Awalnya aku ingin menceritakan soal gadis itu ke Han Xue untuk mengalihkan perhatiannya, tapi yang tak terduga, Han Xue malah bereaksi antusias. Setelah mendengar ceritaku, dia berdiri sambil mengepal tinju: "Aku sangat mengagumi kenalan internetmu! Berani sekali masuk ke sarang harimau sendirian demi orang yang belum pernah ditemui! Batu Chen dan tiga bersaudara keluarga Chen kan sudah terkenal jahat. Kalau aku, pasti tidak berani! Yang paling hebat, dia bisa menemukan tempat ini hanya berdasarkan threadmu, bahkan bisa menjaga diri di tengah bahaya! Sungguh tidak terbayangkan! Setidaknya aku tidak akan punya nyali sebanyak itu. Dibandingkan keberanian gadis ini, Han Xue tidak boleh terus terpuruk! Hanya setan yang datang mencariku! Masa hantu bisa melahap gadis cantik jenius sepertiku?!"
"Ya, tidak ada yang perlu ditakuti!" Aku menyemangati Han Xue, ini bukan hanya untuk Han Xue, sebenarnya juga kekagumanku yang tulus pada netizen itu. Sekarang di hatiku, gadis itu telah menjadi pendekar yang melampaui kakak sulungku. Meskipun kakakku hebat, tapi aku selalu merasa caranya menangani masalah terlalu hati-hati dan terkadang terlalu licik. Tapi gadis ini benar-benar seperti tokoh dalam buku yang berani membela keadilan!
Tiba-tiba lenganku terasa sakit luar biasa. Kulihat ke samping, ternyata tangan kecil Han Xue sedang mencekik lenganku. "Han Xue, apa yang kamu lakukan?!" teriakku.
"Benarkah hubunganmu dengan gadis itu cuma kenalan di internet?" Han Xue menatapku dengan senyuman sinis.
"Benar!" Aku meronta. Cekikannya selalu sungguhan, lenganku penuh memar biru dan ungu karena ulahnya.
"Dia cantik ya?" Han Xue terus mendesak dengan nada dingin.
"Cantik!" Jawabku polos.
Genggaman tangannya semakin kuat. "Seberapa cantik?!" dengusnya dingin.
Baru kusadari Han Xue sedang cemburu. Meski hati riang gembira, tapi rasa sakit di lengan sungguh nyata. "Tidak secantik kamu, jauh di bawahmu!" buru-buru kujawab.
Han Xue akhirnya melepaskan. "Untung kamu cepat mengerti," gerutnya kesal.
Entah kenapa, meski cemburu Han Xue ini pasti membuat lengan saya memar selama beberapa hari, tapi justru menghilangkan kegelapan di hati saya. Sambil menggosok lengan, saya menghela napas: "Perempuan cemburu itu harimau ya!"
Han Xue berpura-pura hendak mencekik saya, dengan wajah garang berkata: "Siapa yang kau sebut harimau?"
Saya langsung menghindar, menunjuknya sambil tertawa terbahak: "Kau mengaku cemburu?"
Wajahnya langsung memerah merona, dia mengambil buku dan melemparkannya ke saya: "Cih! Siapa yang cemburu? Dengan kemampuanmu yang cupu ini?"
Saya batuk-batuk kecil, melihat Han Xue sudah malu sampai begini, tak ingin terus menggoda. Lalu mengutarakan hal yang harus kami hadapi: "Nona Pendekar, malam ini bagaimana?"
"Kau tetap tinggal di sini. Tapi aku pasti tidak akan takut seperti dulu." Han Xue mengumpulkan keberanian.
——Saat malam tiba, saya kembali membereskan barang ke sekolah. Ibu bertanya kemana, saya hanya bilang akan jaga malam di kantor desa. Sesampai di sekolah, hendak memasuki kamar sebelas kos Han Xue untuk menyiapkan alas tidur, tiba-tiba Han Xue berkata: "Masuk saja ke ruanganku, tidur di lantai."
"Apa?" Saya terdiam sejenak.
"Apa-apaan, tahu kamu sedang sangat senang." Setelah mengucapkan itu, Han Xue langsung membawa perlengkapan tidurku dan pergi. Aku segera menyusul. Sebenarnya mustahil kukatakan hatiku tidak senang saat ini, tapi di balik kebahagiaan itu ada rasa sedih. Ternyata apapun yang diucapkan Han Xue, seorang gadis pasti merasa takut menghadapi situasi seperti ini di malam hari. Dalam hati aku bertekad: Jika si bodoh benar-benar datang lagi malam ini, pasti akan kutunjukkan keberanianku. Bukan untuk alasan lain, hanya agar Han Xue merasa aman.
Perlengkapan tidurku dihamparkan Han Xue di ambang pintu, di sebelahnya obat nyamuk spiral menyala. Sementara Han Xue bersembunyi di dalam kelambu dengan pakaian tertutup rapat. Tentu saja aku tidak mungkin melakukan hal yang keterlaluan, malah sebenarnya aku agak canggung. Untuk menutupi kecanggunganku, aku terus-menerus mengajak Han Xue mengobrol dan berusaha keras mencari lelucon untuk menghiburnya.
Waktu berlalu dengan cepat, dalam sekejap mata, tengah malam tiba lagi.
Han Xue perlahan menyusut ke sudut dinding, sementara aku terus menghisap rokok sebatang demi sebatang. Saat ini kami sudah tidak punya mood untuk mengobrol. Meski tidak berbicara, kami sama-sama paham: Kami berdua sedang menunggu datangnya pukul dua belas malam.
Yang harus datang, akhirnya akan datang juga.
Saat rokok terakhirku baru terhisap separuh, genta angin di samping tempat tidur Han Xue kembali berbunyi gemerincing. Han Xue memeluk lututnya dengan kepala tertunduk, seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali.
Sedangkan aku menggenggam lebih erat tongkat di tangan, memalingkan kepala yang penuh keringat dingin ke arah jendela.
Di luar jendela, ada bayangan manusia berambut panjang berdiri di sana. Bahkan bisa kurasakan sepasang matanya yang hanya putih itu menatap tajam ke arahku dan Han Xue di dalam ruangan.
Kulihat lagi Han Xue yang gemetar di belakangku, mematikan puntung rokok di telapak tangan. Rasa sakit yang tajam ini membuatku terjaga sepenuhnya. Aku bangkit sambil memegang tongkat, menatap ke jendela: "Dasar idiot! Datanglah ke aku kalau ada urusan! Tak ada permusuhan, ngapain mengganggu cewek?!"
Si idiot di luar pintu tetap berdiam tak bergerak.
Kutarik napas dalam-dalam, melangkah menuju pintu. Saat tanganku menyentuh gagang pintu, Han Xue di belakangku berteriak dengan suara sendu: "Ye Zi, jangan keluar!"
Kupandangi Han Xue. Matanya yang basah menatapku. Saat ini, kurasakan seperti akan menghadapi maut. Takut tak sempat mengungkapkan isi hati yang selama ini kusimpan, kuputuskan untuk jujur: "Kalau tak bisa melindungi wanita yang kucintai, apa artinya aku sebagai pria?" kataku sambil mengangguk padanya.
Usai berkata, kubuka pintu dan melangkah keluar.
Di luar, cahaya bulan terang benderang.
Di bawah sinar bulan, si idiot berbaju kematian putih itu basah kuyup. Rambut hitam pekatnya menjuntai sampai pinggang. Wajahnya pucat pasi, matanya hanya menampakkan bagian putih yang mengerikan.
Dia berdiri tepat di hadapanku, aura dingin yang menyesakkan menerpa wajahku.
Di wajahnya, masih tergantung senyuman yang takkan pernah kulupakan.
Aku terus menatapnya, kedua kakiku bergoyang tak terkendali. Ingin lari, tapi tak bisa. Akhirnya, kuulurkan tongkat di tanganku.
Membuka mulut, dengan suara gemetar kukatakan pada Si Bodoh: "Dulu waktu kecil tak sanggup kutarik kau, kini ku bisa mengeluarkanmu."
Mendengar ini, Si Bodoh menggelengkan kepala. Sepasang mata tanpa pupil itu menatapku lama, lalu mengalirlah dua garis air mata.
Dua garis air mata darah itu, benar-benar air mata darah.
Kutarik napas dalam. Tongkat ini kubawa bukan untuk membela diri, tapi untuk bertaruh: masa kecil dulu, Si Bodoh mungkin masih ingat kebaikanku mengulurkan tongkat saat ajalnya. Kuyakin dia masih ingat!
Dua garis air mata darahnya telah menjelaskan segalanya!
"Jika kau masih ingat usahaku menolongmu dulu, jangan datang lagi," kataku pada Si Bodoh.
Si Bodoh terus menatapku. Air mata darah di wajahnya membuat rupanya semakin mengerikan. Perlahan dibukanya baju, memperlihatkan lubang besar di perutnya.
Lubang berdarah itu sungguh membuat bulu kuduk merinding.
Seketika aku terbawa ke malam dua puluh tahun silam. Saat itu, Chen Batu membedah perut Si Bodoh di hadapanku, mengambil bayi dari rahimnya.
Bodoh saat ini menunjukkan ini padaku, apakah maksudnya mengatakan bahwa kebaikan menyelamatkan nyawa itu sudah terbayar dua puluh tahun lalu saat perutnya dibedah?——Ini reaksi spontanku!
Tapi apapun yang terjadi, aku takkan membiarkannya menyakiti Han Xue. Aku melemparkan tongkat dan langsung bersujud di hadapan Si Bodoh: "Semua ini tidak ada hubungannya dengannya! Bodoh, kau juga perempuan, aku sangat kasihan padamu, tapi jangan sakiti dia!"
Bodoh tak bergerak, tapi saat aku mengangkat kepala, sosoknya sudah lenyap hanya menyisakan genangan air di lantai yang membuktikan keberadaannya tadi.
Baru saat ini napasku lega. Begitu ketegangan hilang, seluruh tubuhku lunglai seperti lumpur basah tergeletak di lantai. Dengan sisa tenaga kuberbisik pada Han Xue: "Sudah aman, dia pergi."
Han Xue tiba-tiba berlari keluar, berjongkok dan mengangkatku. Di depan mataku yang terbelalak, bibirnya yang pucat menyentuh bibirku.
Aliran listrik menyambar sekujur tubuhku.
Kukuat erat tubuhnya yang masih gemetar, padahal sebenarnya aku pun sama-sama bergetar.
Momen ini terlalu lama kunanti.
Tapi berbeda dengan ciuman panas penuh gairah di TV, kesempurnaan momen ini hancur karena kikuk kami yang beberapa kali saling bertabrakan gigi.
Bekas air mata masih tersisa di wajah Han Xue yang sudah memerah seluruhnya.
Aku juga gemetar tak karuan.
"Kau setuju?" tanyaku penuh harap.
"Bodoh! Ini hadiah untukmu!" Han Xue melotot padaku.
——Kami kembali ke kamar, butuh setengah jam untuk menenangkan diri. Saat kukira semua akan berakhir, Han Xue mengambil senter: "Ikut aku."
"Untuk apa?" Aku tertegun.
"Nanti kau akan tahu. Aku bilang kan, ingin jadi perempuan muda tak terkalahkan!" ujar Han Xue.
Setelah keluar, Han Xue mengambil ponsel dari atap asramanya. Hingga kini, ponsel itu masih dalam status merekam.
Seketika aku paham. Han Xue merekam adegan si idiot di bawah jendelanya? "Kalau ini bocor, bisa mengguncang dunia! Han Xue, kau jenius!" seruku bersemangat.
Han Xue berlagak sombong: "Kukira kau tahu maksudku siang tadi?!"
Usai bicara, dia mengajakku ke gerbang sekolah. Di atas pintu utama, terpasang kamera kecil yang sedang merekam.
Kamera ini pernah kulihat. Han Xue biasa memakainya untuk merekam kehidupan ekstrakurikuler siswa. Saat pertama dibawa, bukan cuma siswa, bahkan penduduk desa heboh mengira alat ini bisa langsung tayang di TV. Setiap kali Han Xue mengarahkan lensa, wajah mereka memerah.
