"Suara perempuan ini terdengar sangat muda, pasti bukan milik Nenek Li. Tapi Nenek Li adalah satu-satunya perempuan yang mungkin ada di rawa-rawa ini sepengetahuanku sekarang. Selain dia, aku tidak bisa membayangkan orang lain. Ditambah lagi kegelapan malam ini membuatku teringat hantu wanita yang menggoda pelajar dalam cerita Liaozhai waktu kecil dulu. Aku benar-benar bingung harus menjawab atau tidak, takut kalau aku menyahut, hatiku akan dicabut dan dimakan."
Aku menyalakan sebatang rokok, tidak menjawab sama sekali. Tangan erat menggenggam senapan serbu, dalam hati bergumam: "Bahkan jika kau benar-benar hantu pemakan jantung, berani muncul sedikit saja, langsung kuhujani magazen peluru!" Meski berpikir begitu, tubuhku justru gemetar tak terkendali.
Persis di saat itu, dari tempat yang sama, suara perempuan lembut nan misterius itu kembali terdengar: "Ye."
Masalahnya, selain memanggil namaku, tidak ada suara lain. Seolah ada perempuan terikat kuat yang memanggilku. Tapi kalau dia terikat namun masih memanggilku dengan manis seperti itu, ini bukan minta tolong lagi, tapi mengajak bermain SM.
Aku masih bertahan tidak menjawab atau melihat. Tapi belum genap satu menit, dia memanggil lagi: "Ye."
"Aku di sini! Manusia atau hantu, datanglah!" Aku mematikan puntung rokok sambil membentak. Suara ini bukan cuma membuat bulu kudukku merinding, tapi juga memancing rasa penasaran. Mirip suara perempuan di depan rumah bordil di TV yang memanggil "Tuan-tuan silahkan main~". Sungguh sudah tak bisa kutahan lagi.
Setelah aku berkata begitu, suara ini berhenti. Saat ini dalam hatiku sudah mulai memaki-maki Si Gemuk. Kalau kau sudah bangun, kenapa tidak langsung membangunkanku? Mengapa pergi sendiri? Sekarang aku hanya ingin Si Gemuk segera kembali, karena aku tahu jika benar ada hantu wanita di sampingku, memaki dua kali pasti tidak akan mengusirnya.
Tepat seperti dugaanku, belum lama kemudian tiba-tiba suara itu kembali terdengar: "Yezi."
"Ye nǐ mǎlègēbì!" Aku berdiri sambil mengangkat senapan serbu dan berjalan menuju sumber suara. Kau terus menggoda dan memancingku, baik kau manusia atau hantu, aku akan hadapi. Yang penting kurasakan ini bukan makhluk tingkat tinggi, karena kalau dia punya kemampuan pasti sudah langsung mencekikku daripada bermain teka-teki. Ketika aku mendekat, ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Segala penjuru kembali sunyi, hanya suara gemerisik angin menerpa alang-alang.
"Bukankah kau memanggilku? Mana orangnya?!" Teriakku. Tidak adanya orang semakin membuktikan dia sedang bersembunyi, ini membuatku semakin yakin.
"Yezi." Tepat di saat itu, suara itu kembali terdengar. Sekejap seluruh tubuhku kaku, karena kali ini suaranya sangat dekat, bahkan kurasakan hawa dingin dari belakang. Aku berbalik cepat siap menarik pelatuk, tapi yang terlihat justru sosok Si Gemuk yang sedang berlagak genit.
Dia bertelanjang dada, menjepit jarinya membentuk kuncup melati, matanya memandangku dengan tatapan menggoda. Melihat adegan ini, aku bingung antara ingin menangis atau tertawa, tapi akhirnya langsung menyepaknya sambil memaki: "Aku sialan leluhurmu delapan belas generasi! Di saat seperti ini masih ada mood becanda dengan Laozi?"
Orang gemuk itu berjongkok setelah kusepak. Meski kuhujani makian, ia tetap memandangku dengan tatapan genit seperti perempuan yang sudah sepuluh tahun tak melihat pria, jari kuncup melatinya bergerak luwes sambil bibir mungilnya mengeluarkan dua kata lembut: "Daun."
Suara perempuan yang ditiru si gemuk ini sungguh mirip. Ditambah kepala besar dan payudaranya yang lebih besar dari kebanyakan wanita, di balik kecantikannya terselip sesuatu yang menjijikkan. Aku teringat karakter Ru Hua yang suka mengorek upil di film Stephen Chow, bahkan lebih menjijikkan dari itu. Kutertawa sambil memaki: "Kau sialan lagi birahi ya? Masih mau main-main?"
Si gemuk mengabaikanku. Penampilannya tetap seperti pelacur. Awalnya aku sudah mulai tenang, tapi melihat tingkahnya tiba-tiba ada perasaan aneh yang membuatku panik. Kutyalakan sebatang rokok sambil melototinya dengan perasaan bersalah: "Sudah! Berhenti main-main! Aku bilang jangan ganggu lagi, oke? Kalau begini terus aku benar-benar marah!"
Kalau di waktu biasa, bukan saja si gemuk tidak akan bercanda seperti ini, bahkan jika pun dia mau, setelah aku bilang begitu seharusnya sudah cukup. Tapi si gemuk tetap tidak berubah, dia hanya menatapku sambil berkedip, membuka mulutnya dan menyebut "Daun" lagi.
"Kamu salah minum obat ya?" Aku merendahkan tubuhku dan menyentuh kepalanya. Baru sekali sentuhan, tanganku langsung terpental karena dahi si gemuk terasa dingin membeku seperti mayat, sama sekali bukan suhu manusia hidup.
"Sialan, jangan nakut-nakuti aku dong! Bukannya kamu ini pendeta Tao? Kok bisa-bisanya dirasuki hantu wanita?" Aku memaki si gemuk. Setelah menyadari perubahan nyata padanya, aku benar-benar panik. Aku tidak punya cara mengusir hantu, tapi masa iya harus membunuh si gemuk begini?
Aku hanya bisa menatap si gemuk yang terus melirikku dengan genit sambil memanggil-manggilku. Andai saja ponselku tidak kehabisan baterai, pasti kurekam kelakuannya ini untuk ditunjukkan nanti saat dia sembuh. Kelakuan keterlaluan genit begini jelas menunjukkan hantu yang merasukinya bukan barang bagus. Dulu pernah kulihat di desa orang yang kerasukan - biasanya para kakek-nenek berani hantu yang berkomunikasi dengan arwah. Meniru cara mereka, kubujuk: "Nona, jika ada pesan silakan disampaikan. Si gemuk ini pendeta Tao, soal lentera abadi atau gapura peringatan, bisa kusampaikan. Tapi sekarang kami ada urusan penting, sudilah Ibu memberi jalan untuk pergi."
Setelah selesai berbicara, aku menggigit gigi dan bersimpuh di hadapan si gemuk sambil membungkukkan kepala. Orang Tionghoa menghormati almarhum sebagai yang utama, bersimpuh pun tak memalukan. Si gemuk kini di mataku sudah hampir sama seperti mayat.
Tapi apapun yang kukatakan tak berguna, karena si senjata gemuk ini kembali memanggilku dengan suara lembek.
Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki gesekan mendekat dari kejauhan. Cepat-cepat kudorong tubuh si gemuk ke tanah sambil aku sendiri juga tengkurap mengarahkan tombak ke arah sumber suara. Di tempat ini, musuh terbesar kami adalah kelompok Tuan Liu, bukan hantu. Setidaknya hantu cuma memanggilku dengan suara lembek, sementara orang-orang Tuan Liu benar-benar mengincar nyawa kami.
Tapi sialnya, semakin kuinginkan si gemuk tetap diam, semakin dia membuat masalah. Seluruh tubuhnya lembek seperti nada suaranya. Persis saat langkah kaki itu hampir mendekat, dia berseru: "Daun."
Keringat dingin mengalir di dahiku. Langkah kaki itu tiba-tiba berhenti. Orang itu sepertinya mendengar suara si gemuk. Jantungku nyaris melompat keluar, terus-menerus ragu apakah harus menembak dulu sebagai serangan preemptif. Jumlah mereka banyak, kalau tiba-tiba beberapa orang bersenjata datang menyerbu, pasti kami binasa.
Tiba-tiba dari arah langkah kaki itu terdengar suara bertanya dengan hati-hati: "Daun?"
Setelah mendengar suara ini, aku langsung bersemangat karena aku mengenali suara ini - ini adalah suara Kakakku!
"Kakak, aku di sini!" teriakku.
Suara langkah kaki itu cepat mendekat. Kulihat seorang pria berjalan mendekat dengan tubuh berlumuran darah. Karena gelapnya malam, wajahnya tak kelihatan jelas, tapi dari postur tubuh dan cara berjalannya, aku yakin ini Kakakku. Melihat seluruh tubuhnya berlumuran darah, aku bertanya: "Kakak, apa yang terjadi?"
"Ssst! Ada yang mengejarku untuk membunuh. Ini bukan tempat untuk bicara, mundur." kata Kakak.
"Tapi si gemuk..." protesku.
Kakak baru melirik orang gemuk yang sedang berlagak genit di tanah. Dengan kasar dia mengangkat si gemuk ke pundak: "Jangan pedulikan, pergi dulu!"
Aku tak mengerti mengapa Kakak begitu tegang, tapi pasti orang yang bisa membuat Kakak seperti ini bukan orang biasa. Pikiranku langsung melayang ke pemuda itu, sosok Penjahit Hantu. Ingin kutanyakan pada Kakak, tapi dia sudah menggotong si gemuk dan berjalan cepat. Aku terpaksa buru-buru mengikuti.
Selama ini aku dan si gemuk berjalan tanpa tujuan di rawa-rawa ini, tapi Kakak sepertinya tahu arah yang dituju. Bagaimanapun, Kakak selalu menjadi sumber rasa amanku. Mengikuti dari belakang, aku sama sekali tidak merasa takut. Setelah berjalan entah berapa lama, Kakak meletakkan si gemuk dan menempelkan kepala ke tanah: "Bersembunyi!"
