"Perkataan si orang gemuk juga masuk akal, kalau aku pasti langsung mengikuti sarannya. Tapi sifat keras kepala Kakak benar-benar bandel, sepatu ini pasti tidak akan dia izinkan untuk dibakar. Begitulah kami bertahan sampai subuh. Si orang gemuk kembali menemui Kakak untuk membicarakan hal ini, tapi tak lama kemudian dia kembali dengan wajah kesal. Melihat ekspresinya aku hampir tertawa, lalu berkata: 'Gimana? Tidak mempan kan? Sudah kukatakan sifat keras kepala Kakak seperti keledai, percuma saja kau berdebat.'"
"'Apapun yang terjadi, Tuan Gendut tidak mau ikut campur! Biarkan dia nekat sendiri! Bukannya Sun Zhongmou juara dunia? Biar dia yang urusi!' geram si orang gemuk."
Apa yang bisa kulakukan? Hanya bisa menghiburnya sebentar. Kemudian kami melepas tali yang mengikat peti mati - sungguh memalukan jika dilihat orang luar. Pengunjung yang berziarah hari ini memang berkurang. Sampai siang, kelelahan tak tertahankan lagi sehingga aku tertidur. Tak disangka tidur itu begitu pulas, bangun-bangun sudah malam. Setelah makan tapi tak melihat bayangan si orang gemuk, kutelepon dan katanya sedang menginap di balai desa. Dari suaranya masih tersisa dendam pada Kakak, bahkan mengajakku bergabung agar Kakak kesulitan semalaman. Tentu saja kutolak. Setelah menutup telepon, kumenemani Kakak. Aku mencoba menasihatinya pelan-pelan, intinya belakangan sudah terlalu banyak masalah, lebih baik serahkan sepatu itu pada si orang gemuk untuk diurus.
“Ingat kucing tadi malam?” Kakak malah menatapku dan bertanya.
“Ingat.” Aku terdiam, tidak tahu mengapa Kakak tiba-tiba membicarakan ini.
“Kucing itu bermasalah, bukan kucing liar yang datang tiba-tiba, ada yang sengaja mengirimnya untuk menguji.” Kakak berkata misterius.
Ini benar-benar tak pernah terpikir olehku. Mendengar penjelasan Kakak, kurasakan inilah alasan keras kepala Kakak menolak membakar sepatu. Kutanya: “Situasi apa, Kakak? Kau menemukan sesuatu?”
Kakak menggeleng kepala: “Tidak tahu. Tadi malam kau dan si Gemuk tertidur, akulah yang pertama menemukan kucing itu. Saat si Gemuk bangun, sebenarnya sudah hampir setengah jam aku mengamatinya. Sorot matanya terlalu aneh, seperti manusia. Karena alasan tertentu, kucing liar biasa pasti takut padaku, pastinya tidak berani menatapku begitu lama. Dengan kemampuan ini saja aku yakin itu bukan kucing biasa, pasti sengaja dikirim orang. Andai tadi malam di peti mati benar-benar ada jenazah Kakek, pasti sudah terjadi masalah.”
“Menurutmu siapa? Jangan-jangan Tang Renjie? Untuk apa dia melepas kucing?” Aku langsung tegang, karena tahu Kakak pasti tidak asal bicara.
“Bukan Tang Renjie. Seharusnya orang luar. Melepas kucing masuk untuk memastikan apakah Kakek ada di peti mati. Kali ini kedatangan mereka tidak membawa niat baik.” Kata Kakak.
Aku tiba-tiba teringat mimpi yang kualami tadi malam, tentang seorang nenek tua berwajah kucing yang mengenakan sepatu bordir di kakinya. Mengingat lagi cerita orang gemuk tentang betapa mengerikannya pemilik sepatu bordir itu, bulu kudukku merinding. Ingin sekali kuhubungi orang gemuk lagi untuk memastikan dia datang malam ini. Meski ada kakak di sini, tapi dia bukan ahli dalam urusan seperti ini. Di rumah ini hanya ada aku dan dua perempuan yang tak punya kekuatan! Tapi kutahan keinginan itu, takut kakak mengira aku tidak percaya padanya. Lagipula, dari pengenalanku pada si gemuk, meski badannya di balai desa, hatinya pasti di sini. Dia memang tukang mengumpat tapi berhati lembut.
Malam ini tentu saja aku sama sekali tidak mengantuk. Kutetap terjaga sampai tengah malam ketika tiba-tiba kudengar teriakan orang gemuk di belakang rumah, disusul suara Tuan Gendut yang marah-marah. Kakak langsung berlari keluar sambil berkata, "Kamu jaga di sini."
Dari teriakan si gemuk, kusadari aku tidak salah menilai. Rupanya dia memang berjaga di sekitar rumahku. Tak tahu apa yang terjadi di luar, hatiku gelisah ingin menyusul. Tapi kakak memerintahkanku tetap di tempat. Setelah kakak mengejar keluar, kudengar langkah kaki mereka menjauh, seolah sedang mengejar sesuatu.
Awalnya aku mengira masalah akan segera terselesaikan, siapa sangka Kakak sudah pergi sepuluh menit namun belum juga kembali. Di saat genting itu, ketika aku menengadah, hampir saja aku terjatuh duduk. Dari posisi jendela belakang yang kemarin malam, seekor kucing menempelkan wajahnya di tepi jendela. Sorot matanya mengintip situasi dalam ruangan layaknya manusia.
Benar kata Kakak, kucing ini memancarkan aura aneh dari seluruh tubuhnya, terutama sorot mata yang terlalu mirip manusia.
Jangan-jangan ini taktik mengalihkan perhatian tim?
Bulu kudukku serentak berdiri. Aku menatap kucing itu tanpa berani bergerak, hanya bisa membentak: "Pergi!!" Sambil berbicara, kuambil sebuah kursi untuk menghalangi tubuhku sebagai perlindungan.
Kucing ini benar-benar tak gentar. Bahkan setelah menyadari hanya aku sendiri di ruangan, ia malah semakin berani. Alih-alih mengintip, ia melompat masuk dengan congkaknya. Dengan lincahnya ia melesat dari jendela ke sebuah kursi, lalu melompat lagi langsung ke papan peti mati.
Di atas peti mati itu, kucing itu menggeliatkan tubuhnya. Sorot matanya menantang sambil mengeluarkan suara "Meong" seolah-olah sedang mempermalukanku.
"Peri sana!" Aku berteriak sambil mengayunkan kursi dan menghantam ke arahnya. Itu menghindar, kursiku malah menghantam peti mati tanpa menyentuh bulunya sama sekali. Tak disangka si bangsat ini tiba-tiba melengkungkan tubuhnya, memandangku dengan penuh kebencian, bahkan berpura-pura hendak menerjangku! Aku pernah dicakar kucing waktu kecil karena mendekati anaknya, jadi secara refleks aku melindungi kepala dan menghindar saat ia hendak menerjang. Tapi kemudian kusadari ia tidak benar-benar menyerang. Kulihat ke arahnya, ternyata ia menatapku dengan ekspresi mengejek. Sorot matanya seolah menuliskan dua kata: "Bego."
"Kau makhluk apa sebenarnya? Mau apa?" Diejek dan dipermainkan oleh kucing seperti ini benar-benar memalukan. Tapi ingat perkataan Kakak bahwa kucing ini mungkin dibesarkan dengan memakan setan kecil, aku pun tak berani mendekat. Hanya bisa menuntut jawab dari kejauhan.
Tiba-tiba, papan peti mati itu mulai bergoyang persis seperti tadi malam. Sepertinya binatang itu sedang memberi tahu apa yang hendak dilakukannya. Untung sebelum malam tiba aku dan Kakak sudah mengikat peti mati itu dengan tali sebagai persiapan. Kalau tidak, pastilah makhluk di dalam peti itu sudah keluar sekarang.
Tapi kucing ini benar-benar berarwah, ia tiba-tiba mulai menggigit tali. Tali sebesar itu perlahan terurai bulu-bulunya di bawah cakaran, jelas terlihat hampir putus. Aku tak bisa tinggal diam, kugenggam lagi bangku kecil dan berlari menghantamnya. Kali ini kuhantam dari jarak dekat dengan bidikan tepat, yakin ia takkan bisa menghindar. Tapi tubuhnya tiba-tiba melengkung dengan sudut mustahil, tak hanya menghindar malah menerjangku. Terburu-buru kuhadang dengan lengan, langsung terasa perih membakar. Kulihat dua goresan darah panjang di lenganku dari cakarannya!
Sementara itu, ia kembali mencakar tali. Ternyata benar kata Kakak, kucing ini sengaja dikirim seseorang. Tujuannya jelas: mengeluarkan sepatu dari peti mati.
Saat kucari benda sekitar untuk dilempar, tiba-tiba kucing itu menjerit kesakitan. Sebuah batu kerikil menghantam kakinya. Ia melotot ke luar lalu melompat kabur lewat jendela. Kurang dari satu detik kemudian, Kakak dan si orang gemuk yang terengah-engah masuk. Kakak melirikku, lalu melakukan salto ke atas peti mati. "Cari tali lain lagi," perintahnya pada kami.
“Saat kami selesai, malam telah larut lagi. Kali ini, awan kesedihan menyelimuti hati kami bertiga. Si gemuk juga tak lagi bicara tentang membakar sepatu itu. Sekarang jelas ada yang mengincar sepatu ini. Dia mengerutkan kening, "Mungkinkah ini wanita simpanan Lao Ye yang datang?""
Aku terdiam sejenak, tiba-tiba merasa kemungkinan itu ada.
"Datang di saat seperti ini, pasti ingin membuat masalah sebelum Kakek dimakamkan. Besok hari pemakaman, pastilah orang itu akan datang," kata Kakak dengan suara lembut.
