Li Qing melompat, membersihkan abu di atas pintu batu itu. Aku tahu maksudnya - ingin memeriksa apakah ada papan nama di bagian atas pintu. Biasanya baik rumah besar maupun kuil pasti memiliki papan nama, tapi di sini tak ada apa-apa. Setelah memastikannya, sifat Li Qing yang lebih gegabah daripada si gemuk langsung terlihat. Dengan tenaga luar biasa, dia mendorong langsung pintu batu berat itu. Dentuman keras menggema saat pintu perlahan terbuka.
Begitu pintu terbuka, aroma lembab dan busuk langsung menyergap. Kukira itu gas beracun, buru-buru kututup hidung dan mulut. Makhluk kecil yang bersembunyi di bajuku mengeluarkan kepalanya, matanya berkilat penuh ketakutan sambil mengintip ke dalam. Sepertinya ia sangat ingin masuk tapi juga takut. Sekarang aku ingin bisa bahasa musang, agar bisa mengerti maksud makhluk ini sekaligus menanyakan isi tempat ini melalui mulutnya.
Setelah menunggu dulu sebentar, saat bau yang keluar tidak terlalu menyengat lagi, Li Qing mengulurkan kepalanya sambil menyorotkan senter. Baru masuk sebentar, dia langsung mundur. Sebelum sempat kutanya ada apa, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari dalam lalu sesuatu menerjang wajahku disertai hembusan angin kencang!
"Sial!" kutukku sambil terjatuh karena kakiku terluka dan gerak refleks menghindar. Seketika itu juga, kerumunan benda hitam berkerumun keluar dari pintu sambil mengeluarkan suara kriiik-kriiik.
"Makhluk apa ini? Kelelawar? Tapi kok sebesar ini?" teriakku kaget. Dulu saat masih kecil di senja hari, binatang ini banyak sekali. Tapi belakangan karena obat pestisida berlebihan, sudah jarang kulihat. Kelelawar desa biasanya kecil, tapi yang ini satu per satu berukuran besar. Ingin kulihat lebih jelas, kusorotkan senter ke kerumunan kelelawar yang sedang beterbangan. Begitu terkena cahaya, mereka langsung terkejut! Formasi tim mereka kacau-balau, beberapa ekor bahkan terbang menyerangku!
"Aku langsung bengong melihat kelelawar-kelelawar ini! Wajah mereka seperti manusia tapi terlihat sangat mengerikan, terutama mata dan bulu hitam di tubuh mereka yang memancarkan aura horor. Mereka terbang mendekatiku dengan kecepatan luar biasa. Sejenak aku membeku, lalu kelelawar-kelelawar itu menabrak tubuhku. Sensasi lembek mereka menempel di wajahku membuat bulu kudukku meremang. Aku mulai mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir mereka!"
Tapi semakin kukibaskan, semakin banyak kelelawar yang menempel. Sekelilingku dipenuhi bau amis dan suara kriiik khas kelelawar.
"Matikan senter! Kalau kau sorot, mereka tidak bisa melihat!" teriak Li Qing tiba-tiba.
Baru kusadari mungkin cahaya membuat makhluk penghuni kegelapan ini panik. Cepat-cepat kumatikan senter. Benar saja, begitu lampu padam, formasi kelelawar kembali teratur. Mereka mulai terbang keluar. Di belakang kami tak ada pintu keluar. Kulihat puluhan kelelawar bergelantungan di dinding batu, berjejal seperti karpet hidup. Dalam gelap, mata mereka memancarkan cahaya hijau. Tak berani menyalakan senter, kuperhatikan mereka yang berbaris seperti lampu neon hijau.
"Jangan lama-lama, masuk dulu!" kata Li Qing.
“Masih ada nggak di dalam? Masalahnya, lo bisa nggak jaga stabil!” Aku berkata pada Li Qing. Kalau saja dia tidak masuk terlalu cepat, apakah aku akan ketakutan sampai seperti ini?
Li Qing memasukkan kepalanya ke dalam, senter menyapu-sapu di dalam lalu menoleh berkata: “Udah habis. Barusan aku menyorotkan senter ke dalam, semua kelelawar di sini pada kabur. Seharusnya semuanya sudah keluar, cepatlah masuk lihat, ini benar-benar bukan kuburan kuno tapi kuil.”
Aku menoleh melihat kelelawar berwajah manusia itu lagi, bersyukur mereka tidak menggigit. Aku masuk, sementara Li Qing menutup pintu batu untuk mencegah kelelawar-kelawar itu masuk kembali. Meski tidak menggigit, mereka cukup menjijikkan!
Setelah masuk, aku langsung tahu mengapa Li Qing bilang ini kuil. Begitu masuk, langsung terlihat dua patung dewa Yaksa yang wajahnya mengerikan, matanya melotot seolah menatapku. Biasanya setiap kuil punya ini. Tiba-tiba aku teringat si Gendut bilang nasibku dipenuhi aura hantu, masuk kuil pasti kena hajar. Ingat lagi Golok Naga Hijau Guan Erye yang menggantung di atas kepalaku, badan ini merinding. Saat itu Li Qing sudah berjalan lebih dulu.
Dia berdiri di sana sambil terus melihat ke kedua sisi. Makhluk kecil di dadaku gemetar ketakutan, tak berani lagi mengangkat kepala.
Aku berjalan mendekati Li Qing dan melihat wajahnya pucat. Aku melirik ke kedua sisi dan langsung tahu alasan ekspresinya yang buruk. Bahkan aku sendiri hampir ingin mengumpat kasar. Jika si gemuk ada di sini, pasti dia akan naik pitam.
Di kedua sisi jalan ini terdapat dua barisan patung dewa. Beberapa bisa kukenali: Raja Naga, Dewa Gunung, Dewa Bumi, dan satu patung dewa bertopeng wajah. Yang lainnya juga terlihat seperti dewa meski aku tak tahu namanya.
Alasan mengapa si gemuk akan marah besar jika melihat ini adalah karena semua patung dewa - baik yang kukenali maupun tidak - semuanya dalam posisi berlutut! Bahkan masih mengenakan borgol!
Pertama kali aku menyaksikan cara si gemuk adalah saat memanggil Dewa Kota di rumah He Xiagu. Cara bicaranya menurutku sangat menyimpang dari norma. Tapi lambat laun kusadari, meski nada bicaranya terhadap "dewa" terkesan sembrono bahkan kurang ajar, sebenarnya itu seperti candaan antar saudara. Ucapannya mungkin tak sopan tapi hatinya penuh hormat - seperti cara aku sendiri yang bicara besar tapi tetap menghormati dewa-dewa dalam hati.
"Tapi, siapa yang berani sebegitu besarnya, sampai menyuruh para dewa berlutut, bahkan memasang belenggu pada mereka semua? Menurut pengamatanku, garis pertahanan tempat para dewa berlutut berada di ujung lorong, tapi sana gelap gulita. Senter kencangku pun tak bisa menembus kegelapan itu. Jika mengikuti logikaku, Kaisar Giok kan pemimpin para dewa. Yang bisa membuat para dewa ini berlutut dan membelenggu mereka, mungkinkah yang dipuja di ujung lorong itu adalah Kaisar Giok sendiri? Apakah para dewa yang terbelenggu ini sebenarnya penjahat?"
"Kalau begitu, kuil kuno bawah tanah ini sebenarnya adalah kuil pemujaan Kaisar Giok?"
"Kurasakan Li Qing tidak percaya pada konsep hantu-dewa. Biasanya ahli bela diri sehebat dia lebih mengandalkan kekuatan sendiri. Dulu aku pun tak bisa dibilang percaya, tapi setelah melihat Dewa Kota dan Tuan Guan dengan mata kepala sendiri, pandangan hidupku hancur lebur. Andai bukan karena teori 'pikiran melalui kertas hio' dari Kakak, mungkin aku sudah jadi pengikut fanatik setelah menyaksikan mukjizat dewa. Meski begitu, aku tetap terkejut."
"Ayo kita periksa. Sepertinya ujung lorong ini adalah tempat Kaisar Giok," kataku pada Li Qing.
"Ada yang tidak beres. Kurasakan bahaya mengintai." Li Qing mengangkat tangan menghalangiku.
"Ada apa?" tanyaku. Meski beberapa kali bertindak sembrono di perjalanan, insting seorang jago bela diri seperti dia tetap kupercaya.
Li Qing menggelengkan kepalanya: "Tidak tahu, cuma ada perasaan merinding. Kamu jalan di belakangku."
Setelah berkata demikian, Li Qing berjalan maju dengan penuh kewaspadaan. Aku mengeluarkan belati dan menggenggamnya erat, telapak tanganku basah oleh keringat. Kami merangkak pelan menuju ujung lorong.
Semakin dekat, barulah kusadari mengapa cahaya senterku sebelumnya tidak bisa melihat apa-apa di depan - karena di sana berdiri pilar raksasa. Pilar ini sangat besar dan kokoh, andai tidak berbentuk bulur sempurna, hampir mengira itu adalah sebuah bukit kecil.
Di depan pilar itu terdapat tungku dupa besar dan altar yang juga tertutup debu. Di depan altar tergeletak dua bantal sembahyang yang sudah menghitam. Kutendang perlahan, langsung mengepulkan debu.
Li Qing menyorotkan senter ke pilar itu. "Tingginya sekitar tiga hingga empat orang," katanya. "Karena terlalu besar, aku tidak bisa melihat bagian atasnya. Hanya terlihat semacam kelopak bunga teratai di puncaknya."
Tiba-tiba aku teringat lukisan dinding di pintu batu itu.
Siluman kulit kuning yang berpakaian itu sedang duduk di atas altar teratai, berkhotbah kepada pengikutnya.
