“Saya tidak akan menanyakan hal ini pada ibuku, juga tidak akan melibatkan anggota keluarga.” Saya berkata tegas seperti memenggal pada si gemuk. Sebenarnya sejak awal, ketika ibu memberitahu bahwa dialah yang menyuruh Paman Pilar membujukku untuk berhenti, saya sudah menduga bahwa ibu mungkin tahu sesuatu tentang peristiwa masa lalu. Ini sebenarnya hal yang wajar. Dulu, saat kematian ayahku diselidiki polisi, ibu adalah orang yang paling sering diinterogasi. Namun saat itu, ketidaktahuan ibu membuat polisi akhirnya menyerah. Tapi mungkin seperti pemikiran kami sekarang, polisi saat itu juga merasa mustahil ibu sama sekali tidak tahu apa-apa.
Tapi saya selalu enggan membicarakan hal ini dengan ibu. Pertama, saya tidak ingin mengingatkannya pada kesedihan kehilangan suami. Kedua, seperti semua hal yang saya sembunyikan dari Han Xue belakangan ini, musibah yang menimpa Paman Pilar membuat saya tidak ingin melibatkan orang terdekat. Karena saya tidak memiliki kemampuan untuk melindungi mereka.
Si gemuk ini sangat pintar. Saya merasa selama beberapa hari ini kami sudah membangun kekompakan. Begitu saya bicara seperti itu, dia langsung paham maksud saya. Dia berkata: “Bagus juga begitu. Oke, sekarang Hanba sudah ditaklukkan, selanjutnya kita lihat jurus apa yang akan dikeluarkan Tang Renjie. Kita hadapi saja jurusnya satu per satu.”
"Repot sepanjang malam, hampir saja dibelah Guan Erye, badanku basah keringat dingin. Meski sekarang sudah kering, rasanya sangat tidak nyaman. Setelah berpamitan dengan si gemuk, aku pulang ke rumah dan mandi air hangat. Diam-diam menyelinap ke kamar Han Xue yang sedang terlelap dengan tubuh meringkuk di tempat tidur. Perlahan kupegang dia hingga tertidur. Saat bangun, Han Xue sudah pergi kuliah. Kulihat jam, sudah lewat pukul sepuluh pagi.
Setelah sarapan, kuhubungi Chen Sankui. Urusan Hanba sudah selesai, masalah utama sekarang adalah nasib gadis itu. Namun Sankui belum ada kabar sama sekali. Sudah hampir sepuluh hari, Chen Shitou beserta ayahnya dan gadis itu seolah menguap dari dunia. Setelah memutuskan telepon Sankui, kuhubungi Chen Dongfang. Awalnya ingin menuntut apakah dia masih peduli pada nyawa nona besarnya. Tapi Chen Dongfang malah berkata: "Aku sudah dua hari di Luoyang."
"Lalu kenapa belum pulang? Apa nona besarmu dan Chen Shitou juga di Luoyang?" tanyaku. Kali ini lagi-lagi Chen Dongfang melukai hatiku. Selama ini aku yang terus memikirkan urusan ini, tapi dia sudah dua hari di Luoyang tanpa kabar? Bukankah merawat nona besar keluarganya adalah permintaannya sendiri?
“Daun, situasi berubah jadi aku tidak menghubungimu. Tuan sudah menekan keluarga Liu dari segala sisi. Tapi masalahnya tidak sesederhana yang kau bayangkan. Aku dan Li Qing terus berusaha menghubungi nona besar. Begini, di tubuh nona besar ada chip yang bisa kugunakan untuk positioning lokasinya. Dalam kondisi darurat, nona juga punya cara untuk kontak lewat chip itu. Makanya dua hari lalu aku masih tenang. Tapi kemarin lusa, posisi chip itu tiba-tiba diam dan tidak ada respon dari nona.” kata Chen Dongfang.
Mendengar itu hatiku langsung tergantung, “Apa? Terjadi masalah?”
Suara Chen Dongfang di telepon menjawab, “Tidak mungkin. Chen Shitou baru bisa mempersembahkan nona saat malam bulan purnama bulan ini. Sebelum itu dia tidak akan membunuhnya. Lagipula chip di tubuh nona tidak mungkin ketahuan. Kau tidak paham karakter nona, nyalinya terlalu besar. Kemungkinan besar dia sengaja membuang chip itu agar kita tidak bisa melacaknya.”
Seorang nona besar dari keluarga super elite, cucu kesayangan orang tua di belakang Chen Dongfang, demi memuaskan rasa penasaran nekat masuk ke sarang harimau. Besarnya nyalinya tidak perlu dijelaskan lagi. Tapi tindakannya membuang chip dan memutus kontak benar-benar mengejutkanku. Perasaan mengatakan wanita ini antara jenius atau orang gila.
“Lalu harus bagaimana?” tanyaku.
“Altar persembahan Niangniang Sungai Kuning kepada dewa sungai berada di tempat si bodoh tenggelam. Nona ini tidak akan membiarkan kami menemukannya, tapi kita harus menyelamatkannya sebelum ritual. Jika ada masalah sedikit saja, Tuan pasti akan gila.” kata Chen Dongfang.
“Lalu apa yang kau lakukan di Luoyang? Apa yang harus kulakukan?” Awalnya aku sempat marah dan ingin berhenti ikut campur, tapi akhirnya tetap tak berguna bertanya.
“Aku mengawasi Tang Renjie di Luoyang. Kau dan si gemuk awasi rumah Chen Batu. Jika ada gerakan mencurigakan, minta bantuan Sun Zhongmou. Dia pasti mau membantu.” Setelah berkata demikian, Chen Dongfang langsung mematikan teleponku. Perasaan ini sangat menyebalkan, sampai ingin kuhancurkan ponsel ini.
Mengawasi rumah Chen Batu sebenarnya tidak perlu. Dengan San Kui si mata-mata di sana, semuanya lebih berguna. Yang kupikirkan sekarang adalah mengunjungi rumah kakak. Ucapan Guan Erye tadi malam ditambah prediksi si gemuk membuatku tersentuh. Aku tak bisa bertanya pada ibuku, tapi bisa tanya kakak. Meski tahu dia mungkin tak mau bicara, dua hari lalu dia secara aktif memberitahuku beberapa hal. Ini memberiku secercah harapan: bagaimana jika dia berpikir sekarang aku sudah bisa mandiri dan mau membocorkan rahasia?
Aku sampai di rumah Kakak, dia masih duduk sendirian di pelataran dengan tenang. Aku berpura-pura santai berjalan mendekat, menuangkan sendiri secangkir teh dan menghabiskannya sekali teguk. "Kakak, hampir saja kau tidak bisa melihat adikmu lagi. Tadi malam, aku hampir dibelah hidup-hidup oleh Guan Erye, benar-benar Guan Erye asli!"
"Aku tahu." Kata Kakak.
"Kau tahu?" Aku berpura-pura terkejut bertanya. Sebenarnya apapun yang Kakak katakan tentang pengetahuannya akan kupercayai, karena ini bukan hal aneh baginya.
Dia mengangguk.
"Jadi Guan Erye bilang tiga jiwaku tidak lengkap, papan takdirku membawa aura hantu - kau juga tahu ini? Tahu tapi tidak mengingatkanku untuk menjauhi Guan Erye? Tahukah kau pisau itu nyaris menggesek kulit kepalaku?" Kataku.
"Bukannya kamu baik-baik saja?" Kakak membalas bertanya.
Melihat ekspresi Kakak, aku tahu mustahil terus berpura-pura. Duduk di sampingnya, kukatakan: "Baiklah aku jujur saja. Kau sudah tahu segalanya, kan? Urusan lain bisa tidak kutanya, tapi masalah ini harus kau jelaskan! Andai kemarin malam aku mati, itu kematian yang tidak jelas! Jadi hantu pun akan merasa dizalimi!"
"Karena kau seharusnya tidak lahir. Sekalipun lahir, pasti akan mati. Lentera hidupmu ini bukan si bodoh yang memadamkan, melainkan karena sejak lahir tiga jiwamu tidak lengkap, membawa aura hantu. Ayah yang menyelamatkan nyawamu." Kata Kakak.
Aku langsung membuka mulut lebar-lebar, bukan hanya karena ucapan Kakak yang mengejutkanku, tapi juga karena Kakak dengan begitu mudahnya memberitahuku hal ini? Apakah benar seperti dugaanku, Kakak menganggap aku sudah bisa mandiri?
"Masih ada lagi? Masih ada lagi?" tanyaku.
"Tidak ada." kata Kakak.
"Bagaimana bisa tidak ada lagi?" kataku, setengah cerita ini lebih menyiksa daripada tidak diceritakan sama sekali. Rasanya seperti tulang ikan besar tersangkut di tenggorokan.
"Karena aku juga tidak tahu artinya, dan sejujurnya, aku tidak melihat keistimewaan apa pun padamu." Kakak berbicara tanpa ampun.
Kalimat itu membuat wajahku memerah, seolah-olah aku sangat hebat, padahal nyatanya memang tidak ada kelebihan apapun!
"Kakak, bagaimana Kakak tahu tentang hal ini?" tanyaku.
"Seorang lansia yang memberitahuku. Saat itu hanya informasi segitu, jadi aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Selain itu, setelah kejadian tadi malam, kau harus tahu: jangan sembarangan sembahyang lagi. Jika bertemu orang yang menatapmu dengan waspada dan ragu, larilah! Jika tidak bisa lari, berlututlah dan mohon ampun! Karena mereka mungkin sudah menembus pandang, bisa membunuhmu dengan sekali tepuk." Kakak menatapku dengan senyum samar, ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum. Senyumnya penuh pesona.
"Benar tidak sih, berlebihan sekali? Eh Kakak, kalo ada waktu sering-seringlah tersenyum, kelihatan lebih ganteng!" kataku.
"Aku tidak mengatakan apa-apa mungkin lebih baik, tapi begitu kuucapkan, Kakak seketika memulihkan ekspresi dinginnya, berkata: 'Aku tidak bercanda denganmu. Tidak setiap tempat ada Dewa Kota yang membawa surat perintah Zhang Tianshi untuk menyelamatkanmu.'"
Seketika itu juga aku merasa testisku hancur. Bukankah maksud Kakak adalah suatu hari nanti aku mungkin bertemu grandmaster yang, seperti Sun Wukong melihat aura iblis, langsung membunuhku dengan satu tepukan telapak tangan?
"Ada cara untuk menyelesaikan ini tidak?" Tanyaku pada Kakak.
Dia mengangguk: "Ada. Aku sedang mencarinya."
