Selain satu sepatu bordir mayat ini, Kakak menemukan sebuah surat di lapisan tersembunyi kotak tersebut. Anehnya, sepatu bordir itu terlihat sangat baru, namun surat ini sepertinya sudah berusia beberapa tahun. Amplop tidak disegel, di dalamnya terdapat kertas biasa balai desa yang sudah agak menguning. Tulisan pulpen di atas kertas juga terlihat memudar, jelas menunjukkan tanda-tanda korosi waktu.
"Apa isi suratnya?" Aku hanya melirik sekilas, sementara Kakak masih memegang surat itu membacanya.
"Kamu lihat sendiri." Kakak menyodorkan surat itu padaku.
Kuambil surat itu dan menyadari ini adalah surat wasiat Kakek, yang ditulis beberapa tahun lalu. Selain tulisan tangan yang sudah usang, isi surat ini juga menunjukkan bahwa ini ditulis beberapa tahun yang lalu:
Cucuku Ye Zi:
Setelah aku mati, jasadku boleh dikuburkan di air, masukkan ke Sungai Luoshui. Jasad akan mengalir masuk ke Dua Belas Gua Hantu. Jangan ikut campur. Tujuh hari setelah jasad masuk ke Dua Belas Gua Hantu, bungkus pakaian sehari-hariku dalam peti mati untuk dikubur. Sepatu bordir ini bisa dimasukkan ke peti mati untuk menemaniku.
Pada ulang tahun ketiga kematianku, di halaman SD desa ada Batu Naga Longtou yang didirikan leluhur keluarga Chen di Mata Fengshui Fudigou. Hancurkan batu itu. Setelah batu hancur, kamu akan mengetahui kebenaran yang kamu cari.
Ingat baik-baik
Ye Jiangnan
"Dilihat dari konten surat wasiat ini, seharusnya ditulis oleh Kakek sebelum Kakak pulang ke rumah. Aku bisa merasakan dengan jelas, setelah Kakek masuk ke Dua Belas Gua Hantu, Kakak terus tenggelam dalam penyesalan. Dia mungkin merasa langkah yang diambil Kakek semua karena paksaan darinya." Aku memegang surat itu berkata: "Kakak, lihat maksud Kakek sebenarnya, masuk ke Dua Belas Gua Hantu adalah wasiat terakhirnya. Bahkan tanpa kamu, dia tetap akan menyuruhku melakukan penguburan air untuk masuk ke Dua Belas Gua Hantu menjaga rahasia itu. Kamu tidak perlu terlalu menyalahkan diri sendiri."
Kakak tertawa pahit, dia duduk di tempat tidur Kakek: "Beda. Sejak aku kembali, bisa dikatakan semua kejadian terkini tentang Fudigou dan Dua Belas Gua Hantu, semuanya aku yang mengacau. Jika bukan karena aku, semua ini mungkin tidak akan terjadi, tapi semuanya sudah dalam perhitungan Kakek. Keangkuhanku justru mengacaukan rencananya. Menyedihkan, aku selalu mengira diri pintar, mengira segalanya berada dalam kendaliku."
Aku memandang Kakak, tidak tahu bagaimana menghiburnya. Akhirnya aku hanya bisa duduk di sampingnya: "Ini tetap bukan salahmu, Kak. Sebenarnya kamu sudah melakukan yang terbaik. Masalahnya siapa yang bisa membayangkan pekerjaan ini akan serumit ini? Siapa pula yang menyangka Ayah ternyata dibunuh sendiri oleh Kakek karena dipaksa? Jika pelakunya orang lain, semuanya pasti akan berbeda."
“Mana ada begitu banyak jika.” Kakak menghela napas, sebelumnya dia pasti tidak akan melakukan ini, membuatku agak sedih. Sebenarnya bagiku, kejadian belakangan ini masih bisa diterima, tapi bagi Kakak yang berkarakter ekstrem, jika hal tidak berjalan sesuai keinginan atau hasil yang diharapkannya, tentu akan timbul ganjalan. Peristiwa akhir-akhir ini bagi orang sepertiku yang tak berperasaan masih bisa ditanggung, tapi bagi Kakak yang ingin menemukan pembunuh ayahnya, lalu mengetahui itu adalah kakek sendiri, saat dia bersikukut hutang darah harus dibayar darah, pengakuan Paman Pilar justru membuat segalanya semakin rumit. Bahkan tanpa sempat meminta maaf pada kakek, kakek sudah memasuki Dua Belas Gua Hantu, inilah yang paling menyiksanya.
Setelah beberapa saat, Kakak bangkit dari tempat tidur sambil berkata: "Daun, surat wasiat ini peninggalan kakek. Laksanakan sesuai keinginannya. Meski aku tak bisa berbicara baik-baik dengannya, sebagai cucu tertua, aku harus menjadi pengusung peti matinya."
"Tapi dalam surat wasiat ini kakek mengatakan setelah kematiannya, bagaimana status kakek sekarang?" tanyaku. Aku tidak sedih karena tak terlalu percaya kakek benar-benar meninggal.
"Dia sudah mati sekarang. Meski seandainya tidak, tetap dianggap mati." Kakak menatapku tegas.
“Baiklah.” Aku memandang Kakak, selalu merasa ada makna lain dalam perkataannya. Tapi Kakek menulis di surat wasiat, setelah kematiannya, mayatnya harus dimasukkan ke Sungai Luoshui, lalu akan mengalir ke Dua Belas Gua Hantu. Satu-satunya perbedaan sekarang adalah dia tidak mati, dan dia sendiri yang masuk ke Dua Belas Gua Hantu. Prosesnya agak berbeda, tapi hasil akhirnya sama. Menurut logika ini, melanjutkan sesuai instruksi surat wasiat sebenarnya bentuk penghormatan pada Kakek. Dan kurasa Kakek juga bermaksud demikian, kalau tidak dia tidak akan membiarkan surat wasiat yang ditulis bertahun-tahun lalu tetap tidak diubah setelah Kakak pulang.
Aku dan Kakak keluar dari ruangan Kakek, memberi tahu orang luar bahwa dua hari ini akan mengurus pemakaman Kakek. Setelah aku selesai berbicara, semua yang duduk diluar langsung terdiam. Sebenarnya orang tua ini sekarang menjadi simpul di hati semua orang, tak ada yang mau mengangkat topik ini. Orang gemuk itu berdiri sambil berkata: "Daun, tidak perlu kan? Dengan cara Lao Ye, di dasar kolam bukan masalah besar. Aku juga pernah mikirin ini, dia seharusnya tidak benar-benar mati di Dua Belas Gua Hantu. Bagaimana kalau suruh Kakakmu turun ke gua hantu untuk konfirmasi?"
Aku melototi si gemuk, dasar tukang bikin masalah. Di hati Kakak sedang menyalahkan diri sendiri karena urusan Kakek, kau mau menyuruhnya turun ke gua hantu melihat Kakek?
Melototku membuat si gemuk langsung paham, dia menggaruk kepala sambil berkata: "Apa aku salah bicara tadi?"
“Aku mengeluarkan surat wasiat itu dan berkata, "Sebenarnya aku sudah lama berpikir apakah pekerjaan ini harus dilakukan atau tidak. Para penduduk desa mengira Kakek sudah meninggal. Sebagai keturunannya, sudah seharusnya kami mengurus pemakamannya. Tapi baru saja aku dan Kakak menemukan surat wasiat ini. Menurutku, langkah selanjutnya harus sesuai dengan keinginan Kakek."
Si orang gemuk menerima surat wasiat itu, lalu kami saling bergantian membacanya. Ketika sampai di tangan Ibuku, matanya langsung berkaca-kaca. Aku menghampiri dan menghiburnya. Paman Pilar berkata, "Kalau ini memang keinginan Almarhum Paman Ye, lebih baik kita ikuti saja."
Di saat yang sama, sorot mata si orang gemuk terus melirik ke arahku dan Kakak. Aku tahu dia sedang mencari sesuatu - pastilah sepatu bordir barang penguburan yang disebutkan dalam surat wasiat. Sebelum memakai topeng wajah hantu itu, Kakek hanyalah seorang kakek tua berpenampilan lusuh biasa. Mustahil ada hubungannya dengan sepasang sepatu bordir. Orang lain mungkin tidak terlalu memperhatikan hal ini, tapi dengan ketelitian pikiran si orang gemuk, pasti dia bisa merasakan keanehan dalam pekerjaan ini.
"Kemarilah sebentar." Kakak sepertinya menangkap sorot mata si orang gemuk, lalu memanggilnya.
Si orang gemuk tampak ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti Kakak masuk ke rumah Kakek. Saat melangkah ke dalam, Kakak berkata, "Ye, kamu juga masuk."
“Kami bertiga memasuki ruangan, aku menutup pintu perlahan. Bukan karena tidak percaya dengan orang di luar—setelah melalui banyak hal, Paman Pilar sudah pasti bisa dipercaya. Hanya saja aku agak malu jika Han Xue, Paman Pilar, bahkan Ibuku tahu bahwa Kakek ternyata menyimpan sepatu perempuan di koleksinya. Menurut kesanku, ini adalah hal yang hanya akan dilakukan oleh hentai.”
Kakak mengeluarkan sepatu dan meletakkannya di tempat tidur, menatap si Gemuk: “Coba lihat, bisa tahu apa?”
Si Gemuk adalah praktisi Tao sejati. Saat melihat sepatu ini, alisnya berkerut: “Sepatu ini bukan untuk dipakai manusia hidup.”
Perkataannya konsisten dengan pendapat Kakak. Kakak mengangguk: “Tidak ada pembagian kiri-kanan, sudah pasti ini sepatu mayat. Bisa lihat yang lain?”
“Energi Yin-nya sangat kuat. Sangat-sangat kuat. Sepatu ini pernah dipakai mayat, dan mayat itu pasti punya latar belakang penting.” Si Gemuk membungkuk mengamati dengan cermat, lalu mengendus sepatu tersebut. Kemudian ia mengeluarkan jimat, menggambar simbol dengan tinta vermilion yang selalu dibawanya, lalu menempelkannya hati-hati di sepatu.
Tapi begitu jimat itu menempel, setelah beberapa saat diam, tiba-tiba jimat itu terbakar. Aku kaget, si Gemuk juga panik, buru-buru memadamkan api di jimat. Saat itu ia mengangkat sepatu dan menemukan bahwa sepatu sama sekali tidak terbakar atau meninggalkan jejak meski jimatnya habis terbakar.
“Ini bagaimana? Jenis jimat apa yang kau tempel tadi?” Tanyaku pada si Gemuk.
“Jimat Penenang Mayat.” Wajah orang gemuk itu pucat saat berkata.
“Lalu artinya jimat itu dibakar apa?” tanyaku.
Orang gemuk itu memandangiku, lalu melihat kakakku, akhirnya tertawa pahit: “Apa lagi? Artinya ilmu Tuan Gendut ini masih kurang, gak bisa menahan aura hantu di atas ini. Menurut kalian, apa sepatu ini peninggalan selingkuhan Lao Ye? Lao Ye kan penyimpang, selingkuhannya juga bukan sembarangan. Jangan-jangan ini zombie sepuluh ribu tahun?”
