Memang Lao Si bermata satu ini licik, tapi sikap si gemuk yang yakin akan kemenangan membuatku sedikit tenang. Menurutku, si gemuk ini sering bertindak di luar logika. Jika benar-benar terjebak dalam jebakannya, belum tentu Lao Si bermata satu bisa mendapatkan keuntungan dari si gemuk.
Keduanya masuk lagi ke ruang sembahyang. Tiba-tiba kusadari desain Lao Si bermata satu dan beberapa gayanya mirip dengan kakakku Sun Zhongmou. Misalnya ruang sembahyang ini yang memajang patung Dewa Gunung di balik kain merah yang malu-malu tidak mau menampakkan diri. Masuk gunung atau tidak harus meminta izin Dewa Gunung dulu. Ini mirip dengan ritual kakak di lantai dua yang menyimpan sesuatu misterius - apakah boleh mengangkat mayat harus bertanya pada "sesuatu" itu. Misteri inilah yang membuat kakak menjadi legenda dulu. Jadi kucurigai Lao Si bermata satu ini cuma meniru-niru gaya kakak. Tapi kakak punya kemampuan asli, sementara lantai dua rumahnya sama sekali tidak boleh dimasuki orang. Lao Si bermata satu ini seperti meniru macan kertas tapi malah jadi anjing.
“Mereka berdua masuk, aku juga tidak bisa hanya berdiri menunggu di luar. Akhirnya aku masuk ke dalam, ingin melihat obat apa yang sebenarnya dijual Tuan Gendut di dalam labu ini. Setelah masuk, kulihat Tuan Gendut baru saja menyalakan dupa. Namun dia tidak bersujud membenturkan kepala ke lantai di atas bantalan yang terbuat dari tunggul pohon untuk Dewa Gunung ini. Melihat hal ini, Si Mata Satu Lao Si langsung tidak senang. Dia menatap Tuan Gendut dan berkata: "Bersujudlah kepada Dewa Gunung!"
"Lao Si, kepala tidak boleh dibenturkan sembarangan. Di bawah lutut pria sejati ada emas, hanya boleh bersujud kepada Langit Bumi dan orangtua. Bagaimana bisa bersujud dengan mudah? Lagipula, kalau aku ingin bersujud, apakah Dewa Gunung ini benar-benar pantas menerimanya?" kata Tuan Gendut.
Aku teringat sikap angkuh Tuan Gendut saat memberikan dupa kepada Dewa Kota sebelumnya, membuatku ingin tertawa. Ini memberiku kesan bahwa dewa-dewa juga memiliki hierarki jabatan. Tuan Gendut jelas merasa jabatannya lebih tinggi dari Dewa Kota, sehingga awalnya sangat sombong. Namun di hadapan Kaisar Penakluk Iblis Guan Erye, dia bersujud dengan sangat tulus. Meski tidak mengerti hierarki jabatan ini, kira-kira Dewa Kota dan Dewa Gunung setara, sama-sama menguasai suatu wilayah. Jadi tidak aneh kalau Tuan Gendut tidak mau bersujud kepada Dewa Gunung.
Memang tidak aneh bagiku, tapi di mata Lao Si yang hanya punya satu mata ini, ini adalah penghinaan terhadap Dewa Gunung. Wajahnya langsung berubah: "Kau bukan datang ke gunung, tapi cari gara-gara! Cepat bersujud kepada Dewa Gunung dan minta maaf!"
Setelah selesai berbicara, dia langsung mengulurkan tangan untuk merebut dupa di tangan orang gemuk. Namun tiba-tiba orang gemuk itu berubah sikap dari yang tadi sangat hormat pada Lao Si bermata satu, langsung menangkap tangan Lao Si sambil mendengus dingin: "Jika dia benar-benar Dewa Gunung, Tuan Gendut ini mungkin masih mau memberi sedikit muka. Tapi sekadar mempersembahkan benda sembarangan lalu berani mengaku sebagai Dewa Gunung? Benar-benar nyali besar!"
Mana mungkin kekuatan Lao Si bermata satu menyamai si gemuk? Meski berusaha mati-matian melepaskan diri, tangannya tetap tak bisa lepas. Malah si gemuk membalikkan dorongan, langsung mendorong Lao Si hingga terbanting ke tembok. Kemudian si gemuk melangkahi meja persembahan dan mengulurkan tangan hendak meraig kain merah yang menutupi altar pemujaan.
Lao Si bermata satu tampak panik. Dia berlari dan memeluk erat pinggang si gemuk. Kepalanya menengadah ke arah altar sambil berteriak: "Dewa Gunung, cepatlah pergi!"
Aku benar-benar terpana. Makhluk apa ini sampai menyuruh Dewa Gunung kabur? Sekarang aku yakin pasti ada yang tak beres dengan altar itu. Tiba-tiba altar itu bergoyang. Dari balik kain merah muncul kepala kecil berwarna kuning dengan sepasang mata bulat licik. Sekilas makhluk ini terlihat lucu. Kemudian dengan lompatan tinggi, makhluk itu meloncat keluar dari altar.
Aku baru tersadar ini bukan seekor musang kuning?! Dewa gunung yang disembah Si Mata Satu Lao Si ternyata makhluk kecil seperti ini?! Terpikir juga tadi aku malah menyembah dan membungkuk-bungkuk ke musang kuning, bulu kudukku langsung meremang.
Musang kuning itu melompat ke ambang jendela. Makhluk kecil ini sepertinya memang punya kecerdasan, bahkan menoleh ke Lao Si. Lao Si berteriak, "Cepat lari Dewa Gunung! Mereka tak bisa berbuat apa-apa padaku!"
Tiba-tiba musang itu menggelengkan kepalanya, memperlihatkan gigi tajam ke Si Gemuk dengan wajah garang, lalu bersiap kabur lewat jendela.
"Musang kampung berani-berani menyebut diri dewa gunung? Jangan harap kabur!" Si Gemuk melepaskan diri dari pegangan Lao Si, mengayunkan sekop tentara ke ambang jendela. Meski skill bertarungnya tak sehebat kakakku atau Li Qing, tapi gerakannya sangat cepat - kontras banget dengan tubuhnya yang tambun. Sekop baja itu menghantam musang malang yang tak sempat menghindar. Tenaga Si Gemuk bukan main - satu hantaman langsung membuat musang itu hancur lebur berantakan, darah dan daging beterbangan di mana-mana.
"Aku kaget setengah mati, tidak menyangka Tuan Gendut bisa sekejam itu. Kami berdua tahu di Gunung Funiu ada sekumpulan siluman musang kuning - bukan musang biasa, tapi makhluk jadi-jadian!"
Saat itu, Lao Si bermata satu melihat bangkai musang yang sudah jadi daging cincang, wajahnya langsung pucat pasi. Ia menunjuk Tuan Gendut sambil berteriak: "Kau bunuh Dewa Gunung! Berani-beraninya kau bunuh Dewa Gunung! Karma akan menghampirimu! Dewa Gunung pasti akan balas dendam!"
"Balas dendam gimana? Laporkan ke Surga biadiribuan tentara langit turun tangkap Tuan Gendut? Percaya tidak, sebelum tangkap aku, mereka pasti habisi dulu kau! Menyembah siluman buat nipu persembahan, baju ini juga dicopet dari mayat ya? Berapa banyak orang yang kaubawa ke gunung ini jadi korban pembunuhanmu?" Tuan Gendut menyeringai sinis ke arah Lao Si.
Aku sendiri sudah syok melihat siluman musang melompat dari altar pemujaan langsung ditepak sekop oleh Tuan Gendut. Ditambah pernyataannya bahwa peralatan ini hasil pembunuhan, semakin membuatku merinding. "Gendut, tahu bajunya hasil rampokan kok masih kaupakai? Nggak jijik?" teriakku.
"Tuan Gendut tahu sejak pertama lihat. Tapi siapa Tuan Gendut? Pakai ini di badan tidak ada pantangan. Lagipula dari tadi masuk ruangan ini sudah tercium bau anyir dan amis - menyembah musang kuning buat nipu orang, kau memang jagonya," sindir Tuan Gendut ke Lao Si.
“Lao Si Bermata Satu sekarang bersandar di dinding. Matanya mengawasi rubah kuning yang sudah hancur menjadi daging cincang itu, lalu melotot penuh ancaman ke arah si gendut: "Kau tunggu saja, kau akan menyesal. Dewa Gunung takkan membiarkanmu."
Si gendut mendekat, menarik tubuh Lao Si Bermata Satu. Tamparan keras mendarat di pipinya. Sikap brutal si gendut membuat sudut bibir korban berdarah. "Tuan Gendut tahu di gunung ini ada sekelompok makhluk rubah kuning, kau benar-benar menganggap serius? Dewa Gunung? Dewa Gunung bentuknya seperti ini?" umpatnya.
Tak disangka, setelah si gendut selesai bicara, Lao Si Bermata Satu tiba-tiba menatap tajam. Segumpal darah diludahkan ke wajah si gendut. "Kalian memang bukan pemburu biasa. Tujuan kalian mencari Huang Daxian!" sergahnya dengan senyuman sinis.
"Sudah tahu kenapa tidak memimpin jalan? Berani tidak aku laporkan polisi sekarang? Tanganmu sudah berlumuran darah bukan? Hukuman tembak sekali pun masih kurang!" hardik si gendut.
"Bunuh aku! Kalau aku mati, takkan ada yang bisa memandu kalian masuk gunung." Wajah si gendut garang, namun Lao Si Bermata Satu sama sekali tak gentar, malah berani mengancam balik.
"Yezi, laporkan ke polisi!" si gendut berbalik memberi perintah padaku.
Aku tak menyangka alur cerita bisa berbalik secepat ini, hampir membuatku tak bisa bereaksi. Tapi aku juga tahu masalah ini pasti takkan selesai dengan damai. Dari kemunculan Huangpizi itu dan sikap Lao Si bermata satu terhadapnya, aku yakin kali ini aku benar-benar menemukan orang yang tepat. Aku mengeluarkan ponsel dan bersiap menelepon polisi, tapi jelas bukan untuk benar-benar melapor. Aku tahu Si Gendut sebenarnya sedang mengancamnya.
Aku bahkan sudah mengangkat ponsel pura-pura menelepon, padahal sama sekali tidak menghubungi siapa-siapa karena sinyal di sini benar-benar tak ada. Tapi Lao Si bermata satu ini sepertinya sama sekali tidak takut. Dia malah menutup mata sisa itu, dengan ekspresi "Silahkan bunuh tuan besar ini" yang agak heroik.
Si Gendut langsung mengangkat tangan dan berkata: "Kau percaya tidak kalau Tuan Gendut bisa memukul satu kali saja sampai mata sisa-mu yang sebelah ini juga buta?"
Melihat keadaan Lao Si bermata satu saat ini, hatiku agak tersentuh. Bagaimanapun ini adalah seorang kakek tua yang hidup sebatang kara, digantungi Si Gendut seperti ayam. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Utamanya karena Lao Si ini bukan cuma memuja Huangpizi sebagai dewa gunung, tapi bahkan terlibat kasus pembunuhan. Ini yang membuatnya patut dibenci.
Persis ketika Si Gendut hendak memukul, tiba-tiba seseorang dari belakangku dengan lembut mengambil ponsel dari tanganku, lalu berkata pada Si Gendut: "Turunkan Paman Si."
Begitu mendengar suara itu, aku langsung tahu itu Chen Dongfang. Kubalikkan badan, dan benar saja. Chen Dongfang berdiri di sampingku, sementara Li Qing berdiri di ambang pintu dengan senyum mengembang.
