Kali ini bukan hanya aku, Li Qing juga terdiam. Si gemuk berteriak: "Apa kau tidak salah dengar? Dewa Kuning di rumahmu menyuruhnya menemani Ye Zi masuk gunung?"
Lao Si bermata satu melirik si gemuk, sorot matanya masih penuh dendam: "Dewa Kuning menyuruh si kepala plontos yang mengantarnya. Selain dia, ada orang lain?"
Perkataan ini langsung mengonfirmasi. Dewa Kuning yang disebut Lao Si secara spesifik meminta Li Qing untuk menemaniku ke gunung, karena memang hanya ada satu orang berkepala plontos di sini.
Chen Dongfang menatap Li Qing: "Kau yang akan menemaninya?"
Li Qing selalu bersikap santai. Kadang aku merasa dia mirip si gemuk, tapi tidak sepenuhnya. Dia terlihat lebih bebas tanpa beban. Dia mengangkat bahu: "Aku tidak keberatan."
"Kau tidak peduli, Tuan Gendut peduli! Baik, sekarang aku paham. Kalian sekongkol dengan Si Mata Satu Lao Si ini. Tidak mengizinkan Tuan Gendut pergi, malah membawa si kepala plontos ini. Takut Dewi Kucing Hutan Kuning sendirian tidak bisa membunuh Ye? Mau menambah seorang pembunuh? Aku peringatkan kakek tua, sebaiknya kau pulang dan sampaikan pada Dewi Kucing Hutanmu itu - jangan main akal-akalan di hadapan Tuan Gendut! Kalau berkelahi fisik memang aku bukan lawan mereka berdua, tapi untuk menghadapi siluman terkutuk seperti kalian, satu Tuan Gendut setara dengan segerombolan! Jika kau membuatku marah, percaya tidak kalau aku langsung menyerbu ke ambang pintu rumahnya?" Tuan Gendut menunjuk Si Mata Satu Lao Si.
Si Mata Satu Lao Si memandang Tuan Gendut dengan mata penuh kebencian. Sorot dingin dari mata satu itu membuatku merasakan horor. Ia berkata: "Tak perlu kau menyerbu. Masalah pembunuhan utusan ini, Dewi Besar akan menyelesaikannya denganmu."
"Wah, berani juga kau mengancam Tuan Gendut?" Tuan Gendut menggulung lengan bajunya hendak berkelahi lagi. Aku segera menghalanginya dan menariknya keluar ruangan: "Jangan gegabah! Apa maunya siluman musang kuning ini?"
Tuan Gendut memang suka berlagak di depan Chen Dongfang. Setelah keluar, dia kembali normal. Ia mengerutkan alis: "Tidak tahu, Ye. Sebenarnya dari dulu ingin kukatakan - siluman musang kuning berbeda dengan siluman lain. Ini juga alasan awalku enggan berurusan dengan mereka."
"Orang gemuk sampai di sini, aku menghentikannya. Bukan pertama kali aku mendengar ini, tapi belum pernah ada kesempatan bertanya padanya. Kutanyakan, 'Tuan Gendut, kenapa siluman musang kuning berbeda dengan siluman lainnya? Chen Dongfang juga pernah bilang begitu.'"
"Siluman musang kuning itu sangat sulit dihadapi dan penuh Yin serta Racun tak terkira. Jika benar-benar memprovokasi mereka, bisa jadi musuh turun-temurun. Tapi baik aku maupun orang-orang yang mempelajari Tao sebenarnya tidak takut pada mereka. Bagaimanapun juga mereka hanya energi spiritual yang mencapai tingkat tertentu. Ini lebih karena hubungan erat siluman musang kuning dengan Dinasti Qing," kata si gemuk.
"Lho kok malah nyambung ke Dinasti Qing?" tanyaku bingung.
"Masalah ini benar-benar seperti pepatah 'anak kehilangan ibu - ceritanya panjang'. Sebenarnya ini hanyalah sebuah legenda. Pada masa Kaisar Kangxi, seekor musang kuning tiba-tiba masuk ke Kota Terlarang. Para pangeran dan putri semuanya takut dengan makhluk ini, lalu memerintahkan pengawal untuk menangkapnya. Bagi pasukan elit istana, menangkap musang seharusnya mudah, bukan? Tapi makhluk ini lari sangat cepat sehingga sulit ditangkap. Akhirnya musang itu secara kebetulan masuk ke ruang belajar Kaisar Kangxi yang sedang membaca. Melihat musang melompat ke meja tulisnya, sang Kaisar marah. Tapi dia melihat musang itu sedang berlutut, dan yang aneh, kepalanya menyangga kotoran sapi. Sebagai Kaisar yang dianggap naga, musang itu pasti ketakutan dan gemetar meski sedang berlutut. Kaisar Kangxi yang melihat makhluk ini memiliki aura spiritual dan bisa bersujud, bercanda bertanya apakah dia bisa bicara. Luar biasa, musang itu benar-benar berbicara! Dia mengaku telah berkultivasi ratusan tahun dan sedang menghadapi tribulasi surgawi. Karena dihancurkan musuh, dia datang menghadap Kaisar sebagai harapan terakhir. Kaisar bertanya mengapa tidak mencari tempat sembunyi. Musang itu menjilat dengan memuji Kaisar sebagai naga sejati yang bisa mengangkat statusnya menjadi dewa. Kaisar yang tersanjung lalu menganugerahi gelar 'Huang Daxian' (Dewa Musang Kuning). Seketika musang itu berubah menjadi pria bermata bulat dan wajah tikus, terus bersujud berterima kasih. Sebagai balas budi, dikabarkan Huang Daxian membantu Kaisar mencari ginseng berumur seribu tahun di daerah dingin, berkontribusi pada umur panjang Kaisar. Bahkan saat Dinasti Qing runtuh, bayangan Huang Daxian masih terlibat dalam pembentukan Manchuria di timur laut, meski akhirnya menjadi bahan ejekan. Tapi yang pasti, mereka berhasil mencuri sisa terakhir energi naga Qing. Makhluk ini meski siluman, tetap dihormati karena pengangkatan resmi oleh Kaisar." Kata Si Gendut.
"Begitu dengar ini, aku merasa seperti mendengar Kitab Langit. Tapi si gendut juga bilang, Kaisar, Segel Kekaisaran, energi bumi—semua itu sangat mistis. Kalau belum mencapai tingkat pencapaian tertentu, kau takkan paham esensinya." Aku setengah percaya. Mungkin para leluhur tak menyangka Tiongkok sekarang sudah tidak punya kaisar.
Tapi setidaknya aku tahu alasan si gendut agak segan dengan musang kuning. Gendut melanjutkan, "Pokoknya kalau kau pergi sama Li Qing itu, aku nggak tenang. Mau nggak usah pergi sama sekali, atau kalau pergi, Tuan Gendut ini harus ikut."
Ada teman yang begitu perhatian tentu membuat hatiku tersentuh. Tapi situasi sudah begini, aku pasti harus pergi. Dewi Kuning ini juga diangkat oleh Kaisar Kangxi, tak boleh disakiti. Masak mau menyerbu paksa? Kubujuk gendut, "Tenang, Tuan. Kalau Chen Dongfang benar-benar punya niat jahat, dia juga nggak bakal membunuhku. Lagipula, jangan lupa di belakang kita ada yang mengawal. Dia yang mengawalmu pasti bisa dipercaya kan? Li Qing pernah berkelahi dengannya, sama sekali bukan lawan."
Gendut menggerutu, "Tuan Gendut tahu kakakmu mengawal dari bayangan. Kemampuannya memang bagus, tapi aku takut kalau benar-benar ada yang mau membunuhmu, dia nggak sempat bertindak. Jangan lupa, meski kau terlihat biasa sekarang, kau ini orang yang bahkan Guan Erye mau penggal. Takdirmu luar biasa. Menurutku, dalam urusan ini kau adalah kuncinya."
"Santai, aku tahu batas. Aku juga percaya kemampuan kakak. Jangan paranoid terus. Dengan kakak yang mengawal, aku aman. Justru kau yang sendirian di luar gunung—dengan sifat burukmu ini—jangan sampai bentrok lagi sama Chen Dongfang," pesanku pada gendut.
Orang gemuk melambaikan tangan sambil tertawa marah: "Udah deh, ini mau berpesan terakhir ke gue ya? Kalau emang lo udah putusin ya udah, kalo sampe kenapa-nenap, tenang aja, gue pasti jemput jenazah lo, ga bakal gue biarin jadi bangke di hutan belantara."
"Pergi sana!" Aku memaki.
Setelah beres berdiskusi dengan si gendut, saat kami kembali, Lao Si bermata satu berdiri dan berkata: "Udah mutusin buat pergi? Kalo iya, berangkat sekarang juga."
"Sekarang?" Aku tertegun.
Udah gelap begini, wong mau ketemu siluman pula. Ngapain cari-cari bahaya di kegelapan begini?
"Sang Dewi waktunya terbatas," kata Lao Si bermata satu.
Sekarang aku semakin muak dengan si mata satu ini. Ga usah jauh-jauh, cara dia memuja-muji rubah kuning dengan sebutan "Dewi" aja udah bikin geli.
Aku menoleh ke Li Qing: "Aman ga pergi sekarang?"
Li Qing memutar lehernya: "Aku kan emang Biksu Buta, kegelapan udah lama menutupi penglihatanku."
Ucapannya ini bikin aku teringat polisi Xiao Wang yang bilang dia main vs bot ribuan kali masih bisa kalah. Pengen rasanya tampar muka tu orang.
