengalami beberapa celah. Kemudian organisasi seperti Pei Luo Jia, Dark Celeste, dan beberapa kelompok lain terlibat. Kami bahkan pernah menemukan jejak Mikado Ki. Saat penggalian berlangsung hingga Februari tahun ini, tiba-tiba ada kemajuan - kami menemukan beberapa ruang batu dan terowongan rahasia di bawah kastil. Dan sekitar lebih dari sepuluh hari yang lalu, mereka menemukan benda yang diduga sebagai Kekosongan Pandang Debu..."
“Karena saya hanya bertugas sebagai penghubung dua pihak, detail hal tersebut tidak terlalu jelas. Tapi Ketua Kelompok Liao di sana pernah memberitahu saya lewat telepon, mereka menemukan sedikit debu yang bisa memancarkan cahaya. Berdasarkan identifikasi ability user yang ikut tim, di dalamnya terkandung kekuatan yang sangat besar. Pada saat yang sama, mereka juga menemukan beberapa hal lain - jejak pertarungan aneh, peti mati mewah, dan sebagainya. Tapi... kejadian seharusnya terjadi pada malam itu juga. Keesokan paginya saat komunikasi rutin tidak ada kabar, saya memerintahkan beberapa tim terdekat untuk memeriksa. Mereka menemukan jejak perkemahan yang dijarah, sebagian besar orang dibantai, tapi beberapa berhasil selamat dan membawa kabur Kekosongan Pandang Debu. Tepat saat mereka ingin mengawal Kekosongan Pandang Debu pergi, pembantaian yang sama menimpa mereka...”
“Hasilnya seperti yang kalian tahu, semua personel tim operasi gugur di Eropa. Li Yunxiu kabur membawa Kekosongan Pandang Debu saat dikejar-kejar, tapi akhirnya ketahuan juga. Meskipun tim kami sempat tiba, lukanya terlalu parah dan kini berada dalam kondisi koma dalam. Hanya diketahui bahwa dia menyerahkan Kekosongan Pandang Debu ke seseorang, tapi identitasnya tidak bisa dilacak. Berdasarkan investigasi di Eropa beberapa hari terakhir, kami punya alasan untuk menduga pelakunya adalah makhluk abadi selevel Pangeran. Meski terdengar absurd, sangat mungkin mereka adalah penghisap darah...”
Pandangan Dongfang Linghai menyapu semua orang yang hadir: “Kalian pasti sudah mendengar, dua malam lalu basis di Gunung Emei diserang invasi, dan Pangeran saat ini telah menghilang. Jika kelompok ini benar-benar Sesama Jenis-nya, masalah yang kita hadapi kali ini benar-benar sangat rumit. Dua malam lalu seluruh Tim Operasi ke-11 di bawah Ying Haisheng tewas dibunuh, tadi malam Tim ke-5 dan ke-7. Instruksi atasan adalah, dalam periode ini kita harus meningkatkan kewaspadaan, tetap berkumpul bersama, tidak Izinkan bergerak sendiri. Begitu menemukan musuh, SEGERA laporkan, harus mengerahkan Segalanya kekuatan untuk memusnahkan mereka... Jika tidak bisa mengalahkan, prioritas utama setiap orang adalah menyelamatkan diri sendiri. Mengerti?”
Ucapannya datar tanpa ekspresi, namun situasi yang tiba-tiba memburuk ini memang tidak bisa diremehkan. Dua malam saja, mereka sudah dengan congkak membunuh lebih dari tiga puluh orang. Di pihak kita bahkan belum bisa menangkap bayangan lawan. Tidak heran kemarin di telepon dia hampir mengira Jiaming kembali bangkit. Selain itu, sejak tiba dari Gunung Emei, kondisi Ruo Ruo semakin memburuk dan sekarang kembali pingsan. Memikirkannya saja sudah membuatnya pusing.
Karena eksperimen kekuatan supernatural yang gagal itu, tubuh lemah gadis ini tertahan dari usia 10 tahun hingga 20 tahun. Kini di usia 22 tahun, saat perempuan lain menikmati musim bunga penuh vitalitas, dia hanya bisa terbaring sakit hari demi hari, kurus kering seperti sebatang tongkat kering, menyedihkan untuk dilihat.
Jika Gu Jiaming masih ada... Ah...
Setelah merenung sejenak, ia naik ke lantai dua dan masuk ke kamar untuk berbincang sebentar dengan Fang Zhitian.
“Guru Huiqing sedang keluar?”
Fang Zhitian tersenyum getir: “Dia bilang ingin melihat bagaimana perubahan kota besar yang sudah lama tidak dikunjunginya, tapi... mungkin dia sedang mencari petunjuk tentang gerombolan monster itu. Awalnya kusuruh orang mengikutinya, tapi begitu belok di persimpangan jalan sana, mereka kehilangan jejak...”
Dongfang Linghai mengerutkan kening: “Guru sudah sepuh, kalau terjadi sesuatu...”
“Memang harus bagaimana? Beliau adalah tetua keluarga, aku tidak bisa banyak komentar soal keputusan yang sudah diambil...” Fang Zhitian menggelengkan kepala. Fakta sebenarnya, generasi Fang Zhitian di [] semua tahu Hui Qing sangat hebat, tapi sejauh mana tingkat kehebatannya? Dalam lebih dari sepuluh tahun terakhir, dia tidak pernah benar-benar bertindak, jadi tidak ada yang tahu pasti. Tapi bagaimanapun, usia sudah lanjut, mana mungkin bisa menandingi mereka yang masih dalam puncak kebugaran fisik.
Setelah bertukar beberapa patah kata, terdengar ketukan pintu dari luar. Setelah dibuka, ternyata pelayan rumah: “Xiao Wu, ada perlu apa?”
“Ada seorang cewaek di luar, mengaku sebagai teman sekelas SMA Lu Shao...” Pelayan keluarga Wu yang baru ini bicara dengan gugup, mungkin mengira ini keluarga besar, sikapnya kaku. Setiap hal harus dilaporkan. Dongfang Linghai mulai kesal, “Bilang saja Lu Shao sekarang di Shenzhen, berikan dia kartu nama.” Dia menoleh ke Fang Zhitian sambil tersenyum: “Orang ini, selalu dikerubungi wanita...”
“Itu hal baik.”
Fang Zhitian juga menyambut ucapan itu. Tapi Xiao Wu di pintu belum pergi: “Sudah kukatakan Lu Shao di Shenzhen, tapi dia bilang kalau Lu Shao tidak ada, ingin bertemu Bapak...”
Fang Zhitian membuka tirai, Dongfang Linghai berjalan mendekat. Di depan pintu gerbang villa terlihat seorang perempuan berbaju gaun putih sedang menunggu, torso tubuhnya diselimuti jaket pendek kuning muda. Saat angin berhembus pelan menggerakkan ujung gaun, bayangan itu tampak sangat rapuh. Di belakangnya berdiri seorang pria asing berambut pirang. Dongfang Linghai terdiam sejenak, lalu menghela napas: "Itu Ye Lingjing... Apakah dia sudah tahu kabar kematian Jiaming? Tapi... Kenapa mencari aku..."
"Gu Jiaming pernah membicarakan beberapa hal terkait ini dengannya sebelumnya..."
Dongfang Linghai berpikir sejenak, lalu menoleh ke belakang: "Xiao Lu meneleponku bilang akan menyelesaikan urusan di Shenzhen dengan kecepatan tertinggi dan segera pulang, mungkin dalam beberapa hari ini. Xiao Wu, sampaikan ini padanya, begitu saja."
"Baik." Xiao Wu mengangguk dan mundur keluar. Fang Zhitian berkata: "Konon dulu Xiao Lu pernah menyukai Ye Lingjing ini. Kenapa? Mau memberi kesempatan pada anak muda? Tapi memang dia perempuan yang baik..."
Dongfang Linghai tersenyum: "Hanya merasa... beberapa hal lebih baik diselesaikan antar anak muda sendiri. Aku sempat bingung kenapa Xiao Lu tiba-tiba mau pulang, ternyata karena ini..."
Di luar villa keluarga Dongfang, Lingjing menerima kabar tentang Dongfang Lu. Dengan suara serak ia mengucapkan terima kasih, lalu berbalik pergi. Julian mengikuti dari belakangnya.
Kemarin sore pergi ke penjara, sebenarnya tidak bisa menemukan informasi berguna. Sungguh ironis, dia tidak bisa membuktikan hubungannya dengan Jiaming, sementara Jiaming kemudian tidak meninggalkan informasi kontak apapun, sehingga pihak sana tidak bisa mencarikan data-data untuknya secara sistematis. Dia hanya merasa sedih yang dalam, mereka pernah begitu intim tinggal bersama sejak kecil tak pernah berpisah dalam ingatan, tapi secara hukum, mereka ternyata sepasang orang asing... Seolah tertipu oleh kebohongan besar...
Hal ini membuatnya tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Makan malam tidak menyentuh apapun, hanya minum air sambil menahan lapar, sesekali teringat hal-hal menyedihkan, dia duduk dan meneteskan air mata diam-diam. Memandang gemerlap bintang yang sepi di luar jendela, menyalakan lampu, melihat foto pernikahan mereka bersama, memeluk album foto dengan hati yang perih. Lalu berulang kali meyakinkan diri: Jiaming mustahil MATI... Seperti kepercayaan terakhir yang dipertahankan saat kiamat, kepercayaan ini bagai kompensasi di atas mie, seringkali bahkan dia sendiri tidak percaya, tapi setidaknya sebelum bencana terjadi, inilah satu-satunya yang bisa dilakukannya.
Beberapa hari tidak istirahat baik, keesokan harinya bangun dengan tubuh lemas, merasa seluruh diri ini seperti melayang. Dia menghabiskan semangkuk kecil bubur, awalnya ingin keluar, tapi dipaksa orang tua tidur lagi di ranjang beberapa jam. Saat bangun lagi, Julian datang kembali.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan, tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kau tidak mengalami masalah. Kau tahu, kondisimu sekarang benar-benar tidak baik. Pokoknya dengan sikapmu begini, aku juga tidak ada kerjaan. Biarkan aku mengikutimu saja. Kau tidak perlu melibatkan diriku, anggap saja aku tidak ada...”
Julian terus mengoceh panjang lebar. Dia tidak punya semangat, juga tidak tahu harus berkata apa. Sudahlah... Terserah kau. Kecuali hal-hal yang berhubungan dengan Jiaming, dia sama sekali tidak punya mood untuk mengurus apapun sekarang...
Meninggalkan keluarga Dongfang, dia tahu masih ada satu tempat yang bisa dituju. Tapi setiap kali teringat orang itu... Kakak Yahan, Bu Guru Zhang... Dirinya sudah putus dengan Jiaming, Shasha sudah diantar pergi oleh Jiaming. Jika masih ada orang yang mungkin tahu sesuatu tentang Jiaming, tinggal dia yang tersisa. Namun mengingat kata-kata saat putus dengan Jiaming, keberaniannya langsung lenyap, seluruh tenaga di tubuhnya menguap begitu saja. Seperti memegang tiket lotre - meski ada yang sudah bilang gamblang bahwa tiket ini tidak akan menang apapun, selama belum digosok, selalu tersisa secercah harapan... Sejak kepulangannya, Ayah-Ibu Ye selalu khawatir dengan kondisinya, belum sempat menceritakan banyak hal tentang kerabat dan teman. Karena itu dia tidak tahu bahwa Yahan sekarang sudah meninggalkan Akademi Hati Kudus dan memiliki seorang putri berusia tiga tahun...
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Tujuh Taruhan
Nanti sore, Hong Kong, He Yisheng.
“Paman Li ingin berdiskusi denganku...”
1. Dalam kamar berdiri 4-5 orang. Min Kun meletakkan telepon, lalu berdiri. Orang-orang ini langsung menyusul: "Katanya terkait kasus ledakan dua malam lalu. Jangan-jangan ini cuma alasan untuk berperang. Apa hubungannya dengan mereka? Hubungan kita dengan He Sheng He selama ini cukup baik... Oh ya, Ah Sheng, sudah ketemu A Qiang belum?"
"Belum." Pria berpakaian kaos bergaris di sampingnya menggelengkan kepala. "A Qiang ini memang ceroboh, tapi dia punya beberapa bawahan yang teliti. Beberapa hari lalu setelah orang-orang Da Fei melukainya dengan tikaman, dia langsung bersembunyi. Sampai sekarang kami juga belum punya petunjuk..."
"Petunjuk?! Aku ini bukan polisi, sial! Si pengkhianat ini, makan dari gubukku malah balik menggigit. Pasang bom untuk dua polisi dari daratan itu. Kali ini benar-benar dikibulin..." Min Kun berpikir sejenak, lalu menoleh ke belakang. "Dulu kalian kan dekat-dekat sama dia ya."
"Bos..." Ah Sheng dan beberapa orang lainnya tersenyum kecut menunjukkan kepolosan. Min Kun menghela napas: "Lalu ngapain masih di sini? Kan ada anak buah! Kekasihmu pun bisa dikerahkan. Pokoknya cepat cari orang itu. Selain itu, semua saudara di perkumpulan, begitu liat si pengkhianat langsung bertindak. Usahakan hidup-hidup. Kalau nggak bisa, tebas MATI juga gapapa. Kalau kali ini nggak bisa menyelesaikannya, gimana kita bisa tetap berkecimpung di dunia ini..."
1. Baru beberapa hari yang lalu sudah mengingatkan Sha Qiang untuk bersembunyi, siapa sangka dia malah langsung dipenggal oleh Da Fei, setelah terluka mungkin merasa bahwa pihak sini ingin memanfaatkan pisau untuk MEMBUNUH, sengaja membuatnya berhadapan dengan Da Fei. Tepat sehari setelahnya di malam hari, dia malah menyuruh orang meletakkan bom untuk polisi dari Benua. Sekarang hal ini sudah tidak bisa diurus lagi, Min Kun juga hampir stroke karena marah, 2 hari tidak ada ekspresi wajah yang baik. Na Sheng mengangguk dan pergi dari samping, Min Kun masih bergoyang-goyang dengan tatapan muram, mengulangi: "Sial! Makan punyaku, pakai punyaku, masih menggigitku, pengkhianat..."
2. Dia memiringkan kepala, dua orang yang mengikuti di sampingnya diam-diam mengikuti ke arah Na Sheng.
3. Kalori Matahari sudah mulai berkurang. Keluar dari villa, belok ke satu jalan, Na Sheng mengeluarkan telepon dan memutar nomor: "Halo... Kalau terus begini aku tidak bisa bantu kau lagi, kakak tertua sudah mengeluarkan surat perburuan di dunia persilatan... Heh, surat perkosaan... Tidak ada yang bercanda denganmu! Kau cuma punya berapa orang, pikir bisa mengacaukan langit? Bilang kau bodoh memang benar bodoh, mau mempermalukan Min Kun dan Da Fei... Kau tahu tidak persaudaraan He Yi Sheng ribuan orang, pemerintah saja tidak berani sembarangan menyentuh Min Kun. Kau asal meletakkan beberapa bom, polisi langsung akan menangkap dia?"
“Singkatnya segera tinggalkan Hong Kong, sekarang pergi masih belum terlambat……” Saat sampai di persimpangan jalan berikutnya, langkahnya melambat. Di depan tiang listrik tak jauh, dua orang sedang membaca koran kemudian menurunkannya, tersenyum ke arahnya. Teleponnya menempel di telinga, ia mengangguk sambil melihat mereka mendekat. Berkata ke telepon: “Begini, aku...”
Baru ingin mematikan, tangan salah seorang menekan bahunya. Yang lain menghentikan aksinya mematikan telepon, mengambil perangkat itu.
“Kalian...”
“Alat penyadap.” Orang yang menahan bahunya menunjuk earphone di telinga kirinya, “Kali ini aku tak bisa membantumu lagi, Sheng Ge.”
Orang kedua menempelkan telepon ke mulutnya: “Halo, Kak Qiang, Kun Ge mau bicara denganmu. Tunggu sebentar...”
Mobil mewah hitam melintas dari seberang jalan, berhenti di dekat mereka bertiga. Saat pintu mobil terbuka, Min Kun keluar sambil melirik Ah Sheng. Ia menepuk bahu pemuda itu: “Kau tak pernah bilang punya kekasih sebelumnya. Mana mungkin aku menyuruhmu mengirim pasanganmu? Hanya satu kebenaran – tentu saja sedang menyelidikimu, saudara...”
Setelah selesai berbicara, dia menerima telepon: “Halo, A Qiang, aku Min Kun... Bicaralah, bicaralah... Kalau kau punya pendapat terhadapku, bisa langsung bilang... Sekarang hal jadi besar begini, kau bilang gimana... Aku jebak kau? Hehe... Saudara, baru tahu kau punya imajinasi segitu hebatnya... Dasar kau sialan yang berimajinasi, mending jadi penulis novel lah, ngapain main geng kriminal... Bom yang kau taruh itu bagus, sekarang keadaan sudah seperti ini, pasti ada yang harus tanggung jawab, aku bisa apa... Mau diskusi dulu sama A Sheng baru bilang ke aku? Kita semua saudara, dia lebih baik ke kau, sampai-sampai aku mikir jangan-jangan kalian ini kaca... Heh, ucapan seperti ini sudah tak terhitung kali kudengar selama beberapa dekade, dulu lebih sering, tapi mereka yang bilang sekarang sudah MATI, sekarang dengar malah terasa segar... Datang saja kapanpun, aku tunggu...”
Setelah percakapan usai, dia menyerahkan telepon ke orang di sebelahnya, kemudian mengulurkan tangan kanan menunjuk A Sheng. Jarinya melambai-lambai di udara beberapa saat sebelum akhirnya menghela nafas.
“Bawa pulang, hukum keluarga...”
Ketika kegelapan malam tiba, semangat metropolis internasional Hong Kong semakin terasa jelas. Kerlip lampu membentuk pelangi, pemandangan malam yang sibuk. Di sebuah hotel dekat Tsim Sha Tsui, Min Kun yang berjas rapi sedang menunggu seseorang.
"Paman Li ini orangnya sangat peduli muka, kau pernah lihat waktu kecil dulu, paling suka membanggakan hubungannya dengan selebriti tertentu, dulu sering bilang pernah makan bersama Li Ka-shing. Aku yakin hotelnya memang sama, cuma Li Ka-shing di bilik VIP sana, dia di bilik VIP sini, semua orang cuma salaman waktu ke toilet. Jadi nanti kau harus lihai, bagaimana dia membual, ikuti saja omongannya. Meski sudah tua, koneksinya masih banyak... Cih, sebenarnya kita semua sudah punya identitas, ngapain pakai nama orang lain buat ningkatin gengsi sendiri..."
Ucapan ini ditujukan pada pemuda berambut panjang di sebelahnya - anaknya Min Zhan yang tahun lalu pulang dari studi di luar negeri. Tapi aura dunia persilatan masih melekat - sejak kecil terpapar peradaban ayahnya, target hidup si pemuda adalah menjadi bos. Meski bertahun-tahun terpapar pendidikan Barat, tetap tak berubah. Setelah pulang, dengan cepat menyatu dengan anak buah guild. Min Kun sendiri memang tak punya ambisi menjadikan anaknya kaum terpelajar. Dalam setahun terakhir, sudah mulai dibina sebagai penerus.
“Tidak lama kemudian, beberapa mobil kecil yang mereka tunggu tiba. Orang yang berada di depan mengenakan setelan bergaya Tom bermotif naga, memegang tongkat penyangga, terlihat sekitar enam puluh tahun. Ini adalah Tom Li, salah satu anggota pendiri Wo Shing Wo, bukan hanya secara reputasi - dia masih memegang kewenangan nyata dalam guild, memiliki koneksi dengan berbagai kekuatan. Bahkan pihak Sun Yee On yang saat ini menjadi pemimpin Jalan Hitam Hong Kong pun sangat menghormatinya. Saat beberapa pengawal berjas melindunginya turun dari mobil, Bapak-Anak Min Kun bersama anak buahnya SEGERA menyambut.
“Haha, Paman Li, kalau ingin menemuiku, sebenarnya tinggal beri kabar saja, aku yang akan datang. Ngapain repot-repot datang sendiri... Ini, A Zhan, perkenalkan, ini adalah...”
Sambil menceritakan kembali pencapaian gemilang Tom Li bertahun-tahun lalu, dia memperkenalkan anaknya kepada mereka. Belum selesai bicara, saat melihat orang yang muncul dari sisi lain mobil, dia tiba-tiba tertegun. Kemudian, Tom Li juga tersenyum.
“...Tidak repot. Kedatangan kali ini sebenarnya terutama karena keponakan saya ingin bertemu. Perkenalkan, Yusi, ini adalah Big Brother Min Kun dari Wo Yi Shing, ini putranya Min Zhan... Yang ini, saya yakin tidak perlu diperkenalkan lagi. Yang di sampingnya adalah temannya. Jujur saja, hari ini kami datang terutama untuknya...”
“Fang Yusi, Halo Paman Kun…” Berpakaian setelan wanita kantoran dengan kacamata minus, penampilan Fang Yusi kali ini tak semegah di layar TV, namun memancarkan aura yang lebih ramah. Tangan yang satu menggandeng Jiaming sementara tangan lainnya melambaikan salam kepada keluarga Min Kun (Bapak-Anak Min Kun), lalu memperkenalkan nama Jiaming. Saat rombongan berjalan menuju hotel, semua orang mulai memahami bahwa pria di sampingnya bukan sedang berpura-pura cool, melainkan mengalami kesulitan berkomunikasi karena penyakitnya.
“Sebenarnya, kedatangan kami hari ini berkaitan dengan dirimu, Ah Kun. Singkatnya, Jiaming dan dua temannya datang ke Hong Kong untuk pengobatan. Tapi kemarin lusa ada yang menaruh bom di hotel mereka yang hampir meledakinya. Keponakanku yang panik langsung menghubungi berbagai pihak. Tak perlu kau mengelak, tak lama setelah kejadian, di gang dekat sini ada mayat meledak bernama Liu Huijie - anggota gengmu yang biasa dipanggil Ah Jie, spesialis pembuatan bom... Aku tak peduli detail kejadiannya, intinya kami datang untuk memastikan hal seperti ini tidak terulang lagi…”
Sebelum makan malam, Tom Li langsung membuka pembicaraan. Kehadiran Fang Yusi membuat Min Kun harus berputar-putar memberi penjelasan tentang keterkaitan dirinya, sekaligus berjanji akan menyelesaikan masalah ini secepat mungkin dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
"Dengan penjelasan ini, setelahnya tentu hanya komunikasi murni saat makan. Mengobrol tentang kejayaan masa lalu Tang Li, karier akting Fang Yusi, lalu dokter spesialis otak rumah sakit mana yang terbaik menurut mereka. Jiaming tidak bicara, tapi perilaku selain itu sama seperti manusia normal. Fang Yusi hampir menempel di sampingnya, sambil tertawa dengan semua orang sambil menyuapinya, sesekali membungkuk dan berbisik. Pemandangan menggoda ini membuat hubungan mereka jadi teka-teki. Fang Yusi bercanda bahwa Jiaming pernah banyak membantunya, sekarang sedang membalas budi. Semua tidak bisa bertanya lebih, frustasi.
Hotel ini aset Heyi Sheng, di bawahnya ada tempat taruhan bawah tanah besar. Alasan menjamu Tang Li di sini karena hobinya selain sok senior, juga suka berjudi. Kini Fang Yusi sudah datang, tentu tak bisa pulang dulu. Setelah makan malam, mereka turun ke kasino. Awalnya menemani Tang Li berkeliling. Meski tua, dia suka keramaian, berjalan di kerumunan, bertaruh saat tertarik, sambil berbagi pengalaman berjudi.
"Sebenarnya ini perang mental. Jangan tunjukkan senang dapat kartu bagus, jangan sedih dapat jelek. Kadang harus beri tekanan ke lawan. Menurutku Jiaming di sebelahmu penjudi terbaik, haha... Tak ada yang bisa baca pikirannya...""
Karena perkataan Tang Li, setelah itu Fang Yusi yang sedang bermain Baccarat di sebuah meja memilih Jiaming untuk mengocok kartu. Namun Baccarat jelas tidak terlalu terkait dengan perang psikologis. Fang Yusi menukarkan 100.000 keping tawaran, dalam waktu setengah jam kira-kira kalah sekitar 30.000. Dia tidak terlalu ambil pusing, hanya tertawa dan mengobrol di samping Jiaming. Setiap kali kartu dibuka, dia langsung menggenggam tinju sambil berteriak, terlihat sangat tegang. Di kerumunan kasino, beberapa orang mengenalinya, namun karena selalu ada anggota kelompok yang mengikuti, tidak ada keributan berarti. Begitu ada yang mencoba fotoin, seketika dikerumuni dan disuruh menghapus.
Min Zhan terus mengikuti kedua orang itu dari belakang.
Penampilan Fang Yusi hari ini luar biasa bersahabat. Selain Jiaming yang pendiam, hanya usia mereka berdua yang sebaya. Oleh karena itu Min Zhan juga menunjukkan keramahan ekstra, sering mengajak bicara di meja makan dan terus mengobrol di meja judi. Penampilannya cukup ganteng. Karena hari ini berhubungan dengan orang-orang dunia persilatan, Fang Yusi menunjukkan aura sedikit labili dalam tutur katanya. Sepertinya dia menganggap sang wanita sebagai tipe yang memuja Jalan Hitam - di TV dan novel, para selebriti besar dan nona kaya selalu mendambakan kehidupan underworld. Dulu dia pernah merayu wanita semacam ini, meski statusnya tidak setinggi Fang Yusi.
Setelah beberapa saat, Fang Yusi membungkuk di sebelah Jiaming dan berbisik beberapa kata, lalu bangkit menuju kamar mandi. Baru saja meninggalkan kursi, terdengar suara "Splash" saat Jiaming mendorong seluruh tawaran senilai lebih dari 60.000 yuan ke meja, sambil memutar-mutar satu keping 1.000 yuan di tangannya. Fang Yusi tertegun sejenak, lalu mengangkat bahu: "Sudahlah, nanti kutukar 200.000 lagi untukmu..."
Min Zhan menggelengkan kepala dengan kekecewaan melihat tumpukan tawaran 60.000 yuan itu. Jumlahnya tidak besar, hanya adegan ini terlihat sembrono. Dia sendiri tidak punya simpati banyak pada si bodoh di samping Fang Yusi itu. Setelah melirik beberapa kali, dia meninggalkan kursinya dan menyusul Fang Yusi.
Setengah menit kemudian, Jiaming kalah dalam permainan itu. Dengan membawa satu keping terakhir 1.000 yuan, dia pergi dari kursinya menuju meja panjang permainan dadu.
Saat keluar dari kamar mandi, Fang Yusi bertemu Min Zhan. Pria berjas rapi dengan rambut panjang itu sedang menyandar di dinding lorong sambil tersenyum padanya. Dengan terpaksa dia mengangguk balas: "Hei."
"Kemarin aku lihat berita hiburan, kebetulan membahas gossip tentangmu."
"Heh, gossip... Tentangku pasti bukan hal baik."
"Tidak juga. Mereka bilang kamu sudah putus dengan Tan Keqing. Menurutku ini kabar bagus... Untuk orang-orang seperti kita, ini kesempatan baru..."
“Tan Keqing? Tidak ada hal seperti itu, setuju.” Fang Yusi menggelengkan kepala, mengibaskan noda air di tangannya, “Berita memang begitu. Hanya karena masuk pintu bersama, langsung dibilang ada berbagai hal tidak karuan. Sekarang kita bicara di sini, kalau ketahuan difoto diam-diam, pasti aku dituduh punya pacar baru lagi.”
Min Zhan berpikir sejenak: “Hal semacam ini... sebenarnya aku tidak terlalu keberatan.”
“Tolonglah... itu sangat menyebalkan.”
“Haha. Ngomong-ngomong, boleh tahu pendapatmu tentang orang seperti kami...”
“Orang seperti apa? Jenis apa?”
“Maksudku... yang berkecimpung di dunia hitam. Umumnya orang akan menganggap kami tidak punya pekerjaan tetap...”
“Aku tidak berpikir begitu. Aku cukup banyak kenal artis di Hong Kong. Mereka semua punya teman seperti itu. Sebagai teman, yang penting kan bukan status resminya.”
Keduanya saling berbincang di lorong. Min Zhan sengaja memperlambat langkah, sesekali mengajukan pertanyaan dan berhenti sejenak. Fang Yusi pun terpaksa menanggapi. Saat masuk ke kasino, kira-kira sudah lima menit berlalu. Min Zhan tersenyum: “Mau minum anggur merah?”
“Terima kasih, tidak perlu. Banyak orang di luar.”
“Bisa main di ruang VIP. Di sana lebih sepi. Aku punya cara jitu untuk mengajarimu menang...”
“Tidak usah. Paman Li juga suka main di luar. Ramai lebih berasa suasana.” Fang Yusi menoleh mencari sosuk Tang Li di dalam kasino, “Aku harus menukarkan tawaran untuknya... Hmm? Jiaming pergi ke mana?”
"Di sebelah meja baccarat yang dimainkan sebelumnya, sudah tidak ada jejak Jiaming. Minzhan memanggil seorang anak buah untuk bertanya, kemudian keduanya dibawa ke meja sebelah."
"Tidak mungkin, dia ada di dalam?"
Itu adalah meja judi dadu yang saat itu dipenuhi kerumunan kepala manusia terlihat sangat sengat. Meskipun dadu memang permainan kasino yang paling membuat jantung berdebar, namun lima menit lalu belum se-seksi ini. Sambil berpikir demikian, Minzhan dan beberapa anak buahnya memisahkan kerumunan orang agar Fang Yusi bisa lewat. Setelah berdesak-desakan sampai ke dalam, kedua orang itu tertegun.
Jiaming berdiri di depan meja judi itu. Di hadapannya terdapat tumpukan tawaran berbagai jenis yang terlihat sudah mencapai beberapa juta. Saat Fang Yusi dan Minzhan berdesakan masuk, dia sedang mendorong tawarannya - bukan bertaruh besar-kecil, melainkan menebak poin. Saat ini taruhannya berada di area delapan poin, membuat bandar terlihat ragu-ragu.
"Wah, apa yang terjadi di sini?"
Minzhan berbisik kecil ke anak buah di sampingnya.
"Dia...dia awalnya kalah di area baccarat, tersisa seribu yuan terakhir lalu pindah ke sini. Setiap ronde selalu menebak poin, berhasil menang tiga kali berturut-turut. Sekarang tumpukan tawarannya sudah mencapai lebih dari satu juta. Jika ronde ini menang lagi, maka..." Sesuai aturan kasino di sini, tebakan delapan poin memiliki rasio 1:8. Kemenangan ini akan membuatnya mencapai puluhan juta. Wajah Minzhan mulai kejang-kejang: "Mana mungkin." Fang Yusi berdiri di tepi meja dengan mulut menganga, memandang Jiaming, tawaran, lalu Minzhan secara bergantian.
Setelah ragu-ragu sebentar, dealer mengulurkan tangan membuka penutup dadu, kemudian berkata dengan suara yang terdengar kaku: "Dua, dua, empat... total delapan poin kecil..."
Saat taruhannya masih kecil tidak masalah, tapi sekarang sudah mencapai 10 juta, perhitungan dan pengaturannya jadi rumit. Min Zhan memberi isyarat, dealer di sana pun menukar dengan chip nominal besar. Tak lama kemudian, Min Kun dan Tom Li sudah datang setelah mendengar kabar. Tom Li yang sangat tertarik dengan teknik judi tampak antusias mendengar kemenangan 10 juta hanya dalam empat putaran. Sebagai bos Jalan Hitam meski tahu hal seperti ini tidak baik, tapi sebagai penjudi dia tidak terlalu keberatan. Anak buahnya yang menang 10 juta dari kalian dengan kemampuan, itu justru menambah muka. Lagipula kalian yang buka kasino harus bisa menerima kekalahan. Harga untuk menjaga reputasinya sepadan dengan jumlah itu.
Ekspresi Min Kun hanya sesaat menunjukkan ketidaksenangan, kemudian menunjukkan kedermawanan dengan langsung menulis cek lebih dari 10 juta dan menyerahkan ke tangan Jiaming: "Adik, masa depanmu cerah, haha... Jangan-jangan punya indra keenam ya?"
Tindakannya ini sudah menunjukkan sikap tidak mengizinkan Jiaming terus berjudi. Setelah mengobrol sebentar tentang teknik judi dan pilihan angka Jiaming, Fang Yusi yang sedang menggandeng tangan Jiaming hendak pergi ketika putaran baru dimulai. Tanpa pikir panjang, Jiaming meletakkan cek 10 juta tadi di posisi angka sebelas.
Seketika, wajah Min Kun dan anaknya berubah, ekspresi Tang Li juga berubah. Kerumunan di sekitar menjadi bersemangat, ramai mengikuti taruhan Jiaming. Melihat situasi tak menguntungkan, Fang Yusi menarik tangan Jiaming: "Sudahlah... Sudahlah, kita berhenti berjudi..."
Setelah mengucapkan beberapa kalimat, dia tersenyum pada Min Kun dan mengulurkan tangan untuk mengambil cek itu: "Lupakan, kita berhenti di ronde ini." Namun sebelum sempat meletakkan, Min Kun sudah mencengkeram pergelangan tangannya dengan erat. Cengkeraman ini cukup kuat, membuat alis Fang Yusi sedikit berkerut.
"Haha, tak apa! Sudah ada aturan 'taruhan tak bisa ditarik'. Pukul 11 hadiah 6 banding 1. Kalah pun hanya 60 juta lebih, aku masih bisa bayar. Yang penting semua senang, sekalian kami ingin menyaksikan keahlian si Adik Jiaming dalam berjudi. Siapkan... Siapkan..."
Dengan senyum, dia melambaikan tangan ke dealer seberang. Sementara itu, pergelangan tangan Fang Yusi sudah memerah. Menyadari bos mafia ini sudah mulai curiga pada Jiaming, dia mengerutkan kening. Sebagai orang berstatus, hatinya mulai tersulut amarah: 60 juta apa artinya? Tak punya nyali buka kasino! Berdebat dengan orang bodoh begini! Kami tidak pakai trik, menang fair saja. Masih takut sama lo?!
Beberapa saat kemudian, semua orang menahan napas saat dealer membuka cangkir dadu.
"Enam——enam——lima, Tujuh Belas poin BESAR!"
Di samping meja judi, para penjudi yang kalah mengeluarkan suara ejekan. Dealer itu menarik napas lega, Tang Li menggelengkan kepala dengan rasa menyesal, sementara Min Kun tersenyum: "Jujur saja, tadi aku benar-benar tegang." Dalam suasana yang mulai mengendur, dealer mengulurkan tongkat panjang untuk mengambil kembali chip dan cek. Namun, Jiaming menyambar tongkat itu. Ia masih mengerutkan alis, tampak sedang memikirkan sesuatu. Semua mata tertuju padanya.
"Kau main kecurangan."
Seketika itu juga, raut wajah Min Kun dan lainnya berubah drastis! Suasana sekitar berubah mencekam!
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Delapan: Kekacauan
"Kau main kecurangan."
Di lingkungan manapun, menuduh orang main kecurangan di kasino adalah pantangan besar. Saat Jiaming melontarkan tuduhan itu secara gamblang, wajah Min Kun dan anaknya menjadi memerah karena malu. Fang Yusi bingung harus berkata apa. Min Zhan memberikan kode mata ke samping. Dua orang segera melangkah maju: "Bocah kurang ajar! Kau cari mati?"
Karena Tom masih berada di situ, Min Kun tidak bisa langsung meledak. Ia melirik ekspresi lelaki tua di sebelahnya, lalu menyeringai sambil membuka tangan: "Bukannya... otaknya bermasalah dan tidak bisa bicara? Lalu ini apa maksudnya? Sengaja mau menjatuhkan harga diriku?"
Melihat keributan yang terjadi, para penjudi mulai berkerumun ke area ini. Anak buah penjaga lokasi dari He Yisheng juga sudah mengepung. Jika seperti biasanya, orang yang berani membuat onar pasti langsung diseret keluar, dipukuli habis-habisan bahkan menghabisi tangan atau kaki bukan masalah. Tapi situasi di depan mata jelas terlihat agak rumit.
Tang Li saat itu jelas-jelas menunjukkan sikap tidak memihak kedua belah pihak, menunggu bagaimana Min Kun akan bertindak. Bagaimanapun rasa tidak nyaman di hati Min Kun, tetap harus mempertimbangkan "tidak melihat wajah biksu tapi melihat wajah Buddha". Fang Yusi memiliki koneksi penting, terlebih lagi semua orang ini dibawa oleh Tang Li sendiri. Jika benar-benar ingin menghukum, tidak mungkin sampai ke tingkat ekstrem. Adapun Min Zhan, dia memang memiliki simpati pada Fang Yusi, tapi sikap akrab Fang Yusi terhadap Jiaming jelas membuatnya jengkel pada si pemuda pura-pura bodoh ini. Dia ingin mengambil kesempatan untuk meluapkan amarah, tapi bagaimana caranya tetap menjaga citra di mata si cantik setelah marah-marah, menjadi dilema yang rumit. Dalam hitungan detik, keduanya sudah berlari menghampiri Jiaming: "Kau benar-benar berani mengatakan itu! Coba ulangi sekali lagi!"
“Awalnya jam sebelas.” Jika orang lain, mungkin akan ketakutan, tapi Jiaming menunjuk ke cangkir dadu di sana, "Sekarang bukan. Kalian main ribuan."
Begitu kalimat itu terucap, pandangan Min Zhan berubah tiba-tiba. Ia mendorong orang di sampingnya dan berlari ke arah Jiaming: "Kau pikir diri sendiri Dewa Judi ya, sialan!"
Dia kali ini benar-benar berniat untuk menyerang. Teriakan kerasnya menggema di seluruh kasino. Secara bersamaan, tiba-tiba ada yang berteriak dari kerumunan: "Tebas MATI dia!" Meski tak diketahui siapa yang mengatakannya, teriakan ini langsung memicu emosi anggota geng He Yisheng. Dalam riuh suara, tak terhitung orang di kerumunan menyambut, sekelompok orang langsung berlari maju menyerbu Jiaming. Byur! Suara tembakan mengguncang aula bagai halilintar, percikan api listrik berhamburan dari langit-langit, lampu kasino berkedip tak menentu.
Sekitar satu detik kemudian, jeritan wanita pecah dari kerumunan. Suasana mulai tak terkendali. Kebanyakan orang bahkan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Byur! Tembakan kedua menggema. Di dalam aula, ada yang berlarian, ada yang menjerit-jerit. Sebagian besar orang berjongkok sambil memeluk kepala. Saat lampu yang berkedip itu mulai stabil, tepat 2 meter di depan Jiaming, seorang pria botak berpostur kekar sedang mencekik leher Min Zhan. Laras pistol menempel di pelipisnya. Beberapa orang sudah mengarahkan senjata ke Tang Li dan Min Kun, sementara anggota He Yisheng dan pengawal Tang Li yang membawa senjata juga sudah siap, mengarahkan laras ke musuh di sekitar mereka.
Suasana seketika itu sangat kacau. Jika orang luar, mungkin takkan mengerti hubungan kawan-lawan saat ini, namun nyatanya situasi di depan mata adalah ada yang memanfaatkan kekacauan tadi untuk menyerang mendadak keluarga Min. Menyaksikan Min Zhan disandera, Fang Yusi menjerit, berjongkok sambil memeluk kepalanya. Melihat Jiaming masih berdiri, ia segera menarik lengannya mencoba menyuruhnya berjongkok. Tapi Jiaming hanya memandang datar ke arah Min Zhan dan pria kekar bersenjata itu dengan tatapan berpikir yang tak berubah. Saat ini ada yang memperhatikan Min Zhan, ada yang memperhatikan si pria kekar, tapi tak banyak yang memperhatikan Jiaming di sini. Min Kun menatap pria bersenjata dua di depannya, mengangkat bahu sambil tersenyum: "Qiangzai... Kau benar-benar datang, solidaritasmu patut diacungi jempol... Tapi berapa orangmu sekarang? Satu dua tiga empat lima... Kau pikir kau bisa keluar dengan aman dari gerbang hari ini?"
Saat mengucapkan kalimat terakhir, suaranya telah meninggi, jarinya menuding sambil berteriak keras. Penguasa dunia persilatan berpengalaman puluhan tahun ini sungguh menggentarkan. Namun, pria bernama Wei Zhiqiang alias Shaqiang/Lanming Qiang ini hanya menggerakkan laras senjatanya sambil tertawa: "Akulah si bodoh! Maaf... Sekarang anak laki-lakimu di tanganku, senjataku juga mengarah padamu! Kau pikir jumlahmu banyak? Tak masalah! Bergerak sedikit saja akan kubuat seluruh keluarga MATI. Lepaskan Ah Sheng kita bisa bernegosiasi, jika tidak, kita semua MATI di sini!"
Saat ini yang dipertaruhkan adalah aura itu sendiri. Yang kasar takut pada yang nekad, yang nekad takut pada yang nekat. Wei Zhiqiang dulu direkrut Min Kun ke Hong Kong sebagai algojo justru karena aura kematiannya ini. Tak disangka kini malah jadi bumerang. Di saat bersamaan, Paman Li menatap orang yang mengarahkan senjata ke arahnya dari kejauhan, kedua tangan memegang tongkat penyangga, tersenyum dingin.
"Anak muda, urusan kalian tidak kumengerti dan tidak kusukai. Tapi jika masih ada yang berani mengacungkan senjata ke arahku... Aku jamin kalian takkan bisa meninggalkan Hong Kong dengan nyawa utuh."
"Diam kau, orang tua!" Sha Qiang menggetarkan laras senjatanya, bola matanya merah darah. "Siapa kau juga tidak kupedulikan! Yang kumau cuma keselamatan saudaraku. Jika selamat, tak ada masalah. Tapi jika ada apa-apa, semua orang di sini hari ini AKAN MATI!"
Napasnya tersengal-sengal memandang sekeliling: "Min Kun! Memang aku dijuluki Sha Qiang (si Bodoh), tapi bukan berarti otakku kosong! Tahukah kau siapa yang membongkar rencanamu memakai pisau orang lain? Anak buah Da Fei... Kau benar-benar ingin NYAWAKU! Kukira aku tidak tahu? Jika anak buah Da Fei datang membunuhku, aku akan serang Da Fei. Jika Da Fei tewas, kau bisa rampas harga dirinya. Dasar sialan... Sekarang lihat bagaimana kau mengatasi kekacauan ini..."
Min Kun menyeringai dingin: "Hasutan orang lain langsung kau telan. Ingat siapa yang memberimu makan dan pekerjaan saat pertama tiba di Hong Kong? Jika aku ingin membunuh Da Fei, ngapain repot-repot begini!"
“Itu karena kau tidak tahu hubungan Asheng denganku! Hal yang tidak kuketahui, dia yang tahu!” Sha Qiang menggigit gigi, “Aku tidak ingin banyak bicara sekarang! Lepaskan Asheng, anakmu selamat. Jika tidak, kita ikan mati jaring putus!”
Sambil berkata demikian, dia perlahan mundur ke arah pria kekar dan Min Zhan, sekaligus memberi kode tatapan ke beberapa kawan di sekitarnya sebagai isyarat untuk membawa Min Zhan pergi. Setelah mundur ke belakang pria kekar itu, dia menyentuh bahu mereka, lalu bersiap bergeser ke arah pintu keluar. Namun setelah bergeser dua langkah ke samping, barulah ia menyadari sesuatu yang tidak beres - kawannya sama sekali tidak bergerak.
Hatinya dipenuhi keraguan. Dengan gugup ia mendekat kembali, menyentuh lengan kawannya sambil berbisik, "A Yuan, ayo pergi." Ketika menoleh, baru ia sadar sang kawan hanya memandang lurus ke suatu titik di depan, tatapannya gemetar penuh ketakutan.
Tubuh A Yuan yang melebihi 2 meter, postur besar ditambah kepala botak bergambar elang, terlihat seperti dewa penjagal. Sebagai sesama yang berkecimpung di dunia bawah tanah, dia tentu paham kekuatan lawan. Dalam berkelahi atau menebas, tak pernah ragu. Duel satu lawan satu pun belum pernah kalah. Di antara beberapa kawannya, aura mengerikannya paling kuat, sifatnya juga paling buruk. Saat melihatnya tertegun di momen krusial ini, pandangan kami mengikuti arah matanya. Di depan meja kasino 2 meter, seorang pria berkemeja putih berdiri dengan tangan di saku celana, bertukar pandang dengan beberapa orang di depannya. Matanya seolah merenungkan sesuatu. Di sampingnya, seorang wanita cantik berjongkok menarik-narik tangannya mati-matian.
Di dalam kasino luas, kerumunan orang berjongkok rapat di lantai. Yang masih berdiri hanyalah mereka yang terkait langsung dengan situasi ini: anggota geng He Yisheng, pengawal Tang Li, plus beberapa saudaranya. Mereka yang tak membawa senjata api, kebanyakan memegang kapak atau pipa besi dengan pandangan tajam. Tapi hanya pria di depan yang terlihat berbeda. Dia tak peduli situasi sekitar, tak gentar menghadapi senjata, hanya memandang datar. Karena aksi licik Si Bodoh ini, kini semua mata tertuju ke sini. Beberapa yang awalnya fokus pada pertarungan Min, akhirnya memasukkan Jiaming ke dalam penglihatan mereka.
Terpisah hanya 2 meter, pria kekar itu terlihat lebih tinggi sekitar satu kepala darinya. Dalam situasi normal, kondisi yang terlihat seperti konfrontasi ini jelas menunjukkan sikap superior. Tapi saat ini, raksasa berwajah garang itu justru terlihat agak gugup. Sha Qiang belum sempat bicara lagi, pria itu sudah menelan air liur dan membuka mulut dengan suara parau.
"Aku... Kami hanya datang untuk saudara kami, menyelesaikan urusan lalu pergi... Kau..."
Ucapannya terdengar seperti sedang membeberkan segalanya pada pria di depannya, diucapkan dengan susah payah, jelas telah melalui pergulatan batin panjang. Sha Qiang membuka mulut lebar: "Apa yang terjadi denganmu, Ah Yuan!" Meski suaranya diredam, terasa getar kemarahan di dalamnya.
"Aku... Aku mengenalnya..." Ah Yuan berbisik, menatap tatapan kontemplatif Jiaming, lalu mengaku lemas, "Dia pasti juga mengenaliku..."
"Apa yang kau bicarakan sih?"
"Tidak, maksudku... Tahun 2000 dulu, aku di Penjara Wuheling, Jianghai..."
Saat menyebut nama itu, matanya dipenuhi ketakutan yang masih membekas...
## Bagian Empat Ratus Dua Puluh Sembilan Teman Lama
Setelah meninggalkan keluarga Dongfang, sore harinya Lingjing pergi ke Akademi Hati Kudus untuk menemui Bu Guru Zhang Yahan. Tentu saja yang didapatinya adalah kabar bahwa sang guru telah pergi sejak lebih dari tiga tahun lalu - waktu yang bertepatan dengan musibah Jiaming. Lingjing tidak terkejut, hanya semakin memperdalam kesedihannya.
Guru yang bertanggung jawab menerima tamu dia dengan Julian terburu-buru ke kelas, hanya menjelaskan secara singkat bahwa Bu Guru Zhang saat ini sudah pulang ke perusahaan keluarga untuk bekerja, nomor telepon pun sudah diganti.
Keluar dari gerbang sekolah, matahari musim panas mulai lagi memanas. Lingjing berjalan lelah di plaza, kemudian bawah sadar menuju gedung kecil tempat mereka pernah tinggal bersama. Julian mengikuti dari belakang, akhirnya tidak tahan lagi: "Kau benar-benar harus istirahat. Atau cari tempat duduk, makan sesuatu..." Lingjing menggelengkan kepala pelan. Dia juga tidak ada cara.
Sampai di depan game center, Lingjing berhenti sejenak, menengadah melihat balkon lantai dua. Saat ini dia mengenakan rok panjang putih dengan jaket tipis di atasnya, wajahnya dirias sederhana. Meski kurus kering, kesan berdiri dalam angin sepoi-sepoi tetap anggun. Dari dalam game center ada yang menunjuk ke sini: "Itu si cantik yang tinggal di lantai atas seperti kemarin..." Beberapa orang keluar, pria pemimpinnya mengerutkan alis, memandang Lingjing dan Julian di sampingnya, ragu-ragu: "Lingjing?"
Beberapa orang ini terlihat bukan tipe orang baik, persis seperti membentuk kelompok. Julian bawah sadar maju selangkah. Pandangan Lingjing beralih, menatap pria itu lama-lama, wajah kurusnya baru perlahan tersenyum: "Kak Shui?"
“Aku kira kalian tidak akan kembali lagi.” Kak Shui yang sebelumnya tinggal di blok jalan ini, bisa dibilang bagian dari dunia bawah tanah, dulu cukup akrab dengan Jiaming dan Shasha, bahkan sering membantu mereka. Sekarang wajahnya memancarkan ekspresi terkejut sambil melambaikan tangan, “Tadi malam si bocah bilang ada si cantik yang tinggal di lantai atas, langsung kuduga kalian yang kembali… Tapi sudah bertahun-tahun sejak kalian lulus SMA. Lingjing, kamu masih secantik dulu. Tapi… auranya sudah sangat berubah. Gimana kabar Jiaming dan Shasha? Eh… Lalu siapa ini…”
Setelah memperkenalkan Julian secara singkat, semua orang pun saling mengenal. Kak Shui membubarkan anak buah di belakangnya, kemudian mengajak mereka ke warung makan sederhana tak jauh dari situ. Sang bos menyajikan beberapa gelas teh dan kudapan ringan, bertiga pun duduk bersama. Saat itu toko sepi, jalanan juga tidak ramai, hanya suara desau kipas angin yang terdengar. Kak Shui yang ramah itu tersenyum sambil bercerita tentang perubahan jalanan selama beberapa tahun terakhir. Dulu dia hanya berkeliaran di jalanan tanpa ikatan dengan siapapun, tapi sekarang sudah punya kakak tertua yang diikuti.
“Dulu waktu kalian tinggal di sini, belum ada ruang komputer di sana, toko ini juga belum ada. Rumahku di sebelah sana masih ingat? Rumah baru, tahun lalu dirobohkan dan dibangun ulang…”
“Warung kecil di sana dulu dihuni nenek tua yang sudah uzur, aku masih ingat…” Lingjing tersenyum lembut sambil menunjuk ke satu arah, suaranya berbisik pelan.
“Benar benar, Nek Yang, marga Yang, meninggal dua tahun lalu. Stroke hemoragik tidak tertolong. Konsekuensinya rumah itu didekor ulang dan disewakan...” A Shui bercerita dengan semangat, terus mengalir menceritakan perubahan beberapa tahun terakhir, sepertinya juga ada sedikit perasaan haru. Sekitar lewat sepuluh menit kemudian, dia diam sejenak, awalnya melirik Julian beberapa kali, lalu menurunkan suara: "Ngomong-ngomong, Shasha sekarang bagaimana?"
Mendengar dia menyebut ini, Lingjing yang sejak tadi tersenyum mulai menundukkan pandangan, tangan membawa gelas kaki tinggi tanpa bicara. A Shui setelah beberapa detik mengayunkan tangan: "Sudah sudah, aku mengerti, kalau tidak nyaman bicara tidak perlu memberitahuku, cuma bertanya, aku paham..." Dia menghela nafas, "Jujur dulu aku juga ingin ikut Shazhu Bang, terutama hal-hal yang dilakukan belakangan. Meski sebagian orang bilang dia bodoh, sebagian menghujatnya, tapi dia benar-benar melakukannya dengan tulus. Pasti banyak yang tersinggung, kami juga tidak bisa berbuat apa, tapi atasan tidak karuan, kami semua melihat. Saat dia melarang perdagangan narkoba, Shazhu Bang sama sekali tidak ada obat terlarang. Kau tidak tahu, sekarang orang-orang ini cuma mikir cari uang kotor..."
"Waktu itu sebenarnya cukup damai, kemudian Shasha difitnah. Kami tahu dia kabur, tapi dalam setahun lebih setelahnya... Wuih... Wuih... pertarungannya sangat hebat, banyak yang MATI, Jianghai kacau balau..." Dia melambaikan tangan, "Lupakan ini, kudengar kau pergi ke Wina ya, kalau Jiaming? Kalian kenapa beberapa tahun ini tidak pernah pulang?"
“Jiaming dia……” Lingjing mengeluarkan nada suara terisak, kemudian kembali normal dan menengadah, “Dia membantu Shasha kabur, lalu dihukum masuk penjara, akhirnya… tidak bisa ditemukan lagi……”
“Zen… Zen Me Shuo ya……” Di sisi lain, A Shui terdiam lama, “Dia dihukum? Soal Shasha itu kami juga baca koran, orang-orang di dunia ini membicarakannya lama sekali, tapi… urusan Jiaming kok tidak pernah dengar?”
“Aku juga tidak tahu, katanya… dia masuk penjara, lalu sakit sampai MATI. Aku tidak percaya……”
A Shui benar-benar terpaku kali ini, beberapa saat kemudian baru menepuk meja: “Sial!… Kapan kejadiannya?”
“Tidak lama setelah Shasha bermasalah, belum sampai September sudah dihukum……”
“Kau setelah itu… tidak pernah bertemu dia?”
Lingjing menggelengkan kepala: “Aku masih menyelidiki……”
“Hal ini tidak boleh berakhir begitu saja! Penjara, urusan tempat seperti itu siapa yang tidak tahu!”
Karena hubungan mereka tidak terlalu dekat, bercerita tentang masa lalu memang penuh perasaan dan kerinduan, tapi Lingjing tidak bisa menceritakan semua isi hatinya ke A Shui. Di sisi lain, A Shui jelas mengarahkan pemikirannya ke sisi lain: “Jiaming itu meski pernah belajar Kung Fu, tapi di tempat seperti itu, pasti dia diganggu orang. Di dalam sana sangat gelap, kasus MATI pun pernah ada, Bangsat… Aku……”
"Mengoceh beberapa patah kata, kemudian mungkin merasa hal semacam ini tidak pantas dibahas mati-matian di depan Lingjing. Ingin menghibur tapi akhirnya tak menemukan kata-kata yang tepat, menepuk bahu Lingjing: 'Yah, kalau di Jianghai sini...' Seperti teringat sesuatu, 'Di Wuheling?'"
"'Hmm.' Lingjing mengangguk, memandang ekspresinya yang agak aneh. Setelah lama bertanya: 'Ada apa?'"
"'Aku... Aku sedang berpikir...' A Shui mengerutkan alisnya dengan wajah kesulitan, 'Bos kami - yang sekarang kikuti ini - dulu masuk penjara karena mengambil alih kesalahan kakak tertua, baru naik jabatan setelah keluar, juga dari Wuheling. Dia baru bebas tahun 2002. Kalau Jiaming pernah di dalam selama periode itu, pasti dia tahu semua kejadian. Bahkan setelah 2002, pasti masih punya saluran informasi di dalam. Tapi... kau tahu, mantan narapidana punya pantangan. Bos kami sangat sensitif soal ini. Siapa yang berani bahas hal ini sembarangan, pasti langsung diusir...'"
Setelah bergulat dengan kerutan di dahinya beberapa saat, melihat tatapan Lingjing yang penuh harap, tangannya melambai: 'Sudahlah! Hubunganku dengan Jiaming juga baik. Aku nekat saja...'"
Bos A Shui bernama Cheng Yongfu, biasa dipanggil Kak Fu. Saat bertiga tiba di rumah mahjong tempatnya berada dengan mobil, matahari sudah mulai terbenam di ufuk barat. A Shui memimpin Lingjing dan Julian masuk, sesekali menyapa orang sekitar. Melihat kecantikan Lingjing, beberapa orang mulai menggoda.
"'Kak Shui, dari mana dapat si cantik ini?'"
“Bagaimana bisa membohonginya sampai berhasil?”
“Dia seorang Guru, ya?”
“Pergi sana, ini Temanku. Serius. Kalau masih ngawur, awas aku memukulmu!”
Sepanjang jalan, dia terlihat cukup sukses bergaul. Di ruang mahjong yang udaranya pengap, masuk ke ruang dalam dengan dekorasi interior lebih baik tapi tetap penuh asap dan aura buruk. Kamar ini hanya berisi dua meja mahjong. Di dalam duduk seorang pria paruh baya dengan postur agak gemuk, baju terbuka memperlihatkan dada dan perut. Saat ini dia menyipitkan mata sambil main kartu dengan fokus total. Baru ketika A Shui mendekat dan menyapa "Kakak Fu", dia melirik sekilas: "A Shui, kau datang? Nanti makan bersama."
“Hari ini rezeki kartu lumayan ya?”
“Biasa saja.”
Setelah menjawab singkat, dia kembali ke formasi empat penjuru yang tegang. Baru setelah satu putaran permainan, dia tiba-tiba melihat Lingjing dan Julian di sampingnya. Mengangkat kepala bertanya ke A Shui: “Kenapa? Temanmu?”
“Heh, iya.” A Shui mulai ragu, “Kakak Fu, sebenarnya... hari ini ada hal yang mau kubicarakan...”
“Oh, silakan saja... Eh, byur-byur-byur, aku ambil!”
Setelah kekacauan sesaat, dia tersenyum menoleh: “Katakan, ada apa?”
“Sebenarnya... tahun ○○ di Wuheling, apakah kau pernah melihat...” Saat A Shui sedang berbicara, seseorang di meja lain mengambil kartu. Kakak Fu kehilangan fokus melihat, lalu mengerutkan alis saat menoleh kembali dan menyela: “Kau bahas ini saat aku main kartu?”
Begitu dia bicara, ketiga orang di sekursi pun menoleh ke arahnya. Orang di sebelah yang sepertinya setara atau mungkin lebih tinggi posisinya dari A Shui, kini juga membuka mulut: "A Shui, bukankah kau tahu Koko Fu tidak suka apa..."
"Bukan tidak suka apa..." Koko Fu melirik ke arahnya, "Aku hanya... Bukit Wuhe... Kau sengaja cari gara-gara ya?"
A Shui tersenyum kecut, sejenak bingung menjawab. Koko Fu memandangi ketiganya, setelah lebih dari sepuluh tahun mendekam di penjara, tabu yang dalam terlihat dari raut wajahnya: "Pergilah. Aku anggap tak pernah dengar." Di saat bersamaan, Lingjing melangkah maju halus: "Aku hanya... ingin menanyakan seseorang."
Sorot mata tidak suka Koko Fu kini menancap di dirinya. Tapi Lingjing tak menggubris tatapan itu, membuka tas kecilnya sambil mencari sesuatu. Beberapa anak buah di meja sebelah telah meninggalkan kursi, mulai mengerumuni area ini. Entah benar-benar kesal atau sekadar cari muka, meski mereka masih segan melawan A Shui, situasinya jelas mulai memanas.
Lingjing membalik tasnya, mengeluarkan selembar foto dan menyodorkannya ke Koko Fu: "Hanya ingin tanya apakah pernah melihatnya. Namanya..."
"Suruh pergi, tuli ya?!"
Hampir berbarengan, orang di samping itu tiba-tiba berdiri. A Shui maju selangkah: "Kak Wen, cuma bertanya, perlu segitunya?"
Hubungan A Shui dan Kak Wen jelas tidak akur. Empat orang di meja sebelah rupanya bawahan Kak Wen. Tak berani melawan A Shui langsung, tapi dengan sokongan aura sang pemimpin, mereka mulai meneriakkan ke arah Lingjing dan Julian: "Minggir sana!"
“Bos tidak suka ya……”
“Suruh kalian pergi tapi tak dengar ya……”
Dalam sorakan itu, suara PRAK! tamparan tiba-tiba menggema. Orang yang paling keras berteriak tiba-tiba ditampar hingga terhuyung mundur 2-3 langkah. Kak Fu yang berdiri, emosinya tampak tak stabil. Hilang aura superioritas tadi, matanya menyapu anak buah: “Kalian tutup mulut!” Tarik napas dalam, angkat foto ke Lingjing: “Dia... hubungannya denganmu?”
Teriakan orang-orang tak pengaruhi wanita berbaju putih. Lingjing berdiri tegak, tatapannya datar: “Dia... laki-lakiku.”
## Bagian Empat Ratus Tiga Puluh: Malam yang Bergejolak
Malam, Hong Kong.
“Tahun 2000, aku di Penjara Wuheling Jianghai...”
Ketegangan sesaat berubah aneh. Waktu sesingkat itu terasa lama di bawah tatapan semua. Qiang bodoh yang rencananya menyandera jadi cemas. Lihat ekspresi Ayuan, dia menggigit gigi.
“Kau ngapain sih!”
Mendengus, larung senjata tiba-tiba diarahkan ke pria di meja judi. Fang Yusi yang jongkok menjerit. Ayuan refleks meraih, menekan laras senjata lawan.
“Mau MATI... eh...”
Tangan yang semula digunakan untuk mencekik leher sandera ini, tepat saat dilepaskan, Min Zhan juga memanfaatkan kesempatan. Tubuhnya melesat maju, meninggalkan laras senjata. Gerakan ini bagai sinyal, memicu puluhan orang di sekitarnya untuk bergerak dalam hitungan detik.
Min Zhan baru melangkah satu langkah, tiba-tiba berbalik arah. Dengan gerakan balik tangan, ia merebut senjata. Interaksi puluhan orang pun terjadi. Dentuman senjata memekakkan telinga tiba-tiba bergemuruh. Puluhan berkas cahaya membentuk jaring kemilau di aula, percikan api meledak dari langit-langit bagai hujan meteor. Sorot lampu berkedip-kedip seintens klub malam, teriakan bercampur letusan senjata menyelimuti kasino bak simfoni yang tiba-tiba dimainkan.
Kekacauan dahsyat ini berlangsung sekitar dua puluh detik lebih. Beberapa meja judi terbalik, serpihan kayu beterbangan. Kartu, dadu, dan berbagai alat judi berserakan. Ada yang terkapar di genangan darah, ada yang menjerit histeris, ada yang berusaha kabur. Saat situasi mulai mereda, lampu di sekeliling sudah sebagian besar padam, meninggalkan pemandangan berantakan. Min Kun berteriak: "Kejar mereka! Bunuh mereka!" Lalu menambah: "Cepat panggil ambulans! Lekas!"
Min Zhan terjatuh di tanah tidak jauh dari Fang Yusi. Pada detik ia merebut senjata, peluru langsung menerjangnya hingga terlempar. Dadanya tertembak, kini terlihat sekarat. Tang Li juga tertembak di lengan, kini ditopang beberapa pengawal dan didudukkan di samping. Dua orang dari tim Wei Zhiqiang tewas. Meski dia dan dua kawan lainnya berhasil kabur, mereka semua terluka entah bisa lolos atau tidak.
Jiaming berputar-putar di tempat, memandang situasi kacau di sekelilingnya dengan alis berkerut, seolah tak setuju. Dalam waktu singkat, suara mobil polisi di luar semakin keras. Tak lama kemudian, polisi tiba.
Dalam kondisi seperti ini tak ada yang bisa mengurus orang lain. Polisi gelombang pertama hanya bertugas mengevakuasi. Fang Yusi yang masih gemetar menarik Jiaming ke aula hotel, memesan kaleng cola dan menyerahkan satu ke Jiaming. Tak berapa lama, polisi gelombang kedua berbaju sipil masuk dari gerbang. Dari kejauhan Fang Yusi mengenali pria berwajah serius yang memimpin - Ketua Kelompok Mu Cha dari Satgas Kriminal yang baru ia temui kemarin. Tak lama setelah mereka masuk, ambulans pun tiba.
“Situasi saat itu meski mencapai puncak kekacauan, tapi tidak sampai terjadi tragedi besar dengan puluhan korban jiwa. Tang Li yang terluka di tangan hampir digotong bersamaan dengan Min Zhan, diikuti oleh kerumunan besar. Orang-orang ini terbagi dua kelompok: satu kelompok adalah Min Kun beserta anak buahnya, satunya lagi anggota tim kasus berat yang dipimpin Mu Cha. Kedua pihak terlihat sedang bertengkar.
“Sekarang anak laki-lakiku yang tertembak!” Kemarahan Min Kun sudah memuncak, berteriak keras: “Kalian tidak buru pelaku malah berkumpul di sini ngapain? Apa ada yang sudah mengejar si pembunuh?”
“Polisi hebat ya! Kukasih tahu, jika anakku sampai kenapa-napa, aku takkan peduli... Hal ini takkan beres, sama sekali takkan beres!”
“Aku akan menggali tanah sedalam tiga meter untuk menemukan mereka! Kau bisa tangkap aku sekarang! Atau buru pelakunya! Kalau sudah ditangkap, aku ke kantor polisi untuk jelaskan semuanya!”
Min Kun yang sudah berkecimpung puluhan tahun mungkin paham konsekuensi tembakan yang mengenai anaknya. Saat ini seperti kehilangan rasional, terus menerus berteriak. Anak buah di sampingnya mengernyitkan alis menghadapi polisi dengan geram. Sikap Mu Cha tetap serius dari awal. Apa yang diucapkannya tak terdengar di sini, tapi setiap kali dia bicara, Min Kun langsung meledak seperti disulut api. Bisa diduga, ucapannya pastilah bukan kata-kata menenangkan.
Sekelompok orang mengikuti tandu keluar, melewati aula, Min Kun hendak keluar pintu gerbang, tanpa sengaja melirik ke arah sini. Tiba-tiba matanya memerah darah dan berhenti. Sesaat kemudian, dia mengayunkan tangan dan berjalan besar ke arah sini. Sikapnya yang terlihat oleh Fang Yusi membuat hatinya berdesir dingin, tak tahu hal apa lagi yang terkait dengannya.
Namun saat mendekat, barulah ia sadar Min Kun bukan menatapnya, melainkan Jiaming yang sedang santai menyesap cola di sampingnya. Beberapa detik kemudian, bos geng kriminal yang kehilangan kendali ini berdiri di hadapan Jiaming dengan sikap superior: "Apa yang dia katakan padamu waktu itu?"
He Yi Sheng memiliki kekuatan besar di Hong Kong dengan ribuan saudara bawahan. Pengaruhnya yang masif membuat pemerintah enggan gegabah mengusiknya. Karena itulah dia kini berani melawan Mu Cha. Aura pengejaran tanpa kompromi dari bos geng kriminal ini saja sudah cukup membuat manusia biasa gemetar. Tapi di sini, Jiaming jelas-jelas menganggapnya sebagai udara. Ia menyesap cola, menggerakkan mulutnya seolah baru memahami sesuatu lalu mengangguk halus, atau mungkin sedang memuji aroma minuman itu.
Min Kun membungkukkan badan, menatap mata pemuda itu: "Bicara——"
"Tuan Min, hal ini tidak ada hubungannya dengan dia..." Fang Yusi berdiri, namun sebelum kalimatnya selesai, Min Kun sudah mengayunkan jari dengan kasar.
"Kau tutup mulut! Duduk!"
Di balik mata kemerahan Min Kun, Fang Yusi menggigit gigi dengan keras kepala tetap berdiri. Saat ini dia juga tak tertarik ikut campur terlalu banyak, mengangguk lalu menatap Jiaming, suaranya berat: "Hal ini akan kukejar sampai tuntas. Kalau kau tidak bicara, kau PASTI MATI!"
"Tuan Min." Kali ini yang berbicara adalah Mu Cha di samping, meski ada kebingungan tentang kehadiran Fang Yusi dan Jiaming di sini, saat ini juga tidak tepat untuk menyelidiki lebih jauh. "Bicara seperti ini konsekuensinya akan sangat serius!"
"Beresiko laporkan aku melakukan Intimidasi." Min Kun menoleh melotot ke arahnya, kemudian kembali menatap Fang Yusi. "Dalam hal ini aku tidak akan memberi muka siapa pun! Dia tidak bisa bicara? Heh, kalau bukan karena ulahnya di dalam, mungkinkah terjadi situasi seperti itu? Kalau kalian tidak terlibat, lalu apa maksud perkataan orang itu padanya... Hmph!"
Setelah sebelumnya bertengkar dengan Sha Qiang lewat telepon, Min Kun sudah memperkuat penjaga di sekitarnya. Alasan utama mempersenjatai sebagian besar bawahan adalah ini. Jika bukan karena taruhan lebih dari 10 juta yang Jiaming pasang membuat suasana kacau dan mengalihkan perhatian mayoritas anak buah, Sha Qiang pasti tidak mungkin menyandera sandera dengan mudah. Ditambah reaksi Ah Yuan di depan Jiaming setelahnya, Min Kun kini telah menghubungkan kedua hal ini. Hati Fang Yusi mulai tenggelam. Meski sudah berpengalaman, saat ini dia tak bisa menjelaskan apapun. Bahkan dirinya sendiri bingung dengan kondisinya. Kalaupun berusaha menerangkan, Min Kun pasti tidak akan mendengar.
Juga dalam waktu yang sama, Jiaming berdiri di hadapan Minkun, dengan santai melemparkan botol cola di tangannya ke tong sampah. Minkun mengamati gerak-geriknya, tersenyum dingin dua kali, lalu berbalik hendak pergi. Tiba-tiba dia berlari kembali sambil berteriak: "Kau benar-benar!" Kedua tangannya mendorong dada Jiaming. Meski posturnya tidak terlalu tinggi, tubuhnya kekar. Dorongan sekuat itu biasanya akan membuat orang terlempar beberapa meter. Bersamaan dengan itu, seseorang berteriak: "Kau ngapain!" Berlari mendekat—ternyata Mu Qingqing dan Ding Xiong yang tiba.
Jiaming tak bergerak. Minkun seperti mendorong tembok, tubuhnya oleng, terhuyung-huyung mundur dua langkah sebelum jatuh tersungkur di tanah di hadapan semua orang. Bahkan Mu Qingqing yang baru sampai di samping Jiaming dan hendak menghadang dengan satu tangannya pun terlihat terkejut.
Adegan ini bagi kebanyakan orang—termasuk Minkun sendiri—setelah keterkejutan awal, tidak dianggap terlalu mengejutkan. Bagaimanapun dia bukan lagi pemuda. Setelah anaknya tertembak, gejolak dalam hati menyebabkan kesalahan mengatur tenaga adalah hal biasa. Hampir tak ada yang menyadari kepalan kanan Jiaming yang sempat menguat sekejap mata namun tak diayunkan karena kedatangan Mu Qingqing, yang sekarang perlahan dilonggarkannya. Hanya segelintir yang tahu: andaikan Mu Qingqing terlambat setengah detik, pemandangan di depan mata ini mungkin akan menjadi gambaran yang takkan pernah mereka lupakan seumur hidup.
Meski jatuh ini terasa sangat memalukan, justru membuat Minkun kembali sadar. Bangkit dari tanah, dia melayangkan pandangan penuh kebencian ke Jiaming sebelum berbalik pergi: "Kita pergi, ke rumah sakit."
"Selanjutnya, Mu Cha menghadang di depan, berbicara sepenuhnya formula: 'Maaf, aku sudah bilang, kalian harus pergi ke kantor polisi.'"
Min Kun memiringkan kepala, matanya membelalak, keheningan turun di antara kedua kelompok, suasana semakin mengeras. Setelah beberapa saat, bos Jalan Hitam ini berbicara satu per satu dengan perlahan: "Kau tidak bisa menanggung tanggung jawab ini, Inspektur Mu!"
"Banyak senjata digunakan, hal menjadi seperti ini, sekarang justru kau yang tidak bisa menanggung tanggung jawab, Kak Kun." Mu Cha tetap dengan ekspresi formula dan pernyataan formula: "Sekarang ada tiga pilihan untukmu: Pertama, kau dan anak buah di belakangmu ikut kami ke kantor polisi, mengaku semua hal atau menunggu pengacara kalian datang sebelum memutuskan langkah. Aku tahu kebiasaan kalian mencari kambing hitam, tapi jelas kubicarakan, kali ini pasti ada yang masuk penjara; Kedua, sekarang ambil senjata dan lawan kami, kalau kau lolos tanpa tertangkap, aku akan memasukkanmu dalam daftar perburuan; Ketiga, kau sangat dekat dengan atasanku, sampai-sampai hal seperti ini bisa dia bantu. Suruh dia sekarang menghubungiku untuk membebaskanmu. Bagaimana?"
Diringi sirine mobil polisi, lebih banyak kendaraan polisi masuk ke hotel. Min Kun menarik napas dalam, menunjuk dada dengan jarinya: "Sekarang anakku yang tertembak, apakah dia bisa bertahan sampai besok masih belum pasti... Aku harus ke rumah sakit sekarang. Beri jalan, biar kita masih bisa bertemu di kemudian hari."
Setelah lama, Mu Cha membuka tangannya, senyum tipis muncul di sudut bibir: "Aku turut berduka." Senyum itu jelas mengandung aroma kegembiraan atas kesengsaraan orang lain.
Setelah itu, di bawah tatapan penuh dendam Min Kun, polisi mulai menangkap dan mengangkut orang-orang ke mobil polisi secara bergelombang. Mu Cha menghadapi Fang Yusi dan yang lain dengan senyuman: "Menurut pernyataan mereka, kalian sepertinya juga terlibat. Bagaimanapun, keterangan tetap perlu diambil. Aku menyuruh Xiao Pang menemani kalian pulang. Kapten Mu, Kapten Ding, kalian juga harus kembali, kan? Serahkan pada kalian."
Dalam perjalanan kembali ke villa Fang Yusi, Mu Qingqing dan Ding Xiong yang telah memahami situasi tampak bingung: "Apakah Ketua Kelompok kalian biasanya bekerja seperti ini?"
"Tidak juga." Xiao Pang mengerutkan kening dan menggelengkan kepala, "Meski biasa dipanggil Golem Mu Cha, tapi seringkali dia cukup berbelas kasih. Lihat saja, semua orang sudah akrab dengan Nona Fang, mengambil keterangan di rumah juga tidak masalah. Hanya saja malam ini dalam hal lain... Sepertinya dia bertindak terlalu mutlak..." Dia berpikir sejenak: "Jangan-jangan dia ingin berubah?"
Malam itu jam dua belas malam, Min Zhan MATI.
Saat kabar ini diterima, Fang Yusi, Mu Qingqing, dan Ding Xiong masih berada di ruang tamu sambil makan malam dan mendiskusikan kejadian hari ini. Jiaming sudah kembali ke kamar dan tertidur.
Di kantor Polisi Yau Ma Tei, Mu Cha berdiri di depan jendela sambil merokok, menatap kegelapan malam. Di belakangnya, seorang polisi yang baru saja melapor tampak khawatir: "Ketua Kelompok, dengan begini, Min Kun pasti akan menjadi gila..."
"Heh..." Mu Cha tertawa, "Justru aku khawatir kegilaannya tidak cukup..."
Pandangan kembali ke villa Fang Yusi di Victoria Peak lantai dua, dalam kamar yang agak gelap terdengar suara ketukan keyboard komputer. Ini adalah kamar tidur yang kami kira Jiaming sudah tidur. Layar komputer LCD memancarkan cahaya putih dalam kegelapan, bagaikan jendela di tengah ruang gelap ini. Sebuah sosok duduk di depan komputer, terus memasukkan berbagai nama ke bilah pencarian, data-data yang bermacam-macam dalam kegelapan malam yang tenang namun bergejolak ini, dibalik satu per satu...
## Bagian Empat Ratus Tiga Puluh Satu Kisah Masa Lalu Wuheling
"Dia adalah suamiku..."
Nada suara yang datar namun mengandung keteguhan tak terucapkan. Lingjing berdiri di sana, seolah sedang menyatakan kebenaran yang tak terbantahkan seperti satu ditambah satu sama dengan dua. Julian yang setengah matang dalam bahasa China tentu tak bisa menangkap makna tersirat dalam kalimat sederhana ini. A Shui tertegun sejenak, selama ini dia hanya tahu hubungan antara Jiaming dan Shasha, mengira Lingjing adalah teman baik mereka. Tentu, pada titik ini, semua sudah tak perlu ditelusuri lagi.
Sang bos memandangi foto beberapa kali, lalu menatap Lingjing dengan ekspresi bergejolak. Orang-orang di samping tak berani sembarangan bicara. Beberapa saat kemudian, dia mengayunkan tangan ke samping: "Kalian... keluar dulu." Jelas yang dimaksud adalah semua orang kecuali Lingjing.
A Shui kini juga menyadari situasi yang tak biasa. Saat berbalik hendak pergi, dia menambahkan: "Kak Fu, itu... Jiaming adalah saudaraku..."
“Saudaramu?” Kak Fu menatapnya, balik bertanya, setelah beberapa saat mengayunkan tangannya dengan kekecewaan, “Pergilah, pergilah, aku juga tidak berniat melakukan apa-apa padanya...”
Demikianlah, orang-orang lain satu per satu keluar melalui gerbang. Jullian yang mendapat instruksi Lingjing pun pergi dengan ragu-ragu. Kak Fu menggeser kipas angin, mengeluarkan sebatang rokok tapi kemudian meletakkannya kembali: “Kalian benar-benar...”
“Kami tumbuh besar bersama...” Di foto itu, Jiaming duduk di meja makan rumahnya. Lingjing yang berusia tujuh belas tahun berdiri di belakangnya tersenyum cerah, dua jarinya mencubit pipinya hingga membentuk wajah kekecewaan yang lucu, “Pernahkah Tuan bertemu dengannya?”
“Bukit Wuhe? Tentu saja...” Kak Fu masih mengerutkan alis sambil memandangi foto keduanya, “Tidak mirip dengan di foto, tapi sulit dilupakan. Sudah lama tak bertemu?”
“Ya, sudah sangat lama.” Senyum nostalgia mengembang di wajah Lingjing, suaranya lembut, “Bagaimana keadaannya saat di Bukit Wuhe dulu? Bisa ceritakan padaku?”
“Bukit Wuhe... Hubungannya dengan tempat itu juga tidak signifikan.” Kak Fu bergumam, kedua tangannya terbentang di atas meja, menyingsingkan lengan baju hingga memperlihatkan lengannya, “Kedua tangan ini pernah patah waktu itu. Aku tidak perlu menyembunyikan dari Anda, banyak yang lebih parah dariku. Justru aku ingin bertanya – sebenarnya dia siapa? Tapi... sepertimu pun tampaknya tidak benar-benar memahaminya?”
Lingjing tertegun: “Dia yang melakukannya?”
Fu Ge melihat ekspresinya, kemudian membuka tangan dengan kekecewaan. Mengingat hal itu, emosinya jelas mulai tidak stabil - bukan kemarahan atau kekesalan, melainkan kebingungan yang terlepas dari realita. Tatapannya pada wajah tak berbahaya pemuda di foto semakin memperdalam kebingungan ini.
"Kau sedang mencarinya..." Ucapnya kemudian diselimuti kesunyian. Udara dalam kamar mulai mereda. Setelah lama, Lingjing akhirnya melihatnya menarik napas dalam dan mulai berbicara. Kali ini, ucapannya mulai mengalir lancar.
……
"...Aku ingat itu sekitar paruh kedua tahun 2000. Orang itu masuk di bulan September. Berbeda dengan kami, situasinya tidak jelas. Tapi terkunci di kamar terpisah. Kadang kami melihatnya keluar berjemur di bawah Matahari, persis seperti anak baru dewasa tujuh belas delapan belas tahun..."
"...Anak laki-laki seusia ini banyak kami lihat di dalam. Kebanyakan baru dewasa, tak tahu langit-tinggi-bumi-rendah, suka pamer keberanian. Masalah terjadi lalu masuk. Mengira diri nomor satu di dunia, harus diberi pelajaran awal baru penurut. Tapi penampilannya... Sekarang kuingat persis seperti di foto ini, tipe orang yang mudah diganggu. Hanya saja setelah kejadian kemudian, mungkin tak ada yang ingat kesan ini lagi..."
“……Pada awalnya beberapa orang pernah mengunjunginya, mungkin orang-orang beridentitas tinggi. Karena semuanya dibawa langsung oleh pelatih ke area dalam, ada juga beberapa dokter yang datang. Sekitar bulan Oktober tidak ada lagi yang datang…… Saat itu tidak ada yang tahu siapa dia. Para tahanan sempat berspekulasi, ini kan penjara, kau pasti paham meski aku tak jelaskan - tahanan baru biasanya tidak mendapat akhir yang baik. Tapi karena dia tidak disatukan dengan kami dan mendapat fasilitas khusus, saat itu kami tidak berbuat apa-apa. Beberapa yang dekat dengan pelatih mencoba menyelidiki asal-usulnya, kenapa bisa ditahan. Mereka bilang tidak tahu pasti, kasus membantu pelarian, dihukum lima tahun. Perlakuan khusus itu perintah atasan, mungkin dia punya koneksi.”
“……Sebenarnya di dalam sana koneksi tidak berarti apa-apa. Dulu juga ada orang berpengaruh yang masuk, malah disiksa paling kejam. Pelatih pun tidak mungkin mengawasi 24 jam. Awalnya dia tidak diganggu karena tempat tinggalnya terpisah. Kompleks Wuheling punya lapangan besar utama, dia tinggal di gedung kecil di sampingnya. Belum pernah ada yang dapat fasilitas seperti itu. Tapi setelah sekitar sebulan, jadwal hariannya mulai disamakan dengan kami - waktu aktivitas, jalan-jalan di lapangan. Karena semua aktivitas tetap di lapangan itu, mulailah ada yang mendekatinya……”
“Ketika kami bermain bola di lapangan, dia kadang menonton sebentar. Saat di ruang kegiatan, dia juga sesekali melihat. Selalu mengerutkan kening tanpa bicara, sehingga semua orang jadi kesal. Merasa bagaimana mungkin orang baru bisa se-lancang ini. Tapi awalnya jika ada yang mencoba mengajaknya bicara, sikapnya justru sangat baik. Senyumnya ramah, sopan ke semua orang. Jika ada yang minta uang padanya dan dia punya, dia akan memberikannya...”
“Dia memang selalu seperti itu...” Lingjing menyela.
Fu Ge memandangnya dengan sikap tidak setuju: “Karena tidak ada yang tahu latar belakangnya, dan dia memberi uang, awalnya tidak ada yang ganggu. Saat itu aku sudah tinggal di penjara delapan tahun, bisa dibilang termasuk kepala naga. Di penjara ada wilayah pengaruh masing-masing, sekarang pikir-pikir itu sangat bodoh... Dia paling sering mengerutkan kening dan melamun. Pernah kulihat saat mengambil air panas, tiba-tiba berhenti dan melamun lama sekali baru bergerak...”
“...Dia pengecualian. Tidak pernah dihukum, tapi selalu melamun melihat orang. Perasaan ini sangat tidak nyaman. Beberapa kepala naga berembuk, haruskah mengajarinya aturan sesuai kebiasaan. Jika dia punya koneksi, kita bisa dapat keuntungan darinya... Tapi kejadian itu bukan karena itu, dia menghina seorang pelatih di penjara...”
“Orang Yang, bertubuh besar, suka minum baijiu, juga suka memukul orang, sifatnya buruk. Tapi di tempat seperti itu hanya orang seperti ini yang bisa bertahan. Dia punya aturan sendiri, yang paling tidak disukainya mungkin adalah orang yang menganggap diri spesial. Sekitar akhir Oktober tersiar kabar dia tidak enak dipandang pada bocah itu, lalu... Hari itu tanggal 4 November, aku ingat jelas, langit mendung, seorang yang kami panggil Chen Ekor Bangkrut dari blok sebelah pertama kali menyuruh anak buahnya bertindak. Dia punya koneksi baik dengan Pelatih Yang, entah murni ingin menjilat atau sengaja diperintahkan Yang...”
“Nanti sore, semua orang sedang dalam waktu jemput angin, dia melihat orang bermain basket di samping. Lalu ketika pergi ke arah pemulangan, kami melihat anak buah Chen Ekor Bangkrut menghalanginya. Hal seperti ini biasa terjadi di dalam, karena kami tidak tinggal bersama, tentu menggunakan waktu jemput angin untuk memperbaikinya... Memberinya tamparan, dia tidak merespon, lalu seseorang menendangnya, tetap tidak ada reaksi. Seorang anak buah di sampingku bilang dia ketakutan, karena umumnya orang meski takut melawan pasti ada gerak-gerik. Chen Ekor Bangkrut bertindak lebih kejam, mengayunkan tongkat kayu langsung ke tengkuknya...” Fu Ge menepuk area sedikit di atas leher, “Lalu kami melihatnya langsung roboh ke tanah.”
Saat sampai di bagian ini, Lingjing yang diam-diam mendengarkan di samping menggigil: "Mengapa... harus seperti ini..."
“Tidak perlu diragukan lagi, tempat seperti itu dengan dukungan pelatih, selama tidak ada yang MATI, urusannya tidak seberapa. Saat itu aku berdiri cukup jauh. Heh... bagian tengkuknya yang kena pukul, tapi aku tidak menyadari sebelumnya dia menutupi dahinya. Serangan dari belakang sama sekali tidak dia respon... Dari kejauhan kami melihat Pelatih Yang juga mengawasi, Chen Siaran Gagal memukulinya berkali-kali dengan tongkat kayu di tanah, lalu menyerahkan tongkat itu ke anak buahnya. Ini memang harus ada yang menanggung, saat anak-anak buahnya berdesakan memukuli, dia menyelak keluar sambil tersenyum dan melambaikan tangan ke kami. Tiba-tiba seseorang terlempar dari belakangnya, setidaknya 4-5 meter...”
Dia menggosok lengannya.
“Awalnya kira dia dilempar setelah dipukuli, ternyata bukan. Lalu dua orang lagi jatuh di kerumunan. Dia berdiri limbung sambil menutupi dahinya, mulai melawan. Chen Siaran Gagal teriak 'Bunuh dia!'. Aku dan beberapa bos sekitar langsung memerintahkan anak buah mendekat. Sekarang kalau diingat, waktu itu benar-benar...”
"Tidak ada cara! Dia pendatang baru. Kalau tidak diberi pelajaran, bagaimana muka semua orang bisa terjaga... Tak ada yang menyangka dia jago bertarung. Tapi di penjara, jagoan pun percuma. Jumlah kami banyak, pasti dipukul sampai kapok. Jadi perintah semua orang cepat-cepat dikeluarkan, langsung mengepung. Di satu sisi agar pelatih lain tidak melihat kejadian di dalam, di sisi lain pasti harus membuatnya tiarap kali ini. Kalau tidak, ke depannya kami tidak bisa berkecimpung lagi... Baru sadar ada yang salah saat lebih dari 20 orang tumbang. Tapi situasi sudah lepas kendali..."
"Belum pernah lihat orang seperti itu, bahkan belum pernah dengar ceritanya. Cuma gerakan santai, orang langsung terbang. Posturnya juga tidak besar. Saat itu dia sambil memegang dahi, sambil asal memukul orang sambil berjalan maju. Terlihat seperti hantu. Tak ada yang bisa menghadangnya. Waktu itu ada teman kami bernama A Yuan, tingginya lebih dari dua meter, badan kekar. Dipukul pakai tongkat besi pun tidak mempan. Dia yang paling jago bertarung. Kena satu pukulan langsung terbang, badannya seperti tercerai-berai. Susah payah bangkit malah ditendang sampai terbang 4-5 meter. Orang seberat 400 lebih jin... Pisau pun tidak mempan. Lalu Pelatih Yang yang pertama datang. Senjata juga tidak berguna. Tembak dua kali. Itu jelas terlihat, dia cuma miringkan badan sedikit langsung menghindar. Satu tamparan membuat orang terbang. Pelatih Yang itu seluruh badannya menempel di tembok setinggi tiga meter lebih lalu jatuh. Tidak mati, kabarnya sekarang jadi vegetatif... Hari itu dari awal sampai akhir dia cuma pakai satu tangan, tangan satunya terus memegang kepala. Kadang berhenti dan mengusap dengan kedua tangan, mungkin sakit kepala..."
Dia memikirkan hal itu, napasnya agak terburu-buru: "Kau sekarang mendengar orang lain memukulinya lalu menangis, bertanya kenapa harus seperti ini. Tapi kau tidak melihat pemandangan nanti sore itu, benar-benar... langit gelap gulita. Dulu saat aku masih berkecimpung di dunia hitam, aku juga mengira tidak takut apapun. Manusia, sehebat apapun dia, kalau kau pukul kepalanya pakai batu bata pasti akan tumbang. Atau pakai pisau, kalau tidak pakai senjata. Tapi orang yang bahkan tidak mempan senjata? Masa pakai rudal? Seperti manusia takut hantu, karena dia datang dan kau sama sekali tidak bisa mengatasinya. Benar-benar seperti melihat hantu..."
"Lebih dari satu jam, semua yang berani maju, tidak satu pun dia lepaskan. Tak ada yang tahu bagaimana dia mengingatnya. Tapi benar-benar sejak awal yang berani maju dia ingat. Ratusan orang, selain kami yang sudah jatuh sejak awal. Mereka berlarian di dalam penjara. Saat itu aku terbaring di tanah pingsan lalu terbangun karena kesakitan. Cuaca mendung sepertinya akan hujan. Orang-orang yang kabur masuk, yang lari keluar, berteriak histeris. Ada orang jatuh di sampingku, darah yang dimuntahkannya menciprati tubuhku... Hari itu lebih dari sepuluh orang MATI, ada yang cacat. Aku termasuk yang beruntung... Kalian benar-benar tumbuh besar bersama? Apa dia benar-benar kesurupan hantu? Pasukan khusus pun mustahil mencapai tingkat seperti ini, apalagi usianya terlihat jelas masih..."
Dia mengerutkan alis, kesulitan memilih kata-kata. Di mata Lingjing berlinang air mata: "Bukan... Dulu dia pernah bilang dirinya... adalah pembunuh..."
"Oh..."
"Suara jawabannya terdengar samar, Kak Fu juga gelisah, sulit menemukan lokasi nyata untuk kejadian dalam ingatannya. Kamar menjadi hening. Setelah beberapa saat, Lingjing bertanya, 'Kalau... Lalu?'"
"Sesudahnya tak ada kabar lagi, dia kabur. Kami cari info tapi tak dapat, polisi mungkin juga tak bisa tangkap. Pokoknya kalau urusan Wuhe Ridge, setelah 4 November, dia sudah tak terlihat lagi..."
## Bagian Empat Ratus Tiga Puluh Dua Menanti Fajar
Saat tiba di rumah sudah malam, lampu jalan menyinari jalanan sekitar. Beberapa kakek-nenek duduk di bawah kompleks mengobrol menikmati angin malam. Julian mengantarnya sampai pintu lalu pergi. Pikirannya masih kalut, hampir lupa pamit. Keluarga Ye mengayunkan tangan, barulah dia refleks membalasnya.
Melewati perguruan silat menuju ruang tamu, Duan Jingxian menghangatkan makanan untuknya. Mempertimbangkan dia belum makan 1-2 hari ini, cuaca panas, dibuatkan bubur plus beberapa acar favoritnya. Ibunya duduk di samping memperhatikan dia mulai menyumpit, baru bertanya setelah emosinya stabil: "Hari ini ke mana saja?"
"Ke... daerah Akademi Hati Kudus..." Dia mengunyah perlahan sebatang acar sayur, "Awalnya cari Kak Yahan, tapi dia sudah tidak di sana."
“Yahan ya, dia pernah datang beberapa kali.” Ibu Ye tersenyum mengangguk, “Sejak hamil sudah tidak di Shengxin lagi kan, dua tahun ini baru mulai bekerja di perusahaan keluarganya.”
Lingjing tertegun: “Ha... hamil...”
“Iya, putrinya sudah hampir tiga tahun kan.” Duan Jingxian menoleh ke Ye Han untuk konfirmasi, “Lahir sekitar akhir Oktober tahun 2001 kan?”
“Tanggal 26 Oktober.”
“Hmm, waktu memberi tahu kami sudah masuk November.” Dia mengangguk, “Melahirkan anak perempuan yang sangat imut, nama panggilannya Taotao, pasti kau juga akan suka kalau melihatnya...”
“Taotao...”
Seolah menyelidiki perasaan negatif yang mulai muncul pada putrinya, Duan Jingxian berhenti bercerita. Dengan bingung dia memandangi suami, yang juga membalas pandangan tak mengerti. Beberapa saat kemudian, baru terdengar Lingjing berkata: “Kalau hamil sepuluh bulan... Kakak Yahan dia... Kakak Yahan sudah menikah?”
“Oh, kalau begitu tidak ada…” Duan Jingxian menggelengkan kepala, menghela napas. “Dia juga tidak mau mengungkapkan siapa ayah si anak. Waktu itu hubungannya dengan keluarga sangat tegang, bahkan sampai mengungsi ke tempat kami. Xu Mo yang terus mengejarnya saat itu, katanya tidak keberatan dia punya anak, bahkan ingin menikahinya. Tapi dia tetap menolak, akhirnya melahirkan anak itu sendirian. Kelak setelah Taotao lahir yang sangat menggemaskan, ayahnya langsung jatuh hati dan mengizinkan mereka kembali ke rumah. Tahun lalu katanya masih terus menanyakan siapa ayah kandung Taotao, juga ingin menjodohkan Yahan. Tapi Kakak Yahan yang menjaga Taotao tampaknya bahagia, tidak terlihat ada rencana ke arah situ. Kalau dihitung… Dia lebih tua tujuh tahun darimu, sekarang sudah 29 tahun…”
“Oktober 2001… November 2000… Taotao… Gu Taotao…” Lingjing meletakkan sumpit, bergumam pelan. Hari ini dia baru mendapatkan kabar tentang Jiaming, mengetahui bahwa setelah November Jiaming sudah pergi dari Wuhe Ling. Hatinya sempat berbinar harapan, tapi pulang malah mendengar kabar mengejutkan ini. Apakah setelah pergi, Jiaming bersama Kakak Yahan? Mereka bahkan punya putri. Lalu bagaimana dengan dirinya? Di manakah Jiaming sekarang…
“Duan Jingxian di sebelah tidak bisa mendengar jelas, meski agak bingung, tapi sama sekali tidak menyangka bahwa Jiaming dan Yahan bisa punya hubungan. Bagaimanapun, Jiaming bersama Lingjing dan Shasha masih bisa dimengerti, tapi Yahan lebih tua tujuh tahun dari mereka. Di mata orang biasa, ini benar-benar mustahil. Beberapa saat kemudian, Lingjing menundukkan kepala, menutupi kepalanya.”
“Bu, besok aku... mau menemui Kakak Yahan...”
“Jam sebelas malam, enam mobil kecil hitam memasuki kompleks perumahan Ketenangan. Saat berhenti di samping taman sebuah gedung, Cui Guohua dan rombongannya keluar dari mobil.”
“Sudah ada orang yang menunggu di bawah gedung. Rombongan naik ke lantai dua. Cui Guohua mengerutkan alis, mendorong pintu kamar yang terbuka sedikit. Bau darah segera menyebar.”
“Kasus ketujuh dalam tiga malam...”
“Lantai kamar banjir darah yang mulai mengering. Enam mayat tanpa kepala tertusuk pipa besi atau tongkat kayu, menempel di dinding semen. Para korban memiliki luka-luka dengan tingkat berbeda, beberapa bahkan anggota tubuhnya terpotong. Enam kepala manusia kini terletak di meja bundar tengah ruangan. Seorang anggota tim yang menyertai Cui Guohua memandang segalanya, mengendus aroma sekitar, lalu mulai berjalan ke dalam. Beberapa saat kemudian baru menyampaikan kesimpulan: ‘Masih rombongan yang sama dengan kemarin dan kemarin dulu. Tapi... hari ini cuma satu...’”
“Yang kau bilang pakai senjata pedang tipis itu?”
“Pedang dan senjata...tapi sepertinya dia lebih menyukai pedang...” Pria itu memejamkan mata merasakan segala sesuatu di sekitarnya, “Seperti yang kukatakan, bukan hanya pertarungan fisik, pasti ada kekuatan supernatural. Tapi adaptasinya terhadap kekuatan supernatural hanya membantu dirinya di beberapa aspek kecil. Inilah metode penggunaan yang benar-benar hebat, estetika berbau darah...yang dia kejar adalah keindahan kematian...”
“Dua hari lalu dia tidak memenggal kepala manusia, apa yang ingin dia ekspresikan secara sengaja?” Cui Guohua mengerutkan kening, menatap kepala di meja bundar dengan pandangan sedih. Orang-orang ini semuanya dia kenal, meski bukan Teman, setidaknya bisa disebut rekan seperjuangan.
“Kurasa ini bukan soal ekspresi, memiliki makna yang sama dengan pembunuhan beberapa hari sebelumnya...” Pria itu berbicara, dia juga termasuk pengguna kekuatan supernatural walau efeknya tidak terlalu mencolok, membuatnya terlihat seperti manusia dengan kemampuan penalaran bahkan indera keenam. Di [], yang memiliki kemampuan serupa ada Qiao Guorui yang kini sudah menikah dan mundur dari tim, “Hari ini waktunya longgar, jadi dia melakukan ini secara spontan. Pembunuh mesum Soram juga punya kebiasaan memenggal kepala, tapi itu hanya karena keinginan kuat untuk pamer. Sedangkan orang ini...baginya mungkin hanya melakukan hiburan sambil lalu, seperti saat kita kecil bosan dan kebetulan ada buku di dekatnya, lalu merobeknya untuk membuat pesawat kertas...hanya sekadar iseng...”
“Hanya kebetulan……” Cui Guohua bergumam mengulangi, “Zheng Guoquan dan lima orang lainnya meski tidak bisa dibilang sangat hebat, tapi mereka juga menerima pelatihan ketat. Tapi ternyata MATI tanpa suara, bahkan tetangga sebelah tidak terbangunkan... Orang ini, dibandingkan Gu Jiaming bagaimana ya……”
“Taktiknya berbeda, Kapten Cui. Apalagi tingkat mereka terlalu tinggi, aku tidak bisa membandingkan.” Di tengah suasana suram penuh darah, orang di sampingnya justru tersenyum santai. Dia juga bukan anggota tim Cui Guohua, melainkan analis yang sudah lama mengikuti basis operasi Emei.
“Aku pernah menganalisis data-data tahun sebelumnya. Gu Jiaming tidak terlalu antusias bertempur. Meski banyak hal diselesaikan dengan pertarungan, itu hanya naluri bawaan yang sudah menjadi kebiasaan, mirip refleks terkondisi. Yang membuatku heran adalah bagaimana naluri ini terbentuk, mengingat usianya baru 18 tahun. Sedangkan orang ini... Dia juga tidak antusias bertempur, tapi pertempuran dan pembunuhan bukanlah naluri, melainkan salah satu dari banyak kemampuan dan hobi, seperti membaca buku, menyanyi, atau berdansa. Selain itu, dia memiliki aturan estetika dan tindakan yang sangat kuat hingga mendekati obsesi……”
Dia berjalan ke tepi tembok, memandangi luka-luka di tubuh itu: "Bisa dianggap sebagai gangguan obsesif kompulsif, seolah ada seseorang yang masuk ke kamar harus melewati pintu utama. Bahkan jika pintu utama rusak dan pintu belakang terbuka, dia sama sekali tidak akan lewat pintu belakang. Orang seperti ini... jika bisa menganalisis aturan tindakannya, lalu memahami targetnya, mungkin kita bisa menjebaknya..."
"Masalahnya mereka tidak hanya satu orang..."
"Benar, saat ini saya melihat dua orang, dan... mereka terlalu hebat. Jika ada lebih banyak lagi..." Dia menggelengkan kepala, "Semua yang bisa saya lihat sudah selesai, sisanya... serahkan pada ahli forensik..."
Cui Guohua mengangguk perlahan, berjalan ke meja itu, menutup mata keenam mayat yang masih menyimpan ekspresi takut, terkejut, dan menderita...
Dalam tiga hari sudah lebih dari 40 orang MATI, ditambah kawan yang gugur di Eropa, jumlah ini bisa dua kali lipat. Namun sampai sekarang bahkan satu petunjuk pun tentang musuh belum berhasil ditangkap. Perasaan tak berdaya ini bahkan tidak pernah dialami saat menghadapi Jiaming yang sedang mengamuk dulu. Setidaknya di depan Jiaming masih ada ruang untuk bernegosiasi, tapi sekarang kita berhadapan dengan sekelompok penghancur yang sangat hebat dan tak kenal ampun.
Lebih dari satu jam kemudian, iring-iringan mobil meninggalkan kompleks perumahan. Saat mendekati pintu gerbang, tiba-tiba analis yang duduk di sebelah Cui Guohua bergetar hebat, matanya menatap hamparan bunga di sisi depan, seluruh tubuhnya tegang. Melihat sikapnya ini, Cui Guohua segera berkata melalui walkie-talkie: "Waspada!" Mobil melambat. Perlahan, sosok manusia muncul di bawah lampu jalan di belakang hamparan bunga.
Dari sudut ini, hanya bisa melihat bayangan samping pria itu. Rambut pirang yang diikat ekor kuda, mengenakan jas putih. Pria ini sedang duduk di bangku bawah lampu jalan sambil membaca buku. Tengah malam, seorang asing duduk membaca di area permukiman yang sepi, hal ini memang terasa aneh. Saat kendaraan bergerak, enam orang di dalam mobil telah mengeluarkan senjata dan memasang peluru. Bersamaan, pria itu menutup buku, berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah sini.
Pria itu tampan sekali. Di bawah cahaya lampu, meski terlihat kurus, tubuh jenjangnya memancarkan kesan elegan alami. Dia tersenyum ke arah sini, langkahnya sedikit dipercepat. Saat jarak sekitar belasan meter, dia melihat mobil antipeluru Cui Guohua, lalu membungkuk layaknya kesatria Eropa.
Sekejap mata, sosok itu tiba-tiba membesar dalam pandangan semua orang.
Di bawah lampu jalan, kilatan tajam yang memikat.
Di mobil-mobil sekitar, orang-orang mengangkat senjata. Hampir serempak mereka membuka atau menendang pintu mobil. Cui Guohua menarik kerah baju analis di sampingnya dengan kasar sambil mengarahkan senjatanya ke sosok di balik kaca antipeluru. Pada saat bersamaan, ujung pedang tajam menembus masuk ke dalam mobil.
Itu adalah pedang tusuk Eropa yang panjang dan ramping. Kecepatan pria ini terlalu tinggi, bahkan Cui Guohua yang telah menjalani latihan tak terhitung hampir tidak bisa menangkap gerakannya. Saat dia berlari mendekat, di tangannya masih memegang sebuah buku. Namun ketika tangan kanannya diayunkan, seberkas cahaya telah menusuk keluar. Badan pedang membentuk garis lurus sempurna, dalam sekejap, dengan aura tekad yang sulit dipercaya, menembus kaca antipeluru kendaraan, langsung mengarah ke titik antara alis analis itu.
Kekuatan itu, seolah-olah senapan runduk ditembakkan dalam jarak dekat.
Cui Guohua menendang pintu mobil dengan keras.
Pedang tusuk itu hanya menembus sedikit, sekarang terlihat seperti tertanam di pintu mobil. Saat pintu ditendang Cui Guohua, ujung pedang pun bergeser. Pria berambut pirang itu melepaskan gagang pedang dengan tangan kanan, mengikuti pembukaan pintu mobil, tangan kirinya menggenggam dan menarik ke belakang. Badan pedang mengiris udara membentuk busur cahaya berbentuk bulan separuh. Bersamaan, tangan kanannya menekan ke bawah, tubuhnya tiba-tiba mundur 4-5 meter. Saat tangan kanan itu diangkat kembali, laras pistol telah mengarah ke sini.
Dentuman senjata dari kedua dunia bergema, merobek kegelapan malam.
Lidah api bersilangan dalam kegelapan malam, tembakan dari enam kendaraan menimpa satu sosok itu. Namun pria berambut pirang itu mundur bagai hantu: goyangan pertama terlihat pada jarak 5-6 meter, yang kedua sudah mencapai 10 meter, dan yang ketiga telah sampai di tepi hamparan bunga. Peluru menembus tubuhnya, percikan darah mekar di jasnya, namun ia tetap bergerak lincah di tengah hujan peluru seolah tak terganggu. Tangan kirinya memegang pedang di samping tubuh, laras senjata di tangan kanannya terus bergetar menembakkan peluru ke setiap mobil kecil, bagai menari dalam darah dan api. Sesaat, Cui Guohua hampir bisa melihat senyum elegan yang tersungging di wajahnya.
Dengan suara "Byur", bayangan itu melompat ke hamparan bunga dan menghilang. Rerantingan bunga dan dedaunan beterbangan di bawah lampu jalan. Buku yang tadi dibacanya baru sekarang jatuh ke tanah dengan dentuman.
Semua orang mengejar, namun tak lama kemudian menyadari target telah lenyap dari pandangan.
"Pak Tom, Anda baik-baik saja?" Ia menatap analis di sampingnya. Meski terlihat kikuk, pria itu tak terluka. Namun ketika meminta laporan korban ke yang lain, jawaban yang diterima benar-benar merusak mood.
"Guo Lin tertembak di kaki. Seharusnya tidak parah..."
"Zhongming gugur."
"Zhongming sudah gugur..."
"Guo Ping terluka..."
Hanya dalam hitungan detik: satu MATI dua luka. Ia berjalan ke mobil terdepan, melihat mayat di dalamnya, lalu berjongkok. Lama sekali baru berdiri: "Zhongming... baru bergabung belum setahun..."
Menoleh ke belakang, analis bermarga Tang sedang memungut buku dari lantai dan membacanya. Dia mendekat, dan mereka menyerahkan buku tersebut. Itu adalah versi bahasa Inggris "Teori Evolusi": "Dia tidak benar-benar menyerang, hanya bermain-main..."
"Bermain? Tapi kita juga kehilangan satu orang..." Cui Guohua membalik-balik halaman buku itu.
"Kita tidak bisa membunuhnya..." Analis itu mengerutkan alis, "Aku pernah meneliti data Pangeran di basis. Jika dia adalah yang MATI setara level Pangeran, ditambah kekuatan aslinya, tadi dia sudah bisa membunuh kita semua. Perbedaan antara manusia biasa dengan pengguna kekuatan supernatural tak bisa digantikan... Atau mungkin hanya satu orang yang bisa menggantikannya, sama sekali tidak menggunakan kekuatan supernatural, hanya mengandalkan kualitas fisik untuk menekan mereka... Orang itu sebenarnya mungkin bisa berada di pihak kita, sayangnya dia sudah MATI..."
Nada bicaranya datar, tidak terlalu intens. Tapi baik dia maupun Cui Guohua sama-sama paham makna hal ini. Lima tahun lalu saat mengepung Pangeran, beberapa tim dikerahkan tapi tetap hanya bisa berputar-putar mengikuti Pangeran. Jika kali ini datang beberapa orang setara level Pangeran, dan targetnya adalah [], maka yang kita hadapi mungkin adalah krisis terbesar dalam beberapa dekade sejak berdirinya [].
Dalam kegelapan malam, dentang sirene mulai mendekat...
Tak lama kemudian, di taman kecil berjarak sekitar 5-6 li dari kompleks perumahan.
Rambut pirang, ekor kuda, kemeja putih. Dia sudah berganti pakaian, kini duduk di kursi di bawah lampu jalan sambil membaca buku. Kali ini sebuah buku bergambar edukasi berjudul "Rahasia Matahari", umumnya bacaan pembuka jalan untuk anak kecil, namun tetap membacanya dengan fokus layaknya sedang membaca "Teori Relativitas", menopang dagu dengan tangan, memancarkan aura intelektual yang elegan.
Sekitar separuh jalan membaca, seorang pria kulit putih bertubuh tinggi mendekat. Posturnya tidak terlalu besar, tinggi badan sekitar 1,9 meter, otot di balik T-shirt terlihat kekar. Penampilannya tidak terkesan preman pasar. Sambil berjalan, dia mengulurkan tangan untuk menyapa pria berambut pirang: "Hei, Victor."
"Hei, Kratos." Pria bernama Victor itu tetap fokus pada bukunya, hanya melambaikan tangan perlahan, "Bagaimana filmnya?"
"Cukup bagus, cuma sulih suara bahasa China agak mengganggu." Kratos duduk di sebelahnya, "Buku ini menarik?"
"Ada sinar ultraviolet di Matahari."
"Hah?"
"Mereka bilang, sinar ultraviolet dari Matahari bisa menyebabkan kerusakan mematikan pada penghisap darah."
"Ah, jangan diperhatikan." Kratos mengangkat bahu, "Mereka juga bilang salib dan bawang putih bisa mengusir vampir. Di Tiongkok ada legenda darah anjing hitam bisa mengusir roh jahat, mungkin juga bisa menakuti penghisap darah... Ngomong-ngomong, ultraviolet itu sebenarnya apa sih?"
“Darah anjing hitam... memang sangat kotor...” Victor berpikir sejenak, “Cahaya memiliki berbagai panjang gelombang, dengan menggunakan prisma atau sejenisnya, cahaya putih bisa dipisahkan menjadi warna-warna berbeda, ini memang eksperimen yang menarik. Tapi setelah membaca beberapa buku, fungsi utama sinar ultraviolet adalah sterilisasi, mereka memang cahaya yang sangat merusak, tapi... apakah daya tahan penghisap darah bahkan lebih lemah dari bakteri?”
“Mungkin yang mereka maksud penghisap darah berbeda dengan klan darah, sesuatu seperti zombie Tiongkok...”
“Kratos, Kratos...” Victor menggelengkan kepala dengan kecewa, “Setelah pulang aku akan membuat laboratorium untuk diri sendiri... Atau mungkin belajar dulu di kampus untuk memperoleh pengetahuan yang diperlukan, lalu benar-benar meneliti darah kita. Beberapa hari lalu aku menonton film berjudul Resident Evil, kau tahu, dalam beberapa legenda, orang yang digigit penghisap darah jika tidak melalui proses inisiasi akan menjadi zombie tak berkesadaran. Zombie tak berkesadaran pun bisa mengubah orang lain menjadi zombie. Jika ini benar-benar mungkin... Kratos, apa pendapatmu tentang dunia yang sepenuhnya membusuk?”
“Sangat menjijikkan...”
“Benar juga.” Victor mengangguk, “Tapi mungkin proses inisiasi bisa dibuat lebih sederhana, sekalian... Aku memang benci matahari, meski tidak parah, mungkin memang ada zat beracun dalam sinar matahari. Jika bisa memurnikannya, saat bertemu sesama jenis, kita bisa lebih cepat membunuh mereka...”
Sebelum kalimatnya selesai, sebuah suara terdengar dari belakang: “Aku menentang.”
Dari sana muncul seorang pria tinggi kurus berkemeja hitam. Ia mengerutkan alis, sorot matanya mulai mengerikan: "Manusia menemukan mesiu, memicu Revolusi Industri. Proses membunuh diri mereka sendiri jadi lebih mudah. Dalam arti tertentu, mereka sedang bunuh diri dengan kecepatan lebih tinggi. Jadi Victor, aku menentang penelitian semacam ini. MATI dan darah harus menjadi seni. Yang kita kejar bukan efisiensi."
“Jika ada Sesama Jenis yang melakukan penelitian? Peter.”
“Pertanyaan bodoh yang benar-benar tidak bisa diselamatkan, karena mendapat kekuatan akibat kejatuhan orang lain, apakah kau harus lebih jatuh dalam dosa daripada mereka demi kelangsungan hidup?”
“Aku akan mempertimbangkannya.” Victor mengangguk, “Ini hanya penelitian yang didirikan di atas dasar rasa ingin tahu, karena selain kita tidak akan ada yang meneliti. Tidak mengetahui konsekuensinya akan sangat menyiksaku... Tentu saja, kita bicarakan nanti...”
Kratos memberikan kursi pada Peter si pendatang baru: “Aku sekarang hanya ingin cepat menyelesaikan urusan ini. Pria bernama Mikado Ki itu juga tidak terlalu kusukai. Karena dia sudah mengetahui keberadaan kita, apakah setelah menyelesaikan hal ini kita harus pergi ke Jepang untuk membunuhnya?”
Victor memalingkan kepala: “Peter, hari ini kau mengamati mereka di sana, bagaimana kekuatan mereka?”
“Aku bisa merasakan kekuatan spiritual yang kuat namun kacau. Selain itu, ada seorang lelaki tua dengan kekuatan yang sangat besar, aku hampir ketahuan olehnya...”
"Kekuatan spiritual yang kuat dan kacau..." Victor mengerutkan alis.
“Jelas ini adalah Evolusioner yang tidak bisa mengendalikan diri, tetapi kekuatan itu memang sangat mengerikan dan unik. Jika itu kemampuan bertempur, setelah mengamuk akan menjadi sangat menakutkan. Tapi jika hanya untuk membantu... Sebagai manusia biasa, kurasa yang dia dapatkan hanyalah sakit kepala tak berujung...”
“Orang malang... Lalu bagaimana dengan abu jenazah biksu itu?”
“Tidak ada kabar.”
Victor menghela napas: “Kalau begitu kita harus menunggu lagi. Pertempuran selama 2 hari terakhir sangat membosankan. Mungkin hanya dengan memaksa mereka sampai ke ambang keputusasaan sejati, barulah mereka bisa menunjukkan sesuatu yang menarik kepada kita.”
“Maka, sebelum Victoria tiba, biarkan mereka benar-benar merasakan aura keputusasaan.” Senyum mengerikan muncul di wajah Peter yang berdiri, “Pada saat itulah kita sekalian menghancurkan mereka, terutama para orang kuat. Hanya di detik terakhir Kehidupan, perasaan yang paling cemerlang akan mekar...”
Pada suatu malam, aku bermimpi indah. Saat terbangun di pagi hari, pikiranku masih berkabut, seolah masih terbenam dalam kenangan dari mimpi tersebut.
Dalam mimpi mereka masih bersekolah, guru sedang mengajar di depan, Jiaming berbaring di meja dengan tatapan kosong. Dia duduk di sebelah Jiaming. Tak lama kemudian guru mendekat, menghujatnya dengan keras. Jiaming mencari buku pelajaran di dalam meja belajar namun tak kunjung menemukannya, akhirnya mengambil buku kelas tingkat atas dan meletakkannya. Tak lama guru menyuruh Jiaming menjawab pertanyaan, Jiaming berdiri namun tak menemukan jawaban di buku. Dia menyodorkan bukunya, diam-diam menunjukkan jawaban dengan menunjuk menggunakan jari.
Namun Jiaming tetap tak bisa menjawab, aksi licik ini akhirnya ketahuan oleh guru. Jiaming dihukum berdiri terus-menerus, dia juga kena marah. Di dalam hati berkecamuk rasa kecewa pada besi yang tak bisa menjadi baja.
Sepanjang pelajaran, dia berdiri sementara dia duduk. Di hati tersimpan kekecewaan tipis padanya. Buku ditaruh di tengah meja kelas, mereka berdua melihat bersama. Dia mencubitnya, dia hanya tersenyum pasrah.
Dalam mimpi mereka sudah cukup dewasa, mungkin sudah SMA. Pada usia itu sebenarnya mereka sudah berhubungan intim dan tinggal bersama. Namun faktanya sejak SMP mereka tak sekelas lagi. Perasaan antara dia dan Jiaming dalam mimpi tetap canggung, seolah masih seperti masa SD ketika duduk sebangku - sahabat terbaik, dia tetap sang kakak perempuan yang kecewa melihat adiknya tak kunjung menjadi baja. Keasingan dan keakraban berbaur menjadi satu...
Dia tidak tahu apa sebenarnya makna mimpi ini, namun perasaan itu terasa sangat nyata. Ia duduk di ranjang, menatap kipas angin kecil di ujung ranjang yang terus berputar, sinar bulan keperakan menyusup dari luar jendela. Tenggelam dalam perasaan itu, ia menunggu fajar dengan tenang...
## Bagian Empat Ratus Tiga Puluh Tiga Kesadaran
Saat semburat putih keabu-abuan pertama muncul di ufuk timur pagi hari, gadis itu terbangun dari ranjang.
Kebiasaan sejak kecil, tekanan darah rendah saat bangun membuat kesadarannya sedikit berkabut. Dengan gerakan bawah sadar ia duduk, dalam cahaya pagi keputihan yang menyusup dari balkon, matanya menatap sosok kecil yang masih terlelap di ranjang sebelah.
Tubuh mungil, wajah imut, mulut kecil yang masih menganga dalam tidur. Meski belum genap tiga tahun, inilah harta paling berharga dalam hidupnya sekarang. Setiap kali memandang wajah polos ini, ia merasakan kebahagiaan dan harapan besar, juga sedih samar yang mengikutinya.
Tentu hidup tak pernah sempurna. Ia tak lagi mengeluh atau berharap lebih. Cukup dengan melihat si kecil tumbuh perlahan, menikmati senyumnya setiap hari, lalu dirinya sendiri akan menua pelan-pelan, mendekati sosok lain yang dicintainya. Semua ini sudah lebih dari cukup.
Dia turun dari ranjang, pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka, berusaha tidak membuat suara berisik. Setelah keluar dari kamar mandi, dia berjalan ke ranjang kecil itu, menempelkan ciuman lembut di dahi gadis kecil itu, memandangi wajah tidur sang anak sejenak, lalu mendorong pintu kaca dan melangkah ke balkon. Angin pagi yang segera menyusup masuk membawa kesejukan.
Di bawah balkon terbentang kolam besar. Kamar ini sebenarnya masih kamar lamanya dulu, hanya setelah dia kembali tinggal di sini, dilakukan renovasi sederhana: wallpaper dipasang dengan nuansa hangat, perabotan diganti sebisa mungkin untuk tidak meninggalkan banyak benda berbahaya bagi anak kecil. Sebenarnya di villa ini sudah ada kamar anak yang diatur khusus, tapi dia lebih terbiasa membawa putrinya tidur bersamanya. Bahkan jika si kecil tidak tidur dengannya, kemungkinan besar akan digendong ayahku dan Tante ke kamar mereka. Kamar terpisah itu hanyalah tata letak formal belaka.
Angin pagi mengibarkan rambut panjangnya yang halus. Dia membuka pintu kaca dan berdiri di tepi balkon menghirup udara pagi. Terkadang teringat kejadian bocah lelaki yang menyusup masuk tengah malam dan menggotongnya keluar dari balkon. Peristiwa itu terjadi lama sekali, sekarang dia telah menjadi ibu dari gadis tiga tahun. Namun setiap kali teringat, rasanya seperti baru kemarin.
Tentu saja, aliran waktu sebenarnya tidak meninggalkan banyak jejak pada dirinya. Jika ada perubahan yang terlihat, mungkin hanya aura yang semakin matang dan tenang. Tujuh atau delapan tahun lalu ketika pertama kali mengajar di Akademi Hati Kudus, dia selalu berpura-pura matang dan bersikap dingin untuk menakut-nakuti orang. Kini jika menjadi guru lagi, mungkin dia tidak perlu lagi berbuat demikian - aura alaminya sudah cukup. Terhadap berbagai hal, dia juga memiliki pendekatan yang berbeda.
Langit masih berwarna putih pucat. Dari sini terlihat hamparan bunga, villa, dan jalanan yang tampak damai di kejauhan. Sesekali pelaku olahraga pagi melintas dalam jarak pandang. Saat menoleh, gadis kecil di ranjang sedang berbaring miring ke arah sini, tampak mengusap matanya lalu bergumam, "Ibu..."
"Hmm? Taotao sudah bangun?"
"Aku mau tidur di balkon..."
Gadis kecil itu masih setengah tertidur, suaranya seperti bayi yang tidak jelas. Namun sang ibu paham betul, tersenyum sambil mendekat dan menggendong si kecil yang masih terbungkus selimut tipis. Perlahan mereka menuju balkon, duduk di sofa santai sambil menyesuaikan posisi agar anaknya bisa tidur lebih nyaman.
"Ademmm..." Bersandar di tubuh ibunya, Taotao kecil bergumam. Beberapa saat kemudian dia menambah, "Uhh... Ibu... Aku mau dengar nyanyian..."
"Baik." Sang ibu tersenyum lalu mulai bersenandung lembut, "Ah pintu ah depan sebatang pohon anggur... Ah tunas ah tunas hijau baru bertunas..."
“Tidak mau dengar yang ini…” Mata gadis kecil itu mengintip sebentar lalu terpejam lagi, kepala mungilnya menyandar di dada ibunya sambil mencari posisi tidur yang nyaman, “Ingin yang sering dengar itu…”
“Hmm, baiklah…” jawabnya lembut, kemudian mulai bersenandung pelan, “Kau tertidur dengan tangan terkepal, lesung pipi tampak samar, Di detik ini kutatap wajahmu, Banyak kata ingin kusampaikan… Jika esok kau tiba dewasa, Akankah aku bingung tak karuan…” (Wang Zheng 《Untukmu》)
Saat usianya lebih kecil, lagu ini selalu diputarnya hingga menjadi ritual wajib sebelum tidur. Angin pagi berhembus lembut, ia duduk sambil menggendong putrinya bernyanyi, seolah kembali ke musim dingin beberapa tahun silam.
“Jiaming, bagaimana rasanya punya anak ya…”
“Aku juga tak tahu, tapi… mungkin seperti yang digambarkan dalam sebuah lagu…”
Musim dingin itu menjadi momen terpenting dalam hidupnya. Kondisi tubuh sang pemuda kian menurun, meski senyum palsu dan sikap acuh selalu ditunjukkannya. Setelah sekian lama bersama, ia paham—ketika senyum paksaan itu bahkan bisa ia deteksi, artinya sang pemuda sudah di ujung kesabaran.
“Tidak lama kemudian, pada suatu malam setelah pemuda itu pergi dengan sakit kepala yang tak tertahankan, yang tersisa hanyalah lagu ini, kenangan beberapa bulan, dan kehamilan yang telah dikonfirmasi selama lebih dari sebulan. Setiap kali menyanyikannya untuk anaknya, selalu terbayang sosok ayah sang anak sedang duduk di sofa dan bernyanyi perlahan untuknya.”
“Seperti rutinitas setiap pagi, setelah bernyanyi sebentar, Taotao tidak juga tertidur. Dia mengusap matanya dan akhirnya terbangun. Anak kecil ini memang tidak suka tidur lama. Karena ibunya harus bekerja setiap hari, dia pun terbiasa bangun bersama sang ibu. Kebiasaan gadis kecil ini sering membuat Tante memprotes. Sambil membantu memakaikan baju dan menemaninya ke kamar mandi untuk cuci muka dan berkumur, gadis kecil itu berkata dengan suara seperti bayi: ‘Pagi ini Kakek akan mengajakku main ke taman!’”
“Ibu tahu. Kami akan menyiapkan sarapan sambil menunggu kamu dan Kakek pulang. Katakan, pagi ini mau minum susu atau susu kedelai?” Yahan menyeka sisa pasta gigi di sudut bibir putrinya dengan handuk sambil bertanya.
“Jus jeruk!”
“Baik, jus.”
“Bukan jus biasa, jus jeruk, tanpa tambahan apa-apa...”
“Tapi kalau dicampur lebih bergizi.”
“Tapi jus jeruk paling enak.”
“Ibu akan kasih porsi jus jeruk terbanyak, setuju?”
Setelah tawar-menawar demikian, saat menggendong putrinya turun tangga, Zhang Jing'an sudah menunggu di ruang tamu sambil membaca koran. Faktanya, jika ayahku ingin berolahraga setiap hari, biasanya beliau pergi sebelum fajar. Menunggu sampai saat ini tentu karena ada janji dengan cucu perempuan kesayangannya untuk mengajaknya berjalan-jalan ke taman kecil di dekat sini.
Menyerahkan putrinya kepada sang ayah, saat melihat mereka pergi, terdengar lagi percakapan kakek-cucu ini: "Tao Tao, kakek mau berdiskusi ya. Kalau kamu panggil kakek '' (Kakek) bukan '' (Kakek dari pihak ibu), setiap hari kakek ajak kamu main."
"Kenapa sih?"
"Karena... panggilan '' dan '' hampir sama. Tapi '' lebih enak didengar."
"Tapi Ibu bilang kakek dari pihak ibu ya tetap kakek dari pihak ibu, bukan kakek biasa." Tao Tao kecil menggenggam tangan kakeknya, berpikir sejenak, "Ibu bilang, kakek biasa itu... ayahnya papanya..."
"Tapi ibumu menyembunyikan papamu. Sekarang kita tidak tahu di mana dia."
"Papaku pergi jauh."
"Meninggalkan Tao Tao begitu saja, dia bajingan. Kalau begitu kita tidak usah menginginkannya. Pasti Tao Tao juga tidak suka papah seperti itu kan?"
"Tidak. Ibu bilang papaku punya urusan harus diselesaikan. Ibu juga bilang papaku orang baik, Tao Tao pasti akan menyukainya."
“Percakapan serupa bukanlah yang pertama kali terjadi. Zhang Jing'an berpendapat karena Yahan tidak mau mengungkapkan siapa ayah Tao Tao, maka ke depannya biarlah Tao Tao memanggilnya Kakek. Dalam kadar tertentu, taipan bisnis ini bersikukuh bahwa sebutan Kakek terasa lebih akrab dibanding kakek dari pihak ibu, mungkin juga karena semakin tua seseorang semakin kekanak-kanakan. Setiap kali mendengar ayahnya yang biasanya serius mati-matian membujuk cucu perempuan dengan cara seperti ini, Yahan selalu menahan geli. Syukurlah dia telah membesarkan putrinya dengan baik. Anak itu juga cepat pintar, logikanya cukup tajam dalam hal tertentu. Kini belum genap tiga tahun, sudah bisa menghitung dari satu sampai lima puluh meski terbata-bata, kerap dipamerkan ayahnya ke mana-mana. Entah sisi ini warisan dirinya atau sang ayah.
Memandangi kepergian mereka, Yahan berpamitan pada Tante, kemudian mereka bertiga menyiapkan sarapan Tao Tao sendiri. Setelah menyelesaikan semua itu, langit telah terang benderang. Dia kembali ke kamar, membasuh muka dan tangan lagi, berganti pakaian untuk bepergian hari ini, merias wajah dengan riasan samar. Sekitar pukul tujuh setengah, menyaksikan kakek-cucu itu pulang melalui pintu utama. Zhang Jing'an menggendong cucu perempuannya, Tao Tao sedang asyik menjilati sepotong permen Blek. Yahan mengamati adegan itu, setengah kesal setengah geli mengerutkan alis.
“Yah, Bapak terlalu memanjakannya. Pagi-pagi sudah belikan permen, nanti kalau giginya bolong bagaimana?”
Zhang Jing'an belum sempat menjawab, Tao Tao sudah menggoyang-goyangkan permennya: “Bukan Kakek yang beliin, Tante yang beliin.”
“Tante?”
“Baru saja di taman sebelah, bertemu dengan seorang mahasiswa lamamu.” Zhang Jing'an berkata.
“Mahasiswa？”
“Tante sangat baik, dan juga cantik.”
Yahan menjepit pipi putrinya: “Diberi permen langsung jadi baik ya.”
“Tao Tao pasti akan tumbuh lebih cantik darinya.” Zhang Jing'an tersenyum menggoda cucu perempuan, sambil berkata ke Yahan: “Yang bernama Ye Lingjing, beberapa tahun lalu pernah bertemu, dekat denganmu kan？Memanggilmu Kakak Yahan, jadi aku masih ingat.”
“Lingjing...” Sekejap mata, wajah Yahan berubah, matanya menatap ke luar pintu, lama baru bereaksi, “Lalu...dia...Ayah tidak mengajaknya masuk？”
“Sudah, tapi dia mungkin ada urusan. Katanya cuma lewat, mengenaliku, baru naik ke sini. Tao Tao cocok dengannya.”
“Lalu dia sekarang...”
“Setelah ngobrol sebentar langsung pergi. Sekarang dimana mana aku tahu...Ada apa denganmu...”
Ucapannya belum selesai, Yahan sudah berlari ke pintu. Berisik beberapa kali ganti sepatu hak tinggi, bahkan tas kecil tidak dibawa, langsung menyambar keluar gerbang. Zhang Jing'an dan Tao Tao tertegun beberapa saat. Bertahun-tahun ini, kapan pernah melihatnya panik seperti ini...
Berlari keluar gerbang ke jalanan, lalu menuju taman terdekat. Biasanya dia selalu pakai heels, tadi bawah sadar langsung berganti, baru sekarang menyadari tidak nyaman. Meski sering olahraga, tak lama sudah terengah-engah.
Taman kecil di dekat kompleks perumahan tidak bisa dibilang besar. Orang-orang yang berolahraga pagi dan jalan kaki, basically bisa dilihat sekilas. Dia berjalan di antara mereka, mencari bayangan Lingjing. Di tengah perjalanan, banyak yang menyapanya, dan dia hanya menjawab sekilas. Lari ke warung kecil di sisi yang mungkin menjual permen Blek untuk menanyakan arah wanita tadi. Untungnya Lingjing memang cantik, pegawai muda itu kira-kira pernah memperhatikan, memberinya petunjuk arah, lalu dia berlari ke blok jalan tersebut.
Sepatu hak tinggi tidak nyaman, dia melepasnya dan membawanya di tangan, berlari cepat di jalanan dengan stoking. Sudah bertahun-tahun dia tidak melakukan hal seperti ini. Meski Lingjing pasti bisa dihubungi setelah pulang, setidaknya sekarang sebaiknya menemukannya SEKARANG JUGA. Jika terlambat, mungkin banyak hal yang sulit dihadapi...
Area ini kawasan villa, tapi setelah melewati blok jalan depan, basically sampai di pusat keramaian dengan orang-orang ramai yang berangkat kerja/sekolah. Banyak yang melirik wanita dengan penampilan dan aura mencolok yang membawa sepatu hak tinggi sambil terengah-engah ini. Saat ini dia tidak keberatan dengan pandangan itu. Setelah melewati persimpangan jalan, kemungkinan menemukan Lingjing basically sirna. Dengan harapan terakhir, dia berjalan cepat membawa sepatu. Akhirnya, di persimpangan berikutnya. Di antara kerumunan orang yang menyebrang jalan, dia tiba-tiba melihat bayangan familiar itu.
"Lingjing!"
“Dia berteriak, mengejar dengan cepat. Saat hendak menyeberang jalan, tiba-tiba mendengar bunyi klakson keras, disusul suara rem 'Creek——' yang mencekam. Ia menoleh. Sebuah mobil kecil melaju menghampirinya.”
“Tubuhnya terpental, ia jatuh tersungkur ke tanah.”
“Mobil itu nyaris berhenti tepat di samping kakinya. Meski tidak terjadi tabrakan, dampak psikologisnya luar biasa. Insiden ini menarik kerumunan orang di pinggir jalan. Beberapa baron muda mungkin ingin jadi Pahlawan Menyelamatkan Gadis Cantik, berdatangan menanyakan keadaannya. Ia menggelengkan kepala, hendak mengambil sepatunya, baru menyadari dari kerumunan muncul bayangan putih yang ragu-ragu mendekat, kemudian mengkonfirmasi identitasnya.”
“Ka... Kakak Yahan... Kau tidak apa-apa...”
“Lingjing...” Ia menatap gadis di hadapannya, wajah panik yang terlihat lesu, mata bengkak kemerahan seperti baru menangis. Ia bangun dengan senyum lega: “Aku baik-baik... Akhirnya ketemu...”
“Kakak Yahan...”
“Jangan-jangan... Kau bahkan tak mau melihatku lagi...”
“Hong Kong.”
“Pagi-pagi buta, Min Kun keluar dari pintu gerbang kantor polisi, wajah muram bagai langit mendung.”
“Anggota geng yang menjemput sudah menunggu di gerbang. Ia masuk mobil, memandang gedung kantor polisi yang perlahan menghilang dari jarak pandang, baru menoleh sambil bersuara serak parau: 'Kapan Ah Zhan pergi?'”
“Tadi malam... Jam sebelas lima puluh enam...”
“Bagaimana dengan Si Bodoh dan kawan-kawannya?”
“Be... Belum tertangkap...”
Min Kun terdiam dalam kesunyian，memandangi beberapa orang di dalam mobil，suhu dalam mobil seketika turun drastis bagai titik beku，setelah beberapa saat baru berkata：“Beri tahu semua manajer untuk rapat，Aku akan menggempur wilayahku Besar Terbang，dalam tiga hari，Aku akan membuatnya MATI...”
“Siap，Kakak...”
“Kabari semua orang，Aku menyiapkan 10 juta anggaran gelap untuk nyawa Bodoh Kuat，tangkap hidup-hidup.”
“Siap...”
“Hubungi gerombolan Thailand itu.”
Sambil berkata demikian，anak buah di sampingnya sudah mengeluarkan telepon，menekan nomor lalu menyodorkannya，setelah konfirmasi tersambung，Min Kun membuka mulut：“Tuan Surapat，ini Min Kun，Aku ada masalah，Anda pasti tahu mengapa aku menghubungi...”
“...Anak laki-lakiku MATI，Aku tak mau beri omong kosong，masalah yang Anda bicarakan sebelumnya，tidak bermasalah，tapi Aku butuh bantuan pasukanmu，kalau kekuatan kurang，Aku mau Anda cari tentara bayaran...Aku ingin Bunuh beberapa orang，hal ini mungkin rumit...tapi di Tiongkok ada peribahasa，Keberuntungan besar ada dalam bahaya...Setelah berhasil，pasar narkoba He Yi Sheng akan kubagikan setengah untukmu，mulai sekarang kita kerjasama!”
Dia menutup telepon, pandangan berbeda terpancar dari mata beberapa anak buah di dalam mobil. Orang-orang ini sudah lama berkecimpung di dunia persilatan, penciuman mereka tajam. Kelompok yang dipimpin Surak adalah para pelarian dari Thailand yang mencari nafkah, konon dulu pernah menjadi tentara bayaran, kekuatannya besar, hati paling kejam. Tapi di beberapa aspek, kekejaman saja tak menjamin keberhasilan. Selera mereka besar, namun kuota narkoba di Hong Kong sekarang sudah stabil. Kerjasama dengan geng-geng kecil tak memuaskan mereka, ingin menggantikan geng besar tapi kekuatan tak mencukupi, sehingga selalu mentok. Sebelumnya mereka pernah mendatangi Min Kun, tetapi organisasi seperti Ho Yi Sing punya saluran distribusi narkoba yang stabil, tidak ingin berperang merebut kuota kelompok lain, wajar saja menolak mereka. Ho Yi Sing sendiri fondasinya kokoh, untuk mengurus orang biasa tak perlu campur tangan kekuatan luar. Kini Min Kun malah menggunakan fasilitas ini untuk bernegosiasi dengan pihak lain, mungkin menunjukkan bahwa hal ini benar-benar akan diperbesar, dan berpotensi sampai ke titik yang tak bisa diatasi...
Pagi-pagi buta, Fang Yusi dan Mu Qingqing sedang berdiskusi tentang sesuatu. Masalahnya sederhana, perusahaan Fang Yusi dan manajernya memintanya segera meninggalkan Hong Kong setelah mendengar kejadian kemarin. Dia ingin membawa Jiaming pergi, tapi ide ini tidak mudah direalisasikan.
"Tidak ada cara... Aku tidak punya identitas palsu maupun data-datanya. Saat membawanya ke sini, paspor dan dokumen-dokumen itu semua palsu. Untuk pemeriksaan biasa tidak bermasalah, tapi untuk melewati bea cukai... Sangat sulit..."
“Kalau... bagaimana kau bisa sampai ke sini?”
“Pertama harus memastikan tanggal. Aku punya teman sekelas yang punya saluran di bidang ini. Jika kita menentukan akan pergi beberapa hari sebelumnya, dia bisa membantu mengatur, melakukan pelemahan sengaja. Tapi kalau mau pergi sekarang, mungkin hanya bisa... menyusup...”
Yang paling kerepotan dalam hal ini tentu Mu Qingqing. Kedatangannya sendiri adalah tugas resmi. Membawa Jiaming berobat sebenarnya sudah berisiko. Kini tiba-tiba harus pergi lagi. Jika hal ini terbongkar, bukan hanya promosi kali ini, status idealnya adalah tidak dipecat. Apalagi selebriti seperti Fang Yusi, dalam situasi seperti ini juga begitu takut pada bos mafia. Menurutnya sama sekali tidak perlu.
“Unit kejahatan berat saat ini sudah mengawasi ketat Min Kun. Begitu ada gerakan, pihak sini pasti tidak akan melepaskannya. Lagipula kita sekarang tinggal bersama. Meski kita bukan orang penting, dalam kerja sama penyelidikan ini kita mewakili pihak Benua. Sejujurnya, jika kita bermasalah, seluruh He Yi Sheng tidak akan sanggup menanggungnya. Masalah muka... Terlibat dalam geng kriminal bisa bertahan di celah hukum, bisa menyuap agar orang pura-puka tidak tahu. Tapi jika kau tampar langsung pemerintah, aku jamin seluruh geng kriminal Hong Kong tidak akan sanggup menanggungnya. Tenang... Bukankah kau juga punya koneksi lain? Paman Li... dan yang lain, apa kata mereka?”
“Masalahnya mereka juga bilang aku bisa sementara pergi dari Hong Kong untuk menghindari masalah, tidak takut pada manusia yang rasional, yang paling ditakuti adalah orang yang bersenang-senang, sekarang anak laki-lakinya sudah MATI, bagaimana reaksinya, tidak ada yang bisa memastikan…” Fang Yusi mengerutkan alisnya, “Apalagi perusahaan ekonominya juga mensyaratkan aku segera pergi, urusan di Hong Kong sudah diselesaikan, tujuan berikutnya adalah Jianghai, Jiaming dia…”
Rumah leluhur Jiaming ada di Jianghai, membawanya kesana tentu yang terbaik, hal-hal ini belum rencananya diaku terus terang ke Mu Qingqing, agar penyelidikannya tidak mengganggu orang-orang yang pernah dihina Jiaming sebelumnya. Percakapan belum selesai, terdengar langkah kaki dari belakang, kemudian Jiaming berjalan ke meja makan dan duduk, Mu Qingqing sambil menyesap bubur menatapnya: “Uhh, Jiaming hari ini terlihat agak berbeda ya.”
“Jangan khawatir tentang aku, aku ingat beberapa hal.” Setelah dia mengucapkan ini, pihak Jiaming juga membuka mulut, kalimat yang terstruktur rapi, diucapkan dengan sangat tegas, seketika membuat keduanya kaget. Nada bicaranya kali ini berbeda dengan sebelumnya, dulu saat berjualan kacang chestnut goreng gula, meski terlihat seperti manusia normal, tapi selalu terkesan sedang memikirkan sesuatu dengan ragu-ragu, tapi kali ini benar-benar kalimat deklaratif murni, “Namaku Gu Jiaming.”
Mu Qingqing mengedipkan mata: “Bukannya kau sudah tahu sebelumnya?”
“Makan.” Jiaming tidak menjawabnya, sumpit mengetuk meja, mulai menyerang bubur putih di hadapannya.
Fang Yusi dan Mu Qingqing saling pandang, tak memahami kondisi apa yang sedang dialaminya sekarang. Ketika mencoba berbicara lagi, mereka menyadari dia telah kembali ke kesunyian yang tak merespons...
## Bagian Keempat Ratus Tiga Puluh Empat Musim Dingin Terbaik
"Tao Tao sangat imut..."
Di kedai sarapan pagi buta, Lingjing dan Yahan duduk. Dulu mereka sahabat karib seperti saudari, namun suasana hati saat ini sungguh rumit. Yahan tahu harus mengejarnya, tapi tentang apa yang akan diucapkan setelahnya—telah dipikirkannya selama empat tahun tanpa kejelasan. Pada akhirnya, Lingjing yang pertama membuka mulut.
"Aku sebenarnya juga menduga kau baru kembali belakangan ini." Yahan tersenyum getir. Setelah berlari tadi, stoking di kakinya sudah robek. Kini dengan heels terpasang, tangannya mengelus bagian betis. "Jiaming... Jiaming dia..."
Beberapa kali ia mengulang tanpa melanjutkan. Lingjing mengangguk: "Anak Jiaming?"
Yahan terdiam sejenak: "Saat kalian dan Shizuka pergi dulu... Aku memintanya memberiku seorang anak. Saat itu... aku tak tahu harus berbuat apa, benar-benar tak berdaya..."
Di ulang tahun ke-29, dengan seorang anak dan citra wanita karier tangguh yang dipertahankannya di perusahaan, Yahan masih tak bisa menahan kilau air mata saat mengingat masa lalu. Kedamaian hati selama ini karena Tao Tao, tak berarti luka di hati bisa dilupakan. Saat percakapan berlangsung, pelayan telah menyajikan sarapan. Lingjing berusaha menjaga suaranya tetap stabil: "Dia sebenarnya kenapa sih..."
“Seharusnya sudah melihat rekam medisnya kan……”
“Aku tidak percaya……” Lingjing menggigit bibirnya, “Ini jadi mirip drama sabun, mana mungkin……mana mungkin bisa terkena tumor otak……”
“Tapi memang tumor otak……” Yahan berkata pelan, “Aku beberapa kali membawanya ke rumah sakit, hasil diagnosa selalu sama. Dia tidak mau dirawat inap, di bulan-bulan terakhir dia terus kesakitan, sampai tingkat yang tidak bisa ditahannya, aku melihat……aku melihat sampai ingin mati saja……”
Lingjing duduk di sana, mulutnya terbuka-tutup beberapa kali seperti kehilangan suara: “Kakak Yahan kamu……kamu melihatnya saat……”
“Bukan……dia pergi awal Februari.” Yahan menahan dahinya dengan tangan, “Baru saja tahun baru lewat, 4 Februari hari Lichun, malam berikutnya masih turun salju, aku tidak tahu kapan persisnya dia pergi, tapi beberapa hari sebelumnya sudah ada tanda-tanda, dia tidak mau aku melihat……dia terlalu menderita……”
“Pisau menggores tangan pun sudah tidak terasa. Hanya sakit, dia terus berusaha sabar agar orang tidak melihat……tidak ke rumah sakit, obat penghilang rasa sakit juga tidak mempan, kamu tahu karakternya……Aku bahkan minta tolong teman beli heroin, tapi dia menolak……selalu merasa bersalah padamu dan Sasha……”
“Aku menyuruhnya setidaknya menulis surat untukmu, memberitahukan semua hal ini, tapi dia tidak bisa menulis... Kadang di malam hari saat aku bangun, kulihatnya duduk di dekat jendela mencoba menulis. Menulis beberapa kata lalu membuangnya, kemudian aku diam-diam memungut dan membaca. Awalnya selalu permintaan maaf untukmu, tapi di bagian penjelasannya tidak sampai beberapa kalimat. Mungkin dia merasa... tidak punya hak untuk meminta maaf, mungkin merasa permintaan maaf sebanyak apapun tidak akan bisa menggantikan alasanmu...”
“Tapi aku berharap kau bisa memaafkannya...”
“Bagaimana memaafkannya...” Lingjing menunduk bertahan mati-matian, “Aku bahkan tidak tahu di mana dia sekarang, datanglah ke hadapanku dan jelaskan semuanya dengan jelas...”
Di luar pintu gerbang orang lalu lalang. Toko ini tidak terlalu ramai, tapi aura dan penampilan Lingjing dan Yahan terlalu mencolok. Jika diperhatikan, masih banyak tatapan yang sengaja atau tidak sengaja melirik ke arah sini. Yahan menggenggam telapak tangan Lingjing, belum sempat berbicara, seorang pria berjas yang terlihat seperti karyawan perusahaan besar menghampiri: “Ada yang bisa saya bantu... Saya tidak punya niat jahat...”
Mata Yahan masih basah oleh air mata, kini mengangkat pandangan menatap pria itu, berkata datar: “Terima kasih.” Beberapa detik kesunyian berlalu, pria itu akhirnya kalah di bawah tatapan Yahan, melambaikan tangan: “Maaf...” Buru-buru mundur.
“Kakak Yahan...”
“Sebenarnya aku yang selalu bersalah padamu dan Shāshā. Yang paling dia sayangi adalah kalian berdua, juga yang paling dia khawatirkan...”
“Tapi dia melahirkan Tao Tao bersamamu.”
“Aku memohon padanya, lalu dia setuju……” Yahan terdiam sejenak, “Worldview-nya sangat berbeda dengan manusia biasa. Dia menganggapku sebagai Teman. Aku menyukainya, lalu dia setuju. Dia sangat menghargai orang yang baik padanya, tak tega menyebabkan kerusakan... Tapi yang paling dia pedulikan adalah kalian……”
“Aku juga tahu. Aku bahkan tak mengerti mengapa dia seperti ini. Tapi selama empat tahun di Wina, aku perlahan mulai mengerti... Tapi apa bedanya? Aku hanya wanita Normal……” Lingjing mulai menangis, “Aku hanya ingin bersamanya. Kapan pun aku hanya ingin menemani. Bahkan jika terkena penyakit terminal, setidaknya aku ingin melihatnya. Aku juga ingin memberinya anak, bukan dikibuli lalu dibuang ke Wina membencinya selama empat tahun, pulang hanya untuk meminta Kompenisasi, tapi malah menangis di makamnya... Aku tak ingin menangis... Tapi aku tak sekuat itu……”
“Dia takut kau melihatnya dalam kondisi tak berdaya……”
“Benar, dia pengecut……” Lingjing menyeka air mata, suaranya lembut nyaris tak terdengar, “Kakak Yahan, bisakah... ceritakan padaku tentang hal-hal yang terjadi di akhir masa kalian bersama...?”
“Hmm.” Yahan mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya, “Sebenarnya tidak banyak hal. Dia datang mencariku pada malam tanggal 4 November, sampai 5 Februari 2001, tepat tiga bulan... Hanya tiga bulan sederhana di villa, dia total pergi tujuh kali. Tiga di antaranya kuseret ke rumah sakit. Seperti dulu, setiap hari dia menonton film dan komik, sesekali browsing di komputer terutama untuk mencari kabarmu. Saat mengantarmu pergi, dia mengatur orang untuk menjagamu. Kemudian dia bisa menyelidiki beberapa data-data. Hal-hal yang kau lakukan di Wina di awal semuanya sempat difoto orang...”
Lingjing mengepalkan tangan. Yahan menepuk tangan gadis itu: “Masih ingat malam Tahun Baru pertamamu di Wina? Kau tidak pulang, ada Baron yang mengajakmu kau juga tidak pergi. Dia menyuruh orang mengirimkan setangkai mawar, tapi kau tidak menerimanya, hanya meletakkannya di gerbang... Dia tidak ada cara. Saat menelepon memesan bunga, kepalanya sudah sangat sakit. Malam itu dia bilang mau memasak, mungkin saat menggunakan pisau tiba-tiba sakitnya kambuh. Pisau itu menyabet jarinya sendiri, tapi dia bahkan tidak menyadarinya...”
Dia membuka mulut, lama sekali baru menghela napas: "Orang itu... sejak kecil sudah terlihat lemah, tapi saat benar-benar kesakitan tidak pernah memperlihatkannya. Kadang tiba-tiba mengerutkan kening saat membaca, atau tubuhnya gemetar sesaat, baru kira-kira bisa ketahuan. Sudah sering kesakitan sejak November, semakin parah di Desember. Aku tidak berani bicara, cuma bisa mati-matian menariknya ke rumah sakit, tapi hasil pemeriksaannya selalu sama. Dia marah sekali melihat laporan itu, meski tetap tersenyum... Dia menolak rawat inap, aku juga tidak bisa memaksanya... Tidak tahu cara memaksa, kata dokter memang tidak ada harapan..."
"Terkadang dia terbangun kesakitan di malam hari dan tidak bisa tidur, lalu melihat foto-foto lama... Sudah beberapa kali kutangkap basi, pura-pura tidur saja, tidak tahu apakah dia menyadari... Kira-kira awal Januari aku hamil Tao Tao, sering periksa sampai tahu di pertengahan Januari. Saat itu dia masih bertahan. Saat Tahun Baru turun salju, aku tidak pulang kampung. Heh, sampai bertengkar hebat dengan ayahku karena ini... Siapa sangka beberapa hari kemudian dia pergi... Benar-benar tidak kuat lagi, tidak mau dilihat orang..."
"Aku tidak pergi mencarinya, tidak ada cara... Aku masih harus menjaga bayi dalam perutku, dokter bilang ini kehamilan pertama, aku juga punya penyakit, kondisi tubuh lemah, mudah keguguran, melakukan olahraga untuk memperkuat tubuh, bahkan menangis pun tidak berani, karena bisa berdampak pada edukasi prenatal anak..." Baru pada saat ini, air mata akhirnya mengalir di pipi Yahan, "Begitu terus sampai tahun 2002, Dongfang Lu datang mencari, bilang Jiaming MATI, bahkan membuat makam untuknya di luar kota... Sudah kau kunjungi?"
"Aku tidak percaya..."
"Aku juga tidak percaya dia bisa menemukan Jiaming..." Yahan berkata, "Kau tahu sifatnya, jika dia benar-benar ingin pergi, tidak akan ada yang bisa temukan. Tapi selama dia masih bisa kembali, pasti akan pulang..."
Yahan menggenggam tangannya, dia tahu ini cara tidak langsung untuk menenangkan.
"Tunggu dia, ya?"
Lingjing mengangguk: "Kakak Yahan... Maaf..."
"Selama ini aku yang harus minta maaf padamu dan Shāshā... Seharusnya aku memperlakukan kalian seperti adik perempuan, tapi hal ini..." Dia menggelengkan kepala, "Bagaimana bisa begini, maafkan aku..."
Keduanya pada dasarnya adalah teman baik yang hubungannya seperti saudari, pernah mengalami kesulitan bersama saat kecil, dan kemudian melalui banyak hal bersama. Meski perasaan ini tertutup selama beberapa tahun, saat melihat Tao Tao tadi ada rasa sedih dan duka di hati, namun sekarang semua itu mulai memudar. Dalam tiga bulan itu, dia menyaksikan Jiaming menanggung rasa sakit yang begitu hebat, langkah demi langkah sampai tak bisa bertahan namun tak berdaya. Hingga kepergiannya, semua ini hanya bisa disimpan dalam hati tanpa bisa sekadar menangis. Rasa sakit yang ditanggungnya di hati, mungkin tak kalah berat dari dirinya.
Dalam arti tertentu, ketiadaan Jiaming membuat segalanya tak terasa penting lagi. Simpul masalah sementara terlepas, mereka mengalihkan topik ke arah lain: kehidupan Lingjing di Wina selama empat tahun, kesulitan yang dialami, serta perusahaan tempatnya baru bergabung. Beberapa hal mungkin sulit diceritakan di hadapan orang tua, hanya di depan Yahan dia bisa bercerita secara detail. Pembicaraan beralih ke Yahan - urusan Tao Tao, pekerjaannya di perusahaan keluarga. Mereka memaksakan diri menyantap sedikit sarapan, lalu bersiap keluar.
"Bolehkah aku mengunjungi Tao Tao saat ada waktu luang?"
"Asal kau memberinya permen karet..."
Lingjing tersenyum, tiba-tiba memeluk Yahan: "Kakak Yahan, terima kasih telah menemaninya selama tiga bulan itu..."
"Aku tidak merawatnya untuk siapa-siapa..." Air mata Yahan kembali menetes, "Itu adalah tiga bulan terindah dalam hidupku..."
## Bagian Empat Ratus Tiga Puluh Lima Penculikan
“Blup” sebuah suara, Fang Yusi mengenakan pakaian renang melompat ke air seperti Putri duyung. Ia menoleh melihat Jiaming yang sedang duduk di ruang tamu villa menonton rekaman video.
Mengingat kejadian tak lama sebelumnya, hatinya dipenuhi keraguan. Di musim panas yang cuacanya panas, pria itu tadi berjalan di tepi kolam renang selama setengah hari, lalu langsung melompat ke kolam dengan masih mengenakan kemeja dan celana panjang. Awalnya ia mengira pria itu tiba-tiba ingin berenang, berharap bisa memperbaiki hubungan dengannya, ia pun kembali ke kamar untuk berganti pakaian renang. Tapi beberapa menit kemudian saat keluar, ternyata pria itu justru berdiri di zona dalam kolam—benar-benar berdiri di dasar air tanpa gerakan, terlihat seperti mayat tenggelam.
Dari tepi kolam ia mengamati selama satu menit, akhirnya gaduh bermain sambil berteriak "Tolong ada yang tenggelam!" lalu melompat ke air. Saat menarik tubuh pria itu ke tepi dan menekan dada mereka untuk memberikan napas buatan, barulah pria itu menghela napas panjang dan membuka mata. Dengan kesal seperti orang yang diganggu tidurnya, ia bertanya: "Kau mau apa?"
Kemudian pria itu masuk kembali untuk menonton rekaman video. Yang ditontonnya adalah film pertama yang ia bintangi, di mana ia memerankan wanita yang diperkosa dengan tubuh setengah telanjang hanya memiliki dua lirik: "Jangan dekati aku!" dan "Bahkan jika kau dapat tubuhku, takkan dapat hatiku."
Sungguh bodoh, wanita itu langsung dibunuh setelah diperkosa...
“Hatinya tidak nyaman, berenang dari sisi kolam renang ini ke sana, juga menahan napas menyelam ke area dalam. Perkiraannya kurang dari satu menit sudah tidak tahan dan batuk-batuk keluar, bahkan ikut meneguk beberapa kali. Perutnya terasa kembung, memandang bayangan di ruang tamu itu, rasa kekecewaannya semakin menjadi.”
“Pagi hari mengirim manajer yang ketakutan untuk pergi duluan ke Jianghai mempersiapkan konser. Mu Qingqing dan Ding Xiong pergi ke kantor polisi. Kini di villa ini selain empat pengawal yang dia sewa, hanya tersisa dia dan Jiaming. Bagi dirinya ini benar-benar keputusan sulit. Pagi tadi menelepon beberapa orang yang dikenalnya termasuk Tang Li, tetap berusaha mencegahnya segera meninggalkan Hong Kong. Min Zhan baru mati semalam, sekarang saat situasi paling tidak jelas. Sulit memastikan apakah Min Kun akan menjadi gila.”
“Sambil berpikir demikian, kembali ke ruang tamu. Jiaming sudah mengganti film. Ini yang dibintangi Fang Yusi tahun lalu, sudah menjadi tokoh utama wanita. Aktingnya cukup baik, memenangkan beberapa penghargaan kecil. Fang Yusi sendiri cukup puas dengan pertunjukan ini, tapi Jiaming terlihat agak aneh. Memandang layar TV sambil mengerutkan alis, dia tidak bicara tapi terlihat sangat tidak puas.”
“Ada apa? Film ini tidak bagus?”
“Tidak beres... Tahun 2003...” Ini kalimat ketiga yang diucapkannya hari ini. Jika Mu Qingqing melihat, mungkin akan terkejut bukan main. Jiaming memilih keping DVD, memasukkan yang baru. Fang Yusi bingung memegang DVD yang diganti: “Tidak ada yang salah kok...”
Hal yang dibicarakan oleh mereka berdua mungkin berbeda. Lebih dari separuh pagi, Jiaming menghabiskan waktu dengan terus mengganti CD dan menonton film. Sore hari pun tetap sama. Fang Yusi duduk di sebelahnya, sesekali memberi penjelasan tentang film-film tersebut, seperti kenalannya dengan aktor tertentu atau pengalaman kerjasamanya. Sekitar pukul tiga, Jiaming mengangkat kepala: "Lingjing... Ye Lingjing... siapa itu..."
Fang Yusi tertegun: "Kau benar-benar lupa?"
"Aku ingat... mungkin ingat..." Jiaming berdiri, bergumam pelan, lalu menepuk-nepuk kepalanya, "Tapi... agak kacau..."
Setelah mengucapkan itu, ia berbalik menuju lantai atas. Fang Yusi segera menyusul.
Pukul empat sore, Kepolisian Yau Ma Tei, Unit Kejahatan Berat.
"Mulai..."
Setelah menancapkan foto Min Kun di papan tulis dengan pin, Mu Zha mundur selangkah, bergumam sendiri.
Sejam sebelumnya, Da Fei terluka ditikam setelah meninggalkan rumah. Meski selamat berkat perlindungan mati-matian anak buahnya, ini menandai balas dendam Min Kun telah dimulai. Tujuh markas Da Fei telah dihancurkan. Tim lain sudah bergerak untuk membawa Min Kun untuk dimintai keterangan, tapi kabar terakhir menyatakan mereka sudah memeriksa kantor He Yisheng dan rumah Min Kun - orangnya sudah menghilang.
"Bersembunyi... ingin memperbesar masalah... Kau benar-benar nekat..." Mu Zha tersenyum, mengangkat telepon. Ketukan pintu terdengar. Setelah izin masuk, Mu Qingqing membuka pintu.
"Kapten Mu, ada hal apa?"
“Hmm, saya dengar pihak Min Kun saat ini sudah tidak bisa ditemukan. Dia sempat mengancam Nona Fang tadi malam. Menurutku… apakah sebaiknya kita mengirim orang untuk memberikan perlindungan ke pihak Nona Fang itu?”
“Saya juga sempat memikirkan hal ini, tapi… Fang Yusi sendiri juga punya beberapa koneksi…” Mu Cha meletakkan mikropon, tersenyum, “Kau tahu, orang di dunia hiburan pasti punya latar belakang Jalan Hitam sedikit banyak. Dia sampai sekarang belum meminta perlindungan dari kita, mungkin sudah ada persiapan sendiri. Dan menurut Xiao Pang, Nona Fang rencananya akan pergi pagi ini, kok sampai sekarang belum?”
“Karena beberapa hal, dia memutuskan untuk menunda kepergiannya beberapa hari. Meski dia sendiri sudah menyewa pengawal, tapi…” Mu Qingqing menggelengkan kepala. Empat pengawal yang disewa Fang Yusi memang punya kekuatan tertentu, tapi jika Min Kun benar-benar berniat menyerang, keempat pengawal itu tidak akan berarti apa-apa.
Mu Cha berpikir sejenak, lalu mengangguk: “Saya mengerti. Hal ini akan saya atur. Tapi… kau lebih dekat dengan pihak Nona Fang, sebaiknya berkomunikasi dulu dengannya. Entah dia meminta bantuan pihak lain atau meminta perlindungan polisi, yang penting keamanannya. Tentu kita juga tidak ingin terjadi perbedaan pendapat yang tidak perlu antara kedua belah pihak. Kau paham kan?”
Dalam arti tertentu, saat ini belum ada kepastian bahwa Min Kun Hui akan bertindak terhadap figur berpengaruh seperti Fang Yusi. Jika benar-benar membutuhkan perlindungan, dengan jaringan yang dimiliki Fang Yusi sendiri justru lebih aman daripada melibatkan polisi. Mu Qingqing tentu paham, sambil tersenyum mengangguk, dalam hati berpikir Inspektur Mu ini ternyata cukup mudah diajak bicara. Awalnya dikira akan sangat kaku. Saat sedang berpikir begitu, telepon di sakunya berdering - dari Fang Yusi sendiri.
Sambungkan panggilan, suara gelisah terdengar dari seberang: "Kak Qing, Jiaming... Jiaming kambuh lagi. Aku mau bawa dia ke klinik. Ada hal khusus yang perlu diperhatikan..."
Setengah jam yang lalu, Villa Victoria Peak.
"...Nah, informasi yang bisa ditemukan memang tidak banyak. Dia cukup dikenal di kalangan terbatas Wina, tapi kalau mau menyelidiki, mungkin cuma di situs web pribadi ini ada fotonya. Tahun 2002 dia pernah tampil di teater kecil ini..."
Di layar komputer terpampang situs web pribadi berbahasa Inggris. Foto seorang gadis bernama Ye Lingjing duduk di bawah cahaya biru muda, fokus memainkan piano. Suasana terasa menyimpan aroma kesedihan yang samar. Mendengar nama Lingjing, Jiaming langsung naik ke lantai atas dan membuka komputer, seolah ingin menyusun informasi di otaknya melalui data-data ini. Fang Yusi yang melihatnya pun mulai bercerita tentang Lingjing. Dulu saat mencari keberadaan Jiaming, dia juga sempat menyelidiki kabar Lingjing di Wina. Ceritanya terputus-putus selama lebih dari sepuluh menit sebelum akhirnya menyadari ada yang aneh pada kondisi Jiaming.
Dia duduk di sana melihat foto dan deskripsi dalam bahasa Inggris, tidak berbicara sama sekali. Perlahan, pembuluh darah di dahinya mulai menonjol. Saat Fang Yusi menyadarinya, seolah ada cacing tanah merayap di dahinya. Kedua tangannya menekan lutut, gigi terkunci rapat, seluruh tubuhnya gemetar halus. Di dalam kamar dengan AC yang mempertahankan suhu konstan lebih dari dua puluh Derajat, keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuh pria itu. Fang Yusi menatapnya dengan terbata-bata, lalu tiba-tiba berbalik merangkak ke sisi lain ranjang, mengambil telepon di meja samping ranjang, dan menghubungi rumah sakit.
Sebelumnya dia pernah mendengar Mu Qingqing menceritakan situasi saat Jiaming kambuh. Namun saat menyaksikan pemandangan seperti ini secara langsung, tetap saja dia tak bisa menahan keterkejutannya. Sambil menunggu ambulans tiba, dia mematikan komputer, mengusap keringat di dahi Jiaming dengan handuk, lalu buru-buru menelepon Mu Qingqing. Namun gejala itu datang cepat dan menghilang dengan cepat pula. Beberapa menit kemudian saat ambulans sampai di gerbang, urat-urat di pelipis Jiaming sudah tenang. Keringat masih mengalir, tapi sudah jauh berkurang dibandingkan paniknya awal tadi.
Dia membantu Jiaming naik ke ambulans, memberi isyarat pada pengawal untuk menyusul dengan mobil. Dua dokter buru-buru melakukan pemeriksaan sederhana pada Jiaming. Saat pertanyaan mereka tidak dijawab, dia segera menjelaskan dari samping: "Ini kelainan di kepalanya, tidak jelas bermasalah apa. Tapi biasanya dia memang tidak bicara. Kadang-kadang mau, tergantung keinginannya sendiri..."
Begitu berbicara, ambulans melaju ke depan hingga ke sudut jalan ratusan meter jauhnya. Ketika dia menoleh ke belakang, mobil yang dikemudikan pengawal sedang meninggalkan pintu gerbang villa. Sebuah mobil sport lain turun dengan santai dari jalan di sisi atas, menghadang pandangan kedua dunia. Entah mengapa, hatinya tiba-tiba merasa berat.
Beberapa detik kemudian, firasat ini terbukti. Sebuah Toyota hitam tiba-tiba muncul dari depan menghadang jalan ambulans. Mobil kecil lain juga dengan kecepatan tertinggi mengunci posisi di belakang. Dokter dan perawat di dalam mobil masih bingung, Fang Yusi mengeluarkan telepon secepat mungkin dan mulai memencet nomor. Pintu belakang ambulans terbuka keras oleh suara "Prak!", beberapa perampok bertopeng hitam bersenjata berlari masuk. Pertama-tama mereka merebut teleponnya dan menghancurkannya menjadi serpihan komponen.
Penghuni ambulans dipukul hingga pingsan. Fang Yusi dan Jiaming didorong masuk ke mobil berbeda, kemudian dengan cepat meninggalkan lokasi.
Beberapa menit kemudian, Mu Qingqing menerima telepon dari pengawal Fang Yusi...
Matahari terik membara, dua mobil beriringan melaju ke depan.
Jalan gunung berkelok-kelok mendekati pukul empat setengah sore. Terik matahari menyengat ditambah pilihan mereka mengambil jalan sepi di tepi pantai membuat arus lalu lintas minim. Sesekali berpapasan dengan mobil sport mewah, dari kejauhan terlihat sudut Victoria Harbour yang megah, lalu lenyap seketika. Di permukaan laut terlihat kapal pesiar mewah, tapi saat ini baik perampok maupun sandera sama-sama tak punya mood untuk menikmati segalanya.
Fang Yusi terjepit di jok belakang mobil kecil ini. Pakaian musim panas tipis yang dikenakannya kini tertindih pisau di pinggang yang seakan sudah melukai kulitnya. Dia gemetar hebat, tak berani bersuara, hanya sesekali melirik dua pria di sampingnya. Mereka diam seribu bahasa, sikap acuh tak acuh terhadap si cantik ini masih menyisakan bayangan dua tangan nakal di belakang yang membuktikan pesonanya tak sepenuhnya sia-sia. Ketakutan membuatnya hampir menangis, dalam hati terus mencari cara menyelamatkan diri.
Di mobil depan, Jiaming juga terjepit dua pria. Belati menempel di lehernya, tentu tak ada tangan usil yang meraba-raba di belakang. Namun kondisinya tak kalah buruk: lima orang berdesakan dalam mobil membuat AC tak memadai. Duduk tenang dengan keringat mengucur di dahi, di mata orang lain ini jelas dianggap sebagai ekspresi ketakutan.
"Sial! Berlagak tenang apa, sampai berkeringat begitu... Kau benar-benar berhenti berkeringat, atau Bunuh kau!"
"Yang berbicara adalah orang di kursi penumpang, paruh pertama kalimatnya berbahasa Inggris, baru di paruh kedua berganti ke bahasa China yang kurang lancar. Dia menoleh ke belakang, mengangkat pistol dan mencolek-colek dahi Jiaming beberapa kali, mendorongnya hingga tubuhnya bergoyang ke belakang. Belati yang menempel di leher Jiaming ikut bergoyang, seolah setiap saat bisa menyayat tenggorokannya. Tapi nyatanya tak ada urat darah merah yang terlihat, cukup membuktikan keahlian sang pengguna pisau. Jiaming didorong beberapa kali, keringat di dahinya masih belum berhenti. Orang di sampingnya malah tertawa, memandang ke arah mobil yang mengikuti di belakang."
"Timothy mereka dapat untung besar tuh, si cantik diseret mereka naik..."
"Bocah itu paling tak etis, dari awal udah ngebidik si cantik..."
"Fang Yusi... Aku udah lama mengincarnya. Setelah semua orang pulang, aku harus menyiksanya dengan baik..."
Empat orang di dalam mobil sama sekali tidak menganggap Jiaming. Mereka tertawa bersama. Percakapan mereka kadang berbahasa Inggris, kadang bahasa Thailand, bahasa China mereka sebagian besar tidak bagus. Beberapa menit kemudian, Jiaming menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Keringat masih ada di dahinya, tapi kalau diamati, tak ada lagi yang mengalir keluar. Orang yang memegang pisau di sampingnya kesal melihatnya: "Kau ingin MATI!"
Kedua tangan Jiaming masih tertata rapi di lututnya, pandangannya tetap tertuju pada perangkat di depan mobil. Beberapa saat kemudian, dia justru membuka mulut: "Kalian... geng kriminal ini cara kerjanya cukup menarik ya..."
Kalimat ini terucap, keempat orang di dalam mobil langsung memandangi ke arah sini. Pria di kursi penumpang bahkan mengangkat laras senjata, dengan wajah tidak nyaman menoleh ke belakang, terlihat seperti ingin memukul orang.
Jiaming sama sekali tak bereaksi terhadap Segalanya ini, pandangannya tetap. Beberapa detik kemudian, tiba-tiba membuka mulut tanpa alasan jelas: "Kalau begini... akan MATI..."
"Sial! Memang tujuannya untuk membunuhmu!"
Orang di kursi penumpang itu dengan keras mengayunkan senjata di tangannya ke arah kepala Jiaming. Dua orang di sampingnya menunjukkan ekspresi bosan. Mereka sebenarnya juga ingin menyerang, tapi karena sudah didahului, ya sudahlah. Dipukul seperti ini di kepala, memang tidak sampai MATI, tapi kepala pecah berdarah-darah sudah pasti...
Di mobil belakang yang berjarak belasan meter, Fang Yusi dengan wajah ketakutan membuka mulut sambil gemetar: "Kalian... kalian ini siapa..." Belum selesai bicara, dia sudah hampir menangis merasakan pisau di pinggangnya mendorong. Sesaat kemudian, kebingungan akibat pemandangan lain sedikit menggantikan emosi ini. Di sisi kanan mobil depan, sebuah kaca mobil tiba-tiba meledak. Kaca-kaca berhamburan beterbangan ke udara, memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan, berkilauan bagai pelangi yang tiba-tiba muncul.
Jalan tidak terlalu lebar, saat ini sedang melewati tikungan dekat laut di depan. Tidak terlihat kendaraan lain di depan maupun belakang. Kedua mobil sedikit mengurangi kecepatan. Kelima orang di dalam mobil menyaksikan kejadian ini dengan jelas. Pelangi hanya muncul sekejap, dan tepat setelah menghilang, mobil kecil yang sedang melaju itu tiba-tiba bergetar dahsyat BRAK.
Getaran yang sesungguhnya, seolah bodi mobil dihantam palu besar. Di banyak acara TV, adegan orang bercinta dalam mobil mungkin mirip, tapi tak sesengit ini. Bayangan-bayangan bergerak cepat di dalam mobil, kemudian semua kaca jendelanya meledak ke segala arah.
Sebuah sosok hitam menerobos kaca jendela kiri dan terlempar keluar, menghantam tebing di sisi jalan sebelum jatuh ke bawah. Ditambah ledakan seluruh kaca mobil, pemandangan ini benar-benar spektakuler.
Tak lama kemudian, pintu belakang sebelah kanan mobil itu ditendang hingga terlepas. Seluruh pintu melayang setinggi lebih dari tiga meter, lalu jatuh ke laut di sisi jalan. Seseorang melompat keluar dari mobil.
“Setelah membintangi beberapa film, Fang Yusi sudah cukup sering menyaksikan orang melompat dari mobil. Umumnya orang akan berguling beberapa kali di tanah lalu bangkit. Namun pemandangan di depan matanya kali ini berbeda. Silau cahaya matahari membuatnya tak bisa melihat jelas siapa yang melompat keluar. Namun bayangan hitam itu tak terjatuh. Dia nyaris langsung berdiri di tanah. Karena inersia mobil yang masih bergerak, begitu menginjak tanah, dia terus terdorong mundur ke depan jalan. Tapi karena perbedaan kecepatan relatif antara mobil dan pria itu, pemandangan ini terlihat seperti dia sedang melangkah mendekat dengan gaya tari berjalan di angkasa. Meski mobil tak melaju kencang, jarak belasan meter tetap terlewati dalam sekejap. Ketika bayangan hitam itu berjarak sekitar 5 meter dari mobil, akhirnya dia bisa melihat jelas sosok itu.
Mobil menubruk ke arahnya. Kemeja putih berkibar di udara. Di wajah Jiaming terpancar tatapan dingin yang belum pernah Fang Yusi lihat sebelumnya. Dia mengangkat kedua tangan, lalu tiba-tiba menekan ke bawah.
Di kejauhan, cahaya matahari menyilaukan membiaskan riak langit biru. Burung camar berputar-putar di angkasa. Kapal pesiar mewah melintas sambil membunyikan sirene. Toyota hitam dengan keempat pintu yang meledak di depan tak bisa berbelok. Mobil itu menabrak pagar sementara di sudut jalan tepi pantai, lalu melayang tinggi ke udara. Di depan mata Fang Yusi, haluan mobil hanya berjarak satu meter dari Jiaming. Tangan pria itu menekan kap mesin mobil.
Braak——
“Aaaaa——”
Di tengah daya hantam yang dahsyat, terdengar jeritan Fang Yusi. Kap mesin mobil mewah itu ambles, haluan mobil menyentuh tanah mengeluarkan percikan api raksasa, sementara ekor mobil terangkat ke atas. Persis saat dahi Fang Yusi melakukan kontak intim dengan atap mobil, kaca-kaca jendela di sekelilingnya meledak menjadi debu emas yang memenuhi langit di bawah terik matahari...
## Bagian Empat Ratus Tiga Puluh Enam - Huiqing
Sekitar pukul lima sore, Mu Cha dan rombongan tiba di lokasi kecelakaan. Yang mereka temukan hanyalah serpihan bagian tubuh dan fragmen kaca mobil yang bertebaran.
Awalnya diduga sebagai kecelakaan lalu lintas biasa. Polisi lalu lintas telah mengamankan jalanan ini sejak lama. Baru setelah investigasi tim kasus berat, pihak kepolisian lalu lintas melaporkan ke atasan. Diduga ada kaitan dengan kasus Fang Yusi. Saat ini kedua mobil sudah menabrak pagar pelindung dan terjun ke laut. Karena lereng tepi pantai terlalu curam, derek sulit digunakan. Mereka telah menghubungi kapal tunda yang sedang dalam perjalanan. Namun pemeriksaan jejak di jalanan benar-benar menimbulkan keanehan.
"...Goresan besar sepanjang ini berjarak lebih dari sepuluh meter dari titik mobil jatuh ke laut. Mustahil kendaraan biasa meninggalkan jejak seperti ini, kecuali mobil itu sudah bertabrakan dan mengalami deformasi sebelum jatuh. Sasis bergesekan dengan aspal. Pertanyaannya, apa yang menghadangnya... Dua jejak di depannya ini kemungkinan besar disebabkan oleh gesekan sol sepatu dengan permukaan jalan..."
Petugas pemeriksaan dan deteksi yang sedang melakukan pemeriksaan jalan terlihat agak aneh. Mu Cha berjongkok melihat bekas sepanjang lebih dari satu meter di tanah sambil mengerutkan alis: "Jika ada orang di jalan sebelum tabrakan, saat haluan mobil tertekan ke bawah, kaki mereka juga terjepit. Jadi mobil meluncur lebih dari satu meter. Tapi masalahnya tidak ada darah kering di sini. Mungkin ini sesuatu yang tidak karuan... Apakah bulldozer proyek yang menekan haluan mobil ini?"
Petugas itu menggelengkan kepala: "Apapun kendaraannya, setelah tabrakan seperti ini pasti meninggalkan jejak. Tapi di depan tidak ada bekas roda kendaraan sama sekali..."
"Berarti ada sesuatu yang tidak diketahui menekan haluan mobil..." Mu Cha berdiri. Urusan penyelidikan lapangan bukan tanggung jawab utamanya. Karena belum menemukan jawaban, biarkan profesional yang menganalisis. Ia berjalan ke pinggir jalan, melihat bekas darah di tebing dan jalan yang masih terlihat, lalu tersenyum bertanya pada seseorang di sebelah: "Apa pendapat Kapten Mu?"
"Saya perkirakan Nona Fang mungkin mencari orang sendiri..." Mu Qingqing mengerutkan kening, "Dari TKP terlihat ada yang mencegat kedua mobil ini. Mungkin terjadi konflik, ada yang melompat dari mobil dan menabrak sini. Lalu... kedua mobil beserta semua penumpang dilempar ke laut..."
Belum selesai bicara, telepon di saku kembali berdering. Nomor asing. Setelah diangkat, ternyata benar-benar Fang Yusi yang menelepon.
“……Aku dan Jiaming sudah tidak apa-apa. Selamat... Hmm, pokoknya sulit dijelaskan, mikir lama baru ingat nomormu, sekarang juga tidak bisa jelaskan detail... Benar-benar aman, kami sekarang di area Repulse Bay, plaza kecil dekat tepi pantai... Jiaming yang bawa kesini, entah dia mau lihat baju renang atau apa... Nanti hubungi lagi ya nanti hubungi lagi, telepon umum, uang recehku habis, es krim juga mau meleleh... Panas banget... Drip——”
Teleponnya hancur kena hantam saat penculikan, klaim pakai telepon umum terdengar terburu-buru, tapi masih sempat makan es krim. Mu Qingqing tertegun memandangi ponselnya lama, kemudian melaporkan hal ini ke Mu Cha yang langsung mengernyitkan kening, memerintahkan Si Gemuk dan kawan-kawan segera ke Repulse Bay.
"Sepertinya Nona Fang benar-benar cari pembantu sendiri, tapi situasi sekarang sudah meluas. Meski polisi air belum paham kondisi di bawah, kurasa orang-orang yang dikirim Min Kun mungkin sudah MATI semua. Kali ini... Kali ini..."
Bagaimanapun, begitu ada korban MATI, kasus ini resmi jadi kasus besar. Bagi penegak hukum, tekanan pasti bertambah besar. Tapi Mu Cha malah menunjukkan senyum mengandung kelegaan dan kuminati yang tak terucapkan. Mu Qingqing mengerutkan alis, merasakan keanehan dalam hal ini.
Awalnya hanya investigasi bersama kasus pembunuhan besar, siapa sangka setelah datang ke sini, situasi berubah begitu cepat. Keterkaitan dengan beberapa geng kriminal Hong Kong - He Yisheng, Min Kun, hingga kematian anak laki-laki Min Kun, konflik geng kriminal yang dimulai sore tadi, sampai pada titik ini sudah benar-benar di luar kendali. Jika hal ini bisa ditangani dengan baik tentu akan menjadi prestasi besar, tetapi jika menimbulkan masalah, pasti bukan tanggung jawab yang bisa mereka pikul.
Di sisi lain, ombak, tepi pantai, si cantik.
Setelah menutup telepon, Fang Yusi membawa es krim menyusuri kerumunan orang menuju kedai teh tepi pantai. Meski hari sudah mendekati sore, matahari masih terik. Dia menyerahkan satu es krim kepada Jiaming di seberang, lalu ikut duduk.
Sejak tiba di sini, mereka berdua sudah berganti pakaian di supermarket. Kini penampilan mereka persis seperti pasangan kekasih yang sedang berlibur. Meski Jiaming terlihat sedikit pendiam, Fang Yusi tampak sangat ceria. Kekhawatiran di pagi hari dan rasa takut setelah penculikan sudah hilang. Dalam setengah jam lebih, dia sudah bisa menerima kenyataan mengejutkan yang dilihatnya sebagai bagian dari realita, bahkan merasakan keamanan yang luar biasa.
Tidak bisa diungkapkan betapa terkejut dan terguncangnya hatinya ketika melihat kejadian itu setengah jam lebih yang lalu. Pada saat keempat pintu meledak, dia bahkan belum sempat membuka mata sebelum dentuman senjata terdengar. Peluru menembus bodi mobil dan melintas di sampingnya. Saat Jiaming menyelamatkannya dari tumpukan mayat di dalam mobil, pikirannya masih berkabut tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Hanya setelah dia melihatnya mengangkat mayat di pinggir jalan dan memasukkannya ke mobil, lalu menyetir mobil kecil itu ke laut, barulah reaksi samar muncul. Dia pun mengikuti langkahnya dalam diam hingga sampai di pantai yang lebih rendah, tempat dia tiba-tiba dilemparkan ke laut untuk membersihkan darah kering di tubuhnya. Dengan pakaian basah yang masih melekat, mereka kemudian mencari alasan untuk menumpang mobil orang di jalan raya menuju ke sini.
Dari awal sampai akhir, Jiaming tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun segalanya dilakukan dengan terstruktur seolah bukan sedang MEMBUNUH, hanya menyelesaikan urusan sepele yang tak berarti. Sejak pertama kali mengenalnya sebagai bocah lelaki berbakat yang pandai menulis lagu, hingga pertemuan kali ini, kekhawatirannya akan keselamatan Jiaming justru membuatnya membawanya mencari Minkun. Kini tersadar bahwa semua yang dilakukannya mungkin sia-sia belaka.
“Dia sebelumnya juga pernah melihat beberapa orang yang katanya sangat hebat, seperti pasukan khusus atau tentara bayaran, yang mempertunjukkan kemampuan mengalahkan sepuluh orang bahkan puluhan orang. Jika hanya sampai tingkat seperti itu, mungkin dia tidak akan terlihat terlalu terkejut. Tapi momen ketika Jiaming berjalan menghadap ke laut tadi benar-benar membuatnya merasakan arti getaran dahsyat. Hingga sekarang, setengah jam lebih kemudian, dia masih bisa merasakan gemetar halus di tubuhnya.”
“Aku barusan telepon ke Kakak Qing, kasih tahu kita di sini. Kira-kira sebentar lagi mereka bakal nemuin kita.”
Kalimat ini diucapkan dengan suara lembut, hanya sekadar memberi tahu. Namun Jiaming yang selama ini diam memandang ke barat akhirnya mengangguk perlahan: “Ceritakan... tentang Ye Lingjing dan Liu Huaisha.”
“Oh.” Fang Yusi buru-buru mendorong kursinya lebih dekat, duduk di sebelah Jiaming. “Waktu pertama kenal kalian, kalian masih mahasiswa SMA di Akademi Hati Kudus Jianghai. Waktu itu kalian bikin band sendiri namanya Konsep...”
Sambil menyusun ide-idenya, dia menceritakan semua hal yang diketahuinya satu per satu. Jiaming hanya mendengarkan. Di seberang teluk, cahaya matahari kemerahan mulai tenggelam perlahan, menyiramkan kilau jingga keemasan ke permukaan laut dan pantai di sisi ini...
Setengah jam kemudian, Si Gemuk akhirnya menemukan mereka di kerumunan orang. Dia memperhatikan dua orang yang sedang duduk berbicara itu sejenak, samar-samar merasa situasi hari ini terasa agak berbeda.
Beberapa hari yang lalu juga melihat Fang Yusi merawat Jiaming, sebagian besar seperti kakak yang memanjakan. Tapi dari kejauhan sekarang, entah mengapa, selebriti besar bertopi matahari dan berkacamata hitam ini terkesan agak... penggemar berat.
Mungkin persepsi yang salah... Dia menggelengkan kepala, lalu berjalan mendekati mereka berdua...
Malam hari, Shenzhen.
Musim panas dengan siang yang panjang. Jarum waktu baru saja menunjuk pukul delapan malam. Matahari baru terbenam, lampu neon berapi-api telah menyelubungi kota ramai nan hiruk-pikuk ini. Pada jam segini, orang-orang baru saja selesai makan malam. Tempat-tempat yang biasanya baru ramai di tengah malam masih terlihat sepi. Di sebuah PUB bernama "Paris Musim Dingin", Dongfang Lu sedang duduk di bar panjang sambil minum cola, sambil memperhatikan para pelayan yang sibuk mempersiapkan pembukaan.
Dia memandangi orang-orang ini, para pelayan muda pria dan wanita yang juga sedikit banyak mengamatinya. Sebagian besar pekerja di sini adalah remaja yang baru memasuki masyarakat, ada juga mahasiswa yang kerja paruh waktu selama liburan. Di mata kebanyakan cewek, pengusaha muda 24 tahun ini memiliki daya tarik yang sulit diungkapkan - muda, santai, dan kaya raya. Hubungannya dengan pemilik bar cukup baik, sehingga mereka bisa mendapatkan kabar tentangnya: konon dia adalah pewaris bisnis keluarga besar, saat ini memecah perusahaan hanya karena hobi sementara, tapi dalam beberapa tahun, asetnya sudah mencapai miliaran. Jika orang lain minum cola di bar pasti dianggap BS, tapi saat dia melakukannya, justru terlihat sebagai ekspresi karakter yang unik.
"Ganteng, minum cola di barku ini kurang menghormatiku. Gimana kalau coba minuman baru yang aku racik kemarin?"
Bartender cantik berponi ekor kuda dan bertubuh tinggi mendekat sambil tersenyum. Namanya Li Ya, yang juga pemilik bar ini. Mereka teman SMA di Shengxin. Setelah Dongfang Lu datang ke Shenzhen, mereka sering bertemu di bar ini. Kali ini dia hanya tertawa: "Jangan-jangan, Ya-jie, ini lagi cari kelinci percobaan ya?"
Terbiasa bercanda, Li Ya tak keberatan. Dia mengambil gelas anggur tinggi dan menuangkan cola untuk dirinya sendiri: "Semua urusan sudah diatur?"
"Iya, dua hari ini kerja keras banget. Urusan selanjutnya bisa kuserahkan ke mereka. Besok berangkat pulang."
"Tidak mungkin masih punya perasaan pada Ye Lingjing, kan?" Li Ya tersenyum, "Masih mau datang? Bagaimana dengan Nana?"
Shi Nana adalah pacar Dongfang Lu di sini, dan kebetulan juga junior dari Li Ya, mereka berdua baru saling kenal karena Li Ya. Namun, Dongfang Lu jelas tak pernah memikirkan hal sebanyak ini, menggelengkan kepala dengan kekecewaan, mungkin menanggapi topik Lingjing: "Mana mungkin..." Beberapa saat kemudian menambahkan: "Tentu saja akan kembali, karierku di sini."
Saat mereka sedang berbincang, seorang perempuan berkemeja putih masuk dari gerbang, lalu mengayunkan tangan sambil tersenyum ke arah ini: "A Lu, senior." Dongfang Lu mengerutkan kening dengan jengkel: "Selama ini merasa panggilan A Lu tidak sebagus Xiao Lu, tapi dia tetap tak mau mengubah..."
"Mungkin merasa itu membuatmu terlihat lebih muda," Li Ya tersenyum sambil menurunkan volume suaranya, "Kau harus bersiap, Nana sudah tahu urusan Ye Lingjing. Tahu kau kemarin menelantarkannya hanya untuk urusan pekerjaan, besok malah meninggalkan tugas lari pulang hanya demi bertemu mantan perempuan yang kau suka. Bisa-bisa dia menggeleparimu habis-habisan."
"Kau ini... selalu ingin melihat dunia berantakan..."
Dongfang Lu mengangkat mata putihnya dengan kesal, lalu menoleh tepat saat menangkap pacarnya yang sedang menerjang ke pangkuannya: "Nana, mau cola?"
"Boleh." Shi Nana menuangkan cola untuk dirinya sendiri, menyesap besar-besaran lalu berkata: "Aku tadi ke perusahaanmu, teman brengsekmu bilang besok kau pulang ke Jianghai. Kau tak bilang padaku."
"Heh, keputusan dadakan. Aku juga tak menyangka bisa menyelesaikan urusan hari ini..."
“Aku juga mau pergi.”
“Eh... Aku juga tidak pergi lama-lama...”
“Aku ingin melihat tempat kau tumbuh besar!”
Setelah beberapa kali debat, Dongfang Lu yang berkarakter santai mengangguk sambil tersenyum. Pola interaksi selama setahun terakhir memang selalu seperti ini - Nana adalah perempuan penuh vitalitas dengan inisiatif tinggi (ini adalah deskripsi puitis, versi kasarnya bisa disebut tipe pacar biadab). Dongfang Lu biasanya membiarkannya berlaku sesuka hati tanpa banyak menuntut.
Setelah berbincang sebentar, Nana mulai hati-hati menanyakan apakah dulu dia pernah mengejar perempuan bernama Ye Lingjing. Dengan santai dia mengalihkan topik. Tak lama kemudian, beberapa rekan kerjasama dari perusahaan datang. Mereka menyewa bilik VIP besar di sebelah untuk acara pelepasan Dongfang Lu. Di tengah keriuhan pesta, Dongfang Lu duduk menyaksikan segalanya sambil menghela nafas halus.
Sebenarnya sangat sedikit yang tahu, di balik citra sosialita yang dikelilingi banyak teman, Dongfang Lu sesungguhnya menganut prinsip "persahabatan orang bijak tawar seperti air". Dalam arti tertentu, Jiaming dari kehidupan sebelumnya yang memiliki data puluhan tahun bisa memahami hal ini. Kini perasaan Dongfang Lu pada Lingjing sudah memudar - orang yang benar-benar sombong takkan berlarut-larut dalam hal seperti ini. Sejak mengetahui fakta Jiaming dan Lingjing tinggal bersama, dia sudah melepaskan perasaan itu. Yang kini benar-benar mengganggunya justru janjinya pada Jiaming.
Sejak saat itu ketika dia bertanya pada Jiaming: "Bagaimana bisa mempercayai orang lain." Jawaban Jiaming adalah: "Setidaknya bisa mempercayaimu." Saat itu dia sudah memutuskan, setidaknya untuk hal-hal setelahnya, akan melakukan segalanya dengan sempurna 10 bagian. Bagi dirinya ini merupakan bentuk kepercayaan, terutama setelah menganggap Jiaming telah meninggal, janji ini menjadi semakin penting. Oleh karena itu, sejak mengetahui Lingjing kembali ke Jianghai, dia selalu menyimpan mentalitas berat di hati, tidak tahu harus menjelaskan bagaimana, agar bisa meminimalisir kerusakan.
Dalam hatinya, bisa dibayangkan, Lingjing saat ini sedang berada dalam kondisi hati yang penuh kesedihan tiada tara.
Tentu saja, dari beberapa aspek, perasaan terhadap Lingjing memang masih ada. Itu adalah seorang cewek yang sangat cantik, bukan hanya fisik, lebih banyak keindahan sifat batin yang terlihat di matanya sekarang. Jika suatu hari nanti dia harus mengejar seorang wanita untuk dinikahi, jika saat itu Lingjing mungkin sudah melepaskan belenggu Jiaming, dia mungkin akan menjadi kandidat terbaik. Tapi sama sekali bukan sekarang. Dia mengerti betapa keteguhan hati seorang perempuan yang mengasingkan diri di luar negeri selama empat tahun, memisahkan diri dari segalanya yang pernah ada. Dia bukan Julian yang hanya punya kepercayaan diri buta, dia benar-benar paham.
Karena memahami, maka menghela nafas.
Mendekati tengah malam, Jianghai.
TV menayangkan berita internasional malam itu, tapi ruang tamu kosong. Qiao Guorui sedang mempersiapkan makan malam di dapur. Tak lama kemudian, istrinya Chen Yali yang hanya berbalut handuk mandi turun tangga ikut membantu.
"Uhh, garamnya kebanyakan..."
“Ada?” Qiao Guorui menjepit selembar sisa sayuran dan memasukkannya ke mulut, “Aku rasa aromanya enak.”
“Pokoknya masakanmu selalu dianggap enak.”
Istri tersenyum, melotot padanya. Lima tahun kehidupan suami istri membuat mereka saling memahami kebiasaan masing-masing, perlahan mencapai keselarasan. Satu-satunya perbedaan yang tetap ada adalah soal tingkat keasinan masakan. Tentu sesekali bertengkar mulut dan saling beradaptasi justru menambah keseruan dalam hidup.
Sejak menikahi Chen Yali yang bekerja di komite kota, dia meninggalkan tim operasi []. Kini dia menjabat posisi santai di pemerintah. Jabatan Yali jauh lebih tinggi, tapi mereka berdua tak terlalu mempedulikannya. Hari ini karena kerja ekstra, makan malam baru bisa disantap larut malam. Saat sedang sibuk di dapur dan hampir menyajikan masakan, terdengar ketukan pintu. Mereka berdua tertegun.
Mereka kini tinggal di villa. Biasanya tamu akan membunyikan bel pintu. Ketukan langsung di pintu berarti tamu sudah masuk ke halaman. Qiao Guorui dan istrinya bertukar pandang, kemudian mendekati pintu. Setelah membukanya, terlihat seorang asing bertubuh tinggi.
“Halo, apakah ini rumah Pak Qiao Guorui?”
Bahasa Chinanya terdengar kaku. Qiao Guorui memandanginya lama. Perlahan senyum mengembang di wajahnya, tapi yang diucapkan adalah bahasa Inggris: “Jika tebakan saya benar... kau datang untuk Bunuh saya?”
“Bingo.”
Begitu kata-kata itu terucap, tangan kanan Qiao Guorui tiba-tiba terangkat. Laras senjata hitam legamnya mengarah ke sana. Secara bersamaan, pria bertubuh besar itu memutar tubuhnya dan melayangkan pukulan seperti petir ke arah wajah Qiao. Hampir bersamaan, berkas cahaya putih berputar bagai pusaran muncul dari sekitar Qiao Guorui, seketika membelit lengan lawannya.
"Byur suara tembakan! Tubuh Qiao Guorui melompat ke belakang, pria bertubuh besar itu maju selangkah, dinding dalam radius setengah meter di sekitar rangka pintu hancur menjadi pecahan batu yang beterbangan. Namun tiba-tiba siluet hitam muncul dengan cepat menyusul, kipas debu pucat berubah menjadi ilusi di bawah cahaya lampu, lalu dengan desing angin keras menghantam wajahnya.
Darah menyembur keluar, separuh wajahnya seketika berdarah dan terluka parah.
"Aaaaa——"
Situasi kekalahan yang sama sekali tidak terduga membuatnya mengeluarkan raungan kemarahan yang penuh, pukulan kerasnya menembus penghalang yang ditenun dari kipas debu, melesat ke sosok kurus berbaju hitam di belakang. Pada saat yang sama, ujung jubahnya berayun pelan, perutnya tiba-tiba terasa sakit luar biasa—sebuah tendangan tak bersuara yang tampak lemah, namun meledak bagai ledakan di dalam perutnya. Sembari menimbulkan kram dahsyat, tendangan itu melempar seluruh tubuhnya ke udara.
Kecepatan seperti ini, ternyata bahkan tak sempat ia lihat sekilas pun!
Tubuh baru saja mendarat, siluet hitam itu sudah menderu mendekat di bawah kegelapan malam. Dengan suara *prak*, lengan baju panjang berdesir di udara seperti cambuk. Sebuah lengan kurus kering menyembul dari manset, mencengkeram ke arah kepalanya dengan garang.
“Shit——”
“Braak——”
Dengan gesit ia berguling, menggunakan lengan kiri untuk mendorong tubuh terbang dari tanah. Persis di tempat ia baru saja berdiri, pagar marmer taman bunga telah hancur berantakan oleh serangan itu, pecahan batu beterbangan seperti peluru.
Badannya belum sempat stabil, bayangan hitam itu sudah menyusul seperti bayangan. Serangannya kilat seperti petir, menangkis pukulan yang dilayangkannya. Energi yang terpecah terus meledak di lengan dan tubuhnya. Orang berbaju hitam ini bertubuh kecil, setiap serangannya terlihat lembek, namun saat menghantam tubuh manusia, setiap pukulan terasa menyiksa hingga ke sumsum tulang. Kecepatan hantu-nya sungguh membuat musuh ingin menggaruk-garuk kepala.
Di dalam kamar, Chen Yali telah membantu Qiao Guorui berdiri. Dengan senjata di tangan, ia menatap keluar ke arah dua orang yang sedang bertarung. Mulutnya terbuka terkagum: “Langit... Guru Huiqing dia...”
Malam ini di rumah Qiao Guorui yang berjaga menunggu secara pasif, tentu saja adalah Huiqing yang membawa Ruo Ruo. Sebelumnya, tidak seorang pun dari kelompok Qiao Guorui yang pernah melihat serangannya. Tidak ada yang pernah membayangkan bahwa begitu benar-benar menyerang, kekuatannya ternyata mencapai tingkat yang sedemikian tinggi. Kini di halaman itu, dua bayangan menari-nari seperti angin. Mereka bahkan hampir tidak bisa melihat dengan jelas. Pria Bertubuh Besar itu terlihat berada di posisi inferior, namun dalam pandangan orang-orang ini kecepatan dan kekuatannya sungguh menakjubkan. Dalam serangannya, posturnya bagaikan kereta perang. Di mana pun mereka berpindah, taman bunga meledak menjadi debu, pagar tinggi baja di tepi halaman terpelintir seperti mi yang dipatahkan secara aneh.
Terus mundur di bawah serangan Pria Bertubuh Besar itu, sambil menghindar dengan gerakan tangan secepat kilat. Di antara kibasan bulu ekor kuda yang menari-nari, sekali lagi dia mencambuk tubuh lawannya. Kali ini cambukan tepat mendarat di dada. Di antara sobekan kain yang beterbangan, jutaan helai bulu ekor kuda bagaikan pisau baja tiba-tiba menyayat daging dalam jumlah besar. Sekilas bahkan terlihat tulangnya. Dalam raungan aneh sang raksasa, bayangan itu langsung menghilang. Seluruh tubuhnya terbang ke udara mengikuti rangkaian tendangan kaki yang beruntun.
"Betis, lutut, paha, pinggang, rusuk, bahu, kepala," seketika, "Prak-prak-prak-prak-prak-prak-prak——" tujuh dentuman beruntun, Huiqing berbaju hitam melayang bagai kertas sampingannya, seolah menaiki tangga langit. Tendangan terakhir di kepalanya membuat seluruh tubuhnya melesat, lengan jubah berkibar-kibar sementara empat suara tembakan bergema. Percikan darah mekar di tubuh musuh bersamaan dengan seberkas cahaya putih menyambar posisinya tadi. Seketika, sosok besar itu diseret mundur dengan kasar.
Huiqing melompat lima meter, berdiri mantap. Satu tangan memegang sapu debu Taois, tangan lain terkulai alami. Empat tembakan barusan seolah hanya kedipan mata - tak ada jejak di antara kedua tangannya. Di seberang, pria asing berbaju putih kesatria mencabit pedang tikam yang tertancap di tanah, tersenyum elegan.
"Pasti ini Nyonya terhebat dari []. Luar biasa di usia muda sudah meraih kejayaan tempur sebesar ini... Kratos, kau terlalu ceroboh. Andai hari ini kau datang sendirian, mungkin takkan bisa pulang."
Suaranya baru saja berhenti, pria bernama Kratos di belakang tiba-tiba berteriak "Aaaaa—". Di bawah sinar lampu, bekas tamparan pertama Huiqing di wajahnya telah menghilang sepenuhnya, hanya menyisakan profil wajah yang berlumuran darah. Otot di dadanya bergerak-gerak secara aneh, menyembuhkan luka dengan kecepatan yang terlihat mata. Dengan suara "Puff", empat peluru terbang keluar dari tubuhnya. Dia menangkap satu peluru dengan tangan, di bawah cahaya lampu, proyektil berdarah itu mengeluarkan suara "Sssss" disertai asap putih yang mengepul, perlahan meleleh.
"Peluru perak, sepertinya mereka sudah melakukan persiapan..."
Gerakan serangan Huiqing sebelumnya secepat kilat, setiap pukulannya menembus hingga sumsum tulang. Pakaian Kratos kini telah compang-camping. Dengan kasar dia merobek kemejanya: "Aku ingin melihat sampai seberapa lama kau bisa bertarung dengan usiamu yang sudah sepuh!" Saat hendak menyerang, pria yang memegang pedang tikam mengulurkan tangan menghadangnya: "Kurasa... lagipula kau tidak bisa menghentikan kami. Pertarungan ini hanya akan melukai tubuhmu. Karena kami sudah ketahuan, bagaimana kalau kau biarkan kami pergi begitu saja?"
"Ketika pencuri atau pembunuh ketahuan lalu meminta dilepaskan dan pergi maka damai, jika ditempat lain, pasti akan ditertawakan sampai MATI, tapi situasi di depan mata memang seperti ini. Menghadapi satu musuh, Huiqing tampak unggul, tapi kalau berhadapan dengan dua yang MATI dengan kemampuan regenerasi super, tak perlu bicara bisa menang atau tidak, di usianya ini, takkan sanggup bertahan. Berdiri dalam jubah hitam di kegelapan malam, Huiqing diam. Kratos mungkin sudah terbiasa menganggap keputusan orang berpedang sebagai keputusan mutlak, bahkan tak berniat menyerang lagi. Menggelengkan kepala, ia berbalik hendak pergi. Baru menoleh, seluruh tubuhnya terlempar ke samping seperti bola bisbol yang dipukul sekuat tenaga.
Braak——
Di bawah kegelapan malam, dia menabrak tembok lalu terlempar masuk ke taman bunga villa seberang. Kawasan ini sebagian besar rumah baru, belum ada penghuni, jadi tak ada yang keluar biar tahu rasa.
Dalam kegelapan, mengikuti suara langkah kaki 'tek... tek...', sosok perlahan muncul dari seberang jalan, seolah bayangan yang perlahan muncul di kertas foto. Wanita itu memakai jaket kulit hitam yang seksi, wajah cantik dan anggun, rambut bergelombang panjang. Perlahan dia mendekati pria berpedang itu hingga berjarak beberapa meter.
"Bagaimana jika... ditambah aku?" Dengan senyum anggun, dia menatap pria di depannya, "Pertemuan pertama, panggil saja aku Natalie."
“Victor.” Dikepung dari dua sisi, pria itu tidak menunjukkan kepanikan. Ia hanya membungkuk melakukan Tata Krama Bangsawan, kemudian memandang ke arah reruntuhan tempat Kratos terlempar dengan ekspresi kecewa, "Kratos, kau sungguh mengecewakanku. Setelah bertahun-tahun tidak berolahraga, bahkan caranya menghindari serangan saja sudah kau lupakan?"
Braak! Suara gemuruh mengiringi bayangan yang bangkit dari reruntuhan, memutar-mutar lehernya.
"Hanya... sedikit berkarat..."
Mungkin akibat pertarungan tadi yang mengenai kabel listrik, lampu jalan di sekitar villa berkedip-kedip. Di bawah langit malam, empat bayangan saling mengamati dalam kesunyian yang mencekam.
Pertempuran sudah di depan mata.
## Bagian Empat Ratus Tiga Puluh Tujuh Semuanya Orang Bodoh
Serangan mendadak untuk membunuh malah terjebak penyergapan. Meski terlihat mengalami sedikit kerugian, Victor dan Kratos tidak menganggap diri dalam posisi inferior. Di sisi lain, Huiqing yang kehilangan banyak anggota tanpa alasan jelas juga tak mau berkompromi. Dialog sopan yang terjalin baru saja berakhir, tiba-tiba Huiqing yang selama ini diam langsung menyerang. Meski sudah berusia lanjut, sifatnya tetap frontal. Menghadapi musuh, ia bahkan malas melakukan perkenalan pura-pura. Tubuhnya seperti kilat, menyusutkan jarak 5-6 meter dalam sekejap. Kumisannya menyambar udara dengan Braak!
"Orang-orang di Tingkat ini, dalam situasi yang sudah dipersiapkan, serangan mendadak basically adalah bahan ejekan." Bayangan itu menyelinap, pedang tikam di tangan Victor juga tiba-tiba memancarkan cahaya, di bawah lampu jalan seperti garis putih runcing yang tiba-tiba terukir. Detik berikutnya, dentuman pistollah yang menggema di antara mereka berdua.
Satu memegang sapu debu, satu memegang pedang tikam, tapi menggunakan metode pertempuran yang identik. Kemampuan bertarung sebagai utama, senjata sebagai pendukung. Saat bayangan mereka bersilangan, menghindar, melihat tak bisa mengenai lawan, peluru pun segera ditembakkan. Dalam hal senjata, Huiqing jelas lebih berpengalaman. Dengan menoleh samping, dia menghindari peluru yang nyaris melesat. Garis darah menggores pipi Victor, belum sempat merasakan sakit, Bayangan Hitam menyergap dengan desingan angin dahsyat. Tendangan berputar keras Natalia menendang seluruh tubuhnya hingga terlempar.
Tepat saat Victor terpental, tubuh besar Kratos sudah menerobos masuk ke posisinya semula. Pukulan berat menghantam Natalia yang belum sempat merespon.
Dentuman "Prak-prak-prak!" Bergema. Huiqing mengayunkan kedua tangan, peluru ditembakkan beruntun ke dua lawannya. Dalam hujan percikan darah, Natalia hanya sempat menangkis sekilas. Tubuhnya terlempar beberapa meter, tubuh ramping berbaju hitam itu berputar di udara. Begitu satu kaki mendarat, langsung menendang keras seperti macan betina yang menerjang balik. Pukulan kanan mengikuti momentum, mengoyak udara dengan gemuruh seperti guntur.
Tubuhnya terlihat kurus, yang dikenal orang biasanya adalah kekuatan supernaturalnya yang luar biasa. Namun di bawah pukulan ini, tubuh Kratos yang besar dan kekar hanya bisa bertahan sekali sebelum akhirnya terlempar. Qiao Guorui yang tidak jauh dari situ terdiam terbata-bata, seolah melihat Jian Suyan bertahun-tahun lalu. Samar-samar ia ingat saat merobohkan rumah dan tembok dulu, pemandangannya persis seperti ini. Bahkan, kekuatan yang ditunjukkan Natalia sekarang telah melebihi level penghancuran rumah oleh Jian Suyan waktu itu. Kekuatan yang ditopang oleh kemampuan supernatural ini benar-benar sudah tidak seperti manusia lagi.
Bayangan keempat orang saling bersilangan. Natalia yang menyusul langsung melompat, tangan kirinya menghantam ke arah wajah Kratos. Kratos mengangkat lengannya untuk menahan, wanita berbaju kulit hitam itu dengan lihai menekan, siku kanannya menghantam keras ke bahu dan leher pria raksasa itu. Rumput di tanah beterbangan, Kratos terpaksa mundur lebih dari satu meter.
Tubuh mendarat, tiba-tiba membungkuk. Peluru dari tembakan silang Huiqing dan Victor nyaris menyambar tipis punggungnya. Tak sempat mengejar, pedang Victor sudah menusuk datang. Menyelinap secepat kilat, Huiqing memanfaatkan momentum untuk menjatuhkan Victor lalu menerjang ke depan menuju Kratos yang tidak terkenal akan kecepatannya. Tangan kiri mengayunkan sapu debu Tao dengan amarah, tangan kanan mencakar menyusul. Kratos mundur selangkah menghindari cakaran, namun jari-jari kering itu sebelum gerakan selesai tiba-tiba bergerak mencengkeram pistol mini yang terbang dari lengan baju.
Sebagai salah satu anggota terkuat [], pemanfaatan pistol oleh Huiqing benar-benar telah mencapai realm dikuasai sempurna. Setiap jurus, dalam situasi apapun, serangan yang meleset hampir selalu bisa diubah menjadi peluru menderu. Kratos hanya bisa berlindung dari tembakan langsung ke Kepala atau tulang leher. Ketika Natalia kembali menjatuhkan Victor dan berlari maju, sementara Huiqing beralih menghadang Victor yang mencoba menyelamatkan, Kratos tak punya pilihan selain terlempar ke dalam villa yang baru dibangun. Seketika, seluruh dinding berderap ambruk dengan suara Braak.
"Dengan dukungan penuh kekuatan supernatural pada tubuhnya, bahkan Kratos yang merupakan prajurit andalan kekuatan pun bisa ditekan secara langsung. Ditambah pengalaman bertempur puluhan tahun Huiqing, meski ini adalah kerjasama pertama tanpa persiapan, mereka berdua berhasil mendominasi pertempuran. Meski Victor juga memiliki kekuatan yang cukup besar dan ketepatan waktu penggunaan senjatanya luar biasa, namun jelas waktu kontaknya dengan senjata api masih kurang sehingga tidak bisa menciptakan deterensi sehebat Huiqing."
Dalam debu yang mengepul, Natalia berlari masuk melalui lubang yang masih berjatuhan batu bata. Victor menembakkan beberapa peluru ke arah punggungnya, kemudian bersama Huiqing ikut mengejar masuk.
Dentuman senjata dan suara pertarungan bergema di dalam villa yang gelap gulita.
"Siapa... mereka ini..." Baru pada saat ini Chen Yali yang sedang memapah suaminya bisa berkata dengan gemetar, "Kalau mereka kalah, bagaimana?"
"Tenang, Guru Huiqing sangat hebat. Ada juga Nona Natalia yang sedang mendominasi pertarungan..." Qiao Guorui menepuk bahu istrinya. Tangannya masih memegang senjata, wajahnya terasa terbakar akibat hempasan angin tinju Kratos tadi.
"Kenapa... kenapa tidak mengirim lebih banyak orang..."
"Mereka pasti akan tahu..." jawab Qiao Guorui sambil menatap villa yang terus bergemuruh, sorot matanya menyimpan secercah kekhawatiran.
Sebelumnya tak pernah memperkirakan Nona Natalia ini juga akan tiba-tiba muncul, tapi bagaimanapun, meski ada bantuan seperti ini, situasi di depan mata sepertinya masih agak tidak optimis. Mereka sebelumnya pernah melakukan analisis, yang disebut yang MATI hanyalah penyebutan, titik vital di tubuh tetap banyak. Jika ingin menangkap manusia seperti ini bahkan membunuh mereka, harus sekaligus membuat mereka sepenuhnya tak berdaya merespon, seperti aksi awal Huiqing terhadap pria bernama Kratos itu, menyerang tanpa jeda bernapas, menjatuhkan mereka dalam waktu tercepat, meledakkan kepala atau mematahkan tulang leher, hanya dengan cara ini tujuan bisa tercapai.
Saat ini mereka berdua, meski terlihat sangat kikuk, namun faktanya kerja sama mereka terstruktur, selalu memberi kesempatan untuk bernapas. Dengan kemampuan regenerasi yang kuat, pada akhirnya yang tak sanggup bertahan justru pihak kita sendiri.
Dia berpikir demikian, membawa istri naik mobil kecil bersiap pergi. Baru menyetir di jalan, sudut villa itu mulai ambruk dengan suara Braak. Matanya nyaris tak percaya, napasnya mulai tersengal. Kekuatan supernatural Ye Lian bisa menghancurkan dinding, gedung kecil di wilayah militer itu juga bisa menembus dinding dengan tangan kosong. Tapi untuk meruntuhkan rumah sampai tiang-tiangnya hancur dipukul, meski operasi kekuatan supernatural dan kualitas tubuh tak bisa diukur dari konsekuensi seperti ini, kekuatan yang mampu menciptakan pemandangan di depan mata ini benar-benar tak wajar.
“Villa itu sangat besar, area yang ambruk kira-kira seluas satu kamar. Pertama dinding luar mulai miring, kemudian fragmen pilar dan batu jatuh satu per satu. Dalam suara Braak yang dahsyat, terdengar dentuman senjata sengit dan getaran. Huiqing dan Victor hampir bersamaan keluar dari kedua sisi kamar, sambil terus menghindar dengan cepat dan menembak. Tiga detik kemudian, di antara pilar-pilar yang bergulingan, Kratos menubruk dinding dengan Braak, berguling di rumput lalu bangkit dengan sangat kikuk.
Cahaya lampu jalan menyusup samar-samar ke dalam debu yang beterbangan. Sepotong lantai sekitar 4-5 meter persegi di lantai dua meninggalkan subjek bangunan, jatuh menghantam ke bawah. Saat mencapai ketinggian sekitar 2 meter lebih dari tanah, tiba-tiba berhenti sejenak. Dalam debu itu, terlihat samar bayangan seseorang mengangkat potongan lantai itu dengan satu tangan sejenak, lalu mendorongnya ke samping dengan keras.
Braak——
Lantai semen itu terbang horizontal sejauh lebih dari 3 meter, menabrak dinding setinggi sekitar 2 meter yang belum ambruk. Debu yang lebih tebal telah menyelimuti bayangan Natalia.
Pada saat yang sama, Victor mendorong Kratos beberapa meter jauhnya, lalu sendiri melompat keluar. Dari kejauhan, suara tembakan bergema. Peluru senapan runduk melesat melintasi langit malam menuju ke sini.
Tangan kiri Victor tertembak, siku meledak seketika.
“Aaaaa——”
Hampir tujuh tembakan terdengar bersamaan dari berbagai lokasi berbeda. Victor menghindari enam peluru, akhirnya terkena peluru ketujuh di siku yang langsung mematahkan lengannya. Entah karena keberuntungan atau kebetulan, dari kompleks villa berjarak sekitar empat hingga lima ratus meter dari TKP, suara muncul dari walkie-talkie: "Gesekan kerja bagus."
Pembicara bersembunyi di salah satu villa yang belum selesai dibangun, memiliki wajah seperti boneka yang tak menua. Namun setelah mengalami banyak hal, wajah itu menyimpan kedewasaan spiritual yang sulit diungkapkan, membuat usia perkiraannya sulit ditentukan. Beberapa tahun lalu dia adalah salah satu bos Jalan Hitam di kota ini, kini posisinya tak jelas - agen rahasia atau pembunuh, kebanyakan orang memanggilnya Xiao Meng. Nama ini mudah diingat, sehingga kode identitasnya juga Xiao Meng.
"Kebetulan." Dua detik kemudian, jawaban perempuan yang dingin terdengar kembali melalui earphone, getaran halus tersamar dalam nada suaranya. Di balkon berjarak 200 meter, gadis yang tengkurap menggigit peluru sniper panjang di mulutnya, menarik napas dalam sebelum memasukkan peluru ke laras senjata, "Lumayan."
"Terima kasih Kapten."
"Yang mengikuti Natalia ke Tiongkok kali ini semuanya pasukan elite. Hanya dia dan Xiao Meng yang agak spesial. Biasanya baik kapten maupun anggota tim lain sering menganggap mereka sebagai pemula atau beban. Tembakan ini, entah karena keberuntungan atau ide spontan yang akhirnya tepat sasaran, mungkin telah mengubah pandangan mereka. Tapi dia tidak peduli, jawabannya hanya formal tanpa kegembiraan. Peluru dimasukkan ke laras senjata, pertempuran di sana masih berlangsung. Dari kejauhan, teriakan menggema di malam hari."
"Pe——ter——"
Gema berulang, memanggil pria bernama Victor yang tangannya baru saja dipatahkannya dengan tembakan. Dia menempelkan mata ke alat bidik, tapi para pejuang di sana sudah berganti posisi. Bangunan benar-benar menghalangi pandangan. Sekitar beberapa detik kemudian, derau statis tiba-tiba muncul di headphone. Lalu, ratusan meter jauhnya, dentuman senjata tiba-tiba bergema selama dua detik sebelum berhenti. Tiba-tiba Xiao Ming berteriak di headphone: "Sha-sha kabur! Ada yang mendekatimu!"
Saat menghalau tadi, lokasi persembunyian masing-masing berbeda. Dia memutar laras senjata, mengarahkan alat bidik ke sana sambil berjongkok di balkon. Ekor kuda bergoyang pelan dalam kegelapan. Hampir bersamaan, ratusan meter di samping belakang, Xiao Ming keluar dari persembunyian sambil membawa senapan runduk, berlari ke arahnya lalu menembak.
"Kau cepat pulang!"
Dengan mengekspos diri seperti ini, bahkan nyaris mencolok dengan menembakkan senjata, dalam banyak situasi sama artinya dengan mencari MATI. Tapi dia paham maksud di balik tindakan mereka. Dua kawan yang bersembunyi di sana telah dibunuh oleh musuh tak terduga. Selanjutnya mungkin giliran kelompoknya. Saat Xiao Meng menembak untuk kedua kalinya, tiba-tiba dia menangkap bayangan hitam yang bergerak cepat di atas sebuah atap. Begitu bidikan diarahkan, bayangan itu menghilang seketika. Tembakannya menyambar genteng di balkon villa sana.
Tanpa ragu, setelah tembakan ini, dia tiba-tiba berputar. Dengan satu tangan menopang di tepi atap balkon, langsung melompat turun. Peluru berdesing masuk ke laras. Dia berlari lebih dari sepuluh meter, tiba-tiba berputar cepat sambil mengangkat senjata. Di detik mengangkat senjata itu, pelatuk sudah ditarik. Bayangan hitam dalam jarak pandang menyelinap ke samping seperti hantu, reaksi dan kecepatannya di luar nalar.
Xiao Meng berlari ke arah sini, sudah berdiri di jalan raya dan menembak dua kali berturut-turut. Dia juga berlari ke sana sambil berbalik dan menembak lagi. Kecepatan bayangan hitam itu dalam menyusutkan jarak benar-benar tak masuk akal. Baru saja melihat pertarungan di sana, musuh ini ternyata juga setingkat dengan mereka! Saat bayangan itu sudah mengejar dari belakang, dia melemparkan senapan runduk, mengeluarkan dua pistol dari pinggang. Tiba-tiba betis kaki kirinya terasa sakit.
Saat berlari tiba-tiba terhuyung-huyung, berkat pelatihan selama beberapa tahun terakhir yang berhasil menyelamatkannya, dia menggigit gigi erat dan nyaris secara bawah sadar melompat ke depan sekuat tenaga. Tubuhnya berputar di udara, dua senjata mengarah ke belakang, terus menembak.
Byur! Byur! Byur! Byur! Byur! Byur!
Sepersekian detik itu, waktu seolah melambat. Dalam jarak pandangnya, bayangan hitam seperti kelelawar menyergap. Peluru ditembakkan ke arah itu. Tubuhnya mendarat di tanah, meluncur... Seketika, jalan di depan meledak dengan suara braak. Seseorang menarik bahunya dan melemparkannya ke belakang.
Debu tebal beterbangan, serpihan batu berhamburan memutus jarak antara bayangan hitam dengan dirinya. Sebuah tangan menari-nari di udara dengan gesit bagai pemain kecapi ulung yang sedang memetik senar, pisau vakum tak terhitung jumlahnya terus memotong debu secara bersamaan. Saat Xiao Meng menahannya, Natalia sudah berdiri di depannya. Bagian jalan di depan telah hancur, pisau vakum mengoyak lantai jalan berkeping-keping. Sekitar 10 meter di depan, seorang pria berbaju hitam bertubuh tinggi kurus berdiri berhadapan dengan Natalia.
Saat ini Natalia terlihat penuh debu, lengan kanan bajunya robek mengeluarkan darah. Namun luka itu tampak tidak parah. Dia memiringkan kepala sambil tersenyum menarik: "Kalau begitu kau yang ketiga. Berapa total orang kalian?"
“Inilah rahasianya.” Pria tinggi kurus itu juga tersenyum, kemudian berteriak lantang, “Victor, Kratos, ayo pergi!” Setelah mengucapkan itu, bayangan seperti hantu itu berbalik dan lari. Natalia memandang dengan dingin, lalu mengejar dengan cepat.
Di sisi lain, Huiqing mengejar dua orang lainnya, menerobos masuk ke hutan di tepi kawasan villa.
Di telinga, suara mulai terdengar semakin jelas – suara baling-baling pesawat. Kemudian, cahaya terang menyinari dari kejauhan. 12 unit helikopter bersenjata terbang dari sisi kawasan villa, melintasi langit, mengejar ke arah hutan. Di belakangnya muncul iring-iringan kendaraan di jalan: truk pasukan, kendaraan lapis baja, dari dekat hingga jauh bagai gemerlap bintang yang melingkupi pegunungan, bergerak maju seperti air bah. Pasukan militer telah bergerak.
Kekhawatiran awal adalah tingkat persepsi orang-orang level ini yang terlalu tajam, sehingga bahkan dalam penyergapan pun tidak berani menempatkan pasukan terlalu dekat. Kedatangan mereka kini dengan formasi super besar. Fang Zhitian, Cui Guohua, Ye Lian dan lainnya juga telah tiba. Qiao Guorui bersama istri langsung menyampaikan terima kasih kepada kelompok Dark Celeste. Baik saat Xiao Meng maupun dirinya disapa, baik oleh Qiao Guorui maupun Fang Zhitian, tatapan mereka terasa kompleks. Perempuan ini menangkapnya, lalu muncul perasaan terasing dan tidak selaras yang sulit diungkapkan dalam hatinya.
“Tentara terus berlalu di sekitarnya, dia berjalan ke pinggir jalan dan duduk di sebuah jalan mundur, seluruh tubuhnya gemetar, hampir kehabisan tenaga. Baru saja dia hanya menembakkan beberapa peluru, berlari kurang dari seratus meter, namun rasanya seperti telah berlatih seharian tanpa makan sedikit pun, itu adalah perasaan takut saat menghadapi MATI.”
“Kira-kira menyelidiki emosinya, Xiao Meng mendekat dan duduk di sebelahnya, dia mengusap-usap wajah dengan kedua tangan: ‘Terima kasih.’”
“‘Sudah seharusnya.’ Xiao Meng menepuk bahunya, tubuhnya masih gemetar tak terkendali, ‘Ada gejolak dalam hati ya? Tembakan itu kena berkat kau.’”
“Kalimat ini sengaja untuk menyemangati dan menenangkan, dia tidak menjawab, beberapa saat kemudian baru menarik napas dalam-dalam.”
“‘Jiaming... Jiaming dulu... berperang melawan orang setingkat ini ya...’”
“Xiao Meng mengangguk, diam sejenak: ‘Data-data dari Dark Celeste, Jiaming memang tingkat paling hebat, dibandingkan dengan Nona Annis pun tidak kalah... Aku juga baru tahu belakangan seberapa hebatnya dia, andai hari ini dia ada di sini... andai hari ini... Dulu dia takut kalian khawatir, jadi tidak pernah bicara, jangan dipikirkan lagi, dia melakukan ini untuk kebaikan kalian.’”
“‘Aku tahu, jika kami bertanya, pasti dia akan menjawab, tapi saat itu kami semua tahu dia tidak ingin kami tanya, jadi kami sepakat tidak memikirkan hal ini, tapi... sampai sekarang, selalu ingin tahu lebih banyak...’”
“Xiao Meng mengangguk, tidak berbicara lagi.”
Dia memandangi titik-titik cahaya lampu yang seperti bintang-bintang, memandang ke kota di belakangnya. Entah mengapa, kota ini mulai membuatnya merasakan kedinginan, berubah menjadi dingin dan pucat pasi seperti debu setelah dibakar. Tempat yang semula adalah rumahnya ini, seolah suatu hari dia diusir, seperti pengemis yang mencari atap kecil atau gua untuk berlindung, merasakan dingin dan kelaparan, mengingat kehangatan masa lalu. Namun ketika suatu hari dia kembali ke rumahnya yang dulu, baru menyadari rumah hangat itu kini telah menjadi dingin, karena kenangan sudah tak mungkin berlanjut, dan tak lagi ada orang yang menunggunya atau yang ingin ditunggunya.
Tentu saja, ada juga Nona Lingjing itu. Tapi dia tak berani menemuinya, tak tahu harus berkata apa. Dulunya dia mengira orang dengan hubungan seperti mereka mustahil mengalami hal seperti ini. Mereka adalah Saudari terbaik, menyukai pria yang sama dan saling menerima. Dulu mengira bagaimanapun juga mestinya mereka adalah orang terdekat di dunia - memang dulu begitu, sekarang pun masih, tapi dia menemukan dirinya ternyata tak bisa menghadapinya. Betapa menggelikan hal ini.
Seperti hari itu di bukit pemakaman, langit menurunkan hujan deras. Dia berdiri dalam hujan memandang dari kejauhan sosok perempuan yang berdiri di depan nisan orang itu, namun tak berani sedikitpun mendekat. Musim panas, tapi air hujan itu sedingin sumsum tulang. Sekarang dia terus-menerus berusaha mengumpulkan fragmen masa lalu, menemukan kembali potongan-potongan yang terlewat. Dia melihat perempuan bernama Lingjing juga melakukan hal serupa, tapi dalam hati mengerti: bahkan jika segalanya dari masa lalu terkumpul, fragmen-fragmen ini belum tentu bisa membuat hati lebih hangat seujung kuku.
Mereka semua orang bodoh……
Pesawat menuju Jianghai. Pada momen yang sama, Dongfang Lu tiba di kota ini dan bertemu Lingjing.
## Bagian Keempat Ratus Tiga Puluh Delapan Hutan Baja
Cuaca sebaik ini jarang terjadi di musim panas. Tak ada hujan, matahari bersinar di langit tapi tak terasa panas. Awan kapas yang dibawa angin musim Asia Tenggara dari permukaan laut memberikan keteduhan dan kesegaran langka bagi Jianghai. Lingjing bangun sangat pagi, pagi-pagi buta sudah menelepon Dongfang Lu. Setelah sarapan, dia merapikan barang-barang di kamar – miliknya dari dulu, juga yang dibawa pulang dari Wina – bersiap merapikan set rumah di Akademi Hati Kudus.
Empat tahun telah berlalu, perlengkapan yang perlu diganti dan dicuci, debu yang harus diketuk dari lemari. Apakah akan tinggal di sana nanti belum ia pertimbangkan matang-matang, tak ada mood untuk memikirkan hal-hal ini. Rasa sakit histeris selama dua hari pertama masih terus berdenyut samar, namun setelah bertemu Kakak Yahan, waktu dan perasaan seakan diinjak remnya, menjadi melambat. Hari ini bertemu Jalan Timur, mungkin pencariannya hanya sampai di sini. Seperti tahanan yang menunggu putusan hukum, hatinya justru menjadi tumpul.
Barang yang dibawanya ke Wina sebenarnya sedikit, sehingga yang dibawa pulang hanya satu koper biasa. Selain baju ganti dan buku pelajaran, barang pribadi yang sesungguhnya tak banyak. Album foto besar berisi foto pernikahan mereka tentu salah satunya.
Relatif lebih banyak barang yang harus dirapikan di kamar tidurnya sendiri. Satu per satu benda kecil dikeluarkan, tenggelam dalam nostalgia atau terkejut melihat mood remaja masa lalu. Saat Guru Julian datang, dia sedang duduk di tepi ranjang membuka-buka kantong dokumen. Ini adalah barang terakhir yang Jiaming serahkan padanya untuk dibawa ke Wina - partitur musik, kartu kredit, dan kontak seseorang. Benda ini menyertainya selama empat tahun. Baru beberapa hari lalu, setelah mendengar kabar tentang Jiaming, ia membukanya pertama kali, berusaha menemukan setitik informasi yang Jiaming tinggalkan. Namun yang familiar hanya tulisan tangan Jiaming empat tahun silam. Hari ini, barulah ia mengangkat benda-benda ini, mulai memeriksanya dengan cermat.
“Derby baru-baru ini menghubungi beberapa temannya, aku tahu mood-mu sedang tidak baik akhir-akhir ini, jadi sebagian besar pengaturan untukmu sengaja dipanjangkan waktunya. Tapi tadi malam dia memberitahuku satu hal, menurutku ini kesempatan yang sangat langka, jadi aku ingin bertanya padamu. Selama beberapa tahun di Wina, aku juga memperhatikan bahwa kau menyukai lagu-lagu Fang Yusi. Dia sekarang termasuk salah satu artis wanita paling populer di wilayah Tiongkok. Tur konsernya kebetulan sedang sampai di Jianghai. Derby sudah menghubungi manajernya. Jika ada keinginan dari pihakmu, mereka akan mengundangmu untuk tampil sebagai bintang tamu di konser tersebut. Untuk karier di dunia hiburanmu ke depannya, menurutku ini harusnya menjadi peluang terbaik.”
Mendengar nama Fang Yusi, Lingjing yang sedang melihat partitur musik mengangkat kepala dengan ekspresi linglung: "Hmm?"
Julian memberi jeda, membiarkannya mencerna informasi yang baru saja diterima. Beberapa saat kemudian, barulah terlihat Lingjing menggelengkan kepala: "Lebih baik... lupakan saja..." Dia menyisir sehelai rambut yang jatuh di depan matanya, "Terima kasih, Guru, tapi aku masih belum yakin... mau melakukan apa di masa depan..." Julian tersenyum: "Aku mengerti perasaanmu. Tapi... percayalah, waktu akan berlalu, beberapa hal perlahan akan memudar. Aku memang tidak mengerti detail masalahmu, tapi kurasa pernah mengalami hal serupa. Saat itu pilihanku adalah bekerja siang-malam tanpa henti, mencipta lagu, tampil di panggung, mengisi waktu sepenuhnya... Banyak hal yang tidak dipikirkan, justru inspirasi mengalir deras... Tidak perlu menjawab sekarang, coba pertimbangkan dalam beberapa hari ke depan."
"Beberapa hari ini aku tidak banyak bicara di depan Lingjing, hanya membiarkan segalanya mengalir alami, membiarkan kesedihannya berlalu. Saat ini, melihatnya memandangi partitur-partitur itu, sepertinya tidak ada lagi kesedihan yang terpancar seperti beberapa hari sebelumnya. Julian memanfaatkan kesempatan ini untuk mengajaknya mengobrol lebih banyak. Dia tidak mempermasalahkan sikap Lingjing yang kadang hanya menjawab sekenanya sementara pikirannya melayang-layang. Memandangi profil gadis yang murung itu, siluet cahaya yang menyelimuti garis indah wajahnya, dia hampir bisa merasakan keindahan yang mengguncang jiwa.
Bagi seorang musikus, keindahan seperti ini lebih memabukkan daripada narkoba. Saat di Wina, dia juga sering melihat kesendiriannya, namun tidak sedalam yang terlihat sekarang. Seperti seutas ketangguhan yang menjadi pengikat jiwa, jika tidak diperhatikan dengan saksama mungkin sama sekali tidak akan terlihat. Namun justru itu yang menyublimasi kelemahan dan kesedihan yang memenuhi dirinya menjadi cahaya yang cemerlang. Wanita-wanita Barat terlalu monoton - yang kuat dan mandiri seringkali lebih perkasa dari pria, sementara yang lemah tak berdaya benar-benar tak tertahankan. Mungkin kompleksitas seperti inilah hakikat keindahan Timur, pikirnya.
"Ngomong-ngomong... Sebenarnya sudah janji kalau di Jianghai aku yang akan menjadi tuan rumah, tapi karena urusan beberapa hari ini, belum sempat mengajak Guru dan semua orang jalan-jalan..." Saat sampai di suatu titik, Lingjing teringat hal ini lalu mengangkat kepala dan berkata.
Julian segera menyambar: "Itu mudah saja. Hari ini juga bisa, bagaimana kalau nanti sore?"
"Maaf, nanti sore ada janji bertemu teman lama... Sudah diatur sebelumnya."
"Oh... Perlukah kau ditemani?"
"Tidak perlu, terima kasih."
Julian mengangguk. Setelah berbincang beberapa patah kata lagi, pria itu dengan bijak berpamitan dan pergi. Lingjing menatap punggung pria tersebut, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke koleksi melodinya. Cahaya matahari menyelinap dari balik jendela, menyelimuti separuh tubuhnya dalam balutan sinar keemasan.
Pagi itu mereka terbang dari Bandara Bao'an Shenzhen, dan tepat pukul sebelas sudah tiba di Jianghai. Yang menemani Dongfang Lu hanya pacarnya, Shi Nana. Membawa pacar pulang ke rumah, dalam arti tertentu sama seperti memperkenalkan calon istri kepada mertua. Shi Nana begitu gugup sampai-sampai saat makan siang sederhana itu, adik perempuannya yang katanya sedang sibuk urusan perusahaan baru tidak hadir. Dongfang Lu tak lupa menggoda: "Sudah datang calon kakak ipar pun tidak mau sungkem, pantas dipukul." Tentu saja ini diucapkannya di depan Shi Nana. Usai kalimat itu, wajah sang pacar merekah bak bunga mekar, lalu buru-buru membela adik ipar perempuan masa depannya.
Siang itu, pasangan muda ini menemani Dongfang Linghai menikmati makan siang sederhana. Juga hadir Xu Yiting yang datang mengantarkan dokumen. Sepanjang acara makan, Shi Nana tak henti-hentinya memanggil "Pangeran" dengan manis. Mendengar bahwa Xu Yiting adalah bawahan utama calon adik ipar perempuannya, sikapnya pun menjadi mesra tak terkira.
Setelah makan malam, pelayan disuruh mempersiapkan kamar untuk Shī Nàna. Bapak dan anak laki-laki itu berjalan-jalan sebentar di taman, membahas operasi tentara kemarin, situasi terkini yang dihadapi belakangan ini, juga kejadian saat Lingjing datang. Mengenai pacarnya, hanya disinggung sekilas di akhir: "Agak terlalu picik ya..." Kemudian dilanjutkan, "Menurutku Yiting ini anak yang cukup baik..." Dongfang Lu hanya tersenyum kecut.
Janji dengan Lingjing jam 3 sore. Pukul 2.15 siang dia sudah mengemudi keluar. Sampai di jalan pedestrian yang ditentukan sekitar pukul 2.30. Dia menemukan kafe yang dimaksud, mengamati dari seberang jalan di antara kerumunan. Di kursi dekat jendela sisi kafe, seorang wanita berbaju putih motif bunga duduk tenang, segelas kopi di depan, sedang membaca data-data dengan khidmat.
Memandang sosok itu, dia memeriksa jam tangan lalu duduk di bangku tepi jalan. Asap rokok mengepul. Cahaya matahari menyaring melalui atap bergaris-garis, membentuk pola bintik-bintik di tubuhnya. Keramaian jalan pedestrian bergemuruh dengan nyanyian yang menggema. Dari celah kerumunan, dia menyaksikan profil tenang yang sesekali terlihat, lalu berdesah pelan: "Sudah dewasa semuanya ya..."
Dua tahun lalu, dia pernah pergi ke Wina sekali. Di permukaan, alasan utamanya adalah urusan perusahaan sambil sekadar menengoknya, namun sebenarnya sulit dikatakan mana yang prioritas. Saat itu, dia membangun sebuah makam untuk Jiaming. Ada banyak hal yang ingin dikatakan dan dilakukan di hatinya. Namun setelah tiba di Wina, melihat gadis yang hidup sepenuhnya dalam dunia tertutup, barulah ia sadar tak ada kata yang bisa diungkapkan. Akhirnya hanya mengobrol singkat lalu pergi. Kini, di tengah kerumunan, memandangi bayangan yang duduk tenang itu, tiba-tiba ia menyadari bahwa keheningan dua tahun lalu mungkin benar. Beberapa hal akan terjadi semudah air mengalir. Saat tak seharusnya dibicarakan, kita tak bisa memaksakannya. Namun saat waktunya tiba, rasanya mustahil untuk dihindari.
Dia duduk di sana, memperhatikan sosok itu sesekali menyesap kopi, menunduk membaca sesuatu di tangannya. Begitulah ia menunggu waktu berlahan detik demi detik. Kira-kira pukul 2:50, wanita itu melihat jam tangannya. Kemudian mengangkat kepala, memandang sekilas pejalan kaki di jalan dengan santai, lalu menunduk lagi melihat data. Dua detik kemudian, kepalanya terangkat lagi. Tatapannya yang penuh tanya mengarah ke sini. Dongfang Lu tersenyum, mematikan puntung rokok, lalu bangkit dari bangku panjang.
"Sudah lama menunggu?" Dongfang Lu duduk di depan Lingjing.
Wanita itu tersenyum lincah seperti elf: "Baru sampai."
"Kalau begitu aku sudah duduk di seberang selama setengah jam."
Di kafe, alunan musik terdengar lembut. Pelayan wanita mendekat, dia dengan santai memesan segelas kopi. Setelah bertukar percakapan singkat, Lingjing langsung membuka topik tanpa banyak bertele-tele: "Aku sudah bertemu Kakak Yahan dan kurang lebih tahu tentang kejadian di Wuheling dulu. Aku ingin tahu tentang hal dia..."
Dongfang Lu mengangguk: "Sebenarnya aku yang mendirikan nisannya, tapi..."
Baru saja mengucapkan itu, bayangan seseorang muncul dalam pandangannya. Dia sedikit mengerutkan kening saat suara wanita itu sudah terdengar: "A-Lu, tidak menyangka benar-benar bertemu kamu di sini."
Dari depan kafe datang sang pacar yang baru berpisah kurang dari satu jam dari rumahnya. Dengan senyum cemerlang, dia langsung duduk di sampingnya dan merangkul lengan sang pacar: "Aku kabur main-main. Pangeran bilang di jalan pedestrian ini banyak tempat menarik. Aku sempat berpikir jangan-jangan ketemu kamu..." Dia mesra mendekatkan diri ke sisi Dongfang Lu, lalu tersenyum mengulurkan tangan ke Lingjing: "Halo, namaku Shi Nana."
"Ye Lingjing."
Keduanya berjabat tangan, Dongfang Lu menghela napas, lalu menunjuk ke Shi Nana: "Pacar saya." Lingjing hanya mengangguk datar. Mendengar Dongfang Lu memperkenalkannya secara blak-blakan, Shi Nana langsung bersemangat, sambil berkata: "Aku baru sampai di Jianghai", "Tidak ada yang menemani", "Tidak mengganggu kalian kan", "Lingjing kamu cantik sekali", "Bagaimana merawatnya" - ucapan-ucapan ini terutama untuk menunjukkan kedekatannya dengan pacar sekaligus diam-diam mengancam 'rival asmara' imajinernya. Lingjing menjawab singkat, Dongfang Lu tak bisa memotong pembicaraan, hanya bisa menyampaikan permintaan maaf lewat pandangan mata.
Sebenarnya awalnya Shi Nana tidak berniat masuk, hanya ingin melihat sebentar lalu pergi. Saat Dongfang Lu menelepon Lingjing pagi itu untuk menentukan waktu dan tempat, dia juga mendengar di sebelah. Sore harinya begitu pacarnya keluar rumah, dia pun meninggalkan keluarga Dongfang. Ketika bertanya pada pelayan tentang rute kafe, Dongfang Linghai yang kebetulan mendengar langsung memberikan petunjuk antusias. Sesampainya di area tersebut, dia terus bertanya-tanya hingga akhirnya menemukan tempat persis saat melihat pacarnya masuk ke kafe dan bertemu perempuan bernama Ye Lingjing.
"Dia sebenarnya juga seorang cewek yang cukup hebat, wajahnya lumayan, postur tubuh bagus dan penuh semangat, sangat percaya diri. Sebelumnya di Shenzhen saat Liya bercerita tentang cewek yang pernah disukai Xiao Lu, dia masih meremehkan. Tapi menyaksikan pacarnya meninggalkan proyek besar demi buru-buru kembali ke Jianghai untuk menemui seseorang, hatinya mulai merasa krisis. Ketika melihat penampilan dan aura Lingjing, tiba-tiba dia merasa inferior. Melihat mereka bertiga sudah bertahun-tahun tak bertemu, langsung akrab begitu duduk, kepalanya panas dan langsung masuk. Saat mengobrol dengan Lingjing, melihat lawannya tak terlalu antusias, hatinya senang: Wanita ini pasti punya niat pada A Lu, sekarang ketemu aku langsung ciut nyalinya."
"Tak lama, pelayan wanita itu kembali. Saat hendak memesan kopi, pacarnya di sebelah batuk pelan: 'Nana, tunggu di luar sebentar ya?' Shi Nana tertegun, mendengar Dongfang Lu melanjutkan, 'Warung sate panggang di seberang sana enak, kamu duluan cari tempat duduk. Aku akan menyusul setelah selesai bicara dengan Lingjing.'"
"'Hmm... Oke.'"
"Wajah Shi Nana kesal, tapi toh dirinya sudah muncul, wanita di depannya harus menempatkan diri pada posisi yang benar. Tujuan sudah tercapai. Dia memelintir keras bagian dalam lengan pacarnya, pamit pada Lingjing, lalu pergi. Saat bayangan sang pacar hilang di kerumunan, Dongfang Lu menggeleng: 'Maaf, membuatmu menertawakanku.'"
"'Cewek yang sangat baik.'"
“Makam Jiaming sebenarnya palsu, itu kuburan yang kubantu dirikan untuknya.” Mengetahui Lingjing tidak suka basa-basi, dia menyesap kopi lalu berbicara langsung, "Kau sudah bertemu Bu Guru Zhang, mungkin juga tahu hal-hal itu. Dia pergi pada tanggal 5 Februari. Sebelumnya kami terus mengawasinya. Tapi faktanya kami tak tahu lebih banyak dari orang lain. Setelah 5 Februari, dia meninggalkan Jianghai, tim pelacak tak bisa menemukannya lagi."
“Kuburan itu...”
“Dulu dia pernah berpesan padaku: umumkan bahwa aku sudah MATI. Tapi selama departemen rumah duka di level atas diselidiki, akan ketahuan tak ada mayatnya yang dikremasi. Dia punya beberapa musuh, juga takut ada yang mengancammu nanti. Ini bentuk komprominya. Beri masyarakat penjelasan bahwa aku sudah MATI, beri mereka jalan mundur. Masalahnya, selama dia hilang, ancamannya tetap ada.”
Lingjing memandangnya, tubuhnya perlahan bersandar ke sandaran kursi.
“Aku paham perasaanmu. Kau tak mau percaya, tapi dia memang menderita tumor...” Dongfang Lu menurunkan volume suara, memperhatikan kondisi Lingjing, “Tentu...penyakitnya adalah kasus pertama di dunia, bagian tubuh itu seharusnya tak mungkin tumbuh tumor... Bagaimanapun, tak ada bukti sahih yang menyatakan dia benar-benar MATI, juga tak ada bukti bahwa dia bisa...bertahan hidup...”
Awalnya ingin menghibur beberapa patah kata, namun saat hendak melontarkannya, merasa diri pun agak berlebihan. Tumor pertama di dunia pada akhirnya tetaplah penyakit mematikan. Perasaan Lingjing terhadap Jiaming kini bukan berasal dari bukti objektif, melainkan sekadar harapan samar dan fantasi belaka. Setelah beberapa saat berlalu, Lingjing menarik napas dalam: "Aku akan... menunggunya pulang..."
Dongfang Lu mengangguk.
Keheningan menyelimuti mereka selama kira-kira satu menit. Lingjing berdiri, terlihat ringkih: "Kalau begitu aku pergi dulu..." Dongfang Lu secara refleks ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba melontarkan: "Kurasa... kita bisa tinggal bersama."
Lingjing menoleh ke belakang, memandangnya dengan bingung. Setelah tertekan sejenak, dengan jujur ia mengangkat tangan bingung: "Awalnya tak ingin mengungkapkan ini. Sejujurnya, sudah empat lima tahun tak terpikirkan. Tapi tadi saat duduk di luar melihatmu di sini, tiba-tiba merasa... mungkin kita bisa bersama... Tentu bukan sekarang. Maksudku jika kau tetap tak bisa melupakannya, sementara ada beberapa hal yang membutuhkan... misalnya status resmi, atau semacamnya, mungkin kita bisa bersatu."
“Terima kasih.” Lingjing mengangguk, lalu berbalik pergi. Dia duduk di kursi sambil merenungkan pertemuan ini, kemudian menghabiskan kopinya dan keluar. Sinar matahari cerah dan menyejukkan, awan putih berarak-arak. Di kerumunan orang, punggung Lingjing yang pergi masih terlihat. Dari toko audio di sekelilingnya, terdengar nyanyian Fang Yusi. Lagu ini katanya juga ditulis Jiaming untuknya. Entah mengapa, pemandangan di depan matanya ini mengingatkannya pada senja empat tahun lalu di tanggul pantai yang disinari matahari sore berapi-api, saat Jiaming menyanyi dengan lembut.
“Kau bercerita tentang jalan pulang ke rumah,
Di jalan ada pohon penuh bunga bermekaran,
Di musim gugur angin menerbangkan kelopak menari-nari,
Sinar matahari akan pecah membentuk danau.
Kota asing ini membuat ingin menangis,
Cinta sekali lagi telah dikhianati,
Bisakah melihat masa depan dengan jelas,
Mengikuti arah meteor,
Mungkinkah menemukan kebahagiaan……”
Dia mendengarkan lagu sambil menyalakan rokok perlahan, lalu duduk di kursi di luar pintu. Memandang halte bus di seberang persimpangan jalan pedestrian, sesekali melihat rok putih panjang wanita lemah lembut namun tabah yang menunggu kekasih pulang di kerumunan. Dia menghela napas pendek. Pacarnya sedang mendatanginya dengan marah dari seberang, lalu melemparkan rokoknya.
“Kau pernah janji akan mencariku!”
Dia duduk di sana, mengulurkan tangan lagi dan mengeluarkan sebatang rokok, setelah dibuang pacarnya, mengambil satu lagi, menyalakannya. Shi Nana merasakan perasaan tidak baik di hatinya, sebelumnya saat Dongfang Lu digoda orang lain, dia dengan dominan mengusir perempuan-perempuan lain (Braak). Saat itu Dongfang Lu hanya tertawa bahagia, namun samar-samar merasa hari ini ada yang berbeda. Sejenak, sang pria menatapnya, pandangannya tetap datar dan menyejukkan: "Nana, kita putus." Kedengarannya, seperti membahas mau makan apa malam ini dengan santai.
“Kau... Kau tidak boleh bersikap begini! Wanita itu dia...”
“Bukan masalahnya, dia tidak mencintaiku, seumur hidupku mungkin mustahil untuk dicintainya, kau tidak mengerti...” Dongfang Lu tersenyum datar, “Jangan manja, Nana, aku akan mengantarmu pulang.”
“Kau tidak boleh bersikap begini!”
Angin berhembus, dalam tangisan yang semakin keras sang wanita, pria itu dengan tenang membawanya melewati kerumunan orang menuju tempat parkir. Di sisi lain, Lingjing naik mobil, dalam nyanyian yang semakin menjauh, masing-masing tenggelam dalam hutan baja raksasa ini...
Sore tadi, Fang Yusi turun dari pesawat di Bandara Jianghai, ekonominya datang menjemput sambil melapor beberapa hal yang terjadi sejak kedatangannya kemarin.
“Situasi tentang Nona Ye Lingjing yang kau minta untuk diselidiki sudah jelas. Saat ini dia sudah kembali ke Jianghai, kabarnya juga berencana berkarier di dunia hiburan, di perusahaan Pak Derby. Sejujurnya, meski kemampuan finansial mereka solid, tapi dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya tidak membuka situasi berarti di pasar Tiongkok. Fondasi budaya dan kesadaran ideologi yang berbeda, bentuk musik yang diterima juga tak sama. Tentu saja permainan Nona Lingjing sangat Bernuansa Oriental, tapi jika hanya bermain kecapi, tentu hanya akan jadi terlalu tinggi dan sepi, di industri musik populer atau untuk menjadi sangat terkenal tetap tidak mungkin.”
Manajer ini baru mengikuti dia selama dua tahun terakhir, meski berpengalaman dan termasuk figur terkenal di industri, tapi tidak terlalu paham dengan urusan band konsep dengannya beberapa tahun lalu, hanya melakukan analisis yang relatif profesional berdasarkan informasi yang dimiliki.
“Ini adalah alamat rumahnya yang sudah diselidiki. Ada satu hal yang cukup kebetulan, baru kemarin aku datang, Derby langsung mengundangku, bilang ingin nona Ye tampil di konser turmu, karena Yusi sangat antusias padanya, kira-kira aku setujui. Tapi... Heh, pihak sana cukup menarik, sepertinya dia hanya sebut santai, tidak menyangka aku langsung menyetujui. Setelahnya agak ragu-ragu bilang mungkin perlu meminta pendapat nona Ye. Kukira, sepertinya nona Ye belakangan ini sedang mood-nya jelek karena beberapa hal, tidak berminat tampil... Lucu sekali, kesempatan tampil di acaramu Yusi, biasanya orang-orang berdesakan ingin masuk, mereka malah bersikap mahal seperti ini. Padahal belum jadi selebriti besar, belum debut juga..."
Manajer itu berpikir sejenak: "Tapi menurutku menyetujui hal ini justru bagus. Guru nona Ye, Julian, adalah benar-benar karakter Master level. Jika nona Ye tidak bisa datang, kita bisa mengundang Pak Julian sebagai bintang tamu. Ini situasi win-win yang sesungguhnya."
Begitu dia selesai bicara, Fang Yusi menggelengkan kepala: "Jangan Julian... Setidaknya untuk kali ini tidak, harus Ye Lingjing."
"Tapi nona Ye itu..."
Fang Yusi tersenyum: "Besok aku akan langsung menemui dia."
Manajer memandangnya dengan sedikit kebingungan, kemudian menggelengkan kepala. Fang Yusi saat itu sedang memikirkan perkataan Jiaming kemarin. Sore tadi di tepi pantai, setelah kira-kira selesai menceritakan semua yang dia ketahui tentang urusan bertiga Jiaming, Lingjing, dan Shasha, dia bertanya ringan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka setelahnya. Jiaming sepertinya ingat, merenung cukup lama, baru berkata: "Kira-kira... terjadi beberapa hal..."
Kalimat ini ambigu, hanya bisa membuktikan bahwa Jiaming sepertinya juga punya kesan terhadap mereka, tapi konkretnya bagaimana? Putus, bertemu musuh atau masalah yang sangat rumit, atau alasan-alasan tidak karuan lainnya, dirinya tak bisa memahaminya. Keselamatan Jiaming di Hong Kong sama sekali tidak lagi dia khawatirkan. Meski masih peduli dengan hal ini, tapi karena dia tidak punya paspor, tidak ada cara untuk langsung ikut dengannya ke Jianghai, hanya bisa meminta Kapten Mu nanti yang mengatur. Bagaimanapun, karena sudah datang, lebih baik temui dulu Lingjing sebelum membicarakan hal lain.
## Bagian Keempat Ratus Tiga Puluh Sembilan Siapa Kau
Tentang kepergian mendadak Fang Yusi, sebenarnya Mu Qingqing merasa cukup aneh. Pertama, sehari sebelumnya baru memutuskan untuk tinggal menemani Jiaming dan tidak ikut manajer pergi, siapa tahu tiba-tiba meninggalkan Jiaming; Kedua, ada keanehan juga di pihak penyelidikan. Kasus penculikan Fang Yusi dan Jiaming ini penuh kejanggalan. Secara teori, karena ada korban MATI, polisi harus melakukan penyelidikan mendalam. Meskipun yang mati adalah tentara bayaran penyusup yang kabarnya kejam, asal-usulnya harus diselidiki tuntas. Karena Jiaming jelas-jelas tidak akan memberikan bantuan dalam penyelidikan, secara alami beban ini jatuh pada Fang Yusi. Namun siapa sangka, setelah membuat catatan wawancara singkat, polisi malah mengizinkan Fang Yusi meninggalkan negara. Bagaimanapun ini tidak biasa.
Tentu saja, jika membutuhkan penjelasan yang dipaksakan, ada beberapa: Fang Yusi toh hanya wanita biasa, apalagi dengan kekayaan dan posisi, keberaniannya menjadi kecil. Kemampuannya bertahan karena emosi sesaat sebelumnya sudah cukup baik. Setelah mengalami peristiwa penculikan yang memukau, meskipun sekarang ada yang mendukung, besar kemungkinan dia sudah sangat ketakutan. Dalam situasi seperti ini, Jiaming tidak punya paspor dan tidak bisa pergi melalui saluran normal. Wajar jika dia harus pergi sendirian.
Di sisi lain, Fang Yusi juga memiliki latar belakangnya sendiri. Dia mencari orang untuk membantunya. Jika pihak kepolisian ingin menyelidiki sampai tuntas, kemungkinan besar akan menemui banyak rintangan. Berbagai kekuatan geng kriminal ada di Hong Kong. Karena sekarang ingin menyerang Min Kun, tidak masalah lagi untuk berseteru dengan pihak lain. Bahkan jika Fang Yusi baik-baik saja, jika benar terjadi sesuatu padanya di Hong Kong, mengingat popularitas dan posisinya saat ini, pihak kepolisian justru akan kesulitan mengatasinya. Akhirnya, Mu Cha memutuskan hanya menyelidiki rekan dan identitas para korban MATI ini, sedangkan orang yang menyelamatkan Fang Yusi dibiarkan begitu saja.
Bagaimanapun, Fang Yusi cukup baik pada Jiaming. Setelah pergi, villa tetap dibiarkan untuk mereka tinggali. Dia berulang kali meminta Mu Qingqing untuk membawa Jiaming ke Jianghai dan menghadiri konsernya. Sebagai Mu Qingqing, setelah peristiwa penculikan ini, dia tak bisa menghindar dari tanggung jawab merencanakan keamanan Jiaming sepeninggal Fang Yusi.
Dari situasi saat ini, Min Kun benar-benar gila karena urusan anaknya. Tak hanya mengejar keberadaan Si Bodoh Qiang, bahkan geng Da Fei, Fang Yusi, dan Jiaming sama sekali tidak dilepaskannya. Dulunya dia sudah punya pengaruh, sekarang bersembunyi membuat polisi sulit menemukannya. Selama atasan belum sepenuhnya siap membalikkan He Yisheng, dia masih bisa bertahan cukup lama. Mu Qingqing asing di sini, namun Mu Cha cukup perhatian. Belum sempat mencarinya, dia sudah mengirimkan sebuah kunci dan sebuah alamat.
“Satu set rumah di daerah Tsim Sha Tsui, dekorasinya memang tidak sebagus villa Nona Fang, digunakan untuk melindungi informan dan saksi. Sekarang karena sudah terbukti Min Kun akan bertindak, saya rasa lebih baik kau membawanya tinggal di sana beberapa hari. Karena kita orang dalam sepenuhnya, saya tidak akan banyak bicara basa-basi. Kapten Mu yang tidak familier dengan situasi Min Kun, sementara Jiaming sedang terancam, justru perlindunganmu yang paling tepat. Saya tidak akan mengirim orang lain, tentu saja terkait kasus Wei Zhiqiang masih perlu bantuanmu.”
Tindakan Mu Zha dalam hal ini bisa dibilang cukup baik hati. Faktanya, kedatangan Mu Qingqing membawa Jiaming ke Hong Kong memicu berbagai spekulasi - apakah Jiaming pacarnya atau siapa. Sebenarnya Mu Zha tidak ingin orang lain ikut campur dalam kasusnya, tapi karena peristiwa bom terpaksa mengikutsertakan Mu Qingqing dan Ding Xiong. Meski mereka masih punya sedikit penelitian terkait Si Bodoh, peran mereka kurang signifikan dalam urusan geng kriminal seperti He Yi Sheng. Sekarang dengan menjual muka ke Mu Qingqing sekaligus mengalihkannya secara logis, ini menjadi pilihan terbaik untuk semua orang.
Tentu saja, Mu Cha mungkin tidak menyimpan banyak maksud, tetapi Qingqing yang selalu menuntut dirinya sendiri dengan ketap justru merasa sedikit kesal. Setelah Fang Yusi pergi dari Hong Kong dengan pesawat sore hari berikutnya, dia membawa Jiaming ke rumah di sana. Sudah beberapa hari berlalu, situasi mulai menjadi tidak jelas, kasus mulai rumit, sikap dan tata letak Mu Cha juga terkesan samar-samar. Awalnya datang untuk mengobati Jiaming, namun sejak bertemu Fang Yusi, kondisi kesehatan Jiaming juga tampak tidak jelas. Sampai sekarang, Jiaming malah terlibat dalam urusan penculikan dan pembunuhan balas dendam, sementara dirinya yang seharusnya bertugas justru berubah menjadi pengasuh. Satu-satunya penghiburan adalah makan malam yang dimasak Jiaming ini rasanya cukup enak.
“…Ah, urusank sudah kacau balau. Membawamu ke Hong Kong pada dasarnya adalah kesalahan, tapi… Sekarang kamu terlihat baik-baik saja. Setidaknya jelaskan kondisimu yang sebenarnya agar aku bisa mempersiapkan mental…”
Ini adalah apartemen biasa di Tsim Sha Tsui. Dekorasi sederhana di bawah cahaya bola lampu pijar yang lembut. Mereka berdua duduk makan di samping meja bundar kecil. Mu Qingqing berbicara sambil mengeluh – dalam setengah tahun tinggal bersama sebelumnya, kadang terjadi situasi seperti ini. Dia bukan tipe yang suka mengeluh, tapi selama periode itu Jiaming selalu diam, cocok menjadi pendengar keluhannya, seperti orang yang sedang kesal berbicara ke lubang pohon – Kali ini Jiaming justru mengangkat kepala, berpikir sejenak.
“Status… cukup baik.”
“Sembuh? Apa semua ingatan sebelumnya sudah kembali atau…”
Jiaming menggelengkan kepala, Mu Qingqing mulai kesal.
“Dulu saat sehat juga pendiam seperti ini?”
“Masih belum ingat ya?”
“Ada beberapa hal yang belum jelas.”
“Oh.”
Pemindaian otak aneh Jiaming selalu membuatnya kecewa, tapi sekarang, urusan di Hong Kong sudah kacau balau, terpaksa dia mengakui ketidakberdayaannya. Jika bisa cepat diselesaikan dan kembali ke Jianghai, mungkin sebagian besar masalah akan ada solusinya, segalanya akan terstruktur rapi. Tentang hal ini dia yakin. Setelah bertahun-tahun jadi polisi, yang paling dibencinya adalah keadaan dimana petunjuk tak jelas dan situasi sama sekali tak terkendali.
Dengan mentalitas mengasihani diri, malam itu tidurnya tak nyenyak. Walau naik ranjang lebih awal, berkali-kali bangun dan keluar kamar sambil mengenakan jaket. Area tempat tinggal Jiaming gelap gulita dan sunyi, jam dinding menunjukkan baru jam sebelas lebih. Melihat keluar jendela, kota sedang berpendar warna-warni di puncak keramaian.
Mungkin sudah waktunya menikah. Perasaan tak berdaya menyergap. Untuk pertama kalinya dia serius memikirkan ide ini. Memandang kamar Jiaming, mungkin setelah benar-benar pulih dia akan berbeda jauh dari si bodoh dulu. Pikiran ini membuatnya merasa kehilangan.
“Di saat yang sama, sebagai rekan Mu Qingqing yang datang ke Hong Kong bersama, Ding Xiong saat ini sedang berdiri di depan sebuah klub hiburan high-class bersama Mu Cha dan seorang anggota tim kasus berat lainnya. Setelah Mu Cha menunjukkan kartu keanggotaan VIP, ketiganya masuk bersama, lalu naik lift menuju area bawah tanah.”
“Yang datang ke sini biasanya orang-orang kaya, punya status dan posisi, mencari sensasi. Pemiliknya juga punya latar belakang kuat, memiliki gelar pangeran di Inggris, dan hubungan baik dengan pihak daratan Tiongkok. Makanya tempat ini tetap bertahan, terlibat di berbagai bidang. Kalau bicara soal informasi paling update di sini, mungkin dialah sumbernya...”
Melewati koridor mewah yang panjang, suara riuh mulai terdengar samar. Saat pintu didorong dan masuk ke aula depan, sorak-sorai penonton langsung menyergap. Ketiganya berdiri di bagian teratas aula persegi yang cekung, di bawahnya dua pria kekar bertelanjang dada bertarung hingga berlumuran darah di atas ring - inilah pertarungan ilegal pasar gelap Hong Kong.
Ding Xiong sudah cukup mempersiapkan mental. Mu Cha dan rekannya yang lain lebih berpengalaman, menyusuri kerumunan, berbicara dengan beberapa staf, lalu masuk ke terowongan di balik pintu kecil. Setelah belok, sekitar kembali sepi. Di ujung terowongan, dua pengawal sedang berjaga. Setelah menyampaikan maksud, salah satu pengawal menekan sistem interkom di pintu: “BOSS, Inspektur Mu dari Tim Kasus Berat ingin bertemu.”
"Setelah beberapa saat, sebuah suara terdengar dari dalam: 'Mu Pak, saya juga tidak melanggar hukum, ingin membicarakan apa saya sudah jelas, masalah Min Kun itu bercanda, dia sekarang sedang bertarung habis-habisan, saya memang tahu sedikit lebih banyak tentang Bagua, hal seperti ini memang tidak bisa berbuat apa-apa...' Suaranya terdengar masih muda."
Pengawal itu mengangkat tangan bingung, Mu Cha tersenyum, langsung menekan tombol sambungan: "Pak Zhang, Bagua juga tidak apa, kami sekarang juga tidak punya petunjuk, coba ceritakan."
"Tidak ada cara lah, Mu Pak, urusan kecil-kecilan biasa masih bisa saya ketahui, tapi kalau mereka sudah nekat melawanmu, saya cuma orang luar, kalau sampai tahu jelas hal seperti ini, saya bukan Zhang Ren lagi, tapi Li Ka-shing atau Ho Hung..."
Mereka benar-benar tidak tahu banyak. Setelah beberapa kalimat, mengingat posisi dan hubungan persahabatan selama ini, Mu Cha hanya bisa mengangkat bahu. Di saat yang sama, di ruang di ujung koridor belakang pintu ini, seorang pria berkacamata kawat emas bernama Zhang Ren menoleh ke belakang dengan wajah muram. Ini sebuah ruangan mirip ruang pemantauan, di depan ada panel kendali dan layar besar yang menampilkan berbagai lokasi termasuk arena pertandingan. Di dalam kamar ada tiga orang: selain Zhang Ren, seorang wanita cantik setengah telanjang sedang ketakutan meringkuk di sudut, sementara orang ketiga - jika Mu Qingqing ada di sini, pasti akan terkejut sampai tidak bisa menutup mulut.
Jiaming yang seharusnya sedang tidur di kamar, saat ini memegang pistol bermuatan peredam suara, duduk di kursi pijat nyaman dalam kamar. Beberapa menit sebelumnya, Zhang Ren yang duduk di kursi yang sama baru saja membuat wanita setengah telanjang itu mencapai klimaks berulang kali.
"Kau... kau ini siapa?"
Klimaks yang terputus secara menyakitkan, ditambah harus menghabiskan waktu menghadapi orang luar, hingga saat ini barulah dia bisa melontarkan segudang pertanyaan yang mengganjal. Mendengar pertanyaan itu, Jiaming mengerutkan alis.
"Dengan tingkat kecerdasanmu." Dia menggaruk-garuk rambutnya, juga serius berpikir sejenak, "Menurutku sulit menjelaskan masalah yang bahkan aku sendiri tidak terlalu paham ini padamu..."
## Bagian Empat Ratus Empat Puluh Monster Raksasa
"Dengan tingkat kecerdasanmu, menurutku sulit menjelaskan masalah yang bahkan aku sendiri tidak terlalu paham ini padamu..."
Suara di dalam kamar baru saja reda, "Puff" sebuah suara terdengar, tubuh wanita setengah telanjang di sudut ruangan bergetar, percikan darah tiba-tiba menyembur ke dinding belakangnya, merah menyala seperti bunga. Di antara alis wanita itu kini telah muncul sebuah lubang, seiring rebahnya tubuh, pistol yang diam-diam dicabut dari tangan kirinya pun jatuh ke lantai. Jiaming meliriknya: 'Sudah kubilang jangan bergerak...'
Zhang Ren menatap mayat itu, menelan ludah, lalu menunjuk pelan: "Tidak paham sopan santun..." Menoleh kembali dengan senyum mengembang, "Kalau begitu, ada yang bisa saya bantu?"
“Kemarin……” Jiaming melihat jam, waktu sudah lewat jam dua belas malam, “Seharusnya disebut sore hari sebelum kemarin, kasus penculikan di Victoria Peak, 8 tentara bayaran ditenggelamkan ke laut, kemungkinan tentara bayaran dari Asia Tenggara. Aku perlu tahu urusan mereka, siapa bosnya, siapa yang menyuruh, di mana bisa menemukan orangnya, merepotkanmu.”
“Tapi…… Bagaimana aku tahu, kalau aku beri kabar kau akan melepaskan aku?”
“Mari bertaruh.”
Dia menatap jam di atas kamar, sikap datar dan santainya sama sekali tidak seperti sedang membicarakan hal yang menentukan hidup dan MATI seseorang. Zhang Ren tertegun sejenak, kemudian mengangguk, bergumam lirih, “……Ada logikanya.”
Sampai saat ini dia juga tidak berani bertanya macam-macam, tipe orang neurotik seperti inilah yang paling menakutkan. MEMBUNUH dan mengusir lalat mungkin konsep yang sama bagi mereka. Berjalan ke depan konsol, mengubah salah satu layar menjadi monitor komputer, mulai menyelidiki data-data.
“Saat ini data konkret yang kumiliki tidak banyak. Min Kun mulai menyerang, yang bekerja sama dengannya adalah kelompok tentara bayaran asal Thailand. Bosnya bernama Surab. Min Kun saat ini bersembunyi, tapi kurasa ada beberapa tempat yang bisa diselidiki. Pertama adalah……”
Klasifikasi data-data ini sendiri cukup berantakan. Beberapa menit kemudian baru kira-kira berhasil mentransfer yang terkait aspek ini. Setelah dia selesai menjelaskan data-data ini. Pria yang duduk di kursi pijat sudah berbalik badan dan keluar kamar. Beberapa menit kemudian, Zhang Ren baru berani membuka pintu dan keluar sambil menatap mayat wanita itu.
Di koridor luar, mayat-mayat berantakan terbaring, memanjang di bawah lampu lorong dengan darah menggenang. Tak diketahui bagaimana pelaku masuk dan dengan kecepatan apa membunuh mereka, sama sekali tidak memancing perhatian pengawal luar. Merasa baru saja menyentuh tepi kematian, dia menutup mata sambil menarik napas dalam.
"Memusuhi orang... Kali ini benar-benar rumit..."
Pada saat yang sama, Mu Cha dan yang lain baru saja keluar dari klub malam, sedang menyetir mengantar Ding Xiong ke tempat tinggalnya ketika telepon berdering.
"Halo... Apa? Mayat yang baru diangkat dari air dirampas?"
Dengan terkejut, dia bertukar pandang dengan Ding Xiong. Kasus kemarin di Victoria Peak sempat gagal beberapa kali karena arus laut deras dan ombak besar, baru pada saat ini hari ini dua mobil berhasil ditarik dari air. Tak disangka mayat dalam mobil belum sampai kantor polisi sudah dirampas di jalan. Setelah menanyakan detail, dia menutup telepon: "Tidak ada korban jiwa. Tapi operasi mereka cepat, beberapa anggota kita dipukul pingsan sebelum sempat bereaksi."
Ding Xiong mengangguk: "Sangat profesional."
"Pasti orang Thailand itu. Suraprath..." Bibir Mu Cha mengerut, kilatan amarah muncul di matanya.
Lebih dari satu jam kemudian, di luar galangan kapal Hong Kong yang lain, api unggun membakar hebat. Minuman keras ditumpahkan di atas pasir pantai. Lebih dari 20 orang berdiri di sekitar api, dipimpin oleh pria Thailand berkulit gelap bertinggi 1.8 meter dengan kerudung putih di kepala. Matanya tajam menusuk. Setelah menuangkan sisa minuman, dia menghancurkan mangkuk keramik di tanah, lalu berbalik menuju hutan kecil berisi rumah-rumah tak jauh dari situ. Di kejauhan, Min Kun berdiri di bawah pohon dengan sorot mata muram. Postur tubuhnya pendek, bekas pertarungan dunia persilatan bertahun-tahun telah menghilangkan sisa kekuatan masa mudanya. Kematian anak laki-lakinya semakin meruntuhkan fisiknya yang tampak lemah, namun aura kepemimpinan selama puluhan tahun menyatu menjadi getaran kejam yang tak terucapkan.
"Aku bawa saudara-saudaraku untuk mencari rezeki, bukan MATI. Data yang kau beri tidak akurat." Pria berkerudung putih itu mendekati Min Kun sambil berkata.
"Data sudah kau konfirmasi sendiri. Siapa sangka ada pihak lain yang muncul." Suara serak Min Kun membalas.
Surab meliriknya: "Aku tak mau membahas ini sekarang. Cepat selidiki siapa pelakunya... Tak peduli siapa - jangan biarkan dia hidup." Setelah mengucapkan ini, dia berjalan menjauh. Min Kun menatap punggungnya beberapa saat sebelum akhirnya berbicara.
"Aku kehilangan anak, kau kehilangan adik. Sekarang kita benar-benar dalam satu kapal yang sama..."
“Baru saja suaranya berhenti, tangan kiri Sulap menyapu keras ke batang pohon di samping. Di langit malam, terdengar suara Blek, serpihan kayu beterbangan. Batang sebesar mangkok dipatahkannya dengan satu pukulan. Dalam gesekan dedaunan dan ranting, batang itu rubuh berdebum ke bawah.”
“Kobaran api yang berkerlap-kerlip di pantai melompat-lompat di wajah semua orang, menerangi lalu meredup...”
“Saat menghubungi Ding Xiong pagi hari berikutnya, Mu Qingqing juga mengetahui insiden mayat yang dibencanakan semalam. Tapi hal ini belum terkait dengannya sekarang. Yang menjadi perhatiannya hanyalah lingkaran hitam di matanya akibat kurang tidur semalam.”
“Kau baik-baik saja, semalam tidur penuh aura kematian...”
“Saat sarapan, dia mengeluh sedikit pada Jiaming. Sepanjang hari terasa membosankan, berdua duduk di kamar menonton TV. Mu Cha menelepon sekali untuk menanyakan kabar, membuat Mu Qingqing semakin kesal – dirinya benar-benar tidak bisa membantu apa-apa, kali ini hanya merepotkan orang.”
“Karena bukan perlindungan ketat mutlak, sore hari mereka berdua pergi ke supermarket belanja beberapa barang. Malamnya lagi-lagi nonton TV, lihat rekaman video. Jam 10 kembali ke kamar tidur, semalam suntuk tanpa pembicaraan.”
“Hari-hari seperti ini berlangsung selama 2 hari. Berdasarkan kabar dari Ding Xiong, seluruh kasus belum menunjukkan kemajuan. Da Fei masih belum tebas MATI, Min Kun juga belum terbongkar. Beberapa hari terakhir hanya pertempuran sengit antara dua kelompok. Polisi telah menangkap sejumlah manusia, tapi bukan pemimpin, jadi tak berarti. Sampailah pada sore hari ketiga, saat jalan-jalan, Mu Qingqing tiba-tiba melihat seseorang.
Kawasan tempat mereka tinggal saat ini tidak ramai. Sekitarnya hanya apartemen-apartemen Normal. Agak jauh ada bukit kecil, bahkan ada perkampungan seperti desa. Pagi ini angin berhembus di Hong Kong, kini Langit muram, panas musim panas untuk sementara mereda. Angin menerbangkan sampah atau kantong plastik di jalan, terlihat seperti musim gugur. Mu Qingqing dan Jiaming berbelanja di supermarket, saat berjalan di jalan menanjak, dia mengerutkan kening lama melihat bayangan di depan, lalu menyusul.
"Aku masih ada hal. Kau bawa barang-barang ini pulang dulu, tidak bermasalah kan?"
Setelah memberi instruksi pada Jiaming, dia mengikuti orang itu melewati sudut jalan depan, baru mengkonfirmasi. Orang di depan itu adalah Wei Zhiqiang yang telah lama dicari pihak polisi dan Min Kun. Sambil menyusul, dia mengeluarkan telepon menelepon Mu Zha. Matahari sore telah tenggelam, lampu-lampu di rumah-rumah sepanjang jalan mulai dinyalakan. Tangannya meraba pinggang - pistol tidak dibawa. Tanpa sadar mengerutkan kening, tetap menyusul.
Jalan di antara rumah-rumah, tangga menembus hutan di sekitarnya, di kejauhan terlihat villa dengan lampu menyala, namun sebagian besar area sekitar adalah daerah rakyat jelata. Ada beberapa bangunan seperti pabrik kecil yang kebanyakan sudah tutup. Terpampang papan nama "Perusahaan Konstruksi XX", diperkirakan sedang bersiap untuk dikembangkan. Semakin jauh berjalan, semakin sedikit pejalan kaki di jalan. Sambil tetap menjaga ponselnya tetap aktif, dia mengikuti Sha Qiang masuk ke dalam pegunungan. Tidak lama kemudian, Sha Qiang memasuki kompleks pabrik kecil yang tampaknya sudah ditinggalkan, masuk ke sebuah gedung dua lantai.
Lebih tepat disebut bengkel kerajinan tangan daripada pabrik. Deretan gedung dua lantai itu mungkin dulunya merupakan asrama sekaligus kantor. Saat ini tampaknya tidak ada orang di dalam, hanya satu ruangan di lantai atas yang masih menyala lampunya. Di sekitar bengkel ini juga terdapat beberapa perumahan besar-kecil, jalan setapak berkelok di antara pepohonan. Jika ada pelarian yang mengenal medan, kesulitan penangkapan akan sangat besar. Sambil mendengarkan penjelasan Mu Cha tentang situasi sekitar, dia berjalan di jalan setapak dengan lampu jalan yang jarang-jarang menyala, berusaha memahami kondisi sekitar secepat mungkin. Dari kejauhan terlihat lampu di lantai dua itu padam, kemudian ruangan lain menyala lagi. Saat melewati tikungan di bawah lampu jalan kekuningan yang redup, tiba-tiba sebuah suara muncul dari belakang.
"Petugas Polisi Mu."
"Sial..."
Puff——
Pada saat mendengar suara itu, di hatinya sudah muncul perasaan tidak baik. Tanpa menoleh, tubuhnya langsung melompat ke samping. Dentuman senjata berpengedap suara bergema di tengah kegelapan malam yang dipenuhi ngengat beterbangan. Sebatang pohon besar di belakangnya meledak, serpihan kayu putih dan kulit hitam beterbangan.
Begitu mendarat, tubuhnya segera melompat lagi. Beberapa kali tubuhnya melesat melewati hutan yang dipenuhi daun kering. Peluru menyusul seperti bayangan terbang melewati tubuhnya, menembus batang pohon dan tanah di sekitarnya. Dia berjongkok di balik tembok rendah pinggir jalan sisi lain, mengambil telepon.
"Aku ketahuan, kalian masih butuh berapa lama lagi?"
Begitu mengintip dari balik tembok, sebuah peluru tiba-tiba melesat melewatinya.
"Kira-kira lima menit lagi. Bagaimana situasimu di sana?"
"Aku tidak takut dia mengejarku, tapi takut dia kabur. Ada mobil di halaman, mungkin mereka akan lewat jalan sisi timur. Kalian datang dari mana?"
Mu Cha mungkin sedang melihat peta: "...Barat."
Mu Qingqing menarik napas kesal. Tiba-tiba mengintip, menarik kepala kembali, lalu mengintip lagi. Di bawah cahaya lampu temaram sana, sosok bersenjata sudah tidak ada lagi. Benar, setelah menemukannya, hal pertama yang mereka lakukan pasti kabur. Dia mengangkat telepon bertanya: "Sekitar sini tidak ada polisi yang bisa mendukung?"
“Saya sudah memberi tahu polisi patroli dari kantor cabang terdekat, tapi masih belum jelas apakah mereka bisa sampai tepat waktu. Jalan di sekitar sini terlalu rumit. Begitu mereka berhasil kabur, kemungkinan besar akan sulit mengejar.” Mu Cha berhenti sejenak, “Kapten Mu, jangan ambil risiko sendirian di sana. Kita sedang berhadapan dengan perampok yang benar-benar kejam. Saya yakin Anda lebih paham daripada saya.”
“…Aku tahu.” Dia menyimpan teleponnya ke kantong dan meraba-raba mencari benda yang bisa digunakan untuk membela diri. Hanya ada seuntai kunci. Menggigit gigi, dia berlari menuju arah gedung itu.
Saat sampai di gerbang pabrik kecil itu, terlihat empat orang yang dipimpin Si Bodoh Qiang sedang turun dari lantai atas dan buru-buru masuk ke mobil. Mu Qingqing melihat situasi sekitar, mengambil sebuah batu kali dari tanah, lalu berlari puluhan meter menyusuri jalan. Saat suara mesin mobil mulai menyala, dia berdiri dalam kegelapan di sudut jalan. Beberapa saat kemudian, mobil kecil itu meluncur dengan kecepatan penuh, menerobos puluhan meter jalan lurus. Baru saja mulai memperlambat untuk belok, Mu Qingqing melemparkan batu itu sekuat tenaga dari arah samping depan. Byur! Kaca depan mobil langsung pecah berantakan seperti serpihan salju akibat hantaman kecepatan tinggi.
Mobil itu mengerem dengan suara Creek dan berbelok, namun akhirnya terpeleset dari jalan, menabrak dua pohon kecil di pinggir jalan hingga setengah kacanya hancur.
Menggigit gigi ingin berlari ke luar, belum sempat melangkah, peluru dari mobil kecil itu sudah menderu datang. Mu Qingqing bersembunyi di belakang pohon, mengambil dua kali napas dalam sebelum berteriak: "Wei Zhiqiang, kau tidak bisa kabur!"
"Pergi kau!" Jawabannya selain hujatan itu, peluru yang semakin gencar. Mu Qingqing berguling beberapa kali di tanah, memeluk kepala bersandar di belakang pohon besar. Peluru puff-puff-puff-puff melintas di sampingnya. Melihat mobil kecil itu mundur ke jalan lalu melesat pergi. Tangannya tak bersenjata, tadi tidak terluka sudah sangat beruntung, kali ini benar-benar tidak bisa mengejar.
Lampu jalan di area ini berkedip-kedip. Di dalam hutan masih relatif aman. Melihat mobil kecil telah lewat, dia melangkah beberapa kali. Melalui celah pohon terlihat mobil itu berbelok di jalan ratusan meter depan, hendak memasuki persimpangan tiga arah. Dua mobil mewah hitam tiba-tiba meluncur dari sisi lain. Menghadang di jalan. Seketika, Mu Qingqing menarik napas lega.
"Akhirnya berhasil mengejar..."
Di dalam hati sedang berpikir demikian, dari kejauhan pintu mobil mewah terbuka. Beberapa orang turun sambil membawa senapan serbu, mengarahkan ke arah Si Bodoh Qiang dan kawan-kawan yang melaju kencang. Dentuman senjata menggema di langit malam.
Dentuman senjata terdengar dari kejauhan dalam kegelapan. Mu Zha dan yang lain membagi beberapa tim untuk mengelilingi pabrik kecil itu. Belum sampai, sudah bertemu dengan Mu Qingqing yang berlari keluar dari hutan.
"Di musim panas ini, semua orang berpakaian tipis, sehingga Mu Qingqing tidak bisa menyamarkan penampilannya yang agak kikuk. Rambutnya sedikit berantakan, tubuhnya terkena daun dan debu, untungnya hanya kulit tangannya yang sedikit terkelupas, tidak ada luka serius." Ketika bertemu lima enam orang dari pihak Mu Cha, kebetulan Ding Xiong juga ada di sana. Mereka segera siaga di sekitar. Mu Cha mengerutkan alis mendengar suara tembakan dari kejauhan: "Kelompok Wei Zhiqiang terlalu lancang... Kapten Mu, berapa banyak orang mereka?"
"Bukan hanya Wei Zhiqiang." Mu Qingqing mulai menenangkan napas terburu-burunya, "Baru saja datang kelompok lain, sekarang merekalah yang mengejar-kejar Wei Zhiqiang, menggunakan senjata berat..." Di sini dia tertegun, bertukar pandang dengan Mu Cha dan Ding Xiong, "Min Kun..."
"Gila..." Mu Cha tersenyum dingin, lalu mengambil walkie-talkie, "Semua perhatian, orang Min Kun juga datang, kekuatan mereka..." Belum selesai bicara, seseorang sudah berteriak dari walkie-talkie: "A Wen tertembak, ada sniper, mereka menyerang kita..."
Di sisi lain area ini, Min Kun dan Surap turun dari mobil.
"Ketemu Si Bodoh Qiang... Kebetulan sekali..." Kata orang yang lebih tua di antara mereka berdua, "Mari selesaikan hal ini sekaligus..."
Di bawah lampu jalan yang temaram, Surap melemparkan puntung rokok ke tanah, menginjaknya dengan sol sepatu kulit.
"Mungkin dari awal sulit memahami alasan di balik Segalanya ini. Perkembangan situasi terjadi begitu cepat, sampai-sampai fondasi tak sempat dipikirkan. Dalam hitungan menit, manusia yang mereka temui tidak hanya sedang mengejar-kejar Wei Zhiqiang, tapi juga ingin Bunuh habis anggota tim kasus berat ini. Meski anggota kelompok Mu Cha telah menjalani pelatihan memadai - beberapa bahkan transfer dari mantan pasukan elite Flying Tiger - dengan tergesa-gesa menghadapi perhatian musuh yang kuat, mereka tiba-tiba dibuat linglung.
Saat ini, yang datang bersama Min Kun dan Surap selain pasukan elite garis keturunan langsung Min Kun dalam kelompok, separuh lainnya adalah tentara bayaran berpengalaman ujian hidup dan MATI. Dengan bantuan sistem AI senjata jarak dekat-jauh, bahkan jika berhadapan dengan EU, PTU atau pasukan elite Flying Tiger sekalipun, mungkin masih bisa bersaing. Dalam beberapa menit, anggota yang terbagi tiga kelompok berkumpul di pabrik yang telah meninggalkan itu, malu besar. Beberapa tubuh berlumuran darah: tiga manusia sudah MATI, empat terluka.
"Sial! Sial!... Min Kun sudah gila..."
"Bagaimana bantuan belum sampai juga..."
"Sudah menelepon ke sana..."
Untuk menghindari orang luar melihat target dengan jelas, mereka tidak berani menyalakan lampu. Dalam kegelapan, ada yang mengerang, ada yang menabrak barang, mengumpat kasar. Dentuman senjata terdengar sporadis. Sebuah granat kilat tiba-tiba ditembakkan dari atap gedung di atas sudut masuk ke jendela. Kemudian, kedua pihak kembali menembak dengan gila-gilaan. Peluru menyemburkan percikan api di berbagai sudut kamar. Sebuah ember plastik berisi air meledak, cairan di dalamnya tumpah. Seorang polisi di jendela terlempar ke belakang, menabrak perangkat di belakang, suara gemuruh bergema. Beberapa barang di luar pabrik yang terkena minyak terbakar percikan api, kemudian sebuah pohon menyala, kobaran api berkedip-kedip.
"Harus mencari tempat untuk menerobos keluar..." Mu Qingqing bersandar di dinding sedang berpikir demikian, tiba-tiba keriuhan terdengar dari sisi lain.
"Jangan bergerak——"
"Jangan bergerak!"
"Letakkan senjata letakkan senjata letakkan senjata..."
Pabrik yang panjang terbagi menjadi beberapa bilik khusus. Suara yang terdengar berasal dari beberapa polisi yang membuka pintu bilik lain. Mu Zha, sang pemimpin grup, berteriak paling keras. Saat memandang ke arah sana, terlihat beberapa orang di dalam dan luar sedang berhadapan dengan senjata. Di dalam, yang memimpin adalah Wei Zhiqiang. Dia dan seorang kawan mengarahkan senjata ke kepala polisi di depan mereka, sementara Mu Zha dan yang lain mengarahkan senjata ke mereka. Suasana bagai pedang terhunus dan busur terkencang. Dalam ketegangan ini, ketidaksengajaan menarik pelatuk bisa saja terjadi. Setelah beberapa saat berhadapan, seorang kawan di belakang Wei Zhiqiang tiba-tiba mengangkat senjatanya—mengarah ke tengkuk Wei Zhiqiang.
“Turunkan senjata.” Nafas pria itu tersengal, “Kak Qiang, kau dan Sheng harus menurunkan senjata.”
Perubahan ini seperti adegan film. Mu Qingqing menembak dua kali ke arah luar jendela, lalu memandang ke sana. Wei Zhiqiang berkata: “Xiao Bai, aku menganggapmu saudara, tapi kau malah mengkhianatiku…”
“Di film, semua yang dikhianati pasti bicara begitu.” Xiao Bai menghela nafas, “Maaf, Kak Qiang, aku polisi. Sudah waktunya. Turunkan senjatamu.”
Dentuman senjata terdengar dari luar, mengenai mesin pabrik hingga percikan api beterbangan. Pada saat ini, Wei Zhiqiang menurunkan laras senjatanya, lalu tertawa: “Apa artinya menangkapku? Min Kun sudah gila. Kita semua takkan bisa keluar dari sini.”
Kalimat ini bisa dibilang kebenaran yang pahit, tak ada yang menyahut. Dari empat orang yang sebelumnya ikut kabur bersamanya, kira-kira satu sudah MATI ditembak. Mu Cha menyuruh orang memborgol Si Bodoh Qiang dan Ah Sheng, lalu berkata "Selamat kembali ke tim" pada Xiao Bai. Mu Qingqing memandang kobaran api di luar pabrik dari samping, keraguan yang selama ini mengendap dalam hatinya tiba-tiba menjadi jelas.
Mu Cha menempatkan mata-mata di sini. Jika sejak awal dia sudah tahu semua pergerakan Si Bodoh Qiang, mengapa harus menyembunyikannya sampai sekarang! Apa sebenarnya yang ingin dia lakukan selama ini?
Pertanyaan seperti ini bukanlah waktu yang tepat untuk diajukan. Dalam hatinya, baru saja tersusun jelas titik-titik kecurigaan ini. Melihat Mu Cha berbalik badan, baru melangkah satu langkah, tiba-tiba tubuhnya tergetar hebat. Sebuah peluru nyasar menubruk mesin di samping hingga memercikkan api, kemudian dengan posisi paling sulit menembus masuk ke tubuhnya. Dia menutupi perut sambil terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, akhirnya terjatuh ke tanah.
Baru saja dia ingin mendekat untuk memeriksa, seorang polisi di sampingnya tiba-tiba roboh ke tanah. Sniper yang bersembunyi entah di mana kembali melepaskan tembakan. Ia menoleh melihat sekeliling, tak jauh dari situ, kaki Xiao Pang tertembak. Ding Xiong terlihat baik-baik saja, tetapi sebagian besar polisi di sekitar sudah terluka. Satu-satunya polwan di tim Mu Zha juga menjadi sasaran sniper, kini terbaring di tanah. Seorang polisi yang konon punya hubungan ambigu dengannya kini bermata merah membara, mati-matian melepaskan tembakan ke luar. Ia menyaksikan Mu Zha terhuyung bangkit dari tanah, mundur beberapa langkah dan bersandar di sudut dinding, lalu segera berlari mendekat. Dua polisi lain juga bergegas datang. Luka tembak di bagian perut itu tampaknya tidak mematikan.
"Dia benar." Mu Zha menekan bagian yang tertembak sambil tersenyum getir. "Sepertinya kita tidak akan bisa keluar dari sini, Kapten Mu. Maaf sudah menyeretmu dan Kapten Ding ke dalam masalah ini."
"Jangan bicara begitu. Bantuan pasti segera datang."
"Mereka akan membunuh kita sebelum bantuan tiba." Senyum Mu Zha meregang menahan sakit. "Min Kun sudah gila. Awalnya rencanaku bukan hari ini. Andai bisa menunda beberapa hari lagi, akan lebih mudah bernegosiasi dengan atasan. Rencana tak bisa mengikuti perubahan..."
"Maksudmu..."
Perkataan tanpa ujung pangkal itu membuat Mu Qingqing mengerutkan alis. Tiba-tiba, dentuman senjata di luar mulai mereda. Kemudian, telepon di saku Mu Zha berdering. Dengan lamban ia mengeluarkan ponsel, berbisik: "Manfaatkan kesempatan ini untuk kabur. Lihat apakah ada celah..." baru kemudian menekan tombol penerimaan panggilan.
Di seberang saluran, suara serak Min Kun bergema: "Inspektur Mu, pernahkah kau bayangkan akan berakhir seperti ini?"
Lalu, Mu Cha mulai tertawa.
Seorang yang biasanya serius, di hari seperti ini justru tertawa lebih banyak dari jumlah tawa sehari-hari.
"Inspektur Mu, pernahkah membayangkan akan mengalami hari seperti ini?"
Suara di telepon terdengar serak. Perut Mu Cha tertembus peluru nyasar, suaranya gemetar namun dalam senyumnya terlihat kepuasan: "Kau tak punya jalan mundur, Min Kun! Keributan sebesar ini pasti takkan diampuni atasan. Meski kau dari Sun Yee On sekalipun... Kau PASTI MATI!"
Sepi sejenak di seberang, Min Kun berkata: "Baru kusadari, semua ini adalah rancanganmu..."
"Batuk... Tentu saja aku. Tapi aku hanya membuat rencana sederhana. Siapa sangka perkembangannya malah lebih ideal dari perkiraanku. Tanpa ini, mana mungkin kau terjebak begini..." Senyum Mu Cha mengembang, "Kau menempatkan orang dalam di kepolisian, aku takkan menempatkan mata-mata di sekitarmu? Awalnya hanya ingin menghasut hubunganmu dengan Si Bodoh Qiang, lalu memicu konflik dengan Da Fei. Siapa sangka anakmu mati muda... Tahukah kau? Saat mendengar anakmu MATI, aku sangat gembira sampai menahanmu di kantor polisi untuk merayakannya. Bagaimana? Enak bukan?"
“Di dalam pabrik, Si Bodoh Qiang dan A Sheng yang terkunci saling memandangi mata-mata bernama Xiao Bai dengan pandangan penuh Kemarahan. Biasanya dia terlihat jujur dan cerdas, beberapa kata bijaknya dulu yang berhasil menyingkap rencana Min Kun menggunakan taktik 'pisau orang lain untuk MEMBUNUH', membuat kedua pihak bermusuhan. Sekarang tersadar, ternyata semua ini adalah jebakan pihak ketiga. Dalam tatapan penuh ketegangan, Min Kun menarik napas dalam: 'Kenapa melakukan ini?'”
Mu Cha tersenyum sambil menunduk: “Kejadian bertahun-tahun lalu, pasti kau lupa. Ayahku kau tebas MATI, waktu itu kau masih preman kecil. Tapi aku ingat... Lihat, anakmu MATI, sekarang kau membuat keributan besar dan hampir tamat. Ayahku MATI di tanganmu, sekarang paling-paling kau nekat menghabisiku. Kau Bunuh seluruh keluargaku, aku Bunuh seluruh keluargamu. Menurutku ini kejujuran, tapi kau orang jahat, aku orang baik. Kau MATI hanya dapat hujatan, aku MATI bisa dapat medali...” Dia memegangi perutnya, tertawa Hehe dengan riang.
Napas Min Kun di seberang mulai tersengal, beberapa saat kemudian bertanya: “Kasus penculikan beberapa hari lalu, siapa yang menyerang untuk menyelamatkan?”
“Apakah hubungan kita baik? Kenapa harus kuberi tahu? Kalau kukatakan ini kerjaan tim terbang harimau, percaya tidak? Haha...”
Dalam gelak tawa itu, di ujung telepon Min Kun menyerahkan teleponnya kepada Surat yang berdiri di samping. Surat dengan wajah muram langsung keluar ruangan sambil membawa pistol.
“Blokir sekeliling, aku akan membunuh mereka sendiri.”
Kata-kata terakhir Mu Cha mungkin hanya candaan belaka, namun beberapa saat kemudian benar-benar membawa bayangan MATI yang mencekam bagi sisa anggota grup. Meski area pabrik ini tak luas, namun banyak tempat persembunyian yang memungkinkan. Memanfaatkan meredanya dentuman senjata, beberapa orang berencana menerobos keluar dari sini. Mengingat posisi mereka yang terkepung dan ditekan musuh, jika bisa menyusup ke belakang garis lawan mungkin masih ada kesempatan untuk memutar keadaan. Dua polisi keluar dari pintu di sisi lain, masing-masing berlindung di balik mesin. Di balik jendela di sisi ini, Xiao Pang mengawasi situasi luar sambil mencari celah. Di tengah pengawasannya itu, tiba-tiba muncul sosok yang masuk ke pintu gerbang pabrik dengan sombong.
Dalam kobaran api yang redup dan terang, bayangan sosok itu terus berayun. Sejak pertempuran dimulai, ini pertama kalinya ada yang berani muncul di titik perhatian musuh seperti itu. Xiao Pang memberi beberapa gestur tanda siaga senjata. Saat sosok itu melangkah di antara dua mesin, dua polisi menyergap keluar. Dentuman senjata menggema di dalam pabrik, dan bayangan itu tiba-tiba bergerak cepat.
Dalam kobaran api yang terombang-ambing, bayangan-bayangan manusia di sekeliling tiba-tiba bergerak liar bagaikan iblis mengamuk. Sosok itu seketika berlari ke samping. Dentuman senjata bersahutan, kilatan pisau membentuk lengkungan cahaya berbentuk bulan separuh. Darah menyembur di udara. Tiga bayangan manusia bersilangan sementara tembakan terus berbunyi. Dua polisi itu tak terhitung berapa kali ditusuk dalam sekejap, tembakan mereka justru meleset terus. Saat mereka terjatuh, darah telah membasahi seluruh tubuh. Sedangkan bayangan pria bersenjata pisau itu telah menghilang di blind spot. Hanya suara dengan logat bahasa Mandarin yang tidak standar yang terdengar dari arah sini.
"Aku datang. Kalian semua akan MATI."
Usai adegan ini, semua terdiam menyaksikan dua mayat di luar pabrik. Sesaat kemudian, suara tembakan bergema dari kegelapan disertai jeritan "Aaaaa" yang tiba-tiba terputus. Sebagai rekan kerja yang sudah lama bersama, mereka langsung mengenali pemilik suara jeritan itu.
Menahan sakit hebat dari luka tembak di kaki, Si Gemuk menelan air liur. Memandang sekeliling, sebagian besar orang di sini sudah terluka. Dengan serangan sekuat itu dari luar, mustahil mereka selamat. Keberanian penyerang datang terang-terangan mungkin membuktikan keyakinannya bisa membunuh semua. Meski sulit dipercaya... Dia menggerakkan jari di picu pistol, memeriksa dan mengisi peluru kembali. Jeritan itu masih bergema di udara. Dalam keadaan setengah sadar, langkah kaki semakin mendekat...
——Ini tentu halusinasi.
Tepat setelah Surapp membunuh orang ketiga, dari dalam kegelapan di belakangnya, terdengar suara datar.
"Ketemu satu, kau Surapp ya?"
Seketika, Surapp berbalik keras, tangan kiri mencabut senjata, mengarahkan laras senjata ke dahi orang di belakangnya. Dalam jarak pandang yang remang-remang, orang di belakangnya itu menyimpan kedua tangan di saku celana, memandangnya dengan tenang: "Kau tahu, hal paling kubenci adalah ada yang mengarahkan senjata ke arahku. Jadi..." Ia mengangguk, "Kau akan MATI..."
Beberapa detik kemudian, Si Gemuk melihat bayangan hitam melesat dari samping, Byur! Menabrak mesin di luar hingga seluruh mesin bergetar. Dari posisinya, ia tak bisa melihat jelas benda apa yang tergeletak di tanah, menduga itu mayat rekan kerja lagi. Huali para tentara bayaran yang bersembunyi di kamar dan atap di sisi lain yang bisa melihat jelas - tubuh Surapp yang tulang-tulangnya sudah hancur dan terdistorsi itu terlempar dari kegelapan, menghantam mesin lalu jatuh ke bawah tanah.
Dengan gaya provokatif ia menerjang masuk ke dalam kegelapan, lalu dibuang keluar seperti sampah... Seolah diinjak-injak oleh monster raksasa yang bersembunyi dalam kegelapan...
## Bagian Empat Ratus Empat Puluh Satu Dewa Kematian di Luar Jendela
Dentuman senjata tiba-tiba menjadi sengit.
"Api membakar hebat dalam kegelapan malam, dalam cahaya yang redup dan terang berganti, dia berdiri di sudut kegelapan itu, memandang punggung tangan kanan yang berlumuran darah, kemudian mengangkatnya, menjilati punggung tangan yang merah segar, saat berbalik badan, sosok seseorang tiba-tiba menerjang keluar dari sudut di seberang."
"Di bawah dentuman senjata yang sengit, batu bata di dinding sekitar beterbangan pecah. Orang itu jelas ingin menerobos, tapi tiba-tiba dipukul mundur oleh semburan api senjata yang menguat. Begitu menerjang keluar, mengangkat kepala dan melihat sosok di depannya, secara refleks langsung mengarahkan senjata, menarik pelatuk—Byur!—peluru melesat melewati telinganya, menghantam dinding belakang. Ubin pecah berhamburan, sosok yang tiba-tiba menyerbu itu pun tertegun."
"Jia... Jiaming... Kau bisa sampai sini bagaimana..."
"Mu Qingqing memandang pria yang berdiri di hadapannya, sebentar tertegun. Saat ini dia tak sempat mengamati lebih detail. Baru saja selesai bicara, peluru sudah menggeser rambutnya. Dia berlari ke depan, menarik Jiaming untuk berjongkok di balik tembok rendah belakang. Area ini gelap, tembok pendek berdiri tegak—merupakan blind spot dari tembakan lawan. Dentuman senjata di luar semakin menjadi-jadi, dia melihat pintu samping pabrik yang tak terlalu jauh, napasnya tersengal-sengal."
“Barusan ada yang berlari maju, kau tidak ketemu kan... Kita tidak bisa menerobos, harus lari balik, polisi juga sudah hampir tiba...” Setelah berkata dua kalimat, ia memandang wajah Jiaming, “Ada apa denganmu? Sudah kukatakan ambil barang dan pulang, ngapain kau ikut ke sini!”
Ancaman kematian kini berada di ujung hidung, sambil bicara lengannya gemetar ringan, menunjuk ke pintu samping pabrik yang tidak jauh di depan: “Aku hitung satu dua tiga, kau ikut lari bersamaku, mengerti? Satu...”
Situasi saat ini tidak mengizinkan keraguan. Tadinya dia ingin menerobos dari sisi lain, tidak melihat kedatangan Surabaya tapi mendengar teriakan sombong "Aku datang, kalian semua harus MATI". Dalam pikirannya, setelah serangan orang ini, yang lain akan mulai membersihkan area karena waktu terbatas dan polisi pasti datang. Kini karena tidak bisa kabur, lebih baik kembali bertahan bersama yang lain beberapa menit. Saat mengucap "tiga", dia menarik Jiaming dan berlari kencang. Di tengah jalan seolah tidak sengaja didorong Jiaming, sebuah peluru tiba-tiba menggesek punggungnya. Tubuhnya terhuyung, lalu terjatuh keras. Saat bangun dengan suara brrrt, mereka sudah melompat ke pintu samping. Jiaming berdiri di belakangnya, menoleh melihat ke luar.
Di bawah pimpinan Mu Qingqing, mereka berdua menyusuri dinding melalui beberapa kamar. Saat tiba di ruang besar itu, hujan peluru terus menerus mengalir dari luar jendela. Hampir semua item yang terlihat oleh penglihatan sudah hancur berantakan. Mu Cha yang terluka duduk di sudut, Si Gemuk bersembunyi di samping jendela, Ding Xiong bersandar di belakang meja setengah hancur dengan luka berdarah di tangannya. Beberapa orang lainnya juga mencari tempat persembunyian. Sebelumnya mereka masih bisa sesekali membalas temakan dari jendela, tapi sekarang peluru nyasar yang beterbangan dari mesin-mesin yang ditembak semuanya mematikan. Beberapa korban yang terisolasi di balik jendela bahkan kesulitan untuk mendekat. Melihat ada yang masuk, Mu Cha dkk sempat mengarahkan laras senjata tapi kemudian menurunkannya. Ia menutup luka di perutnya yang mengucurkan keringat dingin: "Tidak ada cara?"
"Mereka mengelilingi kita dari semua arah... Tapi bantuan seharusnya segera datang kan?"
"Iya..."
Meski begitu, perhatian musuh terus mengarahkan tembakan ke sini. Orang-orang mulai mengepung area ini. Jika nekat mengintip keluar jendela, terlihat beberapa orang membawa senapan serbu keluar dari kamar. Begitu mereka mendekat, ruangan ini basically tidak akan punya blind spot lagi untuk bersembunyi. Segalanya mungkin hanya tinggal soal kurang dari satu menit. Di tengah percakapan, seorang polisi memperhatikan Jiaming di belakang Mu Qingqing: "Kenapa dia juga ikut..."
“Kalimat ini belum selesai ditanyakan, sebuah benda dilemparkan masuk dari jendela samping. Mu Qingqing berteriak 'Tiarap...' Diiringi ledakan dahsyat Braak, api menyembur liar, gelombang kejut menyedot segala arah.”
“Pabrik itu luas, jumlah korban yang terkena dampak langsung bom relatif sedikit. Namun seketika gelombang kejut bergejolak di sekeliling, serpihan-serpihan beterbangan ke segala penjuru—serpihan kayu, lempengan besi menghantam dinding. Dalam tarian debu, genteng asbes di atap mulai berjatuhan bertumpuk-tumpuk. Ding Xiong di kejauhan melepaskan benda yang menindihnya, berlari maju ke arah sini. Mu Qingqing mengibaskan debu dari rambutnya. Goyangan api menciptakan silau, telinga berdengung Bzzzt, beberapa orang di samping sedang bangkit dengan susah payah.”
“Harus segera keluar...”
“Tidak ada kesempatan...”
“Lewat sana.”
“Harus dicoba.”
“Maaf... Aku menjebak semua orang...”
“Momen genting selalu membuat manusia kehilangan rasa realita. Orang di samping berbicara, maknanya kurang lebih jelas, tapi siapa yang mengatakannya tak bisa dianalisis saat ini. Seseorang di sebelah bangkit, mencengkeram baju Jiaming: 'Pasti ada celah! Kalau dia bisa masuk, lingkaran pengepungan mereka pasti ada kelemahan...'”
Belum selesai bicara, getaran dahsyat lagi menggema. Tembok luar bilik khusus yang baru saja dilalui Qingqing dan Jiaming ambruk dengan suara Braak. Tujuan mereka sekarang adalah MEMBUNUH, lawan pun tak ragu menggunakan granat tangan. Mu Qingqing mengangkat tangan, menembak dua kali ke luar. Seorang polisi yang sudah terluka di sampingnya berteriak "Aaaaa" sambil melompat, mengangkat senjata dan berlari ke jendela.
Mu Qingqing terus menembak di belakangnya. Dering di telinga akibat ledakan bom masih berlanjut, pikirannya dipenuhi kekacauan emosi. Mungkin sebentar lagi MATI, tapi jika tidak bertarung sekarang, bahkan kesempatan untuk bertarung pun akan hilang. Sekelilingnya adalah api, debu, darah, dan desingan peluru. Semua tindakannya seperti bawah sadar. Keberanian di ujung keputusasaan, karena hanya ini yang bisa dilakukan. Meski mustahil, tetap harus dijalani.
Tapi sekeras apa pun bertarung mati-matian, tetap tak bisa menutupi jurang perbedaan realita. Begitu orang di depannya mencapai jendela, seluruh tubuhnya langsung terlempar ke belakang. Dia hampir bisa melihat darah menyembur dari tubuh yang melayang di udara itu. Tangan kanan yang memegang senjata terangkat di udara - mungkin bahkan sempat menembak sekali pun tidak - Melalui celah di samping tubuh yang terlempar, dia melihat tiga orang di plaza kecil luar yang sedang menyapu tembakan, sosok penembak di jendela gedung dua lantai di kejauhan. Peluru menyambar pipinya, tatapan tajam dewa kematian.
Bersamaan itu, Bayangan Hitam melintas di sampingnya, menyambar pistol yang masih melayang di udara, lalu mendorong mayat yang terlempar itu ke samping.
Kaki terpeleset, Mu Qingqing terjatuh ke lantai. Hampir tanpa sadar dia mengulurkan tangan kiri, menggenggam helai baju Bayangan Hitam di depannya. Matanya seolah sudah melihat adegan orang di depan ini tertembak. Namun proses ini tiba-tiba terasa sangat panjang, panjang bagai mengubah sekejap menjadi keabadian. Dia tidak sepenuhnya terjatuh. Melalui jarak pandang terbatas, dia melihat bunga-bunga merah bermekaran di luar - pemandangan kepala manusia yang meledak di plaza kecil.
Pada saat yang sama, di gedung kecil seberang, Min Kun menyaksikan kepala seorang sniper di sebelahnya pecah bagai bunga mekar.
Saat itu dia sedang bersiap pergi. Orang di jendela samping ini adalah tentara bayaran bawahan Sulap. Sebenarnya dia tidak peduli pada Sulap. Setelah kehilangan anak laki-laki, yang dia pedulikan hanyalah balas dendam. Tapi bagaimanapun, harus diakui mereka memiliki kekuatan yang mutlak. Sejak tadi sudah jelas keunggulan yang mutlak. Bahkan jika orang mereka berjalan ke plaza, polisi tidak akan bisa menembak. Sekarang rombongan Mucha pasti MATI. Saatnya dia pergi. Tepat ketika penjelasan untuk anaknya selesai di hati dan dia hendak berdiri, tiba-tiba dia melihat sinar darah menyembur ke depan.
Hujan darah menyembur ke dinding belakang, kepala orang di jendela hancur seketika. Setengah tengkoraknya terlempar, di jendela yang lebih jauh sebuah kepala manusia seperti mekar bunga darah, mekar dan layu sekejap mata. Tubuh itu tetap memegang senjata saat terjatuh. Seorang bawahan kepercayaan sedang mendekatinya, melintasi jendela tepat saat itu. Separuh wajahnya tiba-tiba terpahat hilang. Peluru masuk dari profil wajaknya, menyapu tulang dan darah yang berhamburan. Manusia yang utuh sesaat sebelumnya, kini dari hidung ke bawah termasuk seluruh dagu telah lenyap tanpa bekas. Tanpa sadar—sama sekali tak sempat bereaksi—ia masih melangkah dua kali ke arah Min Kun sebelum akhirnya Byur! terjatuh terkapar di bawah tanah.
Menyaksikan pemandangan ini, Min Kun membeku di tempat. Pada detik itu, seolah jantungnya berhenti berdetak...
Beberapa detik kemudian, suara tembakan di satu sisi mulai mereda. Di dalam pabrik yang berantakan dan berkobar api, para manusia tak mampu merespons situasi di depan mata mereka. Mereka mulai bangkit perlahan dari tanah, masing-masing mengacungkan senjata. Para calon pejuang yang siap bertarung mati-matian kini tampak kebingungan. Mu Qingqing berdiri mematung, menatap pria yang telah bersama dengannya lebih dari setengah tahun ini. Baru saja dia mengambil magasin darinya. Karena tarik-menarik dan instruksi berjongkok-tiarap tadi, pakaian pria itu kini terlihat kotor. Kini dia berdiri di depan jendela, sebuah pistol diarahkan ke luar, satu-satunya aksi yang dilakukannya hanyalah menarik pelatuk. Tiga orang yang membawa senapan serbu dan melempar granat di plaza telah tumbang. Masih ada orang di gedung seberang, namun setiap kepala yang mengintip langsung menjadi sasaran tembakan. Sebuah mayat jatuh dari atap gedung, terhempas di tangga depan bangunan.
Tak ada yang bersuara. Semua orang terpaku menyaksikan gerakan pria itu. Kobaran api bergoyang tak menentu. Tak seorang pun memahami situasi ini. Tadi pihak seberang yang menekan, kini seorang diri dia berhasil menekan semua lawan.
Beberapa belasan detik kemudian, Jiaming melirik sekilas ke arah Mu Qingqing di sampingnya: "Aku akan melakukan pembersihan. Bersiaplah untuk keluar." Usai bicara, dia mengambil sebuah belati dari seorang polisi di dekatnya, lalu melompat keluar jendela. Dengan berlindung di balik objek-objek di plaza kecil, dia menyerbu deretan rumah. Beberapa saat kemudian, gelombang pembunuhan merambat dari jendela ke jendela dalam kegelapan malam.
Mu Cha berjuang bangkit, lama baru bisa bicara: "Kapten Mu, temanmu ini... sebelumnya sebenarnya siapa? Pasukan khusus PLA?"
"Eh, ini..." Mu Qingqing tersadar, "Aku juga tidak tahu jelas..."
Di antara bukit-bukit, cahaya-cahaya kecil berkelap-kelip. Saat Mu Qingqing naik ke lantai teratas gedung, dia melihat Jiaming berdiri di sudut atap sambil memegang senapan runduk melakukan tembakan presisi.
Dengan hati-hati dia mendekat, bersembunyi di balik atap sambil mengintip. Rombongan yang sebelumnya mengepung mereka kini sudah tercerai-berai. Di antara pepohonan mungkin masih ada yang melarikan diri. Setiap kali Jiaming menembak, di kegelapan malam selalu ada yang roboh. Sebagian sempat menjerit kesakitan, sebagian lagi bahkan tak sempat berteriak. Melihat profil wajah Jiaming yang menengadah, ekspresinya tak pernah dia lihat sebelumnya. Biasanya dia tampak kaku atau misterius. Tapi sekarang... bagaimana menjelaskannya? Seperti teknisi ahli yang sedang menyelesaikan pekerjaan rumit dengan penuh keyakinan dan tanpa cela. Kecuali... ya, saat ini dia memang sedang MEMBUNUH.
Dia bingung harus menghentikannya atau tidak, juga tak tahu apakah Jiaming masih mau mendengarnya. Setidaknya Mu Cha dan kawan-kawannya sekarang sama sekali tak berani mendekat - siapa yang tahu kondisi mentalnya seperti apa. Selama ini Mu Qingqing selalu memperkenalkan Jiaming pada mereka dengan kalimat: "Otakmu bermasalah".
Suara sirene polisi semakin dekat. Kali ini pasukan besar yang datang. Tampaknya sudah mulai mendaki bukit. Saat Mu Qingqing hendak bicara, Jiaming menurunkan senjatanya.
"Aku tak akan bilang sampai jumpa."
"Eh?"
“Selama beberapa tahun ini waktu terasa berkabut, ada beberapa hal yang belum bisa kupahami, tidak ingin ada yang menyelidikiku.”
“Kau... kau akan pergi...”
Jiaming mengulurkan tangan menepuk kepalanya: "Harus mencari beberapa orang, melakukan beberapa hal. Keluargamu di Jianghai, nanti mungkin aku akan mencarimu. Keluargaku... seharusnya juga di Jianghai."
Mu Qingqing memandangnya: "Ingatanmu benar-benar pulih?"
"Tidak terlalu spesifik, tapi yang penting sudah kembali." Jiaming tersenyum kaku, "Beberapa orang, mungkin harus ditemui dulu baru bisa mengerti... maknanya bagiku... Membawaku ke Hong Kong ini termasuk penyalahgunaan wewenang, akan memberimu banyak masalah. Kau harus siap secara mental."
Mu Qingqing mengangguk, lalu mengangkat bahu dengan santai: "Paling-paling dipecat. Seharusnya tidak sampai dipenjara..."
"Jika kau ditangkap, jangan khawatir. Aku akan menyelamatkanmu."
"Ini... tidak perlu berlebihan... Hehe..." Mu Qingqing tertawa, tapi tiba-tiba melihat Jiaming melompat dari lantai atas. Baru ingat: "Hei, alamat keluargaku di Jianghai adalah..."
"Jika diperlukan, akan kuselidiki."
Di bawah, bayangan itu mengayunkan tangan. Mu Qingqing berdiri di sana, angin malam berhembus menghilangkan bau darah, sejuk sekali. Dia melihat bayangan itu semakin menjauh, akhirnya menghilang di antara pepohonan. Tiba-tiba dia tersenyum, senyumannya rumit, tak tahu rasa apa yang ada di hatinya...
## Bagian Empat Ratus Empat Puluh Dua Langit Berbintang
Bar，，baijiu，，Diam。
"Hei，si cantik，sendirian ya。"
Membawa sebotol baijiu，pria tersenyum di kursi seberang duduk，"Di sekitar sini melihatmu。"
Wanita itu menatapnya，menyesap sedikit baijiu，memandangi ke lantai dansa yang penuh kepala manusia。Pria itu tersenyum：" melihatmu minum seperti ini，derajat alkohol ini tidak tinggi，sekali teguk saja。"Sambil mengulurkan tangan ingin mengambil botol baijiu di sebelahnya。Baru sampai separuh jalan，sudah seseorang dari kanan memegang pergelangan tangan，beraura berusia namun berwajah bonekapria memandanginya dari atas："Minta maaf，kursi ini ada yang punya。"
Pria itu melihat ke wanita di depan yang tak peduli padanya，lalu mendongak melihat pria yang memegang pergelangan tangannya，ekspresi wajahnya perlahan menjadi garang，meronta melepaskan tangan："Kau berkecimpung di mana？Tak pernah melihatmu di sini。"
"Sudah lama tak berkecimpung。"
"Sial!..." Sesaat kemudian，orang itu berdiri dari kursi，mengumpat lalu pergi。Setelah dia pergi，Xiao Meng duduk di kursi seberang，juga tersenyum。
"Dia benar，derajat alkohol ini tidak tinggi，bisa sekali teguk。"
"Daya tahan baijiu-ku tidak baik，tak ingin mabuk。"
“Benar juga, kau sudah bertahun-tahun tidak menyentuh ini...” Xiao Meng melirik sekeliling, “Bagaimana? Ada perasaan tempat sama namun manusia sudah berbeda?”
Di seberang, Sha Sha memalingkan kepala, senyum datarnya mengandung sedikit ironis: “Sebenarnya aku jarang datang ke tempat-tempat seperti ini, kau tahu.”
Dapat merasakan mood mereka, Xiao Meng mengangguk, tak lagi berbicara. Beberapa menit kemudian, Sha Sha-lah yang membuka mulut: “Dulu... Heh. Jika kemudian tidak terjadi hal seperti itu, kau masih akan sering membawaku ke tempat-tempat ini, kan?”
Xiao Meng menatapnya: “Dulu kau benar-benar ingin mengambil alih kelompok ya?”
“Mungkin...”
“Waktu itu kau mau kuliah. Jiaming...” Begitu nama ini disebut, tatapan Sha Sha di seberang langsung berubah. Xiao Meng menarik napas, selama empat tahun sebenarnya mereka tidak pernah membahas hal-hal ini lagi, terutama karena penolakan sang wanita. Kini sudah beberapa hari sejak kepulangan, getaran dahsyat yang tertinggal dari pertempuran dua hari lalu mungkin mulai tenang. Karena dia ingin bicara, lanjutnya.
“Jiaming juga tidak benar-benar berencana membuatmu mengambil alih kelompok. Waktu itu dia ngobrol denganku, bilang kalau kamu ingin mainin, biarkan saja. Dia juga pernah mempertimbangkan untuk menyerahkan kepadaku, jujur waktu itu aku memang punya keinginan itu... Tapi menurutku maksudnya, sejak bos meninggal, dia mungkin sudah ingin mengakhiri Shazhu Bang. Waktu itu dia tanya apakah aku punya hal yang ingin dilakukan, buka perusahaan atau semacamnya, bilang kelompok ini cuma aktivitas kecil-kecilian, tidak bisa jadi pahlawan. Saat itu kurasakan, dia benar-benar menganggapku sebagai Teman.”
Sha Sha meneguk habis sisa baijiu dalam gelas: “Mengurus urusan terakhir, dia.”
“Waktu itu tidak terlihat.”
“Tahu bahwa aku pasti akan kembali ke sini suatu hari.” Dia menuangkan anggur untuk dirinya sendiri, mengangkat kepala, “Tapi tak tahu kembali untuk apa, melihat nisan ayahku? Nisannya? Membunuh? Tak tahu harus menemui siapa, bahkan Lingjing pun tak berani kuhadapi……Di masa-masa terakhir, dia masih bilang padaku, jika ingin melakukan sesuatu, lakukan saja, kalau gagal, pulanglah dan merengek padanya……Seperti baru kemarin, saat kami tinggal bersama.”
Empat tahun membuat Xiao Meng memahami posisi hal-hal ini di hati mereka. Dia tak berbicara, hanya menyodorkan gelas anggur ke depan pasir. Gesekan mengangkatnya, lalu menggelengkan kepala, meletakkan gelas kembali.
“Tak mau minum lagi. Aku ingat……waktu SMP hampir lulus, minum anggur, keesokan harinya bangun bersamanya. Saat itu daya tahan alkoholnya juga payah, ayah menaruh obat di botol anggur villa……”
Xiao Meng tersenyum: “Ternyata urusan kalian waktu itu……Aku masih ingat, bos saat itu membual pada kami, bilang kamu sebentar lagi lulus, bisa masuk Akademi Hati Kudus, kenal orang penting, Guru Yahan……Malam itu kami main di villa, semuanya tidur di sana, berantakan……Botol anggur merah itu?” Dia berpikir sejenak, ekspresinya mulai muram, “Yang ditambah obat, aku masih ingat……Awalnya dia tak siap, malam itu di lorong ketemu, bilang padaku sudah nemu cewek, suruh taruh sesuatu di anggur, biar semangat……”
“Sebenarnya saat itu siapa yang bawa benda itu. Para wanita yang ikut ke villa itu semuanya jiwa-jinak, bukan tidak cantik, tapi mau naik ranjang dengan siapa, bagaimana caranya sama saja. Aku mencari lama baru ketemu, taruh di anggur merah lalu suruh anak buah mengantarkannya masuk…… Tepat sehari setelah siang hari tendang kami bangun, suruh sekelompok kami merapikan villa, sekumpulan pria dewasa sibuk merapikan barang-barang plus bersih-bersih, itu bukan pengalaman pertama, kalian selalu ke sana, dia juga selalu suruh kami urus sampai bersih…… Yang dikasih obat, dari awal sampai akhir kira-kira cuma satu botol itu……”
Gesekan memejamkan mata, tubuhnya gemetar halus, seolah berusaha menelan sesuatu yang pahit, beberapa saat baru membuka mata lagi: “Iya, ayah… selalu bilang aku tidak lembut tidak bisa urus rumah tangga, bilang Jiaming mau menerimaku itu berkah dari tujuh turunan, baiklah, aku akui itu berkahku setuju tidak…… Heh, aku juga bukan tidak pernah berpikir untuk jadi lebih lembut atau apa, belajar urus rumah, masak-memasak, setelahnya setengah tahun aku tinggal di Shazhu Bang, Jiaming kadang datang menjenguk, aku mengganggunya pergi belanja sayur bersama, ingin masak untuknya, berdua, masa-masa itu kalau diingat sendiri benar-benar…… Aku iri Lingjing, merasa tidak bisa menyainginya, kabur dengan manja seperti ini, dia pasti jadi semakin tidak suka, jadi selalu ingin memonopolinya lebih banyak…… Dia juga pernah bersumpah mustahil menungguku pulang menangis, sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa… sudah sama sekali tidak ingin melakukan apapun, mengapa bisa begini……”
Bar ini ramai dan bising, suaranya rendah bahkan Xiao Meng pun tak begitu jelas mendengarnya. Tapi dia mengerti, hal-hal yang diceritakannya ini memang bukan dimaksudkan untuk didengar siapapun. Sembari bicara, sekelompok orang dari lantai dansa mendekat, termasuk pria yang baru saja diusir Xiao Meng. Pemimpin kelompok yang jelas-jelas orang jalanan ini melirik Xiao Meng, mengabaikannya, lalu membungkuk di samping Shasha sambil membawa gelas anggur:
"Si cantik, minum gelas ini, kita anggap kejadian tadi tidak pernah terjadi..."
Kalimatnya belum selesai, kilau dingin berkedip di mata Xiao Meng. Tangan kirinya membalikkan telapak tangan secepat kilat. Ayunan horizontalnya bagai cambuk baja. Sebelum orang itu bereaksi, gelas anggur yang diangkatnya sudah meledak di wajahnya dengan suara Byur! Darah menyembur saat tubuhnya terlempar beberapa meter ke belakang. Saat seorang algojo di sampingnya berlari maju, Xiao Meng sudah berdiri, telapak tangan kanannya menghantam kepala pria itu hingga langsung terjungkal ke lantai marmer, darah menyembur keempat penjuru.
Suasana seketika menjadi kacau.
Beberapa orang di belakang hendak menyerbu, tapi dari sofa beberapa meter jauhnya, orang asing berambut pirang melompat ke atas meja depan, tendangan melayangnya membuat beberapa orang terguling-guling seperti labu. Anak buah di kejauhan lantai dansa yang melihat keributan berteriak memanggil teman, baru saja berbalik badan sudah dirobohkan oleh pria berambut hitam.
“Selain Sha Sha dan Xiao Meng yang keluar untuk refreshing, anggota tim operasi Dark Celeste yang terlibat juga ikut. Beberapa orang langsung bertindak, ada yang masih asyik menari di lantai dansa. Seorang pria Asia berambut panjang menerobos ke meja DJ, dengan penuh semangat memutar musik favoritnya sesuai pemandangan dimensi. Memegang mikropon, ia asal melempar barang di sekitarnya ke lampu belakang. Seketika, serbuk cahaya memenuhi langit mengikuti alunan lagu. Dari dekat maupun jauh, suasana langsung menjadi panas tak terkira. Sha Sha berdiri dari kursinya: "Kalian lanjutkan, aku pulang dulu." Berbalik menuju pintu keluar.
Mengikuti kerumunan keluar dari bar, angin malam yang sejuk menyapa. Xiao Meng yang sedang mengusap tangan dengan tisu juga ikut. Mereka menyetir mobil, menuju kompleks perumahan tempat tinggal Lingjing. Tinggal di lantai empat sebuah rumah, Sha Sha naik ke balkon. Dari sana terlihat halaman kecil perguruan silat di sisi bawah. Jauh di kejauhan, kamar Lingjing masih terang. Siluet gadis itu terpantul di jendela, bagai pemisah jarak yang tak terjangkau...
Di sisi lain kota, dua wanita kulit putih yang cantik dan elegan keluar dari pintu gerbang bandara. Di bawah lampu jalan, tiga pria yang telah menunggu menyambut mereka.
"Victoria, selamat datang di Jianghai."
Wanita pemimpin itu melepas sarung tangan putih dengan renda, menyerahkannya kepada pria bernama Peter. Tanpa sepatah jawaban, senyum tipis mengembang di bibirnya yang merah bak darah.
“Lima pria dan wanita berpenampilan mencolok naik ke mobil kecil yang terparkir di pinggir jalan, di bawah gemerlap bintang, mobil kecil itu melintas di jalanan, menyatu dengan arus lalu lintas kota yang rapat di depan...”
Di bawah gemerlap bintang yang sama, di selatan Bumi, Hong Kong.
Gelombang sisa bentrokan polisi dan penjahat yang terjadi setelah malam hari belum mereda, Mu Cha dan kawanannya yang terluka dalam baku tembak masih menjalani perawatan di kamar pasien rumah sakit. Karena terlalu banyak korban jiwa dalam peristiwa ini, para wartawan yang mengerumuni luar rumah sakit hingga kini belum bubar. Sebagian polisi sedang mempertahankan keteraturan. Mendekati tengah malam, di sekitar pelabuhan terpencil dekat Clear Water Bay, beberapa orang naik kapal secara rahasia.
Jumlahnya sebenarnya tidak banyak, tapi semuanya terlihat bukan orang baik. Ini adalah kapal penyusup yang khusus melayani orang-orang yang terlibat masalah dalam pembunuhan balas dendam di dunia persilatan untuk menyusup ke Benua. Sang pemilik kapal menghitung jumlah penumpang, melemparkan puntung rokok di tangannya ke bawah tanah, lalu berbalik badan bersiap naik kapal. Dalam jarak pandang, seorang pemuda bertasbih komputer muncul dari samping. Seketika dia siaga, melihat pemuda itu sudah berada di depan mata.
“Ke Guangzhou, ini lima ribu.”
Menundukkan kepala sambil mengeluarkan segepok uang dari saku, pemuda itu tampaknya paham harga pasar. Namun pemilik kapal yang bisnisnya selalu bergantung pada perkenalan kenalan masih mundur selangkah ke belakang: “Kau bicara apa, aku tidak paham...”
Hal-hal seperti ini paling ditakuti muncul masalah. Sang pemilik kapal menatap pemuda yang jelas masih belia ini. Beberapa orang di kabin kapal juga mengeluarkan kepala untuk melihat. Beberapa detik kemudian, suara Byur menggema di langit malam.
Hanya sedikit yang bisa bereaksi terhadap apa yang terjadi dalam sekejap itu. Orang di dalam kabin kapal melihat sosok di luar, pertama-tama mengkerutkan tubuhnya, lalu mengeluarkan senjata dari badan untuk bersiap menembak. Tapi tepat saat ia menggapai senjatanya, titik antara alisnya sudah tertembus peluru yang melesat. Bagi yang lain, hal pertama yang terlihat adalah laras senjata berasap di tangan pemuda di luar. Melihat adegan ini, seseorang tiba-tiba berteriak: "Polisi!" Beberapa yang membawa senjata langsung mencabutnya, sementara yang tidak membawa berusaha kabur sambil mencari senjata atau jalan melarikan diri.
Di bawah cahaya lampu temaram, dentuman senjata bergema di langit malam. Beberapa detik kemudian, pemuda dengan tas komputer di punggung itu menurunkan tangannya dengan ekspresi dingin. Seluruh kabin sudah dipenuhi mayat. Ia kemudian mengarahkan laras senjatanya ke nahkoda kapal yang sedang gemetar mengangkat tangan: "Aku...aku...aku tahu! Kau mau ke Gua-Gua-Guangzhou, jangan bunuh aku! Aku bisa mengemudikan kapal."
"...Sudahlah, aku juga bisa."
Suara datar itu menggema. Seketika, pria yang tertembak di kepala itu mundur beberapa langkah sebelum jatuh "Blup" ke laut. Pemuda itu naik ke kapal, mengendalikan kemudi untuk menjauh dari pantai. Satu per satu mayat di kabin dilemparkannya ke laut. Dalam deru mesin yang semakin menjauh, ia duduk di kabin sambil membuka laptop-nya, mulai asyik mencari data yang diminatinya. Cahaya dari kapal perlahan mengecil, akhirnya menghilang di permukaan laut yang gelap...
Keesokan harinya, Guangzhou.
Membawa tas komputer di punggung, Jiaming melewati taman kecil, menengadah ke arah gedung pencakar langit puluhan lantai di seberang jalan. Matahari yang baru terbit memantulkan cahaya fajar keemasan, menyinari empat karakter megah "Grup Chao Hai" dengan pinggiran cahaya keemasan.
Angin sepoi-sepoi berhembus, suasana penuh semangat di pagi yang penuh harapan ini.
## Bagian Empat Ratus Empat Puluh Tiga Foto Keluarga yang Terlambat
Terbangun dari tidur dalam keadaan setengah sadar, seberkas cahaya menyelinap dari celah tirai jendela, melukis garis emas terang di kamar. Debu-debu halus berputar perlahan di udara, di sebelahnya terbaring seorang wanita yang tertidur lelap.
Layar TV plasma membeku dalam warna biru. Musik yang semalam terus menyala mungkin sudah habis waktu putarnya, kini sunyi senyap. Pakaian dalam berantakan, berbagai alat bantu seks, bungkusan kertas berisi serbuk putih, jarum suntik, dan peralatan narkoba berhamburan di lantai. Saat Ying Zifeng mendorong wanita telanjang di sampingnya dan bangkit dari ranjang, sakit kepala seperti tali pengikat kepala yang mengencang kembali menyergap seperti biasa.
Tangan menutupi dahinya, tanpa sengaja kembali melihat lingkaran bekas luka di sekelilingnya.
"Sial!"
Dia mengumpat, melemparkan bantal ke lantai, Blek! Meja kecil tempat narkoba itu pun terbalik. Seperti setiap kali terbangun dalam beberapa tahun terakhir, udara di sekitarnya terasa halusinatif seolah keluar dari realita. Mulutnya kering, tubuh lemas tak berdaya. Dengungan AC bergema di telinganya, parau dan mencekik, bagai ratusan lalat beterbangan. Tangannya menggapai-gapai udara, lalu ia berjalan ke jendela dan menyibak tirai dengan kasar. Cahaya matahari yang menyengat membuatnya tersiput, lalu tirai pun ditutup kembali dengan keras.
Waktu menunjukkan jam sebelas pagi. Ia menoleh ke wanita setengah telanjang di ranjang. Cantik, tapi siapa namanya? Sudah tak ingat. Lagipula tak penting. "Sayang", "Kucing", terserah. Perempuan? Selama bertahun-tahun selalu ada gantinya setiap hari. Sebenarnya tak pilih-pilih. Kadang juga tidur dengan yang jelek, besoknya juga lupa. Beberapa wanita mungkin sudah ditiduri tiga empat kali, intinya demi uang... Uang bukan masalah!
Beberapa hal, seketika sudah berlalu empat tahun, konsep waktu baginya sangat kabur. Setelah keluar dari rumah perawatan, ayahku hanya berbicara sekali dengannya, lalu tidak peduli lagi. Kakak tertua justru sering mengunjunginya. Ada periode di mana sifatnya menjadi sangat kasar, ingin MEMBUNUH atau apa, tapi teman-teman yang bisa melakukan hal semacam itu seolah menjauh dalam semalam. Kemudian tahu bahwa ayah dan kakaknya memberi perintah keras: tidak Izinkan dia menyentuh pikiran ke arah ini. Sejak itu Bian mulai menjadi pecandu narkoba, sampai sekarang. Karena setiap kali melihat luka di lengannya, membuatnya sakit tak tertahankan.
Dia mengenakan kemeja untuk menutupi bekas luka di lengannya, bagian bawah tubuhnya masih hanya memakai celana dalam. Membuka pintu dan keluar, berteriak keras: "Bibi Wu!" Saat memandang ke pagar sementara di sebelah, melihat seorang pelayan pingsan di lantai.
"Overdosis... Overdosis..."
Dia menggelengkan kepala sambil bergumam sendiri. Ini terjadi di lorong lantai dua villa. Saat memandang ke bawah, baru menyadari ada seseorang duduk di ruang tamu bawah. Memandangi punggung orang itu, di luar pintu gerbang terlihat penjaga terjatuh di bawah sinar matahari.
"Overdosis... Halusinasi..."
Adegan serupa bukan pertama kalinya terlihat dalam beberapa tahun terakhir, setiap kali berbeda, namun sosok itu terasa mengerikan sekaligus familiar. Entah di ruang gelap yang dipenuhi mayat dan daging, atau reruntuhan pertempuran berdarah dan berapi, iblis itu berulang kali menyeretnya ke neraka sebelum membunuhnya. Setelah diulang berkali-kali, akhirnya dia memiliki sedikit daya tahan. Sambil bergumam dengan langkah terhuyung-huyung menuruni tangga, dia berkata: "Aku tidak takut padamu! Kau halusinasi... halusinasi!"
Halusinasi itu menoleh ke belakang, memandanginya sejenak lalu berkata perlahan: "Ying Zifeng, menunggumu bangun benar-benar memakan waktu lama."
"Kau halusinasi..."
Dengan limbung dia turun ke ruang tamu. Matanya menyaksikan sosok itu mendekat sambil membawa kaleng cola, kemudian berisik berisik berisik menuangkannya ke atas kepalanya. Cairan yang dibekukan mengalir dari kepalanya, membuat seluruh tubuhnya kaget. Gelembung udara mengepul di udara. Wajah dingin itu menatapnya, beberapa saat kemudian pandangan yang melayang-layang akhirnya mulai fokus. Tiba-tiba dia terjatuh duduk, kedua tangan berusaha mati-matian meraih tangga di belakangnya: "Tidak tidak tidak tidak mungkin... Kau sudah MATI, kau sudah MATI..."
"Benar, aku juga mengira diriku sudah mati." Hantu bernama Jiaming berdiri di sana, melirik jam tangannya. "Sadar sudah?"
“Kau tidak boleh membunuhku、Kau tidak boleh membunuhku……” Ying Zifeng berhasil naik lima tingkat tangga, kemudian seluruh tubuhnya meluncur kembali ke bawah. Saat hendak memanjat lagi, Jiaming sudah mendekat dan berjongkok di hadapannya. Seketika, seluruh tenaga pun menghilang. Ia menatap wajah biasa bernuansa dingin itu, berbicara secara bawah sadar, “Kau tidak boleh membunuhku. Papanya... Kakak tertuaku pasti akan balas dendam, mereka semua akan membalas... Kau tidak berani membunuhku, waktu itu juga kau tidak berani... Pasti akan balas dendam...”
Ucapan yang terbata-bata ini sebenarnya merupakan mantra penenang yang terus diulanginya selama bertahun-tahun - orang itu sudah MATI, atau mungkin tidak berani bertindak. Dalam pengulangan ini, ia melihat Jiaming menggelengkan kepala, pandangan mata penuh penyesalan dan kekosongan. Kemudian tangan itu mengulur pelan-pelan, menepuk bahunya seperti upaya menghibur yang tulus.
“Tidak bisa... Kali ini berbeda dengan sebelumnya, sudah tidak mungkin lagi...”
Tiba-tiba, tangan itu menekan lehernya. Kegelapan menyergap secara tiba-tiba.
Jam sebelas tiga puluh, kantor pusat Grup Chao Hai. Ying Haisheng dan Ying Zilan menerima telepon dari pengawal di dalam lift, mengetahui kabar penculikan Ying Zifeng.
“Ada yang melihat wajah penculiknya?”
“Tidak. Semua orang di villa dipukul hingga pingsan. CCTV juga tidak merekam apa-apa. Tapi kami perkirakan kejadiannya sekitar setengah jam yang lalu...”
“Dasar orang ini! Sudah dilarang pamer, masih saja memusuhi orang!”
“Ying Haisheng menggeram. Terhadap anak adiknya, sebelumnya sudah kecewa pada besi yang tak bisa menjadi baja. Sejak kejadian empat tahun lalu, posisi keluarga Ying di [] semakin merosot. Dia bahkan berharap tidak pernah memiliki anak ini. Beberapa tahun terakhir hanya membiarkannya tanpa pengawasan, menarik kembali sebagian besar hak yang dimilikinya, paling-paling menyisakan modal untuk merayu cewek dan bersenang-senang. Siapa sangka muncul masalah seperti ini lagi.”
“Masalah Kekosongan Pandang Debu sudah membuatnya cemas. Hatinya gundah, namun Ying Zilan di sampingnya mulai tegang, terus mengajukan beberapa pertanyaan, lalu meminta izin untuk segera pergi ke tempat tinggal adiknya menangani hal ini. Meski tidak ada simpati lebih banyak pada anak adik, hubungan persaudaraan anak sulungnya tetap tidak bisa dianggap sepele. Dia mengayunkan tangan, menyetujui persiapan berpisah.”
“Awalnya hendak menghadiri jamuan bisnis, kini pengaturan berubah: Ying Haisheng yang akan pergi, Ying Zilan menangani kasus penculikan. Keluar dari aula bersama dalam pengawalan pengawal, keduanya merenungkan kemungkinan konspirasi di balik hal ini. Misalnya keinginan mencegah Fang Zhitian mendapatkan Kekosongan Pandang Debu, lalu Fang Zhitian membalas dengan menculik anaknya. Baru sampai di pintu gerbang, telepon Bapak-Anak itu berdering serempak dari nomor asing yang sama.”
“Mungkin penculik……”
“Ying Zilan melirik ayahnya, menempelkan telepon ke telinga. Ying Haisheng baru kemudian menekan tombol penerimaan: 'Halo.'”
“Sepertinya kalian sudah tahu tentang Ying Zifeng.”
Suara di ujung telepon terdengar santai dan datar, seolah terdengar agak familiar, namun membawa nuansa ketidakterikatan yang dingin. Sambil berbicara, mereka bertiga bersama belasan pengawal di sekitarnya telah keluar dari pintu gerbang Grup Chao Hai. Di luar, plaza kecil diterangi sinar matahari cerah. Berkat desain integrasi yang baik dengan bangunan sekitar, angin alami yang sejuk berhembus di area luar pintu, menerbangkan helaian baju mereka. Iring-iringan mobil yang menunggu telah parkir beberapa meter dari gerbang. Ying Haisheng terdiam sejenak: "Apa yang kau inginkan?"
"Aku datang untuk mengantarkan sesuatu."
"Apa?"
"Foto seluruh keluarga... Karena kalian enggan menjemput foto keluarga ke Jianghai, aku repot-repot mengantarkannya kesini."
Hanya tersisa dua meter menuju mobil depan, Ying Haisheng dan Ying Zilan tiba-tiba menghentikan langkah. Angin berhembus, pejalan kaki lalu lalang di plaza kecil. Empat tahun waktu dan memori menyusut seketika, kenangan itu muncul begitu jelas bagai melihat pemuda berpenampilan biasa namun mengerikan itu berdiri di hadapan mereka. Jantung mereka berdebar kencang ketika sesosok Bayangan Hitam jatuh dari langit.
Byur、Braak——
"Aaaaa——"
“……Tubuh manusia yang terjatuh dari gedung puluhan lantai menghantam atap mobil mewah di samping. Kaca antipeluru yang hancur berhamburan seperti mutiara. Setelah ledakan dahsyat, barulah terdengar jerit kesakitan orang tersebut di udara. Para pengawal berhamburan dari segala penjuru melindungi Bapak-Anak keluarga Ying. Ying Zilan tiba-tiba mendorong pengawal di sampingnya, matanya tertuju pada atap mobil yang cekung di depan. Ying Zifeng yang seluruh tubuhnya berlumuran darah dan terdistorsi masih seolah memandangi kakak dan ayahnya di sini, meski kedua bola matanya telah meledak sepenuhnya. Dalam tarikan pengawal, Ying Haisheng yang menyaksikan pemandangan ini hampir secara bawah sadar berteriak: ‘Gu Jiaming, aku akan membuat semua orang yang kau sayangi MATI tanpa mayat utuh!’
“……Masih tidak kreatif juga.”
Suara di telepon menghela napas pelan. Di saat bersamaan, ledakan tiba-tiba menggema. Itu berasal dari ruang pamer di samping aula Grup Chao Hai. Saat bom di aula diledakkan, api menyembur keluar dari jendela besar di samping. Kemudian, sebuah mobil kecil di sisi lain terlempar setinggi tiga lantai oleh gelombang panas yang tiba-tiba. Belasan pengawal mencabut senjata, hampir refleks membawa Bapak-Anak keluarga Ying menjauh dari aula dan mobil tersebut.”
Jika kejadian orang jatuh dari langit tadi belum sepenuhnya membuat orang bereaksi, dua ledakan tiba-tiba ini seolah menekan tombol kekacauan. Karena ledakan terjadi di ruang pamer sebelah, korban di aula basically tidak ada. Namun para staf dan klien di aula kini telah berhamburan keluar pintu gerbang. Orang-orang di plaza berlarian tercerai-berai, ada yang menjerit, ada yang terjatuh. Buah-buahan dalam keranjang berhamburan, sehelai sutera tipis merah di plaza kecil terbang tertiup angin ke langit.
Kain sutera itu tipis dan lebar, awalnya dilipat dan dijepit di ketiak seseorang. Sepertinya karena dampak ledakan, orang itu panik hingga kain lepas. Terbang mengembang di udara, tepat mengarah ke kelompok Bapak-Anak Ying. Jarak mereka hanya 4-5 meter. Melihat orang itu mendekat, pengawal paling depan tiba-tiba berhenti dan mengangkat senjata dengan kedua tangan.
Bayangan di depan berkunang-kunang. Tangan kanan orang itu mengayun dari kiri bawah ke kanan atas. Dua jarinya seolah hanya menggores udara perlahan.
Bayangan-bayangan bersilangan. Dentuman senjata tak terdengar. Kain sutera merah raksasa tiba-tiba menyelimuti belasan orang. Di luar kain, pengawal yang pertama mengangkat senjata itu bersujud tanpa suara. Darah menyembur dari lehernya. Di balik kain, jeritan kesakitan dan dentuman senjata terus bergema seiring siluet yang kacau.
Kain sutra yang ringan dan tipis ini, di bawah terik sinar matahari musim panas tengah hari, hampir tak mampu menghalangi berkas cahaya. Secara umum juga tidak menimbulkan masalah gerak yang berarti. Yang mendekati mereka adalah seorang pria paruh baya dengan penampilan biasa. Namun dalam sekejap saat melintas di tengah kerumunan ini, baik Ying Haisheng maupun Ying Zilan telah menyadari: Inilah Gu Jiaming.
Riasannya dibuat asal-asalan, paling-paling hanya menyamarkan wajah aslinya. Namun untuk postur dan kontur dasar tubuh, hampir tak ada upaya penyamaran. Tapi di depan mata, Segalanya mungkin tak penting lagi. Bersamaan dengan langkahnya mendekat, dua pengawal mengarahkan laras senjata, sementara seorang pengawal di depan berusaha menangkap tangannya. Sekitar 10 lebih pengawal dari segala penjuru secara serentak memusatkan perhatian. Setiap pengawal ini telah melalui pelatihan ketat, tubuh mereka lincah dan kekar. Namun menghadapi adegan spektakuler ini, satu-satunya gerakan Jiaming hanyalah mengayunkan dua jari tangan kanannya.
Setengah lingkaran, ayunan miring, tarikan horizontal, sentuhan ringan. Gerakan itu terlihat santai dan alami, bahkan Bapak-Anak Ying bisa mengikutinya, namun semua serangan seolah kehilangan efek di hadapannya. Dia menunduk dan berjalan maju, sedikit membalikkan badan, langkah geser, terus berjalan... Saat langkah keduanya terayun, jari-jari yang meliuk di udara telah menciptakan garis darah tipis yang tak putus, berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain: tenggorokan, pergelangan tangan, kedua mata... Garis darah di udara bagai kaligrafi liar yang ditorehkan satu tarikan napas. Ying Haisheng menyaksikan jari-jari itu menyapu mata dan jakun putra sulungnya, lalu bagai ilusi menembus lapisan pengawal, menggores tenggorokannya.
Kurang dari tiga detik, Jiaming menembus kerumunan, sembari menarik kain di atasnya. Sutera itu terbang seperti layang-layang, sinar matahari kembali menyinari mereka. Di belakang, lebih dari sepuluh orang mulai berjatuhan. Masih dengan santai ia berjalan, silet berdarah di tangan kanannya dimasukkan ke mulut, lalu mengangkat kamera instan di dadanya, menekan tombol rana ke arah belakang.
Dalam desisan pelan, foto-foto tercetak dengan suara krek. Dia mengambil foto itu, lalu melemparkannya ke belakang. Tertiup angin di plaza kecil, kertas foto itu mendarap di genangan darah di depan Bapak-Anak Ying Haisheng.
Dia menembus kerumunan orang yang kacau di depannya, sampai di sudut jalan belasan meter jauhnya lalu mengulurkan tangan, menjentikkan jari di udara: "Taxi." Sebuah taksi berhenti di pinggir jalan. Ia masuk ke dalam. "Ke bandara," perintahnya pada sopir.
Sopir menginjak gas, sedikit menunduk sambil melirik jalanan jauh di belakang melalui kaca spion, lalu memandangi kamera yang dibawa penumpang ini: "Sepertinya ada kejadian di sana, wartawan ya?"
"Ya." Ia tersenyum tipis.
"Tolong cepat, terima kasih."
Beberapa menit kemudian, polisi pertama tiba di lokasi kejadian, limbung menghadapi belasan mayat dengan leher terkoyak. Setengah jam kemudian, Fang Zhitian yang berada jauh di Jianghai menerima kabar pembunuhan Ying Haisheng beserta dua putranya. Satu jam kemudian kabar itu dikonfirmasi. Sekitar pukul dua siang, penerbangan dari Guangzhou mendarat tepat waktu di Jianghai. Jiaming yang telah memulihkan penampilan aslinya keluar dari aula bandara, kembali menyapa teriknya Jianghai yang berapi-api. Di sebuah toko dekat bandara, ia membeli kacamata hitam untuk menyembunyikan tatapan matanya yang masih menyisakan kebingungan.
Dia masih mengingat kota ini, mengingat banyak hal. Namun perasaan yang tersimpan dalam ingatan itu telah menjadi terasing oleh penderitaan empat tahun dan tumpang tindihnya kenangan dua kehidupan. Seperti bayangan perempuan bernama Lingjing dan Shasha - terkadang dibunuhnya dalam fragmen tertentu, terkadang pergi dengan sendu. Seperti dingin di hati yang berdampingan dengan kerinduan, hati sebagai pembunuh yang dipenuhi penyesalan, konflik kenangan Pei Luo Jia dengan masa mahasiswa yang biasa-biasa saja. Semua itu masih ada dalam memorinya, namun telah hancur berkeping-keping oleh rasa sakit yang tak tertahankan. Ini memaksanya berhenti lagi, menguji dirinya saat ini. Masa lalu dan masa depan kota ini berganti-ganti dalam pikirannya.
Sebuah taksi berhenti di sampingnya. Dia menggelengkan kepala, berdiri lama di persimpangan jalan depan. Memilih satu arah, mulai melangkah. Di bawah sengatan matahari terik, terus melintas maju. Memandang setiap manusia, setiap mobil, setiap toko, setiap papan iklan di kota ini. Mengumpulkan kembali fragmen-fragmen memori.
Di saat yang sama, di sudut kota, Fang Zhitian dan rekan-rekannya tengah terjebak dalam krisis dan masalah besar. Selama empat tahun terakhir, pengaruh Ying Haisheng di [] tidak lagi memegang posisi penting seperti dulu. Jika ada masalah di masa normal, pihak faksi Fang bisa dengan mudah memanfaatkan momentum untuk mencaplok segalanya dari lawan. Namun dalam situasi saat ini, mereka tidak lagi memiliki keunggulan tenang seperti itu. Beberapa hari lalu muncul yang MATI yang bahkan operasi tentara tidak bisa menundukkan. Meski saat itu memberikan kerusakan besar, sekarang mereka bisa melakukan serangan balik kapan saja. Bayangan kematian menyelimuti setiap anggota [] di Jianghai. Kematian Ying Haisheng, pembunuh misterius yang muncul di Guangzhou, baik organisasi kegelapan Pei Luo Jia yang menambah masalah maupun organisasi gelap lain yang ingin mengail di air keruh—semua ini mungkin akan menjadi jerami terakhir yang mematahkan punggung unta.
Terlepas dari kegelapan atau cahaya suci, di sudut lain kota, seorang wanita bernama Lingjing duduk di depan jendela perguruan silat kecil. Matanya menatap set partitur lagu yang ditumpuk di meja belajar sambil bersenandung lembut, mempersiapkan penampilan cameo di konser Fang Yusi malam ini. Namun seberapa fokus pun ekspresinya, yang ada di hatinya saat ini hanyalah kesedihan hati tercabik dan kebingungan akan masa depan. Di balkon gedung berjarak ratusan meter, wanita lain yang memiliki ikatan kembar dengannya sedang menatap ke arah sini. Angin berhembus, menerbangkan helai rambut di pelipisnya...
## Bagian Keempat Ratus Empat Puluh Empat Bersilangan
"Sore tadi, sinar matahari sore memancarkan kilau keemasan yang megah di langit. Bagian dalam dan luar villa keluarga Dongfang seolah diselimuti aura cahaya. Fang Zhitian berdiri di balkon lantai dua, memandangi air mancur berkilauan di taman. Jarinya mengetuk-ngetuk pagar sementara di tepi balkon. Prajurit-prajurit penjaga dan agen rahasia berjaga di segala penjuru, sosok-sosok hilir mudik sibuk bekerja. Dia mengusap dahinya dengan jari. Tak lama kemudian, terdengar ketukan pintu. Yang masuk adalah Dongfang Linghai.
"Rekaman CCTV dari Guangzhou sudah ditonton oleh semua orang. Saat ini sedang dianalisis, tapi data-data yang tersedia terlalu minim. Perkiraannya sulit mendapatkan dugaan yang pasti. Menurutku... mungkin kita harus mempertimbangkan untuk mengurungkan proyek Kekosongan Pandang Debu...""
Fang Zhitian mengangguk, senyumnya terlihat lelah: "Tidak ada yang mempertimbangkan kemungkinan Gu Jiaming yang kembali? Serangan yang bersih dan rapi ini, bahkan kamera pengawas di sekitarnya tidak bisa menangkap bayangannya dengan jelas. Setidaknya setara dengan pembunuh tingkat khusus Pei Luo Jia, apalagi dengan foto keluarga yang ditemukan di TKP..."
"Jadi semua orang berpendapat hal ini tidak terkait dengan Yang Abadi yang saat ini berada di Jianghai. Memang mereka memiliki kemampuan bertarung dan kualitas yang jauh melebihi orang biasa, tapi dalam hal teknik pembunuhan, tidak mungkin seahli ini. Tapi Gu Jiaming... mungkin ini tipu muslihat dari pembunuh Pei Luo Jia. Hasil terbaik yang mungkin, kira-kira Nona Jian Suyan yang asli lah yang telah kembali..."
"Tapi sampai sekarang kita belum bisa memastikan mana yang benar..." Fang Zhitian tersenyum sambil menggelengkan kepala, berjalan keluar bersama Dongfang Linghai, "Mengurungkan Kekosongan Pandang Debu, aku juga pernah memikirkannya. Sebenarnya berdasarkan intelijen saat ini, baik kita maupun para yang MATI sama-sama tidak tahu keberadaan Kekosongan Pandang Debu. Li Yunxiu di Eropa masih belum bangun, kepada siapa dia menyerahkan barang itu masih sulit dipastikan. Mungkin saja asal dimasukkan ke bungkusan seseorang lalu dikirim ke Jianghai. Karena kedua belah pihak sama-sama tidak tahu, selama kita bisa unggul dalam hal intelijen, kesempatan masih ada. Keberangkatanku sebenarnya bukan prioritas. Transisi hak di keluarga Ying, kehadiranku secara langsung tidak terlalu berpengaruh secara signifikan."
"Berbagai kekuatan pasti akan ikut campur. Kematian Ying Haisheng ini jika tidak ditangani dengan baik di sektor ekonomi, kerugiannya bisa mencapai miliaran. Masalah uang sebenarnya bukan yang utama..." Dongfang Linghai menghela napas, "Ying Haisheng terlibat dalam atau mengetahui ratusan rahasia negara. Aspek inilah yang paling krusial. Meskipun Guangzhou sudah diblokir, dan personel dari berbagai provinsi sudah mulai operasi, tapi sebelumnya Ying Haisheng terlalu paranoid terhadap kita. Justru ini yang jadi masalah paling rumit. Baru saja aku menerima telepon, di Grup Chao Hai berhasil diidentifikasi dua mata-mata, diduga agen rahasia yang diatur Amerika. Baru tiga empat jam kejadian, mereka sudah mulai bergerak. Yang belum terdeteksi belum tahu berapa banyak. Lao Fang, yang paling dikhawatirkan sekarang adalah mereka menjadikanmu sebagai target..."
Sambil berbicara sambil berjalan，di dalam villa saat ini ditempati oleh beberapa tim dari []，ramai dan gaduh，melewati lorong lantai dua，saat tiba di dekat tangga，terlihat Dongfang Lu memegang telepon sambil memutarnya secara bawah sadar，mengerutkan alisnya sedang memikirkan sesuatu。Fang Zhitian justru berhenti，memberi salam：“Xiao Lu，rekaman video sudah kau lihat juga kan？Ada pendapat apa？”
Dongfang Lu sejak kecil dibina sebagai penerus keluarga Dongfang，meski selama ini telah terlibat dalam banyak hal，dia tidak termasuk dalam formasi tempur，sekarang juga bukan formasi administratif resmi，rekaman CCTV yang bersifat rahasia seperti ini，secara teori dia harus menunggu sampai urusan selesai atau diundang secara resmi baru bisa melihatnya，tapi teori dan kenyataan tentu dua hal berbeda。Mengerti maksud pertanyaan Fang Zhitian，dia mengangguk：“Sudah lihat，seharusnya bukan Gu Jiaming，alasannya sederhana，jika dia kembali，pasti akan segera mencari Ye Lingjing atau Zhang Yahan dan lainnya，terhadap keluarga Ying... dia tidak begitu peduli...”
“Heh... Sepertinya bisa dipastikan，sungguh... rindu sekali...” Fang Zhitian tersenyum，“Dengar-dengar baru putus dengan pacar？”
“Hmm。”
“Konon pria baru tumbuh dewasa setelah Kehilangan Cinta，Semangatlah。” Menepuk bahunya，Fang Zhitian dan Dongfang Linghai berjalan menuju ujung lorong。Mendorong pintu di ujung，sebuah kamar pasien putih muncul di depan mata mereka，di dalam kamar，Dongfang Ruo masih terus tertidur pulas。
Memandangi sosok kurus tak berkesadaran itu，Fang Zhitian menutup mata，mengeluarkan helaan napas pelan...
Pembuat keputusan paling takut hak mereka diganggu gangguan, tak bisa membuat keputusan mutlak dalam kesadaran. Jika kekuatan supernatural Ruo Ruo benar-benar bisa dimanfaatkan, maknanya bagi sebuah negara tak ternilai. Menghadapi yang MATI sekuat ini, jika mereka adalah musuh yang dikendalikan Pei Luo Jia, Kekosongan Pandang Debu sepertinya juga menjadi kesempatan unik. Tapi seberapa besar kepentingan pribadi yang terkandung di sini, apakah pengorbanan saat ini benar-benar sepadan. Ying Haisheng MATI mendadak, tekanan dari berbagai pihak menerjang, yang dihadapinya sudah bukan sekadar sakit kepala belaka...
Waktu menunjukkan jam enam sore, matahari sore di antara pegunungan masih terlihat cemerlang. Di bukit pemakaman di pinggiran kota, Yahan berjongkok di depan hamparan nisan, ekspresinya mulai kebingungan.
Pada titik waktu ini, orang-orang yang datang membersihkan makam sudahpulang. Faktanya ini bukan hari spesial, di sinijarang terlihat orang. Dia baru saja datang setelah pulang kerja, mengenakan setelan jas wanita, rok ketat sebatas lutut, stoking, heels, saat ini berjongkok di tanah, terlihat sangat ketat dan garis tubuhnya menggoda. Terkadang dia berpikir, jika Jiaming ada di sini, atau mungkin akan sangat suka dengan wujudnya sekarang. Jiaming tidak di sini lagi, dia juga tidak lagi di Dunia ini, tapi dia tetap berharap dia bisa melihatnya di suatu tempat.
Awalnya rencana setelah pulang kerja langsung pulang menemani Tao Tao makan malam, habis makan lalu mengajaknya nonton konser. Tahu-tahu nanti sore menerima telepon, setelahnya tanpa disadari datang ke sini. Tiga Bapak-Anak Ying MATI, dia tidak bisa dibilang senang, tapi pengejaran yang dulu terjadi di Jianghai, bagi Jiaming di masa lalu punya makna simbolis tertentu. Setelahnya mereka hidup bersama selama tiga bulan lebih, hal-hal ini dia tahu. Sejak hari itu, dia mengurungkan cahaya suci dan harapan dalam kehidupan, menuju rawa kematian.
Tapi dalam hal ini, pengaruh Bapak-Anak Ying hampir tidak ada, itu cuma penanda tanpa makna substansial. Yang benar-benar bermakna adalah putusnya hubungan dengan Lingjing, momen ketika Lingjing naik pesawat dan Shasha Naik Kapal. Karena itu terhadap kematian tiga Bapak-Anak ini, dia merasa agak bingung, tidak perlu senang juga tidak perlu sedih. Karena hal ini dia ingin menjenguk Jiaming, tapi merasa urusan ini tidak sepadan dibahas, akhirnya hanya menatap kosong di sini cukup lama.
"Makam ini tentu sering ia kunjungi, sekadar berbicara atau duduk sebentar. Di musim gugur, sering ada Dandelion yang menari-nari tertiup angin. Ia menaruh kuntum-kuntum Dandelion itu di depan nisan, menyaksikannya kembali ditiup angin pergi. Kadang ia membawa makanan enak yang kebetulan ia nikmati, kadang menghias nisan dengan ilalang mengering, kadang pula dengan kertas bunga yang tertiup kemari-kemari. Segalanya mengalir begitu saja menurut perasaan hatinya, seolah sedang menghabiskan sore yang santai bersama sahabat karib—bercerita tentang hal-hal terkini Tao Tao, dengan nada datar. Kecuali di musim dingin, biasanya ia tidak menangis."
Saat membicarakannya dengan Lingjing, ia bilang sedang menunggu kehadirannya. Namun di sisi lain, semakin kuat ia merasakan: kemungkinan besar Jiaming sudah MATI. Tapi baginya, ini bukan paradoks. Menanti seseorang yang telah tiada pun bukanlah hal yang tak masuk akal. Begitulah tekad membara yang ia pertahankan sekarang.
"Sebelumnya… sebelumnya sudah kubicara kan, tentang konser Fang Yusi. Nanti malam ini Lingjing akan tampil sebagai bintang tamu… Rencana mau mengajak Tao Tao mendengarkan… Urusan keluarga Ying mungkin tak kau minati… Sebenarnya sudah janji pada Tao Tao akan pulang temani dia makan, pasti nanti dihujat lagi… Hari ini seharusnya bukan menemanimu, tapi menemani putrinya…"
Bisiknya pelan sambil berdiri. Di antara puncak-puncak gunung, matahari sore akhirnya berubah dari keemasan menjadi jingga kemerahan.
Waktu menunjukkan pukul 06.40 sore tanggal 12 Juli 2004. Wushu Ye telah menutup pintu gerbang. Beberapa menit sebelumnya, Lingjing telah berangkat bersama mobil Julian dan rombongan menuju Gedung Olahraga Baru Kota Jianghai yang akan menggelar konser. Kini Ye Han sedang merapikan beberapa barang di kamar dalam sambil menelepon istrinya yang masih di rumah sakit. Bagaimanapun juga, ini adalah momen penting seumur hidup putrinya, dan keduanya tak ingin melewatkannya.
"...Operasi? Tidak bisa izin? Kenapa bisa terjadi hal seperti ini... Bagaimana dengan Dokter Lin? Kalau dia tidak ada bagaimana? Hari ini kan penampilan pertama Lingjing di panggung..."
Penampilan perdana putrinya justru bertepatan dengan kerja ekstra mendadak di rumah sakit istri. Ye Han yang biasanya tenang kini tak bisa menahan suaranya yang meninggi, penuh kekecewaan. Saat sedang berbicara, terdengar ketukan pintu dari belakang: "Lingjing tidak di rumah?"
"Oh, Lingjing sudah berangkat ke Gedung Olahraga Baru untuk konser bersama mentornya. Apakah Anda utusan Nona Fang... Tunggu sebentar..." Sambil menoleh sekilas, langit di luar mulai remang-remang. Lampu di area wushu telah dimatikan dan pintu gerbang ditutup, membuat sosok itu samar-samar terlihat. "Lihat, Nona Fang bahkan sudah mengirim orang untuk mengingatkan. Keberangkatan Lingjing juga agak terlambat, aku khawatir kondisinya..." Lanjutnya ke telepon, "Aku akan menjemputmu di rumah sakit. Bukannya kau sudah bicara dengan Dekan? Begitu Dokter Lin datang, kau bisa langsung pergi... Aku akan menunggumu di sana. Sampai jumpa nanti..."
“Menutup telepon, orang di luar sudah menghilang. Ye Han mengerutkan kening, seolah teringat sesuatu. Ia berdiri lama di situ, hendak masuk ke dalam rumah, namun perasaan di hatinya semakin intens. Akhirnya ia berbalik dan berlari keluar, berdiri di jalanan. Dari dekat hingga jauh, lampu-lampu di gedung kompleks perumahan mulai menyala. Jalanan dipenuhi orang yang pulang kerja, sepeda, udara beraroma 'jam istirahat', 'makan malam', 'bersantai'. Matahari di Barat perlahan memadamkan api terakhirnya. Lampu jalan dan lampu mobil mulai bersinar. Di senja pertengahan musim panas yang biasa ini, ia berdiri di pinggir jalan beberapa saat, akhirnya tak menemukan orang yang mengetuk tadi. Ia pulang, berganti pakaian, dan bersiap ke rumah sakit tempat istrinya berada...”
Lebih dari satu jam kemudian, di kamar pasien vila keluarga Dongfang, Ruo Ruo membuka mata. Tubuhnya yang pucat dan lemah berusaha bangkit. Ketika dokter dan yang lain tiba, napasnya tersengal seperti akan sesak kapan saja. Beberapa menit kemudian dengan bantuan oksigen, gejala ini mereda. Memandang orang-orang di depannya, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia membuka mulut.
“Aku melihat di mana Kekosongan Pandang Debu berada...”
Waktu mundur dua puluh menit yang lalu, Matahari telah sepenuhnya kehilangan dominasinya atas langit kota ini. Hari ini tanggal 24 bulan lima kalender lunar, bulan sabit tipis seperti alis, langit malam dihiasi bintang-bintang cantik. Gedung olahraga baru yang terletak di tepi pantai berpendar terang bagai bulan purnama di pesisir. Konser pertama Fang Yusi di Jianghai akan segera dimulai, proses masuk penonton hampir selesai. Kini di luar gedung masih tertahan banyak orang yang kebanyakan tidak mendapatkan tiket, namun karena daya tarik Fang Yusi, mereka masih menunggu kesempatan ada yang menyerahkan tiket secara mendadak.
Dari gedung olahraga baru berbentuk setengah lingkaran yang memancar ke segala arah, di sekitarnya terdapat taman pantai yang mengintegrasikan area hijau dan hiburan. Di bawah cahaya lampu, pepohonan hijau dan hamparan bunga menciptakan pemandangan sejuk dan menyenangkan. Di dalam gedung, keriuhan memenuhi tempat yang dipadati penonton. Di belakang panggung, berbagai staf sedang mempersiapkan pertunjukan pukul delapan dengan intensif. Fang Yusi telah mengenakan kostum untuk pertunjukan pertama, menyusuri kerumunan yang padat, mendekati gadis yang sedang duduk termenung di bangku panjang.
"Lingjing, riasannya sudah siap semua kan?"
“Dia mengatakan kalimat ini,” setelah beberapa detik, Lingjing baru seperti tersadar dan mengangkat kepala: “Ah! Eh... eh, rias... sudah selesai...” Penampilannya kali ini tidak rumit, tim promosi ingin menonjolkan kesan ramah, setelah dikerjakan selama setengah jam lebih, perubahannya tidak terlalu mencolok. Tetap terlihat seperti gadis tetangga cantik dan ramah, hanya saja terlihat agak linglung.
Orang lain mungkin mengira ini pertama kalinya dia ikut konser besar sehingga tegang, tapi Fang Yusi yang tahu sedikit soal ini duduk dan memegang tangan Lingjing: “Memikirkan apa?”
“Tidak...” pandangan Lingjing berkedip-kedip, “hanya... semakin tidak tahu kenapa harus naik panggung...”
Fang Yusi tersenyum mengangguk: “Bukannya sudah kubilang? Anggap saja menyanyi untuk Jiaming di depan banyak orang ini, semua yang ingin kau katakan padanya, yang belum sempat sebelumnya... mungkin dia bisa dengar, hmm.”
“Hmm.” Dengan senyum dipaksakan, dia mengangguk. Fang Yusi melihat staf yang hilir mudik berisik di sekitar, lalu menoleh lagi: “Begini saja, dalam terlalu berisik. Meski konser sebentar lagi mulai, kau boleh jalan-jalan sebentar di luar, beberapa menit saja. Ingat waktu naik panggung. Bagus untuk menenangkan pikiran.”
Memegang tangan Lingjing dengan sedikit tekanan, dia tersenyum dan berdiri untuk memeriksa beberapa peralatan di sebelah. Melihat gadis itu meski mengangguk tapi masih terlihat langkah gonta-ganti, dia tahu kata-katanya mungkin kurang efektif, tapi untuk sementara ini tidak masalah. Beberapa saat kemudian, Lingjing mengeluarkan lirik dari tasnya untuk mengulang pelajaran. Saat melihat botol kaca kecil sebagai liontin di kantong samping beserta kertas di sebelahnya, dia mengerutkan alis. Mengambil kertas itu dan membacanya berulang kali. Akhirnya dia berdiri: "Sepertinya... ada di sekitar sini..."
Sejenak kemudian, Lingjing keluar dari pintu samping gedung olahraga. Menggunakan kunci pinjaman, dia menyalakan mobil kecil dan menuju alamat yang tidak terlalu jauh. Sekitar lima menit kemudian, dia menekan bel pintu berkali-kali di sebuah gedung kecil. Setelah memastikan tidak ada orang di dalam, dia menuju warung kecil di sebelah: "Tante, boleh tanya orang yang tinggal di rumah sebelah pergi kemana?"
"Kau cari siapa?"
"Oh, saya ingin tahu apakah ada seorang gadis bernama Fang Guolin yang tinggal di sini..."
Pada detik itu, hukum alam gaib menyilangkan dua Garis Sebab-Akibat. Di kamar pasien putih, Dongfang Ruo membuka mata!
Kegelapan malam yang jernih, pukul delapan lewat lima menit. Seolah seluruh kota bergerak, iring-iringan mobil melesat keluar dari berbagai sudut kota. Mengangkut berbagai kekuatan [] yang bisa dimobilisasi di Jianghai, menuju gedung olahraga baru tempat konser telah dimulai.
Di saat yang sama, seorang tante pemilik warung kecil menelepon Fang Guolin, memberitahukan bahwa seseorang baru saja datang mencarinya.
“Katanya ada orang yang ingin mengirimkan sesuatu padamu, aku minta dia menyerahkan barang itu lewat aku, tapi dia bilang lebih baik menyerahkan langsung ke tanganmu, bahkan meninggalkan nomor telepon padaku... Kau pernah bilang jangan memberitahu nomor teleponmu, jadi aku tidak menyebutkannya, tapi nona itu sepertinya bukan orang jahat...”
Sebelumnya, yang MATI berburu anggota [] di dalam kota, saat Fang Guolin dan lainnya dievakuasi ke villa keluarga Dongfang, mereka sempat mempertimbangkan kemungkinan ada yang mencari informasi tentang keberadaan mereka. Karena itu, mereka memberi tahu pemilik warung kecil di sebelah dengan identitas polisi tentang hal ini. Tapi tak disangka yang datang bertanya justru Lingjing——Tentu saja, berkat kemampuan Dongfang Ruo, mereka sekarang sudah tahu bahwa Kekosongan Pandang Debu ada di tangan Lingjing, meski detail lainnya masih belum jelas——Saat melaporkan hal ini ke Fang Zhitian, pihak sana sedang memberikan perintah pada beberapa agen rahasia yang berada di dekat gedung olahraga kota baru.
“...Pastikan target terlindungi dari kerusakan... Untuk sementara tidak perlu kontak langsung dengan target, biarkan Kekosongan Pandang Debu tetap berada di tubuhnya sampai kita tiba...”
Hal yang melegakan, di pihak kami benar-benar lebih dulu. Tentu saja, masih ada lewat sepuluh menit sebelum pihak kami mungkin mendapatkan barang tersebut. Jika terjadi masalah dalam waktu singkat ini, mengingat hubungan Ye Lingjing dengan Gu Jiaming, di sekitarnya tidak hanya ada pelindung yang saya atur, mungkin juga ada pelindung dari Dark Celeste, Takamagahara, bahkan mungkin lebih banyak. Dari aspek ini, menyimpan barang padanya mungkin lebih aman daripada menitipkannya pada beberapa agen rahasia saya. Setelah telepon ini selesai, setelah mempertimbangkan beberapa menit, baru ketika menelepon Natalia demi kehati-hatian, reaksi yang datang dari sana benar-benar membuat Fang Zhitian merasa bingung.
"Apa? Kekosongan Pandang Debu ada pada Ye Lingjing... Apakah Nona Dongfang menyelidiki?"
Mendapat informasi ini, Natalia secara tiba-tiba berubah kualitas suaranya. Setelah Fang Zhitian memberikan jawaban pasti, barulah suara di sana meninggi: "Sial! Apakah orangmu seketika bergegas ke sana? Kecepatan tertinggi! Ini bahaya, begitu masuk ke Garis Sebab-Akibat..."
"Apa..." Fang Zhitian bertanya. Di sana terdengar jeda, kemudian suara Natalia yang diturunkan volumenya baru terdengar.
“Tuan Fang, kau dengarkan. Situasi sekarang sangat darurat, Kekosongan Pandang Debu berada di tangan Ye Lingjing, kami sudah lama mengetahuinya. Tapi dalam situasi seperti ini, aku sama sekali tidak berani membuat orangku terhubung dengan Ye Lingjing karena ini. Bukan hanya pihakmu yang memiliki Peramal, sepengetahuanku, di antara kelompok yang MATI di pihak lawan juga ada Peramal. Semua kemampuan ini memiliki batasan. Sebelumnya Ye Lingjing hampir melupakan hal Kekosongan Pandang Debu, sehingga tidak ada yang bisa menyelidiki keberadaannya. Tapi sekarang kita dalam hubungan permusuhan, begitu petunjuk ini terhubung dengan kalian, mereka juga akan SEGERA mengetahuinya. Sekarang kau mengerti makna hal ini, kalian harus... Tidak, baru sekarang kau menghubungiku, kurasa hal ini sudah terjadi...”
Iring-iringan mobil melesat di jalan raya yang lurus, melemparkan lampu jalan di kedua sisi jalan ke belakang dengan cepat. Di kedua sisi jalan terdapat hutan hijau yang bayangannya terus berubah-ubah di bawah cahaya lampu dan kecepatan. Tiba-tiba, suara Fang Zhitian bergema di sistem komunikasi: "Semua tim waspada..."
Perhatian semua orang langsung mencapai puncak dalam sekejap mata. Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan hitam secara tiba-tiba melesat keluar dari pinggir jalan!
Jalan ini memang agak sepi. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba melihat sosok manusia muncul, sopir hampir secara bawah sadar menginjak rem, sekaligus mempersiapkan untuk memutar kemudi. Pada detik berikutnya, Bayangan Hitam itu menubruk sisi mobil off-road macan tutul terdepan dengan suara Braak. Seketika, pintu samping mobil itu cekung ke dalam, keempat rodanya sedikit terangkat dari tanah. Dua roda samping yang menyentuh tanah nyaris menggesek api di permukaan jalan. Tak lama kemudian, mobil itu menghantam batang pohon di pinggir jalan dengan suara keras, lalu menerobos tembok di balik pohon.
Di bawah cahaya lampu, seorang pria raksasa bernama Kratos yang mengenakan jas berdiri di pinggir jalan. Matanya mengikuti mobil yang nyaris menyerempetnya, lalu tubuhnya berputar dan langsung mengejar dengan gesit.
Di jalan raya lain yang berjarak beberapa li dari sini, kaca antipeluru sebuah mobil kecil tiba-tiba hancur berkeping tanpa tanda-tanda. Darah dalam jumlah mengejutkan tiba-tiba muncrat dari tubuh sopir. Dari kendaraan di belakang yang melihat ke arah sana, seorang pria berbaju hitam kini berdiri di atas atap mobil itu. Hanya bertahan sesaat, sebelum mobil itu menabrak keluar dari jalan raya, dia telah melompat ke udara dan melesat ke arah belakang seperti kelelawar.
Di pusat keramaian, sebuah jeep dengan desain gagah menerobos lampu merah dengan kecepatan tinggi, bertabrakan keras dengan iring-iringan mobil hitam yang sedang melintas. Pria pirang berbaju putih di kokpit langsung terlempar keluar seketika, tubuhnya melayang setinggi lebih dari 5 meter dan jatuh ke dalam supermarket 20 meter lebih jauh. Saat api ledakan dari jeep mulai berkobar, dia dengan santai bangkit dari rak barang yang ambruk...
Bunga, tepuk tangan, lampu sorot, layar besar - di Stadion Baru, lagu kedua telah usai. Yang muncul di hadapan penonton tetap senyuman memikat Fang Yusi.
"Beberapa tahun lalu karier hiburan saya mengalami masa sulit, saat itulah saya mengenal beberapa teman. Menurut saya inilah hal paling berharga... Saya tidak tahu berapa banyak teman di Jianghai yang masih ingat band bernama Konsep. NONONONO, sebenarnya tak perlu ditanyakan. Saya yakin siapa pun yang pernah mendengar lagu mereka takkan melupakan Pisang, Timun, Terong paling imut, kadang juga Durian yang ikut main... Hari ini sebenarnya bukan band Konsep yang hadir. Beberapa tahun lalu karena suatu hal, mereka harus berpisah seperti kita semua. Hari ini hanya satu anggota yang bisa saya undang. Sosok di balik topeng itu akhirnya bisa terungkap... Hari ini saya akan mengiringinya. Semoga suaranya dapat membangkitkan kenangan masa lalu dan mempersatukan sahabat terbaik kita. Semua pasti tak kecewa... Sambut teman saya, Ye Lingjing——"
Di luar gedung olahraga, angin laut beraroma sedikit asin. Dalam malam musim panas yang sejuk, pemuda berusia 22 tahun melangkah melewati jalan setapak berbatu di taman. Di telinganya samar terdengar deru ombak menghantam karang. Saat mendengar nama itu, ia berhenti melangkah, memandang ke arah gedung olahraga raksasa yang berpendar gemerlap tak jauh dari sana. Sejenak, sorak-sorai dan tepuk tangan bergema. Suara gadis itu terdengar melalui pengeras suara.
"Halo semuanya, saya Ye Lingjing, juga... Mantan 'Mentimun'... Senang bisa bertemu kalian lagi di atas panggung..." Suara itu terhenti sejenak, "Sebenarnya tidak tahu harus berkata apa. Beberapa tahun lalu, aku kehilangan orang terpenting, sahabat terpenting... Di usia paling bersemangat... Saat itu kami memandang segala sesuatu dengan begitu polos, siapa sangka begitu terlewat... Takkan bisa bertemu lagi... Lagu ini ditulisnya, ingin kusanyikan untuknya... Sangat merindukan mereka..."
Seolah ada isakan kecil yang terputus oleh angin laut. Di bawah gemerlap bintang kota, pemuda itu duduk di bangku pinggir jalan setapak, mendengarkan melodi itu mulai mengalun...
## Bagian Keempat Ratus Empat Puluh Lima Lukisan yang Hancur
Cahaya lampu berkilauan, angin laut menghembus lembut. Bima Sakti membentang di langit, terlihat seolah bergerak perlahan dari pandangan di hamparan bumi ini.
Di sekitar taman terlihat siluet orang hilir mudik dari jarak jauh-dekat. Sambil mendengar suara yang datang dari gedung olahraga, di rerumputan dekat bangku, seekor kucing liar yang tersesat mencari sisa makanan yang dibuang orang di sekitarnya, "Meong!" mengeong sekali.
Di ujung lain kota, Kratos menyusul iring-iringan yang perlahan melambat. Peluru berdatangan seperti lebah. Dengan sentuhan sekelebat, ia melesat melewati pepohonan di tepi jalan, mengikuti laju Mercedes yang menerobos bayangan lampu jalan di antara pepohonan. Percikan api terus menyala dari batang pohon yang ditembaki. Beberapa detik kemudian, ia muncul kembali dengan dashyat.
Dentuman senjata menggema di berbagai penjuru kota. Seorang pria bernama Peter bergerak lincah seperti hantu menghindari peluru di jalanan. Di pusat keramaian, Victor berambut pirang muncul dari jendela supermarket yang hancur, menggigit apel di tangannya. Kebakaran hebat dari ledakan di persimpangan memblokir jalan. Mobil di belakang panik mengerem. Saat pintu mobil terbuka, suara tembakan sudah berkecamuk. Apel itu meledak "byur" di udara. Bayangan Victor melesat lebih dari 10 meter dalam sekejap, pedang tajamnya menebar cahaya keemasan yang membelah pintu mobil yang baru terbuka bersama agen rahasia di belakangnya menjadi dua. Laras senjata patah dan percikan darah menari-nari di angkasa...
Iring-iringan dari villa keluarga Dongfang masih melaju kencang di jalan. Saat berbelok, di bawah lampu jalan di depan, siluet tinggi merah api berdiri tegak di tengah jalan. Wanita beraura bangsawan namun mistis itu mengulurkan tangan kirinya ke arah mobil yang mendekat. Dalam sorot lampu, lima jari rampingnya membuat gerakan undangan. Di mobil pertama, Ye Lian membelalakkan matanya.
Jarak dengan cepat menyusut——
Dalam jarak pandang, tangan kiri itu dengan elegan terangkat ke atas, Ye Lian dengan keras menendang pintu mobil terbuka.
"Lompat keluar!"
Bagai Naga yang tiba-tiba menyembul dari Bumi, kekuatan angin yang mengamuk seketika mengangkat haluan mobil, membuat kendaraan yang sedang melaju kencang itu terangkat dari tanah dan berputar-putar di udara.
Ye Lian yang melompat keluar dari mobil langsung mencabut senjata dan menarik pelatuk dengan cepat ke arah bayangan itu. Bersamaan, atap mobil kecil kedua terbuka tiba-tiba. Biksu wanita berpakaian hitam melayang di udara, lalu menginjak atap mobil yang melayang itu. Logam mengeluarkan dua dentuman Byur di kegelapan malam, atap langsung cekung terinjak. Kendaraan itu dengan aura petir yang dahsyat menerjang ke depan menuju bayangan merah di jalan.
Tanpa sedikit pun rasa takut, wanita berbaju rok panjang merah api menghindari peluru yang datang. Seperti aura Natalia saat menahan atap rumah yang ambruk, dia menekan sasis mobil yang menindih dengan tangan kiri—mobil seberat beberapa ton itu terangkat sesaat dengan satu tangan.
Ledakan Braak menggema, mobil kecil meledak di udara menjadi bola api yang menyala-nyala. Dalam gejolak gelombang kejut, api menenggelamkan jalan di depan...
……
……
Layar besar menggambarkan profil gadis yang sedih namun murni. Dia berdiri di bawah cahaya panggung, menatap sekumpulan wajah dalam kegelapan. Mengikuti alunan melodi pengiring, dia menarik napas dalam lalu membuka mulut dengan lembut.
"...Pertama kali memandang jauh dari Menara Tokyo.
Menyaksikan kerlip lampu meniru gemerlap bintang yang jatuh.
Akhirnya aku tiba tapi justru lebih sedih.
Menyelesaikan mimpi kita sendirian..."
Ini adalah lagu yang ditemukannya di antara barang-barang peninggalan Jiaming. Setiap kali didengungkan beberapa hari terakhir, profil masa lalu itu seolah muncul jelas, merefleksikan perasaannya hari ini.
"...Sebenarnya mereka ingin kau punya lebih banyak pilihan."
"Kau tahu jelas isi hatiku, tapi tetap membawaku ke sini... Rasanya seperti dijual saja..."
"Wina ya..."
"Kalau aku lulus ujian, bagaimana denganmu nanti..."
"Kurasa akhir-akhir ini kau aneh sekali..."
"Kalau menurutku, tentu ingin kau menemani ke Beijing. Tapi demi masa depanmu, Wina mungkin..."
"Aku tidak ingin ke luar negeri..."
"Mari kita putus."
"Aku tidak suka lelucon seperti ini."
"Sebenarnya... kenapa sih..."
Di luar gedung olahraga, gema lagu itu terdengar samar. Matanya mengikuti kucing kecil yang sedang mencari makanan di bawah lampu jalan, tiba-tiba profil gadis dengan ekspresi bernyanyi itu muncul jelas dalam pandangannya. Entah mengapa, kerumitan perasaan yang hancur di hatinya akhirnya bisa sedikit mereda dalam hembusan angin ini...
Di seberang kota, suara rem mendadak kendaraan, fragmen kendaraan dan bagian tubuh yang menari-nari dalam kobaran api menghantam hutan di kedua sisi, menghantam lampu jalan, menembus kaca mobil kendaraan-kendaraan itu. Saat lampu jalan meledak mengeluarkan percikan api listrik, seorang wanita kulit putih berrok panjang keluar dari api dalam keadaan tidak terluka sama sekali, memandangi iring-iringan mobil dan kerumunan orang di depannya sambil tersenyum.
"Kau bisa menungguku.
Sebelumnya aku tidak paham.
Mustahil besok kita masih punya masa depan..."
"Kami bertiga... harus selalu bersama selamanya..."
"Sebenarnya... aku punya rahasia..."
"Kami ingin menabung untuk membelikanmu komputer..."
"Kalau sudah kaya nanti, kita bisa membeli pulau itu loh, membangun villa di atasnya..."
"Jangan takut... Aku di sini..."
"Jangan harap aku mau melahirkan anak untukmu sekarang, aku tidak mau lari membawa bola di usia enam belas tahun, ayah ibu pasti akan MEMBUNUHku."
"Itu... Jiaming sedang pacaran dengan Shasha?"
"Sepertinya, seumur hidupku aku harus jadi selir dan istri mudamu..."
"Kita masih siswa SMA saja, masih banyak waktu di depan..."
Awalnya kukira bisa bertahan lebih lama, tapi berhadapan dengan banyak orang, baru saja mulai menyanyi, air mata itu sudah mengalir diam-diam mengikuti kenangan. Liriknya seperti pisau yang menancap dalam hati, masa depan yang dulu mereka impikan dengan begitu indah. Di usia yang penuh semangat itu, mereka berfantasi tentang kehidupan masa depan: dari SMA, ke kuliah, hingga masuk masyarakat. Kami bertiga pernah berjanji untuk selalu bersama. Perasaan ini bahkan tak pernah berubah, tapi dalam sekejap, berubah menjadi tandus...
"Klan darah..."
“Nama saya adalah Victoria.”
Di latar belakang api, wanita itu dengan anggun mengangkat ujung gaunnya.
“Mari kita akhiri segalanya ini.”
Braak! Reruntuhan mobil di belakang meledak untuk kedua kalinya dengan intensitas Derajat yang mencekam, kobaran api menjilat langit malam.
“Rindu adalah rasa sakit yang bernapas.
Ia hidup di setiap sudut tubuhku.
Bergumam lagu cintamu terasa sakit.
Membaca suratmu sakit, bahkan diam pun sakit.
Penyesalan adalah rasa sakit yang bernapas.
Ia mengalir dalam darah, bergulir-gulir tak henti.
Menyesal tak bisa dekat terasa sakit.
Membencimu yang tak paham terasa sakit.
Ingin bertemu tapi tak bisa, itu yang paling menyakitkan...”
“Kau harus berjanji padaku, jangan lagi melakukan hal bodoh...”
“Aku sangat ingin menemuinya...”
“Dia adalah pria-ku.”
“Aku tak percaya...”
“Aku akan... menunggu kepulangannya...”
Suara gesekan, kucing liar mengoyak kantong plastik di tepi rumput. Di samping bangku, terbaring sekantong ikan kering yang mungkin dibuang pasangan kekasih saat kencan. Dia mengulurkan tangan membuka kemasannya, menyodorkannya pada kucing jalanan yang kurang menarik itu. Kucing itu melahap ikan pertama, lalu menjilati jari-jarinya. Lagu mencapai separuh jalan, di bawah sorot lampu, dia menggenggam mikropon dengan sedikit terisak, sebuah suara bergema di telinganya.
“Jiaming MATI, Lingjing...”
Di tengah kota, para penghisap darah melancarkan perburuan terhadap manusia. Huiqing dan Victoria tiba-tiba bertabrakan, Kratos menabrak mobil kedua hingga seluruh iring-iringan terpaksa berhenti. Ledakan api berkobar di jalanan, dentuman senjata memenuhi udara. Peter menerobos masuk ke mobil kecil, setelah sosok-sosok yang berkedip dan tembakan sengit, dia kembali keluar. Mobil yang tak sempat belok tiba-tiba bertabrakan dengan bus yang muncul dari tikungan. Di pusat keramaian, tiang lampu dekat persimpangan terus dipenggal oleh Victor yang berlarian, percikan api listrik beterbangan. Tiang lampu yang roboh menyumbat lalu lintas, kerumunan orang berteriak dan berlarian, kabel listrik di jalanan membentuk jaring laba-laba yang berbahaya.
……
……
Di antara kerumunan gelap di gedung olahraga, Shasha menyimpan teleponnya kembali ke kantong. Dia menyeka air mata, mengangkat tas yang diletakkan di dekat kakinya, menuju ke belakang panggung konser. Tak lama kemudian, Xiao Meng juga bangkit dari sisi lain. Mereka telah menerima telepon dari Natalia. Lingjing berdiri di bawah sorot lampu, tak bisa melihat mereka. Di layar besar terlihat profil wajahnya yang basah oleh air mata. Seolah terpapar oleh suatu emosi, seluruh arena menjadi sunyi senyap, hening bagai tengah malam.
Dengan sedikit isakan, senyum sedih mengembang di wajah Lingjing.
"Tak kulihat kesedihan menguar di wajahmu.
Betapa sunyinya keras kepala itu, kau hancurkan tembok pertahanan dan menyuruhku mengembara.
Menungguku terikat di tempat ini.
Kau tak pernah bilang kalau kau juga punya kelemahan.
Perlu bergantung padaku.
Aku pura-pura tidak tahu.
Hidup bebas berpindah-pindah dengan leluasa...”
Memori wajah itu, sepertinya benar-benar tak pernah menunjukkan momen kelemahan sedikit pun. Bagaimana pun gentingnya situasi, selalu menghadapi dengan santai. Dari kecil hingga besar, tanpa terkecuali. Dalam kondisi seperti ini, mereka sepertinya sudah terbiasa dengan fenomena ini, tidak memikirkan kesulitan apa yang tersembunyi di balik senyum itu. Karena dia tidak suka, mereka pun berhenti menyelidiki kegelapan sisi "pembunuh"-nya. Hingga saat menghadapi kesulitan yang benar-benar tak terpecahkan, barulah dia benar-benar melepaskan segalanya. Sekarang teringat, mereka telah melewatkan begitu banyak hal...
"Kalian pasti ingin tahu, baiklah akan kuberitahu... Tapi ini benar-benar bukan hal penting. Aku tidak suka kalian terlibat dalam urusan seperti ini... Aku juga akan sebisa mungkin menghindarinya..."
"Ada hal yang harus kuakui pada kalian... Sebenarnya hari ini aku tertembak, tapi masalahnya tidak parah. Tadi takut kalian khawatir jadi tidak bilang, sekarang sudah dibalut. Kalian harus jaga kerahasiaan ya. Nah, lihatlah..."
"Harus lindungi Kakak Yahan baik-baik, berikan pelajaran ke bajingan-bajingan itu."
"Serahkan padaku, tenang saja."
"Kepala sakit lagi? Besok periksa ke dokter ya."
"Gak apa-apa, sudah ambil obat kok. Lagian ini bukan hal yang serius... Akan kuperiksakan."
“Tumor sebesar ini, pasti selalu terasa sakit. Kami tidak tahu kapan dia mengetahui hal ini, yang jelas... setidaknya selama lebih dari setahun dari 99 hingga 2000, dia menahan sakit kepala seperti ini. Mungkin juga tahu kabar bahwa dirinya mau MATI, tetap berpura-pura baik-baik saja di depan kami...”
“Dia sudah tidak tahan lagi kesakitan...”
“Dia takut kau melihatnya dalam keadaan tak berdaya...”
“Sejak 5 Februari, dia pergi dari Jianghai. Tim pelacak kehilangan jejaknya...”
……
……
“Rindu adalah sakit yang bernapas.
Ia hidup di setiap sudut tubuhku.
Bersenandung lagu yang kau cintai terasa sakit, membaca suratmu terasa sakit.
Bahkan kesunyian pun terasa sakit.
Penyesalan adalah sakit yang bernapas.
Ia mengalir dalam darah, bolak-balik bergulir.
Menyesal tidak perhatian terasa sakit, membenci ketidakpahamanmu terasa sakit.
Ingin bertemu tapi tak bisa adalah yang tersakit...”
Gesekan dedaunan masuk ke radius efektif panggung. Air mata mengalir mendengar nyanyian sedih itu.
Gedung olahraga berbentuk setengah lingkaran, seorang wanita berkulit putih dengan wajah cantik muncul di atas atapnya. Ia berjalan-jalan di atap licin yang diterangi kerlip lampu, memandang dengan dingin dan angkuh. Semalam saat Victoria tiba di Jianghai, dialah yang mengikuti Victoria. Dari sini memandang ke bawah, permukaan laut di sekitar, taman, lampu-lampu di taman, pepohonan, pejalan kaki, jalan-jalan yang bersilangan di kejauhan, serta kota yang bersinar gemerlap semuanya terlihat jelas. Ketika angin laut berhembus, ia membuka kedua lengannya, perlahan menutup mata, merasakan kegelisahan kota ini, kesedihan dan ketenangan dalam nyanyian, serta niat membunuh yang akan segera meledak. Perasaan megah ini membuatnya terhanyut.
"Nada-nya melenceng..."
Suara nyanyian meluncur ke ujung yang tidak sempurna di tengah isakan. Di bangku panjang yang diterangi lampu, terdengar helaan nafas pelan. Seekor kucing kecil sedang memakan ikan kering pedas di tangannya. Ia mengangkatnya dan memandanginya sebentar.
"Jeleknya..."
"Jangan-jangan ini anaknya A Chou..."
"Putrinya... cucu?"
"Bagaimana kabar A Chou sekarang ya..."
Mereka pernah memiliki seekor kucing kecil yang kemudian menghilang. Saat itu Lingjing menggendongnya, keluarga bertiga berjalan-jalan di bawah senja yang berapi-api hingga saat lampu kota mulai menyala, menginjak neon yang berserakan di tanah. Perasaan itu disebut sebagai kebahagiaan...
Ia mengenang semua itu, lalu bangkit dari bangku panjang.
Di gedung olahraga, orang-orang menatap wajah gadis itu, mendengarkan nyanyian yang terputus-putus di antara isakan hingga akhir, bagaikan sumpah paling saleh.
"Aku bersumpah tak akan berbohong lagi.
Semakin kucintai, semakin erat kupelukmu.
Senyumanku semua palsu.
Jiwa mengambang - andai kau ada di sini.
Aku bersumpah takkan membuatmu menunggu.
Menemanimu melakukan apapun yang kau inginkan.
Aku semakin mirip cangkang.
Takut hati tersentuh orang.
Andai kau kembali......"
Di belakang panggung, sosok wanita melintas di kerumunan pekerja. Seorang satpam mendekat ingin bertanya, disambut laras senjata hitam yang tiba-tiba diacungkan. Seketika, separuh area belakang panggung membeku.
Di sisi lain kota, tubuh Huiqing menghantam mobil kecil di pinggir jalan dengan Byur, membuat pintu mobil cekung. Darah segar mengucur dari mulutnya. Usianya memang sudah senja, hanya bisa mengandalkan kekuatan ledakan selama beberapa menit. Tapi jika bahkan di puncak kekuatannya pun ia kalah, itu membuktikan mereka memang memiliki kekuatan superior. Di balik dentuman senjata, bayangan merah berjalan mendekat, debu cahaya beterbangan di udara.
Byur——
Langkah kaki menghancurkan mobil di belakangnya. Dengan desing angin keras, bayangan hitam melesat di atas kepalanya. Serangan mematikan itu menyasar Victoria di depan. Natalia akhirnya tiba!
Braak——
Sosok merah itu menahan pukulan berat Natalia dengan satu tangan. Udara di sekitar kedua wanita itu meledak, membuat tanah di bawah mereka ambles!
Huu… memuaskan, di atas panggung, rasa sakit di kedalaman jiwa seakan mencengkeram seluruh hati, dia memejamkan mata.
"Seandainya bisa mengulang waktu…"
Melodi lembut mengalun menuju akhir lagu.
Dia menoleh, melihat gesekan di balik tirai.
"Bisa dimulai…" Memandang bintang-bintang yang memenuhi langit, wanita di atas gedung olahraga itu menunjukkan senyum dahaga darah.
Membelai kucing badut di tangannya, Jiaming melangkah masuk ke radius efektif gedung olahraga.
## Bagian Empat Ratus Empat Puluh Enam Malam yang Gelap Bak Ombak
Di atas lampu jalan yang hancur, kilat mengalir di antara api ledakan mobil yang terombang-ambing, dua wanita berdiri berhadapan dengan jarak beberapa meter.
Satu merah satu hitam, penampilan yang kontras namun sama-sama memancarkan kedinginan dan kesombongan yang mirip. Setelah serangan tadi, kini mereka saling menatap lawan yang beraura serupa. Gaun Victoria berkibar-kibar sementara energi supernatural-nya memancar keluar, gelombang panas di sekitarnya bergelombang seperti teratai merah mekar. Natalia kali ini memilih memusatkan seluruh kekuatan supernaturalnya untuk menopang tubuh, menukarnya dengan kekuatan dan ketajaman luar biasa. Berdiri di sana, udara di sekitarnya seolah tertekan oleh pengaruh lubang hitam, fluktuasi energi pun tertahan.
Orang-orang di sekitar semuanya menatap ke arah sini dengan tegang. Karena hubungan pekerjaan, mereka juga tidak asing melihat kekuatan supernatural digunakan. Namun, seseorang yang mampu mengembangkan kekuatan atribut fisik hingga tingkat ini benar-benar membuat ternganga. Meski berjarak jauh, gelombang panas dan tekanan dahsyat yang terpancar di udara tetap bisa dirasakan. Dalam suara retakan "krak-krak", Huiqing perlahan bangkit, menarik napas dalam-dalam, lalu kondisi kesehatannya kembali pulih ke puncak level tertinggi.
Konfrontasi bertiga ini hanya berlangsung dua detik. Namun tekanan dan kesesakan di udara seolah membuat waktu terasa begitu lama. Dalam jarak pandang, Victoria mengangkat tangan kanannya pelan-pelan, mengaitkan jarinya ke arah mereka berdua. Pesona genit dan aura heroiknya menyatu dengan sempurna, mengguncang hati. Di depannya, Natalia merentangkan tangan kiri ke samping, jari telunjuk rampingnya bergoyang pelan ke arah orang-orang di belakangnya. Gerakan ini bagai kerikil yang dilempar ke danau tenang. Bersamaan, Huiqing juga membuat gerakan mengayunkan tangan.
"Pergi dari sini..."
Tanpa ragu-ragu, mereka menyimpan senjata, naik mobil. Melewati blok jalan yang membara api ini, mereka mengambil rute lain menuju lokasi tujuan. Saat kobaran api terakhir menghilang dari pandangan, yang terlihat adalah Victoria menggeleng sambil mendekati Natalia. Kemudian, api melahap sebuah pohon di pinggir jalan. Dalam goyangan bayangan manusia, suara pertarungan bergema, lalu menjauh dengan cepat...
Cahaya lampu menyala-padam, suara tepuk tangan penonton, di sisi panggung, Lingjing dengan wajah basah air mata memandang wanita di balik tirai yang sedang menatapnya, tertegun di tempatnya.
“Shāshā...”
Empat tahun setelah meninggalkan SMA, sebenarnya tidak banyak mengubah penampilan fisik yang sudah terbentuk. Namun dalam empat tahun ini, aura keduanya telah berubah dari kekanak-kanakan menjadi matang. Shāshā yang kini hampir 23 tahun masih memakai ekor kuda yang segar, tetap memiliki wajah oval yang cantik dan menawan. Dibandingkan gadis periang dan polos empat tahun lalu, kini dia terlihat sedikit lebih kurus. Kaki rampingnya membuat postur tubuhnya terlihat lebih tinggi dari angka sebenarnya. Latihan dan penderitaan selama empat tahun menanamkan kekuatan yang terpancar dari dalam dirinya. Namun ketika melihat wanita yang pernah seperti saudari kandungnya mendekat, kekuatan itu runtuh seketika. Senyum tipis mengembang di wajahnya, tapi air mata mengalir deras seperti untaian mutiara yang tak bisa dikendalikan.
“Gesekan……” Mendekatinya, Lingjing menatap wajah yang sudah empat tahun tidak ia jumpai, tiba-tiba memeluknya, “Pasir... Jiaming MATI...” Tangisnya pecah keras. Di dunia ini, dulu mereka bertiga, bagaikan suami istri, saudara-saudari, bagian dari diri sendiri. Di hadapan satu sama lain, tak perlu menyamarkan atau berpura-pura. Hal-hal yang mungkin disembunyikan dari orang tua, hanya bisa terbuka di antara mereka. Pertemuan ini menjadi saluran untuk meluapkan rasa sakit dan kekecewaan selama empat tahun.
“Aku tahu... Aku tahu...” Air mata mengalir di wajahnya, Pasir memeluk erat, bawah sadar bergumam.
Suasana di pihak pendukung terasa aneh. Sebagian besar orang telah menghentikan Pekerjaan mereka, terduduk mematung menyaksikan Xiao Meng dan beberapa pembawa senjata yang berhadap-hadapan dengan dua perempuan yang berpelukan sambil menangis. Tirai perlahan turun. Fang Yusi menarik napas dalam. Waktunya terbatas di sini. Melihat senjata di tangan Pasir yang tujuannya mencari Lingjing, akhirnya ia memberanikan diri keluar: “Ti-Tidak apa... Tidak apa kan? Semua orang... Lanjutkan Pekerjaan, persiapan... Eh... Pasir...”
Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, memorinya tentang Pasir mulai kabur. Bingung mencari kata-kata. Beruntung Pasir segera kembali ke kesadaran: “Lingjing... Kita harus pergi...”
“Pergi?”
“Saat kau di Wina, Li Yunxiu memberimu sesuatu untuk dibawa pulang, seharusnya botol kecil bercahaya. Masih ada padamu sekarang?”
“……Di dalam tas kecil.”
Mata berkaca-kaca, namun mendengar Shasha mengatakan ini, Lingjing tetap berlari ke meja rias di samping. Botol debu bercahaya itu belum sempat dikeluarkan, Shasha sudah menarik tangannya untuk lari ke luar: “Masih ada. Ayo pergi...” Bersamaan, suara lain juga terdengar: “Kalian ngapain!”
Pandangan kabur menyapu area belakang, kali ini Julian yang melihat Shasha ingin menarik Lingjing pergi, memberanikan diri maju. Seketika beberapa senjata diarahkan padanya. Lingjing menggelengkan kepala, suara masih terisak: “Dia kakakku.” Kemudian, mengikuti Shasha keluar dari pintu kecil.
Menuruni tangga, melewati lorong dalam gedung olahraga, barulah Lingjing tersadar. Hal ini tidak sederhana, di sekitar sesekali ada orang mendekat, kebanyakan warga asing. Meski berpakaian sipil, tapi terlihat sedang melakukan pengamanan. Shasha memegang senjata, rupanya juga mengenal mereka. Keluar dari pintu darurat samping, terlihat taman sisi gedung olahraga dan jalan. Tak jauh terdapat tanggul pantai, deburan ombak jelas terdengar. Lampu jalan di taman memancarkan cahaya kuning, di malam pertengahan musim panas ini terasa agak misterius.
Bersama Shasha, sekitar lebih dari sepuluh orang bergerak, masing-masing naik ke empat mobil kecil yang parkir di luar. Shasha menariknya masuk ke mobil kedua. Setelah menempatkan Lingjing di kursi penumpang, saat Shasha menghidupkan mobil, Xiao Meng yang sebelumnya dikenal dan seorang warga asing naik ke jok belakang. "Jangan khawatir..." Ucap Shasha belum selesai, suara BRAAK menggema dari belakang. Lingjing menoleh dan melihat dalam jarak pandangnya, seorang wanita berbaju hijau dan celana panjang putih seolah jatuh langsung dari langit. Wanita itu kini berjongkok di atap mobil belakang yang sudah seluruhnya cekung, kaca-kaca beterbangan ke segala penjuru.
Detik berikutnya, dentuman senjata bergemuruh dalam hembusan angin laut.
Peluru tiba-tiba melesat dari tiga mobil di sekeliling.
Meski atap mobil itu cekung terinjak, penghuninya tidak terluka parah. Mereka segera menarik pelatuk senjata ke arah atas kepala, tapi sang wanita sudah melompat lagi dan menghilang dengan suara SPLASH ke taman bunga di samping. Shasha menginjak gas sepenuhnya, sementara teriakan "GO! GO! GO—" terdengar di sekitar. Dalam deru turbo yang menggila, hujan peluru seakan ingin meratakan seluruh taman bunga. Empat mobil melesat dengan kecepatan penuh ke jalanan.
Perubahan seketika ini membuat Lingjing bahkan tak sempat bernapas. Ia berusaha menstabilkan postur di kursi, di sudut pandang samping belakangnya, bayangan hitam menyambar lewat tiba-tiba.
Itu adalah mobil kecil yang tertinggal di belakang. Baru saja berhasil melewati tikungan di pinggir taman bunga, bayangan itu tiba-tiba muncul dari dalam taman bunga. Sebuah salto melampaui kaca depan mobil, dan saat bayangan itu masih di udara, bilah udara tak kasat mata telah tercipta di angkasa. Percikan api dari logam yang terpotong menyambar diagonal di sisi haluan mobil, tiba-tiba membentuk layar pelindung yang menyapu seluruh bagian depan mobil dengan suara "Blek!".
Mobil yang terpotong menjadi dua bagian menabrak pagar pelindung taman bunga, diikuti ledakan dahsyat. Gelombang kejut menyapu bunga-bunga di sekitarnya dan menyulut api. Empat orang di dalam mobil - pasukan elite terlatih - nyaris bersamaan dengan terbelahnya haluan mobil langsung melompat keluar sambil mengangkat senjata dan menembak cepat. Tiga mobil lainnya terus memacu gas, melesat di jalanan, dan dalam sekejap telah mencapai jarak ratusan meter sebelum menghilang di sudut jalan.
Api membakar, dentuman senjata bergema di kejauhan, diselingi jeritan sesekali. Beberapa saat kemudian, taman kecil di sini perlahan menjadi sepi. Dentuman senjata menghilang, jeritan pun tak terdengar lagi, hanya api yang terus menyala. Angin laut berhembus lembut, deburan ombak tetap sama, di antara goyangan bayang-bayang pohon yang halus, suara "Ding ling ling" dari telepon berbunyi, mengitari pohon yang baru saja tersentuh api. Wanita asing berbaju hijau dan celana panjang putih berdiri di sana, tangan kanannya penuh darah. Mendengar dering bel selama beberapa detik, baru ia mengeluarkan telepon dari saku celana dengan dua jari, memandangnya berdering sejenak, lalu mengulurkan jari telunjuk kanan yang berlumuran darah untuk menyentuh layar. Meletakkannya di telinga, tapi tetap tidak membiarkan telepon menyentuh kulit, masih menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, terlihat seperti sedang menjepit tikus mati.
"Ketemu... mereka lemah... tidak bisa lari... Kratos kau..."
Beberapa kata ini belum selesai diucapkan, suara tembakan kembali menggema di udara. Telepon itu byur meledak ditembak peluru. Dia berbalik, memandang pria yang berlumuran darah di balik bunga-bunga. Peluru mengeluarkan darah dari tubuhnya, tapi tak mampu mengubah senyumannya. Dia melemparkan telepon yang hancur: "Terima kasih... Aku benci teknologi tinggi..."
“Sesaat kemudian, tangan kanan berlumuran darah membunuh satu-satunya kehidupan di hadapannya. Sang wanita berbalik pergi. Pada saat yang sama, di balik pilar batu tak jauh dari sana, seorang pria menyaksikan gambaran ini sambil mengerutkan alisnya. Ekspresinya memancarkan kekecewaan, kegelisahan, dan kemarahan.
Dalam kegelapan malam, seekor kucing kecil mengeluarkan suara "Meong".
Mobil kecil melesat melewati dua blok jalan. Ketegangan semua orang belum mereda. Akhirnya, Lingjing bisa menenangkan napasnya. Banyak pertanyaan berputar di hatinya, tapi tak bisa diungkapkan: "Siapa mereka?"
"Orang-orang... tidak karuan." Dengan senyum paksa, Shasha menginjak kopling dan mengganti persneling. "Jangan takut."
Di dalam gerbong, suasana hening tercipta. Setelah beberapa saat, Lingjing menunduk: "Kau juga menyembunyikan ini dariku... Dulu Jiaming juga selalu menyembunyikan hal-hal dari kami..."
"Aku..." Angin berdesir masuk melalui kaca mobil. Mendengar Lingjing menyebut nama Jiaming, Shasha menarik napas berat. "Maaf... Aku... Tak kusangka kita bertemu dalam situasi seperti ini. Mungkin... Heh..."
"Tapi kau tak pernah mencariku." Lingjing menatapnya. "Di mana saja kau selama beberapa tahun ini?"
"Aku juga di Eropa... Jiaming mengirimku ke Eropa juga..."
Suara Sha Sha lembut, tapi mungkin hanya mereka berdua yang bisa merasakan kompleksitas dalam kalimat ini. Mereka semua dikirim ke Eropa oleh Jiaming, sehingga terjadilah segalanya sekarang. Dalam kebingungan, Lingjing terdiam, memandang tiang lampu jalan yang terus berlari ke belakang di tepi jalan, perlahan menutup matanya. Ini adalah area kota baru Jianghai, meski sudah dikembangkan namun penduduknya masih sedikit. Saat ini tidak banyak orang di kedua sisi jalan, toko-toko juga belum banyak yang buka, seluruh jalanan terasa tenang dan rapi. Tiba-tiba terdengar Sha Sha berbicara dalam bahasa Inggris: "Lewati jembatan dari jalan baru..." Rupanya ada notifikasi dari earphone.
Xiao Meng di kursi belakang mobil juga berkata: "Perempuan, artinya mereka datang dengan lebih banyak orang lagi..."
"Tembak kepala dan tulang leher, itu efektif." Ini suara orang asing di kursi belakang.
"Tapi harus bisa mengenai dulu. Mereka terlalu waspada..." Xiao Meng melihat jam tangannya, "Lewat sepuluh menit saja, begitu tentara datang, sebanyak apapun mereka harus pergi..."
Baru saja kalimat itu selesai, terdengar suara 'creek' dari belakang. Ketika menoleh, mobil kecil dengan atap yang sudah cekung itu dengan cepat membelok ke satu sisi jalan, bertabrakan dengan Braak melawan mobil kecil lain yang datang dari depan. Dalam gambaran yang menjauh cepat, masih terlihat bayangan wanita asing itu. Karena benturan keras kedua mobil, tubuhnya terlempar tinggi ke udara, sesuatu di tangannya tiba-tiba terbang ke arah mobil ini - sebuah kemudi.
"Byur" suara benturan keras, kaca belakang mobil langsung berubah jadi serpihan salju. Akhirnya karena jarak terlalu jauh dan kecepatan mobil terlalu tinggi, setir gagal menghancurkan kaca. Saat Shāshā belok di persimpangan jalan, baru terlihat orang-orang berlarian di kejauhan. Di tengah jalan yang sepi, wanita itu berjalan sambil tersenyum dan melambaikan tangan ke arah sini. Kemudian dia berbalik dan lari masuk ke gang sempit di samping dengan kecepatan gesit bagai petir. Dua agen yang sempat lompat dari mobil masih bergulat di jalan, tapi sudah tak punya tenaga lagi untuk bangun dan menembak.
Empat mobil sebelumnya kini tinggal tersisa dua. Mobil di depan memperlambat kecepatan, sebentar kemudian sudah disalip. Mungkin mereka ingin memberi perlindungan dari belakang sambil mengulur waktu. Setelah melewati dua blok jalan, mobil itu tertinggal, suara tembakan samar-samar terdengar, lalu cepat menghilang.
Suasana dalam mobil sunyi senyap. Dalam kesunyian itu, Xiǎo Mèng dengan suara "Prak" menghantam kaca belakang yang sudah retak menggunakan gagang senjata. Beberapa menit kemudian, entah informasi apa yang masuk melalui earphone mereka, Shāshā menggigit bibir bawahnya. Kecepatan mobil dikurangi sedikit, dua orang di jok belakang langsung melompat keluar. Shāshā menginjak gas tanpa menoleh ke belakang. Língjìng memandang segala sesuatu di pasar yang sepi ini, seolah bisa mendengar suara napasnya sendiri di telinga. Tiba-tiba tangan Shāshā meraih ke tas kecilnya, mengambil botol bercahaya itu. Perempuan itu kaget, langsung menggenggam erat tangan Shāshā.
Shasha menatapnya, tertegun sebentar. Beberapa saat kemudian, Lingjing baru menggelengkan kepala dengan neurotik: "Aku tidak tahu apa ini... Juga tidak mengerti situasi sekarang... Tapi di rumah kita hanya ada kami berdua..."
"Tak apa..." Shasha membuka mulutnya, "Hanya... dikategorikan di sini lebih baik..."
"Kalau kau rebut akan kugigit..."
Shasha memandangnya, Lingjing terus menggeleng. Mereka berhadapan beberapa saat, air mata Lingjing kembali turun drastis: "Hanya tinggal kita! Kita tak peduli hal-hal ini! Ayo pulang! Shasha..."
Shasha menutup mata dengan perih, mulutnya terbuka tapi tak ada tangisan. Setelah beberapa saat dia membuka mata, memandang jalan di depan melalui kaca mata berkabut air mata, memaksakan senyum di wajah: "Aku juga ingin pulang... Dari sini... berapa lama ya..." Tangannya melepaskan botol.
"Lebih dari empat puluh menit..."
"Hmm..." Masuk gigi, injak gas, suara Shasha pelan sambil menghela nafas panjang, "Banyak yang ingin kubicarakan... Empat tahun ini..."
Empat tahun ini, mereka punya banyak hal ingin diungkapkan. Tapi dalam situasi seperti ini, kata-kata tak lagi diperlukan. Dalam kesunyian, wajah Lingjing yang basah air mata tiba-tiba tersenyum, dia menoleh ke kaca spion: "Aku berhalusinasi... Seperti melihat Jiaming..."
Sebelumnya Xiao Meng dan orang asing itu melompat keluar mobil, pintu mobil barisan belakang tidak tertutup. Dalam jarak pandangnya, Jiaming duduk di kursi itu memandangi mereka—tentu saja ini mustahil. Namun setelah ucapannya selesai, tubuh Shasha tiba-tiba kaku. Dia menatap jalanan di depan, mengedipkan mata, menarik napas dengan hidung, lalu perlahan membuka mulut menghembuskan napas. Diulanginya beberapa kali, pandangannya menyapu kaca spion—reaksinya tetap sama.
Gemerlap bintang berkedip, kegelapan malam bagai pasang surut. Di bawah langit batu itu terbentang jalanan rapi di antara lampu jalan terang. Mobil di jalan tidak banyak, di kedua sisi ada pohon baru ditanam, pejalan kaki yang berjalan-jalan berkelompok dua tiga, beberapa toko yang masih buka dengan papan iklan berpendar lampu hias—malam pertengahan musim panas yang seperti mimpi. Mobil kecil yang melaju kencang ini perlahan mengurangi kecepatan, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya berhenti di ujung jalan. Lampu merah-hijau bergantian memancarkan cahaya, berkedip-kedip seperti mata yang mengernyit...
## Bagian Empat Ratus Empat Puluh Tujuh Godzilla
Cahaya pedang emas menyambar udara. Tubuh manusia di bawah lampu jalan menyemburkan darah segar deras. Tidak jauh dari situ, sebuah mobil polisi meledak. Di jalanan berantakan, vampir berambut pirang bernama Victor menatap penampilannya sendiri dengan kekecewaan, menghentakkan kaki ke tanah lalu mendongak: "SHIT!"
Setengah tubuh merah segar, setengah tubuh hangus terbakar. Jas putihnya kini dipenuhi bercak darah dan jejak terbakar hangus yang berbintik-bintik. Namun meskipun penampilannya terlihat kikuk, dia tetap mempertahankan aura elegan yang agak jahat. Kerusakan pada beberapa blok jalan yang dilaluinya benar-benar mencapai tingkat terparah dalam sejarah Jianghai, bahkan aksi penghancuran besar-besaran Jiaming empat tahun lalu belum pernah mencapai skala sebesar ini.
Mobil yang rusak, tiang listrik yang patah, papan iklan yang jatuh dan terbakar di jalanan, permukaan jalan yang terangkat akibat ledakan, toko yang hancur, pohon yang terbakar, serta percikan api listrik yang berkeliaran. Yang paling mengenaskan adalah para korban MATI di jalanan dan dalam mobil - ada yang terkena dampak peluru nyasar, korban kecelakaan mobil atau ledakan, ada yang tertimpa reruntuhan, bahkan ada yang ditusuk dengan pedang atau terbelah dua. Kekacauan ini menjalar ke beberapa blok jalan sekitarnya. Selain iring-iringan [] yang sebelumnya berhasil dihentikan, mobil polisi pertama yang tiba juga mengalami nasib buruk. Banyak tiang listrik yang terpenggal berantakan di jalanan, menyebabkan pemadaman listrik di area sekitar. Di tengah gemerlap kota, area yang tiba-tiba gelap ini terasa sangat aneh. Api berkobar di jalanan, sorakan dan langkah kaki yang berlarian masih terdengar dari kejauhan. Segalanya di depan mata ini terjadi hanya dalam waktu lewat sepuluh menit. Dengan mengandalkan kemampuan regenerasi yang kuat, Dia menggunakan taktik pertarungan gila yang biasanya takkan dipertimbangkan - mengorbankan penampilan, menanggung ratusan peluru pencucian - akhirnya berhasil menghentikan tim [] ini sepenuhnya di sini.
“Braak” dia menyobek lengan baju yang compang-camping, mengangkat bahu, lalu berbalik hendak pergi. Dentang sirene makin dekat dari jalanan sebelah. Matanya menatap ke arah itu, dua mobil kecil melesat keluar satu per satu, menjauh dengan cepat. Penumpang di dalam mobil terkejut melihat pemandangan di jalan ini, tapi juga langsung menyadari kehadirannya. Beberapa tembakan terdengar. Victor menoleh, sebuah peluru menggores pipinya meninggalkan jejak darah. Tak lama, bayangan lain muncul dari persimpangan, melihat situasi di jalan, lalu memperlambat laju dan berhenti di trotoar seberang.
“Wow, Victor...”
Di seberang jalan berdiri raksasa bernama Kratos. Tubuhnya juga berlumuran darah dan compang-camping. Tapi tidak separah Victor. Matanya menyapu kedua sisi jalan, lalu mengangkat tangan bingung. Victor menatap mobil yang menghilang di ujung jalan, mengusap darah di wajahnya, lalu menggelengkan kepala pada kawan di seberang: “Kratos Kratos Kratos... Kau ini ngapain sih?” Kekecewaan terpancar jelas.
“Oh, SEKARANG JUGA selesai.”
Kratos tersenyum, mengejar ke arah mobil yang menghilang. Victor menghela napas, berjalan ke pinggir jalan. “Braak!” tendangannya menghancurkan pintu butik pakaian. Dentang sirene kembali menggema. Dia menggaruk-garuk rambut dengan geram: “Harapannya jangan sampai terlalu ternoda...”
Di sudut kota, di antara jalan-jalan, angin malam berhembus tenang.
“Hmm... Aku sudah ketemu A Chou...”
Suara datar yang familiar terdengar di barisan belakang mobil kecil. Di tengah malam musim panas, dia duduk di sana, memandangi dua orang di barisan depan. Pandangannya seakan menembus empat tahun jarak yang membentang di antara mereka. Lingjing menelan ludah, Sha Sha menarik napas dalam-dalam, lalu mengulurkan tangannya ke belakang.
Saat jari-jarinya menyentuh kulit, tiba-tiba tersentak seperti tersengat api, lalu tangan itu ditangkap Jiaming dan ditekankan ke wajahnya. Setelah beberapa saat, Sha Sha membuka mulut: “Kau ini...” Seolah ada sesuatu yang tanpa basa-basi disedot dari dalam hatinya. Dalam jarak pandangnya, segalanya mulai bergoyang, lalu...
“Sha Sha——”
“Batuk, jadi prajurit wanita pun, keberanianmu nggak nambah...”
“Kau... Kau ini sih...”
“……”
Mobil kecil yang diam terparkir tak menarik perhatian pejalan kaki di pinggir jalan. Tak lama, pria itu keluar dari pintu belakang mobil, melompati pagar tepi jalan menuju warung di sudut jalan untuk membeli tiga botol air mineral dingin. Lingjing juga turun dari pintu depan. Dia berdiri di tepi pintu memandangi bayangan itu, berkedip-kedip mencoba menahan air mata yang tak lagi bisa keluar, napasnya kadang lambat kadang tersengal.
Setelah mengambil air, Jiaming memasukkan dua botol ke dalam mobil, lalu bersandar di pagar sementara berdiri berhadapan dengan Lingjing. Saat ini mereka terlihat seperti pasangan kencan buta yang gelisah. Jiaming membuka mulut tapi tak bersuara. Lingjing hanya mematung menatapnya. Setelah beberapa saat, Jiaming menghela napas panjang.
“Aku kembali……” Suara itu terdengar lirih seperti gumaman sendiri, namun setelah mengucapkan kalimat ini, dia tersenyum lega. Melangkah dua langkah ke depan, dia memeluk tubuh Lingjing yang telah kehilangan seluruh tenaga. Setelah empat tahun terpisah, saat mereka berpelukan kembali, dia terlihat ingin menyatukan tubuh lembut Lingjing ke dalam raganya sendiri. "Aku mendengar kau bernyanyi, semua ingatan itu kembali… Aku pulang…"
Di sepanjang jalan hanya ada beberapa pejalan kaki yang sedang berjalan santai berkelompok, jendela-jendela gedung memancarkan cahaya hangat dan lembut. Beberapa orang sempat memperhatikan pasangan yang berpelukan di pinggir jalan ini, namun hal semacam itu sudah biasa di kota. Waktu diam membeku selama beberapa detik. Tiba-tiba, Jiaming mendengar suara "Hmm" dari Lingjing. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya erat-erat, diikuti rasa sakit di bahunya.
Saat tangannya merangkul punggung Jiaming, gigitan di bahu pria itu disertai kepalan tangan yang dengan sisa tenaga menghantam punggungnya beberapa kali. Seolah semua kekecewaan dan kepedihan selama empat tahun ini ingin diluapkan melalui pukulan-pukulan itu. Di tengah kegemparan yang bergema di bawah langit malam, sudut kota ini justru terasa lebih tenang dan damai daripada biasanya.
Setelah berpelukan cukup lama, Lingjing melepaskan gigitannya dengan lemah. Tubuhnya hanya menyisakan napas tersengal dan gemetar halus, kedua tangan tergantung lemas di sisi badan. Dia membiarkan Jiaming terus memeluknya berdiri. Andai pelukan ini dilepaskan, mungkin dia akan ambruk seperti pasir yang kehilangan bentuknya.
Tepat pada saat kedua orang itu berpelukan, bayangan kejar-kejaran yang familiar telah muncul dari mulut gang di kejauhan. Wanita asing berbaju hijau danau dan celana panjang putih ini, melihat mobil berhenti di pinggir jalan, tampak juga sedikit bingung. Di saat bersamaan, suara berisik dari sisi lain jalan akhirnya memecah ketenangan keramaian pasar ini.
Sebuah mobil kecil hitam melaju kencang dari sudut jalan, kehilangan kendali. Dalam sekejap telah menerobos jalan. Mobil lain yang melintang 90 derajat berbelok panik, menghancurkan pagar pelindung. Mobil hitam ini langsung menembus pagar, kemudian dengan suara Braak! menabrak tiang lampu jalan. Saat tiang lampu itu melengkung, sisi mobil kehilangan keseimbangan dan terlempar ke udara.
Byur! Lampu jalan di atas langsung meledak, percikan api listrik menyambar di udara. Mobil itu melintasi trotoar dan menerjang masuk ke sebuah toko di pinggir jalan.
Debu beterbangan.
Lampu di dalam toko berkedip tak menentu. Dari kejauhan terlihat kekacauan dan kehancuran. Pejalan kaki di kedua sisi jalan terdiam ketakutan. Beberapa saat kemudian, ada yang mulai menghubungi polisi dan memanggil ambulans, ada juga yang mulai mendekati lokasi. Di saat yang sama, reruntuhan di dalam toko terdorong dengan suara Splash! Seorang pria kekar melangkah keluar dari kepulan debu. Seolah mendapat firasat, saat ia menatap ke arah wanita cantik berjarak seratus meter itu, sang wanita juga sedang memandangnya.
“Hei, Millia, sepertinya aku datang di waktu yang tepat.”
“Urusi dirimu sendiri.” Millia yang mengejar dari belakang melompati pagar sementara di pinggir jalan, suaranya bergema di kejauhan langit malam.
“Aku baik-baik saja, malam ini sangat memuaskan, sekarang aku merasa hebat seperti Terminator... Apa kau pernah menonton Terminator?”
“Aku membenci teknologi tinggi.”
“Oh, kau tidak tahu apa yang kau lewatkan.”
Percakapan mereka bergema di langit malam. Meski menggunakan bahasa Inggris, orang-orang yang menyaksikan dari pinggir jalan akhirnya menyadari keanehan situasi. Di satu sisi jalan, mobil kecil terparkir membentuk formasi segitiga. Di tepi pintu mobil, Jiaming menyuruh Lingjing masuk kembali. Ia membuka tutup botol air mineral, menyesapnya, lalu mengamati sepasang pria dan wanita yang mendekat dari kejauhan.
“Agak panas ya... Heh, Terminator...”
Menyiramkan sisa air ke kepalanya, ia menarik pistol yang semula tersembunyi di tubuhnya. Dua tembakan dilepaskan ke langit. Orang-orang di sekitar mulai berhamburan seperti kawanan burung dan hewan. Dalam kekacauan itu, Kratos tertawa terbahak: “Manusia yang tak tahu diri... Millia, tidak keberatan kalau aku ambil barang itu duluan?”
“Terserah kau.”
Dalam dialog antara keduanya, Kratos telah berjalan hingga jarak lebih dari sepuluh meter dari Jiaming. Dari pandangan udara di atas jalanan, pejalan kaki yang berlari dan menghindar terlihat dari dekat maupun jauh. Hanya mereka bertiga serta mobil kecil itu yang tidak terkena dampak. Setelah menuangkan air mineral hingga habis, pria itu melangkah ke samping dua langkah, menggelengkan kepala, tetesan air yang jernih berpencar ke segala arah. Raksasa bermandikan darah setengah badan itu juga telah sampai di sisinya. Millia tidak memperhatikan pertarungan tersebut, ia mengalihkan pandangannya ke dua wanita di dalam mobil.
Di arah yang sama dengan kemunculan Kratos, Victor yang telah berganti jas baru menyusuri pejalan kaki yang berlarian, berbelok di sudut jalan, dan mulai mencerna segala pemandangan di hadapannya.
Pria yang bertubuh tidak terlalu tinggi dan kekar, berpenampilan tak berbahasa seperti remaja itu tidak cukup menarik perhatian, juga tidak menimbulkan minat untuk berdialog. Tinju Kratos langsung melesat ke arah wajah pria yang sedang menggeleng itu.
Huu——Byur——
Dalam pandangan mereka, sosok manusia terlempar ke udara. Kemudian, beberapa benda di pinggir jalan mengeluarkan ledakan dahsyat, naga air yang jernih melesat setinggi lebih dari satu zhang ke langit.
Yang terlempar adalah Kratos.
Tubuhnya menghancurkan pagar besi di samping, seluruh tubuh bagai peluru meriam, kepalanya langsung menabrak pilar pemadam kebakaran di pinggir jalan. Ini adalah tumpukan besi pendek, saat kepalanya menabrak, tubuhnya secara bawah sadar membungkuk, darah tetap menyembur keluar, pilar pemadam beserta beton tempatnya tertanam meledak dengan dahsyat, kemudian semburan air bertekanan tinggi dari kedalaman tanah menyembur ke langit.
Semburan air itu menyemprot ke segala penjuru, seolah setengah jalanan diguyur hujan deras. Jiaming mendongak, membiarkan air itu menghujam wajahnya, lalu berjalan menuju sumber semburan, menyodorkan kepalanya ke dalam air mancur bertekanan tinggi itu selama dua detik sebelum akhirnya mengangkatnya kembali, menyeka wajah: "Nah, sekarang lebih baik..."
"Kau ini siapa lagi?"
Kratos yang kepalanya berlumuran darah tergeletak tak jauh di tanah, tubuhnya sedang terus-menerus kejang-kejang. Yang berbicara kali ini adalah Millia yang masih berada di tengah jalan puluhan meter jauhnya. Jiaming menggelengkan kepala, berpikir sejenak, tanpa memandangnya, jawabannya singkat dan tegas.
"Godzilla."
## Bagian Keempat Ratus Empat Puluh Delapan Kalau Begitu MATI
Butiran air raksasa menyembur seperti air mancur ke atas jalanan, kemudian dalam sorot lampu bagai hujan deras yang turun, gemericik air yang berisik menyelimuti area seluas puluhan meter persegi. Saat Shizuka membuka mata dan sadar, dia melihat Lingjing tengah menempelkan wajah di jendela sambil memandang keluar. Tak lama kemudian, dia pun menyaksikan pemandangan di jalanan itu.
Di bawah lampu jalan yang terang, tetesan air yang berterbangan memantulkan cahaya. Jiaming berdiri di sisi aliran air, seakan menoleh dari tempat yang jauh. Dia menatap lama ke arah sana, sosok manusia berdiri limbung dari balik aliran air, darah di kepala tercuci oleh hujan. Tampaklah Victor. Pada saat ini, Shasha akhirnya menyadari situasi di sekitarnya.
Orang-orang di sekitar jalanan sudah berlarian menjauh. Victor menatap Jiaming yang berdiri di sana dengan wajah mengerikan dan terdistorsi. Di satu sisi jalan, wanita yang tadi mengejar mereka sedang mendekati Jiaming. Di sisi lain, penghisap darah berambut pirang bernama Victor dari data-data juga berjalan dari bawah atap dengan langkah anggun dan santai. Situasi yang terlihat... tiga lawan satu.
"Jiaming..."
Bergumam pelan, bawah sadarnya langsung meraih senjata di pinggang, namun kali ini gagal. Lingjing juga menoleh: "Shasha."
"Lingjing, Jiaming dia... Aku harus membantu..." Katanya siap meraih tas senjata di bawah kursi. Lingjing mengamati gerakannya: "Jiaming pernah bilang jangan keluar..."
"Tapi mereka bertiga sangat hebat..."
Seolah bisa mendengar percakapan dalam mobil kecil dengan jelas, di pinggir jalan tak jauh dari sana, Jiaming tersenyum sambil menggelengkan kepala, berbalik menuju kursi yang ditaruh di tepi jalan, duduk sambil mengeluarkan tas kecil Lingjing dan membalik-balikkannya perlahan di bawah cahaya lampu. Tak jauh darinya, Kratos yang basah kuyup menutupi dahinya, tiba-tiba membuka mulut: "Fuck——FuckFuckFuckFuck——" Suara penuh destruktif itu bergema jauh di sepanjang jalanan. Saat ini juga, Millia dan Victor pun tiba di dekat tempat itu.
Byur, Kratos mengambil kursi dari pinggir jalan dan menghantamkannya di depan Jiaming, kemudian langsung duduk di hadapannya. Baru saja dahi yang menubruk hidran itu setidaknya seharusnya membuat tengkorak hancur, namun tak lama kemudian penampilan luarnya ternyata sudah pulih.
Di trotoar pihak ini yang sebelumnya sudah ada meja kursi dari toko kecil sekitar untuk bersantai, bisnis area kota baru tidak baik. Saat itu orang-orang sudah lari hingga bersih, permukaan jalan terlihat luas dan kosong. Jiaming duduk di sana membongkar mencari barang-barang milik Lingjing, sesekali menunjukkan senyum samar. Kratos berada dalam jarak kurang dari setengah meter darinya, Millia berjalan ke sisi Kratos, sedangkan Victor justru berdiri di belakang Jiaming, mengamati gerak-geriknya membongkar. 10 juta tetesan air menghantam daun-daun pohon sekitar, meja kursi, dan jalanan, berkilauan melompat, hancur, terkumpul. Di udara tercipta atmosfer diam mencekam.
“Akhirnya, Jiaming menemukan benda yang dicarinya, mengeluarkannya dari tas kecil. Botol kecil yang diikat dengan garis merah, cahaya yang dipancarkannya hampir tak terlihat di bawah lampu terang. Dia mengayunkannya beberapa kali di udara, baru kemudian menengadah, memandangi dua orang di depan: "Baru sampai hari ini, sibuk pulang ke rumah..." Pandangannya menyapu dua orang di dalam mobil kecil tak jauh, "Tak ingin mengurus terlalu banyak hal. Ambil benda ini, lalu bereskan segalanya dan pergi dari Jianghai. Aku anggap hal ini tak pernah terjadi. Bagaimana?"”
Udara terdiam sejenak. Millia dan Victor sepertinya malas bersikap. Tubuh Kratos condong sedikit ke depan, bicara satu per satu dengan perlahan: "Siapa pun yang menginginkannya, menyentuhnya—harus MATI."
Tiga lawan satu. Meski sebelumnya Kratos menderita kerugian besar karena meremehkan lawan, tak ada rasa takut di antara mereka sekarang. Lawan terkuat yang pernah mereka hadapi sebelumnya adalah Huiqing dan Natalia. Orang di depan mata ini meski terlihat hebat, paling-paling hanya sampai tingkat itu. Dalam situasi sekarang, baik Huiqing maupun Natalia mungkin sudah PASTI MATI, apalagi Victoria sudah menyerang. Malam ini, tujuan mereka adalah membersihkan semua orang yang terkait dengan Kekosongan Pandang Debu.
Tanpa kemarahan maupun kekecewaan, sudut bibir Jiaming masih menyimpan senyuman itu. Dengan tenang dia mengembalikan botol kecil itu ke dalam tasnya.
“Kalau begitu, MATI lah.”
Api yang disebabkan oleh membakar membentuk area luas. Dua berpilin dan bertabrakan di antara pepohonan. Dengan suara , terlontar sejauh lebih dari sepuluh , menghantam keras sebuah . Seluruh pohon mulai roboh. Di sepanjang jalur yang dilalui tersebut, api terbelah ke kedua sisi, semua warna padam seolah tercipta ruang hampa di tengah . Beberapa saat kemudian, Natalia yang berlengan dan bibirnya mengalirkan mendorong pohon tumbang itu dan keluar. Tidak jauh darinya, Huiqing yang juga muncul dari , bersiap melanjutkan pertempuran.
Bagi , pada umumnya hanyalah seperti membawa senjata tambahan - seperti Ye Lian, Tenku Masaoka, atau banyak biasa lainnya. Selama tetap waspada dan menjaga pola pikir yang benar, pengaruhnya tidak signifikan. Namun ketika berevolusi mencapai tingkat seperti Natalia atau bahkan lebih tinggi, bagi mereka yang tidak memiliki , hal itu sama dengan bencana. Seluruh tempur kita didasarkan pada . Tapi jika ada yang kebal terhadap api lalu bertarung di tengah , praktis tidak mungkin menang - dan ini baru pemanfaatannya saja. Ketika berbagai yang tak terduga digunakan, bahkan petarung sekuat Huiqing pun hanya bisa bertahan. Fakta bahwa mereka yang dengan sekelas Natalia masih bisa dipaksa mundur, membuktikan bahwa wanita bernama Victoria di depan mata ini memiliki yang benar-benar luar biasa.
Namun pertempuran malam ini, bukan berarti harus berjuang untuk menang. Begitu pasukan tiba, selama Kekosongan Pandang Debu masih berada di pihak kita, maka tujuan sudah tercapai. Hanya saja hal ini terlalu terburu-buru, mungkin membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Huiqing bertekad untuk mengulur waktu, sementara Natalie saat ini justru menunjukkan sikap yang melupakan segalanya dan bertekad memenangkan pertarungan dengan cara apapun. Darah di lengan kanannya segera berhenti mengalir. Dalam kobaran api yang terombang-ambing, dia merobek lengan bajunya yang hancur, mengayunkan tangan, bersiap untuk menyerang kembali.
Melihat wujud Natalie saat ini, Victoria menggelengkan kepala dengan datar: "Penerus warisan evolusi alami... Lihatlah dirimu sekarang, sungguh memprihatinkan. Hanya dua kali kesadaran diri. Aku mengenalmu dulu seratus kali lipat lebih kuat dari sekarang... Jika tidak bisa lebih kuat, kau akan MATI di tanganku..."
"Benarkah?" jawab Natalie dengan dingin sambil memicingkan mata, "Bunuh aku dulu baru bicara."
Kekuatan supernatural terkumpul, udara seolah diterpa angin dingin. Dengan Natalie sebagai pusat, api dalam radius beberapa meter padam seketika - ini untuk memberi posisi serang yang sesuai bagi Huiqing. Di dunia ini, dipaksa tunduk oleh wanita yang memiliki aura serupa dengannya adalah hal yang tak bisa ditoleransi. Saat hendak berlari maju, Victoria yang berada belasan meter jauhnya tiba-tiba menoleh ke arah kekosongan yang tak berpenghuni, mengerutkan alisnya.
"Ini... Bagaimana bisa..."
Di sisi lain, serangan Natalie datang dengan dahsyat!
Lampu jalan bersinar terang, langit dipenuhi cahaya air.
Pada detik Jiaming selesai berbicara, seluruh situasi tiba-tiba berubah.
Seolah ada yang memukul genderang raksasa yang mengguncang ruang, empat orang berubah dari diam total menjadi ledakan secara serempak. Kratos berada dalam jarak kurang dari satu meter dari Jiaming. Saat tiba-tiba menerjang ke depan, suara kereta perang menggema memecah angin. Cahaya pedang Victor menyibak udara, bayangan Millia seolah lenyap di belakang Kratos, bergeser dari kiri ke kanannya.
Jiaming melompat ke udara, kepala di bawah kaki, tubuhnya berputar.
Prak! Seketika itu ribuan tetesan air memercik dari tubuh Jiaming dengan dentuman keras. Air menyembur ke segala penjuru, seolah bunga teratai raksasa mekar di udara. Tangannya yang berputar menyapu punggung Kratos yang sedang menyerang dari bawah.
Sinar darah berhamburan di udara bersama tetesan air. Punggung Kratos tiba-tiba melengkung.
Semua terjadi dalam kurang dari satu detik. Victor menusukkan pedangnya ke baju Jiaming, menyobekkan celah lebar. Millia yang melihat Jiaming melompat, menggapai tubuhnya di udara.
Splash! Kursi yang tadi diduduki Jiaming hancur berkeping-keping. Baru pada saat ini, teriakan sakit Kratos meledak: "Aaaaa——"
Di bawah lampu jalan sosok-sosok bersilangan sekejap, Millia menggenggam Jiaming, tekaan tangan menusuk tanpa ragu. Tubuh Jiaming berguling, lututnya menghantam profilnya seperti palu.
Dengan tergesa-gesa menghindar, Jiaming mendarat. Pukulan berat! Millia terjengkang ke belakang, yang terlihat di matanya hanyalah punggung Jiaming.
Tiba-tiba dia memutar tubuhnya, tinju kanan terangkat. Serangan kedua Victor nyaris menyambar tipis tubuhnya dari bawah rusuk. Kini yang terpampang di depan Jiaming adalah punggung melengkung Kratos yang belum roboh. Saat tinju kanannya ditarik ke bawah, sikutan paling mematikan menghunjam punggung tak bertahan itu. Tangan kiri terangkat, siku kanan menghantam tepat ke tulang punggung.
Di udara saat melompat, dua jarinya langsung mencabik lubang berdarah di punggung Kratos, menyabitkan segmen tulang punggung. Kratos yang hanya mengandalkan inersia terus maju, sama sekali tak bisa menghindar. Sikutan berikutnya menghantam tulang belakangnya. Daging dan darah menyembur dari lubang itu bagai ledakan. Raksasa setinggi 2 meter itu braak! Jatuh telungkup di jalan.
"Yang pertama... kau lah..."
"Kratos——"
Sederhana saja, dalam sekali tatap, raksasa klan darah ini sudah dicabut satu bagian tulang leher, mungkin seluruh tulang belakangnya sudah hancur berantakan. Di bawah sikutan gagah itu, organ dalamnya sudah meledak, tak peduli sekuat apa kemampuan pemulihan yang MATI, entah bisa pulih ke depannya atau tidak, nyawanya saat ini sudah tinggal separuh lebih. Mengabaikan serangan dari depan belakang, Jiaming melangkah menghindar, lalu menghantamkan pukulan berat ke Kratos yang tak berdaya di tanah, pandangannya terkunci pada kepala musuh.
Manfaatkan kelemahanmu, habisi nyawamu!
Kuberi jalan, bukan karena aku takut!
Bunuh kau, sesederhana itu!
## Bagian Empat Ratus Empat Puluh Sembilan Kemarahan
Sekejap mata, cahaya api menyambar tiba-tiba.
Pukulan dahsyat menghantam dengan suara lesatan, tepat sebelum mengenai Kratos, Victor akhirnya berhasil meraih pakaian kawannya. Dengan satu tarikan, tubuh pria bertubuh besar itu diangkat dari tanah. Pada saat bersamaan, tendangan cambuk Millia menyambar dari atas seperti pedang yang mengamuk.
Braak——
Tendangan cambuk mendarat, jalan di depan dan ubin terbelah oleh tekanan udara tak kasat mata membentuk celah sepanjang 2 meter. Serpihan batu berhamburan. Kekuatan supernaturalnya bahkan bisa membelah mobil utuh. Melihat kawan dalam bahaya, dia mengerahkan seluruh kekuatan hingga seluruh lantai bergetar seperti genderang perang. Namun setelah serangan ini, yang menyambutnya adalah gempuran ganas yang menghujani seluruh wajah.
Prak prak prak prak prak prak prak——
Di tengah cahaya air, tubuh Millia mundur terbang, pukulan dan tendangannya saling bertubrukan bagai ilusi, setiap hantaman bergema seperti petasan. Baru pada saat ini, ia menyadari kesalahan besarnya. Setiap serangan pria di depannya memadukan kelicikan dan keganasan, terlihat mengandalkan kecepatan, namun saat menyambutnya terasa bagai petir yang dahsyat, rasa sakitnya menusuk hingga sumsum tulang. Mundur dua langkah, ia menghadang sebelas pukulan berat berturut-turut disertai sikutan, tiga tendangan lutut dahsyat, baru menyadari Victor yang menarik Quatos telah menjauh darinya. Tiba-tiba ia paham, pria di hadapannya ini telah dengan tegas meninggalkan Quatos sebelumnya, memanfaatkan momen ini untuk menghancurkannya.
Kau kira dirimu siapa...
Baru saja pikiran ini mengemuka, kedua tangannya menangkis pukulan berat yang datang, menahan tekaan tangan berikutnya, fluktuasi energi aneh merambat dari perutnya. Baru setelah baju meledak terbuka, kepalan tangan lawan meninggalkan kulitnya, rasa sakit itu merayap memasuki kesadarannya.
Ini mustahil...
Pukulan di perut membuat punggungnya melengkung tak tertahan. Dalam pandangan, tekaan tangan itu tiba-tiba menembus pertahanan, menusuk ke arah kedua matanya. Dengan sekuat tenaga ia menghindar ke samping, jari-jari itu menyambar profil wajahnya, meninggalkan jejak darah berbentuk setengah lingkaran yang segera menghilang di udara.
Jiaming mengalihkan target ke Millia. Cahaya darah menyembur di udara saat mereka bertarung dengan gesit. Belum sampai dua detik, sinar darah itu mereda. Cahaya pedang keemasan akhirnya menyambar. Byur! Cahaya pedang itu melesat memotong pohon besar di sampingnya, membelah batang pohon tepat di tengah. Melihat Millia dalam bahaya, Victor akhirnya melepaskan Kratos dan berlari menghampiri.
Byur Prak-prak! Di jalan yang berubah menjadi air mancur raksasa bak hujan deras, pohon yang terluka cahaya pedang bergoyang. Victor yang didekati Jiaming mundur cepat mencoba menjaga jarak. Millia mengejar dari belakang. Di sebelah mereka, tubuh Kratos berdiri terhuyung-huyung. Tubuhnya sama sekali tak punya kekuatan untuk berdiri, hanya belum roboh karena baru saja dilepaskan Victor. Tiba-tiba—Byur! Seluruh tubuhnya terlempar berputar di udara.
Baru saja memaksa Victor mundur, Jiaming kembali mengubah target. Pukulan yang tadi meleset, kini tetap diayunkan tak kenal ampun ke kepala Kratos.
"Aaaaa—"
Dengan lincah bermanuver di antara tiga lawan, menyerang siapa saja yang diinginkan—kapan mereka pernah mengalami hal seperti ini? Sekejap mata, mata Millia dipenuhi darah merah membara. Tiba-tiba ia menjerit keras.
Sekitar tak terhitung tetesan air seakan membeku sesaat, seketika gelombang suara menyapu segala penjuru. Tetesan udara kembali pecah dan meledak dalam gelombang suara nyaring itu. Di mobil kecil, Lingjing dan Shasha menutupi telinga. Di tempat terdekat, kaca toko-toko sekitar hancur berkeping-keping. Namun bagi beberapa orang dalam lingkaran ini, gelombang suara hanya menggerakkan pakaian Jiaming dengan gila, sedikit menunda gerakannya. Victor kembali menangkap Kratos yang berpilin di udara, membalikkan tangan dan melemparkannya ke Millia.
Millia memeluk Kratos. Pedang Victor menusuk ke arah Jiaming, berusaha menghadangnya sesaat. Jiaming juga tiba-tiba berbalik menghadap Millia, tubuhnya berjongkok, cahaya pedang melesat di atas kepalanya.
Getaran gelombang suara belum berhenti. Helaian baju yang berkibar liar bagai diterpa angin topan langsung. Jiaming tiba-tiba melompat, menerjang Millia dan Kratos yang berjarak tiga meter di tengah hujan tetesan air. Di samping, pohon terpenggal pinggang mulai roboh, kanopi raksasa mengambang di udara.
Sebuah pukulan sederhana diarahkan tepat ke titik antara alis Millia.
Targetnya adalah aku...
Kedua tangan memeluk Kratos, Millia saat ini sama sekali tidak bisa menangkis. Pikiran ini melintas di benaknya sementara tubuhnya mundur. Dia berusaha memiringkan kepala ke satu sisi - tinju itu menyambar pipinya dengan "Prak!", lima jari terbuka membekaskan garis darah menakutkan di wajahnya, seolah cambuk baja membalikkan tamparan ke wajahnya. Dia menyaksikan lima jari itu menggores dari pipi kanan ke kiri, lalu telapak tangan berbalik, jari-jari merentang, terangkat dan tertekan - kekuatan angin di udara seakan terkumpul seluruhnya di telapak tangan. Tinju ini, tamparan ini, ternyata semuanya gerakan pura-pura. Masih ada tenaga tersisa. Inilah tujuan sebenarnya.
Tangan itu menekan kepala Kratos yang ada di pangkuannya, lalu kekuatan dahsyat menyambar Kratos keluar dari genggamannya.
Braak——
Sinar darah menyembur. Kepala Kratos ditindih lima jari bagai bola besi menghunjam tanah, disusul tubuh gagaknya. Millia terdorong satu meter oleh inersia sebelum berhenti. Victor memandang ke arah ini. Baru sekarang mereka menyadari: dalam waktu sesingkat itu, lawan sama sekali memusatkan target pada Kratos. Bagaimanapun caranya, harus menghabisi dia sekaligus. Pengalaman yang mungkin belum pernah terjadi selama bertahun-tahun ini - di depan mata mereka, kawan mereka MATI dipukuli, sama sekali tak berdaya.
Kau merasa diri hebat, penuh semangat tempur? Baik, di hadapan kalian semua, akan kuhabisi satu nyawa hidup-hidup dulu.
Pohon tumbang dengan Braak ke bawah tanah, dedaunan berisik berdesakan. Jiaming berdiri, memandang Millia di depannya yang menerjang seperti harimau: "Bunuh orang itu!"
Pukulan yang diayunkan dihadang Jiaming. Tangannya yang lain mencengkeram lengan Jiaming dengan keras. Tubuhnya bergoyang, kaki kanan mengayunkan pisau udara yang mampu merobek segalanya melintasi lantai. Di tengah tarian serpihan keramik, serangan itu menyasar pinggang Jiaming. Tiga meter di kejauhan, Victor mengayunkan tangan kiri, laras senjata mengarah ke mobil kecil di pinggir jalan. Dentuman senjata menggema.
Peluru menari-nari, sinar darah menyembur, pisau udara melesat di udara.
Millia yang bersiap menjerat Jiaming seluruh tubuhnya terbang ke udara.
Peluru pertama mendarat di pistol Victor. Peluru kedua melemparkan senjata yang sudah melayang itu lebih jauh. Percikan darah menyembur dari lengan kanan Victor. Sementara di sisi ini, dua pistol telah berada di tangan Jiaming. Laras di tangan kiri membidik ke arah Victor, terus menarik pelatuk. Tangan kanannya nyaris terperangkap dalam pangkuan Millia. Maka ketika peluru terus menerobos punggung Millia, kerusakan yang ditimbulkan sungguh parah. Tubuh yang MATI memang bisa sembuh total dengan cepat, tapi kerusakan dahsyat yang tiba-tiba tetap mengurangi Kekuatan. Dalam jarak sedekat ini, Jiaming terus menembak sambil melemparkan tubuh Millia langsung ke arah Victor.
Victor menopang punggung Millia, Jiaming melangkahi jarak lebih dari tiga meter dan menubruk dada Millia dengan keras, keduanya terlempar ke udara secara bersamaan.
Saat tubuh masih di udara, dentuman senjata kembali bergema. Peluru demi peluru menembus tubuh mereka, menyemburkan percikan daging dan darah. Hampir setiap tembakan ditujukan ke tulang leher dan kepala mereka. Berkat intuisi luar biasa yang menyelamatkan, sebelum titik vital mereka tertembak, Millia menendang tubuh Victor sehingga mereka terjatuh ke arah berlawanan.
Begitu mendarat, keduanya berlari kencang ke arah berbeda menuju Jiaming. Persis saat peluru di pistol habis, tiga sosok tiba-tiba bertubrukan.
Magasin, laras senjata, cahaya pedang, dan bayangan manusia saling bersilangan. Dentuman senjata kembali terdengar, bahu Victor tiba-tiba menyemburkan percikan darah ke langit.
Dalam persepsi umum, semakin dekat jarak, semakin tidak efektif senjata api bagi orang level mereka. Namun di depan mata, gerakan Jiaming seolah khusus diciptakan untuk membalik logika ini. Kedua tangannya bergerak laksana tarian, dalam silangan mendadak, menyisakan percikan darah di tubuh kedua lawannya.
Di dekat mobil kecil tak jauh, Lingjing dan Shasha menyaksikan adegan ini di tengah kilau air, tiga sosok yang terus berpindah posisi dan dentuman senjata yang bergema, jari-jari mereka mencengkram hingga memutih. Entah sejak kapan, Shasha bergumam pelan: "Mereka tak bisa mengalahkan Jiaming, tak apa... Mereka tak bisa mengalahkan Jiaming..."
Hanya beberapa detik kemudian, sebuah suara tiba-tiba muncul di udara. Victor, pria berambut pirang itu, tertembak peluru di pahanya. Dia menjerit keras: "Pe—ter—"
Teriakan itu seolah membawa kekuatan magis. Shasha dan Lingjing membeku seketika. Di udara dekat mobil, bayangan hitam muncul tiba-tiba dalam sorot lampu.
Bayangan hitam raksasa seperti kelelawar itu langsung menutupi cahaya dari belakang dan pandangan ke arah Jiaming. Sebuah sosok manusia menerobos kegelapan, bergerak cepat ke arah dua gadis dalam mobil.
Peristiwa ini terjadi dalam sekejap, tapi membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Bayangan itu tiba-tiba sudah di depan mata. Tak ada yang sempat bereaksi. Tangan itu hampir menyentuh leher Lingjing.
Saat itu, waktu dan udara seolah membeku. Dentuman senjata dan gemericik air menghilang, segalanya menjauh...
Itu tentu halusinasi. Waktu tak benar-benar berhenti. Di jarak sehelai rambut dari Lingjing, sosok itu tergantung di udara selama satu detik sebelum berputar seperti kincir angin. Punggung Jiaming muncul di hadapan mereka.
Di belakang, Dia mencekik leher orang itu, kemudian berputar dan melemparkannya. Dalam kegelapan malam, Bayangan Hitam itu melesat seperti tembakan meriam sejauh lebih dari 20 meter. Dengan ledakan dahsyat, tubuh itu menghantam Pintu Gerbang gulung sebuah toko. Seluruh struktur logam itu ambruk, debu beterbangan. Rangka pintu di sekelilingnya tertarik, ubin dan semen hancur berhamburan. Sementara itu, Jiaming dengan tangan kanannya melemparkan korban, sementara tangan kirinya menangkap Pedang Duri Emas yang dilemparkan balik. Dalam gambaran yang nyaris membeku, ujung pedang yang ramping dan tajam itu bergetar di udara, mengeluarkan dengung "Piiiiing——".
"Kalian seharusnya……"
Setelah detik-detik memukau itu, suara dingin Jiaming terdengar. Dengan gerakan balik, Dia memasukkan tangan ke mobil kecil dan menarik senapan mesin dari tas senjata berdebar. Peluru mulai menyembur gila-gilaan, menekan Victor dan Millia yang berusaha mendekat, namun sebagian besar tembakan diarahkan ke Pintu Gerbang gulung yang sudah cekung itu.
"……mengikuti perkembangan zaman."
Usai kalimat itu, terdengar suara "Krak" dari laras senjata. Rentetan tembakan berhenti. Peluncur granat di bawah laras menyemburkan api, sebuah granat melesat masuk ke dalam kegelapan interior toko.
Dalam ledakan dahsyat, api bergulung-gulung keluar, gelombang kejut menerbangkan seluruh pintu gerbang gulung beserta berbagai item yang tidak karuan. Air mancur raksasa yang menyembur di depan toko masih terus mengalir, terdorong gelombang kejut hingga menyembur ke sisi jalanan, genangan air di aspal tersapu api dan menguap membentuk kabut putih yang menghilang di udara. Debu api berjatuhan dari langit, mayat Kratos terlempar beberapa meter jauhnya, sedangkan model plastik setengah telanjang jatuh di atas mobil kecil. Jiaming menoleh sebentar, juga menangkap tatapan Lingjing dan Shasha yang masih bergetar.
"Jangan takut, aku di sini." Sambil tersenyum pada mereka, ia melepas senapan serbu yang sudah kehabisan peluru, dengan gesit mengganti magasin pistol.
"Kalian benar-benar membuatku marah..."
Di bawah sorot lampu, ia berjalan mendekati Victor dan Millia yang tubuhnya sudah penuh lubang...
## Bagian Empat Ratus Lima Puluh Di Bawah Aturan Besi
Malam 12 Juli 2004 pukul delapan setengah, villa keluarga Dongfang.
Kerumunan orang hilir mudik, dering telepon terus berbunyi, data-data dan laporan dari berbagai pihak terkumpul di sini. Meski tidak pergi ke lokasi kejadian, hanya dengan melihat informasi dan laporan ini, sepuluh menit sebelumnya menciptakan rasa ngeri yang sulit diungkapkan. Rombongan musuh yang tiba-tiba muncul seperti hantu berhasil mencegat beberapa jalur bantuan, yang MATI dan terluka parah terus berjatuhan, bahkan polisi yang bergegas ke lokasi terdekat ikut terkena dampak. Situasi ini terlihat persis seperti pengulangan skala besar kerusuhan empat tahun lalu, bahkan seolah beberapa Gu Jiaming yang sedang amukan muncul sekaligus.
Menurut analisis intelijen ini, kerusuhan yang terjadi di Jianghai empat tahun lalu hampir mencapai puncak kehancuran yang mungkin terjadi di dunia modern. Namun kini tampaknya kerusakan dari insiden kali ini mungkin akan jauh lebih serius.
Waktu berlalu diam-diam dalam kekacauan ini. Fang Zhitian berdiri di balkon lantai dua, memandangi beberapa blok jalan di kejauhan yang mengalami pemadaman listrik mendadak, bibirnya terkunci rapat dengan sorot mata tajam bagai elang. Pada titik ini, ia pun sulit memberikan perintah dalam situasi kacau ini. Semuanya tergantung pada upaya personel di lapangan untuk merebut kesempatan. Melihat sikap para yang MATI ini, sebelum pasukan resmi dikerahkan, kekuatan biasa mungkin takkan bisa menghadang tekad mereka. Namun mengerahkan tentara di kota besar seperti ini juga bukan hal yang mudah dilakukan. Terakhir kali ada persiapan sebelumnya, kali ini kejadiannya mendadak. Perintah sudah dikeluarkan, sebelum semuanya siap, yang bisa dilakukan di sini mungkin hanya mengorbankan segalanya termasuk nyawa.
"Hal yang terjadi sekarang, sudah tidak hanya demi Ruo Ruo semata. Jika Kekosongan Pandang Debu adalah benda yang bisa melawan penghisap darah, maka mengingat kita sudah sampai di titik ini, apapun yang terjadi, kita harus merebutnya. Jika tidak, di masa depan kita bahkan akan kehilangan tawaran terakhir untuk melawan mereka."
"Hanya berharap... dengan merebut Kekosongan Pandang Debu semua masalah bisa terselesaikan. Meski sampai sekarang kita masih sama sekali tidak paham efek dan kegunaan benda itu..."
Di halaman bawah, sosok-sosok manusia berlalu lalang dalam keributan. Dia hendak kembali ke kamar ketika mendengar pintu kamar didorong. Yang masuk adalah Dongfang Linghai membawa setumpuk data. Melihat raut wajahnya yang tergesa, Fang Zhitian mendekat: "Ada apa?"
"Kabar baru dari Hong Kong." Dongfang Linghai meletakkan dokumen-dokumen itu di meja. Yang paling atas ternyata adalah majalah gosip dengan sampul mencolok. Dia membuka halaman dan menunjuk foto berwarna di dalamnya, "Lihat, siapa yang mirip dengan orang di foto ini?"
"Punggung ini milik Fang Yusi..." Fang Zhitian melirik sejenak. Kualitas foto itu buruk, terlalu terang. Gambar itu memperlihatkan lobi hotel dimana Fang Yusi berjongkok di depan seorang pria berbaju resmi. Pria itu menutupi separuh wajahnya dengan tangan, "Pria ini... agak mirip Gu Jiaming... Jangan-jangan kau ingin bilang..."
"Ini adalah data yang baru didapat siang tadi..." Dongfang Linghai melemparkan berkas lain, "Baku tembak di Hong Kong semalam heboh sekali, kau pasti sudah lihat pemberitaannya. Keterangan saksi baru selesai hari ini. Karena urusan keluarga Ying, jaringan intelijen kami di Selatan juga kacau balau, tapi tetap ada yang menyadari ini. Keterangan ini berasal dari salah satu polwan yang terlibat dalam penyelidikan bersama, bernama Mu Qingqing. Menurut kesaksiannya... Gu Jiaming kemungkinan besar belum MATI."
"Situasi semakin rumit..."
Mengusap dahi, suara erangan Fang Zhitian terdengar dari dalam kamar. Dua menit kemudian, mereka secara resmi mendapatkan kabar tentang Jiaming—semua terjadi dalam situasi yang tak terduga...
Api ledakan masih membakar di bagian depan gedung, asap mengepul. Tiba-tiba terdengar suara "splash!", bilah tak terlihat membelah pintu gerbang gulung di samping dengan celah besar. Kemudian, dua tangan muncul, merobek celah baja itu langsung. Peter yang keluar dari dalam terlihat seluruh tubuhnya agak hangus, pakaiannya compang-camping, bekas terjangan peluru membuatnya tampak kikuk. Meski begitu, sorot matanya yang tajam tetap terlihat mengintai, berhadapan dengan Jiaming yang perlahan mendekat sambil menggenggam senjata dengan satu tangan.
Di tempat yang tidak jauh darinya, Millia dan Victor juga berdiri seperti itu, aliran air menyembur dari tanah yang retak, jatuh ke bawah, mayat Kratos mengapung di air. Di atas keramaian pasar terlihat sunyi, meskipun dibuat sangat kikuk, aura elegan dan kesombongan masih terpancar dari tiga penghisap darah tersebut. Hanya saja keanggunan mereka sebelumnya terlihat mencolok, sementara keanggunan sekarang telah menyisipkan secercah keputusasaan. Jelas, kematian kawan tidak termasuk dalam rencana perjalanan mereka, kekuatan luar biasa pria di depan yang tak terduga juga membuat mereka bingung.
Tapi apapun sikap mereka, aura Jiaming tetap sama seperti saat berdiskusi mengambil Kekosongan Pandang Debu dan pergi, sama seperti ketika dia berkata "Kalau begitu MATI saja". Aura datar itu tidak memedulikan hal-hal tentang hidup dan MATI. Saat membunuh Kratos dia tidak menunjukkan emosi berlebih, sepenuhnya menekan serangan dua orang tanpa emosi, bahkan ketika melemparkan Peter yang tiba-tiba menyerang mendadak pun tidak ada fluktuasi energi. Meski mengucapkan kalimat: "Kalian benar-benar membuatku marah." Gerakan mengerutkan keningnya pun seolah bukan mempertimbangkan hidup-mati, terlihat hanya seperti reaksi terhadap gangguan nyamuk. Dalam prosesnya berjalan mendekat perlahan, Victor menatap mayat Kratos dan tersenyum.
"Heh, jika... kami pergi sekarang, apa janjimu masih berlaku? Hal ini dianggap selesai..."
Di keramaian pasar yang sepi, suara itu bergema. Jiaming mengerutkan kening sambil berpikir, kemudian menggelengkan kepala dan mengangkat senjatanya. Pada saat yang sama, tiga penghisap darah berlari dengan keras ke tiga arah berbeda, bersiap kabur ke berbagai penjuru. Baru saat itu, bisikan Jiaming yang seperti monolog mulai terdengar dari udara.
“Tidak, lebih baik MATI...”
Dentuman senjata menggema, darah menyembur dari tubuh Victor...
Roda-roda menderu, iring-iringan mobil pimpinan Ye Lian melaju dengan cepat di jalanan. Di jok belakang, pria bernama Xiao Meng yang sedang dibalut lukanya menatap mati pemandangan di luar kaca mobil: “Awalnya rencananya lewat jembatan jalan Haicheng, harusnya melalui beberapa blok di sini. Wanita itu sangat hebat, kalian juga harus awas.”
“Kami melihat mobil terpotong dua di sekitar gedung olahraga, benar-benar pengguna kekuatan supernatural yang luar biasa...” Ye Lian mengerutkan alisnya. Tim mereka bertemu dengan vampir perempuan bernama Victoria. Meski kemudian Huiqing dan Natalia berhasil menghadangnya, mereka terpaksa minggir dan datang dari sisi lain ke gedung olahraga, namun sudah terlambat. Sepanjang perjalanan, mereka menemui beberapa anggota Dark Celeste yang terluka sehingga bisa menentukan arah. Tapi Xiao Meng dan lainnya kabur dengan melompat keluar mobil, sementara tiga mobil kecil ber-sistem komunikasi lainnya hancur total. Kini lokasi pasti Shizuka dan pasir yang membawa Kekosongan Pandang Debu tak ada yang tahu, hanya bisa terus menyetir ke arah ini.
“Kalau begitu, hanya Liu Huaisha dan Ye Lingjing yang bersama. Sudah begitu lama, hal ini mungkin benar-benar rumit...”
Xiao Meng menggigit gigi: “Tidak ada kabar dari pihak polisi? Kalian seharusnya bisa menghubungi mereka. Meski kekuatan tempur tidak tinggi, setidaknya mereka bisa membantu menghadang musuh untuk Sha Sha dan yang lain!”
“Sekarang pihak polisi juga kacau balau.” Ye Lian mengerutkan kening, “Seorang penghisap darah menyerang dari Jalan Timur tepi sungai. Beberapa blok mati listrik total. Empat mobil polisi pertama yang datang hancur total. Jalan Xincheng mengarah ke Jalan Timur tepi sungai, yang kutakutkan... Apa kalian dengar? Dentuman senjata...”
Mendengar perkataannya, semua orang menegakkan telinga. Sopir menginjak gas, pindah gigi, iring-iringan melesat ke persimpangan berikutnya, berbelok. Yang pertama mereka lihat adalah air mancur raksasa yang menyembur di bawah lampu jalan jauh di sana, serta toko-toko yang terbakar. Kemudian...
“Awas——”
Mobil baru saja berbelok, ban bergesekan dengan lantai mengeluarkan suara "creek" keras. Di depan mata mereka, bayangan hitam muncul dari jarak 30 meter. Karena kecepatan kedua pihak, jarak menyusut menjadi 10 meter dalam sekejap. Sosok hitam itu membelakangi mereka. Baru ketika mobil pertama menginjak rem, sosok di tengah jalan itu tiba-tiba menoleh. Ye Lian melihat jelas wajah khas orang Eropa yang terkesan jahat itu.
“Musuh——”
“Jantung berdebar sampai ke tenggorokan！”Pada detik pertama mengangkat senjata yang sudah terisi peluru siap menarik pelatuk，di lima mobil kecil depan-belakang，orang-orang juga melakukan gerakan yang sama. Kemudi berputar dengan gila，lima kendaraan melakukan drift meluncur，berhenti melintang di antara jalanan——mereka semua terlatih secara profesional，tahu bagaimana caranya membuat perhatian musuh mencapai konsentrasi maksimal sekaligus memblokir jalur serangan lawan，meski sekarang sulit mengetahui apakah segalanya ini ada maknanya.
Dalam kekacauan selama beberapa hari ini，para penghisap darah telah menunjukkan kekuatan tempur mereka yang kuat. Pertempuran beberapa hari lalu yang melibatkan Huiqing dan Natalia sudah terekam，kini para agen rahasia ini bisa langsung mengenali bahwa orang di depan mata ini adalah vampir bernama Peter.
Gerakan rem dan melintang lima mobil secara bersamaan menyebabkan beberapa benturan kecil，namun tepat saat semua orang berusaha mengangkat senjata sementara kendaraan belum sepenuhnya berhenti，Peter itu hanya menoleh sebentar，lalu langsung berlari menuju ujung jalan yang lain. Kecepatannya luar biasa，baru pada saat ini semua orang sempat melihat apa yang terjadi di blok jalan yang lebih jauh.
“Itu mobil Shasha！”Xiao Meng langsung merespon，bersamaan dengan itu seseorang berteriak：“Kalian...lihat...itu，apa...”
Suara itu terdengar ragu-ragu, namun semua orang langsung memahami maksudnya. Di bawah lampu jalan yang jauh, air mancur yang menyembur bagaikan teratai raksasa dari kristal memantulkan cahaya lampu, berkilauan gemerlap. Api di dalam gedung masih menyisakan suasana berasap mesiu, di sisi jalan sebelah kendaraan, seorang penghisap darah dicekik lehernya dengan satu tangan, seluruh tubuhnya terangkat ke udara sedang bergulat mati-matian, dentuman senjata terdengar mengudara.
Dalam analisis dan pengamatan mereka sebelumnya, setiap penghisap darah yang datang kali ini begitu kuat, kekuatan yang tak terbayangkan. Tiga penghisap darah menghadapi Huiqing dan Natalia, bahkan bisa kabur dengan tenang dari tentara. Hari ini pembunuhan dan penghancuran yang mereka lakukan di kota bahkan membuat orang-orang terlatih profesional ini merasa tak berdaya dan takut, karena selain tim kecil mereka, tiga tim lain dari berbagai arah sudah hancur total, tak satu pun bisa tiba dengan selamat di sini. Bahkan di pihak Dark Celeste, hasilnya sama - manusia biasa sama sekali tidak bisa melawan monster-monster ini. Karena itu, saat melihat Peter tiba-tiba, hampir semua orang merasa jantung mereka tercekat di tenggorokan. Namun di bawah cahaya lampu yang jauh, para penghisap darah ini tiba-tiba tampak sangat lemah. Yang MATI berambut pirang bernama Victor itu digantung seperti anak ayam dengan leher terjepit, sementara wanita yang sebelumnya mengejar-ngejar Xiao Meng dkk berlari seperti orang gila mencoba menyelamatkannya, lalu mereka berdua terlempar belasan meter, tubuh melayang di udara sementara darah terus menyembur di antara dentuman senjata. Jelas terlihat mereka awalnya ingin menyerang orang di dalam mobil kecil, tapi meski tiga orang menyerang dari tiga arah, tetap tidak berpengaruh. Peter yang berlari maju pun akhirnya mengalami nasib yang sama - sepenuhnya dikuasai.
Di dalam mobil tidak ada yang berbicara, mereka menatap bayangan jauh itu. Sebagai bagian dari tim Xiao Meng, Ye Lian, atau beberapa anggota veteran dalam kelompok Ye Lian dan Cui Guohua, mereka kini memegang senjata sambil mengusap mata dengan tangan.
"Bagaimana... mana mungkin... Gu... Gu Jiaming... kembali..."
Hampir merupakan getaran emosi yang tak terucapkan. Dalam bisikan ini, Ye Lian mengeluarkan teleskop monocle dari badannya, mengamati jalanan di kejauhan. Beberapa orang lain juga melakukan gerakan serupa sambil bergumam "Apa itu?". Beberapa saat kemudian, mereka menurunkan teleskop. Ye Lian menatap Xiao Ming di sebelahnya, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.
"Kratos... yang disebut Kratos itu MATI... kepalanya hancur... Ya Tuhan..."
Tiga penghisap darah kembali terlempar ke sisi jalan. Dari kejauhan, bayangan di tengah jalan melirik ke arah ini sebelum melanjutkan langkah mendekati trio yang sudah setengah MATI. Ye Lian mengambil walkie-talkie di mobil, menelan ludah: "Ye Lian memanggil markas besar... Kami..." Suaranya terdengar parau, "Kami menemukan Ye Lingjing dan Liu Huaisha... Juga para yang MATI itu... Gu Jiaming telah kembali, tiga yang MATI sudah sepenuhnya ditaklukkannya, satu lagi... kepalanya hancur, sekarang sudah MATI..."
Belum selesai bicara, di lantai dua sisi jalan yang sedang dituju Jiaming, ledakan dahsyat mengguncang seluruh jalan. Tembok bata pecah berhamburan ke segala arah disertai cahaya api merah menyala. Di jalan, Jiaming berhenti, mendongak menyaksikan reruntuhan dinding bagai hujan meteor menghujam ke bawah.
Ayunan tangan kanannya melontarkan pecahan bata beberapa meter. Bongkahan batu berapi lainnya bergemuruh menghantam jalan. Mobil kecil di seberang jalan luput dari dampak ledakan.
Tiga yang MATI bangkit, menatap sosok di atas. Seluruh dinding lantai dua sudah hancur lebur. Sosok merah api berdiri di tepi reruntuhan, tubuhnya bagai nyala raksasa yang mengubah sekelilingnya menjadi teratai merah dalam kegelapan malam.
Merasakan kematian Kratos, Victoria akhirnya tiba.
Dari atas ia berdiri angkuh bagai ratu yang memandang rendah semua makhluk. Pandangannya menyapu tiga kawan di bawah, lalu tertahan sejenak pada mayat Kratos di kejauhan, sebelum akhirnya bertemu tatapan Jiaming dari bawah.
Jiaming menengadah, keduanya saling bertatapan sejenak. Victoria perlahan mengangkat tangannya ke arahnya. Pada saat itu, angin mulai berkumpul. Jiaming seakan merasakan sesuatu, kedua tangannya tiba-tiba membentuk tameng di depan tubuh. Meski terpisah puluhan meter, jalanan tiba-tiba bergemuruh "Braak!" - aliran udara menyembur ke segala penjuru, semua api di sekitarnya padam seketika.
Tubuh Jiaming terlempar ke udara. Ia terjungkal tujuh delapan meter di udara sebelum mendarat di depan mobil kecil.
Meski tampak tak terluka, pertarungan antara penyerang aktif dan bertahan pasif jelas menunjukkan siapa yang unggul. Dari dalam mobil di kejauhan, Ye Lian dan para pengguna kekuatan supernatural lain tertegun melihat kekuatan tak kasat mata ini. "Andai gerakan tangannya tak diperlambat, siapa bisa menahan serangan mendadak seperti ini?"
Di samping mobil, Jiaming mengerutkan alisnya seakan merenungkan sensasi pertarungan tadi. Sementara di lantai dua, Victoria mendongakkan dagu dengan angkuh. Kemenangan sudah jelas: pertahanan manusia biasa dibangun dari latihan dan logika biasa, sedangkan kekuatan supernatural hadir untuk melampaui logika itu. Sehebat apapun manusia biasa, tetap tak akan sanggup melawan pengguna kekuatan sejati.
Inilah hukum besi yang tak terbantahkan.
## Bagian Empat Ratus Lima Puluh Satu Api Merah yang Berkobar
Dengan reruntuhan batu bata yang berhamburan, percikan api bertaburan di jalanan. Tiba-tiba munculnya Victoria membuat Ye Lian dan kawan-kawan di kejauhan tidak berani gegabah sebelum Jiaming bergerak, mereka hanya melaporkan situasi ini ke Fang Zhitian dan tim markas besar. Dalam sekejap, Huiqing muncul perlahan di sebuah gang samping. Meski terlihat terluka dan jubah biarawannya ada bagian yang hangus terbakar, gerak-geriknya masih menunjukkan kesiapan tempur. Di sisi lain, di atas atap lantai tiga, bayangan hitam mendekat tanpa suara - Natalia.
Dalam waktu singkat, luka Millia dan dua immortals lainnya mulai pulih. Hanya pakaian compang-camping yang tersisa, tak ada jejak luka fisik. Tiang lampu jalan di pinggir jalan patah tertimpa batu yang meledak tadi. Penutup lampu pecah, percikan listrik berkedip-kedip. Sebuah mobil polisi meluncur dari sudut jalan, saat rem diinjak, polisi di dalamnya menyaksikan Natalia melompat dari atap gedung.
"Tak!" Hak sepatu menyentuh lantai jalan, suara nyaring itu menggema jauh. Seorang polisi berlari keluar dari mobil, mengarahkan pistol: "Kalian..." Baru dua kata terucap, ia menyadari suasana mencekam di sini. Bersembunyi di belakang mobil polisi, ia mulai berbisik minta bantuan ke markas besar.
Melihat Jiaming yang ada di sebelah sini, Natalia memandanginya dengan ekspresi kompleks. Dengan alis yang sedikit berkerut, dia berjalan mendekatinya lalu menarik napas dalam-dalam sebelum meletakkan tangan kirinya dengan lembut di dadanya: "Hmm... Wow..."
Suaranya lembut penuh kebingungan. Jiaming tersenyum: "Lama tidak bertemu." Sementara itu, Victoria yang mengenakan gaun panjang merah berjalan melewati mereka. Pandangannya tertuju pada mayat Kratos yang masih tergeletak di genangan air. Dari kejauhan, Ye Lian dan yang lain turun dari mobil, bersembunyi di belakang barisan kendaraan sambil menatap tajam ke arah situ. Sesekali terlihat bayangan orang melintas di jendela-jendela gedung sekitar. Meski ini daerah pengembangan baru dengan sedikit penghuni, tetap ada beberapa orang.
Angin malam menggerakkan tirai di setiap rumah. Tiba-tiba bambu jemuran di balkon lantai tiga sebuah bangunan patah, menyebabkan beberapa helai pakaian warna-warni melayang turun. Victoria berjongkok di depan mayat yang kepalanya hancur separuh, mengulurkan jarinya untuk menyentuh. Rintik air yang terus turun membasahi gaunnya. Dari suatu kamar terdengar nada dering telepon bergaya DJ yang terbawa angin malam.
"...Salju pertama tahun 2002, datang lebih lambat dari biasanya. Mobil nomor dua yang berhenti di lantai delapan, oh yeah, mobil nomor dua itu..."
"Nyanyian samar-samar tiba-tiba terhenti di titik ini, mungkin ada yang dengan panik mematikan perangkat. Kemudian, di tengah air mancur yang menyembur ke langit, Victoria tiba-tiba menengadahkan kepala."
"Aaaaa——"
"Teriakan melengking menusuk langit, merobek kedamaian malam dalam sekejap. Siluet merah bangkit tegak di tengah pancaran air, tetesan air di tubuhnya langsung berubah menjadi kabut putih yang mengepul. Di belakang jalan, mental Ye Lian dan kawan-kawan mencapai titik tegang tertinggi. Di samping mobil kecil, Jiaming mengerutkan alis: "Bising sekali!" Tangannya bergerak balik menembakkan senjata. Natalia mengulurkan tangan."
"Byur——"
"Bersamaan dengan dentuman senjata, dua kekuatan tak kasat mata bertubrukan, bahkan menciptakan gelombang yang terlihat di udara. Seketika itu juga, Jiaming berlari menuju Victoria."
"Dalam sekejap mata, Jiaming telah melesat tujuh delapan meter. Bagi penglihatan orang, kecepatan luar biasa itu tiba-tiba terhenti seolah menabrak dinding tak kasat mata. Perubahan dari diam ke bergerak cepat lalu berhenti mendadak dalam kurang dari satu detik ini terlihat seperti teleportasi. Namun sesaat kemudian, barulah orang sadar tubuh Jiaming terangkat di udara oleh kekuatan gaib. Baru saja fenomena mengambang ini terjadi, empat kilatan cahaya telah melesat menuju siluet merah yang diselimuti kabut putih."
"Byur-byur-byur-byur——"
Kedua tangan, empat senjata, kekuatan yang mengangkatnya ke udara baru terbentuk lalu langsung menghilang. Tubuhnya seketika lenyap dari tempat semula, dalam gerakan balik, senjata api telah berubah menjadi pisau tentara yang tercabut dengan gemuruh, "Splash" menghancurkan tirai air.
Aliran air yang menyembur dari hidran yang pecah di kedalaman tanah begitu deras, membentuk air mancur yang jatuh dengan pemandangan yang menakjubkan. Serangan maju Jiaming dengan kecepatan tinggi ini, sekilas terlihat seperti seluruh tirai air benar-benar "ditubruk" hingga hancur. Dalam kilauan air, bayangan merah itu berpindah posisi beberapa kali dalam sekejap, bayangan Jiaming bersilangan dengannya.
Splash! Splash! Braak! Entah bagaimana operasi kekuatan supernatural itu, seketika tirai air seakan meledak seluruhnya. Saat Jiaming bersentuhan dengan Victoria, berbagai pisau udara yang terbentuk dari kekuatan supernatural menghujam tanah, menghujam tirai air, satu kekuatan langsung menghujam aliran air yang menyembur dari bawah tanah. Dentuman keras terdengar, seluruh aliran air meledak menjadi cahaya perak yang memenuhi langit. Di bawah serangan seperti ini, Jiaming yang baru saja menerobos tiba-tiba mundur, gerakannya dari menerobos hingga terbang mundur hanya dalam dua tiga detik. Dalam kilauan air yang memenuhi langit, tiba-tiba muncul dari sisi lain, entah menerima serangan seperti apa. Kedua paha menendang dinding toko di sisi jalanan, terbang tiga empat meter sebelum akhirnya mendarat, lalu kembali mundur terbang, dalam sekejap telah mundur lebih dari 20 meter. Di kedua tangannya, kembali memegang senjata api, kali ini terus membidik ke langit sambil berulang kali menarik pelatuk.
Di balik kilau air yang tak jauh, sebuah tiang listrik yang terpenggal mulai perlahan roboh ke samping, menarik kabel-kabel di sekitarnya terus miring. Jiaming menembakkan beberapa peluru ke udara, kabel tebal di tempat lebih tinggi putus dengan Byur, lalu bagaikan ular hitam yang mengibas-ngibaskan ekor di langit, membawa cahaya kebiruan yang redup menyambar ke arah air mancur raksasa di bawahnya.
Di jendela lantai dua dekat air mancur terdengar ledakan Braak, kemudian titik cahaya biru itu bertabrakan dengan bagian atas air mancur. Seketika, seolah seluruh tirai air berubah menjadi biru.
Puff、Byur——
Kilau air yang seluruhnya membiru tentu hanya halusinasi. Persis saat kilat bersentuhan dengan percikan air, seluruh jalanan tiba-tiba diselimuti kegelapan. Trafo di sudut jalan yang tak jauh meledak beruntun dengan Byur-byur, percikan api listrik beterbangan ke segala penjuru bagaikan kembang api dalam festival. Di momen padam listrik yang mendadak ini, pemandangan itu terasa sungguh memukau. Dalam sekejap percikan api yang berhamburan, Jiaming telah memanfaatkan dinding gedung di samping untuk melompat, meraih sudut papan nama toko di atasnya, lalu berbalik dan menerobos masuk ke lantai dua gedung. Persis saat tangannya melepaskan papan nama itu, ledakan dari dalam menghancurkan seluruh dinding luar, batu bata berhamburan menghujani jalanan.
Dua bayangan bertarung di dalam gedung, dalam sekejap menerobos beberapa kamar. Yang terdengar dalam kegelapan hanyalah getaran, runtuhan, dan sesekali dentuman senjata. Kobaran api dari kekuatan supernatural serta cahaya peluru sesekali menyala di jendela, menampilkan posisi kedua orang tersebut saat ini.
Saat ini seluruh blok jalan telah padam listrik. Orang-orang menonton dalam kegelapan. Natalia berdiri di samping mobil kecil, Huiqing di mulut gang, tiga vampir di tepi jalan, semuanya tanpa tindakan tambahan. Pertempuran sengit itu seolah ingin menembus lapisan kedua seluruh gedung di sepanjang jalan, menyambungkan semua rumah. Dalam waktu kurang dari satu menit, keduanya telah mengejar separuh jarak blok jalan.
Meski tak bisa melihat jelas situasi di dalam, dari reaksi eksternal, semua orang tetap dapat memperkirakan garis besar. Pada akhirnya kekuatan supernatural memang dahsyat. Meski Jiaming bisa bertahan lama melawan Victoria, tampaknya ia memang terus ditekan oleh variasi kekuatan supernatural yang tak ada habisnya. Victoria sebagai penyerang, sementara dia terus berlari dan menghindar.
Seperti di air terjun sebelumnya, meski dia bisa berlari masuk, yang diandalkan hanyalah penghindaran lincah, dan pada akhirnya harus mundur. Menghadapi tekanan kekuatan supernatural, yang bisa dipilih manusia biasa hanyalah menghindar atau kabur. Mustahil untuk menghadapi langsung. Senjata adalah satu-satunya cara dia bisa menyebabkan kerusakan jarak jauh pada Victoria, tapi kerusakan penetrasi seperti senjata terhadap yang MATI seperti Victoria, selama tidak mengenai tulang leher atau kepala, dampaknya mungkin mendekati nol. Lebih baik mendekat dan menebaskan pisau atau memukul dengan tinju.
Victoria menyerang, Jiaming kabur, bergerak di antara gedung-gedung menuju arah Ye Lian dan yang lain. Merenungkan apakah Jiaming punya maksud tersembunyi, Ye Lian membuat beberapa gestur ke sekitar. Tiba-tiba terdengar suara Braak! Sebuah sosok melompat keluar dari jebolan dinding, diikuti sosok merah api yang langsung menyusul melompat.
Sosok di depan mendarat di pohon besar tepi jalan. Kedua tangannya mencengkeram ranting, lalu terjun ke tanah. Di atasnya, api yang diayunkan Victoria seperti pisau panjang menyapu seluruh kanopi pohon. Seketika kanopi itu menyala bagai obor manusia, lalu sebilah pisau udara tiba-tiba menghunjam dari atas ke posisi pendaratan Jiaming.
Saat ubin beterbangan Braak! Victoria sudah menyusul Jiaming. Sebuah tinju diayunkan.
Tubuhnya terlihat anggun dan ringkih, namun saat tinjunya diayunkan, titik-titik cahaya api di udara sekitar sudah mendesing datang. Jiaming terpaksa mundur terbang, diterjang udara yang membengkak, tubuhnya terpelanting 5-6 meter sebelum berhenti, menendang dengan kaki untuk melompat lagi, bilah udara tak kasat mata pun menghujam di tempat ia baru saja berpijak.
Siluet-siluet menari-nari, bilah udara terus meledak di permukaan tanah. Seketika, sepuluh, dua puluh serangan... Jiaming blek blek blek mundur puluhan meter, tiba-tiba berputar balik dengan gesit, terus mengubah posisi. Saat menyentuh dinding samping jalan, serangan yang membuntutinya merobek tembok bata dan pintu gulung beberapa toko. Dua puluh meter, sepuluh meter, mendekati Victoria lagi, saat pisau hendak diayunkan dengan kasar, sebuah kekuatan kembali menghentikannya, kedua kakinya terangkat dari tanah.
Jarak terlalu dekat, sudah terlambat untuk menghindar. Yang terlihat di depan mata adalah sorot mata garang Victoria, dua pisau tentara di tangannya berputar membentuk silang di depan dada.
"Di bawah kekuatan seperti ini..."
Ping——
Daya hantam dahsyat melambungkannya ke udara, dua pisau tentara yang bersilangan hancur berterbangan. Namun yang lebih merepotkan bukanlah serangan itu, melainkan waktu mengambang setelahnya. Saat serangan berikutnya datang, mustahil bereaksi. Angin berputar di jalanan bawah, telinga menangkap suara dingin Victoria: "...Cukup sampai di sini."
Kedua kaki mendarat di tanah, di depan mata, secercah cahaya seolah muncul dari jurang yang gelap gulita, dalam sekejap sudah menjadi sangat menyilaukan sehingga tak bisa ditatap langsung. Di antara jalanan yang gelap, bagaikan ada matahari yang tiba-tiba terbit. Pada detik itu, bahkan muncul ilusi seolah panca indra lenyap sepenuhnya, serangan mental seperti "Api Cahaya Tak Terbatas" tiba-tiba meluas, bola api raksasa datang menghantam dengan dahsyat. Jiaming secara bawah sadar mengangkat tangan kanannya, seolah ingin menutupi silau cahaya yang menyakitkan mata, bola api yang menderu itu pun melahap dirinya.
Adegan kali ini justru tidak seseganas sebelumnya yang sulit ditangkap mata. Victoria berada di satu sisi jalan, Jiaming terlempar ke sisi lainnya, semua orang bisa menyaksikan momen ini dengan jelas. Bola api yang mampu melelehkan logam menyapu habis area, lalu menenggelamkan Jiaming. Namun di bawah pengaruh serangan mental sebelumnya, bukan hanya kecepatan menghindar Jiaming yang melambat, orang-orang lain pun bahkan tak bisa berteriak. Di dalam mobil, mata Lingjing dan Shasha tiba-tiba kosong, seolah jiwa mereka tercabut. Baik Natalia, Huiqing, maupun Ye Lian dan yang lain, semuanya terpaku di tempat.
Bola api menerobos tubuh Jiaming, berputar dengan menderu. Waktu berdetak, tik! tok! berlalu, satu detik, lalu detik berikutnya, kekosongan yang tak bisa direspon oleh semua orang akhirnya berubah menjadi keterkejutan. Bola api itu mulai melambat setelah melewati tubuh Jiaming, kini bola api raksasa berdiameter hampir 2 meter itu berhenti berputar di udara, terlihat seperti globe yang terus berotasi. Jaraknya sekitar 30 sentimeter dari tanah, bergoyang lembut dalam putarannya. Sebelum ini, mungkin sangat sedikit orang yang pernah melihat api muncul dalam bentuk seperti ini.
Sekitar 2 meter darinya, Jiaming tetap berdiri tak terluka, tangan kanannya terentang ke belakang seolah menarik seluruh bola api dengan kekuatan tak kasat mata. Ia mengerutkan alisnya: "Awalnya tidak ingin menggunakan ini, kekuatan semacam ini..."
Suara itu menggema di langit malam. Dari mobil kecil di kejauhan, Lingjing menghela napas panjang "Haa...", air matanya baru mulai menggenang. Ketika menatap Shasha, wajah Shasha pucat pasi, masih terguncang. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Senyum lega mengembang di wajahnya saat ia menempelkan dahinya di bahu Shasha.
"Kekuatan ini... sebenarnya sekarang aku juga bisa sedikit." Di jalanan, seiring ucapan ini, bola api berputar menderu. Mengikuti ayunan tangan Jiaming, bola api raksasa itu terbang langsung ke arah Victoria. Dalam sekejap bola api bertubrukan dengan Victoria, sementara Jiaming tiba-tiba menerobos masuk dari belakang bola api.
Braak! Bola api meledak di udara, cahaya api yang tak terhitung terpecah dan menyembur dalam sekejap mata, bagai magma Naga. Dentuman dahsyat terdengar saat api melaju lebih dari 20 meter. Api itu nyaris menerangi seluruh jalanan saat menghantam tanah, baru berhenti setelah menabrak dinding rumah di pinggir jalan. Victoria terlempar akibat serangan Jiaming yang menyusul, menghancurkan masuk ke dalam rumah di belakang, sementara Jiaming langsung menyusul masuk.
Braak! Kembali ledakan dahsyat menggema. Api raksasa merekah dari antara bangunan rumah, diiringi jeritan lain Victoria. Seketika itu, tatapan Natalia tiba-tiba mengunci tiga yang MATI tak jauh - mereka telah berlari ke satu sisi. Byur! Suara tembakan menyusul. Lebih dari 30 meter dari mereka, Huiqing pertama kali membuka tembakan, disusul Yelian dari seberang jalan.
"Tembak! Mereka mau kabur!"
Bagai bahan peledak yang sumbunya habis terbakar, udara tiba-tiba menyala. Dalam sekejap, malam ini mendidih...
## Bagian Empat Ratus Lima Puluh Dua: Rumah
Dari kejauhan, mobil polisi, mobil pemadam, ambulans... berbagai manusia dan suara...
Ia melirik ke cermin lantai, lalu menarik label di helai bajunya. Kepalanya baru saja dibilas di bawah keran, kini berantakan seperti hantu tenggelam yang menggendong rumput air. Digelengkan keras, lalu ditepuk dua kali. Biarin saja, bagaimanapun diatur juga tak akan terlalu ganteng.
Dia melihat lagi, menggerakkan tangannya. Baiklah, cukup enak dipandang, baru kemudian mendorong pintu keluar.
Ini adalah gang belakang sebuah gedung. Mobil kecil tanpa kaca belakang terparkir di luar pintu. Shasha yang sudah terlihat gagah berbaring di kursi pengemudi, dahinya menempel kemudi. Lingjing duduk di kursi penumpang, menunduk tak tahu sedang memikirkan apa. Saat dia keluar, semua mata menatap ke arahnya. Beberapa orang berdiri berjauhan. Natalia langsung melambai lalu pergi setelah melihatnya. Ye Lian yang sedang bertugas tampak ingin mengatakan sesuatu tapi mengurungkan niat.
Dia mengeluarkan tas kecil Lingjing yang masih melekat di tubuhnya, mengambil Kekosongan Pandang Debu dari dalamnya, lalu melemparkan benda itu: "Masalah lainnya kita bicarakan nanti."
"Terima kasih." Ye Lian melemparkan sebuah buku kecil balik, "Kalau ada pemeriksaan tentara, tunjukkan ini maka tak akan ada masalah. Hemat keributan."
"Oh." Jiaming mengangguk. Melihat Ye Lian juga hendak pergi, tiba-tiba teringat sesuatu: "Ngomong-ngomong, tolong carikan orang yang bisa dipercaya. Buat alasan yang masuk akal untuk memberitahu Ayah-Ibu Ye. Dia malam ini..." Batuk palsu, "...tidak pulang." Setelah mendapat jawaban setuju, dia tersenyum tipis mendekati mobil, tiba-tiba kehilangan kata-kata.
“Emm... itu... Aku yang nyetir ya...” Setengah hari berpikir, akhirnya mengeluarkan kalimat itu. Shasha membuka mulutnya, kemudian mengangguk dan bangkit dari kursi tengah menuju jok belakang. Kakinya tersandung, membuatnya bersandar ke samping. Lingjing tersenyum sambil memeluknya: “Shasha duduk sama aku.” Shasha butuh waktu lama baru berhasil menarik pahanya keluar, bertiga berdesakan di kursi penumpang.
Mobil kecil perlahan menyala, kemudian meluncur mulus keluar dari gang kecil.
Listrik di jalanan sekitar belum pulih, polisi, tentara, wartawan sudah berdatangan. Dalam pertempuran sebelumnya, begitu melihat Jiaming juga bisa mengoperasikan kekuatan supernatural, Victoria langsung memilih mundur. Meski melanjutkan pertarungan dengan dukungan kekuatan immortal-nya belum tentu kalah, tapi terus terlibat di wilayahku orang lain jelas sudah kehilangan makna. Mereka bertekad kabur, pengejaran setelahnya sebenarnya juga gagal menahan siapapun, soalnya kelompok ini ekstrim tahan banting, terkena satu-dua pukulan tak masalah, belasan kali pun TIDAK MATI. Sebelumnya tentara saja gagal menahan mereka, kali ini mereka yang ambil Inisiatif menyerang, wajar jika sulit dijadikan jalan buntu.
Mobil kecil yang kacanya pecah perlahan keluar dari blok jalan yang hancur, sedikit menambah kecepatan, membiarkan angin dingin masuk dari jendela. Di bawah sinar lampu jalan, berbelok melewati jalan-jalan yang terkadang terasa familiar atau asing, suasana terasa hening.
"Aku..." ingin mengatakan sesuatu, namun setelah membuka mulut, hanya tersenyum memandang Lingjing dan Shasha yang berdesakan di samping, "Heh, lebih baik kita pulang dulu..."
Setelah kalimat ini, Lingjing dan Shasha mulai sedikit lebih aktif. "Tempat ini sebelumnya tidak ada tanah ya...", "Warung bubur itu masih ada...", "Toko buku Xinhua pindah tempat..." Mereka saling berbicara lembut dengan satu dua kalimat seperti ini, sebenarnya di dalam hati masing-masing terdapat perasaan yang sulit diungkapkan, seolah ada tak terhitung semut merayap di dalam tubuh, jantung berdebar puff-puff-puff, setengah tegang, setengah rileks, setengah ramai bising, setengah tenang kosong, seolah seluruh diri ini telah hancur berkeping-keping...
Setengah jam lebih kemudian, mobil kecil memasuki radius efektif Akademi Hati Kudus. Karena sudah libur, plaza tidak seramai saat masuk kuliah, tapi masih ada kerumunan orang yang berjalan di pinggir jalan. Beberapa pemuda yang tinggal di sekitar berkumpul dalam kelompok, kemudian masuk ke warnet di tepi jalan. Soalnya di samping kampus, hiburan semacam ini memang tak pernah kurang. Ada juga pasangan yang bercengkerama di taman bunga, anak-anak berlarian, keramaian pasar yang berpendar cahaya neon.
"Banyak barang kebutuhan rumah tangga yang sudah habis ya." Begitu Shasha mengucapkan ini, mobil kecil berhenti di pinggir jalan tak jauh. Bertiga mereka masuk ke supermarket baru. Handuk, baskom, sikat gigi, pasta gigi, sabun mandi... Semua jenis barang kebutuhan harus dibeli. Saat melewati area makanan, Lingjing bertanya dan baru sadar mereka bertiga belum makan, akhirnya membeli segudang bumbu dapur. Lagipula ada mobil di luar, mengangkut pulang tentu tidak bermasalah.
"Begitu berjalan keliling supermarket, masing-masing dari kami bertiga mendorong dua kereta belanja yang sudah penuh. Pemandangannya agak mengerikan, namun nuansa masa lalu seakan kembali hadir sesaat. Saat sampai di kasir, Lingjing melemparkan sekotak kondom ke dalam kereta. Petugas kasirnya adalah pemuda sekitar delapan belas sembilan belas tahun yang memandangi satu Baron dan dua gadis ini dengan tatapan penuh tanda tanya. Empat tahun telah berlalu, aura Lingjing dan Shasha semakin memesona, sementara Jiaming yang jadi orang bodoh selama empat tahun ini hanya berdiam di samping mereka, bahkan tak layak disebut sebagai pelengkap."
"Dengan diam-diam mereka menyelesaikan pembayaran, lalu memindahkan barang-barang ke mobil. Kali ini, Lingjing dan Shasha duduk bersama di jok belakang. Jiaming menghidupkan mesin, menyusuri tanjakan dan belokan yang tak asing lagi, tak lama kemudian jalanan yang lebih familiar pun terhampar. Shasha teringat kejadian empat tahun lalu saat ia ingin pindah, dan hari ketika akhirnya benar-benar pergi. Lingjing teringat pagi buta saat ia berangkat ke Wina, saat cahaya pagi yang berapi-api menyapu sudut jalan. Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan gedung kecil itu, lampu-lampu yang familiar dan asing berkelap-kelip di kejauhan."
Rumah, akhirnya kembali...
Memilih sayur, mencuci panci, membersihkan mangkok, mengganti perlengkapan tidur...
Semua barang yang tak tersentuh selama empat tahun harus dimulai dari nol lagi.
"Tabung gas itu sudah empat tahun nggak dipakai, masih bisa dinyalain nggak ya?"
"Gasnya kan baru diganti sesaat sebelum pergi, aku ingat... kayaknya..."
"Nggak meledak kan."
"Kayaknya nggak bermasalah..."
"TV-nya nggak ada jalurnya..."
“Selimut penuh aroma kamper……”
Jiaming berisik memperbaiki pipa gas di dapur, Lingjing duduk di ruang tamu memilih sayur. Shasha membawa tikar bambu ke toilet dan menyiramnya beberapa kali, mengelap noda air dengan handuk lalu meletakkannya di ruang tamu dikeringkan pakai kipas angin. Kemudian dia membuka kulkas menunggu fungsi pendinginnya pulih. Jiaming keluar dari dapur, menyalakan TV: "Aku turun sebentar jemput kabel jaringan."
"Nggak usah kali..."
"Cepet kok."
Dia keluar lewat pintu. Shasha membawa mangkok dan piring untuk dicuci. Belum selesai mencuci, sinyal TV sudah kembali normal. Saat Jiaming masuk, terlihat dia masih melambaikan tangan ke bos game center bawah, lalu ikut duduk di samping meja kecil membantu Shasha mencuci piring. Bertiga duduk serius menonton TV, perasaan seperti ini sudah lama tidak mereka rasakan.
Dibanding Lingjing dan Jiaming, perubahan terbesar justru pada Shasha. Dulu sifatnya labili tak terkendali, kini sudah sepenuhnya tenang. Di puncak musim panas ini, dia mengenakan celana sutra tipis yang praktis. Sekalipun duduk rapi dengan lutut rapat, lekuk paha yang jenjang dan indah tetap terlihat sempurna. Kepalanya menunduk, poni dan rambut pelipisnya berjuntai lembut. Jiaming yang duduk di sebelahnya sesekali menoleh memandanginya.
"Ngapain?" Shasha bertanya ragu saat menyadari pandangan Jiaming yang terus mengarah. Jiaming merangkul tubuhnya, bibir menempel di dahinya: "Maaf……"
Sebuah tangan mencengkeram erat baju di dada Jiaming, Shasha menarik napas pelan. Sesaat kemudian, tangan satunya menciduk air dan menyiramkannya dengan kasar. Dia melepaskan diri dari pelukan Jiaming sambil tertawa: "Sakit jiwa!"
"Sudah sembuh." Jiaming menunjuk ke kepalanya.
"Aku nggak bisa bayangin ekspresi Ayah-Ibu Ye kalau ketemu dia lagi." Ujar Shasha.
Lingjing mengangkat bahu, tersenyum kecut: "Kayaknya harus dipukulin sampai mati lagi kali ya..."
Memasak, makan, bercanda riang. Malam itu mereka kembali tidur sekelambu. Setelah empat tahun terpisah, segala sesuatu terasa penuh kedamaian.
Kondom yang dibeli dari supermarket tak sempat digunakan. Hari yang melelahkan itu akhirnya menguras tenaga. Saat cahaya bintang menyusup dari kusen jendela, kipas angin berdesau. Jiaming tidur di tengah, diapit dua perempuan. Lingjing memakai kemeja panjang sebagai piyama, paha putihnya sesekali bergerak seperti batang teratai. Shasha hanya mengenakan bra dan celana dalam sederhana, kepala bersandar di lengan Jiaming, tangan terlipat rapi di perut. Setengah jam berlalu, Jiaming membuka mata dan melihat Lingjing menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Pandangan mereka saling bertaut. Tiba-tiba Lingjing menggigit bibir, meninju dada Jiaming sekali... dua kali. Di sisi lain, Shasha membalikkan badan membelakangi Jiaming. Tapi dari getaran halus di tangan yang masih tergenggam, jelas dia juga sedang menangis.
Merangkul erat bahu Lingjing, tangan satunya juga ingin merangkul Shāshā. Shāshā berbalik dan merebahkan diri di bahunya, kemudian tiba-tiba bangkit dari ranjang. Tangannya mengusap air mata namun tak mengeluarkan suara, lalu turun dari ranjang menuju ruang tamu. Baru kemudian terdengar suara hiks-hiks tangisan sedih. Lingjing juga turun dari ranjang tanpa alas kaki, menyaksikan Shāshā duduk rapat di kursi ruang tamu dengan kedua kepalan tangan menekan paha, tubuhnya membungkuk sambil terisak-isak. Air matanya jatuh deras bagai mutiara yang putus talinya. Dia mendekat dan duduk di samping Shāshā: "Shāshā aaaaa..."
Jiaming berdiri di gerbang menyaksikan pemandangan ini, menarik napas dalam lalu mendekat dan duduk di sisi lain Shāshā. Tangannya mengelus lembut punggung sang gadis yang tersengal-sengal menangis. Lingjing menyeka air mata sambil berteriak terisak: "Bagaimana kau melewati empat tahun ini? Masih sakit kepalamu?"
"Sudah tidak lagi." Jiaming menggelengkan kepala, suaranya datar dan tenang, "Saat kita lulus SMA, rasa sakit itu semakin menjadi. Waktu itu kukira sudah tidak ada jalan keluar. Setelah mengantarkan kalian pergi, rasa sakit itu terus berlanjut sampai benar-benar tak tertahankan, otakku juga mulai kacau. Dua tahun berikutnya, aku seperti orang bodoh yang mengembara tanpa arah. Baru setengah tahun terakhir mulai membaik, baru-baru ini saja semua hal mulai kuketahui."
“Ada sesuatu yang diletakkan di kepala.” Dia mengusap dahi, “Orang itu... bukan manusia, dan tak peduli orang lain sanggup atau tidak, kalau orang biasa, mungkin benar-benar bermasalah. Tapi bagaimanapun sudah berhasil melewatinya, tidak akan terjadi lagi...”
“Apa itu?” Tidak mengerti, Lingjing bertanya sambil terisak.
“Heh...” Jiaming menggelengkan kepala, senyum kekecewaan dan pahit terpancar di wajahnya...
## Bagian 453 Tidak Boleh Terulang Lagi
Empat tahun lalu, ketika pertama kali mengetahui penyebab sakit kepala, Jiaming sempat memiliki banyak pemikiran.
Kemunculan tumor sebenarnya agak tidak jelas. Karena di kehidupan sebelumnya kondisi tubuhnya baik-baik saja, dengan eksplorasi jangka panjang bahkan tidak pernah terkena flu, kembali ke tubuh usia sepuluh tahun yang sama, mana mungkin tiba-tiba muncul tumor. Penjelasan satu-satunya tentu sentuhan kecil dari phoenix itu.
Lalu, apa alasannya?
Berbagai spekulasi bisa bermunculan, namun ada dua alasan utama yang membuatnya yakin: Pertama, saat kembali ke usia sepuluh tahun, seolah mendapat tambahan kehidupan secara tiba-tiba. Mungkin di dunia aslinya, sisa hidupnya hanya beberapa tahun ini saja. Jadi phoenix menghentikan paksa kehidupannya setelah tahun-tahun ini, masuk akal. Jika poin pertama terlalu abstrak, alasan kedua sangat nyata - dia paham ilmu kedokteran.
Beberapa hal jika tidak dipahami, bisa saja dipikirkan sembarangan, namun justru karena memahami hal-hal di bidang ini, secara tepat telah mencekik habis sisa keberuntungan di hatinya. Tumor seperti ini, bahkan jika dikategorikan dalam 20 tahun lagi, mungkin tidak memiliki harapan untuk disembuhkan. Ketika dia kembali menyelidiki banyak data-data ditambah diagnosa tim medis Kelly, urusan ini semakin tidak memiliki ruang untuk kompromi. Dia pernah melihat banyak kejadian, juga bertemu banyak orang yang berada di puncak dunia. Tidak peduli seberapa genius mereka, seberapa ajaib, bahkan pengguna kekuatan supernatural seperti Natalia yang sangat kuat dan sulit dipercaya, namun di hadapan kelangsungan hidup dan MATI, di depan takdir, manusia sama setaranya seperti semut.
Dia pernah menjadi pembunuh seumur hidup, menyaksikan terlalu banyak hidup dan MATI. Semuanya bagai lubang hitam di alam semesta yang menenggelamkan segala hal. Betapa pun cemerlangnya hidupmu, setelah MATI semuanya akan sirna tanpa suara. Karenanya meski masih ada rasa berat, Dia tidak akan berharap pada keberuntungan yang tidak praktis. Mungkin pasien kanker masih berpikir "jika aku bertahan satu hari lagi, mungkin obat mujarab akan ditemukan", tapi Dia tidak punya pemikiran seperti itu. Jika ada kesempatan sepersepuluh ribu, Dia akan memperjuangkannya. Tapi jika semua upaya tak bermakna lagi, manusia hanya bisa bersabarlah.
Awal tahun 2001, ketika sakit kepala tak tertahankan lagi, aku meninggalkan Yahan. Sejak itu, kepalaku akhirnya menjadi kacau-balau karena penderitaan yang tak tertahankan ini, lalu perlahan-lahan menjadi tenang dan sadar kembali. Setelah ingatan kacau itu mulai jelas, berbagai pertanyaan ini seolah perlahan terjawab dalam pikiran. Maksud phoenix itu akhirnya mulai menjadi jelas.
Sebenarnya ini adalah sebuah hadiah.
Malam ketika Pei Luo Jia mengepung phoenix, hampir semua pengguna kekuatan supernatural dikerahkan - setidaknya puluhan orang. Setelah mereka dilahap api phoenix, entah karena pertimbangan psikologis apa, saat mengembalikanku ke masa lalu, phoenix itu juga menyelipkan kekuatan dahsyat ini ke dalam otakku.
Sungguh menggelikan. Bagaimana mungkin tubuh manusia biasa bisa menanggung kekuatan sebesar ini? Para penerus warisan evolusi alami seperti Natalia, sebenarnya bukan karena kekuatan dalam tubuh mereka melemah turun-temurun, melainkan karena kualitas fisik mereka sendiri yang menyimpang dari arah evolusi. Jadi mereka harus melalui kesadaran diri berulang kali untuk meningkatkan diri - memodifikasi tubuh dengan kekuatan supernatural, lalu menggunakan tubuh yang telah dimodifikasi ini untuk menampung lebih banyak kekuatan. Tubuh Natalia hampir sejak lahir telah dipersiapkan untuk kesadaran diri, namun baru dua kali mengalami proses ini. Bagaimana mungkin Jiaming bisa menanggung kekuatan yang lebih besar dari ini hanya dalam beberapa tahun?
Phoenix bukan manusia, fondasinya sama sekali tidak mempertimbangkan apakah manusia biasa bisa menahan——mungkin pernah dipertimbangkan, tapi hanya sebatas mengendalikan kondisi batas agar tubuh ini tidak runtuh. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun, setiap kali dirangsang oleh kekuatan supernatural dari dunia luar, kekuatan supernatural dalam tubuh Jiaming juga merespon dengan semakin cepat, terus-menerus menindasnya. Akhirnya, ketika tubuh tumbuh hingga pantas menanggung kekuatan ini, ia langsung meledak.
Seandainya Jiaming bukan pembunuh, tidak memiliki pengalaman dan pelatihan menanggung penderitaan sebanyak itu di kehidupan sebelumnya, manusia biasa meski fisiknya mampu, di bawah siksaan rasa sakit yang sedikit saja bisa membuat orang runtuh, mungkin sudah MATI. Bisa bertahan hidup sekarang benar-benar hal yang terlalu mengandalkan keberuntungan.
Tapi hal tentang phoenix tentu saja tetap tidak ada cara untuk mengaku terus terang pada Lingjing dan Shasha. Dia menjelaskan sekilas, intinya adalah membuat mereka tahu ke depannya tidak akan ada hal seperti ini lagi. Kegelapan malam seperti air, setelah sedikit melepaskan beban pikiran, bertiga yang sudah sangat lelah akhirnya kembali ke ranjang. Shasha menangis sampai habis tenaga, berbaring di dada Jiaming lalu tertidur pulas. Lingjing memandangnya lama, berbisik lembut: "Ke depannya tidak akan ada hal seperti ini lagi?" Setelah Jiaming menggelengkan kepala, akhirnya memasuki mimpi indah.
Cahaya pagi yang redup, suara ayam berkokok, roda berderak di jalanan. Dari kejauhan, teriakan pedagang di pasar sayur saling bersahutan, menunjukkan sunyi dan luasnya keramaian pasar di pagi buta. Dia membuka mata dalam suasana yang familiar ini, perasaan seolah terpisah oleh zaman.
Di sampingnya terbaring tubuh lembut yang familiar, masih menyisakan aroma sabun mandi. Mata terbuka menatap lama, pandangan dan pikiran baru fokus dalam kebingungan ini. Lingjing memeluknya dengan erat, masih terlelap dalam mimpi.
Jiaming...
Dalam memori hangat seperti ini, dialah yang selalu malas-malasan di ranjang sampai matahari tinggi. Teringat tangisan semalam yang membuatnya tidur larut, tapi hari ini justru bangun lebih awal dari Lingjing. Memori empat tahun di Dark Celeste justru terasa lebih tidak nyata dibanding kehidupan tinggal bersama dulu, meski kebiasaan latihan harian tetap melekat.
Dia bangun duduk, hanya melihat Lingjing yang masih tidur mengenakan kemeja di ranjang. Kipas angin berdesau di tepi tempat tidur, udara pagi yang sejuk menyusup melalui jendela. Di luar baru fajar menyingsing, cahaya oranye dan putih susu berkelap-kelip di antara deretan rumah bagai gemerlap bintang semalam yang dijatuhkan. Pasar sayur dekat sini dan jalanan bawah sudah mulai ramai dengan aktivitas pagi, pemandangan yang sangat familiar namun terasa asing.
Jiaming tidak ada... Dia memikirkan hal-hal yang terjadi tadi malam, di hatinya ada rasa takut yang menggerayangi, khawatir semua ini bukanlah kenyataan. Ketakutan seperti ini membuat tubuhnya gemetar ringan. Turun dari tepi ranjang, mengenakan sandal. Karena tubuhnya hanya memakai bra dan celana dalam, dia menyampirkan jaket luar. Melihat sekali lagi Lingjing yang masih tertidur lelap, lalu menuju balkon.
Udara terasa lebih sejuk. Seorang pedagang mendorong gerobak tiga ronde sedang melewati jalanan di bawah. Tak jauh beberapa mahasiswa berpenampilan keluar dari ruang komputer, mungkin bermain game semalaman. Dalam hembus angin pagi, mental mereka masih bersemangat, bercakap-cakap sambil berjalan. Sebuah toko di seberang sedang membuka pintu, cahaya kuning menyeruak keluar. Pagar sementara balkon menghadang pemandangan paha telanjang bagian bawah tubuhnya. Di sebelah kamar utama terdapat kamar samping tempat dia pernah tidur, kosong tanpa cahaya, sunyi senyap. Ruang penyimpanan kecil di sebelah kamar samping tertutup rapat. Dia mengulurkan tangan membukanya. Dalam cahaya redup, kamar yang telah membeku selama empat tahun itu masih tertidur dalam kegelapan. Perlengkapan tidur di ranjang kecil sudah ditata rapi, komputer tertutup kain putih. Dalam ingatannya, pemuda yang suka berjaga di samping komputer hingga pagi sambil menangani urusan, bayangan cahaya kuning hangat memantul dari gelas kopi yang masih beruap - pemandangan itu tak kunjung muncul.
"Dia menutup pintu, melewati kamar samping menuju ruang tamu, berjalan dalam kegelapan ke dapur yang sama redup dan sunyi. Saat keluar lagi, dia berdiri di sana dengan perasaan kehilangan arah. Kemudian, suara pintu terbuka halus terdengar."
"Seseorang mendorong pintu rumah, cahaya lampu jalan di luar menyinari tubuhnya. Bayangan yang familiar itu mencabut kunci, tangan satunya membawa kantong plastik. Kemudian dia juga melihat orang yang berdiri di dalam: 'Bangun?' Jiaming berkata pelan."
"'Hmm.'"
"'Pergi beli sarapan, susu kedelai, youtiao... Pas keluar baru sadar tak bawa uang, jadi balik lagi ambil...'"
"'Aku sama sekali tak tahu...'"
"'Hehe...'"
"Setelah menaruh barang di meja, mereka masuk ke dapur dan menyalakan lampu. Shasha mengeluarkan daging cincang lalu memotong-motongnya, Jiaming memanaskan air untuk merendam bihun yang dibeli dari supermarket kemarin malam, mempersiapkan sarapan. Dalam proses mengerjakan ini, Shasha bertanya lagi: 'Apa yang sebenarnya kau lakukan selama empat tahun ini?'"
"'Kalau sakit kepala ya ngembara saja, seperti pengemis, lewati banyak tempat. Menyusuri aliran air ke hulu, paling jauh sampai ke Yujiang. Saat kondisi lebih baik, bikin gerobak jual kacang chestnut goreng gula.' Shasha mengulurkan tangan menyentuh dahinya, dia tersenyum, 'Selalu merasa ingat banyak hal, tapi konkretnya berantakan tak jelas. Cuma masakan kacang chestnut yang berkesan, sungguh...'"
"'Sudah tidak sakit lagi?'"
Jiaming menggelengkan kepala, merangkul bahunya: "Bagaimana denganmu, Venesia? Tidak ditindas? Jika ada yang mengganggumu, akan kubantu membuatkan laporan."
"Semua bagian dari pelatihan." Pasir menempelkan kepala di bahunya, berhenti sejenak, "Menangis setahun... Tak kusangka kau akan kembali, hampir saja mencari pria lain..."
Sebelum Jiaming menjawab, dia tersenyum lagi, berbisik pelan: "Lulus SMP sudah berhubungan tidak jelas, SMA jadi kebiasaan... Tapi empat tahun ini... Tak tersentuh pria, rasanya sangat asing, hampir kembali jadi perawan."
"Batuk, beberapa hari ini banyak mengulang pelajaran?"
"Jangan cepat-cepat menyentuhku... Saat kecil polos tak mengerti apa-apa, ketika tahu arti perawan, sudah bukan lagi. Susah payah dapat perasaan ini, ingin merasakannya lebih lama..." Kata-kata setengah bercanda ini diucapkannya sambil tetap menempelkan dahi di bahu Jiaming, sunyi sejenak. Dari sudut ini ekspresinya tak terlihat, hanya terdengar suaranya yang lembut seperti gumam: "Jiaming, jangan ada hal seperti ini lagi, jangan pernah lagi..."
“Bagaimana jika hal seperti ini terjadi lagi? Empat tahun, jika aku dan Lingjing... Jika aku dan Lingjing benar-benar mengira kau MATI, benar-benar bersentuhan dengan pria lain, lalu kau baru kembali sekarang, bagaimana? Bagaimana kami bisa tetap bersama... Mungkin kau bisa bilang tak peduli, tapi aku dan Lingjing TIDAK BISA. Bagaimana kami bisa melanjutkan hidup nanti? Mereka yang melatih kita, baik agen rahasia maupun tentara bayaran, basically tak menganggap serius hal-hal ini. Bertahun-tahun ini... Kemarin aku baru menyadari betapa menakutkannya. Hampir saja, jika aku benar-benar menganggapmu MATI, menganggap diriku juga MATI, menjadi seperti mereka, maka sekarang aku... Ketakutan pasca-trauma terbesarku adalah hal ini, kau mengerti?”
“Jangan sampai terulang lagi...”
## Bagian Empat Ratus Lima Puluh Empat Reuni
Sambil mengobrol dengan Shasha di dapur sambil menyiapkan sarapan, langit di luar jendela perlahan terang. Saat aroma masakan mulai menyeruak, Lingjing juga bangun sambil mengusap matanya. Dia melirik ke pintu dapur, lalu kembali ke kamar untuk memakai baju dan merapikan penampilan. Shasha membawa mi yang sudah matang, lalu juga berlari merapikan rambutnya. Wajah bertiga tercermin di cermin: satu penuh semangat, satu lagi kalem. Di atas meja terpajang foto mereka berdua dari lebih empat tahun lalu, dengan jelas memantulkan pola pergerakan kedewasaan Saudari kakak-beradik.
Rambut panjang Lingjing sudah lama dipotong, sekarang terlihat lebih pendek sedikit dari ekor kuda di belakang kepala Shasha, hanya disanggul sederhana dengan jepit rambut dari samping, aura kalem itu semakin menonjol. Shasha mengukur dengan tangan: "Sayang sekali rambutmu, sudah dari kecil kau pelihara..."
"Agar mudah beroperasi, dan tinggal sendiri, tidak perlu repot merawat diri."
"Kurus, hidung malah seperti lebih tinggi... Empat tahun, dada montok tidak juga membesar, jangan-jangan di sini juga ikut kurus..."
"Hehe... Sudah cukup baiklah!"
Shasha tiba-tiba menyodorkan kedua tangannya ke bawah, Lingjing pun tersenyum sambil melawan, setelah berkejaran sebentar mereka duduk di meja makan menyantap sarapan. Saat Lingjing menjepit gumpalan pertama bihun, gerakannya persis seperti mengangkat gelas: "Merayakan... pulang ke rumah!"
Pagi-pagi buta musim panas, matahari terbit lebih awal, cahaya keemasan matahari tak lama kemudian merambat di jendela, udara masih tetap sejuk. Bertiga menyantap makanan, Lingjing seperti biasa merobek youtiao dan memasukkannya ke dalam sup: "Lalu... bagaimana selanjutnya? Pulang menemui orang tua?" Yang dimaksud tentu orang tua kandungnya. Shasha melirik Jiaming: "Bagaimanapun... harus pulang juga kan." Namun nada bicaranya agak ragu, mungkin karena perasaan canggung saat mendekati kampung halaman. Jiaming sambil makan berkata: "Tunduk atau angkat kepala tetap kena pisau?"
"Setelah kalimat ini diucapkan, Lingjing dan Shasha sama-sama tertawa terkekeh sambil melotot padanya. Lingjing berkata, 'Lupakan saja, hari ini sebaiknya jangan. Kita belum memikirkan cara memberi tahu orang tua. Ini hal apa... Orang tua pasti akan MATI memukulmu lagi.' Dia berpikir sejenak, lalu meledek, 'Kenapa waktu itu kau harus mengaku terus terang!'"
"Hal seperti ini..." Jiaming tersenyum dengan kekecewaan, "Tidak pernah terpikir untuk mengantisipasi keadaan..."
Bertiga membicarakan hal ini cukup lama. Shasha menceritakan tentang Natalia dan Xiao Meng dkk, akhirnya memutuskan untuk pergi di pagi hari. Lingjing tidak berencana terlibat: "Aku akan membersihkan rumah, mungkin pulang menjenguk orang tua. Shasha kemarin malam menarikku kabur sambil membawa senjata. Jika ada yang menyebut-nyebut di depan mereka, pasti mereka khawatir."
Yang dikhawatirkan Lingjing adalah ini, sedangkan Shasha agak cemas para penghisap darah akan kembali. Setelah berdiskusi dengan Jiaming, dia hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum: "Mereka seharusnya sudah pergi."
"Ini juga kau tahu?"
"Heh, kalau tidak segera pergi, nanti tidak bisa kabur..."
Malam sebelumnya akhirnya bertiga bertemu. Jiaming basically tidak punya banyak nafsu bertempur, namun hari ini ancaman klan darah akan secara resmi dimasukkan dalam agenda. Jika Victoria dkk masih belum pergi, hal pertama yang akan dilakukannya mungkin adalah menyelesaikan mereka. Melihat Jiaming punya keyakinan, Shasha tidak banyak bicara lagi. Saat hendak keluar, Lingjing membuka mulut namun lama baru berkata: "Kakak Yahan telah melahirkan putrimya untukmu."
Udara tiba-tiba hening, dia menekan bibirnya, berpikir lama: "Aku tahu apapun yang kukatakan sekarang tidak rasional. Kakak Yahan benar-benar mencintaimu, demi Tao Tao dia hampir putus hubungan dengan keluarga, banyak yang melamarnya tapi ditolak. Dia juga mengira kau MATI, hatinya hanya untukmu. Aku tak tahu harus bagaimana, tapi... kita berempat sudah saling mengenal bertahun-tahun, sebenarnya seperti saudara. Apapun masalahnya, nanti pasti bisa dibicarakan. Sekarang... kurasa kau harus menemuinya, setidaknya dia perlu tahu kau telah kembali..."
Di samping, Sha Sha mengangguk pelan.
Jiaming menutup pintu, Lingjing dalam jarak pandangnya menguaskan badan. Kemeja putihnya mengikuti lekuk tubuhnya yang ramping, tersenyum dengan kalem dan elegan.
Pukul sembilan pagi, cahaya matahari menyala seperti Api.
Mobil hitam melintasi jalan di antara kota-kota, berhenti di persimpangan jalan depan. Wang Tujia melihat buku alamat di tangannya, memandang ke empat arah, lalu menunjuk ke kiri: "Naik dari sini."
"Konfirmasi?"
"Seharusnya benar. Lihatlah ke depan sudah masuk kawasan villa, rumah Xiao Wan dan Senior Dongfang seharusnya di sini. Lihat... Jalan Yuanyi, betul."
Ditambah Wang Tujia dengan sopir muda itu, total di dalam mobil ada dua Baron dan dua wanita. Jika sengaja melakukan kilas balik, kita mungkin masih ingat grup kecil ini yang pernah pergi liburan ke Paris bersama Jiaming. Wang Tujia, Luo Jingwen, Liang Mingchao, Li Song - semuanya pemuda yang relatif hebat di antara teman sebaya, masing-masing juga berasal dari keluarga terpandang. Meski selalu ada lika-liku karena persaingan dan kesombongan, setelah empat tahun kuliah berlalu, mereka masih menyimpan persahabatan yang cukup baik. Kini saat kembali ke kota ini, mereka secara alami berkumpul bersama.
Secara akademis, keempat orang tersebut masuk ke kampus di kota berbeda. Dalam empat tahun tersebut, masing-masing juga memiliki Percintaan sendiri. Namun saat berkumpul kembali, pandangan menggoda antar mereka muncul lagi. Kita bisa tahu bahwa sebenarnya tidak ada pasangan tetap di antara mereka. Wang Tujia dan Luo Jingwen masing-masing memiliki daya tarik, Liang Mingchao sekaligus memendam simpati lebih banyak pada keduanya, Li Song juga demikian. Eksistensi pandangan menggoda di antara mereka lebih seperti pembuktian daya tarik diri melalui penampilan. Tentu saja, cara masing-masing untuk mengekspresikan diri sudah jauh lebih kalem dan matang, tidak lagi seperti beberapa tahun lalu ketika bahkan bisa terjadi konflik tajam karena pamer salah satu anggota.
Empat tahun telah berlalu. Bagi mahasiswa angkatan mereka, sebagian besar yang lulus tahun ini akan menyelesaikan kuliah pada musim panas penting ini. Mereka telah meraih ijazah universitas dan akan memasuki tahap baru kehidupan: bekerja, mulai karir, terjun ke masyarakat, membangun keluarga... Lingkaran kita di Akademi Hati Kudus sangat membantu dalam membangun jaringan hubungan sebelum memasuki masyarakat. Reuni teman sekelas tentu menjadi cara paling praktis.
Tujuan kedatangan mereka kali ini adalah untuk mengantarkan undangan reuni kepada Saudara Dongfang. Undangan untuk Dongfang Wan sudah menjadi bagian tugas. Dari kabar yang beredar, Dongfang Lu yang biasanya berkarier di selatan baru saja kembali ke Jianghai. Jika bisa mengajaknya, tentu akan semakin ideal.
Lingkungan sekitar keluarga Dongfang sangat asri. Pepohonan jalanan membentuk kanopi raksaksa seperti payung yang menyelimuti jalan. Villa-villa dengan taman besar kecil tersebar di sekitarnya, diselingi taman kecil dan sabuk hijau. Meski keempat mahasiswa ini berasal dari keluarga berkecukupan, mereka tetap tak bisa menghindari pandangan iri saat membahas para pengusaha kaya yang tinggal di sini. Saat mobil kecil berbelok di sudut jalan berikutnya, Wang Tujia tiba-tiba melihat sepasang bayangan berjalan di bawah rindang pepohonan. Sebelum sempat memastikan, mobil telah melewatinya. Melakukan ekspresi mengerutkan kening sambil menoleh berkali-kali, Li Song di jok belakang pun menengok: "Ada apa?"
"Tidak... Seperti melihat orang yang kenal... Gu Jiaming, masih ingat? Bertahun-tahun di reuni tak pernah muncul. Entah di mana dia kuliah..."
“Gu Jiaming? Mustahil.” Begitu kata perempuan itu, Luo Jingwen dan Liang Mingchao yang sedang bersama pun menoleh. Liang Mingchao berkata: “Tahun kelulusan kabarnya dia bermasalah, ditangkap polisi, kemudian dihukum... Pasti tidak melanjutkan kuliah, entah dihukum berapa tahun. Tapi... mungkin sekarang sudah bebas...”
“Bagaimana... mana mungkin!” Wang Tujia membelalak, Luo Jingwen juga menyahut: “Benarkah? Aku tak pernah dengar.”
“Sangat benar, katanya membantu orang melarikan diri, perbuatannya sangat keji. Yang dekat dengannya waktu itu, pacarnya yang bernama Liu Huaisha tahu? Yang terlibat geng kriminal itu.”
Wang Tujia mengerutkan kening: “Aku tadi sepertinya melihat mereka berdua.”
“Itu semakin mustahil. Keluarga Liu Huaisha terlibat perdagangan narkoba, ketahuan, saat polisi datang menangkapnya, Gu Jiaming membantu dia kabur, katanya sampai memukul polisi, waktu itu masuk koran. Cuma kita tidak terlalu memperhatikan, tapi banyak teman sekelas yang tahu. Kau benar-benar tidak tahu... Semua orang bilang Liu Huaisha kabur ke seberang lautan. Tahukah kalian, Shazhu Bang sejak itu hilang. Dulu kan geng terbesar, dikatakan pihak berwajib menggulungnya dalam semalam. Beberapa pamanku yang pernah berkecimpung di dunia hitam sering bercerita, mana berani Liu Huaisha pulang. Kukira surat pencariannya masih berlaku sampai sekarang...”
“Masalah Shazhu Bang itu aku juga pernah dengar.” Luo Jingwen mengangguk menyetujui.
Keempat orang mendiskusikan hal ini, Liang Mingchao bersumpah dengan yakin. Tak lama kemudian kabar tidak pasti bahwa Jiaming dipukul sampai cacat di penjara juga muncul. Ketika mobil tiba di alamat dari buku alamat, mereka agak terpaku melihat pemandangan di dalam pintu gerbang. Berbagai mobil berjejer di pinggir jalan di luar villa besar. Hanya polisi bersenjata yang berjaga di pintu gerbang saja ada satu tim, di dalam terlihat kerumunan orang hilir mudik, di pintu samping juga banyak orang yang terlihat memiliki identitas penting keluar masuk. Wang Tujia membandingkan buku alamat dua kali: "Ini salah. Mana mungkin villa pribadi, sibuknya melebihi gedung pemerintah."
"Aku akan bertanya." Li Song memeriksa buku alamat beberapa kali, kemudian turun dari mobil dan berlari: "Aku mencari Dongfang Lu, Dongfang Wan. Apakah mereka tinggal di sini?" Hatinya sebenarnya tidak berharap banyak. Tahu-tahu salah satu polisi setelah berkomunikasi via walkie-talkie dengan dalam, menanyakan hubungan mereka sebentar lalu langsung traktir mereka masuk.
Sepanjang perjalanan mengikuti polisi tersebut ke ruang tamu, keempat orang baru merasakan ketegangan dan tekanan dahsyat yang ada di mana-mana. Di lorong luar terlihat orang-orang dengan identitas beragam hilir mudik, sementara di ruang tamu saat ini juga ada beberapa kelompok yang menunggu. Beberapa di antaranya mereka kenal, yaitu pimpinan departemen pemerintah atau bos grup besar yang sering muncul di TV. Meskipun ruang tamu luas ini masih terlihat lega, kehadiran empat pemuda baru lulus ini bersama orang-orang penting dalam situasi yang sama—tanpa tahu persis apa yang terjadi—ditambah ekspresi serius mereka, menciptakan tekanan tak kasatmata yang membuat hati berdebar-debar.
"Ada apa ini ya."
"Krisis keuangan atau bagaimana……"
"Pasti ada hubungannya dengan serangan mendadak yang mengerikan tadi malam……"
Keempat orang saling berbisik bertukar pendapat. Pelayan segera menghampiri mereka menanyakan minuman pesanan, kemudian memberi tahu bahwa Dongfang Lu masih ada urusan dan akan segera datang. Beberapa saat kemudian, beberapa pria-wanita berbaju seragam militer turun dari lantai atas. Mereka menyapa sekelompok orang di ruang tamu sebelum akhirnya pergi. Pangkat militer tertinggi di antara mereka adalah seorang mayor jenderal.
Sambil menyesap minuman dalam suasana seperti ini, tak lama kemudian Dongfang Lu akhirnya turun dari lantai atas. Meski sebelumnya berbeda angkatan, sebagai Ketua Departemen di Akademi Hati Kudus dulu, Wang Tujia dan ketiga rekannya yang selalu aktif mudah dikenali. Setelah menyapa satu per satu, ia mendengar cerita mereka tentang rencana acara kumpul-kumpul mahasiswa.
"Jika tidak ada halangan, pasti akan berusaha datang. Xiao Wan beberapa hari ini tidak di rumah, kalian juga lihat, kondisi keluarga berantakan dan merepotkan. Saya bisa menitipkan undangan untuknya, tentu kalian juga bisa memberikannya langsung. Dia sedang mengurus perusahaan baru, heh, tidak tinggal di sini. Jika ingin mencarinya, bisa pergi ke... Ini nomor teleponnya..."
Sikap tidak menyepelekan siapapun, mungkin sudah menjadi kebiasaan Dongfang Lu selama bertahun-tahun. Sambil mengobrol tentang kabar terkini dan teman sekelas yang sama-sama dikenal, ketika mengantar mereka keluar, ruang tamu di belakang tiba-tiba menjadi ramai. Tak lama kemudian, beberapa sosok berjalan keluar dengan langkah tegap. Pemimpinnya adalah pria yang pernah mereka lihat di TV, meski tidak tahu identitas pastinya, setidaknya mengerti bahwa pria paruh baya bernama Fang Zhitian ini memiliki posisi sangat penting di dalam negeri. Kehadiran mereka membuat semua orang di dalam dan sekitar villa menoleh ke arah lain.
Di jalan menuju pintu gerbang, sosok yang agak familiar kembali terlihat. Itulah Gu Jiaming yang tadi mereka sebut "baru keluar dari penjara". Saat ini dia sedang berjongkok di pinggir jalan, menunjuk ke rangkaian bunga di taman sambil tersenyum berbicara dengan wanita di sebelahnya...
## Bagian Empat Ratus Lima Puluh Lima Menjaga Kesucian
Mendekati tengah hari, cuaca terik mulai teduh diliputi awan gelap yang menyelimuti langit Jianghai. Tampaknya hujan akan segera turun.
“Lingjing benar, Kakak Yahan telah menunggumu bertahun-tahun. Dia membesarkan seorang anak, kepahitan dalam hatinya tak banyak yang tahu. Kau harus segera menemuinya, menemui Tao Tao... Saat kau pergi, dia terus berharap bisa bertemu lagi. Tapi setelah bertemu, baru terasa betapa rumitnya masalah ini. Bagaimana kita menyelesaikan semua ini nanti? Apa yang harus kita lakukan... Jangan sampai karena sakit kepala lalu kau kabur bersama Kakak Yahan ya...”
Keluar dari villa keluarga Dongfang, berpisah dengan Sha Sha di sudut jalan, Jiaming berjalan menyusuri jalan sembari mengeluarkan suatu benda dari kantong pengepungannya saat mencapai area sepi. Botol kecil berisi pasir itu dilemparnya ke pagar besi selokan. Saat hendak menyentuh tanah, tiba-tiba botol tersebut terhenti di udara dengan gerakan tangan Jiaming. Setelah berpikir sejenak, botol Kekosongan Pandang Debu itu kembali terbang ke genggamannya dan diselipkan ke saku celana.
Setelah hal kemarin berhasil diselesaikan, Natalia dan lainnya pun datang berkunjung ke [], mungkin ini juga bisa menjadi simbol bahwa hubungan kedua pihak yang mulai mendingin sejak kematian Morikami Kura empat tahun lalu mulai menghangat kembali. Bagi Jiaming, hari ini secara alami juga menjadi kesempatan untuk bertemu semua orang yang perlu ditemui, sekadar membahas kondisi selama empat tahun terakhir. Beberapa teman sekelas lama yang datang mengantarkan kartu undangan tidak perlu dibahas, faktanya obrolan santai dengan orang lain juga tidak terlalu panjang. Bertemu Xiao Meng, mengucapkan terima kasih, menanyakan rencana ke depan, sekalian janjian untuk makan di rumah suatu hari nanti; menyapa Dongfang Lu, Fang Zhitian dan lainnya, mengabarkan kabar baik; Meski Natalia tertarik dengan kekuatan Jiaming, tentu mustahil baginya untuk duel di sini, hanya mengobrol layaknya teman biasa. Yang sebenarnya menyita waktu Jiaming adalah kondisi kesehatan Dongfang Ruo.
Sungguh mengecewakan, beberapa hal terjadi karena salah kaprah. [] selama bertahun-tahun berjuang mati-matian mencari jejak Kekosongan Pandang Debu, berasal dari data-data tentang Kekosongan Pandang Debu yang pernah diberikan Jiaming. Faktanya Kekosongan Pandang Debu memang membantu penelitian kekuatan supernatural, namun pengetahuan Jiaming juga terbatas, tentang kemungkinan menyembuhkan Dongfang Ruo, itu lebih merupakan penghindaran topik. Situasi sudah berkembang sampai tahap ini, tentu dia tidak mungkin muncul dan mengaku terus terang. Dongfang Ruo sempat bangun sekali tadi malam lalu kembali tidur panjang, sementara [] yang telah mendapatkan Kekosongan Pandang Debu masih dalam keadaan bingung sama sekali. Yang dilakukan Jiaming selama lebih dari satu jam adalah memberikan perawatan yang tepat untuknya.
Kekosongan Pandang Debu tidak bisa menyembuhkan manusia, namun kondisi Dongfang Ruo saat ini sangat mirip dengan kondisi yang pernah dialaminya dulu, sama-sama kekuatan spiritual yang luar biasa memberikan beban berat pada tubuh. Penyakitnya datang tiba-tiba dan ganas, langsung mengancam nyawa, jika berhasil melewatinya maka segalanya akan membaik, sedangkan kondisi Dongfang Ruo seperti penyakit kronis yang bertahun-tahun menyiksanya hingga tubuhnya berada di ambang kehancuran. Bagi Jiaming yang kini memiliki kekuatan supernatural besar, meski mustahil menjadi dokter kompeten, dia sangat memahami jenis penyakit seperti ini. Setelah berpura-pura dan menipu Kekosongan Pandang Debu, dia juga membuat kekuatan supernatural dalam tubuh gadis itu terkonsumsi hampir habis, membuat kondisi tubuhnya stabil. Setelah bangun, diperkirakan penglihatannya akan pulih sebagian, setidaknya dalam waktu tertentu tidak perlu lagi kursi roda.
Seluruh proses penyembuhan tidak akan sesederhana ini, mungkin membutuhkan bertahun-tahun bahkan belasan tahun, lagipula Jiaming sendiri membutuhkan empat tahun untuk menyelesaikan masalahnya. Masalah pada gadis ini berasal dari kesalahan dalam eksplorasi mandiri manusia yang telah berlangsung begitu lama, tentu tidak bisa diselesaikan dalam sehari dua hari. Menurut perkiraan Jiaming, setiap tahun membutuhkan sekitar satu bulan untuk stabilisasi dan observasi. Setelah sembuh, kemampuan melihat masa depan secara jelas akan dibatasi, mungkin hanya tersisa firasat kabur. Tapi setidaknya gadis ini bisa bertahan hidup, setelah tubuhnya membaik, dia seharusnya bisa mengalami hidup seperti manusia biasa, menikah dan memiliki anak.
Ini bukan sentuhan kecil yang diam-diam dilakukan Jiaming atau batasan yang diberlakukannya. Bagaimanapun, orang sepertinya, Natalia, atau Victoria juga memiliki indera darah yang kabur terhadap hal-hal yang menarik minat mereka. Inilah alasan mengapa dia yakin Victoria dan lainnya telah pergi dari Jianghai. Tapi untuk meramalkan masa depan dengan jelas, itu benar-benar domain Tuhan. Setelah menjelaskan hal ini kepada Fang Zhitian dkk, meski ada sedikit penyesalan, dia akhirnya bersyukur nyawa keponakannya bisa diselamatkan. Apalagi, memiliki penilaian kabur tentang masa depan sudah cukup membantu pembuat keputusan sepertinya.
Mengenai Kekosongan Pandang Debu, Jiaming belum memutuskan bagaimana menanganinya. Untuk mendapatkan hasil dari benda ini, berbagai eksperimen tubuh manusia tak terhindarkan. Dia memang tak punya belas kasihan, tapi kemajuan teknologi langsung akan menyebabkan kekuatan-kekuatan bergolak di segala bidang. Nanti malah bisa menariknya kembali ke dalam masalah. Membuangnya pun tak masalah, tapi mengingat anggota klan darah itu masih gesit dan penuh semangat di luar, dia memutuskan menyimpan benda ini sebagai mekanisme pengaman. Dengan membunuh salah satu dari mereka, konflik di masa depan tak terelakkan. Sekalipun benar-benar tak ingin cari masalah, masalah bermasalah ini akhirnya harus diselesaikan.
Sambil memikirkan hal ini, lalu Yahan, Lingjing, dan Shasha, dia naik bus menuju alamat perusahaan Yahan. Hujan badai pun turun drastis membasahi langit.
Saat hujan deras tiba-tiba di musim panas, disertai ledakan keras petir, melanda kota ini, Yahan sedang duduk di kamar lantai 23 gedung sambil menyesap secangkir teh hijau, mencoba merilekskan mental yang telah tegang sepanjang pagi.
Hari ini adalah hari yang sibuk. Alasannya, dua eksekutif perusahaan mengalami kecelakaan tadi malam di kota dan harus dirawat inap. Kebetulan mereka bertanggung jawab atas kerjasama yang akan dinegosiasikan dan ditandatangani hari ini. Dalam kondisi penggantian dadakan ini, pembicaraan pagi tadi berjalan cukup baik. Sekarang tinggal menunggu perkembangan sore hari, meski sepertinya semua sudah bisa dipastikan.
Sebenarnya dia sudah bertekad tidak akan membiarkan pekerjaan mengganggu kehidupan bersama Tao Tao. Tapi kali ini situasi terlalu mendadak, dan kerjasama ini sangat penting bagi perusahaan. Rencana jalan-jalan bersama Tao Tao yang sudah dijanjikan terpaksa ditunda - ini termasuk beberapa kali langka dia melanggar janji pada putrinya. Untungnya meski masih kecil, Tao Tao sangat pengertian. Dia hanya meminta ikut bermain ke kantor ibu. Saat ibunya bernegosiasi di bawah, dia menonton kartun ditemani asisten di kantor atas. Setelah makan siang di kantin perusahaan, Tao Tao tidur siang di ruang istirahat sebelah kantor. Yahan baru bisa menyegarkan pikiran di sela waktu senggang ini setelah berhasil meninabobokan putrinya.
Sejak kecil, sindrom nefrotik yang dimilikinya sebenarnya belum benar-benar sembuh total. Hanya saja, selama lebih dari tiga tahun sejak Jiaming pergi, dengan kehadiran Tao Tao di sisinya, dia semakin serius merawat tubuhnya. Sering melakukan latihan ringan, kondisi kesehatannya pun tidak kambuh. Satu-satunya yang terasa adalah dia lebih mudah lelah daripada orang biasa. Tentu saja, selama tidak begadang seperti workaholic, hal ini tidak masalah besar.
Lewat pukul satu, kantor sepi sunyi. Duduk di tepi jendela, dia memandang langit yang semakin gelap di luar. Jalanan yang diterjang angin kencang dan hujan lebat, sesekali menyesap teh. AC sentral bekerja baik, mempertahankan suhu sejuk stabil di musim panas, namun juga mengisolasi alam sehingga tak bisa merasakan aura sesungguhnya dari guntur dan hujan di bawah terik ini. Setelah duduk sebentar, hendak ke atap gedung, tapi setelah melirik jam di meja kerja, urung dilakukan.
Pukul setengah dua, saatnya meninjau kembali hal-hal yang akan dibahas nanti sore.
“Jiaming, akhir-akhir ini mulai lelah ya…” Urusan saat ini tidak bisa dibilang ringan, terutama karena ayahku masih berniat membinaku sebagai penerus. Faktanya pihak ayah pasti lebih lelah dariku, dia sudah berusaha maksimal menyesuaikan kondisiku yang sakit jiwa, ditambah lagi harus mengurus Tao Tao. Jika aku pria sehat, mungkin sekarang sudah dijejali latihan seperti kerbau. Di pihakku juga ada konflik, bukan ingin jadi wanita karier tangguh, tapi karena ayah menerima Tao Tao, aku harus memenuhi keinginannya – semacam kesepahaman antara ayah-anak, setelah curhat sedikit pada bayangan imajinasi itu. Dia membuka komputer, mengenakan kacamata kura-kura dengan lensa minus rendah, mulai mengulang data-data. Sejenak kemudian menekan tombol telepon di meja kerja.
“Asisten Lan, tolong ambilkan data-data yang kubicarakan tadi pagi, plus laporan tahunan wilayah Timur tahun lalu. Ingin kulihat sekarang.”
“Baik.”
Melepaskan tombol interkom setelah mendengar jawaban asisten, dia kembali tenggelam dalam dunia perenungan. Bolpoin digoreskan di kertas coret-coretan beberapa saat, lalu bawah sadar menjepit alat tulis itu di telinga kirinya – gerakan ini memberi kesan kecerdasan memikat pada bayangannya. Orang yang masuk setelah mengetuk pintu persis melihat adegan ini. Dia berdiri di tepi pintu sejenak, baru mendekat. Yahan mengulurkan tangan untuk menerima dokumen, baru tersadar kemudian mengangkat kepala, merapikan rambut di pelipis telinga yang agak berantakan saat sendiri: “Oh, Jiajun, sudah datang?”
“Alan bilang kau butuh data-data, aku langsung tahu kira-kira kau sudah istirahat cukup, jadi kubantu bawa masuk sekalian bahas hal nanti sore.”
Pria di depan meja kerja tersenyum, meletakkan data-data. Dia salah satu wakil manajer perusahaan bernama Fu Jiajun, pria yang cukup kompeten. Masalah kali ini datang tiba-tiba dan cukup rumit. Pagi tadi dialah yang bekerja sama dengan Yahan untuk mengambil alih urusan ini. Melihatnya masuk, Yahan mengangguk: “Duduklah.”
“Tao Tao tidur siang?”
“Hmm, bicarakan halnya... Sebenarnya kerjasama kali ini Tim Wu sudah mengerjakan dengan cukup baik, pagi tadi sebagian besar sudah disepakati. Tapi kunci utamanya menurutku ada pada beberapa poin yang akan dibahas nanti sore terkait alokasi keuntungan kedua belah pihak. Pembagian 35% dari hasil sebelumnya menurut pembicaraan pagi tampaknya tidak akan memuaskan mereka. Setelah membandingkan situasi penjualan di wilayah Timur selama beberapa tahun terakhir dengan kuota berbagai perusahaan di bidang yang sama, aspek ini sangat mungkin menjadi titik jebol pertahanan...”
Tidak ingin membahas hal yang tidak perlu, Yahan menggambar kurva perbandingan di kertas draft sambil mulai berdiskusi dengan mereka tentang inti pembahasan nanti sore. Fu Jiajun mengangguk, mengeluarkan beberapa lembar kertas dari kantongnya. Persiapan yang dilakukannya ternyata sama persis dengan apa yang sedang diutarakan Yahan: “Sebenarnya, pemikiran kita benar-benar sepemikiran...”
"Bertahun-tahun bekerja sama sebagai rekan, ini bukan pertama kalinya bagi mereka berdua. Fu Jiazun telah menunjukkan kemampuan yang memadai untuk menghasilkan prestasi gemilang di bidang apapun. Memiliki partner sehebat ini dalam pekerjaan tentu sangat menyenangkan. Namun dalam hal ini, persiapan yang dilakukan Fu Jiazun semalam jelas lebih matang. Di atas kertas konsep, ia menggambar kurva yang lebih detail dan persuasif sambil memberikan penjelasan, lalu beralih ke komputer untuk melakukan penyesuaian. Ekspresinya terlihat sangat serius, tapi setelah beberapa saat, Yahan mulai mengerutkan alis dan sedikit menjauhkan tubuhnya. Tanpa disadari, Fu Jiazun telah berdiri sangat dekat, dengan satu tangan menahan meja kerja dan tangan lainnya di sandaran kursi Yahan - sikap yang terkesan sangat intim.
Gerakan Fu Jiazun yang samar itu sebenarnya mengandung ujian kemampuan yang dilakukan dengan sangat hati-hati.
"Heh... Kau selalu sesensitif ini..."
Menyadari gerakan menghindar Yahan, Fu Jiazun justru tersenyum. Yahan menggelengkan kepala dengan datar: "Maaf, jika kesalahpahamanku menimbulkan masalah, aku minta maaf."
"Bukan salah paham." Fu Jiazun mundur selangkah dengan senyum tulus, "Kau tahu, ini bukan kesalahpahaman. Aku memang gagal... Sekedar kemunduran kecil..."
Meski telah memiliki seorang putri berusia tiga tahun, syarat yang dimiliki Yahan tidak pernah kekurangan pengagum. Latar belakang keluarga miliaran, wajah yang cantik, postur tubuh terjaga melalui latihan jangka panjang, aura intelektual dan elegan, kematangan setelah menjadi ibu, kombinasi antara kelemahan akibat penyakit dan kekuatan batin yang dimilikinya, ditambah lagi keberanian layaknya wanita karier tangguh yang ditunjukkannya di bidang bisnis selama bertahun-tahun ini - setiap aspek tersebut mampu membentuk daya tarik luar biasa. Ketika semua menyatu, terciptalah godaan yang mematikan.
Banyak orang yang memiliki perhatian terhadapnya, tak sedikit yang berani mengejar. Di antara beberapa kandidat yang dianggap paling potensial oleh orang luar, Xu Mo yang tetap setia tentu salah satunya, Fu Jiajun juga termasuk. Dibandingkan dengan Xu Mo yang lembut dan berpendidikan, Fu Jiajun yang merangkak naik ke posisi tinggi dengan kemampuan sendiri sebenarnya memiliki dominasi potensial yang lebih kuat. Di dalam perusahaan, meski saat ini Zhang Jing'an sudah tidak menyampaikan pendapat di hadapan Yahan, tampaknya dia sengaja memberi kesempatan pada pasangan ini. Fu Jiajun adalah orang kepercayaannya yang berasal dari kalangan biasa, sementara Yahan adalah putri satu-satunya. Dalam pandangannya, mungkin penyatuan pasangan ini bisa membuat segalanya lebih baik: harapannya untuk menggendong cucu terwujud, Tao Tao mendapat ayah, Yahan bisa keluar dari bayangan masa lalu, dan perusahaan memiliki masa depan.
Sikap default ini selama dua tahun terakhir termanifestasi dalam hal-hal yang sangat halus dan tampak wajar, misalnya saat Fu Jiajun membawa dokumen masuk tadi, asisten Alan sama sekali tidak memberi peringatan——Yahan tidak bersikap santai dan ramah dalam hal seperti ini. Sejak melahirkan Tao Tao dan Jiaming tidak ada di sampingnya, dia sangat menjaga ruang pribadinya. Jika bukan karena Zhang Jing'an yang telah berbicara, Alan yang telah tinggal bersamanya selama beberapa tahun mustahil melakukan hal seperti ini. Contoh lain adalah penempatannya bersama Fu Jiajun dalam rapat kali ini, meskipun tampak seperti hasil koordinasi antar departemen yang wajar, namun sebagian besar pasti ada campur tangan Zhang Jing'an.
Kemampuan ayahku yang bisa seketika merespon setelah kejadian semalam, lalu mengatur kesempatan untuk mereka bertiga, benar-benar patut dihormati.
Untuk hal-hal ini, Yahan mungkin mengerti, tapi tidak pernah bisa memberikan reaksi yang terlalu sengit. Di satu sisi, hal-hal ini memang berasal dari kebutuhan pekerjaan. Di sisi lain, sejak dua tahun lalu ketika ia menunjukkan maksudnya dan ditolak tegas oleh Yahan, meski Fu Jiajun belum menyerah, semua ujian kemampuannya tetap dilakukan dengan presisi. Posisi Yahan lebih tinggi, sehingga jarang mengatur hal-hal yang mengharuskan kontak antara kedua pihak dalam keseharian. Jika benar ada urusan yang harus diselesaikan seperti hari ini, segalanya bersifat formal - lagipula dia orang yang kompeten. Selama tidak berlebihan, meski karakter Yahan tertutup, mustahil baginya untuk mengusir semua yang menaruh simpati padanya. Apalagi saat ini, hak mengatur Fu Jiajun berada di tangan ayahku. Jika aku bersikeras bertindak sembarangan, itu justru menunjukkan sikap belum matang. Jika hal seperti ini saja tidak bisa dihadapi, bagaimana mungkin nanti mengendalikan pekerjaan dan menghadapi berbagai macam manusia?
Tentu saja, meski terus menahan diri, setiap beberapa waktu Fu Jiajun juga akan memanfaatkan momen kebersamaan seperti pengingat untuk melakukan pengujian atau pernyataan semacam ini. Sikapnya sangat kesatria, perempuan biasa sekalipun tidak menerima, mungkin di hati hanya merasa senang. Yahan menutup mata, memelintir alis, setelah menarik napas baru membuka kembali, tatapannya mulai tak sabar: "Kupikir sudah kujelaskan dengan gamblang, Manajer Fu, jika kau terus begini, aku hanya bisa memintamu keluar."
“Fu Jiazhen mengangguk dan mundur ke sisi lain meja kerja: ‘Aku tidak bermaksud penghinaan, apakah ayahnya Tao Tao benar-benar meninggalkan kesan sedalam itu padamu? Bahkan setelah sekian lama, masih membuatmu begitu sensitif terhadap pria lain sampai tingkat ini? Secara alami memunculkan peminggiran... Aku yakin tadi kau benar-benar asyik membaca data-data.’”
“‘Ini urusan pribadiku, aku tidak ingin mendiskusikannya dengan orang tak berkepentingan.’”
“Fu Jiazhen duduk sambil menatapnya, setelah beberapa saat: ‘Bahkan setelah dia MATI selama beberapa tahun?’”
“‘Apa maksudmu?’”
“‘Maksudku... Gu Jiaming di pemakaman itu? Mantan mahasiswamu? Dia ayahnya Tao Tao?’”
“Di balik meja kerja, Yahan tiba-tiba mengangkat kepala, pandangannya menjadi tajam. Fu Jiazhen menggapai-gapai tangannya: ‘Wow wow wow wow... Jangan salah paham, aku tidak melacakmu, jangan salah paham...’ Dia berhenti sejenak, ‘Melacakmu pun tidak ada gunanya, aku tahu Chairman juga pernah mengirim orang untuk melacakmu... Selama dua tahun terakhir ada pola rutinmu, setiap beberapa hari sering menghilang selama nanti sore atau beberapa jam, di perusahaan juga tidak bisa disembunyikan. Sering kali... ketika Tao Tao melakukan hal menarik atau ada makanan enak, hari-hari bermakna, kau pasti menghilang beberapa jam. Melacak tetap tidak berguna, kurasa kau pasti mempekerjakan orang hebat di sekitarmu, hal ini Chairman juga tahu. Tapi... kau mengerti, meski melacak tidak berguna, tapi kita semua tetap berada di kota yang sama. Bulan lalu seorang Temanku melihatmu di pemakaman, bilang kau berjongkok di depan nisan sepanjang nanti sore, setelahnya saya melakukan konfirmasi, baru bisa memastikan hal ini...’”
“Gu Jiaming itu dulu muridmu, kan. Orang-orang yang mengenalmu tahu tentang dia. Hubunganmu lebih dekat daripada kakak-beradik, tapi di mata orang lain reputasinya sepertinya tidak bagus... Meski sulit dipercaya, tapi menurutku keadaan hatimu sekarang mustahil mau sering mengunjungi orang yang tak berkepentingan. Dia pasti ayahnya Tao Tao. Tahun 2000 dia masuk penjara, jujur saja waktunya tidak cocok dengan masa kehamilanmu, tapi pihak penjara agak tidak jelas penjelasannya. Kurasa kamu pasti melakukan sesuatu... Aku hanya tidak mengerti mengapa dia begitu baik. Anggap saja ini masalah hati antar pria...”
Ucapan ini diutarakan dengan terang dan jujur. Fu Jiajun tersenyum, lalu setelah beberapa saat menambahkan: “Tenang, aku tidak akan memberitahu Chairman. Hal ini... hanya aku yang tahu.”
Yahan menatapnya tanpa berkedip. Lama kemudian baru membuka mulut: “Kau lebih tinggi darinya, lebih ganteng. Jika kau mau, aku juga bisa bilang kau lebih berusaha, lebih mampu, lebih bertanggung jawab. Penilaian ini tidak pernah dia pedulikan. Kelebihannya, satu poin saja cukup. Dia satu-satunya pria dalam hidupku, ayahnya Tao Tao...”
“...Aku mencintainya.”
“Tapi dia sudah MATI.”
“Aku menjaga kesucian untuknya.” Yahan mengatakannya tanpa mengernyitkan alis. “Sekarang keluarlah.”
Fu Jiajun tertegun memandangi wanita di hadapannya. Akhirnya, dia mengangguk dan berdiri menuju pintu. Saat hampir sampai di gerbang, dia menoleh kembali: “Kau benar-benar wanita yang luar biasa. Aku akan meluangkan lebih banyak waktu... Urusan nanti sore tetap akan kukerjakan sepenuh hati. Aku tidak ingin urusan pribadi kita mempengaruhi Pekerjaan. Sampai jumpa nanti.”
Kantor pintu tertutup, Yahan mengerutkan kening, mulai melanjutkan penanganan data di komputer, merangkum ucapan yang akan disampaikan nanti sore dalam pikiran. Lewat sepuluh menit, dia melihat jam, berjalan ke ruang istirahat dalam. Gadis kecil yang tidur di ranjang juga tepat bangun. Di saat yang sama, di jalanan di bawah gedung yang diguyur hujan badai deras, sebuah bus umum berhenti di pinggir jalan. Orang yang naik dan turun, payung-payung membentuk jalur pemandangan indah di jalanan. Jiaming berlari turun dari mobil, terus lari ke bawah atap kecil pinggir jalan, memukul-mukul noda air di kepalanya, kemudian menatap gedung perusahaan tak jauh di depan.
Langit gelap, suara hujan blek-blek, banyak toko di pinggir jalan menyalakan lampu. Dia menyusuri atap kecil ke arah sana, kilat tiba-tiba menyambar, disusul gemuruh petir menggelegar. Jiaming berhenti sebentar di tepi jalan, masuk ke sebuah toko hadiah. Beberapa menit kemudian keluar sambil menggendong boneka beruang putih setinggi hampir satu manusia.
Sejenak, manusia dan beruang masuk ke gedung ZhangIndustri Berat yang sedang dalam jam kerja. Karena papan pengumuman di luar menempel pengumuman rekrutmen wawancara, aula lantai satu saat ini terlihat cukup ramai, lantai penuh noda air. Jiaming yang menggendong beruang putih melirik ke kiri-kanan aula, kemudian berjalan menuju meja resepsionis yang ramai...
## Bagian Empat Ratus Lima Puluh Enam Beruang Putih
“Hujan lebat di tengah musim panas menghanyutkan sedikit kesumpekan di udara, sekaligus membuat banyak kondisi menjadi agak kacau. Saat jam kerja, aula lantai satu Zhang ramai oleh lalu lalang orang. Kerumunan karyawan bercampur dengan pelamar kerja yang datang siang hari. Noda air di lantai meninggalkan kesan lembap. Meski daya AC sentral yang kuat, tak mampu menyamarkan rasa pengap khas musim hujan. Jalanan di balik jendela kaca besar terlihat muram, hujan seakan maraung marah deras. Mobil-mobil kecil yang melintas menyalakan lampu, menyemburkan percikan air beruntun.”
“Suara riuh rendah memenuhi ruangan. Di belakang konter resepsionis di tengah aula, beberapa staf wanita sibuk tak karuan. Sebagian orang berkonsultasi di depan konter, ada yang mengambil formulir, atau mengurus surat izin sementara untuk mengunjungi seseorang: 'Bagian rekrutmen bukan tanggung jawab kita kan? Katanya tes khusus sudah diatur di tempat lain?' Di tengah kesibukan, seorang staf berbisik pada rekan sebelahnya:”
“'Tidak lihat berita pagi ini? Awalnya diatur di Jalan Haicheng, tapi kemarin malam ada masalah darurat. Pemberitahuan dadakan dialihkan ke sini. Ujian tulis dan wawancara yang seharusnya dimulai pagi juga digabung jadi sore. Kayaknya sampai malam belum selesai...'”
“'Bukan serangan teroris ya...'”
“'Sampai pakai senjata, mungkin konflik geng kriminal. Pagi tadi lewat sana, bahkan sudah ada tentara berjaga.'”
“Di tengah bisikan-bisikan, beberapa nona penerima tamu berpenampilan menawan ini sedang memasukkan data-data manusia ke komputer dengan lihai. Mereka membuat kartu akses sementara untuk beberapa orang yang datang berurusan bisnis, sekaligus menyodorkan formulir pengisian resume kepada para pelamar. Meski dalam suasana sibuk seperti ini, saat pemuda yang menggendong boneka beruang putih masuk ke aula, tetap menarik banyak sorotan mata. Bagaimanapun, perusahaan adalah tempat yang cukup serius. Membawa boneka lebih besar dari manusia memang terlihat mencolok.”
“Dengan kemeja santai, pemuda di balik beruang putih kini terlihat kalem. Dia menggerakkan air hujan di kepalanya sambil berdiri di dekat dinding, melihat diagram lapisan bangunan, kemudian mendekati meja resepsionis. Saat menyatakan maksud kedatangannya, beberapa staf wanita yang menggemaskan boneka beruang itu terlihat terkejut: 'Zhang Yahan... Kau mencari Manajer Zhang?'”
“Err... Sepertinya manajer...”
“Tidak ada janji temu?”
“Aku mantan muridnya, namaku Gu Jiaming. Tolong tanyakan, dia pasti mau menemuiku.”
“Eh...”
Mendengar perkataannya, nona di dalam terlihat mulai kerepotan. Masalah Yahan pernah menjadi guru sebelumnya, sebenarnya mereka juga tidak terlalu paham. Lagipula untuk bertemu pimpinan tertinggi biasanya harus ada janji temu. Meski mereka hanya perantara, kalau terus-terusan minta instruksi atasan juga tidak mungkin. Apalagi mereka tahu hari ini sedang ada tamu penting dari perusahaan lain. Melihat penampilan Jiaming yang tak berbahaya, mereka pun ragu sejenak. Akhirnya menelepon ke atas, setengah menit kemudian kembali: "Maaf, Manajer Zhang sedang ada urusan penting. Mungkin tidak bisa menemui Anda. Bagaimana kalau Anda tinggalkan nomor telepon dulu..."
Telepon itu jelas tidak sampai ke tingkat atas, paling-paling hanya ke atasan langsung. Tapi karena pihak lawan bicara sopan dan Jiaming yang paham situasi juga tak bisa berbuat banyak. Setelah memastikan posisi Yahan saat ini, dia menggendong beruang putih duduk di aula. Karena alasan kerahasiaan bisnis, akses masuk-keluar gedung ini menggunakan sistem absen. Meja resepsionis tak jauh dari lift. Dengan menggendong boneka ini, menipu mesin kartu memang mudah, tapi petugas resepsionis pasti tak akan membiarkannya naik. Karena yang ditemui adalah Yahan, dia juga tak ingin membuat kegaduhan berlebihan.
Setelah duduk sebentar, dia menoleh melihat jalanan di luar yang diguyur hujan deras, diselingi kilatan petir dan gemuruh. Matanya beralih ke gedung di seberang jalan. Akhirnya dengan beruang putih di pelukan, dia menyebrangi jalan dengan berlari kecil, masuk ke dalam gedung tersebut.
“Beberapa menit kemudian, dia muncul di atas atap gedung itu. Dari tempat ini, langit tampak muram seolah bisa disentuh dengan mengulurkan tangan. Memperkirakan jarak antara atap gedung di seberang dengan posisinya, dia menghela napas, kemudian berlari maju...”
Di kantor lantai 23 ZhangIndustri Berat, seorang gadis kecil sedang duduk malas-malasan di depan komputer menonton kartun, pita cantik menghiasi rambutnya. Di dalam ruangan, seorang wanita berkacamata berdiri di sebelah dispenser air sambil menyesap minuman: "Tao Tao, kau haus?"
"Tidak... Tapi kartunnya membosankan."
Tujuan datang hari ini adalah menemani Ibu, tapi sang ibu tidak ada. Gadis kecil tiga tahun yang cukup pintar ini kehilangan antusiasme menonton. Dengan tangan mungilnya, dia mendorong meja sehingga kursi kantor besar yang bisa menelan seluruh tubuhnya berputar. Karena kursi itu didesain untuk orang dewasa, putaran ini menghabiskan tenaga besarnya. Menghadapi tirai hujan hitam di luar jendela, saat hendak memutar kursi lagi, tangannya tak mampu menjangkau meja di belakang. Bibirnya menyeringai, Byur! Dia melompat dari kursi. Sepatu kulit merah kecilnya menghantam lantai dengan dentang nyaring, lalu seluruh tubuhnya terkapar di tanah. Wanita yang sedang minum terkejut: "Tao Tao!" Buru-buru berlari mendekat.
“Aku tidak apa-apa.” Tao Tao mengayunkan tangan kecilnya sambil berkata dengan suara seperti bayi, namun nada suaranya mulai terdengar terisak. Emosi ingin menangis tidak menghentikan gerakannya yang cepat bangkit, menopang diri dengan tangan di lutut. Wanita berkacamata itu berlari memeriksanya: "Ada bagian yang terluka? Sakit tidak?" Di mata gadis kecil itu menggenang air mata, menggigit bibir sambil menggelengkan kepala dengan keras kepala. Saat tangannya perlahan menjauhi lutut, terlihatlah kulit merah muda di tempurung lututnya yang memang lecet.
"Kenapa tidak hati-hati? Ada bagian lain yang sakit? Ada yang tidak nyaman... Tao Tao?"
Luka di lutut tidak parah, namun mengingat ini putri bos, sekretaris bernama Lan juga panik. Setelah memeriksa lututnya dengan kalut dan mengajukan pertanyaan, barulah ia menyadari gadis kecil itu telah membeku di tempat. Kepalanya menengadah memandang langit yang diselimuti tirai hujan di luar jendela, mata berlinangnya berkedip-kedip. Mulut mungilnya membentuk huruf "O", seolah melihat sesuatu yang aneh hingga lupa akan rasa sakit di tubuhnya.
"Ada apa? Tao Tao... Tao Tao?"
"Tante Lan, tadi aku lihat... ada Beruang Putih terbang lewat langit loh."
"Beruang Putih?" Sang sekretaris menengadah berulang kali, "Mana?"
"Beneran! Tao Tao tidak bohong. Dia terbang dari sana ke sini loh."
Gadis kecil diajarkan dengan baik oleh ibunya, memang tidak ada rekaman berbohong, tapi... Bercanda macam apa ini. Jalan di luar memiliki lebar enam jalur, ditambah trotoar, jarak antara dua gedung sekitar 30-40 meter. Mana mungkin ada sesuatu yang terbang bolak-balik di atasnya. Mungkin melihat pesawat atau apa, imajinasi anak-anak selalu kaya. Sambil berpikir demikian, gadis kecil itu mulai meminta untuk pergi mencari Beruang Putih yang terbang tadi. Memahami kebosanan anak setelah menonton kartun sepanjang pagi, Alan mengangguk, bersiap mengajaknya berkeliling di lapisan bangunan untuk menghirup udara segar. Meski gadis kecil itu sendiri patuh dan paham, tapi terus mengurung orang di kantor tentu hal yang tidak baik.
Memeluk boneka beruang putih besar, Jiaming berjalan di koridor gedung perusahaan. Banyak karyawan yang membawa dokumen melirik penuh perhatian. Jiaming tetap tenang, pura-pura tidak melihat.
Di saat seperti ini, yang diperlukan adalah sikap santai. Tentu saja, jika benar-benar menyusup masuk, kamuflase seperti ini pasti tidak cukup. Tapi karena semua masalah akan terselesaikan saat bertemu Yahan, dia pun tidak ambil pusing.
Turun dari atap gedung ke lantai 23, melewati area kantor sibuk di depan, saat tiba di depan kantor Yahan, baru menyadari tidak ada orang di belakang meja sekretaris. Setelah mengkonfirmasi tanda di pintu kantor, hendak langsung masuk ketika menyadari pintu terbuka sedikit. Mengintip diam-diam, hanya terlihat seorang pria paruh baya berdiri di depan mesin fotokopi di dalam. Melihat sekilas kartu identitas di dadanya dari kejauhan - ternyata seorang kepala departemen.
“Kira-kira ada Pekerjaan yang harus dilakukan... Saat Yahan tidak ada, Jiaming pun merasa tidak pantas masuk. Merangkul Beruang Putih menuju area kerja ramai di depan, ketika seorang staf wanita melintas dengan pandangan heran, dia mengayunkan tangan dengan santai: 'Tunggu, di mana Manajer Zhang sekarang?'”
“Manajer Zhang... Seharusnya sedang mengantar perwakilan Grup Keran berkeliling... Anda ini...”
“Lanjutkan tugasmu, aku akan menunggunya di sini.” Sambil melambaikan tangan, Jiaming mengerutkan kening. Aura polos tak berbahaya yang biasa dipancarkannya telah berubah menjadi sikap dewasa nan tenang, sama sekali tidak menganggap mereka sebagai ancaman. Staf wanita itu memang cantik, biasanya mungkin tipe OL yang cukup sombong. Tapi saat menghadapi perintah Jiaming yang seenaknya, ekspresinya menjadi tidak natural. Setelah ragu sejenak: “Oh.” Dia mengangguk, melangkah beberapa langkah lalu menoleh, berjalan lagi lalu menoleh sekali lagi, akhirnya tidak berani menanyakan identitas Jiaming.
Setelah duduk sebentar di ruang resepsionis bergaya klasik, Jiaming memperhatikan situasi di sekitar lift. Pikirannya beralih ke kantor Yahan, namun ada sesuatu yang terasa aneh. Saat mengangkat Beruang Putih dan mendekati pintu kantor, seorang pria paruh baya yang tadi ada di dalam sedang keluar sembunyi-sembunyi sambil menutup pintu. Saat berbalik badan, dia menabrak Beruang Putih yang mendekat tanpa suara. Beberapa lembar kertas beterbangan dari bajunya saat pria itu terjatuh. Tatapan pria paruh baya bertemu dengan Jiaming, membeku di tempat dengan ekspresi panik.
Di sisi lain lorong, terdengar suara gadis kecil yang bersemangat: "Lihat... Beruang! Beruang! Ketemu!" Diikuti derap kaki yang cepat, seorang gadis kecil dengan pita di rambut berlari ke depan, menunjuk boneka beruang putih di tangan Jiaming sambil melompat-lompat gembira: "Tante Lan, dia loh dia loh, tadi terbang kesini... Cantik banget..."
Yang mengawalnya adalah sekretaris berkacamata bernama A Lan. Sambil tersenyum berjongkok di belakang gadis kecil itu, matanya menyipit penuh tanda tanya: "Direktur Yan, kenapa Bapak di sini..." Tatapannya terhenti pada beberapa lembar kertas di lantai, alisnya mulai berkerut, "Kenapa... Dokumen-dokumen ini..."
Dengan kacau balau, Direktur Yan melompat dari lantai, menuding ke arah Jiaming: "Dia! Tadi saya lihat dia menyelinap keluar dari kantor Manajer Zhang! Mau ditanya ini orang siapa, malah ditubruk sampai jatuh, barang-barang ini pasti dicuri darinya!"
Situasi tiba-tiba berubah mencekam. Sekretaris berkacamata itu berdiri perlahan, menatap Jiaming di seberang. Setelah memastikan tidak ada ID di dada pria itu, suaranya terukur: "Pak, Anda siapa?" Kepalanya menoleh: "Satpam!" Di ujung-ujung lorong yang sunyi, mulai bermunculan bayangan-bayangan manusia.
Dengan tatapan datar yang hampir terkesan geli menatap Direktur Yan sejenak, Jiaming berjongkok. Matanya menyapu gadis kecil dua meter di depannya: "Boleh tebak, namanya Tao Tao ya?"
"Begitu dia berkata, sekretaris wanita itu segera melindungi Tao Tao di belakangnya. Jiaming tampaknya tidak terlalu peduli, hanya tersenyum: "Berapa usiamu?"
"Tao Tao hampir tiga tahun," dari belakang paha wanita itu, gadis kecil itu mengintip dengan penasaran setengah wajahnya. "Paman, bagaimana kau tahu nama Tao Tao? Apa paman orang jahat yang ingin menculik Tao Tao untuk dijual?"
Suara riuh rendah, satpam mulai berjalan mendekat dari kerumunan. Kepala departemen Yan berbicara dengan semangat hingga air liur beterbangan kepada orang-orang di sekitarnya tentang semua yang dia lihat. Sekretaris itu melindungi gadis kecil dengan ekspresi tegang menatapnya. Pertemuan pertama antara ayah dan anak perempuan itu pun dimulai dalam suasana seperti ini...
Tanpa kartu akses, tanpa kartu identitas karyawan perusahaan, bahkan menggendong boneka beruang putih raksasa – tak seorang pun tahu bagaimana mata-mata bisnis aneh ini bisa naik ke lantai 23 perusahaan. Para satpam mulai mengerumuni secara bertahap. Untuk sementara tidak ada kekerasan, bukan hanya karena situasinya sulit dipahami, tapi juga karena pria di depan ini sama sekali tidak menghiraukan siapa pun. Dia sepertinya hanya tertarik pada gadis kecil yang bersembunyi di belakang sekretaris Alan. Semua orang waspada kalau-kalau dia tiba-tiba melakukan hal berbahaya, berusaha diam-diam menyuruh sekretaris membawa gadis kecil itu pergi. Tapi tampaknya gadis kecil dan pria itu justru asyik mengobrol.
Kira-kira satu menit lebih kemudian, perwakilan Grup Kran yang sedang berkeliling di sekitar bersama Manajer Zhang yang mendapat kabar segera datang. Beberapa saat kemudian, keriuhan kerumunan orang perlahan mereda karena kebingungan, karena semua orang melihat, di depan mata-mata bisnis yang masih muda ini, manajer wanita yang selalu elegan dan tenang—meski terlihat lemah lembut namun tak pernah menunjukkan kelemahan di hadapan siapapun—pertama-tama berjalan beberapa langkah ke depan dengan ekspresi tak percaya, lalu tiba-tiba menutup mulutnya dengan tangan. Semua orang bisa melihat kilau air mata berlinang di wajahnya. Seluruh tubuhnya gemetar halus.
Suara riuh berangsur berubah menjadi bisikan-bisikan, lalu di koridor hanya tersisa suara gadis kecil yang terdengar. Dengan kepolosan anak-anak, dia menggoyang-goyangkan helai baju ibunya perlahan sambil bertanya lembut.
"Ibu, kenapa ibu menangis..."
"Ibu, jangan menangis lagi, setuju..."
## Bagian Empat Ratus Lima Puluh Tujuh Sore Hujan Lebat (Bagian Atas)
Di parkiran, Audi silver dengan lekuk tubuh anggun perlahan menyala. Saat meluncur menuju tirai hujan di pintu keluar, gadis kecil dengan pita cantik di kepala sedang berguling-guling di atas beruang putih besar di jok belakang, mengeluarkan tawa merdu seperti lonceng perak.
"Mobilnya kok kelihatan bodoh, versi pria ya? Kok dikasih mobil kayak gini?"
"Ruangnya luas, biar Tao Tao bisa main di belakang. Menurutku nyetirnya lumayan lah. Kalau ketemu orang yang kurang akrab, bilangnya lagi nyetir mobil suami."
"Jangan-jangan masih jarang dirawat ya?"
“Tolong, ada yang bertanggung jawab khusus... Kau terus saja ingat kalau aku malas...”
“Katanya ini kerjasama yang sangat penting, tidak apa-apa bolos kerja seperti ini?”
“Bukan hal yang terlalu penting...”
Seringkali, semakin banyak yang ingin diucapkan di hati, manusia justru menjadi semakin angkuh. Di barisan depan, dua orang yang sudah terlalu saling mengenal ini justru menjaga percakapan tetap tenang karena gejolak di hati mereka, bagai teman lama yang bertemu kembali setelah bertahun-tahun. Yahan duduk di kursi penumpang, wajahnya terlihat dengan riasan tipis yang nyaris tak terlihat kalau tak lama sebelumnya perempuan anggun ini pernah terlihat menutup mulut sambil berjongkok di sudut dinding di bawah tatapan banyak orang, tersedu-sedu tak terbendung hingga air mata mengalir deras di pipinya yang membuat semua orang terkejut sampai tingkat yang tak terbayangkan.
Tentu, alasan utama lainnya adalah karena gadis kecil yang sedang bermain dengan Beruang Putih di jok belakang. Tanpa kehadiran "orang ketiga" kecil ini, mungkin dia sudah langsung terjatuh ke pelukan. Dalam kondisi emosi yang bergejolak, menyetir jelas mustahil. Saat mobil kecil itu membelah tirai hujan dan berbelok dari pintu keluar parkiran, matanya melirik ke kaca jendela samping sementara jari-jarinya yang putih mulus diam-diam menyeka kilau air mata yang hendak meluber lagi di sudut matanya.
“Ibu, kau mau menangis lagi?”
“Tindakan seperti ini mungkin untuk berlindung dari Jiaming yang sedang menyetir, tapi tidak bisa menghindari putrinya di jok belakang. Melihat gerakan ibuku, gadis kecil itu mengendurkan wajahnya. Dalam memorinya yang terbatas, penampilan ibuku selalu lembut dan terbuka. Hari ini dia melihat beberapa kali adegan air mata, yang membuat hatinya yang kecil mulai tidak nyaman beradaptasi.”
“Tidak, Ibu tidak menangis.”
“Paman kamu orang jahat!”
Yahan baru ingin menenangkan, Tao Tao sudah berteriak ke Jiaming yang menyetir, “Kamu membuat Ibu menangis, aku tidak mau beruangmu lagi!”
“Eh...”
Jiaming membuka mulutnya dengan kekecewaan, tapi hal ini memang harus menjadi tanggung jawabnya. Yahan tersenyum melihat ekspresinya yang tak bisa berkata-kata, lalu menoleh menjelaskan: “Tao Tao baik, Ibu tidak menangis, Ibu senang... sangat senang...”
Setelah menjelaskan berulang kali, gadis kecil itu akhirnya menerima dengan setengah percaya fakta bahwa air mata ibunya berasal dari kebahagiaan - sesuatu yang sulit dipahaminya. Karena mengerti ibunya tidak sedih karena paman ini, dia tidak lagi pendendam. Berbaring di Beruang Putihnya dia bertanya: “Paman, aku mau tanya sesuatu.”
“Boleh.”
“Beruang ini bisa terbak tidak?”
“Hmm?”
“Aku lihat tadi dia terbang dari atap gedung sebelah. Apa dia yang membawa paman terbang ke perusahaan Ibu?”
“Setelah gadis itu berkata demikian, Yahan menunjukkan tatapan bingung. Saat Jiaming tersenyum dan berkata: \"Ya, kakak di bawah tidak mengizinkanku naik, jadi aku hanya bisa memintanya membawaku terbang masuk.\", barulah dia mulai memahami beberapa hal dan tak bisa menahan senyuman.”
“Terbang dari lantai atas? Kenapa tidak menelepon saja?”
“Lupa bertanya pada orang.”
“Aku sudah memberi Lingjing...”
Sampai di sini, Yahan mengangguk. Karena Jiaming keluar untuk menemuinya, meski Lingjing tahu, tentu dia tidak enak bertanya nomor telepon pada Lingjing lagi. Seharusnya pertemuan pertama Jiaming setelah kembali memang dengannya. Sambil berpikir demikian, diam-diam suasana menjadi hening. Melihat atmosfer aneh di antara dua orang di depannya, Tao Tao kecil tidak melanjutkan tanya tentang beruang. Beberapa saat kemudian, Yahan berbisik: “Kepalanya sudah tidak sakit?”
“Sudah...” Jiaming mengangguk, “Berbagai hal tak karuan yang menggelisahkan selama bertahun-tahun ini...”
“Kapan...kembali?”
“Kemarin malam.”
Yahan mengangguk pelan: “Kemarin malam, Lingjing sedang bernyanyi di konser. Katanya kemudian terjadi kecelakaan mobil di luar gedung olahraga, sepertinya ada ledakan juga. Beberapa blok jalan jadi kacau. Aku akhirnya tidak bisa menemukan Lingjing, hal ini...” Matanya menatap mata Jiaming, setelah mendapat konfirmasi, bertanya: “Lingjing baik-baik saja?”
“Baik.” Jiaming berpikir sejenak, “Shasha juga kembali. Sudah bertahun-tahun kau tidak bertemu dengannya kan?”
“Pasti akan bertemu.” Yahan tersenyum, “Lupakan ini. Bagaimanapun, nanti sore ini... untukku dan Tao Tao kan?”
“Untuk nada suara yang mulai terasa kasihan pada diri sendiri seperti ini, Jiaming selalu tidak bisa menjawab. Beberapa saat kemudian, Yahan tersenyum dan menghela napas panjang: 'Ayo ke Akademi Hati Kudus. Villa mereka masih menyimpanku, tapi aku juga sudah lama tidak ke sana.'”
Mobil menembus tirai hujan, melaju mulus menuju Akademi Hati Kudus di ujung lain kota. Di dalam gerbong, terdengar samar bisikan letih Yahan.
“Akhir-akhir ini sangat lelah... ingin istirahat... Semua karena kau yang menjebak. Hari ini menangis di depan begitu banyak orang, besok tidak tahu harus bagaimana menghadapi mereka. Semua adalah bawahanku...”
“Apa! Gu Jiaming... Mana mungkin!”
Tepat saat mobil kecil keluar dari Zhang industri berat, di sebuah gedung perkantoran yang tidak terlalu jauh dari sini, Dongfang Wan yang sedang menerima tamu teman sekelas tiba-tiba membelalakkan mata. Xu Yiting yang lewat di depan pintu menjulurkan kepala untuk melihat, kemudian buru-buru pergi karena dipanggil seseorang.
Saat ini yang duduk di hadapannya adalah kombinasi tim kecil Level Empat orang: Wang Tujia, Luo Jingwen, Liang Mingchao, Li Song. Awalnya mengira ini hanya reuni sederhana dengan teman sekelas lama, tapi sama sekali tidak menyangka akan mendengar kabar seperti ini. Melihat ekspresi terkejut Dongfang Wan, Liang Mingchao juga ikut mengerutkan alis.
“Iya, tapi yang kulihat hari ini memang dia. Ada juga pacarnya ikut, di rumahmu kan? Semua orang membicarakan rencana reuni teman sekelas. Dia bilang kalau ada waktu pasti akan datang. Dulu dengar kabar dia masuk penjara, ya? Liu Huaisha kabur karena terlibat di Jalan Hitam, tapi hari ini... Tuan Fang Zhitian juga ada di rumahmu, sepertinya sangat menghargainya, bahkan mengundangnya masuk untuk ngobrol berdua lama sekali...”
“Paman Fang memang ada di rumah kami, tapi aku baru pulang sekali belakangan ini...” Bergumam pelan, Dongfang Wan duduk di kursi. Bawah sadarnya ingin mengambil cangkir teh, tapi jarinya terkena air teh mendidih. Ia mengisap ibu jari di bibirnya perlahan. Gerakan tak sengaja ini tiba-tiba membuat wanita yang terkenal sombong di kalangan teman sebayanya terlihat sangat seksi. Ekspresi Liang Mingchao dan Li Song sesaat menjadi agak kaku. Dongfang Wan tak menyadari bahwa gerakan kontemplatif yang biasanya hanya muncul di situasi privat ini terlihat aneh. Tak lama kemudian, ia tersenyum dan mengangkat kepala.
“Sudahlah, bertemu teman sekelas lama selalu menyenangkan. Aku dan Yiting mungkin akan datang ke reuni. Ngomong-ngomong, baru-baru ini dengar proyek penelitianmu di kampus menang penghargaan, benar kan...”
“Menggelengkan kepala, dia sudah melepaskan pola pikir dari emosi yang baru saja dirasakan. Mulai bercerita tentang beberapa hal yang diketahuinya mengenai Level Empat orang, lima orang pun langsung akrab mengobrol. Waktu sebenarnya masih sangat pagi, bagi pekerja kantoran, baru mulai nanti sore. Saat Dongfang Wan mengundang mereka untuk makan bersama di malam hari, meski keempatnya punya sedikit pertimbangan, tetap menolak dengan halus. Perusahaan Dongfang Wan di sini baru saja berdiri, sibuk sampai MATI, tidak mungkin mereka terus tinggal di sini sampai malam.”
“Di sisi lain, Xu Yiting yang baru saja menyempatkan diri juga mendatangi keempat orang untuk mengobrol sebentar. Ketika mengantar mereka pergi dan melewati kantor Dongfang Wan, barulah dia melihat sosok Xiao Wan berbaju hitam rapi sedang memeluk tangan di depan jendela di tengah hujan deras. Setelah bertahun-tahun bersama, dia bisa merasakan bayangan kebingungan dan langkah gonta-ganti dari punggung itu.”
“Xiao Wan, lelah?”
“Eh...” Dongfang Wan mengalihkan pandangan, beberapa saat kemudian menggeleng, “Tidak apa, sedang memikirkan sesuatu.” Suaranya masih terdengar percaya diri seperti biasa, tapi penampilannya memang terlihat lelah. Wajar saja, selama lebih dari sebulan ini dia sudah menghabiskan banyak tenaga. Kadang Xu Yiting juga berpikir, satu-satunya kekurangan Xiao Wan mungkin adalah terlalu serius dalam segala hal.”
“Setelah Yiting pergi, Dongfang Wan mengambil telepon dari meja dan mencoba nomor kakaknya. Tak lama kemudian, sambungan telepon pun terjalin.”
“Kakak, tanya sesuatu. Hari ini Wang Tujia dan teman-temannya mengantarkan kartu undangan reuni untukku, katanya pagi tadi datang ke rumah kita dan bahkan bertemu Gu Jiaming dan Liu Huaisha, benar?”
Di sisi lain, Dongfang Lu tersenyum. Tak lama kemudian, setelah mendapat konfirmasi, mata Dongfang Wan membelalak.
“......Bagaimana mungkin......Bukankah dia sudah MATI? Kau yang membuat makamnya, bilang dia dikubur di sana......Kenapa bisa......Baiklah, bagaimanapun juga dia belum MATI......Apa yang akan dilakukan keluarga Ying? Dulu Ying Zifeng......kemarin MATI, bahkan Ying Haisheng dan Ying Zilan sekaligus? Astaga......Jiaming yang melakukan?”
Dongfang Lu di seberang mungkin mengatakan sesuatu. Ekspresi Dongfang Wan membeku, berkedip-kedip dengan mulut menganga lama tanpa suara. Setelah sekian lama baru protes, untuk pertama kalinya suaranya terdengar gagap.
“...Be-Ber-Bercanda macam apa ini, aku khawatir dia......mana mungkin aku, ini......Jian Suyan lho...Aku selalu tertarik pada Kakak Suyan kan kau tahu, juga......juga......Yiting. Kau tahu, Kakak Suyan pernah sangat membantunya - membantunya berhenti narkoba, memberinya semangat, bahkan meminjamkan uang. Beberapa tahun ini dia sudah sukses, selalu ingin berterima kasih dan melunasi utang. Tapi saat bertanya pada Bu Guru Zhang, beliau juga tak tahu keberadaan Kakak Suyan, bilang satu-satunya koneksi adalah Jiaming yang menghilang. Sekarang Jiaming sudah kembali, maka......”
Setelah menemukan alasan yang tepat, mulailah dia berbicara lancar bagai air mengalir. Dalam hujan lebat, cahaya putih menyambar di luar jendela. Beberapa detik kemudian, suaranya terhenti tiba-tiba.
“Apa katamu......”
Gemuruh petir bergulung-gulung di luar jendela. Dia berdiri di depan meja kerja, mempertahankan posisi itu selama kira-kira belasan detik, kemudian tangan perlahan turun, mikropon menghantam permukaan meja, pandangannya terlihat bingung.
Hujan masih turun, di kantor dia tidak menyalakan lampu, segalanya terlihat agak redup mengikuti langit yang mendung. Dia berdiri di sana, bagai bayangan indah dalam latar belakang kelabu. Tak lama kemudian, dia perlahan duduk dalam kegelapan, gerak-geriknya masih mempertahankan keanggunan kebiasaan yang terbentuk lama, namun aura kebingungan itu tetap tak terbendung. Ucapan terakhir sang kakak seolah masih bergema di udara sekitarnya.
"...Halo! Halo, ada petir? Bisa dengar jelas? ... Selama ini kamu jarang cerita tentang dia, kukira kamu sudah tahu... Jian Suyan sebenarnya adalah Gu Jiaming yang menyamar... Meski keberadaan Suyan asli masih belum pasti, tapi Jian Suyan yang kamu dan Xu Yiting temui itu semua adalah Jiaming... Kalian juga bukan anak kecil lagi, hal ini tak perlu disembunyikan lagi, biar kalian tidak terus dibohonginya, hehe... Dengar tidak? ... Aku tahu ini sulit diterima, baiklah, aku matikan telepon, kamu renungkan sendiri... Kalau sempat pulanglah, Paman Fang mungkin akan pergi, setelah masalah di keluarga Ying, banyak posisi kosong. Kalau mau menunjukkan kemampuan, ini kesempatan bagus, memasang taruhan kecil untuk hasil besar..."
Telepon dimatikan.
Dut——
## Bagian Empat Ratus Lima Puluh Delapan Siang Hujan Petir (Bagian Akhir)
Mengatakan lelah dan ingin istirahat, tapi sepanjang perjalanan Yahan tidak tidur. Ia duduk malas sambil menatap Jiaming menyetir, entah memikirkan apa. Sesekali menoleh berbicara lembut dengan Tao Tao, ibu dan putri itu berbisik-bisikan. Hanya tawa nyaring gadis kecil yang menggema dalam gerbong.
Hujan deras, langit di luar muram, tapi menyapu bersih seluruh dunia. Segalanya menjadi jernih dalam guyuran hujan ini. Beberapa blok jalan menyalakan lampu jalan, cahayanya berkelap-kelip. Mobil kecil yang melintas menyalakan lampu, taman bunga dan pepohonan di pinggir jalan hijau segar. Tak lama kemudian, pemandangan familiar pun masuk ke pandangan.
Akademi Hati Kudus sedang liburan musim panas. Dalam hujan lebat, segalanya terasa sunyi. Jalan dan kawasan permukiman mengelilingi kampus, bercabang di plaza pintu utama akademi. Satu arah menuju gedung kecil tempat Jiaming, Lingjing, dan Shasha pernah tinggal bersama. Satunya lagi menuju villa tempatnya tinggal selama di Shengxin. Keduanya tak berjauhan. Saat Jiaming masih SMA, mereka berempat sering hilir mudik. Setelah Jiaming menjalin hubungan dengannya, lalu Lingjing dan Shasha pergi, tinggal mereka berdua di villa itu. Kini saat Jiaming pulang membersihkan gedung kecil untuk terakhir kali, ia pun ikut membantu. Pemandangan sekarang terlihat persis seperti tahun itu.
Sampai di Shengxin, jarak yang tersisa tidak banyak lagi. Saat tiba di villa, penampilan luar rumah itu masih terlihat sama seperti dulu. Hujan mengguyur dinding luar hingga bersih. Saat membuka pintu, kunci di tangan Yahan beberapa kali tidak tepat masuk ke lubang kunci. Setelah pintu gerbang terbuka, segala sesuatu yang tertutup selimut putih langsung memenuhi pandangan.
"Ibu pernah bilang ini tempat Tao Tao dilahirkan lho." Gadis kecil itu memandang penasaran segala hal dalam kamar, kemudian melompat-lompat berjalan di depan. Di sini dia jarang datang, andai waktu lebih awal mungkin sudah lupa. Meski tak ada penghuni, debu yang menumpuk tidak banyak. Semua tata letak masih mempertahankan wujud seperti beberapa tahun lalu.
"Setiap setengah tahun datang membersihkan sekali..."
Yahan menarik selimut putih yang menutupi sofa, bicara dengan suara lembut. Jiaming juga ikut membuka kembali penutup-penutup ini. Tao Tao sesekali membantu, sesekali duduk di sofa berguling-guling, naik-turun lantai, bertanya hal seperti: "Ibu, di kamar mana aku dilahirkan?" dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya.
“……Tahun itu saat hamil Tao Tao, aku bertengkar dengan keluarga, memanggil seorang tante untuk merawatku……Selama beberapa bulan mengandung Tao Tao masih lumayan, muntahnya tidak parah……Cuma sering menendang……” Saat bercerita tentang masa kehamilan, senyum lembut muncul di wajah Yahan, “Sepuluh bulan kehamilan tidak memberi masalah, tapi dia lahir setengah bulan lebih awal dari perkiraan, anak ini……Siang itu tiba-tiba merasa mau melahirkan, menelepon dokter, saat dokter datang, akhirnya melahirkan di kamar bersih yang sudah dipersiapkan di sini. Karena prosesnya cepat, dua jam kemudian Tao Tao sudah keluar, menangis sangat kencang……”
Sambil membereskan, Yahan terus bercerita. Tao Tao membuka mata besar-besar mendengarkan di samping. Pekerjaan ini cepat selesai, lebih dari sepuluh menit, semua sudah kembali seperti semula. Yahan mengambil banyak bantal peluk, memasukkan sarungnya di sofa ruang tamu. Tao Tao duduk di tumpukan bantal empuk sambil berbisik dengan Beruang Putih. Tentu saja dia tidak kekurangan mainan, tapi mungkin Yahan atau orang lain tidak pernah memberinya mainan yang ukurannya 2-3 kali lebih besar dari tubuhnya, untuk sementara ini terasa sangat baru. Jiaming membeli beberapa bungkus mi instan dari warung kecil, merebus air dengan ketel listrik untuk menyeduhnya, ditambah dua batang sosis kalengan.
“Siang belum makan, lumayanlah ini.”
Tao Tao di seberang memandanginya dengan sorot mata berbinar.
Mi instan bukanlah hal yang langka, namun di bawah asuhan Yahan, Tao Tao yang sudah besar ini secara alami juga tidak punya kesempatan untuk mencicipi makanan sampah semacam ini. Yahan memandangi putrinya dengan senyuman, kemudian menyeduhkan semangkuk mi untuk Tao Tao. Dalam kepulan asap panas, gadis kecil itu menggenggam mangkuk besar, menghirup dengan lahap mi yang pertama kali dicobanya ini.
Mi instan dimakan setengah mangkok kecil, Tao Tao di sofa menemani Beruang Putih berbicara sebentar lalu tertidur lelap. Hari ini pagi dia sudah mengalah pada ibuku hingga bosan setengah hari, meski sekarang berada di tempat baru, tetap tak menemukan hiburan apa pun. Setelah kenyang, menemani Beruang Putih tidur pun dijadikan hiburan. Saat Yahan menggendong gadis kecil yang tertidur pulas ke kamar dalam, Jiaming menghabiskan mi sisa Tao Tao lalu pergi ke dapur mencuci mangkok. Suasana kamar menjadi hening, terdengar nyanyian lembut Yahan yang meninabobokan putrinya. Langkah kaki berhenti perlahan, tak lama kemudian kehangatan tubuh perempuan yang sudah akrab menempel di punggungnya, kedua tangan melingkar di dada, memeluk erat. Suasana semakin tenang, berdua tak bersuara. Jiaming perlahan menaruh mangkok keramik kembali ke lemari, Yahan menggenggam kedua tangannya untuk menariknya memeluk tubuhnya dari belakang.
“Tangan masih basah kuyup...”
“Aku tak peduli...” suara Yahan bergumam bagai dalam mimpi.
“Heh.”
Jiaming tersenyum, menggunakan handuk baru mengeringkan noda air di tangan, baru kemudian berbalik. Tangannya meraih lututnya menggendong dia, lalu menuju sofa, membaringkannya di pangkuannya. Empat tahun lalu di musim dingin itu, setiap malam mereka sering seperti ini—Yahan berselimut, memeluk bantal sambil mengobrol, selalu enggan cepat-cepat tidur. Jiaming merangkulnya, setelah beberapa saat baru membuka mulut: "Bertahun-tahun ini... hidupmu sangat sulit ya?"
"Asal ada Tao Tao tidak terasa pahit." Yahan merangkul sebuah bantal peluk di dada, tubuhnya meringkuk lembut di samping kaki suaminya.
"Lebih kurus dari dulu..."
"Sering olahraga, kok." Yahan menengadah memandangnya, "Masih ingat berat badanku?"
"Masih ingat di sini sangat kencang."
Jari-jarinya menyusuri tepi baju, menekan lembut kulit perutnya. Sentuhan pertama empat tahun silam, jemari itu bagai api membakar. Tubuh Yahan gemetar, memejamkan mata sebelum akhirnya membuka kembali. Sebuah tangan menempel pelan di punggung tangan Jiaming: "Sudah punya anak, mana mungkin masih seperti dulu?"
"Tao Tao didikannya sangat baik."
“Sebelumnya berpikir, seumur hidupku akan hidup untuknya…” Dia terdiam sejenak, “Seperti lagu yang dulu kau nyanyikan untukku, berharap bisa terus menemani tumbuhnya, melihatnya akhirnya menikah, hidup bahagia, ingin hidup lebih lama, memberikan segalanya yang terbaik untuknya, mungkin… juga bisa melihat sosokmu dalam dirinya. Penyakit belum sembuh, malah lebih rutin melakukan perawatan daripada sebelumnya, tidak bisa manja lagi, juga tidak boleh menangis di depan Tao Tao, kadang pergi ke makammu dan menangis sepanjang sore…”
Matanya terpejam rapat, menekan tangan Jiaming ke perutnya, lama sekali baru berbisik pelan: “Malam saat kau pergi… aku tahu… di balkon menangis sambil melihatmu pergi…”
“Aku mengerti…”
“Empat tahun ini sangat melelahkan, Jiaming…”
“Aku mengerti… Sudah tidak apa-apa…”
Bisikan lembut, hiburan pelan, Yahan mengingat kembali semua hal ini, berbicara dalam pangkuan Jiaming, seolah ingin mengungkapkan segala peristiwa selama empat tahun satu per satu.
“…Setelah kau pergi, aku tidak berani memberitahu orang lain tentang kehamilan ini, mengundurkan diri dari Akademi Hati Kudus, hanya bisa tinggal di sini, keluarga pun tidak berani pulang…”
“…Setelah Papa tahu tentang kehamilan ini, memaksaku untuk menggugurkan Tao Tao, karena aku bersikeras malah mau main kasar, aku hampir mati di depannya…”
“…Tao Tao membanggakan, setelah melihatnya, Papa tidak bisa berkata apa-apa lagi, kemudian menyuruhku pulang, memaksaku untuk mengungkapkan identitasmu…”
“Tao Tao cepat pintar…”
“Kemudian bekerja di perusahaan…”
“Tao Tao selalu menjadi perisai pembenaranku…”
“Setiap pagi setelah bangun, menyanyi untuknya. Saat Tao Tao belajar bicara…”
“Banyak hal tidak karuan, tapi setiap kali melihat Tao Tao, aku merasa semua hal ini sepadan…”
Waktu mendekati pukul lima, dalam gumaman datar Yahan akhirnya tertidur pulas. Jiaming memandang langit yang mulai gelap di luar, merangkul Yahan cukup lama, akhirnya menggendongnya ke kamar sebelah kamar utama. Ia membaringkan wanita itu di ranjang, menyelimutinya dengan selimut tipis. Dia duduk di tepi ranjang memperhatikan posisi tidurnya, lalu bangkit dan pergi.
Saat tiba di kamar utama, Tao Tao juga tertidur lelap sambil memegang satu tangan Beruang Putih. Posisi tidur gadis kecil ini sangat tenang, mirip ibunya. Ini adalah putrinya, anak Yahan dan dirinya. Memikirkan hal ini, hatinya dipenuhi emosi yang cukup asing, merasa agak tidak nyata.
Bagaimanapun, dia tidak pernah membayangkan dirinya menjadi ayah. Pertemuan kembali dengan Yahan adalah skenario yang diantisipasinya, hanya putri ini——meski sebelumnya tahu keberadaannya——saat bertemu tetap membuatnya merasa sedikit bingung.
Manusia yang sangat kecil, anak kecil memang agak merepotkan. Bukanlah orang yang penuh kasih sayang, sebelumnya juga tidak menyukai anak, Jiaming merenung sambil menarik selimut putrinya. Ini adalah manusia baru bagaikan kertas putih, kau bertanggung jawab atas masa depannya, hal ini tidak mengikuti hukum alam, tidak ada kesempatan kedua, berbagai pengalaman sebelumnya sama sekali tak berguna di sini, sedangkan kau harus menjamin dia memperoleh kebahagiaan—Dia tidak menyukai perasaan ini, bisa diramalkan masa depan akan menjadi sangat rumit, dia juga bukan bahan mentah untuk menjadi guru, murid sebelumnya yang menjadi tanggung jawabnya Kaoru, mungkin hanya bisa disebut hasil setengah jadi, sungguh berbeda jauh dengan prospek yang pernah dia bayangkan.
"Tidak ada cara, hal seperti ini……" pikirnya, akhirnya menghela nafas sambil bergumam, "Ada rintangan harus dihadapi, tak ada rintangan...ciptakan rintangan juga harus dihadapi..." Hasil dari menabur benih adalah...
Tidak ingin mengganggu Tao Tao yang masih tidur, juga tak mau lagi memusingkan hal ini, Jiaming keluar kamar mulai merapikan barang-barang sehari-hari. Meskipun sofa, ranjang, lemari, peralatan elektronik bisa langsung digunakan dengan membuka selimut putih, namun banyak barang saat ini tetap belum bisa dipakai. Kamar mandi, ruang mandi, garasi...berkeliling ke berbagai tempat, sekitar setengah jam kemudian, saat membawa beberapa barang menuju ruang penyimpanan di lantai dua, barulah dia tiba-tiba menyadari ada sedikit keributan di kamar tempat Yahan sedang beristirahat.
Pelan-pelan membuka pintu, terlihat di atas ranjang besar tubuh Yahan sedang gelisah bergerak-gerak, alisnya berkerut rapat. Entah karena mimpi buruk apa, rambutnya yang rapi kini berantakan di atas bantal. Dia melirik sebentar, bersiap mengembalikan barang di tangannya ke gudang sebelum kembali turun untuk melihat. Baru saja meletakkan barang, tiba-tiba mendengar Yahan berteriak dari bawah: “Jiaming!”
Bergegas menuju tangga, pandangan mata menyaksikan situasi Yahan yang tiba-tiba berlari keluar dari kamar. Suara pintu yang terbuka sangat keras, ekspresinya gelisah dengan butiran keringat memenuhi wajah. Setelah melihat sekeliling beberapa detik, meski sempat menyapu area atas tangga, seolah tak melihat Jiaming yang berdiri di sana. Dengan napas tersengal, dia berdiri beberapa detik lalu membuka pintu beberapa kamar di lantai bawah. Pandangannya kosong menyapu area luar jendela, kemudian berlari menuju pintu gerbang villa.
Jiaming tertegun di sana, dia hampir bisa mendengar jelas bisikan dan teriakan lemah Yahan, semuanya adalah namanya. Dirinya berdiri tepat di hadapannya, namun dia tidak bisa melihatnya. Sambil menangis, dia terus mencari di dalam kamar, mendorong pintu gerbang dan berlari beberapa langkah, hampir memasuki tirai hujan baru berhenti. Dengan isak tangis, dia mencari bayangan yang ingin dilihatnya di tengah hujan. Beberapa saat kemudian dia berlari kembali, menuju tangga, mungkin ingin naik ke gedung. Baru setelah menaiki dua lapisan anak tangga, dia tiba-tiba membeku di tempat, menatapnya yang berdiri di atas tangga.
“Tiba-tiba Jiaming menyadari, mungkin kejadian di kamar empat tahun lalu saat dia pergi pada malam bersalju itu, dalam kondisi sakit kepala hingga linglung, adalah semua yang terlihat sekarang. Setelahnya, dia pergi ke balkon, menyaksikan dirinya pergi dalam hujan salju, hanya bisa menangis tapi tak mampu mengejar. Dari pertemuan hari ini hingga penuturannya kemudian, dia terus menekan perasaan dan berpura-pura tenang, hingga dalam mimpi ini, segalanya akhirnya meledak.”
“Empat tahun kemudian, dia berdiri di tangga, pandangannya akhirnya memisahkan masa lalu dari realita. Dia melihat sosok di atas, wajahnya basah oleh air mata dan keringat saat mimpi buruk kambuh, tangan mencengkeram kerah baju di dadanya. Sejenak, senyum terpaksa muncul di wajah yang basah itu, senyum kelegaan yang akhirnya runtuh dalam kekecewaan yang semakin dalam dan jantung berdebar. Dia bersujud di tangga, tangisan sedihnya meledak, 'Ha...' Kali ini, tak ada lagi yang bisa menahannya.”
Pelan-pelan, Jiaming memeluknya.
“Sudah tidak apa-apa, Aku kembali, tidak apa-apa lagi、tidak apa-apa lagi……”
“Jangan pergi lagi dariku……”
Tangisan pilu yang menusuk jiwa.
## Bagian Empat Ratus Lima Puluh Sembilan Keselarasan
Saat meninggalkan villa Yahan sekitar pukul 06.40, hujan mulai reda. Langit senja justru semakin terang, di ufuk barat tersisa semburat merah matahari sore. Lampu jalan menyala, jejak genangan air hujan memenuhi jalanan dan rumput hijau di sekitarnya.
“Masih tinggal di gedung kecil sebelumnya ya?” Mengantar Jiaming keluar, Yahan bertanya dengan suara lembut. Jiaming mengangguk.
“Beberapa hari lagi... aku akan menemui Lingjing dan Shasha, hal ini benar-benar tidak tahu harus bagaimana.” Yahan berpikir sambil menggelengkan kepala.
“Salahku.” Kata Jiaming.
“Sudah pernah terpikir cara menyelesaikannya?”
Jiaming tersenyum: “Semua orang tinggal bersama?”
“Terlalu sulit...” Yahan menggandeng lengannya ikut tersenyum, “Jika kau miliarder, aku tidak perlu memikirkan urusan lain, rela dihidupi olehmu. Tapi sekarang...” Dia menunduk, diam sejenak: “Hanya ingin kau tahu, sungguh tidak ingin merepotkanmu. Setidaknya sekarang... tahu kau masih hidup, dan sudah memiliki Tao Tao, aku sudah sangat puas. Tidak menyesal pernah bersamamu. Tapi sejak awal, aku yang bersalah pada Lingjing dan Shasha. Waktu itu, jika bukan karena ketehatanku, kau pasti tidak akan naik ranjang denganku...”
Matanya yang memandang Jiaming mulai berkaca-kaca: “Seharusnya tidak mengatakan ini, tapi... aku tahu hal-hal ini paling merepotkan, pasti akan membuatmu pusing. Tapi kau pria, harus lebih dimaklumi...”
Jiaming mengangguk. Yahan melepas gandengan tangannya: “Tidak bisa mengantarmu lagi. Tao Tao masih tidur, nanti takut jika bangun tidak melihatku... Selamat tinggal...”
“Selamat tinggal.” Berdiri di bawah lampu jalan, Jiaming mengayunkan tangan. Menyaksikannya pulang hingga masuk ke pintu gerbang villa, baru kemudian berbalik pergi.
Menyusuri jalan ke bawah, sampai di plaza depan Akademi Hati Kudus, kemudian berbelok ke jalan lain. Cahaya lampu jalan setelah hujan deras terlihat jernih dan terang. Saat berbelok di persimpangan jalan sebelah, lampu-lampu rumah sudah menyala semua. Hanya sedikit pejalan kaki di jalan, di kejauhan beberapa pria dan wanita sedang duduk mengobrol di depan warung kecil. Ketika Jiaming mendekat, salah satu cewek berdiri sambil mengayunkan tangan - ternyata Lingjing.
"Pas pulang ketemu Tante Chen, masih ingat kan?"
"Jiaming juga pulang nih?"
"Halo Tante Chen, Paman Zhang, lama tidak berjumpa."
Sudah tujuh tahun sejak Jiaming, Lingjing, dan Shasha pertama kali tinggal di sini. Selama tiga tahun SMA, mereka mulai akrab dengan tetangga sekitar. Tante Chen pemilik warung kecil ini tentu masih mengingat mereka. Ingatan Jiaming yang punya memori fotografis membuatnya menyapa satu per satu orang di situ. Setelah membahas kabar selama empat tahun terakhir dengan santai, baru dia bertanya ke Lingjing: "Shasha mana?"
"Belum pulang. Aku turun beli sesuatu, ngobrol sebentar dengan tante-tante." Ling Jing tersenyum sambil menoleh ke beberapa orang lain, "Kita pulang dulu ya, belum makan. Tante Chen, lain kali lanjut ngobrol, Pamanku Zhang sampai jumpa." Dengan natural mereka menggandeng tangan dan pergi, samar-samar terdengar suara dari belakang: "Perasaan mereka masih mesra seperti dulu ya." Ling Jing tak bisa menahan senyum kecil, berbisik: "Sha Sha siang tadi sempat pulang sebentar, lalu menghubungiku dan pergi lagi, katanya mau membereskan barang-barang peninggalan Paman Liu. Hari ini dia akan pulang agak malam." Nada bicaranya tenang datar, tapi saat menyebut ini, kilatan merah samar muncul di wajahnya.
"Hari ini kunjungi Ayah Ibu Ye ya?"
"Hmm." Ling Jing mengangguk, "Melihat penampilanku, dengar kabar aku mau tinggal di sini, mereka terkejut bukan main. Masalahmu mungkin tidak bisa disembunyikan lama-lama. Nanti bagaimana ya."
Mereka berdua berjalan pulang. Ling Jing sudah memasak sebelumnya baru turun menunggunya. Sekarang tinggal menghangatkan sebentar langsung bisa dihidangkan. Menunya sederhana: Mapo Tahu, Tumis Daging Cabe, Sup Telur Rumput Laut. Masakan rumahan yang sudah lama tak dirasakan: "Sudah lama tidak masak, takut rasanya tidak enak. Jangan menertawakanku ya."
"Di Wina..." Jiaming ragu sebentar, "Tidak pernah masak?"
"Tinggal sendirian, masak sendiri terlalu merepotkan. Biasanya makan di kantin atau pesan delivery." Ling Jing berpikir sejenak, "Seingatku, selain kemarin, sudah empat tahun aku tidak menyentuh spatula."
"Bagaimana kehidupan di Wina?"
“Duduk di tepi meja mulai makan, bertiga juga sedang membicarakan hal-hal selama empat tahun terakhir. Lingjing menggunakan sendok menuangkan sup rumput laut ke dalam mangkok: \"Suasana musiknya bagus, lingkungannya nyaman, tapi... keluarga terasa lebih akrab, selama ini tidak benar-benar beradaptasi di sana, musim dingin terlalu dingin, tapi setidaknya bisa bertahan...\" Dia tersenyum, \"Selama ini ingin pulang untuk menghujatmu.\"”
“Sekarang masih ingin?” Jiaming mengerutkan mulutnya, “Lihat aku yang malang begini, jangan dihujat ya.”
“Hmm, tidak menghujat.” Lingjing menatapnya, mata berbinar-binar, “Tahun ini benar-benar menjual kacang chestnut goreng gula?”
“Kenapa?”
“Aku sedang membayangkan apakah masakanmu enak atau tidak.”
“Seharusnya... cukup lumayan, bisnis selalu ramai kok.”
“Kalau begitu kita buka toko kacang chestnut goreng gula nanti?” Lingjing tersenyum.
Jiaming mengangguk: “Boleh juga.”
“Tapi lebih baik jangan... jangan karena aku bilang begitu lalu kau putuskan, pilih dulu yang benar-benar disuka baru dikerjakan.” Lingjing berpikir sebentar, kemudian wajahnya memerah sambil mengangkat bahu, “Aku juga tidak harus jadi nyonya pemilik toko kacang chestnut goreng gula.”
Orang yang semakin tua usia dan mentalitasnya akan menempatkan kebahagiaan pada kenangan masa lalu. Pemuda yang mencari sensasi menaruh kebahagiaan pada kenikmatan di depan mata. Mereka yang menyukai hal-hal konkret meletakkan kebahagiaan dalam merancang masa depan. Lingjing jelas termasuk kategori terakhir. Setelah masuk SMA, dia mulai berfantasi tentang kehidupan bertiga di masa depan dan berusaha keras membangun segala imajinasinya. Kini dia juga mulai terbiasa membayangkan hari esok mereka bertiga. Meski masih diliputi keraguan dan ketakutan yang lebih besar akibat perpisahan sebelumnya, namun tak bisa disangkal bahwa masa depan sebenarnya benar-benar dimulai dari sini.
Mereka telah menyantap makan malam dan merapikan peralatan makan. Saat Jiaming mencuci piring, Lingjing mandi terlebih dahulu, kemudian giliran Jiaming. Ketika Jiaming keluar dari kamar mandi, waktu baru menunjukkan lewat pukul delapan malam. Di TV sedang memutar drama sabun yang belum pernah mereka tonton. Lingjing yang mengenakan kemeja putih panjang turun dari sofa, berjalan diam-diam mendekatinya. Paha jenjangnya yang terbuka di udara seputih gading. Dia menempelkan tangan di dada Jiaming, tubuhnya terasa hangat dan sedikit gemetar. Kemudian mengangkat kepala, menatapnya dengan wajah yang lebih anggur dan murni dibanding empat tahun lalu.
“Waktu seperti pisau, empat tahun berlalu. Kesalahpahaman dan kepedihan di masa lalu membawa kerinduan yang berlipat ganda. Namun setelah gejolak awal mereda, sang waktu tetap mengukir jurang-jurang tak kasat mata di sekitar mereka. Meski tak terlihat maupun teraba, jurang ini membuat mereka tak terhindarkan diliputi kecemasan. Untuk mengatasi emosi ini, beberapa hal tak diragukan lagi menjadi cara terbaik.”
“Dia menatapnya, berbisik lembut: ‘Aku ingin naik ranjang.’”
“‘Aku juga...’”
“Dia menggendongnya menuju kamar tidur. TV padam, lampu pun ikut meredup. Dari jalan di luar, terdengar samar suara manusia dan derum mobil. Langit malam setelah hujan disirami gemerlap bintang yang lebih jernih. Jiaming membuka kemejanya, melepaskan celana dalam putih, lalu perlahan mencium bibirnya. Kemudian, datang respons yang masih kaku.”
“Di bawah gemerlap bintang, mereka perlahan-lahan... menyatu dalam keselarasan...”
“Di saat yang sama, Eropa masih disinari siang hari.”
Ibu kota Italia, Roma, langit cerah tanpa awan, cuaca yang paling cocok untuk turis berwisata. Di jalanan kota, turis dari berbagai belahan dunia memang terlihat di mana-mana. Di jalan depan sebuah warung makan, sepasang kekasih atau mungkin pengantin baru dari Timur sedang makan siang di meja tepi jalan. Di samping tangan wanita itu tergeletak peta wisata, sambil menyantap pizza di tangannya, ia merencanakan itinerary untuk nanti sore, sementara pria di seberang tak peduli, sambil menikmati pemandangan pejalan kaki dan bangunan sekitar, ia asyik melahap makanannya. Tak lama kemudian, seperti merasakan sesuatu, ia mengeluarkan laptop dari tas perjalanan dan membukanya di meja, membaca email yang muncul dengan ekspresi mulai berubah.
"Ada apa? Ada hal?" Dengan ketajaman menyadari perubahan ekspresi pacarnya, wanita itu bertanya dalam bahasa Jepang.
"Uhh, hal besar."
"Kalau begitu, liburan kita mungkin gagal?" Ekspresi wanita itu mulai menunjukkan rasa kesal.
"Tidak sampai segitu." Pria itu berhenti sejenak, lalu membaca ulang informasinya, "Kabar dari Tiongkok, beberapa yang MATI membuat kekacauan di Jianghai lalu mentok, muncul orang yang sangat hebat. Meskipun [] sementara Blokir kabarnya, tapi menurut personel intelijen kita yang ditempatkan di Jianghai, sangat mungkin... itu teman sekelas Jiaming yang selalu kau kagumi pulang."
"Er... Mana mungkin?" Wanita bernama Yui tertegun, "Bukannya dia sudah MATI?"
“Kabar dari bertahun-tahun lalu memang begitu, tapi tidak menemukan mayatnya, siapa yang tahu.” Pria itu menutup komputer dengan senyum santai, "Dia pria yang bisa menciptakan keajaiban. Jika benar-benar kembali, aku pun tak akan heran."
Wanita itu berpikir sejenak, baru berkata setelah lama: "Jika itu benar, yang paling bahagia pasti Kaoru. Dengan begitu, dia seharusnya bisa keluar dari kondisinya sekarang... Jujur saja, aku selalu khawatir dengan keadaan anak itu..."
"Sekarang dia sudah bukan anak-anak lagi... Meski saat mengunjunginya tahun ini, dia masih tak banyak berubah, hanya semakin jernih..." Pria itu mengunyah makanannya sambil menggeleng, "Sangat mengkhawatirkan. Dia semakin jelas meminggirkan diri dari dunia. Kondisi seperti ini pernah kulihat pada beberapa teman sebelumnya, yang akhirnya bunuh diri tanpa terkecuali... Jika kabarnya benar, ini pasti membantunya..."
"Telepon saja ke rumah?"
"Belum ada konfirmasi, mau bilang apa? Tunggu beberapa hari lagi, semoga kabar baik. Nanti akan kuberitahu langsung padanya..." Pria itu tersenyum, lalu mengerutkan alis, "Tapi sekarang, yang terpenting adalah menyelesaikan urusan kita sendiri..."
"Apa?"
"Ada beberapa orang... yang mengincar kita..." Dia berdiri, meletakkan uang di meja dengan senyum menyejukkan, "Ayo pergi. Lihat siapa sebenarnya mereka... Maaf, aku berutang perjalanan sempurna padamu."
“Ada yang ingat saja sudah baik.” Wanita itu tersenyum, dengan murah hati menggandeng lengan kekasihnya. Tangan satunya dengan santai mengayunkan tas kecil yang cantik. Tak lama kemudian, keduanya menghilang dalam kerumunan ramai jalanan Roma seperti pasangan kekasih biasa...
## Bagian Keempat Ratus Enam Puluh: Jarak
Pinggiran Tokyo, Jepang, malam hari di kediaman keluarga Yuechi.
Cahaya bintang berkilauan memantul di antara pepohonan tua nan megah, bagai kabut air maupun buah sabun. Waktu masih belum terlalu larut, di jalan-jalan sepi kediaman ini masih terlihat sosok-sosok yang hilir mudik. Berkimono, bersandal kayu, dengan Pisau Pendek di pinggang - penampilan khas prajurit. Dari pekarangan-pekarangan yang diterangi lampu, sayup-sayup terdengar alunan lagu Jepang klasik yang menenangkan.
"...Sungai jernih mengalir, di tepinya tegak hutan cemara. Sunyi malam tiba-tiba pecah oleh kicau ribuan burung... Lagu tentang pemandangan Sungai Yoshino ini yang paling kusukai. Bagaimana pendapat Tuan Nishida?"
"Secara objektif memang mahakarya abadi. Ditambah skill penyanyi dan penjiwaannya, sungguh menjadi klasik terbaik. Tapi secara pribadi, aku lebih menyukai beberapa tanka karya Wakayama Bokusui..."
"Kalau lagu Wakayama, ada seorang geisha di Shinjuku yang sangat mahir membawakannya. Kapan-kapan jika ada waktu, ingin sekali mengajak Tuan Nishida menikmatinya bersama..."
Ini adalah percakapan dua pria yang sedang berjalan di jalan, makna spesifiknya tidak perlu kita pahami, cukup tahu bahwa mereka sedang membuat janji untuk melakukan aktivitas seksual dengan cara yang relatif sopan, bukan hubungan homoseksual. Keduanya bernama Sato Buntarou - saat ini dianggap menjanjikan di antara generasi muda keluarga Yuechi, dan Nishida Naoaya - seorang agen rahasia yang baru bergabung dengan keluarga Yuechi beberapa tahun terakhir, memiliki kesetiaan luar biasa dan baru-baru ini berjasa dalam berbagai misi. Meski masih tergolong pendatang baru secara durasi, sudah dianggap penting.
Yang sejenis akan berkumpul, manusia cenderung berkelompok. Sebagai pemuda-pemuda hebat, hubungan Buntarou dengannya cukup baik, bahkan sebulan lalu bersama-sama menyelesaikan misi di luar kota. Kini kembali setelah melapor ke markas besar, baru tiba di rumah tua di area dalam keluarga Yuechi. Sepanjang jalan, obrolan mereka berlangsung lancar.
Area dalam keluarga Yuechi penuh ketenangan. Cahaya lampu memancar dari pekarangan-pekarangan, bayang-bayang samar terlihat di jalanan. Meski malam musim panas, lingkaran pepohonan tidak membuat gerah. Beberapa pemuda yang berpapasan menyapa Buntarou. Belok di sebuah jalan, mereka berhenti sebajarak di sudut karena ada mobil kecil lewat. Buntarou memandang ke arah pekarangan tak jauh. Pekarangan itu hitam legam tanpa cahaya, hampir menjadi wilayah terlarang keluarga Yuechi sejak kematian Morikami Kura empat tahun silam.
"Konon Buntarou-san terhadap Nona Kaoru..."
"...Kau pernah bertemu dengannya?"
“Awal tahun ini saat lewat, dia sedang menyapu di halaman, kulihat dari jauh.” Nishida Naoya tersenyum, “Benar-benar seperti giok yang jernih, perempuan itu.”
“Ya…” Buntarou menghela nafas, “Ayo pergi.”
“Sato-kun dan Nona Kaoru tumbuh besar bersama sejak kecil?” Setelah melewati jalan setapak itu, Nishida baru berbicara lagi. Buntarou mengangguk.
“Teman masa kecil ya.” Nishida berkomentar, “Bisa ceritakan tentang dia?”
“Antusias?”
“Antusias.” Dia tersenyum mengangguk, “Bagaimanapun, dia benar-benar cantik.”
“Sebenarnya tak banyak yang bisa diceritakan. Sejak kecil karakternya sudah keras kepala. Setelah Nyonya MATI, kepala keluarga juga tak terlalu memperhatikannya, jadi dia menjadi dingin. Lalu pergi ke Tiongkok, terjadi beberapa hal, setelah pulang... jadilah seperti sekarang...”
“Tiongkok?”
“Nishida-kun juga pernah dengar kan? Orang yang membunuh Morikami Kura adalah gurunya.”
“Oh?” Mata Nishida Naoya berbinar, “Orang itu sekarang...”
“Sudah MATI mungkin.” Buntarou tersenyum, “Kaoru mencintainya, jadi sejak pulang, dia tak mau berhubungan dengan siapa pun. Bahasapun perjodohan dengan Takamagahara sekarang hanya simbolis belaka. Kondisi seperti ini sudah... empat tahun...”
Membicarakan hal Kaoru membuat semangat Buntarou tadi memudar. Tak lama kemudian, mereka berpisah di persimpangan menuju arah berbeda. Kembali ke halaman kecil tempat tinggalnya, dia duduk di koridor memandang gemerlap bintang di langit dengan ekspresi sendu.
Empat tahun, cukup untuk membuat seseorang yang awalnya muda menjadi matang, juga cukup untuk membuat seseorang benar-benar memahami perbedaan antara Obsesi dan realita. Pengalaman pertama MEMBUNUH, pengalaman pertama mencuri item yang dibutuhkan dari tempat dengan Proteksi ketat—hal-hal ini ternyata lebih mudah daripada yang dibayangkan, ini adalah hasil latihan bertahun-tahun. Pernah juga mengalami fase arogan, tapi perlahan meredak, akhirnya bisa melihat jarak antara diri sendiri dan orang lain dengan lebih jelas. Masih ingat musim gugur empat tahun lalu, ketika Kaoru kembali ke Tokyo dari Tiongkok ditemani Tenku Masaoka. Sejak itu, dia mulai tinggal di pekarangan kecil itu dengan sikap hampir seperti pertapaan, sesekali keluar untuk menyapu atau eksplorasi. Kadang di pagi hari saat langit masih gelap, orang-orang tiba-tiba melihat bayangannya muncul di hutan lebat keluarga Yuechi, lalu menghilang seketika. Terkadang dia mendatangi perimeter yang dipenuhi perangkat pengawasan, tiba-tiba muncul di salah satu Layar, seringkali membuat orang terkejut bagai hantu—hal ini justru membantu menutupi beberapa blind spot dalam sistem pengawasan.
Pada periode awal itu, setiap pagi-sore dan siang hari, dia akan pergi ke ruang makan keluarga Yuechi untuk makan. Terkadang dalam cuaca hujan atau salju, jika beruntung, saat melewati halaman kecil itu, orang bisa melihat gadis itu duduk diam di koridor kamarnya. Buntarou pernah menyaksikannya saat hujan deras turun, dia duduk di tepi koridor perlahan-lahan menyantap nasi kepal di tangannya, mengunyah dengan tempo teratur, menyatu sempurna dengan lingkungan sekitar. Namun adegan makan dengan sikap super hati-hati yang tak menyia-nyiakan sebutir nasi pun ini, lebih memberikan kesan sebagai upaya mempertahankan nyawa melalui aktivitas makan, ketimbang menikmati santap siang.
Meski terasa aneh, hampir setiap orang memiliki persepsi serupa. Gadis cantik nyaris sempurna itu, setiap gerakannya memancarkan keindahan yang memesona, menyatu sempurna dengan alam semesta. Namun setiap tindakannya justru mengungkap makna dasarnya: setiap butir nasi dan suapan masakan yang masuk ke mulut hanyalah untuk diurai, diserap, dan mempertahankan operasional tubuh ini. Dalam arti ini, dia hampir menjadi makhluk murni biologis, meski setiap helai gerakannya tetap memancarkan keanggunan tak tertandingi.
Dia tidak lagi berbicara. Tidak berkomunikasi dengan siapa pun, makanan dikirim ke halaman kecil. Waktu keluar rumah juga semakin jarang, hanya sesekali terlihat duduk di koridor, membersihkan halaman, berdiri di hutan, atau memandang pemandangan tak tentu dari puncak gunung. Seperti kertas yang awalnya masih memiliki beberapa karakter, kemudian karakter-karakter itu memudar perlahan, berubah menjadi kertas putih murni. Bahkan kertas putih itu sendiri akan terus memudar, menjadi transparan, hingga konsep transparansi itu pun perlahan menghilang. Seolah dalam proses sesekali munculnya dia membersihkan daun kering di halaman, orang-orang di sekitarnya menghilang satu per satu, hingga akhirnya seluruh dunia menjadi sunyi, bahkan dirinya pun akan punah.
Secara bertahap, kesan yang dia berikan memang seperti itu.
Sebagai tunangan, Tenku Masaoka telah datang beberapa kali, perlahan mulai merasakan kekecewaan, mungkin memang sudah tak berdaya. Dua tahun lalu, dia kira-kira memahami hal yang terjadi di Tiongkok. Malam itu dalam keadaan mabuk, dia menerobos masuk ke halaman kecil itu, berbicara banyak hal di depan gadis yang membisu. Berbekal keberanian dari baijiu, dia mengulurkan tangan untuk menggendongnya. Saat itu, gadis itu mengayunkan tangannya, mematikan lampu meja di sebelah.
Pikiran pertama yang terlintas di hatinya saat itu adalah Kaoru sedang malu, namun naluri latihan bertahun-tahun menyelamatkannya. Sekejap kemudian, seluruh tubuhnya terlempar menembus dinding rumah yang hancur berantakan. Serangan penuh semangat gadis yang terkonsentrasi dalam kegelapan itu bagai permukaan laut di malam hari - tenang sesaat sebelumnya, lalu bergelora dengan Niat Membunuh sehebat tsunami. Jika saja tidak sempat menangkis dengan kedua tangan, kekuatan itu akan meledak di dalam rongga dadanya, mungkin benar-benar membuatnya MATI.
Di bawah sinar bulan malam itu, saat ia terjatuh di halaman kecil dan menyaksikan gadis itu membuka pintu, mengenakan sepatu, lalu mendekatinya bagai dewa kematian yang sunyi, cahaya perak yang menyelimuti tubuh gadis itu baru jelas menunjukkan padanya: jurang pemisah antara mereka sudah tak mungkin lagi diseberangi.
Teman masa kecil...
Sambil memikirkan semua ini, ia bangkit dari lorong dan masuk ke kamar dengan tata letak sederhana. Sejenak kemudian, ia mengeluarkan kotak besi kecil usang dan mengambil foto lawas yang menguning. Dalam cahaya remang bintang-bintang, foto itu menampilkan banyak anak-anak. Karena pemandangannya terlalu luas, setiap orang terlihat amat kecil, sekecil kenangan akan tempat yang terkikis waktu. Hanya di sudut foto ia bisa menemukan sosok perempuan muda tak hanya cantik, tapi juga tersenyum samar. Meski foto itu sudah kabur, ia tetap tahu pasti: gadis kecil itu memang sedang tersenyum.
"Sejak kecil menerima pelatihan ninja, semuanya selalu sangat membosankan, kesempatan berfoto tidak banyak, ini juga satu-satunya foto Kaoru yang dimilikinya."
Jarak dengan Kaoru, pikirnya, memang pernah ada masa dimana tidak begitu jauh. Saat semua orang masih kecil, ibu Kaoru belum meninggal, atau sebelum Kaoru pergi ke Tiongkok, jarak antara mereka tidak bisa dibilang jauh. Saat itu Kaoru mengaguminya, memandanginya dengan iri, dan dia selalu menikmati pandangan itu. Sesekali ingin membantu, tapi selalu mengurungkan niat karena hasilnya tidak maksimal. Kaoru adalah gadis kecil yang tidak berbakat, begitu pikirnya waktu itu.
Sekarang teringat, dirinya saat itu mungkin sebenarnya punya simpati pada Kaoru. Dirinya yang masih anak-anak terlalu sombong. Andai saat itu bisa sedikit mengurangi kenikmatan akan pandangan itu, benar-benar membantu Kaoru. Andai saat itu bisa menyadari simpati ini dengan jelas, segalanya sekarang pasti akan berbeda. Hidup memang begitu, terus mencetak cap bakar yang tak bisa diubah di tubuhmu. Setelah cap terbakar dan momen terlewat, meski jarak antara kalian saat itu sangat dekat, mustahil ada kesempatan untuk menggantikan selamanya...
"Sato, Sato..." Dalam kegelapan, seseorang memanggil di jalan luar. Setelah berpikir, dia menyimpan foto di tangannya kembali ke kotak besi, mengatur mood, lalu keluar dari kamar. Orang di halaman tampak akan pergi: "Kau di sini, kenapa tidak nyalakan lampu? Kira kau belum pulang."
"Baru sampai."
“Semua orang sudah menunggumu, harus ceritakan detail operasi ini pada kami ya, haha…” orang itu berbisik kecil, “Kami sudah mempersiapkan beberapa botol anggur baik…”
Terlatih sejak kecil, hubungan Buntarou dengan orang-orang ini cukup baik. Saat itu ia berpelukan bahu sambil menuju tempat yang telah disepakati. Mendengar orang di sampingnya bercerita tentang urusan sepele belakangan ini: “Kaoru dan yang lain tidak bisa datang, luar sibuk, katanya saham Pool Sakura sedang bermasalah, sampai sekarang belum pulang…”
Sepanjang perjalanan, mereka kembali melewati halaman kecil tempat Kaoru tinggal. Seperti saat lewat sebelumnya, bagian dalamnya hitam legam tanpa cahaya lampu, mungkin Kaoru sudah tidur. Saat ia melamun memikirkan hal itu, orang di sampingnya memperhatikan ekspresinya: “Masih belum tahu urusan Kaoru?”
“Apa?”
“Benar tidak tahu? Kukira setaramu bisa tahu sesuatu. Kaoru pergi kemarin.”
“Kau bilang… apa!”
Buntarou meninggikan suara, orang itu pun mengulangi: “Pergi, katanya ke Tokyo. Sudah empat tahun, ini pertama kalinya dia meninggalkan sini. Entah ada masalah apa, ingin sekali menengok… Bagaimana? Besok kita ke sana bersama, cari dia?”
## Bagian Keempat Ratus Enam Puluh Satu Tiga Hari
Saat matahari terbit di pagi hari, bertiga berdesakan di ranjang dengan anggota tubuh saling terikat seperti kue kering. Kipas angin berdesau meniupkan udara, sensasi sejuk langka semalam perlahan menghilang, sentuhan kulit antar mereka mulai terasa panas. Lingjing yang pertama membuka mata, berbaring di dada Jiaming sambil memandangi wujud tidur Shasha. Tak lama kemudian Jiaming pun terbangun, di sisi kanan tubuhnya Shasha bersandar dengan pose tidur tenang yang memancarkan aura kalem.
"Kemarin pulang jam satu malam kan, entah ngapain aja."
"Hmm, pukul satu seperempat, menyelinap naik ranjang pelan-pelan..."
Berdua berbisik pelan, Lingjing mengulurkan jarinya menyentuh pipi Shasha. Setelah beberapa kali disentuh, Shasha yang mulai tak nyaman bergumam: "Jangan ganggu aku." Dalam mimpi indahnya masih terdengar nada manja khas empat tahun lalu, namun kepalanya tanpa ampun menghantam dagu Jiaming dengan suara byur.
Jiaming mengernyit kesakitan, Lingjing tertelungkup di atasnya menahan tawa. Tabrakan Shasha tadi cukup keras, dahi pelan-pelan memerah. Dia sendiri seolah tak menyadari, mengulum bibir terus tidur. Namun dalam lima enam detik, tiba-tiba membuka mata. Pelatihan selama bertahun-tahun ini tak sia-sia. Hampir tanpa melalui fase linglung saat bangun tidur seperti orang biasa, matanya begitu terbuka langsung menunjukkan kesadaran penuh. Memandangi dua orang di depannya, dia berkedip beberapa kali sebelum perlahan tampak bingung.
"Kalian..." Dia menarik satu tangan menahan kepala, "A... Kepala sakit sekali. Kenapa kalian pukul aku?"
Jiaming sejenak tak bisa bicara. Lingjing tertawa terbahak-bahak lama, lalu menerkam ke arah Shasha mencium pipinya: "Shasha semakin imut..." Saat ingin menjauh, tiba-tiba dipeluk Shasha: "Imut? Akan kubuktikan betapa imutnya, aarrgghh!"
"Jangan gigit! A..." Torso Lingjing hanya mengenakan kemeja putih longgar. Wajahnya menghindar dari serangan Shasha, tapi dadanya tiba-tiba diserbu. Sudah empat tahun tak bermain seperti ini, ketahanannya melemut. Tubuhnya meringkuk seperti udang, berusaha kabur saat Jiaming menggelitik pinggangnya. Seketika dia terjatuh duduk di perut Jiaming: "Tolong...!"
"Tadi malam lari ke mana?"
“Bertemu dengan beberapa paman dan bapak-bapak lama Shazhu Bang bersama Kakak Xiao Meng, kami semua makan malam bersama... Kakimu menindih pahaku!”
Lingjing berusaha kabur sambil mengayun-ayunkan tangan dan kaki hingga selimut terlempar semua. Sambil berbicara dengan Jiaming, Shasha mencoba duduk, baru setengah bangun sudah terjatuh lagi. Kamar pun menjadi riuh. Kira-kira belasan detik kemudian, tiba-tiba terdengar suara "Braak, Byur——" hingga seluruh ranjang ambruk. Dua perempuan itu berteriak "Aaaaa——", lalu seluruh dunia pun hening.
Jiaming sejenak terdiam. Shasha berbaring sambil berkedip-kedip, sementara bibir Lingjing yang terjatuh tanpa sengaja menyentuh mulut Jiaming. Beberapa saat kemudian, dia baru duduk di atas tubuh Jiaming sambil mengusap bibirnya dan bergumam: "Hancur..." dengan ekspresi agak malu. Hingga beberapa saat kemudian, Shasha berkata dengan ekspresi kontemplatif: "Kemarin malam terlalu sengit." Wajahnya langsung memerah seperti tomat: "Itu itu itu... tidak ada hubungannya! Kemarin malam... kemarin malam..."
“Faktanya ranjang ini sendiri adalah peninggalan pemilik rumah sebelumnya, kualitasnya tidak terlalu bagus. Ketiga mereka mulai menempatinya sudah tujuh tahun yang lalu, kemudian dibiarkan selama empat tahun tanpa perawatan. Terlihat masih baik, tapi sebenarnya sudah tua. Tapi runtuh di saat seperti ini, Lingjing benar-benar kesulitan membela diri, gagap setengah hari, lalu memukul dada Jiaming dua kali geram. Jiaming tertawa terbahak-bahak sambil merangkul Shasha. Melihat Shasha sambil tertawa mengusap matanya, dia bertanya: "Tidak jatuh kan?"
"Mimpi tentang masa lalu saat malas bangun tidur, kalian selalu mengganggu..." Dia berhenti sejenak, lalu tersenyum lembut: "Aku juga ingin..."
Jiaming dan Lingjing sama-sama tertegun. Sesaat kemudian, Jiaming tersenyum memeluknya. Lingjing berjongkok mencium pipi Shasha: "Aku mencintaimu..." Pipinya dijepit Shasha. Saat keluar dari kamar, baru tersenyum berkata: "Aku keluar beli sarapan, nanti sore kita beli ranjang bersama, hehe..."
Di ruang tamu, dia mengenakan celana panjang, mengganti bra dan jaket luar, gosok gigi cuci muka. Hanya merapikan rambut sebentar di depan cermin, lalu keluar membawa tas kecil. Saat sinar matahari menyinari, gadis penuh semangat masa muda itu bersandar di pintu, menengadah pelan, memejamkan mata dengan senyum lembut nan menyejukkan.
Segalanya perlahan akan kembali ke jalan semestinya...
Tiga hari berikutnya, mereka mengurung diri di rumah tanpa keluar.
Ranjang dibeli pada sore hari itu, saat itu juga langsung dikirimkan. Saat malam pergi berbelanja besar-besaran ke supermarket, seolah mempersiapkan hibernasi. Lingjing memberi tahu anggota keluarga, meski Ayah-Ibu Ye agak bingung, tapi kemudian gedung kecil di atas sudah benar-benar menunjukkan sikap menutup pintu bagi tamu. Tentu saja, basically tak ada orang dalam yang akan mengganggu mereka di saat seperti ini.
Satu Baron dua gadis, bak pengantin baru di bulan madu yang selalu berpelukan. Meski reproduksi adalah hal yang niscaya, realitasnya tak secabul yang dibayangkan orang awam. Mereka berkeliaran dengan pakaian sejuk, jadwal makan pokok basically tak ada, waktu makan pun tak teratur. Kebanyakan menyantap makanan cepat saji seperti biskuit, mi instan, kopi, minuman ringan, dan lain-lain. Saat lapar, mereka makan. Di ranjang, mereka main kartu Monopoli dengan papan permainan dadakan—garis lurus digambar di karton pakai penggaris. Uang kertas untuk permainan dipotong dari buku tugas lama lalu ditulisi angka. TV menyala 24 jam nonstop. Kalau ada film menarik, bertiga akan meringkuk di sofa ruang tamu menonton sejenak, sesekali berkejaran. Sebelum tidur, mereka bercinta secara natural, memadukan keakraban dengan sensasi kebaruan, tanpa tindakan pengamanan apapun. Meski Jiaming beranggapan punya anak sekarang bukan pilihan bijak, Lingjing dan Shasha jelas tak berniat berdiskusi soal ini. Bagi mereka, ini sudah menjadi interaksi yang tak perlu diperdebatkan, sekalipun kehadiran Yahan sudah ada.
Di sebagian besar waktu, ketiganya berbicara tentang hal-hal sepele selama empat tahun terakhir. Pelatihan Shasha di Dark Celeste, pelajaran Lingjing di Wina: "Sekarang kalau diingat, banyak yang mengejar saya. Surat cinta menerima banyak, juga bunga, semuanya dibuang... Nah, nah, ada juga lesbian cantik, dia pernah bilang ke saya..."
Selama empat tahun di Wina, hati Lingjing hampir mati rasa. Segala upaya orang-orang sebelumnya yang mengejarnya sia-sia belaka. Dia sama sekali tak menganggap serius semua itu. Tak bergaul dengan orang, lingkaran sosialnya pun sempit. Tapi sekarang ketika diingat, banyak hal justru menjadi kenangan menarik yang diceritakannya dengan wajah berseri: "Setiap acara kumpul-kumpul komunitas Tionghoa mereka selalu mengundangku, tapi tak pernah kuhadiri. Pasti seru..."
Urusan Shasha di Dark Celeste relatif membosankan. Tapi ketika diceritakan, banyak hal yang sebelumnya tampak mustahil dan kemampuan khusus justru terlihat. Bagi Lingjing hal-hal ini jelas terasa baru. Tapi bagi Jiaming yang sudah berada di puncak dunia di bidang ini, sesekali ketika Shasha menyebut sesuatu, dia langsung membetulkan dengan gaya konyol. Bagaimanapun caranya, selalu bisa membuat Shasha tertegun. Setiap kali Shasha menyebut teknik tingkat kesulitan tinggi, dia melakukannya semudah permainan anak-anak. Tentu saja, ketika Shasha sadar dia sedang bercanda, pasti akan mengejarnya sepanjang babak pertempuran.
“Tiga orang selama empat tahun ini menjalani kehidupan, meskipun dikisahkan dengan penuh warna, masing-masing tetap terasa kesepian. Sejak Jiaming meninggalkan Jianghai dan menyusuri Sungai Panjang ke barat, otak seperti kabur bagai mayat hidup, bahkan lebih buruk dari pengemis. Yang membuatnya bertahan hanyalah naluri bawaan kelangsungan hidup dari akumulasi karier pembunuhnya. Saat memasuki pegunungan liar, kulit pohon, akar rumput, berbagai hewan dan serangga pun ditelannya mentah-mentah. Kenangan yang bisa diingatnya kini, meski telah dipermak di hadapan Lingjing dan Shasha, tetap membuat keduanya sedih membayangkan masa-masa itu. Baru setelah sakit kepalanya mereda dan kesadarannya pulih sedikit, kehidupan mulai membaik ketika ia berjualan kacang chestnut goreng gula.
Tentang urusan Mu Qingqing, Jiaming juga tak menyembunyikan. Setiap kali menceritakan kehidupan tinggal bersama selama setengah tahun lebih atau insiden di Hong Kong, Lingjing dan Shasha selalu protes: "Apa-apaan ini, masa begitu saja bisa menggoda cewek." Jiaming hanya bisa menjelaskan dengan kekecewaan. Namun keduanya paham, polwan bernama Mu Qingqing ini bukan ancaman bagi mereka. Paling-paling Jiaming hanya berterima kasih padanya. Setelah memprotes sebentar, mereka pun berkata: "Begitu dia kembali ke Jianghai, kita harus datang berterima kasih."
"Lewat koneksi Fang Zhitian, berikan dia promosi jabatan! Para brengsek yang dulu memperlakukannya buruk, jangan sampai dilepaskan!" Demikian Shasha yang geram dengan situasi Mu Qingqing saat ini berapi-api berseru.
Hanya setiap hari saat senja, Jiaming akan pergi ke atap gedung untuk menelepon Yahan. Lingjing dan Shāshā juga akan naik, mengenakan baju musim panas yang tipis sambil memegang cola atau kopi. Matahari terbenam membara, rumah-rumah yang berjejer rapat dan jalan-jalan yang bersilangan terlihat hingga jauh dari atas atap. Mobil-mobil yang melintas, kerumunan orang pulang kerja, dunia nyata yang penuh daya hidup—ini mungkin bukti terbaik bahwa mereka telah kembali.
Telepon biasanya berlangsung antara lewat sepuluh menit hingga setengah jam. Sebenarnya bagi Yahan, hal yang bisa dibicarakan dengan Jiaming jauh lebih banyak dari ini. Tapi saat ini, telepon harian ini mungkin lebih menjadi bukti sikap Lingjing dan Shāshā. Saat Jiaming bertanya apakah mereka ingin menyapa Kakak Yahan, keduanya memilih diam.
Belum memutuskan, belum siap.
Sebelumnya, ketiganya belum pernah mengalami hal seperti ini.
Banyak hal dan sikap hidup yang terdengar sederhana, bahkan seperti kebenaran mutlak. Tapi pemikiran ini sering kehilangan makna ketika berhadapan dengan realita. Perasaan Lingjing dan Shāshā terhadap Yahan sangat kompleks. Semua orang dulunya adalah teman terbaik—ini tak perlu diragukan, bahkan mencapai tingkat kedekatan sebelum hubungan mereka dengan Jiaming. Teman seperti ini tak bisa begitu saja dibuang. Karena situasi rumit beberapa tahun terakhir dan waktu yang telah terlalu lama, masa terbaik untuk menyelesaikan hal ini telah lewat. Kini yang lebih penting adalah bagaimana menyelesaikannya.
Seperti yang Lingjing katakan sebelumnya: "Kita semua sedang tidak rasional saat ini." Menanggung penderitaan selama empat tahun, baru saja kembali, mengira Jiaming MATI, kemudian bersatu kembali, setidaknya dalam situasi di depan mata, tak satu pun dari mereka bisa berpisah dengan Jiaming. Empat tahun telah berlalu, mereka akhirnya mengerti apa yang Yahan pernah korbankan, memahami perasaan Yahan terhadap Jiaming. Dengan Tao Tao ada, Jiaming memiliki tanggung jawab padanya, dan dengan karakter Jiaming, mustahil baginya melepaskan tanggung jawab ini dengan mudah.
Hal-hal yang pernah terjadi antara Jiaming dan Yahan perlahan mereka ketahui. Bagaimanapun, mungkin ini semua hanya bisa disebut kesalahan Jiaming —— tanpa perlu rasionalitas —— tapi selama mereka masih mencintai Jiaming, tanggung jawab ini tidak bisa dituntut kembali dari Jiaming. Jika mereka adalah orang yang sudah lama terjun di masyarakat, mungkin akan menyuruh orang ketiga, Level Empat pergi tak peduli apapun. Tapi hingga saat ini, mereka masih memiliki mentalitas yang relatif idealis. Selama Jiaming menghilang, mereka sudah menerima Yahan, sehingga sekarang tidak mungkin lari dan berkata padanya: "Kau pergi, Jiaming milikku."
Tapi bagaimana hal ini bisa diselesaikan? Tak seorang pun tahu.
Hal yang bertentangan dengan etika dan moral masyarakat ini harus diselesaikan dengan cara yang lembut. Baik Lingjing, Shasha, maupun Jiaming tidak bisa menemukan solusi terbaik. Apakah harus membuat Yahan juga membawa Tao Tao tinggal bersama mereka bertiga? Bagaimanapun dipikirkan, situasi ini terasa aneh. Bukan hanya pihak Yahan, Ayah-Ibu Ye pun demikian. Dengan kepulangan Jiaming dan Shasha, bagaimana menyelesaikan urusan bertiga ini dan memberi penjelasan? Meski Ayah-Ibu Ye selalu menganggap Jiaming seperti anak kandung sendiri, dalam hal ini pasti akan merasa sangat kerepotan. Lagipula keluarga Ye bukan keluarga Huang yang bisa seenaknya pergi jika tidak cocok. Di hadapan orang-orang terdekat, sekuat apapun kau, seberkuasa apapun kau, apa yang bisa dilakukan?
Untuk sementara... mungkin hanya bisa menunda seperti ini...
Tiga hari tidak cukup menyelesaikan semua masalah. Namun melalui penjelasan fragmental dari masing-masing mulut, jurang tak kasat mata yang tercipta oleh waktu di antara mereka bertiga perlahan menyatu. Ketika hari-hari ini berlalu, perlahan mereka menemukan kembali perasaan empat tahun lalu. Sore hari di hari keempat saat mereka kembali berbelanja di kawasan tua, barulah mereka menyadari bahwa selama beberapa hari ini, beberapa hal yang tidak besar maupun kecil telah mulai terjadi di kota.
Distrik Xinhua, salah satu area kota tertua dan paling ramai di Kota Jianghai. Kita mungkin masih ingat, SMA Xinghui tempat bertiga bersekolah di SMP, juga terletak di area ini. Selama bertahun-tahun, meski Distrik Xinhua telah beberapa kali melakukan perluasan dan perbaikan, perencanaan awalnya sudah tidak mampu mengimbangi perkembangan masyarakat yang melesat cepat. Tapi kebanyakan orang masih lebih suka berbelanja besar di sini karena area ini terutama melayani konsumen dari berbagai tingkat kemampuan belanja menengah ke bawah. Singkatnya, suasana ramai, pejalan kaki banyak, berbagai barang komoditas lengkap. Jika ingin merasakan kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, dan nuansa seperti rumah, akhirnya tempat seperti inilah yang terbaik.
Sore itu mereka menjelajahi beberapa blok jalan di sekitarnya. Kedatangan kali ini terutama untuk memperbaiki rumah, membeli berbagai keperluan. Kali ini hanya survei harga di tiga toko, mendekati sore baru membeli beberapa barang yang bisa dibawa pulang hari ini di supermarket besar sekitar. Saat bertiga mendorong mobil sambil berdiskusi dan memilih barang, Jiaming melihat beberapa orang mengintai secara sembunyi-sembunyi di sekitar, targetnya adalah Sha Sha. Sekitar beberapa menit kemudian, kelompok ini bertambah banyak.
Saat hampir mencapai pintu keluar, bertiga yang datang dari rak barang berbeda hendak berkumpul, sekitar 20-an anggota juga mulai mengepung Sha Sha. Orang yang paling depan kira-kira berusia 21-22 tahun, mengenakan kemeja bunga yang agak mirip dengan gaya khas Mikado Ki dalam ingatan, raut wajahnya penuh keganasan. Dua puluh lebih orang secara samar mengurung bertiga. Pria ini melihat foto di tangannya lalu mengangkat alis: "Kau Liu Huaisha?"
Di antara ketiganya, Jiaming terlihat tak berbahaya saat menyembunyikan aura dalamnya. Lingjing memancarkan kemurnian dengan nuansa dingin yang samar, meski tanpa sadar membuat orang merasa ada jarak, sama sekali tidak mengandung ancaman. Shasha yang muda, cantik, dan penuh vitalitas—meski usianya juga 22—setelah bertahun-tahun pelatihan di Dark Celeste, kini memiliki aura kewibawaan dan ketenangan saat berhadapan dengan orang luar. Kali ini, matanya menyapu sekeliling sambil mengerutkan kening: "Ada apa?"
"Aku dengar tentangmu, semua orang sudah mencarimu berhari-hari. Katanya kau bergabung lagi dengan si Xiao Meng dari dulu?" Tanpa menunggu jawaban Shasha, pria itu menggerakkan jari telunjuknya seperti gaya Bruce Lee, "Bos kami menyuruhku memperingatkanmu: Sekarang bukan empat tahun yang lalu. Sudah tidak ada Shazhu Bang. Jianghai sekarang adalah wilayah Xinhe Bang. Jika kalian berani cari masalah lagi..."
Jarinya mengarah ke trio di depannya: "Kami akan MATIkan kau!"
## Bagian Empat Ratus Enam Puluh Dua: Gu Jiaming Harus MATI
"Sekarang bukan empat tahun yang lalu. Sudah tidak ada Shazhu Bang. Jianghai sekarang adalah wilayah Xinhe Bang. Jika kalian berani cari masalah lagi... kami akan MATIkan kau!"
Di dalam supermarket diblokir oleh lebih dari 20 orang, dengan ucapan mengancam seperti ini tentu bukan pengalaman yang menyenangkan. Orang-orang dari jarak jauh maupun dekat mulai melihat, membuat mereka seketika menjadi pusat perhatian. Jika ini terjadi empat tahun lalu, mungkin Shasha tidak akan bisa menahan emosinya. Meski biasanya tidak suka cari masalah, selama kampanye pemberantasan narkoba di Jianghai, dia benar-benar tidak segan menghabisi preman-preman seperti ini, seringkali langsung berkonflik. Tapi kali ini dia hanya mengerutkan alis, berpikir sejenak, lalu menoleh ke Jiaming: "Apa itu Xinhe Bang?"
Jiaming mengangkat tangan bingung: "Kelompok kecil dulu, kayaknya... menguasai area jalan pedestrian Kota Barat..."
Ini sudah kejadian empat tahun silam. Jiaming membantu Shasha melakukan banyak hal, tentu masih ingat distribusi kekuatan geng kriminal saat itu. Tapi saat menyebut "kelompok kecil", pria berkemeja bunga itu langsung mendongak, mendekati Jiaming dan menatapnya tajam: "Kau siapa?"
"Namaku... Dongfang Lu."
Plak, Lingjing dan Shasha tidak bisa menahan tawa. Level pria berkemeja bunga itu jelas tidak mencapai tingkat Dongfang Lu, membuatnya bingung apakah sedang dipermainkan atau tidak. Melihat trio ini, dia perlahan mengangguk, beberapa menit kemudian menunjuk Jiaming: "Aku ingat kau." Lalu berpaling ke Shasha: "Sebaiknya kau ingat ucapanku, jangan cari masalah... Ayo kita pergi."
Setelah bicara, 20-an anggota pun pergi. Bertiga berkumpul, Shasha menggelengkan kepala dengan kekecewaan, lalu tersenyum: "Kenapa dia tidak memukul kita? Ada lebih dari 20 orang, kukira akan terjadi pertempuran."
“Dia merasa dirinya hebat, mencari buah kesemek lunak untuk dijepit tidak ada prestasi.” Jiaming menjelaskan.
Lingjing menubruk bahunya: "Tapi dia mengingatmu loh, bagaimana nanti?"
“Tentu ketemu sekali pukul sekali.” Awalnya Shasha hanya terkekuk, sampai di sini tak tundukkan kepala tertawa desau-desau, “Ketemu sekali dipukuli sekali, hehe……hahahaha……” Tertawa beberapa saat baru tenang: “Tapi kenapa dia bilang aku kocok bendera? Apa mungkin Kakak Xiao Meng siap nyalip keluar lagi……Dia pernah bilang tidak mau lagi berkecimpung di geng kriminal, sebelumnya juga bilang padaku ingin buka perusahaan satpam.”
“Perkiraannya beberapa hari ini Kakak Xiao Meng kunjungi teman-teman lamanya sampai diperhatikan.” Jiaming menggelengkan kepala, “Malam pertama kau juga ikut makan malam, dulu pengaruh Shazhu Bang tidak lemah, sejak Paman Liu meninggal prestise Kakak Xiao Meng paling tinggi, dia pulang kali ini, orang lain waspada juga wajar……Malam ini telepon saja tanya, kalau benar mau keluar lagi, aku dukung, tinggal beri tahu pihak []. Kakak Xiao Meng ini paham presisi, kali ini pulang dari Dark Celeste, hubungan dengan semua pihak baik, biar dia yang menyeimbangkan Jalan Hitam Jianghai, semua orang pasti bersikap mendukung.”
Dia mengutarakan hipotesis ini, kemudian berhenti sejenak, “Achoo” bersin berkali-kali. Lingjing memiringkan kepala: “Ada apa? Flu?” Jiaming menyeringai, memandang kerumunan orang di bawah matahari sore luar supermarket, alis berkerut: “Tidak tahu, ada yang menghujatku ya……”
“Sialan si bodoh itu……”
Pada tanggal 17 Juli 2004 pukul enam sore, saat Mu Qingqing keluar dari Gedung Pemerintah Kota Jianghai, dia mengumpat pelan di bawah sinar matahari.
Segala hal yang terjadi dalam beberapa hari sejak ditarik kembali secara mendadak dari Hong Kong hingga sekarang, masih membuatnya belum sepenuhnya memahami situasi. Satu-satunya yang pasti adalah semua ini berkaitan dengan si bodoh bernama Gu Jiaming itu, yang sampai sekarang masih belum jelas apakah membawa keberuntungan atau malapetaka. Sifat pemarahnya saat ini sebenarnya ada alasan yang jelas.
Pertama tentu saja situasi malam itu di Hong Kong yang tiba-tiba berubah drastis. Jiaming yang tiba-tiba sadar lalu menyerang, membunuh banyak orang sebelum pergi begitu saja. Nyawa berhasil diselamatkan, tapi keberadaan Jiaming akhirnya terungkap. Dia pun mulai menyadari bahwa pelanggaran disiplin yang dilakukannya kali ini tidak bisa ditutupi, konsekuensinya kemungkinan besar sangat serius. Pekerjaannya tidak hanya terancam, tapi juga mungkin menghadapi masalah lain.
Benar saja, keesokan malamnya, dia menerima pemberitahuan yang memintanya kembali ke Jianghai secepat mungkin untuk menjelaskan beberapa hal. Merasa situasi memburuk, tapi dalam kondisi saat ini tidak ada pilihan lain. Dia pun mempersiapkan diri siap menerima konsekuensi apapun. Tapi siapa sangka setelah kembali, situasi justru terasa semakin aneh.
Yang bertanggung jawab menerimanya bukan dari sistem kepolisian, terlihat jelas dari sikap orang-orang terhadap mereka. Di hari pertama kepulangannya, mereka hanya memintanya menceritakan hal-hal yang mau dia ungkapkan tentang Gu Jiaming - dengan fokus utama pada kejadian di Hong Kong, termasuk bagaimana mereka berkenalan dan insiden di Yujiang yang harus dijelaskan secara detail. Baru saat itulah dia menyadari bahwa interogasi kali ini sepenuhnya ditujukan untuk menelusuri latar belakang Gu Jiaming.
“Setelah hari ini berlalu, dia tidak berani banyak bertanya. Hari berikutnya, yang datang adalah tokoh-tokoh penting sebenarnya, bahkan termasuk pejabat tinggi yang pernah dia lihat di TV, bahkan ada perwira tentara yang menemani. Kali ini hanya mengulang pertanyaan-pertanyaan kemarin. Para pimpinan itu bertanya sambil bercanda-canda dengan santai, tapi dia sangat tegang. Pertanyaan tentang Jiaming hanya sekitar setengah jam lebih, lalu mereka menanyakan situasinya saat ini seperti mengobrol biasa - sudah menikah belum, pacar kerja di mana, dan sebagainya. Dia yakin mereka tidak benar-benar tertarik pada hal-hal tidak karuan ini. Setelah hampir satu jam mengobrol, para pimpinan pergi, tapi dia masih bingung.
Hari itu dia juga tidak berani bertanya pada siapa pun. Ketika kembali keesokan harinya, pihak sana hanya menyuruhnya menulis laporan tentang perjalanan ke Hong Kong ini. Laporan ini ditulis ulang empat kali dalam dua hari. Ketiga versi pertama semuanya ditolak, barulah dia perlahan mengerti bahwa maksud atasan adalah agar dia tidak menyebutkan tentang Gu Jiaming. Dia membuat laporan palsu yang sama sekali berbeda dengan penjelasan sebelumnya, dan pihak sana menerimanya dengan senang hati, lalu menyuruhnya kembali melapor ke kantor polisi keesokan harinya. Barulah dia memberanikan diri bertanya: "Sebenarnya... ada apa sih?"
Pihak sana balik bertanya: "Kau tidak tahu?"
Mu Qingqing menggelengkan kepala. Pihak sana berkata: "Kami juga tidak terlalu jelas, semua ini perintah atasan. Level kami juga tidak cukup tinggi."
"Kalau begitu... Gu Jiaming ini sebenarnya siapa sih?"
"Ini... kami juga tidak terlalu tahu......"
Di depan mata ini bukanlah kelompok pemeriksaan dalam arti resmi. Sebenarnya Mu Qingqing juga ingin bertanya tentang hukuman apa yang akan diterimanya atas hal ini, tapi melihat sekelompok orang di depannya yang tidak tahu apa-apa, terlepas apakah mereka pura-pura bodoh atau benar-benar bodoh, dia yakin tidak akan mendapat jawaban. Bagaimanapun juga, segala keputusan akan diketahui besok - mungkin diturunkan tingkatannya atau bahkan ditransfer jadi polisi lalu lintas. Bisa saja terjadi. Biarinlah.
Dengan perasaan bimbang, saat keluar dari gedung, hatinya menduga-duga identitas Jiaming. Apakah prajurit khusus yang amnesia, mata-mata kaburan, atau agen yang dikejar-kejar? Dengan geram dia mengumpat, tapi hatinya tetap tidak merasa lega. Namun dalam kondisi emosional seperti ini, dia melihat seorang wanita yang mirip dengannya tersenyum mendekat dari arah lain: "Kak, aku tahu kakak akan keluar sekarang. Ayo pulang bersama." Ternyata adik perempuannya, Mu Zhenzhen.
Masalah penyelidikan ini tidak diberitahukan ke keluarga. Beberapa hari terakhir dia hanya bilang perlu menjelaskan hal terkait kepindahan ke Hong Kong, jadi keluarganya tidak terlalu khawatir. Melihat adiknya yang sepertinya sudah lama menunggu di luar, dia sedikit mengerutkan alis: "Kenapa? Khusus datang menjemputku?"
"Juga tidak terlalu lama. Ada teman sekelasku yang bekerja di sana, baru selesai ngobrol dengan dia Genius." Mu Zhenzhen menggandeng lengannya sambil tersenyum bahagia, melihat kakaknya memandangi dengan serius, baru menjulurkan lidahnya, "Sudahlah, ibu yang mengusirku, dia takut kau mendapatkan kesempatan lagi kabur, sampai tengah malam baru pulang bilang kerja. Lupa ya? Sudah dijanjikan kencan buta dengan anak laki-laki bibi sepupu kedua, malam ini makan di rumah, kau tidak bisa kabur, susah-susah menunggumu pulang, kencan buta harus minimal makan sebulan, ibu sudah jadwalkan, bilang kalau kau tidak mau aku yang jadi pemain cadangan..."
Digandeng adik perempuan, Mu Qingqing menutup dahinya senyum getir: "Tolong, aku baru kepulangan empat hari tidak sampai, kalian sudah begini memperlakukanku."
"Bukan aku yang begini, tapi ibu, kakak harus jelas objek kebencian-nya Oh, ayo pergi pergi pergi."
Menghela napas, di bawah sinar matahari sore, sang kakak diseret sang adik perempuan sambil bergoyang-goyang keluar. Saat hampir tiba di pintu gerbang, Mu Qingqing menoleh ke belakang, memandang gedung megah yang terpancar dalam cahaya mentari. Beberapa hari terakhir, hatinya dipenuhi keraguan, kebingungan, ketegangan dan berbagai emosi. Sebenarnya misteri terbesar tetap asal-usul Jiaming yang memiliki kemampuan bertarung mengagumkan itu. Mempertimbangkan kemungkinan identitasnya sebagai mata-mata atau agen rahasia, dia juga khawatir – di manakah dia sekarang, bagaimana situasinya, apakah sakit kepalanya kambuh lagi, bagaimana keadaannya. Segala hal ini, seharusnya diketahui oleh orang-orang di gedung itu, tapi mulai besok, mungkin dia takkan bisa bertemu mereka lagi. Keinginan untuk menyelidiki pun tampaknya mustahil.
Mungkin... dia takkan bertemu dengannya lagi...
Sambil merenungkan segala kejadian di Yujiang selama setengah tahun terakhir, hatinya mulai diliputi kesedihan...
Dendam yang bisa ditangkap oleh indera darah Jiaming pasti luar biasa bahaya. Tepat saat Mu Qingqing keluar dari gedung sambil mengumpat dalam hati, di villa keluarga Dongfang yang berjarak beberapa kilometer, Dongfang Wan yang sudah berpenampilan wanita dewasa mendorong mangkuknya: "Aku kenyang." Bangkit dari kursi tanpa pamit, dia mengerutkan alis sambil naik ke lantai atas. Dongfang Linghai dan Dongfang Lu yang masih duduk di meja saling bertukar pandangan setelah melihat ke mangkuknya.
Pandangan Dongfang Linghai penuh tanya, sementara Dongfang Lu tampak kecewa.
Makanan dalam mangkok hampir tidak tersentuh, bagi Dongfang Wan yang meski lahir dari keluarga kaya namun selalu menjaga pola makan dan jadwal harian dengan baik, ini benar-benar kejadian langka. Dan... hal ini sudah berlangsung selama beberapa hari.
Sejak malam kedua setelah Dongfang Lu memberitahunya tentang peran palsu Jiaming sebagai Jian Suyan, dia kembali ke villa dari lokasi perusahaan yang sibuk. Diam-diam menelepon Xu Yiting, informasi yang didapat adalah Xiao Wan tampak linglung di kantor hari ini. Setelahnya, situasi ini berlanjut selama beberapa hari. Dongfang Wan tetap di rumah, terkadang murung, terkadang bicara sendiri, bahkan kadang terdengar kutukan dan hujatan dari mulutnya.
Kini dia naik ke lantai atas, masuk ke kamar, lalu menggigit gigi mengumpat: "Gu Jiaming sialan itu..."
Matahari yang berubah menjadi senja belum lama berselang, kamar masih terang. Dia berjalan tanpa tujuan beberapa putaran, lalu duduk di tepi ranjang melamun. Sulit baginya menjelaskan apa yang dipikirkan, intinya semua hal yang mengganggunya. Termasuk urusan Gu Jiaming, kisah Jian Suyan, kerja kerasnya membangun perusahaan, hal-hal membandel sejak kecil yang kini terasa bodoh. Seharusnya dia tidak terganggu oleh ini semua, tapi kini akumulasi masalah dan kelelahan sejak kecil seolah tanpa basa-basi menyerbu, membuatnya gelisah selama beberapa hari berturut-turut.
"Dia tentu paham emosi ini bersumber dari Gu Jiaming, tapi kalau harus mengakui semua karena dia, bahwa dirinya begitu peduli sampai segitu, dia tak mau mengaku."
"Bukankah dia... sudah MATI tiga empat tahun yang lalu..."
"Mengenang pertemuan pertama dengan Jian Suyan, lalu beberapa kali melihatnya kemudian - penampilan dan aura sempurna, dominasi absolut di hadapan musuh. Gu Jiaming... adalah Jian Suyan... Mana mungkin, dunia ini sudah gila?"
"Orang itu mesum, dengan penjelasan seperti ini semua jadi masuk akal..."
"Duduk di tepi ranjang termenung, angin malam berhembus pelan dari balkon. Sesuatu di atas meja belajar bergoyang perlahan. Dia menengok - sebuah helikopter mainan tua. Sayapnya pernah patah, direkat dengan teknik kasar. Teringat, helikopter ini buatan Jiaming. Saat mereka bertengkar, dia mengejarnya dengan helikopter ini. Ketika dirinya mencoba menjatuhkannya dengan ranting, helikopter itu tiba-tiba rusak dan jatuh ke tanah. Lalu dia merebutnya dan kabur."
"Sekarang terasa sangat lama. Hal di musim panas tahun 98 itu, saat usianya baru enam belas tahun, Gu Jiaming juga enam belas. Kemudian dia bawa helikopter rusak itu pulang, mengalami peristiwa pembunuhan memukau itu, lalu membongkar helikopternya. Salah kaprah ingin buka pabrik mainan karena helikopter ini. Waktu itu butuh usaha besar untuk merakit ulang setelah dibongkar. Sudah tidak bisa terbang lagi, lalu digantung di meja belajar sebagai penyemangat, bertahan sampai sekarang."
Pada malam pembunuhan itu, Jian Suyan juga muncul, benar-benar muncul di hadapan semua orang dengan sikap tak terkalahkan. Dia menghancurkan dinding, membunuh pembunuh bernama Da Nei Zhangdu, dan memaksa mundur orang lain. Saat itu... aku berdiri sangat dekat dengannya, dia bahkan berbicara dengan Paman Fang. Mungkin saat itulah benih kekaguman mulai tertanam. Mana mungkin dia sama dengan Gu Jiaming? Gu Jiaming... sudah empat tahun tidak bertemu. Dulu dia mengira sangat mengenal wajah orang itu, tapi sekarang mulai ragu.
Setelah termenung beberapa saat mengingat-ingat, dia membuka lemari di sampingnya dan mengeluarkan beberapa album foto. Saat SMA sering liburan, ada banyak foto yang diambil. Tidak tahu di mana semuanya, yang pertama dikeluarkan tentu foto kelulusan. Tidak ada bayangannya di situ. Saat itu sendiri merasa ada yang kurang dari foto ini. Foto-foto liburan sebelumnya... Setelah mencari beberapa saat, akhirnya dia menemukan foto saat liburan ski ke Eropa tahun itu. Benar, orang itu ada di dalamnya...
Yang ini difoto saat orang lain sedang ski, siluet samar di sudut itu pasti dia... Yang ini, tanpa sengaja menangkapnya sedang makan di restoran jauh di belakang... Yang ini saat semua berpesta, dia cuma menonton di samping, senyumnya pun setengah hati... Hanya ini foto bersama dengannya, itu pun bukan foto berdua. Foto grup dengan banyak orang, ekspresinya datar, tampak linglung. Disuruh angkat tangan juga tidak serius, melihatnya jadi kesal...
"Orang seperti inilah, selalu tidak bisa bersosialisasi, sekali-sekali berhasil dibujuk datang pun bersikap ingin menghilang di kerumunan... Aku paling benci orang yang tidak kompak. Saat membangun perusahaan dulu, banyak orang berbakat tapi berwatak buruk dan tidak punya semangat kolektivitas langsung kusuruh pergi. Hanya dia yang kutetap toleransi. Sepertinya memang harus ditoleransi, kalau tidak yang akhirnya gila justru diriku sendiri. Benar kan? Ketika orang itu memfitnah di hadapanku bahwa Jian Suyan adalah calon istrinya yang dipelihara sejak kecil, lalu menyamar sebagai Jian Suyan untuk mengakuinya, ekspresiku saat itu pasti sangat seru..."
Ia duduk di tepi ranjang melamun. Cahaya dalam kamar perlahan memudar. Matanya menatap foto itu. Saat itu di hamparan salju, apa yang sedang dilakukan semua orang? Menggandeng tangan dan mengangkatnya, teriakan apa yang sedang dikumandangkan kerumunan?
"Ke——cabai——"
Seolah terdengar sorakan masa remaja yang bergema dari puncak salju nan jauh.
Aku menatapnya, mulut menganga lebar.
Menggenggam tangannya yang terbungkus sarung tangan tebal.
Mengangkatnya, berteriak keras. Kenapa saat itu menatapnya?
Ekspresinya tidak terlihat antusias. Mungkin karena ini aku jadi marah, ingin menghujatnya...
Tapi kenapa... senyumku saat itu begitu bahagia?
## Bagian Empat Ratus Enam Puluh Tiga Menghadapi
Urusan tentang geng Xinhe telah kutantang pada Xiao Meng malam itu. Hasilnya baru tahu bahwa itu semua hanya salah paham akibat kegelisahan berlebihan dari orang-orang tersebut.
“……Berkecimpung lagi? Mana mungkin, sudah melihat hal yang lebih tinggi, mustahil tertarik lagi dengan ini. Beberapa hari ini menemui beberapa saudara sebelumnya, toh harus pulang, sapaan tetap perlu diberikan, kira-kira karena hal ini... Xinhe Bang sekarang berkuasa besar di Jianghai, sejak Shazhu Bang tiba-tiba tumbang empat tahun lalu, atasan juga perlu menopang sebuah kelompok untuk mengisi kekosongan, bos mereka bernama Chen Guiwen, ada koneksi dengan pihak atas, lalu bangkit mengambil kesempatan...”
Natalia dari Dark Celeste dan kawan-kawan sudah datang ke Jianghai beberapa hari lalu, toh bukan untuk liburan, sekarang urusan selesai, mereka harus segera kepulangan. Jamuan kecil yang diadakan di hotel malam ini adalah perpisahan sebelum kepergian mereka, Jiaming, Lingjing, dan Shasha semua hadir. Ketika membahas Xinhe Bang, Xiao Meng memberikan penjelasan pada Jiaming.
“……Pada awalnya hanya ada waktu empat tahun, di tengahnya kacau selama setahun lebih, pondasi mereka sendiri tidak stabil, bangkit terlalu cepat, melakukan banyak hal tidak karuan. Sekarang meski pengaruhnya besar, tapi internal tidak bisa dibilang stabil. Dibandingkan dengan Shazhu Bang dulu, bahkan di masa kepemimpinan Shasha, masih jauh lebih buruk. Banyak mantan anggota Shazhu Bang direkrutnya. Sekarang aku kembali, beberapa bilang ingin bangkit kembali bersamaku, basically aku menolak mereka. Tapi sepertinya masih banyak yang tak rela. Pihak Chen Guiwen tentu takut, rencanaku mendirikan perusahaan pengamanan memang sudah diputuskan. Heh, beberapa saudara juga berniat berhenti dan ikut jalur benar. Di sisi ini aku ingin mereka manfaatkan kesempatan keluar. Perusahaan pengamananku, mereka punya dasar di bidang ini. Nanti akan aku ajak Chen Guiwen berunding. Jika dia benar-benar menggigit sembarangan... Heh, aku juga belum tentu takut......”
Logika memang demikian. Faktanya, dengan perhatian [] terhadap Jiaming saat ini, dia punya koneksi Jiaming, lagi pula baru pulang dari Dark Celeste. Dalam situasi sekarang, tentu tak perlu terlalu khawatir. Meski lawannya benar-benar orang hebat, Xiao Meng sendiri sudah melewati berbagai hujan badai. Risiko segini pun tak akan terlalu dia hiraukan. Mendengar Xiao Meng bicara soal rencana perusahaan pengamanan, Jiaming tersenyum.
"Berhenti dan ambil jalan benar, lagi punya dasar. Kedengarannya cocok untukku."
"Jangan bilang serius?"
“Tidak ada cara, tidak boleh.” Jiaming menggelengkan kepala, memandang ke dalam kamar. Di sudut ruangan, Shasha sedang mengobrol dengan Natalia dengan wajah grogi, sementara Lingjing di sisi lain memainkan kecapi untuk semua orang. Di depan meja prasmanan yang ramai, ada yang berkelahi dengan pisau dan garpu, ada juga yang langsung berdansa di kerumunan orang. Karena kehadiran orang luar dan Natalia yang bertindak sebagai pendukung, mereka menjadi lebih sopan, namun suasana hiruk pikuk di mata Jiaming masih menyimpan aura tempur baja yang tak tertahan. Dalam candaan gerak-gerik mereka, gerakan yang bisa mencabut nyawa terlihat begitu biasa, persis seperti suasana yang sudah dikenalnya sejak bertahun-tahun lalu. Dia tersenyum: “Belum terpikir mau jadi dokter bedah atau buka toko kacang chestnut goreng gula nanti, urusan keamanan lebih baik tidak usah ikut. Mungkin kalau Lingjing jadi selebriti besar, aku bisa jadi manajernya.”
“Yang paling penting pasti Lingjing dan Shasha tidak akan mau.”
“Benar. Basically seperti itu.” Jiaming tersenyum mengetuk gelas jus di tangannya dengan Xiao Meng.
“Justru iri dengan kalian bertiga.”
“Kakak Xiao Meng juga bisa cari, kan banyak perempuan yang mengagumimu. Lingjing sampai bilang kalo ngomongin kamu jadi penggemar berat: Kakak Xiao Meng ganteng banget... Pasti bisa nemukan.”
“Mana semudah itu... Dulu bukan waktunya, sekarang sudah terlambat...”
Xiao Meng tetap dipanggil Xiao Meng, wajah seperti boneka yang ganteng membuatnya terlihat muda, tapi faktanya usianya sudah lebih dari tiga puluh mendekati empat puluh tahun. Di dunia ini, tidak banyak orang yang dianggap penting oleh Jiaming. Dari sisi keluarga dan teman, Ayah-Ibu Ye bisa dianggapinya seperti orang tua kandung. Dulu ada Liu Zheng, sekarang ada Xiao Meng yang menemani Shasha selama empat tahun di Dark Celeste tanpa perlu disebutkan lagi. Setelah mengobrol sebentar, Xiao Ming pergi. Natalia berbicara beberapa patah kata dengan Shasha, lalu menyusul ke sini. Setelah basa-basi sejenak, mereka membahas urusan penting di antara mereka.
"Victoria itu kemungkinan sudah kembali ke Eropa bersama anak buahnya. Menurut intel kami, Mikado Ki sepertinya terus berdiam di Swedia. Di sana ada beberapa basis Pei Luo Jia, tidak tahu apa maunya. Kekuatan beberapa penghisap darah ini terlalu kuat. Jika konflik pecah lagi, aku butuh bantuanmu."
Konflik pasti akan terjadi. Jiaming mengangguk: "Setelah kamu memberi tahuku, aku akan bergegas ke sana dengan kecepatan tertinggi."
"Percaya diri?"
"Seharusnya tidak ada masalah."
Sampai di sini, Natalia tersenyum: "Ada satu hal lagi, situasi di Jepang agak bermasalah. Kami menduga Mikado Ki yang sudah diam selama empat tahun ini mungkin akan menggunakan kesempatan ini untuk mulai bertindak terhadap keluarga Yuechi dan Takamagahara. Beberapa hari terakhir, saham Pool Sakura menunjukkan fluktuasi energi yang aneh, mungkin pertanda sebelum aksi. Tapi ini masih sebatas dugaan..."
"Setelah mengatakan semua itu, Natalia benar-benar mulai menanyakan hal-hal yang dialami Jiaming selama empat tahun terakhir. Setelah kurang lebih memahami, dia mengerutkan kening sedikit: "Tiga tahun yang lalu, ada periode dimana emosiku cukup labil, mungkin sekitar waktu aku tahu kau menghilang secara mutlak. Aku berpikir, mungkin memang ada sesuatu yang terjadi antara kita, karena perasaan ini berasal dari sikapmu terhadapku."
"Itu tidak nyata." Jiaming menggelengkan kepala, "Setidaknya bagimu."
"Aku justru tertarik untuk tahu seberapa dalam kau memahamiku." Natalia tersenyum elegan namun genit, tangan kanannya melambai. Udara di balkon bergejolak, memantulkan cahaya yang memisahkan dua ruang. Tangan kirinya merangkul bahu Jiaming, bibirnya mendekati mulut pria itu.
Ciuman ini berlangsung sekitar tiga detik. Saat Natalia memisahkan diri, dia mundur dua langkah sambil mengatur napas yang mulai tenang. Matanya memandang dengan tenang seolah merasakan kembali sensasi tadi, kemudian tersenyum: "Sudah cukup." Dia berbalik pergi. Setelah dua langkah, dia berputar lagi memandang Jiaming: "Oh ya, Kelly akan sangat merindukanmu. Sudah kukabari via telepon tentang hal disini, tapi jelas dia tidak mau berhubungan langsung denganmu. Jadi...saat kau tiba di Eropa..." Senyum genitnya seperti rubah yang menikmati kesialan orang lain, jari telunjuk rampingnya menggambar lingkaran di dada Jiaming layaknya godaan, "Kau PASTI MATI...Pak Gu Jiaming."
Melihat punggungnya yang kembali pergi, Jiaming tersenyum dan menghela napas pelan-pelan. Banyak hal telah terjadi di antara mereka, banyak salah kaprah. Kini ketika diingat kembali, membuat hati terasa hampa. Bagaimanapun, tak akan ada lagi orang kedua seperti Gu Jiaming. Inilah hal yang paling patut disyukuri.
Bertahun-tahun lalu, apa sebenarnya kata-kata terakhir Natalia saat meregang nyawa di pangkuannya? Ia mencoba mengingat lagi. Banyak hal sepele masih bisa direkam jelas dalam memorinya ketika diperlukan, namun khusus kalimat ini, bagaimanapun berusaha, tetap tak bisa diingatnya.
"Annie..."
Berbisik pelan, ia mengumpulkan semangat dan berjalan mendekati Shasha yang sedang mengobrol dengan beberapa orang.
Acara kumpul-kumpul tak berlangsung lama, sekitar pukul 10 malam semuanya bubar. Jiaming berterima kasih satu per satu pada anggota Dark Celeste yang sangat antusias padanya, sekaligus berbagi cerita lucu selama kariernya sebagai pembunuh. Lingjing juga mengucapkan terima kasih atas perawatan mereka terhadap Shasha selama ini. Mereka semua bukan manusia biasa, tentu tak akan terlalu cerewet. Semuanya berakhir dengan perpisahan. Mereka menuju hotel tempat menginap, sementara bertiga Jiaming berjalan-jalan menikmati angin malam yang sejuk. Cahaya putih lampu jalan menyinari jalanan, mobil-mobil kecil silih berganti melintas.
"Nona Natalia juga cukup mudah diajak bergaul ya," ujar Shasha dengan kagum.
"Selama di Dark Celeste tidak berhubungan dengan mereka?"
“Sudah beberapa kali berbicara dengan Nona Kelly itu, tapi tidak banyak.” Gesekan menggelengkan kepala, “Mereka semua orang-orang hebat. Di depan mereka aku selalu merasa tegang. Oh ya, dengar-dengar Nona Natalia dan Nona Kelly itu sepasang kekasih... Jiaming, benarkah itu?”
Mendengar Gesekan berbisik kecil membicarakan Bagua, Jiaming tersenyum: “Tentu saja benar, sama benarnya dengan hubunganmu dan Lingjing.”
“Mati.”
“Jadi benar atau tidak sih... Aku cuma ingin tahu...”
Angin malam berhembus sepoi-sepoi, Jiaming berjalan di depan sementara Lingjing dan Gesekan berjalan beriringan di belakang. Topik tentang lesbian terus berlanjut, sampai akhirnya mereka membahas pagi hari bertahun-tahun lalu ketika Jiaming pertama kali melihat Lingjing dan Gesekan bertelanjang di ranjang: “Ngomong-ngomong, aku belum pernah bertanya, sebenarnya kalian sedang melakukan apa pagi itu?”
Lingjing dan Gesekan langsung mengejarnya untuk memukul: “Sudah bertahun-tahun kenapa masih ingat hal seperti itu!”
“Pria memang selalu ingat hal-hal mesum!”
“Tapi kan bukan aku yang melakukan hal mesum...”
Bagaimanapun ini sudah menjadi kenangan lama. Saat diingat kembali justru terasa menarik. Setelah bertahan beberapa saat, akhirnya Lingjing tersenyum sambil menceritakan asal-usul kejadian itu. Mengingat masa ketika mereka bahkan belum tahu apa itu membran perawan, ketiganya merasa rindu, tertawa lepas di jalanan. Saat canda tawa masih berlangsung, tiba-tiba terdengar suara Byur keras dari jalanan yang diterangi lampu jalan di depan, disusul jeritan histeris. Pejalan kaki di pinggir jalan berkerumun menciptakan kekacauan, sepertinya ada orang yang tertabrak mobil.
Bertiga berjalan ke arah sana, dari kerumunan orang terdengar suara: "Cepat lapor polisi", "Telepon 120", dan sejenisnya, diselingi erangan samar korban serta bercak-bercak darah di jalanan. Saat hendak mendekat, tiba-tiba suara seorang wanita terdengar: "Minggir sedikit! Saya dokter! Semua minggir sedikit......"
Lingjing terkejut, secara bawah sadar menggenggam tangan kedua temannya: "Itu suara Ibu, kenapa dia bisa sampai di sini......"
Benar saja itu suara Duan Jingxian. Meski telah empat tahun berpisah, Jiaming dan Shāshā masih bisa mengenalinya dengan jelas. Bertiga menyelinap ke sudut jalan, melihat di tengah jalan seorang pria dengan paha patah terbaring dengan darah menggenang. Duan Jingxian yang mengenakan baju sipil bersujud di sebelahnya, memberikan pertolongan darurat sambil memeriksa luka dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kecil kepada korban.
Meskipun angin malam yang sejuk berhembus, hawa panas musim panas masih belum sepenuhnya sirna di jam segini. Kondisi korban yang parah membuat Duan Jingxian berkonsentrasi penuh. Dalam sekejap, butiran keringat sudah membasahi wajahnya. Tiba-tiba ia berteriak ke sekeliling: "Ikat pinggang, ada yang punya ikat pinggang?" Darah terus mengucur dari paha korban, tapi ia tak menemukan bahan untuk membalut sementara. Belum selesai bicara, sosok seseorang menghampiri dan langsung menyobek kemejanya menjadi kain putih. Saat Duan Jingxian hendak mengambilnya, orang itu berjongkok dan dengan gesit mulai membalut luka korban.
Memandangi pria itu, Duan Jingxian membeku di tempat. Beberapa detik kemudian, dia menarik napas dalam-dalam, menunduk dan melanjutkan langkah-langkah pertolongan pertama...
## Bagian Keempat Ratus Enam Puluh Empat Rumah
Bertemu Ayah-Ibu Ye dalam situasi seperti ini, baik bagi Jiaming, Lingjing maupun Shasha, adalah hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tapi mengingat kejadian yang sudah terjadi, mungkin akan lebih canggung jika tidak ikut membantu. "Hidung atau leher tetap akan kena pisau", dengan emosi yang sempat terasa beberapa hari sebelumnya meski tak dipikirkan matang, Jiaming pun melangkah keluar dengan natural.
Malam semakin larut. Dalam deru sirine ambulans yang khas, cahaya lampu jalan menyapu cepat jendela gerbong, mengalir ke belakang jalanan dan jarak pandang. Di dalam gerbong, perawat dan dokter dengan cekatan memasang berbagai jalur perangkat ke tubuh korban berlumuran darah. Duan Jingxian yang mengenakan pakaian santai juga membantu. Di bagian lebih belakang, Jiaming duduk berseberangan dengan Lingjing dan Shasha yang saling bertukar pandang penuh arti. Dua wanita itu duduk berdekatan, tangan saling menggenggam. Sesekali mereka berbisik kecil mengikuti guncangan mobil. Lingjing melirik ibunya di depan, sementara Shasha menunduk malu.
"Bagaimana ini..."
"PASTI MATI..." Lingjing menggeram pelan dengan gigi terkunci.
“Pertolongan darurat sudah hampir selesai 70-80% sebelum ambulans tiba. Saat ini pekerjaan yang harus dilakukan untuk korban luka itu tidak terlalu banyak. Dua dokter dan seorang perawat segera menyelesaikan tugasnya. Meski bukan dari rumah sakit yang sama, Duan Jingxian dan dokter itu jelas saling mengenal. Begitu tangannya kosong, mereka mulai berbisik-bisik.”
“Untung Ibu Kepala Bagian Duan kebetulan ada di tempat, kalau tidak mungkin sudah tidak tertolong... Lukanya parah sekali. Pengemudi yang menabrak mana...”
“Sopirnya kabur, tapi sempat melihat plat nomor. Nanti setelah polisi datang baru dibicarakan...” Duan Jingxian mengerutkan kening, “Jelas-jelas ngebut, perkiraanku pasti mabuk saat menyetir.”
“Hal-hal seperti ini lebih baik tidak usah terlalu dicampuri.”
“Hanya menyampaikan fakta. Saat itu banyak saksi mata, tidak apa-apa.”
“Heh, mereka bertiga...” Dokter itu tersenyum, memberi isyarat ke belakang. Duan Jingxian yang sedang duduk di sebelah Jiaming memiringkan kepala memandanginya, lalu menghela napas: “Anakku.”
Dokter itu tertegun: “Semuanya?”
“Hampir saja.” Ia mengulurkan tangan ke atas kepala Jiaming, membelai rambutnya yang agak panjang dan berantakan diterpa angin malam, menyisir rambut yang menutupi dahinya. Beberapa saat kemudian, baru menurunkan tangannya. Pandangannya menyapu dua wanita di sisi lain, “Tidak ada yang pernah membuatku tenang...”
“Sebelumnya belum pernah dengar Ibu Kepala Bagian Duan punya tiga anak. Justru kabarnya putri Ibu yang pulang dari studi di Wina...”
“Nah, itu dia.” Duan Jingxian memandangi Lingjing di seberang dengan tatapan tak ramah sambil mengangkat dagunya, kemudian mulai memperkenalkan kedua pihak: “Dokter Qin, Lingjing, Huai Sha, Jiaming. Kalian bertiga, panggil Tante Qin ya.”
“Halo, Tante Qin.”
Ketiganya saat ini baru berusia 22-23 tahun. Meski sudah memasuki usia kerja, batas antara pemuda dan remaja secara fisik masih agak kabur. Saat mematuhi aturan memanggil orang tua dengan sopan, mereka terlihat sangat manis. Setelah salam-salaman, Lingjing yang melihat wajah ibunya masih muram berkata gemetar: “Ibu...”
Kalimatnya belum selesai, Duan Jingxian meliriknya: “Nanti kau akan kuhukum!” Lingjing pun langsung membeku tak berani bicara.
Adanya orang luar membuat suasana kurang cocok untuk mengobrol. Duan Jingxian memegang tangan Jiaming sambil menatapnya, bertanya: “Kepalanya sudah tidak sakit kan?” Jiaming mengangguk: “Sudah sembuh.” Kemudian menatap Sha Sha di seberang: “Sha Sha juga kurus banyak...” Sha Sha hanya tersenyum kalem, sementara sang ibu tak menunjukkan wajah ramah pada putri kandungnya. Dokter Qin yang mungkin bosan jaga shift malam, mulai mengobrol santai dengan Duan Jingxian. Saat ditanya tentang Wina, Lingjing baru berani menjawab malu-malu. Dokter juga memuji teknik pertolongan pertama Jiaming saat ambulans tadi, layaknya anak seorang Kepala Departemen. Duan Jingxian tersenyum angguk sambil memandang Jiaming dengan ekspresi kompleks, membuat Jiaming hanya bisa tetap tersenyum tak berbahaya.
“Sekitar sepuluh menit, ambulans tiba di lokasi tujuan, rumah sakit yang awalnya terlihat sepi dalam kegelapan malam pun menjadi ramai sesaat. Karena ini bukan rumah sakit tempat Duan Jingxian bekerja, operasi berikutnya tentu tidak akan dipimpinnya. Selagi dia berkomunikasi singkat dengan beberapa dokter, Jiaming dan dua lainnya hanya bisa duduk di bangku panjang di lorong luar ruang gawat darurat, berbicara dengan suara kecil.”
“MATI...”
“Bagaimana kalau pulang ketemu Ayah Ye?”
“Diam saja, menunduk menerima hujatan...”
“Ibu Ye tadi juga tidak memarahi kita, dia pasti senang melihat kita kembali?”
“Dia melihatku seperti ingin langsung memukulku di tempat, beberapa hari setelah aku kembali dari Wina dulu tidak seperti ini... Sekarang kemarahannya mengarah padaku... Jiaming, ini semua salahmu...”
“Kira-kira akan diusir...”
“Masih melontarkan kata sarkas...”
Lingjing memelintir lengan Jiaming dengan kuat. Jiaming memberi isyarat ke samping, terlihat di ujung lorong para dokter telah menghentikan percakapan. Sebagian menuju ruang operasi, sementara Duan Jingxuan mendekati mereka. Lingjing segera menunduk dan duduk dengan patuh. Di saat yang sama, beberapa orang yang berpenampilan seperti keluarga pasien berlari dari sudut, awalnya menyerang dokter untuk bertanya situasi, lalu melihat Duan Jingxian dan trio Jiaming yang duduk di sini dengan baju musim panas biasa. Salah satu dari mereka pun mendekat dan bertanya apakah mereka yang menyebabkan insiden ini.
Setelah melakukan penjelasan singkat dan mendapatkan konfirmasi dari dokter jaga, pria itu meminta maaf dengan sikap yang kurang sopan. Tak lama kemudian, dua polisi tiba. Mereka tidak hanya ingin mengetahui kondisi korban, tapi juga melakukan interogasi dan pencatatan pernyataan terhadap Duan Jingxian. Setelah menanyai kronologi kejadian di dalam kamar, kedua polisi keluar. Keluarga korban langsung menghampiri untuk menanyakan informasi pelaku. Duan Jingxian mengerutkan kening sambil berjalan mendekat ke arah sini: "Sudah, ayo kita pulang."
"Ibu, kamu benar-benar melihat plat nomor mobilnya ya?" Lingjing mendekat dan bertanya.
"Tentu saja melihat..." Duan Jingxian menyebutkan nomor plat, lalu menepuk tengkuk putrinya, "Ini bukan urusanmu! Nanti di rumah kamu akan kena hukum!"
"Ibu..." Lingjing langsung merengut. Seolah mencari pelindung, ia menggandeng tangan Shasha. Keduanya tidak berani menunjukkan keakraban berlebihan dengan Jiaming saat ini. Mereka berjalan mengikuti Duan Jingxian ke luar. Jiaming yang berada di belakang justru mengerutkan kening sebentar, melirik ke arah ruang operasi. Salah seorang polisi sedang berbicara serius dengan atasan melalui telepon. Meski jaraknya jauh, Jiaming bisa memahami percakapan mereka dengan membaca gerakan bibir.
Plat militer... Pasti punya koneksi dengan pihak atas...
Pikiran itu hanya melintas sekilas di benaknya sebelum kembali terserap oleh masalah di depan mata. Menyusul ketiga orang di depannya, ia mengusap dahinya.
Kepalaku mulai sakit lagi...
Mungkinkah alasan ini bisa kugunakan untuk kabur?
Hah... Lupakan saja...
Malam sudah larut, kompleks perumahan sunyi dan tenang. Lampu jalan berjajar seperti pengawal bisu di kedua sisi jalan. Dari berbagai lantai, cahaya lembut keluarga yang belum tidur terlihat tersebar tidak beraturan dalam suasana hening ini, hanya saat mendekat kita bisa mendengar samar-samar dialog dari televisi. Cahaya taksi menerobos jalanan kompleks, lalu berhenti perlahan. Tak jauh dari situ, cahaya masih menyembul dari perguruan silat kecil, dengan pemandangan sekitar yang sangat familiar.
Ongkos taksi dibayarkan oleh Duan Jingxian. Jiaming yang duduk di kursi penumpang baru kembali 3-4 hari, tanpa dompet atau identitas palsu. Keluar dari mobil, ia menarik napas dalam-dalam, memandang sekeliling dengan rindu. Shasha juga merasakan emosi serupa, sementara Lingjing menunduk. Ibu Ye mendorong mereka. Saat taksi pergi, ia mengetuk pintu: "Ye Han!"
Cahaya lampu menyapu mata mereka. Pintu terbuka: "Baru pulang sekarang? Kukira kau akan lebih awal, aku..."
Suara terhenti di tengah cahaya. Bayangan itu berdiri di ambang pintu, matanya berputar mengamati mereka. Beberapa saat kemudian, Jiaming tersenyum: "Ayah Ye, aku kembali..." Shasha menggaruk-garuk rambutnya malu-malu: "Ayah Ye..." Duan Jingxian menepuk bahu suaminya lelah: "Kami terlibat kecelakaan... Masuklah dulu. Bagaimanapun, yang penting sudah pulang..."
“Kalimat ini baru membangunkan Ye Han. Mendengar kata 'kecelakaan mobil', ia pertama-tama menatap keempat orang itu, baru kemudian mengangguk dan menggeser tubuhnya: 'Oh... pulang selamat saja sudah bagus, pulang selamat saja sudah bagus...' Saat mereka masuk, seperti dulu ia mengelus kepala Shasha, lalu menepuk bahu Jiaming.”
Pintu tertutup.
Karena hubungan job change dan posisi, Duan Jingxian juga sering kerja ekstra atau jaga malam di rumah sakit. Setiap situasi seperti ini, Ye Han selalu mempersiapkan buah makan malam untuk istrinya di rumah. Hari ini tak terkecuali. Satu panci bubur putih yang dimasak malam tadi, sebutir telur asin, sepiring acar sayur. Kini bubur putih dibagi menjadi empat mangkok yang ditaruh di hadapan masing-masing. Suara sinetron di TV terus berbunyi. Tak lama kemudian, Ye Han keluar dari dapur membawa piring kecil berisi acar sayur tambahan dan sebuah kaleng keramik putih yang diletakkannya di meja – kaleng itu berisi gula pasir.
“Shasha dulu suka tambah gula kan.” Mendorong kaleng itu ke arah Shasha, gadis itu buru-buru mengangguk: “Oh.”
Lima orang duduk di meja makan masing-masing bermasalah. Shasha menambahkan gula ke mangkoknya, perlahan mengaduk dengan sendok. Duan Jingxian minum air, tampaknya tak bermood makan bubur. Lingjing dan Jiaming juga agak tak berselera. Lama kemudian, barulah Ye Han membuka mulut: “Sakit kepala Jiaming... sudah sembuh kan?”
“Tidak sakit lagi.” Jiaming tersenyum mengangguk, “Sudah sembuh.” Akting tak berguna di sini.
“Baguslah. Kapan sampai rumah?”
“Empat hari yang lalu.”
“Hari Lingjing pergi ke konser?”
“Hmm.” Jiaming mengangguk, “Shasha juga...”
“Saat itu kami sudah merasa Lingjing agak aneh.” Ye Han tersenyum, “Beberapa hari ini juga tidak pulang, sikapnya sangat ceria, mungkin sudah memikirkan... Pulang saja sudah baik, pulang saja sudah baik...”
Masih dengan kalimat itu, meski terlihat galak, karakter Ye Han selalu tenang dan elegan. Setelah bertanya beberapa hal pada Jiaming, ia menanyakan situasi Shasha selama beberapa tahun terakhir. Shasha pun menjawab sambil tersenyum, tentu tidak bisa mengaku menerima pelatihan agen rahasia, hanya bercerita tentang kehidupan normal di Eropa selama ini, mendeskripsikan pemandangan Venesia. Tak lama, suasana pun menjadi akrab.
Setelah meredakan perasaan cemas sejak tiba, keempat orang menghabiskan bubur putih. Duan Jingxian membersihkan peralatan makan ke dapur, Lingjing dan Shasha buru-buru berebut membantu. Usai mencuci piring, Duan Jingxian berkata: “Aku akan merapikan loteng, Jiaming menginap di sana hari ini.” Jiaming mengangguk, kali ini hanya Lingjing yang ikut naik untuk membantu.
Empat tahun berlalu, saat ini Ye Han yang berusia 40-an tahun, meski rutin berolahraga dan sebelumnya terlihat muda penuh vitalitas, kini mulai menampakkan tanda-tua. Kejadian mendadak yang menimpa Jiaming dan Shasha selama empat tahun ini, ditambah keengganan putrinya yang satu-satunya pulang dari Wina, sementara dia justru memahami penderitaan sang anak, tentu membuatnya tak tenang. Di ruang tamu setelah mengobrol sebentar dengan Jiaming dan Shasha tentang kepulangan mereka, kegembiraannya terlihat jelas. Namun mengenai hubungan segitiga antara Jiaming, Lingjing, dan Shasha, semua pihak memilih untuk tidak menyentuh topik tersebut.
Malam itu, mereka menginap di perguruan silat seperti bertahun-tahun lalu. Dua perempuan tidur di kamar tidur Lingjing, sementara Jiaming tinggal di loteng kecil. Saat gemerlap bintang menyinari, sulit bagi mereka untuk terlelap...
Di seberang lautan.
Malam di Tokyo datang satu jam lebih awal dibanding Jianghai. Jadi ketika Jianghai masih tengah malam, Tokyo telah tenggelam dalam kegelapan malam yang lebih pekat.
Orang dengan jadwal harian normal umumnya sudah terlelap saat ini. Tapi di area ramai metropolis raksasa ini, kota tetap menjalankan vitalitasnya. Mobil yang melesat, kerlip lampu yang memesona, neon yang berkedip-kedip, serta kerumunan di tepi jalan - ada yang hedonis, menganggur, atau menghabiskan sisa tenaga dengan gaya pamer. Karena memiliki energi di siang hari adalah hal yang wajar, maka malam menjadi waktu yang lebih tepat untuk mengekspresikan vitalitas dibanding siang.
Jalanan Shinjuku, kerumunan orang ramai, kerlip lampu menerangi keramaian pasar ini, memancarkan kilau yang lebih cemerlang dari siang hari. Berbagai bidang bisnis, klub, arena game, kedai minuman sedang beroperasi. Di sekitar blok jalan komersial yang khas dan jembatan layang, orang-orang masih berkeliaran dalam kelompok pada jam ini. Namun, fokus kami tertuju pada atap rumah di sudut jalan. Papan reklame besar dengan tepat menghadang cahaya lampu dari sekitar. Di tepi dinding, sebuah kotak cello terbuka yang ditopang tripod, kamera ber-lensa panjang terarah ke kerumunan pejalan kaki di bawah. Kamera ini terus berkeliaran, sesekali menekan tombol rana.
Berdiri di belakang kamera, seorang gadis Tokyo dengan wajah biasa, mengenakan baju musim panas sederhana dan topi hitam muda. Dari penampilannya, rahangnya agak tinggi dengan dagu yang sedikit lebar. Hanya dari bibir yang terkunci erat dan tatapan dinginnya, kita masih bisa melihat bayangan gadis bernama "Tsukike Kaoru". Dalam kegelapan ini, dia tidak perlu banyak menyamar. Jika berjalan di kerumunan orang, mungkin dia akan melangkah penuh vitalitas dengan senyum sinis dan bingung, atau berdiri di depan toko mainan favoritnya memandangi boneka-boneka itu sebelum merendahkan dan pergi. Tapi saat ini, dia sama sekali tidak berbicara. Jarinya dengan mahir mengatur fokus kamera, menggerakkan lensa menyapu kerumunan orang, lalu menangkap target dan menekan tombol.
Setelah lebih dari 10 menit, lensa akhirnya berhenti pada seorang pria di pinggir jalan. Area tersebut merupakan blind spot dari rekaman pengawasan jalan sekitarnya. Pria berpenampilan biasa itu terlihat sedang menunggu seseorang, menerima telepon sambil terus berbicara. Orang seperti ini mungkin tidak akan menarik perhatian, tapi dalam situasi ini, tanpa suara, belasan foto telah merekam wajahnya dengan sempurna.
Beberapa menit kemudian, di sisi lain jalan, beberapa mobil kecil berhenti di depan sebuah klub. Beberapa pria berjas melindungi seorang tua berkimono keluar. Bagi orang Jepang yang sering mengikuti berita dan politik, mungkin bisa mengenali bahwa pria tua ini adalah Anggota Parlemen Kiyokawa yang dihormati di Kongres Jepang. Bagi yang familiar dengan tatanan kekuatan di Jepang, mungkin juga tahu bahwa pria tua ini adalah salah satu pelindung penting Keluarga Tsukike di Tokyo. Dalam kondisi normal, dia seharusnya tidak muncul di tempat kacau seperti ini, hari ini merupakan pengecualian khusus.
Di seberang jalan, pria itu mematikan telepon, menyamar di antara kerumunan orang yang mendekat, ekspresinya tidak berbeda dengan pejalan kaki biasa di sekitarnya. Di depan mobil, para pengawal secara sengaja atau tidak membentuk tembok manusia, menyambut pria tua naik mobil sambil mengawasi situasi sekitar. Di atap gedung sudut jalan, kamera mengikuti pergerakan pria di kerumunan, jari terakhir menekan tombol rana. Kemudian gadis itu membungkukkan badan, dan ketika bangkit kembali, lensa senapan runduk menyapu kerumunan...
Waktu, mengalir dengan sunyi...
## Bagian Empat Ratus Enam Puluh Lima Ujian Terakhir
Di tengah kerumunan, pria itu terus berjalan ke depan, linglung memandangi toko-toko di sekitarnya, tidak menyadari sorotan mata yang menyapu dari lantai gedung di belakangnya.
Kerumunan di depannya telah melewati kendaraan, penghalang pandangan semakin berkurang. Pada jarak 15 meter, tangannya secara refleks meraih ke belakang punggungnya.
Di atap gedung, tatapan yang tertuju pada punggungnya bergeser. Dalam sekejap mata, beralih ke depan dimana Anggota Parlemen Kiyokawa dikawal oleh pengawalnya. Jari gadis itu menyentuh picu. Dalam hembusan angin malam, tubuh yang mengangkat senjata tetap tak bergerak. Seluruh atap gedung seolah membeku seketika, bagai gambaran diam dari film. Namun jika bisa melihat gambaran ini, mungkin semua orang akan merasakan: Begitu bergerak, pada detik berikutnya picu akan ditarik. Tapi persis di momen ini, di jarak pandang jalan depan, seorang manusia tiba-tiba berlari keluar sambil tertawa.
Menyusul yang kedua, ketiga... Itu adalah sekelompok pemuda yang berlarian keluar dari toko samping, kejar-kejaran. Pengawal di depan hampir bawah sadar menjadi tegang. Sekaligus, salah satu pengawal sepertinya juga menyadari pria yang mendekat dari seberang.
Tangan pria itu meraba-raba pinggangnya beberapa kali, lalu menggaruk telinga dengan sikap linglung. Ia berjalan menyamping menghindar. Di jarak antara pengawal dan pemuda yang masih berkejaran, kewaspadaan pengawal mengendur sejenak. Di udara, bidikan senapan runduk diam-diak bergeser. Anggota Parlemen Kiyokawa membungkuk memasuki pintu mobil kecil.
Mungkin sangat sedikit yang memahami hal yang nyaris terjadi dalam sekejap itu. Tapi perbedaan antara kehidupan dan MATI, terkadang begitu sembrono. Dalam waktu yang belum disadari orang, niat membunuh diam-diak muncul, lalu memudar karena suatu kejadian kebetulan. Pihak yang bersangkutan tetap tak tahu apa-apa.
"Pria itu menghilang di tengah kerumunan orang, di atas atap. Gadis itu menurunkan senjata, terus menekan tombol rana sebelum semua orang menghilang. Belasan detik kemudian, dia membongkar kamera, tabung lensa, dan tripod, kemudian bahkan senapan runduk pun diurai, dimasukkan ke dalam kotak cello."
"Menggendong kotak cello, gadis itu masuk melalui pintu di belakang. Tak lama kemudian, seorang gadis biasa yang berjalan penuh vitalitas dengan mata melirik ke kiri-kanan muncul di jalanan bawah, perlahan lenyap dalam kerumunan."
"Beberapa menit kemudian, sebuah taksi berhenti di jalanan yang terlihat agak sepi. Saat pintu mobil terbuka, gadis dengan kotak cello di punggung turun dari kendaraan."
"Sudah larut begini, kalau tinggal di sekitar sini harus berhati-hati."
"Sambil menyerahkan uang kembalian, sopir taksi yang antusias itu berkata demikian. Gadis itu mengangguk tanpa bicara. Topi suryanya sudah tidak ada, rambut panjangnya terurai, membuatnya terlihat sangat berbeda dari gadis yang tadi melirik-lirik di jalanan - setidaknya sekarang terlihat lebih kalem dan polos, seperti mahasiswi yang tinggal di luar kota. Kawasan ini memang dipenuhi rumah kontrakan murah, dan reputasi keamanannya yang buruk memang benar adanya. Ketika dia masuk ke restoran yang masih buka di malam hari, tiga pria berpenampilan tidak sopan di samping mulai menatapnya."
"Kelihatannya lumayan..."
"Rambutnya bagus ya..."
"Main cello, pasti beraura seniman..."
"Belum pernah lihat sebelumnya, kayaknya pendatang baru..."
"Karena musim panas, ketiga pria itu mengenakan kaos oblong warna-warni dan celana pendek, kaki mereka bersandal kayu. Setelah berbisik-bisik, mereka pun mulai bersiul ke arahnya."
“Bos, satu nasi babi panggang, bungkus.” Dia berbicara datar di konter, seorang pria segera menghampiri: “Nasi babi panggang? Hanya itu? Sup krim jagung di sini enak lho. Bos, kasih dia satu sup krim jagung, aku yang traktir.”
Tak lama, nasi babi panggang dan sup krim jagung diantar keluar. Dia mengambil nasi babi panggang lalu berbalik pergi. Sang bos di dalam tersenyum: “Tidak mau sup? Benar-benar enak lho.”
“Tidak, terima kasih.”
Keluar dari restoran, dia menggendong kotak cello sambil membawa nasi babi panggang berjalan ke satu arah. Hanya terdengar suara derap kaki kuda dari belakang, tiga pria membawa sup krim menyusul dari belakang.
“Ngapain buru-buru?”
“Kami bukan orang jahat!”
“Cuma mau mentraktirmu makan. Kau mahasiswa mana? Semua kampus di Tokyo ada temanku.”
“Ha ha, kau tinggal di mana? Baru pindah?”
"Obrolan ketiga manusia terdengar riuh dalam kegelapan malam. Saat larut begini, gang-gang sempit di antara rumah kontrakan murah semakin menjadi pembuka bagi berbagai peristiwa penegakan hukum ekstrem. Gadis ini selama 2 hari hanya melakukan pelacakan dan penyelidikan awal, juga tidak banyak berubah dalam tipe tubuh. Dengan rambut terurai ke belakang, dari jarak pandang belakang terlihat sangat memikat. Ketiganya saling bertukar pandang, suara mereka perlahan mengecil sementara jarak dengan sang gadis semakin dekat. Warga sekitar di sini campuran ekstrem, jika terjadi hal-hal tidak karuan, hampir tak ada yang mau melibatkan diri."
"Dreng Dreng Dreng... Gang sempit hanya menyisakan langkah kaki."
"Saat tangan seorang pria dari belakang menepuk bahu sang gadis, tiba-tiba bahkan derap kaki pun terhenti. Gadis itu berhenti, menoleh perlahan. Tampaknya ketiganya bukan residivis. Mereka terdiam sejenak, seolah ingin tersenyum sambil berbicara. Tangan kiri sang gadis mengayun di udara dengan suara Splash!"
"Blek Blek Blek... Dentuman terus bergema."
"Aaaaa..." Terdengar teriakan panik dalam kegelapan. Pria yang menepuk bahu gadis itu mundur 2 langkah ke belakang, tersandung sesuatu lalu Byur! terjatuh. Tebasan tangan sang gadis tadi melesat, beberapa batang bambu di sudut tembok seolah dipotong pedang panjang, Blek! patah menjadi dua bagian dengan potongan tajam, terus berjatuhan ke tanah."
"Kalau berani kulihat lagi, Bunuh kalian."
Gadis itu membuka mulut dengan ekspresi datar, berbalik dan melanjutkan langkah. Tak lama kemudian, langkah kaki tiga orang yang menyelamatkan nyawa terdengar dari belakangnya.
Beberapa menit kemudian, dia kembali ke kamar sewaan di dekat sana. Kamar itu tidak terlalu kecil, namun ranjang, meja kursi terlihat sederhana. Beberapa alat elektronik buatan sendiri ditaruh di atas meja - bahkan jika ada yang melihat, perkiraannya mereka takkan mengerti fungsi hal-hal ini. Di dinding menempel belasan foto, peta server-server Tokyo tanpa banyak penanda, berantakan. Dia mengunci pintu, menaruh nasi babi panggang, kemudian mengambil kamera dari kotak kecapi menuju ruang gelap di bawah tanah kamar.
Alasan yang diberikan pada pemilik rumah adalah mahasiswa yang hobi fotografi. Ruang gelap inilah juga alasan dia menyewa tempat ini.
Proses mencetak foto tidak bisa dibilang lambat, namun juga tidak cepat. Keluar dari ruang gelap, dia memilih sepuluh foto dari ratusan hasil jepretan hari ini, menempelkannya satu per satu di dinding. Saat melewati cermin, dia memandang bayangannya.
Melepaskan topeng kamuflase dari wajah ovalnya yang pucat, dia kembali mengamati dengan cermat. Mengerutkan alis sejenak, barulah duduk di depan cermin. Bertahun silam rambut panjangnya sudah sepinggang, selama empat tahun ini tak pernah dipotong. Rambut hitam halusnya kini menjuntai melewati pinggang berlekuk. Beberapa hari terakhir hanya disamarkan secara sederhana - kalau bukan karena malam ini, mungkin belum menyadari betapa merepotkannya.
Dia lalu mengambil gunting, merapikan rambut sejajar bahu, memotongnya dengan bersih dan rapi. Rambut yang terpotong dibuang ke tong sampah, sekarang terlihat lebih enak dipandang.
Berjalan ke meja dan duduk, mengeluarkan laptop dari laci, menghubungkannya dengan perangkat di atas meja. Kemudian mengeluarkan buku catatan kecil, menulis simbol memori aneh di dalamnya. Pulpen dikembalikan ke kotak alat tulis yang pernah dipakai sebelumnya, selama beberapa tahun terakhir, barang-barang ini tidak pernah lagi hilang tanpa alasan jelas, mungkin karena tidak ada lagi orang yang duduk di sebelahnya sambil menyodorkan tas sekolah. Memikirkan hal ini, mulai terasa sedih.
Sebenarnya bukan sekadar kesedihan, emosi yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata "sedih", tapi untuk sementara dikategorikan demikian...
Semua hal berawal dari ajaran-nya. Berdasarkan intelijen yang terungkap dari foto, hukum alam pergerakan Kiyokawa Heiji, kebiasaan pengawal, metode pembunuhan bayaran yang mungkin digunakan musuh, celah yang bisa dimanfaatkan. Selanjutnya, menyimpulkan informasi yang dipantau perangkat sepanjang hari ini. Setelah menyelesaikan segalanya dengan konsentrasi berlebihan, waktu sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Dia membuka kotak makan, mulai menyantap nasi babi dingin sambil merilekskan diri, merancang rencana untuk hari baru.
Segalanya berjalan dengan beban berlebihan, tapi tidak merasa lelah. Sudah empat tahun dia menunggu, hanya untuk kesempatan ini saja. Sambil makan, dia lagi-lagi mengingat perkataan terakhir yang diucapkan orang itu padanya.
“……Masih ingat alasan awal kau datang meminta bantuanku? Kau ingin membuktikan diri di hadapan ayahku dan keluarga, membantu keluarga Yuechi melepaskan diri dari bayangan Pei Luo Jia... Mikado Kura sudah MATI, tapi Pei Luo Jia takkan tinggal diam. Suatu hari mereka akan kembali bangkit. Jadi mulai sekarang, hafalkan baik-baik ucapanku tini...”
“Kerentanan keluarga Yuechi sangat jelas. Untuk menemukan titik jebol pertahanan dari kalian, Pei Luo Jia telah merencanakan ini selama bertahun-tahun. Intelijen yang mereka dapat takkan banyak berubah, sehingga rencana yang disusun kemungkinan besar tak melebihi tiga skenario... Mikado Ki adalah orang gila. Dia pasti lebih menakutkan daripada Mikado Kura. Pilihan skenario tergantung pada kesukaannya, soal kapan dimulai... Apapun dari tiga kemungkinan itu, semuanya menyerang dari luar ke dalam. Selama ini, Pool Sakura yang disebut sebagai bawahan keluarga Yuechi, posisinya di dunia ekonomi sudah cukup kuat untuk menyusup ke pondasi keluarga Yuechi. Suatu hari kau akan melihat fluktuasi energi aneh pada saham Pool Sakura. Ini terlihat seperti kebetulan biasa, tapi jika memenuhi beberapa ancaman berikut, itu adalah Pembukaan...”
“Saat melancarkan hantaman ekonomi, mereka akan melancarkan serangkaian pembunuhan bayaran untuk menggoyang pengaruh politik keluarga Yuechi. Sekali dimulai, ini akan menjadi efek domino. Target mereka banyak, tapi yang terpenting belakangan ini adalah Kiyokawa Heiji. Jika waktunya terlalu lama, kau harus mengendalikan sendiri... Kau perlu menyelamatkan orang ini, tapi saat itu jangan sampai menarik perhatian kewaspadaan Pei Luo Jia...”
“Aku dari awal memang tidak berniat menerima murid, karena tidak punya bakat alami untuk mengajar. Tapi karena sudah menerimamu, jika kau terlalu pengecut, itu akan membuatku... merepotkan. Karena alasan awalmu datang ke sini, sekarang berusahalah untuk alasan itu juga. Anggap saja ini... ujian untukmu, jika memungkinkan...”
“Jika memungkinkan... Aku akan mengawasimu...”
Faktanya, sekarang hal-hal seperti ayahku, keluarga, Kolam Bulan, semuanya sudah tidak penting lagi. Tapi karena ini ujian...
Guru, tolong awasi Kaoru menyelesaikan semua soal ini.
Dia menyelesaikan nasi babi panggangnya hingga bersih. Pukul empat setengah, dia mandi seadanya lalu naik ranjang tidur.
## Bagian Empat Ratus Enam Puluh Enam Orang Tua
Terbangun pada pukul lima pagi, langit masih gelap, suara lonceng angin berdering pelan-pelan.
Lonceng angin itu tergantung di jendela kamar Lingjing di lantai bawah, sudah bertahun-tahun. Samar-samar ingat ini barang sisa jaman SMP dulu, hadiah dari camilan yang dibeli, tergantung di tepi jendela itu dan tak pernah dilepas. Kini masih bisa mendengar bunyinya, saat angin pagi menerobos loteng kecil, seolah membawa kembali kenangan masa lalu.
Di masa lalu, dia memiliki kebiasaan bangun pagi. Saat tinggal bersama keluarga Huang, dia bahkan bangun lebih awal. Ketika tak ada yang menyadari, dia pergi berlatih. Setelah kembali, masih bisa tidur sebentar sambil menunggu Lingjing memanggilnya untuk lari pagi. Ketika menginap di rumah keluarga Ye, dia juga beristirahat di loteng kecil. Pada jam seperti ini biasanya sudah saatnya lari pagi, tapi hari ini tidak perlu. Dia memejamkan mata sambil mendengarkan suara lonceng angin, melanjutkan tidurnya.
Waktu berlalu, ketika hampir pukul tujuh, langit baru perlahan terang. Awan gelap menyelimuti Langit, kemudian gerimis mulai turun dengan rintik-rintik. Dari bawah gedung terdengar suara keramas pagi buta, Ibu Ye sudah mempersiapkan sarapan di dapur. Dia memakai baju dan turun tangga, menyapa Ayah Ye. Dari kamar tidur Lingjing merembes cahaya kuning hangat, tampaknya sudah terbangun, terdengar riuh dua orang yang sedang berbicara dan berkejaran.
Cuci muka gosok gigi, saat keluar ke ruang tamu, terdengar suara ranjang di kamar tidur berderak Byur-byur-byur. Dua gadis sedang berkejaran, Shasha tertawa riang sementara Lingjing menggigit gigi sambil bergumam sesuatu. Bertukar pandang dengan Ayah Ye, Jiaming mengetuk pintu lalu mendorongnya terbuka. Terlihat dua gadis berbaju piyama sedang bergulat di ranjang. Shasha meringkuk memeluk sesuatu di pangkuannya, sementara Lingjing menindihnya berusaha merebut. Gagal mengambil, Lingjing mengayunkan bantal memukuli Shasha. Melihat Jiaming di pintu, Shasha tersenyum: "Jiaming, aku nemu novel yang Lingjing tulis dulu. Mau dengar nggak? Ada tipe pangeran impian di hati Lingjing loh... Aaaaa—"
Belum selesai bicara, bantal sudah menghantam seluruh wajahnya. Baju dan rambut Lingjing berantakan, wajahnya memerah sambil melotot ke Jiaming: "Keluar sana!"
Menangkap bantal merah muda itu dengan mahir, Jiaming menghela nafas sambil mengunci pintu: "Cepetan mandi cuci muka."
"Tauuuu... Aaaaa—"
"Lepasin!"
"MATI juga nggak akan kulepas, Haha..."
Suara dalam kamar mereda seiring tertutupnya pintu, tapi masih terdengar jelas. Lingjing memang punya kebiasaan menulis diari. Sejak SMP dia suka nulis novel-novel receh, Jiaming tahu itu. Meski belum pernah baca, isinya pasti cuma cerita cengeng remaja bermasalah. Meletakkan bantal di sofa, Jiaming ikut duduk. Ayah Ye tersenyum menatapnya: "Tidur semalam enak nggak?"
“Hmm.” Jiaming mengangguk, dalam hati berpikir apa yang harus diucapkan selanjutnya. Beberapa saat kemudian, Ye Han menatap pintu kamar Lingjing sambil tersenyum: “Beberapa pagi yang lalu, Lingjing berlari ke gudang mencari cangkul, menangis dan merengek ingin menggali nisan palsumu itu, hehe…”
“Eh…”
Jiaming terdiam. Ye Han kemudian menggelengkan kepala: “Dia menangis berhari-hari, tidur tidak nyenyak, makan pun tak selera. Melihat keadaannya seperti itu, aku dan tantemu juga tak tahu harus berbuat apa…” Ia menghela napas, “Kalian bertiga sudah bersama enam tujuh tahun. Semalam kami berdiskusi sepanjang malam, tetap tak ada yang bisa kami katakan. Saat kau kecil, kami pernah berpikir akan menikahkan Lingjing denganmu kelak. Keadaan sekarang… pelan-pelan saja. Kalian masih muda, urusan masa depan biar diselesaikan nanti.”
Menyikapi situasi trio Jiaming, Ayah-Ibu Ye benar-benar pusing semalaman. Setelah mengucapkan kalimat itu, Ye Han tiba-tiba tersenyum, menurunkan volume suaranya: “Soal ini, aku sudah bicara begitu, tapi pihak tantemu masih belum memutuskan apa-apa. Bisa jadi ada hujatan atau pukulan, hadapi sendiri saja…” Ekspresinya persis seperti saat diam-diam membelikan permen untuknya dan Lingjing di masa kecil dulu, sembunyi-sembunyi dari Ibu Ye.
TV sedang menayangkan berita pagi. Tak lama kemudian, Lingjing dan Shasha akhirnya keluar dari kamar setelah selesai berpakaian, saling dorong-dorongan ke kamar mandi. Ibu Ye muncul dari dapur, mengetuk kepala masing-masing: “Kalian ini masih anak kecil!” Barulah keduanya berhenti bermain.
Pagi yang gerimis ini persis seperti bertahun-tahun lalu, lampu di kamar masih menyala. Setelah selesai mandi, kami duduk bersama menyantap mi yang dimasak Ibu Ye sambil menonton berita pagi dan mengobrol. Ibu Ye masih harus bekerja. Saat berganti pakaian di kamar, dia membahas urusan makan siang, lalu menyinggung keluarga Huang.
“…Sejak pulang, Jiaming, kau belum mengunjungi mereka kan? Lebih baik luangkan waktu untuk kembali. Bagaimanapun juga, kau besar di sana… Mereka mungkin masih mengira kau bermasalah, perlu klarifikasi… Aku pikir, Paman Tertua, Paman Ketiga, Paman Keempat dari pihak ibu… Semua perlu diberi hadiah. Sudah lama tak jumpa, beli yang mahal saja. Kau sudah bertahun-tahun di luar… Ye Han, bawa Jiaming dan yang lain berbelanja pagi ini.”
Dia menyuruh Ye Han menemani Jiaming, tentu karena mempertimbangkan Jiaming yang baru pulang dan mungkin tak punya uang. Di depan keluarga, tak perlu banyak menyembunyikan keadaan. Jiaming menggeleng sambil tersenyum: “Tak perlu, Bu Ye. Aku punya uang!”
“Baru pulang, mana mungkin kau punya uang? Lingjing mungkin cuma punya beberapa ratus keping, sisa dari Wina sampai sekarang.” Duan Jingxian merapikan baju di pintu kamar tidur, tak menyukai penolakan Jiaming, “Begini saja, aku ambilkan kartu untuk kalian belanja… Oh ya, Paman Ketigamu diabetesnya parah akhir-akhir ini, banyak pantangan. Nanti sepulang dari rumah sakit, aku kasih beberapa kotak suplemen kesehatan. Meski dia sudah berkecukupan, tapi kan ini bentuk perhatian…”
Dia berkata-kata terus menerus sambil berjalan pulang lagi: "Keluarga Huang selama bertahun-tahun ini tidak sebaik dulu, dua tahun lalu semua orang masih ribut ingin berpisah dan sebagainya, mau menjual perusahaan lalu setiap orang dapat satu bagian, akhirnya tidak jadi berpisah, tapi selama beberapa tahun ini, yang dipikirkan semua orang juga urusan mereka sendiri, dulu masih saling membantu... Kau dan sepupu-sepupu Lingjing seperti saudara laki-laki sepupu, saudara perempuan sepupu dan sejenisnya, ada yang mulai belajar nakal, bergaul dengan beberapa orang dari kalangan masyarakat, berpikir untuk spekulasi ilegal, tahun lalu ada sepupumu yang bahkan ingin mencuri rahasia perusahaan untuk dijual ke orang lain, untungnya ketahuan... Huang Haoyun itu juga bergaul dengan beberapa orang dari kalangan masyarakat, tapi Yiting cukup baik, masih ingat Xu Yiting kan..."
“Bagi keluarga Huang, Jiaming sebenarnya sudah tidak memiliki banyak perasaan. Mungkin [] dulunya telah mengatur sesuatu untuknya, dan anggota keluarga Huang pada umumnya sudah mengetahui hal 'tewas secara tiba-tiba setelah mendekam di penjara'-nya. Tapi karena Ibu Ye sudah berkata demikian, Jiaming pun mendengarkan dengan wajar. Tak lama kemudian Duan Jingxian mengeluarkan kartu kredit/debit dan menyerahkannya ke Jiaming. Beberapa orang mengantarnya keluar pintu. Saat berjalan di antara jalanan sambil memayungi, pemilik warung kecil di dekatnya berseru dengan gembira: 'Shasha! Jiaming! Sudah pulang semua?'"
“Iya, Lao Yang, sampai rumah kemarin.” Duan Jingxian menjawab sambil tersenyum.
"Jiaming bertiga dulunya sering menghabiskan waktu di sini, sebagian besar warga sekitar pasti punya kesan. Cuma karena hari ini hujan, orang yang keluar rumah jadi tidak banyak. Sepanjang jalan sampai ke halte bus di tepi jalan lain, bertiga baru melambaikan tangan berpamitan pada Ibu Ye, berbalik pulang. Baru berjalan tidak jauh, Duan Jingxian seperti teringat sesuatu, melambaikan tangan ke arah sini memanggil: 'Lingjing, ke sini!' Bertiga menghentikan langkah, Lingjing berlari kecil mendekat.
Jaraknya tidak terlalu jauh, Jiaming dan Shasha menunggu di pinggir jalan. Meski tidak mendengar jelas ucapan, dengan penglihatan Jiaming, bisa dengan mudah membaca gerakan bibir. Terlihat Lingjing berdiri sejenak di depan ibunya, Duan Jingxian menepuk pelan-pelan noda air di rambutnya, berkata lembut: 'Kalian bertiga... sudah memutuskan akan seperti ini selanjutnya?' Awalnya tidak terlalu penasaran, tapi setelah kalimat ini, sulit menahan diri untuk tidak sesekali melirik ke sana.
Memahami keraguan di hati ibu tentang topik ini, Lingjing menundukkan kepala, hanya berkata: 'Ibu...' Duan Jingxian lalu menghela napas.
'Bagaimana aku harus mengatakannya padamu, kalian selalu merepotkan, sudah besar begitu... Dulu pernah terpikir menjodohkanmu dengan Jiaming, karena Shasha, aku dan ayahmu sempat merasa sayang. Siapa sangka kalian sudah begini sejak awal. Bertiga berteman bisa seumur hidup, belum pernah kulihat suami istri yang benar-benar harmonis. Tapi kalian bertiga seperti anak kandungku sendiri, sekarang sampai menghujat pun tak tegas.'"
“Ibu, anggap saja kami berteman seperti ini seumur hidup, bukankah itu lebih baik……” Lingjing berbisik pelan, kemudian kepalanya ditampar.
“Pertemanan seperti apa ini? Dua wanita satu pria, pasti ada saatnya ingin memonopoli. Kalian bertiga tumbuh besar bersama, perasaan ini ayah dan ibu lihat jelas, lebih dekat daripada suami-istri atau saudara biasa. Masalah lain masih bisa diperbaiki meski bertengkar, tapi ibu takut kalian nanti bertengkar karena hal ini sampai tidak bisa berteman lagi. Sejak Jiaming pulang… kalian tinggal bersama lagi, kan?”
Lingjing menggigit bibir sambil mengangguk, mungkin bergumam pelan: “Hmm.”
“Hah…” Duan Jingxian mengelus pipi putrinya, “Sudah pakai kontrasepsi?”
Lingjing terdiam lama: “Ibu, kami ingin… memberi anak…” Duan Jingxian menutup mata, baru membukanya setelah beberapa saat: “Ibu mengerti… baru pulang, wajar punya keinginan itu. Kalian bertiga sudah dewasa sejak kecil, ini urusan seumur hidup. Setelah memutuskan dan menerima konsekuensinya, harus bertanggung jawab selamanya… Ibu mau kau berjanji di sini, apapun hasil hubungan kalian nanti, jangan pernah putus asa lagi. Yang paling kami khawatirkan bukan hubungan bertigamu, tapi empat tahunmu yang hilang dulu, mengerti?”
Lingjing mengusap matanya: “Ibu, aku janji. Aku jamin tidak akan membuat kalian khawatir lagi.”
Duan Jingxian tersenyum：“Kekhawatiran kecil tidak masalah, setelah melahirkanmu, kami hanya bisa terus mengkhawatirkanmu. Tapi selama empat tahun ini, kau hampir MATI demi Jiaming, aku dan ayahmu sangat ketakutan, namun tak ada cara. Sebenarnya jika mengingat semua kejadian sejak kecil, Jiaming justru lebih berhati-hati dibandingkanmu dan Shasha. Perasaan kalian berdua baik, ke depannya harus lebih saling mengalah... Hal ini sebenarnya sudah kau pahami, tak perlu ku jelaskan lagi...”
Saat nama Jiaming disebut, Lingjing melirik ke arah sini, pandangannya bertabrakan dengan Jiaming. Kemudian dia mendongak sedikit：“Dia paham... Dialah si playboy sejati...”
“Apa?”
“...Tidak.”
Akhirnya tak mungkin mengungkapkan urusan Yahan yang belum terselesaikan di depan ibunya, Lingjing menggelengkan kepala dengan tak rela. Melihat ekspresi putrinya, Duan Jingxian juga menggelengkan kepala sambil tersenyum：“Takkan kucampuri lagi. Shasha sudah tak punya rumah, Jiaming juga tak punya ikatan dengan keluarga Huang. Pokoknya kalian bertiga akan menjadi saudara seumur hidup... Semalam kuobrol lama dengan ayahmu, tak ada hasil. Jika ayahmu memukul atau menghujat kalian karena hal ini, aku takkan membela. Terimalah konsekuensinya, paham?”
Menyaksikan adegan ini, Jiaming yang berada di kejauhan menoleh ingin tertawa, tapi akhirnya hanya menggelengkan kepala dengan hangat di hati. Tak lama kemudian Lingjing kembali berlari, biji matanya masih basah.
Hujan ringan terus turun, hari ini Wushu Ye juga tetap beroperasi seperti biasa. Bertiga yang sedang tidak ada kegiatan, akhirnya melakukan pekerjaan kasar yang sudah empat lima tahun tidak mereka kerjakan. Sifat Ye Han yang sederhana membuatnya tidak pernah menjadi pengelola yang ambisius. Beberapa tahun terakhir ini karena kekhawatirannya terhadap urusan putrinya, perguruan silat ini semakin tidak berkembang. Belasan hingga dua puluh murid yang kadang datang kadang tidak, tidak dibatasi. Meskipun metode pengajarannya tidak memberikan manfaat dalam hal persaingan kekerasan, namun sangat membantu dalam hal melatih mental dan fisik, ditambah lagi suasana pengajaran yang baik, membuat Wushu Ye tetap memiliki reputasi bagus di lingkaran sendiri.
Tingkat kehadiran murid perguruan silat mungkin mencapai rekor tertinggi dalam setengah bulan terakhir. Situasi ini mungkin mulai terjadi sejak kepulangan Lingjing. Berita tentang Shifu Ye memiliki putri cantik sebenarnya sudah bukan hal baru di sekitar sini. Meskipun Lingjing tidak pulang selama empat tahun ini, murid-murid yang sudah lama bergabung tetap pernah mendengarnya. Meski terlihat kurus kering sejak pulang, aura dan penampilan Lingjing tetap memukau. Sampai hari ini, dengan dua si cantik yang mondar-mandir di dalam perguruan, suasana belajar tiba-tiba mencapai puncaknya. Pasangan murid yang berduel di ring semakin banyak, sorakan mereka hampir mengguncang atap.
Orang-orang ini memanggil "Kakak senior", Lingjing dan Shasha lalu keluar masuk sambil menyiapkan teh atau menuangkan air, mengambilkan handuk atau mengobrol sebentar dengan orang. Selama empat tahun di Wina, latihan Lingjing basically tidak pernah berhenti, tapi urusan tentang set、kompetisi sudah ditinggalkan. Wataknya lembut, tidak memberikan petunjuk pada orang. Shasha yang belajar di Dark Celeste selama empat tahun, dalam pandangannya, tingkat kemampuan orang-orang ini sudah tidak segaris dengannya. Ye Han dan Jiaming sama-sama hadir, keduanya berperilaku anggun. Jiaming berdiam di sudut sambil mengetuk-ngetuk, membantu Ayah Ye memperbaiki peralatan tua. Para murid ini tidak tertarik pada pria, dua mahasiswi yang ada juga tidak menemukan topik karena dia bukan si Ganteng, tentu saja hanya Lingjing dan Shasha yang mengajaknya mengobrol saat mereka mendekat.
Emosi ingin menunjukkan kemampuan di depan si cantik wajar dimiliki semua orang. Kedekatan hubungan antara trio Jiaming, bahkan dalam obrolan biasa, secara alami memperlihatkan keintiman itu. Menjelang sore, muncullah orang yang menantang "Sihing Jiaming" meminta petunjuk. Orang ini mungkin yang terkuat di antara murid lain, lebih tinggi se kepala dari Jiaming, tubuh kekar menunjukkan bekas latihan jangka panjang. Motivasi mereka mainly ingin pamer, tanpa niat jahat. Jiaming hanya tersenyum geleng-geleng kepala, lalu dengan mudah naik ke ring.
Pukulan pertama datang, dia mengulurkan tangan untuk menangkis. Kepalan tangan kanannya sudah mengeluarkan suara "Huu" dan berhenti tepat di depan mata lawannya selama dua detik. Dengan tersenyum, dia mundur dua langkah dan memberi isyarat untuk menyerang lagi. Lawannya menyusun strategi baru dan mendekat dengan hati-hati. Begitu pukulan itu baru saja dilancarkan, tiba-tiba hembusan angin kencang menerpa wajahnya. Kepalan tangan itu kembali berhenti tepat di depan matanya, bahkan sebelum sempat berkedip. Empat lima kali berturut-turut kejadian seperti ini, barulah semua orang mengerti perbedaan kemampuan di antara keduanya. Terutama pada serangan terakhir, ketika lawan hanya bisa bertahan erat-erat, namun pertahanan tangannya langsung terpental sekejap mata. Jiaming bergerak cepat bagai kilat, melancarkan puluhan serangan ke seluruh tubuh lawannya dalam hitungan detik - kepala, leher, dada, perut, kaki, lutut, pinggang, punggung. Setiap pukulan, sikutan, dan tendangan berhenti tepat di permukaan kulit, namun hembusan angin yang dihasilkan membuat seluruh pakaian lawannya berkibar-kibar. Setelah rangkaian jurus sengit bak adegan film ini, seluruh perguruan silat terdiam selama dua detik. Decak kagum dan perbincangan yang menyusul tak berhenti sepanjang sore itu.
Namun, setelah pertunjukan Jiaming kali ini, orang itu turun dari panggung dengan penuh kepuasan, sementara semangat kompetitif Shasha justru tersulut. "Hanya bisa mengganggu orang!" Serunya sambil melompat ke atas ring. Jiaming sejenak merasa kecewa. Meski Shasha telah menjalani pelatihan resmi dan ketat di Dark Celeste selama beberapa tahun terakhir, situasinya tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya ketika dia menerjang dengan gaya serangan yang ganas... terkapar kosong.
Menghindar seperti biasa.
Mengingat kembali, selama ini di atas ring ini, jika terpaksa harus bertarung, Jiaming selalu memilih taktik penghindaran. Perseteruan mereka sejak kecil menjadi musuh yang saling mencintai, sebagian juga dipengaruhi faktor ini. Kenangan ini membawa kehangatan di hati, namun kini mereka telah dewasa. Ring yang terasa semakin sempit membuat Shasha negejar dengan keras kepala, dan keduanya pun kembali terlibat kejar-kejaran di atas ring.
Menghindar, melompat, naik tiang ring, salto, menerjang menggunakan pegas tali ring - terkadang bergerak mekanis seperti robot, terkadang seperti penari yang mabuk. Sesekali bahkan bisa menyambar cincin gantung di langit-langit bagai pesenam yang bergerak lincah. Tanpa perlu lagi menyembunyikan kemampuan, Jiaming dengan tenang menghindari setiap serangan Shasha dalam gerakan menghindar yang sempurna, hingga beberapa menit kemudian Shasha berteriak: "Jangan menghindar!" Barulah dia menghentikan aksinya.
Serangan Shasha saat ini jauh lebih ganas dari manusia biasa, dia menyerang dengan cepat sementara Jiaming terus mengayunkan tangan untuk menangkis di depan. Pertunjukan yang terlihat di depan semua orang sudah membuat mereka terdiam, benturan tinju dan tendangan yang prak-prak tidak berhenti sedetik pun. Setelah lebih dari 10 menit, Shasha yang terengah-engah berteriak: "Aku nggak mau lanjut!" Memanfaatkan jeda saat Jiaming berhenti, dia menghajarnya hingga mirip tokoh utama di komik "Anjing Hina". Byur! Jiaming roboh kaku di atas ring, lalu Shasha melompat-lompat sambil mengacungkan tangan sambil berteriak "Menang!", sementara Lingjing menyeret Jiaming yang bergumam "Licik" sambil memarahinya untuk diobati.
Meski caranya licik, murid-murid yang terpana di bawah panggung tidak bisa berkomentar. Baik Jiaming maupun Shasha jelas berada di level yang tidak bisa mereka jangkau. Jiaming sengaja menerima pukulan itu hanya demi keseruan. Sepanjang sore dia bertahan dengan lingkaran hitam di mata, mengancam akan melapor ke Ibu Ye begitu pulang. Tapi setelah lebih dari 2 jam, lingkaran hitam yang awalnya tidak berubah itu hilang dalam hitungan menit. Sebulan setelah kejadian ini, jumlah murid di Wushu Ye bertambah dua kali lipat, kebanyakan teman murid lama. Tapi ini bukan hal yang terlalu penting untuk diceritakan.
Sore harinya saat Ibu Ye pulang kerja, seluruh keluarga berkumpul makan malam. Masalah tabrakan kemarin membuat Ibu Ye harus kembali ke kantor polisi siang tadi. Saat menceritakan tentang korban itu, nada bicaranya terdengar kesal.
“Kedua kaki patah akibat ditubruk, tulang leher juga bermasalah, masa kritis belum lewat, kemungkinan lumpuh masih belum pasti. Katanya kondisi keluarga itu kurang mampu, tidak punya uang... Jiaming, pertolongan pertamamu bagus, kalau tidak, perkiraannya dia sudah MATI saat itu juga.”
Jiaming menggelengkan kepala dengan kekecewaan: “Kalau begini keadaannya, mungkin lebih baik dia MATI waktu itu.”
“Jangan bicara begitu. Sekarang teknologi medis sudah maju, siapa tahu beberapa tahun lagi masih ada harapan pulih. Hidup itu berharga... Apalagi ada plat nomor, pelaku pasti ketemu...” Dia tersenyum, “Ngomong-ngomong, Jiaming, apa rencanamu ke depan? Masih ingin jadi dokter bedah? Kayaknya keahlianmu sudah cukup.”
“Tidak tahu. Malah berencana jual kacang chestnut goreng gula.”
Saat dia bicara ini, Lingjing di sampingnya ikut tersenyum menyambung: “Kami mau buka toko khusus jual kacang chestnut goreng gula.” Jiaming menyeringai, buru-buru membantah sebelum Ayah-Ibu Ye sempat terkejut: “Dia ngawur saja.”
“Orang tua mengharapkan anaknya sukses seperti naga dan feniks. Meski Ayah-Ibu Ye belum tentu mendiskriminasi profesi tertentu, tapi jika putrinya pulang setelah empat tahun belajar di Wina malah menemani Jiaming berjualan kacang chestnut goreng gula, seberapa pun berpikiran terbuka mereka, pasti akan merasa tidak nyaman. Shasha dan Jiaming saat ini belum punya rencana jelas untuk masa depan. Setelah berdiskusi, Ayah Ye masih berniat mewariskan perguruan silat ke Jiaming meski tak mendesak, sementara Ibu Ye merasa pengaturan terbaik adalah Jiaming dan Shasha melanjutkan studi di kampus untuk mengejar gelar sarjana. Dengan dasar ilmu pengobatannya, jika Jiaming mengambil jurusan kedokteran dan Shasha menjadi perawat juga bagus. Tentu ini hanya pendapat sementara. Hanya usulan Lingjing berjualan kacang chestnut gula yang mustahil disetujui, membuatnya bergumam sendiri di sudut merasa dikhianati.”
“Hingga malam, hujan pun reda. Julian yang mendengar kabar kepulangan Lingjing datang bergegas, bertemu dengan Jiaming dkk. Di saat yang sama, Lingjing mengajukan permohonan pembatalan kontrak pada Julian. Meski tak setuju putrinya meninggalkan piano, Ayah-Ibu Ye tidak banyak berkomentar soal ini.”
“Itu… pria yang kau tunggu selama ini ya…”
"Malam pukul sembilan, Lingjing mengantar Julian keluar sendirian. Di bawah lampu jalan, ekspresi Julian terlihat kompleks. Dia masih tidak rela, tapi juga sudah tak bisa berbuat apa-apa. Lingjing menyerahkan cek bernilai besar yang diambil dari Jiaming sebagai denda kontrak. Meski dengan koneksi Julian, denda ini mungkin bisa dihapus, tapi karena kontrak sudah ditandatangani, lebih baik bersikap formal. Dia juga tidak mau berhutang budi lagi pada mereka."
Membicarakan Jiaming, Lingjing tersenyum: "Ya, orang yang sangat biasa kan? Tidak ganteng, juga tidak punya keistimewaan yang mencolok."
"Auranya cukup unik..." Setelah mengucapkan ini, Julian menatap Lingjing, "Ke depannya bagaimana? Mau menyerah saja pada piano?"
"Mungkin cari restoran atau hotel untuk bermain musik. Hal yang akan datang, bicarakan nanti saja."
"Kalau bermain bagus, tetap akan ada yang menemukanmu. Kau punya bakat, berbakat. Jika suatu saat akan muncul, kenapa tidak pilih titik awal yang lebih tinggi sekarang?" Dia berhenti sejenak, "Mengenai perasaanku padamu, sama sekali tidak perlu kau khawatirkan. Aku hanya ingin melihat sejauh apa kau bisa melangkah dengan dukunganku. Seniman selalu tertarik pada karya mereka sendiri. Tapi jika kau tidak suka, aku sama sekali tidak akan ikut campur dalam hidupmu."
Mendengar ucapannya, Lingjing berhenti, lalu membungkuk hormat ke Julian: "Terima kasih, Guru. Baik itu perhatianmu padaku di Wina, maupun apresiasimu selama ini... Aku tetap menyukai musik, tapi itu bukan hal paling penting dalam kehidupanku. Bagiku, yang terpenting adalah bersama orang yang kusayangi. Pekerjaan apapun tidak masalah. Kuharap setiap pulang kerja bisa langsung pulang ke rumah. Jika nanti punya anak, juga ingin sering menemaninya. Hal-hal seperti ini tak mungkin terwujud jika harus menjadi selebriti atau semacamnya. Bagaimanapun... terima kasih, Guru."
Begitu mereka berbicara, di sudut jalanan mereka melambaikan tangan berpisah. Julian pergi ke depan, Lingjing berbalik pulang ke rumah. Sinar bulan dingin membeku, mereka menghilang dari jarak pandang satu sama lain.
Tepat sehari setelah kecelakaan mobil di pagi hari, demi urusan ini, ada yang menemui Duan Jingxian di rumah sakit tempatnya bekerja dan melakukan intimidasi padanya. Bahkan malam itu, beberapa bandit kecil menunggu di jalan saat dia pulang kerja untuk menakuti. Karena Ibu Ye menyembunyikan hal ini, ketika mengetahui kejadian ini, waktu sudah sampai pada acara reuni teman sekelas di malam hari ketiga...
## Bagian Empat Ratus Enam Puluh Tujuh Reuni Teman Sekelas (Bagian Atas)
Sebenarnya, acara reuni teman sekelas seperti ini bagi Jiaming tidak pernah punya daya pikat berarti. Dari dulu tak punya banyak teman, karakternya pun bisa dibilang dingin. Dari sudut pandang manusia biasa, dia memang tak pernah dianggap sosok yang tulus. Dulu saat bertemu kembali dengan Wang Tujia dkk di keluarga Dongfang, meski sempat membicarakan rencana reuni dan menerima kartu undangan, di kedalaman hatinya sama sekali tak mempertimbangkan hal ini serius.
Tentu saja, karakter Dia memang selalu tidak bisa bersosialisasi seperti ini. Namun di sisi Lingjing dan Shāshā, akhirnya ada sedikit penggantian. Masalah bertiga mereka mendapat persetujuan diam-diam dari Ayah-Ibu Ye, di dalam hati masing-masing terasa lega, sehingga muncul ruang untuk mempertimbangkan aktivitas lain. Karena memegang kartu undangan, Lingjing dan Shāshā pun berniat melihat kabar terkini teman sekelas yang dulu dikenalnya—dulu mereka termasuk mahasiswa populer. Bahkan saat itu di antara teman perempuan, banyak yang menganggap Shāshā yang ceplas-ceplos, ceria, dan jago olahraga sebagai idola. Kemudian Lingjing pergi ke Wina, mengisolasi diri sepenuhnya, sementara Shāshā menjadi buronan. Selama empat tahun ini, mereka sama sekali tidak punya koneksi dengan teman-teman lama. Sekarang teringat, sungguh merindukan masa itu.
Keinginan untuk menghadiri reuni teman sekelas sebenarnya punya alasan lain. Beberapa hari terakhir bertiga ini terus berada di perguruan silat. Meski Ayah-Ibu Ye terpaksa menyetujui hubungan mereka bertiga untuk sementara, bagaimanapun juga, memperlihatkan hal seperti ini di depan orang tua tetap ada hambatan psikologis. Dalam masa saling menyesuaikan ini, mereka tidak berani menunjukkan keintiman berlebihan di hadapan Ayah-Ibu Ye, juga tidak bisa membahas topik tertentu secara langsung. Pada akhirnya malah tidak sesantai dulu saat tinggal bersama. Akhirnya, setelah berdiskusi, bertiga memutuskan memanfaatkan momentum reuni untuk keluar. Malamnya menelepon pulang bilang tidak bisa kembali tidur, lalu pindah dari perguruan silat. Setelah beberapa waktu, rasa canggung awal ini perlahan akan hilang dengan sendirinya.
“Orang tua mereka mungkin juga merasa kerepotan, tiga anak mengacau-acau di depan mata selama bertahun-tahun, akhirnya membuat masalah seperti ini, tidak tahu harus memarahi siapa……” Lingjing menggelengkan kepala sambil memeriksa penampilannya di cermin, lalu berkata pada Jiaming yang sedang duduk di tepi ranjang membaca komik, “Kau penuh dosa!”
Untuk menghadiri reuni teman sekelas, dia menghabiskan sekitar lewat sepuluh menit mempersiapkan diri. Saat ini wajahnya dirias tipis, mengenakan kaus lengan pendek yang elegan dan sederhana, celana tujuh per delapan, saat memakai kacamata plano bingkai hitam, aura kecerdasan dan kecerdikannya terpancar, benar-benar sesuai dengan kesan mahasiswa yang baru lulus. Tak lama kemudian, Shasha masuk dari luar pintu dengan mengenakan baju musim panas yang segar, yang mencolok adalah rok pendek yang belum mencapai lutut, memperlihatkan kaki jenjang dan lurus di udara, sepatu sandal hak tinggi transparan seperti kristal dengan tali hijau muda membelit betis putih mulus. Melihat penampilannya yang sebelumnya tak pernah ada ini, Lingjing dan Jiaming secara bersamaan bersiul.
“Cantik banget...”
“Aku mau bawa senjata...”
“Ngapain?”
“Malam ini semua yang berani lihat di atas lutut Shasha akan MATI dipukuli...”
Dalam percakapan mereka, wajah Shasha memerah, perlahan menggeretakkan gigi, lalu berbalik hendak pergi: “Sudah, aku ganti baju lagi.”
“Jangan dong!” Lingjing buru-buru tersenyum dan berlari memeluknya, “Aku suka banget... Shasha biarkan aku menggigitmu ya...”
Shasha tertawa sambil menyemburkan malu. Rambutnya saat ini diikat menjadi ekor kuda yang halus, tetap memancarkan kesan segar. Satu-satunya perubahan hanyalah rok pendek dan heels yang sebelumnya tak pernah ia kenakan. Faktanya, selama empat tahun terakhir ia menjalani pelatihan di Dark Celeste sambil menanggung kesedihan, aura yang dipancarkannya telah banyak berubah. Tak lagi sembrono seperti dulu, sifat polos dan naifnya jarang terungkap kecuali di depan Lingjing dan Jiaming. Kadang di sela-sela permainan, tanpa sadar ia terjerumus dalam perenungan, menjadi dingin dan tajam bagai pisau yang terhunus, memancarkan kesan layaknya prajurit. Perpisahan empat tahun akhirnya meninggalkan luka pada setiap orang, tapi kini yang bisa dilakukan hanyalah berharap waktu akan menyembuhkan segalanya. Penampilannya ini, dalam kadar tertentu, merupakan bentuk kamuflase. Meski bagi Jiaming tekniknya terasa kaku, setidaknya bisa menyembunyikan sebagian aspek yang tak biasa darinya.
Setelah bercanda dengan Lingjing, Shasha sengaja berpose gaya dengan pakaian barunya, mungkin meniru gaya dari Dark Celeste. Meski terlihat kaku, justru kekakuan yang samar itu membuat setiap penampilannya—entah yang polos maupun menggoda—terasa semakin memikat. Lingjing yang iri melihat kaki panjang Shasha terus ingin mengangkat roknya dan menggigit paha sang sahabat. Sekitar pukul empat setengah, bertiga pun berangkat menuju alamat reuni teman sekelas yang tercantum di kartu undangan.
Waktu empat tahun, tepat saat sebagian besar orang lulus kuliah, ini bukan sekadar acara kumpul-kumpul kelompok kecil biasa. Jumlah peserta mencapai ribuan orang, tempat penyelenggaraannya pun ditetapkan di hotel berbintang dengan balai jamuan terbesar di kota. Saat turun dari taksi, waktu sudah lewat pukul lima. Mereka berjalan menuju papan sambutan merah bertuliskan "Reuni Angkatan 2000 Akademi Hati Kudus". Di samping papan besar itu, beberapa orang sedang menyambut peserta yang datang berturut-turut. Lingjing mengerutkan alisnya sambil mencoba mengenali wajah-wajah.
"Yang pakai gaun ungu itu Luo Jingwen kan? Masih cantik ya... Jiaming, itu Liang Mingchao kan? Katanya kalian satu kelas. Bukannya kalian juga ketemu Li Song sama Wang Tujia? Aku ingat. Mereka di mana... Si gemuk itu siapa? Nggak ada kesan... Shasha, lihat yang jangkung di dalam itu Dai Zhiqiang dari kelasmu yang main basket kan? Katanya dulu ngejar-ngejar kamu lho... Eh dia melirik ke sini nih..."
Belum sampai di dekat, di gerbang hotel sudah ada yang mengenali mereka. Lingjing bergosip sebentar, kemudian tersenyum menyapa beberapa orang yang dikenalnya. Selama empat tahun ini dia melanjutkan studi musik di Wina, yang umum diketahui teman-teman sekelas. Kini mereka memandangnya layaknya musikus. Jiaming pun menyapa Liang Mingchao, Luo Jingwen, dan lainnya. Huaisha? Di antara kerumunan ini tak ada teman dekatnya dari dulu. Satu-satunya teman sekelas pria pernah mengejarnya dulu. Kini menyapa pun enggan. Berdiri di samping Jiaming dan Lingjing, dia terlihat agak dingin. Auranya telah banyak berubah. Baru setelah menandatangani nama "Liu Huaisha" di samping, beberapa orang yang punya kesan samar-samar baru bisa memastikan identitasnya.
Personel berdatangan satu per satu. Tentu mereka tidak bisa terus mengobrol di gerbang. Setelah menandatangani nama masing-masing, mereka masuk. Beberapa orang di belakang baru mulai berbisik-bisik.
"Benar-benar Ye Lingjing dan Liu Huaisha... Tapi empat tahun tak ada kabar mereka..."
"Dulu bertiga selalu bersama, sekarang berkumpul lagi..."
"Seperti berubah banyak ya..."
"Katanya dulu Liu Huaisha terlibat kasus sampai masuk daftar buruan. Aku pernah dengar surat pencarian pernah diterbitkan. Sekarang sudah aman?"
"Entahlah. Bukannya Gu Jiaming juga pernah dipenjara... Intinya sejak SMA tak ada kabar mereka. Ye Lingjing ke Wina memang diketahui..."
Hal seperti ini tidak mungkin diklarifikasi secara terbuka. Berbagai rumor beredar di antara orang-orang. Perbincangan tentang Jiaming yang mendekam di penjara atau Shasha yang masuk daftar buruan mungkin tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Bertiga masuk ke dalam, melihat beberapa wajah yang familiar. Saat naik ke lantai dua, mereka baru menyadari balai jamuan yang luas itu sudah dipadati lautan manusia, diperkirakan sekitar empat hingga lima ratus orang telah berkumpul.
Balai jamuan ini mencakup seluruh lantai dua hotel. Sekitar seratus meja bundar telah disusun rapi. Dari jendela besar yang menghadap jalan di satu sisi, terlihat pemandangan sisi seberang. AC sentral menyemburkan hawa dingin ke aula, sinar matahari sore yang keemasan menerangi ruangan dari segala penjuru. Di antara meja-meja, balkon, dan panggung utama berkumpul kelompok-kelompok teman sekelas. Panggung utama yang mirip panggung kecil itu kini terlihat seperti ruang karaoke dengan berbagai alat musik tertata rapi. Layar besar di belakang menampilkan video klip lagu. Seorang mahasiswa bertubuh besar sedang bernyanyi lagu "Teman" dengan suara fals dan serak, namun teriakan penuh semangatnya justru menimbulkan nuansa nostalgia. Beberapa kenalan sedang mengatur alat musik di sampingnya. Lelaki kurus berambut panjang asyik memutar-mutar rambutnya sambil memainkan piano elektrik dengan penuh perasaan. Dua orang lain malah menggunakan stik drum sebagai pedang palsu, lalu mulai kejar-kejaran di atas panggung.
Tiba di sini, Lingjing dan Shasha juga mulai melihat beberapa teman yang dulu mereka kenal. Bertiga mereka berjalan di kerumunan orang, menunjuk-nunjuk ke sekeliling. Sesekali ada yang keluar menepuk bahu Jiaming: "Hei! Gu Jiaming!" Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu, bahkan dengan orang yang dulu tidak terlalu dekat, suasana tetap terasa akrab.
Sesekali orang menyapa Lingjing dan Shasha untuk bernostalgia. Jiaming tidak punya banyak orang yang ingin ditemui, namun Lingjing dan Shasha masing-masing memiliki lingkaran pertemanan sendiri. Dua lingkaran ini jarang bersinggungan. Saat mereka berpisah untuk bernostalgia, tentu tidak mungkin bertiga terus bersama. Beberapa menit kemudian, mereka berpisah - Lingjing dan Shasha menemui teman-teman berbeda, sementara Jiaming mengambil setandan anggur dari meja, makan sambil berjalan di kerumunan.
Perkumpulan ratusan orang ini mencakup hampir semua domain masyarakat. Hal-hal yang mereka bahas, minat, dan urusan masing-masing sangat beragam. Ada yang berkumpul mengobrol tentang berbagai pengamatan, ada yang saling menceritakan momen memalukan masa lalu, ada yang main kartu atau taruhan berkelompok, ada yang adu kekuatan di meja dikelilingi sorak-sorai. Mantan teman sekelas yang dulu saling tertarik kini bercanda mesra. Jiaming berjalan sambil mengamati, sesekali menyapa, mendengarkan pembicaraan orang, atau ikut bersorak. Mengingat berbagai hal selama tiga tahun itu, ia merasa semuanya cukup menarik.
Begitu bercampur dengan kerumunan orang, lewat sepuluh menit kemudian, ketika pandangannya menatap ke arah balkon di sebelah, sebuah bayangan juga muncul dalam pandangannya. Sekaligus, tatapan yang datang dari sana juga melihatnya.
Itu adalah Dongfang Wan yang mengenakan gaun hitam.
Jelas terlihat dia melakukan dandanan khusus untuk reuni teman sekelas ini. Saat ini Dongfang Wan sedang duduk di kursi rotan balkon sambil mengobrol dengan seseorang di depannya. Dia bersandar di sandaran kursi, paha dengan heels hitamnya disilangkan dengan elegan. Sambil berbicara, matanya sesekali melirik ke kerumunan orang di aula. Di tangannya terlihat kotak rokok logam, dengan sebatang rokok di jarinya yang hendak didekatkan ke bibir untuk dinyalakan. Ketika matanya melihat Jiaming, dia tertegun sejenak. Dua detik kemudian, tatapannya kembali ke pria di depannya dengan senyuman, namun rokok itu diturunkan dan diketukkan ke kotak logam.
Mengucapkan sesuatu yang kira-kira tentang bisnis, ketika tatapannya kembali ke arah sini, Jiaming sedang "terkapar" memuntahkan kulit anggur dari mulutnya. Dongfang Wan memandangi Jiaming beberapa saat, perlahan menyimpan rokok kembali ke kotak. Tak lama kemudian, dia tersenyum dan kembali mengobrol dengan pria itu.
Tampaknya dia juga banyak berubah. Dulu hanya gadis kecil yang penuh semangat, sekarang akhirnya mulai matang sedikit...
Jiaming berpikir sejenak, mengangkat bahu sambil tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya ke depan.
Di aula yang riuh, orang yang berteriak menyanyi di podium diganti. Mereka menyanyikan lagu "Teman Sekursimu", setelah selesai ada yang merebut mikrofon dan bertengkar, terlihat seperti xiangsheng multi-saluran yang meriah. Kemudian sekelompok perempuan berisik menggedor baron turun, di antara mereka ada Lingjing. Seorang perempuan tersenyum merebut mikrofon: "Sekarang, persilakan penyanyi agung, pemain piano, seniman pertunjukan... Ye Lingjing yang pernah belajar di Wina untuk tampil..." Setelah diberi berbagai gelar megah, Lingjing didorong ke depan.
Dari kejauhan, Jiaming memandangi keusilan Lingjing dengan teman-temannya di panggung kecil. Akhirnya dia mengambil gitar, duduk santai di depan mikrofon mulai bernyanyi. Suara jernihnya melantunkan lagu "Tentang Sekarang, Tentang Masa Depan" karya Serigala Tua. Pengalaman panggungnya yang kaya membuat penampilan ini mulus, sikap santainya cocok dengan atmosfer reuni. Usai satu bait, banyak pandangan tertarik, lalu sorak-sorai mengiringi kecantikan di panggung.
Jiaming mendengarkan nyanyian yang sama sekali berbeda dengan kesan pilu di panggung Fang Yusi beberapa hari lalu. Sambil tersenyum dia berpaling. Dalam keramaian, terdengar "tek" suara hak tinggi. Siluet hitam muncul, lalu angin menderu menghampiri.
Sosok di depan menendang betisnya, ia menghela napas kecewa, menepaskan tas kecil hitam yang diayunkan ke arahnya.
“Tolong, sudah lama kita tidak bertemu, tak perlu sampai seramah ini……”
“Kau belum MATI, aku terkejut……”
“Berkat doamu, hidup lagi. Tentu saja jika kau tidak mengatakannya sambil menggigit gigi, mungkin aku akan lebih tersentuh……”
Jiaming mengangkat tangan bingung, memandang wanita berbaju hitam di depannya yang sudah tak tahan membungkuk mengusap betis, lalu melompat-lompat di tanah beberapa kali sebelum duduk di kursi dengan kesal.
“Benar-benar lama tidak bertemu, Ketua Kelas teman sekelas.”
## Bagian Keempat Ratus Enam Puluh Delapan Reuni Teman Sekelas (Tengah)
Di masa lalu—ketika kami berdua masih di era pelajar—sulit membayangkan kami bisa duduk bersama dan mengobrol dengan harmonis. Persepsi ini sebenarnya lebih banyak berasal dari kesengajaan Jiaming. Bagaimanapun, setidaknya dalam hati Dongfang Wan, pertemuan ini tidak terlalu diproyeksikan: karakter buruknya selama tiga tahun SMA tak pernah berubah, hubungan mereka selalu diwarnai keributan. Kemudian semua kesan itu berubah menjadi getaran dahsyat dan kebingungan pada perpisahan "Terima kasih sudah sering mengajakku bermain", dan sejak itu tak ada lagi ruang untuk koreksi.
"Selama empat tahun kuliah, aku bahkan tidak pernah membayangkan bagaimana kita akan bertemu di masa depan. Pertemuan terakhir di tengah teriknya musim panas empat tahun lalu, aksi nekat dan brutal itu seolah selalu membawa aura akhir yang penuh keputusasaan. Cerita selesai, mengukir tanda titik. Dua tahun kemudian, ketika mendengar kabar kematiannya dari kakak, aku bahkan tidak merasa terlalu terkejut. Hanya saja, setiap kali terbangun di tengah malam, kalimat itu dan senyum itu selalu muncul, seolah ada sesuatu yang terlewat."
Emosi seperti ini tentu tak bisa diungkapkan saat ini. Kami berdua mencari meja bundar kecil di dekat jendela dan mengobrol layaknya teman sekelas yang lama tak jumpa. Penampilan Lingjing di panggung kecil telah usai. Kulihat pria di seberang mengayunkan tangan sambil tersenyum, kemudian Lingjing juga menghilang di kerumunan perempuan. Topik obrolan kami tak banyak. Aku mengeluarkan kotak rokok dan memainkannya di tangan, menunduk, lalu mengambil sebatang rokok. Setelah berpikir sejenak, akhirnya kunyalahannya. Rokok wanita, asap samar-samar yang mengandung aroma mint.
"Katanya akhir-akhir ini kau mulai dirikan perusahaan lagi, kebiasaan dari urusan bisnis?"
Mendengar pertanyaan santai Jiaming, Dongfang Wan kembali menggelengkan kepala, mematikan rokok yang baru dua kali dihisapnya: "Hanya kuhisap saat melihat musuh." Begitu katanya sambil tertawa sendiri.
"Eh... Maksudmu urusan confess padaku yang kutolak dulu? Masih dendam sampai sekarang?"
“……Kau cuma berbohong, kalau benar ada hal seperti ini, aku akan menyimpan dendam seumur hidup.” Dongfang Wan tertawa kecil, kemudian berkata, “Kau menghilang empat tahun, Ye Lingjing dan Liu Huaisha juga hampir menghilang selama empat tahun, sekarang muncul bersama lagi, masih tetap dengan mereka?”
“Tentu saja.”
“Siapa sih pacarmu sebenarnya?”
“Keduanya.”
“Lagi-lagi…” Karena kenalnya banyak orang, dia mengangkat mata putihnya, lalu menyapa seorang teman yang mendekat dari seberang. Teman itu sepertinya ingin mengobrol lebih lama dengan Dongfang Wan, tapi melihatnya tidak berniat bangun untuk berpamitan dengan Jiaming, akhirnya melambaikan tangan dan pergi. Dongfang Wan menoleh kembali: “Masih ingat Hu Changlin? Perusahaan perdagangan keluarganya sekarang cukup sukses. Pacarnya di sana, dulu teman sekelas kelas 2...”
Sejak itu, topik pembicaraan beralih ke perkenalan teman-teman. Sebenarnya ini lebih karena Dongfang Wan mencari-cari topik, mengingat Jiaming sudah empat tahun tidak pulang. Dengan penuh semangat, Dongfang Wan memberi komentar sambil menjelaskan kabar terbaru beberapa teman, kejadian menarik beberapa tahun terakhir, dan terus mengoceh tentang hal-hal remeh. Jiaming hanya mendengarkan. Setelah lebih dari sepuluh menit, Dongfang Wan akhirnya berhenti sebentar. Dia memandangi Jiaming sekitar sepuluh detik: “Omong-omong, apakah... Kakak Suyan masih bisa dihubungi?”
“Itu kan calon istri yang dipelihara sejak kecil, ada apa?”
Dongfang Wan tidak membantah, hanya mengangguk: “Dulu dia membantu Yiting berhenti narkoba, bahkan meminjamkan Yiting puluhan ribu uang. Sekarang Yiting ingin menemuinya untuk mengucapkan terima kasih sekaligus mengembalikan uang.”
Jiaming berpikir sejenak: “Hal ini... Aku yang akan sampaikan.”
“Hmm, nanti aku cari kau, sekarang kau tinggal di mana?”
“Tempat lama, gedung Akademi Hati Kudus.”
Dongfang Wan tak bisa menahan keterkejutan: "Tidak... masih tinggal bersama Lingjing dan Shasha?"
“Kadang-kadang. Lagian kami baru pulang. Kadang juga tinggal di perguruan silat keluarga Ye. Aku dan Shasha ini orang-orang tak punya rumah.”
“Sungguh tak paham hubungan kalian. Lagian keluarga Huang juga bisa kau kembali...” Setelah beberapa kalimat topik ini, dia mencatat nomor telepon, kemudian memberikan kartu nama berisi nomor ponselnya kepada Jiaming sambil bangkit dari kursi, “Aku ke kamar mandi dulu, nanti ketemu lagi.” Melihat Jiaming mengangguk, barulah dia berbalik pergi.
Masuk ke bilik kecil kamar mandi, dia mengunci pintu, membelakangi daun pintu sambil menghela nafas panjang. Hatinya berantakan bagai benang kusut yang dimainkan kucing. Tak lama kemudian keluar, membasuh pipi dengan air dingin, merias wajah di depan cermin sebelum pergi. Beberapa teman sekelas perempuan masuk silih berganti, semua saling menyapa. Banyaknya kenalan memang merepotkan.
Waktu makan belum tiba. Saat keluar dari kamar mandi, aula sudah semakin ramai. Dongfang Lu juga sudah datang bersama seorang guru sekolah, sedang menyapa orang-orang. Sebenarnya banyak guru yang hadir, kebanyakan mengobrol di ruang samping. Ini kan reuni teman sekelas, bukan jamuan guru. Kalau mereka keluar sekarang, malah akan jadi tokoh utama yang membuat orang lain kaku.
Dia berdiri di sana melihat sejenak, kemudian menemukan Jiaming di kerumunan orang. Ia sedang duduk di tepi meja sambil makan permen, memandangi sekelompok orang tak jauh dengan ekspresi kontemplatif. Dongfang Wan melirik beberapa kali, lalu mendekat dan menepuk bahunya: "Lihat apa?"
Jiaming menunjuk ke depan: "Orang di sana..."
"Shen Jiawei kan? Kayaknya dari kelas empat. Dulu sama seperti Shasha, keluarganya terlibat geng kriminal. Sekarang mungkin masih berkecimpung di situ juga. Tapi aku jarang dekat-dekat dengan orang begitu, jadi nggak terlalu kenal."
Ia duduk di sebelah Jiaming, mengupas permen kenyal dan memasukkannya ke mulut: "Ada apa?"
"Geng Xinhe, aku agak ingat."
"Hmm, mungkin itu namanya."
Mengingat latar belakang keluarganya, geng kriminal biasa memang tak banyak berpengaruh pada bisnisnya. Seandainya Dongfang Lu, mungkin akan lebih memperhatikan hal semacam ini. Tapi Wan selalu mengagumi kekuatan keteraturan. Para pembuang waktu dan gangster yang dianggap pemberontak dan menarik bagi banyak gadis muda, baginya hanyalah lelucon sia-sia yang menghamburkan nyawa. Ia tak pernah ambil pusing, sehingga tak benar-benar memahami makna di balik nama Geng Xinhe. Dari sini terlihat Shen Jiawei sedang membual pada orang-orang di sekitarnya tentang "hidup di jalanan". Yang sejenis berkumpul, teman-teman sekelas yang mengelilinginya pun umumnya pedagang nakal yang bermain di tepi hukum. Sambil mengunyah, Wan bercerita tentang hal-hal remeh.
“Masalah Shen Jiawei tidak begitu jelas, tapi pria ganteng di sampingnya memang sangat hebat. Dulunya juga dari kelas empat, namanya Yang Chenguang. Keluarganya punya koneksi politik, biasanya melakukan segalanya. Kakakku juga mengenalnya. Tahun lalu di Shenzhen sepertinya pernah ada kerjasama. Selalu terlihat angkuh, seperti lebih tinggi derajatnya. Sering pamer di luar, aku tidak terlalu suka... Yang sedang berbicara dengannya itu dulu bunga kelas lima...”
Yang dia maksud adalah pria jangkung tak jauh dari Shen Jiawei itu, memakai kacamata dan terlihat kalem. Namun kesombongan itu benar-benar terpancar jelas. Jiaming mengangguk, tidak berkomentar lagi. Mereka mengobrol santai sambil bertukar pendapat tentang jenis permen mana yang enak. Tiba-tiba di kejauhan seseorang membisikkan sesuatu ke Shen Jiawei. Shen Jiawei menoleh menyisir kerumunan, lalu memberi isyarat ke orang di sampingnya sebelum berjalan menuju sekelompok perempuan di sisi lain.
Awalnya sudah tidak memperhatikan urusan di sana, kali ini melirik ke arah sana, Dongfang Wan kembali menghentikan gerakannya. Sekumpulan perempuan itu sebelumnya sedang bercanda di sekitar meja bundar, yang paling cantik dan menonjol adalah Shasha yang sudah lama tidak terlihat. Dia bersandar di tepi meja dengan aura segar, paha indah jenjang. Shen Jiawei kali ini mendatangi dia, tak lama kemudian berhenti di depan Shasha dengan ekspresi seperti tertawa namun bukan tertawa, entah sedang mengatakan apa tapi terlihat sarkastik dan ironis, kemungkinan bukan hal baik.
"Shen Jiawei ini..."
Mengingat ekspresi kontemplatif Jiaming sebelumnya, Dongfang Wan mengunyah permen di mulutnya, menoleh ke Jiaming di samping lalu menunjuk ke arah sana sambil bersuara "Uhh uhh" memberi isyarat. Jiaming mengangkat pandangan lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum: "Heh..."
"Tertawa apa? Pacarmu ditindas, masa tidak mau membantu?"
"Kau yakin Shasha yang ditindas?" Jiaming tersenyum, "Dia tidak mengganggu orang saja sudah bagus."
"Percaya diri ya."
Jiaming tidak peduli, Dongfang Wan pun tak melanjutkan. Melihat suasana di sana kian memanas bagai pedang terhunus dan busur terkencang, Shasha menyimak ucapan Shen Jiawei dengan senyum dingin samar di wajah. Beberapa perempuan di sekitarnya yang tahu latar belakang Shen Jiawei hanya sedikit yang terlibat, membela Shasha berhadapan dengan Shen Jiawei yang tampak dominan. Tak lama kemudian, Lingjing berlari kecil dari kerumunan, mengerutkan alis mendengar ucapan Shen Jiawei sebelum akhirnya menyampaikan sindiran tajam yang membuat ekspresi Shen Jiawei berubah seru.
Dalam urutan adu mulut, kaum baron biasanya sulit unggul. Shen Jiawei masih ingin bicara, namun dicegah oleh Yang Chenguang yang baru tiba. Wang Tujia dan lainnya yang datang kemudian menjadi penengah, meredakan pertikaian kecil ini.
Setelah berbincang sebentar dengan Shasha, Lingjing menoleh ke arah Jiaming: "Hei, Xiao Wan, lama tak jumpa."
"Hei, Lingjing."
Usai salam, Lingjing langsung merangkul leher Jiaming dari belakang, menempelkan pipinya di telinga pria itu dengan akrab: "Paman Shen Jiawei katanya bos baru Hebang... Kau tak mau bantu urusan Shasha, kalau terjadi apa-apa gimana?"
“Kalau Shasha benar-benar marah, sepuluh Shen Jiawei sekalipun pasti sudah tiarap.” Jiaming menggenggam tangan Lingjing, hendak menariknya ke depan. Dari area tangga, beberapa orang lain muncul. Lingjing yang masih berpegangan tangan dengannya membeku, menoleh ke arah itu.
Melihat gerakan mereka, Dongfang Wan juga menoleh. Kemudian tersenyum: “Bu Guru Zhang juga datang.”
“Kakak Yahan…” Lingjing memandang ke arah itu dengan sorot mata berbinar. Ia menoleh ke Jiaming dengan tatapan penuh arti, menarik napas dalam. “Aku akan menyapa.”
Jiaming yang masih duduk menggenggam tangannya, wajahnya menyungging senyum getir. Di mata Lingjing terpancar keceriaan samar, saling bertatapan dengan Jiaming sambil mundur perlahan. Saat kedua tangan akhirnya terlepas, ia tiba-tiba melemparkan rambutnya dan berbalik menuju Yahan di kejauhan. Di kerumunan lain, Shasha yang melihat wanita yang baru naik tangga itu, menyadari gerakan Lingjing. Matanya beralih ke Jiaming, menunjuk sambil berujar dalam gerakan bibir: “Sekarang kau MATI!”
Usai mengucapkan itu, ia berlari kecil menyusul Lingjing.
Yahan berjalan mendekat dari seberang, sementara Lingjing dan Shasha menyambutnya. Menyaksikan situasi Tiga Kaki Seimbang ini, wajah Jiaming dipenuhi kekecewaan. Di sisi lain, Yahan yang sedang berbincang dengan seseorang akhirnya menyadari kedatangan duo itu. Mengikuti arah pandangannya, ia melihat Jiaming di dekat meja bundar yang hanya bisa mengangkat tangan bingung.
“Setelah sedikit kejutan, keterkejutan, dan main-main, dia pun tak bisa menahan tawa kecil. Kemudian menekan bibirnya, menyambut Lingjing dan Shasha yang mendekat.”
“Di tengah keriuhan suara, mungkin hanya Dongfang Wan yang duduk di dekatnya yang bisa mendengar helaan nafas Jiaming yang tanpa sadar mengusap dahinya.”
“Tragedi...”
“Sesaat kemudian, dia pun berdiri dan berjalan menghampiri Yahan.”
“Waktu menunjukkan lewat pukul enam tiga puluh sore. Matahari sore membara dan megah di ufuk, cahayanya menembus jendela kaca raksasa bagai cairan yang menuang dari langit, menyelimuti setiap orang di aula. Personel pada dasarnya sudah lengkap, obrolan nostalgia awal pun mendekati akhir. Pelayan yang sibuk di antara kerumunan mulai menata peralatan makan di meja-meja bundar, membersihkan sampah permen sisa tadi. Sebagai penyelenggara, lebih dari sepuluh orang mulai memandu dan mempersilakan teman-teman sekelas untuk duduk. Prinsip dasarnya adalah mengalokasi tempat sesuai kelas, tentu saja jika banyak kenalan, bisa memilih sendiri.”
Jiaming, Lingjing, dan Shasha tentu akan duduk bersama. Namun sejak pertemuan dengan Yahan tadi, ketiga gadis itu entah pergi ke mana untuk berbincang. Jiaming pun hanya bisa mencari meja untuk menyimpan barang mereka. Dongfang Wan duduk di meja bundar ini setelah disapa banyak teman sekelas, diikuti Xu Yiting dan Dongfang Lu yang juga datang menyapa. Sebagai orang yang tahu rahasia hubungan Jiaming, Dongfang Lu hampir tak bisa menahan senyum melihat Jiaming setelah menyaksikan Lingjing, Shasha, dan Yahan ngobrol bersama.
“Kau harus berusaha sendiri.” Dia tertawa.
Sebenarnya Jiaming tidak terlalu khawatir. Dia terlalu memahami karakter ketiga wanita ini – setidaknya dia yakin tak akan ada masalah berarti sekarang. Lingjing dan Shasha takkan mengeluarkan kata-kata kasar, sementara Yahan jauh lebih bijaksana. Mereka mungkin sedang membicarakan hal-hal sepele selama beberapa tahun ini. Masalahnya tetap belum terselesaikan. Di sini Jiaming menunggu dengan bosan sambil mengobrol dengan Dongfang Wan, mendengar Xu Yiting bercerita tentang keluarga Huang. Berbeda dengannya, Xu Yiting masih memiliki rasa memiliki terhadap keluarga Huang.
Tak lama kemudian Lingjing dan Shasha juga kembali. Yahan melambai pada mereka, lalu menuju ke kursi para guru di sisi lain. Lingjing dan Shasha duduk di sebelah Jiaming, mengobrol seperti biasa dengan Dongfang Wan, Xu Yiting, dan yang lain. Namun di sisi Jiaming, mereka bersikeras tidak berbicara dengannya seolah sedang bersitegang. Jiaming hanya bisa pasrah, menyesap teh dari cangkirnya.
Jamuan dimulai setelah belasan menit. Hidangan demi hidangan disajikan. Di podium kecil, berbagai orang silih berganti berpidato - pembawa acara, anggota departemen, guru... Acara makan berlangsung biasa saja: menyantap masakan, minum baijiu, para tamu berlarian di aula untuk bersulang dengan kenalan atau memberi hormat pada guru. Semakin gelap langit, suasana pun semakin meriah.
Suasana di meja bertiga Jiaming justru terasa aneh. Tanpa komunikasi verbal, Jiaming menyuapi Lingjing dan Shasha. Begitu pun sebaliknya - saat melihat makanan kesukaan Jiaming, mereka juga menyuapinya. Seandainya hanya mereka bertiga, mungkin seluruh acara makan akan berlalu dalam kesunyian yang mengerikan. Bukan berarti mereka benar-benar mengabaikan satu sama lain. Mereka saling memahami selera masing-masing, tetap saling menyuapi saat menemukan hidangan yang cocok. Lingjing dan Shasha bahkan menambahkan nasi untuk Jiaming, namun tetap menutup mulut rapat-rapat. Dongfang Wan segera mencium keanehan ini. Saat ke kamar mandi, dia menyambar Jiaming di koridor dan berbisik: "Ada apa dengan kalian?"
"Kami bertengkar. Sebentar lagi juga baikan."
“Kalian bertengkar bagus juga, masih ingat apa yang disukai orang lain……” ujarnya dengan pandangan iri. Jiaming menggelengkan kepala: “Huh, sebenarnya yang kita suapkan ke mereka adalah makanan yang tidak mereka sukai, lihat siapa yang tidak tahan akan marah dulu……”
Dongfang Wan berkedip-kedip, setengah percaya.
Jamuan baru dimulai sekitar pukul tujuh, lewat pukul delapan setengah, makanan basically sudah habis. Selanjutnya kebanyakan minum baijiu dan basa-basi, saling mengobrol atau ngerumpi. Sebagian orang pergi ke balkon merokok dan ngobrol, sebagian lain berkumpul merencanakan acara malam ini: karaoke, pijat, dll. Lingjing dan Shasha tetap tidak mau berurusan dengan Jiaming, hanya mengobrol dengan orang lain.
Sekitar pukul sembilan, teko teh di meja habis. Pelayan terlihat sibuk, dipanggil beberapa kali tak ada yang datang. Jiaming yang sedang tidak ada kerjaan turun sendiri mengambil minuman. Baru turun tangga, suara langkah kaki gesekan yang nyaring terdengar dari belakang. Lingjing melompat ke punggungnya sambil tertawa lembut: “Ketakutan ya?”
Jiaming meraih ke belakang memeluknya: “Kukira kalian tidak akan bicara padaku selamanya.”
“Marah?”
“Mana berani…”
“Cuma pengen usilin kamu.” Aroma alkohol samar tercium dari tubuh Lingjing. Dagunya menggesek-gesek rambut Jiaming: “Playboy besar…”
Jiaming diam membisu. Beberapa saat kemudian, Lingjing di belakangnya bergumam, "Apa yang harus kita lakukan, Jiaming..." Setelah berpikir sejenak, dia melanjutkan, "Jangan lagi bilang putus..." Kedua tangannya meraba-raba wajah Jiaming, kemudian memutar wajahnya dan mencapkan bibir yang mulai kemerahan karena mabuk...
Di tempat seperti ini, tentu tidak mungkin melakukan hal yang terlalu tidak biasa. Tak lama kemudian, mereka membawa berbagai minuman ke atas. Lingjing mencibirkan bibirnya, kembali masuk ke mode "mengabaikan Jiaming". Kembali ke aula yang ramai, dia berjalan di depan sementara Jiaming mengikuti dari belakang. Di dekat meja bundar tak jauh, sekelompok orang mabuk sedang membual secara berlebihan. Jiaming mendengar sebagian ucapan mereka dan tanpa sadar berhenti melangkah.
Di meja bundar itu duduk Shen Jiawei dan kawan-kawannya. Tampaknya sebelumnya mereka sedang membahas hal-hal terkait menyetir. Shen Jiawei yang wajahnya memerah karena mabuk itu bicara dengan lidah kaku, mengayunkan tangan sembari berkata tanpa batas moral.
“……Menyetir itu perlu keberanian, sebenarnya fondasinya tidak ada apa-apa... Asal kau bebas, teknologinya langsung naik... Tiap tahun bicara kecelakaan mobil, mana mungkin sebanyak itu, manusia punya kesadaran perlindungan diri... Kesadaran perlindungan diri paham tidak? Kadang terlihat berbahaya, sebenarnya bisa dihindari dengan refleks terkondisi. Aku sih mengandalkan indera keenam saat menyetir, haha... Kecepatan mobil, tak perlu dipedulikan. Semua orang di sini saudara, aku bisa carikan plat militer, polisi mana berani tilang... Jaman sekarang, yang punya kuasa punya segalanya. Kecelakaan juga cuma urusan ganti rugi, bahkan kalau kau tak mau bayar... Aku punya Teman, mau promosi nih, dua hari lalu mabuk baijiu kecelakaan kecil. Ganti rugi sih sepele, tapi arsipnya bisa rusak. Carikan orang utak-atik rekaman video satuan lalu lintas... Saksi mata cuma satu, katanya dokter, keluarganya punya perguruan silat kecil... Perguruan silat apaan, suruh dia ubah keterangan itu masalah menit. Hari ini semprotkan cat, besok kirim orang hancurkan rumahnya. Shifu perguruan silat, aku kenal banyak, tiap orang juara bela diri, satu lawan belasan, tiap hari datangi dan tantang dojo sampai MATI...”
Semakin dia bicara semakin tinggi, sampai akhirnya ekspresi beberapa orang di sekitar mulai tak natural. Yang Chenguang di sampingnya mengulurkan tangan menepuk bahunya, memberi isyarat agar berhenti bicara. Tapi dia malah mengibaskan tangan.
“Gak apa-apa, Chenguang... Kita semua saudara di sini, ada hubungan apa... Itu... Eh, tadi sampai mana ya...”
Yang Chenguang menggelengkan kepala ke sekeliling, sejenak tidak ada yang menyahut. Pada saat yang sama, sebuah suara terdengar dari samping.
"Bicara tentang perguruan silat, Bagaimana selanjutnya?" Jiaming mengulurkan kepala dari samping, menyerahkan sebotol teh hitam dingin ke tangannya.
"Benar, perguruan silat, hmm... Aku tidak suka teh hitam..." Ia melirik dengan mabuk berat, "Gu... Gu Jiaming ya? Aku kenal kau. Itu... Liu Huaisha itu pacarmu kan? Sampaikan padanya, sekarang bukan zaman dulu lagi. Kubangan keruh ini bukan tempat dia dan Xiao Meng bermain. Kita sesama teman sekelas, aku orang yang punya solidaritas. Kuperingatkan dulu, kalau nanti ada masalah, jangan salahkan aku..."
"Tahu, tahu." Jiaming mengangguk sambil tersenyum, "Lalu bagaimana dengan urusan perguruan silat?"
"Perguruan silat... Hancurkan saja... Ada hubungan apa denganmu?"
Meski mabuk berat, pada saat ini dia masih sempat menunjukkan kewaspadaan. Di seberang, Lingjing yang menyadari Jiaming tidak menyusul mulai mendekat. Dari kejauhan, Shasha, Dongfang Wan dan lainnya memandang ke arah sini. Jiaming menarik tangan Lingjing, berbisik sesuatu di telinganya. Lingjing memandang wajah Shen Jiawei yang berubah pucat, lalu dengan tatapan muram berjalan ke samping mulai menelepon ke rumah.
Bersamaan itu, Yang Chenguang yang masih sadar mendekat. Mungkin mengira Jiaming ingin mengorek informasi dari mulut Shen Jiawei, ia memeluk bahu Jiaming sambil berbisik peringatan.
“Gu Jiaming, kau tidak berpikir urusan perguruan silat kecil bisa berdampak pada Xinhe Bang, kan? ... Kita semua teman sekelas, beri aku muka, jangan cari masalah di sini hari ini. Aku tidak ingin ribut, ngerti?”
Nada bicaranya tulus, terdengar seperti sedang memberi pelajaran pada generasi muda. Jiaming menatap Lingjing yang sedang menghubungi telepon, samar mendengar kalimat "Ibu baik-baik saja?" Baru kemudian ia mengerutkan kening dan menoleh.
“Siapa Kau?”
Sekejap mata, wajah Yang Chenguang menjadi muram.
## Bagian Empat Ratus Enam Puluh Sembilan Reuni Teman Sekelas (Bagian Akhir)
Dalam fantasi kebanyakan orang yang baru lulus sekolah dan masuk masyarakat, mungkin tak terhindarkan ada bayangan: Suatu hari saat kau sukses gemilang kembali ke kampung halaman, bertemu teman sekelas dulu yang tahu prestasimu sekarang - posisi sosial, dampak, decak kagum mereka - lalu kau merasa kuminati. Makna hidup mungkin terletak pada pengakuan orang lain, seperti itulah realita bagi kebanyakan manusia.
Umumnya untuk mencapai target ini seringkali membutuhkan waktu bertahun-tahun. Awalnya yang bisa dibanggakan mungkin menemukan pekerjaan bagus, lalu mencapai prestasi tertentu, jumlah gajian, posisi jabatan, selanjutnya membeli rumah dan mobil, memiliki istri yang baik, nilai anak yang unggul. Tentu saja lingkungan Akademi Hati Kudus berbeda dengan kampus biasa. Orang-orang di sini sebagian besar memiliki latar belakang keluarga, yang juga berarti titik awal mereka jauh lebih tinggi daripada orang biasa. Ada yang keluarganya berkuasa dan berpengaruh, mereka bisa terus menjadi pemboros kelas kakap yang bermain riang. Ada juga yang karena sejak kecil sudah menjalin kontak dengan hal-hal seperti kekuasaan dan uang, mereka sejak dini menunjukkan antusias terhadap hal-hal ini. Yang punya ambisi, bahkan sebelum orang lain meninggalkan kampus untuk memulai, mereka sudah mulai membangun kesuksesan sendiri melalui koneksi keluarga, memperoleh kepentingan, mengakumulasi pengalaman. Contohnya Dongfang Wan dan Dongfang Lu seperti ini, begitu pula Yang Chenguang yang ada di depan mata ini.
Sebelum lulus kuliah sudah mengakumulasi kekayaan melalui berbagai saluran. Punya koneksi Jalan Hitam, hubungan dengan pemerintah, jaringan di dunia bisnis. Bahkan di antara teman sekelas Akademi Hati Kudus, kemampuannya yang luar biasa ini patut diakui. Bagi dia, ekspresi kagum dan pandangan iri dari orang lain saat membicarakannya bisa memberinya kuminati yang besar. Kau diam-diam boleh tidak menyukainya, tapi saat berhadapan dengannya, setidaknya harus memberi muka. Seperti saat ini, reuni dengan orang yang dikenal sebelumnya inilah yang justru bisa memberinya kuminati terbesar.
Mengobrol, minum baijiu, berbicara tentang politik dan hal-hal faktual kepada semua orang, sambil membocorkan beberapa alasan sebenarnya untuk menunjukkan keluasan pengetahuannya, dengan sengaja atau tidak sengaja memamerkan posisinya saat ini, menikmati pujian yang disengaja atau tidak disengaja - inilah momen yang paling menyenangkan baginya. Bagi Jiaming yang datang dengan pikiran tidak baik, dia tidak marah tetapi malah memberikan peringatan, itu sudah merupakan pengalahannya yang terbesar. Selama bertahun-tahun ini apa posisi Xinhe Gang, dan apa posisinya? Kalau bukan karena teman sekelas, masalah menit akan menyeretmu keluar untuk dipukuli, kau juga jangan bermimpi bisa berkecimpung di Jianghai lagi.
Karena itulah, ketika Jiaming mengucapkan "Siapa Kau", hatinya menjadi lebih muram daripada saat biasa-biasa saja marah.
Wajah tidak senangnya hanya terungkap sekejap, kemudian dia malah tersenyum, mengulurkan tangan untuk menepuk bahu Jiaming beberapa kali: "Kelas Empat, namaku Yang Chenguang, nanti kita akan kenal." Sambil berkata demikian, dia berbalik menepuk bahu Shen Jiawei, lalu kembali ke posisi duduknya sambil tetap memandangi Jiaming: "Dia mabuk. Tapi kalau kau pikir bisa membuat masalah dengan hal seperti ini, percuma saja. Sudah kukatakan, kita teman sekelas - kau beri aku muka, aku beri kau muka. Mengobrol boleh. Kalau ada pikiran tidak karuan, tidak boleh."
Dia berbicara sambil mengerutkan alisnya dengan serius, ancaman yang tebal terkandung dalam kata-katanya. Sebagian besar pria dan wanita di meja yang sama menatap ke arah Jiaming. Meskipun Jiaming sebelumnya tidak memiliki eksistensi di kampus, tetapi Shazhu Bang pada akhirnya masih merupakan geng terbesar di Jianghai. Pemuda geng kriminal seperti Shen Jiawei dan orang yang memiliki jaringan luas seperti Yang Chenguang, sedikit banyak pernah memahami orang yang secara permukaan berperan sebagai pacar Shasha. Karena itu, mereka semua tahu Jiaming tidak memiliki latar belakang posisi yang berarti, tidak perlu terlalu dipikirkan. Sementara itu, Shasha yang melihat situasi mulai aneh, meninggalkan meja dan berjalan ke sini. Dongfang Wan juga berdiri dengan bingung, merasakan suasana pertengkaran, banyak orang dari jarak jauh maupun dekat mulai menatap ke arah sini.
Lingjing melepaskan telepon, berjalan ke samping Jiaming sambil mengerutkan alisnya, pandangannya terlihat muram: "Ibu baik-baik saja. Tapi ada yang mengancamnya di rumah sakit, kemarin malam saat pulang kerja juga ada yang mengikuti ingin membuat masalah. Ibu pulang berombongan dengan Teman, berhasil berlindung. Hari ini Ayah pergi ke rumah sakit menjemputnya, dia tidak ingin kami khawatir jadi tidak memberitahu. Ayah sudah mempertimbangkan untuk lapor polisi." Saat berbicara, matanya menatap mati Shen Jiawei dan Yang Chenguang, menggigit gigi dengan ekspresi kebencian.
Pada titik ini, Yang Chenguang juga mulai melihat beberapa hal, jarinya mengetuk-ngetuk tampilan layar utama: "Orang itu, apakah kerabat kalian?"
“Ada apa?” Shasha berjalan mendekat, bertanya dengan suara lembut. Lingjing berbisik memberikan penjelasan. Jiaming menarik sebuah kursi dan duduk, sedikit mengerutkan kening: "Kalian sering melakukan hal seperti ini?"
Sekejap mata, Shen Jiawei yang mabuk berat menampar meja: "Urusanmu apa?!" Yang Chenguang memandangi Jiaming lama, lalu memalingkan muka sambil tersenyum dingin: "Kalau dia kerabatmu, suruh saja bantu! Dia akan dapat manfaat! Kalau kau terus ngoceh di sini, aku benar-benar akan marah!"
Suaranya meninggi, menarik perhatian orang-orang dalam radius efektif kecil di sekitarnya. Dongfang Lu yang sedang sibuk menghormati tamu dengan minuman akhirnya menyadari gempar di area ini. Yahan juga melirik dari kursi para senior. Sementara Dongfang Wan dan Xu Yiting yang mengikuti Shasha telah sampai di dekat mereka: "Ada apa lagi?"
Yang Chenguang melambaikan tangan: "Xiao Wan, ini bukan urusanmu." Saat Dongfang Wan mengerutkan kening, Jiaming melepaskan kursi dan berdiri sambil menghela napas: "Tragedi." Shen Jiawei juga berdiri tiba-tiba, menghembuskan bau alkohol: "Gu Jiaming! Hari ini aku benar-benar muak melihatmu!" Kepalan tangannya siap menghajar. Dongfang Wan tiba-tiba melompat ke depan, Byur! mendorongnya jatuh kembali ke kursi: "Shen Jiawei, coba kau berani bertindak hari ini. Jiaming, jangan bertindak sembarangan, bicaralah baik-baik jika ada masalah."
Dalam hatinya terbayang tindakan menyerang Jiaming empat tahun lalu. Kali ini sikapnya terhadap Shen Jiawei penuh ketegasan, namun ada nada permohonan saat menghadapi Jiaming.
Di mata orang lain, keintiman dan jarak langsung terlihat. Meski Yang Chenguang selalu memahami kekuatan keluarga Dongfang, dalam pikirannya, ia menganggap perbedaan antara dirinya dengan saudara kandung ini tidak terlalu besar. Hal-hal penting harus tetap menjaga muka. Tapi saat dipermalukan di depan orang yang tak memiliki posisi dan pengaruh, amarahnya tak bisa ditelan. Duduk di sana, tangan kanannya mengayun dengan keras. Gemeretak berantakan terdengar ketika cawan anggur dan peralatan makan di depannya terlempar. Sebagian menghantam tanah beberapa meter jauhnya, sementara satu gelas terbang ke meja sebelah dan Byur! menghancurkan mangkok masakan. Seketika kuah beterbangan, seluruh penghuni meja itu berdiri.
Dongfang Wan ingin mencegah Jiaming, sengaja berdiri di depannya. Melihat Yang Chenguang berusaha memperbesar masalah, ia melayangkan pandangan peringatan. Yang Chenguang sama sekali tidak gentar, tetap duduk sambil bertatapan dengan Dongfang Wan. Suasana riuh di sekitar, beberapa orang seperti Xu Yiting berusaha mendamaikan: "Jangan ribut, jangan ribut." Tapi sepertinya tidak efektif. Untuk sementara, Yang Chenguang dan Dongfang Wan saling terkunci dalam kebuntuan, mata mereka melotot penuh tensi.
Di mata Yang Chenguang, sebenarnya Jiaming tidak memiliki pengaruh apa pun. Tidak peduli seberapa tidak nyaman perasaannya, dia tidak akan kambuh dalam situasi ini. Bahkan jika Shen Jiawei hendak bertindak, dia akan mencegahnya. Bagaimanapun, tidak ada yang mengira dia akan kalah dalam pertarungan ini. Setelah keluar, cukup dengan menyebarkan satu kalimat saja - baik Gu Jiaming, Liu Huaisha, atau bahkan Xiao Meng itu - tidak akan ada yang bisa hidup nyaman di Jianghai sekarang. Tapi Dongfang Wan berbeda. Keluarganya memiliki pengaruh, kakaknya adalah Dongfang Lu. Dalam arti tertentu, mereka berdua berada di tingkat yang sama. Bagaimanapun, dia jelas berada di posisi menang sekarang. Jika Wan ingin mencegah perkelahian, dia harus memberi muka. Siapa sangka begitu datang, Dongfang Wan langsung mengambil sikap berpihak pada Gu Jiaming dan berhadapan dengannya, membuatnya terjebak dalam situasi memalukan.
Bagi Dongfang Wan sendiri, sejak awal dia tidak menghargai orang seperti Yang Chenguang. Mengandalkan koneksi keluarga untuk berbuat semaunya, hubungan yang seharusnya bisa dimanfaatkan 100% justru dipakai untuk hal-hal tidak berarti. Sedikit prestasi sudah mengira itu kemampuan sendiri, sombong dan puas diri seolah semua orang harus menghormatinya. Orang yang memang tidak layak dihargai, ditambah lagi kali ini Wan sebenarnya ingin mencegah eskalasi konflik. Saat Chenguang masih tidak bisa membaca situasi dan terus marah-marah di sana, Wan merasa niat baiknya dianggap sebagai paru-paru keledai. Sambil bawah sadar mengulurkan tangan menghadang Jiaming, dia berhadapan dengan Chenguang, berharap bisa membuatnya sedikit mundur.
"Di detik ini, Shen Jiawei yang penuh bau alkohol bangkit lagi dari kursinya. Dongfang Lu yang melihat Jiaming ada di sini segera berlari kecil mendekat, langsung bertanya: 'Ada apa? Ada apa?'"
"Ada apa? Gu Jiaming, ayah akan MATI-in kau!" Shen Jiawei yang limbung itu spontan meraih teko teh keramik putih dan hendak menyerang Jiaming. Dongfang Wan yang menghadang di depan belum sempat bertindak, pria itu sudah ditarik mundur oleh Dongfang Lu dari belakang, terhuyung beberapa langkah sebelum kembali terduduk: "Jangan bertindak sembarangan!"
"Sembarangan?" Yang Chenguang mendorong meja sambil berdiri, "Hari ini orang ini yang cari masalah, kalau tidak kuberi pelajaran bagaimana aku bisa menghadapi orang nanti!"
"Mari mundur selangkah, kasih muka. Urusan apa pun bisa dibicarakan pelan-pelan di luar. Aku jadi penengah." Melihat Jiaming dihadang Dongfang Wan sambil mengusap dahinya, Dongfang Lu juga mulai pusing. Menambahkan, "Jiaming, nanti kita klarifikasi. Setuju?"
Kalimat ini mungkin sia-sia. Menyikapi sikap Dongfang Lu, Yang Chenguang mengetuk meja: "Muka? Hari ini dia yang tidak kasih aku muka!"
Suara benturan lagi. Shen Jiawei sudah bangkit untuk kesekian kalinya: "Hari ini aku pasti habisi dia!"
Dongfang Wan memutihkan wajah cantiknya, jarinya tiba-tiba menuding ke arahnya: "Shen Jiawei berani kau!"
Khawatir adik perempuannya jadi korban salah target, Dongfang Lu dengan sigap menyelak di antara mereka, mendorong bahunya: "Shen Jiawei!"
"Dongfang Lu, jangan ikut campur urusan ini. Hari ini aku tidak kasih muka siapa pun."
"Chenguang, jangan bicara seperti itu!"
Di tengah keributan, Jiaming perlahan membuka mulut: "Mereka menyuruh orang mengganggu orang tua Lingjing, bagaimana aku bisa memberikanmu muka ini?"
Shen Jiawei tiba-tiba ingin menerjang: "Kau benar-benar sial!" Seketika. Kerumunan mulai berdesakan, Shasha menarik Lingjing mundur beberapa langkat. Di sekeliling, Yang Chenguang dan beberapa teman Shen Jiawei mulai melakukan aksi yang terlihat seperti mencegah perkelahian namun sebenarnya menyulut keributan. Mereka berusaha menggeser Dongfang Lu yang menghadang di antara kedua pihak. Xu Yiting hendak membantu tapi tersenggol pacar Yang Chenguang hingga hampir terjatuh. Dongfang Wan segera menyelamatkannya.
"Kau lihat sendiri, mulai hari ini dia jangan bermimpi bisa berkecimpung lagi di Jianghai!"
"Aku akan menyuruh orang menghabisinya, sial!"
"Yang Chenguang, jangan bertindak sembarangan!"
"Hal ini akan menjadi besar, minggirlah kau."
"Jiaming, kumohon."
"Dongfang Lu, aku selalu menganggapmu teman. Jika kau juga menganggapku teman, jangan ikut campur hari ini."
"Jika kau anggap aku teman, dengarkanlah aku kali ini."
"Jangan menghadang."
"Shen Jiawei, coba lagi berbuat onar!"
"Kau lihat sendiri."
"Setelah hal ini kita tetap teman. Hari ini jika ada yang menyinggung, akan kuminta maaf nanti. Tapi hari ini kau harus minggir."
"Minggirlah."
"Kita satu sekolah, jangan sampai begini."
"Akhir-akhir ini aku juga banyak tekanan."
"Keluarga Gu... Uhh..."
Splash——Braak——
Kekacauan yang memenuhi udara tiba-tiba mereda. Di satu sisi aula, dinding kaca raksasa yang memantulkan neon malam hari Braak hancur menjadi debu perak yang memenuhi langit, berkilauan mulai memantulkan cahaya pelangi.
"Sosok bayangan melesat keluar dari langit malam seperti tembakan meriam."
Angin malam yang hangat berhembus masuk, kemudian suara Braak! Tubuh orang itu menghantam atap mobil kecil di bawah, disusul jeritan kaget dari bawah. Fragmen kaca berjatuhan dengan suara Blek di jalanan.
Dongfang Lu membeku di tempat. Tubuh Yang Chenguang juga menjadi kaku di tepi meja. Orang-orang di sekitar saling pandang, belum paham kecelakaan macam apa yang terjadi. Hanya Shen Jiawei yang sudah menghilang dari kerumunan.
"Lihat, sudah kukatakan." Jiaming berdiri sambil mengangkat tangan, "Tekanan akhir-akhir ini agak besar."
"Aku... Aku benar-benar kesal denganmu!" Dongfang Lu menghela nafas, "Apa tidak ada yang MATI?"
"Tenang, masih ada nafas."
"Tidak akan cacat kan?"
"Perlu aku yang langsung melakukan operasi?"
"Lebih baik tidak usah."
Upaya mencegah perkelahian akhirnya berujung seperti ini. Bahu Dongfang Lu lunglai. Baru sekarang orang-orang mulai berdiskusi. Sebagian berlari ke jendela untuk melihat, sebagian lagi menuju tangga. Jamuan yang hampir berakhir ini mungkin tak perlu dilanjutkan. Guru dan teman sekelas berkerumun, membicarakan kejadian sambil menelepon rumah sakit.
Di sisi lain, Yang Chenguang akhirnya juga merespon. Awalnya dia sangat kesal dan ingin langsung menyerang Jiaming di tempat, namun setelah kejadian seperti ini, teman-temannya mulai mundur sehingga dia pun tidak berani bertindak sembarangan lagi. Matanya menatap tajam ke Jiaming sambil mengangguk pelan: "Bagus, jago bertarung ya? Kau jago bertarung ya? Dongfang Lu, inikah yang ingin kau tunjukkan? Aku akan ingat budi ini. Apapun yang terjadi hari ini, aku berterima kasih padamu." Sambil berkata demikian, dia mengeluarkan telepon dari sakunya dan mulai menelepon.
Dongfang Lu menghela napas: "Chenguang, bukan begitu maksudku. Jangan bertindak gegabah."
Karena banyak orang, dia tidak bisa menjelaskan semuanya dengan jelas. Ingin mencegahnya menelepon sekaligus menariknya ke samping untuk berdiskusi. Namun Yang Chenguang mengayunkan tangan keras: "Dongfang Lu, sudah kubilang, urusan ini tidak ada hubungannya denganmu lagi! Apapun konsekuensinya, aku yang tanggung. Gu Jiaming, aku ingin lihat sehebat apa kau bertarung!"
Setelah berkata demikian, dia berbalik pergi. Dongfang Lu mengangkat tangan pasrah, akhirnya menunjukkan ekspresi lelah: "Sudahlah, terserah. Aku tidak ikut campur." Kemudian menoleh ke Jiaming, Lingjing dan lainnya: "Pangeran dan Pangeran Wan baik-baik saja?"
Lingjing menjawab: "Tidak ada masalah."
"Baguslah." Dia mengangguk, lalu melirik ke arah Yang Chenguang yang tidak jauh, "Setelah hari ini, Geng Xinhe juga akan kewalahan." Sambil berkata demikian, dia juga mengeluarkan telepon dan mulai menelepon...
## Bagian Empat Ratus Tujuh Puluh Seorang yang Baik
Reuni teman sekelas berlangsung dalam keriangan, lalu berakhir juga di tengah keramaian. Di bawah cahaya neon, ambulans melesat mendekat, ratusan orang keluar secara bergantian dari pintu gerbang hotel, membicarakan kejadian tadi, mengelilingi atap mobil kecil yang masih ada darah kering dan terhantam hingga cekungan. Kerumunan di kedua sisi jalan juga memberi komentar sambil melihat darah di mobil, pecahan kaca di tanah, serta situasi di lantai dua hotel. Beberapa menit kemudian, sejumlah besar pemuda yang memiliki organisasi membanjiri dari satu sisi jalan - meski tidak membawa parang, jelas terlihat bukan orang baik. Yang Chenguang mengayunkan tangan menyambut mereka sambil menoleh melihat Jiaming yang sedang turun dari lantai atas bersama Dongfang Lu dan lainnya.
Rombongan orang-orang yang dipimpin oleh kepala kelompok itu berbicara sebentar dengan Yang Chenguang di tepi jalan, lalu mengayunkan tangan. Formasi yang mencapai ratusan orang pun bergerak dengan skala besar menyusuri trotoar menuju ke sini. Para peserta reuni teman sekelas di sini langsung tegang seketika. Mereka melirik ke arah rombongan itu, ke arah Yang Chenguang, lalu ke Jiaming yang ada di sisi ini. Guru di lantai atas juga tampak mempertimbangkan untuk turun melakukan mediasi. Persis di saat yang sama, sirine polisi menggema dari kedua sisi jalan.
Sejumlah mobil kecil mengangkut polisi dan polisi muncul dari kedua ujung jalan, kemudian sejumlah besar polisi anti huru-hara melakukan pengepungan dari kedua sisi jalanan. Beberapa pemuda yang menyadari bahaya berusaha kabur melalui gang kecil di samping, namun akhirnya terpaksa kembali. Tak lama kemudian, operasi penangkapan besar-besaran pun dimulai. Pemimpin kelompok itu membeku, Yang Chenguang pun terpaku di tempat. Baru setelah atasan polisi tersebut berbicara dengan Dongfang Lu, dia mulai mengerti penyebab situasi ini. Awalnya polisi tidak menangkapnya, namun ketika beberapa perwira polisi tinggi datang menanyakan namanya dan hendak membawanya ke mobil polisi, rasa takutnya benar-benar melanda.
"Aku ingin menelepon... Pamanku adalah... Kalian salah tangkap..."
Segala pembelaan sia-sia. Setelah telepon genggamnya disita di tempat, seorang kapten tim penyidik kriminal yang memiliki hubungan dengannya justru datang: "Tuan Chen, masalahnya sudah membesar. Ikut kami dulu ke kantor."
"Dongfang Lu! Kau perlu main kasar sampai segitunya!"
Sejak kecil dia belum pernah masuk ke kantor polisi. Pada saat ini, dia menyadari masalah memang sudah benar-benar serius, atau mungkin Dongfang Lu sengaja memperkeruh situasi... Meski selama ini menganggap diri setara dengan Dongfang Lu, dalam hati sebenarnya dia paham - itu hanya saat Dongfang Lu dalam mode lunak. Jika benar-benar dibandingkan jaringan kekuatan kedua belah pihak, pihaknya takkan sanggup menyaingi mereka. Teriakan ini melengking saat dia digiring ke mobil polisi. Dongfang Lu pun benar-benar menghampiri, menghela nafas.
“Maaf, ini perintah atasan, nanti akan kuberi penjelasan.” Dia menepuk bahu Yang Chenguang, “Kau terlalu ceroboh.”
Mobil polisi melesat mendekat, kemudian satu per satu pergi. Formasi sebesar ini membuat banyak orang memperhatikan dan membicarakan alasan sebenarnya, kebanyakan mengira ini pertarungan dua kekuatan berpengaruh. Jika hanya aktivitas kecil-kecilan, pasti takkan sampai separah ini. Mereka yang tak menyaksikan seluruh proses tadi umumnya mengaitkannya dengan Dongfang Lu, sedangkan hubungan dengan Jiaming dianggap bukan penyebab utama. Adegan Shen Jiawei terlempar itu benar-benar mencengangkan, mereka yang tak siap di lokasi bahkan tak jelas melihatnya, sehingga spekulasi liar pun bermunculan.
Meski terjadi insiden tak terduga, prosesi kepergian tamu tetap berlangsung lama. Lingjing yang khawatir dengan kondisi orang tuanya, meninggalkan Jiaming untuk penanganan pasca dan memastikan semuanya aman sebelum pulang lebih dulu dengan Shasha naik taksi. Dongfang Lu menyapa beberapa orang, lalu menemui Jiaming yang sedang berbicara dengan Dongfang Wan.
“Kenapa hari ini begitu ceroboh? Dulu selalu kulihat kau menjebak orang, baru pertama kali langsung menyerang di situasi seperti ini... Kukira kasus berdarah empat tahun lalu akan terulang lagi.”
Dongfang Wan mengerutkan kening: “Pangeran Ye dan istrinya diancam, mana mungkin diam saja? Kalau aku jadi dia juga pasti bertindak. Sudah beberapa kali ketemu, mereka orang baik. Shen Jiawei itu benar-benar idiot, Yang Chenguang juga bukan orang baik... Hal ini tak ada hubungannya denganmu, Xiao Wan, Cih...”
"Dia bicara dengan jenaka," Jiaming pun tertawa, "Sama saja. Dulu tidak ingin cari masalah karena kita semua masih anak kecil, sekarang juga tak ingin cari masalah, tapi sudah jadi dewasa. Tak mungkin membiarkan sembarang orang merasa bisa menjepitku... Bagaimana keputusan pihak kalian?"
"Tergantung keinginanmu."
Jiaming menghela napas: "Baru kembali sudah menghadapi ancaman. Mereka selalu mengira Xiao Meng、Pasir akan muncul mengibarkan bendera. Orang-orang ini di Jianghai sudah terbiasa bertindak semena. Penjelasan verbal tak akan mempan, cepat atau lambat akan berbuat kebodohan. Aku baru-baru ini harus ke Jepang, tahun ini juga ada itinerary ke Eropa. Kalau bukan karena kejadian hari ini, mungkin dalam beberapa hari ini sudah berangkat. Sekarang kalian yang mengambil alih ya terserah, cara melakukannya aku tak peduli, yang penting buat mereka paham... Soal urusan Ayah-Ibu Ye itu hitung terpisah..."
Jalan Timur mengangguk, sementara Dongfang Wan penasaran: "Ke Jepang? Liburan?"
"Hmm..." Jiaming tersenyum, "Teman sekelas dulu, kau juga kenal."
"Kaoru?"
"Heh..."
Bertiga mengobrol sebentar. Jiaming berpisah dengan mereka sambil tersenyum. Melihatnya melambaikan tangan menghilang di kerumunan, Dongfang Wan termenung. Tiba-tiba dipukul kakaknya di bahu: "Memikirkan apa?"
"Dia tadi... berbeda dengan yang dulu." Dongfang Wan merenung sejenak lalu tersenyum, "Tapi di depan Lingjing dan Pasir masih sama. Saat keduanya mengacuhkannya, dia seperti boneka kesal."
"Mereka bertiga selalu bersama." Jalan Timur mengedipkan mata, "Hubungan spesial itu lho."
"Hah?"
“Hubungan macam itu!” Usia sudah melewati 22 tahun, adik perempuan baik dalam penampilan maupun aura, saat ini sudah terlihat seperti karyawan kantoran perkotaan yang matang mandiri. Namun melihat ekspresi terkejutnya yang tiba-tiba menunjukkan sedikit kekanakan, Dongfang Lu sambil tersenyum menekankan: "Tapi..." Di dalam hati, dia tetap tak bisa menahan helaan nafas.
Meski pria ini punya gaya gravitasi sebesar apapun, menjadi kekasih bukanlah cara untuk meraih kebahagiaan. Berteman saja sudah cukup, sampai di sini saja, Xiao Wan...
"Itu... hubungan macam itu? Mereka..." Di sisi lain, Dongfang Wan berpikir sejenak, kemudian menyusul. Beberapa saat kemudian menoleh ke belakang lagi, "Tidak mungkin! Aku juga selalu berpikir, tapi mereka bertiga... mereka bertiga... Oh iya, maksud perkataannya hari ini sebenarnya apa ya?"
Dongfang Lu tersenyum: "Geng Xinhe akan dihajar. Meski tidak sampai MATI dipukuli, setidaknya harus membuat mereka paham perbedaan kemampuan. Yang terlibat dengan urusan Keluarga Ye ini, semuanya akan dapat akibat buruk - yang kena shuanggui akan dishuanggui, yang harus mendekam di penjara akan dipenjara..."
"Rumit ya?"
"Perintah datang dari Paman Fang, aku tidak ikut campur. Tapi meski kejadian hari ini heboh, justru sangat membantuku." Dongfang Lu menoleh ke belakang, "Lain kali harus berterima kasih padanya. Kedepannya kau bertemu Yang Chenguang lagi, tak akan sebenci dulu."
Di sisi lain, kedua saudara ini terus berbincang sambil berjalan. Di seberang jalan, sebuah mobil kecil berhenti di pinggir jalan. Kaca mobil diturunkan, memperlihatkan senyum Yahan. Beberapa mahasiswa menyapanya, baru kemudian Jiaming datang dari dalam trotoar, naik ke kursi penumpang, dan mobil itu kembali melaju.
"Sepanjang jalan?"
"Hari ini harus kembali ke perguruan silat."
"Katanya Ayah-Ibu Ye bermasalah, tidak apa-apa kan?"
Dalam percakapan, Jiaming menceritakan tentang Shen Jiawei. Yahan akhirnya paham: "Pantasan Dongfang Lu yang diam-diam membantu kami selama empat tahun ini pun kau tak beri muka." Selama kepergian Jiaming, Dongfang Lu memang diam-diam banyak membantu Lingjing dan Yahan, menepati janji tahun itu. Semua ini Jiaming pahami dan pernah dibicarakannya dengan Yahan. Kebaikan Dongfang Lu layak dihargai, tapi harga diri pun harus dijaga. Mendengar ini, Jiaming hanya tersenyum.
"Heh... Dongfang Lu dulu belajar ilmu bela diri dari Chen Guxia. Jika benar-benar mau menghadang Shen Jiawei, meski cuma pakai satu tangan, mustahil Shen bisa lolos melewatinya lalu mendekatiku melalui Dongfang Wan. Hal semacam ini..."
"Hah?"
"Mungkin Dongfang Lu anggap Shen Jiawei tak berguna malah merepotkan. Kelebihan terbesar Dongfang Lu adalah dia selalu jadi orang baik... Lupakan ini, bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?"
"Baik-baik saja." Mobil melesat di jalanan yang gelap, Yahan tertawa, "Kau kira aku tak bisa hidup tanpamu? Empat tahun ini aku baik-baik saja."
“Heh……” Jiaming berbaring di depan kursi penumpang, kemudian mengulurkan tangan membuka lengan bajunya untuk melihat, lalu menyibak rambut di sisi pipi cantiknya. Saat tangannya membelai lembut leher putih mulusnya, Yahan baru memiringkan kepala dan tak tahan tertawa: “Kau ini ngapain sih?”
“Aku perhatikan kau tidak pakai perhiasan sama sekali.”
Yahan menatapnya: “Memang dari sonanya sudah cantik.”
“Wow, Yahan-ku ini……”
Jiaming mengangguk. Beberapa saat kemudian, Yahan mengangkat mata putihnya.
“Kenapa kau tidak pernah bertanya apa yang kubicarakan dengan Lingjing dan Shasha?”
“Hmm.” Jiaming duduk tegak, memamerkan tatapan penasaran, “Kalian ngobrol apa?”
“Sok jahat.” Yahan tertawa terkekeh, “Kau yakin betul kami tidak akan bertengkar ya?”
“Lagipula… hasilnya tidak bertengkar kan?”
“Awalnya aku tidak mau memberitahumu……” Di jalanan luar yang sudah sepi ini, Yahan menurunkan kaca mobil, membiarkan angin malam masuk menerbangkan rambutnya, “Cuma obrolan rumah tangga yang tidak karuan, mirip seperti dulu. Shasha agak lebih tenang sekarang, Lingjing masih sama seperti sebelumnya. Dia bilang mau cari waktu main ke villa. Awalnya aku sangat takut, sebelumnya kukira kau sudah tidak ada… Bahkan saat bertemu Lingjing dulu tidak segini khawatirnya… Rasanya kau sengaja memanfaatkan sifat baik kami yang tidak bisa bertengkar ya?”
Jiaming di sana tersenyum, Yahan menyeringai lagi: "Tak tahu apa perasaan yang sebenarnya, dulu sudah teman baik, sekarang pun harus tetap begitu. Lingjing dan yang lain paling malang, aku juga cukup kasihan, hampir ingin bilang pada mereka untuk tak bertemu lagi setelah ini, tapi teringat Taotao… Malam ketika Taotao lahir, kulihat wajah bayi yang keriput di sampingku, menangis tak karuan, Taotao juga cukup malang… Kau juga kasihan, terlalu sadar diri, kalau selalu tahu apa yang kau lakukan, jadi terus merasa bersalah pada kami…"
"Tapi, bagaimanapun juga sudah tak bisa dipisahkan kan?"
"Tapi memang begitu ya…" Yahan meliriknya, "Andai kau bisa lebih tebal kulit sedikit."
"Heh, kalau begitu mari lebih tebal kulit."
Di dalam gerbong, dua sosok perlahan mendekat, kemudian……
"Uhh… sedang nyetir nih…"
"Lupakan saja…"
"Nabrak nanti…"
Mobil kecil melesat pindah jalur, setelah melaju ratusan meter, berhenti perlahan di pinggir jalan. Ini jalan yang membentang sepanjang sungai, tak jauh dari muara, angin asin tipis berhembus.
"Duduk sebentar dulu sebelum pergi."
"Hmm… jangan bergerak, biar aku bersandar…"
"Memeluk lebih baik…"
"Aduh… sepatunya jatuh…"
"Bagus…"
"Mesum…"
"Heh…"
Pukul dua pagi, di kantor polisi Jianghai, Dongfang Lu masuk ke ruang interogasi terang-benderang. Yang Chenguang yang sudah duduk berjam-jam di seberang meja mengangkat kepala melihatnya.
"Maaf, banyak hal harus ditangani, agak terlambat." Dengan sikap formal, Dongfang Lu menarik kursi dan duduk di seberang.
“Dongfang Lu, kamu masih ingin mengatakan apa?”
“Aku tahu sekarang hatimu sangat marah, mungkin masih berpikir, jika aku keluar besok akan begini begitu, hal ini wajar, aku bisa mengerti. Aku datang kali ini terutama untuk memberitahumu hal konkret yang terjadi, seperti katamu, kita semua pernah berteman, aku tidak ingin kau sampai akhirnya masih tidak mengerti.”
“Heh...” Yang Chenguang melirik sekeliling, kemudian mengulurkan tangan menunjuk kursinya sendiri, “Apakah kau pernah menganggapku sebagai teman?”
Dongfang Lu menatapnya lama sekali, menggelengkan kepala sambil tersenyum: “Setidaknya kau masih hidup, beberapa hal jika kau lakukan, sekarang yang bisa kulakukan hanyalah setiap tahun di hari ini membakarkan hio untukmu... Tidak perlu banyak bicara, kutanyakan satu hal, Ying Zifeng kau kenal kan? Aku ingat empat tahun lalu kau selalu ingin menjalin hubungan dengannya.”
“Lalu kenapa?”
“Menurutmu bagaimana kita dibandingkan dengannya, kekuatan keluarga Dongfang apakah bisa menyainginya, bagaimana dengan keluargamu?”
Yang Chenguang mengerutkan alisnya mencoba menebak maksud perkataannya, Dongfang Lu tidak menunggu jawabannya: “Jawabannya jelas. Kekuatan keluarga Ying di selatan menguasai segalanya, meskipun yang selalu memegang kekuasaan di keluarga mereka adalah kakak Ying Zilan, Ying Zifeng dulu di Jianghai juga tidak ada yang berani macam-macam, baik kau maupun aku tidak mampu. Tapi selama empat tahun ini dia menghilang, sampai beberapa hari lalu seluruh keluarganya dibunuh kau mungkin sudah mengerti... Apakah kau tahu apa yang terjadi empat tahun lalu?”
“Jangan-jangan kau ingin mengatakan...”
Yang Chenguang |ragu-ragu membuka mulut, kata-katanya belum selesai, Dongfang Lu |mengangkat tangan bingung:"Ada |hal yang bersifat |rahasia, aku tidak bisa memperlihatkannya padamu. Tapi beberapa hal masih bisa |selidiki. |empat tahun lalu tepat saat |Shazhu Bang |menyatukan Jianghai, |Liu Zheng ayah |Liu Huaisha |MATI. Liu Huaisha saat itu menjadi |Ketua Perkumpulan selama |setengah tahun, melarang |perdagangan narkoba di Jianghai. Kemudian |selimut seluruh |kekuatan Jianghai |serangan balik, Shazhu Bang |runtuh, Xinhe Bang juga karena ini mendapatkan |kesempatan untuk |bangkit. Tapi jika kau sengaja menyelidiki, seharusnya akan menemukan bahwa |serangan balik berbagai kekuatan saat itu, bahkan |bantuan pemerintah, adalah karena |Ying Zifeng yang menjadi |penghubung, langsung menghancurkan Shazhu Bang, Liu Huaisha juga menjadi |buronan."
Yang Chenguang |kesunyian sejenak:"Apa yang bisa dijelaskan oleh ini?"
Dongfang Lu menghela nafas:"Bagian berikutnya adalah |intinya. Setelah |sejak empat tahun Ying Zifeng tidak muncul di hadapan kalian, bisa kukatakan bahwa selama satu tahun setelahnya, dia berada di |rumah sakit jiwa untuk |perawatan, heh, karena beberapa |hal membuatnya |menakutimu hingga |mental hampir runtuh. Sejak |kejadian ini, |posisi |keluarga Ying mulai |merosot..."
Dia berkata sambil mendorong kursi dan berdiri: "Lebih banyak hal tidak akan kusebutkan, mengetahui pun tidak ada manfaatnya bagimu. Pukulan yang diterima Shen Jiawei hari ini justru baik untuknya. Jika tidak ada pukulan ini, perkiraanku dalam beberapa hari keluarganya tidak akan bisa menghindar, New River Gang juga tamat. Atasan akan menghancurkan mereka, kalau tidak mati setidaknya kehilangan separuh nyawa. Ini bukan aktivitas kecil-kecilan. Kau tidak perlu memandangku seperti ini, aku juga tidak punya kekuasaan sebesar itu. Perintah turun langsung dari Tuan Fang Zhitian. Keluargamu juga sama, ayahmu, pamanmu akan dikenai shuanggui, yang lain juga akan diselidiki dan ditekan. Aku tahu ada kebencian di hatimu, tapi semakin kau menyimpan dendam dan ingin balas, masalah ini akan semakin serius. Ada hal-hal yang tidak bisa kalian tanggung."
"Seperti yang kau katakan, kita sudah berteman lama. Aku tidak ingin kau mati. Di level seperti ini, bantuanku juga terbatas. Akan kukoordinasikan dengan berbagai pihak, hal-hal yang perlu diurungkan ya diurungkan. Ada beberapa data di sini untuk kau pelajari. Kapan pun kau sudah memutuskan, hubungi aku."
Dengan senyum, ia meletakkan sebuah folder di meja lalu berbalik pergi, meninggalkan wajah yang berubah-ubah dalam sorot lampu...
## Bagian Empat Ratus Tujuh Puluh Satu Nanti Sore
"Dua tahun lalu saat latihan kepalaku dipukul, akibatnya selama setengah tahun telingaku berdengung Bzzzt-bzzzt..."
"Kenapa tidak pergi ke dokter?"
"Hal sepele, akhirnya sembuh juga."
Pagi yang cerah berlimpah sinar matahari, Shasha mengenakan gaun tidur merah muda, duduk di bangku kecil dekat pintu balkon. Kepalanya miring, Jiaming duduk di sampingnya dengan alat pengorek kuping di tangan, sedang berusaha masuk ke telinganya.
“Yang kepalanya dipukul lalu tewas mendadak setengah tahun kemudian juga pernah kulihat... Jangan bergerak jangan bergerak...”
“Gatal... Aku sepertinya mendengar langkah kaki...”
“Lingjing pulang... Sudah kubilang jangan bergerak...” Tangan Jiaming membeku di situ, “Masuk ke dalam...”
Dari ruang tamu terdengar suara kunci membuka pintu. Saat Lingjing muncul di pintu kamar tidur membawa kantong plastik supermarket, yang terlihat adalah Jiaming sedang memangkukan kepala Shasha di pangkuannya sambil memukul-mukul mati-matian.
“Ngapain sih?”
“Melihat apakah kepalanya kosong...” Jiaming memukul lagi dua kali, entah menggunakan teknik apa, di udara terdengar bunyi “Dong-dong”. Shasha langsung menghentakkan tengkuknya ke perut Jiaming sambil menggeleng. Lingjing pergi ke ruang tamu meletakkan kantong plastik, mengeluarkan barang satu per satu. Di sisi lain, Jiaming juga membatasi amukan Shasha: “Jangan bergerak sembarangan, aku akan periksa lagi apakah sudah keluar...”
Shasha terpaksa memiringkan kepala lagi. Jiaming mengamati lama: “Harus dipukul lagi...”
“Apa perlu aku berdiri terbalik?!”
“Berdiri terbalik juga boleh, bagian dalam telinga melengkung... Lagipula bagimu tidak ada tingkat kesulitan...”
“Aku masih pakai piyama!”
“Berdiri terbalik di dalam rumah, orang luar juga tidak bisa melihat...”
“Kau Mati!”
Di kamar tidur terjadi kekacauan Byur-byur-byur-byur. Saat Lingjing menengok sambil menahan tawa, dilihatnya Jiaming lagi memeluk Shasha, memiringkan kepalanya lalu memasukkan pengorek kuping: “Jangan bergerak... Benar-benar jangan bergerak, kali ini keluar...”
Tak lama, terdengar suara kagum Jiaming dari dalam: “Sungguh prestasi, sisi yang lain...”
“Kau jijik atau tidak jijik!” Lingjing dan Shasha di kedua dunia hampir sekaligus mencanda dan menghujat. Kemudian Shasha bertanya: “Lingjing, bagaimana hasil kau melamar pekerjaan?”
“Katanya akan memberi jawaban setelah pertimbangan matang.”
“Sebenarnya perkiraannya ya tidak akan ada jawaban,” kata Jiaming.
“Semuanya merasa aneh.” Lingjing menggelengkan kepala di ruang tamu, “Mereka bertanya kenapa lulusan Wina tidak cari pekerjaan lain, langsung mau main kecapi di restoran hotel.”
“Bagaimana kau menjawab?”
“Karena aku ingin stabil... Lagipula sebelumnya sudah punya pengalaman kerja seperti ini, cepat bisa berhasil.”
“Mereka pasti mengira kau tidak punya ambisi besar.”
Waktu sudah tiga hari sejak reuni teman sekelas. Hal yang terjadi di Kota Jianghai tidak bisa dibilang besar atau kecil. Atasan kembali melakukan penertiban ketat, target utama kali ini adalah Geng Xinhe yang sempat berkuasa di kota. Gelombang juga muncul di lingkaran politik. Tentu saja, bagi Jiaming dan kawan-kawan yang fokus memulihkan kehidupan biasa, gelombang ini tidak menimbulkan dampak apa pun. Lingjing meluangkan waktu dua kali melamar pekerjaan, sempat mengira berdasarkan kekuatan sendiri pekerjaan kecil ini pasti langsung didapat, tapi dalam 1-2 hari ini belum ada hasil, terutama ekspresi curiga yang ditunjukkan staf saat menerimanya sangat mengancam.
Tidak heran juga. Jianghai adalah kota besar, dengan ijazah dan level Lingjing, dia bisa menemukan pekerjaan yang lebih baik di banyak grup teater atau pertunjukan yang lebih prospektif. Jika sampai kehilangan semangat di tempat-tempat seperti itu masih bisa dimaklumi, tapi seseorang yang baru lulus kampus tidak mencari pekerjaan lain malah memilih main musik di restoran yang pekerjaannya stabil tapi masa depannya belum jelas, ini benar-benar membingungkan.
Dia telah memutuskan untuk bekerja, sementara Jiaming dan Shasha saat ini agak bingung. Awalnya Lingjing mengusulkan bertiga melanjutkan kuliah lagi, toh Jiaming dan Shasha melewatkannya, Lingjing pun belum benar-benar merasakan kehidupan kampus. Tapi usulan ini dianggap melelahkan oleh Jiaming dan Shasha. Kalau mau cari kerja, Jiaming saat ini tidak punya dokumen apapun - identitas palsu dan sejenisnya sudah dihancurkan sebelum meninggalkan Jianghai dulu. Kini untuk kembali ke hidup manusia biasa butuh waktu untuk mengurusnya lagi. Shasha kehilangan banyak target karena kekosongan empat tahun ini. Semua ini harus dibangun perlahan.
Uang ada, hal-hal seperti ini tidak terlalu mendesak bagi mereka. Alasan ingin hidup seperti manusia biasa terutama untuk menarik mereka kembali ke realita dari kehidupan maya selama empat tahun terakhir. Setelah makan siang, Lingjing dan Shasha lari ke kamar kecil main game komputer, sementara Jiaming mengambil uang dari Lingjing lalu pergi untuk mengurus dokumen.
Begitulah caranya turun melalui gedung, di kejauhan di jalan terlihat sebuah mobil sport berhenti. Wanita yang keluar dari dalamnya memiliki postur ramping dan modis, berpakaian putih polos dengan celana panjang, heels hitam, mengenakan kacamata hitam di hidungnya, memandangi ke atas dengan ekspresi dingin. Meski berpakaian trendy, namun kantong plastik supermarket di tangannya yang berisi beberapa sisir pisang mengurangi kesan fashionable-nya. Tatapannya bersinggungan dengan Jiaming, lalu ia menunduk perlahan sebelum menurunkan kacamata hitamnya sedikit - ternyata Dongfang Wan.
Waktu baru menunjukkan pukul 1:30 sore, Matahari terik yang menakutkan. Jiaming menengok ke langit lalu ke Dongfang Wan di hadapannya, tak urung merasa bingung: Apa wanita ini tidak mempertimbangkan sama sekali soal perlindungan dari sengatan matahari? Meski Lingjing dan Shasha bukan tipe perempuan yang terlalu memperhatikan penampilan, tapi mereka masih punya batasan untuk terpapar sinar matahari di jam segini. Sambil berpikir demikian, ia mendekati mereka sambil mengayunkan tangan: "Hei."
"Hei..."
Secara teori, saat ini Dongfang Wan seharusnya menjelaskan maksud kedatangannya. Jiaming menanti ucapannya, tapi hari ini Dongfang Wan tiba-tiba terlihat melamun bodoh. Keheningan menyergap sejenak sebelum akhirnya Jiaming membuka mulut: "Cari Lingjing dan Shasha? Mereka di atas."
"Eh..." Dongfang Wan mengangguk, "Waktu makan kemarin pernah janji mau mampir melihat kalian."
“Uhh.” Jiaming mengangguk. Kenapa wanita ini jadi tidak seru sama sekali... Tidak menemukan topik yang bagus, dia mengangguk lama, melihat Dongfang Wan tidak bermaksud naik, lalu menunjuk sembarangan, “Untuk apa kau bawa barang itu?”
“Apa?” Dongfang Wan melihat kantong plastik di tangannya, “Pisang?”
“Hmm, aku tahu ini pisang...”
“Traktir makan pisang.”
“......” Hampir seperti dialog xiangsheng yang saling bersahutan, Jiaming tertegun sejenak, kemudian menutupi dahinya, “Ini tantangan, kalimat hujatan ya?”
Begitu kalimat itu keluar, Dongfang Wan yang secara bawah sadar mengulurkan tangan sepertinya juga menyadari. Dia tersenyum menoleh ke samping, melepas kacamata hitam, menghela napas sebelum akhirnya menoleh kembali, sepertinya sudah kembali normal, berkata santai: “Pria yang menghujat wanita itu tidak baik, kalau wanita yang mengatakannya tidak masalah.”
Kalau begitu apa aku harus traktir kau... Jiaming hampir melontarkan kalimat itu, tapi urungkan niat, melambaikan tangan sambil tersenyum: “Kalau begitu... naiklah...” Berpura-pura ada urusan keluar.
“Kau mau ke mana?”
“Mengurus dokumen, KTP, kartu keluarga, paspor, ijazah, semuanya hilang, sekarang harus membuat ulang.”
“Pasti harus ke banyak tempat, aku antar saja.” Dongfang Wan berkata, lalu menunjuk mobil sportnya. “Aku punya mobil, dan aku punya kenalan di tempat-tempat itu. Untuk urusan seperti ini, tidak perlu pakai koneksi kakakku kan?”
“Tidak usah, aku urus dokumen palsu.”
“Eh?” Dongfang Wan berpikir, “Bagaimana caranya urus dokumen palsu?”
“Gampang, di depan pasti ada.”
“Bawa aku melihat, aku juga ingin tahu cara membuat dokumen palsu.” Dongfang Wan tersenyum. Jiaming mengangkat bahu: “Tidak naik ke atas?”
“Mengobrol lain kali juga bisa, topik cewek biasanya jalan-jalan atau merk terkenal, urusan dokumen palsu saja aku belum pernah lihat. Tidak naik mobil?”
“Kalau naik mobil tidak bisa lihat, seharusnya tidak terlalu jauh.”
Dongfang Wan mengangguk dan menyusul, tapi kemudian dihujat Jiaming: “Buang pisangmu kembali ke mobil, setuju?” Dongfang Wan tersenyum menunjukkan jari tengah ke arahnya, berlarian dengan suara hak tinggi berderak.
Membuat dokumen palsu cukup dengan mencari nomor telepon coret-coretan di tiang listrik jalanan, tembok atau papan pengumuman. Tak lama mereka menemukan satu. Jiaming tidak berhasil terhubung, Dongfang Wan mencoba nomornya sendiri. Matahari menyengat, meski berusaha mencari tempat teduh, tetap tak bisa hindari terik. Dongfang Wan tak peduli, lama-lama malah menganggap ini permainan. Saat Jiaming sedang menelepon nomor di tiang listrik, dia sudah melambaikan tangan di sudut jalan: “Ada di sini! Coba aku hubungi...”
“Penampilan! Jaga penampilanmu! Tidak baik!”
Ngomong-ngomong, penampilan mereka berdua saat ini benar-benar kontras. Jiaming berpakaian santai, terlihat seperti baru keluar beli saus lalu pulang. Meski penampilan Dongfang Wan terkesan sederhana, tapi jelas terlihat banyak pikiran yang dicurahkan. Rambut panjangnya diikat longgar di belakang kepala, anting-anting liontin permata ungu di cuping telinga yang terkesan mungil, tapi pasti bernilai tinggi di mata yang paham. Perempuan ini pernah menjalani pelatihan kebangsawanan. Dulu di kampus masih terkesan polos, kini sudah dewasa. Saat memakai heels, setiap gerakan tubuhnya memancarkan keanggunan yang berbeda dari wanita biasa. Keanggunan ini tidak mencolok, tapi sudah menyatu secara bertahap dengan setiap gerak-geriknya. Bahkan saat bermain-main, tetap terasa elegan dan bangsawan. Dalam hal ini, aura dirinya dan Yahan juga punya kemiripan.
Mereka menghubungi belasan nomor telepon, yang terjawab mungkin tiga empat saja. Baru yang terakhir memenuhi syarat Jiaming. Kedua pihak sepakat bertemu di suatu tempat, lalu mereka kembali ke mobil sport. Sebelumnya berjam-jam di bawah terik matahari tidak bereaksi, baru setelah masuk gerbong mobil dan nyalakan AC, Dongfang Wan SEGERA mengipas-ngipas pakai tas kecil: "Panas MATI panas MATI panas MATI……"
"Kamu sakit jiwa, tadi di luar juga tidak bilang panas."
"Ngomong di luar buat apa? Apa kau bisa membuat cuaca jadi sejuk?" Jawaban Dongfang Wan tetap dengan gayanya yang khas.
Tak lama mobil sport melaju, Jiaming bertanya: "Yiting? Bukankah dia selalu bersama kamu?"
“Tidak mungkin selalu bersama, kan? Dia ada di perusahaan.” Dongfang Wan tersenyum, “Aku bolos kerja keluar.”
“Wuih... Wuih... Sama seperti dulu, selalu dia sendiri yang capek.”
“Aku juga capek, tapi sekarang akhirnya bisa santai. Gimana? Nanti mampir ke perusahaanku?”
“Nggak usah lah... Sekarang kamu fokus ngapain sih?”
“Mainan, elektronik, aksesoris kecil - pokoknya barang-barang buat cewek kecil main. Desain yang dulu kamu kasih laris banget. Helikopter gitu udah nggak dibuat lagi, kamu mencelakakan aku... Setelah kasus Ying Zifeng itu, ayahku bawa orang-orang penelitian senjata dari militer datang cari aku...”
“Kamu nggak ada rasa bersalah sedikitpun?” Dongfang Wan menoleh memandangnya.
“Buat apa bersalah? Lagian kamu juga untung kok.”
Mobil sport melesat. Dongfang Wan menatap depan sambil menggelengkan kepala: “Kalau kamu merasa bersalah, aku bisa pake alasan penebusan dosa buat nyuruh kamu balik kerja part-time lagi.”
Mereka berdua tertawa. Beberapa saat kemudian, Dongfang Wan berkata: “Serius, sekarang kamu nggak ada rencana konkret kan? Kayak dulu, kamu bikin beberapa desain, aku yang jualin, terus bagi hasil. Atau mau ngelola komputer? Kamu dulu jago banget lho.”
“Nanti aja, takutnya aku terlalu numpang untung.” Jiaming tersenyum, “Nyetirnya lebih cepat dari dulu, layak dipuji nih.”
Dongfang Wan mendengus pelan: “Palsu.”
"Memaksa Jiaming bergabung, tentu banyak alasan yang bisa dikemukakan. Tapi melihat sikap penolakannya, Dongfang Wan tak lagi berbicara banyak. Tempat pertemuan dengan pemalsu dokumen itu tak terlalu jauh, dua puluh menit sudah sampai. Sebuah kafe kecil di blok jalan tepi pantai, mereka memesan minuman dingin. Tak lama, seorang pria berambut cepak dengan penampilan hedonis menghampiri dan menyapa, kemudian Jiaming mengajukan persyaratan dan membayar uang muka. Selama pembicaraan, pria itu terus mengintip Dongfang Wan yang tetap bersikap dingin, duduk di samping Jiaming sambil menyeruput kopi es dan mengamati pejalan kaki di jalan, sama sekali tak melibatkan diri.
Baru setelah pria itu pergi, Dongfang Wan yang selama ini menyimak percakapan tiba-tiba tersenyum.
"Doktor spesialis luka dari Universitas Cambridge, berani sekali kau memikirkan ini. Gelar palsu seperti ini sekalipun asli akan dianggap bodoh. Apa kau tidak perhatikan tatapannya padamu? Seperti melihat orang idiot."
"Zaman sekarang tak punya gelar doktor bagaimana bisa berkecimpung di dunia ini. Kau tak paham. Menurutku tatapannya yang mencuri-curi pandang padamu justru lebih seru."
"Pergilah."
Keduanya menghabiskan minuman dingin masing-masing. Saat meninggalkan kafe sekitar pukul 3 sore, cuaca mulai sedikit lebih teduh. Dekat dengan pantai, angin bertiup di sepanjang jalan. Area ini umumnya dikunjungi wisatawan, selain toko-toko makanan-minuman, juga terdapat penjualan berbagai barang kecil. Menyusuri dua blok jalan ke bawah, sampailah di area tanggul penahan ombak. Meski bukan tanggul yang sering dikunjungi Jiaming dulu, pemandangannya tetap indah. Dia menunggu seseorang yang akan menyerahkan dokumen sekitar pukul lima. Dongfang Wan tampak biasa saja, mereka pun berjalan menyusuri rute teduh sambil mengobrol.
Jiaming tidak berniat membeli apa-apa. Sepanjang jalan dia hanya mencari mainan untuk Lingjing dan Shasha. Sementara preferensi Dongfang Wan sangat beragam. Tak lama kemudian, Jiaming berhenti di depan toko yang menjual berbagai batu kecil. Dia ingat dulu Shasha suka mengumpulkan benda seperti ini. Ketika menoleh, Dongfang Wan sedang membungkuk di depan lapak berjarak belasan meter, mengamati peralatan kayu kecil. Tangan kirinya mengenakan tasbih, telapak tangan kanan membuat gestur Amitabha di dada, sementara tangan lainnya memegang palu kecil untuk memukul moktak. Melihat Jiaming memandang, dia tersenyum cerah dengan mata berkerut. Jiaming membalas senyum sambil menggeleng, kembali melihat batu-batuan. Beberapa detik kemudian, tiba-tiba terdengar teriakan pelan dari arah Dongfang Wan.
Tiba-tiba menoleh, terlihat seorang pria merebut tas kecil Dongfang Wan, berlari mati-matian ke arah sini, sementara Dongfang Wan terdorong secara tak terduga. Di samping stan kecil itu terdapat tangga panjang menuju jalanan bawah, Dongfang Wan mundur dua langkah secara tak terantisipasi, kakinya menginjak kosong, berhasil memegang pagar pelindung di sampingnya tepat waktu, sehingga tidak terguling menuruni tangga.
Sekejap, pria itu telah mencapai depan Jiaming, kemudian berlari melewati sisi Jiaming dengan kecepatan tinggi, Jiaming mengulurkan kakinya dengan pasrah, kaki penjahat tersandung, seluruh tubuhnya terbang（terkapar） ke depan.
Suara "brak" terdengar saat wajahnya menabrak tiang listrik besi di pinggir jalan, kemudian jatuh ke tanah dengan wajah berlumuran darah. Jiaming menghela napas, membungkuk mengambil tas di tanah, berjalan mendekati Dongfang Wan yang baru saja mantap berdiri, pertama-tama melirik ke jalanan bawah tangga, baru kemudian tersenyum: "Kau hampir saja menguasai Roda Angin Api Tak Terkalahkan."
"Roda Angin Apimu kepala! Kau hanya pandai bersenang-senang di atas penderitaan orang lain." Dongfang Wan mengerutkan alisnya melihat kaki kirinya - hak sepatu tinggi rampingnya kini telah patah. Ia melangkah dua kali dengan pincang, ekspresi kesakitan jelas terlihat, melotot tajam ke Jiaming: "Kakiku keseleo, Aaaaa... sangat sakit."
Jiaming memeriksa: "Aku akan menolongmu kembali ke mobil."
"Bagaimana dengan orang itu?"
Keduanya melihat ke arah perampok itu, pria itu wajahnya berlumuran darah, bergulat beberapa kali di tanah tapi belum juga bisa bangun: "Lapor polisi hanya akan bikin ribet lagi, dia setidaknya kena gegar otak, lupakan saja, yang penting aku mengantarmu pulang. Sini, tanganmu."
Ia menopang Dongfang Wan yang pincang, kemudian mereka berjalan menyusuri jalan yang tadi dilalui untuk kembali.
"Berdekatan denganmu panas sekali... Matahari juga terik..."
"Bahkan jika kau bilang begitu, aku tak bisa mendinginkan udara... Bukannya di luar kau tidak mengeluh ya?"
"Sekarang kan aku korban..."
## Bagian Empat Ratus Tujuh Puluh Dua Sindiran
Pukul tiga sore, sinar matahari cerah, AC di mobil sport menyala, sandaran kursi diturunkan. Dongfang Wan mengangkat kaki kirinya, meminta Jiaming melepas stoking kulitnya yang berwarna daging. Kotak P3K diletakkan di samping.
"Sungguh tak kumengerti, dewasa begini takut ke rumah sakit..."
"Bukan takut, hanya tidak suka suasana rumah sakit." Dongfang Wan memperlihatkan gigi mutiaranya, matanya menatap pergelangan kakinya seolah akan menjerit kapan saja, "Bukannya kau doktor bedah? Ini kan masalah kecil, cerewet amat, jangan-jangan tidak becus..."
Jiaming melihat ekspresinya yang ciut tapi tetap nekat membantah, menghela napas: "Nggak sakit-sakit amat kan?"
"Begitu kausentuh baru terasa sakit, aku cuma mempersiapkan diri saja kok..."
"Sungguh kalah aku..."
Dalam celotehannya, dia melepas kaus kaki. Kaki telanjang Dongfang Wan yang putih mulus direngkuh oleh Jiaming. Setelah pemeriksaan singkat, Jiaming menggelengkan kepala: "Masalahnya tidak parah, tulang tidak rusak. Kompres dingin dulu, akan kuberi obat dan perban. Seharusnya tidak apa-apa."
Pengetahuannya tentang luka luar bahkan melebihi dokter rumah sakit berkali-kali lipat. Untuk luka kecil seperti ini tentu lebih mudah. Saat mengompres pergelangan kakinya dengan kantong es yang dibeli dari luar, mobil sport itu pun menjadi sunyi. Dongfang Wan merebahkan sandaran kursi, berbaring miring di kursi penumpang. Celana sutra kaki kirinya tersingsing hingga lutut, betisnya jenjang semampai. Kaki telanjang putih mulus yang digenggam Jiaming perlahan reda nyerinya karena kompres es. Perempuan itu mulai merasa malu.
Keengganannya ke rumah sakit selain karena suasana, juga karena luka kecil dan keberadaan kotak P3K di mobil. Namun dalam alam bawah sadar, membiarkan Jiaming mengobatinya tentu mengandung unsur kedekatan. Sebagai wanita modern, dia menganggap kontak fisik ringan dengan teman dekat bukan masalah—begitu pikirnya semula. Tapi dalam keheningan ini, barulah terasa nuansa menggoda yang tak terucapkan.
Hati begitu dipenuhi kehendak ini, perasaan tidak karuan pun seolah mulai menggelora. Bagian yang digenggam Jiaming terasa panas dan mati rasa, agak gatal juga barangkali karena telapak kakinya tersentuh. Begitu pikirnya, jari-jari kaki putih mulus itu tanpa sadar menggeliat beberapa kali, lalu punggung kakinya menegang kaku. Di saat yang sama, ia juga menyadari Jiaming sedikit mengerutkan kening, mungkin memperhatikan gerak-geriknya.
"Aku tiba-tiba teringat sesuatu..." kecepatan Jiaming mengompres dingin mulai melambat.
"Apa... apa?" Dongfang Wan membelalak.
"Kau tidak punya kutu air kan?"
"Mati!" Dongfang Wan yang sejak tadi sudah tegang, refleks melepas tendangan kaki. Lalu—— "Aaaaa..."
"Sekarang tulangnya pasti retak..."
Jiaming memandanginya sambil menggelengkan kepala antara kesal dan geli. Dongfang Wan berkedip-kedip menahan sakit, lama baru berhenti: "Kau tidak serius kan?" Nada suaranya terdengar mulai menyerah.
Selama kompres dingin berikutnya, ia tak berani bertindak sembarangan lagi. Dalam diam, ia merasakan pandangan menggoda itu. Setelah kompres, diolesi minyak obat. Jiaming membalut pergelangan kakinya dengan perban berlapis-lapis. Dongfang Wan berbaring diam cukup lama. Memandangi proses pembalutan, baru berkata: "Hei, Gu Jiaming. Menurutmu aku ini bagaimana?"
Jiaming masih asyik membalut, tak mengangkat kepala: "Kau kasmaran diam-diam padaku ya?"
“Kau……” Dongfang Wan seketika membelalak, kemudian wajahnya merah padam, “Apa… Apaan sih!”
“Nggak ada apa-apa.” Dengan sikap santai seperti sedang mengobrol biasa, Jiaming menunduk sambil membalut luka dengan terstruktur, nada datar, “Aku tiba-tiba ingat beberapa tahun lalu ada wanita yang bertanya seperti ini padaku. Beberapa waktu kemudian, dia naik ranjang denganku.”
“Hah… Siapa itu?”
Jiaming mengangkat kepala melototi dia: “Ngapain aku harus kasih tahu kamu.”
“Penasaran nggak boleh ya. Tapi yang pasti antara Lingjing atau Shasha, nggak mau ngasih tahu ya udah.”
Jiaming mengangkat bahu sambil terkekeh, beberapa saat kemudian baru berkata: “Orang sepertimu, kalau mau adil, menurutku cukup baik. Kelebihannya mencolok: kaya, ambisius, cantik lagi. Karaktermu memang agak blak-blakan, tapi bukan ceroboh, lebih ke jujur. Orang berkarakter seperti ini sekarang sudah langka. Meski mulutnya tajam, tapi ke teman-teman sangat baik…”
“Hei!” Dongfang Wan tertawa getir, “Mulutku tajam juga karena kau yang memancing. Kau lebih kejam mulutnya!”
“Pria sedang bicara, wanita jangan nyela… Tadi ngomong sampai mana ya?”
Dongfang Wan kesal melototinya: “Mulut tajam.”
“Oh, mulutmu tajam, tapi ke teman baik. Tapi meski punya segudang kelebihan, tetap nggak bisa nutupin kelemahan mematikanmu… Si cantik, prinsipmu terlalu kaku. Urusan kerja maupun pribadi sama-sama dominan. Nanti cari pacar pasti ribet. Keinginanmu mengendalikan segalanya ini, perkiraanku dia cuma bisa jadi pria yang lemah, haha… Kasihan deh… Ngomong-ngomong, kenapa kau tanya ini?”
“Ngapain aku harus kasih tahu kamu.”
“Perban dibalut dengan baik, Dongfang Wan membalas tanpa ekspresi, kemudian menarik kembali kaki kirinya, mengenakan stoking. Sepanjang sore, hal ini tidak disebut lagi.”
Waktu sore itu masih panjang, Dongfang Wan yang jarang mendapat kesempatan bersantai menolak pulang. Mereka pergi ke butik membeli sepatu. Awalnya Dongfang Wan meminta referensi dari Jiaming, tapi Jiaming hanya berdiri di samping tanpa memberi pendapat: "Selera estetikaku kacau, menurutku semua ini bagus..." Akhirnya dia memilih sepasang secara acak, membayar dan pergi. Kemudian mereka berkeliling dengan mobil sport, hingga sore tadi Jiaming menerima dokumen yang dibuat cepat. Ingin mengantar Dongfang Wan pulang, tapi dia memilih ke perusahaan, akhirnya Jiaming mengantarnya.
“Jangan khawatir, Yiting akan menjagaku. Lagipula... ini cuma luka kecil di kaki.”
Begitu katanya pada Jiaming. Tapi malam itu, baru sekitar pukul sembihan dia kembali sendirian ke villa keluarga Dongfang. Pincang-pincang masuk ke ruang tamu, Dongfang Lu sedang menonton TV.
“Ada apa?” Bisnis Dongfang Lu ada di selatan. Seharusnya setelah sekian lama di sini, dia harus kembali. Tapi karena kasus Ying Haisheng dan perubahan internal [], ditambah kepulangan Jiaming serta rencana ke Jepang, dia tetap di Jianghai sesuai arahan Fang Zhitian. Melihat adiknya terluka dan berbau alkohol, dia bertanya.
“Tidak ada.” Dongfang Wan berdiri, memandang kakaknya dengan tatapan kompleks beberapa saat. “Kaki terkilir.”
“Ada apa? Tidak ada masalah, kan?”
“Nanti sore jalan-jalan dengan Gu Jiaming, ketemu perampas tas, didorong, hak sepatuku terlalu tinggi, jadinya begini. Tapi sudah dibalut, masalahnya tidak parah.” Dia berjalan pincang menuju sofa lalu duduk.
Tatapan Dongfang Lu sedikit berkedip: "Jiaming?"
"Iya." Dia mengangguk, melirik sang kakak, kemudian memalingkan muka, entah sedang memikirkan apa, "Orang itu kabur buat bikin dokumen palsu, benar-benar bertindak sembarangan, Heh, membuat ijazah doktor kedokteran Cambridge... mana ada yang percaya. Tapi perban ini dia yang membalutku, kau tahu aku tidak suka ke rumah sakit."
"Oh, ketemu di jalan ya."
"Aku yang mencarinya." Setelah hening sejenak, tatapannya kembali tertuju pada sang kakak. Kali ini Dongfang Lu akhirnya menyadari: "Ada apa?"
"Dongfang Lu, aku mau tanya sesuatu, jawab dengan jujur." Dongfang Wan mengulurkan jarinya, sorot matanya dingin menusuk, "Dulu kau pernah bicara sesuatu padanya kan? Melarangnya mendekatiku atau semacamnya."
"Ini..." Meski nada sang adik keras, Dongfang Lu seolah tidak merasakan tekanan dahsyat itu, ia mengangguk sambil mengingat-ingat, "Seingatku dulu pernah menyindir sekali, bilang kau tidak cocok untuknya... Kau mengaku padanya?"
"Kau... Kau tahu?"
“Tentu saja tahu.” Seorang pria sebagai kakak tersenyum, “Kau kan adik perempuanku. Aku sudah lama merasa... kau punya perasaan padanya. Meski dulu kau selalu bilang benci, tapi kalau memang nggak ada rasa, mana mungkin kebenciannya sampai segitu. Bahkan Lei Qing yang selalu ngegangguin kau, waktu kau ceritain juga nggak semarah waktu bahas Gu Jiaming.”
Dongfang Wan menatapnya beberapa saat, akhirnya menghela napas: “Hari ini dia menyindir nggak akan menerimaku, atau mungkin aku yang sensitif... Tapi kemungkinan besar memang begitu...”
Dongfang Lu mengangguk.
“Ngomong-ngomong, kakak kan suka Ye Lingjing? Tapi dia sama Gu Jiaming. Kalau gitu, kita ini bisa dibilang saudara sengsara ya?”
“Bisa dibilang gitu.” Melihat adiknya tertawa, Dongfang Lu juga ikut tersenyum, “Tapi bukan sampai harus bersama. Cuma merasa, kalau bisa bersama juga asik... Tapi kamu jangan langsung nyerah. Selama belum confess, selalu ada kesempatan. Menurutku, dalam urusan cinta, yang confess duluan pasti rugi. Makanya kau harus bersabar.”
“Ngomong gini lagi, aku nggak tahan sama kau.” Perempuan itu tertawa kesal, “Kalau dari dulu mikir gini, ngapain juga kemarin-kemarin nyindir-nyindir kita nggak cocok...”
“Waktu itu kan belum tahu perasaanmu. Kalau dari awal sudah tahu, pasti aku akan mendukungmu.”
“...Sudahlah, aku mau mandi.”
Dongfang Wan bangkit dari kursinya. Sang kakak tertawa di belakang.
“Sayangnya malam ini bukan waktu yang tepat. Nanti setelah lukamu sembuh, kita cari malam buat minum-minum sampai mabuk bersama.”
“Aku bukan teman brengsekmu, bahkan kalau patah hati pun takkan minum bersamamu... Apalagi aku belum putus cinta.”
Tak lama kemudian, saat dia menoleh ke belakang di atas tangga, masih terlihat senyum penuh dukungan dan penghiburan sang kakak di bawah. Kakak ini, selalu lembut seperti kapas. Siapapun takkan bisa marah padanya, meski prinsipnya tetap tegas tanpa ikut-ikutan arus. Kadang aku iri, tapi mungkin diriku takkan bisa menjadi seperti itu.
Naik ke lantai atas, kembali ke kamar, mandi, lalu keluar dari kamar mandi dengan piyama. Sinar bulan menerobos dari jendela, bayangan hitam helikopter mainan yang tergantung di atas meja belajar terpantul. Dia duduk di tepi ranjang, menunduk memandangi sepasang kaki rampingnya yang rapat dalam cahaya keperakan.
Perban yang melilit terasa seperti kaki mungil wanita zaman dulu yang dibebat. Lama dia memandanginya, lalu akhirnya mengangkat kepala. Tatapan matanya yang biasanya teguh kini mulai terlihat bingung dan muram...
Di malam yang sama, di jalanan Tokyo yang masih lembap usai hujan, dua letusan senjata menyobek keheningan malam.
Malam itu, empat anggota kongres Jepang termasuk Kiyokawa Heiji menjadi korban pembunuhan berantai paling menggemparkan dalam sejarah politik Jepang selama satu dekade terakhir.
## Jilid Kesembilan Putaran Terakhir
## Bagian Keempat Ratus Tujuh Puluh Tiga Menangkap Jangkrik
"Hujan di kota Tokyo turun lebat sepanjang hari, baru berhenti saat sore tadi. Udara masih terasa lembap dari hujan deras tersebut. Di jalanan kota yang sejuk, pejalan kaki juga tidak berkurang meski malam telah tiba. Lampu-lampu menyala di toko-toko sepanjang jalan, kaca jendela besar memantulkan atmosfer terang yang jernih."
"Pukul delapan malam, Buntarou keluar dari stasiun metro Distrik Chiyoda, menyeberangi jalan, dan masuk ke sebuah bar di seberang yang belum buka. Dengan dipandu pelayan, ia berjalan menyusuri koridor di belakang bar."
"Setelah belok sebuah sudut, keramaian di belakang semakin sayup. Di ujung jalan terdapat dinding bergantung lukisan Ukiyo-e mistis. Dengan teknik khusus, ia mengetuk lukisan itu dua kali. Sebuah pintu rahasia terbuka diam-diam. Masuk dari sini, terdapat ruang besar mirip ruang rapat yang sudah dikumpulkan sekitar 20-30 orang. Begitu melihatnya, semua orang memandangi."
"Sato, bagaimana?"
"Atasan sudah mengonfirmasi operasi."
"Ruang yang luas terlihat berantakan saat ini. Ada yang merokok, ada yang mempermainkan belati, ada yang membongkar pasang senjata, ada yang duduk di jendela mendengarkan musik. Buntarou berbicara sambil berjalan ke komputer di samping, memasukkan flashdisk. Tak lama kemudian, data-dokumen tampil di layar besar di salah satu sisi ruangan."
“Ini adalah Gedung Hayakawa yang terletak di dekat Asakusabashi, Distrik Sumida. Menurut investigasi, salah satu cabang kelompok Sankyodan juga berada di sana. Silakan lihat peta struktur resminya. Ada penjaga di bagian depan dan samping, kamera pengawas, mungkin jumlahnya lebih banyak dari yang tercatat dalam statistik...”
Dia berbicara sambil memutar model 3D dengan kendalinya. Setelah beberapa saat, seorang pria paruh baya yang sedang merokok di sudut ruangan mengerutkan alisnya dan membuka mulut: "Apakah atasan sudah memastikan ini ulah Pei Luo Jia?" Begitu pertanyaannya meluncur, beberapa orang berkarakter keras langsung berteriak, "Siapa lagi kalau bukan mereka! Orang-orang itu, pelajaran empat tahun lalu masih belum cukup, sekarang mulai berani lagi!"
"Kali ini kita harus menghancurkan mereka sampai tak punya tempat bersembunyi! Biar mereka tahu kekuatan kita!"
"Tenchu!" (Hukuman Langit)
Empat tahun silam, ketika pengaruh Pei Luo Jia masih menjulang tinggi, orang-orang hanya bisa mengerutkan kening saat menyebut nama mereka. Tapi setelah Morikami Kura tewas dibunuh dan Pei Luo Jia disatukan kembali oleh Mikado Ki lewat perpecahan internal, selama beberapa tahun terakhir mereka terus mengalah dan menghindari konflik seperti kura-kura pengecut, pamornya merosot drastis. Kini, semua orang seolah meremehkan Pei Luo Jia. Mereka yang tak mengalami langsung kekejaman perang antar kedua pihak ini, meski Buntarou punya sedikit pengalaman beberapa tahun lalu saat baru lulus pelatihan (nilainya memang bagus tapi belum tentu layak jadi pasukan utama), setidaknya sekarang tidak terlalu sombong. Dia mengangguk dulu sebelum akhirnya bicara.
“Atasan juga tidak bisa memastikan, tapi kemungkinannya ada. Saat ini kita berada dalam posisi inferior, sama sekali tidak ada persiapan. Beberapa hal harus diperjuangkan dengan cepat. Jika ini benar-benar salah satu markas mereka, mungkin kita masih bisa mendapatkan bukti pembalikan dengan pergi sekarang.”
“Konon Mikado Ki belakangan ini berada di Eropa……”
“Tapi menurut intelijen yang baru saja didapat, Ritsumei Michiaki yang selama beberapa tahun ini berada di Eropa kemungkinan besar sudah kembali ke Tokyo beberapa hari lalu. Dengan mempertimbangkan konflik yang terjadi di Eropa dan Tiongkok akhir-akhir ini, pasti Mikado Ki sedang merancang sesuatu. Kita tidak bisa terus terpasif.”
“Kalau begitu.” Pria paruh baya itu mengangguk, melemparkan rokok di tangannya, “Tidak ada masalah lagi.”
“Baik, sementara kita bertindak malam ini, Senior Fukui akan memimpin tim untuk menyerang titik kumpul mereka di Setagaya. Kimura-kun akan pergi ke Shibuya. Yang perlu kita lakukan adalah memberi bantuan operasi mereka sebelum tengah malam hari ini……”
“……Ini akan menjadi operasi terbesar yang pernah kita lakukan dalam beberapa tahun terakhir!”
Waktu hampir pukul sembilan, keramaian lampu dan anggur merah semakin meriah di antara blok-blok jalan. Mobil-mobil kecil keluar dari gang di belakang bar, menyatu dengan arus lampu mobil yang melebur. Di saat bersamaan, di kamar lantai 14 sebuah hotel di pinggir jalan, seorang pria yang sedang mengamati lewat teleskop mengambil telepon di sebelahnya, menekan nomor. Sejenak kemudian, ia bergumam: “Chiyoda… Ular sudah keluar sarang… Ya…”
Di dalam kota yang diselimuti kegelapan malam, permainan "belalang sembah menangkap jangkrik, burung pipit mengintai di belakang" sedang berlangsung silih berganti. Di depan pabrik yang ditinggalkan di pinggir jalan raya dekat Tokyo, beberapa mobil mulai keluar, menghilang beberapa saat kemudian di kejauhan jalan yang relatif sepi. Tempat ini sudah dekat dengan tepi laut, dengan sedikit penduduk di sekitarnya. Kendaraan sesekali melintas di jalan raya, sementara tanah di sekitar pabrik sebagian besar terbengkalai, ditumbuhi ilalang setinggi setengah manusia dan pepohonan yang jarang. Dari kejauhan, kerlip lampu Tokyo Bay yang megah masih terlihat, seolah keindahan kota yang memesona ini tenggelam dalam ruang hampa kosong, di mana daerah tanpa cahaya sama sekali terasa nihil.
Di seberang jalan terdapat hutan kecil yang relatif lebat. Tak lama setelah iring-iringan mobil pergi, sesosok bayangan biru muncul diam-diam dari balik pepohonan. Tampaknya seorang gadis muda yang masih terlihat seperti mahasiswa, mengenakan kacamata berbingkai hitam yang menambah aura intelektualnya. Ia memakai kemeja lengan panjang warna biru muda dan celana panjang, dengan rampendek hitam legam yang menempel rapi di kedua pipi. Poninya membentuk garis lurus di dahi, sementara tas ransel di punggungnya membuatnya terlihat seperti orang yang terlambat kereta pulang setelah bertemu teman di hari libur. Tubuhnya kurus, ekspresinya dingin, meski penampilannya sederhana, namun tak bisa menyembunyikan pesona memukau yang memancar dari gadis ini.
Ia melirik pabrik yang ditinggalkan itu sebentar, lalu melangkah masuk ke dalam.
"Jarak pandang mendorong melewati lautan rumput yang bergelombang di bawah angin malam, masih membawa tetesan air, kami masuk ke dalam pabrik. Bangunan pabrik yang telah ditinggalkan ini sudah bertahun-tahun tidak dirawat, di mana-mana terlihat tidak terurus. Namun di sisi lain pabrik yang menghadap laut, terdapat beberapa speedboat berhenti di bawah bangunan yang diselimuti kegelapan. Di sebuah kamar di sisi atas yang menghadap laut, cahaya samar-samar sedang memancar."
"Dua orang sedang berjaga di dalam kegelapan, satu-satunya sumber cahaya hanyalah layar komputer di depan mereka. Mereka memakai earphone untuk memudahkan komunikasi santai dengan kawan di kejauhan, tapi saat ini mungkin tidak banyak urusan. Sambil menyeruput kopi, mereka mengobrol tentang berbagai topik tidak karuan, salah satunya bahkan sedang mainin permainan kartu bawaan komputer. Mungkin karena pernah menjalani pelatihan khusus, setiap ronde permainan yang biasa membuat orang lain berpikir lama, justru dia klik mouse terus-menerus seolah ada komputer lain di kepalanya yang sedang menghitung. Semua gerakannya terstruktur rapi, kecepatan menyelesaikan permainan membuat orang ternganga, satu ronde selesai langsung ronde berikutnya."
"Begitulah mereka bermain game dan mengobrol, sempat menghubungi kawan yang sudah beroperasi melalui walkie-talkie sekali. Setelah sekitar setengah jam lebih, mereka menghabiskan kopi. Pria pemain kartu itu berdiri, 'Yamagami-san, mau tambah kopi?'"
"'Ekstra kental, tanpa gula. Merepotkanmu.'"
"'Urusan sederhana.'"
Pria itu keluar dari kamar. Di kamar lain, tidak banyak barang yang diletakkan, tapi di lemari ada mi instan dan kopi, di luar ada pemanas air listrik. Saat dia mengisi penuh air dan hendak mencolokkan listrik, jejak abu-abu muda melintas senyap dari sudut matanya.
Itu adalah ornamen lingkaran hitam keabu-abuan di lengan baju.
Tubuhnya merespon hampir lebih cepat dari otak, langsung siap beroperasi, namun sudah terlambat. Silet itu meluncur senyap di tenggorokannya, tangan gadis itu halus dan putih mulus, menyentuh lehernya sekejap.
Ini adalah informasi terakhir yang dia rasakan dari dunia ini.
Dua puluh menit kemudian, gadis itu berjalan di jalan raya. Angin malam menggerai rambutnya dengan lembut. Dia menyusuri lampu jalan, melewati rumah-rumah berpenerangan di pinggir jalan. Sepuluh menit kemudian, dia sudah duduk di warung makan yang buka 24 jam di pinggir jalan dekat situ.
Ini adalah toko yang bisa disebut konvensional dalam segala aspek. Pencahayaan cukup kuat, meja kursi rapi, alunan musik samar terdengar. Sekelilingnya berdinding kaca dengan pandangan terbuka, tanpa banyak desain yang personal, namun segalanya tidak membuat orang merasa kaku. Ini adalah produk terstandarisasi yang mudah ditemui di Jepang, negara makanan cepat saji. Meski jumlah penghuni sekitar tidak banyak, karena target utama toko ini adalah sopir mobil yang lalu lalang di jalan raya, bisnis mereka saat ini juga tidak bisa dibilang terlalu sepi.
Di kursi dekat jendela, gadis itu memesan secangkir kopi dan sandwich, kemudian mengeluarkan laptop tidak terlalu besar dari tasnya. Setelah menghidupkan dan membuka beberapa prosedur lalu menutupnya, dia memasang earphone dan mulai mendengarkan musik. Tak lama kemudian kopi dan sandwich diantar ke mejanya. Gadis itu mengeluarkan buku tebal dan mulai membalik-balik halaman, bibirnya terkadang menyentuh cangkir kopi.
Waktu hampir pukul sepuluh, kemudian perlahan mendekati pukul setengah sebelas. Orang-orang di kafe datang dan pergi. Di jam dan tempat seperti ini, gadis secantik itu memang jarang terlihat. Tak lama kemudian beberapa pemuda bergaya hippie memarkir mobil di luar toko. Setelah masuk, mereka mencoba mengajak ngobrol. Namun apapun yang mereka katakan, gadis itu tetap asyik mendengarkan musik dan membaca buku tanpa mengangkat pandangan. Setelah lebih dari sepuluh menit, para pemuda itu pun pergi dengan malu.
Waktu terus berlalu, cahaya lampu lalu lintas berkedip di luar jendela. Mobil-mobil berlalu lalang di jalan. Kopi gadis itu sudah diisi ulang dua kali. Melewati tengah malam hingga pukul satu pagi, beberapa mobil yang familiar akhirnya melintas di luar toko. Gadis itu melipat sudut buku barulah mengangkat kelopak matanya. Sorot mata jernihnya berputar, bulu mata bergetar halus dalam cahaya lampu.
Dia membuka laptop dan menatap gambaran di layar, menunggu waktu.
Beberapa menit kemudian, dia menarik napas dalam-dalam lalu menekan tombol enter. Saat bangkit dari kursinya, ada ekspresi kelegaan seperti beban yang terangkat.
Getaran dahsyat datang dari sisi lain Bumi.
Gadis itu tanpa sadar memasukkan barang-barang ke dalam bungkusannya. Kerumunan orang di toko langsung dilanda kekacauan seketika. Jepang adalah negara yang sering mengalami gempa, sehingga reaksi pertama orang-orang adalah mengira terjadi gempa lagi. Namun tak lama kemudian, mereka baru menyadari ini adalah sebuah ledakan. Tiga sisi kedai makanan ini terdiri dari dinding kaca. Melihat dari salah satu dinding ke kejauhan, di tepi laut yang terlihat di kejauhan, suatu benda raksasa tiba-tiba pecah dengan suara Braak. Api menyembur dari segala penjuru bangunan itu, hampir membuat langit malam memerah. Bangunan besar itu mulai ambruk.
Orang-orang berhamburan keluar dari pintu toko, berdiri di jalan sambil menatap ke arah itu. Ada yang mengeluarkan telepon dan mulai menelepon dengan bicara tak karuan, ada yang merekam pemandangan jauh menggunakan telepon berkamera. Beberapa kendaraan di jalan raya mulai berhenti. Gadis itu membayar di kasir yang panik, lalu berjalan ke arah lain sambil menggendong tas ransel.
Angin berhembus menerpa. Langkah kakinya terasa agak ringan. Dua mobil kecil di depannya berhenti. Sopir dan penumpang keluar dari pintu mobil, memandang ke arah kobaran api. Dia melewati mereka, semakin menjauh. Satu menit kemudian, tiba-tiba langkahnya melambat.
Di bawah lampu jalan tak jauh, ada dua mobil berhenti di sana. Entah mogok atau bagaimana, enam tujuh orang mengelilinginya. Dua di antaranya terlihat membuka kap mesin untuk memperbaiki mobil, sementara yang lain berdiri di pinggir jalan memandang arah ledakan. Meski terselubung, bagi yang terlatih, penampilan mereka agak kikuk. Dari balik jaket luar baru mereka, terlihat luka gores di tangan. Pada lengan baju satu orang, darah mengalir ke bawah.
Gadis itu menoleh memandang ledakan itu, lalu mulai berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Namun, tatapan pria yang berada di depan telah mengunci target padanya.
Pria ini kira-kira tiga puluh tahunan, terlihat muda dan berkesan intelek. Seperti dirinya, ia juga mengenakan kacamata bingkai hitam. Saat ini senyum mengembang di bibirnya, namun tercium aura kejam. Ia berdiam memandangi gadis yang mendekat, lalu memiringkan kepala dan memejamkan mata seolah mengingat sesuatu. Jarak mereka terus menyusut: 10 meter, 5 meter, 4 meter, 3 meter... Dengan mata terpejam, ia melangkah maju.
Bayangan dua sosok - satu pria dan satu wanita - tiba-tiba membeku di tempat.
"Benar juga kau..." Pria itu membuka mata, senyum cemerlang menampakkan gigi seputih keramik yang hampir memantulkan cahaya lampu jalan. "Sepertinya pernah melihatmu di pusat keramaian, jalanan... Persiapan ke rumah Yuechi yang tak biasa, sudah kuduga ada masalah..."
Tubuh keduanya terpisah kurang dari setengah meter. Di tangan pria itu tergenggam sebuah belati, kilauan tajamnya hampir menyentuh pakaian gadis tersebut. Sementara itu, gadis itu mengulurkan tangan kanannya, mendorong pergelangan tangan pria yang memegang pisau hingga terkunci dalam posisi deadlock. Setelah beberapa saat saling menahan, dengan ekspresi datar dia membuka mulut: "Ritsumei Michiaki..."
Suku kata terakhir nama itu seolah memicu detonasi bom di udara. Pria itu menyabetkan pisaunya ke kegelapan malam, namun jarak antara mereka tiba-tiba melebar dengan cepat. Dari sudut pandang belakang pria tersebut, gadis itu seolah menggunakan tubuhnya sebagai penghalang. Di balik siluet tubuh pria, sosoknya tiba-tiba menyusut dan dalam sekejap telah mundur melintasi seluruh jalan.
Bersamaan dengan Ritsumei Michiaki, seluruh anggota kelompok itu serentak mengeluarkan senjata. Kobaran api dan dentuman senjata segera menyala-nyala di kegelapan malam.
Tubuh gadis itu melompat ke arah rerumputan di seberang jalan. Seluruh siluetnya seolah tersembunyi di balik tas punggung yang terlempar ke udara.
Sebuah mobil kecil tiba-tiba melintas di jalan. Saat melintas di depan tujuh laras senjata, kaca di kedua sisinya hancur berantakan. Darah menyembur dari dalam kendaraan yang melaju, sementara peluru terus menerus memercikkan percikan api di permukaan tas yang menjadi perisai udara di sisi lain mobil.
Bayangan gadis itu terjatuh ke rerumputan dengan cipratan darah. Mobil yang melaju kencang itu keluar dari jalan dan menabrak sebuah pohon setelah meluncur belasan meter. Lidah api ledakan menjilat-jilat ke angkasa.
Dentuman senjata di jalan telah mereda. Tujuh orang mengejar ke arah rerumputan setinggi pinggang yang membentang ke segala penjuru. Di kejauhan terlihat rumah-rumah dan kota, namun sosok gadis itu telah menghilang dari pandangan mereka.
“Tsukike Kaoru.” Ritsumei Michiaki yang pertama melangkah ke rumput tepi sungai sambil mengangkat senjata, diikuti beberapa orang lain yang mulai mendorong masuk, "Beri tahu yang lain untuk datang ke sini."
Dia menggigit giginya, berhenti sejenak: "Bunuh dia."
Angin dingin menerpa, rumput tepi sungai di bawah kegelapan malam bergerak seperti ombak laut...
## Bagian Empat Ratus Tujuh Puluh Empat Sakura (Bagian Atas)
Kegelapan malam menyelimuti, jalan raya berlapis lampu di kejauhan bagai pita keemasan yang menjelajahi angkasa, hamparan rumput laut masih menyimpan kelembapan hujan siang tadi. Pria-pria yang membawa senjata berderet-deret terus maju, di balik kegelapan malam yang jauh, mulai muncul bayangan-bayangan lain yang secara bertahap melakukan pengepungan ke arah sini.
Di tengah kegelapan, hamparan rumput ini terasa luas tak bertepi. Satu sisinya menyambung ke jalan raya, bagian sampingnya bersebelahan dengan hutan yang lebih gelap. Di kejauhan terlihat proyek konstruksi yang ditinggalkan dan bangunan-bangunan besar kecil, rumah-rumah kecil yang menyala bagai pulau terpencil di permukaan laut. Lebih jauh lagi ada tepian kota, titik-titik cahaya perak membentang di ufuk langit, mengambang di tengah kegelapan metropolis yang gemerlap.
Sambil berjalan cepat ke depan, Ritsumei Michiaki terus mengamati dan merasakan perubahan di area rerumputan, setiap inci jejak-jejak yang tersisa. Keluarga Yuechi adalah ahli ilmu ninja turun-temurun, sangat mahir dalam menyembunyikan diri dan teknik bergerak dalam kegelapan. Tapi ilmu ninja bukanlah teknik seperti di film yang bisa menyelam ke tanah atau terbang sesuka hati, sejujurnya hanya tentang bergerak sepi dan cepat dalam kegelapan ini. Rerumputan setinggi setengah manusia yang basah oleh hujan siang hari, ditambah upayanya menghindari pengawasan banyak orang membuat pergerakannya tidak terlalu cepat. Di mata para pembunuh terlatih ini, menemukan arah pelariannya sebenarnya tidak terlalu sulit.
"Arah Barat Laut, Sasaki kamu mengitari dari sana, halangi jalan mundurnya..."
"Dua sisi percepat, dia pasti di sekitar sini..."
"Tembak seketika jika terlihat, jangan kecerobohan..."
Instruksi berbisik disertai gestur tangan, pasukan kecil ini langsung melakukan bantuan sistem AI dengan kompak. Ritsumei Michiaki sesekali melirik ke kedua dunia dan belakang, lalu kembali memfokuskan pandangan. Udara dipenuhi aura menekan yang sulit diungkapkan, di hatinya sendiri sebenarnya juga diselimuti semacam kekecewaan aneh yang tak terdefinisi.
Rencana untuk melawan keluarga Yuechi sebenarnya telah dipersiapkan oleh Pei Luo Jia sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak zaman kuno, geng kriminal, ekonomi, dan politik sebenarnya tidak terpisahkan, terutama di negara seperti Jepang di mana geng kriminal legal. Baik Yuechi maupun Pei Luo Jia pada dasarnya hanyalah geng kriminal dengan skala lebih besar, kekuatan lebih kuat, dan operasi lebih rahasia. Untuk bertahan di negara ini dengan persetujuan diam-diam pemerintah, masing-masing mereka telah menanamkan atau mengendalikan sejumlah payung pelindung di lingkaran politik. Untuk menghancurkan fondasi lawan, mencabut dukungan politik mereka tetaplah prioritas utama.
Bagaimanapun, setelah direncanakan dan dipersiapkan selama ini, langkah pertama tampaknya berhasil dilakukan dengan baik. Beberapa aksi pembunuhan dalam dua hari terakhir telah menghantam perlindungan politik keluarga Yuechi dengan kecepatan yang luar biasa. Selanjutnya, dengan memancing keluar kekuatan utama keluarga Yuechi lalu menggunakan metode dalang pengkhianatan untuk menginvasi langsung dan melakukan operasi pemenggalan, menjelang pagi besok keluarga Yuechi akan langsung runtuh... Ini adalah hasil paling ideal. Namun, ketika invasi ke dalam keluarga Yuechi hari ini ternyata menang penyergapan, dia seketika menyadari bahwa ada perubahan yang terjadi di suatu tempat.
Salah satu langkah yang keliru, biaya yang harus dibayar akan sangat serius. Meskipun kualitas para pembunuh yang menginvasi keluarga Yuechi kali ini sangat tinggi, setelahnya yang bisa melarikan diri dengan sukses hanyalah sebagian kecil dari total. Berapa banyak yang ditangkap, berapa yang MATI, saat ini masih belum diketahui. Untungnya dia mengubah rencana meninggalkan yang sudah dipesan di tengah jalan karena merasa tidak beres, sehingga bisa berlindung dari nasib semua orang dilenyapkan dalam sekejap. Dengan demikian, akhirnya menemukan hilangnya Tsukike Kaoru dari pandangan.
Bertahun-tahun, meski sudah menempatkan mata-mata di keluarga Yuechi, terkait pergerakan wanita ini bahkan ayahnya sendiri tidak memahami, apalagi orang luar. Kali ini Tsukike Kaoru tiba-tiba menghilang dari rumah. Karena selama ini tidak memiliki eksistensi yang menonjol, ditambah tidak ada yang bisa menemukannya, kecurigaan sempat masuk ke pikiran Ritsumei Michiaki. Namun akhirnya karena data-data terlalu minim, hal itu diabaikan. Baru pada saat ini disadari intervensinya dalam urusan ini, suara pertanda malapetaka dalam pikiran memberitahunya: mungkin seluruh peristiwa akan mengalami perubahan besar.
Bagaimanapun juga, wanita ini harus dibunuh...
Sambil berpikir demikian, sosok di sebelah kiri yang tidak jauh tiba-tiba membuat gestur. Mereka mulai berkerumun ke arah itu, hamparan rumput dalam kegelapan sebagian tertunduk. Saat angin sepoi-sepoi berhembus, sebuah tas tergeletak dengan tenang di sana.
"Jangan mendekat..."
Masing-masing menjaga jarak beberapa meter, orang-orang bergerak hati-hati di sekeliling sambil mencari petunjuk. Beberapa orang yang mengepung dari arah Utara-Barat juga semakin mendekat. Ritsumei Michiaki mengulurkan tangan hendak melakukan gerak-gerik, tiba-tiba seolah ada suara halus yang bergema di pikiran.
"Berpencar——"
Cahaya menyilaukan menyembur dari sisi depan!
Kobaran api yang cemerlang membutakan, gelombang kejut meratakan hamparan rumput, menyebar ke segala penjuru. Tas itu meledak menjadi bola api raksasa tepat di titik pusat yang tidak jauh dari mereka. Ledakan ini menciptakan gelombang opini publik yang fantastis, namun semua orang telah mempersiapkan kewaspadaan sebelumnya. Saat gelombang kejut tiba, mereka langsung terbang keluar, sehingga tidak mengalami kerusakan berarti. Namun tepat di saat melayang di udara itu, Ritsumei Michiaki melihat bayangan hitam tiba-tiba melesat dari belakang seorang kawan yang tidak jauh darinya.
Belati menggores kilau dingin hijau kebiruan seperti amber di udara. Si pembunuh juga bereaksi cepat: secara tiba-tiba berputar, menghindar. Dentuman senjata bergema di langit malam, terdengar hingga jauh. Dua bayangan itu bersilangan dalam gerakan.
Dalam kegelapan malam ini, hanya terlihat bayangan layar lipat dua orang yang bertabrakan dengan cepat bagai tarian. Cahaya pisau menyambar horizontal, memotong terbalik, berputar. Bayangan Tsukike Kaoru bersembunyi di belakang sang pembunuh, di sebelahnya seseorang mengangkat senjata hendak membantu. Cahaya pisau berkilat, darah terseret keluar dari dadanya, melayang horizontal ke udara samping. Hanya satu tebasan ini, menakjubkan bak hantu yang muncul tiba-tiba.
“Berada di udara, Ritsumei Michiaki hanya sempat menembak sekali. Saat mendarat dan bangkit, bayangan Tsukike Kaoru telah menghilang. Orang pertama yang diserang memiliki pergelangan tangan terpenggal dan tenggorokan terbelah, jatuh terguling di rerumputan. Seorang lainnya menutupi dadanya, terhuyung mundur sambil terus menembak ke semak-semak. Ketika orang lain berusaha menolongnya, akhirnya dia juga roboh akibat kehilangan banyak darah.
Dentuman tembakan bergema berirama aneh yang tenang. Setiap peluru yang melesat menghantam dengan hantaman yang memangkas batang rumput. Di area kecil itu, potongan-potongan rumput terus beterbangan naik turun bagai hujan.
“Dia sedang berbicara...”
Pria dengan luka sayatan cahaya pisau di dadanya terbaring di rerumputan. Matanya menatap langit malam yang minim gemerlap bintang, masih menyimpan sisa kesadaran. Darah mengucur dari mulutnya saat dia berusaha menyampaikan informasi terakhir: “Jika... jika kalian... tidak MATI, Guru... Guru akan memarahiku... Begitu katanya... Begitu...”
“Bangsat!”
Seorang pembunuh tiba-tiba berteriak, mengangkat senjata ke arah kaburnya Kaoru sambil terus menarik pelatuk, kemudian mengeluarkan granat tangan dan melemparkannya. Kobaran api menyala saat gelombang kejut menghantam sekeliling. Semua orang memandangi semak yang roboh di sekitar dengan cahaya itu, tiba-tiba salah satu pembunuh mengangkat senjata: "Dia di sana!" Cahaya menerangi helaian baju hitam di antara semak, gadis itu melesat gesit seperti macan tutul. Saat laras senjata Ritsumei Michiaki bergerak ke sana, dia juga melihat dua senapan serbu di tangan gadis itu di sela rumput, serta laras senjata yang terangkat.
Di sebelah Utara-Barat yang tak jauh, seorang manusia mengangkat peluncur roket. Kemudian cahaya api roket melesat, alang-alang di sekeliling roboh, cahaya itu nyaris melesat melewati bahu gadis dengan selisih tipis, mengibarkan helai rambut yang berkibar. Ledakan dahsyat kembali menggema di padang rumput luas saat kedua pihak menarik pelatuk.
Seluruh malam seolah tiba-tiba mendidih dalam sekejap mata.
Cahaya menerangi wajah semua orang yang tegang atau terdistorsi. Ada yang menekan bibir, ada yang berteriak menghujat. Senjata MEMBUNUH dari baja terus mengulangi gerakan dan benturan keras di tangan orang-orang. Recoil menciptakan getaran dan gemetar dahsyat. Energi merambat ke lengan dalam bentuk gelombang, menyebar ke segala penjuru tubuh. Bau ketegangan, selongsong peluru panas terlempar dalam angin malam, melintas di depan mata, bertabrakan kecil dengan tubuh manusia. Benturan berulang pelatuk dan picu menggetarkan udara, menyebar seperti gelombang ke segala arah. Gelombang suara bercampur, peluru berputar mengikuti prosedur terprogram, terus menyembur keluar dari laras senjata dengan gigih. Tak terhitung batang rumput terpotong, tetesan air di batangnya hancur berkeping saat bersentuhan, lalu menguap menjadi kabut. Tengkorak seseorang terlempar, namun gaya memegang senjatanya tetap tak berubah seperti inersia, peluru demi peluru terus ditembakkan dari laras.
Kaoru menekan picu erat, tubuhnya berputar halus sementara kedua tangannya menarik dengan kuat laras senjata yang terus meraung dari kedua sisi. Peluru mengukir jalur cahaya berbentuk kipas di udara, akhirnya kedua laras senjata mengarah ke Ritsumei Michiaki. Peluru mematikan terus menyembur.
Satu detik kemudian, darah juga menyembur dari tubuhnya. Seluruh diri ini terlempar, bergulingan di antara semak.
Dentuman senjata tak henti, kobaran api dari ledakan menyusut kembali membakar rumput basah yang lembap, mengeluarkan asap. Dua mayat lagi dari pihak Pei Luo Jia roboh, sisa anggota lain mulai melakukan pengepungan. Di rumput terlihat jejak darah dan semak yang terinjak. Namun bayangan gadis itu kembali menghilang.
"Sungguh garang ya... Sekarang bukan kita yang ingin membunuhnya, tapi dia yang berusaha menghabisi kita semua." Ritsumei Michiaki menatap luka tembak di lengan kanannya yang masih mengucurkan darah, sambil menggigit gigi keras.
"Gurunya..."
"Pasti orang bernama Gu Jiaming itu..."
Begitu nama itu disebut, kesunyian langsung menyelimuti semua orang. Setelah beberapa saat, seseorang melirik ke belakang lalu memasang magasin baru dengan suara "krak" saat mengisi peluru.
"Tak bisa dimaafkan!"
Dengan rahang terkunci mereka mengejar Kaoru yang kabur ke arah proyek konstruksi yang ditinggalkan. Lebih dari sepuluh orang tersisa mulai berpencar mengelilingi area.
Membentuk grup dua atau tiga orang, dalam pengejaran terhadap Tsukike Kaoru mereka juga merancang strategi memblokir jalannya. Tak lama kemudian ketika suara pertarungan terdengar di sisi proyek, sisa anggota langsung bergerak dengan kesepakatan taktis melakukan pengepungan dari berbagai arah.
Di proyek konstruksi yang gelap gulita, dentuman senjata sesekali terdengar. Di antara perancah yang berantakan, dua bayangan bertarung sengit. Di sudut sebelah, seorang pembunuh dari Pei Luo Jia sudah tergeletak dalam genangan darah. Setelah tiga tahun belajar bersama Jiaming dan empat tahun perjuangan dalam kesepian dan kepahitan, kekuatan gadis itu telah mencapai tingkat yang mengerikan. Saat dia melancarkan serangan mematikan dengan tekad bulat, dalam hitungan detik sang pembunuh yang terjepit itu terkena pukulan keras di dada, kehilangan keseimbangan hingga tubuhnya tertusuk pipa besi yang bersilangan di lantai.
Bersamaan dengan itu, peluru-peluru melesat menghampiri. Orang-orang yang berlarian dari puluhan meter terus menembak. Peluru menghujam perancah di sekitarnya, cahaya berkedip-kedip tak henti. Kaoru mencabut pipa besi dari tanah lalu tiba-tiba menghilang dalam kilatan cahaya itu. Beberapa detik kemudian, dia muncul kembali dari kegelapan dengan tiba-tiba.
Chiseisenran!
Pipa besi itu menyambar ke bawah! Orang pertama dengan tergesa menghindar ke samping, pipa itu Braak! menghantam tumpukan batu bata hingga berhamburan. Orang di belakangnya langsung mengarahkan laras senjata ke Kaoru yang sedang menghantam tanah dengan pipa, lalu menarik pelatuk.
Tubuh Kaoru menyamping, bukannya mundur malah maju. Darah menyembur dari bahunya saat ia menggigit gigi erat, ujung pipa besi itu ditusukkannya tiba-tiba ke dada lawannya. "Yaa——" Dengan teriakan, ia mendorong pria itu hingga mundur tujuh delapan langkah derap kaki. Ini hampir seperti petualangan bertukar nyawa dengan nyawa. Sesaat kemudian, ia menegakkan postur tubuh. Blek! Pipi besi yang masih menempel daging remuk dan darah dicabutnya, lalu dilemparkan ke arah orang di belakang.
Dentuman peluru bergema, cahaya melesat di samping tubuhnya. Ia menoleh dan membalas tembakan, lalu menerobos masuk ke dalam kegelapan pekat.
Tiga orang menyerbu dari samping, dentuman senjata terus berbunyi. Gadis itu berlari kencang dan menghindar di antara tumpukan bahan bangunan dan perancah yang berantakan, sesekali membalas serangan. Tiga orang terluka oleh tembakannya, sementara ia sendiri kembali terkena peluru nyasar sekali. Seseorang melemparkan granat tangan. Rangka besi di atas dan batu bata lumpur sebagian runtuh. Saat granat ketiga dilemparkan, terjadi keruntuhan besar-besaran. Kaoru tidak sempat menghindar, tubuhnya dihujani benda-benda tak terkira. Tapi sesaat kemudian ia berhasil menerobos keluar. Seorang pembunuh tepat menghadang di depannya, mengangkat senjata tapi belum sempat menarik pelatuk sebelum gadis berlumuran darah itu menerjang pangkuannya. Saat didorongnya, perut pria itu sudah tertusuk belati hingga tembus, darah mengucur deras bagai mata air.
Kejar-kejaran sengit terus berlangsung. Ketika akhirnya mereka berhasil mengepung dan berkumpul di tengah proyek konstruksi, barulah sadar: target telah hilang dari pandangan.
Menjelang malam yang sunyi, di tepi proyek konstruksi, seorang gadis berlumuran darah mengambil remote kontrol dari bawah tanah dan menekan tombolnya.
Ledakan dahsyat tiba-tiba menyapu seluruh langit malam.
Tempat ini sendiri merupakan lokasi jebakan kedua yang dipilihnya. Umpan harus dibuat meyakinkan, dan dirinya sendiri harus membayar harga yang mahal. Namun bagaimanapun, segalanya kini telah sepadan. Meski masih jauh tertinggal dibandingkan Guru, bagi dirinya saat ini, ini sudah merupakan prestasi yang cukup baik. Dalam ingatannya, saat dia sesekali berhasil melakukan sesuatu dengan baik, pria itu akan menepuk kepalanya dan berkata: "Pantas... cukup untuk saat ini." Bagaimanapun juga, sungguh dirindukan.
Tinggal beberapa urusan terakhir untuk menyelesaikan permainan. Lalu... dia menoleh ke belakang. Sebuah siluet berdiri di kejauhan, kobaran api menerangi garis tubuh orang itu.
Itu adalah pembunuh Pei Luo Jia setinggi sekitar 1,9 meter yang terluka parah. Sebelumnya dia tidak mengikuti kerumunan yang mengejar Kaoru. Kini, dengan raungan menggelegar, dia berlari menghantam ke depan.
Kaoru tertegun, darah di profil wajahnya merefleksikan kekosongan sesaat. Tiba-tiba tubuh rentannya terlempar ke udara.
BRAK! Tubuh Kaoru dihantam ke dinding belakang. Tembok itu ambruk, separuh tubuhnya terkubur reruntuhan. Sang pembunuh yang sudah terluka parah terhuyung mundur dua langkah, matanya menatap pisau yang tertancap di dadanya, lalu mengarahkan pandangan ke gadis kurus di depannya.
“Aaaaa...” Dia melangkah ke depan, kemudian tubuhnya jatuh Braak, darah merambat di atas tanah.
Api terus membakar di reruntuhan proyek konstruksi yang meledak di belakang, berbagai suara bersautan. Setelah beberapa menit, Kaoru perlahan membuka mata, lalu berjuang keluar dari tumpukan batu bata. Seluruh tubuhnya penuh debu, darah bercampur tanah. Darah itu berasal darinya dan musuh, bajunya robek di beberapa bagian, luka-luka di seluruh tubuh, tangan kiri sudah patah. Saat membuka mulut, darah langsung mengucur.
Terhuyung-huyung beberapa langkah, kesadarannya sedikit pulih. Dia menoleh melihat proyek yang masih membakar. Dari kejauhan, mobil polisi tampak mendekat.
Masih ada hal yang harus diselesaikan...
Dengan pikiran itu, dia berjalan tertatih ke arah seberang, tak lama kemudian menghilang dalam kegelapan...
## Bagian Empat Ratus Tujuh Puluh Lima Sakura (Bagian Akhir)
Tengah malam yang sama, rumah tua keluarga Yuechi.
Bau mesiu, kerumunan orang sibuk, aura pasca pertempuran.
Pemandangan reruntuhan pasca pertempuran besar terlihat jelas, beberapa area bahkan masih membakar, sampai sekarang belum dipadamkan. Banyak darah tercecer, tapi mayat sudah raib. Semua orang sibuk membersihkan sisa-sisa pertempuran. Di jalan masuk rumah tua, beberapa mobil mewah perlahan memasuki area. Sebagai Kepala keluarga, Tsukike Masazora dan rombongan sedang menunggu di pinggir jalan.
"Pertempuran kali ini cukup sengit, Dia hampir menjadi target pembunuh yang nekad melakukan aksi bunuh diri. Tangannya terluka, tapi setelah dibalut kasar dengan perban, akhirnya tidak ada masalah serius. Meski kerusakan pada rumah tua cukup parah, kerugian keluarga Yuechi hari ini sebenarnya tidak terlalu besar. Kilau sukacita terpancar dari wajah semua orang."
Iring-iringan mobil berhenti perlahan. Orang tua yang keluar dari pintu mobil kemudian mengejutkan semua orang - ternyata Anggota Parlemen Kiyokawa Heiji yang dikabarkan telah MATI dalam pembunuhan kemarin. Pengawal di sekitarnya adalah anggota keluarga Yuechi yang dipimpin oleh Buntarou. Wajah Kiyokawa Heiji juga tampak berseri-seri saat menyapa Tsukike Masazora. Sambil berjalan ke dalam, dia menanyakan tentang intensitas pertempuran malam ini sambil memandang sekitar.
"Saat muda, suasana seperti ini sudah biasa kulihat. Sekarang tidak bisa... Sudah tua, hal-hal sepele yang sebenarnya sudah kuhindari tetap membuatku tegang luar biasa, Heh."
Hubungan mereka saling menguntungkan. Meski Kiyokawa Heiji memiliki posisi tinggi di lingkaran politik, sikapnya terhadap Tsukike Masazora saat ini sama sekali setara. Setelah mendengar penjelasan singkat Tsukike tentang hasil operasi malam ini, dia pun mulai membahas hal krusial lainnya.
“Bicara soal itu, bisa memiliki prestasi seperti sekarang ini, benar-benar berkat peringatan dan tata letak putri Anda. Nyawa orang tua ini juga diselamatkannya. Bukti hubungan Pei Luo Jia dengan orang-orang dari Sankou, Inoue, juga berhasil dikumpulkan berusahanya. Dengan bukti-bukti ini, dalam beberapa hari saya bisa langsung menundukkan mereka. Pada akhirnya, kali ini benar-benar kemenangan besar. Tidak tahu di mana Nona Kaoru sekarang, tolong perkenalkan orang tua ini, saya ingin secara langsung menyampaikan rasa terima kasih padanya...”
Saat dia berbicara demikian, ekspresi Tsukike Masazora terlihat agak canggung. Menoleh melihat Buntarou, anaknya sendiri Tsukike Tetsuya dan yang lain, ia perlahan menggelengkan kepala: “Maaf, selama ini Kaoru selalu beroperasi sendirian. Dia sudah pergi ke Tokyo untuk menyusun strategi sejak beberapa hari lalu, saat ini lokasinya pun saya sebagai ayahnya tidak tahu pasti. Tapi begitu dia pulang ke rumah, pasti akan saya suruh langsung mengunjungi Anggota Dewan Kiyokawa.”
Kiyokawa Heiji tersenyum sambil menggelengkan kepala: “Harusnya beri tahu saya. Ini adalah pertolongan menyelamatkan nyawa, hal besar. Kalau bukan karena dia, baik saya maupun seluruh keluargamu, sekarang sudah tiada. Masakan bisa menyuruh Nona Kaoru yang datang, beri tahu saja, saya yang akan datang.”
Tsukike Masazora dengan ekspresi canggung membicarakan putrinya bersama Kiyokawa Heiji. Sejujurnya, sejak kecil hingga besar, ia tidak pernah terlalu memperhatikan putri ini. Empat tahun lalu, Gu Jiaming datang ke Jepang dan menghabisi Morikami Kura. Saat itu, ia sudah menyadari bahwa putrinya ini akan menjadi luar biasa. Namun ketika kabar kematian Gu Jiaming datang dari Tiongkok, sang putri telah sepenuhnya menutup pintu hatinya dari semua orang. Meski saat itu ia berniat memperbaiki hubungan, kesempatan itu sudah tidak ada. Jadi sebenarnya, selama belasan tahun ini, ia memang tidak pernah memberikan perhatian yang cukup pada putrinya.
Dari pengamatan beberapa tahun terakhir, anak haramnya Tsukike Tetsuya yang pernah diharapkannya ternyata tidak menunjukkan kehebatan apa pun. Tapi karena Kaoru sudah sama sekali tidak memedulikan siapa pun, ia pun tak bisa berbuat banyak. Siapa sangka peristiwa kali ini terjadi dengan kecepatan yang luar biasa. Kaoru yang telah membeku selama empat tahun, tiba-tiba menunjukkan kekuatannya. Jika bukan karena peringatannya, seperti kata Kiyokawa Heiji, seluruh keluarga mungkin sudah hancur.
Pada saat ini barulah ia mulai merenung dan mengevaluasi perubahan Kaoru selama belasan tahun. Terhadap putrinya ini, ia mungkin benar-benar telah melakukan banyak kesalahan, dan... tampaknya tidak ada lagi kesempatan untuk menggantikannya...
Sambil memikirkan hal-hal tersebut, rombongan ini terus berjalan sambil berbincang. Tak lama kemudian, tiba-tiba ada orang berlari mendekat dari kejauhan: "Nona Kaoru... Nona Kaoru..." Begitu kata-kata ini keluar, semua orang langsung tegang. Buntarou hampir bersamaan dengan Tsukike Masazora bertanya: "Ada apa dengan Kaoru?"
Sebelum pria yang terengah-engah itu sempat bicara lagi, sebuah mobil kecil terhuyung-huyung mendekat dari kejauhan.
Para pengawal di dekat Tsukike Masazora secara refleks mengerumuni. Mobil itu tiba-tiba mengerem dan belok tajam saat mendekat, Braak! Menabrak pagar rumah di pinggir jalan. Beberapa orang dengan penglihatan tajam baru menyadari, sosok samar di dalam mobil itu adalah Kaoru.
"Kaoru..." seseorang di sebelah bergumam. Kirakawa Heiji yang mendengarnya langsung tertarik: "Ah, ini Nona Kaoru?" Beberapa saat kemudian, pintu mobil perlahan terbuka, seseorang terhuyung-huyung keluar.
Gadis berlumuran darah itu akhirnya muncul di hadapan semua orang. Saat Kirakawa Heiji terpana melihat pemandangan itu dan Buntarou dkk hendak berlari maju, Kaoru limbung mengangkat tangan kanannya. Laras senjatanya mengarah ke sini - tepat ke Nishida Nao yang sedang diam berdiri di samping Tsukike Tetsuya.
Sang pembunuh pendatang baru di keluarga Yuechi yang menonjol berkat prestasi gemilang ini langsung mencium krisis. Hampir bersamaan dengan tatapan Kaoru. Tiba-tiba ia menghunus senjata mencoba membidik Kirakawa Heiji, namun beberapa laras senjata lain blek blek blek! langsung mengarah padanya dari berbagai penjuru.
Byur, Kaoru langsung menarik pelatuk. Tembakan ini tepat mengenai dahi mereka, darah menyembur, mayat pun roboh. Kecuali Kiyokawa Heiji yang terlihat bingung, semua orang hanya melirik sekilas dengan datar. Tsukike Masazora berkata: "Cepat panggil dokter ke sini... Kalian masih belum menolong Kaoru ke samping..."
Perintahnya belum selesai, faktanya Buntarou dan yang lain sudah sampai di sisinya, mempersiapkan untuk menolong gadis yang tidak diketahui seberapa parah lukanya saat ini. Namun tangan yang terulur belum sempat menyentuhnya, laras senjata sudah tiba-tiba mengarah: "Pergilah!"
Semua orang membeku di tempat. Kaoru menarik napas dalam, memandangi lengan Tsukike Masazora yang terluka, kemudian mulai berjalan perlahan mendekat. Seorang dokter dari keluarga Yuechi yang membawa kotak P3K juga bergegas datang. Melihat luka Kaoru, dia hendak menolong namun tiba-tiba dihadapkan dengan laras senjata di dahinya, akhirnya mundur terburu-buru dan hanya bisa berdiri kikuk di samping.
"Kaoru, kau ini..." Tsukike Masazora ingin berbicara, tapi tidak tahu harus mencegah apa. Putrinya yang sudah limbung itu kini berdiri di sampingnya, dengan pelan-pelan mengangkat lengan ayahnya.
Luka di lengannya tidak parah, setelah dibalut dengan perban, sudah tidak masalah lagi. Kaoru menggenggam tangan ayahnya hanya memandang, ekspresinya tampak agak kosong, kemudian mengulurkan jari-jari berlumuran darah untuk menyentuh perlahan perban putih itu. Meski terlihat seperti adegan kasih sayang biasa antara ayah dan anak, semua orang tahu kenyataannya tidak sesederhana itu. Beberapa saat kemudian, Kaoru mendekati dokter di samping, membuka kotak P3K, mengambil gulungan perban dan kembali. Dengan tangan kanannya yang masih bisa bergerak, ia membalut kembali lengan ayahnya, lalu mengikatnya membentuk pita kecil.
Kesunyian yang tak terucapkan.
Berdiri agak jauh mengamati adegan ini dengan tenang, melihat gadis itu yang penuh luka namun menolak pengobatan, Buntarou tiba-tiba merasa ingin menangis. Ia teringat, di masa lalu yang sangat jauh saat mereka masih kecil, jika terluka saat latihan, mendiang Nyonya kepala keluarga - ibu kandung Kaoru - akan dengan hati-hati mengobati mereka. Perban yang ia pasang selalu diakhiri dengan pita cantik...
Seringkali aku tak menyadari, betapa banyak hal berharga yang telah hilang tanpa kusadari...
Gadis itu memandangi pita tersebut, lalu menepuk-nepuk lengannya pelan dua kali. Kemudian ia melewati ayahnya, berjalan lamban dan sunyi menuju pekarangan kecil miliknya...
Tak lama kemudian, dari belakang terdengar raungan Tsukike Masazora: "Ikuti dia! Masih perlu ditanya lagi?!"
Seperti yang terekam dalam memori, halaman yang tenang, kamar yang damai.
Kaoru duduk di lantai, perlahan melepaskan pakaian di tubuhnya.
Cahaya lampu menyelinap dari luar, suara manusia samar-samar, tapi dia tak peduli lagi. Setelah menembak ke luar dan melukai beberapa orang tadi, mungkin mereka tak berani masuk lagi. Apapun yang mereka katakan tak ingin didengarnya, sudah tak berarti, ini bukan lagi dunianya, bukan dunia tempat dia ingin bertahan hidup...
Tubuhnya sakit, lebih-lebih disertai letih yang mendalam. Beberapa luka masih mengucurkan darah. Dia melepas pakaian, mengeringkan handuk di baskom dengan satu tangan, mulai mengusap darah kering dan debu di tubuh. Saat air menyentuh luka, terasa perih, tapi hatinya damai. Semua yang harus dilakukan sudah selesai. Lelah sekali, tapi setelah ini hanya akan ada kelegaan, pikirnya sambil mendengungkan lagu pengantar tidur yang dulu sering dinyanyikan ibunya.
Bagaimanapun, tugas yang harus dikerjakan sudah selesai. Di mata ayahku, aku pasti sudah menjadi manusia yang hebat. Soal ujian yang ditinggalkan Guru juga sudah kuselesaikan. Ibu, Kaoru kecil sudah sangat lelah. Meski lelah dan sakit, tapi... sudah cukup kan?
“Dia mengusap tubuhnya, memikirkan hal-hal di masa lalu. Mengingat masa kecil, mengingat ibuku, tangisan yang disembunyikan di balik selimut saat kelelahan mengejar teman sebaya hingga luka-luka. Mengingat kejadian saat ditangkap Pangeran ke Tiongkok, bocah lelaki yang pertama kali kulihat, tiga tahun bahagia bersama Jiaming. Mengingat kata Jiaming ‘Aku juga menyukaimu’, perpisahannya yang cemerlang seperti matahari sore. Empat tahun terakhir ini, dia hanya bisa bersembunyi dalam kegelapan, mengingat kembali semua kesepian ini.”
“Kini, tak perlu lagi bersabar...”
“Setelah membersihkan tubuh dan menyisir rambut, beberapa bagian masih bernoda darah, tapi itu tak penting. Setelah semuanya selesai, dia mengenakan kimono merah marun peninggalan ibuku yang dulu sangat disukainya di depan cermin. Masih teringat empat tahun lalu, Jiaming juga melihat baju ini dan memandanginya lama, kira-kira juga menyukainya.”
“Duduk di ranjang, dia memeluk erat boneka panda bertambal di samping bantal. Ini boneka pertama dalam hidupnya yang didapat saat ke taman bermain bersama Jiaming. Kualitasnya memang biasa saja, setelah enam tujuh tahun menjadi usang dan rusak, dia menambalnya dengan hati-hati, tak rela membuang setiap helai kapas di dalamnya. Setelah beberapa saat memeluk, kesadarannya mulai mengabur. Dengan sisa kesadaran terakhirnya, dia menarik pisau dari bawah bantal...”
“Guru...”
Dalam kebingungan, Jiaming muncul di sampingnya, memegang tangan yang memegang pisau, kemudian berbisik memuji: "Sudah melakukan dengan baik."
## Bagian Empat Ratus Tujuh Puluh Enam Buruh Murahan
Tokyo lagi hujan turun.
Di musim panas, jarang ada hujan yang sedemikian tenang. Saat air hujan mengalir dari atap kecil rumah tua, terdengar suara Dok... dok. Tetesan air mungkin membentuk tirai di luar lorong. Saat dia membuka mata, melihat cahaya langit menembus jendela.
Di dalam kamar tercium bau darah, lebih dominan bau obat yang pekat. Lelah masih melekat di tubuhnya, tangan kiri terpasang gips, infus masih menetes. Beberapa bagian terasa kebas efek obat bius yang belum hilang, beberapa masih sakit. Dengan tenang ia menatap langit-langit.
Masih... hidupkah...
Pikirannya belum sepenuhnya sadar dari kondisi linglung. Samar-samar terdengar suara manusia di balik pintu. Dia pejamkan mata, kelelahan bagai debu di udara yang merasuk ke mana-mana, samar namun terasa amat berat.
“Kemudian dengan suara ‘Splash’, seseorang membuka pintu. Cahaya putih merembes ke halaman di belakangnya. Udara bergetar oleh suara: ‘Maaf merepotkanmu.’ Pengucapan bahasa Jepang itu seperti disentak oleh sesuatu yang tajam tiba-tiba menggerayangi senar hati. Jantungnya mengencang seolah dicengkeram erat oleh telapak tangan raksasa tak kasat mata. Seluruh kulit tubuhnya terasa kaku seketika, rasa sakit menjadi pikiran yang tak berarti. Gambaran-gambaran selama empat tahun melintas dalam jarak pandang yang kelabu.
Sebuah tangan mendarat di dahinya. Dia mendengar suara itu berkata: “Sudah bangun?”
Seperti gadis kecil yang pertama kali melihat orang asing seumur hidupnya, lama sekali baru dia gemetar ketakutan sambil menundukkan kepala:
“…Hmm.”
Ketidakpastian hidup.
Sebagai perempuan yang dibesarkan di Jepang sejak kecil dengan karakter pendiam yang tidak suka bergaul, meskipun kemudian di Jianghai pernah menjalani pelatihan bahasa Mandarin intensif, kemampuan bahasa China Kaoru tetap tidak bisa dibilang hebat. Bagaimanapun bahasa harus diucapkan, jarak dalam hal ini tak bisa digantikan oleh bakat apapun. Tapi saat ini, gadis dengan logat Jepang saat berbicara bahasa Mandarin ini benar-benar merasakan makna peribahasa tersebut.
Rintik hujan tak henti, hujan yang tenang di pagi hari menjelang sore berubah mengamuk, langit gelap bagai senja yang akan tiba. Gubuk justru menjadi sunyi dalam deru hujan tak berujung. Ia terbaring di ranjang, menyaksikan tetesan infus mengalir pelan. Bila ia memiringkan kepala dengan susah payah, akan terlihat cahaya kuning hangat dari pintu kamar sebelah. Jiaming duduk di tepi pintu dengan bangku pendek, asyik membaca komik yang ia bawa pulang empat tahun silam.
Mempertahankan posisi ini melelahkan, tak mudah. Namun setiap kali ia menarik pandangan kembali ke kegelapan, keraguan selalu menyelinap. Segala kejadian sebelumnya: cahaya lampu kuning itu, pemuda yang membaca di bawah sinarnya, bahkan segala kedamaian di tengah hujan deras ini – apakah semuanya hanya ilusi? Apakah halusinasi akibat rindu selama empat tahun ini, atau sekadar fragmen memori berharga yang tersisa? Bagaimanapun, sejak semalam hingga kini, seolah ada unsur magis di udara yang bisa ia rasakan namun tak mampu kuasai. Ia tak peduli dengan kebenaran segala hal. Terkadang ia bertanya-tanya: jangan-jangan dirinya sudah MATI, sehingga bisa hidup dalam harapan dan khayalan yang abadi namun terasa nyata. Tentu semua itu tak penting lagi.
Ia hanya terus-menerus ingin memastikan: ketika ia menoleh sekali lagi, sosok dalam memorinya masih duduk di tepi pintu bercahaya kuning hangat itu, tetap setia menemani.
Dia bahkan bisa berfantasi, seolah-olah hujan lebat yang tak henti-hentinya menggenangi seluruh dunia di luar, hanya tersisa satu set rumah yang terombang-ambing di lautan tak berujung. Sementara itu, Jiaming duduk di tepi pintu membaca buku, dan dia berbaring di ranjang memandanginya. Baik empat tahun lalu maupun sekarang setelah empat tahun berlalu, ini tetap menjadi pemandangan kebahagiaan yang layak dia tukar dengan segalanya.
Terkadang hanya dengan membayangkannya saja, sudah cukup membuatnya merasa kuminati seperti hamster yang telah menimbun persediaan makanan musim dingin.
Tentu saja, setiap kali dia dengan susah payah dan hati-hati menggelengkan kepala, Jiaming di tepi pintu juga akan melirik ke arah sini untuk konfirmasi Drip, lalu bertanya: "Air?"
Kadang dia mengangguk, kadang menggeleng. Dari pagi hingga nanti sore, dua kali ganti infus, sekali dibawa Jiaming ke toilet. Kondisi lukanya memang berat untuk manusia biasa, tapi bagi mereka yang berkeliaran di garis hidup, meski terlihat sengsara, setidaknya tidak benar-benar mengancam nyawa atau punya bagian yang rumit. Dengan istirahat cukup, penyembuhan akan cepat, dan tidak akan meninggalkan efek samping besar bagi kehidupan di kemudian hari.
"Besok, suruh mereka menemukan seseorang untuk membantuku menjagamu. Hal lain tidak masalah, tapi untuk urusan toilet atau mandi, tidak baik juga kalau selalu kubantu."
“Saat ini setengah tubuh Kaoru sudah dibalut gips, meski aktivitas terhambat, setidaknya gerakan seperti melepas pakaian tidak perlu bantuan Jiaming. Kaoru tak mempermasalahkan hal ini, tapi merasa tak pantas membuat Jiaming merawatnya. Ia mengangguk sambil berseru "Hmm". Jiaming yang sedang membaca komik tiba-tiba menatap ke dinding: "Kenapa dinding sebelah itu? Seperti bekas tambalan baru."
“Itu... Buntarou...”
“Eh...”
Jiaming sudah lama tahu kisruh antara Buntarou dan Kaoru. Setelah beberapa saat, ia menggelengkan kepala sambil tersenyum: "Sudah bertahun-tahun, merayu cewek saja masih susah..."
“Kubilang padanya... agar berhenti merayu...”
“Heh...”
Waktu nanti sore berlalu dalam deru hujan deras dan obrolan singkat di kamar. Kaoru beberapa kali mencoba bertanya "Guru kapan pulang?" Sejak Jiaming bilang ada urusan dan akan tinggal sementara di sini, barulah hatinya sedikit tenang. Ia menanyakan kabar Lingjing, Shasha, dan Jianghai. Ada banyak yang ingin diungkapkan, tapi akhirnya tak terucap. Jiaming menyuruhnya tidur dan istirahat, tapi begitu mata terpejam, ia segera membukanya lagi, menoleh untuk memastikan Jiaming masih ada.
Pada sore tadi, Jiaming pergi ke kantin keluarga Yuechi untuk mengambil makanan dan kembali untuk makan. Kaoru masih di hari pertama pasca operasi sehingga belum boleh makan. Malam harinya, Jiaming memindahkan TV yang dibelinya empat tahun lalu ke kamarnya untuk diputar. Ternyata TV yang tak terawat selama empat tahun itu rusak dan tidak bisa menyala. Jiaming terpaksa membongkarnya untuk diperbaiki, membersihkan debu, menyetel ulang sirkuit, lalu mengeringkannya dengan pengering rambut sebentar sebelum akhirnya bisa diputar normal. Malam itu, mereka berdua menonton dua episode drama idol Jepang yang belum pernah ditonton selama bertahun-tahun di layar kecil beresolusi rendah, kemudian masing-masing tidur.
Di malam hari, Jiaming bangun empat kali untuk mengganti infus, menyuapi air, dan menggendongnya ke toilet.
Beberapa hari berikutnya, Jiaming mulai menetap di sini.
Untuk peristiwa yang dipicu oleh Pei Luo Jia ini, pekerjaan lanjutan akan menjadi proses yang panjang. Keluarga Yuechi juga sibuk selama waktu ini. Namun pada akhirnya mereka mendapat keuntungan. Di bidang politik, Kiyokawa Heiji telah menggunakan bukti yang dikumpulkan Kaoru untuk mulai menekan musuh politiknya, menciptakan kegaduhan besar. Jiaming tidak terlalu mempedulikan hal-hal ini. Tepat sehari setelah keluarga Yuechi mengatur dokter wanita khusus untuk merawat Kaoru, yang perlu dilakukannya hanyalah membaca komik setiap hari dan berjalan-jalan saat bosan. Di bawah penggambaran semua orang, dia yang bisa tinggal di halaman Kaoru hampir menjadi figur legendaris. Hampir tidak ada yang berhak atau berani berbicara dengannya. Meski beberapa pemuda yang lebih muda dari Buntarou dan Kaoru melihatnya berwujud remaja, ragu-ragu tentang legenda, tapi akhirnya tak ada yang berani menyelidiki.
Bagaimanapun, meski tidak mengalami peristiwa saat dia MEMBUNUH Morikami Kura, mereka semua melihat kekuatan yang ditunjukkan Kaori kali ini. Kaoru masih hidup, katanya sangat menyukainya. Mereka tidak berani mengganggu putri sulung keluarga yang dikabarkan berkarakter blak-blakan dan tidak pernah memberi muka pada siapapun ini.
Justru Nona Nakamura yang dikirim untuk merawat Kaoru, sebelumnya adalah dokter keluarga Yuechi dan juga pernah merawatnya. Setelah beberapa hari bersama, ketakutan dan curiga terhadap pemuda yang seharian membaca komik—itu pun komik shoujo—pun memudar. Kini dia bisa mengobrol dengan Kaoru maupun Jiaming. Bagaimanapun, ketika menunjukkan niat baik, Jiaming memang terlihat seperti orang yang paling tak berbahaya.
Hanya bisa membaca komik shoujo setiap hari memang terasa mengecewakan. Komik-komik itu dibeli Kaoru empat tahun lalu. Karena tidak paham, saat ke toko buku meminta "komik bagus", sang bos langsung merekomendasikan setumpuk komik shoujo. Jiaming menghabiskan dua tiga hari menerima dengan pasrah, baru kemudian menemukan kartu peminjaman buku usang dari laci barang-barang Kaoru yang selalu berantakan, lalu pergi ke kompleks di sekitar keluarga Yuechi untuk menyewa buku baru.
Keluarga Yuechi selalu terbagi menjadi bagian dalam dan luar. Rumah tua di bagian dalam adalah inti, sementara kompleks di luar jauh lebih luas, dihuni oleh anggota keluarga yang tidak terlibat urusan internal, kerabat, atau pimpinan menengah-tinggi dari Pool Sakura. Kawasan permukiman modern ini memiliki toko-toko, supermarket sedang, minimarket, toko buku, bahkan jalan pedestrian kecil. Berbagai macam orang tinggal di sini. Kartu peminjaman buku untuk anggota lapisan dalam seperti Kaoru berlaku permanen. Setiap sore Jiaming pergi ke toko buku mengambil setumpuk buku, majalah, dll. untuk dibawa pulang. Pada hari kelima, saat masuk ke rumah tua, akhirnya terjadi pertemuan tak terduga dengan Tsukike Masazora dan Kiyokawa Heiji yang sedang berjalan menghampiri.
Faktanya mengenai karakter Jiaming, keluarga Yuechi saat ini masih sedikit bingung. Orang sehebat ini, mereka ingin mendekati, tapi takut ceroboh merusak segalanya. Lima hari lalu setelah dia tiba-tiba muncul menyelamatkan Kaoru, beberapa anggota keluarga Yuechi pernah menyampaikan keinginan bertemu melalui dokter yang membantu operasi dengan cara halus. Tapi saat itu Jiaming langsung menolak santai, seperti bercanda. Ekspresi dan balasan ini tidak resmi, tapi jika benar-benar mau bicara formal, mungkin kesempatannya hanya sekali. Beberapa hari ini melalui pemahaman dari dokter Nakamura, mereka merasa mungkin obrolan santai seperti pertemuan tidak sengaja ini akan terlihat lebih alami.
Maka, ketika Seiwa Heiji kembali ke keluarga Yuechi setelah beberapa hari, Tsukike Masazora pun memanfaatkan kesempatan. Saat ini, berjalan-jalan bersamanya sambil melihat-lihat, kemudian "kebetulan" bertemu Jiaming yang sedang berjalan sambil memegang majalah komik.
Sekelompok besar orang mendatangi, Jiaming yang sedang membalik-balik majalah mengangkat kepala, lalu dengan sadar minggir ke pinggir jalan. Tapi ketika Tsukike Masazura menyapa duluan, dia terpaksa menengok sambil tersenyum, berkata dalam bahasa Jepang: "Pak Yuechi, sudah makan belum?"
"Eh..." Terhadap salam ala Tiongkok ini Tsukike Masazura tentu paham, tertegun sejenak lalu tersenyum menjawab. Kemudian memperkenalkan Seiwa Heiji, menanyakan tentang Kaoru. Setelah beberapa kalimat kecil-kecilan, mungkin bisa memahami prestasi Jiaming tapi saat berhadapan langsung hati masih bingung. Seiwa Heiji juga tersenyum ikut dalam percakapan.
"Apakah Tuan Gu benar-benar orang Tiongkok?"
"Ya."
“Orang Tiongkok yang bisa bicara bahasa Jepang sefasih ini memang jarang terlihat.”
“Praktik MEMBUNUH di Jepang akan sangat membantu.”
“Uh... Hehe... Sōka sōka...” Kiyokawa Heiji tersenyum lebar, “Pak Gu sudah tinggal di sini cukup lama, tentu sangat memahami seluk-beluk lokal. Bagaimana perasaan dan pendapatmu tentang situasi di sini?”
“Ah, maksudmu tentang Jepang?”
“Hehe...”
“Pulau Diaoyu adalah milik Tiongkok, terima kasih.”
“……”
Suasana tiba-tiba membeku. Seorang pengawal di samping Kiyokawa Heiji nyaris berteriak "Bangsat!" sambil menggapai senjata, tapi tangannya langsung mati rasa terkena tekaan tangan Tsukike Masazora. Dalam cahaya senja, Kiyokawa Heiji dan Tsukike Masazora tertawa getir menanggapi. Jiaming menunduk membalik halaman komik, lalu mengangkat wajah dengan senyuman palsu. Suasana canggung itu diisi tawa konyol Tsukike Masazora dan kawan-kawan.
Tak lama kemudian, Jiaming berjalan melewati mereka sambil asyik membaca komik. Tsukike Masazora dan yang lain menyaksikan punggungnya menjauh, lalu berbalik menuju arah seberang.
Setiap kali linglung atau bertemu orang yang malas diajak berurusan, niat jahat Jiaming yang terpendam dalam hati akan diekspresikan secara terang-terangan. Pertanyaan Kiyokawa Heiji tentu berharap Jiaming memberikan beberapa petunjuk tentang masa depan Grup kepentingan Yuechi dan Kiyokawa. Namun setelah jawaban itu, mereka pun paham bahwa Jiaming sama sekali tidak berminat terlibat dalam hal-hal seperti ini. Jika membahas masalah Kaoru mungkin masih diberi muka, tapi untuk kerjasama kepentingan, kira-kira mustahil terwujud. Sebenarnya mereka patut bersyukur, orang yang diejek seperti ini oleh Jiaming justru biasanya tidak dianggapnya sebagai musuh.
Kerusakan parah butuh seratus hari penyembuhan, tapi ini ukuran waktu penyembuhan manusia biasa. Bagi Kaoru, sekarang ini telah bisa meninggalkan ranjang dan bergerak. Meski satu kaki dan satu tangan masih dipasangi gips, dengan kursi roda atau tongkat penyangga masih bisa bergerak cukup layak. Dalam beberapa hari ke depan, keluarga Yuechi yang bertahun-tahun jarang melihat Kaoru akhirnya bisa menyaksikan bayangannya sesekali muncul di gang-gang rumah tua.
Pada pagi hari, Jiaming sesekali keluar untuk menghirup udara segar. Bagi dirinya sekarang, pelatihan fisik murni sudah tidak memiliki banyak makna. Musim panas berkabut, perlindungan pemandangan alami di area keluarga Yuechi masih sangat baik. Kadang ia pergi ke puncak untuk melihat matahari terbit, kadang berjalan-jalan di jalan kecil keluarga Yuechi, kadang muncul di bangku panjang tepi lapangan, duduk menyaksikan anggota keluarga Yuechi yang sedang berlatih di tengah kabut pagi. Setiap kali seperti ini, kelompok orang itu selalu menjadi sangat tegang. Jiaming tidak mengkritik atau menilai kemampuan bertarung mereka, semua situasi bisa ia amati sekilas.
Terkadang ketika Kaoru melihat Jiaming pergi, ia juga mengikuti dengan kursi rodanya. Tanpa ditemani dokter Nakamura, ia mendorong roda perlahan dengan satu tangan menuju kantin. Memesan sarapan khas Tiongkok yang sudah dipesankan khusus - susu kedelai ah, kacang hijau tumbuk, roti kukus kecil - memeluk barang-barang itu dengan tangan yang digips, berkeliling jalanan pagi mencari tempat yang mungkin dikunjungi Jiaming. Jalanan tidak rata, kursi roda sesekali berbunyi creek-creek. Terkadang ditanya orang yang lewat, wajahnya tertempel beberapa tambalan tapi rupanya tetap memesona. Meski ekspresinya dingin dan masih jarang tersenyum, namun suara lembutnya yang kini lebih hangat dibanding sikap dingin sebelumnya membuat banyak orang yang sebelumnya tidak sempat berbicara dengannya menjadi gagap.
“Buntarou menggantikannya mendorong kursi roda pergi mencari Jiaming sekali, setelah ketemu, Kaoru mengucapkan terima kasih, Buntarou langsung berbalik pergi, kira-kira di hatinya, akhirnya menutup bab kisah cinta tak berbuah ini dengan titik.”
“Percakapan antara Kaoru dan Jiaming tidak banyak. Tinggal di bawah atap kecil yang sama, makan bersama, nonton TV, sore tadi Jiaming mendorongnya keluar jalan-jalan. Di depan Kaoru, Jiaming malas mencari topik membosankan untuk mempererat persahabatan, Kaoru juga bukan tipe yang cerewet. Apa yang Jiaming lakukan di Jepang, untuk tujuan apa, dia tidak mau ikut campur, melihatnya di samping saja sudah bahagia. Tentu saja, empat tahun ini masih membuat hatinya dipenuhi keraguan, ada kata-kata yang ingin diucapkan, tapi setiap kali berhadapan dengan Jiaming, selalu gagal terungkap.”
“Mas depan harus bagaimana ya...”
“Jangan berpikir macam-macam, aku juga suka padamu...”
“Memikirkan ini, memikirkan itu, kadang di malam hari sambil memeluk panda itu menghadap bintang-bintang atau bulan purnama di luar jendela, Kaoru juga mulai gamang memikirkan hal-hal yang tak pasti...”
“Sampai hari keempat belas Jiaming tiba di sini, sudah masuk bulan Agustus, Kaoru sudah bisa meninggalkan kursi roda mencoba berjalan. Malam ini setelah telepon dengan Lingjing dan Shasha, lalu menerima kabar dari komputer, Jiaming akhirnya bercerita pada Kaoru tentang tujuan sebenarnya dia tetap tinggal di Jepang.”
“Besok akan pergi, ke Hokkaido.”
“Eh, Guru... masih akan pulang?”
“Tidak akan kembali. Tujuan kedatangan kali ini ada dua, pertama urusanmu, kedua ingin menemui seseorang. Urusanmu sudah selesai, setelah bertemu dengannya, sudah saatnya untuk kembali……”
“Hmm……” Kaoru menundukkan kepala, matanya berkedip-kedip keras. Setelah beberapa saat, mungkin merasa reaksi ini terlalu tidak sopan, dia mengangkat kepala dan bertanya: “Guru ingin menemui siapa?” Siapa sangka dia sama sekali tidak tertarik dengan pertanyaan ini.
“Yoritomo Taku.”
“Hmm.”
Seolah mendengar nama yang tidak penting, Kaoru mengangguk dengan absen. Ruangan menjadi hening, Jiaming mengambil cangkir teh berisi jus di depannya dan menyesapnya. Beberapa saat kemudian, baru berbicara dengan santai: “Ada satu hal lagi.”
“Hmm……”
“Dulu kau ingin aku mengajarimu, ingin membuktikan diri di hadapan ayahmu. Sekarang mungkin sudah berhasil. Terhadap keluarga Yuechi, beberapa hari ini sepertinya kau tidak punya rasa memiliki. Heh, bahkan lebih asing daripadaku. Saat di Akademi Hati Kudus dulu penampilanmu lebih baik.
Kalau sudah begini, pergilah. Aku sudah berdiskusi dengan Lingjing dan yang lain. Nanti kami akan buka klinik bedah ortopedi. Lingjing suka main kecapi, Shasha bilang bisa membantu, tapi dia tidak punya mood, tidak bisa jadi perawat. Jika tidak punya tempat tujuan, nanti datanglah bantu kami. Gajinya tidak besar, tidak semenegangkan jadi pembunuh, tapi lebih stabil. Kau bisa pertimbangkan……”
“Hmm……”
Masih linglung.
Beberapa saat kemudian, Kaoru tiba-tiba mengangkat kepala. Pandangannya yang tertuju pada Jiaming sekarang sudah penuh air mata……
Malam itu, Jiaming meletakkan komik dan bersiap tidur sambil menghela napas halus: "Seperti ini... Sudah cukup kan... Lagi menghemat uang..."
## Bagian Empat Ratus Tujuh Puluh Tujuh Perpisahan
Keesokan pagi buta, mereka pergi dari keluarga Yuechi tanpa pamit pada siapapun.
Barang bawaan Kaoru tidak banyak. Sejujurnya, bagi yang sudah kehilangan rasa memiliki terhadap rumah ini, ia benar-benar bingung menentukan barang apa yang harus dibawa. Bangun sebelum fajar, di bawah cahaya lampu ia termangu menghadapi tumpukan barang, akhirnya Jiaming yang membantu memilih. Sebenarnya yang paling sulit diputuskan adalah dua boneka besar - satu panda besar asli, satunya lagi singa yang dibeli empat tahun silam, tak mungkin membawa sepenuhnya. Sedangkan barang-barang peninggalan ibunya, tak satupun ia bawa.
"Ibu... Pasti tetap berharap tinggal di sini kan..."
Maka ketika fajar tiba, mereka mengemas bungkusan yang tidak terlalu besar. Jiaming membantu mengangkatnya, sementara Kaoru menggendong boneka panda besar bertambalan di punggungnya, terlihat seperti gadis yang menggendong anak besar. Lengan kirinya terbungkus gips dengan coretan-coretan iseng, kaki kiri dibalut perban rapat dari lutut ke bawah, mengenakan gaun kuning muda. Penampilan yang agak ambigu ini membuatnya terlihat di antara gadis dan janda, bagai mahasiswi yang siap bepergian dengan bungkusan, atau istri muda yang pulang ke desa bersama suami. Setidaknya sosoknya yang tanpa beban menggendong boneka bertambalan ini benar-benar unik di antara teman sebaya.
Angin sejuk berhembus saat keluar pintu. Kabut pagi seperti kain kasa putih melayang di ufuk langit. Seluruh Rumah Tua Kolam Bulan terlihat sunyi, namun lampu-lampu yang menyala di rumah-rumah sekitar menunjukkan sebagian besar penghuni telah bangun dan mulai beraktivitas. Suara kicauan burung pagi samar-samar terdengar dari hutan, sosok-sosok manusia lalu lalang di tepi jalan.
"Jiaming menggendong dua tas, Kaoru membawa panda, berjalan beriringan di jalan yang sepi. Orang-orang di pinggir jalan ada yang menoleh atau berhenti memandangi mereka dengan tatapan penuh tanya, tapi akhirnya tak ada yang berani mendekat untuk bertanya. Saat meninggalkan pintu gerbang kediaman dalam, mereka berdiri sebentar memandang ke dalam. Bangunan klasik bergaya Jepang murni, hutan gunung kuno yang rimbun menutupi segala sesuatu, tembok pagar melingkari pinggang gunung membentang ke kedua sisi pandangan."
“Tempat yang cocok untuk menghindari panas musim panas... Apa tidak perlu pamit lagi dengan siapa pun?”
“Pagi tadi sudah pamit dengan Ibu.”
“Kesempatan untuk kembali ke sini mungkin tidak akan banyak lagi.”
“Tidak akan kembali.”
Kaoru menyunggingkan senyum murni. Jiaming mengulurkan tangan mengusap rambutnya, gadis itu mengkerutkan lehernya seperti anak kecil.
“Ayo pergi.” Jiaming menghela nafas lalu berjalan di depan, Kaoru mengikutinya.
Dua bayangan itu menjauh dari rumah kuno nan angker dalam terang pagi.
Pada saat ini, Tsukike Masazura mungkin sudah tahu kepergian putrinya, dan agaknya menyadari bahwa betapapun penderitaan dan ikatan batin yang pernah dirasakan gadis itu karena keluarga kolot ini, kini semuanya telah terputus sama sekali. Apapun yang mereka pikirkan tentang cara diam-diamnya kedua orang ini pergi tanpa pamit, tak ada yang berani melakukan intervensi, bahkan tak berani menampakkan diri untuk sekedar mengucap selamat jalan, demi mengharapkan bisa memanfaatkan hubungan ini di kemudian hari.
Mungkin kekuatan dalam kesunyian ini terlalu besar. Kesunyian dan perlawanan Kaoru sejak kecil, hingga adegan malam itu mandi darah dan menunggu kematian dengan tenang. Penampilan Jiaming yang terlihat lembut belakangan ini namun menolak semua orang, baik para tetua keluarga Yuechi, Yuechi Masazora, maupun Yuechi Tetsuya yang tidak terlalu rasional—semua bisa merasakan satu hal: jika mereka melakukan kebodohan seperti memperbaiki hubungan atau bernostalgia di saat seperti ini, pria yang empat tahun lalu bisa lolos dengan selamat setelah membunuh Morikami Kura ini mungkin akan seketika meledak, menembak kepala semua orang, memutus semua keterkaitan yang tidak perlu untuk Kaoru.
Mereka bertiga menunggu bus ke pusat kota Tokyo di pinggir jalan dekat rumah luar, kemudian beralih ke tak khusus dari pusat kota ke bandara. Meski boneka itu masih terlihat aneh, mereka terlihat seperti pasangan mahasiswa yang sedang berlibur. Kaoru memeluk panda erat-erat, matanya bersinar penuh keingintahuan sambil menatap pemandangan di luar jendela. Selama bertahun-tahun, sangat jarang ia punya waktu untuk menikmati pemandangan dengan santai seperti ini, bahkan selama di Jianghai dulu, tidak pernah ada perasaan seperti sekarang.
Membeli tiket pesawat, lalu mereka menunggu sebentar di kafe dekat bandara. Lepas jam sepuluh naik pesawat, sekitar satu jam lebih tiba di Bandara New Chitose dekat Sapporo. Kemudian makan siang di pusat kota Sapporo.
Itinerary basically ditentukan Jiaming, Kaoru juga tidak bertanya apa-apa. Setelah makan siang mulai naik mobil lagi, beberapa kali transit, dari Sapporo naik trem ke Otaru, lalu pindah ke kota terdekat. Seluruh sore dihabiskan dengan terus berpindah kendaraan. Pemandangan Hokkaido memesona, tapi ladang lavender yang termasyhur sudah mulai lewat musim puncak di akhir Juli. Meski tak bisa melihat hamparan bunga luas membentang ke langit yang megah, pemandangan yang terlihat tetap cukup memikat. Kaoru meski sudah tahu tentang hal-hal ini, baru pertama kali melihat langsung. Sesekali Jiaming memberi penjelasan singkat. Saat trem atau mobil melintasi hamparan bunga dan hutan, ia bersandar di jendela sambil memandang. Di waktu ini, suhu Hokkaido mulai turun. Jiaming mengambil jaket dari tas dan menyelimutkannya.
Otaru adalah salah satu kota wisata paling terkenal di Hokkaido. Bangunan megah bergaya Eropa, kanal, dan pelabuhan memiliki keindahan unik. Mereka tinggal sekitar sejam lebih di sini. Jiaming memilih beberapa souvenir lavender untuk dibawa pulang ke Lingjing dan Shasha, baru kemudian naik bus lagi. Saat itu sudah lewat empat sore, pantulan keemasan matahari sore di permukaan laut. Bus berkelok di jalan antara laut dan ladang lavender yang bergelombang.
Meski sudah berusaha menjaga profil rendah, tapi di dalam bus tetap mendapat ajakan ngobrol. Itu adalah sepasang kekasih yang duduk di sebelah bus, tampaknya juga mahasiswa yang sedang liburan. Karena sempat berbincang sebentar, sejak itu si baron sesekali mengajak Jiaming ngobrol. Meski yang banyak menjawab adalah Jiaming, tapi bisa dilihat target orang itu sebenarnya adalah Kaoru yang memakai mantel, menggendong panda besar, duduk di sebelah Jiaming. Meski tubuhnya diperban gips seperti pasien, Kaoru tetap jauh lebih imut dibanding pacar si baron ini. Perempuan itu menyelidiki tujuan pacarnya, dalam percakapan mulai terdengar sarkasme, obrolan ini akhirnya berakhir dengan suasana sesak.
Saat bus tiba di garis finis, langit baru saja gelap. Itu adalah kota kecil tepi pantai yang tidak terlalu besar, dalam cahaya lampu yang hangat, tampak indah dan sunyi. Turun dari mobil, angin laut yang asin sepoi-sepoi berhembus, suara deburan ombak samar-samar terdengar. Jiaming menginjak-injak lantai, membuka tangannya lebar-lebar: "Kita sampai."
"Guru datang ke sini untuk......"
"Buat perpisahan." Jiaming tersenyum, "Cari tempat menginap dulu, mandi baru bicara."
Mereka menemukan penginapan di tepi jalanan yang tidak jauh. Setiga membersihkan debu perjalanan, keduanya berganti pakaian santai dan mulai menyusuri jalanan mencari lokasi tujuan. Kota kecil ini tidak luas. Lebih dari sepuluh menit kemudian, sebuah kedai mi tarik kecil di lereng bukit muncul di depan mata mereka. Papan namanya bertuliskan "Mi Seafood Nelayan", meski dekorasinya terkesan kasual. Toko di kota kecil semacam ini basically mirip warung tenda di Tiongkok, tempat orang minum baijiu dan bersantai di malam hari. Saat Jiaming mengonfirmasi kedai mi tersebut, tubuh Kaoru baru mulai menegang, tangannya gemetar halus karena gugup. Nama yang kemarin disebut Jiaming secara random mulai muncul di hatinya.
Yoritomo Taku! Bagaimanapun keyakinan Jiaming padanya, nama ini di Dunia Kegelapan sama sekali bukan lawan yang bisa diremehkan. Melihat Kaoru tiba-tiba menyesuaikan postur tempurnya, Jiaming justru tersenyum: "Santai saja, tidak apa-apa. Fokus makan mi saja."
Mereka mendorong pintu masuk. Di bawah cahaya lampu kuning yang hangat, terlihat sebuah toko kecil yang tidak terlalu besar, namun jelas terlihat sang pemilik sangat memperhatikan tata letaknya. Pelanggan tidak banyak, hanya sekitar lima-enam orang yang tampak seperti pelanggan tetap. Yang melayani di depan adalah nyonya pemilik berusia sekitar 30-an, tidak cantik namun memiliki senyum hangat yang bisa membuat siapa pun merasa bahagia. Dari dapur terdengar suara aktivitas memasak yang sibuk.
Jiaming dan Kaoru duduk terpisah di meja berbeda, mengamati tata letak dalam toko. Kaoru memesan semangkok mi tarik yang tidak berpengaruh pada lukanya, Jiaming juga memesan beberapa hidangan. Nyonya pemilik penginapan pergi ke dapur, tak lama kemudian mi Kaoru datang lebih dulu. Dengan anggukan persetujuan Jiaming, dia mencicipi sesuap. Meski biasanya tidak rewel soal makanan, kali ini bisa dirasakan bahwa rasa mi itu sangat enak. Meski ringan, tapi kenyal, memberikan kesan vitalitas yang penuh, bahkan dibandingkan keahlian banyak koki ternama, sama sekali tidak kalah.
Pesanan minuman dan makanan Jiaming segera menyusul datang. Empat lima jenis hidangan, tidak memakan waktu lama. Saat hidangan terakhir datang, tirai pintu dapur terbuka. Seorang pria paruh baya mengenakan celemek membawa piring keluar. Ketika beberapa orang yang tampak mengenalnya menyapa, Kaoru tak kuasa memandang ke arahnya.
Itu adalah pria paruh baya yang terlihat seperti nelayan - meski konsep "terlihat seperti nelayan" ini agak kabur, tapi sangat pas untuk pria di depan mata ini. Posturnya kekar dan kuat, senyumnya penuh sinar matahari dan kesehatan, vitalitas memancar, membawa aura pedesaan yang kuat namun tidak menyakiti. Sekilas pandang saja langsung mengingatkan pada nelayan yang bertarung melawan ombak - selalu ada sebagian orang di dunia yang memberi kesan langsung: dia mungkin sopir, mungkin pekerja, mungkin pengacara, dan sebagainya. Dan di sini, yang ada adalah nelayan.
Tapi dialah Sang Raja Pembunuh - Yoritomo Taku.
Di bawah cahaya lampu kuning hangat, dia duduk di depan Jiaming.
"Sudah bertahun-tahun, aku selalu ingin melihat... seperti apa sebenarnya kedai ini..."
Dalam waktu berikutnya, Kaoru terus menatap tegang ke arah dua orang di meja tak jauh, namun hingga akhir mereka tidak berkelahi, hanya minum baijiu dan mengobrol layaknya teman, entah apa yang mereka bicarakan. Satu setengah jam kemudian, percakapan ini berakhir. Jiaming membawanya pergi dari kedai mi kecil itu.
Saat berjalan di jalan, Jiaming terlihat lebih sunyi. Keheningan ini berbeda dari biasanya, malah mirip dengan kesunyian empat tahun lalu, membuat Kaoru merasa khawatir, tapi ada sesuatu yang berbeda di dalamnya. Mereka duduk sebentar di tepi pantai, Jiaming hanya berkata lembut satu kalimat.
"Orang itu... lebih hebat dalam segala hal dibandingku..."
Seolah dia benar-benar melepas sesuatu, tapi hal konkretnya tidak diketahui Kaoru. Bertahun-tahun setelahnya, Jiaming tak pernah menceritakan hubungannya dengan Yoritomo Taku. Nama Yoritomo Taku pun akhirnya menghilang dari pandangan semua orang. Meski sempat ada yang menyebut-nyebut, tak ada lagi kabar konkret tentangnya. Ini kisah lanjutan.
Keesokan harinya, Jiaming menghubungi Lingjing melalui telepon, kemudian mengantar Kaoru ke bandara dari Sapporo untuk terbang ke Jianghai. Pada sore harinya, ia naik pesawat menuju markas besar Dark Celeste di Venesia. Tujuh jam kemudian, Takamagahara secara resmi meminta bantuan kepada Dark Celeste. Mereka juga membocorkan sebuah informasi. Sejak Tenmasa Masaoka kehilangan kontak dengan Ryuudou Yui di Roma dua minggu lalu, Takamagahara telah mengirimkan empat belas pengguna kekuatan supernatural untuk menyelidiki, namun semuanya kini telah menghilang. Ini menunjukkan bahwa kekuatan yang telah dikerahkan oleh suatu kelompok di Eropa telah berkembang hingga mencapai tingkat yang sangat mengerikan...
## Bagian Empat Ratus Tujuh Puluh Delapan bitch
Pagi hari di bandara Sapporo mengantar Kaoru naik penerbangan ke Jianghai, makan sedikit di restoran dekat sana. Masih ada waktu sebelum jadwal penerbangannya, Jiaming duduk di aula bandara membaca koran. Siang yang tenang dengan langit cerah dan angin sepoi-sepoi, mengingatkannya pada cuaca serupa bertahun-tahun lalu saat pertama kali bertemu dengan partner Yoritomo Taku di sebuah plaza.
"Pertemuan pertama, mari saling memperhatikan."
"Saling memperhatikan."
Saat itu tak lama setelah Da Nei Zhangdu tewas, ia baru kembali dari Eropa. Sungguh kenangan yang sangat biasa.
"Nah, kadang juga ingin berhenti..."
Bertahun kemudian, di sebuah bandara lain, orang itu mengeluarkan keluhan santai. Saat itu mereka baru saja menyelesaikan misi memburu pembunuh yang membelot dari Pei Luo Jia.
"Kalau berhenti mau kemana?" Jiaming menunduk membaca koran, menjawab sekenanya.
"Mencari tempat menjadi manusia biasa juga tidak buruk."
"Akan ada balasan."
"Hmm?"
“Orang itu baru saja pergi, kita BUNUH dia. Kalau kita pergi, pasti ada orang lain yang melakukan hal sama. Inilah sebab-akibat.”
“…Logika yang masuk akal.”
Yoritomo Taku mengangguk. Mereka berdua membaca koran, minum kopi, menunggu pesawat pulang.
“Jika AKU MATI, ada wanita yang kusuka… di Hokkaido…”
Bertahun-tahun kemudian dalam situasi sulit, Jiaming menatapnya, lalu mengangguk.
“Dulu ingin pergi karena ini?”
“Sebagian iya.”
“Bersama saja. Meski jadi manusia biasa… tiap hari tetap kerja, ada hal-hal yang harus dilakukan. Apa bedanya dengan sesekali MEMBUNUH… Justru kita lebih bebas menurutku...”
“Mudah begitu? Kebebasan… orang seperti kita… Kalau kau bermasalah, harus kubantu apa?”
“Kalau AKU MATI...”
Ia merenung, tapi tak ada siapa pun yang perlu diberi tahu. Baiklah. Dalam hujan peluru, dia berlari maju.
“Kalau AKU MATI, tolong habisi si Tak terhitung dewa-dewa itu. Sudah lama tak suka padanya.”
Pada akhirnya, hanya harapan receh seperti ini yang terpikir.
Dalam kehidupan itu, itu adalah rekan yang paling lama bekerja sama dengannya. Setelahnya, dia pergi menemui wanita itu, melihatnya menikahi pria lain, menyaksikan penderitaan dan kelemahan Yoritomo Taku, serta kekuatan yang muncul kemudian. Banyak hal tak bisa dipahami. Terkadang dia juga berpikir, mungkin kehidupan orang itu lebih bernilai daripada dirinya. Namun setelah kematian Yoritomo Taku, dia mengatakan segalanya kepada wanita itu tentang Tipu Daya kata itu. Barulah seperti benih yang terlalu lama tertanam, akhirnya mulai bertunas di hatinya.
Lampu kuning dan putih, neon merah dan hijau, jalanan pagi buta dan senja, kota yang ramah namun dingin, bukit, padang rumput, gurun, lautan, hutan, hujan deras, sinar matahari dan kabut putih susu, berbagai jenis manusia, sepotong kehidupan. Saat direnungkan, kau akan sadar bahwa dunia ini seakan memasukkan berbagai konsep dan pemikiran ke dalam pikiranmu secara bertahap. Namun hingga awal regenerasi, fondasi dingin kehidupan sebelumnya yang terlalu kokoh masih mendominasi segalanya dalam hidupnya. Satu-satunya yang bisa membuatnya lembut hanyalah Tipu Daya dalam hatinya itu.
Orang-orang itu... untuk hal apa sebenarnya mereka hidup...
Setelah mengalami terlalu banyak hal, barulah dia perlahan memahami semua ini. Setelah 12 tahun kehidupan, akhirnya memperoleh beban yang cukup untuk mengganti seluruh masa lalunya, barulah dia berpikir mungkin harus menemui orang itu. Maka terjadilah perjalanan ini, kembali berhadapan dengan orang itu, mengayunkan tangan untuk berpamitan dari identitas masa lalunya.
Dia membalik halaman koran. Di aula bandara yang terang, seorang wanita tinggi semampai dengan koper melewatinya, suara sepatu hak tingginya yang menginjak lantai menciptakan irama yang menyegarkan hati.
Empat tahun telah membuatnya melewatkan banyak hal. Kini dia hanya bisa membaca berita untuk mengisi kekosongan pengetahuannya tentang dunia. Halaman hiburan biasanya tak dia baca, tapi hari ini setelah membalik halaman, dia kembali lagi. Dengan alis berkerut, dia membaca wawancara seorang penyanyi remaja Eropa-Amerika yang sedang populer di sana. Foto penyanyi itu terpampang, dan dia menatapnya selama setengah menit sebelum teleponnya berdering.
Telepon itu dari Lingjing dan Shasha di Jianghai. Mereka telah menjemput Kaoru yang baru turun pesawat. Melihat kondisi Kaoru yang terluka, mereka tak bisa menahan diri untuk menyalahkannya. "Dikirim untuk membantu, tapi malah pulang dengan luka seperti ini. Jelas-jelas kemampuanmu menurun drastis dibanding dulu." Jiaming hanya bisa tersenyum getir menanggapi.
Sambil terus berbicara di telepon, pandangan Jiaming melayang ke luar bandara. Di satu sisi plaza, sekelompok orang dengan spanduk dan ikat kepala sedang berorasi dengan penuh semangat - mereka adalah anggota sayap kanan yang menuntut revisi buku pelajaran. Meski lalu lintas bandara tidak terlalu ramai, beberapa warga Jepang berkerumun menyaksikan. Di sudut pandang Jiaming, terlihat seorang pemuda berbaju kasual biru-putih dengan tas ransel besar sedang bersembunyi di balik taman bunga, persis di blind spot kerumunan orang itu. Penampilannya benar-benar mencurigakan.
Dia hanya sekadar melirik, menyadari orang ini murni karena kebiasaan, memiliki sensitivitas terhadap area blind spot. Saat menoleh untuk menerima telepon belum sampai beberapa detik, sebuah batu tiba-tiba melesat dalam jarak pandangnya.
Terdengar jeritan "Aaaaa", sang orator di podium darurat tertembak peluru di dahi, darah menyembur, lalu terjatuh ke belakang. Dalam sekejap, suasana menjadi kacau balau. Bayangan pemuda di belakang taman bunga musnah seketika. Sekelompok sayap kanan yang menyerang tampaknya gagal menangkap pelaku pembunuh pada kesempatan pertama.
Kaum sayap kanan fanatik ini memiliki koneksi dengan Jalan Hitam Jepang. Sambil panik mengantar korban yang kepalanya terluka ke rumah sakit, mereka mengeluarkan pedang bambu dari tas dan mulai mencari karakter mencurigakan di sekitar plaza. Jiaming melirik ke arah plaza. Pemuda itu kini muncul dengan sombong di kerumunan yang memasuki plaza, wajah polos menuju aula keberangkatan sambil memegang kamera digital. Diam-diam ia memotret ekspresi dewa penjagal dari kelompok sayap kanan tersebut.
Menyaksikan seluruh peristiwa, Jiaming tak kuasa tersenyum. Setelah berbincang sebentar dengan Lingjing, pemuda itu memasuki aula. Saat melewati Jiaming yang sedang menghubungi telepon, tiba-tiba ia berhenti. Beberapa saat kemudian, membentuk bibir: "Orang Tiongkok?"
Jiaming mengangguk, si pemuda itu berbisik kecil: "Aku juga." Kemudian duduk di kursi di depan Jiaming, memeluk tas perjalanannya, menatap dengan penuh semangat keributan para anggota sayap kanan di luar. Batu yang dilempar tadi tepat mengenai dahinya, darah menggenang di tanah. Hal ini bisa dianggap sepele atau serius. Mereka yang memegang pedang bambu ini, dipenuhi kemarahan karena kawan mereka dipukul, tentu juga menganggap diri mereka patriotik yang teguh. Saat ini di plaza, mereka menghentikan setiap orang sambil menanyakan apakah mereka orang Tiongkok, memaksa mereka berbicara bahasa Jepang baru mau menghentikan tekanan. Sebenarnya ada polisi di plaza, tapi menghadapi kelompok fanatik dengan aura mengintimidasi ini, untuk sementara mereka juga tak punya cara.
Beberapa menit kemudian, sepertinya beberapa orang melaporkan sesuatu kepada pemimpin kelompok. Seketika, seluruh kelompok bergerak serempak menuju aula keberangkatan bandara. Beberapa satpam di gerbang segera menghadang. Sebagian meminta pihak bandara menunjukan rekaman CCTV tadi, sementara mayoritas lainnya memanfaatkan jumlah satpam yang sedikit untuk langsung terlempar masuk ke aula.
Di waktu yang sama, Jiaming juga mengakhiri panggilan dengan Lingjing. Si pemuda di seberang tersenyum dan mengulurkan tangan: "Halo, namaku Xie Baoshu." Ia menyebut nama kota kecil di selatan Tiongkok. Jiaming pun tersenyum sambil menjabat tangannya: "Gu Jiaming, dari Jianghai."
Xie Baoshu menatap keributan di satu sisi aula, tersenyum polos: "Mereka ngapain ya?" Jiaming dalam hati tertawa. Usia mereka sebenarnya hampir sama, hanya saja Jiaming memiliki aura yang lebih tenang, sementara Xie Baoshu masih membawa keceriaan masa muda khas remaja, meski ekspresinya saat mengerjai atau menjebak orang sama persis dengan Jiaming. Kali ini dia juga berpura-pura tidak tahu apa-apa: "Kelompok sayap kanan yang ingin memodifikasi buku pelajaran, dilempari barang."
"Wah... nasibmu."
Tuntutan mereka untuk melihat rekaman CCTV jelas tidak bisa dipenuhi dalam waktu singkat. Bahkan jika dapat, area di belakang taman bunga itu kebetulan merupakan blind spot kamera - entah Xie Baoshu benar-benar beruntung atau sudah tahu dari awal. Sementara sekelompok besar pria bersenjatakan pedang bambu berteriak-teriak di aula menanyakan kewarganegaraan orang, pihak bandara meski telah mengerahkan satpam dengan cepat tetap tak bisa mengatasi segalanya dalam beberapa menit. Jiaming dan Xie Baoshu menyaksikan ini semua ketika dua pria bersenjata pedang bambu mendekat.
"Hei, kalian orang Tiongkok? Bicara!"
Xie Baoshu mengedipkan mata, memiringkan kepala: "Eh, kamu paham apa yang mereka omongin?"
"Nanya apakah kita orang Jepang, suruh ngomong sesuatu buat buktiin." Kemudian berbalik dan berkata dalam bahasa Jepang: "Saya orang Tiongkok, ada perlu apa?" Di sebelah, Xie Baoshu mengangguk paham.
“Err... Moshi-moshi, yada, watashi naga kono nanika fukuzatsu na... Ketsu, igui-gui, hanayome yoshi-yoshi... Oh, masih ada baka...”
Tak jauh dari sana, beberapa satpam juga berlari ke arah ini. Keduanya sebelumnya telah berkomunikasi dalam bahasa Mandarin. Begitu rangkaian bahasa Jepang yang kacau ini diucapkan, anggota sayap kanan itu tak bisa menahan amarah. Dengan teriakan "Bangsat!", ia mengangkat pisau dan hendak menyerang. Xie Baoshu mengangkat kamera dan menekan tombol rana, lalu berbalik untuk kabur. Sesaat kemudian, pria itu ditendang jauh oleh Jiaming.
Gemparan kecil ini tidak banyak menghambat perjalanan. Jiaming masih menahan kekuatannya. Bagi pihak bandara, prioritas utama adalah menekan para pengacau. Jiaming berbincang lagi dengan Xie Baoshu. Pemuda ini tampak polos, bahkan karakternya masih mengandung unsur kenaifan. Dia menggunakan jadwal penerbangan berikutnya setelah Jiaming, sama-sama menuju Eropa. Hanya saja Jiaming pergi ke Venesia, sedangkan dia akan transit di tengah jalan menuju Albania.
Hanya sekadar pertemuan kebetulan yang singkat, tak perlu dipikirkan. Lebih dari 10 menit kemudian, Jiaming naik pesawat. Sekitar delapan jam kemudian, pesawat tiba di Venesia. Karena kekuatan ajaib zona waktu, di sana masih nanti sore.
"Baru keluar bandara, sudah ada yang menjemputnya. Fakta ini diinformasikan oleh sebutir peluru sniper armor-piercing jarak ultra. Di siang yang cerah, peluru itu melesat melintasi langit Kota Air, nyaris menghindari Jiaming sebelum menghancurkan kaca mobil Cadillac di parkiran belakang. Daya hancurnya yang dahsyat memecahkan kaca depan-belakang menjadi serpihan salju yang memenuhi langit."
"Jiaming menatap ke belakang selama dua detik, mengedipkan matanya dengan ekspresi lesu. Tak lama teleponnya berdering, ia menekan tombol penerimaan: 'Halo.'"
"'Lama tak berjumpa. Kau ternyata belum MATI, malah semakin ganteng.'"
"'Semua bilang begitu... Hari ini baru dari Jepang. Saat mau naik pesawat, ada anak kecil menghadangku: Kakak ganteng banget. Langsung kuberi tamparan...'"
"'Ada apa?'"
"'Omong kosong sialan!'"
"'Hehe... Leluconmu semakin menjengkelkan...'"
"'Kalau tak suka ini... Bisa didiskusikan... Ada hal yang tak kusangka juga, tak perlu marah-marah...'"
"'Bisa bertahan hidup dulu baru bicara.'"
"Jiaming masih ingin berbicara, tapi di sisi lain terdengar suara 'dut' saat panggilan diputus. Dengan kekecewaan ia menatap teleponnya, menghela nafas. Di depan jalan, beberapa mobil sport berkecepatan tinggi sudah keluar jalur, dengan deru menggelegar menubruk ke arahnya..."
"'bitch（Bajingan）...'"
## Bagian Empat Ratus Tujuh Puluh Sembilan Jalan Santai di Kota Air
Matahari sore yang kemerahan memantulkan cahaya senja di permukaan air, mutiara Adriatik pun tenggelam dalam lautan jingga yang megah. Kota air Venesia memiliki 118 pulau kecil, lebih dari 170 jalur air, dan lebih dari 400 jembatan. Saat ini terpancar aura ketenangan yang anggun. Orang-orang berjalan di jalanan yang terhubung jembatan, kapal-kapal melintas di kanal kota. Yang paling dominan adalah gondola hitam, para gondolier mengemudikan perahu kecil dengan stabil dan lincah di bawah sinar matahari sore.
Secara keseluruhan, sore hari di kota ini tidak sesunyi yang terlihat. Misalnya, beberapa orang beruntung menyaksikan serangkaian "kejadian tak terduga". Seperti orang yang tiba-tiba ambruk di jalan, kapal terbalik di kanal terpencil, atau perkelahian kecil yang berakhir dengan banyak orang tak sadarkan diri. Sebuah jembatan kecil bermasalah dan runtuh, beberapa orang terjatuh ke air - serangkaian insiden sporadis ini tentu tidak diketahui secara utuh oleh kebanyakan orang. Polisi telah beberapa kali melakukan operasi, menyusuri kanal dengan speedboat sambil mengeluh. Di langit, helikopter dengan lambang kelompok berpengaruh lokal terus berputar-putar.
Di tempat yang tak terjangkau pandangan orang, kerusakan mungkin terjadi lebih parah. Saat helikopter patroli melintas, seorang wanita yang berdiri di atap bangunan bergaya Baroque menurunkan teleskop kecil di tangannya. Ia mengulurkan tangan dan menekan tombol kecil di headset: "Posisi 7 tidak terdeteksi."
“Dia pasti datang ke arah sini.” Jawaban berasal dari pengamatan di helikopter.
“Kalau kalian bisa menemukannya itu aneh…” Wanita itu menggelengkan kepala, “Bagaimana kabar Nathan dan yang lain?”
“Sudah tumbang, tujuh orang ditangani di atap gedung dua kilometer dari sini…”
“Sepertinya situasi Morris juga tidak optimis.”
“Mereka berencana mencegatnya di kerumunan orang, hasilnya dua dilempar ke laut, satu dilempar ke tong sampah.”
“Bukannya ada sniper yang membantu?”
“Tidak bisa menemukan sudut tembak, orang itu terus memanfaatkan benda-benda di sekitarnya sebagai perlindungan, dia terlihat seperti sedang berada di rumah sendiri.”
“Dia benar-benar sedang mempermainkan kita. Jika kau pernah ke Tiongkok waktu itu, harusnya kau paham, orang ini lebih kuat dari kita semua gabungan. Aku merasa sama sekali tidak aman…”
Helikopter telah menjauh. Baru saja ucapannya selesai, ledakan tiba-tiba terdengar dari saluran air di belakang. Saat menoleh cepat, sesosok bayangan muncul di sisi atap gedung, jarak antara kedua pihak tiba-tiba menyusut. Tak sempat menarik senjata, kedua tangannya tiba-tiba menggenggam di samping tubuh, hembusan angin tak kasat mata menembus langit. Bayangan itu mengayunkan tangan dengan santai, sesaat kemudian sudah berada di hadapannya.
Udara meledak di sisi udara setengah kosong, sebuah tangan menekan jantungnya, mendorongnya terbang melayang. Rambut menari-nari, tangan lain menyambar headset dari telinganya.
“Aaaaa…”
“Lengan tiba-tiba ditarik kencang, gerakan jatuh langsung terhenti. Sinar matahari sore menyinari, angin laut berhembus, Jiaming berdiri di pagar sementara tepi lantai atas, tubuhnya sedikit membungkuk sambil menggenggam pergelangan tangan kiri wanita itu. Posisi ini membuat seluruh tubuhnya limbung di udara. Melihat ke bawah, ketinggiannya sekitar empat lima lapisan gedung, pakaian mereka berdua berkibar-kibar ditiup angin.”
“Dia adalah salah satu anggota tim yang pernah ke Jianghai sebelumnya, kami juga sempat bertemu muka. Saat ini Jiaming memasang earphone sambil tersenyum padanya. Sang wanita juga mengangkat tangan satunya dengan kekecewaan: ‘Aku menyerah.’”
“Hmm.”
“Pada saat berikutnya, dia hanya merasakan tubuhnya menjadi ringan, lalu seluruh diri ini terlempar. Beberapa detik kemudian, terdengar suara byur saat menghantam lautan di bawah. Ketika muncul kembali ke permukaan, Jiaming terlihat berjongkok di pagar sambil mengayunkan tangan, lalu berbalik pergi.”
“FUCK！”
“Kedua tangan menghantam permukaan air dengan keras, dia mulai berenang menuju tepian. Di sisi lain, Jiaming melihat helikopter yang kembali terbang cepat dari kejauhan, menghela nafas: ‘Halo, aku mencari Kelly.’”
“Sebentar kemudian, suara wanita lain terdengar: ‘Oh Jiaming, kau sudah sampai? Kelly tidak ada di rumah.’”
“……”
“‘Eh, aku Natalia, tak kau kenali? Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi siang tadi, tunggu... Bicara dong.’ Sepertinya sedang sibuk dengan sesuatu, Jiaming merasa mulai tak berdaya.”
“‘Tolong, kalau begini terus aku akan menghancurkan Venesia...’”
“Tidak apa, suka hancurin ya hancurin aja. Pihak balai kota sedang berencana melakukan penyesuaian, biar kota punya wajah baru... Oh, Kelly lagi menghadiri jamuan, nanti kau datang ya, kita cari dia bareng, alamatku... Udah dulu, dadah...”
“Kasih ibu kau... kue makan lah...”
Belasan detik kemudian, helikopter berputar-putar di udara sekitar sini, perlahan menurunkan ketinggian. Di bawah, seorang wanita sedang merangkak keluar dari air, dia menengadah, orang di dalam helikopter sedang memperhatikan jendela bangunan di samping, lalu berteriak padanya: "Dia lari ke arah mana!"
“Sial, mana aku tahu——”
Teriakannya belum selesai, jendela empat lapisan gedung yang tepat di atas helikopter Braak! pecah berkeping, kaca beterbangan membentuk debu kristal yang memenuhi langit, sesosok bayangan seperti peluru meriam menerjang helikopter yang melayang lima enam meter di depan.
Pesawat itu bergoyang sebentar, wanita di bawah menutupi kepalanya dengan kedua tangan, pecahan jendela dan kaca Blek berhamburan jatuh. Kemudian, dua sosok manusia melompat turun dari pesawat secara berurutan, tanpa perlawanan, sepertinya sudah sepakat dengan Perjanjian persahabatan, Byur Byur dua kali jatuh ke air.
Dua kawan mereka muncul dari dalam air, menatap helikopter yang mulai berbelok menjauh—seharusnya milik mereka: “Dia ini masih manusia bukan sih?”
“Mana aku tahu!” Pesawat menghilang di sisi lain saluran air, wanita itu mengibaskan tangan sambil melompat-lompat di tempat, pakaian basahnya memercikkan genangan air ke mana-mana, lalu dengan kesal berbalik badan pergi.
Helikopter terbang melintasi permukaan laut yang berkilauan keemasan, menuju ke sisi lain kota. Pada momen ini, menikmati pemandangan laut dari ketinggian merupakan kesenangan tersendiri. Kapal-kapal berlalu-lalang di atas air, pejalan kaki yang hilir-mudik dari jarak dekat hingga jauh, kanal besar, plaza, gereja, rumah mewah, menara jam, dan istana.
Lokasi tujuan adalah sebuah bangunan mewah di atas air—villa bergaya Eropa megah dengan plaza kecil bergaya taman untuk menikmati pemandangan di sisi yang menghadap laut. Di kota ini, posisinya terbilang tinggi, hampir memonopoli sebuah pulau kecil yang mencuat dari permukaan laut. Area ini bukan kawasan tersibuk kota. Dari atas terlihat, di bawah sinar matahari sore, plaza kecil dipenuhi merpati putih. Seorang wanita berbaju gaun malam panjang putih duduk di bangku taman, mengulurkan tangan memberi makan burung-burung itu. Saat helikopter mendekat, dia menengadah ke atas, lalu berdiri sambil melambai-lambaikan tangan dengan senyuman, berputar-putar seperti menari selangkah ke depan.
Kawanan merpati putih yang terganggu terbang membubung ke langit. Tubuh wanita itu berkumpul dan melayang seperti bulu-bulu yang diterbangkan angin.
Seperti tarian yang ringan, atau terhanyut aliran udara yang diciptakan kawanan merpati, dia menarik ujung gaun dengan satu tangan, menginjak punggung seekor merpati putih, lalu berputar dengan anggun ke punggung yang lain, kemudian terbang ke tempat yang lebih tinggi. Seekor demi seekor merpati putih menopangnya, tubuhnya terus melesat ke helikopter di langit dalam gerak-gerik bak menari. Akhirnya, aliran udara helikopter pun memengaruhi penerbangan merpati-merpati itu. Kedua tangannya mengibas, akhirnya melesat bagai anak panah meluncur ke langit, tangan kanan bersarung tangan putih mencengkeram roda pendaratan pesawat, sebuah kebangkitan, lalu masuk ke dalam helikopter, ujung gaun yang berkibar memperlihatkan kaki ramping nan anggun dengan sepatu hak tinggi kristal.
Kawanan merpati berhamburan di atas Venesia, dia mengayunkan tangan dari udara: "Terima kasih."
Kemampuan setelah kesadaran diri kedua sudah cukup baginya melakukan banyak hal sulit dipercaya. Pertempuran terakhir di Jianghai pasti membuatnya semakin meningkat. Ini mungkin cara bermain barunya. Jiaming tersenyum: "Sayang tidak bawa kamera, pasti akan merekam gambaran tadi."
"Membuat diri tidak menggunakan tenaga justru lebih sulit daripada menggunakannya. Tadi hampir terkilir kakiku." Duduk di sana, dia mengusap pergelangan kaki dengan lembut, menampakkan senyum, mengangguk seakan menekankan, "Ayo kita cari Kelly... Sudah kubilang datang ke sini berarti MATI, jangan kira kau bisa kabur, ini belum berakhir!"
Dari sudut pandang tertentu, Natalia mungkin bisa dianggap sebagai manusia spesial dengan kepribadian ganda. Penampilannya saat bersantai, bertempur, dan bekerja sangat berbeda-beda, bahkan perbedaan ini lebih mencolok dibandingkan Kelly. Bagaimanapun juga, saat ini dia berada dalam kondisi yang paling mudah diajak bergaul. Dengan suara lembut bersenandung sambil tersenyum layaknya gadis biasa, namun aura itu berubah menjadi dingin begitu tiba di atas villa tujuan mereka. Jiaming menoleh ke belakang: "Apa kau sebelumnya sudah memberi tahu mereka tentang kedatanganmu?" Ini adalah kediaman seorang pengusaha kaya berpengaruh di Venesia, namun dibandingkan Natalia, perbedaannya tetap kayak langit dan bumi.
"Melihat kehadiranku, mereka pasti sangat senang."
"Tidak takut mereka kebingungan..."
"Nanti saat masuk, maukah kau menggandengku?"
"Dengan pakaian seperti ini?"
Natalia mengenakan gaun malam putih yang elegan, sementara pakaian kasual Jiaming yang sudah setengah hari terkoyak kini tampak kotor dan robek di dua tempat. Tentu saja tidak mungkin berganti sekarang. Dengan kekecewaan yang manis, Natalia mengangkat bahu: "Jika tidak menggandengku, mereka akan mengiraimu sopir yang tidak kompeten. Khawatir kau bahkan tidak bisa masuk... Lagipula Kelly adalah saudariku, dan aku juga cantik. Kau tidak rugi kok..."
"Begitulah, setelah beberapa saat, pesawat mendarat di landasan pacu villa. Saat Jiaming dan Natalia berjalan berpelukan menuju pintu gerbang villa, satu per satu orang mulai terkejut mendekat. Bahkan sebelum masuk, jumlah orang di sekitar mereka bertambah dengan kecepatan yang mengagumkan, mengucapkan hal seperti 'Nona Natalia berkenan meluangkan waktu...'. Natalia hanya menjawab seadanya, mengetahui Jiaming tidak tertarik dengan ini, sehingga tidak memberikan penjelasan panjang lebar. Sesekali berbincang dengan Jiaming. Pada posisinya yang sekarang, skandal romantis sama sekali tidak ditakutinya."
"Beberapa sepupu dari Inggris datang, jamuan ini terutama untuk mereka. Tapi yang paling penting, Kelly sedang marah. Selama setengah bulan terakhir aku tidak berani mengganggunya. Semoga kau beruntung. Oh ya, apakah itu bisa dianggap sebagai surprise (kejutan)..."
Salah satu identitas Natalia adalah anak angkat Adipati Westminster dari Inggris. Namun berkat Dark Celeste, posisi aktualnya jauh lebih tinggi daripada seluruh keluarga ini. Sambil bercerita santai tentang sifat mengerikan Kelly belakangan ini, mereka memasuki aula jamuan villa. Suara musik mulai mengalir dari dalam. Natalia mengangkat dagunya, membuat Jiaming memandang ke arah panggung di depan.
Yang sedang bernyanyi di sana adalah seorang gadis berambut hitam yang cantik, kedua tangan memegang mikropon, tubuhnya bergoyang pelan. Mungkin karena ini bukan penampilan resmi, ekspresinya santai namun menyimpan kesepian samar. Jiaming sebelumnya telah melihat fotonya di koran, yang menyebutkan namanya Janet. Meski namanya terdengar norak, dia adalah idola remaja paling populer di Eropa saat ini. Jiaming memandangnya beberapa detik, akhirnya benar-benar yakin: itu adalah Heidi kecil yang tak pernah dia temui selama lima tahun.
Dia sudah dewasa.
## Bagian Empat Ratus Delapan Puluh Wanita Terhormat
"Kami sedikit memantau situasi di Amerika. Keluarga Salieri masih bertahan baik selama beberapa tahun ini. Lima tahun lalu kau membuang ibu dan putri itu ke Eropa lalu tak peduli lagi, pernahkah kau berpikir bagaimana perasaan gadis kecil itu?"
"Menjadi selebriti adalah bantuan kalian di belakang, ya?"
"Dia punya bakat alami. Kelly menyukainya, ditambah lagu-lagu yang diberikan seseorang padanya. Sulit untuk tidak populer. Mau menyapanya?"
"Lebih baik tidak. Perkiraannya dia sekarang cukup membenciku..."
"Kau benar-benar ahli membuat musuh di seluruh dunia, heh..."
Keduanya berbicara, pandangan gadis di sana melirik ke arah sini, menyapu Natalia dan Jiaming. Dua detik kemudian tiba-tiba berbalik, nyanyian yang sedang dinyanyikan dengan lembut terhenti, mikrofon yang dipegang kedua tangan Prak terlepas dari penyangga, aula bergema dengan suara gangguan. Suara ini tidak bertahan lama, tatapan gadis yang bingung dan ragu mengikuti Jiaming di sini, terbata-bata membuka mulut, nyanyian akhirnya kembali mengalir.
Saat menyelamatkan ibu dan putri itu di tahun 95, gadis kecil itu baru sepuluh tahun. Lima tahun lalu Heidi mendekati usia empat belas tahun, mengungkapkan perasaan terhadapnya - kerinduan, kekaguman, atau suka - namun keinginan untuk memonopoli ditunjukkan sangat tegas. Menaruh obat, mengaku cinta, bahkan sampai telanjang bersembunyi di selimutnya agar ibuku salah paham. Jiaming paling pusing menghadapi masalah rumit seperti ini. Pandangan hidup gadis 14 tahun sudah mulai terbentuk, berada di usia paling memberontak. Meski menurut beberapa orang bisa dibimbing pelan-pelan, bagi Jiaming segalanya merepotkan. Konsekuensi terbesar mungkin akhirnya bertiga saling berseteru. Setelah menyelesaikan urusan Yahan, langsung menyuruh mereka ke Eropa, meninggalkan konflik mafia Amerika. Kemudian dirinya sendiri menghilang dari kehidupan mereka, bagai pisau tajam memutus kekusutan.
Bagaimanapun, perasaan Marilyn terhadap dirinya sendiri seolah tak bisa lepas, namun sebenarnya lebih merupakan pencarian penghiburan, penanda jalan kelangsungan hidup. Alasan mereka langsung naik ranjang setelah bersama adalah karena nafsu daging merupakan bentuk ekspresi paling langsung, namun tidak mewakili hal yang benar-benar penting. Dia bukan anak kecil lagi, terlepas dari apakah ada cinta sejati di antara mereka yang selisih usianya sangat jauh, namun penanda jalan yang dia butuhkan sebenarnya sudah ditemukan. Setelah bertahun-tahun berlalu, urusan Tang Jingyao dulu seharusnya mulai memudar dalam hatinya. Pada akhirnya, putrinya akan menjadi orang paling penting dalam hidupnya, bukan dirinya sendiri.
Hanya Heidi yang memiliki karakter jelas dalam cinta dan benci. Jika dia meninggalkan mereka begitu saja, pasti Heidi akan menyimpan pendapat dan kebencian terhadapnya. Tapi semua itu tidak berarti apa-apa. Bagaimanapun manusia akan dewasa, hal-hal yang terlihat serius ini sebenarnya tidak sepadan disebutkan. Dirinya yang dibesarkan dalam atmosfer pelatihan pembunuh sejak kecil pun masih bisa hidup dengan baik. Jalan manusia harus ditapaki sendiri, masa depan harus dipertanggungjawabkan sendiri. Boleh ada kelemahan, tapi kelemahan total dan mengasihani diri sendiri adalah hal yang tak termaafkan. Dengan sifat keras kepala Heidi, yakinlah dia tidak akan terjatuh oleh hal-hal seperti ini.
Dulu berpikir seperti itu, tapi sekarang setelah bertemu, untuk sementara merasa ada kekecewaan. Natalia tentu tidak akan banyak berkomentar tentang hal seperti ini. Selama mereka berjalan ke dalam, suara nyanyian gadis di belakang mulai perlahan meninggi, mengandung nuansa sengaja tidak mengizinkan di dalamnya.
Melewati pintu menuju taman samping melalui balai jamuan, nyanyian itu akhirnya mencapai puncaknya secara tiba-tiba. Natalia menunduk sambil tersenyum: "Ngomong-ngomong, Mikado Ki ada di Albania."
"Albania?" Jiaming mengerutkan kening. Hari ini sudah kedua kalinya dia mendengar nama negara ini. Meski sebelumnya di bandara pria bernama Xie Baoshu yang mengatakan akan ke Albania mungkin hanya kebetulan, hal ini tetap membuatnya tak sengaja memperberat intonasi.
"Benar. Sebelumnya kami menduga dia seharusnya di Swedia atau Inggris. Di sekitar Kopenhagen mereka juga punya basis penelitian. Baru-baru ini dikonfirmasi, dia sekarang kemungkinan telah pergi ke Albania. Lebih dari sepuluh hari lalu Tenmasa Masaoka menghilang di sini. Kami perkirakan dia menemukan sesuatu. Takamagahara tidak ingin melalui kami, langsung mengirim anggota tim ke sini. Hari ini kami terima kabar... hancur total... Ha, sejak mereka tidak meminta bantuan pada kami, aku juga malas ikut campur..."
Dia menyeringai, lalu mengayunkan tangan pada seseorang yang tidak jauh. Setelah orang itu berlari kecil mendekat, barulah dia bertanya: "Nona Kelly mana?"
Orang ini kemungkinan anggota Dark Celeste. Saat ini melihat Natalia lalu Jiaming sambil berkata: "Nona Kelly... tadi menerima telepon lalu pulang. Tidak mengizinkan siapa pun ikut, pergi sendiri dengan helikopter..."
“……”
Natalia terdiam sejenak, setelah beberapa saat baru melirik Jiaming dan menghela nafas panjang: "Kukira benar-benar hebat. Wanita..." Jiaming yang sedang memikirkan masalah justru menengadah sambil tersenyum: "Kau tahu, paling-paling kita cuma berkelahi kalau bertemu. Ngomong-ngomong, Pei Luo Jia memang punya basis di Albania. Aku belum pernah ke sana, tapi... mungkin di perbatasan Yunani, sekitar daerah Kolonjë atau Korçë. Untuk lokasi pastinya..."
"Akan kucari." Saat membahas urusan penting, Natalia menyembunyikan senyumnya dan mengangguk, lalu melambaikan tangan pada orang di sebelahnya, "Aku akan menelepon dulu lalu pulang mencari Kelly. Untuk urusan pribadimu, semoga beruntung." Seketika dia tersenyum lagi dan berbalik menuju kamar di seberang.
Taman kecil ini dibangun di antara dua bangunan, sekaligus menjadi platform kecil yang menghadap laut. Matahari sore telah terbenam di ufuk jauh. Jiaming berdiri sebentar, masih memikirkan tentang Pei Luo Jia. Dulu dia tidak mengurus urusan internal, pemahamannya terhadap organisasi ini hanya bergantung pada kontak selama bertahun-tahun dalam operasi. Mustahil bilang dia tahu segalanya, tapi terhadap Mikado Ki, pengertiannya sangat mendalam.
Ini adalah seorang Genius yang penuh dengan kegilaan, dalam beberapa aspek memang pantas disebut luar biasa cemerlang, namun juga dipenuhi aura penghancur diri. Di kehidupan sebelumnya, dia membunuh ayahnya sendiri dengan tangan sendiri, kemudian mengambil kendali Pei Luo Jia untuk melakukan serangkaian hal gila. Sebagai pembunuh yang sehari-hari bergaul dengan kematian dan manusia tidak normal, sangat jelas terlihat bahwa orang ini telah memikul salibnya sendiri, terjerumus ke dalam jurang kegelapan total. Setelah empat tahun membeku, kemunculannya yang tiba-tiba kali ini dengan bersekutu para penghisap darah yang tidak ada di kehidupan sebelumnya, bahkan sementara mengurungkan basis utama di Jepang sambil mengerahkan kekuatan dan bersembunyi di Eropa, bagaimanapun memberi kesan sangat mengerikan.
Beberapa hal bisa dianalisis. Alasan Takamagahara mengirim pasukan elite ke Eropa tanpa melalui Dark Celeste, tentu bukan karena ingin menjaga perdamaian dunia sendirian, melainkan karena ada keuntungan di dalamnya. Ini menunjukkan Pei Luo Jia saat ini mungkin mengendalikan sesuatu yang sangat memikat - sesuatu yang penuh daya pikat namun tidak muncul di dunia sebelumnya. Maka tentu harus dikaitkan dengan hal-hal baru yang muncul, satu-satunya penjelasan adalah gerombolan penghisap darah itu.
Monster dari ribuan tahun yang lalu mungkin tidak punya barang bagus, tapi kemungkinan terbesar adalah Pei Luo Jia menguasai rahasia memproduksi banyak yang MATI, atau memiliki kunci di bidang ini - eksperimen ini sudah memberikan beberapa hasil melalui kurcaci di Dark Celeste beberapa tahun lalu. Dulu Pei Luo Jia pernah bekerja sama dengan Pangeran, kali ini mereka bahkan menemukan yang MATI yang lebih kuat. Jika mereka mau bekerja sama, manfaat yang bisa didapat pasti tidak sedikit.
Tentu saja, apapun alasannya, karena sudah dimulai, perdamaian sudah tidak realistis lagi. Tinggal menyelesaikan urusan ini dengan bekerja sama bersama Dark Celeste, menghabisi Mikado Ki dan para yang MATI - dengan kekuatannya sekarang, tingkat kesulitan hal ini seharusnya tidak lebih besar daripada saat membunuh Morikami Kura dulu. Setelah menetapkan nada dasar ini, sisanya tidak perlu dipikirkan lagi. Masalah seperti Kelly dan Heidi yang terlihat membuat mengerutkan kening, sebenarnya biarkan saja mengalir. Di permukaan dia terlihat repot, tapi di hati sama sekali tidak terbebani. Baik dia maupun Natalia sama-sama sangat paham hal ini.
Tak lama setelah Natalia menghilang di taman, lagu di sana juga memasuki babak akhir. Suara gadis itu terdengar sangat keras, seperti sengaja tidak mengizinkan bernyanyi, tapi matanya terus memandang ke arah luar pintu ini. Setelah lagu selesai, dia menarik ujung gaun hijau danau dan langsung berlari ke sini. Lima tahun telah mengubah gadis kecil menjadi remaja. Di tengah jalan beberapa orang mengajaknya bicara, meski hati tidak sabar, dia tetap tersenyum sopan menanggapi.
Meski terus mendekat ke arah sini, ekspresi gadis itu masih memancarkan kesan anggun. Tapi sebutan "anggun" mungkin kurang tepat - setiap kali pandangan Jiaming bertemu dengannya, dia langsung berhenti sejenak secara bawah sadar, mengernyitkan mulutnya dengan wajah kesal. Setelah lebih dari lima tahun berpisah, mungkin dia menyadari penampilannya sudah berubah: gaya rambut bergelombang dengan highlights, gaun panjang yang dikenakannya, tak lagi seperti gadis kecil yang semena-mena dan ingin menjadi ratu geng kriminal dulu. Keraguannya terpancar jelas: "Ini aku, ini aku! Cepat kenali aku!" Melihat ini, Jiaming tak bisa menahan senyum.
Mungkin di hati Heidi, dirinya sudah banyak berubah. Tapi di matanya, gadis kecil itu pada dasarnya tetaplah gadis kecil yang sama.
Mari kita lihat apa yang akan dilakukannya.
Jiaming bersandar di pagar sementara, matanya menjelajahi kerumunan jamuan. Heidi akhirnya sampai di tepi pintu sambil menggenggam ujung gaunnya, mengerutkan alis dengan ragu-ragu. Di seberang, pria berjas putih berambut pirang terburu-belu dari sisi lain balai jamuan. Setelah bertanya pada beberapa orang, matanya bersinar melihat Heidi. Dengan langkah kecil dia menghampiri dari belakang dan menggenggam pergelangan tangan Heidi yang bersarung tangan renda putih: "Hei, Jennet."
Heidi terus memandang ke arah Jiaming, tiba-tiba terkejut sehingga tubuhnya gemetar. Dengan langkah panik dia menoleh ke belakang, begitu melihat wajah pria itu alisnya langsung berkerut. Bibirnya terkunci rapat membentuk garis lurus. Meski ekspresinya tidak senang, dari samping wajahnya tetap terlihat sangat imut.
"Janet, sepupuku datang hari ini. Yang pernah kuceritakan sebelumnya. Sebentar akan kuperkenalkan. Kau pasti senang bertemu dengannya. Dia adalah kebanggaan keluarga kita. Kau tahu kan, perusahaan musik tempatmu bekerja sekarang sebenarnya hanya aset kecil di bawah kendalinya."
"Maaf, Tuan Viscount, aku sedang ada urusan..." Heidi melepaskan genggaman tangan pria itu sambil mengerutkan alis dan mundur selangkah. Pandangannya kembali menoleh ke arah Jiaming, bertemu dengan tatapan Jiaming yang terkesan geli. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, sang Viscount sudah maju lagi menyambar pergelangan tangannya. Tanpa menyadari emosi gadis itu, dia berkata dengan sukacita tulus: "Janet, dengarkan aku..."
"Jangan pegang aku!" Kali ini suaranya meninggi. Heidi mundur lagi, membuat beberapa orang di sekitar menoleh. Sang Viscount muda akhirnya menyadari keanehan. Bersamaan itu, seorang wanita paruh baya berwajah biasa bergegas mendekat: "Janet, bagaimana bisa kau begitu. Viscount Alman..." Tampaknya wanita itu adalah manajernya.
“Pada saat ini, seorang wanita lain menghampiri: “Yarman, ada apa?” Wanita ini terlihat sekitar tiga puluh tahun, wajahnya tidak terlalu cantik, postur tinggi khas orang Barat membuatnya terlihat kurus, mata yang sipit juga terkesan tajam. Tangan kanannya menyilang di dada, tangan kiri memegang segelas anggur merah: “Nona Janet, halo, nyanyianmu bagus.”
Selebriti penyanyi sekalipun yang paling terkenal, di mata orang-orang ini statusnya tetap rendah. Perbedaan koneksi sosial, perbedaan lapisan masyarakat, inilah alasan mengapa banyak artis wanita ingin menikah ke keluarga kaya. Namun Heidi kali ini tidak menjawab, matanya menatap ke arah Jiaming, pipinya mulai mengembung. Beberapa saat kemudian, ia mendorong manajernya dan berlari ke sini sambil menahan ujung gaun.
Suara tet-tat hak tinggi menggema di jalan setapak taman, di tengah lariannya ia tersandung hampir terjatuh. Beberapa detik kemudian, akhirnya ia berdiri di hadapan Jiaming, melototinya dengan mata membelalak, pipi masih mengembung dengan marah, dadanya naik turun drastis karena napas terburu-buru.
Seperti kejadian tahun lalu, Jiaming tersenyum dan mengacak-acak rambutnya dengan ulah iseng. Ekspresinya kesal tapi tidak melawan, hanya menggelengkan kepala seperti kucing kecil di bawah tangan pria itu.
“Kesatria sejati tidak akan sembarangan meraba kepala wanita terhormat...”
“Gadis kecil saja, mana ada wanita terhormat di sini...”
“Sudah jadi sekarang.”
Matahari sore yang merah membara membungkus mereka dalam senja yang berapi-api.
“……Aaaaa，benar saja.”
Dia berkata dengan suara lembut, terdengar agak terharu.
## Bagian 481 Papanya
Angin laut berhembus sepoi-sepoi, Jiaming menepuk kepala Heidi lalu menurunkan tangannya: "Nyanyianmu bagus sekali."
"Kau sudah mengenaliku sejak tadi." Heidi menggigit bibirnya, pandangannya menyiratkan sedikit celaan yang segera berubah menjadi kekecewaan.
"Bagaimana kabarmu selama ini?"
Gadis itu terdiam sejenak, menunduk tanpa bicara.
"Kalau Ibu...?"
Ditanya hal ini, barulah dia akhirnya mengangkat kepala lagi, melirik Jiaming sejenak seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya tak kuasa mengungkapkannya. Pada saat ini, ketiga orang yang tadi sedang berbicara dengan Heidi akhirnya mendekat. Di lokasi jamuan resmi seperti ini, semua tamu adalah orang-orang beridentitas dan posisi terpandang. Heidi sendiri juga berpakaian resmi, hanya Jiaming—pria Timur yang masih muda ini—yang berdiri di sini dengan pakaian kasual yang robek di dua tempat, tentu agak mencolok mata. Apalagi kini Heidi yang sudah menjadi selebriti besar sedang berdiri di depannya dengan ekspresi seperti itu, terlihat mirip saudara kandung. Perempuan paruh baya yang berperan sebagai manajer itu langsung bertanya: "Janet, Bapak ini siapa..." Selama bertahun-tahun mendampingi Heidi, mungkin dia mengira dirinyalah orang yang paling dekat dengan sang gadis.
Tapi saat ini, Heidi hanya membalikkan badan, kemudian mundur dua langkah ke samping Jiaming, berdiri di belakang sisi Jiaming sambil mengangkat bahu, sikap yang hampir seperti meminta Jiaming melindunginya dari orang-orang ini. Jiaming mengangkat tangan sambil tersenyum. Wanita bangsawan berpenampilan tajam itu kini mengerutkan kening: "Sepertinya hubungan Tuan dengan Zhenniet..." Rinciannya tak diungkapkan, tapi tadi saat dia menyapa Heidi yang tak sopan tak membalas dan langsung berlari ke sini, kini nada bicaranya mulai terdengar ketidaksenangan. Manajer lalu mempertegas suara: "Zhenniet."
Viscount Alman yang jelas-jelas menyimpan simpati pada Heidi memperhatikan sikap ambigu antara keduanya, lalu mengulurkan tangan penuh uji coba: "Halo, namaku Alman, teman Zhenniet, Alman*Westminster. Tuan yang mulia ini adalah..." Seseorang yang bisa berpakaian seperti ini dalam jamuan semacam ini pastilah memiliki latar belakang tertentu.
Sejak kecil Heidi memiliki karakter labil. Meski dulu di depan Jiaming sering berpura-pura menjadi wanita terhormat, pada esensinya dia adalah pribadi pemberani. Namun dari detail gerak-geriknya tadi, tampak selama bertahun-tahun ini dia telah lebih menahan diri. Setidaknya di hadapan separuh undangan jamuan ini, selebriti tak punya banyak ruang untuk bersikap arogan. Tapi aksi licik kali ini jelas merupakan bentuk kekecewaan dan kebencian terpendam yang terkumpul selama bertahun-tahun pada Jiaming. Jiaming dengan kekecewaan hendak mengulurkan tangan, ketika Heidi akhirnya membuka mulut.
"Papanya." Kalimat ini diucapkannya sambil tiba-tiba membuka kedua tangan, memeluk erat Jiaming dari samping. Tubuhnya yang telah berkembang sempurna tanpa sekat menempel pada tubuh Jiaming. Dengan senyum manis ke arah ketiga orang itu: "Dia papaku!"
Tangan Jiaming kaku di udara. Di seberang, ketiga orang itu terlihat terkejut. Faktanya, Jiaming baru berusia 22 tahun sementara Heidi 19 tahun. Postur tubuh Jiaming tidak terlalu kekar atau terkesan tua. Saat berpelukan, perbedaan usia mereka tidak terlalu mencolok. Kalau disebut pasangan kekasih mungkin masih masuk akal, tapi hubungan ayah-anak? Mustahil! Tapi melihat status kedua belah pihak dan latar belakang jamuan ini, bagaimana mungkin dia membuat lelucon seperti ini?
Setelah beberapa saat, Jiaming menghela nafas pasrah. Tangannya menepuk ringan bahu Armand sambil tersenyum pada semua orang: "Wali... wali..." Tangan satunya memukul kening Heidi dengan keras. Heidi menundukkan lehernya seperti burung puyuh sambil tertawa.
Bagaimanapun, suasana di lingkaran kecil ini terasa sangat canggang. Heidi asyik sendiri, Jiaming hanya bisa diam. Ketiga orang itu silih berganti antara curiga dan berusaha menganalisa. Meski merasa dipermainkan, tak satu pun berani menunjukkan reaksi berlebihan sebelum status Jiaming jelas. Hawa kebencian dari wanita anggun itu agak terlihat, namun tidak bertahan lama. Dari sisi lain taman kecil, Natalia dengan jas resmi putihnya telah muncul.
“Dari segi wajah, aura, maupun posisi, dia adalah sosok yang bisa menjadi pusat perhatian di situasi apapun. Begitu bayangan putih itu muncul, ketiga orang di depannya segera mengalihkan pandangan, melupakan emosi yang baru saja mereka rasakan. Dari deskripsi sebelumnya, Jiaming sedikit banyak tahu bahwa Viscount Alman dan wanita berkarakter tajam ini kemungkinan adalah sepupu Natalia yang pernah disebutkan. Saat melihat kelima orang berdiri bersama, Natalia membuka mulutnya sebentar, lalu berjalan mendekat dengan senyum samar di wajah.
“Sepertinya sudah saling kenal. Alman, Sharon, lama tidak bertemu…”
Kedua pihak saling menyapa, berbincang sebentar. Natalia yang sedang ada urusan mengangguk ke arah Jiaming: “Aku pergi dulu. Nanti kau datang.” Lalu menunjuk ke sampingnya, “Bawa juga Heidi main.” Setelah itu berpamitan pada semua orang.
Meski sebelumnya selalu menjaga teman-teman Jiaming, saat Shasha di sini pun dia tidak pernah menemui mereka secara terpisah. Terhadap Heidi, tentu juga tidak ada upaya sengaja untuk bertemu. Kini Heidi mungkin mengerti bahwa dia adalah sepupu Viscount Alman yang sangat berkuasa itu. Percakapan dengan Jiaming tadi hanya satu dua kalimat, namun sapaan yang sepenuhnya setara layaknya teman, membuat sikap kakak-beradik ini terhadap Jiaming bahkan sempat diwarnai rasa takut dan hormat. Jiaming sejak awal memang tidak punya minat mengikuti jamuan ini. Tak lama kemudian Heidi ganti baju, mereka berdua pun pergi meninggalkan villa ini.
"Matahari sore telah sepenuhnya terbenam, Venesia di malam hari bagai kota yang dihiasi mutiara, pantulan cahaya lampu di air bergerak seperti ikan koi berenang. Heidi mengenakan kemeja putih dilapisi rompi kecil, rok ketat sebatas lutut dengan gaya santai, tas tangannya sangat besar, entah apakah seluruh jas resmi dimasukkan ke dalamnya. Manajer yang seharusnya terus mendampingi kali ini tidak berani mengikuti. Saat melangkah keluar dari pintu gerbang villa, gadis itu berlari kecil beberapa langkah, menarik helai baju Jiaming dari belakang, menekan bibirnya, menunduk dengan langkah kecil mengikuti, persis seperti sosok yang sangat malang."
"Jiaming menoleh meliriknya, kemudian mengetuk dahinya. Wajah kecil Heidi mengerut seperti roti kukus, tapi tangannya tetap tidak melepaskan."
"Kamu dan Ibu sekarang tinggal di mana?"
"Ibu juga tinggal di sini, tidak terlalu jauh. Dari sini jalan lurus ke depan, lewat pos pantai di depan lalu jembatan... Di sana ada gereja yang sangat cantik loh, kami lewat sampingnya, pemandangan malamnya bagus banget... Lalu jalan lurus... Belok kanan... Di sebelah server Castro..."
"Tempat yang sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi dengan penjelasannya jadi terasa sangat jauh..."
"Terutama setelah dia menekankan lagi 'benar-benar tidak jauh', Jiaming merasa ingatannya dulu jadi tidak bisa diandalkan. Dulu untuk menyelesaikan Natalia, dia tinggal di kota ini selama setahun lebih. Secara keseluruhan Venesia bukan kota yang besar, dalam arti tertentu dia bisa dibilang menguasai setiap sudutnya."
"Langsung kasih alamat saja tidak bisa..."
"Aku tidak tahu apakah kamu pernah ke sini..."
Heidi menjawab satu kalimat. Area ini merupakan daerah yang relatif tenang di kota Venesia, hanya ada beberapa pejalan kaki di jalanan, namun kemegahan kota masih terlihat jelas dari celah-celah kanal berkelok. Seperti anak kecil, Heidi menggandeng helai baju belakangnya sambil berjalan. Setelah lama terdiam, barulah dia berkata pelan-pelan: "Aku... aku selama bertahun-tahun ini selalu berkeliaran di luar, waktu pulang mengunjungi ibu juga tak banyak..."
Jiaming menoleh, memandangi ekspresinya yang mulai Blink: "Kenapa? Tak berani pulang ketemu orang ya?"
Heidi mengerucutkan bibir, diam.
"Selama ini... nyanyianmu bagus?"
"Hmm..."
"Nilai akademik bagaimana?"
"Selalu ada baca buku..."
"Heh, masih ingin jadi ibu baptis mafia?"
Heidi menggelengkan kepala.
"Pil ekstasi, narkoba, senjata dan semacamnya?"
Lagi-lagi menggelengkan kepala.
Mereka bertiga melewati jembatan batu. Jiaming berhenti sejenak, lalu menoleh sambil merendahkan suara: "Hal lima tahun lalu... merasa bersalah pada ibu, jadi tidak pulang?"
Heidi menggigit bibir bawahnya perlahan, matanya seakan sudah berkilau air mata. Kembali menggeleng pelan.
"Sebenarnya... aku yang tak seharusnya melakukan itu waktu itu?"
Kesunyian.
"Waktu itu kau hanya anak kecil. Sebenarnya aku yang terikat beberapa hal, membenci keribetan, selama bertahun-tahun ini... kau pasti menyalahkanku..."
"Kenapa memanggilku papanya?"
Heidi menghirup ingusnya, suaranya terisak. Pandangannya Blink-Blink menatap tanah di sekeliling.
“Aku tahu kau menyalahkan diri sendiri, tapi seharusnya kau menemani Ibu...”
“Heidi, kau...”
“Aku memang menyalahkanmu, kenapa?!” Bayangan lampu berkelap-kelip, Gondola hitam meluncur seperti elf di permukaan air. Toko-toko di sekitar membuka pintu dengan lampu terang, para pengunjung lalu lalang. Tiba-tiba di atas jembatan kecil itu, gadis itu menjerit histeris. Heidi semakin erat menggenggam helai baju Jiaming, keempat mata mereka bertatapan. Air matanya jatuh deras, pandangannya penuh tekad membara dan kekecewaan, akhirnya ia pun menangis keras.
“Aku tetap menyalahkanmu! Aku suka padamu. Ah... Aku meracunimu, ingin mengusir Ibu, bukankah karena aku menyukaimu? Sekalipun kau tak suka caraku, kau harus bilang! Aku pernah berjanji akan berubah... Saat itu usiaku baru empat belas tahun, masih anak yang tak paham sopan santun. Kau harus mengajariku! Ah... Aku tak akan merebutmu dari Ibu lagi. Aku juga tak akan menyentuh hal-hal yang tak kau sukai. Aku sudah menjadi penyanyi, tapi aku masih kecil, kau harus memberi tahu agar aku paham... Kau pergi diam-diam, menyuruh kami ke Eropa, tak pernah menjenguk. Ibu sangat terluka, aku juga terluka... Hiks, Ibu sangat sedih...”
Dia masih seperti anak kecil dulu, menangis histeris tanpa peduli penampilan, kedua pahanya lunglai hendak berjongkok di tanah. Namun kedua tangannya masih mencengkeram erat baju Jiaming, sambil terus menangis kencang dalam posisi setengah jongkok.
"Aku sudah bilang ke Ibu kalau aku yang salah, aku tidak akan bohong lagi... Ini salahku, setiap lihat Ibu rasa bersalahku makin menjadi. Aku menyalahkanmu, kau sama sekali tidak matang... Jangan pergi lagi, kunjungi Ibu dan Heidi sesekali... Jangan pergi lagi..."
Tangisan kekanak-kanakan yang tak terkendali itu menyebar di angkasa malam, memancing tatapan heran dari orang-orang sekitar. Jiaming memeluknya pelan, membiarkan semua kekecewaan bertahun-tahun itu tercurah. Gadis itu memukuli dan menendangnya, menggigit bahu dan lengannya, sementara satu tangan lainnya tetap mencengkeram baju Jiaming tak mau lepas. Tangisan itu terus bergema di jembatan cukup lama...
"Inilah Heidi yang kusukai..."
## Bagian Empat Ratus Delapan Puluh Dua Tidur Memelukku
Sekitar sepuluh menit Heidi menangis histeris di jembatan, baru Jiaming dengan setengah pasrah memeluknya menuju tepi. Di sudut jalan terdapat warung kecil berdinding kaca dengan meja makan di trotoar yang diberi tenda warna-warni. Setelah mendudukkan Heidi, dia menoleh: beberapa pengunjung warung sedang menatap ke luar.
Pelayan datang, Jiaming memesan air dan tisu. Heidi duduk di sana terus menangis, air mata tak henti mengalir, napas tersengal-sengal diselingi tubuhnya yang sesekali bergetar. Seluruh wajahnya sudah kotor—bukan karena masalah riasan, Jiaming yang menggelepar di kota selama setengah pantas sore meski tidak terluka, bajunya robek di dua tempat, debu dan kotoran pun banyak menempel. Gadis itu tadi memeluknya sambil meledak dalam tangisan sekaligus mengusap-usap air mata di bajunya seperti kucing, membuatnya semakin ternoda. Seketika, Jiaming seakan merasakan kembali kehadiran perempuan malang yang mengembara sebulan di jalanan Jianghai dalam keadaan kelaparan dan kedinginan sembilan tahun silam.
"Sudah, sudah... Cukup sudah menangis selama ini, jangan menangis lagi... Jangan menangis..."
"Sambil berbicara lembut, Jiaming mengambil tisu dan mengusap wajahnya. Tangisan itu berlangsung selama lebih dari satu menit sebelum berubah menjadi isakan dan sedu sedan. Heidi yang sebenarnya adalah gadis matang dengan dandanan dan gaya rambut sedikit memberontak, kini wajah cantiknya terlihat sangat kekanak-kanakan. Ia menatap bahu Jiaming sambil terus terisak, akhirnya baru menyadari sambil berkedip-kedip, tersipu malu lalu Byur! langsung menelungkup ke meja dengan keras. Setelah dua detik, tubuhnya kembali tegak."
"Kau... kau tidak akan lagi, tidak akan lagi..."
"Hmm, tidak akan seperti kali sebelumnya lagi."
Jiaming mengangguk, menyodorkan tisu padanya. Heidi dengan malu mengusap mata yang merah bengkak akibat menangis: "Hehe..."
Dia akhirnya berhenti menangis. Pelayan yang telah lama mengamati dengan curiga dari kejauhan ragu-ragu mendekat, dengan suara terbata-bata: "Itu... permisi... izin bertanya... apakah ini Nona Janet... ehm..."
Heidi mengeluarkan tiga lembar tisu lagi dari depannya dengan suara berisik, menunduk menutupi wajahnya yang kotor. Di bawah tatapan pelayan itu, dia menghembuskan ingus keras-keras, lalu melipat tisu untuk mengusap wajahnya. Suara terisaknya masih terdengar tidak jelas: "Bukan... namaku Heidi..."
"Ehm... Oh... ooo..."
Setelah dia berbicara santai begitu, pelayan itu pun mundur. Heidi menengadah tersenyum pada Jiaming yang juga tersenyum sambil menunjuk pipinya. Diterpa angin laut, di bawah lampu jalan yang hangat, gadis itu mengeluarkan kotak rias dari tas tangannya untuk memeriksa penampilannya, lalu berteriak kaget dan mulai buru-buru merapikan riasan...
Meski sebelumnya Heidi menggambarkan perjalanannya rumit, jarak ke lokasi tempat tinggal Marilyn saat ini sebenarnya tidak terlalu jauh. Setelah gadis itu berhenti menangis, merapikan riasan sedikit, dan melanjutkan perjalanan sepuluh menit kemudian, mereka akhirnya tiba di bawah gedung tujuan. Sepanjang jalan Heidi bercerita fragmentaris pada Jiaming tentang berbagai hal selama beberapa tahun terakhir - bernyanyi, kehidupan sehari-hari, dan urusan pelajaran. Gadis yang baru saja menangis tersedu-sedu itu terlihat patuh di samping Jiaming, tapi sesekali masih menunjukkan sedikit petunjuk sifat memberontak dan jenakanya.
“Ibu bekerja di toko kue, tapi seharusnya sudah pulang... Nanti saat bertemu, jangan bilang aku baru saja menangis ya...”
“Siapa saja bisa melihatnya.”
“Tahu bisa dilihat, jangan diungkit ya...”
Dia berpesan sambil mengusap matanya lagi, kemudian tersenyum cemerlang.
Bangunan-bangunan di Venesia memiliki ciri khas masing-masing. Bahkan gedung tempat tinggal biasa pun penuh gaya Eropa yang megah. Lantai bawah dipenuhi toko-toko dengan pencahayaan memadai, sementara balkon-balkon di atas tersebar di dinding luar dengan pola tidak beraturan namun indah, tirai putih yang berkibar lembut, dan rangkaian bunga hias di balkon. Heidi menunjuk sebuah balkon di lantai atas, lalu mengajak Jiaming naik. Di depan pintu lantai dua, dia ragu-ragu mengeluarkan kunci.
“Aku duluan atau kau duluan... Bagaimana kalau kau duluan... Aku saja ya...”
Setelah beberapa kali berganti posisi dengan Jiaming, akhirnya dia berdiri di depan pintu. Awalnya ingin langsung membuka dengan kunci, tapi akhirnya memilih mengetuk. Area tangga tidak menggunakan lampu neon, cahaya kuning yang remang-remang menciptakan suasana menggoda. Heidi mendesak Jiaming ke samping, tak lama kemudian pintu terbuka.
“Heidi...”
Suara penuh kejutan terdengar. Heidi berseru "Ibu!", lalu terdengar suara pecahan - piring keramik putih menghantam lantai hingga remuk redam. Seketika suasana hening menyelimuti ruangan.
Marilyn berdiri di tepi pintu, memandangi Jiaming di sampingnya, mulutnya sedikit terbuka. Napasnya tiba-tiba menjadi tersengal-sengal, matanya berkedip-kedip dengan panik, pandangannya bolak-balik antara dua orang di luar pintu, lalu dengan ragu-ragu mengangkat tangan kanannya - seolah ingin menyentuh Heidi - namun akhirnya justru menutup mulutnya sendiri dengan lembut.
Lima tahun telah berlalu, penampilannya tak banyak berubah. Saat melahirkan Heidi pun usianya masih sangat muda. Sekarang, gadis kecil itu membuat jarak antara mereka berdua semakin menyusut, membuat hubungan mereka tampak seperti saudari. Ia mengenakan jaket kuning muda dan rok lima menit yang praktis untuk bergerak, rambut panjang keemasannya mengalun seperti ombak dari bahunya. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Ibu, aku masuk dulu ya......"
"Heidi......"
Kabut mulai menggenang di biji matanya. Marilyn menyaksikan putrinya berjalan melewati sisinya, memandang Jiaming, lalu melangkah dua kali mendekatinya. Sepertinya ia ingin memeluknya seperti dulu, namun mengurungkan niatnya. Kakinya mondar-mandir di tempat, gelisah tak karuan. Jiaming mengerutkan kening, lalu dengan lembut merangkul pinggang berlekuknya, menempelkan tubuh feminim itu ke badannya.
"Aku tidak tahu apakah masih boleh melakukan ini... Kalau sudah tidak boleh, katakan padaku, ya......"
Marilyn mengangguk mati-matian sambil menitikkan air mata.
Jarum jam baru melewati pukul delapan. Tiga orang ini memasak di dapur, situasinya agak mirip dengan saat Jiaming, Lingjing, dan Shasha dulu bersama.
Heidi tentu tidak bisa melakukan ini. Karena melihat Jiaming sedang sibuk, dia ikut masuk untuk meramaikan suasana sambil membantu mencuci sayuran dan beras, sesekali dipukul Jiaming karena kikuk. Marilyn yang sudah membasuh wajah dan menghapus bekas air mata memeluk putrinya untuk melindunginya. Tawa mereka cukup untuk membawa ketiga orang kembali ke masa lalu untuk sementara waktu. Tapi karena Heidi, Marilyn sepertinya sengaja menghindari kontak berlebihan dengan Jiaming. Selain pelukan dan ciuman di luar pintu di awal, reaksi kikuknya yang langsung memerah dan mundur setiap kali disentuh Jiaming justru terkesan menutupi sesuatu, membuat Heidi sendiri merasa lucu.
Meski posisi masing-masing agak kabur, makan malam ini berlangsung harmonis seperti trio lima tahun lalu: gadis kecil aneh dan pintar, ibu yang seksi dan cantik, serta pemuda dewasa sebelum waktunya yang dianggap kepala keluarga oleh keduanya. Tapi karena kejadian masa lalu, Marilyn kini lebih pendiam. Hanya Heidi yang aktif bertanya dan bercerita tentang kehidupan ibu selama ini. Baru saat itu Marilyn tersenyum menambahkan beberapa kalimat. Mereka juga membahas banyak pria yang mengejar ibu namun ditolak, pandangan Heidi ke Jiaming seolah menyindir "Ibu menantimu selama ini". Setiap kali ini terjadi, mata Marilyn yang menatap putrinya selalu dipenuhi kecemasan.
Dalam rasa penasaran Heidi, Jiaming juga secara halus menceritakan kesulitan yang dialaminya selama beberapa tahun terakhir. Penyakit di otaknya membuatnya hidup bagai mayat hidup selama bertahun-tahun. Dari penuturan Heidi dan Marilyn, barulah ia tahu bahwa empat tahun lalu setelah kejadian itu, mereka pernah datang ke Tiongkok dan mencoba mencari dirinya, namun segala upaya seolah tenggelam di laut. Saat itu mereka mengira Jiaming sengaja memutus semua hubungan dengan mereka, dan akhirnya pergi dengan hati sedih. Setelah kejadian ini, Marilyn juga pernah menderita sakit parah, sementara Heidi mungkin karena merasa bersalah memilih meninggalkan rumah dan jarang pulang.
Semua ini sudah berlalu, dibicarakan pun jadi tak berarti, paling-paling pihak yang bersangkutan agak malu saja. Bertiga sambil menonton TV membicarakan hal-hal ini, sampai jam sebelas malam, Jiaming akhirnya harus pergi. Barulah Heidi menyebut rencananya: "Jiaming, nanti... aku mau ke Tiongkok nyanyi, setuju?"
"Terserah kau. Tapi kalau kau panggil aku papamu lagi, aku hajar kau."
"Hehe, kamu pasti tak tega."
"Coba saja..."
Dalam canda tawa, Marilyn mengantar Jiaming turun tangga. Mungkin karena khawatir dengan kondisi putrinya, ibu cantik ini tetap diam bahkan setelah melewati jembatan batu di jalan depan. Berbalut syal tipis, derap hak tingginya terdengar kompleks dalam hembus angin laut. Ketika Jiaming berhenti di depan, tanpa sengaja ia menabraknya. Jiaming memeluknya, dan ia pun tetap berdiam, dagunya menempel di bahu sang pria, tak berani menatap wajahnya.
“Lain kali saat Heidi tidak ada, aku akan mencarimu.”
“……Hmm.”
Marilyn mengangguk, di saat yang sama sosok di balkon jauh berlari ke depan, menangkupkan tangan di mulut.
“Papa——”
Teriakan itu bergema di udara, disusul tawa merdu seperti lonceng perak, keduanya sama-sama menunjukkan kekecewaan, antara ingin tertawa dan kesal.
Tak lama kemudian, bayangan Jiaming menghilang di sudut jalan yang jauh. Di balkon gedung, Heidi memunggungi, air mata mengalir di wajahnya yang tersenyum cemerlang, tak kunjung habis meski terus diusap.
Mendekati tengah malam, Jiaming pergi ke villa tempat Natalia tinggal.
Mungkin karena perintah Natalia sebelumnya, sepanjang jalan dia tak mendapat halangan. Seluruh villa megah itu terasa sunyi dan sepi. Langsung menuju lantai dua, dia membuka pintu kamar tidur besar milik Kelly. Tirai putih tipis berkibar ditiup angin laut. Di sofa santai besar di tepi balkon, dua wanita tertidur lelap.
Kelly berbaring dengan gaun tidur semi-transparan warna mutiara hitam, lekuk tubuh seksinya tergambar sempurna di bawah kegelapan malam. Di pergelangan kaki putihnya terikat lingkaran hitam. Tidurnya yang tenang bagaikan Dewi Malam yang suci namun memikat. Natalia mengenakan gaun tidur putih, menyadari kedatangan Jiaming, dia mengangkat kepala lalu bersandar sambil menempelkan jari di bibir.
Jiaming berjalan mendekat, lalu berjongkok di sisi sofa santai. Natalia membelai rambut yang menutupi wajah Kelly dengan lembut, seperti kakak yang melakukan Proteksi pada adik perempuan.
"Terkadang aku benar-benar tak mengerti hubungan kalian. Kau ini benar-benar menyukainya atau hanya memanfaatkannya? Apa yang dia sukai dari dirimu yang asli atau kamuflasemu..."
"Aku juga tidak tahu." Jiaming memandangi posisi tidur Kelly sambil tersenyum tipis, "Kalau kalian, apa bisa disebut lesbian?"
"Coba tebak?" Senyum indah mengembang di wajah Natalia sebelum dia memiringkan kepala, "Itu cuma urusan naik ranjang..."
Suara mereka larut dalam keheningan kamar. Di sofa santai seluas ranjang besar ini, tubuh Kelly bergerak perlahan sebelum bergumam: "Aku belum tidur, jangan berisik..." Keduanya pun tertawa.
"Mainin ibu dan putri itu seru ya?" Membelakangi Jiaming, dia kembali bergumam dalam keadaan setengah sadar. Jiaming hanya tersenyum tanpa menjawab, membuat kamar kembali sunyi.
Kesunyian ini berlangsung selama lebih dari satu menit. Akhirnya Kelly berbisik: "Gendong aku tidur..." Jiaming naik ke sofa santai dan memeluknya pelan dari belakang. Natalia yang menyaksikan ini akhirnya juga merebahkan tubuhnya dan terlelap.
Angin laut masih bertiup. Dalam kamar sunyi itu, hanya kelambu putih yang menari-nari lembut dihembus angin...
Tepat sehari setelah subuh, sesuai kabar yang diterima, Jiaming mengucapkan salam pada ibu dan putri Marilyn sebelum naik pesawat menuju Albania. Sore harinya, dia bertemu Ryuudou Yui yang telah menunggu di kota Korçë di selatan Albania. Dalam arti tertentu, ini adalah pertemuan pertama mereka...
## Bagian Empat Ratus Delapan Puluh Tiga Namaku Jian Suyan
Albania, salah satu negara termiskin di Eropa.
Korçë terletak di tenggara Albania, berdekatan dengan perbatasan Yunani, dengan populasi hanya sekitar 60.000. Tentu saja, dibandingkan total populasi Albania yang baru mencapai 3 juta lebih, ini sudah termasuk kota besar di dalam negeri. Jiaming tiba menggunakan pesawat khusus Dark Celeste dari Venesia pagi itu, turun di Tirana, lalu menyetir sendiri hingga tiba di Korçë lewat siang.
Heidi sebenarnya punya beberapa umpatan dalam hati soal kepergian mendadaknya, namun tak ada cara lain. Saat bertemu kemarin, Jiaming mengira akan tinggal beberapa hari di Venesia. Siapa sangka Ryuudou Yui sudah menghubungi Dark Celeste sejak subuh. Bagaimanapun, urusan yang harus diselesaikan sudah di depan mata. Tak ingin berlama-lama, Jiaming pun SEGERA berangkat. Namun saat Ryuudou Yui di Korçë melihat Jiaming datang sendirian, dia benar-benar terkejut.
Sebenarnya dia menghindari Takamagahara untuk meminta bantuan ke Dark Celeste. Di markas besar Takamagahara, perdebatan tentang apakah akan meminta bantuan Dark Celeste masih berlangsung. Bagaimanapun, Dark Celeste adalah organisasi Eropa asli dengan kekuatan besar. Jika mereka ikut campur, lebih dari 90% manfaat yang mungkin didapat pasti tidak akan sampai ke Jepang. Tapi Ryuudou Yui tidak peduli. Dia hanya tahu suaminya saat ini sudah hilang kontak dan kemungkinan besar MATI. Setelah mengkonfirmasi kegagalan pengguna kekuatan supernatural Takamagahara, dia segera menghubungi Dark Celeste sesuai pesan yang ditinggalkan Tenku Masaoka sebelumnya.
Hal ini sangat serius, harus mengirim formasi tempur resmi yang bisa diandalkan untuk memberikan informasi ke mereka — ini ide awal Tenku Masaoka untuk memastikan Dark Celeste benar-benar memberikan bantuan maksimal. Pengaruh Jiaming sudah cukup, dan Ryuudou Yui juga tahu Tenku Masaoka memiliki hubungan baik dengannya sebelumnya. Mengapa bisa bertahan empat tahun itu tidak penting. Setelah perkenalan simbolis, dia mengaku terus terang tentang penyebab peristiwa ini kepada Jiaming.
Semuanya bermula dari penemuan Kekosongan Pandang Debu. Setelahnya, [] dan Dark Celeste sama-sama mengalami kegagalan di Eropa. Segala petunjuk mengarah ke sekelompok manusia misterius yang datang dengan Kekosongan Pandang Debu. Karena makhluk seperti penghisap darah legenda yang MATI ini memihak Pei Luo Jia, Tenku Masaoka terpaksa mengantisipasi keadaan dengan memusatkan perhatian ke Barat.
Di dunia modern ada berbagai macam pengguna kekuatan supernatural, namun yang menampilkan kemampuan "immortality" sangat langka. Dari informasi yang didapat sebelumnya, yang terkuat secara alami adalah mantan "Pangeran" itu. Dia menunjukkan kemampuan tak terkalahkan yang kuat dan memiliki karakteristik menghisap darah. Setelah diteliti oleh Kelly di laboratorium Dark Celeste, mereka bahkan berhasil menciptakan beberapa "yang MATI" yang tidak sempurna.
Dengan contoh ini, ditambah kemunculan yang MATI yang lebih kuat dari Pangeran, jika kita asumsikan legenda klan darah itu nyata, ke mana seharusnya orang-orang memandang?
Tenku Masaoka pertama kali berpikir tentang gereja Vatikan.
Legenda mengatakan di zaman kuno, gereja juga memiliki pasukan bersenjata bernama pasukan Ksatria Suci. Berbeda dengan konsep sekarang, dengan memanfaatkan posisi Katolik di Eropa saat itu, kekuatan yang bisa dikendalikan pasukan ksatria bahkan jauh melampaui Dark Celeste. Misi utama mereka adalah memburu bid'ah - penghisap darah, manusia serigala, penyihir perempuan, alkemis, dan lain-lain.
Yang sekarang ini tentu dianggap legenda. Kekuatan pasukan Ksatria saat ini memang sudah melemah, tidak meninggalkan banyak informasi. Tapi jika ada literatur yang tersisa sepanjang zaman, gereja Katolik di Vatikan tentu menjadi tujuan terbaik. Awalnya yang diincar adalah ini, Tenku Masaoka benar-benar menganggap perjalanan kali ini sebagai liburan. Siapa sangka setelah memasuki kota Roma, malah menghadapi beberapa upaya pembunuhan dari Pei Luo Jia. Setelah itu salah kaprah mengejar sampai ke Albania, akhirnya mengonfirmasi bahwa Pei Luo Jia telah memecahkan masalah kematian akibat pengaruh gen abadi pada tubuh manusia sampai tingkat tertentu. Kabar ini begitu masuk ke Jepang, Takamagahara langsung bergetar dahsyat. Hasil penelitian seperti ini adalah mimpi indah semua organisasi di dunia. Mereka mengirimkan bantuan untuk Tenku, tapi di sisi Tenku Masaoka, yang dipikirkan bukan cuma hal ini.
Ryuudou Yui tidak terlalu memahami hal-hal di bidang ini. Meski bisa pantas menemani Tenku Masaoka sampai ke sini, tapi tak bisa menembus ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi, hanya dengan menyampaikan beberapa informasi yang Tenku Masaoka tinggalkan sembarangan ke Jiaming, Jiaming langsung mengerti keseriusan masalah ini. Modifikasi yang MATI ini sendiri bisa besar bisa kecil, bisa jadi kabar baik, bisa juga jadi bencana. Dan mengikuti karakter gila Mikado Ki... sudah sangat yakin jadi bencana.
Tenku Masaoka dan rombongan menuju ke Pegunungan Morava. Informasi terakhir yang diterima juga menunjukkan arah sana. Namun posisi spesifiknya sudah tidak jelas lagi. Jiaming menelepon Venesia, meminta Dark Celeste mempersiapkan diri menghadapi pergolakan besar yang mungkin terjadi, lalu menyetir mobil offroad menuju kaki pegunungan Morava. Ryuudou Yui yang panik awalnya ingin ikut, tapi akhirnya ditolak oleh Jiaming.
Area kaki pegunungan Morava sangat luas, tapi Tenku Masaoka tidak datang secara gegabah. Sepanjang jalan dia meninggalkan petunjuk. Jiaming tidak asing dengan hal-hal seperti ini. Namun, di tengah perjalanan sore itu, dia secara tak terduga bertemu dengan seseorang yang membuatnya bingung.
Albania adalah negara sosialis yang cukup unik. Di tengah Eropa yang dikelilingi negara-negara kapitalis, mereka pernah konsisten menjalankan garis politik "anti-Amerika sekaligus anti-Soviet" yang sangat eksentrik, membuat hidup mereka penuh kesulitan. Sebelumnya menghadapi tekanan luar negeri, kerusuhan dalam negeri juga sering terjadi. Untuk mengantisipasi bahaya, ciri khas negara ini adalah bunker. Negara yang tidak disukai kedua kubu ini, demi menghadapi invasi yang mungkin datang kapan saja, menggali puluhan ribu bunker di wilayah seluas 280.000 km² dengan populasi hanya 3 juta jiwa. Kini situasi dalam negeri sudah stabil, mengutamakan perdamaian dan pembangunan. Bunker-bunker super kuat yang dulu dibangun susah dihancurkan, bahkan bom pun tidak bisa meledakkannya. Maka bunker-bunker yang tersebar seperti bintang di hamparan tanah ini menjadi salah satu pemandangan paling ikonik.
“Meninggalkan Korçë menyusuri jalan raya terus, karena dekat perbatasan, penduduk juga terlihat jarang. Sesekali terlihat desa, tapi yang benar-benar ada di mana-mana adalah benteng-benteng besar kecil. Di sepanjang jalan, di atas-bawah bukit, di tengah sawah-desa, depan-belakang rumah, benteng terbuka, benteng tersembunyi, benteng berbaris, benteng berkelompok, berbagai macam tak terhitung. Setelah mengemudi sekitar setengah jam lebih meninggalkan Korçë, kami telah memasuki kawasan perbukitan Morava. Saat melewati suatu ruas jalan, samar-samar terlihat gerakan di bukit. Ketika mobil melewatinya dan melihat lewat kaca spion, terlihat sosok seseorang berlari turun dari bukit sambil melambai-lambaikan tangan. Sosok itu mulai terasa familiar.
Jiaming melirik, menginjak rem, menjulurkan kepala keluar jendela dan melambai ke belakang. Orang yang terengah-engah berlari ke arah sini itu menggendong tas perjalanan, ternyata Xie Baoshu yang baru kemarin bertemu di Bandara Sapporo. Melihat yang menyetir adalah Jiaming, dia jelas kaget, lalu membuka pintu dan naik: "Kau... kau... kau... bagaimana bisa kau ke sini? Kemarin kau bilang mau ke Venesia kan?"
"Ada urusan mendadak, jadi mampir ke sini," Jiaming tersenyum. "Kamu? Bukannya mau cari orang di Albania? Kok bisa begini?"
"Jangan ditanya. Orang itu suka kabur-kaburan. Pas telepon dia bilang ada di Korçë, tapi ternyata lari ke kota tak bernama di pegunungan. Sinyal telepon putus, cuma tinggalkan pesan..."
Xie Baoshu mengerutkan alisnya sambil menunjukkan peta wisata kepada Jiaming: "Kota Rakka." Itu adalah kota kecil terjauh di Pegunungan Morava, sekaligus salah satu lokasi tujuan Jiaming—benar-benar kebetulan yang mengherankan... Ia melirik Xie Baoshu yang sedang sibuk mengomel sambil memegang peta. Pemuda sebaya itu sama sekali tidak menunjukkan jejak pelatihan khusus maupun kemampuan supernatural—faktanya kemarin saat berjabat tangan pun sudah bisa ia rasakan. Apalagi kali ini perjalanannya ke sini seharusnya tidak bisa dipantau oleh Pei Luo Jia. Kemampuan mereka untuk memprediksi pergerakannya lalu menempatkan agen di Jepang untuk berpapasan dengannya, kemudian menunggu di Albania demi memastikan bisa menangkapnya... Kemungkinan itu basically tidak ada. Jadi ini benar-benar kebetulan belaka?
Sambil merenung, telinganya tetap menangkap keluhan Xie Baoshu: "Aku memang tidak suka jalan-jalan. Kalau bukan karena ingin mencarinya, aku tidak akan kemari. Di sini semuanya asing, bahasa Inggris saja tidak lancar, apalagi bahasa Albania. Mau ke pegunungan, mobil pun susah dicari. Kubayangkan negara ini cuma lebih dari 20.000 kilometer persegi, jaraknya pasti tidak jauh. Kucoba belajar berjalan kaki sambil menikmati pemandangan, sekalian olahraga. Lagipula aku sudah bawa tenda dan makanan... Dia memang suka gaya petualangan begini. Tapi baru setengah hari berjalan, sudah kusadari tubuhku tidak cocok untuk ini. Sampe mana-mana tidak tahu. Untung ketemu kamu..."
“Xie Baoshu ini mirip dengan Jiaming, bisa dibilang berpenampilan tak berbahaya. Tapi kalau boleh dikatakan, dia terlihat lebih imut dengan wajah seperti boneka, kesan lembut dan kekanak-kanakan. Cara bicaranya juga polos, tidak terkesan dibuat-buat—faktanya, sangat sedikit orang di dunia yang bisa menipu Jiaming. Jiaming mendengarnya bercerita panjang lebar lalu tersenyum: "Dia siapa bagimu?"
“Siapa bagiku, siapa bagiku...” Xie Baoshu menatap langit-langit mobil off-road sambil mengerutkan alisnya: “Teman yang tumbuh besar bersamaku sejak kecil. Dia lebih suka mengaku sebagai kakakku, tapi seharusnya dia satu-satunya keluarga yang kumiliki... Dia cantik loh, kalau bisa ketemu akan kuperkenalkan padamu.”
“Boleh saja.”
Sepanjang perjalanan mereka mengobrol, pemuda bernama Xie Baoshu itu juga menanyakan tujuan kedatangannya ke sini. Jiaming tentu saja menjawab sedang mencari seseorang. Xie Baoshu terkagum-kagum dan bilang mereka benar-benar berjodoh, harusnya jadi saudara angkat kalau tidak menikah. Saat tiba di Kota Nakara, waktu menunjukkan sekitar pukul lima sore.
Kota kecil di lembah ini tidak besar, diperkirakan hanya dihuni beberapa ratus penduduk. Karena terlalu terpencil, tidak ada turis dan hampir tidak terlihat toko-toko. Jalan besar berbentuk salib membagi kota menjadi empat area. Jiaming menemukan tempat parkir di belakang satu-satunya penginapan di kota itu. Baru saja hendak menuju ke depan penginapan untuk urusan administrasi, begitu melangkah ke jalan raya, indera keenamnya menangkap firasat jelas yang muncul di pikirannya.
Kota ini meski tidak besar, namun karena terkonsentrasi, di jalan raya ini masih cukup banyak pejalan kaki. Mereka keluar dari jalan raya, di sisi penginapan terdapat stan kecil yang menjual buah merah berbentuk bukit kecil, terlihat kristal dan imut. Xie Baoshu yang membawa tas perjalanan melirik beberapa kali, lalu dipanggil oleh perempuan penjual dengan mengayunkan tangan, mendekat dan memilih satu butir untuk dicicipi. Karena bahasa tidak nyambung, hanya bisa berkomunikasi dengan gerakan tangan: "Ini……cicip satu? Bisa cicip? Jiaming……dia bilang boleh dicicip? Tidak tahu aromanya enak atau tidak……"
Saat dia terus mengoceh di depan stan kecil itu, Jiaming memandang ke depan jalan. Sebuah bayangan muncul dari toko kecil di persimpangan jalan, tatapannya juga mengunci Jiaming di sini.
Postur tubuh tinggi ramping, rambut ikal bergelombang, tatapan elegan dengan sedikit kesombongan, wajah cantik ala Barat. Jiaming sebelumnya hanya pernah bertemu sekali dengannya. Dia adalah salah satu anggota klan darah yang pernah mengejar-kejar Lingjing mulai dari Gedung Olahraga Jianghai, namanya Millia.
Pengguna kekuatan supernatural dari Takamagahara dan Tenku Masaoka yang datang ke sini telah mengalami kehancuran total. Dia mungkin hanya diatur di sini sebagai pengamat yang bisa mendeteksi musuh yang datang berturut-turut lebih dulu. Namun ketika tiba-tiba menyadari yang datang adalah Jiaming, tatapannya jelas menunjukkan ketegangan, tapi tetap mempertahankan sikap santai dan arogan sambil berjalan ke tengah jalan. Kedua tangannya yang tergantung di samping tubuh perlahan menggenggam tinju, lalu melepaskannya kembali. Dari jarak puluhan meter, Jiaming berdiri dengan tangan di kantong sambil mengamatinya dengan penuh minat. Tak jauh darinya, Xie Baoshu sedang sibuk membeli barang-barang, sementara sinar matahari redup dari sisi kota kecil menyorot ke arah mereka.
Akhirnya, Millia perlahan mengangkat tangan kanannya dan menunjukkan jari tengah. Jiaming tersenyum: "Setidaknya mengikuti perkembangan zaman..." Sekejap kemudian, Millia berbalik dan kabur.
Jika bukan karena situasi saat itu, tubuh Jiaming akan langsung melesat seperti peluru meriam pada saat yang sama. Bahkan jika Xie Baoshu ada di dekatnya, dia tidak akan peduli karena ini hanya pertemuan kebetulan. Namun sebelum sempat mengerahkan tenaga, pemandangan yang muncul di depan matanya membuat Jiaming tiba-tiba seperti tertanam akar, terpaku di tempat tanpa bisa melangkah. Millia memang berbalik dan kabur sekuat tenaga, tepat pada detik dia berputar dan berlari, dia menghindari bayangan seseorang yang lewat di sampingnya.
Dibandingkan Millia yang tiba-tiba kabur secepat kilat, terlihat seorang wanita timur dengan alis sehalus kuas lukisan. Ia sedang menggendong kantong kecil sambil berjalan dari seberang jalan. Baru saja melewati persimpangan jalan, sebelumnya tubuh Millia menghalanginya. Ketika Millia berbalik dan berusaha lari, wanita itu muncul tiba-tiba di depan mata seperti pemandangan taman. Bayangan Millia melesat dengan rambut bergelombang panjang melewatinya, membuat rambut hitamnya yang ikal pun sedikit terurai.
Celana jeans biru dan kemeja lengan panjang putih polos, penampilan sederhana ini justru memancarkan keanggunan luar biasa. Dalam sekejap, suasana mencekam di udara pun memudar. Melihat situasi di jalan ini, wanita itu berkedip beberapa kali. Pandangannya tertahan sebentar di wajah Jiaming, lalu ia mengangkat tangan kanan dengan senyum lembut: "Halo..."
Jiaming yang agak kaku memalingkan pandangan ke Xie Baoshu di sampingnya. Pria itu sedang membungkuk mencicipi buah hutan, separuh sudah digigitnya, separuh masih di tangan. Kemudian ia juga tersenyum sambil melambaikan tangan: "Hei."
“Jiaming berdiri di sana, memandangi perempuan itu yang menggendong kantong kertas di tangannya mendekat. Pandangannya lembut, senyumannya anggun seperti perempuan tetangga. Selama Jiaming mengamat-amatinya, dia juga mengamati Jiaming, namun tetap mempertahankan niat baik. Bahkan dalam sorot matanya tersimpan emosi kompleks yang tak bisa dipahami Jiaming - rasa ingin tahu, pemahaman, bahkan kesan seperti perempuan yang sedang bermain-main mengatakan 'senang bertemu'.”
Waktu berlalu, dua kehidupan. Ini kali ketiga dia melihat perempuan di depannya, dan yang paling dekat jaraknya. Bahkan saat sudah berhadapan, dia mengangkat tangan, "Hei!" menyapa Jiaming.
“Halo, namaku Jian Suyan.”
## Empat Ratus Delapan Puluh Empat Bagian: Evolusi Alami
Seolah terjerumus ke dalam pusaran konspirasi.
Jiaming pernah mengalami perasaan seperti ini berkali-kali. Di kehidupan sebelumnya, setiap muncul perasaan ini berarti meski bisa bertahan hidup, harus membayar harga yang sangat besar. Saat perasaan ini tiba-tiba muncul, dalam hatinya sudah terbayang berbagai tindakan darurat, tapi tak satu pun yang bisa dia kendalikan.
“Namaku Jian Suyan.”
Pengenalan yang tampak lembut ini telah membawa kekuatan yang cukup besar. Saat ini Jiaming mengingat kembali, dua kali pernah melihat Jian Suyan asli menyerang. Meski sekarang dia telah memiliki kekuatan supernatural yang besar, tetap sulit mengatakan apakah bisa menanggung daya rusak yang pernah disaksikannya dulu. Namun, perkenalan diri Jian Suyan ini agaknya mengandung pandangan menggoda. Setelah selesai berbicara, dia menggigit bibir sambil tersenyum, seolah nama itu awalnya bukan miliknya.
Jangan-jangan aku meniru identitasnya, sementara dia juga memakai nama palsu orang lain? Pikir Jiaming.
Bagaimanapun, dulu dia pernah menciptakan citra "Jian Suyan" sesuai imajinasi dan kenyamanannya: dominan, keras, memiliki kekuatan dahsyat dan bergerak kaku seperti robot, cenderung ekstrim dalam kesempurnaan estetika, serta tidak mudah diajak bersosialisasi. Tapi Jian Suyan yang nyata jelas berbeda. Sikapnya lembut namun tetap anggun, dari interaksi sederhana terkesan seperti perempuan polos yang suka traveling seperti digambarkan Xie Baoshu. Tentu saja, hubungan antara Xie Baoshu dan Jian Suyan sendiri juga tidak bisa dia tanya terlalu dalam.
Jian Suyan sudah menginap di penginapan sejak sehari sebelumnya. Jiaming dan Xie Baoshu kemudian menyewa dua kamar lagi. Makan malam disantap bersama, ketiganya mengobrol berbagai hal layaknya teman yang sudah beberapa kali bertemu dan bisa akur. Jian Suyan mungkin bercerita tentang pengamatan di Eropa: tempat makan enak di mana, kejadian lucu apa yang dialami, atau pemandangan indah yang sepadan dikunjungi.
Xie Baoshu jelas adalah seorang otaku, seperti yang dia katakan sebelumnya, sama sekali tidak tertarik pada liburan.
Sebenarnya tidak ada hiburan di kota. Setelah makan malam, mereka pergi ke satu-satunya bar di kota, bermain kartu di penginapan, dan sekitar lewat sepuluh malam masing-masing bosan kembali ke kamar tidur. Tentu saja, tidur tidak mungkin. Jiaming juga bisa memilih pergi ke luar kota untuk menyelidiki, tapi saat ini Xie Baoshu dan Jian Suyan jelas lebih menggetarkan. Dia mendengarkan keributan dari kamar-kamar terdekat di ranjang, tidak ada keanehan. Xie Baoshu dan Jian Suyan tidur terpisah, mengetuk dinding dan mengucapkan beberapa kata membosankan, lalu masing-masing tidur. Jiaming baru memejamkan mata dan mulai istirahat sekitar pukul satu dini hari.
Sekitar pukul tiga dini hari, suara samar dari kejauhan membangunkannya. Suara itu berasal dari bukit di luar kota, umumnya manusia tidak akan merasakannya. Udara terasa panas dan bergejolak seperti pasukan besar mendekat. Beberapa menit kemudian, jeritan memilukan membelah keheningan malam, diikuti suara-suara serupa yang muncul satu per satu.
"Ada apa ada apa..." Suara riuh rendah mulai bermunculan di kota, diselingi jeritan sesekali. Pemilik penginapan juga sudah bangun dari lantai bawah. Saat Jiaming membuka pintu dan melangkah ke koridor, barulah ia menyadari dengan kaget - di kamar sebelah sama sekali tidak ada suara, bahkan napas pun tak terdengar. Ia mengetuk pintu, lalu membukanya dengan kunci master. Barulah terkonfirmasi: Xie Baoshu dan Jian Suyan yang seharusnya tidur di dalam, ternyata menghilang begitu saja tanpa terdeteksi oleh sistem pemantauannya.
Keluar dari penginapan, jalanan sudah dihiasi bayang-bayang manusia. Beberapa orang berlari keluar dari rumah, sementara sosok-sosok lain seperti orang gila berlari maju dan berkelahi. Jiaming mengerutkan kening. Sebuah bayangan dari seberang jalan langsung menerjang ke arahnya. Dengan reflek Jiaming menyambar tongkat kayu di sampingnya dan mengayunkannya. Byur! Kepala orang itu meledak sepenuhnya, tubuhnya terlempar 4-5 meter ke belakang dan terguling di tanah. Seluruh tubuhnya mengalirkan nanah merah-hijau yang mirip adegan film horor, terlihat sangat mengerikan.
"Sial!"
Tahu bahwa Mikado Ki adalah orang gila, Tenku Masaoka juga meninggalkan hipotesis, tetapi pada saat ini, dia akhirnya mengkonfirmasi bahwa orang itu benar-benar melakukannya. Masalah peleburan gen yang MATI dengan manusia biasa telah terselesaikan, tetapi bahkan jika masalah keabadian setelah peleburan terpecahkan, menjadi seperti apa bentuk akhirnya, tetap tidak ada yang memahami. Sel penghisap darah sendiri sudah sangat ulet, mereplikasi diri dan berkembang biak sendiri, mengasimilasi sel-sel lain, ketika ditempatkan pada manusia, reaksi pertama yang muncul adalah efek penolakan. Sebagian besar orang akan MATI karenanya, bahkan jika tidak mati, pasti akan menjadi gila. Organisasi seperti Takamagahara dan Dark Celeste meneliti yang MATI untuk mempersenjatai tentara setelah penyempurnaan, atau memperkuat tubuh manusia dan digunakan untuk medis. Tapi Mikado Ki ini, justru mengejar hasil eksperimen tidak sempurna seperti ini.
Jika dikombinasikan dengan daya menular tinggi, konsekuensi akhir yang mungkin terjadi adalah konsep seperti Resident Evil.
Di dunia sebelumnya, Jiaming melihat orang itu melakukan berbagai hal tidak karuan, membuat kehancuran di seluruh dunia, melakukan hal-hal merugikan orang lain tanpa keuntungan diri yang sulit dipercaya, merasa dia sangat sulit dipahami. Bahkan para pembunuh seperti mereka yang berada di tepi kematian ini, hanya menganggap polos bahwa dia memiliki kecenderungan menghancurkan diri sendiri yang kuat.
Kecenderungan menghancurkan diri sendiri saja, tidak berarti harus bunuh diri. Melakukan hal-hal yang merugikan orang lain tanpa keuntungan pribadi, mungkin bisa dianggap sebagai pelampiasan histeris. Tapi baru pada saat ini, Jiaming akhirnya bisa memastikan bahwa pria bernama Mikado Ki ini, selama hidupnya dengan tekun mengejar upaya untuk menghancurkan dunia atau umat manusia. Bukan sekadar berpikir demikian, dia benar-benar berusaha mewujudkannya, dan begitu ada kesempatan, menjadi lebih fanatik daripada siapa pun.
Benar-benar seperti dirimu... Seketika itu, dia tiba-tiba merasa mulai mengagumi orang ini...
Yang terinfeksi yang muncul di kota kecil mungkin hanya beberapa orang, berlari panik di jalanan. Kebanyakan orang keluar dari kamar mereka, bingung menyaksikan segalanya, orang-orang yang menjerit atau digigit terkapar merintih di tanah. Beberapa mencoba menghentikan mereka, tapi tekanan dahsyat di udara semakin mendekat. Ratusan bahkan ribuan orang saat ini sedang bergerak ke arah sini.
Mengikuti suatu intuisi dalam pikirannya, dia berjalan ke satu arah sambil mengeluarkan pisau tentara sepanjang setengah meter dari punggung. Dengan genggaman ringan, bilah yang semula terliput secara mekanis langsung memanjang dua kali lipat. Dalam jarak pandangnya, bayangan orang seperti gelombang tiba-tiba menerobos masuk dari sisi kota.
Gemparan tiba-tiba membesar, jeritan mulai mendidih dari berbagai sudut kota, diselingi teriakan kesakitan dan suara Braak yang bergemuruh. Dalam berbagai kebisingan ini, beberapa sosok mulai menerjang ke arahnya, mencoba menelannya hidup-hidup. Kemudian dua kepala manusia "Puff!" melayang ke langit, sosok di belakang terpotong dua di bagian dada, sementara sosok lain tiba-tiba digenggam bagian punggungnya. Setelah diputar sekali di udara, sosok itu menerjang ke sebuah rumah di samping dengan Braak. Dalam debu reruntuhan dan ledakan dahsyat, tubuhnya nyaris remuk redam.
Terus melaju belasan meter, tujuh delapan kepala terpenggal melayang ke langit malam bagai kembang api.
Kota telah berubah menjadi neraka yang gempar. Dentuman senjata mulai terdengar. Monster-monster ini daya menularnya masih rendah, jelas bukan karya yang sempurna. Mereka sudah kehilangan kesadaran, murni menyerang berdasarkan kerinduan akan darah, tanpa organisasi maupun disiplin. Mengepung Jiaming sampai MATI atau membuatnya lelah menggorok sama-sama tak realistis. Setelah meninggalkan jejak kepala dan tubuh remuk di tanah, jarak dari kota semakin jauh. Mayat hidup hasil rekayasa ini juga semakin jarang. Penghisap darah utama belum muncul, membuat Jiaming mulai merasa bingung.
Sepertinya ada fluktuasi energi magis yang telah terjadi di suatu tempat, tampaknya ada orang yang sedang bertempur, namun firasat di pikirannya justru menunjuk ke arah yang berlawanan. Terus berjalan ke depan, mayat hidup tiba-tiba berlari keluar dari balik pohon, langsung ditangkisnya dengan pisau. Tak lama kemudian, akhirnya ia melihat kobaran api di depan.
Semakin jauh masuk ke dalam hutan, suara gemparan dari kota mulai samar-samar. Ada nyanyian lain yang terdengar. Setelah berjalan puluhan meter, nyanyian itu semakin jelas, berasal dari lapangan kosong di pinggang gunung. Api unggun menyala dengan tenda kecil yang miring di sebelahnya, tas travel diletakkan di tepi api. Xie Baoshu sedang duduk di sana memanggang sesuatu di atas api: "Sayap ayam panggang, favoritku..."
Jiaming berdiri di tepi hutan sambil memegang pisau panjang berlumuran darah, menatapnya. Beberapa saat kemudian, Xie Baoshu menyadari kehadirannya dan tersenyum sambil melambaikan tangan: "Mau ikut makan? Tidak bisa tidur malam ini, jadi kabur ke sini untuk memanggang sayap ayam. Di kota sana... Uhh... Muntah..." Begitu melihat pisau Jiaming, wajahnya langsung memucat seperti ingin muntah.
Jiaming diam-diam duduk di sebelah sambil menatapnya mati. Jian Suyan tidak terlihat di sekitar, tidak ada aura aneh dari tubuhnya - tidak terlihat secara visual maupun melalui sensor kekuatan supernatural. Tentu ini ilusi. Setelah beberapa saat, mereka merasa tidak nyaman dengan tatapannya yang intens.
“Jangan memandangiku seperti itu... Kau datang untuk mencari orang, menyelesaikan hal, aku juga mencari orang untuk menyelesaikan urusan. Kalau hal ini benar-benar terjadi, tidak baik untuk siapa pun. Setelah aku menghabiskan makanan, kita akan pergi melihat... Eh, lebih baik tidak usah makan...”
Dia berkata sambil mengeluarkan sayap ayam yang gosong itu, memandang pisau di sebelah Jiaming, lalu tiba-tiba mengerutkan alis sambil menggelengkan kepala dengan kekecewaan sebelum berdiri.
Bertiga berjalan pulang bersama. Suara dari kota kecil itu perlahan menghilang. Saat melihat mayat pertama yang terbelah di hutan, wajah Xie Baoshu mulai memucat. Bukan karena belas kasihan, tapi reaksi seperti orang yang tidak bisa mencerna makanan. Reaksi umum bagi yang pertama kali ke Medan Perang atau melihat pemandangan mayat. Jiaming sangat memahami hal ini.
Saat mereka hampir mencapai tepi kota kecil, tiba-tiba Xie Baoshu menggenggam tangan Jiaming dan memuntahkan semua yang dimakannya malam itu. Melewati sudut kota, mereka menuju arah pertempuran yang terdeteksi indera darah Jiaming. Sepanjang jalan dipenuhi potongan tubuh, organ dalam, dan genangan nanah-darah. Xie Baoshu berhenti beberapa kali, terus muntah hingga habis bahkan sampai hanya mengeluarkan suara muntah kosong. Tampaknya kemampuan mentalnya benar-benar tidak bisa menanggung pemandangan seperti ini.
“Tidak tahan ini... Nanti mungkin harus memuntahkan hati juga, haha...” Pura-pura tertawanya terlihat canggung. Karena Jiaming sudah tidak ingin bicara lagi sebelum benar-benar memahami mereka, di kejauhan terlihat mayat-mayat hidup berkeliaran, tapi sepertinya tidak memperhatikan dua orang di sini, sama sekali tidak mendekat.
Pertempuran sepanjang perjalanan benar-benar sengit. Di antara tumpukan mayat hancur, Jiaming akhirnya melihat mayat Millia. Kepalanya sudah hilang sama sekali. Beberapa meter lagi, di bawah pohon ada mayat lain yang sudah rusak, milik pria berambut pirang yang menggunakan pedang panjang dulu, namanya Victor mungkin. Sekarang kepala dan tubuhnya sudah terkoyak jadi dua bagian, masih lebih baik dari Millia, setidaknya kepalanya masih ada...
Di hutan tak jauh, pertempuran sengit sepertinya masih berlangsung. Mayat-matang hancur di sekitar juga semakin banyak. Sepertinya banyak mayat hidup terus menerus maju menyerang satu target, dan dalam serangan ini terkandung fluktuasi energi supernatural Victoria yang mengejutkan.
Xie Baoshu muntah-muntah sampai kakinya lemas, berjalan tertatih-tatih dengan limbung. Saat keduanya hendak melanjutkan perjalanan, bayangan merah menyembur keluar dari hutan - Victoria. Melihat dua orang di sini, dia tertegun sejenak sebelum kembali berlari ke arah mereka. Jiaming sudah siap siaga ketika sosok lain tiba-tiba muncul dari sisi berlawanan, tak lain adalah Jian Suyan yang masih mengenakan pakaian siang hari. Namun dalam pertempuran, aura-nya tumpang tindih dengan "Jian Suyan" yang diperankan Jiaming. Tatapannya fokus, serangannya secepat angin, helai rambut hitam dan ujung bajunya berkibar dalam angin malam. Setiap jurus membawa kekuatan yang teguh dan tenang. Hanya tiga kali bentrok, tangannya sudah menyambar dan menjepit leher Victoria dengan satu genggaman, mengangkatnya ke udara seolah hendak mematahkan tulang lehernya.
Braak! Victoria mengayunkan Bilah Angin raksasa. Jian Suyan melepas genggaman secara tiba-tiba, bilah angin itu melesat di atas kepalanya dan menebas pohon besar di belakangnya. Bersamaan, tubuh Victoria terhempas oleh kekuatan dahsyat. Dengan suara menggelegar, dia menubruk sebuah bunker anti-bom sejauh belasan meter hingga menjadi reruntuhan.
Tanpa keraguan, Jian Suyan langsung melesat ke depan, menghujamkan satu pukulan ke arah Victoria di tengah reruntuhan, diikuti pukulan lagi. Victoria sepertinya ingin menghadang, tapi terpental oleh serangan balasan. Tiga pukulan beruntun secepat kilat menghantam tubuh bagian atasnya hingga terbenam ke dalam tanah. Udara kemudian dipenuhi jeritan Victoria.
Sang Ratu berbaju merah masih berusaha melakukan perlawanan terakhir. Cahaya menyilaukan tiba-tiba menyembur. Di tengah kobaran cahaya, Jian Suyan hanya mengulurkan satu tangan, dengan tenang menahan tubuhnya.
Aliran udara menyebar ke segala penjuru membawa ledakan perlawanan terakhir Victoria bagai meteor api raksasa. Kanopi pohon di sekitarnya terbakar, dedaunan berjatuhan dengan bintik-bintik api. Rumput di tanah juga mulai terbakar kecil-kecil. Jian Suyan berdiri tegak dari cahaya itu. Seluruh tubuhnya bahkan tidak terlihat setetes darah pun. Wajah pucatnya yang tanpa ekspresi menatap ke arah Jiaming, sebelum akhirnya tersungging senyum tipis: "Biarkan aku yang menopangnya."
Xie Baoshu masih memegangi dadanya dengan wajah kesakitan, tapi kali ini menyentuh bahu Jiaming, menunjuk ke arah hutan: "Orang yang kau cari ada di sana... Sudah mendekat..."
Jiaming melirik ke arah yang ditunjuk. Di sana sudah ada dua orang. Di depan adalah Tenku Masaoka yang separuh tubuhnya dibalut perban. Ia terhuyung-huyung mendekat, memandangi Jiaming beberapa saat sebelum tersenyum lemah: "Syukurlah kau selamat..."
“Atas perintah istrimu untuk menjemputmu.”
“Aku tahu... ke Frankfurt...” ujarnya lemah, kemudian mengulangi, “Mikado Ki di Frankfurt...”
Jiaming menatap ke dalam kegelapan hutan, seorang pria lain menggendong tas perjalanan yang terlihat jauh lebih profesional daripada Xie Baoshu, samar-samar dikenali sebagai Kuromura Hiroki.
Tiga hari kemudian, Frankfurt, Jerman.
Cuaca muram, seolah hujan akan turun lagi. Frankfurt beberapa hari ini terus hujan, segalanya terasa lembap. Jiaming berdiri di puncak gedung pencakar langit, memotret beberapa gedung pencakar langit lain yang berjarak ratusan meter. Di belakang, seseorang membuka pintu tangga dan naik, ketika menoleh, ternyata Xie Baoshu yang sudah berpisah di Kota Laka tiga hari lalu.
“Hei, ketemu lagi.” Ia menyapa sambil tersenyum.
Di Kota Laka tidak banyak berbincang, awalnya kukira setelah peristiwa ini mungkin tak akan bertemu lagi. Siapa sangka dia juga datang ke sini. Jiaming terdiam sejenak, lalu ikut tersenyum: “Ketemu lagi.”
Xie Baoshu menghela napas pelan, mendekati Jiaming. Dari puncak gedung pencakar langit, matanya menyapu pemandangan bawah kemudian gedung-gedung jauh. Beberapa saat kemudian, ia mengerutkan kening: “Di lantai delapan dan sembilan ya?”
“Seharusnya.”
“Sebenarnya aku selalu ingin bertanya sesuatu.” Xie Baoshu tiba-tiba menoleh, mengganti topik, “Kondisiku dulu tidak baik, tak sempat bertanya, lagipula ini baru pertemuan kedua. Tapi sekarang sudah ketiga kalinya, kita sudah akrab, kau tak keberatan kan?”
Jiaming berpikir sejenak: “Kita tukaran?”
"Baiklah." Xie Baoshu tersenyum, "Aku adalah Evolusioner alami yang kalian sebut, kau ingin menanyakan ini kan?" Seolah takut Jiaming berubah pikiran, ia buru-buru mengungkapkan lebih dulu.
"Bukan hanya itu..." Jiaming juga tersenyum, "Ini sudah bisa kutebak, tapi melihat kesungguhanmu, silakan kau yang bertanya dulu."
"Bagus! Tapi pertanyaan ini juga sangat rahasia bagimu, jangan kaget ya." Xie Baoshu berpikir sejenak, "Kau...kau bukan dari dunia ini, maksudku...seharusnya tidak termasuk dalam Garis Sebab-Akibat dunia ini, selalu terasa begitu, sudah kupikirkan lama, itu...itu..."
Ia seolah ingin mengeluarkan pertanyaan dari kepalanya untuk diperlihatkan pada Jiaming. Jiaming sendiri terkejut dengan pertanyaan itu, baru setelah beberapa saat bertanya: "Bagaimana kau tahu?"
"Benar begitu?" Xie Baoshu berkedip-kedip, "2 November 1991, baru kemudian hari itu kusadari, selalu terasa ada yang bermasalah. Dunia terbelah, seolah aku juga terbagi menjadi dua. Meski tak tertarik dengan mekanika kuantum, alam semesta paralel dan hal-hal semacam itu, tapi kemudian membaca beberapa teori spekulatif. Tapi pembelahan ini terlalu parah, rupanya ada seseorang yang menyusup..."
Dia terus berbicara tanpa henti seolah sedang bicara pada dirinya sendiri. Setelah selesai, Jiaming baru tersenyum dan bercerita tentang masa lalunya: "Awalnya aku adalah seorang pembunuh..." Ini pertama kalinya dia menceritakan hal ini pada orang lain di dunia ini. Setelah selesai, Xie Baoshu pun tersadarkan. Kemudian menanyakan hal-hal yang ingin diketahui Jiaming, Jiaming pun bercerita tentang kabar yang didapat dari Kelly sebelumnya - hubungan antara seorang anak yang menggendong kardus dengan Jian Suyan.
"Aku selalu ingin tahu, apakah anak yang menggendong koper itu benar-benar kau atau Kuromura Hiroki? Kalian berdua siapakah yang sebenarnya Evolusioner alami..."
Mendengar pertanyaan ini, ekspresi Xie Baoshu mulai menunjukkan kerepotan. Karakternya yang polos membuatnya tidak bisa berpura-pura soal emosi seperti ini, terlihat jelas ada sesuatu yang sulit diungkapkan. Jiaming hendak mengatakan tak perlu menjawab, tapi Xie Baoshu menggaruk-garuk rambutnya...
"Ini... setelah kukatakan padamu, jangan disebarkan ya. Sebenarnya tidak masalah besar, tapi... Suyan tidak suka membicarakan ini dengan orang lain. Tentu saja, justru kau boleh tahu. Ke depannya jika bertemu, jangan bahas ini dengannya..."
Dia berhenti sejenak, melihat Jiaming mengangguk, lalu berpikir lagi sebelum akhirnya berkata: "Sebenarnya Suyan itu kubuat."
"Dibuat... dibuat?"
"Ya, dibuat. Saat kecil aku merasa rendah diri, merasa berbeda dari orang biasa. Teman-teman kecil itu tidak mau bermain denganku, menggangguku aku pun tak berani melawan, selalu khawatir kalau menyerang akan membuat mereka remuk redam. Jadi ingin menciptakan seseorang, Suyan tercipta seperti ini. Awalnya bentuknya seperti bubur kental, lama-lama berubah jadi agar-agar, mirip karakter animasi Jepang 《Clannad》. Dia tidak bisa berubah wujud manusia, kubungkus dengan koper, keliling mencari cara untuk berubah jadi humanoid. Yang kau sebut itu kejadian lama, waktu itu orang itu kubanting ke tembok. Baru tahun 98 Suyan benar-benar bisa berubah humanoid, persis seperti penampilanmu."
Jiaming tertegun: "Penampilanku?"
"Iya." Baoshu mengangguk wajar. "Tahun 98 kita pernah ke Jianghai. Awalnya mau keliling negeri dengan mobil bawa dia, tapi karena peristiwa khusus akhirnya ke sana. Lalu melihat Jian Suyan berkamuflase sedang berkelahi di villa. Jujur saja aku tidak melihat saat itu, waktu itu dia kabur sendirian melihatmu. Setelah pulang langsung bisa berubah humanoid. Katanya sangat suka penampilan itu. Saat itu kami sedang mencari sosok yang relatif sempurna dan cantik. Aku juga suka, sampai sekarang belum menemukan yang terbaik... Tidakkah kau perhatikan Suyan agak malu saat memperkenalkan diri? Karena menggunakan penampilanmu, meskipun itu kamuflase, tapi itu karya orisinilmu. Jadi kupikir tidak masalah memberitahumu."
"Aku... aku orisinil?"
Jiaming berpikir sejenak, tak bisa menahan tawa. Baoshu terlihat bingung: "Tidak mungkin, jangan-jangan kau juga meniru orang lain?"
"Hehe, yang kuitiru adalah Jian Suyan..." Jiaming menceritakan penglihatannya akan Jian Suyan di kehidupan sebelumnya. Baoshu terdiam terpana, baru sadar setelah lama.
"Pantas saja... Aku selalu merasa sosok ini sangat ideal, bahkan kadang merasa Suyan memang seharusnya seperti ini. Rupanya... di duniamu yang dulu, aku benar-benar menciptakan Jian Suyan seperti ini. Lalu kau melihatnya, kabur kembali dan berperan seperti itu. Karena waktunya terlalu awal, malah kami mengiraimu sebagai prototipe... Hehe... Haha..."
Ia tertawa terbahak-bahak. Kemudian Jiaming pun ikut tertawa. Angin menerpa atap gedung pencakar langit, gelak tawa mereka bergema lama di antara hempasan angin.
Setelah tawa reda, Baoshu mengangguk: "Sebenarnya Kuromura Hiroki juga evolusioner alami. Waktu SD, setelah belajar tentang Pembantaian Nanjing, aku ingin menghancurkan Jepang. Hasilnya, aku mencuri bom atom dari Amerika, terbang ke Jepang hendak melemparkannya. Lalu dia muncul, kami bertarung di atas Samudra Pasifik. Bagaimanapun, akhirnya aku terpengaruh ucapannya... Kami semua anak biasa yang jadi evolusioner alami karena suatu hal. Kekuatan bisa disalahgunakan, tapi konsekuensinya tak bisa kami tanggung. Jadi harus lebih rendah hati daripada orang biasa. Sejak saat itu, kami menghindari urusan besar. Mengurus diri sendiri saja sulit, mana mungkin ikut campur urusan orang..."
Dia menatap gedung tempat Mikado Ki berada di kejauhan: "Tapi kali ini berbeda. Sejujurnya Resident Evil juga cukup menarik, tapi begitu berubah seperti itu, tidak bisa kembali lagi. Dunia sekarang ini belum kita bosani, jadi tidak boleh membiarkan orang itu mengubah dunia menjadi seperti itu. Aku sudah berbicara dengan Kuromura Hiroki juga, dia juga sudah menemui orang itu sekali, tapi tidak ada kesepakatan. Kalau begitu, aku yang akan menyelesaikannya."
Dia menoleh dan tersenyum: "Ini lebih sederhana, jadi biarkan aku saja." Kemudian, Jiaming melihatnya melompat ke bawah.
Bayangan itu terus terjun bebas, tiba-tiba berhenti di udara sejajar dengan lantai delapan gedung di seberang, lalu melesat lurus ke depan.
Dia terlempar masuk ke gedung, gelombang seperti air menyapu habis lantai delapan dan sembilan gedung pencakar langit itu. Api kemudian menyembur dari antara dua lapisan bangunan, menghancurkan kaca, menyapu langit jalanan sekitar seperti kembang api megah. Getaran dahsyat seketika mengguncang hampir seluruh kota, atap gedung tempat Jiaming berdiri terus-menerus berguncang.
Debu, api, fragmen mulai berjatuhan. Ledakan yang menyedot langit kota ini memiliki daya hancur dan skala yang fantastis, hampir seperti peristiwa 911 lainnya. Hanya saja setelah ledakan kali ini, gedung tidak ambruk. Namun kaca-kaca dinding luar yang tak terhitung jumlahnya kini mulai mengelupas dari ketinggian. Jiaming berdiri di atap gedung, samar melihat fluktuasi energi supernatural raksasa yang dibawa bayangan itu menembus dari sisi lain, kemudian menyapu langit Frankfurt, menyembur ke awan-awan tebal yang rendah hingga hampir membelahnya menjadi dua bagian.
Itulah evolusi natural.
## Bagian Empat Ratus Delapan Puluh Lima - Akhir Besar
Terkadang kita harus mengakui salah kaprah yang terjadi di dunia ini. Sebelum datang ke Eropa dari Jepang, Dia sama sekali tidak menyangka bahwa misi utamanya di Eropa akan berakhir dengan cara seperti ini, meski begitu, ini pun tak buruk.
Dia menetap di Eropa sekitar setengah bulan, kemudian kembali ke Jianghai untuk mempersiapkan berbagai hal terkait pendirian klinik pijat tulang.
Bagi Jiaming, aspek teknologi tidak bermasalah, mendapatkan ijazah juga tentu mudah. Namun meski demikian, hal-hal fragmental tetap banyak. Mencari tempat yang cocok, membeli meja kursi dan konter cantik, membeli perangkat, membuat jebakan yang masuk akal dan hangat. Lagipula waktu masih banyak. Lingjing dan pasir mengajak Kaoru, juga mengajak Yahan, terkadang ada Dongfang Wan. Biar apa saja harus dipilih dan dibandingkan, menyampaikan pendapat tanpa merasa bosan. Jiaming pun menunggu dengan santai sambil memegang komik dalam momen seperti ini.
Klinik baru selesai dipasang menjelang akhir tahun, diikuti dengan pernikahan.
Jiaming menikahi Lingjing.
Sebenarnya ini hal yang tidak penting, bahkan tidak memiliki makna simbolis sekalipun.
Lingjing akhirnya mendapatkan pekerjaan di restoran ala Barat yang jaraknya tidak terlalu jauh dari klinik Jiaming; Kaoru memenuhi janji menjadi perawat di klinik; Shasha yang malas bingung harus ngapain, akhirnya ikut numpang leha-leha di klinik sambil baca majalah gosip bareng Kaoru, kadang mereka juga meneliti otot mana yang paling kekar di tubuh Si Jagoan di foto.
Mereka pindah ke rumah dua lantai dekat klinik, sekalian menyediakan kamar tidur untuk Kaoru. Dunia bertiga - atau mungkin empat orang, bahkan lebih - berjalan dengan santai, rasanya cukup menyenangkan. Setelah makan malam jalan-jalan ke tanggul laut dekat rumah, sesekali nonton bioskop. Kalau lagi ada dorongan hati, Jiaming kadang beli seikat bunga untuk dibagi-bagikan, tepat sehari setelah dibungkus per tangkai dan dijual di depan klinik. Meskipun status "sudah menikah" adalah fakta, Lingjing yang masih terlihat polos dan naif tetap tidak kekurangan pengagum. Shasha dan Kaoru memang kurang laris dibanding Lingjing karena berbagai alasan, tapi kadang juga jadi incaran. Jika ada yang keterlaluan, konsekuensinya pasti seru, jadi penyegar dalam kehidupan santai mereka.
Ada suatu masa ketika Lingjing dan pasir berusaha mencari pacar yang cukup layak untuk Kaoru, namun akhirnya ditutup-tutupi. Menurut penjelasan Lingjing, masalahnya rumit karena tidak menemukan pria yang memenuhi kriteria. Baik pandangan hidup maupun kebiasaan sehari-hari, dalam lingkaran kita jelas sulit menemukan kandidat yang cocok. Ancaman terbesar yang mereka rasakan justru berasal dari Yahan, meski sebutan ancaman kurang tepat - mereka tetap berteman. Sesekali pergi belanja bersama, makan bersama, mendiskusikan topik perempuan, bahkan liburan bersama. Mereka bahkan menyukai gadis kecil bernama Tao Tao.
Jika manusia terlalu baik hati, bahkan suami harus berbagi sebagian. Bagaimana nasib Jiaming dengan Yahan? Bagaimana dengan semua orang? Masalah ini sementara ditunda. Jika kau bertanya perlu tidaknya berterus terang, jawabannya pasti "ya". Tapi kapan waktunya... Tunggu momen yang tepat saja...
Momen yang tepat tak kunjung tiba.
Musim semi 2005, Lingjing hamil. Di musim dingin tahun yang sama, dia melahirkan bayi laki-laki sehat. Untuk urusan yang lebih jauh, itu hanyalah kehidupan biasa.
Tentu masih ada lebih banyak hal.
Akhir 2004, Jiaming bertemu kembali Mu Qingqing. Dia terlibat masalah dengan Xiao Meng, mantan bos mafia. Tahun berikutnya, kabarnya dia "salah kaprah" dengan Xiao Meng hingga hamil, lalu menikah karena kehamilan itu. Meski kedua pihak tidak sepenuhnya rela, anggap saja sebagai bagian dari keseruan hidup.
Dongfang Lu sesekali masih mengunjungi Jiaming, terkadang sebagai pertemanan, terkadang mewakili []. Mikado Ki sudah MATI, Pei Luo Jia masih , orang jahat memukul orang baik, orang baik memukul orang jahat, demi makna yang tidak dipahami diri sendiri maupun pihak lain. Begitulah dunia berputar, dari masa lalu ke mas depan selalu demikian.
Ada satu hal yang membuat Jiaming merasa agak bersalah pada Dongfang Lu, dan sedang menjadi kegelisahannya saat ini.
Dongfang Wan tetap mempertahankan sikap antusiasnya, terus memberikan berbagai bantuan pada orang yang ia anggap Teman. Misalnya setiap tahun mereka pergi liburan sekali, biasanya dia yang menjadi organisator. Hanya saja saat ini grup tersebut tidak sebesar dulu, bahkan bisa dibilang lingkaran pertemanannya sekarang selain kakak dan Xu Yiting, sepertinya hanya tersisa beberapa orang dari pihak Jiaming. Kedengarannya agak aneh. Tapi mungkin hanya kelompok yang tidak terlalu mengguncang kepentingannya, sekaligus bisa tetap tenang saat berhadapan dengannya, yang benar-benar dianggapnya sebagai Teman.
Ini hanya spekulasi, keasliannya tentu saja tidak kami pedulikan. Akhir tahun 2004, Jiaming pergi ke kota sekitar untuk membeli bahan dekorasi klinik dan Hunian Baru. Kebetulan Dongfang Wan juga datang ke sini untuk berbisnis dengan seseorang. Pihak lawan adalah orang dengan latar belakang geng kriminal yang cukup kasar, sehingga saat bertemu, Jiaming diajak untuk pekerjaan paruh waktu sebagai pengawal. Konsekuensinya negosiasi gagal, Jiaming langsung memukul beberapa orang, mereka bertiga kabur keluar, jalan-jalan ke pasar malam sambil ceria makan beberapa hidangan. Dongfang Wan mabuk, lalu terjadi hal yang bisa disebut mendadak.
“Hai, Gu Jiaming, aku suka sama kamu……Ayo kita naik ranjang……”
Mereka berjalan menyusuri jalan untuk kembali ke hotel sambil minum baijiu, suasana sepanjang jalan ramai. Di depan taman bermain, Dongfang Wan duduk di bangku pinggir jalan menikmati angin sepoi-sepoi, lalu tiba-tiba mengucapkan kalimat ini pada Jiaming yang berdiri di sampingnya.
“Apa kamu mabuk?”
“Aku bilang…ayo kita naik ranjang!”
Dongfang Wan yang mengenakan gaun hitam elegan mengangkat suaranya. Seorang pejalan kaki yang lewat memandang mereka dengan bingung. Jiaming melotot ke arahnya sampai orang itu pergi, lalu menatap Dongfang Wan tanpa bicara.
“Tidak dengar ya! Aku suka kamu!” Wanita itu berdiri limbung, “Aku juga tidak tahu kenapa suka sama kamu! Pokoknya…pokoknya sudah terlambat, aku tahu kamu sudah menikah, hidup bersama Lingjing dan Shasha, punya wanita lain…Aku malas urusin hal ini, juga tidak mau kamu bertanggung jawab. Hari ini aku mau naik ranjang, kalau tidak mau menemaniku…aku akan panggil Bebek…”
Suaranya semakin keras membuat para pejalan kaki di jalan memandangi mereka. Saat Jiaming diam-diam berusaha mengusir semua tatapan itu, Dongfang Wan memeluknya dan menempelkan bibir mabuknya ke mulut Jiaming, lalu tiba-tiba menutup mulut dan lari ke samping untuk muntah.
Apakah mereka akhirnya naik ranjang?
Aku mana tahu.
Kisah kami dimulai pada 2 November 1991, di mana seharusnya garis finis ditempatkan? Mungkin menaruhnya di tanggal yang sama tahun 2005 juga pilihan yang bagus. Rentang waktunya empat belas tahun, protagonis kami telah melewati masa kanak-kanak dan masa mudanya, menjadi dokter bedah yang belum banyak dikenal, sesekali menutup praktik sehari karena berbagai hal, terkadang mendapat keluhan karena tekniknya yang terlalu kasar. Di mata tetangga, dia hanyalah pendatang baru yang tak berbahasa, sementara di mata beberapa makhluk jantan, dia menjadi duri dalam daging yang memonopoli terlalu banyak sumber daya si cantik. Apa sebenarnya yang terjadi hari ini? Aku ingin mengingat-ingat.
Oh, Dongfang Lu dan Dongfang Wan datang, Xiao Meng dan Mu Qingqing juga ada di sini.
Belakangan ini Dongfang Lu tidak berada di Jianghai. Setelah kematian Ying Haisheng, pusat pekerjaannya benar-benar beralih ke selatan, dia sudah mulai benar-benar mengelola aset departemen []. Kali ini dia susah payah kembali karena Lingjing sudah hamil sembilan bulan, jadi dia harus datang menjenguk. Mu Qingqing juga sudah hamil, mengambil cuti melahirkan. Meski perutnya belum terlihat, tapi karena hubungan Xiao Meng dengan Jiaming, kedua belah pihak bisa dibilang sudah saling mengenal, datang untuk bertukar pengalaman dan tips dengan Lingjing.
Meski sudah lama hamil, bukan berarti tidak bisa beraktivitas. Lingjing dan Shasha sudah mempersiapkan diri untuk membeli benang wol di jalan hari ini. Karena semua orang berkumpul bersama, secara alami berubah menjadi kelompok yang jalan-jalan. Dongfang Lu dan Xiao Meng sama-sama membawa mobil, rombongan ini tepat delapan orang. Setelah sampai di pasar terdekat dan memarkir mobil, mereka perlahan berjalan menyusuri jalan-jalan. Saat melewati poster promosi album penyanyi kecil Eropa Janet yang akan datang ke Tiongkok, mereka juga kebetulan melihat Yahan melintas dengan mobil sportnya. Di kursi penumpang mobil sport duduk Tao Tao, yang kemudian menyapa semua orang.
"Hari ini Tao Tao tidak perlu masuk kelas?"
"Guru TK sakit jadi belajar malam, kebetulan aku juga ada waktu, jadi menjemput Tao Tao untuk bermain. Kalian mau ke mana?"
"Beli benang wol……"
Yahan turun dari mobil dan menyapa semua orang. Jiaming berjongkok di depan Tao Tao. Dia selalu merasa agak pusing menghadapi anak-anak, cara berkomunikasinya pun cukup sederhana. Ayah dan anak perempuan ini saling melotot beberapa saat, baru membuka mulut: "Mau makan apa?"
"Es krim."
"Hah... Makan es krim di musim dingin?"
"Nyalakan AC saja bisa dimakan, rasanya enak lho..."
Jiaming menoleh memandang Yahan. Yahan menyeringai, agak kecewa: "Kakeknya selalu memanjakannya. Beberapa hari lalu pulang, ketahuan berdua di rumah nyalakan AC makan es krim..."
Jiaming berpikir sebentar: "Lebih baik makan jagung susu saja." Dia melihat ada yang jualan di seberang jalan, mengambil keputusan. Tao Tao pun hanya bisa mengangguk: "Oh."
“Kalian mau tidak?” Jiaming bertanya pada Lingjing dan yang lain. Kemudian saat tiba di Dongfang Lu dan Xiao Meng, keduanya sedang berdiskusi tentang poster di sebelah. Dongfang Lu mengerutkan alisnya: “Sekarang datang ke Tiongkok untuk promosi album berbahasa asing, apakah perusahaan manajemennya kepalanya kacau, sama sekali tidak paham promo. Bagaimana menurutmu, Jiaming?”
“Betul sekali.” Jiaming mengangguk, “Mau makan jagung?”
Setelah meminta pendapat, Jiaming berlari kecil menyeberangi jalanan: “Enam batang.” Kemudian masing-masing tangan memegang tiga batang bersiap dikeluarkan.
Keributan datang dari belakang, langkah kaki berantakan, seseorang berteriak: “Jangan bergerak.” “Jangan lari.” Jiaming memegang jagung menoleh sedikit, seorang pria sedang berlari keluar dari gang dekat sini, membawa tas selempang dan memegang senapan patah buatan sendiri yang membuat kerumunan orang berhamburan. Polisi mengejar dari belakang, dari tas yang ritsletingnya tidak rapat itu, sesekali terbang uang RMB.
Sekilas sudah tahu pasti perampok bank...
Sambil berpikir begitu, kerumunan orang yang panik berlarian melewatinya. Perampok itu menyambar ke kiri, lalu melihat ada polisi di ujung jalan, kembali lari ke arah sini. Jiaming baru ingin mengomentari betapa orang ini tak punya kandungan teknologi, sang pelaku tiba-tiba mengarahkan senjata dan langsung menyerbu ke arah Jiaming. Satu detik kemudian, laras senjata menempel di dahi Jiaming.
“Berbaliklah, berbaliklah, angkat tangan--”
Jiaming yang semula mengangkat tusuk jagung dengan kedua tangan, hanya perlu mengangkat mata dan berbalik badan. Dalam jarak pandangnya, kerumunan orang berhamburan melarikan diri. Beberapa polisi dari kejauhan mengarahkan laras senjata ke sini sambil berteriak peringatan. Di seberang jalan, Dongfang Lu dan Xiao Meng berjalan mendekat. Sasha dan Kaoru menahan Lingjing dkk agar tidak mendekat. Yahan menggendong Tao Tao yang ingin berlari ke depan, membuat anak itu menangis. Laras senjata di kepala mendorong keras karena gejolak dalam hati tuannya. Sang perampok di belakangnya mengocok senjatanya sambil berteriak histeris.
"Mundur, jangan mendekat!"
Dongfang Lu dan Xiao Meng tetap melangkah maju sambil mengangkat tangan.
"Tenang, tenang..."
Penyebaran kerumunan orang menciptakan area kosong sementara di jalanan yang sebelumnya ramai. Gemparan mulai meluas dalam radius efektif, menjalar sepanjang jalan raya, kemudian dampaknya mulai berkurang. Setelah meninggalkan persimpangan, hiruk-pikuk jalanan sekitar kembali normal. Orang-orang berjalan, berkeliaran, berkomunikasi, mobil-mobil tetap hilir mudik. Dua mobil polisi berbunyi sirine telah bergerak dari area kota yang lebih jauh menuju ke sini. Bangunan-bangunan kota menyusut dalam pandangan kami: kompleks perumahan, taman kecil, gedung pencakar langit, villa, gedung olahraga, lapangan, rumah sakit, kampus, toko buku... Segalanya mulai memasuki jarak pandang kami. Di kejauhan, tanggul penahan laut masih berkelok-kelok di garis pantai Jianghai, sungai besar mengalir deras menuju lautan, jembatan-jembatan menghubungkan berbagai area kota. Di pelabuhan yang sibuk, saat kapal membunyikan klakson dan berlayar, burung camar terbang di langit. Di sekitar kota, lautan dan bukit-bukit megah tetap seperti biasa...
Siang dan malam silih berganti, empat musim berlalu. Sinar matahari di ufuk barat memantulkan warna merah yang cemerlang dan megah, menyelimuti seluruh kota. Kemudian, kegelapan turun disertai titik-titik lampu yang mulai bermunculan. Cahaya kendaraan mengalir cepat di kota yang tak pernah tidur ini, menyatu menjadi sungai yang tak pernah berhenti. Saat malam mencapai puncak kegelapannya, semburat cahaya tipis mulai terlihat di langit. Semburat putih keabu-abuan di ufuk timur menyertai kokok ayam, kami membuka tutup langit batu. Sinar matahari merambat dari timur, membasuh segala yang terlihat dengan kelembutan. Bayangan-bayangan bagai jarum jam, memendek perlahan. Dalam aliran siang-malam, daun-daun pohon berangsur menguning, menghampar di lantai membentuk permadani keemasan. Orang-orang mulai mengenakan pakaian tebal, pepohonan tinggal menyisakan ranting-ranting gundul. Saat keemasan berubah menjadi abu-abu muda, hujan turun bertubi-tubi membasahi, lalu salju mulai turun perlahan, mengubah seluruh kota menjadi diselimuti putih salju. Pada suatu hari, bumi akan bangkit kembali. Salju mencair menjadi aliran tipis musim semi, tunas-tunas mulai tumbuh dari kedalaman tanah dan ranting-ranting pohon. Bunga-bunga perlahan memerah, namun suatu hari akan layu, berubah menjadi lumpur musim semi, menantikan datangnya musim bunga berikutnya. Dalam penantian ini, kita akan memasuki musim yang membara seperti api. Pakaian mulai menipis, di tepi pantai orang-orang mulai berkerumun lagi...
“Ini adalah kota yang berada di antara fantasi dan realita. Di kota ini, kau bisa mempercepat waktu, mundur ke belakang, masuk ke kehidupannya untuk merasakan segalanya, atau tetap di luar sebagai pengamat yang objektif. Di bawah lampu jalan yang redup empat belas tahun lalu, jari si anak menarik pelatuk. Dentuman senjata membangunkan malam musim dingin yang diterpa angin utara yang menusuk. Lima tahun lalu di musim panas itu, ia duduk di tanggul laut yang dibasahi cahaya senja, memandang matahari terbenam di kejauhan. Bajunya berlumuran darah, senjata pemungut nyawa berserakan di sampingnya. Sebelum sempat memahami makna masa muda, waktu yang berlalu cepat telah mendorong kita ke usia yang lebih matang.”
“Dentuman senjata empat belas tahun lalu masih bergema di telinganya. Kini ia berdiri di jalanan kota yang mulai sepi, memegang tongkol jagung. Suasana tegang menyelimuti sekeliling—teriakan peringatan dari depan-belakang, polisi, perampok, laras senjata yang penuh kebuasan, histeris, dan cipratan ludah di mana-mana.”
“Tenang, tenang...” seseorang di kejauhan mengangkat tangan, “Kau menangkap orang yang salah.”
“Minggir semua dariku——”
Laras senjata di belakang menekan, per berubah bentuk di udara, roda gigi di dalam laras berputar, bergerigi, mengisi peluru——
Krek!
……
……
“Kau benar-benar salah menangkap orang...”
【Tamat】
Epilog、Bagian Akhir
【Bagian 1】
Bandara Charles de Gaulle, Paris, Prancis, pagi-pagi buta.
“Di aula yang terang benderang dengan kerumunan orang, jendela kaca lebar memantulkan kerlip lampu dan memantulkan pemandangan pesawat yang lepas landas serta mendarat secara teratur. Hujan yang turun deras, saat keluar dari pintu pemeriksaan keamanan, dia melihat wanita di seberang yang sedang melambai.”
“Hai, Yahan, di sini.”
“Ruo Lin.”
Wanita penjemput itu bertubuh tinggi dengan wajah cantik, mengenakan kacamata bingkai hitam dan mantel musim dingin putih elegan. Rambut hitamnya diikat longgar di belakang kepala, memancarkan aura mandiri yang mirip dengan Yahan yang menjabat sebagai wakil manajer perusahaan besar, namun lebih mudah didekati. Mereka berpelukan di aula. Ruo Lin mengulurkan tangan mengambil koper Yahan: “Tepat waktu. Pagi hari di Paris terasa menyenangkan.”
“Tidak merepotkan?”
“Tidak sama sekali. Aku tinggal sendiri, justru senang ada teman.”
Yahan tersenyum memperlihatkan gigi: “Aku takut malah mengusir calon pendamping aslimu.”
“Dasar kamu...”
Kedua wanita itu bercanda sambil keluar bandara. Ruo Lin mengenakan jas hujan krem: “Jujur, tak kusangka kau benar-benar berlibur sendirian. Bagaimana kabarmu dengan Xu Mo?”
“Mengapa kalian selalu mengaitkanku dengan Xu Mo?”
“Dia sudah memberikan perhatian besar padamu bertahun-tahun. Bukankah kalian selalu bersama? Tahun ini ketemu Li Zhen bilang mungkin kalian akan menikah. Aku sampai menyiapkan rencana pulang ke negara asal.”
Hujan gerimis turun, angin pagi di luar bandara terasa sejuk, jalan, jembatan layang, lalu lalang mobil, pejalan kaki, kerlip lampu tersapu dalam tirai hujan halus berwarna biru tua. Siluet kota modern di ambang fajar yang memadukan dingin dan hangat. Ruo Lin berjalan menuju mobil kecilnya, membuka kap mesin belakang, memasukkan koper sambil mengerutkan kening: "Bagaimana? Semua cuma rumor? Kau dengan Xu Mo..."
Di sebelah pintu mobil, pandangan Ya Han tertuju ke aula bandara yang berpendar lampu: "Tidak tinggal bersama, tapi... kalau harus menikah, aku dan Xu Mo sepertinya paling cocok, begitu kan?"
"Cocok?" Ruo Lin melirik dengan tatapan bingung.
"Cocok."
"Uhh..."
Ia mengangguk, tak melanjutkan topik. Mereka masuk ke mobil. Ruo Lin menyalakan mesin sambil menoleh dengan senyuman.
"Selamat datang di Paris."
【Dua】
"Manusia dalam keputusasaan kehabisan akal akan memancarkan cahaya paling kuat - kemanusiaan, kekuatan, darah, moralitas, meledak bagai terbakar. Itulah momen paling cemerlang setiap orang..."
Sepertinya pernah dengar kalimat serupa dari seorang lolicon bernama Mikado Ki, tapi fakta konkretnya... tak pernah ia saksikan.
"Darah, api, mayat, dinding yang ambruk, dan rumah berantakan. Musik yang diputar di DVD adalah 'Ode to Joy' dari sebuah paduan suara. Seorang pria bernoda darah diikat di kursi tengah ruangan, mulutnya disumbat handuk. Lelaki bernama Tak terhitung dewa-dewa berdiri di hadapannya, di tangan kanannya menggenggam palu pandai besi, mengayunkannya seperti tongkat konduktor sambil memejamkan mata, larut dalam alunan musik."
"Tak-tak-tak-tak... Suci nan indah, cahaya cemerlang menyinari bumi, kami membawa semangat membara... Tak-tak-tak-tak-tak-tak-tak..."
"Saat musik mencapai klimaks, dentuman senjata menggema dari ruang sebelah. Rentetan tembakan pecah. Ekspresi Tak terhitung dewa-dewa yang tadinya khidmat membeku di udara. Palu di tangannya menghantam jari pria yang terikat hingga hancur berkeping. Dia membuka kedua telapak tangan, memandangi reruntuhan di sekeliling."
"Liming——Daoxu, tolong kalian bisa tidak sedikit lebih diam? Diam, OK?"
"OK, aku akan coba..."
Dari dentuman senjata di sebelah sana terdengar jawaban sang pria, Tak terhitung dewa-dewa berkedip lalu mengangguk: "Bagus sekali..." Sebelum kalimatnya selesai, braak granat tangan mengguncang villa, gelombang kejut yang sudah melemah bergulung masuk melalui gerbang, menerbangkan rambutnya. Pria itu membeku beberapa saat, akhirnya menghela napas kecewa sambil menggeleng, pandangannya beralih ke wajah terdistorsi pria di kursi yang kesakitan, lalu ke jari-jari hancur berdarahnya, kembali ke palu di tangannya, ekspresi penderitaan yang menyatu muncul di wajahnya, panik membuat gestur dengan tangan.
"Oh... Ini benar-benar... Kau tahu, aku sungguh minta maaf, oh... Pasti sangat sakit, tapi begitu terganggu aku mulai kesulitan mengendalikan diri, ini... kebiasaan buruk." Tangannya menari-nari di udara, kemudian menepuk wajah terdistorsi pria itu beberapa kali, "Musik indah, api yang megah, hari yang begitu sempurna, di hari seperti ini kau merasakan momen paling cemerlang dalam kehidupan, terjadi tabrakan sengit antara kita, sengit... Bayangkan, dua kehidupan yang tak berkepentingan tiba-tiba bersinggungan begitu keras, ini seharusnya disebut... takdir, bukan, jodoh, memang jodoh, Joseph..."
Dia bertatapan dengan tatapan mata merah sang pria, wajahnya menghiasi senyum yang mulai menunjukkan gejala neurotik. Byur! Sekali lagi palu menghantam. Urat-urat hijau di dahi pria itu menegang, wajah terdistorsinya hampir mengeluarkan darah.
"Kau lihat, begitulah bukan? Pasti kau merasakan betapa intensnya persilangan ini. Setiap mengingat hal seperti ini, gejolak dalam hatiku tak terbendung... Rasa sakit, rasa sakit membuat manusia merasakan keberadaannya. Betapa indahnya perasaan ini, meski sebagian berusaha menghindarinya. Joseph Joseph Joseph, inilah tatapan itu, inilah... Tahukah kau? Sejak pertama kali melihat fotomu, aku tahu kita bisa menjadi Teman..."
Palu di tangannya menggapai-gapai dua kali, tapi tidak dihantamkan. Tangan satunya mengeluarkan kotak CD dari samping: "Lihat, aku sangat menyukai piringan ini. Musik agung, kita memiliki selera estetika yang mirip, tapi..." Byur! Akhirnya palu itu menghantam.
“Tapi aku tidak menemukan lagu 'Laut Karibia yang Biru' dalam koleksimu.” Dia mengobrak-abrik CD di rak, semua barang berantakan di lantai, lalu menoleh sambil mengangkat tangan bingung, “Lagu ini bisa membuat orang merasakan keagungan, seperti suara merdu, kau harus mendengarnya suatu saat... Kau tahu, aku sangat ingin menjelaskan keindahan lagu ini secara detail padamu, tapi sayangnya kita tidak punya banyak waktu. Sebagai teman, aku hanya berharap kau mau membantuku sedikit, katakan di mana dia berada. Kau tahu... Yang perlu kau lakukan hanyalah mengangguk, lalu aku akan tahu bisa melepas benda terkutuk yang menyumbat mulutmu. Kalau kau bicara, aku pergi, lalu kau bisa ke toko untuk membeli lagu itu dan mendengarkannya seharian tanpa gangguan, tidur nyenyak... Lihat, tangan kirimu tinggal dua jari saja...”
Byur——
“Baiklah... Sekarang tinggal satu.”
Musik terus mengalun, dentuman senjata juga tak henti di dalam villa. Beberapa saat kemudian, sirine polisi samar terdengar dari luar jendela. Mobil polisi berhenti di depan villa. Tak terhitung dewa-dewa menarik napas dalam, lalu berteriak ke arah sana: “Tolong—— bisakah kalian membuat dunia ini sedikit lebih tenang!”
“OK, aku akan berusaha...”
Di sisi lain kamar, suara baru saja berhenti, cahaya api merah menyembur dari jendela sana. Tembakan roket membelah kegelapan malam, mobil polisi meledak mengangkat kobaran api yang mengejutkan, sekaligus menimbulkan getaran dahsyat. Alunan musik ditimpa oleh ledakan besar ini. Tak terhitung dewa-dewa mengusap dahinya, berbicara dengan pria di hadapannya: "Roket, aku bahkan tidak tahu dia membawa roket. Kau tahu, dia orang gila..." Dia berjalan ke sisi lain untuk menyesuaikan DVD, mengulurkan jari ke dahi, "...Di sini bermasalah."
Keduanya terus bertatapan di tengah alunan musik. Tak terhitung dewa-dewa mendengus pelan lagu tersebut. Sesaat kemudian, tiba-tiba mengarahkan tangan ke samping. Di udara, sisi lain kamar samar-samar terdengar suara tangisan. Di mata pria yang terikat belum sempat muncul ekspresi takut, tiba-tiba Tak terhitung dewa-dewa berbalik ke arah itu dan membuka mulut: "Sudah kukatakan ratusan kali, bisakah kau diam?" Teriakan yang mengguncang kamar itu disertai kobaran api yang berturut-turut menyembur dari pistol di tangannya. Dalam anggukan mati-matian pria yang Wuuwu itu, peluru telah menembus lemari di sisi kamar. Sebuah mayat remaja 15-16 tahun terjatuh dari lemari. Tak terhitung dewa-dewa mengayunkan pistolnya, menghela nafas.
“Oh, mirip sekali denganmu, ini anak laki-laki tertuamu kan... Lihat, sebenarnya aku sudah lama tahu mereka bersembunyi di sini. Syaratku sangat sederhana, hanya ingin mereka diam sedikit, benar-benar diam sedikit saja. Tapi mengapa permintaan kecil ini pun tak bisa kuminumati? Hal seperti ini benar-benar membuatku sedih, selalu... sangat sedih. Dunia memang seperti ini, bahkan permintaan kecil sekalipun seringkali tak terpenuhi... Kau perhatikan aku menggunakan kata 'mereka'? Aku tahu di lemari sebelah juga ada satu, tapi kau lihat, aku sangat adil... Oh iya, aku perhatikan tadi kau terus mengangguk, maaf, aku akan singkirkan benda-benda ini. Jika sejak awal kita bisa berkomunikasi dalam suasana persahabatan seperti ini, tentu tak akan terjadi hal yang... sungguh disayangkan ini.”
Ia menyeringai: “... Ini semua salahmu.”
Tiga menit kemudian, Tak terhitung dewa-dewa mengusap-usap noda darah di lengan bajunya dengan tisu, berkumpul dengan pria lain di gerbang villa. Api berkobar-kobar di villa di belakang mereka, alunan musik "Ode to Joy" terdengar dari dalam villa. Di kejauhan langit malam, pasukan besar polisi tampak bergegas mendekat.
“Andai aku tahu akan diserang, tentu takkan tinggal di tempat terpencil begini.” Kawan bernama Ritsumei Michiaki yang membawa koper logam menoleh melihat villa yang terbakar, “Lanjut ke mana?”
“Prancis.” Tak terhitung dewa-dewa memiringkan kepala, “Orang itu pergi ke Paris untuk menghadiri konferensi finansial yang tidak karuan, menerima kabar akan ada pembunuhan bayaran, berangkat lebih awal pagi ini… Ha, politikus…”
“Paris, aku suka kota itu.”
“Aku benci Prancis.”
“Kenapa?”
“Orang Prancis menentang segalanya, mereka bahkan menentang negara dan pemerintah sendiri, menyebutnya kebebasan…” Mengulurkan tangan melemparkan tisu ke api yang membakar mobil polisi di pinggir jalan, “Menurutku mereka tak beda dengan anak-anak yang mengekspresikan karakter dengan menentang segalanya… Meski negara dan pemerintah mereka memang bodoh.”
“Oh.” Ritsumei Michiaki mengangguk setengah hati, “Tapi soal Paris, mungkin kita akan bertemu Yoritomo Taku dan partnernya di sana.”
Tak terhitung dewa-dewa berhenti melangkah: “Mereka di Paris?”
“Ada tugas membunuh pejabat Prancis, perkiraanku akan menyuruh mereka mengerjakan itu sambil lalu.”
“Baiklah.” Sebelum mobil polisi tiba, mereka membuka pintu mobil kecil yang diparkir di tepi jalan, “Kita ke Paris.”
……
“Kau tahu dia orang Tiongkok, dan aku benci orang Tiongkok.”
“Tentu… karena kau patriot.”
“Benar, semua orang Jepang harus membenci orang Tiongkok.”
Angin mengipasi api, alunan "Ode to Joy" bergema di angkasa malam...
【3】
“Meski kita sudah akrab… aku tetap akan menuduhmu mencemarkan nama baik…”
Di pagi buta yang hujan, di kafe tepi kiri Sungai Seine, Yoritomo Taku melemparkan koran ke meja sambil mengerutkan kening.
“Hal itu tidak ada hubungannya denganku.” Di seberang meja makan, partner muda sambil menyesap kopi melihat koran, tidak mengangkat kepala, “Lagipula kau memang tidak suka wanita.”
“Aku suka wanita.”
Yoritomo Taku menyatakan demikian. Partner menurunkan korannya, mengangkat kepala, bertatapan empat mata.
“Baiklah, bagaimanapun ini tidak ada hubungannya denganku...” Sesaat kemudian dia memiringkan kepala, “Tapi wanita itu memang bagus di ranjang.”
“Kau sudah mencobanya?”
“Tahun lalu... Hanya yang berkualitas yang kurekomendasikan untukmu. Kurasa kau harus lebih memperluas minat, lagipula terus ditebak sebagai lesbian bukan hal yang menyenangkan...”
“Apakah kau sengaja tidur dengan wanita untuk membuktikan dirimu bukan lesbian?”
“Ehm, hanya saran saja... Dan dia sudah tertarik padamu lama, penolakanmu pasti akan sangat melukainya...”
“Akan terluka?”
“……”
Kesunyian menyelimuti. Lama kemudian, partner baru mengambil kopi dan menyesapnya: “Mungkin... Siapa tahu...”
“Oh.”
Tentang hal terluka atau tidak, keduanya tidak punya hak bersuara. Mengangkat bahu sambil tersenyum, topik ini berakhir di sini. Tak lama, keduanya pergi setelah sarapan dari pintu depan, masing-masing membuka payung, menerobos kerumunan orang. Yoritomo Taku sambil berjalan mengaitkan kait di lengan bajunya: “Pekerjaan dilakukan lusa. Dua hari untuk investigasi seharusnya cukup. Kau bagaimana?”
Partner sedikit mengerutkan alis, pandangannya menyapu Sungai Seine yang diselimuti tirai hujan: “Konfirmasi misi, lalu ziarah makam.”
“Natalia?”
“Hmm, hal seperti ini masih pengalaman pertama, biasanya harus perhatikan apa?”
“Membersihkan makam… intinya cuma bersih-bersih kan…”
“Hmm, bersih-bersih…”
“Menyumbangkan makanan yang disukai semasa hidup…”
Keduanya berhenti di persimpangan, melihat pejalan kaki di sekitar, tersenyum kecut. Secara logika, tangan mereka telah memanen lebih dari tiga digit nyawa, tapi ritual membersihkan makam bahkan belum pernah dilakukan sekalipun. Tapi mungkin memang begitulah hakikatnya – membersihkan makam tak lebih dari sekadar bersih-bersih. Partner mengangguk sambil mengunyah makna tersirat dalam kalimat itu, lalu menunjuk belokan kiri. Yoritomo Taku menunjuk ke kanan. Mereka berbalik badan dan berpisah. Setelah beberapa langkah, Yoritomo mendengar suara dari belakang: “Eh, kukatakan…”
“Apa?” Partner menatapnya dari jarak beberapa langkah.
“Pendapat pribadi, kalau benar ada orang yang berarti, bukankah lebih baik cari wanita lain untuk dilihat orang?”
Yoritomo Taku mengangguk: “Mengalihkan target?”
“Mengalihkan target.”
Entah itu pembunuh atau agen rahasia, penghuni dunia kegelapan umumnya tak punya ikatan. Karena sekali diserang, musuh pasti menggunakan segala cara. Dunia ini tak mengenal moral. Mungkin karena mendeteksi faktor tidak stabil dalam hatinya, partner baru berani membuka mulut untuk urusan seperti ini. Meski berpartner, yang mau memberi nasihat urusan pribadi di dunia mereka mungkin bisa dihitung jari. Yoritomo Taku tersenyum: “Aku paham… Kau tetap yang paling rasional.”
“Cuma ingin tetap hidup.”
“Situasinya agak spesial,” kata Yoritomo Taku, “Misalnya… Bagaimana perasaanmu tentang Natalia?”
“Kau maksud cinta sejati?” Sudah membahas orang yang MATI, partner berpikir sejenak, “Aku rasa… mungkin tidak termasuk, sulit digeneralisasi, tapi saat dia MATI, aku juga merasa sangat sedih.”
“Bagiku mungkin semacam simbol, atau titik penghubung atau semacamnya.”
“Simbol, titik penghubung…” Di kerumunan orang, pemuda berwajah biasa tersenyum paham, “Mengerti, meski tak bisa merasakan langsung, tapi kurasa aku tahu kira-kira apa itu.”
“Satu malam nanti bertemu.”
“Satu malam nanti bertemu.”
Mereka berbalik badan, Berpisah.
……
Dia bertahan dengan payung, menyusuri jalanan Paris dalam tirai hujan.
Hanya ingin tetap hidup...
Kehidupan tentu tak sesederhana itu, sebagai Kehidupan, pasti memiliki berbagai makna.
Kode pembunuhnya adalah 'halusinasi', saat ini sementara disebut Bai Ye, kode hanyalah kode, tidak memiliki makna intrinsik, meski banyak yang bilang kode ini sangat cocok dengannya, secara nyata ada, namun terasa sama sekali tidak terasa, secara nyata MEMBUNUH target, tapi kemudian terlihat seolah tak pernah terjadi, bahkan peristiwa kehilangan nyawa pun bagai dunia mimpi, dia melakukan hal yang seharusnya dilakukan manusia biasa seperti layaknya manusia biasa, urusan MEMBUNUH di tangannya, tak menghadirkan kesengangan penghancur maupun kefanaan hedonis, Segalanya berjalan biasa saja, paling wajar adanya.
MEMBUNUH hanyalah MEMBUNUH, sama seperti setiap manusia memiliki hal yang dikerjakannya sendiri. Pengalaman sejak masa kanak-kanak menentukan hal yang paling dikuasainya. Membicarakan tentang keterpaksaan atau kekejaman perlawanan mungkin tidak ada maknanya, sekarang hanyalah sekarang, terbentuk dari tumpukan masa lalu yang tak bisa diubah. Ada yang menjadi teknisi, ada yang main bola, ada yang main kecapi, sementara dia hanya MEMBUNUH. Hal ini sama sekali tidak tidak normal. Dia juga tidak merasakan penderitaan atau kerepotan emosional dalam hal ini. Tentu saja pernah menghadapi situasi sulit, tapi itu pasti sama seperti teknisi yang menghadapi mesin sulit diperbaiki, atlet yang menghadapi pertandingan bola dengan kekuatan timpang, pianis yang menghadmu partitur kompleks. Setiap profesi memiliki rintangannya sendiri, mengatasinya saja.
Terhadap profesi pembunuh ini tidak bisa dibilang suka, juga tidak membenci. Singkatnya, di dunia ini untuk sementara tidak ada hal yang lebih menggugahnya. Dia memiliki bakat alami untuk mengurai segala hal kompleks: prinsip mesin bisa cepat dipahaminya, dasar aturan juga cepat diketahui. Untuk hal seperti apa aturan ini didirikan, bagaimana optimisasinya, kelemahan apa yang dimiliki. Hukum, moral, nilai-nilai umum, semuanya bisa diurai. Sekilas pandang, segalanya berubah menjadi bagian tubuh primitif. Dengan begini, segala hal pasti tak ada bedanya.
Oleh karena itu, dia mungkin bisa memahami berbagai emosi yang dimiliki orang, meski tak bisa merasakannya sendiri, namun tetap bisa memahami seperti apa emosi Yoritomo Taku kira-kira, dari mana asalnya, dan mengapa dia berjuang. Dia tak akan meremehkan emosi apapun, juga tak punya sedikitpun rasa takut dan hormat. Mungkin suatu hari dia juga akan terjebak dalam emosi tertentu, seperti cinta sejati, kegelisahan, atau perasaan menyayat hati - semuanya wajar. Tapi untuk sekarang, dia tetap menjaga ketenangan hati.
Bisa dipahami, tapi tak bisa ikut merasakan.
Jika ada buku, baca; ada lukisan, amati; ada kecapi, mainkan; ada mikropon, nyanyikan; ada mobil, pergilah ke suatu tempat; ada permohonan, selesaikan; ada senjata, tembakkan; punya bakat MEMBUNUH, ambillah nyawa.
Karena dunia punya musik, maka seharusnya menari mengikutinya. Menari mengikuti musik dunia, bukankah segalanya memang sudah seharusnya begitu?
Dia membeli buket bunga di toko bunga ujung jalanan, kemudian naik taksi ke Paris Level Empat. Setelah berputar beberapa kali di sekitar blok jalan dekat gedung pemerintahan, sekitar pukul setengah sebelam, baru pergi ke kafe dekat sebuah hotel. Kafe itu memiliki pandangan terbuka, dia duduk di dekat jendela, memesan segelas minuman, mendengarkan musik kafe.
"Data dan kebiasaan target, banyak hal telah disediakan sebelumnya, tetapi untuk bertindak, tentu harus melalui investigasi langsung. Dia dan Yoritomo Taku memilih arah yang berbeda. Bukan pertama kali di Paris, kenal dengan Natalia di sini, kemudian beberapa kali kembali. Setelah Natalia MATI, dia juga menguburkannya di sini. Lingkungan hanya perlu mengamati beberapa perubahan kecil terbaru, yang perlu diselidikinya adalah hal-hal lain yang terkait dengan manusia."
Mengingat Natalia, dia merasa agak sedih.
Makanan apa yang dulu disukainya?
Tentu saja ingat semua hal tentangnya. Klasifikasi informasi tentang dirinya dulu cukup untuk ditulis menjadi buku tebal. Tapi sekarang terasa tidak nyata, seperti menonton kisah orang lain di bioskop. Dia sudah MATI, bisa dibilang dibunuh olehnya sendiri. Tapi ya, akhir kehidupan adalah hal normal. Ada awal pasti ada akhir, baru bisa sempurna. Suatu hari nanti dirinya juga akan mengalami hal yang sama, dengan jelas.
Sambil berpikir demikian, ketika pelayan berambut pirang yang rapi datang mengisi gelasnya, dua mobil kecil melintas di jalanan berhujan gerimis di luar jendela besar. Dia berdiri dari kursi, kendaraan berhenti di gerbang hotel.
Target turun dari mobil dikelilingi pengawal.
Memegang buket bunga, dia melewati koridor menuju aula hotel. Saat tiba di pintu keluar terowongan, telepon yang hanya diketahui satu orang berdering. Dia menekan tombol penerimaan: "Halo."
"Baru dapat kabar, seseorang menanyakan tugas kita melalui markas besar. Meski tidak sesuai prosedur, tapi pasti tidak bisa disembunyikan... Tak terhitung dewa-dewa telah datang ke Paris."
Sambil mendengarkan pembicaraan, dia menundukkan kepala dan berjalan langsung ke arah sekelompok orang yang baru saja memasuki aula. Empat pengawal melindungi seorang pejabat pemerintah dengan kepala sedikit botak. Saat dia tanpa sadar mendekat, pengawal terdekat mengulurkan tangan menghadangnya. Kemudian keduanya bertubrukan. Buket bunga di tangannya tercerai-berai, bunga-bunga berjatuhan ke lantai.
"Aku tahu... Tidak apa-apa tidak apa-apa, aku sendiri yang akan..."
Dia membungkuk memungut kembali buket bunga itu. Pengawal yang bertubrukan dengannya juga ikut membungkuk membantu. Setelah kekacauan kecil itu, dia melemparkan buket bunga yang berantakan ke tempat sampah lalu berjalan menuju pintu keluar aula. Sementara pejabat itu dengan pengawalnya melanjutkan perjalanan ke lift di dalam.
Menyimpan telepon, dia mengerutkan kening.
Sepertinya hal ini akan menjadi rumit. Apa sebaiknya menyelesaikan tugas langsung saja sebelum ini?
Menoleh ke belakang, pintu lift baru saja terbuka di depan kerumunan orang itu. Tubuh pejabat itu berada dalam radius pandangannya. Bukan tidak mungkin, juga bukan misi yang terlalu rumit. Sekarang bertindak kasar pun tidak masalah. Dia menempelkan tangan kanan di helai bajunya. Seketika, berbagai kehendak berkelebat dalam pikirannya...
【Level Empat】
"Tidak perlu repot-repot, aku sendiri bisa..."
Lampu, pemanas, tirai tebal. Keluar dari kamar mandi yang masih beruap, Yahan sedang memiringkan kepala mengeringkan rambut hitam panjangnya dengan pengering. Teman baiknya Li Ruolin sedang membereskan bantal di ranjang untuknya.
"Kalau tidak buka sekarang, bisnisnya bisa terganggu kan?"
"Tidak masalah, nanti sore buka saja."
"Ini adalah rumah yang terletak di Chinatown Distrik Keempat Paris, tempat Li Ruolin membuka toko kaset dan tinggal di lantai atas tokonya. Dia selalu tinggal sendirian. Meski kamarnya tidak banyak, tapi diatur dengan sangat apik. Kamar tamu ini juga dipenuhi berbagai barang - kaset, buku-buku, komputer di meja belajar dekat jendela, serta benda-benda kecil berantakan. Meski tidak luas, di musim dingin ini, dengan bantuan uap air dari kamar mandi, suasana terasa sangat hangat. Yahan sedang mengeringkan rambutnya sambil duduk di tepi ranjang."
"Aku iri padamu, hidup sendiri tanpa ikatan."
"Apa yang perlu diiri?" Li Ruolin menoleh sambil mengedipkan mata bingung, lalu tersenyum mengembang seperti bulan sabit, "Kau tidak sadar betapa beruntungnya dirimu. Keluargamu punya perusahaan besar, villa, mobil mewah, dan banyak yang mengejarmu. Bagaimana kalau lain kali aku tanya pada Pangeran apakah dia masih butuh anak perempuan? Aku juga punya bakat dalam manajemen lho."
"Merepotkan sekali, mengelola perusahaan saja tidak cukup..." Yahan menghela napas lalu terjatuh ke ranjang, pengering rambut di tangannya bergoyang tak karuan. Li Ruolin mengambil bantal dan ikut berbaring: "Aku belum sempat bertanya, kenapa tiba-tiba datang ke sini?"
"Dipaksa menikah."
"Dengan Xu Mo?"
Yahan menyeringai: "Bukan dia spesifiknya, siapa pun boleh. Intinya... harus menyelesaikan masalah ini..."
"Cukup dengan hamil?"
"Cukup dengan hamil."
Li Ruolin mengangguk, meski Keluarga Zhang bisa dianggap sebagai keluarga menengah, namun Zhang Jing'an sebagai ayah Yahan hanya memiliki satu putri. Tanpa kehadiran anak laki-laki sebagai pewaris, beban di pundak Yahan jelas sangat berat. Masalah perasaan bisa dikesampingkan dulu, Yahan sendiri telah menderita penyakit ginjal bawaan yang tak bisa disembuhkan. Sebagai pewaris perusahaan besar, mustahil baginya menikah dan pindah ke keluarga lain untuk menjadi istri rumahan. Harapan ayahnya mungkin bukan pernikahan formal, namun pada akhirnya beliau berharap Yahan bisa memiliki anak, sebaiknya anak laki-laki, yang suatu hari nanti bisa meneruskan aset Keluarga Zhang.
"Kalau dipikir-pikir, Xu Mo memang lebih cocok untukmu... Dia menyukaimu, di keluarganya ada kakak tertua yang mewarisi bisnis. Aku ingat karakternya santai dan ramah, mungkin tidak keberatan dengan tradisi menjadi menantu yang diambil. Lagipula zaman sekarang mana ada lagi istilah 'ambil menantu'? Menikahimu justru menguntungkan seluruh keluarganya..."
"Menguntungkan bagaimana? ...Aku benar-benar tak pernah berpikir untuk bersamanya. Orangnya baik sih, tapi selalu ada yang kurang..."
"Sensasi tak pasti?" Ruolin mengedipkan matanya, "Karakter Xu Mo memang sangat stabil dan terukur..."
"Bukan itu... Jangan-jangan kau pikir aku akan menyukai bocah-bocah pencari sensasi itu?"
“Bocah-bocah sembrono pasti tidak bisa. Kamu itu tipe wanita yang keliatannya manis, tapi sebenarnya liar di dalam hati. Aku sudah tahu kok! Hanya dengan cinta yang bergelora untuk mengikatmu, menaklukkanmu, baru kamu rela membersihkan diri dari kemewahan dan tinggal bersama pasangan. Karakter perempuan tradisional Timur memang begitu. Intinya sih sok keren.”
“Asal bicara.” Yahan tertawa.
Dua wanita itu berbaring di ranjang. Setelah beberapa saat, Li Ruolin melompati badan, bersemangat: “Besok malam aku ajak kamu ke pesta, siapa tahu bisa ketemu cinta bergelora yang kamu cari.”
“Apa itu?”
“Perkumpulan spontan di sekitar sini. Nanti juga akan mengerti kalau sudah datang.”
Yahan berpikir sejenak: “…Justru kamu yang sok keren.”
Kedua wanita itu kemudian tertawa terbahak-bahak di ranjang.
Hujan musim dingin Paris turun dengan gaya, lebih menusuk tulang dibanding cuaca hujan deras atau badai salju. Rintiknya yang tak putus-putus seakan meresap sampai ke sumsum. Li Ruolin baru membuka toko kaset dan piringan hitamnya siang hari. Toko itu memadukan tatanan populer dan eksklusif: dari DVD film box office terbaru, hingga koleksi langka piringan hitam era paruh pertama abad lalu yang kini hanya diburu kolektor atau penggemar musik berat.
Latar belakang keluarga Li Ruolin mungkin tidak sebaik Yahan, tapi dia juga seorang yang kaya dan tidak kekurangan uang. Membuka toko murni karena hobi dan untuk menghabiskan waktu. Rak-rak CD yang tertata rapi di bawah cahaya lampu yang hangat, berbagai hiasan kecil yang imut atau menyentuh, pemanas yang nyaman. Melihat ke luar dari jendela besar, kita langsung bisa membandingkan betapa suramnya langit di luar dengan kehangatan di dalam toko. Dan betapa bahagianya bisa menikmati musik favorit di dunia yang begitu hangat ini.
Selain Li Ruolin, toko ini juga mempekerjakan seorang perempuan keturunan Tiongkok bernama Xiao Tang yang berusia delapan belas atau sembilan belas tahun. Wajahnya cantik dan berpakaian modis, mungkin keturunan Tionghoa yang besar di Prancis. Bahasa Mandarinnya tidak terlalu standar, tapi cara dia memanggil "Kakak Yahan" berulang kali setelah diperkenalkan Lin Ruolin memang sangat menyenangkan. Setelah makan siang, Li Ruolin menitipkan tokonya pada Xiao Tang, lalu menemani Yahan membawa payung mengunjungi beberapa orang Tiongkok yang mereka kenal di sekitar sana.
Begitu keluar dari rumah orang tersebut, jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Bertiga berbagi satu payung, berjalan akrab menyusuri jalan kembali. Kali ini mereka sengaja mengambil jalan memutar. Saat mendekati suatu sudut jalan, pembicaraan beralih ke orang tua Li Ruolin. Pasangan suami istri yang sudah lama dikenal Yahan sejak kecil dengan panggilan Paman dan Tante itu, telah meninggal dalam kecelakaan mobil di Prancis beberapa tahun lalu dan dimakamkan di pemakaman tak jauh dari situ.
"Berbeda dengan banyak kota lain, pemakaman di Paris banyak yang terletak di dalam kota, dan makam tokoh terkenal bahkan menjadi objek wisata. Makam di depan itu tentu tidak seramai itu, terletak di antara permukiman penduduk dan kawasan komersial, dikelilingi pagar baja yang tampak khidmat dan sunyi di bawah langit kelabu. Setelah masuk untuk memberi penghormatan, Li Ruolin berdiri di depan nisan yang basah oleh hujan sambil berkata lembut: 'Besok beli jeruk, mereka selalu suka. Tapi bukan yang dipotong, harus dikupas pakai tangan. Di dalam negeri namanya apa ya?'"
"Jeruk Ponkan?"
"Ya, Ponkan, jeruk potong... Di sini lebih banyak jeruk Pusar, tapi lebih sulit dikupas..."
Li Ruolin menghela napas, memandangi nisan orang tuanya sambal terus menerus mengklasifikasikan jenis-jenis jeruk. Meski musim dingin, beberapa helai rumput liar masih tumbuh keras kepala dari tanah. Dia berjongkok mencabutnya, lalu berdiri sambil memandang kawannya dengan bingung: "Yahan?"
"Lihat orang itu, aneh sekali..."
"Hmm?"
Mengikuti jari Yahan, Li Ruolin memandang ke arah yang ditunjuk.
"Hujan rintik-rintik masih turun, di depan sebuah makam yang berjarak belasan meter dari mereka, seorang pria dari timur sedang berjongkok di sana. Gerakannya terlihat seperti sekadar membersihkan makam biasa, mirip dengan aksi Li Ruolin yang baru saja mencabut rumput liar di pemakaman. Namun bila diamati lebih seksama, konsentrasinya yang berlebihan justru menciptakan kesan ganjil yang tidak selaras. Orang ini... benar-benar sedang membersihkan makam dengan sungguh-sungguh."
"Bagaimanapun, pria itu berjongkok dengan fokus yang luar biasa. Dengan satu tangan memegang sabun cuci piring dan tangan lain memegang lap, ia menggosok nisan dan lempengan marmer berprasasti dengan penuh semangat. Hujan yang turun tak dihiraukannya, rambutnya sudah basah kuyup meneteskan air ke pipi. Pakaiannya pasti juga basah seluruhnya. Cuaca seperti ini, orang sehat sekalipun pasti akan flu jika kehujanan, tapi dia seolah tak merasakan apa-apa, hanya asyik dengan pekerjaannya."
"Meski nisan-nisan di pemakaman ini sudah tercuci bersih oleh hujan, makam yang sedang dibersihkan pria itu dengan tekun segera tampak berbeda. Kebersihannya yang sempurna bagaikan bangau di tengah kawanan ayam, langsung terlihat mencolok."
"Jangan-jangan dia petugas pemakaman atau semacamnya..."
"Sepertinya bukan..."
"Siapa yang bersih-bersih makam seperti itu sih..."
Dua wanita itu berdiri sambil bergumam membicarakan sesuatu. Sesekali Li Ruolin menoleh melihat Yahan, yang sedang memandangi gerakan pria itu dengan ekspresi berpikir mendalam. Tak lama kemudian, pria itu selesai membersihkan, berjongkok beberapa detik, lalu membereskan alat kebersihannya dan berbalik pergi. Saat melewati makam itu, mereka melirik nisan dengan foto wanita kulit putih cantik bertuliskan nama: Natalie*Annis di bagian bawah.
Selain itu, hanya ada kekosongan.
"Dia pasti sangat mencintainya ya..."
"Kenapa? Tertarik dengan pria tadi? Tidak terlalu ganteng lho." Li Ruolin terkikik lembut, "Tapi... berotot tapi kalem, cocok untukmu yang sok keren. Kayaknya dia orang Timur. Akan kucari tahu, mungkin..."
"Apa-apaan sih! Aku cuma merasa..." Dia termenung, "Cuma merasa..."
Perasaannya sulit diungkapkan. Bahkan wajah pria itu tak jelas terlihat. Namun tatapan fokus dari balik rambut basah itu seperti cap bakar yang melekat dalam memorinya. Seolah dengan menoleh, tatapan itu akan muncul lagi. Mungkin dalam pandangan itu, hanya wanita dalam makam yang menjadi satu-satunya eksistensi.
Bagaimanapun, ini membuatnya tersentuh.
【Lima】
Dia tak menyadari dua wanita yang mengamatinya di pemakaman. Pandangan orang biasa tanpa niat jahat takkan membangunkan kewaspadaannya.
Jarang datang ke pemukiman, atau lebih tepatnya, kecuali untuk beberapa tugas yang tak terhindarkan, ini pertama kalinya dia datang khusus untuk memberi penghormatan pada seseorang.
Memberi penghormatan adalah hal yang dulu dia anggap tak bermakna. Manusia mati, membangun nisan, tak berarti orang bisa hidup lewat pemakaman. MATI ya sudah menghilang. Soal mayat, entah diletakkan di pemakaman, dibakar Api, dilempar ke kolam, atau dimakan, bagi yang sudah MATI, tak ada lagi dampaknya.
Kenapa harus datang? Dia tak bisa jelaskan. Sebuah harapan, rasa bersalah, atau mungkin Natalia yang sudah MATI memang meninggalkan cap bakar di hatinya. Itu wajar saja, dia kan bukan robot tanpa perasaan sama sekali. Tapi dengan datang ke pemakaman, selain membersihkan dengan sepenuh hati, dia juga sadar memang tak ada yang perlu dikatakan.
Kau seperti apa, aku seperti apa, sudah saling pahami. Meski dulu ada penyembunyian dan kebohongan, di akhir semestinya sudah jelas...
Keluar dari pemakaman, seluruh tubuhnya basah kuyup. Dia menginap di hotel terdekat, mandi, berganti pakaian, minum secangkir kopi. Mengenang Natalia, kini hanya satu hal yang membingungkannya. Saat Natalia sekarat di pangkuannya dulu, dia sempat berbicara sesuatu. Baru dua tahun lebih sedikit, tapi apa yang diucapkannya kini sama sekali tak bisa diingat. Selain kenangan masa kecil sebelum pelatihan pembunuh di usia sepuluh tahun, inilah satu-satunya titik buta dalam memorinya.
“Setelah sore berlalu, langit berangsur gelap. Di restoran bawah hotel, ia menikmati steak dengan porsi besar sambil mendengarkan musik, lalu naik taksi menuju tempat pertemuan yang telah disepakati dengan Yoritomo Taku.”
“Sebenarnya, Paris dikenal sebagai kawasan paling kacau di Prancis. Meski tak bisa digeneralisir, wilayah utara terutama sangat mencolok. Meski dunia luar mengagungkan Paris sebagai kota kebebasan dan romantis, kenyataannya—seperti diduga—kata ‘bebas’ dan ‘romantis’ itu terkait erat dengan sikap eksentrik dan pembangkangan. Karena hujan gerimis turun sepanjang hari, hampir tak terlihat orang berkeliaran di permukiman terpencil Distrik 18. Hanya deretan lampu jalan yang setia menjalankan tugas dalam dinginnya hujan. Melewati terowongan gedung tua, saat memasuki ruangan, ia melihat tiga orang di dalam—dan laras senjata hitam legam yang serentak mengarah padanya.”
“Yoritomo Taku sedang membersihkan bagian-bagian pistol di atas meja. Di sebelahnya, pria berjas olahraga biru-putih dengan tangan terkantongi yang terlihat begitu bersemangat—Ritsumei Michiaki yang sudah lama tak dijumpai. Tentu saja, ia tak berharap bertemu orang ini. Meski tak ada permusuhan, kehadirannya selalu berarti kedatangan sang partner, Tak terhitung dewa-dewa.”
“‘Hei, anak Tiongkok yang malang.’”
“Pria berjas hujan hitam itu mengangkat pistol berpelesuara begitu kaki melangkah masuk. Senyum mengembang, tanpa ragu ia menarik pelatuk.”
Dia memiringkan kepala, peluru melesat melewati telinganya. Dinding di belakangnya langsung hancur berkeping, pecahan batu beterbangan.
"Hei, manusia buatan yang malang."
Percakapan yang terlihat datar itu diselingi dua tembakan lagi yang meledakkan dinding dalam sekejap, serpihan batu berhamburan. Jarak tiga peluru di dinding terpaut lebih dari satu meter. Saat ucapan itu berakhir, tubuh Munen sudah didekati bayangan yang meliukkan tangan kanannya membentuk lingkaran besar, menghembuskan angin yang menyedot lengan bersenjata Munen ke dalam pusaran, lalu menekannya ke bawah seolah menggulung seluruh ruang.
Puuut——
Peluru keempat melesat menerobos celah ketiak, ubin lantai pecah berantakan. Lengan Munen tertekan bagai terjebak pusaran, tubuhnya sedikit condong ke depan. Saat berusaha melepaskan diri, pistolnya sudah terhempas ke udara.
Pistol melayang ke arah Ritsumei Michiaki yang masih tersenyum hendak menangkapnya. Tiba-tiba ia melihat bayangan Byakuya yang sedang bertarung dengan Munen bergerak samar. Mulut pistol muncul dari samping, tangannya ditarik kembali secepat kilat. Dentuman senjata berperedam menggema, pistol Munen terpental Dang! dari sisinya, menghantam dinding belakang lalu memantul kembali.
Dia mengulurkan tangan untuk menjemput lagi, di sisi lain Tak terhitung dewa-dewa yang seperti terjebak dalam pusaran itu tiba-tiba mundur, berbalik badan, tangan kirinya mengayun dengan "Blek" seolah merobek seluruh ruang disertai desing angin yang mengguncang. Dari samping, Yoritomo Taku yang sedang memasang peredam suara pada pistolnya dengan sengaja atau tidak mengarahkan laras senjata ke arah mereka, senjata itu menyentuh ujung jari Ritsumei Michiaki.
"Braak!" Suara ledakan menggema, debu batu berhamburan. Pada dinding di tepi pintu, jejak kerusakan sepanjang hampir tiga meter dengan kedalaman sekitar satu sentimeter tercabik oleh tenaga angin dari ayunan tangan Tak terhitung dewa-dewa. Senjata yang terlempar dari jari Ritsumei Michiaki kembali menabrak dinding, Prak-prak beberapa kali sebelum jatuh ke lantai.
Kamar kembali sunyi, hanya debu abu-abu yang masih berjatuhan dari dinding.
Empat orang itu kini masing-masing memegang senjata. Tak terhitung dewa-dewa dan Shira Yoru saling mengarahkan laras, sementara Yoritomo Taku dan Ritsumei Michiaki juga memegang pistol mereka, pandangan santai namun tajam tertuju pada lawan. Udara di sekitar membeku.
Seandainya ada saksi mata, seluruh pertarungan ini hanya berlangsung beberapa detik: Dari diam menjadi aksi lalu kembali sunyi seketika. Begitu dia masuk, Tak terhitung dewa-dewa langsung menembakkan empat peluru. Senjata itu kemudian terlempar saat Ritsumei Michiaki hendak menangkapnya, lalu dihempaskan lagi olehnya sebelum Yoritomo Taku menyempurnakan dengan satu tembakan pamungkas. Bilah Angin dari Tak terhitung dewa-dewa sudah menerobos dinding dengan Braak!, di luar jendela hujan masih turun, sementara lampu kuning di kamar bergetar pelan.
Beberapa detik kemudian, Ritsumei Michiaki pertama kali mengangkat kedua tangannya, tersenyum: "Aku menyerah, aku tidak satu jalan dengan elemen militerisme ini, tembak saja dia, aku tidak akan bicara apa-apa... Mau minum kopi? Aku yang beli."
Yoritomo Taku terus menundukkan kelopak matanya, mengusap senjata di tangannya dengan sapu tangan biru. Dua detik kemudian, Byakuya meletakkan senjata di tangan kirinya, menunjuk sudut kamar: "Ada kopi di sana."
Tak terhitung dewa-dewa membuka tangannya, memandang Yoritomo Taku lalu Ritsumei Michiaki. Setelah lama, baru menyeringai: "Kalian semua tidak patriotik..."
"Sudahlah, aku memang tidak patriotik, tapi aku mencintaimu, Munen... Byakuya, kopi mau ditambah krimer? Oh ya, kode terakhirmu kan Byakuya..."
……
……
Dua jam kemudian, Yoritomo Taku dan partner keluar dari gedung, menyusuri atap kecil yang teduh menuju persimpangan tidak jauh.
"Majukan aksi ke besok," kata Yoritomo Taku. "Hari ini kau sudah menemui target, bagaimana hasilnya?"
"Kewaspadaan bodyguard lumayan, tapi masalahnya tidak parah. Besok... Dia ada pertemuan dengan Charlie*Wilson dari Amerika sore nanti, Charlie ini target Tak terhitung dewa-dewa?"
"Aku periksa, memang benar."
"Baiklah, jadi besok sore, rencana Nomor 2 yang sudah disepakati."
Melewati persimpangan, mereka menghilang dari arah berbeda dalam tirai hujan.
【Enam】
"Jam sebelas malam, hujan perlahan mereda hampir berhenti. Di tepi hutan kecil tak jauh dari kediaman Wakil Walikota Paris, pria berbaju jas hujan hitam merapikan pakaiannya sambil mengintip ke arah jalanan. Sesekali ia menoleh ke belakang berbicara dengan Ritsumei Michiaki yang sedang menunduk menyalakan rokok dalam jarak 3-4 meter."
"Tidakkah kau merasa setelan olahragamu hari ini terlalu mencolok? Yakin tidak ganti baju?"
"Hari ini aku tidak berencana membunuh. Aku pemuda periang, memakai setelan olahraga seperti ini adalah hobiku. Lagipula, meski kau berpakaian seperti Gestapo..." Rintik hujan bertebaran, bahkan di bawah pohon pun menyalakan rokok tetap terganggu. Ritsumei Michiaki beberapa kali mencoba menyalakan api, "Uhh... meski kau berpakaian seperti Gestapo, berdiri di bawah lampu jalan tetap akan terlihat..."
Munen menengadah memandang lampu jalan di atasnya: "Aku berdiri di tempat terang agar bisa melihat target lebih jelas saat datang."
Ritsumei Michiaki tetap menunduk menghisap rokok tak menghiraukannya. Belasan detik kemudian baru mengangkat kepala menghembuskan lingkaran asap sambil mengangguk: "Logis."
Di tengah percakapan ini, tiga mobil mewah telah mendekat dari kejauhan dan berhenti di gerbang kediaman. Pengawal mulai turun dari mobil, disusul Wakil Walikota Paris Bao Ping. Munen menoleh ke belakang: "Dia datang. Kau yang menembak atau aku?"
"Sudah kukatakan hari ini tidak ada pembunuhan."
"Tidak perlu membunuh. Tujuan kita datang adalah memberi peringatan kepada mereka, sangat memuaskan." Munen memandangnya beberapa saat dengan sedikit kekecewaan, "Jika kau tidak mau menembak, biar aku saja."
“Seluruh jalan sepi dari pejalan kaki, seorang pria berbaju mantel hitam berdiri di bawah lampu jalan di sini, telah menarik perhatian para pengawal di sana. Beberapa orang sedang menatap ke arah sini. Tak terhitung dewa-dewa mengangkat tangan bingung, menarik pistol dari balik bajunya. Secara bersamaan, tiba-tiba terdengar teriakan dari sana.”
Byur-byur-byur-byur-byur-byur——
Dentuman senjata yang nyaring tiba-tiba merobek kedamaian malam. Kobaran api menyala dalam kabut hujan. Kemudian, peluru juga meninggalkan percikan api di bodi mobil. Terpisah puluhan meter, dua pengawal langsung ditembak kepala. Kabut darah beterbangan. Saat Tak terhitung dewa-dewa menyimpan senjatanya dan berbalik menuju hutan, kekacauan telah terjadi di belakangnya disertai dentuman senjata yang semakin menderu.
Peluru dari sana menghujam tiang lampu jalan dan pepohonan di hutan. Dedaunan berjatuhan. Tak terhitung dewa-dewa bawah sadar menundukkan lehernya. Ritsumei Michiaki mengintip ke arah dua yang MATI. Peluru telah menghancurkan batang pohon di sampingnya: "Kau bilang hari ini tidak akan MEMBUNUH."
"Aku asal menembak, ini kecelakaan, bisa dimaafkan." Tak terhitung dewa-dewa tersenyum licik. "Aku sedang menyelamatkan orang. Ada yang ingin membunuhnya, aku memberi peringatan. Kau harus memujiku... Hmph, sekarang lihat bagaimana mereka bisa BUNUH..."
"Wah, tapi kurunya peringatan seperti ini justru akan menambah korban..."
Di antara dentuman senjata, berdua berjalan masuk ke kedalaman hutan kecil.
【Tujuh】
Pagi-pagi buta, kamar terasa hangat seperti musim semi. Aroma sarapan telah menyebar dari dapur.
“……Wakil Walikota Bao Ping mengalami penembakan oleh pria misterius tadi malam, dua pengawal gugur dalam baku tembak. Saat ini polisi telah turut campur tangan untuk menyelidiki hal ini, rincian situasi……”
Di TV sedang ditayangkan berita pagi Prancis. Kemampuan bahasa Prancis Yahan yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan kini kembali, hampir secara bawah sadar memulihkan fungsi pendengaran dan pembacaan bahasa Prancisnya, mengenali konten berita di televisi. Setelah duduk malas-malasan di ranjang sebentar, Yahan menoleh memandang ke luar jendela. Hujan telah reda, tapi suhu yang sangat rendah terlihat jelas, jejak embun tebal terpampang pada pemandangan dalam jarak pandang. Tanpa sengaja, teringat lagi pemandangan yang dilihatnya di pemakaman kemarin.
Dalam tirai hujan, pria itu berjongkok membersihkan nisan di depannya, pandangan yang sepi namun fokus...
Natalie*Annis.
Entah mengapa, merasa nama ini sepertinya pernah didengar di suatu tempat.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu tiba-tiba menggelengkan kepala, menepuk-nepuk pipi dengan kedua tangan, membuang jauh pikiran ini: "Bangun!"
Di dapur sedang memasak bubur, Li Ruolin saat itu di ruang tamu sedang menerima telepon dari seseorang. Yahan memberi salam lewat pandangan, masuk ke kamar mandi cuci muka lalu gosok gigi. Dari telinganya sesekali terdengar decak kagum: "Wah... Benarkah? Tidak mungkin..." Tak tahu sedang membicarakan gosip besar apa yang begitu menggemparkan.
Di dapur, bubur juga mulai mendidih pada saat ini. Li Ruolin menarik kabel telepon sambil berusaha berlari ke sana. Yahan yang masih menggigit sikat gigi dengan mulut penuh busa juga berlari ke kompor untuk mematikan api dan menurunkan suhu, sambil mengayunkan tangan ke arah Li Ruolin agar kembali melanjutkan cerita Bagua. Tak lama kemudian, Li Ruolin menutup telepon dengan wajah penuh semangat: "Hebat sekali Yahan! Kamu masih ingat nisan Natalia yang kita lihat kemarin kan?"
"Ada apa?"
Yahan berjalan kembali untuk berkumur. Li Ruolin mengikutinya sambil cerewet: "Aku menyelidiki beberapa orang di sekitar sini. Karena pria yang sangat menarik perhatianmu kemarin itu terlihat seperti orang Tionghoa. Orang Timur di sini punya lingkaran kecil sendiri, pasti bisa saling kenal kalau ditanya. Aku bilang ada teman yang sangat tertarik padanya, menelepon beberapa orang..."
Yahan hampir ingin menangis. Dengan keras ia mengetukkan sikat gigi ke cangkang: "Kalau kamu bicara seperti ini, bagaimana aku bisa hidup? Orang pasti mengira aku sangat tergila-gila padanya! Hanya sedikit penasaran saja... Tidak, penasaran pun bukan yang macam itu..."
"Tidak apa-apa tidak apa-apa, di dalam negeri lebih kalem, di sini wanita yang mengejar pria sangat normal... Tidak, maksudku bukan begitu, tidak mengatakan kau ingin mengejarnya, penasaran saja, aku juga hanya bilang penasaran setuju... Kau tahu orang-orang di sini kebanyakan saling kenal, aku mencari beberapa teman yang punya koneksi, bertanya apakah ada orang Tiongkok atau orang Timur yang punya pacar bernama Natalie*Annis, atau yang langsung kenal Natalie*Annis sendiri juga boleh. Kau tahu kalau dia tinggal di sini, pasti tinggal di sekitar sini. Siapa sangka tidak ada yang kenal sama sekali, tapi ada temanku yang baru saja menghubungiku, katanya meski tidak jelas ada pria dan wanita ini di sekitar sini, tapi kalau hanya nama Natalie*Annis, itu luar biasa."
"Ada apa?"
"Adipati Westminster dari Inggris, dia punya anak angkat yang juga bernama Natalie*Annis."
Yahan mengerutkan kening: "Aku ingat, sebelumnya memang pernah dengar nama ini, pantas terasa agak familiar."
Li Ruolin paling suka gosip, melihat Yahan membantu, semangatnya semakin melambung tinggi, membuat ekspresi misterius dan fokus: "Kau merasa familiar karena pernah dengar nama ini, tapi di Eropa sini, nama ini bukan sekadar anak angkat Adipati Westminster. Temanku itu punya saluran tidak biasa, baru bisa tahu hal-hal yang hanya diketahui orang-orang tingkat tinggi. Natalie ini... Wuih... Wuih..., kebanyakan yang tahu latar belakangnya memanggilnya Permaisuri."
"Hmm?"
“Alasan spesifiknya tidak diketahui, tapi Grup Sid yang diakuisisi tahun lalu kau tahu kan？Grup Hamerson yang bangkrut dan tutup itu kau tahu juga？”
Ini hampir dua perusahaan besar yang terkenal di dunia, sulit untuk tidak tahu. Awal tahun lalu di Eropa terjadi serangkaian pergolakan, kedua perusahaan ini juga terguncang di dalamnya. Sekarang mengangguk, Li Ruolin berhenti sejenak: “Konon…semua itu aset bawahannya, dan itu masih tergolong biasa. Alasan semua orang memanggilnya Permaisuri adalah karena dalam radius efektif Eropa, dia hampir seperti ratu tanpa mahkota.”
“Benarkah？”Yahan mengerutkan kening, “Orang seperti ini mustahil dikuburkan di sini kan？Jangan-jangan hanya kebetulan nama sama？”
“Tidak tahu ada apa, tapi temanku itu pernah mendapatkan foto Natalia. Pagi ini dikirim ke komputerku, akan kutunjukkan padamu.” Li Ruolin bergegas ke kamar mengambil laptop. Setelah membukanya, menampilkan sebuah foto. Foto itu tidak jelas, memperlihatkan seorang wanita kulit putih berbaju gaun malam di sebuah jamuan. Meski agak kabur, tetap terlihat bahwa wanita ini mirip dengan yang ada di foto nisan.
“Natalia ini selalu menjaga profil rendah, tinggal di sekitar Venesia, tapi… dia MATI dua tahun lalu, tidak tahu penyebabnya, karena sebenarnya bukan level ini, Temanku juga tidak terlalu peduli di mana dia dikuburkan. Kemarin saat aku menyebutkannya, baru sedikit mencari info dan menyelidiki. Anehnya, tidak ada yang tahu di mana makamnya, tapi tepat dua tahun lalu setelah kematiannya, bertepatan dengan awal Badai Finansial kecil di Eropa. Kau bilang aneh atau tidak…”
Kesunyian melanda beberapa saat. Li Ruolin menyandarkan kepala di tangan sambil berbaring di sofa, kedua matanya penuh bintang-bintang: “Wah, pasti pria itu juga orang hebat, sayang tidak bisa ditemukan. Hmm, kemarin dia datang ke nisan, apa kemarin adalah hari kematian Natalia… Harus ingat tanggal ini, tahun depan bawa kamera untuk memotret…”
Melihatnya berguling-guling seperti gila cowok, Yahan kesal mengetuk kepalanya lalu tersenyum: “Ayo sarapan, si gila cowok.”
“Yahan, ngiler melihat pria seperti itu bukan hal memalukan.” Li Ruolin melakukan gerakan memegang hati, “Sungguh ingin tahu kisah cinta sejati mereka, pasti sangat bergelora. Apa kau perhatikan tatapannya kemarin? Kesedihan, kesepian, luka, plus aura yang mempesona. Aku jatuh cinta sampai MATI…”
Tubuhnya perlahan miring di sofa—Byur!—Dia terjatuh dari sofa ke karpet tebal…
【8】
“Bentukannya pura-pura… MATI itu nasibmu…”
Pukul lima setengah sore, ini adalah acara kumpul-kumpul kecil yang diadakan di lantai 15 hotel bernama Mutiara Hitam. Tak terhitung dewa-dewa berkeliaran di antara tamu undangan dengan perasaan sakit hati yang mendalam.
Semalam sudah diberikan peringatan sekeras itu kepada Yoritomo Taku dan target Baiye alias Wakil Walikota Paris Bao Ping. Dikira hari ini setidaknya itinerary-nya akan diubah, siapa tahu hanya menambah pengawal di sekitarnya. Jadwal yang sudah dibooking tetap tidak pernah berubah.
Tentu saja, sebagai pejabat publik seperti walikota dan wakil walikota, pasti ada alasan tersendiri. Kalau takut dibunuh bayaran lalu menghindari semua tugas, jelas tidak mungkin. Tak terhitung dewa-dewa juga paham hal ini. Situasinya persis seperti yang dikatakan Ritsumei Michiaki: Dengan kekuatan Yoritomo Taku dan Baiye, kalau benar-benar nekat bertarung, wakil walikota ini meski menambah pengawal hanya akan menambah jumlah mayat saja. Yang dia pikirkan bukan sepenuhnya menghalangi mereka menyelesaikan misi, hanya berharap bisa merepotkan sebanyak mungkin. Sekarang kerumitan yang dibuat tidak sesuai harapan, sedikit-sedikit timbul ketidakseimbangan mental.
Tapi, satu hal satu perhitungan. Tuan rumah acara kecil ini adalah Bao Ping, sementara tamu terpenting adalah targetnya bersama Ritsumei Michiaki yaitu Charlie*Willson. Pikir-pikir benar-benar rumit. Seandainya acara dibatalkan, mencari orang ini akan memakan waktu beberapa hari lagi. Sebagai pembunuh bayaran, dia sebenarnya juga tidak suka menunda-nunda urusan.
Menoleh ke belakang dan berpikir, mengingat target kedua belah pihak masih ada, apakah Bai Ye juga menyusup masuk seperti dirinya. Keamanan hotel saat ini sangat ketat, ini adalah lantai 15, saluran masuk-keluar tidak banyak. Jika bertindak di sini, cara melarikan diri sebenarnya ada, tapi bagi manusia biasa cukup merepotkan. Sedikit masalah saja benar-benar mempertaruhkan nyawa. Biasanya tempat seperti ini tidak akan dipilih untuk aksi pembunuhan, tapi tak ada yang mutlak di dunia. Dirinya sendiri bisa menyusup masuk, kemungkinan Bai Ye juga bisa ikut-ikutan masuk. Jika ada kesempatan menghabisinya di sini... Memikirkannya saja sudah terasa sangat memuaskan.
Berdasarkan pertimbangan ini, dia terus mengamati 20-an orang di dalam kamar ini. Separuhnya tamu undangan, separuh lagi pengawal. Dua orang lainnya adalah bartender dan pelayan yang disediakan hotel. Di antara mereka, mungkin ada satu yang merupakan Bai Ye yang sedang menyamar.
Teknik penyamaran di tingkat mereka sebenarnya tidak meninggalkan jejak. Kemampuan meniru sudah sangat matang. Sebagai Tak terhitung dewa-dewa, dia menggantikan seorang pedagang yang terlibat dengan Jalan Hitam. Orang ini dua tahun lalu pernah melakukan kontak dengannya dalam beberapa urusan, memiliki sedikit pemahaman, cukup pendiam. Ditambah orang aslinya belum datang, percakapan santai yang dilakukan semua orang bukan hal sangat rahasia. Untuk sementara, peniruannya belum menunjukkan jejak-jejak yang bisa terdeteksi.
Jika Bai Ye juga ada di sini, sebenarnya tidak mudah baginya untuk mengenali. Begitu mendekati pukul enam, langit di luar jendela sudah gelap, barulah dia perlahan melihat sedikit petunjuk.
Yang bermasalah, mungkin adalah pelayan hotel itu.
Secara umum, personel yang disediakan hotel di tempat seperti ini biasanya bisa diandalkan. Namun sebenarnya dari total 20-an orang di sini, yang paling tidak bisa diandalkan justru dua orang dari hotel ini. Karena identitas mereka mudah dipalsukan dan tidak perlu banyak berinteraksi. Aku sendiri kebetulan mengenal salah satunya. Jika Baiye dkk ingin menyusup ke sini, pilihan terbaik tentu dua orang ini. Yang paling penting adalah beberapa reaksi halus bartender terhadap si pelayan.
Bartender itu adalah wanita Kaukasia tinggi dengan wajah cantik. Karena hotel memilih dua orang untuk melayani tamu VIP, seharusnya mereka memiliki pengalaman kerja sama. Tapi setelah Munen mengamati selama setengah jam, terlihat beberapa ketidakharmonisan kecil. Tatapan bartender ke pelayan kadang tampak bingung. Dua kali ketika pelayan menerima nampan, ada sedikit kejanggalan. Jika ada yang paling mengenal pelayan di kamar ini, pasti bartender itu. Namun reaksi halus ini justru menunjukkan bahwa bartender pun merasa aneh.
Meski Baiye adalah peniru terhebat, dengan waktu persiapan cuma 2-3 hari untuk mengumpulkan data, mustahil meniru seseorang dengan sempurna tanpa meninggalkan celah bagi yang mengenalnya. Kebingungan yang ditunjukkan bartender perempuan ini persis seperti itu. Mungkin bahkan dia sendiri tidak menyadarinya, tapi naluri bawah sadar itu tertangkap oleh Munen.
Jika ada yang paling mencurigakan di ruangan ini, sudah pasti pelayan inilah orangnya.
“Tidak bisa sepenuhnya memastikan hal ini, dia hanya menatap, tepat setelah pukul enam, yang pertama tiba adalah Bao Ping sebagai wakil walikota.”
“Charlie*Wilson ternyata datang terlambat, Tak terhitung dewa-dewa langsung tegang, dia mengawasi pelayan itu, bawah sadar mendekati Bao Ping yang sedang menyapa semua orang. Jika Byakuya benar-benar merencanakan serangan di sini, sekarang adalah waktu terbaik. Itu tidak hanya akan menyelesaikan tugas mereka, tetapi juga mengacaukan rencana aku dengan Ritsumei Michiaki.”
“Lima menit berlalu, pelayan itu tidak menunjukkan aktivitas mencurigakan.”
“Tak terhitung dewa-dewa mulai curiga. Lima menit lagi, pintu terbuka sekali lagi. Seorang pria paruh baya berhidung bengkok masuk ditemani beberapa pengawal, tersenyum melambai ke semua orang lalu memberi isyarat ke Bao Ping: Itulah Charlie*Wilson.”
“Satu menit kemudian, Tak terhitung dewa-dewa melirik ke bawah gedung dari jendela, lalu mendekati pengawal terdekat: 'Ada yang bermasalah, kudeteksi penyusup.'”
“'Siapa?'”
“'Aku.'”
“Sesaat kemudian, kedua tangannya bergerak secepat kilat. Dua pistol sudah berada di genggamannya - satu laras menekan dada pengawal di depannya, laras lain mengarah ke Charlie*Wilson yang sedang berdiri tak jauh.”
“Setiap tamu diperiksa ketat untuk memastikan tidak membawa senjata api. Tapi baginya, senjata di ruangan ini terlalu banyak.”
“Entah pelayan itu Byakuya atau bukan, entah ini lantai atas gedung yang tidak bisa dituruni, orang biasa takkan berani bertindak. Hanya dia yang punya nyali.”
“Sesaat kemudian, percikan darah mekar, dentuman senjata menggema.”
……
……
Sudut kota.
Lampu neon menyinari seluruh kota, di kejauhan berdiri Menara Eiffel yang menjulang tinggi.
Yahan dituntun oleh Li Ruolin yang menggambtangannya, memandang dengan bingung ke arah arena terbuka di depan mereka.
Ini adalah plaza kecil terbuka. Angin malam berhembus dingin, di depan terdapat panggung besar yang dikelilingi berbagai stan seperti rak minuman dan meja transaksi. Alunan musik telah bergema, para pemuda mulai berdatangan memasuki area.
"Inikah yang kau maksud dengan pesta persatuan?"
"Iya." Pipi Li Ruolin memerah merona karena kedinginan.
"Kenapa di luar? Tidak kedinginan?" Jalan di kejauhan berkelok terlihat jelas.
"Justru ini yang menarik! Kita bisa minum baijiu、mengobrol、makan、barbekyu, lalu masuk ke dalam untuk berdansa. Semuanya pemuda, nanti pasti cepat berkeringat. Band yang manggung di atas juga dibentuk oleh orang-orang sekitar, ada yang profesional ada juga amatir. Oh ya, kadang ada selebriti besar yang datang! Di sini kita bisa kenal orang-orang berenergi, sangat berbeda dengan ballroom."
Saat dia berbicara, terdengar teriakan dari sisi plaza: "Siap-siap! Siap-siap! Siap-siap!" Seorang pemuda mengacungkan obor kecil lalu menyemburkan pilar api panjang dari mulutnya, disambut jeritan para perempuan.
Byur! Bunyi drum yang berirama membara menggelegar di panggung, musik mulai menghentak.
"Karnaval、ballroom、atau piknik..."
"Semuanya." Li Ruolin tersenyum lalu menunjuk ke arah samping, "Lihat, Xiao Tang ada di sana."
Di tengah kerumunan, seorang gadis yang berpakaian modis bertepuk tangan mengikuti ketukan drum. Di atas panggung mungkin ada orang yang dikenalnya, karena dia juga terus meneriakkan sorakan seperti "Semangat, si Anu!". Beberapa saat kemudian, dia melihat kedua orang di sini dan melambaikan tangan: "Kakak Ruolin, Kakak Yahan!"
"Xiao Tang." Li Ruolin menarik Yahan berlari kecil ke arah sana.
……
……
Percikan darah mekar, situasi menjadi kacau dalam satu detik. Hanya Munen sendiri yang terlihat ragu sejenak.
Persis saat dia menembak, dua pengawal di depan Charlie*Wilson tidak sempat bereaksi. Sebuah bayangan tiba-tiba menyergap, menjatuhkan Charlie ke tanah. Yang bergerak dengan kecepatan luar biasa itu tak lain adalah bartender cantik itu, disertai teriakan: "Awas——"
“Fuck！”
Hati bereaksi dalam sekejap, langsung menembakkan empat peluru. Keempat pengawal yang paling dekat dengan Tak terhitung dewa-dewa tertembak di kepala dan dada, berhamburan ke segala arah. Bersamaan dengan itu, seluruh ruangan seolah meledak. Para pengawal mulai menarik senjata, sementara pedagang yang menghadiri acara berlarian kacau-balau, ada yang berusaha kabur keluar atau menabrak tanpa arah seperti lalat tak berkepala. Tak terhitung dewa-dewa melesat ke udara, menembak dua kali lagi. Awalnya dia berada paling dekat dengan Wakil Walikota Bao Ping untuk mengantisipasi serangan. Kini dua pengawal Bao Ping sudah MATI, sementara dua lainnya melindunginya dan mulai lari ke luar. Di aula, lampu kristal meledak, percikan api berhamburan. Meja kaca di tengah ruang Byur hancur berantakan. Rak minuman terkena tembakan, botol-baijiu meledak. Tak terhitung dewa-dewa mengayunkan tangan, semua benda kecil di ruangan termasuk sobekan kertas dan uang yang sudah dia sembunyikan di tong sampah sebelumnya, berputar liar di udara.
Kekuatan supernaturalnya adalah mengendalikan angin. Barang-barang beterbangan mengganggu penglihatan semua orang. Tak terhitung dewa-dewa berlari sambil terus menembak. Dentuman senjata, percikan darah, dan api memenuhi udara. Dua pengawal melindungi Bao Ping berkeliling sofa menuju pintu. Di belakang sofa tak jauh dari pintu, bartender perempuan itu berdiri dengan senjata di tangan. Tak terhitung dewa-dewa melihatnya mengarahkan laras senjata ke arahnya, lalu tersenyum. Senyum itu tiba-tiba beralih ke samping.
Dahi Bao Ping menabrak laras senjata.
Dua pengawal di sampingnya yang sejak awal sudah waspada terhadap Tak terhitung dewa-dewa, sementara beberapa pengawal di sisi ini karena bartender baru saja menyelamatkan Charlie, sama sekali tidak memperhatikannya. Bao Ping yang dilindungi di barisan belakang justru menjadi garis depan. Dengan tepat ia menempelkan dahinya ke laras senjata, lalu picu ditarik.
Gelombang kejut dari bahan peledak mengguncang udara, menembus dahinya dan keluar dari tengkuk sebagai lidah api merah darah yang meraung. Sesaat kemudian, dentuman senjata bergema bertubi-tubi di belakang barisan pengawal.
Kertas-kertas beterbangan, peluru menyambar ke segala arah. Saat menembus tubuh, percikan darah berhamburan, daging remuk dan darah berserakan. Setiap tembakan menyemburkan asap hijau dari laras senjata di berbagai sudut kamar. Terdengar teriakan, rintihan kesakitan, dan suara ketidakpercayaan. Akuarium kaca besar hancur berkeping-keping, air mengalir deras. Botol-botol alkohol di rak terus pecah dan menyulut api. Cahaya di dalam kamar berkedip-kedip tak menentu.
Charlie*Wilson mendorong pintu dan kabur terbirit-birit. Tak terhitung dewa-dewa hendak menembak, namun laras senjata bartender wanita sudah mengarah padanya. Ia terpaksa menghindar, lalu dengan gesit berlari ke arah sini sambil berlindung di balik kertas dan tubuh-tubuh.
Angin dahsyat menerpa, dengan satu tangan dia melemparkan sofa yang terbang ke arah sini. Bartender wanita menyambar momentum itu, sofa itu melayang dan menghantam seorang pengawal yang tertembak namun belum jatuh beberapa meter jauhnya. Bersamaan, laras senjata Munen sudah menekan keningnya. Kepalanya menyamping menghindari jalur peluru, tinju tangan kiri mengarah ke perut lawan. Munen menekan lengan ke bawah, tendangan lutut dahsyat menyusul seperti bayangan. Saat Munen mundur selangkah, tendangan berputar menyambar keningnya. Seorang pengawal yang mengarahkan senjata ke sini roboh oleh dentuman tembakan.
"Baiye... Sial!——"
Akhirnya mengonfirmasi identitas mereka, dia mengumpat. Dalam sekejap, tiga orang bertarung sengit. Pintu kamar yang terbuka hancur berkeping-keping ditendang. Dinding di tepi pintu remuk dihajar pukulan. Api membakar karpet, air mengalirkan darah yang terus melebar. Dalam debu yang menyebar, di dalam kamar hanya tersisa mereka berdua yang masih berdiri.
Di bawah hotel, para satpam mulai menyerbu ke atas, tetapi tak berani mencapai lapisan bangunan tempat pertempuran terjadi. Dentang sirene polisi terdengar dari kejauhan. Kemarin, Bao Ping pernah mengalami percobaan pembunuhan, meski selamat. Hari ini, mengetahui pergerakannya, polisi telah mengatur siaga. Di bawah pengawalan dua pengawal, Charlie*Wilson awalnya ingin menunggu lift, kemudian menyadari lift kurang aman, lalu lari menyelamatkan diri lewat tangga. Samar-samar terlihat gemparan satpam di bawah. Saat mencapai Lapisan Keempat, seorang pria Timur berpakaian setelan olahraga hitam-putih sedang naik, memandang mereka dengan bingung. Dua detik kemudian, dia tersenyum kecewa dan mengeluarkan senapan serbu...
Satu menit kemudian, satpam yang menyerbu ke atas melihat Charlie*Wilson dan dua pengawalnya terguling dalam genangan darah di tangga. Saat mencoba membalik tubuh untuk memeriksa kondisi, granat tangan yang terperangkap di bawah mayat meledak. Gelombang kejut menyedot dari bawah disertai kobaran api. Saat itu, Ritsumei Michiaki di lantai lima belas menutup telinga sambil melihat ke bawah. Aliran udara membuat rambutnya berdiri.
Dengan santai berjalan hingga lantai ketujuh belas, baru saja mendorong pintu terbuka, debu beterbangan keluar. Kemudian Braak! Seorang sosok terdorong hingga membentur dinding dengan keras, orang lain juga ditendang keluar. Begitu jarak sedikit terbuka, dentuman senjata langsung bergemuruh. Ritsumei Michiaki menyembunyikan kepala sambil membawa senapan serbu kembali ke area tangga. Setelah beberapa saat, dia berseru: "Byakuya, dadamu asli atau palsu?" Tak mendapat jawaban, dia menghela napas dan melanjutkan ke lantai teratas.
Byakuya adalah yang pertama menyusul, Munen Shuken mengikuti dari belakang. Dengan kaki menendang dinding, lalu berpindah ke pagar di sisi lain, berpijak cepat seolah terbang di udara dengan empat kali pijakan berturut-turut. Dua tendangan lutut beruntun menghantam dari udara. Byakuya langsung mengunci tubuhnya, menerjang keras ke dinding sisi tangga. Braak! Benturan disusul pukulan berat dan sikutan yang mengalir deras seperti senapan mesin. Munen Shuken dengan cepat menangkis, lalu melancarkan serangan kepala. Byakuya menjatuhkan badan, bahunya membalikkan momentum. Pukulan berat Munen Shuken meleset di dekat telinganya, saat menarik kembali tangan, berhasil mencengkeram bahu lawan. Di saat bersamaan Byakuya juga mengunci siku mereka. Dung! Posisi bertukar, pagar sementara penyangga berubah bentuk. Gemuruh mengerikan menggema di koridor. Saat akan menubruk lagi, Munen Shuken menghindar ke atas, tangan mengayunkan bilah angin raksasa yang mencicit membentuk lingkaran besar di ruang tangga.
"Braak-braak suara pertarungan terus bergema di tangga, fragmen-fragmen dan debu beton terus berjatuhan. Saat mereka tiba di atap lantai dua puluh dua, Ritsumei Michiaki berdiri di tepi bangunan dengan sebuah parasut sederhana di tangan, menjulurkan kepala untuk melihat ke bawah. Di sampingnya, terdapat parasut lain yang sudah terkembang."
"Kalau begitu aku duluan pergi."
Dengan memanfaatkan tepian gedung sebagai pijakan, dia melompat keras ke udara. Parasutnya bagai elf dalam kegelapan malam, dalam sekejap menghilang di kejauhan.
Tak terhitung dewa-dewa dan Byakuya sekaligus menerjang ke parasut lainnya. Kecepatan mereka hampir sama. Saat jarak semakin dekat, tiba-tiba Tak terhitung dewa-dewa mengangkat senjata di tangannya dan terus-menerus menarik pelatuk. Sayap parasut yang diam di situ seketika berlubang 4-5. Byakuya memperlambat kecepatan, tapi dia sama sekali tidak mengurangi laju. Mendekati tepian, menginjak pagar pelindung, lalu melompat tanpa menoleh.
Dari ketinggian ini, Bumi terang benderang. Jalan raya, gedung-gedung, sungai, plaza. Di jalanan bawah gedung, mobil polisi sudah mengepung area ini rapat-rapat. Dia merentangkan tangan, merasakan desiran angin dingin, akselerasi, gravitasi bumi. Kemudian, mengepal kedua tangan. Angin kencang mulai memperlambat kecepatan turunnya.
Sudah selesai...
Terjebak di gedung tinggi seperti itu, manusia biasa mustahil bisa turun. Jalan turun hanya beberapa cara. Orang Tiongkok ini, meski hebat, akhirnya juga berhasil dihabisi...
Mood langsung membaik.
"Sesaat kemudian, dua kaki menginjak dengan berat di punggungnya, dua tangan mencengkeram bahunya."
"Bercanda macam apa ini…"
Waktu sudah tidak memungkinkan dia berpikir lebih jauh, sisi gedung ini berdampingan dengan bangunan lima lapisan. Di puncak gedung terdapat rumah kaca transparan, dan sekarang, hamparan hijau di musim dingin itu semakin mendekat. Tiba-tiba dia berteriak kencang, angin menderu mencapai batas maksimum, ingin melemparkan orang di punggungnya. Bersamaan, orang di punggungnya menendang kuat dan terbang melesat.
Langit berputar dan bumi terbalik. Tubuh yang kesulitan dikendali membentur dinding, kemudian bertabrakan keras dengan dinding sisi lain. Braak... Dia terjatuh ke lantai.
Itu adalah gang sempit di sisi gedung yang dipenuhi kantong sampah. Kepalanya berdarah, tubuh terasa mau remuk. Saat merangkak keluar dari tumpukan sampah, samar melihat wajah Bai Ye menengok dari lantai lima. Riasannya hancur, rambut keriting menghilang, hanya separuh wajahnya yang seperti wanita.
"Seperti ini masih belum MATI, kau memang luar biasa."
Suara dari atas itu entah kagum atau terkesima. Mobil polisi berdatangan dari kedua ujung gang. Dia berbaring tak bergerak, sekarang tidak peduli dengan perlawanan sengit. Bagaimanapun juga hanya akan dibawa ke rumah sakit. Tenaganya masih tersisa, selama perjalanan jika ingin kabur, terlalu banyak cara.
Lebih banyak mobil polisi mulai mengepung gedung sebelah. Di rumah kaca lantai lima, Bai Ye melangkahi hamparan bunga-bunga sambil bergumam bosan: "Lain kali pasti kuinjak-injak kau sampai MATI…"
“Sebenarnya hal seperti ini sebaiknya tidak terjadi lagi, benar-benar mempertaruhkan nyawa tadi, hampir saja, kalau tidak bisa menangkap Tak terhitung dewa-dewa sebagai bantalan, pasti aku sendiri yang MATI.”
Sambil berpikir demikian, dia mulai berlari, semakin cepat, menembus kaca organik rumah kaca di sisi lain, melompat keras ke atap gedung lain. Mobil polisi berusaha mengejarnya dari bawah, terus membunyikan klakson sepanjang jalan. Dari kejauhan, mobil polisi lain berputar mencoba memblokir di depannya. Dia tidak menghiraukan, dalam angin dingin malam, hanya terus berlari di atap-atap gedung, semakin cepat...
……
……
“Yahan, Yahan.” Di kerumunan orang, Ruolin memanggilnya, kemudian mereka berlari berkumpul, bersulang keras dengan bir kaleng. Baru saja menari dengan liar di kerumunan, sekarang seluruh tubuh berkeringat. Yahan terengah-engah, wajahnya merah seperti demam.
“Kita ke sana duduk sebentar, makan sesuatu. Penyakit ginjalmu sudah baik kan? Gerak-gerak sedikit tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa, sangat menyenangkan.” Yahan tersenyum, “Sudah bertahun-tahun tidak kambuh, aku juga biasa berolahraga, konstitusiku tidak kalah dengan manusia biasa.”
“Baguslah, aku khawatir kalau berlebihan bisa kambuh. Sebenarnya cuaca seperti ini asal daya tahan tubuh tidak terlalu lemah, lompat-lompat justru menyehatkan.” Di kerumunan, Ruolin berseru keras, “Nanti lihat mereka main street dance, seru lho!”
Pesta masih berlanjut, entah mengapa malam ini terus ada mobil polisi lewat, bahkan beberapa kali mendekat. Tapi para pengunjuk rasa tidak menghiraukannya. Tak lama kemudian, dentuman drum yang lebih keras menggema, musik mencapai puncaknya dalam kegelapan malam. Penari street dance yang telah berlatih sebelumnya turun ke arena. Koreografi yang memang sangat atraktif dan provokatif, dalam silau lampu yang bersilangan, bagai hasutan yang menarik orang-orang untuk terus bergabung.
Orang-orang menari mengikuti irama drum yang sengit, berteriak-teriak. Pada plimo paling intens, suara bicara orang sekitarpun hampir tak terdengar. Tiba-tiba, Ruolin menggenggam tangan Yahan, berkata sesuatu. Yahan tersenyum sambil menggelengkan tangan, berteriak: "Aku tidak bisa mendengar!"
"Lihat sana lihat sana!"
Yahan melihat ke arah yang ditunjukkannya, hampir di pusat perhatian kerumunan, tempat paling meriah. Para penari yang telah dilatih sedang menari dengan bebas, namun pakaian orang itu tidak seragam dengan yang lain, jelas baru bergabung belakangan. Tapi tariannya lebih sengit dan megah daripada siapa pun. Dia bisa mengikuti ketukan drum paling cepat, juga melakukan gerakan tersulit. Bahkan para penari berpengalaman pun kini seolah menjadi latarnya. Namun seintens apa pun gerakannya, dia tetap memancarkan aura tenang, menguasai panggung dengan mudah. Semua mata tertuju ke sana, membiarkan tariannya membawa suasana plaza ke puncak kegembiraan.
Yahan melihat tatapan mata itu - persis yang dilihatnya kemarin di depan nisan. Fokusnya masih sama menyala, seolah seluruh cahaya plaza harus menyinarinya, tapi dia sama sekali tak peduli. Tak ada yang bisa membelenggu tatapan itu. Sekalipun seluruh dunia menatapnya, dia tetap menari sendirian, hanya mengikuti alunan musik paling bergairah, bukan kerumunan di sekitarnya. Entah mengapa, tiba-tiba perasaan aneh mengikatnya, membuat biji matanya mulai lembap. Bahkan dirinya sendiri tak bisa menjelaskan.
Untuk menghindari perasaan ini, dia pun berdiri menarik tangan Li Ruolin: "Ayo kita juga menari."
"Baik."
Mereka masuk ke lantai dansa, musik bergemuruh mengalun di tepi Sungai Seine. Mobil polisi yang sedang mencari sesuatu melewati area ini, juga menyaksikan orang-orang yang sedang berdansa di tengah sambil tersenyum bertepuk tangan dan berteriak. Mobil polisi menginspeksi berbagai server kota, memeriksa orang-orang yang berlalu-lalang. Namun tak ada yang bisa menghentikan pesta ini. Cahaya lampu menerangi para penari, menyinari pria yang sedang menari, seolah ingin mengukir segalanya di depan mata ke dalam lukisan indah bercahaya, menuju keabadian...
Seandainya masa depan adalah sebuah Pesta Dansa, maka sebelum musik berhenti...
Kita hanya bisa terus berdansa.
【9】
Dalam keheningan malam, dia (perempuan) terbangun dari tidur, melihat pria yang tidur di sebelahnya.
“Kegelapan menggariskan siluet tidurnya, juga membuatnya bisa merasakan suhu tubuhnya dengan nyata. Tak tahan, ia mengulurkan tangan menyentuh kulitnya. Sesaat kemudian, dia menangkap tangannya.”
“Dalam kegelapan, Jiaming membuka mata, menekan tangan perempuan itu ke wajahnya sendiri sambil bergumam pelan: "Uhh... Ada apa..." Ia memicingkan mata sebentar, saat membukanya kembali, sudah sepenuhnya sadar. "Tidak bisa tidur?"”
"Mimpi..." Yahan mendekat, berpelukan di pangkuannya.
"Mimpi buruk?"
"Memimpikanmu."
"Itu kan mimpi indah..."
"Heh, memang mimpi indah..." Yahan tersenyum lemah, "Tapi dalam mimpi itu, aku tak mengenalmu, kau pun tak mengenalku..."
"Uhh..."
“Entah mengapa, saat melihat matamu, aku merasa sakit di hati, sangat ingin mendekatimu, tapi tak bisa sama sekali……”
“Mengapa ya……”
“Orangnya terlalu banyak, kita sampai terpisah.”
Jiaming terdiam sejenak, kemudian merangkulnya: "Sudah tidak ada hal seperti itu lagi." Beberapa detik kemudian, seperti menekankan, mengulangi lagi: "Sudah tidak ada hal seperti itu lagi."
“Hmm.”
Dalam kegelapan, suasana menjadi sunyi.
……
“Aku bilang… Yahan…”
“Hmm?”
“Masih ada waktu sebentar sebelum subuh, mari kita lakukan sekali lagi……”
【Selesai】
