Elf Air mengawasi Lu Li yang cepat akrab dengan NPC, agak sulit dipahami. Selama ini dia mengira Lu Li adalah pribadi yang dingin dan angkuh, tak disangka pria ini juga punya sisi humoris yang menarik.
Sebenarnya, sejak kecil Lu Li sudah membesarkan adik perempuannya, mana mungkin dia bisa terus-terusan bermuka masam.
Hanya saja dia agak introvert. Ketika bersama orang tidak dekat atau yang tidak cocok wataknya, dia enggan membuang-buang ekspresi. Tapi hari ini, NPC berlatar belakang militer ini cukup sesuai dengan nafsu makannya.
Mereka saling melempar candaan kasar tentang Wali Kota Solomon, mengejek bangsa orc Batu Hitam, benar-benar menemukan topik yang menyatukan.
“Berdasarkan posisi yang sudah dihitung, kita setidaknya butuh 46 bom garam eksplosif untuk memberikan pukulan membinasakan ke Benteng Batu.” Tangan Gryan Stout menunjuk-nunjuk sembarangan di peta saat menentukan posisi pemasangan bom, yang jelas tak bisa dipahami Lu Li.
“Kalian minta bom ke Wali Kota Solomon saja.” Masonar berkata pada Lu Li.
“Lalu kalian mau apa?” tanya Lu Li.
“Kami sudah lama tak bertemu, rencananya mau minum-minum. Mau traktir?” Masonar tertawa aneh.
“Ah, lebih baik aku bekerja saja.” Nasib jadi kurir rupanya tak bisa dihindari. Dengan pasrah Lu Li menemui Wali Kota Solomon.
“Kalian mau apa? Sudah selesaikan tugas? Tak tahukah Kota Tepi Danau di ambang kehancuran!” Wajah Solomon langsung berkerut melihat mereka, dengan wajar saja melemparkan beban keamanan kota ke pundak dua pemain ini.
“Yang Mulia Wali Kota, menurutku tugas ini terlalu sulit.” Lu Li menghentikan Elf Air yang ingin menjelaskan, berkata dengan wajah tertekan: “Kolonel Toldeman mengatakan hanya Jintha yang bisa menyelamatkan Kota Tepi Danau. Tapi Jintha sama sekali tidak peduli lagi, dan sepertinya dia juga tidak punya cara yang baik. Kita mungkin harus menyerah dari tugas ini, lagipula kita tidak bisa memaksanya untuk bunuh diri.”
“Kalian tidak boleh begini, kegagalan tugas akan mendapat hukuman.” Mata wali kota Solomon membelalak, tak percaya Lu Li berani berkata demikian.
Petualang yang selalu merendahkan diri di hadapannya, dari mana datangnya keberanian untuk menolak tugas?
“Hukuman apa pun, kami terima!” Lu Li sama sekali tidak percaya tugas kacangan ini punya hukuman. Menurut hukum Fajar, jika ada hukuman dalam tugas, harus dijelaskan sejak awal.
Wali Kota Solomon mulai menyesal tidak memasang sistem hukuman dalam pengaturan tugas.
"Apa yang dibutuhkan Keeshan brengsek itu baru mau bertindak? Sebagai orang Kota Tepi Danau, dia tidak mau bertempur untuk melindungi kota ini. Dia tidak pantas disebut pahlawan!" ujarnya sambil menggigit gigi.
"Paman, baru sekarang ingat dia pahlawan? Kemana saja sebelumnya? Kalau pahlawan harus terus dipukuli di panggung kecil cuma untuk mengisi perut, apa daya tarik menjadi pahlawan? Apakah hanya saat dikirim mati baru dianggap pahlawan di mata Anda?" Lu Li mengejek wajah tua Solomon tanpa ampun.
"Dia tentara. Itu kewajibannya!" Wajah Solomon memerah.
"Benar, sekarang dia bukan tentara. Maaf, kami juga bukan. Toh Kota Tepi Danau diduduki orc Batu Hitam juga biasa saja," Lu Li berkata serius. "Kalau kota ini benar-benar jatuh, kita bisa rebut kembali. Stormwind pasti akan beri hadiah lebih besar."
"......" Kepala Wali Kota Solomon terasa pusing.
Proses ini bagi para petualang seolah hanya masalah jumlah hadiah, namun bagi dia sebagai wali kota Kota Tepi Danau, ini menyangkut nyawa dan masa depan.
"Kami akan mencari cara merebut kembali Kota Tepi Danau dari tangan bangsa orc batu hitam." Lu Li menggunakan nada menenangkan layaknya berkata ke wali kota: "Tenang saja."
"Tidak, lihatlah Kota Tepi Danau ini, betapa indah pemandangannya, betapa damainya kehidupan masyarakat. Masakan kau tega melihat mereka hancur di tangan bangsa orc sialan itu." Wali Kota Solomon mulai panik.
"Memang agak tidak tega." Lu Li mengangguk, menatap tajam pria tua botak itu sambil berujar perlahan: "Karena itu aku menuntut imbalan lebih banyak, ditambah seratus bom garam ledak..."
"Menaikkan imbalan tidak masalah." Wali Kota Solomon menggelengkan kepala seperti genderang: "Tapi seratus bom garam ledak mustahil."
“Jika bangsa orc Batu Hitam masuk ke kota, semua barangmu akan berganti nama keluarga. Atau kau harus pergi ke Stormwind untuk minta bantuan. Lihatlah efisiensi kerja para Tuan sana. Saat mereka tiba, tak akan ada sehelai rumput pun tersisa di sini.” Lu Li langsung melihat kecerdasan terbatas NPC itu.
“Tapi di kota sama sekali tidak ada seratus bomb garam meledak.” Wali Kota Solomon yang memang kekikiran ini hampir menangis karena diganggu.
“Yang Mulia Wali Kota, dusta akan membawa bencana yang kau sesali seumur hidup.” Lu Li mengintimidasinya.
“Benar-benar tidak ada seratus. Jika ada pasti kuserahkan semua. Di gudang hanya ada lima puluh. Kalau tidak percaya, aku antar kau melihat.” Keringat mengucur di dahi Wali Kota Solomon. Dia memutuskan mulai hari ini membenci petualang.
“Bagus, antar aku melihat.” Lu Li bersukacita. Kesempatan lagi untuk menjarah gudang NPC.
"Namun, setelah masuk ke gudang, barulah dia sadar dirinya terlalu berkhayal. Di dalam gudang selain ikan kering berbau amis, hanya ada lima puluh buah bomb garam peledak. Tak ada rempah-rempah maupun kain, apalagi emas-perak dan perhiasan seperti yang dibayangkannya."
"Ini pasti bukan semuanya. Kau pasti menyembunyikan sebagian!" Lu Li kesal.
"Sesuai level Kota Tepi Danau, maksimal hanya boleh ada lima puluh bomb garam peledak. Barang ini sangat tidak stabil, hanya veteran berpengalaman yang bisa menggunakannya. Makanya selalu disimpan di sini. Kalau tidak percaya, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa." Tampaknya memang tidak ada lebih banyak.
Lu Li tidak berani memaksa terlalu keras. Dia mengumpulkan seluruh lima puluh bomb garam peledak.
"Barang apa ini?" Di sudut gudang terdapat benda dengan desainnya sangat aneh, di atasnya bertumpuk ikan-ikan kecil kering secara acak.
"Oh, itu tank goblin, sepertinya rusak." Wali Kota Solomon berkasual saja: "Kalau mau pakai, bawa saja. Tapi kira-kira tidak banyak yang bisa memperbaikinya."
"Mau, tentu saja mau!"
"Jika ada kapal udara akan lebih bagus, tank Goblin memang berbeda dengan tank di dunia nyata, tapi sama-sama memberikan pertahanan yang kuat. Sangat efektif untuk pertempuran darat."
Lu Li sebelumnya telah membersihkan tasnya, menyimpan semua kain simbol.
Lagipula tank ini menggunakan teknologi anti-gravitasi, Lu Li dengan susah payah berhasil memasukkannya ke tas, meski beban barangnya agak melelahkan.
"Setelah ini selesai, hadiah apa yang akan kau berikan pada kami?" Lu Li masih belum puas.
Ini adalah tugas yang dipicu Elf Air, tapi dia tidak menghentikan upaya pemerasan Lu Li terhadap NPC, hanya mengawasi dengan senyum penuh harapan - senyum yang mungkin bahkan tidak disadarinya sendiri tanpa cermin.
"Sialan! Kubayar dua kali lipat, cukup?!" Wali Kota Solomon mengutuk dengan geram, mengadopsi mental tempayan pecah: "Untuk kalian dua puluh koin emas, plus banyak pengalaman!"
"Sialan, setelah digandakan juga cuma dua puluh koin emas. Orang tua, kamu cari pukul ya?"
