Baru sekarang aku benar-benar paham bahwa spesialisasi si gendut bukan sekadar alasan untuk menutupi ketidakmampuannya melawan kakak atau keterampilannya yang kalah dari Li Qing. Ini lebih ke perbedaan bidang keahlian masing-masing. Nenek yang tadi di depan kami bersikap sok seperti Ibu Suri itu sama sekali tidak bisa sombong di hadapan si gendut. Setelah si gendut bicara begitu, nenek musang kuning itu menatapnya: "Dilihat dari usia, seharusnya aku seangkatan dengan gurumu He Anxia. Pantaskah kau bersikap tidak sopan seperti ini kepada orang tua?"
"Tuan Gendut ini memang suka melakukan hal-hal seperti meninju Panti Jompo Gunung Selatan dan menendang TK Laut Utara. Jangan banyak bicara omong kosong. Kalau hari ini saya datang, berarti saya tidak berniat bicara baik-baik." Kata si orang gemuk.
Nenek tua itu memandangi si gemuk dengan wajah penuh keraguan. Setelah beberapa saat, ia melambaikan tangan pada si gemuk: "Pemuda, mendekatlah. Nenek akan memberitahumu sebuah rahasia."
"Tidak bisa diucapkan terang-terangan?" Si gemuk meletakkan kuacinya bertanya.
"Kalau bisa diucapkan terang-terangan, masih pantas disebut rahasia?" Nenek itu tertawa pahit.
"Jangan asal ngomong sembarangan untuk menipu Tuan Gendut. Kau tahu apa yang ingin kuketahui." Si gemuk berdiri sambil berkata.
Menghadapi orang tidak masuk akal seperti si gemuk, nenek kulit kuning ini hanya bisa menghela nafas: "Kau datang dengan penuh ancaman. Rahasia ini tentu sepadan dengan nyawa ratusan anggota keluargaku."
"Memang kau yang paling tahu diri." Mendengar ini, si gemuk mulai mendekati nenek itu. Aku ingin mengingatkannya agar berhati-hati, jangan sampai telinganya digigit saat mendekat. Siluman licik ini benar-benar bisa melakukan apapun. Tapi kupikir lagi, si gemuk pasti sudah berpengalaman menghadapi makhluk seperti ini.
Setelah berbisik-bisik beberapa saat, si gemuk mengangguk puas. Dengan senyuman genit ia berkata pada nenek itu: "Ini memang sepadan dengan ratusan nyawa itu. Tapi kau tahu, selera Tuan Gendut selalu besar."
Begitu mendengar perkataan Si Gendut, wajah nenek ini langsung berubah. Ia menunjuk Si Gendut sambil berkata: "Jangan rakus! Aku hanya memberi kamu muka karena menghormati gurumu! Kalau sudah tahu betapa seriusnya urusan ini, harusnya kamu pakin semakin banyak tahu semakin mudah kena imbas!"
Si Gendut mendengarkan dengan tak biasa-biasa saja marah, malah tertawa: "Kamu ini benar-benar membosankan, bercanda sedikit saja tidak bisa. Sudahlah, kalau memang karena muka guruku, aku kasih muka lagi padanya. Perempuan itu adalah orang yang dicintai saudaraku ini. Aku janji pasti akan bawa dia pulang. Serahkan orangnya, urusan kita selesai. Aku langsung pergi sekarang, tak ada satu kata pun yang sia-sia."
Nenek kulit kuning itu melirikku sambil tertawa: "Kamu memang punya keberuntungan dalam percintaan."
Perkataan ini membuat wajahku memerah. Si Gendut ini benar-benar ngomong sembarangan. Tapi saat ini aku tidak berusaha berdalih. Ini sebenarnya hanya alasan Si Gendut, namanya apa ya? Punya dasar yang sah untuk bertindak.
"Jangan banyak omong! Urusan kecil begini, setuju atau tidak? Jangan ikut campur! Jujur saja, bukan aku meremehkan kalian. Sudah terlalu banyak orang berebut barang di Dua Belas Gua Hantu. Dengan level kalian yang begini, lebih baik jadi raja di gunung ini saja, jangan keluar mempermalukan diri!" kata Si Gendut tanpa tedeng aling-aling.
Nenek itu menatap Si Gendut lama, akhirnya menghela napas: "Aku cuma dititipi orang. Ambil sendiri orangnya."
Setelah nenek tua selesai berbicara, tiba-tiba angin kencang berhembus dari tanah datar. Dalam sekejap, tempat ini dipenuhi debu dan kerikil yang beterbangan. Tiupan angin berpasir hampir membuatku tidak bisa membuka mata. Bahkan kabut perlahan-lahan mulai mengepung kami. Saat aku hampir kehilangan keseimbangan, Kakak datang mendekatiku dan memegang lenganku.
Angin kencang yang muncul tiba-tiba ini berlangsung sekitar empat lima menit. Ketika semuanya reda, aku membuka mata dan menemukan semuanya telah berubah. Sekeliling tidak ada lagi kulit kuning, tidak ada panggung opera. Hanya keheningan yang tersisa, dan di hadapan kami berdiri sebuah pohon kuno. Pohon ini adalah yang terbesar yang pernah kulihat di hutan lebat ini, bisa dibilang pohon raksasa yang menjulang ke langit. Aku merasakan aura kesunyiannya yang misterius, setidaknya telah melewati ribuan tahun.
Kata-kata terakhir Nenek Kulit Kuning mengatakan bahwa kami bisa mengambil gadis itu sendiri. Tapi sekarang tidak terlihat siapa-siapa. Aku menyalakan senter dan menyapukan cahayanya. Sekilas pandang membuatku kaget – di batang pohon besar ini tergantung tak terhitung mayat musang kuning!
Benar-benar bangkai musang kuning. Saat kudekati, kulihat kulit-kulit ini sudah dikeringkan angin. Di pohon besar itu diikat dengan tali-tali kecil, dan semua musang kuning ini ternyata digantung mati di sini. Pohon sebesar ini dengan mayat musang kuning yang tak terhitung jumlahnya, jika tidak dilihat dengan seksama, mirip seperti pohon yang dipenuhi buah.
Aku menoleh ke belakang dan melihat orang gemuk itu juga terkejut. Dia mendekat, menarik mayat musang kuning sambil berkata, “Oh, pantas saja rubah-rubah ini takut pada Tuan Gendut, ternyata mereka hanya arwah yang bahkan tidak bisa disebut jelmaan musang kuning?”
Aku memandang kakak. Satu-satunya yang tetap tenang di sini adalah dia. Entah di balik ketenangannya, apakah dia memang tahu sesuatu atau hanya berpura-pura. Namun aku tetap bertanya, “Kakak, ada apa ini?”
“Tempat ini memang bernama Makam Musang Kuning. Musang kuning yang mencapai pencerahan di kuil tua itu adalah pemimpin mereka. Dulu dia tunduk pada Jalan Hantu, tugasnya hanya menjaga Dua Belas Gua Hantu. Tapi diam-diam dia mengincar sesuatu di dalam gua, akhirnya terjebak dalam keadaan setengah hidup. Seluruh rubah di gunung ini ikut dikorbankan. Jadi siluman rubah di Gunung Funiu hanyalah arwah yang terjebak dalam siklus tanpa akhir. Hey orang gendut, enak tidak kuaci tadi?” Kata kakak sambil menatap si gemuk.
Sebenarnya tanpa perlu diingatkan, si gemuk sudah sibuk mengorek tenggorokannya. Dia memuntahkan banyak kerikil, bahkan hampir mengeluarkan empedu. Setelah muntah, dia duduk terengah-engah sambil menunjuk kakak, “Sun Zhongmou, kau terlalu licik! Kalau sudah tahu, kenapa tidak kasih tahu Tuan Gendut lebih awal?”
Kakak mengangkat bahu dan berkata: "Kupikir kau sebagai Daren besar dari Gunung Zifu ini pasti tahu segalanya."
Setelah mengatakan itu, Kakak mendekati pohon ini. Dengan gerakan ringan menginjakkan kaki, meminjam tenaga dari beberapa dahan, tubuhnya sudah melesat ke atas pohon besar. Namun gerakannya membuat seluruh pohon berguncang hebat, menyebabkan banyak musang kuning jatuh dari atas - beberapa bahkan remuk saat menghantam tanah. Beberapa saat kemudian, Kakak turun sambil menggendong seorang perempuan yang tertidur lelap.
Dia menyerahkan perempuan itu padaku, dengan sorot mata yang penuh makna: "Karena ini pilihan hatimu, sudah sepantasnya kau yang menggendongnya pulang. Atau kalau mau menggendong seperti ini juga boleh."
Untungnya Han Xue tidak ada di sini. Kalau tidak, dengan lelucon dari Kakak dan si gemuk ini, pasti aku sudah melompat ke Sungai Kuning pun tak bisa membersihkan namaku. Kakak kemudian memimpin jalan pulang. Meski tubuh perempuan ini tidak terlalu berat, medan gunung yang terjal membuatku cepat berkeringat saat menggendongnya. Kakak mengambil alih dengan lembut, menggendongnya di depan sambil berjalan. Perempuan ini pasti setidaknya 50 kilogram, tapi dalam gendongan Kakak terasa ringan sekali.
Dari belakang kuperhatikan sosok Kakak yang menggendong perempuan itu. Tiba-tiba terasa pemandangan ini sangat disensor. Perempuan yang bisa digendong seperti ini oleh Kakak, pastilah merasakan rasa aman yang tiada tara.
Kami berjalan lagi selama lebih dari dua jam, memutar jurang baru bisa keluar dari gunung di bawah panduan kakak. Di luar gunung, aku melihat Chen Dongfang dan Li Qing yang sedang menunggu. Sepanjang jalan aku tidak bertanya tentang situasi mereka baik pada si gemuk maupun kakak. Bukan karena tidak ingin tahu, tapi lebih karena enggan menerima realitas.
Aku selalu curiga pada Chen Dongfang. Tapi ketika benar-benar memastikan bahwa pria yang memanggil ayahku sebagai "Tianhua Ge" dan bersumpah tak ingin terlibat dalam urusan Fudigou ini ternyata berada di pihak yang berseberangan dengan kami, rasa sakit di hatiku tak terkira. Sakit karena dikhianati dan dibohongi.
Dia bahkan ingin membunuhku!
Jika saat itu di kuil kuno bawah tanah kakak tidak muncul di detik terakhir, sementara Li Qing meninggalkanku dalam situasi seperti itu, hampir bisa dipastikan aku sudah mati.
Chen Dongfang berdiri di sana memandangi kami. Aku juga menatapnya. Saat jarak kami semakin dekat, dia mendatangiku tanpa sepatah kata, mengulurkan tangan untuk mengambil wanita itu dari kakak. Kakak diam saja menyerahkannya.
Setelah itu, Chen Dongfang menghampiriku. Dengan senyum getir dia bertanya, "Apakah aku masih bisa menyebutmu Paman Dongfang setelah ini?"
Saat mengucapkan kalimat itu, matanya dipenuhi kesedihan yang pekat.
