9 Juli 2013 pukul lima sore lima puluh, di sekitar Las Geirei Somalia. Basis Samuel, villa. Matahari sore mulai terbenam.
“Jiaming tertegun di situ.”
“Sepasang kakak-beradik yang dikurung di ruang rahasia itu melihat pintu kamar terbuka, awalnya sepertinya sudah ingin menangis, namun saat melihat situasi di luar, terutama ketika melihat Jiaming yang sedang mengarahkan senjata ke kepala orang kulit hitam, mereka pun membeku. Bukan tatapan seseorang yang tiba-tiba menyadari ayahnya ternyata ahli super yang selama ini tersembunyi.”
“Gu…… Paman……”
Jiaming mengedipkan matanya, lalu mengedip lagi: “Kalian…… bagaimana bisa di sini……”
“Ada apa lagi ini...” Samuel bersuara, kemudian beralih ke bahasa Mandarin yang kaku, “Kau... orang Tiongkok?” Sebenarnya sejak awal melihat harusnya langsung terpikir – anak yang diculik orang Tiongkok, yang datang menyelamatkan pastinya juga orang Tiongkok.
“Ini tidak beres...” Jiaming memandangi sepasang kakak-beradik gemuk di depannya sambil bergumam. Sebenarnya firasat tertentu sudah mulai muncul di hatinya, tapi setelah berusaha sekeras ini, tentu tidak mungkin berakhir begitu saja. Ia menoleh ke Samuel: “Kau bisa bahasa Mandarin...” lalu mengalihkan laras senjata, “Jangan bergerak.” Berjalan ke samping, mencari-cari sesuatu.
“Kau menculik sepasang kakak-beradik... orang Tiongkok...” Jiaming menemukan pengisi daya telepon, sambil bergumam sendiri. Samuel sama sekali tidak berani bergerak, juga tidak mengerti mengapa lawannya membicarakan benda ini. Lalu melihatnya menoleh lagi ke kakak-beradik itu, mengangkat bahu dengan ekspresi rumit: “Ya, mereka memang...”
“Benar, memang mereka.” Kata Samuel.
Jiaming tidak menghiraukannya, menyambungkan charger ke sebuah telepon. Beberapa saat kemudian, suara startup terdengar. Dia melakukan operasi di telepon, membuka album foto, lalu mengulurkannya ke hadapan Samuel. Karena posisi kepala Samuel miring, dengan penuh perhatian dia memutar orientasi layar. Di layar tampilkan foto sepasang kakak-beradik. Sang kakak perempuan mengunci leher adik laki-lakinya dengan erat, persis seperti ingin mencekik sampai MATI. Sang adik membuka mulut lebar-lebar dengan mata berkerut, seolah sedang berteriak sesuatu atau mungkin menyanyikan opera. Keduanya terlihat cukup imut.
"Lalu mereka?"
"Mereka..." Samuel menatap lama, "Dia... Siapa mereka ini?"
Menyadari mereka sepertinya tidak menemukan orang yang dicari, wajahnya mulai panik: "Aku cuma disuruh menangkap dua orang ini! Aku sama sekali tidak kenal dua orang lainnya--"
"Ehh..." Ekspresi Jiaming terlihat kompleks. Namun seketika itu juga, dia tiba-tiba mengarahkan laras senjata ke pintu kamar, lalu menurunkannya kembali. Ternyata si hitam-kecil-kurus yang membawa telepon. Entah bagaimana caranya dia bisa masuk ke dalam. Si hitam-kecil-kurus itu ragu-ragu sejenak, lalu mengangkat teleponnya: "Ada yang... mencari kau."
"Oh." Jiaming mengangguk, menerima telepon. "Halo?"
Suara dari telepon terdengar cukup keras.
"Halo? Ini Dongfang Lu. Sinyalnya buruk, kau bisa dengar?"
Jiaming berkedip beberapa kali, lalu mengangguk: "Dengar."
“Haha, akhirnya bisa terkoneksi denganmu. Bagaimana? Urusannya sudah selesai? Dengar-dengar kau sangat heroik, mengejar-kejar dari Arab Saudi ke Yaman lalu ke Somalia, memang... Sudah bertahun-tahun tak melihat aksimu, jadi agak rindu, hahahaha, Yunjie dan Taotao sering membicarakan kabarmu, kalau sampai mereka melihat... Oh, bicara yang serius, apakah kakak-beradik gemuk keluarga Tian itu sudah ketemu? Di sini sudah kacau balau mencari...”
Dongfang Lu berteriak dengan suara yang jelas-jelas terdengar bersukacita atas kesialan orang lain, Jiaming menarik napas dalam: "Apa yang sebenarnya terjadi?"
“Oh, Yunjie dan Taotao baik-baik saja... Begini, katanya ini terkait urusan energi, ada yang menyuruh orang menculik anak-anak Tian Sihao itu. Kemarin kau salah tangkap. Tiba-tiba baterai telepon habis, saat bisa menghubungimu, kau sudah sampai Yaman, sinyalnya jelek... Hah, telepon kita kan dipasang bareng tahun lalu ya? Waktu itu di rumahmu... Sudah kuduga ini tidak bisa diandalkan, China Unicom mau promosi paket hadiah ke departemen pemerintah, pasti ada yang menerima uang suap—pasti ada yang disuap, bilangnya jaringannya mencakup seluruh dunia tanpa blind spot, pulang nanti harus diselidiki tuntas... Menurutku layanan global China Mobile lebih baik, setuju?”
Jiaming berpikir sejenak: “...Perkataanmu masuk akal.”
“Haha, tapi setelah kau kembali, kau harus jelaskan ke Yunjie dan Tao Tao kemana saja kau selama 2 hari ini. Kau tahu kan, ini masalah besar, pergi liburan tapi kabur sendirian. Oh ya, menurutku kau harus beli oleh-oleh khas. Apa sih produk khas Somalia... Perkiraanku harus menarik dan baru biar bisa memuaskan rasa penasaran kedua orang itu ya...”
“Bajak laut.” Jiaming berkata, “Tapi, aku cuma punya satu pertanyaan terakhir...”
“Apa?”
“Kau bisa tidak telepon.” Dia membalik-balikkan telepon di tangannya, “Kirim SMS saja gimana? Kenapa aku tidak menerima SMS?”
“Aaaaa?” Dari sisi Dongfang Lu terdengar suara tertegun, “Haha... Sinyal... Sinyal kayaknya lagi jelek, Nona Natalia mau bicara? ... Soal SMS, iya aku lupa, kalau Lingjing dan yang lain... Mereka tidak kirim ke kau? Haha, ini aku tidak tahu, kau harus tanya mereka. Kayaknya hal ini sudah selesai, baguslah, soal Yunjie dan Tao Tao aku akan bantu bicara baik-baik... Dut——”
Di kamar yang agak kacau di Abha, Arab Saudi, Dongfang Lu menutup telepon sambil menggeleng pelan: “Ck, momen genting kok malah pake operator...”, kemudian menoleh ke kerumunan orang yang sibuk di belakangnya sambil bertepuk tangan: “Semua diam dulu... Masalahnya sudah selesai.”
Somalia, Jiaming memandangi telepon yang sudah dimatikan, berdiri di sana merenung cukup lama. Setelah beberapa saat, tanpa sadar tertawa getir, menepuk dahinya. Lalu, ia melihat Samuel yang menempelkan kepalanya di meja sedang melotot seolah ada gejolak dalam hati.
"Hah?" Jiaming berkedip dramatis, membuka tangan, bertanya tanpa suara: "Ada apa?"
Barusan sinyal telepon memang tidak bagus. Suara Dongfang Lu sangat keras, perkiraannya semua terdengar. Sekarang dia hampir menangis: "Ka...kalian... sa...salah sambung?"
"Uh... Iya, kau dengar?" Ia mengangkat tangan, "Salah sambung."
"Kalian... kalian cuma karena salah sambung... cuma karena salah sambung... datang ke sini, datang ke sini..."
Sulit membayangkan perasaan apa yang sedang menggelora dalam hatinya. Karena air matanya sudah mengalir, menangis keras. Jiaming berpikir sejenak, menepuk wajahnya: "Jangan nangis, mempermalukan diri. Anggap saja... uh, anggap aku dari Palang Merah Internasional yang datang melaksanakan kehendak Tuhan. Lagian kau juga bukan orang baik..."
Berhenti sebentar: "Kau sudah dengar, semua ini kesalahan China Unicom..."
Matahari sore menyinari, setelah 2 hari diculik, kakak-beradik gemuk itu berjalan keluar dari pintu kamar dengan kaku mengikuti Hei Xiaoshou yang kurus. Di belakang mereka, Jiaming menoleh ke belakang. Tak lama, dentuman senjata kembali bergema.
Byur-byur, byur-byur-byur-byur, byur——
Saat kakak-beradik itu menoleh, Jiaming sudah menutup pintu compang-camping. Rambutnya acak-acakan, seluruh badan bernoda darah, menepuk bahu pria gemuk kecil itu.
“Ayo pergi, Paman akan mengantarmu pulang...”
Waktu berkilas balik ke sore hari tanggal 7 Juli. Dongfang Lu menerima telepon dari Kaoru, menunda sebuah rapat, dan buru-buru kembali ke hotel. Saat mobil melewati pintu keluar-masuk dekat sana, pria yang sedang merenung itu tiba-tiba menoleh ke luar jendela, lalu mengayunkan tangannya.
“Tunggu, berhenti sebentar.”
Kakak-beradik itu sedang mengincar sebuah pisau tentara dengan ornamen indah di sebuah toko pinggir jalan. Yoonjie mengincar bilahnya, sementara Tao Tao menyukai motif hiasannya. Mereka punya uang, tapi terkendala bahasa sehingga ragu-ragu membeli.
“Jadi ini harganya berapa sih?”
“Kayaknya mahal banget. Ini kan area wisata, tulisan di sini pakai dolar AS atau riyal lokal?”
“Pasti riyal lah. Tapi angka di sini tulisannya 3 atau 9 ya?”
“Kalau 3 boleh lah, 9 mah nggak beli... Orang sini nulis angka Arab aja nggak becus, padahal kan negara Arab...”
“Wek, tanya aja ke bos tokonya.”
“Kamu kan paham bahasa sini, kamu aja yang nanya.”
“Cih, Bodoh Jie, sebenernya gampang. Aku bisa tanya: Three Or Nine?”
“Ya tanya dong.”
“Kalau anak kecil nanya pasti dikeruk harganya, mending nanti minta orang dewasa yang beliin.”
“Hmm, aku kabarin ibu.”
“Aku juga kabarin ibu... Tapi kalau beli taruh di rumah siapa?”
“Senin-Rabu-Jumat aku, Selasa-Kamis-Sabtu kamu. Minggu suit jari.”
“Sebenernya juga nggak bakal lama mainnya, sehari pasti udah bosen...”
Bertiga berbaring di tepi konter sambil berdiskusi dengan riuh. Saat menoleh, mereka melihat Paman Dongfang turun dari mobil, mengerutkan alisnya memandangi mereka: "Kalian berdua..."
"Ah, Paman Dongfang, Anda bisa bahasa sini kan? Punya penerjemah ya?"
"Kami ingin membeli pisau ini."
"Tapi tidak yakin ini angka 3 atau 9."
"Menurut kami 3 lebih masuk akal."
"Bisa bantu tanya sekalian menawar harganya?"
Keduanya tersenyum manis sambil mengeluarkan uang dari kantong. Beberapa orang di belakang Dongfang Lu mendekat, hendak berbicara dengan dua anak ini, namun dihentikan dengan ayunan tangan Dongfang Lu.
Kemudian dia memerintahkan asistennya untuk menawar. Sambil menghubungi Jiaming lewat telepon yang ternyata tidak tersambung, seorang asisten lain datang membawa kabar: "Dua anak Tian Sihao diculik..."
"Wah, kebetulan sekali..."
"Jangan-jangan Tuan Gu salah informasi?"
Dongfang Lu berpikir sejenak lalu melihat ponselnya: "Nanti selidiki kenapa nomornya tidak aktif. Selain itu... hubungi pihak Dark Celeste."
Tak lama kemudian, di pinggir jalan dia tertawa sambil memegang telepon: "Luar biasa... Dia hampir sampai di Yaman..." Tertawa terbahak-bahak sampai perutnya sakit, tentu prioritas utama sekarang adalah bagaimana meraih simpati para perempuan keluarga Gu. Hmm, Ye Lingjing dan Jin Shuping teman sekelas, dengan begini yang paling sulit seharusnya bisa dimaafkan...
"Paman Dongfang, kenapa senyummu jorok banget?" Tao Tao datang menarik-narik lengannya yang masih terus tertawa terpingkal-pingkal.
“Hmm, Paman sedang berpikir, bagaimana kalau mengajakmu melihat ikan mas?”
“Hah, paling benci ikan mas.”
“Kalau… kereta api?”
“Bukannya belum pernah naik…”
“Bukan, Paman punya teman dekat di sini yang memiliki kereta api pribadi kecil dengan rel mengelilingi villa. Bisa dinaiki manusia, melewati gua. Besok akan mengajakmu dan Yun Jie bermain ke sana.”
“Wah, beneran?”
“Sebagai balasan… eh, sebagai gantinya, mari kita berdiskusi kecil. Kau kan tahu Paman sebentar lagi menikah. Saat hari pernikahan… bisakah kau bantu membujuk ayahmu untuk memberi kelonggaran padaku?”
“Hmm… tidak boleh.”
“Sedikit saja…”
“…Yang ini masih bisa dipertimbangkan.”
“Bingo! Kita sepakat begitu.”
“Aku tidak mengerti mengapa kau begitu takut pada ayahku.” Tao Tao merenung sejenak, lalu tersenyum mengangguk, “Tapi memang dia sangat jago menjebak orang…”
“Hahahaha…”
“Dugaan ku benar sejak tadi ada firasat buruk. Saudi tidak terlalu menyenangkan… Lain kali tidak akan datang lagi.”
“Haha, terdengar sangat kekanak-kanakan, tapi menurutku menarik… Kau memang tetap hebat.”
“Banyak aspek sudah mulai kendur. Keluar negeri saja baterai ponsel tidak terisi penuh… Tapi kembali lagi, Dongfang Lu yang ingin memanfaatkan momentum meminta bantuan menyelamatkan orang masih bisa dimaklumi, kenapa kau ikut-ikutan ribut…”
“Aku hanya merasa menarik saja… Manusia harus punya saat-saat mengendur. Tidak mungkin seumur hidup menjadi orang seperti itu. Bukankah pertimbanganmu melarang anakmu terlibat hal-hal ini juga berasal dari pemikiran serupa?”
“Aaaaa, yang paling berbahaya dalam bekerja adalah setengah matang. Pembunuh itu seperti berjudi, yang paling parah adalah belajar satu dua trik lalu mengira diri tak terkalahkan. Orang seperti ini paling cepat MATI. Tapi kalau ingin mencapai puncak, harus benar-benar bergulat di jalur hidup dan MATI. Aku tidak bisa mengajari anakku menjadi ahli tingkat atas. Kalau jadi setengah matang, malah menjebak mereka. Jadi lebih baik jadi manusia biasa, paling-paling belajar bela diri dasar saja cukup.”
“Sebelumnya memang pernah kau bilang, orang yang punya kemampuan sebesar apa, pasti akan membuat masalah sebesar itu juga.”
“Heh.”
“Ehh, kenapa tiba-tiba bicara seperti orang tua? Aku masih muda, ini si cantik.”
Cahaya matahari menyinari platform di dekat lereng bukit. Jalan berkelok-kelok dari sini, dikelilingi vegetasi hijau. Angin gunung berhembus, membawa aura sejuk di musim panas. Natalia dan Jiaming berdiri di tepi pagar sementara platform sambil mengobrol.
“Temanmu nanti pasti sangat berterima kasih padamu. Urusan penculikan sudah kau bantu selesaikan, kontrak juga kau berikan... Nah, dia melambai padamu.”
Natalia menunjuk ke arah jalan. Di sana, Tian Shihao dan Jin Shuping sedang naik dengan mobil. Melihat mereka berdua, mobil berhenti. Mereka mengayunkan tangan memberi salam. Jiaming juga tersenyum dan melambaikan tangan: “Mungkin mengira aku Godzilla.”
“Bisa jadi Superman?”
“Aku lebih suka Godzilla.”
“Hehe.” Natalia tertawa lembut, suaranya seperti lonceng perak yang terbawa angin gunung. Di dalam mobil kecil ini, Tian Sihao dan Jin Shuping menampakkan ekspresi kompleks. Mereka bisa mengenali wanita cantik berbaju jubah hitam berkain hitam itu. Setelah kedua anak mereka diculik, dia pernah menemui mereka sekali. Meski sebentar, tapi menunjukkan niat baik dan upaya menenangkan.
Setelah kedua anak diselamatkan dan bercerita tentang hal-hal terkait "Paman Gu", ditambah pemandangan di depan mata ini, membuat mereka semakin merasa bingung.
“Hmm... Teman sekelasmu ini... Sebenarnya siapa sih...”
“Aku... Aku juga tidak tahu...”
Mobil yang berhenti mulai berjalan lagi, perlahan menjauh. Jiaming memegang pagar sambil melihat ke bawah.
“Gimana sih si Hitam Kecil Kurus itu?”
“Jangan panggil dia Hitam Kecil Kurus, dia punya nama yang bagus...” Natalia tersenyum, “Baik aku maupun pihak Jalan Timur, akan memberinya bantuan yang layak. Tentu menyelamatkan Somalia masih sulit... Ini tergantung dirinya sendiri nanti.”
“Ah, gimana nanti ya?”
“Mungkin akan jadi Santa Joan dari Somalia.”
“Ah, mungkin malah jadi bajak laut wanita paling gagah di dunia...”
Di pinggang gunung, suara keduanya perlahan menyatu dengan angin, berangsur menghilang...
“Kalau... Papamu sebenarnya siapa sih...”
Di kamar hotel, Yoon Jae sedang merapikan barang bawaannya. Si pria gemuk kecil duduk di samping dengan lemah bertanya, tampak seperti karakter pasif.
“Tolonglah, kamu sudah bertanya berkali-kali beberapa hari ini——” Yun Jie meledak.
“Papaku cuma seorang dokter.” Suara Tao Tao yang berisik terdengar dari luar pintu, di belakangnya diikuti si cewek gemuk kecil.
Keduanya sudah sangat kesal dengan kakak-beradik ini selama beberapa hari terakhir. Setelah konfrontasi cukup lama, akhirnya mereka pergi. Tao Tao duduk di sofa.
“Apa mereka berdua idiot? Jadi mereka juga mengira kita idiot? Memaksa kita percaya cerita konyol tentang mereka diculik bajak laut dari Saudi Arabia ke Somalia, lalu ayah kita berkeliling membunuh-bunuh-bunuh-bunuh-bunuh seorang diri membantai ribuan orang, kemudian membawa mereka pulang dari Somalia?”
“Mereka cuma memanfaatkan ketidakhadiran ayah belakangan ini, membuat cerita bodoh untuk membodohi kita. Ini balas dendam.” Yun Jie langsung menangkap kebenaran.
“Provokasi!” Tao Tao menambahkan.
“Aku punya ide bagus, dijamin bikin mereka linglung.”
“Apa?”
“Kemarilah.”
“Kenapa bukan kamu yang ke sini.”
“Cepatlah kemari.”
“Oh.”
Berdua berkumpul berbisik-bisik. Percakapan belum selesai, Yun Ting kecil yang baru tiga tahun berlari tertatih-tatih dengan sandal besar ngap-ngap. Sangat panik: “Gawat, gawat!” Hampir menangis, “Tante Kaoru sakit!”
“Aaaaa—”
Keduanya lupa balas dendam seketika. Tao Tao menggendong Yun Ting, ketiga anak berlari bersama ke kamar sebelah. Meski Kaoru bukan ibu mereka, tapi jika ditanya siapa yang paling disukai ketiga anak, mungkin semua akan memilihnya. Dalam kepanikan, Yun Ting bercerita tentang tadi ketika Bibi Kaoru sedang merapikan barang bawaan, tiba-tiba merasa tidak nyaman, lalu lari ke kamar mandi dan muntah.
"Jangan-jangan makan sesuatu yang tidak bersih..."
"Atau sakit karena tidak cocok cuaca dan air..."
Saat mereka masuk ke kamar, melihat Kaoru sedang bersandar di wastafel dengan kepala tertunduk. Yun Jie dan Tao Tao buru-buru mendekat sambil bertanya riuh, sementara Xiao Yun Ting menarik celana Bibi Kaoru: "Bibi Kaoru, bibi tidak sakit kan? Tidak sakit kan?"
Karena dalam ingatan mereka, Kaoru selalu terlihat tak pernah sakit.
Meski Yun Ting bilang muntah, sebenarnya tidak terlihat sisa makanan yang dimuntahkan. Kaoru bersandar di sana tanpa bicara. Beberapa saat kemudian mengangkat kepala, cermin di depan wastafel memantulkan wajah cantiknya yang sempurna. Ia pelan-pelan menutup mulut, raut wajahnya sempat menunjukkan ekspresi bingung dan terkejut yang kompleks, tapi tanpa kesan menderita. Lama kelamaan, pipi putih mulusnya mulai merambat semburat merah memabukkan di antara keraguan.
Kaoru hamil.
Bibi Kaoru hamil.
Mereka baru saja kembali dari Saudi ke Jianghai dan akhirnya benar-benar memastikan hal ini. Beberapa hari terakhir, keluarga sibuk mengurus persiapan terkait kehamilan Tante Kaoru. Tapi ayah agak sengsara, ibu mengusirnya tidur di sofa selama seminggu. Meski kemarin malam, saat bangun ke toilet, kulihat ibu duduk di karpet dekat sofa memegangi tangan ayah yang tertidur, tapi...
Baiklah, ini terlalu aneh, bukan?
Kenapa Tante Kaoru juga menyukai ayah?
Yunjie akhir-akhir ini lagi meneliti masalah ini bersama Taotao, meski... sudah meneliti selama bertahun-tahun.
Matahari terbenam di ufuk barat. Kakak-beradik ini bersembunyi di balik jalur hijau tepi jalan pantai, mengintip pasangan yang sedang beristirahat di bangku panjang tanggul penahan laut usai jalan-jalan. Sebenarnya interaksi Kaoru dengan ayah cukup unik. Meski sering duduk bersama, Tante Kaoru tak pernah menyandarkan kepala di bahu ayah seperti pasangan biasa. Biasanya ayah yang asik bicara hal-hal membosankan, sementara Tante Kaoru mendengarkan dengan tenang, sesekali tersenyum bahagia. Tapi...
Bukankah ini mirip seperti istri muda dalam legenda?
Tapi kadang kulihat Tante Kaoru tertidur tengkurap di pangkuan ayah.
Tak lama kemudian, ayah menerima telepon dan pergi sebentar. Kaoru tetap duduk menunggu kepulangannya. Yunjie dan Taotao berdiskusi sebentar, lalu berlari ke arah bangku panjang itu.
“Bibi Kaoru.”
Kaoru tertawa, sebenarnya sudah lama tahu mereka ada di belakang. Dua anak itu duduk mengapitnya di kiri dan kanan.
“Bibi Kaoru, hari ini tidak ada yang tidak nyaman kan?”
“Tidak ada.”
“Menurutku Bibi Kaoru malah lebih cantik dari sebelumnya...”
“Penjilat.”
“Wah, wanita selalu tak mau mengakui kecantikan wanita lain, aduh, perempuan...”
“Hmph.”
Tao Tao melotot ke arah musuh bebuyutannya di seberang, lalu teringat tujuan utama datang hari ini. Ia memutuskan tak menghiraukannya. Dengan senyum ia menempelkan telinga ke perut wanita di sebelahnya – kandungan baru dua bulan lebih sebenarnya, sama sekali belum terlihat membesar. Secara alami belum ada gerakan bayi yang bisa didengar. Yun Jie juga menempelkan telinganya: “Aku juga mau dengar.”
Kaoru memeluk bahu kedua anak itu perlahan.
“Bibi Kaoru, kapan kita bisa mendengar suara bayinya?”
“Hmm... sekitar tiga bulan lagi.”
“Bibi Kaoru, apakah anak ini punya ayah?”
Yun Jie bertanya dengan wajar. Kaoru tak menjawab. Saat angin laut berhembus, ia membenahi rambut di pelipisnya perlahan. Dalam cahaya senja, senyumnya memancarkan kehangatan layaknya pulang ke rumah. Kehangatan ini menyatu dengan cahaya mentari sore, seolah membungkus mereka dalam aura yang menular. Yun Jie menghela napas, sudah tahu jawaban Bibi Kaoru. Sebenarnya sudah bisa ditebak – kalau bukan anak ayah, mana mungkin ayah diusir tidur di sofa.
“Dia dan Tao Tao bersama-sama menempelkan telinga ke perut Kaoru: 「Bibi Kaoru, kenapa kamu juga suka ayah?」”
“「Iya, ayah juga tidak hebat.」”
“「Juga tidak ganteng.」”
“「Dan bahkan tidak menakutkan.」”
“「Waktu itu ke Saudi malah mengingkari janji sama kita……」”
“「Iya, pergi sendirian berhari-hari, pulang malah tidak bawa hadiah……」”
“「Tapi dua si gemuk itu membohongi kita dengan cerita.」”
“「Bilang ayah itu Superman, sendirian ke Somalia menghabisi banyak bajak laut……」”
“「Dua idiot itu, pikir ayah tidak ada kerjaan sampai harus menyelamatkan dunia?」”
“「Mereka kira kita akan percaya……」”
“「Kalau ayah Superman, bukankah aku juga harusnya bisa terbang?」”
“「Bibi Kaoru…… Ini tidak benar kan?」”
“「Sebenarnya kenapa sih suka ayah?」”
Kaoru tersenyum memandang mereka, berpikir sejenak: 「Karena Jiaming itu dokter.」”
Beberapa saat kemudian, terdengar suara Tao Tao yang mulai tidak puas.
“「Oh iya, ayah memang dokter……」”
Bertiga duduk di sana, beberapa saat kemudian Yun Jie mengerutkan kening: 「Kamu Yiyiwuwu apa sih?」”
“「Apaan? Nyanyi.」 Tao Tao mengangkat kepala, 「Ini namanya edukasi prenatal, saat hamil menyanyi untuk bayi biar nanti jadi pintar. Dulu ibu sering nyanyi untukku waktu kecil.」”
Lalu ia mulai bernyanyi lembut: 「「Waktu tidur telapak tanganmu menggenggam, di pipi ada lesung kecil. Di saat ini kulihatmu, banyak ingin kubicarakan padamu……」”
“Dia menyanyikan beberapa bait, Kaoru juga tersenyum dan mulai menyanyi dengan suara lembut, kemudian Yunjie ikut serta. Matahari sore meleburkan nyanyian bertiga ini ke dalam bayangan kebahagiaan. Tak lama kemudian, keriangan anak-anak kembali memecah keheningan dalam siluet itu.”
“Di tepi jalan tak jauh dari sana, mobil sport merah berhenti. Dua sosok sedang memandang ke arah pemandangan hangat itu. Jiaming berdiri di sini memegang telepon, senyumnya menyiratkan kegelisahan samar. Sumber keresahannya tak lain adalah wanita di sampingnya, Dongfang Wan yang membungkuk di atas kap mesin, kedua tangan menopang dagu, telah lama memandang ke arah sana.”
“Kaoru... ternyata hamil lebih dulu dariku...”
“Lalu dia menendang kaki Jiaming.”
“Bab Akhir: Pecahan Memori”
“Hari Minggu kembali ke perguruan silat, membersihkan dalam dan luar, merapikan barang-barang usang. Selama bertahun-tahun hidup di sini, loteng dipenuhi tumpukan barang: lemari tua, peralatan makan, selimut, TV jadul: ‘Bu, beberapa barang di sini harus dibuang...’ Saat kelelahan, Lingjing yang berpenampilan pekerja teladan dengan topi di kepala berteriak ke luar.”
“Ibu mungkin tidak di luar, jadi memanggil Jiaming naik untuk memindahkan beberapa barang ke halaman dijemur. Tak lama kemudian, Sha Sha yang berponi ekor kuda dan juga mengenakan setelan koboi pekerja ikut membantu. Dulu, loteng kecil ini paling disukai, setiap musim panas pasti tinggal beberapa waktu. Melihat keluar melalui jendela kecil, mendengar lonceng angin berbunyi. Sekarang seluruh ruang termasuk ranjang kecil itu sudah direbut oleh lemari dan lain-lain.” Sambil memindahkan barang, dia menepuk debu: “Tao Tao, saat Yun Jie dan Yun Ting datang nanti, mungkin mereka mau menginap di loteng. Mereka juga paling suka tempat ini.”
Barang-barang besar di luar dipindahkan, lemari, selimut dan sejenisnya dikeluarkan. Beberapa barang di dalam mulai terlihat—bingkai foto rusak yang dulu dipakai untuk menggantung piagam pertamanya saat kecil, juga TV tua yang tampak rusak. Kapan dibelinya ya? Sepertinya hampir musim dingin saat itu, harganya cukup mahal: “Jiaming, hari ini papamu akhirnya beli TV baru loh, nanti malam nonton bersama ya.” Oh iya, waktu itu sepertinya tak lama setelah Jiaming kabur dari rumah dan kena tembak, mereka mulai mengenal Sha Sha.
“Nggak tahu masih bisa nyala atau nggak...” Setelah Sha Sha naik, dia tersenyum membicarakan TV itu. Kemudian kedua saudari itu berjongkok di lantai mencoba-coba, memasukkan kabel ke stopkontak—tetap tidak menyala. “Sayang sekali.”
“Bawa turun untuk dibongkar dan dijemur, lalu lihat apakah Jiaming bisa memperbaikinya. TV jaman dulu kualitasnya masih bagus.”
Berbagai barang mulai dikosongkan secara bertahap, benda-benda yang familiar semakin banyak muncul. Ibu mungkin sudah kembali, dari halaman terdengar samar suara Jiaming yang sedang mengobrol dengannya: "Ah... ini dari dulu... Heh..." Dia membersihkan lantai, sudah lama tidak tinggal di loteng, jendela yang dulu disukai terlihat sangat kecil, lonceng angin kecil yang tergantung di sana pun sudah usang, berkarat, saat jarinya menyentuhnya hanya bergoyang-goyang tanpa berbunyi lagi. Duduk di tepi ranjang kecil yang belum ada perlengkapan tidurnya, mungkin karena terlalu terbiasa tinggal di rumah besar, loteng terasa lebih sempit dari kesan sebelumnya.
Tapi beberapa anak pasti menyukainya.
Di sudut masih ada beberapa koper berisi barang-barang lamanya. Karena Jiaming dan Shasha belum naik ke atas, lebih baik dia mengangkutnya keluar. Namun waktu yang terlalu lama membuat koper-koper itu tidak kokoh lagi, saat mengulurkan tangan untuk memindahkannya, terbalik di bawah tanah, berbagai benda lama bergulingan keluar. Berbagai aksesori kecil hasil koleksi. Karet rambut, kancing cantik, bintang-bintang origami, botol berisi lavender, stiker gadis cantik yang hanya dipakai beberapa lembar, dan lain sebagainya.
Dia tersenyum, berjongkok di lantai mengumpulkan benda-benda ini ke dalam kotak besi yang dulu digunakan untuk menyimpan kue bulan. Saat mengangkat kepala, melihat ada sesuatu di koper lain, mengulurkan tangan mengambilnya - sebuah tas sekolah kecil dengan sulaman benang merah bertuliskan: Sekolah Dasar Bintang Merah, Ye Lingjing.
Heh...
Dia mengeluarkan barang-barang lain, kesannya ada yang dalam ada yang dangkal. Ada tas sekolahnya, juga tas sekolah Jiaming sebelumnya, tongkat bisbol Sasha yang meski tidak bisa digunakan tapi tetap dibeli untuk pura-pura gaya. Beberapa koper berisi rapor, buku tugas semacam itu. Masih ingat dulu Jiaming selalu mencontek tugasnya, setelah pemilihan jurusan SMP dia tak bisa mencontek lagi, bahkan sempat merasa senang melihat kesulitannya.
Di dalam kotak musik rusak itu menempel beberapa foto sticker kepala besar. Saat itu ada dia, Sasha dan Jiaming berfoto bersama. Waktu SMP, mereka bertiga setiap akhir pekan menginap di villa Sasha, persis seperti bermain rumah-rumahan. Di koper sebelah ternyata ada botol alkohol kosong. Dia mengangkatnya sambil berpikir, tak sadar memeluknya erat lalu tersenyum. Botol anggur ini mungkin Sasha yang mengambil dari villa dan menaruhnya di sini setelahnya. Kalau bukan karena kejadian malam kelulusan SMP itu, entah seperti apa jadinya nasih mereka bertiga. Waktu itu Sasha yang tomboi masih ingin membantunya mengejar Jiaming, tak sadar bahwa dia juga menyukai Jiaming... Heh, saat itu semua masih polos, kemurnian yang baru mengenal wangi sutra, lalu akhirnya pun berkumpul seperti itu.
Surat pemberitahuan Akademi Hati Kudus, bertiga menyewa rumah, berbagai macam hal. Sayangnya gedung dua lapisan itu bukanlah benda abadi, meski punya nilai kenangan, tak perlu dibiarkan terus berdiri. Setelahnya jalanan dikembangkan, akhirnya dihancurkan. Saat pindah, mereka berfoto di depan rumah di bawah matahari sore yang masih disimpan di kamar tidur sekarang. Tapi, melihat barang-barang remeh-temeh dalam koper itu, teringat lagi situasi pertama kali masuk ke kamar itu...
Kunci pertama, gantungan kunci pilihan hati si kecil yang baru masuk SMP, gantungan kecil Doraemon di atasnya, kini ketiga kuncinya ada di sini. Jiaming pakai Nobita, Shasha pakai Shizuka, dia ambil Doraemon. Meski Jiaming bilang kemudian Shasha harusnya jadi Nobita, dia jadi Doraemon, dirinya harusnya Shizuka. Heh, biarin. Masih ingat waktu bertiga beli gantungan kunci seharga lima yuan satu, waktu itu merasa sangat mahal, dengan merengek-rengek akhirnya berhasil memotong harga tiga kunci jadi sepuluh yuan. Waktu itu mereka punya banyak rencana, uang tak pernah cukup...
Alarm yang sudah rusak tapi cantik, sebuah celengan kecil yang ketika dikocok ternyata masih ada koin di dalamnya, tiket kapal Star Dream, tape recorder yang sudah menjadi bagian-bagian terpisah, kaset bahasa Inggris, serta buku catatan menguning yang di dalamnya terselip stiker, kliping koran, lirik lagu-lagu lawas dengan gambar bintang-bintang, bunga-bunga, dan gadis-gadis cantik di sampingnya - sepertinya dipakai dari SMP sampai SMA. Ada dua buku lagi, yaitu catatan keuangan keluarga masa itu. Saat membuka satu halaman acak, tertulis: 3 Juli 98, liburan, Jiaming dan Shasha beli es loli 2 yuan, Lingjing beli jelly 1 yuan, pulang numpang makan... tidak perlu belanja sayur... Penghasilan dari pertunjukan band konsep...
Di bawahnya ada sebuah foto: tiga makhluk bertopeng aneh di panggung - Timun, Pisang, Terong. Jiaming benar-benar jahat... Sebenarnya kadang Kaoru juga ikut jadi bintang tamu, topengnya berupa Durian raksasa...
Ternyata ada boneka Barbie yang masih tersegel lengkap dengan kotaknya yang terawat baik. Ini... hadiah ulang tahun.
Heh, Paman Liu ya...
Dulu Liu Zheng tidak punya bakat dalam memilih hadiah, terutama bingung mau memberi apa ke cewek. Saat ulang tahun di kelas 10, dia malah menyuruh anak buahnya mengirimkan Barbie cantik ini. Pasti mahal harganya, mungkin dia cuma suruh anak buahnya beli hadiah ulang tahun mahal dan mewah yang disukai perempuan... Sekarang teringat, hidung tiba-tiba terasa pedas...
Berbagai macam hal, satu per satu, banyak barang yang sudah dipindahkan ke Hunian Baru, tapi banyak juga yang masih tersisa di sini. Saat kelas 3 SMA, bertiga memfoto komedi absurd dengan gaun pengantin. Kadang Jiaming disulap jadi cewek, kadang aku dan Shasha berperan jadi cowok. Fotonya ada di Hunian Baru, tapi lipstik dan perlengkapan dandan lainnya masih tersimpan di sini. Kotak P3K dari rumah tua dulu, kartu pos pemandangan yang dikumpulkan waktu itu, batu-batu kecil cantik, "hadiah" yang kubeli sendiri di Guilin setelah Jiaming bilang putus, tiket pesawat ke Wina, surat pemberitahuan... Perlahan-lahan mengeluarkan satu per satu. Koper-koper ini tak ada habisnya. Tak lama kemudian, Shasha naik ke loteng dan ikut berjongkok di sampingku, memilah dengan tenang...
Udara sore yang tenang. Saat Jiaming naik, dua cewek dewasa sedang duduk di lantai loteng. Mereka memakai baju koboi untuk bersih-bersih. Lingjing sudah melepas sepatu, kaus kaki putihnya ternoda debu. Shasha bersandar di bahunya sambil memainkan rubik's cube. Lingjing membawa kardus, mengeluarkan isinya dan menaruhnya ke tumpukan barang di depan. Wajah cantik keduanya penuh noda keringat dan debu. Sekarang keringatnya sudah kering, meninggalkan cap seperti bayangan sore bertahun-tahun lalu, saat mereka kelelahan usai berkejaran dan beristirahat di loteng ini sambil main permainan papan bersama.
Di depan, berbagai benda besar kecil tertata rapi. Di tengah terdapat dua tas sekolah berlogo Sekolah Dasar Bintang Merah dengan nama Jiaming dan Lingjing tersulam. Beberapa tongkat bisbol disilangkan di sampingnya, disusul berbagai barang seperti boneka kain, album prangko, pecahan kaca, burung kertas ribuan, buku tugas, kotak musik tua, album foto lama... Berantakan namun membentuk gundukan kecil yang tak terhitung jumlahnya.
Ia menatap barang-barang itu, lalu tersadar. Dengan senyum ia mendekat, berjongkok mengamati satu per satu. Lingjing dan Shasha memegang lembut tangannya. Seumur hidupnya yang panjang sebelum mengenal mereka, waktu terasa lebih banyak. Namun ingatannya benar-benar mulai terkumpul sejak benda-benda ini muncul.
Tak lama kemudian, Jiaming ikut duduk bersandar ke dinding belakang. Shasha merebah di pangkuannya. Lingjing yang selesai menata barang memeluk kotak kosong sambil menyandar di bahunya. Dalam hening, bulu matanya bergetar seperti tertidur. Tiba-tiba Jiaming mengulurkan tangan.
"A... Rupanya kau masih di sini..."
Lonceng angin kecil di jendela berdentang ringan. Cahaya senja menyelinap dari lubang loteng, menyelimuti dunia mini nan hening ini dengan aura keabadian. Cahaya kekuningan itu, warna kenangan yang takkan pudar...
【Selesai】
