“Ribut apa ini?” Saat itu, seorang pria paruh baya turun dari lantai atas, berpakaian sangat rapi, terlihat mengikuti gaya pria matang ala Chen Dongfang. Harus diakui, pria di usia seperti ini yang berdandan seperti itu memang memiliki pesona tersendiri.
Begitu orang ini turun tangga, Han Xue dengan lubang matanya memerah berkata: "Papa, lihatlah Bibi Besar mereka, bagaimana janjimu padaku dulu?"
Ternyata orang ini adalah ayah Han Xue. Ia menepuk bahu Han Xue sambil berkata: "Papa baru saja menerima telepon. Dari atas tadi Papa sudah melihat semuanya. Bibi Besarmu memang salah, tapi mereka juga sedang mengkhawatirkanmu."
"Papa! Kok Papa juga begini?!" protes Han Xue.
Pria paruh baya itu tersenyum lalu mendekatiku: "Nak, kontrol emosimu cukup bagus. Lumayan stabil."
Aku berdiri sambil tersenyum: "Paman, memang seharusnya begitu."
Ia melirikku lalu mengangguk: "Kamu pulang saja dulu. Anak Pojun itu sudah terlalu dimanja, dan dia pasti akan berusaha keras mendapatkan Xue'er. Tak perlu menanggung kerugian di depan mata."
Han Xue menarik lenganku: "Yezi, ayo kita pergi. Melihat tingkah mereka seperti ini, aku sudah tak ada selera makan."
"Aku melihat Han Xue menggelengkan kepala dengan lembut. Sekarang terlihat jelas, orangtua Han Xue sebenarnya cukup modern. Sebagai orangtua, hanya menyuruh kerabat untuk menguji saya, itu wajar belaka. Bahkan terhadap bibinya Han Xue dan anak itu, mungkin saya tidak akan benar-benar mempermasalahkannya. Pertama, sejak datang ke sini saya sudah siap mental. Kedua, apa yang mereka katakan memang benar. Han Xue pantas dianggap permata di telapak tangan keluarga ini. Wajar jika mereka punya persyaratan untuk calon suami Han Xue. Faktanya, jika kondisi saya dan Han Xue dibandingkan, ini memang seperti kodok memakan daging angsa."
"Tapi Pojun yang mereka sebutkan itu, yang sudah mengejar Han Xue selama tujuh delapan tahun dan sekarang mau menghakimi saya - jika saya kabur sekarang, tanpa perlu mereka mengatakannya, saya sendiri bisa menggali lubang dan mengubur diri."
Aku tersenyum pada Han Xue, lalu berkata pada pria paruh baya itu: "Kalau kabur sekarang, masih berani bilang mau merawat Xue'er seumur hidup? Bersembunyi bisa sementara, tidak bisa selamanya. Lagipula saya tidak berniat bersembunyi. Sudah tujuh delapan tahun dia mengejar Xue'er tapi tidak diterima, sementara saya hanya beberapa tahun bersama Xue'er langsung jadi pacarnya. Ini membuktikan saya jauh lebih unggul darinya."
"Nak, kau sedang mencari mati! Nanti Kak Pojun bisa memukulmu sampai tewas! Cuma pegawai desa kecil, berani bunuh tidak peduli kubur!" Teriak Si Kaikai.
“Kamu diam! Kalau berani bicara lagi, pergi sana!” Pria paruh baya itu melototi anak ini. Ayah Han Xue sepertinya punya wibawa besar di hadapan keluarga ini, satu kalimatnya membuat anak semena-mena ini pucat pasi, untuk sementara tidak tahu harus berdiri atau duduk.
“Gelü, Kaikai kan masih anak kandung, ngapain kamu membentak seperti itu?” Bibik Han Xue berbisik menggerutu.
“Anak? Perbuatan jahatnya di luar sudah cukup untuk membuatnya berjongkok puluhan tahun di penjara! Kalau masih dimanja, kamu tidak akan tahu bagaimana anakmu mati nanti! Xue'er hari ini membawa pacar pulang, ini urusan keluarga Han mencari menantu! Bukan urusan keluarga Song! Urusan apakah saya suka atau tidak pada anak ini, ini masalah keluarga saya, bukan urusanmu!” Ayah Han Xue melototi bibiknya, membuat ibu dan anak itu tidak berani bersuara, bahkan pria paruh baya yang duduk di samping terlihat canggung.
Perkataan Ayah Han Xue ini menghilangkan sisa kekesalan saya padanya. Ternyata latar belakang keluarga sangat mempengaruhi pembentukan karakter seseorang. Saya tersenyum pada Ayah Han Xue: "Paman, hanya Anda dan Tante yang bisa mendidik Xue'er sebaik ini."
“Nak, kamu benar-benar yakin tidak mau pergi?” Ayah Han Xue tersenyum tipis pada saya.
“Tidak.” Jawab saya tegas seperti memenggal paku dengan kapak.
"Baik, kalau tidak pergi, mari kita makan dulu." Papa Han Xue tertawa, setelah duduk, beliau berkata pada Mama Han Xue: "Sifat keras kepala anak ini, mirip seperti saat aku mengejarmu dulu ya?"
Wajah Mama Han Xue langsung memerah, melototi suaminya: "Sudah tahu kamu pasti akan bilang ini. Burung sejenis terbang bersama, keledai bandel juga suka sama keledai bandel lah!"
Papa Han Xue terkekeh: "Haha, sudah-sudah, mari makan."
Sikap terbuka Papa Han Xue berhasil meredakan suasana canggung. Han Xue pun tidak lagi ngotot pergi. Ia duduk di sampingku, memandangiku dengan kesal, menyepak kakinya diam-diam ke arahku lalu berbisik: "Yezi, jangan marah, aku juga tidak menyangka akan seperti ini."
"Tentu saja aku marah." Kataku dengan wajah merah padam.
Wajah Han Xue langsung pucat, panik. Aku melanjutkan dengan tersenyum: "Kamu diam saja punya rival cinta yang ngejarmu 7-8 tahun. Menyembunyikannya dariku! Nanti tunggu saja hukumannya."
Belum habis ucapan itu, pintu depan dihantam tendangan. Seorang pemuda masuk dengan gerombolannya, menunjuk ke arah kami: "Mana orangnya? Keluar sekarang!"
"Pojun! Jangan main-main!" Papa Han Xue mengerutkan alis.
“Paman Han, Anda diam saja. Urusan perebutan istri hari ini adalah dendam terpendamku. Siapa pun yang datang tidak akan mengubah ini. Tapi tenang, aku takkan mengotori rumahmu. Hei, nak, itu kamu? Kalau memang jantan, ikut aku keluar.” Pria itu berdiri di ambang pintu berkata.
Aku berdiri. Han Xue menarik lengan saya. Kumenepuk tangannya: "Tak apa, tenang saja."
Sejak kecil aku tak suka berebut barang dengan orang. Tapi aku juga tak suka orang lain merebut milikku. Aku berdiri dan berjalan ke pintu. Kini kulihat jelas pemuda di ambang pintu itu. Tingginya hampir sama denganku, sekitar 180cm. Bedanya, aku lebih kurus sedangkan dia terlihat sangat berotot dengan tampang rupawan. Garis wajahnya tajam, tapi terpancar aura kejahatan khas anak keluarga terpandang.
Tanpa perlu banyak bicara, aku langsung pahap kenapa Han Xue tak menyukainya. Dengan karakter Han Xue yang pendiam, mustahil dia tertarik pada tipe orang flamboyan dan semena-mena seperti ini.
“Kau itu si anak desa?” Dia menyeringai sinis memandangiku.
“Aku pacar Han Xue. Marga Ye, Ye Jihuan.” Jawabku.
“Aku tak tertarik dengan namamu!” Si pemuda langsung memberi kode mata. Beberapa orang di belakangnya mendekat dan mencengkeram lenganku untuk menyeretku keluar.
“Kau yakin tak akan menyesal?” Tanyaku padanya.
“Kenapa? Dengar-dengar kau pegawai desa. Mau bawa nenek-nenek tua dari kampungmu untuk pukuli aku?” Dia mendekat dan langsung menamparku.
Aku segera memalingkan pandangan dan menghindar. Meski tidak menguasai teknik tinju, belakangan ini sering melihat grandmaster bertarung, jadi sedikit banyak sudah menyerap aliran energi mereka.
"Berani juga kau menghindar!" Dengusnya sinis, menyepakku dengan satu tendangan. Karena tubuhku dipegangi dua orang, mustahil menghindar. Tendangan itu mendarat sempurna, membuat keringat dingin mengucur deras.
"Liu Pojun! Jika kau berani menyakitinya lagi, kau pikir aku tidak akan pernah mau bicara denganmu lagi?!" Han Xue berlari menarikku sambil berteriak.
"Nak, bisanya cuma bersembunyi di belakang perempuan?" Liu Pojun menyeringai menatapku.
Ku pandang Han Xue, "Xue'er, ini urusan antar pria. Percayalah padaku, tidak apa-apa."
Tanpa memberi mereka waktu siaga, aku langsung menerjang Liu Pojun. Tinjuku menghantam wajahnya, tangan mencengkeram kerah bajunya. Gigit gigi, pukulan bertubi-tubi kuhujamkan ke wajahnya. Aku tahu bukan ahli bertarung, tapi kali ini harus menyerang duluan!
Bawahannya berhamburan mendekat saat melihatku memukulinya dengan liar. Tapi saat itu, sudah belasan pukulan mendarat di wajah Liu Pojun. Wajah tampannya hampir berubah bentuk!
Saat anak buahnya mendekat, aku memelintir tubuh dan mematahkan sumpit yang tadi kuambil dari meja. Ujungnya kutetakkan di leher Liu Pojun, "Siapa yang berani maju, kubunuh dia!"
"Pada saat itulah, tubuh Liu Pojun ini tiba-tiba berputar. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya dia berputar. Sesaat kemudian, dia menarik tanganku yang memegang sumpit, lalu membantingku dengan bantingan bahu ke lantai. Kemudian dia menginjak wajahku dengan kakinya sambil berkata: 'Kukira kau punya kemampuan hebat, ternyata cuma gaya nak kampung yang suka berkelahi. Kau pikir tinjumu bisa melukaiku? Aku mulai belajar bela diri sejak delapan tahun. Dengan kemampuanmu ini mau membunuhku?'"
"Bukan meremehkannya, tapi yang bisa kulakukan hanyalah menyerang lebih dulu. Tak kusangka Liu Pojun ini ternyata praktisi bela diri terlatih. Setelah menendangku, dia berkata kepada orang di sampingnya: 'Seret keluar, pukuli sampai mati. Kalau ada masalah, aku yang tanggung.'"
"'Tuan Gendut! Masih tidak mau datang? Mau nonton saja?!' Saat itu aku berteriak ke luar."
