Keesokan harinya pagi-pagi aku dan Han Xue bersiap berangkat. Tak disangka, Tuan Gendut bilang ada urusan di kota dan ikut bersama kami. Sebenarnya aku tahu dia mengikutiku untuk memberiku keberanian. Sesampainya di kota, Tuan Gendut mengeluh pakaianku terlalu lusuh. Seperti kata peribahasa, penampilan dipengaruhi pakaian. Dia mengajakku ke mall untuk membeli setelan baru. Saat aku mencoba baju, dia pergi membeli hadiah untuk orang tua Han Xue. Melihat merek-mereknya saja sudah terkesan mewah. Saldo di kartuku hampir habis, sambil memperkirakan apakah cukup untuk membeli semua ini, Tuan Gendut tiba-tiba mengeluarkan setumpuk uang tunai dari tas ranselnya dan langsung membayar. Saat kucoba menahan, dia marah sambil berkata, "Tuan Gendut tidak kekurangan uang!" Pembelian ini menghabiskan puluhan juta, membuatku semakin penasaran berapa banyak uang di dalam tas ranselnya. Seolah-olah uangnya tak ada habisnya.
Setelah membeli pakaian, kami pergi ke salon. Keluar dari sana aku merasa segar dan bersemangat. Tuan Gendut berkata, "Waduh, tak kusangka setelah berdandan, kau tampak seperti manusia seutuhnya."
Han Xue memeluk lenganku seperti gadis kecil. Sejak pagi tadi dia terus tersenyum. Aku juga tidak berdebat dengan Tuan Gendut. Kami menyewa taksi menuju rumah Han Xue. Setelah turun, baru kusadari ini adalah kawasan vila di daerah baru. Keberanian yang kukumpulkan tiba-tiba hilang. Calon mertuaku ternyata tinggal di vila?
“Jago kandang lagi ya? Jangan jago kandang, Tuan Gendut akan ajari kamu satu akal. Dalam hati kamu bisakan diri sendiri adalah preman, lalu hafalkan silsilah keluarga kamu dua kali. Semakin banyak diulang pasti tidak takut.” Orang gemuk itu tertawa.
Aku mengikuti nasihatnya membisikkan "Aku preman, aku putra juara pasukan cucu dewa kota, nenekku adalah Lao Foye Tianjin". Setelah beberapa kali diulang ternyata benar-benar manjur, melangkah pun terasa seperti diiringi angin. Orang gemuk melambaikan tangannya: "Tuan Gendut tunggu di sini, kalian saja yang pergi. Ada situasi apa-apa panggil kapan saja."
Baru kali ini ketahuan bahwa sebenarnya dia datang ke Luoyang tanpa urusan, hanya menemani aku. Hatiku tersentuh, Han Xue juga berkata: "Ayo Tuan Gendut, kita makan bersama."
“Tuan Gendut kelihatan seperti lampu 250 watt? Dasarnya si Ye ini jago kandang, masa mau bikin calon mertua mengira dia perlu bawa orang saat ketemu orangtua? Pria paling memalukan kalau tidak punya tanggung jawab. Cepat pergi. Tuan Gendut akan jalan-jalan di sekitar sini.” Orang gemuk itu mengibaskan tangan lalu berbalik pergi.
“Orang gemuk ini benar-benar baik.” Kata Han Xue sambil menatap siluet punggungnya.
Aku mengangguk, menggenggam tangan Han Xue dan melangkah pasti. Dengan teman seperjuangan seperti Tuan Gendut dan istri secantik ini, bahkan gunung pisau lautan api pun akan kuhadapi.
Di depan sebuah rumah, Han Xue berjalan mendekat dan mengeluarkan kunci. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk, namun begitu kaki mendarat di dalam, kepala langsung terasa kosong. Bahkan terlintas keinginan untuk berbalik pergi. Pasalnya di ruang tamu terlihat meja bundar yang sudah dipenuhi orang. Begitu kami masuk, belasan pasang mata langsung menatap tajam ke arah kami.
Seandainya sorot mata itu adalah pedang tajam, pasti tubuhku sudah bolong ditembus sepuluh ribu anak panah saat ini.
Tentu saja aku tak bisa kabur. Dalam hati kubisikkan mantra "Aku preman, aku putra juara pasukan". Kebetulan Han Xue menarik lenganku, kami mengganti sandal dan berjalan mendekat.
Mereka tak banyak bicara. Di meja makan langsung kukenali mama Han Xue. Han Xue mewarisi kecantikan ibunya yang masih terawat sangat baik. Jika berdiri bersama, mereka lebih mirip kakak-adik. Setelah duduk, Han Xue menyapa satu per satu. Baru kusadari hari ini semua paman-bibi jauh Han Xue datang.
Han Xue tersenyum menyapa mereka. Aku pun mengikuti, namun setelah selesai bicara mereka hanya melirik dingin, mengangguk sekadarnya. Sikap tidak antusias ini membuatku sangat canggung.
"Setelah selesai menyapa, bibi Han Xue menatapku dan berkata: 'Dari mama Han Xue kudengar, kamu Ye Zi ya? Namanya juga aneh, sama dengan Raja Maling Hong Kong yang ada di berita. Keluarga kami kekurangan anak perempuan, semua anak laki-laki. Xue'er ini satu-satunya permata keluarga. Setelah lulus kuliah, sebenarnya mamanya ingin mengirimnya sekolah ke luar negeri, tapi karena melihat berita tentang kesulitan sekolah anak-anak di pegunungan, tiba-tiba dia ingin jadi relawan pengajar. Akhirnya dia pergi ke desa kalian. Ngomong-ngomong, kudengar setelah lulus kuliah, kamu juga kembali ke desa kalian jadi pegawai desa?'"
"Ya," jawabku sambil mengangguk dan tersenyum.
"Anak muda turun ke desa jalan-jalan juga bagus. Keluargamu juga dari desa itu kan?" tanya bibi Han Xue.
Sebenarnya sejak melihat seluruh keluarga Han Xue berkumpul, aku sudah tahu ini tidak terhindarkan. Dalam acara seperti ini, pasti ada yang berperan sebagai protagonis dan antagonis. Bibi Han Xue mungkin hari ini berperan sebagai antagonis. Pertanyaannya seperti pisau berbalut kapas, tapi sebenarnya masih cukup baik, lebih halus dari yang kubayangkan.
Aku mengangguk: "Waktu itu kakekku sudah tua, ibuku juga kesulitan sendirian. Kebetulan ada kesempatan kerja di kampung halaman, ya aku pulang."
Bibi Han Xue melirikku: "Hmm, anak muda berbakti itu baik. Tapi apa kamu tidak pernah berpikir keluar? Ingat, kami hanya punya satu anak perempuan ini, pasti tidak akan biarkan dia terus menetap di sana."
“Untuk saat ini belum, baru-baru ini juga banyak pekerjaan.” Aku tertawa canggung.
“Ma, ngapain sih sungkan sama si nak ini? Latar belakangnya sudah kucari tahu, bukankah kita baru saja berdiskusi untuk langsung memberitahunya bahwa dia sama sekali tidak pantas untuk kakakku? Dasar, ngapain bertele-tele.” Saat itu, seorang bocah nakal berusia belasan tahun yang duduk di sebelas tante Han Xue mulai berbicara.
“Kai Kai, jangan asal ngomong!” Han Xue melototi dia.
“Kakak, kamu terlalu polos, makanya dibohongi oleh kata-kata manis senjata ini. Lihatlah penampilannya yang seperti tong kosong, mana pantas untukmu? Hei, nak, kau masih berani memandangiku? Aku enam belas tahun, nyetir Ferrari, kamu? Aku ingat, kamu punya sepeda motor listrik, merek Aima kan, sudah dipakai hampir tiga tahun?” Si nak ini menatapku dengan wajah penuh provokasi.
Wajahku terasa panas seperti terbakar api, tapi aku tetap mengangguk padanya: “Ya.”
“Kai Kai kau duduk!” Saat itu, Han Xue menepuk meja keras, lalu berdiri menghadap ibunya: “Ma, semua sudah kujelaskan padamu, apa maksud kalian ini?”
“Xue'er, anak kecil memang belum paham. Ye Zi, kamu tidak marah kan? Kalau marah, tante minta maaf ya?” Kata ibu Han Xue.
“Tentu tidak.” Jawabku.
"Sekarang aku sudah paham, hari ini jelas-jelas ini adalah Perjamuan Hongmen. Tapi aku sudah pasrah, demi Han Xue, kalian mau menghinaku sekeras apa pun aku terima. Asalkan Han Xue di ruangan ini berpihak padaku, apa artinya sedikit penderitaan?"
"Kaikai, kau duduk, jangan omong kosong. Anak kecil ngerti apa?" Mama Han Xue berkata pada si nak itu.
"Imoko, logika yang bahkan anak kecil paham, mana mungkin orang dewasa tidak mengerti? Memang anak ini terlihat jujur, karakternya juga tidak buruk, tapi sungguh tidak cocok untuk Xue'er keluarga kita." Kali ini Bibi Han Xue menyela.
Sejujurnya, selain ucapan si anak yang kasar, keluarga Han Xue sebenarnya sudah cukup sopan. Setelah bibi Han Xue selesai bicara, Mama Han Xue menatapku: "Ye, bagaimana pendapatmu?"
"Aku akan menjaganya seumur hidup." Aku menjawab. Kurealisasi selain kalimat klise ini, tak ada lagi yang bisa kukatakan.
“Lihat, aku selalu tahu kakak perempuanku ini naif, pasti dibodohi oleh si nak ini dengan kata-kata manis. Mulutnya tak berhenti bicara soal seumur hidup, kau ini non-mainstream atau Shamate ya? Semua sudah kasih muka, kalau masih punya malu, minggir sendiri! Kau saja, bahkan tidak pantas mengikat tali sepatu Pojun, berani-berani pacaran dengan kakakku? Kujelaskan, urusan hari ini sudah kukabarkan ke Pojun. Kalau pergi sekarang masih sempat, kalau telat, hati-hati tidak bisa kabur lagi.” Si nak itu menyeringai sinis padaku.
“Kacau!” Saat itu, mama Han Xue berdiri dan menuding anak itu. Lalu dia berkata pada bibi Han Xue: “Kak? Apa ini perintahmu ke Kaikai? Aku minta kalian datang untuk lihat sifat hati anak ini, sekalipun tidak cocok tetap orang yang disukai Xue'er. Kalian ini ngapain?”
Setelah itu, mama Han Xue berkata padaku: “Nak, cepatlah pergi. Pojun itu temperamennya buruk. Dia sudah ngejar Xue'er selama tujuh delapan tahun. Kalau sampai ketemu kau, tidak ada yang bisa melindungimu.”
“Aku tidak akan pergi.” Kumeremangkan mata. Bodhisattva tanah liat pun punya tiga percikan api. Orang-orang di lingkaran ini benar-benar menganggapku boneka mainan?
“Nak, kau berani ya! Kau akan menyesal!” Si nak itu menudingku.
“Kau yang salah. Yang harus menyesal adalah kau.” Kataku menatapnya.
