"Percayalah pada Tuan Gendut, ini adalah ular dewa legendaris. Asal kau tidak menyerang mereka, mereka tidak akan menyerangmu. Lagipula lihat, mereka sekarang sangat tertarik padamu," teriak Orang Gemuk.
"Aku hampir ingin mengeluarkan umpatan kasar! Pasti mereka tertarik padaku. Kalau tidak, mana mungkin sampai mau menempel ke wajahku seperti ini!" Tiba-tiba, seluruh kabin kapal mulai berguncang hebat. Li Qing memanfaatkan momentum ini untuk berguling di lantai, lalu menarikku ke samping. Pada saat yang sama, si Gemuk tiba-tiba berteriak dengan wajah pucat: "Mundur! Kucing!! Kucing bangkai hidup bangkit!"
Mengikuti arah jari si Gemuk, pandanganku tertuju pada peti naga Pemimpin tempat jasad kucing hitam besar itu jatuh. Peti itu bergoyang-goyang hebat seolah ada sesuatu di dalamnya ingin keluar.
"Yang dikubur di sini adalah senior dari Jalan Hantu sebelumnya, sampah kelas rendah seperti Liu Chuanzhi itu! Kita tidak bisa melawan, mundur!" Setelah berkata demikian, si Gemuk langsung mundur ke luar pintu. Aku dan Li Qing juga segera menyusul. Begitu keluar, kami langsung menyadari keanehan: Layar kapal yang tadinya terkerek kini telah turun tanpa kami sadari. Kapal berhenti di tempat, sementara permukaan air Sungai Kuning di sekitar kami mulai menggelembung besar-besar, seolah ada sesuatu yang hendak muncul dari dasar. Bahkan lebih mengerikan, tak lama kemudian air sungai itu berubah menjadi merah darah!
"Dasar Mulut Gagak! Ngomong-ngomong Liu Chuanzhi buat apa? Sekarang Biksu besar itu datang lagi!" teriakku. Pemandangan ini persis seperti saat Biksu besar itu muncul dulu!
“Ngapain nyalahin Tuan Gendut? Apa Tuan Gendut tahu kucing itu bakal lompat ke peti mati? Bukannya lu bilang dia berarwah? Cih! Sekarang ngomong gitu buat apa! Mending kita loncat ke air!” kata Si Gendut.
“Loncat juga mati!” kataku.
Aku teringat ikan mas gila di dalam air dan biksu berlumuran darah itu, ubun-ubun kepalaku langsung merinding. Jelas-jelas loncat sekarang sama saja bunuh diri. Tiba-tiba, dari kabin kapal di belakang kami terdengar suara langkah kaki, disusul bunyi pintu kayu yang kukunci terinjak terbuka. Kuputar badan, kedua kakiku langsung lemas. “Gendut! Liu Chuanzhi di belakang, yang keluar dari peti mati itu dia!” teriakku.
“Dia bukan Liu Chuanzhi! Kalau dia Liu Chuanzhi, terus siapa orang ini?!” teriak Si Gendut.
Kulihat ke depan kapal, sialan! Di permukaan air depan kapal kami ternyata berdiri sosok berlumuran darah yang persis sama dengan yang keluar dari kabin. Sedangkan yang menginjak daun alang-alang di depan jelas-jelas biksu besar itu! Tapi sekarang keduanya tampak sama persis, sampai aku tidak bisa membedakannya.
“Sekarang gimana?!” teriakku ke Si Gendut. Dialah satu-satunya di antara kami bertiga yang paham ilmu metafisika, hanya dia yang bisa diandalkan.
“Tuan Gendut mana tahu?!” teriak Si Gendut.
Saat ini aku hampir yakin bahwa di dalam peti naga Pemimpin ini memang dikuburkan sosok penting dari Jalan Hantu yang sangat spesial, karena hanya Jalan Hantu yang memiliki tradisi pengulitan sebelum dikuburkan dalam peti naga. Sekarang aku semakin yakin bahwa Liu Chuanzhi saat itu pasti juga dikuburkan dalam peti naga ini, hanya saja peti naganya telah dicuri orang. Jika demikian, pencuri peti naga di kapal ini pasti bukan Chen Jinzhi, karena Liu Chuanzhi adalah mantan pemimpin Jalan Hantu sebelum Guo Zhongyong di era Dinasti Qing, sedangkan Chen Jinzhi hidup di awal Dinasti Ming - garis waktu ini jelas tidak cocok.
Aku sendiri kagum dengan lobang pikiranku yang masih bisa mikirin ini di situasi genting begini. Persis di saat itu, sosok berdarah di belakangku tiba-tiba berlari ke arah kami. Li Qing langsung terbang menyepak dengan tendangan. Tendangannya hanya membuat sosok itu mundur selangkah, tapi kemudian sosok berdarah itu menghantam kaki Li Qing dengan tinjunya. Dengan gesit Li Qing menggeser tubuh menghindar. Tinju itu nyaris meleset, tapi tetap saja berhasil mencabik sepotong daging dari kaki Li Qing.
"Jangan sentuh, jangan bertarung! Mundur! Sepertinya biksu besar ini mau ngobrol sama si temen di belakang!" teriak si gemuk.
"Kenapa kamu aneh banget sekarang? Kalau diam tidak bergerak, tidak akan mati?" Aku mengangkat tombak. Jika sosok berdarah itu berani mendekat lagi, pasti akan kutembakkan satu per magazen peluru ke seluruh tubuhnya.
"Orang gemuk itu tetap nekat tanpa pikir panjang. Kini kondisinya sudah tidak lemah lagi. Ia menarik tanganku menyamping, sementara Li Qing menggelinding ke sisi lain. Situasi sekarang menampilkan biksu besar Liu Chuanzhi yang sedang saling tatap dengan manusia darah itu.
Biksu besar Liu Chuanzhi tiba-tiba bersujud di hadapan manusia darah lainnya sambil mengucapkan bahasa mirip yang digunakan pemuda itu saat berkomunikasi dengannya. Melihat situasi ini, aku merasa perkataan si gemuk ada benarnya. Dengan suara rendah aku bertanya, "Hei Gemuk, bahasa apa yang mereka gunakan? Tulisan Yin kah?"
"Bukan!" Si Gemuk menggelengkan kepala.
"Kau mengerti?" tanyaku.
"Nggak ngerti." Ia tetap mengawasi Liu Chuanzhi dan manusia darah itu. Aku merasa tak berdaya, tapi melihat keduanya seperti sedang bernegosiasi, aku mencoba menebak isi pembicaraan mereka. "Gemuk, lihat. Aku kan tamu yang diundang biksu ini naik kapal. Menurut si provokator tadi, Liu Chuanzhi mau membawaku menemui Raja Naga. Menurutmu, apa Liu akan bilang ke manusia darah ini bahwa aku tamu kehormatan Raja Naga, agar jangan dibunuh?"
Tepat saat kami mengira situasi akan membaik, manusia darah ini tiba-tiba mengabaikan Liu Chuanzhi yang sedang bersimpuh di depannya, dan langsung menerjang ke arah kami. Liu Chuanzhi itu berdiri, dengan ringan menginjak batang alang-alang, lalu seluruh tubuhnya melayang ke atas kapal untuk menghadang di depan manusia darah tersebut. Manusia darah ini sangat tidak puas dengan Liu Chuanzhi yang menghalanginya, lalu menghantamkan satu pukulan tinju. Pukulan ini langsung merontokkan satu lengan Liu Chuanzhi.
"Kenapa dia tidak melawan?!" Aku bertanya pada si Gemuk.
"Jika yang dikuburkan di sini adalah para Pemimpin Jalan Hantu dari generasi ke generasi, Liu Chuanzhi adalah orang sebelum Guo Zhongyong, yaitu Pemimpin Jalan Hantu jabatan kedua terakhir. Sedangkan manusia darah itu adalah leluhur seniornya, berani apa dia melawan? Menghina guru dan menghancurkan leluhur!" Kata si Gemuk.
"Sudah jadi begini masih bicara soal menghina leluhur! Kalau tidak melawan, dia bisa tewas dipukuli!" Kataku.
Kenyataannya memang begitu. Manusia darah itu sepertinya tidak mengenal belas kasihan. Ditambah Liu Chuanzhi yang tidak melawan, setiap pukulannya selalu merontokkan daging besar dari tubuh Liu Chuanzhi. Bayangkan betapa beratnya tinju itu. Jika mengenai tubuhku, mungkin langsung jadi bubur daging.
Akhirnya, Liu Chuanzhi si biksu besar ini, benar-benar dipukuli hingga hanya tersisa sebuah kepala.
Manusia darah itu menendang kepala Liu Chuanzhi ke samping. Tadi Liu Chuanzhi lebih baik diam saja. Karena ucapannya itu, sekarang target manusia darah ini tiba-tiba berbalik mengarah padaku.
"Aku bisa merasakannya, ini adalah keputusasaan."
"Orang gemuk, tidak ada satu jimat pun tersisa? Bahkan jimat untuk menyalakan lampu pun sudah habis?" Aku bertanya sambil seluruh tubuhku gemetar.
"Habis." Orang gemuk menghalangi di depanku.
Saat itu, bau amis darah semakin pekat. Aku mengangkat kepala dan melihat sosok berdarah itu sudah berada di hadapanku. Tiba-tiba kepala Liu Chuanzhi mulai berbicara dengan bahasa asing yang tak kupahami, tapi orang gemuk mengerti! Ia bersujud ke arah kepala Liu Chuanzhi sambil berkata: "Terima kasih, Senior, sudah menyelamatkan nyawa!"
Setelah itu, ia berteriak ke arah Li Qing: "Belati!"
Li Qing bereaksi cepat, melemparkan belati. Orang gemuk terbang menyambutnya sambil menarik tubuhku menghindari pukulan yang melesat. Dengan cepat ia menggores lenganku, sekelebat pedang darah menyembur.
Luka di tanganku belum sembuh, sekarang lengan bertambah satu lagi. Aku berteriak: "Lampu Jiwa belum dinyalakan, darah tidak berubah keemasan, percuma!"
"Aku tidak mengandalkanmu!" Orang gemuk membentak.
Persis saat ucapannya melandai, seekor ular raksasa berkepala dua muncul menggeliat. Kedua kepalanya mendatar, mulut menganga mengeluarkan desisan mencekam.
Mendengar itu, sosok berdarah itu tiba-tiba berjongkok ketakutan, tubuhnya meringkuk seperti bola.
"Ular raksasa itu mengaum sekali lagi!" Manusia berdarah itu berdiri dan memasuki kabin kapal. Semua ini terjadi terlalu mendadak, aku pun terdiam, sementara si Gemuk seluruh tubuhnya membeku.
Tapi manusia berdarah telah pergi, sementara ular berkepala dua itu justru merayap mendekatiku.
"Bersimpuh!" kata si Gemuk.
Sebelum sempat aku berlutut,
ular berkepala dua ini justru melingkar di hadapanku.
Membentuk lingkaran.
