Genderang yang ditopang kakak sebenarnya tidak terlalu besar, namun suara tabuhannya mengguncang langit dan bumi. Satu demi satu pukulan seolah menghunjam jantung. Bersamaan dengan tabuhan kakak, angin kencang tiba-tiba turun dari langit. Angin itu menerjang air, membentuk pilar air raksasa yang setelah bergulung-gulung di udara, berubah menjadi naga air kolosal. Kepala naga itu mengawasi gerombolan mayat yang keluar dari Dua Belas Gua Hantu, mengeluarkan Grooaaak naga yang menggema ke seluruh penjuru. Setelah auman itu, di dasar air muncul pemandangan yang sangat aneh: semua mayat mengapung itu tiba-tiba bersimpuh menghadap arah tabuhan genderang kakak.
"Memang hantu air yang dibesarkan dengan daging manusia mati, hebat," kata orang gemuk.
Kalimat ini diucapkan si orang gemuk kepadaku yang berada sangat dekat. Namun tak disangka, kakak yang berdiri jauh di atas altar itu seolah mendengarnya dan berteriak, "Buka Gerbang Kematian dengan paksa, bacakan Duren Jing, doakan arwah yang gentayangan!"
Wajah orang gemuk itu gelap menatap kakak sambil memaki, "Kau bicara seenaknya! Pasti pekerjaan paling berat selalu kau lempar ke Tuan Gendut ini!" Meski menggerutu, ia memalingkan wajah dan berpesan pada semua orang untuk tetap dalam posisi itu. Dengan gerakan tangannya, Naga Hijau di atasnya menundukkan kepala. Orang gemuk itu melompat ke atas kepala naga, menginjaknya sambil berdiri tegak di tanah datar dengan keangkeran yang luar biasa. Ia mengendarai Naga Hijau menuju altar tempat kakak berada. Saat itu, flare penerang sudah habis terbakar, membuat kejadian selanjutnya tak lagi jelas terlihat olehku.
Di sisi Tuan Liu, sebuah flare penerang lagi ditembakkan. Dalam cahayanya, kulihat tubuh gemuk itu mulai menari-nari di atas altar.
Kakak memukul genderang, si gemuk menari.
Postur tubuhnya memang gembul, namun tariannya terlihat harmonis dan alami. Dari segi ini, bisa dibilang dialah orang gemuk paling lincah yang pernah kulihat. Gerakannya yang kompak dengan irama genderang kakak menciptakan keselarasan yang memukau. Seiring tariannya, di belakang altar, udara seolah terkoyak, perlahan memperlihatkan gumpalan kekacauan hitam yang bergelora.
Di tengah kekacauan, berdiri sebuah pintu kuno yang megah. Di depannya, delapan belas Raja Hantu mengarahkan pandangan penuh amarah, sementara setan penjaga pintu digambarkan dengan detail hidup. Di atas pintu tersebut tertera tulisan emas: "Gerbang Kematian Neraka Yin-Yang." Di balik pintu yang samar-samar itu terlihat sebuah kota kuno dengan arsitektur hitam legam. Kota ini dipenuhi aura mistis, namun ribuan lampu rumah menyala serentak, seolah membentuk dunia paralel.
Bahkan tanpa penjelasan Kakak sebelumnya, aku bisa mengenali bahwa yang sedang dibuka paksa oleh si Gendut ini adalah Gerbang Kematian menuju neraka. Di balik gerbang ini mungkin terdapat Kota Hantu Legendaris yang sering diceritakan. Saat gerbang mulai terbuka, si Gendut berteriak pada delapan belas Raja Hantu di atas: "Gerbang sudah terbuka, mengapa kalian masih menunda pengiriman arwah ke alam Yin? Dengan mayat dan arwah tak terhitung yang mengubah tempat ini menjadi wilayah hantu di dunia Yang, ini jelas kelalaian tugas kalian! Daripada menunggu aku melaporkan kalian ke Kuil Tianshi, lebih baik segera bertindak sekarang juga!"
Jika orang biasa melihat Raja Hantu Underworld ini pasti sudah ketakutan setengah mati, hanya si gemuk yang bisa berbicara begitu lancang di hadapan Raja Hantu. Namun raja hantu ini tidak marah, membuatku semakin penasaran dengan sekte si gemuk. Menurutnya, meski sektenya berasal dari dunia Yang, tingkatannya sangat tinggi sehingga baik dewa maupun Pengadilan Yin harus memberi muka. Raja hantu yang dimarahi keras si gemuk ini justru tidak tersinggung, malah maju dan menghormat: "Kami sudah lama tahu wilayah ini dipenuhi arwah tak terhitung, dan ingin menyeberangkannya. Tapi arwah melintasi pintu hantu membutuhkan Jalan Huangquan. Surat jalan sudah lama kami pegang, Stempel Mulia Raja Yama dan Bupati Fengdu juga sudah tercap. Hanya dewa kota lokal yang menolak mencap stempelnya. Tanpa cap dewa kota, surat jalan tidak lengkap dan arwah tak bisa diseberangkan melalui pintu hantu ke dunia hantu. Jadi ini bukan kelalaian kami. Begitu dewa kota lokal mencap stempelnya, kami langsung bisa menyeberangkan arwah ke alam Yin."
Sekarang aku sudah tahu, Dewa Kota lokal ini sebenarnya adalah kakekku yang berasal dari Jalan Hantu. Banyak kejanggalan dalam perkataan Raja Hantu ini. Si Gemuk pernah bilang, Dewa Kota sebenarnya hanya pejabat kecil di alam Yin. Stempel jalan menuju alam baka sudah memiliki cap dari Bupati Fengdu dan Raja Yama, mana mungkin Dewa Kota kecil berani menolak mencap? Jadi jelas ini cuma alasan untuk mengulur waktu. Ini seperti ada dokumen resmi yang sudah disetujui pusat dan provinsi, mana mungkin kepala desa berani menolak melaksanakan? Pasti tidak mungkin. Satu-satunya kemungkinan adalah kepala desa sebenarnya mendapat instruksi diam-diam dari pusat, atau ini semacam kekompakan yang saling dimengerti. Mengingat identitas kakek sebagai anggota Jalan Hantu, kemungkinan besar ini memang kesepakatan diam-diam. Bagaimanapun, dengan segala misteri Jalan Hantu, segalanya mungkin saja.
Saat aku sedang berpikir, tiba-tiba dari Sungai Jiudao mengalir perlahan sebuah kapal. Kapal ini berwarna hitam - sebenarnya lebih tepat disebut merah tua. Di haluan kapal berdiri seseorang yang mengenakan topeng muka tradisional, berdiri tegak dengan tangan di belakang punggung. Siapa lagi kalau bukan kakekku? Melihatnya lagi meski sudah memaafkan, perasaanku tetap campur aduk. Memaafkan memang, tapi jika ada kesempatan bertemu lagi, aku benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Bagaimanapun, dia bukan lagi kakek tua yang selalu menghisap rokok tembakau dan menemani masa kecilku.
"Dewa Kota sudah datang, masa tidak minta stempel?" teriak Si Gemuk.
Baru saja kata-kata si orang gemuk berhenti, kakek yang berdiri di haluan kapal melemparkan sesuatu. Sebuah stempel hitam keramat melayang di udara. Stempel itu berwarna hitam pekat, di atasnya terukir sembilan Kirin. Di punggung setiap Kirin terdapat setan kecil, terlihat sangat detail. Stempel itu berputar-putar di udara.
"Dengan adanya Stempel Dewa Kota, kami harus menyeberangkan jiwa." Raja Hantu memberi hormat.
Si orang gemuk duduk bersila di tanah, menyatukan kedua telapak tangan dan mulai melantunkan mantra. Mantra yang dibacanya tidak kupahami, mungkin itu yang disebut Kakak sebagai Sutra Penyeberangan Jiwa. Di tengah kekacauan langit, delapan belas Raja Hantu mengulurkan tangan. Sebuah jembatan terbentuk dari udara dan air. Arwah Yin tak terhitung banyaknya di sungai menyeberangi jembatan itu. Di luar Gerbang Kematian, setan kecil membagikan Surat Jalan ke Alam Baka, baru kemudian gerbang neraka terbuka. Walau arwah di sungai tak terhitung, mereka masuk ke gerbang kematian berbaris rapi seperti semut. Melihat ini, hatiku sakit. Di dunia manusia, entah kau terhormat atau hina, begitu terpisah oleh Yin dan Yang, di depan gerbang kematian mana ada perbedaan status? Di hadapan dewa dan hantu, semua makhluk hanyalah serangga.
Setelah semua arwah itu melewati gerbang kematian, Raja Hantu kembali memberi hormat pada si gemuk dan Dewa Kota. Gerbang kekacauan di atas altar pun perlahan menghilang.
Setelah Gerbang Kematian dan Raja Hantu lenyap, kulihat di sisi altar, Kakak dan Dewa Kota kembali bertatapan mata.
"Aku tiba-tiba khawatir, dengan sifat buruk kakak, jangan-jangan dia langsung berkelahi dengan kakek di sini? Mereka berdua hanya berdiri saling memandang. Dengan kecerdasan si gemuk, pasti dia tidak akan terjebak dalam masalah ini. Tatapanku tertuju pada kedua orang yang saling berhadapan itu, bahkan tidak menyadari kapan si gemuk sudah kembali ke tepi. Dengan keringat bercucuran dia berkata padaku: 'Kakakmu ini terlalu licik, jelas-jelas memanfaatkan Tuan Gendut sebagai kuli. Sekarang binasa, awalnya Tuan Gendut datang diam-diam, sebelumnya untuk menyelamatkan kakakmu sudah ketahuan identitas. Sekarang aku pakai token sektemu untuk membuka pintu hantu, pasti sektemu sudah tahu. Kalian nyaman, Tuan Gendut malah sengsara.'"
"'Kau membuka pintu hantu untuk menyeberangkan arwah, ini perbuatan baik. Bukankah para pendeta Tao selalu mengutamakan rakyat kerajaan? Jika kau berbuat baik, masak sektemu akan menghukummu?' Aku menatap si gemuk bertanya."
"'Kau terlalu polos. Urusan Dua Belas Gua Hantu, mana mungkin alam Yin tidak tahu? Jalan Hantu tidak menghormati para dewa, masak para dewa tidak sadar? Alasan begini cuma tutup mata sebelah. Setelah perbuatanku ini, mungkin sudah membuat masalah besar.' Si gemuk mengusap keringatnya."
"Pemikiran ini sejalan denganku. Mungkin ini adalah rahasia yang terkait dengan Jalan Hantu. Tapi saat ini aku sama sekali tidak punya waktu memikirkan hal ini. Yang kukhawatirkan adalah kakak dan kakek di depan Dua Belas Gua Hantu. Mereka sudah saling memandang begitu lama, jangan-jangan benar-benar berkelahi."
“Tuan Gendut, apakah mereka berdua tidak akan berkelahi?” Aku bertanya dengan khawatir pada si Gendut.
“Mungkin. Kakakmu itu temperamennya buruk, apa yang tidak bisa dia lakukan? Bagaimana kalau Tuan Gendut mengantarmu kesana untuk membujuk mereka?” jawab si Gendut.
Aku ingin setuju, tapi akhirnya menggelengkan kepala. Kakek tidak mau banyak menjelaskan pada kami, Kakak juga punya harga dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dua orang seperti mereka mau mendengarkan nasehatku?
