"'Kenapa tidak panggil Tuan Gendut dari tadi? Aku pikir biarkan kau tampil gagah dulu!' Tuan Gendut masuk sambil tersenyum. Melihatku diinjak, wajahnya langsung berubah sambil menuding Liu Pojun: 'Nak, Tuan Gendut beritahu kau - hari ini kau sudah menyentuh masalah besar!'"
"Setelah berkata demikian, dia berlari ke arahku. Liu Pojun tersenyum sinis: 'Ini pembantumu?'"
Setelah selesai bicara, dia memberi kode mata ke bawahan di sampingnya. Para bawahannya langsung menyerbu si gemuk. Meski si gemuk bukanlah petarung ulung, tapi bagi orang selevel kakakku, menghadapi para preman ini sama sekali bukan masalah. Seperti dugaan, dalam hitungan tiga dua, si gemuk sudah menggebuk lima enam orang yang dibawa Liu Pojun hingga terkapar.
"Lumayan bisa!" Liu Pojun mendengus dingin. Ia meninggalkanku dan mendekati si gemuk sambil mengambil posisi sanda. Dengan provokatif, ia melambaikan tangan ke si gemuk.
"Bego!" Si gemuk memaki. Dengan langkah gesit ia menerjang. Belakangan ini dia rajin meniru jurus 'Tieshenkao' milik kakakku - sampai-sampai melihat pohon pun bahunya ditabrakkan. Kali ini akhirnya bisa dipraktikkan. Meski gemuk, gerakannya selalu lincah. Liu Pojun sama sekali tak sempat menghindar sebelum tubuhnya terlempar bak panah lepas busur. Dengan gebrakan bahu itu, tubuhnya melayang dan jatuh berat ke tanah. Si gemuk menepuk tangan: "Cuma segini?"
Liu Pojun berusaha menopang diri di lantai tapi tak bisa bangun. Dengan wajah ngotot ia berseru: "Bagus, sungguh bagus! Di Luoyang, kaulah orang pertama yang berani melawanku. Dengarlah hai gendut, hari ini kau sudah menyentuh ranah yang tak boleh kausentuh!"
“Aduh, selanjutnya ngapain? Bertarung habis-habisan pake status ayah? Apa harus panggil ayahmu ke sini? Bukankah ini cara kalian para anak orang kaya? Nasihat dari Tuan Gendut, kalau kau anak yang berbakti, cepatlah berlutut dan minta maaf ke Ye Zi di sini. Ye Zi baik hati, apalagi ini di rumah mertuanya, mungkin dia masih mau kasih muka. Kalau benar-benar panggil ayahmu, sama saja menyakiti ayahmu sendiri.” kata si Gendut.
Saat itu, Papa Han Xue datang mendekat, memandang si Gendut lalu melihat Liu Pojun yang sedang mengeluarkan ponsel di lantai: “Xue’er, bawa Ye Zi dan temannya pergi. Biar aku yang tangani kalau ada yang datang.”
“Paman, orangnya baik, setia kawan! Ye Zi punya mertua sepertimu aku jadi tenang. Tapi jangan khawatir, tak apa-apa. Jangan lihat menantumu ini pengecut, energi di belakangnya besar. Sebenarnya aku justru khawatir tak ada yang cari masalah. Kalau ada yang berani, baguslah biar Paman lihat apakah menantumu ini cuma pegawai desa biasa.” kata si Gendut.
“Anak muda punya nyali itu bagus, tapi harus bisa ukur prioritas. Cepat pergi!” kata Papa Han Xue sambil mengerutkan kening.
“Paman, tidak apa-apa.” Saat itu aku berjalan mendekat dan berkata.
Papa Han Xue mengernyit, memandangiku lalu berbisik: “Teman gendutmu ini punya backing? Liu Pojun itu anak pejabat tinggi. Kalau kalian pergi sekarang, aku masih bisa anggap ini cuma candaan anak muda.”
“Benar-benar tak masalah. Backing-nya besar.” kataku.
“Ayah Han Xue tidak berbicara, mengangguk dan berkata: "Aku tidak mau calon menantu keluarga Han kami jadi bahan lelucon sebelum sempat masuk pintu!"
"Tidak akan." Aku berkata.
Liu Pojun ini setelah selesai menelepon juga ikut diangkat, mereka menghadang di ambang pintu, menuding kami: "Kalau berani pamer, jangan coba-coba pergi!"
Orang gemuk itu berkata: "Tenang saja, Tuan Gendut tidak akan kabur. Paman, boleh pinjam kursi?"
Setelah itu, aku dan si gemuk duduk di depan pintu. Si gemuk mengunyah kuaci, sementara aku mengobrol dengan Han Xue. Dia yang cerdas seperti es dan salju ini tahu banyak tentang kejadian-kejadian terakhir di Fudigou. Cuma dengan menebak pun dia pasti tahu kalau orang-orang paling hebat sekalipun tidak akan bisa mengalahkan si gemuk dan kakakku, jadi dia juga tidak khawatir.
Kami santai, malah membuat Liu Pojun ini geram sampai gigit-gigit. Ayah Han Xue juga benar-benar tegar, entah benar-benar ingin menguji kartu andalan calon menantunya atau bagaimana, dia malah mengajak seluruh keluarganya duduk di sofa, bertekad bulat ingin menonton pertunjukan bagus.
Tak lama kemudian, kudengar suara rem mobil di luar, lalu sekelompok orang berhamburan masuk. Melihat orang yang berjalan paling depan, hampir saja aku tertawa terbahak-bahak.
Benar-benar musuh takkan bertemu kalau bukan takdir! Orang yang membawa massa untuk membabat si gemuk ini bukan lain adalah Tang Renjie!
“Sebenarnya kalau yang datang orang lain, mungkin akan ada sedikit masalah, aku sebenarnya sudah mempersiapkan rencana terburuk, yaitu hari ini bagaimanapun juga tidak boleh kehilangan muka, soal urusan cebok, kalau si gemuk tidak bisa menunjukkan identitas, maka hanya bisa diserahkan kepada Chen Dongfang, siapa sangka yang datang ternyata seorang kenalan.”
Begitu Tang Renjie melihat aku dan si gemuk, wajahnya langsung berubah buruk, awalnya penuh kemarahan, tiba-tiba melakukan rem mendadak.
“Kak Tang, ini dua orang itu.” Liu Pojun mendekat dan berkata.
Tang Renjie mengabaikannya, malah menatap Han Xue: “Dari tadi aku merasa wajahmu tidak asing, ternyata nona Han.”
“Lalu bagaimana Bos Tang mau mengurus ini?” Si gemuk tersenyum menatapnya.
Tang Renjie tersenyum kecut: “Anggap saja aku tidak pernah datang.”
“Kak Tang, kamu!” Wajah Liu Pojun berubah drastis.
“Pojun, mereka berdua juga temanku, anggap ini kamu kasih muka ke Kak Tang, bagaimana?” Kata Tang Renjie.
“Tidak! Sudah kubilang, hari ini siapa pun yang datang tidak akan berpengaruh. Kak Tang, karena ini temanmu, aku tidak mau mempersulitmu. Pergilah.” Kepala Liu Pojun keras seperti besi, langsung berkata ke Tang Renjie.
“Jangan menyusahkan ayahmu, oke?” Tang Renjie mulai tidak senang, mengerutkan alis.
“Liu Pojun pernah kehilangan muka seperti ini? Kalau urusan ini dibiarkan begitu saja, bagaimana aku bisa bergaul di lingkaran ini nanti?!” Kata Liu Pojun.
Tang Renjie melihatnya, menggelengkan kepala dengan frustasi, lalu pergi bersama anak buahnya. Dia sudah terlalu sering dirugikan di pihakku, pasti tidak mau ikut campur dalam masalah rumit ini.
Setelah Tang Renjie pergi, Liu Pojun mulai menelepon secara gila-gilaan. Tak lama setelah kepergian Tang Renjie, teleponnya masuk. Si gemuk tertawa: "Pasti dari Tang Renjie, jangan diangkat. Biarkan si nak ini membuat keonaran, semakin besar masalahnya semakin baik."
Setelah berkata demikian, si gemuk berbisik di telingaku: "Aku baru bertanya di luar, ini kompleks pemerintah kota. Ayah mertuamu juga orang penting, tapi hubungannya dengan ayah si nak ini kurang baik. Semakin besar kekacauan yang dia buat, semakin menguntungkan posisi ayah mertuamu."
Kulihat ke arah ayah Han Xue, mendapatinya sedang minum teh dengan tenang dan percaya diri. Sebaliknya, Kengkeng yang semena-mena dan bibi besar Han Xue justru semakin pucat wajahnya.
Tak lama kemudian, sekelompok orang tiba-tiba masuk. Pemimpinnya mengenakan setelan Zhongshan, rambut disisir ke belakang. Beberapa orang mengikutinya dari belakang. Ciri wajahnya mirip dengan Liu Pojun, kemungkinan besar ayah Liu Pojun. Benar saja, begitu orang ini masuk, Liu Pojun langsung berdiri sambil berkata: "Ayah, merekalah pelakunya!"
Namun orang itu malah menampar Liu Pojun. Tamparan ini membuat Liu Pojun limbung sepenuhnya. Lalu pria paruh baya itu menghampiriku: "Saudara muda, anakku ini bermata buta. Aku mohon maaf atas namanya."
"Tidak perlu minta maaf ke saya. Hari ini saya datang ke rumah Paman Han untuk makan, sebagai tamu keluarga Han. Dia menyepak pintu masuk lalu langsung memukul orang. Menurut saya, yang paling harus minta maaf ke Paman Han ya dia." Aku berkata.
Pria paruh baya ini alisnya berkedut. Saat itu, ayah Han Xue datang menghampiri dan berkata: "Sekretaris Liu, sampai-sampai Bapak yang datang juga. Anak muda ini api kemarahannya besar, saya berusaha menghentikan tapi tak sanggup. Baru saja ingin menelepon Bapak."
"Gelu, Pojun tidak mengerti sopan santun, sudah mengganggumu. Saya minta maaf." Kata pria paruh baya itu. Meski disebut permintaan maaf, tapi pria ini memiliki aura yang kuat, nada suaranya sama sekali tidak menunjukkan rasa menyesal.
"Sekretaris Liu, Bapak terlalu sungkan. Minta maaf apalagi? Mari, minum teh." Ayah Han Xue berkata.
"Minum teh tidak perlu. Karena Bapak ada tamu penting, silakan temani tamunya dulu. Saya bawa nak ini pulang untuk memberikan pelajaran. Masih muda tapi tidak belajar baik-baik, pantaslah dapat pelajaran lewat pengalaman pahit." Kata pria paruh baya itu.
Setelah berkata demikian, dia menarik Liu Pojun dan hendak pergi.
"Tunggu! Minta maaf dulu ke saudaraku ini, mana Tuan Gendut?" Si Gendut berseru.
Pria paruh baya ini mengerutkan kening, tapi tetap menghampiri: "Saudara muda, anak tidak terdidik adalah kesalahan ayah. Di sini saya minta maaf padamu."
"Sudah, demi menjaga muka Paman Han, Tuan Gendut juga memaafkanmu." Si Gendut melambaikan tangannya.
Setelah beberapa orang itu pergi membawa Liu Pojun, suasana di dalam ruangan menjadi sangat canggung. Orang gemuk itu berdiri dan berkata pada ayah Han Xue, "Paman Han, Ye Zi ini orangnya rendah hati. Sebenarnya dia tidak ingin mencari masalah. Tapi kalau urusan lain mungkin masih bisa ditelan dengan mengernyitkan leher, laki-laki mana yang mau kehilangan muka di depan wanita yang dicintainya? Lagipula ini juga salahku. Aku yang menelepon sepupu Ye Zi. Nona kecil itu emosinya tidak stabil, siapa tahu dia melakukan hal yang keterlaluan."
Wajah ayah Han Xue terlihat senang, namun dia menahan senyumnya, "Sebenarnya banyak hal sudah kuketahui sejak lama. Sejak hari atasan memerintahkan blokade Fudigou, aku sudah bisa menebak beberapa hal. Aku juga orang yang peduli muka. Alasanku bertindak seperti ini untuk menunjukkan pada orang-orang bahwa calon suami Xue'er pastilah orang-orang hebat."
"Ayah!" Han Xue memerah wajahnya.
Aku melototi si gemuk. Tak kusangka dia malah menelepon nona itu. Bukannya ini malah menambah masalah?
Tapi jujur saja.
Ini pertama kalinya aku merasakan manfaat yang dibawa oleh kekuasaan.
Pantas saja semua orang rela mempertaruhkan nyawa untuk berebut masuk ke dalamnya.
Andai saja aku hanya seorang pegawai desa Fudigou, meskipun cintaku dengan Han Xue tulus, belum tentu bisa lolos dari penghinaan orang-orang ini.
