Perkataan si Gemuk membuatku terdiam sejenak, lalu kukatakan sambil tertawa: "Ini jenis sofisme apa? Tapi dari penjelasanmu, Jalan Hantu Guo Zhongyong sepertinya memang musuh bebuyutan alami Yuhuangdao. Yuhuangdao memuliakan dewa, sementara Jalan Hantu menolak menyembah setan manusia. Yuhuangdao tidak punya naga, Jalan Hantu justru mengkultuskan naga."
"Makanya Yuhuangdao bisa bertahan hingga kini, sedangkan Jalan Hantu sekalipun sesekali bersinar cemerlang, tetap hanya sekadar bunga yang mekar sesaat." Si Gemuk tersenyum.
Aku tidak melanjutkan percakapan ini karena Li Qing keluar dari kabin kapal. Si Gemuk menyapanya: "Hei, Li Qing, akhirnya mau keluar juga?"
Li Qing mendekat, tersenyum tipis: "Keluar untuk menghisap sebatang rokok."
Setelah kami bertiga masing-masing menyalakan sebatang rokok, Li Qing sambil menghisap rokoknya berkata: "Kak Chen sudah berpesan, kalian berdua harus tenang, ikuti langkah-langkahnya satu per satu. Dia sudah punya rencana."
"Ada?" kata si Gendut dengan nada mengejek.
Li Qing mengangguk: "Sepertinya ada. Dia tidak pernah bertindak tanpa persiapan. Terserah kalian mau dengar atau tidak, aku cuma menyampaikan pesan." Setelah berkata demikian, Li Qing menyentil puntung rokoknya yang melengkung sempurna sebelum jatuh ke air.
"Sikap apa ini!" gerutu si Gendut.
Ku tepuk bahunya: "Sudahlah. Menurutku Chen Dongfang memang orang yang hati-hati. Kau jangan terlalu curiga. Sekarang kita semua di perahu yang sama, Sun Liancheng belum tentu berani main licik."
"Bukan Sun Liancheng yang kukhawatirkan," sahut si Gendut, "Tapi pemuda yang dibawanya ini. Ingat nasihatku dulu? Baik ilmu bela diri eksternal sepertiku, maupun latihan energi ala diriku - begitu mencapai tahap awal, kita bisa merasakan energi lawan. Tadi kucoba menyelidikinya diam-diam, tapi energiku lenyap seperti batu tenggelam di laut. Dia langsung menatapku, tahu aku sedang mengawasinya. Itu artinya dia benar-benar top player kelas berat! Masalahnya usianya masih sangat muda. Ada kah keluarga Sun punya jagoan muda sehebat ini? Tidak terasa aneh kah?"
"Kecilkan suaramu." Aku melototi si gemuk. Kapalnya tidak besar, sehingga jarak antara kami tidak jauh. Saat si gemuk membicarakan pemuda itu, orang tersebut menoleh perlahan ke arah kami. Aku jadi sangat canggung karena ketahuan membicarakan orang diam-diam.
"Takuti apa?" Si gemuk menatap pemuda itu. Baru saja membicarakannya, sekarang malah berani menatap langsung. Bahkan dengan santai dia menyapa: "Hei, nak, ngapain liatin si gendut?"
"Jangan cari masalah. Aku punya firasat tidak baik tentangnya." Kutarik lengan si gemuk.
Pemuda itu menyapu kami dengan tatapan dingin, lalu kembali memandang Sungai Kuning. Tatapannya seakan bisa menembus permukaan keruh dan melihat dasar sungai.
"Justru karena firasat buruk kita harus buat dia banyak bicara. Biarin dia cool terus, mana bisa ketahuan kelemahan. Daun, ingat kata-kata: Penyakit masuk dari mulut, masalah timbul dari lidah. Untuk orang seperti ini, harus dipancing bicara. Seperti kakakmu itu - lawan fisik kalah, tapi bisa kalahkan dengan omongan." Kata si gemuk.
"Ini teori sampah permukaan air?" Tanyaku sambil tersenyum pahit.
Si gemuk melambaikan tangan: "Santai, lihat saja caranya si gendut. Cukup satu Sun Zhongmou yang sok cool di sini, ngapain ada yang ikut-ikutan?"
Lalu, si orang gemuk benar-benar berjalan mendekati nak ini untuk memulai taktik mulut, aku menariknya sebentar tapi tak berhasil, kalau dia tidak bilang senjata ini jauh lebih hebat darinya mungkin tidak apa-apa, tapi malah memprovokasi. Aku takut nak ini langsung melemparkannya ke Sungai Kuning untuk jadi umpan ikan kalau kesal. Si gendut memang nekad, kadang sok jago, sudah tahu bukan lawan masih berani macam-macam. Jadi aku buru-buru ikut mendekat.
"Hei, nak, Tuan Gendut ini bicara padamu, tak dengar?" Si gendut berteriak sambil mendekati pemuda itu.
"Bicara apa?" Pemuda itu menoleh sebentar ke arah si gendut.
"Keluarga Sun kan? Siapa gurumu? Sun Congwen atau Sun Congwu?" Tanya si gendut, seolah dia sangat akrab dengan kedua orang tersebut.
"Aku tidak punya guru." Pemuda itu melirik si gendut sekilas.
"Kalau gitu Tuan Gendut tanya, apa kamu sekongkol dengan Sun Liancheng? Ada masalah sama Daun?" Si gendut terus mengejar.
Kali ini pemuda itu bahkan tidak melirik, hanya menggeleng lembut. Aku ingin menarik si gendut agar tidak mempermalukan diri lagi - kau pikir diri polisi yang sedang menginterogasi tahanan?
"Pernah ke tempat yang akan kita tuju ini? Tahu isinya apa?" Si gendut terus bertanya.
Pemuda itu kembali menggeleng.
"Tuan Gendut bicara padamu, sikapmu seperti ini?" Si gendut terus memprovokasi.
“Saya tidak suka bicara dengan mayat.” Nak itu akhirnya memalingkan pandangannya ke arah orang gemuk sambil berkata. Dia benar-benar diam seperti batu, tapi begitu bicara langsung mengagetkan. Kalimat ini membuatku dan si gemuk sama-sama terdiam.
“Kau mengancam Tuan Gendut?” si gemuk membentak.
“Gemuk, jangan lanjutkan, ayo pergi.” Kutarik lengan si gemuk. Karena saat itu, pemuda itu tiba-tiba tersenyum padanya. Senyumannya membuat bulu kudukku meremang.
“Tidak. Dia sudah mengancam akan membunuhku. Kalau aku pergi, bukankah itu menunjukkan aku pengecut?” sahut si gemuk.
“Tidak, aku tidak mengancammu. Maksudku, kau akan tewas di tangannya, dibunuh langsung olehnya. Jadi di mataku, kau sudah seperti mayat berjalan.” jawab pemuda itu.
Kalimatnya membuat seluruh tubuhku merinding. Saat mengucapkan itu, jarinya menunjuk ke arahku.
Sebelumnya dia bilang kakak mendendam padaku, sekarang dia bilang aku akan membunuh si gemuk. Jika ini cuma provokasi biasa, teknik adu dombanya sangat payah. Masalahnya, dua kali dia memprovokasi, sikapku padanya berbeda.
Ucapannya lagi-lagi membuat kami terpaku. Kutarik pinggang si gemuk ke belakang sambil berteriak: “Mulut bajingan ini lebih tajam dari pedang! Jangan dihiraukan!”
Si gemuk melepaskan genggamanku. Dia menoleh sambil tertawa: “Ye, kau takut Tuan Gendut termakan hasutannya?”
“Bukan takut, cuma merasa jijik mendengarnya.” jawabku.
Orang gemuk tidak bicara, malah memutar kepala memandang si nak sambil berkata, "Tak kusangka kau ini seorang Nabi. Kalau begitu tolong tanya, bagaimana caranya dia akan membunuhku? Pakai pisau atau tombak? Kapan?"
"Dengan tangan. Suatu hari nanti dia akan membunuhmu, mungkin besok, mungkin di masa depan," jawab si nak.
"Lalu kenapa dia harus membunuh Tuan Gendut ini? Tidakkah kau lihat kami berdua ini saudara sejati?" tanya orang gemuk.
"Karena kalau dia tidak membunuhmu, kaulah yang akan membunuhnya. Hanya satu dari kalian berdua yang bisa selamat." Setelah mengucapkan itu, si nak memalingkan kepala dan tak lagi memandangnya.
"Kau benar-benar provokator ulung," gerutu orang gemuk sambil menatapnya.
Namun saat sampai di titik ini, si nak tak mau lagi berbicara. Harus diakui, meski kemampuannya dalam provokasi biasa saja, namun karena memiliki keahlian misterius yang tak terpahami, ucapannya terasa sangat meyakinkan. Terutama cara dia menghentikan pembicaraan tepat di puncak, meninggalkan ruang imajinasi yang luas.
Tiba-tiba aku merasakan kegelisahan yang tak jelas. Harus kuakui, jantungku benar-benar kacau oleh provokasi sederhananya. Kali ini dengan paksa kutarik si gemuk ke samping, mencegahnya melanjutkan percakapan dengan si nak.
Setelah sampai di sisi, orang gemuk mengeluarkan rokok dan menyalakannya, lalu memberikanku sebatang. Korek apinya gagal menyala tujuh delapan kali, membuatnya kesal dan melemparkan korek itu ke air. Lalu dia mengulurkan tangan padaku, "Daun, api."
Aku menaruh korek api di tangannya dan berkata: "Sudah kubicarakan beli yang tahan angin dua tael, kau nekad beli yang satu tael. Tidak kekurangan uang, sekarang baru tahu bedanya kan?"
Si gendut menyalakan rokok, kedua tangan menahan pinggiran kapal, diam seribu bahasa.
"Sudah kubilang jangan pedulikan dia. Orang itu brengsek, siang tadi dia bilang kakakku membenciku sampai mati. Menurutmu mungkin?" Kataku. Aku sengaja mengatakan ini untuk menutupi kegelisahan yang kini jelas terasa. Karena kusadari si gendut sama sepertiku, mulai terpengaruh oleh ucapan pemuda itu.
"Tuan Gendut, jangan-jangan kau benar-benar percaya?" Tanyaku.
"Jika suatu hari nanti terjadi, bunuh saja aku. Takkan kubalas." Di saat itu, si gendut tiba-tiba menoleh dan mengucapkan kalimat tak terduga.
