Saat berdiri, orang gemuk menyelinapkan selembar kertas kuning ke tanganku, lalu berbisik sangat pelan: “Di saat kritis, tempelkan di bahumu. Ini bisa Nyalakan Lampu Jiwa sementara.”
"Hatiku berdebar kencang!" Kulihat si gemuk, mungkin ini satu-satunya cara yang dia pikir bisa mengubah situasi. Persis di saat itu, kakek Sun Liancheng kembali mendekati si gemuk. Tangannya mencekik leher si gemuk, ekspresi wajahnya berubah mengerikan. Dengan senyuman sinis dia berkata, "Teori bahwa Guo Zhongyong dari Jalan Hantu dikhianati orang dekat - darimana kau dengar ini? Dari gurumu He Anxia?"
Si gemuk terlihat sangat compang-camping. Tapi meski dicekik, dengan susah payah dia membalas, "Kenapa? Takut?"
"Kau cari mati!" Kakek itu melemparkan si gemuk hingga terbang. Jatuh kali ini, setelah beberapa kali berusaha bangun gagal, akhirnya dia menyerah dan duduk bersila mulai mentransfer energi.
"Lepaskan dia. Apa yang dia katakan, aku jamin tak akan bocor ke siapapun." Xiao Qi melangkah dua langkah ke depan.
Kakek Sun Liancheng menoleh mengawasi Xiao Qi, "Tidak. Di mataku, hanya mayat yang benar-benar aman."
Usai bicara, dia berlari ke arah Xiao Qi dengan wajah menyeringai. Tiba-tiba Sun Liancheng akhirnya bertindak seperti lelaki, menghadang di depan Xiao Qi, "Kakek, jangan membuat terlalu banyak musuh."
“Pergi sana!” Si kakek tua ini menampar cucunya hingga terjatuh ke lantai, lalu langsung meraih Xiao Qi yang tidak bisa menghindar. Dia menjulurkan lidahnya dan menjilat wajah Xiao Qi sambil berkata: “Tapi tenang saja, aku tidak akan mudah membiarkanmu mati. Sudah kubilang, aku suka bau tubuhmu.”
Meski saat ini aku sangat tidak mengerti mengapa Si Gemuk sengaja memprovokasi monster tua ini, tapi jelas ini bukan saatnya menuntut tanggung jawab. Aku memandangi kertas kuning yang diberikan Si Gemuk padaku, kebetulan dia juga sedang menatapku dan mengangguk padaku.
Aku mengeratkan gigi. Kini Xiao Qi terjebak dalam bahaya, Si Gemuk jelas sudah kehilangan kekuatan tempur. Ini benar-benar saat yang diperlukan. Aku melepas jaket dan langsung menempelkan kertas kuning itu di bahu kiriku. Begitu kertas itu menempel, tiba-tiba terbakar api yang terasa seperti mengebor masuk ke dalam ototku, bahkan seolah membakar jiwaku. Sensasi kali ini sama sekali berbeda dengan saat menggunakan lilin pengganti lampu jiwa di rumah Han Xue.
Rasa panas itu dengan cepat menyebar ke seluruh tubuhku, meresap hingga ke ujung-ujung anggota tubuh.
Tiba-tiba kurasakan seluruh tubuhku dipenuhi kekuatan.
Ini adalah perasaan bahwa dengan mengulurkan tangan, aku bisa menghancurkan segalanya.
Sedangkan Kakek Sun Liancheng yang sedang menggendong Xiao Qi tiba-tiba menoleh ke arahku. Wajahnya tiba-tiba berubah ekspresi penuh keheranan, kemudian dalam keadaan terkejut yang terpancar di seluruh wajah, kulitnya berubah pucat.
Lebih mengejutkan lagi, dia kemudian meletakkan Xiao Qi. Yang paling tak terduga adalah dia berjalan menghampiriku lalu bersimpuh di hadapanku.
Semua ini terjadi dalam sekejap. Persis saat aku mengumpulkan kekuatan yang tiba-tiba muncul ini untuk menghantam kepala si tua bangka dengan tinjuku, tiba-tiba kurasakan api di bahu kiriku cepat mereda. Kekuatan dalam tubuh yang kurasakan bisa menghancurkan segalanya itu sedang cepat menghilang. Aku tahu apa yang dikatakan si gemuk tentang menyalakan Lampu Jiwa hanya sementara, tapi tak kusangka kecepatannya sampai segini. Tinjuku sudah di atas kepala si tua yang sedang bersimpuh itu. Kini tanpa kekuatan liar itu, bahkan jika kupukul pun mungkin tak ada efeknya, bahkan bisa memancing amarahnya lagi. Di momen genting ini, tiba-tiba kubuka kepalan tanganku, mengubah tinju menjadi telapak, lalu dengan lembut kusentuh ubun-ubun si tua bangka itu.
Sentuhan itu terasa seperti tuan yang sedang membelai budak yang bersimpuh di hadapannya.
“Tapi tepat pada saat ini, Kakek Sun Liancheng tiba-tiba mengangkat kepala, dan dengan kecepatan yang sama sekali tidak bisa saya tangkap bereaksi, dia menggenggam tangan saya. Dia berdiri, matanya mengawasi saya dengan tajam, sesuatu di matanya mulai berubah semakin aneh. Genggamannya sangat kuat, saya merasa pergelangan tangan saya hampir patah olehnya. Saat saya hampir tidak tahan menahan sakit dan ingin berteriak, dia tiba-tiba melepaskan genggaman dan mendorong saya hingga terjatuh. Seluruh tubuhnya membelakangi kami, tidak tahu sedang memikirkan apa.
Setelah beberapa lama, dia berkata kepada Sun Liancheng: "Bawa mereka semua pergi, aku tidak ingin melihat mereka lagi."
"Baik." Sun Liancheng berdiri sambil berkata.
Kemudian dia melihat kami dan berkata: "Ayo pergi."
Saya membantu si gemuk berdiri, lalu menarik Xiao Qi. Di bawah pimpinan Sun Liancheng, kami keluar dari perkebunan ini. Saat ini Sun Liancheng masih yang menyetir mobil, tapi suasana sama sekali berbeda dengan saat datang tadi. Si gemuk di dalam mobil terus menutup mata sambil mentransfer energi untuk memberikan pertolongan, sementara saya belum sepenuhnya pulih dari sensasi lampu jiwa yang baru saja dititikkan. Xiao Qi menatap keluar jendela, sedangkan Sun Liancheng yang menyetir juga terlihat muram tidak tahu sedang memikirkan apa.
Akhirnya, mobil memasuki sebuah vila. Setelah memarkir, Sun Liancheng membuka pintu mobil dan berkata: "Turunlah, ini tempat pribadiku, sangat aman. Sembunyikan diri di sini dulu. Kakekku itu orang yang mood-nya tidak menentu, siapa tahu tiba-tiba dia berubah pikiran dan mengejar untuk membunuh kita."
"Menurutmu kami masih bisa mempercayaimu sekarang?" Xiao Qi melirik Sun Liancheng sambil berkata.
"Aku tidak punya niat untuk menyakiti kalian." Jawab Sun Liancheng.
“Turun dari mobil dulu.” Di saat yang sama, orang gemuk membuka matanya dan berkata.
Aku melirik ke arah orang gemuk. Sebenarnya sama seperti Xiao Qi, saat ini kami sama sekali tidak memiliki kesan baik terhadap Sun Liancheng. Secara logika seharusnya kami menjauh darinya. Tapi sekarang, orang gemuk sebenarnya adalah tulang punggung bagi aku dan Xiao Qi. Meskipun sejak dia mulai memprovokasi si tua bangka itu, aku merasa hari ini dia sangat aneh.
Setelah orang gemuk selesai bicara, dia membuka pintu mobil dari sisi sana dan turun. Karena dia sudah turun, aku dan Xiao Qi hanya bisa mengikutinya dengan frustasi. Sun Liancheng membuka pintu vila itu dan mempersilakan kami masuk.
Aku sebenarnya cukup takut pemandangan di dalam pintu ini akan sama seperti di loteng Perkebunan Sun. Tapi ternyata kekhawatiranku berlebihan. Interior vila ini jauh lebih modern, seperti tempat tinggal anak muda.
Begitu masuk, tubuh orang gemuk langsung limbung hampir terjatuh. Aku segera bergegas memegangnya dan bertanya: “Kamu tidak apa-apa?”
Orang gemuk melambaikan tangan: “Masa bisa baik-baik saja? Si tua itu main tangan terlalu kasar. Jangan biarkan aku berdiri, cepat dudukkan aku.”
Aku membimbingnya ke area sofa. Setelah duduk, dia kembali memejamkan mata beristirahat. Aku dan Xiao Qi juga duduk bersebelahan. Saat ini, kami harus sangat berhati-hati untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang mungkin muncul.
Beberapa saat kemudian, Sun Liancheng melempar beberapa botol minuman ke arah kami. Tapi tidak ada satu pun dari kami yang membukanya untuk diminum. Sun Liancheng melihat kami dan berkata: “Tenang saja minum, tidak akan dikasih obat.”
“Kamu masih berani bicara.” Xiao Qi meliriknya.
Sun Liancheng mengangkat bahu. “Apa masalahnya? Banyak orang melakukan hal seperti ini. Gadis-gadis kecil yang menjual diri demi uang, kebetulan kebutuhan kakekku jauh melebihi orang biasa, saling memenuhi kebutuhan masing-masing.”
“Jangan bikin aku mual, oke? Kakekmu itu monster tua.” kata Xiao Qi.
“Aku tahu.” jawab Sun Liancheng.
Si gemuk menyela, “Sun Liancheng, kalau kamu sudah tahu sifat asli kakekmu, kenaja sengaja mengajak kami ke loteng bahkan memperlihatkan kebiadabannya secara langsung. Langsung saja, apa maumu?”
Sun Liancheng tersenyum memandang si gemuk. “Aku ingin kalian membantuku membunuhnya. Jadi Niang, aku tahu kesanmu pasti sangat buruk padaku kali ini. Tapi jika kubayar dengan kepala kakekku sebagai permintaan maaf, kurasa kau pasti mau memaafkanku?”
Perkataan Sun Liancheng membuatku terkejut. Tiba-tiba kusadari situasi keluarga Sun sangat kompleks, sedemikian rumitnya sampai tak bisa kupahami. Mereka semua, dari dalam maupun luar, seakan diselimuti aura aneh.
“Aneh kenapa aku berkata begitu? Tenang, tujuanku bukan sekadar mengambil hati Niang. Keinginanku untuk membunuhnya sudah berlangsung bukan satu dua hari ini.” Sun Liancheng yang sedang minum bir itu menghabiskan sebotol bir sekaligus, lalu meremas kaleng minuman itu sambil berkata padaku.
"Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat drama keluarga kaya berebut harta warisan, bahkan adegan pangeran berebut tahta di TV," kataku. "Kenapa kamu berpikir begitu? Untuk memperebutkan kontrol atas Keluarga Sun?"
"Aku tidak tertarik. Dia pantas mati, seharusnya tidak hidup di dunia ini, bukan?" Sun Liancheng menyeringai dingin.
