Chen Dongfang sudah membuat banyak persiapan untuk pertempuran setelah membuka pintu batu. Kedua orang yang pergi meninggalkan cukup amunisi. Menurut rencananya, Tang Renjie dan dirinya akan bertugas menembak untuk melakukan serangan pengendalian, sementara A akan melempar granat ke balik pintu tersebut. Meski peluru tidak bisa membersihkan tangan-tangan itu sepenuhnya, setidaknya granat bisa melakukannya.
Namun A tiba-tiba menjadi tenang setelah kedua orang itu pergi. Dia tidak membuat persiapan apapun, hanya duduk di tangga depan pintu batu. Tang Renjie dan Chen Dongfang beberapa kali mendesaknya, tapi A hanya berkata "tunggu".
Tentang apa yang ditunggu dan sampai kapan, A tidak mau menjelaskan lebih lanjut.
Chen Dongfang sama sekali tidak menyangka bahwa mereka harus menunggu begitu lama. Menurut perkiraannya, waktu tunggu itu mencapai sekitar tiga hari.
Tiga hari cukup untuk menghapuskan semangat juang dan kesabaran seseorang. Bahkan Chen Dongfang sempat berpikir untuk pergi, karena tidak ada yang lebih penting dari tetap hidup.
Tapi tepat di hari ketiga ini, A tiba-tiba berdiri dan berkata: "Datang."
"Apa yang datang? Pasukan bantuan?" Tang Renjie juga ikut berdiri.
A langsung mengeluarkan sekop insinyur dan menggali pipa di tanah. Mereka semua tahu pipa itu berisi cairan mayat, tapi dengan membuat mereka terkesima, A justru melompat ke dalam pipa itu. Dia mengoleskan cairan mayat ke seluruh tubuhnya, lalu berteriak pada mereka yang masih termenung: "Apa lagi yang kalian tunggu?!"
Meski tidak tahu apa yang dilakukan A, keduanya yakin harus meniru tindakannya. Mereka pun melompat ke dalam pipa itu. Hampir seketika, bau menyengat membuat mereka tak bisa membuka mata. Meski sudah beberapa hari, bau busuk yang tak tertandingi ini tetap tak bisa mereka adaptasi. Tapi mereka tetap meniru A, mengoleskan cairan mayat berbau busuk yang menyala hijau ke seluruh tubuh. Setelahnya, mereka tetap meniru posisi A berjongkok di dalam pipa.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Chen Dongfang mengintip keluar. Baru sekali melirik, A langsung menariknya turun dan mematikan senter. Meski begitu, Chen Dongfang sempat melihat makhluk apa yang mendekat.
Yang berjalan mendekat adalah mayat-mayat yang pernah mereka angkut! Sekumpulan jasad itu kini berdiri tegak, bergerak mendekati mereka!
"Jangan bergerak. Sebentar lagi kita menyusup di antara mereka, ikut masuk lewat pintu," kata A. Baru sekarang mereka paham mengapa harus mengoles cairan mayat - untuk menyamarkan bau tubuh mereka seperti bau jasad!
Tindakan nekat ini benar-benar penuh risiko dan adrenalin. Pengalaman yang benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya. Chen Dongfang merasakan seluruh tubuhnya gemetar, entah karena teror atau kegembiraan. Saat rombongan mayat itu tiba di dekat mereka, ketiganya melompat ke lantai, menyamar di antara jasad-jasad itu, menirukan gaya berjalan mayat yang nyaris limbung menuju pintu batu.
Ketika gerombolan mayat hidup itu mendekati pintu tersebut, tidak ada yang mendorongnya, namun pintu itu terbuka dengan sendirinya. Kali ini tidak ada tangan yang muncul, seolah tahu bahwa yang datang adalah sekutu. Demikianlah, ketiga mereka mengikuti rombongan mayat hidup itu masuk ke dalam pintu ini.
Setelah memasuki pintu ini, mereka melihat di atas kepala mereka terdapat batu raksasa hijau. Batu hijau raksasa ini memancarkan cahaya kehijauan, transparan dan jernih bagaikan permata raksasa. Sekilas pandang saja, mata mereka langsung terpaku tak bisa berpaling. Transparansi batu hijau ini memungkinkan mereka melihat sesuatu di dalamnya.
Benda di dalam itu hampir sebesar batu raksasa itu sendiri, seolah tertanam di dalamnya.
Jika diibaratkan secara lebih visual, ini lebih mirip sebuah amber.
Batu hijau raksasa itu adalah getah pohon pinus, sedangkan benda di dalamnya adalah makhluk hidup. Sebagai orang Tionghoa, mustahil mereka tidak mengenali apa yang ada di dalam batu itu.
Itu adalah seekor Long (naga).
Dengan kata lain, sebuah amber yang berisi naga.
Ketiganya saling memandang, tak ada yang berani bersuara. Bahkan napas pun mereka tahan. Meski Chen Dongfang terkejut, ia lebih cenderung berpikir bahwa yang dilihatnya hanyalah bentuk naga yang terpateri pada batu hijau ini, mirip dengan batu-batu berbentuk mirip naga yang dipuja sebagai Raja Naga di berbagai tempat.
Di atas kepala, terdapat batu raksasa hijau itu, sementara di bawahnya terdapat kolam raksasa. Air di kolam memancarkan cahaya hijau redup yang bergelombang. Saat itu mereka menyadari, pipa-pipa sejenis yang mereka ikuti ternyata sangat banyak. Semua pipa di sini mengalir ke kolam ini bagai ratusan sungai menuju lautan. Di tepi kolam, terdapat banyak patung kepala naga yang detail sempurna. Cairan hijau dari mayat dalam pipa-pipa itu mengalir ke kolam melalui mulut patung-patung naga ini.
Bayangkan berapa banyak pipa yang ada di dalam gunung ini. Setiap pipa mewakili tumpukan mayat. Begitu memikirkan ini, Chen Dongfang menoleh ke belakang dan merasa tubuhnya merinding melihat mayat-mayat membusuk yang berjejal di belakang mereka.
Ini jelas membuktikan teori "pemerasan minyak"-nya. Tumpukan mayat, corong, dan pipa di sini semuanya dirancang untuk mengumpulkan cairan hasil pembusukan mayat ke dalam kolam ini.
Setelah mengamati lingkungan sekitar, otak Chen Dongfang sudah tidak bisa berpikir jernih. Selain menakutkan, yang paling mengganggu adalah rasa jijik yang luar biasa. Pemadangan ini mirip ritual persembahan mistis, tapi tak satu pun dari mereka bertiga yang tahu persembahan apa yang membutuhkan cairan mayat sejijik ini.
A terus menatap permukaan air yang tenang tanpa sepatah kata, seolah sedang merenungkan sesuatu.
Tiba-tiba, riak kecil muncul di permukaan air. Riak itu semakin melebar, lalu tiba-tiba sesuatu melompat keluar dengan cipratan air yang dahsyat.
"Makhluk ini setelah melompat keluar dari permukaan air, hampir tertawa ke langit. Chen Dongfang segera menutupi mulutnya sendiri, hampir berteriak. Dari air hijau itu muncul seekor ular raksasa setinggi langit berwarna hijau. Ular itu mengeluarkan suara mendesis, semua mayat membusuk langsung bersimpuh. Dari situasi ini, sepertinya mereka sedang melakukan ritual penyembahan.
Ular itu menjulurkan lidah bercabangnya yang bahkan berwarna hijau. Dari sudut pandang Chen Dongfang dan yang lain, ini sudah hampir bukan seekor ular lagi, bahkan bisa disebut sebagai naga!
Sebuah ide berani segera melintas di otak Chen Dongfang. Ia menatap bayangan naga dalam batu hijau raksasa itu, teringat cerita tentang ular yang bertransformasi menjadi naga. Kisah rakyat ini sudah ada sejak zaman kuno. Ada yang mengatakan ular cukup melewati sembilan tribulasi surgawi untuk menjadi naga, ada juga yang bilang ular butuh seribu tahun menjadi Jiao, tiga ribu tahun untuk jadi naga.
Mungkinkah semua cairan mayat busuk yang terkumpul di sini bertujuan untuk memelihara ular raksasa ini, agar bisa melakukan transformasi menjadi naga?
Inikah cara yang digunakan oleh sekte misterius itu?
Apakah mereka ingin membiakkan seekor naga?
"Di mana mereka? Bagaimana cara mencarinya?" Tang Renjie berbisik pada A. Meski langsung ditutup mulutnya oleh A, tampaknya sudah terlambat. Ular raksasa di permukaan air itu memutar kepala, dua mata kuning pekatnya yang besar langsung mengawasi arah ketiga mereka!
Pada saat itu, Orochi mengeluarkan suara panjang. Jenazah-jenazah kuno yang tadi bersujud di sekelilingnya tiba-tiba bertingkah seperti orang gila. Mereka bagaikan zombie-zombie, dan akhirnya semua mayat busuk itu mengarah ke tiga orang mereka.
A berdiri, langsung melemparkan sebutir granat sambil berteriak: "Lari!"
Tang Renjie dan Chen Dongfang juga ketakutan. Mereka berdiri dan mengarahkan tombak ke arah mayat busuk yang berlari dengan gerakan tangan seperti cakar. Namun dibandingkan dengan berat mayat-mayat itu, upaya ini ibarat setetes air di padang pasir. Mereka segera terkepung. Akhirnya Chen Dongfang menggigit gigi dan mengeluarkan granat terakhir: "Saudara-saudara, sepertinya kita akan menghadap Raja Yama. Nanti di alam bawah tanah, laporkan situasi di sini kepada beliau."
Tiba-tiba Orochi kembali mengeluarkan suara panjang. Mayat-mayat kuno yang hendak mencabik-cabik mereka hidup-hidup itu berhenti, lalu kembali bersujud kepada ular raksasa itu.
Chen Dongfang mengusap cairan mayat di wajahnya, menyalakan senter. Di tepi kolam terlihat seseorang berdiri dengan topeng bertotem aneh di wajah.
