Hingga sore hari perasaanku baru perlahan tenang. Kabar tentang Paman Pilar sudah tersebar di desa. Ibuku menelepon sambil tersedu-sedu. Perlu diketahui, selama lebih dari dua puluh tahun Paman Pilar benar-benar sangat merawat keluarga kami.
Tak lama setelah aku memutuskan sambungan telepon dengan Ibuku, panggilan dari Chen Dongfang masuk. Sebelumnya aku ingin membicarakan urusan Paman Pilar padanya, terutama karena meski Chen Dongfang berada jauh di Shanghai, sepertinya dia punya pemahaman mendalam tentang seluruh peristiwa ini. Aku berniat menanyakan siapa yang hendak bertindak terhadap Paman Pilar. Namun sebelumnya teleponnya terus dalam status mati. Segera kujawab teleponnya, suaranya terdengar: "Tadi di pesawat jadi ponsel mati. Karena tidak ada penerbangan ke Luoyang hari ini, aku baru tiba di Xinzheng. Urusan Pilar sudah kuketahui. Tak kusangka ada yang bergerak secepat ini. Waspadalah, karena setelah Pilar, target berikutnya kemungkinan besar adalahmu."
"Siapa sebenarnya? Siapa pelakunya?" tanyaku langsung. Saat ini yang kuinginkan hanyalah menyeret keluar si pembunuh itu, melihat wajah orang yang menganggap nyawa manusia begitu remeh ini.
"Tidak praktis dibicarakan via telepon. Aku akan kembali dengan kecepatan maksimal. Kita bicara tatap muka." Chen Dongfang mengakhiri percakapan setelah itu, sambungan telepon terputus.
Orang gemuk ada di sampingku, tahu bahwa aku menerima telepon dari Chen Dongfang. Meskipun Chen Dongfang telah berpesan untuk tidak mempercayai siapa pun saat ini, tapi aku sendiri benar-benar tidak mampu menanggung tekanan sebesar ini. Jadi aku menceritakan semuanya kepada si gemuk. Pada saat seperti ini, memiliki satu orang lagi untuk membantu mengambil keputusan jauh lebih baik daripada aku sendiri yang terus merenung. Apalagi sejak kakakku kembali, aku tahu dia sudah mulai menyusun strategi diam-diam. Sementara pihak lawan selain si bodoh yang membuat keributan beberapa kali, sama sekali tidak ada gerakan. Ini bahkan membuatku merasa bahwa lawan sama sekali tidak punya daya melawan di hadapan kakakku. Tapi tepat hari ini, setelah sekian lama tenang, teror dari pihak lawan benar-benar meledak. Baru bertindak sudah memakan dua nyawa.
Si gemuk melihatku masih berpikir, berkata padaku: "Takut?"
"Sedikit." Aku mengangguk. Bilang tidak takut itu bohong. Seperti api aneh yang membakar tubuh Paman Pilar, kakak bilang itu api hantu fosfor putih. Tapi proses kebakarannya kusaksikan sendiri. Orang yang baik-baik saja tiba-tiba dilalap api. Cara seperti ini benar-benar mengerikan. Yang paling penting, meski si gemuk terus bilang "jangan takut", tapi kita berdua sebenarnya tahu dalam hati: kita tidak bisa membalas, bahkan tidak tahu siapa lawan kita.
Sekarang aku bahkan sangat menyesal. Jika aku tidak membuang-buang waktu, mungkin Paman Pilar bisa memberitahuku siapa dalang di balik semua ini.
“Daun, kamu pergi makan dulu bersama kepala desa. Tenang, di sini ada aku yang jaga. Kalau pulang, bawa juga makanan untukku. Sejujurnya, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah kelaparan seperti ini.”
Aku mengangguk, lalu keluar rumah sakit bersama Chen Qingshan. Kami berdua tidak ada selera makan yang mewah. Di ambang pintu rumah sakit banyak pedagang kaki lima. Kami memilih sebuah gerobak untuk membeli kue lumpung dan semangkuk mie kuah tepung sayuran liar. Kami berjongkok menyantapnya. Kondisi kebingungan Chen Qingshan jauh lebih parah dariku. Matanya masih kosong sampai sekarang. Tiba-tiba aku merasa agak tidak tega. Jelas-jeluas keluarga kami berada di pusaran badai, sedangkan Chen Qingshan hanyalah kepala desa. Masalah ini tidak terlalu terkait dengannya.
“Kepala desa, nanti Anda pulang saja,” kataku pada Chen Qingshan.
Chen Qingshan menggelengkan kepala. Meski sorot matanya masih kosong, ia berkata: “Ada kejadian besar di desa, mana mungkin aku tidak ikut campur. Daun, aku tahu kau mengkhawatirkanku, tapi jangan lupa, aku ini praktisi bela diri terlatih.”
Di sela-sela pembicaraanku, kulihat sebuah mobil Jinbei biasa berhenti di tempat parkir depan rumah sakit. Yang aneh, plat nomor mobil itu ditutupi kain hitam. Tak lama kemudian, beberapa orang turun dari mobil dengan wajah dingin dan gerakan sangat gesit, jelas bukan seperti orang yang menjenguk pasien atau keluarga. Yang lebih aneh lagi, mereka semua mengenakan masker dan bahkan sarung tangan putih di tangan.
Semua gerakan itu dilakukan dengan sangat cepat. Kemudian, mereka berjalan bersama menuju gedung rumah sakit. Karena penampilan mereka yang aneh, banyak pejalan jalan memalingkan wajah. Tapi mereka seolah tak peduli dan langsung menuju arah gedung kamar pasien.
Hatiku tiba-tiba dilanda firasat buruk. Penampilan dan gerak-gerik mereka persis seperti pembunuh di sinetron. Kuletakkan mangkuk mi tepung tapioka sambil menepuk bahu Chen Qingshan: "Aku mau ke kamar mandi dulu. Nanti kamu belikan si Gendut makanan kesukaannya, dia suka daging, beliin yang banyak ya."
Ia menatapku: "Nggak makan lagi?"
"Udah kenyang. Aku buru-buru dulu, kebelet pipis," jawabku sambil berpura-pura berjalan ke arah toilet. Padahal mataku tak lepas mengikuti gerak-gerik orang asing itu.
Chen Qingshan mengangguk polos: "Oke."
Aku beranjak pergi ke warung kecil membeli sebungkus rokok. Aku ingin melapor ke polisi, tapi tak yakin apakah gerombolan itu benar-benar pembunuh. Kalau salah, pasti jadi bahan tertawaan. Aku menyalakan sebatang rokok, mendekati pedagang daging kepala babi: "Bang, pisaunya tajam sekali. Di rumahku kurang pisau pemotong tulang, mau dijual?"
Pedagang daging kepala babi itu seorang pria berwajah polos. Ia tertawa: "Pisau ini kalau dijual, hari ini daganganku mandek. Tapi masih ada satu lagi, cuma pegangannya rusak. Pisau baja, buat tebang pohon juga kuat."
Sambil bicara, ia mengeluarkan sebilah pisau dari bawah sepeda motor listriknya.
Kuambil pisau itu sambil mengangguk, mengulurkan uang seratus yuan: "Terima kasih, Bang."
"Nggak perlu segitu. Dua puluh yuan saja. Kembalianmu delapan puluh." Kata si abang.
"Timbangin daging delapan puluh yuan, nanti aku ambil." Kukatakan sambil tersenyum.
Usai bicara, kuselipkan pisau di balik baju, menginjak puntung rokok sampai padam, lalu berlari ke gedung rawat inap. Sesampai di sana, sudah kulihat orang-orang berteriak lari keluar. Tapi si gemuk tak terlihat di kerumunan, membuat firasat burukku makin menjadi. Aku bukan remaja nakal, meski pernah berkelahi dengan teman sekelas. Tapi dendam yang terpendam, terutama insiden Paman Pilar nyaris tewas, membuat amarahku meluap. Bahkan sekarang pun ingin kuhabisi semua bajingan ini dengan sekali tebas.
Aku berlari ke lantai tiga, tepat saat berbelok mendengar teriakan orang gemuk. Kulihat jelas, di tangannya tergenggam bangku. Lengannya terluka, tapi di bawah kakinya ada dua orang menjerit kesakitan. Sementara itu empat-lima orang lain mengepungnya di depan pintu kamar pasien dengan membawa pisau panjang.
"Sial!" Aku mengeluarkan pisau dapur dari dalam baju dan langsung menyerbu ke arah mereka. Dari arah orang gemuk, dia bisa melihatku. Begitu melihatku mendekat, untuk mengalihkan perhatian "orang itu", dia meraung "Ayo kita habisin kalian!" sambil mengayunkan bangku besi dengan kekuatan penuh ke arah mereka. Serangan tiba-tiba dan cepatnya langsung menjatuhkan orang yang paling depan sampai tak bisa bangun. Empat orang sisanya tak tinggal diam, memanfaatkan momentum jatuhnya bangku untuk menebaskan pisau mereka.
Saat itu juga aku akhirnya tiba. Mengangkat pisau dapur, kuhujamkan ke orang terdekat. Tebasan tepat mengenai bahunya, darah langsung menyiprat ke wajahku. Orang itu menjerit kesakitan dan membalikkan badan memberikan pukulan ke wajahku. Setelah berhasil menebas, kepalaku masih berkunang-kunang sehingga tak sempat menghindar. Pukulan itu tepat mengenai wajahku hingga aku terjatuh berjongkok. Pisau dapur masih tertancap di bahu orang itu.
Dia juga mulai mengamuk, mengganti tangan untuk menghunus pisau, lalu menghujamkannya ke arahku. Aku buru-buru menghindar, hingga pedang itu bahkan menyemburkan bunga api saat menghantam lantai. Si gemuk yang melihatku dalam bahaya, tak peduli dua luka di tubuhnya, mengayunkan bangku seperti orang gila. Tapi di sisi lain, masih ada empat orang mengepungnya. Sementara aku, setelah satu tebasan tadi, seluruh auraku habis tanpa sisa kekuatan tempur, hampir seperti menunggu ajal.
Orang yang belum pernah berkelahi, otak akan kosong saat pertama kali bertarung. Itulah aku.
Setelah tebasan orang itu meleset, dia mengayunkan pisau lagi ke arahku. Kali ini aku sudah mundur sampai ke dinding, tak ada tempat lari lagi. Saat pisau itu hampir mendarat, kulihat pot bunga di tepi tembok. Kuangkat pot itu dan dengan sekuat tenaga menghujamkannya ke kepala si penyerang tepat sebelum pisau mengenai tubuhku. Seketika kepalanya pecah berantakan. Seperti di sinetron, orang ini seharusnya pingsan atau tewas, tapi dia malah menyeringai penuh darah di wajah, seolah benar-benar mengamuk.
Tapi tiba-tiba sesuatu menghantam wajahnya. Kami berdua kaget. Saat melihat ke bawah, ternyata itu ayam panggang.
