“Bagian ini belum kaulihat?” Li Qing mengikuti arah pandanganku.
“Belum. Jujur saja, sendirian di kapal ini cukup horor. Belum sempat kuperiksa, kalian sudah kembali.” Jawabku.
“Ayo periksa.” Li Qing bersikeras. Sudah kujelaskan keanehan kapal ini padanya. Meski tahu ini berbahaya, status Nek Li yang spesial baginya membuatnya harus memastikan apakah nenekku benar menjadi korban.
“Kita sepakati dulu, Tuan Gendut sekarang sudah kehabisan kekuatan tempur. Badan masih lemas, apalagi kertas kuning ritualku habis dihamburkan si boros Xiao Ye ini.” Gerutu si gemuk.
“Kamu harus tenang dulu dan memulihkan tubuhmu.” Aku berkata padanya, lalu mengangkat senter. Dengan kehadiran Li Qing dan si orang gemuk di sini, tentu membuat mentalku berubah. Aku berkata pada Li Qing: "Ayo, masuk."
Li Qing mengangguk, meraih belatinya. Sementara aku menggenggam tombak di tangan. Tiba-tiba si orang gemuk berdiri: "Hei, kalian berdua tunggu dulu."
"Bukannya kekuatan tempurmu sudah habis?" tanyaku.
"Jika kapal ini adalah Kapal Hantu <>, berarti yang mengontrol adalah hantu. Li Qing memang ahli R-flash, tapi apa gunanya melawan hantu? Masa si orang gemuk ini bisa diam saja?" kata si gemuk.
Kutekan tinju ke bahunya sambil tertawa marah: "Syukurlah kau masih tahu membalas budi."
Tapi saat kami hendak memasuki kabin kapal ini, kucing hitam itu tiba-tiba melompat dari bahuku. Itu menghadang di depan kami, mengeluarkan suara Meong keras, bulu seluruh tubuhnya berdiri sambil mengawasi kami. Sorot matanya penuh nuansa peringatan.
"Jangan sentuh dulu. Kucing ini punya arwah. Ia sedang memberi notifikasi sesuatu." Aku tiba-tiba mendapat firasat buruk. Kabin yang tak berani kumasuki ini, jangan-jangan memang ada yang tidak normal?
"Benar, kucing memang makhluk Yin. Perasaannya terhadap energi Yin paling akurat," si gemuk menyetujui.
Li Qing yang sudah siap menyepak pintu terpaksa kami hentikan. Ia mengulurkan tangan minta sebatang rokok dariku: "Kalau begitu, kucing ini tahu ada risiko di dalam. Ia pernah masuk, artinya Nyonya juga pernah masuk."
“Li Qing, Tuan Gendut tahu apa yang kau pikirkan. Tapi kapal ini ada yang aneh, benar-benar tidak beres. Jika perkiraanku tidak salah, itu akan mengantar kita ke suatu tempat sebelum subuh, lalu lenyap lagi. Saat ini tidak perlu banyak tingkah. Tanpa jimat, Tuan Gendut tidak bisa menghadapi terlalu banyak makhluk.” Orang gemuk itu membujuk Li Qing.
Di dalam hatiku sekarang juga ada keinginan mundur, tidak tahu harus masuk melihat atau menyerah. Li Qing menghisap rokoknya dalam-dalam: "Kalian berdua mundur. Aku sendiri yang masuk. Aku masih setengah keluarga Li. Nyawaku diberikan Kakek Enam. Pekerjaan ini sangat penting bagiku."
"Kalau bicara begitu, dia juga nenekku. Aku juga tidak boleh pergi." Kataku.
"Kenapa kalian melihatku? Nyawa Tuan Gendut juga kalian yang selamatkan! Kalau mau masuk, kita masuk bersama. Ayo!" Usai berkata, Tuan Gendut tiba-tiba menyepak pintu kayu ini duluan. Aku buru-buru menggendong kucing, dan saat pintu terbuka, segera menyorotkan senter ke dalam. Sorotan itu memperlihatkan kabin kapal yang dipenuhi batu naga Longtou.
Semuanya tersusun dalam dua baris. Setelah menghitung, total ada sebelas batu naga Longtou - satu baris enam buah dan baris lain lima buah. Dulu di Fudigou, bisa kukatakan ini batu naga Longtou. Tapi sekarang setelah tahu, harus disebut sebagai peti naga Longtou.
Sebuah peti mati yang unik milik Jalan Hantu.
Dua belas Batu Naga Longtou yang tersusun dalam dua baris ini memberikan kejutan visual yang cukup besar. Namun sisi positifnya, Batu Naga Longtou memberikan kesan khidmat dan agung, tidak seperti peti mati asli yang langsung menimbulkan rasa takut begitu dilihat.
"Tuan Gendut, Anda berpengalaman luas. Jelaskanlah, apa makna situasi ini?" kataku pada si gemuk.
"Kurasa kita mungkin telah sampai di sarang Jalan Hantu. Batu Naga Longtou ini bahkan dalam Jalan Hantu merupakan benda spesial. Hanya orang-orang berstatus terhormat yang akan dikuburkan di dalamnya," jawab si gemuk.
Saat itu, Li Qing mengambil senter dari tanganku dan mendekati dua barisan peti mati itu. Setelah sampai, dia menoleh dan berkata, "Kemarilah kalian lihat."
Setelah aku dan si gemuk mendekat, kami menemukan di baris kedua—tepatnya barisan lima peti—posisi terakhir memang kosong, namun terdapat beberapa batu pemberat di lantai. Batu Naga Longtou lainnya justru ditempatkan di atas batu-batu pemberat ini.
"Kurang satu?" kukerutkan kening.
"Ya, memang kurang satu," si gemuk juga mengerutkan dahinya.
"Menurutmu apakah itu yang di Fudigou? Chen Jinzhi dulu juga pernah naik kapal ini, mencuri satu?" tanyaku.
Si gemuk menepuk dahinya, "Memang ada kemungkinan itu! Dulu kukira Batu Naga Longtou ini cuma batu Gunung Tai biasa. Ternyata tidak sesederhana itu. Ini pasti jenis batu sangat khusus, dan rahasia intinya masih dikuasai lingkaran dalam Jalan Hantu."
Saat aku sedang membicarakan ini dengan si Gemuk, Li Qing sudah sampai di sisi sana. Dia berdiri diam tak bergerak, sepertinya sedang mengawasi sudut ruangan. Aku kaget, khawatir terjadi sesuatu padanya, lalu mendekat dan bertanya, "Ada apa denganmu?"
Setelah menepuk bahunya, saat melihat apa yang diamatinya, seluruh tubuhku langsung membeku. Di sudut itu terdapat altar pemujaan kecil dengan dua batu pualam. Altarnya sangat mini, batu-batunya pun tak besar—seharusnya di dalamnya dipajang patung dewa berukuran kecil. Di depan altar terdapat tungku dupa. Yang aneh adalah, selain batu-batuan kecil, altar itu kosong tanpa benda lain. Sepertinya seseorang telah mencuri patung dewanya.
Memandangi altar kecil ini, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Pandanganku berkunang-kunang ke segala penjuru. Sekilas, bahkan terasa seperti aku pernah mengenal tempat ini, entah di dunia nyata atau dalam mimpi. Tapi sekeras apapun aku berusaha mengingat, tak ada jejak memori tentang lokasi ini yang muncul.
"Gemuk, aku merasa sangat familiar dengan tempat ini," kataku pada si Gemuk.
"Jangan bergerak!" seru si Gemuk.
"Ada apa?" tanyaku sambil terdiam sejenak.
"Tuan Gendut bilang jangan bergerak!" teriaknya sambil bergegas mendekatiku.
"Aku mengikuti arah matanya dan sedikit menoleh ke belakang. Seketika, aku merasakan dingin yang menusuk. Saat menunduk, kulihat seekor ular hitam besar tergantung dari atas kepalaku. Kepalanya berada tepat di samping leherku, dan wajahku bahkan menyentuh lidah bercabangnya yang ramping. Yang lebih mengerikan, di sebelah kepala yang satu ini, ternyata ada kepala lainnya."
Seluruh tubuhku kaku ketakutan. Li Qing menyepakku hingga terpelanting ke samping. Dia mengangkat belatinya dan langsung menusuk ke arah lidah ular itu. Kecepatan adalah keahlian utama Li Qing. Gerakannya dari menyepak hingga menikam terlihat sangat mulus. Tapi ular itu lebih cepat. Tikamannya meleset, dan tiba-tiba ular itu sudah meliuk ke atas kepala kami. Alih-alih menyerang Li Qing yang baru saja menyerangnya, ular itu malah menatapku sambil menjulurkan lidah bercabang.
Dan aku pun menatapnya balik.
Baru pada saat ini kusadari, dua kepala itu bukan dua ular yang saling melilit, melainkan satu ular berkepala dua! Satu tubuh yang bercabang di bagian tujuh inci, terpisah menjadi dua kepala.
"Orang gemuk, makhluk apa ini? Kenapa satu ular punya dua kepala?" tanyaku dengan perasaan bersalah pada si gemuk.
"Jangan bergerak, Li Qing. Kamu juga diam," kata si gemuk.
Tapi tepat pada saat itu, ular itu tiba-tiba mendekat ke arahku. Aku mengangkat kedua tangan dan diam, tapi aku lupa kalau di pelukanku masih ada kucing hitam itu. Kucing ini sepertinya mengira ular itu akan menyerangku. Ia mengeluarkan suara "Meong!" lalu melompat, mengacungkan cakarnya ke arah ular berkepala dua itu. Tapi sama sekali tidak berguna. Aku hanya mendengar kucing hitam itu mengeluarkan jerit kesakitan, kedua kepala ular itu menggigit tubuhnya sekaligus. Dengan sekali kibasan, tubuhnya terlempar ke peti mati di samping.
"Jangan!" teriakku keras, tapi sudah terlambat. Kucing itu menatapku sebentar, bergerak-gerak lemah, lalu mengeluarkan jerit putus asa lagi seolah mengucapkan selamat tinggal. Di detik berikutnya, sudah jelas ia tewas seketika.
Sementara ular ini, masih terus mendekat ke arahku.
"Jangan bergerak, Daun. Jangan sama sekali bergerak," kata Orang Gemuk dari samping.
"Kalau tidak bergerak, Laozi akan mati!" teriakku.
