Banyak penduduk desa tahu ada masalah di rumahku, tapi tak ada yang paham detailnya. Mereka menduga Kakakku berselisih dengan Kakek, sampai akhirnya Kakek memukulnya sampai roboh tak bangun-bangun. Bukan imajinasi warga yang kurang, tapi tak ada yang menyangka Kakek adalah pembunuh Ayahku. Setelah Chen Dongfang dan Li Qing pergi, keluarga kami tak nyaman tinggal di balai desa karena akan memicu gossip. Ditambah Chen Dongfang bilang Kakek sudah pergi, kami tak perlu khawatir menghadapinya sekarang. Akhirnya diusulkan untuk pulang ke rumah dulu.
"Ibuku jelas santai, tapi Kakak malah mau kembali ke Sanlitun. Dia enggan tinggal di rumah. Aku harus mengakui kemampuan fisik Kakak benar-benar luar biasa. Tadinya masih roboh tak bangun-bangun, sekarang sudah bisa berdiri. Kami juga tidak memaksa, soalnya sejak kembali ke desa sampai sekarang Kakak memang tidak suka tinggal di rumah. Yang paling mengharukan adalah Han Xue. Orang lain pasti sudah tahu ada masalah di rumahku, tapi dia sama sekali tidak banyak bertanya. Mungkin di dalam hatinya, kalau bisa kuceritakan pasti akan kuberi tahu."
Sesampai di rumah, aku menenangkan Ibuku dan menitipkan Han Xue untuk merawatnya yang masih emosi labil. Kemudian aku pergi sendirian untuk menemui nona besar yang disebut Chen Dongfang. Orang ini bisa dibilang teman onlineku selama bertahun-tahun. Meski hanya pernah bertemu sekali, rasanya sangat familiar. Aku menelepon Chen Dongfang bilang sekarang bisa ketemuan. Dia menjawab: "Baik, akan kusuruh Li Qing menjemputmu. Aku menginap di wisma kabupaten."
Sambil menunggu Li Qing menjemput dengan mobil, tiba-tiba kupikir pergi sendirian juga bukan ide bagus. Soalnya kejadian-kejadian belakangan ini membuatku kehilangan rasa aman. Akhirnya kutelepon Tuan Gendut untuk ikut serta. Kebetulan aku juga ada urusan ingin bertanya padanya.
"Apa-apaan ini? Raja Maling Kecil kau masih punya hati nurani enggak? Baru saja mencium Niang Han, sekarang sudah mau kencan dengan nona kecil lagi? Tuan Gendut merendahkan orang sepertimu!" kata si Gendut. Memang tabiatnya yang santai dan tubuh gemuk itu membuatnya selalu mudah bercanda kapan saja.
“Chen Dongfang bilang dia mau ketemu aku, kamu jangan ngaco, sekarang Tuan Besar juga nggak ada mood bercanda. Gue di pintu masuk desa, terserah kamu mau datang atau nggak.” Setelah itu langsung gue putuskan telepon.
Nggak lama kemudian, si gemuk datang tergopoh-gopoh. Begitu liat gue langsung nyeletuk: "Kecil-kecil sudah berani meningkatkan temper ya, berani putusin telepon Tuan Gendut? Gimana, Chen Dongfang baru ngomong dikit langsung dibeli lu?"
"Udah kayak gini masih nggak bisa serius ngomong? Apaan sih dibeli?" Gue melototin si gemuk.
Si gemuk angkat tangan: "Oke oke, Tuan Gendut tahu suasana hatimu lagi nggak baik, nggak mau debat sama orang yg lagi emosi."
Gue nggak mau ribut, tanya dia: "Tuan Gendut, menurutmu gimana soal ucapan Chen Dongfang ke kita?"
Orang gemuk mengangkat bahu berkata: "Masih kalimat yang sama, dengarkan separuh buang separuh. Dalam cerita yang dia ceritakan, dia menggambarkan dirinya seperti Bunga Teratai Putih, sementara Tang Renjie hanya tinggal sifat rakus takut mati. Ada yang aneh, coba kamu pikirkan. Gerakan leluhur keluarga Chen, Chen Jinzhi di sini yang membunuh seluruh anggota keluarga Ye, kemudian mendirikan Batu Naga Longtou, itu menunjukkan pemahaman yang sangat mendalam tentang urusan di sini. Setelah Chen Jinzhi, mayat para kepala keluarga junior Ye setelah meninggal bahkan tidak tersisa. Kalau kamu bilang keluarga Chen tidak sedang menunggu sesuatu, Tuan Gendut sama sekali tidak percaya. Jadi pasti Chen Dongfang juga punya tujuan sendiri, hanya saja orang ini adalah orang picik sejati yang bersembunyi sangat dalam. Coba kamu ingat lagi, dilihat dari performa di rombongan dulu, Chen Dongfang jelas lebih baik dari Tang Renjie. Tapi mengapa sebelum ayahmu meninggal menyerahkan benda itu ke Tang Renjie, bukan Chen Dongfang? Ini saja sudah sangat menjelaskan masalahnya. Aku tahu kamu pasti mengira Tuan Gendut punya prasangka padanya. Tenang, prasangka memang ada, tapi Akal Budi Tuan Gendut sangat jernih, sama sekali tidak akan mempengaruhi penilaian karena ini."
Aku melihat ke arah orang gemuk, kurasakan dia adalah perwujudan dua kutub ekstrem. Di satu sisi dia ceroboh, tapi di saat tertentu hatinya sangat teliti. Penjelasan Chen Dongfang bagiku hampir tanpa cela, tapi orang gemuk yang sama sekali tak tahu apa-apa ini bisa menganalisis banyak hal dari ucapannya. Analisisnya bahkan terdengar sangat masuk akal. Padahal Chen Dongfang bercerita selama berjam-jam, tapi dia bisa menemukan kelemahan dalam kisah panjang itu. Aku mengacungkan jempol sambil tertawa: "Tuan Gendut, soal kemampuan mencari-cari kesalahan, aku benar-benar kagum!"
Orang gemuk itu tertawa terbahak-bahak: "Pujianmu membuat Tuan Gendut senang."
"Baik, satu pertanyaan terakhir. Kau harus jujur." Tatapku tertancap pada orang gemuk.
"Tanyakan saja." Jawabnya singkat.
"Apa bisikan Huang Pizi padamu? Kalimat apa yang begitu berharga sampai kau mau menyelamatkan nyawa mereka?" Tanyaku penasaran.
Sudah kuduga dia takkan mudah mengaku. Benar saja, senjata ini langsung berubah gelagat mencurigakan. Kutarik lengannya: "Berkata jujur, Tuan Gendut! Lupa bagaimana kita bertahan selama perjalanan?"
"Baiklah! Tuan Gendut akan kasih tahu. Tapi Ye, sumpah dulu padaku takkan bilang siapa pun, termasuk kakakmu!" Ancang-ancangnya serius.
“Aku bersumpah, kalau aku memberitahu orang lain…” Aku mengangkat tangan berkata, belum selesai bicara, si Gendut langsung menyela: “Hidup dalam lampu padam, sukses dalam menyalakan lampu.”
Kalimat ini diucapkan si Gendut sambil merangkak dekat telingaku dengan suara pelan.
Setelah mendengarnya, aku menatap si Gendut dengan bingung: “Apa maksudnya?”
Si Gendut menunjuk bahu kiriku: “Jangan lupa, lampu yang kau padamkan itu, juga kata Guan Erye tentang aura hantu di peta nasibmu.”
Mendengar ini aku mulai paham, kutanya si Gendut: “Maksudmu keluarga Huang bilang, aku hidup karena mematikan lampu ini, tapi ‘sukses dalam menyalakan lampu’ itu artinya apa?”
Si Gendut mengerutkan kening: “Aku juga tidak terlalu jelas, tapi tubuhmu termasuk beberapa hal dalam takdirmu, semuanya tertutup oleh padamnya lampu jiwa ini. Sebenarnya banyak hal yang sekarang bisa dilihat, terutama ucapan kakekmu hari ini. Kalau ayahmu tidak mati, kau tidak akan hidup. Jadi dugaan kita dulu bahwa ayahmu mati karena kau memang benar. Dari sini terlihat kakekmu dan ayahmu membuat perjanjian, nyawanya ditukar dengan nyawamu, dan cara menyelamatkanmu mungkin dengan mematikan satu lampu jiwa.”
“Aku masih belum mengerti,” kataku.
“Orang yang menekuni Jalan, setelah mencapai tingkat tertentu akan mengalami tribulasi surgawi. Jika berhasil melewatinya, mereka bisa naik ke surga dan masuk dalam jajaran dewi. Tapi tribulasi ini pasti sangat sulit, jika gagal akan hancur menjadi debu. Jadi ada jenis praktisi yang tidak ingin naik ke surga, hanya ingin menikmati perlakuan seperti dewi di dunia manusia. Mereka menggunakan cara khusus untuk menyembunyikan aliran energi tubuhnya dan menipu surga. Aku menduga mematikan lampu jiwamu adalah salah satu metode itu. Dengan dasar Jalan Hantu, tidak aneh mereka tahu rahasia ini. Jadi mungkin kakekmu menggunakan Lampu Jiwa untuk melindungimu. Tapi begitu lampu jiwa dinyalakan, keunikan dalam dirimu akan terungkap - keberhasilan terletak pada penyalakan lampu ini,” kata si orang gemuk.
“Lalu mengapa masih ragu? Cepat nyalakan! Begitu dinyalakan aku akan jadi pendekar, masalah apa yang tak bisa kuselesaikan?” kataku.
Orang gemuk itu melirikku sinis: “Dulu Tuan Gendut punya niat menyalakan untukmu. Tapi sekarang bahkan jika kuminta, Tuan Gendut tak berani. Bagaimana jika begitu lampu menyala, tribulasi surgawi langsung datang? Jangan bicara sembilan guntur surgawi, satu saja sudah cukup membelahmu jadi debu. Posturmu sekarang masih terlalu lemah. Setelah urusan di sini beres, akan kubawa kau menemui shifuku. Dengan kemampuan beliau, pasti bisa menembus trik kakekmu padamu.”
“Bukannya kau bilang shifu-mu mengembara ke penjuru dunia sampai kau pun tak bisa menemukannya?” tanyaku sambil tertawa.
“Ya kita ikut mengembara ke penjuru dunia untuk mencari!” jawabnya dengan muka memerah.
Pada saat ini, mobil Li Qing berhenti di sebelah kami. Melihatku bersama orang gemuk, dia terlihat agak terkejut. Aku berkata padanya: "Belakangan banyak urusan, sendirian tidak ada rasa aman. Jadi kubawa Tuan Gendut biar lebih mantap."
Sebenarnya ini cuma alasan. Tapi tiba-tiba wajah Li Qing berubah sangat suram. Kukira dia mengira aku tidak percaya padanya. Kubuka pintu mobil dan masuk sambil bertanya: "Luka kamu gimana sekarang?"
"Nggak apa-apa, aku tahu batasnya," kata Li Qing.
Hubungan kami memang sudah canggung, ditambah lagi ucapanku tadi membuat suasana semakin aneh. Sepanjang jalan kami diam saja. Saat tiba di wisma kabupaten, Chen Dongfang sudah menunggu di aula megah.
