Aku tak tahu mengapa Kakak tiba-tiba menceritakan ini. Tak bisa dipungkiri, perkataannya membuatku sangat terkejut. Kutanyakan padanya: “Kakak, sebenarnya apa yang terjadi?”
"Perkara ini sebenarnya sederhana. Pada masa pemerintahan Hongwu, kekeringan besar di daerah ini membuat Dua Belas Gua Hantu hampir mengering. Awalnya setelah gua-gua itu kering, banyak jenazah perempuan telanjang yang terbawa lumpur keluar. Mayat-mayat ini tampak hidup seperti aslinya, tidak seperti mayat yang sudah lama membusuk. Hal ini menggemparkan pemerintah setempat yang mengira ini kasus pembunuhan besar, lalu melakukan investigasi. Hasilnya, mereka menemukan sebuah sarkofagus batu di dalam Dua Belas Gua Hantu tersebut. Sarkofagus ini memiliki pola aneh yang terukir di permukaannya dan diperkirakan berasal dari zaman kuno. Peti mati itu ditarik keluar dari lumpur Gua Hantu oleh aparat pemerintah, namun kemudian memicu perubahan situasi besar. Semua orang yang pernah menyentuh peti mati itu akhirnya tewas. Barulah kemudian orang-orang menyadari keanehan peti mati ini. Keluarga Ye yang tinggal di sini sebagai keluarga terpandang setempat, atas inisiatif mereka, memanggil seorang ahli fengshui ternama bernama Chen Jinzhi. Setelah tiba, Chen Jinzhi mengenali bahwa peti mati ini adalah peti mati Dewa Sungai Kuning. Dua Belas Gua Hantu sebenarnya adalah istana bawah sungai sang dewa, sedangkan jenazah-jenazah perempuan telanjang itu adalah Persembahan Sungai Kuning yang dikurbankan dari berbagai daerah untuk Dewa Sungai. Sebagai selir dewa, jenazah mereka tetap utuh selama ribuan tahun." Kata Kakak.
“Chen Jinzhi menegaskan bahwa di dalam peti mati terdapat dewa sungai, dan dewa tidak boleh dihina. Oleh karena itu, keluarga Ye termasuk pejabat dan orang kaya setempat, semua tunduk pada perintah Chen Jinzhi. Awalnya, mayat perempuan yang digali dari sungai dikembalikan ke sungai sebagai persembahan untuk dewa sungai. Kemudian, Chen Jinzhi menyuruh orang mengambil batu raksasa dari Gunung Tai dan mengukirnya menjadi Batu Naga Longtou. Batu ini dimaksudkan untuk menarik energi naga lokal guna menumpas aura kematian dari Dewa Sungai Kuning ini. Menurut penjelasan Chen Jinzhi, meskipun yang ada di peti mati adalah dewa sungai, sebenarnya itu adalah Raja Mayat Sungai Kuning yang telah berubah menjadi siluman. Karena aura silumannya sangat kuat, kecuali dewa turun dari langit, tidak ada yang bisa menaklukkannya - hanya bisa ditumpas bukan dimusnahkan. Saat Batu Naga itu dipasang, Chen Jinzhi memerintahkan seluruh keluarga Ye untuk mengunci pintu rumah. Malam itu, Blood Moon bersinar di langit, dan tepat tengah malam, dari Dua Belas Gua Hantu keluar 999 mayat perempuan. Para mayat ini menyerbu keluarga Ye, membantai ratusan anggota keluarga Ye dari atas sampai bawah. Mayat-mayat korban kemudian dibawa para mayat perempuan ke dalam Dua Belas Gua Hantu.” Kakak bercerita.
Aku gemetar hampir di seluruh tubuh. Kutatap kakak dan bertanya: "Kakak, kalau menurutmu, keluarga Chen di Fudigou adalah keturunan Chen Jinzhi itu, lalu keluarga Ye - apa hubungannya dengan keluarga Ye kita ini?"
Sebenarnya aku sudah bisa menebak jawabannya. Bertanya seperti ini hanya untuk konfirmasi terakhir.
"Saat itu malam hari, ketika mayat wanita itu naik ke darat, hanya ada seorang kepala rumah tangga keluarga Ye yang sedang buang air di kamar mandi. Ketika dia keluar dari kamar mandi, dia mendapati keadaan di luar sudah kacau balau. Dalam kepanikan, kepala rumah tangga itu melompat ke dalam lubang jamban. Karena kotoran di lubang jamban itu najis, mayat wanita itu tidak bisa mendekat, sehingga dia selamat. Ketika keadaan sudah tenang, kepala rumah tangga yang keluar itu sudah ketakutan setengah mati. Tapi saat itu dia masih berniat mencari Chen Jinzhi untuk minta tolong. Namun ketika sampai di Batu Naga Longtou, dia melihat separuh tubuh Chen Jinzhi sudah menyatu dengan batu naga itu. Batu naga yang jelas-jelas terbuat dari batu itu perlahan-lahan menelan seluruh tubuh Chen Jinzhi. Melihat pemandangan ini, sang kepala rumah tangga lari ketakutan. Setelah menyelidiki, ternyata tidak ada satu pun anggota keluarga Ye yang selamat kecuali dirinya. Awalnya dia ingin melapor ke pihak berwajib, tapi teringat kejadian malam itu yang terus menghantuinya dalam mimpi buruk. Lagipula Chen Jinzhi sudah menyatu dengan Batu Naga itu tanpa meninggalkan jejak, membuat kasus ini menjadi mati tanpa bukti. Akhirnya sang kepala rumah tangga melarikan diri dan menyembunyikan identitasnya. Kepala rumah tangga itu adalah Kakek Buyut Ye dari keluarga kita."
"Jadi rahasia ini sebenarnya sudah diketahui Kakek dan Ayah kita, benar?" tanyaku.
Kakak mengangguk perlahan. Setelah itu dia tidak berbicara lagi padaku, berbalik dan pergi sendirian dengan langkah lambat. Aku juga tidak mengejar atau bertanya lebih lanjut. Hari ini Kakak sudah memberitahuku cukup banyak. Orang seperti dia akan mengatakan apa yang ingin dan perlu dikatakan secara alami. Yang tidak ingin diungkapkannya, percuma saja jika kutanya.
Aku duduk seorang diri di lantai dengan ekspresi kebodohan selama berjam-jam, tak mampu mencerna informasi yang diberikan Kakak. Menurut penjelasannya, sebenarnya keluarga Ye dan keluarga Chen memiliki permusuhan genosida? Tentu saja, setelah bertahun-tahun berlalu, anggota keluarga Ye sekarang sudah tidak tahu peristiwa masa lalu, jadi urusan balas dendam jelas tidak perlu diangkat lagi.
Pikiranku terus mengikuti alur logika Kakak—karena Kakek dan Ayah tahu rahasia ini, Ayah datang ke desa untuk menyelidiki kebenaran, tapi malah dikuliti hidup-hidup. Dalam keadaan terjepit, Kakek terpaksa mengirim Kakak ke keluarga hantu air yang sangat kuat, lalu melatihnya menjadi Raja Hantu Air demi melanjutkan penyelidikan?
Sebenarnya istilah "penyelidikan kebenaran" sudah tidak relevan. Bahkan kurasakan, Ayah dan Kakak yang sudah meninggal itu mungkin lebih ingin merebut kembali sesuatu yang diincar oleh Chen Jinzhi dan seluruh keturunan kepala klan Chen.
Aku termenung sampai lama, sampai si Gendut datang memanggil. "Raja Maling, ngapain jongkok di sini? Melamun? Atau kencan diam-diam dengan istri orang?"
"Nggak ada. Ada perlu?" tanyaku.
"Barusan Tuan Gendut nyari ke kamarmu, lihat ada orang janggal ngendap-endap di depan pintu. Pas kutanya mau apa, dia langsung kabur. Beberapa saat kemudian Tuan Gendut balik lagi, eh si itu muncul lagi. Begitu liat Tuan Gendut, langsung minggat lagi!" ujar si Gendut.
"Orangnya keliatannya gimana?" tanyaku.
"Tinggi kurus, pakaiannya kayak belum dicuci delapan ratus tahun." kata Si Gendut.
"Ini putra ketiga Chen Shitou, San Kui. Tuan Gendut, aku duluan ke balai desa nunggu. Ada yang mau kubicarakan. Aku mau lihat urusan San Kui ini. Dia kurir antara nona besar itu dengan aku." jawabku.
"Nggak butuh bantuan Tuan Gendut?" teriak Si Gendut.
"Nggak perlu. Terlalu banyak orang malah nggak bagus." kataku.
——Ketika aku pulang ke rumah, San Kui masih mondar-mandir di ambang pintu. Melihatku, dia buru-buru mendekat dengan wajah tegang: "Kemana saja kau! Aku nunggu setengah hari!"
Dari raut wajah dan nada bicaranya, kali ini dia luar biasa gugup sampai aku ikut tegang. Kutanya: "Ada apa?"
"Niang itu hilang. Ayah dan kakak sulungku juga raib. Bangun pagi tiba-tiba sudah nggak ada! Dicari kemana-mana nggak ketemu!" kata San Kui.
"Hilang??" Seketika kulit kepalaku merinding.
"Iya! Sudah kubilang, si tua bangka ini benar-benar bertekad bulat mau menikahkan niang dengan kakak. Aku dan kakak kedua sudah sepakat, kalau benar begitu, kami akan putus hubungan!" kata Chen Sankui.
"San Kui, begini saja. Kau pulang dulu dan tunggu. Jangan-jangan mereka cuma pergi sebentar dan sudah kembali? Ini nomor teleponku catat ya. Kita terus berhubungan kapan saja. Niang itu pernah bilang padaku, kalau harus memilih di antara tiga bersaudara, pasti memilihmu. Lagian kau kan tampan! Jadi jangan sampai ayah dan kakakmu berhasil!" kataku.
“Niang benar-benar bilang begitu?” San Kui langsung berseri-seri matanya mendengar kabar itu.
“Masa iya tidak? Hubungan kita sedekat apa, masa aku bohong?” kataku.
Setelah kukatakan ini, San Kui langsung penuh semangat dan segera pulang untuk membantu mengawasi. Setelah San Kui pergi, aku perlahan mencoba tenang. Sebelumnya Chen Dongfang sudah beberapa kali mengingatkanku untuk mengawasi Niang itu, hari ini Kakak juga mengingatkan bahwa Chen Shitou mulai bergerak. Tapi siapa sangka serangan mereka datang secepat ini? Di momen genting ini, Chen Shitou dan putra sulungnya menghilang bersama Niang, jelas-jelas ini bukan sekadar jalan-jalan biasa.
Segera kutelepon Chen Dongfang untuk melaporkan situasi. Setelah mendengar, dia terdiam sejenak lalu berkata: “Baik, aku akan segera tiba di sana. Kau hati-hati. Cari Kakakmu, dia paham prioritas. Katakan padanya untuk menyelamatkan nona besar.”
“Baik, ada lagi yang perlu dilakukan, Paman Dongfang?” tanyaku.
“Suruh si gemuk mempercepat gerakannya.” Chen Dongfang langsung memutuskan telepon. Kebiasaannya memang selalu mengambil inisiatif mematikan telepon tanpa basa-basi.
Setelah telepon dengan Chen Dongfang, segera kuhubungi Kakak. Kujelaskan situasi: “Apapun identitas Niang ini, baik secara pribadi maupun profesional, aku tidak ingin dia celaka. Kakak, tolong selamatkan dia.”
“Chen Shitou sementara belum akan melukainya. Jangan panik.” jawab Kakak.
“Baik, aku akan cari si gemuk dulu.” kataku.
