Tatapannya padaku seperti sedang berpamitan. Aku sudah memegang tali, tapi ingin membawanya pergi. Ku lambaikan tangan padanya: "Hei kecil! Kemarilah! Ikut denganku!"
Dia masih menatapku, lalu menggeleng. Setelah berbalik badan, lenyap dari pandanganku. Saat itu, kudengar desiran angin menderu – dua manusia batu sudah menyerangku. Kakak mulai menarik tali. Kulihat si kecil berlarian di antara patung-patung dewa, akhirnya sampai di pintu batu. Dia melirikku sebentar sebelum menghilang di balik pintu batu.
Kakak menarikku naik, akhirnya berhasil menggenggam tanganku dan mengangkatku. Dari atas, kulihat ke bawah – debu beterbangan seolah ada longsoran.
"Jangan dilihat. Dia bagian dari sini. Kau tak bisa membawanya pergi, tak ada yang bisa." Kakak menepuk bahuku.
"Kakak, Li Qing mana?" tanyaku.
Kakak menunjuk ke arah atasku, barulah aku melihat ada sebuah gua di atas, mulut gua itu diikat dengan sebatang tali. Aku berteriak kaget: "Bukan mungkin, hamba khawatir setengah hari di bawah, dia malah pergi?! Brengsek!"
"Dia sudah mendapatkan yang diinginkan, wajar saja pergi." Kata Kakak.
Saat itulah aku baru menyadari, di belakang Kakak, tepatnya pada pilar batu berbentuk lingkaran ini, ternyata ada sebuah tempat tidur batu. Di atasnya terbaring seorang manusia, berbaring dengan sangat tenang.
"Inikah dewa yang dipuja di sini? Asal-usul apa berani membuat banyak dewa abadi berlutut dengan belenggu?" Tanyaku pada Kakak.
Kakak tidak menjawab. Dia juga berjalan mendekati tempat tidur batu itu. Tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan melihat dari dekat. Aku pun maju mendekat. Sekalipun yang terbaring itu benar-benar jenazah kuno, dengan Kakak di sini, rasa amanku tak tertandingi.
Jenazah kuno ini mengenakan baju kematian yang dihiasi pola bunga, burung, serangga dan ikan dengan benang emas. Baju longgar itu membungkusnya rapat-rapat. Di wajahnya, tertutup topeng bergambar wajah dewa.
Topeng ini persis dengan topeng Dewa Kota di bawah, atau lebih tepatnya, sama persis dengan topeng Dewa Kota di Fudigou.
Di tangannya, tergenggam sebuah kotak yang dibuat dengan indah, hanya saja kotak ini sekarang sudah terbuka dan kosong. Aku teringat ucapan Kakak, menduga mungkin Li Qing lah yang mengambil benda di dalamnya. Saat itulah aku baru merasa diriku benar-benar bego. Aku bertanya-tanya mengapa dikatakan Li Qing harus menemaniku, ternyata tujuannya untuk ini.
“Dewa Kota?” Aku bertanya pada Kakak. Sekarang, melihat topeng ini, aku langsung teringat pada Dewa Kota.
Kakak tidak menjawab. Ia memandang mayat berbaju kematian itu dengan tatapan kosong, akhirnya sorot matanya tertuju pada topeng wajah lucu yang menutupi muka mayat tersebut.
Kakak mengulurkan tangannya lalu menarik kembali. Kemudian mengulurkan lagi dan menarik lagi. Terlihat sangat ragu-ragu. Jujur, aku belum pernah melihat Kakak sebingung ini. Biasanya ia sangat tenang, dingin, dan tegas.
“Ada apa Kakak? Kalau memang tidak bisa, lebih baik kita pergi saja?” Aku berkata.
Kakak menggelengkan kepala. Akhirnya, ia mengulurkan tangan dan mencubit bagian topeng wajah opera itu. Dengan sedikit tenaga, ia langsung melepas topeng tersebut.
Seketika itu juga, aku menggenggam lengan Kakak dengan kencang. Meski Kakak ada di samping, aku tetap merasakan hawa dingin menyusuri dari telapak kakiku sampai ke ubun-ubun kepala!
Di balik topeng, terpampang wajah berdarah yang mengerikan.
Yang paling penting, setelah Kakak membuka topengnya, matanya tiba-tiba terbuka! Dia tidak bergerak, bola mata bulat itu terus menatap Kakak, memancarkan ketakutan murni dari kedua pupilnya.
Memandangi matanya, lalu memperhatikan bentuk wajah dan dagu yang runcingnya ekstrem - bahkan lebih tajam dari wajah ular hasil operasi plastik para selebgram. Seluruh wajah berlumuran darah ini awalnya membuatku bingung, kemudian baru kusadari: wajah manusia ini sialan mirip banget dengan musang kuning?! Jangan-jangan ini siluman musang yang sudah berwujud manusia tapi masih berkulit ular?
Yang paling mengerikan, matanya terlalu mirip binatang, bahkan warna irisnya berbeda dari manusia biasa.
Jujur saja, meski makhluk ini terlihat menjijikkan dan horor, aku agak kecewa. Aku sudah lama berspekulasi dewa macam apa yang sombong sampai berani bersemayam di pilar ini. Ternyata cuma siluman musang kuning yang sedang berfantasi jadi dewa abadi yang menghakimi dan membuat para dewa bersujud padanya.
Mayat berdarah ini terus mengawasi Kakak, sementara Kakak juga tak lepas memandanginya. Akhirnya, Kakak mengulurkan tangan dan langsung menyobek baju kematiannya hingga terkelupas!
Dalam sekejap, aku langsung memutar tubuh dan muntah.
Ini benar-benar tubuh manusia yang masih segar berlumuran darah.
Seluruh kulit tubuhnya telah terkelupas, hanya menyisakan daging mentah yang berdarah-darah.
Saat aku muntah, tiba-tiba seperti kilasan melintas di kepalaku！！！
Aku teringat kematian ayahku！
Teringat kulit manusia ayahku yang digantung di pintu masuk desa.
Kulit itu masih utuh sempurna.
Tapi polisi sudah berusaha mati-matian, tetap tak menemukan tubuh ayahku！
Bulu kudukku langsung merinding, aku berhenti muntah. Melihat orang berdarah yang terbaring di sarkofagus batu ini, jika tubuh ayahku ditemukan polisi dulu, pasti persis seperti ini！
Tidak mungkin ada kebetulan seperti ini di dunia！
Napasku hampir berhenti. Ingin kutanya Kakak, tapi aku tak berani. Bertahun-tahun ini, terutama saat masih kecil, tak terhitung kali aku bermimpi tentang ayah. Kali ini aku bersumpah harus menyelidiki penyebab kematiannya, tapi saat sosok yang mirip tubuhnya benar-benar ada di hadapanku, aku tetap tak percaya！
Aku tak berani bertanya, takut mendapat jawaban pasti dari Kakak.
Kulihat sorot mata Kakak, sangat kompleks seolah penuh kesedihan. Kuingat keragu-raguannya saat membuka topeng. Kurasa aku tak perlu bertanya, apa yang kupikirkan mungkin adalah jawabannya.
"Kak！！Ini Ayah, kan？Bukan？" Akhirnya kuraih lengan Kakak sambil bertanya, suaraku nyaris berubah karena tegang.
Aku bertanya, mata Mayat Darah ini menatapku. Tiba-tiba kurasakan sorot matanya penuh kelembutan, seperti pandangan seorang ayah pada anaknya. Air mataku tak tertahan lagi mengalir.
Kuangkat kepala memandang Kakak dan bertanya: "Apakah benar? Apakah benar?! Apakah benar?!"
Kakak tak menjawabku. Ia terus mengawasi Mayat Darah ini. Akhirnya, dengan gemetar ia mengulurkan tangan berbentuk cakar ke leher Mayat Darah itu. Dengan tenaganya, pasti bisa mematahkan lehernya!
Kutarik lengannya dan gelengkan kepala. Kuberi isyarat agar jangan. Jika ini benar ayahku, meski telah berubah begini, bagaimana mungkin seorang anak membunuh ayahnya sendiri?
Mayat Darah itu seakan merasakan aura pembunuhan dari Kakak. Tenggorokannya bergerak, mulutnya bergumam dengan bahasa asing yang tak kupahami. Seperti logat daerah tertentu, tapi tidak mirip.
Kakak menghentikan gerakannya. Ia menatap lelaki ini, lalu tiba-tiba berbicara dengan bahasa yang sama tak kukenal. Usai bicara, ia menyambar belati di pinggangku dan menatapku tegas: "Daun, bunuh dia!"
Kugelengkan kepala, mundur beberapa langkah. Wajahku sudah basah oleh bekas air mata.
Saat itu, Mayat Darah ini kembali menatapku. Sorot matanya begitu lembut. Bahkan ia berusaha mengulurkan tangan untuk meraihku.
Gerakan ini, benar-benar sangat mirip dengan seorang ayah.
Ayah mengulurkan tangan untuk membelai kepalaku, ini adalah situasi yang telah kufantasi kan berkali-kali.
"Jangan!" Aku melemparkan belati sambil berteriak pada Kakak.
"Dia bukan! Kubilang dia bukan ayah!" Kakak berteriak.
Tapi aku tidak percaya ucapannya. Jika benar bukan, dia tidak akan begitu bimbang, tidak akan menggunakan nada seperti ini di saat seperti ini!
Aku terus mundur sambil berteriak pada Kakak: "Jangan bohongi aku! Dia memang, pasti! Kakak, dia ayah kita! Ayah kita!"
Kakak mendekat, menggenggam tanganku dan membawaku ke dekat Mayat Darah ini. Menunjuk wajahnya ia berkata: "Ini musang kuning, musang kuning! Lihat baik-baik!"
Setelah itu, dia menarik tanganku dan menyodokkannya ke dada Mayat Darah. Kurasakan debaran jantung dan suhu dalam tubuhnya. Ingin kulepaskan, tapi mana mungkin melawan kekuatan Kakak?
Dengan tetap menggenggam tanganku yang meronta, dia menghancurkan jantung Mayat Darah itu.
Kudengar suara geraman rendah dari tenggorokan Mayat Darah. Sorot matanya perlahan kosong, bola mata yang bulat itu menjadi tak bernyawa.
Kali ini, dia benar-benar mati!
"Mengapa!!!" Teriakku histeris, seluruh tubuhku seperti ingin hancur.
