Awalnya kupikir cukup bawa dua sekop dan menggali makamnya. Tapi Tuan Gendut melototkan matanya yang putih padaku: “Makanya kau ini bajingan munafik! Mulutnya bilang kasihan pada si bodoh, tapi mau menggali kuburannya sembarangan. Arwah itu menempel pada kerangka. Kalau kena sinar matahari, tanpa perlu kusentuh pun dia sudah kebakaran sendiri!”
“Lalu bagaimana? Kenapa aku disebut munafik? Aku kan memang tidak tahu!” protesku.
“Cari kain hitam, buat tenda gelap untuk melindunginya dari matahari. Selesai urusan!” jawab Tuan Gendut.
Kami pergi ke balai desa mencari kain hitam besar yang dulu digunakan untuk menutupi hasil panen di area pengeringan. Kain itu cukup lebar. Aku memanggil dua pemuda desa, lalu kami menanggung sekop dan membawa kain hitam itu ke makam si bodoh. Di bawah arahan komandan ahli seperti Tuan Gendut, menggali satu makam adalah urusan sepele. Kami cepat-cepat memasang tenda lalu langsung menggali. Sebenarnya hatiku agak ragu dengan cara ini, tapi mengingat tingkah laku keluarga Chen Shitou, lebih baik lanjut saja.
Saat penggalian mencapai separuh, salah satu pemuda yang kupanggil tiba-tiba menarik lenganku: “Kak Ye cepat lari! Chen Dakui dan kawanannya datang!”
Aku menoleh ke belakang dan melihat Chen Shitou di depan membawa tongkat, sementara Chen Dakui dan dua saudaranya masing-masing membawa pedang dengan wajah marah mendekati kami. Saat semakin dekat, keempat anggota keluarga ini bahkan tidak berniat bernegosiasi. Sorot mata Chen Shitou kepadaku seakan ingin memakanku. Dia melambaikan tangan dan berteriak, "Bunuh mereka!"
"Kalian berdua pergi!" kataku kepada dua saudara muda ini. Tiga bersaudara Chen Dakui terkenal kejam, apalagi sekarang mereka membawa senjata. Dua pemuda ini pun ketakutan, "Kak Ye, hati-hati! Aku akan panggil kepala desa!"
"Tidak perlu! Jangan panggil kepala desa. Cuma tiga orang ini, anggap apa mereka!" jawabku.
Saat itu Chen Dakui sudah berlari mendekatiku, mengayunkan pedangnya. Jika dulu melihat gerakan ini pasti aku sudah kebingungan total, tapi setelah mengalami banyak hal dan menyaksikan pertarungan dewa-dewa, gerakannya terasa seperti slow motion di mataku. Dengan gesit aku menghindar dari tebasan itu, lalu menyambar sekop dan menghantam bahunya. Pukulan itu begitu keras hingga langsung menjatuhkannya ke tanah. Kuayunkan lagi sekop ke punggungnya, membuatnya bergulat di tanah dan tak bisa bangun lagi.
Orang yang jarang berkelahi, saat tiba-tiba terlibat perkelahian terutama ketika berhasil menjatuhkan lawan, akan mengeluarkan aura kejahatan dari rongga dada. Aku menyepak pedang Chen Dakui hingga terbang, mengangkat sekop menghadapi Er Kui dan San Kui yang sedang berlari mendekat: "Siapa yang berani maju satu langkah lagi, coba?!"
Aku tahu ekspresiku saat ini pasti sangat mengerikan. Ditambah dengan keganasanku yang meledak tadi, membuat Er Kui dan San Kui membeku ketakutan. Kedua saudara itu menoleh memandang Chen Shitou yang berteriak: "Lihat apa? Tebas dia! Serang berdua!"
Chen Dakui yang kujinjak di bawah kaki juga berteriak: "Ye Jihuan! Hari ini kamu akan mati!"
"Pergi sana kau!" Aku menendang wajahnya. Sudah lama ingin melampiaskan kekesalan pada keluarga ini. Tapi tiba-tiba teringat, bukankah ibunya seorang yang kurang waras? Dalam hati aku segera meminta maaf pada si bodoh itu sambil berbisik tak bermaksud menghinanya. Saat itu juga, Er Kui dan San Kui mulai menyerang. Si gemuk hendak membantu, tapi kugelengkan tangan: "Kalian para dewa abadi ini selalu bertarung sendiri. Belakangan aku diam-diam banyak belajar, biarkan udang kecil ini kuhadapi sendiri!"
"Belakangan ini aku tidak hanya belajar banyak, karena terus mengikuti mereka ke sana kemari, sebenarnya kemampuan fisikku juga meningkat jauh lebih banyak dibanding sebelumnya." Melihat kedua orang ini menggeretak gigi dan berlari menyerang, aku menggelinding di tanah untuk menghindari pedang mereka. Lalu menarik sekop dan menggunakannya sebagai tongkat, langsung menyapu betis mereka dengan gerakan sapuan tongkat. Pukulan ini benar-benar membuktikan keefektifannya, kedua bersaudara itu hampir bersamaan terjatuh ke tanah sambil memeluk kaki dan menjerit kesakitan. San Kui yang biasanya galak sampai keluar air mata karena kesakitan.
Ternyata cara Chen Qingshan dulu dalam menangani tiga bersaudara ini di desa memang benar – pukul sampai mereka takut, baru akan nurut. Hanya saja aku tidak menyangka ketiga bersaudara ini ternyata tong kosong, begitu mudahnya kutatap hingga mereka tiarap. Aku berdiri, sambil mengambil pedang yang tergeletak dan mendekati Chen Shitou: "Masih mau membunuhku? Sekarang siapa yang mau kau bunuh?"
"Kau menggali makam istriku, masih berani sok benar?!" Chen Shitou terus mundur ketakutan dihadapanku.
“Istri kamu？Perlu aku ceritakan aibmu？Bukankah kamu yang melemparkannya ke air untuk dikurbankan？Bukankah kamu yang membedah perutnya sambil menggendongku tengah malam jam ketiga？Sekarang baru ingat dia istrimu？” aku membalas, sambil teringat ucapan Paman Pilar dulu bahwa si bodoh sebenarnya adalah Chen Shitou yang menyamar sebagai ahli fengshui dari Kabupaten Wolong, Nanyang. Semakin kupikir semakin geram, spontan kuberi tamparan sambil memaki: “Orang sepertimu, punya kemampuan asli meramal fengshui dan zodiak, bisa hidup layak, tapi malah cari jalan pintas! Ayo jalanin! Tidak takkat 18 lapisan neraka nanti!”
Bekas telapak tangan merah menyala membekas di wajah Chen Shitou. Tamparanku begitu keras sampai tanganku sendiri terasa pedas, apalagi wajahnya. Mukanya memerah marah, ia mengangkat tongkat hendak menghantamku sambil berteriak: “Aku bertarung habis-habisan denganmu!”
Kusedah tendang kakinya hingga terjatuh, memaki: “Pergi sana! Jangan mempermalukan diri! Kalau bukan karena kasihan melihatmu susah membesarkan tiga anak, tindakanmu melemparkan nona itu ke air saja sudah cukup buat Chen Dongfang punya seribu cara membuatmu mati! Lebih baik kalian kalian baik-baik, atau bukan hanya Fugui yang hilang!”
“Sebenarnya mau apa? Mengapa kau gali makamnya?” Chen Shitou merangkak di tanah, matanya mengawasiku tajam.
“Bukan urusanmu!” jawabku.
Pada saat ini, Chen Qingshan datang bersama sekelompok penduduk desa. Begitu melihat empat orang ayah dan anak terbaring di tanah, Chen Qingshan terdiam sejenak. Ia mendekat dan berteriak: "Keempat ayah-anak ini membawa pisau melukai orang, ikat dan bawa ke kantor polisi setempat!"
"Kepala desa, kau tidak salah?! Yang dipukul kami!" teriak Chen Sankui.
"Dia melakukan pertahanan diri!" Chen Qingshan menyepaknya sambil berkata.
Beberapa kader desa dan penduduk segera mengikat mereka dengan tali. Setelah terikat, hendak digiring ke kantor polisi. Chen Shitou melototi kerumunan orang sambil mengaum: "Fudigou adalah milik marga Chen! Kalian membantu marga Ye, suatu hari pasti akan menyesal!"
Chen Qingshan melototinya, lalu menggelengkan tangan: "Bawa pergi!"
Setelah Chen Shitou dan anak-anaknya dibawa pergi, Chen Qingshan memandang tenda hitam yang kami dirikan: "Menggali kuburan?"
"Ya. Si bodoh datang lagi tadi malam. Kurasakan dia ingin bicara. Lagipula urusannya harus diselesaikan. Tidak baik membiarkannya terus berkeliaran begini," jawabku.
Chen Qingshan mengangguk, menatapku: "Kenapa tidak memanggilku?"
Kuserahkan sebatang rokok sambil tersenyum: "Urusan ini tak ingin kau libatkan. Betapa rumitnya kau juga tahu. Kau akan menjadi ayah lagi, fokuslah merawat istri paman dan adik lelakiku yang belum lahir."
"Apa maksudmu? Tuan Gendut adalah penolongku. Mungkin begitu aku bertindak?" Setelah berkata demikian, Chen Qingshan mengambil sekop dariku dan mulai aktif menggali kuburan.
Aku dan Tuan Gendut tidak menghentikannya, tapi tak lama setelah senjata ini mulai menggali, ekor rubahnya langsung ketahuan. Ia tersenyum pada si gendut: "Tuan Gendut, istriku bilang kau adalah penolong keluarga kami. Kalau anak ini lahir nanti, mau laki atau perempuan, kami ingin mengakuinya sebagai anakmu. Bagaimana?"
Aku langsung tertawa mendengar. Bantuanmu yang tak minta upah ini justru lebih mahal dari yang berbayar. Meski si gendut tidak terlalu bisa diandalkan, grandmaster sepertinya mana bisa diakses orang biasa? Kalau benar jadi kerabat angkat, itu pasti keuntungan tak terhingga.
Si gendut terdiam kaku sambil mengernyitkan dahinya dengan bingung. Chen Qingshan yang melihat ini cengar-cengir kikuk: "Sudah kuduga istriku kurang ajar! Tuan Gendut kan dewa abadi, mana mungkin kami berani mengangkat derajat!"
"Bukan begitu. Sebenarnya ini masalah takdir. Orang-orang yang mempelajari Tao paling percaya takdir, mengerti?" Si gendut agak malu menjawab. Sebenarnya kalau menolak langsung juga tidak enak, Chen Qingshan benar-benar memberi kesempatan pamer yang sulit ditolak.
"Apa itu takdir? Kau dari jauh di Gunung Zifu datang ke Fudigou kami, lalu berteman dengan kami. Bukan takdir apa ini? Terima saja!" Kataku pada si gendut.
"Begini saja, nanti setelah lahir baru dibicarakan. Meski tak bisa jadi anak angkatku, aku pasti akan beri hadiah untuk makhluk kecil itu. Setuju?" Ujar si gendut.
Chen Qingshan gemetar menggosok-gosokkan tangan penuh harap: "Baik! Terima kasih Tuan Gendut!"
"Baiklah, Anda bisa istirahat dulu Pak Kepala Desa. Meminta bantuanmu ternyata harus membayar mahal! Hadiah dari Tuan Gendut, membayangkannya saja sudah bikin gatal hati!" Aku menghampirinya sambil berkata.
Chen Qingshan bersikap emosional pada si gemuk, tapi lebih santai padaku yang dia lihat tumbuh besar. Dia melototi ku: "Kau ini bicara bagaimana? Apa aku ini tipe orang seperti itu? Meski tak membantu, tetap akan kuberi tahu, hahaha!"
Sambil bercanda kami membuka makam. Di dalam makam si bodoh tidak ada peti mati, jenazahnya dulu hanya dibungkus tikar usang lalu dikubur.
Tapi sekarang, di dalam sama sekali kosong.
