Ini semakin membuatku merasa bahwa dewa utama yang dipuja di kuil ini benar-benar terlalu arogan. Jika wujud aslinya memang berada di atas pilar silinder ini, maka benar-benar terkesan superior, tidak hanya membuat para dewa lain memakai belenggu dan bersujud, tapi juga memandang mereka dari atas.
"Siapa sebenarnya yang begitu arogan ini?" gumamku. Kupikir bahkan Kaisar Giok pun, di kuil-kuil lain patung dewa lainnya hanya sedikit lebih rendah dari sang Kaisar, tidak sampai harus duduk setinggi ini. Bahkan kurasakan ini sengaja dilakukannya untuk menghina para dewa?
"Tidak tahu, tapi terasa sangat janggal. Haruskah aku naik ke atas untuk melihat?" tanya Li Qing padaku.
Meski ingin, aku menggelengkan kepala pada Li Qing: "Kamu sendiri sudah merasakan bahaya. Aku percaya indera keenammu, jangan naik. Rasa ingin tahu bisa membunuh kucing."
Li Qing mengangkat bahu: "Jujur saja, belum pernah bertarung dengan dewa abadi. Kalau benar-benar mati di tangan mereka pun tidak rugi. Sudah sampai di titik ini, kalau tidak naik melihat mungkin aku tidak bisa tidur lama. Jika terjadi sesuatu padaku, carilah cara untuk keluar."
Mendengar perkataannya, semakin ku tak ingin dia naik. Utamanya karena kuil kuno bawah tanah ini dipenuhi aura aneh di segala penjuru. Tapi sebelum sempat menghalangi Li Qing, dia sudah berjalan ke sisi pilar menarik tali pengikat, lalu mulai memanjat dengan pose yang sangat ganjil.
Tangan dan kakinya mencengkeram pilar batu. Masalahnya, tidak ada titik tahanan sama sekali di permukaan pilar. Dari sudut pandangku, dia lebih mirip cicak yang merayap naik. Dulu di acara TV pernah kudengar tentang ilmu bela diri merayap dinding ala cicak, sepertinya inilah wujudnya. Ternyata keahlian utama Li Qing bukanlah tendangan putarnya, melainkan kelincahan geraknya. Baik Jurus Delapan Belas Jatuhan maupun teknik merayap dinding ala cicak ini, semuanya sangat memukau secara visual, layaknya pertunjukan.
Gerakannya semakin cepat. Aku hanya bisa menyaksikannya hingga akhirnya tangannya menyentuh pinggiran bunga teratai di ujung pilar, lalu seluruh tubuhnya berhasil naik. Saat itu, jantungku serasa mau copot. Baru teringat kalau di tas ranselku ada tali. Ingin rasanya menampar diri sendiri dua kali. Seharusnya kusuruh dia membawa tali itu ke atas, lalu menarikku naik!
Aku hanya bisa menatap penuh harap ke atas. Tapi sama seperti sebelumnya, dari posisiku sekarang sama sekali tak terlihat apa-apa di atas sana. Mundur beberapa langkah pun tetap tak membantu. Pandangan terhalang sepenuhnya oleh kelopak bunga teratai di tepi pilar. Sekalipun gelisah, tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu. Pilar ini sebenarnya tidak terlalu besar, hanya terkesan megah karena berada di dalam kuil. Li Qing mungkin hanya butuh beberapa menit untuk mengelilingi puncak pilar bolak-balik. Tapi sepuluh menit sudah berlalu, tetap tak ada tanda-tanda aktivitas dari Li Qing.
Aku bahkan tidak mendengar suara pertarungan sama sekali, dalam hati bertanya: Apakah di atas benar-benar ada dewa abadi seperti Kaisar Giok? Apakah Li Qing yang sama sekali bukan tandingan langsung mati diremas oleh dua jari? Aku berteriak ke atas: "Li Qing, kau baik-baik saja?"
Tapi tidak ada respons. Aku memanggil beberapa kali lagi, tetap sepi.
Sekarang aku benar-benar panik. Ingin naik melihat, kucoba memanjat dengan posisi berdiri tegak seperti tadi Li Qing, tapi ternyata aku sama sekali tidak bisa naik.
Sudah setengah jam berlalu. Firasat buruk di hatiku semakin menjadi, bukan hanya karena matinya Li Qing sang 'pengawal' satu-satuku, tapi juga khawatir seorang yang baik bisa diam-diam terkubur di sini. Kupanggil lagi beberapa kali, tetap tidak ada jawaban.
Perlahan kurasakan keputusasaan.
Aku berhenti memanggil karena sudah percuma. Tapi saat berhenti, suasana sekitar terasa sangat sunyi. Seolah ada sepasang mata mengawasiku dari belakang. Kubalik badan - patung-patung dewa yang masih berlutut dengan belenggu di kedua sisi. Jika tadi kurasakan kesedihan, kini mereka terlihat menyeramkan dan mengerikan.
Satu-satunya yang menemani hanyalah senjata kecil yang bersembunyi di dekapanku. Seolah merasakan keteganganku, dia mengeluarkan kepala dari balik bajuku. Kuelus kepalanya: "Kawan kecil, sepertinya aku juga akan mati di sini."
Saya menggigit gigi, satu tangan memegang belati dan satu lagi menggenggam senter. Saya tidak bisa duduk menunggu ajal, lagipula saya tidak bisa menyelamatkan Li Qing. Yang bisa saya lakukan sekarang adalah berusaha keluar, lalu mencari orang untuk kembali. Dengan senter menyala, saya berkeliling sambil menahan ketakutan yang mencekam di segala penjuru, tapi tidak menemukan apa-apa. Selain pintu batu tempat kami masuk, sama sekali tidak ada jalan keluar. Tapi satu-satunya pintu keluar itu sudah diblokir oleh Chen Shitou si brengsek itu.
Apakah Surga benar-benar ingin menghancurkan aku?
Akhirnya, saya duduk bersandar di pilar silinder. Hingga sekarang kakak belum juga datang. Saya bahkan khawatir dia sendiri sudah mengalami nasib buruk. Di sini, tulang punggung saya Li Qing pun kini hidup-mati tak jelas. Saya mengusap kepala makhluk kecil ini dan bertanya padanya: "Kau tahu di mana pintu keluarnya? Jika tidak segera keluar, meski tidak mati tercekik atau kelaparan, aku pasti akan mati ketakutan."
Makhluk kecil ini mengulurkan cakar depannya menunjuk ke atas. Arah yang ditunjukkannya adalah bagian atas pilar silinder.
"Maksudmu pintu keluarnya di atas? Aku juga pernah berpikir begitu, tapi aku tidak bisa naik. Meski bisa naik, Li Qing saja bisa dibunuh dengan begitu mudah, apalagi aku," kataku.
Siapa sangka makhluk kecil ini terus menunjuk ke atas sambil menarik kerah bajuku dengan panik. Baru kemudian aku menyadari bahwa sebenarnya dia menyuruhku melihat ke atas.
Aku menyorotkan senter ke atas, di area yang diterangi cahaya senter, kulihat sebuah wajah manusia muncul dari tengah kelopak bunga teratai. Wajah itu membuatku kaget setengah mati, tapi seketika rasa haru membanjiri diri karena kulihat wajah itu adalah Kakakku!
Segera kubuka mulut untuk memanggilnya, tapi Kakak di atas memberi isyarat tangan untuk diam. Lalu dia berbisik, "Lempar tali ke sini, akan kutarik kamu. Ingat, jangan menoleh ke belakang."
Maksudnya melarangku menoleh. Tapi sialan, begitu mendengar kata "jangan menoleh", refleks bodohku malah membuatku menoleh sekilas. Begitu menoleh, kulihat dua bayangan manusia berdiri di lorong belakangku. Mereka tak lain adalah dua penjaga humanoid yang sebelumnya berdiri di ambang pintu batu!
Yang lebih mengerikan, patung-patung dewa yang sedang bersujud itu satu per satu mulai mengeluarkan darah dari mata mereka.
Pemandangan ini persis seperti Batu Naga Longtou di Mata Fengshui yang mengeluarkan darah dari mata naganya! Aku hampir pingsan ketakutan.
"Cepat lempar talinya! Cepaaat!" teriak Kakak dari atas.
Dengan gemetar kukeluarkan tali dari tas ransel dan kulempar ke atas. Tapi tali itu terlalu ringan, tak mungkin mencapai tinggi. Ingin kucari batu untuk pemberat, tapi sekeliling benar-benar tak ada batu yang layak. Cuma ada tungku dupa sialan, masalahnya tungku itu terlalu berat bahkan untuk diangkat, apalagi dilempar.
Tapi kedua pengawal ini sudah mendekatiku. Kedua bola mata mereka berubah merah. Aku tak tahu kenapa, tiba-tiba batu bisa berjalan seperti zombie! Apapun alasannya, dengan postur kecilku, jika patung batu ini benar-benar memukulku seperti manusia, pasti aku akan tewas!
Tapi sungguh mustahil bagiku melempar batu ke atas! Saat patung batu itu hampir sampai di hadapanku, mataku hampir meneteskan air karena panik. Tiba-tiba si kecil dalam pelukanku melompat keluar. Ia menatapku lalu menggigit ujung tali dengan gigi dan menariknya, memberi isyarat agar aku melepaskan tali! Untungnya meski ketakutan, kepalaku masih jernih. Aku menyadari makhluk kecil ini ingin membantuku mengirimkan ujung tali itu ke Kakak di atas. Segera kulepaskan tali. Benar saja, si kecil menggigit ujung tali lalu dengan gigih seperti telah memutuskan untuk memanjat pilar.
Aku tak tahu apakah Huangshulang bisa memanjat pohon, tapi si kecil ini kesulitan memanjat pilar ini. Setiap beberapa langkah, ia meluncur jatuh, lalu mencoba lagi dan terus meluncur. Saat itu sudah kucium aliran energi dari patung batu - bau yang sangat tidak nyaman.
Tempat yang tidak bisa didakinya hampir membuatku menyerah. Saat itulah, si kecil mundur beberapa langkah dengan sorot mata penuh tekad, mulai berlari kencang. Kali ini, sepertinya dia telah menguasai poin pentingnya, akhirnya bisa berlari cepat di pilar batu ini. Akhirnya dia menyerahkan ujung tali kepada sang Kakak. Tapi tepat ketika Kakak mengulurkan tangan untuk menariknya naik, dia menggelengkan kepala, meluncur turun sepanjang tali, lalu melompat ke tanah.
Dia berdiri di tanah, menatapku penuh harap.
