"Setelah Kakek dikuburkan, sang nenek tua sepertinya telah kembali ke Tianjin. Kelompok A telah meninggalkan Fudigou. Hubungan kami dengan Tuan Liu dan Tang Renjie tiba-tiba terputus. Fudigou memasuki ketenangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tapi di dalam hatiku ada firasat buruk. Sebelum mereka mendapatkan rahasia Jalan Hantu, semua ini hanya jeda sementara, sama sekali bukan akhir."
"Kakak tinggal di rumah selama dua hari, akhirnya pindah kembali ke rumah tunggalnya di Sanlitun. Pada dasarnya dia memang penyendiri. Setelah semua mereda, Han Xue beberapa kali ingin mengatakan sesuatu padaku tapi mengurungkannya. Sebenarnya aku tahu yang ingin dia katakan - mengajakku bertemu keluarganya. Tapi aku selalu pura-pura tidak tahu. Bukan tidak mau pergi, tapi aku memang belum siap. Si orang gemuk memarahiku habis-habisan setelah tahu urusan ini, bilang aku tidak seperti pria sejati."
"Kau tahu apa? Pertama, masalah ini belum benar-benar selesai. Mereka pasti akan melakukan langkah berikutnya. Kedua, lihat Xue'er yang jadi relawan pengajar di sini. Jelas dia anak orang kaya. Dengan kondisiku sekarang, Han Xue mungkin tidak peduli, tapi tega kah orangtuanya membiarkan nona mereka mengikutiku?" kataku.
“Xiao Ye, kamu ini orang kecil yang gak pantas naik ke panggung besar. Omonganmu semua sampah! Pikir dulu, apa urusanmu dengan tenang atau tidaknya masalah ini? Meski kamu pasti bagian penting dalam hal ini, tapi bukan maksudku merendahkan - ada kakakmu yang jadi tameng. Kalo bukan dia, masih ada aku. Jadi sebelum lampu yang kamu padamkan ini dinyalakan kembali, semua ini sama sekali gak ada hubungannya denganmu! Kedua, apa kamu masih merasa cuma pegawai desa kecil di Fudigou? Cucu Ye Jiangnan si Jalan Hantu, putra Ye Tianhua juara pasukan, adik Sun Zhongmou penjaring mayat. Nenekmu masih 'Lao Foye' di Tianjin, kakekmu bos organisasi itu di Tiongkok - Liu Ye! Identitas mana dari ini yang gak bakal bikin orang ternganga? Tang Renjie bisa jadi orang terkaya di Luoyang cuma dengan nempel ke Liu Lao. Kalo kamu bisa manfaatkan jaringan ini, apa sih yang gak bisa kamu dapat? Meski mereka semua gak peduli sama kamu, masih ada satu identitas paling keren yang bisa kamu banggain. Tau apa itu?” kata si orang gemuk.
“Apa lagi?” tanyaku. Jujur, omongan si gendut bikin aku semangat. Gak disangka, jaringan kerabatku ternyata sangat menakutkan!
“Yaitu kamu adalah saudaraku, Tuan Gendut!” Si gendut menyilangkan tangannya.
“Sial~~” Aku langsung tertawa terbahak. Harus diakui, kata-katanya bikin aku tersentuh sekaligus haru. Punya teman sejati di dunia ini memang hal yang sangat berharga.
“Jadi maksudmu, aku harus menemui mereka?” kataku.
"Kenapa tidak mau ketemu? Dengan penampilan seperti beruangmu ini, Han Xue yang gadis itu bisa menyukaimu, itu sudah merupakan berkah kehidupan sebelumnya. Yang terpenting, nona itu menghargai dirimu sebagai pribadi. Tahukah apa artinya seorang gadis mengajakmu bertemu keluarga? Itu pengakuanmu sebagai calon suaminya di masa depan. Kau terus menghindar, pantaskah disebut pria?" Si Gendut melototiku sambil berkata.
Aku mengangguk, tentu aku paham logika ini. Dua hari ini aku bingung menghadapi Han Xue terkait hubungan ini. Setelah penjelasan si Gendut, hatiku sudah memutuskan. Tapi aku masih menggoda: "Tuan Gendut, kenapa kau begitu bersemangat membahas ini? Jangan-jangan dulu kau juga pernah menyakiti seorang gadis?"
Awalnya hanya bercanda. Tapi begitu mendengar ini, wajahnya sedikit muram: "Dulu saat Tuan Gendut masih kurus, aku pun tampan rupawan. Pria memang hancur segalanya kalau gemuk!"
Perkataannya langsung membangkitkan rasa ingin tahuku. Yang paling kuingin tahu, seperti apa perempuan pujaan si Gendut? Menurutku, dia bagai kuda liar yang lepas kendali. Perempuan macam apa yang bisa menaklukkannya? Kutanya: "Tuan Gendut, ceritakanlah."
“Dulu Tuan Gendut ini fokus bertapa, sampai melewatkan dia. Ah, sudahlah, kalau diceritakan malah bikin sedih. Pas Tuan Gendut sadar, dia sudah masuk biara. Makanya Ye, dengarlah: manusia harus menghargai orang yang ada di hadapannya. Terutama yang baik padamu. Tak ada yang berhutang di dunia ini, jangan anggap remeh kebaikan orang!” kata si orang gemuk.
“Betapa pedih pelajaran ini~~” Aku tak tahan bersenandung melihat ekspresinya. Wajah si gemuk langsung merengut, kakinya menyepak pantatku sambil memaki: “Nyanyiin kakek buyutmu!”
——Belakangan si gemuk tidak tinggal di balai desa. Katanya mau meneliti kakekku yang luar biasa ini, jadi dia langsung pindah ke kamar kakek. Setelah kami pulang dan makan malam, aku mengajak Han Xue untuk ikut melihat kondisi. Kegirangannya yang meledak seketika membuatku ingin menampar diri sendiri. Dalam hati kuberkata: “Ye Jihuan, Ye Jihuan, seorang gadis memperlakukanmu seperti ini, kemarin kau masih berani mengelak. Tuan Gendut tidak salah menegurmu, benar-benar tidak punya hati.”
“Kapan kita pergi?” Han Xue berkedip-kedip menatapku.
“Atur saja waktunya,” kataku menatap Han Xue.
“Besok hari Minggu, kebetulan aku juga lama tidak pulang. Ayo kita berangkat besok. Aku akan telepon ibuku dulu.” Han Xue tersenyum. Saat tersenyum, matanya menyipit seperti bulan sabit, terlihat sangat cerah.
“Besok?! Segini cepat?” aku berteriak kaget.
“Masih ada urusan?” Han Xue bertanya dengan hati-hati.
Melihat wajah pengertiannya, hatiku sakit. Aku mendekat dan memeluknya: "Urusan apa yang lebih penting darimu? Aku ingin berangkat malam ini! Besok pun sudah tidak bisa kutunggu!"
Begitu kalimat ini terucap, tiba-tiba aku merasa seluruh tubuhku ringan.
——Ada pepatah bagus: Setiap pengorbanan pasti ada imbalannya. Karena beberapa waktu terakhir kurang istirahat, beberapa hari ini aku tidur lebih awal. Setelah mandi dan naik ke tempat tidur, Han Xue pergi mandi sendiri. Saat dia kembali, aku sudah setengah tertidur. Dalam keadaan separuh sadar, dia membuka selimut dan masuk. Begitu masuk, dia menjauh dariku. Aku yang sudah terbiasa memeluknya tidur, refleks menariknya. Tapi saat kutarik, dia malah semakin menjauh. Kukira dia sedang bercanda, kuraih dia dengan kasar dan langsung kutarik ke pelukanku.
Di detik berikutnya, seluruh tubuhku membeku.
Karena yang tersentuh adalah kelembutan, kelicinan, dan kehalusan yang tak tertandingi. Sekejap otakku menjadi jernih, hampir tak percaya pada perasaanku. Untuk memastikan, tanganku menyusuri punggungnya hingga ke pantatnya. Hanya di sana terasa hambatan sehelai kain. Sebelumnya, semuanya mulus tanpa rintangan.
Seluruh tubuh Han Xue gemetar ketakutan dalam pelukanku.
"Xue'er, apakah ini mimpiku?" bisikku pelan.
“Ya. Anggap saja ini mimpi.” Katanya dengan suara lembut.
Selama ini tidur sekasur dengannya, dia selalu memakai gaun tidur. Jika tanganku kadang iseng, dia pasti akan memelintirku. Tak kusangka hari ini Xue'er begitu aktif.
“Lalu apa yang harus kulakukan?” Aku menelan ludah bertanya.
Kepalanya semakin masuk ke dada, dengan suara hampir tak terdengar: “Sudah begini, masih mau apa lagi?”
Seketika kupegang erat tubuhnya, mencium telinganya dan berbisik: “Mengapa hari ini begitu baik padaku?”
Mungkin karena ciuman di telinga membuatnya geli, seluruh tubuhnya menggelepar sesaat. Dia mengangkat wajah yang memerah menggoda, mengusap pipiku penuh kasih: “Kurasa kau terlalu lelah, ingin membuatmu senang.”
Dia melepaskan lengan yang selama ini melingkari dadanya. Meski cahaya dalam ruangan redup, kulihat kilau putih bersinar itu. Ditambah perkataan Han Xue yang menghanyutkan, akhirnya kuraih bibirnya.
Hanya sedikit meronta, saat kukerahkan tenaga dia langsung menyerah.
Perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku mulai melupakan diri sendiri, lupa di mana berada. Di kepala hanya ada perempuan yang sangat kucintai ini. Kami saling melilit, saling meminta. Hingga akhirnya, bahkan lupa siapa diri ini?
“Jangan, ini belum boleh.” Akhirnya, Han Xue mengencangkan kedua kakinya dengan kuat sambil berteriak.
Kesadarannya tanpa disangka juga membangunkanku. Kurealisasi tanganku sudah hampir melepaskan kain terakhir yang menutupi tubuhnya, dan semua ini ternyata kulakukan dalam keadaan setengah sadar.
"Aku ingin." Pada saat ini, nafsu sudah sepenuhnya menguasai diriku. Kutatap Han Xue sambil berkata.
"Tunggu sampai kita ke rumahku dulu. Sekarang masih terlalu cepat, boleh?" Han Xue memandangku dengan sorot mata penuh harap yang sangat menyentuh hati.
Melihat ekspresinya, perlahan kesadaranku kembali. Sebenarnya hari ini aku sudah mendapat lebih dari cukup, rasa puas sudah memenuhi hatiku. Dengan lembut kucium dahinya sambil berbisik: "Aku terlalu terburu-buru. Langkah terakhir ini... akan kita lakukan setelah aku menikahimu nanti."
Kami terus berpelukan seperti itu. Beberapa saat kemudian, Han Xue menggeliatkan tubuhnya: "Aku mau ganti yang lain."
"Kenapa?" aku terdiam sejenak.
Seluruh tubuh Han Xue tiba-tiba memerah. Ditinjunya bahuku.
"Sebenarnya ada apa?" tanyaku lagi.
Han Xue memelintir kulit tanganku, melotot sambil berkata: "Sudah basah kuyup semuanya!"
