Aku langsung panik, reaksi pertama adalah menarik ibuku berdiri. Urusan belum jelas kok bisa langsung bersimpuh? Tapi kakak laki-lakiku menahanku, matanya menatap tajam nenek tua ini tanpa sepatah kata.
"Gimana nih? Pada buta mata atau pura-pura nggak ngerti? Nggak lihat ini urusan keluarga? Orang luar yang nggak ada kerjaan minggir dong, mau ditendang nenek-nenek gini?" Cara bicara nenek ini benar-benar nggak enak didengar, terutama saat mengerlingkan mata—kesannya seperti nenek licik berhati iblis. Beberapa warga langsung protes: "Hei nek, hari ini nenek salah. Kami ke sini bukan buat ngerumpi, tapi bantu acara duka keluarga Ye. Sekalipun nenek besan almarhum Paman Ye, bagi keluarga Ye, nenek kan orang luar?"
Mendengar ini, mata nenek makin menyipit seperti garis jahitan. Sebelum sempat bicara, si Gemuk sudah membentak Er Gouzi yang tadi ribut: "Udah! Ribut apaan? Ini urusan Ye. Semua pada bubar! Kasih muka buat Gendut, kasih muka buat Ye juga."
"Penduduk desa semua bisa melihat bahwa nenek tua ini mungkin berasal dari keluarga terpandang, jadi tidak ingin berdebat dengannya. Yang utama adalah perkataannya sangat tidak enak didengar, dan sekarang orang yang berpikiran jernih juga bisa melihat bahwa si gemuk sebenarnya berpihak pada mereka untuk meredakan ketegangan. Chen Qingshan pun mendekatiku dan bertanya, 'Daun, apakah upacara pemakaman Paman Lao Ye masih akan dilaksanakan hari ini?'"
"Pemakaman apa? Hari ini tidak jadi." kata nenek tua itu.
Kali ini bahkan aku mulai tidak senang. Urusan pemakaman kakekku, mana mungkin kamu yang menentukan? Chen Qingshan juga tampak sangat kesal, "Nenek, tolong perhatikan tata krama bicara Anda."
"Sudah sangat kukendalikan. Kalau tidak, kalian semua sudah kulempar keluar. Cukup! Nenek tua ini tidak punya waktu banyak untuk berdebat. Lakukanlah kewajiban masing-masing. Aku dan marga Ye ini sudah kenal sejak lima puluh tahun lalu. Anak perempuanku ini sejak mengikuti Ye Tianhua, lebih dari 20 tahun tidak pernah pulang ke rumah orang tua. Bukankah wajar jika ibu dan anak ini butuh waktu untuk berbincang? Atau kalian juga ingin menyaksikan reuni emosional antara ibu dan anak ini?" Nenek tua itu menatap Chen Qingshan.
Wajah Chen Qingshan menghitam karena marah. Aku juga sangat kesal dengan nenek ini, tapi si gemuk terus memberi kode mata agar aku bersabar. Tak ada yang bisa kulakukan. Melihat situasi sekarang, sepertinya nenek ini benar-benar nenek yang belum pernah kulihat. Aku tak bisa berkonfrontasi dengannya. Segera kuhalangi Chen Qingshan, lalu kubagikan rokok ke penduduk desa untuk meminta mereka mundur. Semua memberi muka padaku dan pergi. Saat mengantar mereka ke ambang pintu, mereka masih berpesan: "Dengan karakter ibumu seperti itu, punya ibu penyihir tua begini, pantas dia meninggalkan keluarga asalnya."
Aku hanya bisa tersenyum kecut pada mereka, tak bisa berkomentar. Setelah semua tetangga pergi, aku kembali ke pelataran. Suasana semakin canggung. Sejak awal, ibuku yang bersimpuh di tanah tetap menundukkan kepala hingga sekarang, seolah sangat takut pada nenek ini. Sang nenek juga diam, membiarkan ibuku terus bersimpuh. Setelah belasan menit berlalu dalam keheningan, akhirnya aku tak tahan. Kuhampiri ibuku: "Ibu, bangunlah."
Ibuku menggeliat melepaskan genggamanku: "Daun, jauhkan diri. Ini nenekmu."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Melihat ibuku tak mau bangun, aku berdiri menatap nenek tua itu.
Sang nenek memandangku tanpa sedikitpun kehangatan seorang nenek pada cucu. Ekspresi sinis masih melekat di wajahnya: "Tak mengerti?"
“Mengerti sih sudah, tapi aku masih bingung. Kalau boleh, tolong jelaskan apa sebenarnya yang terjadi? Jujur saja, tidak takut Bunda marah, semua orang di desa tahu ibuku tidak punya keluarga mertua. Aku juga tak pernah tahu masih ada nenek.” Aku menatap nenek tua ini sambil berkata. Apapun situasinya sekarang, melihat ibuku disuruh bersimpuh begitu membuatku tidak nyaman.
Nenek itu mendengar kalimat itu, lalu menyeringai sinis ke arah ibuku: “Rupanya keluarga mertuamu memang memalukanmu ya? Sampai-sampai tak pernah kau sebutkan, berpura-pura seolah semua keluargamu sudah mati.”
Ibuku mengangkat wajah yang basah oleh bekas air mata: “Bu, bukan begitu...”
Melihat ibuku menangis, hatiku semakin tidak tenang. Tapi saat ini aku benar-benar bingung harus berkata apa. Tiba-tiba si gemuk menyela: “Nek, dengarkan kata-kata Xiao Pang ini boleh? Pasti ada alasan tersendiri mengapa Tante bersikap begitu. Yezi dan kakaknya juga tidak tahu identitas Nenek. Tak kenal maka tak salah, ini pasti salah paham. Mari kita bicara baik-baik saja. Yang ada di pelataran ini kan bukan orang luar, semua sekutu kita sendiri.”
“Nak, menurut ingatanmu, bagaimana ayah dan ibumu bisa bersama? Dari mana asal keluarga mertua ibumu?” Nenek itu menatapku bertanya.
Aku menggaruk-garuk kepala: “Nenek mau dengar yang sebenarnya?”
“Omong kosong! Tentu saja aku mau dengar yang sebenarnya!” jawab sang nenek.
Sebenarnya ibu saya tidak punya keluarga mertua, hal ini sudah diketahui semua orang di desa. Saat saya masih kecil, ibu adalah bunga desa. Sekarang, para paman dan om saya kalau membicarakan kecantikan ibu di masa muda selalu menunjukkan raut wajah penuh kerinduan. Menurut cerita para paman, dulu ayah saya di mata penduduk desa adalah pemuda yang sangat polos. Orang hanya tahu dia pernah menjadi tentara, tapi tidak seperti tentara lain yang pindah dari kemiliteran untuk bekerja, melainkan kembali ke desa bertani. Hanya saja suatu kali ayah pergi ke tempat yang jauh, sepulangnya membawa pulang ibu dengan kereta keledai.
Yang paling diingat para paman adalah saat ibu turun dari kereta keledai, dia mengenakan pakaian sangat modis, jelas terlihat sebagai gadis dari keluarga kaya. Kecantikannya sungguh luar biasa memesona. Saat itu ada yang bertanya dari mana ayah 'menculik' ibu, ayah menjawab itu adalah hasil penagihan utang. Ketika ditanya utang apa, ayah tertawa dan berkata tidak tahu, hanya disuruh kakek untuk menagih utang, akhirnya keluarga itu menyerahkan putri mereka untuk melunasi utang.
Ini adalah satu-satunya kesan yang dimiliki penduduk desa dan aku tentang cerita ayahku dengan ibuku, karena hal ini, saat ayahku dikuliti hidup-hidup, banyak orang di desa mencurigai ibuku yang melakukannya. Kalaupun bukan ibuku, pasti keluarga mertuanya. Alasannya karena ayahku menggunakan cara yang tidak biasa untuk menikahi ibuku, sehingga keluarga mertuanya menyimpan dendam. Polisi saat itu juga pernah menyelidiki ibuku, tapi karena tidak menemukan bukti dan tidak bisa membongkar keterlibatan keluarga mertuanya, akhirnya dihentikan.
Aku menceritakan hal ini kepada nenek tua itu. Sejak dulu aku merasa penjelasan ayahku sangat konyol, ini bukan zaman feodal lagi, mana mungkin bisa mengambil istri sebagai pelunasan utang? Nenek itu menyeringai dingin dan berkata: "Kurang lebih 80-90% benar, tapi anak perempuanku ini sangat berbakti, menggantikan ibunya melunasi utang!"
Aku hampir muntah darah lama mendengarnya. Apa maksudnya ini? Masa' iya dulu ayahku benar-benar mengambil ibuku sebagai istri karena menagih utang? Dan sebenarnya yang ditagih bukan ibuku, melainkan nenek ini? Lalu ibuku menggantikan posisinya?
Aku memandang nenek itu dengan tak percaya. Setelah beberapa saat, aku tak bisa menahan tawa. Wajah nenek itu memerah sebentar, tiba-tiba marah dan membentak: "Jangan melayang-layang! Ayo, tampar mulutnya!"
Gadis aneh di samping nenek itu mengangguk patuh: "Baik, Nek."
"Selesai bicara, dia benar-benar berjalan ke arahku dengan congkak, di wajahnya tersenyum jahat sambil mengulurkan tangan, hendak menampar wajahku. Aku berkata: 'Hei, mau apa kamu?'"
"Tampar mulut!" kata gadis kecil itu.
"Cukup sudah, jangan dianggap serius!" kataku. Kalau benar-benar ditampar gadis kecil, masih pantaskah aku disebut manusia?
"Tidak boleh! Nenek selalu sangat berwibawa, perkataannya bukan main-main." Gadis kecil itu mengayunkan telapak tangan, hendak menampar wajahku.
"Hentikan!" Han Xue yang wajahnya memerah datang menghampiri, menepis tangan gadis kecil itu. "Siapa yang beri kau hak untuk memukul?"
"Siapa yang berani menghalang, ikut dipukul!" suara nenek tua di belakang penuh kebencian.
"Sudah! Sudah puas pamer kekuasaan? Aku tahu mungkin di Tianjin kau orang penting, mungkin juga benar nenekku. Kalau kau bersikap layaknya senior, aku akan mengakuimu. Tapi melihat tingkah polahmu sejak awal, biarpun kau nenekku, apa gunanya? Dalam kamus hidupku tak ada kata 'nenek'! Kalau mau sombong, pulang saja ke Tianjin! Ini bukan tempatmu berbuat semena-mena!" Begitu mendengar ancamannya akan memukul Han Xue, aku langsung geram, menuding nenek tua itu.
Terkadang menghadapi orang-orang tertentu, saat sudah tak bisa ditahan lagi, tak perlu ditahan.
